miskin yang didirikan oleh organisasi kiri dibubarkan dan dilarang. Riset/investigasi tentang hal inibisa menjadi bahan diskusi dengan guru-guru. Saya bisa menyebut contoh kasus lain yang terkaitdengan kesenian jaranan di Jawa Timur dan banyak contoh lainnya tidak hanya untuk Peristiwa 65.Pendahuluan di atas mengantar saya pada pembahasan tentang sejumlah metode pencarian danpemaparan fakta yang pernah saya dan rekan-rekan ISSI/LTP praktekkan. Ada dua pengalaman yangingin saya bagi, yaitu penyusunan laporan untuk kasus pelarangan barang cetakan/buku dan riset 65di Solo.1. Investigasi dan Pelaporan Kasus Pelarangan Barang CetakanPada 22 Desember 2009, kejaksaan agung melarang peredaran lima buku, diantaranya adalah bukuyang diterbitkan oleh lembaga saya, Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa dan Suara Gerejabagi Umat Tertindas karya Socratez Sofyan Yoman. Setiap kali ada kasus pelarangan buku,masyarakat menghadapi secara kasuistik. Pembaca bikin konferensi pers atau pernyataan protes dimedia massa, atau mengumpulkan tanda tangan lalu melayangkan surat protes terbuka khusustentang buku yang dilarang, kemudian isu baru muncul, dan protes padam. Pelarangan buku-bukuitu menunjukkan bahwa rezim reformasi ini masih mewarisi otoritarianisme rezim-rezimpemerintahan sebelumnya, khususnya Rezim Orde Baru. Ia adalah sistem, karena itu perlawananyang dilakukan tidak bisa kasuistik. Dan untuk itu dibutuhkan informasi mendalam untukmenentukan memahami sistem yang dibangun negara untuk mengontrol informasi tersebut.Karena saya mendapat tugas riset untuk mendukung upaya hukum untuk mencabut UU pelaranganbarang cetakan, maka yang saya lakukan pertama-tama adalah menelusuri sejauh mana OrdeReformasi memanfaatkan warisan hukum pelarangan buku itu. Saya menemukan bahwa ada 22buku yang dilarang selama era pemerintahan SBY tanpa melalui pembuktian di pengadilan; bahwabuku-buku dilarang terutama adalah yang mengungkap kejahatan negara, atau bertentangandengan tafsir Islam yang dominan; dan bahwa institusi yang merekomendasikan sensor, ClearingHouse, adalah organisasi gelap yang berdiri di atas hukum, betapapun menjadi perpanjangan darikejaksaan agung, dan tidak bebas dari keharusan untuk memberikan pertanggungjawaban publik,dan itu juga berlaku untuk kejaksaan agung.Informasi awal itu menurut saya masih tidak cukup. Kita masih perlu mengetahui asal-muasalkesewenangan negara dalam mengontrol informasi. Saya beruntung karena Hilmar Farid dan Razif,sebelumnya sudah melakukan riset mendalam tentang sejarah rezim pelarangan buku di negeri ini.Mereka menyebutkan bahwa hukum sensor pertama diciptakan oleh pemerintah kolonial Belandauntuk memberangus bacaan-bacaan yang diproduksi oleh kaum pergerakan, yang mereka sebutsebagai ‘bacaan liar’. Hukum sensor itu dicabut setelah BPUPKI, melalui pertukaran pikiran cukuppanjang, memutuskan untuk menambahkan pasal baru dalam rancangan UUD, yaitu jaminan ataskebebasan berekspresi, kemudian menjadi Pasal 28. Di alam Indonesia merdeka, AD-lah (angkatandarat) yang pertama-tama mengadakan kembali dan memanfaatkan secara leluasa hukum sensordengan memanfaatkan kewenangannya yang makin meluas akibat penerapan status darurat militer.Pada tahun 63, Soekarno, melalui penetapan presiden, mengambil alih kewenangan itu dari AD danmenyerahkannya pada kejaksaan agung. Akan tetapi kejaksaan agung tidak menggunakan secaraefektif kewenangan tersebut. Baru setelah Peristiwa 65 pecah, praktek sensor barang cetakanmeluas karena AD kembali mengambil alih kewenangan itu dan memanfaatkannya untuk70
memberangus pemikiran kiri atau karya-karya penulis kiri. Empat tahun kemudian Orde Barumengukuhkan penetapan itu menjadi UU dan memanfaatkannya semaksimal mungkin untukmembungkam apa yang mereka persepsi sebagai benih pemikiran subversive. Menurut Stanley A.Prasetyo, hanya dalam periode akhir 1965-1992, Orde Baru telah melarang sekitar 2000 lebih judulbuku.Lagi-lagi informasi itu pun masih tidak cukup. Saya rasa untuk keperluan advokasi saat itu perlu adariset lanjutan tentang bagaimana hukum itu diwariskan pada rezim-rezim era reformasi. Saya jugaperlu tahu motif sesungguhnya serta kepentingan siapa yang berada di balik pelarangan buku-bukupada era reformasi ini. Informasi-informasi ini yang dirahasiakan oleh kejaksaan agung. Untukmengungkapnya, saya pertama-tama melakukan riset dokumen (koran, risalah-risalah mahkamahkonstitusi, surat keputusan-surat keputusan pelarangan buku yang dikeluarkan kejaksaan agung,UUD, KUHP dan lain) ke sejumlah perpustakaan. Dengan rekomendasi Komnas HAM (KH), saya ikutmenyelenggarakan satu kali workshop tentang tema ini dan mendapat akses untuk mewawancaraikasubdit pengawasan barang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Saya menemukan bahwadi awal reformasi, perjuangan untuk merebut kembali kebebasan untuk mengeluarkan pikiransecara tulisan – termasuk untuk mereformasi sistem hukumnya – lebih banyak dicurahkan padakebebasan pers. Kita terlupa bahwa Orde Baru telah memisahkan UU yang mengatur kontrol persdengan kontrol buku. Dan memang oplah koran lebih besar daripada buku. Membaca dan memilikibuku-buku Pramoedya A. Toer menjadi simbol kelas menengah terdidik. Hal itu ditambah lagidengan beredar bebasnya buku-buku terlarang masa Orde Baru. Bahkan sejumlah korban 65 yangselama puluhan tahun dibisukan pun secara bebas mengeluarkan memoir mereka. Lolos dariperhatian kita, kejaksaan agung mengukuhkan institusi sensornya, Clearing House dan sejak 2006perlahan mulai melancarkan sensor tanpa mempedulikan protes masyarakat pembaca.Suatu hari, bersama seorang rekan dari KH, saya mewawancarai kepala sub direktorat pengawasanbarang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Ia mengatakan bahwa AD merasa difitnah olehJohn Roosa, sementara kesalahan Socratez Sofyan Yoman adalah memprovokasi rakyat Papua untukmelakukan kekerasan. Narasumber saya menyadari bahwa ada persoalan ketidakadilan ekonomi diPapua, akan tetapi pemerintah sudah menyediakan saluran resmi untuk menampung ketidakpuasanmasyarakat, yaitu DPRD. Akan tetapi, yang paling penting dari wawancara itu adalah saya tahudengan pasti institusi-institusi apa yang ada di dalam Clearing House serta perubahan struktur danmekanismenya dari masa ke masa. Saya juga tahu institusi-institusi mana yang palingberkepentingan terhadap pelarangan buku-buku di atas. Dengan demikian, saat menyusun laporan,saya bisa memaparkan bahwa makna sesungguhnya dari alasan yang diajukan kejaksaan agung‘mengganggu ketertiban umum’ bukanlah kepentingan umum, tapi wibawa – citra dan dominasi –militer, khususnya AD, dan pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut serta terbitan-terbitan lain,saya dan teman-teman pengacara kemudian memperkuat naskah gugatan di Mahkamah Konstitusi.Laporan sepanjang puluhan halaman tersebut kemudian kami tuangkan lagi dalam bentuk narasinarasitematik yang lebih ringkas dan kami serahkan pada teman-teman seniman muda. Merekayang mentransformasinya menjadi bahan kampanye yang kemudian kami tampilkan di sejumlahkota.71
- Page 2:
Melawan Pelupaan PublikPanduan Disk
- Page 7:
3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejar
- Page 10 and 11:
iasa di kalangan publik umum untuk
- Page 12 and 13:
Orde Baru yang sistematik dan melua
- Page 14 and 15:
menghadapi pelupaan publik yang gej
- Page 16 and 17:
Penulis ternama, Satyagraha Hoerip,
- Page 18 and 19:
korban itu sendiri. Kita harus mamp
- Page 20 and 21:
hanya melayani kejahatan individu w
- Page 22 and 23:
kepada mereka. Tuntutan awalnya ada
- Page 24 and 25:
Namun usaha untuk menarik garis bar
- Page 26 and 27:
Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran
- Page 28 and 29: yang terutama dikerjakan oleh Memor
- Page 30 and 31: Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kej
- Page 32 and 33: memberitakan cerita-cerita bohong t
- Page 34 and 35: memperoleh izin bergerak menurut In
- Page 36 and 37: PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
- Page 38: mengerahkan warga sipil ini tidak d
- Page 41 and 42: (kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
- Page 43 and 44: Memorial-Rusia[...] Di bekas negara
- Page 45 and 46: PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI:1) Me
- Page 47 and 48: mengambil intisarinya dan mengintep
- Page 49 and 50: Jika demikian kita berangkat dari b
- Page 51 and 52: Pengertian Informasi Primer dan Inf
- Page 53 and 54: mendapatkan pengertian yang lebih b
- Page 55 and 56: Tabel 1: Perbedaan Dokumentasi deng
- Page 57 and 58: "Perantara yang berpengalaman semac
- Page 60 and 61: Dalam pendokumentasian tentu akan b
- Page 62 and 63: pekerjaan pustakawan dalam memilih,
- Page 64 and 65: tengkorak, enam puluh buah telah di
- Page 66 and 67: II. Darimana Memulai: Mengajak Korb
- Page 68 and 69: tujuan kami, dan apa yang akan kami
- Page 70 and 71: • Menjaga kerahasiaan identitas k
- Page 72 and 73: menghadapi kesulitan di lapangan, d
- Page 74 and 75: • Tujuan kemanusiaan, misalnya me
- Page 76 and 77: dari sumber pertama). Tuntutan ini
- Page 80 and 81: 2. Riset Peristiwa 65 di SoloSejak
- Page 82: lokal (bagian putri Pakorba Solo su
- Page 86 and 87: menyiksa para jenderal, ditelanjang
- Page 88 and 89: palu-arit,” perkosaan dalam tahan
- Page 90 and 91: usak, dan membuat perabotan rumah t
- Page 92 and 93: Ketika Santo Hariyadi diperintahkan
- Page 94 and 95: capek, kepanasan, dan sebagainya, n
- Page 96 and 97: kita [babat rumput]. Dari batas Des
- Page 98 and 99: Setelah menyiang pada dari alang-al
- Page 100 and 101: Kemudian ditutup. Kalau ditanyak pe
- Page 102 and 103: Di tengah-tengah dokumentasi itu, i
- Page 104 and 105: Pernyataan tentang Izin Penggunaan
- Page 106 and 107: Profil ELSAMLembaga Studi dan Advok