II. Darimana Memulai: Mengajak Korban Mau BersuaraPengantarPada dasarnya tidaklah mudah untuk membuat para korban kejahatan hak asasi manusia di masaOrde Baru bersedia mengungkapkan atas apa yang pernah mereka alami. Rasa takut adalah alasanutama dan pertama mengapa mereka sulit untuk mengungkapkan kebenaran masa lalu kepadasejumlah orang atau publik luas.1.Roosa, Ratih & Farid: Metodologi Wawancara Sejarah Lisan[...] Penelitian sejarah lisan ini merupakan sebuah kerja bersama yang dimulai sejak awal 2000 olehsepuluh anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Sebelumnya, kami semua berdiskusimengenai penelitian ini bersama Sekretaris Umum TruK saat itu, Karlina, untuk menemukan carapaling mudah dan tepat untuk menjalankan kegiatan ini. John Roosa menjadi penasehat sekaliguskoordinator dari kelompok relawan yang terlibat dalam penelitian ini. Sampai saat itu, TRuK lebihbanyak menaruh perhatian pada para korban kasus-kasus yang baru terjadi, antara lain korbanKerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I dan II. Para relawan menemani korban danmengumpulkan kesaksian mereka untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai mengapadan bagaimana peristiwa-peristiwa tragis itu terjadi. Walau tak seorang pun dari mereka punyapengalaman dengan sejarah lisan, kami melihat mereka memiliki kemampuan tertentu untukmenjadi pewawancara yang baik. Mereka memiliki kesabaran mendengar orang lain, ketahananmendengar kisah orang yang menderita, dan keprihatinan yang tulus terhadap para korban. Dalampengalaman kami, para pengajar universitas dan mahasiswa justru tidak pernah bisa membuatwawancara yang baik. mereka berfikir mereka tahu segala sesuatunya, atau merasa yakin bahwaapapun yang perlu mereka ketahui berasal dari buku-buku. Keangkuhan inilah yang menghalangimereka untuk mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan cerita-cerita dari orang biasa.Hal terpenting dalam wawancara lisan adalah pemahaman yang baik mengenai hubunganantarmanusia.Semua orang yang terlibat dalam pekerjaan ini, termasuk koordinator, bekerja secara sukarela. Kamitidak mulai bekerja karena ada dana, tapi karena kami yakin bahwa penelitian ini memang pentinguntuk dilakukan. Penelitian kami, karena itu, mewakili pikiran generasi pasca-1965 yang inginmemahami sejarah masyarakat mereka sendiri dan meninggalkan penyederhanaan dan kepalsuanpropaganda negara. Baru belakangan, setelah bekerja selama kurang setahun, bantuan mulaiberdatangan dari beberapa lembaga dan teman yang memilki kepedulian yang sama.Selama dua bulan kami mengadakan pelatihan sejarah lisan bagi sepuluh orang relawan. Kamibertemu sekurangnya sekali seminggu, membaca sejumlah artikel dan buku pilihan, menyusunagenda penelitian, membahas teknik wawancara, dan menentukan jenis-jenis pertanyaan yangharus diajukan. Pelatihan ini sangat penting untuk memperkenalkan para peneliti awal kepadaliteratur sejarah tentang 1965, terutama tulisan-tulisan yang diterbitkan di luar negeri dan dilarang,atau sulit diperoleh di Indonesia. (beberapa diantaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia)kecuali seorang sejarawan yang juga terlibat dalam kelompok peneliti muda ini, semua relawansebelumnya hanya tahu sejarah menurut versi rezim Soeharto. Mereka semua lahir setelah 1965 dandibesarkan di sekolah-sekolah Orde Baru. Mereka menyaksikan jatuhnya kediktatoran Soeharto dan58
sadar sepenuhnya mengenai watak korup, sinis, dan brutal dari pemerintah itu. Tetapi, mereka tidaktahu apa-apa tentang teror yang membawa Soeharto ke puncak kekuasaan. Tak seorang pun darimereka tahu dan peduli akan korban peristiwa itu. Beberapa relawan yang terang-teranganmenentang rezim Soeharto, pada saat bersamaan, meresapi propaganda rezim mengenai kejadian1965-1966; mereka menerima begitu saja cerita bahwa Soeharto berkuasa dengan cara-carakonstitusional, dan bahwa orang komunis adalah atheis yang berbahaya, kecam, dan oleh karenanyaharus dihancurkan ‘sampai ke akar-akarnya.’ Mereka sudah sering mendengar penjelasan bahwacerita tentang pembunuhan dan penahanan massal itu desas-desus belaka.Pelatihan ini juga penting untuk memperkenalkan para relawan pada berbagai teknis sejarah lisan.Beberapa relawan awalnya menduga bahwa wawancara lisan itu semata-mata memasang mikrofondi hadapan seseorang dan memintanya bercerita, seolah-olah orang yang melakukan wawancaratidak perlu berperan aktif mengembangkan diskusi. Wawancara berlangsung dua arah atau sebuahinteraksi antar-orang, bukan sebuah monolog dari orang yang diwawancarai atau mewawancarai.Kita harus telaten mendengarkan, sekaligus terus mengajukan pertanyaan dan meminta keterangan.Kita tidak bisa hanya duduk diam atau, sebaliknya, mendominasi percakapan. Kita harus mengajukanpertanyaan yang tepat kepada orang yang diwawancarai. Terlibat dalam dialog seperti ini memangmerupakan seni tersendiri yang memerlukan kepekaan tertentu.Kami kemudian bersama-sama memutuskan akan mewawancarai eks-tapol dan keluarga mereka.Maksudnya, kami mengumpulkan cerita-cerita untuk menuliskan sebuah biografi kolektif dari orangorangyang memiliki pengalaman serupa dalam perjalanan hidupnya (masa pra-1965, penangkapan,interogasi, penahanan, pembebasan, dan kehidupan di luar penjara). Kami memutuskan untuk tidakmewawancari pelaku dan orang yang tidak menjadi korban karena mereka selama ini tidak punyahambatan berarti jika mau bicara; sebagian diantaranya sudah sering menyampaikan versi merekatentang sejarah, dan bahkan mendominasi pembicaraan selama ini. Adalah para korban yang selamaini tidak mendapatkan kesempatan bicara, dan pengalaman mereka pula yang ingin kami pahami.Kami berfikir bahwa mewawancai korban adalah langkah awal yang penting untuk memahami secaramenyeluruh sejarah bangsa ini setelah masa kemerdekaan. Tentunya upaya ini perlu dilanjutkandengan menggali informasi dari orang lain, seperti saksi dan pelaku yang selama ini belum bersuaradi hadapan publik.Setelah pelatihan selesai, kami menyusun rencana melakukan wawancara. Pada pertengahan 2000,kami mulai mewawancarai orang-orang yang sudah kami kenal sebelumnya—teman, saudara, dantetangga—yang berdiam di wilayah Jakarta, baru kemudian menyebar untuk mewawancarai orangorangyang direkomendasikan oleh kelompok pertama. Setelah dua bulan melakukan wawancara,kami mulai berpergian ke luar Jakarta. Kami melakukan pertemuan mingguan untuk berbagiinformasi tentang apa yang kami temui dan sekaligus menilai kemajuan kerja. Kami menghadapiberagam masalah baru setiap minggunya—mulai dari masalah teknis mengenai cara memasangmikrofon sampai masalah emosional ketika mendengar cerita-cerita yang mengerikan. Pertemuanreguler bermanfaat untuk bersama-sama membahas cara menghadapi masalah seperti ini.Sebelum merekam percakapan, kami biasanya terlebih dahulu menemui orang yang hendakdiwawancarai untuk berkenalan. Pertemuan awal ini penting untuk menjelaskan siapa kami, apa59
- Page 2:
Melawan Pelupaan PublikPanduan Disk
- Page 7:
3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejar
- Page 10 and 11:
iasa di kalangan publik umum untuk
- Page 12 and 13:
Orde Baru yang sistematik dan melua
- Page 14 and 15:
menghadapi pelupaan publik yang gej
- Page 16 and 17: Penulis ternama, Satyagraha Hoerip,
- Page 18 and 19: korban itu sendiri. Kita harus mamp
- Page 20 and 21: hanya melayani kejahatan individu w
- Page 22 and 23: kepada mereka. Tuntutan awalnya ada
- Page 24 and 25: Namun usaha untuk menarik garis bar
- Page 26 and 27: Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran
- Page 28 and 29: yang terutama dikerjakan oleh Memor
- Page 30 and 31: Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kej
- Page 32 and 33: memberitakan cerita-cerita bohong t
- Page 34 and 35: memperoleh izin bergerak menurut In
- Page 36 and 37: PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
- Page 38: mengerahkan warga sipil ini tidak d
- Page 41 and 42: (kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
- Page 43 and 44: Memorial-Rusia[...] Di bekas negara
- Page 45 and 46: PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI:1) Me
- Page 47 and 48: mengambil intisarinya dan mengintep
- Page 49 and 50: Jika demikian kita berangkat dari b
- Page 51 and 52: Pengertian Informasi Primer dan Inf
- Page 53 and 54: mendapatkan pengertian yang lebih b
- Page 55 and 56: Tabel 1: Perbedaan Dokumentasi deng
- Page 57 and 58: "Perantara yang berpengalaman semac
- Page 60 and 61: Dalam pendokumentasian tentu akan b
- Page 62 and 63: pekerjaan pustakawan dalam memilih,
- Page 64 and 65: tengkorak, enam puluh buah telah di
- Page 68 and 69: tujuan kami, dan apa yang akan kami
- Page 70 and 71: • Menjaga kerahasiaan identitas k
- Page 72 and 73: menghadapi kesulitan di lapangan, d
- Page 74 and 75: • Tujuan kemanusiaan, misalnya me
- Page 76 and 77: dari sumber pertama). Tuntutan ini
- Page 78 and 79: miskin yang didirikan oleh organisa
- Page 80 and 81: 2. Riset Peristiwa 65 di SoloSejak
- Page 82: lokal (bagian putri Pakorba Solo su
- Page 86 and 87: menyiksa para jenderal, ditelanjang
- Page 88 and 89: palu-arit,” perkosaan dalam tahan
- Page 90 and 91: usak, dan membuat perabotan rumah t
- Page 92 and 93: Ketika Santo Hariyadi diperintahkan
- Page 94 and 95: capek, kepanasan, dan sebagainya, n
- Page 96 and 97: kita [babat rumput]. Dari batas Des
- Page 98 and 99: Setelah menyiang pada dari alang-al
- Page 100 and 101: Kemudian ditutup. Kalau ditanyak pe
- Page 102 and 103: Di tengah-tengah dokumentasi itu, i
- Page 104 and 105: Pernyataan tentang Izin Penggunaan
- Page 106 and 107: Profil ELSAMLembaga Studi dan Advok