10.07.2015 Views

Fulltext PDF - Jurnal UPI

Fulltext PDF - Jurnal UPI

Fulltext PDF - Jurnal UPI

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ANTARA KELISANAN DAN KEBERAKSARAAN(Analisis Struktur-Semiotik Cerita Pantundan Wawacan Sanghyang Jagatrasa)Dedi KoswaraAbstrak: Objek penelitian ini meliputi dua ranah studi, yaitu sastra lisan(orality) Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) dan sastra tulis(literacy) naskah Sanghyang Jagatrasa (WSJ). Masalah yang diangkatberkenaan dengan:(1) transformasi antara kelisanan CPSJ dankeberaksaraan WSJ, dan (2) struktur formal puisi narratif CPSJ danstruktur formal sastra tulis WSJ. Pendekatan yang digunakan untukmemecahkan masalah itu, yaitu (1) pendekatan sastra lisan dan (2)pendekatan sastra tulis.Berdasarkan hasil penerapan pendekatan sastralisan ditemukan (1) CPSJ memiliki 8 formula, 13 fungsi, dan 7 lingkungantindakan, sedangkan berdasarkan penerapan sastra tulis terhadap WSJdiketahui bahwa WSJ memiliki 6 model aktan dan 3 model fungsional, (2)transformasi antara kelisanan CPSJ ke keberaksaraan WSJ terdapatpada konvensi kesastraan, teknik naratif, ungkapan formula, kosakata,dan konstruksi kalimat. Adanya transformasi tersebut, secara semiotik,dapat dimaknai sebagai suatu upaya pelestarian nilai-nilai moral yangtermuat dalam CPSJ ke dalam era WSJ sejalan dengan situasi dankondisi serta minat masyarakat Sunda pada zamannya.Kata kunci: sastra lisan, cerita pantun, struktur semiotikPendahuluani dalam khazanah sastra Sunda dikenal carita pantun. Cerita pantunmerupakan salah satu genre sastra lisan Sunda yang keberadaannyasudah hampir punah. Cerita pantun adalah cerita yang dituturkan oleh seorangjurupantun (pemantun) dalam pergelaran seni tutur yang disebut mantun.Pergelaran cerita pantun ini biasanya berlangsung semalam suntuk dimulaisetelah Isya sampai menjelang Subuh. Penuturannya dilakukan dengan caradihapal secara lisan (Rosidi, 2000: 493; Iskandarwassid, 1996: 102).Cerita pantun merupakan salah satu hasil sastra lisan Sunda asli yangsudah ada pada tahun 1518 Masehi (Atja & Danasasmita, 1981: 40).Keterangan mengenai cerita pantun, lelakon pantun atau seni mantun adadalam naskah Sunda kuna Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka;1518 Masehi). Dalam naskah tersebut, di antaranya, disebutkan empat lakoncerita pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi.Pada umumnya lelakon pantun itu mengisahkan cerita masa lalu(baheula) tentang raja-raja atau putra-putri raja keturunan Pajajaran. Bertolakdari isi ceritanya yang banyak mengisahkan kebesaran dan keagungan rajaPajajaran, Prabu Siliwangi, diduga bahwa cerita pantun itu lahir pada zamanPajajaran. Akan tetapi ada penjelasaan lain yang menyatakan bahwa ada pula


cerita pantun yang mengisahkan kebesaran dan keagungan kerajaan yanglebih tua, yaitu Kerajaan Pasir Batang Anu Girang dalam cerita pantun LutungKasarung dan Kerajaan Galuh dalam cerita pantun Ciung Wanara yang telahberdiri jauh lebih dahulu daripada Kerajaan Pajajaran.Dilihat dari segi bentuknya, cerita pantun berbentuk puisi naratif. Sebagaipuisi, kekuatan pantun terutama dalam menentukan pilihan kata yang tepatuntuk menggambarkan perbandingan-perbandingan karakteristik tokoh yangsangat plastis. Sebagai contoh, Rosidi (1966: 2) mengungkapkan bahwa untukmelukiskan tubuh tokoh raksasa Yaksa Mayuta yang amat tinggi besar, dalamcerita pantun Mundinglaya di Kusumah, diperikan lukisan huluna butaksabeulah/balas pasundul jeung langit (kepalanya botak sebelah karena seringbersentuhan dengan langit). Sebagai bentuk puisi naratif, cerita pantunmemiliki struktur cerita yang relatif tetap, yaitu sebagai berikut: Rajah Bubuka— Mangkat Carita (Mulai berkisah) — Lukisan-lukisan: lukisan keagungankerajaan, lukisan kecantikan putri dan ketampanan putra raja, lukisan putri danputra raja berdandan, lukisan putri berjalan, lukisan putri menenun, lukisanhutan lebat, lukisan peperangan, lukisan pesta perkawinan dan pesta negara— Rajah Panutup (Rosidi, 1966: 3).Penelitian mengenai cerita pantun Sunda dewasa ini jauh lebih sedikitjumlahnya dibandingkan dengan penelitian tentang teks sastra Sunda tertulisseperti yang berupa naskah (manuscript: handschrift). Hal itu terjadi, diantaranya, karena sastra lisan Sunda ini kini sudah mulai lenyap olehperkembangan zaman. Oleh karena itu, para penutur cerita pantun Sunda(jurupantun) yang dahulu pernah populer melakukan pergelaran dalam acaraacaratertentu serta menjadi idola di masyarakat, kini ruang lingkup aktivitasmereka semakin sempit dan berkurang.Tanpa pendokumentasian dan penelitian terhadap cerita pantun Sundasecara dini, mustahil isi teks sastra lisan Sunda ini dapat diketahui dankemudian dapat diwariskan kepada generasi sekarang ini dan generasimendatang. Hal itu seperti terbukti dari apa yang telah dilakukan olehbeberapa orang peminat sastra Sunda dan peminat kebudayaan Sundaumumnya. Pada abad ke-19 dilakukan oleh orang Barat dan pada abad ke-20dilakukan oleh orang Sunda sendiri.Yang belum pernah dilakukan adalah memperoleh, memahami, danmengkaji teks sastra lisan cerita pantun Sunda melalui kajian filologi lisan.Yang dimaksud dengan filologi lisan adalah studi atas cerita lisan untukmembuat sebuah edisi teks lisan yang benar dan lengkap serta mengkajiisinya dari sudut disiplin ilmu tertentu. Teks tersebut dapat pula digunakanuntuk penelitian disiplin ilmu lainnya (Hutomo, 1999: 4).Di samping itu, yang sangat menarik ialah bahwa teks SanghyangJagatrasa ini selain disajikan secara lisan, juga tersaji secara tertulis, yaitudalam bentuk wawacan. Oleh sebab itu, tepat kiranya apabila Teeuw (1988:280-281) mengemukakan bahwa sebenarnya masalah kelisanan dankeberaksaraan ini lebih pelik lagi untuk situasi di Indonesia, sebab ternyatatidak hanya kedua bentuk sastra, di sini masih hidup berdampingan, tetapisering ada pula keterpaduan antara yang satu dengan yang lain. Sastra yang


diturunkan dalam bentuk tulis pada kenyataannya biasanya berfungsi sebagaisastra yang dibacakan dan dibawakan bersama-sama. Jadi, sebagaiperforming art: dan sebaliknya sastra lisan sering kemudian ditulis dandijadikan sastra tulis atau kebiasaan sastra lisan masih terasa dalamperkembangan sastra tulis sampai ke puisi modern dengan pembacaan puisidan sebagainya. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Sweeney (1987: 1)yang mengatakan bahwa di satu sisi kasus pengalihan itu menduduki wilayahtradisi lisan yang begitu luas dan banyak ditransformasi, sedangkan di sisi lainada kebiasaan-kebiasaan lisan yang bercampur dengan tulisan yang lahirpada masa budaya naskah (manuscript).Dengan ditemukannya dua ranah studi, yaitu kelisanan (orality) CPSJ dankeberaksaraan (literacy) WSJ telah memunculkan masalah sebagai berikut:1. Bagaimana terjadinya transformasi dari kelisanan CPSJ kekeberaksaraann WSJ?2. Apakah transformasi itu memiliki makna bagi masyarakat padazamannya?3. Bagaimanakah struktur formal dan struktur naratif sastra lisan CPSJdan sastra tulis WSJ?4. Apa makna tanda-tanda secara semiotik yang dikemas di dalam teksCPSJ?Berdasarkan identifikasi masalah baik yang muncul dari penelaahansastra lisan maupun sastra tulis, serta transformasi dan pemaknaannya secarasemiotik, dapat dirumuskan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian inisebagai berikut:1. mendapatkan teks lisan CPSJ dan teks tulis WSJ berkenaan denganasal-usul, tradisi dan transmisi teks,2. menemukan rumusan berkenaan dengan struktur formal dan strukturnaratif teks lisan CPSJ dan teks tulis WSJ,3. merumuskan transformasi bentuk dan isi dari kelisanan CPSJ kekeberaksaraan WSJ, dan4. memaknai fungsi tanda-tanda secara semiotik di dalam teks lisanCPSJ.Tinjauan PustakaAda dua objek studi yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu kelisanan(orality) CPSJ dan keberaksaraan (literacy) WSJ. Kelisanan CPSJ danKeberaksaraan WSJ dibahas bedasarkan kajian filologi dan sastra. CPSJdianalisis berdasarkan pendekatan filologi lisan dan sastra lisan, sedangkanWSJ dianalisis berdasarkan filologi tulis dan sastra tulis. Filologi lisanmenerapkan teori yang dikemukakan oleh Hutomo (1999) dan filologi tulismenerapkan teori yang dikemukakan oleh Maas (1958), Robson (1978), danBaried (1985). Penelaahan sastra lisan teks CPSJ menerapkan teori strukturnaratif Propp (1975) dan teori Lord (1976) mengenai formula dan tema.Sementara itu, penelaahan sastra tulis WSJ menarapkan teori Greimas(Hawkes, 1978) mengenai struktur aktan dan fungsional. Untuk mengetahui


hubungan transformasi antara kelisanan dan keberaksaraan teks CPSJ danWSJ digunakan teori Teeuw (1994) yang membahas konvensi kesastraan,teknik naratif, ungkapan formula, kosakata, dan konsruksi kalimat. Teorisemiotik yang digunakan untuk memaknai tanda-tanda dalam CPSJ adalahteori yang dikemukakan oleh van Zoest (1990) dan Barthes (Hawkes, 1978).Metode PenelitianObjek penelitian ini meliputi dua hal, yaitu objek penelitian sastra lisan(cerita pantun) dan objek penelitian sastra tulis (wawacan). Kedua objekpenelitian ini judulnya sama, Sanghyang Jagatrasa. Yang berbeda hanyalahsebutannya, sebagai sastra lisan disebut Cerita Pantun Sanghyang Jagatrasa(CPSJ), sedangkan sebagai sastra tulis disebut Wawacan SanghyangJagatrasa (WSJ). Objek penelitian CPSJ dan WSJ datanya diperoleh melaluikerja lapangan. Cara pemerolehan CPSJ dilakukan dengan melakukan teknikperekaman, pengamatan dan wawancara kepada jurupantun, sedangkan WSJdiperoleh dengan cara melakukan studi lapangan dan pemotokopian naskah,serta wawancara kepada pemiliknya.Berpijak pada dua objek penelitian yang berasal dari disiplin ilmu yangberbeda, maka pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini punmemakai dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan filologi dan (2) pendekatansastra. Pendekatan filologi meliputi pendekatan filologi lisan dan filologi tulis,sedangkan pendekatan sastra berkaitan dengan penelitian sastra lisan dansastra tulis. Pendekatan filologi lisan diterapkan untuk melakukan transkripsidan edisi teks terhadap teks lisan CPSJ. Metode edisi teks yang digunakan didalam mengedisi teks lisan CPSJ adalah metode landasan, karena ada duabuah data primer teks CPSJ. Teks CPSJ yang berasal dari Kota Bandung,struktur ceritanya lebih lengkap dibandingkan dengan teks CPSJ dari Ciamis.Oleh karena itu, teks CPSJ dari Bandung akan dijadikan landasan dalammelakukan edisi keritik teks CPSJ. Sementara itu, metode teks untuk naskahWSJ akan diterapkan metode edisi standar karena hanya ada sebuah naskahWSJ yang ditemukan di Cililin Kabupaten Bandung. Selanjutnya naskah WSJtersebut akan dijadikan bahan perbandingan dalam menentukan transformasiantara kelisanan CPSJ dan keberaksaraan WSJ. Pemerolehan teks lisanCPSJ dilakukan dengan cara merekam jurupantun di lapangan kemudianmentranskripsi hasil rekaman ke dalam tulisan. Selanjutnya dilakukanpengedisian lisan teks CPSJ berdasarkan pendekatan filologi lisan. Hasil edisiteksnya dijadikan bahan penelaahan dari segi sastra, sedangkan pemerolehanteks tulis WSJ dilakukan dengan cara mencari dari lapangan, mentransliterasi,dan mengedisi teks WSJ berdasarkan pendekatan filologi tulis. Hasil edisiteksnya dijadikan bahan penelaahan dari segi sastra.Adapun pendekatan sastra yang digunakan di dalam penelitian ini adalahpendekatan objektif dengan metode struktural. Metode ini dimaksudkan untukmemahami struktur formal sastra lisan CPSJ melalui analisis unsur formuladan tema sebagaimana dikemukakan Lord (1976). Kemudian untuk memahamistruktur naratif sastra lisan CPSJ diterapkan teori struktur naratif Propp (1975)berkenaan dengan 31 fungsi cerita, sedangkan untuk memahami struktur


sastra tulis WSJ diterapkan analisis struktur Greimas (Hawkes, 1978)berkenaan dengan teori aktan dan fungsional. Selanjutnya untuk memahamimakna tanda-tanda di dalam CPSJ secara menyeluruh akan diterapkan kajiansemiotik menurut teori Barthes (Hawkes, 1978) dan van Zoest (1990, 1993).Hasil dan PembahasanAda beberapa buah temuan di dalam penelitian ini, yaitu dihasilkannyadua buah edisi teks yaitu satu edisi teks lisan CPSJ berdasarkan penerapanmetode landasan, dan satu edisi teks tulis WSJ berdasarkan penerapanmetode standar. Berdasarkan hasil edisi teks lisan CPSJ diketahui bahwa teksCPSJ memiliki dua tradisi penuturan teks, yaitu tradisi terbuka dan tradisitertutup. Tradisi terbuka terdapat pada tataran gramatik, sedangkan tradisitertutup terdapat pada tataran struktur cerita. Berdasarkan hasil edisi teks tulisWSJ diketahui bahwa kekeliruan teks lebih banyak terdapat pada pemakaianguruwilangan ‘jumlah suku kata’, namun tidak berpengaruh terhadap isi cerita.Berdasarkan penerapan teori Lord (1976) diketahui bahwa teks lisanCPSJ memiliki struktur formula yang terdiri atas 8 jenis formula, yaitu(1) Formula satu baris, seperti terdapat pada kata neda agung nya paralun‘minta maaf’(2) Formula setengah baris seperti terdapat pada kata bul kukus mendung kamanggung ‘mengawan dupa ke manggung’.(3) Formula pengulangan preposisi ka ‘ke’, seperti terdapat pada ungkapan:ka manggung neda papayung ‘ke manggung minta pelindung’ka Dewata neda maap‘kepada Dewata minta maaf’ka pohaci neda suci‘kepada Pohaci minta suci’(4) Formula awal cerita berupa “rajah” dalam cerita pantun(5) Formula kalimat awal berkisah dengan memakai ungkapan:a. aya nu geus kawiliskeun ‘ada yang sudah terkenal’b. kaanginkeun ka Priangan ‘terberitahukan ke Priangan’c. kocap di Nagara Selan ‘tersebutlah di Negara Selan’(6) Formula di tengah cerita untuk menandai pergantian episode ceritadinyatakan dalam ungkapan seperti:a. urang nyarioskeun ‘kita ceritakan’b. urang tunda carios ‘kita tunda cerita’c. ayeuna urang kocap ‘sekarang diceritakan’(7) Formula di tengah cerita untuk menandai cerita hendak berlanjutdiungkapkan dengan memakai kata-kata seperti:a. enggalna carios ‘singkat cerita’b. salajengna . . . ‘seterusnya’c. lajeng . . . ‘terus’(8) Formula untuk menyatakan terjadinya suatu peristiwa diungkapkan dalampernyataan Cunduk ka wukuning taun, datang ka mangsaning bulan,takdirulloh teh tumurun ‘Sampai pada tahun tertentu, tiba pada bulantertentu, takdir Tuhan itu turun’.Formula tersebut muncul berkali-kali dalam CPSJ sebagai sarana


jurupantun untuk mempermudah penciptaan cerita. Formula merupakankelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi mantra yangsama untuk mengungkapkan ide pokok tertentu yang mendasar (Lord, 1976:31; Pradotokusumo, 2005: 94).Di samping hasil penerapan teori Lord (1976) di dalam penelitian CPSJjuga diterapkan teori Propp (1975) yang bertujuan untuk mengetahui bentukstruktur naratif CPSJ. Menurut Propp, suatu cerita pada dasarnya memilikikonstruksi. Konstruksi itu terdiri atas naratif-naratif yang terbagi dalam tigaunsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita. Kemudian ketiga unsur itu dapatdikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yangberubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubahadalah pelaku dan penderita. Bagi Propp yang terpenting adalah unsur yangtetap, yaitu tindakan atau perbuatan (action) yang selanjutnya disebut fungsi(funetion) (Yunus, 1983: 6; Suwondo, 2003: 38). Teori motif naratif Proppmenjelaskan bahwa sastra lisan (cerita rakyat) itu memiliki 31 fungsi ceritadan 7 lingkngan tindakan. Berdasarkan penerapan teori Propp diketahui bahwasastra lisan CPSJ memiliki 13 fungsi cerita dan 7 lingkungan tindakan. Ketigabelas fungsi tersebut adalah: keberangkatan, kejahatan, penyelamatan,perjuangan, kemenangan, penerimaan unsur magis, fungsi pertama donor,kepulangan, tuntutan yang tidak mendasar, tugas yang sulit, penyelesaiantugas, penyingkapan tabir, dan perkawinan (naik tahta). Apabila struktur naratifitu dirumuskan dalam sebuah pola akan tampak sebagai berikut: (α) ↑ARsHIFDHI ↓ ARsLMNExW: (X). Jika dirinci, pola alur tersebut akan menjadi:I. A RsII. H I FIII. D H IIV. A RsV. L M NVI. Ex WKetiga belas fungsi naratif CPSJ di atas dapat dikelompokkan ke dalam 7lingkungan tindakan, yaitu sebagai berikut.(1) Lingkungan tindakan kejahatan, ditandai dngan lambang: (A), (L), dan( )(2) Lingkungan tindakan donor (pembekal), ditandai dengan lambang: (F),dan (D)’(3) Lingkungan tindakan pembantu, ditandai dengan lambang: (Rs), (F),dan (D),(4) Lingkungan tindakan seorang putri dan ayahandanya, ditandai denganlambang: (I), (Rs), dan (W).(5) Lingkungan tindakan perantara, ditandai dengan lambang: (I), (F), (Rs),dan (D).(6) Lingkungan tindakan pahlawan, ditandai dengan lambang: (H), (I), ( ),(M), dan (N),


(7) Lingkungan tindakan pahlawan palsu, ditandai dengan lambang: (L),(M), dan (Ex).Di samping struktur naratif sastra lisan CPJ, di dalam penelitian ni jugaditemukan struktur sastra tulis WSJ. Menurut Greimas (Hawkes, 1978: 92-93),semua cerita walaupun dalam bentuk yang berbeda-beda, menunjukkanadanya suatu konfigurasi yang sama pada tipe-tipe tokoh (aktan) berdasarkanhubungan dan fungsi yang diperankan di dalam cerita. Greimas mengajukansebuah model dengan enam aktan yang terdiri atas: pengirim, penerima,objek, subjek pahlawan, pembantu dan penentang. Selain itu, ia jugamengajukan satu model fungsional yang terdiri atas: tahap kecakapan, tahaputama, dan tahap kegemilangan. Secara global hasil penerapan model aktandan fungsional Greimas terhadap WSJ dapat dilihat pada bagan berikut ini.Bagan 1MODEL AKTAN WSJBagan 2MODEL FUNGSIONAL WSJSituasiawalTahapkecakapanTahap utamaTahapgemilangSituasi akhirTeks CPSJ dan WSJ merupakan tanda yang perlu dimaknai secarasemiotik. Berdasarkan penerapan teori semiotik Pierce (Zoest, 1996: 7),diketahui bahwa CPSJ dan WSJ memiliki tanda dalam hubungan trio, yaitudengan groundnya, dengan acuannya, dan dengan interpretannya. Tanda-


tanda tersebut berupa ikon, indeks, dan simbol. Tanda-tanda tersebut di dalamCPSJ mengacu pada sebuah referent yang dapat dimaknai sebagai adanyakeyakinan masyarakat Sunda masa lalu terhadap kosmologi Sunda lama. Halitu dapat ditemukan di antaranya dari rajah bubuka ‘rajah pembuka’ yangterdapat pada awal cerita CPSJ. Gambaran kosmologi Sunda tersebut dapatdilihat pada bagan berikut ini.Bagan 3KONSEP DUNIA ATAS CPSJSelain dalam rajah, secara semiotik, hadirnya kosmologi Sunda lama jugaterungkap dari simbol-simbol penamaan tokoh binatang (golongan unggas,ular, singa) dan penyebutan setting tempat seperti gunung, laut, dan pertapaanserta simbol-simbol yang terpantul dari benda-benda sesajen yang dipakaidalam perangkat upacara pada awal pergelaran mantun.Hasil penelitian mengenai transformasi dari kelisanan CPSJ kekeberaksaraan WSJ diketahui bahwa transformasi tersebut terjadi pada tatarankonvensi kesastraan, teknik naratif, ungkapan formula, kosakata dankonstruksi kalimat. Terjadinya tranformasi dari kelisanan CPSJ kekeberaksaraan WSJ secara semiotik dapat dimaknai sebagai suatu upaya


pelestarian nilai-nilai ajaran moral yang tertuang di dalam cerita pantun kedalam era (zaman) wawacan sejalan dengan situasi dan kondisi serta minatmasyarakat Sunda masa itu.KesimpulanKesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu sebagi berikut.1. Tradisi dan transmisi penurunan teks CPSJ dilakukan secara lisanmelalui pergelaran mantun, sedangkan tradisi dan transmisi teks tulis WSJtidak dapat diketahui dengan pasti karena teks itu merupakan satu teksunikum.2. Edisi teks lisan CPSJ diperoleh melalui kegiatan perekaman,pentranskripsian dari teks lisan ke dalam teks tulis, penyuntingan teksdengan menerapkan metode edisi landasan sehingga dihasilkan sebuahedisi teks lisan CPSJ disertai terjemahannya. Sementara itu, edisi teks tulisWSJ diawali dengan kegiatan pengumpulan (inventarisasi naskah),pendeskripsian, dan pentransliterasian teks dari huruf Arab Pegon ke dalamhuruf Latin, pengedisian teks dengan menerapkan metode edisi standarsehingga diperoleh sebuah edisi teks tulis WSJ disertai terjemahannya.3. Teks lisan CPSJ dan WSJ memiliki struktur formal dan struktur naratif.Struktur formal CPSJ terbentuk oleh 8 formula, sedangkan struktur formalWSJ terbentuk oleh puisi pupuh. Struktur naratif CPSJ tersusun dalam 13fungsi dan 7 lingkungan tindakan, sedangkan struktur naratif WSJ tersusundalam 6 model aktan dan 1 model fungsional yang terdiri atas 3 tahapanjalan cerita.4. Transformasi yang terjadi dari kelisanan (orality) CPSJ kekeberaksaraan (literacy) WSJ ada pada tataran bentuk formal, sedangkantataran isi cerita tetap sama.5. Hadirnya transformasi dari kelisanan CPSJ ke keberaksaraan WSJ,secara semiotik, dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk melestarikandan mempertahankan eksistensi nilai ajaran moral yang tertuang dalamcerita pantun ke dalam era (zaman) wawacan sejalan dengan situasi dankondisi serta minat masyarakat Sunda masa itu.SaranAda beberapa hal yang belum terjangkau di dalam penelitian ini. Olehsebab itu bagi yang berminat untuk melakukan penelitian disarankan agarmeneliti hal-hal sebagai berikut.1. Korelasi makna antara bunyi waditra kecapi yang dipetik jurupantundengan cerita yang dilantunkannya dalam pergelaran mantun.2. Hubungan makna antara struktur formal dengan struktur naratif dalamcerita pantun.3. Pengkajian struktur cerita pantun dengan menggunakan teori“komposisi cincin” (ring composition).


Pustaka RujukanAtja dan Saleh Danasasmita. 1972. Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian(Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi). Jawa Barat: ProyekPengembangan Permuseuman.Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan BahasaDundes, Alan. 1965. The Studi of Folklore. USA: Prentice-Hall, Inc. EnglewoodCliffsEkadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia: Suatu TinjauanSejarah. Bandung: UnpadHawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. Great Britain: RicardClay Ltd. Bungay, Sufolk.Hidding, Klaas Eldert Hedrich. 1991. Nyi Pohatji Sangjang Sri. Leiden: M.Dubbeldemen.Hutomo, Suripan Sadi. 1999. Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung. Surabaya:Lautan Rezeki.Iskandarwassid. 1996. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Geger SuntenLord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York: Harvard University PressLuxemburg, dkk., Jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan olehDick Hartoko. Jakarta: Gramedia.Maas, Paul. 1972. Textual Ctriticism. Oxford: Clarendon Press.Pradotokusumo, Partini Sardjono. 1986. Kakawin Gajah Mada (Sebuah KaryaSastra Kakawin Abad-20 Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh,dan Hubungan Antarteks). Bandung: Binacipta.Propp, Vladimir. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Terjemahan Noriah Taslim.Malaysia: Percetakan Sais Baru Sdn. Bhd.Robson, Stuart. 1988. Principles of Indonesia Philology. Netherlands: ForrisPublikations Hollands.Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastran Sunda Dewasa Ini. Majalengka: Tjupumanik.----- (Pimpinan Redaksi). 2000. Ensiklopedi Sunda., Alam, Manusia danBudaya. Jakarta: Pustaka Jaya.Rusyana, dkk., Yus. 1986. Ensiklopedi Sastra Sunda. Jakarta: Depdikbud,Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: HaninditaGraha WidyaSweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World.Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:Pustaka Jaya.----- 1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: PustakaJaya.van Zoest, Aart. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. TerjemahanManoekmi Sardjo. Jakarta: Intermasa.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!