10.07.2015 Views

Tujuan Pengajaran Gereja Dan Implikasinya SYLVIA SOEHERMAN ...

Tujuan Pengajaran Gereja Dan Implikasinya SYLVIA SOEHERMAN ...

Tujuan Pengajaran Gereja Dan Implikasinya SYLVIA SOEHERMAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Tujuan</strong> <strong>Pengajaran</strong> <strong>Gereja</strong> <strong>Dan</strong> <strong>Implikasinya</strong><strong>SYLVIA</strong> <strong>SOEHERMAN</strong>Thom Schultz dan Joani Schultz mengawali bagian introduksi bukunyadengan mengutip percakapan menarik antara Thom dengan Katrina, seorang anakSekolah Minggu: 1Thom : Sejak kapan kamu pergi ke gereja?Katrina: Sejak saya masih bayiThom : Apakah kamu menyukai kelas-kelas Sekolah Minggu di gereja?Katrina: Mereka hampir seperti sekolahThom : Seperti apa itu?Katrina: MembosankanThom : Mengapa demikian?Katrina: Kami harus duduk di bangku dan menghafalkan banyak halThom : Apa yang telah kamu hafalkan?Katrina: Ayat-ayat dari Alkitab. Kami akan mendapatkan sebuah permen jikadapat menghafalkannya.Thom : Dapatkah kamu menghafalkan ayat terakhir yang membuat kamumendapatkan permen?Katrina: Saya tidak ingat.Thom : Apakah kamu mengingat salah satu dari ayat-ayat tersebut?Katrina: Tidak, maafkan saya.Thom : Atau, dapatkah kamu mengingat arti dari salah satu ayat tersebut?Katrina: Tidak, saya kira saya memiliki daya ingat yang jelek.Thom : Katrina, dapatkah kamu mengatakan pada saya apa yang membuatseseorang dapat masuk ke sorga?Katrina: Belajar dengan giat.Melalui percakapan ini Schultz & Schultz ingin menarik perhatian pembacaterhadap masalah yang harus dihadapi gereja dalam mengemban tugas pengajaran.Penelitian menunjukkan adanya penurunan jumlah kehadiran jemaat dalam kelaskelaspembinaan seperti Sekolah Minggu. 2 Kurang tertariknya jemaat terhadap kelaskelastersebut membawa dampak terhadap kehidupan, pertumbuhan iman dankesaksian jemaat. 3Hal yang hampir serupa juga dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia. PaulusLie, dalam prawacana bukunya, mengatakan banyak guru yang mengeluhkan kurangmenariknya acara yang digelar di Sekolah Minggu sehingga minat anak untuk datangke Sekolah Minggu menurun. 4Masalah ini coba dijawab oleh banyak gereja dengan menggunakan metodeyang kreatif. Oleh karena itu banyak gereja berupaya untuk men-training guru-guruSekolah Minggu agar dapat mengajar dengan lebih kreatif. Namun, yang menjadi1 Why Nobody Learns Much of Anything at Church: And How to Fix It (Loveland: Group,1993) 7-8.2 Ibid. 8.3 Schultz menghubungkan penurunan jumlah keanggotaan gereja, pengaruh gereja dalammasyarakat, sikap jemaat yang apatis dan ketidaktertarikan anak kepada Yesus sebagai akibat darimenurunnya kualitas kelas-kelas pembinaan (ibid. 10).4 Mengajar Sekolah Minggu yang Kreatif (Yogyakarta: Andi, 1997) ix.


pertanyaan adalah, apakah metode yang kurang kreatif menjadi dasarpermasalahannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, artikel ini mencoba untukmemaparkan apa yang terjadi di dalam kelas, menganalisa apa yang menjadi dasarpermasalahannya, serta mengajukan hal-hal yang perlu diperhatikan gereja di dalammengemban tugas pengajaran.APA YANG TERJADI DI KELASTim Gibson dalam tulisannya melaporkan hasil survei yang dilakukannyapada kelas Sekolah Minggu 5 di dua gereja dengan pendekatan berbeda, klasik danCavalletti. Keadaan kelas dari gereja dengan pendekatan klasik mencerminkankeadaan kebanyakan kelas tidak hanya di gereja Amerika, tetapi juga di Indonesia.Dengan memakai laporan Gibson kita dapat mempunyai gambaran tentang apa yangterjadi di kelas Sekolah Minggu.Kelas yang diobservasi Gibson diajar oleh dua orang guru dengan delapananak, terdiri dari empat anak dari kelas satu, tiga anak dari kelas dua dan satu anakdari kelas tiga. Gabungan usia ini tidak menjadi masalah bagi guru yang mengajar.Bahkan salah seorang guru mengatakan, “I think they are pretty much on the samepage metally, . . . Even if some are behind, that’s alright; and even if some are notchallenged or stimulated that’s alright, they can teach the others.” 6Guru mengajar di depan kelas dari bahan kurikulum yang dipilih. Kurikulumtersebut dipilih berdasarkan dua kriteria, yaitu doktrinnya dan kemudahannya bagiguru. Setiap pelajaran difokuskan pada sebuah pasal ataupun sebuah kisah di dalamAlkitab. Guru biasanya akan meminta kepada seorang murid untuk membacakanbagian dari Alkitab kemudian memberikan penjelasan dan menanyakan kepada muridhal-hal yang berkaitan dengan bagian tersebut. Proses memberikan penjelasan danbertanya bagi salah satu guru ini merupakan cara untuk menjalankan fungsinyasebagai pendidik. Ia menyatakan:I am an instrument of the church to simplify and explain biblical truth to them,and to teach them fundamental truths about God’s Word. I try to create aforum of listening and learning and articulation where they can tell me theirthoughts, and where I can help mold them to be correct. 7Selain proses ini ada dua kegiatan lain yang mewarnai kegiatan belajarmengajar di dalam kelas. Kegiatan menghafal ayat merupakan aktivitas yangdilakukan setiap minggu. Guru akan mengajak mereka menghafalkan ayat untukminggu ini dan menanyakan siapa di antara murid-murid yang dapat mengulang ayatyang dihafalkan pada minggu sebelumnya. Salah seorang guru menyadari bahwatidak semua murid dapat menghafalkan ayat-ayat tersebut, namun menurutnya adalahsangat penting bagi anak untuk dapat menghafalkan ayat-ayat Alkitab.5 Penulis dalam artikel ini membahas kondisi pengajaran gereja dalam lingkup yang luas bukanhanya dalam lingkup Sekolah Minggu, walaupun contoh yang diberikan berhubungan dengan kelasSekolah Minggu. Penulis melihat adanya kesamaan pola dan dasar pemikiran dalam pengajaran baikterhadap anak di Sekolah Minggu ataupun terhadap remaja, pemuda, dewasa dalam kelas-kelaspembinaan.6 “Implications of Two Approaches to Childhood Education in the Church,” ChristianEducation Journal 5 NS (2001) 52-53.7 Ibid.


Kemudian, di akhir pelajaran, anak-anak akan mewarnai dan mengerjakanlembaran kerja yang berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan pada minggutersebut. Segala sesuatu yang dilakukan, menurut para guru, diharapkan dapatmengarahkan para murid kepada satu kebenaran utama, yaitu bahwa Alkitab adalahbenar dan Tuhan Yesus telah datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita daridosa-dosa kita.Gibson tidak hanya memantau apa yang dilakukan oleh guru. Ia punmengobservasi apa yang dilakukan oleh para murid. Ia menulis, “the students seemedunsettled during the Sunday school hour. Most of them moved about, slid their desks,made various noises, and pretended to shoot one another with their hands.” 8 Guruguruini dari waktu ke waktu berupaya untuk mengembalikan konsentrasi anak-anakdengan menyerukan agar mereka diam dan mendengarkan. Walaupun demikian, paraguru berpendapat bahwa mereka telah membuat anak-anak ini tetap berada dalamperilaku yang seharusnya.Dalam analisanya Gibson mengatakan bahwa model pendidikan seperti inididasarkan pada praanggapan, baik itu secara sadar ataupun tidak sadar, bahwamengetahui jawaban yang benar adalah sejajar dengan perkembangan spiritual. 9 Olehkarena itu penekanan utama dari guru yang mengajar adalah agar anak tahu pemikirandan jawaban yang benar tentang Alkitab. Metode pengajaran yang disampaikan punberpusat pada praanggapan tersebut, yaitu dengan membaca Alkitab dan memberikanpenjelasan atas bagian yang baru saja dibaca.Melihat kondisi yang terjadi dalam kelas tersebut, maka tidak mengherankanjika ada salah seorang dari antara anak-anak ini memberikan komentar yang hampirsama dengan yang disampaikan oleh Katrina pada awal artikel ini. Untuk mengatasimasalah ini kebanyakan gereja menganggap metode pengajaran yang konvensionallahyang menjadi akar masalah. Namun, dari paparan Gibson, dapat terlihat yangmenjadi akar masalah bukanlah semata pada metode pengajaran.Metode yang kreatif memang dibutuhkan oleh seorang pengajar agar lebihefisien dalam mengajar, tetapi jika praanggapan yang dimiliki oleh guru tidakberubah, maka hasilnya tidak akan banyak berubah. Metode yang baru ini hanya akanmembantu murid untuk lebih mudah menghafal dan mengetahui jawaban yang tepattentang Alkitab. Sedangkan, Gibson memperingatkan, “one cannot assume that justbecause children learn right answers and memorize passages that what they repeatback to their teachers means something to them.” 10 Apa yang seorang murid tahusebagai sesuatu yang benar tidak berarti sama dengan murid tersebut bertumbuhmenjadi seorang Kristen yang dewasa.Schultz menjawab krisis ini bukan bermula pada metode pengajaran, akantetapi pada tujuan pengajaran. Schultz & Schultz menulis, “we’ve lost our way.We’ve forgotten why we’re doing what we’re doing” sebagai sumber masalahnya. 11Jim Wilhoit menulis hal yang sama dan ia memberikan penekanan padaketidakjelasan tujuan pengajaran pada diri guru ataupun orang-orang yang terlibatsecara langsung dalam pelayanan pembinaan. 12 <strong>Tujuan</strong> memegang peranan yangpenting dalam pengajaran. <strong>Tujuan</strong>lah yang akan menentukan metode yang akandigunakan untuk pencapaian tujuan tersebut. Sehingga, pertanyaan yang munculadalah, apakah gereja menyadari tujuan sebenarnya dari pengajaran? Atau jika kita89 Ibid. 56.10 Ibid.11 Schultz, Why Nobody 14.12 Christian Education and the Search for Meaning (Grand Rapids: Baker, 1986) 9.


Sebagai contoh, dalam sebuah kelas Sekolah Minggu seorang gurumenceritakan dengan lugas kisah Daud mengalahkan Goliat. Ia mengisahkanbagaimana Daud yang kecil dapat merobohkan Goliat hanya dengan sebutir batupengali-ali hingga mengenai dahi sang raksasa. Pada bagian akhir kisahnya iamengatakan bahwa Daud dapat mengalahkan Goliat karena Tuhan menolongnya.Sebelum masuk pada aktivitas, guru akan menanyakan siapa yang telah mengalahkanGoliat dan jawaban yang diharapkan adalah Daud. Ketika murid sanggup menjawab“Daud,” maka guru pun merasa puas akan keberhasilan pengajarannya.Contoh di atas termasuk dalam level yang disebut oleh Richards dan Gary J.Bredfeldt sebagai recognition level. 20 Level pembelajaran ini berhenti padapengetahuan akan fakta yang disampaikan dalam pengajaran. Level ini tidak sajaterjadi dalam pengajaran kepada anak-anak tetapi juga dalam pengajaran orangdewasa. Survei yang dilakukan oleh Michigan State University terhadap paramahasiswa yang memiliki orientasi pada kehidupan religius menunjukkan contohpengajaran yang hanya dipusatkan pada level ini. Dalam survei tersebut ada 74persen dari kelompok ini yang setuju dengan pernyataan: “Chirst died for the sins ofmankind.” Akan tetapi di dalam survei yang sama, hanya 38 persen yang setujudengan kalimat “faith in Christ is necessary for salvation.” Kedua kalimat ini padadasarnya mempunyai ide dasar yang sama, namun tidak banyak orang yang melihatkesamaan dari keduanya. Dari hasil ini dapat terlihat bahwa kebanyakan dari paramahasiswa ini setuju dengan pernyataan yang akrab dengan mereka, namun merekatidak mengerti esensi dari pernyataan tersebut.Dari penjabaran mengenai level pembelajaran, pencapaian level restatementdan level relation seharusnya menjadi acuan dalam belajar isi Alkitab. 21 “Therestament level is the level at which the sudent can meaningfully understand a truthand creatively analyze that truth in relationship to other truths.” 22 Sedangkan levelrelation mengindikasikan kemampuan murid untuk menerjemahkan kebenaranAlkitab di dalam konteks kehidupannya. Dalam kedua level ini murid tidak hanyamenelan pengajaran begitu saja, tetapi mengolah dan menjadikan pengajaran itusebagai milik pribadinya.Untuk dapat sampai pada level di mana kebenaran itu menjadi milikpribadinya, seorang murid perlu diberi kesempatan untuk mempertanyakan apa yangdidengarnya. Proses yang terjadi di sini adalah proses dua arah. Seorang guru tidakdapat memaksakan sudut pandangnya dalam melihat kebenaran sebagai satu-satunyacara pandang yang tepat. Seorang murid dapat saja melihat kebenaran tersebut darisudut pandang yang berbeda. Selain itu, guru pun tidak dapat mengesampingkanpertanyaan yang diajukan karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak perludipertanyakan. Jika seorang anak Sekolah Minggu mempertanyakan otoritas Alkitabsebagai satu-satunya firman Tuhan jika dibandingkan dengan kitab dari agama lain,guru harus berupaya untuk membahas bersamanya hingga murid itu dapatmembahasakan di dalam pengertiannya sendiri kebenaran yang harus ia pertahankan.Pertanyaan ini bagi sang guru mungkin bukan sesuatu yang perlu untuk dipertanyakankarena baginya hal itu harus diterima dengan iman, tetapi tidak demikian dengan20 Creative Bible Teaching (Chicago: Moody, 1998) 120-127. Mereka menjabarkan adanyalima level pembelajaran: 1). Rote Level, 2). Recognition Level, 3). Restatement Level, 4). RelationLevel, 5). Realization Level.21 Ibid. 71-72.22 I????


muridnya. Bagi sang murid pertanyaan ini penting dalam membangun fondasiimannya. 23Setelah membahas konsep kebenaran dari kacamata Alkitab, guru dapatmenanyakan bagaimana kebenaran ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyatadari para murid. Pada umumnya guru akan menggunakan contoh kehidupan nyatadari orang-orang di luar kelompok tersebut. Namun, jika guru dapat mendorong paramurid untuk berani membahas aplikasi kebenaran dari sudut kehidupan nyata mereka,maka pengaruhnya lebih besar bagi kehidupan murid. 24Selain kemampuan menyerap isi Alkitab, seorang murid perlu memilikipengalaman yang berhubungan dengan apa yang telah ia pelajari. Richards andBredfeldt menyebutnya sebagai level realization. 25 Pengalaman memegang perananpenting dalam proses mengenal Tuhan. Ketika kebenaran diaplikasikan dalamkehidupan, maka kebenaran tersebut akan lebih memunculkan artinya. “Truthbecomes ‘personal’ as one interacts with the living God in carrying out his ‘word’ ina specific situation.” 26Pentingnya perealisasian kebenaran dalam kehidupan sehari-hari harusnampak dalam proses belajar mengajar. Di akhir proses belajar mengajar guru dapatmengajak para murid untuk mengaplikasikan kebenaran itu ke dalam kehidupan nyataselama dalam satu minggu yang ada di hadapan mereka. Ajakan ini seyogianyabukan sekadar pernyataan belaka yang tidak pernah ditindaklanjuti. Dalampertemuan selanjutnya guru harus menyediakan waktu bagi para murid untukmengisahkan apa yang mereka alami dalam mengaplikasikan kebenaran tersebut.Lontaran mengenai apa yang tidak mereka mengerti, apa yang menjadi kesulitanmereka ataupun kebenaran apa yang semakin mereka pahami, menunjukkan posisimereka di dalam proses mengenal Tuhan.Di dalam proses ini Perry G. Downs memberikan peringatan yang perludiperhatikan guru dalam menggunakan pengalaman sebagai bagian dalam prosesbelajar mengajar. Pengalaman tidak dapat dijadikan dasar dalam perumusankebenaran. Oleh karena itu, ketika pengalaman menunjukkan hal yang berbedadengan konsep kebenaran dalam Alkitab, pengalaman tersebut tidak dapat digunakansebagai tolok ukur untuk menyesuaikan kebenaran dalam Alkitab. Ia mengatakan “. .. we must never cirtique the Bible on the basis of our experience. Its truth is notsubject to reformation on the basis of our experience. Our only option is to bowbefore its truth and accept its authority over us. 27PERAN ROH KUDUS DAN GURU DALAM PENGAJARAN23 Julie Gorman (“‘There’s Got to be More’ Transformational Learning,” Christian EducationJournal 5 NS [2001] 32) menulis, “transformation occurs in part because the learner is willing toquestion or reexamine currently held assumptions and beliefs.” Jadi dengan kata lain, Gorman melihatpentingnya keberanian untuk mempertanyakan kembali apa yang menjadi pemahaman kita untuk dapatlebih mengenal Tuhan.24 Kondisi yang sedemikian bukanlah tidak mungkin tercipta. Perry G. Downs merujuk padakemampuan guru untuk menciptakan suasana keterbukaan dan kejujuran di dalam kelas yang harusdimulai dari keberanian guru untuk terbuka dan jujur terhadap murid-muridnya (Teaching for SpiritualGrowth: An Introduction to Christian Education [Grand Rapids: Zondervan, 1994] 191-192).25 Creative Bible 126.26 Gorman, “There’s Got to be More’ Transformational Learning” 28.27 Downs, Teaching 191.


<strong>Pengajaran</strong> gereja terjadi dengan melibatkan tidak hanya guru dan murid tetapijuga Roh Kudus. Diagram yang dibuat C. Fred Dickason menjabarkan hubungan diantara ketiganya: 28Diagram di atas menggambarkan komunikasi yang terjalin di antara pribadi-pribadiyang terlibat dalam pengajaran. Roh Kudus dapat mengajar murid secara langsungataupun tidak langsung melalui guru. Roh Kuduslah yang mengiluminasikan danmemampukan guru dan murid untuk mengerti kebenaran. Guru dan murid dapatberkomunikasi langsung dengan Roh Kudus, sedangkan di antara mereka sendiriterjalin komunikasi yang dikontrol oleh Roh Kudus.Gambaran di atas menunjukkan peran Roh Kudus yang sangat penting dalampengajaran gereja. Roy B. Zuck menulis tentang peran utama Roh Kudus dalamkehidupan murid-murid, yang tidak dapat dilakukan oleh seorang guru jikabergantung pada kemampuannya sendiri:. . . the Spirit makes the Word of God effectual in the students’ lives. Bibleknowledge and comprehension of spiritual truths, essential as they are, do notof themselves guarantee spiritual change and growth. Not all who hear theWord believe or respond (John 10:25; 12:47-48; Acts 7:57-59; 17:5, 32). Asthe Word of God regenerates (Ps. 19:7; Rom. 10:17; James 1:18; 1 Peter1:23), the Holy Spirit must be on hand to remove spiritual blindness and giveeternal life (John 3:5-7; Titus 3:5). 29Efektivitas pengajaran tidak dapat bertumpu pada kemampuan guru semata.Tuhan Yesus pada waktu memberitakan datangnya Roh Kudus menyatakan, “Tetapiapabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruhkebenaran” (Yoh. 16:13a). Kebenaran tidak dapat dimiliki oleh guru denganbergantung pada keahliannya meneliti dan menafsirkan Alkitab. Jika guru saja tidakmempunyai kemampuan yang sedemikian, apalagi muridnya. Paling tidak ada tigahal utama yang dilakukan oleh Roh Kudus dalam menuntun guru dan murid ke dalamkebenaran. Pertama, Roh Kuduslah yang memberi kesaksian bahwa benar Alkitabadalah firman Tuhan; kedua, Roh Kudus melalui Alkitab memberi kesaksian danmemuliakan Tuhan Yesus; ketiga, Roh Kudus juga yang memberikan pengertiankontemporer atas berita yang tertulis dalam Alkitab. 30Efektivitas tidak saja bergantung pada kemampuan menyerap kebenaran,tetapi juga kondisi lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya kegiatanpembelajaran. Lingkungan kondusif yang dimasud bukan semata-mata pada kondisilahiriah dari tempat pembelajaran, akan tetapi atmosfer yang aman bagi terjalinnyaketerbukaan di antara individu yang terlibat dalam pembelajaran. Kondisi yangdemikian tidak lepas dari pekerjaan Roh Kudus. Wilhoit menegaskan hal ini dengan28 “The Holy Spirit in Education” dalam Christian Education: Foundations for the Future (ed.Robert E. Clark, Lin Johnson, Allyn K. Sloat; Chicago: Moody, 1991) 124.29 Ibid. 33.30 Wilhoit, Christian Education 49-50.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!