10.07.2015 Views

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL VS ... - Kemenag Sumsel

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL VS ... - Kemenag Sumsel

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL VS ... - Kemenag Sumsel

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>PENDIDIKAN</strong> <strong>MULTIKULTURAL</strong> <strong>VS</strong> <strong>MULTIKULTURAL</strong>ISME :Sebuah Ulasan Awal untuk PembelajarOleh: Muhammad IsnainiAbstrak: Multikultur adalah suatu tantangan yang mengedepankanmajemuknya nilai-nilai, mekanisme dan struktur sosial dalam bingkai humanbeing. Dalam kesadaran pluralisme manusia dihadapkan pada prosespembelajaran yang terus menerus bergulir sepanjang hidupnya terhadapsesuatu di luar pribadi dan identitas monokulturnya. Dalam kedua konteks itu(manusia dan mulitikultur); banyak perbenturan yang bisa terjadi. Tetapi ituadalah impact yang tidak bisa dihindari karena yang mau dicairkan adalahmanusia sebagai realitas-realitas human being manusia sebagai yangberakal budi. Salah satu batasan tentang pendidikan multikultural adalah apayang disebutkan “Multicultural education, then, is the process of acquiringknowledge and information about the efforts of many different groups againstadverse agencies and conditions for control of their destinies through thestudy of the artifacts and substances which emanated thereform”. Maka,ketika isu multikultur itu merebak belakangan ini sebagai alternatif untukmembenang-merahi kesadaran hidup dalam keberagaman agama, etnis danbudaya, maka sesungguhya itu bukanlah hal baru. Dalam konteks kekinian,multikultur bukanlah suatu nilai dan tatanan baru karena ia adalah realitassejarah bangsa Indonesia dan bangsa lain diluar Indonesia.Kata Kunci : Pendidikan, multikultural dan pembelajaran.PendahuluanSedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalanyang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakatuntuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dariperbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yangmeledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesiamenunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya salingpengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasiAmerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasimenambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telahmelahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah


Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaanyang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumberutama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua,pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yanglain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejartujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi inilebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan darikelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orangIslam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karenaitu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dariprefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitasdapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapanbahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaumprimordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringanrelasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakikiyang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka,persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah. Dalam konteks pendapatyang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikanmultikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulairamai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000di Indonesia.Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme danpendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak,peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan MultikulturalKonsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsepdemokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telahmelaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasialantara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara


integritas nasional.Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budayamasyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious,linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were oftensubordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the stateand the dominant society. While many people... had to discard their own cultures,languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs thatwere consolidated and reproduced through national institutions, including theeducational and legal system.Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitasyang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbusmenemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu.Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentukkoloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yangberbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yangmenyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuandan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitifyang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaumPuritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut,berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalahbangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasisagama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yangdatang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yangada.Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pascakemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dariberbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerikamencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikansekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicitacitakan.Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat


erhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampauimasyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perludiwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat,maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipeloporioleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untukkepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksidengan anggota masyarakat.Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an diKanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakandeviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada,Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat"multicultural dan multi-lingual".Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhanapendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentangkeragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kulturallingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan"menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikanmenurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik danberpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosialsebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadapperkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hakbagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakanpengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagaipandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa(Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakupseluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras,budaya, strata sosial dan agama. Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskanbahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:


- Content integration mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompokuntuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalammata pelajaran/disiplin ilmu.- The Knowledge Construction Process Membawa siswa untuk memahamiimplikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)- An Equity Paedagogy Menyesuaikan metode pengajaran dengan carabelajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yangberagam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.- Prejudice Reduction Mengidentifikasi karakteristik ras siswa danmenentukan metode pengajaran mereka Melatih kelompok untukberpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staffdan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budayaakademik.Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek)dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikatpeserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umumpeserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaanberdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya denganpotensi-potensi dasar yang dimiliki secara individuMenurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasandan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculangagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembanganpolitik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dandiskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negaranegaraBarat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negarabaru merdeka ke Amerika dan Eropa.


Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalamprogram pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepadakelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti inipernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankanpeningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompokminoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnyamenyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakatmainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan maumengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orangorangdari kelompok minoritas.Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebihluas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition"tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikanmultikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagaibidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma sepertiini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudianmenemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampaiperguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untukmencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dandisadventaged.Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftifdan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yangberkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertiantentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikandalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulumpendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tematematentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi:penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaanuniversal dan subjek-subjek lain yang relevan.


Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yangpernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal limapendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaankebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaanperbedaankebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagipluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikanmultikultural sebagai pengalaman moral manusia.Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural di IndonesiaDi Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatupendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen,terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikanmultikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasiyang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomidaerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akanmenjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralismekekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyarisseragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasiimplikasinegatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaanpemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpangtindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapatmenimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi jugadisintegrasi politik.Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkankeragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untukmencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yangdilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat diAustralia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada


dimensi kognitif.Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan modelpendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasukrevisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisipembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap palingpenting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarahAmerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikanyang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktiviskemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yangmenyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima,usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnyaperspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali.Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi bukubukuteks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagiwarga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia jugamemerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" diberbagai wilayah.Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materipembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri.Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalahsalah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadapkelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" IskandarMuda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakangbudaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikatbersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagailokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkankepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural diIndonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukanGorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1)


transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3)transformasi masyarakat.Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuhpermasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan.Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka.Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifatrasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalamkehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warnakulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisidemikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untukmenciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan programprogramsekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagaitransmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawabprimer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik sematamataberada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggungjawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaraninformal di luar sekolah.Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaandengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikankebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yangterjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaanhanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbangdengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satusama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural,pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-programpendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didiksecara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi


pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anakdidik dari berbagai kelompok etnik.Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memilikikompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukungsekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuanpendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompokadalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagipluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapakebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalammaupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapakebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwibudaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifatmembatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan.Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalamannormal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikulturalberpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebihbaik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebutharuslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalahkumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompoksosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini jugadikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secarasederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat olehkesatuan negara, kubudayaan dan agama.Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yanghidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapatmemenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya


membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentangdirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabilakehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungansosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikanatau dengan istilah lain masyarakat pendidik.Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadapmasyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yanghidup, dinamis, dan selalu berkembang.2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhikebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhikebutuhan.3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhikebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apayang disebut tantangan sosial.4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah lakuantara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, danperkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggungjawab terhadap tingkah lakunya.Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakatsangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dankepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakanlaboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkayapelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memilikiperanan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Halini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan.Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satuhal penting untuk kemajuan pendidikan.


PenutupPendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untukmelakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkarkekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial danpersamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidakmembeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusiasemuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepadaAllah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginyapenghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antaramanusia dalam bidang ilmu.Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajaryang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dandiskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman danperbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntuttransformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikulturaltersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andildalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegapgempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinapdalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini"dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan danberperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitaskebudayaan yang beragam tersebut.


BibliografiAl-Munawwar, Said Aqil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur'ani dalam SistemPendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003, Cet. IAmir, Muhammad, Konsep Masyarakat Islam, Jakarta, Fikanati, Aneska, 1992.Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism,Edisi IV, Tahun 2003Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company, 1964Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agan Insani, 2000Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000IKA UIN Syarif Hidayatullah, Majalah: Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural ,Vol. I No:2, 2003Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, cet INita E. Woolfolk, educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State Universiy,1998


Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The QuestionWe Should Be Asking, dalam www. Edchange.org/multiculturalRepublika, tanggal 03 September 2003.Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsadan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, cet. IStavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all),Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatifuntuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!