10.07.2015 Views

PROBLEMATIK PEMBELAJARAN SASTRA DI ... - Kemenag Sumsel

PROBLEMATIK PEMBELAJARAN SASTRA DI ... - Kemenag Sumsel

PROBLEMATIK PEMBELAJARAN SASTRA DI ... - Kemenag Sumsel

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>PROBLEMATIK</strong> PEMBELJARAN <strong>SASTRA</strong> <strong>DI</strong> LEMBAGA PEN<strong>DI</strong><strong>DI</strong>KANOleh: Dra. HodidjahAbstrak:Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakinsarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastramemang pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhanpara guru, siswa, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasisastra selama ini menjadi bukti kongkret adanya sesuatu yang tidakberes dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal.Permasalah itu muncul disebabkan beberapa faktor, diantaranyakarena yang mengajar sastra juga mengajar bahasa, guru sastra sekaligusjuga guru bahasa. Pembelajaran sastra juga termuat dalam pembelajaranbahasa. Berbagai alternatif yang dapat ditempuh antara lain: menjadikanguru sastra terpisah dari guru bahasa, menimbulkan apresiasi sastra padaguru dan siswa, serta guru berupaya melaksanakan pembelajaran sastradengan strategi yang menarik.Kata Kunci: pembelajaran sastra, masalah, dan pemecahannyaPendahuluanPengajaran sastra belum mendapat porsi yang sesuai dalam pendidikanbahasa. Diabaikannya sastra dalam pengajaran bahasa berawal dari asumsi bahwasastra berkontribusi negatif terhadap kemampuan berbahasa siswa (John,1986:18). D


Dikatakan oleh Hamid (2007) bahwa pengajaran sastra di lembagapendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan.Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnyatingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang takberes dalam pembelajaran sastra lembaga pendidiikan formal.Pengetahuan kemampuan dasar dalam bidang kesustraan para guru sangatterbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikanformal di LPTK yang sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka perolehselama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas.Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoritis, sedangkanyang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. (Alfansyah dalamWahyudi, 2007:25). Selain itu buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra disekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas, lain halnya denganketerbatasan buku penunjng ini sedikit terjadi di SD, di daerah perkotaankhususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari proyek perbukuanNasional Depdikbud, hanya saja pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknyabelum maksimal karena ada faktor lain yaitu faktor minat siswa atau subjek didik.Minat belajar dan minta membaca para siswa masih sangat rendah, faktorkesediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari gurumenjadi ikut penyebab dalam hal ini (Rosidi, 1997:19-25).Pembelajaran sastra belum mendapat porsi yang sesuai dalam pendidikanbahasa. Diabaikannya sastra dalam pengejaran sastra berawal dari asumsi bahwasastra berkontribuasi negatif terhadap kemampuan berbahasa siswa (John,1986:18). Dalam prakteknya, pengajaran bahasa dan linguistik sangat


diutamakan. Menurut Rudy (2002:3) sastra telah diperlakukan scara “kurang adil”di seluruh jenjang pendidikan. Kenyataan ini terjadi karena munculnya asumsibahwa sastra hanya merupakan pelajaran untuk kesenangan , bahwa sastra tidakberpotensi mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Pengajaran sastraakan bermakna bila diajarkan berdampingan dengan pengajaran bahasa danlinguistik (Widdowson, 1985).Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagaijenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimanayang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan danpeningkatan apresiasi pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan inimencoba membahas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor diatas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentusaja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kitake arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formalpada masa yang akan datang.Berdasarkan temuan beberapa penelitian, pengakuan para guru, danbeberapa tulisan dari media cetak maupun elektronik, dinyatakan bahwapelaksanaan pembelajaran sastra masih ‘dipermasalahkan’. Dikatakan oleh Utami(2006) mengenai pelaksanaan pembelajaran sastra di sekolah.Penulis sering melihat bahwa pembelajaran satra di sekolah hanyasebatas mengajarkan ilmutentang kesastraannya saja, belum padaapresiasi. Maksud penulis begini, guru hanya mengajarkan sastra ialah........., apresiasi sastra adalah........, yang termasuk angkatan Balai pustakaYaitu......dst, ini berarti, guru mengajar tentang pengetahuan sastra, bukan


apresiasi sastra. Padah tujuan pembelajaran sastra, bukan hanyamenanamkan pengetahuan, tetapi juga keterampilanserta nilai dansikap. Kalau kegiatan apresiasi sastra kura tidak terasah / tidak dilatihkan,maka kecerdasan emosional siswa tidak meningkat dan hatinuraninyatidak terasah denga baik.Hal senada diungkapkan juga dalam tulisan Rafiuddin (2009) yangmenyatakan bahwa secara jujur harus diakui, sekolah-sekolah di negeri kita iniseringkali hanya tampak gedungnya saja yang megah, tetapi kualitaspembelajarannya “hancur” dan “babak belur”.Lebih-lebih pembelajaran apresiasi sastra. Para siswa tidak diajarkan untukmengapresiasi (baca:memahami dan menikmati sastra) teks-teks sastra yangsesungguhnya, tetapi sekedar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasilkaryanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaransastra sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati“lezatnya” isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaransastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah“membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spritual siswa.Rendahnya nilai dan apresiasi siswa, akibat kelemahan prosespembelajaran dan cara penilaian yang telah dilakukan, bahkan lebih “celaka” lagirendahnya apresiasi siswa terhadap sastra; sudah atau dicarikan jalan jeluarnya.Perbaikan perlu segera dilakukan mengingat, “.....salah satu program rehabilitasikepercayaan dan moral masyarakat adalah mengintensifkan pendidikan sastradan kesenian sebagai wahana pembentukan moral dan pengembangan rasa”(Depdiknas, 2000). Dikatakan oleh Atmazaki (1991:124) bahwa karya sastra yang


aik memberikan nilai-nilai yang bersifat mendidik, estetis, moral dan sosial.Dengan demikian melalui pembelajaran sastra, para siswa diharapkan dapatmenemukan nilai-nilai, baik nilai moral, pendidikan, estetis, sosial, dan manfaatlain yang bersifat mendidik. Selain itu berdasarkan tujuan pembelajaran Bahasadan Sastra Indonesia, seharusnya pengajaran sastra di sekolah direalisasikansecara tepat sehingga dapt memberikan manfaat yang besar kepada siswa,terutama dalam menambah pengetahua, pengalaman, dan wawasan tentanghidup dan kehidupan.Meski sudah menjadi soal klasik, fenomena ini tetap menarikdiperbincangkan. Sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap kondisi tersebut,berikut ini akan dikemukakan mengena: 1) Kondisi pembelajaran sastra saat ini,dan 2) alternatif yang dapat dilakukan dalam pembeajaran sastra.Kondisi Pembelajaran Sastra Saat iniKondisi pembelajaran sastra yang dirasakan oleh guru, memang bukan‘rahasia’ lagi. Hal tersebut selalu dibicarakan pada seminar-seminar dan diskusidiskusi.Mustafa (2003:1) misalnya, mengatakan.Berbagai kekecewaan telah muncul dalam pembicaraan publikTentang kedudukan pengajaran sastra di sekolah; bagaimana sebaiknyadiajarkan, bagaimana evaluasi hasil belajar dilakukan dan apa pula fokusutamanya. Kekeliruan konsepsi dan praktik pembelajaran sastra di sekolahtelah, antara lain dipicu oleh ketakjelasan orientasi evaluasi hasil belajarsastra yang ditangihkan pada dan/atau oleh guru di kelas.


Kimtafsirah (2003:1) juga menyatakan bahwa pembelajaran sastra di sekolahdinilai belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Beberapa hasil penelitianjuga menyebutkan bahwa pembelajaran sastra di sekolah belum memberikanhasil yang baik, siswa tidak tertarik dengan sastra dan apresiasi siswa terhadapsastra rendah.Fakta lain juga membuktikan dari hasil snapsot dan potret sesaat yangdilakukan Taufik Ismail tahun 2003, hasil wawancara terhadap tamatan SMU dari13 negara sangat menakjubkan,“........Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul bukuSelama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negaratetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalammenamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesiasetelah era Algemeene Middelbare School (AMS) HindiaBelandaadalah nol buku. Padahal pada era AMS Hindia Belanda, selama belajardi sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.Menurut Taufiq Ismail, hasil snapsot tersebut semakin memperteguhasumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolahsekolahkita kian memperihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaanbesar yang harus digandakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak,terutama terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harusdilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan duasaudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanakan. Semakin siswa banyakmembaca, maka semakin bagus karangannya. Kegemaran membaca harus mulaidipupuk melalui bukubuku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis


acaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca:Menulis) bisa dimulai dikelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. Hal senada juga oleh Alwi(2008:32) bahwa kegiatan membaca harus dipupuk sedini mungkin.Buruknya mutu pembelajaran apresiasi sastradi sekolah juga tak leps dariminimnya guru sastra yang memiliki “talenta” dan minat serius terhadap sastra.Apalagi, sastra hanya merupakan mata pelajaran yang “dininutkan” padapelajaran bahasa lantaran statusnya yang hanya sekedar “nunut”, tidakmengherankan jika apresiasi sastra hanya disajikan sambil lalu. Meskipun sastraerat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya pelu kreativitas danmodel penyajian tersendiri. Menyajikan puisi, misalnya, selain dinunut menguasaimateri ajar guru juga harus mampu memberi contoh yang memikat dan sugestifsaat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memilikiminat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra yang dianggap sulit lebihnyaman untuk tidak disajikan alias dihindari.Dalam buku “Emotional Intellegency-Daniel Goleman (Gerbang, Edisi 10,th.2005:5)Menyatakan bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitanemosional daripada geneasi sebelumnya:lebih kesepian dan urung, lebihberangasan, dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudahcemas, lebih impulsive dan agresif. Pernyataan ini merupakan hasil sebuah surveibesar-besaran terhadap orang tua dan guru-guru yang memperhatikan adanyakecendrungan yang sama di seluruh dunia.Selanjutnya diungkapkan oleh Utami (2006),


Kalau penulis boleh berpendapat, salah satu faktor penyebab kesulitanemosional siswa adalah kesalahan para pendidik dalam mengaplikasikanilmunya. Guru sering lupa bahwa kewajibannya di sekolah ada dua, yaitu:mendidik dan mengajar. Sementara ini yang guru kejar adalah kecerdasanotak siswa dan sering mengabaikan kecerdasan emosionalnya. Akibatnyasiswa memang cerdas dan pintar, tetapi kadang sering ‘curang’,Siswamemang pandai dan lihai, tetapi sering tidak perperasaan, dsb.Karya sastra adalah tulisan yang dibuat oleh seseorang berdasarkanpengamatan, pengalaman, dan daya imajinasinya, dengan menggunakan bahasayang indah. Berdasarkan jenisnya karya sastra dapat dibedakan atas puisi, prosafiksi (meliputi cerpen, novel, serta roman) dan drama.Dalam pembelajaran di SMP ketiga bentuk karya tersebut diajarkan, dandimuat dalam Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) Bahasa IndonesiaSMP tahun 1994, dalam KBK dan dalam KTSP, ketiga jenis karya sastra tersebutdapat diajarkan dengan menerapkan (MIK dan (PP), sehingg siswa lebih aktif,kretaif, menyenangkan, dan tumbuh apresiasinya terhadap sastra.Dilhat dari ruang lingkup pembelajarannya mencakup komponenkemampuan berb ahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek :mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Adapun tujuan mata pelajaranBahasa Indonesia dalam KTSP untuk SMP dan MTs, dari 6 tujuan yang ada, tujuanyang ke-5 dan ke-6 berhubungan langsung dengan sastra, “...menikmati danmemanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budipekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;


menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya danintelektual manusia Indonesia.”(Depdiknas, 2006).Isi rumusan tujuan tersebut sama dengan yang dimuat dalam KBK, BAB I,bagian B, poin 5 (Puskur, Depdiknas, 2002:1). Pada bagian peta Kompetensi SMPSMP & MTs level 7 (kelas 2), bagian Apresiasi Sastra, dinyatakan,Petaompetensi apresiasi sastra, yaitu melisankan drama,mendengarkan pembacaan cerpen, dongeng, dan kutipan novel, membacakarya sastra terjemahan, dan menceritakan kembali, sertamembahasunsur-unsur yang terdapat di dalamnya.Menurut Rusyana (2003:3) ada 3 komponen dalam pembelajaran sastra,yaitu:• Kemampuan mengapresiasi sastra, meliputi kegiatan mendengarkan,menonton, dan membaca hasil nsastra; 2) kemampuan berekpresi sastra,meliputi: kegiatan melisankan hasil sastra dan menulis karya sastra; 3)kemampuanmenelaah hasil sastra, meliputi kegiatan menilai, meresensi, danmenganalisishasil sastra.Standar Kompetensi yang berkaitan dengan sastra untuk kelas VII, sesuai denganisi KTSP,...mengapresiasi pementasan drama; mengungkapkan pikiran dan perasaandengan bermain peran; memahami teks drama dan novel; mengungkapkan


pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis kreatif naskah drama;memahmiunsur intrinsik novel remaja (asli atau terjemahan) melalui kegiatandiskusi; memahami buku novel remaja asli atau terjemahan) dan antologipuisi; mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas. (Depdiknas,2006237-240).Pembelajaran bersastra juga dilaksanakan seperti halnya pembelajaranberbahasa. Pembelajaran dikaitkan dengan keempat kemampuan berbahasa.Dengan demikian pembelajaran seperti itu secara bertahap siswa akan memilikikemampuan untuk mengapresiasi karya sastra. (Puskur, 2003).Banyak kegiatan yang dapat dilakukan sehubungan dengan apresiasi sastra.Menurut Tjahyono (1995:17-20) ada empat macam kegiatan apresiasi sastra,yaitu:• Kegiatan langsung, dilakukan melalui teks sastra (misalnya: membaca novel,puisiAtau cerpen) dan juga melalui performansi (misalnya: mendengarkanpembacaan cerpen atau menonton pertunjukan drama.2). Kegiatan tak langsung, meliputi kegiatan mempelajari kritik sastra, teorisastra, danatau mempelajari sejarah sastra.3) Kegiatan kreatif, kegiatan mencipta sendiri puisi, cerpen, atau naskah dramayangSederhana. Aktivitas kegiatan kreatif ini akan berjalan lebih baik bila sekolah


menyediakan media berupa majalah sekolah atau setidak-tidaknya majalahdinding4) Kegiatan dokumentatif, kegiatan dapat dilakukan, yaitu mengkliping hasilhasilkaryaSastra atau tulisa-tulisan yang membahas mengenai sastra.Guru bahasa bukan tidak mau menerapkan apresasi sastra saatpembelajaran tetapi memang ada beberapa masalah yang harus dipecahkan,diantaranya:• Dibeberapa sekolah, mata pelajaran bahasa masih diajarkan oleh guru yangbukan bidangnya, karena memang kekurangan tenaga guru bahasatersebut.• Minimnya buku-buku sastra yang berkualitas di perlustakaan sekolah. Kalauada pada umumnya buku-buku semacam itu ‘nyaris’ tak tersentuh. Bukubukusastra dibiarkan ‘terpuruk’ dan berdebu. Fenomena ini menandakanbetapa sastra di negeri hany sekedar menjadi produk budaya yangterpanjang di sebuah “etalase” yang miskin peminat dan pecinta• Dangkalnya pengetahuan guru bahasa itu endiri. Materi sastra guruhanyalah sebatas buku yang harus diajarkan kepada siswanya saja.• Guru bahasa (sebagian besar) lebih banyak mengajarkan aspek kebahasaandan sedikit keterampilan berbahasa serta mengabaikan kegiatan apresiasisastra.• Guru bahasa enggan melatihkan apresiasi sastra pada siswanya, sebabkegiatan apresiasi menyita banyak tenaga dan pikiran.


• Keterbatasan waktu tatap muka yang tersedia, yang didukung dengansaratnya bahan/isi kurikulum. Akibatnya, siswa tak sempat melaksanakanapresiasi sastra secara baik atau mungkin sempat melakukannya, tetapitergesa-gesa sehingga hasilnya tidak maksimal.• Kurangnya minat siswa pada materi sastra dan kegiatan apresiasinya. Halini disebabkan oleh pembelajaran sastra yang kurang /tidak menarik danjuga kurang luasnya pengetahuan siswa tentang tujuan pembelajaran• Guru dan kepala sekolah salah dalam menanamkan disiplin ilmu, yang lebihmengutamakan materi Ebtanas saja. Padahal itu hanya melatih kecerdasanintelektual siswa dan sama sekali tidak mengasah kecerdasanemosionalnya. Mereka sering lupa bahwa tujuan pembelajaran meliputi 3aspek yakni menanamkan pengetahuan, memberikan keteramplan, sertamenumbuhkan nilai dan sikap siswa.• Adanya toleransi yang tinggi dari guru bahasa itu sendiri, mengingat tugastugassiswa dari matei pelajaran lain yang sudah banyak sehingga kegiatanapresiasi sastra harus dikurangi.• Semakin pesat dan majunya teknologi dan industri, sehingga semakinmerangsang setiap siswa untuk segera mempelajarinya. Lebih-lebihdisadarinya bahwa masa depan pembelajaran teknologi dan industritersebut lebih menjanjikan dari pada harus mempelajari sastra danapresiasinya.


• Kurangnya dukungan orag tua terhadap pembelajran sastra. Orang tuaenggan membelikan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan sastra,sehingga siswa turut menjauhinya.Fakta jiga membuktikan bahwa pembelajaran sastra sampai saat ini masihterintegrasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pengakuan guru yangmengajar bahasa Indonesia membuktikan bahwa porsi pembelajaran yangmemang relatif lebih kecil/sedikit itu belum dilaksanakan secara maksimal secaramaksimal. Porsi pembelajaran sastra dibandingkan kebahasaan, bila dilihatkurikulum 2004 (KBK) dari tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP adalah2:4 (yang khusus mencakup sastra, yaitu nomor 5 dan 6): dalam kurikulum TingkatSatuan Pendidikan (KTSP) perbandingannya adalah 17:20Tuntutan yang harus diberikan untuk pembelajaran sastra, misalnya di kelasVIII, berdasarkan KBK ada 5 aspek pembelajaran sastra yang harus diberikan dikelas VIII, guru baru elksanakan beberapa aspek saja dan pelaksanaan sertahasilnya tidak maksimal. Hal itu disebabkan guru mengalami kesulitanmenentukan cara/strategi yang tepat untuk melaksanakannya mengingat waktuyang tersedia sedikit.Sebagai contoh, pada pembelajaran kelas VIII semester 1, dari 5 aspek yangdituntut,Membaca novel dan membicarakan isinya dalam kaitannya dengankehidupanSehari-hari; membaca puisi kemudian mendeklmasikan ataumelagukannya; menuliskan pengalaman pribadi yang paling menarik dalam


entuk puisi atau cerita pendek dan mendiskusikannya pengalamanyangdiperoleh dari pemeranan itu; membaca puisi dan membicarakan puisi itudari segi gayanya (Depdiknas, 2003:12-13).Guru belum melaksanakan semuanya secara lengkap. Guru melaksanakanpembelajarannya secara klasikal, yaitu menyampaikan informasi mengenai teoriteoriyang behubungan dengan novel, cerpen, drama, dan puisi; Contoh-contohhasil karya sastra tersebut; serta unsur-unsur yang membangunnya. Setelah ituguru memberi tugas kepada siswa secara individu-menganalisis cerpen,berdeklamasi, dan membaca puisi. Hasil pekerjaan/tugas siswa tersebutdikumpulkan dan atau dinilai oleh guru. Siswa hanya mengetahui hasil akhir yangmereka peroleh, mereka tidak pernah mengetahu proses kemajuan yang merekacapai.Dampak dari pembelajaran sastra yang telah dilakukan tersebut cukupbesar. Nilai yang diperoleh siswa tidak maksimal, baik pada hasil tugas-tugasmaupun pada hasil ujian, nilai poin untuk sastra selalu minim; aktivitas siswakurang tampak pada proses pembelajaran belangsung; Selain itu, apresiasi siswaterhadap sastra juga kurang. Siswa kurang abaearperan dalam kegiatan apresiatifsastra sepert lomba membaca pisi, mengarang cerpen, mendongeng, dan lain-lainyang dilakukan baik di lingkunagn sekolah, maupun di lar sekolah. Hanya siswatertentu saja-yang kebetulan memang sudah mempunyai bakat/minat terhadapseni termasuk sastra-yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut.Sesuai fakta di lapangan tidak boleh kita ingkari juga bahwa ada beberapaguru yang sudah melaksanakan pembelajaran sastra yang baik, menarik, dan


dapat menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Namun, hanya dilakukan olehsegelintir guru, secara umum, seperti diungkapkan oleh Alwi (2007) bhawapembelajaran sastra di sekolah masih merupakan ‘masalah’, Bagaimana upayakita agar yang dilakukan oleh segelintir guru itu dapat dilakukan oleh-guru-gurulain? Melalui tulisan ini, penulis akan menyampaikan beberapa alternatif yangdapat ditempuh untuk menjadi pertimbangan dalam pembelajaran sastra.Beberapa Alternatif yang dapatDitempuh dalam Pembelajaran SastraBelajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dankehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehinggasisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasinlai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layartempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Namun, bagaimana mungkinpelajar kita mampu menikmati teks-teks sastra kalau mereka hanya sekedarmenghafalkan nama-nama sastrawan dan hasil karyanya serta sekedar membacasinopsisnya.Jika pembelajaran sastra bisa mandiri, beban berat pendidikan yangmengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan, sebab lewatpembelajaran sastra itu pengetahuan budaya, cipta dan rasa serta watak siswaakan lebih bisa berkembang. Dengan tutur lain, “Otonom” pembelajaran sastraakan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan. Dikatakanoleh De Porter (2001) menyatakan bahwa pelajar harus memikirkan metode yangtepat untuk melaksanakan kegiatan pembelajarannya, agar dapat mencapaitujuan yang telah direncanaan secara maksimal.


Atmosfer pembelajaran apresiasi sastra di sekolah sebagai “agenperubahan dan peradaban”. Sekolah mestinya bisa dimanfaatkan sebagai ruangdan media yang strategis untuk mengakarkan sekaligus menguatkan nilai-nilaimoral, religi, dan budaya.• Jadikan materi spresiasi sastra di sekolah sebagai mata pelajaran mandiri,terpisah dari mata pelajaran bahasa. Fakta menunjukkan bahwa status“nunut” yang selama ini disandang oleh sastra hanya menjadi materi yangtersisihkan. Kondisi itu diperparah dengan minimnya “talenta” guru bahasaterhadap sastra. Tanpa semangat “otonomi” tampaknya nasib sastra dalamdunia pendidikan di negeri ini aka makin sirna.• Pemperdayaan guru sastra. Kalau Berikut “otonomi” sastra sudah ada,perlu diikuti dengan pemetaan terhadap guru bahasa dan sastra. Merekayang didaulat untuk menjadi guru bahasa dan sastra harus memilikikompetensi dan kualifikasi untuk menyajikan pembelajaran apresiasi sastradengan baik. Tugas mereka tidak harus melahirkan para satrawan, tetapicukup membekali apresiasi sastra kepada siswa didik melalui prosespembelajaran yang menarik, memikat, dan menyenangkan.• Harus ada “ kemauan politik” penguasa untuk menghidupkan atmosfersastra dengan memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kaumsastrawan untuk menciptakan karya-karya unggulan, liar, dan


mencengangkan agar menjadi karya agungdan “masterpiece” . Kalau“Politik literasi” terus diberlakukan, hal itu tak ubahnya seperti teror yangmenindas dan menzalimi kaum sastrawan. Dengan banyakny teks sastrayang agung dan “masterpiece”. Hal itu akan membangkitkan animo danminat pelajar kita untuk menggemari dan mengakrabi karya sstra.4) Jadikan perpustakaan sekolah sebagai “jantung” ilmu pengetahuan danperadaban,Sediakan dana yng cukup untuk membeli buku-buku bermutu bagus, bukanbukuYang tergolong ‘sampah’. Melalui perpustakaan yang memadai, parapelajar bisabersentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu sehingga mampumembangunkepribadian yang maniri, berwawasan, beretika, bermoral, beradab,,bebudaya,memiliki kearifan, dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya.• Para pelajar diwajibkan untuk membaca buku-buku sastra melaluiproses pendalamandan apresiasi berdasarkan bekal yang mereka peroleh dari sang guru.Wajibkan mereka untuk mengumpulkan sinopsis buku sastra dan tafsiranbebas terhadap nilai etika dan estetika yang terkandung di dalamnya padaakhir tahun. Hasil sinopsis dan


apresiasi siswa didik terhadap buku-buku sastra perlu perlu diabadikandalam dokumentasiapresiasi sastra mereka dari tahun ke tahun.portofolio sebagai bukti otentik terhadap tingkat6) Guru selalu berupaya melaksanakan pembelajaran sastra yang menarik,guru selaluberupaya menubuhkan kreativitas dan inovasi dalam pembelajran sastra.Ada banyakstrategi yang dapat dipilih untuk itu; diantaranya:• Suatu strategi pembelajaran sastra dengan menerapkanContextual Teaching and Learning (CTL);• PAIKEMIstilah pembelajaran Konstekstual (CTL) sudah tidak asing lagi bagikita. Suda cukup lama kita menyadari bahwa kelas-kelas kita kurang‘produktf’, hasil pembelajaran kurang maksimal, dan banyak lagi isu-isunegatif tersebut perlu suatu strategi pembelajaran yang lebih berpihak danmemberdayakan siswa, yang produktif dan menyenangkan, salah satunyaadalah CTL. Filosofi yang mendasari CTL sudah lama dikembangkan olehJohn Dewey (1916), yaitu filosofi belajar yng menekankan padapengembangan minat dan pengalaman siswa CTL ditawarkan sebagai suatustrategi untuk menerapkan kurikulum 2004 (Kurikulum BerbasisKompetensi) yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006.Diharapkan dengan diterapkannya CTL dalam pembelajaran sastra,maka proses dan hasil pembelajaran sastra dapat lebih efektif danmencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan kompetensi yang


dimuat dalam kurikulum (KTSP). Hal tersebut sejalan dengan pendapat DePorter (2001:19-20), “proses belajar mengajar yang benar itu, antara lain,memunculkan diskusi, menggelar kerja kelompok, serta ektrskurikuler. Danprinsip Learning by doing atau playing harus dirancang dengan serius. Salahsatu cara yang dapat ditempuh untuk memunculkan itu adalah CTL.Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membantuguru engaitkan antara materi yang disajikan dengan situasi dunia nyatasiswa dan mendorong siswa membuat hubunga antara pengetahuan yangdimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagaianggota keluarga dan masyarakat. Pengetahuan dn keterampilan siswadiperoleh dari usahanya mengkontruksikan sendiri pengetahuan danketerampilan baru ketika ia belajar, dalam Depdiknas (2002:5) dinyatakanCTL merupakan konsep belajar yang mmbantu gurumengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyatasiswa dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalamkehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponenutama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme, bertanya,menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaiansebenarnya.Dengan konsep itu diharapkan hasl pembelajaran lebih bermaknabagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatansiswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.


Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Depdiknas, 2003:1).Masalah kurang waktu diharapkan dapat diatasi. Pembelajaran melibatkanketujuh komponen utama pembelajaran produktif, yaitu:• Konstruktivisme• Menemukan• Bertanya• Mayarakat belajarBerbagai teknik yang dapat dilakukan dalam masyarakat belajar, yaitu:• Berkirim salam dan soal• Mencari pasangan• Bertukar pasangan• Kepela bernomor• Jigsaw• Kancing gemerincing• Lingkaran kecil lingkaran besar• Tari bambu• Pemodelan• Refleksi• Penilaian otentik/penilaian sebenarnya


Adapun PAIKEM adalah pelaksanaan pembelajaran yang aktif,inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkanDengan demikian, para pelajar kita tidak lagi mengidap penyakit“rabun” sastra dan pada gilirannya mereka akan terangsang untukmembaca, menulis, menyimak, dan berbicara sastra dan mengenai sastra.PenutupPelaksanaan pembelajaran sastra masih “bermasalah”, namun. Bkanberarti tidak ada guru yang telah melaksanakan pembelajaran sastra yangapresiatif. Apa yang telah dilakukan oleh segelintir guru itu, semoga dapat diikutioleh guru yang lain, sehingga pembelajaran sastra benar-benar dapat apresiatifdan bermanfaat untuk kehidupan.


Daftar PustakaAlwi, Zahra, 1999. “Peningkatan Muu Pembelajaran Bahasa Indonesia denganPendekatanIntegratif”’ Dalam Prosiding Seminar Peran IPTEK dalam MenciptakanMasyarakatMaju dan Modern. Indralaya, 31 Maret 1999.Alwi, Cahra,2008. “Tumbuhkan Minat Baca di Kalangan Pelajar” dalam JurnalPustaka2008.Sriwijaya. Badan Perpustakaan Daerah Prov. <strong>Sumsel</strong>, No. 2 Tahun II JuniAminuddin, 1990. Sekita Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan ModelPenerapannya.Malang:Yayasan Asih Asah Asuh.Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan PraktikJakarta:RinekeCiptaCholil, Anwar,2009. Joyfull Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!