29.06.2015 Views

prosidingshn2014

prosidingshn2014

prosidingshn2014

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 8(b), 47, dan 48;<br />

3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3 dan 7);<br />

4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

pasal 1(15), 17 (2), 59, 66 (1 dan 2), 69, 78, dan 88<br />

Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />

Kekerasan Seksual Internasional:<br />

1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, dan pasal 68;<br />

2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik<br />

Bersenjata;<br />

3) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan<br />

(ICPD) pada bulan Desember 1993;<br />

4) Deklarasi Wina Tahun 1993.<br />

1. Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Bagi Korban<br />

Kekerasan Seksual<br />

Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban<br />

perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor<br />

personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling<br />

kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />

melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat<br />

personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma<br />

mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat<br />

termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya,<br />

kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang<br />

luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan<br />

peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban<br />

tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />

Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib<br />

mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan<br />

kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah<br />

masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan<br />

karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena<br />

harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan<br />

oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan<br />

seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam<br />

keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk<br />

mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir<br />

tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir<br />

dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya<br />

dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempEuan<br />

korban menikahi pelakunya.<br />

125

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!