29.06.2015 Views

prosidingshn2014

prosidingshn2014

prosidingshn2014

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Keeping Our Small Boat Afloat<br />

By Robert Bly<br />

It‟s hard to grasp how much generosity<br />

Is involved in letting us go on breathing,<br />

When we contribute nothing valuable but our grief.<br />

Each of us deserves to be forgiven, if only for<br />

Our persistence in keeping our small boat afloat<br />

When so many have gone down in the storm.<br />

ii


Desain Sampul<br />

“Keeping Our Small Boat Afloat”<br />

Elizabeth Elysia<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2013


PROSIDING<br />

SIMPOSIUM HUKUM<br />

NASIONAL 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />

dalam Melawan Kekerasan Seksual”


Prosiding Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam<br />

Melawan Kekerasan Seksual”<br />

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia<br />

oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juni 2015<br />

Kampus FHUI Gedung D-405<br />

Depok – Jawa Barat 16424<br />

Telp. +6221 7270003 ext. 73<br />

Email jurnalhp@ui.ac.id<br />

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku<br />

ini tanpa izin tertulis dari Penerbit<br />

xvi + 211 hlm.<br />

ISBN: 978-979-8972-57-7<br />

Disusun oleh<br />

Tim Output<br />

Panitia Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Penanggung Jawab<br />

Kristi Ardiana<br />

Wakil Penanggung Jawab<br />

Aris Dzilhamsyah<br />

Almitra Indira<br />

Amanda Husna K<br />

Eliza Anggasari<br />

Irena Lucy Ishimora<br />

Muhammad Satria Jaya<br />

Raychel Mayshun


“Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di<br />

mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”<br />

Y. B. Mangunwijaya<br />

Kepada<br />

Prihanggodo, Haullussy & Partners<br />

KitaBisa<br />

IndoAgri Sehati<br />

PT. Pelayaran Kartika Samudra Adijaya<br />

Kartini Muljadi & Rekan<br />

Hakim & Rekan<br />

PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.<br />

PT. Vale Indonesia<br />

Angkatan ‟82 FHUI<br />

PT Mitra Adiperkasa Tbk.<br />

Kailimang & Ponto<br />

PT. Fonterra Brands Indonesia<br />

Pancious<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Komnas Perempuan<br />

Enjoy Jakarta!<br />

Terima kasih telah membantu kami mewujudkannya.


Kata Sambutan Dekan FHUI<br />

KATA SAMBUTAN<br />

DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />

Syukur Alhamdulillah patut diucapkan karena atas petunjuk dan<br />

bimbingan-Nya lah buku prosiding ini dapat dicetak sebagai rangkaian<br />

akhir dan hasil nyata dari kegiatan Simposium Hukum Nasional 2014<br />

(SHN 2014) yang dilaksanakan oleh BEM FHUI 2014.<br />

Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan dimana<br />

saja. Hal tersebut dapat terjadi pada wanita, anak dan bahkan kepada<br />

pria dewasa. Korban kekerasan seksual memiliki karakter yang berbeda<br />

dengan karakter korban tindak pidana lainnya. Korban tindak pidana<br />

dalam banyak kasus terlihat begitu antusias memperjuangkan haknya.<br />

Berbeda dengan korban kekerasan seksual, mereka malu dan bahkan<br />

berusaha menutupi fakta bahwa dirinya adalah korban.<br />

Saat ini hal tersebut menjadi wajar. Menjadi korban kekerasan<br />

seksual masih dapat dianggap sebagai suatu aib. Rasa malu dan tabu<br />

mencegah para korban untuk melaporkan bahwa dirinya adalah korban.<br />

Nama baik keluarga menjadi lebih penting ketimbang dipenuhinya hak<br />

mereka sebagai korban. Belum lagi masih terdapat oknum penegak<br />

hukum yang belum memahami perspektif korban kekerasan seksual,<br />

yang justru dapat menyebabkan korban kekerasan seksual yang melapor<br />

menjadi korban untuk kedua kalinya karena pertanyaan-pertanyaan<br />

yang justru melecehkan. Kondisi ini tentunya menguntungkan para<br />

pelaku kekerasan seksual.<br />

Hal ini harus berubah. Dan perubahan harus dimulai dengan<br />

suatu tindakan nyata. SHN 2014 yang digagas oleh BEM FHUI dan<br />

beberapa BEM Fakultas Hukum seluruh Indonesia merupakan suatu hal<br />

nyata yang dilakukan oleh para Mahasiswa dalam perannya sebagai<br />

agen perubahan. Dengan tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Melawan Kekerasan Seksual”, diharapkan<br />

kedepan akan tercipta suatu kondisi yang ramah korban dan utamanya<br />

dapat mengurangi terjadinya kekerasan seksual. Dibutuhkan peran<br />

semua pihak untuk menciptakan kondisi tersebut.<br />

Prosiding ini dibuat sebagai hasil sumbangsih pemikiran para<br />

mahasiswa dalam menyikapi fenomena kekearasan seksual. Diharapkan<br />

semua pihak dapat membaca prosiding ini sebagai bahan baik dalam<br />

pembentukan kebijakan, penanganan kasus maupun usaha advokasi<br />

dalam upaya melawan kekerasan seksual. Selamat membaca!<br />

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Prof. Dr. Topo Santoso S.H., M.H.<br />

i


Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FHUI<br />

KATA SAMBUTAN<br />

MANAJER PENDIDIKAN DAN KEMAHASISWAAN<br />

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />

Anyone who closes his eyes to the past is blind to the present<br />

(Richard von Weizsacker)<br />

Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, utamanya terhadap<br />

perempuan dan anak, adalah sudah berada pada tingkatan yang<br />

mengkhawatirkan. Setiap saat terjadi kekerasan seksual di Indonesia<br />

dengan frekuensi yang semakin meningkat. Baik di perkotaan maupun<br />

perdesaan. Menurut data dari Komnas Perempuan, dalam waktu 13<br />

tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat<br />

dari seluruh total kasus kekerasan atau 93960 kasus dari seluruh kasus<br />

kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.<br />

Dari segi perundang-undangan, negara Indonesia sudah cukup<br />

mengantisipasi fenomena ini dengan meratifikasi CEDAW sejak 1984,<br />

melahirkan UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun<br />

2004, melahirkan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi tahun 2008, lalu UU<br />

Perlindungan Anak tahun 2002 dan perubahannya tahun 2014, dan lain<br />

sebagainya.<br />

Namun, keberadaan undang-undang saja tidak cukup. Harus ada<br />

upaya luar biasa untuk mengakhiri atau mengurangi kekerasan seksual<br />

ini. Juga, tak bisa hanya mengandalkan penegak hukum (Polisi, Jaksa,<br />

Hakim, Advokat), Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Gugus<br />

Tugas Trafficking, dan P2TP2A saja. Seluruh pemangku kepentingan<br />

harus terlibat aktif. Apakah anak, remaja, orangtua, keluarga,<br />

masyarakat, lingkungan, sekitar, sekolah, kampus, tempat kerja, dunia<br />

usaha, dan sebagainya.<br />

Pelajaran dari Amerika Serikat, ada inisiatif masyarakat dan<br />

dunia usaha untuk melahirkan semacam kode, misalnya „Code of<br />

Adam‟ atau „Amber Alert‟ sebagai kode khusus untuk bereaksi cepat<br />

apabila ada kabar anak hilang atau penculikan anak. Lalu ada pula<br />

„Silver Alert‟ apabila terkabarkan ada lansia yang hilang. Inisiatif<br />

tersebut kemudian bersinergi dan terwadahi oleh penegak hukum dan<br />

pembuat hukum, sehingga menjadi gerakan masyarakat sekaligus upaya<br />

penegakan hukum yang luar biasa dalam melawan kekerasan di USA.<br />

Mahasiswa dan dunia kampus adalah bagian dari pemangku<br />

kepentingan itu. Selaku bagian kecil dari masyarakat Indonesia yang<br />

beruntung karena sempat mengecap bangku pendidikan yang lebih<br />

tinggi, didukung dengan semangat idealis dan fisik yang masih prima,<br />

mahasiswa harus dan wajib ikut serta dalam upaya-upaya mengurangi<br />

ii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

atau mencegah kekerasan seksual di Indonesia. Apalagi, tidak sedikit<br />

diantara para mahasiswa adalah sekaligus menjadi tersangka pelaku,<br />

korban, ataupun saksi dari kekerasan seksual.<br />

Simposium Hukum Nasional (SHN) yang digagas dan telah<br />

dilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk BEM FHUI 2014 adalah<br />

bagian dari upaya mulia untuk mengurangi dan mencegah kekerasan<br />

seksual ala mahasiswa. Melalui kolaborasi dan partisipasi dengan<br />

mahasiswa dari banyak kampus, melalui hari-hari penuh diskusi, dialog,<br />

debat, pencerahan dan aktualisasi pemikiran melalui tulisan, lahirlah<br />

buku ini. Apresiasi tertinggi saya sampaikan untuk rekan-rekan panitia<br />

dan seluruh partisipan. Apa yang telah kalian lakukan insya Allah akan<br />

sangat bermanfaat untuk perjuangan melawan kekerasan seksual di<br />

Indonesia.<br />

“Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang<br />

jahat. Tapi karena "diam"nya orang-orang baik”.<br />

(Ali ibn Abi Thalib)<br />

Depok, Januari 2015<br />

Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />

iii


Kata Sambutan Ketua BEM FHUI 2014<br />

KATA SAMBUTAN<br />

KETUA BEM FHUI 2014<br />

Assalamualaikum Wr. Wb.<br />

Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.<br />

Pertama-tama izinkanlah saya untuk menghaturkan puji dan<br />

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya lah<br />

maka acara Simposium Hukum Nasional 2014 berhasil dijalankan<br />

dengan lancar dan prosiding yang merupakan rangkuman dari acara<br />

tersebut dapat diselesaikan dan dipublikasikan kepada masyarakat luas.<br />

Lalu kemudian izinkanlah saya untuk berterima kasih kepada para<br />

sponsor dan media partner yang telah membantu berjalannya acara ini.<br />

Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya<br />

kepada teman-teman Panitia Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />

telah bekerja amat keras untuk merealisasikan mimpi ini, dan tentunya<br />

teman-teman delegasi dari Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />

telah rela mengikuti seluruh rangkaian acara yang kami sediakan dan<br />

menyumbangkan ide-ide dan saran demi tercapainya tujuan hukum bagi<br />

seluruh rakyat Indonesia.<br />

Sebelum memasuki isi dari prosiding ini maka ada baiknya<br />

saya perkenalkan dahulu acara yang merupakan landasan dari prosiding<br />

ini, yaitu Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014). SHN 2014<br />

adalah sebuah program kerja dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />

Hukum Universitas Indonesia tahun 2014, dimana program kerja ini<br />

sudah dijalankan untuk yang ketiga kalinya semenjak tahun 2012.<br />

Tujuan dari acara ini adalah untuk mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />

Fakultas Hukum se-Indonesia untuk berdiskusi dan<br />

menghasilkan sebuah gagasan terkait permasalahan-permasalahan<br />

hukum yang ada di Indonesia kepada para stakeholders terkait dan<br />

merancang berbagai gerakan sosial yang akan diaplikasikan di penjuru<br />

daerah di Indonesia.<br />

Pada tahun ketiga dilaksanakannya SHN 2014 ini, kami<br />

mengangkat sebuah Tema yaitu “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Memerangi Kekerasan Seksual” dengan<br />

tagline “Selaras Paham Lawan Kekerasan Seksual”. Tema ini berangkat<br />

dari keprihatinan kami atas kurangnya perhatian, rumitnya penanganan,<br />

dan lambatnya penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi<br />

di Indonesia selama ini. Isu Kekerasan Seksual sebenarnya bukanlah<br />

sebuah isu yang baru muncul belakangan ini. Menurut KOMNAS<br />

Perempuan, 35 wanita Indonesia menjadi korban kekerasan seksual<br />

setiap harinya. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan,<br />

iv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

akan tetapi juga terjadi kepada pria, orang-orang lanjut usia dan anakanak.<br />

Kekerasan seksual bukanlah sebuah permasalahan yang dapat<br />

dipandang dengan sebelah mata. Ada luka psikis yang tertinggal pada<br />

korban yang menyebabkan trauma dan depresi. Tidak hanya itu,<br />

masyarakat masih cenderung melihat korban kekerasan seksual dengan<br />

pandangan yang sinis dan melabeli mereka sebagai “orang yang kotor”.<br />

Tentu sangat mengerikan ketika korban-korban kekerasan seksual<br />

dipandang negatif oleh masyarakat, ketakutan untuk melaporkan<br />

kekerasan tersebut ke lembaga yang berwenang dan mirisnya lagi, tidak<br />

jarang para korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang<br />

tidak layak dari institusi penegak hukum.<br />

Selama acara ini yang dilaksanakan pada tanggal 17-21<br />

November 2014, puluhan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai<br />

Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia saling bercerita<br />

mengenai fenomena kekerasan seksual yang terjadi di daerahnya<br />

masing-masing dan bertukar informasi dan strategi untuk bersama-sama<br />

selaras dan paham dalam melawan kekerasan seksual. Selama itu juga,<br />

para delegasi mendapatkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat,<br />

lembaga negara, dan LSM-LSM yang juga concern terhadap<br />

permasalahan ini. Pada akhirnya juga para delegasi membuat sebuah<br />

tinjauan hukum yang ditujukan kepada pemangku kebijakan, seperti<br />

DPR dan Institusi Kepolisian untuk dapat lebih optimal melawan<br />

kekerasan Seksual.<br />

Akhir kata, semoga usaha dan cita-cita kami pada SHN 2014<br />

ini dapat bermanfaat bagi bangsa ini dan semoga prosiding dari acaraini<br />

dapat menjadi sebuah bahan bacaan yang memberikan pemahaman<br />

baru, semangat dan ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk<br />

bersama-sama memerangi kekerasan seksual yang bisa terjadi dimana<br />

saja, kapan saja, dan siapa saja.<br />

Wassalamualaikum Wr.Wb.<br />

Gery Fathurrachman<br />

Ketua BEM FHUI 2014<br />

v


Kata Sambutan Ketua Pelaksana<br />

KATA SAMBUTAN<br />

KETUA PELAKSANA SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan bangkitnya<br />

Gereja sebagai sebuah kekuasaan yang memiliki pengaruh yang sangat<br />

besar namun sangat korup dan menimbulkan banyak penyelewengan,<br />

termasuk di ajaran agama Kristiani sendiri, sehingga Abad Pertengahan<br />

disebut juga sebagai Abad Kegelapan. Di masa itu, muncul sosok Jan<br />

Hus - seorang pastur dan akademisi dari Bohemia. Kejahatan dan<br />

penyesatan yang terjadi di tubuh gereja begitu masif, sehingga ia<br />

melakukan penentangan dengan menyebarkan ajaran Reformasi.<br />

Perlawanan Jan Hus harus berakhir ketika ia akhirnya ditangkap dan<br />

dihukum mati dengan cara dibakar pada tahun 1415. Seratus tahun<br />

kemudian setelah kematiannya, tulisannya menjadi salah satu yang<br />

menginspirasi Martin Luther untuk memakukan 95 tesisnya di depan<br />

gereja di Wittenberg yang menjadi awal dari era Reformasi Protestan.<br />

Berani menciptakan perubahan adalah berani mengarungi<br />

samudera luas sekecil apapun perahu yang berlayar atau sebesar apapun<br />

ombak yang harus dilewati, meskipun pada akhirnya bukan kita yang<br />

akan sampai di ujung samudera. Seperti Jan Hus yang berani ikut<br />

menantang samudera meskipun Martin Luther yang berhasil mencapai<br />

akhirnya.<br />

Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan terhadap manusia<br />

yang tidak hanya sekedar menyerang organ seksual, namun juga<br />

meninggalkan luka psikis yang terus dibawa oleh korban sepanjang<br />

hidupnya. KOMNAS Perempuan menyatakan bahwa setiap harinya, 35<br />

perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Seperti<br />

gunung es, angka ini pun hanya statistik dari sebuah realita yang jauh<br />

lebih mengerikan. Sungguh menyedihkan ketika menghadapi fakta ini,<br />

kita melihat betapa tidak mampu dan acuhnya hukum, aparat hukum,<br />

dan masyarakat Indonesia dalam melindungi setiap pribadi dari<br />

kekejaman kekerasan seksual. Setiap hidup manusia patut<br />

diperjuangkan, oleh karena itu negeri ini butuh perubahan. Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 diadakan untuk menjadi pionir bagi perubahan<br />

tersebut.<br />

Dengan mimpi ini, kami mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />

dari fakultas hukum di seluruh Indonesia dan seluruh bagian<br />

masyarakat untuk bersama-sama memulai perubahan. Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 diadakan selama lima hari, dan di dalam lima<br />

hari ini pula tiga belas delegasi dari berbagai penjuru Indonesia<br />

menyatukan pikiran, tenaga, dan cinta mereka terhadap bangsa hingga<br />

tersusunnya Tinjauan Hukum Kekerasan Seksual Simposium Hukum<br />

Nasional 2014, dengan harapan bahwa tinjauan hukum ini dapat<br />

vi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menjadi suara nyaring yang memecah kesunyian yang meliputi<br />

problema hukum kekerasan seksual di Indonesia.<br />

Perjalanan untuk mencapai negeri berkemanusiaan yang adil<br />

dan beradab itu sungguh masih panjang - mungkin dua tahun, sepuluh<br />

tahun, atau seribu tahun lamanya. Akhir bahagia dari samudera yang<br />

kami tantang belum tentu boleh kami raih sendiri, tetapi kami percaya<br />

sekecil apapun perbuatan baik kami tidak akan pernah sia sia.<br />

Kepada Mbak Muthmainnah, Bang Fadel, Bang Agung, dan<br />

Bang Dion yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk<br />

memulai dan terus mendukung kami sampai akhir, seluruh teman-teman<br />

panitia (kalian hebat!), delegasi, Bapak dan Ibu dosen yang telah<br />

membimbing kami, pembicara, peserta, sponsor, pendukung, mitra<br />

media, serta semua pribadi yang telah memberikan doa, semangat, cinta,<br />

kepedulian, tenaga, serta dukungan finansial bagi Simposium Hukum<br />

Nasional 2014, selalu dan selamanya saya mengucapkan terima kasih.<br />

Selamat membaca mimpi dan cinta kami.<br />

Hidup mahasiswa, Hidup bangsa Indonesia.<br />

Florianti Kurnia Sjaaf<br />

Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />

vii


Daftar Isi<br />

DAFTAR ISI<br />

Kata Sambutan Dekan FH UI<br />

Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FH UI<br />

Kata Sambutan Ketua BEM FH UI 2014<br />

i<br />

ii<br />

iv<br />

Kata Sambutan Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional<br />

2014 vi<br />

Daftar Isi<br />

viii<br />

Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />

Masyarakat Dalam Melawan Kekerasan Seksual<br />

Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />

xi<br />

xvi<br />

Makalah Pembicara<br />

Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: Perspektif<br />

Islam<br />

Husein Muhammad<br />

1<br />

Peningkatan Peran Pemerintah Dan Partisipasi<br />

Masyarakat Dalam Memerangi Kekerasan Seksual<br />

Meutia Farida Hatta Swasono<br />

7<br />

Perspektif Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual<br />

Dra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.<br />

16<br />

Makalah Delegasi<br />

Komisi 1: Hukum Materiil<br />

Tinjuan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual Terhadap Anak Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

26<br />

Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan<br />

Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri<br />

Sumatera Utara<br />

40<br />

viii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Komisi 2: Hukum Formil<br />

Tinjuan Hukum Formil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual<br />

Fakultas Syari‟ah dan Ilmu Hukum Universitas<br />

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim<br />

54<br />

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Upaya<br />

Hukum Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah<br />

Surakarta<br />

67<br />

Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana<br />

Pemerkosaan<br />

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

77<br />

Peranan Alat Bukti Dan Etika Aparat Penegak<br />

Hukum Dalam Pemberantasan TIndak Pidana<br />

Perkosaan Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

90<br />

Komisi 3: Perlindungan dan Pendampingan Korban<br />

Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Kekerasan Seksual Di Padang, Sumatera Barat<br />

Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

99<br />

Pelaksanaan Fungsi Penanganan Hukum Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual Di Jakarta<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

104<br />

Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Kekerasan Seksual Di Banyumas, Jawa Tengah<br />

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

118<br />

Pencegahan Dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />

Seksual Pada Anak di Kota Banjarmasin<br />

Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

131<br />

ix


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Perlindungan Dan Penanganan Korban Kekerasan<br />

Seksual Di Jawa Barat<br />

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung<br />

145<br />

Efisiensi Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Pemerkosaan Dalam Konteks Pemberlakuan<br />

Syari‟at Islam Di Aceh<br />

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />

161<br />

Tinjauan Hukum Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Tabel Tinjauan Hukum Simposium Hukum<br />

Nasional 2014 171<br />

Penjelasan Tabel Tinjauan Hukum Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 181<br />

Susunan Kepanitiaan 212<br />

ix


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />

Dalam Melawan Kekerasan Seksual”<br />

Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014) adalah sebuah<br />

gerakan hukum dan sosial, yang melibatkan partisipasi Pemerintah,<br />

Masyarakat, dan Mahasiswa, dalam melakukan perlawanan terhadap<br />

kekerasan seksual di Indonesia. Dibentuk atas prakarsa Badan Eksekutif<br />

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2014 (BEM FHUI<br />

2014) bersama-sama dengan dua belas universitas lain di seluruh<br />

penjuru Indonesia sebagai delegasi, kami bersama-sama menciptakan<br />

produk tinjauan hukum terhadap kekerasan seksual dan mewujudkan<br />

gerakan sosial bernafaskan anti-kekerasan seksual. SHN 2014<br />

merupakan wadah diskusi dan lumbung akademis yang<br />

mempertemukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah<br />

Agung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ketua Komisi Nasional<br />

Perempuan (Komnas Perempuan), Aparat Penegak Hukum (Hakim dan<br />

Kepolisian Republik Indonesia), Tokoh-tokoh Masyarakat, Aktivis<br />

Pejuang HAM, Akademisi, Seniman, dan Mahasiswa. Dengan<br />

mengusung tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />

Masyarakat”, kami berharap SHN 2014 menjadi jembatan penghubung<br />

pemerintah dalam melindungi korban kekerasan seksual dan<br />

memberantas kekerasan seksual, sekaligus menerangi langkah<br />

pemerintah dan masyarakat untuk melawan gelap-pekatnya fenomena<br />

kekerasan seksual di negeri ini.<br />

BEM FHUI 2014 sempat ikut berpartisipasi dalam mengawal<br />

kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan di<br />

Koridor Harmoni Bus Transjakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />

merupakan tempat pengadilan kasus tersebut sekaligus menjadi saksi<br />

bisu atas vonis hukuman yang sangat ringan bagi keempat pelaku<br />

pelecehan seksual, yaitu 1,5 tahun. Selain itu, BEM FHUI 2014 juga<br />

ikut mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok<br />

Srengenge terhadap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya<br />

Universitas Indonesia. Kedua kasus ini menjadi potret kecil lemahnya<br />

penegakan hukum bagi kasus kekerasan seksual.<br />

Tujuan besar dari SHN 2014 salah satunya adalah<br />

menyadarkan masyarakat akan keberadaan kekerasan seksual sebagai<br />

penyakit sosial dan moral bangsa. Media karya seni lukis dan film<br />

menjadi penghubung yang tepat dalam menyebarkankesadarankepada<br />

masyarakat luas. SHN 2014 menyelenggarakan Pre-Event pada tanggal<br />

29-30 Oktober 2014 yang bertempat di Perpustakaan Pusat Universitas<br />

Indonesia dan Cinema Room Universitas Indonesia, berupa Kompetisi<br />

xi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan Pameran Lukis Mural dengan tema “Memecahkan Kesunyian” dan<br />

Festival Film yang memiliki pesan moral untuk melawan kekerasan<br />

seksual. Tiga film yang ditampilkan adalah Bitter Honey (sebuah film<br />

dokumenter yang menceritakan fenomena poligami pada masyarakat<br />

adat Bali), Ca Bau Khan, dan Sang Penari. Rangkaian festival film<br />

disajikan dengan diskusi terbuka oleh beberapa narasumber, antara lain<br />

Ni Nengah Budawati (Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Bali),<br />

Nia Dinata (Sutradara Film Ca Bau Khan) dan Mohamad Guntur Romli<br />

(Penulis Skrip Film Sang Penari).<br />

Rangkaian acara inti Simposium Hukum Nasional<br />

diselenggarakan pada tanggal 17-21 November 2014 bertempat di<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.<br />

Pada hari pertama, Senin 17 November 2014, diadakan<br />

Seminar Kekerasan Seksual dengan tema“Membongkar Mitos,<br />

Menyuguhkan Realita”. Seminar ini meninjau persepsi masyarakat yang<br />

belum tentu benar dan mengungkap fakta sebenarnya tentang fenomena<br />

kekerasan seksual dari perspektif hukum, forensik, filsafat, dan<br />

psikologi, dengan narasumber:<br />

1. Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., M.S., Direktur<br />

Internasional dan psikolog dari Yayasan Pulih;<br />

2. Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S., Pendiri Jurnal Perempuan dan<br />

Dosen Studi Feminisme dan Filsafat Kontemporer UI;<br />

3. Prof. DR. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K), Ketua<br />

Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia;<br />

4. Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., Dosen Viktimologi<br />

dan Kriminologi dan Sistem Peradilan Anak dan Kekerasan<br />

terhadap PerempuanUniversitas Surabaya.<br />

Rangkaian acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum<br />

“Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Peraturan Perundangan di<br />

Indonesia” untuk menyelaraskan pemahaman yuridis terhadap produk<br />

hukum yang mengatur kekerasan seksual serta membahas tentang<br />

produk-produk hukum nasional yang mengatur tentang kekerasan<br />

seksual, apakah hukum nasional tersebut sudah cukup adil dan<br />

berperspektif hak asasi manusia, dan kekerasan seksual dari perspektif<br />

RUU KUHP dan RUU KUHAP. Kuliah Umum dihadiri oleh<br />

narasumber, antara lain:<br />

1. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si., Dosen Antropologi<br />

Hukum FH dan FISIP UI;<br />

2. Desti Murdijana, Koordinator Komisi Nasional Anti Kekerasan<br />

Terhadap Perempuan;<br />

3. Indon Sinaga, Staf Ahli Komisi VIII DPR RI;<br />

4. Dr. H. Zainuddin, S.H., M.Hum., Panitera Muda Pidana Umum<br />

Mahkamah Agung.<br />

xii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Para delegasi SHN 2014 kemudian membagi pandangan<br />

mereka mengenai masalah kekerasan seksual di daerahnya masingmasing.Setiap<br />

daerah asal delegasi pasti memiliki latar budaya dan<br />

sosial yang berbeda-beda sehingga masalah kekerasan seksualnya pun<br />

beragam. Acara Sharing Antar Delegasi ini dimoderatori oleh Christina<br />

Yulita Purbawati dari Komnas Perempuan.<br />

Pada hari kedua, Selasa 18 November 2014, rangkaian acara<br />

dibuka oleh Talkshow Kekerasan Seksual dengan tema “Kita (adalah)<br />

Mereka: Memahami Korban Kekerasan Seksual”. Diskusi ini<br />

membahas upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mendampingi<br />

korban kekerasan seksual dan jika kita menjadi korban kekerasan<br />

seksual sehingga peserta diharapkan dapat menjadi peka dan lebih<br />

memahami gambaran mengenai keadaan korban perkosaan secara fisik<br />

dan psikis serta upaya-upaya pelaporan kekerasan seksual yang perlu<br />

ditingkatkan. Narasumber yang hadir adalah:<br />

1. Helga Worotitjan, Pendiri Lembaga Inspirasi Indonesia;<br />

2. Wulan Danoekoesoemo, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Pendiri<br />

Lentera Indonesia;<br />

3. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si, Ketua P2TP2A Jawa<br />

Barat & Istri dari Gubernur Jawa Barat;<br />

4. Mudjiati, S.H., Deputi Perlindungan Perempuan dari Kementerian<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.<br />

Lalu, acara dilanjutkan oleh Seminar Nasional Kekerasan<br />

Seksual “Kekerasan Seksual Dalam Konsep Pluralitas di Negara<br />

Indonesia”, yang membahas kekerasan seksual dari sudut pandang<br />

hukum, sosial, budaya, dan konsep pluralitas yang terdapat di Indonesia<br />

dengan narasumber:<br />

1. K.H. Husein Muhammad, Ulama dan Komisioner Komnas<br />

Perempuan;<br />

2. Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A., Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009;<br />

3. Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum., Pendiri Yayasan Puan<br />

Amal Hayati;<br />

4. Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Penulis dan<br />

Seniman.<br />

Pada hari ketiga, Rabu 19 November 2014, para delegasi dari<br />

fakultas hukum dari universitas di seluruh penjuru Indonesia<br />

menghadiri forum diskusi Simposium Hukum yang bertujuan untuk<br />

melahirkan sebuah tinjauan hukum terhadap peraturan perundangundangan<br />

di Indonesia dalam segi materiil, formil, dan penanganan<br />

serta perlindungan korban kekerasan seksual. Diskusi terbagi menjadi 3<br />

focus-group discussion yang diselenggarakan pada pagi hari dan<br />

xiii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

masing-masing focus-group memaparkan hasil diskusi sehingga<br />

menghasilkan satu kesatuan output yaitu tinjauan hukum.<br />

Pada hari keempat, Kamis 20 November 2014, dalam rangka<br />

memberikan inspirasi dan pemahaman untuk menciptakan gerakan<br />

sosial anti kekerasan seksual, diselenggarakanlah Workshop Kekerasan<br />

Seksual “Langkah Anak Muda Lawan Kekerasan Seksual” dengan<br />

tujuan membahas upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan<br />

kesadaran masyarakat terhadap kekerasan seksual dan bertujuan untuk<br />

mencari ide-ide kreatif yang berasal dari masyarakat dalam melakukan<br />

pencegahan kekerasan seksual.Workshop ini dihadirioleh narasumber<br />

antara lain:<br />

1. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Dosen FHUI dan aktivis<br />

HAM;<br />

2. Ratna Batara Munti S.Ag., M.Si., Direktur Eksternal LBH Apik;<br />

3. Saras Dewi, Dosen dan Ketua Program Ilmu Filsafat UI;<br />

4. Kartika Jahja, Seniman dan Aktivis.<br />

Setelah Workshop, para delegasi SHN 2014 mengikuti<br />

ekskursi di Mahkamah Agung yang dilanjutan dengan sebuah Rapat<br />

Tindak Lanjut dalam rangka menentukan gerakan sosial yang akan<br />

dibawa ke daerah masing-masing delegasi.<br />

Pada hari kelima, Jumat 21 November 2014, diselenggarakan<br />

sebuah Diskusi Panel untuk menyampaikan hasil diskusi tinjauan<br />

hukum dan rapat tindak lanjut delegasi dan berdiskusi dengan pihak<br />

pemerintah, aparat penegak hukum, dan Komisi VIII DPR untuk<br />

mewujudkan peningkatan peran pemerintah dalam melawan kekerasan<br />

seksual. Beberapa panelis yang datang antar a lain :<br />

1. Ratna Susianawati, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum dan<br />

Hubungan Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak<br />

2. Kombes John Hendri, S.H., Kepala Bagian Hukum Markas Besar<br />

Kepolisian Republik Indonesia<br />

3. Asmaul Khusnaeny, Asisten Koordinator Reformasi Hukum dan<br />

Kebijakan dari Komnas Perempuan<br />

4. Hj. Ledia Hanifa Amaliah, Wakil Ketua Komisi VIII Dewan<br />

Perwakilan Rakyat<br />

5. Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H., DFM., Direktur Jenderal Hak<br />

Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia<br />

Rangkaian acara SHN 2014 ditutup dengan kegiatan postevent,<br />

Sabtu 22 November 2014. Para delegasi SHN 2014 datang ke<br />

Gelora Bung Karno untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat<br />

Jakarta untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap<br />

bahaya kekerasan seksual.<br />

xiv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kami berharap Simposium Hukum Nasional 2014 dapat<br />

menjadi pionir bagi hukum kekerasan seksual yang lebih adil bagi<br />

korban dan setiap manusia Indonesia yang masih mempercayai<br />

eksistensi hak asasi manusia. SHN 2014, Selaras Paham Lawan<br />

Kekerasan Seksual!<br />

Kharisma Bintang Alghazy<br />

Wakil Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />

xv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />

1) Radius Emerson Sitanggang<br />

2) Kornelius Billheimer Sianturi<br />

3) An‟nisaa Khalida*<br />

4) Vanessa Leoprayogo*<br />

2. BEM Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

1) Meyriza Violyta<br />

2) Dona Pratama Jonaidi<br />

3. BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Pemenang<br />

Delegasi Terbaik)<br />

1) Melisa Pandu Winenda<br />

2) Mulya Rizki Nanda<br />

4. BEM Fakultas Hukum UIN Sumatera Utara<br />

1) Erni Syahfitri<br />

2) Saleh Rambe<br />

3) Barly Halim Siregar*<br />

5. BEM Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

1) Ayatullah Farhan<br />

2) Auliya Gusti Reno<br />

3) Abdul Halim*<br />

4) Heri Andika*<br />

6. BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

1) Ali Ghafaar Susilo<br />

2) Irda Mutiari Dinita<br />

7. BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

1) Paroy Buki<br />

2) Praja Wibawa<br />

3) Elisabeth Dwilina*<br />

4) Fernandus H. Pardede*<br />

8. BEM Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

1) Ariyanto<br />

2) Eria Mardiana<br />

9. BEM Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

1) Ardian Rizki<br />

2) Hevi Dwi Oktaviani<br />

10. BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />

1) Topik Adi Nugroho<br />

xvi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Rifa Muflihah<br />

11. BEM Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau<br />

1) Aditya Perdana Putra<br />

2) Susi Kusmawaningsih<br />

3) Maida Jefnita Rahmi*<br />

12. BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

1) Gery Fathurrachman<br />

2) Shafira Hexagraha<br />

13. BEM Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih<br />

1) Hendra Wasaraka<br />

*Peserta Penunjang<br />

xvii


MAKALAH PEMBICARA<br />

SEMINAR NASIONAL<br />

“KEKERASAN SEKSUAL DALAM KONSEP PLURALITAS<br />

NEGARA INDONESIA”<br />

SELASA, 18 NOVEMBER 2014


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN:<br />

PERSPEKTIF ISLAM*<br />

Oleh: Husein Muhammad<br />

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan<br />

kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke<br />

tahun. Tahun 2001 ada 3.169. Tahun 2012: 216.156 dan tahun 2013:<br />

279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan<br />

seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-<br />

2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap<br />

hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 di<br />

antaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan<br />

seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620).<br />

Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia<br />

antara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembaga<br />

Negara dan sosial. Yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yang<br />

dilaporkan. (Baca: Komnas Perempuan; Catahu tahun 2013).<br />

Pengungkapan kasus kekerasan seksual ini amat rumit, karena<br />

terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan<br />

masyarakat yang mentabukan bicara seks di depan orang lain. Lebih<br />

dari itu pengungkapannya oleh korban seringkali semakin<br />

menggandakan penderitaan diri perempuan dan keluarganya.<br />

Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasan<br />

seksual. Minimal 15. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, ancaman<br />

perkosaan, pelecehan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi,<br />

marital rape, prostitusi paksa, kontrol atas tubuh antara lain melalui<br />

kebijakan publik atas nama moralitas dan agama, dan lain-lain.<br />

Pelakunya dapat siapa saja, orang paling dekat maupun paling jauh<br />

orang biasa, tanpa kelas sosial, maupun orang berstatus sosial<br />

“terhormat”,.<br />

Fakta-fakta di atas tentu saja sangat memprihatinkan. Komnas<br />

Perempuan menyebut realitas tersebut telah meningkat kepada situasi:<br />

“Kegentingan Kekerasan Seksual”. Dalam pernyataannya Komnas<br />

Perempuan menyebutkan: “Kekerasan Seksual yang dialami perempuan<br />

sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan<br />

adil, komprehensif dan holistik. Keadaan darurat ini tercermin dari<br />

kejadian kekerasan seksual di semua ranah: personal, publik dan<br />

Negara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagai<br />

tingkat pendidikan dan profesi. Termasuk perempuan penyandang<br />

disabilitas, migran, PRT, LBT, dan pelajar hamil. Terjadi di rumah, di<br />

angkutan umum, di sekolak, di tempat kerja maupun di tahanan”.<br />

(Komnas Perempuan, Catahu, 2013).<br />

1


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Akar Masalah: Moralitas dan Kekuasaan<br />

Pertanyaan krusialnya adalah mengapa terjadi kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan dan anak, dan bagaimana sikap Islam<br />

terhadapnya?<br />

Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan guna<br />

mencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasuk<br />

perkosaan terhadap perempuan. Ada sejumlah asumsi yang berkembang<br />

di publik selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas untuk tidak<br />

dikatakan agama. Asusmsi pertama mengarahkan kesalahan kepada<br />

perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari<br />

perempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagianbagian<br />

tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidak<br />

menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yang<br />

menciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki.<br />

Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit untuk difahami oleh<br />

logika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidak<br />

melakukan tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilinya<br />

dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa? Dalam<br />

banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama<br />

perkosaan, ia terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik,<br />

melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia juga<br />

terjadi terhadap isterinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest),<br />

atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau<br />

saudara sekandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi terhadap<br />

perempuan berjilbab. Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuah<br />

perguruan tinggi agama, beberapa waktu lalu, korban mengenakan<br />

jilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warna<br />

loreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalu<br />

menimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya.<br />

Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalu<br />

melakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antara<br />

perkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memiliki<br />

hubungan sebab akibat. Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadi<br />

karena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menonton<br />

video porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton<br />

video porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Faktor-faktor ini lebih<br />

sekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasrat<br />

birahi laki-laki terhadap perempuan.<br />

Ada juga pandangan atau asumsi yang menyalahkan pelaku<br />

dengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasan<br />

seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak<br />

bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadi<br />

benar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baikburuknya<br />

moralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya.<br />

2


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual<br />

pelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap<br />

terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas<br />

Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam:<br />

ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NKRI, anggota<br />

parlemen, tokoh agama, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansir<br />

media massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur,<br />

ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa<br />

hari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormati<br />

diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita<br />

mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu<br />

tindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen<br />

“moralitas” tersebut. (Baca: Catahu Komnas Perempuan, 2013).<br />

Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan<br />

terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan<br />

sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender<br />

yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan<br />

perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman<br />

terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan<br />

secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di<br />

dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap<br />

Perempuan, Pasal 1)<br />

Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih<br />

pada adanya ketimpangan relasi kuasa yang berbasis gender. Ia adalah<br />

sistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem/ideologi yang<br />

melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas,<br />

menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara<br />

berpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan<br />

bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan<br />

lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual<br />

laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan<br />

sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki,<br />

termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi yang bias gender dan<br />

patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi<br />

penafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara.<br />

Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan<br />

manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik.<br />

Ketimpangan yang didasarkan atas system sosial/ideologi inilah yang<br />

pada berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi<br />

atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak<br />

kekerasan terhadap perempuan.<br />

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah<br />

ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik<br />

ekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Kendali muncul<br />

3


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak,<br />

majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga,<br />

pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkan<br />

orang pusat-orang daerah.<br />

Agama Menolak Kekerasan<br />

Islam dan saya yakin semua agama di dunia serta seluruh<br />

pandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untuk<br />

membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, di<br />

satu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih dan<br />

menyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atas<br />

prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama: Penghormatan atas Martabat<br />

Manusia, Kesetaraan, Kebebasaan dan Keadilan.<br />

Sumber-sumber otoritatif Islam sangat banyak menegaskan<br />

prinsip-prinsip tersebut.<br />

• Manusia adalah makhluk terhormat: “Dan sesungguhnya telah<br />

Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di<br />

daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baikbaik<br />

dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang<br />

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.<br />

(Q.S. Al-Isra, [17]:70)<br />

• Laki-laki dan Perempuan adalah Setara: (Q.S. Q.S. al-Nisa,<br />

[4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, Ali<br />

Imran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40.<br />

• Manusia yang paling terhormat/unggul adalah yang paling<br />

bertaqwa: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan<br />

kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan<br />

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya<br />

kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling<br />

mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling<br />

bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha<br />

Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12).<br />

• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-laki<br />

merendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkan<br />

itu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pula<br />

komunitas perempuan merendahkan komunitas perempuan<br />

yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan<br />

janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil<br />

dengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dan<br />

tindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yang<br />

buruk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidak<br />

kembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orang<br />

yang zalim”.(Q.S. al-Hujurat [49]:11).<br />

4


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

• “Tuhan tidak memandang tubuh dan wajahmu, tetapi<br />

memandang pada hati dan perbuatanmu”. (Hadits).<br />

• “Wahai manusia.Sesungguhnya darah (hidup) kamu,<br />

kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia.<br />

(Hadits Nabi).<br />

• Setiap muslim diharamkan mengganggu/mencederai/melukai<br />

hak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain.<br />

(Hadits).<br />

Seluruh Prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan<br />

konsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Tuhan, Allah.<br />

Keyakinan ini dalam bahasa Islam disebut: Tauhid. Menurut doktrin ini,<br />

semua manusia, tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal dari<br />

sumber yang tunggal, sama, yakni ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidak<br />

satupun ciptaan Tuhan berhak memiliki keunggulan atas yang lainnya.<br />

Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek<br />

kedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan. Al-Qur'an<br />

menyebut keunggulan ini dengan kata “Taqwa”. Dalam ayat-ayat al<br />

Qur'an taqwa tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek-aspek<br />

kebaktian atau peribadatan personal sebagaimana kesan umum selama<br />

ini, melainkan lebih pada dimensi-dimensi moralitas sosial, ekonomi,<br />

budaya, politik dan lain-lain. Atau dengan bahasa lain taqwa adalah<br />

moralitas kemanusiaan dalam maknanya yang luas. Dalam bahasa lain,<br />

taqwa adalah al-Akhlaq al-Karimah (budi pekerti luhur) atau etika<br />

kemanusiaan.<br />

Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi dasar bagi setiap<br />

keputusan hukum atau aturan kehidupan manusia. Jika demikian, maka<br />

bagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktik<br />

hukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargai<br />

martabat manusia, diskriminatif, dan tidak melahirkan kesalingan kasih.<br />

Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan)<br />

atasnya dan cara pandang sosial, budaya, politik dan keagamaan<br />

mengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks<br />

ketuhanan.<br />

Pertanyaan yang sering muncul di tengah publik adalah<br />

apakah hukum-hukum dalam teks-teks Islam yang partikular yang<br />

dipandang diskriminatif, seperti “laki-laki adalah pemegang otoritas<br />

atas kaum perempuan”, (Q.S. al-Nisa, [4]:34), tidak mengandung nilainilai<br />

moral di atas. Jawabannya adalah bahwa aturan-aturan hukum<br />

yang bersifat khusus (partikular) yang terdapat dalam sumber-sumber<br />

autentik dapat dipandang sebagai aturan yang mengandung moral. Akan<br />

tetapi ia dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterima<br />

sebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang ada<br />

dalam kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan<br />

5


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuan<br />

moralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut sama<br />

sekali.<br />

Kembali ke Konstitusi<br />

Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal<br />

dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut<br />

agama-agama dan kepercayaan di manapun mereka berada di seluruh<br />

bumi nusantara ini. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi ini<br />

bukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiring<br />

sejalan dengan visi dan misi agama, sebagaimana sudah disebutkan.<br />

Konstitusi RI telah memuat pasal-pasal yang menjamin hak-hak asasi<br />

manusia. Ia sesuatu yang melekat secara kodrati dalam setiap manusia<br />

dan tidak dapat dicabut daripadanya. Tuhanlah yang<br />

menganugerahkannya. Ia berlaku universal. Ia adalah cita-cita semua<br />

manusia di muka bumi ini. Sebagai konsekuensi paling logis dan<br />

bertanggungjawab bagi kesetiaan dan komitmen seluruh warga Negara<br />

atas Konstitusi tersebut, maka produk-produk pemikiran partikularistik<br />

dan aturan-aturan hukum yang ada harus sejalan dan tidak boleh<br />

bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kehendak-kehendak universal<br />

tersebut. Untuk ini pemerintah dan para penegak hukum dituntut untuk<br />

menjalankan dan menegakkannya secara konsekuen untuk merevisi atau<br />

bahkan mencabut segala peraturan dan kebijakan publik yang<br />

melanggar dan bertentangan dengan Konstitusi tersebut.<br />

Cirebon, 17 Nopember 2014<br />

*Disampaikan dalam Seminar Nasional: Kekerasan Seksual Dalam<br />

Konsep Pluralitas di Negara Indonesia”, Selasa, 18 Nopember 2014.<br />

Auditorium Fakultas Hukum UI, Depok.<br />

6


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENINGKATAN PERAN PEMERINTAH DAN PARTISPASI<br />

MASYARAKAT DALAM MEMERANGI<br />

KEKERASAN SEKSUAL 1<br />

Oleh: Meutia Farida Hatta Swasono<br />

Pendahuluan<br />

Seminar ini membahas mengenai kekerasan seksual dalam<br />

konteks pluralitas di NKRI. Indonesia adalah negara bangsa dengan<br />

penduduk yang seimbang jumlahnya dari segi jenis kelamin. Salah satu<br />

ciri khas Indonesia adalah komposisi penduduknya yang terdiri dari<br />

sekitar 745 suku bangsa dan sub suku bangsa yang tersebar di seluruh<br />

wilayah kedaulatan NKRI. Nenek-moyang mereka masuk ke Kepulauan<br />

Nusantara melalui gelombang-gelombang migrasi dalam proses yang<br />

sangat lama sejak era preshistori. Penduduk multikultural dengan<br />

masing-masing kebudayaan suku bangsanya ini pada tanggal 17<br />

Agustus 1945 dipersatukan sebagai Bangsa Indonesia dalam negara<br />

bangsa RI, kini dikenal dengan sebutan populer NKRI. Bagi Bangsa<br />

Indonesia ini, para pendiri negara telah menyusun suatu kebudayaan<br />

nasional yang terdiri dari Pancasila sebagai perangkat nilai budaya<br />

nasional dan UUD 1945 sebagai perangkat norma budaya nasional.<br />

Kebudayaan suku bangsa tetap dianut dalam interaksi warga suku<br />

bangsa, sedangkan kebudayaan nasional digunakan sebagai acuan<br />

berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keduanya<br />

berjalan seiring dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.<br />

Budaya Kekerasan dalam Multikulturalisme Indonesia<br />

Adanya dominasi budaya patriarkii dalam multikulturalisme<br />

Indonesia memang perlu diakui, namun penulis tidak beranggapan<br />

bahwa semua sukubangsa di Indonesia berpandangan dan berperilaku<br />

sewenang-wenang terhadap perempuan sebagai akibat dari adanya<br />

pandangan budaya bahwa kekerasan seksual atas perempuan dianggap<br />

wajar. Sebaliknya pada banyak sukubangsa, nilai-nilai budaya mereka<br />

mengajarkan bahwa perempuan harus dihormati, lebih-lebih perempuan<br />

yang merupakan keluarganya sendiri. Sebagian suku bangsa juga<br />

1 Makalah diajukan pada Seminar dalam rangka Simposium Hukum<br />

Nasional 2014 dengan tema “ Kekerasan Seksual dalam Konsep Pluralitas di<br />

Negara Indonesia”, diselenggarakan oleh BEM FHUI di Depok pada tanggal<br />

18 November 2014. Penulis adalah Guru Besar Antropologi di FISIP-UI.<br />

7


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

beranggapan bahwa ada kerjasama antara laki-laki dan perempuan<br />

dalam kegiatan upacara adat, dalam pembagian kerja di rumahtangga<br />

sehari-hari dan tanggungjawab bersama antara suami-isteri, bapak dan<br />

ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dalam melangsungkan<br />

kehidupan keluarga, kelangsungan klen, kelangsungan mata<br />

pencaharian di tanah pusaka, dan dalam pengasuhan anak.<br />

Pandangan agama juga mengajarkan warga sukubangsa atau<br />

umat agama untuk menghormati perempuan, dimulai dari ibu dan para<br />

anggota kerabat perempuan yang lainnya, bahwa mereka hidup tidak<br />

untuk dianiaya, apalagi dianiaya dengan memberikan penghinaan yang<br />

sangat mendalam berupa kekerasan seksual yang sukar hilang seumur<br />

hidupnya. Memang hal itu dapat terjadi, misalnya karena kemiskinan<br />

dan kelangkaan ketersediaan pekerjaan, namun hanya terbatas pada<br />

kasus-kasus khusus karena situasi tertentu.<br />

Budaya Patriarki. Kekerasan seksual biasanya mempunyai<br />

kaitan erat dengan dominasi budaya patriarki, di mana sebagian besar<br />

masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan di suatu daerah<br />

menganggap bahwa status laki-laki dan perempuan dalam lingkungan<br />

sosial mereka tidak sama, melainkan bersifat subordinatif. Dalam hal<br />

ini, laki-laki menganggap diri mereka lebih tinggi daripada status<br />

perempuan. Karena itu kaum laki-laki cenderung ingin mengatur dan<br />

menetapkan agar status perempuan berada dalam posisi lebih rendah<br />

dari posisi mereka sebagai kaum laki-laki. Mereka juga mengatur<br />

tentang apa yang harus, boleh dan tidak boleh dilakukan oleh<br />

perempuan dalam keluarga dan masyarakat mereka. Hal ini pun<br />

seringkali termasuk tentang atribut dan dandanan yang mereka harus<br />

kenakan di berbagai tempat.<br />

Kehidupan kaum perempuan di masyarakat yang didominasi<br />

budaya patriarki akan lebih berat jika kaum perempuan pasrah dan<br />

menerima kondisi itu sebagai takdir mereka, sebagai istri harus tunduk<br />

kepada suaminya, apa pun yang dilakukan suami, dan sebagai ayah<br />

patut dipatuhi perintahnya. Jika pada umumnya kaum perempuan di<br />

dalam masyarakat yang bersangkutan pasrah dan patuh menerima<br />

nasibnya, dan menganggap secara keliru bahwa itu adalah kodrat<br />

mereka sebagai perempuan, maka akan sulit upaya untuk mengatasinya.<br />

Kepasrahan terhadap kekerasan umum yang dialami perempuan dapat<br />

menyebabkan kasus-kasus, bukan adat kebiasaan, yang menyebabkan<br />

sejumlah perempuan mengalami kekerasan seksual karena<br />

dikomersialkan oleh keluarganya, termasuk suaminya. Ada pula<br />

masyarakat yang akibat dominasi budaya patriarki, terbiasa melakukan<br />

kekerasan, seperti pemukulan terhadap isteri oleh suaminya. Namun<br />

8


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tanpa faktor-faktor khusus, seorang laki-laki takkan mengkomersialkan<br />

isterinya secara seksual karena itu merusak kemartabatannya sendiri.<br />

Pola Pikir tentang Penaklukan Simbol Jenis Kelamin<br />

Perempuan. Selain adanya dominasi budaya patriarki, dalam kondisikondisi<br />

tertentu, laki-laki melakukan kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan, bukan karena ia mengenal perempuan yang bersangkutan,<br />

membencinya dan ingin menganiaya atau mencelakakannya sebagai<br />

suatu bentuk hukuman berat, melainkan karena si korban pemerkosaan<br />

berjenis kelamin perempuan, yang harus ditaklukkan oleh dirinya<br />

sebagai laki-laki. Karena itu si laki-laki itu tidak harus mengenal<br />

perempuan itu untuk memperkosanya. Kondisi ini sering terjadi dalam<br />

situasi adanya perang atau kerusuhan, di mana mengalahkan lawan<br />

ditandai dengan naluri memperkosa perempuan yang tidak saja<br />

merupakan salah satu cara untuk menumbangkan simbol dari jenis<br />

kelamin perempuan (femininitas), namun juga merusak perasaan<br />

kemartabatan pihak lawan sebagai kesatuan komunitas atau negara, baik<br />

yang laki-laki maupun yang perempuan.<br />

Dalam contoh kasus tertentu di Eropa, ketika bekas negara<br />

Yugoslavia tercabik-cabik oleh politik, sesama sukubangsa di negara<br />

Yugioslavia menjadi bangsa sendiri dengan negara masing-masing yang<br />

merupakan pecahan negara Yugoslavia. Politik menyebabkan perang<br />

yang kejam tak terhindarkan. Dilakukannya genocide (pembunuhan<br />

suku bangsa) oleh bangsa yang lebih kuat tidak dirasa cukup dan<br />

memuaskan hanya dengan cara membunuh kaum laki-laki dari bangsa<br />

yang dibenci dan berada dalam posisi lemah. Lebih jauh lagi, pihak<br />

yang kuat dan berjaya dalam perang juga memperkosa para perempuan<br />

dari bangsa yang dalam posisi lemah tersebut, dengan tujuan menghina<br />

martabat keseluruhan bangsa itu, agar melahirkan anak dari sukubangsa<br />

yang dalam posisi berjaya itu dengan tujuan memberikan hukuman<br />

berat yang takkan pernah terlupakan dalam sejarah mereka.<br />

Dalam kondisi tanpa perang, persaingan ekonomi atau sulitnya<br />

memenangkan perebutan sumberdaya ekonomi yang sering kita lihat di<br />

berbagai daerah di Indonesia menyebabkan perempuan terhambat untuk<br />

memperoleh peluang mendapatkan pekerjaan yang layak bagi<br />

kemanusiaan, sesuai pesan Konstitusi (UUD 1945). Perempuan sering<br />

dikalahkan dalam persaingan ini dengan cara merendahkan martabatnya<br />

melalui tipu-daya berupa iming-iming pekerjaan, namun dijerumuskan<br />

sebagai korban perilaku komersial seksual.<br />

Masih dalam kondisi kemiskinan pula, hal itu sering menjadi<br />

penyebab berubahnya etika pergaulan terhadap kerabat, di mana kerabat<br />

9


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perempuan sering dikorbankan. Hal ini terjadi pada perdagangan<br />

manusia, di mana kerabat satu klan yang seharusnya dilindungi, justru<br />

dijerumuskan oleh kerabatnya, misalnya paman atau saudara sepupunya<br />

menjadi pelacur dalam perdagangan orang. Hal ini temasuk pula<br />

memperdagangkan anak-anak di bawah umur melalui modus yang<br />

sama.<br />

Perubahan sosial-budaya dengan terjadinya kemajuan di bidang<br />

iptek dan informatika yang sangat mempengaruhi penyajian informasi<br />

dalam media telah menyebabkan perubahan nilai-nilai yang semula<br />

dianut, digantikan oleh nilai-nilai baru yang seringkali masih sulit<br />

dicerna atau keliru memahaminya sehingga menghasilkan sikap dan<br />

perilaku yang tidak selalu tepat dalam menanggapi hal-hal baru yang<br />

masuk.<br />

Pandangan dan Sikap Keliru terhadap Perempuan Penderita<br />

Kemalangan, Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual<br />

Dalam kehidupan masyarakat, gambaran (image) terhadap<br />

perempuan yang menderita kemalangan sehingga menjadi janda karena<br />

perceraian atau kematian suami, seringkali tidak sesuai dengan yang<br />

seharusnya. Perempuan yang menjadi janda pasti sangat menderita,<br />

bukan hanya karena harus menghidupi anka-anak dan dirinya sendiri,<br />

melainkan karena adaya gambaran keliru di masyarakat, terutama pada<br />

kaum laki-laki, mengenai predikat janda itu. Lebih sedikit orang yang<br />

bersifat empati terhadap janda, dibandingkan yang diharapkan. Lebih<br />

sedikit orang yang mau mengakui atau percaya bahwa seorang<br />

perempuan yang menjadi janda sudah menderita ketidakadilan sejak ia<br />

belum diceraikan atau minta cerai karena tidak tahan lagi atas perlakuan<br />

yang dialaminya dari suaminya dan perceraian itu pun belum tentu<br />

terjadi karena adanya laki-laki lain dalam kehidupannya.<br />

Janda seringkali dianggap dalam pola pikir (yang bersifat<br />

kejam) oleh kaum laki-laki sebagai pihak yang masih memerlukan<br />

kebutuhan seksual sehingga mereka rawan pelecehan dan bujukan untuk<br />

dikencani atas dasar “mau sama mau”. Tentu kasus semacam ini bisa<br />

terjadi, namun tidak bisa dianggap bersifat umum. Mungkin itu terjadi<br />

karena perempuan yang menjadi janda diberi stigma dan sejak awal<br />

dijauhi, diejek, jarang mendapatkan pertolongan yang sesuai, sehingga<br />

pada suatu waktu dalam kehidupannya yang sulit, ia menjadi rawan<br />

terjerumus dalam tipu daya seperti tersebut di atas.<br />

10


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Karena itu, diperlukan peranan Pemeirntah melalui programprogram<br />

kementerian terkait untuk membangun pola pikir yang dapat<br />

meluruskan mengenai sikap, perilaku dan kemartabatan janda. Mereka<br />

harus digambarkan sesuai dengan keadaan yang umum terjadi, bahwa<br />

mereka adalah perempuan yang rela berkorban demi kelangsungan<br />

hidup anak-anak, bertekad dan berupaya mengantar anak-anak<br />

bersekolah ke jenjang penidikan yang tinggi sehingga mampu mencapai<br />

kedudukan terhormat untuk membawa nama keluarga. Untuk itu tidak<br />

jarang para janda hidup tanpa menikah lagi dan tidak tergiur oleh<br />

tawaran laki-laki yang meminang mereka. Tidak juga mereka umumnya<br />

suka menjadi simpanan orang, kecuali terpaksa atau karena memang<br />

memiliki sifat-sifat khusus untuk menyakiti orang lain dan egoistis.<br />

Masyarakat bertanggungjawab untuk melindungi citra para<br />

janda, terutama yang muda dan cantik, dan tidak boleh justru<br />

masyarakat menjadi penyebab dari lunturnya kehormatan dan sikap<br />

tegar dari para janda sehingga akhirnya terjerumus ke dalam perbuatan<br />

salah atau kenistaan.<br />

Dominasi budaya patriarki dan pandangan tentang penyerangan<br />

seksual terhadap perempuan sebagai upaya menunjukkan dominasi<br />

status dan peranan jenis kelamin laki-laki, di dalam kehidupan seharihari<br />

di sekitar kita sering terwujud dalam berbagai sikap dan perilaku<br />

yang tidak atau kurang menghormati dan melindungi kaum perempuan,<br />

sehingga memberikan resiko terhadap keamanan dan kenyamanan<br />

hidupnya.<br />

Di dalam kehidupan keluarga, tantangan kehidupan yang makin<br />

kompleks di masa kini sebenarnya justru membutuhkan kerjasama<br />

antaranggota keluarga untuk bersama-sama menyongsong hari depan<br />

yang diaharapkan akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Namun<br />

kemajuan iptek dan media tidak selalu memberikan dampak baik,<br />

melainkan juga dampak buruk yang di antaranya terwujud dari makin<br />

rapuhnya perasaan kebersamaan antarwarga keluarga yang semula<br />

bersifat erat dan akrab. Dengan kata lain, kemajuan iptek dan<br />

informatika dapat menjadi dinding pemisah dari komunikasi antara para<br />

anggota keluarga yang semula memiliki lebih banyak kepedulian,<br />

perasaan kebersamaan dan kegiatan kerjasama dalam kehidupan<br />

keluarga dan kehidupan bermasyarakat.<br />

Kesenjangan pengetahuan mengenai teknologi dan sarana<br />

komunikasi modern yang diwakili oleh gadget dengan berbagai bentuk<br />

dan teknologinya, telah cenderung “memisahkan” generasi tua dan<br />

generasi muda, sehingga jika generasi tua tidak mampu mengikuti<br />

11


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perkembangan teknologi gadget dengan baik, maka mereka akan<br />

ketinggalan dan awam terhadap pandangan hidup, nilai-nilai, normanorma<br />

baru serta perilaku yang diwajarkan dalam kehidupan masa kini.<br />

Berapa banyak kasus-kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang<br />

disertai ancaman (blackmail) telah terjadi atas diri kaum perempuan<br />

dewasa ini, termasuk gadis-gadis muda, karena pengaruh teknologi<br />

gadget (tanpa harus mengabaikan dampak baik dari gadget dalam<br />

kehidupan kita dan kemajuan peradaban).<br />

Sementara itu orangtua yang tidak paham akan tantangan dan<br />

bahaya fisik maupun psikologis yang dialami anak-anaknya, tidak sadar<br />

bahwa anak-anak mereka telah terekspos atau bahkan telah menjadi<br />

korban kemajuan teknologi yang antara lain berupa kekerasan seksual,<br />

diawali dari jebakan (misalnya memotret tanpa izin atas perilaku<br />

seksual menyimpang) yang diikuti dengan blackmail. Anak laki-laki<br />

dan perempuan beresiko yang sama.<br />

Di antara pergaulan sesama siswa sekolah, berbagai kasus<br />

bullying yang dijalankan secara sistematis dan terpola dari angkatan<br />

yang satu kepada angkatan lian di bawahnya sudah makin meningkat<br />

sehingga tidak lagi sekedar merupakan perbuatan iseng dan nakal yang<br />

dikenal orangtua anak-anak itu ketika mereka masih kanak-kanak dan<br />

remaja, sekitar 30-50 tahun yang lalu, melainkan sudah mengarah<br />

kepada tindakan kriminal, menghancurkan harga diri, menciderai dan<br />

bahkan makan korban nyawa sesama siswa oleh para siswa teman<br />

sekolahnya. Kekerasan seksual dan perlakuan kekerasan seksual<br />

komersial termasuk di dalamnya.<br />

Peran Pemerintah dalam Penanganan Kekerasan Seksual<br />

Ada beberapa hal yang dapat diajukan di sini sebagai contoh<br />

dari peranan Pemerintah dalam menangani permasalahan kekerasan<br />

seksual yang mulai krusial, di antaranya sebagai berikut:<br />

Pertama, peranan Pemerintah yang utama dalam melawan<br />

kekerasan seksual untuk menata kehidupan masyarakat untuk mengatasi<br />

dominasi budaya patriarki. Karena itulah Pemerintah Indonesia<br />

mempunyai program pemberdayaan perempuan oleh Kementerian<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk menegaskan<br />

kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,<br />

bermasyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan<br />

memberikan sarana dan upaya bagi tumbuh kembangnya anak secara<br />

12


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

fisik dan psikologis dengan baik, karena merekalah generasi yang akan<br />

membangun Indonesia di masa depan.<br />

Kedua, mengatasi pola pikir yang membenci perempuan secara<br />

umum melalui pendidikan moralitas yang bersumber dari ajaran agama<br />

maupun ajaran budaya sukubangsa yang menghargai perempuan.<br />

Dalam suatu masyarakat, apabila nilai-nilai budaya acuan bagi<br />

kehidupan masyarakat adalah nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan<br />

perempuan, maka kekerasan seksual tidak akan menunjukkan persentasi<br />

tinggi. Tentu akan selalu ada manusia yang lebih mementingkan<br />

naluriah berbentuk insting liar daripada pengendalian diri yang<br />

mengutamakan moralitas, sehingga insting liar itu menyebabkan<br />

perilaku memperkosa tidak terhindarkan. Karena itu pendidikan<br />

moralitas dari segi agama maupun etika budaya perlu diperkuat untuk<br />

menghindarkan kaum perempuan ancaman dan tindakan kekerasan<br />

seksual.<br />

Ketiga, memberdayakan peranan media. Pemerintah dengan<br />

berbagi instansinya yang terkait, perlu bekerjasama dengan media untuk<br />

membuat program-program yang menghapuskan anggapan bahwa<br />

perempuanlah yang salah apabila terjadi perkosaaan atas dirinya.<br />

Mengapa perempuan yang salah, jika ia, demi kelangsungan hidupnya<br />

dan karirnya, sebagai seorang gadis harus bekerja hingga malam dan<br />

terpaksa pulang dengan bis yang merupakan satu-satunya alat angkutan<br />

menunu rumahnya, pada jalan yang karena kelalaian Pemda setempat,<br />

tidak diberi penerangan cukup sehingga menjadi sarang penjahat<br />

mencari mangsa?<br />

Kempat, Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait<br />

perlu memberikan sanksi hukum yang berefek jera dan mengkaji ulang<br />

dan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak memberikan efek<br />

maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Penanganan proses<br />

hukum terhadp korban juga diharapkan tidak diperpanjang, dibuat lama<br />

dan membuat kasus seakan-akan “diambangkan”. Dalam kaitan ini<br />

Pemerintah juga perlu melakukan kerjasama yang bersifat positif<br />

dengan media untuk menata model pemberitaan yang tidak<br />

menyebabkan korban perkosaan menjadi pihak yang terpojok atau “mati<br />

dua kali” karena pemberitaan mengenai kemalangannya justru<br />

diberitakan seperti halnya memberitakan gaya para selebritis untuk<br />

mencari popularitas. Hal ini justru memperburuk citra korban, lebihlebih<br />

kalau karena kelihaian tertentu di pihak pemerkosa dan<br />

pembelanya, si korban berhasil dibuat lebih terpuruk, bukan sekedar<br />

fisiknya namun lebih besar lagi, menderita kemalangan dari segi<br />

psikologis. Karena itu Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak<br />

13


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

peluang bagi kaum profesional psikologi dan psikiatri untuk ikut<br />

mengatasi permasalahan masyarakat yang diakibatkan oleh kekerasan,<br />

kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial yang makin marak<br />

saat ini.<br />

Kelima, Pemerintah juga perlu melakukan terobosan untuk<br />

mengatasi pola pikir keliru pada pihak laki-laki umumnya dalam<br />

melihat menilai jenis kelamin perempuan. Hal ini termasuk<br />

menghilangkan pola pikir kontroversial terhadap perempuan<br />

sebagaimana yang sering terjadi dewasa ini. Di satu pihak, perempuan<br />

dikatakan sebagai perlu dilindungi dan dihormati, tetapi dalam praktek,<br />

perempuan dianggap pembawa sial, najis, sehingga bersalaman pun<br />

tidak boleh dilakukan. Dalam lingkungan Indonesia yang sudah sejak<br />

dulu mengenal kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan<br />

akibat pengaruh-pengaruh berbagai macam nilai budaya yang diterima,<br />

berjabatan tangan tidak harus diartikan sebagai menuduh perempuan<br />

bersifat kotor. Justru yang sebenarnya kotor adalah pikiran laki-laki<br />

yang mencitrakan perempuan harus menutup seluruh tubuhnya oleh<br />

suami atau keluarganya yang laki-laki, namun di saat yang sama, sang<br />

laki-laki senang membuka situs pornografi dari gadget yang tersedia.<br />

Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, bisa pula seorang laki-laki<br />

memindah-mindahkan wajah perempuan cantik yang dikenalnya untuk<br />

ditaruh di atas tubuh perempuan tanpa busana dari situs pornografinya<br />

di gadget-nya dan berimaginasi yang kotor. Hal-hal semacam inilah<br />

yang bisa menjadi salah satu sumber kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan, dan tidak boleh dibiarkan, melainkan harus diberi sanksi.<br />

Penutup<br />

Sebagai penutup dapat dikemukakan di sini bahwa budaya patriarki<br />

telah menunjukkan bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman, dan<br />

itu dapat memberi peluang bagi maraknya kekerasan seksual.<br />

Berkenaan dengan itu, perempuan perlu mendapat informasi lebih<br />

banyak mengenai kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di masa<br />

kini, yang modusnya makin lama makin canggih.<br />

Selain itu diperlukan perubahan cara pandang dari para laki-laki<br />

terhadap perempuan yang berstatus janda, kesiapan laki-laki untuk<br />

bekerjasama dengan kaum perempuan dalam kehidupan keluarga yang<br />

dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keadilan gender, khususnya<br />

membangun kerjasama yang kuat antara suami-isteri dalam memahami<br />

tantangan masa kini bagi anak-anak mereka yang menghadapi tantangan<br />

14


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

berat dalam kehidupan moral, psikologis dan fisik mereka, di antaranya<br />

kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial.<br />

---0---<br />

15


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP KEKERASAN<br />

SEKSUAL<br />

Oleh: Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum.<br />

Pendahuluan<br />

Perspektif masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual,<br />

sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan moral masyarakat, yang<br />

dibentuk oleh tradisi, struktur budaya serta konstruksi sosial<br />

masyarakatnya. Atas dasar ini, maka untuk mengetahui corak berpikir<br />

suatu masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual, harus dicermati<br />

sistem budaya dan konstruksi sosial masyarakat tersebut, terutama yang<br />

terkait dengan cara pandang mereka terhadap perempuan. Ini penting,<br />

karena cara pandang inilah yang akan menentukan posisi dan peran<br />

perempuan dalam membangun relasi sosial.<br />

Sehubungan dengan hal ini, saya akan melihat beberapa data<br />

sejarah serta legenda dan mitos mengenai peran dan posisi perempuan.<br />

Dari sini saya akan melacak akar-akar sosial budaya yang<br />

mencerminkan corak berpikir suatu masyarakat terhadap kekerasan<br />

seksual. Sebelumnya, saya akan mengutarakan pengertian tentang<br />

kekerasan seksual secara sekilas.<br />

Kekerasan seksual, pada dasarnya adalah setiap bentuk<br />

perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau<br />

sejumlah orang, namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang<br />

yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:<br />

rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,<br />

kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi<br />

korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).<br />

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam<br />

Daldjoeni, 1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual<br />

atau kecendrungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik<br />

(kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan<br />

memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang<br />

laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.<br />

Dalam pelecehan seksual, terdapat unsur-unsur meliputi:<br />

1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual,<br />

2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan,<br />

3. Wujud perbuatan berupa fisik dan non fisik,<br />

4. Tidak ada kesukarelaan.<br />

Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan<br />

(misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan)<br />

merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa<br />

16


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itu<br />

menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang<br />

harus dihormati secara kolektif.<br />

Corak Berpikir Masyarakat Indonesia Terhadap Kekerasan Seksual<br />

Untuk melihat corak pikir masyarakat Indonesia terhadap<br />

kekerasan seksual, saya akan memaparkan beberapa legenda dan sejarah<br />

yang terkait dengan peran, posisi, dan fungsi perempuan dari beberapa<br />

etnis yang merepresentasikan perspektif Indonesia, yaitu Jawa, Sunda,<br />

Bugis, dan Batak.<br />

Ada beberapa legenda dan sejarah yang mencerminkan<br />

pandangan masyarakat terhadap perempuan. Misalnya, perempuan<br />

dijadikan sebagai alat untuk menaklukan lawan. Sebagai contoh: Kisah<br />

Ki Ageng Mangir, yang bisa ditaklukkan dan bahkan dibunuh oleh<br />

Panembahan Senopati dengan cara mengirimkan putrinya Rr.<br />

Pembayun untuk merayu Ki Ageng Mangir. Setelah terjadi perkawinan,<br />

maka Panembahan Senopati memanggil sang menantu untuk sowan.<br />

Dalam pesowanan inilah Ki Ageng Mangir ditaklukan dan dibunuh.<br />

Namun, sikap kaum ningrat Jawa terhadap perempuan yang<br />

kemudian membentuk kultur dan konstruksi sosial yang timpang dalam<br />

relasi sosial lelaki perempuan, merupakan cerminan dari pandangan<br />

kultur Jawa terhadap perempuan. Beberapa kitab Jawa memang<br />

berpandangan pejoratif terhadap perempuan, misalnya kitab Clokantara.<br />

Di dalam kitab ini perempuan di pandang dan diposisikan secara<br />

negatif: “… tiga ikang abener lakunya ring loka/ Iwirnya/ ikang Iwah/<br />

ikang Udwad/ ikang Janmastri/ Yeka kang telu/ wilut gatinya/ Yadin<br />

pweka nang stri hana satya budhinya/ dadi ikangtunjung tumuwuh ring<br />

cila/ …”(… ada tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu/ sungai/<br />

tanaman yang melata/ dan wanita/ ketiga-tiganya/ berbelit jalannya//<br />

jika ada wanita yang lurus budinya/ akan ada (bunga) tunjung tumbuh di<br />

batu).<br />

Pandangan yang sama juga diberikan oleh Kitab Nitisastra. Di<br />

sini perempuan dipandang sebagai sosok yang bermoral rendah: “…/<br />

mangkan ngling sang parameng sastra/ ana dyah bener atine/ yen ana<br />

gagak pingul/ lawan tunjung tuwuh ing curi/ kono ana wanudya/ atine<br />

rahayu/ kalingane ing sujana/ den prayitna yen pinarak ing pawestri/<br />

ywa kena manis ujar//” (…beginilah kata sang bijak dalam sastra:/<br />

(akan) ada wanita yang lurus hatinya/, jika ada (burung) gagak<br />

(berwarna) putih/, dan (bunga) tunjung tumbuh di batu/, bila di situ ada<br />

wanita (yang) hatinya baik/ kata orang pintar/ hati-hatilah apabila<br />

berhadapan (dengan) wanita tersebut/ jangan terpikat oleh kata<br />

manisnya/).<br />

Meskipun perempuan diposisikan secara rendah dibanding<br />

lelaki, namun secara umum kebudayaan Jawa memandang perempuan<br />

17


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sebagai makhluk suci dan mulia sebagaimana tercermin dalam legenda<br />

Dewi Sri, yang mencerminkan bagaimana kemuliaan wanita dalam<br />

kehidupan.<br />

Pandangan normatif-antropologis ini sejalan dengan<br />

konstruksi budaya masyarakat Batak. Dalam pandangan antropologis<br />

masyarakat Batak, perempuan dipandang sebagai sosok yang harus<br />

dihormati dan dimuliakan. Di kalangan masyarakat Batak Toba, peran<br />

dan posisi perempuan dikenal dengan istilah “isteri”, yang berarti<br />

pasangan sehati dan sejiwa, pendamping suami, melahirkan dan<br />

mendidik generasi penerus, membina kehidupan rumah tangga dan<br />

jalinan sosial masyarakat, serta sebagai wanita terhormat yang patut<br />

dihormati. (http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteridalam-budaya-batak-toba.html).<br />

Posisi mulia kaum perempuan dalam pandangan kultural<br />

masyarakat Batak ini juga bersumber dari mitologi Batak yang<br />

menyatakan bahwa asal usul manusia di bumi Batak adalah seorang<br />

perempuan, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea). Juga konsep<br />

dewata sebagai manusia pertama di Banua Ginjang (bumi Batak) yang<br />

melahirkan tiga wanita dengan fungsi masing-masing untuk menjaga<br />

kehidupan; Siboru Parmeme, pengunyah makanan untuk diberikan<br />

kepada anak kecil; Panturi, penasehat, memberikan pengajaran tentang<br />

sikap, budi pekerti dan etika; Parorot, penjaga, pelindung dan pengawas<br />

anak (http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukan-wanitadalam-suku-batak.html).<br />

Di kalangan masyarakat Bugis, perempuan juga mendapat<br />

posisi terhormat. Sebagaimana dinyatakan Maria Josephine:<br />

Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi. Hal itu<br />

dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalam<br />

naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut sosok Colliq<br />

Pujie, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-1<br />

yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga<br />

negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut<br />

berani (materru‟) dan bijaksana/ (malampe‟ nawa nawa).<br />

Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis<br />

adalah menjadi seorang ibu salehah, baik dan tulus (mancaji<br />

Indo ana tettong ridecengnge, tudang ripacingnge), menjadi<br />

penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligus<br />

mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segala<br />

kesulitan maupun perjuangan mengatasi segala hal (Mancaji<br />

pattaro tettong rilempu‟e punnai cirinna enrengngre lampu<br />

„Nawa-Nawa mmewai sibaliperri‟ waroanena Sappa „laleng<br />

atuong), menjadi kebanggan ayahnya, saudaranya dan<br />

suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji<br />

„siatutuiang siri na enrengnge banapatinna ritomatoanna,<br />

18


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

risilessureng macoana letih‟ ga riworoanena) (Maria<br />

Josephine Mantik, 2013)<br />

Apa yang disampaikan Maria ini juga sesuai dengan<br />

pandangan Rafles yang menyatakan: Ibu adalah jendela pertama bagi<br />

seorang bayi, dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir,<br />

Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada<br />

dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan<br />

dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu<br />

yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru. (Thomas Stamford<br />

Rafles, 2008).<br />

Dari pandangan kultural-antropologis ketiga etnis yang<br />

mewakili keberagaman masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwa<br />

secara normatif masyarakat Indonesia menempatkan posisi terhormat<br />

kepada kaum perempuan, seperti tercermin dalam berbagai mitos dan<br />

legenda yang ada di masyarakat Indonesia. Namun secara faktual, peran<br />

dan posisi perempuan yang terhormat dan mulia itu justru tidak terlihat.<br />

Sebaliknya perempuan justru ditempatkan pada posisi rendah dan<br />

dipandang sebelah mata sebagaimana tercermin dalam relasi dan<br />

konstruksi sosial yang timpang, ditandai dengan menguatnya budaya<br />

patriarkhi di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa dikatakan, telah<br />

terjadi sikap dan corak pemikiran yang ambigu di kalangan masyarakat<br />

Indonesia terhadap perempuan.<br />

Meski banyak berbicara soal perempuan, namun hampir tidak<br />

ditemukan wacana mengenai relasi seks dalam narasi masyarakat<br />

Nusantara. Ini terjadi karena secara umum masyarakat Indonesia<br />

beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan mulia, sehingga<br />

menjadi tabu untuk dibicarakan dalam wilayah publik. Sejauh<br />

penelurusan saya, hanya menemukan satu kitab/serat yang secara<br />

spesifik berbicara mengenai masalah hubungan seksual, yaitu Serat<br />

Centhini.<br />

Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat<br />

represif-feodalistik, dan berpandangan pejoratif terhadap perempuan,<br />

namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita<br />

bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama<br />

sastra dan tari (Otto Sukatno, 2001). Artinya corak pemikiran yang<br />

memandang rendah kaum perempuan ternyata tidak sebanding dengan<br />

sikap dan pandangan mereka terhadap perilaku seksual. Hubungan<br />

seksual tetap dipandang sebagai ekspresi seni dan puncak keindahan<br />

yang harus diberlakukan secara baik dan mulia.<br />

Paparan diatas menunjukkan bahwa seksualitas merupakan<br />

sesuatu yang mulia, oleh karenanya kekerasan seksual tetap dipandang<br />

sebagai suatu tindakan biadab yang menyimpang dan melanggar etika<br />

sosial. Bisa dikatakan bahwa meski secara sosial budaya masyarakat<br />

19


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Indonesia hidup dalam kultur patriarki dengan relasi yang timpang<br />

sehingga merugikan kaum perempuan, namun mereka berpandangan<br />

bahwa seksualitas adalah adalah sesuatu yang mulia dan sangat terkait<br />

dengan urusan moral. Artinya dalam corak pemikiran masyarakat<br />

Indonesia, kekerasan seksual tetap dipandang sebagai kejahatan dan<br />

penyimpangan yang harus ditolak.<br />

Kekerasan Seksual Dalam Pandangan Pancasila<br />

Pancasila adalah kristalisasi dan manifestasi dari nilai-nilai<br />

luhur bangsa Indonesia yang beragam. Artinya Pancasila merupakan<br />

perasan saripati dari nilai-nilai terbaik dari berbagai ragam kebudayaan<br />

yang dimiliki Bangsa Indonesia. Dengan demikian, mustahil Pancasila<br />

memuat sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai<br />

kemanusiaan.<br />

Nilai-nilai dasar kemanusiaan termaktub tersebut secara jelas<br />

dalam Pancasila, terutama sila ke-dua; “Kemanusiaan Yang Adil dan<br />

Beradab”. Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia<br />

diakui harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Adil pada hakekatnya adalah memberikan atau memperlakukan<br />

seseorang atau pihak lain sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Jadi,<br />

orang dikatakan bersikap dan bertindak adil kalau ia tidak melanggar<br />

hak orang lain, atau secara positif memberikan kepada orang lain apa<br />

yang menjadi haknya. Artinya perilaku tidak adil dan tidak beradab<br />

yang memberangus dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, itu<br />

bertentangan dengan Pancasila.<br />

Kekerasan seksual adalah tindakan pelecehan dan<br />

pemberangusan nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan seksual tidak hanya<br />

membuat luka fisik bagi korban, tetapi juga menghancurkan harkat dan<br />

martabat manusia yang menjadi korban. Dengan demikian jelas bahwa<br />

kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan<br />

Pancasila.<br />

Dalam kehidupan berbangsa yang plural, kekerasan seksual<br />

tidak saja menjadi ancaman terhadap nilai kemanusiaan, tetapi juga<br />

merupakan ancaman terhadap kehidupan berbangsa yang multikultural.<br />

Ini terjadi karena meskipun terjadi keberagaman budaya, namun<br />

terdapat kesamaan sikap dan pandangan terhadap tindakan kekerasan<br />

seksual. Semua elemen bangsa Indonesia yang plural ini sepakat, bahwa<br />

kekerasan seksual merupakan tindakan biadab yang melecehkan harkat<br />

kemanusiaan, sehingga menjadi musuh bersama bangsa Indonesia yang<br />

beragam.<br />

20


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kekerasan Seksual dalam Pemikiran Masyarakat Negara Lain<br />

Dalam hal ini saya hanya akan menyebut tiga Negara yang<br />

masing-masing memiliki pengaruh kuat dalam corak pikir masyarakat<br />

Indonesia, yaitu Arab, China, dan Amerika. Arab dan China memiliki<br />

pengaruh yang cukup kuat dalam kebudayaan dan pemikiran<br />

masyarakat Indonesia. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas<br />

masyarakat Indonesia, tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan Arab.<br />

Demikian pula interaksi sosial yang telah terjadi beberapa abad dengan<br />

bangsa China, membuat masyarakat tidak bisa lepas dari pengaruh<br />

China. Sementara itu kekuatan sosial politik dan intelektual Amerika<br />

yang ada di Indonesia, membuat bangsa ini sulit untuk keluar dari<br />

pengaruh Amerika.<br />

Dalam konstruksi sosial budaya masyarakat Arab, perempuan<br />

diposisikan sebagai manusia kelas dua dengan derajat yang lebih rendah<br />

dibanding lelaki. Hal ini tercermin dari model perkawinan yang<br />

dilakukan oleh Bangsa Arab sebelum datangnya Islam.<br />

Meski Islam sudah melakukan transformasi sosial yang<br />

radikal melalui revolusi teologi yang berhasil menghancurkan tradisi<br />

jahiliyah sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, tapi<br />

bias tradisi jahiliyah yang memandang rendah kaum perempuan itu,<br />

hidup lagi pada era modern, sebagaimana terlihat dalam berbagai aturan<br />

yang banyak mengekang kebebasan dan merugikan kaum perempuan.<br />

Pandangan pejoratif terhadap perempuan inilah yang kemudian<br />

melahirkan sikap dan pemikiran yang permisif terhadap tindakan<br />

kekerasan seksual dan cenderung menyalahkan perempuanjika terjadi<br />

tindakan kekerasan seksual.<br />

Corak pemikiran yang memandang relasi yang timpang antara<br />

lelaki dan perempuan juga terlihat dalam kebudayaan China yang<br />

bersumber dari ajaran Yin dan Yang. Ajaran ini memang berbicara<br />

tentang keseimbangan dan harmoni, namun jika dicermati lebih lanjut,<br />

terutama yang terkait dengan relasi lelaki dan perempuan, maka akan<br />

terlihat posisi yang timpang. Sebagaimana dikatakan Seeger, Yin<br />

merupakan unsur negatif seperti air, dingin, basah, pasif, gelap, bulan,<br />

dan bersifat perempuan, sedangkan Yang merupakan unsur positif<br />

seperti api, panas, kering, aktif, terang, matahari, dan bersifat laki-laki<br />

(Elizabeth Seeger, 1952).<br />

Menurut Lee Park, tatanan keseimbangan Yin dan Yang<br />

tersebut, menyiratkan bahwa kedudukan perempuan dalam tata hidup<br />

manusia harus di bawah dan rendah seperti bumi. Kedudukan<br />

perempuan yang inferior dilihat sebagai bagian hukum alam. Yin<br />

(bumi) dikuasai oleh Yang (langit). Keutamaan bagi seorang perempuan<br />

adalah mengalah dan lemah, pasif dan diam, sebagaimana halnya bumi.<br />

Hal itu berbeda dengan laki-laki yang harus aktif dan kuat, penuh<br />

inisiatif sebagaimana halnya langit atau surga. Namun demikian,<br />

21


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kedudukan laki-laki yang superior, tidak lengkap tanpa kehadiran<br />

perempuan sebagai lawan jenis yang saling mengisi (Sun Ai Lee Park,<br />

1992).<br />

Menurut Irwan Abdullah, dikotomi nature (alam) dan culture<br />

(budaya) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin, yang<br />

satu memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang<br />

mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih<br />

berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah<br />

mengakibatkan terjadinya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan<br />

perempuan (Irwan Abdullah, 1997).<br />

Berbeda dengan corak pemikiran Arab dan China yang<br />

diskriminatif terhadap perempuan, corak pemikiran masyarakat<br />

Amerika terhadap kekerasan perempuan sangat terkait dengan faham<br />

feminism yang berkembang di Negara tersebut. Elizabeth Cady<br />

merupakan tokoh feminis Amerika Serikat yang memprakarsai konvensi<br />

hak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Teks Declaration of<br />

Independence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration of<br />

Sentiments and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalam<br />

pertemuan bersejarah, yaitu Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca<br />

Falls pada 19 Juli 1848.<br />

Dia menegaskan bahwa “all the people” dalam konstitusi<br />

Negara Amerika berarti kaum perempuan sebagai manusia, termasuk di<br />

dalamnya. Pemikiran Elizabeth tentang otonomi perempuan sebagai<br />

individu, juga berdasarkan pada pemikiran individualisme liberal, tetapi<br />

ia tetap melihat bahwa perempuan merupakan suatu kolektivitas sosial<br />

yang harus bersatu dalam memperjuangkan kepentingan perempuan<br />

(Hadiz, 1998). Dengan cara pandang seperti ini, maka kekerasan<br />

seksual dalam corak pemikiran masyarakat Amerika, merupakan<br />

tindakan yang biadab, yang melecehkan nilai-nilai dan martabat<br />

kemanusiaan.<br />

Uraian di atas menunjukkan terjadinya perbedaan cara<br />

pandang terhadap posisi perempuan dalam konstruksi sosial budaya<br />

pada masing-masing Negara, yang pada ujungnya terjadi perbedaan<br />

dalam memandang kekerasan seksual. Di kalangan masyarakat Arab<br />

yang masih terdapat bias tradisi jahiliyah yang patriarkis, pandangan<br />

terhadap kekerasan seksual masih cenderung permisif dan menjadikan<br />

korban sebagai pihak yang salah, sekalipun secara normatif Islam<br />

sebagai agama yang dipeluk oleh masyarakat Arab, memberikan sanksi<br />

yang keras dan tegas, bahkan sangat berat kepada pelaku tindak<br />

kekerasan seksual. Sedangkan China, meskipun memandang adanya<br />

perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun memberikan<br />

hukuman yang berat kepada pelaku tindak kekerasan seksual.<br />

Pandangan masyarakat di kedua Negara ini berbeda dengan masyarakat<br />

Amerika yang sudah menerapkan kesetaraan dalam relasi lelaki<br />

22


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perempuan. Dengan cara pandang seperti ini, maka corak pemikiran<br />

masyarakat Amerika terhadap kekerasan seksual menjadi lebih sensitif<br />

dan tegas.<br />

Upaya Memahami Kekerasan Seksual<br />

Persoalan kekerasan seksual ternyata memiliki keterkaitan<br />

dengan persoalan kultur dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.<br />

Pada masyarakat yang memiliki hubungan sosial yang timpang antara<br />

lelaki dan perempuan, maka kekerasan seksual lebih mudah terjadi. Ini<br />

disebabkan karena masyarakat cenderung bersifat permisif terhadap<br />

tindakan kekerasan seksual. Dengan kata lain, kepekaan terhadap<br />

kekerasan seksual pada masyarakat yang patriarkis adalah rendah.<br />

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap<br />

kekerasan seksual, saya rasa ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu<br />

yuridis dan kultural. Cara yuridis yaitu dengan melakukan penegakan<br />

hukum formal terhadap pelaku tindak kekerasan seksual. Melalui cara<br />

ini, masyarakat akan melihat bahwa kekerasan seksual merupakan<br />

tindakan yang melanggar norma hukum, sehingga layak diberi hukuman<br />

yang berat. Selain itu, melalui penegakan hukum formal ini, akan<br />

mendorong para korban kejahatan seksual berani melapor, karena<br />

dengan cara ini mereka merasa mendapat perlindungan, baik terhadap<br />

hak, harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui jalur hukum.<br />

Cara kultural adalah melakukan sosialisasi mengenai<br />

kekerasan seksual melalui dialog langsung dari hati ke hati kepada<br />

berbagai pihak, khususnya kaum perempuan mengenai berbagai hal<br />

yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual, dan upaya-upaya<br />

untuk menanggulanginya. Pengalaman yang saya peroleh selama<br />

melakukan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan bersama<br />

Yayasan Puan Amal Hayati, rata-rata para korban mengalami syok dan<br />

depresi yang dalam. Mereka merasa malu untuk melaporkan hal<br />

tersebut kepada pihak lain/diketahui oleh orang lain. Kedua, seringkali<br />

korban yang melapor, justru diperlakukan/direndahkan harkat dan<br />

martabatnya. Ketiga, proses penanganan yang berbelit-belit dan<br />

melelahkan.<br />

Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, maka<br />

cara efektif yang bisa diterapkan kepada masyarakat Indonesia terhadap<br />

kekerasan seksual adalah mengubah pola pikir masyarakat serta pihakpihak<br />

yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari jeratan budaya<br />

patriarki melalui pendekatan dialog dari hati ke hati secara intensif.<br />

Cara seperti ini tidak hanya bisa mengubah pandangan dan pola pikir,<br />

tetapi juga membuat para korban memiliki tempat bersandar dan teman<br />

dialog yang terbuka untuk mengungkapkan berbagai persoalan. Dengan<br />

demikian mereka akan terbiasa mengungkapkan persoalan seksual yang<br />

dianggap tabu secara terbuka. Melalui cara-cara seperti ini maka akan<br />

23


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terbentuk pemahaman yang baik mengenai kekerasan seksual sehingga<br />

bisa meningkatkan kepekaan terhadap tindak kekerasan seksual.<br />

Pendekatan yuridis dan kultural ini harus dilakukan secara<br />

simultan. Pendekatan yuridis tanpa dibarengi degan pendekatan<br />

kultural, tidak akan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat<br />

terhadap kekerasan seksual. Tanpa pemahaman, tidak akan terjadi<br />

perubahan cara pandang yang bisa mengubah perilaku dan<br />

meningkatkan kepekaan. Demikian sebaliknya, kedua pendekatan ini<br />

harus berjalan secara bersamaan, dengan membentuk sinergi yang<br />

saling melengkapi. ****<br />

Daftar Pustaka<br />

Ade Siri Na Pesse. 2013, Adat Istiadat Suku Bugi<br />

http://blogerbugis.blogspot.com/2014/04/ adat-istiadat-suku bugisade-siri-na.html<br />

diakses 12 November 2014.<br />

Ali, K, 2000. Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja<br />

Grafindo Persada.<br />

Elizabeth Seeger, 1952, Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang,<br />

Terj.Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Djakarta, Gronigen: J.B. Wolters).<br />

Hadiz, Liza. 1998. “Teori Feminisme Radikal” dalam Jurnal<br />

Perempuan. Edisi 7, Mei-Juli. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.<br />

HJ De Graaf, Dr, 1987. Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta,<br />

Grafitipers, http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukanwanita-dalam-suku-batak.html,<br />

diakses pada 13 November 2014,<br />

http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteri-dalambudaya-batak-toba.html,<br />

diakses pada 13 November 2014.<br />

Irwan Abdullah, 1997, Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang<br />

Pencarian Identitas Perempuan, dalam Irwan Abdullah (ed.),<br />

Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

J.B. Mangun Wijaya, 2008, Roro Mendut, Jakarta, Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Maria Josephine Mantik, 2013, Gender Inequality dalam “Makkunrai”<br />

Karya Lily Yuliani Farid, http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/<br />

2013-01-34.pdf diakses 12 November 2014.<br />

Otto Sukatno CR, 2002, Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi<br />

Hedonisme Jawa, Yogyakarta, Bentang.<br />

Purwadi, 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.<br />

24


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Seri Dian. Kisah Dari Kampung Halaman. Dian: Jogjakarta.<br />

Sindhunata, 2007. Putri Cina, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.<br />

Suharndjati Suktri, Sri. Sofwan Ridin. Perempuan dan Seksualitas<br />

dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta, Gama Media.<br />

Sun Ai Lee Park, 1995, Konfusianisme dan Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan, dalam Th. Sumartana, dkk., Konfusianisme di<br />

Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Yogyakarta: Pustka Pelajar.<br />

Thomas Stamford Rafles, 2008. History of Java, Yogyakarta, Narasi).<br />

25


MAKALAH DELEGASI<br />

KOMISI 1: HUKUM MATERIIL


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN HUKUM MATERIIL MENGENAI KEKERASAN<br />

SEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

ABSTRAK<br />

Kekerasan seksual terhadap anak saat ini menjadi fenomena yang<br />

sedang ramai diperbincangkan oleh semua kalangan masyarakat.<br />

Berbagai pengaturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak<br />

ini seperti yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum<br />

Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />

Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang<br />

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Perdagangan Orang pada dasarnya telah mengatur tentang kekerasan<br />

seksual terhadap anak. Namun, pengaturan mengenai kekerasan<br />

seksual terhadap anak yang diatur didalam peraturan perundangundangan<br />

tersebut ternyata masih belum spesifik. Tidak adanya definisi<br />

kekerasan seksual serta tidak disebutkan secara jelas mengenai bentukbentuk<br />

kekerasan seksual didalam peraturan perundangan-undangan<br />

tersebut hanya merupakan segelintir masalah yang membuktikan bahwa<br />

masih terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-perundangan<br />

terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak. Maka melalui<br />

penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum<br />

primer dan sekunder dan tersier yang bertujuan untuk mencari solusi<br />

persoalan terhadap permasalahan yang ditemukan dalam peraturan<br />

perundang-undangan terkait dengan kekerasan seksual terhadap.<br />

Diperoleh kesimpulan bahwa solusi atas permasalahan-permasalahan<br />

yang ditemukan dalam peraturan perundangundangan mengenai<br />

kekerasan seksual terhadap anak tersebut ialah dengan meninjau<br />

kembali hukum materiil mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia.<br />

A. Latar Belakang<br />

Fenomena kekerasan seksual yang sedang marak saat ini telah<br />

menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan oleh berbagai<br />

kalangan masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual seperti kasus<br />

JIS (Jakarta International School) dan kasus Emon menunjukkan<br />

bahwa anak telah menjadi sasaran utama dalam tindak kekerasan<br />

seksual.<br />

26


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang patut<br />

dijunjung tinggi. Konsideran menimbang UU Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah tunas,<br />

potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,<br />

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang<br />

menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.<br />

Namun melihat realita yang terjadi saat ini, maraknya tindak kekerasan<br />

seksual terhadap anak tentunya menjadi hal yang patut dikhawatirkan.<br />

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat laporan<br />

tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai Januari-April<br />

2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak kasus terjadi di<br />

lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait<br />

menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak 3.339<br />

kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />

kejahatan seksual. 2 Namun tidak semua tindak kekerasan seksual itu<br />

dilaporkan, sehingga diperkirakan jumlah tindak kekerasan seksual,<br />

terutama tindak kekerasan seksual terhadap anak lebih besar dari jumlah<br />

yang telah disebutkan tersebut.<br />

Perlu dilihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatan<br />

fisik namun juga merupakan kejahatan psikis. Anak-anak yang menjadi<br />

korban kekerasan seksual akan mengalami tekanan psikologis yang<br />

sangat besar yang tentunya akan berpengaruh terhadap tumbuh<br />

kembang sang anak itu sendiri. Tidak hanya itu, anak sebagai korban<br />

kekerasan seksual akan mengalami dampak buruk yang<br />

berkepanjangan, seperti trauma, kehilangan kepercayaan diri, atau<br />

bahkan akan mengisolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya, serta<br />

bukan tidak mungkin korban juga akan dipandang buruk didalam<br />

masyarakat. Oleh karena dampak yang ditimbulkan bagi anak sebagai<br />

korban kekerasan seksual sangat besar, maka perlu adanya pengaturan<br />

khusus demi menjamin keberlangsungan hidup anak yang menjadi<br />

korban kekerasan seksual. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3)<br />

UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara<br />

hukum, yang salah satu cirinya adalah legalitas dalam arti hukum, maka<br />

baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus<br />

berdasar atas dan melalui hukum. 3 Konsekuensi lainnya ialah setiap<br />

peraturan yang mengatur satu perbuatan harus dirumuskan secara tegas<br />

2 Wahyu Aji, Komnas Anak: 2014, Kekerasan Seksual Paling Tinggi<br />

Terjadi di Sekolah, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/<br />

2014/05/12/komnas-anak-2014-kekerasanseksual-paling-tinggi-terjadi-disekolah,<br />

pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />

3 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-<br />

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2010), hlm. 46.<br />

27


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan jelas agar tercapai kepastian hukum, di samping terpenuhinya rasa<br />

keadilan dan kemanfaatan. Terkait tindakan kekerasan seksual terhadap<br />

anak UUD 1945 pada pasal 28B ayat (2) telah menyatakan bahwa setiap<br />

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta<br />

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudian<br />

juga telah dibentuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang<br />

anak dari berbagai aspek, yang merupakan lex specialis dari KUHP<br />

seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13<br />

Tahun 2006 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.<br />

Menyikapi permasalahan-permasalahan yang muncul seputar<br />

anak dan perlindungannya terhadap kekerasan seksual, maka perlu<br />

kiranya untuk mengetahui dan membahas mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak tersebut dari aspek regulasinya secara lebih dalam<br />

makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual Terhadap Anak Di Indonesia”.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Kekerasan dan Kekerasan Seksual<br />

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku,<br />

baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat<br />

menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai<br />

penggunaan kekuatan kepada orang lain. 4 Pengertian kekerasan tedapat<br />

dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu terdapat didalam pasal 1<br />

angka 11 yang berbunyi sebagai berikut:<br />

“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum,<br />

dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis<br />

yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan<br />

terampasnya kemerdekaan seseorang.”<br />

Kemudian disebutkan pula di dalam penjelasan pasal 13<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

bahwa perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan<br />

melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi<br />

juga mental dan sosial. Kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk<br />

kekerasan adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual baik telah<br />

terjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan<br />

4 Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (2002), hlm. 11.<br />

28


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

antara pelaku dengan korban. 5 Ada 15 jenis kekerasan seksual yang<br />

ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15<br />

tahun (1998 –2013), yaitu: 6 perkosaan, intimidasi seksual termasuk<br />

ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi<br />

seksual , perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa,<br />

perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,<br />

pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan<br />

sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan<br />

bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang<br />

membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol sosial,<br />

termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.<br />

2. Anak dan Hak-hak Anak<br />

Mengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention n<br />

the Right Of The Child), maka definisi anak berarti setiap manusia<br />

dibawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku<br />

pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. 7 Konvensi Hak Anak<br />

(Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh Majelis<br />

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November<br />

1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force)<br />

pada tanggal 2 September 1990. 8 Konvensi Hak Anak ini merupakan<br />

sebuah perjanjian internasional mengenai hak-hak serta perlindungan<br />

terhadap anak.<br />

Didalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the<br />

Child) yang keseluruhannya terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal,<br />

mengelompokkan 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: 9<br />

1) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)<br />

2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights<br />

3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)<br />

4) Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)<br />

Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB telah<br />

meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun<br />

1990, sehingga Indonesia telah mengikat diri untuk melaksanakan<br />

5<br />

Pengertian Umum Tentang Kekerasan, diakses dari<br />

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf pada<br />

tanggal 6 Oktober 2014.<br />

6<br />

Komnas Perempuan, 15 Jenis Kekerasan Seksual, diakses dari<br />

htp://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis-<br />

Kekerasan-Seksual_2013.pdf pada tanggal 6Oktober 2014.<br />

7 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (2013), hlm. 10.<br />

8<br />

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum<br />

Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (1999), hlm. 29.<br />

9 Ibid, hlm. 35.<br />

29


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

konvensi tersebut. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah<br />

dalam memberikan perlindungan terhadap anak, dibentuklah undangundang<br />

khusus mengenai perlindungan anak, yaitu Undang-undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Didalam UU<br />

Perlindungan Anak tersebut juga disebutkan hak-hak serta perlindungan<br />

terhadap anak, dengan tidak terlepas pada prinsip-prinsip perlindungan<br />

anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak<br />

untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan<br />

terhadap pendapat anak.<br />

UU Perlindungan Anak juga menyertakan ketentuan pidana<br />

bagi yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Ketentuan<br />

pidana tersebut tentunya tetap berdasarkan asas legalitas. Asas legalitas<br />

dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat KUHP yang<br />

berbunyi sebagai berikut:<br />

“(1)Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan<br />

pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan<br />

dilakukan.” Asas legalitas ini kemudian yang menjadi suatu “hoeksteen”<br />

(poros di ujung) 10 dalam hukum pidana. Dengan perkataan lain, tidak<br />

boleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum diterapkan bahwa<br />

pelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat<br />

merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan<br />

peraturan tersebut, walaupun peraturannya telah lewat, atau boleh<br />

dikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut.<br />

Selain diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak, terdapat pengaturan khusus lainnya<br />

mengenai perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun<br />

2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan<br />

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang.<br />

3. Hasil Riset<br />

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat<br />

laporan tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai<br />

Januari-April 2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak<br />

kasus terjadi di lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka<br />

Sirait menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak<br />

3.339 kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />

kejahatan seksual. Dirinya memprediksi untuk tahun 2014 tingkat<br />

kejahatan seksual akan meningkat. 15 Tampaknya prediksi sebagaimana<br />

yang dikemukakan Arist menjadi kenyataan mengingat kasus kekerasan<br />

seksual terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2011,<br />

10 Utrecht, E. Djindang, dan Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum<br />

Indonesia, (1989),hlm. 388.<br />

30


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ada 2.509 kasus, 62 persen merupakan kekerasan seksual dan sisanya<br />

kekerasan terhadap fisik hingga mengakibatkan meninggal. Sementara<br />

2012, dalam 1 semester ada 1.876 kasus, ada 68 persen kekerasan<br />

seksual dan sisanya kekerasan fisik. 11 Selain itu, data POLRI 2014<br />

mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di<br />

separuh tahun 2104. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap<br />

dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI dari<br />

bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan<br />

terhadap anak. 12<br />

Berdasarkan data-data tersebut diatas terlihat bahwa tindak<br />

kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. Hukum<br />

positif Indonesia pun telah memberikan pengaturan yang cukup bagus<br />

terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak, yaitu terdapat<br />

didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan<br />

Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 21<br />

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,<br />

namun masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya. Berdasarkan<br />

analisis penulis, ternyata pengaturan khusus tersebut masih masih<br />

terdapat kekurangan terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap<br />

anak. Kekurangan tersebut antara lain tidak adanya definisi khusus<br />

kekerasan seksual serta kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak, serta adanya ketidaksesuaian ancaman<br />

pidana terhadap jenis tindak kekerasan seksual terhadap anak. Dengan<br />

demikian terlihat bahwa pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak perlu dikaji ulang mengingat masih terdapat kekurangankekurangan<br />

dalam pengaturan khusus tersebut.<br />

C. Pengaturan Mengenai Kekerasan Seksual terhadap Anak<br />

Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia<br />

Sebagaimana diketahui, KUHP tidak mengenal istilah<br />

kekerasan seksual dalam pasal-pasalnya, baik terhadap anak maupun<br />

terhadap orang dewasa. KUHP meletakkan pengaturan mengenai halhal<br />

tersebut pada Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.<br />

Khusus tindak kejahatan kesusilaan terhadap anak diatur pada Pasal<br />

287, 290 angka 2 dan 3, 292, 293, 294, dan 295. Namun, dari sederet<br />

pasal-pasal tersebut, tidak ditemui bentuk kejahatan kesusilaan lain<br />

11<br />

Arif Bambani Amri dan Siti Ruqoyah,Komnas PA: Angka<br />

Kekerasan Seksual Anak Meningkat, diakses dari<br />

http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnas-pa--angkakekerasanseksual-anak-meningkat<br />

pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />

12 Arbi, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, diakses dari<br />

http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-Darurat-<br />

Kejahatan-Seksual-Anak. pada tanggal 9Oktober 2014.<br />

31


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kecuali perkosaan dan pencabulan. Dengan kata lain, KUHP<br />

mengkategorikan kejahatan terhadap kesusilaan hanya terbatas pada<br />

tindak perkosaan dan pencabulan saja yang pengertian dan<br />

penjelasannya pun sangat terbatas. Berangkat dari permasalahan<br />

tersebut, maka dibentuklah peraturanperaturan lain di luar KUHP yang<br />

secara khusus untuk menutupi kekurangankekurangan yang terdapat<br />

pada KUHP dan turut menjadi payung hukum terkait perkembangan<br />

tindak kekerasan seksual terhadap anak yang belum terakomodir di<br />

dalam KUHP. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:<br />

a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak<br />

Bentuk perlindungan terhadap anak dari kekerasan dituangkan<br />

dalam komitmen perlindungan sebagaimana ditegaskan padapasal<br />

59 yang menyatakan bahwa:<br />

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan<br />

bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada<br />

anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,<br />

anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi<br />

secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak<br />

yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,<br />

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban<br />

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan<br />

baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak<br />

korban perlakuan salah dan penelantaran.”<br />

Pasal tersebut mempunyai arti bahwa pemerintah dan lembaga<br />

lainnya mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan<br />

khusus terhadap anak dalam kondisi tertentu, salah satunya terhadap<br />

anak yang berhadapan dengan hukum.Anak yang berhadapan<br />

dengan hukum ini meliputi anak yang berkonflik dengan hukum<br />

dan anak korban tindak pidana. Terhadap anak korban tindak<br />

pidana, termasuk anak korban tindak pidana kekerasan seksual<br />

dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 69 ayat yang berbunyi:<br />

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan<br />

sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi<br />

kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui<br />

upaya:<br />

a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang melindungi anak korban<br />

tindak kekerasan; dan<br />

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.<br />

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,<br />

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />

melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />

(1)”<br />

32


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pasal tersebut mengkategorikan kekerasan sebagaimana menjadi 3<br />

(tiga) macam, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kemudian<br />

pasal tersebut juga mencantumkan upaya yang dilakukan terhadap<br />

anak korban kekerasan serta memberikan larangan untuk<br />

membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />

melakukan kekerasan.<br />

Selain memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada<br />

pemerintah, undang-undang ini juga memberikan hak kepada anak<br />

untuk mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali, atau pihak<br />

lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya,<br />

termasuk perlindungan dari kekerasan seksual sebagaimana yang<br />

tercantum dalam pasal 13 ayat (1).<br />

b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Pada UU ini pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak<br />

tidak seluas pengaturan kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

terdapat pada UU Perlindungan Anak. Hal itu karena undangundang<br />

ini hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga. Namun,<br />

walaupun demikian pengaturan mengenai kekerasan seksual pada<br />

undang-undang ini begitu tegas dituangkan dalam pasal-pasalnya.<br />

Seperti pada pasal 5 yang berbunyi:<br />

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah<br />

tangga terhadap orangdalam lingkup rumah tangganya,<br />

dengan cara:<br />

a. kekerasan fisik;<br />

b. kekerasan psikis;<br />

c. kekerasan seksual; atau<br />

d. penelantaran rumah tangga”<br />

Pasal inimemberikan larangan kepada setiap orang untuk<br />

melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam<br />

lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan<br />

psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.<br />

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 tersebut<br />

juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Pengaturan<br />

mengenai kekerasan seksual tersebut juga dijelaskan kembali pada<br />

pasal 8 yang mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang<br />

terkategori sebagai kekerasan seksual dalam undang-undang ini,<br />

yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang<br />

yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan<br />

hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah<br />

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan<br />

33


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tertentu.Selain itu, pada bagian penjelasan pasal 8 tersebut<br />

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah<br />

setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,<br />

pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau<br />

tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain<br />

untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.<br />

c) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang<br />

Berbeda dengan peraturan-peraturan khusus sebelumnya, UU<br />

Perdagangan Orang tidak mengenal istilah kekerasan seksual secara<br />

eksplisit dalam pasal-pasalnya. Namun pada UU ini ditemui istilah<br />

eksploitasi seksual yang dijelaskan pada pasal 1 angka 8 yang<br />

berbunyi sebagai berikut: “Eksploitasi seksual adalah segala<br />

bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain<br />

dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak<br />

terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.”<br />

Meskipun tidak menggunakan istilah kekerasan seksual tetapi<br />

istilah eksploitasi seksual dalam UU ini telah merujuk kepada<br />

maksud dari istilah kekerasan seksual, kekerasan seksual yang<br />

dimaksud dalam UU ini tidak hanya terbatas pada perkosaan dan<br />

pencabulan saja, diman hal tersebut dapat terlihat dari penggunaaan<br />

frasa “tidak terbatas pada” dan frasa “segala bentuk pemanfaatan<br />

organ tubuh seksual atau organ tubuh lain” pada istilah eksploitasi<br />

seksual dari ketentuan pasal 1 butir 7 dan 8 tersebut.<br />

Didalam undang-undang ini mengatur mengatur mengenai<br />

kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anak<br />

melalui pasal 12 yang menyatakan bahwa:<br />

“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban<br />

tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan<br />

persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak<br />

pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana<br />

perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau<br />

mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan<br />

orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”<br />

Inti dari pasal tersebut ialah adanya sanksi pidana bagi setiap orang<br />

yang memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang,<br />

termasuk anak sebagai korban. Pasal tersebut juga menyebutkan<br />

perbuatan yang termasuk kedalam tindak kekerasan seksual, yaitu<br />

melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.Kemudiandidalam<br />

pasal 17 disebutkan pula adanya penambahan 1/3 (sepertiga)<br />

ancaman pidana terhadap pasal 2, pasal 3, dan pasal 4. Penambahan<br />

34


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1/3 (sepertiga) tersebut dilakukan apabila perbuatan sebagaimana<br />

yang disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan<br />

terhadap anak.<br />

D. Kekurangan yang Terdapat dalam Pengaturan Mengenai<br />

Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesia<br />

a) Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />

mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak:<br />

Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak, tidak disebutkan definisi kekerasan<br />

seksual. Dalam undang-undang tersebut hanya mencantumkan<br />

perbuatan yang masuk kategori kekerasan seksual, yaitu<br />

persetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dalam pasal 81<br />

UU Perlindungan Anak.Perbuatan-perbuatan lainnya seperti<br />

tindakan mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual<br />

tidak secara eksplisit dikatakan sebagai kekerasan seksual.<br />

Begitu pula tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />

kepada anak juga bukan merupakan bagian dari kekerasan<br />

seksual karena tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />

kepada anak termasuk dalam pengertian frasa “perlakuan salah”<br />

yang juga terpisah dari frasa “anak korban kekerasan baik fisik<br />

dan/atau mental”, seperti yang dijelaskan pada bagian<br />

penjelasan pasal 13 ayat (1) huruf f berikut ini: “Perlakuan<br />

salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan<br />

tidak senonoh kepada anak.”<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tanggalebih terspesifikasi. Pada<br />

pasal 8 UU KDRT terdapat penjelasan mengenai pengertian<br />

kekerasan seksual beserta pengelompokan tindakan yang masuk<br />

kriteria kekerasan seksual, namun ruang lingkup keberlakuan<br />

kekerasan seksual terhadap anak dalam UU KDRT sangat<br />

sempit karena hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga saja.<br />

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orangmemang tidak mengenal<br />

istilah kekerasan seksual tetapi terdapat istilah seperti<br />

eksploitasi dan eksploitasi seksual yang maknanya merujuk<br />

pada kekerasan seksual.<br />

b)Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan delik kekerasan seksual<br />

terhadap anak<br />

<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak pada pasal 88 disebutkan bahwa: “Setiap orang yang<br />

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud<br />

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana<br />

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />

35


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

<br />

<br />

<br />

dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus<br />

juta rupiah).”<br />

Jika pasal tersebut dibandingkan dengan pasal-pasal lain pada<br />

UU Perlindungan Anak seperti pasal 81, pasal 82, pasal 83, dan<br />

pasal 84 yang masing-masing mengatur perbuatan yang berbeda<br />

maka akan didapati perbedaan pada ancaman pidananya.<br />

Ancaman pidana pada pasal 81, 82, 83, dan 84 yaitu pidana<br />

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />

ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />

puluh juta rupiah). Sedangkan ancaman pidana pada pasal 88<br />

eksploitasi anak secara seksual hanya pidana penjara paling<br />

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak<br />

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tanpa terdapat batasan<br />

pidana minimum seperti pada pasal-pasal sebelumnya.<br />

Ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal88<br />

tersebut dirasa tidak sesuai, karena frasa “eksploitasi anak<br />

secara seksual” memiliki cakupan yang lebih luas, namun<br />

ancaman yang diberikan justru lebih kecil.<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga terdapat ketidaksesuaian<br />

ancaman pidana, yaitu pada pasal 46 dan pasal 47. Pasal 46<br />

tidak mencantumkan pidana minimum, sedangkan di pasal 47<br />

dicantumkan pidana minimum.<br />

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orangmenganggap tindakan<br />

mengeksploitasi anak secara seksual lebih ringan tingkat<br />

kejahatannya daripada persetubuhan, pencabulan, perdagangan,<br />

atau tindakan translpantasi organ terhadap anak.<br />

E. Solusi<br />

Berdasarkan uraian di atas telah diketahui bahwa terdapat<br />

permasalahan dalam pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak di Indonesia sehingga mengakibatkan pengaturan<br />

mengenai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perbaikan ulang terhadap<br />

pengaturan khusus terkait kekerasan seksual terhadap anak tersebut<br />

sangat penting untuk segera dilakukan. Berikut formulasi perbaikan<br />

tersebut:<br />

1. Merumuskan definisi kekerasan seksual dan kriteria-keriteria<br />

perbuatan yang termasuk sebagai tindak kekerasan seksual secara<br />

ekplisit dan terstruktur pada setiap pengaturan khusus yang terkait<br />

dengan kekerasan seksual. Misalnya memasukan tindakan<br />

eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual dan tindakan<br />

pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak ke dalam<br />

36


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pengertian dan kriteria kekerasan seksual pada UU Perlindungan<br />

Anak;.<br />

2. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan. Misalnya ancaman pidana terhadap tindakan<br />

mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual seperti pada<br />

pasal 88 UU tentang Perlindungan Anak harus memuat ancaman<br />

pidana yang lebih berat daripada ancaman pidana terhadap tindak<br />

kekerasan seksual yang lainnya, seperti persetubuhan, pencabulan,<br />

dan sebagainya, serta harus memiliki pidana minimum di atas pidana<br />

minimum kekerasan seksual yang lainnya.<br />

F. Kesimpulan dan Saran<br />

Tindak kekerasan seksual terhadap anak telah cukup baik diatur<br />

dalam hukum positif Indonesia.Peraturan-peraturan khusus yang<br />

mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak, seperti Undang-<br />

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-<br />

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan<br />

bukti dari keseriusan Pemerintah terhadap tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak. Namun didalam pengaturan tersebut, masih terdapat<br />

beberapa kekurangan sehingga peraturan mengenai kekerasan seksual,<br />

terutama terhadap anak, menjadi bias dan tidak tegas. Kekurangankekurangan<br />

tersebut ialah sebagai berikut:<br />

1. Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />

mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak;<br />

2. Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan terhadap anak.<br />

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya suatu formulasi<br />

perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentang<br />

kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Berikut formulasi<br />

perbaikan tersebut :<br />

1. Merumuskan definisi kekerasan seksual terhadap anak secara<br />

ekplisit pada setiap peraturan yang terkait dengan kekerasan seksual<br />

terhadap anak;<br />

2. Merumuskan kriteria-keriteria perbuatan yang termasuk sebagai<br />

tindak kekerasan seksual terhadap anak secara jelas dan tegas, serta<br />

sistematis;<br />

3. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan.<br />

Pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia ternyata belum mampu mengatur perihal kekerasan seksual<br />

37


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terhadap anak secara menyeluruh.Masih terdapatnya kekurangankekurangan<br />

pada peraturan-peraturan khusus terkait kekerasan seksual<br />

terhadap anak menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut belum<br />

memberikan jaminan hukum secara maksimal kepada anak dari tindak<br />

kekerasan seksual yang terjadi. Sehingga dalam hal ini perlu adanya<br />

tindakan-tindakan nyata dari pembuat undang-undang dalam hal<br />

memperbaiki aturan-aturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap<br />

anak.<br />

Selain itu, sangat perlu untuk terus mengkaji dan meninjau<br />

kembali peraturan-peraturan terkait kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia agar kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang<br />

terdapat pada peraturanperaturan tersebut dapat segera diketahui dan<br />

diantisipasi dengan tindakan-tindakan yang diperlukan agar jaminan<br />

hukum kepada anak dari tindakan kekerasan seksual tidak tergadaikan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1989. Pengantar Dalam Hukum<br />

Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />

Kitab Undang-undang Hukum PidanaIndonesia<br />

M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar<br />

Grafika<br />

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek<br />

HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak<br />

Anak.Bandung:Citra Aditya Bakti.<br />

Peter Mahmud M. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.<br />

Suratman,Philips Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung:<br />

Alfabeta.<br />

Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana. Jakarta: Rajagrafindo Persada.<br />

Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia<br />

Indonesia.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang.<br />

38


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-<br />

DaruratKejahatan-Seksual-Anak.<br />

http://www.m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51481064f40f/asaslegalitas,kebebasa-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidahyurisprudensi.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-<br />

JenisKekerasan-Seksual_2013.pdf.<br />

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf.<br />

http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnaspa--angkakekerasan-seksual-anak-meningkat.<br />

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/12/komnas-anak2014-<br />

kekerasan-seksual-paling-tinggi-terjadi-di-sekolah.<br />

39


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL<br />

TERHADAP PEREMPUAN<br />

Oleh: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 1)<br />

Abstrak<br />

Masalah tindak pidana perkosaan memiliki dimensi yang sangat luas<br />

tidak hanya terbatas pada persoalan hukum saja. Faktor kultur<br />

masyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan perkembngan<br />

kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Faktor kultural ini<br />

ternyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum<br />

disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuat<br />

ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya.<br />

Melalui penelitian ini diharapkan bisa ditelaah secara kritis tinjauan<br />

hukum materiil tentang kekerasan seksual dan perkosaan dalam hukum<br />

pidana positif di Indonesia yaitu khususnya untuk implementasinya<br />

terhadap tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukum<br />

pidana dalam KUHP telah menjadi hukum yang baik yang mampu<br />

mewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan kedamaian dan<br />

mencari kebenaran serta keadilan? Konklusi dan solusi seperti apa<br />

yang bisa diajukan untuk mengatasi persoalan dalam tindak pidana<br />

perkosaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab<br />

melalui penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian<br />

hukum normatif dengan teknik pendekatan (analisis) kualitatif.<br />

Meskipun berpijak pada wilayah hukum yang normatif namun segi-segi<br />

yuridis sosiologis dan yuridis filosofis turut dipergunakan untuk<br />

mendukung dan memperluas serta memperdalam pembahasan yang<br />

dilakukan.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kekerasan merupakan isu utama di seluruh dunia, baik di<br />

negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Bisa<br />

dikatakan kekerasan seksual mengalami perkembangan yang terus<br />

meningkat dari tahun ke tahun. Perbincangan tentang kekerasan pada<br />

anak dan perempuan telah berkembang dan tidak hanya menjadi suatu<br />

pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial.<br />

Permulaan Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dan perempuan<br />

masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.<br />

Berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun penulis dari berbagai<br />

sumber, terbukti bahwa kasus kekerasan pada anak dan perempuan di<br />

Indonesia kini mengalami peningkatan. Terhitung sejak tahun 2010<br />

hingga saat ini di Sumatera Utara khususnya, kasus kekerasan terhadap<br />

40


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

anak di Sumatera Utara pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yang<br />

terjadi di 23 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335<br />

kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak.<br />

Hal ini telah menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan<br />

ditanggulangi. Ada beberapa sebab yang berkaitan dengan hal ini,<br />

diantaranya:<br />

1. Persoalan hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagai<br />

persoalan sosial. Sehingga kekerasan terhadap anak dan<br />

perempuan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran<br />

hak asasi manusia.<br />

2. Persepsi masyarakat tidak terkecuali masyarakat perempuan<br />

sendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas pada<br />

kekerasan fisik (perkosaan).<br />

3. Kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah<br />

antarindividu dan belum dipandang sebagai masalah yang<br />

berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman,<br />

dan pengabaian hak-hak anak dan perempuan sebagai makhluk<br />

Tuhan.<br />

4. Ada gejala sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat<br />

bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai sebab yang<br />

dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.<br />

B. Pengertian Tindak Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa<br />

pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak<br />

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan<br />

komersil dan atau tujuan tertentu.<br />

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />

salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan<br />

kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan<br />

atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau<br />

kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian<br />

psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 1<br />

Tindakan kekerasan seksual atau persetubuhan yaitu<br />

memasukkan kemaluan si pria ke dalam kemaluan si wanita sedemikian<br />

rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan.<br />

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis<br />

penganiayaan yang biasanya dibagi dalam 2 (dua) kategori berdasarkan<br />

identitas pelaku, yaitu:<br />

1 Samituti S dan Bangong Suyanto, dkk, Anak Jalanan di Jawa Timur<br />

(Masalah dan Upaya Penanganannya), (Surabaya: Airlangga University<br />

Press, 1999).<br />

41


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. Familial Abuse<br />

Familial Abuse merupakan sexual abuse yang masih dalam<br />

hubungan darah dan juga menjadi bagian dalam keluarga inti.<br />

Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri<br />

atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.<br />

2. Extrafamilial Abuse<br />

Extrafamilial Abuse adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang<br />

lain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh<br />

orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya<br />

adalah anak-anak.<br />

Kejahatan kekerasan termasuk salah satu dari 4 pola<br />

kejahatan (kejahatan kekerasan, ekonomi, seksual, dan politik).<br />

Kejahatan kekerasan terdiri dari keselamatan jiwa, penganiayaan,<br />

penculikan dan pembunuhan. 2<br />

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Kekerasan Seksual<br />

Dalam setiap tindak kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktor<br />

pendorong serta latar belakang terjadinya sebuah tindak kejahatan,<br />

maka pada kasus kekerasan seksual di Indonesia juga terdapat beberapa<br />

faktor yang menjadi alasan terjadinya tindak kekerasan seksual<br />

diantaranya: 3<br />

1. Faktor Sosial<br />

Perihal yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan seksual<br />

adalah pergeseran nilai-nilai sosial dimasyarakat. Nilai-nilai etika<br />

dan moral yang sebelumnya dipegang masyarakat sudah tidak lagi<br />

dianggap. Dengan demikian, tidak ada lagi patokan-patokan yang<br />

menentukan suatu hal boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,<br />

patokan baik dan buruk di kalangan masyarakat menyebabkan<br />

setiap orang saling tidak peduli terhadap perbuatan orang lain.<br />

2. Faktor Pendidikan<br />

Minimnya tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi<br />

mindset seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan,<br />

termasuk dalam hal ini adalah tindak kekerasan seksual.<br />

3. Faktor Lingkungan<br />

Lingkungan sebagai faktor terpenting dan mendasar dari kehidupan<br />

manusia yang berperan besar dalam pembentukan karakter<br />

seseorang. Sehingga potensi seseorang dalam melakukan kekerasan<br />

seksual juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.<br />

2 Dirjosisworo, dalam M. Hamdan, dkk,Persepsi Masyarakat Tentang<br />

Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan<br />

Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (1997), hlm. 9.<br />

3 A. Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Malang: Refika Aditama,<br />

2001), hlm.70.<br />

42


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. Faktor Psikologis<br />

Psikologis seseorang dapat menjadi salah satu faktor terjadinya<br />

tindak kekerasan seksual. Dalam hal ini pengaruh ataupun kejadian<br />

yang pernah dialami oleh seorang korban pelecehan kekerasan<br />

seksual, berpotensi mempengaruhi psikologisnya sehingga<br />

melakukan hal yang serupa.<br />

5. Faktor Calon Korban<br />

Perlu diketahui bahwa yang mempengaruhi terjadinya suatu tindak<br />

kekerasan seksual, tidak hanya faktor-faktor pelaku kejahatan saja,<br />

akan tetapi faktor calon korban kekerasan seksual juga<br />

mempengaruhi terjadinya suatu tindak kejahatan, karena setiap<br />

perbuatan manusia adalah suatu hasil interaksi akibat adanya<br />

interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.<br />

D. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan<br />

1. Berdasarkan KUHP<br />

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />

praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual<br />

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />

korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan<br />

perlindungan yang istimewa.<br />

Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan<br />

menjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang<br />

diatur dalam pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul<br />

yang diatur dalam pasal 289.<br />

Pasal 285 KUHP berbunyi :<br />

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar<br />

perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 4<br />

2. Berdasarkan Konsep KUHP<br />

Konsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan<br />

kesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHP<br />

mengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul<br />

“Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”.<br />

Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral sematamata<br />

(moral offence). Di dalamnya juga mencakup masalah anger and<br />

violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran<br />

terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita.<br />

4 R. Soenarto Soerocibroto, KUHP dan KUHAP, Cet. 5, (Jakarta: Raja<br />

Grafindo Persada, 2003), pasal 285 KUHP.<br />

43


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Oleh sebab itu, pengertian perkosaan (modern) tidak lagi<br />

difokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual, tetapi diperluas<br />

sehingga mencakup beberapa hal, yaitu: 5<br />

a. Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan<br />

kehendak wanita yang disetubuhi;<br />

b. Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak<br />

sadar);<br />

c. Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itu<br />

dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;<br />

d. Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya<br />

bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini<br />

ada unsur penipuan atau penyesatan;<br />

e. Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawah<br />

empat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.<br />

Beberapa hal yang membedakan konsep tindak pidana<br />

perkosaan menurut konsep KUHP dengan KUHP yaitu:<br />

a. bahwa untuk adanya tindak pidana perkosaan tidak harus ada<br />

kekerasan, yang harus ada adalah adanya pertentangan kehendak<br />

(pasal 389 ayat (1) ke-1);<br />

b. tindak pidana perkosaan bisa juga terjadi dalam bentuk persetujuan<br />

persetubuhan dalam hal korban/wanitanya berusia di bawah empat<br />

belas tahun (pasal 389 ayat (1) ke-5);<br />

c. tindak pidana perkosaan (persetubuhan) tidak hanya berarti<br />

masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan<br />

tapi juga bisa berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam anus<br />

atau mulutnya perempuan;<br />

d. dan juga bisa berarti memasukkan suatu benda-benda seperti alat<br />

elektronik berbentuk kemaluan laki-laki atau alat-alat lainnya<br />

(bukan hanya alat kelamin) ke dalam vagina atau anus seorang<br />

perempuan.<br />

Konsep itu merupakan langkah maju dibandingkan keberadaan<br />

rumusan dalam Pasal-Pasal KUHP yang lama yang cenderung tidak bisa<br />

mengakomodasi perkembangan kehidupan bermasyarakat dan<br />

berbangsa. Kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang modus<br />

operandinya kasar, keji, vulgar, dan sangat menjatuhkan martabat<br />

kemanusiaan dipersamakan dengan kejahatan kesusilaan pada<br />

umumnya.<br />

5<br />

Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid dan<br />

Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual<br />

(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001),<br />

hlm. 115.<br />

44


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

E. Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual<br />

Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah<br />

diklasifikasikan sebagai berikut:<br />

1) Perkosaan, bisa dimaknai sebagai serangan dalam bentuk<br />

pemaksaan hubungan seksual. Dalam serangan seksual itu ada<br />

upaya paksa, kekerasan, tekanan psikologis, penyalahgunaan<br />

kekuasaan, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yang<br />

penuh paksaan. Pencabulan sering diidentikkan dengan perkosaan<br />

dalam hukum Indonesia.<br />

2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Di<br />

sini ada tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan<br />

rasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Bisa disampaikan<br />

langsung atau melalui pesan singkat. Ancaman atau percobaan<br />

perkosaan termasuk kategori ini.<br />

3) Pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik atau<br />

nonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Komnas Perempuan<br />

memasukkan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan<br />

menunjukkan materi pornografi ke dalam kategori ini.<br />

4) Eksploitasi seksual, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaan<br />

yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan<br />

kepuasaan seksual atau untuk memperoleh keuntungan. Bentuk<br />

yang kerap terjadi adalah menggunakan kemiskinan keluarga<br />

perempuan untuk memasukkannya ke dalam prostitusi atau bisnis<br />

pornografi.<br />

5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual meliputi tindakan<br />

merekrut, mengangkut, menampung, mengirim memindahkan atau<br />

menerima seseorang dengan paksaan atau rayuan untuk tujuan<br />

prostitusi atau ekspolitasi seksual lainnya.<br />

6) Prostitusi adalah situasi dimana korban mengalami tipu daya,<br />

ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks.<br />

7) Perbudakan seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi<br />

„pemilik‟ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan<br />

apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui<br />

pemerkosaan atau cara lain.<br />

8) Pemaksaan perkawinan, misalnya pernikahan dini atau pernikahan<br />

yang dipaksakan kepada orang yang belum dewasa karena di<br />

dalamnya akan ada pemaksaan seksual. Cerai gantung termasuk<br />

juga dalam kategori ini.<br />

9) Pemaksaan kehamila yaitu situasi ketika perempuan dipaksa untuk<br />

melanjutkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Misalnya dialami<br />

oleh perempuan korban perkosaan.<br />

10) Pemaksaan aborsi yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan<br />

karena adanya tekanan, ancaman atau paksaan dari pihak lain.<br />

45


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Disebut pemaksaan ketika<br />

pemasangan alat kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpa<br />

persetujuan utuh dari pasangan, mungkin karena minim informasi<br />

atau karena belum cakap secara hukum untuk memberi persetujuan.<br />

Bisa menimpa perempuan yang terkena HIV/AIDS.<br />

12) Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus menyerang organ atau<br />

seksualitas korban, yang dilakukan dengan sengaja sehingga<br />

menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat.<br />

13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Masuk<br />

kategori kekerasan sesual karena cara menghukum yang<br />

menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atau rasa malu yang<br />

luar biasa. Termasuk di dalamnya hukuman cambuk atau hukuman<br />

lain yang mempermalukan.<br />

14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau<br />

mendiskriminasi perempuan. Kebiasan masyarakat, kadang<br />

ditopang alasan agama dan tradisi, yang bernuansa seksual, yang<br />

dapat menimbulkan cedera fisik, psikologis atau seksual pada<br />

korban dimasukkan Komnas Perempuan sebagai salah satu bentuk<br />

kekerasan seksual.<br />

15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan<br />

moralitas dan agama. Pandangan yang menuduh perempuan sebagai<br />

penyebab kekerasan seksual menjadi landasan untuk mengendalikan<br />

seksual perempuan. 6<br />

F. Ranah Pelecehan Seksual<br />

a. Pelecehan Seksual di Ranah Personal<br />

1. Pelecehan seksual di dalam rumah merupakan segala<br />

bentuk pelecehan seksual yang terjadi diantara orang-orang<br />

yang tinggal di satu rumah.<br />

2. Pelecehan seksual dalam hubungan perkawinan atau<br />

pacaran adalah segala bentuk pelecehan seksual yang<br />

terjadi pada individu yang terikat dalam hubungan<br />

perkawinan atau pacaran. Bentuk-bentuk pelecehan seksual<br />

terhadap istri maupun pacar diantaranya:<br />

1) Pemaksaan melakukan hubungan seksual.<br />

2) Mengitimidasi fisik secara halus, misalnya mencubit<br />

perut istri karena terlihat gemuk.<br />

3) Pelecehan Seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />

hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa<br />

(atau anak lainnya yang sebaya atau remaja) yang<br />

6<br />

Lima Belas Bentuk Kekerasan Seksual, diakses dari<br />

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />

pada 20 Oktober 2014.<br />

46


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menggunakan si anak untuk stimulasi seksual dari<br />

pelaku atau pengamat. Pelecehan seksual pada anak<br />

bisa melalui sentuhan maupun tanpa sentuhan.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan sentuhan:<br />

a) Menyentuh penis, vagina, payudara atau pantat;<br />

b) Kontak oral genital;<br />

c) Melakukan hubungan seksual.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan tanpa sentuhan:<br />

a) Mencoba untuk melihat tubuh anak yang telanjang;<br />

b) Melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik dengan<br />

maksud seksual;<br />

c) Menunjukkan alat kelamin pada anak atau gambar-gambar<br />

bernuansa seksual;<br />

d) Memamerkan organ seksual;<br />

e) Mengekspos anak untuk tujuan pornografi.<br />

Modus pelaku sering tidak menggunakan kekerasan<br />

fisik melainkan dengan cara mengajak bermain, pura-pura<br />

merawat anak, membelikan mainan sehingga anak merasa<br />

dekat dan mengatur kegiatan-kegiatan khusus sehingga bisa<br />

mempunyai waktu berdua dengan anak. Tetapi tidak jarang<br />

juga yang menggunakan kekerasan seperti ancaman dan<br />

pemaksaan.<br />

b. Pelecehan Seksual Di Ranah Publik<br />

1. Pelecehan seksual ditempat kerja bisa terjadi disemua<br />

tempat kerja, seperti di pabrik, kantor, perkebunan,<br />

pertambangan, baik itu perusahaan besar maupun kecil.<br />

Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja seperti manajer,<br />

pengawas, satpam, agen pemberi kerja atau teman sekerja,<br />

baik itu perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal usia,<br />

agama, pendidikan, budaya, latar belakang maupun status<br />

sosial.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang paling umum terjadi<br />

ditempat kerja adalah sebagai berikut:<br />

a) Pegawai atau pekerja perempuan disentuh payudara<br />

atau pantatnya atau bagian tubuh lainnya.<br />

b) Saat wawancara ditanyakan berbagai pertanyaan<br />

tentang kehidupan seksual.<br />

c) Saat mengajukan cuti haid pegawai atau pekerja<br />

perempuan diperiksa.<br />

47


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

d) Ajakan untuk kencan atau aktivitas seksual oleh orang<br />

yang lebih tinggi jabatannya dengan janji memberikan<br />

jabatan atau posisi tertentu.<br />

2. Pelecehan Seksual di Sekolah<br />

Tidak sedikit kasus pelecehan seksual pada anak terjadi di<br />

sekolah dan itu mayoritas dilakukan oleh guru kepada<br />

muridnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi<br />

Nasional Perlindungan Anak, di daerah Jakarta terhitung<br />

sejak Januari hingga Maret 2011 terdapat 57 kasus<br />

kekerasan seksual yang terjadi pada anak di sekolah, yang<br />

dialami oleh pelajar SD dan SMP, belum termasuk<br />

pelecehan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah luar<br />

biasa.<br />

3. Pelecehan Seksual di Tempat Publik<br />

Seperti halnya di transportasi umum, taman dan jalan.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />

dalam transportasi umum seperti bis, KRL, dan mikrolet,<br />

antara lain adalah:<br />

a) Menggesekkan alat kelamin ke tubuh orang lain;<br />

b) Memegang dan meraba tubuh orang lain;<br />

c) Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />

pasar, taman, jalan, terminal, dan tempat umum<br />

lainnya;<br />

d) Memperlihatkan alat kelamin, melakukan sentuhan<br />

atau gesekan seksual terhadap diri sendiri;<br />

e) Bersiul; dan<br />

f) Membuat ekspresi wajah seperti main mata, menjilat<br />

lidah atau melempar ciuman.<br />

G. Akibat dari Kekerasan Seksual<br />

Banyak akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual.<br />

Sebagai remaja yang masih berkembang, hal ini akan sangat membekas<br />

dan meninggalkan efek lama baik secara fisik ataupun mental. Angka<br />

bunuh diri pada wanita yang mengalami kekerasan seksual dari pria<br />

yang tinggal bersamanya, lima kali lebih besar dibandingkan dengan<br />

wanita yang tidak mengalami hal tersebut.<br />

Berbagai penyakit menular seksual dapat ditularkan melalui<br />

kekerasan seksual. Walaupun organ reproduksi remaja wanita sudah<br />

berkembang, kekerasan seksual yang dialami mulai dari manipulasi<br />

organ seksual sampai pemerkosaan dapat melukai organ reproduksi dan<br />

menimbulkan infeksi, penyakit organ reproduksi lainnya, kehamilan<br />

yang tidak diinginkan bahkan aborsi.<br />

Rasa takut dan malu korban akibat intimidasi dan budaya<br />

masyarakat menyebabkan tidak terdeteksinya penyakit dan kehamilan<br />

48


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sehingga kadang ditemukan dalam keadaan lanjut. Masalah kesehatan<br />

mental yang dihadapi oleh remaja putri yang mengalami pelecehan dan<br />

kekerasan seksual bisa berupa depresi atau kecemasan yang<br />

berlangsung lama atau sindrom stress pasca trauma. Beberapa<br />

menunjukkan mekanisme mengingkari dengan beralih pada alkohol atau<br />

obat terlarang untuk menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan dari mereka<br />

mengisolasi diri mereka dan menarik diri dari lingkungan.<br />

Di antara dampak sosial yang dialami korban adalah<br />

menurunnya prestasi sekolah atau kerja, lebih sering absen, tidak<br />

mengambil mata kuliah yang diajarkan dosen tertentu, mendapat balas<br />

dendam dari pelaku atau teman si pelaku, kehilangan kehidupan pribadi<br />

karena menjadi “yang bersalah”, menjadi objek pembicaraan,<br />

kehancuran karakter atau reputasi, kehilangan rasa percaya pada orang<br />

dengan tipe atau posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percaya<br />

pada lingkungan yang serupa, mengalami stres luar biasa dalam berelasi<br />

dengan partner, dikucilkan, pindah universitas atau fakultas, kehilangan<br />

pekerjaan dan kesempatan mendapat referensi, dan kehilangan karir. Di<br />

samping itu juga terdapat dampak psikologis atau fisiologis, yaitu<br />

depresi, panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitan<br />

konsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, lupa waktu, merasa<br />

dikhianati, kemarahan, dan hingga pikiran untuk melakukan bunuh diri.<br />

H. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menurut<br />

Ketentuan Pengaturan Perundang-Undangan yang Berlaku Di<br />

Indonesia<br />

Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan dan kekerasan seksual<br />

terhadap perempuan menurut KUHP ialah sebagai berikut :<br />

a. Pada pasal 285 KUHP yang berbunyi:<br />

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam<br />

karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama<br />

dua belas tahun.” 7<br />

Dari pasal 285 KUHP di atas, pelaku kekerasan terhadap<br />

perempuan dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama dua<br />

belas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori<br />

korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang<br />

wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh<br />

klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat<br />

dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang<br />

korbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam Pasal ini.<br />

b. Pasal 286 KUHP yang berbunyi:<br />

7 Ibid., pasal 285 KUHP.<br />

49


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan<br />

istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan<br />

pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling<br />

lama sembilan tahun.” 8<br />

Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku kekerasan terhadap<br />

perempuan melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan<br />

cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara<br />

meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan<br />

atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara<br />

paling lama sembilan tahun.<br />

I. Perlindungan dan Pembinaan Korban Kekerasan Seksual<br />

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa korban<br />

perkosaan adalah seorang perempuan yang pada umumnya mempunyai<br />

sifat kejiwaan yang lemah. Pascakejahatan perkosaan yang menimpa<br />

dirinya telah menimbulkan berbagai tekanan baik yang terjadi secara<br />

langsung maupun tekanan dalam jangka panjang. Tekanan yang terjadi<br />

secara langsung merupakan reaksi paska perkosaan seperti perasaan<br />

malu, takut, kesakitan fisik dan tidak berdaya. Sedangkan tekanan<br />

jangka panjang yang jelas akan mempengaruhi masa depan mereka<br />

adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu<br />

trauma yang memulihkan atau membangkitkan kepercayaan diri mereka<br />

dalam bersosialisasi dengan masyarakat.<br />

I.S. Susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadap<br />

wanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatan<br />

yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita tetapi<br />

juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas<br />

sosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitosmitos<br />

yang berkaitan dengan jenis kelamin, “budaya diskriminatif”,<br />

“budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil.” 9<br />

Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan<br />

jaminan perlindungan hukum terhadap korbannya yaitu perempuan.<br />

Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban<br />

perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi<br />

korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum oleh hakim,<br />

korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada<br />

pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi<br />

perempuan.<br />

Di Indonesia, hingga saat ini perlindungan hukum dan<br />

pembinaan korban kekerasan seksual sangat disayangkan, karena masih<br />

hlm. 74.<br />

8 Ibid., pasal 286 KUHP.<br />

9 Susanto, I.S., Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011),<br />

50


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

belum ditanggapi secara sungguh-sungguh bersama dan secara resmi<br />

terbuka.<br />

Penyelesaian permasalahan dan pelayanan terhadap para korban<br />

kekerasan seksual, sebagai suatu tindakan individu dipengaruhi oleh<br />

beberapa unsur struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu.<br />

Beberapa unsur struktural sosial tersebut adalah sebagai berikut:<br />

a. Kepentingan (yang dapat menjadi motivasi);<br />

b. Lembaga sosial;<br />

c. Nilai-nilai sosial;<br />

d. Norma-norma;<br />

e. Status;<br />

f. Peran dan sebagainya.<br />

Nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku sebagai aspek sosial<br />

budaya mempunyai pengaruh yang cukup banyak pada penyelesaian<br />

permasalahan dan pelayanan terhadap para korban perkosaan maupun<br />

para pelaksana perkosaan sebagai suatu tindakan individu. Misalnya:<br />

a. Tidak adanya keberatan pemerkosaan terhadap golongan lain,<br />

musuh. Dengan akibat terlantarnya korban perkosaan tersebut.<br />

b. Kesediaan jaksa memperjuangkan dan hakim memutuskan adanya<br />

ganti kerugian untuk pihak korban.<br />

c. Kesediaan anggota masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat<br />

memperjuangkan jaminan untuk para korban kekerasan seksual<br />

dapat melaksanakan hak dan kewajiban demi menegakan keadilan<br />

dan pengembangan kesejahteraan dan sebagainya.<br />

Dengan demikian hal-hal negatif dibuang dan yang positif<br />

dikembangkan sebagai pendukung usaha-usaha pelayanan terhadap<br />

korban yang bersangkutan. Misalnya, mengenai gotong royong,<br />

tanggung jawab bersama masyarakat dan tanggung jawab individu yang<br />

positif. Maka akan dicegah penelantaran korban perkosaan. Terutama<br />

anak-anak yang tergolong pada golongan lemah mental, fisik, dan sosial<br />

yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri.<br />

Masalah korban bukanlah masalah baru, hanya saja selama ini<br />

merupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studi<br />

mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Hal ini<br />

juga merupakan gejala umum di negara-negara lain, baik di negara yang<br />

sudah berkembang dan yang sedang berkembang. Berhubung masalah<br />

korban ini diakui sebagai masalah universal kemanusiaan, maka antara<br />

lain telah diadakan kegiatan memperbincangkan bersama secara<br />

internasional pada simposium mengenai korban viktimologi di<br />

Yerusalem 1973 dalam First International Symposium on Victimologi.<br />

Selanjutnya diadakan pada tanggal 5-11 September 1976 di Boston<br />

Massachusette, Amerika. Bila kita ingin menanggapi suatu kejahatan,<br />

51


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

delikuensi dan deviasi menurut proporsi yang sebenarnya dengan<br />

meninjau secara dimensional, maka si korban tidak boleh diabaikan<br />

dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi, dan deviasi.<br />

J. Kesimpulan dan Saran<br />

1. Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang dapat<br />

mempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual antara<br />

lain adalah faktor sosial, faktor pendidikan, faktor psikologi, faktor<br />

lingkungan, dan faktor calon korban.<br />

2. Adapun penerapan sanksi pidana pada kasus pencabulan dan<br />

kekerasan seksual adalah sebagai berikut:<br />

a. Pada pasal 285 disebutkan bahwa, pelaku kekerasan seksual<br />

terhadap perempuan dapat diancam maksimal dua belas tahun<br />

penjara.<br />

b. Pada pasal 286 disebutkan bahwa, pelaku pencabulan terhadap<br />

perempuan dapat diancam maksimal Sembilan tahun penjara.<br />

Saran penulis untuk mengurangi dan memberantas tindak<br />

pidana kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1) Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen<br />

di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan<br />

positif. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola<br />

stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh<br />

media (terutama TV) terhadap perilaku masyarakat cukup<br />

besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV<br />

tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret<br />

kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk<br />

mental. Selain itu, para pekerja sosial yang peduli dalam<br />

masalah kekerasan seksual dapat menyelenggarakan<br />

penggalangan kesadaran akan pentingnya mengetahui hakhak<br />

asasi wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan<br />

melakukan penyuluhan mengenai kiat-kiat mencegah<br />

pelecehan seksual. Peran penyedia layanan kesehatan<br />

terutama dokter sangat penting dan juga peran pemerintah<br />

dalam memberikan rasa aman yang kurang sangat<br />

berpengaruh terhadap adanya kekerasan seksual.<br />

2) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh<br />

terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini<br />

adalah menjamin masa depan bagi generasi penerus.<br />

Pemerintah dirasa sangat perlu memperbaiki undangundang,<br />

terutama mengenai hak-hak wanita. Memperberat<br />

hukuman bagi pelaku dan memberikan pendidikan<br />

mengenai kekerasan seksual pada wanita dan remaja putri.<br />

Sehingga paradigma kekerasan dan pelecehan seksual<br />

52


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan menjadi hilang.<br />

Masyarakat perlu menggalang kekuatan yang dapat<br />

menekan pemerintah untuk segera mengatasi masalah ini<br />

dengan melibatkan pekerja sosial atau dunia internasional<br />

yang peduli pada masalah kekerasan terhadap wanita.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Hamdan, M. 1997. Persepsi Masyarakat Tentang Tindak Pidana<br />

Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan Untuk<br />

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.<br />

Mamudji, Sri. 2005.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok:<br />

Badan Penerbit FH Universitas Indonesia.<br />

S, Samitutidan Bangong Suyanto. 1999.Anak Jalanan di Jawa Timur<br />

(Masalah dan Upaya Penanganannya). Surabaya: Airlangga<br />

University Press.<br />

Soerocibroto, R. Soenarto. 2003.KUHP dan KUHAP, Cet. 5. Jakarta:<br />

Raja Grafindo Persada.<br />

Susanto, I.S. 2011.Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.<br />

Wahid, Muladi. 2001. Memperketat Delik Susila (Perlindungan<br />

Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan)). Bandung: Refika Aditama.<br />

Wahid, A dan M. Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Malang:<br />

Refika Aditama.<br />

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />

53


KOMISI 2<br />

HUKUM FORMIL


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN HUKUM FORMIL<br />

MENGENAI KEKERASAN SEKSUAL<br />

Oleh: Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri<br />

Sultan Syarif Kasim Riau<br />

A. Latar Belakang<br />

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia<br />

Indonesia seutuhnya dan seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar.<br />

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya, bermakna<br />

bahwa pembangunan tersebut mencakup pembangunan jasmani dan<br />

rohani atau lahir dan batin. Hal ini juga tersirat dalam lirik lagu<br />

kebangsaan “Indonesia Raya”. Jiwa dan badan, rohani dan jasmani<br />

merupakan satu kesatuan utuh pada diri manusia yang dapat dibedakan<br />

tetapi tak dapat dipisahkan.<br />

Dengan demikian, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya<br />

dimaksudkan bahwa pembangunan jiwa dan pembangunan badan,<br />

dilakukan serentak atau bersamaan. Berkenaan dengan “pembangunan<br />

manusia Indonesia seutuhnya”, Bab IV huruf B butir 1 GBHN<br />

merumuskan antara lain yaitu: yang pertama, menumbuhkan sikap dan<br />

tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka<br />

meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan lahir batin yang selaras, adil, dan merata.<br />

Kesejahteraan lahir batin tidak terlepas dari semua aspek<br />

kehidupan penghidupan manusia termasuk rasa aman dan tenteram yang<br />

dapat dicapai jika kesadaran masyarakat terhadap kewajiban dan<br />

menghargai hak orang lain telah dipahami dan dihayati sehingga<br />

penegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran telah merupakan<br />

kebutuhan bersama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat.<br />

B. Pelaksanaan Hukum Formil Mengenai Kekerasan Seksual<br />

Menurut Enchede-Hijder yang meninjau hukum pidana sebagai<br />

objek studi, pengertian hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian<br />

yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana<br />

materiil berarti isi atau substansi hukum pidana. Disini hukum pidana<br />

bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau<br />

hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum<br />

pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berbeda dalam<br />

suatu proses, oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana. 1<br />

1 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar<br />

Grafika, 2005), hlm. 2.<br />

54


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Selain itu, Simons juga membagi hukum pidana dalam arti luas<br />

yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Ia mengatakan<br />

bahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk-petunjuk dan<br />

uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat<br />

dipidananya seseorang, penunjukan orang yang dapat dipidana dan<br />

ketentuan tentang pidananya, serta siapa dan bagaimana orang itu dapat<br />

dipidana. Sedangkan hukum pidana formil, menurut Simons, yaitu<br />

mengatur tentang bagaimana cara negara dengan perantara para<br />

pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.<br />

Perbedaannya dengan rumusan Van Bemmelen, ialah Van<br />

Bemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu yang dimulai<br />

dengan mencari kebenaran dan diakhiri dengan pelaksanaan pidana dan<br />

tindakan tata terbit. Definisi tentang hukum materiil dirumuskan juga<br />

oleh Pompe, yang mirip dengan rumusan Simons namun lebih singkat<br />

yaitu keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan<br />

perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya terdapat.<br />

Hazewinkel-Suringan menyatakan bahwa ius poenale (hukum<br />

pidana materiil) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung<br />

larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya<br />

diancam dengan pidana (sanksi hukum). Jika kita membagi hukum itu<br />

menjadi hukum publik dan hukum privat, maka hukum pidana menjadi<br />

hukum publik. Hal ini baru berlaku dewasa ini, dahulu Eropa dan<br />

Indonesia tidak memisahkan hukum publik dan hukum privat. 2<br />

Lambat laun muncul pengertian hukum publik yang juga<br />

termasuk di dalamnya hukum pidana dimana yang utama ialah<br />

kepentingan umum. Bukanlah orang seorang yang bertindak jika terjadi<br />

pelanggaran hukum, tetapi alat-alatnya. Apabila kepentingan umum<br />

berhadapan dengan kepentingan pribadi, maka kepentingan umum harus<br />

lebih diutamakan. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana)<br />

corak hukum publiknya lebih nyata lagi daripada hukum pidana materiil<br />

karena jika terjadi pelanggaran hukum pidana yang bertindak menyidik<br />

dan menuntut ialah alat negara (polisi dan jaksa). Namun terdapat<br />

beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat negara hanya<br />

bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.<br />

Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukum<br />

publik karena mengatur hubungan antara individu dan masyarakat atau<br />

negara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya<br />

diterapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya.<br />

Selanjutnya Van Bemmelan mengajukan pendapat bahwa<br />

hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir). 3<br />

2 Ibid, hlm. 4.<br />

3 Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: PT Raja<br />

Grafindo Persada, 2009), hlm. 169.<br />

55


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Artinya, kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk<br />

menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum<br />

pidana diterapkan. Istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa<br />

Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Istilah<br />

hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata,<br />

administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan<br />

sempit yaitu berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidana<br />

tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi juga dapat berupa<br />

upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.<br />

Tujuan hukum pidana lainnya adalah reformasi. Reformasi<br />

berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik<br />

dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh<br />

keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi<br />

baik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang lain seperti<br />

pencegahan. Akan tetapi, terdapat banyak kritikan bahwa reformasi<br />

tidak selalu berhasil. Ketidakberhasilannya dapat dilihat dari banyaknya<br />

residivis setelah keluar dari penjara. Sehingga kiranya perlu adanya<br />

peningkatan kualitas dari penjara itu sendiri.<br />

Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah<br />

disebutkan sebelumnya, maka munculah teori-teori mengenai hal<br />

tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan<br />

pidana:<br />

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)<br />

b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)<br />

c. Teori gabungan (verenigingstheorien)<br />

Teori yang pertama muncul pada abad ke-18, dianut antara lain<br />

oleh Immanuel Kant, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana<br />

yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan juga sarjana<br />

hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas Al Quran.<br />

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk<br />

hal yang praktis seperti memperbaiki sifat penjahat, namun kejahatan<br />

itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya<br />

pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan secara kejahatan. 4<br />

Variasi-variasi teori pembalasan juga diperinci oleh Leo Polak<br />

menjadi:<br />

a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan<br />

pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshanddhaving)<br />

b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie)<br />

c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu<br />

perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan<br />

(onrechtsfustrering en blaam)<br />

2008), hlm. 1.<br />

4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,<br />

56


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum<br />

e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan<br />

berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan<br />

f. Teori mengobyektifkan<br />

Menurut Leo Polak, pidana harus memenuhi 3 syarat:<br />

a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan<br />

yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan<br />

kesusilaan dan tata hukum objektif 5<br />

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi jadi<br />

pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi<br />

c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik,<br />

ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.<br />

Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana<br />

ialah:<br />

a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah<br />

penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan<br />

niat buruknya<br />

b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana<br />

c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak<br />

mungkin diperbaiki<br />

d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib<br />

hukum<br />

Van Bemmelan pun menganut Teori Gabungan dengan<br />

mengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan<br />

mengamankan masyarakat. Tindakan mengamankan bermaksud<br />

memelihara tujuan. Jadi tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan<br />

untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.<br />

Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan perkembangan mengenai<br />

kekerasan seksual.<br />

Kata “kesusilaan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan<br />

diterbitkan oleh Balai Pustaka 1989 berarti “perihal susila” dan “susila”<br />

dimuat arti sebagai berikut:<br />

1. Baik budi bahasanya;<br />

2. Adat istiadat yang baik, sopan, santun, kesopanan, keadaban; dan<br />

3. Pengetahuan tentang adat;<br />

Kata “susila” dalam bahasa Inggris bisa berarti moral, ethics,<br />

dan decent. Akan tetapi, kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda.<br />

5 Ibid, hlm. 5.<br />

57


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kata moral diterjemahkan dengan kata “moril”. Ethics diterjemahkan<br />

dengan “tata susila” dan kata decent diterjemahkan dengan “patut”.<br />

Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah kata moral dan ethics.<br />

Kedua kata tersebut mengandung makna decent. Namun jika diamati<br />

dengan cermat, ternyata ethics lebih sempit dari pada moral dan nada di<br />

dalam kata moral. 6<br />

Kata “moral dalam The Lexicon Webster Dictionary,<br />

dirumuskan artinya antara lain: “of or concerned with the principles of<br />

right and wrong in conduct and character”. Behavior as to right or<br />

wrong, especially in relation to sexual matter. Jika diterjemahkan secara<br />

bebas, artinya adalah dari atau berkenaan dengan prinsip-prinsip benar<br />

dan salah dalam berperilaku dan sikap atau tabiat. Kelakuan yang benar<br />

atau salah, khususnya dalam hubungan pada hal atau kejadian seksual.<br />

Sedang kata ethics dirumuskan artinya antara lain sebagai<br />

berikut: “pertaining to right and wrong in conduct” (berkenaan dengan<br />

sikap, tabiat, atau tingkah laku yang baik dan salah atau buruk). Baik<br />

“moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya merupakan<br />

“persepsi nilai” dari masyarakat. “Moral” merupakan pertimbangan atas<br />

dasar baik atau tidak baik sedang “etika” merupakan ketentuan atau<br />

norma perilaku (Code of Conduct).<br />

Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi<br />

masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada “ behavior as<br />

to right or wrong, especially in relation to sexual matter”. Namun, jika<br />

kita mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal<br />

tersebut nampaknya kurang tepat. Karena dalam KUHP, mengemis,<br />

menyiksa binatang, meminum minuman keras, serta melakukan judi<br />

termasuk Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan. Pun, hal tersebut juga<br />

termuat dalam rancangan KUHP.<br />

Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenan<br />

dengan moral dan etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.<br />

Namun, dengan gambaran yang demikian maka persepsi terhadap kata<br />

“kesusilaan” justru lebih membingungkan. Jika ditelaah, maka semua<br />

tindak pidana adalah bertentangan dengan moral maupun etika.<br />

Berdasarkan uraian tersebut, seyogyanya tindak pidana kesusilaan tidak<br />

dimasukkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan “behavior in relation<br />

to sexual matter” agar dengan demikian perhatian dapat lebih<br />

diputuskan pada pokok masalah.<br />

Kemajuan teknologi meningkatkan arus informasi antarnegara,<br />

antarbenua, bahkan antarbangsa sehingga perubahan budaya di Barat<br />

dengan cepat dapat diketahui di Timur, perubahan budaya di Eropa dan<br />

Amerika dengan cepat dapat diketahui di Asia dan sebaliknya.<br />

6 Leden Marpaung, Op. Cit.<br />

58


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat turut mempengaruhi<br />

perkembangan kesusilaan. Jika dahulu orang membicarakan tentang seks<br />

telah dianggap tabu, tetapi pada saat ini telah dibahas secara ilmiah<br />

dalam ilmu seksologi. Pada beberapa majalah, bahkan surat kabar harian,<br />

juga membahas tentang seks yang dimuat pada rubik tanya jawab atau<br />

rubrik seksologi.<br />

Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan kesejahteraan,<br />

telah dilakukan Keluarga Berencana (KB) sehingga pengguguran<br />

kandungan telah diperbolehkan dalam rangka pengendalian<br />

perkembangan atau pertambahan penduduk.<br />

Perkembangan hak-hak asasi manusia telah menitikberatkan<br />

bahwa “menikmati seks” merupakan hak orang dewasa sehingga<br />

hubungan seks yang dilakukan tanpa paksaan di sebagian negara di<br />

dunia, merupakan perbuatan yang wajar. Dahulu, jika seorang<br />

perempuan dewasa melahirkan anak tanpa melakukan pernikahan atau<br />

tanpa suami, adalah merupakan aib bagi keluarganya. Di beberapa<br />

negara saat ini, hal yang demikian, telah di anggap hak dari yang<br />

bersangkutan dan tidak dinilai sebagai perbuatan tercela.<br />

Perkembangan di dunia bisnis semakin menerapkan prinsip<br />

bahwa “pembeli adalah tuan” dan tidak memperhatikan lagi nilai-nilai<br />

kepatutan yang tumbuh di masyarakat, sebagai contoh, dewasa ini<br />

banyak tempat peristirahatan (hotel dan motel) yang disalahgunakan<br />

oleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatanperbuatan<br />

maksiat karena pemilik tempat peristirahatan tersebut sudah<br />

tidak lagi menanyakan identitas pelanggan tamunya.<br />

Selanjutnya di bidang kesehatan, untuk mencegah menularnya<br />

penyakit kelamin, sebagian masyarakat membagikan kondom atau<br />

memperdagangkannya secara bebas, dan hal tersebut bukan lagi<br />

merupakan hal yang dianggap tabu.<br />

Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita<br />

yang tidak memiliki keterampilan (skill), melakukan perbuatan jalan<br />

pintas dengan menjajakan dirinya di tempat-tempat tertentu di beberapa<br />

kota. Berbagai masalah berkenaan dengan “behavior in relation to<br />

sexual matter” sedang dalam proses penilaian oleh masyarakat,<br />

khususnya mengenai hal-hal berikut:<br />

a. Banci yang melakukan operasi kelamin;<br />

b. Wanita atau pria yang mencintai atau merasakan rangsangan<br />

seksual sesama jenisnya (lesbian/gay); dan<br />

c. Laki-laki bayaran yang dipelihara seorang wanita sebagai kekasih<br />

(gigolo)<br />

Perkembangan-perkembangan dalam aspek kehidupan atau<br />

penghidupan manusia atau masyarakat akan berdampak perkembangan<br />

nilai “kesusilaan” dan sepanjang masa, hal yang demikian tidak dapat<br />

59


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dihindarkan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur pada Ban XIV KUHP<br />

yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal<br />

tetapi 3 pasal memuat hukuman tambahan atau pemberatan yakni pasal<br />

283 bis, pasal 291, pasal 298, dan 7 pasal tidak berkenaan dengan<br />

“behaviour in relation to sexual matter” yakni:<br />

1. Pasal 297 tentang memperniagakan perempuan atau laki-laki yang<br />

belum dewasa<br />

2. Pasal 299 tentang dapat gugur kandungan karena pengobatan<br />

3. Pasal 300 tentang menjual atau memaksa meminum minuman yang<br />

memabukkan<br />

4. Pasal 301 tentang perlindungan anak yang belum berusia 12 (dua<br />

belas) tahun dari pekerjaan mengemis<br />

5. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan pada binatang<br />

6. Pasal 303 dan 303 bis tentang judi<br />

Pada RUU KUHP yang dirumuskan oleh Panitia Penyusunan<br />

RUU KUHP 1991/1992, dan disempurnakan pada tahun 1993, terdapat<br />

pola pikir yang tidak berubah. Di dalam RUU KUHP terdapat beberapa<br />

pasal tambahan yang mengatur perbuatan yang belum diatur KUHP,<br />

namun perlu diamati ulang dengan memperhatikan hak asasi manusia<br />

yang saat ini pengaruhnya tidak dapat diabaikan. Tampaknya RUU<br />

KUHP tersebut masih sulit diterima oleh sebagian pakar atau<br />

masyarakat.<br />

Mengubah suatu undang-undang, bukan hal yang tidak sulit<br />

terutama dengan mengubah sistem dan pola pikir, akan memerlukan<br />

biaya yang tidak sedikit. Pasal terkait kesusilaan yang tidak berkenaan<br />

dengan “behaviour in relation to sexual matter”, menurut hemat penulis<br />

agar dipisahkan dari Kejahatan Terhadap Kesusilaan, misalnya<br />

memperniagakan perempuan atau laki-laki, mengemis, dan lain-lain<br />

yang dapat merusak harkat dan martabat manusia menjadi “Kejahatan<br />

Terhadap Harkat dan Martabat Manusia.” 7<br />

Demikian halnya tentang “judi”, jika diamati berita-berita<br />

dalam media massa, maka judi dari tahun ke tahun masih merupakan<br />

masalah yang selalu timbul dalam masyarakat. Seyogyanya judi yang<br />

diizinkan seperti domino, bridge, ceki, koah, dan pei perlu<br />

dipertimbangkan untuk dihapuskan dan sebaiknya judi lebih tepat<br />

menjadi bab tersendiri di dalam KUHP.<br />

Namun sebagian para pakar berpendapat bahwa perbuatanperbuatan<br />

maksiat, termasuk minuman-minuman keras yang dapat<br />

memabukkan dan judi telah menjadi satu kesatuan dengan kejahatan<br />

dalam arti bahwa pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan, sangat<br />

7 Ismail Rumadan, Kriminologi, (Yogyakarta:Grha Guru, 2007), hlm.13.<br />

60


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

besar. Selain daripada itu, mabuk dan main judi bertentangan dengan<br />

kesusilaan. Hal ini dirumuskan dalam pasal 289 KUHP yaitu sebagai<br />

berikut:<br />

“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman<br />

kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan<br />

dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya<br />

melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman<br />

penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />

Makna kata “cabul” tidak dimuat di dalam KUHP, namun<br />

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebagai berikut: “keji<br />

dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan)”.<br />

Dalam kamus lengkap Prof. Dr. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito<br />

dimuat artinya dalam bahasa Inggris.: “indecent, dissolute,<br />

pornographical”. Umumnya, cabul diterjemahkan dengan “dissolute”.<br />

Pada The Lexicon Webster Dictionarydimuat artinya: “Loss in behavior<br />

and morals”.<br />

Mr. J. M. Van Bemmelen terhadap arti kata “cabul”<br />

mengutarakan antara lain: “Pembuat undang-undang sendiri tidak<br />

memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan<br />

perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk<br />

memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap<br />

sebagai cabul atau tidak”.<br />

Pada RUU KUHP, pasal 289 KUHP diambil alih pada pasal<br />

390 (14.14) yang pada penjelasan resmi berbunyi sebagai berikut:<br />

Pasal ini sama dengan pasal 289 KUHP. Disini tindak pidananya<br />

adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />

perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah<br />

segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau<br />

perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu<br />

berahi kelamin.<br />

Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya<br />

memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa<br />

seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan<br />

dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk<br />

menunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang<br />

sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman<br />

pidananya.<br />

Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP<br />

adalah sama yakni sembilan tahun penjara. Sebagaimana pada<br />

“perkosaan”, kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, harus dapat<br />

61


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dibuktikan. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP<br />

adalah dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya:<br />

a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan<br />

menyentuhnya pada alat kelaminnya. (Hoge Raad 15-2-1926)<br />

b. Seorang laki-laki meraba badan seorang anak laki-laki dan<br />

kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat<br />

mengelus teteknya dan menciuminya. Pelaku melakukan hal<br />

tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya. (Hoge Raad tanggal<br />

28-5-1963 N. J. 1964 No. 108)<br />

C. Sebab Tidak Terlaksananya Hukum Formil Mengenai<br />

Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual masih sering terjadi di masyarakat. Contoh<br />

konkretnya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang<br />

oknum kepala sekolah pada 23 September 2014 di Rohul, Riau.<br />

Kejadiannya berawal dari seorang murid SD yang sedang melaksanakan<br />

piket membersihkan ruang kelas dan kepala sekolah tersebut melewati<br />

depan ruangan dimana murid tersebut melaksanakan piket kebersihan.<br />

Oknum kepala sekolah tersebut langsung menghampiri korban, dan<br />

pelaku langsung memeluk korban dari belakang. Tidak hanya itu yang<br />

dilakukan pelaku, pelaku juga menciumi dan memegang dada dan alat<br />

vital korban. Sang korban langsung meronta-ronta untuk melepaskan<br />

diri, tapi korban diancam supaya tidak mengadukan kejadian tersebut<br />

kepada pihak guru. Dan akhirnya korban pulang dan menceritakan<br />

semua yang dialaminya kepada orang tuanya. Pihak keluarga tidak<br />

terima dan mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib,<br />

supaya pelaku dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. 8<br />

Pada kenyataannya, kejahatan terhadap kekerasan seksual kerap<br />

terjadi di masyarakat, hal ini berdasar pada banyaknya kasus kejahatan<br />

kekerasan seksual di masyarakat. Dengan demikian pasal 289 KUHP<br />

perlu ditegaskan penerapannya agar menimbulkan efek jera terhadap<br />

pelaku. Selain itu, upaya perlindungan terhadap korban dan upaya<br />

perlindungan terhadap korban perlu diperhatikan secara ketat. Oleh<br />

karena itu, terdapat perlindungan korban dan saksi yang tertuang di<br />

dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban, berdasarkan pada:<br />

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;<br />

2. Rasa aman;<br />

3. Keadilan;<br />

4. Tidak diskriminatif; dan<br />

5. Kepastian hukum.<br />

8<br />

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta:Kencana,2003),<br />

hlm.233.<br />

62


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Dalam hal ini kita menyadari bersama bahwa KUHAP lebih<br />

mengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian,<br />

terdapat beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan<br />

perlindungan korban, misalnya:<br />

1. Perlakuan yang sama didepan hukum<br />

2. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan<br />

3. Peradilan yang bebas<br />

4. Peradilan yang terbuka untuk umum<br />

5. Ganti kerugian<br />

6. Keadilan dan kepastian hukum<br />

Tujuan perlindungan saksi dan korban adalah untuk<br />

memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam<br />

memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (vide pasal<br />

4 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi<br />

dan Korban). Rasa aman di sini dapat diartikan bebas dari ancaman<br />

sehingga tidak merasa terancam atau terintimidasi haknya, jiwa, raga,<br />

harta, serta keluarganya.<br />

Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan<br />

akibat baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksi<br />

dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau<br />

tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian<br />

kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana (vide pasal 1 butir 4<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />

Korban). Bentuk ancaman tidak hanya fisik, tetapi juga psikis atau<br />

bentuk lain misalnya ekonomis, politis, dan sebagainya. Rasa aman agar<br />

proses peradilan pidana dapat berjalan sesuai cita-cita peradilan dan<br />

memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum.<br />

Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik,<br />

bukan saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih<br />

luas lagi. Tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi dan<br />

negara dianggap telah melaksanakan kewajibannya melindungi<br />

warganya dengan baik.<br />

Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang termaktub<br />

dalam pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaitu<br />

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa<br />

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Akan tetapi, dalam<br />

praktek pidana selama ini, terlihat negara lebih banyak memihak kepada<br />

tersangka atau terdakwa. Diharapkan korban juga dapat berperan dalam<br />

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana atau kejahatan. Pada<br />

gilirannya akan tercapai tujuan yang lebih mendasar, bukan saja<br />

63


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keadilan, kepastian hukum dan ketertiban, tetapi lebih dari itu yaitu<br />

suatu welfare state. 9<br />

Setiap warga negara mempunyai hak-hak dan kewajiban yang<br />

tertuang dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Hak<br />

dan kewajiban juga ada dalam hukum adat tidak tertulis atau pada<br />

kehidupan sehari-hari. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban<br />

harus dilakukan dengan seimbang. Agar tidak terjadi konflik beberapa<br />

hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang<br />

berlandas perlindungan korban dan saksi telah ditulis pada Sub Bab A.<br />

Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari tersangka<br />

dan/atau terdakwa. 10<br />

Sudah seharusnya pihak korban mendapat perlindungan,<br />

diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbangi<br />

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Untuk mengetahui hakhak<br />

korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan.<br />

Salah satunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 Undangundang<br />

tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu: 11<br />

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />

harta bendanya. Serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya<br />

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />

perlindungan dan dukungan keamanan<br />

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan<br />

d. Mendapat penerjemah<br />

e. Bebas dari pertanyaan menjerat<br />

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus<br />

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan<br />

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan<br />

i. Mendapat identitas baru<br />

j. Mendapatkan tempat kediaman baru<br />

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />

kebutuhan<br />

l. Mendapat nasihat hukum<br />

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />

perlindungan berakhir<br />

Berdasarkan analisa data diatas maka hasil riset mengenai<br />

penelitian diatas adalah bahwa implementasi hukum acara pada kasus<br />

kekerasan seksual belum terlaksana. Hal ini didasarkan dengan masih<br />

9 Ilhami Basri, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo<br />

Persada, 2012), hlm. 39.<br />

10 Agus Santoso, Hukum, Moral 7 Keadilan, (Jakarta: Kencana, 2012),<br />

hlm. 2.<br />

11 Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).<br />

64


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat mengenai tindak kekerasan<br />

seksual, yang terjadi terhadap masyarakat mulai dari kalangan anakanak,<br />

remaja, dewasa hingga tua. Contohnya adalah kasus yang terjadi<br />

di Pekanbaru sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.<br />

Setelah kasus tersebut diproses, tidak terdapat perhatian khusus<br />

terhadap pelaku dan si korban. Justru peristiwa tragis tersebut dibiarkan<br />

begitu saja lalu selanjutnya muncul lagi kejadian yang sama. Itulah<br />

sistem penerapan hukum Indonesia saat ini. Sebagai warga negara yang<br />

baik tentu kita harus memperhatikan kejadian-kejadian di lingkungan<br />

setempat, jika terdapat tindak kejahatan atau pun pelanggaran segera<br />

lakukan laporkan kepada yang berwajib, ini adalah salah satu bukti<br />

kecintaan kita terhadap negara Indonesia yang mendambakan<br />

kesejahteraan (welfare state). 12<br />

Tidak terlaksananya hukum formil disebabkan karena kinerja<br />

aparat hukum yang tidak maksimal dan kurang sadar serta pedulinya<br />

kita sebagai Warga Negara Indonesia akan adanya sistem hukum. Kerap<br />

kali aturan yang ada sering dilanggar dan dianggap remeh, kebiasaan<br />

inilah yang seharusnya dihapus dari dalam diri dan ditanamkan<br />

pemahaman yang lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebih<br />

baik untuk tanah air. Caranya adalah dengan menanamkan perubahan<br />

dimulai dari diri sendiri dan tanamkan kesadaran agar tercapainya<br />

tujuan hukum yaitu untuk kemanfaatan, keadilan, dan kepastian.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Salah satu wujud perlindungan oleh negara adalah<br />

penyelenggaraan peradilan. Warga negara mempunyai hak dan<br />

kewajiban yang tertuang dalam konstitusi maupun perundangundangan.<br />

Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari<br />

tersangka dan/atau terdakwa. Sudah seharusnya pihak korban mendapat<br />

perlindungan diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun<br />

diimbangi melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Undangundang<br />

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />

(HAM) mengatur secara khusus perlindungan korban dan saksi pada<br />

Bab V pasal 34.<br />

Dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi,<br />

dan rehabilitasi. Bentuk atau jenis perlindungan adalah fisik, mental,<br />

dan sebagainya yang dilaksanakan oleh aparat terkait. Perlindungan<br />

hukum dan aspeknya merupakan salah satu hak korban dan saksi. Dari<br />

uraian diatas sudah dipaparkan bahwa korban dan saksi seakan<br />

terabaikan, bahkan juga di dalam peraturan KUHAP yang dianggap<br />

menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Antara lain menjelaskan<br />

40,<br />

12 Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm.<br />

65


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahwa alasan perlindungan korban dan saksi, secara khusus diatur<br />

substansi yang terkait dengan perlindungan korban dan saksi dalam<br />

berbagai perlindungan. Pengaturan bersifat umum dan khusus tetapi<br />

secara terbatas KUHAP mengatur pula hak korban dan saksi untuk<br />

mendapat gambaran mendalam.<br />

Terdapat ketentuan berkenaan perlindungan korban dan saksi<br />

yang diatur KUHAP. Bab XIII tentang penggabungan perkara ganti<br />

kerugian pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Prosedur dan<br />

substansi pengaturan dianggap mengandung kelemahan-kelemahan.<br />

Pada praktiknya, juga jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilakukan<br />

penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini terjadi antara lain<br />

karena korban tidak mengetahui haknya dan penuntut umum tidak<br />

memberitahukan hak tersebut kepada korban.<br />

Semoga makalah yang dibuat bermanfaat untuk kita semua dan<br />

apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kata-kata yang<br />

kurang tepat kami minta maaf.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bisri, Ilhami. 2012. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.<br />

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:Rineka Cipta.<br />

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta:Sinar<br />

Grafika Offset.<br />

Marpaung, Leden. 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana.<br />

Jakarta:Sinar Grafika.<br />

Rumadan, Ismail. 2007. Kriminologi. Yogyakarta:Graha Guru.<br />

Santoso, Agus. 2012. Hukum Moral & Keadilan. Jakarta:Kencana<br />

Prenada Media Group.<br />

Santoso, Topo. 2001. Kriminologi. Jakarta:Raja Grafindo Persada.<br />

Suyanto, Bagong. 2003. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana.<br />

Soerodibroto, R.Soenarto. 2009. KUHP dan KUHAP. Jakarta:Rajawali<br />

Pers.<br />

Santoso, Wahyu. 2011. Viktimologi. Jakarta:Sinar Grafika.<br />

66


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK<br />

DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />

Abstrak<br />

Anak adalah mereka yang masih berumur dibawah 16 (enam belas)<br />

tahun dan belum atau pernah menikah. Anak adalah elemen yang<br />

penting karena merekalah kelak yang akan mewarisi yang kita punya<br />

hari ini. Tapi sayangnya, mereka telah diberikan kecacatan oleh oknum<br />

orang dewasa dengan kekerasan seksual yang mereka lakukan.<br />

Kekerasan seksual adalah segala bentuk hubungan atau interaksi<br />

antara anak dan orang dewasa (atau anak lainnya yang sebaya atau<br />

remaja) yang menggunakan si anak untuk simulasi seksual dari pelaku<br />

atau pengamat. Sayangnya, masih bayak kasus kekerasan seksual<br />

terhadap anak hanya sedikit yang tereskspos. Hal ini juga berkaitan<br />

dengan hukum yang ada di Indonesia. Berbicara tentang hukum di<br />

Indonesia, hukum harus mampu memberikan pencegahan dan efek jera<br />

terhadap perilaku dan pelaku kekerasan seksual.<br />

A. Latar Belakang<br />

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, anak adalah<br />

mereka yang masih berumur dibawah 16 tahun dan belum atau pernah<br />

menikah. 1 Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang<br />

Sistem Peradilan Anak, yang dimaksud anak-anak di sini adalah mereka<br />

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum atau pernah<br />

menikah, dan anak yang dapat bertanggung jawab mengenai tindakan<br />

pidananya adalah mereka yang sudah berusia 14 (empat belas) tahun. 2<br />

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah mereka yang<br />

masih berumur dibawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum atau<br />

pernah menikah. 3<br />

Anak adalah seseorang yang harus benar-benar kita lindungi<br />

dan kita bimbing dari sejak mereka kecil. Oleh karena itu, pemerintah<br />

dengan segala usahanya membuat peraturan ataupun undang-undang<br />

yang mengatur tentang anak. Entah anak itu sebagai pelaku ataupun<br />

korban.<br />

1 Pasal 45 KUHP.<br />

2 Pasal 1 ayat 3 dan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun<br />

2012 tentang Sistem Peradilan Anak.<br />

3 Pasal 330 KUHD.<br />

67


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Namun sayangnya, kepolosan dan keluguan anak-anak sering<br />

dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang dewasa. Anak-anak yang<br />

seharusnya menjadi objek arahan dan dibimbing ke sikap yang baik,<br />

tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan objek kekerasan, pelecehan,<br />

eksploitasi birahi dan seksual oleh orang remaja atau dewasa yang tidak<br />

punya hati nurani dan “akal sehat”. Anak-anak yang merupakan penerus<br />

bangsa dan berhak mendapatkan masa depan yang baik dan layak<br />

kenyataannya masa depan mereka direnggut oleh tangan-tangan nakal<br />

yang tidak tahu malu yang hanya memikirkan cara menyalurkan nafsu<br />

“binatang”-nya saja.<br />

Anak-anak belia yang mempunyai masa depan panjang dan<br />

digadang-gadang menjadi penerus bangsa yang seharusnya benar-benar<br />

dicetak menjadi penerus yang cerdas dan kreatif tetapi karena ulah<br />

oknum-oknum orang dewasa atau remaja masa depan mereka<br />

dihancurkan begitu saja. Seolah mereka tidak lagi diberi kesempatan<br />

untuk merasakan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Pelaku<br />

pelecehan seksual dengan teganya dan tanpa menggunakan logika dan<br />

akal pikirannya berperilaku layaknya “monster” penghancur masa<br />

depan korbannya.<br />

Dewasa ini, banyak sekali muncul kasus pelecehan dan<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kasus yang berkaitan dengan<br />

oknum cleaning service dan diduga terdapat oknum guru disebuah<br />

sekolah internasional di Jakarta pun pernah menjadi sorotan publik,<br />

bahkan publik sangat mengecam hal tersebut. Pasalnya, kasus tersebut<br />

selain mencoreng kelakuan manusia di zaman sekarang, hal itu juga<br />

mencoreng nama baik dunia pendidikan. Karena sejatinya, sekolah<br />

haruslah merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak,<br />

dan bukan tempat yang membuat masa depan mereka hancur<br />

berantakan.<br />

Bahkan, muncul sebuah kasus baru yang membawa nama<br />

seorang Raja di Surakarta yang sampai saat ini belum terselesaikan.<br />

Diduga, sang Raja mencabuli seorang siswi SMA hingga membuat<br />

siswi itu hamil 7 bulan. Dan masih banyak kasus lainnya pelecehan dan<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.<br />

Lalu sebenarnya apa yang kurang dan salah di Indonesia?<br />

Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberikan kasih sayang pada<br />

nyatanya psikis dan raga mereka dianiaya oleh orang yang tidak<br />

bertanggung jawab.<br />

B. Bentuk Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual pada umumnya adalah setiap tindakan atau<br />

perilaku atau gerak-gerik seksual yang tidak dikehendaki dalam bentuk<br />

verbal (kata-kata) atau tulisan, fisik, tidak verbal, dan visual untuk<br />

kepentingan seksual, memiliki muatan seksual, sehingga menyebabkan<br />

68


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kemarahan, perasaan terhina, malu, tidak nyaman, dan tidak aman bagi<br />

orang lain. 4<br />

Pelecehan atau kekerasan seksual pada anak adalah kekerasan<br />

seksual pada anak (child sexual abuse) di mana terjadi aktivitas atau<br />

kontak seksual yang melibatkan anak atau remaja dengan orang dewasa<br />

atau bahkan sebayanya. Jadi sekali lagi, pelaku bisa saja orang yang<br />

sudah dewasa dan cukup umur, atau bisa saja seorang anak atau<br />

remaja. 5 Pelecehan seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />

hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa (atau anak<br />

lainnya yang sebaya atau remaja) yang menggunakan si anak untuk<br />

simulasi seksual dari pelaku atau pengamat. 6<br />

Dari beberapa pengertian di atas maka bentuk dari pelecehan<br />

seksual bukan hanya melalui sentuhan dan persetubuhan, melainkan<br />

bisa juga melalui lirikan yang terasa menyudutkan dan mengintimidasi<br />

tubuh kita, melalui gambar-gambar porno, melalui lisan dan juga tulisan<br />

yang mengandung dan memuat unsur seksualitas. Tentunya pula juga<br />

mengandung unsur-unsur yang membuat tidak nyaman dan rasa risih<br />

dapat juga dikategorikan pelecehan seksual. Lebih parahnya lagi, jika<br />

pelecehan seksual memburuk menjadi eksploitasi seksual dimana<br />

termasuk salah satunya adalah penjualan anak untuk tujuan prostitusi<br />

dan pornografi.<br />

Namun, banyak anak-anak yang kebanyakan masih belum<br />

mengerti dan belum cukup bisa untuk mawas diri mengenai bagaimana<br />

modus operandi yang dilakukan dan juga korban tidak akan menyangka<br />

kalau ternyata orang terdekat merekapun dapat menjadi pelaku.<br />

Memang kebanyakan kasus dari pelecehan seksual terhadap anak-anak<br />

ini adalah orang terdekat mereka bisa dari keluarga, tetangga, teman,<br />

saudara, guru, dan juga bisa dari orang yang mereka baru kenal.<br />

C. Sebab dan Akibat Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />

Tidak habis pikir memang, kenapa anak-anak yang tidak<br />

berdosa menjadi objek kekerasan seksual dan komoditas prostitusi.<br />

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa korban belum<br />

mengetahui persis modus operandi apa yang digunakan oleh pelaku.<br />

Tetapi karena minimnya pengetahuan itu, korban dapat dengan mudah<br />

masuk dalam perangkap pelaku. Kebanyakan kasus itu dimulai dari<br />

4<br />

Christina Yulita dkk, Pelecehan Seksual, diakses dari<br />

http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehan-seksual_22.html<br />

5 Info Psikologi, Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />

Apa Bentuk-bentuknya,diakses dari http://infopsikologi.com/apa-itu-bentukpelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/<br />

6 Christina Yulita dkk, Op. Cit.<br />

69


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

percakapan ringan, rayuan, penipuan, menjadi korban pemerkosaan dan<br />

atau dikorbankan kepada orang lain untuk dijadikan objek pencabulan.<br />

Suyanto (2002) menjelaskan bahwa maraknya praktik<br />

perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan berbagai<br />

faktor, yaitu: pertama, adanya kepercayaan para konsumen (laki-laki<br />

hidung belang) bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagai<br />

obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki terntentu. Kedua,<br />

anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum<br />

banyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selera<br />

konsumen. Faktor pertama dan kedua merupakan pandangan dari<br />

seorang pedofil yang menyukai untuk melakukan hubungan seks<br />

dengan anak-anak. Ketiga, orang tua terkadang memandang anak<br />

perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan, sehingga<br />

orang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untuk<br />

harga keperawanannya. Keempat, pandangan seksualitas yang sangat<br />

menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi<br />

kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan<br />

dirinya, hal ini seperti dua responden penulis yang terjerumus kedalam<br />

sindikat perdagangan perempuan (trafficking in women) karena dipaksa<br />

pacarnya. Kelima, karena jeratan utang. Terkadang orang tua meminjam<br />

uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi.<br />

Ketika utang sudah jatuh tempo dan dan tidak dapat dikembalikan,<br />

maka anak perempuan yang berutang diminta bekerja kepada germo<br />

tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai pelayan seks<br />

laki-laki hidung belang. Keenam, adanya kemiskinan struktural dan<br />

disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. 7<br />

Selain itu juga terdapat faktor lain seperti yang ditulis Abdul<br />

Wahid dan Muhammad Irfan (2001:72), yaitu:<br />

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai<br />

etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak<br />

lain untuk berbuat yang tidak senonoh dan jahat;<br />

2. Gaya hidup atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang<br />

semakin bebas, kurang bisa lagi membedakan mana yang<br />

seharusnya boleh dikerjakan dengan mana yang dilarang dalam<br />

hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan laki-laki<br />

dengan perempuan;<br />

3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma<br />

keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai<br />

keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi<br />

horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah<br />

7<br />

Dalam: Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan<br />

terhadap Anak). Bandung: Penerbit Nuansa.<br />

70


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan<br />

merugikan orang lain;<br />

4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya<br />

berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar<br />

hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan<br />

pengawasan dari unsur-unsur masyarakat;<br />

5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti sanksi yang dirasa<br />

ringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat<br />

mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji<br />

dan jahat. Artinya, mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa<br />

takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;<br />

6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu<br />

seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan<br />

menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya; dan<br />

7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam<br />

terhadap sikap, ucapan (keputusan), dan perilaku korban yang<br />

dianggap menyakiti dan merugikan.<br />

Tentunya yang merasa paling dirugikan di sini adalah korban.<br />

Akibat yang paling dirasakan adala berimbas pada kondisi psikis dan<br />

mental korban, terlebih lagi korban di sini adalah seorang anak yang di<br />

usia mereka belum mampu melakukan hubungan intim.<br />

Yang paling fatal adalah bila kejadian pelecehan tersebut sangat<br />

mengganggu psikis korban. Akan ada reaksi pergulatan di hati dan<br />

pikiran mereka. Mereka akan merasa ketakutan dan bertanya-tanya pada<br />

diri mereka sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa hal itu<br />

bisa terjadi dan menimpa diri mereka, dan mereka akan bertanya<br />

mengapa seperti ini. Di sinilah puncaknya, mereka akan perlahan-lahan<br />

menarik diri dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri. Bahkan<br />

korban tiba-tiba dapat berubah menjadi ketakutan terhadap suatu hal.<br />

Rusmil (2004:61) mengemukakan bahwa anak-anak yang<br />

menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran<br />

menghadapi risiko:<br />

1. Usia yang lebih pendek<br />

2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk<br />

3. Masalah pendidikan (termasuk drop out dari sekolah)<br />

4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak<br />

5. Menjadi gelandangan<br />

Akibat lain yang mungkin dapat menimpa korban adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga<br />

akibat kehilangan kehormatannya di mata masyarakat. Korban akan<br />

merasa gelisah sepanjang waktu, kehilangan rasa percaya diri, tidak<br />

71


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

lagi ceria, sering melamun, menutup diri, menjauhi lingkungan,<br />

menjauhi keramaian, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan<br />

jenis, curiga yang berlebihan terhadap orang lain, dan akan<br />

menyisakan rasa trauma yang sangat mendalam;<br />

2. Kehamilan yang mungkin dapat terjadi;<br />

3. Penderitaan fisik, artinya akibat dari kekerasan seksual tersebut<br />

akan menimbulkan luka pada diri korban, buruknya lagi apabila<br />

sampai tertular penyakit kelamin;<br />

4. Tumbuh rasa kekurangan kepercayaan pada penanganan aparat<br />

praktis hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak<br />

menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka<br />

terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan<br />

secara diskriminatif dan kondisinya akan semakin menderita<br />

kejiwaannya dan lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerus<br />

oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung<br />

berakhir; dan<br />

5. Merasa tidak berharga dan putus asa dengan keadaan. Bisa saja<br />

korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, atau bisa saja<br />

korban terjerumus dalam dunia prostitusi sebagai wujud bentuk<br />

protes ketidakadilan dunia terhadap dirinya, oleh karena itu korban<br />

terjun ke jalan yang salah.<br />

D. Hukum di Indonesia dalam Menyikapi Kekerasan Seksual<br />

Banyak kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak di<br />

Indonesia, namun kasus kekerasan seksual di Indonesia memang sangat<br />

sulit diungkap atau merupakan fenomena gunung es. Meskipun<br />

kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering<br />

sangat terlambat. Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai<br />

pemicu mengapa kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak<br />

terjadi.<br />

Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual sulit<br />

diungkap adalah sebagai berikut:<br />

1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya karena<br />

takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanya<br />

ancaman) maupun dari kejadian itu sendiri (trauma).<br />

2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih dewasa<br />

sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan)<br />

bahwa dia adalah pelakunya. Pelaku akan berkata bahwa laporan<br />

dari korban merupakan suatu kebohongan atau merupakan imajinasi<br />

semata.<br />

3. Keluarga yang mengalami kasus kekerasan seksual menganggap<br />

bahwa itu merupakan suatu aib yang harus ditutupi dan sangat<br />

memalukan.<br />

72


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak<br />

patut dicampuri oleh masyarakat.<br />

5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas anak-anak yang<br />

mangalami kekeerasan seksual, karena seringnya ciri-cirinya tidak<br />

bisa dilihat secara kasat mata.<br />

6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui pasti dan jelas<br />

oleh masyarakat luas.<br />

Berbagai pandangan yang berkaitan dengan tujuan hukum<br />

pidana Indonesia itu terkait dengan ketiadaan (kevakuman) rumusan<br />

konkret dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Baru<br />

kemudian dalam rancangan KUHP baik pada konsep (RUU KUHP)<br />

tahun 1972 maupun 1982 dijelaskan mengenai tujuan hukum pidana.<br />

Dalam RUU KUHP 1982, dijelaskan mengenai tujuan pemidanaan<br />

secara akademis berikut ini: 8<br />

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan norma<br />

hukum demi pengayoman masyarakat<br />

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan<br />

hingga menjadikannya orang baik dan berguna<br />

3. Menyelesaikan konkret yang ditimbulkan oleh tindak pidana<br />

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam<br />

masyarakat<br />

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Ninik Suparmi:1996:2)<br />

Hukum di Indonesia dalam menyikapi kekerasan seksual<br />

mempunyai tujuan tertentu dibaliknya, sebagai berikut:<br />

1. Pelaku<br />

Berkaitan dengan pelaku, hukuman yang dijatuhkan merupakan<br />

balasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosadosa<br />

(atas kekejian) yang dilakukan kepada korban. Pelaku<br />

dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnya<br />

menjadi jera atau agar dikemudian hari tidak mengulangi lagi<br />

perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia<br />

pada pintu tobat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia<br />

dalam membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa,<br />

tercela, menodai agama, dan merugikan orang lain. Manusia<br />

(pelaku) diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebannya<br />

di dunia, namun juga diorientasikan untuk meringankan beban yang<br />

harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.<br />

2. Masyarakat<br />

Hukuman yang cukup berat dijatuhkan pada pelaku itu diharapkan<br />

menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari<br />

8 Dalam Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid: 2012: 100.<br />

73


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kecenderungan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi<br />

(pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat<br />

tidak meluruskan aksi kejahatannya. Jika pelaku kejahatan<br />

kekerasan seksual mendapatkan sanksi hukum sebagaimana yang<br />

digariskan dalam syariat islam, maka sangat mungkin anggota<br />

masyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat<br />

dicegahnya.<br />

3. Korban<br />

Dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara<br />

tidak langsung hal itu merupakan bentuk suatu perhatian<br />

(perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan.<br />

Perlindungan hukum kepada anak (khususnya perempuan) yang<br />

menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada<br />

dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat yang menimpanya,<br />

seperti kehamilan akibat pemerkosaan.<br />

Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajib<br />

ditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagai<br />

macam dampak buruk yang menimpa dirinya pasca tindak kekerasan itu<br />

mendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Korban tidak<br />

boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya,<br />

namun wajib difasilitasi oleh penegak hukum dalam memperjuangkan<br />

nasibnya.<br />

Terkadang, dalam kasus penyelesaian pengadilan, banyak<br />

keluarga korban merasa tidak puas terhadap hasil sidang dan vonis<br />

hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku kekerasan seksual.<br />

Karena logikanya mereka telah merenggut kehidupan dan masa depan<br />

dari korban bahkan bisa saja hal ini masih mempengaruhi di kehidupan<br />

korban ke depannya, tetapi putusan hakim memberikan hukuman yang<br />

dirasa tidak setimpal.<br />

Ancaman pidana terhadap pelaku pencabulan diatur dalam pasal<br />

289 KUHP. Pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun<br />

penjara. Pro dan kontra tentu juga menyertai tentang ancaman pidana<br />

dalam pasal ini.<br />

Masalahnya adalah tidak adanya ketentuan minimal ancaman<br />

hukuman yang diberikan hanya terdapat maksimal. Artinya adalah<br />

berapapun lamanya ancaman pidana yang diberikan asalkan tidak lebih<br />

dari 9 tahun itu diperbolehkan karena tidak adanya ketentuan minimal.<br />

Berarti putusan hakim yang memberikan ancaman pidana 9<br />

bulan itu juga sah-sah saja, karena mengacu pada pasal 289 KUHP<br />

disana ketentuannya adalah maksimal 9 tahun.<br />

Disinilah dipertanyakannya letak keadilan. Ibaratkan saja<br />

adalah ketika A (usia 35 tahun) telah melakukan perbuatan asusila<br />

terhadap H (usia 13 tahun) diberikan hukuman 2 tahun penjara padahal<br />

74


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

A telah merebut masa depan H yang mungkin lebih dari 20 tahun. Di<br />

sinilah yang harus dikaji ulang mengenai pengaplikasian pasal 289<br />

KUHP dalam menyelesaikan perkara.<br />

Esensi dan tujuan dari hukum di Indonesia adalah demi<br />

kebaikan masyarakatnya sendiri. Sejatinya hukum dibuat untuk<br />

manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Di Indonesia masih banyak kasus-kasus tentang kekerasan<br />

seksual Indonesia yang belum terbongkar. Meskipun kasusnya sudah<br />

teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering terlambat.<br />

Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai pemicu mengapa<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak terjadi.<br />

Perlu adanya kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat<br />

sehingga masyarakat mau untuk melaporkan tindak kekerasan seksual<br />

tersebut dan para penegak hukum dapat memprosesnya dengan adil.<br />

Karena hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />

Sebenarnya upaya pencegahan yang paling ampuh adalah<br />

dengan membentengi diri kita sendiri dengan nilai dan norma yang<br />

berlaku. Dengan tertanamnya sebuah nilai dan norma yang baik akan<br />

timbul pula pemikiran yang positif dan tindakan terpuji.<br />

Berikut ini adalah upaya pencegahan yang mungkin dapat<br />

dilakukan:<br />

1. Menanamkan nilai dan norma yang berlaku<br />

Seperti yang sebelumnya sudah disinggung bahwa dengan adanya<br />

penanaman sifat dan sikap yang baik kepada semua orang dan tak<br />

terkecuali, maka akan menimbulkan sifat positif yang baik pula.<br />

2. Perlu adanya tinjauan kembali terhadap undang-undang yang<br />

berhubungan dengan anak-anak, khususnya adalah tentang<br />

kekerasan seksual<br />

Tak sedikit orang yang menganggap bahwa hukuman pelaku<br />

kekerasan seksual terlalu ringan dan dirasa tidak adil karena<br />

hukuman dianggap ringan. Hal ini tentu tidak menimbulkan efek<br />

jera terhadap pelaku kekerasan seksual dan pelaku tetap berada<br />

pada penyimpangan seks tersebut. Lebih khawatirnya lagi adalah<br />

ketika munculnya pelaku-pelaku kekerasan seksual yang baru.<br />

3. Adanya sex education dengan proporsi yang sesuai<br />

Ini menjadi perdebatan yang serius karena jika kita salah satu<br />

langkah saja maka akan menyimpang. Tidak semua masyarakat<br />

setuju dengan sex education. Mereka yang tidak setuju adalah<br />

karena dipandang anak-anak belum harus mengetahui hal tabu<br />

tersebut, karena umur mereka masih belum dewas, hal ini<br />

dikhawatirkan malah sebaliknya, mereka akan penasaran dan<br />

mencoba melakukan hal tersebut. Mereka yang setuju adalah karena<br />

75


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sex education itu dapat menjadi pegangan oleh anak-anak agar<br />

mereka mengetahui tentang pertumbuhan dan perubahan yang<br />

terjadi pada tubuh mereka.<br />

4. Adanya perlindungan dan perhatian dari keluarga kepada anakanaknya<br />

Tentu ini adalah hal yang terpenting. Selama keluarga masih dapat<br />

diandalkan dan merupakan tempat kembali setelah kepenatan dan<br />

saling menyayangi satu sama lain maka kecil kemungkinannya<br />

terjadi kekerasan seksual.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

. 2014. “Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />

Apa Bentuk-Bentuknya”. (Online), (http://infopsikologi.com/apaitu-bentuk-pelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/),<br />

diakses tanggal 10 oktober 2014.<br />

Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak).<br />

Bandung: Penerbit Nuansa.<br />

Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid. 2001. Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan). Bandung: PT Refika Aditama.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.<br />

Umabaihi, Cua. 23 Juli 2012. “Pelecehan Seksual”.(Online),<br />

(http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehanseksual_22.html),<br />

diakses tanggal 10 Oktober 2014.<br />

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.<br />

76


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP<br />

TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

Abstrak<br />

Kekerasan seksual seringkali diidentikkan hanya sebatas pada tindakan<br />

pemerkosaan saja. Hal ini dikarenakan maraknya terjadi kasus<br />

pemerkosaan belakangan ini yang menimbulkan banyak keresahan<br />

dalam masyarakat khususnya kaum wanita dan orang tua. Apabila<br />

ditilik lebih lanjut, permasalahan kekerasan seksual memiliki lingkup<br />

yang sangat luas, dimana tidak hanya terbatas pada persoalan hukum<br />

saja, namun melibatkan faktor lain contohnya faktor internal dalam<br />

suatu masyarakat yaitu kebudayaannya. Kebudayaan dalam<br />

masyarakat merupakan cerminan nilai-nilai yang mayoritas mereka<br />

anut. Sehingga, tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan memegang<br />

andil yang cukup besar untuk menentukan bentuk penyelesaian kasus<br />

kekerasan seksual. Namun dipihak lain, kebudayaan tersebut ternyata<br />

dapat menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum kasus kekerasan<br />

seksual disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang<br />

membuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk<br />

menjangkaunya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat kiranya<br />

digunakan sudut pandang ilmu kriminologi untuk membantu kita<br />

memahami kasus kekerasan seksual.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kejahatan merupakan suatu peristiwa yang apabila kita ingin<br />

memahaminya secara utuh, maka harus diliat dari berbagai sisi yang<br />

berbeda.Itu sebabnya dalam keseharian kita seringkali menangkap<br />

berbagai komentar tentang peristiwa kejahatan yang berbeda antara<br />

yang satu dengan yang lain.<br />

Mempelajari kejahatan dan masalah-masalah yang melekat<br />

padanya dapat dilakukan dengan mempelajari sifat dan bentuk serta<br />

perkembangan tingkah laku. Kejahatan sebagai suatu perilaku adalah<br />

suatu tindakan yang menyimpang, bertentangan dengan hukum atau<br />

melanggar peraturan perundang-undangan, serta merugikan masyarakat<br />

baik dipandang dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban anggota<br />

masyarakat. 1 Salah satu bentuk kejahatan tindak pidana yang akan kami<br />

1 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta:<br />

Laksbang Grafika, 2013), hlm. 89.<br />

77


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahas secara khusus dan terjadi di dalam masyarakat adalah tindak<br />

pidana pemerkosaan. 2<br />

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Kejahatankejahatan<br />

Melanggar Kesopanan, kata zeden dalam titel asli Bab XIV<br />

buku ke-II dan Bab VI buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum<br />

Pidana, yang ditulis beliau dengan kata yang sama yakni kesopanan,<br />

maka kesopanan dapat dibagi kedalam dua bidang, yaitu: 3<br />

1. Kesopanan di bidang kesusilaan (disebut zedelijkheid), dan<br />

2. Kesopanan di luar bidang kesusilaan (disebut zeden).<br />

Arti kesopanan yang dimaksud itu lebih luas dari kata<br />

kesusilaan, karena kesusilaan adalah bagian dari kesopanan. Namun<br />

kenyataannya, para ahli hukum kita menggunakan dua istilah, yaitu<br />

kesusilaan dan kesopanan sebagai salinan dari kata zeden dalam judul<br />

titel XVI buku II dan titel VI buku III Kitab Undang-undang Hukum<br />

Pidana. 4 Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan<br />

kesopanan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah<br />

seksual, atau disebut kejahatan kesusilaan. Tindak pidana perkosaan ini<br />

termasuk ke dalam salah satunya. 5<br />

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara (Guru Besar Kriminologi<br />

Universitas Indonesia), mengatakan: 6<br />

“Terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak<br />

bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual<br />

(pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism).<br />

Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan<br />

dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku<br />

sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus<br />

melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur. Dari<br />

ketiga faktor tersebut, masalah utama adalah lemahnya<br />

perlindungan terhadap anak baik dari orang tua, keluarga,<br />

lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah”.<br />

Kasus kekerasan seksual seringkali melibatkan pelaku yang<br />

sebelumnya telah dikenal oleh korban, atau dengan kata lain merupakan<br />

2 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />

Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 64.<br />

3 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT<br />

Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 4.<br />

4 Ibid.<br />

5 Ibid, hlm. 5.<br />

6 Website Komisi Perlindungan Anak Indonesia,Jakarta, 15 Agustus<br />

2014, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, http://www.kpai.go.id/<br />

berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/, diakses pada tanggal 10<br />

September 2014.<br />

78


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari korban. Menurut Rita<br />

Selena Kolibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Yayasan<br />

Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: 7<br />

“Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban,<br />

apalagi ialah ayah korban sendiri, makin sulit untuk<br />

menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum,<br />

orang tua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani<br />

proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk<br />

membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal<br />

dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12<br />

tahun harus didampingi orang tua atau wali.”<br />

Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadap<br />

wanita dan anak perlu mendapat perhatian yang intensif. Selain<br />

memang karena mayoritas korban kekerasan seksual adalah wanita dan<br />

anak-anak, terdapat pula kecenderungan bahwa mereka sering diabaikan<br />

oleh lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan perhatian dan<br />

perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. 8 Sebagaimana kita<br />

ketahui, dampak dari perilaku tersebut terhadap anak-anak sangatlah<br />

besar, yaitu dapat merusak mental korban bahkan seringkali<br />

menyebabkan korban mengalami keterbelakangan mental akibat trauma<br />

yang dirasakannya. Atas dasar itulah, menjadi sangat penting jika kita<br />

terus mencari solusi terbaik guna pencegahan serta penanggulangan dari<br />

kekerasan seksual. 9<br />

Data yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan menunjukkan sedikitnya terdapat 35 perempuan menjadi<br />

korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, tercatat<br />

4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Perkosaan dan<br />

pencabulan merupakan jenis kekerasan yang paling banyak ditangani,<br />

dan mencapai angka 1.620 kasus. Kekerasan seksual tersebut terjadi<br />

baik terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakat<br />

maupun dilakukan oleh aparat negara. 10<br />

Apabila kita hubungkan dengan sistem peradilan pidana yang<br />

digariskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dimana<br />

menerapkan sebuah “sistem terpadu” (integrated criminal justice<br />

7 Ibid, hlm. 2-3.<br />

8 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />

Bunga Rampai), (Bandung: P.T. Alumni, 2009), hlm. 1.<br />

9 Ibid, hlm. 3.<br />

10 Website Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,<br />

Jakarta, 25 November 2013, Segerakan Penanganan yang Mumpuni bagi<br />

Perempuan Korban Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-hari-anti-kekerasanterhadap-perempuan-25-november-10-desember-2013/,<br />

diakses pada tanggal<br />

17 September 2014.<br />

79


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

system). Sistem terpadu ini diletakkan di atas landasan prinsip<br />

diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan<br />

“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada<br />

masing-masing. 11 Dari gambaran singkat integrated criminal justice<br />

system, dapat dilihat: berhasil atau tidak fungsi proses pemeriksaan<br />

sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim<br />

menyatakan terdakwa “salah” serta “memidananya”, sangat tergantung<br />

atas “hasil penyidikan” Polri. 12<br />

Berangkat dari latar belakang diatas, penulis ingin melakukan<br />

penelitian faktor-faktor kriminologis apa yang menyebabkan terjadinya<br />

tindak pidana pemerkosaan, serta upaya penegakan hukum apa yang<br />

dilakukan oleh aparat penegak hukum di tingkat penyidikan oleh pihak<br />

Kepolisian Resort Ogan Ilir dalam mengatasi tindak pidana pencabulan<br />

yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Ogan Ilir ini dengan judul<br />

“Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi<br />

1.1. Pengertian Kriminologi<br />

Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disiplin<br />

ilmu sosial atau non-normative discipline yang mempelajari kejahatan<br />

dari segi sosial. Kriminologi disebut sebagai ilmu yang mempelajari<br />

manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu,<br />

sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.<br />

Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian<br />

mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalam<br />

masyarakat, atau dengan kata lain mengapa sampai terdakwa melakukan<br />

perbuatan jahatnya itu. 13<br />

Kriminologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua suku<br />

kata yakni “crimen” dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan dan<br />

“logos” berarti ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat dikatakan<br />

kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau ilmu<br />

tentang kejahatan.. 14<br />

Jika dikaji secara mendalam, dapat ditarik kesmipulan<br />

mengenai perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang<br />

berdiri sendiri, yaitu: 15<br />

11<br />

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />

KUHAP, Ed. 2, Cet. 14, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 90.<br />

12 Ibid, hlm.91.<br />

13 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 1.<br />

14 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit, hlm. 1.<br />

15<br />

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,<br />

(Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 5-6.<br />

80


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

a. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang<br />

tidak jauh berbeda dengan studi tingkah laku lainnya yang bersifat<br />

nonkriminal.<br />

b. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat intern dan multi-disiplin,<br />

bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.<br />

c. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu<br />

pengetahuan lainnya.<br />

d. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan<br />

sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek<br />

perlakuan sarana peradilan pidana.<br />

e. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu<br />

pengetahuan lainnya, sehingga tidak lagi merupakan bagian<br />

daripadanya.<br />

Kriminologi memiliki peran yang penting perkembangan serta<br />

pembaharuan ilmu hukum pidana. Peran yang penting tersebut salah<br />

saunya dikarenakan kriminologi memberikan kontribusinya dalam<br />

menentukan ruang lingkup daripada kejahatan atau perilaku yang dapat<br />

dihukum, sedangkan hukum pidana bukanlah merupakan silogisme dari<br />

pencegahan kejahatan, akan tetapi merupakan jawaban terhadap adanya<br />

kejahatan. Kriminologi dibutuhkan oleh hukum pidana, sebab hasilhasil<br />

dari penyelidikannya dapat dipergunakan untuk menyusun<br />

undang-undang untuk memberantas kejahatan. 16<br />

1.2. Teori Kriminologi tentang Sebab-sebab Kejahatan<br />

Dalam ilmu kriminal, etiologi kriminal (criminele aetiologie)<br />

adalah ilmu yang menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan<br />

atau asal usul kejahatan (kausa kejahatan). Di samping fenomena<br />

kejahatan yang sukar dirumuskan sehubungan dengan sifat kriminalitas<br />

itu sendiri, maka dengan sendirinya sukar pula untuk dapat menemukan<br />

sebab-musabab kejahatan. 17<br />

Kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan, sehingga yang<br />

menjadi misi kriminologi adalah: 18<br />

a. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang<br />

terjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapa<br />

penjahatnya merupakan bahan penelitian para kriminolog;<br />

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya atau<br />

dilakukannya kejahatan.<br />

16 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit., hlm. 24.<br />

17 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 97.<br />

18 Ibid. hlm. 21.<br />

81


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menurut Bonger, adapun beberapa unsur yang turut menjadi<br />

penyebab terjadinya kejahatan dari hasil penelitian dan penyelidikan<br />

adalah sebagai berikut: 19<br />

a. Terlantarnya anak-anak 20<br />

Terlantarnya anak-anak menyebabkan tidak optimalnya<br />

penyampaian nilai serta norma yang baik kepada anak tersebut.<br />

Sehingga, besar kemungkinkan kelak dewasa sang anak akan besar<br />

dengan nilai-nilai yang diterimanya di lingkungan tanpa mengetahui<br />

mana yang benar dan salah. Hal-hal demikian tersebut dapat<br />

menimbulkan dampak berkelanjutan yang besar, yaitu melahirkan<br />

generasi penjahat.<br />

b. Kesengsaraan 21<br />

Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu paling berpengaruh dan<br />

tidak terelakkan dalam menentukan perilaku hidup seseorang.<br />

Tingginya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya tak dapat<br />

diabaikan terhadap meningkatnya kejahatan.<br />

c. Nafsu ingin memiliki 22<br />

Kesengsaraan dalam masyarakat merupakan unsur sosiologis akan<br />

terjadinya kejahatan.<br />

d. Demoralisasi seksual 23<br />

Psiko-patologi menyatakan bahwa lingkungan pendidikan seseorang<br />

pada waktu mudanya amat berpengaruh terhadap adanya kelainan<br />

seksual, terutama berkaitan dengan kejahatan.<br />

e. Alkoholisme 24<br />

Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan sampai sekarang masih<br />

menempati posisi yang cukup besar dan beragam.<br />

f. Rendahnya budi pekerti 25<br />

Lingkungan masyarakat yang kurang mempertahankan norma-norma<br />

yang berlaku termasuk rendahnya pendidikan dan pengetahuan juga<br />

berakibat bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Hal demikian<br />

disebabkan oleh kurangnya kontrol sosial dari lingkungan.<br />

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana<br />

2.1. Pengertian Tindak Pidana<br />

Dalam doktrin hukum, dikenal dua paham yang saling<br />

bertentangan dalam mengkaji dan memandang stafbaar feit, yaitu<br />

paham monisme dan paham dualisme. Paham monisme tidak secara<br />

19 Ibid. hlm. 97.<br />

20 Ibid. hlm. 98.<br />

21 Ibid.<br />

22 Ibid, hlm. 99.<br />

23 Ibid, hlm. 100.<br />

24 Ibid.<br />

25 Ibid, hlm. 101.<br />

82


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan unsur syaratsyarat<br />

dipidananya si pembuat, sedangkan paham dualisme memisahkan<br />

antara unsur-unsur yang mengenai tindak pidana dan unsur-unsur<br />

mengenai syarat dipidananya si pembuat. 26<br />

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang<br />

diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 27 Hal ini<br />

berarti perbuatan yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang<br />

menimbulkan akibat dilarang dan diancam sanksi pidana bagi orang<br />

yang melakukan perbuatan tersebut. Perumusan yang lazim dari<br />

pengertian tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia,<br />

yang termaksud dalam batas-batas perumusan suatu delik yang<br />

melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada si<br />

petindak. 28<br />

3. Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan<br />

3.1. Pengertian Pemerkosaan<br />

Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285<br />

KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan<br />

ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan<br />

dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya<br />

dua belas tahun”.<br />

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari<br />

kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa<br />

berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar<br />

(menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan<br />

sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar dengan<br />

kekerasan.<br />

Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah:<br />

1) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita<br />

tanpa persetujuannya.<br />

2) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang<br />

wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan<br />

kemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan.<br />

3) Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap<br />

seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya,<br />

dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi<br />

ancaman lannya. (Suryono Ekotama dkk, 2001: 99).<br />

26 Adam Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Surabaya: Putra<br />

Media Nusantara, 2009), hlm. 16.<br />

27 Suharto R.M., Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif Sebagai<br />

Dasar Dakwaan), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28.<br />

28 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I,<br />

Bandung: Alumni, 1989, hlm. 12.<br />

83


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rumusan pada pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa<br />

“Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa<br />

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena<br />

perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas<br />

tahun.”<br />

Mencermati dari pasal 285 KUHP diatas, diketahui bahwa<br />

perkosaan (pemerkosaan) memiliki unsur “memaksa” dan “dengan<br />

kekerasan”. Tindak pidana pada pasal 285 KUHP ini mirip dengan<br />

tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 289 KUHP yang<br />

dirumuskan sebagai: “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan<br />

memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan<br />

perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang<br />

kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.<br />

Perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289 itu merupakan<br />

perbuatan cabul yang mengandung pengertian umum, yang meliputi<br />

juga perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus.<br />

Kedua tindak pidana tersebut mempunyai beberapa perbedaan<br />

pengertian, yaitu:<br />

1) “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP<br />

hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,<br />

sedangkan “perkosaan untuk cabul” pada pasal 289 KUHP juga<br />

dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.<br />

2) “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar<br />

perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa<br />

istrinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” juga<br />

dapat dilakukan di dalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang<br />

suami memaksa istrinya untuk cabul, atau seorang isteri memaksa<br />

suaminya untuk cabul (M. Sudradjat Bassar, 1986: 166).<br />

Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada cara melakukan<br />

perbuatan tersebut, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />

Tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan ia di luar perkawinan<br />

(Djoko Prakoso, 1988: 51).<br />

3.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan<br />

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />

praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasa seksual<br />

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />

korban kejahatan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat<br />

dibedakan menjadi dua yaitu:<br />

1) Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal<br />

285<br />

84


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam<br />

pasal 289<br />

Ad.1 Pasal 285 KUHP,”Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan<br />

dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun”.<br />

Inti delik dari pasal 285 ini adalah:<br />

a. Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman<br />

kekerasan<br />

b. Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan<br />

itu tidak dapat melawa dan terpaksa melakukan persetubuhan.<br />

c. Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak<br />

dikawini secara sah.<br />

d. Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara<br />

pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.<br />

Unsur dari pasal 285 itu adalah:<br />

1) Barang siapa;<br />

2) Dengan kekerasan;<br />

3) Dengan ancaman kekerasan;<br />

4) Memaksa;<br />

5) Seorang wanita (diluar perkawinan);<br />

6) Bersetubuh.<br />

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal<br />

285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang<br />

akan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal ini<br />

adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum<br />

yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Tidak terdapat sanksi<br />

minimal, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapa pun<br />

lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan<br />

vonis. Dalam pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur<br />

kesalahan. apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya<br />

unsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan<br />

dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsur<br />

kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencana<br />

dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti<br />

ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.<br />

Ad 1.Unsur “barang siapa”<br />

Barang siapa sebagai subyek tindak pidana dalam KUHP<br />

memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis. Namun jika kita<br />

simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimulkan<br />

85


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah manusia atau<br />

badan hukum.<br />

Ad 2. Unsur “Kekerasan”<br />

Kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang<br />

menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu<br />

melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam<br />

tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap,<br />

mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain<br />

sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan<br />

orang yang terkena tidak berdaya.<br />

Ad 3. Unsur ancaman kekerasan<br />

Ancaman kekerasan dapat berupa serangan psikis yang<br />

menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu<br />

melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum<br />

diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak<br />

mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam<br />

dengan kekerasan.<br />

Ad 4. Unsur “Memaksa”<br />

Memaksa dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan<br />

kehendak antara pelaku dengan korban. Karenanya, tidak ada perkosaan<br />

apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas<br />

dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak akan ada kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan bila tidak ada memaksa.<br />

Ad 5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita<br />

diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari<br />

adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:<br />

a. perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita<br />

b. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap<br />

laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadap<br />

wanita.<br />

c. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh lakilaki<br />

yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi<br />

korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami<br />

terhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan<br />

yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya).<br />

Ad 6. Unsur bersetubuh<br />

Selesainya tindakan perkosaan ditandai dengan terjadinya<br />

persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak<br />

pidana perkosaan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi<br />

86


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalam<br />

kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.<br />

C. Hasil Penelitian<br />

Kekerasan seksual dengan keadaan lingkungan sekitar memiliki<br />

hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini penulis kemukakan<br />

bukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian penulis di Wilayah<br />

Kabupaten Ogan Ilir, penulis menemukan bahwa persentase kekerasan<br />

seksual khususnya pemerkosaan yang terjadi di wilayah ini cukup tinggi<br />

dan mengalami peningkatan disetiap tahunnya.<br />

Menurut data yang penulis dapatkan dari Polres Ogan Ilir,<br />

tercacat 13 kasus pemerkosaan terjadi pada tahun 2012. Kasus ini tidak<br />

berhenti pada angka itu saja, pada tahun 2013 terjadi suatu peningkatan<br />

yang bisa dikatakan sangat signifikan yaitu tercatat terjadi 20 kasus<br />

yang sama. Pada tahun 2014 ini sampai dengan bulan Oktober jumlah<br />

kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 20 kasus dan tidak menutup<br />

kemungkinan bahwa angka ini akan terus meningkat mengingat<br />

kebanyakan kasus terjadi menjelang pergantian tahun.<br />

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus<br />

pemerkosaan di wilayah ini. Seperti yang telah penulis kemukakan<br />

diawal bahwa keadaan lingkungan sangat berpengaruh, dimana<br />

lingkungan di wilayah ini lebih dikenal dengan wataknya yang keras<br />

sehingga tidak menjadi hal yang tabu lagi ketika kekerasan seksual<br />

berada pada persentase yang cukup tinggi.<br />

Pihak kepolisian (Polres Ogan Ilir) sendiri telah melakukan<br />

upaya penanggulangan dalam rangka menekan persentase kasus<br />

pemerkosaan yang terjadi. Upaya tersebut salah satunya ialah<br />

melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan dampak<br />

pacaran. Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan pula bentuk-bentuk<br />

kekerasan seksual dan faktor penyebab terjadinya pemerkosaan. Upaya<br />

ini tidak hanya dilakukan oleh Pihak Polres saja tetapi juga turut<br />

melibatkan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak serta ormasormas<br />

yang bergerak dibidang ini dilingkungan Ogan Ilir.<br />

Menurut penulis, perlu juga dilakukan upaya tambahan selain<br />

sosialisasi, yaitu dengan melakukan tambahan jam pelajaran dan mata<br />

kuliah keagamaan di sekolah dan perguruan tinggi atas dasar penerapan<br />

sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />

Namun, terdapat sedikit hambatan dalam hal penegakkan<br />

hukum terhadap kasus pemerkosaan ini. Dimana dalam suatu tindak<br />

pidana dibutuhkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang<br />

menerangkan telah terjadinya suatu tindakan tersebut. Disini tindak<br />

pidana perkosaan merupakan kasus yang kasuistis, maksudnya tindak<br />

pidana perkosaan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti dan barang<br />

bukti bahwa tindak pidana tersebut telah terjadi. Dalam membuktikan<br />

87


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

telah terjadi atau belum tindak pidana perkosaan sering mengalami<br />

kesulitan. Kesulitan yang dimaksud yaitu tidak terdapatnya saksi yang<br />

melihat langsung kejadian kecuali saksi korban dan terdakwa saja, serta<br />

terdakwa tidak mau mengakui bahwa kejadian tersebut tidak ia lakukan<br />

atau terdakwa selalu berkelik bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas<br />

dasar suka-sama suka. Selanjutnya ketika tindak pidana ini terjadi<br />

dalam lingkungan keluarga, pihak kepolisian juga memiliki kesulitan<br />

dalam menanganinya dikarenakan pihak keluarga tidak mau<br />

menceritakan kronologis terjadinya sebab mereka beranggapan bahwa<br />

itu merupakan sebuah aib bagi keluarga. Sehingga, dalam hal ini hakim<br />

akan sangat sulit untuk membuktikan dan memutus perkara tersebut.<br />

Hal ini juga di perburuk dengan etika para penegak hukum yang kurang<br />

etis dalam menangani dan memutus perkara perkosaan.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Secara teori banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak<br />

pidana perkosaan. Apabila faktor tersebut ditinjau dari motif pelaku<br />

dalam melakukan perbuatan perkosaan, maka terdiri atas:<br />

1) Seductive rape: pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasa<br />

terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subjektif.<br />

2) Sadistic rape: pemerkosaan yang dilakukan secara sadis.<br />

3) Anger rape: pemerkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan<br />

kemarahan pelaku.<br />

4) Domination rape: pemerkosaan ingin menunjukkan dominasinya<br />

pada korban.<br />

5) Exploitation rape: perkosaan terjadi karena ketergantungan korban<br />

pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.<br />

Fakta di lapangan (Kabupaten Ogan Ilir) menunjukkan bahwa<br />

keadaan lingkungan juga sangat berpengaruh dalam terjadinya tindak<br />

pidana ini, lingkungan yang keras membentuk watak masyarakat yang<br />

juga keras sehingga kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan<br />

rentan terjadi di wilayah ini Selanjutnya, faktor penyebab terjadinya<br />

kasus ini karena faktor pergaulan atau interaksi sosial masyarakat.<br />

Solusi lain yang dapat diterapkan yaitu dengan mengadakan<br />

tambahan jam pelajaran dan mata kuliah keagamaan di sekolah dan<br />

perguruan tinggi atas dasar penerapan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />

Dalam hal ini, penulis juga mengharapkan dukungan dan<br />

partisipasi dari masyarakat sehingga apa yang dicita-citakan oleh<br />

kepolisian dapat terwujud.<br />

88


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ariman, Rasyid dan Fahmi Raghib. 2011. Hukum Pidana (Tindak<br />

Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pidana dan<br />

Pemidanaan). Palembang: Universitas Sriwijaya.<br />

Atmasasmita, Romli. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.<br />

Bandung: PT. Eresco.<br />

Chazawi, Adam. 2009.Hukum Pidana Positif Penghinaan. Surabaya:<br />

Putra Media Nusantara.<br />

Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta:<br />

P.T. Raja Grafindo Persada.<br />

H.A.K. Moch. Anwar. 1989. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I.<br />

Bandung: Alumni.<br />

Harahap, Yahya. 2012.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />

KUHAP, Ed. 2, Cet. 14. Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Marpaung, Leden. 2004.Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />

Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Prakoso, Abintoro. 2013.Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta:<br />

Laksbang Grafika.<br />

R.M, Suharto. 2002.Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif<br />

Sebagai Dasar Dakwaan). Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Rukmini, Mien. 2009.Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />

Bunga Rampai). Bandung: P.T. Alumni.<br />

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2010. Kriminologi. Jakarta:<br />

Rajawali Pers.<br />

http://www.hukumonline.comberitabacahol2472kekerasan-seksualmitos-dan-realitas.Diakses<br />

pada tanggal 22 Oktober 2014.<br />

http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/.<br />

Diakses pada tanggal 10 November 2014.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-<br />

hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-10-<br />

desember-2013/. Diakses pada tanggal 17 September 2014.<br />

89


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERANAN ALAT BUKTI DAN ETIKA APARAT PENEGAK<br />

HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA<br />

PERKOSAAN DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 2)<br />

Abstrak<br />

Masalah tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan serius yang<br />

terjadi di Indonesia. Proses pembuktian kasus perkosaan dengan alat<br />

bukti dan etika aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan<br />

memegang peranan yang sangat vital dalam membongkar kasus<br />

perkosaan. Sulitnya proses pembuktian dalam mengungkap kasus<br />

perkosaan menjadi permasalahan yang kompleks. Peranan kecepatan<br />

korban kasus perkosaan dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />

dialaminya menjadi sangat krusial dalam proses pembuktian untuk<br />

mengarah ke pelakunya. Permasalahan penelitian ini antara lain untuk<br />

dapat memahami pengertian perkosaan, mengetahui bagaimana proses<br />

pembuktian dalam kasus perkosaan, bagaimana kekuatan pembuktian<br />

dalam kasus perkosaan, dan bagaimana etika aparat penegak hukum<br />

dalam pemeriksaan kasus perkosaan. Tujuan yang diambil dalam<br />

penulisan makalah ini antara lain untuk mengetahui definisi perkosaan,<br />

mengetahui proses pembuktian kasus perkosaan di Indonesia,<br />

mengetahui seberapa kuat pembuktian dalam kasus perkosaan untuk<br />

mengarah ke pelakunya, dan untuk mengetahui etika aparat penegak<br />

hukum dalam pemeriksaan kasus perkosaan.<br />

A.Latar Belakang<br />

Perempuan secara kodrati mempunyai kemampuan khusus<br />

sebagai manusia untuk dapat melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu,<br />

perempuan hendaknya mendapatkan perlindungan hukum yang baik,<br />

yang menempatkan derajat perempuan setinggi-tingginya. Namun,<br />

kenyataannya di Indonesia perempuan seolah-olah menjadi sasaran<br />

empuk bagi pelaku tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sering<br />

menyerang kaum perempuan adalah kasus kekerasan seksual.<br />

Pengertian kekerasan seksual terhadap perempuan adalah setiap<br />

perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat<br />

kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau<br />

psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut,<br />

pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik<br />

yang terjadi di ruang publik maupun di ruang privat. 1<br />

1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1.<br />

90


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) membagi<br />

kekerasan seksual menjadi lima belas jenis, yaitu perkosaan,<br />

perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual,<br />

penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, percobaan<br />

perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman bernuansa<br />

seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan<br />

kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual, dan pemaksaan<br />

kontrasepsi. 2<br />

Menurut Fatuma Hashi,“..as a human rights and development<br />

desecration, indeed a grave humanitarian concern, violence against<br />

woman demands responses at all level; from individual and family<br />

through community, national and international levels..”. 3 Pembangunan<br />

hak asasi manusia dalam keterkaitannya dengan kekerasan seksual pada<br />

perempuan harus menjadi perhatian serius karena menyangkut<br />

kemanusiaan. Kekerasan terhadap perempuan menuntut peranan dari<br />

semua level, dari individu, keluarga, komunitas, nasional, dan tingkat<br />

internasional.<br />

Pada makalah ini akan dibahas kekerasan seksual berupa<br />

perkosaan yang terjadi pada perempuan. Menurut R. Sugandhi,<br />

perkosaan didefinisikan dengan “seorang pria yang memaksa kepada<br />

seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan<br />

dengannya dengan ancaman kekerasan yang mana diharuskan kemaluan<br />

pria ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian<br />

mengeluarkan air mani.” 4<br />

Di Indonesia, kasus perkosaan menjadi momok yang<br />

menyeramkan karena terus-menerus terjadi. Menurut data yang<br />

dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yang<br />

paling banyak dilaporkan adalah kasus perkosaan. Pada CATAHU 5<br />

Komnas Perempuan tahun 2012 sedikitnya terjadi kasus perkosaan<br />

sebanyak 840 kasus. Sementara itu, pada CATAHU Komnas<br />

Perempuan tahun 2013 kasus perkosaan bahkan meningkat menjadi<br />

1.074 kasus.<br />

Data tersebut di atas menunjukkan sangat tingginya angka<br />

perkosaan yang terjadi di Indonesia. Apabila dirata-rata, maka dalam<br />

satu hari sedikitnya terjadi dua kasus perkosaan di seluruh Indonesia.<br />

2 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />

14-16.<br />

3 PT. Raja Grafindo Persada, Dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomis,<br />

Sosial dan Budaya. (Rajawali Pers), hlm 232.<br />

4 Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban<br />

Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Malang: Rafika<br />

Aditama, 2001), hal 41.<br />

5<br />

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Stagnansi Sistem<br />

Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban, Jakarta, Maret 2013.<br />

91


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Tentu saja hal ini membuat perkosaan menjadi persoalan yang sangat<br />

mengkhawatirkan karena jumlah tersebut masih akan bertambah<br />

dikarenakan banyaknya perempuan korban kekerasan seksual yang<br />

tidak mampu dan tidak berani melaporkan apa yang telah terjadi baik<br />

kepada aparat kepolisian maupun pekerja sosial lembaga pelayanan<br />

yang terkait.<br />

Dalam hal ini, peranan lembaga-lembaga terkait yang ada pada<br />

saat ini dirasakan tidak maksimal. Perkosaan sebagai suatu tindak<br />

pidana luar biasa seringkali menemui banyak hambatan ketika<br />

menempuh upaya penyelesaian melalui jalur hukum, khususnya pada<br />

persoalan pembuktian tindak pidana perkosaan dan juga dari sisi etika<br />

para penegak hukum secara represif dan preventif.<br />

B. Definisi Tindak Pidana Perkosaan<br />

Tindak pidana perkosaan termasuk kejahatan dalam Buku II<br />

Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat<br />

dalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Menurut Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian tindak pidana perkosaan<br />

menurut Pasal 285 KUHP adalah “Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />

dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan<br />

dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun.”<br />

Akademisi Universitas Indonesia yang juga merupakan ahli<br />

hukum pidana, Topo Santoso, mengatakan bahwa Pasal 285 KUHP<br />

tentang perkosaan tersebut sudah usang. Topo mengatakan, pasal 285<br />

KUHP yang menyatakan bahwa perkosaan berkaitan dengan kekerasan<br />

dan ancaman sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu melindungi<br />

masyarakat. "Di berbagai negara sudah banyak pengembangan dan<br />

perluasan dari pengertian rape (perkosaan) itu. Misalnya, ada yang<br />

diperluas menjadi tanpa kehendak perempuan" 6 .<br />

C. Proses Pembuktian Kasus Perkosaan di Indonesia<br />

Proses pembuktian kasus pidana di Indonesia, termasuk kasus<br />

perkosaan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang<br />

lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana<br />

(KUHAP).<br />

Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidana<br />

yang berlaku positif di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif<br />

6 Republika, Definisi Pemerkosaan di KUHP SUdah Usang, diakses<br />

dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />

definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang.pada 21 Oktober2014 pukul<br />

14.30.<br />

92


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

atau yang disebut juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang<br />

secara negatif.<br />

Mengenai alat bukti, dalam KUHAP telah diatur secara limitatif<br />

yaitu pada Pasal 184 ayat (1). Dalampasal tersebut diatur beberapa alat<br />

bukti yang sah, yaitu:<br />

a. keterangan saksi;<br />

b. keterangan ahli;<br />

c. surat;<br />

d. petunjuk;<br />

e. keterangan terdakwa.<br />

Alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />

kekuatan pembuktian yang sama. Pasal 185 ayat (2) KUHAP<br />

menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk<br />

membuktikan apakah terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang<br />

didakwakan kepadanya atau tidak, berkaitan dengan asasunus testis<br />

nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi, bahwa seorang<br />

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali<br />

apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahdan ia<br />

mempunyai keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi<br />

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.<br />

Alat bukti pertama yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai<br />

kasus perkosaan adalah keterangan saksi, dalam hal ini yaitu saksi<br />

korban maupun saksi lain. Agar dapat menjadi saksi yang sah maka<br />

syarat formil dan syarat materiil harus terpenuhi. Syarat formil tersebut<br />

yaitu dengan diangkat sumpah di dalam sidang pengadilan, sedangkan<br />

syarat materiil tersebut yaitu apa yang saksi nyatakan di sidang<br />

pengadilan sesuai dengan apa yang dia dengar sendiri, lihat sendiri, dan<br />

alami sendiri. Alat bukti kedua yang dapat diperiksa oleh hakim yaitu<br />

keterangan ahli yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Keterangan ahli<br />

dibagi menjadi dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran kehakiman dan<br />

ahli pada umumnya. Dalam perkara perkosaan, yang dapat dijadikan<br />

sebagai alat bukti keterangan ahli yaitu ahli kedokteran kehakiman<br />

seperti dokter forensik. Hakim meminta kepada dokter forensik untuk<br />

memberikan keterangan mengenai hasil visum korban. Hasil visum<br />

merupakan salah satu alat bukti surat dalam proses pembuktian.<br />

Dengan adanya keterangan dari dokter forensik akan sangat<br />

membantu hakim dalam menentukan tindak pidana apa yang dilakukan<br />

terdakwa kepada korban dengan melakukan visum terhadap korban.<br />

Keterangan ahli lainnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang<br />

sah yaitu ahli pada umumnya seperti ahli kejiwaan. Ahli kejiwaan<br />

tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kejiwaan dari korban<br />

sehingga akan jelas dengan adanya keterangan ahli kejiwaan bahwa<br />

korban mengalami sesuatu peristiwa yang telah mengguncang jiwanya.<br />

93


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Alat bukti kelima yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />

perkosaan tersebut yaitu keterangan terdakwa yang diatur dalam pasal<br />

189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat berupa terdakwa mengakui<br />

perbuatannya maupun terdakwa tidak mengakui perbuatannya.<br />

Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut tetap<br />

tidak cukup sebagai bukti sehingga harus disertai alat bukti yang lain.<br />

D. Kekuatan Pembuktian Mengarah ke Pelakunya<br />

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam proses<br />

pembuktian dalam tindak pidana perkosaan seringkali menemui jalan<br />

yang terjal. Penyebab proses pembuktian kasus perkosaan menjadi sulit<br />

diantaranya dikarenakan oleh tidak adanya saksi mata selain saksi<br />

korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut karena seringkali<br />

peristiwa tersebut dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />

diketahui oleh orang lain. 7<br />

Kesulitan yang lainnya yaitu korban tidak langsung melaporkan<br />

peristiwa yang telah dialaminya itu kepada aparat terkait dikarenakan<br />

korban merasa jijik dan “hina” setelah diperkosa sehingga si korban<br />

langsung membersihkan tubuhnya dengan mandi. Pada saat korban<br />

mandi banyak hal yang dapat dijadikan barang bukti ikut hilang,<br />

misalnya sperma, rambut, dan sidik jari si pelaku yang merupakan<br />

bukti-bukti perkosaan yang ada pada diri korban. 8 Hal ini mempersulit<br />

penyidik dalam pengumpulan alat bukti yang kemudian juga<br />

mempersulit jaksa untuk membuktikan tindak pidana perkosaan di<br />

persidangan.<br />

Proses pemeriksaan terhadap korban kasus perkosaan yang baru<br />

saja terjadi dilakukan penyidik khusus perempuan dan anak dalam<br />

waktu yang cepat dan secara diam-diam dalam ruangan pemeriksaan<br />

yang terpisah (khusus). 9 Pihak penyidik harus dapat meyakinkan korban<br />

tentang keamanannya dan menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan<br />

dilakukan. Terhadap korban, segera dilakukan pemeriksaan forensik<br />

oleh dokter setelah korban dalam keadaan stabil. Korban diusahakan<br />

agar tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampai<br />

pemeriksaan telah selesai dilakukan.<br />

Setelah keadaan korban lebih stabil, penyidik yang berwenang<br />

lalu membuat permintaan tertulis kepada dokter forensik untuk<br />

membuatkan Visum et Repertum (VeR). Dalam permintaan visum ini<br />

korban diantar oleh pihak kepolisian. Visum harus berdasarkan keadaan<br />

yang didapatkan pada tubuh korban saat surat permintaan VeR diterima<br />

7 Hasil Wawancara dengan Aprima Suar, S.H., Bagian Penyidik Polda<br />

Metro Jaya Bapak pada tanggal 23 Oktober 2014.<br />

8 Ibid.<br />

9 Ibid.<br />

94


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dokter. Jika hasil pemeriksaan korban yang diperiksa adalah atas<br />

inisiatif sendiri dan bukan atas permintaan pihak kepolisian, maka hasil<br />

pemeriksaan tersebut tidak dapat dijadikan visum, melainkan hanya<br />

sebatas surat keterangan. Dalam pemeriksaan ini, pihak keluarga,<br />

teman, perawat, atau petugas dapat mendampingi. Orang-orang yang<br />

mendampinginya ini juga berperan sebagai saksi dalam pemeriksaan<br />

yang dilakukan.<br />

Hasil visum ini menjadi salah satu alat bukti dalam proses<br />

pembuktian kasus perkosaan yang akan melengkapi alat bukti lain<br />

(keterangan saksi korban dan keterangan ahli) yang menguatkan dugaan<br />

telah terjadinya kasus perkosaan terhadap korban. Terpenuhinya alatalat<br />

bukti dalam suatu perkara tidak menjamin bahwa terdakwa akan<br />

dijatuhi hukuman setimpal. Dikarenakan seorang hakim mempunyai<br />

hak prerogatif untuk memutuskan perkara tersebut sesuai dengan<br />

keyakinannya (keyakinan hakim). Apabila hakim tidak berkeyakinan,<br />

maka terhadap terdakwa bisa saja divonis bebas dan alat-alat bukti<br />

tersebut menjadi sia-sia. Kasus seperti ini pernah terjadi di Pulau<br />

Samosir, Sumatra Utara pada Pengadilan Negeri Balige karena korban<br />

mengalami keterbelakangan mental.<br />

Divonis bebasnya seorang terdakwa dalam persidangan<br />

berdampak sangat buruk bagi korban, keluarga korban, maupun<br />

masyarakat karena tujuan hukum untuk keadilan, hukum yang memberi<br />

kepastian, dan hukum yang memberikan manfaat, tidak tercapai.<br />

E. Etika Aparat Penegak Hukum dalam Pemeriksaan<br />

Kata “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

mempunyai pengertian ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang<br />

hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas yang berkenaan<br />

dengan akhlak, dan nilai-nilai yang benar maupun yang salah, yang<br />

dianut suatu golongan atau masyarakat. 10<br />

Pada proses pemeriksaan kasus perkosaan, sangat dibutuhkan<br />

etika profesi yang baik dari aparat penegak hukum. Proses pemeriksaan<br />

yang menjadi kewenangan penyidik kepolisian, kejaksaan, dan hakim<br />

sangat vital peranannya terhadap materi pemeriksaan yang akan<br />

mengarah ke pembuktian untuk mengungkap pelaku dari perkosaan.<br />

Permasalahan yang kerap terjadi mengenai etika profesi aparat penegak<br />

hukum yakni dalam proses pemeriksaan, aparat seringkali melontarkan<br />

pertanyaan-pertanyaan bahkan celotehan yang mengintimidasi dan<br />

menyudutkan korban sehingga mengakibatkan korban menjadi semakin<br />

tertekan, menderita, dan shock.<br />

10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa<br />

Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).<br />

95


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Permasalahan lain yang kerap terjadi yakni karena perilaku<br />

aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan etika penyidik. Aparat<br />

penegak hukum yang sesuai dengan etika penyidik sudah seharusnya<br />

menggali informasi sesuai dengan kebenaran apa yang telah terjadi.<br />

Namun, pada kenyataanya penyidik malah melakukan pemaksaan dan<br />

mengintimidasi korban sehingga mengakibatkan informasi yang tergali<br />

dari penyidikan itu menjadi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.<br />

F. Kesimpulan dan Saran<br />

1) Indonesia menganut sistem pembuktian negatif atau yang disebut<br />

juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang secara<br />

negatif.<br />

2) Alat bukti yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />

perkosaan terdapat pada pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti<br />

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan<br />

terdakwa.<br />

3) Visum et Repertum (VeR) oleh ahli kedokteran forensik merupakan<br />

salah satu alat bukti dalam kasus perkosaan yang berguna untuk<br />

mengetahui kerusakan fisik yang terjadi pada tubuh korban. Tiaptiap<br />

alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />

kekuatan pembuktian yang sama.<br />

4) Kasus perkosaan sulit dibuktikan dikarenakan jarang adanya saksi<br />

mata selain saksi korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut<br />

karena seringkali dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />

diketahui oleh orang lain.<br />

5) Kecepatan korban dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />

menimpanya memegang peranan yang sangat krusial dalam proses<br />

pembuktian.<br />

Langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah<br />

perkosaan, yaitu:<br />

1) Lembaga-lembaga terkait bersama masyarakat memberikan<br />

pemahaman dan sadar hukum yang berhubungan dengan tindak<br />

asusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjuti<br />

dengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan dan<br />

perundang-undangan yang berlaku.<br />

2) Restorative justice terhadap pelaku perkosaan diluar persidangan<br />

sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara<br />

hukum dan secara moral, dengan harapan dapat memberikan efek<br />

jera kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa.<br />

3) Mendorong untuk dibentuk suatu persidangan khusus yang mana<br />

para aparat penegak hukumnya semua terdiri dari perempuan/<br />

wanita, baik dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman sehingga<br />

96


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mereka lebih memahami kasus yang mereka tangani dan dapat<br />

memberikan hukuman yang sangat berat terhadap pelaku.<br />

4) Mendorong kesepahaman antar lembaga-lembaga terkait dan<br />

masyarakat untuk meningkatkan kasus perkosaan menjadi tindak<br />

pidana khusus karena menyerang hak asasi manusia yang<br />

dampaknya seumur hidup bagi korban.<br />

5) Mendorong agar kasus perkosaan menjadi kasus pidana khusus,<br />

sehingga cukup satu alat bukti yakni keterangan saksi (korban)<br />

dalam kasus perkosaan dijadikan alat bukti terkuat yang akan<br />

dilengkapi alat bukti lain (visum) untuk dapat membuktikan kasus<br />

tersebut.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.Kamus Besar Bahasa<br />

Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.<br />

El Muthaj, Madja. 2008.Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak<br />

Ekonomi, Sosial, dan Budaya.Jakarta: Rajawali Grafindo<br />

Persada.<br />

Gosita, Arif. 2007.Masalah Korban Kekerasan. Badan Fakultas Hukum<br />

Universitas Indonesia.<br />

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Yudisial RI<br />

047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang<br />

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.<br />

Kode Etik Kepolisian dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang<br />

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />

Komnas Perempuan. 2013. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012,<br />

Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan<br />

Korban. Jakarta.<br />

Prof. Dr. Muladi S.H. 2002.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem<br />

Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas<br />

Diponegoro.<br />

Purbopranoto, Prof. Dr. Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan<br />

Pancasila. Jakarta.<br />

Siregar, Bismar. 1983.Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta:<br />

Bina Cipta, Jakarta.<br />

Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001.Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi<br />

Perempuan. Malang: Rafika Aditama.<br />

97


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />

definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang<br />

98


KOMISI 3<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

KEKERASAN SEKSUAL DI PADANG SUMATERA BARAT<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

A. Latar Belakang<br />

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang saat ini marak<br />

dan meresahkan kalangan masyarakat terutama oleh kaum perempuan<br />

dan anak-anak. Selain meresahkan, kekerasan seksual juga menjadi<br />

fenomena yang menakutkan dikarenakan mayoritas korban yang<br />

mengalami kekerasan seksual tersebut akan merasakan trauma yang<br />

ditinggalkan akibat perlakuan yang dialaminya.<br />

Trauma yang dialami oleh korban ternyata dapat berdampak<br />

serius baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut<br />

dikarenakan kejahatan seksual sesama jenis di Indonesia ternyata<br />

berantai dari pelaku ke korban, dan si korban bisa menjadi pelaku di<br />

kemudian hari dan begitu seterusnya. Apalagi yang sangat menakutkan<br />

jika korban kekerasan seksualnya ialah anak-anak kecil usia 5-12 tahun.<br />

Akan tersimpan di memori otak mereka bagaimana kekerasan seksual<br />

yang mereka alami dan akan teringat sampai mereka dewasa dan tak di<br />

pungkiri bahwa bisa saja mereka bisa menjadi pelaku selanjutnya.<br />

Ibarat pepatah, tak diumpan maka tak terpancing. Semua tindak<br />

kekerasan seksual ada karena ada niat dan kesempatan, tapi perlu di<br />

ingat apa yang menjadi faktor penyebab pelaku melakukan tindakan<br />

tersebut. Jika kita tinjau dari aturan hukum Undang-Undang Nomor 44<br />

Tahun 2008 tentang Pornografi, sudah sangat jelas ketentuan pidananya<br />

di tiap pasalnya di atur dan hukumannya pun cukup membuat jera<br />

dengan denda maksimal Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).<br />

Kekerasan seksual di Kota Padang menjadi salah satu kasus<br />

yang paling banyak namun minim penindakan dari hukum. Hal tersebut<br />

dikarenakan kurang serius nya aparat penegak hukum yang membuat<br />

banyak ketidakpastian hukum bagi korban. Pada pelaksanaannya<br />

seringkali ditemukan bahwa tindak lanjut dari aparat penegak hukum<br />

hanyalah sampai pada tahap mediasi semata dan tidak diusut kembali<br />

hingga ke persidangan.<br />

B. Pembahasan<br />

Meskipun angka kekerasan seksual cenderung terus meningkat,<br />

namun masih banyak masyarakat yang menganggap kekerasan seksual<br />

sebagai kejahatan kesusilaan semata. Pihak kepolisian pun ketika<br />

mendapat kasus pemerkosaan cenderung menafsirkan pemerkosaan<br />

sebagai kejahatan kesusilaan seperti yang di tertuang di Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana (KUHP). Biasanya, penyidik kepolisian ketika<br />

99


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendapat kasus pemerkosaan cenderung malas mengusutnya. Hal inilah<br />

yang membuat korban kekerasan seksual menjadi bungkam karena tidak<br />

seriusnya aparat penegak hukum untuk memproses kasus-kasus<br />

pemerkosaan.<br />

Akibat kurang di anggap pentingnya kekerasan seksual di mata<br />

masyarakat dan aparat penegak hukum, banyak korban korban<br />

kekerasan seksual yang depersi hingga gila karena hancurnya masa<br />

depan hidup korban sehingga ia merasa tak mampu untuk melanjutkan<br />

hidupnya lagi di tambah beban malu dan cemooh dari masyarakat.<br />

Saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan sosial di Kota<br />

Padang Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang adalah ibukota dari<br />

Provinsi Sumatera Barat yang letaknya wilayahnya di pesisir pulau<br />

sumatera dengan keragaman suku dan etnis yang saling bahu membahu<br />

dalam kehidupan sehari-hari. Jika berkunjung ke Kota Padang, kita<br />

dapat menjumpai banyak pantai-pantai wisata, seperti Pantai Air Manis<br />

lalu Pantai Purus dan Pantai Nirwana. Walaupun bukan termasuk<br />

destinasi tujuan wisata turis mancanegara, pantai-pantai di Kota Padang<br />

selalu ramai didatangi wisatawan lokal terutama muda-mudi yang<br />

sedang kasmaran. Biasanya muda-mudi ini lebih suka menghabiskan<br />

waktunya di pantai yang ada pondok remang-remangnya, sehingga<br />

aktivitas percintaan mereka tak terlihat oleh orang lain dan terjamin<br />

keamanannya oleh pemilik maupun pengelola pantai tersebut. Hanya<br />

dengan sebotol minuman teh yang harganya Rp20.000,00 (dua puluh<br />

ribu rupiah), muda-mudi yang kasmaran dapat berpadu kasih sepuasnya<br />

di pantai tersebut. Kota Padang bisa juga disebut sebagai kota<br />

pendidikan karena banyak mahasiswa-mahasiwi yang merantau<br />

menuntut ilmu di kota ini. Asal mahasiswa-mahasiswinya pun beragam,<br />

ada yang dari Aceh, Sumatera Utara,Riau,Jambi, bahkan Jakarta. Dan<br />

ketika mereka sampai di Padang, proses adaptasi dengan lingkungan<br />

cepat mereka jalani dan terkesan mudah untuk dipengaruhi.<br />

Ketika mahasiswa-mahasiswi mengenal tempat-tempat yang<br />

aman untuk memadu kasih mereka cenderung penasaran untuk<br />

berkunjung kesana dengan pasangannya. Ketika itulah, banyak tindak<br />

kekerasan seksual terjadi di Padang akibat salah pergaulan dan fasilitasfasiltas<br />

untuk melakukan kekerasan seksual di Padang cukup memadai.<br />

Mulai dari tempat, ada pondok remang-remang hingga hotel kelas<br />

melati dan untuk pembelian pengaman (kondom) tak sulit di kota ini<br />

karena siapa saja bisa membelinya. Sehingga justru pergaulan bebas<br />

sumber utama dari kekerasan seksual di Kota Padang. Belum lagi<br />

tempat-tempat hiburan yang menjual minuman keras menggratiskan<br />

wanita untuk datang, yang ketika wanita tersebut teler dapat<br />

menimbulkan pelecehan seksual karena tidak sadarnya wanita tersebut.<br />

Kekerasan seksual yang marak terjadi di Padang biasanya<br />

dalam bentuk pemerkosaan beramai-ramai, lalu pemaksaan seks oral<br />

100


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kepada korban yang biasanya siswi sekolah menengah dengan ancaman<br />

fisik maupun lisan dan juga dalam bentuk pelecehan ketika berada di<br />

tempat umum maupun angkutan umum yang ramai. Untuk kekerasan<br />

seksual sejenis (homoseks, lesbian) belum terlalu terdengar kasusnya<br />

karena kebanyakan kaum pelangi (sebutan bagi kaum homosesks,<br />

lesbian, transgender) tertutup dan menyembunyikan identitasnya rapat<br />

dari masyarakat.<br />

Sebagai contoh kasus, di Kecamatan V Koto Kampung Dalam,<br />

Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat terjadi tindak<br />

perkosaan dengan kronologi seperti berikut: Mawar (nama samaran),<br />

seorang janda muda menunggu angkutan menuju rumahnya di<br />

Kampung Dalam dari Kota Pariaman. Hari menunjukan pukul 18.00<br />

WIB dan belum terlihat adanya angdes menuju rumahnya. Ketika itu<br />

lewatlah Bejo (nama samaran) yang merupakan supir angdes dan<br />

seketika itulah Bejo menawarkan untuk mengantarnya ke rumahnya.<br />

Mawar tanpa curiga pun naik dalam angdes tersebut, namun Bejo suka<br />

singgah ke beberapa tempat yang dipenuhi supir angdes lainnya di<br />

tempat pencucian mobil. Naiklah beberapa supir angdes tersebut ke<br />

mobil Bejo. Tanpa curiga, Mawar yang duduk di depan hanya berpikir<br />

positif karena sudah mengenal lama Bejo dan supir angdes lainnya.<br />

Namun ketika hampir rumah Mawar, Bejo tidak berhenti namun tetap<br />

memacu mobilnya hingga ke tempat yang sepi. Di situlah Mawar<br />

diperkosa oleh Bejo dan supir angdes lainnya. Setelah peristiwa<br />

tersebut, Mawar diantarkan kerumahnya dan diancam jika berani<br />

melapor ke siapa saja maka dia akan dibunuh. Mawar pun bungkam<br />

selama seminggu dan berujung depresi, Bejo dan kawan-kawannya pun<br />

satu persatu mulai kabur ke Kota Pekanbaru, Riau. Ketika itulah, orang<br />

tua Mawar membawa ingin Mawar ke dukun dengan asumsi Mawar<br />

kerasukan roh halus. Merasa tak tahan lagi, Mawar pun menceritakan<br />

kejadian yang menimpanya dan melaporkannya ke Polsek V Koto<br />

Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Ketika membuat<br />

laporan tersebut, Kanit Reskrim menyuruh korban dan keluarga agar<br />

mediasi secara kekeluargaan saja bukan diproses secara hukum. Karena<br />

awam dengan hukum, Mawar dan keluarganya pun kembali ke rumah<br />

dan membiarkan kejadian pemerkosaan tersebut sebagai cobaan dan<br />

tidak menuntut keadilan lagi akibat sikap dari Kanit Reskrim Polsek V<br />

Koto Kampung Dalam tersebut.<br />

Dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa masih<br />

minimnya keseriusan dari aparat hukum untuk menyelesaikan kasuskasus<br />

kekerasan seksual dengan dalih itu semua hanya tindakan<br />

kesusilaan dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan.<br />

Saat ini di Kota Padang sudah mulai banyak LSM pemerhati<br />

kasus-kasus kekerasan seksual, walaupun adanya LSM tersebut belum<br />

efektif membuat aparat penegak hukum lebih tegas dalam memproses<br />

101


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kasus-kasus kekerasan seksual. LSM tersebut mendampingi korban dari<br />

penyidikan hingga persidangan dan memberikan terapi psikologi agar<br />

mental korban kekerasan seksual tumbuh kembali setelah down<br />

terhadap kejadian yang di alaminya. Pendampingan dan perlindungan<br />

korban kasus kekerasan seksual di Kota Padang merujuk dalam pasal<br />

28D ayat (1) UUD 1945 yang isinya menyebutkan setiap orang berhak<br />

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil<br />

serta perlakuan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, mati-matian<br />

LSM pembela hak korban kekerasan seksual di Kota Padang agar<br />

kasusnya benar-benar ditangani oleh aparat hukum dan LSM tersebut<br />

tidak hanya mendampingi korban namun juga mendukung agar tetap<br />

semangat dan tidak merasa hidupnya sudah hancur karena perbuatan<br />

pelaku.<br />

Ini semua demi kepastian hukum dan menjunjung harkat dan<br />

martabat wanita Minangkabau yang secara adat akan menjadi Bundo<br />

Kanduang bagi anak dan kemenakannya. Sesuai dengan asas legalitas<br />

dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />

menyebutkan bahwa, “Tiada suatu perbuatan yang dapat di hukum,<br />

kecuali ada aturan yang mengaturnya”. Ini mempertegas bahwa tindak<br />

kekerasan seksual perlu ditangani dan penafsiran pemerkosaan tidak<br />

meringankan hukuman si pelaku namun justru harus memberatkan si<br />

pelaku akibat perbuatannya. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus<br />

kekerasan seksual yang disepelekan oleh aparat hukum akibat asumsi<br />

bahwa kekerasan seksual merupakan tindak kesusilaan merujuk<br />

moralitas yang penyelesaiaannya cukup dengan cara mediasi<br />

kekeluargaan. Demi menjunjung hukum dan HAM di Indonesia tercinta<br />

ini, hak-hak korban haruslah kita perjuangkan demi kepastian hukum<br />

dan harkat martabat korban yang telah ternodai. Semoga para pejuang<br />

pembela, pelindung, dan pendamping korban kekerasan seksual di<br />

Indonesia khususnya Sumatera Barat tidak lekang oleh waktu.<br />

C. Kesimpulan dan Saran<br />

Akhirnya dapat kita simpulkan dari contoh kasus dan realita<br />

penegakan hukum yang terjadi di Kota Padang, bahwa kekerasan<br />

seksual dapat dipicu oleh tayangan pornografi dan juga banyaknya<br />

tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukannya.<br />

Hal ini tentu saja dapat dicegah apabila Pemerintah, DPR, dan<br />

Kepolisian tegas mencegah kekerasan sesksual dengan mempertegas<br />

Undang-Undang Pornografi yang sempat ditolak dan juga membuat satu<br />

undang-undang khusus tentang tindak kekerasan seksual sehingga<br />

ketika ada kasus-kasus yang demikian polisi tidak menggunakan delikdelik<br />

KUHP yang membuat pelaku kekerasan seksual dihukum seberatberatnya.<br />

Semoga dengan adanya makalah ini kepolisian akan<br />

mempertegas wewenanngnya sesuai hukum yang berlaku.<br />

102


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

DAFTAR PUSAKA<br />

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,Pelecehan Seksual dan<br />

Kekerasan Seksual 2012, diakses dari http://www.bkkbn.go.id/<br />

hqweb/ceria/mb2pelecehanseksual.html pada tanggal 29<br />

September 2014.<br />

103


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PELAKSANAAN FUNGSI PENANGANAN HUKUM<br />

TERHADAP KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI JAKARTA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Abstrak<br />

Penegakan hukum dalam proses pidana meliputi rangkaian proses yang<br />

panjang dan tidak luput diantaranya adalah penanganan korban.<br />

Kekerasan seksual menimbulkan akibat yang berdampak pada<br />

kesehatan fisik dan mental korban. Akan tetapi, pengalaman yang<br />

dilewati korban kekerasan seksual ini belum dipahami dengan baik oleh<br />

penegak hukum, termasuk polisi sehingga dalam proses penyidikan<br />

tersebut, korban seringkali merasa terdiskriminasi. Tulisan ini<br />

membahas berbagai bentuk penanganan korban secara umum maupun<br />

korban kekerasan seksual pada khususnya yang dikenal dalam<br />

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibahas juga pada<br />

tulisan ini sejumlah contoh kasus yang menunjukkan perilaku polisi<br />

dalam penanganan korban kekerasan seksual yang kemudian dianalisis<br />

apakah perilaku polisi dalam menangani korban sudah sesuai dengan<br />

perspektif korban dan juga penilaian terhadap efektivitas instrumen<br />

hukum terkait yang berlaku.<br />

A. Latar Belakang<br />

Tahun 2013 dinyatakan sebagai tahun darurat kekerasan seksual<br />

terhadap anak, dari 2.637 laporan kasus kekerasan diterima oleh Komisi<br />

Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), 62% diantaranya<br />

merupakan kasus kekerasan seksual. 1 Data lain yang dikumpulkan oleh<br />

Komisi Nasional Perempuan pun menunjukkan peningkatan kasus<br />

kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dalam catatannya selama<br />

tahun 1998-2011, 93.360 dari 400.939 kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan yang dilaporkan merupakan kekerasan seksual. 2 Angka pada<br />

statistik pun belum cukup merepresentasikan dengan baik banyaknya<br />

kasus kekerasan seksual yang secara nyata terjadi di masyarakat.<br />

Korban kekerasan seksual berbeda halnya dengan korban tindak<br />

kekerasan lainnya, seringkali dianggap sebagai catatan hitam bagi<br />

masyarakat, termasuk keluarganya sendiri. Reluktansi masyarakat dan<br />

proses hukum yang berlarut-larut membungkam korban kekerasan<br />

seksual untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Pada<br />

1 Komnas Perempuan, Siaran Pers Resital Persembahan ananda untuk<br />

Perempuan Indones, diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/2014/<br />

09/siaran-pers-resital-persembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />

2 Ibid.<br />

104


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

akhirnya, kekerasan seksual menjadi kesenyapan yang membayangi<br />

korban semata.<br />

Melihat dari hakikatnya, kekerasan dapat dibedakan dari aspek<br />

kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan<br />

politisdan kekerasan ekonomi. Merupakan hal yang penting untuk<br />

membuat spesifikasi kekerasan karena sebenarnya tindakan kekerasan<br />

yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui fisik belaka. 3 Komnas<br />

Perempuan membagi kekerasan seksual menjadi 15 (lima belas) jenis,<br />

yaitu perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,<br />

pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan<br />

seksual, percobaan perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi,<br />

penghukuman bernuansa seksual,pemaksaan perkawinan, prostitusi<br />

paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual dan<br />

pemaksaan kontrasepsi. 4 Akan tetapi, luasnya spektrum kekerasan<br />

seksual tersebut belum dipahami secara tepat bahkan oleh penegak<br />

hukum sekalipun. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari<br />

nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya.<br />

Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan dan<br />

dilanggengkan. 5 Seringkali, kekerasan seksual dianggap sebagai<br />

kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />

didukung oleh negara melalui muatan di dalam Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual seperti<br />

perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan.<br />

Penganggapan ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang<br />

dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan<br />

seksual adalah persoalan moralitas semata.<br />

Paradigma demikian pun begitu terinstitusionalisasi di<br />

masyarakat hingga akhirnya berdampak ke perilaku para penegak<br />

hukum dalam menangani korban kekerasan seksual. Kerangka berpikir<br />

yang membatasi bahwa kekerasan seksual adalah sifat merusak<br />

kesusilaan mengandung variabel relatif dimana penafsiran kesusilaan<br />

bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. 6 Absennya<br />

penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan,<br />

menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak<br />

3 Purnianti dan Rita Serena Wibisono, Menyingkap Tirai Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 2003), hlm. 14.<br />

4 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />

14-16.<br />

5<br />

Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan<br />

Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah: 10 Tahun Program Studi<br />

Kajian Wanita, Jakarta: Program Pascasarjana UniversitasIndonesia, 2001,<br />

hlm. 381<br />

6 R. Soesilo, KUHP beserta Penjelasan Pasal demi Pasal, Bogor:<br />

Politeia, 1996,<br />

105


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dalam menempatkan pasal-pasal kesusilan semata-mata sebagai<br />

persoalan pelanggaran terhadap budaya, norma agamadan sopan santun<br />

yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, bukan kejahatan terhadap<br />

orang (tubuh dan jiwa). 7<br />

Menanggapi permasalahan tersebut, Kementerian Negara<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia<br />

(KemenPP&PA RI) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PPA<br />

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang<br />

Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.<br />

Dalam peraturan tersebut, korban kekerasan seksual menjadi salah satu<br />

lingkup permasalahan yang perlu diberikan pelayanan berdasarkan<br />

standar-standar yang ditetapkan. Adapun bidang-bidang layanan<br />

tersebut mencakup: 8<br />

1) Penanganan Pengaduan<br />

2) Pelayanan Kesehatan<br />

3) Rehabilitasi Sosial<br />

4) Penegakan dan Bantuan Hukum<br />

5) Pemulangan dan Reintegrasi Sosial<br />

Menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk memperjuangkan keadilan atas apa yang telah<br />

dialaminya. Serangkaian proses penegakan dan bantuan hukum<br />

seyogyanya mampu menyingkap kesunyian dan berdampingan bersama<br />

korban memperjuangkan keadilan. Akan tetapi pada kenyataannya,<br />

sarana tersebutlah yang kerap membungkam bahkan mengalienasikan<br />

korban.<br />

B. Penanganan Korban Kekerasan Seksual berdasarkan<br />

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia<br />

1. Korban Kekerasan Seksual<br />

Merujuk kepada pengertian dari Undang-Undang Nomor 13<br />

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengertian dari<br />

korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,<br />

dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak<br />

pidana. 9 Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan seksual mencakup<br />

melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual,<br />

7 Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Op.Cit, hlm. 383 .<br />

8<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />

Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />

Anak Korban Kekerasan, (Jakarta: KemenPP&PA RI, 2010), hlm. 4.<br />

9 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban<br />

106


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

seperti menyentuh, meraba, mencium dan/atau melakukan tindakantindakan<br />

lain yang tidak dikehendaki korban; memaksa korban<br />

menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak<br />

dikehendaki korban; ucapan-ucapan yang merendahkan dan<br />

melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban;<br />

memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan<br />

kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitasaktivitas<br />

seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti, atau<br />

melukai korban. 10 Akan tetapi secara yuridis, definisi korban<br />

kekerasan seksual belum terakomodasi dalam suatu redaksi yang<br />

mencakup kekerasan seksual secara umum. Hal ini dikarenakan<br />

peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual masih<br />

tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagai<br />

bentuk dari ragam tindakan kekerasan seksual itu seperti perkosaan,<br />

perbuatan cabul dan prostitusi. Diantaranya, ketentuan tersebut<br />

berada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU<br />

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 23<br />

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />

Penjabaran kekerasan seksual itu pun menjadi permasalahan<br />

tersendiri, misalnyaunsur-unsur pasal yang terlalu rigid hingga<br />

sering meloloskan pelaku dari jerat hukum dan belum<br />

diakomodasinya bentuk kekerasan seksual tertentu seperti perkosaan<br />

yang dilakukan antara laki-laki dewasa maupun perkosaan oleh<br />

perempuan terhadap laki-laki.<br />

2. Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />

Sistem Peradilan Pidana dapat digambarkan secara singkat<br />

sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”.<br />

Menanggulangi yang dimaksudkan disini adalah usaha untuk<br />

mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas<br />

toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila diprosesnya<br />

sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat yang telah menjadi<br />

korban dari suatu kejahatan, diajukannya pelaku ke muka sidang<br />

pengadilan dan diputuskan serta mendapat pidana. 11 Tugas dari sistem<br />

ini pun tidak terbatas pada menjerat pelaku dengan suatu pemidanaan,<br />

melainkan juga akomodasi kepentingan korban. Dalam menangani<br />

korban pada umumnya, para aparat hukum wajib memperhatikan<br />

korban agar dipenuhi haknya, antara lain: 12<br />

10<br />

Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta:<br />

Pusat Kajian Wanita UI, 2000), hlm. 11-12.<br />

11 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,<br />

Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan<br />

Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 140.<br />

12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang<br />

107


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />

kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;<br />

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />

perlindungan dan dukungan keamanan;<br />

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;<br />

4) Mendapat penerjemah;<br />

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;<br />

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;<br />

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;<br />

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;<br />

9) Dirahasiakan identitasnya;<br />

10) Mendapat identitas baru;<br />

11) Mendapat tempat kediaman sementara;<br />

12) Mendapat tempat kediaman baru;<br />

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />

kebutuhan;<br />

14) Mendapat nasihat hukum;<br />

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />

perlindungan berakhir; dan/atau<br />

16) Mendapat pendampingan.<br />

Dirumuskannya perlindungan terhadap korban pada proses<br />

pengadilan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan<br />

menunjukkan adanya gestur dari pemerintah untuk lebih<br />

mengakomodasi hak-hak korban. Namun patut disayangkan, dalam UU<br />

No. 13 Tahun 2006 maupun UU No. 31 Tahun 2014 perlindungan<br />

terhadap korban tidak mengandung norma imperatif yang otomatis<br />

melindungi korban. Untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana<br />

yang disebutkan di atas, korban perlu melapor kepada Lembaga<br />

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu atau menunggu<br />

rujukan dari pihak yang berwenang. Hal ini mengesankan bahwa<br />

perlindungan korban merupakan bagian di luar kebulatan proses hukum<br />

yang berlaku. Adapun perlindungan korban menurut Barda Nawawi<br />

Arief dapat dilihat dari dua makna yaitu:<br />

1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana<br />

(berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);<br />

2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas<br />

penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak<br />

pidana (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu<br />

dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan<br />

Perubahan terhaadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban.<br />

108


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keseimbangan batin (dengan pemaafan), pemberian ganti rugi<br />

(restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan<br />

sebagainya. 13<br />

Akibat dari kekerasan seksual meninggalkan penderitaan<br />

multidimensi: psikis, fisik, mental, emosional, spiritual, 14 dan sosial<br />

yang mendalam bahkan karena terkungkung oleh persepsi masyarakat<br />

sendiri bahwa penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan seksual<br />

adalah sebuah aib sehingga tidak sedikit korban yang memilih untuk<br />

menderita sendiri. Sebagai kelompok yang rentan, diperlukan layanan<br />

khusus dalam menangani hal tersebut. Hal inilah yang kemudian<br />

melatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang<br />

Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan<br />

dan Anak Korban Kekerasan, yang diantaranya secara khusus<br />

mencakup kekerasan Seksual. Permenneg PP&PA Nomor 1 Tahun 2010<br />

tersebut memiliki cakupan terhadap 5 (lima) jenis pelayanan, yaitu: 15<br />

a) penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap<br />

perempuan dan anak;<br />

b) pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />

c) rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />

d) penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan;<br />

e) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan.<br />

Pada makalah ini, penulis mengkhususkan pembahasan<br />

mengenai tinjauan pada jenis pelayanan penegakan dan bantuan hukum<br />

bagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang dibagi menjadi 2<br />

(dua) indikator yaitu:<br />

13 Barda Nawawi Arief, Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />

Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm . 56<br />

14 Mark Yantzi, Kekerasan Seksual dan Pemulihan, Jakarta: Gunung<br />

Mulia, 2009, hlm. 26-35<br />

15<br />

Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar<br />

Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak<br />

Korban Kekerasan<br />

109


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

No. Indikator Pelaksana Layanan<br />

1. Cakupan penegakan hukum pada<br />

tingkat penyidikan kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan dan<br />

anak<br />

2. Cakupan perempuan dan anak<br />

korban kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan dan anak yang<br />

mendapatkan bantuan hukum<br />

Ad. 1. Penegakan Hukum pada Tingkat Penyidikan<br />

Polisi<br />

Badan/Unit PP<br />

Pelayanan penegakan hukum adalah serangkaian tindakan<br />

oleh aparat negara yang diberi kewenangan melaksanakan peraturan<br />

perundang-undangan dalam rangka menangani kasus-kasus kekerasan<br />

(re: kekerasan seksual) 16 terhadap perempuan dan anak, terutama<br />

untuk memberikan sanksi terhadap pelaku dan memberikan<br />

perlindungan bagi saksi dan/atau korban, 17 diselenggarakan oleh Polri,<br />

khususnya UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dalam hal<br />

melaksanakan proses penyelidikan; penyidikan, koordinasi dan<br />

kerjasama; penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak ke kejaksaan. 18<br />

Ad. 2. Pelayanan dan Bantuan Hukum<br />

Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh<br />

pendamping hukum, advokat atau relawan pendamping untuk<br />

melakukan proses pendampingan saksi dan/atau korban kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak yang sensitif gender. 19 Pendampingan<br />

hukum kasus pidana mulai dari tingkat pemeriksaan di kepolisian,<br />

penuntutan di kejaksaan, proses sidang di pengadilan hingga<br />

pemberian restitusi.<br />

Dalam hal perempuan atau anak adalah korban benar-benar<br />

mengalami tindak kekerasan tetapi kasusnya tidak memenuhi unsur<br />

pidana, bantuan hukum juga dapat diberikan dalam rangka melakukan<br />

mediasi dengan pelaku atau pihak-pihak lain. 20<br />

16 Spesifikasi dari penulis<br />

17 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />

Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />

Anak Korban Kekerasan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan<br />

danPerlindungan Anak Republik Indonesia, 2010, hlm. 215<br />

18 Ibid.<br />

19 Ibid, hlm. 240.<br />

20 Ibid.<br />

110


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

3. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bagi Korban<br />

Kekerasan Seksual pada Tahap Penyediaan Layanan Hukum di<br />

tingkat Kepolisian<br />

Aturan dari rumusan KUHP ternyata memiliki keterbatasan<br />

yang sangat besar. Misalnya, masalah elemen-elemen kejahatan<br />

kriminal yang tidak memadai, penafsiran yang sempit dan<br />

ketidaksesuaian dengan perkembangan sosial. 21 Selain itu,<br />

pembuktiannya juga sangat sukar sehingga menyebabkan aturan<br />

tersebut tidak dapat diaplikasikan. Pengetahuan dan cara pandang aparat<br />

penegak hukum, dalam hal ini polisi yang menjalankan proses<br />

penyidikan juga menjadi tantangan lain. Pada wawancara penulis<br />

dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta, dalam<br />

pengalaman pendampingannya, ditemukan banyak aparat kepolisian<br />

yang dalam menjalankan proses penyidikan melalui pertanyaanpertanyaan<br />

yang diajukan cenderung victim blaming dan semakin<br />

menyudutkan korban. Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan<br />

hakim dalam salah satu kasus perkosaan: 22<br />

Sebelum anda disetubuhi apakah status anda masih perawan?<br />

Sebelum anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />

secara paksa, apakah anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />

Setelah Sdr. A selesai menyetubuhi anda, dan Sdr. A keluar dari<br />

kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha anda untuk melarikan<br />

diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />

Coba anda jelaskan apakah persetubuhan antara anda dengan Sdr. A<br />

tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />

Sebelum anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main<br />

ke rumah temannya tersebut, apakah anda tidak merasa curiga<br />

sebelumnya?<br />

Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Apakah anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />

sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya ke<br />

tempat vagina anda, dan apakah anda ikut membantu<br />

memasukkannya?<br />

Apakah sewaktu Sdr. H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />

21 Supriyadi Widodo Eddyono, Indri Oktaviani, Lembaga Studi dan<br />

Advokasi Masyarakat, KejahatanPerkosaan dalam RUU KUHP,<br />

Jakarta:Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM),<br />

2007, hlm. 2.<br />

22 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis,<br />

Tanggal 19 dan 21 April 1999, serta catatan persidangannya, dokumentasi<br />

LBH APIK Jakarta<br />

111


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

vagina anda, apakah anda berusaha mengelaknya?<br />

Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Penyidik :Setelah selesai persetubuhan, apa tindakan atau reaksi<br />

Saudari S (bukan nama sebenarnya)? Jelaskan!<br />

Pelaku<br />

: Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />

melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />

muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />

dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />

Penyidik : Apakah persetubuhan yang anda lakukan dengan Saudari S<br />

tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau,<br />

jelaskan?<br />

Pelaku<br />

: Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />

jawab untuk menikahinya.<br />

Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Permenneg<br />

PP&PA Nomof 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />

berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi<br />

mereka yang bersudut pada laki-laki, sehingga mereka meragukan<br />

kebenaran pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segansegan<br />

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang intinyamelecehkan dan<br />

menyalahkan korban (victim blaming) juga menyudutkan korban<br />

sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap peristiwa<br />

perkosaan tersebut (victim participating). 23 Setelah Permenneg PP&PA<br />

No. 1 Tahun 2010 diundangkan, penanganan polisi pada kasus<br />

kekerasan seksual, khususnya di Jakarta, masih mengalami kendala<br />

yang sama. Hal ini terefleksikan pada contoh kasus yang ditangani oleh<br />

pendamping hukum UH di salah satu LBH perempuan di Jakarta<br />

sebagai berikut: 24<br />

Kasus Perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />

oleh Pelaku usia 25 tahun<br />

Awal berhubungan dengan korban adalah ketika pendamping<br />

mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu disaat hari<br />

libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator divisi,<br />

pendampingan datang ke kantor Polres untuk mendampingi korban<br />

membuat laporan, visum dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah<br />

23 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />

Kelemahan Aturan dan ProsesHukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan,<br />

dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah,<br />

Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas<br />

Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />

24 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />

terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />

112


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendampingi korban membuat laporan pada jam 10.00, pendamping<br />

langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam 12.00<br />

sampai jam 17.00. Setelah visum jam 17.00 kembali lagi ke kepolisian<br />

untuk BAP sampai jam 22.00.<br />

“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena<br />

waktu itu libur jadinggak bikin surat kuasa. Kami tetap<br />

mengenalkan diri sebagai pendamping dari LBH. Akhirnya<br />

dipersilahkan untuk membuat laporan kejadiannya kapan, 3 hari<br />

yang lalu. Kalau diperkosa tiga hari yang lalu itu sudah<br />

kelamaan. Anaknya takut mau ngakuk dia baru berani cerita<br />

sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum.<br />

Laporan belum dibuat, hanyakita data, kita visum. Laporan<br />

belum dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita<br />

visum di RSCM. Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat<br />

hasilnya, waktu itu harus didampingi polisi. Karena tidak bisa<br />

jalan sendiri. Setelah itu, langsung kembali lagi ke polres.<br />

Setelah di polres baru kita dibuatkan laporan. Setelah dibuat<br />

laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />

bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja<br />

karena selesai visum itu sudah jam tujuh malam masak langsung<br />

di BAP. Harusnya tunggu kondisi korban dulu karena kondisi<br />

korban itu masih capek. Kami menyerahkan ke pihak korban,<br />

mau di BAP sekarang lebih baik. Loh biasanya kami damping<br />

nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi dari pihak<br />

korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />

di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „mba, aku capek,<br />

gimana kalau besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik<br />

bisa nggak ditunda aja untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada<br />

pemeriksaan tambahan. Karena mereka memang awam hukum.”<br />

Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH,<br />

polisi memberikan pertanyaan yang membingungkan dan menyudutkan<br />

korban, antara lain:<br />

1) “Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />

(pendamping menjawab: “bagaimana ini disebut sama-sama mau<br />

pak, dia masih kecil belum tau baik buruk, sedangkan pelaku sudah<br />

dewasa jadi tidak ada mau sama mau, ini masuk unsur dalam UUPA<br />

adanya bujuk rayu, tipu muslihat”)<br />

2) “Kok kamu gak teriak?”<br />

3) Kok mau sih, kamu pacaran ya?<br />

(Pendamping memprotes sikap polisi tersebut dengan mengatakan:<br />

“Gimana sih, KANIT-nya kan sudah sering berkoordinasi dengan<br />

LBH, kok anak buahnya begini ya ngga punya perspektif.”)<br />

113


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah<br />

ketentuan dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan<br />

Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />

1) Penerimaan laporan polisi: 25<br />

a. apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stress, penyidik<br />

melakukan tindakan penyelamatan degan mengirim saksi<br />

dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas,<br />

untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />

perkembangannya;<br />

b. dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />

mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter;<br />

2) Pada tahap penyidikan: 26<br />

a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />

keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan<br />

korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita<br />

Acara Pemeriksaan (BAP).<br />

“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />

jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />

korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />

Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />

kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan.<br />

Ya sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />

bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?‟”<br />

Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />

tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg PP&PA<br />

No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan korban<br />

untuk menjalani BAP pada hari itu juga, padahal kondisi fisik<br />

korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan tindak<br />

penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas hingga<br />

kondisi korban cukup baik untuk menjalani wawancara pembuatan<br />

laporan polisi.<br />

3) Tata cara pemeriksaan saksi dan/atau orban 27<br />

a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan<br />

dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />

a) pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />

b) dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />

25<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />

26 Ibid, hlm. 219.<br />

27 Ibid, hlm. 221-222<br />

114


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi<br />

dan/atau korban yang diperiksa;<br />

c) tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh<br />

atau melecehkan yang diperiksa;<br />

d) tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />

kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />

e) selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa<br />

memperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan<br />

yang diperiksa.<br />

Penyidik mengajukan pertanyaan kepada korban, diantaranya:<br />

“Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />

<br />

<br />

“Kok mau sih, kamu pacaran ya?”<br />

“Kok kamu gak teriak?”<br />

Dalam kondisi kelelahan, korban memaksakan diri<br />

untuk masuk ke tahap wawancara ini karena ketakutan. Setelah<br />

itu, korban justru mendapatkan rangkaian pertanyaan yang<br />

semakin memojokkan posisinya.<br />

Penyidik disini terlihat begitu tidak berperspektif pada<br />

korban. Padahal, pada PSO Pelaksanaan Permenneg PP&PA<br />

No. 1Tahun 2010 sudah ditetapkan prosedur yang terperinci<br />

dalam menyesuaikan diri dengan kondisi korban.<br />

C. Kesimpulan dan Saran<br />

Penanganan korban kekerasan seksual di tingkat kepolisian<br />

belum sesuai dengan Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010. Selaku<br />

pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan, pada praktiknya<br />

masih tidak berperspektif pada korban. Polisi kerap memaksakan<br />

“prosedur” kepada korban dan kerap abai terhadap kondisi korban itu<br />

sendiri.<br />

Penanganan lalai perspektif tersebut menyiratkan lemahnya<br />

pemahaman aparat penegak hukum, khususnya polisi selaku penyidik,<br />

akan luasnya spektrum akibat kekerasan seksual. Dampak fisik,<br />

psikologis dan trauma lainnya yang diakibatkan oleh kekerasan seksual<br />

yang dialami menjadikan korban perlu ditangani dengan treatment<br />

khusus untuk mampu menyingkap fakta-fakta hukum yang<br />

dibutuhkan.Terdapat kekosongan yang masih menjenjang antara<br />

kebutuhan korban kekerasan seksual dan perilaku penegak hukum yang<br />

menanganinya. Pemerintah melalui Permenneg PP&PA No. 1 Tahun<br />

2010 berusaha untuk menjembatani jarak tersebut. Akan tetapi,<br />

mispersepsi penegak hukum itulah yang membuatnya menjadi sekedar<br />

norma yang belum melembaga pada para penegak hukum terkait.<br />

Perspektif polisi selaku penyidik yang menangani korban<br />

merupakan inti masalah yang perlu diselesaikan sehingga perlulah<br />

diadakan suatu pelatihan yang intens dari internal kepolisian agar polisi<br />

115


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

selaku penyidik memiliki sensitivitas terhadap korban khususnya di<br />

UPPA. Selain itu, untuk mempersiapkan penegak hukum yang memiliki<br />

perspektif di generasi selanjutnya dapat dibentuk kurikulum dengan<br />

muatan mata kuliah seputar penanganan korban, anak dan sensitif<br />

gender. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar instrumen seperti SPM<br />

Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

dapat berlaku lebih efektif, instrumen tersebut dapat dilengkapi dengan<br />

sanksi sehingga penegak hukum terkait mampu lebih bertanggung<br />

jawab.<br />

Daftar Pustaka<br />

Arief, B. Nawawi. 2001.Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />

Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.<br />

Carolina, Afni. 2005. Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban<br />

Kekerasan Seksual dalam Proses Peradilan Pidana. Tesis<br />

Magister pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia: tidak<br />

diterbitkan.<br />

Eddyono, S. Widodo, Indri Oktaviani. 2007. Lembaga Studi dan<br />

Advokasi Masyarakat. Kejahatan Perkosaan dalam RUU<br />

KUHP. Jakarta: Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi<br />

Masyarakat (ELSAM).<br />

Ernaweni, Sy. 2011. Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />

terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman<br />

Pendamping Hukum. Tesis Magister pada Fakultas Hukum<br />

Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />

Hidayat, Rahayu S., dan E. Kristi Poerwandari. 2001.Perempuan<br />

Indonesia dalamMasyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun<br />

Program Studi Kajian Wanita. Jakarta:Program Pascasarjana<br />

Universitas Indonesia.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan<br />

Seksual: Kenali dan Tangani. Jakarta: Komnas Perempuan.<br />

Luhulima, A. Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif<br />

Pemecahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita UI.<br />

Munti, Ratna Batara. 2000.Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />

Kelemahan Aturan danProses Hukum, Serta Strategi<br />

116


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menggapai Keadilan, dalam Perempuan Indonesia dalam<br />

Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: Program Studi<br />

Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.<br />

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />

Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal<br />

Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban<br />

Kekerasan<br />

Purnianti dan Rita Serena Wibisono. 2003.Menyingkap Tirai Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan.<br />

Purwadianto, Agus. 2005. Perkosaan sebagai Suatu Pelanggaran<br />

terhadap Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis Metodologi<br />

Pembuktian Hukum. Disertasi Doktor pada Fakultas Ilmu<br />

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />

Reksodiputro, Mardjono. 1997.Kriminologi dan Sistem Peradilan<br />

Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat<br />

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas<br />

Indonesia.<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan dalam Rumah Tangga<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />

Korban<br />

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap<br />

Undang-undang Nomoe 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban<br />

Yantzi, Mark. 2009.Kekerasan Seksual dan Pemulihan. Jakarta:<br />

Gunung Mulia.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/siaran-pers-resitalpersembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />

117


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

KEKERASAN SEKSUAL DI BANYUMAS JAWA TENGAH<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

Abstrak<br />

Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatan<br />

serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan pendampingan<br />

korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua korban kekerasan<br />

seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual di<br />

masa yang akan datang tetapi tindakan preventif harus tetap dilakukan.<br />

Makalah ini disusun, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk<br />

menghentikan kekerasan seksual dengan memberikan gambaran<br />

perlunya perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual<br />

sehingga meminimalisir terjadinya peristiwa korban kekerasan seksual<br />

menjadi pelaku kekerasan seksual. Alasan lain mengapa perlunya<br />

perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual adalah<br />

dengan melihat dampak dari kekerasan seksual yang sangat<br />

mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban kekerasan seksual<br />

merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic<br />

stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang<br />

intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah<br />

peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban<br />

yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun<br />

untuk terbuka pada orang lain.<br />

A. Latar Belakang<br />

Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku<br />

kejahatan serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan<br />

pendampingan korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua<br />

korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan<br />

kekerasan seksual di masa yang akan datang tetapi tindakan preventif<br />

harus tetap dilakukan.<br />

Sejauh ini, tindakan-tindakan baik represif atau preventif belum<br />

dilakukan dengan maksimal, karena memang belum terstruktur dan<br />

terprogram dengan baik. Pemerintah dan seluruh pihak harus dapat<br />

benar-benar memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini, agar<br />

korban kejahatan tidak berpotensi menjadi pelaku, begitu juga dengan<br />

pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.<br />

118


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. Kekerasan<br />

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />

salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000). Kekerasan adalah<br />

penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan<br />

terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau<br />

masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar<br />

mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan<br />

perkembangan atau perampasan hak.<br />

2. Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau<br />

bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual<br />

biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O‟Barnett et al.,<br />

dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual<br />

yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual<br />

tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,<br />

dkk dalam Matlin, 2008).<br />

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh<br />

peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat<br />

khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku<br />

dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam<br />

kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa<br />

yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan<br />

diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap<br />

korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan,<br />

ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial atau modalitas<br />

sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan<br />

patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikanburuh,<br />

guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata<br />

atau aparat-penduduk sipil.<br />

Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun<br />

terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari<br />

seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus<br />

kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya<br />

setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini<br />

merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan<br />

tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi<br />

perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang<br />

pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,<br />

Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan<br />

Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim<br />

Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta<br />

Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).<br />

119


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

B. Alasan-Alasan Perlunya Perlindungan dan Pendampingan<br />

Korban Kekerasan Seksual.<br />

Secara umum, perlunya diberikan perlindungan hukum pada<br />

korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,<br />

tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini perlu memperoleh<br />

perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan<br />

memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya<br />

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and<br />

Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasil<br />

dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime<br />

and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,<br />

Sepetember 1985, dalam salah satu rekomendasinya disebutkan:<br />

“Offenders or third parties responsible for their behaviour<br />

should, where appropriate, make fair restitution to victims, their<br />

families or dependents. Such restitution should include the return<br />

of property or payment for the harm or loss suffered,<br />

reimbursement of expenses incurred as a result of the<br />

victimization, the provision of services and the restoration of<br />

rights”.<br />

(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan<br />

melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban,<br />

keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupa<br />

pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita<br />

korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya<br />

sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan<br />

undang-undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas<br />

hak).<br />

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan<br />

yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada<br />

korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap<br />

korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).<br />

Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban<br />

memperoleh perhatian yang serius tidak hanyadari masing-masing<br />

negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan<br />

terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban<br />

mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.<br />

Pada Juni, 2014 terjadi kembali kasus kekerasan seksual di<br />

Banyumas, Jawa Tengah yaitu seorang pedagang cilok keliling di<br />

Purwokerto Kabupaten Banyumas Jawa Tengah berinisial DS (25<br />

tahun) yang beralamat di Jalan Sokajati, Pasirmuncang, Purwokerto<br />

Barat, baru-baru ini ditangkap Timsatreskrim Polres setempat karena<br />

diduga telah mencabuli anak-anak di bawah umur. Tak tanggungtanggung,<br />

jumlah korban pencabulan diperkirakan mencapai 28 anak<br />

120


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

berusia rata-rata antara 10-14 tahun. Modusnya, bocah yang akan<br />

dijadikan korban, oleh tersangka pelaku iming-iming uang yang<br />

besarnya antara Rp5.000,00-Rp20.000,00. Bocah yang tergiur kemudian<br />

diajak oleh pelaku ke tempat yang sepi dengan motornya. Ada yang<br />

dibawa ke warnet, lapangan, kamar mandi atau bahkan dibawa ke WC<br />

umum. Sebelum dicabuli, korban terlebih dahulu diberi minuman keras<br />

yang dicampur dengan pil dextro. Setelah korban diberi minuman dan<br />

tidak berdaya, pelaku mencabuli korban atau melakukan perbuatan yang<br />

tidak pantas. Terkait perilakunya yang menyimpang, tersangka DS<br />

mengaku pernah menjadi korban pencabulan oleh tetangganya.<br />

Berdasarkan kasus tersebut ditemukan fakta bahwa pelaku<br />

kekerasan seksual dahulu pernah menjadi korban kekerasan seksual.<br />

Memang ada berbagai macam alasan seseorang menjadi pelaku<br />

kekerasan seksual seperti faktor penyimpangan seksual, kesempatan,<br />

namun pada kasus lain yaitu Kasus di TK Jakarta International School<br />

salah satu pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan seksual<br />

sewaktu kecil.<br />

Ketika para pelaku kekerasan seksual yang dulunya pernah<br />

menjadi korban kekerasan seksual ketika baru saja mengalami kejadian<br />

memilukan tersebut tidak mendapat penanganan yang baik dari berbagai<br />

pihak. Maksudnya adalah kasus tersebut tidak dilaporkan ke Kepolisian,<br />

tidak ada psikolog yang menemani untuk memulihkan psikis korban,<br />

orang tua, teman-teman dan lingkungan sekitar pasif. Sehingga korban<br />

hanya sendirian saja dan terjadilah reviktimisasi atau korban menjadi<br />

korban untuk kedua kali. Apakah kita hanya dapat diam saja melihat<br />

fakta mengerikan itu terjadi. Seolah-olah sederetan kasus kekerasan<br />

seksual yang terkuak pada 2014 seperti siklus, artinya pelaku kekerasan<br />

seksual ternyata dulunya korban kekerasan seksual. Jadi, perlu adanya<br />

perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual.<br />

Perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan<br />

seksual dapat dilakukan dengan cara:<br />

a) Dorong untuk melakukan proses hukum &assessment psikis utk<br />

traumanya;<br />

b) Laporkan kasus dilakukan di unit Perlindungan Perempuan & Anak<br />

(PPA) Polres, bisa melalui PPT PKBGA setempat, sangat<br />

disarankan korban didampingi orang-orang yg mengerti isu;<br />

c) Anak sampai dengan 18 tahun diperoses di bawah UU Perlindungan<br />

Anak. Pahami UUPA, jgn sampai sudah berkasus baru berminat<br />

mempelajarinya;<br />

d) Memproses kasus kekerasan seksual secara hukum tak semata<br />

berpatokan pada cukupnya bukti dan saksi;<br />

e) Lakukan segera proses konseling atau terapi pada korban, dengan<br />

melibatkan psikolog;<br />

121


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

f) Korban sering lebih cenderung menjawab dengan tidak rileks saat<br />

assessment psikis. Gejala trauma bisa tidak terlihat. Fase<br />

penyangkalan dan rasa bersalah bisa akibatkan korban terlihat<br />

tenang & baik-baik saja. Ini sering disalahartikan dan dilaporkan<br />

sebagai bahwa korban tidak terguncang, tidak trauma atau baik-baik<br />

saja adalah sangat merugikan;<br />

g) Lakukan juga assessment psikis pembanding di lembaga atau ahli<br />

jiwa independen yang lebih mengerti soal trauma dan bisa menggali<br />

persoalan psikis korban dengan lebih mendalam dan teliti.Jangan<br />

abaikan hasil assessment psikis, salah 'membaca' gejala trauma akan<br />

merugikan korban yang sedang butuh keadilan;<br />

h) Bila dalam proses kasus, aparat melakukan pemaksaan konfrontasi<br />

antara korban dan pelaku, pastikan korban didampingi konselor.<br />

Proses tersebut sebenarnya sangat merugikan korban karena saat<br />

korban dipertemukan dengan pelaku, ia bisa merasa terintimidasi,<br />

tertekan, dan labil;<br />

i) Mempertemukan korban dan pelaku di luar pengadilan tanpa<br />

pendamping atau konselor bisa berpotensi mencederai keadilan bagi<br />

korban;<br />

j) Karena korban yang tertekan bisa berubah karena takut atau tidak<br />

enak hati. Apalagi bila pelaku adalah orang dekat;<br />

k) Jauhkan korban dari pelaku. Sangat disarankan mengevakuasi<br />

korban ke rumah aman; dan<br />

l) Libatkan lembaga-lembaga dan pegiat isu kekerasan seksual saat<br />

memproses kasus untuk mendapatkan dukungan lebih kuat. Mereka<br />

juga akan men-support pengetahuan tentang UUPA.<br />

Alasan lain mengapa perlunya perlindungan dan pendampingan<br />

korban kekerasan seksual adalah dengan melihat dampak dari kekerasan<br />

seksual yang sangat mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban<br />

kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang<br />

disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), gejala-gejala berupa<br />

ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku<br />

setelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002),<br />

korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga<br />

tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam<br />

Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan<br />

seksual, yaitu:<br />

1) Betrayal (penghianatan)<br />

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan<br />

seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan<br />

kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan<br />

anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.<br />

2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)<br />

122


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang<br />

mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan<br />

seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan<br />

seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002)<br />

mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis<br />

karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.<br />

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)<br />

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan<br />

kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan<br />

tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban<br />

merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.<br />

Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya,<br />

pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan<br />

dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).<br />

4) Stigmatization<br />

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, dan memiliki<br />

gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat<br />

ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki<br />

kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda<br />

dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya<br />

akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan<br />

obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,<br />

menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori<br />

kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).<br />

C. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual<br />

di Banyumas, Jawa Tengah<br />

Menurut Dra. Tri Wuryaningsih, M.Si., Dosen Fisip Jurusan<br />

Sosiologi Unsoed Purwokerto indikator telah terjadi kekerasan seksual<br />

antara lain:<br />

a) Adanya perubahan pada perasaan, sikap maupun perilaku anak pada<br />

hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas;<br />

b) Pengetahuan yang tiba-tiba dimilikinya tentang seks;<br />

c) Reaksi yang sangat kuat pada kontak fisik seperti misalnya sangat<br />

menarik diri dari kontak fisik atau sebaliknya mempunyai<br />

ketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan seksualitasnya;<br />

d) Menunjukkan kemunduran perkembangan secara fisiologis atau<br />

perilaku yang tiba-tiba, seperti: perubahan kebiasan tidur, makan,<br />

prestasi di sekolah (mundur sekali atau malah berprestasi);<br />

e) Mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain di<br />

sekolah, seperti:bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar dari<br />

tugas-tugas, menarik diri;<br />

f) Ketegangan emosi, misalnya selalu takut, cemas, mudah<br />

tersinggung, mudah marah, dan depresi.<br />

123


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus<br />

menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka<br />

tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai<br />

kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />

didukung secara tidak langsung oleh negara melalui muatan dalam<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP<br />

kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran<br />

terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat<br />

perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa<br />

kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Sikap korban<br />

membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan<br />

didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat<br />

sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan<br />

seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan<br />

semata.<br />

Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan<br />

menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting<br />

dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan<br />

ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman korban kekerasan seksual<br />

menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh<br />

integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan<br />

hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan<br />

wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam<br />

upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan<br />

pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan<br />

moralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justru<br />

disalahkan atas atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang<br />

dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi<br />

juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan.<br />

Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena<br />

dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik<br />

keluarga ataupun masyarakat.<br />

Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai<br />

“barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat<br />

berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan.<br />

Korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika<br />

ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan<br />

dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai<br />

dengan iming-iming pelaku.<br />

Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />

Kekerasan Seksual Nasional:<br />

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287,<br />

290, dan 291;<br />

124


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 8(b), 47, dan 48;<br />

3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3 dan 7);<br />

4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

pasal 1(15), 17 (2), 59, 66 (1 dan 2), 69, 78, dan 88<br />

Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />

Kekerasan Seksual Internasional:<br />

1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, dan pasal 68;<br />

2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik<br />

Bersenjata;<br />

3) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan<br />

(ICPD) pada bulan Desember 1993;<br />

4) Deklarasi Wina Tahun 1993.<br />

1. Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Bagi Korban<br />

Kekerasan Seksual<br />

Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban<br />

perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor<br />

personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling<br />

kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />

melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat<br />

personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma<br />

mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat<br />

termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya,<br />

kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang<br />

luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan<br />

peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban<br />

tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />

Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib<br />

mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan<br />

kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah<br />

masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan<br />

karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena<br />

harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan<br />

oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan<br />

seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam<br />

keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk<br />

mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir<br />

tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir<br />

dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya<br />

dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempEuan<br />

korban menikahi pelakunya.<br />

125


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan<br />

dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek<br />

substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun<br />

ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan<br />

diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh<br />

hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut<br />

masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya<br />

mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk<br />

penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat<br />

penetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalaman<br />

perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut<br />

keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi<br />

sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak<br />

hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani<br />

kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />

Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat<br />

penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang<br />

memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara<br />

hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan<br />

kekerasan seksual.<br />

Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan<br />

empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan<br />

korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana,<br />

dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap<br />

ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus<br />

perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa<br />

tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan<br />

menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).<br />

Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya<br />

perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus,<br />

korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam<br />

pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat<br />

akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan<br />

keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan<br />

terpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban<br />

perkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor<br />

politik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat<br />

ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara.<br />

2. Ranah Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun.<br />

Data Komnas Perempuan tahun 2012 menunjukkan kekerasan seksual<br />

terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara. Jumlah paling<br />

tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di<br />

126


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang<br />

memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),<br />

kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan<br />

korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait<br />

dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah<br />

disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembagalembaga<br />

yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta<br />

meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan<br />

yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu.<br />

Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang<br />

terjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus<br />

dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah<br />

ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,<br />

guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak<br />

dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku<br />

kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya<br />

mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara<br />

dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah<br />

negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada<br />

peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun<br />

tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak<br />

kekerasan tersebut berlanjut.<br />

Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan<br />

hukum terhadap korban kekerasan seksual dapat mencakup:<br />

a. Pada waktu korban melapor perlu ditempatkan di Ruang Pelayanan<br />

Khusus (RPK) yang merupakan sebuah ruang khusus yang tertutup<br />

dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang<br />

menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan<br />

kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh<br />

pengertian dan profesional;<br />

b. Upaya pendampingan sangat dibutuhkan selama proses persidangan<br />

mengingat korban dapat/harus dipertemukan dengan pelaku yang<br />

dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi<br />

kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan;<br />

c. Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka korban berhak<br />

mendapatkan perlindungan yang antara lain: mendapatkan<br />

nasihathukum, dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup<br />

sementara sampai batas waktu perlindungan akhir.<br />

Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />

perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />

oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />

hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />

Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />

127


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />

kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />

bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan<br />

masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />

3. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual di<br />

Jawa Tengah<br />

Badan Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak<br />

dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Tengah menyatakan siap<br />

membantu pemulihan kondisi psikologi korban secara gratis. Kepala<br />

BP3AKBP Jawa Tengah, Sri Kusuma Astuti mengatakan pihaknya siap<br />

melakukan pendampingan kepada korban melalui Pusat Pelayanan<br />

Terpadu (PPT) yang memang ada di tiap kabupaten/kota. Menurut data<br />

BP3AKB yang diperoleh detikcom, ada 247 kasus kekerasan seksual<br />

yang dialami anak dari awal tahun 2014 hingga triwulan kedua yaitu<br />

bulan Juni.<br />

Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan<br />

dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />

sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />

pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />

Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program untuk<br />

mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu artinya<br />

pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai melupakan<br />

kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu untuk menilai<br />

kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya karena masing-masing<br />

korban memiliki perbedaan. Sehingga saat ini sangat dibutuhkan wadah<br />

yang fokus dari awal sampai akhir untuk melindungi dan mendampingi<br />

korban kekerasan seksual, jadi diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

1. Tanpa penanganan yang tepat, terhadap korban kekerasan seksual<br />

akan timbulkan masalah kejiwaan di masa yang akan datang,<br />

mengganggu peran dan fungsi sosialnya serta berpotensi<br />

membuatnya menjadi pelaku kekerasan juga. Ide dasar<br />

perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual<br />

timbul dikarenakan korban tersebut mengalami penderitaan secara<br />

fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan<br />

waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang<br />

dialami korban kekerasan seksual tidak ringan dan membutuhkan<br />

waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat<br />

penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap<br />

korban kekerasan seksual yangdiimplementasikan dalam peraturan<br />

perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.<br />

128


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan dan<br />

pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />

sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />

pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />

Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program<br />

untuk mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu<br />

artinya pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai<br />

melupakan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu<br />

untuk menilai kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya<br />

karena masing-masing korban memiliki perbedaan. Sehingga saat<br />

ini sangat dibutuhkan wadah yang fokus dari awal sampai akhir<br />

untuk melindungi dan mendampingi korban kekerasan seksual, jadi<br />

diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />

Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />

perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />

oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />

hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />

Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />

tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />

kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />

bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil menyejahterakan<br />

masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Abineno, J.L.Ch. 1999. Seksualitas dan Pendidikan Seksual. Jakarta: PT<br />

BPK Gunung Mulia.<br />

Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bandung:<br />

Binacipta.<br />

Irfan, Muhammad dkk. 2001. Perlindungan Terhadap Korban<br />

Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan).<br />

Bandung: PT Refika Aditama.<br />

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan. Bandung: Refika Aditama.<br />

Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.<br />

Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).<br />

129


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi<br />

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain<br />

yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat<br />

Manusia.<br />

Buletin Sekretaris Jenderal PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi<br />

perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual,<br />

St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan.<br />

Komnas Perempuan. 2007. Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan.<br />

The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of<br />

Human Rights as Means of Interpretation diakses dari<br />

http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosec<br />

ution_of_Sexua_Violence.pdf. pada 25 Oktober 2014.<br />

130


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASAN<br />

SEKSUAL PADA ANAK DI KOTA BANJARMASIN<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

Abstrak<br />

Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />

didalam dirinya melekatharkat dan martabat sebagai manusia<br />

seutuhnya. Oleh karena itu, anak juga memiliki hak asasi manusia<br />

yang diakui oleh masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, diakui<br />

bahwa dalam masa pertumbuhannya seara mental anak membutuhkan<br />

perawatan, perlindungan yang khusus maupun perlindungan hukum<br />

baik sebelum maupun sesudah lahir. Makalah tentang pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana kekerasan<br />

seksual di Kota banjarmasin ini membahas tentang bagaimana cara<br />

mencegah tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan bagaimana<br />

perlindungan hukum bagi korban secara yuridis. Khusus topik ini<br />

ruang lingkup yang kami angkat adalah di Kota Banjarmasin yang<br />

menurut lembaga perlindungan anak di daerah Kalimantan Selatan<br />

dari tahun 2013 sampai 2014 menanjak. Oleh karena itu, peran<br />

keluarga, pemerintah kota, dan masyarakat sangat diperlukan untuk<br />

memberantas tindak pidana kekerasan seksual pada anak di Kota<br />

Banjarmasin.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kehidupan manusia sekarang ini diwarnai oleh berbagai<br />

kemajuan dalam segala bidang seperti teknologi komputer,<br />

telekomunikasi, kedokteran, dan lain-lain. Kemauan yang telah dicapai<br />

tersebut disamping memberikan dampak positif, dan juga dampak<br />

negatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif di antaranya<br />

adalah memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapat sesuatu<br />

yang diinginkan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dampak<br />

negatif di antaranya adalah dapat menimbulkan berbagai tindak pidana<br />

(kejahatan) di dalam kehidupan .<br />

Salah satu bentuk kejahatan yang cukup meresahkan<br />

masyarakat adalah berupa tindak kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

masih di bawah umur yang hampir melanda di seluruh wilayah<br />

Indonesia tidak terkecuali di Kota Banjarmasin.<br />

Di Indonesia kasus kekerasan seksual terus meningkat dari<br />

tahun ke tahun. Meningkatnya angka kekerasan seksual merupakan hal<br />

yang harus mendapatkan perhatian serius karena sudah menjadi<br />

fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Hampir setiap hari<br />

131


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pemberitaan di media massa seperti media cetak dan media elektronik<br />

mempublikasikan kasus-kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi<br />

pada anak maupun perempuan. Kekerasan seksual adalah suatu bentuk<br />

tindakan atau percakapan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadap<br />

korbannya.<br />

Tindak kekerasan seksual pada anak Indonesia masih sangat<br />

tinggi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang<br />

yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah<br />

kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai<br />

hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk<br />

dengan cara yang salah sekalipun. Tindak kekerasan seksual terhadap<br />

anak tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus-menerus,<br />

melainkan harus ditanggulangi baik melalui upaya pendekatan yuridis<br />

maupun pendekatan non yuridis serta menjadi tanggung jawab seluruh<br />

komponen masyarakat.<br />

Dengan adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, maka<br />

akan menjadi korban dari perbuatan seseorang dan tentunya akan<br />

menimbulkan dampak psikologis bagi kelangsungan kehidupannya.<br />

Dalam hal ini, maka kedudukan anak sebagai generasi bangsa, akan<br />

mengalami hambatan terhadap perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />

Secara yuridis masalah tindakan kekerasan seksual terhadap<br />

anak di bawah umur dapat dikenakan pasal 290 angka (2e) KUHP<br />

yaitu seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang<br />

belum cukup umur 15 tahun dan diancam pidana penjara selama tujuh<br />

tahun. Disamping itu, dapat pula dikenakan pasal 292 KUHP, yaitu<br />

orang dewasa yang melakukan cabul dengan orang yang belum dewasa<br />

dari jenis kelamin yang sama dan diancam pidana penjara lima tahun.<br />

Kemudian tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

dibawah umur juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39<br />

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 58 ayat (1)<br />

disebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan<br />

perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual.<br />

Dalam rangka menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual<br />

terhadap anak di bawah umur, maka diterbitkan Undang-Undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundang<br />

ini telah menentukan sanksi pidana terhadap tindak pidana<br />

kekerasan seksual yang dilakukan kepada seorang anak yang belum<br />

dewasa sebagaimana disebutkan pada pasal 81 ayat (1) sebagai berikut:<br />

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetujuan<br />

dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana<br />

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />

132


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />

puluh juta rupiah).”<br />

Berdasarkan keterangan tersebut diatas, jelas menunjukkan<br />

bahwa seorang anak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak<br />

kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa melalui<br />

pengenaan sanksi pidana penjara dan denda bagi pelakunya.<br />

Meskipun demikian, kenyataannya menunjukkan masih<br />

ditemukan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak yang<br />

belum dewasa sebagaimana pemberitaan media massa maupun media<br />

elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tindak kekerasan<br />

seksual terhadap anak yang belum dewasa tidak hanya ditanggulangi<br />

melalui pendekatan yuridis semata melainkan diperlukan pendekatan<br />

nonyuridis atau sosiologis.<br />

Pendekatan nonyuridis tersebut dilakukan dalam upaya untuk<br />

mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindak<br />

kekerasan seksual terhadap seorang yang belum dewasa, sehingga<br />

dapat diambil langkah-langkah penanggulangannya dengan baik guna<br />

mengantisipasi dan mencegah terjadinya kasus demikian.<br />

Berkaitan dengan itu, perlu diketahui dampak psikologis yang<br />

dialami seorang anak yang belum dewasa yang menjadi korban tindak<br />

kekerasan seksual. Hal ini penting dilakukan dalam upaya melakukan<br />

pembinaan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual,<br />

sehingga anak tidak mengalami gangguan atau hambatan dalam<br />

perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />

Di Banjarmasin kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />

dibawah umur terus mengalami peningkatan. Dari data tahun 2013<br />

yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kalimantan<br />

Selatan terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />

dibawah umur. Hal ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan dan<br />

mengancam kelangsungan pertumbuhan anak-anak khususnya di Kota<br />

Banjarmasin.<br />

Berdasarkan gambaran pemikiran tersebut diatas, maka diambil judul<br />

makalah yaitu “Pencegahan dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />

Seksual terhadap Anak di Bawah Umur di Kota Banjarmasin”.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Pengertian Tindak Pidana<br />

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam<br />

hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari 3<br />

(tiga) kata yaitu straf, baar, feit. Straf diterjemahkan dengan pidana<br />

dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan<br />

untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,<br />

133


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan perbuatan. 1 Dalam hukum pidana, istilah tindak pidana ini tumbuh<br />

dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundangundangan.<br />

Meskipun tindak lebih pendek dari perbuatan, tapi tidak<br />

menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya<br />

menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa<br />

dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik,<br />

atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam<br />

tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak dan belakangan juga sering<br />

dipakai “ditindak”. Maka dalam perundang-undangan yang<br />

menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,<br />

maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata<br />

perbuatan. Contohnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang<br />

Pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain). 2<br />

Istilah “tindak” memang lebih lazim digunakan dalam<br />

peraturan perundang-undangan kita, walaupun masih banyak<br />

diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan<br />

manusia dalam arti yang positif (handelen) semata, dan tidak termasuk<br />

kelakuan manusia yang pasif atau negatif (natalen). Padahal pengertian<br />

yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan<br />

aktif maupun pasif tersebut.<br />

Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk<br />

mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau<br />

gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya<br />

mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).<br />

Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu<br />

bentuk perbuatan tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya,<br />

misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 351 KUHP) atau perbuatan<br />

membiarkan (pasal 304 KUHP).<br />

Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai<br />

oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi<br />

pengertian dari strafbaar feit. Begitu juga Prof.Ruslan Saleh<br />

menggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam buku beliau<br />

“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana”.<br />

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang<br />

didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu<br />

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa<br />

pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan<br />

tersebut”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya<br />

adalah:<br />

1<br />

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I. (Jakarta: PTRaja<br />

Grafindo Persada, 2002), hlm.69.<br />

2 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: PT Rineka Cipta,<br />

2002),hlm. 54.<br />

134


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1) Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,<br />

yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan<br />

(orang)), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,<br />

sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.<br />

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman<br />

pidana (yang ditunjukan pada orangnya) ada hubungan yang erat,<br />

dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian<br />

yang ditimbulkan oleh orang tadi, melanggar larangan) dengan<br />

orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.<br />

3) Untuk menyatakan hubungan yang erat itulah maka lebih tepat<br />

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang<br />

menunjukan pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adalah<br />

kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat<br />

atau yang menimbulkan kejadian itu. 3<br />

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti<br />

tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya,<br />

menampakan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang<br />

yang melakukan yang disebut pandangan dualisme, pandangan tersebut<br />

juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan<br />

Saleh, dan A.Zaenal Abidin.<br />

Pompe yang merumuskan bahwa suatu strafbaarfeit itu<br />

sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut<br />

sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan<br />

yang dapat dihukum. 4<br />

R.Tresna merumuskan perihal peristiwa pidana yang<br />

menyatakan bahwa“peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan<br />

atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan<br />

undang-undang atau peraturan perundang-undangan laiinya terhadap<br />

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” 5<br />

R.Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu<br />

mempunyai syarat-syarat yaitu:<br />

1) Harus ada perbuatan manusia;<br />

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam<br />

ketentuan hukum;<br />

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu<br />

orang yang harus dapat dipertanggungjawabkan;<br />

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; dan<br />

3 Ibid.<br />

4 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar<br />

Baru, 1990), hlm. 174.<br />

5 Tresna.R. Mr. Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tiara Limited, 1959),<br />

hlm. 27.<br />

135


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukmnya dalam<br />

undang-undang. 6<br />

2. Pengertian Anak<br />

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negara<br />

hukum Indonesia, tidak melainkan adanya rumusan dari masingmasing<br />

peraturan perundang-undangan tersebut hanyalah merupakan<br />

pembatasan terhadap suatu perbuatan tertentu, keputusan tertentu,<br />

maupun untuk mencapai tujuan tertentu dengan materi hukum yang<br />

diaturnya.<br />

Walaupun ada rumusan tentang anak, akan tetapi terdapat<br />

perbedaan dari masing-masing rumusan yang disebabkan oleh cara<br />

pandang atau tolak ukur yang berbeda dalam menentukan batasan<br />

umur untuk seorang anak. Namun pada dasarnya tujuan dari semua<br />

pembatasan tersebut adalah sama yaitu berkaitan dengan dapat<br />

tidaknya seseorang dijatuhi hukumnya serta dapat tidaknya suatu<br />

tindak pidana pertanggungjawabkan kepadanya. Adapun beberapa<br />

peraturan perundang-undangnan yang memberi rumusan tentang anak<br />

diantaranya adalah:<br />

Pasal 29 KUHPerdata yang menyatakan bahkan “Seorang<br />

jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun,<br />

sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas<br />

tahun, tidak diperbolehkanmengikatkan dirinya dalam perkawinan”.<br />

Dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata<br />

memberikan batasan umur bagi anak untuk melangsungkan<br />

perkawinan adalah 18 (delapan belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun<br />

bagi anak perempuan.<br />

Selain itu pada pasal 330 KUHperdata disebutkan bahwa<br />

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21<br />

(dua puluh satu) tahun dan tidak didahului kawin”. Ketentuan ini<br />

berlaku bagi orangEropa, golongan timur asing Tionghoa, dan<br />

golongan timur asing bukan Tionghoa atau bagi siapa saja yang<br />

melakukan penundukan diri terhadap BW.<br />

Pasal 45 KUHPidana menentukan bahwa “Jika orang yang<br />

dibawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umur<br />

belum cukup 16 (enam belas) tahun, dapatlah hakim.....”. ketentuan ini<br />

merumuskan secara jelas mengenai pengertian anak dibawah umur.<br />

Batas umur 16 tahun yang ditentukan tersebut bukanlah berkaitan<br />

dengan penentuan bahwa umur 16 tahun merupakan anak yang belum<br />

dewasa tetapi ditunjukkan kepada masalah penentuan hukuman<br />

terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum ia<br />

mencapai umur 16 tahun. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974<br />

6 Ibid.<br />

136


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tentang Perkawinan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan, bahwa<br />

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19<br />

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16<br />

(enam belas) tahun”.<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan<br />

Anak, pada pasal 1 angka 2 disebutkan, bahwa “Anak adalah<br />

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu0 tahun dan<br />

belum pernah kawin.” Batas umur 21 tahun ini ditetapkan berdasarkan<br />

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap<br />

kematangan sosial. Kematangan pribadi dan kematangan mental<br />

seseorang anak yang biasanya dicapai pada umur tersebut. Undangundang<br />

No.3 tahun1997 tentang Peradilan Anak, pada pasal 1 angka 2<br />

disebutkan, bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal<br />

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18<br />

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”<br />

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />

Manusia pada pasal 1 angka 5 disebutkan, bahwa “Anak adalah setiap<br />

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum<br />

menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal<br />

tersebut adalah demi kepentingannya”.<br />

Kemudian Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1 disebutkan, bahwa “Anak<br />

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun<br />

termasuk anak yang masih dalam kandungan”.<br />

Berbeda dengan hukum formal, dalam hukum adat ketentuan<br />

tentang kedewasaan tidak ditentukan menurut ukuran umur yang pasti<br />

karena setiap orang berbeda tingkat kedewasaannya.<br />

Begitu pula menurut hukum islam sebagaimana dikatakan oleh<br />

Mulyana W.Kusumah bahwa kedewasaan seseorang itu tidak<br />

berdasarkan hitungan usia yang pasti tetapi sejak ada tanda-tanda<br />

perubahan badaniah baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 7<br />

Dan terjadinya perubahan ini adalah berbeda pada setiap orang.<br />

Berdasarkan uraian tersebut diatas dan sesuai dengan pokok<br />

permasalahan, maka yang dimaksud dengan anak adalah seseorang<br />

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang<br />

masih dalam kandungan.<br />

3. Pengertian Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap<br />

anak terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai<br />

objek. Perlakuan-perlakuan tersebut tidak wajar dan sering dilakukan<br />

1986), hlm. 3.<br />

7 Mulyana W.Kusumah. Hukum dan Hak-hak Anak. (Jakarta: Rajawali,<br />

137


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dengan mempergunakan kekerasan yang semuanya diawali dengan<br />

ancaman atau bujukan terhadap korban.<br />

Di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah<br />

disusun di Indonesia dikenal istilah kekerasan seksual, beberapa<br />

bentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat<br />

dikemukakan di dalamnya, yakni dibawah payung bab kejahatan<br />

terhadap kesusilaan.<br />

Dengan demikian, kekerasan seksual termasuk dalam kategori<br />

kejahatan kesusilaan. Itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi<br />

dalam KUHP. Penjelasan mengenai istilah ini dapat ditemukan dalam<br />

buku non resmi yang disusun oleh R. Soesilo yang menyebutkan<br />

bahwa: “Kesusilaan diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkaitan<br />

dengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh dikatakan sebagai suatu<br />

perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin”. 8 Misalnya,<br />

bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan<br />

perempuan atau laki-laki, mencium, dan sebagainya. 9<br />

Begitu pula istilah kekerasan tindak dirumuskan secara jelas<br />

baik dalam KUHP maupun RUU KUHP Nasional. Dalam Pasal 89<br />

KUHP hanya disebutkan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan<br />

adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).<br />

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan<br />

jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan<br />

atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan<br />

sebagainya. 10<br />

Kemudian dalam RUU KUHP nasional kekerasan atau<br />

ancamankekerasan dirumuskan sebagai berikut: 11<br />

Bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual<br />

tersebut. Mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual<br />

yang dilakukan berdasarkan ketundukan (submssion), karena alasanalasan<br />

tertentu. Umpamanya antara seorang majikan terhadap<br />

bawahanya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya,<br />

atau cemas dengan nilai ujian dalam konteks hubungan guru dengan<br />

murid.<br />

Menurut WHO, kekerasan atau violence adalah penggunaan<br />

kekuatan fisik dan kekerasan, ancaman atau tindakan terhadap diri<br />

sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang<br />

8 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politteia, 1983),<br />

hlm. 204.<br />

9 Ibid.<br />

10 Ibid.<br />

11 Ratna Batara Munti. Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas. Jakarta:<br />

Deputi Kajian LBH Apik.<br />

138


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,<br />

kelainan perkembangan ataupun perampasan hak.<br />

R.Audi menyatakan bahwa “Violence sebagai serangan atau<br />

penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang atau serangan<br />

penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas<br />

atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik<br />

seseorang.” 12 Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan<br />

bahwa setiap penggunaan kekuatan fisik atau serangan yang dilakukan<br />

oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan keadaan<br />

alamiah manusia dimana tindakan tersebut dapat mengakibatkan<br />

luka/trauma terhadap orang lain.<br />

Pengertian seksual menurut kamus hukum adalah “Sesuatu<br />

yang berkenaan dengan seks, segala sesuatu yang berkaitan dengan<br />

masalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan khusus di antara<br />

manusia.” 13 Istilah seksualitas merujuk pada suatu konsep, konstruksi<br />

sosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks.<br />

Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis yang memberikan perbedaan<br />

antara laki-laki dan perempuan. 14<br />

Pengertian seksual dalam istilah ilmu kedokteran yaitu hal-hal<br />

yang berkaitan dengan persetubuhan dan hasil kekerasan<br />

penyertaannya seperti pada perkosaan dan penyimpangan seksual yang<br />

lain. 15<br />

Aktivitas seksual yang disertai kekerasan seksual tidak hanya<br />

antar lawan jenis, tetapi pada hubungan kelamin sejenis bahkan<br />

dilakukan terhadap anak-anak sekalipun.Kekerasan seksual terhadap<br />

anak diartikan sebagai penggunaan anak dan remaja yang masih<br />

dependen, sebelum matang tingkat perkembangannya dalam kegiatan<br />

yang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka yang tidak mampu<br />

melakukan secara sukarela atau melanggar norma sosial dari peran<br />

keluarga. 16<br />

Definisi tersebut mungkin akan lebih “keras” jika ditambahkan<br />

unsur pemaksaan ke dalamnya. Pemaksaan menjadi unsur yang<br />

niscaya dianggap bahwa anak, berhubung tingkat perkembangan<br />

belum mampu melakukan tindakan seksual atas dasar suka sama suka.<br />

Istilah penganiayaan atau pelecehan seksual sering dipakai pengganti<br />

12 I Marshana Windhu. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />

hlm. 63.<br />

13 Sudarson,Kamus Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992),hlm. 432.<br />

14<br />

Ahmad Sofian, et.all,Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />

Jerman,(Yogyakarta: Kerjasama PusatPenelitian Kependudukan Universitas<br />

Gadjah Mada dan Ford Foundation), hlm. 7.<br />

15 Kusnadi, Masalah Seksual,(Surabaya: Karya Anda, 1990), hlm. 26.<br />

16 Ibid., hlm. 8.<br />

139


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

istilah kekerasan seksual. 17 Penyalahgunaan seks pada anak adalah jika<br />

ada seorang anak (dibawah 16 tahun) dilibatkan dalam kegiatan yang<br />

bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual pada pihak yang<br />

mengajak dan pihak pengajak tersebut secara seksual memang sudah<br />

matang. Penyalahgunaan seksual terhadap anak menurut Ducan dan<br />

Beker, misalkan dilakukan oleh dan antara anggota keluarga, dengan<br />

orang diluar keluarganya atau dengan orang yang asing sama sekali.<br />

Hanya terjadi sekali atau beberapa kali, dengan orang yang sama atau<br />

orang yang berbeda. 18<br />

Bentuk kegiatan penyalahgunaan seks bisa berupa tanpa<br />

kontak fisik sama sekali seperti cabul, ekshibisionisme, ada kontak<br />

fisik (diraba, dibelai, masturbasi) atau terjadi senggama. 19<br />

Penyebab pelecehan seksual pada dasarnya adalah adanya<br />

dorongan seksual yang menimbulkan ketegangan seksual, dan<br />

membutuhkan pelepasan seksual. Bagi pelaku, bentuk-bentuk<br />

pelecehan seksual merupakan pelepasan ketegangan seksual, walaupun<br />

tidak selalu berupa keputusan seksual yang utuh. 20<br />

C. Pembahasan<br />

Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah<br />

umur dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />

melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua. Tanggung<br />

jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak kekerasan<br />

seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran dan tanggung<br />

jawab orang tua, peran dan koordinasi antara lembaga-lembaga sosial<br />

masyarakat lain seperti sekolah dan masyarakat serta Lembaga<br />

Perlindungan Anak juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak<br />

kekerasan seksual pada anak dibawah umur.<br />

Pencegahan kekerasan seksual pada anak dibawah umur dapat<br />

dilakukan melalui beberapa pendekatan. Salah satunya melalui<br />

pendekatan yuridis maupun pendekatan non-yuridis atau sosiologis<br />

seperti mengetahui faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi<br />

seorang melakukan perbuatan itu. Dari faktor-faktor inilah, pihak<br />

aparat penegak hukum, orang tua maupun masyarakat dapat<br />

mengantisipasi kemungkinan terjadinya-tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak dibawah umur. Bagi orang tua misalnya perlu<br />

mengawasi dengan baik, sehingga kesempatan tersebut tidak<br />

digunakan oleh seseorang untuk melakukan tindak kekerasan seksual<br />

17 Ibid.<br />

18 Nazmi Akbar, Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu Kenistaan,<br />

Artikel Koran Kalimantan Post, (2002), hlm. 4.<br />

19 Ibid.<br />

20 Ahmad Sofian, et.al. Op. Cit., hlm. 5.<br />

140


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terhadap anaknya. Kemudian pihak aparat penegak hukum harus<br />

bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak<br />

lainnya melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat mengenai<br />

faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak termasuk dampaknya, sehingga dapat mengantisipasi<br />

terjadinya tindak kekerasan seksual. Selanjutnya pihak pengelola<br />

televisi dapat mengurangi tayangan-tayangan yang mengandung unsurunsur<br />

kekerasan dan pornografi.<br />

Begitu pula pihak aparat penegak hukum dalam hal ini<br />

kepolisian lebih intensif melakukan razia terhadap peredaran VCD<br />

porno serta pihak pengelola majalah atau tabloid dapat mengurangi<br />

sajian bersifat pornografi seperti memperlihatkan aurat wanita dan<br />

lain-lain.<br />

Mengingat salah satu kendala penanganan kasus tindak<br />

kekerasan seksual terhadap anak adalah keenganan dan<br />

ketidakpercayaan (keluarga) korban pada birokrasi aparat penegak<br />

hukum, khususnya kepolisian maka untuk merangsang kesediaan<br />

korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya<br />

semestinya dilakukan pendekatan dan kemudahan dalam proses<br />

pelaporan yang sifatnya empatif terhadap penderitaan korban.<br />

Selain deregulasi atau pemberian kemudahan dalam pelaporan<br />

oleh aparat kepolisian hal lain yang dibutuhkan korban kekerasan<br />

seksual adalah persoalan kepastian hukum. Untuk menangani anak<br />

perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sebetulnya sangat<br />

dibutuhkan kehadiran lemabga atau pusat krisis yang benar-benar<br />

berkompeten di bidang penangana korban kekerasan seksual.<br />

Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />

diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />

adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />

Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama maka<br />

dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan sehari-hari,<br />

sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindak pidana<br />

termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.<br />

Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan<br />

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh<br />

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan<br />

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan<br />

dan diskriminasi.<br />

Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus<br />

termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal<br />

ini didasarkan alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa<br />

dan matang. Anak-anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang<br />

telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak<br />

kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu<br />

141


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan<br />

berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia<br />

perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan<br />

hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.<br />

Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah<br />

untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh<br />

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat<br />

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari<br />

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang<br />

berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.<br />

Didalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan khusus<br />

wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam<br />

pasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan<br />

dengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan<br />

anak korban kejahatan.Perlindungan anak secara nasional telah<br />

memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar<br />

1945 sebagai landasan konstitusional serta pasal 21 sampai 24<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

Adapun pengertian anak menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang<br />

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang<br />

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang<br />

masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur<br />

bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan<br />

seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”<br />

D. Solusi<br />

Solusi yang kami tawarkan dari masalah-masalah yang ada diatas:<br />

1) Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />

Kota Banjarmasin.<br />

2) Mengedukasi orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitar Kota<br />

Banjarmasin dalam rangka pencegahan dan perlindungan hukum<br />

bagi korban;<br />

3) Memberdayakan peran komisi nasional perlindungan anak kota<br />

Banjarmasin sebagai pusat konsultasi, edukasi, dan pengaduan<br />

bagi korban tindak pidana kekerasan seksual pada anak dibawah<br />

umur;<br />

4) Memberdayakan dan meningkatkan peran pemerintah kota untuk<br />

mensinergiskan semua elemen yang terlibat di dalam upaya<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban.<br />

142


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan dalam upaya<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual<br />

pada anak di bawah umur:<br />

1) Memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat oleh<br />

mahasiswa di Kota Banjarmasin terkait dengan urgensi<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban dibawah umur<br />

bekerja sama dengan lembaga konsultasi dan bantuan hukum<br />

universitas lambung Mangkurat (LKBH Unlam) Banjarmasin dan<br />

komisi nasional perlindungan anak;<br />

2) Membentuk forum kajian dan advokasi dibidang pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di bawah umur<br />

tingkat mahasiswa di Kota Banjarmasin sebagai upaya untuk<br />

membantu pemerintah kota dalam bidang ini;<br />

3) Membentuk posko-posko pengaduan kasus kekerasan seksual di<br />

bawah umur di pelosok-pelosok kota Banjarmasin bekerjasama<br />

dengan pemerintah daerah dan warga sekitar.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Dari pemaparan diatas kami berkesimpulan antara lain:<br />

1. Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah umur<br />

dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />

melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua.<br />

Tanggung jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak<br />

kekerasan seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran<br />

dan tanggung jawab orang tua, peran dan koordinasi antara<br />

lembaga-lembaga sosial masyarakat lain seperti sekolah dan<br />

masyarakat serta Lembaga Perlindungan Anak juga dibutuhkan<br />

untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak<br />

dibawah umur.<br />

2. Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />

Kota Banjarmasin.<br />

3. Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />

diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />

adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />

Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama<br />

maka dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan<br />

sehari-hari, sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan<br />

tindak pidana termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di<br />

bawah umur.<br />

Dari pemaparan diatas kami memberikan saran anatara lain :<br />

1. Perlunya sinergisitas antara elemen-elemen yang ada seperti<br />

keluarga, masyarakat, sekolah, lembaga perlindungan anak, dalam<br />

upaya penumpasan kekerasan seksual pada anak;<br />

143


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. Perlunya peran pemerintah kota dalam melindungi warganya<br />

dan selaku regulator dibidang kekerasan seksual pada anak;<br />

3. Perlunya pendidikan agama sejak dini untuk menagkis seranganserangan<br />

yang negatif.<br />

Daftar Pustaka<br />

Ahmad Sofian, et.al. kekerasan Seksual Terhadap Anak Jerman.<br />

Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan<br />

Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation.<br />

Akbar, Nazmi. 2002. “Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu<br />

Kenistaan. Artikel Koran Kalimantan Post Terbitan 16 Oktober<br />

2002.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.<br />

Kusumah. 1990. Masalah Seksual. Surabaya: Karya Anda.<br />

Munti, Ratna Batara. Tanpa tahun. Kekerasan Seksual: Mitos dan<br />

Realitas. Jakarta: Deputi Kajian LBH Apik<br />

Soesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />

Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.<br />

Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 Tentang<br />

Perkawinan.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang<br />

Kesejahteraan Anak.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang<br />

Hak Asasi Manusia.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang<br />

Perlindungan Anak.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Windu , I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />

www.kpai.go.id/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korbankejahatanperkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa/<br />

www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/00105-akar-masalah-danpenyebabkekerasan-pada-anak<br />

144


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN<br />

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI JAWA BARAT<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 3)<br />

Abstrak<br />

Di dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam kejahatan<br />

kekerasan seksual, perlindungan dan penanganan korban merupakan<br />

salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penegakan hukum<br />

itu sendiri. Sistem peradilan pidana di negara Indonesia yang bertujuan<br />

menindak secara tepat pelaku tindak pidana dimulai dari tuntutan<br />

bahkan sampai masuknya terpidana ke lembaga pemasyarakatan<br />

merupakan fokus utama negara melalui perangkatnya. Namun, hal<br />

tersebut sedikit berbanding terbalik dengan peran negara dalam<br />

memberikan perlindungan dan penanganan terhadap korban kekerasan<br />

seksual itu sendiri khususnya terkait hak materiil yang dapat diberikan<br />

kepada korban dan penanganan yang dapat diberikan kepada korban<br />

agar pulih baik secara fisik maupun secara psikis. Atas penjelasan<br />

diatas, makalah ini dibentuk dengan tujuan untuk menganalisis<br />

pelaksanaan perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />

yang ada sekarang ini, termasuk juga instrumen perlindungan hukum<br />

korban kekerasan seksual terkait hak korban secara materiil dengan<br />

melihat dan menimbang beberapa peraturan perundang-undangan<br />

terkait. Ruang lingkup bahasan yang dimulai secara umum di Indonesia<br />

sampai akhirnya memusat kepada penanganan di Jawa Barat. Adapun<br />

analisis yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis-empiris<br />

dengan melihat pengaturan perlindungan hukum dan penanganan<br />

korban, termasuk juga data-data terkait yang selanjutnya dijadikan<br />

sebagai hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa<br />

belum efektifnya perlindungan hukum dan penanganan korban<br />

kekerasan seksual. Termasuk belum secara jelas mengatur terkait hak<br />

materiil yang dapat dimintakan korban sehingga perlindungan hukum<br />

terkait hak materiil masih lemah pengaturannya.<br />

A. Latar Belakang<br />

Dewasa ini, posisi korban kekerasan seksual sangatlah rentan<br />

terhadap teror, intimidasi, dan tidak terlindunginya oleh hukum serta<br />

dikucilkan dari masyarakat luas. Hal itu menjadikan korban kekerasan<br />

seksual cenderung tidak mau berbicara karena keadaannya justru dapat<br />

menempatkan dirinya sebagai “korban untuk yang kedua kalinya”<br />

akibat dari terungkapnya peristiwa yang dialaminya. Sesuai dengan<br />

istilah, siapa yang berbuat haruslah bertanggung jawab, keadilan dan<br />

145


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kebenaran tentu harus tetap ditegakkan. Hal tersebut tidak bisa<br />

didiamkan, negara haruslah membuat instrumen hukum yang tepat<br />

terkait kejahatan-kejahatan yang khusus seperti kejahatan seksual agar<br />

tidak hanya memberikan kepastian hukum, akan tetapi juga memberikan<br />

keadilan serta kebenaran terhadap korban. Negara perlu mengambil<br />

peran ganda dalam hal ini, yakni pertama, menindak pelaku sesuai<br />

dengan hukum yang berlaku dan kedua, mengambil tindakan lanjutan<br />

bagi korban dengan tepat.<br />

Tidak terlaporkannya suatu kasus atau non-reporting of crime<br />

dalam tindak pidana kekerasan seksual menjadi kendala utama dalam<br />

melihat permasalahan secara angka atau kuantitatif. Peran negara dirasa<br />

tidak cukup memberikan perlindungan hukum termasuk di dalamnya<br />

aspek medis (fisik dan psikis), sampai pada putusan pengadilan yang<br />

dirasa tidak memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.<br />

Hal ini pun sejalan dengan peningkatan kasus kekerasanseksual yang<br />

mencapai 100 persen. 1<br />

Kenyataan tersebut menjadi problema yang luar biasa di negara<br />

yang menjunjung tinggi nilai ketimuran namun sudah mulai rontok<br />

akibat perilaku immoral yang tidak berperikemanusiaan. Negara perlu<br />

mengakomodir setiap kebutuhan masyarakatnya termasuk dalam<br />

mencari kebenaran dan menegakkan keadilan setinggi-tingginya yang<br />

bukan saja menghukum pelaku kejahatan namun bersama-sama<br />

bertanggung jawab untuk memberikan ruang dan tempat yang nyaman<br />

bagi korban kekerasan seksual yang sesuai dengan tujuan sebuah negara<br />

yang mencantumkan instrumen hak asasi manusia di dalam konstitusi<br />

sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara.<br />

A. Mekanisme Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual<br />

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan<br />

Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas adalah<br />

perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui perangkat<br />

hukumnya seperti peraturan perundang-undangan (Kitab Undangundang<br />

Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,<br />

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan instrumen hukum<br />

lainnya), mulai dari seseorang yang diidentifikasi sebagai korban<br />

kekerasan seksual, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan,<br />

rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses<br />

pemulangan korban kekerasan seksual, dan reintegrasi sosial. Selain hal<br />

1 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Peningkatan<br />

Kasus Kekerasan Seksual Capai 100 Persen, diakses dari<br />

http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasan-seksualcapai-100-persen<br />

pada tanggal 10 Oktober 2014.<br />

146


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tersebut juga akan dibahas masalah pemberian restitusi atau ganti rugi<br />

yang dapat diberikan kepada korban kekerasan seksual.<br />

Dalam mekanisme perlindungan hukum terhadap korban<br />

kejahatan termasuk kekerasan seksual, tidak terlepas dari beberapa asas<br />

hukum yang memerlukan perhatian yakni dalam hukum pidana itu<br />

sendiri. Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:<br />

1) Asas Manfaat<br />

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya<br />

kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban<br />

kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,<br />

khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta<br />

menciptakan ketertiban masyarakat.<br />

2) Asas Keadilan<br />

Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban<br />

kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa<br />

keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.<br />

3) Asas Keseimbangan<br />

Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan<br />

perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk<br />

memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu<br />

menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas<br />

keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya<br />

pemulihan hak-hak korban.<br />

4) Asas Kepastian Hukum<br />

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi<br />

aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam<br />

upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 2<br />

Jika dilihat terkait asas yang berhubungan erat dengan tujuan<br />

dari instrumen tersebut, sesuailah dengan pendapat Andi Hamzah dalam<br />

bukunya “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang<br />

berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk<br />

mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa<br />

memperhatikan pula hak-hak korban.” 3 Terkait perlindungan hukum<br />

tersebut haruslah dimulai dari persamaan di depan hukum. Maksudnya<br />

ialah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kekerasan<br />

seksual untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama di<br />

depan hukum. Oleh karena itu, hukum harus menjamin suatu sistem<br />

2 Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan<br />

Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.<br />

164.<br />

3 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 33.<br />

147


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dimana untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban<br />

serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak<br />

untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai<br />

dengan asas hukum.<br />

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari<br />

perlindungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,<br />

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis,<br />

dan bantuan hukum. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu<br />

yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />

memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh si pelaku secara<br />

langsung dan menimbulkan pula pertanggungjawaban secara tidak<br />

langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the<br />

society). Seringkali terdapat kelemahan dalam sistem tersebut dalam<br />

arti KUHAP hanya memberikan perlindungan hukum kepada korban<br />

dalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkara<br />

dan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya.<br />

Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korban<br />

kejahatan khususnya korban kekerasan seksual dirasa menimbulkan<br />

ketidakadilan. Ada beberapa keadaan yang dipandang dari aspek korban<br />

kekerasan seksual khususnya korban pemerkosaan mengenai<br />

perlindungan hukum saat ini:<br />

1) Korban tidak mendapatkan ganti rugi (putusan yang dijatuhkan<br />

hakim hanya menjatuhkan satu jenis putusan pemidanaan)<br />

2) Jika terjadi kehamilan akibat perkosaan, maka posisi korban tidak<br />

mendapatkan perlindungan yang jelas<br />

3) Tidak ada pengakuan status anak akibat perkosaan<br />

Jika mengacu kepada tujuan pidana itu sendiri yang lebih<br />

condong dalam aspek melihat pelaku, hal tersebut memanglah perlu<br />

akan tetapi perlu juga ada kekhususan terhadap kejahatan khusus pula,<br />

salah satunya ialah kekerasan seksual itu sendiri. Bahwa dalam<br />

penanganan baik secara hukum dan aspek medis diperlukan hal-hal<br />

khusus akibat sangat kompleksnya kekerasan seksual ini, antara lain:<br />

1) Terkait pembuktian dimana seringkali kejahatan terjadi tanpa saksi<br />

mata lain hanya saksi korban saja (unnus testis nullus testis atau<br />

satu saksi bukan saksi);<br />

2) Ketakutan korban untuk melaporkan kasus tersebut dengan alasan<br />

yang kompleks pula;<br />

3) Alat bukti yang minim, terutama seringkali sudah hilang akibat<br />

sudah membersihkan diri;<br />

4) Perspektif korban yang takut akan hukum;<br />

5) Seringkali melapor pada saat kejadian sudah berulang-ulang terjadi;<br />

6) Pengaruh dimana akan melakukan perbuatan yang sama kepada<br />

orang lain; dan<br />

148


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

7) Penyakit seksual.<br />

Maka dapat dilihat perlunya kekhususan sejak awal terhadap<br />

seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual sehingga akhirnya<br />

kekhususan ini memberikan ruang gerak yang baik untuk korban itu<br />

sendiri. Hal tersebut menjadi pusat perhatian yang terletak khusus<br />

kepada korban. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian<br />

perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:<br />

1) Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi<br />

korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau<br />

kepentingan hukum seseorang).<br />

2) Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan<br />

atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang<br />

telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan<br />

“penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa<br />

pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin<br />

(antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,<br />

kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial), dan<br />

sebagainya. 4<br />

Sekarang ini Indonesia telah memiliki undang-undang yang<br />

secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu<br />

melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban. Selain memiliki undang-undang yang secara khusus<br />

mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga<br />

memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan.<br />

Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturan<br />

tentang perlindungan korban kejahatan:<br />

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />

Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korban<br />

kejahatan berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan ini<br />

tidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:<br />

a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai<br />

sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanya<br />

sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya<br />

pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;<br />

b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat<br />

diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu<br />

tahun atau pidana kurungan;<br />

4 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007),<br />

hlm. 61.<br />

149


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya<br />

bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. 5<br />

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)<br />

3) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,<br />

dan lain-lain.<br />

Jika melihat ranah kekerasan seksual dari Komnas Perempuan,<br />

maka terdapat 14 jenis kekerasan seksual yakni: 1) perkosaan; (2)<br />

pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5)<br />

perbudakan seksual; (6) intimidasi atau serangan bernuansa seksual<br />

termasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8)<br />

pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan<br />

perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)<br />

kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi<br />

perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;<br />

(13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik<br />

tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi<br />

perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar<br />

final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang<br />

belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruan<br />

ini menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain<br />

dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di tahun 2012, yaitu<br />

(15) pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi. 6 Maka di Jawa Barat sendiri<br />

terdapat salah satu peraturan daerah terkait salah satu bagian kekerasan<br />

seksual yang diatur, yakni Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat<br />

Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban<br />

Perdagangan Orang di Jawa Barat.<br />

Pada dasarnya semua instrumen yang berkaitan tentang korban<br />

kekerasan seksual secara eksplisit menjelaskan mengenai perlindungan<br />

bagi korban kekerasan seksual tidak saja dilakukan oleh negera akan<br />

tetapi masyarakat pula dalam hal reintegrasi sosial. Melihat mekanisme<br />

perlindungan hukum dapat dibagi menjadi beberapa bagian penting.<br />

Pertama, perlindungan dalam hal perawatan medis, psikologis, dan<br />

konseling. Kedua, perlindungan hukum dalam khusus acara pidana, dan<br />

ketiga ialah perlindungan hukum dalam hal pemenuhan hak korban.<br />

5 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses<br />

Peradilan Pidana, Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.<br />

1, (1998), hlm. 17.<br />

6<br />

Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual:Kenali dan Tangani,<br />

diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/<br />

2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />

150


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

B. Praktik di Jawa Barat Terkait Perlindungan Hukum dan<br />

Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />

Keterbatasan data resmi mengenai jumlah kekerasan seksual di<br />

Indonesia menjadi suatu kendala awal untuk melihat pendekatan secara<br />

angka atau kuantitatif. Namun, jika melihat dalam penalaran dasar<br />

terkait angka kekerasan seksual di Indonesia dapat dipastikan angka<br />

tersebut bukanlah menjadi patokan yang kuat, karena khusus mengenai<br />

kekerasan seksual ini tidak dapat dijadikan pertimbangan yang baik<br />

karena kekhususan kekerasan seksual tersebut. Istilah ini dikenal<br />

dengan non-reporting of crime (kejahatan yang tidak dilaporkan).<br />

Adanya non-reporting ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:<br />

1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya<br />

baik secara fisik, psikologis maupun sosiologis;<br />

2) Si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,<br />

terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;<br />

3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini<br />

belum tentu dapat membuat dipidananya si pelaku;<br />

4) Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa<br />

cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui<br />

publikasi media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang<br />

dirasanya membuat makin terluka);<br />

5) Si korban khawatir akan retalisasi atau pembalasan dari pelaku<br />

(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);<br />

6) Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban<br />

membuatnya enggan melapor;<br />

7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan<br />

mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum; dan<br />

8) Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya<br />

merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. 7<br />

Sehingga terkait data yang bisa diberikan hanyalah data yang<br />

masuk dari instansi terkait yang bergerak dalam bidang pelindungan<br />

atau pemberdayaan wanita dan anak di Jawa Barat. Data yang diambil<br />

dimana korban sudah melapor dan ditangani oleh instansi terkait, antara<br />

lain:<br />

7 Kelompok Kerja “Convention Watch“ Pusat Kajian Wanita dan<br />

Gender Universitas Indonesia, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak<br />

Kekerasan terhadap Perempuan dan AlternatifPemecahannya, (PT<br />

Alumni, Jakarta: 2000), hlm. 82.<br />

151


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sumber: P2TP2A<br />

Termasuk juga data sekunder pada tahun 2012 terdapat kasus<br />

kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh terpidana Andri<br />

Sobari alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat yaitu jumlah korban<br />

sodomi yang sudah mencapai 114 anak dan 39 anak di antaranya sudah<br />

divisum, 7 lagi menderita kerusakanpada anus. Terdapat juga kasus<br />

yang hampir sama terjadi di Bandung, Dayeuh Kolot yakni 21 orang<br />

152


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

anak menjadi korban. 8 Ketua Umum Komisi NasionalPerlindungan<br />

Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap<br />

anak di Jawa Barat menduduki posisi tertinggi nomor 3 di Indonesia.<br />

Dari 2,1 juta laporan kekerasan selama 2013, 38 persen terjadi di Jawa<br />

Barat. Dari angka tersebut 52 persen adalah kekerasan seksual. 9<br />

Berdasarkan laporan tersebut pada hakikatnya korban sudah mendapat<br />

perlindungan hukum dalam aspek medis. Namun, tidak ada kejelasan<br />

terkait ganti rugi yang dapat dimintakan oleh korban kekerasan seksual<br />

terutama kepada korban yang mengalami kerusakan nyata. Pada<br />

hakikatnya aparat penegak hukum hanya cukup dengan menghukum<br />

berat terdakwa saja sama seperti Emon yang dituntut 15 tahun oleh<br />

jaksa.<br />

Untuk perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />

itu sendiri di Jawa Barat, antara lain:<br />

Terdapat beberapa instansi terkait mengenai penanganan kasus<br />

kekerasan seksual, yaitu:<br />

a. P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Anak);<br />

b. UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah);<br />

c. Dinas sosial.<br />

8 Diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/411722 pada tanggal<br />

10 Oktober 2014<br />

9 Ketua Komisi Perlindungan Anak Nasional, Arist Merdeka Sirait saat<br />

memberikan penjelasan tentang keinginan pertemuan anak korban selamat<br />

pembunuhan oleh ibu kandungnya sendiri di Mapolres Cimahi, Jawa Barat.<br />

Kamis (13/3). Arist datang mendampingi dan menyampaikan pesan untuk<br />

disampaikan kepada Kapolres Cimahi, AKBP Erwin Kurniawan dari Fahrul,<br />

korban selamat dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya.<br />

Fahrul ingin bertemu ibunya yang kini ditahan di Polres Cimahi karena rindu.<br />

TEMPO/Aditya Herlambang Putra, diakses dari http://www.tempo.co/read/<br />

news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-Darurat-Kekerasan-Seksualterhadap-Anak<br />

pada tanggal 11 Oktober 2014.<br />

153


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Namun pada prakteknya terdapat beberapa kekurangan terkait<br />

penanganan kasus tersebut, yaitu:<br />

i. Ketiga instansi tersebut bekerja masing-masing dengan programnya<br />

yang berbeda-beda.<br />

ii. Khusus untuk UPTD, khususnya UPTD SKB/BPKB (Balai<br />

Pengembangan Kegiatan Belajar) lebih bergerak kepada<br />

penanganan korban anak.<br />

iii. Tidak adanya rekomendasi dari polisi/hakim (penegak hukum)<br />

mengenai rekomendasi selanjutnya untuk korban, sehingga korban<br />

cenderung tidak mengetahui program tersebut sama sekali.<br />

Terkait perlindungan hukum yang terdapat sekarang ini sudah<br />

diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan termasuk juga<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Nomor 1<br />

Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan<br />

Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang secara<br />

tertulis menjelaskan terkait standar pelayanan minimal. Dapat dikatakan<br />

secara tertulis terdapat dan dimungkinkan untuk perlindungan hukum<br />

secara medis, pelayanan terpadu, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.<br />

Namun gap terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsung<br />

antara proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian.<br />

Padahal SPM telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korban<br />

sangat berpengaruh pada dampak psikologis perempuan korban<br />

kekerasan. Adalah benar bahwa SOP mengenai layanan kesehatan<br />

menyediakan layanan komprehensif untuk perempuan korban kekerasan<br />

seksual, namun pedoman SPM berfokus pada memberikan panduan<br />

„pemulihan psikologis‟ semata dan belum memasukkan „pengambilan<br />

data untuk kepentingan penyidikan‟. Hal ini merupakan akibat dari<br />

penulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks reformasi<br />

hukum dan kebijakan untuk layanan terpadu. 10 Belum lagi ekonomi<br />

menjadi alasan seseorang mendapat layanan yang baik karena uang<br />

tidak pernah berbohong, seringkali bagi korban kekerasan seksual yang<br />

memiliki kekurangan dalam ekonomi maka mendapat pelayanan yang<br />

10 Komnas Perempuan, SPM: SOP Layanan, Standar Pembiayaan, dan<br />

Pedoman Sistem Pencatatan Data Kekerasan, diakses dari<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=co<br />

m_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayanan-minimal-peluangdan-tantangan-layanan-terpadu-untuk-perempuan-korbankekerasan&catid=41%3Atulisan-lain&Itemid=97<br />

154


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

seadanya saja bahkan cenderung tidak direhabilitasi atau diintegrasi<br />

akibat pemikiran biaya mahal yang dikeluarkan.<br />

Untuk perlindungan hukum yang kedua, yakni dalam hal acara<br />

pidana, adanya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban<br />

menjelaskan tidak secara eksplisit memasukan kekerasan seksual<br />

sebagai kasus-kasus tertentu dimana dapat dimintakan hak perlindungan<br />

oleh LPSK.<br />

Kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak<br />

pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan<br />

tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban<br />

dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 11<br />

Jelas sangat sukar juga untuk menentukan apakah kekerasan<br />

seksual dimasukan kedalam tindak pidana lain yang mengakibatkan<br />

posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat<br />

membahayakan jiwanya. Beberapa ahli hukum mengatakan secara<br />

tekstual dapat dipakai penafsiran memperluas arti kata, maka masuklah<br />

kekerasan seksual namun terdapat pandangan lain bahwa khusus<br />

kekerasan seksual tidaklah dimasukan dalam hal tersebut. Sekalipun<br />

dimasukan maka tidak jelas lagi arti kata dimana “situasi sangat<br />

membahayakan jiwanya” karena pada hakikatnya semua korban akan<br />

merasakan hal tersebut. Maka yang dimaksudkan perlindungan hukum<br />

dalam hal acara pidana ialah proses peradilan yang khusus, yakni<br />

persidangan yang tertutup dan ganti rugi. Terkait perlindungan ketiga<br />

ini yang menjadi poin penting yang akan dibahas yakni hal pemenuhan<br />

hak korban. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu yang<br />

diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />

memperhitungkan kerusakan yang dideritanya oleh si pelaku secara<br />

langsung dan menimbulkan pula pertanggung jawaban secara tindak<br />

langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the society)<br />

untuk rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korban<br />

kekerasan seksual dan reintegrasi sosial. Inilah yang sering terlupakan<br />

bahwa anggapan bahwa negara cukup hanya dengan menghukum<br />

pelaku bukan berarti selesainya persoalan. Di sinilah peran negara yang<br />

tidak boleh terpisahkan yakni menindak pelaku serta tidak melupakan<br />

untuk memperbaiki korban. Namun kesemua perlindungan hukum<br />

tersebut untuk memperbaiki pelaku secara mental. Akan tetapi,<br />

perlindungan hukum sekarang ini belum ada jaminan hak korban secara<br />

materiil yang jelas dan tegas. Misalnya dalam pasal 7 ayat (1) Undangundang<br />

LPSK bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke<br />

pengadilan berupa:<br />

11 Penjelasan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />

tentang Perlindungan Saksidan Korban<br />

155


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang berat;<br />

b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab<br />

pelaku tindak pidana.<br />

Namun dalam pasal 7 ayat (3) hanya disebutkan bahwa<br />

ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi<br />

diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan hingga saat ini belum<br />

ada satupun Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme<br />

pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. 12 Terkait perlindungan dan<br />

hak saksi dan korban pada pasal 5 Undang-undang LPSK hanya terbatas<br />

kepada kasus-kasus tertentu yang tidak menjelaskan secara eksplisit<br />

mengenai kasus kekerasan seksual. Munculnya juga MoU LPSK dengan<br />

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) hanya bergerak dalam hal<br />

rehabilitasi sosial dan psikososial yakni pasal 6 saja, namun terkait<br />

jaminan pasal 5 inilah yang dirasa kurang untuk kasus kekerasan<br />

seksual.<br />

C. Pembaharuan Perlindungan Hukum dan Penanganan Korban<br />

Kekerasan Seksual<br />

Terkait segala kekurangan dan kelemahan dalam sistem<br />

penegakan hukum dan/atau perlindungan hukum khusus kepada korban<br />

kekerasan seksual maka perlu adanya pembaharuan hukum yang sesuai<br />

akan kebutuhan nyata korban dari kekerasan seksual tersebut, antara<br />

lain:<br />

1) Dimulai dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai<br />

hukum tentang kekerasan seksual sehingga perspektif masyarakat<br />

mengenai hukum terutama tidak salah serta tidak takut dalam<br />

melapor masalah seputar kekerasan seksual.<br />

2) Terdapat standar perlakuan untuk korban tindak pidana yang<br />

bersifat privasi, antara lain:<br />

a. Semua korban tindak pidana, penyelewengan wewenang atau<br />

pelanggaran hak asasi manusia hendaknya diperlakukan dengan<br />

belas kasihan dan dihargai;<br />

b. Korban hendaknya memperoleh akses pada mekanisme<br />

peradilan dan langkah perbaikan langsung;<br />

c. Prosedur langkah perbaikan hendaknya cepat, adil, murah, dan<br />

dapat diakses;<br />

d. Korban hendaknya diberitahu hak-haknya untuk memperoleh<br />

pemulihan dan perlindungan;<br />

12 Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum terhadap Perempuan<br />

dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Tesis), Semarang: Fakultas Hukum<br />

Universitas Dipenogoro, 2008), hlm. 116.<br />

156


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

e. Korban hendaknya diberitahu peran mereka dalam prosedur<br />

resmi, lingkup, penentuan waktu, dan kemajuan proses serta<br />

penempatan kasus mereka;<br />

f. Korban hendaknya diperkenankan menyampaikan pandangan<br />

dan perasaannya mengenai segala hal berkaitan kerugian<br />

terhadap kepentingan pribadi mereka;<br />

g. Korban hendaknya memperoleh semua upaya pendampingan<br />

hukum, material, medis, psikologis, dan pendampingan sosial<br />

dan diberi tahu ketersediannya;<br />

h. Korban hendaknya tidak mendapat penanganan kasus secara<br />

minimal;<br />

i. Privasi dan keselamatan korban hendaknya dilindungi;<br />

j. Hendaknya dihindari penundaan penanganan kasus korban;<br />

k. Jika memungkinkan, para pelanggar hendaknya memperoleh<br />

pemulihan;<br />

l. Pemerintah hendaknya melakukan pemulihan jika pejabat<br />

publik keliru;<br />

m. Ganti rugi finansial hendaknya ditanggung oleh pihak<br />

pelanggar atau, jika tidak mungkin, oleh negara; dan<br />

n. Polisi hendaknya terlatih dalam memenuhi kebutuhan korban,<br />

dan hendaknya disediakan panduan guna menjamin bantuan<br />

yang tepat dan segera.<br />

3) Adanya rekomendasi untuk dapat dilayani secara baik oleh instansi<br />

pelayanan yang tepat.<br />

Korban seksual harus direkomendasikan secara cepat ke instansi<br />

pelayanan yang tepat. Peran negara, melalui kementerian yang<br />

terkait, harus membantu instansi penegakan hukum, instansi<br />

pelayanan sosial, badan administratif yang terkait, dan organisasi<br />

masyarakat dalam membangun suatu mekanisme perlindungan yang<br />

baik. Termasuk adanya kerja sama antar instansi (penegak hukum<br />

dan jasa pelayanan sosial).<br />

4) Secara khusus hakim dapat memutus juga terkait rekomendasi<br />

penanganan korban kekerasan seksual kepada instansi yang tepat<br />

berdasarkan kebutuhan korban yang terlihat selama proses<br />

persidangan.<br />

5) Membuat peraturan perundang-undangan baru terkait kejahatan<br />

seksual sebagai lex specialis.<br />

6) Membentuk kebijakan-kebijakan dalam mengatasi tindak kekerasan<br />

seksual yakni perintah perlindungan dari hakim.<br />

7) Revisi terkait kebijakan memberi ganti rugi kepada korban.<br />

Pasal 99 KUHAP bahwa korban hanya berhak mendapatkan ganti<br />

rugi sebanyak biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dalam<br />

tindak pidana tersebut. Pasal 99 belum memungkinkan korban<br />

untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian fisik (ekonomi dan<br />

157


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kesehatan) maupun psikis (trauma) yang dialami korban. Pasalpasal<br />

dalam KUHAP yang belum menjelaskan pengaturan jika<br />

pelaku tidak sanggup dan mau untuk membayar ganti rugi.<br />

8) Perlindungan saksi dan korban untuk kasus kekerasan seksual agar<br />

dapat diwujudkan sehingga instrumen perlindungan dimaksimalkan<br />

dengan adanya dukungan Peraturan Pemerintah terkait pasal 7 ayat<br />

3 terkait ganti rugi dan restitusi.<br />

Jika terdapat mekanisme seperti ini yang benar melindungi<br />

kepentingan korban dari awal pelaporan kasus kekerasan seksual,<br />

proses persidangan serta putusan persidangan maka perlu diyakini<br />

bahwa hukum menjamin hak korban sehingga tujuan hukum acara<br />

pidana yakni mencari kebenaran materiil yang benar dapat terwujud<br />

dalam penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk di dalamnya<br />

dalam pemberian putusan pengadilan yang menyertakan ganti rugi bagi<br />

korban.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa<br />

melihat instrumen hukum yang terkait dapat terlihat bahwa tujuan<br />

penegakan hukum pidana baik secara umum dan khusus untuk<br />

kekerasan seksual bersifat satu arah, yang berarti lebih condong kepada<br />

aspek si pelaku dan tidak khusus berbicara mengenai perlindungan<br />

hukum korban kekerasan seksual.<br />

Dengan melihat sistem penegakan hukum pidana Indonesia<br />

yang dapat dikatakan tidak terlalu banyak berubah, baik secara materiil,<br />

khusus kepada arti tindakan kekerasan seksual serta formil yakni hukum<br />

acara pidana yang ada, membuktikan tidak adanya mekanisme yang<br />

baik dalam perlindungan hukum untuk hak-hak korban kekerasan<br />

seksual. Di sinilah peran negara untuk menjamin kesejahteraan dan<br />

perdamaian untuk masyarakatnya melalui peraturan perundangundangan.<br />

Sebagai saran dalam rangka pembaharuan hukum dalam hal<br />

perlindungan hak korban kekerasan seksual maka perlu adanya<br />

mekanisme yang baik sejak awal sampai akhirnya yakni dengan<br />

menimbang solusi yang telah ditulis dalam makalah ini.<br />

158


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Daftar Pustaka<br />

Arief, Barda Nawawi. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan dalam<br />

Proses Peradilan Pidana (Artikel dalam Jurnal Hukum Pidana<br />

dan Kriminologi Vol.1).<br />

___________. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta:<br />

Kencana.<br />

Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />

Kitab Undang-undang Acara Pidana. Bandung: Binacipta.<br />

Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Gender<br />

Universitas Indonesia. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk<br />

Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif<br />

Pemecahannya. Jakarta: PT Alumni.<br />

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.<br />

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.<br />

Mansur, Dikdik M. Arief. 2007. Urgensi Perlindungan Korban<br />

Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja<br />

Grafindo Persada.<br />

Nasution, Zaky Alkazar. 2008. Perlindungan Hukum terhadap<br />

Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia. Semarang:<br />

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.<br />

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang<br />

Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi<br />

dan Korban.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/<br />

Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />

http://www.koran-sindo.com/node/411722<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?opti<br />

on=com_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayananminimal-peluang-dan-tantangan-layanan-terpadu-untukperempuan-korban-kekerasan&catid=41%3Atulisanlain&Itemid=97<br />

http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasanseksual-capai-100-persen.<br />

159


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://www.tempo.co/read/news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-<br />

Darurat-Kekerasan-Seksual-terhadap-Anak<br />

160


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

EFISIENSI PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

PEMERKOSAAN DALAM KONTEKS PEMBERLAKUAN<br />

SYARI’AT ISLAM DI ACEH<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />

Abstrak<br />

Dalam pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual,<br />

Aceh masih harus mencari bentuk idealnya. Selain penanganan secara<br />

holistik yang harus dilakukan, efisiensi adalah hal terpenting yang<br />

harus pula diperhatikan. Penanganan korban kekerasan seksual<br />

terkhusus pada kasus perkosaan harus ditangani dengan baik mulai<br />

dari penyediaan pelayanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi,<br />

bantuan hukum, hingga reintegrasi sosial. Proses penanganan yang<br />

demikian haruslah terkelola dengan baik sehingga efisiensi<br />

penanganan korban kekerasan dapat tercapai. Ketersediaan sarana<br />

dan prasarana seperti ketersediaan rumah aman, pelayanan kesehatan<br />

yang baik dan mampu tata laksana, hingga ketersediaan petugas teknis<br />

yang berperspektif korban yang cukup adalah pokok perhatian yang<br />

mestinya diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Selain itu, komunikasi<br />

lintas instansi yang telah dilakukan sejak 2010 silam melalui<br />

Memorandum of Understanding (MoU) 23 instansi perlu dievaluasi<br />

agar tujuan diperuntukannya MoU tersebut mendekati sempurna.<br />

Permasalahan Aceh masih berada pada tataran efisiensi dalam<br />

penanganan korban, dari total jumlah instansi terkait penanganan<br />

korban kekerasan seksual masih berada terpusat pada salah satu<br />

komponen saja dan instansi pemerintah di kota dan provinsi masih<br />

dirasa tidak cukup baik dalam pelaksanaannya, sehingga Badan/PP<br />

yang ada di Aceh lebih memilih untuk berkoordinasi dengan instansi<br />

vertikal seperti kepolisan. Arah kebijakan ini yang haruslah dievaluasi<br />

agar korban kekerasan seksual dapat terpenuhi haknya. Terlebih, Aceh<br />

adalah entitas politik otonom yang menjalankan Syari‟at Islam.<br />

A. Latar Belakang<br />

Pergerakan masyarakat di Aceh sangatlah dinamis. Banyak hal<br />

menarik yang dapat ditemui di Aceh. Selain cerita sejarahnya, peraturan<br />

daerah yang dikenal sebagai Qanun pun terbilang unik. Aceh adalah<br />

daerah yang menerapkan Syariat Islam yang dipadupadankan dengan<br />

pelaksanaan hukum adat. Pelaksanaan hukum semacam ini pun telah<br />

diakui eksistensinya sampai pada pelosok-pelosok desa (gampong) yang<br />

ada di Aceh. Proses pemberlakuan Syariat Islam di Aceh didasari oleh<br />

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus,<br />

161


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Acehdan<br />

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.<br />

Dalam penegakannya, Syariat Islam memiliki dimensi yang berbeda<br />

pada penerapan sanksi terhadap perbuatan pidana (jarimah) yang diatur<br />

padanya. Bentuk penerapan itu adalah hukum cambuk bagi yang<br />

melanggar aturan. Pemberian hukum cambuk ini bertujuan untuk<br />

memberikan efek jera bagi para pelaku agar tidak kembali mengulang<br />

kesalahan.<br />

Jarimah yang diatur dalam Qanun terbilang beragam,<br />

diantaranya mengenai Minuman Khamar dan sejenisnya, Maisir atau<br />

perjudian dan Khalwat (mesum). Ditinjau dari acuan dokumen yang<br />

dilansir oleh Komisi Nasional Perempuan berdasarkan pengalaman<br />

perempuan korban, ditemukan ragam jenis kekerasan seksual,<br />

diantaranya: (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi<br />

Seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6)<br />

intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau<br />

percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan;<br />

(9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan<br />

perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk<br />

pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan<br />

diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak<br />

manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa<br />

seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.<br />

Keempat belas jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat<br />

keterbatasan informasi mengenainya. Seruan ini pada akhirnya<br />

menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain di<br />

tahun 2012 dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan, yaitu (15)<br />

pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi. 1 Maka pelaksanaan aturan mengenai<br />

Khalwat tergolong rentan dengan kekerasan seksual, terutama pada<br />

konteks penanganan dan pendampingan dalam hal pemenuhan hak<br />

perempuan korban.<br />

Keterkaitan hukum yang berlaku di daerah Aceh inilah yang<br />

menghantarkan Aceh termasuk daerah dengan predikat penanganan<br />

kasus kekerasan seksual paling buruk. Oleh karena tidak semua<br />

kompenen pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat<br />

memahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksual<br />

dengan baik, tentu dalam pemenuhan haknya, pola yang sering<br />

dilakukan sebagai solusi adalah serupa meski kategori perbuatannya<br />

berbeda, misalnya untuk kasus zina dan pemerkosaan sama-sama<br />

ditindak dengan cara menikahkan pelaku dan korbannya. Padahal, Zina<br />

yang mengadung unsur saling suka (resiprokal) sangatlah berbeda<br />

dengan pemerkosaan yang identik dengan nuansa kekerasan. Adapun<br />

1 Komnas Perempuan, Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />

162


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tindakan untuk menikah itu, merujuk pada ragam kekerasan seksual<br />

lansiran Komnas Perempuan, kembali tergolong pada perbuatan<br />

kekerasan seksual terhadap perempuan.Selain daripada itu, tindakan<br />

ekstrim selanjutnya adalah mengusir korban keluar dari gampong-nya<br />

karena dianggap sebagai „aib‟ bersamaan dengan stigma masyarakat<br />

yang melekat padanya beserta keluarganya. Sanksi adat semacam ini<br />

tentu sangat memprihatinkan karena mereka menindak tanpa<br />

berperspektif korban. Padahal seorang korban juga seorang manusia<br />

biasa yang wajib kita lindungi haknya. Dalam kasus kekerasan seksual<br />

ini dukungan orang-orang terdekat, tak terkecuali komunitas masyarakat<br />

kediamannya menjadi hal penting yang perlu dijunjung.<br />

B. Gambaran Umum Kekerasan Seksual Di Aceh<br />

Kekerasan seksual khususnya di daerah ujung Sumatera, Aceh,<br />

marak terjadi pasca konflik pemerintah dengan kelompok separatis dan<br />

bencana alam gempa dan tsunami yang memporak-porandakan kondisi<br />

Aceh, 2004 silam. Kemiskinan dan kemelaratan menjadi satu-satunya<br />

alasan mengapa bisa terjadi pergeseran moral antar individu. Pencurian,<br />

pembunuhan bahkan kekerasan seksual sudah menjadi kasus-kasus yang<br />

sering muncul di surat kabar. Orang-orang di dalam suatu kelompok<br />

melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Akibatnya terjadi<br />

tawuran antar kaum lelaki yang nantinya pembalasan dendam akan<br />

dilakukan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan-perempuan<br />

yang menjadi istri, ibu atau saudara dari salah satu pihak yang<br />

berkonflik, kerap dijadikan sasaran seperti dijadikan sandera dan<br />

pelampiasan kemarahan. Mereka juga rentan dijadikan tameng baik oleh<br />

kelompok komunitasnya sendiri maupun kelompok lawan. Perempuanperempuan<br />

lainnya yang tidak tahu-menahu dan terlibat konflik, karena<br />

dia perempuan dan tinggal di Aceh atau lahir bersuku Aceh akhirnya<br />

juga mengalami kekerasan dan menjadi korban.<br />

Kekerasan seksual yang terjadi di Aceh saat itu juga merupakan<br />

strategi perang, misalnya dengan perkosaan dan penyiksaan seksual<br />

terhadap perempuan yang berasal dari komunitas atau keluarga pihak<br />

lawan. Contohnya, kasus lima perempuan istri anggota GAM di Bireun,<br />

Aceh Timur yang mengalami penyiksaan seksual oleh aparat TNI.<br />

Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam situasi dan tempat<br />

yang beragam, yaitu 33 orang mengalami kekerasan pada saat menjalani<br />

proses hukum karena tuduhan makar, 22 orang mengalami kekerasan<br />

pada saat dibawa atau ditahan di pos militer/polisi, 77 orang mengalami<br />

kekerasan pada saat operasi penangkapan/penyisiran, 1 orang<br />

mengalami kekerasan ketika melintasi pos militer dan dua orang<br />

mendapat kekerasan oleh GAM pada saat berada di kendaraan<br />

umum.Bentuk kekerasan yang dialami 135 perempuan tersebut diatas,<br />

adalah 17 orang mengalami pelecehan seksual, 23 orang diperkosa dan<br />

163


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4 orang mengalami penganiayaan seksual. 7 orang meninggal karena<br />

ditembak dan dibunuh, 11 orang ditangkap/diculik dan dihilangkan, 22<br />

orang mengalami intimidasi, penggeledahan paksa dan perampasan<br />

harta bendanya, 50 orang mengalami penganiayaan fisik dan 5 orang<br />

diantaranya diintimidasi, di geledah secara paksa dan dibakar<br />

rumahnya. Umumnya seorang korban tidak hanya mendapat satu bentuk<br />

atau jenis kekerasan.Alasan pembenaran yang dipakai adalah korban<br />

dianggap atau dituduh sebagai anggota inong balee, simpatisan GAM,<br />

melindungi atau memberi makanan pada GAM, dekat dengan pihak<br />

TNI/POLRI, sebagai mata-mata TNI/POLRI. Tetapi dari 135 kasus<br />

tersebut, 46 orang bahkan tidak ada alasan pembenar, kenapa mereka<br />

mendapat kekerasan. 2<br />

Dalam kajian standar internasional, dalam pemenuhan hak bagi<br />

perempuan korban kekerasan, harus diimplementasikan oleh tiga<br />

lapisan berikut, diantaranya:<br />

1. Negara<br />

Hukum dalam negeri seharusnya dapat mengambil nilai-nilai yang<br />

positif dari hukum internasional yang sekiranya dapat diterapkan<br />

dalam hukum nasional. Walaupun tentunya harus ada<br />

pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut dalam mengubah hukum<br />

nasional ini. Begitu pula dalam hal hak asasi manusia, negara harus<br />

mengadopsi kerangka hak asasi manusia sesuai dengan standar<br />

hukum internasional dalam reformasi hukum dan kebijakan untuk<br />

melindungi warga negaranya dari tindak pelanggaran dan<br />

kekerasan. Keinginan politik pemegang kekuasaan memegang arti<br />

penting dalam reformasi ini.<br />

2. Keluarga dan Komunitas<br />

Negosiasi kebudayaan adalah kunci keberhasilan transformasi di<br />

tingkat komunitas dan keluarga. Perlu ada ruang-ruang diskusi bagi<br />

setiap orang untuk terlibat aktif dalam membicarakan nilai-nilai<br />

kebudayaan. Budaya adalah milik semua sehingga masing-masing<br />

individu di dalamnya berhak untuk menyuarakan pendapatnya.<br />

Budaya pun tidak pernah dimaksudkan untuk menindas satu<br />

kelompok demi kepentingan kelompok lain. Bila ruang-ruang<br />

diskusi ini dibuka dimana Negara dan masyarakat sipil dapat<br />

bekerja sama untuk terus mencari solusi, maka akan diperoleh hasil<br />

yang sangat memuaskan yaitu penghapusan aspek-aspek negatif<br />

dari budaya yang meminggirkan kelompok-kelompok marginal<br />

dalam masyarakat. Antara lain kelompok perempuan.<br />

3. Individu<br />

2 Komnas Perempuan,Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi<br />

Kekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004).<br />

164


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Upaya mendukung kebangkitan kelompok marginal, termasuk<br />

perempuan, menjadi individu-individu yang mandiri antara lain<br />

dilakukan dengan pemberdayaan sosial ekonomi. Namun ini masih<br />

tidak cukup, terutama bagi perempuan korban kekerasan yang<br />

berlangsung dengan sistematis. Perempuan tersebut membutuhkan<br />

perlindungan sampai mereka betul-betul berdaya. Karena itu,<br />

Negara dan masyarakat harus bekerja sama, tidak hanya dengan<br />

menyediakan perlindungan legal tetapi juga upaya alternatif, antara<br />

lain dengan mendirikan rumah-rumah aman atau shelters.<br />

Pembangunan rumah aman tidak selalu memperoleh dukungan<br />

karena ada pihak-pihak yang khawatir bahwa rumah aman<br />

mendorong perempuan untuk lari dari rumah. 3<br />

4. Maraknya kekerasan seksual di Aceh<br />

Ketidaktuntasan penegakan hukum dalam persoalan ini<br />

membuat kekerasan seksual di Aceh semakin banyak terjadi. Seperti<br />

halnya di daerah lain di Indonesia, Aceh memilikiinstansi maupun<br />

institusi yang menangani kasus kekerasan seksual. Badan<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan terhadap Anak (BP3A),<br />

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak<br />

(P2TP2A) sebagai Unit Pelaksanaan Teknis,Lembaga Bantuan Hukum<br />

(LBH) Anak, Balai Syura Ureung Inong Aceh (Aceh Woman Council),<br />

hingga di tingkat kecamatan yang dikenal dengan Asisten Fasilitator<br />

Kecamatan (AFK)yang telah mendapat pelatihan para legal dari World<br />

Bank bekerjasama dengan forum Lembaga Swadaya Masyarakat.<br />

Balai Syura Ureung Inong Aceh mencatat, terhadap kekerasan<br />

yang dialami oleh anak yang berusia 2-18 Tahun ditahun 2011 hingga<br />

2012 adalah sejumlah 66 kasus. Tercatat juga 27 kasus incest<br />

(kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga) yang<br />

menimpa anak di ranah rumah tangga.Tak hanya mencatat 27 kasus<br />

incest, Balai Syura juga menyebutkan dari 1.060 kasus kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak yang terjadi sepanjang 2011-2012<br />

diketahui 73,6 persen diantaranya adalah kekerasan yang terjadi<br />

didalam rumah tangga. Sisanya sebesar 26,3% merupakan kekerasan<br />

yang terjadi didalam masyarakat. Dari kedua kategori kekerasan<br />

tersebut, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anakpaling banyak<br />

terjadi di ranah rumah tangga.<br />

Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Nursiti,<br />

mengatakan kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah kondisi<br />

yang sangat memprihatinkan dan sangat tidak berperikemanusiaan,<br />

Karena anak adalah tanggung jawab kita bersama yang harus dilindungi<br />

keselamatan, kesejahteraan dan masa depannya. Anak-anak yang<br />

3 Ibid, hlm. 7.<br />

165


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menjadi korban kekerasan akan mengalami dampak berlapis dan<br />

berkepanjangan baik dari sisi kesehatan fisik dan mental, sosial dan<br />

pendidikan.Contoh kasus yang paling menyita perhatian media dan<br />

masyarakat di Aceh, terjadi pada tahun 2013 lalu. Yaitu kasus yang<br />

menimpa Diana, anak yang baru berusia 6 tahun yang terjadi di<br />

Gampong, Peulanggahan, Banda Aceh. Dia diperkosa lalu dibunuh. Tak<br />

banyak yang tahu kelanjutan proses persidangan yang dia jalani, hingga<br />

akhirnya pamannya lepas dari tuntutan ancaman penjara. Paman Diana<br />

divonis bebas oleh Hakim. Perbuatan ini hanya dikenakan delik<br />

pembunuhan yang terdawaknya bukanlah paman Diana.<br />

Meski demikian, tidak pula berarti tidak ada kasus kekerasan<br />

seksual yang ditangani dengan baik. Seperti di tahun 2013 lalu, di Darul<br />

Imarah, Desa Lagang, Jantho, Kabupaten Aceh Besar.Pelakunya adalah<br />

guru mengaji yang menjaga kios kecil di dekat lingkungan pesantren,<br />

kekerasan dilakukan terhadap anak yang saat itu sedang belanja di<br />

kiostersebut. Tak banyak masyarakat yang percaya, terlebih pelakunya<br />

adalah tokoh yang cukup dikenal sebagai orang yang paham agama dan<br />

sebagai guru mengaji.Ketika sampai pada proses persidangan, P2TP2A<br />

Aceh melakukan monitoring hingga pada proses BAP di kepolisian<br />

sampai dengan surat dakwaan. Secara pembuktian, hasil Visum et<br />

Repertum yang dilakukan dari proses pendampingan korban didapati<br />

kerusakan fisik di bagian vagina si anak, sehingga terpenuhi sudah dua<br />

alat bukti untuk dilanjutkan ke persidangan. Pihak penasehat hukum<br />

dari P2PT2A tak berhenti sampai disana, mereka juga memastikan pasal<br />

apa yang didakwakan terhadap pelaku hingga pada akhirnya hakim<br />

menjatuhkan vonis 10 tahun penjara.Untuk Anak yang menjadi korban<br />

dalam kasus tersebut, P2TP2A terus melakukan pendampingan dengan<br />

fokus pada pemulihan psikis korban terlebih dahulu, mangajak anak<br />

untuk bermain sampai dia merasa terbiasa untuk bisa masuk di<br />

lingkungan bermain bersama teman sejawat di sekolah. Tak hanya itu,<br />

P2TP2A juga melakukan pendekatan dengan aparat gampong, pihak<br />

sekolah korban, agar mereka tidak menaruh stigma pada korban di<br />

proses pemulangannya.<br />

Berdasarkan pengamatan, korban kekerasan seksual di Aceh,<br />

bahkan sejak tahun 2005, belum mendapatkan manfaat dari program<br />

rehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah bergulir. Berbagai persoalan<br />

terkait pembuktian korban terus menjadi alasan yang menghalangi akses<br />

korban untuk pemulihan. Kondisi ini terus menggantung sementara juga<br />

tidak ada kejelasan penyikapan pemerintah Aceh maupun di level<br />

nasional untuk membangun sebuah mekanisme untuk pengungkapan<br />

kebenaran dan rekonsiliasi. 4<br />

Manusia<br />

4 Komnas Perempuan, Laporan Independen Institusi Nasional Hak Asasi<br />

166


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

C. Peran Pemerintah Dalam Pendampingan dan Pemulihan<br />

Korban Perkosaan di Aceh yang berbasiskan Syari’at Islam<br />

Aceh merupakan daerah pascakonflik dan tsunami. Kedua<br />

peristiwa besar ini memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan di<br />

Aceh khususnya secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kedua<br />

masa tersebut juga sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan dan<br />

anak. Kelompok ini merupakan kelompok rentan yang cenderung<br />

mengalami kekerasan baik di ranah domestik maupun publik.<br />

Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan oleh lembagalembaga<br />

perempuan di Aceh ada sekitar 197 kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan dan anak. Lembaga WCC KKTGA (Women Crisis<br />

CenterKelompok Kerja Transformasi Gender) mencatat ada 320 kasus<br />

di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar yang terjadi sejak Januari 2007<br />

sampai dengan Desember 2010, kemudian ada LBH Apik yang sejak<br />

Januari 2007 sampai dengan Desember 2009 telah mendampingi 386<br />

kasus di delapan wilayah, sedangkan LBH Anak menangani sekitar 50<br />

kasus kekerasan terhadap anak.<br />

Meningkatnya jumlah kasus yang terjadi ternyata tidak<br />

dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada korban. Meskipun<br />

sudah banyak aturan perundang-undangan yang mengatur tentang<br />

perempuan dan anak, tetapi implementasinya hingga saat ini dirasa<br />

belum maksimal. Selain karena sumber daya juga penyediaan fasilitas<br />

seperti shelter (rumah aman), ketersediaan dana serta kebutuhan untuk<br />

pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, yang semuanya belum<br />

dapat mengakomodir kebutuhan korban. Adapun sebenarnya perempuan<br />

dan anak korban kekerasan biasanya membutuhkan penanganan dari<br />

berbagai sisi, seperti psikis dan kondisi sosialnya.<br />

Disisi lain, kendala dalam penyediaan layanan adalah seperti<br />

lemahnya koordinasi oleh lembaga-lembaga pemberi layanan serta cara<br />

pandang dan pendekatan yang berbeda dalam penanganan kasus<br />

sehingga korban tidak mendapatkan penanganan maksimal. Padahal<br />

seharusnya korban memerlukan penanganan kasus secara holistik<br />

(menyeluruh). 5<br />

D. Eksistensi Pemberlakuan Hukum Syari’at Islam<br />

Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang<br />

aqidah, syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah,<br />

ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),<br />

jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),<br />

dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at<br />

5<br />

WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA, Standar Prosedur<br />

Operasional, (Banda Aceh: KKTGA, 2011).<br />

167


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Islam diatur dengan Qanun Aceh.Setiap pemeluk agama Islam di Aceh<br />

wajib menaati dan mengamalkan syari‟at Islam. Undang-undang juga<br />

memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan<br />

masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Dibentuknya hukum syariat<br />

islam ini sendiri adalah bukan tanpa tujuan. Syariat islam secara teori<br />

mempunyai dua fungsi; fungsi pengatur dan fungsi pelindung. Syariat<br />

islam berperan sebagai aturan diantara kaum muslim dengan muslim,<br />

kaum muslim dengan non muslim juga dengan lingkungan sekitarnya<br />

sehingga terciptalah kehidupan masyarakat yang penuh harmoni.<br />

Dengan peranan tersebut syariat islam dapat dikatakan memiliki fungsi<br />

pengatur. Fungsi ini membagi secara jelas apa yang menjadi hak dan<br />

kewajiban bagi seluruh kaum muslim.Kemudian selain itu syariat islam<br />

juga punya fungsi pelindung. Fungsi ini bertujuan melindungi umat<br />

muslim dari hal-hal yang sifatnya merusak. Yang harus dilindungi disini<br />

adalah agama, jiwa, keturunan, akal, harta, kehormatan dan rasa aman.<br />

Kesimpulannya adalah syariat islam memegang peranan vital dalam<br />

kehidupan masyarakat muslim di Aceh khususnya.<br />

Namun, dalam pemberlakuan syariat islam ini tidak melulu<br />

mulus, karna budaya masyarakat Aceh tidak murni lagi budaya islam,<br />

tetapi sudah terkontaminasi dengan budaya barat. Tak ayal jika pola<br />

pikir masyarakat muslim sudah bergeser kebarat-baratan. Akibatnya,<br />

pelaksanaannya pun kacau. Padahal implementasi yang diinginkan dari<br />

adanya syariat islam ini ialah untuk menjaga kepentingan sesama<br />

muslim yang berlandaskan islam. Seperti yang diketahui, semua agama<br />

termasuk islam sangat membenci adanya kekerasan. Apalagi kekerasan<br />

yang dilakukan antar sesama muslim. Nah ketika kasus kekerasan<br />

seksual mulai marak terjadi di Aceh, orang mulai bertanya, pada aspek<br />

yang bagaimana syari‟at islam ini dijalankan. Yang padahal berjalan<br />

atau tidaknya hukum syariat Islam ini sendiri tergantung pada keadaan<br />

masyarakatnya. Jika saja semua masyarakat di Aceh mampu<br />

menghormati menjunjung tinggi pemberlakuan hukum syariat islam di<br />

Aceh yang sesuai moral, maka insyaallah kasus seperti kekerasan tidak<br />

akan pernah terjadi di bumi Serambi Mekkah ini.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Pertama, Aceh dikenal sebagai daerah konflik antara<br />

pemerintah dengan kelompok separatis. Namun seperti yang sudah<br />

dialami, ternyata konflik yang terjadi tak hanya sebatas antara<br />

pemerintah dan kelompok separatis saja, melainkan juga konflik atas<br />

Hak Asasi Manusia-nya kaum perempuan dan anak. Perempuan<br />

mendapat kekerasan paling keji pada masa-masa itu. Kemiskinan dan<br />

kemelaratan saat itu menjadi motif utama terjadinya kekerasan seksual<br />

dimana-mana. Apa yang dilakukan pemerintah? Kebijakan. Pemerintah<br />

membuat kebijakan untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak<br />

168


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sedemikian rupa agar hak-haknya tercapai. Namun, implementasinya<br />

masih belum berjalan sempurna, terbukti dari semakin memuncaknya<br />

kekerasan seksual yang terjadi. Lalu jika pemerintah juga sudah<br />

berusaha, siapa yang perlu disalahkan? Pribadi. Yang perlu kita lakukan<br />

saat ini adalah mengintrospeksi diri agar segala perbuatan bisa sepadan<br />

dengan peraturan dan moral yang berlaku.<br />

Kedua,untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kasus dan<br />

untuk memulihkan korban, pemerintah menggalakkan dua cara,<br />

preventif dan represif. Sebelum terjadinya, diadakan sosialisasi<br />

pembentukan moral dan karakter orang-orang sejak dini dari lingkungan<br />

keluarga, lingkungan belajar maupun lingkungan bermain. Pemerintah<br />

mendirikan beberapa instansi layanan terpadu di tingkat provinsi,<br />

kabupaten maupun kecamatan seperti Badan Perlindungan dan<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (BP3A), Pusat Pelayanan Terpadu<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH Apik, LSM<br />

Woman Crisis Center (WCC) dan lain lain. Adanya lembaga-lembaga<br />

tersebut keberadaannya memang sangat membantu. Tetapi bukan berarti<br />

tidak ada kekurangan. Kendalanya berada pada anggaran untuk<br />

pembangunan shelter dibeberapa instansi dan kendala lain mengenai<br />

petugas yang tidak berperspektif terhadap korban. Walaupun beberapa<br />

lembaga lain sudah mempunyai shelter, tetapi penggunaannya<br />

terhambat pada tidak adanya jasa pengawas.<br />

Terakhir,ketika berbicara syariat Islam maka berbicara tentang<br />

hukum islam. Islam dikenal dengan kerendahan hatinya, kemuliaan<br />

perbuatannya dan kelembutan bahasanya seperti yang ditunjukkan oleh<br />

Rasulullah SAW. Aceh memberlakukan hukum Syari‟at Islam. Ketika<br />

dikawasan yang seharusnya aman dan lebih terjaga ini terjadi kasus<br />

kekerasan seksual maka pemerintah Aceh sendiri mau berbuat<br />

bagaimana lagi. Berjalan atau tidaknya pemberlakuan hukum Syariat<br />

Islam ini tidak cukup jika wewenangnya hanya berada pada pemerintah<br />

Daerah saja, tetapi lebih penting daripada itu, perbuatan dan pola pikir<br />

masyarakat yang harus menjadi acuan. Jika setiap masyarakat di Aceh<br />

menjunjung tinggi moralitas dalam setiap perbuatannya. Maka<br />

senantiasa Pemberlakuan Hukum Syariat Islam ini sendiri dapat<br />

berjalan lancar dan efektif.<br />

Saran-saran:<br />

1. Pemerintah harus membuat peraturan yang ketat tentang<br />

perlindungan anak dengan sanksi yang tegas.<br />

2. Memberikan pendidikan seks kepada anak sedini mungkin sebagai<br />

langkah awal pencegahan.<br />

3. Membuat peraturan yang mengharuskan anak yang memasuki usia<br />

remaja sampai dewasa untuk belajar bela diri.<br />

4. Membangun pusat rehabilitasi korban kekerasan seksual khususnya<br />

di Aceh, juga membangun Rumah Aman (shelter).<br />

169


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5. Petugas di pusat rehabilitasi paling tidak setahun sekali diadakan<br />

pelatihan mengenai proses pelayanan korban secara baik dan layak.<br />

6. Media perlu sering memberitakan atau mengungkap kasus-kasus<br />

kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.<br />

7. Di dalam lingkungan keluarga juga tidak lepas pengawasan, namun<br />

tidak harus terkesan overprotective.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Komnas Perempuan. Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />

Komnas Perempuan. 2004. Perjalanan Perempuan Indonesia<br />

Menghadapi Kekerasan.Jakarta : Publikasi Komnas Perempuan.<br />

WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA. 2011.Standar Prosedur<br />

Operasional. Banda Aceh : KKTGA.<br />

170


TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

No. SUBSTANSI MASALAH REKOMENDASI<br />

1. Materiil 1. Pasal 285<br />

1.1. Frasa“kekerasan”atau “ancaman<br />

kekerasan”dalam pasal 285 membuat rumusan<br />

dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

1.2. Tidak menjelaskan definisi mengenai<br />

“Pemerkosaan”.<br />

1.3. Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur<br />

mengenai ancaman pidana penjara maksimal<br />

tanpa memperhatikan mengenai pengaturan<br />

pidana penjara minimum.<br />

1.4. Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita<br />

sehingga tidak melindungi tentang pemerkosaan<br />

terhadap korban laki-laki.<br />

1.1. Mengganti frasa“ancaman<br />

kekerasan”dengan“bertentangan<br />

dengan kehendak”<br />

sebagaimana diatur dalam<br />

Rancangan Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana<br />

(RKUHP) tentang<br />

pencantuman pengertian<br />

pemerkosaan yang tertera<br />

dalam ketentuan umum<br />

RKUHP.<br />

1.2. Mencantumkan pengertian<br />

“Pemerkosaan”.<br />

1.3. Menentukan mengenai<br />

adanya ketentuan batas<br />

pidana penjara minimum<br />

yang dapat dikenakan<br />

terhadap pelaku<br />

sebagaimana telah diatur<br />

dalam RKUHP.<br />

1.4. Menentukan adanya<br />

ketentuan pemerkosaan<br />

terhadap korban laki-laki di<br />

171


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. 2. Pasal 286<br />

2.1. Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai<br />

perbuatan bersetubuh.<br />

2.2. Tidak menjelaskan secara jelas mengenai<br />

definisi dan klasifikasi keadaan tak berdaya.<br />

3. 3. Pasal 287<br />

3.1. Adanya penyamaan status antara anak dan tidak<br />

berdaya.<br />

3.2. Mempertanyakan mengenai rumusan delik<br />

dalam Pasal 287,“apakah saksi yang melihat<br />

Tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />

3.3. Pidana penjara dalam rumusan Pasal 287<br />

lebih ringan dibandingkan dengan pidana<br />

penjara dalam rumusan Pasal 285, padahal<br />

di dalam pasal 287 korbannya adalah anak<br />

yang akan menjadi penerus bangsa.<br />

dalam RKUHP.<br />

2.1. Menentukan penjelasan<br />

mengenai perbuatan<br />

bersetubuh dalam Pasal<br />

tersebut.<br />

2.2. Mempertegas definisi dan<br />

klasifikasi keadaan tak<br />

berdaya,siapa yang<br />

menjadikan keadaan tidak<br />

berdaya itu timbul, serta<br />

kondisi yang dapat<br />

dianggap sebagai keadaan<br />

tidak berdaya.<br />

3.1. 1. Menentukan adanya<br />

perbedaaan pemidanaan<br />

yang tegas antara korban<br />

yang tidak berdaya<br />

dengan anak, di mana<br />

kasus pemerkosaan<br />

terhadap korban anak<br />

seharusnya lebih berat<br />

dibandingkan dengan<br />

kasus pemerkosaan<br />

terhadap orang yang tidak<br />

berdaya.<br />

172


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. 4. Pasal 288<br />

4.1. Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan<br />

secara tegas dalam hal apakah pasal ini turut<br />

mencakup pemaksaan perkawinan atau<br />

tidak.<br />

4.2. Hanya terbatas luka fisik, tidak ada<br />

pembahasan luka psikologis, dan juga hanya<br />

terbatas pada wanita.<br />

4.3. Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup<br />

perkawinan dibawah umur.<br />

3.1.2. Menentukan penjelasan<br />

yang tegas terkait dengan<br />

hal “tidak berdaya”,<br />

termasuk kategorisasi<br />

tidak berdaya, siapa yang<br />

membuat tidak berdaya<br />

dan kapan suatu keadaan<br />

yang dialami korban dapat<br />

dianggap tidak berdaya.<br />

3.2. Melakukan revisi terhadap<br />

Pasal 287nya delik Pasal<br />

287 KUHP adalah delik<br />

biasa bukan delik aduan.<br />

3.3. Memperberat ancaman<br />

pidana dalam RKUHP.<br />

4.1 Meminta penjelasan yang<br />

tegas terkait rumusan Pasal<br />

288, apakah termasuk ke<br />

dalam pemaksaan<br />

perkawinan atau tidak.<br />

4.2. Memperluas cakupan luka<br />

dan korban pada pasal ini.<br />

4.3. Mempertegas ketentuan<br />

dalam Pasal 288 agar<br />

mencakup tidak hanya<br />

perkawinan dibawah umur<br />

173


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5. 5. Pasal 289<br />

5.1. Frasa“kekerasan atau ancaman kekerasan”<br />

dalam Pasal 289 membuat Pasal-Pasal<br />

tersebut menjadi sempit.<br />

5.2. Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan<br />

tidak jelas.<br />

6. 6. Pasal 294<br />

6.1. Sanksi pidana lebih rendah.<br />

6.2. Adanya kekosongan hukum, karena tidak<br />

diaturnya pemerkosaan terhadap anak, anak tiri,<br />

anak angkat atau anak yang berada dibawah<br />

pengawasan pelaku.<br />

7. 7. Pasal 295<br />

7.1. Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan<br />

yang menyebabkan atau mempermudah<br />

tetapi juga perkawinan<br />

cukup umur.<br />

5.1. Frasa“kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan”<br />

tersebut diganti dengan<br />

frasa “bertentangan”<br />

atau“bertentangan dengan<br />

kehendak.”<br />

5.2. Mempertegas definisi dan<br />

kategorisasi dari pada cabul,<br />

baik itu didalam ketentuan<br />

umum atau penjelasan<br />

Pasal.<br />

6.1. Sudah terjawab di RKUHP<br />

yaitu dengan pemidanaan<br />

terhadap pemerkosaan atau<br />

percabulan anak yang<br />

dilakukan oleh kerabat lebih<br />

berat ancaman pidananya.<br />

6.2. Adanya pengaturan<br />

mengenai masalah di atas<br />

dalam Pasal tertentu.<br />

7.1. Meminta agar perbuatan<br />

yang menyebabkan atau<br />

174


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan<br />

hukum untuk perbuatan yang menyebabkan atau<br />

mempermudah pemerkosaan.<br />

7.2. Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak<br />

yang menyebabkan atau mempermudah<br />

perbuatan cabul.<br />

8. Formil 8.1. Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian,<br />

Kejaksaan dan Kehakiman) penanganan kasus<br />

kekerasan seksual yang tidak berperspektif kepada<br />

korban.<br />

mempermudah<br />

pemerkosaan diatur<br />

dalam RKUHP.<br />

7.2. Memperjelas ketentuan<br />

mengenai pihak-pihak<br />

yang menyebabkan atau<br />

mempermudah perbuatan<br />

cabul dalam R-KUHP<br />

8.1.1. Mengoptimalisasikan<br />

“Pendidikan<br />

Penanganan Kasus<br />

Kekerasan Seksual”<br />

kepada Aparat<br />

Penegak Hukum<br />

(APH).<br />

8.1.2. Penyesuaian kode etik<br />

bagi Aparat Penegak<br />

Hukum (APH) yang<br />

berprespektif kepada<br />

korban kekerasan<br />

seksual.<br />

8.1.3. Mengadakan revisi<br />

terhadap PP No.2<br />

tahun 2003 tentang<br />

Peraturan Disiplin<br />

Anggota Kepolisian<br />

Negara Republik<br />

175


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual<br />

yang tidak memberikan keadilan bagi korban<br />

kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur mengenai<br />

pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />

Indonesia mengenai<br />

SANKSI,yang<br />

bertujuan untuk<br />

memperberat ancaman<br />

pidana terhadap para<br />

pelaku kejahatan<br />

kekerasan seksual.<br />

8.1.4. Mengoptimalisasikan<br />

penerapan PERKAP<br />

No. 10 tahun 2007<br />

tentang Organisasi<br />

dan Tata Kerja Unit<br />

Pelayanan Perempuan<br />

dan Anak (UnitPPA)<br />

dilingkungan<br />

Kepolisian Negara<br />

Republik Indonesia<br />

yang telah direvisi dan<br />

juga melakukan<br />

sosialisasi di seluruh<br />

wilayah Indonesia.<br />

ALAT BUKTI<br />

8.2.1. Dalam kasus<br />

kekerasan seksual,<br />

keterangan saksi<br />

dalam persidangan<br />

cukup satu orang saksi<br />

176


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9. Perlindungan dan<br />

Pendampingan<br />

Korban<br />

9.1. Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />

menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />

untuk melakukan<br />

pembuktian kasus<br />

yaitu saksi korban.<br />

8.2.2. Memasukkan unsur<br />

rekam psikologis<br />

sebagai alat bukti yang<br />

harus diperhitungkan<br />

oleh pihak kepolisian.<br />

PERSIDANGAN<br />

8.2.3. Pada saat pemeriksaan<br />

saksi korban di<br />

pengadilan, terdakwa<br />

harus dikeluarkan dari<br />

ruang sidang.<br />

8.2.4. Selama proses<br />

peradilan berlangsung,<br />

saksi korban berhak<br />

didampingi oleh<br />

pendamping.<br />

8.2.5. Mengusulkan agar<br />

poin 8.2.3 dan 8.2.4<br />

dituangkan dalam<br />

Peraturan Mahkamah<br />

Agung (PERMA).<br />

9.1. Merekomendasikan<br />

Kementerian<br />

Pemberdayaan<br />

177


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9.2. Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan<br />

seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum<br />

dengan SOP tentang penanganan korban kekerasan<br />

seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Nomor 1Tahun 2010.<br />

9.3. Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk<br />

menangani korban kekerasan seksual pada Unit<br />

Pelaporan Kekerasan Seksual ditingkat<br />

Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak<br />

untuk berkoordinasi<br />

dengan organisasi<br />

pers, Kementerian<br />

Komunikasi dan<br />

Informasi, Komisi<br />

Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers,dan pihak<br />

terkait untuk<br />

memberikan edukasi<br />

tentang pemberitaan<br />

kekerasan seksual<br />

yang berperspektif<br />

korban.<br />

9.2. Melakukan sosialisasi<br />

kembali Terhadap Peraturan<br />

Menteri Pemberdayaan<br />

Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak Nomor<br />

1Tahun 2010 kepada aparat<br />

hukum untuk melaksanakan<br />

SOP yang terkandung<br />

dalam aturan tersebut.<br />

9.3.1. Menyesuaikan jumlah<br />

tenaga terampil agar<br />

sebanding dengan jumlah<br />

178


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kabupaten/kota.<br />

9.4. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />

dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />

repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid.<br />

9.5.1. Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali<br />

korban kekerasan seksual karena dianggap<br />

sebagai aib dalam komunitasnya.<br />

9.5.2. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />

dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />

repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid.<br />

9.6. Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum<br />

kepada korban kekerasan seksual mengenai<br />

keberadaan lembaga yang bergerak dibidang<br />

pemulihan korban kekerasan seksual.<br />

kasus yang ada diprovinsi<br />

tersebut.<br />

9.3.2. Setiap provinsi harus<br />

mempunyai data yang<br />

valid mengenai jumlah<br />

kasus kekerasan seksual.<br />

9.5. Asistensi pemerintah dalam<br />

peningkatan partisipasi<br />

masyarakat dalam<br />

reintegrasi korban<br />

kekerasan seksual.<br />

9.6. Dalam proses peradilan<br />

penanganan kasus<br />

kekerasan seksual,aparat<br />

penegak hukum harus<br />

menjamin bahwa korban<br />

mengetahui keberadaan<br />

lembaga yang bergerak<br />

dalam bidang pemulihan<br />

korban kekerasan<br />

seksual.<br />

179


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9.7. Beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />

(shelter) bagi korban kekerasan seksual dalam<br />

konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Selain itu,<br />

terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki<br />

shelter, namun belum dipergunakan sebagaimana<br />

mestinya.<br />

9.8. Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang<br />

belum mengakomodasi restitusi dan kompensasi<br />

bagi korban kekerasan seksual.<br />

9.7. Harus adanya<br />

pemerataan shelter di<br />

tiap-tiap lembaga yang<br />

memiliki fungsi<br />

rehabilitasi terhadap<br />

korban kekerasan<br />

seksual dan harus<br />

dioperasionalkan sesuai<br />

dengan Standar<br />

Penilaian Minimum.<br />

9.8. Restitusi dan kompensasi<br />

harus diakomodir dalam<br />

surat dakwaan.<br />

180


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENJELASAN TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM<br />

NASIONAL 2014<br />

KOMISI 1<br />

MATERIIL<br />

1. PASAL 285<br />

Poin 1.1 Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />

membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

Rekomendasi 1.1 Mengganti frasa “ancaman kekerasan” dengan<br />

“bertentangan dengan kehendak” sebagaimana diatur dalam Rancangan<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang pencantuman<br />

pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />

Secara materiil, dianggap perlu adanya perbaikan pada pasal 285, yang<br />

berbunyi "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,<br />

diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas<br />

tahun". Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />

membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

Apabila merujuk pada pasal 89 KUHP, definisi kekerasan dalam pasal<br />

285 adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil<br />

secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala<br />

macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Selain itu, yang<br />

dapat disamakan dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orang<br />

jadi pingsan atau tidak berdaya. 1 Oleh sebab itu, untuk membuktikan<br />

terjadinya tindakan perkosaan, maka harus terdapat kekerasan atau ancaman<br />

kekerasan yang seringkali diartikan sebagai kekerasan fisik yang harus<br />

dibuktikan dengan luka atau bekas luka yang terdapat dalam tubuh korban<br />

yang diakibatkan oleh pelaku.<br />

Pada kenyataannya, banyak terdapat peristiwa perkosaan yang terjadi<br />

tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, tetapi menggunakan<br />

kekerasan mental atau psikologis. National Victim Center and Crime<br />

Victims Research and Treatment Center (1992) menunjukkan bahwa<br />

korban-korban perkosaan mengalami permaksaan, ancaman, dan kekerasan<br />

yang menyakitkan, baik secara fisik maupun secara psikis 2 , misalnya pada<br />

kasus RW, seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang diperkosa oleh<br />

seniman Sitok Srengenge dibawah tekanan mental dan psikis.<br />

Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan pula, maka<br />

gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki atau menyetujui (consent)<br />

1 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya<br />

Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 98.<br />

2 Bagus Takwin, Membongkar Mitos Perkosaan, (dalam Jurnal Perempuan Edisi<br />

71: Perkosaan dan Kekuasaan), hlm. 12.<br />

181


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang sulit diterima. Di satu sisi,<br />

ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di<br />

sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan<br />

ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis), untuk hal-hal<br />

yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).<br />

Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan<br />

mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan"<br />

(submission), karena alasan-alasan tertentu. Misalnya saja antara seorang<br />

majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan<br />

pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian atau kelulusan dalam konteks<br />

hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. 3 Padahal, pada<br />

dasarnya kekerasan seksual merupakan manifestasi kekuasaan pelaku<br />

terhadap korbannya.<br />

Dalam RUU KUHP, sudah terdapat perubahan unsur, antara lain<br />

dihapusnya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang digantikan oleh<br />

unsur bertentangan dengan kehendak dan tanpa persetujuan. Pasal 488 ayat<br />

1 RUU KUHP berbunyi: 4<br />

(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana<br />

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)<br />

tahun:<br />

a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />

perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;<br />

b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />

perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;<br />

c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan<br />

tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;<br />

d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan<br />

tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang<br />

sah;<br />

e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang<br />

berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan<br />

persetujuannya; atau<br />

f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan<br />

pingsan atau tidak berdaya.<br />

3 Ratna Batara Munti, “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />

Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan”, diakses<br />

darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-danrealitas<br />

pada 18 Mei 2014.<br />

4<br />

Lihat Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,<br />

diakses dari http://antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20<br />

KUHP_2013.pdf pada 18 Mei 2014.<br />

182


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menurut pasal tersebut, terjadinya perkosaan tidak perlu dibuktikan<br />

dengan terdapat atau tidaknya kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabila<br />

salah satu pihak (dalam RUU KUHP, perempuan) tidak menyatakan<br />

persetujuan atau menunjukkan kehendaknya dalam melakukan hubungan<br />

seks dengan pihak lainnya (dalam RUU KUHP, laki-laki), maka tindakan<br />

tersebut dapat disebut sebagai perkosaan.<br />

Terhadap hal tersebut, delegasi SHN merekomendasikan untuk mengganti<br />

frasa “ancaman kekerasan” dengan “bertentangan dengan kehendak”<br />

sebagaimana yang sudah diatur dalam RKUHP tentang pencantuman<br />

pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />

<br />

Poin 1.2 Tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”.<br />

Rekomendasi 1.2 Mencantumkan pengertian “Pemerkosaan”.<br />

Pasal 285 juga tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”<br />

serta terdapat kurangnya kepastian hukum dalam Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur mengenai ancaman pidana<br />

maksimal tanpa memperhatikan pengaturan pidana penjara minimum.<br />

Hingga saat ini batasan perkosaan dalam hukum positif Indonesia ialah<br />

tindakan menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya dengan<br />

kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />

Dalam pasal tersebut, perkosaan didefinisikan secara amat limitatif.<br />

Perkosaan menurut KUHP tidak termasuk tindakan KSTP (kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan) dalam bentuk hubungan penis pelaku melalui<br />

anus (secara anal) atau mulut korban (secara oral). 5<br />

Belakangan, definisi perkosaan dinilai perlu diperluas agar tidak hanya<br />

tentang penetrasi penis terhadap vagina. Perkosaan harus didefinisikan<br />

sesuai dengan pengalaman korban. Encyclopedia of Rape mengemukakan<br />

bahwa realitas fisik perkosaan tidak berubah dari waktu ke waktu, yaitu<br />

penetrasi dari vagina, atau lubang lainnya, dengan penis (atau benda lain)<br />

tanpa persetujuan dari wanita atau pria korban. Polaschek, Ward & Hudson,<br />

memberi definisi perkosaan sebagai penetrasi pada anus, vagina oleh penis,<br />

jari atau benda lain atau penetrasi penis pada mulut. Bahkan memaksa orang<br />

lain melakukan hal itu juga disebut sebagai perkosaan. 6<br />

Di Indonesia, bentuk perkosaan berupa insersi penis ke lubang atau<br />

organ lain selain vagina, seperti anus atau mulut dan benda selain bagian<br />

tubuh ke dalam vagina atau anus beberapa kali terjadi. Namun, kasus-kasus<br />

tersebut biasanya hanya dijerat dengan pasal pencabulan, misalnya saja<br />

yang terjadi pada korban YF yang dipaksa untuk melakukan oral oleh para<br />

5 Prof. Agus Purwadianto, Disertasi Doktoral: Perkosaan Sebagai pelanggaran<br />

Hak Asasi Manusia, hlm. 12.<br />

6<br />

Priyanto Aadil, “Makalah Perkosaan dan Pencabulan”, diakses dari<br />

https://www.academia.edu/3710743/Makalah_Perkosaan_dan_pencabulan.docx pada 20<br />

Juli 2014.<br />

183


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

<br />

pelaku pada kasus perkosaan di halte Transjakarta (pelaku dijerat pasal<br />

pencabulan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara), dan kasus buruh<br />

Marsinah, yang menurut visum yang dilakukan oleh Dr. Abdul Mun‟im<br />

Idris, tewas akibat perkosaan berupa dimasukkannya alat berupa tongkat<br />

kayu ke dalam vagina korban.<br />

Dalam RUU KUHP, definisi perkosaan dalam pasal yang mengaturnya<br />

sudah diperluas. Pasal 488 ayat 2 RUU KUHP berbunyi:<br />

(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam<br />

keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):<br />

a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut<br />

perempuan; atau<br />

b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian<br />

tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.<br />

Melihat masalah ini, delegasi SHN merekomendasikan adanya<br />

pengaturan mengenai ketentuan batas pidana penjara minimum yang dapat<br />

dikenakan terhadap pelaku seperti yang diatur dalam RKUHP.<br />

Poin 1.3 Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur mengenai ancaman<br />

pidana penjara maksimal tanpa memperhatikan mengenai pengaturan pidana<br />

penjara minimum.<br />

Rekomendasi 1.3 Menentukan mengenai adanya ketentuan batas pidana<br />

penjara minimum yang dapat dikenakan terhadap pelaku sebagaimana telah<br />

diatur dalam RKUHP.<br />

Pasal dan<br />

Ancaman Pidana<br />

Maksimal<br />

Ancaman<br />

Pidana<br />

Jika Luka<br />

Berat<br />

Jika Sampai Mati<br />

285: Perkosaan 12 tahun 15 tahun (291 ayat 2)<br />

286: dengan<br />

wanita<br />

pingsan/tidak<br />

berdaya<br />

9 tahun 12 tahun<br />

(291 ayat 1)<br />

15 tahun (291 ayat 2)<br />

287: dengan<br />

wanita


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sesama jenis<br />

belum dewasa<br />

293: membujuk<br />

orang dewasa<br />

untuk cabul<br />

294: cabul dengan<br />

anak belum<br />

dewasa<br />

295: memudahkan<br />

cabul dengan anak<br />

belum dewasa<br />

296: memudahkan<br />

cabul sebagai mata<br />

pencaharian<br />

5 tahun<br />

7 tahun<br />

5 tahun, 4<br />

tahun, +1/3<br />

(pencaharian/<br />

kebiasaan)<br />

1 tahun 4<br />

bulan<br />

Tabel 1: Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Kesusilaan<br />

Mengenai Seksualitas 7<br />

Tindak pidana seksual, khususnya dalam perkosaan tidak ada sanksi<br />

pidana minimal, sehingga acap kali terjadi putusan hakim yang sangat<br />

ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan pelaku. 8<br />

Menurut hakim, hal itu disebabkan untuk menjatuhkan pidana<br />

maksimal terhadap pelaku, harus ada bukti-bukti yang cukup kuat untuk<br />

mendukungnya. Jika bukti-bukti belum sepenuhnya mendukung, hukuman<br />

yang dijatuhkan harus disesuaikan dengan bukti-bukti yang ada. Jadi, tidak<br />

asal menjatuhkan hukuman, namun juga harus disertai dengan dasar atau<br />

alasan apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak perkosaan itu.<br />

Dari berbagai keputusan hakim yang dijadikan pijakan analisis,<br />

tampaknya terjadi kontradiksi berpikir-logis di kalangan hakim, antara<br />

beban pembuktian secara yuridis dengan problem penjatuhan sanksi. Dalam<br />

proses pembuktian sampai kepada penetapan amar keputusan pemerkosa<br />

(terdakwa) dinyatakan menurut hukum telah terbukti bersalah secara sah<br />

dan meyakinkan. Namun, pada saat hakim menetapkan sanksi hukum yang<br />

harus dijatuhkan kepada pelaku, ternyata hakim tidak menghukum dan<br />

memberikan sanksi maksimal. Kecuali berbagai faktor dan pertimbangan<br />

seperti dijelaskan, sulitnya mendapatkan pembuktian secara material<br />

(pembuktian berdasarkan kejadian yang sesungguhnya) dalam kasus<br />

pemerkosaan menjadi kendala yuridis, baik pada penuntutan maupun<br />

keputusan. Karena itu, hukuman maksimal belum pernah diterapkan. Unsur<br />

paksaan, lebih-lebih unsur kekerasan yang merupakan unsur esensial dalam<br />

hlm. 56.<br />

8 Ibid.<br />

7 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1997),<br />

185


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kasus pemerkosaan, sulit dibuktikan dalam persidangan, karenanya, tidak<br />

jarang tuntutan primer turun menjadi subsider. Berdasarkan alasan hukum<br />

seperti itu, para hakim lebih mengarah pada prinsip meminimalkan sanksi<br />

hukum bagi pemerkosa. 9<br />

Grafik 2: Persentase Konsekuensi yang Dihadapi Pelaku Laki-laki atas<br />

Perkosaan Terhadap Perempuan.<br />

Indonesia memang hanya menetapkan ancaman pidana penjara bagi<br />

pelaku perkosaan. Berbeda dengan ancaman hukuman di beberapa negara,<br />

ancaman hukuman bagi pemerkosan diperberat jika korbannya mengalami<br />

luka berat atau gila. KUHP Filipina mengancam dengan pidana mati sebagai<br />

pemberatan yaitu jika perkosaan itu mengakibatkan gila atau mati.<br />

Sementara mengenai hukumannya, ada yang menghukum dengan kerja<br />

berat (KUHP Perancis) dan pengasingan tetap (KUHP Filipina). 10<br />

<br />

Poin 1.4 Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita sehingga tidak<br />

melindungi tentang pemerkosaan terhadap korban laki-laki.<br />

Rekomendasi 1.4 Menentukan adanya ketentuan pemerkosaan terhadap<br />

korban laki-laki di dalam RKUHP.<br />

Masalah lain dalam pasal 285 adalah dalam pasal tersebut dituliskan<br />

bahwa korban hanya sebatas wanita, sehingga membuka kemungkinan<br />

9 M. Hisyam Syafioedin dan Faturochman, “Hukuman Bagi Pemerkosa dan<br />

Perlindungan Bagi Korban”, diakses dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU%20-<br />

%20Hukuman%20bagi%20pemerkosa.pdf pada 20 Juli 2014.<br />

10 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 56.<br />

186


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap korban pemerkosaan yang<br />

berjenis kelamin laki-laki.<br />

Perkosaan yang diatur dalam KUHP pasal 285 sampai dengan 287<br />

hanya membatasi perkosaan sebagai persetubuhan dengan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan di luar<br />

perkawinan.<br />

Selain itu, KUHP dan peraturan lainnya di Indonesia belum<br />

mengakomodasi bentuk perkosaan yang dilakukan laki-laki dewasa<br />

terhadap laki-laki dewasa. KUHP hanya membatasi kekerasan seksual<br />

antara laki-laki dewasa terhadap laki-laki di bawah umur (bahkan dianggap<br />

bukan sebagai perkosaan, melainkan pencabulan), seperti yang tercantum<br />

dalam pasal 292 KUHP yang berbunyi:<br />

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum<br />

dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus<br />

disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima<br />

tahun.”<br />

Namun, selain KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi<br />

anak-anak yang mengalami kekerasan secara seksual.<br />

Bentuk perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki juga<br />

belum diatur dalam KUHP maupun peraturan lainnya. Dalam KUHP dan<br />

RUU KUHP selalu ditekankan bahwa yang menjadi pelaku adalah laki-laki<br />

dan korbannya adalah perempuan. Padahal, kasus tersebut pernah<br />

ditemukan di Indonesia, salah satunya kasus seorang Ibu RT di Bengkulu<br />

yang memperkosa 6 pria remaja. Ibu RT tersebut akhirnya terbukti secara<br />

sah dan meyakinkan telah melakukan persetubuhan terhadap anak yang<br />

masih di bawah umur sebagaimana diatur pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor<br />

23 tahun 2002 dan divonis 8 tahun penjara. 11<br />

Meskipun tampaknya perkosaan antara laki-laki dewasa terhadap lakilaki<br />

dewasa dan perempuan terhadap laki-laki tidak mungkin terjadi, pada<br />

kenyataannya kasus tersebut terjadi dalam masyarakat. Namun, banyak<br />

yang tidak terlaporkan karena stigma dan mitos yang berkembang di<br />

masyarakat tentang perkosaan. Di luar negeri, beberapa kasus tersebut<br />

mulai banyak terekspos dan dilaporkan.<br />

2. PASAL 286<br />

Poin 2.1 Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai perbuatan<br />

bersetubuh.<br />

Rekomendasi 2.1 Menentukan penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh<br />

dalam pasal tersebut.<br />

11 Hery H. Winarno, “Ibu RT Cabul di Bengkuli Divonis 8 Tahun Penjara”,<br />

diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/ibu-rt-cabul-di-bengkulu-divonis-8-<br />

tahun-penjara.html pada 20 Juli 2014.<br />

187


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pada pasal 286, yang berbunyi:<br />

“Barangsiapa bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan padahal<br />

diketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,<br />

diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.”<br />

Dalam pasal tersebut tidak ada definisi yang jelas mengenai perbuatan<br />

bersetubuh sehingga delegasi SHN merekomendasikan agar ada ketentuan<br />

penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh dalam pasal 286 tersebut, seperti<br />

yang sudah dijelaskan di dalam Rekomendasi 1.2.<br />

<br />

Poin 2.2 Tidak menjelaskan secara jelas mengenai definisi dan klasifikasi<br />

keadaan tak berdaya.<br />

Rekomendasi 2.2 Mempertegas definisi dan klasifikasi keadaan tak<br />

berdaya, siapa yang menjadikan keadaan tidak berdaya itu timbul, serta<br />

kondisi yang dapat dianggap sebagai keadaan tidak berdaya.<br />

Unsur keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam pasal 286<br />

membutuhkan penjelasan lebih, seperti bagaimana kondisi yang termasuk<br />

dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (misalnya apakah kondisi sakit<br />

dan mabuk termasuk dalam keadaan tidak berdaya?), faktor penyebab<br />

terjadinya keadaan tersebut, siapa yang menjadikan keadaan pingsan atau<br />

tidak berdaya itu timbul, dan kapan suatu keadaan dianggap tidak berdaya.<br />

KUHP hanya memberikan penjelasan di dalam Pasal 89 bahwa membuat<br />

orang tidak berdaya sama dengan menggunakan kekerasan, yang justru<br />

membuat pasal ini tumpang tindih dengan Pasal 285. Penjelasan mengenai<br />

bersetubuh juga perlu lebih dijelaskan, seperti apakah bersetubuh hanya<br />

merupakan peristiwa di mana terjadinya penetrasi penis ke dalam vagina<br />

dan apakah penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan<br />

atau tanpa disertai dengan ejakulasi, karena hal-hal tersebut akan<br />

berpengaruh dalam pembuktian unsur. Penjelasan pasal ini dimaksudkan<br />

untuk memudahkan proses pembuktian.<br />

3. PASAL 287<br />

Poin 3.1 Adanya penyamaan status antara anak dan tidak berdaya.<br />

Rekomendasi 3.1.1 Menentukan adanya perbedaaan pemidanaan yang<br />

tegas antara korban yang tidak berdaya dengan anak, di mana kasus<br />

pemerkosaan terhadap korban anak seharusnya lebih berat dibandingkan<br />

dengan kasus pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya.<br />

Rekomendasi 3.1.2 Menentukan penjelasan yang tegas terkait dengan hal<br />

“tidak berdaya”, termasuk kategorisasi tidak berdaya, siapa yang membuat<br />

tidak berdaya dan kapan suatu keadaan yang dialami korban dapat dianggap<br />

tidak berdaya.<br />

Pasal 287 KUHP berbunyi:<br />

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,<br />

padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya<br />

188


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum<br />

waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama<br />

sembilan tahun.”<br />

Permasalahan yang terdapat di dalam pasal ini adalah adanya penyamaan<br />

status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban kekerasan<br />

seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya yang<br />

ditunjukkan dengan adanya sanksi yang sama, yaitu sembilan tahun. Perlu<br />

diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23<br />

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum<br />

berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adanya<br />

penyamaan status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban<br />

kekerasan seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak<br />

berdaya akan menimbulkan suatu permasalahan yang akan berdampak<br />

buruk pada ancaman hukuman pidana para pelaku kekerasan seksual karena<br />

dapat diartikan bahwa semakin muda umur korbannya, maka semakin<br />

ringan hukumannya. Delegasi SHN juga merekomendasikan untuk<br />

ditentukannya penjelasan yang tegas dalam hal pengertian, kategorisasi,<br />

siapa dan kondisi yang dapat dikatakan termasuk kedalam keadaan korban<br />

yang tidak berdaya seperti yang telah dijelaskan di dalam Poin 2.2.<br />

Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />

yang mengalami kekerasan seksual.<br />

Poin 3.2 Mempertanyakan mengenai rumusan delik dalam pasal 287,<br />

“apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />

Rekomendasi3.2 Melakukan revisi terhadap Pasal 287, delik Pasal 287<br />

KUHP adalah delik biasa bukan delik aduan.<br />

Permasalahan selanjutnya adalah pasal 287 KUHP tergolong jenis delik<br />

aduan yang berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan<br />

atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pertanyaannya<br />

adalah, “apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa<br />

melaporkan?” Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana<br />

II, dalam delik aduan penuntutan terhadap jenis delik tersebut digantungkan<br />

pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Dalam hal perkosaan,<br />

kebanyakan korban yang telah diperkosa tidak bisa melaporkan kejadian<br />

buruk yang telah menimpanya saat itu juga, karena selain mereka<br />

mengalami trauma perkosaan, terkadang mereka juga mendapatkan<br />

ancaman dari pelaku sehingga merasa takut untuk melaporkan. Korban<br />

perkosaan baru bisa melaporkan kejadian tersebut ketika mereka sudah<br />

merasa lebih tenang. Proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama,<br />

sehingga bukti-bukti yang ada ketika tindakan perkosaan tersebut sudah<br />

hilang, seperti noda sperma. Hal tersebut akan bermasalah pada<br />

pembuktian. Dengan kurangnya barang bukti yang ada, para pelaku tindak<br />

189


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pidana perkosaan dapat bebas dari tuntutan. Oleh karena itu, delegasi SHN<br />

merekomendasikan revisi terhadap pasal 287 KUHP, bahwasanya jenis<br />

delik pasal 287 KUHP adalah jenis delik biasa bukan jenis delik aduan,<br />

sehingga yang dapat melakukan penuntutan tidak hanya korban saja.<br />

<br />

Poin 3.3 Pidana penjara dalam rumusan pasal 287 lebih ringan<br />

dibandingkan dengan pidana penjara dalam rumusan pasal 285, padahal di<br />

dalam pasal 287 korbannya adalah anak yang akan menjadi penerus bangsa.<br />

Rekomendasi 3.3 Memperberat ancaman pidana dalam RKUHP.<br />

Persamaan status yang dimaksud dalam Poin 3.1 dapat dilihat dari<br />

ancaman hukuman penjara yang sama dari pasal 287 dengan pasal 286<br />

KUHP, yaitu 9 tahun. Seharusnya ancaman hukuman pidana terhadap<br />

korban anak-anak sebagaimana telah diatur dalam pasal 287 memiliki<br />

ancaman hukuman pidana yang sama atau bahkan lebih berat dibandingkan<br />

dengan ancaman hukuman pidana dalam pasal 286. Selain karena dapat<br />

mengindikasikan bahwa semakin muda umur korban maka semakin ringan<br />

hukumannya, hal ini disebabkan terutama karena anak-anak merupakan<br />

penerus bangsa.<br />

Tidak hanya fakta kekerasan seksual, dampak yang dialami korban<br />

kekerasan seksual juga masih luput dari perhatian serius masyarakat.<br />

Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />

seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />

antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis, dampak<br />

fisik, meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan<br />

makan, rasa rendah diri yang buruk, perubahan perilaku seksual,<br />

psikopatologi, penyakit alamat kelamin, adiksi terhadap zat-zat berbahaya,<br />

bahkan berujung pada kematian. Dampak-dampak tersebut akan dialami<br />

oleh setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik jangka<br />

pendek maupun jangka panjang. Delegasi SHN merekomendasikan untuk<br />

ditentukannya perbedaan pemidanaan yang tegas antara korban yang tidak<br />

berdaya dengan anak, dimana kasus pemerkosaan terhadap anak seharusnya<br />

ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan kasus pemerkosaan<br />

terhadap orang dewasa yang tidak berdaya.<br />

Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />

yang mengalami kekerasan seksual.<br />

4. PASAL 288<br />

Poin 4.1 Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan secara tegas dalam hal<br />

apakah pasal ini turut mencakup pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />

Rekomendasi 4.1 Meminta penjelasan yang tegas terkait rumusan pasal<br />

288, apakah termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />

Pasal 288 KUHP berbunyi:<br />

190


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita<br />

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang<br />

bersangkutan belum waktunya untuk di kawin, apabila perbuatan<br />

mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana paling lama empat<br />

bulan.<br />

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana<br />

penjara paling lama delapan tahun.<br />

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua<br />

belas tahun.<br />

Pasal 288 ayat 1 mengandung unsur perkawinan yang hanya mencakup<br />

perkawinan di bawah umur. KUHP tidak menjelaskan apakah perkawinan<br />

yang dimaksud adalah perkawinan yang terjadi karena sukarela ataupun<br />

karena adanya paksaan. Perlindungan terhadap perkawinan di bawah umur<br />

juga diatur di dalam dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) huruf C yang menyatakan bahwa<br />

orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak.<br />

Pasal 288 ayat 1 juga memberi ancaman hukuman lebih ringan (4<br />

tahun) kepada pelaku perkosaan perempuan di bawah umur dan<br />

menimbulkan luka-luka. Bandingkan dengan pasal 285 yaitu perkosaan<br />

terhadap perempuan dewasa (tidak dalam keadaan pingsan atau luka-luka)<br />

yang diancam hukuman maksimal 12 tahun. Hal ini menimbulkan keanehan<br />

karena pasal itu dapat diinterpretasi bahwa semakin muda umur perempuan<br />

korban perkosaan (di bawah umur), dan menderita luka-luka akibat<br />

perkosaan itu, maka semakin ringan hukuman bagi pelakunya. 12<br />

<br />

<br />

Poin 4.2 Hanya terbatas luka fisik, tidak ada pembahasan luka psikologis,<br />

dan juga hanya terbatas pada wanita<br />

Rekomendasi 4.2 Memperluas cakupan luka dan korban pada pasal ini.<br />

Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur yang berakibat<br />

luka, luka berat, atau kematian (diatur dalam ayat (2) dan (3)). Hal ini<br />

berarti bahwa perkawinan di bawah umur yang tidak mengakibatkan luka,<br />

luka berat, atau matinya perempuan yang menjadi istrinya tidak dapat<br />

dikenai pasal ini. Padahal, dampak negatif dari perkawinan di bawah umur<br />

tidak selalu dalam bentuk fisik, namun juga dapat mengakibatkan trauma<br />

psikologis. Demikian juga dampak dari kekerasan seksual tidak hanya<br />

sebatas luka fisik saja, melainkan juga luka psikologis seperti halnya rasa<br />

takut, gelisah, dan depresi.<br />

Poin 4.3 Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah<br />

umur<br />

12 Topo Santoso, ibid.<br />

191


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 4.3 Mempertegas ketentuan dalam Pasal 288 agar mencakup<br />

tidak hanya perkawinan dibawah umur tetapi juga perkawinan cukup umur.<br />

Ketentuan pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur<br />

padahal juga dimungkinkan adanya pemaksaan perkawinan dan kekerasan<br />

seksual kepada mereka yang sudah dewasa.<br />

Marital rape merupakan perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap<br />

istri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk melakukan hubungan<br />

badan tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan<br />

pasangannya. Meskipun dalam KUHP tidak dikenal istilah marital rape, hal<br />

tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pasal 5 UU<br />

PKDRT mengatur tentang larangan tindakan kekerasan seksual, yaitu<br />

pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Secara lebih khusus,<br />

Pasal 8 menjelaskan bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan<br />

hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam<br />

lingkup rumah tangga tersebut, seperti istri, anak, dan pekerja rumah<br />

tangga. Mengenai hukuman bagi pelaku, pasal 46 menegaskan bahwa para<br />

pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam<br />

hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 tahun atau denan<br />

paling banyak Rp36.000.000,00<br />

Minimnya kesadaran masyarakat terhadap marital rape menyebabkan<br />

banyak kasus yang tidak terlaporkan.<br />

5. PASAL 289<br />

Poin 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 289<br />

membuat Pasal-Pasal tersebut menjadi sempit.<br />

Rekomendasi 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut<br />

diganti dengan frasa “bertentangan” atau “bertentangan dengan kehendak”<br />

Pasal 289 KUHP berbunyi<br />

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />

perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan<br />

hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />

Frasa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal tersebut<br />

membuat pasal ini menjadi sempit karena perbuatan cabul tidak selalu<br />

berawal dari kekerasan atau ancaman kekerasan yang pada konteksnya<br />

bersifat lebih fisik. Dengan demikian, delegasi SHN merekomendasikan<br />

sebaiknya frasa “dengan kekerasan” atau “ancaman kekerasan” pada pasal<br />

289 KUHP diubah menjadi frasa “bertentangan dengan” atau “bertentangan<br />

dengan kehendak” sehingga ketentuan pasal ini menjadi lebih luas.<br />

<br />

Poin 5.2 Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan tidak jelas.<br />

192


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 5.2 Mempertegas definisi dan kategorisasi daripada cabul,<br />

baik itu di dalam ketentuan umum atau penjelasan Pasal.<br />

Pasal 289 KUHP tidak menguraikan secara jelas dan detil mengenai<br />

definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul serta kategorisasi<br />

perkosaan yang sangat berhubungan dengan hal tersebut. Dalam penjelasan<br />

pasal 289 KUHP oleh R. Soesilo hanya dikatakan bahwa “perbuatan cabul<br />

adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau<br />

perbuatan yang keji, yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,<br />

misalnya cium-ciuman, meraba-raba kemaluan atau buah dada.”<br />

Pencabulan sendiri merupakan bagian dari pelecehan seksual. Pelecehan<br />

seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui<br />

kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual<br />

atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main<br />

mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materimateri<br />

pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian<br />

tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan<br />

rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan<br />

mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 13<br />

KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual tetapi hanya perbuatan<br />

cabul. Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai definisi<br />

dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul yang dimaksud oleh pembuat<br />

pasal ini sehingga menuai banyak perbedaan pendapat dan kontroversi di<br />

kalangan penegak hukum.<br />

Perihal keterkaitannya dengan perkosaan, perkosaan dilihat dari<br />

dibuktikannya persetubuhan paksa dan akibatnya, seperti penyakit menular<br />

seksual, gangguan disfungsi seksual, dan PTRS (Post Traumatic Stress<br />

Disorder). Apabila secara forensik praktis unsur persetubuhan dalam<br />

batasan perkosaan tidak terbukti, maka tindak pidana tersebut masuk ke<br />

dalam kategori pencabulan. 14 Dengan demikian, sebaiknya dibuat ketentuan<br />

yang mempertegas definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul<br />

serta kategorisasi perkosaan yang masuk ke dalam ruang lingkup pasal ini.<br />

6. PASAL 294<br />

Poin 6.1 Sanksi pidana lebih rendah.<br />

13 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan<br />

Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata<br />

di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang<br />

dikembangkan Rifka Annisa Women‟s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai<br />

Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya<br />

Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan”, Komnas<br />

Perempuan, 2010, hal. 9<br />

14 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 78-79.<br />

193


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 6.1 Sudah terjawab di RKUHP, yaitu dengan pemidanaan<br />

terhadap pemerkosaan atau percabulan anak yang dilakukan oleh kerabat<br />

lebih besar ancaman pidananya.<br />

Pasal 294 KUHP mengatur ketentuan mengenai perbuatan cabul yang<br />

dilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau anak tiri, anak pungut<br />

ataupun anak yang di bawah pengawasannya. Pasal ini memuat ketentuan<br />

pidana yang lebih ringan daripada perbuatan cabul yang dilakukan oleh<br />

orang yang korbannya tidak di bawah pengawasan orang tersebut. Padahal<br />

seharusnya pelaku dijatuhi hukuman pidana yang lebih berat, mengingat<br />

korban pasti memberikan kepercayaan lebih dan mengharapkan<br />

perlindungan dari orang yang dekat dengannya atau kerabatnya. Mengenai<br />

hal ini sebenarnya sudah diatur dalam RKUHP, yaitu perbuatan cabul dan<br />

perkosaan anak yang dilakukan oleh kerabat dijatuhi sanksi pidana yang<br />

lebih berat.<br />

<br />

Poin 6.2 Adanya kekosongan hukum, karena tidak diaturnya pemerkosaan<br />

terhadap anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah<br />

pengawasan pelaku.<br />

Rekomendasi 6.2 Mengenai masalah poin 2 dan 3, adanya pengaturan<br />

mengenai masalah diatas dalam Pasal tertentu.<br />

Pasal ini hanya mencakup “perbuatan cabul” terhadap anak, anak tiri, anak<br />

pungut, ataupun anak yang ada di bawah pengawasannya. Tindakan<br />

pemerkosaan tidak termasuk ke dalam ruang lingkup pasal ini. Dalam hal<br />

ini, terdapat kekosongan hukum karena tidak ada ketentuan yang mengatur<br />

mengenai perkosaan terhadap anak, anak tiri, anak pungut, ataupun anak<br />

yang ada di bawah pengawasannya sehingga pelaku perkosaan tersebut<br />

hanya dapat dikenai pasal 294 KUHP mengenai perbuatan cabul ini,<br />

padahal pelaku tindak pidana perkosaan seharusnya diberikan sanksi yang<br />

lebih berat dibandingkan pelaku tindak pidana perbuatan cabul mengingat<br />

tindak pidana perkosaan jauh lebih merugikan korban baik rohani maupun<br />

jasmani dibandingkan perbuatan cabul. Dengan demikian, mengenai hal ini<br />

sebaiknya diatur dengan ketentuan yang lebih lanjut.<br />

7. PASAL 295<br />

Poin 7.1 Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan<br />

atau mempermudah perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan hukum<br />

untuk perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah pemerkosaan<br />

Rekomendasi 7.1 Meminta agar perbuatan yang menyebabkan atau<br />

mempermudah pemerkosaan diatur dalam RKUHP.<br />

Pasal 295 KUHP mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan atau<br />

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul. Dinyatakan pada pasal tersebut<br />

“(1) Diancam dengan:<br />

1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan<br />

sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan<br />

194


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />

bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang<br />

belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau<br />

penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau<br />

bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;<br />

2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa<br />

dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan<br />

cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan<br />

oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya<br />

harus diduganya demikian, dengan orang lain.”<br />

Dapat dilihat dalam rumusan pasal di atas bahwa pengaturan tersebut<br />

hanyalah ditujukan pada perbuatan cabul saja. Apabila melihat pembahasan<br />

sebelumnya mengenai perkosaan, tidak ada pasal yang mengatur mengenai<br />

perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah perkosaan. Padahal, hal<br />

ini diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum akan hal tersebut. Oleh<br />

karena itu, diharapkan terdapat pengaturan mengenai hal ini dalam RKUHP,<br />

sebab setelah ditelaah dalam RKUHP terbaru kini pun tidak terdapat<br />

pengaturannya.<br />

<br />

Poin 7.2 Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul.<br />

Rekomendasi 7.2 Memperjelas ketentuan mengenai pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul dalam RKUHP<br />

Pasal 295 KUHP hanya mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul. Dalam rumusan pasal<br />

hanya kepada “…anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />

bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum<br />

dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan<br />

kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup<br />

umur, dengan orang lain…” sehingga perlu diperjelas dan diperluas<br />

ketentuan mengenai pihak-pihak yang menyebabkan atau mempermudan<br />

perbuatan cabul ini di dalam RKUHP.<br />

195


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KOMISI 2<br />

FORMIL<br />

<br />

Poin 8.1 Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan<br />

Kehakiman) penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berperspektif<br />

kepada korban.<br />

Rekomendasi<br />

8.1.1 Mengoptimalisasikan “Pendidikan Penanganan Kasus Kekerasan<br />

Seksual” kepada Aparat Penegak Hukum (APH).<br />

8.1.2 Penyesuaian kode etik bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang<br />

berperspektif kepada korban kekerasan seksual.<br />

8.1.3 Mengadakan revisi terhadap PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang<br />

Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia<br />

mengenai Sanksi, yang bertujuan untuk memperberat ancaman<br />

pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual.<br />

8.1.4 Mengoptimalisasikan penerapan PERKAP Nomor 10 Tahun 2007<br />

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan<br />

Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik<br />

Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan sosialisasi di<br />

seluruh wilayah Indonesia.<br />

Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks dan<br />

tidak mudah ditangani. Aparat penegak hukum membutuhkan perspektif<br />

yang luas dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkali<br />

hakim yang kurang berpengalaman terpengaruh oleh prejudicial evidence<br />

tentang karakter buruk si tersangka. Pada kasus sidang perkosaan, mereka<br />

dapat terpengaruh oleh karakter baik si pelaku perkosaan, sebaliknya,<br />

sekaligus mempersoalkan karakter buruk masa lalu atau kredibilitas<br />

korban. Diragukannya kredibilitas korban misalnya tampak dari ditelitinya<br />

secara berlebihan pesetujuan (consent) korban, aturan lajang-perawankorban,<br />

dan riwayat perilaku seksual sebelumnya. Perempuan lajang yang<br />

bukan perawan dipandang lebih mungkin menyatakan persetujuannya<br />

untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan lajang-perawan.<br />

Riwayat perilaku seksual sebelumnya juga menyulitkan pembuktian<br />

perkosaan korban dewasa yang telah saling mengenal sebelumnya<br />

(sehingga memicu tuduhan suka sama suka) ataupun perkosaan dengan<br />

korban anak-anak. Hal tersebut juga menyulitkan mereka yang kebetulan<br />

berprofesi sebagai pelacur, yang dianggap “kurang masuk akal” untuk tidak<br />

consent terhadap relasi seksual pasca-menerima uang jasa dari laki-laki<br />

yang menyetubuhinya. 15 Berkaca pada Amerika, ketentuan uji perilaku<br />

yang berat sebelah seperti itu telah dicabut tahun 1974-1975 di beberapa<br />

15 Ibid, hlm. 131.<br />

196


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

negara bagian, sehingga tidak diperbolehkan lagi mempertanyakan riwayat<br />

perilaku seksual korban sebelumnya. 16<br />

Kecenderungan yang ada juga menunjukkan bahwa korban seringkali<br />

cemas akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa, dan hakim),<br />

terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari<br />

kenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang<br />

dilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif dari mereka,<br />

misalnya: 17<br />

(a) Karena masalah tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yang<br />

berkenaan dengan domestic violence) dianggap sebagai masalah<br />

keluarga yang sebaiknya diselesaikan dalam keluarga saja.<br />

(b) Kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai tindak<br />

kekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan kepekaan personel<br />

kepada masalah yang dialami korban.<br />

(c) Ketiadaan prosedur baku yang dirancang untuk menangani perempuan<br />

yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga<br />

masih sangat bergantung kepada persepsi dan kemampuan individu<br />

petugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.<br />

(d) Terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal, kecuali<br />

kesaksian korban, sehingga upaya tindak lanjut menjadi sulit untuk<br />

dilakukan.<br />

Pada wawancara yang dilakukn oleh delegasi Universitas Indonesia<br />

dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta 18 , dalam<br />

pengalaman pendampingannya, menemukan banyak aparat kepolisian yang<br />

dalam menjalani proses penyidikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang<br />

diajukan cenderung victim blaming dan semakin menyudutkan korban.<br />

Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan hakim dalam salah satu<br />

kasus. 19<br />

Sebelum Anda disetubuhi apakah status Anda masih perawan?<br />

Sebelum Anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />

secara paksa, apakah Anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />

Setelah Saudara A selesai menyetubuhi Anda, dan Saudara A keluar<br />

dari kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha Anda untuk melarikan<br />

diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />

16 Ibid, hlm. 132.<br />

17 Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan, (Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan<br />

Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni, 2000), hlm. 90-91.<br />

18 Dikutip dari Makalah Delegasi Universitas Indonesia, Pelaksanaan Fungsi<br />

Penanganan Hukum terhadap Korban Kekerasan Seksual di Jakarta<br />

19 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis, Tanggal 19<br />

dan 21 April 1999,serta catatan persidangannya, dokumentasi LBH APIK Jakarta<br />

197


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Coba Anda jelaskan apakah persetubuhan antara Anda dengan<br />

Saudara A tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />

Sebelum Anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main ke<br />

rumah temannya tersebut, apakah Anda tidak merasa curiga<br />

sebelumnya?<br />

Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Apakah Anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />

sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya<br />

ketempat vagina Anda, dan apakah Anda ikut membantu<br />

memasukkannya?<br />

Apakah sewaktu Saudara H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />

vagina Anda, apakah Anda berusaha mengelakkannya?<br />

Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Penyidik : Setelah selesai persetubuhan apa tindakan atau reaksi<br />

Saudari S (bukan nama sebenarnya), jelaskan?<br />

Pelaku : Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />

melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />

muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />

dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />

Penyidik : Apakah persetubuhan yang Anda lakukan dengan Saudari S<br />

tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau, jelaskan?<br />

Pelaku : Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />

jawab untuk menikahinya.<br />

Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Peraturan Menteri<br />

Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permenneg<br />

PP&PA) Nomor 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />

berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi mereka<br />

yang sangat bias laki-laki. Karenanya mereka meragukan kebenaran<br />

pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segan-segan mengajukan<br />

pertanyaan-pertanyaan yang intinya melecehkan dan menyalahkan korban<br />

(victim blaming) juga menyudutkan korban sebagai pihak yang turut<br />

bertanggung jawab terhadap peristiwa perkosaan tersebut (victim<br />

participating). 20<br />

20 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />

Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan, dalam Perempuan<br />

Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta: Program Studi Kajian<br />

Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />

198


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pun setelah Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 diundangkan,<br />

penanganan polisi pada kasus kekerasan seksual, khususnya di Jakarta,<br />

masih mengalami kendala yang sama. Hal ini terrefleksikan pada contoh<br />

kasus yang ditangani oleh pendamping hukum korban UH di salah satu<br />

LBH perempuan di Jakarta sebagai berikut: 21<br />

Kasus perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />

oleh pelaku usia 25 tahun. Awal berhubungan dengan korban adalah ketika<br />

pendamping mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu di<br />

saat hari libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator<br />

divisi, pendamping datang ke Kantor Polres untuk mendampingi korban<br />

membuat laporan, visum, dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).<br />

Setelah mendampingi korban membuat laporan pada jam 10 pagi,<br />

pendamping langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam<br />

12 siang sampai jam 5 sore. Setelah visum jam 5 sore kembali lagi ke<br />

Kepolisian untuk BAP sampai jam 10 malam.<br />

“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena waktu itu<br />

libur jadi nggak bikin surat kuasa. Kami tetap mengenalkan diri sebagai<br />

pendamping dari LBH. Akhirnya dipersilahkan untuk membuat laporan<br />

kejadiannya kapan, 3 hari yang lalu. Kalau diperkosa 3 hari yang lalu itu<br />

sudah kelamaan. Anaknya takut mau ngaku dia baru berani cerita<br />

sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum. Laporan belum<br />

dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita visum di RSCM.<br />

Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat hasilnya, waktu itu harus<br />

didampingi polisi. Karena tidak bisa jalan sendiri. Setelah itu, langsung<br />

kembali lagi ke Polres. Setelah di Polres baru kita dibuatkan laporan.<br />

Setelah dibuat laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />

bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja karena<br />

selesai visum itu sudah jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya<br />

tunggu kondisi korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik. Loh<br />

biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi<br />

dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />

di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „Mbak, aku capek, gimana kalau<br />

besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik bisa nggak ditunda aja<br />

untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada pemeriksaan tambahan. Karena<br />

mereka memang awam hukum.”<br />

Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH, polisi<br />

memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dan<br />

menyudutkan korban, antara lain:<br />

21 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual terhadap<br />

Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />

199


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kamu melakukan ini sama-sama mau kan? (pendamping menjawab:<br />

bagaimana ini disebut sama-sama mau pak, dia masih kecil belum tahu<br />

baik buruk, sedangkan pelaku sudah dewasa jadi tidak ada mau sama<br />

mau, ini masuk unsur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak<br />

adanya bujuk rayu, tipu muslihat)<br />

Kok kamu gak teriak?<br />

Kok mau sih, kamu pacaran ya? (pendamping memprotes sikap polisi<br />

tersebut dengan mengatakan: Gimana sih, KANIT (kepala unit)-nya kan<br />

sudah sering berkoordinasi dengan LBH, kok anak buahnya begini ya<br />

nggak punya perspektif.”)<br />

Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah ketentuan<br />

dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan Permenneg<br />

PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />

1) Penerimaan Laporan Polisi: 22<br />

a. Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik<br />

melakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi<br />

dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas, untuk<br />

mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />

perkembangannya;<br />

b. Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />

mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter.<br />

2) Pada tahap penyidikan: 23<br />

a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />

keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban,<br />

penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara<br />

Pemeriksaan (BAP).<br />

“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />

jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />

korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />

Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />

kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya<br />

sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />

bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?”<br />

Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />

tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg<br />

PP&PA No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan<br />

korban untuk menjalani BAP di hari itu juga, padahal kondisi<br />

fisik korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan<br />

22 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik<br />

Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />

23 Ibid., hlm. 219.<br />

200


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tindak penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas<br />

hingga kondisi korban cukup sehat dan baik untuk menjalani<br />

wawancara pembuatan laporan polisi.<br />

3) Tata cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban: 24<br />

a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan dengan<br />

memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />

pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />

dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />

perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau<br />

korban yang diperiksa;<br />

tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau<br />

melecehkan yang diperiksa<br />

tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />

kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />

selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa memperhatikan<br />

situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan yang diperiksa.<br />

Dalam hal etika, ini diperlukan dengan adanya optimalisasi “Pendidikan<br />

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual” kepada aparat penegak hukum<br />

(APH). Selain itu, kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana<br />

mengenai tindak kekerasan perempuan untuk meningkatkan kepekaan<br />

personel kepada masalah yang dialami korban.<br />

Rekomendasi selanjutnya dapat pula diadakan penyesuaian kode etik<br />

bagi aparat penegak hukum (APH) yang berperspektif korban kekerasan<br />

seksual. Pengadaan dan pengoptimalisasian peraturan-peraturan yang ada<br />

juga diperlukan seperti mengadakan revisi terhadap Peraturan Pemerintah<br />

Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia mengenai sanksi dengan tujuan untuk<br />

memperberat ancaman pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan<br />

seksual. Selain itu, diperlukan pula pengoptimalisasian penerapan<br />

PERKAP Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan<br />

sosialisasi di seluruh wilayah Indonesia.<br />

<br />

Poin 8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual yang tidak<br />

memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur<br />

mengenai pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />

Rekomendasi<br />

ALAT BUKTI:<br />

24 Ibid., hlm. 221-222.<br />

201


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

8.2.1 Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan saksi dalam persidangan<br />

cukup satu orang saksi untuk melakukan pembuktian kasus yaitu<br />

saksi korban.<br />

8.2.2 Memasukkan unsur rekam psikologis sebagai alat bukti yang harus<br />

diperhitungkan oleh pihak kepolisian.<br />

Permasalahan terletak pada proses peradilan dalam kasus kekerasan<br />

seksual yang tidak memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.<br />

Dalam hal ini, diatur mengenai pengaturan alat bukti dan proses<br />

persidangan.<br />

Pada dasarnya, Indonesia menganut proses pembuktian hukum pidana<br />

bermetode negative wettelijke. Dalam metode ini, selain adanya alat-alat<br />

bukti sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan<br />

keterangan terdakwa, untuk menetapkan sanksi di sidang pengadilan masih<br />

juga diperlukan adanya keyakinan hakim. 25 Menurut Pasal 183 KUHAP,<br />

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali<br />

didapatkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah dan ia memperoleh<br />

keyakinan bahwa benar telah terjadi perkosaan dan terdakwalah yang<br />

melakukannya.<br />

Pada kasus perkosaan dan kekerasan seksual, umumnya tidak terdapat<br />

orang lain kecuali saksi korban, sehingga korban seringkali merupakan<br />

satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan kesaksian dalam<br />

rangka pembuktian perkosaan. Namun dalam prinsip hukum pidana,<br />

kesaksian terhadap diri sendiri paling lemah kedudukannya. 26 Oleh karena<br />

itu, kami mengajukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, keterangan<br />

saksi dalam persidangan cukup satu orang saksi untuk melakukan<br />

pembuktian kasus yaitu saksi korban. Hal ini didukung dengan keadaan di<br />

mana memang dalam kasus perkosaan biasanya hanya terdapat korban atau<br />

perempuan itu saja.<br />

Dalam meyakinkan hakim bahwa semua alat bukti sah yang<br />

mencangkup bukti-medik dan saksi-saksi berada pada tataran benar-benar<br />

meyakinkan juga bergantung pada upaya pihak Kepolisian RI dalam<br />

mengumpulkan dan memberkas bukti adanya perkosaan termasuk visum et<br />

repertum (VeR). 27 Bukti utama ideal lainnya dalam kasus perkosaan<br />

meliputi: 28<br />

a. Tanda persetubuhan antara pemerkosa dan korban.<br />

b. Tanda kekerasan pada tubuh korban sebagai perlawanan terhadap<br />

perbuatan pelaku.<br />

25 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184.<br />

26 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 129.<br />

27 Prof. Agus Purwadianto, Op.Cit., hlm. 106.<br />

28 Ibid, hlm. 108-109.<br />

202


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

c. Tanda gangguan kejiwaan korban akibat ancaman, kekerasan atau<br />

perbuatan pelaku<br />

d. Anamnesis 29 terhadap korban yang sesuai.<br />

e. Bukti koroborasi langsung diperoleh dari korban yang sesuai. 30<br />

f. Bukti pelengkap yang diperoleh oleh saksi-saksi selain korban.<br />

Dalam keprihatinan proses penegakan hukum, sisi pembuktian<br />

perkosaan banyak merugikan korban. Hukum positif tentang perkosaan<br />

sebagai salah satu produk budaya dan sistem masyarakat ini masih<br />

memojokkan korban karena limitatif mendefinisikan perkosaan sebagai<br />

“masuknya penis pelaku ke vagina korban (yang bukan istrinya) secara<br />

ancaman paksaan atau berkekerasan”. Unsur-unsur delik pidananya sulit<br />

ditegakkan akibat ketiadaan atau kekurang-akuratan bukti medik (yang<br />

diperoleh dari tubuh korban atau pelaku) dan/atau benda bukti biologis<br />

(benda yang berasal dari unsur tubuh manusia yang diperoleh dari tempat<br />

kejadian perkara). 31<br />

Dokter pemeriksa, pada akhirnya akan memberikan laporan tertulis atas<br />

permintaan penyidik dalam bentuk sertifikasi korban yang disebut visum et<br />

repertum (VeR). Pada “Bagian Pemberitaan” dan “Kesimpulan” VeR<br />

setidaknya memberikan informasi tentang: persetubuhan lama (di masa<br />

lalu) atau baru, adanya perlakuan yang menunjukkan adanya perlawanan<br />

dan pertahanan korban. Juga tentang ada atau tidaknya pengaruh obat atau<br />

zat terlarang lain, tentang perlukaan di daerah genitalis (termasuk kondisi<br />

atau keutuhan selaput dara), usia korban, dan lain-lain. Namun seringkali<br />

dokter pemeriksa tidak dapat menyimpulkan secara tegas kebenaran<br />

persetubuhan, sehingga pendapat subjektifnya atas dasar objektivitas<br />

“Bagian Pemberitaan” VeR yang disimpulkannya hanya berisi tentang<br />

kemungkinan persetubuhan. 32<br />

Selain pada tubuh korban, perlu diperiksa bukti biomedik korban pada<br />

pelaku, yaitu tanda persetubuhan berupa sel epitel vagina korban pada<br />

penis pelaku (baik perorangan atau kelompok). Termasuk adanya epitel<br />

kulit pelaku pada kuku korban yang dapat dianalisis DNA-nya untuk<br />

menentukan pelaku. 33<br />

29<br />

Menurut Kamus Besar Bahasa IIndonesia, anamnesis adalah 1) Istilah<br />

Psikologi untuk keterangan tentang kehidupan seseorang yang diperoleh melalui<br />

wawancara dan sebagainya, 2) Dokumen riwayat orang sakit dan penyakitnya pada<br />

masa lampau.<br />

30 Bukti koroborasi berupa bukti-medik seperti benda biologis korban pada<br />

benda-benda di TKP, baik bukti persetubuhan maupun perlawanan korban.<br />

Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 109.<br />

31 Ibid., hlm. 5.<br />

32 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 133.<br />

33 Ibid, hlm. 110.<br />

203


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Selain itu, terdapat bukti psikologis yang dapat dijadikan bukti tetapi<br />

tidak dijadikan pertimbangan yang kuat oleh hakim. Padahal bukti<br />

psikologis yang dianalisis oleh psikiater atau psikolog dapat<br />

mendeskripsikan sindrom trauma pascaperkosaan (Post Traumatic Rape<br />

Syndrome atauPTRS) sebagai bagian dari PTSD (Post Traumatic Stress<br />

Disorder). Kesaksian yang mengandalkan sindrom ini harus diperlakukan<br />

hati-hati dengan maksud baik dan harus melindungi pelaku terhadap<br />

tuduhan atau fitnahan korban. Keberlakuan sindrom PTSD tadi sebagai<br />

bukti di pengadilan dianggap memenuhi syarat pada kondisi sebagai<br />

berikut:<br />

1. Ketiadaan persetujuan korban.<br />

2. Beratnya kerusakan tubuh korban ditinjau dari perkara perdatanya.<br />

3. Pembelaan terhadap perilaku jahat korban.<br />

4. Penjelasan terhadap perilaku korban yang inkonsisten dengan<br />

pengaduan perkosaannya.<br />

Dan dapat dianggap sebagai bukti ilmiah dan diterima peradilan bila<br />

memenuhi hal-hal sebagai berikut:<br />

1. Bukti yang ditunjukkan sesuai dengan reaksi khas terhadap perkosaan<br />

dan tak boleh membuat penyimpulan hukum bahwa “korban telah<br />

diperkosa”.<br />

2. Saksi ahli benar-benar di bidangnya.<br />

3. Ada alas dasar yang cukup.<br />

4. Diperbolehkan pemeriksaan silang terhadap saksi ahli lainnya secara<br />

bebas.<br />

5. Dapat mempertahankan argumen kesaksian ahlinya tentang sindroma<br />

tersebut terhadap upaya pebelaan terdakwa oleh pihak mereka.<br />

PERSIDANGAN:<br />

8.2.3 Pada saat pemeriksaan saksi korban di pengadilan, terdakwa harus<br />

dikeluarkan dari ruang sidang.<br />

8.2.4 Selama proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak<br />

didampingi oleh pendamping.<br />

8.2.5 Mengusulkan agar poin 2.3 dan 2.4 dituangkan dalam Peraturan<br />

Mahkamah Agung (PERMA).<br />

Kemudian pada tahapan persidangan, pada saat pemeriksaan saksi<br />

korban di pengadilan, terdakwa harus dikeluarkan dari ruang sidang. Hal<br />

ini memang sering dilakukan oleh hakim-hakim yang biasanya telah<br />

berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan seksual. Atau selama<br />

persidangan, korban yang dikeluarkan dari ruang persidangan. Hal-hal<br />

seperti ini dilakukan untuk mempermudah proses pembuktian dan<br />

pengambilan keterangan serta untuk tidak membuat korban merasa<br />

semakin tertekan karena berhadapan dengan terdakwa. Selain itu, selama<br />

204


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak didampingi oleh<br />

pendamping.<br />

KOMISI 3<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

Poin 9.1 Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />

menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />

Rekomendasi 9.1 Merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />

pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />

pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />

Permasalahan pertama terletak pada pemberitaan tentang kasus<br />

kekerasan seksual yang menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh para<br />

pers. Dalam hal ini direkomendasikan kepada Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />

pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />

pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />

<br />

Poin 9.2 Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan seksual yang<br />

dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP tentang penanganan<br />

korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010.<br />

Rekomendasi 9.2 Melakukan sosialisasi kembali terhadap Peraturan<br />

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun<br />

2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP yang terkandung<br />

dalam aturan tersebut.<br />

Permasalahan berikutnya adalah tidak sesuainya penanganan kasus<br />

kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP<br />

tentang penanganan korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam<br />

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Nomor 1 Tahun 2010. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi kembali<br />

terhadap Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />

Anak Nomor 1 Tahun 2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP<br />

yang terkandung dalam aturan tersebut. Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengeluarkan<br />

Peraturan Menteri Negara Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standard<br />

Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak<br />

Korban Kekerasan yang dimaksudkan untuk menjadi standar atau pun<br />

panduan dalam menyelenggarakan layanan perlindungan terhadap<br />

perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Menurut Permenneg<br />

205


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tersebut, layanan bagi korban kekerasan baik anak maupun perempuan<br />

diberikan oleh pemerintah dan masyarakat.<br />

Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

Nama Layanan<br />

Pengembang<br />

Pusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan Terpadu Departemen<br />

(PPT) di Rumah Sakit (RS) Umum Vertikal, RS Umum Kesehatan dan<br />

Daerah, RS Kepolisian, dan RS Swasta<br />

Kepolisan<br />

Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)<br />

Kepolisian<br />

Negara Republik<br />

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Anak (P2TP2A)<br />

Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC)<br />

Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)<br />

Indonesia<br />

Kementerian<br />

Negara<br />

Pemberdayaan<br />

Perempuan<br />

Departemen<br />

Sosial<br />

Departemen<br />

Sosial<br />

Departemen<br />

Agama<br />

Kementerian Luar<br />

Negeri<br />

Masyarakat<br />

Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian<br />

Perkawinan (BP4)<br />

Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di<br />

luar negeri<br />

LSM Women Crisis Center<br />

Tabel 2: Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

Menurut SPM<br />

Untuk mengoptimalkan berbagai upaya yang dilakukan oleh lembagalembaga<br />

di atas, pemerintah juga melakukan pengembangan kapasitas SDM<br />

penyelenggara layanan dan kebijakan-kebijakan pendukung yang dilakukan<br />

oleh Kementerian Kesehatan, berupa:<br />

1) Pelatihan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak<br />

untuk dokter/petugas medis Rumah Sakit<br />

2) Penyusunan Pedoman Pelayanan Korban Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan (KtP) dan Anak (KtA) di Rumah Sakit<br />

3) Penyusunan Pedoman Rujukan Korban Kekerasan Terhadap Anak<br />

untuk Petugas Kesehatan<br />

4) Penyusunan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap<br />

Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar<br />

5) Penyusunan Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana<br />

Kasus KtP/A<br />

Bentuk-bentuk layanan yang diberikan melalui upaya-upaya di atas,<br />

antara lain berupa pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, misalnya dalam<br />

206


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bentuk penyediaan shelter (tempat), bantuan hukum, rehabilitasi sosial,<br />

pemulangan, dan reintegrasi korban. Namun, ketersediaan layanan ini di<br />

masing-masing tempat masih berbeda dan belum memiliki acuan tentang<br />

Standar Pelayanan Minimal yang harus disediakan oleh masing-masing<br />

lembaga penyelenggara layanan bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan.<br />

Sedangkan LSM memiliki program penghapusan eksploitasi seksual<br />

anak, termasuk bagi korban perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukan<br />

lembaga tersebut mulai dari pendampingan korban, menyediakan shelter<br />

untuk korban, pendidikan masyarakat, pendidikan kesehatan reproduksi<br />

remaja, kampanye antitrafiking, kajian, dan advokasi peraturan daerah<br />

tentang perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan<br />

termasuk di antaranya perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Tim<br />

Penggerak PKK juga telah melakukan kegiatan pelayanan berbasis<br />

masyarakat dalam membantu pencegahan terjadinya kekerasan, termasuk<br />

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang.<br />

<br />

Poin 9.3 Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk menangani korban<br />

kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />

kabupaten/kota.<br />

Rekomendasi<br />

9.3.1 Menyesuaikan jumlah tenaga terampil agar sebanding dengan jumlah<br />

kasus yang ada di provinsi tersebut.<br />

9.3.2 Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai jumlah<br />

kasus kekerasan seksual.<br />

Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani korban<br />

kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />

kabupaten/kota ini juga menjadi permasalahan lain. Dengan begitu<br />

memang dibutuhkan penyesuaian jumlah tenaga terampil agar sebanding<br />

dengan jumlah kasus yang ada di provinsi tersebut. Hal ini diperlukan<br />

untuk memaksimalkan penanganan terhadap korban kasus kekerasan<br />

seksual. Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai<br />

jumlah kasus kekerasan seksual, agar dapat dilakukan pemantauan terhadap<br />

bagaimana kasus ini berkembang di masyarakat dan dapat diketahui<br />

bagaimana hasil dari upaya pemberantasan kekerasan seksual ini.<br />

<br />

Poin 9.4 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik<br />

untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti<br />

yang valid.<br />

Rekomendasi 9.4 Menjamin akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensik.<br />

207


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik untuk<br />

mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid juga merupakan permasalahan penting dalam hal ini. Sehingga perlu<br />

adanya jaminan mengenai akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensic<br />

<br />

Poin 9.5.1 Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali korban kekerasan<br />

seksual karena dianggap sebagai aib dalam komunitasnya.<br />

Poin 9.5.2 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter<br />

forensik untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat<br />

bukti yang valid.<br />

Rekomendasi 9.5 Asistensi pemerintah dalam peningkatan partisipasi<br />

masyarakat dalam reintegrasi korban kekerasan seksual.<br />

Salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi oleh korban<br />

kekerasan seksual adalah pada saat dirinya sudah kembali terjun di<br />

lingkungan masyarakat. Dimana pada umumnya, korban akan merasa<br />

menjadi aib bagi lingkungan sekitarnya dikarenakan masyarakat sulit untuk<br />

menerima kembali status dirinya sekarang. Padahal, lingkungan sekitar<br />

memiliki peran besar bagi kembalinya kepercayaan diri seorang korban.<br />

Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya terkait perubahan pola pikir<br />

masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.<br />

Selain kesulitan yang dihadapinya dalam masyarakat, korban<br />

dihadapkan kembali dalam berbagai hambatan dalam memperjuangkan<br />

hak-haknya terutama jika mereka berhadapan dengan institusi penegak<br />

hukum atau aparat penegak hukum. Seringkali di tingkat penuntutan, jaksa<br />

selalu kesulitan untuk melimpahkan kasus kekerasan seksual ke pengadilan<br />

(P21) karena selalu alasan saksi yang melihat atau mengetahui secara<br />

langsung, sangat kaku, dan selalu memojokkan korban. Akibatnya jaksa<br />

selalu mengembalikan berkas dengan alasan tidak cukup bukti. Untuk itu,<br />

sangat penting mendapatkan visum et repertum sebagai alat bukti yang<br />

valid, namun kembali korban mengalami kendala pada sulitnya akses<br />

terhadap dokter forensik.<br />

Berangkat dari pemaparan yang sudah dijabarkan di atas, asistensi<br />

terhadap pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam<br />

reintegrasi korban kekerasan seksual menjadi sangat penting agar terjadi<br />

kesatuan untuk sama-sama melindungi hak-hak para korban kekerasan<br />

seksual.<br />

<br />

Poin 9.6 Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum kepada korban<br />

kekerasan seksual mengenai keberadaan lembaga yang bergerak di bidang<br />

pemulihan korban kekerasan seksual.<br />

Rekomendasi 9.6 Dalam proses peradilan penanganan kasus kekerasan<br />

seksual, aparat penegak hukum harus menjamin bahwa korban mengetahui<br />

208


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keberadaan lembaga yang bergerak dalam bidang pemulihan korban<br />

kekerasan seksual<br />

Setiap orang yang mengalami tindak kekerasan, apalagi secara seksual,<br />

pasti merasa malu dan takut untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.<br />

Kondisi dimana korban menjadi tertutup dikarenakan trauma yang<br />

dialaminya semakin menyulitkan institusi penegak hukum untuk<br />

membongkar kasus kekerasan seksual. Untuk itu, pendampingan dari<br />

psikiater atau lembaga yang bergerak di bidang pemulihan korban<br />

kekerasan seksual sangatlah dibutuhkan. Namun seringkali informasi<br />

tersebut tidak diketahui secara memadai oleh korban sehingga korban<br />

menjadi kembali takut dan keterangan dari korban tidak diperoleh secara<br />

utuh. Dengan demikian, menjadi suatu hal yang wajib bagi aparat penegak<br />

hukum untuk menjamin bahwa korban mengetahui keberadaan lembaga<br />

yang bergerak dalam bidang pemulihan korban kekerasan seksual,<br />

sehingga dapat membantu korban selama proses peradilan<br />

Dampak yang terjadi pada korban kekerasan seksual seringkali luput<br />

dari perhatian serius masyarakat. Dampak tersebut diderita korban pada<br />

saat perkosaan dan berlanjut berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan<br />

sepanjang sisa hidupnya. 34 Dampak perkosaan bisa lebih buruk apabila<br />

tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, disalahkan,<br />

korban adalah seorang anak, dan pelaku perkosaan lebih dari satu orang.<br />

Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />

seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />

antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis,<br />

dampak fisik, dan dampak dalam jangka panjang.<br />

Dampak langsung pada korban biasanya terkejut yaitu tubuh mendingin,<br />

mental yang bingung, menjadi lemah, kehilangan orientasi, gemetaran dan<br />

mual, terkadang muntah, menyangkal apa yang terjadi, menangis, dan<br />

menarik diri.<br />

Dampak perilaku juga terjadi pada korban yaitu sulit konsentrasi,<br />

mudah takut atau kaget dari biasanya, bermasalah dalam hubungan dengan<br />

pasangan, mengalami masalah seksual, meningkatnya konsumsi alkohol,<br />

rokok, dan obat-obatan, sering mencuci diri atau mandi berkali-kali dan<br />

berlama-lama.<br />

Dampak psikologis biasanya pikiran dan perasaan yang terganggu,<br />

kilas-balik, amnesia psikologis, hilangnya perasaan emosi tertentu, berpikir<br />

bunuh diri, mudah marah atau pemarah, merasa malu dan terhina, perasaan<br />

bersalah dan menyalahkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atau<br />

terjadinya perkosaan, perasaan yang berbeda atau jauh dari orang lain,<br />

34 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 116.<br />

209


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perasaan tidak berdaya dan tidak kuasa hilangnya harga diri, hilangnya<br />

kepercayaan diri, dan merasa kurang dari orang lain. 35<br />

Dampak fisik antara lain sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit<br />

ketika berhubungan seksual, luka pada bibir atau dagu, luka, infeksi, atau<br />

penyakit pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, kemungkinan tidak<br />

dapat melahirkan anak, dan infeksi pada panggul. 36<br />

Efek dari perkosaan dalam jangka panjang adalah korban tidak pernah<br />

lupa tetapi belajar untuk bernegosiasi dengan ingatannya, sehingga<br />

dibutuhkan konseling untuk bicara tentang pengalamannya. Korban juga<br />

mengalami masalah kejiwaan, yaitu ketidakmampuan mempercayai orang<br />

lain, perfeksionisme, fobia, menghindari keintiman emosional dan ikatan,<br />

tidak percaya pada indra sendiri, bahkan dapat membela pelaku perkosaan<br />

(membenci untuk mencintai), memiliki masalah pengasuhan, mencemaskan<br />

figur yang memiliki otoritas, banyak mengacaukan hubungan seks, kasih<br />

sayang, dan cinta dengan kontrol dan kekuasaan. 37<br />

Di samping itu, ada pula dampak dari segi pendidikan dan ekonomi<br />

terhadap korban. Banyak kasus yang mempengaruhi laju seseorang dalam<br />

jenjang pendidikannya yang sangat mempengaruhi masa depan korban<br />

terutama mengenai aspek kehidupan ekonominya. 38<br />

Dapat dikatakan, penderitaan korban dapat terjadi sebelum, selama, dan<br />

setelah sidang pengadilan. 39 Dengan terbongkarnya suatu kasus perkosaan,<br />

penderitaan korban baru dimulai. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan<br />

penyidik yang kadang memojokkan dirinya atau semakin mengingatkan<br />

pada peristiwa buruk yang ia alami. Hal itu berlanjut di sidang pengadilan<br />

di mana proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaanpertanyaan<br />

yang diajukan pembela terdakwa malah seakan menjadikannya<br />

sebagai “tertuduh”. Penderitaan itu semakin sempurna ketika pengadilan<br />

tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanya<br />

menghukumnya dengan hukuman yang sangat ringan (sering terjadi<br />

pengadilan menghukum pemerkosa dengan beberapa bulan penjara). 40 Hal<br />

tersebut terjadi dalam proses hukum YF, korban pelecehan seksual oleh<br />

empat orang petugas Transjakarta pada awal tahun 2014.<br />

<br />

Poin 9.7 Beberapa daerah belum memiliki rumah aman (shelter) bagi<br />

korban kekerasan seksual dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan.<br />

Selain itu, terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki shelter, namun<br />

belum dipergunakan sebagaimana mestinya.<br />

35 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Apakah Perkosaan Itu?, (Jurnal<br />

Perempuan Edisi 71: Perkosaan dan Kekuasaan, 2011), hlm 116.<br />

36 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />

37 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Op. Cit., hlm. 116.<br />

38 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />

39 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 6.<br />

40 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 42-43.<br />

210


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 9.7 Harus adanya pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga<br />

yang memiliki fungsi rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual dan<br />

harus dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum<br />

Permasalahan lainnya yang harus segera dibenahi adalah mengenai<br />

pentingnya ketersediaan rumah aman (shelter) bagi korban kekerasan<br />

seksual. Terhadap hal itu, beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />

(shelter) dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Untuk daerah yang<br />

sudah memiliki rumah aman (shelter) pun belum dipergunakan secara<br />

optimal dan sebagaimana semestinya. Sehingga menjadi penting untuk<br />

diadakan pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga yang memiliki fungsi<br />

rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual, serta harus<br />

dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum.<br />

<br />

Poin 9.8 Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang belum<br />

mengakomodasi restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual.<br />

Rekomendasi 9.8 Restitusi dan kompensasi harus diakomodir dalam surat<br />

dakwaan.<br />

Seringkali, dalam penjatuhan pidana bagi pelaku tindak kekerasan<br />

seksual yang diutamakan sebagai bentuk tanggung jawab dari perbuatan<br />

yang dilakukannya adalah dengan dipenjara sekian tahun. Korban hanya<br />

dapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukuman<br />

yang diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yang<br />

bersifat inkracht dari pengadilan, korban seringkali dikembalikan pada<br />

orang tuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, seperti<br />

melakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik) dan visum sebagaimana<br />

yang dijelaskan pada poin atas, korban dibebani biaya sendiri. Dalam hal<br />

ini, korban tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupun<br />

kompensasi dan bantuan hukum lainnya sehingga hak korban untuk<br />

mendapatkan restitusi dan kompensasi perlu diakomodir dalam surat<br />

dakwaan.<br />

211


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

SUSUNAN KEPANITIAAN<br />

SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

Pembina : Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.<br />

Dekan Fakultas Hukum Universitas<br />

Indonesia<br />

Penasehat : Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />

Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Penanggungjawab : Gery Fathurrachman<br />

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />

Hukum Universitas Indonesia<br />

Panitia Pengarah<br />

(Steering Committee)<br />

: Fadel Muhammad<br />

Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

R. M. Agung Putranto<br />

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Dion Valerian<br />

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Ketua Pelaksana : Florianti Kurnia Sjaaf<br />

Wakil Ketua Pelaksana : Kharisma Bintang Alghazy<br />

Sekretaris 1 : Miranti Verdiana<br />

Sekretaris 2 : Rininta Sharfina<br />

Bendahara Internal : Rr. Dwi Setyani Hanindita<br />

Bendahara Eksternal : Anesha Gita Ardelia<br />

Divisi Sponsorhip<br />

Penanggungjawab : Nadia Theodora<br />

Wakil Penanggungjawab : Ristia Delasari<br />

Divisi Dana Usaha<br />

Penanggungjawab : Ratu Gita<br />

Wakil Penanggungjawab : Wita Risanti<br />

Bidang I<br />

Koordinator Bidang : Annisa Essanda Gunawan<br />

Divisi Materi dan Acara :<br />

Penanggungjawab : Fadhil Muhammad Indrapraja<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Rifki Maulana<br />

212


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Bella Nathania<br />

Wakil Penanggungjawab 3 : Dysan Aufar<br />

Wakil Penanggungjawab 4 : Dita Anggraeni<br />

Divisi Ceremony<br />

Penanggungjawab : Muhammad Yusuf Rashidi<br />

Wakil Penanggungjawab : Ivan Dwi Anugrah<br />

Divisi Simposium<br />

Penanggungjawab : Mutiara Zahroh<br />

Wakil Penanggungjawab : Aszmar Haliem<br />

Divisi Output<br />

Penanggungjawab : Kristi Ardiana<br />

Wakil Penanggungjawab : Aris Dzilhamsyah<br />

Divisi Liaison Officer (LO)<br />

Penanggungjawab : Tasha Kartika<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Irfan Hielmy<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Putri Rizka<br />

Divisi Registrasi dan Verifikasi<br />

Penanggungjawab : Nadhilah Rosa<br />

Wakil Penanggungjawab : Nadia Maulida<br />

:<br />

Bidang II<br />

Koordinator Bidang : Nabila Satira<br />

Divisi Humas dan Publikasi<br />

Penanggungjawab : Dhianti Afifah<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Angela Vania<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Salomo Harvard<br />

Divisi Media Partner<br />

Penanggungjawab : Nissa Azzahra<br />

Wakil Penanggungjawab : Ratna Juwita<br />

Divisi Desain dan Produksi<br />

Penanggungjawab : Adrianus Eryan<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Asha Alifa<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Christofer Ruminsar<br />

Divisi Dokumentasi<br />

Penanggungjawab : Nadya Radhisya<br />

Wakil Penanggungjawab : Rena Restriana<br />

213


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Bidang III<br />

Koordinator Bidang : Christopher Imantaka<br />

Divisi Perizinan<br />

Penanggungjawab : Rizqi Robbani Hanif<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Stanley Armando<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Fathia Notarina<br />

Divisi Perlengkapan<br />

Penanggungjawab : Adipa Rizky Putra<br />

Wakil Penanggungjawab : Dewangga Dennis<br />

Divisi Transportasi<br />

Penanggungjawab : Revino Vaditra<br />

Wakil Penanggungjawab : Prabowo Rizky<br />

Divisi K3<br />

Penanggungjawab : Adirizal Dito<br />

Wakil Penanggungjawab : Mario Bimo<br />

Divisi Akomodasi<br />

Penanggungjawab : Aditya Brahma<br />

Wakil Penanggungjawab : Marbuhal Silitonga<br />

Divisi Konsumsi<br />

Penanggungjawab : Anbiya<br />

Wakil Penanggungjawab : Camelia Wulandari<br />

214


215<br />

Simposium Hukum Nasional 2014

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!