08_208Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis ... - Kalbe
08_208Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis ... - Kalbe
08_208Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis ... - Kalbe
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Diagnosis <strong>dan</strong> <strong>Penatalaksanaan</strong><br />
<strong>Spondilitis</strong> Tuberkulosis<br />
Zuwanda * , Raka Janitra **<br />
*Dokter Umum di Jakarta, **Dokter Umum di Atambua, Nusa Tenggara Timur<br />
ABSTRAK<br />
<strong>Spondilitis</strong> tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang. <strong>Spondilitis</strong> tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit<br />
yang relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana<br />
deformitas kifosis <strong>dan</strong> kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel. Pemberian obat anti-tuberkulosis adalah pilihan pengobatan awal yang<br />
terbaik pada fase awal. Pembedahan pada spondilitis tuberkulosis dilakukan hanya pada kasus melanjut, dengan variasi teknik yang beragam,<br />
bergantung pada jenis kasus yang didapatkan. Pembedahan anterior dengan instrumentasi adalah teknik yang paling sering dilakukan <strong>dan</strong><br />
dikaji. Namun, karena diagnosis dini spondilitis tuberkulosis yang sulit, maka pembedahan tetap merupakan penatalaksanaan yang umum.<br />
Kata kunci: tuberkulosis, spondilitis, anti-tuberkulosis, kifosis, instrumentasi, pembedahan anterior<br />
ABSTRACT<br />
Tuberculous spondylitis is M. tuberculosis infection of the spine; its clinical course is relatively indolent. Patient frequently diagnosed at late<br />
phase with irreversible kyphosis and neurological deficit. Oral anti tuberculosis agents are treatment of choice at early phase; surgery is reserved<br />
for advanced cases with various techniques. Anterior approach with instrumentation is the most common procedure. Zuwanda, Raka Janitra.<br />
Diganosis and management of tuberculous spondylitis.<br />
Key words:<br />
PENDAHULUAN<br />
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa<br />
disebut sebagai spondilitis tuberkulosis (TB),<br />
sangat berpotensi menyebabkan morbiditas<br />
serius, termasuk defisit neurologis <strong>dan</strong><br />
deformitas tulang belakang yang permanen,<br />
oleh karena itu diagnosis dini sangatlah<br />
penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit<br />
ditegakkan <strong>dan</strong> sering disalahartikan sebagai<br />
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik<br />
lainnya. 1 Diagnosis biasanya baru dapat<br />
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah<br />
terjadi deformitas tulang belakang yang berat<br />
<strong>dan</strong> defisit neurologis yang bermakna seperti<br />
paraplegia. 2,3<br />
Indonesia menempati peringkat ketiga<br />
setelah India <strong>dan</strong> China sebagai negara<br />
dengan populasi penderita TB terbanyak. 4<br />
Setidaknya hingga 20 persen penderita<br />
TB paru akan mengalami penyebaran TB<br />
ekstraparu. 5 TB ekstraparu dapat berupa TB<br />
otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit,<br />
getah bening, osteoartikular, <strong>dan</strong> endometrial.<br />
Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB<br />
osteoartikular, <strong>dan</strong> kurang lebih setengah<br />
penderita TB osteoartikular mengalami infeksi<br />
TB tulang belakang. 6<br />
Tata laksana spondilitis TB secara umum<br />
adalah kemoterapi dengan Obat Anti<br />
Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, <strong>dan</strong> intervensi<br />
bedah ortopedi/ saraf. Berbagai penelitian<br />
telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas<br />
pendekatan penanganan spondilitis TB dengan<br />
hasil <strong>dan</strong> rekomendasi yang beragam.<br />
EPIDEMIOLOGI<br />
Pada tahun 2005, World Health Organization<br />
(WHO) memperkirakan bahwa jumlah<br />
kasus TB baru terbesar terdapat di Asia<br />
Tenggara (34 persen insiden TB secara global)<br />
termasuk Indonesia. 4 Jumlah penderita<br />
diperkirakan akan terus meningkat seiring<br />
dengan meningkatnya jumlah penderita<br />
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)<br />
oleh infeksi human immunodeficiency virus<br />
(HIV). Satu hingga lima persen penderita TB,<br />
mengalami TB osteoartikular. 1,7,8 Separuh dari<br />
TB osteoartikular adalah spondilitis TB. 6,8<br />
Di negara berkembang, penderita TB usia<br />
muda diketahui lebih rentan terhadap<br />
spondilitis TB daripada usia tua. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
di negara maju, usia munculnya spondilitis<br />
TB biasanya pada dekade kelima hingga<br />
keenam. 9 TB osteoartikular banyak ditemukan<br />
pada penderita dengan HIV positif, imigran<br />
dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi,<br />
usia tua, anak usia dibawah 15 tahun <strong>dan</strong><br />
kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada<br />
pasien-pasien HIV positif, insiden TB diketahui<br />
500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang<br />
Alamat korespondensi<br />
email: aminkmink87@gmail.com<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
661
TINJAUAN PUSTAKA<br />
HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 – 50 persen<br />
kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV<br />
positif. 10<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Patologi TB paru<br />
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk<br />
melalui saluran napas <strong>dan</strong> akan menimbulkan<br />
fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini<br />
disebut fokus primer (fokus Ghon). Kuman<br />
kemudian akan menyebar secara limfogen<br />
<strong>dan</strong> menyebabkan terjadinya limfangitis lokal<br />
<strong>dan</strong> limfadenitis regional. Gabungan dari<br />
fokus primer, limfangitis lokal <strong>dan</strong> limfadenitis<br />
regional disebut sebagai kompleks primer. Jika<br />
sistem imun penderita tidak cukup kompeten<br />
infeksi akan menyebar secara hematogen/<br />
limfogen <strong>dan</strong> bersarang di seluruh tubuh<br />
mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital,<br />
kulit, getah bening, osteoartikular, hingga<br />
endometrial. 11,12<br />
Patologi spondilitis TB<br />
<strong>Spondilitis</strong> TB dapat terjadi akibat penyebaran<br />
secara hematogen/limfogen melalui nodus<br />
limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis<br />
di luar tulang belakang yang sebelumnya<br />
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi<br />
biasanya berasal dari fokus primer di paru,<br />
se<strong>dan</strong>gkan pada orang dewasa berasal dari<br />
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). 12<br />
Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke<br />
tulang belakang melalui pleksus venosus<br />
paravertebral Batson. 8<br />
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang<br />
dimulai dengan inflamasi paradiskus. Setelah<br />
tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema<br />
sumsum tulang belakang <strong>dan</strong> osteoporosis<br />
terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi<br />
akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang<br />
menjadi lunak <strong>dan</strong> gepeng terjadi akibat<br />
gaya gravitasi <strong>dan</strong> tarikan otot torakolumbal.<br />
Selanjutnya, destruksi tulang diperberat<br />
oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli,<br />
periarteritis, endarteritis. Karena transmisi<br />
beban gravitasi pada vertebra torakal lebih<br />
terletak pada setengah bagian anterior ba<strong>dan</strong><br />
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak<br />
ditemukan pada bagian anterior ba<strong>dan</strong><br />
vertebra sehingga ba<strong>dan</strong> vertebra bagian<br />
anterior menjadi lebih pipih daripada bagian<br />
posterior. 8 Resultan dari hal-hal tersebut<br />
mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas<br />
kifotik inilah yang sering disebut sebagai<br />
gibbus (gambar 1).<br />
Gambar 1 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior<br />
tulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik<br />
vertebra. 13<br />
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah<br />
vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian<br />
dari ba<strong>dan</strong> vertebra yang hilang, <strong>dan</strong> segmen<br />
tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal<br />
lebih sering mengalami deformitas kifotik. 14<br />
Pada vertebra servikal <strong>dan</strong> lumbal, transmisi<br />
beban lebih terletak pada setengah bagian<br />
posterior ba<strong>dan</strong> vertebra sehingga bila<br />
segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis<br />
fisiologis dari vertebra servikal <strong>dan</strong> lumbal<br />
perlahan-lahan akan menghilang <strong>dan</strong> mulai<br />
menjadi kifosis. 15<br />
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto<br />
Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra torakal<br />
terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB,<br />
diikuti dengan vertebra lumbal, <strong>dan</strong> yang<br />
terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh<br />
persen penderita mengalami lesi di dua hingga<br />
empat ba<strong>dan</strong> vertebra dengan rata-rata 2.51. 10<br />
Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak<br />
terjadi pada vertebra torakal bagian bawah<br />
<strong>dan</strong> lumbal bagian atas, khususnya torakal<br />
12 <strong>dan</strong> lumbal 1, pada anak-anak spondilitis<br />
TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal<br />
bagian atas. 16,17<br />
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah<br />
menyebar ke otot psoas (disebut juga abses<br />
psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess<br />
dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi<br />
<strong>dan</strong> eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini<br />
sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi<br />
kaseosa, debris tulang, <strong>dan</strong> tuberkel basil. 8<br />
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah<br />
dengan tekanan terendah hingga kemudian<br />
membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga<br />
di bawah ligamentum inguinal atau regio<br />
gluteal. 12<br />
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih<br />
dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut<br />
sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau<br />
“skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap<br />
merupakan penyebaran dari lesi secara<br />
hematogen melalui pleksus venosus Batson<br />
dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens<br />
spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada<br />
16 persen kasus spondilitis TB. 18<br />
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural<br />
medula spinalis <strong>dan</strong> radiks terjadi akibat<br />
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan<br />
kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)<br />
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan<br />
granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena<br />
spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural<br />
atau 7) invasi duramater secara langsung.<br />
Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga<br />
terjadi secara intradural melalui meningitis<br />
<strong>dan</strong> tuberkulomata sebagai space occupying<br />
lesion. 9,10<br />
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis<br />
TB dengan defisit neurologis <strong>dan</strong> tanpa<br />
defisit neurologis, maka defisit biasanya<br />
terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal.<br />
Defisit neurologis <strong>dan</strong> deformitas kifotik<br />
lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat<br />
pada vertebra lumbalis. 19 Penjelasan yang<br />
mungkin mengenai hal ini antara lain: 1)<br />
Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri<br />
utama yang mendarahi medula spinalis<br />
segmen torakolumbal paling sering terdapat<br />
pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi<br />
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan<br />
kerusakan saraf <strong>dan</strong> paraplegia. 2) Diameter<br />
relatif antara medula spinalis dengan foramen<br />
vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai<br />
melebar kira-kira setinggi vertebra torakal<br />
10, se<strong>dan</strong>gkan foramen vertebrale di daerah<br />
tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis,<br />
foramen vertebralenya lebih besar <strong>dan</strong> lebih<br />
memberikan ruang gerak bila ada kompresi<br />
dari bagian anterior.<br />
MANIFESTASI KLINIS<br />
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen<br />
(tanpa nyeri). 8 Pasien biasanya mengeluhkan<br />
nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra<br />
662<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil,<br />
malaise, berkurangnya berat ba<strong>dan</strong> atau<br />
berat ba<strong>dan</strong> tidak sesuai umur pada anak<br />
yang merupakan gejala klasik TB paru juga<br />
terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. 9<br />
Pada pasien dengan serologi HIV positif,<br />
rata-rata durasi dari munculnya gejala awal<br />
hingga diagnosis ditegakkan adalah selama<br />
28 minggu. 20 Apabila sudah ditemukan<br />
deformitas berupa kifosis, maka patogenesis<br />
TB umumnya spinal sudah berjalan selama<br />
kurang lebih tiga sampai empat bulan. 15<br />
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen<br />
penderita. 10 Defisit yang mungkin antara lain:<br />
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular<br />
<strong>dan</strong>/ atau sindrom kauda equina. Nyeri<br />
radikuler menandakan a<strong>dan</strong>ya gangguan<br />
pada radiks (radikulopati). <strong>Spondilitis</strong> TB<br />
servikal jarang terjadi, namun manifestasinya<br />
lebih berbahaya karena dapat menyebabkan<br />
disfagia <strong>dan</strong> stridor, tortikollis, suara serak<br />
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus<br />
terganggu, pernapasan terganggu <strong>dan</strong> timbul<br />
sesak napas (disebut juga Millar asthma). 8<br />
Umumnya gejala awal spondilitis servikal<br />
adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak<br />
spesifik. 21<br />
Nyeri lokal <strong>dan</strong> nyeri radikular disertai<br />
gangguan motorik, sensorik <strong>dan</strong> sfingter distal<br />
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit<br />
tidak segera ditangani. Menurut salah satu<br />
sumber, insiden paraplegia pada spondilitis<br />
TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang<br />
paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38<br />
persen penderita. 9 Pott’s paraplegia dibagi<br />
menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat<br />
(early-onset) <strong>dan</strong> paraplegia onset lambat<br />
(late-onset). 8 Paraplegia onset cepat terjadi<br />
saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.<br />
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh<br />
kompresi medula spinalis oleh abses atau<br />
proses infeksi. Se<strong>dan</strong>gkan paraplegia onset<br />
lambat terjadi saat penyakit se<strong>dan</strong>g tenang,<br />
tanpa a<strong>dan</strong>ya tanda-tanda reaktifasi spondilitis,<br />
umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan<br />
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang<br />
akibat destruksi tulang sebelumnya. 8,10<br />
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu<br />
muncul karena patologi terjadi dari anterior,<br />
sesuai dengan posisi motoneuron di kornu<br />
anterior medula spinalis, kecuali jika ada<br />
keterlibatan bagian posterior medula spinalis,<br />
keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul.<br />
Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa<br />
paraplegia terjadi pada 54 persen pasien yang<br />
mengalami gangguan kekuatan motorik.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan deformitas tulang belakang<br />
hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien<br />
tersebut. Tingginya angka paraplegia<br />
mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi<br />
<strong>dan</strong> pendidikan yang masih rendah sehingga<br />
pasien baru datang ke layanan kesehatan jika<br />
penyakit sudah melanjut dengan gejala yang<br />
berat. 22<br />
DIAGNOSIS<br />
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan<br />
<strong>dan</strong> sering disalahartikan sebagai neoplasma<br />
spinal atau spondilitis piogenik lainnya.<br />
Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat<br />
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah<br />
terjadi deformitas tulang belakang <strong>dan</strong> defisit<br />
neurologis. 2,3,23<br />
Penegakan diagnosis seperti pada penyakitpenyakit<br />
pada umumnya melalui anamnesis,<br />
pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan<br />
penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis<br />
dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.<br />
Anamnesis <strong>dan</strong> Pemeriksaan Fisik<br />
Nyeri punggung belakang adalah keluhan<br />
yang paling awal, sering tidak spesifik <strong>dan</strong><br />
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit.<br />
Maka dari itu, setiap pasien TB paru dengan<br />
keluhan nyeri punggung harus dicurigai<br />
mengidap spondilitis TB sebelum terbukti<br />
sebaliknya.<br />
Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan<br />
a<strong>dan</strong>ya riwayat TB paru, atau riwayat gejalagejala<br />
klasik (demam lama, diaforesis nokturnal,<br />
batuk lama, penurunan berat ba<strong>dan</strong>) jika TB<br />
paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam<br />
lama merupakan keluhan yang paling sering<br />
ditemukan namun cepat menghilang (satu<br />
hingga empat hari) jika diobati secara adekuat. 24<br />
Paraparesis adalah gejala yang biasanya<br />
menjadi keluhan utama yang membawa<br />
pasien datang mencari pengobatan. Gejala<br />
neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas,<br />
baal, gangguan defekasi <strong>dan</strong> miksi.<br />
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan<br />
a<strong>dan</strong>ya fokus infeksi TB di paru atau di tempat<br />
lain, meskipun pernah dilaporkan banyak<br />
spondilitis TB yang tidak menunjukkan tandatanda<br />
infeksi TB ekstraspinal. 9,25 Pernapasan<br />
cepat dapat diakibatkan oleh hambatan<br />
pengembangan volume paru oleh tulang<br />
belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh<br />
kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar<br />
sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai<br />
suara amforik atau bronkial dengan predileksi<br />
di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang<br />
belakang harus diperiksa secara seksama.<br />
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk<br />
abses paravertebra yang dapat teraba,<br />
bahkan terlihat dari luar punggung berupa<br />
pembengkakan. Permukaan kulit juga harus<br />
diperiksa secara teliti untuk mencari muara<br />
sinus/fistel hingga regio gluteal <strong>dan</strong> di bawah<br />
inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup<br />
kemungkinan abses terbentuk di anterior<br />
rongga dada atau abdomen. 20<br />
Terjadinya gangguan neurologis menandakan<br />
bahwa penyakit telah lanjut, meski masih<br />
dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis<br />
yang teliti sangat penting untuk menunjang<br />
diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan<br />
neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi<br />
motorik, sensorik, <strong>dan</strong> autonom. Kelumpuhan<br />
berupa kelumpuhan upper motor neuron<br />
(UMN), namun pada presentasi awal akan<br />
didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya<br />
akan muncul spastisitas <strong>dan</strong> refleks patologis<br />
yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron<br />
(LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi<br />
jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika<br />
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang<br />
biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa<br />
pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,<br />
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas<br />
<strong>dan</strong> bawah untuk proprioseptif (gerak, arah,<br />
rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi<br />
keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi<br />
saraf autonom.<br />
Pemeriksaan Radiologi<br />
Radiologi hingga saat ini merupakan<br />
pemeriksaan yang paling menunjang<br />
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena<br />
memvisualisasi langsung kelainan fisik<br />
pada tulang belakang. Terdapat beberapa<br />
pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan<br />
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan),<br />
<strong>dan</strong> Magnetic Resonance Imaging (MRI).<br />
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat<br />
menemukan penyempitan jarak antar diskus<br />
intervertebralis, erosi <strong>dan</strong> iregularitas dari<br />
ba<strong>dan</strong> vertebra, sekuestrasi, serta massa para<br />
vertebra. 26 Pada keadaan lanjut, vertebra akan<br />
kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
663
TINJAUAN PUSTAKA<br />
akordion (concertina), sehingga disebut juga 2. CT Scan<br />
concertina collapse (gambar 3). 1<br />
1. Sinar-X<br />
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis<br />
awal yang paling sering dilakukan <strong>dan</strong> berguna<br />
untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil<br />
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP <strong>dan</strong> lateral. 27<br />
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik<br />
pada bagian anterior ba<strong>dan</strong> vertebra <strong>dan</strong><br />
osteoporosis regional. Penyempitan ruang<br />
diskus intervertebralis menandakan terjadinya<br />
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan<br />
lunak sekitarnya memberikan gambaran<br />
fusiformis. 27<br />
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior semakin<br />
memberat <strong>dan</strong> membentuk angulasi<br />
kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang<br />
paravertebral dapat terlihat, yang<br />
merupakan cold abscess. 27 Namun, sayangnya<br />
sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess<br />
dengan baik (gambar 2). 28 Dengan proyeksi<br />
lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur<br />
dengan metode Konstam (gambar 3). 1,29<br />
putih besar). 26<br />
Gambar 2 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis<br />
TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas <strong>dan</strong> berkurangnya<br />
ketinggian dari ba<strong>dan</strong> vertebra T9 (tanda bintang), serta<br />
juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang<br />
merupak cold abscess (panah putih). 26<br />
Gambar 3 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.<br />
Pertama, tarik garis khayal sejajar end-plate superior ba<strong>dan</strong><br />
vertebra yang sehat di atas <strong>dan</strong> di bawah lesi. Kedua garis<br />
tersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan.<br />
Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam, se<strong>dan</strong>gkan<br />
Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh<br />
gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30º. 1,29<br />
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas<br />
sklerosis tulang, destruksi ba<strong>dan</strong> vertebra,<br />
abses epidural, fragmentasi tulang, <strong>dan</strong><br />
penyempitan kanalis spinalis (gambar 4).<br />
CT myelography juga dapat menilai dengan<br />
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak<br />
tersedia pemeriksaan MRI. 26 Pemeriksaan<br />
ini meliputi penyuntikan kontras melalui<br />
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu<br />
dilanjutkan dengan CT scan. 27<br />
Selain hal yang disebutkan di atas, CT<br />
scan dapat juga berguna untuk memandu<br />
tindakan biopsi perkutan <strong>dan</strong> menentukan<br />
luas kerusakan jaringan tulang. 27 Penggunaan<br />
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan<br />
MRI untuk visualisasi jaringan lunak.<br />
Gambar 4 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB<br />
potongan aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat<br />
destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema<br />
jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan<br />
medula spinalis (panah kecil putih), <strong>dan</strong> abses psoas (panah<br />
3. MRI<br />
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk<br />
menilai jaringan lunak. Kondisi ba<strong>dan</strong> vertebra,<br />
diskus intervertebralis, perubahan sumsum<br />
tulang, termasuk abses paraspinal dapat<br />
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan<br />
ini. 26,30 Untuk mengevaluasi spondilitis TB,<br />
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial,<br />
<strong>dan</strong> sagital yang meliputi seluruh vertebra<br />
untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.<br />
8,18<br />
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi<br />
perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal-<br />
T1 pada sumsum tulang mengindikasikan<br />
pergantian jaringan ra<strong>dan</strong>g granulomatosa<br />
oleh jaringan lemak <strong>dan</strong> perubahan MRI ini<br />
berkorelasi dengan gejala klinis. 31 Bagaimana<br />
membedakan spondilitis TB dari spondilitis<br />
lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada<br />
bagian diagnosis diferensial setelah ini.<br />
Gambar 5 Pencitraan MRI potongan sagital pasien<br />
spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari ba<strong>dan</strong><br />
vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),<br />
infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis<br />
spinalis, <strong>dan</strong> penjepitan medula spinalis. 19 Gambaran ini<br />
khas menyerupai akordion yang se<strong>dan</strong>g ditekuk.<br />
4. Pencitraan lainnya<br />
Ultrasonografi dapat digunakan untuk<br />
mencari massa pada daerah lumbar. Dengan<br />
pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak<br />
<strong>dan</strong> volume abses/massa iliopsoas yang<br />
mencurigakan suatu lesi tuberkulosis. 8<br />
Bone scan pada awalnya sering digunakan,<br />
namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif<br />
pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone<br />
scan sangat tidak spesifik <strong>dan</strong> ber-resolusi<br />
rendah. Berbagai jenis penyakit seperti<br />
degenerasi, infeksi, keganasan <strong>dan</strong> trauma<br />
dapat memberikan hasil positif yang sama<br />
seperti pada spondilitis TB.<br />
Pencitraan dengan 67 Gadolinium diketahui<br />
berguna untuk mendeteksi infeksi TB<br />
diseminata. 1 Penggunaan pencitraan ini masih<br />
belum lazim pada spondilitis TB.<br />
Biopsi <strong>dan</strong> pemeriksaan mikrobiologis<br />
Untuk memastikan diagnosis secara pasti,<br />
perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau<br />
aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan<br />
secara perkutan <strong>dan</strong> dipandu dengan CT<br />
scan atau fluoroskopi. 1,19 Spesimen kemudian<br />
664<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan<br />
histologis, kultur <strong>dan</strong> pewarnaan basil tahan<br />
asam (BTA), gram, jamur <strong>dan</strong> tumor. Kultur BTA<br />
positif pada 60–89 persen kasus. 1,9<br />
Studi histologi jaringan penting untuk<br />
memastikan diagnosis jika kultur negatif,<br />
pewarnaan BTA negatif, sekaligus<br />
menyingkirkan diagnosis banding lainnya.<br />
Temuan histologi pada infeksi TB jaringan<br />
adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma<br />
epiteloid), sel datia langhans <strong>dan</strong> nekrosis<br />
kaseosa. 27 Sel epiteloid adalah sel<br />
mononuklear yang mem-fagositosis basil<br />
tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman<br />
pada sitoplasmanya. 8 Granuloma epiteloid<br />
dapat ditemukan pada 89 persen spesimen<br />
yang merupakan gambaran khas histologi<br />
infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah<br />
dilaporkan pada beberapa kasus.<br />
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan<br />
diagnosis, biopsi bedah yang diikuti dengan<br />
kultur dapat dipertimbangkan. 9 biopsi bedah<br />
umumnya dilakukan pada keadaan dimana<br />
biopsi jarum sangat berbahaya <strong>dan</strong> tidak<br />
menghasilkan spesimen (dry tap).<br />
Kultur umumnya memerlukan waktu yang<br />
relatif lama, yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya<br />
diikuti dengan uji resistensi OAT. 8 Spesimen<br />
yang cocok untuk dijadikan kultur adalah<br />
organ-organ dalam, tulang, pus, cairan<br />
sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang<br />
dapat digunakan adalah media berbasis<br />
telur, seperti media Lowenstein-Jensen<br />
<strong>dan</strong> media berbasis cairan, seperti Becton-<br />
Dickinson <strong>dan</strong> BACTEC TM . Pajanan pasien<br />
dengan fluorokuinolon sebelumnya akan<br />
memperlambat pertumbuhan kultur hingga<br />
2 minggu. 8<br />
Pemeriksaan laboratoris<br />
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat<br />
digunakan untuk mendeteksi DNA kuman<br />
tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang<br />
memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini<br />
sangat akurat <strong>dan</strong> cepat (24 jam), namun<br />
memerlukan biaya yang lebih mahal<br />
dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip<br />
kerja PCR adalah memperbanyak DNA kuman<br />
secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi<br />
meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10<br />
hingga 1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas<br />
sekitar 80 –98 persen <strong>dan</strong> spesifisitas 98<br />
persen. 8<br />
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen<br />
excretory-secretory ES-31 mycobacterial, IgG<br />
anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, <strong>dan</strong> antigen<br />
31 kDa dikatakan dapat berguna, namun<br />
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut. 8<br />
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi<br />
studi hematologis. Laju endap darah (LED)<br />
biasanya meningkat, namun tidak spesifik<br />
menunjukkan proses infeksi granulomatosa<br />
TB. Peningkatan kadar C-reactive protein<br />
(CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi<br />
abses. 10 Uji Mantoux positif pada sebagian<br />
besar pasien (84–95 persen) 32 namun hanya<br />
memberi petunjuk tentang paparan kuman<br />
TB sebelumnya atau saat ini. Spesimen<br />
sputum memberikan hasil positif hanya jika<br />
proses infeksi paru se<strong>dan</strong>g aktif. Studi di<br />
Malaysia mengemukakan bahwa kelainan<br />
hematologis yang paling sering ditemukan<br />
pada pasien spondilitis TB adalah anemia<br />
normositik normokrom, trombositosis<br />
dengan/tanpa peningkatan LED <strong>dan</strong><br />
leukositosis. 33<br />
Diagnosis Diferensial<br />
Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis<br />
TB adalah nyeri punggung nonspesifik,<br />
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis<br />
yang sering menjadi alasan penderita untuk<br />
datang berobat. Karena itu, pemikirian<br />
kemungkinan diagnosis banding harus<br />
didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk<br />
membedakan spondilitis TB dari penyakit<br />
lainnya, karena terapi dini yang tepat <strong>dan</strong><br />
akurat dapat mengurangi angka disabilitas<br />
<strong>dan</strong> morbiditas pasien. 30<br />
<strong>Spondilitis</strong> piogenik adalah salah satu<br />
penyakit dengan presentasi gejala yang<br />
serupa dengan spondilitis TB <strong>dan</strong> tidak<br />
mudah untuk membedakan keduanya tanpa<br />
pemeriksaan penunjang yang adekuat.<br />
<strong>Spondilitis</strong> piogenik umumnya disebabkan<br />
oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus,<br />
<strong>dan</strong> Pneumococcus. 30 Secara epidemiologi,<br />
spondilitis piogenik lebih sering menyerang<br />
usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun.<br />
Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik<br />
dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya<br />
penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif<br />
spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak,<br />
jumlah kasus baru spondilitis TB semakin<br />
berkurang dengan penggunaan OAT.<br />
<strong>Spondilitis</strong> piogenik memiliki perjalanan yang<br />
lebih akut dengan gejala yang hampir sama<br />
dengan spondilitis TB. Vertebra servikal <strong>dan</strong><br />
lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan<br />
dengan spondilitis TB yang lebih sering<br />
menyerang vertebra torakolumbal lebih dari<br />
satu vertebra. 24<br />
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah<br />
(LED), jumlah leukosit, <strong>dan</strong> hitung jenis<br />
dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis<br />
piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna<br />
dibandingkan peningkatan LED, meskipun<br />
pada beberapa kasus dapat normal. 24<br />
Telah dilakukan studi untuk membedakan<br />
kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk 34<br />
menjabarkan beberapa perbedaan temuan<br />
MRI secara rinci yang mengarahkan pada<br />
infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal<br />
berbatas tegas. 2) dinding abses tipis <strong>dan</strong><br />
halus. 3) a<strong>dan</strong>ya abses paraspinal <strong>dan</strong><br />
intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih<br />
dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra<br />
torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan<br />
radiologis selain yang disebutkan di atas,<br />
tampaknya diagnosis infeksi piogenik<br />
lebih mungkin. Penelitian oleh Harada<br />
dkk menambahkan bahwa a<strong>dan</strong>ya sinyal<br />
abnormal pada sendi faset merupakan<br />
karakteristik infeksi piogenik. 30 Kultur <strong>dan</strong><br />
pewarnaan Gram spesimen tulang yang<br />
diambil melalui biopsi perkutan/terbuka<br />
dapat memastikan diagnosis, namun<br />
tindakan ini termasuk tindakan invasif. 9<br />
Tumor metastatik spinal mencakup 85<br />
persen bagian dari semua tumor tulang<br />
belakang yang mengakibatkan kompresi<br />
medula spinalis. Insiden tertinggi kasus<br />
tumor metastasik spinal pada usia di atas 50<br />
tahun. Urutan segmen yang sering terlibat<br />
yaitu torakal, lumbar <strong>dan</strong> servikal. Neoplasma<br />
dengan kecenderungan bermetastasis ke<br />
medula spinalis meliputi tumor payudara,<br />
prostat, paru, limfoma, sarkoma, <strong>dan</strong> mieloma<br />
multipel. Metastasis keganasan saluran cerna<br />
<strong>dan</strong> rongga pelvis relatif melibatkan vertebra<br />
lumbosakral, se<strong>dan</strong>gkan keganasan paru <strong>dan</strong><br />
mamae lebih sering melibatkan vertebra<br />
torakal.<br />
Keganasan primer pada pasien anak-anak<br />
yang cukup sering menyebabkan kompresi<br />
medula spinalis meliputi neuroblastoma,<br />
Sarkoma Ewing, <strong>dan</strong> hemangioma. Formasi<br />
abses <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya fragmen tulang adalah<br />
temuan MRI yang dapat membedakan<br />
spondilitis TB dari neoplasma. 1<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
665
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Tabel 1 Klasifikasi Pott’s paraplegia 37<br />
Keluhan yang sering berupa nyeri punggung<br />
kan pada pasien spondilitis bruselosis. 35<br />
belakang yang kronis progresif yang tidak<br />
spesifik, hal inilah yang menyebabkan<br />
Stadium<br />
neoplasma spinal sulit dibedakan dengan<br />
spondilitis TB. 24 A<strong>dan</strong>ya riwayat keganasan di<br />
tempat lain dapat membantu penegakkan<br />
diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung<br />
tingkat lesi, muncul jika tumor sudah menekan<br />
epidural <strong>dan</strong> medula spinalis. Kolaps vertebra<br />
I. Tidak terdeteksi/ terabaikan<br />
(negligible)<br />
II. Ringan<br />
III. Moderat<br />
dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi<br />
akibat destruksi ba<strong>dan</strong> vertebra/ fraktur oleh<br />
IV. Berat<br />
invasi tumor dengan diskus yang bebas dari<br />
kerusakan. MRI belum dapat secara pasti<br />
menyingkirkan atau memastikan diagnosis Tabel 2 Klasifikasi klinikoradiologis 37<br />
tumor spinal. Semua temuan-temuan MRI<br />
spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor<br />
spinal.<br />
Fraktur kompresi ba<strong>dan</strong> vertebra<br />
berpotensi menyebabkan deformitas kifotik<br />
disertai gangguan neurologis dengan II. Destruktif awal<br />
derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan<br />
kekuatan yang besar untuk membuat ba<strong>dan</strong><br />
vertebra yang bersangkutan retak, kecuali<br />
jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau<br />
penggunaan steroid jangka panjang. Contoh<br />
klasik trauma yang menyebabkan fraktur<br />
kompresi seperti jatuh dari ketinggian<br />
dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan<br />
mobil juga dapat menyebabkan dampak<br />
serupa. Mekanisme fleksi-kompresi biasanya<br />
menyebabkan fraktur kompresi dengan<br />
bagian anterior mengecil (wedge-shaped)<br />
IA Lesi vertebra <strong>dan</strong> degenerasi<br />
dengan derajat kerusakan bagian tengah <strong>dan</strong><br />
diskus 1 segmen, tanpa kolaps,<br />
posterior yang bervariasi. Medula spinalis<br />
abses, ataupun defisit neurologis.<br />
segmen torakal lebih sering mengalami<br />
cedera karena merupakan segmen yang IB A<strong>dan</strong>ya cold abscess, degenerasi<br />
paling panjang dibandingkan segmen<br />
diskus 1 atau lebih, tanpa kolaps<br />
ataupun defisit neurologis.<br />
lainnya <strong>dan</strong> juga karena kanalis spinalisnya<br />
yang lebih sempit dengan vaskularisasi<br />
yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan<br />
temuan klinis <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya riwayat trauma<br />
yang bermakna dikombinasikan dengan ada/<br />
tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis II Kolaps vertebra<br />
atau usia tua.<br />
Cold abscess<br />
Kifosis<br />
Deformitas stabil, dengan/ tanpa<br />
Pada negara dengan insidens bruselosis<br />
defisit neurologis<br />
cukup tinggi, spondilitis bruselosis<br />
Angulasi sagital < 20º<br />
merupakan diagnosis diferensial yang utama.<br />
Demam, keringat dingin <strong>dan</strong> nyeri sendi III Kolaps vertebra berat<br />
Cold abscess<br />
adalah gejala yang lebih sering ditemukan<br />
Kifosis berat<br />
pada spondilitis bruselosis, sementara<br />
Deformitas tidak stabil, dengan/<br />
gangguan neurologis <strong>dan</strong> deformitas lebih<br />
tanpa defisit neurologis<br />
banyak ditemukan pada spondilitis TB.<br />
Angulasi sagital ≥ 20º<br />
Sakroiliitis <strong>dan</strong> diskitis lebih sering didapat-<br />
Gambaran Klinis<br />
Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan a<strong>dan</strong>ya klonus<br />
pada ekstensor plantaris <strong>dan</strong> pergelangan kaki.<br />
Pasien menyadari a<strong>dan</strong>ya gangguan neurologis, tetapi masih mampu berjalan<br />
dengan bantuan.<br />
Tidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik) karena kelumpuhan (dalam<br />
posisi ekstensi) <strong>dan</strong> defisit sensorik di bawah 50 persen.<br />
Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit sensorik di atas 50 persen,<br />
<strong>dan</strong> gangguan sfingter.<br />
Stadium Gambaran klinikoradiologis Durasi<br />
perjalanan<br />
penyakit<br />
I. Pre-destruktif Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral, hiperemia tampak pada skintigrafi, MRI<br />
menunjukkan edema sumsum tulang.<br />
Penyempitan ruang diskus, erosi paradiskal. MRI memperlihatkan edema <strong>dan</strong><br />
kerusakan korteks vertebra, CT scan menunjukkan erosi marginal <strong>dan</strong> kavitasi.<br />
< 3 bulan<br />
2–4 bulan<br />
III. Kifosis ringan 2–3 vertebra terkena (angulasi 10º–30º) 3–9 bulan<br />
IV. Kifosis moderat >3 vertebra terkena (angulasi 30º–60º) 6–24 bulan<br />
V. Kifosis berat >3 vertebra (angulasi >60º) >2 tahun<br />
Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.<br />
Tipe Lesi <strong>Penatalaksanaan</strong> Contoh<br />
Biopsi perkutan <strong>dan</strong><br />
kemoterapi<br />
Drainase abses <strong>dan</strong><br />
debridemen anterior/ posterior<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
debridemen <strong>dan</strong> fusi<br />
anterior<br />
dekompresi jika terdapat<br />
defisit neurologis<br />
tandur strut kortikal untuk<br />
fusi<br />
Penatalaksaan no II<br />
+ instrumentasi anterior/<br />
posterior<br />
Diadaptasi dari: Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and<br />
guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. 38<br />
666<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Diagnosis diferensial lainnya yang perlu<br />
dipertimbangkan antara lain: spondilitis<br />
jamur yang dapat ditemukan pada pasienpasien<br />
dengan inkompetensi imun 36 , mielitis<br />
transversa, sarkoidosis, <strong>dan</strong> reumatoid artritis. 9<br />
KLASIFIKASI<br />
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan<br />
beberapa pihak dengan tujuan untuk<br />
menentukan deskripsi keparahan penyakit,<br />
prognosis <strong>dan</strong> tatalaksana.<br />
Klasifikasi Pott’s paraplegia disusun untuk<br />
mempermudah komunikasi antar klinisi<br />
<strong>dan</strong> mempermudah deskripsi keparahan<br />
gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifikasi<br />
klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi<br />
perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis<br />
<strong>dan</strong> temuan radiologis pasien.<br />
Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip<br />
Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun<br />
untuk menentukan terapi yang dianggap<br />
paling baik untuk pasien yang bersangkutan.<br />
Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria<br />
klinis <strong>dan</strong> radiologis, antara lain: formasi abses,<br />
degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis,<br />
angulasi sagital, instabilitas vertebra <strong>dan</strong><br />
gejala neurologis; membagi spondilitis TB<br />
menjadi tiga tipe (I, II, <strong>dan</strong> III). 38<br />
Untuk menilai derajat keparahan, memantau<br />
perbaikan klinis, <strong>dan</strong> memprediksi prognosis<br />
pasien spondilitis TB dengan cedera medula<br />
spinalis, dapat digunakan klasifikasi American<br />
Spinal Injury Association (ASIA) impairment<br />
scale. Sistem ini adalah pembaruan dari sistem<br />
klasifikasi Frankel <strong>dan</strong> telah diterima secara<br />
luas. ASIA impairment scale membagi cedera<br />
medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera<br />
medula spinalis komplit, B – D, cedera medula<br />
spinalis inkomplit, E, normal) (tabel 4). 39<br />
Hasil penelitian tentang prognosis pasien<br />
dengan cedera medula spinalis menyatakan<br />
bahwa pasien dengan cedera medula spinalis<br />
ASIA A, hanya memiliki paling tinggi lima<br />
persen kemungkinan menjadi ASIA D, 20 –<br />
50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D<br />
dalam 1 tahun, 60 – 75 persen pada ASIA C<br />
untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun. 40<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Sebelum ditemukannya OAT yang efektif,<br />
penganganan spondilitis TB hanya dengan<br />
metode imobilisasi, yaitu tirah baring <strong>dan</strong><br />
Tabel 4 ASIA Impairment Scale 39<br />
Stadium<br />
Tabel 5 Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) <strong>dan</strong> dewasa. 43<br />
Dosis mg/kgBB (dosis maksimum)<br />
Obat<br />
Harian Dua kali seminggu Tiga kali seminggu<br />
Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa<br />
INH 10–20 5 20–40 15 20–40 15<br />
RIF 10–20 10 10–20 10 10–20 10<br />
PRZ 15–30 15–30 50–70 50–70 50–70 50–70<br />
ETB 15–25 15–25 50 50 25–30 25–30<br />
SM 20–40 12–18 25–30 25–30 25–30 25–30<br />
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB, etambutol, SM, streptomisin.Dosis berdasarkan berat ba<strong>dan</strong> harus<br />
disesuaikan pertambahan berat ba<strong>dan</strong>. Semua pasien yang menerima dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya.<br />
PRZ <strong>dan</strong> SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien anak karena sulit diobservasi fungsi<br />
visualnya.<br />
korset/bidai. Mortalitas <strong>dan</strong> angka relaps<br />
sangat tinggi saat itu. 1<br />
Sekarang, penanganan spondilitis TB<br />
secara umum dibagi menjadi dua bagian<br />
yang berjalan dapat secara bersamaan,<br />
medikamentosa <strong>dan</strong> pembedahan.<br />
Terapi medikamentosa lebih diutamakan,<br />
se<strong>dan</strong>gkan terapi pembedahan melengkapi<br />
terapi medikamentosa <strong>dan</strong> disesuaikan<br />
dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien<br />
spondilitis TB pada umumnya bisa diobati<br />
secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan<br />
bedah <strong>dan</strong> tergantung pada stabilitas keadaan<br />
pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis<br />
TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,<br />
mencegah <strong>dan</strong> mengobati defisit neurologis,<br />
serta memperbaiki kifosis. 9<br />
Parthasarathy dkk melakukan penelitian pada<br />
235 pasien spondilitis TB tanpa paraplegia<br />
dengan tujuan membandingkan efektivitas<br />
kemoterapi OAT <strong>dan</strong> intervensi bedah.<br />
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa<br />
pada fase awal, terapi medikamentosa<br />
memberikan hasil yang lebih memuaskan<br />
dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika<br />
Gambaran neurologis<br />
A. Complete Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5<br />
B. Incomplete Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi neurologis <strong>dan</strong> segmen S4-5<br />
C. Incomplete Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, <strong>dan</strong> lebih dari separuh otot kunci* di bawah<br />
segmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3<br />
D. Incomplete Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di atas 3<br />
E. Normal Fungsi motorik <strong>dan</strong> sensorik normal<br />
Sindrom Klinis Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom Medula anterior, Sindrom Medula Sentral,<br />
Sindrom Konus Medularis.<br />
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5), ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8),<br />
abduksi kelingking (T1), fleksi tungkai (L2), ekstensi lutut (L3), dorsofleksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfleksi kaki<br />
(S1). Pemeriksaan segmen S4 – 5 adalah dengan menilai kontraksi sfinger ani volunter <strong>dan</strong> <strong>dan</strong> sensasi perianal.<br />
deformitas kifosis telah melanjut, terapi<br />
medikamentosa justru tidak begitu berguna.<br />
Terapi OAT selama 9 bulan memberikan<br />
angka remisi yang lebih baik (hingga 99<br />
persen) dibandingkan terapi OAT selama 6<br />
bulan. 41<br />
Untuk mempermudah klinisi menentukan<br />
tindakan yang cocok untuk pasien, dapat<br />
digunakan klasifikasi GATA. 38 Namun,<br />
penulis menyarankan untuk menatalaksana<br />
pasien secara individual, <strong>dan</strong> juga<br />
mempertimbangkan keahlian ahli bedah,<br />
serta ketersediaan fasilitas rumah sakit.<br />
1. Medikamentosa<br />
<strong>Spondilitis</strong> TB dapat diobati secara sempurna<br />
hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis<br />
ditegakkan awal, dimana destruksi tulang<br />
<strong>dan</strong> deformitas masih minimal. 8,37,42 Seperti<br />
pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi<br />
spondilitis TB adalah multidrug therapy.<br />
Secara umum, regimen OAT yang digunakan<br />
pada TB paru dapat pula digunakan pada<br />
TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi<br />
pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga<br />
saat ini masih belum konsisten antarahli.<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
667
TINJAUAN PUSTAKA<br />
World Health Organization (WHO)<br />
menyarankan kemoterapi diberikan<br />
setidaknya selama 6 bulan. 43 British Medical<br />
Research Council menyarankan bahwa<br />
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan<br />
kemoterapi OAT selama 6 – 9 bulan. 2 Untuk<br />
pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat<br />
servikal, <strong>dan</strong> dengan defisit neurologis<br />
belum dapat dievaluasi, namun beberapa<br />
ahli menyarankan durasi kemoterapi selama<br />
9–12 bulan. 2<br />
The Medical Research Council Committee<br />
for Research for Tuberculosis in the Tropics<br />
menyatakan bahwa isoniazid <strong>dan</strong> rifampisin<br />
harus selalu diberikan selama masa<br />
pengobatan. 9 Selama dua bulan pertama<br />
(fase inisial), obat-obat tersebut dapat<br />
dikombinasikan dengan pirazinamid,<br />
etambutol <strong>dan</strong> streptomisin sebagai obat lini<br />
pertama. Hal ini senada dengan penelitian<br />
Karaeminogullari dkk 19 yang mengobati<br />
pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin<br />
<strong>dan</strong> insoniazid saja selama 9 bulan, dengan<br />
hasil yang memuaskan.<br />
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus<br />
resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai<br />
OAT lini kedua antara lain: levofloksasin,<br />
moksifloksasin, etionamid, tiasetazon,<br />
kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin,<br />
klaritomisin <strong>dan</strong> lain-lain.<br />
Adakalanya kuman TB kebal terhadap<br />
berbagai macam OAT. Multidrug resistance TB<br />
(MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang<br />
resisten terhadap isoniazid <strong>dan</strong> rifampisin. 44<br />
<strong>Spondilitis</strong> MDR-TB adalah penyakit yang<br />
agresif karena tidak dapat hanya diterapi<br />
dengan pengobatan OAT baku. Regimen<br />
untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan<br />
hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya<br />
bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi<br />
berhasil. 44 Adapula rekomendasi terbaru<br />
untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan<br />
kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu<br />
dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif<br />
melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi<br />
untuk periode minimal selama 6 bulan,<br />
3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid,<br />
5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin<br />
klavulanat <strong>dan</strong> klofazimin. Durasi pemberian<br />
OAT setidaknya selama 18–24 bulan. 45<br />
The United States Centers for Disease Control<br />
merekomendasikan pengobatan spondilitis<br />
TB pada bayi <strong>dan</strong> anak-anak setidaknya harus<br />
selama 12 bulan. 43 Durasi kemoterapi pada<br />
pasien imunodefisiensi sama pada pasien<br />
tanpa imunodefisiensi. Namun, adapula<br />
sumber yang mengatakan durasinya harus<br />
diperpanjang. 43 Kemoterapi pada pasien<br />
dengan HIV positif harus disesuaikan <strong>dan</strong><br />
memerhatikan interaksi OAT <strong>dan</strong> obat antiretroviral.<br />
Zidovudin dapat meningkatkan<br />
efek toksik OAT. Di<strong>dan</strong>osin harus diberikan<br />
selang 1 jam dengan OAT karena bersifat<br />
penyanggah antasida. 11<br />
2. Pembedahan<br />
Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah<br />
merumuskan regimen terapi OAT untuk<br />
pasien TB. 11 Untuk kategori I, yaitu kasus baru<br />
TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu,<br />
termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS)<br />
fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau<br />
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3<br />
fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase inisial<br />
dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian<br />
regimen bisa diperpanjang sesuai dengan<br />
respons klinis penderita. Se<strong>dan</strong>gkan untuk<br />
kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan,<br />
relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase<br />
inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau<br />
2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase<br />
lanjutan. 11,43<br />
Deksametason jangka pendek dapat<br />
digunakan pada kasus dengan defisit<br />
neurologis yang akut untuk mencegah syok<br />
spinal. Namun, belum ada studi yang menguji<br />
efektivitasnya pada kasus spondilitis TB. 9<br />
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan<br />
dengan kemoterapi OAT telah dicoba pada<br />
beberapa pasien <strong>dan</strong> dikatakan dapat<br />
meningkatkan proses perbaikan tulang.<br />
Nerindronat 100 mg pada pemberian<br />
pertama, <strong>dan</strong> 25 mg setiap bulan berikutnya<br />
selama 2 tahun telah diujicobakan dengan<br />
hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan<br />
dapat menghambat aktivitas<br />
resorpsi osteoklas <strong>dan</strong> menstimulasi aktivitas<br />
osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas<br />
pada satu pasien <strong>dan</strong> perlu dievaluasi lebih<br />
lanjut. 46<br />
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika<br />
dalam 3–4 minggu, nyeri <strong>dan</strong> atau defisit<br />
neurologis masih belum menunjukkan<br />
perbaikan setelah pemberian OAT yang<br />
sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau<br />
Dengan berkembangnya penggunaan<br />
OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif<br />
ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama<br />
pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang<br />
belakang pada spondilitis sangat bervariasi,<br />
namun pendekatan tindakan bedah yang baku<br />
<strong>dan</strong> empiris masih belum ada. Setiap kasus harus<br />
dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien<br />
yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap<br />
harus diberikan, minimal 10 hari sebelum<br />
operasi OAT harus sudah diberikan. 41 Kategori<br />
regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis<br />
kasus yang ada <strong>dan</strong> dilanjutkan sesuai kategori<br />
masing-masing. 8,11<br />
Tindakan bedah yang dapat dilakukan<br />
pada spondilitis TB meliputi drainase abses;<br />
debridemen radikal; penyisipan tandur<br />
tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur<br />
tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/<br />
fiksasi, baik secara anterior maupun posterior;<br />
<strong>dan</strong> osteotomi.<br />
a. Indikasi <strong>dan</strong> Kontraindikasi<br />
Pembedahan<br />
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB<br />
secara umum sebagai berikut: 1) defisit<br />
neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.<br />
2) deformitas tulang belakang yang tidak<br />
stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis<br />
progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anakanak).<br />
3) tidak responsif kemoterapi selama<br />
4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan<br />
gagal untuk memberikan diagnosis. 41,42,48 6)<br />
nyeri berat karena kompresi abses. 47<br />
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan<br />
lebih awal mengingat potensi kecacatan yang<br />
akan terjadi. Jika mengikuti klasifikasi GATA<br />
yang telah dijelaskan diatas, maka intervensi<br />
bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB<br />
hingga GATA III. 38 Sementara itu, satu-satunya<br />
kontraindikasi pembedahan pada pasien<br />
spondilitis TB adalaha kegagalan jantung <strong>dan</strong><br />
paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung <strong>dan</strong><br />
paru harus ditangani terlebih dahulu untuk<br />
menyelamatkan jiwa pasien. 1<br />
b. Pemilihan pendekatan pembedahan<br />
tulang belakang<br />
Pemilihan pendekatan pembedaan spondilitis<br />
TB bergantung pada banyak hal. Hal-hal tersebut<br />
antara lain: kemampuan <strong>dan</strong> pengalaman<br />
ahli bedah, ketersediaan instrumen, personel<br />
anestesi, <strong>dan</strong> komorbid pasien.<br />
668<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Pendekatan secara anterior lebih sering<br />
digunakan karena dapat mencapai abses<br />
yang umumnya berada di anterior vertebra.<br />
Selain itu, dengan pendekatan anterior, ahli<br />
bedah tidak perlu membuang/ memotong<br />
bagian vertebra segmen posterior sehingga<br />
vertebra relatif utuh. Pendekatan anterior<br />
juga baik digunakan jika diputuskan untuk<br />
memasang tandur dari tulang iga, sehingga<br />
tidak perlu melakukan insisi di dua tempat. 42<br />
Pendekatan anterior efektif untuk kasus<br />
dengan defisit neurologis, lesi multi-level,<br />
atau abses yang luas. 14<br />
Di sisi lain, pendekatan anterior kurang baik<br />
jika dilakukan pada spondilitis TB multi-level<br />
dalam mengoreksi deformitas kifotik. 49 Pada<br />
keadaan ini, kombinasi dengan pendekatan<br />
posterior untuk instrumentasi posterior<br />
diperlukan, baik melalui operasi tunggal<br />
atau dua operasi. 47 Prosedur operasi tunggal<br />
untuk dua pendekatan dapat dilakukan <strong>dan</strong><br />
ditujukan untuk mengurangi durasi operasi<br />
<strong>dan</strong> mengurangi manipulasi tulang belakang<br />
yang relatif tidak stabil. 47<br />
Sementara itu pendekatan posterior lebih<br />
diutamakan pada kasus dimana segmen<br />
posterior vertebra lebih rusak daripada<br />
segmen anterior, kasus dimana thorakotomi<br />
sangat berbahaya mengingat komorbiditas<br />
seperti penyakit jantung/ paru. 42 Sumber lain<br />
mengatakan bahwa pendekatan posterior<br />
lebih menguntungkan dari segi koreksi<br />
kifosis <strong>dan</strong> pemasangan implan, namun<br />
sering tidak adekuat dalam melakukan<br />
dekompresi medula spinalis, debridemen,<br />
<strong>dan</strong> atau evakuasi abses. 49<br />
Pendekatan secara anterolateral ekstrapleural<br />
memberikan paparan lapangan kerja yang<br />
baik secara anterior maupun posterior,<br />
memungkinkan dekompresi secara anterior<br />
<strong>dan</strong> penyisipan tandur tulang secara anterior/<br />
posterior. Teknik ini memiliki morbiditas<br />
lebih rendah dibandingkan teknik lainnya<br />
yang menggunakan dua kali pembedahan,<br />
namun teknik ini memiliki tingkat kesulitan<br />
yang tinggi. 50<br />
c. Pembedahan drainase abses<br />
Setelah terjadi pembentukan abses (cold<br />
abscess) <strong>dan</strong> degenerasi setidaknya dua<br />
diskus, maka drainase harus dilakukan. Abses<br />
dapat menekan medula spinalis sehingga<br />
terjadi gangguan neurologis. Tindakan<br />
ini dapat mencegah progresi perburukan<br />
gejala neurologis <strong>dan</strong> mencegah kolaps<br />
vertebra. 38<br />
Abses dapat terbentuk di tingkat manapun<br />
sesuai fokus infeksi TB pada vertebra. Pada<br />
tingkat servikal, abses dapat terjadi pada<br />
rongga retrofaringeal <strong>dan</strong> segitiga posterior<br />
leher. Untuk abses retrofaringeal dapat<br />
dilakukan pendekatan transoral, se<strong>dan</strong>gkan<br />
pada segitiga posterior insisi dilakukan pada<br />
margo posterior m. sternokleidomastoideus.<br />
Pada tingkat torakal, abses dapat dievakuasi<br />
secara kostotransversektomi. Drainase abses<br />
lumbar/ paravertebral dilakukan lewat<br />
insisi longitudinal dorsolateral. Drainase<br />
abses psoas/ pelvis dapat dilakukan melalui<br />
segitiga Petit atau insisi Ludloff. 1<br />
d. Pembedahan debridemen <strong>dan</strong><br />
koreksi kifosis<br />
Karena lesi TB spinal biasanya di bagian<br />
anterior ba<strong>dan</strong> vertebra, dekompresi<br />
anterior sangat direkomendasikan banyak<br />
ahli. 1,8 Instrumentasi kemudian dilakukan<br />
untuk stabilisasi tulang belakang, untuk<br />
melindungi tandur anterior yang disisipkan,<br />
<strong>dan</strong> sekaligus untuk menjaga koreksi kifosis.<br />
Berikut akan dijelaskan berbagai macam<br />
teknik pada pembedahan spondilitis TB.<br />
d.1. Debridemen anterior <strong>dan</strong> fusi<br />
tanpa instrumentasi<br />
Debridemen anterior <strong>dan</strong> fusi tanpa<br />
instrumentasi diseut juga dengan ”Operasi<br />
Hongkong”. Pembedahan ini relatif mudah<br />
<strong>dan</strong> memerlukan waktu yang singkat.<br />
Tindakan ini meliputi debridemen radikal<br />
pendekatan anterior, diikuti penyisipan<br />
tandur tulang iga otogenik untuk koreksi<br />
deformitas kifosis. Namun, teknik ini<br />
tidak dapat digunakan untuk kasus yang<br />
memerlukan rekonstruksi luas/ setidaknya<br />
dua tingkat diskus. 47 Tingkat kegagalan fusi<br />
<strong>dan</strong> migrasi tandur sangat tinggi, sehingga<br />
sering pasien memerlukan operasi kedua. 14<br />
Penelitian oleh El-Deen dkk yang melakukan<br />
reseksi anterior radikal, diikuti fusi anterior<br />
tanpa fiksasi internal yang digantikan dengan<br />
fiksasi eksternal (plaster jacket) mendapatkan<br />
hasil yang cukup memuaskan. Namun, salah<br />
satu kerugiannya adalah durasi mobilisasi<br />
pasien yang lebih lambat dibandingkan<br />
dengan fiksasi internal. Meskipun begitu,<br />
metode ini bisa dipertimbangkan sebagai<br />
alternatif yang memberikan hasil yang cukup<br />
memuaskan. 51<br />
d.2. Debridemen anterior diikuti<br />
dengan instrumentasi anterior atau<br />
posterior<br />
Banyak laporan penelitian yang mengatakan<br />
bahwa metode ini menjanjikan hasil yang<br />
baik. Meskipun begitu, variasi metode ini<br />
sangat banyak <strong>dan</strong> sangat bergantung<br />
pada kebiasaan <strong>dan</strong> keahlian ahli bedah<br />
yang bersangkutan. Instrumentasi sangat<br />
direkomendasikan pada kasus yang<br />
memerlukan debridemen radikal setidaknya<br />
dua diskus <strong>dan</strong> satu ba<strong>dan</strong> vertebra. 47<br />
Teknik ini adalah metode yang paling sering<br />
dilakukan <strong>dan</strong> dikaji dalam penelitian.<br />
Benli dkk, melakukan penelitian dengan<br />
melakukan reseksi radikal anterior dengan<br />
fusi anterior <strong>dan</strong> instrumentasi anterior<br />
pada 63 pasien spondilitis TB mendapatkan<br />
bahwa cara ini memberikan hasil yang cukup<br />
memuaskan. Sebanyak 80 persen pasien<br />
mengalami remisi neurologis secara lengkap,<br />
20 persen mengalami remisi inkomplit.<br />
Dengan tambahan instrumentasi anterior,<br />
kemungkinan koreksi kifosis meningkat<br />
hingga 80 persen <strong>dan</strong> dapat membantu<br />
menjaga hasil koreksi tersebut. 52<br />
Pada penelitian prospektif oleh Cavusoglu<br />
dkk, dilakukan debridemen anterior radikal,<br />
dekompresi <strong>dan</strong> fusi dengan menggunakan<br />
instrumentasi anterior, tandur alogenik tibia<br />
pada 22 pasien spondilitis TB lebih dari satu<br />
tingkat <strong>dan</strong> didapatkan hasil yang baik.<br />
Pada pasien-pasien tersebut ditemukan<br />
a<strong>dan</strong>ya tanda-tanda fusi pada semua pasien,<br />
berkurangnya rasa nyeri, perbaikan gejala<br />
neurologis yang signifikan, yang dievaluasi<br />
dengan ASIA (American spinal Injury<br />
Association) impairment scale, <strong>dan</strong> rata-rata<br />
koreksi dari kifosis sebesar 74 persen. 53<br />
Penelitan oleh Jain dkk 50 , menyatakan<br />
bahwa tindakan dekompresi anterior sangat<br />
dianjurkan pada pasien spondilitis TB. Pada<br />
38 pasien dengan spondilitis TB, dekompresi<br />
anterior, instrumentasi posterior, dengan atau<br />
tanpa koreksi kifosis, <strong>dan</strong> fusi anterior/posterior<br />
dilakukan dalam sekali pembedahan melalui<br />
pendekatan anterolateral ekstrapleural. Pasien<br />
dioperasi dari posisi lateral kiri menggunakan<br />
potongan T, pada apeks kifosis. Beberapa<br />
tulang iga diangkat, <strong>dan</strong> dekompresi anterior<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
669
TINJAUAN PUSTAKA<br />
e. Pembedahan pada kasus noncontiguous<br />
dilaksanakan, kolumna posterior diperpendek<br />
16 o . 54 otogenik ataupun alogenik. Tandur krista iliaka<br />
untuk mengoreksi kifosis, jika perlu, distabilisasi<br />
dengan Hartshill rectangle <strong>dan</strong> sublaminar wire.<br />
Kemudian penyisipan tandur tulang anterior/<br />
posterior dilakukan. Nilai rata-rata kifosis preoperatif<br />
sebesar 49,<strong>08</strong>º <strong>dan</strong> nilai rata-rata<br />
(skipping lesion)<br />
Penelitian oleh Zhang dkk menyimpulkan<br />
bahwa spondilitis TB non-contiguous multilevel<br />
dapat ditatalaksana dengan adekuat<br />
dengan metode operasi tunggal pendekatan<br />
kifosis post-operatif sebesar 25 o . Sebanyak posterior transforaminal, debridemen<br />
37 pasien mengalami resolusi sempurna dari<br />
defisit neurologis dalam waktu 11 – 74 bulan.<br />
Fusi spinal terbentuk dalam empat bulan<br />
untuk satu ba<strong>dan</strong> vertebra <strong>dan</strong> delapan<br />
bulan untuk dua ba<strong>dan</strong> vertebra.<br />
thorasik, dekompresi minimal, fusi vertebra,<br />
<strong>dan</strong> instrumentasi posterior (modifikasi TTIF<br />
–Transforaminal Thoracic Interbody Fusion).<br />
Metode ini meliputi reseksi sebagian korpus<br />
vertebra, sendi faset, prosesus transversus <strong>dan</strong><br />
iga, kemudian tandur tulang disisipkan pada<br />
d.3. Dekompresi transpedikular<br />
Pendekatan transpedikular memungkinkan<br />
defek reseksi, <strong>dan</strong> terakhir dipasang implan<br />
posterior. 55<br />
akses anterior <strong>dan</strong> posterior melalui insisi<br />
tunggal. Teknik ini dikatakan tidak cukup<br />
baik untuk kasus dengan destruksi vertebra<br />
yang luas, dimana diperlukan debridemen<br />
Kekurangan dari modifikasi TTIF adalah: 1)<br />
terdapat risiko kompresi medula spinalis, 2)<br />
debridemen anterolateral sulit dilakukan,<br />
anterior luas <strong>dan</strong> rekonstruksi dengan tandur namun dengan pemberian OAT, dapat<br />
tulang. 14<br />
mengkompensasi hal ini. Cara ini tidak dapat<br />
d.4. Pembedahan dengan<br />
dipakai pada keadaan dimana abses luas<br />
terbentuk di anterior korpus. 55<br />
pendekatan posterior saja<br />
Pada kasus tertentu, pendekatan posterior saja f. Pembedahan invasif minimal<br />
dapat digunakan untuk mengangani pasien Tindakan bedah invasif minimal mulai<br />
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi menjadi trend dalam segala bi<strong>dan</strong>g<br />
<strong>dan</strong> instrumentasi posterior operasi tunggal pembedahan, termasuk pembedahan tulang<br />
tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak belakang. Pembedahan ini menjanjikan<br />
bergantung pada pemberian OAT untuk<br />
mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini<br />
tidak dapat digunakan pada kasus dengan<br />
defisit neurologis, abses di bagian anterior,<br />
atau lesi di banyak tingkat. 14<br />
morbiditas yang lebih rendah, waktu rawat<br />
yang lebih singkat, <strong>dan</strong> nyeri pasca-operasi<br />
yang lebih ringan. Tidak semua operator<br />
menguasai teknik ini karena memerlukan<br />
keahlian tersendiri.<br />
d.5. Osteotomi <strong>dan</strong> reseksi<br />
Belum banyak ahli bedah tulang yang<br />
kolumna vertebra<br />
Jika telah terjadi deformitas kifotik yang sangat<br />
kaku <strong>dan</strong> tajam, harus dilakukan osteotomi<br />
untuk meningkatkan fleksibilitas vertebra.<br />
melakukan pembedahan invasif minimal pada<br />
pasien spondilitis TB. Sejauh yang penulis<br />
ketahui, terdapat dua jenis pembedahan<br />
invasif minimal yang telah dikaji hasilnya,<br />
Osteotomi dekanselasi transpedikular yaitu 1) fusi <strong>dan</strong> debridemen anterior dengan<br />
dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga<br />
20–30 persen pada satu tingkat. Namun<br />
video-assisted thoracoscopic surgery (VATS),<br />
<strong>dan</strong> 2) pemasangan pedicle screw posterior<br />
tindakan ini memiliki angka komplikasi yang secara invasif minimal, diikuti fusi <strong>dan</strong><br />
tinggi termasuk perdarahan <strong>dan</strong> gangguan<br />
neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari<br />
anterior <strong>dan</strong> posterior.<br />
debridemen posterolateral mini-open. Kedua<br />
teknik ini dapat menghasilkan fusi vertebra<br />
yang adekuat, disertai dengan perbaikan<br />
postur, fungsional <strong>dan</strong> neurologis yang<br />
Wang dkk melaporkan penelitian pada memuaskan. 56<br />
sembilan pasien dengan spondilitis TB,<br />
dengan kifosis hingga 90 o dengan tektik g. Pilihan tandur tulang<br />
osteotomi transpedikular egg-shell <strong>dan</strong> reseksi<br />
kolumna vertebra multi-level. Seluruh pasien<br />
mengalami fusi <strong>dan</strong> perbaikan neurologis,<br />
dengan koreksi rata-rata kifosis 100 o menjadi<br />
Tandur tulang yang dapat digunakan pada<br />
penatalaksanaan bedah spondilitis TB adalah<br />
tandur krista iliaka, tandur iga, tandur tibia,<br />
tandur fibula, hingga tandur humerus, baik<br />
trikortikal adalah pilihan utama untuk seluruh<br />
tingkat vertebra karena tingginya yang dapat<br />
disesuaikan dengan kebutuhan. Namun,<br />
khusus untuk operasi daerah torakal, tandur<br />
iga otogenik juga dapat digunakan. Tandur<br />
fibula, tibia <strong>dan</strong> humerus digunakan pada<br />
keadaan dimana defek debridemen terlalu<br />
luas untuk ditutup oleh krista iliaka, atau iga<br />
tidak cukup panjang. 1<br />
h. Pembedahan pada Pasien Anak<br />
Pada anak-anak, meskipun lesi akibat<br />
spondilitis TB dapat sembuh dengan terapi<br />
non-operatif, namun kifosis cenderung terus<br />
bertambah seiring dengan berjalannya<br />
pertumbuhan, oleh karena itu perlu<br />
dilakukan koreksi kifosis secara cepat <strong>dan</strong><br />
stabilisasi vertebra pada fase aktif penyakit. 15,57<br />
<strong>Penatalaksanaan</strong> spondilitis TB anak harus<br />
secara agresif. Koreksi deformitas tulang<br />
belakang pada pasien anak adalah imperatif.<br />
Angulasi 15 o saja cukup untuk menyebabkan<br />
gangguan pertumbuhan tinggi. 42<br />
Pertumbuhan vertebra setelah pemasangan<br />
instrumen pada anak-anak post-operasi<br />
koreksi kifosis telah dipelajari <strong>dan</strong> dievaluasi.<br />
Pertumbuhan unit vertebra setelah<br />
pemasangan fiksasi internal vertebra<br />
tidak memiliki perbedaan yang signifikan<br />
dibanding vetebra yang intak. Di sisi lain,<br />
ditemukan a<strong>dan</strong>ya pertumbuhan kolumna<br />
anterior sehingga membentuk sudut lordosis<br />
yang dapat mengkoreksi kifosis secara<br />
sendirinya saat pertumbuhan berlangsung.<br />
Dilaporkan juga bahwa dalam 2 tahun, dapat<br />
terjadi kompresi implan terhadap diskus yang<br />
berpotensi menimbulkan degenerasi diksus<br />
intervertebralis. 57<br />
i. Pembedahan pada Pasien Lansia<br />
Pada pasien lansia perlu dipertimbangkan<br />
status nutrisi, komorbiditas yang ada sebelum<br />
naik ke meja operasi. Kondisi vertebra yang<br />
relatif osteoporotik umumnya tidak mampu<br />
menahan instrumen yang dipasang di bagian<br />
anterior. Untuk didapatkan koreksi kifosis<br />
<strong>dan</strong> stabilisasi spinal yang baik, diperlukan<br />
stabilisasi posterior dengan instrumentasi<br />
segmental panjang. Pemberian antiosteoporosis<br />
pre-operatif diperlukan untuk<br />
meningkatkan angka fusi <strong>dan</strong> stabilisasi<br />
vertebra oleh instrumen. 58<br />
Pilihan tandur yang baik adalah tandur<br />
alogenik, mengingat sebagian besar pasien<br />
670<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
lansia telah mengalami osteoporosis. Pendekatan<br />
bedah yang dapat memberikan waktu<br />
operasi lebih singkat sangat direkomendasikan<br />
mengingat toleransi pasien lansia yang lebih<br />
rendah terhadap operasi. Pendekatan posterior<br />
operasi tunggal direkomendasikan oleh Zhang<br />
dkk, jika memang pendekatan anterior tidak<br />
dibutuhkan sekali. Penelitian Zhang dkk<br />
mengungkapkan bahwa pendekatan posterior<br />
operasi tunggal memiliki angka komplikasi<br />
yang lebih rendah. 58<br />
3. Imobilisasi Pasca-operasi<br />
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi<br />
morbiditas pasien. Dengan instrumentasi,<br />
kebutuhan imobilisasi semakin berkurang<br />
sehingga pasien dapat cepat mencapai<br />
status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal<br />
tergantung pada tingkat lesi. Pada daerah<br />
servikal dapat diimobilisasi dengan jaket<br />
Minerva; pada daerah vertebra torakal,<br />
torakolumbal <strong>dan</strong> lumbal bagian atas dapat<br />
diimobilisasi menggunakan body cast jacket.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan pada lumbal bawah, lumbosakral,<br />
<strong>dan</strong> sakral dilakukan imobilisasi dengan body<br />
jacket atau korset dari gips yang disertai<br />
dengan fiksasi salah satu sisi panggul. 12<br />
a. Tirah baring, Imobilisasi, <strong>dan</strong><br />
Fisioterapi<br />
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat<br />
pula berupa tirah baring disertai dengan<br />
pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa<br />
imobilisasi. Tindakan ini biasanya dilakukan<br />
pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak<br />
tersedia keterampilan <strong>dan</strong> fasilitas yang cukup<br />
untuk melakukan operasi tulang belakang,<br />
atau bila terdapat permasalahan teknik<br />
operasi yang dianggap terlalu berbahaya.<br />
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan<br />
imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan<br />
sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya<br />
selama enam bulan. 12<br />
Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips<br />
untuk melindungi tulang belakang pada<br />
posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut<br />
atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan<br />
untuk imobilisasi spinal, mengurangi kompresi<br />
medula spinalis <strong>dan</strong> progresi deformitas<br />
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat<br />
berlangsung hingga empat minggu. Alwali<br />
dkk melaporkan bahwa imobilisasi dengan<br />
custom-made spinal jacket bersamaan dengan<br />
kemoterapi dapat menjadi alternatif jika<br />
tindakan bedah tidak bisa dilakukan. 29<br />
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan<br />
a<strong>dan</strong>ya gangguan fungsional. Dalam hal<br />
ini gangguan fungsional dikaitkan dengan<br />
cedera medula spinalis yang menimbulkan<br />
kelumpuhan motorik, sensorik, <strong>dan</strong> autonom.<br />
Intervensi fisioterapi yang diberikan<br />
disesuaikan dengan modalitas yang<br />
terganggu.<br />
Paraplegia yang mengharuskan pasien<br />
untuk terus duduk atau tidur berpotensi<br />
menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu,<br />
posisi baring harus sering diganti. Selain itu,<br />
pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus<br />
rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan<br />
defekasi <strong>dan</strong> berkemih dapat dibantu dengan<br />
kateterisasi intermiten <strong>dan</strong> evakuasi feses setiap<br />
hari. Mobilisasi dengan kursi roda (wheelchair)<br />
dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai<br />
pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat<br />
rencanakan untuk pelatihan kemandirian,<br />
kemampuan sosial <strong>dan</strong> melakukan aktivitas<br />
sehari-hari <strong>dan</strong> berikutnya dapat diberikan<br />
pelatihan vokasional.<br />
Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang<br />
diterapi secara medikamentosa atau bedah,<br />
direhabilitasi mulai dari masa pre-operasi<br />
hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi <strong>dan</strong><br />
fusi spinal, membuktikan bahwa fisioterapi<br />
mampu meningkatkan kualitas hidup pasien<br />
spondilitis TB, terlebih jika dikombinasi<br />
dengan terapi kuratif yang adekuat. Terapi<br />
motorik yang dilakukan antara lain difokuskan<br />
pada otot dada, perut, tungkai bawah,<br />
batang tubuh, <strong>dan</strong> ekstensor sakrospinal. Skor<br />
Modified Barthel Index (MBI) meningkat secara<br />
bermakna dimana pada saat permulaan hanya<br />
10,6 persen pasien termasuk dalam kategori<br />
mandiri, <strong>dan</strong> pada akhir studi 70,2 persen<br />
pasien termasuk dalam kategori mandiri. 59<br />
PROGNOSIS<br />
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi<br />
oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak<br />
lesi, 4) defisit neurologis, 5) diagnosis dini,<br />
6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid, 9)<br />
tingkat edukasi <strong>dan</strong> sosioekonomi.<br />
Usia muda dikaitkan dengan prognosis<br />
yang lebih baik. 12 Namun, Parthasarathy<br />
dkk 41 menyimpulkan bahwa pada pasien<br />
usia dibawah 15 tahun <strong>dan</strong> dengan kifosis<br />
lebih dari 30 o cenderung tidak responsif<br />
terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain<br />
memperburuk estetika, dapat mengurangi<br />
kemampuan bernafas. Diagnosis dini<br />
sebelum terjadi destruksi ba<strong>dan</strong> vertebra<br />
yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi<br />
yang adekuat menjanjikan pemulihan<br />
yang sempurna pada semua kasus. A<strong>dan</strong>ya<br />
resistensi terhadap OAT memperburuk<br />
prognosis spondilitis TB. Komorbid lain<br />
seperti AIDS berkaitan dengan prognosis<br />
yang buruk. Penelitian lain di Nigeria 22<br />
mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien<br />
mempengaruhi motivasi pasien untuk datang<br />
berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang<br />
rendah cenderung malas datang berobat<br />
sebelum muncul gejala yang lebih berat<br />
seperti paraplegia.<br />
SIMPULAN<br />
Infeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan<br />
sekitar satu hingga lima persen penderita<br />
tuberkulosis. <strong>Spondilitis</strong> TB berpotensi<br />
menyebabkan morbiditas serius yaitu<br />
kelumpuhan <strong>dan</strong> deformitas tulang belakang<br />
yang hebat. Diagnosis dini spondilitis TB masih<br />
terbatas. Keterlambatan diagnosis masih<br />
sering ditemukan <strong>dan</strong> mampu menyebabkan<br />
perburukan kualitas hidup penderita. MRI<br />
sampai saat ini merupakan sarana pembantu<br />
penegakan diagnosis yang paling baik<br />
sekaligus menyingkirkan diagnosis banding<br />
lainnya. Namun, jika fasilitas tidak memadai,<br />
CT scan, sinar-X, <strong>dan</strong> pencitraan lainnya dapat<br />
membantu.<br />
Baku emas untuk diagnosis pasti tetap<br />
menggunakan pemeriksaan histologis <strong>dan</strong><br />
mikrobiologis dari spesimen biopsi lesi TB.<br />
Namun pemeriksaan terbaru seperti PCR dapat<br />
membantu, tentunya harus dikorelasikan<br />
dengan klinis <strong>dan</strong> pemeriksaan lainnya.<br />
Kemoterapi OAT adalah pilihan pengobatan<br />
awal yang terbaik, terbukti paling efektif<br />
hingga saat ini. Terapi pembedahan relatif<br />
ditinggalkan sebagai pilihan pengobatan<br />
yang utama. Pembedahan dilakukan hanya<br />
dengan indikasi-indikasi tertentu. Namun<br />
karena diagnosis dini spondilitis TB yang sulit,<br />
maka pembedahan tetap masih merupakan<br />
penatalaksanaan yang umum. Variasi teknik<br />
pembedahan sangat banyak <strong>dan</strong> belum ada<br />
teknik yang baku yang dianggap paling efektif<br />
mengoreksi defisit neurologis <strong>dan</strong> deformitas.<br />
<strong>Penatalaksanaan</strong> secara holistik harus dinilai<br />
setiap pasien secara individual <strong>dan</strong> kembali<br />
lagi disesuaikan dengan kemampuan tim<br />
medis yang ada.<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
671
TINJAUAN PUSTAKA<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 20<strong>08</strong>. vol. 2, hal. 2237<br />
2. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.<br />
3. Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.<br />
4. WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005. WHO/HTM/TB/2005.411.<br />
5. Agarwal P, Rathi P, Verma R, Pradhan CG: Tuberculous spondilitis: `Global lesion’. Special issues on Tuberculosis. Bombay Hospital Journal. 1999.<br />
6. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.<br />
7. Ozol D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra and rib involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.<br />
8. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.<br />
9. Infectious and noninfectious inflammatory disease affecting the spine. Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000.<br />
c. 9 h.325 – 335.<br />
10. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.<br />
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis <strong>dan</strong> <strong>Penatalaksanaan</strong> di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5<br />
12. Vitriana. <strong>Spondilitis</strong> Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik <strong>dan</strong> Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.<br />
13. Australian Doctors International website. Terserida pada URL: http://poppy.enoch.com.au/adiv2/picture_gallery.php?id_gallery=7. au<br />
14. Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal tuberculosis. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:353–357. DOI 10.1007/s00264-011-1292-9.<br />
15. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127–136.<br />
16. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadel’s Textbook of Resporatory Medicine. 4 th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.<br />
17. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468.<br />
18. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management. Eur Spine J (2009) 18:1096–1101.<br />
19. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery. Orthopedics. January<br />
2007. Vol. 30. No.1.<br />
20. Papavramidis TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S, Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J Med Case Reports. 2007; 1: 152.<br />
21. Li YW, Fung YW. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain. Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.<br />
22. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Pott’s paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria.<br />
Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1; 2007: 22 – 25<br />
23. Savvidou C, Triantopoulou, Chatziioannou, Papailiou, et al. A rare radiological appearance of lumbar tuberculous vertebral osteomyelitis. Eur J Orthop Surg Traumatol (2010) 20:313–316.<br />
DOI 10.1007/s00590-009-0563-2.<br />
24. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous <strong>Spondilitis</strong> and Pyogenic <strong>Spondilitis</strong> in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.<br />
25. Pertuiset E, Beaudreuil J, Liote F, et al. Spinal tuberculosis in adults. A study of 103 cases in a developed country, 1980-1994. Medicine (Baltimore). Sep 1999;78(5):309-20.<br />
26. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004. Vol 45(9); 439.<br />
27. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3<br />
28. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) – 195 – 201.<br />
29. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003; Vol. 8 (1): 17-22.<br />
30. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32 (20<strong>08</strong>) 303 –309.<br />
31. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et al. Magnetic Resonance evaluation of tubercular lesion in spine. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:261–269.<br />
32. Hidalgo JA. Pott Disease. [Online]. 20<strong>08</strong> Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic<br />
33. Muzaffar T, Shaifuzain AR, Imran Y, Noor Haslina MN. Hematological changes in Tuberculous spondilitis patients at the hospital universiti sains malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public<br />
Health. Vol 39 No. 4 July 20<strong>08</strong>.<br />
34. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun JY. Discrimination of Tuberculous <strong>Spondilitis</strong> from Pyogenic <strong>Spondilitis</strong> on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 – 1410.<br />
35. Kurtaran B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series. Infectous Diseases in Clinical Practice.<br />
May 20<strong>08</strong>. Vol.16,No.3.<br />
36. Son JM, Jee WH, Jung CK, Kim SI, Ha KY. Aspergillus <strong>Spondilitis</strong> involving the Cervico-Thoraco-Lumbar Spine in an Immunocompromised Patient: a Case Report. Korean J Radiol 8(5),<br />
October 2007.<br />
37. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt<br />
Indon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).<br />
38. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics<br />
(SICOT) (20<strong>08</strong>) 32:127–133<br />
39. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classification. Page updated: 03/24/2009. Available from: URL:http://wiseyoung.wordpress.com/20<strong>08</strong>/12/19/spinal-cord-injury-levels-andclassification.<br />
40. McKinley W. Spinal Cord Injury: Neurological examination, Classification and Prognosis. Tersedia pada: URL:http://www.pmr.vcu.edu/presentations/pps/ASIA_pres.pps.<br />
41. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.<br />
42. Kaptigau WM, Koiri JB, Kevau IH, Rosenfeld JV. Surgical Management of Spinal tuberculosis in Papua New Guinea. PNG Med J 2007. Mar-Jun;50(1-2):25-32.<br />
43. Hazra A, Laha B. Chemotherapy of Osteoarticular Tuberculosis. Indian J Pharmacol. February 2005, Vol 37, Issue 1:5-12.<br />
44. Cherifi S, Guillaume MP, Peretz A. Multidrug-resistant Tuberculosis <strong>Spondilitis</strong>. Acta Clinica Belgica, 2000; 55-1.<br />
45. Li L, Zhang Z, Luo F, Xu J, et al. Management of drug-resistant spinal tuberculosis with a combination of surgery and individualised chemotherapy: a retrospective analysis of thirty-five<br />
672<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA<br />
patients. International Orthopaedics (SICOT) (2012) 36:277–283.<br />
46. Quarta L, Corrado A, Melillo N, Trotta A, et al. Combined Effect of Nerindronate and spesific antibiotic therapy in a case of tuberculous spondylodiscitis. Rheumatol Int 20<strong>08</strong>:495 –498.<br />
47. Mak KC, Cheung KMC. Surgical treatment of acute TB spondylitis: indications and outcomes. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2455-0. Publikasi online: 16 August 2012.<br />
48. Jain AK. Tuberculosis of the spine. Clin Orthop Relat Res. Jul 2007;460:2-3.<br />
49. Qureshi MA, Khalique AB, Afzal W, Pasha IF, Aebi M. Surgical Management of contiguous multilevel thoracolumbar tuberculous spondylitis. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2459-9.<br />
50. Jain AK, Dhammi IK, Prashad B, Sinha S, Mishra P. Simultaneous anterior decompression and posterior instrumentation of the tuberculous spine using an anterolateral extrapleural<br />
approach. J Bone Joint Surg (Br). 20<strong>08</strong> Nov; 90(11):1477-81.<br />
51. El-deen MA. Surgical management of Dorsolumber Tuberculous spondilitis in adults. Pan Arab J Orth Trauma. Vol (8) No. (1)/ January 2004.<br />
52. Benli IT, Acaroglu E, Akalin S, Kis M, Dumar E, Un A. Anterior radical debridement and anterior instrumentation in Tuberculosis spondilitis. Eur Spine J (2003)12: 224–234.<br />
53. Cavusoglu H, Kaya RA, Turkmenoglu ON, Tuncer C, Colak I, Aydin Y. A long-term follw up study of anterior tibial allografting and istrumentation in the management of thoracolumbar<br />
tuberculous spondilitis. J Neurosurg spine 20<strong>08</strong> 8:30-38.<br />
54. Wang Y, Zhang Y, Zhang X, et al. Posterior only multilevel modified vertebral column resection for extremely severe Pott’s kyphotic deformity. Eur Spine J 18(10):1436–1441.<br />
55. Zhang H, Lin M, Shen K, Ge L, et al. Surgical management fot multilevel noncontiguous thoracic spinal tuberculosis by single-stage posterior transforaminal, thoracic debridement, limited<br />
decompression, interbody fusion, and posterior instrumentation (modified TIFF). Arch Orthop Trauma Surg (2012) 132:751–757. DOI: 10.1007/s00402-012-1473-z.<br />
56. Kandwal P, Garg B, Upendra BN, Chowdhury B, Jayaswal A. Outcome of minimally invasive surgery in the management of tuberculous spondylitis. Indian Journal of Orthopedics (March<br />
2012). Vol. 46. Issue 2.<br />
57. Pershin AA, Mushkin AI. Vertebral column growth in children after surgical correction of severe kyphosis in tuberculosis spondilitis. Probl Tuberk Bolezn Legk.20<strong>08</strong>;(12):45-7.<br />
58. Zhang HQ, Li JS, Zhao SS, Shao YX, et al. Surgical management for thoracic spinal tuberculosis in the elderly: posterior only versus combined posterior and anterior approaches. Arch<br />
Orthop Trauma Surg. DOI 10.1007/s00402-012-1618-0, Published online: 6 October 2012.<br />
60. Nas K , Kemaloglu MS, Çevik R, Ceviz A, Necmioglu S, Bükte Y. The results of rehabilitation on motor and functional improvement of the spinal tuberculosis. Joint Bone Spine. Vol. 71. Issue<br />
4. July 2004. p. 312-316.<br />
CDK-2<strong>08</strong>/ vol. 40 no. 9, th. 2013<br />
673