08_184Derivasikardiomiosit - Kalbe
08_184Derivasikardiomiosit - Kalbe
08_184Derivasikardiomiosit - Kalbe
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Derivasi Kardiomiosit Fungsional Berbasis<br />
Teknologi induced Pluripotent Stem (iPS) Cell<br />
Sebagai Terapi Adjuvan Mutakhir Penyakit<br />
Jantung Iskemik<br />
Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi<br />
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia<br />
ABSTRAK<br />
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan spektrum Penyakit Jantung Iskemik (PJI) dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.<br />
Perburukan fungsi jantung yang berlangsung secara progresif pasca IMA di sisi lain mempredisposisikan pasien pada komplikasi gagal<br />
jantung kongestif (Congestive Heart Failure/CHF). Walaupun modalitas terapi IMA dan CHF telah mengalami kemajuan signifikan, mortalitas<br />
tetap tinggi dengan pemanjangan harapan hidup hanya bersifat temporer. Terapi sel punca memberikan harapan baru pada terapi<br />
IMA terutama bertujuan untuk meregenerasi kardiomiosit yang hilang pada proses infark. Namun pilihan sel punca yang tersedia memiliki<br />
banyak kelemahan. Penggunaan sel punca embrionik (ESC) terhambat isu etika karena melibatkan destruksi embrio, disamping kebutuhan<br />
imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan histokompatibilitas (alogenik). Sementara itu, sel punca dewasa (ASC) memiliki<br />
kapasitas kardiomiogenesis yang rendah, sumber yang terbatas, serta penurunan jumlah, fungsi, dan kapasitas diferensiasi seiring usia<br />
dan faktor penyakit. Oleh karena itu, diperlukan solusi alternatif terapi seluler yang memiliki keunggulan ESC dan ASC namun dengan<br />
keterbatasan intrinsik yang minimal. Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) bersifat pluripoten, berdaya proliferasi tinggi, serta<br />
dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan germinal dan memiliki kesamaan tinggi dengan ESC, namun terbebas dari isu etika karena bersifat<br />
autologus. Teknologi iPSC telah berhasil menderivasi kardiomiosit dengan karakteristik fenotipe, genotipe, dan fungsional yang serupa<br />
dengan kardiomiosit dewasa dan hasil derivasi ESC. Lebih lanjut, kardiomiosit tersebut mampu meregenerasi area infark dan mencegah<br />
cardiac remodeling sebagai fase awal CHF secara in vivo. Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk menganalisis karateristik dan aplikasi<br />
iPSC sebagai terapi adjuvan mutakhir penyakit jantung iskemik secara sistematis dan komprehensif.<br />
Kata kunci : iPSC, kardiomiosit, infark miokardium, gagal jantung kongestif.<br />
PENDAHULUAN<br />
Penyakit jantung iskemik (PJI) merupakan sindrom<br />
klinis yang disebabkan oleh berkurangnya<br />
aliran darah ke area jantung (iskemia<br />
miokardium) dan menyebabkan ketidakseimbangan<br />
antara kebutuhan dan suplai oksigen. 1<br />
PJI yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan<br />
nekrosis kardiomiosit secara masif<br />
yang dimanifestasikan sebagai perburukan kondisi<br />
klinis secara cepat dan mendadak hingga<br />
menimbulkan kematian atau yang dikenal dengan<br />
istilah infark miokard akut (IMA). 2 Prevalensi<br />
IMA mencapai 1,2 juta jiwa per tahun di AS<br />
dengan mortalitas sebesar 525.600 jiwa/tahun. 2<br />
Salah satu komplikasi utama infark miokardium<br />
adalah gagal jantung kongestif (congestive heart<br />
failure / CHF). 2 Saat ini, terdapat 5 juta pasien<br />
CHF dengan tambahan 550.000 kasus baru per<br />
tahun di AS. 2,3 Walaupun regimen terapi dan<br />
penatalaksanaan IMA dan CHF telah mengalami<br />
kemajuan signifikan dalam satu dekade terakhir,<br />
namun mortalitas penyakit ini masih tinggi. 4<br />
Terapi berbasis sel merupakan salah satu solusi<br />
menjanjikan untuk memperbaiki kondisi klinis<br />
dan menurunkan angka mortalitas pasien. 5<br />
Transplantasi organ jantung telah lama dilakukan<br />
dalam penatalaksanaan CHF fase lanjut.<br />
Namun kelangkaan donor, protokol imunosupresi<br />
jangka panjang, dan ketidaksiapan fasilitas<br />
kesehatan untuk terapi ini menyulitkan<br />
prosedur tersebut dilaksanakan secara rutin. 6<br />
Pendekatan terapi sel berbasis mikroskopik<br />
lantas mulai dikembangkan hingga telah diaplikasikan<br />
secara klinis berupa sel punca (stem<br />
cell therapy), termasuk pada penyakit IMA dan<br />
CHF. Sel punca adalah sel primitif (baik totipoten,<br />
multipoten, maupun progenitor) yang<br />
dapat berdiferensiasi menjadi tipe sel spesifik<br />
(termasuk kardiomiosit) sehingga dapat mengganti<br />
area organ yang mengalami degenerasi<br />
dan mampu memperbaiki atau mengembalikan<br />
fungsi organ yang terganggu tersebut.<br />
Terdapat berbagai klasifikasi sel punca, yakni<br />
berdasarkan sumber sel (autologus vs. alogenik),<br />
proses derivasi (embryonic stem cell/ESC<br />
vs. adult stem cell/ASC), dan derajat diferensiasi<br />
(totipoten, multipoten, dan progenitor). Terapi<br />
infark miokardium menggunakan ESC sangat<br />
menjanjikan karena sifat sel embrionik yang<br />
proliferatif dan totipoten (dapat menghasilkan<br />
seluruh tipe sel dari 3 lapisan germinal: endoderm,<br />
mesoderm, ektoderm) 7 sehingga secara<br />
teori, ESC dapat berdiferensiasi menjadi seluruh<br />
tipe kardiomiosit (sel pacemaker, atrium, dan<br />
ventrikel) dan vaskuler (sel endotel) yang umumnya<br />
mengalami gangguan pasca infark. Selain<br />
itu, kardiomiosit derivat ESC dapat terintegrasi<br />
dengan kardiomiosit resipien via gap junction<br />
dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi<br />
miokardium in-vivo. 8,9<br />
Namun penggunaan ESC secara rutin tidak memungkinkan<br />
karena alasan etika (akibat protokol<br />
yang destruktif terhadap embrio) dan pro-<br />
182 CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011
TINJAUAN PUSTAKA<br />
sedur imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan<br />
histokompatibilitas (karena ESC<br />
bersifat alogenik). 10<br />
Alternatif ESC adalah ASC. Hingga kini beberapa<br />
tipe ASC telah dikembangkan secara spesifik<br />
untuk meregenerasi kardiomiosit. ASC unggul<br />
terhadap ESC dari segi keamanan (tidak menimbulkan<br />
teratoma karena ASC bersifat multipoten<br />
dan/atau progenitor), etika (diperoleh<br />
secara autologus atau dari diri pasien sendiri<br />
sehingga tidak melibatkan embrio dalam derivasinya),<br />
dan bebas dari regimen imunsupresan.<br />
Namun ASC memiliki beberapa kelemahan,<br />
seperti penurunan jumlah, kapasitas<br />
diferensiasi, dan fungsi seiring usia dan penyakit<br />
(diabetes melitus dan penyakit vaskuler,<br />
termasuk iskemia vaskuler). 11 Hal ini sangat<br />
krusial mengingat kardiomiosit derivat ASC<br />
dipergunakan dalam terapi IMA dan CHF yang<br />
merupakan penyakit degeneratif dan sering<br />
dijumpai pada usia tua.<br />
Oleh karena itu, diperlukan terapi sel punca<br />
yang memiliki seluruh keunggulan ESC dan<br />
ASC dengan keterbatasan yang minimal.<br />
Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC)<br />
dapat menjadi alternatif potensial. iPSC merupakan<br />
sel punca yang diperoleh menggunakan<br />
teknologi cell reprogramming atau memprogram<br />
ulang sel somatik dewasa (misal fibroblas)<br />
menjadi sel pluripoten yang memiliki kapasitas<br />
proliferasi dan diferensiasi yang tidak<br />
terbatas dan mampu berdiferensiasi ulang<br />
menjadi seluruh tipe sel dari 3 lapisan germinal<br />
(seperti ESC) menggunakan empat faktor transkripsi<br />
(dikenal sebagai reaktivasi gen-gen<br />
pluripoten). iPSC bersifat autologus sehingga<br />
bebas dari isu etis dan regimen imunosupresan<br />
(seperti ASC). Sehingga, secara praktis iPSC<br />
memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC<br />
dengan kelemahan yang minimal.<br />
Diferensiasi kardiomiosit dari iPSC telah dikarakterisasi<br />
dalam berbagai studi, baik secara in<br />
vitro mengenai sifat genetik, ekspresi protein,<br />
morfologi, dan fisiologi hingga aplikasi klinis<br />
dalam penatalaksanaan infark miokardium secara<br />
in vivo. Berbagai studi menunjukkan kesamaan<br />
derajat tinggi antara iPSC dengan ESC<br />
dalam hal profil genom, kapasitas proliferasi<br />
dan diferensiasi. Selain itu, kardiomiosit derivat<br />
iPSC identik dengan kardiomiosit dewasa dalam<br />
segala aspek serta menunjukkan kapasitas optimal<br />
dalam regenerasi area miokardium yang<br />
infark dan mencegah komplikasi lanjut (CHF).<br />
Merujuk pada keterbatasan upaya meregenerasi<br />
kardiomiosit pasca IMA dan prevensi<br />
CHF, maka akan sangat menarik untuk dilakukan<br />
kajian komprehensif dan sistematis mengenai<br />
profil biologis iPSC dengan ESC, mekanisme<br />
molekuler derivasi kardiomiosit via teknologi<br />
iPSC, karakterisasi kardiomiosit derivat<br />
iPSC, serta aplikasinya secara klinis dalam penatalaksanaan<br />
IMA dan pencegahan komplikasi<br />
CHF.<br />
Persamaan iPSC dengan Sel Punca Embrionik<br />
(Embryonic Stem Cells/ESC).<br />
iPSC (Induced Pluripotent Stem Cells) memiliki<br />
berbagai kesamaan karakteristik dengan sel<br />
punca embrionik manusia (hESC). Pada pengamatan<br />
di bawah mikroskop, iPSC menunjukkan<br />
karakteristik morfologi dengan nukleus besar<br />
dan sedikit sitoplasma yang sangat menyerupai<br />
penampakan morfologi hESC. 12,13 iPSC memiliki<br />
kariotipe normal. 12-14 dan tetap mempertahankan<br />
panjang telomer yang dimiliki sel-sel<br />
pluripoten di mana iPSC juga menunjukkan<br />
ekspresi hTERT. 12 Hal ini menunjukkan bahwa<br />
teknologi reprogramming iPSC juga melibatkan<br />
program penataan ulang (reset) umur biologis<br />
sel yang telah berdiferensiasi kembali ke keadaan<br />
pluripoten. Takahashi dkk berhasil membuktikan<br />
bahwa iPSC juga menunjukkan kapasitas<br />
proliferasi yang ekuivalen dengan hESC,<br />
di mana population doubling time iPSC berkisar<br />
antara 43,2-47,8 jam. 12<br />
iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan<br />
profil ekspresi gen-gen secara global (genome).<br />
Analisis dengan RT-PCR dan DNA microarray<br />
menunjukkan bahwa iPSC mengekspresikan<br />
secara aktif gen-gen yang berfungsi mengatur<br />
sifat-sifat pembaharuan diri (self renewal) dan<br />
pluripotensi, seperti Oct4, Sox2, Nanog, Rex1,<br />
Gdf3, Fgf4, Esg1, DPPA2, DPPA4, dan hTERT yang<br />
merupakan gen-gen penanda spesifik atau<br />
marker hESC. 7,12,14 iPSC juga menunjukkan penekanan<br />
ekspresi (silencing) gen-gen regulator<br />
proses diferensiasi ke dalam jalur mesodermal<br />
(Brachyury, Mesp1), endodermal (Sox17, Foxa2),<br />
dan ektodermal (NeuroD1, Pax6). Ketika mulai<br />
berdiferensiasi, iPSC menunjukkan peningkatan<br />
ekspresi gen-gen regulator proses diferensiasi<br />
dan sebaliknya menunjukkan penurunan<br />
ekspresi gen-gen yang mempertahankan sifat<br />
pluripotensi dan self renewal. 15 Analisis penanda<br />
antigen permukaan melalui pengecatan imunohistokimia<br />
juga menunjukkan bahwa iPSC mengekspresikan<br />
antigen permukaaan hESC seperti<br />
SSEA-3, SSEA-4, TRA-1-60, TRA-1-81, TRA-2-49/6E<br />
iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan<br />
mekanisme regulasi ekspresi gen (status epigenetik)<br />
seperti pola metilasi DNA. 13,16,17 dan modifikasi<br />
protein histon pada struktur kromatinnya. 17-19<br />
Hal ini secara kuat dibuktikan melalui genomic<br />
sequencing analysis pada iPSC yang menunjukkan<br />
banyak daerah basa dinukleotida CpG (CpG island)<br />
pada promoter gen-gen yang mengatur sifat pluripotensi<br />
dan self-renewal seperti Oct3/4, Nanog,<br />
Fbx15, dan Rex1 tidak termetilasi (demethylation)<br />
sehingga ditranskripsikan secara aktif. 12,20<br />
iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan<br />
pola modifikasi histon kromatin. 17,20-22 Histon<br />
bivalen H3K27/H3K4me3 (H3 lysine 27/H3 lysine<br />
4 trimethylation) merupakan penanda kromatin<br />
yang sangat spesifik dan terekspresikan pada<br />
sel-sel pluripoten seperti hESC. 18,19,23 H3K27/<br />
H3K4me3 berfungsi menekan ekspresi gengen<br />
regulator proses diferensiasi, seperti Gata6,<br />
Msx2, Pax6, dan Hand1. 12 Berbeda dengan selsel<br />
pluripoten, sel-sel somatik yang telah berdiferensiasi<br />
hanya menunjukkan protein histon<br />
univalen dan kehilangan kedua penanda histon<br />
bivalen. Melalui analisis Chromatin Immunoprecipitation<br />
(ChIP) dan hibridisasi pada pelat DNA<br />
microarray, Mikelsen dkk berhasil membuktikan<br />
bahwa iPSC juga mengekspresikan histon H3K27/<br />
H3K4me3 pada struktur kromatinnya. 17 Bukti<br />
tersebut diperkuat oleh Maherali dkk yang menganalisis<br />
ekspresi histon H3K27/ H3K4me3 pada<br />
regio promoter 16.500 gen-gen iPSC dan berhasil<br />
membuktikan kesamaan profil epigenetik antara<br />
iPSC dan hESC yang mencapai angka 94,4%. 22<br />
iPSC dan hESC juga menunjukkan kesamaan<br />
kapasitas diferensiasi yang dibuktikan melalui berbagai<br />
penelitian in vitro dan in vivo pada model<br />
hewan uji coba. Pada kondisi in vitro, iPSC dapat<br />
berdiferensiasi spontan membentuk sel-sel komponen<br />
ketiga lapisan germinal (endoderm, mesoderm,<br />
dan ektoderm) melalui pembentukan<br />
badan embrioid (Embryoid Body/ EB) ketika disuspensikan<br />
pada medium diferensiasi hESC.<br />
Hal ini dibuktikan melalui analisis DNA microarray<br />
pada EB yang menunjukan terdapatnya<br />
sel-sel yang mengekspresikan gen-gen penanda<br />
fenotipik endoderm (Foxa2, Sox17, GATA 4/6, α-<br />
fetoprotein, albumin), mesoderm (Brachyury-T,<br />
Msp1/2, Isl-1, α-actin, ζ-globin, Runx2), dan ektoderm<br />
(Sox1, Nestin, Pax6, GFAP, Olig2, neurofilament, β-III<br />
Tubulin). 65 iPSC juga dapat berdiferensiasi membentuk<br />
neuron, kardiomiosit, dan sel pankreas<br />
pada kondisi in vitro, baik melalui pembentukan<br />
EB maupun melalui protokol diferensiasi spesifik<br />
(guided differentiation). 12,14,24,25<br />
CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011<br />
183
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Metode Diferensiasi iPSC Membentuk<br />
Kardiomiosit Fungsional.<br />
iPSC terbukti dapat berdiferensiasi membentuk<br />
kardiomiosit fungsional pada kondisi in vitro. 26-29<br />
iPSC dapat berdiferensiasi membentuk kardiomiosit<br />
dengan mengadopsi metode diferensiasi<br />
hESC, yaitu metode pembentukan badan<br />
embrioid (embryoid body/EB). EB merupakan<br />
struktur agregat 3 dimensi dari sel-sel pluripoten<br />
yang dapat berdiferensiasi secara spontan<br />
membentuk sel-sel endoderm, mesoderm, dan<br />
ektoderm. Secara struktural, EB tersusun atas selsel<br />
epiblas bagian dalam (inner epiblast) dan lapisan<br />
endoderm primitif pada bagian luarnya. 30,31<br />
Sel-sel mesodermal yang merupakan prekursor<br />
kardiomiosit terbentuk di antara 2 lapisan tersebut.<br />
Diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit via<br />
pembentukan EB melibatkan regulasi ekspresi<br />
gen-gen yang berperan dalam proses kardiomiogenesis<br />
menurut pola temporal yang sesuai<br />
dengan yang teramati selama perkembangan<br />
pada fase embrionik. 32,33 Tahap pertama diferensiasi<br />
ditandai oleh penurunan ekspresi gengen<br />
pluripoten, seperti Nanog, Oct4, Sox2, Rex1,<br />
dan TDGF1/Cripto. 33 Kardiomiogenesis ditandai<br />
oleh peningkatan ekspresi gen primitive streak,<br />
mesoderm, dan kardiomesoderm seperti Brachyury<br />
dan Mesp1. 26 Moretti dkk33 juga melaporkan<br />
bahwa diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit<br />
didahului oleh peningkatan ekspresi<br />
gen-gen penanda sel progenitor kardia (Cardiac<br />
Progenitor Cell/CPC), seperti Isl1, Nkx2.5, Flk1,<br />
Gata4, dan cTNT. Diferensiasi terminal membentuk<br />
kardiomiosit ditandai oleh penurunan<br />
ekspresi gen-gen mesodermal serta peningkatan<br />
ekspresi gen-gen struktural dan fungsional<br />
spesifik pada kardiomiosit (α-MHC, β-MHC,<br />
MLC-2a, MLC-2v, cTNT, ion channel protein, tropomyosin<br />
1/2, actin, α-actinin, dan phospholamban).<br />
26,27,34 Terdapat berbagai metode diferensiasi<br />
EB yang telah berhasil dikembangkan,<br />
seperti metode suspensi, hanging drop,<br />
methylcellulose culture, spinner flask, bioreactor,<br />
dan microwell technology. Metode yang sering<br />
dipergunakan adalah metode suspensi statis<br />
dan hanging drop. 26,27 Pada metode suspensi<br />
statis, tahap pertama diferensiasi iPSC adalah<br />
disosiasi iPSC dari medium kultur (MEF feeder<br />
layer) melalui penambahan enzim collagenase<br />
IV atau dispase. Koloni iPSC yang terdisosiasi<br />
akan membentuk kluster iPSC (clumps) yang tersusun<br />
atas kira-kira 500-1000 iPSC. Selanjutnya,<br />
clumps iPSC akan dikultur pada pelat low-attachment<br />
yang disertai penambahan medium suspensi<br />
yang mengandung 80% DMEM/F12,<br />
1 mmol/L L-glutamine, 0,1 mmol/L β-mercaptoethanol,<br />
1% asam amino non-esensial, dan 20% FBS<br />
(Fetal Bovine Serum). 27,35 Dalam medium suspensi<br />
tersebut, iPSC akan teragregasi spontan membentuk<br />
EB melalui interaksi adhesi antar sel.<br />
Pada hari ke-4 diferensiasi, EB yang telah terbentuk<br />
dapat dipindahkan dari medium suspensi<br />
ke dalam gelatin/poly-L-lysine coated plates<br />
untuk menginduksi terbentuknya fokus berdenyut<br />
atau beating foci. Beating foci merupakan<br />
tanda diferensiasi iPSC membentuk kardiomiosit.<br />
Secara mikroskopis, beating foci tersusun<br />
atas kluster kardiomiosit yang berdenyut secara<br />
spontan dan ritmis. Cao dkk 34 yang mengamati<br />
pola ekspresi gen selama perkembangan beating<br />
foci pada EB menemukan bahwa beating foci<br />
mengekspresikan gen-gen penanda mesoderm<br />
(Twist1, Tbx5, Meox) dan gen-gen penanda awal<br />
kardiomiogenesis (Isl1, Hand, Gata-4, Mef2c,<br />
Nkx2.5). Kardiomiosit yang terbentuk pada<br />
beating foci dapat dipanen dengan menggunakan<br />
teknik microdissection atau Percoll’s gradient<br />
centrifugation. 27,35<br />
Efisiensi metode konvensional diferensiasi iPSC<br />
membentuk kardiomiosit via pembentukan EB<br />
tergolong relatif rendah. Zhang dkk melaporkan<br />
bahwa pada hari ke-30 diferensiasi, hanya 10%<br />
populasi EB yang menunjukkan beating foci. 27<br />
Efisiensi diferensiasi via pembentukan EB dapat<br />
ditingkatkan dengan memodifikasi medium<br />
diferensiasi EB melalui penambahan senyawa<br />
kimia atau faktor pertumbuhan spesifik. Moretti<br />
dkk berhasil mendemonstrasikan bahwa penambahan<br />
20% FBS dan asam askorbat pada<br />
medium diferensiasi EB berhasil meningkatkan<br />
persentase terbentuknya beating foci pada EB,<br />
yaitu lebih dari 40% pada hari ke-18 diferensiasi. 33<br />
Analisis beating foci yang terbentuk juga menunjukkan<br />
kluster kardiomiosit yang mengekpresikan<br />
protein sarkomerik spesifik, seperti<br />
α-actinin dan cardiac troponin T (cTNT).<br />
Metode diferensiasi pada model hESC yang<br />
cukup efisien dan siap diadopsi pada model<br />
iPSC telah berhasil dikembangkan. Mengingat<br />
kesamaan karakteristik yang teramati antara iPSC<br />
dan hESC terutama kapasitas diferensiasinya,<br />
protokol diferensiasi pada model hESC dapat<br />
diadopsi dengan tingkat efisiensi yang hampir<br />
ekuivalen. 36 Yang dkk 37 berhasil mengembangkan<br />
model protokol diferensiasi dengan efisiensi<br />
produksi kardiomiosit yang mencapai 50%.<br />
Protokol diferensiasi tersebut melibatkan administrasi<br />
faktor pertumbuhan spesifik pada<br />
medium kultur EB (hESC/iPSC) serta isolasi populasi<br />
CPC. Untuk mengarahkan proses diferensiasi<br />
membentuk kardiomiosit, protokol diferensiasi<br />
terbagi atas 3 stadium, yaitu Stadium 1,<br />
2, dan 3 (Gambar 1).<br />
Pada Stadium 1 (hari ke-1 s/d hari ke-4), Activin<br />
A, BMP-4, dan bFGF diadministrasikan ke dalam<br />
medium kultur EB. Kombinasi Activin A dan<br />
BMP4 pada Stadium 1 dapat menginduksi<br />
pembentukan populasi sel-sel primitive streak<br />
dan sel-sel mesoderm primer dari populasi<br />
iPSC yang belum terdiferensiasi. Hal ini ditandai<br />
oleh adanya peningkatan ekspresi gen Brachyury<br />
dan WNT3A. Selanjutnya, pada Stadium 2 (hari<br />
ke-4 s/d hari ke-8), WNT inhibitor (DKK1) dan<br />
VEGF diadministrasikan pada medium kultur<br />
untuk menginduksi diferensiasi sel mesoderm<br />
primer membentuk kardiomesoderm, serta menginduksi<br />
ekspansi dan pematangan populasi<br />
sel CPC. 37<br />
Pada Stadium 3 (hari ke-8 s/d hari ke-14), populasi<br />
sel KDRlow/C-KITneg yang telah diisolasi<br />
dari EB akan dikultur pada medium kultur<br />
spesifik (suspensi dan monolayer) dan disertai<br />
penambahan faktor pertumbuhan DKK1 dan<br />
VEGF untuk menginduksi diferensiasi terminal<br />
sel CPC membentuk kardiomiosit. Diferensiasi<br />
membentuk kardiomiosit ditandai oleh peningkatan<br />
ekspresi gen-gen Nkx2.5, Isl1, Tbx5, Tbx20,<br />
MLC-2a, dan cTNT. Yang dkk menemukan<br />
bahwa setelah 7-10 hari dikultur, kira-kira 40%<br />
sel CPC pada medium suspensi dan 50% pada<br />
pelat monolayer berdiferensiasi membentuk<br />
kardiomiosit (cTNT+cells) berdasarkan hasil analysis<br />
dengan metode flow cytometry. Kardiomiosit<br />
yang terbentuk pada medium pelat<br />
monolayer tampak sebagai masa sel yang berdenyut<br />
secara sinkron.<br />
Laflamme dkk 38 juga berhasil mendemonstrasikan<br />
model protokol diferensiasi in vitro<br />
yang cukup efisien dalam memproduksi kardiomiosit.<br />
Berdasarkan model diferensiasi tersebut,<br />
hESC yang telah terdisosiasi dari medium<br />
kultur MEF feeder layer dapat dipelatkan pada<br />
matriks yang mengandung medium penyokong<br />
MatrigelTM, MEF-CM (Mouse Embryonic Fibroblast-Conditioned<br />
Medium), dan bFGF. Untuk menginduksi<br />
diferensiasi membentuk kardiomiosit,<br />
MEF-CM dieliminasi dari medium kultur dan digantikan<br />
dengan penambahan faktor pertumbuhan<br />
Activin A dan BMP4. Pada model hESC,<br />
Laflamme dkk menemukan bahwa 12 hari setelah<br />
penambahan Activin A/BMP4, lebih dari<br />
184 CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011
TINJAUAN PUSTAKA<br />
pluripoten (Oct3/4, Nanog) bila dibandingkan<br />
dengan ESC pada hari ke-10 dan 21. Sementara<br />
itu, ekspresi onkogen c-Myc tidak berbeda signifikan<br />
antara iPS dan ESC.<br />
Gambar 1. Diagram skematis protokol diferensiasi human iPSC membentuk kardiomiosit.37 A) Protokol<br />
diferensiasi terbagi atas 3 stadium berdasarkan tahap-tahap perkembangan kardiomiosit pada fase<br />
embrionik; B) Kombinasi faktor pertumbuhan spesifik yang digunakan pada masing-masing stadium<br />
diferensiasi; C) Perkembangan berturut-turut: human iPSC yang belum terdiferensiasi, sel mesoderm, sel<br />
progenitor kardiovaskular (CPC), dan kardiomiosit.<br />
Dalam studi Zhang dkk 27 terdapat 2 tipe iPS<br />
yang digunakan, yaitu iPS yang berasal dari<br />
klon fetus dan neonatus. hiPS tersebut diperoleh<br />
dari fibroblas sumber yang ditransduksi<br />
menggunakan 4 faktor transkripsi (Oct4,<br />
Sox2, Nanog, Lin28). Ekspresi gen-gen iPSkardiomiosit<br />
dilakukan pada hari ke-0 dan<br />
ke-60 untuk memastikan bahwa kardiomiosit<br />
telah berdiferensiasi sempurna. Hasil analisis<br />
kemudian dibandingkan dengan ESC. Analisis<br />
menggunakan RT PCR menunjukkan downregulasi<br />
gen-gen pluripoten (Oct4, Nanog)<br />
secara signifikan pada semua derivat iPS,<br />
kecuali neonatus tipe C1 yang tetap mempertahankan<br />
ekspresi Oct4 dan Nanog pada level<br />
tertentu.<br />
30% hESC berdiferensiasi membentuk kardiomiosit.<br />
Takahashi dkk berhasil membuktikan<br />
bahwa iPSC juga dapat berdiferensiasi membentuk<br />
kardiomiosit dengan mengadopsi model<br />
diferensiasi ini. Analisis RT-PCR menunjukkan<br />
kardiomiosit yang terbentuk mengekspresikan<br />
gen-gen penanda kardiomiosit seperti<br />
cTNT, Mef2c, Myl2a, Myhcb, dan Nkx2.5. 12<br />
Selain 2 metode diferensiasi di atas, metode<br />
diferensiasi yang melibatkan penggunaan medium<br />
END2-CM (Endoderm/END2 cells-Conditioned<br />
Medium) dan modulasi jalur pensinyalan<br />
p38 MAPK juga terbukti efisien dalam menginduksi<br />
diferensiasi membentuk kardiomiosit<br />
fungsional. 39 Graichen dkk 39 berhasil mendemonstrasikan<br />
bahwa penggunaan medium<br />
END2-CM sebagai medium suspensi EB pada<br />
model hESC dapat meningkatkan efisiensi<br />
pembentukan beating foci dan kardiomiosit, di<br />
mana beating foci teramati pada kira-kira 50%<br />
EB yang terbentuk dan lebih dari 12% sel-sel EB<br />
berdiferensiasi membentuk kardiomiosit (α-MHC<br />
+ cells). Selanjutnya, penambahan inhibitor p38<br />
MAPK pada medium END2-CM (konsentrasi <<br />
10 µM) bahkan meningkatkan efisiensi metode<br />
diferensiasi ini. Hampir 80% EB menunjukkan<br />
fokus berdenyut dan lebih dari 20% sel-selnya<br />
berdiferensiasi membentuk kardiomiosit.<br />
Bukti in vitro dan in vivo Kardiomiosit Hasil<br />
Derivasi Teknologi iPSC.<br />
Karakterisasi Genotipe.<br />
Salah satu kriteria utama yang menentukan kapasitas<br />
iPS dalam berdiferensiasi menjadi kardio-<br />
miosit adalah melalui ekspresi gen-gen spesifik<br />
sesuai dengan ciri khas tipe sel tersebut. Mauritz<br />
dkk 29 berhasil memetakan ekspresi gen sesuai<br />
tahap perkembangan iPS hingga menjadi kardiomiosit<br />
fungsional. Studi tersebut membagi<br />
tahapan perkembangan iPS-kardiomiosit menjadi<br />
4 fase, yakni: iPS yang belum berdiferensiasi,<br />
mesodermal-endodermal, mesoderm jantung,<br />
dan kardiomiosit (Gambar 2), konsep<br />
yang mirip diterapkan oleh Martinez-Fernandez<br />
dkk.40 iPS yang belum berdiferensiasi mengekspresikan<br />
gen-gen pluripoten (Oct3/4, Nanog)<br />
dengan sangat kuat dan menurun secara gradual<br />
hingga mencapai minimal pada hari<br />
diferensiasi ke-21. Seiring dengan penurunan<br />
ekspresi gen-gen pluripoten, terjadi upregulasi<br />
gen mesodermal (Brachyury, Mesp1) yang sebelumnya<br />
telah diekspresikan secara minimal<br />
pada iPS yang belum berdiferensiasi. Sementara<br />
itu, gen-gen endoderm (Sox17, FoxA2, AFP)<br />
juga terekspresi pada iPS yang telah berdiferensiasi<br />
sempurna. Gen penanda jaringan endodermal<br />
juga diteliti karena terdapat bukti<br />
peranan jaringan tersebut dalam jalur pensinyalan<br />
molekuler yang penting bagi diferensiasi<br />
iPS. Pada hari diferensiasi ke-10 telah dapat<br />
diamati upregulasi gen-gen mesoderm jantung<br />
(FOG-2, GATA4, Nkx2.5, Tbx5, Tbx20). Sedangkan<br />
pada hari yang sama pula telah terjadi upregulasi<br />
gen-gen spesifik kardiomiosit (MLC2v,<br />
MLC2a, ANF), sementara ekspresi α-MHC baru<br />
diekspresikan pada hari ke-21. Secara global,<br />
fase ekspresi gen iPS-kardiomiosit menyerupai<br />
ESC-kardiomiosit, kecuali derivat iPS menunjukkan<br />
keterlambatan downregulasi gen-gen<br />
Konsep generasi kardiomiosit yang sistematis<br />
dilakukan oleh Narazaki dkk. 41 iPS yang dihasilkan<br />
dikultur dalam medium kolagen IV dan sel<br />
stroma dan pada hari ke-4, koloni sel tersebut<br />
diseleksi berdasarkan ekspresi Flk1 (penanda<br />
sel progenitor jantung dan sel hematopoietik).<br />
Sel Flk1 + ini kemudian dikultur dalam medium<br />
diferensiasi kardiomiosit dan dinilai ekspresi<br />
gennya. Intensitas gen kardiomiosit spesifik<br />
(Nkx2.5, MHY6, Mlc2v, Mlc2a, HCN4, connexin<br />
40) baru muncul pada hari diferensiasi ke-4,<br />
sedangkan gen mesoderm jantung (Brachyury)<br />
telah dapat diamati pada hari diferensiasi ke- 2,5.<br />
Sedangkan gen penanda progenitor jantung<br />
(Flk1 dan Isl1) muncul pada hari ke-3,5.<br />
Prinsip diferensiasi iPS secara sistematis juga<br />
dilakukan oleh Schenke-Layland dkk. 42 iPS diarahkan<br />
diferensiasinya menjadi badan embryoid<br />
(EB) atau dikultur pada kolagen IV. Sel koloni<br />
yang muncul kemudian diseleksi berdasarkan<br />
ekspresi Flk1. Sel Flk1 + yang belum diarahkan<br />
diferensiasinya menjadi kardiomiosit mengekspresikan<br />
gen progenitor jantung seperti<br />
c-kit, Sca-1, Isl1, dan Nkx2.5. Setelah dikultur<br />
dalam medium diferensiasi kardiomiosit, sel<br />
Flk1+ mulai mengalami upregulasi gen-gen<br />
kardiomiosit dewasa, meliputi GATA4, Mef2c,<br />
MHY6, MHY7. Sel koloni yang berasal dari EB<br />
maupun kolagen IV tidak menunjukkan perbedaan<br />
signifikan dalam ekspresi berbagai gen<br />
tersebut. Proses diferensiasi iPS secara sistematis<br />
yang hanya menggunakan sel progenitor<br />
jantung bermanfaat menurunkan risiko formasi<br />
tumor karena sel progenitor tersebut hanya<br />
186 CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011
TINJAUAN PUSTAKA<br />
berkomitmen menjadi kardiomiosit, sementara<br />
itu penggunaan iPS bersiko menimbulkan teratoma<br />
akibat protokol diferensiasi yang kurang<br />
sempurna maupun retensi gen-gen pluripoten<br />
embrionik.<br />
Akhirnya, karakterisasi genotipe iPS-kardiomiosit<br />
dipetakan secara jelas oleh van Laake<br />
dkk 43 yang menggunakan penanda molekuler<br />
(green fluorescent protein / GFP) yang ekspresinya<br />
diregulasi oleh promoter Nkx2.5 (faktor<br />
transkripsi kardiomiosit) pada mencit transgenik.<br />
iPS dengan manipulasi genetik tersebut<br />
berhasil berkembang menjadi EB dan mengalami<br />
penurunan ekspresi gen-gen pluripoten.<br />
Setelah diferensiasi hari ke-8, genom iPS<br />
diisolasi dan dibandingkan dengan genom<br />
ESC. Dari total 28.853 transkrip mRNA, hanya<br />
195 yang berbeda secara signifikan. Diantara<br />
transkrip tersebut, hanya 38 gen yang berbeda<br />
lebih dari dua kali intensitas. Analisis kemudian<br />
dilanjutkan dengan membandingkan perbedaan<br />
ekspresi gen antara berbagai tipe iPS yang<br />
dicurigai berbeda antara sel yang sehat dan<br />
berpenyakit. Berdasarkan analisis microarray,<br />
ternyata perbedaan antar klon iPS juga sangat<br />
minimal. Temuan ini menunjukkan kemiripan<br />
iPS dengan ESC hingga level ekspresi gen.<br />
Selain itu, intensitas ekspresi genetik antar klon<br />
iPS juga terbukti minimal. Hasil studi tersebut<br />
semakin mendukung aplikasi iPS sebagai alternatif<br />
ESC dalam aspek luas, termasuk diferensiasi<br />
menjadi kardiomiosit untuk kepentingan<br />
terapi sel dan farmakogenomik.<br />
Karakterisasi Fenotipe.<br />
Interpretasi eskpresi gen sebagai penanda fase<br />
perkembangan dan diferensiasi iPS menjadi<br />
kardiomiosit perlu ditelaah secara kritis karena<br />
tidak seluruh transkrip mRNA yang mengalami<br />
upregulasi ditranslasikan menjadi protein. Oleh<br />
karena itu, berbagai karakterisasi fenotipe<br />
dilakukan untuk mengevaluasi morfologi iPSkardiomiosit.<br />
Salah satu tanda bahwa fibroblas telah terprogram<br />
ulang menjadi iPS ialah diekspresikan antigen<br />
SSEA-1 dan AP sebagai ciri khas sel embrionik<br />
(Gambar 2). Dengan menggunakan teknologi<br />
immunostaining, iPS yang dihasilkan<br />
dari fibroblas positif terwarnai dengan antibodi<br />
spesifik SSEA-1 dan AP, menandakan ekspresi<br />
protein embrionik dan sel telah terprogram ulang<br />
menjadi pluripoten. 43 Sedangkan sel parental<br />
(fibroblas) tidak mengekspresikan protein embrionik<br />
saat diwarnai menggunakan teknologi<br />
yang sama. 28,43<br />
Studi lain menunjukkan ekspresi protein penanda<br />
pluripotensi seperti Nanog, Oct4, TRA-I-<br />
60, dan SSEA-4 pada sel iPS dan ESC. Namun<br />
antigen SSEA-1 tidak terdeteksi pada kedua<br />
klon. Ekspresi protein embrionik tersebut berkurang<br />
secara gradual seiring diferensiasi iPSC<br />
menjadi badan embryoid (EB). 26<br />
Pada fase diferensiasi berikutnya, iPSC mulai<br />
mengekspresikan protein penanda kardiomiosit<br />
spesifik, seperti formasi striae sarkomerik,<br />
protein kontraktil α-actinin, troponin I, troponin<br />
T, troponin C, dan gambaran protein gap<br />
junction connexin43 .29,40,42,44 Ekspresi protein<br />
serupa juga ditemukan pada studi Narazaki dkk. 41<br />
Sel progenitor jantung Flk1 + yang diseleksi dari<br />
koloni iPSC pada hari diferensiasi ke-8 menunjukkan<br />
formasi striae sarkomerik, selain positif<br />
terhadap pewarnaan α-actinin, connexin 43,<br />
HCN4, Cav3.2 (kanal kalsium tipe T), dan Kir2.1.<br />
Studi lain menunjukkan ekspresi protein kontraktil<br />
α-actinin dan Mlc-2v pada iPSC yang<br />
berdiferensiasi di hari ke-16. Lebih lanjut, immunostaining<br />
terhadap protein ANF dilakukan<br />
untuk mengetahui fungsi endokrin kardiomiosit<br />
derivat iPSC. Namun ternyata hasil pewarnaan<br />
negatif ditemukan pada kardiomiosit derivat<br />
iPSC, sedangkan pewarnaan ANF positif pada<br />
sel atrium derivat ESC, namun negatif pada sel<br />
ventrikel. Hal ini dapat mengindikasikan keterlambatan<br />
maturasi kardiomiosit derivat iPSC<br />
dibandingkan dengan ESC atau kecenderungan<br />
iPSC untuk berdiferensiasi menjadi sel ventrikel. 45<br />
Tahapan diferensiasi iPSC menjadi kardiomiosit<br />
diawali dengan perubahan morofologi fibroblas<br />
(berbentuk panjang dan pipih) menjadi<br />
padat dan bulat sebagai ciri khas sel embrionik<br />
dengan penyusutan rasio sitosol-nukleus. Perubahan<br />
morfologi tersebut dapat diamati 3 minggu<br />
pasca transduksi fibroblas menggunakan<br />
faktor transkripsi pluripotensi (Sox2, Klf4, Oct3/4,<br />
c-Myc/Lin28). 44 Koloni sel tersebut telah mengalami<br />
regresi menjadi iPSC dan positif terhadap<br />
pewarnaan gen-gen pluripotensi. 26,43 Sel-sel<br />
iPS ini kemudian dikultur dalam medium spesifik<br />
dengan protokol “hanging drop” sehingga<br />
berubah menjadi badan embryoid (EB) mulai<br />
hari ke-5 hingga hari ke-14 pasca kultur. 44<br />
Persentase sel iPS yang berdiferensiasi menjadi<br />
EB pada berbagai derivat iPSC berkisar antara<br />
1-10%, sedangkan efisiensi generasi EB dari<br />
ESC relatif lebih tinggi (maksimum 22%). 74 Pada<br />
hari ke-6 pasca kultur, EB mulai menunjukkan<br />
aktivitas berdenyut spontan (spontaneous beating<br />
activity) sebagai tanda bahwa EB mulai berkomitmen<br />
menjadi kardiomiosit dewasa.<br />
Pada hari ke-6 pasca kultur, hampir separuh<br />
EB-derivat ESC berdenyut spontan (49,7 ± 8,5%)<br />
sedangkan EB-derivat iPSC baru dijumpai berdenyut<br />
pada hari-8 dengan persentase amat<br />
rendah. Namun demikian, persentase EB yang<br />
berdenyut spontan terus mengalami peningkatan,<br />
baik pada ESC maupun iPSC. Pada hari<br />
ke-19 hingga 24, sebanyak 84 hingga 100%<br />
EB-derivat ESC berdenyut spontan, sedangkan<br />
EB-derivat iPSC yang berdenyut mencapai<br />
55±4,2% pada hari ke-24 pasca kultur. Jumlah<br />
area kontraksi atau denyutan per EB bervariasi,<br />
antara 1-9% pada EB-derivat ESC dan 1-15%<br />
pada EB-derivat iPSC. Namun secara keseluruhan,<br />
EB-derivat iPSC memiliki jumlah denyutan<br />
per EB yang lebih rendah dengan ukuran dan<br />
morfologi yang lebih kecil rerata diameter<br />
300-400 µm) dibandingkan dengan EB-derivat<br />
ES. Temuan ini konsisten dengan ekspresi<br />
mRNA troponin T sel iPSC yang lebih rendah<br />
3-5 kali daripada ESC sehingga menghasilkan<br />
kardiomiosit dengan ukuran yang lebih kecil<br />
dengan fungsionalitas inferior terhadap EBderivat<br />
ESC. 29,40<br />
Selain metode immunostaining dan kemampuan<br />
formasi EB, evaluasi morfologi dan fenotipe<br />
iPSC meliputi formasi teratoma dan kemampuan<br />
membentuk chimaera saat diinjeksikan<br />
pada ESC fase morula-blastula. Metode<br />
yang terakhir merupakan salah satu kriteria<br />
tertinggi untuk menguji validitas sel embrionik,<br />
termasuk iPSC karena injeksi ESC pada embryo<br />
fase blastula (8 sel) dapat menghasilkan 95-<br />
100% chimaera (organisme dengan struktur<br />
genom yang heterogen dan berbeda dengan<br />
induknya) yang didominasi oleh ekspresi ESC<br />
yang diinjeksikan. 46 Sehingga, konsep ini seharusnya<br />
berlaku pula pada iPSC yang memiliki<br />
sifat-sifat embrionik dan pluripotensi.<br />
Injeksi iPSC pada mencit NOD-SCID secara<br />
subkutan dan intramuskuler sebanyak 500.000<br />
sel menyebabkan formasi teratoma beberapa<br />
minggu kemudian. Pada pemeriksaan histologi<br />
ditemukan 3 turunan sel (cell lineage) yakni<br />
endoderm (epitel glandular), ektoderm (epitel<br />
keratin), dan mesoderm (jaringan ikat mesenkimal).<br />
28,44 Studi lain juga menemukan formasi<br />
teratoma dengan komposisi sel yang beragam,<br />
meliputi nestin [progenitor neuron], rosette<br />
neuron, jaringan adiposa, kartilago, otot, dan<br />
epitel setelah dilakukan protokol percobaan<br />
yang sama. 43<br />
Kriteria formasi chimaera diawali dengan koinkubasi<br />
iPSC bersama dengan morula yang telah<br />
CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011<br />
187
TINJAUAN PUSTAKA<br />
terdenudasi (metode ini disebut agregasi diploid<br />
non-koersi). Dalam 24 jam, telah terbentuk<br />
blastosis campuran antara sel induk dengan<br />
iPSC. 40 Blastosis chimaera ini kemudian ditransplantasikan<br />
pada uterus mencit surrogate (mencit<br />
yang dimanfaatkan sebagai sarana pertumbuhan<br />
embryo namun bukan merupakan induk<br />
biologisnya) dan mampu berkembang dengan<br />
baik dalam organogenesis. 40 Nelson dkk 28 menggunakan<br />
iPSC berlabel lacZ untuk menandai<br />
kontribusi sel tersebut dalam embryogenesis<br />
chimaera. Hasilnya, setelah 9,5 hari pos coitum<br />
(day post coitum / dpc), iPSC berperan dalam<br />
formasi organ jantung, meliputi cardiac inflow<br />
(vena cava superior-inferior, vena pulmonalis)<br />
dan outflow tracts (aorta, arteri pulmonalis) yang<br />
menunjukkan kemampuan iPSC dalam organogenesis<br />
secara de novo. Sedangkan agregasi<br />
diploid in utero menggunakan iPSC menunjukkan<br />
kontribusi sel tersebut terhadap kardiogenesis<br />
sejak 8 dpc hingga teramati dalam<br />
formasi cardiac inflow dan outflow tracts pada<br />
9,5 dpc. Saat mencit dilahirkan, tidak terdapat<br />
perbedaan fisik antara mencit kontrol dan<br />
chimaera produk integrasi iPSC, kecuali warna<br />
bulu yang mosaik. Evaluasi ekspresi luciferase<br />
transgenik menunjukkan intensitas chimaerism<br />
yang tinggi pada mencit chimaera. Akhirnya,<br />
ekokardiografi transtoraks pada jantung mencit<br />
chimaera menunjukkan struktur atrium, ventrikel,<br />
katup, dan pembuluh darah besar serta fungsi<br />
sistole-diastole yang normal bila dibandingkan<br />
dengan mencit kontrol. 44<br />
Karakterisasi Fungsional.<br />
Peningkatan ekspresi gen spesifik dan perubahan<br />
morfologi iPSC menjadi kardiomiosit perlu<br />
dibuktikan secara fungsional. Kardiomiosit derivat<br />
iPSC harus mampu menunjukkan aktivitas<br />
kontraksi ritmis, fluktuasi berbagai ion yang berperan<br />
dalam aksi potensial (natrium, kalium, dan<br />
kalsium), dan kemampuan meregenerasi kardiomiosit<br />
yang mengalami infark (Gambar 2).<br />
Analisis aksi potensial (AP) terhadap EB derivat<br />
iPSC (hari ke-56 sampai 70 pasca formasi) menggunakan<br />
multielectrode array menunjukkan<br />
tiga tipe AP, yakni ventrikel, atrium, dan nodal.<br />
Persentase EB dengan AP ventrikel, atrium, dan<br />
nodal tidak jauh berbeda antara iPSC dengan<br />
ESC (70%; 10%; 20% vs. 60%; 20%; 20%). 27<br />
Studi lain menunjukkan bahwa EB yang mengalami<br />
kontraksi spontan menghasilkan ritme<br />
kontraksi yang seragam, mengindikasikan aktivitas<br />
AP yang koordinatif. 44 Lebih lanjut, aktivitas<br />
AP direkam menggunakan voltage-clamp<br />
dan saat depolarisasi membran terdapat perubahan<br />
elektrisitas sel dari -100 mV menjadi 60 mV.<br />
Hal ini menunjukkan aliran arus internal dan<br />
eksternal dari kardiomiosit derivat iPSC yang<br />
tidak dijumpai pada fibroblas. Untuk membuktikan<br />
bahwa arus internal diregulasi oleh ion<br />
kalsium, ion tersebut dieliminasi dari kardiomiosit<br />
yang bersangkutan. Hasilnya, AP dan arus<br />
internal tidak terdeteksi. 44<br />
Sementara itu, ion kalsium dijumpai meningkat<br />
secara homogen pada kardiomiosit derivat<br />
iPSC dan ESC pada hari ke-3 hingga 7 pasca<br />
kontraksi spontan menggunakan mikroskop<br />
laser konfokal, yang mengindikasikan regulasi<br />
pelepasan ion kalsium secara optimal dari<br />
deposit kalsium intraseluler. 29 Saat dimuat<br />
dengan kalsium yang selektif terhadap probe<br />
Fluoro-4AM, sel menghasilkan aktivitas listrik<br />
(transients) ritimis yang konsisten terhadap<br />
influks-efluks kalsium saat diastolik dan sistolik.<br />
Amplitudo aktivitas listrik ion kalsium antara<br />
kardiomiosit derivat iPSC dan ESC tidak berbeda<br />
signifikan (281 ± 23 nmol/L vs. 298 ± 24<br />
nmol/L) 29 , termasuk dalam batasan normal<br />
seperti yang dijumpai pada kardiomiosit orang<br />
dewasa. 47 Selain itu, dapat dijumpai koloni sel<br />
yang berkontraksi secara sinkron yang mengindikasikan<br />
adanya komunikasi antara sel di<br />
antara sinsitium. 44<br />
Dalam studi lain dijelaskan analisis fisiologi EB<br />
yang berdenyut spontan menggunakan teknologi<br />
multielectrode array (MEA). EB hasil derivasi<br />
iPSC diisolasi dan ditempatkan pada plat MEA<br />
yang terdiri dari elektroda dan dapat merekam<br />
aktivitas elektris ekstraseluler. Hasil elektrogram<br />
menunjukkan perkembangan sinsitium fungsional<br />
dengan aktivitas pacemaker yang stabil,<br />
disertai propagasi AP yang tersinkronisasi. 26<br />
Kardiomiosit dewasa memiliki sistem neuroendokrin<br />
yang baik dan dapat merespon agen<br />
β-adrenergik dan muskarinik secara fisiologis.<br />
Oleh karena itu, kriteria ini perlu diujikan pada<br />
kardiomiosit derivat iPSC untuk mengetahui<br />
kemiripan fungsi dengan kardiomiosit dewasa.<br />
Kuzmenkin dkk 45 menggunakan carbachol<br />
(CCh / analog sintetik asetilkolin) untuk menilai<br />
fungsi reseptor muskarinik di awal formasi EB<br />
(EDS) dan fase akhir diferensiasi kardiomiosit<br />
(LDS). Hasilnya, CCh menurunkan aktivitas AP<br />
sebesar 26,7 ± 9,2% di awal formasi EB dan<br />
persentasenya meningkat hingga 39,7 ± 11,7%<br />
pada fase akhir diferensiasi kardiomiosit. Kronotropi<br />
negatif yang dihasilkan oleh pemberian<br />
CCh menghilang saat periode washout.<br />
Hasil percobaan ini diamati pula pada kardiomiosit-derivat<br />
ESC dan kardiomiosit fetus.<br />
Gambar 2. Sistem identifikasi iPS berdasarkan genotipe, fenotipe, dan kapasitas fungsional<br />
(diadaptasi dari: Nelson dkk 28 ; Schenke-Layland dkk 42 ).<br />
188 CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Pengujian dilanjutkan dengan pemberian isoproterenol<br />
(Iso/agonis β-adrenergik) 1µM pada<br />
EDS dan LDS. Frekuensi AP meningkat hingga<br />
118,7 ± 27,6% saat EDS dan 89,3 ± 28,6% saat<br />
LDS. Efek Iso hilang setelah periode washout,<br />
mengindikasikan kemampuan autoregulasi<br />
neuroendokrin kardiomiosit-derivat iPSC yang<br />
optimal. Efek kronotropi positif ini juga diamati<br />
pada kardiomiosit-derivat ESC dan kardiomiosit<br />
fetus dengan perbedaan yang tidak<br />
signifikan. Berikutnya, diberikan lidokain dan<br />
nifedipine yang masing-masing merupakan<br />
blocker kanal ion natrium dan kalsium tipe L.<br />
Hasilnya, seluruh blocker memberikan efek<br />
kronotropi negatif pada kardiomiosit-derivat<br />
iPSC. Lidokain menurunkan frekuensi AP secara<br />
signifikan sebesar 80,2 ± 13,7% dan Vmaks<br />
sebesar 55,9 ± 13,1 %. Efek blocker hilang<br />
setelah periode washout.<br />
Evaluasi AP dan arus listrik ion kalsium saat<br />
distimulasi CCh dan Iso juga dilakukan menggunakan<br />
teknologi MEA. Kardiomiosit-derivat<br />
iPSC ditempatkan pada plat MEA berisi elektrode<br />
yang dapat merekam aktivitas elektrik<br />
sel. Kemudian diberikan 1 µmol/L Iso dan 10 µ<br />
mol/L CCh pada kesempatan yang terpisah.<br />
Frekuensi AP sel meningkat signifikan dibandingkan<br />
kondisi awal (saat pemberian Iso) dan<br />
menurun saat pemberian CCh. Pemberian kedua<br />
agen ini secara bersamaan mampu memblok<br />
efek Iso sehingga terjadi penurunan AP. Hal ini<br />
terjadi karena konsentrasi CCh 10 kali lebih tinggi<br />
dibandingkan Iso. Hasil percobaan ini komparabel<br />
dengan kardiomiosit derivasi ESC. 29<br />
Akhirnya, kemampuan fungsional kardiomiosit<br />
yang dihasilkan dari sel iPSC perlu diuji secara<br />
in vivo sebagai kriteria tertinggi dan terpenting.<br />
Kemampuan sel tersebut untuk meregenerasi<br />
area infark pada jantung adalah outcome<br />
terakhir yang harus dipenuhi apabila hendak<br />
mempertimbangkan teknologi sel iPS untuk<br />
kepentingan terapi (Gambar 2). Pertanyaan ini<br />
dijawab oleh studi Nelson dkk 28 dengan menginduksi<br />
iskemia dan infark pada jantung mencit<br />
imunokompeten. Ligasi arteri koroner kiri menyebabkan<br />
oklusi ireversibel pada aliran darah<br />
epikardium. Hal ini menyebabkan terganggunya<br />
pergerakan dinding anterior (impaired anterior<br />
wall motion), penurunan fungsi jantung secara<br />
global (depressed global cardiac function), dan<br />
penurunan fraksi ejeksi (ejection fraction / EF)<br />
dari 82 ± 3% sebelum infark menjadi 38 ± 3%,<br />
sehari setelah infark. Iskemi myokardium dikonfirmasi<br />
menggunakan EKG, ekokardiografi, dan<br />
perubahan warna dinding ventrikel.<br />
Sebanyak 200.000 sel fibroblas maupun iPSC<br />
ditransplantasikan pada area iskemia, 30 menit<br />
setelah ligasi. Hasilnya, kelompok terapi fibroblas<br />
tetap menunjukkan penurunan EF secara<br />
persisten menjadi 37 ± 4% setelah 4 minggu.<br />
Sementara itu, terapi iPSC memperbaiki kontraktilitas<br />
jantung dan meningkatkan EF hingga<br />
56 ± 22% (minggu ke-2) dan 50 ± 5% (minggu<br />
ke-4). Perbaikan klinis lainnya meliputi pemendekan<br />
fraksional yang meningkat (20 ± 1% 1<br />
hari pos-infark vs. 31 ± 3% 4 minggu pos-infark).<br />
Lebih lanjut, ketebalan dinding septum regional<br />
(regional septal wall thickness) mengalami perbaikan<br />
dengan terapi iPSC, namun tidak dengan<br />
pemberian fibroblas (1,31 ± 0,11 mm; median<br />
1,20 mm vs. 0,88 ± 0,06 mm;median 0,90 mm;<br />
P=0,006). Penurunan kontraktilitas jantung di<br />
area dinding anterior yang iskemik menyebabkan<br />
daerah akinetik dan pergerakan (motion)<br />
dinding jantung sistolik yang mengindikasikan<br />
aneurisma pada kelompok terapi fibroblas.<br />
Sebaliknya, terapi iPSC menimbulkan kontraksi<br />
jantung konsentrik dan koordinatif seperti yang<br />
divisualisasikan pada pencitraan aksis panjang<br />
dan pendek. Berdasarkan temuan ini, terapi kardiomiosit-derivat<br />
iPSC mampu memperbaiki kinerja<br />
fungsional setelah infark miokard akut (IMA).<br />
Lebih lanjut, peneliti juga mengevaluasi efek<br />
terapi iPSC terhadap pathological remodelling<br />
jantung pasca infark. Hal ini sering dijumpai<br />
secara klinis pada pasien IMA (remodelling maladaptif<br />
akibat adanya area akinetik) sehingga menimbulkan<br />
komplikasi sekunder berupa gagal<br />
jantung yang memiliki prognosis buruk. Hasilnya,<br />
diameter ventrikel kiri saat diastolik (left ventricular<br />
diastolic diameter/LVDd) meningkat pada<br />
kelompok fibroblas dan iPSC, namun lebih terhambat<br />
pada grup iPSC (3,2 ± 0,1 mm; median<br />
3,1 mm [pre-infark] menjadi 4,9 ± 0,1 mm;<br />
median 4,9 mm [fibroblas] vs. 4,2 ± 0,2 mm;<br />
median 4,2 mm [iPSC]). Pencitraan ekokardiografi<br />
meunjukkan defisit struktur regional<br />
(regional structural deficits) dengan penipisan<br />
dinding dan dilatasi ruang jantung pada kelompok<br />
fibroblas. Sedangkan hal tersebut dijumpai<br />
secara minimal pada kelompok terapi<br />
iPSC. Remodelling struktural patologis ini mengganggu<br />
kestabilan elektrofisiologi sehingga<br />
mengakibatkan pemanjangan interval QT yang<br />
meningkatkan risiko aritmia. Kelompok fibroblas<br />
mengalami peningkatan interval QT dari<br />
28,9 ± 1,4 ms (median 28,1 ms) menjadi 55,9 ±<br />
1m3 ms (median 55,8 ms). Sedangkan interval<br />
QT meningkat minimal pada iPSC (40,8 ± 1,3<br />
ms; median 40,3 ms). Seluruh hasil klinis ini dikonfirmasi<br />
oleh hasil otopsi dengan pemeriksaan<br />
makroskopik yang menunjukkan ukuran jantung<br />
lebih kecil serta tidak terdapat formasi<br />
aneurisma maupun penipisan dinding jantung<br />
pada kelompok terapi iPSC dibandingkan<br />
fibroblas.<br />
Keamanan Prosedur dan Kualitas iPSC.<br />
Keamanan prosedur reprogramming dan kualitas<br />
iPSC harus dipastikan sebelum teknologi<br />
iPSC dapat diterapkan secara klinis, terutama<br />
sebagai sumber regenerasi kardiomiosit pada<br />
terapi IMA. Mekanisme konvensional reprogramming<br />
iPSC melibatkan penggunaan vektor retrovirus<br />
dan integrasi transgen ke dalam<br />
genom sel somatik sehingga berisiko memicu<br />
terjadinya mutagenesis insersional dan<br />
pembentukan teratoma. Penggunaan faktor<br />
transkripsi onkogenik juga dapat meningkatkan<br />
risiko tumorigenesis pasca transplantasi<br />
sel-sel derivat iPSC. Namun, mekanisme<br />
reprogramming iPSC yang lebih aman tanpa<br />
penggunaan vektor retrovirus dan faktor<br />
transkripsi onkogenik telah berhasil<br />
dikembangkan. 48-50<br />
Stadtfeld dkk 50 berhasil mendemonstrasikan<br />
mekanisme reprogramming iPSC pada fibroblast<br />
dan sel hati dengan menggunakan vektor<br />
adenovirus. 50 iPSC yang dihasilkan dengan metode<br />
ini juga menunjukkan kesamaan karakteristik<br />
dengan hESC. Di samping itu, analisis PCR<br />
dan Southern Blot tidak menunjukkan bukti<br />
adanya integrasi transgen ke dalam genom<br />
iPSC. Sementara itu, Woltjen dkk telah berhasil<br />
mengembangkan metode penghantaran transgen<br />
dengan menggunakan sistem PiggyBac<br />
(PB) transposon/transposase.51 Dalam metode<br />
tersebut, transgen faktor reprogramming Oct4,<br />
Sox2, Klf4, dan c-Myc ditransfer ke dalam plasmid<br />
PB-TET transposon (PB-TET-mFX) di bawah<br />
kendali transkripsional TetO2 tetracycline/doxycycline<br />
inducible promoter. Menariknya, insersi<br />
PB dapat dieliminasi dari genom iPSC dengan<br />
memanfaatkan aktivitas eksisi PB transposase<br />
ketika klon iPSC telah berhasil dibentuk.<br />
Yu dkk melaporkan bahwa iPSC juga dapat<br />
dihasilkan melalui transfeksi oriP/EBNA1 (Epstein-<br />
Barr Nuclear Antigen-1) episomal-based vectors<br />
pada fibroblast. 49 oriP/EBNA1 sangat ideal untuk<br />
penghantaran transgen faktor reprogramming<br />
karena plasmid ini dapat ditansfeksikan secara<br />
langsung tanpa memerlukan penghantar virus<br />
dan dapat dieliminasi dari iPSC yang telah dihasilkan<br />
sehingga integrasi transgen ke dalam<br />
genom iPSC dapat dihindari. Transfeksi plamid<br />
yang membawa unit DNA komplementer (cDNA)<br />
CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011<br />
189
TINJAUAN PUSTAKA<br />
terbukti mampu menghasilkan iPSC yang memiliki<br />
kesamaan karakterisitik dengan ESC dan<br />
terbebas dari integrasi plasmid. 48,52 Zhou dkk<br />
berhasil mendemonstrasikan bahwa transfeksi<br />
protein rekombinan juga dapat digunakan untuk<br />
menginduksi proses reprogramming iPSC. 53<br />
Dalam metode tersebut, fusi domain transduksi<br />
protein poly-arginin pada ujung C terminus<br />
faktor transkripsi Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc<br />
dapat menghasilkan protein rekombinan yang<br />
mampu mempenetrasi sel, mengalami translokasi<br />
ke dalam nukleus, dan tetap stabil dalam<br />
sitoplasma. Protein rekombinan menawarkan<br />
metode reprogramming iPSC yang aman tanpa<br />
melibatkan sedikitpun modifikasi struktur<br />
genom sel. Selain itu, iPSC yang dihasilkan juga<br />
memiliki kesamaan karakteristik dengan hESC.<br />
Selain penggunaan vektor retrovirus, faktor<br />
transkripsi onkogenik seperti c-Myc dan Klf4<br />
juga harus dihindari. Penelitian pada hewan uji<br />
coba menunjukkan bahwa reaktivasi c-Myc<br />
pada sel-sel derivat iPSC dapat meningkatkan<br />
risiko tumorigenesis pada mencit chimaera. 20<br />
Namun, iPSC dapat dihasilkan tanpa penggunaan<br />
c-Myc dan Klf4. 49,54 Lin28 dan Nanog dapat<br />
digunakan sebagai faktor reprogramming pengganti<br />
c-Myc dan Klf4 dan tetap menghasilkan<br />
iPSC dengan karakteristik yang menyerupai<br />
hESC meskipun dengan efisiensi yang lebih<br />
rendah. 13 Efisiensi reprogramming iPSC tanpa<br />
penggunann c-Myc selanjutnya dapat ditingkatkan<br />
dengan menggunakan inhibitor HDAC<br />
(Histone Deacetylase), seperti asam valproat<br />
(VPA). 24 iPSC yang dihasilkan dengan menggunakan<br />
Oct4, Sox2, dan VPA juga menunjukkan<br />
kesamaan karakteristik dengan hESC.<br />
Pada kondisi in vivo, injeksi subkutan iPSC pada<br />
mencit imunodefisien (SCID mice) menyebabkan<br />
terbentuknya teratoma yang tersusun atas<br />
sel-sel komponen 3 lapisan germinal, seperti<br />
sel-sel epitel usus, otot lurik, tulang rawan, adiposa,<br />
sel saraf, dan epidermis. 20,36 Okita dkk 20<br />
berhasil membuktikan kapasitas diferensiasi iPSC<br />
secara in utero pada model hewan uji coba.<br />
Injeksi murine iPSC ke dalam blastosist mencit<br />
berhasil membentuk mencit chimaera. Analisis<br />
pada mencit chimaera menunjukkan bahwa selsel<br />
derivat murine iPSC terdistribusikan dalam<br />
berbagai jaringan tubuh mencit chimaera, seperti<br />
otak, paru-paru, hati, ginjal, lambung, limpa,<br />
otot, kulit, dan gonad. 20 iPSC juga berkontribusi<br />
dalam membentuk sel-sel germinal pada mencit<br />
uji coba, seperti pada pembentukan spermatozoa.<br />
20 Dengan demikan, dapat disimpulkan<br />
bahwa iPSC merupakan sel pluripoten dengan<br />
karateristik yang sangat menyerupai hESC.<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
Berdasarkan analisis dan sintesis atas permasalahan<br />
yang dikaji, dapat disimpulkan beberapa<br />
hal, yakni (1) iPSC merupakan sel pluripoten<br />
yang dapat dihasilkan dari sel somatik yang<br />
telah berdiferensiasi melalui teknologi cellular<br />
reprogramming, (2) profil epigenetik iPSC menunjukkan<br />
aktivasi transkripsi gen-gen regulator<br />
sifat pluripotensi dan pembaruan diri (self<br />
renewal) serta penekanan ekspresi gen-gen yang<br />
aktif pada proses diferensiasi, (3) karakteristik<br />
pluripotensi iPSC sangat menyerupai hESC, baik<br />
karakteristik morfologi, karyotipe, kapasitas proliferasi,<br />
profil ekspresi gen, status epigenetik,<br />
penanda antigen permukaan, dan kapasitas di-<br />
ferensiasinya, (4) kardiomiosit hasil derivasi<br />
iPSC berhasil dikarakterisasi secara genotipe,<br />
fenotipe, dan kapasitas fungsional dan terbukti<br />
identik dengan kardiomiosit dewasa. Selain itu,<br />
kardiomiosit tersebut mampu meregenerasi area<br />
infark dan mempertahankan struktur jantung<br />
dari remodeling penyebab gagal jantung saat<br />
diujicobakan secara in vivo pada model hewan<br />
dengan infark miokardium akut.<br />
Sedangkan beberapa rekomendasi yang dapat<br />
diberikan, meliputi (1) prosedur regenerasi kardiomiosit<br />
tanpa faktor transkripsi onkogenik<br />
c-Myc meningkatkan keamanan sel yang diproduksi,<br />
tetapi perlu diteliti mengenai kesamaan<br />
fungsionalitasnya dalam regenerasi area infark<br />
serta kapasitas prevensi gagal jantung secara in<br />
vivo dibandingkan dengan sel yang dihasilkan<br />
menggunakan c-Myc, (2) adanya kecenderungan<br />
keterlambatan penurunan ekspresi gen-gen<br />
pluripoten pada kardiomiosit-derivat iPSC dibandingkan<br />
ESC perlu dikaji lebih lanjut, apakah<br />
keterlambatan tersebut disebabkan oleh overekspresi<br />
gen c-Myc atau karena faktor lain,<br />
mengingat pemanjangan aktivasi transgen<br />
hanya berkontribusi kecil terhadap ekspresi<br />
c-Myc (< 0,02%), (3) diperlukan standardisasi<br />
dan guideline mengenai protokol evaluasi keamanan<br />
kardiomiosit hasil derivasi iPSC (menggunakan<br />
RT PCR, gene sequencing, analisis<br />
microarray, dan prosedur lainnya) untuk memastikan<br />
bahwa sel tersebut telah berdiferensiasi<br />
secara sempurna dan tidak terdapat risiko<br />
formasi teratoma dalam jangka panjang, (4)<br />
apabila format efisiensi, keamanan, dan efektivitas<br />
kardiomiosit-derivat iPSC telah terdefinisikan<br />
dan terklasifikasi dengan benar, maka<br />
diperlukan inisiatif untuk memulai penelitian<br />
klinis pada manusia (phase I human trial).<br />
DAFTAR PUSTAKA.<br />
1. Shaw LJ, Bugiardini R, Merz NB. Women with ischemic heart disease: evolving knowledge. J Am Coll Cardiol; 2009: 54: 1561-75.<br />
2. Boyle AJ, Jaffe AS. Acute myocardial infarction. In: Crawford MH, editor. Current diagnosis and treatment. 3rd edition. International edition: Lange McGraw Hill; 2009. p. 51-71.<br />
3. Jessup M, Brozena S. Heart failure. N Eng J Med 2003; 348: 2007-18.<br />
4. Wu KH, Liu YL, Zhou B, Han ZC. Cellular therapy and myocardial tissue engineering: the role of adult stem and progenitor cells. European Journal of Cardio-thoracic Surgery 2006; 30: 770-81.<br />
5. Wollert KC, Drexler H. Cell therapy for the treatment of coronary heart disease: a critical appraisal. Nature Review Cardiology 2010; 7: 204-15.<br />
6. Wang F, Guan J. Cellular cardiomyoplasty and cardiac tissue engineering for myocardial therapy. Advanced Drug Delivery Reviews 2010; 62: 784-97.<br />
7. Laflamme MA, Murry CE. Regenerating the heart. Nature Biotechnology 2005; 23: 845-56.<br />
8. Reinecke H, Murry CE. Taking the death toll after cardiomyocyte grafting: a reminder of the importance of quantitative biology. J Mol Cell Cardiol 2002; 34: 251-3.<br />
9. Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY, Field LJ. Genetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells form stable intracardiac grafts. J Clin Invest 1996; 98: 216-24.<br />
10. Das S, Bonaguidi M, Muro K, Kessler JA. Generation of embryonic stem cells: limiations of and alternatives to inner cell mass harvest. Neurosurg Focus 20<strong>08</strong>; 24: E4.<br />
11. Vasa M, Fichtscherer S, Aicher A, Adler K, Urbich C, Martin H, et al. Number and migratory activity of circulating endothelial progenitor cells inversely correlate with risk factors for coronary<br />
artery disease. Circulation Research 2001; 89: E1-E7.<br />
12. Takahashi K. Induction of pluripotent stem cells from adult human fibroblasts by defined factors. Cell 2007;131:861-72.<br />
13. Yu J. Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells. Science 2007;318:1917-20.<br />
14. Maehr R, et al. Generation of pluripotent stem cells from patients with type 1 diabetes. Proc. Natl Acad. Sci. USA 2009;106:15768-773.<br />
15. Itskovitz-Eldor J, Schuldiner M, Karsenti D, Eden A, Yanuka O, Amit M, et al. Differentiation of human embryonic stem cells into embryoid bodies compromising the three embryonic germ<br />
layers. Mol Med 2000;6(2):88-95.<br />
16. Park IH, Zhao R, West JA, Yabuuchi A, Huo H, Ince TA et al. Reprogramming of human somatic cells to pluripotency with defined factors. Nature 20<strong>08</strong>;451:141-46.<br />
17. Mikkelsen TS. Dissecting direct reprogramming through integrative genomic analysis. Nature 20<strong>08</strong>;454:49-55.<br />
18. Bernstein BE. A bivalent chromatin structure marks key developmental genes in embryonic stem cells. Cell 2006;125:315-26.<br />
( Rincian Daftar Pustaka lainnya ada pada redaksi )<br />
190 CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011