08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe

08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe 08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe

22.06.2015 Views

HASIL PENELITIAN Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia LATAR BELAKANG Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. 1 OMSK juga merupakan peradangan akibat infeksi mukoperiosteum kavitas timpani yang ditandai oleh perforasi membran timpani dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 3 bulan dan dapat menyebabkan perubahan patologik yang permanen. 2 Ada juga yang memberi batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses kronisitas pada OMSK. 3 Sekret yang keluar mungkin serosa, mukus atau purulen. 1,2,3,4 OMSK secara klasik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu otitis media supuratif kronik tipe benigna (OMSKB) atau tipe tubotimpanum atau tipe safe dan tipe maligna, atau tipe atikoantral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat pemeriksaan kavum timpani kering setelah mendapat pengobatan, tetapi sebelumnya ada riwayat otore yang hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada riwayat otore di masa lalu dan saat pemeriksaan kavum timpani kering tanpa kemungkinan kekambuhan dalam waktu dekat. Pada otitis media supuratif tipe benigna proses infeksi hanya terbatas pada mukosa telinga tengah saja dan yang terkena adalah mesotimpanun dan hipotimpanum serta tuba auditoria. Tipe ini jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. 5 Prevalensi OMSKB di negara berkembang berkisar antara 5 – 10% , sedangkan di negara maju 0,5 – 2%. 6 Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk Indonesia menderita OMSKB. 7 Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994 – 1996 menunjukkan prevalensi OMSKB antara 2,10 – 5,2%. 8 Frekuensi OMSKB di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1989 sebesar 15,21%. 9 Di RS Hasan Sadikin Bandung dilaporkan frekuensi OMSKB selama periode 1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM- SKB sebesar 10,96%. 11 Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997 sebesar 8,2%. 12 Data catatan medis kunjungan kasus baru penderita OM- SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah 460 orang, sedangkan jumlah seluruh kunjungan di poliklinik THT pada tahun tersebut adalah 13.524 orang, maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%. 13 Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena: 1) disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti sinusitis kronik, adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta obstruksi tuba auditoria. Beberapa kelainan seperti hipertrofi adenoid, celah palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik, 2) perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah. 5 3) Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi. 14 4) Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang. 15 Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun. 16 | AGUSTUS 2010 425 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 7/23/2010 10:33:06 PM

HASIL PENELITIAN<br />

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis<br />

Media Supuratif Kronis<br />

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto<br />

Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta,<br />

Indonesia<br />

LATAR BELAKANG<br />

Otitis media supuratif kronik (OMSK)<br />

adalah radang kronik telinga tengah<br />

dengan perforasi membran timpani<br />

dan riwayat keluarnya sekret dari telinga<br />

(otorea) lebih dari 2 bulan, baik<br />

terus menerus atau hilang timbul. 1<br />

OMSK juga merupakan peradangan<br />

akibat infeksi mukoperiosteum kavitas<br />

timpani yang ditandai oleh perforasi<br />

membran timpani dengan sekret yang<br />

keluar terus menerus atau hilang timbul<br />

selama lebih dari 3 bulan dan dapat<br />

menyebabkan perubahan patologik<br />

yang permanen. 2 Ada juga yang<br />

memberi batas waktu 6 minggu untuk<br />

terjadinya awal proses kronisitas pada<br />

OMSK. 3 Sekret yang keluar mungkin<br />

serosa, mukus atau purulen. 1,2,3,4<br />

OMSK secara klasik dapat dibagi menjadi<br />

2 golongan, yaitu otitis media supuratif<br />

kronik tipe benigna (OMSKB)<br />

atau tipe tubotimpanum atau tipe safe<br />

dan tipe maligna, atau tipe atikoantral<br />

atau tipe unsafe. OMSKB dibagi<br />

menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe<br />

inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat<br />

pemeriksaan kavum timpani kering<br />

setelah mendapat pengobatan, tetapi<br />

sebelumnya ada riwayat otore yang<br />

hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada<br />

riwayat otore di masa lalu dan saat pemeriksaan<br />

kavum timpani kering tanpa<br />

kemungkinan kekambuhan dalam<br />

waktu dekat. Pada otitis media supuratif<br />

tipe benigna proses infeksi hanya<br />

terbatas pada mukosa telinga tengah<br />

saja dan yang terkena adalah mesotimpanun<br />

dan hipotimpanum serta<br />

tuba auditoria. Tipe ini jarang menimbulkan<br />

komplikasi yang berbahaya. 5<br />

Prevalensi OMSKB di negara berkembang<br />

berkisar antara 5 – 10% , sedangkan<br />

di negara maju 0,5 – 2%. 6<br />

Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk<br />

Indonesia menderita OMSKB. 7 Survei<br />

Nasional Kesehatan Indera Penglihatan<br />

dan Pendengaran tahun 1994 –<br />

1996 menunjukkan prevalensi OMSKB<br />

antara 2,10 – 5,2%. 8 Frekuensi OMSKB<br />

di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta<br />

pada tahun 1989 sebesar 15,21%. 9<br />

Di RS Hasan Sadikin Bandung dilaporkan<br />

frekuensi OMSKB selama periode<br />

1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada<br />

tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM-<br />

SKB sebesar 10,96%. 11<br />

Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr<br />

Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997<br />

sebesar 8,2%. 12 Data catatan medis<br />

kunjungan kasus baru penderita OM-<br />

SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah<br />

460 orang, sedangkan jumlah seluruh<br />

kunjungan di poliklinik THT pada<br />

tahun tersebut adalah 13.524 orang,<br />

maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%. 13<br />

Faktor predisposisi kronisitas otitis<br />

media diduga karena: 1) disfungsi<br />

tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti<br />

sinusitis kronik, adenoiditis kronik<br />

dan tonsilitis kronik yang menyebabkan<br />

infeksi kronik atau berulang saluran<br />

napas atas dan selanjutnya mengakibatkan<br />

udem serta obstruksi tuba<br />

auditoria. Beberapa kelainan seperti<br />

hipertrofi adenoid, celah palatum<br />

mengganggu fungsi tuba auditoria.<br />

Gangguan kronik fungsi tuba auditoria<br />

menyebabkan proses infeksi di telinga<br />

tengah menjadi kronik, 2) perforasi<br />

membran timpani yang menetap menyebabkan<br />

mukosa telinga tengah<br />

selalu berhubungan dengan udara<br />

luar. Bakteri yang berasal dari kanalis<br />

auditorius eksterna atau dari luar lebih<br />

leluasa masuk ke dalam telinga tengah<br />

menyebabkan infeksi kronik mukosa<br />

telinga tengah. 5 3) Pseudomonas<br />

aeruginusa dan Staphylococcus aureus<br />

merupakan bakteri yang tersering<br />

diisolasi pada OMSKB, sebagian besar<br />

telah resisten terhadap antibiotika<br />

yang lazim digunakan. Ketidaktepatan<br />

atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan<br />

kronisitas infeksi. 14 4) Faktor<br />

konstitusi, alergi merupakan salah<br />

satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan<br />

kronisitas.<br />

Pada keadaan alergi ditemukan perubahan<br />

berupa bertambahnya sel<br />

goblet dan berkurangnya sel kolumner<br />

bersilia pada mukosa telinga<br />

tengah dan tuba auditoria sehingga<br />

produksi cairan mukoid bertambah<br />

dan efisiensi silia berkurang. 15 Penyakit<br />

alergi adalah suatu penyimpangan<br />

reaksi tubuh terhadap paparan bahan<br />

asing yang menimbulkan gejala pada<br />

orang yang berbakat atopi sedangkan<br />

pada kebanyakan orang tidak menimbulkan<br />

reaksi apapun. 16<br />

| AGUSTUS 2010<br />

425<br />

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425<br />

7/23/2010 10:33:06 PM


HASIL PENELITIAN<br />

Rinitis alergi adalah suatu gangguan<br />

hidung yang disebabkan oleh reaksi<br />

peradangan mukosa hidung diperantarai<br />

oleh imunoglobulin E (Ig<br />

E), setelah terjadi paparan alergen<br />

(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan<br />

Comb). Gejala klinik rinitis alergi disebabkan<br />

oleh mediator kimia yang<br />

dilepaskan oleh sel mast, basofil dan<br />

eosinofil akibat reaksi alergen dengan<br />

Ig E spesifik yang melekat di permukaannya.<br />

Mediator yang paling banyak<br />

diketahui peranannya adalah histamin.<br />

Histamin akan menyebabkan hidung<br />

gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung<br />

tersumbat. 17<br />

Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten<br />

sehingga dapat menyebabkan<br />

perubahan berupa hipertrofi dan<br />

hiperplasi epitel mukosa dan dapat<br />

menimbulkan komplikasi otitis media,<br />

sinusitis dan polip nasi. Beberapa<br />

pendapat menyatakan bahwa pada<br />

rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi<br />

di kavum nasi juga meluas ke nasofarings<br />

dan tuba auditoria sehingga<br />

dapat mengganggu pembukaan sinus<br />

dan tuba auditoria. 17 Prevalensi rinitis<br />

alergi di Indonesia belum diketahui<br />

pasti, namun data dari beberapa rumah<br />

sakit menunjukkan bahwa frekuensi<br />

rinitis alergi berkisar 10 – 26%.<br />

Penelitian tentang penatalaksanaan<br />

OMSKB telah banyak dilakukan, namun<br />

lebih banyak ditujukan pada<br />

jenis pengobatan seperti perlunya<br />

antibiotik, jenis antibiotik, apakah cukup<br />

lokal atau sistemik, apakah antibiotika<br />

yang diberikan sudah sesuai<br />

dengan jenis bakterinya serta apakah<br />

cukup tindakan konservatif atau perlu<br />

tindakan operatif saja. Begitu juga penelitian<br />

mengenai faktor-faktor yang<br />

mendasari patogenesis OMSKB seperti<br />

fungsi ventilasi dan drainase tuba<br />

auditoria dalam hubungannya dengan<br />

proses penyembuhan OMSKB. 12<br />

Faktor alergi khususnya rinitis alergi<br />

sebagai faktor risiko OMSKB belum<br />

pernah diteliti. Restuti (2006) 16 menyatakan<br />

bahwa prevalensi dan patogenesis<br />

OMSK dipengaruhi oleh banyak<br />

faktor antara lain kekerapan infeksi saluran<br />

napas atas, sosioekonomi, gizi,<br />

alergi dan faktor imunitas. Sebagai<br />

respons alergi terjadi sekresi berbagai<br />

mediator dan sitokin yang mempengaruhi<br />

terjadinya inflamasi dan kondisi<br />

seperti ini dapat berulang hingga kronis.<br />

Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin<br />

yang kadarnya tinggi pada pasien<br />

OMSK; demikian juga tumor necrosis<br />

factor-α (TNF-α) yang dihubungkan<br />

dengan kronisitas pada otitis media<br />

juga memiliki kadar yang tinggi. Selain<br />

faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK<br />

juga dipengaruhi oleh faktor mukosa<br />

telinga tengah sebagai target organ<br />

alergi. Pada biopsi mukosa telinga<br />

tengah didapatkan eosinophilic cationic<br />

protein (ECP), IL-5 dan basic major<br />

protein (BMP) yang tinggi pada pasien<br />

otitis media dengan rinitis alergi dibandingkan<br />

dengan pasien otitis media<br />

tanpa rinitis alergi.<br />

Sebagian besar otitis media supuratif<br />

kronik tampaknya berasal dari otitis<br />

media supuratif akut yang berulang,<br />

namun beberapa peneliti mengatakan<br />

bahwa otitis media kronis mungkin berasal<br />

dari otitis media efusi yang terinfeksi<br />

sekunder dengan hipertrofi dan<br />

hipersekresi mukosa telinga tengah. 6<br />

Penelitian epidemiologi di beberapa<br />

negara memperlihatkan angka > 50%<br />

pasien otitis media dengan rinitis alergi,<br />

21% pasien rinitis alergi menderita<br />

otitis media. Tuba auditoria memegang<br />

peranan penting sebagai fungsi<br />

regulasi tekanan udara di dalam telinga<br />

tengah. Mekanisme ini dihubungkan<br />

dengan patofisiologi penyebab<br />

obstruksi tuba, terutama akibat infeksi<br />

atau inflamasi dari proses alergi. Rinitis<br />

dihubungkan sebagai etiologi otitis<br />

media dengan 2 cara yaitu: disfungsi<br />

tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari<br />

mukosa nasal atau adanya fungsi mukosiliar<br />

yang terganggu. 18<br />

METODE PENELITIAN<br />

Rancangan dan Populasi Penelitian<br />

Penelitian ini merupakan penelitian<br />

kasus-kontrol; bertujuan menganalisis<br />

/menentukan rinitis alergi sebagai faktor<br />

risiko otitis media supuratif kronik<br />

benigna (OMSKB), membandingkan<br />

antara pasien OMSKB dengan faktor<br />

risiko rinitis (kasus) dan pasien non<br />

OMSKB dengan faktor risiko rinitis alergi<br />

(kontrol).<br />

Populasi terjangkau pada penelitian<br />

ini adalah semua penderita OMSKB<br />

yang berobat ke klinik rawat jalan THT<br />

RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan<br />

sampel dengan cara berurutan<br />

(consecutive sampling) sampai tercapai<br />

jumlah sampel minimal.<br />

Kriteria Inklusi dan Eksklusi<br />

Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat<br />

jalan dengan keluhan sekret telinga<br />

berulang atau pernah, dan pada pemeriksaan<br />

otoskopi didapat cairan/<br />

tanpa cairan pada liang telinga, membran<br />

timpani perforasi sentral tanpa<br />

kolesteatom dan granulasi, kontrol<br />

: pasien non OMSKB, yang datang<br />

ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita<br />

pria atau wanita umur ≥ 5 tahun dan<br />

kooperatif, 3) Bebas dari obat antihistamin,<br />

kortikosteroid sistemik dan<br />

topikal setidaknya selama 7-10 hari.<br />

Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA<br />

pada kelompok kontrol.<br />

Subyek Penelitian<br />

Subyek yang telah memenuhi kriteria<br />

inklusi dan eksklusi dan menandatangani<br />

informed consent tanpa randomisasi<br />

dibagi menjadi kelompok<br />

kasus dan kelompok kontrol setelah<br />

anamesis dan pemeriksaan otoskopi.<br />

Setiap subyek terpilih selanjutnya dianamnesis<br />

dan menjalani pemeriksaan<br />

fisik hidung serta pemeriksaan<br />

rinoskopi anterior, selanjutnya dilakukan<br />

skin prick test bagi sampel yang<br />

belum pernah di test.<br />

Jumlah Sampel<br />

Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan<br />

rumus besar sampel untuk<br />

penelitian analitik kategorik tidak berpasangan<br />

dengan α ditentukan sebesar<br />

5% untuk tingkat kesalahan tipe I,<br />

β ditetapkan sebesar 20% untuk kesalahan<br />

tipe II; power (1-β) adalah 80%<br />

berarti penelitian ini mempunyai pe-<br />

426 | AGUSTUS 2010<br />

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426<br />

7/23/2010 10:33:07 PM


HASIL PENELITIAN<br />

luang sebesar 80% untuk mengetahui<br />

adanya pengaruh faktor risiko terhadap<br />

kasus apabila perbedaan itu ada<br />

di populasi. Zα untuk menguji hipotesis<br />

satu arah sebesar 1,64 dan Zβ sebesar<br />

0,84. Dari kepustakaan didapatkan<br />

proporsi pajanan pada kelompok<br />

kontrol sebesar 20 %. Dari hasil perhitungan<br />

besar sampel minimal, maka<br />

jumlah total sampel 98 orang, untuk<br />

kelompok kasus adalah 49 orang dan<br />

kelompok kontrol 49 orang.<br />

Analisis Statistik<br />

Data disajikan dalam bentuk tabulasi<br />

dan deskripsi statistik.<br />

Analisis statistik yang digunakan adalah:<br />

1) Uji X 2 untuk menghitung ada<br />

tidaknya perbedaan karakteristik<br />

kedua kelompok.<br />

2) Analisis regresi logistik, untuk menilai<br />

variabel-variabel yang berpengaruh<br />

pada otitis media supuratif<br />

kronik benigna.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Penelitian di poliklinik THT RS Dr.<br />

Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni<br />

2007 sampai dengan bulan Maret<br />

20<strong>08</strong> menemukan 53 penderita OM-<br />

SKB dan 50 pasien non OMSKB, 100<br />

pasien di antaranya memenuhi kriteria<br />

inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak<br />

3 pasien dari kelompok kasus tidak<br />

bersedia menjalani skin prick test.<br />

1. Karakteristik demografis subyek<br />

penelitian<br />

Uji X 2 mendapatkan nilai p = 0,102 (><br />

0,05), tidak didapatkan perbedaan<br />

yang bermakna antar usia kelompok<br />

kasus dengan kelompok kontrol pada<br />

penelitian ini.<br />

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna<br />

antara jenis kelamin subyek<br />

pada kelompok kasus dan kelompok<br />

kontrol dengan nilai p = 0,840 (p ><br />

0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03.<br />

Kedua variabel umur dan jenis kelamin<br />

tidak berpengaruh terhadap morbiditas<br />

OMSKB.<br />

Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin<br />

Kasus<br />

N(%)<br />

Kontrol<br />

N(%)<br />

Total (%)<br />

Nilai p<br />

(Uji X 2 )<br />

Umur (tahun)<br />

5 – 15 5 (10) 5 (10) 10 (10)<br />

16 – 25 15 (30) 26 (52) 41 (41) 0,102<br />

26 – 55 26 (52) 18 (36) 44 (44)<br />

≥ 56 4 (8) 1 (2) 5 (5)<br />

Jenis Kelamin<br />

Laki – laki 21 (42) 22 (44) 43 (43) 0,840<br />

Perempuan 29 (58) 28 (56 57 (57)<br />

Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga<br />

Keluhan dan Kelainan telinga<br />

Kel.Kasus<br />

N(%)<br />

Kel.Kontrol<br />

N(%)<br />

Nilai p<br />

(Uji X 2 )<br />

Cairan dari Telinga 26 (52) - 0,001<br />

Batuk, pilek dan demam 41 (82) - 0,001<br />

Manipulasi telinga 9 (18) -<br />

Kambuh < 3 x/ th 7 (14) -<br />

Kambuh ≥ 3 x/th 43 (86) - 0,006<br />

Pendengaran menurun 3 (6) - 0,079<br />

Perforasi MT 50 (100 - 0,001<br />

Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung<br />

Keluhan dan Kelainan hidung<br />

Meler, bersin dan tersumbat 41 (82) 9 (18) 0,001<br />

Riwayat atopi (+) 26 (52) 1 (2) 0,001<br />

Hipertrofi, livide, discharge serous,<br />

Shiner dan crease<br />

40 (80) 4 (8) 0,001<br />

Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi<br />

RA (+) RA (-)<br />

Total Nilai p<br />

N(%) (Uji X 2 )<br />

Keluhan dan kelainan Telinga<br />

Telinga meler 20 6 26(26)<br />

Tidak meler 28 46 74(74) 0,001<br />

Batuk, pilek dan demam 36 5 41(41)<br />

Manipulasi telinga 12 47 59(59) 0,001<br />

Kambuh < 3 x/th 4 3 7(7)<br />

Kambuh ≥ 3 x/th 44 49 93(93) 0,616<br />

Perforasi MT 40 10 50(50) 0,001<br />

Tidak perforasi MT 8 42 50(50)<br />

Keluhan dan kelainan Hidung<br />

Meler, bersin dan tersumbat 48 2 50(50)<br />

Tanpa keluhan - 50 50(50) 0,001<br />

Riwayat atopi 27 - 27(27)<br />

Tanpa riwayat atopi 21 52 73(73) 0,001<br />

Hipertrofi, livide, discharge<br />

sereus, shiner dan crease<br />

Tanpa kelainan hidung<br />

44<br />

4<br />

-<br />

52<br />

44(44)<br />

56(56)<br />

0,001<br />

| AGUSTUS 2010<br />

427<br />

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427<br />

7/23/2010 10:33:07 PM


HASIL PENELITIAN<br />

2. Karakteristik keluhan dan kelainan<br />

telinga dan hidung<br />

Terdapat perbedaan bermakna antara<br />

kelompok kasus dan kontrol pada keluhan<br />

cairan keluar dari telinga dengan<br />

nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,<strong>08</strong>;<br />

IK 95%: 2,2 – 4,2. Sebanyak 41 kasus<br />

(82%) mengeluh batuk, pilek dan demam<br />

sebelum keluhan telinga timbul<br />

dan 9 pasien (18%) karena manipulasi<br />

telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK<br />

95%: 3,5 – 11,9.<br />

Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh<br />

kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien<br />

(86%) kambuh ≥3 kali per tahun. p =<br />

0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 –<br />

2,7.<br />

Keluhan penurunan pendengaran<br />

perbedaan antara kelompok kasus<br />

dan kelompok kontrol tidak berbeda<br />

bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR:<br />

2,06; IK 95%: 1,68 – 2,53. Penurunan<br />

pendengaran dapat disebabkan karena<br />

faktor usia.<br />

Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi<br />

Kasus N(%) Kontrol N(%) Nilai p<br />

Rinitis Alergi (+) 40 (80) 8 (16) 0,001<br />

Rinitis Alergi (-) 10 (20) 42 (84)<br />

Total 50 (100) 50 (100)<br />

Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB<br />

Variabel ß p Adjusted Odd-<br />

Ratio<br />

IK 95%<br />

Rinitis Alergi 0,<strong>08</strong>0 0,001 21,00 7,53 – 58,56<br />

Keluhan dan kelainan telinga<br />

Batuk, pilek dan demam<br />

Manipulasi telinga<br />

3,1<strong>08</strong> 0,0<strong>08</strong> 22,38 2,24 – 22,81<br />

Perforasi MT<br />

Tidak perforasi MT<br />

Telinga meler<br />

Tidak meler<br />

Keluhan dan kelainan hidung<br />

Meler, bersin dan<br />

Tersumbat<br />

1,752 0,032 5,76 1,16 – 28,56<br />

-1,69 0,135 0,185 0,02 – 1,69<br />

13,89 0,894 1<strong>08</strong>3859,7 0,001 – 4,525<br />

Riwayat atopi (+) 0,001 1,000 1,000 0,001 – 1,024<br />

Hipertrofi, livide,<br />

Discharge sereus,<br />

Shiner dan crease<br />

12,51 0,944 270964,93 0,001 – 2,586<br />

Kelainan telinga berupa perforasi<br />

membran timpani terjadi pada semua<br />

kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di<br />

kelompok kontrol tidak terdapat kelainan<br />

telinga. p = 0,001 (p < 0,05).<br />

Terdapat perbedaan bermakna antara<br />

kelompok kasus dengan kelompok<br />

kontrol pada ketiga variabel keluhan<br />

dan kelainan hidung (p = 0,001).<br />

3. Hubungan antara keluhan dan<br />

kelainan telinga dan hidung<br />

dengan rinitis alergi<br />

Terdapat perbedaan bermakna keluhan<br />

telinga meler, batuk, pilek dan<br />

demam serta kelainan telinga berupa<br />

perforasi membran timpani pada rinitis<br />

alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun<br />

tidak terdapat perbedaan rinitis alergi<br />

yang bermakna antara kekambuhan <<br />

3 kali/tahun maupun kekambuhan ≥<br />

3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Setasubrata<br />

(1999) 12 tidak mendapatkan<br />

perbedaan bermakna frekuensi kekambuhan<br />

dalam hal gangguan fungsi<br />

ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari<br />

tuba eustachius dengan (p = 0,12).<br />

Keluhan dan kelainan hidung dengan<br />

rinitis alergi berbeda bermakna (p =<br />

0,001 < 0,05) pada ketiga variabel karena<br />

ketiga variabel tersebut merupakan<br />

tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil<br />

penelitian ini sama dengan hasil Wratsongko<br />

(2004) 19 dengan nilai p = 0,001<br />

untuk ketiga variabel tersebut.<br />

4. Hubungan OMSKB terhadap<br />

rinitis alergi<br />

Terdapat perbedaan bermakna antara<br />

kedua kelompok terhadap rinitis alergi<br />

dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR:<br />

21; IK 95%: 7,53 – 58,56. Risiko kejadian<br />

kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih<br />

sering pada orang yang menderita rinitis<br />

alergi dibandingkan dengan orang<br />

yang tidak menderita rinitis alergi.<br />

Hurst (2002) 20 juga menemukan perbedaan<br />

bermakna antara pasien otitis<br />

media efusi (OME) dengan pasien<br />

atopi, (p = 0,001). Begitu juga Suprihati<br />

dan Putra (1993) 17 menemukan<br />

hubungan antara rinitis alergi dengan<br />

OME (PR prevalence ratio = 2,18 )<br />

yang menandakan bahwa rinitis alergi<br />

merupakan faktor risiko OME.<br />

5. Analisis regresi logistik<br />

Variabel tergantung pada penelitian<br />

ini adalah OMSKB, sedangkan variabel<br />

bebas yang dianalisis adalah rinitis<br />

alergi, keluhan dan kelainan telinga<br />

dan keluhan dan kelainan hidung.<br />

Didapatkan tiga variabel yang berhubungan<br />

bermakna atau berpengaruh<br />

terhadap OMSKB yaitu rinitis<br />

alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 –<br />

58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22<br />

kali lebih besar pada pasien dengan<br />

keluhan telinga diawali batuk, pilek<br />

dan demam dibandingkan pasien<br />

dengan keluhan telinga tanpa diawali<br />

batuk, pilek dan demam (p = 0,0<strong>08</strong>,<br />

OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 – 22,81).<br />

Peluang terjadinya OMSKB 5 kali<br />

lebih besar pada pasien dengan perforasi<br />

membran timpani dibandingkan<br />

pasien tanpa perforasi membran timpani<br />

(p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16<br />

– 28,56).<br />

428 | AGUSTUS 2010<br />

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428<br />

7/23/2010 10:33:07 PM


HASIL PENELITIAN<br />

SIMPULAN<br />

Rinitis alergi merupakan faktor risiko<br />

pada otitis media supuratif kronik benigna<br />

(OMSKB).<br />

SARAN<br />

Melakukan test alergi (skin prick test),<br />

menegakkan diagnosis rinitis alergi<br />

serta memberikan terapi rinitis alergi<br />

pada pasien otitis media yang sering<br />

berulang untuk menekan angka kejadian<br />

OMSKB.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13.<br />

2. Paparela MM. Definition and classification of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinological<br />

Societies 1983: 9-14.<br />

3. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, MM, Schumrick, DA<br />

(eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140.<br />

4. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis<br />

Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56.<br />

5. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3 rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd..<br />

1974<br />

6. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between<br />

various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3).<br />

7. Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif<br />

pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112.<br />

8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran<br />

untuk puskesmas.1998.<br />

9. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif<br />

otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30.<br />

10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di<br />

RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54.<br />

11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modifikasi inflasi-deflasi dan tetes telinga<br />

memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata “kering” dewasa. Karya Tulis Akhir<br />

1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.<br />

12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media<br />

supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39.<br />

13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran timpani<br />

permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta.<br />

14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprofloxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating<br />

active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta<br />

Gadjah Mada University.<br />

15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin<br />

North Am 1995.28: 913-932.<br />

16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan<br />

Otologi I. Jakarta 2006: 31.<br />

17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpulan<br />

Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993.<br />

18. Lazo-Saenz JG, Galvan –Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol<br />

Head Neck Surg 2005.132: 626-631.<br />

19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta.<br />

20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and<br />

adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566.<br />

| AGUSTUS 2010<br />

429<br />

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429<br />

7/23/2010 10:33:<strong>08</strong> PM

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!