08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe
08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe
08_179Rinitisalergifaktorrisiko - Kalbe
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
HASIL PENELITIAN<br />
Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis<br />
Media Supuratif Kronis<br />
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto<br />
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta,<br />
Indonesia<br />
LATAR BELAKANG<br />
Otitis media supuratif kronik (OMSK)<br />
adalah radang kronik telinga tengah<br />
dengan perforasi membran timpani<br />
dan riwayat keluarnya sekret dari telinga<br />
(otorea) lebih dari 2 bulan, baik<br />
terus menerus atau hilang timbul. 1<br />
OMSK juga merupakan peradangan<br />
akibat infeksi mukoperiosteum kavitas<br />
timpani yang ditandai oleh perforasi<br />
membran timpani dengan sekret yang<br />
keluar terus menerus atau hilang timbul<br />
selama lebih dari 3 bulan dan dapat<br />
menyebabkan perubahan patologik<br />
yang permanen. 2 Ada juga yang<br />
memberi batas waktu 6 minggu untuk<br />
terjadinya awal proses kronisitas pada<br />
OMSK. 3 Sekret yang keluar mungkin<br />
serosa, mukus atau purulen. 1,2,3,4<br />
OMSK secara klasik dapat dibagi menjadi<br />
2 golongan, yaitu otitis media supuratif<br />
kronik tipe benigna (OMSKB)<br />
atau tipe tubotimpanum atau tipe safe<br />
dan tipe maligna, atau tipe atikoantral<br />
atau tipe unsafe. OMSKB dibagi<br />
menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe<br />
inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat<br />
pemeriksaan kavum timpani kering<br />
setelah mendapat pengobatan, tetapi<br />
sebelumnya ada riwayat otore yang<br />
hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada<br />
riwayat otore di masa lalu dan saat pemeriksaan<br />
kavum timpani kering tanpa<br />
kemungkinan kekambuhan dalam<br />
waktu dekat. Pada otitis media supuratif<br />
tipe benigna proses infeksi hanya<br />
terbatas pada mukosa telinga tengah<br />
saja dan yang terkena adalah mesotimpanun<br />
dan hipotimpanum serta<br />
tuba auditoria. Tipe ini jarang menimbulkan<br />
komplikasi yang berbahaya. 5<br />
Prevalensi OMSKB di negara berkembang<br />
berkisar antara 5 – 10% , sedangkan<br />
di negara maju 0,5 – 2%. 6<br />
Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk<br />
Indonesia menderita OMSKB. 7 Survei<br />
Nasional Kesehatan Indera Penglihatan<br />
dan Pendengaran tahun 1994 –<br />
1996 menunjukkan prevalensi OMSKB<br />
antara 2,10 – 5,2%. 8 Frekuensi OMSKB<br />
di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta<br />
pada tahun 1989 sebesar 15,21%. 9<br />
Di RS Hasan Sadikin Bandung dilaporkan<br />
frekuensi OMSKB selama periode<br />
1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada<br />
tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM-<br />
SKB sebesar 10,96%. 11<br />
Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr<br />
Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997<br />
sebesar 8,2%. 12 Data catatan medis<br />
kunjungan kasus baru penderita OM-<br />
SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah<br />
460 orang, sedangkan jumlah seluruh<br />
kunjungan di poliklinik THT pada<br />
tahun tersebut adalah 13.524 orang,<br />
maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%. 13<br />
Faktor predisposisi kronisitas otitis<br />
media diduga karena: 1) disfungsi<br />
tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti<br />
sinusitis kronik, adenoiditis kronik<br />
dan tonsilitis kronik yang menyebabkan<br />
infeksi kronik atau berulang saluran<br />
napas atas dan selanjutnya mengakibatkan<br />
udem serta obstruksi tuba<br />
auditoria. Beberapa kelainan seperti<br />
hipertrofi adenoid, celah palatum<br />
mengganggu fungsi tuba auditoria.<br />
Gangguan kronik fungsi tuba auditoria<br />
menyebabkan proses infeksi di telinga<br />
tengah menjadi kronik, 2) perforasi<br />
membran timpani yang menetap menyebabkan<br />
mukosa telinga tengah<br />
selalu berhubungan dengan udara<br />
luar. Bakteri yang berasal dari kanalis<br />
auditorius eksterna atau dari luar lebih<br />
leluasa masuk ke dalam telinga tengah<br />
menyebabkan infeksi kronik mukosa<br />
telinga tengah. 5 3) Pseudomonas<br />
aeruginusa dan Staphylococcus aureus<br />
merupakan bakteri yang tersering<br />
diisolasi pada OMSKB, sebagian besar<br />
telah resisten terhadap antibiotika<br />
yang lazim digunakan. Ketidaktepatan<br />
atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan<br />
kronisitas infeksi. 14 4) Faktor<br />
konstitusi, alergi merupakan salah<br />
satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan<br />
kronisitas.<br />
Pada keadaan alergi ditemukan perubahan<br />
berupa bertambahnya sel<br />
goblet dan berkurangnya sel kolumner<br />
bersilia pada mukosa telinga<br />
tengah dan tuba auditoria sehingga<br />
produksi cairan mukoid bertambah<br />
dan efisiensi silia berkurang. 15 Penyakit<br />
alergi adalah suatu penyimpangan<br />
reaksi tubuh terhadap paparan bahan<br />
asing yang menimbulkan gejala pada<br />
orang yang berbakat atopi sedangkan<br />
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan<br />
reaksi apapun. 16<br />
| AGUSTUS 2010<br />
425<br />
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425<br />
7/23/2010 10:33:06 PM
HASIL PENELITIAN<br />
Rinitis alergi adalah suatu gangguan<br />
hidung yang disebabkan oleh reaksi<br />
peradangan mukosa hidung diperantarai<br />
oleh imunoglobulin E (Ig<br />
E), setelah terjadi paparan alergen<br />
(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan<br />
Comb). Gejala klinik rinitis alergi disebabkan<br />
oleh mediator kimia yang<br />
dilepaskan oleh sel mast, basofil dan<br />
eosinofil akibat reaksi alergen dengan<br />
Ig E spesifik yang melekat di permukaannya.<br />
Mediator yang paling banyak<br />
diketahui peranannya adalah histamin.<br />
Histamin akan menyebabkan hidung<br />
gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung<br />
tersumbat. 17<br />
Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten<br />
sehingga dapat menyebabkan<br />
perubahan berupa hipertrofi dan<br />
hiperplasi epitel mukosa dan dapat<br />
menimbulkan komplikasi otitis media,<br />
sinusitis dan polip nasi. Beberapa<br />
pendapat menyatakan bahwa pada<br />
rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi<br />
di kavum nasi juga meluas ke nasofarings<br />
dan tuba auditoria sehingga<br />
dapat mengganggu pembukaan sinus<br />
dan tuba auditoria. 17 Prevalensi rinitis<br />
alergi di Indonesia belum diketahui<br />
pasti, namun data dari beberapa rumah<br />
sakit menunjukkan bahwa frekuensi<br />
rinitis alergi berkisar 10 – 26%.<br />
Penelitian tentang penatalaksanaan<br />
OMSKB telah banyak dilakukan, namun<br />
lebih banyak ditujukan pada<br />
jenis pengobatan seperti perlunya<br />
antibiotik, jenis antibiotik, apakah cukup<br />
lokal atau sistemik, apakah antibiotika<br />
yang diberikan sudah sesuai<br />
dengan jenis bakterinya serta apakah<br />
cukup tindakan konservatif atau perlu<br />
tindakan operatif saja. Begitu juga penelitian<br />
mengenai faktor-faktor yang<br />
mendasari patogenesis OMSKB seperti<br />
fungsi ventilasi dan drainase tuba<br />
auditoria dalam hubungannya dengan<br />
proses penyembuhan OMSKB. 12<br />
Faktor alergi khususnya rinitis alergi<br />
sebagai faktor risiko OMSKB belum<br />
pernah diteliti. Restuti (2006) 16 menyatakan<br />
bahwa prevalensi dan patogenesis<br />
OMSK dipengaruhi oleh banyak<br />
faktor antara lain kekerapan infeksi saluran<br />
napas atas, sosioekonomi, gizi,<br />
alergi dan faktor imunitas. Sebagai<br />
respons alergi terjadi sekresi berbagai<br />
mediator dan sitokin yang mempengaruhi<br />
terjadinya inflamasi dan kondisi<br />
seperti ini dapat berulang hingga kronis.<br />
Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin<br />
yang kadarnya tinggi pada pasien<br />
OMSK; demikian juga tumor necrosis<br />
factor-α (TNF-α) yang dihubungkan<br />
dengan kronisitas pada otitis media<br />
juga memiliki kadar yang tinggi. Selain<br />
faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK<br />
juga dipengaruhi oleh faktor mukosa<br />
telinga tengah sebagai target organ<br />
alergi. Pada biopsi mukosa telinga<br />
tengah didapatkan eosinophilic cationic<br />
protein (ECP), IL-5 dan basic major<br />
protein (BMP) yang tinggi pada pasien<br />
otitis media dengan rinitis alergi dibandingkan<br />
dengan pasien otitis media<br />
tanpa rinitis alergi.<br />
Sebagian besar otitis media supuratif<br />
kronik tampaknya berasal dari otitis<br />
media supuratif akut yang berulang,<br />
namun beberapa peneliti mengatakan<br />
bahwa otitis media kronis mungkin berasal<br />
dari otitis media efusi yang terinfeksi<br />
sekunder dengan hipertrofi dan<br />
hipersekresi mukosa telinga tengah. 6<br />
Penelitian epidemiologi di beberapa<br />
negara memperlihatkan angka > 50%<br />
pasien otitis media dengan rinitis alergi,<br />
21% pasien rinitis alergi menderita<br />
otitis media. Tuba auditoria memegang<br />
peranan penting sebagai fungsi<br />
regulasi tekanan udara di dalam telinga<br />
tengah. Mekanisme ini dihubungkan<br />
dengan patofisiologi penyebab<br />
obstruksi tuba, terutama akibat infeksi<br />
atau inflamasi dari proses alergi. Rinitis<br />
dihubungkan sebagai etiologi otitis<br />
media dengan 2 cara yaitu: disfungsi<br />
tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari<br />
mukosa nasal atau adanya fungsi mukosiliar<br />
yang terganggu. 18<br />
METODE PENELITIAN<br />
Rancangan dan Populasi Penelitian<br />
Penelitian ini merupakan penelitian<br />
kasus-kontrol; bertujuan menganalisis<br />
/menentukan rinitis alergi sebagai faktor<br />
risiko otitis media supuratif kronik<br />
benigna (OMSKB), membandingkan<br />
antara pasien OMSKB dengan faktor<br />
risiko rinitis (kasus) dan pasien non<br />
OMSKB dengan faktor risiko rinitis alergi<br />
(kontrol).<br />
Populasi terjangkau pada penelitian<br />
ini adalah semua penderita OMSKB<br />
yang berobat ke klinik rawat jalan THT<br />
RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan<br />
sampel dengan cara berurutan<br />
(consecutive sampling) sampai tercapai<br />
jumlah sampel minimal.<br />
Kriteria Inklusi dan Eksklusi<br />
Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat<br />
jalan dengan keluhan sekret telinga<br />
berulang atau pernah, dan pada pemeriksaan<br />
otoskopi didapat cairan/<br />
tanpa cairan pada liang telinga, membran<br />
timpani perforasi sentral tanpa<br />
kolesteatom dan granulasi, kontrol<br />
: pasien non OMSKB, yang datang<br />
ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita<br />
pria atau wanita umur ≥ 5 tahun dan<br />
kooperatif, 3) Bebas dari obat antihistamin,<br />
kortikosteroid sistemik dan<br />
topikal setidaknya selama 7-10 hari.<br />
Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA<br />
pada kelompok kontrol.<br />
Subyek Penelitian<br />
Subyek yang telah memenuhi kriteria<br />
inklusi dan eksklusi dan menandatangani<br />
informed consent tanpa randomisasi<br />
dibagi menjadi kelompok<br />
kasus dan kelompok kontrol setelah<br />
anamesis dan pemeriksaan otoskopi.<br />
Setiap subyek terpilih selanjutnya dianamnesis<br />
dan menjalani pemeriksaan<br />
fisik hidung serta pemeriksaan<br />
rinoskopi anterior, selanjutnya dilakukan<br />
skin prick test bagi sampel yang<br />
belum pernah di test.<br />
Jumlah Sampel<br />
Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan<br />
rumus besar sampel untuk<br />
penelitian analitik kategorik tidak berpasangan<br />
dengan α ditentukan sebesar<br />
5% untuk tingkat kesalahan tipe I,<br />
β ditetapkan sebesar 20% untuk kesalahan<br />
tipe II; power (1-β) adalah 80%<br />
berarti penelitian ini mempunyai pe-<br />
426 | AGUSTUS 2010<br />
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426<br />
7/23/2010 10:33:07 PM
HASIL PENELITIAN<br />
luang sebesar 80% untuk mengetahui<br />
adanya pengaruh faktor risiko terhadap<br />
kasus apabila perbedaan itu ada<br />
di populasi. Zα untuk menguji hipotesis<br />
satu arah sebesar 1,64 dan Zβ sebesar<br />
0,84. Dari kepustakaan didapatkan<br />
proporsi pajanan pada kelompok<br />
kontrol sebesar 20 %. Dari hasil perhitungan<br />
besar sampel minimal, maka<br />
jumlah total sampel 98 orang, untuk<br />
kelompok kasus adalah 49 orang dan<br />
kelompok kontrol 49 orang.<br />
Analisis Statistik<br />
Data disajikan dalam bentuk tabulasi<br />
dan deskripsi statistik.<br />
Analisis statistik yang digunakan adalah:<br />
1) Uji X 2 untuk menghitung ada<br />
tidaknya perbedaan karakteristik<br />
kedua kelompok.<br />
2) Analisis regresi logistik, untuk menilai<br />
variabel-variabel yang berpengaruh<br />
pada otitis media supuratif<br />
kronik benigna.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Penelitian di poliklinik THT RS Dr.<br />
Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni<br />
2007 sampai dengan bulan Maret<br />
20<strong>08</strong> menemukan 53 penderita OM-<br />
SKB dan 50 pasien non OMSKB, 100<br />
pasien di antaranya memenuhi kriteria<br />
inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak<br />
3 pasien dari kelompok kasus tidak<br />
bersedia menjalani skin prick test.<br />
1. Karakteristik demografis subyek<br />
penelitian<br />
Uji X 2 mendapatkan nilai p = 0,102 (><br />
0,05), tidak didapatkan perbedaan<br />
yang bermakna antar usia kelompok<br />
kasus dengan kelompok kontrol pada<br />
penelitian ini.<br />
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna<br />
antara jenis kelamin subyek<br />
pada kelompok kasus dan kelompok<br />
kontrol dengan nilai p = 0,840 (p ><br />
0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03.<br />
Kedua variabel umur dan jenis kelamin<br />
tidak berpengaruh terhadap morbiditas<br />
OMSKB.<br />
Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin<br />
Kasus<br />
N(%)<br />
Kontrol<br />
N(%)<br />
Total (%)<br />
Nilai p<br />
(Uji X 2 )<br />
Umur (tahun)<br />
5 – 15 5 (10) 5 (10) 10 (10)<br />
16 – 25 15 (30) 26 (52) 41 (41) 0,102<br />
26 – 55 26 (52) 18 (36) 44 (44)<br />
≥ 56 4 (8) 1 (2) 5 (5)<br />
Jenis Kelamin<br />
Laki – laki 21 (42) 22 (44) 43 (43) 0,840<br />
Perempuan 29 (58) 28 (56 57 (57)<br />
Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga<br />
Keluhan dan Kelainan telinga<br />
Kel.Kasus<br />
N(%)<br />
Kel.Kontrol<br />
N(%)<br />
Nilai p<br />
(Uji X 2 )<br />
Cairan dari Telinga 26 (52) - 0,001<br />
Batuk, pilek dan demam 41 (82) - 0,001<br />
Manipulasi telinga 9 (18) -<br />
Kambuh < 3 x/ th 7 (14) -<br />
Kambuh ≥ 3 x/th 43 (86) - 0,006<br />
Pendengaran menurun 3 (6) - 0,079<br />
Perforasi MT 50 (100 - 0,001<br />
Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung<br />
Keluhan dan Kelainan hidung<br />
Meler, bersin dan tersumbat 41 (82) 9 (18) 0,001<br />
Riwayat atopi (+) 26 (52) 1 (2) 0,001<br />
Hipertrofi, livide, discharge serous,<br />
Shiner dan crease<br />
40 (80) 4 (8) 0,001<br />
Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi<br />
RA (+) RA (-)<br />
Total Nilai p<br />
N(%) (Uji X 2 )<br />
Keluhan dan kelainan Telinga<br />
Telinga meler 20 6 26(26)<br />
Tidak meler 28 46 74(74) 0,001<br />
Batuk, pilek dan demam 36 5 41(41)<br />
Manipulasi telinga 12 47 59(59) 0,001<br />
Kambuh < 3 x/th 4 3 7(7)<br />
Kambuh ≥ 3 x/th 44 49 93(93) 0,616<br />
Perforasi MT 40 10 50(50) 0,001<br />
Tidak perforasi MT 8 42 50(50)<br />
Keluhan dan kelainan Hidung<br />
Meler, bersin dan tersumbat 48 2 50(50)<br />
Tanpa keluhan - 50 50(50) 0,001<br />
Riwayat atopi 27 - 27(27)<br />
Tanpa riwayat atopi 21 52 73(73) 0,001<br />
Hipertrofi, livide, discharge<br />
sereus, shiner dan crease<br />
Tanpa kelainan hidung<br />
44<br />
4<br />
-<br />
52<br />
44(44)<br />
56(56)<br />
0,001<br />
| AGUSTUS 2010<br />
427<br />
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427<br />
7/23/2010 10:33:07 PM
HASIL PENELITIAN<br />
2. Karakteristik keluhan dan kelainan<br />
telinga dan hidung<br />
Terdapat perbedaan bermakna antara<br />
kelompok kasus dan kontrol pada keluhan<br />
cairan keluar dari telinga dengan<br />
nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,<strong>08</strong>;<br />
IK 95%: 2,2 – 4,2. Sebanyak 41 kasus<br />
(82%) mengeluh batuk, pilek dan demam<br />
sebelum keluhan telinga timbul<br />
dan 9 pasien (18%) karena manipulasi<br />
telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK<br />
95%: 3,5 – 11,9.<br />
Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh<br />
kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien<br />
(86%) kambuh ≥3 kali per tahun. p =<br />
0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 –<br />
2,7.<br />
Keluhan penurunan pendengaran<br />
perbedaan antara kelompok kasus<br />
dan kelompok kontrol tidak berbeda<br />
bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR:<br />
2,06; IK 95%: 1,68 – 2,53. Penurunan<br />
pendengaran dapat disebabkan karena<br />
faktor usia.<br />
Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi<br />
Kasus N(%) Kontrol N(%) Nilai p<br />
Rinitis Alergi (+) 40 (80) 8 (16) 0,001<br />
Rinitis Alergi (-) 10 (20) 42 (84)<br />
Total 50 (100) 50 (100)<br />
Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB<br />
Variabel ß p Adjusted Odd-<br />
Ratio<br />
IK 95%<br />
Rinitis Alergi 0,<strong>08</strong>0 0,001 21,00 7,53 – 58,56<br />
Keluhan dan kelainan telinga<br />
Batuk, pilek dan demam<br />
Manipulasi telinga<br />
3,1<strong>08</strong> 0,0<strong>08</strong> 22,38 2,24 – 22,81<br />
Perforasi MT<br />
Tidak perforasi MT<br />
Telinga meler<br />
Tidak meler<br />
Keluhan dan kelainan hidung<br />
Meler, bersin dan<br />
Tersumbat<br />
1,752 0,032 5,76 1,16 – 28,56<br />
-1,69 0,135 0,185 0,02 – 1,69<br />
13,89 0,894 1<strong>08</strong>3859,7 0,001 – 4,525<br />
Riwayat atopi (+) 0,001 1,000 1,000 0,001 – 1,024<br />
Hipertrofi, livide,<br />
Discharge sereus,<br />
Shiner dan crease<br />
12,51 0,944 270964,93 0,001 – 2,586<br />
Kelainan telinga berupa perforasi<br />
membran timpani terjadi pada semua<br />
kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di<br />
kelompok kontrol tidak terdapat kelainan<br />
telinga. p = 0,001 (p < 0,05).<br />
Terdapat perbedaan bermakna antara<br />
kelompok kasus dengan kelompok<br />
kontrol pada ketiga variabel keluhan<br />
dan kelainan hidung (p = 0,001).<br />
3. Hubungan antara keluhan dan<br />
kelainan telinga dan hidung<br />
dengan rinitis alergi<br />
Terdapat perbedaan bermakna keluhan<br />
telinga meler, batuk, pilek dan<br />
demam serta kelainan telinga berupa<br />
perforasi membran timpani pada rinitis<br />
alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun<br />
tidak terdapat perbedaan rinitis alergi<br />
yang bermakna antara kekambuhan <<br />
3 kali/tahun maupun kekambuhan ≥<br />
3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Setasubrata<br />
(1999) 12 tidak mendapatkan<br />
perbedaan bermakna frekuensi kekambuhan<br />
dalam hal gangguan fungsi<br />
ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari<br />
tuba eustachius dengan (p = 0,12).<br />
Keluhan dan kelainan hidung dengan<br />
rinitis alergi berbeda bermakna (p =<br />
0,001 < 0,05) pada ketiga variabel karena<br />
ketiga variabel tersebut merupakan<br />
tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil<br />
penelitian ini sama dengan hasil Wratsongko<br />
(2004) 19 dengan nilai p = 0,001<br />
untuk ketiga variabel tersebut.<br />
4. Hubungan OMSKB terhadap<br />
rinitis alergi<br />
Terdapat perbedaan bermakna antara<br />
kedua kelompok terhadap rinitis alergi<br />
dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR:<br />
21; IK 95%: 7,53 – 58,56. Risiko kejadian<br />
kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih<br />
sering pada orang yang menderita rinitis<br />
alergi dibandingkan dengan orang<br />
yang tidak menderita rinitis alergi.<br />
Hurst (2002) 20 juga menemukan perbedaan<br />
bermakna antara pasien otitis<br />
media efusi (OME) dengan pasien<br />
atopi, (p = 0,001). Begitu juga Suprihati<br />
dan Putra (1993) 17 menemukan<br />
hubungan antara rinitis alergi dengan<br />
OME (PR prevalence ratio = 2,18 )<br />
yang menandakan bahwa rinitis alergi<br />
merupakan faktor risiko OME.<br />
5. Analisis regresi logistik<br />
Variabel tergantung pada penelitian<br />
ini adalah OMSKB, sedangkan variabel<br />
bebas yang dianalisis adalah rinitis<br />
alergi, keluhan dan kelainan telinga<br />
dan keluhan dan kelainan hidung.<br />
Didapatkan tiga variabel yang berhubungan<br />
bermakna atau berpengaruh<br />
terhadap OMSKB yaitu rinitis<br />
alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 –<br />
58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22<br />
kali lebih besar pada pasien dengan<br />
keluhan telinga diawali batuk, pilek<br />
dan demam dibandingkan pasien<br />
dengan keluhan telinga tanpa diawali<br />
batuk, pilek dan demam (p = 0,0<strong>08</strong>,<br />
OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 – 22,81).<br />
Peluang terjadinya OMSKB 5 kali<br />
lebih besar pada pasien dengan perforasi<br />
membran timpani dibandingkan<br />
pasien tanpa perforasi membran timpani<br />
(p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16<br />
– 28,56).<br />
428 | AGUSTUS 2010<br />
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428<br />
7/23/2010 10:33:07 PM
HASIL PENELITIAN<br />
SIMPULAN<br />
Rinitis alergi merupakan faktor risiko<br />
pada otitis media supuratif kronik benigna<br />
(OMSKB).<br />
SARAN<br />
Melakukan test alergi (skin prick test),<br />
menegakkan diagnosis rinitis alergi<br />
serta memberikan terapi rinitis alergi<br />
pada pasien otitis media yang sering<br />
berulang untuk menekan angka kejadian<br />
OMSKB.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13.<br />
2. Paparela MM. Definition and classification of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinological<br />
Societies 1983: 9-14.<br />
3. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, MM, Schumrick, DA<br />
(eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140.<br />
4. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis<br />
Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56.<br />
5. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3 rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd..<br />
1974<br />
6. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between<br />
various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3).<br />
7. Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif<br />
pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112.<br />
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran<br />
untuk puskesmas.1998.<br />
9. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif<br />
otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30.<br />
10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di<br />
RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54.<br />
11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modifikasi inflasi-deflasi dan tetes telinga<br />
memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata “kering” dewasa. Karya Tulis Akhir<br />
1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.<br />
12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media<br />
supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39.<br />
13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran timpani<br />
permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta.<br />
14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprofloxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating<br />
active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta<br />
Gadjah Mada University.<br />
15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin<br />
North Am 1995.28: 913-932.<br />
16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan<br />
Otologi I. Jakarta 2006: 31.<br />
17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpulan<br />
Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993.<br />
18. Lazo-Saenz JG, Galvan –Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol<br />
Head Neck Surg 2005.132: 626-631.<br />
19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta.<br />
20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and<br />
adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566.<br />
| AGUSTUS 2010<br />
429<br />
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429<br />
7/23/2010 10:33:<strong>08</strong> PM