20.06.2015 Views

1 ADSORPSI SIMULTAN KITOSAN-BENTONIT TERHADAP ION ...

1 ADSORPSI SIMULTAN KITOSAN-BENTONIT TERHADAP ION ...

1 ADSORPSI SIMULTAN KITOSAN-BENTONIT TERHADAP ION ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>ADSORPSI</strong> <strong>SIMULTAN</strong> <strong>KITOSAN</strong>-<strong>BENTONIT</strong> <strong>TERHADAP</strong> <strong>ION</strong> LOGAM DAN<br />

RESIDU PESTISIDA DALAM AIR MINUM DENGAN TEKNIK BATCH<br />

(Diseminarkan pada seminar nasional kimia dan pendidikan kimia UNY, November 2011)<br />

Della, Anna Permanasari, Zackiyah<br />

Program Studi Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia<br />

Email: anna_permanasari2003@yahoo.com<br />

ABSTRAK<br />

Efektifitas Kitosan-bentonit telah dibuktikan dalam mengadsorpsi ion logam dan residu<br />

pestisida di dalam air minum. Pada penelitian ini telah dikaji kinerja adsorpsi kitosanbentonit<br />

terhadap ion logam Fe(III), Cu(II), Cd(II), residu endosulfan dan diazinon di dalam<br />

air minum secara simultan dengan teknik flow. Untuk memastikan keberhasilan sintesis<br />

kitosan-bentonit dilakukan karakterisasi menggunakan spektrofotometer Fourier Transform-<br />

Infra Red (FT-IR), X-Ray Difraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan<br />

Thermal Gravimetry-Differential Thermal Analysis (TG-DTA). Selanjutnya kinerja adsorben<br />

terhadap ion logam dikaji melalui pengukuran kandungan ion logam (Fe(III),m Cu(II),<br />

Cd(II)) dengan teknik AAS ( Atomic Absorption Spectroscopy), sebelum dan sesudah proses<br />

interaksi. Untuk mengetahui jumlah pestisida endosulfan dan diazinon yang teradsorpsi/tidak<br />

teradsorpsi oleh kitosan-bentonit dianalisis dengan spektrofotometer UV, Hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa dengan teknik flow. Adsorben kitosan-bentonit mampu mengadsorpsi<br />

ion logam Fe (III), Cd(II), Cu(II), residu pestisida endosulfan dan diazinon secara simultan<br />

dengan teknik flow, pada konsentrasi masing-masing 20 ppm dengan penggunaan 15 gram<br />

adsorben dalam sampel air 250 mL. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ukuran partikel<br />

adsorben dengan kinerja paling baik untuk proses flow adalah 50 mesh.<br />

Kata kunci: adsorpsi, flow process, kitosan-bentonit, logam, pestisida.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dewasa ini, air menjadi masalah<br />

yang perlu mendapat perhatian yang<br />

serius. Untuk mendapat air yang baik<br />

sesuai dengan ketentuan standar yang<br />

berlaku, saat ini menjadi barang yang<br />

mahal, karena air sudah banyak tercemar<br />

oleh bermacam-macam limbah dari<br />

berbagai hasil kegiatan manusia.<br />

Sehingga secara kualitas, sumber daya<br />

air telah mengalami penurunan.<br />

Demikian pula secara kuantitas, yang<br />

sudah tidak mampu memenuhi<br />

kebutuhan yang terus meningkat.<br />

Effendi, (2003) telah menemukan<br />

residu pestisida pada plankton sebesar<br />

0,04 ppm, pada tanaman air sebesar 0,08<br />

ppm, pada kerang 0,42 ppm, pada ikan<br />

1,20 ppm, dan pada bebek 3,50 ppm<br />

sedangkan ambang batasnya sebesar<br />

0,0007 ppm. Dapat dibayangkan apabila,<br />

air yang tercemar pestisida tersebut<br />

terkonsumsi oleh manusia, maka akan<br />

menimbulkan masalah serius terhadap<br />

kesehatan. Indikasi terjadinya<br />

kontaminasi terhadap air minum terhadap<br />

manusia yaitu mual, muntah, iritasi kulit,<br />

kepala pusing dan dalam dosis yang<br />

tinggi menyebabkan kematian.<br />

Selain dari cemaran pestisida,<br />

limbah industri juga sangat berperan<br />

dalam pencemaran air tanah diantaranya<br />

menyebabkan cemaran air oleh limbah<br />

logam berat yang masuk ke dalam badan<br />

1


air. Hampir semua industri memiliki<br />

limbah berupa logam berat, namun<br />

penanggulangnnya ini masih sangat<br />

minim. Limbah industri yang<br />

mengandung logam berat bisa berasal<br />

dari industri tekstil, industri cat, dan lainlain.<br />

Pencemaran perairan akan<br />

memberikan dampak buruk bagi<br />

kehidupan makhluk hidup dan manusia,<br />

karena semua makhluk hidup<br />

memerlukan air untuk dapat bertahan<br />

hidup. Pencemaran lingkungan perairan<br />

yang disebabkan oleh logam-logam berat<br />

seperti kadmium, timbal dan tembaga<br />

yang berasal dari limbah industri sudah<br />

lama diketahui. Pencemaran karena<br />

logam berat dapat menyebabkan berbagai<br />

kelainan dan penyakit pada manusia.<br />

Pestisida di dalam air minum<br />

dapat dikurangi kadarnya agar air minum<br />

tersebut dapat memenuhi kriteria yang<br />

berdasarkan PERMENKES 492 tahun<br />

2010 tentang pesyaratan kualitas air<br />

minum dengan penggunaan adsorben<br />

yang telah banyak digunakan<br />

sebelumnya yaitu zeolit dan karbon aktif.<br />

Sebelumnya Kan et al., (2002) mengkaji<br />

kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi<br />

pestisida triadimefon. Hasil penelitian<br />

tersebut menunjukkan zeolit dapat<br />

mengadsorpsi fungisida golongan<br />

organoklor (triadimefon) dalam<br />

konsentrasi kecil. Penelitian tentang<br />

adsorben karbon aktif (Las dkk, 2006)<br />

dapat mengadsorpsi insektisida dalam air<br />

mencapai 90,90% dari konsentrasi awal<br />

2,250 mg/L. Selain kedua adsorben<br />

tersebut terdapat material lain yang dapat<br />

digunakan sebagai adsorben yaitu<br />

bentonit.<br />

Bentonit sendiri di Indonesia<br />

tergolong sangat melimpah, tetapi<br />

penggunaannya belum maksimal.<br />

Bentonit memiliki kapasitas adsorpsi<br />

yang besar terhadap senyawa anorganik<br />

dan logam-logam berat. Tetapi bentonit<br />

memiliki kapasitas adsorpsi yang kecil<br />

untuk mengadsorpsi senyawa organik,<br />

sehingga untuk meningkatkan kapasitas<br />

adsorpsi bentonit terhadap senyawa<br />

organik dilakukan modifikasi bentonit<br />

dengan menggunakan surfaktan atau<br />

polimer. Bentonit yang telah<br />

dimodifikasi menggunakan surfaktan<br />

atau polimer ini dinamakan organobentonit.<br />

Penelitian Carrizosa et al.,<br />

(2003) mengkaji adsorpsi herbisida<br />

bersifat asam menggunakan bentonit<br />

termodifikasi<br />

hexadecyltrimethylammonium,<br />

dioctadecyldimethylammonium dan<br />

octadecylammonium. Dari hasil<br />

penelitiannya diperoleh bahan organobentonit<br />

tersebut dapat menurunkan<br />

jumlah kontaminan herbisida dalam air.<br />

Bentonit yang dimodifikasi<br />

dengan surfaktan atau polimer telah<br />

banyak diteliti dan diaplikasikan.<br />

Dampak dari penggunaan surfaktan atau<br />

polimer sebagai senyawa untuk<br />

memodifikasi bentonit dikhawatirkan<br />

dapat menimbulkan masalah baru<br />

terhadap lingkungan, karena surfaktan<br />

dan polimer dapat menghasilkan polutan<br />

dari residunya. Oleh karena itu para<br />

peneliti mencoba melakukan modifikasi<br />

bentonit dengan menggunakan bahan<br />

organik alam atau bahan organik yang<br />

aman untuk digunakan. Diharapkan<br />

bentonit yang dimodifikasi dengan<br />

senyawa organik alam atau senyawa<br />

organik aman tidak menimbulkan<br />

masalah baru terhadap lingkungan. Cruz-<br />

Guzmán et al., (2004) telah mensintesis<br />

organo-bentonit dari tiga jenis kation<br />

organik alam yaitu L-carnitine, L-cystine<br />

dimethyl ester, dan thiamine serta<br />

menguji kapasitas adsorpsinya terhadap<br />

herbisida simazine. Hasilnya<br />

menunjukkan organo-bentonit dari kation<br />

organik alam tersebut dapat<br />

mengadsorpsi simazine lebih baik<br />

dibandingkan dengan organo-bentonit<br />

dari kation alkilamonium.<br />

Hasil penelitian menunjukkan<br />

bahwa adsorben histidin-bentonit<br />

memiliki kinerja adsorpsi yang lebih baik<br />

bila dibandingkan dengan Ca-bentonit,<br />

yaitu dapat mengadsorpsi pestisida<br />

diazinon dalam air minum mencapai<br />

2


95,11% dari konsentrasi awal 12,00<br />

mg/L. Permanasari, Anna (2009)<br />

Penggunaan asam amino histidin<br />

ini sebagai modifier bentonit memiliki<br />

kelemahan diantaranya mempunyai sifat<br />

asam amino yang kurang tahan terhadap<br />

perubahan suhu, sangat rentan terhadap<br />

bakteri, dan memiliki pH isolistrik 7,59<br />

sehingga terdapat kemungkinan larut<br />

dalam air dan terlepas dari adsorben<br />

bentonit.<br />

Hal ini dikuatkan oleh hasil<br />

penelitian Deskawati (2007) yang<br />

menyatakan bahwa adsorben histidinbentonit<br />

kurang stabil pada berbagai faktor<br />

lingkungan. Oleh sebab itu, dalam<br />

aplikasinya adsorben ini disarankan<br />

digunakan pada suhu 25 0 C (suhu kamar)<br />

dan diusahakan tidak terkena radiasi sinar<br />

UV (cahaya matahari) secara langsung.<br />

Berdasarkan analisis kelemahan<br />

tersebut, tim peneliti telah berhasil<br />

menemukan alternatif adsorben baru yang<br />

menunjukkan ketahanan lebih tinggi, lebih<br />

murah dan lebih mudah dalam sintesisnya,<br />

yaitu adsorben kitosan-bentonit<br />

(khoerunnisa dkk, 2009). Hasil penelitian<br />

pendahuluan menunjukkan kinerja yang<br />

sangat baik terhadap residu pestisida<br />

diazinon dengan kekuatan adsorpsi 90,04<br />

% dan lebih cepat proses adsorpsinya.<br />

Kitosan-bentonit juga memiliki kinerja<br />

yang baik sebagai adsorben untuk logam<br />

berat Fe, Cd dan Cu secara simultan<br />

dengan kekuatan adsorpsi rata-rata di atas<br />

90% (Wulandari, 2009). Selain itu<br />

penggunaan kitosan sangat aman karena<br />

kitosan merupakan bahan anti oksidan<br />

(pembentuk kulit udang) yang biasa<br />

dikonsumsi manusia dan yang terpenting<br />

tidak mengandung toksik. Oleh karena itu,<br />

adsorben kitosan-bentonit sangat<br />

prospektif untuk diaplikasikan lebih<br />

lanjut dalam proses pengolahan air<br />

minum dalam skala yang lebih besar.<br />

Sesuai dengan kebutuhan dalam<br />

aplikasinya, penelitian ini mencoba<br />

mengkaji uji kinerja adsorben yang<br />

terdapat dalam sediaan packing flow.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Bahan<br />

Bahan yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah bentonit yang berasal<br />

dari Karangnunggal (Tasikmalaya),<br />

kitosan, asam asetat (CH 3 COOH) 98%,<br />

diazinon (nama dagang sidazinon 60 EC),<br />

endosulfan (nama dagang Akodan 350<br />

EC), Fe(NO 3 ) 3. 9H 2 O, Cd(NO 3 ) 2. 4H 2 O,<br />

Cu(NO 3 ) 2. 3H 2 O dan aquades.<br />

Alat<br />

Peralatan yang digunakan meliputi<br />

multishaker MMS 3000, oven, neraca<br />

analitis, Centrifuge tipe H–103 N<br />

Kokusan, desikator, peralatan filtrasi<br />

vakum dan peralatan gelas. Untuk<br />

keperluan analisis digunakan<br />

Sektrofotometer UV Mini Shimadzu 1240,<br />

XRD PANanalytical X’Pert, SEM jeol<br />

JSM 6360 LV dan FT-IR Shimadzu 8400.<br />

Prosedur Kerja<br />

Pembuatan Kitosan-Bentonit<br />

Sebanyak 180 gram Ca-bentonit<br />

dimasukkan ke dalam gelas kimia 1 L dan<br />

ditambahkan 1 L kitosan 1000 ppm.<br />

Dikocok selama 30 menit pada 160 rpm.<br />

Kemudian di saring menggunakan kertas<br />

saring Whatman No.1, filtrat yang<br />

diperoleh disimpan untuk dianalisis, dan<br />

residu yang diperoleh adalah kitosanbentonit.<br />

Kitosan-bentonit yang diperoleh<br />

dicuci dengan aquadest sampai bebas<br />

asam, kemudian dikeringkan dalam oven<br />

pada suhu 100 0 C. Kitosan bentonit yang<br />

sudah kering dihaluskan untuk<br />

penggunaan lebih lanjut, dan sebagian dari<br />

kitosan-bentonit diambil untuk<br />

3


karakterisasi menggunakan FT-IR, TG-<br />

DTA, SEM dan XRD.<br />

Adsorpsi Campuran Residu Logam dan<br />

Pestisida oleh Kitosan-Bentonit<br />

Pengujian kinerja adsorben kitosanbentonit<br />

dilakukan dengan mengontakkan<br />

250 mL campuran diazinon dan<br />

endosulfan (sampel pestisida) dan logam<br />

(Cu, Cd, Fe) pada perbandingan<br />

konsentrasi 20:20:20:20:20 dengan<br />

adsorben kitosan-bentonit sebanyak 25 g.<br />

Campuran antara logam Fe (III),<br />

Cu (II), Cd (II), -diazinon-endosulfan,<br />

dikontakkan dengan kitosan bentonit<br />

dalam kemasan flow. Selanjutnya<br />

disentrifugasi selama 30 menit pada 3000<br />

rpm. Konsentrasi logam sisa dalam<br />

supernatan dianalisis dengan<br />

menggunakan AAS, sedangkan<br />

konsentrasi diazinon dan endosulfan sisa<br />

dalam supernatan dianalisis dengan<br />

menggunakan spektrofotometer UV dan<br />

untuk perhitungan dibuat kurva kalibrasi<br />

larutan standar. Kondisi pengujian kinerja<br />

adsorben dilakukan pada keadaan isoterm,<br />

yaitu pada suhu ± 27ºC.<br />

Adsorben dalam larutan sampel air<br />

diekuilibrasi menggunakan multishaker<br />

dengan kecepatan 160 rpm. Waktu kontak<br />

yang digunakan adalah waktu kontak hasil<br />

percobaan sebelumnya yang memberikan<br />

persen adsorpsi paling tinggi. Selanjutnya<br />

campuran tersebut disentrifugasi selama 30<br />

menit pada 3000 rpm. Konsentrasi ion<br />

logam sisa dalam supernatan dianalisis<br />

menggunakan AAS, sedangkan<br />

konsentrasi diazinon dan endosulfan sisa<br />

dalam supernatan dianalisis dengan<br />

menggunakan spektrofotometer UV dan<br />

untuk perhitungan dibuat kurva kalibrasi<br />

larutan standar.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Karakterisasi Kitosan, Ca-Bentonit, dan<br />

Kitosan-Bentonit<br />

Analisis karakterisasi kitosanbentonit<br />

dilakukan menggunakan<br />

instrumen FTIR, XRD dan SEM. Selain<br />

kitosan-bentonit, analisis dilakukan pada<br />

Ca-bentonit dan kitosan. Karakterisasi<br />

tersebut dilakukan sebelum pengujian<br />

secara simultan adsorben kitosan-bentonit<br />

dengan variabel massa dan ukuran<br />

adsorben.<br />

4.1.1 Spektrofotometer FTIR<br />

Karakterisasi mengunakan<br />

Spektrofotometer FTIR (Fourier<br />

Transform-Infra Red) dilakukan untuk<br />

mengetahui perubahan gugus fungsi dari<br />

Ca-bentonit sebelum dikontakkan dengan<br />

kitosan dan setalah dimodifikasi dengan<br />

kitosan.<br />

Kitosan yang digunakan<br />

dikarakterisasi untuk mengetahui gugus<br />

fungsi apa saja yang terdapat pada kitosan.<br />

Spektra kitosan secara keseluruhan dapat<br />

dilihat pada gambar 4.1<br />

100.0<br />

97.5<br />

95.0<br />

92.5<br />

90.0<br />

87.5<br />

85.0<br />

%T<br />

4000.0<br />

3529.5<br />

3500.0<br />

3433.1<br />

3000.0<br />

2920.0<br />

2500.0<br />

2341.4<br />

2364.6<br />

2000.0<br />

1750.0<br />

1654.8<br />

Gambar 1 Spektra FTIR Kitosan<br />

Pada spektra FTIR kitosan,<br />

terdapat puncak-pucak pada bilangan<br />

panjang gelombang 3433,1 cm -1 ; 2920 cm -<br />

1 ; 1423,4 cm -1 ; 1589,2 cm -1 ; 1153,4 cm -1 ;<br />

1033,8 cm -1 ; 1087,8 cm -1 ; 894,9 cm -1 .<br />

Puncak serapan pada bilangan gelombang<br />

3433,1 cm -1 memperlihatkan adanya<br />

vibrasi ulur O-H dan N-H (Kolhe dan<br />

Kannan, 2002; Bhumkar dan Phokarkar,<br />

1589.2<br />

1500.0<br />

1423.4<br />

1380.9<br />

1250.0<br />

1249.8<br />

1153.4<br />

1087.8<br />

1033.8<br />

1000.0<br />

894.9<br />

750.0<br />

500.0<br />

1/cm<br />

4


100.0<br />

80.0<br />

60.0<br />

40.0<br />

20.0<br />

2006). Puncak serapan pada bilangan<br />

gelombang 2920 cm -1 memperlihatkan<br />

vibrasi ulur C-H dari -CH 2 - yang diperkuat<br />

dengan munculnya puncak serapan pada<br />

bilangan gelombang 1423,4 cm -1 yang<br />

menunjukkan adanya vibrasi tekuk C-H<br />

dari -CH 2 -. Puncak serapan pada bilangan<br />

gelombang 1589,2 cm -1 menunjukan<br />

vibrasi tekuk N-H dari gugus NH 2 . Puncak<br />

pada bilangan gelombang 1153,4 cm -1<br />

menunjukkan adanya vibrasi ulur –C-O.<br />

Puncak serapan pada bilangan gelombang<br />

1033,8 cm -1 menunjukkan vibrasi ulur C-<br />

O-C pada cincin glukosamin. Puncak<br />

serapan pada bilangan gelombang 1087,8<br />

cm -1 menunjukkan vibrasi ulur –C-OH.<br />

Adapun puncak serapan pada bilangan<br />

gelombang 894,9 cm -1 memperlihatkan<br />

adanya vibrasi ulur C-C sakarida<br />

(Sastrohamidjojo, 1992).<br />

Karakterisasi kitosan-bentonit<br />

bertujuan untuk mengetahui perubahan dan<br />

penambahan gugus fungsi pada kitosanbentonit<br />

dibandingkan dengan Cabentonit.<br />

Spektra FTIR dari kitosanbentonit<br />

dapat dilihat pada gambar 4.2<br />

%T<br />

4000.0<br />

3448.5<br />

3652.9<br />

3622.1<br />

3625.9<br />

3500.0<br />

3413.8<br />

3000.0<br />

2500.0<br />

(Kitosan-<strong>BENTONIT</strong>)<br />

2000.0<br />

1750.0<br />

500.0<br />

1/cm<br />

Gambar 2. Spektra FTIR Kitosan-<br />

Bentonit dan Ca-Bentonit<br />

Terdapat puncak-puncak serapan<br />

yang khas, pada bilangan gelombang<br />

3100-3700 cm -1 dan 1600-1700 cm -1 . Pita<br />

serapan yang muncul pada bilangan<br />

gelombang 3100-3700 cm -1 dan 1600-<br />

1700 cm -1 menunjukan adanya molekul<br />

H 2 O yang terikat melalui ikatan hidrogen<br />

pada monmorilonit yang terdapat pada<br />

1639.4<br />

1631.7<br />

1500.0<br />

1250.0<br />

1045.3<br />

1000.0<br />

(Ca-<strong>BENTONIT</strong>)<br />

1095.5<br />

1033.8<br />

1006.8<br />

914.2<br />

752.2<br />

694.3<br />

667.3<br />

794.6<br />

750.0<br />

617.2<br />

532.3<br />

428.2<br />

470.6<br />

524.6<br />

pada Ca-bentonit maupun pada kitosanbentonit.<br />

Puncak pada bilangan gelombang<br />

3100-3700 cm -1 merupakan puncak yang<br />

terbentuk karena adanya vibrasi ulur O-H<br />

dan puncak pada bilangan gelombang<br />

1600-1700 cm -1 merupakan daerah vibrasi<br />

tekuk H-O-H (Hongping et al ,. 2004).<br />

Dilihat dari spektra FTIR kitosanbentonit<br />

dan Ca-bentonit, terlihat hanya<br />

terdapat pergeseran beberapa bilangan<br />

gelombang pucak. Bilangan gelombang<br />

pucak yang bergeser anatara lain pada<br />

puncak 3625,9 cm -1 menjadi 3622,1 cm -1 ,<br />

3413 cm -1 menjadi 3448,5 cm -1 , 1631,7<br />

cm -1 menjadi 1639,4 cm -1 , dan 667,3 cm -1<br />

menjadi 694,3 cm -1 . Perubahan tingkat<br />

energi menyebabkan pergeseran bilangan<br />

gelombang. Peningkatan energi tersebut<br />

menandakan terjadinya ikatan yang lebih<br />

kuat antara bentonit dengan suatu spesi,<br />

dalam hal ini adalah kitosan.<br />

Spektra kitosan-bentonit tidak<br />

menunjukan puncak pada bilangan<br />

gelombang 1045,3 cm -1 yang<br />

menunjukkan vibrasi ulur Si-O pada<br />

lapisan tetrahedral. Hal tersebut terjadi<br />

karena lapisan Si-O tertutupi oleh kitosan,<br />

dan hal ini terbukti dari munculnya puncak<br />

pada bilangan gelombang 1033,8 cm -1<br />

yang menunjukkan vibrasi ulur C-O-C<br />

pada cincin glukosamin. Terdapat pula<br />

puncak baru pada bilangan gelombang<br />

914,2 cm -1 yang menunjukkan adanya<br />

vibrasi ulur C-C pada sakarida.<br />

Pada spektra kitosan-bentonit juga<br />

muncul beberapa puncak serapan baru.<br />

Puncak baru tersebut muncul pada<br />

bilangan gelombang 3622,1 cm -1 dan<br />

3695,4 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi<br />

ulur N-H. Gugus tersebut berasal dari<br />

struktur kitosan, berarti secara kualitatif<br />

kitosan telah berinteraksi dengan bentonit.<br />

Panjang gelombang 3622,1 cm -1<br />

menunjukkan vibrasi ulur pada amina (-<br />

NH) dan cocok dengan panjang<br />

gelombang 1095,5 cm -1 yang<br />

menunjukkan vibrasi ulur C-N. (Ngah et<br />

al., 2006).<br />

5


Karakterisasi adsorben kitosanbentonit<br />

sebelumnya telah dilakukan<br />

menggunakan instrumen FTIR,<br />

karakterisasi dilakukan pula dengan<br />

difraksi sinar X (XRD). Data XRD yang<br />

didapat digunakan untuk lebih meyakinkan<br />

bahwa kitosan telah berinteraksi dengan<br />

Ca-bentonit. Selain itu juga, untuk<br />

menentukan keberadaan mineral<br />

monmorilonit dalam Ca-bentonit dan<br />

kitosan-bentonit. Dengan mengetahui<br />

harga 2θ dan jarak antar bidang (d) dari<br />

Ca-bentonit dan kitosan-bentonit, maka<br />

akan diketahui perubahan-perubahan yang<br />

terjadi akibat pemodifikasian Ca-bentonit<br />

menjadi kitosan-bentonit. Dari data<br />

tersebut akan diketahui apakah interaksi<br />

kitosan dengan bentonit terjadi di<br />

interlayer atau di outlayer bentonit.<br />

Apabila jarak antar bidang pada Cabentonit<br />

berbeda dengan jarak antar bidang<br />

pada kitosan-bentonit maka dimungkinkan<br />

kitosan terdapat di bagian interlayer<br />

bentonit. Spektra dari Ca-bentonit dan<br />

Kitosan-bentonit disajikan dalam Gmbar 3.<br />

Spektra XRD dari Ca-bentonit dan<br />

kitosan-bentonit, dilihat secara<br />

keseluruhan tidak menunjukkan terjadinya<br />

perubahan puncak-puncak serapan baik<br />

yang ada di Ca-bentonit maupun di<br />

kitosan-bentonit. Pada spektra XRD Cabentonit<br />

pita serapan yang khas dari<br />

senyawa monmorilonit yaitu pada 2θ<br />

sebesar 5,31; 19,88; dan 28,45 (Petrovic-<br />

Filipovic et al., 2002) dengan jarak<br />

bidangnya (d) berturut-turut 15,74 Ǻ, 4,46<br />

Ǻ, dan 3,13 Ǻ. Sedangkan pada spektra<br />

XRD kitosan-bentonit hampir tidak terjadi<br />

perubahan harga 2θ pada puncak-puncak<br />

khas untuk monmorilonit yaitu dari 5,31<br />

menjadi 5,77; dari 19,88 menjadi 19,98;<br />

dan dari 28,45 menjadi 28,96. Jarak antar<br />

bidang (d) terjadi penurunan yaitu dari<br />

15,74 menjadi 15,30; dari 4,46 menjadi<br />

4,43 dan dari 3,13 menjadi 3,08.<br />

Kitosan yang dikontakan pada Cabentonit<br />

tidak terlalu mengakibatkan<br />

terjadinya peningkatan harga 2θ dan<br />

penurunan jarak antar bidang (d). Adanya<br />

peningkatan harga 2θ menunjukkan bahwa<br />

mineral yang ditunjukkan oleh puncakpuncak<br />

tersebut berinteraksi dengan<br />

kitosan. Hal tersebut, menunjukan<br />

kemungkinan interaksi yang terjadi antara<br />

Ca-bentonit dengan kitosan terjadi di<br />

outlayer atau di permukaan. Perubahan<br />

nilai 2θ dan jarak antar bidang (d) dapat<br />

dilihat pada Tabel 4.4.<br />

Tabel 4.2 Harga 2θ dan jarak antar bidang<br />

(d) Ca-bentonit dan Kitosan-Bentonit<br />

Ca-Bentonit<br />

Kitosan-bentonit<br />

2θ d (Ǻ) 2θ d (Ǻ)<br />

5,31 15,74 5,77 15,30<br />

Gambar 4.3 Spektra Difraksi Sinar X Ca-<br />

Bentonit dan Kitosan-Bentonit<br />

19,88 4,46 19,98 4,43<br />

28,45 3,13 28,96 3,08<br />

Karakterisasi menggunakan<br />

Scanning Electron Microscopy (SEM)<br />

digunakan untuk memperkuat data FTIR<br />

dan XRD tentang keberadaan kitosan<br />

dalam bentonit. Dari hasil pengukuran<br />

SEM dapat mengetahui perubahan yang<br />

6


terjadi pada permukaan Ca-bentonit dan<br />

kitosan-bentonit. Gambar 4.4<br />

menunjukkan foto SEM untuk Ca-bentonit<br />

dan kitosan-bentonit.<br />

A<br />

B<br />

permukaan Ca-bentonit. Pada Gambar 4 B<br />

dan D gambaran dari kitosan-bentonit,<br />

terlihat suatu permukaan yang lebih rapat<br />

jika dibandingkan dengan gambar<br />

permukaan Ca-bentonit. Foto SEM dari<br />

Ca-bentonit dan kitosan-bentonit dapat<br />

menyatakan bahwa kitosan terikat pada<br />

bagian permukaan bentonit (bagian<br />

outlayer). Hasil XRD dan SEM<br />

memberikan hasil yang saling mendukung<br />

satu sama lain dan keduanya menunjukkan<br />

bahwa kitosan berikatan dengan bentonit<br />

di bagian outerlayer.<br />

Adsorpsi Kitosan-Bentonit Terhadap<br />

Ion Logam dan Residu Pestisida<br />

C<br />

D<br />

Uji kinerja dilakukan pada variasi ukuran<br />

partikel dan massa adsorben kitosanbentonit,<br />

seperti ditunjukkan pada Tabel.2.<br />

Gambar 4 Foto SEM Permukaan (A,C)<br />

Ca-Bentonit dan (B,D) Kitosan-Bentonit<br />

pada perbesaran 5000 X (A,B) dan 10.000<br />

X (C,D)<br />

Kation kitosan yang masuk<br />

memiliki molekul yang lebih besar dari<br />

kation Ca, hal tersebut dapat menyebabkan<br />

peningkatan porositas dari kitosan-bentonit<br />

jika dibandingkan dengan Ca-bentonit.<br />

Peningkatan porositas ini tidak dapat<br />

teramati pada hasil SEM yang dikarenakan<br />

SEM hanya memvisualisasikan bagian<br />

permukaan dari bentonit<br />

(Aldiantono,2009).<br />

Gambar 4 A dan C merupakan<br />

gambaran permukaan Ca-bentonit, pada<br />

gambar ini masih terlihat bentuk<br />

permukaan material yang tidak terlalu<br />

rapat, hal ini terlihat dari masih adanya<br />

bagian yang berwarna hitam yang<br />

merupakan ruang-ruang kosong di sekitar<br />

N<br />

O<br />

1<br />

Fe(III),<br />

Cu(II),<br />

Cd(II),<br />

Endosulfan,<br />

Diazinon,<br />

ppm<br />

Ukuran<br />

adsorbe<br />

n, mesh<br />

2 10<br />

3 20:20:20:20: 9 15<br />

20<br />

4 20<br />

5 25<br />

1<br />

2 10<br />

3 20:20:20:20: 50 15<br />

20<br />

4 20<br />

5 25<br />

Massa<br />

adsorbe<br />

n<br />

(gram)<br />

5<br />

5<br />

7


% Teradsorpsi<br />

% Teradsorpsi<br />

Analisis logam Fe (III), Cu (II), Cd<br />

(II) yang tersisa di air minum yang telah<br />

dikontakan disajikan dalam grafik berikut :<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

*Pengukuran Secara Duplo<br />

Gambar 6 Grafik Persen Teradsorpsi<br />

Logam Setelah Dikontakkan Dengan<br />

Adsorben Kitosan-Bentonit 9 mesh<br />

Sementara itu, pada penggunaan adsorben<br />

dengan ukuran 50 mesh, terjadi sedikit<br />

pengkatan jumlah teradsorpsi, seperti<br />

ditunjukkan oleh Gambar 7.<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

5 10 15 20 25<br />

5 10 15 20 25<br />

Logam Cd (II)<br />

Logam Cu (II)<br />

Logam Fe (III)<br />

Massa Adsorben Kitosan-Bentonit …<br />

logam Cd (II)<br />

logam Cu (II)<br />

logam Fe (III)<br />

Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 9<br />

mesh<br />

Gambar 7. Grafik Persen Teradsorpsi<br />

Logam Setelah Dikontakkan Dengan<br />

Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh<br />

Persen teradsorpsi dari logam-logam yang<br />

berbeda-beda, menunjukkan adanya<br />

persaingan yang terjadi dari masingmasing<br />

logam untuk berikatan dengan<br />

adsorben. Fe (III) yang memiliki ukuran<br />

jari-jari paling kecil memiliki persen<br />

teradsorpsi yang paling besar dalam hal ini<br />

sempurna 100 % teradsorpsi, sedangkan<br />

Cd (II) yang merupakan logam dengan<br />

ukuran jari-jari paling besar, memberikan<br />

persen teradsorpsi sedikit lebih kecil yaitu<br />

sebesar 99,874 % dibandingkan dengan Cu<br />

(II) yaitu sebesar 99,877 dan Fe (III). Hal<br />

ini menunjukan bahwa ukuran jari-jari dari<br />

masing-masing logam mempengaruhi nilai<br />

persen teradsorpsi. Ukuran moleul Fe (III)<br />

yang paling kecil menyebabkan ion Fe<br />

(III) lebih dulu terikat ke permukaan<br />

kitosan-bentonit. Sedangkan, untuk<br />

adsorpsi logam-logam lain tidak terlalu<br />

signifikan. Hal ini disebabkan karena<br />

jumlah situs aktif yang tersedia pada<br />

permukaan kitosan-bentonit telah terlebih<br />

dahulu mengikat ion Fe (III).<br />

Interaksi adsorpsi logam yang<br />

terjadi adalah pertukaran kation antara ion<br />

logam Fe (III), Cd (II), dan Cu (II) dengan<br />

Ca (II) di bagian interlayer, maka interaksi<br />

yang terjadi akan dipengaruhi oleh jarak<br />

antar spesi yang ada. Sangatlah<br />

memungkinkan jika ion logam yang lebih<br />

kecil akan masuk ke bagian interlayer<br />

dengan lebih mudah dibandingkan dengan<br />

ion logam yang memiliki ukuran lebih<br />

besar.<br />

Perbedaan ukuran dari adsorben<br />

kitosan-bentonit memberikan sedikit<br />

pengaruh terhadap persen teradsorpsi<br />

logam-logam yang diadsorpsi oleh<br />

kitosan-bentonit. Terlihat bahwa adsorben<br />

kitosan-bentonit yang memiliki ukuran<br />

partikel lebih halus yaitu pada ukuran 50<br />

mesh memberikan persen teradsorpsi yang<br />

lebih besar dibandingkan dengan adsorben<br />

kitosan-bentonit yang berukuran 9 mesh<br />

pada kondisi optimum yang sama.. Ukuran<br />

partikel adsorben kitosan-bentonit yang<br />

halus menyebabkan luas permukaan<br />

kitosan-bentonit semakin besar, dan dapat<br />

menyentuh permukaan logam yang<br />

terdapat di air minum lebih banyak<br />

dibandingkan dengan adsorben yang<br />

memiliki ukuran partikel lebih besar.<br />

8


% Teradsorpsi<br />

% Teradsorpsi<br />

% Teradsorpsi<br />

% Teradsorpsi<br />

Dalam hal ini adsorben kitosan-bentonit<br />

dengan ukuran 50 mesh memiliki luas<br />

permukaan yang lebih besar dibandingkan<br />

adsorben kitosan-bentonit dengan ukuran 9<br />

mesh. Adsorben kitosan-bentonit dengan<br />

ukuran 50 mesh lebih banyak menyerap<br />

logam Fe (III), Cd (II), Cu (II) yaitu<br />

dengan rata-rata persen teradsorpsi sebesar<br />

98, 584%, sedangkan adsorben kitosanbentonit<br />

dengan ukuran 9 mesh dapat<br />

mengadsorpsi logam-logam dengan ratarata<br />

persen teradsorpsi sebesar sekitar<br />

95,57423%.<br />

Data analisis residu pestisida diazinon dan<br />

endosulfan yang tersisa setelah diadsorpsi<br />

oleh adsorben kitosan bentonit, hasil<br />

analisis menggunakan spektofotometer<br />

UV. Disajikan sebagai berikut.<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

5 10 15 20 25<br />

*Pengukuran Massa Adsorben Secara Kitosan-Bentonit Duplo 9 mesh<br />

Gambar 8 Persen teradsorpsi Pestisida<br />

Diazinon dan Endosulfan Terhadap<br />

Adsorben Kitosan-Bentonit 9 mesh.<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

5 10 15 20 25<br />

Pestisida<br />

Diazinon<br />

pestisida<br />

diazinon<br />

Pestisida<br />

Endosulfan<br />

Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh<br />

Gambar 9. Persen teradsorpsi Pestisida<br />

Diazinon dan Endosulfan Terhadap<br />

Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh.<br />

Kecenderungan yang sama dalam hasil<br />

adsorpsi terlihat pula pada serapan dua<br />

pestisida yang diteliti. Persen adsorpsi dari<br />

diazinon dalam campuran yang diadsorpsi<br />

oleh adsorben kitosan bentonit 9 mesh<br />

rata-rata sebesar 79,61 % sedangkan<br />

persen adsorpsi dari endosulfan dalam<br />

campuran yang diadsorpsi oleh adsorben<br />

kitosan bentonit 9 mesh rata-rata sebesar<br />

85,12 %. Sedangkan pada persen adsorpsi<br />

diazinon dan endosulfan oleh adsorben<br />

kitosan-bentonit 50 mesh. Persen<br />

teradsorpsi rata-rata diazinon sebesar<br />

86,178 % dan persen teradsorpsi rata-rata<br />

endosulfan sebesar 90,7726 %.<br />

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa<br />

terdapat massa optimum untuk adsorben<br />

yang digunakan dalam pengujian, seperti<br />

ditunjukkan oleh Gambar 10 dan 11.<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

5 10 15 20 25<br />

Massa Adsorben Kitosan<br />

-Bentonit 9 mesh<br />

*Pengukuran Secara Duplo<br />

logam Fe (III)<br />

Logam Cd (II)<br />

Logam Cu (II)<br />

Pestisida<br />

Diazinon<br />

Pestisida<br />

Endosulfan<br />

Gambar 10. Persen Teradsorpsi Fe (III),<br />

Cd (II), Cu (II), Diazinon, dan Endosulfan<br />

Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit Pada<br />

Variasi Massa Adsorben 9 mesh.<br />

120<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

5 10 15 20 25<br />

Massa Adsorben Kitosan-bentonit 50 mesh<br />

Logam Fe (III)<br />

Logam Cd (II)<br />

Logam Cu (II)<br />

Pestisida<br />

Diazinon<br />

9


*Pengukuran Secara Duplo<br />

Gambar 11. Persen Teradsorpsi Fe (III),<br />

Cd (II), Cu (II), Diazinon, dan Endosulfan<br />

Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit Pada<br />

Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 50<br />

mesh<br />

Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan<br />

bahwa kitosan-bentonit menunjukan<br />

kinerja adsorpsi yang lebih baik dalam<br />

mengadsorpsi secara simultan ion logam<br />

dan residu pestisida pada ukuran adsorben<br />

50 mesh dengan menunjukan rata-rata<br />

persen teradsorpsi logam dan reisdu<br />

pestisida diatas 80 % dengan kondisi<br />

optimal persen teradsorpsi pada massa<br />

adsorben 15 gram pada setiap variasi<br />

ukuran adsorben kitosan-bentonit yaitu 9<br />

dan 50 mesh dengan teknik flow.<br />

Kesimpulan<br />

Kitosan-bentonit dapat bekerja<br />

secara optimum untuk mengadsorpsi ion<br />

Fe(III), Cu(II), Cd(II), pestisida diazinon<br />

dan endosulfan secara simultan dalam air<br />

minum pada proses flow, dengan kondisi<br />

konsentrasi masing-masing 20 ppm,<br />

ukuran partikel adsorben 50 mesh, dari<br />

250 mL sampel air. Persen adsorpsi<br />

masing-masing spesi pada kondisi<br />

optimum tersebut rata-rata lebih besar dari<br />

90%. Perlu dilakukan uji lebih lanjut<br />

mengenai batas jumlah volume air yang<br />

digunakan<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Khan, T.A., et al. (2001). Reporting<br />

Degree of Deacetylation Values of<br />

Chitosan: Influence of Analytical<br />

Methods. Malaysia. J Rharm<br />

Pharmaceut Sci, 5(3):205-212, 2002.<br />

[Online]. Tersedia :<br />

http://www.ualberta.ca/~csps. [5<br />

November 2010].<br />

Khoerunnisa, Fitri. (2005). Kajian<br />

Adsorpsi dan Desorpsi Ag(S 2 O 3 ) 2<br />

3-<br />

dalam Limbah Fotografi pada dan<br />

dari Adsorben Kitin dan Asam<br />

Humat Terimobilisasi pada Kitin.<br />

Tesis Program Studi Ilmu Kimia<br />

Universitas Gajdah Mada,<br />

Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.<br />

Permanasari, Anna. (2009). The Effects of<br />

Temperature, UV Radiation, and<br />

Soaking Time in Drinking Water on<br />

Bentonite-Histidine Adsorbent<br />

Performance. Jurnal Matematika dan<br />

Sains. Vol. 14 No. 4.<br />

Rohayani, Rani. (2005). Sintesis Adsorben<br />

Histidin-Bentonit dan Uji<br />

Adsorpsinya terhadap Pestisida<br />

dalam Air Minum. Skripsi program<br />

kimia FPMIPA universitas<br />

Pendidikan Indonesia, Bandung.<br />

Tidak diterbitkan.<br />

Saepudin, Asep. (2008).Uji Kinerja<br />

Adsorben Histidin-Bentonit dalam<br />

Prototipe Kemasan Flow dan Batch<br />

terhadap Pestisida Endosulfan<br />

dalam Air Minum. Skripsi Program<br />

Studi Kimia Jurusan Pendidikan<br />

Kimia FPMIPA UPI, Bandung:<br />

Tidak Diterbitkan.<br />

Wulandari, Irnawati. (2009). Uji Kinerja<br />

Adsorben Kitosan-Bentonit terhadap<br />

Logam Berat dan Diazinon secara<br />

Simultan. Skripsi Program<br />

Studi Kimia Jurusan Pendidikan Kimia<br />

FPMIPA UPI, Bandung: Tidak<br />

Diterbitkan.<br />

10

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!