Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– yang banyak berbuat kebaikan untuk manusia lain sebagai anggota keluarga Ilahi. Pada masa pemerintahan Orde Baru dikenal konsep SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang bertujuan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan antargolongan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya konsep tersebut justru menciptakan persoalan baru: segregasi SARA yang menebar berbagai kecurigaan satu sama lain. Bagaimana Anda melihat konsep tersebut? Dalam pandangan saya konsep tersebut harus dilihat dari konteks historisnya. Sejak tahun 50-an kehidupan politik umat Islam Indonesia terbelah dalam berbagai partai politik. Yang besar adalah partai politik Islam Masyumi yang dipimpin oleh kelompok cendekiawan berpendidikan Barat dan partai Nahdhatul Ulama yang dipimpin oleh para kiai yang berasal dari pendidikan tradisional Islam seperti pesantren dan Timur Tengah. Tokoh Masyumi lebih dekat dengan tokoh-tokoh partai Sosialis, Kristen, dan Katolik, karena memiliki latar belakang pendidikan yang sama, pendidikan Belanda. Agaknya cita-cita sosialisme-demokrasi mempersatukan mereka secara ideologis untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Sedangkan tokoh-tokoh NU lebih dekat dengan tokoh-tokoh PNI, yang walaupun berpendidikan Barat tapi kebanyakan berasal dari kalangan priayi Jawa. Adalah kelihaian partai Komunis yang mampu menciptakan ketegangan dan kerenggangan di antara dua blok besar itu, blok Masyumi dkk dan blok PNI dkk yang membuat kehidupan politik tidak stabil. Kekakuan tokoh-tokoh Masyumi dalam berpolitik membuat mereka terperangkap dalam pergolakan daerah yang dimotori oleh beberapa komandan militer di beberapa daerah, sehingga akhirnya 414 – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– mereka ikut serta dalam pemberontakan. Akibatnya Masyumi dan juga PSI dibubarkan. Dalam situasi politik yang terpinggirkan, tokoh-tokoh Masyumi memusatkan kegiatan mereka pada bidang dakwah. Di sinilah mereka menyadari bahwa umat Islam jauh ketinggalan di banding umat Nasrani yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan dan sosial yang jauh lebih maju. Mereka mampu membagi pekerjaan antara gereja dan partai politik. Memang, umat Islam juga melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan dan sosial seperti dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah. Sungguhpun demikian secara kualitatif masih berada di bawah lembaga-lembaga umat Kristen. Apalagi kehidupan politik ketika Masyumi masih berjaya, tokoh-tokoh Muhammadiyah malah terseret ke dalam keasyikan berpolitik. Frustasi politik dan kesadaran akan ketertinggalan ini menimbulkan luka yang dalam di dalam hati pemuka-pemuka Islam. Lebih-lebih setelah Bung Karno jatuh dan kekuasaan di bawah tentara yang tidak bersahabat dengan kalangan Masyumi. Sebenarnya kejatuhan Bung Karno bersamaan dengan kehancuran partai Komunis yang ditandai oleh pembunuhan massal orangorang komunis atau yang dianggap sebagai Komunis. Dan orangorang Islam terlibat dalam pembantaian ini. Oleh karena itu, ketika tekanan psikologis meningkat akibat stigma bahwa orang-orang komunis anti-agama, masyarakat abangan terpaksa mencari perlindungan melalui kalangan agama. Tentu saja di kalangan keluarga korban pembantaian tidak mendekat ke kalangan Islam. Bersamaan dengan itu misionaris Kristen dari Amerika juga masuk ke Indonesia. Maka kegiatan kalangan Kristen tentu saja kelihatan lebih meningkat dengan kehadiran berbagai sekte yang berada di luar gereja-gereja arus utama yang berasal dari Eropa Barat. Muncullah berbagai isu dalam Djohan Effendi – 415

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

yang banyak berbuat kebaikan untuk manusia lain sebagai anggota<br />

keluarga Ilahi.<br />

Pada masa pemerintahan Orde Baru dikenal konsep SARA (suku, agama,<br />

ras dan antargolongan) yang bertujuan untuk menjaga kerukunan<br />

antarumat beragama dan antargolongan masyarakat. Namun dalam<br />

pelaksanaannya konsep tersebut justru menciptakan persoalan baru:<br />

segregasi SARA yang menebar berbagai kecurigaan satu sama lain. Bagaimana<br />

Anda melihat konsep tersebut?<br />

Dalam pandangan saya konsep tersebut harus dilihat dari konteks<br />

historisnya. Sejak tahun 50-an kehidupan politik umat Islam Indonesia<br />

terbelah dalam berbagai partai politik. Yang besar adalah partai<br />

politik Islam Masyumi yang dipimpin oleh kelompok cendekiawan<br />

berpendidikan Barat dan partai Nahdhatul Ulama yang dipimpin<br />

oleh para kiai yang berasal dari pendidikan tradisional Islam seperti<br />

pesantren dan Timur Tengah. Tokoh Masyumi lebih dekat dengan<br />

tokoh-tokoh partai Sosialis, Kristen, dan Katolik, karena memiliki<br />

latar belakang pendidikan yang sama, pendidikan Belanda. Agaknya<br />

cita-cita sosialisme-demokrasi mempersatukan mereka secara ideologis<br />

untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Sedangkan tokoh-tokoh NU<br />

lebih dekat dengan tokoh-tokoh PNI, yang walaupun berpendidikan<br />

Barat tapi kebanyakan berasal dari kalangan priayi Jawa.<br />

Adalah kelihaian partai Komunis yang mampu menciptakan ketegangan<br />

dan kerenggangan di antara dua blok besar itu, blok Masyumi<br />

dkk dan blok PNI dkk yang membuat kehidupan politik tidak<br />

stabil. Kekakuan tokoh-tokoh Masyumi dalam berpolitik membuat<br />

mereka terperangkap dalam pergolakan daerah yang dimotori oleh<br />

beberapa komandan militer di beberapa daerah, sehingga akhirnya<br />

414<br />

– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 1)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!