Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– ketentuan zakat sebagaimana yang diatur dalam kitab-kitab fikih, itu sama artinya kita bersikeras mempertahankan kendaraan onta ketika orang lain naik jet. Dengan memberikan contoh-contoh di atas saya hanya ingin mengatakan bahwa penerapan ajaran-ajaran agama, khususnya yang menyangkut kehidupan publik, yakni yang menyangkut kepentingan semua pihak, kita harus mempertimbangkan faktor ‘uruf atau budaya setempat. Sebab bagaimanapun penafsiran dan penerapan ajaran-ajaran agama tidak lepas dari konteks sosial budaya. Penafsiran dan penerapannya mestinya bersifat kontekstual. Sementara kelompok Islam pluralis dan liberal memakai ayat-ayat al-Quran sebagai justifikasi pandangan mereka, kelompok Islam fundamentalis juga demikian, bahkan ayat yang sama pula. Bagaimana pandangan Anda perihal perang tafsir seperti ini? Apakah masih efektif mendesakkan pluralisme dengan argumen teologis yang rujukannya al- Quran? Jika ya, bagaimana seharusnya kita menafsirkan al-Quran? Dari fenomena ini tampak sekali bahwa agama itu pada dasarnya adalah penafsiran. Sedangkan penafsiran sering kali bersifat personal. Kalau saya mengatakan menurut agama begini, maka yang saya maksud dengan kata agama adalah agama – dalam pandangan – saya. Demikianpun Islam, bukan hanya Islam an sich, tapi Islam menurut mazhab yang saya anut, lebih lanjut lagi, Islam menurut pemahaman saya sendiri. Di sinilah terletak nilai penting kesadaran akan kerelatifan pendapat kita agar kita tidak bertikai gara-gara perbedaan tafsir yang sama-sama bisa benar bisa salah. Kalau ditanya bagaimana seharusnya kita menafsirkan al-Quran, sukar menjawabnya. Saya hanya ingin mengemukakan pen- 408 – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– dekatan saya dalam usaha hidup sebagai Muslim, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Pertama-tama perlu diingat bahwa agama pada prinsipnya mengajarkan laku dan bukan mengajarkan ilmu. Sebagai Muslim tentu saja kita menjadikan al-Quran sebagai ru- Apa yang kita yakini sebagai ajaran agama, bagaimanapun, lebih bersifat jukan namun perlu dicatat persepsi dan interpretasi manusia bahwa kehadiran mushaf yang hidup dalam serba keterbatasan, al-Quran seperti yang kita baik pengetahuan maupun baca sekarang ini muncul pengalaman. setelah beberapa tahun wafatnya Nabi. Di masa Nabi mushaf belum ada bahkan proses pewahyuannya pun masih terus berlangsung sampai beberapa saat menjelang beliau wafat. Ketika ide penulisan dan kodifikasi ini dikemukakan oleh Umar, Khalifah Abu Bakar semula berkeberatan. Dengan mengemukakan hal di atas saya hanya ingin mengatakan peranan mushaf al-Quran sebagai rujukan beragama baru muncul beberapa tahun setelah nabi wafat. Dan kadar keislaman umat Muslim saat itu, yang sebagian besar saya kira tidak hafal al-Quran, tidak berkurang karenanya. Sebab yang dihayati kaum Muslimin saat itu, saya rasa, adalah spirit misi yang dibawa oleh Nabi sebagai pembawa rahmat bagi umat manusia dengan mengajak mereka untuk menghayati nilai-nilai moral yang luhur. Karena itu, saya rasa, tujuan agama-agama pada dasarnya sama, yakni bagaimana agar manusia menghayati nilai-nilai kebaikan. Saya teringat bahwa Nabi mengajarkan agar setiap melakukan pekerjaan kita tidak lupa mengucapkan basmalah, yakni ucapan bismillâhi al-rahmân al-rahîm, dan ucapan hamdalah, yakni al-hamdu lillâhi rabb al-‘âlamîn. Djohan Effendi – 409

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

ketentuan zakat sebagaimana yang diatur dalam kitab-kitab fikih,<br />

itu sama artinya kita bersikeras mempertahankan kendaraan onta<br />

ketika orang lain naik jet.<br />

Dengan memberikan contoh-contoh di atas saya hanya ingin<br />

mengatakan bahwa penerapan ajaran-ajaran agama, khususnya yang<br />

menyangkut kehidupan publik, yakni yang menyangkut kepentingan<br />

semua pihak, kita harus mempertimbangkan faktor ‘uruf atau<br />

budaya setempat. Sebab bagaimanapun penafsiran dan penerapan<br />

ajaran-ajaran agama tidak lepas dari konteks sosial budaya. Penafsiran<br />

dan penerapannya mestinya bersifat kontekstual.<br />

Sementara kelompok Islam pluralis dan liberal memakai ayat-ayat<br />

al-Quran sebagai justifikasi pandangan mereka, kelompok Islam fundamentalis<br />

juga demikian, bahkan ayat yang sama pula. Bagaimana<br />

pandangan Anda perihal perang tafsir seperti ini? Apakah masih efektif<br />

mendesakkan pluralisme dengan argumen teologis yang rujukannya al-<br />

Quran? Jika ya, bagaimana seharusnya kita menafsirkan al-Quran?<br />

Dari fenomena ini tampak sekali bahwa agama itu pada dasarnya<br />

adalah penafsiran. Sedangkan penafsiran sering kali bersifat<br />

personal. Kalau saya mengatakan menurut agama begini, maka yang<br />

saya maksud dengan kata agama adalah agama – dalam pandangan<br />

– saya. Demikianpun Islam, bukan hanya Islam an sich, tapi Islam<br />

menurut mazhab yang saya anut, lebih lanjut lagi, Islam menurut<br />

pemahaman saya sendiri. Di sinilah terletak nilai penting kesadaran<br />

akan kerelatifan pendapat kita agar kita tidak bertikai gara-gara<br />

perbedaan tafsir yang sama-sama bisa benar bisa salah.<br />

Kalau ditanya bagaimana seharusnya kita menafsirkan al-Quran,<br />

sukar menjawabnya. Saya hanya ingin mengemukakan pen-<br />

408<br />

– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 1)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!