Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– agamaisasi politik, bukan hanya negara yang dirugikan tapi juga agama. Dengan demikian, yang terjadi dalam politisasi agama dan agamaisasi politik adalah tindakan bunuh diri (suicide), baik bagi agama maupun negara. Bagi saya, politisasi agama dan agamaisasi politik adalah dua hal berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Jika ada politisasi agama maka di situ juga ada agamaisasi politik. Tapi, menurut saya, yang lebih menguntungkan dari keduanya adalah politisasi agama. Pendapat ini saya ambil dari pelajaran abad ke-4 ketika agama Kristen menjadi agama resmi pada zaman Konstantinus. Di situ sebetulnya dua entitas – agama dan negara – saling memanfaatkan. Tetapi ketika kita lihat sampai akhir, yang paling banyak dirugikan adalah agama, negara yang paling banyak ambil untungnya. Singkatnya, politisasi agama mendominasi agamaisasi politik. Di Indonesia puritanisme, radikalisme, dan persekusi terhadap kelompok lain dilakukan oleh umat Muslim. Sementara dalam konteks Reformasi Lutherian, yang mungkin ini sebuah reduksi, mempunyai dua implikasi: etika Protestantisme, meminjam Weber, yang merayakan kehidupan dunia, sehingga ia dilihat positif; namun yang kedua adalah munculnya puritanisasi kekristenan. Model yang kedua inilah yang tengah marak, misalnya di Amerika dan Amerika Latin. Masih mungkinkah nilai-nilai agama dipublikkan jika yang mewujud akhirnya yang puritan dan radikal? Saya kembali pada konsep saya di atas. Kenapa di Amerika, misalnya, terjadi fundamentalisme dan radikalisme adalah karena agama ditekan. Demikian juga kalau kita lihat dalam konteks Indonesia. Pada saat Soeharto berkuasa, Islam politik dilarang, yang 350 – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– diperbolehkan hanyalah Islam kultural. Di situ sebetulnya telah tertanam bibit ke arah fundamentalisme dan radikalisme. Dalam konteks Indonesia, menurut saya, kita mesti melihat sistem Pancasila. Kalau kita bersikeras masih mengajukan isu liberalisme yang meminggirkan agama pasti akan ditolak. Ukuran common good bukanlah yang Karena, sekali lagi menurut John Richard Neuhaus, lebih kuat argumennya, melainkan lebih populer, mayoritas atau yang bahwa naked public square itu sebetulnya tidak ada. common good, seperti ditegaskan satu kesatuan. Dengan kata lain, Ketika ada peminggiran agama, sebetulnya ada masalah melalui kontemplasi dan argumentasi, Murray, harus dicapai secara consensus tertentu di sana. Inilah kemudian yang menyebabkan Dalam arti bahwa ia tetap dalam yakni ketika tercapai doctrine solidifies. satu kesatuan tetapi tetap pluralist munculnya fundamentalisme dan lain sebagainya se- in structure dan juga mesti bisa menjamin hak-hak minoritas. bagai reaksi atas peminggiran agama. Sebagai contoh, kalau ada yang mengatakan bahwa liberalisme adalah kebebasan tanpa batas, artinya bebas melakukan apa saja, toh kenyataannya liberalisme tidak seperti itu. Apakah negara harus berperan minimal? Ya. Jadi semuanya kembali pada mekanisme pasar. Mungkin satu hal yang perlu kita waspadai adalah jangan sampai terjadi politisasi. Karena politisasi agama lebih banyak terkait dengan faktor eksternal. Di samping tentu saja ada faktor internal. Artinya, mesti ada semacam revisi terhadap konsep-konsep teologi dari agama. Benjamin F. Intan – 351

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

agamaisasi politik, bukan hanya negara yang dirugikan tapi juga<br />

agama. Dengan demikian, yang terjadi dalam politisasi agama dan<br />

agamaisasi politik adalah tindakan bunuh diri (suicide), baik bagi<br />

agama maupun negara.<br />

Bagi saya, politisasi agama dan agamaisasi politik adalah dua<br />

hal berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Jika ada politisasi agama<br />

maka di situ juga ada agamaisasi politik. Tapi, menurut saya, yang<br />

lebih menguntungkan dari keduanya adalah politisasi agama. Pendapat<br />

ini saya ambil dari pelajaran abad ke-4 ketika agama Kristen<br />

menjadi agama resmi pada zaman Konstantinus. Di situ sebetulnya<br />

dua entitas – agama dan negara – saling memanfaatkan. Tetapi ketika<br />

kita lihat sampai akhir, yang paling banyak dirugikan adalah<br />

agama, negara yang paling banyak ambil untungnya. Singkatnya,<br />

politisasi agama mendominasi agamaisasi politik.<br />

Di Indonesia puritanisme, radikalisme, dan persekusi terhadap kelompok<br />

lain dilakukan oleh umat Muslim. Sementara dalam konteks<br />

Reformasi Lutherian, yang mungkin ini sebuah reduksi, mempunyai<br />

dua implikasi: etika Protestantisme, meminjam Weber, yang merayakan<br />

kehidupan dunia, sehingga ia dilihat positif; namun yang kedua<br />

adalah munculnya puritanisasi kekristenan. Model yang kedua inilah<br />

yang tengah marak, misalnya di Amerika dan Amerika Latin. Masih<br />

mungkinkah nilai-nilai agama dipublikkan jika yang mewujud<br />

akhirnya yang puritan dan radikal?<br />

Saya kembali pada konsep saya di atas. Kenapa di Amerika,<br />

misalnya, terjadi fundamentalisme dan radikalisme adalah karena<br />

agama ditekan. Demikian juga kalau kita lihat dalam konteks Indonesia.<br />

Pada saat Soeharto berkuasa, Islam politik dilarang, yang<br />

350<br />

– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 1)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!