Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– Weber, ketika agama ditekan oleh modernisasi itu seperti balon yang ditekan. Apabila balon ditekan justru akan menjadi bentuk lain yang lebih berbahaya ketimbang jika ia tidak diganggu. Itu yang kemudian memunculkan adanya backlash. Oleh karena itu, deprivatisasi agama yang ditawarkan mesti ada boundaries atau batasan-batasan, sehingga ketika muncul radikalisme agama, bukan berarti kita terima secara positif, tetap kita lihat sebagai hal negatif, sekalipun kita harus mengerti pergumulan sejarahnya. Kita kembali pada contoh di atas. Kalau kita membaca tulisan Alois A. Nugroho di Kompas, yang merupakan presentasinya di Nurcholish Madjid Memorial Lecture, dia memberi contoh monkey trial atau pengadilan kera. Pada Maret 1925 muncul undang-undang anti-evolusi di Tennessee. Lalu terjadi pelanggaran pada 10 Juli 1925, yakni ketika John T. Scopes mengajarkan evolusi di kelas, dan kerenanya ia dikenai undang-undang tersebut dan didenda US$100. Hal ini menjadi cemoohan di seluruh Amerika. Pada 1927 pengadilan membatalkan keputusan itu. Pada 1967 undangundang anti-evolusi akhirnya dicabut. Saat itu di Amerika kekristenan menekan sekularisme, artinya semua kenyataan sosial harus tunduk pada agama. Namun sekarang kita lihat kebalikannya, semua kitab suci tidak boleh dibaca di sekolah publik. Baru-baru ini saya mendapatkan terbitan dari Yale University yang mendiskusikan seorang guru berdoa di ruang kelas di sebuah sekolah pemerintah kemudian dia diadukan ke pengadilan. Untuk alasan inilah, yakni untuk menghindari adanya revenge, backlash, deprivatisasi yang kita gagas harus ada rambu-rambu aturan main. Termasuk dalam batasan tersebut adalah bahwa kita harus menganggap bahwa sekularisasi itu bukanlah pemisahan yang mutlak. Kita bisa melihat hubungan agama-negara dalam dua sisi: 342 – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– pertama, secara substantif. Dalam arti bahwa kalau kita memakai istilah Abraham Kuyper yaitu a free church in a free state atau a free religion in a free state, yang menegaskan: agama-agama harus bebas dalam negara yang bebas. Jadi tidak boleh saling mensubordinasi satu sama lain. Itu secara subtantif. Jadi tidak boleh ada dominasi negara, sebaliknya juga tidak boleh ada hegemoni agama. Yang kedua adalah secara fungsional. Artinya, kalau kita memakai istilah John Calvin, separated but not parted, ada pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan antara agama dan negara. Jadi, jika kita kembali sebagai orang yang beriman, sebetulnya Tuhan yang menciptakan dua intitusi ini. Nah di situ nanti kita akan melihat bahwa ada tanggung jawab negara tanpa mencampuri urusan agama, dan sebaliknya ada tanggung jawab agama tanpa mencampuri urusan negara. Apakah konsepsi tersebut sama dengan yang diungkapkan oleh Alfred Stephan bahwa negara harus toleran terhadap agama dan agama juga harus toleran terhadap negara, saling menghormati, tetapi keberadaan keduanya tidak dapat dipisahkan? Kalau menurut saya, ini bukan hanya toleransi. Hubungan agama dan negara justru lebih pada hubungan simbiotik. Jadi, lagilagi, bukan hanya toleransi. Oleh karena itu, saya memakai istilah fungsional di sini. Fungsional di sini berarti ada perasaan saling membutuhkan atau saling menguntungkan satu sama lain. Kalau hanya toleransi, itu kurang. Kalau kita membaca David Little, toleransi itu ada dua macam, yaitu toleransi dalam arti sempit dan toleransi dalam arti luas. Kalau Little sendiri mengambil toleransi dalam arti yang luas. Benjamin F. Intan – 343

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

Weber, ketika agama ditekan oleh modernisasi itu seperti balon<br />

yang ditekan. Apabila balon ditekan justru akan menjadi bentuk<br />

lain yang lebih berbahaya ketimbang jika ia tidak diganggu. Itu<br />

yang kemudian memunculkan adanya backlash. Oleh karena itu,<br />

deprivatisasi agama yang ditawarkan mesti ada boundaries atau batasan-batasan,<br />

sehingga ketika muncul radikalisme agama, bukan<br />

berarti kita terima secara positif, tetap kita lihat sebagai hal negatif,<br />

sekalipun kita harus mengerti pergumulan sejarahnya.<br />

Kita kembali pada contoh di atas. Kalau kita membaca tulisan<br />

Alois A. Nugroho di Kompas, yang merupakan presentasinya di<br />

Nurcholish Madjid Memorial Lecture, dia memberi contoh monkey<br />

trial atau pengadilan kera. Pada Maret 1925 muncul undang-undang<br />

anti-evolusi di Tennessee. Lalu terjadi pelanggaran pada 10<br />

Juli 1925, yakni ketika John T. Scopes mengajarkan evolusi di kelas,<br />

dan kerenanya ia dikenai undang-undang tersebut dan didenda<br />

US$100. Hal ini menjadi cemoohan di seluruh Amerika. Pada<br />

1927 pengadilan membatalkan keputusan itu. Pada 1967 undangundang<br />

anti-evolusi akhirnya dicabut. Saat itu di Amerika kekristenan<br />

menekan sekularisme, artinya semua kenyataan sosial harus<br />

tunduk pada agama. Namun sekarang kita lihat kebalikannya, semua<br />

kitab suci tidak boleh dibaca di sekolah publik. Baru-baru ini<br />

saya mendapatkan terbitan dari Yale University yang mendiskusikan<br />

seorang guru berdoa di ruang kelas di sebuah sekolah pemerintah<br />

kemudian dia diadukan ke pengadilan.<br />

Untuk alasan inilah, yakni untuk menghindari adanya revenge,<br />

backlash, deprivatisasi yang kita gagas harus ada rambu-rambu aturan<br />

main. Termasuk dalam batasan tersebut adalah bahwa kita harus<br />

menganggap bahwa sekularisasi itu bukanlah pemisahan yang<br />

mutlak. Kita bisa melihat hubungan agama-negara dalam dua sisi:<br />

342<br />

– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 1)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!