Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– Casanova mengatakan sekularisme tidak selalu mutlak memisahkan agama dan negara. Tanggapan Anda? Bagi saya, sekularisme sama halnya dengan kapitalisme. Banyak yang berkata bahwa kapitalisme tidak menghilangkan dimensi-dimensi sosial, karena dalam kapitalisme masih terdapat konsep filantropi (kedermawanan) dan subsidi. Dalam kapitalisme tetap ada orang yang mau memberikan sumbangan. Bagi saya, secara teoretis, sekularisme sendiri mestinya harus diletakkan dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama Islam. Sementara sekularisme bukanlah kosa kata yang enak didengar oleh sebagian besar mereka. Itu tantangannya. Persoalannya adalah apakah mungkin dilakukan kontekstualisasi sekularisme? Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa sekularisme tidak mutlak memisahkan agama dari negara, hal seperti ini hanya diketahui oleh mereka yang mempelajari sekularisme secara intens. Sementara sebagian besar orang Indonesia memahami sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara. Kesan itu sudah terlanjur tertanam dalam benak banyak orang. Amerika Serikat (AS) yang dipandang sebagai negara sekular, juga sebenarnya tidak ‘konsisten’ menerapkan sekularisme. Faktor agama masih ikut mempengaruhi AS dalam mengeksekusi kebijakan luar negerinya, misalnya, di Timur Tengah. Karena itu, banyak orang yang melihat bahwa kebijakan AS di kawasan itu dipengaruhi oleh aliansi paham atau kekuatan Judeo-Kristiani. Makanya kebijakan AS selalu menguntungkan Israel. Sulit sekali bagi AS untuk membuat kebijakan yang sedikit menguntungkan Palestina atau dunia Islam lainnya. Mata uang AS juga masih membawa-bawa nama Tuhan. Bagaimana bisa kita katakan sekularisme telah diterapkan, sementara 278 – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– simbol kapitalisme paling mencolok, yaitu mata uang, masih mencantumkan nama Tuhan. Perkembangan politik Amerika Serikat, delapan tahun terakhir ini, juga dianggap condong berayun ke ‘kanan.’ Presiden George W. Bush dianggap membawa negara ke kanan, memasukkan agama Protestan ke dalam negara. Dalam konteks ini, apakah Bush bisa dipandang sebagai presiden sekular? Saya kira tidak. Di Ingris pun demikian. Banyak orang tidak tahu bahwa Ratu Inggris, yang kepala negara itu, pada saat yang sama juga menjadi kepala Gereja Anglikan. Orang banyak bilang, “itu kan cuma simbol.” Memang benar, hal itu mungkin bersifat simbolistik belaka. Akan tetapi, bukankah simbol itu bagian dari persatuan antara agama dan negara adanya akomodasi parsial. Hal-hal Inilah yang saya maksud dengan harus yang cukup penting. dalam Islam yang bisa diakomodir Dulu, ketika Pak Natsir oleh negara adalah yang paling sedikit meminta agar Islam dijadikan dasar negara, sebagian sementara yang sebaliknya tidak bisa. menimbulkan gejolak di masyarakat, orang juga melihatnya sebagai simbol. Sekarang, yang Karena Indonesia bukan negara Islam. mengaku sebagai negara Islam, Islamnya pun juga sekadar simbol. Pakistan misalnya. Begitu pula negara-negara yang secara simbolik Islam, tetapi substansi mungkin justru bertentangan dengan nilainilai Islam. Dan kita tetap melihatnya, terkadang dengan sinis, sebagai negara Islam. Pertanyaannya adalah apakah simbol itu penting? Saya kira ya. Kalau tidak penting, untuk apa harus ada Garuda Pancasila, kemudian Bendera Merah Putih. Secara substansial, Indonesia sebenarnya cukup diwakili oleh preambule atau mukadimah UUD 1945 yang Bahtiar Effendy – 279

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

simbol kapitalisme paling mencolok, yaitu mata uang, masih mencantumkan<br />

nama Tuhan.<br />

Perkembangan politik Amerika Serikat, delapan tahun terakhir<br />

ini, juga dianggap condong berayun ke ‘kanan.’ Presiden George<br />

W. Bush dianggap membawa negara ke kanan, memasukkan agama<br />

Protestan ke dalam negara. Dalam konteks ini, apakah Bush bisa<br />

dipandang sebagai presiden sekular? Saya kira tidak.<br />

Di Ingris pun demikian. Banyak orang tidak tahu bahwa Ratu<br />

Inggris, yang kepala negara itu, pada saat yang sama juga menjadi<br />

kepala Gereja Anglikan. Orang banyak bilang, “itu kan cuma simbol.”<br />

Memang benar, hal itu mungkin bersifat simbolistik belaka.<br />

Akan tetapi, bukankah simbol<br />

itu bagian dari persatuan<br />

antara agama dan negara adanya akomodasi parsial. Hal-hal<br />

Inilah yang saya maksud dengan harus<br />

yang cukup penting.<br />

dalam Islam yang bisa diakomodir<br />

Dulu, ketika Pak Natsir oleh negara adalah yang paling sedikit<br />

meminta agar Islam dijadikan<br />

dasar negara, sebagian sementara yang sebaliknya tidak bisa.<br />

menimbulkan gejolak di masyarakat,<br />

orang juga melihatnya sebagai<br />

simbol. Sekarang, yang<br />

Karena Indonesia bukan negara Islam.<br />

mengaku sebagai negara Islam, Islamnya pun juga sekadar simbol.<br />

Pakistan misalnya. Begitu pula negara-negara yang secara simbolik<br />

Islam, tetapi substansi mungkin justru bertentangan dengan nilainilai<br />

Islam. Dan kita tetap melihatnya, terkadang dengan sinis,<br />

sebagai negara Islam.<br />

Pertanyaannya adalah apakah simbol itu penting? Saya kira ya.<br />

Kalau tidak penting, untuk apa harus ada Garuda Pancasila, kemudian<br />

Bendera Merah Putih. Secara substansial, Indonesia sebenarnya<br />

cukup diwakili oleh preambule atau mukadimah UUD 1945 yang<br />

Bahtiar Effendy –<br />

279

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!