Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– 16/2005 tentang Kejaksaan. Dalam UU itu, menurut pasal 30(3) kejaksaan juga memiliki tugas dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum dengan, antara lain, melakukan: “(c.) pengawasan peredaran barang cetakan; (d.) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (e.) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama” (cetak miring ditambahkan). Itulah konstelasi dasar yang paling mewarnai kehidupan keberagamaan kita sekarang ini. Seperti tampak dari kasus-kasus yang sempat didata WI dan SI, hampir sebagian besar kasus dapat dikembalikan pada persoalan keberadaan UU No. 1/PNPS/1965 dan lembaga Bakor PAKEM. Oleh karena itu, walau mungkin ironis, harus dikatakan bahwa dalam banyak hal persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia adalah warisan dari masa lampau yang terus-menerus dipelihara. Tanpa perubahan fundamental terhadap UU No. 1/PNPS/1965 dan keberadaan lembaga Bakor PAKEM yang sudah tidak sesuai dengan semangat dan tuntutan politik kesetaraan yang dibawa oleh arus reformasi pasca 1998, maka hampir bisa dipastikan bahwa di masa depan kita akan tetap bergulat dengan persoalan-persoalan yang sama. Ironis, tapi itulah adanya. Persoalan krusial lainnya yang harus disorot secara khusus adalah apa yang kami lihat sebagai “kerancuan” dalam sistem perundang-undangan dan tata peraturan di Indonesia. Jika mengikuti tata aturan perundangan yang disusun pemerintah, yakni UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menurut pasal 7(1) adalah sbb: (1) UUD 1945; (2) UU atau Per- xxiv – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– aturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Hierarki perundang-undangan dan peraturan di atas disusun berdasarkan materi muatan yang mau diatur, yang dijelaskan dalam pasal 8-14 UU No. 10/2004. Menurut pasal 8, materi muatan yang diatur oleh UU mencakup baik pengaturan lebih lanjut yang diperlukan guna menjabarkan UUD 1945, termasuk di sini pasalpasal yang berkaitan dengan HAM (Bab XA, pasal 28A-J UUD 1945), maupun yang diperintahkan untuk diatur lebih lanjut. Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) mengatur materi khusus, yakni “seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi” (pasal 12). Menarik bahwa hierarki itu tidak mencantumkan sama sekali produk peraturan seperti SKB (Surat Keputusan Bersama), PBM (Peraturan Bersama Menteri), Instruksi Menteri, atau Surat Keputusan (SK) dan sejenisnya. Sebab seluruh produk peraturan tersebut hanya memiliki kewenangan mengikat ke dalam, baik intra-departemen bersangkutan maupun inter-departemen, dan tidak memiliki kewenangan yang mengikat ke luar departemen. Catatan ini perlu ditegaskan, karena di Indonesia justru banyak sekali peraturan di bawah UU yang melampaui kewenangannya. Persis kerancuan seperti inilah yang kita hadapi sekarang. Dalam kaitannya dengan persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan, yang menurut muatannya masuk ke dalam ranah HAM sehingga hanya dapat diatur oleh UU, kerancuan itu tampak sangat jelas dan berakibat fatal. Misalnya, Khonghucu kehilangan statusnya sebagai “agama resmi” dengan keluarnya Inpres No. 14/1967, yang nanti- Membela Kebebasan Beragama: Catatan Pengantar – xxv

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

aturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Peraturan Pemerintah; (4)<br />

Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah.<br />

Hierarki perundang-undangan dan peraturan di atas disusun<br />

berdasarkan materi muatan yang mau diatur, yang dijelaskan dalam<br />

pasal 8-14 UU No. 10/2004. Menurut pasal 8, materi muatan<br />

yang diatur oleh UU mencakup baik pengaturan lebih lanjut yang<br />

diperlukan guna menjabarkan UUD 1945, termasuk di sini pasalpasal<br />

yang berkaitan dengan HAM (Bab XA, pasal 28A-J UUD<br />

1945), maupun yang diperintahkan untuk diatur lebih lanjut.<br />

Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) mengatur materi khusus,<br />

yakni “seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan<br />

otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi<br />

khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan<br />

yang lebih tinggi” (pasal 12).<br />

Menarik bahwa hierarki itu tidak mencantumkan sama sekali<br />

produk peraturan seperti SKB (Surat Keputusan Bersama), PBM<br />

(Peraturan Bersama Menteri), Instruksi Menteri, atau Surat Keputusan<br />

(SK) dan sejenisnya. Sebab seluruh produk peraturan tersebut<br />

hanya memiliki kewenangan mengikat ke dalam, baik intra-departemen<br />

bersangkutan maupun inter-departemen, dan tidak memiliki<br />

kewenangan yang mengikat ke luar departemen. Catatan ini perlu<br />

ditegaskan, karena di Indonesia justru banyak sekali peraturan di<br />

bawah UU yang melampaui kewenangannya.<br />

Persis kerancuan seperti inilah yang kita hadapi sekarang. Dalam<br />

kaitannya dengan persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan,<br />

yang menurut muatannya masuk ke dalam ranah HAM sehingga<br />

hanya dapat diatur oleh UU, kerancuan itu tampak sangat jelas dan<br />

berakibat fatal. Misalnya, Khonghucu kehilangan statusnya sebagai<br />

“agama resmi” dengan keluarnya Inpres No. 14/1967, yang nanti-<br />

<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong>: Catatan Pengantar –<br />

xxv

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!