Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
07.06.2015 Views

Democracy Project– UU dan peraturan lain di bidang keagamaan. Apalagi pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 menambahkan “delik agama” pada KUHPidana (pasal 156a) yang punya implikasi sangat penting. Seperti ditengarai laporan WI (h. 10-12), UU tersebut memberi kewenangan penuh kepada negara untuk: (1) melalui Depag, menentukan apa yang disebut “pokok-pokok ajaran agama”; sekaligus dengan itu (2) menentukan mana penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran” agama dan mana yang tidak; dan (3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan, serta menindak mereka. Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh Bakor PAKEM, yang mula-mula didirikan Depag pada tahun 1954 untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Sejak 1960, tugas dan kewenangan PAKEM diletakkan di bawah Kejaksaan Agung (Parulian dkk.: 2008). Menarik sekali jika UU ini diletakkan dalam konteks zamannya. Seperti dijelaskan dalam penjelasan resminya, UU ini lahir dari situasi saat itu di mana “hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Situasi ini dinilai “telah menimbulkan halhal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai agama” (Sairin 1996: 265). Dengan kata lain, PNPS 1965 lahir untuk melindungi agama-agama (yang diakui negara) dari aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang meruyak pada masa sebelumnya. Depag melaporkan bahwa pada tahun 1953 ada lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini, seperti diperlihatkan Mulder (1983), memainkan peran xxii – Membela Kebebasan Beragama (Buku 1)

Democracy Project– menentukan hingga pada pemilu 1955 partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas dan hanya meraup 42 persen suara. Tahun 1957 BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) di bawah kepemimpinan Mr. Wongsonegoro mendesak presiden Soekarno agar mengakui secara formal kebatinan setara dengan agama. Konstelasi politik inilah yang mendorong Depag untuk, pada 1961, mengajukan definisi “agama”. Suatu “agama”, menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur ini: kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Tentu saja, dengan definisi seperti itu, banyak kelompok kepercayaan, kebatinan, atau kelompokkelompok masyarakat yang masih mempertahankan adat-istiadat dan praktik-praktik religi lokal, seperti animisme, dinamisme, dan lainnya tidak tercakup di dalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai orang yang “belum beragama” dengan seluruh konsekuensi sosial politisnya. Dengan kewenangan yang sangat besar yang diberikan oleh UU di atas, dan dengan lembaga Bakor PAKEM yang tersebar di seluruh wilayah, posisi negara Orde Baru sangat kuat dan menentukan. Apalagi pasal 4 UU No 1/PNPS/1965 memasukkan “delik agama” sebagai pasal 156a ke dalam KUHPidana, yang mengancam hukuman pidana selama-lamanya lima tahun penjara bagi mereka yang melakukan “penodaan dan penyalahgunaan” agama maupun menyebarkan paham ateisme. Pada masa reformasi pasca-Orde Baru, “pasal karet” ini bahkan sempat diusulkan untuk diperluas cakupannya, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadi overcriminalizastion terhadap agama! Sementara itu, keberadaan Bakor PAKEM juga terus dipertahankan pasca-Orde Baru. Sebagian dari tugas utama PAKEM dicantumkan dalam UU No. Membela Kebebasan Beragama: Catatan Pengantar – xxiii

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

UU dan peraturan lain di bidang keagamaan. Apalagi pasal 4 UU<br />

No. 1/PNPS/1965 menambahkan “delik agama” pada KUHPidana<br />

(pasal 156a) yang punya implikasi sangat penting.<br />

Seperti ditengarai laporan WI (h. 10-12), UU tersebut memberi<br />

kewenangan penuh kepada negara untuk: (1) melalui Depag, menentukan<br />

apa yang disebut “pokok-pokok ajaran agama”; sekaligus<br />

dengan itu (2) menentukan mana penafsiran agama yang dianggap<br />

“menyimpang dari pokok-pokok ajaran” agama dan mana yang<br />

tidak; dan (3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap<br />

aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan, serta menindak<br />

mereka. Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh Bakor<br />

PAKEM, yang mula-mula didirikan Depag pada tahun 1954 untuk<br />

mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan<br />

dan kegiatan mereka. Sejak 1960, tugas dan kewenangan PAKEM<br />

diletakkan di bawah Kejaksaan Agung (Parulian dkk.: 2008).<br />

Menarik sekali jika UU ini diletakkan dalam konteks zamannya.<br />

Seperti dijelaskan dalam penjelasan resminya, UU ini lahir<br />

dari situasi saat itu di mana “hampir di seluruh Indonesia tidak<br />

sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/<br />

kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran<br />

dan hukum agama”. Situasi ini dinilai “telah menimbulkan halhal<br />

yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai<br />

agama” (Sairin 1996: 265). Dengan kata lain, PNPS 1965<br />

lahir untuk melindungi agama-agama (yang diakui negara) dari<br />

aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang meruyak pada masa sebelumnya.<br />

Depag melaporkan bahwa pada tahun 1953 ada lebih<br />

dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok<br />

ini, seperti diperlihatkan Mulder (1983), memainkan peran<br />

xxii<br />

– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 1)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!