10.05.2015 Views

Gereja dan Rumusan Pasal 29 UUD 1945

Gereja dan Rumusan Pasal 29 UUD 1945

Gereja dan Rumusan Pasal 29 UUD 1945

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Gereja</strong> <strong>dan</strong> <strong>Rumusan</strong> <strong>Pasal</strong> <strong>29</strong> <strong>UUD</strong><br />

<strong>1945</strong><br />

Oleh Weinata Sairin (Sinar Harapan)<br />

Era reformasi melakukan terobosan yang amat fundamental.<br />

Masyarakat meyakini bahwa penggumpalan kekuasaan, kekerasan<br />

yang dilakukan oleh negara, pemiskinan <strong>dan</strong> pembodohan rakyat,<br />

praktik-praktik diskriminasi <strong>dan</strong> KKN (korupsi, kolusi <strong>dan</strong> nepotisme)<br />

sentralisasi kekuasaan kesemuanya berangkat dari teks <strong>UUD</strong> yang<br />

diinterpretasi secara sewenang-wenang oleh pemegang kekuasaan<br />

<strong>dan</strong> bermuara pada pelanggengan kekuasaan. Gelombang reformasi<br />

telah berhasil melakukan desakralisasi terhadap <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>. Teks<br />

<strong>UUD</strong> bukan sesuatu yang suci, keramat <strong>dan</strong> sakral, yang tak bisa<br />

diubah. Teks itu dapat, bahkan harus diubah jika tidak lagi mampu<br />

memberi pijakan kukuh bagi sebuah bangsa yang plural, dengan<br />

ribuan pulau terhampar dikelilingi lautan luas, dalam menapaki<br />

zaman yang se<strong>dan</strong>g berubah cepat. Dari analisis yang dilakukan para<br />

pakar, secara jelas dapat ditemukan betapa <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> memiliki<br />

berbagai kelemahan sehingga amendemen terhadapnya merupakan<br />

sesuatu yang tak bisa lagi ditawar.<br />

Prof. Mahfud M.D. mencatat tiga kelemahan mendasar yang dimiliki<br />

<strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>. Pertama, <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> membangun suatu sistem politik<br />

yang memberikan kekuatan sangat besar terhadap presiden <strong>dan</strong> tak<br />

bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga lain. Kondisi ini memungkinkan<br />

presiden melakukan rekayasa untuk memperkuat kekuasaan yang<br />

mengakibatkan tersendatnya mekanisme demokrasi. Kedua, <strong>UUD</strong><br />

<strong>1945</strong> mempunyai pasal-pasal yang multi interpretasi. Tafsiran yang<br />

dibuat presiden harus diterima sebagai tafsir yang benar <strong>dan</strong> realitas<br />

ini makin memperkuat kekuasaan presiden. Ketiga, <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong><br />

banyak memberi kewenangan kepada lembaga eksekutif untuk<br />

mengatur dengan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g hal-hal yang sebenarnya amat<br />

fundamental. Dalam pembuatan UU, Peraturan Pemerintah <strong>dan</strong><br />

Kepres dalam rangka pelaksanaan kewenangan itu dominasi<br />

presiden amat kuat.<br />

Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa titik lemah <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong><br />

selain tiga hal tersebut adalah banyaknya kekosongan materi<br />

penting yang tidak terdapat dalam <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>. Ia mencontohkan<br />

konsep Negara Hukum (rechsstaat) yang tidak terdapat pada<br />

pasal-pasal <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>, tetapi justru terdapat dalam Penjelasan.<br />

Dalam dunia politik konstitusi sering digunakan dalam dua<br />

pengertian. Pertama, digunakan dalam arti luas yaitu sistem<br />

pemerintahan dari suatu negara <strong>dan</strong> merupakan himpunan<br />

peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam<br />

menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kedua, dalam arti sempit yaitu<br />

sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan<br />

suatu negara yang dimuat dalam ”suatu dokumen” atau ”beberapa<br />

dokumen” yang terkait satu sama lain. (Dahlan Taib: 1999). Dari<br />

definisi yang telah dirumuskan para pakar, tergambar jelas betapa<br />

pentingnya makna sebuah konstitusi dalam kehidupan suatu negara.<br />

Tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya sebuah negara tanpa<br />

memiliki konstitusi, atau memiliki konstitusi dengan kemungkinan<br />

multitafsir, dapat merugikan bahkan menyengsarakan rakyat<br />

banyak.<br />

<strong>Rumusan</strong> <strong>Pasal</strong> <strong>29</strong><br />

Sejak bergulirnya reformasi, amendemen terhadap <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> telah<br />

dilakukan 3 kali, tahun 1999, 2000 <strong>dan</strong> 2001. Memasuki perubahan<br />

keempat tahun 2002 muncul permasalahan yang cukup alot<br />

terutama sekali di seputar rumusan pasal <strong>29</strong> yang membahas soal<br />

agama. Diskusi yang alot disekitar pasal ini sebenarnya<br />

menampilkan persoalan yang amat klasik <strong>dan</strong> sensitif tentang<br />

bagaimana memposisikan agama dalam relasinya dengan negara.<br />

Ada kelompok yang menginginkan agar agama, dalam hal ini Islam,


menjadi dasar negara, sementara itu kelompok lainnya<br />

menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam rapat-rapat<br />

yang dilakukan oleh BPUPKI <strong>dan</strong> PPKI tahun l945 hal itu telah<br />

dibahas dalam diskusi yang alot <strong>dan</strong> cukup panjang. Sebagaimana<br />

diketahui pada tanggal 18 Agustus <strong>1945</strong> diskusi itu dianggap telah<br />

selesai karena baik rumusan Pembukaan <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> mau pun pasal<br />

<strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> tidak lagi memunculkan peristilahan yang secara<br />

eksplisit merujuk kepada sesuatu agama. Namun bagi kelompok<br />

yang ingin mendasarkan negara Republik Indonesia pada dasar<br />

agama tetap merasa tidak puas <strong>dan</strong> terus menerus berupaya<br />

memperjuangkan ide itu, baik melalui cara-cara konstitusional<br />

maupun dengan cara-cara lain. Si<strong>dan</strong>g Tahunan (ST) MPR yang<br />

didalamnya ada agenda untuk mengamendemen <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong><br />

dianggap sebagai event yang tepat untuk kembali menggolkan ide<br />

itu.<br />

Dalam ST MPR Agustus 2002 yang lalu ada tiga fraksi di MPR yang<br />

tetap memperjuangkan agar rumusan pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong> ayat (1)<br />

direvisi dengan menambahkan rumusan ”dengan kewajiban<br />

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sementara<br />

itu ada juga fraksi yang tetap mempertahankan naskah asli pasal<br />

<strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>. Hal yang memerlukan pemikiran secara<br />

matang,tenang <strong>dan</strong> jernih di seputar usul revisi pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong><br />

ayat (1) itu pertama-pertama terletak bukan pada fraksi mana yang<br />

mengusulkan <strong>dan</strong> seberapa besar fraksi yang mendukung. Bukan<br />

pula bahwa terdapat jaminan bagi seluruh warga bangsa, andaikata<br />

usul itu diterima <strong>dan</strong> menjadi ketentuan perun<strong>dan</strong>gan. Persoalan<br />

yang mendasar <strong>dan</strong> substansial dalam konteks ini adalah<br />

pemahaman <strong>dan</strong> kesepakatan kita bersama sebagai bangsa tentang<br />

Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />

Dari catatan-catatan sejarah, kita semua memahami bahwa sejak<br />

awal, the founding fathers negeri ini telah menetapkan fondamen<br />

rumah besar Indonesia bukan agama, tetapi Pancasila. Bung Karno<br />

dalam pidato tanggal 1 Juni <strong>1945</strong> di depan Si<strong>dan</strong>g Ba<strong>dan</strong> Penyelidik<br />

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menegaskan:<br />

”Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi<br />

menurut pendapat saya, haruslah Pancasila.<br />

Dasar negara Pancasila secara amat kental termuat dalam rumusan<br />

Pembukaan <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>, terutama sekali pada alinea keempat. Itulah<br />

sebabnya mengapa MPR bersepakat untuk tidak melakukan<br />

perubahan Pembukaan <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>, sebab disadari benar bahwa pada<br />

pembukaan itulah subtansi Pancasila sebagai dasar negara termuat<br />

secara lengkap.<br />

Dengan memposisikan diri sebagai negara yang berdasar Pancasila<br />

<strong>dan</strong> bukan negara berdasar agama maka rumusan pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong><br />

<strong>1945</strong> ayat (1) <strong>dan</strong> ayat (2) telah memadai.<br />

Negara agama adalah sebuah negara yang diatur menurut<br />

ketentuan-ketentuan hukum agama. Kondisi ini menyebabkan<br />

warga negara yang tidak memeluk/meyakini agama tersebut akan<br />

terpinggirkan menjadi warga negara kelas dua. Sebaliknya para<br />

penganut agama, yang agamanya menjadi dasar dari negara akan<br />

mendapat perlakuan istimewa.<br />

Negara berdasarkan Pancasila mengayomi semua warga negara<br />

tanpa meman<strong>dan</strong>g latar belakang agamanya. Bahkan, pemerintah<br />

memberikan dukungan <strong>dan</strong> fasilitas agar agama-agama dapat<br />

bertumbuh dengan baik <strong>dan</strong> para penganut agama yang berbeda itu<br />

mampu mengembangkan dialog dalam semangat kerukunan.<br />

Apabila kita ingin memelihara <strong>dan</strong> menghargai pemikiran-pemikiran<br />

the founding fathers bangsa kita, maka tak ada pilihan lain kecuali<br />

menerima dengan bulat Pancasila sebagai dasar negara,<br />

sebagaimana yang telah termuat dalam Pembukaan <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>.<br />

Konsekuensinya adalah rumusan pasal <strong>29</strong> ayat (1) <strong>dan</strong> (2) tetap<br />

sebagaimana a<strong>dan</strong>ya, tidak mengalami perubahan. Hal-hal yang<br />

berhubungan dengan syariat agama sebaiknya memang tidak<br />

masuk dalam ketentuan <strong>UUD</strong> atau dalam peraturan daerah, karena<br />

bisa menimbulkan sikap diskriminatif terhadap umat sesuatu agama.<br />

Kita semua bersyukur karena ST MPR 2002 telah menuntaskan<br />

masalah ini dengan musyawarah <strong>dan</strong> mufakat, dibarengi sikap<br />

kenegarawanan yang tinggi dari segenap anggota MPR. Penuntasan<br />

masalah ini menjadi amat penting sehingga energi <strong>dan</strong> waktu yang<br />

kita miliki akan benar-benar dikosentrasikan kepada hal-hal konkret<br />

dalam mengatasi krisis yang masih membelit kehidupan bangsa.<br />

<strong>Gereja</strong>-gereja <strong>dan</strong> umat Kristen Indonesia yang sejak awal memang<br />

amat menghendaki terwujudnya kehidupan beragama,<br />

bermasyarakat <strong>dan</strong> berbangsa yang sejuk, menyambut baik<br />

ketetapan MPR untuk mempertahankan rumusan pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong><br />

<strong>1945</strong>. Hal yang amat penting dimasa depan adalah bagaimana<br />

merealisasikan sebuah kehidupan yang di dalamnya seluruh agama<br />

mendapat ruang untuk mengaktualisasikan diri secara optimal,<br />

sebagai implementasi pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong>. Dalam Konteks itu kita<br />

berharap agar rumusan pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> yang ditetapkan<br />

kembali ST MPR 2002 adalah rumusan yang final <strong>dan</strong> definitif, <strong>dan</strong><br />

tidak lagi dipersoalkan, atau diubah-ubah pada setiap persi<strong>dan</strong>gan<br />

MPR.<br />

(Penulis adalah rohaniawan)<br />

Komentar Gus Dur.<br />

Saat penyusunan <strong>UUD</strong> 45, tokoh-tokoh gerakan Islam<br />

menghilangkan tujuh kata Piagam Jakarta dari <strong>UUD</strong> 45. Karena<br />

mereka ingin memberikan tempat kepada pihak yang tidak ingin<br />

Indonesia menjadi negara agama. "Sebab kalau ada negara agama,<br />

mayoritas kaum Muslimin akan memperoleh kedudukan yang tinggi<br />

dari yang tidak Islam." ujar Gus Dur.Menurutnya bentuk negara<br />

Indonesia saat ini adalah hal yang final <strong>dan</strong> tidak perlu diperdebatkan<br />

lagi. "Karena itu kita tidak boleh jadi negara agama. Hal macam ini<br />

tidak bisa dipungut suara. Kalau dipungut suara, nanti lambat laun<br />

orang Islam akan menang. Karena gerakan Islam ini tumbuh<br />

terus."Alasan bersatunya bangsa Indonesia, menurut Gus Dur, harus<br />

berdasarkan kerelaan. "Kerelaan itu akan ada, jika kita tidak main<br />

paksa, mentang-mentang menang suara."


Komentar dari Waka Fraksi PDIP.<br />

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia<br />

Perjuangan (FPDI-P) MPR H Irmadi Lubis menegaskan keyakinannya<br />

bahwa pasal <strong>29</strong> <strong>UUD</strong> <strong>1945</strong> tidak akan mengalami perubahan. "<br />

Sekalipun mayoritas, tidak semua umat Islam di Indonesia siap<br />

dengan masuknya syariat Islam dalam konstitusi. Buktinya, NU <strong>dan</strong><br />

Muhammadiyah menolak. Kalau memang serius melaksanakan<br />

syariat Islam, yang lebih dulu dilakukan adalah bagaimana<br />

meng-Islamkan umat Islam sendiri yang belum melaksanakan<br />

agama sepenuhnya dalam kehidupan sosialnya,'' tegasnya.<br />

(SH/IM)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!