05.05.2015 Views

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

ASASI_2004_Mei-Juni - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

--_-_--_---<br />

w\a{w.elsam.or.ld<br />

dafrar isi<br />

I laporan lltama<br />

CALON PRESIDEN,<br />

REKAM JEJAK,<br />

DAN AMNESIA PUBLIK<br />

I Naslonal<br />

HAK REPARASI BAGI KORBAN<br />

PELANGGARAN HAM BERAT<br />

KETAHANAN PANGAN:<br />

BETAJAR DARI CUBA<br />

MEMONITOR HAK-HAK<br />

EKONOMI, SOSIAL DAN<br />

BUDAYA<br />

REKONSILIASI<br />

TANPA KEBENARAN?<br />

I Slslpan<br />

seri keadilan transisional<br />

I Luar Negerl<br />

ICTY MEMPERLUAS<br />

DEFINISI GENOSIDA.-.<br />

I Resensl Buku<br />

MenguakTabir C'elap<br />

Buku-Buku ELSAM<br />

Mereka yang Menj.dl<br />

Korban Hak Korban atas<br />

lestltusl, Kompensasl dan<br />

nehabllltasl -<br />

Txro vil DdEx<br />

Mengadlll Korban :<br />

Praktek Pembenaran terhad.p<br />

Kekeratan Negara<br />

Ptruus :Srwrr Gurrw<br />

Trrur : Aews 2(Xl3 - | 6l)<br />

Tahun yang tak Pernah<br />

Berakhlr Memahaml Pengalaman<br />

Kortan 6!i Esal-Esal SeJarah Llsan<br />

€omr: Jorx f,mse,<br />

Avu Rrnr orr H[ur Ferp<br />

Trrur 2fi)4,253 utu


editorial<br />

Hak Rakyat Untuk Tahu<br />

alam masa kampanye presiden putaran<br />

pertama ini, muncuJ. istllah black propagan<br />

da. Istilah ini seringkali digunakan kubu<br />

Jendral (Puln) Wiranto,salah satu calon<br />

presiden, untuk, untuk menangkal kampanve negatil<br />

terhadap dirinya. B)ack pt'opagancJa oleh kubu Wiranto<br />

dianggap sebagai "kejahatan" dalam pemilu.<br />

Kampanye negatif atau black propagancla. sebenarnya<br />

mempakan hal yang positif asal dilakukan secara<br />

bert:rnggung jawab, dengan data vang akurat<br />

Kampanye negatif seperti ini. justm sangat berguna bagi<br />

pemenuhan hak-hak publik atas informasi yang benar<br />

tentang reputasi seorang calon presiden. Pemilih akan<br />

mendapatkan informasi yang utuh mengenai latar<br />

belakang calon presiclen.<br />

Di Amcrika Serikat, kampanye negatif merupakan<br />

ha1 yang u,'ajar: Publik tidak pernah protes dengan<br />

berbagai kampan.ve negatif ini Karena pemilih ingin<br />

tahu bukan hanya sisi positif calon, tetapi juga sisi<br />

negatil dari calon presicien<br />

Di lndone'sia, kampanye negatif secara terbuka<br />

mc'njacli hal vang tidak wajar, karena salah satu kubu<br />

capres sejak awal sudah melancarkan serangan bahwa<br />

kampany'e negatif merupakan pelanggaran aturan<br />

kampanye. kenclati scbcnarnya tidak demikian, dengan<br />

ancaman-ancaman akan diperkarakan jika dilakr,tkan<br />

Hasilnva. kampanve negatif kemudian dianggap<br />

"haram". Tentu ini merugikan rakr,'at, karena indormasi<br />

tentang calon presiden jadi manipulatif<br />

Kampanye-kampan)'e negatif akhirnl'a tidak muncul<br />

di media massa<br />

Namnn, Berbagai muncul di berbagai forum informal,<br />

SMS atau internet. Kampanye presiden di media massa<br />

cendcrung ti.clak mengangkat rekam jejak para calon<br />

presiclen. tidak mengungkap karier militel Susilo<br />

Bambang Yudhoyono sejak ia bertugas sebagai komandan<br />

bataLyon di Timor Timr,rr dan sebagainya. Bagaimanapunj<br />

lakvat memiliki hak untuk memperoleh<br />

infor-rnasi itu, mereka perLu tahu benar tidaknva keterlibatan<br />

calon presiden atau wakil presiden dalam<br />

sejumlah kasus<br />

Karena kampanye negatif dianggap "haram" maka<br />

pemilihan umum vang sedang berjaian, tidak bisa<br />

sepenu}nya dinilai demokratis. Apalagi, iklan-iklan di<br />

televisi yang dibuat oleh para calon presiden dan wakil<br />

presidcn, cenderung manipuJ.atif , ahistolis, ticlak jujur<br />

dan me;'embunyikan banyak fakta. Dengan tiadanva<br />

kampanye negatif secara terbuka, rakyat tidak memiliki<br />

inforrnasi tentang""efek samping" jika mereka memiliih<br />

calon tertentu, karena mereka tidak memiliki in-tormasi<br />

tentang sisi-sisi gelap para calon. Kampanye vang<br />

berlangsung tidak memberi tahu, seperli iklan obat.<br />

bahka jika mengkonsumsi obat ini. efek sampingnva<br />

bisa kena kerusakan hati. sesak nafas dan sebagainya.<br />

Juga tidak seperti iklan rokok vang memberitahu<br />

risikonva: kanker paru-panr<br />

Kampanye negatif yang me'mbongkar rekam jeiak<br />

sang calon, akan sangat membantu pemilih memilih<br />

calon yang<br />

"efek sampingrrya" paling kecil. r<br />

F'<br />

g<br />

'i.:t' )<br />

*{n<br />

..\ !,<br />

v<br />

*n<br />

..r\ r.<br />

v<br />

'.,"'a '"<br />

T\ fr<br />

r<br />

es'w<br />

€<br />

9"<br />

1<br />

*'n<br />

t{-'<br />

$'@'<br />

,F<br />

g'' w %#<br />

l:rlisi Il.-,1 1,,, r,,|)-, <strong>ASASI</strong><br />

3


I LAFORAN T'TAMA<br />

CALON PRESIDEN,<br />

REKAM JEJAK, DAN<br />

AMNESIA PUBLIK<br />

Di tengah ingar bingarnya kampanye Pemilu Presiden,<br />

rakyat pemilih mesti mengingat kembali:<br />

apakah rekam jejak ftrack record) para capres/cawapres bercih<br />

dari indikasi pelanggaran HAM masa lalu?<br />

,milu legislatif yang<br />

dah usai menyisakan<br />

suatu pertanyaan:<br />

apakah bangsa<br />

Indonesia sudah melupakan<br />

berbagai tragedi kemanusiaan<br />

yang terjadi selama 30<br />

tahun pemerintahan Orde<br />

Baru? Indikasinya adalah<br />

kemenangan Partai Golkar<br />

yang diidentikan sebagai<br />

mesin politik utama Orde<br />

Baru. Apakah pada Pemilu<br />

Presiden 5 Juli <strong>2004</strong> mendatang<br />

juga menjadi ajang<br />

pelegitimasian bangkitnya<br />

dan berkuasanya kembali<br />

Orde Bam?<br />

Pertanyaan-pertanyaan<br />

itu patut untuk diangkat ke permukaan<br />

mengingat dari lima pasang caprescawapres<br />

yang ditetapkan Komisi Pemilihan<br />

Umum terdapat tokoh-tokoh<br />

yang tak hanya menjadi bagian dari<br />

mesin birokrasi-militer Orde Baru,<br />

tapi bahkan diindikasikan sebagai<br />

harus bertanggung jawab terhadap<br />

praktek-praktek kejahatan terhadap<br />

kemannsiaan (crimes against humanity)<br />

seperti penghilangan orang seca.ra<br />

paksa, pembunuhan di luar pengadilan<br />

(exh'a judicial killing), penyiksaan<br />

atau perlakuan atas hukuman lain<br />

yang kejam, tidak manusiawi, dan<br />

bermartabat, dan seten:snya. T\rduhan<br />

ini jelas mengarah kepada mantan<br />

tokoh militer yang mencalonkan diri<br />

sebagai capnes seperti Jendral (Purn)<br />

Wiranto dan Jendral (Purn) Susilo<br />

Bambang Yudhoyono.<br />

Tbtapi agar tak hanya berkesan memojokkan<br />

caprres militer saja, maka<br />

para capres sipil pun harus diteliti<br />

rekam jejalorya secara benar. Apakah<br />

mereka telah secara seritrs turut dalam<br />

upaya penegakan IIAM? Satu aspek<br />

misalnya, gejala tumbuhnya watak,<br />

atau kultur militeristik, apakah hal ini<br />

hanya diidentikkan sebagai inheren<br />

dalam watak capres mantan militer?<br />

Kita masih ingat, ketika sepanjang<br />

tahun pertama pemerintahannya,<br />

Megawati Soekarnoputri telah melakukan<br />

penangkapan-penangkapan<br />

dan penahanan para aktivis mahasiswa,<br />

buruh, petani, dan LSM yang<br />

didasarkan kepada pasal-pasal pidana<br />

di eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif,<br />

sehingga pratrrtek impunity yang<br />

terjadi telah menegasikan upaya<br />

penyelesaian kasus-kasus pelanggaran<br />

HAM di masa lalu. Bisa disebut<br />

misalnya dalam kasus kerusuhan <strong>Mei</strong><br />

1998 (termasuk kasus Tlisakti, Semanggi<br />

I, dan SemangCl U) dimana<br />

Komnas IIAM telah membentuk KPP-<br />

IIAM dengan Solahudin Wahid (yaag<br />

kini menjadi cawapres dari Capres<br />

Wiranto) sebagai ketuanya. Meskipun<br />

hasilnya telah dilimpahkan ke Kejagung,<br />

tapi hingga kini belum ada kejelasan<br />

tindak lanjuhya.<br />

Dengan mengungkap rekam jejak<br />

para kandidat capres-cawapres, paling<br />

Udak masyarakat diberikan referensi<br />

yang memadai, sehingga mapolitik<br />

(haatzaai artikelen)<br />

dan undang-undang keamanan<br />

terkait laimya. Bukankah<br />

haatzaai artikelen<br />

atau pasal-pasal penyebar<br />

kebencian peninggalan pemerintah<br />

kolonial hingga<br />

sekarang (di masa pemerintahan<br />

Megawati) tetap<br />

termaktub pada Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Pidana<br />

(KUHP)?<br />

Para elite sipil pun harus<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 20M


syarakat bisa menentukan pilihan<br />

secara bijaksana, dan tidak cepat<br />

melupakan berbagai peristiwa hagedi<br />

kemanusiaan yang pernah terjadi di<br />

masa lalu. Apalag para anggota tim<br />

sukses --dan juga para intelektual<br />

'tukang'- dari capres tertentu telah<br />

secara terbuka melansir tentang<br />

upaya-upaya black propaganda<br />

-<br />

istilah mereka- untuk memojokkan<br />

jagonya. Tbrhadap tuduhan ini, harus<br />

dijawab, bahwa harus dibedakan<br />

antara upaya untuk memberikan<br />

referensi yang sahih melalui rekam<br />

jejak dengan didasarkan kepada datadata<br />

yang valid dan akurat, dengan<br />

tindakan black campaign yang tidak<br />

didukung dengan data-data yang<br />

valid dan akurat. Kadangkala upaya<br />

masyarakat untuk memperoleh referensi<br />

tentang rekam jejak para capres<br />

itu berupaya dimentahkan dengan<br />

kelebihan para pengacara dan tim<br />

sukses sang capnes yang memang bisa<br />

memadaatkan akses luar biasa mereka<br />

terhadap alat-alat reprodulcsi informasi<br />

media.<br />

Seluruh pengetahuan dan referensi<br />

tentang rekam jejak para capres ini<br />

menjadi penting, paling tidak untuk<br />

mengembalikan ingatan luka bangsa<br />

(memoria passionis), sehingga masyarakat<br />

bisa berempati kepada para<br />

ibu yang telah kehilangan anaknya<br />

karena diculik, kepada para anak yang<br />

kehilangan ayahnya di daerah konflik,<br />

kepada para keluarga dari mahasiswa<br />

yang tewas ditembak hanya karena<br />

menyuarakan penegakan hukum,<br />

kepada Marsinah yang dibunuh secara<br />

sadis pada 1990-an kalena menuntut<br />

hak-haknya sebagai seorang bu.ruh,<br />

dan seterusnya. Masyarakat tidak<br />

cepat lupa, hanya karena para capres<br />

tersebut sekarang bisa tampil seperti<br />

seorang "tanpa dosa" (innocenf),<br />

tampil dengan lemah lembut dalam<br />

tutur dan intonasi berbahasa yang<br />

menarik, tampil dengan didukung<br />

iklan televisi seolah tanpa cacat dan<br />

cela bahkan adalah pahlawan, dan<br />

seterusnya.<br />

Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat<br />

sebagai ujud hak untuk tahu<br />

(rigltt to lanouf dan hak unhrk informasi<br />

(ngit to information) bisa memperoleh<br />

selebar-lebarnya dan seluas-<br />

Iuasnya atas seluruh rekam jejak para<br />

capnes tersebut.<br />

(lihat Tab6l Rekam Joiak CaPres)<br />

Dengan mengetahui rekam jejak<br />

indikasi pelanggaran IIAM para capres<br />

tersebut, maka sesungguhnYa<br />

ralryat diberi pengetahuan yang cukup<br />

untuk memilih secara jernih, dan<br />

obyektif. Menyadari sering dipertanyakan<br />

menyangkut indikasi pelanggaran<br />

IIAM di masa lalu, maka Para<br />

capres selalu memanfaatkan celah<br />

hukum, belum adanya mekanisme<br />

(supporting by institution) seperti<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

(KI(R), dan masih kuahnya mentalitas<br />

birolaasi Orde Baru di sebagian Pejabat<br />

publik untuk menegasikan, bahkan<br />

menguatkan prakbek impunitY<br />

Di masa lalu, para capFes, baik dari<br />

kalangan sipil maupun militer, sebagian<br />

besar memilki posisi di dalam<br />

Iingkaran kekuasaan rezim Orde Bam.<br />

Para elite politik sipil dan militer bisa<br />

dikategorikan sebagai bagian dari<br />

rezim Orde Baru yang mempraktekkan<br />

suatu sistem dan shrulrhrr pemerintahan,<br />

juga kultur dan watak represif<br />

yang menyebabkan terjadinYa<br />

praktek-praktek pelanggaran HAM.<br />

Jadi, tokoh-tokoh seperti llamzah Haz<br />

(dari kalangan sipil), maupun Wiranto<br />

dan SBY adalah jmdral-jendral Orde<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> <strong>2004</strong>ASAIS:<br />

5


Jendral (Purn) Wlranto<br />

Periniwa<br />

(1) Sehku Panglima INI tidak berhasil mencEah teladinya Kenxuhan <strong>Mei</strong> 1998, yang berakibot<br />

tewasnya ratusan warga siprl tak berdosa, kerugian material warga masyarakat, serta<br />

teqadinya selumlah tirdak pemerkosaan dan pelecehan ekual terhadap ehis tertentu;<br />

-lNl<br />

(2) Selaku Menhankar/Panglinn bertanggung jawab atas terjadi.rya politik bumi h:ngus,<br />

pembunuhan serenangwenang di Timlim paca jajak pendapat png rn€ne\,!6kan ratugn<br />

warga dan Pastor Dewanto seperti dalam kasus di Gereja Liquisa dan Suai. Selaku<br />

Menhankany'Panglima TNI Jendral Wiranto dalam suratnya kepada Presiden 8J Habibie<br />

bernomor R/511/P{1l03l14lsel tertanggal 6 September .l999 menyatakan antara lain,<br />

(PFnlelasan kepada pimpinan pro-intErai rnengenai kelanjuBt peduagan fdrg |ryak<br />

unUk dilakukan ;<br />

(3) Bertanggung Fwab atas hihngnya sejumlah aktivis mahasiswa, buruh, dan LslV<br />

Kategod Pelanggaran<br />

(l) Hukuman mati di luar hukum secara cepat dan sewenang-wenang;<br />

(2) Penghilangn orang secara paka atau tidak dengan suka rela;<br />

(3) Penyiksaan dan perlakuan alau hukuman lain yang kgam, tidak manusiawi dan merendahkan<br />

martabat manusia;<br />

(4) Penlngkiran acara pake;<br />

(5) Tindak diskriminasi terhadap etnis tertentu;<br />

(6) Tindak kekerxan seksual terhadap kaum perempuan<br />

Kovenan ll,AM<br />

(1) Deklarasi Univesal Hak Asasi Manusia;<br />

(2) Deklarasi tentang Perlindungan Bagi Semua Orang dari Menjadi Sasaran Penyikaan dan<br />

Perlakuan, atau Hukuman Lain yang Kelam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan l/artabat<br />

(Majelis Umum dalam Resolusi No 3q46bnggal 10 Des€mber 19&4);<br />

(3) Konvensi Penghapuen Segala Bentuk Disknminasi Terhadap Perempuan;<br />

(4) Deklarasi Periindungan Bagi semua Orang dari Penghilangan secara Paka<br />

(Majelis Umum dalam Resol6i No 47/133tdnggal 18 Desember 1992)<br />

r Jendral (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono<br />

Peristiwa<br />

(1) Pada 24 Juli 1996 pukul 22 00. Brigjen sBY selaku Kepala Staf Kodam Jaya memimpin<br />

pertemuan di Markas Kodam Jaya yang dihadiri Brigjen TNI Zacky Anwar Makarim (Direklur A<br />

BIA), Kolonel Haryanto (Asisten Intel Kodam Jaya), Kolonel Dpko Santoso, dan Alex Siregat<br />

yang hasilnya memutuskan untuk mengerahkan (dengan menyamar) pasukan Brigif I Jaya<br />

SaktiyangdipimpinKolonelTriamtomo,denganmenyerbukantorDPPPDldill Diponegoro,<br />

yang kemudian dikenal sebagai Peristwa 27 Juli 1996, yang menyebabkan tewas dan<br />

hilangnya puluhan orang;<br />

(2) Pada 19 Pebruari 1999, besma Panglima TNI Jendral Wiranto, sebagat Kaster Letjen sBY<br />

mengadakan pertemuan d iakarta dengan para pimprnan delegasi milisi pro-integrasi yang<br />

datang untuk meminta bantuan persenjataan Sepertr diketahui persenjataan nilah yang<br />

kemudran diqunakan milrsi pro-integrasi, yang dibantu aparal TNI untuk melakukan<br />

pembantaran terhadap ratusan warga sipi dan sejumlah rohannwan Katolik di Gereja Liquisa,<br />

5uai, Los Pallos, Dilli, dengan korbannya anlara lain PastorAlbrecht Karim Sl, dan PastorTars us<br />

Dewanto, serta lima brarawati di Los Palos yang tewas sebagar martir<br />

Kategori Pelanggaran<br />

( 1 ) Hukuman matr dr luar hukum secara cepat dan sewenang-wenanq,<br />

(2) Penghilangan orang secara paksa atau tidak dengan sukare a:<br />

(3) Penyrksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, trdak manusiawi, dan merendah<br />

kan martabat manusia,<br />

(4) Pengusiran secara paksa<br />

Kovenan HAM<br />

(1)Deklarasi Univetral Hak Asas lVanuea;<br />

(2) Kovenan Internasional tentang Hak 5rpil dan Politik;<br />

(3) Deklarasi lentang Perl ndungan Bagi Semua Oranq dari Menjadi Sasaran Penyksaan dan<br />

Perlakuan atau Hukuman Lain yanq Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat<br />

(Malelis Umum daiam Resolusi 3452 (XXX) tanggal 9 Desember 1975 dan Resolusi No 39/<br />

46 Majelis Umum tanggal 1 0 Desember 1 984;<br />

(4) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan scara PakH (Majelis Umum<br />

dalam Resoh,si 471133 tanggal 18 Desember 1992);<br />

(5) Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuaean dan Senjata Api oleh Aparat<br />

Penegak Hukum<br />

r Megawatl Soekarnoputri<br />

Peristiwa<br />

(1) Hanya kunng lebih satu tahun setelah memerintah, Megawati nplakukan penangkapan berdasarkan<br />

pasal-pasal pidana politik lhaadaai anikelen maupun undang-undang sejenis<br />

lainnya) terhadap pnra mahriswa, aktMs buruh, dan LSM yang menolak kenaikan harga<br />

8BM, telepon dan tarif listrik; terhadap aktivas HAM di daerah-daerah konflik; maupun<br />

n yang mengaktualisasikan hak-hak sipilnya;<br />

(2) ggusuran secara paksa terhadap rumah-rumah penduduk,<br />

(3) Melakukan pembiaran terhadap terjadinya prahek kekerasan fisik dan seksual teftadap buruh<br />

migran (tKl) di negar+negara Arab, Singapura. dan Malaysia<br />

Kategori Felanggaran<br />

(l) Kebebasn berpikir, berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan benerikaq<br />

(2) Hak alas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, perumahan, dan kondisi<br />

kehidupan pada umumnya;<br />

(3) Pengusiran secara paksa;<br />

(4) Hak atas tempat iinggal yang layak<br />

(1) Kovenan Intemasional tentang Hak sipil dan Politik;<br />

(2) Pael 28 UUD 1 945 yang sudah di Amandemen;<br />

(3) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya;<br />

(4) Resolusi Kombi Hak tuasi Manusia PB8 1993t7 tentang Pengusiran Paksa;<br />

(5) Konvsi Internasbnal tentang Pedindungan Hak PeksF Migrdn dan Anggota Kelurga<br />

r Hamzah Haz<br />

Peristiwa<br />

Menjelang Sidang lstimewa MPR tahun 1999 mengelua*an berbagai pernyataan bernada<br />

diskriminatif tentang ketidak layakan kaum p€rempuan untuk menjadi praiden<br />

(l) Hak sipil dan politik etiap warga rrcgara;<br />

(2) Tindak diskriminasi terhadap kaum perempuan (persannan hak dan selenisnya)<br />

Kovenan HAM<br />

(1) Kovenan Internasional lentang Hak 5ipil dan Politik;<br />

(2) Konvensi Penghapusn Segala Eentuk Disknminasi Terhadap Perempuan<br />

r Amin Rais<br />

Hadir dan mengeluarkan pernyataan seruanjthad dalam tabligh akbar di Lnpangan Monas Jakarta<br />

pada 7 Januari 2000 menyusul konflik horisontal yang terladt di [,4aluku dan lvlaluku Utara, sehingga<br />

Perskutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGl) mengtrimkan sural tanggapan kepada Amien<br />

Rais bernomor 0055/PGl-X1|/2000<br />

Peristiwa<br />

(1) Hak kelompok minorilis,<br />

(2) Kebebasn beragama Deklarasr Hak Orang-Orang yang Termasuk Bange atau Sukubango,<br />

Agama,danBahasal\4rnoritassunbe/:JamesBalowski, Indonesia:theLandoJaf,.4rllionPolitical<br />

Prisoners, di dalam hnp://www Green;eft org au; Laporan Final ta.r Finding Kom as<br />

HA[/Peristiwa27Ju|1996,11Oktober1996; SuratPang|maTNIJendralWirantokepada<br />

Presden B.l Habibie bernomor R/511/P-01/03/146et tertanggal 6 September '1999 perihal<br />

Perkembangan Lanjut Situasi T imtrm dan Saran Kebijaksanaan Penanganannya; 5urat<br />

Persekutuan Gereja-gereja d lndonesn (PGl) kepada Dr Amten Rais, Kelua MPR-Rl bernomor<br />

0055/PGl-X112000 perihal Tanggapan Atas Sikap dan Pandangan Terhadap Kerusuhan<br />

l.4alukdMaluku Ulara ; T im Gabunqan Pencari Fakta, Laporan Akhrr T im Gabungan Pencari<br />

Fakta 0GPF) Penstiwa Tanqqa 1 3 1 5 N/er 1 998 (Ringkasan Eksekutif); T ogi Simanlunrak (ed),<br />

Premanisme Politlk (lakarta: 5A, 2000), Republika. Delegasi pr o nlegrast Timttm minta<br />

senjata pada Pangab , 20 Pebruari 1 999<br />

Baru yang secara iangsung ataupun<br />

tak langsung turut menunjang, mendukung,<br />

dan melaksanakan praktek<br />

kekuasaan Orde Baru tersebut. Meskipnn<br />

tidak melakukan (by action) pe-<br />

Ianggaran l{AM secara langsung, tapi<br />

karena posisi dan kedudukannya<br />

dalam lingkungan sipil, serta prinsip<br />

garis komando dalam lingkungan<br />

militer, maka segala keputusan,<br />

ucapan, tindakan, baik secara langsung<br />

maupun tak langsung sebenarnya<br />

patut dikategorikan sebagai telah<br />

melakukan pelanggaran IIAM. Apalagi<br />

jika kemudian mereka melakukan<br />

praktek pembiaran (by omission)<br />

seperti yang te{adi di Timtim pasca<br />

Jajak Pendapat, dan Kerusuhan <strong>Mei</strong><br />

1998<br />

Kadangkala para elite yang sekarang<br />

menjadi capres tersebut mencoba<br />

menggi-ring kepada persoalan semantik<br />

(bahasa dan istilah), definisi kasus,<br />

bukti, data atau kebenaran ucapan<br />

mereka di masa laLu semata-mata.<br />

Oleh karena itu, dalam konteks kasus<br />

Hamzah Haz dan Amien Rais misalnya,<br />

kedua capres dari kalangan sipil<br />

itu mestinya mau secara .legowo untuk<br />

dikonfrontir atau melakukan klarifikasi<br />

ke publik atas dugaan ucapan mereka<br />

yang juga mengindikasikan<br />

mendorong terjadinya suatu pelanggaran<br />

IIAM.<br />

Dengan demikian akan lebih bermartabat<br />

seandainya para capres yang<br />

diindikasikan melanggar HAM tersebut<br />

mengedepankan tanggung jawab<br />

morihya dengan secara terbuka<br />

untuk tidak maju sebagai capres,<br />

sebelum segala hal menyangkut tudingan<br />

pelanggaran IIAM di masa lalu<br />

maupun di masa kini (khusus untuk<br />

Megawati Soekarnoputri) menjadi<br />

clear.l<br />

rrocr sMANTuNTAK)<br />

6 Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> <strong>2004</strong>


REKONSILIASI<br />

TANPA KEBENARAN?<br />

Penolakan Fraksi TNI/Polri untuk pencantuman<br />

kata 'kebenaran' pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)<br />

cermin dari realitas kontekstual dari arus deras penolakan<br />

terhadap upaya berdamai dengan masa lalu<br />

masa lalu, maka pencantuman kata<br />

'kebenaran' merupakan'jiwa' atau<br />

'roh' dari terselenggaranya mekanisme<br />

tersebut. Bagaimana mungkin ada rekonsiliasi,<br />

tanpa setiap warga bangsa<br />

memahami apa yang sesungguhnya<br />

terjadi dengan praktik-praktik kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan (cnmes<br />

against humanits) di masa lalu, yang<br />

mungkin menimpa orang tua, kerabat,<br />

atau tetangga se desanya? Bagaimana<br />

mungkin ada rekonsiliasi, tanpa setiap<br />

warga bangsa di buka mata-hatinya<br />

tentang mengapa dan apa yang melatar-belakangi<br />

sehingga pelanggaran<br />

IIAM berat (gross uiolation of human<br />

riChts) terjadi di masa lalu?<br />

Proses RLru KKR yang kini terjadi<br />

di DPR RI memasuki masa-masa<br />

Icusial, karena Panitia Khusus telah<br />

menyepakati membentuk Panitia<br />

Kerja RUU KKR. Seluruh persoalan<br />

bangsa atau luka bangsa di masa lalu<br />

(memori passionis) menjadi beban<br />

yang sebagiannya harus ditanggung<br />

oleh para wakil ralryat. Ilapi tampaknya<br />

beban itu semakin berat, ka.rena<br />

untuk sampai kepada pembentukan<br />

KI(R saja, para wakil rakyat yang<br />

diberi mandat pada Pansus RUU KI(R<br />

belum bisa untuk mencapai kata<br />

sepakat untuk beberapa hal esensial.<br />

Ftaksi-fraksi yang ada masih berbeda<br />

pendapat dalam banyak hal, misalnya<br />

soal judul RUU, definisi korban,<br />

dan pelaku. Lalu perdebatan di seputar<br />

mekanisme pemberian amnesti,<br />

rehabilitasi, restitusi, maupun proses<br />

seleksi anggota KKR. Hal ini sebenamya<br />

merupakan turunan dari prokontra<br />

tentang pencantuman kata<br />

'kebenaran'tadi. Lebih jauh lagi akar<br />

dari semua itu adalah, bahwa kejahatan<br />

atau pelanggaran HAM yang<br />

berhubungan dengan kekuasaan masa<br />

Ialu tidak mampu dipertanggungjawabkan<br />

oleh penguasa sekarang.<br />

Dalam konteks Indonesia, maka<br />

mereka yang pernah menjadi korbart<br />

mungkin telah duduk dalam Pucuk<br />

kekuasaan. Megawati Soekarnoputri<br />

yang sekarang menjabat sebagai<br />

hesiden RI, AM Fatwa yang sekarang<br />

Wakil Ketua DPR, bahkan Sidarto<br />

Danusubrpto yang sekarang menjadi<br />

Ketua Pansus RUU KKR adalah<br />

korban dari rezim Soeharto. Situasi<br />

dilematis ini menjadi ciri dari banyak<br />

negara yang sedang bertransisi, yalcri<br />

antara upaya memberikan keadilan<br />

kepada korban dan adanya kePentingan<br />

untuk kestabilan politik.<br />

Di satu sisi, negara belum memiliki<br />

kapasitas yang cukup untuk menyelesaikan<br />

kasus-kasus pelanggaran<br />

HAM, tapi di sisi lain telah terjadi<br />

reinkarnasi kekuatan rezim lama<br />

secara personil maupun kelembagaan<br />

pada pemerintahan baru. Situasi<br />

dilematis ini sebenarnya telah dijawab<br />

oleh NeiI J Kritz ("The Dilemma of<br />

Ttansitional Justice", 1995) yang menegaskan<br />

keberhasilan sebuah negara<br />

yang sedangberalih dari rezim otoriter<br />

ke rezim demolcatis, jika berhasil menyediakan<br />

mekanisme penyelesaian<br />

berbagai bentuk pelanggaran IIAM<br />

yang memenuhi rasa keadilan masyarakat,<br />

khususnya korban, namun<br />

sekaligus tidak menimbulkan ketidakstabilan<br />

sosial dan politik.<br />

Jadi kata kunci dalam pelaksanaan<br />

KKR adalah mendamaikan antara<br />

korban dan pelaku. OIeh karena itu,<br />

KI(R tidak bisa dipandang sebagai<br />

suatu upaya pamaafan dan PeluPaan<br />

semata, yang berdampak melahirkan<br />

suatu ketidakadilan bagi para korban,<br />

dan sebalilcrya tidak bisa dipandang<br />

sebagai upaya'penghukuman semata,<br />

yang berdampak melahirkan suatu<br />

persoalan psikologis baru bagi para<br />

pelaku. Dengan demikian term'kebenaran'<br />

pada institr:si KKR merupakan<br />

sesuatu yang prinsipil, kalena hal ini<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> <strong>2004</strong> AS[lSl<br />

7


--<br />

juga melindungi kedua pihak, baik<br />

korban dan pelaku dari jerat penjara<br />

dendam sejarah, sehingga bisa membangun<br />

ke masa depan yang baru.<br />

Tidak salahnya belajar dari penga-<br />

Iaman negara lain dalam hal berdamai<br />

dengan masa lalu. Term 'kebenaran'<br />

menjadi prinsipil di Afsel misalnya,<br />

karena dari situ akan diketemukan<br />

falida, kapan, dimana, siapa pelakunya,<br />

dan siapa korbannya. Dalam komisi,<br />

seseorang akan memberikan kesaksian<br />

atau pengakuan tentang kejahatan<br />

yang pernah dilakukan dengan<br />

mengungkapkan secara lengkap dan<br />

detil. LaIu komisi akan mempertimbangkan<br />

untuk memberikan amnesti<br />

atau pengampunan atas pengungkapan<br />

kebenaran oleh si pelaku. Di<br />

lain pihak, para korban juga diberi kesempatan<br />

untuk berbicara dan memberi<br />

penjelasan tentang insiden pelanggaran<br />

IIAM yang melibatkan si<br />

pelaku tadi.<br />

Dengan begitu harus diakui bahwa<br />

secara konseptual pelaksanaan KKR<br />

itu idealnya didasarkan kepada konsepsi<br />

transitional justicenya Kritz.<br />

Sekali lagi konsepsi ini sangat berperspektif<br />

korban, dan bertujuan agar<br />

ketidakadilan masa lalu tidak terjadi<br />

lagi, serta tidak menciptakan ketidakadilan<br />

baru. Thpi apa yang ideal (das<br />

sem) tidak demikian dalam kenyataan/realitas<br />

kontekstual (das sollen)<br />

dalam konteks Lldonesia.<br />

Setelah enam tahtrn jatuhnya Soeharto<br />

harus diakui adanya upaya<br />

penyelesaian pelanggaran HAM di<br />

masa lalu. Sejumlah institusi dan<br />

perangkat perundangan yang menduktrng<br />

dibentuk. Sebut saja lfU No. 26<br />

Thhun 2000 tentang Pengadilan IIAM,<br />

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Komnas<br />

HAM. Pemerintah BJ Habibie<br />

pernah menJrusun agenda untuk penguatan<br />

dan promosi penegakan HAM<br />

di tanah air melalui pengesahan undang-undang,<br />

maupun keikutsertaan<br />

Indonesia dalam meratifikasi sejumlah<br />

konvensi internasional.<br />

Tbpi dalam realitasnya, pengesahan<br />

undang-undang dan pembentukan<br />

sejumlah institusi itu tidak memiliki<br />

kekuatan pemukul sebagai landasan<br />

penyelesaian dan pertanggungjawaban<br />

terhadap para pelaku pelanggaran<br />

IIAM di masa lalu. Kasw-kasrx<br />

yang diselesaikan oleh Pengadilan<br />

HAM, Pengadilan Koneksitas, maupun<br />

Pengadilan Pidana biasa tetap<br />

saja dinilai tidak memenuhi rasa<br />

keadilan masyarakat korban. Sebut<br />

saja kasus Tanjungpriok, kasus penembakan<br />

mahasiswa TYisakti, kasus<br />

27 JuIi, dan setenrsnya.<br />

Semua ini memperlihatnya gejala<br />

impuniff yang melindungi para pelaku,<br />

dan bahkan secara politis telah<br />

terjadi upaya penegasian dan pereduksian<br />

atas kasus-kasus kejahatan<br />

terhadap kemamrsiaan (crimes against<br />

humanity) dengan mempergunakan<br />

jalur institusi formal, baik di eksekutif,<br />

legislatif, maupun yrdikatif. Kasus<br />

penolakan kata'kebenaran' merupakan<br />

contoh kasus mutakhir, padahal<br />

pada paragraf terakhir Pasal 48 UU<br />

Pengadilan HAM dalam penjelasan<br />

umum telah dinyatakan:<br />

"Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

dimaksudkan sebagai lembaga<br />

extra-yudicial yang ditetapkan dengan<br />

undang-undang yang bertugas<br />

untuk menegakkan kebenaran dengan<br />

mengungkapkan penyalahgunaan<br />

kekuasaan dan pelanggaran hak asasi<br />

manwia pada masa lampau, sesuai dengan<br />

ketentuan hukum dan perundang-undangan<br />

yang berlaku dan<br />

melaksanakan rekonsiliasi dalam<br />

perspektif bersama sebagai bangsa".<br />

Jadi rekonsi.Iiasi dan (pengungkapan)<br />

kebenaran seperti dua sisi mata<br />

uang yang tak mungkin terpisahkan.<br />

Mwtahil ada rekonsiJiasi tanpa (pengungkapan)<br />

kebenaran. Dengan pengungkapan<br />

kebenaran, maka ada enam<br />

hal yang bisa dicapai sekaligus:<br />

1. Memberi arti kepada suara korban<br />

secara individu: KKR berupaya<br />

mendapatkan pengetahuan yang<br />

resmi dari korban dan mengijinkan<br />

mereka memberikan pernyataan<br />

kepada komisi, atau memberi kesaksian<br />

dalam sebuah dengar pendapat<br />

publik berkaitan dengan pelanggaran<br />

IIAM yang mereka a-lami;<br />

2. Pelurusan sejarah berkaitan dengan<br />

pelanggaran IIAM: KI(R dapat memusatkan<br />

perhatiannya pada peristiwa-peristiwa<br />

tertentu dari pelanggaran<br />

IIAM. KI(R dapat meneyelesaikan<br />

masalah dengan mempergunakan<br />

data-data yang valid dan kredibel,<br />

disamping menguraikan sebab-musabab<br />

suatu peristiwa itu terjadi, apa<br />

latar belakang, dan bagaimana prosesnya;<br />

3.Pendidikan dan pengetahuan publik:<br />

KKR memberikan sumbangan<br />

pada pengetahuan masyarakat tentang<br />

penderitaan korban, dan membantu<br />

menggerakkan masyarakat<br />

untuk mencegah peristiwa serupa<br />

terjadi di masa depan;<br />

4.Memeriksa pelanggaran HAM sistematis<br />

menuju reformasi kelembagaan:<br />

I(KR memeriksa akibat dan<br />

si.fat bentuk pelanggaran I{AM yang<br />

melembaga dan sistemik. LaIu<br />

mengidentifikasi pola pelanggaran<br />

HAM, atau lembaga yang bertanggungjawab<br />

terhadap pelanggaran,<br />

maka komisi dapat merekomendasikan<br />

program-program sosial<br />

atau kelembagaan dan reformasi<br />

legislatif yang dirancang untuk<br />

mencegah terjadinya kembali pe-<br />

Ianggaran IIAM;<br />

S.Memberikan assesment tentang<br />

akibat pelanggaran IIAM terhadap<br />

korban: KKR mengumpulkan informasi<br />

mendalam tentang pelanggaran<br />

I{AM dan akibatnya terhadap<br />

diri korban. Lalu komisi memberikan<br />

beberapa cara untuk membantu<br />

korban menghadapi dan mengauilY#*"ngjawaban<br />

p"'" p"t"t,, O<br />

kejahatan: KKR mengumpulkan<br />

informasi yang berkaitan dengan<br />

identitas individu pelaku kejahatan<br />

yang melanggar IIAM. Komisi bisa<br />

mempromosikan sebuah sense of accountabiJity<br />

vntuk penyalahgunaan<br />

oleh individu-individu yang secara<br />

publik terindikasi dan lembagalembaga<br />

yang bertanggungjawab<br />

atas penyalahgunaan, memberi<br />

rekomendasi bahwa para pelaku<br />

perlu diberhentikan dari jabatanjabatan<br />

publik, atau memberikan<br />

fakta-fakta bukti-bukti untuk pengajuan<br />

tuntutan ke pengadilan.<br />

Ke enam hal itu menjadi fungsi strategis<br />

dari KKR, dan seperti dikatal


HAK REPARASI BAGI KORBAN<br />

PELANGGARAN HAM BERAT<br />

Hak-hak korban pelanggaran HAM dijamin kovenan<br />

internasional dan undang-undang nasional.<br />

para korban tersebut. Hak reparasi (right to reparation)<br />

merupakan hak yang meliputi hak rehabilitasi, restitusi<br />

dan kompensasi bagi korban pelanggaran IIAM berat.<br />

Kini, instrumen HAM yang menyangkut kompensasi<br />

sedang dibahas oleh Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB<br />

yang draftnya untuk sementara berjudr:l "Basic principles<br />

and guidelines on the right to a remedy and reparation for<br />

victims of violations of international human rights and humanitarian<br />

law"<br />

Dokumen itu disusun dalam kurun<br />

waktu yang cukup panjang.Pada 1989<br />

Sub-Komisi PBB tentang Pencegahan<br />

Dislcirninasi dan Perlindungan Kaum<br />

Minoritas menunjuk hofesor Theo van<br />

Boven untuk melakukan studi tentang<br />

hak-hak restitusi, compensasi dan rehabilitasi<br />

bagi korban pelanggaran HAM<br />

berat. Boven menyelesaikan laporan final,<br />

termasuk sebuah draft prinsip dan<br />

pedoman dasar pada 1993. Pada 1995,<br />

Sub-Komisim meminta Professor van<br />

Boven merevisi draft tersebut. Revisi<br />

tersesebut selesai dan diberi iudul "Basic<br />

Principles andGuidelines on the Right to Reparation for<br />

Victims of Gross Violations of Human Rights and Humanitarian<br />

Lavf' (1996).<br />

Dokumen tersebut merupakan bagian dari laporan Special<br />

Rapporteur PBB, Ttreo van Boven dan CheriI Bassiouni,<br />

yang berjudnl The right to restitution, compensation and<br />

rehabilitation for uictims of gross uiolations oI human<br />

rights and fundamental heedoms" (Dokumen Economic<br />

and Social Council PBB No /CN.4/2003/63,27 Desember<br />

2002). Draft ini memuat 27 prinsip tentang hak-hak para<br />

korban pelanggaran I{AM berat ini. Draft ini sedang dalam<br />

proses penyelesaian yang akan dibahas penyelesaiannya<br />

pada Agustus <strong>2004</strong>.<br />

Draft ini menyediakan perlindunganhak remedy 6uada)<br />

kepada para korban pelanggaran IIAM yang meliputi hak<br />

nntuk mendapatkan keadilan (right to accessjusfice), atas<br />

reparasi (perbaikan) atas kerusakan yang diderita (right to<br />

reparation for harm suftered) dan hak untuk memperoleh<br />

iniormasi fal


ilrb<br />

Korban pelanggaran IIAM memiliki hak untuk mendapatkan<br />

penggantian (restitusi), kompensasi bahkan<br />

rehabilitasi. Selain itu korban juga berhak untuk mendapatkan<br />

asistensi, baik fisik, materi maupun psikologis<br />

seperti bantuan kesehatan, bantuan psikologis, dan<br />

bantuan sosial melalui pemerintah, organisasi non<br />

pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya.<br />

R€stitusi harus diberikan untul< sedapat mungkin menegakkan<br />

kembali situasi yang ada pada korban sebelum terjadinya<br />

petansgaxan terhadap hak asasi manusia. Restitusi<br />

mengharuskan untuk mengembalikan hak miljk korban<br />

yang telah diambil paksa atau dijarah oleh pelal


lA<br />

\r<br />

i t ut sb-ua kekuatan<br />

" "ratJ<br />

angan<br />

hg1 dengan rejim ftu<br />

Fapannya,<br />

.<br />

ah cobaan.<br />

Pembersihan sarang<br />

masa ini hairvalah<br />

rn currqa, KKN dalam pemerintahan hanya relevan sepanjang<br />

orang yang<br />

.rte*SfS"." "fr. -u1", menguntungkan kedudukan politik pafai berkuasa'<br />

ang gela<br />

Tindakan-tindakan keadilan ha4yd relevan selama<br />

k menghayati<br />

bentuk baru {8ib"tt berteriak. Tetapi pada ddiarnya soal keadilan<br />

menjadi poros gerakan politiknya Setiap politisi<br />

bersimpati pada korban, tetapi korban tidak men<br />

p sumber inspirasi politiknya Ia memiliki relev<br />

i minu&Politik<br />

mampu meng<br />

adalah kaum<br />

ereka mau dan<br />

Barrr. Mereka<br />

lebih banYak s<br />

,i*tAgenda korban menuntut ke<br />

"^i6*i"'J","i.H"iTi;<br />

politik<br />

h<br />

I<br />

r{Elevan<br />

eIIIUUaL LUlUdndrr<br />

suatu negara.<br />

':<br />

I<br />

.i.<br />

Belajar dari Indonesia pul elihat peran sentral<br />

orban dalam menjaga i masy-"""qt^,13:<br />

lii,?:::::,H sffffIfi ili"'?-'#J"iffi:ffii*:l;'*1i ifflT"1<br />

keadiian dalam gerakannY<br />

pr.rnggung bagi segala tujuan<br />

r,^^i:l^- i^f-- n-*oLonrrr CA<br />

-'Namrtn demikian Or[e<br />

h<br />

..rt"fd<br />

kekuaS-.,...- ..<br />

.ng,<br />

&<br />

1970an n Tetapi otoritarianisme bisa dilahirkan<br />

[" ',<br />

r."lnri.N #;';n?, n i oleh pemain bafu -muri*in"didukun-g oleh<br />

*""'-iilil,:l[W&i';s&4re1ri a 1 f.*#<br />

depan Indot'


I<br />

Peranan Penti<br />

dan Kebenar<br />

alam<br />

eadilan<br />

Tantangan dan Kesempatan<br />

Upaya menyelesaikan pelanggaran<br />

IIAMmasa lalu dimasa hansisi daripemerintahan<br />

otoritarian ke pemerintahan demokratis<br />

harw menghadapi beberapa tantangaa<br />

serius, antara lain sistem peradilan<br />

yang korup dan tidak efisien serta keengganan<br />

para pemimpin baru untuk<br />

menghadapi elemen dari penguasa lama.<br />

Namrm begitu uegara tetap berkewajiban<br />

untuk menyelesaikan pelanggaran IIAM<br />

masa lalu, tidak hanya unhrk mengembalikan<br />

hak korban dan keluarganya dan<br />

menuntut akuntabilitasnya para pelaku,<br />

tapi juga untuk menjamin bahwa pelanggaran<br />

serupa tidak terulang di masa datang.<br />

Dilema antara kehanrsan menghadapi<br />

masa lalu sekaligus menghindari<br />

provokasi dari sisa-sisa kekuatan lama<br />

melahirkan berbagai bentuk intervensi<br />

yang kemudian dikenal dengan istilah<br />

Transitional fustice (keadilan transisional).<br />

Termasuk dalam intervensi ini adalah<br />

pengungkapar kebenaran, peradilal dan<br />

penghukuman, reformasi hukum dan<br />

kelembagaan, reparasi dan rehabilitasi dan<br />

rekonsifiasi.<br />

Dalam pemetaan<br />

inisiatif-inisiatif<br />

Tlansitional Justice di [rdonesia, "The<br />

Struggle tor T}l.tth and Justice: A Surrey ot<br />

TYansitional Justice Initiatives Throughout<br />

Indonesia,"l Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata<br />

mengingatkan kita bahwa, "Walau<br />

pemerintah Indonesia telah membentuk<br />

badan-badan negara dan undangundang<br />

ultuk menyelesaikan kekerasan<br />

masa lalu, tetapi badan ini mengidap<br />

masalah legitimasi dan kinerja,"2 Masalah<br />

legitimasi adalah hal yang paling mendasar<br />

dalam menghadapi pelanggaran<br />

masa lalu, sebab tanpa legitimasi tidak ada<br />

harapan akan adanya penyelesaian. lri1ah<br />

sebabnya pembentukan beberapa organisasi<br />

korban sejak jatuhnya Soeharto pada<br />

<strong>Mei</strong> 1998 adalah kunci penyelesaian pe- n<br />

Meski ada usaha sungguh-sungguh<br />

Komnas IIAM unfuk memenuhi mandatnya<br />

dalam hal penyelidikan pelanggaran<br />

IIAM, Iegitimasi atas inisiatif yang berasal<br />

dari negara ini sudah berada di titik paling<br />

rendah. Pengadilan IIAM ad hoc<br />

- untuk Timor Leste dan Tbnjung kiok,<br />

dan juga rancangan undang-undang<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsifiasi Gtru<br />

KKR) sudah kehilangan kredibilitas dan<br />

semakin dianggap sebagai alat impunitas.<br />

Tradanya itikad politik itu juga ditunjukkan<br />

oleh penolakan DPR unfuk menetapkan<br />

pengadilan bagi pelaku pembunuban<br />

Semanggi dan Tlisakti. Selain itu, kenyataan<br />

bahwa militer mulai bangkit<br />

kembali dalam dunia politik sipil Wiranto<br />

sebagai calon presiden Golkar dan SBY<br />

dari Partai Demolcat, mungkin membuat<br />

kita terpaksa berkesimpulan bahwa<br />

setidalcrya untuk sementara ini, inisiatif<br />

negara unhrk menghadapi kekerasan m:$a<br />

Ialu tidak bisa dipercaya dapat memberikan<br />

rasa keadilan bagi korban, menjamin<br />

akuntabilitas pelaku dan memastikan<br />

ketidakberulangan tindakan di masa<br />

depan.<br />

Dalam kondisi seperti ini, semakin hari<br />

semakin terlihat pentingnya mengembangkan<br />

dan menyebarluaskan alternatif @U-<br />

KAN pengganti) dari inisiatif negara sebagai<br />

upaya memenuhi kebutuhan dan hak<br />

korban sembari terus menekan negara unhrk<br />

memenuhi kewajibannya. Dengan dipaparkannya<br />

suatu tinjauan atas beraneka<br />

macam inisiatif masyarakat sipil dalam<br />

bidang transitionai justice, maka "The<br />

Struggle for Truth and Justice" boleh<br />

dikata merupakan suatu Iangkah awal<br />

menuju konsolidasi dan penguatan inisiati-f<br />

transitional justice dt luar negara. Meskipun<br />

laporan ini tidak dapat membahas<br />

setiap inisiatif secara rinci, namun jangkauan.geografisnya<br />

- dari Aceh hingga<br />

Papua - berhasil memberi gambaran<br />

tentalg tantangan dan peluang non-state<br />

unh.rk menghadapi kekerasan masa la1u.<br />

Ianggaran masa lalu t"t"l" r." t."i"r' Organisasi Korban<br />

yang memiliki kunci legitimasi itu.<br />

Bertolak dari pentingnya konsolidasi<br />

ll Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> <strong>2004</strong>


:eTi<br />

I<br />

I I<br />

lt<br />

inisiatil non-state, tulisan ini ditokuskan<br />

pada peranan penting yang harus dimainkan<br />

oleh organisasi korban dalam proses<br />

ini, dengan mulai dari melihat beberapa<br />

organisasi beserta aktifitasnya. Sebagaimana<br />

telah disebutkan di atas, organisasi<br />

korban memiliki kunci legitimasi dalam<br />

pencarian keadilan dan penyelesaian pelanggaran<br />

IIAM. Sedemikian, mereka merupakan<br />

satu sumber kekuatan politik<br />

yang potensial berkembang untuk menghadapi<br />

berbagai kekuatan politik yang<br />

tengah menghalangi rxaha pencarian keadilan.<br />

Dalam konteks inilah tulisan ini<br />

akan meninjau tantangan dan peluang<br />

yang dihadapi organisasi korban di Indonesia<br />

dewasa ini.<br />

Apa itu Organisasi Korban?<br />

Perubahan politik tahun 1998 memunculkan<br />

beberapa lembaga baru, termasuk<br />

organisasi korban dengan fokus kegiatan<br />

pada penanganan kekerasan dan pencarian<br />

keadilan. Beberapa organisasi korban berkembang<br />

atas dukungan LSM, tapi secara<br />

umum semuanya cukuP mandiri dalam<br />

pengembangan dan pelaksanaan kegiatan.<br />

Selain organisasi yang secara sadar mengiderrtifikasi<br />

diri sebagai organisasi korban,<br />

ada organisasi kemasyarakatan yang mewakili<br />

korban-korban penggusu-ran, perampasan<br />

tanah dan lain sebagainya' Mereka<br />

mengorganisir diri di tingkat komunitas<br />

untuk memperjuangkan hak-hak mereka,<br />

misalnya pengerrbalian tanah mereka' yang<br />

merupakan bagian dari perjuangan reformasi<br />

agraria. Kedua jenis organisasi ini<br />

mewakili korban dan haknya, letak perbedaannya<br />

adalah pada bagaimana organisasi<br />

mengidentifikasikan diri, yaitu<br />

sebagai'korban' atau sebagai'petani.'<br />

Sekilas sepertinya organisasi korban<br />

Iebih mengarah ke perjuangan hak sipil<br />

politik sedang organisasi petani lebih ke<br />

hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya,<br />

gerakan reformasi agraria lebih mencurahkan<br />

perhatian pada perjuangan pengembalian<br />

tanah daripada mengatasi soal kekerasan<br />

yang dialami petani saat tanah<br />

diduduki.s Namun begitu, kedua jenis<br />

tingkat lokal. Pada sebuah lokakarya prawattannya<br />

bahwa inisiatif tansitional iustice<br />

yang'klasik' cendenrng terfokus pada<br />

kasus kekerasan fisik dan bukan kepada<br />

hubungan antara kekerasan fisik dan<br />

beberapa jenis kekerasan yang l,ain, misalnya<br />

pengambilan tanah.<br />

Lokakarya diselenggarakan pada 3-4<br />

September dan dihadiri wakil dari ICTJ,<br />

Komnas [IAM, Komnas PeremPuan dan<br />

beberapa organisasi masyarakat sipil<br />

termasuk organisasi korban.<br />

"Ttre Stnrggle for Tluth and Justicr' " p. 16.<br />

f<br />

T\riuan dan Kegiatan<br />

Sebagaimana disebutkan di atas, fokus<br />

pemetaan tim ini adalah pada organisasiorganisasi<br />

yang bekeria dalam ruang<br />

Lingkup Iima elemen ttama transitional<br />

justice. Pemetaan ini menemukan bahwa<br />

organisasi korban pertama-tama memfokuskan<br />

perjuangannya pada usaha reparasi<br />

dan rehabilitasi, baru kemudian<br />

diikuti oleh pengungkapan kebenaran,<br />

ketiga pada peradilan dan penghukuman'<br />

keempat pada reformasi hukum dan<br />

kelembagaan dan kelima pada rekonsiliasi.<br />

Kenyataan ini sedikit berbeda dengan apa<br />

yang ditemukan pada organisasi masyarakat<br />

sipil lainnya. Organisasi ini pertamatama<br />

memfokuskan diri pada pengungkapan<br />

kebenaran, kedua kepada reformasi<br />

hukum dan kelembagaan, ketiga kepada<br />

pengadilan dan penghukuman, keempat<br />

kepada reparasi dan rehabilitasi dan kelirna<br />

kepada rekonsiliasi. Menarilorya apa<br />

dianggap isu paling penting oleh organisasi<br />

korban justru hanya menjadi prioritas keempat<br />

bagi organisasi masyarakat sipil<br />

seperti LSM dan organisasi agama. Namun,<br />

laporan ini tidak menjelaskan mengapa<br />

ada perbedaan ini, apakah ini merupakan<br />

pembagian tugas yang 'alami'<br />

atau menunjukkan kurangnya komunikasi<br />

tentang apa yang dianggap prioritas antara<br />

organisasi korban dan LSM serta lainnya.<br />

Yang cukuP mengejutkan adalah kenyataan<br />

bahwa baik organisasi korban<br />

maupun masyarakat sipil kurang memprioritaskan<br />

masalah rekonsifiasi' Sekalipun<br />

demikian kenyataan ini tergantung<br />

juga pada jenis pelanggaran dan sifat<br />

konflik. Misalnya di daerah-daerah seperti<br />

Kalimantan dimana kerap terjadi konflik<br />

horizontal antar masyarakat, upaya rekonsiliasi<br />

antara dua pihak yang bertikai<br />

memang merupakan prioritas organisasi<br />

korban. Sebaliknya penyelidikan atas<br />

kekerasan yang tedadi di masa lampau,<br />

misalnya peristiwa tahun 1965-66 di<br />

daerah tersebut (setidaknya secara de<br />

facto) kurang mmjadi prioritas. Namun, di<br />

beberapa daerah dimana tingkat kekerasan<br />

tahun 1965-66 antar warga cukup<br />

tinggi, misalnya di Jawa Tengah dan Jawa<br />

fimur, organisasi korban terlibat dalam<br />

inisiatif rekonsiliasi tingkat komunitas'<br />

Pada kasus-kasus dimana peran negara<br />

sebagai pelaku kekerasan terlihat jelas,<br />

kebanyakan organisasi korban dan masyarakat<br />

sipil menolak tawaran 'rekonsiliasi'<br />

oleh negara dan atau pelaku. Dari sisi<br />

pelaku,'rekonsiliasi' adalah pilihan transitional<br />

justice yang terbaik. Tetapi jika<br />

pilihan ini disalahgunakan dan salah<br />

interpretasi maka ini hanya memberi<br />

kesempatan pada pelaku untuk menghindari<br />

pengadilan dan memberi negara<br />

alasan unhrk 'nremaafl


e*<br />

I<br />

{<br />

r,a<br />

ttul<br />

kreatifnya inistiatif transitional justice<br />

yang dilakukan oleh organisasi korban.<br />

Reparasi dan Behabilitasi<br />

PP No. 3/2002 adalah satu-satunya<br />

instrumen hukum yang mengakui tanggungjawab<br />

negara atas korban pelanggaran<br />

IIAM. Berdasarkan Pasal 35(3) UU<br />

Pengadilan HAM 2612000, PP ini menetapkan<br />

tentang pemberian kompensasi<br />

dan pemulihan hanya pada perkara yang<br />

telah diputuskan di sidang pengadilan<br />

IIAM. Peraturan ini baru dilaksanakan<br />

untuk pertama kali pada tanggal 30 April<br />

<strong>2004</strong> dalam pengadilan ad hoc untuk<br />

Thnjrmg Priok. Saat menjatuhkan hukuman<br />

10 tahun penjara kepada )O( Butar Butar<br />

atas perannya dalam pembunuhan, hakim<br />

ketua menambahkan bahwa harus diberikan,<br />

"kompensasi untuk korban dan ahli<br />

waris yang ditentukan sesuai dengan<br />

ketentuan yahg berlaku. "<br />

Sebagaimana dengan rekonsiliasi,<br />

pemulihan juga berpotensi menjadi sumber<br />

konflik antar korban, misalnya di dalam<br />

kasus pelaku menawarkan rslah beserta<br />

kompensasi keuangan untuk'menyelesaikan'<br />

kasus yang bersangkutan. Kesulitan<br />

ekonomi (ditambah dengan rasa takut dan<br />

intirnidasi) menyebabkan beberapa korban<br />

bersedia menerima tawaran tersebut, tanpa<br />

ada proses pengungkapan kebenaran.<br />

Untuk mencegah keiadian ini, beberapa<br />

organisasi korban seperti Ikatan Keluarga Orang<br />

llila-ng Indonesia (IKOF{I), mengadakan<br />

kegiatan sosial ekonomi unfuk memberdayakan<br />

korban dan memperkuatkan posisi<br />

tawar-menawamya. Di tingkat lokal, beberapa<br />

organisasi korban yang bersi-fat informal<br />

atau sementara terbenfuk r.rnhrk menangani<br />

hal-hal diseputar masalah pemulihan ekonomi.<br />

Di Jawa Tengah misalnya, bekas<br />

anggota Persatuan Bwuh Minyak [PBM) yang<br />

dipecat pada tahun 1965-66 tarpa dibayar<br />

ganti rugi atau pensiun, memrntut haloya<br />

atas kompensasi dan pembayaran pensiun<br />

serta rehabilitasi nama bailoya. Organisasi<br />

guru juga pernah mengajukan tuntutan yang<br />

serupa kepada Kementrian Dalam Negeri,<br />

termasuk pengembalian tanah dan barang<br />

milikmereka.<br />

Tlauma-counselling adalah juga bidang<br />

kegiatan yang semakia menarik perhatian<br />

korban dan keluarganya, apalagi dengan<br />

rclatiI banyaloya kegiatan pengungkapan<br />

kebenaran yang dapat menimbulkan ingatan<br />

kembali korban atas kekerasan yang dialami.<br />

Menurut hasil pemetaan, banyak korban<br />

bahwa perternuan rutin yang bersifat<br />

informal sudah cukup membantu mengembalikan<br />

rasa percaya diri mereka dan<br />

membuatnya merasa tidak sendiri dalam<br />

menghadapi masalah. Semua organisasi<br />

korban yang ditemui mengadakan kegiataa<br />

yang serupa. Beberapa organisasi sepertj.<br />

Komnas Perempuan dan LBH-Apik bekerjasama<br />

dengan organisasi korban menawarkan<br />

trauma counselling, terutama untul<<br />

anak danperempuan.<br />

Di Aceh, walau dengan tegas menolak<br />

tawaran islah, SPKP-IIAM cukup berhasil<br />

mendorong pemerintah propinsi untuk<br />

memberikan bantuan keuangan sebagai<br />

dukungan atas kegiatan rehabilitasi masyarakat<br />

melalui Dinas Sosial. Namun<br />

begitu, SPKP-HAM dan organisasi lain<br />

prihatin pada para petugas korup yang<br />

telah menyalahgunakan dana yang ditunjukkan<br />

untuk rehabilitasi fisik dan<br />

mental maupun dana bantuan kemanusraan<br />

secara umum.<br />

Pengungkapan Kebenaran<br />

Saiah satu contoh inisiatif pengungkapan<br />

kebenaran adalah penulisan riwayat<br />

hidup yang dilal


I<br />

I<br />

:i<br />

t,<br />

kompensasi dan ongkos medis kepada<br />

korban. Militer malah terima keputusan ini<br />

dan bayar uang yang ditentul


ariib-r<br />

f<br />

I<br />

an kolaboratif, misalnya memberi dukungan<br />

pada organisasi petani dalam perjuangan<br />

merebut kembali tanah yang<br />

dirampas pada tahun 1965-66' IKOHI' baik<br />

di tingkat nasional mauirun lokal' bekerja<br />

keras membangun kerjasama dengan berbagai<br />

organisasi untuk menempatkan<br />

penyelesaian pelanggaran IIAM masa lalu<br />

dalam agenda reformasi.<br />

Beberapa Ketegangan Antar<br />

Organisasi<br />

Selain perbedaan antara organisasi tingkat<br />

lokal dan nasional; antara organisasi<br />

korban dan yang merasa menjadi bagian<br />

dari gerakan lebih h.ras, misalnya reformasi<br />

agraria atau peduangan buruh, ditemui<br />

juga ketegangan antara organisasi yang<br />

oleh rejim Orde Baru dicap sebagai ekstrim<br />

kiri dan ekstrim kanan. 'Hantu' komwrisme<br />

begitu mudah diangkat unhrk mendislioeditkan<br />

organisasi'65 karena memang<br />

sudah ada cap-cap yang bersifat institttsiona1.<br />

Akibatnya kegiatan mereka mudah<br />

dicurigai organisasi Islam. Tinggiaya aktivitas<br />

anti-komunis oleh kelompok Islam di<br />

daerah seperti Solo juga membuat organisasi<br />

korban 1965-66 bersikap waspada<br />

terhadap organisasi Islam.<br />

Ideologi agama dan politik menjadi salah<br />

satu sebab cukup mendasar mengapa<br />

identitas Iebih luas sebagai korban pelanggaran<br />

IIAM negara tidak berhasil menyahrkan<br />

organisasi korban dan berbagai latar<br />

belakangnya. Kondisi ini menghalangi<br />

organisasi tersebut untuk membangun<br />

kerja bersama dan memfokuskan pada<br />

kesamaan daripada perbedaan, misalaya<br />

dengan melihat pola dan sistematisnya<br />

pelanggaran sendiri. Tidak mengherankan<br />

bila, terutama di tingkat lokal, organisasi<br />

korban dibentuk darr bekerja berdasarkan<br />

kasus daripada identitas korban dalam<br />

pengertian luas. Namun demikian, di<br />

tingkat nasional ada kebutuhan untuk<br />

mengembangkan pendekatan yang lebih<br />

analitis, dan ini hanya akan muncul bila<br />

kerjasama dan kolaborasi antara organisasi<br />

korban yang berbeda semakin<br />

meningkat. Dalam hal ini, kecenderungan<br />

LSM bekerja berdasarkan kasrx dan mengembangkan<br />

programnya menurut prioritas<br />

yang ditentukan oleh para donor<br />

secara tidak sengaja telah menghalangi<br />

terbangunnya jaringan luas dan koalisi<br />

antara berbagai organisasi korban, khususnya<br />

meleka yang memfokuskan diri pada<br />

pelanggaran HAM masa IaIu, misalnya<br />

Tbrrjung hiok, Lampung, 1965, selain kasus<br />

dimana ada konflik laten antara p€lrguasa<br />

dan rakyat, misalnya Aceh dan Papua.<br />

Selain itu ada juga ketegangan kalena<br />

vokalitas beberapa organisasi korban'<br />

Yang paling nampak di sini adalah ketegangan<br />

antara organisasi'65 dan organisasi<br />

korban di luar peristiwa'65.<br />

Sebagian besar anggota organisasi'65<br />

adalah orang yang sudah memiliki pengalaman<br />

politik, yang sudah cukup"lancar'<br />

membahas masalah politik dan memiliki<br />

vl<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 20M<br />

kesadaran politik. Sedangkan organisasi<br />

lain bisa dianggap sebagai korban 32<br />

tahun proyek depolitisasi rejim Soeharto<br />

(kebijakan massa mengarnbang)' Organisasi<br />

seperti IKOHI pun yang mewakili<br />

keluarga mahasiswa dan aktivis politik<br />

harus menghadapi tantangan cukup besar<br />

karena belum terrtu keluarga orang hilang<br />

juga ikut berpolitik atau sudah bersifat<br />

politis. Masalah pemberdayaan korban<br />

merupakan soal mendasar organisasi<br />

korban, mulai dari pemberdayaan ekonomi<br />

(sesuatu yang mungkin bisa mencegal<br />

korban menerima tawaran islah,<br />

yaitu kompensasi tanpa pengungkapan<br />

kebenaran) hingga rehabilitasi sosial yang<br />

dapat melawan stigma dan dislaiminasi<br />

terhadap korban dan keluarga korban.<br />

Selain itu juga adalah pemberdayaan<br />

politik yang, antara lain, dapat membantu<br />

organisasi korban untuk berhadapan<br />

dalarn posisi yang lebih setara.<br />

Mencari Identitas Politik<br />

Memang ada satu pertanyaan menarik<br />

tentang idmtitas orEanisasi korban di Indonesia.<br />

Sejauh mana identitas politik<br />

organisasi korban dapat berkembang<br />

menjadi gerakan politik sejati. Harus<br />

diakui bahwa konsep organisasi buruh,<br />

masyarakat adat atau petani sebagai<br />

gerakair politik tidak asing bagi rakyat<br />

Indonesia. Ada banyak contoh tentang<br />

gerakan br:ruh dan petani di dunia ini<br />

yang berhasil menjadi sebuah gerakan<br />

politik yang berpengaruh. Apakah ini<br />

tedadi karena orgarrisasi tersebut mewakili<br />

sektor-sektor ekonomi yang<br />

penting? Tbtapi gerakan masyarakat adat<br />

juga sudah berhasil menjadikan dirinya<br />

sebagai sumber kekuatan politik. Lantas<br />

mengapa gerakan korban tidak? Sebaigaimana<br />

aktivis buruh menjadi bagian dari<br />

gerakan perjuangan buruh yang lebih luas,<br />

dan petani menjadi bagian dari gerakan<br />

luas reformasi agraria, kenapa organisasi<br />

korban tidak b'i,sa menjadi bagian dari<br />

gerakan luas hak asasi mamxia- bail< hak<br />

ekonomi, sosial dan budaya maupun hak<br />

sipil politik?<br />

Tbntu ada beberapa tantangan' Aktivis<br />

buruh relatil mudah berorganisasi karena<br />

anggotanya sering bertemu secara rutin di<br />

tempat yang sama, rnisalnya di pabrik.<br />

Jika ini alasannya, gerakan masyarakat<br />

adat misalnya ternyata berhasil menghadapi<br />

berbagai tantangan seperti perbedaan<br />

budaya, bahasa, agama dan daerah<br />

geografis yang terpencar dan terisolir satu<br />

sama lain serta sulit untuk dikunjungi.<br />

Upaya gerakan ini mungkin bisa menjadi<br />

contoh bagi organisasi korban untuk menjadi<br />

kekuatan politik yang berpengaruh.<br />

Tbtapi tantangannya tidak sekedar rnembargpn<br />

jaringan yang luas dan mengatasi<br />

perbedaan ideologis. Mungkin yang lebih<br />

mendasar Iagi adalah bagaimana berkumpul<br />

bersama mengembangkan sebuah<br />

identitas organisasi korban sebagai kekuatan<br />

politik. Sudah tentu ada cap yang<br />

melekat ketika seseorang menjadi 'korban'.<br />

Tetapi petani dan masyarakat adat juga<br />

menghadapi tantangan ini- bayangan<br />

tentang petani yang 'kampungan dan<br />

kurang berpendidikan' atau masyarakat<br />

adat yang'ketinggalan zaman dan kurang<br />

juga menjadi tantansan b"ci<br />

f#::'<br />

Mungkin salah satu O<br />

PertanYaannYa<br />

adalah apakah organisasi korban cukup<br />

'berbasis massa' dibandingkan misalnya<br />

dengan gerakan buruh atau kaum miskin<br />

kota. Jumlah korban 1965-66 sendiri<br />

sebenarnya sudah sangat besar. Di samping<br />

itu masih banyak orang lain yang telah<br />

ditindas oleh rejim Orde Baru: serikat<br />

buruh, organisasi petani, kelompok Islam,<br />

aktivis HAM, mahasiswa dan Pemuda,<br />

kalangan intelektual lcitis, perempuan dan<br />

anak-anak. Seperti dikutip seorang aktMs<br />

dalam fhe Strugg e for Ttuth and Jttstice,<br />

"tidak ada orang Indonesia yang tidak<br />

memiliki saudara, teman atau kenalan<br />

yang tidak menjadi korban kekuasaan<br />

rejim." Jadi kalau soal perlindungan dan<br />

penegakkan HAM adalah kepentingan<br />

setiap orang manusia di dunia ini, berarti<br />

organisi korban punya kesempatan besar<br />

untuk menjadikan dirinya'vanguard'<br />

(spearhead) gerakan massa yang paling<br />

besar! Memang barus diakui bahwa kelima


I<br />

,<br />

I I<br />

'rf<br />

elemen transitional justice sangat mendasar<br />

da-lam upaya mencegah pelanggaran<br />

IIAM.<br />

Potensi organisasi korban sebagai sumber<br />

kekuatan politik terbukti sangat jelas<br />

dari usaha-usaha negElra dan juga pelaku<br />

pelanggaran HAM untuk mempolitisir<br />

identitas korban dan memanfaatkal organisasi<br />

korban sebagai alat legitimasi. Pendekatan<br />

islah dipakai oleh pelaku pada<br />

korban yang kebanyakan Muslim, misalnya<br />

Thnjung Priok dan Lampung. Dengan<br />

memanfaatkan kondisi ekonomi korban<br />

yang lemah, para peLaku dalam beberapa<br />

kasus tidak hanya berhasil 'menyelesaikan'<br />

kasus pelanggaran IIAM, tetapi lebih penting<br />

lagi berhasil memperoleh legitimasi<br />

bagi posisi politilcrya (kalau korban sendiri<br />

menerima penyelesaian di luar sistem<br />

pengadilan, tanpa pengungkapan kebenaran,<br />

tanpa akuntabilitas negara,'unfuk<br />

apa memperhatikan keluhan dan tuntutan<br />

para aktivis IIAM... di mana )egitimitasi<br />

mereka... di Geneva, New York?Demikian<br />

logika para pelaku). Dengan memecah kelompok<br />

korban, para pelaku juga berusaha<br />

untuk de-Iegitimasi sikap para korban<br />

yang menuntut keadilan dan akuntabilitas.<br />

Contoh yang lebih khrxus adalah upaya<br />

Prabowo Subianto baru-baru ini untuk<br />

memperoleh legitimasi bagi kampanye<br />

calon presiden. Ia menyatakan bahwa<br />

kasus penculikan sudah selesai dan malah<br />

aktivis yang diculik kini mendukung dia.<br />

Kalau tujuan Prabowo adalah sekedar<br />

meyakinkan publik bahwa dia tidak bersalah,<br />

mungkin cukup bagi dia'untuk<br />

mengingatkan publik bahwa dia tidak<br />

pernah dituntut di tingkat pengadilan.<br />

Tbtapi tujuan Prabowo tidak hanya sekedar<br />

membela statusnya sebagai bukan<br />

pelaku pelanggaran IIAM, tapi dia juga<br />

mencoba mencari restu yang lebih luas<br />

dengan memanfaatkan legitimasi yang<br />

terletak pada korban. LSM dan aktivis<br />

mahasiswa pun -tanpa bermaksud mempertanyakan<br />

motifnya- juga memahami<br />

legitimasi yang akan didapat dalam<br />

kampanye-kampanyenya kalau bisa berbagi<br />

platform yang sama dengaa korban.<br />

Tetapi bagaimana dengan organisasi<br />

korban itu sendiri? Apakah ada potensi<br />

organisasi korban di Indonesia untuk<br />

mengembangkan sebuah identitas politik<br />

dan menjadi ormas, sebuah gerakan yarrg<br />

punya kekuatan politik yang tidak bisa<br />

diabaikan? Apakah korban punya potensi<br />

besar -suatu peran historis- untuk mempengaruhi<br />

dan mengarahkan transisi politik?<br />

Tentu salah satu hal yang harus<br />

diatasi adalah perbedaan ideologis antara<br />

organisasi korban serta membangun jaringan<br />

yang kuat dan representatif. Tidak<br />

kalah penting, mereka juga perlu berbagi<br />

pengalaman untuk mewujudkan sebuah<br />

pendekatan sistematis unhrk menganalisis<br />

pola pelanggaran dan meningkatkan kesadaran<br />

tentang sifat sistematiq pelanggaran<br />

IIAM Orde Baru. Tbtapi berbagi data<br />

antar organisasi korban punya implikasi<br />

lebih serir.rs dibandingkan dengan<br />

kalau berbagi data di antara komunitas<br />

masyarakat adat. Misalnya untuk kasus<br />

peristiwa '65, berbagi data antara organisasi<br />

Islam dan organisasi korban yang dituduh<br />

PKI punya potensi untuk mengembalikan<br />

permr.xuhan lama dan trauma.<br />

t<br />

Kesempatan<br />

Tantangan yang harus dihadapi organisasi<br />

korban sungguh besar, bebannya<br />

berat. Namun tetap harus diakui bahwa<br />

organisasi korban adalah yang paling berpotensi<br />

untuk memastikan akuntabilitas<br />

negara atas pelanggaran HAM masa lalu'<br />

IKOHI menyarankan dibuatnya suatu<br />

lokakarya bersama untuk mempelajari<br />

mekanisme dan instrumen international<br />

yang bisa dipakai korban dan melakukan<br />

perbandingan perspektif antar organisasi<br />

korban serta inisiatif transitional iustice di<br />

negara lain. Forum seperti ini bisa dianggap<br />

cukup 'netral' dan berguna bagi<br />

korban serta bisa menjadi kesempatan<br />

untuk mengembangkan sebuah gerakan<br />

korban yang dapat menjawab kondisi<br />

nyata Indonesia. Mungkin dengan adanya<br />

beberapa pertemuan tertutup (yaitu untuk<br />

korban saja, bukan untuk publik) yang<br />

difokuskan kepada pencarian kesamaan<br />

pengalaman korban, menemukan Pola<br />

sistematis pelanggaran, dan bukan perbedaan,<br />

kesadaran politik organisasi<br />

korban dan identitas politik korban dapat<br />

diwujudkan dan djkonsolid.asi. Tentu saja<br />

I^SM dan organisasi masyarakat yang lain<br />

juga harus mendukung dan memfasilitasi<br />

jaringan organisasi korban, terutama<br />

dengan memperhatikan prioritas organisasi<br />

korban sendiri (dan bukan prioritas<br />

para donatur). Pada donatur juga harus<br />

diminta menerima tantangan untuk memberikan<br />

bantuan yang ikhlas dan relevan<br />

bagi organisasi korban di Indonesia. Karena<br />

penyelesaian pelanggaran IIAM masa<br />

lalu tidak hanya penting bagi korban<br />

sendiri, melainkan bagi bangsa dan negara<br />

secara keselumhan.<br />

Hubungan strategis dengan organisasi<br />

dan gerakan lain juga sangat penting,<br />

mulai dari para akademisi dan mahasiswa<br />

sampai ke golongan tersingkir lain seperti<br />

masyarakat adat, per.empuan, miskin kota,<br />

petani dan lain sebagainya. Jaringan seperti<br />

ini akan amat belguna untuk memperluas<br />

basis gerakan, untuk meringankan<br />

beban, untuk menyebarluaskan penthgnya<br />

inisiatif transitional justice dan juga<br />

untuk eksplorasi sifat sistematis pelanggaran<br />

IIAM di bawah Orde Baru secara<br />

mendalam dan unhrk mengkaji hubungan<br />

antara ketidakadilan dan kekerasan. Nama<br />

bekas dictator ChiLe, Jendral Pinochet' sudah<br />

dianggap sinonim dengan pelanggran<br />

IIAM terburuk, dan memang pantas nama<br />

jeleknya diketahui oleh seluruh dunia.<br />

Namanya sendiri membuat orang merasa<br />

ngeri. Tbtapi berdasarkan perkiraan paling<br />

konservatif, bekas diktator Indonesia<br />

Jendral Soeharto bertanggun$awab r:ntuk<br />

sedikitnya 100 kali jumlah orang yang<br />

dibunuh di bawah rejim Pinochet. Kalau<br />

begitu, kenapa nama Soeharto belum berhasil<br />

membangkitkan kemarahan dunia?<br />

Sudahkah tiba saatnya? Kalau belum,<br />

berarti tetap akan ada ke mungkilan pelanggaran<br />

yang dilakukan dibawah rejim<br />

Orde Baru terulang di masa datang. I<br />

t Hilmar Farid and Rikardo Sirnamata,<br />

"The StruggJe for Ttuth and hstice: A Srney of<br />

Tlnsitioml Justice Initiatives Through out Indonesia,"<br />

Intemational Center for Tlansitional<br />

Justice (ICTJ) Occasional Paper Series January<br />

<strong>2004</strong>. Pemetaan ini diselenggarakan oleh<br />

ICTJ bekerjasama dengan orang-orang dari<br />

kalangan aktivis HAM antara tahun 2002-<br />

2003. Versi bahasa Inggris terdapat di"<br />

www.ictj.org Edisi Indonesia akan diterbitkan<br />

oleh <strong>Elsam</strong> pada <strong>Juni</strong> <strong>2004</strong> mendatang<br />

Untuk mendapatkan buku ini hubugi <strong>Elsam</strong><br />

2D v<br />

'' balam diskusi IIAM dengan beberapa anggota<br />

Yayasan Sintesa, sebuah LSM yang berkerja<br />

dalam bidang re{ormasi agraria yang rnemberi<br />

dukungan kepada Serikat Petanis Sumatra<br />

Utara, Medan, pada September 2000, M Harris<br />

Putra mengatakan bahwa, "kami tidak<br />

tertarik dengan masalah HAM, IIAM tidak<br />

penting bagi kar4i " Pemyataan ini mungkin<br />

mencerminkan kecenderungan mengidentikan<br />

IIAM dengan Hak Sipil Politik 'saja' dan<br />

persqrsi umum bahwa mekanisme IIAM tidak<br />

begitu efektif untuk mengembalikan hak<br />

korban, misalnya dalam bmtuk pengembalian<br />

tanah. Diskusi di kantor Sintesa dengan<br />

'reresa lJlrKs<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 2oo4ASASi vii


I<br />

lu<br />

?<br />

.ll-.'t,J<br />

.*<br />

19<br />

!<br />

l II<br />

i<br />

Putusan MK:<br />

Upaya Mengembalikan Hukum<br />

untuk Keadilan<br />

F<br />

I<br />

ngembalikan hak konstitrcional anggota PKI<br />

dan orang-orang yang selama ini disangka<br />

sebagai anggota PKI setelah selama hampir 38<br />

tahun terdiskriminasi dan kehilangan hak<br />

politilmya.<br />

Putusan ini merupakan putusan atas judicial<br />

review terhadap ketentuan pasal 60 humf g UU<br />

pemilu yang melarang orang-orang yang diidentifikasi<br />

sebagai anggota atau berkaitan<br />

dengan PKI rmtuk menggr:nakan haloya ruttuk<br />

dipilih sebagai caleg. Judicial review ini sendiri<br />

diajukan oleh PmI. Dr. Deliar Noe4 dkk serta<br />

Serrarm Utomo, ketua DPP LPR KROB.<br />

Putusan irf segera merrimbulkan reaksi pro<br />

dan kontra yang luas dari masyarakat' Dua<br />

organisasi Islam besar seperti NU buru-buru<br />

menyambut putusan mahkamah konstitusi ini<br />

secara positif, sementara Muhammadiyah<br />

melalui Syafii Maarif meminta semua pihak<br />

menghormati keputusan Mahkamah konstitui<br />

sembari menegaskan untuk tidak perlu memberi<br />

ruang pada ketakutan akan kebangkital ajaran<br />

komrmisme ( kompas 2612/<strong>2004</strong>). Namun, pada<br />

saat bersamaan, reaksi negatif juga mrmcul dari<br />

berbagai kelompok, seperti TNI yang segera<br />

mengingatkan rmtuk melihat kembali catatancatatan<br />

perrgkhianatan partai bersimbol palu arit<br />

itu dimasa lalu. HaI senada muncu] dari salah<br />

seorang anggota fraksi TNI Polri yang melihat<br />

putusan itu sebagai putusan yang cukup meng-<br />

Iifiawatirkan (kompas 26 /2 / <strong>2004</strong>).<br />

Berbagai reaksi ini jelas rreuunjuk pada<br />

kompleksitas persoalan pemulihan hak para<br />

korban pelanggaran ham masa lalu, khususnya<br />

mereka yang mengalami kekerasan dan diskriminasi<br />

karena dikaitkan dengan berbagai<br />

organisasi terlarang termasuk PKI. Selain<br />

menunjuk pada berbagai kemungkinan perubahan,<br />

putusan ini jelas menunjukkan pula<br />

sebagiaa lain kelompok yang merniliki resistensi<br />

yang tinggi. Dengan demikian upaya membongkar<br />

kembali dan raernulihkan hak para<br />

korban masih membutuhkan kerja keras dan<br />

panJang-<br />

Putusan MK: Upaya Mengembalikan<br />

Hukun sebagai Sarana Keadilan<br />

Selama ini dafam perjuangan pemulihan hak<br />

korban, hukum dan perangkat penegakannya<br />

harnpir tidak pernah diperhitungkan. Hal ini<br />

sangat muDgkin karena sampai saat ini hukum<br />

Iebih sering gagal menghadirkan keadilan bagi<br />

korban dan penegalan demolcasi dan ham. lbk<br />

hanya berhenti disitu, dalam banyak kasus<br />

hukum jushu meujadi sarana unhrk melegalkan<br />

berbagai tirldakan kekerasan. Catatan panjang<br />

atas ini dapat din:nut bahkan sejak paruh 60-an<br />

dan masih lekat dalam ingatan banyak orang.<br />

Namun dalam masa paska reformasi pun,<br />

berbagai ketentuan dan produk hukum tidak<br />

mengalami perubahen. Sebagai coDtoh, peristiwa<br />

2? Juli yang mer€nggut ratusan nyawa, di<br />

proses di depan pengadilan koneksitas hanya<br />

sebagai perkara perusak.n atas barang milik.<br />

Bahkan banyak pejabat yang menghadapi<br />

tudingan pelaDggaran ham d^. kejahatan justru<br />

memanfaatkan hukum untuk sebagai sarana<br />

mengamankaa diri. lbk berhenti di situ, dalam<br />

kasus konflik pertanahan di Jawa Barat dan<br />

Wonosobo, jushu petani dan aktivis pendamping<br />

petani mengalami laiminalisasi karena al


oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan<br />

ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.<br />

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan<br />

kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau<br />

pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,<br />

pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan,<br />

atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.<br />

Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan<br />

semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau<br />

hak-hak lain.<br />

Definisi Korban<br />

Adapun korban dijelaskan sebagai orang perseorangzln<br />

atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik<br />

fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau<br />

mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan<br />

hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli<br />

wansnya.<br />

Dalam draft Basic hinciples and Guidelines on the Right<br />

to Reparation tor Victims of Gross Violations oI Human<br />

Rights and Humanitarian Lav/' pengertian korban Iebih<br />

luas. Korban adalah mereka yang mengalami pelanggaraan<br />

norma-norma hukum HAM atau hukum humaniter<br />

internasional, korban tersebut, baik perorangan maupun<br />

kolektif, menderita, baik fuik maupun mental, penderitaan<br />

emosional, kerugian ekonomi, atau kehilangan hak-hak<br />

hukumnya yang mendasar. Korban juga bisa mertrpakan orang<br />

yang bergantung pada korban langsung atau anggota<br />

keluarga dekat korban atau orang serumahkorbanlangsung<br />

tersebut, demikian juga masuk dalam kategori korban adalah<br />

orang yang mendampingi korban langsung atau orang<br />

yang mencegah terjadinya pelanggaran IIAM lebih lanjut<br />

terhadap korban, yang ikut menderita secara fisik, mental<br />

atau ekonomi(Pasat 8). Pengertian tentang korban ini lebih<br />

Iuas daripada pengertian korban dalam Peraturan Pemerintah<br />

Republik Indonesia Nomor 3 llahun 2002.<br />

Dalam pasal 18, Declaration of Basic kinciples of Justice<br />

for Victims of Crime and Abuse of Power, korban mirip dengan<br />

pengertian yang digunakan dalam draft Basic Principles<br />

and Guidelines on the RigJtt to Reparation for Victims<br />

oI Gross Violations of Human Rights and Humanitarian<br />

Lar,r/'. Yalsri: "Victims means persons who, individually or<br />

collectively, have suffered harm, including physical or mental<br />

injury, emotional su.ffering, economic loss or substantial<br />

impairment of their fundamental rights, through acts or<br />

omissions that do not yet constitute violations of national<br />

criminal laws but of intemationally recognised norms relating<br />

to human rights".<br />

Dalam Basjc Principles and Guidelines ini juga mengatur<br />

bagaimana para korban harus diperlakukan. "Korban<br />

harus ditangani oleh negara, dan di mana perlu, ditangani<br />

oleh antar pemerintah, organisasi non pemerintah dan<br />

lembaga-lembaga swasta lainnya dengan menghormati<br />

martabat dan hak asasinya, serta dijaga keleselamatan dan<br />

privacykorbnn dan keluarganya" (Pasal 10).<br />

Prinsip umum hak reparasi adalah dalam setiap pelanggaran<br />

IIAM otomatis akan memunculkan hak mendapatkan<br />

reparasi dari para korban, yang berimplikasi pada<br />

tugas negara untuk menyediakan infrastruktur reparasi.<br />

Hak reparasi harus juga meliputi semua penderitaan<br />

korban; termasuk hak-hak individu menyaagkut hak untuk<br />

mendapatkan restitusi, kompersasi, rehabilitasi, pemuasan<br />

dan jaminan pelanggaran IIAM serupa tidak akan terulang<br />

lagi pada para korban.<br />

Pemuasan(s atisfaction)tidak merujuk pada kerugian<br />

atau penderitaan yang dialami korban. Bentuk utama<br />

pemuasan adalah verifikasi fakta-fal


sion on Human Rights, Argentina pada 1991 memberin<br />

kompensasi bagi korban pelanggaran hak HAM,<br />

nya pada kasus-kasus penghilangan orang. Komisi<br />

pemerintah Argentina yang menangani pembayaran<br />

f;ta""%tJflChirimendirikanNationalCorporationf or<br />

klaim karena luka berat atau mati; Tipe C klaim untuk ka- Reparation and Rehabilitation atas mandat Chilean Tluth<br />

mmission's. Pada 199?, Australia, pemerintah menertkan<br />

laporan berjudul "National Inquiry into the Separaof<br />

Aboriginal and Torres Strait Islander Children from<br />

eir Families", YaDB merekomendasikan pembayaran<br />

mpensasr.<br />

JuIi2001,sekitar2,6 jutaklaimditerimakomisiiniuntuk Di Mesir antara Januari 1993 hingga September 1998,<br />

diproses. Sebagianbesar klaim sudah diproses dan meng- ge1qa,fifnmemberikankompensasiantaraUS$l50hingga<br />

habiskan dana sebesar US$35,4 miliariementara the 10 US$15.000 dalam 648 kasus. Salah satunya, sebesar<br />

ribu klaim lainnya menuntut kompensasi sebesar US$ 200 US$1.500 diberikan kepada Assim Yusuf Isma'il, seorang<br />

miliar.<br />

wa.rga negara Mesir yang ditahan dari 6 JuIi hingga 23 Noer<br />

1995 tanpa prcses pengadilan. Selama penahanan itu<br />

'il mengalami perlakuan yang tidak manusiawi, ditelandi<br />

bagian kelaminnya oleh State<br />

s Department (SSI), semacam<br />

Q<br />

bag para korban akibat pendudukan sebuah wilayah oleh Di Amerika Serikat, warga negara asing bisa digugat oleh<br />

,r"!"ouit aitempat-tempatlain.<br />

warga negara asing juga untuk membayar kompensasi<br />

Fengalaman UNCC ini menarik karena menangani al ibat pelanggaran HAM yang dilakukan tergugat di<br />

kompeirsasi dalam skala besar bukanlah hal yang mudah, negaranya. Misalnya pada oktober 2001, Pengadilan Feda1<br />

Distrik NewYork memutuskan bahwa Presiden Robert<br />

abe dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai Zimwe<br />

African 5a1i61rlist Union-Patriotic Fbont (ZANU-<br />

) diharuskan membayar kompensasi terhadap para<br />

rban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para<br />

peran Komisi Kebenaran yang sudah dibenhrk disejum- anggota partai tersebut. Demikian juga gugatan serupa<br />

lahnegerasepertiA.frikaSelatan(SouthAfricanTruthand terhadap mantan Presiden Marcos dan Letjen Johny<br />

Reconciliation Commission/TRC), juga akan menangani Lumintang untuk kasr:s Timor Timur. Lumintang digugat<br />

reparasi secara telcris<br />

-<br />

membayar kompensasi sebesar US$ 150 ribu untuk seorang<br />

TRC membentuk The Reparation and Rehabititation penggugat asal Timor Timur yang mewakili keluarganya.<br />

Committee (RRC). RRC kemudian menyusun kebijakan Lumintang digugat di pengadilan distrik Columbia unreparasi<br />

dan rehabilitasi yang tendiri dari Lima komponen: tuk komplain penggugat yang namanya dirahasiakan atas<br />

ia) secepatnya melakr:kan pembayaran reparasi kepada summary execution, penyiksaan, perlakukan kejam,<br />

para korban yang membutuhkan<br />

(b) untuk gantirugi reparasi perseorangan bagi masingmasing<br />

korban pelanggaranllAM berat dibayar sete- I<br />

fr<br />

lah periode enam tahun; b vl<br />

(c)<br />

dministrasif;<br />

(d) ;dan<br />

VictimPro-<br />

(e)<br />

an PrinsiP-<br />

Sumber dana unhrk kompensasi di A.foika Selatan berasal p<br />

di AS' The<br />

dari anggaran belanja naslonal, donasi internasional dan Torture Victim Protection Act memberi jurisdiksi r'rntuk<br />

Iokal, dil donasi-donasi lainnya. Laporan TB,C menyatakan perbuatan penyiksaan (torture) dan summa4r execution.<br />

meretamerekomendasi22.00tikorbanyangharusmenerima The Alien Tort Claims Act memberi yurisdiksi pada<br />

kompensasi masing-masing sebesar antara ZAR 1?.000 dan<br />

langgar<br />

ZAR 23.000 (US$ 1,6?8-2,270), jadi total sebesar ZAF" 2,8<br />

miliar (US$ 0,28 miliar) selama enamtahun. Jumlalurya nilai<br />

engan<br />

,r"rtgny"*".n"ogtidakterlalubanyak.<br />

internasional, United Nations Char-<br />

Declaration of Human Rights, (19a8);<br />

oI bebarapa tr"gat" lainnya, peraturan hukum tentang<br />

hak untuk menda:patkan reparisi juga dibuat misalaya: ant on Civil and Political Rights, (1966);<br />

Brazil pada 19<br />

Komisi Reparasi<br />

of the united<br />

lumbia, huium<br />

135 anggota pas<br />

p"-".n;t.h.tt *ltit"t Brazil. Hungaria juga mendirikan<br />

HAM melalui<br />

i.Iational Damage Claims Settlemmt Office pada 1991 un- pengadilan seperti ini juga merupakan alternatif lain dari<br />

tuk memberikan kompensasi atas tindakan di luar hukum perwujudan hak atas reparasi. Namun tentu saja asum-<br />

sinya, pengadilan independen dan memiliki yurisdiksi<br />

oleh negara di masa IaIu.<br />

Meng-adopsi prosedur reparasi dari Inter-American Com- te adap kasus yang ditangaair<br />

InAwAN sAproNo<br />

12 Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 2oo4


ELEMEN-ELEMEN KUNCI<br />

DALAM DRAFT<br />

"Basic Principles and Guldellnes on<br />

the Bight to Reparatlon for Victims<br />

of Gross Vlolations of Human Blghts<br />

and Humanltarlan Lavl'<br />

KOVENAN-KOVENAN I NTERNASIONAL<br />

YANG MEMUAT HAK REPARASI tngtt toBeparation)<br />

Defisisi korban dan hak-hak korban;<br />

Perlakuan terhadao korban; Hak korban<br />

mendapatkan remedy (usadal dan akses<br />

terhadap keadilan;<br />

r Hak memoeroleh reoarasi dan bentukbentuk<br />

reoarasi:<br />

Asas nondiskriminasi di antara roroan,<br />

r Kewajiban negara untuk menghormati<br />

dan menegakkan hukum HAM dan hukum<br />

humaniter international;<br />

r Cakupan kewajiban negara seperti pencegahan,<br />

investigasi, penghukuman, remeoy,<br />

oan reparasr;<br />

r Bekerjasama dengan negara-negara pihak<br />

dalam hal penyesuaian hukum-hukum<br />

nasional untuk menerima yurisdiksi internasional<br />

bagi kejahatan HAM berat di<br />

bawah hukum internasional (ekstradisi.<br />

asistensi yuridis,dan sistensi dan proteksi<br />

untuk korban dan saki mata):<br />

r Akses publik akan informasi<br />

Pasal 75,<br />

Stauta Roma The Rome Statute of the International<br />

Criminal Court (1998)<br />

1. The Court shall establish principles r elating<br />

to reparations to, or in respect of, victims, including<br />

restitution, compensation and rehabilitation.<br />

On this basis. in its decision the<br />

Court may, either upon request or on its own<br />

motion in exceptional circumstances, determine<br />

the scope and extent of any damage,<br />

loss and injury to, or in respect of, victims and<br />

will state the principles on which it is acting.<br />

2 The Court may make an or der directly<br />

against a convicted person specifying appropriate<br />

reparations to, or in respect of, victims,<br />

including restitution, compensation and rehabilitation<br />

Where appropriate, the Court<br />

may order that the award for reparations be<br />

made through the Trust Fund provided for in<br />

article 79.<br />

3 Befor e making an order under this article,<br />

the Court may invite and shall take account<br />

of reoresentations from or on behalf of the<br />

convicted person, victims, other interested<br />

oersons or interested States.<br />

Pasal 2 (3),<br />

lnternational Covenant on Civil and Political<br />

Rights, yang mewajibkan negara-negara<br />

pihak menjalankan hal-hals ebagai berikut:<br />

(a) To ensure that any person whose rights or<br />

freedoms as herein recognised are violated<br />

shall have an effective remedy, notwithstanding<br />

that the violation has been commatted<br />

by persons acting in an official capacity;<br />

(b) To ensure that any person claiming such a<br />

remedy shall have his right thereto determined<br />

by competent judicial, administrative<br />

or legislative authorities, or by any other<br />

competent authority provided for by the legal<br />

system of the State, and to develop the<br />

possibilities of judicial remedy;<br />

(a) To ensure that the competent authorities<br />

shall enforce such remedies when qranted<br />

Pasal 9 (5)<br />

Anyone who has been the victim of unlaMul<br />

arrest or detention shall have an enforceable<br />

right to compensation.<br />

Pasal | 3,<br />

Convention against Torture and other Cruel,<br />

Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment<br />

Each State Party shall ensure that any individual<br />

who alleges that he has been subjected<br />

to torture in any territory under its jurisdiction<br />

has the right to complain to, and to have his<br />

case promptly and impartially examined by, its<br />

competent authorities. Steps shall be taken to<br />

ensure that the complainant and witnesses are<br />

protected against all ill-treatment or intimidation<br />

as a consequence of his complaint or any<br />

evidence given.<br />

Pasal I 4<br />

Each State Party shall ensure in its legal system<br />

that the victim of an act of torture obtains<br />

redress and has an enforceable right to fair and<br />

adequate compensation, including the means<br />

for as full rehabilitation as possible In the event<br />

of the death of the victim as a result of an act of<br />

torture, his dependants shall be entitled to<br />

compensation.<br />

Pasal 6,<br />

lnternational Convention on the Elimination<br />

of All Forms of Racial Discrimination States Parties<br />

shall assure to everyone within their lurisdiction<br />

effective protection and remedies, through<br />

the comoetent national tribunals and other<br />

State institutions, against any acts of racial discrimination<br />

which violate his human rights and<br />

fundamental freedoms contrary to this Convention,<br />

as well as the right to seek from such tribunals<br />

just and adequate rcparation or satisfaction<br />

for any damage suffered as a result of such<br />

discrimination.<br />

Pasal 39,<br />

The Convention on the Rights of the Child<br />

States Parties shall take all appropriate measures<br />

to promote physical and psychological recovery<br />

and social reintegration of a child victim<br />

of: any form of neglect, exploitation, or abuse;<br />

torture or any other form of cruel, inhuman or<br />

degrading treatment or punishment; or armed<br />

conflics. Such recovery and reintegration shall<br />

take olace in an environment which fosters the<br />

health, peer-respect and dignity of the child<br />

Pasal | 9,<br />

Declaration of Basic Princioles of .Justice for<br />

Victims of Crime and Abuse of Power States<br />

should consider incorporating into the national<br />

law norms proscribing abuses of power and<br />

orovidinq rcmedies to victims of such abuses.<br />

in oarticular. such remedies should include rcstitution<br />

andior compensation, and necessary<br />

material, medical, psychological and social assistance<br />

and suooort<br />

Pasal 20,<br />

Principles on the Effective Prevention and Investigation<br />

of Extralegal, Arbitrary and 5ummary<br />

Executions<br />

The families and deoendants of victims of<br />

extra-legal, arbitrary or summary executions<br />

shall be entitled to fair and adequate compensation<br />

within a reasonable oeriod of time .<br />

T<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 20c<strong>ASASI</strong> 13


Indonesia adalah contoh yang buruk, dimana ketergantungan dan kepasrahan luar biasa<br />

kepada badan-badan multilateral dalam pengambilan kebijakan perekonomiannya telah menyebabkan<br />

imbruknya kedaulatan pangan ke tangan korporasi multinasional. Dan sebaliknya telah melahirkan<br />

lingkbran kemiskinan, kelaparan, dan penyakit di kalangan rakyat, terutama kaum taninya.<br />

(2a) Alokasi lebih banyak lahan<br />

untuk tanaman pangan, yalari mengi<br />

tengah cengkeraman arogansi<br />

egara-negara industri maju<br />

yang cenderung selalu bempa<br />

ya mendikte negara-negara di<br />

luar komunitas mereka, maka Kuba<br />

adalah contoh kasus dari nega-ra yang<br />

berhasil membangun ketahanan dan<br />

sekaligus kedaulatan pangannya dari<br />

"gempuran" intervensi imperialisme<br />

korporasi multinasional di dalam<br />

bangunan sistem globalisasi pertanian<br />

yang mereka ciptakan.<br />

Setelah lenyapnya negara sahabat<br />

Uni Sovyet, maka Kuba kembali tertekan<br />

oleh diberlakukannya embargo<br />

AS melalui Torricelfi Act (1992), dan<br />

Helms Burton Act (1996). Tbpi sungguh<br />

ajaib, jika negara-negara "kesayangan"<br />

Barat (baca: badan-badan multilateral)<br />

seperti mereka yang dikategorikan ke dalam newly<br />

industrial countries (Thailand, Korea, brdonesia, Malaysia,<br />

dll) mengalami laisis dankegoncangan ekonomi yanghebat<br />

di akhir 1990-an, Kuba justru memamerkankeberhasilan<br />

pembangunan ketahanan pangan mereka. Dibandingkan<br />

dengan tahun 1988, maka pada tahun 2000, produksi<br />

pangan meningkat masing-masing 767% untuk jagung;<br />

113% untuk beras; 208% untuk umbi-umbian dan 351%<br />

untuk sayuran.<br />

Kuba melaln-rkan reformasi di bidang pertanian sebagai<br />

berikut:<br />

(1) Di bidang telcrologi pertanian melalui<br />

(1a) Pertanian Organis, yaitu petani mengolah tanah<br />

dengan prinsip minimum tilJage, kompos, dan pupuk<br />

kandang menggantikan pupuk kimia, oxen, sebagai<br />

pengganti tralrto4 rotasi tanaman, dan multikultur;<br />

(1b) Bioteknologi oleh Petani, yakni bioteknologi<br />

dikembangkan sendiri oleh masyarakat di koperasikoperasi<br />

petani, dengan harga relatil murah;<br />

(1c) Pertanian Perkotaan, atau dikenal sebagai popuJar<br />

garden, y ang dikembangkan di halaman-halaman rumah<br />

dengan ukuran bervariasi dari beberapa m2 hingga<br />

beberapa hektar, milik perorangan atau kelompok.<br />

Telojk yang dikenal disebut organoponico, yang menggunakan<br />

gundukan tanah subur sebagai bed, karena<br />

burulolya kualitas tanah di daerah perkotaan.<br />

Pertanian Perkotaan ini mencakup areal seluas 15 ribu<br />

hektar, yang memproduksi sekitar 30% kebutuhan sayur<br />

mal rr (sesuai standar FAO: 300 gram/kapita/hari) untuk 2<br />

juta penduduk kota tahun 1999.<br />

(2) Perubahan di Bidang hoduksi dimana<br />

ry 'tk<br />

alihkan tanah pertanian dari untuk<br />

perkebunan tebu sebagai produk<br />

unggulan ke tanaman pangan untuk<br />

mengkonsumsi para pengelola (se/f<br />

*3;lrr,""t'9il,*n,"e,," x"p"a" O<br />

koperasi-koperasi, yaitu membagibagikan<br />

tanah pemsahaan negara ke<br />

koperasi (Unidad Basica de Produccion<br />

Cooperative, semacam koperasi produksi<br />

unit desa). Dalam hal ini, tanah<br />

tetap dirniliki oleh negara, tapi kperasi<br />

memperoleh usur*uct nght, atau hak<br />

guna lahan dalam jangka panjang;<br />

(2c) Pembagian tanah untuk mereka<br />

yang ingin menjadi petani; (2d) Perubahan<br />

sistem insentif, yakni mengubah<br />

sistem penggajian dari berdasarkan jam kerja<br />

menjadi berdasarkan hasil produksi, memberikan<br />

tanggung jawab luasan lahan tertentu kepada orang tertentu<br />

agar produktivitasnya lebih dapat dikontrol, dan<br />

memberikan insentif pembayaran dengan harga yang<br />

lebih tinggi unhlk hasil produksi di atas kuota.<br />

(3) Perubahan di bidang distribusi, seperti<br />

(3a) Pembukaan pasar produk pertanian, yaitu untuk<br />

i:T,iTlm"x:ffiinHfi5ff terhadap nroduk-<br />

3<br />

(3b) Hubungan langsung antara petani dan konsumen,<br />

yaitu diberlakukannya desentralisasi sistem distribusi<br />

dengan cara mendekatkan konsumen dan produsen.<br />

Reformasi di bidang pertanian tersebut juga didukung,<br />

baik<br />

(1) faktor internal maupun<br />

(2) faktor eksternal. Fali:tor internal itu antara lain:<br />

(1a) Solidaritas pemerintah, kompalanya birolcasi, dan<br />

keberanian menolak dominasi asing;<br />

( f b) Memingkatl


Memonitor Hak-hak Ekonomi<br />

ffirtd*iildr$^r\"r^.'<br />

Bagairnana negara menialankan kewaiibannya<br />

dalam perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi,<br />

sosial dan budaya?<br />

f lovenan Hak Ekonomi, Sosial<br />

J\<br />

dan Budaya (U.N. Covenant on<br />

4 lEconomic. Social and Culttrral<br />

Rights/ICESR) yang diadopsi pada<br />

1966, merupakan bagian tak terpisahkan<br />

dari IIak Asasi Marrusia. Kendati,<br />

hak el


maupun orgarfsasi non-pemerintah.<br />

Dibandingkan dengan ICCPR misdnya,<br />

ICESR dalam perangkat pendukungnya<br />

tidak selengkap ICCPR yang<br />

memiliki badan yang mernonitor pelaksanaan<br />

kovenan oleh negara pihak.<br />

ICESR tidak memiliki badan yang<br />

memonitor pelalsanaan koverun ini.<br />

Badan yang mengurusi persoalan<br />

hak-hak ini dalam PBB adalah Komite<br />

Hak-hak Ekososbud, yang dibentuk<br />

pada 1987 di bawah ECOSOC.<br />

T\rgasnya menguji laporan-laporan<br />

negara pihak hingga mengambil hasil<br />

observasi, membuat resolusi serta general<br />

commenlls. Pembentukan komite<br />

ini memang ditujukan untuk mengatasi<br />

masalah monitoring dan masalah<br />

tidak adanya mekanisme menuntut<br />

keadilan bagi para korban. Komite ini<br />

berhak memonitor hak-hak yang ada<br />

dalam Kovenan. Memag ada gagasan<br />

juga tentang adanya protokol tambahan<br />

bagi hak ekososbud khusus mengenai<br />

mekanismekomplain individu terhadap<br />

dilanggarnya hak asasi mereka.<br />

Belakangan ini, perhatian terhadap<br />

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya<br />

mem€mg menguat. Di Lrdonesia hakhak<br />

ini sudah mendaiatkan perhatian<br />

yang meluas di kalangan para aktifis<br />

dan Ornop-ornop hak asasi manusia.<br />

Di tingkat regional, terutama di negara-negara<br />

berkembang, program bersama<br />

juga dilakukan unfuk mernajukan<br />

hak-hak ini. Msalnya tokakarya regional<br />

mengenai Kerja Lembaga-Lembaga<br />

Nasional IIAM di bidang Hak-hak<br />

Ekonomi, Scial, dan Budal"a (R4ional<br />

Workslrop on Social, Economy and Cultural<br />

Rights) yang diselenggarakan<br />

bersama antara Canadian Human Rigltts<br />

Foundation dan Philipine Commission<br />

on Human Rights. IGgiatan ini berlangzung<br />

pada 5 - 10 Novernben 2000 dengan<br />

tujuan mempediiuat kapasitas komisikomisi<br />

IIAM nasional di Asia-Pasifik<br />

dalam mernajukan dan melindwgi hakhak<br />

eJ


Dapat dibayangkan bagaimana pemberian<br />

keadilan bagi mereka. Dengan<br />

kata lain mereka yang digolongka<br />

sebagai kasta the untouchables sesungguhnya<br />

bukan saja berhadapan<br />

dengan pelanggaran hak asasi manusia<br />

biasa tetapi berhadapan pula dengan<br />

sistem sosial yang menindas. Lri<br />

menunjukkan bahwa karakteristik<br />

pelanggaran hak-hak ekoswbud berbeda<br />

di setiap wilayah.<br />

ICESR mmel


LUAR NEGERI<br />

ICTY Memperluas Definisi C'enosida<br />

Namrlr Pembuktian C'enosida Dipersulit<br />

Pembantaian Srebrenica<br />

Memang Genosida<br />

ada 19 April <strong>2004</strong>, Pengadrlan Kejahatan<br />

Internasional untuk Bekas Yugoslavra (ICTY)<br />

menegaskan kembali bahwa pembantaian<br />

massal Srebrenica pada tahun 1995 memang<br />

merupakan tindakan genosida Keputusan ini<br />

diambil dalam pertimbangan argumentasi trm<br />

pembela General Radislav Krstic yang menolak<br />

hukuman genosida yang dilatuhkan kepada Krstic<br />

pada Agustus 1991 Berdasarkan argumentasi trm<br />

pembela Krstc, pembantaian Srebrenica di mana<br />

leibh dari 7 0OO anak dan dewasa laki-laki dibunuh<br />

t dak brsa dranggap sebagai trndakan genosrda<br />

karena lumlah orang tersebut trdak cukup<br />

g<br />

g<br />

6<br />

signifikan dan yang menjadi korban hanya lakilaki,<br />

bukan perempuan<br />

Namun begitu, para hakim (the appeals chamber\<br />

rerola( argumeltasr Krst'c dengan rremutuskan<br />

bahwa pembunuhan lak-lakr sebuah<br />

kelompok etnis tertentu dari sebuah komunrtas<br />

okar tetap bisa d anggap geros'da, La au tr.,an<br />

dari pembunuhan tu adalah untuk menghancurkan<br />

semua anggota kelompok tersebut<br />

Yaitu, menurut para hakim ICTY ini, Tentara Serbia<br />

Bosnia (VRS) bermaksud untuk membunuh semua<br />

Musiim Bosnia Srebrenica dengan pembantaian<br />

laki-laki karena VRS tahu kecrl kemungkinan<br />

komunitas Muslrm Bosnra Srebrenica akan selamat<br />

tanpa kaum lelakinya [,4enurut beberapa<br />

pengamat hukum, keputusan ini akan berdampak<br />

besal tidak hanya kepada keputusan-keputusan<br />

ICTY yang lain, tapi juga terhadap keadilan<br />

nternasional dan definrsi genosida secara umum<br />

Dengan keputusan ini, definrsr genosrda sekarang<br />

juga bsa diterapkan dalam konflrk yang terjad<br />

PEMERINTAH GUATEMALA MOHON MAAF ATAS<br />

PEMBUNUHAN AKTIVIS HAM, Tetapi Laporan PPB<br />

Menuduh Guatemala Gagal dalam Penyelesaian<br />

Pelanggaran HAM<br />

l-)residen Guatemala, Oscar Berger, bersama ketua Kongres dan ketua<br />

fMahkamah Agung mengaku tanggungjawab pemerintah kepada<br />

I publik atas pembunuhan seorang aktivis HAlvl, Myrna Mack pada<br />

tahun 1 990, di sebuah upacara yang diselenggarajab di istana negara pada<br />

22 April ini Upacara ini diselenggarakan berdasarkan dorongan<br />

Pengadilan Inter-Amerika untuk HAM yang berpusat di Costa Rica.<br />

Atas nama negara, saya minta maaf kepada keluarga My na Mack dan<br />

bangsa Guatemala atas pembunuhan antropolog muda ini, ujar Berger.<br />

Menun-rt anak Myrna Mack, Luoecra Hernandez upacara ini tidaklah sekedar<br />

basa-basi, upacara ini merupakan hak kami Saya berirarap ini bukan satuetunya<br />

upacara yang akan diselenggarakan, dan saya bertnrap orang lain akan<br />

mendapatkan keadilan.<br />

Myrna Mack drbunuh pada 11 September '1990 di Guatemala City<br />

setelah dia menulis sebuah laporan yang membuktikan keterlibatan pemerintah<br />

dalam pembunuhan masyarakat sipil dari suku Maya selama<br />

perang sipil Guatemala. Paba bulan Oktober 2002, Kolonel luan Valencia<br />

dari pasukan pengawal presiden dihukum 30 tahun penlara karena dra<br />

yang memerintahkan pembunuhan Myrna Mack Namun pada bulan November<br />

Valencia dibebaskan kembali berdasarkan keputusan banding<br />

yang kemudian dibalik sekali lagi oleh Mahkamah Agung dan Valencia<br />

diperintah kembali ke penjara tetapi Elenica sudah berhasil melarikan<br />

-<br />

diri. Neol Beteta, luga bekas anggota pasukan pengawal presiden sedang<br />

menjalani hukuman 25 tahun penjaran atas pembunuhan Myrna Mack.<br />

Pasukan pengawal presiden ini akhirnya menjadi sebuah pasukan<br />

khusus yang terdiri dari mata-mata dan pembunuh politik (assassin) yang<br />

bertanggunjawab atas bebarapa kasus hilang paksa, penyiksaaan dan<br />

pembunuhan high-profile. Perang sipil antara pasukan negara dan<br />

pemberontak sayap kiri yang berlangsung sejak '1960 diselesaikan secara<br />

damai dengan sebuah kesepakatan pada Desember 1996. Lebih dari<br />

200 000 orang dibunuh selama perang sipil Guatemala. Setelah bertahuntahun<br />

menjanjikannya, pasukan khusus pengawal presiden ini baru<br />

dibubarkan pada bulan Oktober tahun lalu<br />

Pemerintah Guatemala Gagal Selesaikan<br />

Pelanggaran HAM<br />

Menurut sebuah laporan PBB, pemerintah Guatemala gagal untuk<br />

selesaikan kasus pembunuhan dan hilang paksa lebih dari 200.000 orang dan<br />

para pelaku dan mereka yang tedibat belum dihukum Menurut laporan ini,<br />

pemerintah gagal menghadapi kekerasan masa lalu, misalnya dengan budaya<br />

,H,lllll';i1i[]'J.xliiti.T[i1'illyffi ['i::l'-lx:"'-?',Jffi t<br />

untuk Guatemala, Tom Koenigs, mengatakan bahwa hampir tidak ada<br />

kemajuan setelah sebuah komisi khusus yang dibentuk untuk menyelediki<br />

perang saudara Guatemala menghasilkan 84 butir rekomendasi lima tahun<br />

lalu Menurut Koenigs, belum ada hukuman atau sanksi untuk mereka yang<br />

bertan ggungjawab atas kejahatan<br />

l./enurut laporan komisi yang berjudul, Memory of Silence, tentara<br />

nasional Guatemala bertanggungjawab atas 90 persen pembantaian dan<br />

pelanggaran HAM masa lalu. Tetapi, menurut Koenigs, sejak laporan dan<br />

rekomendasinya dikeluarkan, tidak ada satu perkarapun yang dibuka untuk<br />

menghukum mereka yang diduga bertanggungjawab atas pembantaian<br />

masyarakat adat. Menurutnya, pemerintah juga tidak cukup berusaha untuk<br />

menyelediki kasus hilan paka serta memberi dukungan yang berarti kepada<br />

keluarga korban, misalnya dalam bentuk kompensasi. Presiden Berger, yang<br />

baru dilantik bulan .lanuari lalu sudah menyatakan bahwa pemerintahan dia<br />

akan mepriorikaskan janji-janji pemerintah yang menandatangani<br />

kesepakatan perdamaian pada tahun 1 996. {s"n o<br />

"qo<br />

un,on rrhne 22t4. Ap x,<br />

PENGADILAN NASIONAL BELANDA MENGHUKUM<br />

BEKASKOTONETDRCONGO<br />

f<br />

ebuah pengadilan nasional di Belanda menghukum bekas Kolonel dari<br />

\Republik Democratik Congo tiga puluh bulan penjara atas<br />

./keterlibatannya dalam kejahatan perang, khususnya penyikaan seorang<br />

l8 Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> 2oo4


disebuah komunitas kecil, dimana kelahatan lokal<br />

(localrzed) iuqa bisa disebutkan sebaqai qenosida<br />

Keputusan Krstic sebag-ai -<br />

Genocidaire dibalik<br />

Walaupun pembantaian Srebrenica ditegaskan<br />

sebagai tindakan genosida, para hakim (chamber<br />

of appeal) tetap mempertimbangkan kembali<br />

Deranan Krstic dalam oembantaian ini dan<br />

memutuskan bahwa dia tidak bisa disebutkan<br />

sebagai genocidaire, yaitu seseorang yang<br />

melakukan tindakan genosida, karena niatnya<br />

untuk melakukan genocida tidak cukup jelas (explicit)<br />

Namun begitu, oleh karena dibuktikan<br />

bahwa Krstic mengetahui ribuan Muslim Bosnia<br />

sedang dibunuh (executed) dan anak buahnya terlibat,<br />

para hakim memutuskan bahwa Krstic<br />

membantu dan mempermudah tindakan<br />

genosida sebuah kejahatan yang tidak dimasukkan<br />

ke dalam dakwaan aslinya Dengan demikian<br />

hukumannya diringankan dari 46 menjadi 35<br />

tahun penjara Krstic adalah penjahat pertama<br />

yang dibuktikan sebagai genocidaire dalam<br />

perkara bekas Yugoslavia pada tahun 2001 dan<br />

keputusan baru ini diterima dengan marah dan kecewa<br />

oleh berbagai pihak, termasuk keluarga<br />

korban pembantaian Srebrenica Walaupun Kada<br />

Hotic dari Asosiasi lbu Srebrenica bersyukur bahwa<br />

pembantaian Srebrenica ditegaskan kembali<br />

sebagai tindakan genosida, dia juga menyatakan<br />

rasa kecewa atas keputusan untuk meringankan<br />

hukuman Kntic Saya tidak paham keputusan ini<br />

kalau tujuan pengadilan Den Haag adalah juga<br />

untuk mencegah kelahatan terulang lagi Ini<br />

bukan caranya untuk mencegah kelahatan teqadi<br />

lagi pada masa depan, kata Kada Hotic<br />

Memang pembuktian tindakan genosida<br />

cukup berat, karena sejauh ini yang dibutuhkan<br />

untuk menjatuhkan penghukuman genosida<br />

antara lain termasuk bukti perintah dan niat<br />

untuk menghancurkan sebuah kelompok yang<br />

dinyatakan secara ekplisit, maupun bukti bahwa<br />

perintah itu adalah sebagian dari sebuah strategi<br />

yang menyeluruh Untuk membuktikan Krstic<br />

melakukan genosida, tim penuntut mengajukan<br />

ribuan dokumen yang membuktikan sifat<br />

terencana pembantaian Sebrenica, termasuk<br />

bukti pembelian bahan bakar; kain penutup mata,<br />

borgol dan sewa bis, dan dokument mrliter dalam<br />

bentuk perintah dan penyadapan telpon yang<br />

membuktikan Jendral Radislav Krstic memerintahkan<br />

pembantaian Sebrenica Disamprng itu<br />

semua, ada juga kesaksian Drazen Erdemovic,<br />

anggota pasukan pembunuhan (execution<br />

squaQ yang mengaku diri terlibat, disamping<br />

saksi mata korban yang selamat<br />

Dampak perkara Krstic ke<br />

perkara Milosevic<br />

Walaupun awalnya, Milosevic digugat melakukan<br />

genosida di 18 kotamadya di Bosnia, namun<br />

oleh karena sulitnya mendefinisikan dan membuktikan<br />

genosida, strategi tim penuntut akhirnya<br />

difokuskan terhadao oembuktran keterlibatan<br />

Mrlosovic dalam pembantaian Srebrenica jusku<br />

oleh karena pembantaian Srebrenica merupakan<br />

satu-satunya kejahatan dalam semua perkara ICTY<br />

yang telah dibuktikan sebagai tindakan genosida<br />

Tentu sa1a, keputusan 19 April ini sangat penting<br />

dalam perkara Milosovic karena pembuktian<br />

Milosovic sebagai genocidalre sekarang tergantung<br />

sepenuhnya kepada definisi pembantaian<br />

Srebrenica sebagai tindakan genosida.<br />

Namum begitu, keputusan baru tentang<br />

perkara Krstic juga sangat mungkin berdampak<br />

buruk keoada oerkara Milosovic karena dibandingkan<br />

perkara genosrda yang lain, pembuktian<br />

keterlibatan Krstic dalam oembantaian Srebrenica<br />

dianggap yang paling lengkap, malah dari tiga<br />

perkara tuntutan genosida yang telah disidangkan<br />

di ICTY, hanya yang Krstic yang pernah terbukti<br />

sebagai genocidalre Malah pembuktian keterlibatan<br />

Milosovic dalam tindakan genosida di<br />

Srebrenica sudah cukup berat karena menurut<br />

beberapa diplomat, wartawan dan masyarakat<br />

Sebrenica sendiri, Milosevic telah memutuskan<br />

hubungannya dengan kepemimpinan Serbia<br />

Bosnia sebelum VRS menyerbu Srebrenica pada<br />

pertengahan tahun 1995 Tim penuntut dalam<br />

perkara Milosovic telah mengajukan segala bukti<br />

dan argumetnasinya, dan tim pembela Milosovic<br />

akan membuka argumentasinya pada bulan <strong>Juni</strong><br />

<strong>2004</strong><br />

(AFP l9l4, BBC Onhne l9l4, apofan WPR oleh 51acy Su h\ar Mlaevtc and 6ena<br />

tahanan dalam lindungannya pada tahun 1996. Kolonel (purn) Sebastian<br />

Nzapali adalah bekas komandan kamp militer di daerah Matadi, tepi barat<br />

bekas Zaire pada zaman diktator Mobuto Sese Seko<br />

Perkara ini secara hukum dapat disidangkan di Belanda berdasarkan<br />

Konvensi PBB Anti-Penyiksaan tahun 1984 dimana pengadilan dornestik<br />

negara-negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut boleh menuntrt orang<br />

yang dicurigai melakukan beberapa jenis pelanggaran HAM di negara lain. Tim<br />

penuntut dalam oerkara ini berhasil membuktikan bahwa konvensi PPB ini berlaku<br />

untuk tuntutan-tuntutan yang dilakukan kepada Nzapali, termasuk<br />

pemerkosaan dan penfksaan Tuntutan pemerkosaan tidak dibukitan.<br />

Nzapali, 51, pindah ke Belanda pada tahun 1 998 sekaligus meminta suaka.<br />

Namun Nzapali hanya diberikan rlin tinggal sementara justru karena dicuriga<br />

melakukan kejahatan kemanusiaan dan akhirnya ditangkap tahun lalu<br />

berdasarkan tuntutan tiga warganegara Congo menggugat dia di sebuah<br />

pengadilan di D R Congo sendiri<br />

Walaupun Belanda sudah menjadi tuan rumah Pengadilan Kejahatan<br />

Internasional (lCC) dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia<br />

(ICTY), perkara ini merupakan pertama kalinya sebuah kelahatan<br />

kemanusiaan disidangkan oleh sebuah pengadilan nasional (domestic)<br />

Memeang perkara ini dianggap sebuah ujicoba yang diharapkan akan<br />

menyamakan Belanda dengan Belgia secara hukum, dimana pengadilan<br />

Belgia mapunyai yurisdiksi international untuk kejahatan perang yang<br />

d ilakuka n di nega ra lain 6eute6 7 a, BB( ont ne t4)<br />

PARAGUAY MERESMIKAN KOMISI KEADILAN DAN<br />

KEBENARAN<br />

l-)ada bulan February lalu, beberapa wakil pemerintah Paraguay dan<br />

|,<br />

organisasi masyarakat sipil meresmikan pembentukan sebuah Komisi<br />

I Keadilan dan Kebenaran yang resmi yang ditulukan untuk menyelediki<br />

pelanggaran HAM yang dilakukan sejak tahun 1954 sampai tahun 2003<br />

Sasaran utama adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan diabwah<br />

rezime Alfredo Stroessner yang berkuasa dari i954-1989 Walaupun<br />

beberapa aktivis HAM dan kelompok gerga taleh mencantumkan berbagai<br />

pelanggaran HAM Stroessner dalam laporan<br />

Paraguay Nunca Mas yang diterbitkan tahun 1991, Komisi untuk<br />

Keadilan dan Kebenaran ini merupakan tindakan pertama oleh neqara<br />

untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.<br />

Pembentukan Komisi Paraguay didasarkan UU 2225 yang disahkan<br />

oleh kongres pada 13 October 2003 Komisi akan bekerja selama 18<br />

bulan, dan ditugaskan untuk peJanggaran HAM berat yang dilakukan<br />

oleh aparat negara dan para negara (misalnya milisi) dengan fokus<br />

terhadap rezime Stroessner. Selain mengidentifikasi para pelaku<br />

pelanggaran HAM, komisi ini juga akan bertugas untuk menentukan<br />

jumlah korban hilang paksa Walaupun beberapa anggota komisi telah<br />

dilantik, kongres Paraguay belum menyediakan dana yang dibutuhkan<br />

komisi untuk menjalankan tugasnya.<br />

Pada bulan Maret <strong>2004</strong>, pengacara HAM Paraguay, Martin Almada,<br />

yang sudah lama berkampanye untuk sebuah komisi keadilan dan<br />

kebenarn mengajukan beberapa barang bukti kepada sebuah pengadilan<br />

di Spanyol berkaitan dengan keterlibatan Stroessner dalam Operasi CondoL<br />

di mana ratusan warganegara Spanyol yang tinggal di Argentina<br />

dibunuh. Stroessner sekarang menetap di Brazil, dan pemerintah Brazil<br />

telah beberapa kali menolak permintaan pemerintah Paraguay untuk<br />

ekstradisinya bekas diktator ini ke negara aslinya.<br />

Pembayaran Kompensasi Dimulai<br />

Pemerintah Paraguay telah mengidentifikasi 400 bekas tapol dan<br />

korban penyiksaan rezime Alfredo Stroessner, termasuk mahasiswa,<br />

aktivis buruh dan wartawan, yang menurutnya pantas menerima<br />

kompensasi Dalam sebuah acara yang diselenggarakan pada 7 April<br />

<strong>2004</strong>, Mentri Ekonomi Dionisio Borda memberikan kompensasi senilai<br />

USD 260.000 kepada 34 orang, termasuk salah satu orang bekas ketua<br />

partai komunis Paraguay, yang sudah bertahun-tahun dipenjara<br />

walaupun perkaranya tidak pernah disidangkan dan dia tidak pernah<br />

dihukum. Borda berterima kasih kepada para korban atas peranan<br />

mereka dalam perjuangan untuk demokrasi dan kebebasan selama<br />

"t1ff,:'J:T,llff:ch zrl4 daf p nocher wdrch hnprirlw m,orqy'p n*herlvatch,^'ilch htm;voA &4)<br />

Edisi <strong>Mei</strong>-<strong>Juni</strong> <strong>2004</strong>ASASi 19


RESENSI BUKU<br />

MenguakTabir C'elap<br />

Judul Buku:<br />

TAHUN YANG TAK PERNAH EEMKHIR: MEMAHAMIPENGAI.AMAN KORBAN 55<br />

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bekeqasama dengan<br />

Tim Relawan Untuk Kemanusiaan dan Institut Sejarah Sosial Indonesia<br />

f elama satu generasi, di berbagat institusi<br />

\pendidikan, baik formal maupun informal,<br />

vf rakyar Indonesia selalu diberi pengetahuan<br />

tentang sejarah kekejaman Partai Komunis Indonesia<br />

(PKl) dalam upayanya untuk menggulingkan rezim<br />

Soekarno PKI digambarkan sebagai Partaa yang<br />

bertanggungjawab terhadap peristiwa pembunuhan<br />

lendral-jendral Angkatan Darat pada September<br />

'1965 Namun apa yang sebenarnya terjadi di balik<br />

peristiwa G305 dan sesudahnya masih gelap-gulita<br />

Yang jelas satu generasi dari bangsa ini sepanlang 30<br />

tahun lebih diisi kognisi mereka tentang PKI dan para<br />

pengikut Soekarno atau Soekarnois, sebagai pihak<br />

yang memberi ruang bagi penyebaran paham komunisme<br />

jahat, sehingga harus dibasmi sampai<br />

keakar-akarnya<br />

Lalu selama puluhan tahun, rakyat Indonesia<br />

mengenal sejarah peristiwa 1 965 dalam vesi resmi<br />

suatu sejarah mainstream dalam semangat kebenaran<br />

tunggal dan absolut, tanpa kritik dan pengetahuan<br />

lain di luar yang resmi Dalam perspektif<br />

itulah, maka buku ini berusaha untuk menguak tabir<br />

gelap sejarah Indonesia pada 1965-1966 Jika bukubuku<br />

sejarah di masa rezim Soeharto, bahkan<br />

termasuk yang dihasilkan oleh suatu penelitian di<br />

lembagalembaga universitas maupun non-unive6F<br />

tas selalu memberikan tempat bagi para Pemenang<br />

untuk menyuarakan apa yang menurut mereka pantas<br />

untuk disuarakan, maka pada buku ini, para<br />

peneliti secara sadar telah mengambil posisi yang<br />

berbeda, yakni memb€ri tempat bagi para korban<br />

untuk menyuarakan apa yang seharusnya mer eka<br />

suaraKan<br />

Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan esai<br />

yang ditulis oleh tujuh peneliti dengan menitik-beratkan<br />

penelitian mereka pada wawancara dengan pelaku<br />

korban Di sini disebutkan sebagai pelaku kor -<br />

ban untuk memberi penegasan, bahwa korban<br />

merupakan subyek yang merdeka, bukan obyek yang<br />

pasif Dalam ilmu sejarah dikenal sebagai metode<br />

sejarah lisan (oral histoty). foptk y<br />

mereka pilih mencakup sejumlah<br />

tema .dari kejadian-kejadian<br />

penting pada periode 1965-<br />

1966, terutama menyangkut<br />

pengalaman hidup para korban<br />

pasca peristiwa G305<br />

Esai pertama dalam buku ini<br />

ditulis oleh Rinto Tri Hasworo<br />

dengan ludul Penangkapan dan<br />

Pembunuhan di Jawa Tengah<br />

setelah G-30-s .<br />

Rinto merekonstruksi<br />

bagaimana sesungguhnya<br />

PKI sebagai<br />

sebuah institusi partai<br />

dihancurkan melalui tindak<br />

penangkapan dan pembunuhan<br />

yang dilakukan terhadap<br />

seluruh personil struktural partal<br />

Tetapi, peristiwa 1965/1966 ini bisa dikategorikan<br />

*6agai genoode karena sif at pembunuhannya yan g<br />

massif dan berskala luas Korban tak hanya para<br />

aktivis partai, melainkan juga anggota keluarga,<br />

teman, tetan99a, dan siapa saja yang dicurigai<br />

teEangkut peristiwa 1965 Suatu peristiwa yang<br />

selama ini tidak oernah ditampilkan di dalam buku-<br />

Tebal: xii + 253<br />

'l{0!ie t'!ry lr& lkrn & f.n$&<br />

buku resmi sejarah Indonesia Melalui kesaksian mereka<br />

yang pernah ditahan tanpa melalui proses pengadilan,<br />

terungkap bahwa pola-pola penangkapan dan pembunuhan<br />

terhadap korban tidak semata-mata karena terjadinya<br />

konflik horisontal, melainkan juga adanya campur-tangan<br />

militen<br />

Kekerasan fisik terhadap korban terjadi setelah masuknya<br />

RPKAD ke Jawa Tengah pada pertengahan oktober<br />

'1965 Setelah kedatangan RPKAD, maka pasukan-pasukan<br />

tentara dari kesatuan lain yang berbasis di propinsi itu mulai<br />

berani menangkap, menculik dan menyandera sanak<br />

saudara orang-orang yang dicari, memperkosa tahanan<br />

perempuan dan istrFistri para tahanan lelaki, serta melakukan<br />

pembunuhan atau sengaja menyebabkan per<br />

cepatan proses kematian dari banyak tahanan PKI dan<br />

kaum nasionalis Soekarno<br />

Sementara itu, Yayan Wiludiharto menulis peristiwa<br />

pembunuhan tanpa proses pengadilan yang terjadi<br />

sepanjang 1965-1969 Juga pemenjaraan dan Pembuangan<br />

ratusan ribu orang Turut menjadi korban adalah para<br />

istri. para ibu dan anak-anak mereka yang dltinggalkan<br />

Para istri,.para ibu, dan anak-anak ini tak memahami<br />

komunisme, apalagi bermimpi mendirikan partai komunis<br />

untuk merebut kekuasaan negara Tapi akibat yang<br />

ditimbulkan Dada oeriode itu telah membuat mereka harus<br />

hidup dalam ketakutan Takut dipenjara setaap saat tanpa<br />

alasan dan kesalahan yang jelas Akibat lainnya adalah<br />

beban hidup berat yang harus dipikul oleh keluarga yang<br />

suami, atau ayahnya ditangkap. ditahan, bahkan dibunuh,<br />

karena mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi yang<br />

selama ini menjadi tanggungan para suami atau ayah<br />

mereka Situasi ini lebih diperparah lagi, karena mereka<br />

harus menjalani berbagai bentuk diskriminasi di tengah<br />

masyarakat karena distigma sebagai penlahat<br />

Dalam tulisan Ketika Perempuan Menjadi Tapol<br />

Josepha Sukartiningsih rcara kritis menggugat kebenaran<br />

cerita-cerita Lubang Buaya tentang sosok-sosok perempuan<br />

liar yang menyanyi lagu Genjergenjer, menari<br />

telanjang, lalu dengan kejam menyiksa, menyilet<br />

dan memotong kemaluan para jendral<br />

yang diculik Cerita-cerita tersebut<br />

disebarkan oleh rezim So€harto untuk<br />

menghancurkan moral para aktivis<br />

Gerwani, organisasi perempuan yang<br />

memiliki satu juta anggota, serta<br />

mempunyai kedekatan organisasi<br />

dengan PKI Cerita

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!