Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
eparations being made to their victims.” 1 Dengan<br />
kata lain impunitas adalah bebasnya pelaku<br />
kejahatan dari pertanggungjawaban yang sudah<br />
terstruktur dalam hubungan kekuasaan.<br />
Secara menjijikkan para pembunuh massal,<br />
penyiksa atau penculik bersembunyi di dalam<br />
istana negara dan mengklaim dirinya bersih<br />
dari kejahatan; yang artinya pula bebas dari<br />
pertanggungjawaban. Martino, Muladi, Falaakh,<br />
dan Jailani memberi garis bawah tegas akan peran<br />
MPI dalam memerangi impunitas itu. Bila gagal<br />
melawan impunitas defi sit penegakan hukum<br />
akan tetap menganga di Indonesia. Banyak cara<br />
pelaku untuk lari dari pertangungjawaban atas<br />
tindakan keji. Penulis Soetandyo W. dan Andi<br />
menunjukkan klaim ‘kepentingan nasional’ sebagai<br />
rasionalisasi atas tindakan keji tersebut. Lugasnya,<br />
tanpa perubahan cara berpikir dan kebijakan dari<br />
doktrin ‘kepentingan nasional’ ke ‘kepentingan<br />
kemanusiaan yang beradab’ ketidakadilan yang<br />
dialami oleh warga Indonesia tidak akan banyak<br />
berubah.<br />
Di sini pula titik taut pertama antara pengertian<br />
‘keadilan global’ tersebut di atas dengan yang diulas<br />
dalam buku ini, yaitu adanya pihak-pihak yang hilang<br />
dari radar pertanggungjawaban. Tautan berikutnya<br />
adalah gerakan mencari alternatif. Dalam hal ini<br />
alternatif akan mekanisme pertanggungjawaban<br />
pelanggaran hak asasi manusia. Alternatif dari<br />
pingsannya sistem pertanggungjawab hukum<br />
(nasional) itu adalah sebuah pengadilan pidana<br />
yang melampaui yurisdiksi batas-batas negara<br />
terhadap pelaku kejahatan serius. Saat ini alternatif<br />
itu tidak lagi perlu dicari karena ICC telah terbentuk.<br />
Indonesia tinggal ikut menjadi negara pihak di<br />
dalamnya.<br />
Buku ini berisi kumpulan tulisan tentang urgensi<br />
Mahkamah Pidana Internasional dari berbagai<br />
perspektif serta isyarat agar Indonesia meratifi kasi<br />
Statuta Roma. Melihat beragamnya latar belakang<br />
resensi<br />
keahlian dari penulis sulit dielakan pembaca<br />
menemukan beberapa pengulangan informasi dari<br />
satu tulisan ke tulisan lain. Meskipun sejumlah<br />
penulisan mengandung catatan kaki yang sangat<br />
kuat, yang akan berguna bagi mereka yang ingin<br />
terus menelusuri kajian mengenai aspek-aspek<br />
yang ada di dalamnya, namun sayang tidak ada<br />
daftar pustaka. Buku ini juga dibekali instrumen<br />
yang dibutuhkan untuk memudahkan ratifikasi<br />
Statua Roma berupa kertas posisi dari Komnas<br />
HAM dan Naskah Akademik beserta Konsep Awal<br />
RUU Pengesahan Statuta Roma dari Kementerian<br />
Hukum dan HAM; dua lembaga negara yang sangat<br />
relevan di bidang ini.<br />
ICC telah dikupas dari berbagai sudut dengan<br />
cukup lugas dalam satu buku ini, dari yang sifatnya<br />
fi losofi s bahkan teologis hingga praktis politis.<br />
Buku ini dapat menjadi rujukan untuk mengambil<br />
kebijakan yang tepat terhadap Statuta Roma.<br />
Yang dibutuhkan saat ini hanyalah kehendak<br />
untuk meratifi kasi Statuta Roma. Selebihnya, buku<br />
ini perlu dibaca para anggota parlemen, pejabat<br />
publik, mahasiswa maupun dosen.<br />
Keterangan<br />
1. United Nations Sub-Commission on Prevention of<br />
Discrimination and Protection of Minorities, “Set of Principles<br />
for the Protection and Promotion of Human Rights Through<br />
Action to Combat Impunity”, (E/CN.4/Sub.2/1997/20) disitir<br />
dari Law and Contemporary Problems, Accountability for<br />
International Crimes and Serious Violations of Fundamental<br />
Human Rights, Vol. 59 No. 4, Autumn 1996, 171