05.05.2015 Views

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

martabat manusia yang telah dinistakan oleh para<br />

penjahat kemanusiaan dunia itu sendiri. Mengapa<br />

‘mengembalikan’? Karena nilai-nilai asasi<br />

kemanusiaan, masih menurut Fuad, rusak akibat<br />

dipaksakannya ideologi kesatuan – ideologi yang<br />

menyeragamkan pluralitas bangsa dalam sebuah<br />

doktrin politik. Oleh karenanya tidak ada alasan<br />

bagi siapapun untuk menolaknya [hal. 105].<br />

Andi Widjajanto, ahli militer, menempatkan MPI<br />

dalam perspektif pengembangan sistem pertahanan<br />

keamanan nasional – yang menurut penulis<br />

harus didasarkan pada doktrin ius bellum. Persis<br />

karena itu maka MPI yang antara lain mengadili<br />

kejahatan perang merupakan konsekuensi logis<br />

dari penerapan doktrin tersebut. Karena peradilan<br />

ini akan memungkinkan adanya akuntabilitas dari<br />

sebuah tindakan militer.<br />

Dari banyak pengalaman, asal usul kekerasan<br />

bersumber pada doktrin ‘keamanan nasional’.<br />

Doktrin ini menempatkan supremasi militer atas<br />

sipil, mengembangkan aparat represif bagi<br />

penerapan ‘perang permanen’, dan menganggap<br />

kekuatan bersenjata sebagai satu-satunya institusi<br />

yang mampu menjaga kekuatan ideologis – sembari<br />

merusak sistem-sistem peradilan, politik, budaya<br />

maupun ekonomi. [Nunca Mas, hal. 442]. Bahaya<br />

penerapan doktrin ini harus dicegah dari awal.<br />

Doktrin yang harus menjadi dasar<br />

pengembangan strategi pertahanan keamanan<br />

Indonesia adalah ius ad bellum. Berbeda<br />

dengan doktrin ‘keamanan nasional’ doktrin<br />

ini mengharuskan negara menerapkan prinsip<br />

diskriminasi dan proporsional dalam strategi dan<br />

operasi militer. Diskriminasi karena sasaran,<br />

metode dan strategi bertempur hanya boleh<br />

terarah pada kelompok tempur dan bukan pada<br />

non tempur (prajurit terluka, pengungsi, unit medis,<br />

masyarakat sipil terutama perempuan dan anak)<br />

dan juga bukan pada zona imunitas (seperti fasilitas<br />

sipil, zona netral, zona demiliterisasi). Sedangkan<br />

prinsip proporsional mengharuskan semua biaya<br />

dan kerusakan yang timbul diperhitungkan dengan<br />

seksama, sedemikian sehingga ‘kebaikan’ yang<br />

muncul dari perang lebih besar daripada kerusakan<br />

dan biaya yang dikeluarkan. [hl. 128] Disamping itu<br />

doktrin ini memperlakukan tindakan militer sebagai<br />

pilihan terakhir. Semua upaya non perang harus<br />

dilakukan lebih dahulu dengan maksimal sebelum<br />

memutuskan untuk perang; juga jika harus<br />

berhadapan dengan kelompok separatis. Tindakan<br />

militer hanya bisa didasarkan pada maksud untuk<br />

mempertahankan diri dan menciptakan kembali<br />

perdamaian yang dilakukan pemerintah yang sah.<br />

Doktrin ius ad bellum ini sangat penting diterapkan<br />

persis karena besarnya potensi instrumen perang<br />

digunakan secara tidak bertanggung jawab atau<br />

imoral. Ketika itu terjadi jatuhnya korban sipil akan<br />

sangat besar, ruang untuk resolusi konfl ik alternatif<br />

semakin sempit. Sebaliknya dengan mendasarkan<br />

pada doktrin ini tindakan militer akan lebih terkendali<br />

dan dapat dipertanggungjawabkan [hal. 137-145].<br />

Pilihan ini membawa konsekuensi pembentukan<br />

peradilan kejahatan perang dengan kapasitas yang<br />

memadai.<br />

Ketika terdapat dua sistem yang bekerja untuk<br />

persoalan yang sama timbul kekhawatiran bahwa<br />

keduanya akan saling bertabrakan. Fadillah<br />

Agus mencoba meyakinkan bahwa antara MPI<br />

dengan Pengadilan Militer di Indonesia tidak terjadi<br />

yurisdiksi yang saling tumpang tindih dengan cara<br />

membandingkan keduanya. Perbandingan itu<br />

mencakup aspek legitimasi, struktur pengadilan,<br />

kompetensi auditor dan sebagainya. Penulis<br />

yang merupakan seorang ahli hukum militer juga<br />

mengulas persoalan yang paling sering diresahkan<br />

militer dalam misi perdamaian. Diingatkan bahwa<br />

MPI bersifat pelengkap dari pengadilan nasional.<br />

Abdulkadi Jailani, seorang diplomat senior,<br />

berupaya menjernihkan kekuatiran yang ada dengan<br />

mengupas kesalahpahaman-kesalahpahaman di<br />

benak mereka yang menolak ratifikasi. Sebagai<br />

contoh kesalahpahaman bahwa MPI mencakup pula<br />

wewenang mengadili pelanggaran HAM masa lalu,<br />

bahwa kewenangan MPI lebih ditentukan melalui<br />

proses politik daripada hukum, dan berkenaan<br />

dengan perlunya kesiapan hukum nasional. Ia<br />

menunjukan bahwa ratifikasi justru bermanfaat<br />

bagi kepentingan nasional baik dalam rangka<br />

mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia,<br />

mencegah terjadinya impunitas, dan meningkatkan<br />

citra Indonesia dalam perlindungan HAM.<br />

Keadilan Global<br />

Jika bicara mengenai keadilan global pada<br />

umumnya merujuk pada gerakan akan perlunya<br />

pluralisme dalam tatanan global yang sedang<br />

berlangsung. Lebih spesifi k lagi suatu gerakan<br />

untuk menciptakan alternatif dari perdagangan<br />

bebas dan pasar bebas. Perjuangan keadilan yang<br />

digerakkan oleh perlawanan terhadap penunggalan<br />

pola hubungan baik dalam hidup ekonomi, sosial,<br />

politik maupun budaya. Dalam hal ini sistem pasar<br />

yang hendak ‘dipaksakan’ untuk diterapkan bukan<br />

hanya di bidang ekonomi tapi juga di luar itu.<br />

Dalam buku ini bukan hal itu yang pembaca<br />

temukan. Menyimak tulisan-tulisan di buku ini,<br />

pembaca dibatasi pengertian ‘keadilan’ sebagai<br />

‘pertanggungjawaban individu atas kejahatan yang<br />

dilakukan’. Segera terasa bahwa hal itu bukan hal<br />

baru. Namun, ‘hal yang tidak baru’ ini memang harus<br />

dikedepankan kembali persis karena hal tersebut<br />

tidak terjadi dalam kesetaraan. Prinsip ‘semua<br />

manusia sama di hadapan hukum’ disandera oleh<br />

sistem politik.<br />

Gejala seperti ini adalah gejala impunitas.<br />

Sub-Komisi HAM PBB mendefi nisikan impunitas<br />

sebagai: “the impossibility, de jure or de facto, of<br />

bringing the perpetrators of human rights violations to<br />

account - whether in criminal, civil, administrative or<br />

disciplinary proceedings - since they are not subject<br />

to any inquiry that might lead to their being accused,<br />

arrested, tried and, if found guilty, convicted, and to<br />

22 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!