05.05.2015 Views

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

sejumlah prinsip bahwa individu yang melakukan<br />

kejahatan tertentu seperti kejahatan kemanusiaan<br />

harus dapat dimintai pertanggungjawaban<br />

berdasarkan hukum internasional. Dengan ini<br />

pula didorong hadirnya badan pengadilan pidana<br />

internasional yang bersifat permanen.<br />

Dari Prof. Soetandyo bisa disimpulkan bahwa<br />

MPI merupakan pengejawantahan dari pergeseran<br />

paradigmatik yang melihat manusia sebagai<br />

warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang<br />

menghadapi ancaman kekerasan dari negara.<br />

Tanpa perubahan paradigma menuju humanisme<br />

universal [hl 19] dan menerapkan kebijakan yang<br />

melulu berdasarkan ‘kepentingan nasional’ akan<br />

terus terjadi de-humanisasi dan diskriminasi.<br />

Mahkamah Pidana Internasional<br />

Kehendak untuk mendirikan pengadilan pidana<br />

internasional yang dapat memproses secara<br />

legal sebuah kejahatan sudah lama berlangsung.<br />

Sedikitnya Konvensi Genosida 1948, menyebutkan<br />

tentang pengadilan pidana internasional untuk<br />

menghukum pelaku kejahatan genosida.<br />

Kehendak ini begitu kuat karena meski telah<br />

banyak aturan atau norma yang mengkategorikan<br />

tindak-tindak tertentu sebagai kejahatan<br />

internasional – seperti genosida, kejahatan perang,<br />

perbudakan, penyiksaan – tindakan kejahatan<br />

itu terus berlangsung tanpa hukuman. Bahkan<br />

sejumlah pejabat negara yang diketahui terlibat<br />

dalam salah satu atau beberapa kejahatan itu<br />

dapat lalu lalang mengunjungi negara lain dan<br />

memperoleh impunitas. Terciptalah suasana “kalau<br />

seseorang melakukan pembunuhan pada orang lain<br />

akan dikenakan hukuman. Namun ketika puluhan<br />

atau bahkan ratusan orang mati oleh pemangku<br />

kekuasaan, maka pelakunya akan bebas.”<br />

Ketergantungan pada sistem hukum masingmasing<br />

negara sementara organ-organ yang<br />

resensi<br />

seharusnya mengadili dan menghukum pelaku<br />

dikuasai oleh pelaku kejahatan adalah salah satu<br />

sebabnya. Ketika sistem hukum nasional ‘mati<br />

suri’ sistem hukum internasional menyediakan<br />

ruang untuk menghukum pelaku. Seperti yang<br />

dikatakan Prof. Muladi, ahli hukum pidana, dengan<br />

melembaganya pengadilan permanen untuk<br />

kejahatan internasional maka penegakan hukum<br />

humaniter internasional tidak lagi berlaku secara<br />

tidak langsung melainkan secara langsung (direct<br />

enforcement). Ada tidak berarti berfungsi efektif.<br />

Untuk itu Muladi beranggapan bahwa penting<br />

bagi MPI untuk menjaga ‘transitional legal spirit’<br />

yaitu semangat universal untuk mengamankan<br />

penghormatan terhadap HAM dan kebebasan<br />

dasar, dan sejumlah semangat yang lebih<br />

spesifi k. Semangat itu antara lain semangat untuk<br />

mengakhiri impunity, untuk menciptakan keadilan<br />

bagi semua dan mencegah timbulnya kejadian<br />

serupa di masa datang.<br />

Dengan menjabarkan kembali sejarah singkat<br />

pembentukan Statuta Roma Prof. Martino<br />

mengungkapkan problematika masyarakat<br />

internasional mengenai penyelesaian konfl ik<br />

bersenjata secara adil. Menjaga keluruhan<br />

manusia adalah prima facie bagi penyelesaian<br />

konfl ik bersenjata. Dan kuncinya terletak pada<br />

pembebasan dunia dari impunitas dan pencegahan<br />

terulangnya kembali kejahatan serius. Statuta<br />

roma adalah payung hukum internasionalnya. [hal.<br />

61]<br />

Fajrul Falaakh, ahli hukum tatanegara<br />

menunjukan bahwa MPI bukan merupakan organ<br />

utama PBB. Oleh karena itu MPI merupakan<br />

extended national jurisdiction dari negara-negara<br />

pihak untuk menjangkau pelaku kejahatan. Dengan<br />

mendederkan sejumlah aturan dan praktik hukum<br />

berkenaan proses hukum terhadap pelanggaran<br />

hak asasi sebagaimana Statuta Roma dan hukum<br />

nasional penulis kemudian mengusulkan berbagai<br />

tindakan harmonisasi hukum nasional yang bisa<br />

dilakukan. Dari berbagai pilihan yang ada penulis<br />

mengusulkan agar Indonesia mengaksesi statuta<br />

roma dengan mengakomodasi keseluruhan aturan<br />

hukum dan kelembagaan di dalamnya. [hal.83]<br />

Artidjo Alkotsar, seorang hakim Agung,<br />

menekankan aspek penegakan hukum. Persis<br />

karena sifat kejahatan hak asasi merusak martabat<br />

bangsa manusia maka penegakan hukumnya<br />

pun harus luar biasa. Dalam upaya tersebut tidak<br />

bisa dilepaskan bahwa pihak yang dipertaruhkan<br />

(stakeholder) dari kejahatan kemanusiaan ini<br />

melampaui batas-batas keluarga, etnis, ras,<br />

agama, bangsa dan negara. Diadopsinya Statuta<br />

Roma dalam sejumlah aturan pengadilan hak<br />

asasi di Indonesia merupakan lompatan paradigma<br />

bangsa Indonesia yang harus terus dijaga dari<br />

yang semula alergi terhadap HAM dan demokrasi<br />

menjadi penegak hak asasi manusia.<br />

Hal yang sama dikatakan oleh Fuad yang melihat<br />

secara fi losofi s-teologis bahwa Statuta Roma<br />

merupakan basis kultural untuk mengembalikan<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 21

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!