Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

05.05.2015 Views

esensi Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma Oleh Antonius Pradjasto (Aktivis HAM dan Demokrasi) Judul buku : Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma Penulis : Soetandyo Wignjosoebroto, dkk Impresum : Jakarta: ICTJ dan Indonesian Civil Society Coalition for the International Criminal Court, 2012 Kolasi : xxiv + 220 halaman; 23cm. ISBN : 978-602-97558-2-4 Catatan : Daftar istilah dan Kata Pengantar Menteri Hukum dan HAM RI Jika sembilan penulis dengan berbagai latar belakang keahlian mengupas Statuta Roma dan Keadilan Global dalam satu buku tentu bukan tanpa alasan. Akan tetapi apakah itu Statuta Roma sehingga menarik perhatian begitu besar? Dilihat dari kata generiknya ‘Statuta’ ‘Roma’ seperti hukum dasar (statuta) mengenai (kota) Roma? Dan apakah kaitannya dengan keadilan (global)? Apa pula relevansinya dengan Indonesia? Roma – Italia, 17 Juli 1998, 148 negara berkumpul untuk mengambil keputusan atas sebuah perjanjian internasional untuk terbentuknya International Criminal Court (sering diterjemahkan dengan Mahkamah Pidana Internasional. Selanjutnya disebut MPI). Kesepakatan itu diadopsi dengan 120 negara setuju, 7 menolak dan 21 abstein. Dalam hukum internasional mengadopsi sebuah perjanjian tidak serta merta membuat perjanjian itu berlaku secara efektif. Seperti umumnya perjanjan internasional lain – keberlakuannya digantungkan pada banyaknya negara yang meratifi kasi yang mengindikasikan keberlakuan perjanjian internasional tersebut pada negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal ini syarat keberlakuannya adalah 60 negara meratifi kasinya. Dalam empat tahun, tepatnya 1 Juli 2002 perjanjian itu sudah menjadi hukum internasional. Namun, meski sudah 121 negara yang menjadi bagian dari statuta, Indonesia bukan salah satunya. Di titik inilah pokok persoalannya. Polemik akan penting tidaknya statuta tersebut menjadi bagian dari hukum Indonesia merupakan pangkal penerbitan buku ini. Di titik ini pula buku ini hendak berkontribusi – dengan menjernihkan pemikiran yang keliru mengenai MPI (Abdulkadir Jailani) mulai dari aspek fi losofi s sosiologis hingga praktis politik – legalistik. Problem paradigmatik Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum] mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan pidana internasional permanen. Paradigma pertama memaknakan manusia sebagai warga-bangsa yang berada dalam batas-batas yurisdiksi suatu negara. Sedangkan yang kedua mengidentifikasi manusia secara lebih universal, dan berada dalam yurisdiksi hukum yang melampaui aturan-aturan hukum. Benturan dua paradigma itu tercermin dalam sejarah Eropa terutama Jerman. [hal. 1-19] Kubu paradigma ‘manusia sebagai wargabangsa’ tercermin dalam peraturan di Jerman (das Gesetz zum Schutz des deutschen Blutes und der deutschen Ehre), pada paruh pertama abad 20, yang mensahkan perlakuan diskriminasi dan penyingkiran manusia yang dianggap bukan warganegara. Kebijakan ini dilanjutkan dengan pembantaian besar-besaran umat manusia di Eropa. Paradigma ini merasuk dalam praktek bernegara – di mana negara tidak lebih dari pemegang kekuasaan terorganisir yang melakukan kejahatan. Karena hanya keturunan Arya yang dianggap wargabangsa, di luar itu tidak memperoleh perlindungan dari negara. Seiring dengan kalahnya pemerintahan Hitler terjadi pergeseran paradigmatik tentang manusia. Persaingan paradigma ini kemudian ‘dimenangkan’ oleh ‘paradigma universalis’ – yang ditandai dengan Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Nuremberg principles. Di dalamnya manusia tidak lagi dipahami atas dasar ras, latar belakang sosial-ekonomi, maupun agama melainkan sebagai manusia utuh yang bermartabat. Disamping itu diterima 20 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012

sejumlah prinsip bahwa individu yang melakukan kejahatan tertentu seperti kejahatan kemanusiaan harus dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional. Dengan ini pula didorong hadirnya badan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen. Dari Prof. Soetandyo bisa disimpulkan bahwa MPI merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara. Tanpa perubahan paradigma menuju humanisme universal [hl 19] dan menerapkan kebijakan yang melulu berdasarkan ‘kepentingan nasional’ akan terus terjadi de-humanisasi dan diskriminasi. Mahkamah Pidana Internasional Kehendak untuk mendirikan pengadilan pidana internasional yang dapat memproses secara legal sebuah kejahatan sudah lama berlangsung. Sedikitnya Konvensi Genosida 1948, menyebutkan tentang pengadilan pidana internasional untuk menghukum pelaku kejahatan genosida. Kehendak ini begitu kuat karena meski telah banyak aturan atau norma yang mengkategorikan tindak-tindak tertentu sebagai kejahatan internasional – seperti genosida, kejahatan perang, perbudakan, penyiksaan – tindakan kejahatan itu terus berlangsung tanpa hukuman. Bahkan sejumlah pejabat negara yang diketahui terlibat dalam salah satu atau beberapa kejahatan itu dapat lalu lalang mengunjungi negara lain dan memperoleh impunitas. Terciptalah suasana “kalau seseorang melakukan pembunuhan pada orang lain akan dikenakan hukuman. Namun ketika puluhan atau bahkan ratusan orang mati oleh pemangku kekuasaan, maka pelakunya akan bebas.” Ketergantungan pada sistem hukum masingmasing negara sementara organ-organ yang resensi seharusnya mengadili dan menghukum pelaku dikuasai oleh pelaku kejahatan adalah salah satu sebabnya. Ketika sistem hukum nasional ‘mati suri’ sistem hukum internasional menyediakan ruang untuk menghukum pelaku. Seperti yang dikatakan Prof. Muladi, ahli hukum pidana, dengan melembaganya pengadilan permanen untuk kejahatan internasional maka penegakan hukum humaniter internasional tidak lagi berlaku secara tidak langsung melainkan secara langsung (direct enforcement). Ada tidak berarti berfungsi efektif. Untuk itu Muladi beranggapan bahwa penting bagi MPI untuk menjaga ‘transitional legal spirit’ yaitu semangat universal untuk mengamankan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar, dan sejumlah semangat yang lebih spesifi k. Semangat itu antara lain semangat untuk mengakhiri impunity, untuk menciptakan keadilan bagi semua dan mencegah timbulnya kejadian serupa di masa datang. Dengan menjabarkan kembali sejarah singkat pembentukan Statuta Roma Prof. Martino mengungkapkan problematika masyarakat internasional mengenai penyelesaian konfl ik bersenjata secara adil. Menjaga keluruhan manusia adalah prima facie bagi penyelesaian konfl ik bersenjata. Dan kuncinya terletak pada pembebasan dunia dari impunitas dan pencegahan terulangnya kembali kejahatan serius. Statuta roma adalah payung hukum internasionalnya. [hal. 61] Fajrul Falaakh, ahli hukum tatanegara menunjukan bahwa MPI bukan merupakan organ utama PBB. Oleh karena itu MPI merupakan extended national jurisdiction dari negara-negara pihak untuk menjangkau pelaku kejahatan. Dengan mendederkan sejumlah aturan dan praktik hukum berkenaan proses hukum terhadap pelanggaran hak asasi sebagaimana Statuta Roma dan hukum nasional penulis kemudian mengusulkan berbagai tindakan harmonisasi hukum nasional yang bisa dilakukan. Dari berbagai pilihan yang ada penulis mengusulkan agar Indonesia mengaksesi statuta roma dengan mengakomodasi keseluruhan aturan hukum dan kelembagaan di dalamnya. [hal.83] Artidjo Alkotsar, seorang hakim Agung, menekankan aspek penegakan hukum. Persis karena sifat kejahatan hak asasi merusak martabat bangsa manusia maka penegakan hukumnya pun harus luar biasa. Dalam upaya tersebut tidak bisa dilepaskan bahwa pihak yang dipertaruhkan (stakeholder) dari kejahatan kemanusiaan ini melampaui batas-batas keluarga, etnis, ras, agama, bangsa dan negara. Diadopsinya Statuta Roma dalam sejumlah aturan pengadilan hak asasi di Indonesia merupakan lompatan paradigma bangsa Indonesia yang harus terus dijaga dari yang semula alergi terhadap HAM dan demokrasi menjadi penegak hak asasi manusia. Hal yang sama dikatakan oleh Fuad yang melihat secara fi losofi s-teologis bahwa Statuta Roma merupakan basis kultural untuk mengembalikan ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 21

esensi<br />

Menuju Keadilan Global:<br />

Pengertian, Mandat dan Pentingnya<br />

Statuta Roma<br />

Oleh Antonius Pradjasto<br />

(Aktivis HAM dan Demokrasi)<br />

Judul buku : Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma<br />

Penulis : Soetandyo Wignjosoebroto, dkk<br />

Impresum : Jakarta: ICTJ dan Indonesian Civil Society Coalition for the International<br />

Criminal Court, 2012<br />

Kolasi : xxiv + 220 halaman; 23cm.<br />

ISBN : 978-602-97558-2-4<br />

Catatan : Daftar istilah dan Kata Pengantar Menteri Hukum dan HAM RI<br />

Jika sembilan penulis dengan berbagai latar<br />

belakang keahlian mengupas Statuta Roma<br />

dan Keadilan Global dalam satu buku tentu<br />

bukan tanpa alasan. Akan tetapi apakah itu<br />

Statuta Roma sehingga menarik perhatian begitu<br />

besar? Dilihat dari kata generiknya ‘Statuta’ ‘Roma’<br />

seperti hukum dasar (statuta) mengenai (kota)<br />

Roma? Dan apakah kaitannya dengan keadilan<br />

(global)? Apa pula relevansinya dengan Indonesia?<br />

Roma – Italia, 17 Juli 1998, 148 negara berkumpul<br />

untuk mengambil keputusan atas sebuah perjanjian<br />

internasional untuk terbentuknya International<br />

Criminal Court (sering diterjemahkan dengan<br />

Mahkamah Pidana Internasional. Selanjutnya<br />

disebut MPI). Kesepakatan itu diadopsi dengan<br />

120 negara setuju, 7 menolak dan 21 abstein.<br />

Dalam hukum internasional mengadopsi sebuah<br />

perjanjian tidak serta merta membuat perjanjian itu<br />

berlaku secara efektif. Seperti umumnya perjanjan<br />

internasional lain – keberlakuannya digantungkan<br />

pada banyaknya negara yang meratifi kasi<br />

yang mengindikasikan keberlakuan perjanjian<br />

internasional tersebut pada negara-negara yang<br />

bersangkutan. Dalam hal ini syarat keberlakuannya<br />

adalah 60 negara meratifi kasinya. Dalam empat<br />

tahun, tepatnya 1 Juli 2002 perjanjian itu sudah<br />

menjadi hukum internasional. Namun, meski sudah<br />

121 negara yang menjadi bagian dari statuta,<br />

Indonesia bukan salah satunya.<br />

Di titik inilah pokok persoalannya. Polemik<br />

akan penting tidaknya statuta tersebut menjadi<br />

bagian dari hukum Indonesia merupakan pangkal<br />

penerbitan buku ini. Di titik ini pula buku ini hendak<br />

berkontribusi – dengan menjernihkan pemikiran<br />

yang keliru mengenai MPI (Abdulkadir Jailani)<br />

mulai dari aspek fi losofi s sosiologis hingga praktis<br />

politik – legalistik.<br />

Problem paradigmatik<br />

Prof. Soetandyo meninjau pertarungan<br />

paradigma [hukum] mengenai manusia dalam<br />

sejarah pembentukan pengadilan pidana<br />

internasional permanen. Paradigma pertama<br />

memaknakan manusia sebagai warga-bangsa<br />

yang berada dalam batas-batas yurisdiksi suatu<br />

negara. Sedangkan yang kedua mengidentifikasi<br />

manusia secara lebih universal, dan berada dalam<br />

yurisdiksi hukum yang melampaui aturan-aturan<br />

hukum. Benturan dua paradigma itu tercermin<br />

dalam sejarah Eropa terutama Jerman. [hal. 1-19]<br />

Kubu paradigma ‘manusia sebagai wargabangsa’<br />

tercermin dalam peraturan di Jerman<br />

(das Gesetz zum Schutz des deutschen Blutes<br />

und der deutschen Ehre), pada paruh pertama<br />

abad 20, yang mensahkan perlakuan diskriminasi<br />

dan penyingkiran manusia yang dianggap bukan<br />

warganegara. Kebijakan ini dilanjutkan dengan<br />

pembantaian besar-besaran umat manusia di<br />

Eropa. Paradigma ini merasuk dalam praktek<br />

bernegara – di mana negara tidak lebih dari<br />

pemegang kekuasaan terorganisir yang melakukan<br />

kejahatan. Karena hanya keturunan Arya yang<br />

dianggap wargabangsa, di luar itu tidak memperoleh<br />

perlindungan dari negara.<br />

Seiring dengan kalahnya pemerintahan<br />

Hitler terjadi pergeseran paradigmatik tentang<br />

manusia. Persaingan paradigma ini kemudian<br />

‘dimenangkan’ oleh ‘paradigma universalis’ – yang<br />

ditandai dengan Deklarasi Umum Hak-hak <strong>Asasi</strong><br />

Manusia (DUHAM) dan Nuremberg principles.<br />

Di dalamnya manusia tidak lagi dipahami atas<br />

dasar ras, latar belakang sosial-ekonomi,<br />

maupun agama melainkan sebagai manusia<br />

utuh yang bermartabat. Disamping itu diterima<br />

20 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!