You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Berikut ini tabel hasil surveinya:<br />
KUANTITAS KONTRAK<br />
PROSENTASE<br />
1 kali 31,60%<br />
2 kali 28,60%<br />
3 kali 10,70%<br />
4 - 15 kali 29,10%<br />
TOTAL 100,00%<br />
Temuan lain dari riset mereka adalah, di Kepulauan<br />
Riau ada buruh yang dikontrak sampai 9 kali, di Jawa<br />
Timur ada yang dikontrak sampai 11 kali, dan di Jawa<br />
Barat ada yang dikontrak sampai 15 kali. 4<br />
Mengenai perlindungan dan syarat-syarat kerja<br />
buruh outsourcing sebagaimana diatur dalam UUK<br />
yang harus sekurang-kurangnya sama dengan<br />
buruh bukan outsourcing, riset Indrasari et al. Justru<br />
menemukan adanya diskriminasi antara tiga jenis<br />
buruh, yaitu buruh tetap, buruh kontrak dan buruh<br />
outsourcing, untuk jenis pekerjaan yang sama di<br />
tempat yang sama dengan jam kerja yang sama.<br />
Untuk upah pokok, misalnya, rata-rata upah pokok<br />
buruh kontrak lebih rendah 14% dari upah pokok buruh<br />
tetap, sementara upah pokok buruh outsourcing lebih<br />
rendah 17,45% dari upah pokok buruh tetap. Lalu,<br />
terkait upah total, rata-rata upah total buruh kontrak<br />
16,71% lebih rendah dari upah total buruh tetap,<br />
sementara upah total buruh otusourcing 26% lebih<br />
rendah dari upah total buruh tetap. 5<br />
Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM),<br />
tentu diskriminasi ini bertentangan dengan Pasal 38<br />
ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, di mana<br />
dinyatakan bahwa, “Setiap orang, baik pria maupun<br />
wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,<br />
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah<br />
serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”<br />
Diskriminasi ini juga bertentangan dengan Pasal<br />
7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,<br />
Sosial dan Budaya (Ekosob) yang disahkan dengan<br />
UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki hak<br />
untuk mendapatkan “remunerasi yang setara untuk<br />
pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan<br />
apapun.”<br />
Diskriminasi ini bisa terjadi karena posisi tawar<br />
buruh kontrak dan outsourcing yang lemah. Hubungan<br />
kerja mereka yang sementara dan rentan membuat<br />
pengorganisiran buruh kontrak dan outsourcing<br />
menjadi sulit. Masalah ini ditambah lagi dengan<br />
hubungan kerja buruh outsourcing yang bukan<br />
dengan perusahaan tempat mereka kerja, tetapi<br />
dengan perusahaan penyalur.<br />
Riset Indrasari et al. menemukan bahwa dari<br />
keanggotaan serikat buruh yang ada, 75,1% berasal<br />
dari buruh tetap dan 24,90% berasal dari buruh<br />
kontrak, tetapi tidak ada yang berasal dari buruh<br />
outsourcing. Adapun dari buruh-buruh yang tidak<br />
berserikat, 28% menyatakan bahwa alasan mereka<br />
tidak berserikat adalah karena status mereka yang<br />
outsourcing dan takut kehilangan pekerjaan. 6<br />
Dengan demikian, hubungan kerja kontrak dan<br />
outsourcing telah menghambat buruh kontrak dan<br />
nasional<br />
outsourcing untuk berserikat. Hal ini bertentangan<br />
dengan Pasal 39 UU HAM, di mana dinyatakan ”Setiap<br />
orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan<br />
tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi<br />
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya<br />
serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”<br />
Hal itu juga bertentangan dengan Pasal<br />
22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik,<br />
yang sudah disahkan oleh UU No. 12 Tahun 2005, dan<br />
Pasal 8 Kovenan Ekosob tentang hak pekerja untuk<br />
membentuk dan bergabung dengan serikat buruh.<br />
Saat ini, karena kegigihan kaum buruh, persoalan<br />
outsourcing telah menjadi perdebatan publik. Wacana<br />
yang dominan mengarah kepada pembatasan<br />
outsourcing sesuai dengan penafsiran atas UUK yang<br />
menyatakan bahwa outsourcing hanya bisa diterapkan<br />
di lima jenis pekerjaan, yakni cleaning service, usaha<br />
penyediaan makanan (catering) bagi buruh, tenaga<br />
pengaman (satpam), usaha penyediaan angkutan<br />
buruh dan usaha jasa penunjang di pertambangan<br />
dan perminyakan. Asumsi di balik pandangan ini, UUK<br />
tidak bermasalah, masalahnya ada pada penafsiran,<br />
pengawasan dan penegakannya. Ada problem<br />
dalam pandangan ini. Sebagai target jangka pendek,<br />
pembatasan outsourcing bisa saja diperjuangkan.<br />
Namun, sistem outsourcing dan kerja kontrak itu<br />
sendiri bertentangan dengan HAM dan tidak bisa<br />
diterapkan pada siapa pun tanpa kecuali. Buruh<br />
cleaning service, catering, satpam, buruh usaha<br />
angkutan pekerja dan buruh jasa penunjang di<br />
pertambangan serta perminyakan juga memiliki hak<br />
yang sama dengan buruh-buruh di bagian corebusiness.<br />
Karenanya, sebagai tujuan jangka panjang,<br />
UUK No. 13 Tahun 2003 sudah selayaknya dicabut<br />
dan diganti dengan UU Ketenagakerjaan yang<br />
menghormati HAM dan melarang praktek kerja<br />
kontrak serta outsourcing.<br />
Keterangan<br />
1 Wawancara dengan Roni Febrianto, “Buruh Indonesia Wajib<br />
Menang Lewat Mogok Nasional.” Diunduh 5 November 2012<br />
dari http://www.prp-indonesia.org/2012/buruh-indonesiawajib-menang-lewat-mogok-nasional.<br />
2 Lihat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat<br />
ayat (1), (2), (4), (6); pasal 65 ayat (2) dan (4), serta pasal 66<br />
ayat (1) dan (2).<br />
3 Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi,<br />
Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan<br />
Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia<br />
(Akatiga, FSPMI dan FES, 2010), hlm. 28-30. Diunduh 5<br />
November 2012 dari http://library.fes.de/pdf-fi les/bueros/<br />
indonesien/07846.pdf.<br />
4 Ibid., hlm. 8 dan 41.<br />
5 Ibid., hlm. 43-45.<br />
6 Ibid., hlm. 52-53.<br />
<br />
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 19