Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Kasus penyerangan di atas merupakan bukti<br />
nyata bahwa hukum tidak lagi mampu memfasilitasi<br />
toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia.<br />
Di luar konteks keagamaan, tindakan yang<br />
bertentangan dengan hukum harus diselesaikan<br />
dengan peraturan yang berlaku.<br />
Tetapi apa yang sudah terjadi justru<br />
berseberangan. Negara yang memiliki peran<br />
penegakan hukum melalui institusi-institusi seperti<br />
kepolisian, malah melakukan pembangkangan<br />
terhadap peraturan yang mereka buat sendiri.<br />
Dalam kasus HKBP Filadelfi a dan GKI Yasmin,<br />
putusan hukum yang mendukung pendirian gedung<br />
ibadah, “diabaikan” oleh pemerintah. Seolah–<br />
olah ada kolaborasi disengaja dengan kelompok<br />
intoleran, dan terus melakukan penolakan ibadah<br />
para jemaat.<br />
Toleransi kemudian hanya jadi poster usang<br />
di pinggir jalan. Setiap hari dilihat namun tanpa<br />
makna dalam keseharian. Masyarakat awam pun<br />
tak ubahnya penonton yang hanya memuntahkan<br />
sinisme kepada yang tiran. Hampir tak ada yang<br />
sadar bahwa ada yang salah dalam tanggung jawab<br />
negara memfasilitasi kebebasan dalam beragama.<br />
Dalam era komunikasi dan informasi digital,<br />
pesan–pesan kebencian lewat media sosial<br />
bergerak dalam hitungan detik. Berulang–ulang<br />
pesan kebencian dibaca oleh para pengguna<br />
media sosial, menjadikannya semakin mudah<br />
mengendap di kepala. Ide dan gagasan toleransi<br />
dengan mudah terabaikan, termasuk dalam kasus<br />
yang terjadi belakangan ini.<br />
Semangat perubahan menuju toleransi umat<br />
beragama makin lama makin terkubur. Gagasan<br />
itu tergantikan oleh provokasi murahan yang<br />
menempatkan kita dalam pusaran kebencian<br />
tanpa ujung. Toleransi pun seperti terkurung dalam<br />
sebuah tangan besi.<br />
Katakan Lawan! kepada “Tirani Mayoritas”<br />
Serangan oleh kelompok tirani mayoritas semakin<br />
menegaskan bahwa toleransi dalam kehidupan<br />
berdemokrasi berada dalam ancaman. Kesempatan<br />
untuk siapapun mengekspresikan ide dan gagasan<br />
masing–masing seakan tak terjamin. Namun<br />
sering muncul kebingungan ketika kita berada<br />
di antara kelompok intoleran dengan penonton<br />
yang semangat mengutuk tindakan kekerasan.<br />
Lalu kepada siapa seharusnya perlawanan<br />
dialamatkan? Tirani mayoritaskah?<br />
Mungkin kita bisa tidak sepakat bahwa slogan<br />
“Lawan Tirani Mayoritas” hanya ditujukan kepada<br />
kelompok intoleran. Sekali lagi, negara juga bisa<br />
dibilang berada di balik tumbuh pesatnya kelompok<br />
yang bertindak vigilan. Menjadikan mereka imun<br />
terhadap hukum. Dan kasus seperti di Jejalen akan<br />
kembali terulang di wilayah lain di Indonesia.<br />
Selain abai, negara juga menunjukkan<br />
pemahaman toleransi yang banal. Seperti<br />
halnya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali<br />
nasional<br />
jemaat HKBP Filadelfi a kembali gagal menjalankan ibadah di gerejanya. Para<br />
jemaat dihalang-halangi massa intoleran yang sejak pagi sudah menempati<br />
halaman gereja dalam hal ini Negara tunduk pada tekanan massa dan membiarkan<br />
praktik-praktik intoleransi berkembang. http://icrp-online.org<br />
menanggapi isu diskriminasi dalam pembangunan<br />
rumah ibadah, pada 21 <strong>Sept</strong>ember 2012. Dengan<br />
picik dia mengatakan bahwa pembangunan masjid<br />
di Indonesia mencapai 64%, sedangkan Gereja<br />
152%, maka tidak ada diskriminasi. Kebanalan<br />
pemahaman negara tampak ketika menakar<br />
kebebasan beribadah hanya lewat banyaknya<br />
jumlah rumah ibadat.<br />
Dalam Konstitusi jelas tertulis bahwa<br />
perlindungan warga terhadap tindakan melawan<br />
hukum merupakan domain negara. Apalagi<br />
terhadap tindakan yang sengaja merusak bangunan<br />
toleransi keberagaman atas nama suatu kelompok.<br />
Dengan demikian, menjamin kebebasan<br />
beribadah warga negara adalah harga mati<br />
dalam sebuah republik demokratis. Pendiaman<br />
negara atas tindak kekerasan adalah bentuk<br />
pembangkangan terhadap konstitusi dan landasan<br />
negara.<br />
Artikel ini pernah dimuat di Sorge Magazine.<br />
http://www.sorgemagz.com/?p=1490.<br />
<br />
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 17