05.05.2015 Views

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

Asasi Sept-Okt 2012.indd - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

daftar isi<br />

Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di<br />

Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat<br />

Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam) Terdakwa sangat<br />

ringan, dan tidak memberikan efek jera terhadap para terdakwa<br />

yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat<br />

menjadi contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut<br />

menambah rentetan kasus penyiksaan yang melibatkan aparat<br />

kepolisian yang dihukum secara tidak maksimal, sehingga<br />

mengakibatkan perilaku penyiksaan dan merendahkan martabat<br />

kerap terjadi di institusi Kepolisian.<br />

Kolom<br />

nasional ................................ 21-23<br />

Minggu Pagi di Jejalen Jaya<br />

Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan<br />

ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi<br />

ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus<br />

dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan.<br />

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam<br />

Perspektif HAM<br />

Pada 3 <strong>Okt</strong>ober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori<br />

oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi<br />

Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan<br />

outsourcing. Menurut salah seorang pimpinan Federasi Serikat<br />

Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang tergabung dalam MPBI,<br />

sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional,<br />

ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah<br />

statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.<br />

RESENSI ......................................... 23<br />

Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat<br />

dan Pentingnya Statuta Roma<br />

Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum]<br />

mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan<br />

pidana internasional permanen. Dari Prof. Soetandyo, bisa<br />

disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC)<br />

merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang<br />

melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus<br />

warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara.<br />

profil elsam .................................24<br />

editorial.............................................................................04<br />

Internet sebagai Hak <strong>Asasi</strong> Manusia:<br />

segenggam harapan dengan segudang<br />

tantangan<br />

Seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi<br />

kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait<br />

dengan internet. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan<br />

berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap<br />

untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi<br />

yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses<br />

terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik<br />

dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional<br />

maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi.<br />

laporan utama .................................................05-13<br />

Hak atas Akses Internet dan Tantangan atas<br />

Penikmatan Kebebasan Berekspresi dan<br />

Berpendapat<br />

Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi<br />

harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi<br />

manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan,<br />

pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan<br />

oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas<br />

atau ambigu.<br />

Internet dan Kebebasan Berekspresi di<br />

Indonesia<br />

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut<br />

menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah<br />

tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang.<br />

Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal<br />

dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun<br />

terakhir menjadi sorotan banyak pihak.<br />

Divonis Setelah Atheis<br />

Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus<br />

penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung.<br />

Dia disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11<br />

tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik<br />

monitoring sidang ...................14-15<br />

Menghukum Rendah, Mewajarkan Penyiksaan<br />

Tahanan: Monitoring Persidangan Aparat<br />

Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik<br />

Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi,<br />

Sumatera Barat<br />

Erik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal<br />

akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi<br />

di Polsekta Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian<br />

kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM perwakilan<br />

Sumbar dan LBH Padang. Selain itu, Komnas HAM juga<br />

menyatakan bahwa dalam kematian Erik, diduga terjadi<br />

pelanggaran HAM.


dari redaksi<br />

DEKLARASI KEBEBASAN INTERNET<br />

Redaksional<br />

Penanggung Jawab:<br />

Indriaswati Dyah Saptaningrum<br />

Pemimpin Redaksi:<br />

Otto Adi Yulianto<br />

Redaktur Pelaksana:<br />

Widiyanto<br />

Dewan Redaksi:<br />

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum,<br />

Zainal Abidin, Wahyu Wagiman<br />

Redaktur:<br />

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana<br />

Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi<br />

Sekretaris Redaksi:<br />

Triana Dyah<br />

Sirkulasi/Distribusi:<br />

Khumaedy<br />

Desain & Tata Letak:<br />

alang-alang<br />

Penerbit:<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />

(ELSAM)<br />

Penerbitan didukung oleh:<br />

Kami berikrar untuk Internet yang bebas dan terbuka. Kami<br />

mendukung berbagai proses yang transparan dan partisipatif guna<br />

mewujudkan kebijakan tata kelola Internet (Internet Governance),<br />

secara global pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya,<br />

berdasarkan penegakan 5 (lima) prinsip dasar berikut ini:<br />

* Ekspresi: Jangan sensor Internet yang bertujuan dan/atau<br />

dapat membatasi hak asasi manusia.<br />

* Akses: Tingkatkan pemerataan akses universal untuk jaringan<br />

Internet yang cepat dan terjangkau.<br />

* Keterbukaan: Biarkan Internet menjadi sebuah jaringan<br />

terbuka dimana semua orang secara bebas dan bertanggungjawab<br />

dapat berkomunikasi, belajar, berkarya, dan berinovasi.<br />

* Inovasi: Lindungi kebebasan berinovasi dan berkarya di<br />

Internet, jangan menghambat teknologi baru dan menghukum<br />

sang inovator karena hal-hal yang dilakukan oleh penggunanya.<br />

* Privasi: Lindungi privasi di Internet dan pertahankan hak<br />

setiap orang untuk mengontrol bagaimana ia menggunakan<br />

data dan piranti miliknya.<br />

14 (empat belas) organisasi masyarakat sipil Indonesia yang<br />

pertama kali sepakat untuk mendukung dan/atau mendeklarasikan<br />

kebebasan Internet ini pada tanggal 2 <strong>Okt</strong>ober 2012 adalah: ICT<br />

Watch, Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK),<br />

Center for Innovation, Policy and Governance (CIPG), Yayasan Air<br />

Putih, Indonesian Center for Deradicalisation and Wisdom (ICDW),<br />

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Lembaga Studi & Advokasi<br />

Masyarakat (ELSAM), Arus Pelangi, Institute for Criminal Justice<br />

Reform (ICJR), Combine Resource Institution (CRI), Indonesia<br />

Online Advocacy (IDOLA), Satu Dunia, Common Room Networks<br />

Foundation dan Suara Komunitas.<br />

Alamat Redaksi:<br />

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar<br />

Minggu, Jakarta 12510,<br />

Telepon: (021) 7972662, 79192564<br />

Faximile: (021) 79192519<br />

Untuk memberikan dukungan atas deklarasi ini, silakan akses di<br />

http://suarablogger.org/<br />

salam,<br />

Redaksi<br />

E-mail:<br />

offi ce@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id<br />

Website:<br />

www.elsam.or.id.<br />

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik<br />

dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI<br />

bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama<br />

dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga<br />

menerima pengganti biaya cetak dan distribusi<br />

berapapun nilainya. Transfer ke rekening<br />

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman<br />

dapat dikirimkan via email di bawah ini:<br />

asasi@elsam.or.id<br />

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu<br />

No. 127.00.0412864-9<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 3


editorial<br />

Internet sebagai Hak <strong>Asasi</strong> Manusia:<br />

segenggam harapan dengan segudang tantangan<br />

Selama sepuluh tahun belakangan,<br />

perkembangan teknologi komunikasi,<br />

khususnya melalui internet telah secara<br />

substansial mengubah lanskap dinamika<br />

sosial masyarakat. Tak hanya mampu meretas<br />

batas ruang dan waktu, kemajuan teknologi<br />

komunikasi diakui telah memberikan perubahan<br />

besar dalam mobilisasi gerakan sosial seperti<br />

dalam fenomena Arab Spring, mulai dari ‘jasminerevolution’<br />

di Tunisia, Mesir, dan Yordania. Tak<br />

hanya mempercepat persebaran informasi,<br />

perkembangan teknologi informasi memungkinkan<br />

penggunaan sosial media seperti facebook dan<br />

twitter memungkinkan mobilisasi semakin banyak<br />

orang untuk mendukung aksi-aksi protest langsung.<br />

Dalam konteks Indonesia, hal ini berulang kali<br />

terbukti memberi dampak positif, seperti kampanye<br />

‘cicak-buaya’ atau dukungan terhadap KPK<br />

atas penyelidikan kasus simulator di Kepolisian<br />

beberapa saat lalu.<br />

Perkembangan ini segera memperoleh<br />

penguatan di badan PBB melalui pengadopsian<br />

resolusi Dewan Ham yang mengakui akses<br />

terhadap internet sebagai bagian dari Hak<br />

<strong>Asasi</strong> Manusia (A/HRC/20/L.13). Resolusi ini<br />

memberikan penegasan pada laporan Pelapor<br />

khusus promosi dan perlindungan atas hak<br />

atas kebebasan berekspresi dan berpendapat<br />

(A/66/290) yang mencoba mengangkat isu yang<br />

sama. Resolusi badan ham ini, meski tak secara<br />

hukum mengikat jelas menunjukkan arah yang<br />

tepat dalam perlindungan terhadap ha katas akses<br />

terhadap internet sebagai bagian utuh dari hak atas<br />

kebebasan berekspresi dan berpendapat.<br />

Meskipun demikian, seperti dua sisi mata<br />

uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan<br />

negara menghadapi perkembangan yang terkait<br />

dengan internet ini. Dalam soal ini, dikotomi negara<br />

maju dan berkembang sepertinya tak berlaku,<br />

semuanya seperti gagap untuk mengambil arah<br />

yang tepat dalam pengembangan regulasi yang<br />

tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas<br />

akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga<br />

melindungi baik dari kecenderungan pembatasan<br />

atas nama keamanan nasional maupun ancaman<br />

pihak ketiga seperti korporasi. Perkembangan di<br />

dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan<br />

antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama<br />

yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak<br />

atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di<br />

dunia nyata.<br />

Perkembangan terkait kebebasan atas akses<br />

terhadap internet membawa sejumlah tantangan<br />

baru seperti perlindungan data pribadi, privasi. Hal<br />

ini muncul terkait dengan semakin banyaknya aksiaksi<br />

pengintaian baik yang dilakukan perangkat<br />

negara atas nama keamanan nasional dan<br />

perang melawan terorisme, maupun oleh entitas<br />

swasta untuk mendeteksi perilaku netizen untuk<br />

kepentingan pemasaran. Sebagian bentuk control<br />

negara atas akses terhadap internet ini juga muncul<br />

dalam uraian mengenai mekanisme fi ltering,<br />

dan bloking ( seperti dilakukan beberapa negara<br />

seperti Cina). Persoalannya, sampai saat ini belum<br />

terbentuk suatu regulasi yang jelas mengenai hal<br />

ini, dan bahkan mungkin para netizen masih sangat<br />

sedikit juga yang menyadari berlangsungnya<br />

praktek seperti ini. Kesemuanya ini memunculkan<br />

tantangan baru dalam menggagas model tata<br />

kelola internet yang sesuai, proses yang sampai<br />

saat ini masih terus berlangsung dan membutuhkan<br />

keterlibatan penuh dari masyarakat.<br />

Selain itu, perkembangan ini pun<br />

memunculkan pertanyaan mengenai kesetaraan<br />

akses yang disebabkan oleh ketimpangan<br />

infrastruktur yang mendukung adanya kualitas<br />

akses terhadap internet. Sebab, perbedaan kualitas<br />

akses berpengaruh terhadap adanya keterasingan<br />

suatu kelompok secara digital dibandingkan dengan<br />

satu kelompok masyarakat yang lain, fenomena<br />

yang sering dirujuk dengan istilah ‘digital-divide’.<br />

Dalam fase yang masih sangat dini inilah<br />

justru keterlibatan dan pemantauan terus menerus<br />

atas perkembangan kebijakan yang ada sangat<br />

diperlukan, agar perkembangan teknologi informasi,<br />

khususnya terkait dengan akses terhadap internet,<br />

bukan jadi pedang yang membunuh kebebasan<br />

itu sendiri. Secara khusus, sejumlah tantangan<br />

tersebut akan menjadi perbincangan penting dalam<br />

perhelatan forum internasional Internet Governance<br />

Forum di tahun 2013, di mana Indonesia akan<br />

menjadi tuan rumahnya. Oleh karenanya, mari<br />

bersiap dan terus mengkonsolidasikan gagasan<br />

masyarakat sipil atas berbagai tantangan ini.<br />

. Indriaswati Dyah Saptaningrum<br />

Direktur <strong>Elsam</strong><br />

4 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


Oleh Triana Dyah<br />

(Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi ELSAM)<br />

laporan utama<br />

Hak atas Akses Internet<br />

dan Tantangan atas Penikmatan<br />

Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat<br />

“The Internet has become a key means<br />

by which individuals can exercise their right<br />

to freedom of opinion and expression.”<br />

-UN Special Rapporteur Frank La Rue-<br />

Internet telah menjadi alat untuk mewujudkan<br />

sejumlah hak manusia, memerangi ketidaksetaraan<br />

dan mempercepat pembangunan dan<br />

kemajuan manusia. Internet dikenal sebagai<br />

teknologi multiguna dan broadband (jaringan ‘pita<br />

lebar’) sebagai infrastrukturnya telah dianggap seperti<br />

listrik, air, dan jalan, sehingga akses internet telah<br />

ditetapkan menjadi hal mendasar bagi warga negara<br />

di banyak negara.<br />

Berdasarkan white paper 1 yang dikeluarkan<br />

oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi<br />

(Keminfo), Indonesia menargetkan 100% desa akan<br />

mendapatkan akses telekomunikasi dan 80%-nya<br />

akan terlayani akses internet pada tahun 2014. Target<br />

ini sejalan dengan tujuan ke-8 Millenium Development<br />

Goals (MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000,<br />

yaitu mengembangkan kemitraan global untuk<br />

pembangunan dengan target kerjasama dengan<br />

Internet telah menjadi sarana seseorang untuk dapat menggunakan<br />

hak mereka sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi.<br />

sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,<br />

terutama teknologi informasi dan komunikasi.<br />

Perkembangan teknologi informasi telah<br />

membentuk suatu tatanan warga negara yang<br />

semakin melek terhadap informasi (well-informed<br />

society), menciptakan dunia sendiri dan memunculkan<br />

terminologi baru yaitu ‘demokrasi digital’. Perbedaan<br />

persepsi kemudian muncul di antara pemangku<br />

kepentingan dalam pengelolaan internet, yaitu<br />

Pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat sipil.<br />

Sehingga tata kelola internet 2 menjadi sesuatu yang<br />

krusial dalam era di mana internet menjadi bagian<br />

yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat<br />

modern saat ini. Semakin masyarakat modern<br />

bergantung pada internet, semakin relevan pula tata<br />

kelola internet bagi kehidupan sehari-hari.<br />

Merujuk pada data ITU (International<br />

Telecommunication Unions), di akhir 2011 ada 65 juta<br />

pengguna internet di seluruh Indonesia, atau 26% dari<br />

total populasi. Data ICTWatch mengatakan pengguna<br />

facebook 40,6 juta dan pengguna twitter sebanyak<br />

29,4 juta. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai the<br />

most active twitter city di dunia. Selain itu ada 3,3 juta<br />

blogger dan 33 komunitas blogger lokal.<br />

Dari sisi infrastruktur Internet, Indonesia memiliki<br />

150 Internet Service Provider (ISP), 35 Network<br />

Access Provider (NAP), dan 5 operator selular<br />

3G. Untuk melakukan interkoneksi data di dalam<br />

Indonesia, terdapat sekitar 5 node Indonesian Internet<br />

eXchange (IIX) yang dikelola Asosiasi Penyelenggara<br />

Jasa Internet Indonesia (APJII). 3<br />

Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat tersebut,<br />

pembuat kebijakan membuat peraturan yang mengatur<br />

internet. Satu aturan yang dibuat adalah UU No. 11<br />

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.<br />

UU ini mengesahkan sensor terhadap internet (Pasal<br />

40 ayat (2)), berpotensi mengkriminalisasi kebebasan<br />

berekspresi dan mengancam perlindungan privasi<br />

dalam konteks penyadapan. Di luar UU tersebut,<br />

pasal-pasal pembatasan kebebasan bereskpresi<br />

di Indonesia sebenarnya tersebar di berbagai<br />

perundang-undangan.<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 5


Kebijakan yang menghambat kebebasan<br />

berekspresi di Indonesia:<br />

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang<br />

KUHP<br />

2. Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang<br />

Penodaan agama<br />

3. Undang-undang No. 27 Tahun 1999 tentang<br />

Kejahatan terhadap keamanan negara<br />

4. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang<br />

Penyiaran<br />

5. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan daerah<br />

6. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang<br />

Pemilihan umum<br />

7. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang<br />

Transaksi dan informasi elektronik<br />

8. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang<br />

Pemilihan presiden<br />

9. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang<br />

Pornografi<br />

10. Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang<br />

Bendera, bahasa resmi, lambang negara dan<br />

lagu kebangsaan<br />

11. Undang-undang No. 17 Tahun 2011<br />

Tentang Intelijen<br />

12. RUU Rahasia negara<br />

13. RUU Ormas<br />

Potensi dan banyaknya keuntungan dari internet<br />

berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya<br />

dalam penyebaran informasi, daya jangkaunya yang bisa<br />

meliputi seluruh dunia dan kemungkinan kerahasiaan<br />

untuk penggunanya (anonymous).<br />

Pada sisi lain karakter tersebut menciptakan<br />

ketakutan bagi pemerintah dan penguasa.<br />

Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan<br />

penggunaan internet melalui penggunaan teknologi<br />

canggih untuk memblokir isi, memonitor dan<br />

mengidentifi kasi para aktivis dan kritikus. Dalam<br />

hal pembatasan, penekanan adanya standar hak<br />

asasi manusia internasional khususnya pasal 19,<br />

paragraf 3 dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan<br />

Politik bisa digunakan dalam menentukan jenisjenis<br />

pembatasan-pembatasan yang merupakan<br />

pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak<br />

kemerdekaan berekspresi.<br />

Seperti yang dijelaskan pada pasal 19, paragraf 3<br />

dari Kovenan tersebut, ada beberapa jenis ekspresi<br />

tertentu yang bisa secara sah dibatasi di bawah<br />

hukum hak asasi manusia internasional, yang secara<br />

mendasar berperan sebagai pelindung hak asasi dari<br />

pihak lainnya.<br />

Jenis-jenis informasi yang dilarang meliputi<br />

pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak), ujaran<br />

kebencian (hate speech), fi tnah (untuk menjaga<br />

hak dan reputasi orang lain dari serangan pihakpihak<br />

yang tidak bertanggungjawab) hasutan publik,<br />

ajakan langsung untuk melakukan genosida, dan<br />

ujaran kebencian pada agama atau ras tertentu yang<br />

menimbulkan hasutan diskriminasi, serta kekerasan<br />

atau perwujudan permusuhan (untuk menjaga hakhak<br />

orang lain, seperti hak untuk hidup).<br />

Pembatasan apapun terhadap hak akan<br />

kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria<br />

yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia<br />

internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan,<br />

pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang<br />

dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau<br />

dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu; tidak ada<br />

pembenaran tujuan dari tindakan yang dilakukan; atau<br />

dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan atau tidak<br />

seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan.<br />

Tindakan-tindakan tertentu benar-benar tidak sesuai<br />

dengan kewajiban negara di bawah hukum hak<br />

asasi international, dan sering hanya menimbulkan<br />

“chilling effect” (efek menakut-nakuti) pada hak akan<br />

kebebasan berekspresi dan berpendapat.<br />

Pembatasan melalui internet bisa dilakukan dalam<br />

berbagai bentuk. Dari tindakan teknis untuk mencegah<br />

akses ke konten tertentu, seperti pemblokiran dan<br />

penyaringan (fi ltering), kurangnya jaminan akan hak<br />

atas privasi dan perlindungan terhadap data pribadi,<br />

sampai yang menghambat penyebaran pendapat dan<br />

informasi.<br />

Pelapor khusus PBB mengenai promosi dan<br />

perlindungan kebebasan berekspresi, Frank La<br />

Rue berpendapat, penggunaan hukum pidana<br />

secara semena-mena pada pengungkapan ekspresi<br />

menimbulkan salah satu bentuk pembatasan yang<br />

paling keras pada hak ini, karena tidak hanya<br />

menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect), tapi<br />

juga menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang lain seperti penahanan dan penyiksaan yang<br />

semena-mena serta bentuk-bentuk kejahatan yang<br />

lain.<br />

Intimidasi, penahanan, dan penyiksaan saat<br />

ini banyak menimpa blogger, web master, jurnalis<br />

online yang menyuarakan kondisi sosial politik<br />

dan pemerintahan. Di Vietnam, terhitung hingga<br />

<strong>Sept</strong>ember 2012, terdapat 19 kasus pemenjaraan<br />

terhadap netizen/blogger karena menyuarakan kritik<br />

terhadap pemerintahannya.<br />

Terdapat tiga syarat yang ditetapkan Pasal 18 dan<br />

19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang harus terpenuhi<br />

sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan<br />

berekspresi dilakukan, yaitu: (1) harus diatur menurut<br />

hukum; (2) harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki<br />

legitimasi; (3) harus dianggap perlu untuk dilakukan<br />

(proporsional).<br />

Terkait dengan syarat kedua, pembatasan hanya<br />

dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan,<br />

ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak<br />

6 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


laporan utama<br />

dan kebebasan dasar orang lain” (Pasal 18) atau untuk<br />

“menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk<br />

melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum,<br />

atau kesehatan atau moral masyarakat” (Pasal 19).<br />

Selain itu, peraturan yang membatasi hak akan<br />

kebebasan berekspresi harus diaplikasikan oleh<br />

sebuah badan yang bebas dari pengaruh politik,<br />

komersil, atau pihak lain yang tidak diskriminatif dan<br />

semena-mena, dan dilakukan dengan perlindungan<br />

yang cukup terhadap kemungkinan penyalahgunaan<br />

dari pembatasan itu.<br />

Pemahaman yang kurang mendalam dan kegagapan<br />

dalam menyikapi perkembangan internet akan<br />

berujung pada problematika di ranah dunia maya, baik<br />

antara Pemerintah dan masyarakat maupun di antara<br />

masyarakat itu sendiri. Perkembangan yang terjadi saat<br />

ini di Indonesia telah menunjukkan indikasi timbulnya<br />

gesekan-gesekan karena kurangnya pemahaman<br />

tentang hal ini.<br />

Masih segar dalam ingatan Indonesia, pada tahun<br />

2009 Prita Mulyasari, seorang ibu, dipidana karena<br />

menuliskan keluhan tentang pelayanan rumah sakit<br />

swasta di email pribadi. Seorang selebritas ibukota<br />

terjerat pasal penyebaran pornografi melalui internet<br />

pada pertengahan 2010. Peristiwa terakhir ini<br />

menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan<br />

pemblokiran situs yang ditengarai mengandung konten<br />

pornografi.<br />

Gesekan sosial yang disebabkan aktivitas di<br />

dunia maya juga mulai banyak terjadi, seperti kasus<br />

pemecatan seorang pegawai negeri sipil di Padang<br />

yang terang-terangan mengaku atheis di akun jaring<br />

sosial facebook; kasus pencemaran nama baik yang<br />

melibatkan seorang guru yang menulis tentang<br />

dugaan korupsi di blog-nya; dan masih banyak lagi.<br />

Data terbaru didapat dari Polda Metro Jaya, sejak<br />

Januari hingga <strong>Okt</strong>ober 2012 kasus ‘cyber-crime’<br />

yang masuk ke Polda mencapai 489 laporan, 4 belum<br />

termasuk laporan dari polsek dan polres. Kejahatan<br />

di dunia maya tersebut berupa kasus penipuan,<br />

penghinaan dan pencemaran nama baik.<br />

Hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi<br />

merupakan sebuah hak dasar di wilayahnya karena<br />

hak tersebut menjadi hak yang bisa mewujudkan<br />

hak-hak lainnya (“enabler”) meliputi hak ekonomi,<br />

sosial, dan budaya, seperti hak akan pendidikan dan<br />

hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya<br />

dan menikmati keuntungan perkembangan ilmu<br />

pengetahuan dan penerapannya, seperti juga halnya<br />

dengan hak sipil dan politik contohnya hak akan<br />

kebebasan dalam berorganisasi dan berkumpul.<br />

Sehingga, dengan berperan sebagai katalisator<br />

untuk para individu dalam menggunakan hak akan<br />

kebebasan berpendapat dan berekspresi, internet<br />

juga memfasilitasi perwujudan sejumlah hak-hak<br />

asasi manusia.<br />

Supriyadi W. Eddyono (ed.). 2000-2010 kebebasan<br />

internet Indonesia: perjuangan meretas batas. Jakarta:<br />

Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute<br />

for Criminal Justice Reform, 2011<br />

Jovan Kurbalija. Tata Kelola Internet: sebuah<br />

pengantar. Jakarta: APJII, 2012<br />

Konsultasi publik: white paper penggunaan pita<br />

frekuensi 2300-2360 MHz untuk layanan pita lebar<br />

nirkabel (wireless broadband). Jakarta: Direktorat<br />

Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan<br />

Informatika, Januari 2012.<br />

http://www.freedomhouse.org/report/freedomnet/2012/indonesia<br />

akses tanggal 15 <strong>Okt</strong>ober 2012<br />

United Nations Special Rapporteur Frank La Rue.<br />

Special Rapporteur on the promotion and Protection<br />

of the Right to Freedom of Opinion and Expression.<br />

ELSAM. Hak atas kebebasan berekspresi di<br />

Indonesia serta tantangan UU Informasi dan Transaksi<br />

Elektronik: pengantar singkat. Jakarta: ELSAM, 2012.<br />

www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus<br />

‘cyber crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November<br />

2012.<br />

http://suarablogger.org/category/petisi/akses 27<br />

<strong>Sept</strong>ember 2012<br />

Keterangan<br />

1 Dokumen ini merupakan draft kebijakan pemerintah yang<br />

disusun dalam rangka memberikan deskripsi potensi<br />

layanan wireless broadband.<br />

2 Tata kelola internet diperkenalkan dalam Pertemuan Tingkat<br />

Tinggi Dunia Masyarakat Informasi (World Summit of<br />

Information Society/WSIS) yang diselenggarakan di Jenewa<br />

pada 2003. Pertemuan tersebut menghasilkan Kelompok<br />

Kerja tentang Tata Kelola Internet (Working Group on<br />

Internet Governance/WGIG) yang bertugas menyiapkan<br />

laporan yang digunakan sebagai landasan perundingan<br />

WSIS Kedua di Tunisia (November 2005). Agenda WSIS<br />

di Tunisia adalah mengadopsi batasan, menyusun daftar<br />

isu dan membentuk Forum Tata Kelola Internet (Internet<br />

Governance Forum/IGF). IGF terdiri dari sejumlah<br />

pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pertemuanpertemuan<br />

dengan Sekretaris Jenderal PBB. Pemangku<br />

kepentingan IGF adalah pemerintah, sektor bisnis/korporasi<br />

dan masyarakat sipil.<br />

3 Catatan kecil pertemuan dengan APJII, Agustus 2012<br />

4 www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus ‘cyber<br />

crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November 2012.<br />

Daftar Bacaan<br />

Donny BU. Catatan kecil pertemuan APJII, blogger<br />

dan civil society. Jakarta: Agustus 2012. (sirkulasi terbatas)<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 7


Internet dan Kebebasan<br />

Berekspresi di Indonesia<br />

Oleh Teguh Arifiyadi<br />

(Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC)<br />

Kebijakan Internet Censorship di Indonesia<br />

Penetrasi pertumbuhan internet di<br />

Indonesia dapat dikatakan luar biasa.<br />

Data dari www.internetwroldstats.com<br />

menunjukkan pada awal tahun 2000-an<br />

hanya dua juta pengguna dan pada akhir tahun<br />

2011 mengalami kenaikan signifi kan menjadi lebih<br />

dari 55 juta pengguna atau users. Angka tersebut<br />

menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar<br />

keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet<br />

terbanyak di bawah China, India, dan Jepang.<br />

(Lihat Grafi k 1.0)<br />

Grafik 1.0<br />

Lima Besar Negara Pengguna Internet di Asia<br />

per 31 Desember 2011<br />

per juta pengguna, sumber: www.internetworldstats.com<br />

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di<br />

Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan<br />

baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan<br />

pengendalian konten internet yang dilarang.<br />

Pemblokiran konten internet atau secara global<br />

lebih dikenal dengan internet censorship di<br />

Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi<br />

sorotan banyak pihak. Sensor terhadap internet<br />

merupakan isu sensitif di negara manapun di dunia<br />

karena berkaitan dengan pembatasan hak atas<br />

informasi warga negara.<br />

Secara normatif belum ada ketentuan<br />

spesifi k yang mengamanatkan Pemerintah untuk<br />

melakukan pembatasan hak atas informasi dalam<br />

bentuk sensor terhadap konten internet. Kebijakan<br />

eksplisit sensor internet tertuang dalam Pasal 40<br />

ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi<br />

dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan<br />

bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan<br />

umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat<br />

penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi<br />

Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,<br />

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.”<br />

Pasal 27 UU ITE lebih kongkret lagi mengatur<br />

larangan atas seseorang untuk mendistribusikan<br />

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat<br />

dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau<br />

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang<br />

melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran<br />

nama baik, dan pemerasan/pengancaman (Illegal<br />

Content). Pasal tersebut merupakan cermin<br />

kebijakan yang merujuk pada Convention on Cyber<br />

Crime 1 yang digagas oleh Council of Europe sejak<br />

tahun 2001 di Budapest.<br />

Khusus terkait sensor konten pornografi ,<br />

Pemerintah berlandaskan pada pasal 17 UU No. 44<br />

tahun 2009 tentang Pornografi yang memberi porsi<br />

tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah<br />

Daerah untuk melakukan pencegahan pembuatan,<br />

penyebarluasan, dan penggunaan pornografi .<br />

Selain itu, Pemerintah juga berpegang pada<br />

Pasal 7 UU Pornografi yang melarang setiap orang<br />

untuk memproduksi, membuat, memperbanyak,<br />

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,<br />

mengimpor, mengekspor, menawarkan,<br />

memperjualbelikan, menyewakan atau<br />

menyediakan pornografi yang secara eksplisit<br />

memuat, persenggamaan, kekerasan seksual,<br />

mastrubasi, ketelanjangan atau tampilan yang<br />

mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau<br />

pornografi anak.<br />

Secara kelembagaan, pemblokiran konten<br />

internet di Indonesia tidak pernah ditetapkan<br />

di bawah pengawasan suatu institusi tertentu.<br />

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)<br />

tidak memiliki kewenangan struktural yang<br />

diamanatkan undang-undang untuk melakukan<br />

pembatasan atas akses informasi/konten internet<br />

di Indonesia. Alhasil, kebijakan sensor internet<br />

di Indonesia secara sistematis tidak pernah<br />

diberlakukan. Praktik sensor internet di Indonesia<br />

terbatas pada isu-isu berskala nasional seperti<br />

SARA maupun kesusilaan karena dianggap dapat<br />

mengganggu ketertiban umum dan keamanan<br />

nasional.<br />

Hal ini berkaitan dengan Prinsip-prinsip Siracusa<br />

(Siracusa Principles) yang menyebutkan bahwa<br />

8 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi<br />

hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan<br />

secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hakhak.<br />

Semua pembatasan harus ditafsirkan secara<br />

jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang<br />

terkait.<br />

Sebagai contoh, selain kebijakan pemblokiran<br />

konten pornografi , Kementerian Kominfo juga<br />

telah melakukan pemblokiran atas konten yang<br />

berisi “kartun nabi Fitna” pada tahun 2010, video<br />

penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik,<br />

Pandeglang Banten pada tahun 2011, dan yang<br />

terbaru adalah pemblokiran konten video “Innocents<br />

of Moslems”. Alasan pemblokiran adalah karena<br />

konten-konten tersebut dianggap berpotensi<br />

menimbulkan gangguan sosial dan keamanan.<br />

Indikator lain suatu negara dikatakan telah<br />

cukup memberikan kebebasan internet terhadap<br />

warganya adalah dengan tidak termasuknya<br />

Indonesia sebagai bagian dari musuh internet<br />

(enemies of internet) yang dirilis oleh Reporters<br />

Without Borders (RWB). 2 RWB merilis 12 negara di<br />

dunia yang menurut kriteria mereka sebagai musuh<br />

atas kebebasan berekspresi di Internet, 3 seperti<br />

China, Bahrain, Kuba, Belarusia, dan beberapa<br />

negara otoriter lainnya.<br />

Kebijakan internet censorship di Indonesia<br />

sebagaimana negara-negara lain bergantung pada<br />

rezim kekuasaan yang berlaku saat ini. Reformasi<br />

di Indonesia yang melahirkan demokrasi dan<br />

kebebasan pers turut mempengaruhi arah kebijakan<br />

internet censorship di Indonesia. Fakta di atas<br />

menunjukan bahwa iklim kebebasan berkespresi<br />

dan memperoleh akses informasi melalui media<br />

internet di Indonesia masih cukup moderat.<br />

Pembatasan Akses Informasi/Konten yang<br />

Dilarang<br />

Secara teknis, banyak metode yang bisa digunakan<br />

Pemerintah sebuah negara termasuk di Indonesia<br />

untuk melakukan pembatasan/sensor terhadap<br />

konten yang dilarang. Namun, permasalahannya<br />

di Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan<br />

dengan melihat kembali bagaimana sejarah<br />

hadirnya internet di Indonesia.<br />

Internet di Indonesia lahir dari masyarakat<br />

melalui komunitas telekomunikasi dan teknologi<br />

informasi, awal tahun 1990-an. Pemerintah<br />

memfasilitasinya dengan memberi dukungan dalam<br />

bentuk regulasi. Pada periode berikutnya sampai<br />

saat ini swasta tampil lebih dominan membangun<br />

infrastruktur internet di Indonesia. Sementara<br />

pemerintah melanjutkan dengan terus menyiapkan<br />

regulasi pendukung.<br />

Hal ini berbeda dengan negara-negara penganut<br />

sensor ketat terhadap konten internet seperi Arab<br />

Saudi, Iran, Tunisia maupun negara lainnya yang<br />

laporan utama<br />

secara institusional menempatkan negara sebagai<br />

institusi dominan yang membidani ‘lahir’nya<br />

internet. Negara-negara tersebut membangun<br />

hampir sebagian besar infrastrukur internet yang<br />

disediakan untuk kebutuhan warga negaranya.<br />

Dengan mengintegrasikan pembangunan<br />

infrastruktur internet, negara tersebut dapat<br />

mengendalikan internet melalui model single<br />

gateway. Artinya, seluruh saluran internet bersumber<br />

pada satu pipa utama yang memungkinkan negara<br />

mengendalikan internet secara leluasa.<br />

Melihat sejarah lahirnya internet di Indonesia,<br />

dapat dikatakan bahwa infrastruktur internet di<br />

indonesia menganut model multiple gateway,<br />

karena masing-masing internet gateway secara<br />

mandiri dibangun oleh sektor privat melalui Internet<br />

Service Provider (ISP). Jumlah ISP tercatat di<br />

Indonesia menurut data Kementerian Kominfo saat<br />

ini lebih dari 180-an.<br />

ISP secara otomatis berfungsi sebagai<br />

gateway atas seluruh konten yang ada di Internet.<br />

Konsekuensinya adalah tidak mudah menerapkan<br />

kebijakan internet censorship dengan model<br />

mulitiple gateway seperti di Indonesia.<br />

Pornografi sebagai Informasi/Konten yang<br />

Dilarang<br />

Kebijakan internet censorship di Indonesia yang<br />

bersifat sangat spesifi k adalah terkait konten<br />

pornografi yang merupakan wujud perlindungan<br />

negara terhadap warga negara dari bahaya<br />

pornografi . Kebijakan serupa juga diterapkan<br />

dibanyak negara di dunia dan bukan merupakan<br />

sebuah kebijakan yang dianggap membatasi<br />

kebebasan berekspresi di internet.<br />

Memang sampai sejauh ini tidak ada protes<br />

masyarakat atas upaya pemerintah untuk<br />

melakukan pemblokiran terhadap konten pornografi<br />

di Indonesia. Namun permasalahan tentang<br />

pemblokiran konten pornografi internet di Indonesia<br />

justru adalah tentang bagaimana mendefi nisikan<br />

batasan pornografi yang menurut banyak ahli<br />

bahasa masih bersifat relatif. Pemerintah tidak<br />

pernah memiliki keberanian untuk mendefi nisikan<br />

pornografi internet secara kongret dalam regulasi<br />

termasuk pengecualian atas batasan akses konten<br />

tersebut. Alhasil semua konten yang menurut<br />

pendapat subyektif pemerintah bermuatan<br />

pornografi dilarang!<br />

Untuk memerangi pornografi , Pemerintah<br />

melalui Kementerian Kominfo secara tegas<br />

mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 1598/SE/<br />

DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010<br />

tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-<br />

Undangan yang Terkait dengan Pornografi . Inti dari<br />

surat edaran tersebut adalah agar penyelenggara<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 9


Jasa Akses Internet (Internet Service Provider) dan<br />

penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet (Network<br />

Access Point/NAP) untuk turut memerangi<br />

pornografi sesuai ketentuan perundang-undangan.<br />

Surat edaran ini merupakan bentuk nyata<br />

perlawanan pemerintah terhadap pornografi yang<br />

sesuai dengan Pasal 18 UU Pornografi dimana<br />

pemerintah berwenang melakukan pemutusan<br />

jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk<br />

pornografi atau jasa pornografi , termasuk<br />

pemblokiran pornografi melalui internet.<br />

Di periode yang sama, Pemerintah juga merilis<br />

aplikasi “Trust Positif” yang merupakan aplikasi<br />

fi ltering konten pornografi di Indonesia. Metode<br />

yang digunakan adalah dengan penyaringan daftar<br />

hitam (black list fi ltering) dan penyaringan daftar<br />

putih (white list fi ltering). Blacklist fi ltering mengacu<br />

pada nama URL dan domain yang masuk kategori<br />

negatif yang ditengarai memuat konten pornografi ,<br />

sedangkan white list fi ltering berisi URL atau nama<br />

domain yang dapat dipastikan aman (terpercaya)<br />

dari konten pornografi untuk dapat diakses oleh<br />

pengguna internet.<br />

Menurut data Kementerian Kominfo, sampai<br />

dengan semester pertama tahun 2012, jumlah URL<br />

maupun domain bermuatan pornografi yang sudah<br />

diblokir adalah sebanyak 835.494 dengan rincian<br />

sebagai berikut: 4<br />

Keyakinan individu bisa diekspresikan secara<br />

lebih luas dengan maksud sengaja atau tidak<br />

sengaja mempengaruhi keyakinan pengguna lain.<br />

Meskipun demikian, banyak juga pengguna internet<br />

yang mengekspresikan keyakinan sebagai bentuk<br />

euforia kebebasan berbicara di dunia siber.<br />

Pemerintah saat ini tidak pernah melarang<br />

masyarakat untuk mengekspresikan keyakinan<br />

apapun di internet sesuai dengan norma yang ada.<br />

Ekspresi atas pemikiran maupun keyakinan bukan<br />

merupakan sebuah tindak pidana berdasarkan<br />

UU ITE, terkecuali jika ekspresi tersebut berisi<br />

fi tnah, atau hasutan untuk berbuat kriminal, serta<br />

menyinggung SARA.<br />

Sayangnya ketentuan normatif tersebut tidak<br />

sepenuhnya diikuti oleh faktanya. Kasus Alexander,<br />

seorang PNS penganut atheis di Padang yang<br />

dipecat akibat menuliskan keyakinannya melalui<br />

jejaring sosial menunjukan bahwa masih banyak<br />

masyarakat yang belum bisa menerima ekspresi<br />

sebuah keyakinan sebagai bagian dari hak asasi<br />

manusia dengan dalih hal tersebut dianggap<br />

mengganggu keyakinan orang lain.<br />

Jika kasus-kasus serupa bermunculan,<br />

maka tidak ada lagi persamaan hak untuk<br />

mengekspresikan keyakinan di dunia siber.<br />

Pada akhirnya hukum dikuasai dan menjadi milik<br />

golongan tertentu.<br />

Periode<br />

Pengaduan<br />

Masyarakat<br />

Kajian Tim<br />

Kominfo<br />

Total<br />

31 Desember 2011 444 181 833.107<br />

30 Juni 2012 2302 729 835.494<br />

Jika diamati dengan baik, maka kita dapat mengambil<br />

kesimpulan sementara bahwa kesadaran<br />

masyarakat di Indonesia untuk mengadukan URL<br />

atau domain yang bermuatan pornografi semakin<br />

baik. Terjadi lonjakan pengaduan lebih dari 500%<br />

hanya dalam tempo enam bulan terakhir. Angka<br />

tersebut dapat mengindikasikan bahwa masyarakat<br />

di Indonesia sepakat menjadikan pornografi internet<br />

sebagai musuh bersama.<br />

Keterangan<br />

1. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama<br />

pada kejahatan yang dilakukan lewat internet dan jaringan<br />

komputer lainnya.<br />

2. RWB merupakan LSM internasional yang bergerak dalam<br />

bidang kebebasan pers dan informasi yang berbasis di<br />

Perancis<br />

3. Internet Enemies, Reporters Without Borders (Paris),<br />

12 March 2012<br />

4. Siaran Pers No. 63/PIH/KOMINFO/7/2012 tentang Evaluasi<br />

Pemblokiran Konten Pornografi tanggal 18 Juli 2012<br />

Kebebasan Berkeyakinan di Dunia Siber<br />

Selain isu tentang pornografi , dampak kebebasan<br />

berekspresi di internet memunculkan fenomena<br />

baru tentang cara berekspresi dan berpendapat.<br />

Hadirnya jejaring sosial, pemanfaatan blog, maupun<br />

media komunikasi online interaktif (chatting) telah<br />

mengubah gaya komunikasi masyarakat, dari yang<br />

bersifat individu dan terbatas menjadi bersifat<br />

publik. Ekspresi berkeyakinan pun menjadi salah<br />

satu topik paling sering diungkapkan oleh pengguna<br />

internet.<br />

10 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


laporan utama<br />

Divonis Setelah Atheis<br />

Oleh Harry Kurniawan<br />

(Staf Perkumpulan Q-Bar Padang)<br />

Alexander Aan panggilan Aan adalah<br />

seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS)<br />

yang bekerja di Badan Perencanaan<br />

dan Pembangunan Daerah (Bappeda)<br />

Kabupaten Dharmasraya. Dia lahir dari pasangan<br />

Armas, seorang guru SD, dan ibunya bernama<br />

Nuraini, ibu rumah tangga. Alexander Aan dikenal<br />

sebagai anak yang cerdas. Dia menamatkan studi<br />

Strata-1 di Jurusan Statistik Universitas Padjajaran,<br />

Bandung. Menurut data LBH Padang, berkat<br />

kecerdasannya itu, Aan berhasil lolos menjadi<br />

CPNS di Dharmasraya.<br />

Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka<br />

dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di<br />

Pengadilan Negeri Sijunjung. Kasus yang menimpa<br />

Alexander Aan bermula dari kedatangan warga<br />

Pulau Punjung ke kantor Bappeda Kabupaten<br />

Dharmasraya pada 18 Januari 2012. Mereka<br />

mencari Alexander Aan.<br />

Aan dituduh melakukan penghinaan terhadap<br />

Agama Islam karena tulisan di halaman Facebooknya<br />

yang berjudul “Nabi Muhammad tertarik kepada<br />

menantunya sendiri” dan sebuah komik yang<br />

diambilnya dari grup Facebook “Atheis Minang”<br />

dan di-posting di dinding “Alex Aan” dengan judul<br />

“Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu<br />

istrinya”.<br />

Dengan alasan keamanan, Aan kemudian<br />

dibawa ke kantor Polsek Sijunjung. Di kantor<br />

Polsek Sijunjung Aan mengaku bahwa dia seorang<br />

atheis sejak tahun 2008. Dia sempat diminta<br />

bertobat, namun Aan menolak karena menurutnya<br />

itu merupakan bagian dari hak kebebasannya.<br />

Alexander Aan kemudian ditahan oleh Polres<br />

Dharmasraya. Dia ditetapkan sebagai tersangka<br />

pelaku penodaan agama.<br />

Alexander Aan disangka dan didakwa dengan<br />

Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008<br />

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang<br />

berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa<br />

hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk<br />

menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan<br />

individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu<br />

berdasarkan atas suku, agama, ras, antargolongan<br />

(SARA)” dengan ancaman hukuman paling lama 6<br />

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.<br />

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).<br />

Selain itu, Alexander Aan juga didakwa dengan<br />

Pasal 156 huruf a KUHP yang berbunyi “Dengan<br />

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan<br />

atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya<br />

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau<br />

penodaan terhadap suatu agama yang dianut<br />

di Indonesia” dan Pasal 156 a huruf b KUHP<br />

yang berbunyi “dengan sengaja di muka umum<br />

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan<br />

dengan maksud agar supaya orang tidak menganut<br />

agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan<br />

yang maha esa”. Dalam hal ini diancam dengan<br />

hukuman selama-lamanya 5 (lima) tahun.<br />

Pada waktu di Polres Dharmasraya Alexander<br />

Aan secara sadar dan tanpa paksaan juga<br />

menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam,<br />

keluarga, dan pihak Pemerintahan Dharmasraya.<br />

Karena posting-an dengan judul “Nabi Muhammad<br />

tertarik kepada menantunya sendiri” yang ada<br />

dalam Facebook “Aan Aan” bukan bertujuan<br />

untuk menyudutkan dan atau menghina Agama<br />

Islam, dan gambar yang bertuliskan kisah “Nabi<br />

Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya”<br />

bukan merupakan karya/tulisannya, melainkan<br />

diambil dari tautan Facebook “Atheis Minang” yang<br />

diduga dikelola oleh Jusfi q Hadjar.<br />

Jusfi q Hadjar adalah pria yang berumur 70<br />

Tahun yang berasal dari Cingkariang, Banuhampu,<br />

Agam, Sumatera Barat, yang sekarang menetap<br />

di Leiden, Belanda. Sebelum berada di Belanda<br />

yang bersangkutan tinggal di Prancis sejak tahun<br />

1960 dan menjadi dosen di salah satu universitas di<br />

Prancis. Sejak tinggal di Belanda, Jusfi q Hadjar aktif<br />

menulis di berbagai milis dan sering menyerang<br />

ajaran Islam dan menonjolkan sisi-sisi buruk dari<br />

Islam dan Nabi Muhammad.<br />

Jusfi q Hadjar mengaku sebagai penganut Islam<br />

Mu’tazillah, yang bertujuan memanusiawikan<br />

ajaran Islam. 1 Aan sendiri tidak pernah bertemu<br />

dan berbicara langsung dengan Jusfi q Hadjar. Aan<br />

diundang sebagai pengelola akun “Atheis Minang”.<br />

Alexander Aan kemudian dituntut 3 tahun 6<br />

bulan penjara dengan Pasal 28 UU ITE. Hakim<br />

memvonis Aan bersalah dengan hukuman 2 tahun<br />

6 bulan penjara. Putusan ini sangat disayangkan<br />

karena pada dasarnya unsur pasal yang<br />

didakwakan terhadap Alexander Aan tidak terbukti<br />

di persidangan.<br />

Permusuhan dan kebencian yang timbul di<br />

masyarakat bukanlah akibat perbuatan Alexander<br />

Aan mem-posting komentar-komentarnya di<br />

Facebook akan tetapi akibat perbuatan rekan<br />

sekantornya yang meng-capture dinding Facebook<br />

grup Atheis Minang dan Facebook Alexander Aan<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 11


untuk kemudian dicetak dan dibagi-bagikan kepada<br />

masyarakat. Atas putusan majelis hakim baik jaksa<br />

penuntut umum maupun penasihat hukum samasama<br />

mengajukan banding.<br />

Bermula dari posting tersebut kemudian Aan<br />

mendapat perhatian dari berbagai pihak yang<br />

sejalan dengan pemahaman Aan, baik dari nasional<br />

maupun internasional. Semakin gencarnya Aan<br />

berdinamika di jejaring sosial sehingga kemudian<br />

Aan dipercaya untuk menjadi administrator grup<br />

“Atheis Minang” yang dimotori oleh Jusfiq Hadjar.<br />

Aktivitas ini sudah Aan lakukan semenjak tahun<br />

2011, dengan grup “Atheis Minang” ini kemudian<br />

Aan berhasil menggaet kurang lebih 1.200 orang<br />

anggota yang memiliki pemahaman yang sama.<br />

Dengan adanya pernyataannya di dunia maya<br />

itu, sekelompok pemuda Sungai Kambuik Pulau<br />

Punjung yang dipimpin Ketua Pemudanya Os,<br />

mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya untuk<br />

mendesak bupati Dharmasraya/Pemerintah<br />

Kabupaten Dharmasraya menindak tegas<br />

Aan yang merupakan CPNS di lingkungan<br />

Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya. Setelah<br />

ditemui, Alexander Aan bersikeras bahwa apa yang<br />

ia sampaikan itu benar menurutnya dan karena itu<br />

merupakan pendapat pribadinya.<br />

“Hal itu sudah saya pikirkan semenjak SD dulu.<br />

Saya juga sudah mempelajari berbagai agama dan<br />

saya menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika<br />

ada Tuhan, mengapa masih banyak orang yang<br />

menderita dan kejahatan-kejahatan. Jika Tuhan itu<br />

ada, maka tidak akan ada kesenjangan terjadi di<br />

dunia ini,” kata Alexander beralasan mengapa ia<br />

atheis. 2<br />

Dampak dari Group “Atheis Minang” ini<br />

mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,<br />

termasuk tokoh-tokoh Islam di Sumatera Barat.<br />

Sebelumnya tidak diketahui siapa yang menjadi<br />

motor dari grup tersebut. Secara tidak sengaja,<br />

akun jejaring sosial Facebook milik Aan diketahui<br />

oleh salah seorang CPNS yang juga bekerja di<br />

BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya dan kemudian<br />

membongkar siapa yang selama ini menjadi admin<br />

grup “Atheis Minang”.<br />

Dengan telah terungkapnya Alexander Aan<br />

sebagai penganut paham Atheis serta “berkicau”<br />

di jejaring sosial Facebook sebagai Atheis Minang,<br />

maka hal ini menyulut kemarahan kelompok<br />

pemuda di Kabupaten Dharmasraya yang<br />

ingin menghakimi Aan karena dianggap telah<br />

menyebarkan ajaran sesat di Sumatera Barat<br />

umumnya dan Dharmasraya khususnya.<br />

Proses hukum terhadap Alexander Aan terus<br />

berlanjut sampai ke meja hijau. Para penentang<br />

Aan mendesak supaya Aan diberhentikan sebagai<br />

CPNS di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya,<br />

walaupun sampai saat ini status Aan sebagai<br />

CPNS BAPPEDA Dharmasraya belum dicabut<br />

karena menunggu putusan pengadilan yang<br />

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun<br />

tidak menutup kemungkinan nantinya Aan dapat<br />

diberhentikan secara tidak hormat.<br />

Kebebasan beragama memang dilindungi<br />

dalam Konstitusi, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan (2)<br />

yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk<br />

untuk memeluk agamanya masing-masing<br />

dan untuk beribadat menurut agamanya serta<br />

kepercayaannya itu, namun tetap berasaskan<br />

Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai 3 dengan butir<br />

pertama Pancasila. Kasus yang terjadi terhadap<br />

Alexander Aan ini memperlihatkan terjadinya<br />

pertentangan antara Kebebasan beragama dan<br />

berpendapat dengan nilai-nilai agama di tengahtengah<br />

masyarakat, sehingga perlu didudukkan<br />

bagaimana sikap atau langkah yang dapat<br />

menyelesaikan problem ini tanpa harus ada yang<br />

dilanggar hak asasinya.<br />

DAFTAR BACAAN:<br />

Anwar, Chairul. Hukum Adat Minangkabau. Jakarta:<br />

Segara, 1967.<br />

Little, David. Kebebasan beragama dan Hak <strong>Asasi</strong><br />

Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.<br />

Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan<br />

Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafi ti<br />

Pers, 1966.<br />

Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum suatu<br />

Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari<br />

Segi Hukum Islam, Implementasinya pada<br />

Periode Negara Madinah dan Masa Kini.<br />

Jakarta: Kencana, 2004.<br />

Perundang-undangan dan Lain-lain<br />

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia<br />

Tahun 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).<br />

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156a<br />

Huruf (a) dan (b).<br />

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang<br />

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).<br />

Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang,<br />

sebagai Kuasa Hukum Alexander Aan.<br />

Keterangan<br />

1 Lihat:www.opensubscriber.com//message//zamanku@<br />

yahoogroups.com//10229086.html<br />

2 Harian Haluan Padang, Jum’at/15 Juni 2012<br />

3 Baca Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara<br />

Republik Indonesia Tahun 1945.<br />

12 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


monitoring sidang<br />

Menghukum Rendah, Mewajarkan<br />

Penyiksaan Tahanan 1<br />

Monitoring Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah<br />

di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat<br />

Oleh Andi Muttaqien<br />

(Staf Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum ELSAM)<br />

Erik Alamsyah, Tahanan Yang Alami Kekejian<br />

Aparat<br />

Erik Alamsyah, warga Sumatera Barat<br />

dinyatakan meninggal akibat penyiksaan<br />

yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta<br />

Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian<br />

kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM<br />

perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu,<br />

Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam<br />

kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM,<br />

yakni pelanggaran terhadap hak hidup, hak bebas<br />

dari penyiksaan dan hak atas perlakuan hukum yang<br />

adil, yang diduga dilakukan oleh anggota Polri Polsek<br />

Bukittinggi. 2 Erik bersama 2 (dua) rekannya, Nasution<br />

Setiawan dan Marjoni ditangkap Kepolisian karena<br />

dituduh mencuri sepeda motor. Dalam tahanan<br />

Polsekta Bukittinggi itulah ketiganya mengalami<br />

penyiksaan ketika interogasi, dan berakibat pada<br />

kematian Erik.<br />

Diawali tatkala Polisi menangkap Marjoni pada<br />

22 Maret 2012 di Madina, Sumatera Utara. Polisi<br />

kemudian membawa Marjoni ke Polsek Bukittinggi<br />

pada 23 Maret 2012. Marjoni diinterogasi di Polsekta<br />

Bukittinggi dan dipaksa berbicara terkait kasusnya.<br />

Dalam interogasi tersebut, sebagaimana laporan<br />

Komnas HAM, Marjoni kerap mengalami kekerasan.<br />

Dari Marjoni, Kepolisian akhirnya tahu keberadaan<br />

Erik dan Nasution Setiawan.<br />

Akhirnya, siang hari tanggal 30 Maret 2012, Erik<br />

dan Nasution Setiawan ditangkap di sekitar rumah<br />

kontrakannya. Mereka disergap 6 anggota Polsekta<br />

Bukittinggi. Awalnya, keduanya hendak melarikan<br />

diri dengan sepeda motor, namun karena Polisi<br />

lebih banyak, keduanya tertangkap bahkan sempat<br />

terjatuh motornya. Keduanya pun dibawa ke Polsekta<br />

Bukittinggi, dan diperiksa di ruang Subnit Opsnal<br />

Reskrim. 3 Di ruang itu mereka berkali-kali mendapat<br />

kekerasan, dipukul dengan gitar kecil (ukulele), balok<br />

besar + 4 Cm X 6 Cm, sapu, sabuk/ikat pinggang,<br />

potongan bambu besar, dijepit dengan pena, bahkan<br />

Nasution sempat dipukul dengan martil pada bagian<br />

lututnya. Keduanya berada di ruang itu sekitar<br />

10 menit sampai akhirnya dipisahkan. Nasution<br />

mengaku, dari ruangan terpisah dirinya berkali-kali<br />

mendengar Erik berteriak.<br />

Sekitar pukul 16.00 WIB, Nasution dan Marjoni<br />

dipertemukan dengan Erik Alamsyah di Ruang<br />

Subnit Opsnal Reskrim. Mereka melihat banyak luka<br />

di tubuh Erik yang saat itu tertelungkup, di lantai pun<br />

terdapat ceceran darah. Erik juga mengeluh sakit<br />

perut. Akhirnya, Erik tak sadarkan diri dan dibawa<br />

ke RS. Ahmad Muchtar. Setiba di Rumah Sakit, Erik<br />

dinyatakan sudah meninggal dunia.<br />

Kematian Erik Alamsyah baru terungkap ke publik<br />

pada 1 April 2012, saat dilakukan otopsi jenazah di<br />

RS. M. Jamil, Padang. 4 Awalnya, pihak Kepolisian<br />

menyatakan kepada keluarga bahwa Erik meninggal<br />

akibat kecelakaan saat penangkapan, sehingga<br />

keluarga awalnya menerima kematian Erik dan<br />

tak bersedia jenazah Erik diotopsi. Namun Polres<br />

Bukittinggi tetap otopsi korban. Karena itulah jenazah<br />

Erik akhirnya diotopsi di RS. M. Jamil, Padang. Pada<br />

jenazah Erik akhirnya ditemukan 5 : 2 luka robek di<br />

kepala bagian belakang sebelah atas; luka memar di<br />

bagian pelipis mata, hidung, dahi, bibir, dagu sebelah<br />

kiri dan luka goresan di bagian dahi sebelah kiri; luka<br />

memar di bagian bahu kanan dan bahu kiri, serta<br />

beberapa bagian dari bahu kanan dan kiri tersebut<br />

terdapat trauma yang mengakibatkan lukanya<br />

membengkak, sehingga seperti luka sayatan,<br />

namun memar tersebut tidak terbuka; luka memar<br />

di beberapa bagian punggung, dan satu luka memar<br />

yang membengkak di sebelah kanan dari punggung<br />

tersebut; luka memar di bagian paha kanan dan kiri,<br />

tungkai kiri dan kanan; memar di bagian paha kanan<br />

dan kiri, tungkai kiri dan kanan; dan luka memar di<br />

bagian kepala dalam lebih dari satu.<br />

Persidangan Para Pelaku<br />

Pada 3 April 2012, penyidik Polda Sumbar menetapkan<br />

6 orang anggota Polsekta Bukittinggi sebagai<br />

Tersangka, yakni AM. Muntarizal, Riwanto Manurung,<br />

Deki Masriko, Fitria Yohanda, Boby Hertanto, Dodi<br />

Hariandi, dengan sangkaan melakukan penganiayaan<br />

yang mengakibatkan kematian.<br />

Pengadilan Negeri Bukittinggi menyidangkan<br />

kasus dengan perkara nomor 75/PID.B/2012/<br />

PN.BKT ini pertama kali pada 26 Juni 2012. Para<br />

Terdakwa didakwa Jaksa Penuntut Umum dengan<br />

dakwaan alternatif, yaitu Pertama, Pasal 170 ayat (2)<br />

ke-3 KUHP, yakni tindak pidana kekerasan terhadap<br />

orang dan/atau barang yang mengakibatkan<br />

kematian, dengan ancaman pidana maksimal 12<br />

tahun penjara; Kedua, Pasal 351 ayat (3) jo Pasal<br />

55 KUHP ayat (1) ke-1, yakni turut serta melakukan<br />

tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 13


kematian, dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun<br />

penjara; Ketiga, Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat<br />

(1) ke 1 KUHP, yakni tindak pidana ppenganiayaan,<br />

dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun 8 bulan<br />

penjara; dan Keempat, Pasal 358 ayat (2) KUHP,<br />

yakni tindak pidana penyerangan atau perkelahian<br />

yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman<br />

pidana maksimal 4 tahun penjara.<br />

Dalam persidangan, para Terdakwa didampingi<br />

3 orang Penasehat Hukum dari Kepolisian Daerah<br />

Sumatera Barat Republik Indonesia 6 , yakni Zulfia,<br />

SH., Hafnizal, SH., dan Hamrizal, SH.<br />

Berdasarkan surat dakwaan, JPU menyatakan<br />

para Terdakwa pada 30 Maret 2012, setelah<br />

menangkap Erik dan Nasution, di dalam ruang<br />

Opsnal Polsekta Bukittinggi, mereka secara bersamasama<br />

melakukan pemukulan terhadap korban Erik.<br />

Terdakwa I memukul kening korban menggunakan<br />

tangan, serta menendang dengan kaki ke arah kaki<br />

korban Erik; Terdakwa II memukul punggung Erik<br />

sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan tangan;<br />

Terdakwa III memukul korban dengan menggunakan<br />

bambu sebanyak 5 (lima) kali sehingga korban<br />

menjerit kesakitan, selain itu Terdakwa III juga<br />

memukul korban menggunakan ikat pinggang<br />

yang diambil dari saksi Nasution ke kepala korban.<br />

Sedangkan Terdakwa IV menendang korban dengan<br />

menggunakan kakinya sembari menyerukan agar<br />

Erik jujur; Terdakwa V menampar kepala korban<br />

serta menendang kaki korban sebanyak 1 (satu) kali;<br />

Terdakwa VI memukul korban dengan menggunakan<br />

balok kayu sebanyak 2 (dua) kali ke arah kaki serta<br />

bahu korban dan juga memukul korban dengan<br />

tangkai sapu sebanyak 5 (lima) kali ke arah tubuh korban,<br />

sehingga korban berteriak “ampun pak, sakit pak”.<br />

Akibat perbuatan Para Terdakwa tersebut, Erik<br />

mengalami luka memar pada bagian kepala serta<br />

anggota tubuh lainnya. Pada pukul 17.00 WIB<br />

korban mengeluh sakit pada bagian perutnya dan tak<br />

lama kemudian korban jatuh pingsan dan dilarikan<br />

ke RSAM Bukittinggi. Sesampainya di RSAM, Dokter<br />

Rumah sakit menyatakan bahwa korban telah<br />

meninggal dunia.<br />

Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan terhadap<br />

jenazah korban atau visum et repertum tanggal 1<br />

April 2012 oleh Dr. Rika Susanti Sp.F di RSUP Djamil,<br />

Padang, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat luka<br />

terbuka pada belakang kepala kiri, luka memar pada<br />

punggung, lengan, tungkai serta luka lecet pada dahi,<br />

pelipis, bibir, dagu, lengan dan jari akibat kekerasan<br />

benda tumpul. Hal yang mengakibatkan kematian<br />

korban adalah kekerasan benda tumpul pada kepala.<br />

Saksi Cabut BAP di Persidangan, Jaksa Tak<br />

Serius<br />

Sidang mendengarkan keterangan Saksi digelar<br />

pertama kali pada 17 Juli 2012. Ada hal yang<br />

sangat mengejutkan pada sidang tersebut, di mana<br />

Saksi (kunci) Nasution Setiawan yang sebelumnya<br />

pada investigasi LBH Padang dan Komnas HAM<br />

mengatakan bahwa Erik mengalami pemukulan,<br />

dan dirinya juga mengalami pemukulan, serta<br />

keterangan bahwasanya Erik tidak terjatuh saat<br />

penangkapan, mencabut keterangannya di BAP<br />

dengan alasan bahwa saat proses BAP, dirinya<br />

stress karena terlalu banyak pertanyaan dari Polisi<br />

serta dirinya sakit hari kepada Polisi yang telah<br />

menangkap dirinya. Hal ini melemahkan tuntutan<br />

Jaksa dan akhirnya keterangan-keterangan di<br />

persidangan pun mengarah bahwa kematian Erik<br />

utamanya disebabkan karena terjatuhnya Erik saat<br />

penangkapan, bukan dikarenakan pemukulan yang<br />

dilakukan Polisi saat interogasi.<br />

Pencabutan BAP ini, dicurigai akibat tidak<br />

berjalannya perlindungan yang diberikan LPSK.<br />

Padahal, Permohonan perlindungan Saksi yang<br />

diajukan melalui LBH Padang ini telah diterima<br />

LPSK sebagaimana surat Nomor: R–0576/1.3/<br />

LPSK/06/2012, perihal: Pemberitahuan Diterimanya<br />

Perlindungan an. Nasution Setiawan, tertanggal 1<br />

Juni 2012 7 . Namun, kenyataannya Saksi Nasution<br />

Setiawan dan Marjoni tidak mendapatkan<br />

perlindungan, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa<br />

Nasution Setiawan dan Marjoni ditahan di Lapas<br />

Biaro, Baso, Kab. Agam, Sumatera Barat, yakni<br />

Lapas yang sama dengan para Terdakwa penyiksaan.<br />

Meskipun menurut JPU ditempatkan pada blok<br />

yang berbeda 8 . Selain itu, Nasution Setiawan dan<br />

Marjoni yang juga sedang menjalani sidang perkara<br />

pencurian di PN Bukittinggi, beberapa kali berada<br />

dalam satu mobil tahanan dengan para Terdakwa<br />

penyiksaan. Padahal kendaraan tahanan Kejari<br />

Bukittinggi tersebut sangat kecil, yakni hanya muat<br />

mungkin 12 penumpang.<br />

Atas pencabutan BAP ini, Komnas HAM melalui<br />

surat bernomor 1.938/K/PMT/X/2012, tertanggal<br />

1 <strong>Okt</strong>ober 2012 (terlampir) menerangkan kepada<br />

Ketua PN Bukittinggi bahwa dicurigai pencabutan itu<br />

adalah akibat intimidasi dari Terdakwa.<br />

Pada 24 <strong>Sept</strong>ember 2012, Jaksa Penuntut<br />

Umum pun akhirnya hanya menuntut 1 tahun<br />

penjara terhadap Terdakwa AM. Muntarizal; Riwanto<br />

Manurung; Fitria Yohanda; dan Boby Hertanto.<br />

Sedangkan terhadap Deky Masriko dan Dodi<br />

Hariandi, Jaksa menuntut 1 tahun 2 bulan penjara,<br />

karena dianggap etrbukti melakukan penganiayaan,<br />

sebagaimana diatur Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 55<br />

ayat (1) KUHP. Padahal, awalnya para Terdakwa<br />

didakwa melakukan tindak pidana kekerasan<br />

yang mengakibatkan maut; penganiayaan yang<br />

mengakibatkan kematian; penganiayaan ringan;<br />

serta pengeroyokan yang mengakibatkan kematian.<br />

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum<br />

mengesampingkan pasal-pasal dan fakta-fakta<br />

persidangan. Luka-luka tak wajar, adanya darah<br />

saat di proses penyidikan, dan visum et repertum<br />

tidak dipertimbangkan dan dilihat secara baik oleh<br />

Jaksa untuk mengaitkannya dengan perbuatan para<br />

Terdakwa. Bahkan Jaksa Penuntut Umum tidak<br />

melihat perbuatan pelaku sebagai pengeroyokan.<br />

14 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


Putusan Hakim Mewajarkan Penyiksaan<br />

Setelah berjalan persidangan sejak Juni 2012,<br />

Majelis Hakim perkara Putusan No. 75/PID.B/2012/<br />

PN.BKT pada Senin, 22 <strong>Okt</strong>ober 2012 akhirnya<br />

membacakan putusan terhadap 6 (enam) orang<br />

Polisi Polsekta Bukittinggi, yang melakukan<br />

penyiksaan terhadap Erik Alamsyah. Majelis Hakim<br />

menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan<br />

meyakinkan melanggar Pasal 351 ayat (1) jo Pasal<br />

55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni turut serta melakukan<br />

penganiayaan. Terdakwa a.n 1) AM. Muntarizal; 2)<br />

Riwanto Manurung; 3) Fitria Yohanda; da 4) Boby<br />

Heryanto dihukum dengan hukuman 10 bulan<br />

penjara. Sedangkan Terdakwa a.n 5) Deky Masriko;<br />

dan Dody Hariandi dihukum dengan hukuman 1<br />

tahun penjara. Hukuman ini dipotong masa tahanan.<br />

Masing-masing hukuman ini 2 bulan lebih rendah<br />

dibandingkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.<br />

Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam)<br />

Terdakwa sangat ringan, dan tidak memberikan efek<br />

jera terhadap para terdakwa yang notabene adalah<br />

aparat kepolisian yang seharusnya dapat menjadi<br />

contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut<br />

menambah rentetan kasus penyiksaan yang<br />

melibatkan aparat kepolisian yang dihukum secara<br />

tidak maksimal, sehingga mengakibatkan perilaku<br />

penyiksaan dan merendahkan martabat kerap terjadi<br />

di institusi Kepolisian.<br />

Dalam pertimbangan putusannya, Majelis<br />

Hakim hampir sepenuhnya mengikuti logika-logika<br />

yang dibangun Penasehat Hukum Terdakwa dan<br />

argumentasi-argumentasi JPU, yakni bahwasanya<br />

adalah benar para Terdakwa melakukan<br />

penganiayaan terhadap Erik Alamsyah, namun<br />

penganiayaan tersebut bukanlah menjadi sebab yang<br />

mengakibatkan kematian Erik. Padahal seharusnya,<br />

Majelis Hakim seharusnya bisa menggali sendiri<br />

fakta-fakta selama di persidangan, terutama<br />

ketika saksi Nasution Setiawan yang mencabut<br />

keterangannya di BAP. Ketika saksi mencabut<br />

BAP-nya ini, seharusnya hakim memperhatikan<br />

kondisi psikologis saksi Nasution, yang juga menjadi<br />

Terdakwa dalam kasus pencurian motor. Selain itu,<br />

ketika dihadirkan sebagai saksi, Nasution dibawa<br />

menggunakan mobil tahanan yang sama dengan<br />

para terdakwa dan ditempatkan di dalam ruang<br />

tahanan PN yang sama.<br />

Kemudian, dalam pertimbangan “hal meringankan”<br />

Terdakwa, Majelis Hakim menyatakan beberapa hal,<br />

yang salah satunya adalah: tindakan para Terdakwa<br />

adalah dalam rangka mengungkap kasus pencurian<br />

sepeda motor yang sedang marak di Bukittinggi.<br />

Kami melihat pertimbangan Hakim ini tidak tepat,<br />

karena secara tidak langsung dapat dikatakan<br />

bahwa Majelis Hakim mewajarkan pemukulanpemukulan<br />

yang dilakukan para Terdakwa, karena<br />

dalam aktivitas pekerjaannya.<br />

Selain itu, Hakim juga menolak permohonan<br />

restitusi yang diajukan keluarga Erik melalui LPSK<br />

dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formil<br />

sebagaimana diatur PP No. 44 tahun 2008 tentang<br />

monitoring sidang<br />

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan<br />

Kepada Saksi dan Korban (Pasal 20 s.d Pasal 33).<br />

Majelis Hakim berpendapat, karena permohonan<br />

tersebut tidak melampirkan kwitansi atau bukti<br />

biaya yang dikeluarkan korban atau keluarganya<br />

paska meninggalnya Erik, sehingga Restitusi tidak<br />

dikabulkan. Seharusnya, demi memenuhi hak<br />

korban, Hakim dapat mengabaikan syarat formil<br />

tersebut sepanjang dia meyakini benar adanya tindak<br />

pidana itu dan ada korban yang mengalami kerugian.<br />

Melihat perjalanan kasus Erik, bisa dilihat bahwa<br />

Pengadilan tidak dapat digunakan sebagai salah<br />

satu sarana untuk menghalangi merebaknya praktek<br />

penyiksaan. Apalagi untuk memenuhi keadilan<br />

dan hak-hak korban. Situasi ini akan mendorong<br />

dan memberikan pembenaran diam-diam bagi<br />

aparat penegak hukum atau mewajarkan praktek<br />

penyiksaan atau penganiayaan yang dilakukan<br />

pada saat penyidikan di Kepolisian. Oleh karenanya<br />

Pemerintah dan DPR harus segera memasukkan<br />

dan menyesuaikan pengertian penyiksaan<br />

sebagaimana didefinisikan dalam Convention<br />

against Torture and Other Cruel, Inhuman or<br />

Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Anti<br />

Penyiksaan), karena KUHP yang selama ini menjadi<br />

landasan penghukuman bagi kejahatan penyiksaan,<br />

masih mendasarkan pada delik penganiayaan dan<br />

delik-delik lainnya, sehingga penghukumannya pun<br />

seringkali sangat lemah.<br />

Keterangan<br />

1 Berdasarkan Pemantauan Persidangan Aparat Kepolisian<br />

Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah Perkara Nomor 75/<br />

PID.B.2012.PN/BKT Juni – <strong>Okt</strong>ober 2012<br />

2 Laporan Pemantauan, Kasus Kematian Tersangka di<br />

Mapolsek Kota Bukittinggi. Komnas HAM RI, 4 April 2012,<br />

hal 9.<br />

3 Pihak kepolisian sedari awal menekankan bahwa dalam<br />

penyergapan tersebut, Erik Alamsyah dan Nasution Setiawan<br />

mengalami benturan akibat terjatuh dan menabrak pagar<br />

pada saat hendak melarikan diri dengan sepeda motornya<br />

(Satria FU Warna Hitam Putih). Namun, berdasarkan hasil<br />

investigasi LBH Padang bersama Komnas HAM saat<br />

mewawancarai Nasution Setiawan, Erik dan rekannya<br />

Nasution tidak pernah terjatuh dan mengalami benturan<br />

apalagi menabrak pagar.<br />

4 LBH Padang mengetahui kejadian ini karena ditelpon<br />

oleh pihak keluarga korban. Pada saat itu pihak keluarga<br />

menginformasikan bahwa jenazah Erik Alamsyah akan di<br />

Otopsi di Rumah Sakit M. Jamil dan meminta LBH Padang<br />

untuk ikut menyaksikan proses otopsi.<br />

5 Keterangan Dokter Forensik sesuai dengan photo<br />

pemeriksaan pihak kepolisian terhadap jenazah.<br />

6 Kop Surat dari Naskah Eksepsi Tim Penasehat Hukum Para<br />

Terdakwa bertuliskan Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />

7 Keterangan ini juga bisa dilihat dalam Pers Release<br />

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nomor: 32/<br />

PR/LPSK/V/2012, LPSK Menerima Perlindungan Saksi<br />

Kunci Tewasnya Erik Alamsyah, http://www.lpsk.go.id/<br />

page/4fb38b6d378c3<br />

8 Hal ini dikemukakan juga oleh Jaksa Penuntut Umum pada 5<br />

<strong>Sept</strong>ember 2012<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 15


nasional<br />

Minggu Pagi di Jejalen Jaya<br />

Oleh Daywin Prayogo<br />

(Staf ELSAM)<br />

Rombongan jemaat berkumpul kurang dari tigapuluh orang pagi itu. Beriringan, mereka<br />

bergerak menuju sebuah bangunan yang belum rampung. Tempat yang dituju berjarak sekitar<br />

300 meter dari lokasi berkumpul. Berkaus putih-putih dan beberapa mengenakan topi, mereka<br />

berjalan dikawal para polisi dan Satpol PP. Para aparat berjaga sepanjang rute menuju gereja<br />

HKBP Filadelfi a, Jejalen Jaya, Tambun Utara. Hari itu mereka hendak berangkat beribadah,<br />

ritual yang seharusnya biasa mereka lakukan tiap minggu. Tujuan ibadah itu mungkin mencari<br />

kesejukan rohani, namun yang tampak adalah deretan wajah lesu dan tertunduk.<br />

Belum sampai di depan gereja, mereka dihadang sekelompok orang yang mengatasnamakan<br />

warga desa Jejalen Jaya. Di jarak yang tinggal 200 meter lagi, warga menyuruh mereka<br />

pulang. Dengan tegas mereka menolak aktivitas peribadatan minggu pagi yang belum lagi<br />

terlaksana. “Pulang loe, dasar gak tahu diri! Sudah tahu gak dikasih ibadah, masih aja kesini!”,<br />

teriak seorang warga. Di tengah keributan itu, beberapa jemaah diam tak bergeming.<br />

***<br />

Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi<br />

singkat bagaimana sikap intoleransi terus<br />

merebak. Tidak hanya kisah desa kecil di<br />

Tambun Utara itu, tetapi juga di berbagai<br />

daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu lima bulan<br />

di tahun 2012, tercatat beberapa kelompok agama<br />

terpaksa berhenti beribadah. Beberapa kelompok<br />

tersebut adalah HKBP Filadelfi a, kelompok Syiah<br />

di Sampang, serta dua kelompok Ahmadiyah<br />

di Singaparna dan Tasikmalaya, Jawa Barat.<br />

Pemimpin jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfi a, Bekasi, Jawa Barat,<br />

Pendeta Palti Panjaitan berharap negara melindungi kebebasan kaum minoritas dalam<br />

menjalankan ibadahnya masing-masing. (dok:okezone.com)<br />

Semuanya berhenti beribadah akibat serangan<br />

kelompok yang lebih populer disebut sebagai<br />

kelompok intoleran.<br />

Selain tidak mentolerir agama lain beribadah,<br />

mereka juga tidak bisa menerima suara yang<br />

mengkritisi. Bahkan ketika suara kritis itu hanya<br />

tertera di selembar kaos. Tulisan kaos itu singkat,<br />

padat dan mengena: “Lawan Tirani Mayoritas”. Dari<br />

pesan singkat itu, salah satu kelompok intoleran<br />

menjadi berang seketika. Seorang yang memakai<br />

kaos itu adalah aktivis yang bertugas meliput<br />

penolakan ibadah HKBP Filadelfi a. Seketika<br />

kelompok intoleran menyeretnya untuk dihakimi<br />

bersama.<br />

Lalu kalimat itu bertransformasi sebagai simbol.<br />

Sebuah simbol penolakan atas penindasan terhadap<br />

kelompok yang tidak sepakat dengan kehidupan<br />

toleransi di Indonesia. Tetapi apakah benar kelompok<br />

ini hanya menjadi satu-satunya pendorong maraknya<br />

kasus kekerasan belakangan ini?<br />

Toleransi dalam “Tangan Besi”<br />

Noam Chomsky pernah mengatakan, “If we don’t<br />

believe in freedom of expression for people we<br />

despise, we don’t believe in it at all..” Kata-kata<br />

Chomsky tersebut benar adanya. Syiar kebencian<br />

(hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan<br />

ini, tidak hanya berkembang karena kelompok<br />

intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman.<br />

Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah<br />

peran negara sebagai pemegang kekuasan.<br />

Negara harusnya mampu mempengaruhi tingkah<br />

laku orang sesuai dengan cita – cita negara yang<br />

berkeadilan. Juga lewat perangkat hukum untuk<br />

menindak tegas aksi – aksi tersebut.<br />

16 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


Kasus penyerangan di atas merupakan bukti<br />

nyata bahwa hukum tidak lagi mampu memfasilitasi<br />

toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia.<br />

Di luar konteks keagamaan, tindakan yang<br />

bertentangan dengan hukum harus diselesaikan<br />

dengan peraturan yang berlaku.<br />

Tetapi apa yang sudah terjadi justru<br />

berseberangan. Negara yang memiliki peran<br />

penegakan hukum melalui institusi-institusi seperti<br />

kepolisian, malah melakukan pembangkangan<br />

terhadap peraturan yang mereka buat sendiri.<br />

Dalam kasus HKBP Filadelfi a dan GKI Yasmin,<br />

putusan hukum yang mendukung pendirian gedung<br />

ibadah, “diabaikan” oleh pemerintah. Seolah–<br />

olah ada kolaborasi disengaja dengan kelompok<br />

intoleran, dan terus melakukan penolakan ibadah<br />

para jemaat.<br />

Toleransi kemudian hanya jadi poster usang<br />

di pinggir jalan. Setiap hari dilihat namun tanpa<br />

makna dalam keseharian. Masyarakat awam pun<br />

tak ubahnya penonton yang hanya memuntahkan<br />

sinisme kepada yang tiran. Hampir tak ada yang<br />

sadar bahwa ada yang salah dalam tanggung jawab<br />

negara memfasilitasi kebebasan dalam beragama.<br />

Dalam era komunikasi dan informasi digital,<br />

pesan–pesan kebencian lewat media sosial<br />

bergerak dalam hitungan detik. Berulang–ulang<br />

pesan kebencian dibaca oleh para pengguna<br />

media sosial, menjadikannya semakin mudah<br />

mengendap di kepala. Ide dan gagasan toleransi<br />

dengan mudah terabaikan, termasuk dalam kasus<br />

yang terjadi belakangan ini.<br />

Semangat perubahan menuju toleransi umat<br />

beragama makin lama makin terkubur. Gagasan<br />

itu tergantikan oleh provokasi murahan yang<br />

menempatkan kita dalam pusaran kebencian<br />

tanpa ujung. Toleransi pun seperti terkurung dalam<br />

sebuah tangan besi.<br />

Katakan Lawan! kepada “Tirani Mayoritas”<br />

Serangan oleh kelompok tirani mayoritas semakin<br />

menegaskan bahwa toleransi dalam kehidupan<br />

berdemokrasi berada dalam ancaman. Kesempatan<br />

untuk siapapun mengekspresikan ide dan gagasan<br />

masing–masing seakan tak terjamin. Namun<br />

sering muncul kebingungan ketika kita berada<br />

di antara kelompok intoleran dengan penonton<br />

yang semangat mengutuk tindakan kekerasan.<br />

Lalu kepada siapa seharusnya perlawanan<br />

dialamatkan? Tirani mayoritaskah?<br />

Mungkin kita bisa tidak sepakat bahwa slogan<br />

“Lawan Tirani Mayoritas” hanya ditujukan kepada<br />

kelompok intoleran. Sekali lagi, negara juga bisa<br />

dibilang berada di balik tumbuh pesatnya kelompok<br />

yang bertindak vigilan. Menjadikan mereka imun<br />

terhadap hukum. Dan kasus seperti di Jejalen akan<br />

kembali terulang di wilayah lain di Indonesia.<br />

Selain abai, negara juga menunjukkan<br />

pemahaman toleransi yang banal. Seperti<br />

halnya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali<br />

nasional<br />

jemaat HKBP Filadelfi a kembali gagal menjalankan ibadah di gerejanya. Para<br />

jemaat dihalang-halangi massa intoleran yang sejak pagi sudah menempati<br />

halaman gereja dalam hal ini Negara tunduk pada tekanan massa dan membiarkan<br />

praktik-praktik intoleransi berkembang. http://icrp-online.org<br />

menanggapi isu diskriminasi dalam pembangunan<br />

rumah ibadah, pada 21 <strong>Sept</strong>ember 2012. Dengan<br />

picik dia mengatakan bahwa pembangunan masjid<br />

di Indonesia mencapai 64%, sedangkan Gereja<br />

152%, maka tidak ada diskriminasi. Kebanalan<br />

pemahaman negara tampak ketika menakar<br />

kebebasan beribadah hanya lewat banyaknya<br />

jumlah rumah ibadat.<br />

Dalam Konstitusi jelas tertulis bahwa<br />

perlindungan warga terhadap tindakan melawan<br />

hukum merupakan domain negara. Apalagi<br />

terhadap tindakan yang sengaja merusak bangunan<br />

toleransi keberagaman atas nama suatu kelompok.<br />

Dengan demikian, menjamin kebebasan<br />

beribadah warga negara adalah harga mati<br />

dalam sebuah republik demokratis. Pendiaman<br />

negara atas tindak kekerasan adalah bentuk<br />

pembangkangan terhadap konstitusi dan landasan<br />

negara.<br />

Artikel ini pernah dimuat di Sorge Magazine.<br />

http://www.sorgemagz.com/?p=1490.<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 17


nasional<br />

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing<br />

dalam Perspektif HAM<br />

Oleh Mohamad Zaki Hussein<br />

(Staf Biro Litbang ELSAM)<br />

Pada 3 <strong>Okt</strong>ober 2012, kaum buruh Indonesia<br />

yang dipelopori oleh Majelis Pekerja Buruh<br />

Indonesia (MPBI) melancarkan aksi Mogok<br />

Nasional. Salah satu slogan mereka adalah<br />

penghapusan outsourcing. Mogok Nasional ini<br />

sendiri bisa dikatakan sebagai salah satu puncak dari<br />

gerakan Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah<br />

(Hostum) yang digulirkan sejak Mei 2012. Sejak itu,<br />

mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan<br />

pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status<br />

buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja<br />

langsung dengan perusahaan tempat ia bekerja.<br />

Menurut Roni Febrianto, salah seorang pimpinan<br />

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI),<br />

salah satu elemen MPBI, sejak gerakan Hostum<br />

dimulai sampai menjelang Mogok Nasional, ada lebih<br />

dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah<br />

statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan<br />

perusahaan. 1<br />

Outsourcing memang merupakan momok bagi<br />

buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak,<br />

outsourcing adalah cara untuk membuat hubungan<br />

kerja buruh-pengusaha menjadi fl eksibel. Fleksibel<br />

atau biasa disebut market labour fl exibility di sini<br />

bermakna hubungan kerja menjadi lebih mudah untuk<br />

diubah atau ditiadakan, tanpa konsekuensi yang<br />

berat bagi pengusaha, sesuai dengan kondisi bisnis<br />

yang berubah-ubah. Perjanjian kerja dibuat hanya<br />

untuk sementara atau jangka waktu tertentu. Inilah<br />

yang disebut dengan sistem kerja kontrak yang biasa<br />

dibedakan dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak<br />

tertentu atau kerja tetap.<br />

Cara fl eksibel lainnya adalah dengan menggunakan<br />

buruh dari perusahaan penyalur tenaga kerja, di mana<br />

urusan rekrutmen dan administrasi ketenagakerjaan<br />

serta pemenuhan hak-hak buruh dilimpahkan kepada<br />

perusahaan penyalur tersebut. Inilah yang disebut<br />

dengan sistem outsourcing tenaga kerja.<br />

Dalam sistem outsourcing, hubungan kerja resmi<br />

si buruh adalah dengan perusahaan penyalur tenaga<br />

kerja, tetapi si buruh bekerja untuk dan menerima<br />

perintah dari perusahaan pengguna tenaga kerja.<br />

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan<br />

(UUK) sebenarnya menetapkan pembatasanpembatasan<br />

atas kerja kontrak dan outsourcing. Kerja<br />

kontrak, misalnya, hanya boleh untuk ”pekerjaan<br />

tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan<br />

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu”<br />

dan ”tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang<br />

bersifat tetap.” Kerja kontrak hanya “dapat diadakan<br />

untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh<br />

diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling<br />

lama 1 (satu) tahun.” Pembaruan perjanjian kerja<br />

kontrak juga hanya dapat “dilakukan 1 (satu) kali dan<br />

paling lama 2 (dua) tahun.”<br />

Kemudian, untuk outsourcing, dinyatakan bahwa<br />

outsourcing hanya bisa diterapkan pada pekerjaan<br />

yang ”dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama”<br />

dan ”merupakan kegiatan penunjang perusahaan<br />

secara keseluruhan.” Outsourcing ”tidak boleh<br />

digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan<br />

kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan<br />

secara langsung dengan proses produksi.”<br />

Perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi buruh<br />

outsourcing harus ”sekurang-kurangnya sama dengan<br />

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada<br />

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 2<br />

Namun, nyaris semua peraturan ini dilanggar di<br />

lapangan. Outsourcing, misalnya, banyak diterapkan<br />

pada pekerjaan yang merupakan core-business dari<br />

sebuah perusahaan. Ini bisa dilihat dari jenis-jenis<br />

buruh yang disalurkan oleh berbagai perusahaan<br />

penyalur ini.<br />

PT FBP, misalnya, menyediakan buruh setingkat<br />

operator yang bekerja di bidang produksi. Lalu, PT TKI<br />

menyalurkan buruh kontrak untuk operator telepon,<br />

operator komputer, kasir, dan sebagainya. PT QSM<br />

menyediakan buruh untuk programmer, call center,<br />

dan sebagainya. Di antara buruh yang disalurkan oleh<br />

perusahaan-perusahaan tersebut, memang ada yang<br />

disalurkan untuk memiliki hubungan kerja langsung<br />

dengan perusahaan pengguna tenaga kerja. Tetapi,<br />

ini biasanya hanya berlaku untuk buruh setingkat<br />

manajer dan jumlahnya hanya satu dua orang. Untuk<br />

sisanya, yang disalurkan secara masif, biasanya<br />

memiliki status sebagai buruh outsourcing. 3<br />

Hal serupa terjadi juga pada aturan mengenai<br />

perpanjangan kerja kontrak. Riset Indrasari<br />

Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi yang<br />

melakukan survei terhadap 600 responden buruh<br />

di sektor metal di tiga provinsi dan tujuh kota, yakni<br />

Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam), Jawa Barat<br />

(Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang), serta<br />

Jawa Timur (Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo,<br />

Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto)<br />

menemukan fakta mencengangkan. Banyak buruh<br />

yang disurvei ternyata mengalami kontrak lebih dari<br />

empat kali.<br />

18 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


Berikut ini tabel hasil surveinya:<br />

KUANTITAS KONTRAK<br />

PROSENTASE<br />

1 kali 31,60%<br />

2 kali 28,60%<br />

3 kali 10,70%<br />

4 - 15 kali 29,10%<br />

TOTAL 100,00%<br />

Temuan lain dari riset mereka adalah, di Kepulauan<br />

Riau ada buruh yang dikontrak sampai 9 kali, di Jawa<br />

Timur ada yang dikontrak sampai 11 kali, dan di Jawa<br />

Barat ada yang dikontrak sampai 15 kali. 4<br />

Mengenai perlindungan dan syarat-syarat kerja<br />

buruh outsourcing sebagaimana diatur dalam UUK<br />

yang harus sekurang-kurangnya sama dengan<br />

buruh bukan outsourcing, riset Indrasari et al. Justru<br />

menemukan adanya diskriminasi antara tiga jenis<br />

buruh, yaitu buruh tetap, buruh kontrak dan buruh<br />

outsourcing, untuk jenis pekerjaan yang sama di<br />

tempat yang sama dengan jam kerja yang sama.<br />

Untuk upah pokok, misalnya, rata-rata upah pokok<br />

buruh kontrak lebih rendah 14% dari upah pokok buruh<br />

tetap, sementara upah pokok buruh outsourcing lebih<br />

rendah 17,45% dari upah pokok buruh tetap. Lalu,<br />

terkait upah total, rata-rata upah total buruh kontrak<br />

16,71% lebih rendah dari upah total buruh tetap,<br />

sementara upah total buruh otusourcing 26% lebih<br />

rendah dari upah total buruh tetap. 5<br />

Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM),<br />

tentu diskriminasi ini bertentangan dengan Pasal 38<br />

ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, di mana<br />

dinyatakan bahwa, “Setiap orang, baik pria maupun<br />

wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,<br />

sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah<br />

serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”<br />

Diskriminasi ini juga bertentangan dengan Pasal<br />

7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,<br />

Sosial dan Budaya (Ekosob) yang disahkan dengan<br />

UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki hak<br />

untuk mendapatkan “remunerasi yang setara untuk<br />

pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan<br />

apapun.”<br />

Diskriminasi ini bisa terjadi karena posisi tawar<br />

buruh kontrak dan outsourcing yang lemah. Hubungan<br />

kerja mereka yang sementara dan rentan membuat<br />

pengorganisiran buruh kontrak dan outsourcing<br />

menjadi sulit. Masalah ini ditambah lagi dengan<br />

hubungan kerja buruh outsourcing yang bukan<br />

dengan perusahaan tempat mereka kerja, tetapi<br />

dengan perusahaan penyalur.<br />

Riset Indrasari et al. menemukan bahwa dari<br />

keanggotaan serikat buruh yang ada, 75,1% berasal<br />

dari buruh tetap dan 24,90% berasal dari buruh<br />

kontrak, tetapi tidak ada yang berasal dari buruh<br />

outsourcing. Adapun dari buruh-buruh yang tidak<br />

berserikat, 28% menyatakan bahwa alasan mereka<br />

tidak berserikat adalah karena status mereka yang<br />

outsourcing dan takut kehilangan pekerjaan. 6<br />

Dengan demikian, hubungan kerja kontrak dan<br />

outsourcing telah menghambat buruh kontrak dan<br />

nasional<br />

outsourcing untuk berserikat. Hal ini bertentangan<br />

dengan Pasal 39 UU HAM, di mana dinyatakan ”Setiap<br />

orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan<br />

tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi<br />

melindungi dan memperjuangkan kepentingannya<br />

serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”<br />

Hal itu juga bertentangan dengan Pasal<br />

22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik,<br />

yang sudah disahkan oleh UU No. 12 Tahun 2005, dan<br />

Pasal 8 Kovenan Ekosob tentang hak pekerja untuk<br />

membentuk dan bergabung dengan serikat buruh.<br />

Saat ini, karena kegigihan kaum buruh, persoalan<br />

outsourcing telah menjadi perdebatan publik. Wacana<br />

yang dominan mengarah kepada pembatasan<br />

outsourcing sesuai dengan penafsiran atas UUK yang<br />

menyatakan bahwa outsourcing hanya bisa diterapkan<br />

di lima jenis pekerjaan, yakni cleaning service, usaha<br />

penyediaan makanan (catering) bagi buruh, tenaga<br />

pengaman (satpam), usaha penyediaan angkutan<br />

buruh dan usaha jasa penunjang di pertambangan<br />

dan perminyakan. Asumsi di balik pandangan ini, UUK<br />

tidak bermasalah, masalahnya ada pada penafsiran,<br />

pengawasan dan penegakannya. Ada problem<br />

dalam pandangan ini. Sebagai target jangka pendek,<br />

pembatasan outsourcing bisa saja diperjuangkan.<br />

Namun, sistem outsourcing dan kerja kontrak itu<br />

sendiri bertentangan dengan HAM dan tidak bisa<br />

diterapkan pada siapa pun tanpa kecuali. Buruh<br />

cleaning service, catering, satpam, buruh usaha<br />

angkutan pekerja dan buruh jasa penunjang di<br />

pertambangan serta perminyakan juga memiliki hak<br />

yang sama dengan buruh-buruh di bagian corebusiness.<br />

Karenanya, sebagai tujuan jangka panjang,<br />

UUK No. 13 Tahun 2003 sudah selayaknya dicabut<br />

dan diganti dengan UU Ketenagakerjaan yang<br />

menghormati HAM dan melarang praktek kerja<br />

kontrak serta outsourcing.<br />

Keterangan<br />

1 Wawancara dengan Roni Febrianto, “Buruh Indonesia Wajib<br />

Menang Lewat Mogok Nasional.” Diunduh 5 November 2012<br />

dari http://www.prp-indonesia.org/2012/buruh-indonesiawajib-menang-lewat-mogok-nasional.<br />

2 Lihat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat<br />

ayat (1), (2), (4), (6); pasal 65 ayat (2) dan (4), serta pasal 66<br />

ayat (1) dan (2).<br />

3 Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi,<br />

Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan<br />

Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia<br />

(Akatiga, FSPMI dan FES, 2010), hlm. 28-30. Diunduh 5<br />

November 2012 dari http://library.fes.de/pdf-fi les/bueros/<br />

indonesien/07846.pdf.<br />

4 Ibid., hlm. 8 dan 41.<br />

5 Ibid., hlm. 43-45.<br />

6 Ibid., hlm. 52-53.<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 19


esensi<br />

Menuju Keadilan Global:<br />

Pengertian, Mandat dan Pentingnya<br />

Statuta Roma<br />

Oleh Antonius Pradjasto<br />

(Aktivis HAM dan Demokrasi)<br />

Judul buku : Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma<br />

Penulis : Soetandyo Wignjosoebroto, dkk<br />

Impresum : Jakarta: ICTJ dan Indonesian Civil Society Coalition for the International<br />

Criminal Court, 2012<br />

Kolasi : xxiv + 220 halaman; 23cm.<br />

ISBN : 978-602-97558-2-4<br />

Catatan : Daftar istilah dan Kata Pengantar Menteri Hukum dan HAM RI<br />

Jika sembilan penulis dengan berbagai latar<br />

belakang keahlian mengupas Statuta Roma<br />

dan Keadilan Global dalam satu buku tentu<br />

bukan tanpa alasan. Akan tetapi apakah itu<br />

Statuta Roma sehingga menarik perhatian begitu<br />

besar? Dilihat dari kata generiknya ‘Statuta’ ‘Roma’<br />

seperti hukum dasar (statuta) mengenai (kota)<br />

Roma? Dan apakah kaitannya dengan keadilan<br />

(global)? Apa pula relevansinya dengan Indonesia?<br />

Roma – Italia, 17 Juli 1998, 148 negara berkumpul<br />

untuk mengambil keputusan atas sebuah perjanjian<br />

internasional untuk terbentuknya International<br />

Criminal Court (sering diterjemahkan dengan<br />

Mahkamah Pidana Internasional. Selanjutnya<br />

disebut MPI). Kesepakatan itu diadopsi dengan<br />

120 negara setuju, 7 menolak dan 21 abstein.<br />

Dalam hukum internasional mengadopsi sebuah<br />

perjanjian tidak serta merta membuat perjanjian itu<br />

berlaku secara efektif. Seperti umumnya perjanjan<br />

internasional lain – keberlakuannya digantungkan<br />

pada banyaknya negara yang meratifi kasi<br />

yang mengindikasikan keberlakuan perjanjian<br />

internasional tersebut pada negara-negara yang<br />

bersangkutan. Dalam hal ini syarat keberlakuannya<br />

adalah 60 negara meratifi kasinya. Dalam empat<br />

tahun, tepatnya 1 Juli 2002 perjanjian itu sudah<br />

menjadi hukum internasional. Namun, meski sudah<br />

121 negara yang menjadi bagian dari statuta,<br />

Indonesia bukan salah satunya.<br />

Di titik inilah pokok persoalannya. Polemik<br />

akan penting tidaknya statuta tersebut menjadi<br />

bagian dari hukum Indonesia merupakan pangkal<br />

penerbitan buku ini. Di titik ini pula buku ini hendak<br />

berkontribusi – dengan menjernihkan pemikiran<br />

yang keliru mengenai MPI (Abdulkadir Jailani)<br />

mulai dari aspek fi losofi s sosiologis hingga praktis<br />

politik – legalistik.<br />

Problem paradigmatik<br />

Prof. Soetandyo meninjau pertarungan<br />

paradigma [hukum] mengenai manusia dalam<br />

sejarah pembentukan pengadilan pidana<br />

internasional permanen. Paradigma pertama<br />

memaknakan manusia sebagai warga-bangsa<br />

yang berada dalam batas-batas yurisdiksi suatu<br />

negara. Sedangkan yang kedua mengidentifikasi<br />

manusia secara lebih universal, dan berada dalam<br />

yurisdiksi hukum yang melampaui aturan-aturan<br />

hukum. Benturan dua paradigma itu tercermin<br />

dalam sejarah Eropa terutama Jerman. [hal. 1-19]<br />

Kubu paradigma ‘manusia sebagai wargabangsa’<br />

tercermin dalam peraturan di Jerman<br />

(das Gesetz zum Schutz des deutschen Blutes<br />

und der deutschen Ehre), pada paruh pertama<br />

abad 20, yang mensahkan perlakuan diskriminasi<br />

dan penyingkiran manusia yang dianggap bukan<br />

warganegara. Kebijakan ini dilanjutkan dengan<br />

pembantaian besar-besaran umat manusia di<br />

Eropa. Paradigma ini merasuk dalam praktek<br />

bernegara – di mana negara tidak lebih dari<br />

pemegang kekuasaan terorganisir yang melakukan<br />

kejahatan. Karena hanya keturunan Arya yang<br />

dianggap wargabangsa, di luar itu tidak memperoleh<br />

perlindungan dari negara.<br />

Seiring dengan kalahnya pemerintahan<br />

Hitler terjadi pergeseran paradigmatik tentang<br />

manusia. Persaingan paradigma ini kemudian<br />

‘dimenangkan’ oleh ‘paradigma universalis’ – yang<br />

ditandai dengan Deklarasi Umum Hak-hak <strong>Asasi</strong><br />

Manusia (DUHAM) dan Nuremberg principles.<br />

Di dalamnya manusia tidak lagi dipahami atas<br />

dasar ras, latar belakang sosial-ekonomi,<br />

maupun agama melainkan sebagai manusia<br />

utuh yang bermartabat. Disamping itu diterima<br />

20 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


sejumlah prinsip bahwa individu yang melakukan<br />

kejahatan tertentu seperti kejahatan kemanusiaan<br />

harus dapat dimintai pertanggungjawaban<br />

berdasarkan hukum internasional. Dengan ini<br />

pula didorong hadirnya badan pengadilan pidana<br />

internasional yang bersifat permanen.<br />

Dari Prof. Soetandyo bisa disimpulkan bahwa<br />

MPI merupakan pengejawantahan dari pergeseran<br />

paradigmatik yang melihat manusia sebagai<br />

warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang<br />

menghadapi ancaman kekerasan dari negara.<br />

Tanpa perubahan paradigma menuju humanisme<br />

universal [hl 19] dan menerapkan kebijakan yang<br />

melulu berdasarkan ‘kepentingan nasional’ akan<br />

terus terjadi de-humanisasi dan diskriminasi.<br />

Mahkamah Pidana Internasional<br />

Kehendak untuk mendirikan pengadilan pidana<br />

internasional yang dapat memproses secara<br />

legal sebuah kejahatan sudah lama berlangsung.<br />

Sedikitnya Konvensi Genosida 1948, menyebutkan<br />

tentang pengadilan pidana internasional untuk<br />

menghukum pelaku kejahatan genosida.<br />

Kehendak ini begitu kuat karena meski telah<br />

banyak aturan atau norma yang mengkategorikan<br />

tindak-tindak tertentu sebagai kejahatan<br />

internasional – seperti genosida, kejahatan perang,<br />

perbudakan, penyiksaan – tindakan kejahatan<br />

itu terus berlangsung tanpa hukuman. Bahkan<br />

sejumlah pejabat negara yang diketahui terlibat<br />

dalam salah satu atau beberapa kejahatan itu<br />

dapat lalu lalang mengunjungi negara lain dan<br />

memperoleh impunitas. Terciptalah suasana “kalau<br />

seseorang melakukan pembunuhan pada orang lain<br />

akan dikenakan hukuman. Namun ketika puluhan<br />

atau bahkan ratusan orang mati oleh pemangku<br />

kekuasaan, maka pelakunya akan bebas.”<br />

Ketergantungan pada sistem hukum masingmasing<br />

negara sementara organ-organ yang<br />

resensi<br />

seharusnya mengadili dan menghukum pelaku<br />

dikuasai oleh pelaku kejahatan adalah salah satu<br />

sebabnya. Ketika sistem hukum nasional ‘mati<br />

suri’ sistem hukum internasional menyediakan<br />

ruang untuk menghukum pelaku. Seperti yang<br />

dikatakan Prof. Muladi, ahli hukum pidana, dengan<br />

melembaganya pengadilan permanen untuk<br />

kejahatan internasional maka penegakan hukum<br />

humaniter internasional tidak lagi berlaku secara<br />

tidak langsung melainkan secara langsung (direct<br />

enforcement). Ada tidak berarti berfungsi efektif.<br />

Untuk itu Muladi beranggapan bahwa penting<br />

bagi MPI untuk menjaga ‘transitional legal spirit’<br />

yaitu semangat universal untuk mengamankan<br />

penghormatan terhadap HAM dan kebebasan<br />

dasar, dan sejumlah semangat yang lebih<br />

spesifi k. Semangat itu antara lain semangat untuk<br />

mengakhiri impunity, untuk menciptakan keadilan<br />

bagi semua dan mencegah timbulnya kejadian<br />

serupa di masa datang.<br />

Dengan menjabarkan kembali sejarah singkat<br />

pembentukan Statuta Roma Prof. Martino<br />

mengungkapkan problematika masyarakat<br />

internasional mengenai penyelesaian konfl ik<br />

bersenjata secara adil. Menjaga keluruhan<br />

manusia adalah prima facie bagi penyelesaian<br />

konfl ik bersenjata. Dan kuncinya terletak pada<br />

pembebasan dunia dari impunitas dan pencegahan<br />

terulangnya kembali kejahatan serius. Statuta<br />

roma adalah payung hukum internasionalnya. [hal.<br />

61]<br />

Fajrul Falaakh, ahli hukum tatanegara<br />

menunjukan bahwa MPI bukan merupakan organ<br />

utama PBB. Oleh karena itu MPI merupakan<br />

extended national jurisdiction dari negara-negara<br />

pihak untuk menjangkau pelaku kejahatan. Dengan<br />

mendederkan sejumlah aturan dan praktik hukum<br />

berkenaan proses hukum terhadap pelanggaran<br />

hak asasi sebagaimana Statuta Roma dan hukum<br />

nasional penulis kemudian mengusulkan berbagai<br />

tindakan harmonisasi hukum nasional yang bisa<br />

dilakukan. Dari berbagai pilihan yang ada penulis<br />

mengusulkan agar Indonesia mengaksesi statuta<br />

roma dengan mengakomodasi keseluruhan aturan<br />

hukum dan kelembagaan di dalamnya. [hal.83]<br />

Artidjo Alkotsar, seorang hakim Agung,<br />

menekankan aspek penegakan hukum. Persis<br />

karena sifat kejahatan hak asasi merusak martabat<br />

bangsa manusia maka penegakan hukumnya<br />

pun harus luar biasa. Dalam upaya tersebut tidak<br />

bisa dilepaskan bahwa pihak yang dipertaruhkan<br />

(stakeholder) dari kejahatan kemanusiaan ini<br />

melampaui batas-batas keluarga, etnis, ras,<br />

agama, bangsa dan negara. Diadopsinya Statuta<br />

Roma dalam sejumlah aturan pengadilan hak<br />

asasi di Indonesia merupakan lompatan paradigma<br />

bangsa Indonesia yang harus terus dijaga dari<br />

yang semula alergi terhadap HAM dan demokrasi<br />

menjadi penegak hak asasi manusia.<br />

Hal yang sama dikatakan oleh Fuad yang melihat<br />

secara fi losofi s-teologis bahwa Statuta Roma<br />

merupakan basis kultural untuk mengembalikan<br />

<br />

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012 21


martabat manusia yang telah dinistakan oleh para<br />

penjahat kemanusiaan dunia itu sendiri. Mengapa<br />

‘mengembalikan’? Karena nilai-nilai asasi<br />

kemanusiaan, masih menurut Fuad, rusak akibat<br />

dipaksakannya ideologi kesatuan – ideologi yang<br />

menyeragamkan pluralitas bangsa dalam sebuah<br />

doktrin politik. Oleh karenanya tidak ada alasan<br />

bagi siapapun untuk menolaknya [hal. 105].<br />

Andi Widjajanto, ahli militer, menempatkan MPI<br />

dalam perspektif pengembangan sistem pertahanan<br />

keamanan nasional – yang menurut penulis<br />

harus didasarkan pada doktrin ius bellum. Persis<br />

karena itu maka MPI yang antara lain mengadili<br />

kejahatan perang merupakan konsekuensi logis<br />

dari penerapan doktrin tersebut. Karena peradilan<br />

ini akan memungkinkan adanya akuntabilitas dari<br />

sebuah tindakan militer.<br />

Dari banyak pengalaman, asal usul kekerasan<br />

bersumber pada doktrin ‘keamanan nasional’.<br />

Doktrin ini menempatkan supremasi militer atas<br />

sipil, mengembangkan aparat represif bagi<br />

penerapan ‘perang permanen’, dan menganggap<br />

kekuatan bersenjata sebagai satu-satunya institusi<br />

yang mampu menjaga kekuatan ideologis – sembari<br />

merusak sistem-sistem peradilan, politik, budaya<br />

maupun ekonomi. [Nunca Mas, hal. 442]. Bahaya<br />

penerapan doktrin ini harus dicegah dari awal.<br />

Doktrin yang harus menjadi dasar<br />

pengembangan strategi pertahanan keamanan<br />

Indonesia adalah ius ad bellum. Berbeda<br />

dengan doktrin ‘keamanan nasional’ doktrin<br />

ini mengharuskan negara menerapkan prinsip<br />

diskriminasi dan proporsional dalam strategi dan<br />

operasi militer. Diskriminasi karena sasaran,<br />

metode dan strategi bertempur hanya boleh<br />

terarah pada kelompok tempur dan bukan pada<br />

non tempur (prajurit terluka, pengungsi, unit medis,<br />

masyarakat sipil terutama perempuan dan anak)<br />

dan juga bukan pada zona imunitas (seperti fasilitas<br />

sipil, zona netral, zona demiliterisasi). Sedangkan<br />

prinsip proporsional mengharuskan semua biaya<br />

dan kerusakan yang timbul diperhitungkan dengan<br />

seksama, sedemikian sehingga ‘kebaikan’ yang<br />

muncul dari perang lebih besar daripada kerusakan<br />

dan biaya yang dikeluarkan. [hl. 128] Disamping itu<br />

doktrin ini memperlakukan tindakan militer sebagai<br />

pilihan terakhir. Semua upaya non perang harus<br />

dilakukan lebih dahulu dengan maksimal sebelum<br />

memutuskan untuk perang; juga jika harus<br />

berhadapan dengan kelompok separatis. Tindakan<br />

militer hanya bisa didasarkan pada maksud untuk<br />

mempertahankan diri dan menciptakan kembali<br />

perdamaian yang dilakukan pemerintah yang sah.<br />

Doktrin ius ad bellum ini sangat penting diterapkan<br />

persis karena besarnya potensi instrumen perang<br />

digunakan secara tidak bertanggung jawab atau<br />

imoral. Ketika itu terjadi jatuhnya korban sipil akan<br />

sangat besar, ruang untuk resolusi konfl ik alternatif<br />

semakin sempit. Sebaliknya dengan mendasarkan<br />

pada doktrin ini tindakan militer akan lebih terkendali<br />

dan dapat dipertanggungjawabkan [hal. 137-145].<br />

Pilihan ini membawa konsekuensi pembentukan<br />

peradilan kejahatan perang dengan kapasitas yang<br />

memadai.<br />

Ketika terdapat dua sistem yang bekerja untuk<br />

persoalan yang sama timbul kekhawatiran bahwa<br />

keduanya akan saling bertabrakan. Fadillah<br />

Agus mencoba meyakinkan bahwa antara MPI<br />

dengan Pengadilan Militer di Indonesia tidak terjadi<br />

yurisdiksi yang saling tumpang tindih dengan cara<br />

membandingkan keduanya. Perbandingan itu<br />

mencakup aspek legitimasi, struktur pengadilan,<br />

kompetensi auditor dan sebagainya. Penulis<br />

yang merupakan seorang ahli hukum militer juga<br />

mengulas persoalan yang paling sering diresahkan<br />

militer dalam misi perdamaian. Diingatkan bahwa<br />

MPI bersifat pelengkap dari pengadilan nasional.<br />

Abdulkadi Jailani, seorang diplomat senior,<br />

berupaya menjernihkan kekuatiran yang ada dengan<br />

mengupas kesalahpahaman-kesalahpahaman di<br />

benak mereka yang menolak ratifikasi. Sebagai<br />

contoh kesalahpahaman bahwa MPI mencakup pula<br />

wewenang mengadili pelanggaran HAM masa lalu,<br />

bahwa kewenangan MPI lebih ditentukan melalui<br />

proses politik daripada hukum, dan berkenaan<br />

dengan perlunya kesiapan hukum nasional. Ia<br />

menunjukan bahwa ratifikasi justru bermanfaat<br />

bagi kepentingan nasional baik dalam rangka<br />

mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia,<br />

mencegah terjadinya impunitas, dan meningkatkan<br />

citra Indonesia dalam perlindungan HAM.<br />

Keadilan Global<br />

Jika bicara mengenai keadilan global pada<br />

umumnya merujuk pada gerakan akan perlunya<br />

pluralisme dalam tatanan global yang sedang<br />

berlangsung. Lebih spesifi k lagi suatu gerakan<br />

untuk menciptakan alternatif dari perdagangan<br />

bebas dan pasar bebas. Perjuangan keadilan yang<br />

digerakkan oleh perlawanan terhadap penunggalan<br />

pola hubungan baik dalam hidup ekonomi, sosial,<br />

politik maupun budaya. Dalam hal ini sistem pasar<br />

yang hendak ‘dipaksakan’ untuk diterapkan bukan<br />

hanya di bidang ekonomi tapi juga di luar itu.<br />

Dalam buku ini bukan hal itu yang pembaca<br />

temukan. Menyimak tulisan-tulisan di buku ini,<br />

pembaca dibatasi pengertian ‘keadilan’ sebagai<br />

‘pertanggungjawaban individu atas kejahatan yang<br />

dilakukan’. Segera terasa bahwa hal itu bukan hal<br />

baru. Namun, ‘hal yang tidak baru’ ini memang harus<br />

dikedepankan kembali persis karena hal tersebut<br />

tidak terjadi dalam kesetaraan. Prinsip ‘semua<br />

manusia sama di hadapan hukum’ disandera oleh<br />

sistem politik.<br />

Gejala seperti ini adalah gejala impunitas.<br />

Sub-Komisi HAM PBB mendefi nisikan impunitas<br />

sebagai: “the impossibility, de jure or de facto, of<br />

bringing the perpetrators of human rights violations to<br />

account - whether in criminal, civil, administrative or<br />

disciplinary proceedings - since they are not subject<br />

to any inquiry that might lead to their being accused,<br />

arrested, tried and, if found guilty, convicted, and to<br />

22 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012


eparations being made to their victims.” 1 Dengan<br />

kata lain impunitas adalah bebasnya pelaku<br />

kejahatan dari pertanggungjawaban yang sudah<br />

terstruktur dalam hubungan kekuasaan.<br />

Secara menjijikkan para pembunuh massal,<br />

penyiksa atau penculik bersembunyi di dalam<br />

istana negara dan mengklaim dirinya bersih<br />

dari kejahatan; yang artinya pula bebas dari<br />

pertanggungjawaban. Martino, Muladi, Falaakh,<br />

dan Jailani memberi garis bawah tegas akan peran<br />

MPI dalam memerangi impunitas itu. Bila gagal<br />

melawan impunitas defi sit penegakan hukum<br />

akan tetap menganga di Indonesia. Banyak cara<br />

pelaku untuk lari dari pertangungjawaban atas<br />

tindakan keji. Penulis Soetandyo W. dan Andi<br />

menunjukkan klaim ‘kepentingan nasional’ sebagai<br />

rasionalisasi atas tindakan keji tersebut. Lugasnya,<br />

tanpa perubahan cara berpikir dan kebijakan dari<br />

doktrin ‘kepentingan nasional’ ke ‘kepentingan<br />

kemanusiaan yang beradab’ ketidakadilan yang<br />

dialami oleh warga Indonesia tidak akan banyak<br />

berubah.<br />

Di sini pula titik taut pertama antara pengertian<br />

‘keadilan global’ tersebut di atas dengan yang diulas<br />

dalam buku ini, yaitu adanya pihak-pihak yang hilang<br />

dari radar pertanggungjawaban. Tautan berikutnya<br />

adalah gerakan mencari alternatif. Dalam hal ini<br />

alternatif akan mekanisme pertanggungjawaban<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Alternatif dari<br />

pingsannya sistem pertanggungjawab hukum<br />

(nasional) itu adalah sebuah pengadilan pidana<br />

yang melampaui yurisdiksi batas-batas negara<br />

terhadap pelaku kejahatan serius. Saat ini alternatif<br />

itu tidak lagi perlu dicari karena ICC telah terbentuk.<br />

Indonesia tinggal ikut menjadi negara pihak di<br />

dalamnya.<br />

Buku ini berisi kumpulan tulisan tentang urgensi<br />

Mahkamah Pidana Internasional dari berbagai<br />

perspektif serta isyarat agar Indonesia meratifi kasi<br />

Statuta Roma. Melihat beragamnya latar belakang<br />

resensi<br />

keahlian dari penulis sulit dielakan pembaca<br />

menemukan beberapa pengulangan informasi dari<br />

satu tulisan ke tulisan lain. Meskipun sejumlah<br />

penulisan mengandung catatan kaki yang sangat<br />

kuat, yang akan berguna bagi mereka yang ingin<br />

terus menelusuri kajian mengenai aspek-aspek<br />

yang ada di dalamnya, namun sayang tidak ada<br />

daftar pustaka. Buku ini juga dibekali instrumen<br />

yang dibutuhkan untuk memudahkan ratifikasi<br />

Statua Roma berupa kertas posisi dari Komnas<br />

HAM dan Naskah Akademik beserta Konsep Awal<br />

RUU Pengesahan Statuta Roma dari Kementerian<br />

Hukum dan HAM; dua lembaga negara yang sangat<br />

relevan di bidang ini.<br />

ICC telah dikupas dari berbagai sudut dengan<br />

cukup lugas dalam satu buku ini, dari yang sifatnya<br />

fi losofi s bahkan teologis hingga praktis politis.<br />

Buku ini dapat menjadi rujukan untuk mengambil<br />

kebijakan yang tepat terhadap Statuta Roma.<br />

Yang dibutuhkan saat ini hanyalah kehendak<br />

untuk meratifi kasi Statuta Roma. Selebihnya, buku<br />

ini perlu dibaca para anggota parlemen, pejabat<br />

publik, mahasiswa maupun dosen.<br />

Keterangan<br />

1. United Nations Sub-Commission on Prevention of<br />

Discrimination and Protection of Minorities, “Set of Principles<br />

for the Protection and Promotion of Human Rights Through<br />

Action to Combat Impunity”, (E/CN.4/Sub.2/1997/20) disitir<br />

dari Law and Contemporary Problems, Accountability for<br />

International Crimes and Serious Violations of Fundamental<br />

Human Rights, Vol. 59 No. 4, Autumn 1996, 171


PROFIL ELSAM<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM,<br />

adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta.<br />

Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak<br />

sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi<br />

UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak <strong>Asasi</strong> Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal,<br />

semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan<br />

masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM).<br />

VISI<br />

Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.<br />

MISI<br />

Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik<br />

maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.<br />

KEGIATAN UTAMA:<br />

1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;<br />

2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;<br />

3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan<br />

4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia<br />

PROGRAM KERJA:<br />

1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas dan<br />

kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya.<br />

2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan<br />

Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya.<br />

3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan<br />

Akuntabilitas Lembaga.<br />

STRUKTUR ORGANISASI:<br />

Badan Pengurus:<br />

Ketua : Sandra Moniaga, SH.<br />

Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, SH.<br />

Sekretaris : Roichatul Aswidah, Msc.<br />

Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLM<br />

Bendahara II : Abdul Haris Semendawai SH, LLM<br />

Anggota Perkumpulan:<br />

Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara,<br />

M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini<br />

Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, PhD; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto<br />

S.Sos; Tugiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA<br />

Badan Pelaksana:<br />

Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H. LLM;<br />

Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan , dan Plt Kepala Divisi Advokasi Hukum: Wahyu Wagiman, SH.<br />

Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM), dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan<br />

Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH.<br />

Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE;<br />

Staf:<br />

Ahmad Muzani; Andi Muttaqien SH; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati; Ikhana<br />

Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo; Rina Erayanti; Triana Dyah, SS; Siti Mariatul<br />

Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup<br />

Alamat<br />

Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, INDONESIA - 12510<br />

Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519<br />

E-mail : office@elsam.or.id, Web page: www.elsam.or.id

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!