05.05.2015 Views

pdf-2008-erwin-cijulang-iagi

pdf-2008-erwin-cijulang-iagi

pdf-2008-erwin-cijulang-iagi

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

ANALISIS KELURUSAN MORFOLOGI<br />

UNTUK INTERPRETASI SISTEM HIDROGEOLOGI KARS CIJULANG,<br />

KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT<br />

Taat Setiawan 1 ), Budi Brahmantyo 2 ), D. Erwin Irawan 2 )<br />

1 ) Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi - DESDM<br />

Jl. Diponegoro 57 Bandung, 40122, Telp. 022-7274676-7, Fax. 022-7206167, e-mail :<br />

taat_setia@yahoo.com<br />

2 ) Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Institut Teknologi Bandung<br />

Jl. Ganesha No. 10 Bandung, 40132, Telp. 022-2502197, Fax. 022-2502201<br />

ABSTRAK<br />

Makalah ini bertujuan untuk merekonstruksi sistem hidrogeologi kars di kawasan<br />

Cijulang, Kab. Ciamis, Jawa Barat, berbasis analisis kelurusan morfologi pada citra<br />

SRTM dan peta topografi yang dikompilasi dengan data mataair kars hasil observasi<br />

lapangan.<br />

Hasil analisis kelurusan morfologi dengan metode statistika menunjukkan pola aliran<br />

sungai bawah tanah berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara, dan barat-timur.<br />

Pengukuran orientasi rongga gua baik yang berair maupun yang kering menunjukkan<br />

arah yang hampir sama.<br />

Nilai densitas kelurusan rata-rata adalah 4-6/Km 2 dengan nilai maksimum 10-12/Km 2 di<br />

daerah Waru dan sebelah barat Karangpati, sedangkan nilai minimum 0-2/Km 2 di<br />

daerah Cijulang dan Cikuya. Pada beberapa lokasi, zona densitas kelurusan tinggi<br />

berkorelasi dengan zona kering yang berfungsi sebagai daerah imbuhan airtanah.<br />

Densitas kelurusan juga diperkirakan mengendalikan debit mataair yang besar baik di<br />

daerah utara dengan debit 9 L/dt maupun di daerah selatan sebesar 30-80 L/dt.<br />

Kemunculan mataair kars di daerah utara dikontrol oleh local base level of erosion<br />

berupa aliran Sungai Cijulang pada elevasi 65-70 mdpl, sementara di daerah selatan<br />

berupa Sungai Cijulang dan Sungai Cipeuteuy pada elevasi 20-40 mdpl. Posisi local<br />

base level of erosion tersebut mengendalikan Zona Aliran Menerus. Pada masingmasing<br />

Zona Aliran Menerus, di atasnya terdapat Zona Transisi dan Zona Kering.<br />

Kata kunci : hidrogeologi daerah kars, analisis morfologi<br />

ABSTRACT<br />

The objective of this paper is to reconstruct the hydrogeological system of Cijulang<br />

karst area, Ciamis Regency, West Java based on morphological lineament analysis of<br />

SRTM imaging and topographic map, coupled with groundwater spring data from field<br />

investigation.<br />

537


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Lineament analysis using statistical method identifies major lineament orientation as N-<br />

S, NW-SE, and E-W direction. Similar orientations are also shown by water-saturated<br />

or dry conduit lineaments.<br />

The average of lineament density value ranges 4-6/Km 2 with maximum value of 10-<br />

12/Km 2 at Waru and west Karangpati area and minimum value of 0-2/Km 2 at Cijulang<br />

and Cikuya area. At some locations, high density zones are corelated with dry zone as<br />

a recharge area. The lineaments density is interpreted to control high spring discharge,<br />

9 L/s or at northern part and 30-80 L/s at southern part.<br />

At northern part, the spring emergences are controlled by Cijulang River as a local<br />

base level of erosion, located at 65 – 70 masl, and at southern part by Cijulang River<br />

and Cipeuteuy River, located at 20-40 masl. The zone of continuous water circulation is<br />

controlled by local base level of erosion. At above of its zone lies transitional and dry<br />

zone.<br />

Keywords : Hydrogeology of karst area, morphological analysis<br />

I. Pendahuluan<br />

I.1. Latar belakang<br />

Kars merupakan suatu komplek<br />

fenomena geologi dengan sistem<br />

hidrologi yang sangat spesifik, tersusun<br />

atas batuan yang bersifat mudah larut<br />

seperti batugamping, dolomit, gipsum,<br />

dan batuan lain yang mudah larut<br />

(Milanovic, 1981).<br />

Secara fisik, kawasan kars merupakan<br />

daerah yang kering dan tandus,<br />

sehingga penduduk yang tinggal di<br />

daerah tersebut mengalami kekurangan<br />

air, terutama di musim kemarau.<br />

Permasalahan kekeringan di kawasan<br />

kars sebenarnya dapat diatasi,<br />

mengingat potensi sumberdaya air<br />

yang dimilikinya sangat melimpah.<br />

Permasalahannya adalah perilaku air di<br />

kawasan kars membentuk sistem<br />

hidrologi yang khas dan rumit yang<br />

berkembang melalui sistem rekahan<br />

dan saluran bawah permukaan<br />

sehingga sulit untuk diketahui potensi<br />

dan pemanfaatannya.<br />

Cijulang yang terletak di Kab. Ciamis,<br />

Provinsi Jawa Barat. Kawasan Kars<br />

Cijulang belum banyak diteliti, adapun<br />

penelitian sebelumnya berupa<br />

pemetaan geologi dan fasies karbonat<br />

serta pemetaan hidrogeologi skala 1 :<br />

250.000.<br />

Dari sudut pandang hidrogeologi, zona<br />

lemah pada batuan (kekar, rekahan,<br />

sesar) merupakan struktur geologi yang<br />

sangat berperan dalam mengontrol<br />

sistem hidrogeologi kars. Fluida, dalam<br />

hal ini air, memiliki kecenderungan<br />

mengalir melalui zona lemah pada<br />

batuan yang secara morfologi<br />

ditunjukkan oleh adanya kelurusan –<br />

kelurusan morfologi. Berdasarkan atas<br />

hal tersebut, maka analisis mengenai<br />

pola kelurusan morfologi pada kawasan<br />

kars sangat berguna dalam<br />

menentukan pola – pola pengaliran<br />

bawah tanah.<br />

Salah satu kawasan kars yang menarik<br />

untuk diteliti adalah kawasan kars<br />

538


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

I.2. Lokasi Penelitian<br />

Lokasi penelitian secara administrasi<br />

terletak di Kec. Cijulang dan Kec.<br />

Cimerak, Kabupaten Ciamis,<br />

terbentang mulai dari 108 o 25’ – 108 o 30’<br />

BT, dan 7 o 41’ – 7 o 50’ LS. Lokasi<br />

penelitian di bagian barat berbatasan<br />

dengan Tasikmalaya, di bagian timur<br />

berbatasan dengan Kec, Pangandaran,<br />

di bagian utara berbatasan dengan<br />

Kec. Langkaplancar dan Kec.<br />

Banjarsari, dan di bagian selatan<br />

berbatasan dengan Samudera<br />

Indonesia (Gambar 1).<br />

I.3. Tujuan penelitian<br />

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk<br />

merekonstruksi sistem hidrogeologi<br />

kars di kawasan Cijulang, Kab. Ciamis,<br />

Jawa Barat, berbasis analisis kelurusan<br />

morfologi pada citra SRTM dan peta<br />

topografi yang dikompilasi dengan data<br />

mataair kars hasil observasi lapangan.<br />

II. GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI<br />

DAERAH PENELITIAN<br />

Cijulang berada sekitar 50 Km kearah<br />

selatan dari Kota Ciamis. Daerah ini<br />

memiliki morfologi yang khas berupa<br />

perbukitan kars yang tersebar secara<br />

luas terutama di bagian tenggara dan<br />

baratlaut daerah penelitian. Ciri<br />

morfologi kars daerah ini adalah<br />

memiliki relief kasar, bukit – bukit kecil<br />

berukuran seragam, berkembang<br />

saluran bawah permukaan seperti gua<br />

dan sungai bawah tanah, dan banyak<br />

terdapat lembah – lembah kars. Selain<br />

itu, dibagian tengah daerah penelitian<br />

yaitu daerah Cimerak dan sekitarnya,<br />

dan di daerah pantai selatan (muara<br />

Sungai Cipeuteuy dan sekitarnya)<br />

terdapat dataran kars dengan ciri<br />

morfologi datar hingga bergelombang<br />

lemah.<br />

Mengacu pada pemetaan geologi oleh<br />

Supriatna, S., L. Sarmili, D. Sudana,<br />

dan Koswara, A. (1992), daerah<br />

penelitian tersusun atas Anggota<br />

Batugamping Formasi Pamutuan<br />

(Tmpl) yang berumur Miosen Tengah<br />

seperti batugamping, batugamping<br />

pasiran, kalsilutit, dan napal yang<br />

diendapkan pada lingkungan laut<br />

dangkal yang terbuka. Di daerah<br />

penelitian, satuan ini tersebar sangat<br />

luas mulai dari baratlaut hingga<br />

tenggara. Di bagian barat hingga<br />

baratdaya, satuan ini berbatasan<br />

dengan batuan yang lebih tua berupa<br />

Formasi Jampang (Tomj) yang<br />

tersusun atas breksi aneka bahan dan<br />

Anggota Genteng Formasi Jampang<br />

(Tmjg) yang tersusun atas tuf<br />

berselingan dengan breksi dasitan. Di<br />

bagian utara, satuan ini tertutupi oleh<br />

batuan yang lebih muda, yaitu Formasi<br />

Bentang (Tmb) yang tersusun atas<br />

batupasir gampingan dan batupasir<br />

tufan yang bersisipan dengan serpih<br />

dan lensa batugamping (Gambar 2).<br />

Struktur utama yang terdapat di daerah<br />

penelitian adalah sesar dan kelurusan.<br />

Sesar yang dijumpai berupa sesar<br />

normal dengan arah umum relatif utara<br />

– selatan dan barat – timur, terutama di<br />

daerah penelitian bagian barat yang<br />

merupakan kontak antara batugamping<br />

Formasi Pamutuan (Tmpl) dengan<br />

breksi aneka bahan Formasi Jampang<br />

(Tomj). Pola kelurusan yang diambil<br />

dari foto udara menunjukkan arah relatif<br />

barat – timur dan baratlaut – tenggara.<br />

Berdasarkan atas hasil pemetaan<br />

hidrogeologi lembar Bandung oleh<br />

Soetrisno S. (1983), dan hasil<br />

539


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

penelitian IWACO & WASECO (1989),<br />

daerah penelitian merupakan akifer<br />

dengan produktivitas sedang dan<br />

terbatas pada zona celahan, rekahan,<br />

dan saluran pelarutan, debit sumur dan<br />

mataair beragam dalam kisaran yang<br />

sangat besar.<br />

III. METODE PENELITIAN<br />

Metode penelitian yang dilakukan<br />

dalam penelitian ini dapat dilihat pada<br />

Gambar 3, dan secara rinci adalah<br />

sebagai berikut ;<br />

Pada langkah pertama dilakukan<br />

interpretasi morfologi melalui citra<br />

SRTM (Shuttle Radar and Topography<br />

Mission) dan peta topografi skala 1 :<br />

25.000 terhadap morfologi kars di<br />

daerah penelitian. Langkah selanjutnya<br />

adalah dengan melakukan digitasi<br />

secara langsung pada citra SRTM<br />

terhadap fitur – fitur kelurusan. Fitur<br />

permukaan pada data citra yang<br />

menghasilkan kelurusan-kelurusan<br />

merupakan gambaran dari gejala<br />

geomorfologi (disebabkan oleh relief<br />

permukaan) seperti alur sungai atau<br />

lembah kars.<br />

Pengolahan data berikutnya adalah<br />

analisis karakterisasi kelurusan<br />

morfologi secara statistika dengan<br />

menggunakan diagram rose maupun<br />

dengan perhitungan densitas kelurusan<br />

morfologi. Diagram rose dibuat secara<br />

spasial dengan mempertimbangkan<br />

Langkah yang terakhir adalah dengan<br />

melakukan analisis sistem hidrogeologi<br />

kars Cijulang secara spasial berbasis<br />

SIG. Analisis tersebut merupakan<br />

kombinasi dari kondisi geologi<br />

(penyebaran batuan, struktur geologi),<br />

peta tematik orientasi kelurusan<br />

morfologi, peta tematik densitas titik<br />

kondisi geologi dan morfologi dengan<br />

interval 10 o , untuk kemudian<br />

dikompilasi dengan peta penarikan<br />

kelurusan morfologi menjadi peta<br />

tematik orientasi kelurusan morfologi.<br />

Perhitungan densitas kelurusan<br />

morfologi yang dilakukan berupa<br />

perhitungan lineament points density<br />

berbasis Sistem Informasi Geografi<br />

(SIG) yang bertujuan untuk mengetahui<br />

konsentrasi dan pola penyebaran<br />

kelurusan – kelurusan morfologi. Dalam<br />

analisis ini, satu garis kelurusan<br />

morfologi diwakili oleh dua titik, yaitu<br />

pada bagian awal dan akhir sebuah<br />

kelurusan morfologi. Daerah penelitian<br />

dibagi dengan membuat grid dengan<br />

interval yang tetap, dimana<br />

perpotongan antara grid vertikal dan<br />

horizontal disebut node point.<br />

Perhitungan lineament points density<br />

dilakukan dengan menjumlahkan setiap<br />

titik dalam sebuah luasan lingkaran<br />

dengan radius r dan titik tengah<br />

masing – masing lingkaran tersebut<br />

adalah node point (Gambar 4).<br />

Analisis densitas kelurusan pada<br />

daerah penelitian dilakukan dengan<br />

radius lingkaran dan interval grid 1 Km.<br />

Output dari analisis tersebut adalah<br />

peta tematik berupa lineament points<br />

density map atau peta densitas titik<br />

kelurusan daerah penelitian dengan<br />

satuan jumlah titik / Km 2 (count of<br />

points / Km 2 ).<br />

kelurusan dengan pola penyebaran gua<br />

atau mataair kars hasil observasi<br />

lapangan.<br />

540


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

IV. HASIL DAN ANALISIS<br />

IV.1. Analisis orientasi kelurusan<br />

morfologi<br />

Hasil analisis orientasi kelurusan<br />

morfologi menggunakan diagram rose<br />

memperlihatkan bahwa di daerah<br />

penelitian sebelah timur memiliki arah<br />

kelurusan dominan barat – timur (N 70 o –<br />

90 o W) dan arah utara – selatan (N 0 o –<br />

10 o W hingga N 0 o – 10 o E). Semakin<br />

kearah baratlaut, muncul arah baratlaut –<br />

tenggara dengan arah yang bervariatif (N<br />

20 o – 70 o W) disamping arah utara –<br />

selatan dan barat – timur. Selain itu,<br />

semakin ke utara juga muncul orientasi<br />

kelurusan dengan arah timurlaut – barat<br />

daya (N 30 o – 70 o E) disamping arah<br />

barat – timur dan baratlaut – tenggara,<br />

meskipun orientasi timurlaut – baratdaya<br />

tersebut tidak dominan (Gambar 5).<br />

Berdasarkan observasi di lapangan,<br />

kelurusan dengan arah barat – timur lebih<br />

mencerminkan arah atau strike lapisan<br />

batuan, sedangkan arah utara – selatan<br />

dan baratlaut – tenggara merupakan arah<br />

dari bidang rekahan yang memotong<br />

batugamping.<br />

Hasil analisis perhitungan densitas<br />

kelurusan (Gambar 6) memperlihatkan<br />

bahwa densitas kelurusan rata-rata<br />

adalah 4-6/Km 2 dengan nilai maksimum<br />

10-12/Km 2 di daerah Waru dan sebelah<br />

barat Karangpati, sedangkan nilai<br />

minimum 0-2/Km 2 di daerah Cijulang dan<br />

Cikuya.<br />

Hasil analisis data observasi secara<br />

langsung di daerah penelitian<br />

memperlihatkan bahwa arah memanjang<br />

gua atau mataair kars tersebut memiliki<br />

orientasi relatif sama dengan orientasi<br />

kelurusan morfologi. Orientasi kelurusan<br />

gua atau mataair kars dominan berarah<br />

Peningkatan konsentrasi densitas<br />

kelurusan pada daerah kars<br />

menunjukkan arah utara–selatan hingga<br />

baratlaut–tenggara. Dari peta pada<br />

Gambar 6 terlihat bahwa di daerah<br />

penelitian bagian selatan, nilai densitas<br />

kelurusan > 6/Km 2 memperlihatkan arah<br />

relatif utara–selatan hingga baratlaut–<br />

tenggara, sedangkan di daerah penelitian<br />

bagian utara memperlihatkan arah<br />

baratlaut–tenggara dan relatif barat–<br />

timur. Kemunculan gua atau mataair kars<br />

74% (37 buah) berada pada nilai densitas<br />

kelurusan 6-8/Km 2 , 12 % (6 buah) pada<br />

nilai 4-6/Km 2 , 6% (3 buah) masing –<br />

masing pada nilai 2-4/Km 2 dan 8-10/Km 2 ,<br />

dan 2% (1 buah) pada nilai 10-12/Km 2 .<br />

Berdasarkan atas hal tersebut dapat<br />

diinterpretasikan bahwa pembentukan<br />

gua berada pada zona – zona dengan<br />

densitas kelurusan 6-8/Km 2 .<br />

Pada beberapa lokasi, zona densitas<br />

kelurusan tinggi (> 6/Km 2 ) berkorelasi<br />

dengan zona kering yang berfungsi<br />

sebagai daerah imbuhan airtanah,<br />

sehingga densitas kelurusan juga<br />

diperkirakan mengendalikan debit<br />

maksimum mataair baik di daerah utara<br />

dengan debit 9 L/dt maupun di daerah<br />

selatan sebesar 30-80 L/dt.<br />

barat – timur (N 70 o – N 90 o W), utara –<br />

selatan (N 10 o W – N 20 o E), dan<br />

baratlaut – tenggara (N 30 o – N 50 o W),<br />

dan pada beberapa gua terutama di<br />

bagian utara menunjukkan orientasi<br />

timurlaut – baratdaya (N 30 o – N 50 o E).<br />

Perbandingan diagram rose orientasi gua<br />

541


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

atau mataair kars dengan orientasi<br />

kelurusan morfologi kars dapat dilihat<br />

pada Gambar 7 berikut ini.<br />

Dari perbandingan diagram rose<br />

kelurusan morfologi kars dengan<br />

kelurusan gua atau mataair kars dan<br />

didukung oleh orientasi konsentrasi<br />

densitas kelurusan menunjukkan bahwa<br />

pembentukan sistem pengaliran bawah<br />

tanah secara regional dikontrol oleh pola<br />

kelurusan berarah utara – selatan,<br />

baratlaut – tenggara, dan barat – timur<br />

(Gambar 7 dan 8).<br />

IV.2. Interpretasi sistem hidrogeologi<br />

kars Cijulang<br />

Hasil observasi keberadaan gua di<br />

daerah penelitian menemukan 50 rongga<br />

gua dengan diameter rata – rata 1,5 m.<br />

Gua yang bersifat kering (relic cave)<br />

berjumlah 28 buah dan yang berair atau<br />

sebagai mataair kars berjumlah 22 buah.<br />

Kemunculan gua atau mataair kars di<br />

daerah penelitian lokasinya terbagi<br />

menjadi dua, yaitu di bagian utara dan<br />

selatan.<br />

Menurut Milanovic (1981), kemunculan<br />

mataair kars dikontrol oleh posisi base<br />

level of erosion, baik yang bersifat lokal<br />

seperti sungai dan lembah kars, maupun<br />

yang bersifat regional, yaitu muka air laut.<br />

Perbedaan daerah kemunculan mataair<br />

kars di daerah penelitian diperkirakan<br />

dikontrol oleh posisi local base level of<br />

erosion yang berbeda sehingga karakter<br />

besarnya debit yang dihasilkan oleh<br />

kedua zona tersebut juga memiliki<br />

perbedaan seperti ditampilkan pada<br />

Gambar 9.<br />

Kemunculan mataair kars di daerah utara<br />

dikontrol oleh aliran Sungai Cijulang<br />

sebagai local base level of erosion pada<br />

elevasi sekitar 65 mdpl. Debit aliran pada<br />

musim kemarau (bulan Juli) berkisar dari<br />

< 1 L/dt sampai dengan 10 L/dt.<br />

Menurut Jovan Cvijic (1918), dalam<br />

Milanovic (1981), zona hidrologi kars di<br />

bagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu Zona<br />

Kering, Zona Transisi, dan Zona Aliran<br />

Air Menerus. Berkaitan dengan<br />

pembagian zona hidrologi kars tersebut,<br />

untuk kemunculan mataair kars di daerah<br />

utara, Zona Kering berada pada elevasi<br />

diatas 100 mdpl. Pada zona ini, air<br />

mengalir terutama pada saat hujan<br />

dengan arah aliran vertikal menuju Zona<br />

Jenuh Air yang berada pada elevasi<br />

antara 65 – 100 mdpl. Zona Jenuh Air<br />

tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu<br />

Zona Transisi dan Zona Aliran Menerus<br />

yang dikontrol oleh posisi base level of<br />

erosion. Zona Transisi berada pada<br />

elevasi 70 – 100 mdpl. Zona ini<br />

merupakan daerah dengan karakter<br />

hidrologi yang paling dinamis,<br />

berkembang terutama pada musim hujan,<br />

sedangkan selama musim kemarau zona<br />

ini jarang terbentuk, kecuali dalam jumlah<br />

minimal (debit sangat kecil atau air hanya<br />

menggenang). Pada musim kemarau,<br />

arah aliran airtanah pada zona ini<br />

memiliki kecenderungan vertikal menuju<br />

Zona Aliran Menerus yang berada pada<br />

elevasi 65 – 70 mdpl.<br />

Kemunculan mataair kars di daerah<br />

selatan terbagi menjadi dua lokasi<br />

dimana masing – masing lokasi tersebut<br />

dikontrol oleh posisi local base level of<br />

erosion yang berbeda, yaitu Sungai<br />

Cijulang bagian hilir dan Sungai<br />

Cipeuteuy bagian hulu. Zona Kering<br />

berada pada elevasi diatas 95 mdpl,<br />

sedangkan zona jenuh air berada pada<br />

elevasi kurang dari 95 mdpl yang terbagi<br />

menjadi Zona Transisi pada elevasi 45 –<br />

95 mdpl, dan Zona Aliran Menerus pada<br />

elevasi kurang dari 45 mdpl.<br />

542


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Kemunculan mataair kars yang dikontrol<br />

oleh bagian hilir Sungai Cijulang sebagai<br />

local base level of erosion merupakan<br />

batas antara batugamping dengan<br />

endapan aluvial. Debit mataair yang<br />

dijumpai lebih besar dari 30 L/dt<br />

meskipun pada musim kemarau, antara<br />

lain pada Gua Cisamping (20 mdpl), Gua<br />

Situ Beukeum (20 mdpl) dan Gua Liang<br />

Walet (35 mdpl). Kemunculan mataair<br />

kars yang dikontrol oleh bagian hulu<br />

Sungai Cipeuteuy sebagai local base<br />

level of erosion berada pada elevasi 20 –<br />

45 mdpl dengan debit yang relatif kecil (1<br />

– 10 L/dt) yaitu pada Gua Sodong<br />

Balangah (45 mdpl), Gua Lojok<br />

Nyalindung (21 mdpl) dan Gua Lojok<br />

Gebang (39 mdpl). Penampang geologi<br />

daerah penelitian yang berhubungan<br />

dengan posisi penyebaran gua atau<br />

mataair kars (Gambar 11)<br />

V. KESIMPULAN<br />

Rekonstruksi sistem hidrogeologi kars<br />

pada tahap awal di daerah penelitian<br />

berhasil dilaksanakan berdasarkan<br />

analisis kelurusan morfologi pada citra<br />

SRTM dan peta topografi yang<br />

dikompilasi dengan data mataair kars.<br />

densitas kelurusan tinggi berkorelasi<br />

dengan zona kering yang berfungsi<br />

sebagai daerah imbuhan airtanah,<br />

sehingga densitas kelurusan juga<br />

diperkirakan mengendalikan debit<br />

maksimum mataair baik di daerah utara<br />

dengan debit 9 L/dt maupun di daerah<br />

selatan sebesar 30-80 L/dt.<br />

Berdasarkan atas perbandingan diagram<br />

rose kelurusan morfologi kars dengan<br />

kelurusan gua atau mataair kars dan<br />

didukung oleh orientasi konsentrasi<br />

densitas kelurusan menunjukkan bahwa<br />

pembentukan sistem pengaliran bawah<br />

tanah secara regional dikontrol oleh pola<br />

kelurusan berarah utara – selatan,<br />

baratlaut – tenggara, dan barat – timur.<br />

Kemunculan mataair kars di daerah utara<br />

dikontrol oleh local base level of erosion<br />

berupa aliran Sungai Cijulang pada<br />

elevasi 65-70 mdpl, sementara di daerah<br />

selatan berupa Sungai Cijulang dan<br />

Sungai Cipeuteuy pada elevasi 20-40<br />

mdpl. Posisi local base level of erosion<br />

tersebut mengendalikan Zona Aliran<br />

Menerus. Pada masing-masing Zona<br />

Aliran Menerus tersebut, di atasnya<br />

terdapat Zona Transisi dan Zona Kering.<br />

Hasil analisis secara statistika<br />

memperlihatkan bahwa orientasi<br />

kelurusan morfologi memiliki arah<br />

dominan barat – timur (N 70 o – 90 o W),<br />

utara – selatan (N 0 o – 10 o W hingga N 0 o<br />

– 10 o E), dan baratlaut – tenggara<br />

dengan arah yang bervariatif (N 20 o – 70 o<br />

W). Densitas kelurusan rata-rata bernilai<br />

4-6/Km 2 dengan nilai maksimum 10-<br />

12/Km 2 di daerah Waru dan sebelah<br />

barat Karangpati, sedangkan nilai<br />

minimum 0-2/Km 2 di daerah Cijulang dan<br />

Cikuya. Pada beberapa lokasi, zona<br />

543


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Pustaka<br />

IWACO & WASECO, 1989, West Java<br />

Provincial Water Sources,<br />

Master Plan for Water Supply,<br />

Directorate of Water Supply,<br />

Ministry of Public Works, Jakarta<br />

Kim, Gyoo-Bum, 1997, Construction of a<br />

Lineament Density Map with<br />

ArcView and Avenue, Korea<br />

Water Resources Corporation,<br />

South Korea<br />

Milanovic, P. T., 1981, Karst<br />

Hydrogeology, Water Resources<br />

Publications, USA<br />

Soetrisno, S., 1983, Peta Hidrogeologi<br />

Lembar Bandung Skala 1 :<br />

250.000, Direktorat Geologi Tata<br />

Lingkungan, Bandung<br />

Supriatna, S., L. Sarmili, D. Sudana, dan<br />

Koswara, A., 1992, Peta Geologi<br />

Lembar Karangnunggal 1308-1,<br />

Skala 1 : 100.000, Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan<br />

Geologi, Bandung<br />

544


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 1. Lokasi Penelitian<br />

Gambar 2. Geologi regional daerah penelitian<br />

545


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

546


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 3. Metoda analisis hidrogeologi kars dengan menggunakan citra SRTM<br />

Gambar 4. Kiri : metode perhitungan lineament points density dalam sebuah lingkaran.<br />

Kanan : susunan lingkaran pada setiap node point dengan radius dan interval grid r<br />

(Hardcastle 1995, dalam Gyo-Bum Kim, 1997)<br />

547


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 5. Peta interpretasi kelurusan morfologi dan diagram rose<br />

Gambar 6. Peta densitas kelurusan morfologi<br />

548


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 7. Diagram rose orientasi kelurusan morfologi dan gua<br />

Gambar 8. Peta kompilasi densitas kelurusan morfologi dengan pola kelurusan<br />

morfologi dan penyebaran gua atau mataair kars<br />

549


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 9. Grafik besarnya debit (L/dt) terhadap elevasi (m dpl)<br />

daerah kemunculan mataair kars di daerah penelitian<br />

Gambar 10. Gua Situ Beukeum, merupakan mataair kars<br />

dengan debit > 30L/dt dengan orientasi N250 o E<br />

550


PROSIDING<br />

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN IAGI KE-37<br />

HOTEL HORISON BANDUNG, AGUSTUS <strong>2008</strong><br />

Gambar 11. Penampang geologi yang menggambarkan posisi kemunculan<br />

mataair kars daerah penelitia<br />

551

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!