Majalah CARE, Edisi Khusus Ramadhan 1430 H Majaalalah hh CA ...
Majalah CARE, Edisi Khusus Ramadhan 1430 H Majaalalah hh CA ...
Majalah CARE, Edisi Khusus Ramadhan 1430 H Majaalalah hh CA ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Tepi Manusia<br />
Sunaryo Adhiatmoko<br />
Jelang <strong>Ramadhan</strong> lalu, saya<br />
dapat pesan singkat dari Kyai Abu Bakar<br />
Cholil, pengasuh Pondok Pesantren<br />
Metal, Pasuruan, Jawa Timur. Pesan itu,<br />
“Alhamdulillah, telah bertambah satu bayi<br />
lagi lahir ke muka bumi”.<br />
Umumnya, orang senang dapat<br />
kabar kelahiran bayi. Tapi, sore itu saya<br />
tercenung. Pedih mengaduk-aduk rasa.<br />
Manusia mana lagi yang bertindak mirip<br />
binatang. Bayi itu, bukan anak kandung<br />
kyai. Tapi, makhluk suci yang “dibuang”<br />
ibu kandungnya. Sebabnya, karena ia hamil<br />
di luar nikah. Bayi yang sore itu diantar<br />
perempuan tak dikenal, menambah jumlah<br />
bocah tak berdaya yang dirawat Pondok<br />
Pesantren Metal.<br />
Jika, melihat anak-anak itu, nurani<br />
terasa runtuh. Mereka, sebagian ada yang<br />
gemuk menggemaskan. Tapi juga banyak<br />
yang kurus memprihatinkan. Jemari<br />
mungil digerak-gerakkan, mengangkat<br />
kaki, dan berusaha terkekeh. Tapi, senyum<br />
pun tampak pahit.<br />
Tak hanya anak-anak tanpa orang tua<br />
yang diasuh di dalam pondok sederhana<br />
itu. Tapi, juga 300 lebih orang sakit jiwa.<br />
Anak-anak yang diasuh Pondok Metal<br />
Oh Manusia<br />
Mereka diambil dari jalanan di sekitar Jawa<br />
Timur. Menurut Abu Bakar Cholil, semua<br />
manusia punya hak untuk dimanusiakan.<br />
Gila, hanya proses ujian sebagai makluk<br />
hidup. Mereka perlu dapat perlakuan<br />
manusiawi. Mendapatkan makan dan<br />
kembali ke jalan Tuhan.<br />
Pondok Metal, dalam kelakar Abu<br />
Bakar, disebut bengkel manusia rongsokan.<br />
Manusia yang sakit jiwa, dibenahi menjadi<br />
waras. Anak-anak yang terlantar, diberi<br />
haknya untuk hidup normal. Ini, bukan<br />
kerja mudah. Tapi, sosok yang selalu ceria<br />
itu, tak pernah mengeluh. Ia menjalani<br />
semua dengan canda tawa.<br />
“Saya ngurus orang gila, kalau stres<br />
mikirin mereka, ya bisa jadi saya ikut gila”,<br />
gurau Abu Bakar terbahak-bahak. Saya<br />
ikut terpingkal-pingkal, saat berbincang<br />
dengannya di serambi pondok, 5 bulan lalu.<br />
Niat mulia kyai nyentrik itu, namun<br />
tak mulus. Berbagai benturan sosial di<br />
masyarakat kerap terjadi. Terutama,<br />
tentang masa depan bayi-bayi yang mulai<br />
tumbuh jadi anak-anak. Jumlah mereka<br />
sudah lebih dari 250 anak. Bagi yang<br />
menginjak enam tahun, sudah saatnya<br />
masuk sekolah. Itu yang membuat risau<br />
Abu Bakar Cholil. Tanpa akte, anak-anak tak<br />
dapat sekolah.<br />
“Saya sudah berusaha cari bantuan<br />
untuk dapat akte anak-anak, tapi tidak ada<br />
yang bisa”, katanya.<br />
Untuk membuat akte, memerlukan<br />
siapa orang tua anak itu. Sementara,<br />
mereka lahir bak dari pecahan batu.<br />
Ditinggal orang tuanya sejak bayi merah.<br />
Dengan segala keterbatasan, Pondok Metal<br />
hanya ingin menyelamatkan bayi-bayi itu<br />
hidup. Kemudian membekalinya dengan<br />
pengetahuan, agar kelak dewasa dapat<br />
menghidupi dirinya sendiri.<br />
“Apakah mereka akan kita biarkan<br />
di tempat sampah, dikerubungi lalat dan<br />
dimakan semut? Saya tidak mencari siapa<br />
yang salah, tapi bayi yang sudah terlahir ini<br />
harus hidup sebagai manusia”, kali ini Abu<br />
Bakar menyentak.<br />
Pesan pendek sore itu, mengingatkan<br />
wajah-wajah anak tak berdosa di Pondok<br />
Metal. Juga terbayang, canda Kyai Abu<br />
Bakar Cholil yang berusaha membungkus<br />
beban. Saya berkaca-kaca. Oh manusia,<br />
kemana jiwa manusiamu terselip.<br />
38<br />
<strong>Majalah</strong> <strong><strong>CA</strong>RE</strong>, <strong>Edisi</strong> <strong>Khusus</strong> <strong>Ramadhan</strong> <strong>1430</strong> H