06.02.2015 Views

Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com

Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com

Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong><br />

Cara <strong>Syariah</strong><br />

<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto


KAYA DAN BAHAGIA CARA SYARIAH<br />

Karya <strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Copyright ©<br />

All rights reserved<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

Anggota IKAPI


Daftar Isi<br />

1. MENGAPA HARUS KAYA<br />

<br />

<br />

<br />

2. KAPAN MENJADI KAYA<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

v


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

4. <br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

KAYA SECARA HALAL DAN <br />

<br />

<br />

Syarat <br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

8. <br />

<br />

<br />

vi


DAFTAR ISI<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

9. <br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

Mudharaba—<br />

<br />

<br />

<br />

10. <br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

vii


Mukadimah<br />

‘<strong>Kaya</strong>’ dan ‘bahagia’ adalah impian bagi sebagian besar<br />

manusia. Keduanya mempunyai hubungan yang khas. Kebahagia<br />

an rasanya akan lebih mudah dicapai bila sudah memiliki<br />

kekayaan. Namun kekayaan tidak selalu membawa kebahagiaan.<br />

Ba gaimana <strong>cara</strong> untuk ‘kaya’ dan ‘bahagia’ dengan <strong>cara</strong> yang<br />

se suai nurani, sesuai ketentuan agama, sesuai syariah. Adakah<br />

jurus kaya dan bahagia <strong>cara</strong> syariah<br />

Mungkin pertanyaan yang pertama sekali timbul adalah:<br />

”Apakah manusia berdosa bila bahagia karena kaya”<br />

”Apakah manusia yang rajin beribadah tidak boleh kaya”<br />

Teman saya yang taat beragama menyatakan dengan tegas<br />

bahwa:<br />

”kebahagiaan tidak selalu identik dengan kekayaan”.<br />

Namun se<strong>cara</strong> kritis teman saya tersebut juga mengakui<br />

bahwa:<br />

ix


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

”kekayaan tidak selalu identik dengan ketidakbahagiaan”.<br />

Sebagaimana halnya kebahagiaan tidak selalu identik dengan<br />

tidak kaya, maka kekayaan tidak selalu membuat orang tidak<br />

bahagia.<br />

Kebahagiaan dan Kekayaan<br />

Sebagian besar manusia akan merasa bahagia bila telah mencapai<br />

cita-cita hidupnya. Tetapi cita-cita hidup manusia tidak<br />

selalu sama. Sewaktu masih kecil, cita-cita saya dan teman-teman<br />

saya umumnya sederhana dan terkait dengan profesi tertentu,<br />

misalnya mau jadi dokter, jadi insinyur, jadi guru, jadi pilot,<br />

dsb. Memang ada juga teman saya yang bercita-cita ingin jadi<br />

presiden, ingin jadi gubernur, dan berbagai jabatan tinggi lainnya.<br />

Namun pada saat itu, hanya sedikit di antara teman saya<br />

yang bercita-cita ingin menjadi kaya.<br />

Setelah beranjak dewasa, apalagi setelah memasuki usia<br />

pro duktif dan telah berkeluarga, sebagian besar diantara kita<br />

mulai menyadari peran kekayaan dalam hidup. Peran uang<br />

dalam berkeluarga dan berusaha. Pentingnya mencari keuntungan<br />

dalam kegiatan usaha, bahkan termasuk dalam kegiatan<br />

pendidikan. Mulai dari sekedar untuk hidup, untuk tetap<br />

sehat, untuk tambah ilmu dan kemampuan, untuk menjaga<br />

tali silaturahmi dengan keluarga dan teman, sampai dengan<br />

untuk mengembangkan kegiatan usaha, untuk menyediakan<br />

ke sempatan kerja, untuk membantu mereka yang dalam<br />

kesulitan, untuk membangun sekolah, pelayanan kesehatan,<br />

dan tempat ibadah, serta untuk membangun jiwa yang beriman<br />

dan bertakwa—semua akan lebih mudah bila ada uang, ada<br />

kekayaan.<br />

x


MUKADIMAH<br />

Tetapi mencari uang, mencari keuntungan, mencapai keber<br />

hasilan tidaklah mudah. Dan dalam era di mana makin<br />

banyak orang-orang yang menjadi kaya dengan jalan korupsi<br />

dan semacamnya, banyak teman dan murid saya yang bertanya:<br />

”Apakah mungkin memperoleh keuntungan dengan jalan<br />

yang jujur”<br />

”Apakah mungkin jadi kaya dengan melakukan kegiatan<br />

usaha menurut aturan agama”<br />

Mungkin karena ada beberapa orang yang menjadi kaya,<br />

bahkan sangat kaya, dengan <strong>cara</strong> yang tidak jujur maka orang<br />

berpendapat bahwa sangat sulit untuk jadi kaya dengan <strong>cara</strong><br />

yang jujur. Sehingga muncul pendapat yang menyatakan bahwa:<br />

”Cari rejeki yang haram saja sudah susah, apalagi yang halal”<br />

. . . .<br />

“Jangan mencampuradukkan urusan agama dalam urusan<br />

bisnis.”<br />

“Jangan mengaitkan masalah agama dengan masalah dunia.”<br />

. . . . .<br />

Sebenarnya hati kecil saya dan semua manusia yang beriman<br />

pasti akan menjerit bila mendengar pernyataan-pernyataan itu.<br />

Orang tua dan guru-guru kita telah mengajarkan bahwa Tuhan<br />

pasti akan menyediakan rezeki yang halal bagi manusia yang<br />

beriman dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Tetapi mengapa<br />

susah untuk mendapat rezeki yang halal Apa benar susah Atau<br />

kita yang tidak tahu <strong>cara</strong>nya Atau kita yang ‘banyak mau’nya<br />

Bila sudah tidak menemui jawaban atas pertanyaan yang<br />

saya hadapi, biasanya saya mencoba kembali ke ‘referensi utama’<br />

dalam hidup, yaitu Kitab Suci dan sabda Rasul Allah.<br />

xi


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci bahwa<br />

sesungguhnya harta manusia dan anak-anaknya adalah cobaan<br />

(fitnah) bagi manusia, namun sesungguhnya di sisi Allah pahala<br />

yang besar (QS Al Anfaal : 28). Dan mengenai kekayaan, Nabi<br />

Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa:<br />

“Manusia beriman yang kuat lebih baik daripada manusia<br />

beriman yang lemah”<br />

“Lebih baik meninggalkan keturunanmu dalam keadaan<br />

sehat dan kaya daripada dalam keadaan miskin, sehingga harus<br />

meminta-minta”.<br />

“Pada satu sisi kelebihan kekayaan dapat membahayakan<br />

keimanan dan moral, dan pada sisi lain kemiskinan dapat menyeret<br />

kepada kekufuran”.<br />

Kita tahu bahwa beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW<br />

adalah pedagang-pedagang yang berhasil dan mempunyai<br />

kekayaan yang berlimpah. Dan mereka memperoleh kekayaannya<br />

dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang sesuai dengan syariah, serta menggunakan<br />

kekayaannya di jalan yang benar. Sehingga jelaslah bahwa<br />

agama tidak melarang manusia untuk menjadi kaya. Namun<br />

kekayaan itu ibarat pisau bermata dua, bila tidak hati-hati bisa<br />

membahayakan keimanan. Tetapi apakah hal itu masih berlaku<br />

di era globalisasi ini<br />

Sebagai manusia yang beriman pasti kita percaya bahwa<br />

Tuhan Maka Kuasa. Semua yang terjadi adalah atas kehendak<br />

dan keputusan Tuhan Yang Mahakuasa. Namun tentu saja<br />

perilaku manusia akan terlibat di dalamnya dan menjadi sebab<br />

semua hal yang terjadi. Karena itu manusia harus berusaha<br />

dan berdoa kepada Tuhan agar ketentuan Tuhan sesuai dengan<br />

xii


MUKADIMAH<br />

harapannya. Hanya saja bila manusia merasa telah berusaha<br />

sekuat tenaga dan rajin beribadah, mengapa harapan-harapannya<br />

serta permintaan-permintaannya tidak dikabulkan Tuhan. Apa<br />

yang salah<br />

Bagaimana Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong><br />

Sejak saya mulai belajar tentang sistem keuangan dan sistem<br />

ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah, banyak temanteman<br />

yang bertanya tentang bagaimana <strong>cara</strong> kaya dengan<br />

jalan yang halal. Apakah ada ’jurus’ untuk kaya dengan <strong>cara</strong><br />

yang sesuai syariah<br />

Saya beruntung pernah bekerja di berbagai jenis perusahaan,<br />

mulai dari perusahaan multi nasional, perusahaan swasta<br />

lokal, perusahaan semi BUMN, sampai dengan BUMN yang<br />

’murni’ maupun BUMN yang mirip perusahaan asing. Saya<br />

juga beruntung pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi,<br />

baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, di kota besar<br />

maupun di kota yang tidak terlalu besar, yang berbasis teknologi,<br />

keuangan maupun ilmu agama. Pengalaman tersebut memberi<br />

saya pandangan yang lebih luas mengenai kekayaan, kebahagiaan<br />

dan kejujuran.<br />

Buku ini saya tulis untuk semua orang—tanpa memandang<br />

jenis kelamin, keyakinan agama, maupun profesi- yang ingin<br />

mencari jurus-jurus untuk berhasil dalam kegiatan usaha dengan<br />

mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama—yang<br />

sesuai dengan nurani. Berhasil menjadi kaya dan bahagia dengan<br />

<strong>cara</strong> yang sesuai ajaran agama.<br />

xiii


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Sebagaimana dalam semua kegiatan kita, bila ingin berhasil<br />

dalam kegiatan usaha dengan mengikuti prinsip syariah maka<br />

kita harus melatih diri sendiri. Mungkin seperti halnya bila<br />

ingin menjadi juara dalam kegiatan olahraga. Seperti bila ingin<br />

menjadi Tiger Wood di olahraga golf, menjadi Pele di sepakbola,<br />

menjadi Roger Federer di tenis. Semua membutuhkan latihan<br />

fisik, latihan dasar, dan latihan teknik.<br />

Buku ini memberikan latihan-latihan untuk menguasai<br />

jurus-jurus kaya dan bahagia dengan <strong>cara</strong> syariah. Bagian awal<br />

dari buku ini ditulis untuk melatih kemampuan internal manusia<br />

dalam memahami prinsip-prinsip syariah. Bagian selanjutnya<br />

dirancang untuk mempelajari dan menguasai prinsip-prinsip<br />

serta kaidah syariah dalam kegiatan usaha. Dan diikuti dengan<br />

kiat-kiat berusaha yang sesuai dengan prinsip dan kaidah syariah.<br />

Buku ini diakhiri dengan kesimpulan mengenai falsafah, tata<br />

nilai, prinsip dan kaidah yang sebaiknya dianut agar manusia<br />

dapat berhasil dalam mencapai tujuan dari keberadaannya.<br />

Pada bagian awal, buku ini seakan-akan memberikan latihan<br />

fisik agar Anda siap untuk menjadi kaya. Dimulai dengan<br />

membahas mengapa harus kaya yaitu dengan mengenal diri<br />

sendiri dan memahami kebutuhan yang sebenarnya sehingga<br />

faham mengapa harus kaya. Pembahasan kedua adalah untuk<br />

memahami kapan menjadi kaya, yaitu apa yang harus dipenuhi<br />

agar menjadi kaya.<br />

Pembahasan ketiga adalah untuk memahami modal<br />

untuk kaya, yaitu modal yang telah disediakan oleh Tuhan<br />

agar manusia bisa kaya. Diikuti dengan pembahasan keempat<br />

tentang berusaha untuk kaya, dengan memahami hubungan<br />

antara usaha manusia dengan balasan yang diterimanya yang<br />

xiv


MUKADIMAH<br />

diwarnai dengan hubungan antara kekayaan, kemaslahatan<br />

dan keadilan. Pembahasan terakhir adalah untuk memahami<br />

bagaimana seharusnya mengelola kekayaan yang sebenarnya<br />

merupakan amanah bagi manusia.<br />

Berikutnya buku ini akan memberikan latihan prinsip dasar<br />

dan jurus-jurus penerapannya. Dimulai dengan pembahasan<br />

mengenai bagaimana kaya se<strong>cara</strong> halal dan thoyib. Bagaimana<br />

<strong>cara</strong> memisahkan hasil yang halal dari yang haram maupun<br />

meragukan. Sehingga dapat menghindari kemunkaran dan<br />

kemudharatan guna memberikan manfaat yang membawa<br />

kearifan. Dalam bab ini disampaikan jurus kurma yang menjadi<br />

dasar dari jurus-jurus terkait uang, valuta asing, etika bisnis,<br />

dan mekanisme pasar.<br />

Latihan prinsip dasar kedua adalah latihan hindari riba<br />

yaitu dengan menolak berlaku zhalim dan menolak diperlakukan<br />

se<strong>cara</strong> zhalim sehingga tercipta kondisi saling ridha. Dalam bab<br />

ini diuraikan jurus-jurus terkait jual-beli, yaitu jurus mencari<br />

tambahan berazas manfaat, jurus simpan-bayar, jurus bayartertunda,<br />

jurus bayar-cicil.<br />

Latihan prinsip dasar ketiga membahas <strong>cara</strong> kendalikan<br />

risiko, yaitu untuk menghancurkan ketidakpastian yang<br />

merugikan dengan meningkatkan transparansi. Dalam bab ini<br />

diterangkan jurus-jurus nisbah hutang atas modal, jurus sewa<br />

manfaat, jurus SBSN, jurus DSN, jurus saling tolong dan saling<br />

jamin, jurus jaminan PHK, jurus lindung nilai, dan jurus risiko<br />

sistemik.<br />

Sedangkan latihan prinsip dasar keempat menekankan<br />

prinsip bersama kita bisa, yaitu bagaimana membangun ke bersamaan<br />

dan menciptakan sinergi. Dalam bab ini disampaikan<br />

xv


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

jurus sapi betina yang menjadi acuan dari jurus IDB Mudharaba-<br />

Murabaha, jurus reksa dana syariah, jurus obligasi Mudharaba,<br />

jurus Jakarta Islamic Index, jurus prinsip syariah di pasar modal<br />

dan jurus unit-link.<br />

Dan akhirnya, latihan prinsip dasar kelima adalah ciptakan<br />

kekayaan, yaitu bagaimana menciptakan nilai tambah berbasis<br />

objek riil dan peningkatan produktivitas. Dalam bab ini diterang<br />

kan jurus istishna untuk pembangunan infrastruktur,<br />

jurus ijarah yang kreatif, jurus penjaga kekayaan, jurus rumahku<br />

surga ku, jurus rusunawa-rusunami, dan jurus PNB-PNM.<br />

Dengan membaca buku ini, insya Allah akan diperoleh<br />

ins pirasi untuk menjadi kaya dan bahagia dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong><br />

yang sesuai syariah. Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong>.<br />

xvi


Ilmu<br />

(Mu’adz bin Jabal)<br />

Pelajarilah ilmu, sebab mencari ilmu karena Allah adalah<br />

kebaikan, menuntut ilmu adalah ibadah, mempelajari ilmu adalah<br />

tasbih, mengkaji ilmu adalah jihad, me ngajar kan ilmu adalah<br />

sedekah, dan menyampaikan ilmu kepada yang berhak adalah<br />

qurbah (kedekatan). Ilmu adalah teman yang menghibur dalam<br />

kesendirian, sahabat dalam kesepian, petunjuk dalam suka dan<br />

duka, pem bantu di sisi karib dan teman di sisi kawan, penerang<br />

di jalan surga.<br />

Dengan ilmu, Allah mengangkat bangsa-bangsa, lalu Allah<br />

jadikannya pemimpin, penghulu, dan pemberi petunjuk pada<br />

kebaikan.<br />

Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan.<br />

Ilmu menghidupkan hati dari kebutaan, memberi cahaya dari<br />

kezhaliman, memberi kekuatan dari kelemahan.<br />

Ilmu adalah pemimpin, amalan adalah pengikutnya.<br />

Ilmu diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia,<br />

diharamkan bagi orang-orang yang celaka.


Bab 1<br />

Mengapa Harus <strong>Kaya</strong><br />

Pada tahun 1978, setelah lulus dari ITB, saya mengawali karier<br />

sebagai marketing representative untuk IBM. Saat itu, IBM adalah<br />

perusahaan komputer terbesar di dunia. Suatu ketika, saya ada<br />

janji dengan Direktur Keuangan dari satu perusahaan swasta<br />

yang cukup besar. Direktur Keuangan itu seorang wanita—<br />

yang setahu saya adalah juga pemilik perusahaan itu. Janji<br />

untuk meeting pukul 08.30, pagi. Karena takut terlambat, saya<br />

datang pagi sekali. Saat itu kantor masih sepi, hanya ada seorang<br />

lelaki tua berkaos oblong yang sedang merawat tanaman hias<br />

dan merangkai bunga di ruangan tamu Direksi. Tanamannya<br />

memang bagus dan bunga yang dirangkainya indah sekali.<br />

Saya gunakan kesempatan itu untuk ’ngobrol’ dan mencari<br />

tambahan informasi tentang perusahaan tersebut, juga tentang<br />

Ibu Direktur Keuangan. Kebetulan, saya memang suka tanaman<br />

hias dan bunga.<br />

1


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kemudian, Bapak Tua itu bercerita bahwa <strong>cara</strong> kita merawat<br />

tanaman adalah cermin dari <strong>cara</strong> kita memandang kehidupan.<br />

Tanaman akan tumbuh subur dan berkembang indah bila kita<br />

merawatnya dengan baik. Begitu pun halnya dengan kehidupan<br />

ini. Bila kita merawat atau menjaga kehidupan dengan baik,<br />

maka kehidupan akan memberi kita keindahan dan kebahagiaan.<br />

Setelah berbincang ringan dengan Bapak Tua itu sekitar<br />

setengah jam, Ibu Direktur Keuangan datang dan langsung<br />

mencium pipi si Bapak Tua perawat tanaman hias itu. Saya<br />

terkejut, bengong. Ternyata Bapak Tua yang begitu bersahaja<br />

adalah suami Ibu Direktur Keuangan, sekaligus pendiri dan<br />

pemilik perusahaan itu. Untung saja obrolan kami, sebelumnya,<br />

berjalan cukup akrab dan menarik. Wah, orangtua itu kaya<br />

sekali, tetapi sangat sederhana.<br />

Sewaktu keluar dari ruang meeting, saya bertemu dengan<br />

Bapak Tua itu lagi. Saat itu, dia sudah pakai baju batik kuno<br />

yang terlihat sangat indah. Dia bilang, ”Kamu akan merasa<br />

kaya bila kamu merasa bahagia. Rawatlah kehidupanmu.<br />

Baik itu kehidupan usaha, kehidupan ilmu, kehidupan<br />

sosial, ataupun kehidupan keluarga. Maka kehidupan<br />

akan memberimu kebahagiaan, dan kamu akan menjadi<br />

kaya.”<br />

Sekarang, tiga dasawarsa kemudian, saya semakin yakin<br />

bahwa kriteria atau ukuran ’kaya’ tergantung pada bagaimana<br />

kita memahami siapa sebenarnya diri kita dan hal-hal yang<br />

menjadi kebutuhan hidup kita. Sebagai umat beragama, saya<br />

yakin, jawaban atas siapa diri saya dan kebutuhan hidup saya<br />

sudah dijelaskan seterang-teraangnya dalam Kitab Suci dan<br />

sabda Rasul Tuhan.<br />

2


Siapakah Anda<br />

MENGAPA HARUS KAYA<br />

Siapa yang setiap hari Anda lihat sewaktu memandang pada<br />

cermin di rumah Anda Manusia yang Anda lihat di cermin itu<br />

tentu sangat Anda kenal: “Diri Anda sendiri!” Tetapi, siapakah<br />

Anda Apa yang Anda butuhkan di dunia ini Tahukah Anda<br />

kapan akan menjadi ‘kaya’<br />

Anda mungkin saja seorang suami, seorang istri, atau<br />

lajang yang hidup sendiri. Di samping sebagai suami, boleh<br />

jadi Anda juga seorang ayah. Sebaliknya, selain sebagai seorang<br />

istri, mungkin Anda juga seorang ibu. Atau, Anda masih<br />

punya orangtua yang berarti Anda masih berstatus seorang<br />

anak. Bahkan, mungkin saja Anda punya saudara, sehingga<br />

Anda bisa saja seorang kakak<br />

atau adik, ataupun seorang<br />

paman atau tante dari putraputri<br />

saudara Anda. Dari sisi<br />

status sosial, mungkin Anda<br />

memiliki jabatan manajer,<br />

pemimpin, direktur, atau<br />

wakil rakyat yang terhormat,<br />

Menteri, bahkan Presiden.<br />

Se<strong>cara</strong> profesi, bisa saja Anda<br />

seorang dokter, teknisi,<br />

pengemudi, pelayan, atau<br />

pemegang peran-peran lain<br />

dalam kehidupan.<br />

”Tanaman akan tumbuh<br />

subur dan berkembang<br />

indah bila kita<br />

merawatnya dengan baik.<br />

Begitu pun halnya dengan<br />

kehidupan ini. Bila kita<br />

merawat atau menjaga<br />

kehidupan dengan baik,<br />

maka kehidupan akan<br />

memberi kita keindahan<br />

dan kebahagiaan.”<br />

Keberagaman status, peran, dan profesi itu tergambar jelas<br />

dalam lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Ahmad<br />

Albar. Salah satu syair pada bait dalam lagu itu mengungkap<br />

3


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

bahwa, “Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura.”<br />

Sebenarnya, syair lagu itu bukan sekadar menyampaikan pesan<br />

mengenai “kontradiksi keberagaman peran” yang dijadikan<br />

lelakon kehidupan manusia. Tetapi jauh lebih dalam lagi,<br />

mengandung pertanyaan besar tentang hakikat keberadaan<br />

manusia di dunia, termasuk ihwal mengapa dan untuk apa<br />

manusia diciptakan.<br />

Mengenai keberadaan manusia, firman Allah SWT dalam<br />

Kitab Suci (QS 51:56) dengan jelas menyatakan bahwa tujuan<br />

penciptaan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-<br />

Nya. Artinya, Allah SWT menciptakan manusia tidak untuk<br />

tujuan selain beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini, makna<br />

ibadah berarti mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Istilah<br />

mengabdi berarti manusia adalah abdi Tuhan atau dalam bahasa<br />

sederhananya: hamba Allah.<br />

Jadi, saya dan Anda adalah abdi Tuhan atau hamba Allah,<br />

dan kebutuhan hidup kita telah ditentukan oleh Allah SWT,<br />

sebagaimana dijabarkan dalam Kitab-Nya. Dan menurut Imam<br />

Ghazali, tujuan utama dari hidup manusia adalah mencapai<br />

kecintaan semata-mata karena Allah SWT Sebagaimana<br />

dijelaskan dalam Kitab Suci (QS 2:165 dan 5:54) , orang-orang<br />

yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan Allah mencintai<br />

mereka.<br />

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa tidaklah<br />

seorang manusia beriman kecuali bila ia telah menjadikan Allah<br />

dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya,<br />

dan manusia seluruhnya.<br />

4


MENGAPA HARUS KAYA<br />

Imam Ghazali juga mengajarkan bahwa terdapat empat<br />

tingkatan hamba Allah SWT Pertama, hamba yang mengenal<br />

syariat (hukum-hukum) Allah dan mulai menjalankannya.<br />

Kedua, hamba yang telah memahami syariat dan oleh karenanya<br />

bersungguh-sungguh berada dalam tarekat (jalan) Allah.<br />

Ketiga, hamba yang telah mendapatkan hasil dari tarekat yang<br />

dijalankannya sehingga menemukan hakikat dari syariat. Dan<br />

yang tertinggi, hamba yang telah mencapai ma’rifat (tingkat<br />

kecintaan) sehingga menjalankan syariat Allah semata-mata<br />

karena cinta kepada Allah dan rasul-Nya, serta semata-mata<br />

mengharapkan ridha Allah SWT<br />

Pelajaran dari Pengalaman Nabi Adam<br />

Setelah memahami bahwa manusia adalah hamba Allah, perlu<br />

dipahami pula apa sebenarnya yang dibutuhkan manusia untuk<br />

mencapai tujuan penciptaannya. Pelajaran pertama mengenai<br />

kebutuhan manusia tergambar pada takdir manusia pertama yang<br />

diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa, Adam. Dan istrinya,<br />

Hawa. Dalam Kitab Suci (QS 20:117-119) telah diterangkan<br />

oleh Allah SWT kepada Nabi Adam bahwa sesungguhnya iblis<br />

adalah musuh bagi mereka. Adam dan Hawa juga diingatkan<br />

agar jangan sampai iblis membuat mereka terusir dari surga.<br />

Karena, di dalam surga mereka tidak akan pernah merasakan<br />

tajuu’a, ta’roo, tazhma’u, dan tidak tadhhaa.<br />

Hikmah apa yang dapat kita petik dari kejadian ini<br />

Apa maksud firman Allah SWT dalam ayat ini<br />

Baiklah. Coba kita uraikan satu demi satu. Tajuu’a artinya<br />

lapar, tetapi se<strong>cara</strong> umum mengandung arti “tidak cukup<br />

5


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

ma kanan”. Sementara ta’roo berarti telanjang atau ”tidak berpakaian”.<br />

Adapun makna tazhma’u adalah dahaga, atau mengandung<br />

arti ”tidak terpuaskan”. Sedangkan tadhhaa artinya<br />

tidak duhaa, maksudnya “terkena panas matahari”.<br />

Se<strong>cara</strong> tersirat, kita dapat memahami bahwa maksud firman<br />

Allah SWT tersebut adalah: selama berada di surga, semua<br />

kebutuhan hidup Adam dan Hawa akan selalu terpenuhi.<br />

Kebutuhan hidup yang oleh Allah SWT digambarkan sebagai<br />

tidak tahuu’a, tidak ta’roo, tidak tazhma’u, dan tidak tadhhaa.<br />

Namun, apa yang terjadi, ternyata Adam dan Hawa tergoda<br />

setan, dan mencoba mencari sesuatu yang lebih dari yang telah<br />

ditentukan oleh Sang Pencipta.<br />

Manusia pertama yang diciptakan Tuhan telah tergoda setan<br />

untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Padahal, Tuhan<br />

telah menyediakan segalanya se<strong>cara</strong> sempurna di surga, sehingga<br />

dijamin bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,<br />

yang sesuai dengan aturan Tuhan, akan terpuaskan. Namun,<br />

”Rasulullah Saw.<br />

menjelaskan bahwa<br />

kebaikan datang dari<br />

kebaikan. Harta di dunia<br />

ibarat rumput hijau.<br />

Jika seekor binatang<br />

memakannya se<strong>cara</strong><br />

berlebihan, rumput itu<br />

dapat menciderai atau<br />

membunuhnya.”<br />

manusia—karena dorongan<br />

nafsunya—masih mencari<br />

“kelebihan” yang kemudian<br />

mendorongnya pada perilaku<br />

hidup berlebihan, boros, dan<br />

menyia-nyiakan (mubazir).<br />

Memang manusia diberi<br />

motivasi untuk memenuhi<br />

kebutuhan hidupnya dalam<br />

jumlah yang banyak, bahkan<br />

motivasi untuk berusaha<br />

menjadi kaya akan “hal-hal<br />

6


MENGAPA HARUS KAYA<br />

yang penting dalam hidupnya”. Namun, apa saja sebenarnya<br />

yang merupakan “hal-hal yang penting dalam hidup manusia”<br />

itu<br />

Sebagian manusia berpendapat, dengan memiliki banyak<br />

harta, manusia dapat memperoleh hal-hal yang penting dalam<br />

hidupnya. Karena itu, logikanya, siapa saja yang berniat ingin<br />

‘kaya’, berarti harus memiliki banyak harta. Sesungguhnya,<br />

perihal harta, Nabi Muhammad SAW telah menuturkan<br />

banyak rambu-rambu. Pada satu sisi, menurut Rasulullah SAW,<br />

kemiskinan dapat menyeret manusia kepada kekufuran. Namun<br />

di sisi lain, kelebihan harta dapat membahayakan keimanan<br />

dan moral.<br />

Lebih lanjut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kebaikan<br />

datang dari kebaikan. Harta di dunia ibarat rumput hijau. Jika<br />

seekor binatang memakannya se<strong>cara</strong> berlebihan, rumput itu<br />

dapat menciderai atau membunuhnya. Yang paling baik adalah<br />

binatang yang makan rumput hijau, kemudian berjalan di bawah<br />

cahaya matahari seraya mencerna makanannya, dan kembali<br />

menikmati makan rumput.<br />

Begitu pula harta. Materi yang satu ini ibarat gula yang<br />

manis. Dalam jumlah sedikit dapat memberikan kekuatan,<br />

meskipun rasa manisnya sangat menggoda agar terus-menerus<br />

dinikmati. Namun, bila dikonsumsi se<strong>cara</strong> berlebihan, gula<br />

dapat memicu banyak penyakit. Nah, seperti itulah harta. Terlalu<br />

banyak harta dapat menimbulkan “penyakit”. Oleh karenanya,<br />

sebaik-baik manusia adalah mereka yang memperoleh harta<br />

se<strong>cara</strong> halal dalam jumlah yang cukup dan menafkahkannya di<br />

jalan yang benar. Kemudian berusaha lagi mencari tambahan<br />

7


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

yang kelak digunakan di jalan Tuhan. Karena harta yang kita<br />

miliki, kelak akan menjadi saksi di Hari Pembalasan.<br />

Jadi, berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, berbeda<br />

dengan pendapat sebagian manusia yang menyatakan bahwa<br />

kebutuhan manusia tidak terbatas, ketentuan dari Sang Pencipta<br />

menyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah tertentu atau<br />

terbatas. Karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan<br />

kemampuan yang terbatas untuk memakai atau menghabiskan<br />

sesuatu, baik berupa pakaian, makanan, maupun harta benda<br />

lainnya. Dalam memahami keterbatasan kebutuhan ini,<br />

Muhammad SAW telah mengajarkan agar jangan mencari<br />

pembenaran atas segala sesuatu yang tidak bisa dibenar<br />

kan.<br />

Ruang Lingkup Kebutuhan Manusia<br />

Firman Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW di atas<br />

menyiratkan pengertian tentang tingkatan kebutuhan manusia.<br />

Beberapa tingkatan kebutuhan manusia itu dapat kita uraikan<br />

sebagai berikut.<br />

Pertama, dengan memakai istilah tajuu’a, terkait dengan<br />

kecukupan makanan yang dibutuhkan manusia, sebagai mahluk,<br />

untuk hidup. Kedua, dengan menggunakan istilah ta’roo, terkait<br />

kebutuhan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup<br />

lainnya, yaitu kebutuhan sebagai makhluk sosial untuk menutup<br />

aurat dan untuk tampil menarik. Ketiga, dengan memakai istilah<br />

tazhma’u, terkait dengan memenuhi dahaga atau dapat disebut<br />

sebagai kepuasan, yaitu sesuatu yang membuat manusia ingin<br />

mendapat lebih. Keempat, atau yang terakhir, dengan istilah<br />

tadhhaa, yang memakai panas sinar matahari sebagai analogi.<br />

8


MENGAPA HARUS KAYA<br />

Dalam jumlah yang cukup, panas sinar matahari akan sangat<br />

berguna dan menyehatkan. Tetapi bila terlalu banyak atau<br />

berlebihan, bisa membakar kulit dan menimbulkan masalah.<br />

”Pada satu sisi,<br />

menurut Rasulullah<br />

Saw., kemiskinan dapat<br />

menyeret manusia kepada<br />

kekufuran. Namun di<br />

sisi lain, kelebihan harta<br />

dapat membahayakan<br />

keimanan dan moral.”<br />

Dengan demikian,<br />

manusia seharusnya dapat<br />

memahami bahwa Allah<br />

SAW telah menunjukkan<br />

adanya pembedaan (differentiation)<br />

atas semua hal<br />

yang diperlukan dalam<br />

hidup manusia. Menurut<br />

pem bedaan itu, hal-hal<br />

yang diperlukan dalam<br />

hidup manusia dapat di kelompokkan<br />

sebagai keperluan (darurat), kebutuhan (haajat),<br />

keinginan (raghbat), dan hasrat (syahwat). Sebenarnya, istilah<br />

yang diadopsi dari bahasa Arab ini sudah diserap ke dalam bahasa<br />

Indonesia. Sayangnya, pengertian dari istilah-istilah tersebut<br />

banyak yang menyimpang jauh dari makna sebenarnya, bahkan<br />

sering kali menyesatkan.<br />

Darurat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu<br />

yang diperlukan manusia sebagai makhluk untuk tetap hidup.<br />

Sebut saja air, oksigen, dan makanan. Bila kebutuhan yang<br />

termasuk dalam golongan darurat tidak terpenuhi, manusia<br />

tidak dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk—yang<br />

digambarkan dengan istilah tidak cukup makan (tajuu’a).<br />

Haajat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu<br />

yang se<strong>cara</strong> mendasar harus dipenuhi untuk mencapai fitrah<br />

sebagai manusia. Di antaranya, kebutuhan untuk berpakaian,<br />

9


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

berkomunikasi, berkeluarga, punya tempat tinggal yang layak,<br />

dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini digambarkan<br />

dengan istilah tidak berpakaian atau ta’roo.<br />

Bila kebutuhan yang tergolong darurat dan haajat sudah<br />

terpenuhi, sebenarnya manusia sudah dapat menjalankan<br />

tugasnya sesuai dengan maksud dan tujuan Sang Pencipta, yaitu<br />

menjadi abdi Tuhan. Namun, Allah SWT menetapkan bahwa<br />

manusia harus diberi cobaan, diberi ujian, untuk kemudian<br />

dinilai: mana yang layak masuk surga dan mana yang<br />

tidak layak masuk surga.<br />

Raghbat, yaitu keinginan yang diharapkan dipenuhi untuk<br />

mencapai kepuasan yang lebih luas dari kebutuhan dasar, yang<br />

digolongkan sebagai darurat dan haajat. Keinginan ini layak<br />

menjadi motivasi untuk mencari fadhilah, kelebihan dari<br />

Allah SWT, sehingga manusia tidak melupakan haknya atas<br />

nikmat dunia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah<br />

ditetapkan-Nya. Keinginan jenis ini digambarkan sebagai dahaga<br />

atau tazhma’u.<br />

Syahwat, yaitu keinginan atau raghbat yang sebenarnya<br />

tidak diperlukan. Sehingga, bila dipenuhi, manfaatnya sangat<br />

kecil atau bahkan tidak ada, sedangkan mudharatnya lebih<br />

besar. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan syahwat bukanlah<br />

semata-mata berkaitan dengan masalah seksual, tetapi segala<br />

macam bentuk rangsangan atau hasrat untuk segera memenuhi<br />

keinginan. Sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan, atau<br />

belum saatnya untuk dipenuhi, sehingga menjadi kelebihan<br />

yang merugikan (tadhdha).<br />

10


MENGAPA HARUS KAYA<br />

Masalah utama dalam syahwat adalah bila manusia<br />

menyegerakan sesuatu yang dianggapnya sebagai kebutuhan,<br />

padahal sebenarnya tidak pernah menjadi haknya. Contoh<br />

paling sederhana adalah makan berlebihan hingga jatuh sakit,<br />

bahkan mungkin meninggal dunia. Contoh lainnya adalah<br />

keinginan untuk memiliki barang mewah yang berada di luar<br />

jangkauan kemampuan, baik kemampuan saat ini maupun<br />

di masa mendatang. Syahwat semacam ini sangat berbahaya,<br />

karena bisa memicu timbulnya pikiran “liar”—seperti menipu,<br />

mencuri, atau korupsi—untuk memenuhinya.<br />

Syahwat atau rangsangan untuk segera memenuhi keinginan—yang<br />

mungkin belum menjadi kebutuhan atau tidak<br />

pernah menjadi kebutuhan—terbukti telah menimbulkan berbagai<br />

kerusakan di muka bumi. Bukan hanya memicu timbulnya<br />

peperangan, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia ke<br />

dalam khamar—seperti narkoba, maysir—seperti judi maupun<br />

spekulasi, hingga transaksi riba yang terbukti telah menciptakan<br />

resesi akibat krisis keuangan dunia.<br />

11


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

<strong>Kaya</strong> = Kebutuhan Manusia terjaga<br />

Manusia diciptakan untuk menjadi abdi Tuhan, menjadi hamba<br />

Allah Swr. Manusia diciptakan untuk mempunyai kebutuhan, di<br />

mana bila kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan merasa<br />

‘kaya’. Kebutuhan manusia sebenarnya terbatas, dan hanya<br />

meliputi:<br />

Darurat adalah kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk<br />

adalah setara dengan wajib, karena bila tidak dipenuhi maka<br />

manusia tidak bisa bertahan hidup sebagai mahluk. Bila dipenuhi<br />

maka manusia akan kaya se<strong>cara</strong> fisik.<br />

Haajat adalah kebutuhan manusia agar dapat memenuhi<br />

fitrahnya. Keadaannya mirip dengan hukum sunah. Bila tidak<br />

dipenuhi, manusia tetap akan hidup sebagai mahluk. Namun bila<br />

terpenuhi, manusia akan memenuhi fitrahnya sebagai manusia,<br />

menjadi kaya se<strong>cara</strong> intelektual dan finansial.<br />

Raghbat adalah keinginan manusia dapat disetarakan dengan<br />

mubah. Bila dipenuhi manusia akan lebih bahagia. Kalaupun tidak<br />

terpenuhi, manusia tetap dapat hidup sebagai hamba Allah. Bila<br />

manusia sudah bisa menjaga diri terhadap raghbat, maka manusia<br />

sudah kaya se<strong>cara</strong> emosional.<br />

Syahwat atau hasrat adalah dorongan hati yang minta dipenuhi<br />

tetapi bila dipenuhi mungkin sangat sedikit—atau bahkan tidak<br />

ada—manfaatnya, namun berpotensi menjadi dosa. Apabila sudah<br />

dapat menjaga diri dari syahwat, manusia sudah kaya se<strong>cara</strong><br />

spiritual.<br />

12


Bab 2<br />

Kapan Menjadi <strong>Kaya</strong><br />

Bujang, seorang pria tampan dan cerdas, berasal dari<br />

keluarga yang berkecukupan. Ia menikah dengan Dara yang cantik<br />

jelita dan luwes bergaul. Bujang bekerja di suatu perusahaan asing,<br />

sementara Dara bekerja di salah satu BUMN.<br />

Sebagaimana keluarga muda lainnya, mereka mulai membina<br />

kehidupan dengan membeli rumah dan mobil. Karena penghasilan<br />

masih terbatas, mereka mengambil KPR dan kredit kendaraan<br />

bermotor. Mereka juga memanfaatkan kartu kredit untuk membeli<br />

barang-barang yang relatif mahal dengan sistem pembayaran<br />

cicilan. Se<strong>cara</strong> umum mereka relatif bahagia, walaupun living<br />

dangerously karena besarnya kredit yang mereka ambil. Pepatah<br />

mengibaratkan, besar pasak dari tiangnya.<br />

Suatu ketika, bencana datang. Bujang terlibat ”silang-pendapat”<br />

yang sangat sengit dengan atasannya. Akibatnya, ia ”terlempar”<br />

ke posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak<br />

disukainya. Bujang sangat terpukul. Ia pun ”ngambeg” dan memilih<br />

13


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

berhenti bekerja. Lalu, ia mencari kesibukan dengan melanjutkan<br />

kuliah untuk program MM. Guna memenuhi kebutuhan hidup<br />

sehari-hari, pasangan muda itu hanya mengandalkan penghasilan<br />

Dara. Akibatnya, mereka tidak sanggup membayar cicilan kredit<br />

dan mulai dikejar-kejar debt collector.<br />

Sementara itu, Jahil, seorang pengusaha yang sedang<br />

mengejar mega proyek di BUMN tempat Dara bekerja, berusaha<br />

memanfaatkan situasi. Jahil membujuk agar Dara mau bekerja<br />

sama dengannya. Dara diminta menggunakan kecantikan dan<br />

keluwesannya untuk ”mengatur” agar Jahil menang dalam tender<br />

dengan <strong>cara</strong> mengantar ”kemenyan” ke Panitia Tender. Sebagai<br />

upah dari jerih payahnya, Dara akan mendapat ”bagian” yang<br />

cukup besar.<br />

Pada mulanya, Dara bingung menghadapi indecent proposal<br />

yang disodorkan oleh Jahil. Karena itu, Dara meminta pendapat<br />

sahabat karibnya, Acuh. Setelah mendengar cerita Dara, Acuh<br />

mendorong agar Dara memanfaatkan peluang emas itu. ”Dara,<br />

bekerja di BUMN gajinya kecil. Kalau kamu nggak pinter-pinter,<br />

nggak bisa memanfaatkan situasi, kamu tidak akan pernah kaya.<br />

Lihat saja teman-teman dan bos kamu di BUMN. Dari mana mereka<br />

bisa hidup bergelimang kemewahan seperti itu kalau mereka nggak<br />

pinter-pinter” Begitu saran Acuh.<br />

Karena saran itulah Dara menerima tawaran Jahil. Dia berhasil<br />

menjalankan misi yang diembannya. Jahil menang tender,<br />

meskipun harga penawarannya di mark-up sedemikian rupa dan<br />

kualitas yang ditawarkan tidak memenuhi persyaratan. Tentu saja,<br />

Jahil sangat puas dan memberikan ”hadiah” fantastis bagi Dara.<br />

Dari uang pemberian Jahil itulah Dara melunasi utang kredit. Tentu<br />

saja, Bujang sangat bahagia karena istrinya mendapat penghasilan<br />

14


KAPAN MENJADI KAYA<br />

besar, dan mereka tidak dikejar-kejar debt collector lagi. Akan<br />

tetapi, Bujang tidak tahu bagaimana <strong>cara</strong>nya dan dari mana Dara<br />

mendapatkan uang tersebut.<br />

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Korupsi pada<br />

tender yang dimenangkan oleh Jahil itu tercium oleh KPK. Jahil<br />

dan pejabat BUMN ditangkap dan didakwa sebagai pelaku tindak<br />

pidana korupsi. Dara menjadi saksi dan berpotensi besar menjadi<br />

tersangka. Mendengar kabar yang sangat memalukan itu, Bujang<br />

marah besar. Tanpa pikir panjang, Bujang menceraikan Dara.<br />

Dara sangat bersedih hati karena niat baiknya berakhir dengan<br />

kepahitan. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Ketika bertemu<br />

Sangar, kakaknya, dia tumpahkan segala rasa kecewa di hatinya.<br />

Men dengar cerita adiknya, Sangar naik pitam. Dia se gera mencari<br />

Bujang. Begitu bertemu, Sangar menghajar Bujang habis-habisan<br />

sampai Bujang harus dirawat di rumah sakit.<br />

Kisah di atas adalah cerita fiktif yang sering saya gunakan<br />

untuk memulai seminar atau pelatihan yang terkait dengan<br />

tata nilai di organisasi atau perusahaan. Pertanyaan yang saya<br />

ajukan kepada peserta seminar atau pelatihan adalah: ”Masingmasing<br />

orang dalam cerita ini mempunyai kesalahan. Menurut<br />

pendapat Anda, siapa yang paling bersalah Tolong beri urutan<br />

untuk kelima orang ini, dari yang paling salah sampai dengan<br />

yang paling sedikit kesalahannya.”<br />

Reaksi peserta seminar atau pelatihan setelah menyimak<br />

kisah di atas selalu beragam.<br />

15


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

”Dara pangkal segala bencana. Kalau saja dia punya keteguhan<br />

hati untuk menolak tawaran Jahil, dan mengabaikan saran Acuh,<br />

bencana ini tidak akan terjadi.”<br />

”Ya ampun, kok tega-teganya Bujang menceraikan Dara yang<br />

sudah berkorban besar. Seharusnya Bujang yang mencari nafkah<br />

untuk keluarga, bukannya Dara.”<br />

”Jahil penyebab semuanya. Dia sumber korupsi di BUMN,<br />

Dara hanya jadi korban karena terdesak dalam himpitan hutang.”<br />

”Gawat betul si Sangar. Mau jadi hakim sendiri padahal<br />

tidak tahu apa-apa.”<br />

”Acuh yang kurang ajar, dia yang menjerumuskan Dara.”<br />

Begitulah. Macam-macam pendapat yang mencuat.<br />

”Bagaimana dengan Anda”<br />

”Apakah Anda juga akan memberikan reaksi serupa, atau<br />

malah berbeda sama sekali, setelah membaca kisah di atas”<br />

Sebetulnya, apa pun reaksi Anda, yang paling penting adalah<br />

memahami hakikat cerita itu.<br />

Ya, kisah ini adalah cerita mengenai tata nilai. Bila Anda<br />

memilih Bujang sebagai pihak yang paling bersalah, maka<br />

Anda menempatkan tanggung jawab pribadi sebagai tata<br />

nilai tertinggi. Ketika Anda memilih Dara, berarti Anda<br />

menempatkan tanggung jawab moral sebagai tata nilai<br />

tertinggi. Apabila Anda memilih Jahil, itu pertanda Anda<br />

menempatkan etika usaha sebagai tata nilai tertinggi. Pada<br />

saat Anda memilih Acuh, berarti tanggung jawab sosial<br />

adalah tata nilai utama. Namun, bila Anda memilih Sangar,<br />

maka kepatuhan atau keteraturan menjadi tata nilai tertinggi.<br />

16


KAPAN MENJADI KAYA<br />

Saya kerap menggunakan cerita semacam ini untuk<br />

mengetahui tata nilai dalam seminar atau pelatihan di lembaga<br />

pemerintah, BUMN, perusahaan asing, perusahaan swasta,<br />

lembaga keuangan, organisasi profesi, organisasi sosial, bahkan di<br />

organisasi mahasiswa, OSIS, dan sekolah. Ternyata, urutan tata<br />

nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut memiliki<br />

perbedaan yang cukup besar.<br />

Tata nilai kita mempunyai hubungan timbal balik yang<br />

sangat erat dengan kebutuhan kita—atau lebih tepatnya:<br />

Hal-hal yang kita anggap<br />

se bagai kebutuhan kita.<br />

Namun, apakah pendapat<br />

atau pan dangan kita sudah<br />

sesuai dengan ajaran agama<br />

Inilah hal yang penting kita<br />

cermati.<br />

Lantas, bagaimana tata<br />

nilai menurut ajaran agama<br />

Hierarki Kebutuhan Manusia<br />

”Ternyata, jauh sebelum<br />

Maslow mengajukan teori<br />

Hierarchy of Needs, Imam<br />

Ghazali telah mempelajari<br />

kaidah-kaidah dasar<br />

hierarki kebutuhan<br />

manusia.”<br />

Sewaktu kuliah, dosen saya mengajarkan teori Hierarchy<br />

of Needs dari Maslow. Needs (berbagai kebutuhan manusia)<br />

memberi motivasi kepada manusia untuk berupaya dan<br />

bertindak. Maslow menyatakan, manusia mempunyai 3 jenis<br />

general needs yang dimulai dari physiological needs atau kebutuhan<br />

fisik, kemudian meningkat menjadi safety needs atau kebutuhan<br />

untuk mengamankan kebutuhan fisik tersebut. Dan, social needs<br />

pada tingkat ketiga, yaitu kebutuhan nonfisik sebagai manusia.<br />

Sementara, di atas general needs, Maslow menyatakan bahwa<br />

manusia juga mempunyai esteem needs, yaitu kebutuhan untuk<br />

17


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

diperhatikan, diakui, dan dihormati. Sedangkan kebutuhan<br />

tertinggi manusia, menurut Maslow, adalah self-actualization,<br />

yaitu kebutuhan untuk mewujudkan keberadaan dirinya.<br />

Namun, setelah saya mempelajari ekonomi syariah, saya<br />

menemukan informasi menarik. Ternyata, jauh sebelum<br />

Maslow mengajukan teori Hierarchy of Needs, Imam Ghazali<br />

telah mempelajari kaidah-kaidah dasar hierarki kebutuhan<br />

manusia. Dalam bukunya yang berjudul Al-Mustasyfa, Imam<br />

Ghazali mendefinisikan kaidah dasar hierarki kebutuhan<br />

manusia sebagai Maqashid asy-<strong>Syariah</strong>. Menurut Imam Ghazali,<br />

manusia akan sejahtera bila kebutuhannya terpenuhi. Hanya<br />

saja, kebutuhan itu harus sejalan dengan hierarki kebutuhan<br />

menurut syariah Islam, yakni kebutuhan utama untuk menjaga<br />

dien (keimanan), diikuti oleh kebutuhan untuk menjaga nafs<br />

(kehidupan), menjaga aql (akal), menjaga nasl (keturunan), dan<br />

terakhir untuk menjaga maal (harta).<br />

Menjaga Keimanan<br />

Dien atau iman artinya percaya, sedangkan makna “keimanan”<br />

adalah keyakinan terhadap suatu keberadaan atau<br />

yang dianggap benar. Manusia akan bertindak sesuai dengan<br />

keyakinannya. Bila ia yakin bahwa ada Tuhan yang menciptakan<br />

manusia dan alam semesta, serta yakin bahwa Rasul adalah<br />

pembawa firman Tuhan kepada manusia, maka ia pasti yakin<br />

akan kebenaran perintah-Nya, sebagaimana tersurat dan tersirat<br />

di dalam ayat-ayat Kitab Suci.<br />

Menurut syariah, untuk menjaga dien atau keimanan,<br />

manusia harus memenuhi Rukun Iman, yakni: percaya<br />

akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa;<br />

18


KAPAN MENJADI KAYA<br />

percaya bahwa Tuhan telah “kekayaan dapat<br />

menciptakan malaikat yang memutar-balik hati<br />

mengemban tugas-tugas manusia, dari baik hati<br />

tertentu dari Tuhan; percaya menjadi jahat atau buruk<br />

bahwa Tuhan me nyam paikan hati. Namun bukan hanya<br />

firman-Nya sebagaimana harta berlebihan yang<br />

termaktub dalam kitabkitab-Nya;<br />

percaya bahwa manusia, kekurangan<br />

dapat memutar-balik hati<br />

Tuhan telah mengutus para harta juga dapat<br />

Rasul untuk menyampaikan menyebabkan hal yang<br />

firman-Nya kepada manusia;<br />

sama.”<br />

percaya akan adanya akhirat<br />

yang abadi; dan percaya<br />

terhadap takdir Tuhan atas manusia.<br />

Manusia yang baik akan berusaha dengan sungguh-sungguh<br />

melaksanakan tugas pengabdian atau ibadah sebagaimana yang<br />

disampaikan dan diajarkan oleh rasul-rasul-Nya. Pada bagian<br />

lain, ia akan berupaya mencari ilmu untuk melaksanakan tugas<br />

pengabdiannya sebagai hamba Allah SWT dengan sebaikbaiknya.<br />

Menjaga Kehidupan<br />

Penjagaan kehidupan (nafs) menduduki peringkat kedua<br />

setelah penjagaan keimanan (dien). Mengapa demikian Dalam<br />

bahasa Arab, nafs dapat berarti jiwa, kehidupan, atau manusia.<br />

Selain itu, nafs juga digunakan untuk menunjukkan sesuatu<br />

yang berharga dan sangat tinggi nilainya sehingga tidak dapat<br />

dinilai dengan uang.<br />

19


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Jadi, manusia dan kehidupan adalah sesuatu yang sangat<br />

berharga. Mahakarya Tuhan yang tidak dapat dinilai dengan<br />

uang. Karena itu manusia harus menjaga kehidupan dengan<br />

menjaga keimanannya. Untuk menjaga kehidupan, manusia<br />

memerlukan hal-hal yang oleh Maslow dikategorikan sebagai<br />

general needs, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan,<br />

dan kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk menjaga kehidupan<br />

sebenarnya sama bagi seluruh manusia, terlepas dari suku bangsa<br />

atau jenis kelamin.<br />

Hanya saja, tindakan yang akan diambil manusia untuk<br />

menjaga kehidupan dapat berbeda-beda, tergantung pada<br />

tingkat keimanannya.<br />

Menjaga Akal<br />

Penjagaan akal berada pada peringkat ketiga, setelah<br />

keimanan, dan kehidupan. Dalam bahasa Arab, aql —sebagai<br />

kata kerja—berarti menjaga, menganalisa, atau mengetahui.<br />

Sebagai kata sifat, aql berarti kecerdasan, kepandaian,<br />

kemampuan untuk mengetahui, atau intelektual. Itulah sebabnya<br />

penjagaan akal ditempatkan sesudah penjagaan manusia, setelah<br />

kehidupan (nafs). Karena manusia dan kehidupan adalah sesuatu<br />

yang paling berharga. Manusia, kehidupan, dan keimanan harus<br />

tetap terjaga sehingga akal harus dikembangkan untuk menjaga<br />

kehidupan. Bukan sebaliknya!<br />

Akal tidak boleh digunakan untuk menghilangkan kehidupan,<br />

mengekang kehidupan, dan juga tidak dapat digunakan<br />

untuk menciptakan jiwa. Akal harus dijaga dengan belajar. Itu<br />

pula sebabnya ayat pertama yang disampaikan melalui malaikat<br />

Jibril adalah iqra: “bacalah”. Maksudnya, manusia harus aktif<br />

20


KAPAN MENJADI KAYA<br />

membaca “ayat-ayat” Tuhan yang ada di alam, dan menggunakan<br />

akalnya untuk berpikir.<br />

Dengan berpegang teguh pada keyakinan—sebagaimana<br />

dijabarkan dalam Rukun Iman, manusia harus berusaha mencari<br />

kebenaran dan mengembangkan manfaat sehingga menjadi<br />

rahmat bagi seluruh alam.<br />

Menjaga Keturunan<br />

Penjagaan nasab atau nasl menempati urutan keempat<br />

setelah keimanan, kehidupan, dan akal. Dalam bahasa Arab,<br />

nasab berarti keturunan dari nenek moyang, sedangkan nasl<br />

berarti anak keturunan.<br />

Keturunan diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup<br />

manusia. Karena itulah agama memberikan ketentuan mengenai<br />

perkawinan, kelahiran, warisan, muhrim, dan ketentuan untuk<br />

menghormati orangtua, menghormati jenazah serta arwah<br />

orang yang telah meninggal dunia. Dalam upaya menjaga<br />

kelangsungan hidup manusia, juga telah ditetapkan ketentuan<br />

mengelola rezeki untuk kepentingan anak keturunan, atau<br />

generasi penerus. Menjaga keturunan atau keluarga diperlukan<br />

untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.<br />

Lalu timbul pertanyaan, mengapa menjaga keturunan<br />

berada di bawah tingkat menjaga akal Ternyata, penetapan<br />

menjaga keturunan atau keluarga ditempatkan setelah menjaga<br />

akal berdasarkan pertimbangan bahwa manusia tidak boleh<br />

kehilangan akal sehat karena suami, istri, atau anak. Bahkan<br />

dalam Kitab Suci, Tuhan telah mengingatkan manusia bahwa<br />

keturunan—suami, istri, dan anak—dan harta dapat menjadi<br />

21


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

cobaan berat bagi mereka. Keturunan dan harta, hakikatnya,<br />

adalah cobaan yang dapat membolak-balikkan hati manusia<br />

dan menyebabkan manusia kehilangan akal sehat.<br />

Menjaga Harta<br />

Kebutuhan untuk menjaga maal ditempatkan dalam hierarki<br />

paling bawah. Dalam bahasa Arab, maal dapat berarti harta,<br />

milik, atau kekayaan. Tetapi, istilah maal juga dapat berarti<br />

memutar-balik. Maksudnya, harta milik dan kekayaan dapat<br />

memutar-balik hati manusia, dari baik hati menjadi jahat atau<br />

buruk hati. Namun bukan hanya harta berlebihan yang dapat<br />

memutar-balik hati manusia, kekurangan harta juga dapat<br />

menyebabkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW telah<br />

menyatakan bahwa kafakiran atau kemiskinan lebih dekat<br />

dengan kekufuran, kehilangan iman.<br />

Dalam Kitab Suci (QS 91:09-10), Allah SWT menyatakan,<br />

sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang zakkaaha dan<br />

merugilah orang yang dassaha. Zakkaaha artinya berzakat,<br />

dan maksudnya untuk membersihkan diri. Sedangkan dassaha<br />

artinya menutupi, maksudnya adalah melindungi yang kotor<br />

atau salah. Jadi, harta adalah karunia sekaligus cobaan. Itulah<br />

sebabnya manusia dianjurkan untuk membersihkan harta<br />

dengan <strong>cara</strong> mengeluarkan zakat. Sebaliknya, manusia<br />

dilarang menyimpan atau tidak mengeluarkan bagian<br />

harta yang menjadi hak orang lain, karena hal itu akan<br />

mengotori harta yang telah menjadi haknya.<br />

Saya yakin, Maqashid asy <strong>Syariah</strong> yang diajukan oleh Imam<br />

Ghazali telah memberikan definisi yang sangat jelas tentang<br />

22


KAPAN MENJADI KAYA<br />

hierarki dari hal-hal yang dibutuhkan dalam hidup manusia<br />

untuk menjadi ‘kaya’.<br />

,l;mBagaimanapun, kekayaan yang baik adalah kekayaan<br />

yang membawa rahmat dan dapat dinikmati dalam waktu<br />

yang cukup lama. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa<br />

kebersamaan (jama’ah) membawa rahmat dan panjang umur.<br />

Istilah jama’ah pada masa kini dapat disetarakan dengan teman<br />

atau mitra dan jejaring atau networking. Mungkin itu sebabnya,<br />

sewaktu saya masih kecil, ibu saya menuturkan kepada saya<br />

bahwa ‘seribu teman masih belum cukup, tetapi satu<br />

musuh sudah berlebihan’.<br />

Namun, teman atau sahabat seperti apa yang kita perlukan<br />

untuk menjadi kaya<br />

Seorang bijak pernah mengajarkan kepada anaknya:<br />

“Wahai anakku, jika engkau perlu bersahabat dengan seseorang,<br />

maka bersahabatlah dengan orang yang jika engkau<br />

ber khidmat kepadanya, ia memeliharamu. Jika engkau menemaninya,<br />

ia menghiasimu. Jika engkau kehilangan (sumber)<br />

peng hidupan, ia mengasihimu.<br />

Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan<br />

tangan untuk kebaikan, ia menyambutmu. Jika ia melihat kebaikan<br />

padamu, ia menghitungnya. Jika ia melihat kejelekan<br />

padamu, ia menutupinya.<br />

Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau meminta<br />

padanya, ia memberi. Jika engkau diam, ia datang padamu.<br />

Jika engkau ditimpa musibah, ia menolongmu.<br />

Bersahabatlah dengan orang yang bila engkau berkata, ia<br />

men dukung perkataanmu. Jika engkau berusaha mencapai<br />

23


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

sesuatu dengan tipu daya, ia menasihatimu. Dan jika engkau<br />

berselisih dengannya, ia mendahulukan kepentingan bersama.”<br />

Hierarki Kekayaan Manusia<br />

Kebutuhan utama kita sebagai hamba Allah SWT adalah<br />

untuk menjaga keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang<br />

Maha Esa. Kemudian, demi niat menjaga keimanan, kita harus<br />

menjaga kehidupan yang sangat berharga. Karena itu, kita<br />

perlu menjaga akal dengan terus iqra (membaca tanda-tanda<br />

Allah SWT), tafakur (berfikir), serta mengamalkan ilmu.<br />

Untuk menunjang kebutuhan menjaga keimanan, kehidupan<br />

dan akal, maka kita perlu menjaga keturunan dan<br />

menjaga maal (harta, milik). Apabila berhasil memenuhi<br />

kebutuhan, kita akan “kaya”. Dan ”kekayaan” tertinggi adalah<br />

memiliki keimanan. Agar bisa ”kaya iman”, hidup kita perlu<br />

”kaya” akan hal-hal yang berguna. Untuk itu kita perlu ”kaya<br />

ilmu pengetahuan” yang bermanfaat dan ”kaya akan kasih<br />

sayang dari keluarga”, dan akhirnya untuk mempermudah<br />

itu semua kita perlu ”kaya harta yang digunakan untuk<br />

kemaslahatan”.<br />

Berdasarkan keyakinan tersebut, manusia adalah socially<br />

and economically responsible religious man. Mengingat<br />

religious menjadi tujuan utama, dan karena manusia harus<br />

mempunyai kehidupan yang berguna, ilmu yang bermanfaat<br />

dan keluarga yang mengasihi, maka manusia menjadi socially<br />

responsible. Akhirnya, dalam memenuhi tujuan religious dan<br />

tanggung jawab social, maka manusia harus pula menjadi<br />

economically responsible.---<br />

24


Modal untuk <strong>Kaya</strong><br />

Ketika bekerja di Lippo Group, saya mendapat banyak<br />

kesempatan untuk mempelajari berbagai hal dari Bapak Mochtar<br />

Riady, pendiri Lippo Group. Salah satu di antaranya mengenai<br />

peluang atau opportunity. Beliau mengatakan, terkait dengan<br />

peluang usaha, manusia terbagi empat.<br />

Kelompok pertama adalah mereka yang tidak bisa melihat<br />

peluang datang. Manusia yang tergolong dalam kelompok ini<br />

baru menyadari adanya peluang, setelah peluang itu diambil<br />

oleh orang lain dan mencapai keberhasilan.<br />

Kelompok kedua adalah orang-orang yang dapat melihat<br />

peluang sebelum datang sehingga bisa mempersiapkan diri<br />

untuk memanfaatkan peluang.<br />

Selanjutnya, manusia yang tergolong kelompok ketiga,<br />

ialah siapa saja yang bisa menciptakan peluang dari sesuatu<br />

yang dianggap bukan peluang dan karenanya selalu “selangkah<br />

di depan”. Mereka adalah orang-orang yang sukses.<br />

25


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

”modal tidaklah harus<br />

berupa uang, harta, atau<br />

aset. Fakta menunjukkan<br />

bahwa modal<br />

kemampuan, informasi,<br />

jejaring pertemanan, dan<br />

“modal dengkul” lainnya,<br />

mempunyai andil besar<br />

dalam keberhasilan<br />

usaha.”<br />

Yang menyedihkan<br />

adalah orang-orang yang<br />

ter golong dalam kelompok<br />

keempat, yaitu mereka yang<br />

sewaktu peluang datang dan<br />

pergi, tetap saja tidak tahu<br />

bahwa itu adalah peluang.<br />

Banyak orang berhasil<br />

atau memperoleh keuntungan<br />

karena mereka dapat mengenali,<br />

memanfaatkan, atau<br />

bahkan menciptakan peluang. Namun, peluang tetaplah peluang.<br />

Jika kita tidak punya modal yang cukup, kita tidak akan<br />

bisa memanfaatkan peluang itu. Yang perlu kita sadari, modal<br />

tidaklah harus berupa uang, harta, atau aset. Fakta menunjukkan<br />

bahwa modal kemampuan, informasi, jejaring pertemanan,<br />

dan “modal dengkul” lainnya, mempunyai andil besar dalam<br />

keberhasilan usaha.<br />

Lalu, modal apa saja yang dibutuhkan untuk “kaya” menurut<br />

prinsip syariah<br />

Modal Utama: Peran Manusia<br />

Modal utama bagi kita untuk menjadi “kaya” adalah diri kita<br />

sendiri. Karena itu, hal pertama yang perlu kita pahami adalah<br />

keadaan diri kita sendiri. Memahami peran kita di dunia, agar<br />

dapat mencapai hasil yang optimal dalam hidup.<br />

Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta semata-mata<br />

untuk mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Karena diciptakan<br />

26


MODAL UNTUK KAYA<br />

semata-mata untuk menjadi abdi-Nya, semua tindakan<br />

manusia—baik yang dilakukan demi kepentingan sendiri, demi<br />

hubungan antarmanusia, ataupun dilakukan terhadap bumi<br />

dan segala isinya—harus dilakukan dalam koridor hubungan<br />

antara manusia dengan Tuhan. Semata-mata mengikuti semua<br />

perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.<br />

Bila mengacu pada konsep “pengabdian”, sebagaimana<br />

dinyatakan dalam Kitab Suci, maka sebenarnya semua yang<br />

dilakukan manusia, baik untuk urusan keluarga, urusan bisnis,<br />

urusan negara, maupun urusan politik, seharusnya sematamata<br />

dilakukan sebagai abdi Tuhan. Ini berarti, manusia harus<br />

mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.<br />

Pertanyaannya kemudian adalah, “Apa tugas manusia di<br />

dunia”<br />

Jawabannya telah dinyatakan dalam firman Tuhan yang<br />

disampaikan kepada rasul-rasul-Nya dan tercantum di berbagai<br />

Kitab Suci. Salah satu di antara jawaban tersebut tertuang dalam<br />

Kitab Suci (QS 02:30), tatkala Allah SWT berfirman kepada<br />

para malaikat:<br />

“Bahwa sesungguhnya Aku di atas bumi ciptakan<br />

khalifah.”<br />

Dan, malaikat pun bertanya:<br />

“Apakah Engkau akan jadikan di atas bumi ini orangorang<br />

yang merusak kepadanya dan menumpahkan<br />

darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan<br />

menyucikan-Mu”<br />

27


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Lalu, Allah SWT kembali berfirman:<br />

“Aku mengetahui apa-apa yang kalian (para malaikat)<br />

tidak ketahui.”<br />

Istilah khalifah mengandung maksud sebagai pihak yang<br />

diberi kewenangan untuk memutuskan sesuatu. Sebagai<br />

khalifah, manusia diberi wewenang—atas nama Allah—terhadap<br />

semua hal yang ada dan terjadi di dunia. Itu pula sebabnya,<br />

sebelum melakukan sesuatu, manusia diperintahkan untuk<br />

berikrar bahwa yang akan dilakukannya adalah semata atas<br />

nama Tuhan. Ikrar tersebut, dalam bahasa Kitab Suci, dilafalkan<br />

dengan bismillahir rahman nir rohim. Yang berarti, “Dengan<br />

nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Sekali<br />

lagi, semua tindakan manusia seharusnya dilakukan dengan<br />

mengatasnamakan Tuhan. Karena posisinya sebagai khalifah,<br />

manusia akan dan harus bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang<br />

Mahakuasa atas semua tindakan yang dilakukannya di dunia.<br />

Bahwa sebagian ma nu sia adalah perusak bumi, sebagaimana<br />

yang di cemas kan para malaikat, benar adanya. Akan tetapi,<br />

Tuhan tetap memutuskan untuk meng angkat derajat manusia<br />

“Manusia dilimpahi<br />

kemampuan dan<br />

kewenangan untuk<br />

mengelola bumi dan<br />

segala isinya—yang<br />

dipusakakan Tuhan—guna<br />

menyebarluaskan rahmat ke<br />

seluruh alam.”<br />

sebagai khalifah di muka<br />

bumi. Mengapa demikian<br />

Apa kah manusia perlu mengetahuinya<br />

Ternyata Allah<br />

SWT telah menyatakan<br />

dalam Kitab Suci, bahwa<br />

hanya Dia yang Maha<br />

Mengetahui.<br />

28


MODAL UNTUK KAYA<br />

Lalu, apakah tugas utama manusia sebagai khalifah di muka<br />

bumi<br />

Menurut Kitab Suci (QS 21:107), telah dinyatakan bahwa<br />

tidaklah Allah SWT mengutus manusia sebagai rasul-Nya,<br />

melainkan agar menjadi “rahmat” bagi seluruh alam. Sementara<br />

itu, dalam Kitab Suci (QS 07:128), diceritakan bahwa Nabi<br />

Musa a.s. berkata kepada kaumnya:<br />

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.<br />

Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan<br />

kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-<br />

Nya, untuk mencapai akhir yang baik bagi orang-orang<br />

yang bertakwa.”<br />

Jadi, jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa sangat sayang<br />

kepada manusia. Di samping telah mengangkat manusia sebagai<br />

khalifah, Tuhan juga telah memberi modal berupa bumi dan<br />

segala isinya. Manusia dilimpahi kemampuan dan kewenangan<br />

untuk mengelola bumi dan segala isinya—yang dipusakakan<br />

Tuhan—guna menyebarluaskan rahmat ke seluruh alam. Untuk<br />

mendapat akhir yang baik, manusia harus bertakwa dengan<br />

menjalankan semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-<br />

Nya, dan ridha menerima takdir-Nya.<br />

Apabila tugas itu dilaksanakan dengan semestinya, manusia<br />

akan mendapat akhir yang baik.<br />

Modal Kedua: Bumi Pusaka Allah SWT<br />

Sebagian di antara kita pernah berkunjung ke tempat yang<br />

sangat indah, mendaki gunung yang tinggi, menyelam ke dasar<br />

29


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

laut, atau masuk ke gua yang dalam. Sewaktu menyaksikan<br />

keindahan, kehebatan, dan kebesaran “mahakarya” Sang Maha<br />

Pencipta, tentu kita akan mengagumi keagungan Tuhan dan<br />

merasa betapa kita teramat kecil di tengah kebesaran-Nya.<br />

Namun, kita juga terperanjat dan terpana ketika melihat<br />

bencana mahadahsyat, seperti tsunami yang menimpa Aceh,<br />

banjir bandang, longsor, letusan gunung berapi, hingga<br />

meluapnya lumpur Lapindo. Pada saat-saat seperti itu, mungkin<br />

hati kita bertanya-tanya.<br />

“Mengapa hal ini bisa terjadi”<br />

“Mengapa takdir ini menimpa manusia”<br />

Jika mau bersikap lebih arif dan berpikir lebih kritis,<br />

pertanyaan-pertanyaan seperti itu takkan tumbuh di dalam<br />

hati. Bukankah semua itu merupakan bagian dari ciptaan Tuhan<br />

Yang Mahakuasa<br />

”manusia mestinya<br />

menghormati kemudahan<br />

yang diberikan Tuhan<br />

dan menerima hasil dari<br />

pengelolaan sumber daya<br />

alam sebagai nikmat lahir<br />

dan batin.”<br />

Telah dimaklumi bahwa<br />

banyak kerusakan di muka<br />

bumi yang terjadi akibat<br />

ulah manusia, di samping<br />

kerusakan yang terjadi tanpa<br />

campur tangan manusia.<br />

Bumi dan segala isinya telah<br />

dieskploitasi habis-habisan<br />

untuk memenuhi apa yang<br />

dianggap sebagai kebutuhan manusia. Itulah yang selama ini<br />

terjadi, “pemaksaan kehendak” manusia yang berdampak pada<br />

kerusakan di muka bumi.<br />

30


MODAL UNTUK KAYA<br />

Dalam Kitab Suci (QS 07:128), Allah SWT menegaskan<br />

bahwa:<br />

“Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan<br />

kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dari hamba-hamba-<br />

Nya….”<br />

Dengan demikian, jelaslah bahwa bumi dan segala isinya<br />

adalah milik Sang Maha Pencipta, milik Allah SWT, yang<br />

kemudian dipusakakan kepada manusia sebagai modal untuk<br />

memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, manusia harus<br />

menjaga bumi dengan baik, agar Sang Pemilik tidak marah<br />

atau tidak kecewa, karena milik-Nya—yang diberikan kepada<br />

manusia sebagai modal—telah diperlakukan semena-mena oleh<br />

abdi-Nya, yang diangkat menjadi wakil-Nya dan ditugaskan<br />

sebagai khalifah di muka bumi.<br />

Dalam mengkaji bumi sebagai pusaka bagi manusia, saya<br />

ingin mengajak Anda untuk menyusuri hikmah yang tersaji<br />

dalam syair lagu Indonesia Pusaka.<br />

Indonesia tanah air beta<br />

pusaka abadi nan jaya<br />

Indonesia sejak dulu kala<br />

tetap dipuja-puja bangsa<br />

Di sana tempat lahir beta<br />

Dibuai dibesarkan bunda<br />

31


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Tempat berlindung di hari tua<br />

Sampai akhir menutup mata<br />

Syair lagu di atas dengan jelas menyatakan bahwa bagian<br />

bumi yang disebut sebagai Indonesia adalah tanah dan air<br />

yang dipusakakan bagi bangsa Indonesia. Tanah Air yang<br />

disediakan bagi bangsa Indonesia sejak lahir hingga menutup<br />

mata. Tanah Air yang harus dijaga agar sumber daya alamnya<br />

tetap mempunyai daya guna untuk memenuhi kebutuhan<br />

seluruh bangsa Indonesia. Dari masa ke masa. Dari generasi<br />

ke generasi. Hingga, pada akhirnya, menjadi Tanah Air yang<br />

abadi dan jaya.<br />

Perusakan dan penyalahgunaan atas sumber daya alam<br />

terjadi karena kesalahan dan ketidakmampuan manusia<br />

dalam menggunakan sumber daya se<strong>cara</strong> efektif, efisien, dan<br />

berkelanjutan. Salah satunya, merupakan efek atas anggapan<br />

bahwa sumber daya alam adalah terbatas, sedangkan kebutuhan<br />

manusia adalah tidak terbatas.<br />

Dengan asumsi seperti itu, tidak mengherankan jika manusia<br />

berlomba-lomba menguasai dan memanfaatkan sumber daya<br />

alam yang dianggap “terbatas”. Berlomba menguras habis sumber<br />

daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada umat manusia.<br />

Masya Allah.<br />

Rumusan itu pula yang kemudian menimbulkan berbagai<br />

kerusakan dan memicu terjadinya bencana alam dan bencana<br />

ekonomi. Padahal, seharusnya, segala rumus buatan<br />

manusia seharusnya berpedoman pada aturan yang<br />

telah ditentukan oleh Sang Pemilik dunia dan segala<br />

32


MODAL UNTUK KAYA<br />

isinya. Aturan dari Sang Pencipta yang telah mengangkat<br />

manusia menjadi khalifah di muka bumi. Tatanan dan<br />

aturan yang telah ditetapkan Tuhan Yang Mahakuasa, terkait<br />

dengan peran manusia di dunia. Mulai dari pengelolaan<br />

keberadaan sumber daya yang dipusakakan-Nya kepada manusia,<br />

penguasaan, tujuan, hingga <strong>cara</strong> memanfaatkannya.<br />

Aturan Tuhan telah menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan<br />

telah menyediakan sumber daya se<strong>cara</strong> seimbang bagi kebutuhan<br />

manusia. Pernyataan tersebut termaktub dalam Kitab Suci (QS<br />

15:19-22). Allah SWT menegaskan:<br />

“Allah SWT telah membentangkan bumi, dan padanya<br />

Allah SWT telah meletakkan gunung-gunung serta telah<br />

menumbuhkan segala sesuatu dengan seimbang (mizan).”<br />

“Allah SWT telah menjadikan pada bumi, termasuk<br />

makhluk-makhluk, untuk keperluan hidup manusia,<br />

di mana Allah SWT juga telah memberi kebutuhan<br />

hidup bagi makhluk-makhluk itu agar dapat memenuhi<br />

keperluan hidup manusia se<strong>cara</strong> berkesinambungan.”<br />

“Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sematamata<br />

berasal dari perbendaharaan (khazanah) Allah<br />

SWT”<br />

“Allah SWT telah menurunkan segala sesuatu itu<br />

mengikuti ukuran (qadar) yang berlandaskan pada ilmu<br />

pengetahuan (ilm).”<br />

33


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Allah SWT telah menciptakan udara dan air, serta telah<br />

mengatur perputaran dan penyimpanan udara dan air,<br />

agar menjadi sumber kehidupan bagi manusia serta<br />

tumbuhan yang menjadi sumber hidup manusia.”<br />

Dalam firman-Nya di atas, Allah SWT menggunakan istilah<br />

mizan (seimbang) untuk bumi dan segala isinya, istilah khazanah<br />

(perbendaharaan) untuk menyatakan asal usul dari bumi dan<br />

segala isinya, istilah qadar (ukuran atau takaran), serta istilah<br />

alim atau ilm (mengetahui atau pengetahuan) untuk jumlah<br />

sumber daya yang disediakan bagi manusia.<br />

Dengan demikian, bumi dan segala isinya—yang merupakan<br />

sumber daya alam—telah disediakan oleh Allah SWT dalam<br />

jumlah yang cukup dan seimbang menurut ukuran yang<br />

berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Falsafah yang akan<br />

berlaku bila perkembangan jumlah manusia dan pemanfaatan<br />

bumi dan segala isinya dilakukan dengan pertimbangan yang<br />

sesuai dengan ilmunya.<br />

Apalagi, dalam Kitab Suci (QS 31:20), Allah SWT telah<br />

menyatakan bahwa Dia telah memudahkan segala sesuatu yang<br />

ada di langit dan di bumi bagi kepentingan manusia. Lebih dari<br />

itu, sumber daya alam tersebut telah disempurnakan sebagai<br />

nikmat bagi manusia, baik nikmat lahir maupun batin. Karena<br />

itu, manusia mestinya menghormati kemudahan yang diberikan<br />

Tuhan dan menerima hasil dari pengelolaan sumber daya alam<br />

sebagai nikmat lahir dan batin.<br />

Jelaslah, bumi dan segala isinya telah diciptakan Tuhan<br />

sebagai “modal” bagi manusia untuk mencapai tujuan hidup<br />

dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal dengan jumlah<br />

34


MODAL UNTUK KAYA<br />

yang seimbang. Sehingga, kalau ada manusia yang berpandangan<br />

bahwa sumber daya alam terbatas, manusia tersebut sebenarnya<br />

belum mengetahui atau belum mempunyai ilmu pengetahuan<br />

yang memadai untuk memahami qadar (ukuran) dan mizan<br />

(keseimbangan). Karena itu pula, manusia tersebut belum pantas<br />

menjadi khalifah di muka bumi.<br />

Mengenal Pusaka Allah SWT<br />

Karena Allah Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha<br />

Penyayang, maka segala sesuatu yang ada di langit dan bumi<br />

dilimpahkan sebagai pusaka bagi kita, umat manusia. Pusaka<br />

yang—sejatinya—harus senantiasa kita jaga agar manfaatnya<br />

berkelanjutan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi “pusaka<br />

yang abadi nan jaya”.<br />

Sumber daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada kita<br />

sebenarnya telah disediakan se<strong>cara</strong> seimbang, dan dalam jumlah<br />

yang mengikuti ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, semua sumber<br />

daya alam yang ada di bumi telah dimudahkan untuk digunakan<br />

dan disempurnakan sebagai nikmat bagi kita—umat manusia,<br />

baik nikmat lahir maupun batin. Bila kita merasa bahwa sumber<br />

daya tersebut bersifat terbatas, hal itu merupakan kesalahan dan<br />

ketidakmampuan kita dalam menggunakan sumber daya se<strong>cara</strong><br />

efektif, efisien, dan berkelanjutan.<br />

Se<strong>cara</strong> jariah.---<br />

35


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kepemilikan Modal dari Tuhan<br />

Ketika bekerja di Lippo Bank, saya pernah diajak seorang<br />

teman untuk meninjau kegiatan usahanya, karena ia ingin<br />

mendapat modal untuk membiayai kegiatan usahanya. Teman<br />

saya ini adalah seorang pengusaha yang menguasai tanah<br />

di pegunungan. Se<strong>cara</strong> kebetulan, di lokasi tanah miliknya,<br />

terpancar mata air yang sangat jernih dengan debit air yang<br />

cukup besar. Selain mutu airnya sangat bagus, mata air itu juga<br />

mengandung mineral yang menyehatkan. Dengan kualitas mata<br />

air sehebat itu, ia berniat membangun usaha pengadaan air<br />

mineral dalam kemasan. Usahanya itu pastilah akan menyedot<br />

sumber daya alam dari mata air yang dianggap sebagai “miliknya”<br />

itu.<br />

Sementara itu, di hilir, tak seberapa jauh dari lahan milik<br />

teman saya, tinggal ratusan penduduk yang mengandalkan<br />

sumber air dari sungai kecil di sana. Celakanya, sungai kecil<br />

tersebut berhulu pada mata air yang terletak di tanah sang<br />

teman. Perlahan-lahan debit air di sungai kecil itu menyusut<br />

dan akhirnya kering. Penduduk pun kesulitan air, baik untuk<br />

memenuhi kebutuhan pertanian maupun bagi kebutuhan hidup<br />

sehari-hari.<br />

“Apakah air mineral yang “memancur” dari mata air di<br />

lahan teman saya tersebut adalah “milik” teman saya”<br />

“Apakah usaha yang dijalankan teman saya sesuai<br />

dengan ajaran Tuhan”<br />

Baiklah. Sebelum kita mencari jawaban tepat dari pertanyaan<br />

di atas, coba kita luangkan waktu sejenak untuk tafakur, berpikir.<br />

36


MODAL UNTUK KAYA<br />

Dalam Kitab Suci, Allah SWT telah menegaskan bahwa bumi<br />

dan segala isinya telah diberikan Tuhan sebagai modal manusia<br />

untuk memenuhi tujuan hidupnya. Dalam bahasa keuangan,<br />

bumi dan segala isinya telah dihibahkan oleh Tuhan menjadi<br />

milik manusia. Tetapi, jumlah manusia banyak sekali, sementara<br />

bumi serta segala isinya juga luas sekali.<br />

“Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan bumi dan<br />

segala isinya oleh—dan untuk—umat manusia”<br />

“Bagaimana aturan pemanfaatan, dan pengelolaan, bumi serta<br />

segala isinya untuk mencapai tujuan hidup manusia”<br />

“Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan dan<br />

penguasaan bumi serta segala isinya”<br />

Sekarang, perlu saya tuturkan bahwa kisah teman saya di<br />

atas berkaitan erat dengan “rasa memiliki” yang kerap memicu<br />

lahirnya “rasa menguasai” atas bagian bumi dan segala isinya<br />

oleh sebagian umat manusia. Padahal memiliki dan menguasai<br />

adalah dua hal yang dapat berbeda jauh.<br />

Cerita-cerita semacam itu banyak terjadi di sekitar kita.<br />

Sebut saja, cerita tentang seorang Bupati yang menerbitkan ijin<br />

kegiatan penambangan atas lokasi yang menjadi tempat wisata.<br />

Padahal, sudah puluhan tahun lokasi itu diandalkan sebagai daya<br />

tarik wisata yang memberi “hidup” bagi masyarakat di sekitarnya.<br />

Lokasi wisata alam yang memiliki pantai serta terumbu karang<br />

yang indah itu, tiba-tiba akan dijadikan area penambangan emas.<br />

Meskipun, Bupati mengetahui bahwa tambang emas mengeluarkan<br />

limbah yang cukup berbahaya dan berpotensi merusak lingkungan<br />

37


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

hidup. Kegiatan penambangan emas itu, tentu saja, akan merusak<br />

keindahan objek wisata laut yang selama ini dinikmati oleh<br />

masyarakat.<br />

Nah, hasrat Bupati itu pun memicu pertanyaan-pertanyaan<br />

menarik.<br />

“Siapa sebenarnya pemilik alam yang indah dan bumi yang<br />

kaya dengan kandungan logam mulia di sana”<br />

“Siapa yang berhak menentukan apakah lokasi tersebut<br />

sebaiknya dijadikan lokasi wisata atau lokasi pertambangan”<br />

“Siapa yang harus bertanggung jawab bilamana keputusan yang<br />

diambil ternyata berdampak negatif”<br />

Cerita lain adalah tentang seorang pengusaha yang menguasai<br />

ratusan hektar lahan subur di daerah pegunungan. Sebelumnya,<br />

lahan tersebut adalah perkebunan yang cukup produktif. Tetapi<br />

karena usaha sang pengusaha besar ini sedang terpuruk, beberapa<br />

tahun kemudian, lahan tersebut tidak lagi digunakan sebagaimana<br />

mestinya. Bahkan, berubah menjadi lahan tidur. Ironisnya, di<br />

sekitar lahan tersebut dihuni oleh ratusan keluarga petani yang<br />

mempunyai kemampuan bercocok tanam, namun tidak memiliki<br />

lahan yang cukup.<br />

Cerita-cerita di atas menimbulkan pertanyaan mengenai<br />

siapa sebenarnya pemilik dan penguasa sumber daya alam, baik<br />

berupa pantai yang indah, kandungan emas di dalam bumi, lahan<br />

pertanian yang subur, maupun mata air sumber kehidupan.<br />

“Siapa”<br />

“Apa yang dimaksud dengan memiliki dan apa yang dimaksud<br />

dengan menguasai”<br />

38


MODAL UNTUK KAYA<br />

“Bagaimana kepemilikan atas sumber energi fosil—seperti<br />

minyak dan batubara; sumber energi alam lainnya—seperti gas<br />

bumi, panas bumi, arus air; ataupun mineral dan batu-batu<br />

mulia—seperti emas, nickel, bijih besi, berlian, dan sebagainya.<br />

Bagaimana kepemilikan atas hutan, ikan, dan mahluk yang ada<br />

di dalam lautan, bahkan atas keindahan karang di bawah laut”<br />

“Bagaimana seharusnya pembagian atas hasil yang diperoleh<br />

dari penguasaan sumber daya alam yang merupakan milik seluruh<br />

rakyat di negara tersebut”<br />

“Bagaimana syariah Tuhan mengenai hal ini”<br />

Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk bahwa<br />

semua tanah adalah milik Allah SWT, dan umat manusia<br />

adalah abdi-Nya yang telah diangkat menjadi khalifah-Nya<br />

di muka bumi. Karena itulah manusia memiliki kewenangan<br />

untuk mengelola bumi dan segala isinya. Barangsiapa yang<br />

dapat meningkatkan manfaat dari suatu tanah, maka tanah<br />

tersebut akan dapat dikuasainya. Batas waktu yang diterapkan<br />

untuk seseorang menguasai tanah sebelum berproduksi pada<br />

masa itu adalah tiga tahun. Kemudian, setelah batas waktu<br />

tersebut, bila tanah tidak digunakan se<strong>cara</strong> produktif, maka<br />

tanah tersebut dapat dialihkan pada pihak lain yang diyakini<br />

dapat memanfaatkannya se<strong>cara</strong> produktif.<br />

Banyak contoh dari penerapan prinsip dan kebijakan ini di<br />

masa lalu. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Harris<br />

memperoleh hak untuk mengolah lahan di daerah Kadi Aqiq<br />

agar menjadi produktif. Namun setelah beberapa tahun, ternyata<br />

tidak seluruh tanah yang luas tersebut dapat dimanfaatkan<br />

dengan baik. Karena itu, diputuskan bahwa hak atas bagian<br />

39


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tanah yang tidak dapat dimanfaatkan harus diberikan pada pihak<br />

lain yang tidak memiliki tanah, tetapi mampu memanfaatkannya<br />

untuk kegiatan produktif.<br />

Contoh lainnya, tanah di Maarib yang diberikan oleh<br />

Nabi Muhammad SAW kepada Abbaz bin Hamal. Kemudian<br />

diketahui bahwa pada tanah tersebut terdapat danau yang<br />

mengandung garam. Pada saat itu, garam adalah barang<br />

langka yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama di daerah<br />

pedalaman jazirah Arab yang relatif kering. Karena pertimbangan<br />

bahwa garam yang dihasilkan danau tersebut diperlukan oleh<br />

masyarakat, maka Nabi Muhammad SAW mengambil kembali<br />

tanah tersebut dari A<strong>by</strong>az bin Hamal, lantas memutuskan untuk<br />

menyerahkannya kepada negara untuk dikuasai dan dikelola<br />

bagi kepentingan masyarakat.<br />

Jelaslah bahwa semua sumber daya alam adalah<br />

ciptaan Tuhan, sehingga mutlak merupakan milik-Nya.<br />

Akan tetapi, semua sumber daya alam tersebut telah<br />

dipusakakan kepada manusia untuk digunakan bagi<br />

kemaslahatan seluruh alam. Kepemilikan tersebut meliputi<br />

sumber daya yang tersimpan baik di dalam bumi, maupun yang<br />

terdapat atau hidup di muka bumi.<br />

Pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana pengaturan<br />

kepemilikan bumi dan segala isinya”<br />

Tingkatan Kepemilikan<br />

Mengenai kepemilikan atas sumber daya alam, Rasulullah<br />

SAW telah menyatakan bahwa masyarakat berbagi kepemilikan<br />

bersama dalam tiga hal, yakni air, api, dan padang rumput.<br />

40


MODAL UNTUK KAYA<br />

Dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud air oleh Nabi<br />

Muhammad SAW adalah segala hal di alam yang menjadi<br />

sumber kehidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan api<br />

adalah semua sumber energi dan sumber penerangan. Adapun<br />

yang dimaksud dengan padang rumput adalah seluruh tanaman<br />

yang tumbuh dengan sendirinya, termasuk hutan di pantai,<br />

daratan, dan pegunungan.<br />

Karena itu, dapat dipahami jika terdapat tingkatan<br />

kepemilikan atas semua sumber daya alam yang ada di dunia.<br />

Kepemilikan Negara<br />

Kepemilikan tertinggi atas sumber daya alam yang ada<br />

adalah kepemilikan negara yang digunakan untuk kepentingan<br />

seluruh rakyat di negera tersebut. Dalam praktiknya, semua<br />

sumber daya alam yang ada akan dikuasai dan dikelola oleh<br />

negara untuk kepentingan rakyat.<br />

Dengan berpedoman pada syarat-syarat tertentu, negara atau<br />

pemerintah dapat melakukan kerja sama pengelolaan sumber<br />

daya alamnya dengan pihak-pihak lain. Pihak tersebut dapat<br />

mewakili umat, masyarakat, atau bahkan perseorangan. Syarat<br />

utama yang harus dipenuhi adalah kepemilikan negara atas<br />

sumber daya alam tersebut tetap terjaga dan kepentingan rakyat<br />

atas manfaat dari sumber daya alam tersebut dapat terpenuhi.<br />

Jika negara melakukan kerja sama dengan pihak lain, maka<br />

sistem bagi hasil atas kerja sama tersebut harus diperhitungkan<br />

dengan seadil-adilnya.<br />

41


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kepemilikan Publik<br />

Tingkatan kedua adalah kepemilikan publik, yang terdiri<br />

dari kepemilikan umat dan kepemilikan masyarakat. Pemerintah<br />

dapat mengalihkan sebagian dari kepemilikan negara untuk<br />

kepentingan publik sehingga menjadi kepemilikan publik.<br />

Dalam hal kepemilikan umat, semua manusia bebas memakainya<br />

sesuai dengan kebutuhannya. Tanpa batasan agama, bangsa,<br />

usia, dan kewarganegaraan. Karena itu, diperlukan pengaturan<br />

agar hak manusia tetap terjaga.<br />

Sedangkan dalam hal kepemilikan masyarakat, pengelolaan<br />

sumber daya alam diutamakan untuk kepentingan masyarakat<br />

atau umat tertentu di suatu daerah. Namun, kepemilikan<br />

sumber daya alam yang tergolong kepemilikan publik tidak<br />

dapat dialihkan kepada pihak lain. Penguasaan atas kepemilikan<br />

publik dapat diberikan kepada negara atau lembaga lain, seperti<br />

lembaga masyarakat maupun lembaga sosial.<br />

Kepemilikan Pribadi<br />

Tingkatan yang terakhir adalah penguasaan pribadi atau<br />

individu. Pemerintah dapat memberikan hak penguasaan atas<br />

sebagian dari kepemilikan negara kepada badan usaha atau<br />

individu, yang kemudian memberikan hak pribadi atau hak<br />

privat atas sumber daya alam tertentu dengan persyaratan<br />

tertentu. Persyaratan yang utama adalah, sumber daya alam<br />

tersebut harus digunakan untuk kegiatan produktif dengan hasil<br />

yang terbukti mampu memberikan manfaat kepada masyarakat.<br />

Hak penguasaan pribadi dapat dialihkan kepada pihak lain,<br />

baik dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik hak<br />

42


MODAL UNTUK KAYA<br />

dengan pihak lain, maupun karena pemilik hak ternyata tidak<br />

dapat menggunakan sumber daya alam tersebut se<strong>cara</strong> produktif.<br />

Jelas bahwa kepemilikan pribadi atas suatu sumber<br />

daya alam diijinkan selama manusia itu bisa me ningkat<br />

kan manfaat dari suatu sumber daya alam. Jika seseorang<br />

mendapat hak untuk menguasai suatu sumber<br />

daya alam tapi tidak dapat menggunakannya untuk<br />

ke giatan produktif, maka ia harus rela melepaskan<br />

haknya dan menyerahkan kembali untuk digunakan<br />

se<strong>cara</strong> produktif.<br />

Menurut syariah, sumber daya tersebut harus diambil alih<br />

oleh Pemerintah, dan penguasaannya diberikan kepada manusia<br />

lain yang diyakini mampu menggunakannya untuk kegiatan<br />

produktif.<br />

Redistribusi Hasil<br />

Atas penguasaan pribadi tersebut, disyaratkan adanya bagi<br />

hasil atau redistribusi hasil kepada masyarakat, khususnya<br />

masyarakat yang kurang mampu. Redistribusi dimaksud,<br />

dikenakan kepada pihak yang mendapat hak penguasaan dari<br />

Allah SWT Keadilan dalam proses bagi hasil dijunjung tinggi<br />

melalui instrumen yang dikenal sebagai zakat dan kharaj.<br />

Istilah zakat diartikan untuk membersihkan hasil atas<br />

bagian-bagian orang lain yang kurang mampu, yang dititipkan<br />

Allah SWT di dalam hasil tersebut. Sedangkan kharaj adalah<br />

bagi hasil untuk masyarakat yang dibagikan kepada masyarakat<br />

melalui pemerintah. Demi keadilan, terhadap sumber daya<br />

alam yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan produktif<br />

43


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tidak dikenakan zakat. Namun, bila sumber daya alam yang<br />

dikuasai ternyata tidak digunakan untuk kegiatan produktif,<br />

maka tetap akan dikenakan zakat atas seluruh nilai sumber<br />

daya alam tersebut.<br />

Redistribusi hasil juga disesuaikan dengan kontribusi<br />

manusia dalam proses penciptaan hasil. Atas hasil hutan atau<br />

hasil alam yang hanya tinggal dipungut atau digali, sehingga<br />

usaha manusia hanya sedikit, maka dikenakan zakat yang lebih<br />

tinggi. Sedangkan atas hasil pertanian dan perkebunan di mana<br />

diperlukan usaha manusia yang lebih besar, dikenakan zakat<br />

yang lebih rendah.<br />

Lalu, atas hasil pertanian dan perkebunan yang memanfaatkan<br />

air untuk irigasi yang diperlukan upaya manusia yang lebih<br />

besar, dikenakan zakat lebih rendah lagi. Dan atas hasil yang<br />

sebagian besar adalah akibat usaha manusia, dikenakan zakat<br />

paling rendah.<br />

44


MODAL UNTUK KAYA<br />

Kepemilikan atas Bumi dan segala isinya<br />

Bumi dan segala isinya adalah milik bersama seluruh manusia.<br />

Tidak seorang pun yang menjadi pemilik mutlak atas bumi<br />

dan segala isinya. Kepemilikan rakyat atas bagian bumi dan<br />

segala isinya—yang ada dalam suatu negara—diwakilkan dalam<br />

kepemilikan negara, yang sebagian dapat dialihkan menjadi<br />

kepemilikan publik, dan kepemilikan pribadi.<br />

Manusia telah diangkat sebagai wakil Tuhan di dunia dan<br />

telah mendapat pusaka berupa bumi dan segala isinya yang telah<br />

diciptakaan se<strong>cara</strong> seimbang menurut qadar yang sesuai ilmu<br />

pengetahuan. Kemudian, bagian dari bumi dan segala isinya yang<br />

merupakan milik bersama seluruh rakyat, harus digunakan se<strong>cara</strong><br />

produktif, efektif dan efisien, baik dalam konteks kepemilikan<br />

negara, kepemilikan publik, maupun penguasaan badan usaha<br />

atau pribadi.---<br />

45


Bab 4<br />

Berusaha untuk <strong>Kaya</strong><br />

Selama lebih dari 30 tahun saya bekerja, baik di perusahaan<br />

asing, perusahaan swasta nasional, perusahaan ’semi’ BUMN,<br />

BUMN, maupun usaha milik sendiri, kadang-kadang usaha<br />

yang saya lakukan tidak memberikan hasil seperti yang saya<br />

harapkan. Bahkan, saya sering merasa hasil yang saya dapatkan<br />

lebih buruk dari hasil yang diperoleh orang lain. Padahal, saya<br />

merasa tidak kalah dari orang lain, baik dari segi kemampuan<br />

maupun usaha yang saya jalankan.<br />

Tetapi, mengapa hasil saya lebih buruk<br />

Sewaktu bekerja di Danareksa, saya pernah didatangi salah<br />

seorang anak buah saya. Ia seorang muslim yang taat, dan<br />

karyawan yang rajin. Selama ini, saya melihat ia cukup rajin<br />

bekerja dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Namun, hasil<br />

kerjanya, pada saat itu, memang masih kalah dibandingkan<br />

beberapa rekan kerjanya yang lain. Sehingga kenaikan pangkat<br />

dan gajinya masih kalah dibandingkan beberapa temannya.<br />

47


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Dia Yang Mahakuasa<br />

akan memberikan<br />

kesenangan yang<br />

hasanah (baik) pada<br />

waktu yang tertentu.<br />

Bahkan diberikan fadhilah<br />

(tambahan) kepada setiap<br />

manusia yang beramal<br />

lebih baik.”<br />

Karyawan ini bertanya<br />

kepada saya, apa yang salah<br />

pada dirinya. Saya jawab,<br />

tidak ada yang salah pada<br />

dirinya dan saya juga merasa<br />

senang bekerja bersamanya.<br />

Hanya saja, pada saat itu,<br />

Direksi memang belum<br />

merasa bahwa ia pantas<br />

mendapat promosi atau<br />

kenaikan gaji sebagaimana yang diharapkannya. Ia mengucapkan<br />

terima kasih atas jawaban saya yang lugas, jujur, dan berterus<br />

terang. Keesokan harinya, ia mengajukan surat pengunduran<br />

diri. Saya sedih karena ia memilih pindah kerja dan tidak lagi<br />

bersama saya di Danareksa. Namun, saya yakin, suatu ketika ia<br />

akan mendapat balasan yang layak atas usaha dan ibadahnya.<br />

Ternyata, beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi<br />

Direktur Utama di salah satu perusahaan terkemuka. Lebih<br />

membahagiakan lagi, sampai sekarang ia masih sangat sopan<br />

dan hormat bila bertemu dengan saya. Alhamdulillah. Rencana<br />

Tuhan Yang Mahakuasa memang tidak selalu bisa dimengerti<br />

oleh manusia.<br />

Balasan atas Usaha Manusia<br />

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengadakan perniagaan<br />

untuk memperoleh imbalan atau balasan atas sesuatu yang telah<br />

diberikan kepada orang lain. Baik itu berupa barang ataupun<br />

jasa. Kadangkala kita untung, kadangkala kita rugi. Namun,<br />

kadangkala kedua belah pihak sama-sama untung atau bahkan<br />

48


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

sama-sama rugi. Dasar utama dari perniagaan yang saling<br />

menguntungkan adalah “saling percaya”. Dalam istilah<br />

Kitab Suci, perniagaan adalah tijarotan, yang akar kata kerjanya<br />

adalah tijara dan akar kata bendanya adalah ujroh (upah) atau<br />

ajrun (pahala).<br />

Hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dapat<br />

pula dianalogikan sebagai perniagaan atau tijarotan. Tuhan<br />

menentukan hukum-hukum atau aturannya, lalu manusia<br />

melakukan dan mengusahakan sesuatu, kemudian Allah SWT<br />

memberikan upah atau balasan atas usaha tersebut. Istilah lain<br />

yang digunakan sebagai balasan atas tindakan manusia adalah<br />

fadhilah dan rahmah.<br />

Fadhilah berasal dari kata fadhl dan Allah, di mana fadhl<br />

artinya kelebihan, sehingga istilah fadhilah berarti kelebihan<br />

dari Allah SWT, atau memperoleh tambahan imbalan dari-Nya.<br />

Sedangkan rahmah (rahmat) adalah sesuatu yang diberikan<br />

sebagai tanda rasa kasih Allah SWT kepada manusia.<br />

Dalam Kitab Suci (QS 06:165), Allah SWT menyatakan<br />

telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi<br />

dan meninggikan derajat sebagian manusia di atas sebagian<br />

lainnya untuk menguji manusia. Dengan kata lain, Tuhan<br />

telah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi dan<br />

memberi sebagian manusia kemampuan yang lebih dari sebagian<br />

lainnya. Hal itu dimaksudkan sebagai ujian, baik bagi sebagian<br />

manusia yang telah ditinggikan derajatnya, maupun kepada<br />

sebagian manusia lain yang tidak ditinggikan. Sebagaimana<br />

layaknya ujian, yang lulus ujian akan mendapat balasan<br />

yang setimpal. Yang tidak lulus, ya harus mengulang!<br />

49


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Allah SWT juga berfirman kepada orang-orang beriman<br />

dalam Kitab Suci (QS 61:10-11) dengan menyatakan bahwa<br />

Dia telah menunjukkan kepada mereka tijarotan (perniagaan)<br />

yang dapat menyelamatkan mereka dari azab yang sangat,<br />

yaitu dengan <strong>cara</strong> beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.<br />

Kemudian juhud (bersungguh-sungguh) di jalan Allah dengan<br />

harta dan jiwa mereka. Allah SWT juga menegaskan bahwa<br />

yang demikian itu lebih baik bagi manusia, jika saja mereka<br />

mengetahuinya.<br />

Kemudian, dalam Kitab Suci (QS 16:95-97), Allah SWT<br />

memperingatkan agar manusia tidak menukar perjanjian kepada-<br />

Nya dengan perjanjian atau hal lain yang sebenarnya tidak ada<br />

harganya. Karena sesungguhnya hanyalah yang berasal dari<br />

Allah yang lebih baik bagi manusia. Apa yang berasal dari<br />

manusia akan lenyap dan apa yang berasal dari Allah<br />

SWT akan kekal. Dan, Allah SWT akan memberi balasan<br />

kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik<br />

dari apa yang mereka kerjakan. Tuhan menjanjikan kehidupan<br />

yang lebih baik kepada siapa pun yang mengerjakan amal saleh—<br />

baik laki-laki maupun perempuan—dan akan memberikan<br />

balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa<br />

yang mereka kerjakan.<br />

Jadi, jelaslah bahwa Tuhan telah mengangkat manusia<br />

menjadi khalifah di muka bumi dan telah meninggikan sebagian<br />

manusia dari sebagian lainnya dengan maksud untuk menguji<br />

manusia. Ujian tersebut bukanlah seperti antara guru dan<br />

murid, tetapi lebih tepat diibaratkan sebagai perniagaan antara<br />

Tuhan dengan manusia. Agar dapat berhasil atau memperoleh<br />

50


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

keuntungan dalam perniagaan dengan Tuhan, manusia harus<br />

bersungguh-sungguh di jalan-Nya, dengan harta dan jiwanya.<br />

Allah SWT telah memperingatkan manusia agar perjanjian<br />

dengan-Nya tidak ditukar dengan perjanjian oleh pihak lain.<br />

Karena Dia telah menjanjikan apa yang berasal dari-Nya<br />

pasti lebih baik dan akan kekal. Sayangnya, kita lebih sering<br />

mengabaikan perintah ini. Padahal, Tuhan akan memberi<br />

imbalan kepada manusia yang sabar dengan balasan yang lebih<br />

baik dari apa yang mereka kerjakan.<br />

Bagi orang yang pada<br />

awalnya tidak mengetahui<br />

hal itu, tetapi kemudian<br />

mengetahui dan berniat<br />

untuk melakukan perniagaan<br />

yang baik dengan Tuhan,<br />

maka dalam Kitab Suci<br />

(QS 11:03), Allah SWT<br />

“Menurut Imam Ghazali,<br />

mashlahah adalah<br />

istilah bagi upaya untuk<br />

menciptakan kebaikan<br />

dan menghindari<br />

kemudharatan.”<br />

menyatakan bahwa hendaknya manusia memohon ampun<br />

kepada-Nya, kemudian bertaubatlah. Dia Yang Mahakuasa akan<br />

memberikan kesenangan yang hasanah (baik) pada waktu yang<br />

tertentu. Bahkan diberikan fadhilah (tambahan) kepada setiap<br />

manusia yang beramal lebih baik.<br />

Dalam hal perniagaan, baik antara sesama manusia maupun<br />

dengan Tuhan, dengan tegas dinyatakan bahwa manusia tidak<br />

akan memperoleh kecuali yang diusahakannya. Dan, atas semua<br />

usaha manusia, akan diberikan balasan yang sempurna. Firman<br />

Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 53:39-41) menyatakan bahwa<br />

manusia tiada memperoleh kecuali apa yang diusahakannya.<br />

Dan atas usaha manusia, kelak akan diperlihatkan penilaian<br />

51


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

untuk kemudian diberi balasan dengan jazaa’a (balasan) yang<br />

sempurna dari-Nya.<br />

Balasan tersebut dapat berupa ujroh (upah) di dunia, ajrun<br />

(pahala di akhirat), dan dapat pula diberikan tambahan fadhilah<br />

(tambahan), atau pemberian sebagai tanda kasih dari Allah<br />

berupa rahmah (rahmat).<br />

“Dan kekayaan yang<br />

maslahat hanya dapat<br />

diperoleh melalui<br />

keuntungan yang<br />

berkeadilan. Jadi,<br />

kekayaan haruslah<br />

berkeadilan.”<br />

Sebagaimana dinyatakan<br />

dalam Kitab Suci (QS 35:02),<br />

segala sesuatu yang Allah<br />

SWT berikan kepada manusia<br />

sebagai suatu rahmat, maka<br />

tidak ada seorang atau sesuatu<br />

pun yang bisa menahannya.<br />

Sebaliknya, segala yang Tuhan<br />

tahan untuk diberikan kepada<br />

manusia sebagai suatu rahmat, maka tidak akan ada yang bisa<br />

melepaskannya. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.<br />

Ukuran kesempurnaan dari balasan atas usaha manusia—<br />

berupa upah (ujrah), pahala (ajrun), kelebihan (fadhilah),<br />

dan (rahmah)—semuanya ditentukan oleh Allah SWT<br />

Kesempurnaan tersebut juga meliputi cakupan dari balasan,<br />

besaran dari balasan, kapan saja balasan diberikan, dan berapa<br />

lama balasan diberikan.<br />

52


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

Balasan yang Sempurna<br />

Dalam perjalanan hidup, kita dapat “berniaga” dengan<br />

Tuhan, di mana kita melakukan sesuatu tindakan, yang<br />

dalam istilah Kitab Suci adalah amal, artinya perbuatan<br />

untuk memenuhi harapan Allah SWT. Kemudian, Tuhan<br />

akan membalasnya dengan memberikan imbalan di dunia<br />

berupa ujroh (upah) dan imbalan di akhirat berupa ajrun<br />

(pahala). Allah SWT juga memberikan fadhilah (kelebihan),<br />

dan rahmah (rahmat).<br />

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang telah diangkat<br />

menjadi khalifah di muka bumi, maka harus dipahami bahwa<br />

esensi keadilan dalam perniagaan dengan-Nya adalah percaya<br />

atau beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Bersungguhsungguh<br />

mengikuti aturan-Nya, menjalankan perintah-Nya,<br />

dan meninggalkan larangan-Nya. Kemudian, percaya bahwa<br />

Tuhan pasti akan memberikan balasan yang sempurna, dengan<br />

<strong>cara</strong> menerima keputusan atau takdir-Nya.---<br />

Kekayaan dan Kemashlahatan<br />

Pada awal tahun 2010, Michael Ruslim meninggal dunia.<br />

Almarhum adalah Direktur Utama PT. Astra International Tbk.<br />

Sebelum beliau wafat, sudah banyak pimpinan perusahaan besar<br />

lain yang meninggal dunia. Namun jumlah liputan berita dan<br />

iklan belasungkawa atas berpulangnya Michael Ruslim sangat<br />

mencengangkan. Mengapa<br />

53


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

PT. Astra International Tbk. adalah perusahaan besar<br />

dengan kegiatan usaha di bidang otomotif, jasa keuangan, alat<br />

berat, pertambangan dan energi, teknologi informasi dan solusi<br />

dokumen, agribisnis, serta infrastruktur. Pada tahun 2010 Astra<br />

memiliki 153 anak perusahaan dengan 126.000 karyawan.<br />

Astra juga menjadi perusahaan berkapitalisasi pasar terbesar di<br />

antara 400-an perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek<br />

Indonesia. Tetapi bukan itu yang menyebabkan banyaknya orang<br />

yang turut berduka cita atas berpulangnya Michael Ruslim.<br />

Ternyata, banyaknya orang yang berduka cita disebabkan<br />

karena selama dipimpin oleh Michael Ruslim, Astra telah<br />

membawa banyak maslahat bagi masyarakat di Indonesia.<br />

Selain itu, almarhum dikenal sebagai pengusaha yang sangat<br />

kuat memegang prinsip dan etika bisnis, sangat memerhatikan<br />

karyawan dan mitra bisnis, serta berjiwa sosial.<br />

Mengapa kemaslahatan yang dibawakan Astra memberi<br />

‘kekayaan’ kepada Michael Ruslim<br />

Mashlahah berasal dari bahasa Arab. Artinya, kebaikan<br />

dan kemanfaatan. Lawan kata maslahah adalah mafsadah, yang<br />

berarti kerusakan. Akar kata maslahah adalah al-shalah yang<br />

berarti baik dan manfaat. Menurut Imam Ghazali, mashlahah<br />

adalah istilah bagi upaya untuk menciptakan kebaikan dan<br />

menghindari kemudharatan. Esensi mashlahah adalah kebaikan<br />

dan kemanfaatan yang dikehendaki Allah untuk hamba-Nya,<br />

bukan kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki manusia<br />

untuk dirinya sendiri. Karena, manfaat dalam pandangan<br />

manusia, belum tentu baik menurut Allah.<br />

54


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

Untuk lebih memahami makna kemaslahatan, para ahli<br />

telah memberikan tiga rumusan. Rumusan pertama adalah<br />

mashlahah yang diakui, yaitu mashlahah yang keberadaannya<br />

telah dijabarkan dalam Kitab Suci dan yang telah diajarkan atau<br />

dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah.<br />

Rumusan kedua adalah<br />

mashlahah yang dilarang,<br />

yaitu hal-hal yang oleh<br />

sebagian manusia dianggap<br />

baik atau bermanfaat, tetapi<br />

sebenarnya menyalahi<br />

kemaslahatan yang telah<br />

dijabarkan dalam Kitab<br />

Suci ataupun ajaran nabi<br />

“Nabi Muhammad SAW<br />

mengajarkan bahwa<br />

manusia yang paling baik<br />

adalah yang paling baik<br />

dalam mengembalikan<br />

pinjaman yang<br />

diterimanya.”<br />

dan rasul. Salah satu contoh adalah firman Allah SWT dalam<br />

Kitab Suci (QS 02:219) mengenai khamar (minuman yang<br />

memabukkan) dan maysir (mengambil risiko berlebihan atau<br />

judi). Telah dinyatakan, bahwa pada keduanya terdapat dosa<br />

besar dan manfaat yang sangat sedikit bagi manusia. Dosa<br />

keduanya lebih besar dari manfaatnya. Jadi, meskipun dalam<br />

minuman khamar dan tindakan maysir terdapat beberapa<br />

manfaat bagi manusia, tetapi karena dosa yang menyertai<br />

keduanya lebih besar, maka manusia dilarang untuk minum<br />

khamar, dan melakukan maysir.<br />

Sedangkan rumusan ketiga adalah mashlahah yang<br />

dibolehkan, yaitu segala hal yang baik dan bermanfaat walaupun<br />

tidak dijabarkan se<strong>cara</strong> eksplisit dalam Kitab Suci maupun<br />

dalam ajaran nabi dan rasul—baik untuk mewujudkannya,<br />

meninggalkannya, atau bahkan mengabaikannya. Misalnya,<br />

55


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

menentukan suatu mata uang sebagai alat pertukaran nilai yang<br />

sah dari suatu negara. Atau, mewajibkan kepada warganegara<br />

yang mampu agar ikut memikul beban pembangunan ketika<br />

keuangan negara tidak mencukupi. Dalam Kitab Suci ataupun<br />

ajaran nabi dan rasul, tidak terdapat ketentuan-ketentuan<br />

yang memerintahkan, menganjurkan, memerhatikan, atau<br />

mengabaikan hal-hal yang terkait penentuan mata uang maupun<br />

kewajiban warganegara dalam pembangunan.<br />

Hierarki Kemaslahatan<br />

Di samping memahami rumusan kemaslahatan, kita juga<br />

perlu memahami hierarki kemaslahatan. Dalam Kitab Suci<br />

(QS 42:20), Allah SWT menyatakan bahwa barangsiapa<br />

menghendaki harsa (keuntungan) di akhirat, maka Tuhan akan<br />

menambahkan baginya harsa (keuntungan) di akhirat dan<br />

di dunia. Sedangkan bagi yang menghendaki keuntungan di<br />

dunia saja, Allah SWT hanya akan memberikan keuntungan di<br />

dunia, tanpa bagian keuntungan di akhirat. Padahal, kita faham<br />

dan percaya (beriman) bahwa kehidupan di dunia hanyalah<br />

sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah kekal.<br />

Abadi, selama-lamanya. Dengan demikian, manusia yang hanya<br />

menghendaki keuntungan di dunia—yang bersifat sementara,<br />

pastilah akan merugi.<br />

Tuhan juga telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 28:77)<br />

agar manusia mencari bagiannya berupa kebahagiaan di akhirat,<br />

namun tidak melupakan bagiannya dari kenikmatan duniawi.<br />

Firman itu juga menyebutkan bahwa manusia diperintahkan<br />

untuk berbuat baik, sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik<br />

56


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

kepadanya. Dan, tidak membuat kerusakan di bumi, karena<br />

Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.<br />

Jelaslah bahwa menurut syariah, kemaslahatan yang utama<br />

bagi manusia adalah keuntungan atau kebahagiaan di akhirat.<br />

Namun pada saat yang sama, manusia juga diperintahkan untuk<br />

tidak melupakan bagiannya atas keuntungan atau kenikmatan<br />

di dunia. Karena itu, dalam Kitab Suci (QS 02:201), Allah<br />

SWT telah menuntun manusia untuk berdoa agar Allah SWT<br />

memberi hasanah atau kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat,<br />

sekaligus meminta agar dijauhkan dari api neraka.<br />

Dengan mengacu pada Kitab Suci serta ajaran nabi dan<br />

rasul, Ibnu Khaldun menjabarkan hierarki kemaslahatan sebagai<br />

berikut:<br />

“Hierarki yang paling rendah adalah keuntungan<br />

individu, karena manusia memang harus berjuang untuk<br />

mencari keuntungan bagi dirinya dan keluarganya.<br />

Namun, manusia tidak boleh hanya memikirkan<br />

dirinya ataupun keluarganya, karena manusia adalah<br />

hamba-hamba Allah yang diperintahkan untuk hidup<br />

bermasyarakat.<br />

Kumpulan dari keuntungan individu tersebut harus<br />

dapat menciptakan keuntungan bersama. Keuntungan<br />

berserikat yang sering disebut sebagai keuntungan usaha.<br />

Dengan demikian, akan timbul persatuan yang dapat<br />

menciptakan sinergi, sehingga keuntungan berserikat<br />

atau keuntungan usaha mempunyai hierarki yang lebih<br />

tinggi dari keuntungan individu.<br />

57


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Selanjutnya, keuntungan berserikat atau keuntungan<br />

usaha harus dapat terakumulasi menjadi keuntungan<br />

ekonomi bagi masyarakat atau negara. Dengan adanya<br />

keuntungan ekonomi, akan tercipta kesejahteraan<br />

masyarakat, baik masyarakat yang tergabung dalam<br />

suatu usaha maupun masyarakat lainnya. Dengan<br />

meningkatnya kesejahteraan masyarakat, diharapkan<br />

akan meningkatkan kemampuan berproduksi, daya beli,<br />

dan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa.<br />

Keuntungan ekonomi dalam suatu negara harus dapat<br />

memberikan keuntungan kemanusiaan di dunia.<br />

Karena, tujuan dari pengelolaan bumi dan segala isinya<br />

oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah<br />

menyebar-luaskan rahmat Tuhan bagi seluruh alam.<br />

Rahmatan lil alamin.”<br />

Jelas bahwa kekayaan yang kita miliki harus diperoleh<br />

dengan <strong>cara</strong> yang dapat memberikan keuntungan se<strong>cara</strong><br />

bertingkat. Dari keuntungan individu, keuntungan usaha,<br />

keuntungan ekonomi, dan puncaknya adalah keuntungan bagi<br />

seluruh umat manusia.<br />

Memahami Kemaslahatan<br />

Sebagai hamba Allah SWT dan khalifah di muka bumi, kita<br />

harus menggunakan bagian dari bumi dan segala isinya se<strong>cara</strong><br />

produktif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Semua itu ditujukan<br />

untuk menciptakan kemasalahatan yang bisa dinikmati se<strong>cara</strong><br />

adil. Dari generasi ke generasi.<br />

58


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

Kemaslahatan yang utama adalah harsa (keuntungan) dan<br />

hasanah (kebaikan) di akhirat, namun kita diperintahkan untuk<br />

tidak melupakan hak kita atas kenikmatan di dunia. Hierarki<br />

kemasalahatan dimulai dengan keuntungan bagi individu, yang<br />

kemudian harus dapat menciptakan keuntungan dalam berserikat,<br />

dan menciptakan keuntungan usaha. Kemudian, keuntungan<br />

usaha harus terakumulasi menjadi keuntungan ekonomi di suatu<br />

negara. Seterusnya, keuntungan ekonomi suatu negara harus<br />

menciptakan keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia.<br />

Dengan demikian, akan tercipta kemaslahatan dari pusaka<br />

Allah SWT yang dikelola manusia, di mana rahmat Allah akan<br />

terdistribusikan ke seluruh umat manusia dan seluruh alam.<br />

Rahmatan lil alamin.---<br />

Kekayaan dan Keadilan<br />

Tidak lama setelah Michael Ruslim meninggal dunia,<br />

William Soeryadjaya juga berpulang ke sisi-Nya. Michael<br />

Ruslim lama menjadi pimpinan di PT. Astra International Tbk.,<br />

sedangkan William Soeryadjaya adalah pendiri sekaligus yang<br />

pimpinan yang membesarkan perusahan itu.<br />

Jelas bahwa William Soeryadjaya adalah orang yang kaya<br />

dalam segi harta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa<br />

perusahaan yang dibesarkannya, Astra International, pada tahun<br />

2009 telah memberikan kemaslahatan kepada karyawan berupa<br />

gaji dan upah di sebesar Rp.1,5 triliun, membawa kemaslahatan<br />

kepada pemegang saham berupa pertumbuhan aset Rp.9 triliun<br />

dan dividen Rp.4,5 triliun, memberi kemaslahatan kepada<br />

59


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

masyarakat berupa produk dan jasa serta perniagaan senilai Rp.<br />

100 triliun, serta membayar pajak sebesar Rp.4,5 triliun.<br />

Menurut Jusuf Kalla, mendiang William Soeryadjaya adalah<br />

pengusaha yang selalu menekankan persahabatan, kekeluargaan,<br />

kebersamaan, dan harus sama-sama untung. Selain itu, beliau<br />

juga sangat terbuka, jujur, dan memegang prinsip dan etika<br />

bisnis. Pandai menjaga jarak dengan pemerintah, tidak terlalu<br />

dekat dan tidak terlalu jauh. Prinsip bisnisnya menanamkan<br />

nilai-nilai agama yang bersifat universal, seperti kejujuran, kerja<br />

keras, saling bantu, dan ramah.<br />

Tetapi yang paling menonjol adalah ketika Bank Summa—<br />

yang dimiliki oleh anaknya—mengalami kesulitan. Ketika,<br />

pada 1993, Pemerintah memutuskan untuk menutup Bank<br />

Summa, William Soeryadjaya menjual saham Astra yang<br />

dimiliknya untuk membayar semua kewajiban Bank Summa<br />

kepada nasabahnya. William berpendapat bahwa dalam berbisnis<br />

haruslah adil. Ketika untung berhak menikmati hasilnya,<br />

tetapi bila rugi harus bertanggung jawab memenuhi semua<br />

kewajibannya.<br />

Hal serupa diutarakan Arifin Panigoro dalam bukunya,<br />

Berbisnis itu (tidak) Mudah. Berlaku adil dengan prinsip pantang<br />

ambil rezeki orang lain, transparansi usaha, dan menghormati<br />

mitra usaha dan karyawan, telah membuat Arifin Panigoro<br />

membesarkan PT. Meta Epsi Pribumi Drilling Company<br />

menjadi PT. Medco Energi Internasional Tbk. Tetapi—mirip<br />

seperti pengalaman William Soeryadjaya—prinsip “utang<br />

mesti dibayar” yang diyakini oleh Arifin Panigoro berdasarkan<br />

pengalaman orangtuanya, diterapkan dengan konsisten ketika<br />

Medco mengalami masalah keuangan akibat krisis moneter<br />

60


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

1997-1998. Medco terpaksa meminta restrukturisasi utang,<br />

dan Arifin terpaksa menjual saham Medco yang dimilikinya.<br />

Berbeda dengan William yang tidak berhasil memiliki kembali<br />

Astra, hanya dalam waktu 5 tahun, Arifin berhasil membeli lagi<br />

saham Medco dan kembali menjadi pemegang saham mayoritas.<br />

Baik cerita di atas maupun hierarki kemaslahatan,<br />

menunjukkan bahwa harus tercipta keadilan dalam proses<br />

penciptaan keuntungan. Dan kekayaan yang maslahat hanya<br />

dapat diperoleh melalui keuntungan yang berkeadilan. Jadi,<br />

kekayaan haruslah berkeadilan.<br />

Adil adalah kata singkat yang mudah diucapkan, tetapi<br />

sangat sulit diterapkan. Namun, kita tidak perlu bingung.<br />

Apalagi, khawatir. Dalam Kitab Suci (QS 57:25), Allah SWT<br />

menyatakan bahwa sesungguhnya Dia telah mengutus para<br />

rasul-Nya dengan membawa kejelasan, dan telah diturunkan<br />

melalui mereka Kitab Suci dan al-mizan, agar manusia dapat<br />

menegakkan keadilan. Dan kepada manusia telah diturunkan<br />

pula al-hadiid—yang padanya terdapat kekuatan, dan syadiid—<br />

dengan berbagai manfaat bagi manusia.<br />

Dalam Kitab Suci (QS 02:143), Tuhan menegaskan bahwa<br />

Dia telah menjadikan manusia yang menjadi hamba-Nya sebagai<br />

umat pilihan yang adil, agar manusia dapat menjadi saksi atas<br />

perbuatan manusia. Allah SWT juga menjadikan rasul sebagai<br />

saksi atas perbuatan manusia yang menjadi umat rasul tersebut.<br />

Jadi, Tuhan sebenarnya telah memberikan bekal dan<br />

kemampuan kepada kita untuk berlaku adil. Namun, apakah kita<br />

bisa memakai kemampuan tersebut sesuai petunjuk-Nya Mengapa<br />

kita sering berpendapat bahwa sangat manusiawi untuk rajin<br />

61


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

menuntut hak, namun lambat dalam menjalankan kewajiban<br />

Padahal, Tuhan telah memerintahkan manusia untuk berlaku<br />

adil dalam mencatat perjanjian atas kewajiban-kewajibannya.<br />

Allah SWT memerintahkan—sebagaimana termaktub dalam<br />

Kitab Suci (QS 02-282)—kepada semua orang yang beriman<br />

kepada-Nya agar bila melakukan tadaayan (berniaga), di mana<br />

seseorang mempunyai kewajiban sampai waktu yang tertentu,<br />

dan hendaklah kewajiban tersebut dicatat dengan baik. Untuk<br />

itu, harus ditunjuk suatu pihak yang bertindak sebagai kaatib<br />

atau penulis (mungkin sekarang disebut sebagai notaris) yang<br />

akan mencatat dengan berlaku adil.<br />

Tuhan juga telah memerintahkan kepada orang yang<br />

mempunyai kewajiban untuk menyatakan kepada penulis atas<br />

hak orang yang berhutang. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah<br />

SWT, dan janganlah mengurangi kewajiban sedikit pun, baik<br />

kecil atau besar, hingga sampai waktunya atau jatuh tempo.<br />

Perlu dicatat, Tuhan memberikan pengecualian pada<br />

hubungan perniagaan yang tijarotan haadirotan (perniagaan<br />

se<strong>cara</strong> tunai), sehingga perniagaan se<strong>cara</strong> tunai tidak perlu dibuat<br />

catatan karena tidak ada kewajiban yang belum ditunaikan.<br />

Tuhan juga telah menetapkan bahwa manusia harus<br />

mengambil keputusan dengan adil bila terjadi perbedaan<br />

pendapat. Dalam Kitab Suci (QS 03:58), Allah SWT telah<br />

meminta kepada manusia untuk menyampaikan amanat<br />

kepada yang berhak. Dan, apabila menetapkan hukum<br />

di antara manusia, hendaklah ditetapkan dengan adil.<br />

Tuhan telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada<br />

manusia, dan sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha<br />

Melihat.<br />

62


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

Keadilan tersebut juga berlaku dalam takaran dan<br />

timbangan, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci (QS<br />

07:85), bahwa Nabi Syuaib telah berkata kepada penduduk<br />

Madyan untuk menyembah Allah SWT karena tidak ada bagi<br />

mereka Tuhan selain dari Dia. Bahwa sesungguhnya telah datang<br />

kepada penduduk Madyan bukti yang nyata dari Tuhan. Karena<br />

itu takaran dan timbangan harus disempurnakan, dan dilarang<br />

mengurangi segala hak manusia. Dan dilarang melakukan<br />

kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, karena<br />

yang demikian itu lebih baik bagi kaum yang beriman.<br />

Menegakkan Keadilan<br />

Sebagai hamba Allah SWT, kita juga harus selalu teguh<br />

atau istiqomah dalam menegakkan keadilan. Bahkan dalam<br />

menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga, baik<br />

pihak yang kaya maupun yang miskin. Bila kita merasa menjadi<br />

orang yang beriman, Allah SWT berfirman dalam Kitab Suci<br />

(QS 03:135) agar kita menjadi orang-orang yang menegakkan<br />

keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT, walaupun terhadap<br />

diri sendiri, terhadap ibu-bapak, dan terhadap kerabat, baik<br />

yang kaya ataupun yang miskin.<br />

Sesungguhnya Tuhan lebih dekat dengan ibu-bapak atau<br />

kerabat tersebut, sehingga manusia tidak perlu berpihak<br />

dalam mengambil keputusan. Tuhan juga melarang manusia<br />

mengikuti hawa nafsu untuk tidak berbuat adil. Dan jika<br />

menusia memutar-balikkan kebenaran atau enggan berlaku<br />

adil, perlu diingat bahwa Allah Maha Mengetahui atas semua<br />

yang manusia kerjakan.<br />

63


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Dalam suka-duka kehidupan, manusia terkadang masuk<br />

dalam suatu golongan. Celakanya, entah karena pengalaman<br />

masa lalu atau hal-hal lain, dapat terjadi satu golongan cenderung<br />

membenci golongan yang lainnya. Padahal, dalam Kitab Suci<br />

(QS 05:8), Allah SWT telah berfirman kepada manusia yang<br />

beriman untuk menjadi orang-orang yang selalu menegakkan<br />

kebenaran karena-Nya, dan menjadi saksi dengan adil, walaupun<br />

terhadap golongan yang membencinya.<br />

Tuhan juga melarang orang-orang yang beriman menjadi<br />

berdosa dengan berlaku tidak adil karena kebenciannya terhadap<br />

suatu kaum. Tuhan menyuruh manusia berlaku adil, karena<br />

berbuat adil lebih dekat dengan takwa. Sesungguhnya Allah<br />

Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang kita kerjakan.<br />

Dalam hidup saat ini, kadangkala kita terpaksa berhubungan<br />

dengan orang-orang yang suka berbohong, korupsi, atau<br />

memeras. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk menjalankan<br />

perintah-Nya. Khususnya karena tahu dengan pasti bahwa<br />

orang-orang itu suka berbohong dan mengambil yang haram.<br />

Namun, Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS<br />

05:42) bahwa jika orang-orang yang suka berbohong dan banyak<br />

mengambil yang haram datang untuk meminta keputusan, maka<br />

putuskanlah dengan adil di antara mereka, atau berpalinglah<br />

dari mereka. Allah SWT menjamin, jika manusia berpaling dari<br />

mereka, maka mereka tidak akan memberikan mudharat sedikit<br />

pun, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang<br />

yang berlaku adil.<br />

Adil juga harus berlaku dalam pinjam-meminjam. Ketika<br />

kita memiliki kewajiban mengembalikan pinjaman, syariah<br />

64


BERUSAHA UNTUK KAYA<br />

mewajibkan kita untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Nabi<br />

Muhammad SAW mengajarkan bahwa manusia yang paling<br />

baik adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman<br />

yang diterimanya. Akan tetapi, berlaku adil bukan sematamata<br />

kewajiban bagi yang meminjam, melainkan juga bagi<br />

yang meminjamkan. Allah SWT telah berfirman dalam Kitab<br />

Suci (QS 02:282) bahwa jika seseorang mempunyai kewajiban<br />

(mengembalikan pinjaman) kepada kita dan ia mengalami<br />

kesulitan, kita dianjurkan untuk memberi kelonggaran. Dan<br />

bila kesulitan berlanjut, maka bila kita sedekahkan sebagian atau<br />

seluruh dari kewajiban itu, itu akan lebih baik bagi kita—bila<br />

saja kita mengetahuinya.<br />

Oleh karena itu, penjadwalan kembali hutang (debtrescheduling),<br />

perubahan struktur hutang (debt-restructuring),<br />

pengurangan pokok hutang (debt ‘hair-cut’), bahkan<br />

penghapusan hutang (write-off) adalah langkah-langkah keadilan<br />

bila peminjam terbukti telah bersungguh-sungguh mencoba<br />

memenuhi kewajibannya namun takdir berkata lain.<br />

Allah Yang Maha Bijaksana akan membela dan melindungi<br />

orang-orang yang berlaku adil.<br />

65


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Memahami Keadilan<br />

Esensi adil adalah penciptaan keseimbangan antara<br />

kemaslahatan seseorang dengan kemaslahatan umat. Adil<br />

memerlukan keimanan yang tinggi, sehingga kita harus bersedia<br />

dan bersungguh-sungguh mendahulukan kepentingan umat<br />

di atas kepentingan pribadi. Keseimbangan ini adalah prinsip<br />

hakiki yang tidak berubah. Sebagai hamba Allah SWT yang telah<br />

diangkat menjadi wakil-Nya di dunia, maka prinsip hakiki ini harus<br />

didasarkan atas perintah-Nya, sebagaimana yang telah dinyatakan<br />

dalam Kitab Suci dan dijabarkan melalui ajaran nabi dan rasul.<br />

Kitab Suci (QS 02:278) menyatakan dengan jelas bahwa<br />

manusia tidak boleh berlaku zhalim dan tidak boleh pula<br />

diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Nabi Muhammad SAW juga telah<br />

menjabarkan bahwa janganlah merugikan orang lain, dan jangan<br />

pula bersedia dirugikan oleh orang lain. Dengan berpegang teguh<br />

pada pedoman tersebut, insya Allah manusia dapat menempuh<br />

jalan yang adil.---<br />

66


Mengelola Kekayaan<br />

Sewaktu bekerja di Lippo Bank, Bank Papan Sejahtera, dan<br />

Danareksa, saya melihat banyak orang yang mendadak jadi kaya<br />

raya karena melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Namun,<br />

saya juga mengetahui banyak orang yang sekonyong-konyong<br />

jatuh miskin karena pasar modal.<br />

Di masa lalu, saya juga mengenal beberapa orang yang<br />

mempunyai harta berlimpah, rumah di mana-mana, mobil<br />

mewah dan berbagai ”tanda-tanda” kekayaan lainnya. Namun<br />

pada hari tuanya, mereka terpaksa hidup sangat sederhana karena<br />

hartanya sudah habis terpakai—baik untuk hidup, maupun<br />

karena kegagalan dalam berbisnis atau berinvestasi.<br />

Guru saya pernah mengajarkan bahwa kita perlu mengenal<br />

hubungan antara hasil yang kita peroleh dengan sebab utama kita<br />

memperoleh hasil tersebut. Karena kriteria ”kaya” atau ”belum<br />

kaya” tergantung pada kemampuan kita memahami bagaimana<br />

seharusnya mengelola hasil yang kita peroleh se<strong>cara</strong> optimal.<br />

67


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Hidup hanya sementara, dan masa produktif dalam hidup kita<br />

”lebih sementara” lagi.<br />

Lantas, bagaimana <strong>cara</strong> mengelola balasan yang telah<br />

diberikan Allah SWT kepada kita<br />

”Sebaik-baik manusia<br />

adalah mereka yang<br />

senantiasa ber-zikir dan<br />

banyak-banyak mengingat<br />

Allah SWT.”<br />

Itulah sebabnya setelah<br />

putri saya yang pertama, Prita<br />

Hapsari, lulus dari Fakultas<br />

Ekonomi UI dan kuliah S2 di<br />

Sydney, saya anjurkan untuk<br />

mengambil keahlian financial<br />

planning. Tujuannya jelas,<br />

agar dia bisa membantu orangtuanya dan orang-orang lain<br />

yang membutuhkan jalan untuk mengelola kekayaan yang telah<br />

diamanahkan kepada mereka. Sehingga bisa menolong orang<br />

untuk hidup lebih bahagia di hari tua. Dan mudah-mudahan<br />

diterima oleh Allah SWT sebagai amal yang saleh.<br />

Rezeki adalah Modal Ibadah<br />

Walaupun telah mendapat gelar doktor, saya merasa<br />

bahwa saya tidak mempunyai kecerdasan, pengetahuan,<br />

dan kemampuan yang memadai untuk memahami ukuran<br />

kesempurnaan dari balasan yang diberikan Tuhan atas segala<br />

jerih payah saya. Sehingga bila cakupan, besaran, serta waktu<br />

dan lama balasan yang ditentukan oleh Allah SWT ternyata<br />

melebihi dari yang saya harapkan, saya akan merasa beruntung.<br />

Sedangkan bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan,<br />

baik dari segi cakupan, besaran, waktu dan lama balasan yang<br />

diterima, maka sering kali saya merasa kecewa, merasa tidak<br />

beruntung, bahkan merasa diperlakukan se<strong>cara</strong> tidak adil.<br />

68


MENGELOLA KEKAYAAN<br />

Padahal, sebagai orang yang beriman, seharusnya saya yakin<br />

bahwa segala sesuatu yang saya peroleh adalah balasan yang<br />

sempurna atas usaha saya sendiri.<br />

Melalui firman-Nya, dalam Kitab Suci (QS 02:172), Allah<br />

SWT memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk<br />

hanya mengambil yang thoyib (baik). Jika itu diwujudkan, Allah<br />

SWT akan memberikan rezeki kepada mereka. Manusia juga<br />

diperintahkan untuk bersyukur, berterima kasih kepada-Nya,<br />

karena hanya kepada-Nya mereka mengabdi. Maka, sebaik-baik<br />

manusia adalah mereka yang senantiasa ber-zikir dan banyakbanyak<br />

mengingat Allah SWT Melalui firman-Nya dalam Kitab<br />

Suci (QS 61:10), diperintahkan juga kepada manusia untuk<br />

bertebaran di muka bumi setelah selesai menjalankan ibadah salat<br />

Jumat, guna mencari fadhillah atau kelebihan dari Allah SWT<br />

Meskipun sesungguhnya manusia tidak akan memperoleh<br />

kecuali apa yang diusahakannya, tetapi karena Allah Mahakaya<br />

dan Mahakuasa, maka Dia dapat memberikan tambahan balasan<br />

kepada manusia sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, dalam<br />

Kitab Suci (QS 14:07), Allah SWT telah menyampaikan bahwa<br />

jika manusia bersyukur atau berterima kasih atas nikmat<br />

yang telah dianugerahkan kepadanya, maka Dia akan<br />

me nambahkan nikmat-Nya. Namun, jika manusia<br />

meng ingkari bahwa nikmat itu berasal dari-Nya, sesungguhnya<br />

Allah SWT akan menurunkan azab-Nya<br />

yang sangat pedih.<br />

Jadi, sebenarnya Tuhan telah memudahkan manusia dalam<br />

mendapat rezeki, dalam mendapat balasan yang menyenangkan<br />

dari-Nya. Manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada-<br />

Nya karena manusia memang diciptakan sebagai abdi-Nya.<br />

69


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kemudian, diperintahkan untuk selalu mengingat-Nya. Dan<br />

ketika sudah menerima nikmat, manusia diperintahkan untuk<br />

berterima kasih atas semua yang telah diperoleh. Bila hal itu<br />

dilakukan, Allah SWT berjanji akan memberikan tambahan<br />

balasan yang menyenangkan, tambahan rezeki dari arah yang<br />

tak terduga.<br />

”Di dalam rezeki yang<br />

dilimpahkan kepada<br />

manusia, terdapat<br />

hak untuk orang lain<br />

yang dititipkan kepada<br />

manusia, hak dirinya dan<br />

anak keturunannya serta<br />

masa depannya, dan juga<br />

hak untuk masyarakat.”<br />

Di samping sematamata<br />

hidup untuk mengabdi<br />

kepada Tuhan, selalu<br />

ingat kepada-Nya, dan<br />

berterima kasih atas segala<br />

balasan dari-Nya, manusia<br />

juga diingatkan untuk<br />

menggunakan rezeki yang<br />

diterimanya untuk kebaikan.<br />

Dalam Kitab Suci (QS<br />

24:22), telah diperingatkan<br />

kepada orang-orang yang mempunyai fadhil (kelebihan) dan<br />

sa’at (kelapangan) agar jangan bersumpah bahwa mereka tidak<br />

akan memberi bantuan kepada kerabatnya, kepada orangorang<br />

miskin, maupun kepada orang-orang yang berhijrah di<br />

jalan Allah. Bila orang-orang yang mempunyai kelebihan dan<br />

kelapangan itu memberi bantuan, maka dosa mereka akan<br />

diampuni. Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia adalah<br />

Maha Pengampun dan Maha Penyayang.<br />

Se<strong>cara</strong> logika, memberi akan mengurangi apa yang telah<br />

manusia miliki. Akan tetapi, apabila memberi se<strong>cara</strong> ikhlas<br />

kepada yang berhak, milik Anda bukannya susut atau berkurang,<br />

malah semakin bertambah. Karena dengan memberi se<strong>cara</strong><br />

70


MENGELOLA KEKAYAAN<br />

ikhlas, maka berarti Anda telah bersyukur dan karena itu<br />

Tuhan akan memberi tambahan. Tuhan juga menyatakan<br />

bahwa tindakan manusia untuk memberikan bantuan kepada<br />

manusia lainnya yang memerlukan, dipandang sebagai memberi<br />

pinjaman kepada-Nya.<br />

Tuhan adalah penerima pinjaman yang paling baik,<br />

dan akan mengembalikan pinjaman dengan balasan-Nya<br />

yang berlipat ganda.<br />

Allah SWT menyatakan, sebagaimana tertera dalam Kitab<br />

Suci (QS 02:245), barangsiapa memberi pinjaman kepada-<br />

Nya—dengan pinjaman untuk kebaikan, maka Dia akan<br />

melipatgandakan pengembalian pinjaman tersebut dengan<br />

adh’aafan—dengan berlipat ganda. Masih dalam kutipan firman-<br />

Nya di atas, ditegaskan pula bahwa Dia dapat menyempitkan<br />

atau melapangkan rezeki seseorang, dan kemudian mengingatkan<br />

manusia bahwa hanya kepada-Nya manusia akan kembali.<br />

Namun, jika manusia yang telah menerima rezeki ternyata<br />

tidak mengikuti ketentuan-Nya, bahkan bermewah-mewahan<br />

dengan rezeki yang dititipkan kepada mereka, maka Allah SWT<br />

akan menghukum mereka. Hal ini ditegaskan melalui firman-<br />

Nya dalam Kitab Suci (QS 17:16), yang menyatakan bahwa<br />

diperintahkan kepada orang-orang yang bermewah-mewah<br />

dalam suatu negeri untuk taat kepada-Nya. Tetapi bila mereka<br />

durhaka dan tidak mengikuti perintah-Nya, maka atas mereka<br />

akan berlaku hukum-Nya. Allah SWT akan menghancurkan<br />

negeri itu dengan sehancur-hancurnya.<br />

Mengenai rezeki, Nabi Muhammad SAW telah memberikan<br />

banyak pelajaran kepada manusia, baik dalam bentuk perbuatan,<br />

nasihat, ataupun pernyataan.<br />

71


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Yang terbaik di antara manusia ialah mereka yang<br />

tidak meninggalkan dunia untuk akhirat, dan tidak<br />

meninggalkan akhirat untuk dunia, dan juga tidak<br />

menjadi beban bagi orang lain.”<br />

“Manusia dianjurkan untuk bekerja guna mendapatkan<br />

balasan di dunia seolah-olah mereka akan hidup selamalamanya<br />

dan untuk beribadat guna mendapat pahala di<br />

akhirat seolah-olah mereka akan mati esok hari.”<br />

“Dalam bekerja maupun beribadat, manusia harus<br />

mengupayakan agar segala yang mereka kerjakan hari<br />

ini lebih baik dari hari-hari yang lalu, dan agar apa pun<br />

yang mereka kerjakan hari esok lebih baik dari hari ini.”<br />

Kekayaan = Rezeki<br />

Tuhan Yang Mahakuasa pasti akan memberi balasan yang<br />

sempurna atas semua usaha kita. Baik berupa balasan di dunia<br />

(ujroh), balasan di akhirat (ajrun), dan tambahan (fadillah), maupun<br />

rahmat tanda kasih dari Allah SWT Bila balasan dari-Nya melebihi<br />

harapan, maka kita akan merasa senang dan menerimanya sebagai<br />

rezeki. Namun, bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan,<br />

kita dapat tergoda untuk merasa kecewa, bahkan tidak bersyukur<br />

atas balasan yang telah diperoleh.<br />

Bila kita bersyukur, Allah SWT berjanji akan memberi tambahan<br />

balasan yang mungkin akan memenuhi, bahkan melebihi harapan<br />

kita. Tuhan telah memberikan kemudahan bagi kita agar dapat<br />

menerima rezeki, yaitu cukup dengan bersungguh-sungguh<br />

mengabdi kepada-Nya, selalu ingat, dan bersyukur atas semua<br />

rezeki yang dilimpahkan-Nya.---<br />

72


Kekayaan adalah Amanah<br />

MENGELOLA KEKAYAAN<br />

Kekayaan yang kita terima sebenarnya adalah amanah yang<br />

harus digunakan atau dinafkahkan sesuai dengan ketentuan-Nya.<br />

Nabi Muhammad SAW mengajarkan:<br />

“Setiap manusia akan ditanya tentang hartanya, dengan<br />

<strong>cara</strong> apa dia memperolehnya dan bagaimana dia<br />

menafkahkannya.”<br />

“Harta yang sedikit tetapi cukup untuk memenuhi<br />

kebutuhan adalah lebih baik daripada harta yang<br />

banyak tetapi dapat menyesatkan manusia.”<br />

“Manusia yang kuat lebih baik daripada manusia yang<br />

lemah, karena bila diperlukan oleh orang lain akan<br />

dapat berguna, dan bila tidak diperlukan oleh orang lain,<br />

setidaknya ia dapat mengurus dirinya sendiri.”<br />

Amanah I: Hak Orang Lain<br />

Pertama-tama, yang perlu diingat bahwa di dalam kekayaan<br />

yang diberikan Allah SWT kepada kita terdapat bagian<br />

yang wajib dinafkahkan kepada orang lain. Sebagaimana<br />

firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 57:07, 51:19, 70:24-<br />

25), kita diperintahkan untuk percaya atau beriman kepada<br />

Allah SWT dan rasul-Nya. Karena itu, kita diperintahkan<br />

untuk menafkahkan apa pun yang Allah SWT jadikan kita<br />

menguasainya.<br />

73


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Allah SWT juga berjanji bahwa kepada orang-orang yang<br />

beriman dan menafkahkan sebagian hartanya akan mendapat<br />

pahala (ajrun) yang besar. Mengapa demikian Karena telah<br />

dinyatakan bahwa di dalam harta mereka terdapat hak tertentu<br />

untuk orang miskin atau kekurangan, baik yang meminta<br />

maupun yang tidak meminta.<br />

Di dalam harta yang diterima oleh manusia, terdapat hakhak<br />

orang lain yang dititipkan kepadanya. Hak-hak tertentu<br />

yang merupakan ”bagian” dari orang lain yang diberikan<br />

melalui manusia itu harus diserahkan kepada yang berhak.<br />

Dengan menafkahkan sebagian ”kelebihan” kepada orang yang<br />

berhak, maka harta yang dikaruniakan kepadanya telah<br />

dibersihkan dari bagian yang bukan haknya.<br />

Allah SWT juga memberikan petunjuk mengenai <strong>cara</strong><br />

menafkahkan kelebihan yang telah diberikan kepada kita.<br />

Salah satu petunjuk itu terdapat dalam Kitab Suci (QS 02:219,<br />

02:267). Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa yang perlu<br />

dinafkahkan oleh orang-orang yang mendapat kelebihan<br />

dan kelapangan adalah dari apa yang menjadi kelebihan dari<br />

keperluan. Petunjuk sederhana ini diberikan kepada manusia<br />

sebagai keterangan atas ayat-ayat-Nya, supaya manusia mau<br />

berpikir.<br />

Petunjuk lain terdapat pada firman Allah SWT, (QS<br />

02:267), yang menyatakan kepada orang-orang yang beriman<br />

agar menafkahkan bagian yang baik dari apa yang mereka<br />

usahakan dan dari apa yang telah dikeluarkan untuk mereka<br />

dari bumi. Allah SWT juga memperingatkan agar dalam<br />

menafkahkan, mereka tidak memilih yang buruk-buruk dari<br />

apa yang mereka peroleh. Apalagi, hanya karena mereka tidak<br />

74


MENGELOLA KEKAYAAN<br />

mau mengambil, bahkan tidak mau melihat yang buruk-buruk<br />

itu. Tuhan telah menegaskan bahwa Dia Maha <strong>Kaya</strong> lagi Maha<br />

Terpuji.<br />

Amanah II: Hak Hidup Masa Kini<br />

Setelah membersihkan kekayaan kita dari hak orang lain<br />

dengan mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah, maka bagian<br />

kedua adalah hak hidup masa kini. Tuhan telah berfirman agar<br />

manusia mencari kebahagiaan di akhirat, namun diperintahkan<br />

untuk tidak melupakan haknya untuk memperoleh kenikmatan<br />

duniawi. Guna memperoleh kenikmatan duniawi, manusia<br />

diperintahkan berbuat baik dan dilarang berbuat kerusakan. Baik<br />

kerusakan atas dunia, makhluk, orang lain, maupun diri sendiri.<br />

Allah SWT telah menyatakan bahwa tidak semua manusia<br />

akan memperoleh rezeki yang banyak. Pada saat yang sama, juga<br />

diingatkan bahwa Tuhan tidak akan memikulkan beban melebihi<br />

kemampuan seseorang. Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa<br />

setelah setiap satu kesukaran, akan diberikan banyak kemudahan,<br />

bila manusia mau mengikuti perintah-Nya.<br />

Dalam Kitab Suci (QS 65:07), Allah SWT berfirman<br />

bahwa orang yang mempunyai keleluasaan diperintahkan untuk<br />

menafkahkan dari kemampuannya. Sementara, bagi orang<br />

yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah memberi nafkah<br />

dari rezeki yang diberikan kepadanya. Kemudian, ditegaskan<br />

bahwa Tuhan tidak memikulkan beban kepada seseorang<br />

kecuali menurut apa yang Dia berikan padanya, dan<br />

berjanji akan menjadikan banyak kemudahan sesudah<br />

setiap satu kesukaran.<br />

75


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Amanah III: Hak Masa Sulit<br />

Dalam kehidupan manusia selalu terdapat masa senang<br />

dan masa sulit. Karena itulah, Allah SWT menyatakan bahwa<br />

manusia yang baik adalah mereka yang dalam menafkahkan<br />

hartanya tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak kikir. Manusia<br />

yang baik akan berlaku di antara keduanya, yaitu menafkahkan<br />

lebih banyak dari yang kikir, tetapi menafkahkan lebih<br />

sedikit dari yang berlebih-lebihan.<br />

Allah SWT juga memperingatkan agar janganlah orangorang<br />

bakhil (kikir) dari kelebihan yang telah diberikan<br />

kepadanya. Jangan pula mereka mengira bahwa hal itu adalah<br />

baik bagi mereka, karena bakhil itu sebenarnya buruk bagi<br />

mereka. Allah SWT menegaskan bahwa sebenarnya semua yang<br />

ada di langit dan bumi adalah kepunyaan-Nya yang dipusakakan<br />

kepada manusia. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang manusia<br />

kerjakan (QS 03:180). Dia juga melarang manusia untuk<br />

tubazzir (menyia-nyiakan) harta mereka dengan boros, karena<br />

sesungguhnya orang-orang yang mubazzirin (menyia-nyiakan)<br />

adalah teman setan (QS 17:27).<br />

Nabi Muhammad SAW juga telah mengingatkan bahwa<br />

Allah SWT akan memberikan rahmat kepada manusia yang<br />

membelanjakan harta dengan hemat, serta menyisihkan<br />

kelebihan untuk menghadapi hari kefakiran.<br />

Amanah IV: Hak Masa Depan<br />

Allah SWT telah memberi pelajaran mengenai menghadapi<br />

masa depan, salah satunya melalui kisah Nabi Yusuf yang<br />

bermimpi tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk<br />

76


MENGELOLA KEKAYAAN<br />

dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Dalam<br />

mimpi tersebut, Nabi Yusuf juga memegang tujuh bulir gandum<br />

yang hijau dan tujuh bulir gandum kering (QS 12:46-48).<br />

Mimpi itu ditafsirkan oleh Nabi Yusuf sebagai perintah<br />

untuk menyimpan kelebihan dari tujuh masa panen yang sangat<br />

baik untuk digunakan pada tujuh masa yang sulit. Penafsiran itu<br />

memberi ilham kepada Nabi Yusuf untuk melakukan persiapan<br />

agar di akhir masa-masa sulit mereka masih mempunyai sedikit<br />

simpanan hasil panen untuk memulai kembali kehidupan<br />

mereka.<br />

Yang menarik, jumlah masa panen dan masa sulit dalam<br />

pelajaran ini adalah tujuh, bukan enam atau lima atau bahkan<br />

tiga. Hal ini bukan kebetulan, melainkan untuk menegaskan<br />

bahwa walaupun terjadi berulang-ulang, tidak ada jaminan<br />

bahwa hal itu akan berkelanjutan. Setelah sesuatu yang baik<br />

terjadi untuk pertama kali, umumnya kita akan sangat bersyukur.<br />

Bila terjadi kedua kalinya, biasanya kita tetap bersyukur. Setelah<br />

terjadi se<strong>cara</strong> terus menerus, apalagi sampai lebih dari lima<br />

kali, kita dapat tergoda untuk merasa bahwa hal yang baik itu<br />

terjadi semata-mata karena usaha kita sendiri. Buktinya setiap<br />

kita berusaha, kita berhasil. Akibatnya, kita bisa ingkar bahwa<br />

hasil tersebut sebenarnya adalah nikmat Tuhan.<br />

Pelajaran lain dari kisah Nabi Yusuf di atas adalah<br />

menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar bertakwa<br />

kepada-Nya, dan hendaklah setiap manusia memerhatikan apa<br />

yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS 59:18).<br />

Pelajaran-pelajaran di atas mengarahkan manusia untuk<br />

menyimpan sebagian dari rezeki masa kini untuk<br />

77


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

kehidupan masa depan, baik masa depan untuk diri sendiri<br />

maupun masa depan keluarga dan keturunannya.<br />

Nabi Muhammad SAW juga telah menyatakan bahwa:<br />

“Adalah lebih baik kamu meninggalkan keturunanmu<br />

dalam keadaan sehat dan kaya daripada meninggalkannya<br />

dalam keadaan miskin sehingga harus memintaminta.”<br />

Amanah V: Hak Masyarakat<br />

Di dalam rezeki yang dilimpahkan kepada manusia, terdapat<br />

hak untuk orang lain yang dititipkan kepada manusia, hak<br />

dirinya dan anak keturunannya serta masa depannya, dan juga<br />

hak untuk masyarakat. Karena itu, kelebihan rezeki dan harta<br />

harus digunakan untuk kegiatan produktif, sehingga dapat<br />

menyebar-luaskan kemasalahatan bagi masyarakat. Contohnya<br />

adalah pada harta emas dan perak.<br />

Pada masa Nabi Muhammad SAW, uang dibuat dari<br />

emas dan perak. Hal itu terutama disebabkan, pada masa itu,<br />

hubungan perdagangan dan hubungan informasi masih sangat<br />

terbatas oleh kondisi fisik. Sementara itu, menurut syariah,<br />

Pemerintah harus menetapkan uang sebagai alat pembayaran<br />

yang sah dan harus menjamin nilai dari uang tersebut. Karena<br />

itu, jaminan nilai yang terbaik pada saat itu adalah jaminan<br />

intrinsik pada materi uang itu sendiri.<br />

Fungsi utama dari emas dan perak pada saat itu adalah<br />

sebagai uang. Sehingga bila ada manusia yang menyimpan<br />

78


MENGELOLA KEKAYAAN<br />

atau mengumpulkan emas dan perak, maka berarti manusia<br />

tersebut menimbun uang. Tindakan ini menimbulkan<br />

dampak berkurangnya jumlah uang dalam peredaran, sehingga<br />

mengurangi kemungkinan masyarakat melakukan transaksi<br />

perniagaan. Tindakan menimbun emas dan perak dianggap<br />

perilaku asosial. Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang<br />

menyembunyikan, atau tidak menggunakan emas dan perak<br />

di jalan Allah, maka mereka akan menerima azab yang paling<br />

menyiksa (QS 09:34).<br />

Rezeki dari Allah SWT dapat pula dilimpahkan melalui<br />

kegiatan usaha manusia dalam bentuk keuntungan berusaha.<br />

Dalam menjalankan usaha, manusia dianjurkan untuk bekerja<br />

sama dengan manusia lain, baik dalam bentuk perserikatan<br />

maupun dengan mempekerjakan manusia lain.<br />

Melalui firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 16:71) telah<br />

diingatkan bahwa Allah SWT melebihkan sebagian dari manusia<br />

atas sebagian yang lain. Bagi orang-orang yang memperoleh<br />

“kelebihan” juga telah diingatkan agar memberi rezeki kepada<br />

orang-orang yang bekerja padanya. Apabila mereka tidak mau<br />

melakukan hal itu, maka mereka telah mengingkari nikmat-Nya,<br />

dan akan menerima azab yang sangat pedih.<br />

79


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Mengelola Kekayaan<br />

Kekayaan yang dilimpahkan kepada kita bukanlah semata-mata<br />

untuk diri kita sendiri. Dalam kekayaan juga terdapat amanah<br />

berupa hak pihak lain yang diberikan melalui manusia kita. Amanah<br />

tersebut adalah amanah untuk orang lain, untuk masa kini, untuk<br />

masa sulit, untuk masa depan, serta amanah untuk masyarakat<br />

yang harus dikelola.<br />

Pertama, hal yang penting dilakukan dalam mengelola harta<br />

adalah membersihkan harta dengan mengeluarkan zakat, infaq,<br />

dan sedekah. Kedua, menafkahkan harta untuk hidup masa kini<br />

sesuai dengan keleluasaan atau kesempitan, serta tidak melupakan<br />

hak atas kenikmatan yang halal di dunia.<br />

Ketiga, membelanjakan harta dengan hemat dan menyisihkan<br />

kelebihan untuk masa-masa sulit. Keempat, mempersiapkan untuk<br />

masa depan agar dapat hidup bahagia setelah tidak produktif, serta<br />

dapat meninggalkan keturunan dalam keadaan sehat dan kaya.<br />

Kelima, atau yang terakhir, mengembangkan harta untuk<br />

meningkatkan penyebarluasan kemaslahatan bagi masyarakat.---<br />

80


<strong>Kaya</strong> Se<strong>cara</strong> Halal<br />

dan Thoyib<br />

Pada 1984, saya bekerja di IBM Asia Corporation yang<br />

berlokasi di Hongkong. Waktu itu, saya bekerja sebagai Program<br />

Manager untuk Market Research dengan tim yang terdiri dari<br />

5 orang, masing-masing dari Malaysia, Taiwan, Philippines,<br />

Hongkong, dan saya dari Indonesia. Sebagai seorang Muslim,<br />

saya tidak boleh makan makanan yang mengandung babi. Teman<br />

saya dari Malaysia adalah keturunan India yang tidak makan<br />

daging sapi. Sisanya ada yang alergi seafood, ada yang tidak suka<br />

makan sayuran, ada juga yang tidak doyan ayam. Kami berlima<br />

kompak sekali dan sering makan bersama. Masalahnya adalah<br />

bagaimana <strong>cara</strong> kami memesan makanan agar semua dapat<br />

menikmatinya dengan adil.<br />

Saya telah menceritakan masalah ini dalam berbagai<br />

kesempatan, dan tentunya menanyakan tentang makanan apa<br />

yang dapat kami pesan agar semua dapat menikmati dengan adil.<br />

Ada yang menyarankan memesan masakan daging kambing, ada<br />

81


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

yang menyarankan pesan bakmi atau burung dara (mungkin<br />

karena di Hongkong), dan sebagainya. Tetapi bukan itu yang<br />

kami lakukan.<br />

“Di samping menghindari<br />

hal-hal yang se<strong>cara</strong><br />

dzat adalah syubhat<br />

atau haram, <strong>cara</strong><br />

memperolehnya juga<br />

tidak boleh melalui <strong>cara</strong><br />

yang dilarang oleh Allah<br />

SWT.”<br />

Kami selalu berusaha<br />

memesan 1 masakan dengan<br />

daging babi, 1 masakan<br />

daging sapi, 1 masakan ayam,<br />

1 seafood, dan 1 sayuran.<br />

Dengan demikian semua<br />

dapat menikmati 4 dari 5<br />

masakan yang kami pesan.<br />

Adil, bukan<br />

Untuk makanan, halal<br />

atau haram adalah menurut<br />

keyakinan masing-masing. Tetapi menurut hemat saya, halal atau<br />

haram untuk hasil usaha atau kegiatan keuangan akan berlaku<br />

se<strong>cara</strong> universal. Mengapa Karena hasil usaha yang halal pasti<br />

akan membawa kemaslahatan. Anda tidak sependapat Silakan<br />

baca lebih lanjut.<br />

Mengapa Hanya yang Halal dan Thoyib<br />

Dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai hasil<br />

tertentu, baik berupa keuntungan ataupun hasil-hasil lainnya,<br />

manusia tetap harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan<br />

oleh Allah SWT Dalam hal kegiatan ekonomi, Allah SWT<br />

berfirman dalam Kitab Suci (QS 02:168), yang menyatakan<br />

agar manusia hanya mengambil dari bumi apa saja yang halal<br />

dan thoyib, serta agar manusia tidak mengikuti jalan-jalan setan<br />

82


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi<br />

manusia.<br />

Jadi, jelas bahwa Allah SWT telah memerintahkan manusia<br />

untuk hanya mengambil yang halal dan thoyib dari bumi dan<br />

segala isinya. Lebih lanjut, Allah SWT menyatakan bahwa bila<br />

tidak mengikuti perintah ini, berarti manusia telah mengikuti<br />

jalan-jalan setan, musuh nyata bagi manusia.<br />

Sekarang, bagaimana <strong>cara</strong> memilih yang halal dan mem bedakannya<br />

dengan yang tidak halal<br />

Perihal yang halal, Nabi Muhammad SAW telah mem berikan<br />

pelajaran yang sangat jelas melalui sabda-sabdanya.<br />

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang<br />

haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang<br />

syubhat yang tidak diketahui banyak orang. Maka, bila takut<br />

(maksudnya: menghindar dari) pada syubhat, maka ia terbebas<br />

dari kecaman atas pribadinya dan agamanya. Dan barangsiapa<br />

yang jatuh ke dalam syubhat, maka ia akan jatuh pada yang<br />

haram.<br />

Seperti roin (gembala/pemimpin) yang memimpin di<br />

sekitar batas daerah syubhat, dapat diduga akan jatuh<br />

ke dalam daerah syubhat dan oleh karenanya akan jatuh<br />

ke dalam daerah yang haram.<br />

Ingat! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada<br />

sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh<br />

tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh,<br />

gumpalan itu adalah hati.”<br />

83


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa se sungguhnya<br />

yang halal maupun yang haram itu jelas. Dan, di antara<br />

yang halal dan yang haram, terdapat hal-hal yang syubhat yang<br />

tidak diketahui banyak orang. Manusia sebaiknya menghindar<br />

dari yang syubhat, karena hampir dipastikan ia akan jatuh kepada<br />

yang haram. Jadi, bukan hanya harus meninggalkan yang haram,<br />

tetapi juga harus menghindari yang syubhat, yang meragukan.<br />

Karena wajib menghindari yang syubhat, berarti manusia<br />

harus pula meninggalkan hal yang lebih besar mudharatnya<br />

dibandingkan dengan manfaatnya, lebih besar potensi ruginya<br />

dibandingkan peluang untungnya.<br />

“Nabi Muhammad SAW<br />

mengajarkan melakukan<br />

transaksi pada harga<br />

pasar yang wajar.<br />

Berapa pun harga yang<br />

terjadi, transaksi akan<br />

saling ridha karena<br />

penjual-pembeli sepakat<br />

bertransaksi setelah<br />

mengetahui harga pasar<br />

yang wajar.”<br />

Allah SWT juga memerintahkan<br />

kepada manusia<br />

agar jangan saling mengambil<br />

harta di antara manusia<br />

dengan jalan atau <strong>cara</strong> yang<br />

batil. Dia pun melarang<br />

manusia untuk membawa<br />

urusan harta kepada hakim<br />

dengan maksud agar dapat<br />

mengambil harta dari orang<br />

lain dengan jalan berbuat<br />

dosa, yaitu jalan yang dilarang<br />

Allah SWT, padahal<br />

mereka mengetahui bahwa jalan itu dilarang (QS 02:188).<br />

Berarti, di samping menghindari hal-hal yang se<strong>cara</strong> zat adalah<br />

syubhat atau haram, <strong>cara</strong> memperolehnya juga tidak boleh<br />

melalui <strong>cara</strong> yang dilarang oleh Allah SWT<br />

84


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Setelah membahas <strong>cara</strong> membedakan yang halal dari yang<br />

haram serta yang syubhat, maka perlu dibahas bagaimana <strong>cara</strong><br />

memilih yang halal dan juga thoyib.<br />

Sebelum mengetahui <strong>cara</strong> memilih yang thoyib, tentunya<br />

perlu dipahami apa itu thoyib Ternyata, Allah SWT telah<br />

berfirman dalam Kitab Suci (QS 07:157) bahwa Nabi<br />

telah diperintahkan Allah SWT untuk menyuruh manusia<br />

mengerjakan yang ma’ruf dan melarang yang munkar,<br />

serta menghalalkan bagi manusia hal-hal yang thoyib dan<br />

mengharamkan atas manusia hal-hal yang khobaais.<br />

Dalam bahasa Arab, kata thoyib se<strong>cara</strong> umum berarti baik.<br />

Tetapi apakah hanya sekadar baik Karena sebagaimana halnya<br />

kata ridha, kata thoyib membawa pengertian yang berkaitan<br />

dengan perasaan dan kesungguhan hati. Dari firman tersebut<br />

dapat kita perkirakan bahwa hal-hal yang thoyib tentunya<br />

akan ma’ruf, tidak akan munkar dan bukan khobaais. Ma’ruf<br />

maksudnya adalah arif, bijak, dan oleh karenanya menjadi<br />

benar. Munkar berarti ingkar terhadap ketentuan dan perintah<br />

Allah, dan karenanya tidak benar atau bahkan merusak.<br />

Sedangkan khobaais artinya buruk atau rusak. Oleh karena<br />

itu, istilah thoyib mempunyai pengertian akan hal-hal<br />

yang dilakukan se<strong>cara</strong> arif dan bijaksana, tidak ingkar<br />

terhadap ketentuan dan perintah Allah, tidak merusak,<br />

serta tidak buruk. Sehingga thoyib sejalan dengan arif,<br />

bijak, benar, dan membawa kebaikan.<br />

Jadi, Allah SWT menghendaki dalam mengelola bumi<br />

dan segala isinya, serta dalam menjalankan kegiatan yang<br />

berhubungan dengan sesamanya, hamba-hamba-Nya<br />

85


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

melakukannya dengan arif dan bijaksana sehingga menghasilkan<br />

hal-hal yang benar serta membawa kebaikan.<br />

Syarat Kehalalan<br />

Maka, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus<br />

dipenuhi untuk mencapai kehalalan, yaitu kehalalan dari zat<br />

atau barangnya, kehalalan dari <strong>cara</strong> perolehannya, dan kehalalan<br />

dari <strong>cara</strong> penggunaannya.<br />

Untuk kehalalan zat-nya, contoh yang paling lazim adalah<br />

minuman, makanan, atau obat-obat yang dalam jumlah atau<br />

kadar tertentu akan memabukkan. Minuman atau makanan<br />

tersebut bisa membuat manusia kehilangan kesadaran. Dan<br />

dalam keadaan tidak sadar, manusia dapat saja melakukan halhal<br />

yang tidak baik, yang dalam keadaan sadar tidak mungkin<br />

dilakukannya.<br />

Jadi, dapat disimpulkan bahwa barang-barang yang<br />

halal se<strong>cara</strong> zat adalah barang-barang yang bermanfaat, tidak<br />

membawa mudharat, serta memenuhi ketentuan Allah SWT<br />

dan tidak dilarang untuk dimiliki, dipakai, atau dikonsumsi.<br />

Kemudian, walaupun sudah pasti kehalalan atas zatnya, juga<br />

harus dipastikan kehalalan dari <strong>cara</strong> perolehan dan tidak<br />

boleh melanggar ketentuan Allah SWT Karena bila diperoleh<br />

dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang batil—seperti mencuri, menipu, korupsi,<br />

dan semacamnya, barang yang halal se<strong>cara</strong> zat jadi haram bagi<br />

yang memperolehnya serta bagi keluarganya. Se<strong>cara</strong> zat, uang itu<br />

halal, Namun bila diperoleh melalui transaksi se<strong>cara</strong> riba akan<br />

menjadi haram. Jadi, se<strong>cara</strong> umum dapat disimpulkan bahwa<br />

di samping kehalalan dari zat, harus pula dipastikan kehalalan<br />

86


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

dari <strong>cara</strong> perolehan, yaitu <strong>cara</strong> yang tidak bathil, tidak curang,<br />

tidak zhalim, atau tidak merugikan orang lain.<br />

Akhirnya, kehalalan <strong>cara</strong> pemakaian, karena barang yang<br />

se<strong>cara</strong> zat dan <strong>cara</strong> perolehan dapat diyakini kehalalannya hanya<br />

boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan<br />

perintah Allah SWT Karena bila digunakan untuk berbuat<br />

zhalim, untuk merusak milik sendiri maupun milik orang lain,<br />

untuk membunuh, atau tujuan lain yang tergolong dosa, maka<br />

zat yang halal dan telah diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang halal akan<br />

menjadi haram. Contohnya, beberapa jenis obat yang tergolong<br />

penghilang rasa sakit atau narkotika, bila digunakan untuk<br />

mengurangi rasa sakit pada korban kecelakaan adalah halal.<br />

Namun bila disalahgunakan untuk menghilangkan kesadaran<br />

dari orang yang tidak sakit akan menjadi haram.<br />

Prinsip Kehalalan<br />

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas,<br />

di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Dengan<br />

mempunyai hati yang baik, maka yang halal, yang haram, maupun<br />

yang syubhat dapat kita lihat dengan jelas.<br />

Kehalalan harus memenuhi kehalalan dari zatnya, dari <strong>cara</strong><br />

perolehannya, dan dari <strong>cara</strong> penggunaannya. Esensi dari kehalalan<br />

adalah memberikan manfaat dan menghindari mudarat bagi<br />

manusia, sehingga akan menghilangkan kebathilan, kecurangan,<br />

ke-zhalim-an, dan kerugian. Karena itu, perintah Allah SWT untuk<br />

hanya mengambil yang halal serta menghindari yang haram<br />

maupun syubhat, pada hakikatnya adalah dalam rangka menyebarluaskan<br />

kemaslahatan bagi umat manusia.---<br />

87


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Syarat Thoyib<br />

Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang<br />

beriman untuk tidak saling mengambil harta di antara manusia<br />

dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />

se<strong>cara</strong> saling ridha di antara manusia. Kemudian Allah SWT<br />

menegaskan agar manusia tidak mematikan dirinya sendiri,<br />

karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada manusia<br />

(QS 04:29).<br />

Dari firman ini dapat dipahami bahwa hal yang halal dan<br />

thoyib tentu tidak diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang batil, melainkan<br />

dengan jalan perniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha.<br />

Perniagaan yang baik tentunya yang saling memberi manfaat<br />

bagi semua pihak yang terlibat dalam perniagaan tersebut.<br />

Sedangkan yang dapat diperoleh dengan saling ridha berarti<br />

keputusan diambil dengan hati yang ikhlas. Dengan demikian,<br />

tentunya para pihak tidak berlaku zhalim dan juga tidak mau<br />

diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Sementara bila diperoleh dengan<br />

<strong>cara</strong> yang batil, sama saja seperti manusia membunuh dirinya<br />

sendiri.<br />

Kemudian di samping berfirman agar manusia tidak<br />

mengambil harta sesamanya dengan <strong>cara</strong> yang batil, Allah SWT<br />

juga telah berfirman agar manusia tidak mengambil harta dari<br />

orang lain dengan jalan berbuat dosa, yaitu jalan yang dilarang<br />

Allah SWT (QS 02:188). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa<br />

hal-hal yang halal dan thoyib tidak mungkin diperoleh dengan<br />

jalan berbuat dosa.<br />

Dengan kata lain, hal-hal yang halal dan thoyib hanya akan<br />

diperoleh melalui jalan-jalan yang tidak melanggar ketentuan<br />

88


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Allah SWT Dalam hal ini, dapat dikaji pendapat yang<br />

disampaikan oleh para pakar bahwa kaidah yang digunakan<br />

dalam melakukan ibadah vertikal ke hadirat Allah SWT adalah,<br />

“Semuanya tidak boleh kecuali yang telah diperintahkan<br />

Allah SWT”. Sedangkan kaidah dalam melakukan ibadah<br />

horizontal melalui hubungan antarmanusia adalah, “Semuanya<br />

boleh kecuali yang telah dilarang Allah SWT”. Perintah-Nya<br />

disampaikan melalui firman-Nya, pelajaran dari nabi dan rasul-<br />

Nya, maupun disampaikan melalui ilham.<br />

Prinsip Ke-thoyib-an<br />

Thoyib terkait dengan kehalusan hati dan memiliki nilai<br />

yang lebih tinggi dari baik. Karena selain baik, yang thoyib juga<br />

memenuhi aspek menunjang yang ma’ruf, menghindari yang<br />

munkar, bersikap ramah dengan lembut dan murah hati, serta<br />

saling ridha dan saling memberi manfaat. Sikap ramah, lembut<br />

dan murah hati membuat hubungan menjadi semakin baik dan<br />

menunjang saling ridha.<br />

Kondisi saling ridha mengakibatkan para pihak yang terkait<br />

akan ikhlas menerima hasil yang diberikan. Karena ikhlas, maka<br />

akan saling memberi manfaat dan para pihak yang terkait merasa<br />

diperlakukan se<strong>cara</strong> adil. Sehingga segala yang thoyib itu akan<br />

memberikan kepuasan lahir dan bathin, baik di dunia maupun<br />

kelak di akhirat.---<br />

89


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Jurus Halal 1: Kurma dan Uang<br />

Salah satu pelajaran yang menarik dari Nabi Muhammad<br />

SAW tentang halal-haram adalah hadis yang saya sebut sebagai<br />

hadis kurma.<br />

Abu Said mengatakan bahwa suatu hari Bilal datang<br />

menghadap Rasulullah SAW dengan membawa kurma yang<br />

baik. Beliau bertanya, “Dari mana engkau mendapat kurma<br />

ini” Bilal menjawab, “Kami mempunyai kurma yang bermutu<br />

rendah, karena itu kami berikan 2 keranjang kurma tersebut<br />

untuk ditukar dengan 1 keranjang kurma yang baik ini, dengan<br />

maksud untuk dihadiahkan kepada Rasulullah”.<br />

Setelah mendengar penjelasan itu Beliau bersabda, “Ini jelas<br />

riba. Jangan ulangi perbuatan ini. Jika kamu menginginkan<br />

kurma yang bermutu baik, pertama-tama engkau jual kurma<br />

yang bermutu rendah itu, lalu dengan hasil penjualannya engkau<br />

beli kurma yang berkualitas baik.”<br />

Bilal dikenal sebagai orang yang jujur dan baik. Pastilah<br />

Bilal hanya akan berhubungan dengan orang-orang yang jujur<br />

dan baik. Apalagi bila terkait dengan kurma yang hendak ia<br />

hadiahkan kepada Rasulullah SAW Oleh karena itu, tentunya<br />

mereka akan bertransaksi dengan jujur dan saling ridha.<br />

Termasuk dalam hal tukar-menukar kurma.<br />

“Akan tetapi, mengapa Nabi Muhammad SAW melarangnya”<br />

“Apa yang berbeda bila kurma tersebut dijual terlebih dahulu<br />

ke pasar”<br />

“Apa perbedaan antara membeli kurma di pasar dengan<br />

menukar kurma”<br />

90


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Pedagang kurma di pasar adalah orang-orang yang seharihari<br />

melakukan jual-beli kurma. Sepatutnya mereka paham betul<br />

jenis-jenis kurma dan sangat mengerti harga pasar dari kurmakurma<br />

tersebut. Karena itu, penjualan kurma Bilal pasti akan<br />

ditakar dengan harga yang layak untuk kurma jenis atau kualitas<br />

tersebut. Demikian pula pembelian kurma yang baik oleh Bilal<br />

akan dihitung dengan harga yang layak. Sehingga, mungkin saja<br />

perbandingan harga kurma-kurma yang ditransaksikan oleh Bilal<br />

bukanlah 2 : 1. Mungkin saja 2,2 : 1,0 atau 1,8 : 1,0. Selisih<br />

yang mungkin terjadi dapat saja membuat Bilal atau pemilik<br />

kurma yang bagus menjadi tidak ridha. Akibatnya, transaksi<br />

menjadi batil.<br />

Jadi, sebenarnya Nabi Muhammad SAW mengajarkan<br />

melakukan transaksi pada harga pasar yang wajar. Berapa pun<br />

harga yang terjadi, transaksi akan saling ridha karena penjualpembeli<br />

sepakat bertransaksi setelah mengetahui harga pasar<br />

yang wajar.<br />

Inilah salah satu jurus syariah untuk mendapatkan<br />

hasil yang halal.<br />

Dalam kasus “tukar kurma” tersebut, Nabi Muhammad<br />

SAW sebenarnya juga mengajarkan tentang peran uang.<br />

Ketika itu, Bilal diajarkan untuk menjual kurma yang bermutu<br />

rendah ke pasar. Kemudian dengan “hasil penjualan” itu, Bilal<br />

membeli kurma yang bermutu baik. Dalam hal ini, akan timbul<br />

kebutuhan akan alat pertukaran nilai yang disebut sebagai “hasil<br />

penjualan”. Alat pertukaran nilai atau alat pembayaran tersebut<br />

kita kenal sebagai uang.<br />

91


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Bila terdapat jarak waktu antara saat Bilal menjual kurma<br />

yang bermutu rendah dan menerima uang hasil penjualan<br />

dengan saat Bilal membeli kurma bermutu baik dan membayar<br />

uang sebanyak harga pembelian, akan timbul kebutuhan untuk<br />

menjamin nilai dari uang tersebut. Itulah sebabnya Ibnu<br />

Khaldun menyatakan syarat uang adalah telah ditetapkan oleh<br />

pihak yang berwajib sebagai alat pembayaran yang sah dan<br />

terdapat jaminan yang dapat dipercaya dari nilai dari uang<br />

tersebut.<br />

Jaminan nilai uang tersebut dapat berbentuk jaminan<br />

se<strong>cara</strong> intrinsik (uang berupa koin emas atau perak), jaminan<br />

berdasarkan harta dengan nilai yang stabil (jaminan emas dan<br />

perak), atau jaminan lainnya. Karena itu, Pemerintah harus<br />

menentukan uang sebagai<br />

alat pembayaran yang sah<br />

serta harus menjamin nilai<br />

uang tersebut. Bila hal ini<br />

dipenuhi, maka uang sebagai<br />

“zat” sudah memenuhi syarat<br />

kehalalan.<br />

“Suatu ketika, salah satu<br />

dari mitra usaha tersebut<br />

ingin mengirim hadiah<br />

sebagai tanda apresiasi<br />

kepada saya. Namun,<br />

karena hal tersebut<br />

dilarang, saya minta mitra<br />

usaha tersebut mengirim<br />

hadiah dalam bentuk lain<br />

kepada badan sosial.”<br />

Bila nilai uang tidak<br />

di jamin oleh pemerintah<br />

atau tidak dapat dijaga nilainya,<br />

maka masyarakat yang<br />

menyimpan hartanya dalam<br />

bentuk simpanan uang (semisal<br />

deposito, obligasi) akan menderita kerugian. Maka, pada<br />

saat itu, “zat” uang yang bersangkutan tidak lagi memenuhi<br />

syarat kehalalan.<br />

92


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Karena uang adalah alat pembayaran yang sangat diperlukan<br />

untuk perniagaan dan mengingat hukum penawaran-permintaan<br />

(supply-demand), Pemerintah harus mengatur jumlah uang<br />

yang beredar. Tujuannya adalah untuk menjaga nilai dari uang<br />

tersebut. Karena itu, masyarakat dilarang menyimpan atau<br />

menyembunyikan uang, sebab dapat mengganggu perniagaan.<br />

Mungkin itu sebabnya dalam Kitab Suci Allah SWT juga<br />

melarang manusia untuk menyimpan emas dan perak,<br />

sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam<br />

perdagangan (QS 06:34). Karena pada masa Nabi Muhammad<br />

SAW, uang dibuat dari emas dan perak. Sehingga bila emas atau<br />

perak disimpan, maka jumlah material untuk membuat uang<br />

akan berkurang dan akan mengganggu perniagaan.<br />

Inilah pelajaran yang sangat berharga mengenai kehalalan.<br />

Walaupun se<strong>cara</strong> zat, uang rupiah telah memenuhi syarat<br />

kehalalan dan diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang halal, namun bila<br />

digunakan untuk menimbulkan kerugian bagi masyarakat, akan<br />

menjadi haram.<br />

Jurus Halal 2: Valas yang Fals<br />

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998<br />

membawa pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Ketika<br />

itu, saya sedang memimpin Danareksa Investment Management<br />

dan sedang getol-getolnya mengembangkan reksa dana. Jumlah<br />

investor maupun jumlah dana yang kami kelola berkembang<br />

pesat. Hasil investasi juga sangat menggembirakan. Tetapi,<br />

setelah “krismon” menghantam, harga saham hancur lebur,<br />

harga obligasi apalagi—turun ke tingkat yang paling tidak masuk<br />

akal. Bayangkan, ada obligasi yang baru diterbitkan kurang<br />

93


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dari 12 bulan, ternyata harganya turun sampai tinggal 10%<br />

dari nilai nominal. Jadi, bila Anda membeli obligasi tersebut<br />

senilai Rp.100 miliar, dalam waktu kurang dari 12 bulan nilai<br />

pasarnya tinggal Rp.10 miliar. Aduh biyung…<br />

Ternyata “krismon” terjadi karena banyaknya orang yang<br />

berspekulasi dengan valuta asing. Selama bertahun-tahun,<br />

Pemerintah Orde Baru “menjaga” nilai tukar (kurs) rupiah<br />

agar “stabil” sehingga praktis tidak ada risiko akibat penurunan<br />

nilai kurs. Sementara itu, suku bunga pinjaman dalam rupiah<br />

sekitar 5% di atas suku bunga pinjaman dalam US$. Bahkan,<br />

bunga pinjaman US$ masih lebih rendah dari bunga deposito<br />

rupiah. Tidak heran kalau banyak orang nekad mengambil<br />

pinjaman dalam valas untuk membiayai usaha yang memberikan<br />

pendapatan rupiah. Perbankan juga seakan-akan “tutup mata”<br />

atas praktik yang sangat berisiko ini.<br />

Setelah “krismon” berlalu, dalam berbagai kesempatan, saya<br />

sering menerima pertanyaan.<br />

“Apakah investasi dalam valas itu halal”<br />

“Apakah investasi di luar negeri—yang tentunya dalam<br />

valas—itu halal<br />

“Apakah usaha tukar uang valas itu halal”<br />

“Apakah pasar uang valas itu halal”<br />

“Apa sih yang salah dari valas itu”<br />

Wah, pertanyaan-pertanyaan di atas, sesungguhnya, bagus<br />

sekali. Akan tetapi, untuk memahami valas dengan bijak, baiklah<br />

kita kaji lebih dahulu apa itu uang.<br />

Pada zaman dulu, dulu sekali, tentu uang—apalagi uang<br />

kertas—belum dikenal. Perdagangan masih dilakukan dengan<br />

94


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

barter—padahal zaman dulu juga belum ada komputer,<br />

handphone, atau internet. Uang diciptakan manusia untuk<br />

memudahkan transaksi dengan memudahkan pembayaran.<br />

Sehingga, pada awalnya, uang adalah alat pembayaran.<br />

Kemudian dengan adanya perbedaan nilai transaksi serta<br />

nilai objek transaksi maka uang menjadi alat ukur nilai. Dan<br />

berikutnya karena terdapat jangka waktu antara penerimaan<br />

dan pemakaian uang maka uang harus disimpan dan menjadi<br />

alat simpan nilai. Tentu tidak ada yang salah dari ketiga<br />

peran uang ini.<br />

Untuk memastikan bahwa uang menjadi alat pembayaran<br />

yang sah dan memastikan nilai uang, maka uang harus<br />

diatur oleh Pemerintah. Namun, tidak berarti bahwa uang<br />

harus diterbitkan oleh Pemerintah. Buktinya, pada zaman<br />

Nabi Muhammad SAW, pemerintahan Beliau tidak pernah<br />

menerbitkan uang, tetapi menetapkan uang logam yang<br />

diterbitkan oleh pemerintahan lain sebagai alat pembayaran<br />

yang sah di daerah pemerintahan Beliau.<br />

Jadi, suatu jenis uang berlaku untuk daerah pemerintahan<br />

yang menetapkan uang tersebut sebagai alat pembayaran yang<br />

sah. Bank Indonesia atas nama Pemerintah RI menerbitkan uang<br />

rupiah dan menyatakan, “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha<br />

Esa, Bank Indonesia menerbitkan uang sebagai alat pembayaran<br />

yang sah dengan nilai ……..” Begitu pun dengan Pemerintah<br />

Amerika Serikat yang menetapkan US$ sebagai “legal tender” di<br />

daerah yang mengakui US$ sebagai alat pembayaran yang sah.<br />

Lalu, bagaimana nilai tukarnya<br />

95


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Se<strong>cara</strong> rasional, nilai tukar antara dua macam uang (valuta)<br />

akan ditentukan oleh kondisi perdagangan antarnegara yang<br />

bersangkutan. Bila ada orang Indonesia yang menjual produknya<br />

ke Amerika Serikat, mungkin akan menerima pembayaran dalam<br />

US$. Karena dia ingin memakai uangnya di Indonesia, maka<br />

seharusnya dia mencari orang di Indonesia yang ingin membeli<br />

produk dari Amerika Serikat dan membutuhkan US$ untuk<br />

membayar pembelian tersebut. Demikian seterusnya, sehingga<br />

atas penawaran-permintaan akan penukaran uang tersebut akan<br />

terbentuk “harga” kurs yang wajar. Di sini jelas bahwa usaha<br />

tukar uang valas akan banyak membantu pihak-pihak yang<br />

terkait dalam jual-beli antarnegara, sehingga usaha itu halal.<br />

Tetapi timbul godaan bila ternyata nilai tukar bisa berubah<br />

dengan tajam dalam waktu yang relatif singkat. Muncul pula<br />

godaan untuk menukar uang rupiah dengan US$, karena mengharapkan<br />

adanya penurunan nilai rupiah. Dengan demikian,<br />

ketika US$ ditukar kembali dengan rupiah akan diperoleh<br />

jumlah rupiah yang lebih besar. Makin besar selisih yang pernah<br />

terjadi, makin besar godaannya.<br />

Lantas, di mana letak kesalahannya<br />

Pertama, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Imam Ghazali<br />

maupun Ibnu Khaldun, uang diperlukan untuk alat pembayaran<br />

guna mempermudah perdagangan. Bila uang disimpan, maka<br />

jumlah uang yang tersedia untuk perdagangan jadi berkurang.<br />

Dalam firman Allah SWT (QS 06:34), hal ini dilarang—<br />

istilahnya, kanzul maal. Tindakan ini mengakibatkan jumlah<br />

US$ yang tersedia untuk membeli produk dari luar negeri yang<br />

memakai harga US$ akan berkurang. Sesuai dengan hukum<br />

96


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

penawaran-permintaan, maka nilai rupiah akan berkurang,<br />

masyarakat umum dirugikan. Maka ini akan haram.<br />

Kemudian, perubahan “harga” nilai tukar seharusnya terjadi<br />

mengikuti kondisi perdagangan (ekspor-impor). Manfaat yang<br />

dihasilkan dalam perdagangan ini akan dibagikan di antara<br />

pihak-pihak yang terkait—termasuk manfaat akibat perubahan<br />

nilai tukar yang mempunyai hubungan sebab-akibat dengan<br />

perdagangan. Bila ada orang yang menyimpan US$ padahal ia<br />

tidak terlibat dalam perdagangan antarnegara sehingga tentunya<br />

tidak berperan dalam perubahan kurs tersebut. Sehingga bila ia<br />

ingin mendapat hasil, maka ia mengambil risiko yang berlebihan.<br />

Hasil ini akan haram.<br />

Dapat disimpulkan, “investasi” dalam uang US$ atau valas<br />

lainnya adalah tidak benar dan tidak dibenarkan. Tetapi bila<br />

menempatkan uang dalam aset atau usaha di luar negeri—<br />

yang diukur dan dibukukan dalam valas—maka hal ini serupa<br />

dengan investasi di dalam negeri. Hanya kondisinya dan jenis<br />

uangnya berbeda. Jadi, selama dilakukan dengan ikatan yang<br />

benar, investasi ini akan halal.<br />

Kemudian, bagaimana kalau kita menyimpan valas untuk<br />

berjaga-jaga Jawabannya, tentu saja boleh. Tetapi, kemudian<br />

akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru.<br />

“Berjaga-jaga terhadap risiko apa”<br />

“Apakah karena mau membeli barang atau jasa dari luar<br />

negeri”<br />

“Apakah karena akan bepergian ke luar negeri”<br />

Selanjutnya, dari pertanyaan-pertanyaan di atas bermunculan<br />

pertanyaan lain.<br />

97


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Kapan valas tersebut akan diperlukan”<br />

“Apakah pada saat diperlukan valas tersebut akan sulit<br />

didapat”<br />

“Atau malah kurs akan naik”<br />

Apabila sudah jelas jumlah nilai valas yang diperlukan,<br />

sudah jelas kapan valas tersebut akan diperlukan, dan sudah<br />

jelas bahwa valas tersebut akan sulit diperoleh, maka tentu saja<br />

boleh memiliki valas sebagai simpanan.<br />

Namun, bagaimana kalau meminjam uang dalam valas<br />

untuk dipakai dalam usaha yang memberikan hasil dalam rupiah<br />

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menerima<br />

pembiayaan dalam valas, selama ikatannya benar dan<br />

perhitungan (pembukuan) juga dalam valas. Tetapi kalau<br />

pendapatan dalam rupiah dan pembukuan dalam valas, akan<br />

terdapat risiko selisih kurs. Risiko ini menjadi besar bila<br />

mayoritas pendapatan dalam rupiah. Sehingga, sebaiknya pembukuan<br />

mengikuti valuta yang digunakan dalam pendapatan.<br />

Bila tidak, akan timbul risiko yang berlebihan. Artinya, haram.<br />

Jadi, kenapa sih cari risiko yang berlebihan. Bukankah<br />

Tuhan Yang Mahakuasa telah menyatakan bahwa semua<br />

manusia akan mendapat balasan yang sempurna atas semua<br />

yang diusahakannya—tentunya usaha yang halal dan thoyib<br />

Karena itu, ikuti saja <strong>cara</strong> syariah, semua akan kaya, semua<br />

akan bahagia.<br />

Betul, kan<br />

98


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Sudah bertahun-tahun Transparency International menempat<br />

kan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia.<br />

“Prestasi” yang—sesungguhnya—tidak layak dibanggakan.<br />

Menurut hemat saya, salah satu penyebabnya adalah toleransi<br />

yang salah mengenai penyimpangan etika dalam berusaha.<br />

Salah satu di antaranya adalah mengenai hadiah atau ongkos<br />

administrasi.<br />

Saya beruntung karena memulai karier tahun 1978 di sebuah<br />

perusahaan yang sangat menjunjung tinggi etika usaha. Pada saat<br />

itu, belum banyak orang yang bi<strong>cara</strong> tentang gratifikasi, tetapi<br />

IBM dengan tegas melarang karyawannya menerima gratifikasi.<br />

Ketika bekerja untuk IBM, saya pernah bertanggung jawab atas<br />

penjualan produk IBM melalui mitra usaha yang disebut sebagai<br />

dealer, value-added remarketer, maupun system integrator. Tugas<br />

tim saya adalah membina kemampuan mitra usaha, baik dari<br />

segi teknologi, pemasaran, bahkan manajemen. Saat itu, banyak<br />

mitra usaha yang mendapat keuntungan dan merasa bahwa tim<br />

saya berperan besar dalam keberhasilan mereka.<br />

Suatu ketika, salah satu dari mitra usaha tersebut ingin<br />

me ngirim hadiah sebagai tanda apresiasi kepada saya. Namun,<br />

karena hal tersebut dilarang, saya minta mitra usaha ter sebut<br />

mengirim hadiah dalam bentuk lain kepada badan sosial.<br />

Hasilnya, mitra usaha saya gembira karena tetap bisa me nyampaikan<br />

rasa terima kasih, sekaligus beramal. Sedangkan badan<br />

sosial gembira karena mendapat bantuan. Saya juga gembira<br />

karena semua bisa diselesaikan tanpa harus melanggar peraturan<br />

perusahaan.<br />

99


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Praktik ini saya coba lanjutkan di berbagai perusahaan lain<br />

tempat saya bekerja. Salah satunya, ketika saya mengelola reksa<br />

dana syariah. Karena aktivitas transaksi efek, terkadang dana<br />

tunai dari reksa dana syariah mengendap di bank kustodian.<br />

Oleh karena saat itu tidak ada bank kustodian, kami terpaksa<br />

memakai bank umum konvensional sebagai bank kustodian.<br />

Sehingga atas pengendapan dana tunai tersebut, bank kustodian<br />

biasanya memberikan jasa giro. Jelas saja saya menghadapi<br />

dilema. Jasa giro tidak boleh dibukukan dalam reksa dana<br />

syariah, namun sayang juga bila jasa giro tersebut dikembalikan<br />

ke bank kustodian.<br />

Atas persetujuan DPS, kami membentuk dana sosial dengan<br />

nama Danareksa <strong>Syariah</strong> Peduli. Jasa giro dan hasil-hasil lain<br />

yang tidak dapat dibukukan ke dalam reksa dana syariah kami<br />

tampung dalam dana sosial tersebut. Dana tersebut kemudian<br />

kami gunakan dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, sesuai<br />

dengan arahan dari DPS, dana tersebut tidak bisa diberikan<br />

sebagai zakat maupun dalam bentuk makanan atau pakaian.<br />

Pertanyaan lain yang sering saya terima adalah mengenai<br />

uang administrasi atau pungutan tidak resmi. Misalnya,<br />

bila kita sedang mengurus surat tanpa pengenal atau surat ijin,<br />

kadangkala kita merasa mengalami kesulitan. Kemudian, dengan<br />

alasan “gaji kecil” atau “fasilitas tidak cukup” atau “anggaran<br />

terbatas”, kita diminta untuk membayar “pungutan tidak resmi”.<br />

Bagaimana seharusnya kita bersikap<br />

Guru saya mengajarkan bahwa bila Anda terpaksa membayar<br />

lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan hak Anda, maka<br />

itu bukan salah Anda. Situasinya darurat. Tetapi bila Anda<br />

100


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

membayar lebih untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak<br />

Anda, maka Anda bersalah.<br />

Mungkin ada baiknya kita mengambil pelajaran dari penga<br />

laman Arifin Panigoro. Suatu ketika, ada perusahaan asing<br />

yang mencari mitra usaha di Indonesia. Arifin mempersiapkan<br />

pro posal untuk menjadi mitra. Tanpa sepengetahuan Arifin,<br />

ternyata sudah ada kesepakatan awal antara perusahaan asing<br />

dengan perusahaan lokal. Namun karena proposal Arifin sangat<br />

menarik dan perusahaan asing itu juga sudah mengenal Arifin,<br />

maka perusahaan asing tersebut membatalkan kesepakatan awal<br />

dan menunjuk perusahaan Arifin sebagai mitra.<br />

Apa yang Arifin lakukan<br />

Ternyata nurani Arifin terusik. Hanya saja, tidak mungkin<br />

untuk membatalkan perjanjian dengan perusahaan asing tersebut.<br />

Karena itu, tanpa sepengetahuan perusahaan asing<br />

tersebut, Arifin mengikutsertakan perusahaan lokal tadi sebagai<br />

bagian dari perusahaan Arifin. Dan yang mengejutkan, setelah<br />

pekerjaan kemitraan tersebut selesai, Arifin memutuskan untuk<br />

memberikan bagian keuntungannya kepada perusahaan lokal<br />

yang menjadi mitranya.<br />

Apakah Arifin rugi<br />

Tidak. Selain perusahaan lokal tadi sangat berterima kasih<br />

dan menyebarluaskan etika dan kebaikan Arifin, jangan lupa<br />

bahwa Allah SWT menjanjikan balasan yang sempurna atas<br />

semua tindakan Arifin.<br />

Pertanyaan lain yang sering saya terima terkait dengan<br />

nasabah yang mengalami kesulitan dalam mengembalikan<br />

pinjaman. Dalam Kitab Suci (QS 02:282), Allah SWT telah<br />

101


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

memberikan panduan mengenai penanganan masalah dalam<br />

pengembalian pinjaman—yang sekarang dikenal sebagai debt<br />

rescheduling, debt restructuring, debt hair-cut, dan debt write-off.<br />

Jadi, apabila Anda menjadi nasabah debitur dan mengalami<br />

kesulitan dalam mengembalikan pinjaman, Anda berhak<br />

mendapat kelonggaran. Tetapi pertanyaannya, apakah Anda<br />

sudah bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban Anda<br />

Apakah Anda melakukan perencanaan dengan baik dan tidak<br />

mengambil risiko yang berlebihan Apakah Anda menjalankan<br />

kegiatan usaha dengan cermat dan kreatif Dan apakah Anda<br />

sudah teliti dan hemat dalam mengelola keuangan kegiatan<br />

usaha tersebut Apakah Anda memakai uang sesuai dengan<br />

ketentuan dan kesepakatan<br />

Jika salah satu jawabannya adalah tidak, mungkin Anda<br />

tidak berhak mendapat kelonggaran.<br />

Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan tentang<br />

berniaga dengan thoyib. Nabi Muhammad SAW telah<br />

ber kata bahwa Beliau mendoakan agar Allah SWT<br />

mem berikan ampunan dan rahmat-Nya kepada orangorang<br />

yang lembut dan murah hati dalam niaganya<br />

dan bersikap ramah dalam menagih kewajiban orang<br />

ke padanya.<br />

Ada dua pelajaran berharga yang dapat ditarik dari ajaran<br />

Rasulullah ini. Pertama, harus lembut dan murah hati dalam<br />

berniaga. Artinya hal-hal yang halal dan thoyib akan diperoleh<br />

melalui kelembutan dan kemurahan hati, bukan dengan <strong>cara</strong><br />

niaga yang keras dan kejam.<br />

102


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Kedua, walaupun kewajiban orang kepada kita adalah hak<br />

kita, tetapi Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar tetap<br />

bersikap ramah dalam menagih hak tersebut kepada mitra usaha<br />

kita. Keramahan tersebut akan menyentuh hati mitra usaha,<br />

sehingga mereka akan bersungguh-sungguh dalam memenuhi<br />

kewajibannya. Tentunya, harus bersikap tegas bila mitra usaha<br />

tersebut kurang baik. Dan, bahkan, bila mitra usaha terbukti<br />

tidak baik, maka harus ditinggalkan.<br />

Jurus Thoyib 2: Mekanisme Pasar yang Wajar<br />

Hakikat dari firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS<br />

04:29) agar manusia jangan saling mengambil harta sesamanya<br />

dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />

se<strong>cara</strong> saling ridha. Dan hakikat dari hadis tentang menukar<br />

kurma adalah bahwa kehalalan juga ditentukan oleh ke-thoyib-an<br />

dari transaksi. Dan untuk kegiatan perniagaan haruslah melalui<br />

mekanisme pasar yang wajar.<br />

Namun, bagaimana <strong>cara</strong> penerapannya<br />

Saya sering menerima pertanyaan dan pernyataan bahwa<br />

investasi di bursa efek itu sama halnya dengan judi.<br />

Per tanyaan dan pernyataan tersebut muncul karena adanya<br />

tindakan spekulasi di bursa efek. Tetapi, perlu disadari bahwa<br />

tindakan spekulasi juga terjadi di mana-mana. Bahkan, di jalan<br />

raya banyak pengemudi yang berspekulasi dalam mengemudikan<br />

sepeda motor, mobil, bus, atau truknya dengan risiko kehilangan<br />

nyawa—bukan hanya nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa orang<br />

lain yang tidak bersalah.<br />

103


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Akan tetapi, apakah berarti berada di jalan raya sama dengan<br />

berjudi dengan maut Tentu saja tidak.<br />

Salah satu pilar dari bentuk pasar modal ideal adalah adanya<br />

infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat waktu<br />

dan merata di publik, ditunjang oleh mekanisme pasar yang<br />

wajar. Mekanisme Bursa Efek yang wajar juga menyangkut<br />

kewajaran permintaan dan penawaran serta menyangkut niat<br />

investor dalam melakukan transaksi.<br />

Nabi Muhammad SAW melarang suatu pihak untuk<br />

menjual barang yang belum dimiliki. Akibatnya praktik<br />

short-selling dengan menjual efek yang belum dimiliki, untuk<br />

kemudian (berusaha) membeli efek yang sama pada hari yang<br />

sama untuk memenuhi kewajiban yang terbentuk pada saat<br />

menjual efek, menjadi dilarang. Demikian juga short-selling<br />

dengan meminjam efek dari pihak lain (share lending). Hal<br />

ini dilarang karena efek yang menjadi objek penjualan tidak<br />

benar-benar dimiliki atau dikuasai oleh pihak penjual. Yang ada<br />

hanyalah jaminan dari pihak lain untuk meminjamkan efek yang<br />

sama bila penjual tersebut tidak bisa mendapatkannya di pasar.<br />

Namun, hal ini dibolehkan bila pihak yang akan menjual<br />

membeli dahulu efek yang dimaksud dari pihak ketiga tersebut<br />

sebelum menjualnya kembali, dan pihak ketiga tersebut berjanji<br />

akan membelinya kembali efek tersebut pada harga tertentu dan<br />

hari yang sama bila pihak penjual tersebut dapat membeli efek<br />

yang dimaksud melalui mekanisme pasar.<br />

Nabi Muhammad SAW juga melarang gangguan pada<br />

penawaran yang dicontohkan dengan praktik menimbun<br />

barang dan praktik membeli hasil pertanian dari petani sebelum<br />

104


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

petani tersebut sampai di pasar. Dalam hal mekanisme bursa<br />

efek, kondisi penawaran dalam pasar adalah fungsi dari jumlah<br />

efek yang beredar (free float), distribusi kepemilikan, jumlah<br />

investor dan likuiditas perdagangan. Oleh karena itu, praktik<br />

yang mengganggu penawaran, misalnya kepemilikan oleh pihak<br />

terafiliasi yang terselubung dan praktik cornering, tentunya<br />

dilarang.<br />

Selain itu, Rasulullah SAW juga melarang suatu pihak<br />

membeli atau mengajukan permintaan untuk membeli tanpa<br />

memiliki kebutuhan dan daya beli. Karena itu, transaksi marjin<br />

dilarang karena pihak pembeli sebenarnya tidak memiliki uang<br />

yang cukup untuk membeli efek tersebut. Memang ada pihak<br />

ketiga yang berjanji memberikan pembiayaan untuk melunasi<br />

kewajiban (dengan menimbulkan kewajiban baru), sehingga<br />

berarti pembeli tersebut mengambil risiko yang berlebihan.<br />

Karena takdir yang terjadi atas harga efek berada di tangan<br />

Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kalau atas pinjaman tersebut<br />

dikenakan beban yang tidak sesuai dengan manfaat yang timbul,<br />

misalnya dikenakan bunga.<br />

Demikian juga halnya dengan praktik short-buying, karena<br />

pada saat membeli kemungkinan besar pihak pembeli tidak<br />

memiliki dana yang cukup untuk melakukan pembelian.<br />

Atau karena tujuan (niat) melakukan pembelian adalah bukan<br />

untuk melakukan investasi yang wajar dan berhati-hati. Praktik<br />

gangguan pada permintaan juga dilarang, misalnya dengan<br />

menempatkan permintaan beli pada suatu harga tertentu, namun<br />

kemudian segera menarik kembali permintaan beli tersebut<br />

ketika harga sudah mendekati harga yang diajukan.<br />

105


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Pasar yang wajar akan menghasilkan harga transaksi yang<br />

wajar sehingga disebut sebagai harga pasar wajar. Oleh karena itu,<br />

prinsip syariah menginginkan adanya kegiatan pasar yang wajar,<br />

termasuk dalam hal likuiditas perdagangan. Sehingga harga yang<br />

terbentuk dalam transaksi di Bursa Efek merefleksikan kekuatan<br />

tawar menawar pasar yang sebenarnya. Karena itu, harga pasar<br />

yang diakui sebagai acuan harus memenuhi persyaratan likuditas<br />

tertentu.<br />

Melakukan investasi dengan tujuan untuk memperoleh<br />

capital gain tidaklah dilarang. Karena hal itu adalah konsekuensi<br />

yang wajar atas suatu investasi. Namun, bagaimana kalau kita<br />

membeli saham dan kemudian kita jual lagi pada hari yang<br />

sama dengan memperoleh keuntungan (capital gain) Bolehkah<br />

Itu semua tergantung pada niatnya. Sebelum melakukan<br />

investasi, investor tentu sebaiknya melakukan analisa dan<br />

menentukan batas harga jual dan batas harga beli atas efek<br />

yang menjadi objek investasi. Katakanlah, Anda membeli<br />

saham perusahaan X pada harga Rp.1.000 per saham dan<br />

berpendapat bahwa harga tertinggi yang wajar adalah Rp.1.200<br />

per saham. Tiba-tiba pada hari yang sama, harga saham X naik<br />

pesat sehingga telah melampaui batas harga jual (Rp.1.200 per<br />

saham). Maka, Anda dapat saja menjual saham X yang telah<br />

Anda miliki itu sehingga memperoleh keuntungan (capital<br />

gain). Bila pada keesokan harinya, harga saham X ternyata jatuh<br />

sehingga berada di bawah batas harga beli (Rp.1.000 per saham),<br />

sementara Anda tidak merasa adanya perubahan fundamental<br />

dari sisi perusahaan X, maka Anda dapat saja membeli kembali<br />

saham X tersebut.<br />

106


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

Infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat<br />

waktu dan merata di publik harus juga mencakup kewajaran<br />

dari informasi. Kewajaran informasi ini akan ikut menentukan<br />

proses pembentukan harga dan pada akhirnya akan menentukan<br />

kewajaran dari harga yang terjadi.<br />

Pasar yang wajar harus didukung oleh informasi<br />

yang wajar. Investor harus mempunyai kemampuan<br />

untuk memahami peluang hasil dan kemungkinan<br />

risiko, sehingga tidak mengambil risiko yang berlebihan.<br />

Untuk itu, Bursa Efek harus memastikan agar investor dapat<br />

memperoleh informasi yang diperlukan se<strong>cara</strong> wajar. Sedangkan<br />

perusahaan yang menerbitkan efek (dalam istilah pasar modal<br />

disebut emiten) bertanggung jawab sepenuhnya atas informasi<br />

yang dipublikasikan.<br />

Dalam kelaziman prinsip syariah, suatu pihak dapat<br />

membatalkan transaksi dalam waktu tiga hari. Dengan<br />

mengambil analogi ini, bila emiten mengetahui adanya<br />

atau menerbitkan informasi yang salah atau menyesatkan,<br />

maka emiten hanya mempunyai waktu tiga hari untuk<br />

memperbaikinya. Bila dalam waktu tiga hari tidak ada koreksi,<br />

maka informasi tersebut dianggap valid dan emiten sepenuhnya<br />

bertanggung jawab dan tidak bisa menyatakan kesalahan sebagai<br />

keteledoran. Di lain pihak, apabila setelah menerbitkan suatu<br />

informasi yang benar ternyata telah terjadi kejadian berikutnya<br />

yang berakibat besar, maka emiten wajib menerbitkan laporan<br />

keuangan baru dengan segera dan menyatakan dengan spesifik<br />

kejadian tersebut, serta dampaknya pada laporan keuangan.<br />

Se<strong>cara</strong> umum, investor akan memakai informasi harga<br />

harian untuk mengetahui kondisi efek yang menjadi sasaran<br />

107


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

investasinya. Prinsip syariah menginginkan agar harga tersebut<br />

menunjukkan kekuatan pasar yang sebenarnya. Di sini terdapat<br />

perbedaan yang cukup mendasar. Dalam penerapan prinsip<br />

<strong>Syariah</strong>, harga yang dicatatkan sebagai indikasi harga pada suatu<br />

hari perdagangan adalah bukan harga penutupan, melainkan<br />

harga rata-rata tertimbang. Sehingga transaksi dalam nilai yang<br />

relatif kecil pada detik-detik terakhir dari hari perdagangan tidak<br />

akan dapat memengaruhi nilai rata-rata tertimbang. Pasar hanya<br />

akan mendapat informasi mengenai kekuatan tawar-menawar<br />

pasar yang sesungguhnya.<br />

“Hakikat dari hadis<br />

tentang menukar kurma<br />

adalah bahwa kehalalan<br />

juga ditentukan oleh kethoyib-an<br />

dari transaksi.<br />

Dan untuk kegiatan<br />

perniagaan haruslah<br />

melalui mekanisme pasar<br />

yang wajar.”<br />

Prinsip syariah menginginkan<br />

agar terdapat harga<br />

pasar yang wajar. Oleh sebab<br />

itu, sebaiknya investor memiliki<br />

analisa valuasi harga<br />

efek sehingga dapat menetapkan<br />

batas harga beli dan<br />

jual yang wajar. Maka, sebagai<br />

pihak yang memfasilitasi perdagangan<br />

sebaiknya Bursa<br />

Efek juga harus memberi<br />

in formasi mengenai valuasi atas suatu efek sehingga investor<br />

dapat memperoleh pandangan yang fair.<br />

Bursa Efek dapat menentukan beberapa analis untuk setiap<br />

efek yang dicatatkan sebagai Efek <strong>Syariah</strong>. Konsensus dari para<br />

analis tersebut dapat dipublikasikan. Kemudian, bila terjadi<br />

transaksi pada harga di luar konsensus tersebut, Bursa Efek<br />

dapat meminta analis untuk melihat apakah ada informasi<br />

yang mendukung justifikasi harga yang terbentuk. Sebagai<br />

108


KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />

konsekuensinya, maka dalam Bursa yang memperdagangkan<br />

Efek <strong>Syariah</strong>, batas kisaran harga yang diperbolehkan untuk<br />

Efek <strong>Syariah</strong> bisa berbeda-beda, sehingga batas suspensi untuk<br />

Efek <strong>Syariah</strong> tersebut bisa berbeda dengan batas suspensi untuk<br />

efek lainnya.<br />

Bila kebersamaan antara investor, analis, emiten, dan bursa<br />

efek dapat dibina dengan baik, maka investor akan menerima<br />

dengan baik apa pun hasil investasi yang diperolehnya. Tercipta<br />

kondisi saling ridha, sehingga keuntungan yang diperoleh—baik<br />

oleh emiten, investor, bursa efek, dan analis—akan menjadi<br />

hasil yang halal lagi thoyib.<br />

Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />

syariah.<br />

109


Hindari Riba<br />

1992. Itulah tahun untuk pertama kalinya saya mengenal sistem<br />

keuangan syariah. Waktu itu, saya masih bekerja di Lippo<br />

Bank dan mendapat tugas untuk mengelola kerja sama antara<br />

Lippo dengan <strong>PP</strong> Muhammadiyah dalam agribisnis. Ketika itu,<br />

Bank Muamalat baru berdiri dan di mana-mana orang sibuk<br />

membi<strong>cara</strong>kan bank syariah. Karena kegiatan yang saya kelola<br />

adalah kerja sama antara bank umum konvensional dengan<br />

ormas Islam, tentu saja banyak pertanyaan mengenai penerapan<br />

prinsip syariah dalam kerja sama tersebut. Saat itu, semua<br />

orang berbi<strong>cara</strong> tentang bank syariah sebagai bank yang tidak<br />

menerima ataupun memberikan bunga, melainkan bagi hasil.<br />

Se<strong>cara</strong> sederhana, aksioma yang dipakai saat itu bank<br />

syariah adalah bank tanpa bunga, karena bunga bank<br />

adalah riba. Apakah aksioma ini benar<br />

Pada masa itu, saya bertemu dengan banyak tokoh Islam<br />

dan praktisi perbankan. Ada yang menyatakan, menerima bunga<br />

bank bagi nasabah tabungan dan deposito bukanlah riba karena<br />

111


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dibayarkan bukan atas permintaan nasabah. Jadi, dianggap<br />

sebagai hadiah. Ada juga yang menyatakan, kalau nilainya masih<br />

di bawah nilai inflasi, maka itu bukan riba melainkan ganti rugi<br />

terhadap inflasi. Ada juga yang menyatakan bahwa bank umum<br />

konvensional itu membawa manfaat bagi umat, maka bunga<br />

bank yang dibayarkan menjadi halal. Tetapi apakah benar begitu<br />

Ada suatu kejadian yang sangat menarik.<br />

Ada kenalan saya yang ingin membeli mobil dengan<br />

kredit. Ia mencari informasi ke bank umum konvensional dan<br />

bank syariah. Tak lama berselang, ia mengatakan kepada saya<br />

bahwa—ternyata—<strong>cara</strong> perhitungan keduanya sama. Bedanya,<br />

yang syariah pakai istilah marjin, sedangkan yang konvensional<br />

menggunakan istilah bunga. Tetapi nilai marjin yang syariah<br />

sama dengan nilai bunga yang konvesional. Persyaratan lainnya<br />

juga mirip sekali.<br />

”Kalau begitu, apa bedanya”<br />

”Mengapa yang satu halal dan yang lain haram”<br />

Konsep Riba<br />

Memang sering terjadi kesalahpahaman tentang konsep riba.<br />

Se lain disebabkan penjelasannya yang tidak terlalu mudah—<br />

karena “bunga” sudah sedemikian memasyarakat, juga harus<br />

di akui bahwa banyak petugas di lembaga keuangan syariah<br />

yang tidak menjelaskan konsep marjin dalam pembiayaan<br />

sya riah se<strong>cara</strong> terstruktur. Memang lebih cepat dan mudah<br />

mem bandingkan marjin dengan bunga, dan kalau nasabah<br />

yang meminta pembiayaan sudah setuju, toh akadnya akan<br />

112


HINDARI RIBA<br />

dijalankan. Mungkin mereka berpendapat bahwa salah paham<br />

sedikit, “biarlah”.<br />

Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 04:29)<br />

agar semua orang yang beriman tidak mengambil keuntungan<br />

dari sesama manusia dengan jalan yang batil, tetapi harus<br />

dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridha. Dan Allah<br />

SWT telah memperingatkan manusia untuk tidak melanggar<br />

aturan itu, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang.<br />

Salah satu <strong>cara</strong> terbaik untuk mencapai saling ridha<br />

adalah dengan tidak berlaku zhalim, maupun tidak mau<br />

diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Dan, ternyata, salah satu bentuk<br />

kezhaliman yang terbesar adalah riba.<br />

Firman Allah SWT yang pertama tentang riba, sebagaimana<br />

termaktub dalam Kitab Suci (QS 02:275), menyatakan bahwa<br />

orang-orang yang bertransaksi dengan riba, tidak dapat berdiri<br />

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena<br />

sentuhan atau menyentuh setan. Keadaan yang demikian itu<br />

terjadi disebabkan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya<br />

jual beli itu hanyalah sama seperti riba. Padahal, Allah SWT<br />

telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.<br />

Nabi Muhammad SAW pun telah memberi pelajaran<br />

mengenai hal ini. Suatu ketika, seorang sahabat menyatakan<br />

bahwa temannya pernah menjual perak dengan pembayaran<br />

yang ditangguhkan sampai musim haji. Nabi Muhammad<br />

SAW menyatakan bahwa untuk jual beli perak, selama langsung<br />

diserahterimakan, tidak apa-apa. Namun bila ditangguhkan<br />

penyelesaian kewajibannya, maka menjadi riba.<br />

Memang contoh tersebut terjadi pada masa lalu.<br />

113


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Lantas, bagaimana penerapannya pada era globalisasi seperti<br />

masa kini<br />

Kalau kita perlu suatu barang modal—misalnya mobil--dan<br />

ada penjual yang mau menjual mobil yang kita perlukan dengan<br />

harga yang pantas, tetapi dana kita tidak cukup se<strong>cara</strong> tunai,<br />

apakah kita tidak boleh membeli mobil dengan <strong>cara</strong> mencicil<br />

Padahal, dengan memiliki mobil tersebut dapat berusaha lebih<br />

baik dan lebih hemat. Hasilnya akan memberi kita tambahan<br />

penghasilan yang dapat membayar kembali harga mobil<br />

ditambah dengan keuntungan. Dan bila penjual tidak punya<br />

cukup dana untuk menjual dengan <strong>cara</strong> mencicil, sementara ada<br />

lembaga keuangan yang mau meminjamkan uangnya, apakah<br />

kita tidak boleh mengadakan kerja sama tiga pihak.<br />

“Di mana salahnya”<br />

“Di mana haramnya”<br />

Jual-Beli versus Riba<br />

Tambahan yang diperoleh sebagai keuntungan dari transaksi<br />

jual beli suatu objek adalah halal karena terdapat kejelasan objek<br />

maupun manfaat, sedangkan tambahan yang diperoleh dari riba<br />

adalah haram.<br />

Tambahan karena Penangguhan<br />

Melalui firman-Nya, Allah SWT dengan tegas menyatakan<br />

bahwa jual-beli berbeda dengan riba. Dalam bahasa Arab, riba<br />

mempunyai arti tambahan. Dengan demikian, dapat ditafsirkan<br />

114


HINDARI RIBA<br />

bahwa tambahan yang diperoleh dari jual-beli bukanlah riba.<br />

Atau dengan kata lain, tambahan yang berupa riba berbeda<br />

dengan tambahan yang diterima dari transaksi jual beli.<br />

Bagaimana penjelasannya<br />

Ternyata ada perbedaan yang besar antara jual beli dengan<br />

riba. Pada jual beli, penjual tidak akan mau menjual sesuatu<br />

apabila ia tidak merasa akan mendapatkan keuntungan kalau<br />

menjual objek jual beli tersebut. Di lain pihak, pembeli juga<br />

tidak akan membeli bila ia tidak merasa ada untungnya membeli<br />

objek jual beli tersebut. Apa pun bentuk keuntungan, bagi<br />

penjual maupun pembeli, adalah hak penjual ataupun pembeli<br />

untuk menentukannya.<br />

Pada jual beli se<strong>cara</strong><br />

tunai, objek jual beli dan<br />

pem bayaran langsung di serahte<br />

rima kan se<strong>cara</strong> seketika.<br />

Pen jual langsung menerima<br />

pem bayaran harga barang<br />

atau jasa yang diberikan<br />

(di jual). Pembeli langsung<br />

me nerima barang atau jasa<br />

yang dibeli. Dalam keadaan<br />

normal, penjual memperoleh<br />

“Transaksi se<strong>cara</strong> riba<br />

ternyata membuat<br />

orang tidak bisa berpikir<br />

dengan jernih atau<br />

waras, sehingga seakanakan<br />

“kesetanan”<br />

dan cenderung akan<br />

mengambil risiko yang<br />

berlebihan.”<br />

tam bahan berupa selisih antara biaya perolehan dengan harga<br />

transaksi—yang lazim disebut marjin penjualan. Sedangkan<br />

pembeli memperoleh tambahan berupa perubahan nilai dari<br />

uang menjadi barang atau jasa.<br />

Namun, jual beli juga dapat dilaksanakan tidak se<strong>cara</strong> tunai.<br />

Mungkin karena objek jual beli tidak langsung diserahkan,<br />

115


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

ataupun karena pembayaran tidak langsung ditunaikan. Dalam<br />

hal ini, ada salah satu pihak yang menerima manfaat walaupun<br />

belum menunaikan seluruh kewajibannya. Misalnya, pembeli<br />

menerima barang atau jasa yang merupakan objek transaksi<br />

walaupun belum melunasi pembayarannya. Atau penjual<br />

menerima pembayaran, walaupun belum menyerahkan barang<br />

atau jasa yang menjadi objek transaksi.<br />

Akibatnya, manfaat yang diterima oleh pihak lain akan<br />

berkurang. Oleh karena itu, harus ada kompensasi atau<br />

tambahan yang diberikan kepadanya oleh pihak yang menerima<br />

objek jual beli atau pembayaran sebelum menunaikan seluruh<br />

kewajibannya. Kompensasi atau tambahan tersebut harus<br />

dinyatakan dengan jelas pada saat transaksi. Masalah akan<br />

timbul bila kompensasi atau tambahan tersebut tidak dinyatakan<br />

se<strong>cara</strong> jelas. Hal ini dapat memicu terjadinya kesalahpahaman,<br />

khususnya dari pihak yang harus memberi kompensasi atau<br />

tambahan. Kesalahpahaman akan berakibat negatif bila pihak<br />

yang memberi tambahan merasa bahwa tambahan yang harus<br />

diberikan ternyata lebih besar dari manfaat yang diterima.<br />

Sehingga pihak yang memberi tambahan merasa dipaksa, dan<br />

dia telah diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim.<br />

Tambahan karena Penangguhan versus Riba<br />

Penangguhan pembayaran maupun penyerahan objek dalam<br />

transaksi jual-beli adalah fasilitas pinjaman, karena itu tambahan<br />

karena penangguhan ini adalah riba kecuali: (1) terdapat kejelasan<br />

manfaat bagi pihak yang menerima penangguhan; (2) tambahan<br />

lebih kecil dari manfaat tersebut; dan (3) jumlah tambahan<br />

disepakati di muka dan bersifat tetap.<br />

116


Bahaya Riba<br />

HINDARI RIBA<br />

“Bila sebenarnya tambahan karena penangguhan pembayaran<br />

adalah halal dan mudah dilakukan, mengapa masih ada orang<br />

yang mau bertransaksi dengan riba”<br />

“Mengapa tambahan berasas manfaat berbeda dengan riba”<br />

“Apabila fasilitas atau kemudahan tersebut bukan diberikan<br />

oleh penjual, melainkan oleh pihak ketiga (misalnya bank), apakah<br />

prinsip tambahan ini masih berlaku”<br />

“Bagaimana jika ternyata manfaat yang terjadi berbeda dengan<br />

manfaat yang diperkirakan”<br />

Ternyata, kemudahan yang diberikan dengan memberi<br />

penangguhan pembayaran bisa membuat pihak yang mendapat<br />

kemudahan merasa mendapatkan keuntungan hingga<br />

membuatnya lupa akan kewajiban yang menjadi konsekuensi<br />

dari penerimaan penangguhan tersebut. Demikian juga<br />

dengan pihak yang menerima tambahan dengan memberikan<br />

kemudahan (pinjaman) merasa beruntung mendapat tambahan<br />

yang besar, sehingga lupa bahwa pinjaman yang diberikan<br />

mungkin tidak terbayar kembali.<br />

Transaksi se<strong>cara</strong> riba ternyata membuat orang tidak bisa<br />

berpikir dengan jernih atau waras, sehingga seakan-akan “kesetanan”<br />

dan cenderung akan mengambil risiko yang berlebihan.<br />

Persis seperti ungkapan dalam firman Allah SWT, (QS 02:275),<br />

yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan<br />

riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang<br />

kemasukan setan, karena “sentuhan” atau “menyentuh” setan.<br />

Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berpikir dengan waras.<br />

117


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Dengan demikian, jelas bahwa tambahan yang diberikan<br />

harus didasarkan pada manfaat yang diterima oleh pihak yang<br />

mendapat keuntungan (manfaat) dari penundaan pembayaran<br />

atau penyerahan tersebut.<br />

Ada kemungkinan bahwa penjual tidak mempunyai kemampuan<br />

keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan<br />

pembayaran. Dan pembeli tidak mempunyai cukup dana untuk<br />

membeli se<strong>cara</strong> tunai. Tetapi baik pembeli maupun penjual<br />

sangat ingin melaksanakan transaksi ini karena melihat adanya<br />

peluang keuntungan yang rasional—bukan berspekulasi atau<br />

membawa risiko yang tinggi.<br />

Dalam hal ini, bisa saja ada pihak ketiga yang mempunyai<br />

kemampuan keuangan—misalnya bank—untuk ikut berperan<br />

serta membantu penjual-pembeli dengan memberikan fasilitas<br />

pinjaman. Pihak ketiga tersebut membantu pihak penjual untuk<br />

memberikan fasilitas penangguhan pembayaran, dengan <strong>cara</strong><br />

pihak ketiga membayar pelunasan harga barang atau jasa yang<br />

menjadi objek transaksi kepada penjual. Kemudian, pihak ketiga<br />

tersebut menerima pengalihan hak tagih dari pihak penjual<br />

untuk menagih cicilan atau angsuran pembayaran dari pihak<br />

pembeli.<br />

Dalam sistem keuangan syariah, ikatan jual-beli dengan<br />

fasilitas penangguhan pembayaran disebut sebagai Akad<br />

Murabaha. Adapun ikatan jual-beli dengan fasilitas pe nangguhan<br />

penyerahan objek jual-beli disebut sebagai Akad Salam.<br />

Bila di kemudian hari, manfaat yang diterima oleh pihak<br />

yang mendapat fasilitas atau kemudahan tersebut ternyata lebih<br />

kecil daripada yang diperkirakan, maka pihak tersebut dapat<br />

118


HINDARI RIBA<br />

mengajukan permohonan keringanan. Namun, hak untuk<br />

memberikan keringanan tetap ada pada pihak yang memberikan<br />

fasilitas, bukan pada pihak yang menerima fasilitas.<br />

Bahaya Riba<br />

Pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan menerima<br />

hasil yang umumnya lebih besar dari hasil yang biasa diperolehnya<br />

sehingga “kesetanan” lupa akan risiko. Pihak yang menerima<br />

pinjaman atau penangguhan “kesetanan” karena dapat memiliki<br />

objek sebelum mempunyai cukup uang untuk melunasi, sehingga<br />

lupa akan risiko bila ternyata tidak sanggup melunasi kewajibannya.<br />

Beda Riba dengan Hadiah atau Sedekah<br />

Riba yang paling berbahaya adalah riba (tambahan) yang<br />

berkaitan dengan peminjaman uang. Khususnya peminjaman<br />

uang tanpa ada kejelasan penggunaan uang pinjaman tersebut,<br />

sehingga manfaat yang diterima oleh pihak yang meminjam<br />

juga tidak jelas. Dengan demikian, sulit menentukan jumlah<br />

tambahan yang wajar dan adil berdasarkan manfaat yang<br />

ada. Karena itu, akan terjadi kondisi zhalim dari pihak yang<br />

memberikan pinjaman kepada pihak yang menerima pinjaman.<br />

Apalagi bila pihak yang meminjam berada dalam kesulitan atau<br />

sedang terkena “sentuhan” atau godaan setan.<br />

“Sentuhan” atau godaan setan juga bisa terjadi pada pihak<br />

yang memiliki uang. Godaan lain adalah pendapat bahwa<br />

tambahan tersebut bukan karena terpaksa, melainkan adalah<br />

hadiah atau sedekah sebagai tanda terima kasih atas bantuan<br />

119


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

(pinjaman) yang diberikan. Namun, godaan ini mudah<br />

dipatahkan. Jika memang tambahan itu adalah hadiah atau<br />

sedekah, seharusnya pihak yang memiliki uang harus rela bisa<br />

pihak yang meminjam uang ternyata tidak memberikan hadiah<br />

atau sedekah. Namanya hadiah atau sedekah tidak boleh dipaksa<br />

atau terpaksa. Harus sesuai kerelaan yang memberi hadiah atau<br />

sedekah itu.<br />

“bahwa akan sia-sia<br />

mencoba “menipu” Allah<br />

SWT. dengan menyatakan<br />

bahwa riba tersebut<br />

adalah sedekah, karena<br />

sesungguhnya Allah Maha<br />

Mengetahui apa saja yang<br />

manusia kerjakan.”<br />

Allah SWT telah berfirman<br />

dalam Kitab Suci<br />

(QS 02:276), bahwa Allah<br />

SWT menghapuskan riba<br />

sedikit demi sedikit dan<br />

menyuburkan sedekah. Dan,<br />

Allah SWT menegaskan<br />

bahwa Dia tidak menyukai<br />

setiap orang yang berulangulang<br />

melakukan kekufuran<br />

dan banyak berbuat dosa.<br />

Firman ini menganjurkan bahwa tambahan yang diberikan<br />

atau diterima akibat pinjaman, yang merupakan riba, akan<br />

dihapuskan. Tambahan itu tidak akan bermanfaat bagi semua<br />

pihak. Sedangkan tambahan yang diberikan benar-benar se<strong>cara</strong><br />

ikhlas tanpa ikatan apa pun—dalam bentuk sedekah—akan<br />

berkembang dengan subur. Tambahan itu akan memberi manfaat<br />

berkelanjutan bagi semua pihak.<br />

Jadi, jelas bahwa akan sia-sia mencoba “menipu” Allah SWT<br />

dengan menyatakan bahwa riba tersebut adalah sedekah, karena<br />

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang manusia<br />

kerjakan. Di samping itu, perlu diingat bahwa Allah SWT juga<br />

120


HINDARI RIBA<br />

memberikan kebijaksanaan dalam meninggalkan riba, yaitu bisa<br />

dilakukan se<strong>cara</strong> bertahap atau sedikit demi sedikit.<br />

Riba Versus Sedekah<br />

Riba dibayar oleh pihak yang menerima pinjaman atau<br />

penangguhan karena terpaksa atau terperdaya. Riba diterima<br />

oleh pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan karena<br />

keserakahan. Yang terjadi adalah kezhaliman, bukan keridhaan.<br />

Sedekah atau hadiah diberikan dengan ikhlas tanpa paksaan,<br />

karena mengharapkan ridha Allah SWT Hasilnya, akan tumbuh<br />

saling tolong-menolong, saling mengasihi, dan Tuhan adalah Maha<br />

Pengasih lagi Maha Penyayang.<br />

<br />

Godaan lain dapat timbul melalui pendapat yang terkait<br />

dengan nilai atau daya beli dari uang adalah inflasi. Karena bila<br />

terjadi inflasi, maka nilai atau daya beli uang akan menurun.<br />

Sementara sebagian besar manusia yang mencari nafkah dengan<br />

bekerja pada Pemerintah, organisasi, perusahaan, atau orang lain,<br />

umumnya tidak memiliki kemampuan untuk ‘memutarkan’<br />

uangnya pada kegiatan usaha. Akibatnya, mereka menyimpan<br />

kelebihan harta dalam bentuk uang. Dan inflasi menurunkan<br />

nilai dari uang simpanan mereka. Karena itu timbul pendapat,<br />

apabila tambahan yang diterima lebih kecil atau sama dengan<br />

inflasi, maka tambahan tersebut bukan riba. Walaupun tambahan<br />

tersebut diterima tanpa kejelasan manfaat. Lebih lanjut, mereka<br />

berpendapat bahwa tambahan akan menjadi riba hanya bila<br />

121


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tambahan itu berlipat ganda. Selama masih sedikit, tambahan<br />

itu bukan riba.<br />

Pendapat tersebut mungkin kesalahpahaman atas firman<br />

Allah SWT (QS 03:130) yang memerintahkan kepada orangorang<br />

yang beriman agar jangan mengambil untung dengan<br />

riba yang lipat ganda yang berlipat ganda dan mereka dipe<br />

rintahkan untuk bertakwa kepada Allah supaya beruntung.<br />

Istilah yang dipakai untuk pengertian lipat ganda yang berlipat<br />

ganda adalah adh’afan mudhaa’afatan.<br />

Untuk lebih jelasnya, baiklah kita simak firman Allah SWT<br />

lainnya yang berkaitan dengan riba dan berlipat ganda. Allah<br />

SWT telah berfirman (QS 30:39) bahwa riba yang manusia<br />

peroleh dengan maksud untuk menambah pada harta manusia,<br />

tidak menambah pada sisi Allah. Tetapi, segala yang manusia<br />

berikan dari zakat dengan maksud untuk memperoleh ridha<br />

Allah SWT, maka mereka yang berbuat demikian itu akan<br />

menjadi orang-orang yang memperoleh hasil se<strong>cara</strong> berlipat<br />

ganda. Istilahnya adalah mudh’ifuuna, artinya orang-orang yang<br />

mudhaa’afatan.<br />

Jadi, jelas bahwa riba yang besar maupun yang kecil, tetap<br />

saja riba. Dan, tentu saja, tetap haram.<br />

Riba bersifat “memabukkan”. Orang yang mengambil<br />

riba akan “kesetanan” dan berusaha me lipat gandakan<br />

keuntungan. Padahal, yang diperoleh dari riba tidak<br />

akan menambah kekayaan seseorang di dunia ataupun<br />

di akhirat. Berbeda dengan sedekah atau zakat yang diberikan<br />

se mata-mata karena mengharap ridha Allah, akan dibalas dengan<br />

pahala berlipat ganda, di dunia dan akhirat.<br />

122


HINDARI RIBA<br />

Sebagai ilustrasi, mungkin kita bisa mengambil hikmah<br />

dari kisah Robin Hood. Dalam kisah ini, Robin Hood menjadi<br />

pahlawan karena membela rakyat kecil. Namun <strong>cara</strong>nya cukup<br />

“menarik”, yaitu dengan mencuri harta dari orang kaya yang<br />

zhalim. Niatnya baik, hasilnya juga bermanfaat bagi rakyat<br />

kecil. Tetapi <strong>cara</strong> memperolehnya dilakukan dengan melanggar<br />

hukum, baik hukum positif maupun prinsip agama (syariah).<br />

Karena itu, yang dilakukan oleh Robin Hood tetap saja salah,<br />

tetap saja berdosa, dan tetap saja haram. Demikian pula halnya<br />

dengan korupsi.<br />

Apa pun yang dilakukan dengan menggunakan harta hasil<br />

korupsi, meskipun digunakan untuk beramal, disedekahkan<br />

kepada rakyat miskin, membangun rumah-rumah ibadah, tetap<br />

saja korupsi itu haram.<br />

<br />

Ibnu Khaldun menyatakan.<br />

“Bila pekerjaan penduduk sebuah daerah (negara) dibagibagikan<br />

semua sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan<br />

penduduk itu (spesialisasi atau fokus), maka (jumlah)<br />

hasilnya akan lebih banyak daripada bila masing-masing<br />

penduduk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri.<br />

Kelebihan (produksi) tersebut akan dikeluarkan untuk<br />

memenuhi keinginan serta hasrat penduduk daerah itu,<br />

dan kelebihan berikutnya untuk memenuhi kebutuhan<br />

penduduk daerah-daerah lain. Para penduduk akan saling<br />

mengambil barang-barang yang mereka butuhkan dan<br />

yang mereka kehendaki dari penduduk yang memiliki<br />

123


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

surplus, melalui tukar-menukar atau jual-beli. Maka,<br />

penduduk yang memiliki surplus akan mendapat bagian<br />

yang baik dari kekayaan (mendapat keuntungan).”<br />

Pernyataan Ibnu Khaldun tersebut mengusung pengertian<br />

bahwa penduduk harus terus mencari jalan untuk<br />

mengetahui tingkat kebutuhan yang optimal, begitu pun<br />

<strong>cara</strong> mendistribusikan hasil produksi se<strong>cara</strong> optimal. Karena<br />

hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan se<strong>cara</strong> penuh, maka<br />

di beberapa tempat akan terjadi ketidakseimbangan antara<br />

penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga harga<br />

akan naik—bila permintaan lebih besar, atau harga akan turun—<br />

bila penawaran lebih besar.<br />

Apabila penduduk yang memiliki surplus barang/jasa<br />

memperoleh keuntungan, maka daya belinya akan meningkat.<br />

Akibatnya permintaan akan meningkat, bukan hanya atas<br />

kebutuhan pokok tetapi juga atas kebutuhan sekunder<br />

atau kemewahan. Sehingga harga-harga se<strong>cara</strong> umum akan<br />

meningkat. Akan timbul inflasi. Namun karena kemampuan<br />

dan kekayaan juga meningkat, maka inflasi merupakan dampak<br />

yang logis atas pertumbuhan ekonomi.<br />

Lebih lanjut Ibnu Khaldun menyatakan:<br />

“Kekayaan (harta/aset) tidak akan berkembang bila<br />

dana yang terhimpun (tabungan) hanya ditimbun atau<br />

ditumpuk (istilahnya, kanzul maal) sehingga tidak<br />

dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi. Dana suatu<br />

masyarakat akan tumbuh dan bertambah bila digunakan<br />

seluruhnya untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi<br />

124


HINDARI RIBA<br />

hak-hak masyarakat, serta mengurangi penderitaan<br />

masyarakat. Penggunaan dana yang demikian akan<br />

membuat masyarakat makin baik, pada gilirannya akan<br />

membuat negara makin kuat dan makmur sehingga<br />

dapat mencapai kedaulatannya.”<br />

Oleh karena itu, Pemerintah harus menyediakan sarana agar<br />

dana (kekayaan) masyarakat dapat digunakan dengan aman dan<br />

baik, guna mencapai hasil yang optimal. Sehingga pertumbuhan<br />

hasil produksi serta tingkat keuntungan yang dicapai oleh<br />

masyarakat akan lebih tinggi dari tingkat kenaikan harga<br />

(inflasi) akibat peningkatan keuntungan dan ketidakseimbangan<br />

distribusi barang dan jasa.<br />

Dengan demikian, jelas bahwa inflasi merupakan konsekuensi<br />

logis dari pertumbuhan ekonomi, selama pertumbuhan<br />

produksi lebih tinggi dari inflasi serta tersebar dengan baik dan<br />

wajar, maka masyarakat tetap akan menikmati hasilnya. Dalam<br />

hal ini, kesalahpahaman mengenai riba—yang lebih kecil dari<br />

inflasi adalah halal—tidak perlu terjadi.<br />

Perintah Meninggalkan Riba<br />

Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang<br />

beriman agar mereka bertakwa kepada Allah dan meninggalkan<br />

apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut, jika memang<br />

beriman (QS 02:278). Karena itu, sebagai manusia yang beriman,<br />

kita harus mulai meninggalkan transaksi dengan riba,<br />

walau pun hanya dilakukan se<strong>cara</strong> bertahap, dan percaya kepada<br />

Allah bahwa kita akan tetap memperoleh hasil yang baik dan<br />

halal dengan meninggalkan riba.<br />

125


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Allah SWT juga telah memperingatkan bahwa barangsiapa<br />

yang telah menerima pengetahuan atau peringatan dari Tuhannya<br />

menyangkut riba, lalu berhenti melakukan transaksi riba,<br />

maka baginya apa yang telah lalu yaitu yang telah diambilnya<br />

sebelum datang larangan. Dan, Allah SWT menegaskan bahwa<br />

kebijakan maupun perhitungan atas apa yang telah lalu adalah<br />

menjadi hak prerogatif dari Allah SWT Namun, Allah SWT<br />

juga memperingatkan bahwa siapa saja yang kembali melakukan<br />

transaksi dengan riba walaupun sudah mendapat peringatan,<br />

maka mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka<br />

akan kekal di dalam neraka (QS 02:275).<br />

Kemudian, Allah SWT<br />

men deklarasikan dalam<br />

Kitab Suci (QS 02:279)<br />

bahwa jika manusia tidak<br />

mau meninggalkan transaksi<br />

dengan riba, akan ada pernyataan<br />

perang dari Allah<br />

SWT dan rasul-Nya. Namun,<br />

“Dana suatu masyarakat<br />

akan tumbuh dan<br />

bertambah bila<br />

digunakan seluruhnya<br />

untuk kesejahteraan<br />

masyarakat”<br />

jika manusia bertobat dari bertransaksi dengan riba, maka<br />

baginya pokok hartanya.<br />

Pada akhirnya, Allah SWT memberikan pedoman pokok<br />

tentang riba, bahwa manusia yang tidak bertransaksi dengan<br />

riba adalah manusia yang tidak berlaku zhalim dan tidak pula<br />

mau diperlakukan zhalim. Karenanya, manusia tersebut akan<br />

bertransaksi melalui perniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha.<br />

Pedoman ini juga berarti bahwa larangan riba berlaku baik bagi<br />

manusia yang menerima riba, maupun yang membayar atau<br />

memberi riba, baik se<strong>cara</strong> sukarela maupun karena terpaksa.<br />

126


HINDARI RIBA<br />

Pada 1985, ketika kembali dari tugas kerja di Hongkong,<br />

saya mengambil kredit pemilikan mobil di suatu bank.<br />

Sewaktu mengadakan pengikatan perjanjian kredit, pejabat<br />

bank mengatakan bahwa perhitungan bunga mengikuti sistem<br />

effective annual rest. Terus terang, saya tidak terlalu paham sistem<br />

tersebut, tetapi saya malu bertanya. Akibatnya, saya “sesat di<br />

jalan”. Ternyata yang dimaksud dengan annual rest adalah bunga<br />

dibebankan di awal tahun. Misalnya, saya pinjam Rp.50 juta<br />

dengan bunga 25%, maka sehari setelah saya tandatangani<br />

pinjaman, saldo hutang saya menjadi Rp.62,5 juta, yaitu pokok<br />

Rp.50 juta ditambah bunga (untuk setahun) Rp.12,5 juta.<br />

Kalau saya mau melunasi di pertengahan tahun, tetap saja saya<br />

harus membayar bunga untuk satu tahun. Wah, saya merasa<br />

dizhalimi. Tapi, salah sendiri, kenapa mau!<br />

Ternyata perasaan saya pada pertengahan 1980-an itu<br />

tergambar dalam firman-firman Allah SWT mengenai riba.<br />

Mungkin perasaan yang sama dialami oleh orang-orang yang<br />

belanja berlebihan dengan kartu kredit dan ternyata tidak<br />

sanggup membayar kewajibannya. Atau, nasabah bank yang<br />

mengambil kredit untuk kegiatan yang spekulatif, namun tetap<br />

mendapat kredit karena menyodorkan jaminan yang bagus.<br />

Setelah usaha yang dijalankannya tidak berhasil karena spekulatif<br />

dan akhirnya kredit macet, lalu jaminan disita. Sedih sekali!<br />

Dalam kasus saya di tahun 1985, bila terjadi jual-beli atas<br />

mobil tersebut, di mana penjual sudah menyerahkan mobil<br />

tapi saya belum melunasi pembayaran, maka saya beruntung<br />

sudah bisa mendapatkan mobil walaupun belum membayar<br />

lunas. Sedangkan keuntungan penjual berkurang karena<br />

127


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tidak menerima pembayaran se<strong>cara</strong> lengkap, padahal sudah<br />

menyerahkan mobil. Oleh karena itu, harus ada kompensasi<br />

atau tambahan yang saya diberikan kepada penjual. Namun,<br />

kompensasi atau tambahan tersebut harus lebih kecil dari<br />

manfaat yang akan saya terima karena sudah menerima mobil<br />

walaupun belum melunasi pembayarannya. Kompensasi ini harus<br />

dinyatakan di muka dan disepakati oleh saya dan penjual mobil.<br />

Berapa besar kompensasi yang selayaknya saya berikan<br />

Kompensasi atau tambahan tersebut saya berikan karena<br />

saya mendapat manfaat, yaitu sudah menerima mobil meskipun<br />

belum melunasi pembayaran. Nilai manfaat tersebut merupakan<br />

fungsi dari pemakaian mobil oleh saya dan jangka waktu<br />

pelunasan. Untuk itu, saya dan penjual harus bernegosiasi untuk<br />

mencapai kesepakatan nilai tambahan dan <strong>cara</strong> pembayarannya.<br />

Kesepakatan tersebut harus berada dalam koridor manfaat yang<br />

saya terima. Kalau penjual tidak sepakat, tentunya transaksi batal.<br />

Kemudian, ternyata penjual tidak memiliki kemampuan<br />

keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan tersebut.<br />

Dalam hal ini, penjual dapat mencari pihak lain—bank—untuk<br />

membantu memberikan fasilitas penundaan. Motivasi utama<br />

penjual tentunya adalah agar mobil terjual dan penjual mendapat<br />

untung. Apabila saya dan pihak lain tersebut dapat mencapai<br />

kesepakatan atas nilai tambahan dan <strong>cara</strong> pembayaran, barulah<br />

transaksi dapat dijalankan.<br />

Penjual menyerahkan mobil dan menerima pembayaran<br />

total harga tunai atas mobil tersebut dari saya (berupa “uang<br />

muka”) dan dari pihak lain (bank). Saya menerima mobil<br />

dan mempunyai kewajiban membayar cicilan atau angsuran<br />

128


HINDARI RIBA<br />

kepada pihak lain (bank) tersebut. Dan pihak lain (bank) yang<br />

membayar pelunasan harga tunai atas mobil akan mempunyai<br />

hak menerima pembayaran cicilan atau angsuran dari saya sesuai<br />

dengan kesepakatan.<br />

Bila saya jujur dan berhati-hati dalam menghitung perkiraan<br />

manfaat yang saya terima, serta saya menjalankan kewajiban saya<br />

kepada pihak lain tersebut, maka semua pihak akan bahagia,<br />

dan bertambah kaya, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

Tetapi, dalam kasus saya sewaktu menerima pinjaman<br />

dengan bunga effective annual rest, saya menerima manfaat<br />

karena bisa memakai mobil walaupun belum membayar lunas.<br />

Karena itu saya wajib memberi tambahan. Namun, tambahan<br />

yang berupa besarnya bunga tidak dikaitkan atau dibandingkan<br />

dengan manfaat yang saya terima. Ditambah lagi, sebenarnya<br />

syarat dan kondisinya tidak jelas bagi saya, sehingga saya<br />

diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Akibatnya, tambahan yang saya<br />

bayar menjadi riba. Bank mungkin bahagia, penjual mobil juga<br />

bahagia, tetapi saya akan tersenyum “kecut” karena terpaksa<br />

membayar riba.<br />

<br />

Dalam suatu seminar, saya pernah ditanya, apakah mengambil<br />

uang dari ATM bank konvensional itu halal Penanya ini<br />

kemudian mengambil ilustrasi tentang memasak makanan yang<br />

zatnya halal, tetapi karena memakai alat masak yang sama dengan<br />

alat masak yang baru saja dipakai untuk memasak makanan<br />

haram, maka makanan yang zatnya halal tadi menjadi haram.<br />

Alasannya, ada kemungkinan bahan masakan yang haram tadi<br />

129


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

masih melekat di alat masak tersebut sehingga mencemari<br />

makanan yang zatnya halal itu.<br />

Saya teringat peristiwa tahun 2003 sewaktu ikut rombongan<br />

Bapak BJ Habibie ke kantor pusat Islamic Development Bank<br />

di Jeddah. Pada saat itu, B<strong>PP</strong>N sedang mengadakan tender<br />

untuk menjual Bank BCA yang sudah direkapitalisasi. BCA jelas<br />

bukan bank syariah, tetapi BCA memiliki sistem pembayaran<br />

yang terbaik pada saat itu. Selain itu, BCA juga ditunjang oleh<br />

jaringan ATM, EDC, merchant dan sistem kartu yang paling<br />

luas dan paling banyak pemakainya pada saat itu.<br />

Karena itu, saya mengusulkan kepada Pak Habibie untuk<br />

meminta dukungan IDB untuk membeli BCA. Bukan untuk<br />

dijadikan bank syariah, karena komposisi nasabah BCA pada<br />

saat itu dirasakan belum cocok untuk jasa perbankan syariah.<br />

Tetapi usulan saya adalah untuk spin-off sistem pembayaran<br />

BCA dan dijadikan unit usaha terpisah. Kemudian unit usaha<br />

ini akan menyediakan jasa pelayanan ATM dan merchant untuk<br />

seluruh bank umum syariah, BPR syariah, dan semua lembaga<br />

keuangan syariah—termasuk BMT, Koperasi, dan sebagainya.<br />

Saya bayangkan, bila semua lembaga keuangan syariah—besar,<br />

kecil, maupun yang mikro—bisa terlayani dengan sistem ini,<br />

lembaga keuangan syariah bisa tumbuh pesat.<br />

Usulan ini diterima oleh Pak Habibie. Kemudian karena<br />

keahlian Pak Habibie bernegoisasi, usulan ini diterima oleh<br />

Presiden IDB. Tapi sayang, tim kami di Indonesia tidak berhasil<br />

menjalankan rencana ini sehingga usulan ini—dan dukungan<br />

IDB—hanya menjadi cerita belaka. Sayang sekali!<br />

130


HINDARI RIBA<br />

Pertanyaannya sekarang, apakah ada perbedaan antara sistem<br />

pembayaran yang sesuai syariah dengan sistem pembayaran yang<br />

berlaku di bank umum di Indonesia<br />

Sistem pembayaran mempunyai dua kegiatan pokok,<br />

yaitu sistem bayar dari simpanan—yang lazim disebut sebagai<br />

sistem bayar debit, dan sistem bayar atas transaksi yang telah<br />

dilaksanakan di muka atau sistem bayar tertunda—yang lazim<br />

disebut sebagai sistem kredit.<br />

Sistem simpan-bayar untuk mengambil uang melalui<br />

ATM adalah suatu mekanisasi dari proses pengambilan uang<br />

di kantor cabang suatu bank. Karena melalui mekanisasi, maka<br />

di perlukan sarana identifikasi. Sarana identifikasi pada masa kini<br />

umumnya berupa kartu seperti kartu penduduk atau paspor.<br />

Untuk transaksi keuangan, sarana tersebut umumnya berupa<br />

kartu plastik dengan fasilitas pengecekan data.<br />

Dulu, pengecekan data dilakukan dengan tanda tangan,<br />

kemudian dilakukan dengan menggunakan data magnetis,<br />

data grafis (bar-code), dan foto. Sekarang, sebagian besar menggunakan<br />

data digital. Dengan memakai kartu tersebut—yang<br />

untuk ATM disebut sebagai kartu ATM, maka nasabah bisa<br />

mengambil uang yang disimpan di bank yang bersangkutan<br />

melalui ATM.<br />

Pada masa lalu, ATM yang dapat digunakan hanyalah<br />

ATM dari bank di mana nasabah menyimpan uangnya. Tetapi<br />

dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,<br />

saat ini nasabah dapat pula mengambil uang dari ATM bank<br />

lain. Karena uang adalah uang, tidak ada perbedaan antara uang<br />

yang dipakai di bank konvensional dengan bank syariah. Dan<br />

131


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

karena selama uang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang<br />

sah dan dijamin nilainya. Maka uang tersebut adalah halal.<br />

Sehingga tidak ada tindakan yang melanggar prinsip syariah<br />

dalam mengambil uang dari ATM bank konvensional selama<br />

seluruh syarat administrasi terpenuhi.<br />

Kartu identitas untuk transaksi keuangan, yang dikenal<br />

dengan nama kartu ATM dan kartu kredit, telah berkembang<br />

dengan cukup pesat. Saat ini kartu identitas dapat memuat<br />

data digital, menjadi store-card, dan menjadi kartu pintar (smart<br />

card) dengan chip yang dapat diprogram untuk memuat data<br />

dan transaksi. Karena dapat memuat data dan transaksi, maka<br />

kartu identitas tadi dapat pula berfungsi seperti buku-tabungan.<br />

Bank Muamalat telah menjadi pelopor penggunaan storecard<br />

untuk menjadi bukti penyimpanan uang—seperti buku<br />

tabungan—yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran<br />

pada tempat-tempat yang terhubung dengan bank. Kartu<br />

tersebut diberi nama ‘Shar-e’. Dengan menggunakan perangkat<br />

penerima data se<strong>cara</strong> elektronik (electronic data capture atau<br />

EDC), penjual dapat menerima pembayaran dari nasabah Bank<br />

Muamalat dengan mendebet dana nasabah melalui transaksi<br />

atas data yang tersimpan dalam kartu Shar-e. Jika dananya telah<br />

habis, nasabah dapat melakukan setoran dana melalui tempattempat<br />

yang telah ditentukan, dan data di dalam kartu Shar-e<br />

akan di’up-date’ untuk merefleksikan saldo dana yang baru.<br />

Produk kartu simpan-bayar (store card), seperti Shar-e,<br />

sekarang sudah diterbitkan oleh banyak bank. Termasuk Bank<br />

BCA dengan kartu Flash, dan Bank Mandiri dengan e-Toll.<br />

Karena pada dasarnya kartu tersebut adalah semacam buku<br />

tabungan, maka dana yang disimpan sebenarnya dapat pula<br />

132


HINDARI RIBA<br />

diperlakukan seperti tabungan. Oleh sebab itu, bank dapat<br />

memberikan bagi hasil atas saldo dana yang mengendap di<br />

kartu simpan-bayar tersebut. Hasilnya, nasabah merasa bahagia<br />

karena memperoleh kemudahan dalam simpan-bayar dan tetap<br />

memperoleh bagi hasil. Penjual produk atau jasa juga berbahagia<br />

karena bisa menerima pembayaran se<strong>cara</strong> digital, bank juga<br />

bahagia bisa memperoleh dana simpanan dan fee.<br />

Semua bahagia, semua kaya—dan sesuai syariah.<br />

<br />

Di samping sistem simpan-bayar, bank dan lembaga<br />

keuangan bisa memberikan jasa pembayaran untuk transaksi<br />

jual-beli. Sistem pembayaran untuk transaksi jual-beli sebenarnya<br />

sederhana, yaitu sistem untuk melaksanakan pembayaran dari<br />

suatu pihak yang menerima suatu barang atau jasa (disebut<br />

pembeli) kepada pihak lain yang memberikan barang atau jasa<br />

tersebut (disebut penjual).<br />

Tetapi, kadangkala pembeli dan penjual tidak bertemu di<br />

suatu tempat, mungkin karena memang lokasi atau domisilinya<br />

berbeda, sehingga pembeli harus mengirim uang tersebut ke<br />

alamat penjual. Mungkin juga karena pembeli adalah suatu<br />

perusahaan atau organisasi, sehingga pembayaran harus<br />

melalui suatu proses untuk administrasi yang baik. Mungkin<br />

juga pembeli tidak mau repot-repot membawa uang, sehingga<br />

perlu proses untuk membuktikan bahwa transaksi telah terjadi,<br />

barang atau jasa telah diterima, sehingga penjual bisa yakin akan<br />

memperoleh pembayaran di kemudian hari.<br />

133


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Perkembangan proses tersebut memerlukan empat sarana,<br />

yaitu (1) sarana identifikasi penjual dan pembeli, (2)<br />

sarana untuk membuktikan hak penjual untuk mendapatkan<br />

pembayaran, (3) sarana penjaminan bahwa pembeli akan<br />

melakukan pembayaran kepada penjual dalam waktu tertentu,<br />

dan (4) sarana untuk membuktikan bahwa pembeli sudah<br />

melakukan pembayaran.<br />

Sarana identifikasi serupa dengan sarana identifikasi untuk<br />

ATM. Sarana pembuktian hak penjual untuk mendapatkan<br />

pembayaran umumnya diberikan dalam bentuk pernyataan<br />

pembeli bahwa pembeli telah menerima barang/jasa dan akan<br />

melakukan pembayaran, yang umumnya diperkuat dengan<br />

tanda tangan pembeli.<br />

Tantangan terbesar adalah pada sarana penjaminan pembayaran.<br />

Pihak yang paling lazim memberikan jaminan semacam<br />

ini adalah pihak bank umum. Ikatan untuk memberi jaminan<br />

atas kewajiban suatu pihak kepada pihak lain dalam istilah<br />

syariah disebut Akad Kafala.<br />

Pada masa lalu, jaminan ini diberikan dalam bentuk cek atau<br />

giro yang diterbitkan oleh bank, kemudian diisi oleh pembeli dan<br />

dilengkapi dengan tanda tangan. Sekarang, jaminan diberikan<br />

melalui perangkat eletronik yang merupakan kombinasi dari<br />

kartu identifikasi pembeli dan perangkat EDC. Dengan ikatan<br />

penjaminan (akad kafala) antara bank dengan pembeli, maka<br />

penjual akan mendapat kepastian bahwa pembayaran akan<br />

diterima, tentunya bila persyaratan administratif dipenuhi.<br />

Untuk kemudahan, biasanya penjual telah melakukan perikatan<br />

dengan suatu bank atau lembaga keuangan untuk memastikan<br />

diterimanya pembayaran dari pembeli.<br />

134


HINDARI RIBA<br />

Dalam istilah perbankan, pembeli adalah pemegang kartu<br />

(cardholder), bank yang memberikan jaminan atas nama pembeli<br />

dengan menerbitkan kartu adalah penerbit kartu (issuer), penjual<br />

adalah pedagang (merchant), dan bank yang memberikan<br />

jaminan kepada penjual dan akan mewakili penjual menagih<br />

pem bayaran ke bank penjamin adalah penerima tagihan<br />

(acquirer).<br />

Setelah terjadi transaksi, penjual akan menagih ke bank<br />

(acquirer). Bila syarat lengkap maka bank (acquirer) akan melakukan<br />

pembayaran kepada penjual. Kemudian bank (acquirer)<br />

akan mewakili penjual untuk menagih ke bank (issuer). Jika<br />

syarat lengkap, maka bank (issuer) akan membayar ke bank<br />

(acquirer). Dan akhirnya bank (issuer) akan menagih ke pembeli,<br />

dan pembeli membayar ke bank (issuer). Tentunya akan ada<br />

persyaratan mengenai waktu pembayaran, baik dari bank<br />

(acquirer) ke penjual, dari bank (issuer) ke bank (acquirer), dan<br />

dari pembeli ke bank (issuer).<br />

Ikatan antara pembeli (cardholder) dengan bank (issuer)<br />

adalah ikatan penjaminan—dengan Akad Kafala. Ikatan<br />

antara penjual dengan bank (acquirer) adalah ikatan pengalihan<br />

hak tagih—dengan Akad Hawala. Dan ikatan antara bank<br />

penjamin pembeli (issuer) dengan bank wakil penjual (acquirer)<br />

adalah ikatan pengalihan hak tagih—dengan Akad Hawala.<br />

Ikatan-ikatan tersebut memberi hak kepada bank untuk<br />

me nerima imbal jasa (fee). Dalam istilah perbankan, imbal<br />

jasa yang diterima bank (acquirer) dari penjual disebut sebagai<br />

merchant discount, nilainya menurut syariah dapat merupakan<br />

bagian (prosentase) dari nilai tagihan. Imbal jasa yang diterima<br />

bank (issuer) dari bank (acquirer) disebut interbank fee, nilainya<br />

135


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

menurut syariah dapat merupakan bagian (prosentase) dari<br />

nilai tagihan. Dan akhirnya, imbal jasa yang diterima bank<br />

(issuer) dari pembeli (cardholder) adalah imbal jasa pengelolaan<br />

pembayaran yang nilainya tetap dan dapat dipungut se<strong>cara</strong><br />

periodik yang biasa disebut annual fee, dan imbal jasa<br />

penjaminan pembayaran yang menurut syariah nilainya dapat<br />

merupakan bagian (prosentase) dari nilai tagihan.<br />

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, selama tidak ada<br />

beban biaya atau imbal jasa yang dikaitkan dengan nilai dan<br />

jangka waktu penundaan pembayaran, maka tidak ada hal-hal<br />

yang bertentangan dengan prinsip syariah dan tidak ada pihak<br />

yang berlaku atau diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim.<br />

Tentunya, tidak diharapkan penjual menaikkan harga untuk<br />

transaksi dengan sistem ini. Tetapi hal ini tidak dilarang, selama<br />

pembeli tidak berkeberatan. Bila jumlah transaksi dengan sistem<br />

ini cukup dominan, maka tentunya penjual dapat menyesuaikan<br />

sistim penentuan harga.<br />

Terlepas dari nama atau istilah yang dipakai, sistem pembayaran<br />

untuk transaksi jual-beli ini adalah halal, tidak ada riba.<br />

Semua pihak akan bahagia, dan bertambah kaya<br />

dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

<br />

“Bagaimana kalau kita mau membeli barang atau bahkan<br />

jasa yang sangat kita perlukan, tetapi saat itu kita tidak memiliki<br />

dana cukup untuk membayar se<strong>cara</strong> tunai”<br />

“Bila barang atau jasa tersebut sangat kita perlukan dan<br />

bermanfaat bagi kita, serta dengan memiliki barang atau jasa<br />

136


HINDARI RIBA<br />

tersebut kita bisa makin produktif, dapatkah kita membeli barang<br />

tersebut dengan sistem bayar cicil”<br />

Contohnya ketika seseorang jatuh sakit atau ada keluarganya<br />

yang sakit dan memerlukan pengobatan tetapi tidak memiliki<br />

uang tunai untuk membayar lunas. Bila tidak diobati maka<br />

kehidupan orang tersebut akan terganggu, dan produktivitas<br />

berkurang.<br />

Contoh lain adalah bila seseorang mendapat peluang<br />

pekerjaan yang membutuhkan peralatan tertentu, misalnya<br />

komputer, kamera atau lainya, di mana dengan keahliannya<br />

maka keuntungan dari pekerjaan itu akan cukup untuk<br />

membayar harga peralatan tersebut.<br />

Dapatkah sistem pembayaran membantu untuk bayar cicil<br />

Jawabannya, tentu bisa!<br />

Ikatan yang digunakan dalam transaksi ini adalah Akad<br />

Murabaha, yaitu membeli dengan fasilitas penundaan pembayaran—termasuk<br />

cicilan. Ikatan ini lazimnya diadakan antara<br />

penjual dengan pembeli yang dalam sistem pembayaran kita<br />

disebut merchant dan cardholder. Tetapi bila penjual (merchant)<br />

tidak mempunyai kemampuan keuangan atau administrasi untuk<br />

member fasilitas bayar cicil, maka dapat saja bank (issuer) yang<br />

membantu. Hanya saja, <strong>cara</strong>nya harus sesuai agar terhindar dari<br />

keadaan zhalim (riba).<br />

Fasilitas ini mirip dengan fasilitas yang diberikan oleh bank<br />

umum konvensional dengan memakai kartu identitas yang<br />

disebut “kartu kredit”. Dalam hal ini, pembeli (cardholder)<br />

yang memiliki kartu kredit bisa membeli barang di penjual<br />

(merchant) dengan otorisasi dari bank (issuer). Kemudian bank<br />

137


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

(issuer) memberi fasilitas kredit sehingga pembeli (cardholder)<br />

bisa membayar dengan <strong>cara</strong> mencicil.<br />

Namun, ada kondisi yang bisa membuat keadaan zhalim.<br />

Dalam skim yang diberikan oleh bank umum konvensional,<br />

pembeli bisa menentukan jumlah cicilan selama lebih tinggi<br />

dari nilai pembayaran minimum yang ditentukan oleh bank<br />

(issuer). Kelihatannya menarik bukan<br />

Tapi, tunggu dulu, bank (issuer) berhak meminta tambahan<br />

yang besarnya ditentukan se<strong>cara</strong> sepihak oleh bank (issuer)<br />

menurut sisa harga yang belum dibayar dengan besar tambahan<br />

tidak ditentukan dimuka. Akibatnya, jumlah pembayaran<br />

bisa membesar tanpa disepakati terlebih dahulu oleh pembeli<br />

(cardholder). Karena fasilitas terlihat “sangat menarik”, maka<br />

pembeli (cardholder) tidak bisa berfikir dengan jernih atau<br />

waras sehingga seakan-akan “kesetanan” dan cenderung akan<br />

mengambil risiko yang berlebihan.<br />

Persis seperti ungkapan dalam firman Tuhan (QS 02:275)<br />

yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan<br />

riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang<br />

yang kemasukan setan karena sentuhan atau menyentuh setan.<br />

Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berfikir dengan waras.<br />

Dalam sistem pembayaran yang antiriba, sebelum memberi<br />

fasilitas bayar cicil bank (issuer) harus memastikan bahwa<br />

pembeli memiliki kemampuan untuk membayar cicil. Banyak<br />

<strong>cara</strong> untuk memastikan hal ini, termasuk dengan melihat data<br />

pendapatan bulanan dan sejarah transaksi. Kemudian, bank<br />

(issuer) harus memberi penawaran dimuka atas fasilitas bayar<br />

cicil ini dengan memberi rincian jumlah tambahan (marjin)<br />

138


HINDARI RIBA<br />

yang diminta serta jumlah dan jadwal cicilan. Pembeli harus<br />

mengetahui tawaran bank sebelum mengambil keputusan untuk<br />

menerima tawaran dan terikat dalam akad murabaha.<br />

Mekanisme pelaksanaannya tidak terlalu sulit karena<br />

kemajuan dari teknologi informasi dan telekomunikasi.<br />

Contohnya, kita bisa “membeli” pulsa telepon dengan mengirim<br />

pesan SMS, kemudian operator telepon menambah pulsa kita<br />

dan bank mendebit dana kita. Mengikuti <strong>cara</strong> tersebut, salah<br />

satu alternatif adalah setelah pembeli (cardholder) menentukan<br />

akan membeli barang atau jasa yang akan dibayar cicil dari<br />

penjual (merchant), maka melalui perangkat EDC, penjual<br />

(merchant) akan memberitahu bank (acquirer dan issuer) bahwa<br />

pembeli (cardholder) meminta fasilitas bayar cicil selama waktu<br />

tertentu. Kemudian, melalui data dan fasilitas telekomunikasi<br />

yang dimiliki, bank (issuer) mengirim penawaran bayar cicil<br />

melalui pesan SMS kepada pembeli (cardholder). Bila pembeli<br />

(cardholder) setuju, pembeli (cardholder) mengirim pesan SMS<br />

ke bank (issuer). Setelah kesepakatan dicapai, bank (issuer)<br />

memberikan otorisasi kepada penjual (merchant) untuk<br />

melakukan transaksi. Penjual menerima pembayaran, pembeli<br />

menerima barang atau jasa, dan bank menerima imbal jasa.<br />

Semua bahagia, semua kaya.<br />

“Apa bedanya dengan kartu kredit biasa” “Mengapa tidak<br />

menjadi riba”<br />

Jawabannya sederhana, bank harus mengetahui kemampuan<br />

pembeli sebelum memberikan fasilitas bayar cicil. Fasilitas hanya<br />

diberikan untuk barang atau jasa yang bersifat barang modal<br />

usaha kecil atau untuk keadaan darurat. Pembeli mengetahui<br />

139


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

pasti tambahan (marjin) serta jumlah dan jadual pembayaran.<br />

Bila terjadi masalah, bank tidak boleh meminta tambahan<br />

(marjin) lagi—apalagi yang dikaitkan dengan waktu. Semua<br />

sesuai Akad Murabaha, kondisi zhalim dapat dihindari.<br />

Insya Allah halal, insya Allah kaya dan bahagia,<br />

dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

140


Bab 8<br />

Kendalikan Risiko<br />

Dubai adalah salah satu dari tujuh emirat di Uni Emirat Arab.<br />

Pada 1999, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke<br />

Dubai, sewaktu diajak oleh Dirjen Hubungan Ekonomi Luar<br />

Negeri untuk menjajaki kerja sama investasi di Indonesia. Wah,<br />

waktu itu saja saya sudah tercengang melihat bandara Dubai,<br />

lapangan golf, dan pembangunan menara-menara komersial.<br />

Apalagi sekarang, pastilah sudah jauh berbeda dibanding tahun<br />

1999.<br />

Dubai World adalah salah satu BUMN Dubai yang bergerak<br />

dalam pembangunan infrastruktur. Melalui anak perusahaannya<br />

bernama Al Nakheel, Dubai World mengembangkan properti<br />

wisata yang mewah, seperti The Palm Island—konsep<br />

perumahan megah yang teletak di tengah laut berbentuk pohon<br />

kurma, The Dubai Mall—salah satu Mall terbaik di dunia, dan<br />

Burj Dubai—gedung tertinggi di dunia yang memiliki ketinggian<br />

sekitar 800 meter.<br />

141


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Proyek-proyek Al Nakheel dibiayai dengan modal dan<br />

utang. Salah satu di antaranya adalah dengan menerbitkan sukuk<br />

(obligasi syariah) dengan akad ijarah (sewa) pada Desember<br />

2006. Sukuk Al Nakheel memegang rekor sebagai sukuk ijarah<br />

terbesar di dunia, nilainya mencapai US$3,52 miliar (lebih dari<br />

Rp.30 triliun), dengan jangka waktu tiga tahun dan memberikan<br />

imbal hasil berupa sewa dengan besaran 6,345% per tahun.<br />

Sukuknya disebut sebagai ”Pre-QPO Equity-link Sukuk Ijarah”.<br />

Pre-QPO adalah Pre Qualified Public Offering. Maksudnya, bila<br />

Al Nakheel atau Dubai World atau anak perusahaan Dubai<br />

World akan menawarkan saham kepada publik, maka pemegang<br />

sukuk berhak untuk membeli saham pada harga diskon sebelum<br />

penawaran umum. Bingung, ya!<br />

“Istilah yang digunakan<br />

<br />

berkaitan dengan prinsip<br />

kehati-hatian dalam<br />

pengambilan risiko, yaitu<br />

gharar, khamar, dan<br />

maysir. Gharar adalah<br />

ketidakjelasan yang<br />

merugikan.”<br />

Sukuk diterbitkan pada<br />

Desember 2006 dan akan<br />

jatuh tempo Desember 2009.<br />

Pada Oktober-November<br />

2008 terjadi krisis keuangan<br />

dunia yang dipicu oleh<br />

masalah pembiayaan properti<br />

di Amerika Serikat. Proyek<br />

Al Nakheel adalah properti<br />

mewah untuk kegiatan<br />

wisata. Pada November 2009,<br />

setahun setelah krisis keuangan global dan sebulan sebelum jatuh<br />

tempo, sukuk Al Nakheel dinyatakan tidak dapat dibayarkan<br />

pada saat jatuh tempo. Alamak!<br />

142


KENDALIKAN RISIKO<br />

Dubai salah satu ”keajaiban” zaman modern, pembiayaan<br />

dengan <strong>cara</strong> syariah. Pertanyaannya, kok bisa macet Kenapa<br />

bisa gagal bayar Apa yang salah<br />

Konsep Risiko<br />

Dalam kehidupan, manusia memang selalu menghadapi<br />

ketidakpastian. Perubahan atau ketidakpastian hasil selain dapat<br />

menguntungkan, juga dapat merugikan. Karena itu, manusia<br />

harus berupaya mengelola dampak negatif dari perubahan atau<br />

ketidakpastian. Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan.<br />

“Manfaatkan masa sehatmu sebelum datang masa<br />

sakitmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu,<br />

masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa<br />

lapangmu sebelum datang masa sempitmu, masa<br />

hidupmu sebelum datang kematianmu. Karena kamu<br />

tidak tahu apa yang akan menimpamu esok hari.”<br />

Dalam dunia ekonomi, terdapat faktor-faktor penyebab dari<br />

sesuatu kejadian yang membawa kerugian, seperti pendapatan<br />

yang lebih kecil dari pengeluaran, terlambat atau bahkan tidak<br />

diterimanya pembayaran, tidak ada uang tunai pada saat harus<br />

melakukan pembayaran, dan sebagainya. Ada risiko yang melekat<br />

dalam sistem ekonomi, yang disebut sebagai risiko sistemik.<br />

Ada pula risiko yang terkait dengan kondisi industri, kondisi<br />

persaingan, atau bahkan kondisi internal perusahaan.<br />

Di samping faktor-faktor yang se<strong>cara</strong> langsung menjadi<br />

penyebab—yang sering disebut sebagai peril, juga terdapat suatu<br />

hal atau kondisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya<br />

143


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

kerugian. Misalnya kelalaian administrasi, pemakaian yang<br />

tidak semestinya, mengabaikan aturan, dan sebagainya. Hal<br />

atau kondisi itu disebut sebagai hazard. Kombinasi hazard dan<br />

peril umumnya menjadi risiko, di mana risiko atas kemungkinan<br />

terjadinya kerugian bisa menjadi masalah bila tingkat kepastian<br />

terjadinya risiko semakin tinggi. Karena kerugian yang tidak<br />

diperkirakan akan memberi dampak negatif yang lebih tinggi.<br />

Boleh jadi Anda bertanya, “Apakah hazard dan peril itu”<br />

Se<strong>cara</strong> umum, hazard<br />

atau hal dan kondisi yang<br />

meningkatkan risiko menderita<br />

kerugian terbagi<br />

dua. Pertama, kondisi yang<br />

ditimbulkan oleh karak teristik<br />

dari suatu objek yang<br />

dapat menimbulkan risiko.<br />

Kedua, kondisi yang di timbulkan<br />

oleh perilaku atau<br />

sudut pandang seseorang<br />

“Setelah berhasil<br />

meluncurkan tiga reksa<br />

dana di tahun 1996, maka<br />

pada tahun 1997 mulai<br />

mencoba mewujudkan<br />

mimpi saya dengan<br />

meluncurkan reksa dana<br />

syariah.”<br />

yang dapat menimbulkan tingkah laku yang merugikan atau<br />

meningkatkan risiko, baik se<strong>cara</strong> sengaja (direncanakan) ataupun<br />

tidak. Dalam bahasa bisnis, kelompok pertama disebut physical<br />

harazd, sedangkan kelompok kedua dinamakan moral hazard.<br />

Cuaca buruk yang mengganggu jarak pandang meningkatkan<br />

kemungkinan terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan<br />

di jalan raya, di udara, maupun di laut. Cuaca buruk adalah<br />

physical hazard, sedangkan kecelakaan yang terjadi adalah peril.<br />

Pengusaha yang berani mengambil pinjaman dalam valas untuk<br />

kegiatan usaha dengan pendapatan rupiah, maupun spekulasi<br />

144


KENDALIKAN RISIKO<br />

dalam investasi serta pembiayaan rumah yang digunakan untuk<br />

spekulasi adalah moral hazard. Sedangkan krisis moneter tahun<br />

1997/1998 dan krisis keuangan tahun 2008 yang terjadi akibat<br />

moral hazard tersebut adalah peril.<br />

Biaya atau kerugian yang timbul akibat peristiwa peril yang<br />

disebabkan oleh kedua moral hazards tersebut, bukanlah sekadar<br />

kerugian langsung yang diderita oleh pengusaha, investor,<br />

maupun lembaga keuangan yang melakukan kesalahan tersebut.<br />

Tetapi juga menimpa pihak-pihak lain yang se<strong>cara</strong> sadar maupun<br />

tidak sadar—atau bahkan terpaksa—terkait dengan pengusaha,<br />

investor, lembaga keuangan, maupun sistem keuangan yang<br />

bersangkutan.<br />

Padahal, perilaku atau mental yang tidak berhati-hati, tanpa<br />

peduli akan risiko yang mungkin ditimbulkan, sangat dilarang<br />

oleh syariah.<br />

Pengendalian Risiko<br />

Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk mencari<br />

kebahagiaan di akhirat, namun tidak boleh melupakan bagiannya<br />

atas kenikmatan dunia yang halal dan thoyib (QS 28:77). Nabi<br />

Muhammad SAW juga telah mengajarkan bahwa:<br />

“Ibadah itu sepuluh bagian, dan sembilan bagian di<br />

antaranya adalah mencari rezeki yang halal.”<br />

“Dunia adalah sebaik-baik kendaraan, dengannya<br />

orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari<br />

kejahatan.”<br />

“Dunia adalah ladang akhirat.”<br />

145


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Jadi, jelas bahwa manusia diperintahkan juga untuk mencari<br />

kebahagiaan di dunia. Artinya tingkah laku, keberhasilan, dan<br />

kebaikan di dunia akan menjadi investasi yang akan dinikmati<br />

di akhirat. Dan, untuk itu manusia harus berusaha.<br />

Sementara itu, tidak ada manusia yang mengetahui dengan<br />

pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya,<br />

manusia harus mengambil keputusan di dalam ketidakpastian.<br />

Bagaimana pedoman untuk memegang prinsip kehati-hatian<br />

dalam pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian<br />

Dalam firman-Nya (QS 35:05), Allah SWT telah<br />

menegaskan bahwa janji-Nya adalah benar, oleh karena itu Allah<br />

SWT memerintahkan agar dalam menjalani hidup, manusia<br />

tidak boleh tertipu atau terpedaya oleh kehidupan dunia.<br />

Kemudian Dia juga menegaskan agar manusia jangan tertipu<br />

atau terpedaya tentang Allah SWT<br />

Se<strong>cara</strong> umum, kita tertipu karena masuk ke dalam<br />

kondisi yang memberikan informasi yang tidak benar atau<br />

menyesatkan. Akibatnya, kita salah pengertian dan sering<br />

mengambil keputusan yang salah. Kondisi seperti itu sering<br />

disebut sebagai physical hazard. Keputusan yang salah tersebut<br />

tidak akan kita ambil bila kita mendapat informasi yang<br />

benar. Sehingga dapat dikatakan kita tertipu oleh kondisi<br />

physical hazard dan mengambil keputusan yang salah sehingga<br />

mengalami kerugian.<br />

Dalam melakukan transaksi, pihak yang menawarkan<br />

seharusnya memberikan informasi yang jelas sehingga tidak<br />

menimbulkan kondisi yang membuat pihak lain terperdaya.<br />

Istilah yang dipakai dalam Kitab Suci untuk terperdaya adalah<br />

146


KENDALIKAN RISIKO<br />

taghararan. Sedangkan istilah untuk keadaan yang memperdaya<br />

atau physical hazard adalah gharar. Bila ada pihak yang dengan<br />

sengaja memberikan informasi yang tidak jelas atau tidak lengkap<br />

atau salah sehingga menimbulkan kondisi yang merugikan atau<br />

meningkatkan risiko—kondisi gharar, maka pihak tersebut<br />

berdosa.<br />

Seharusnya manusia mengambil keputusan hanya apabila<br />

telah mempunyai informasi yang memadai, serta mempunyai<br />

keyakinan atas informasi yang dimilikinya. Namun seringkali<br />

manusia berani mengambil keputusan walaupun sebenarnya<br />

belum mempunyai informasi yang memadai atau belum<br />

mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengambil<br />

keputusan tersebut. Akibatnya jelas, mengalami kerugian.<br />

Bila manusia harus mengambil keputusan di tengah<br />

ketidakpastian, berarti harus berani mengambil risiko.<br />

Bagaimana prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko<br />

Allah SWT telah berfirman tentang meminum khamar dan<br />

melakukan maysir. Dikatakan bahwa khamar, maysir dan zalamu<br />

adalah perbuatan keji yang berasal dari perbuatan setan (QS<br />

05:90). Menjelaskan hal ini, Allah SWT menyatakan bahwa pada<br />

khamar dan maysir terdapat beberapa manfaat dan dosa yang<br />

besar. Tetapi karena dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya,<br />

karena itu Allah SWT melarang manusia untuk melakukannya<br />

(QS 02:219).<br />

Khamar adalah minuman yang memabukkan, maysir adalah<br />

mengambil risiko yang berlebihan, dan zalamu adalah mengundi<br />

nasib dengan anak panah. Maysir dan zalamu tergolong judi.<br />

Lebih lanjut diperintahkan untuk menjauhi perbuatan ini karena<br />

setan memperdaya manusia untuk melakukan perbuatan itu<br />

147


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dengan maksud agar timbul permusuhan dan kebencian di antara<br />

manusia, yang akan menghalangi manusia dari zikir dan shalat,<br />

dari mengingat dan menyembah Tuhan (QS 05:91). Karena<br />

itu, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman<br />

untuk menjauhi perbuatan-perbuatan itu agar mendapatkan<br />

keberuntungan (QS 05:90).<br />

Jadi, untuk mencapai kehati-hatian, manusia tidak boleh<br />

mengambil risiko yang kemungkinan mendapat kerugian lebih<br />

besar dari kemungkinan mendapat manfaat. Dengan demikian,<br />

manusia akan mendapat keberuntungan.<br />

Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari adalah mengendarai<br />

mobil. Apakah mengemudi mobil di jalan raya dengan<br />

kecepatan 140 km per jam adalah mengambil risiko yang<br />

berlebihan Jawabannya tergantung. Maksudnya tergantung<br />

pada kondisi. Setidaknya tergantung pada kondisi mobil, jalan,<br />

lalu lintas, cuaca, dan pengemudi. Bila mobil yang dikendarai<br />

adalah mobil Formula-1, di jalan raya yang bernama sirkuit<br />

balap, lalu lintas yang hanya boleh dilalui oleh mobil Formula-1<br />

untuk mengikuti balapan, dengan kondisi cuaca baik, dan<br />

pengemudinya sekelas Michael Schumacher, bahkan kecepatan<br />

lebih dari 200 km per jam pun masih dianggap dalam risiko<br />

yang terkendali, masih memenuhi prinsip kehati-hatian.<br />

Istilah yang digunakan dalam firman Allah SWT berkaitan<br />

dengan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko, yaitu<br />

gharar, khamar, dan maysir. Gharar adalah ketidakjelasan yang<br />

merugikan. Khamar adalah minuman yang memabukkan,<br />

sehingga orang yang meminumnya mungkin mengambil<br />

keputusan di luar kesadarannya. Maysir adalah mengambil<br />

risiko yang melebihi kemampuan menanggulangi akibat dari<br />

148


KENDALIKAN RISIKO<br />

risiko tersebut. Nabi Muhammad SAW menguraikan masalah<br />

ini dengan menggunakan tamsil tentang larangan jual-beli ikan<br />

yang masih berada di dalam air (laut).<br />

Di Indonesia, jual-beli ikan dalam air sama seperti<br />

analogi membeli kucing dalam karung.<br />

Bagaimana penjelasan menjual atau membeli ikan dalam<br />

air<br />

Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa air membiaskan<br />

cahaya. Karena itu, sesuatu yang masih ada di dalam air bisa<br />

tampak berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Informasi<br />

yang diterima mengenai objek transaksi melalui penglihatan<br />

kita, bisa memperdaya. Artinya bila terjadi transaksi jual-beli<br />

sesuatu, penjual tidak boleh memberikan informasi yang<br />

sengaja dibuat atau diketahui sebagai “tidak jelas” atau bahkan<br />

yang menyesatkan. Ibarat ikan di dalam air. Jika hal seperti ini<br />

terjadi, berarti penjual menciptakan kondisi gharar. Dalam hal<br />

ini penjual yang bersalah, sementara pembeli akan tertipu atau<br />

terperdaya.<br />

Begitu juga dengan sesuatu<br />

yang ada di dalam<br />

karung, misalnya kucing,<br />

hanya dapat diketahui ke beradaannya<br />

melalui perubahan<br />

bentuk karung, mungkin<br />

juga lewat bunyi (suara),<br />

atau baunya. Maka, tidak<br />

“Dalam Akad Salam,<br />

petani dan pembeli harus<br />

mempunyai bukti dan<br />

keyakinan akan kuantitas<br />

dan kualitas hasil panen.”<br />

mungkin seseorang mengetahui dengan jelas spesifikasi dari<br />

se suatu yang ada di dalam karung tersebut. Kalau pembeli tetap<br />

149


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

melakukan transaksi jual-beli, padahal ia tidak mempunyai<br />

informasi yang memadai mengenai objek transaksi, maka<br />

pembeli telah mengambil risiko yang berlebihan. Pembeli<br />

telah melakukan maysir. Pembeli yang bersalah, bukan penjual.<br />

Walaupun tentunya itikad baik penjual diragukan, karena<br />

menjual sesuatu yang masih ada di dalam karung, dan tidak<br />

bisa diketahui dengan jelas spesifikasinya.<br />

Oleh karena itu, untuk memegang prinsip kehati-hatian<br />

dalam kegiatan ekonomi, manusia harus terlebih dahulu memahami<br />

manfaat dan risiko dari pilihan-pilihan yang tersedia<br />

sebelum mengambil keputusan, terutama bila memasuki situasi<br />

yang merupakan “zero-sum game”.<br />

Jurus Tolak Risiko I: Nisbah Hutang Atas Modal<br />

Salah satu masalah utama dalam kegiatan usaha adalah<br />

mencari dana untuk membiayai usaha tersebut. Sumber<br />

dana utama adalah dari pemilik atau pendiri atau dalam hal<br />

perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas disebut sebagai<br />

pemegang saham. Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia,<br />

dana setoran modal tersebut dibukukan sebagai saham.<br />

Tetapi sering kali—hampir selalu—modal disetor tidak<br />

cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dana hingga manajemen<br />

perusahaan lalu mengambil utang. Sesuai dengan ikatan<br />

yang dibuat, modal (saham) adalah dana yang ditempatkan<br />

ke dalam perusahaan dan tidak direncanakan untuk ditarik<br />

kem bali dari perusahaan, sampai perusahaan tersebut dibubarkan.<br />

Sedangkan dana yang dibukukan sebagai utang,<br />

harus dikembalikan pada waktu tertentu, sesuai dengan ikatan<br />

150


KENDALIKAN RISIKO<br />

(kesepakatan) yang dibuat pada saat dana tersebut ditempatkan<br />

sebagai utang.<br />

Kemudian, sebagai imbalannya, dana yang disetorkan<br />

sebagai modal (saham) akan mendapat bagi hasil dari ke untungan<br />

usaha setelah dipotong pajak, yaitu dalam bentuk<br />

dividen. Sedangkan dana yang ditempatkan untuk jangka<br />

waktu tertentu dan dibukukan sebagai utang akan mendapat<br />

im balan sesuai dengan kesepakatan. Di sini timbul peluang<br />

untuk terjadinya kondisi zhalim yang membawa risiko.<br />

Coba kita simak pertanyaan-pertanyaan berikut.<br />

“Apakah kesepakatan pemberian imbalan atas penempatan<br />

dana tersebut sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari<br />

penggunaan dana tersebut”<br />

“Bagaimana penggunaan dana tersebut”<br />

“Apakah ada ketentuan tertentu mengenai penggunaan dana<br />

tersebut”<br />

“Apakah dana tersebut hanya boleh digunakan untuk membiayai<br />

aset tertentu atau kegiatan tertentu”<br />

“Bila hanya untuk membiayai aset tertentu atau kegiatan<br />

tertentu, bagaimana manfaat yang diperoleh dari aset atau kegiatan<br />

ter tentu tersebut”<br />

“Bila imbalan dihitung bukan berdasarkan manfaat, bagaimana<br />

bila imbalan tersebut lebih besar dari manfaat yang<br />

diperoleh”<br />

Kemudian, masalah hak yang terkait dengan pengembalian<br />

dana yang ditempatkan. Dana modal (saham) jelas haknya,<br />

yaitu berhak atas seluruh kekayaan (aset) perusahaan dikurangi<br />

dengan kewajiban (utang) perusahaan—yang terdiri dari<br />

151


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

kewajiban lancar (jangka kurang dari 12 bulan) dan kewajiban<br />

jangka panjang. Bila kekayaan dikurangi kewajiban lebih kecil<br />

dari jumlah dana modal yang telah disetor—maka pemegang<br />

saham rugi. Sedangkan kalau selisihnya positif, pemegang<br />

saham untung.<br />

Dana yang ditempatkan untuk jangka waktu tertentu dan<br />

dibukukan sebagai utang mempunyai hak atas kekayaan perusahaan<br />

sesuai dengan nilai kewajibannya. Namun, bila ternyata<br />

kekayaan perusahaan lebih kecil dari kewajibannya, maka pihak<br />

yang menempatkan dana tersebut mengalami kerugian.<br />

Pertanyaan yang penting dikemukakan adalah:<br />

“Apakah pada waktu penempatan, pihak pemilik dana<br />

menyadari dan siap untuk mengalami kerugian”<br />

“Bagaimana jaminan atas pengembalian dana sebagaimana<br />

telah disepakati”<br />

Dari kedua hal tersebut di atas, yaitu imbalan atas penempatan<br />

dana dan jaminan untuk pengembalian dana, jelas<br />

terdapat risiko akan terjadinya kondisi zhalim, yaitu zhalim atas<br />

perusahaan bila imbalan lebih besar dari manfaat dan zhalim<br />

kepada pemilik dana bila ternyata dana tersebut tidak bisa<br />

dikembalikan sesuai kesepakatan.<br />

Karena itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan batasan<br />

tertentu atas nisbah (rasio) uang orang lain terhadap modal<br />

pemilik usaha. Dalam konteks pembukuan modern, batasan itu<br />

adalah rasio kewajiban (utang) atas modal atau debt-to-equity<br />

ratio, yang juga dikenal sebagai struktur modal (capital structure).<br />

Tahun 1999, saya memimpin Danareksa. Pada saat menerbitkan<br />

Reksa Dana <strong>Syariah</strong>, K.H. Ma’ruf Amin yang<br />

152


KENDALIKAN RISIKO<br />

bertindak sebagai Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> meminta usulan<br />

saya tentang nisbah utang atas modal ini. Mungkin karena<br />

beliau memandang bahwa nisbah yang berlaku pada masa kini<br />

harus disesuaikan dengan kondisi aktual yang berlaku. Saya<br />

kemudian meminta teman-teman di Danareksa untuk memilih<br />

100 emiten saham yang tercatat di BEJ menurut criteria screening<br />

yang ditetapkan oleh Pak Kiai. Kemudian, kami menghitung<br />

rata-rata rasio struktur modal dari 100 emiten tersebut. Data<br />

rasio tersebut kemudian saya sampaikan ke Pak Kiai.<br />

Tahun 2001, DSN MUI menerbitkan fatwa tentang Reksa<br />

Dana <strong>Syariah</strong> dengan ketetapan batas maksimum nisbah utang<br />

terhadap modal adalah 82%.<br />

Kemudian, tahun 2003, Bapepam mencanangkan penerapan<br />

Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal. Batas nisbah tersebut kemudian<br />

dicantumkan dalam Keputusan Bapepam.<br />

Selanjutnya, tahun 2007, ketika saya menyelesaikan program<br />

S-3 di Unpad, saya mengadakan penelitian atas struktur modal<br />

optimal untuk perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya<br />

di bursa dan telah menerbitkan obligasi. Hasil penelitian<br />

tersebut menjadi disertasi doktor saya, dan hasilnya telah saya<br />

sampaikan ke Dewan <strong>Syariah</strong> Nasional (DSN) dan Bapepam-LK.<br />

Alhamdulillah, berarti DSN dan Bapepam-LK telah mengetahui<br />

<strong>cara</strong> yang ilmiah berdasarkan data empiris untuk menghitung<br />

nisbah utang terhadap modal yang optimal. Bila diterapkan,<br />

ketentuan nisbah utang terhadap modal ini dapat mengurangi<br />

risiko terjadinya kondisi zhalim dan risiko yang berlebihan. Bila<br />

diterapkan dalam kasus Al Nakheel, Dubai World, mungkin<br />

malapetaka yang terjadi dapat dihindari. Bila diterapkan, insya<br />

Allah dapat menjadi jurus tolak risiko.<br />

153


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Hasilnya, semua akan bahagia, semua akan kaya<br />

dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

<br />

Ikatan (akad) yang dipakai dalam sukuk (obligasi) yang<br />

diterbitkan oleh Al Nakheel, sebagaimana diceritakan di bagian<br />

awal bab ini, adalah Akad Ijarah. Akad ini adalah akad syariah.<br />

Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganjal.<br />

“Mengapa terjadi gagal bayar”<br />

“Siapa yang salah”<br />

“Apakah akadnya ataukah <strong>cara</strong> penerapannya”<br />

Kegiatan usaha lazimnya memerlukan aset tertentu untuk<br />

menjalankan usahanya. Usaha produksi memerlukan pabrik<br />

atau sarana produksi. Usaha jasa transportasi memerlukan alat<br />

transportasi, seperti kapal, pesawat terbang, bus, truk atau<br />

mobil. Usaha penjualan atau ritel memerlukan toko atau tempat<br />

menjajakan produk yang dijualnya. Usaha jasa telekomunikasi<br />

memerlukan perangkat telekomunikasi. Begitu pula dengan<br />

jenis usaha lainnya.<br />

Perusahaan dapat memiliki sendiri aset produktif tersebut<br />

kalau memiliki cukup dana untuk itu. Bila tidak, perusahaan<br />

bisa mencari pembiayaan untuk memiliki aset produktif itu.<br />

Atau dapat juga perusahaan menyewa aset produktif itu. Yang<br />

penting bagi perusahaan adalah dapat memakai manfaat atau<br />

kemampuan dari aset produktif tersebut.<br />

Bila menyewa, maka pada hakikatnya terjadi kerja sama<br />

antara pemilik atau penguasa aset dengan perusahaan yang<br />

memerlukan manfaat atau kemampuan dari aset tersebut. Agar<br />

154


KENDALIKAN RISIKO<br />

tercapai keadilan, perlu diadakan bagi hasil atas pemanfaatan aset<br />

atau kemampuan produksi dari aset. Sistemnya bagi hasil yang<br />

dilakukan atas pemanfaatan aset ataupun kemampuan produksi<br />

dari aset, setara dengan sewa atas manfaat atau aset tersebut.<br />

Bagi hasil dapat dianggap sebagai upah atas pemanfaatan aset.<br />

Dalam istilah syariah, upah adalah ujroh dan akadnya<br />

disebut ijarah.<br />

Esensi dari kerja sama ini adalah adanya manfaat atau<br />

kemampuan dari suatu aset. Atas pemakaian manfaat atau<br />

kemampuan tersebut dikenakan upah (ujroh) atau sewa.<br />

Dan untuk menghindari keadaan gharar atau keraguan yang<br />

merugikan, harus jelas keberadaan dan penguasaan aset tersebut,<br />

dan jelas manfaat atau kemampuan yang menjadi objek kerja<br />

sama. Kemudian, untuk menghindari kondisi maysir atau<br />

pengambilan risiko yang berlebihan, maka bagi pihak pemakai<br />

(penyewa) harus jelas hasil yang dapat diperoleh dari penggunaan<br />

manfaat atau kemampuan tersebut. Besaran hasil ini menjadi<br />

batasan dari besaran nilai upah atau sewa (ujroh) yang akan<br />

dikenakan.<br />

Dalam kasus Al Nakheel, ternyata aset yang memberikan<br />

manfaat atau kemampuan tersebut belum dibangun. Bahkan<br />

untuk membangun aset yang dimaksud akan digunakan<br />

dana US$3,52 miliar yang diperoleh dari penerbitan sukuk<br />

ijarah. Dana lebih dari Rp.30 triliun adalah dana yang sangat<br />

besar. Untuk membangun aset senilai US$3,52 miliar, tentu<br />

memerlukan waktu yang cukup lama. Sementara jangka<br />

waktu sukuk ijarah hanya 3 tahun, tidak memadai untuk bisa<br />

membangun dan memperoleh hasil sewa yang diperlukan.<br />

155


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Apalagi mengingat aset yang dimaksud adalah aset wisata yang<br />

mewah.<br />

Imbal hasil (sewa) yang dijanjikan adalah 6,345% per tahun<br />

atau dalam 3 tahun berarti 19,035%. Jika untuk membangunnya<br />

saja membutuhkan waktu 12 bulan untuk membangun—ini<br />

juga cukup mustahil, dan seluruh aset mewah tersebut disewa<br />

selama 18 bulan, maka nilai keuntungan dari sewa—dipotong<br />

biaya operasi dan biaya lainnya—harus lebih dari 1% per bulan.<br />

Hal yang sangat sulit dilaksanakan. Jadi, salah akadnya atau salah<br />

yang menerapkan akad Belum lagi opsi membeli saham sebelum<br />

IPO pada harga diskon, membawa peluang kondisi keraguan<br />

yang merugikan (gharar) dan godaan untuk mengambil risiko<br />

yang berlebihan (maysir).<br />

Yang jelas, kerja sama antara pemilik atau penguasa aset<br />

dengan pihak atau perusahaan yang memerlukan manfaat atau<br />

kemampuan dari aset tersebut adalah kerja sama yang akan<br />

saling menguntungkan. Bila dijalankan sesuai dengan ketentuan,<br />

jurus sewa manfaat akan membuat semua pihak kaya, semua<br />

pihak bahagia.<br />

Jurus Tolak Risiko III: SBSN<br />

Instrumen pembiayaan jangka panjang yang lazim di pasar<br />

modal adalah obligasi. Menurut ketentuan Bapepam-LK, obligasi<br />

adalah surat pengakuan utang jangka panjang yang diterbitkan<br />

oleh suatu pihak atas pinjaman uang dari masyarakat dengan<br />

imbalan bunga tertentu dan pembayaran se<strong>cara</strong> berkala. Bila<br />

yang menerbitkan surat pengakuan utang tersebut adalah<br />

Pemerintah (atas nama Negara), namanya menjadi Surat Utang<br />

Negara (SUN). Dan menurut ketentuan Undang-undang, SUN<br />

156


KENDALIKAN RISIKO<br />

adalah surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun<br />

valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya<br />

oleh Negara Republik Indonesia.<br />

“Bank Century harus<br />

memberikan informasi<br />

yang memadai kepada<br />

nasabah—Bank Century<br />

harus menghindari<br />

kondisi gharar.”<br />

Dalam dunia keuangan,<br />

imbal hasil yang diberikan<br />

oleh efek yang diterbitkan<br />

oleh negara disebut sebagai<br />

risk-free return. Maksudnya,<br />

imbal hasil yang bebas risiko.<br />

Sebenarnya bukan benarbenar<br />

bebas risiko, tetapi<br />

risiko yang terkandung di dalamnya adalah risiko yang akan<br />

dihadapi oleh semua efek di negara itu. Jadi, karena semua<br />

menghadapi hal yang sama, maka risiko tersebut menjadi titik<br />

acuan, alias dianggap tidak ada, sehingga SUN menjadi acuan<br />

untuk semua efek utang yang konvensional. Tetapi, bagaimana<br />

untuk efek yang syariah Adakah efek yang dapat dipakai sebagai<br />

acuan untuk efek syariah<br />

Sejak UU tentang Surat Utang Negara ditetapkan pada<br />

tahun 2002, saya telah beberapa kali bertemu dengan Pak<br />

Fuad Rachmany, Pak Rahmat Waluyanto, dan Pak Dahlan<br />

Siamat untuk menyampaikan usulan penerbitan SUN <strong>Syariah</strong>.<br />

Mengingat obligasi syariah dapat diterbitkan dengan memakai<br />

ketentuan UU mengenai obligasi (konvensional), maka saya<br />

usulkan bagaimana kalau diterbitkan SUN <strong>Syariah</strong> dengan<br />

memakai ketentuan mengenai SUN. Pada prinsipnya, Pak Fuad<br />

dan teman-teman di PMON sangat mendukung diterbitkannya<br />

SUN <strong>Syariah</strong>, tetapi karena UU tentang SUN sangat spesifik<br />

sehingga se<strong>cara</strong> hukum kurang tepat bila dipakai untuk<br />

157


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

menerbitkan SUN <strong>Syariah</strong>. Di samping itu, banyak pertanyaan<br />

mengenai struktur (ikatan/akad) dan nama dari efek tersebut.<br />

Istilah surat utang dirasa kurang tepat. Selain itu, penerbitan<br />

SUN tidak harus didukung oleh suatu aset tertentu, sedangkan<br />

sukuk ijarah harus didukung oleh suatu aset tertentu. Bagaimana<br />

seharusnya<br />

Obligasi adalah istilah Indonesia yang berasal dari bahasa<br />

Inggris, obligation. Artinya, kewajiban. Namun istilah yang<br />

dipakai untuk obligasi dalam bahasa Inggris adalah bond. Arti<br />

kata bond adalah ikatan. Sedangkan padanan kata ikatan dalam<br />

bahasa Arab adalah akad.<br />

Pada awal penerbitan obligasi yang sesuai dengan prinsip<br />

syariah, digunakan istilah obligasi syariah. Tetapi kemudian<br />

istilah “obligasi syariah” diganti dengan istilah sukuk, yakni<br />

dari istilah bahasa Arab yang padanan katanya dalam bahasa<br />

Indonesia adalah surat berharga. Sedangkan istilah yang dipakai<br />

dalam UU Pasar Modal untuk surat berharga adalah efek.<br />

Jadi, obligasi adalah kewajiban adalah bond adalah<br />

ikatan adalah akad adalah sukuk adalah surat berharga<br />

adalah efek.<br />

Seru juga, ya<br />

Sementara itu, dalam kaidah syariah dinyatakan bahwa<br />

tidak boleh membayar utang dengan mengambil utang baru.<br />

Istilah dalam dunia perbankan untuk praktik tersebut adalah<br />

evergreen loan. Maksudnya, utang yang tidak pernah terbayar<br />

lunas. Mungkin istilah umum yang lumrah di Indonesia adalah<br />

gali lubang (untuk) tutup lubang. Lalu, kapan beresnya<br />

158


KENDALIKAN RISIKO<br />

Mengapa istilah obligasi atau bond dihindari Ternyata<br />

mirip dengan istilah pinjaman atau kredit yang juga dihindari.<br />

Obligasi atau bond, se<strong>cara</strong> umum dikenal sebagai surat<br />

utang, dan umumnya memberi hasil berupa bunga. Karena<br />

ada kaidah tidak boleh membayar utang dengan utang,<br />

yang kemudian diartikan bahwa tidak boleh berinvestasi pada<br />

utang. Dan juga, karena pinjaman dalam bahasa Arab adalah<br />

qard, dan istilah qard umumnya bersambungan dengan hasanah<br />

menjadi qard al hasan. Maknanya, pinjaman untuk kebaikan.<br />

Pada qard al hasan tidak boleh ada tambahan atau bagi hasil.<br />

Oleh karena istilah pinjaman atau kredit dihindari, mestinya<br />

istilah obligasi dan bond juga dihindari.<br />

Dengan demikian, untuk penempatan dana yang harus<br />

dikembalikan kembali dan berhak mendapat bagi-hasil atau<br />

marjin atau sewa, istilah yang tepat untuk digunakan adalah<br />

pembiayaan. Dan digunakan istilah sukuk yang berarti sertifikat<br />

atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian<br />

penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: 1)<br />

kepemilikan aset berwujud tertentu; 2) nilai manfaat dan jasa<br />

atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau<br />

3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi<br />

tertentu. Dengan definisi tersebut, tentunya instrumen seperti<br />

yang diterbitkan tanpa ada kejelasan nilai manfaat atau proyek<br />

atau aset tertentu tidak bisa dinamakan sukuk.<br />

Bagaimana dengan yang diterbitkan oleh Al Nakheel seperti<br />

yang dituturkan di atas<br />

Silakan analisa sendiri.<br />

159


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Akhirnya, pada 2008, lebih dari lima tahun sejak saya<br />

presentasikan SUN <strong>Syariah</strong> ke Pak Fuad Rachmany dan temanteman,<br />

UU tentang Surat Berharga <strong>Syariah</strong> Negara (SBSN)<br />

ditetapkan oleh Presiden. Menurut UU tersebut, SBSN atau<br />

Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan<br />

berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti penyertaan dalam<br />

aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.<br />

Oleh karena harus jelas adanya penyertaan dalam aset<br />

tertentu, diharapkan SBSN akan membuat semua bahagia,<br />

semua kaya, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

Jurus Tolak Risiko IV: DSN<br />

Tahun 1995, waktu saya bersama Glenn Yusuf, Agus<br />

Prodjosasmito, dan Edgar Ekaputra Suyanto diangkat menjadi<br />

Direksi di Danareksa, masing-masing mengajukan “mimpi”<br />

yang akan kita wujudkan di Danareksa. Mimpi saya adalah<br />

mengembangkan Islamic mutual fund, walaupun waktu itu<br />

sebenarnya saya belum tahu apa itu Islamic mutual fund.<br />

Alhamdulillah, rupanya Allah SWT sudah menentukan<br />

bahwa tahun itu diterbitkan UU tentang Pasar Modal yang<br />

juga mengatur tentang reksa dana berbentuk kontrak investasi<br />

kolektif (KIK)—yang merupakan implementasi mutual fund<br />

dalam sistem hukum di Indonesia.<br />

Setelah berhasil meluncurkan tiga reksa dana di tahun 1996,<br />

maka pada tahun 1997 mulai mencoba mewujudkan mimpi<br />

saya dengan meluncurkan reksa dana syariah. Waktu itu, kami<br />

tidak bisa menemukan pakar di Indonesia yang faham tentang<br />

Islamic mutual fund atau reksa dana syariah.<br />

160


KENDALIKAN RISIKO<br />

Teringat amar pepatah malu bertanya sesat di jalan,<br />

kami mencoba mencari informasi dan pendapat dari para<br />

ulama serta teman-teman di bank syariah dan asuransi syariah.<br />

Beruntunglah karena saat itu sudah banyak lembaga perbankan<br />

syariah yang membentuk Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong>, seperti di<br />

Bank Muamalat, Syarikat Takaful, dan Bank <strong>Syariah</strong> Mandiri.<br />

Ibarat gayung bersambut, kami segera menghubungi beliaubeliau<br />

yang duduk di Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong>. Ternyata, banyak<br />

di antara mereka yang belum memahami pasar modal—apalagi<br />

reksa dana—dan tidak ada referensi yang jelas mengenai pasar<br />

modal dan reksa dana dari sudut pandang syariah. Alhamdulillah,<br />

K.H. Ma’ruf Amien bersedia mempelajari lebih lanjut, sehingga<br />

kami ajukan nama beliau ke Bapepam. Lebih bersyukur lagi,<br />

karena ajuan kami diterima oleh Bapepam sehingga reksa dana<br />

syariah yang pertama dapat diluncurkan.<br />

Namun, tidak berarti masalahnya selesai. Kenapa Karena,<br />

berani memakai nama “syariah” berarti harus pula siap<br />

bertanggung jawab atas “kehalalan” reksa dana tersebut. Kami,<br />

di Danareksa, jelas tidak memiliki kemampuan untuk itu.<br />

Tetapi, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi<br />

Kemudian, mencuat ide untuk meminta para ulama<br />

berkumpul dan membahas perihal pasar modal. Tetapi karena<br />

cakupan pasar modal cukup luas—sehingga mungkin jadi tidak<br />

efektif, maka diputuskan untuk membatasi pembahasan hanya<br />

pada reksa dana. Aries Mufti—waktu itu menjabat Direktur<br />

Bank Muamalat—bersedia membantu. Maka, Danareksa<br />

menjadi sponsor bagi Bank Muamalat untuk mengadakan<br />

Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana <strong>Syariah</strong>.<br />

161


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Lucu juga ya, Bank Muamalat tidak ada urusan dengan reksa<br />

dana, tetapi mengadakan lokakarya ulama tentang reksa dana.<br />

Segala hajat baik selalu diberkahi. Begitulah. Allah SWT<br />

meridhai niat baik kami. Lokakarya ulama yang membahas<br />

pandangan syariah tentang Reksa Dana ternyata bahkan<br />

mengajukan rekomendasi untuk membentuk Dewan <strong>Syariah</strong><br />

Nasional (DSN) guna mengawasi dan mengarahkan lembagalembaga<br />

keuangan syariah se<strong>cara</strong> nasional, serta menjadi rujukan<br />

bagi Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> pada semua lembaga keuangan<br />

syariah.<br />

Dengan demikian, akan terbentuk kesatuan pendapat dan<br />

fatwa ulama yang akan mengurangi peluang perbedaan pendapat<br />

yang mungkin berpeluang “membingungkan”. Tentu saja, buah<br />

dari semua itu, risiko melakukan kesalahan dalam mengikuti<br />

prinsip syariah dapat dikurangi, karena ada DSN yang se<strong>cara</strong><br />

nasional menerbitkan fatwa-fatwa yang diperlukan. Selain itu,<br />

fatwa-fatwa DSN dapat digunakan sebagai rujukan atau acuan<br />

sehingga kondisi gharar dan maysir dapat dihindari.<br />

Akhirnya, di tahun yang sama, 1999, MUI membentuk<br />

DSN. Lalu, pada April 2000, ditentukan pedoman dasar<br />

dan pedoman pelaksanaan DSN. Kemudian, pada Juni<br />

2003, diterbitkan SK tentang pengembangan organisasi dan<br />

keanggotaan DSN untuk periode 2000-2005. Alhamdulillah,<br />

saya mendapat amanah untuk ikut dalam Badan Pelaksana<br />

Harian dari DSN.<br />

Sungguh, banyak ilmu dan pengalaman yang saya peroleh<br />

selama “terjun” dalam kegiatan DSN. Ilmu tersebut kemudian<br />

berkembang dan sebagian saya paparkan dalam buku yang<br />

162


KENDALIKAN RISIKO<br />

sedang Anda baca ini. Mudah-mudahan bisa menambah amal<br />

ibadah kita.<br />

Dan, insya Allah, semua bahagia dan semua ‘kaya’<br />

akan amal ibadah.<br />

Jurus Tolak Risiko V: Saling Tolong, Saling Jamin<br />

Salah satu jurus mengendalikan risiko adalah mengalihkan<br />

risiko, yang dikenal sebagai asuransi. Menurut ketentuan<br />

undang-undang, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak<br />

atau lebih, di mana salah satu pihak menjadi penanggung dan<br />

mengikat diri kepada pihak lain yang menjadi tertanggung,<br />

dengan menerima premi asuransi untuk memberikan<br />

penggantian atau pembayaran tertentu karena terjadinya<br />

suatu risiko pada pihak tertanggung yang timbul dari suatu<br />

peristiwa yang tidak pasti. Risiko yang ditanggung meliputi<br />

risiko karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan<br />

yang diharapkan, atau karena tanggung jawab hukum kepada<br />

pihak ketiga, atau karena meninggalnya seseorang yang<br />

dipertanggungkan. Tetapi, tertanggung tetap menghadapi suatu<br />

risiko, yaitu bila penanggung terjadi tidak dapat atau tidak<br />

mau memberikan penggantian atau pembayaran sebagaimana<br />

disepakati.<br />

Bagaimana <strong>cara</strong> mengelola risiko dengan adil<br />

Allah SWT telah berfiman (QS 5:2) agar manusia saling<br />

tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa. Dalam firman<br />

ini, Tuhan mengggabungkan kebajikan dan takwa. Ada<br />

pelajaran yang penting dalam firman ini. Manusia diperintahkan<br />

untuk saling tolong menolong dalam kebajikan, yaitu dengan<br />

163


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

saling memberikan kebaikan. Namun, dalam usaha saling<br />

memberikan kebajikan, manusia diingatkan untuk bertakwa—<br />

untuk menerima takdir Allah SWT Yaitu, bila ternyata usaha<br />

mereka untuk saling tolong menolong tidak memberikan hasil<br />

sebagaimana yang mereka harapkan.<br />

Pertama, saling tolong menolong melalui Akad Ta’awun<br />

dengan membentuk suatu dana kumpulan untuk kepentingan<br />

bersama. Kedua, saling melindungi melalui Akad Takaful untuk<br />

memberikan perlindungan (santunan, penggantian, pembayaran)<br />

atas terjadinya suatu risiko sebagaimana yang telah disepakati<br />

bersama. Hal ini disebut ta’awun wa takafuli.<br />

Karena niatnya adalah saling tolong menolong, maka dana<br />

kumpulan adalah dana yang dimaksudkan untuk mendapat<br />

berkah dari Allah SWT Dana yang terkumpul disebut<br />

sebagai dana tabarru’. Dan karena niatnya untuk menolong,<br />

peserta saling tolong ini memberikan dana melalui Akad Hibah<br />

atau Akad Tabarru’ sehingga peserta seharusnya tidak boleh<br />

mengambil kembali (sisa) uangnya yang diberikan ke dalam<br />

dana kumpulan itu.<br />

Agar perlindungan dapat diberikan sesuai dengan hara pan<br />

peserta, tentunya diperlukan kemampuan untuk meng hitung<br />

risiko—kemampuan aktuaria, kemampuan untuk mengad<br />

ministrasikan dana—mulai dari penagihan, pencatatan,<br />

pembukuan, sampai pembayaran, serta kemampuan mengelola<br />

sebagai dana investasi—agar diperoleh hasil pengembangan.<br />

Yang perlu dipahami, tujuannya adalah untuk saling tolong<br />

menolong dan saling melindungi sesuai dengan kemampuan<br />

yang ada. Jadi bila ternyata kemampuannya terbatas, maka<br />

164


KENDALIKAN RISIKO<br />

perlindungan yang diberikan mungkin tidak sesuai harapan.<br />

Mungkin saja dana tabarru’ tidak cukup untuk memberikan<br />

perlindungan kepada peserta yang mengalami risiko yang<br />

terakhir. Tetapi selama tetap mengingat firman Tuhan untuk<br />

saling tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, apa pun<br />

yang terjadi, semua akan merasa bahagia—dan merasa<br />

kaya.<br />

Jurus Tolak Risiko VI: Jaminan PHK<br />

Bagi sebagian besar kita yang tidak punya bakat, nyali, dan<br />

kemampuan untuk berwirausaha, maka pilihan yang paling<br />

aman adalah bekerja di suatu perusahaan. Namun, pilihan yang<br />

paling aman itupun mempunyai risiko yang cukup besar. Salah<br />

satu yang paling menakutkan adalah pemutusan hubungan<br />

kerja (PHK) karena kegiatan usaha menurun (downsizing) atau<br />

bahkan perusahaan terancam ditutup, baik karena masalah<br />

internal maupun karena kondisi pasar atau ekonomi.<br />

Bagaimana solusinya<br />

Sebenarnya, Pemerintah berkewajiban mengupayakan<br />

kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Salah satu upaya yang utama<br />

adalah mengusahakan lapangan kerja bagi seluruh rakyat yang<br />

mampu dan mau bekerja. Dan, bila ada yang kehilangan<br />

pekerjaan, seharusnya Pemerintah memberi santunan atau<br />

bantuan agar dapat hidup layak selama mencari pekerjaan<br />

lain—misalnya selama 6 bulan.<br />

Akan tetapi, bagaimana bila Pemerintah tidak mempunyai<br />

anggaran yang cukup untuk memberi santunan atau bantuan<br />

tersebut (unemployment social security)<br />

165


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia memuat<br />

ketentuan mengenai jaminan pasca hubungan kerja yang lazim<br />

disebut sebagai uang pesangon (PHK) dan uang penghargaan<br />

masa kerja. Jaminan tersebut dihitung berdasarkan masa kerja<br />

dan gaji terakhir. Semua pemberi kerja wajib menyisihkan<br />

sebagian dari hartanya untuk jaminan pasca hubungan kerja<br />

ini, yang dibukukan sebagai kewajiban manfaat karyawan.<br />

Masalahnya, perusahaan yang mengalami penurunan kegiatan<br />

usaha, apalagi yang akan bangkrut, umumnya tidak memiliki<br />

cukup dana untuk memenuhi kewajiban manfaat karyawan<br />

tersebut. Bahkan, seringkali tidak cukup punya uang untuk bayar<br />

gaji, apalagi pesangon. Yang lebih gawat lagi, ada perusahaan<br />

yang berjalan baik tetapi direksi perusahaan tersebut “lupa”<br />

menyisihkan dana jaminan pesangon (PHK), dan komisaris<br />

atau serikat pekerjanya tidak mempersoalkan “kelupaan” ini.<br />

Gawat juga, ya!<br />

Ketika saya memimpin PT. Jamsostek di tahun 2005-2007,<br />

saya menghadapi masalah serupa. Banyak pemberi kerja dan<br />

tenaga kerja yang mengalami masalah dalam pembayaran uang<br />

pesangon (PHK). Umumnya karena perusahaan tidak membuat<br />

cadangan pesangon (PHK) sesuai ketentuan. Bahkan, saya<br />

menemukan data bahwa cadangan uang pesangon (PHK) untuk<br />

karyawan PT. Jamsostek sendiri masih kurang. Alhamdulillah,<br />

tahun 2006, kami berhasil mendapat laba usaha yang jauh<br />

lebih besar dari sasaran yang ditentukan oleh pemegang saham<br />

(Pemerintah), sehingga kami dapat menggunakan sebagian dari<br />

laba usaha (sekitar Rp.200 miliar) untuk memenuhi kekurangan<br />

yang sebenarnya harus dipenuhi oleh direksi sebelum kami<br />

menjabat.<br />

166


KENDALIKAN RISIKO<br />

Tetapi, bagaimana dengan perusahaan yang tidak memperoleh<br />

keuntungan<br />

Salah satu tindakan yang dilakukan adalah “menyalah gunakan”<br />

Jaminan Hari Tua (JHT). Sesuai ketentuan yang berlaku,<br />

pemberi kerja dan tenaga kerja harus ikut program JHT. Program<br />

ini dirancang untuk mempersiapkan tabungan untuk digunakan<br />

setelah peserta mencapai hari tua—yaitu usia 55 tahun. Namun,<br />

kemudian ditambah ketentuan bahwa “tabungan” JHT dapat<br />

diambil setelah peserta tidak lagi bekerja—berarti bukan lagi<br />

memenuhi syarat sebagai tenaga kerja. Tambahan ketentuan<br />

ini lalu “diplesetkan” menjadi dapat diambil setelah 6 bulan<br />

berhenti bekerja. Plesetan ini membuat JHT seakan-akan serupa<br />

dengan jaminan pesangon. Ketika pemberi kerja melakukan<br />

PHK dan tidak dapat membayar pesangon, maka tenaga kerja<br />

yang terkena PHK bisa meminta agar JHT mereka “dicairkan”.<br />

Konsekuensinya, mereka tidak lagi punya tabungan untuk hari<br />

tua. Umumnya para pekerja tersebut berkilah bahwa mereka<br />

membutuhkan uang tersebut untuk meneruskan hidup. Tanpa<br />

uang tersebut mereka tidak bisa mencapai usia 55 tahun.<br />

Bagaimana sebaiknya<br />

Pada awal tahun 2007, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan<br />

untuk membuat program Jaminan Pesangon dengan<br />

prinsip asuransi. Tetapi dari segi asuransi, program ini termasuk<br />

program manfaat pasti (defined benefit), karena manfaat yang<br />

diberikan ditentukan oleh UU bukan berdasarkan iuran yang<br />

dibayarkan. Akibatnya, setelah dihitung se<strong>cara</strong> aktuaria, ternyata<br />

premi/iuran yang harus dibayar menjadi besar sekali. Pengusaha<br />

yang menjadi pemberi kerja keberatan dengan nilai premi/iuran<br />

yang harus dibayar. Jadi, bagaimana penyelesaiannya<br />

167


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Pada kenyataannya, masalah pesangon PHK umumnya<br />

menimpa karyawan atau buruh dengan gaji atau upah yang<br />

kecil. Dan, pada umumnya terjadi pada perusahaan yang<br />

pembukuannya tidak baik—sehingga kekurangan cadangan<br />

dana pesangon tidak diketahui dan dilaporkan dengan baik.<br />

Kalau cadangan dana pesangon mencukupi, tentunya tidak ada<br />

masalah dalam pembayaran pesangon.<br />

Jadi, yang sangat memerlukan perlindungan atau jaminan<br />

adalah tenaga kerja (karyawan/buruh) dengan gaji atau upah<br />

yang di bawah nilai tertentu—katakanlah lebih kecil dari 3x<br />

pendapatan tidak kena pajak, atau PTKP. Dalam hal ini, bisa<br />

dibuat program Jaminan Pesangon (PHK) dengan prinsip<br />

ta’awun dan takafuli. Namun, perlu diingat bahwa menurut<br />

UU yang berlaku, pembayaran uang pesangon adalah kewajiban<br />

pemberi kerja. Jadi, program Jaminan Pesangon (PHK) bukan<br />

menggantikan kewajiban pemberi kerja, melainkan program<br />

untuk membantu tenaga kerja tertentu untuk mendapatkan<br />

haknya berupa uang pesangon.<br />

Dalam program Jaminan Pesangon (PHK), dana ta’awun<br />

di kumpulkan dari pemberi kerja berupa dana amanah yang<br />

dititipkan kepada Penyelenggara program Jaminan Pesangon<br />

(PHK). Dana amanah tersebut merupakan bagian dari<br />

cadangan dana pesangon yang merupakan kewajiban pemberi<br />

kerja. Besarnya ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaria.<br />

Selisihnya—sisa dana pesangon—tetap dikelola oleh pemberi<br />

kerja. Penerima manfaat dari dana amanah adalah tenaga kerja<br />

dengan gaji atau upah tertentu yang bekerja pada pemberi kerja<br />

tersebut.<br />

168


KENDALIKAN RISIKO<br />

Penyelenggara harus memiliki sistem informasi mengenai<br />

tenaga kerja yang ikut program Jaminan Pesangon (PHK), di<br />

mana tenaga kerja tersebut harus dapat mengakses data mengenai<br />

keikutsertaannya pada program dan haknya atas uang pesangon.<br />

Penyelenggara memberikan jaminan (takafuli) atas pembayaran<br />

uang pesangon. Sehingga, bila terjadi PHK atas tenaga<br />

kerja yang ikut program ini, sementara dana amanah<br />

yang dititipkan oleh pemberi kerja ternyata tidak mencukupi,<br />

maka penyelenggara harus menalangi kekurangannya. Dengan<br />

de mikian, tenaga kerja tersebut mendapat jaminan akan memperoleh<br />

uang pesangon yang menjadi haknya. Kemudian, penyelenggara<br />

akan menagih kekurangan dana tersebut kepada<br />

pemberi kerja. Kewajiban pembayaran uang pesangon ditentukan<br />

oleh UU. Oleh karena itu, bila perusahaan pemberi kerja tidak<br />

dapat membayar kekurangan tersebut, maka kewajiban tersebut<br />

beralih kepada pemegang saham.<br />

Pada tahun 2006-2007, kami mengimplementasikan sistem<br />

informasi untuk pelayanan terpadu di PT. Jamsostek. Kami<br />

juga telah memperbaiki aturan akuntansi Jamsostek sehingga<br />

dapat mengelola dana amanah se<strong>cara</strong> terpisah dari aset milik<br />

Jamsostek. Kami juga telah mendapatkan sertifikasi ISO 2001<br />

untuk kegiatan operasi dan investasi di Jamsostek. Dan, pada<br />

saat itu, saldo dana cadangan teknis untuk program JKK, JK,<br />

dan JPK telah lebih besar dari total santunan untuk 3 tahun.<br />

Artinya bila dalam waktu 3 tahun jumlah klaim santunan tidak<br />

bertambah, maka Jamsostek dapat membayar santunan walaupun<br />

peserta tidak membayar iuran.<br />

Mengingat Jamsostek memiliki kompetensi teknologi,<br />

operasional, dan investasi, serta memiliki kekuatan keuangan,<br />

169


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

maka kami usulkan kepada Pemerintah agar program Jaminan<br />

Pesangon (PHK) tersebut diterapkan dengan menunjuk PT.<br />

Jamsostek sebagai penyelenggara. Insya Allah, bila terkena<br />

musibah PHK, tenaga kerja dengan penghasilan di bawah<br />

3x PTKP akan memperoleh haknya berupa uang pesangon<br />

sesuai dengan ketentuan UU. Risiko masalah sosial bisa lebih<br />

terkendali.<br />

Hanya sayangnya, pada saat itu usulan kami belum diterima<br />

oleh Pemerintah.<br />

Jurus Tolak Risiko VII: Lindung Nilai<br />

Salah satu tantangan terbesar bagi petani dan pengusaha<br />

yang bergerak dalam bidang pertanian adalah modal kerja<br />

serta kepastian harga jual. Demikian juga bagi pengrajin<br />

dan pengusaha yang mengekspor produksinya ataupun yang<br />

mengimpor bahan baku untuk produksi. Salah satu tantangan<br />

terbesar adalah modal kerja, kepastian pembayaran ekspor dan<br />

penyerahan impor, serta nilai tukar pada saat pembayaran. Oleh<br />

karena itu, baik petani, pengrajin maupun pengusaha, berusaha<br />

melakukan lindung nilai.<br />

Petani dan pengusaha pertanian memerlukan modal<br />

untuk berproduksi. Masa produksi pertanian memakan waktu<br />

yang cukup lama, hingga kadang-kadang mereka kehabisan<br />

dana. Bahkan, kadang-kadang tidak lagi memiliki uang untuk<br />

melanjutkan hidup dan bekerja, padahal belum masa panen.<br />

Bila dalam kondisi sulit itu mereka tidak mendapat dukungan<br />

pembiayaan, mereka dapat tergoda untuk menjual hasil panen<br />

dengan <strong>cara</strong> ijon. Padahal, ada <strong>cara</strong> lain yang lebih baik.<br />

170


KENDALIKAN RISIKO<br />

Cara yang saya maksud adalah menjual hasil panen<br />

dengan Akad Salam. Pada akad ini, pembeli dapat memberi<br />

pembayaran di muka, baik sebagian maupun seluruhnya,<br />

kemudian menerima penyerahan hasil produksi setelah panen.<br />

Loh, kok sama dengan ijon<br />

Oh, tidak sama!<br />

Dalam akad ijon, pembeli membayar untuk seluruh panen.<br />

Karena itu, tidak jelas kuantitas, kualitas, dan waktu, serta <strong>cara</strong><br />

penyerahan produk pertanian yang menjadi objek jual-beli.<br />

Bila hasil panen lebih banyak atau lebih baik dari perkiraan,<br />

berarti petani akan rugi. Dan, memang pada umumnya petani<br />

terpaksa menerima harga dan perkiraan jumlah yang rendah<br />

karena sangat memerlukan uang untuk terus bertahan hidup<br />

dan berproduksi.<br />

Dalam Akad Salam, petani dan pembeli harus mempunyai<br />

bukti dan keyakinan akan kuantitas dan kualitas hasil panen.<br />

Tentunya dibuat berdasarkan data dan bukti hasil panen<br />

sebelumnya. Kemudian, berdasarkan prakiraan tersebut,<br />

ditentukan kuantitas, kualitas dan waktu serta <strong>cara</strong> penyerahan.<br />

Lalu, ditentukan harga jual-beli.<br />

Bedanya dengan Akad Ijon, bila hasil panen lebih baik dari<br />

perkiraan, maka petani cukup menyerahkan dalam kuantitas<br />

dan kualitas yang telah disepakati. Kelebihannya menjadi<br />

hak—dan keuntungan—petani. Tetapi, bila hasil panen<br />

lebih buruk dari perkiraan, dan kuantitas atau kualitas tidak<br />

sesuai dengan kesepakatan, maka petani harus memenuhi<br />

kekurangannya dengan membeli dari petani lain atau dari pasar.<br />

Jadi, keuntungan petani akan lebih kecil dari yang diharapkan.<br />

171


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Namun, <strong>cara</strong> dengan Akad Salam lebih adil. Pembeli akan<br />

mendapat objek jual-beli sesuai dengan kesepakatan, dan petani<br />

akan mendapat sesuai dengan hasil panen. Dengan kata lain, for<br />

better, for worse semua akan mendapat bagian sesuai takdirnya.<br />

Bagaimana dengan pengrajin atau pengusaha yang melakukan<br />

ekspor-impor<br />

Untuk yang mengekspor, biaya umumnya dalam rupiah,<br />

sedangkan pendapatan dalam valuta asing. Untuk yang<br />

mengimpor, sebagian biaya dalam valuta asing sedangkan<br />

pendapatan dalam rupiah. Dalam titik tertentu, hal seperti ini<br />

akan membawa risiko dan menimbulkan kekhawatiran.<br />

“Bagaimana bila kurs tukar rupiah-valas berubah sehingga<br />

merugikan”<br />

“Apakah ada jurus tolak risiko yang halal”<br />

Jurus yang sama dapat digunakan. Tentunya dengan sedikit<br />

variasi. Tergantung pada situasi yang menimbulkan risiko.<br />

Apakah risiko timbul bila kurs rupiah-valas lebih tinggi dari<br />

perkiraan, atau lebih rendah dari perkiraan. Pengrajin atau<br />

pengusaha dapat mengadakan Akad Salam dengan bank—atau<br />

pihak lain—untuk tukar valas. Pada waktu yang ditentukan,<br />

pengrajin atau pengusaha akan membayar rupiah dengan jumlah<br />

tertentu dan akan menerima valas menurut kurs tukar yang<br />

ditentukan di muka. Atau sebaliknya, membayar valas dengan<br />

jumlah tertentu dan akan menerima rupiah menurut kurs tukar<br />

yang ditentukan di muka.<br />

Sesuai dengan Akad Salam, pengrajin atau pengusaha<br />

harus membayar sebagian dari rupiah (atau valas) di muka.<br />

Dan atas pembayaran uang muka tersebut, bank terikat untuk<br />

172


KENDALIKAN RISIKO<br />

menyerahkan valas (atau rupiah) pada waktu tertentu, bila<br />

pengrajin atau pengusaha melunasi pembayaran. Dan, Akad<br />

Salam juga memungkinkan bank memberi hak kepada pengrajin<br />

atau pengusaha untuk membatalkan pertukaran dengan tidak<br />

melakukan pelunasan. Tetapi, uang muka tetap menjadi hak<br />

bank. Tercipta kondisi win-win karena semua beruntung, dalam<br />

sudut pandang masing-masing.<br />

Jurus Tolak Risiko VIII: Risiko Sistemik<br />

Pada awal tahun 1980-an, saya bekerja di IBM yang<br />

berkantor di Wisma Metropolitan, Jakarta. Pada suatu hari,<br />

ketika sedang memimpin rapat, tiba-tiba terdengar suara<br />

ledakan keras. Rupanya, ada bom mobil—mungkin bom mobil<br />

pertama di Jakarta. Kebetulan saya sedang memandang ke arah<br />

jendela sehingga saya melihat—dan mendengar—ledakan itu.<br />

Kebetulan juga, mobil saya diparkir di dekat tempat terjadinya<br />

ledakan. Saya pun segera turun dan ternyata memang lokasi<br />

mobil saya sangat dekat dengan mobil yang meledak itu. Saya<br />

segera memindahkan mobil saya dan membantu mendorong<br />

mobil-mobil yang ada di sekitar lokasi ledakan. Ternyata ada<br />

satu mobil yang tidak bisa didorong karena rem parkir terpasang.<br />

Setelah ditunggu beberapa lama, sang pemilik mobil tidak juga<br />

datang. Saya khawatir mobil itu ikut terbakar dan akan membuat<br />

situasi tambah berbahaya. Karena itu, saya mengambil batu dan<br />

memecahkan kaca jendela mobil itu. Akhirnya saya berhasil<br />

melepaskan rem parkir, dan bersama-sama kami memindahkan<br />

mobil tersebut.<br />

Setelah kebakaran reda, pemilik mobil datang. Tentu saja ia<br />

kaget melihat mobilnya sudah dipindahkan dan kaca jendelanya<br />

173


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

pecah. Ia marah dan bertanya siapa yang telah memecahkan<br />

kaca mobilnya. Dengan tenang saya sampaikan bahwa sayalah<br />

yang memecahkan kaca jendela mobilnya dan mengutarakan<br />

alasan mengapa melakukannya.<br />

Ternyata pemilik mobil itu tidak bisa menerima penjelasan<br />

saya, dan masih marah. Karena tidak mau ribut-ribut, saya<br />

berikan kartu nama saya dan mempersilakan pemilik mobil<br />

untuk menemui saya guna meminta ganti kerugian. Keesokan<br />

harinya, pemilik mobil datang bersama istrinya. Ternyata, ia<br />

sudah tidak marah lagi, bahkan meminta maaf karena telah<br />

memarahi saya di muka umum. Saya katakan tidak apa, saya<br />

paham, yang penting sekarang kita jadi saling kenal dan mudahmudahan<br />

di lain waktu bisa saling bantu.<br />

Cerita tersebut sering saya pakai untuk membuka diskusi<br />

ketika orang bertanya mengenai kasus Bank Century. Cerita<br />

itu saya pakai sebagai analogi untuk menjelaskan tentang risiko<br />

sistemik.<br />

Sewaktu saya dan pemilik mobil itu memarkir mobil di<br />

tempat parkir, kita tidak tahu bahwa ada mobil yang akan<br />

diledakkan—dan tentunya kita tidak tahu mobil mana yang<br />

akan diledakkan. Jadi, kita memilih tempat parkir yang paling<br />

memudahkan di antara tempat parkir yang ada. Ketika bom<br />

mobil itu diledakkan, otomatis semua mobil yang ada di sekitar<br />

bom mobil tersebut mempunyai risiko ikut terbakar. Terlepas<br />

siapa pemilik mobil tersebut, atau bagus tidaknya mobil tersebut.<br />

Dan bila mobil tersebut berisi bahan bakar yang cukup banyak<br />

dan pada gilirannya turut terbakar, tentu saja akan memperbesar<br />

dampak kebakaran. Itulah ilustrasi dari dampak sistemik.<br />

174


KENDALIKAN RISIKO<br />

Contoh lain adalah masalah Yunani dan Masyarakat<br />

Eropa. Yunani adalah negara kecil di bagian Selatan Eropa<br />

dengan GDP tahun 2009 hanya US$350 miliar. Sementara,<br />

GDP semua negara yang menggunakan mata uang Euro<br />

sekitar US$14 triliun. Artinya, kontribusi GDP Yunani hanya<br />

2,5% dari total GDP Masyarakat Eropa. Dari sudut pandang<br />

perdagangan, ekspor Yunani tahun 2009 hanya US$19 miliar,<br />

dan impor US$63 miliar. Berarti, defisit perdagangan Yunani<br />

sekitar US$43 miliar. Padahal cadangan devisa Yunani hanya<br />

US$4 miliar. Total perdagangan luar negeri Masyarakat Eropa<br />

sekitar US$ triliun, di mana sekitar 60% adalah perdagangan<br />

intra Masyarakat Eropa. Tetapi, kenapa Eropa dan IMF merasa<br />

perlu menyelamatkan Yunani<br />

Rata-rata rasio defisit fiskal negara-negara Eropa adalah<br />

80% dan Yunani yang tertinggi dengan rasio 115%. Defisit<br />

fiskal Yunani terhadap GDP sudah mencapai 14%, sementara<br />

rata-rata negara Eropa mendekati 8%. Berarti, sumber utama<br />

pembiayaan anggaran negara-negara Eropa adalah dengan<br />

menerbitkan obligasi pemerintah. Nah, bila Yunani tidak<br />

dibantu, imbal hasil yang harus dibayarkan oleh Pemerintah<br />

Yunani atas obligasi yang telah diterbitkannya akan meningkat.<br />

Mau tidak mau, hal ini akan menular ke negara-negara Eropa<br />

lainnya. Akibatnya, Pemerintah negara -negara Eropa akan<br />

kesulitan menerbitkan obligasi.<br />

Cerita bom mobil dan kasus Yunani dapat digunakan<br />

dalam membahas masalah yang dihadapi oleh Pemerintah<br />

terkait masalah Bank Century. Ada kaitan hubungan yang tidak<br />

dapat dielakkan. Pertama, masyarakat cenderung bereaksi se<strong>cara</strong><br />

berlebihan atas suatu (berita) risiko yang berpotensi merugikan.<br />

175


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kedua, kenyataan bahwa sebagian besar aset bank di Indonesia<br />

adalah dalam bentuk Surat Utang Negara. Apabila terjadi<br />

penarikan dana yang besar, maka instrumen yang paling mudah<br />

untuk dilikuidasi adalah SUN. Akibat besarnya penawaran jual<br />

SUN, maka harga pasar SUN akan turun. Berarti imbal hasil<br />

SUN akan naik. Siapa yang harus membayar kenaikan imbal<br />

hasil SUN tersebut Tentu saja seluruh rakyat Indonesia melalui<br />

Pemerintah.<br />

Sebenarnya di mana masalah utamanya<br />

Menurut hemat saya, masalah utama adalah kezhaliman.<br />

Mungkin Anda bertanya, “Apa maksudnya”<br />

Begini, nasabah yang menempatkan dana di Bank Century<br />

sebenarnya cukup mengetahui situasi Bank Century, karena<br />

sudah cukup banyak berita di media massa mengenai Bank<br />

Century. Jadi, kalau mereka tidak mau mengambil risiko, maka<br />

kemungkinan besar mereka akan menempatkan dana mereka<br />

di bank yang lebih kecil risikonya.<br />

Persoalannya, mengapa mereka tetap mau menempatkan<br />

dana di Bank Century<br />

Pertama, karena mereka mengharapkan mendapatkan imbal<br />

hasil yang lebih besar—karena Bank Century menjanjikan<br />

bunga yang lebih besar. Apakah mungkin kita mendapatkan<br />

imbal hasil yang lebih besar, namun tetap aman Se<strong>cara</strong> teoritis,<br />

mungkin saja—walaupun se<strong>cara</strong> pribadi saya kurang setuju—<br />

yaitu menempatkan dana dalam batasan yang ditentukan<br />

oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Sehingga bila<br />

terjadi masalah dengan bank tersebut, setidaknya kita masih<br />

mendapatkan kembali pokok dana yang ditempatkan tersebut.<br />

176


KENDALIKAN RISIKO<br />

Masalahnya, LPS memberikan batasan jumlah simpanan<br />

serta batasan bunga untuk mendapatkan jaminan LPS.<br />

Kalau simpanan kita lebih besar, terpaksa kita mengandalkan<br />

kemampuan bank mengembalikan dana simpanan kita.<br />

Kedua, ada penempatan yang dialihkan ke “reksa dana”<br />

yang dipasarkan oleh staf yang berkantor di kantor cabang Bank<br />

Century. Apakah nasabah tahu dan faham mengenai reksa dana<br />

ini Mungkin tahu dan paham, mungkin juga tidak. Kalau<br />

nasabah tahu dan paham, seharusnya mereka siap menanggung<br />

risiko. Bila tidak tahu dan tidak paham, mengapa mereka mau<br />

memindahkan simpanan mereka ke “reksa dana” tersebut Jadi,<br />

salah siapa<br />

Kemudian, bagaimana tanggung jawab Pemerintah sebagai<br />

otoritas dalam perbankan dan dalam pasar modal (reksa dana)<br />

Pertama, sebagai otoritas perbankan, sebenarnya Pemerintah<br />

sudah menerapkan jurus saling tolong-saling jamin. Pemerintah<br />

sudah mendirikan LPS, para nasabah—melalui bank tempat<br />

mereka menyimpan dana—telah membayar iuran. Dana<br />

tabarru hasil iuran para nasabah tersebut dikelola oleh LPS<br />

untuk memberikan jaminan kepada (bagian) dari para nasabah<br />

tersebut yang menderita akibat terjadinya risiko—bank tidak<br />

bisa mengembalikan simpanan mereka. Jadi, Pemerintah sudah<br />

menjalankan tugasnya.<br />

Mungkin ada pertanyaan, dapatkah jaminan tersebut<br />

ditingkatkan dengan menghilangkan batasan nilai yang<br />

dijamin—istilahnya, full guarantee Jawabannya, ya. Tentu saja<br />

dapat. Untuk itu, nilai premi perlu dihitung dan tetap saja akan<br />

ada persyaratan yang perlu dipenuhi oleh pihak bank.<br />

177


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Kemudian, mengenai peran Pemerintah terkait “reksa dana”<br />

yang dipasarkan oleh karyawan yang berkantor di Bank Century.<br />

Tentunya, Bank Century harus memberikan informasi yang<br />

memadai kepada nasabah—Bank Century harus menghindari<br />

kondisi gharar. Dan nasabah harus punya kesadaran. Nasabah<br />

harus bisa menghindari kondisi maysir. Pemerintah, melalui<br />

Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dan melalui Bapepam<br />

selaku otoritas pasar modal, harus mengupayakan agar jangan<br />

ada pihak yang memberikan informasi yang tidak benar. Bila hal<br />

itu terjadi, maka seharusnya pihak tersebut—yang memasarkan<br />

“reksa dana” di kantor Bank Century—dikenakan tuntutan<br />

sesuai peraturan UU yang berlaku.<br />

Dengan demikian, jelas bahwa risiko sistemik adalah<br />

risiko yang nyata, yang akan dihadapi oleh semua pihak yang<br />

bersentuhan dengan dunia keuangan. Ada “biaya” yang harus<br />

dibayar untuk mengatasi dampak risiko sistemik tersebut. Biaya<br />

yang harus ditanggung oleh pemilik dana—melalui pembayaran<br />

premi LPS—dan biaya yang ditanggung oleh rakyat. Ada pilihan<br />

biaya yang ditanggung oleh rakyat, yaitu melalui peningkatan<br />

imbal hasil SUN dan SBSN, atau melalui modal Pemerintah<br />

di LPS. Yang jelas, kalau semua pihak—otoritas, lembaga<br />

keuangan, pemilik dana—bersungguh-sungguh menghindari<br />

kondisi gharar dan maysir, serta menerapkan jurus saling tolong,<br />

saling jamin, seyogyanya risiko dapat dikendalikan. Sayangnya,<br />

godaan setan memang berat. Dengan keimanan yang memadai<br />

kita akan dapat mengatasinya. Insya Allah.<br />

Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />

syariah.<br />

178


Bab 9<br />

Bersama Kita Bisa!<br />

Tersebutlah suatu negara antah berantah di sebuah pulau<br />

kecil yang hanya dihuni oleh sekelompok manusia. Pulau tersebut<br />

banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga menarik minat kawanan<br />

monyet untuk menetap di sana. Penduduk di pulau itu—kita sebut<br />

saja Pulau Monyet—hidup sederhana, namun cukup bahagia.<br />

Pohon kelapa memberikan berbagai hasil yang dapat memenuhi<br />

kebutuhan mereka, sementara monyet berperan untuk memetik<br />

kelapa, sekaligus dilatih sebagai hiburan.<br />

Pada suatu ketika, datang seorang investor asing bernama<br />

Mr. Ferry Greedy. Menurutnya, monyet-monyet di sana cocok<br />

untuk dijadikan skilled monkeys alias tenaga terlatih untuk<br />

membuat produk-produk khusus yang sangat berbahaya jika harus<br />

dikerjakan oleh manusia. Monyet-monyet itu juga dibutuhkan<br />

untuk mendukung kegiatan penelitian. Untuk kepentingan itulah, ia<br />

menemui pemuka masyarakat Pulau Monyet dan menyampaikan<br />

minatnya untuk mengekspor skilled monkeys ke luar negeri.<br />

179


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Guna membuktikan keseriusannya, Mr. Ferry Greedy menunjukkan<br />

beberapa brosur dan proposal tentang pusat pe nelitian<br />

dan konsep produksi yang membutuhkan tenaga skilled monkeys.<br />

Rencananya, ia akan mendirikan monkeys training camp (MTC)<br />

dan membeli monyet-monyet untuk dilatih terlebih dahulu.<br />

Rencana bisnis Mr. Greedy sontak mendapat persetujuan<br />

pemuka masyarakat dan warga Pulau Monyet. Sebagai bentuk<br />

awal penanaman modal asing di sana, ia mendirikan fasilitas MTC<br />

berbentuk beberapa kandang besar untuk monyet-monyet. Ia juga<br />

mengumumkan bahwa MTC akan membeli 2.000 ekor monyet<br />

dengan harga US$10 per ekor.<br />

Penduduk kaget, namun gembira mendengar pengumuman<br />

tersebut. Mereka pun berbondong-bondong menangkap monyet<br />

untuk dijual ke MTC. Tak heran, target Mr. Greedy membeli<br />

2.000 ekor monyet terpenuhi hanya dalam waktu satu minggu.<br />

Kemudian, Mr. Greedy menyatakan bahwa monyet-monyet<br />

ter sebut ternyata “bermutu tinggi”. Karena itulah, ia kembali<br />

bermaksud membeli 2.000 ekor monyet dengan harga lebih<br />

tinggi, US$15 per ekor.<br />

Bukan main. Permintaannya lagi-lagi terpenuhi hanya dalam<br />

waktu 2 minggu. Kemudian, dengan pertimbangan populasi<br />

monyet yang telah sangat menurun, ia kembali mengumumkan<br />

bahwa harga beli monyet telah meningkat menjadi US$20 per<br />

ekor. Namun, MTC tetap bersedia membeli semua monyet yang<br />

ditawarkan.<br />

Singkat cerita, hampir semua monyet yang ada di pulau itu,<br />

atau sebanyak 4.321 ekor telah ditangkap dan dijual ke MTC.<br />

Namun, menurut Mr Greedy, permintaan luar negeri terus<br />

meningkat. Karena itulah, ia kembali mengumumkan niatnya<br />

180


BERSAMA KITA BISA!<br />

untuk membeli monyet. Mr. Greedy menyebut angka US$45 per<br />

ekor. Tapi sayang, sudah tidak ada lagi monyet di sana. Dengan<br />

alasan itulah Mr. Greedy pergi mencari skilled monkeys di pulaupulau<br />

tetangga. Selama Mr. Greedy pergi, pengawasan MTC ia<br />

serahkan kepada asistennya, Pak Culas.<br />

Sepeninggal Mr. Greedy, Pak Culas menemui beberapa<br />

penduduk. Setengah berbisik ia menawarkan untuk menjual<br />

monyet yang ada di MTC dengan harga US$30 per ekor ke pada<br />

penduduk Pulau Monyet. Strateginya, Pak Culas akan berbohong<br />

kepada Mr. Greedy dengan mengatakan bahwa semua skilled<br />

monkeys di MTC telah kabur. Kandang-kandang di MTC jebol<br />

akibat serangan babi hutan ketika terjadi hujan lebat di suatu<br />

malam.<br />

Penduduk pun terbuai oleh tawaran Pak Culas. Maklum,<br />

terbayang keuntungan besar dari hasil penjualan monyet yang<br />

harganya telah membengkak menjadi US$45 per ekor, seperti<br />

tawaran Mr. Greedy. Dengan harga beli yang cuma US$30<br />

per ekor, mereka akan memperoleh keuntungan 50%. Jadi, tak<br />

usah heran jika dalam waktu singkat Pak Culas berhasil menjual<br />

4.000 ekor monyet di MTC kepada penduduk Pulau Monyet.<br />

Total jenderal, Pak Culas berhasil mengumpulkan dana sebesar<br />

US$120.000 dari hasil penjualan monyet-monyet yang selama<br />

ini ditampung di MTC.<br />

Keesokan harinya, Pak Culas minta ijin pada tetangga untuk<br />

pulang kampung. Menurutnya, ia baru menerima kabar bahwa<br />

istrinya sakit keras. Pak Culas memberikan honor US$100 kepada<br />

seorang tetangga untuk menjaga MTC selama seminggu. Tapi<br />

itulah, hingga berminggu-minggu penduduk menunggu di rumah<br />

yang penuh monyet, Pak Culas maupun Mr. Greedy tak pernah<br />

lagi kelihatan batang hidungnya di Pulau Monyet.<br />

181


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Apa yang sebenarnya terjadi<br />

Mari berhitung keuntungan yang berhasil diraup penipu<br />

ulung berkedok investor asing itu. Mr. Greedy dan Pak Culas<br />

menghabiskan dana sekitar US$70.000 untuk mendapatkan<br />

ijin penanaman modal asing, membangun MTC, membeli dan<br />

memelihara monyet. Tetapi mereka pergi dengan membawa<br />

US$120.000 atau meraup untung US$50.000 dalam waktu<br />

kurang dari 3 bulan. Fantastis!<br />

Tetapi, salah siapa<br />

Usaha adalah Risiko<br />

Agar berhasil dan menjadi kaya, kita harus berusaha.<br />

Dalam melakukan usaha, kita harus mengambil keputusan di<br />

tengah ketidakpastian hasil, harus berani mengambil risiko. Itu<br />

sebabnya dikenal pemeo, “Business is risk, if you don’t want to<br />

take any risk, don’t go to business”. Usaha adalah risiko, bila tidak<br />

berani mengambil risiko, maka jangan memulai suatu usaha.<br />

Sementara setiap usaha harus dibentuk berdasarkan suatu<br />

tujuan. Sebagai hamba Allah SWT, tentunya tujuan hidup adalah<br />

memenuhi perintah Allah SWT, dengan ukuran keberhasilan<br />

adalah mencapai akhir yang baik, husnul khotimah. Sehingga,<br />

usaha apa pun yang kita lakukan harus ditujukan untuk<br />

mencapai ukuran keberhasilan tersebut. Namun, bagaimana<br />

<strong>cara</strong>nya<br />

Allah SWT telah berfirman bahwa barangsiapa menghendaki<br />

keuntungan di akhirat, maka Allah SWT akan menambahkan<br />

keuntungan tersebut di dunia dan di akhirat. Sedangkan<br />

barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, maka Allah<br />

182


BERSAMA KITA BISA!<br />

hanya akan memberikan keuntungan di dunia dan tidak<br />

sedikit pun keuntungan di akhirat (QS 42:20). Allah SWT<br />

juga menyatakan bahwa manusia harus mencari apa-apa yang<br />

telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya berupa kebahagiaan<br />

di akhirat, namun juga diperintahkan agar tidak melupakan<br />

bagiannya yang halal dari kenikmatan duniawi (QS 28:77).<br />

Di samping itu, Allah SWT juga menegaskan bahwa bagi<br />

manusia yang bertakwa, akhir lebih baik daripada awal,<br />

yang berarti hasil di akhirat lebih baik atau lebih utama daripada<br />

hasil di dunia (QS 93:04).<br />

Jadi, jelas bahwa hasil yang utama atau tujuan utama dari<br />

segala usaha dalam hidup kita sebagai hamba Allah SWT adalah<br />

memperoleh keuntungan atau kebahagiaan di akhirat. Tetapi<br />

kita diperintahkan untuk tidak melupakan hak atas hasil berupa<br />

kenikmatan yang halal di dunia.<br />

Sehingga dalam berusaha, kita harus mencari hasil atau<br />

kemaslahatan untuk diri sendiri, yang kemudian hasilnya harus<br />

dapat memberikan kemaslahatan untuk keluarga, kelompok,<br />

atau perusahaan tempat kita berada. Kemudian, hasil yang<br />

diberikan untuk keluarga, kelompok, atau perusahaan tersebut<br />

harus terakumulasi menjadi hasil ekonomi di negara kita. Dan<br />

seterusnya, hasil ekonomi di negara kita harus menciptakan<br />

hasil atau keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia.<br />

Hanya saja, praktiknya tidaklah semudah itu.<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong> mencari keseimbangan antara keuntungan<br />

individu, keuntungan usaha, keuntungan ekonomi, dan keuntungan<br />

umat manusia”<br />

183


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Dan, bagaimana mencari keseimbangan antara keuntungan<br />

di dunia dan kebahagiaan di akhirat”<br />

Allah SWT berfirman bahwa manusia tidak boleh<br />

melakukan sesuatu yang risiko berbuat dosanya lebih besar<br />

daripada peluang mendapatkan manfaat (QS 02:219). Karena<br />

itu, jelas bahwa dalam berusaha, manusia dianjurkan untuk<br />

mengutamakan perolehan hasil dengan Asas Manfaat. Untuk<br />

menciptakan manfaat yang berpotensi memberikan hasil<br />

keuntungan, usaha harus mengeluarkan biaya. Dan, walaupun<br />

sudah berusaha dan sudah mengeluarkan biaya, terdapat<br />

risiko bahwa hasil yang diperoleh bisa lebih kecil dari usaha<br />

dan biaya yang telah dikeluarkan. Kenyataan ini menegaskan<br />

bahwa manusia tidak boleh mengharapkan hasil, bila tidak<br />

mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan biaya dan tidak<br />

punya kemampuan untuk memahami risiko yang terkait dengan<br />

usaha dan pengeluaran biaya tersebut.<br />

Allah SWT juga telah memerintahkan semua orang yang<br />

beriman untuk tidak mengambil harta antara sesama dengan<br />

<strong>cara</strong> yang bathil, tetapi harus dengan jalan perniagaan yang<br />

berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha (QS 4:29).<br />

Esensi dari perintah ini, manusia harus mengejar manfaat<br />

dengan <strong>cara</strong> yang thoyib, <strong>cara</strong> yang baik dan dengan pemahaman<br />

akan risiko yang diambil, sehingga akan saling ridha atas<br />

hasil yang diperoleh. Itulah sebabnya, akad-akad yang sesuai<br />

dengan ketentuan Allah SWT akan mengutamakan Asas<br />

Manfaat. Karena itu, dikenal kaidah hasil adalah fungsi dari<br />

pengeluaran biaya atau istilahnya al kharaj bi al dhaman, serta<br />

kaidah hasil adalah fungsi dari risiko yang telah diambil,<br />

atau istilahnya alghunmu bi al ghumi.<br />

184


BERSAMA KITA BISA!<br />

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang sahabat<br />

yang menempatkan dana untuk digunakan dalam kegiatan usaha<br />

yang dikelola oleh seorang sahabat yang lain. Pada masa itu,<br />

risiko usaha cukup tinggi karena infrastruktur pengangkutan dan<br />

sarana pembayaran antardaerah masih sangat terbatas. Untuk<br />

membatasi risiko atas dana yang dimilikinya, sahabat pemilik<br />

dana memberi syarat atau batasan tertentu kepada sahabat<br />

pemilik usaha. Syaratnya, aset yang dibeli dengan dananya<br />

tidak boleh dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah<br />

yang berbahaya, atau untuk membeli ternak. Nabi Muhammad<br />

SAW menyetujui adanya syarat atau batasan ini, karena dengan<br />

demikian modal yang dimiliki oleh sahabat pemilik dana dapat<br />

menjadi produktif dan bermanfaat bagi masyarakat, sementara<br />

risiko masih dalam batas yang dapat diterima.<br />

Dalam hubungan kerja<br />

sama antara pemilik modal<br />

dengan pemilik usaha, di<br />

mana pemilik modal menye<br />

diakan seluruh modal<br />

untuk usaha, terdapat kaidah<br />

khusus. Kaidah tersebut menen<br />

tukan bahwa sebelum<br />

kerja sama dimulai, pemilik<br />

“Yang lebih<br />

membanggakan, ternyata<br />

IDB “belajar” dari<br />

Danareksa mengenai<br />

pengelolaan portofolio<br />

pembiayaan.”<br />

modal dan pemilik usaha harus sepakat atas rasio atau nisbah<br />

pembagian hasil keuntungan yang akan diperoleh. Namun,<br />

bila ternyata terjadi kerugian, maka kerugian harus ditanggung<br />

sepenuhnya oleh pemilik modal.<br />

Ketentuan ini dibuat mengingat pemilik usaha tidak ikut<br />

menyetor modal, melainkan hanya memberi kontribusi berupa<br />

185


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tenaga, kemampuan, pengalaman, dan jaringan. Jadi, bila terjadi<br />

kerugian dan pemilik usaha harus ikut menanggung kerugian,<br />

maka pemilik usaha akan mempunyai utang kepada pemilik<br />

modal karena pemilik usaha tidak menyetor modal yang dapat<br />

dipakai untuk mengganti kerugian. Kondisi ini tidak diharapkan<br />

terjadi karena akan merusak hubungan kerja sama. Bila terjadi<br />

kerugian, pemilik usaha sudah kehilangan tenaga, waktu, dan<br />

reputasi. Tetapi lain halnya bila pemilik usaha tidak amanah,<br />

maka pemilik usaha harus bertanggung jawab.<br />

Contoh lain tentang sahabat yang mempunyai suatu barang<br />

dan ingin menjualnya ke pasar. Ternyata dalam perjalanan ke<br />

pasar, sahabat pemilik barang bertemu dengan sahabat lain yang<br />

ingin membeli barang tersebut. Kemudian mereka bernegosiasi<br />

dan sepakat melakukan transaksi jual beli sebelum si penjual<br />

sampai ke pasar. Namun karena ketentuan yang melarang<br />

pembelian barang sebelum penjual sampai ke pasar, maka mereka<br />

sepakat bahwa penjual mendapat hak khiyar, yaitu hak untuk<br />

meneruskan jual-beli atau membatalkan transaksi bila ternyata<br />

harga di pasar lebih tinggi daripada harga transaksi.<br />

Jelas bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, manusia<br />

telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan manfaat<br />

dari kegiatan usaha, dengan mengendalikan biaya dan risiko<br />

melalui ketentuan-ketentuan tertentu atas akad-akad yang<br />

dibuat.<br />

<br />

Salah satu <strong>cara</strong> menciptakan manfaat adalah melalui akad<br />

kerja sama untuk saling memperkuat sehingga dapat memperoleh<br />

186


BERSAMA KITA BISA!<br />

hasil yang lebih besar dari jumlah hasil se<strong>cara</strong> sendiri-sendiri,<br />

dan dapat menciptakan sinergi.<br />

Allah SWT telah berfirman bahwa Dia telah menjadikan<br />

sebagian manusia lebih baik dari sebagian yang lain, agar dapat<br />

berguna bagi yang lain (QS 43:32). Dengan kata lain, manusia<br />

memang diciptakan untuk dapat berbeda, sebagian diciptakan<br />

untuk lebih baik dari sebagian yang lain supaya dapat berguna<br />

bagi sebagian yang lain tersebut. Sebaliknya, sebagian yang lain<br />

diciptakan untuk membutuhkan sebagian lain yang diciptakan<br />

lebih baik dari mereka. Namun, jarang sekali ada manusia yang<br />

diciptakan lebih baik dalam segala hal dari manusia yang lain,<br />

sehingga tidak pernah memerlukan manusia yang lain.<br />

Karena itu, Ibnu Khaldun menyatakan:<br />

“Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh<br />

atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua<br />

harus saling bekerja sama untuk memperoleh kebutuhan<br />

hidup dalam peradabannya. Hasil kerja sama sejumlah<br />

ma nusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat<br />

dari jumlah mereka sendiri. Bila pekerjaan penduduk<br />

sebuah kota dibagi-bagikan sesuai dengan kepentingan<br />

dan kebutuhan penduduk itu, maka hasilnya akan lebih<br />

banyak dari yang dibutuhkan (oleh seluruh penduduk<br />

itu).”<br />

Bekerja sama atau berserikat dengan tujuan untuk menggabungkan<br />

kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada<br />

manusia merupakan hal yang sangat dianjurkan.<br />

187


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Allah<br />

SWT telah berfirman:<br />

“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat,<br />

selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang<br />

lain. Jika salah satu pihak berkhianat, Aku keluar dari<br />

(perserikatan) mereka.”<br />

Di samping menganjurkan kerja sama melalui serikat<br />

atau kongsi atau bentuk-bentuk kerja sama ekonomi lainnya,<br />

Allah SWT menegaskan bahwa modal utama dari kerja sama<br />

adalah kejujuran dan kemampuan memegang amanah.<br />

Sedangkan musuh utama kerja sama adalah pengkhianatan.<br />

Dapat dipahami bahwa persekutuan yang paling baik adalah<br />

persekutuan dengan pihak yang paling bermodal dan paling<br />

berkuasa. Dan Allah SWT adalah Yang Maha <strong>Kaya</strong> dan<br />

Mahakuasa. Sehingga dengan menyatakan bahwa Allah SWT<br />

akan menjadi sekutu dari semua manusia yang berserikat,<br />

selama tidak ada di antara mereka yang berkhianat. Itu adalah<br />

endorsement atau dukungan yang paling tinggi yang dapat<br />

diterima oleh manusia, oleh hamba Allah SWT Bila saja manusia<br />

dapat memahaminya.<br />

Pada masa Nabi Muhammad SAW, beliau menetapkan<br />

bahwa tanah-tanah yang mengandung air, baik untuk air minum,<br />

air pertanian maupun air garam, serta padang rumput dan hutan<br />

adalah milik bersama, milik seluruh umat manusia. Namun,<br />

Nabi Muhammad SAW juga pernah memberikan kepada orang<br />

Yahudi hak untuk mengelola tanah di Khaibar dengan prinsip<br />

bagi hasil tertentu. Kebijakan ini menandaskan, walaupun<br />

188


BERSAMA KITA BISA!<br />

sumber daya yang menyangkut kepentingan masyarakat harus<br />

dikuasai negara sebagai aset negara. Namun aset negara dapat<br />

pula dikelola melalui kontrak kerja sama untuk meningkatkan<br />

produktivitasnya. Dan, semua manusia—tanpa memandang<br />

agama atau golongan—mempunyai kesempatan yang sama<br />

menjadi mitra negara dalam mengelola aset negara tersebut.<br />

kerja sama antara badan atau lembaga umumnya dilakukan<br />

melalui suatu perjanjian atau ikatan (akad).<br />

Dalam akad kerja sama antara badan usaha ataupun lembaga<br />

Pemerintah, harus ditetapkan bagi hasil atau imbal jasa<br />

bagi badan atau lembaga yang menjadi mitra sesuai dengan<br />

kon tribusinya dalam peningkatan nilai. Bila bagi hasil dilakukan<br />

atas hasil produksi, baik bagi hasil pendapatan maupun bagi<br />

hasil keuntungan, maka akad yang berlaku tergantung pada<br />

hubungan dan kontribusi para pihak yang bekerja sama.<br />

Pada masa Khalifah Umar ditetapkan bahwa bagi hasil atas<br />

penggunaan tanah pemerintah adalah 50% dari hasil produksi,<br />

sedangkan bila seluruh modal dan biaya dibebankan kepada<br />

negara maka hasil untuk pengelola adalah sepertiga (33%).<br />

Kalau semua pihak sama-sama memberikan kontribusi<br />

modal atau aset dan kontribusi kemampuan usaha, akad kerja<br />

sama yang terjadi disebut Akad Musyarakah atau Shirkah.<br />

Mirip dengan kerja sama melalui badan hukum berbentuk perseroan<br />

terbatas. Perbedaannya terdapat pada penentuan bagi<br />

hasil (dividen). Karena dalam hal musyarakah, rasio pembayaran<br />

dividen (dividend payout ratio) atau nisbah bagi hasil harus<br />

ditentukan di muka (awal tahun anggaran). Sedangkan pada<br />

per seroan terbatas umumnya ditentukan pada setelah periode<br />

pem bukuan berakhir.<br />

189


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Bila ada satu pihak yang memberikan harta atau aset<br />

dan ada pihak lain yang menjadi pengelola atau pengusaha,<br />

dalam istilah syariah, pemilik harta adalah shahibul maal dan<br />

pengusaha adalah ‘mudharib’. Ada pun akadnya disebut Akad<br />

mudharabah. Pada akad ini, kerugian menjadi tanggung jawab<br />

pemilik harta, sedangkan keuntungan dibagi antara pemilik<br />

harta dan pengusaha menurut nisbah bagi hasil yang ditentukan<br />

di muka. Di samping itu, pemilik harta berhak sewaktu-waktu<br />

menarik penempatan dana atau hartanya.<br />

Mengapa ikatan musyarakah dan mudharaba lebih adil<br />

Baiklah, kita kaji jurus-jurus berikut ini.<br />

<br />

Saya sering mendapat pertanyaan maupun pernyataan yang<br />

menyatakan bahwa investasi dalam bentuk saham maupun<br />

obligasi di pasar modal adalah haram. Karena saham maupun<br />

obligasi hanyalah secarik kertas. Juga jual beli saham di bursa<br />

efek sama saja dengan judi. Bahkan, yang lebih menarik, banyak<br />

orang yang tidak bisa membedakan antara pasar modal dengan<br />

bursa saham.<br />

Firman-firman Allah SWT mengenai riba sebagian besar<br />

terdapat dalam surat Al Baqarah. Dalam bahasa Arab, al baqarah<br />

berarti sapi betina. Oleh karena itu, saya sering memakai cerita<br />

tentang sapi betina untuk menjelaskan mengenai perserikatan<br />

dan saham.<br />

Coba kita simak tamsil yang tersirat dari cerita berikut ini.<br />

Ada tiga orang sahabat: Ahmad, Benny, dan Cecep. Mereka<br />

sepakat untuk menjalin usaha bersama. Untuk menjalankan<br />

190


BERSAMA KITA BISA!<br />

usaha itu, mereka sepakat membeli seekor sapi betina yang akan<br />

mereka pelihara di mana susunya akan dijual, kotorannya akan<br />

dibuat pupuk, dan mudah-mudahan bisa melahirkan anak sapi.<br />

Mereka membeli seekor sapi dengan harga Rp.9 juta. Masingmasing<br />

menyeahkan modal Rp.3 juta, sehingga masing-masing<br />

memiliki sepertiga dari sapi betina tersebut.<br />

Sembilan bulan kemudian, sapi semakin gemuk. Selama<br />

jangka sembilan bulan itu pula, sapi peliharaan mereka telah<br />

menghasilkan susu yang banyak. Kotorannya pun telah diolah<br />

menjadi pupuk dan diperjual-belikan. Tiga sekawan itu sangat<br />

gembira karena mendapat hasil yang baik. Lebih-lebih setelah<br />

sapi betina itu bunting. Meeka semakin girang, karena alamat<br />

usaha menjanjikan banyak keuntungan.<br />

“Menerbitkan reksa dana<br />

syariah adalah salah<br />

satu mimpi saya sewaktu<br />

diangkat menjadi Direktur<br />

di Danareksa.”<br />

Tiba-tiba ada masalah<br />

pelik yang pelu mereka atasi.<br />

Cecep mendapat berita dari<br />

kampungnya. Orangtuanya<br />

meminta Cecep segera pulang<br />

kampung, karena orangtua<br />

nya berharap Cecep bisa<br />

me neruskan usaha keluarga di kampung. Karena itu, Cecep<br />

ingin mengambil haknya atas sapi betina tersebut. Bagaimana<br />

<strong>cara</strong>nya Tentu saja, Cecep memiliki hak sepertiga dari sapi<br />

betina itu. Tetapi ada masalah.<br />

“Apa yang harus dilakukan agar modal Cecep bisa di kembalikan,<br />

dan usaha bisa tetap dijalankan”<br />

“Apakah sapi betina harus dipotong dan diambil sepertiganya”<br />

191


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Tentu <strong>cara</strong> yang terbaik bukanlah dengan memotong sapi<br />

betina yang sedang bunting, tetapi adalah mencari orang lain<br />

yang mau menggantikan Cecep dalam investasi di sapi betina<br />

tersebut. Tentunya Ahmad atau Benny juga boleh.<br />

Pertanyaan berikut yang tak kalah pelik.<br />

“Berapa nilai penggantian modal Cecep”<br />

“Apakah tetap Rp.3 juta sesuai modal setoran awal”<br />

“Ataukah pada nilai lain”<br />

Sebenarnya, solusinya tidaklah sepelik yang dibayangkan.<br />

Jawabannya adalah mengikuti “nilai pasar”, persis seperti yang<br />

telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang<br />

terjadi pada kasus kurma Bilal.<br />

Tiga sekawan itu hanya perlu mencari tahu berapa harga sapi<br />

betina itu bila dijual di pasar. Katakanlah, sekarang harganya<br />

naik menjadi Rp.12 juta. Maka, nilai hak Cecep adalah sepertiga<br />

dari Rp.12 juta, yaitu Rp.4 juta. Berapa harga yang terjadi<br />

Terserah Cecep dan “investor” yang mau mengambil alih hak<br />

Cecep. Untuk bukti hak atas sapi betina tersebut, bisa saja<br />

tiga sekawan membuat sertifikat kepemilikan atas sapi. Bisa<br />

dibuat tiga lembar, masing-masing menyatakan kepemilikan<br />

atas sepertiga dari sapi betina tersebut. Nilai sertifikat berubah<br />

sesuai dengan nilai atau harga pasar dari sapi betina itu.<br />

Sejatinya, kisah sapi betina di atas hanyalah analogi,<br />

semacam tamsil yang dapat kita hubungkan dengan usaha lain<br />

di era mutakhir ini.<br />

Misalnya, ganti saja sapi betina dengan jenis usaha lain,<br />

seperti foto copy, usaha penyewaan mobil, atau dengan<br />

perusahaan seperti Astra International atau Medco Energi.<br />

192


BERSAMA KITA BISA!<br />

Dengan demikian, sertifikat kepemilikan sapi dapat kita sebut<br />

sebagai saham. Nah, sekarang menjadi lebih mudah. Apakah<br />

jual beli hak atas sepertiga sapi betina yang dinyatakan dengan<br />

sertifikat tadi dinyatakan sebagai jual beli kertas Tentu<br />

jawaban yang tepat, tidak. Dan, apakah akan dikatakan haram<br />

Jawabannya masih sama, tidak. Lalu, apakah mau dikatakan judi<br />

Karena “asset”-nya dan nilai pasar dari “asset” tersebut sangat<br />

jelas, tentu tidak bisa dikategorikan sebagai judi.<br />

Itulah analogi pasar modal.<br />

Pasar adalah pertemuan antara pihak yang saling memerlukan<br />

dan siap untuk menukarkan dengan sesuatu yang dimilikinya.<br />

Pasar ikan adalah pertemuan antara pihak yang punya<br />

ikan dan perlu uang, bertemu dengan pihak yang punya uang<br />

tapi perlu ikan. Demikian pula pasar burung, pasar buah, dan<br />

lain sebagainya. Pasar modal adalah pertemuan antara pihak<br />

yang punya peluang usaha atau investasi dan perlu modal<br />

bertemu dengan pihak yang punya modal tapi perlu peluang<br />

usaha atau investasi.<br />

Sertifikat atau saham yang dibi<strong>cara</strong>kan sebelumnya, dalam<br />

istilah keuangan disebut sebagai surat berharga dan dalam<br />

istilah pasar modal disebut sebagai ‘efek’. Jadi saham, obligasi,<br />

dan beberapa instrumen keuangan lainnya disebut sebagai efek.<br />

Karena itu, pasar modal menurut ketentuan Undang-undang<br />

adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan efek,<br />

penawaran efek kepada masyarakat, dan perdagangan efek,<br />

serta tentunya lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.<br />

Sedangkan bursa efek adalah suatu pihak atau lembaga yang<br />

menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana<br />

193


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

untuk mempertemukan penawaran jual dan permintaan beli<br />

dari pihak-pihak yang ingin memperdagangkan efek di antara<br />

mereka. Jadi, bursa efek adalah salah satu lembaga di<br />

pasar modal, sedangkan pasar modal itu tidak ada<br />

bentuk fisiknya. Tidak seperti Pasar Baru atau Pasar<br />

Senen.<br />

Pasar modal akan memungkinkan orang-orang yang<br />

memiliki usaha ataupun peluang usaha untuk mendapat modal<br />

bagi usahanya—baik yang dibukukan sebagai modal ataupun<br />

kewajiban jangka panjang. Pasar modal juga memungkinkan<br />

orang-orang yang mempunyai dana yang tidak terlalu besar<br />

untuk ikut memiliki suatu perusahaan yang besar dan ikut<br />

menikmati hasilnya. Tentunya seperti yang telah diajarkan oleh<br />

Nabi Muhammad SAW, selama tidak ada yang berkhianat—<br />

misalnya dengan memberikan informasi yang menyesatkan atau<br />

dengan menipu atau dengan korupsi, maka Tuhan akan selalu<br />

bersama mereka. Dan bila disertai oleh Tuhan Yang Mahakuasa,<br />

kebersamaan dalam usaha tersebut akan memberikan hasil yang<br />

baik dan halal. Karena itu, bila tidak ada yang khianat, usaha<br />

bersama akan memberikan keuntungan.<br />

Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />

sesuai syariah.<br />

<br />

Pada tahun 1997, saat mengikuti seminar di Jogjakarta, saya<br />

berkenalan dengan Bapak M. Siddik, waktu itu Direktur IDB<br />

untuk kawasan Asia Tenggara. Seusai seminar, beliau mengirim<br />

beberapa buku dan jurnal terbitan Islamic Research and Training<br />

194


BERSAMA KITA BISA!<br />

Institute—IDB, yang kemudian saya share ke Ibu Sri Mulyani<br />

Indrawati, dosen FE-UI.<br />

Lalu, setelah terjadi krisis moneter di Indonesia, Menteri<br />

Keuangan, Bapak Mar’ie Muhammad, mengimbau IDB untuk<br />

membantu Indonesia. Delegasi IDB, dipimpin oleh Mr. D.<br />

M. Qureshi, Treasurer, datang ke Jakarta untuk me ngatur<br />

pelaksanaan dukungan IDB dalam pasar keuangan. Sebenarnya,<br />

saat itu, delegasi IDB dijadwalkan hanya bertemu dengan<br />

kalangan perbankan. Tetapi karena salah satu masalah besar<br />

adalah terkait dengan pasar modal, maka Pak Siddik mengusulkan<br />

saya untuk membawa proposal Danareksa ke dele gasi<br />

IDB. Waktu itu, saya belum mengenal IDB. Tetapi karena kami<br />

di Danareksa cukup paham masalah di pasar modal, maka kami<br />

ajukan proposal dalam pertemuan dengan IDB di Departemen<br />

Keuangan.<br />

Alhamdulillah, setelah a<strong>cara</strong> pertemuan di Departemen<br />

Keuangan selesai, D.M. Qureshi memutuskan untuk mengubah<br />

jadwal dan berkunjung ke kantor Danareksa yang berlokasi tepat<br />

di sebelah Bursa Efek Jakarta. Pertemuan siang itu berlanjut<br />

dengan pertemuan sampai malam di hotel tempat delegasi<br />

IDB menginap. Dan, pada akhir kunjungan, delegasi IDB<br />

menyatakan akan menempatkan dana sebesar US$ 100 juta dari<br />

Treasury IDB melalui Danareksa untuk jangka waktu 3 tahun.<br />

Tantangan yang dihadapi tidak mudah karena IDB belum<br />

pernah menempatkan dana dalam portofolio saham—apalagi di<br />

Indonesia yang sedang krisis moneter. Sementara itu, Danareksa<br />

juga belum pernah mengelola portofolio saham se<strong>cara</strong> syariah—<br />

apalagi dana IDB. Apalagi dana treasury IDB tidak boleh<br />

mencatatkan kerugian—dan harus dibukukan dalam US$ atau<br />

195


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Islamic Dinar. Oleh karena itu, IDB meminta adanya proteksi<br />

dana awal (capital protection).<br />

Waktu itu, nilai tukar rupiah sedang merosot dahsyat,<br />

harga saham anjlok tajam, tidak ada lembaga keuangan yang<br />

berani memberi jaminan nilai tukar. Menurut aturan IMF,<br />

Pe merintah Indonesia tidak boleh memberikan jaminan atas<br />

risiko penurunan nilai. Dan BI tidak bisa memberikan jaminan<br />

nilai tukar valuta.<br />

Bagaimana solusinya<br />

Pak Siddik mengajarkan kepada saya, M. Hanif dan Kanny<br />

Hidaya mengenai akad Mudharaba dan Murabaha. Pada akad<br />

Mudharaba, IDB sebagai pemilik dana akan menempatkan<br />

dana melalui Danareksa untuk dikelola dalam portofolio efek.<br />

Kalau untung, Danareksa akan mendapat bagi hasil. Kalau<br />

rugi, IDB yang akan menanggung semua kerugian. Tetapi IDB<br />

dapat sewaktu-waktu—tanpa pemberitahuan terlebih dahulu—<br />

menarik sebagian atau seluruh dana itu. Sedangkan dalam akad<br />

Murabaha, IDB akan membeli saham, kemudian menjual saham<br />

tersebut ke Danareksa dengan menambahkan marjin, karena<br />

Danareksa diberi waktu tiga tahun untuk melunasi pembayaran<br />

saham tersebut. Selama tiga tahun, tentunya, Danareksa bisa<br />

mengelola saham tersebut dan mendapatkan keuntungan kalau<br />

harga saham meningkat.<br />

Jelas lebih baik bagi Danareksa bila memakai akad Mudharabah,<br />

karena Danareksa tidak menanggung risiko. Namun, IDB<br />

keberatan karena IDB tidak bisa menanggung risiko. Bagi IDB,<br />

lebih baik memakai akad Murabaha karena ada kepastian marjin<br />

(dalam rupiah) dan bila dapat dikelola dengan baik tentunya<br />

196


BERSAMA KITA BISA!<br />

Danareksa bisa mendapat keuntungan. Itu kalau kondisi pasar<br />

uang membaik, bagaimana kalau tidak membaik<br />

Setelah bolak-balik Jakarta-Jeddah untuk negosiasi, akhirnya<br />

IDB setuju untuk mengadakan akad Mudharaba dan Murabaha.<br />

Berdasarkan perhitungan Danareksa, untuk jangka waktu 3<br />

tahun, peluang untuk memperoleh hasil minimal 0% (alias<br />

tidak rugi, alias kembali modal) adalah bila 30% dana dalam<br />

akad Mudharaba dan 70% dalam akad Murabaha. Dengan<br />

demikian, IDB tidak memerlukan jaminan Pemerintah atas<br />

hasil pengelolaan. Tetapi, agar Pemerintah tetap memberikan<br />

perhatian atas pengelolaan dana IDB oleh Danareksa, maka<br />

IDB meminta Pemerintah qq Kementerian Negara BUMN dan<br />

Bapepam untuk memberikan <strong>com</strong>fort letter yang menyatakan<br />

bahwa pengelolaan Danareksa memenuhi GCG.<br />

“Portofolio reksa dana<br />

syariah hanya boleh berisi<br />

efek syariah, sehingga<br />

‘zat’-nya juga sudah<br />

halal.”<br />

Akan tetapi, bagaimana<br />

dengan kepastian hasil dalam<br />

US$ Karena BI tidak bisa<br />

memberikan jaminan nilai<br />

tukar, maka Danareksa meminta<br />

Bank BUMN untuk<br />

memberikan stand<strong>by</strong> letter of<br />

credit. Kemudian Danareksa<br />

meminta BI untuk memberikan surat kepada IDB yang<br />

menyatakan bahwa BI mengetahui adanya stand<strong>by</strong> letter of<br />

credit tersebut. Dengan demikian, pengendalian risiko kerugian<br />

diatasi dengan kombinasi 30% dana Mudharaba dan 70% dana<br />

Murabaha. Sedangkan pengendalian risiko nilai tukar diatasi<br />

dengan penerbitan stand<strong>by</strong> letter of credit. Keduanya diperkuat<br />

dengan pernyataan dari Pemerintah sebagai pemilik Danareksa—<br />

197


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

melalui Meneg BUMN, otoritas pasar modal—melalui Bapepam,<br />

dan otoritas moneter—melalui BI.<br />

Wah, lumayan juga solusinya!<br />

Ada negosiasi yang menarik mengenai ketentuan akad<br />

Mudharaba yang menyatakan bahwa pemilik dana (IDB)<br />

dapat sewaktu-waktu menarik dananya. Sesuai kelaziman di<br />

pasar modal, lawyer Danareksa mengajukan klausul bahwa<br />

IDB dapat sewaktu-waktu menarik dana Mudharaba dengan<br />

pemberitahuan 40 hari kerja di muka (40 working days<br />

prior notice). Tetapi lawyer IDB menyatakan bahwa kontrak<br />

Mudharaba yang dipakai IDB selalu menyatakan bahwa IDB<br />

dapat sewaktu-waktu menarik dananya without prior notice<br />

(tanpa pemberitahuan di muka). Namun Danareksa diberi<br />

waktu 40 hari kerja untuk mencairkan dana tersebut ke dalam<br />

US$.<br />

Sebenarnya masalahnya sederhana. Dana Mudharaba dari<br />

IDB digunakan untuk investasi di saham dengan valuasi menurut<br />

harga pasar wajar pada hari yang bersangkutan. Karena jumlah<br />

dana cukup besar, sedangkan pasar saham di Jakarta tidak selalu<br />

“likuid”, maka apabila Danareksa harus segera menjual saham<br />

pada satu hari dikhawatirkan harga saham tersebut akan turun.<br />

Hal yang logis karena keseimbangan penawaran-permintaan akan<br />

terganggu. Lalu, siapa yang harus menanggung risiko turunnya<br />

harga saham Belum lagi adanya risiko perubahan nilai tukar<br />

dari Rupiah ke US$.<br />

Ternyata proses negosiasi ini sangat merepotkan, karena baik<br />

lawyer Danareksa maupun lawyer IDB sama-sama bersikeras<br />

dengan klausul yang mereka ajukan. Negosiasi melalui telepon<br />

198


BERSAMA KITA BISA!<br />

dan e-mail tidak membuahkan hasil. Lalu, saya nekad terbang<br />

ke Jeddah untuk bertemu lawyer IDB. Sesampai di Jeddah,<br />

saya langsung umroh dulu ke Mekkah, baru keesokan harinya<br />

ke kantor IDB. Dengan keyakinan, insya Allah, kalau niat baik<br />

akan ada jalan yang baik.<br />

Lawyer IDB kaget juga sewaktu saya muncul di<br />

kantornya. Lawyer asal Mesir ini cukup senior, badannya<br />

besar, penampilannya sangat berwibawa. Saya ajak ngobrol<br />

dulu agar lebih santai. Rupanya ia belum pernah ke Indonesia.<br />

Alkisah, sewaktu saya berikan oleh-oleh lukisan batik berisi<br />

peta Indonesia, kami bisa berbincang banyak hal tentang<br />

Indonesia. Kemudian, saya jelaskan tentang kondisi pasar modal<br />

di Indonesia, dan masalah likuiditas pasar yang memengaruhi<br />

harga saham. Alhamdulillah, lebih membahagiakan lagi, ia<br />

memahami penjelasan saya. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa<br />

dana Mudharaba adalah aset IDB dan nilai yang dilaporkan<br />

adalah nilai pembukuan. Jadi sewaktu IDB menarik kembali<br />

dana Mudharaba, maka yang diserahkan ke IDB adalah aset<br />

Mudharaba dengan nilai buku dalam Rupiah yang dikonversikan<br />

ke US$ menurut nilai tukar hari tersebut. Nah, setelah serah<br />

terima, IDB akan meminta Danareksa untuk menjual aset<br />

IDB tersebut dalam waktu 40 hari kerja. Berapa pun hasilnya,<br />

IDB akan menerima. Meskipun, tentu saja, IDB berharap agar<br />

Danareksa berusaha dengan baik.<br />

Wah, rupanya telah terjadi kesalahpahaman. Danareksa<br />

khawatir atas risiko penurunan harga saham dan risiko nilai<br />

tukar, karena itu lawyer Danareksa meminta proteksi dalam<br />

bentuk 40 working days prior notice. Padahal, IDB sudah siap<br />

menanggung risiko tersebut dengan memberi klausul 40 working<br />

199


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

days to liquidate the Mudharaba asset. Dengan klausul ini, maka<br />

risiko penurunan harga saham dan risiko nilai tukar akan<br />

ditanggung IDB, Danareksa tidak perlu menanggung risiko<br />

itu. Jadi, masalahnya adalah masalah kemampuan komunikasi.<br />

Sudah diberi klausul yang bagus, kok malah ‘ngotot’.<br />

Ada kejadian yang menegangkan sewaktu akad dimulai.<br />

Hari Jumat adalah hari libur bagi IDB, sedang hari Sabtu dan<br />

Minggu adalah hari libur untuk Jakarta. Maka, untuk memulai<br />

pembelian saham, sebaiknya Danareksa membeli pada hari<br />

Kamis-Jumat dan laporan dikirim ke IDB pada hari Jumat<br />

malam dengan harapan IDB akan memproses pada hari Sabtu-<br />

Minggu sehingga pada hari Senin Danareksa dapat menerima<br />

dana pembayaran pembelian saham.<br />

Setelah semua dokumen selesai ditandatangani, kami mulai<br />

membeli saham pada hari Kamis-Jumat. Pada hari Senin, kami<br />

menunggu kiriman dana IDB di rekening Danareksa. Karena<br />

sampai siang hari dana belum sampai, maka kami menghubungi<br />

IDB. Ternyata IDB menyatakan bahwa ada satu dokumen<br />

yang belum diterima, padahal data kurir menunjukkan bahwa<br />

dokumen sudah sampai di kantor IDB, Jeddah.<br />

Kami panik, karena pada hari Rabu, Danareksa harus<br />

membayar pembelian saham-saham tersebut, sementara kami<br />

belum terbiasa menyelesaikan masalah seperti ini dengan IDB.<br />

Padahal, nilai pembelian lumayan besar. Kami putuskan untuk<br />

menjual kembali saham tersebut. Alhamdulillah, mungkin<br />

karena Danareksa banyak membeli saham, maka harga saham<br />

se<strong>cara</strong> umum naik. Hasilnya, sampai hari Rabu, saham-saham<br />

yang kami beli tersebut dapat kami jual dengan harga lebih<br />

200


BERSAMA KITA BISA!<br />

tinggi dari harga pembelian. Untuk sementara kami lega karena<br />

ternyata untung.<br />

Tiba-tiba treasury kami, Pak Evy Firmansyah mengabarkan<br />

bahwa hari Rabu itu ada dana masuk dari IDB, dengan nilai<br />

sama dengan nilai pembelian awal yang telah kami laporkan ke<br />

IDB. Berarti dokumen sudah diterima lengkap oleh IDB dan<br />

kontrak sudah berlaku. Tetapi masalahnya saham-saham itu<br />

sudah dijual dan harga sudah naik. Bagaimana pula ini<br />

Allah SWT memang sangat baik kepada kami, sewaktu<br />

kami berupaya membeli kembali saham pada<br />

hari Kamis-Jumat, ternyata harga saham turun menjadi<br />

se perti harga pada Kamis-Jumat minggu sebelumnya.<br />

Jadi, kami bisa membeli kembali saham-saham tersebut pada<br />

harga yang setara dengan dana yang dikirim IDB, berdasarkan<br />

laporan kami minggu sebelumnya. Alhamdulillah!!<br />

Untuk menjaga transparansi dan mengurangi kesalahpahaman,<br />

walaupun tidak diminta oleh IDB, Danareksa mengajukan<br />

investment guidelines dan trading guidelines yang akan<br />

menjadi aturan tambahan dalam pengelolaan portofolio saham<br />

tersebut. Baik atas saham yang se<strong>cara</strong> hukum memang milik<br />

IDB—yaitu dana Mudharaba, ataupun yang se<strong>cara</strong> hukum<br />

sebenarnya sudah milik Danareksa—yaitu portofolio Murabaha.<br />

IDB meminta laporan bulanan, Danareksa memberikan laporan<br />

mingguan. Dan setiap tiga bulan sekali, Danareksa datang ke<br />

kantor IDB untuk memberikan presentasi ke Treasury dan<br />

Risk Management IDB. Mereka senang sekali, Danareksa<br />

dipandang sebagai manajer investasi yang profesional setara<br />

manajer investasi global.<br />

201


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Yang lebih membanggakan, ternyata IDB “belajar” dari<br />

Danareksa mengenai pengelolaan portofolio pembiayaan.<br />

Kemudian IDB menggunakan komposisi portofolio pembiayaan<br />

pendapatan teratur (murabaha) dikombinasikan dengan<br />

portofolio pembiayaan atas aset (ijarah atau mudharabah) dalam<br />

produk IDB yang disebut sebagai trust certificate (semacam<br />

unit penyertaan reksa dana). Logika komposisi selaras dengan<br />

logika akad Mudharaba-Murabaha IDB dengan Danareksa, dan<br />

investment guidelines yang digunakan juga mirip dengan yang<br />

kami usulkan pada tahun 1999.<br />

Selama tahun pertama, harga saham terus meningkat dan<br />

nilai tukar terus membaik. Sehingga portofolio saham yang kami<br />

kelola berdasarkan dana IDB terus meningkat nilainya. Baik<br />

dalam ukuran rupiah, apalagi dalam ukuran US$. IDB senang<br />

sekali. Selain mendapat apresiasi karena membantu Indonesia,<br />

ternyata se<strong>cara</strong> komersial beruntung pula. Danareksa juga<br />

untung, dapat tambahan dana dan dapat bagi hasil. Pemerintah,<br />

Bapepam, dan BI juga gembira karena hasilnya baik. Saya juga<br />

beruntung, setelah saya tidak lagi di Danareksa ada teman-teman<br />

seperti M. Hanif, Josep Ginting, Priyo Santoso dan Reza Zahar<br />

yang melanjutkan langkah saya.<br />

Alhamdulillah, dengan niat baik, semua untung, semua<br />

kaya, semua bahagia, dengan <strong>cara</strong> sesuai syariah.<br />

Jurus Kebersamaan III: Reksa Dana <strong>Syariah</strong><br />

Saya beruntung karena ketika ditunjuk sebagai Direktur<br />

Utama PT. Danareksa Fund Management pada tahun 1995,<br />

Pemerintah dan DPR menerbitkan UU Pasar Modal yang<br />

memuat ketentuan tentang reksa dana—termasuk reksa<br />

202


BERSAMA KITA BISA!<br />

dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Sementara<br />

itu, Danareksa masih mengelola portofolio untuk Sertifikat<br />

Danareksa. Sehingga, kami dapat dengan segera menerbitkan<br />

reksa dana berbentuk KIK. Reksa dana pertama yang kami<br />

terbitkan adalah reksa dana portofolio saham (Danareksa<br />

Mawar), portofolio efek pendapatan tetap (Danareksa Melati),<br />

dan portofolio campuran (Danareksa Anggrek).<br />

Ketika itu, saya juga beruntung karena kondisi pasar modal<br />

sedang marak, sehingga—dalam waktu singkat—dana yang<br />

dikelola dalam ketiga reksa dana tersebut sudah hampir mencapai<br />

batas maksimum. Dengan pengalaman kami mengelola reksa<br />

dana dan jumlah dana yang hampir mencapai batas maksimum,<br />

terbuka kesempatan bagi kami untuk menerbitkan reksa dana<br />

baru—berarti peluang bagi kami untuk menerbitkan reksa dana<br />

syariah. Ya, menerbitkan reksa dana syariah adalah salah satu<br />

mimpi saya sewaktu diangkat menjadi Direktur di Danareksa.<br />

Mungkin saja terlintas pertanyaan di benak Anda.<br />

“Apakah reksa dana syariah itu”<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong> menerbitkan dan mengelola reksa dana<br />

syariah”<br />

“Apa manfaat reksa dana syariah bagi masyarakat”<br />

Baiklah, sebelum saya menguraikannya, kita kupas dulu<br />

masalah investasi di pasar modal. Investasi di pasar modal<br />

membutuhkan kemampuan mengelola suatu portofolio efek<br />

serta dukungan sistem informasi yang dapat memberikan<br />

data dan informasi yang akurat dan mutakhir. Di samping<br />

itu, untuk membentuk suatu portofolio yang baik, diperlukan<br />

jumlah dana investasi yang cukup besar. Sehingga, bagi banyak<br />

203


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

orang yang hanya memiliki dana investasi terbatas, serta tidak<br />

memiliki kemampuan pengelolaan investasi dan dukungan<br />

sistem informasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai<br />

hasil yang optimal. Di sinilah reksa dana dapat berperan.<br />

“Pasar modal bukanlah<br />

suatu lembaga keuangan<br />

atau produk keuangan,<br />

tetapi serangkaian<br />

kegiatan yang terkait<br />

dengan instrumen<br />

investasi yang disebut<br />

efek.”<br />

Reksa dana adalah wadah<br />

untuk menghimpun dana<br />

dari masyarakat pemodal,<br />

yang akan diinvestasikan<br />

kembali ke dalam portofolio<br />

efek, yang dikelola oleh ma -<br />

najer investasi. Harta bersama<br />

milik para pemodal<br />

itu akan disimpan dan di ad -<br />

ministrasikan oleh bank kustodian.<br />

Jadi, manajer investasi<br />

dan bank kustodian akan menjadi wakil dari para pemodal<br />

untuk mengelola dana investasi milik para pemodal, dalam<br />

bentuk suatu portofolio investasi. Dalam istilah syariah, ikatan<br />

ini disebut Akad Wakala.<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong> memastikan bahwa manajer investasi dan<br />

bank kustodian memiliki kemampuan yang diperlukan serta akan<br />

menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan”<br />

Itu adalah tugas dan wewenang Bapepam. Oleh karena itu,<br />

Bapepam membuat peraturan tentang kualifikasi dan sertifikasi<br />

bagi perusahaan sekuritas yang memberikan jasa manajemen<br />

investasi, serta bank yang memberikan jasa bank kustodian.<br />

Kemudian, Bapepam juga membuat aturan mengenai <strong>cara</strong><br />

pembuatan Kontrak Investasi Kolektif (KIK), <strong>cara</strong> penerbitan<br />

reksa dana, dan <strong>cara</strong> pengelolaan portofolio reksa dana. Sehingga,<br />

204


BERSAMA KITA BISA!<br />

pemodal dapat mengetahui manajer investasi, bank kustodian<br />

dan reksa dana mana yang memenuhi syarat dan mana yang<br />

tidak.<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong> mengetahui peluang hasil dan risiko yang<br />

dihadapi”<br />

“Bagaimana mengetahui hak kita atas harta bersama dalam<br />

reksa dana”<br />

Bapepam juga telah membuat aturan mengenai keterbukaan<br />

informasi. Pada saat reksa dana diterbitkan, pengelola reksa<br />

dana harus menerbitkan prospektus yang memuat informasi<br />

tentang batasan komposisi portofolio, pedoman investasi, risiko<br />

investasi, dan berbagai informasi lainnya. Kemudian, Bapepam<br />

juga telah membuat aturan <strong>cara</strong> bank kustodian membukukan<br />

harta bersama milik pemodal, menghitung nilai bersih dari harta<br />

tersebut, mencatat jumlah unit penyertaan, serta menerbitkan<br />

nilai aktiva bersih untuk tiap unit penyertaan pada setiap hari<br />

kerja bursa. Dengan demikian, pemodal bisa mengetahui nilai<br />

bersih dari investasinya. Di samping itu, setiap enam bulan<br />

sekali, harus diterbitkan laporan keuangan yang telah diaudit<br />

oleh akuntan publik. Jadi, governance dan transparansi dari reksa<br />

dana sangat baik sekali.<br />

Pertanyaan berikutnya: Bagaimana <strong>cara</strong> mengetahui<br />

bahwa kehalalan dari hasil investasi reksa dana syariah<br />

Peraturan Bapepam mengenai pengelolaan reksa dana jelas<br />

menjamin terhindarnya kondisi gharar dan maysir. Jadi, <strong>cara</strong><br />

perolehannya sudah jelas halal. Kemudian, portofolio reksa<br />

dana syariah hanya boleh berisi efek syariah, sehingga ‘zat’-nya<br />

juga sudah halal. Kebersamaan pemodal dalam reksa dana<br />

205


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

juga memberi manfaat dalam mencapai diversifikasi portofolio<br />

yang optimal. Jadi, membawa kemaslahatan bersama. Sehingga<br />

melalui reksa dana syariah diharapkan pemodal mendapat<br />

hasil yang optimal dan halal, perusahaan (emiten) mendapat<br />

pembiayaan melalui penerbitan efek, likuiditas pasar modal<br />

meningkat, ketahanan pasar modal terhadap serbuan spekulan<br />

bertambah.<br />

Semua bisa tambah kaya dan tambah bahagia,<br />

dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

Jurus Kebersamaan IV: Obligasi Mudharaba<br />

Sistem pembukuan di Indonesia, memisahkan pembukuan<br />

penempatan modal menurut ikatan jangka waktu. Bila<br />

penempatan modal adalah untuk selamanya, alias tidak akan<br />

ditarik kembali, maka dibukukan sebagai setoran modal—<br />

yang dalam bahasa Inggris disebut equity. Bila penempatan<br />

untuk jangka panjang, artinya wajib dikembalikan, maka<br />

dibukukan sebagai kewajiban jangka panjang. Sedangkan kalau<br />

penempatannya untuk jangka pendek, yang umumnya terkait<br />

dengan transaksi antara perusahaan dengan pihak lain, maka<br />

dibukukan sebagai kewajiban jangka pendek.<br />

Di samping masalah jangka waktu penempatan, ada juga<br />

masalah imbal hasil. Penempatan dana sebagai setoran modal<br />

berhak untuk mendapat imbal hasil berupa dividen (bagi hasil<br />

keuntungan). Penempatan dalam jangka waktu tertentu, baik<br />

jangka panjang maupun jangka pendek, umumnya mendapat<br />

imbal hasil berupa bunga. Namun, ada masalah dengan<br />

bunga, yaitu bila tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh<br />

perusahaan dari pemanfaatan dana yang ditempatkan tersebut.<br />

206


BERSAMA KITA BISA!<br />

Oleh karena itu, timbul ide untuk mengatur penempatan<br />

dalam jangka waktu tertentu dengan imbal hasil berupa bagi<br />

hasil. Penempatan serupa ini dalam istilah syariah adalah<br />

menurut Akad Mudharabah. Hanya ada beberapa hal yang<br />

perlu disesuaikan.<br />

Pertama, menurut syariah, pemilik dana berhak menarik<br />

dana sewaktu-waktu, sehingga dalam hal ini pemilik dana<br />

harus menyatakan bahwa pemilik dana tidak akan menarik<br />

dananya sebelum waktu yang telah disepakati. Kedua, dalam<br />

akad Mudharabah, pemilik dana menyediakan seluruh dana<br />

yang diperlukan untuk kegiatan usaha tertentu tersebut. Dalam<br />

hal ini, manajemen perlu membuat pembukuan khusus atas<br />

pemanfaatan dana mudharabah ini, termasuk pembukuan<br />

atas hasil yang diperoleh. Dengan demikian, perhitungan dan<br />

pembayaran bagi hasil bisa lebih transparan dan lebih adil.<br />

Ketiga, nisbah atau rasio bagi hasil harus ditetapkan di muka.<br />

Di sini ada hal yang menarik, bagi hasil adalah untuk pemilik<br />

dana dan untuk pemilik usaha. Dalam hal perseroan terbatas,<br />

pemilik usaha terdiri dari pemegang saham, manajemen, dan<br />

perseroan. Sehingga, dalam hal ini, sebelum kegiatan usaha<br />

dijalankan, harus ditentukan nisbah bagi hasil untuk pemilik<br />

dana—yang akan dibukukan sebagai biaya, nisbah bagi hasil<br />

untuk pemegang saham—yang akan dibukukan sebagai dividen,<br />

nisbah bagi hasil untuk manajemen—yang lazim disebut sebagai<br />

tantiem/bonus, dan nisbah bagi hasil bagi perseroan—yang<br />

lazim disebut laba ditahan atau cadangan.<br />

Yang menarik bagi saya yang pernah jadi Direktur, rasio<br />

tantiem atau bonus terhadap laba usaha ditentukan di muka.<br />

Hasilnya, manajemen mempunyai motivasi yang kuat untuk<br />

207


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

mencapai laba usaha yang tinggi. Sewaktu saya menjadi Direktur<br />

Utama Jamsostek, kami pernah mencapai laba usaha di atas<br />

Rp.800 miliar—jauh di atas anggaran. Akan tetapi, sebagai<br />

Direktur Utama, saya hanya mendapat tantiem tidak sampai<br />

1/1000 dari laba usaha tersebut. Sedih juga. Curhat nih!<br />

Penempatan dana untuk jangka panjang dibukukan sebagai<br />

kewajiban jangka panjang, dan instrumen yang diterima oleh<br />

pemilik dana disebut sebagai obligasi. Jadi, bila atas penempatan<br />

dana jangka panjang tersebut akan diberikan bagi hasil, maka<br />

ikatannya adalah akad mudharabah, sehingga instrumen yang<br />

digunakan disebut sebagai “obligasi mudharabah”.<br />

Obligasi syariah yang pertama diterbitkan di Indonesia<br />

adalah obligasi mudharabah yang diterbitkan oleh PT. Indonesia<br />

Sattelite (Indosat). Orang yang “nekad” menerbitkan obligasi<br />

syariah tersebut adalah Yunino Yahya, Direktur Keuangan<br />

Indosat. Saya sebut nekad karena pada saat itu belum ada<br />

peraturan yang mengatur penerbitan obligasi syariah. Jadi,<br />

obligasi tersebut diterbitkan mengikuti ketentuan Bapepam<br />

mengenai penerbitan obligasi, ditambah dengan fatwa DSN<br />

mengenai obligasi syariah mudharabah. Dan, Sang Direktur<br />

Keuangan sudah menyiapkan pembukuan yang khusus untuk<br />

perhitungan bagi hasil. Dengan “bondo nekad” alias “bonek”,<br />

tetapi didukung dengan sistem yang baik dan kepatuhan pada<br />

peraturan, maka investor mendapat hasil yang halal dan adil,<br />

Indosat memperoleh dana yang diperlukan untuk pengembangan<br />

usaha dan mendapat keuntungan. Selain itu, Bapepam senang<br />

peraturan dipatuhi, DSN bahagia karena obligasi syariah<br />

diterbitkan, Direktur Keuangan juga senang karena terobosannya<br />

mendatangkan keuntungan.<br />

208


BERSAMA KITA BISA!<br />

Semua kaya, semua bahagia, dengan jurus syariah.<br />

<br />

Setelah menerbitkan reksa dana syariah pertama di<br />

Indonesia, kami menghadapi tantangan untuk membuktikan<br />

bahwa pengelolaan reksa dana yang sesuai dengan prinsip<br />

syariah akan memberikan hasil yang lebih baik dengan risiko<br />

yang lebih kecil.<br />

Tantangannya, bagaimana <strong>cara</strong> membuktikan pendapat itu<br />

Pada 1997, sewaktu saya memimpin teman-teman di<br />

Danareksa menerbitkan reksa dana syariah, pengetahuan kami<br />

tentang prinsip syariah masih sangat terbatas. Kami hanya tahu<br />

bahwa syariah adalah bagi hasil. Saat itu, instrumen investasi<br />

di pasar modal yang memberikan bagi hasil hanyalah saham.<br />

Bagi hasil atas keuntungan dalam bentuk dividen. Memang<br />

ada obligasi bagi hasil yang diterbitkan oleh CMNP, tetapi<br />

jumlahnya kecil dan struktur bagi hasil masih belum jelas. Jadi,<br />

saat itu kami berpendapat bahwa reksa dana yang sesuai dengan<br />

syariah hanyalah reksa dana saham. Sehingga reksa dana syariah<br />

pertama adalah reksa dana dengan portofolio saham.<br />

Namun, ada pertanyaan yang mencuat setelahnya.<br />

“Saham-saham mana yang boleh dibeli”<br />

“Bagaimana mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan<br />

portofolio saham yang sesuai dengan prinsip syariah itu”<br />

Sebenarnya, pada saat kami meluncurkan reksa dana<br />

syariah yang pertama, DSN belum didirikan dan MUI belum<br />

mengeluarkan fatwa tentang reksa dana syariah. Tetapi karena<br />

saat itu Bapak Putu Ary Suta -Ketua Bapepam, Bapak Arys Ilyas,<br />

209


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dan K.H. Ma’ruf Amin sangat mendukung niat kami, maka reksa<br />

dana syariah itu dapat diluncurkan. Untuk amannya, portofolio<br />

investasi reksa dana syariah tersebut hanya kami isi dengan<br />

saham. Adapun dana likuiditas kami tempatkan di bank umum<br />

syariah. Sedangkan untuk seleksi perusahaan (emiten), kami<br />

menggunakan kriteria yang umum dipakai oleh bank umum<br />

syariah. Jadi, melalui dukungan kerja sama dengan Bapepam,<br />

MUI, dan bank umum syariah, reksa dana syariah yang pertama<br />

dapat diluncurkan dan dapat beroperasi sesuai prinsip syariah.<br />

Sebagai tolok ukur<br />

untuk investasi saham se<strong>cara</strong><br />

umum, Bursa Efek Jakarta<br />

(BEJ)—yang sekarang telah<br />

bergabung dengan Bursa<br />

Efek Surabaya menjadi Bursa<br />

Efek Indonesia, telah memiliki<br />

Indeks Harga Saham<br />

“Saling tolong-menolong<br />

dalam menanggulangi<br />

risiko dapat dilakukan<br />

dengan jurus ta’awuntakafuli.<br />

Gabungan (IHSQ) dan Indeks Saham-Saham yang Likuid<br />

(LQ-45).<br />

Sementara itu, pada Februari 1999, Dow Jones, lembaga<br />

penyedia jasa informasi untuk dunia keuangan, telah<br />

meluncurkan indeks saham untuk saham-saham yang diperdagangkan<br />

di New York Stock Exchange. Dow Jones<br />

menggunakan nama The Dow Jones Islamic Market Index<br />

(DJIM). Maksudnya adalah indeks atau tolok ukur untuk<br />

investasi di NYSE yang sesuai dengan pasar/investor Islami.<br />

Pada November 1999, Financial Times Stock Exchange<br />

(FTSE) International di London juga meluncurkan The FTSE<br />

Global Islamic Indices Series (FTSE-GIIS) dan The International<br />

210


BERSAMA KITA BISA!<br />

Finance Corporation Indices, unit dari IFC-World Bank, telah<br />

meluncurkan tolok-ukur (benchmark) untuk Islamic Leasing<br />

Fund.<br />

“Apakah Indonesia bisa punya indeks harga saham yang sesuai<br />

dengan syariah”<br />

Saya mengontak Mas Ahmad Daniri, pimpinan BEJ, untuk<br />

mengajak BEJ menerbitkan indeks harga saham syariah. Ternyata<br />

Pak Daniri dan teman-teman di BEJ sangat antusias. Tetapi<br />

pertanyaannya, “Siapa yang akan bertanggung jawab atas<br />

kesesuaian dengan prinsip syariah dari saham-saham<br />

yang akan dipilih sebagai bagian dari indeks harga<br />

saham tersebut”<br />

Setelah negosiasi yang cukup alot, tetapi karena semua pihak<br />

sangat ingin meluncurkan indeks harga saham syariah maka<br />

akhirnya kesepakatan diperoleh. BEJ akan menerbitkan indeks<br />

yang akan diberi nama Jakarta Islamic Index (JII). Saham-saham<br />

yang membentuk JII akan dipilih dari daftar saham syariah.<br />

Danareksa bertanggung jawab untuk menyusun daftar saham<br />

syariah. Untuk itu, Danareksa akan meminta pendapat dari<br />

Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> (DPS) yang telah ditunjuk MUI<br />

untuk Danareksa—yang terdiri dari K.H. Ma’ruf Amin, Dr.<br />

Anwar Ibrahim, dan Drs. Hasanuddin Syathori.<br />

Bila untuk LQ-45 dipilih 45 saham dari saham-saham yang<br />

paling liquid di BEJ, berapa jumlah saham yang masuk<br />

ke JII Pada saat itu, Danareksa memperkirakan ada lebih dari<br />

100 saham yang sesuai syariah. Jadi, jumlahnya sebaiknya tidak<br />

lebih dari 50. Karena LQ-45 terdiri dari 45 saham, berarti dari<br />

angka keramat 17 atau 8 atau 45, tinggal 17 atau 8. Namun,<br />

211


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

kedua-duanya terlalu kecil untuk menjadi representasi saham<br />

syariah. Akhirnya kita pilih 28 saham.<br />

Guna memilih saham yang akan membentuk JII, pertamatama<br />

dipilih perusahaan yang kegiatan usahanya tidak ber tentangan<br />

dengan syariah serta telah mencatatkan sahamnya di<br />

bursa lebih dari 1 tahun. Kemudian, dipilih perusahaan yang<br />

pendapatan bunga kurang dari 5% dan rasio hutang terhadap<br />

total aset kurang dari 90%. Dari daftar yang tersusun, dipilih 60<br />

saham dengan kapitalisasi pasar yang terbesar. Kemudian dipilih<br />

28 saham berdasarkan likuiditas perdagangan yang tertinggi.<br />

Daftar ini akan diteliti ulang setiap 6 bulan dan daftar baru<br />

akan digunakan setiap awal bulan Januari dan Juli.<br />

Dengan kebersamaan Bapepam, MUI, bank umum<br />

syariah, BEJ, dan Danareksa, maka Jakarta Islamic Index dapat<br />

diluncurkan pada bulan Juli tahun 2000.<br />

Semua bahagia, semua “kaya teman”.<br />

Jurus Kebersamaan VI: Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal<br />

Setelah penerbitan reksa dana syariah dan obligasi syariah,<br />

serta peluncuran Jakarta Islamic Indeks, Bapepam merasa sudah<br />

waktunya dibuat aturan khusus tentang investasi syariah di pasar<br />

modal. Oleh karena itu, di tahun 2003, Bapepam bersama BEJ<br />

dan lembaga penunjang pasar modal lainnya, dengan dukungan<br />

DSN, mencanangkan peluncuran pasar modal syariah.<br />

Namun, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab.<br />

Jika pada perbankan ada Bank Umum <strong>Syariah</strong>, BPR<br />

<strong>Syariah</strong>, dan Unit Usaha <strong>Syariah</strong> di bank umum konvensional,<br />

bagaimana di pasar modal<br />

212


BERSAMA KITA BISA!<br />

Bila ada Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> untuk Bank<br />

Umum <strong>Syariah</strong>, BPR <strong>Syariah</strong>, dan Unit Usaha <strong>Syariah</strong>,<br />

ba gaimana di pasar modal<br />

Menurut ketentuan Undang-undang, pasar modal adalah<br />

kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan<br />

perdagangan efek, perusahaan publik (terbuka atau Tbk.) yang<br />

berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan<br />

profesi yang berkaitan dengan efek. Lembaga pasar modal adalah<br />

bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyim<br />

panan dan penyelesaian. Sedangkan lembaga keuangan<br />

yang terkait adalah perusahaan sekuritas yang memberikan jasa<br />

penjaminan emisi efek, perantara pedagang efek, dan manajemen<br />

investasi. Instrumen investasinya antara lain adalah saham dan<br />

obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten) serta unit<br />

penyertaan dari reksa dana.<br />

Jadi, yang mana yang harus syariah<br />

Pada saat itu, saya menerbitkan buku dengan judul Prinsip<br />

<strong>Syariah</strong> di Pasar Modal. Mengapa judulnya demikian Menurut<br />

pendapat saya, pasar modal bukanlah suatu lembaga keuangan<br />

atau produk keuangan, tetapi serangkaian kegiatan yang terkait<br />

dengan instrumen investasi yang disebut efek. Sehingga, bukan<br />

pasar modalnya yang dijadikan syariah, tetapi kegiatan pasar<br />

modal harus sesuai dengan prinsip syariah.<br />

Tidak sependapat Mari kita kaji satu persatu.<br />

Perusahaan sekuritas adalah lembaga keuangan, tetapi tidak<br />

memberikan produk kepada nasabah melainkan jasa, yaitu jasa<br />

penjaminan emisi—guna membantu perusahaan menerbitkan<br />

efek, jasa perantara pedagang efek—guna membantu investor<br />

213


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dalam memebli atau menjual efek, serta jasa manajemen<br />

investasi—guna membantu investor dalam mengelola suatu<br />

portofolio investasi.<br />

Bursa Efek adalah pihak atau lembaga yang menye lenggarakan<br />

dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan<br />

penawaran jual dan beli investor (pemodal) dengan<br />

tujuan untuk memperdagangkan efek di antara investor. Jadi,<br />

bursa efek dapat dianalogikan dengan bursa mobil, atau bursa<br />

lukisan. Produk yang menjadi objek pada bursa efek adalah<br />

efek, pada bursa mobil adalah mobil, dan pada bursa lukisan<br />

adalah lukisan.<br />

Pada perbankan, yang menerima dana masyarakat adalah<br />

bank, dan bank adalah lembaga keuangan. Sedangkan pada<br />

pasar modal, yang menerima dana masyarakat adalah perusahaan<br />

(emiten) atau reksa dana, di mana perusahaan menerima dana<br />

tersebut bukan dalam fungsi sebagai lembaga keuangan.<br />

Jadi, yang perlu sesuai syariah adalah objek investasi<br />

yaitu efek, yaitu instrumen yang diterbitkan oleh pihak yang<br />

menerima dana masyarakat yaitu emiten dan reksa dana, serta<br />

<strong>cara</strong> perdagangan efek. Karena itu, se<strong>cara</strong> pribadi saya sangat<br />

berbahagia, ketika tahun 2006 Bapepam menerbitkan keputusan<br />

tentang penerbitan efek syariah di mana Bapepam memakai<br />

istilah Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, bukan istilah Pasar Modal<br />

<strong>Syariah</strong>. Menurut ketentuan tersebut, prinsip syariah di<br />

pasar modal adalah “prinsip-prinsip hukum Islam dalam<br />

kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa DSN-<br />

MUI, baik fatwa DSN-MUI yang ditetapkan dalam<br />

peraturan Bapepam-LK maupun fatwa DSN-MUI yang<br />

telah diterbitkan sebelumnya, sepanjang fatwa tersebut<br />

214


BERSAMA KITA BISA!<br />

tidak bertentangan dengan peraturan Bapepam-LK yang<br />

didasarkan pada fatwa DSN-MUI.”<br />

Bapepam juga menetapkan bahwa Efek <strong>Syariah</strong> adalah<br />

efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pasar<br />

Modal dan peraturan pelaksanaannya, yang akad maupun <strong>cara</strong><br />

penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal.<br />

Sedangkan Akad <strong>Syariah</strong> adalah perjanjian/kontrak yang sesuai<br />

dengan Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, sebagaimana<br />

ditetapkan dalam Peraturan Bapepam-LK.<br />

Bagaimana dengan Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong><br />

Kelihatannya Bapepam berpendapat bahwa DPS adalah<br />

“domain”-nya DSN. Sehingga, Bapepam membuat ketentuan<br />

bahwa setiap pihak yang menerbitkan Efek <strong>Syariah</strong> wajib<br />

memenuhi kepatuhan terhadap Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar<br />

Modal yang terkait dengan Efek <strong>Syariah</strong> yang diterbitkan. Jadi,<br />

apabila DSN mengeluarkan fatwa bahwa harus ada DPS, maka<br />

semua perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah (sukuk)<br />

atau suatu reksa dana menerbitkan unit penyertaan syariah<br />

harus mempunyai DPS.<br />

Di samping itu, ada kaidah syariah yang menyatakan bahwa<br />

untuk urusan hubungan antarmanusia (muamalah), segala<br />

sesuatu diperbolehkan sampai timbulnya larangan. Oleh karena<br />

itu, Bapepam membuat aturan bahwa bila suatu pihak yang<br />

menerbitkan Efek <strong>Syariah</strong> dan menyatakan bahwa kegiatan<br />

usaha serta <strong>cara</strong> pengelolaannya berdasarkan Prinsip-prinsip<br />

<strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, maka pihak tersebut wajib menyatakan<br />

bahwa kegiatan usaha serta <strong>cara</strong> pengelolaan usahanya dilakukan<br />

berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal, sebagaimana<br />

215


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan atau Kontrak<br />

Investasi Kolektif (KIK). Selain itu, pihak (perusahaan atau reksa<br />

dana) tersebut wajib menyatakan bahwa jenis usaha, produk<br />

barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan <strong>cara</strong><br />

pengelolaan perusahaan pihak yang melakukan penawaran<br />

umum tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di<br />

Pasar Modal.<br />

Dan, karena Bapepam tidak memiliki jurisdiksi atas Dewan<br />

Pengawas <strong>Syariah</strong> (DPS), maka Bapepam membuat ketentuan<br />

bahwa perusahaan tersebut wajib memiliki anggota direksi<br />

dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang<br />

bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.<br />

Sedangkan reksa dana harus memiliki wakil manajer investasi<br />

(pada perusahaan manajemen investasi) dan penanggungjawab<br />

atas pelaksanaan kegiatan kustodian (pada bank kustodian) yang<br />

mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsipprinsip<br />

syariah di pasar modal.<br />

Dengan demikian, para pemodal, perusahaan (emiten),<br />

perusahaan sekuritas, lembaga dan profesi yang berkaitan<br />

dengan efek akan dapat membangun kebersamaan yang saling<br />

menguntungkan dan tetap mematuhi prinsip syariah.<br />

Jadi semua kaya, semua bahagia, <strong>cara</strong> syariah.<br />

Jurus Kebersamaan VII: Unit Link<br />

Sebagaimana telah disampaikan, saling tolong-menolong<br />

dalam menanggulangi risiko dapat dilakukan dengan jurus<br />

ta’awun-takafuli. Kebersamaan dalam melakukan investasi di<br />

pasar modal dapat dilakukan melalui reksa dana syariah. Tolong-<br />

216


BERSAMA KITA BISA!<br />

menolong antara masyarakat dan negara dalam meningkatkan<br />

perekonomian dapat berlangsung melalui instrumen Surat<br />

Berharga <strong>Syariah</strong> Negara—atau lebih dikenal dengan nama<br />

Sukuk Ritel. Kita dapat pula menggalang kebersamaan yang<br />

menggabungkan jurus ta’awun-takafuli, reksa dana syariah,<br />

obligasi/sukuk syariah, dan Sukuk Ritel.<br />

Seperti apa kebersamaan itu<br />

Ketika saling tolongmenolong<br />

dalam me nanggu<br />

langi risiko melalui<br />

produk ta’awun-takafuli,<br />

para pihak (peserta) akan<br />

menghimpun dana melalui<br />

pembayaran iuran. Dana<br />

Kebersamaan dalam<br />

melakukan investasi<br />

di pasar modal dapat<br />

dilakukan melalui reksa<br />

dana syariah.”<br />

tersebut akan digunakan untuk memberikan jaminan atau<br />

santunan bila salah seorang peserta mengalami musibah.<br />

Tentunya, jaminan atau santunan tersebut harus sesuai dengan<br />

kesepakatan bersama. Iuran tersebut bersifat waqaf atau sedekah<br />

dengan harapan akan memperoleh barokah dari Allah SWT.<br />

Karena itu, dana yang terbentuk disebut sebagai dana tabarru’.<br />

Untuk meningkatkan daya guna, dana tabarru’ tersebut<br />

harus dikelola dengan baik oleh pengelola. Cara pengelolaan<br />

dana tabarru’ agar sesuai prinsip syariah dapat dilakukan dengan<br />

<strong>cara</strong> yang mirip dengan pengelolaan portofolio investasi di<br />

reksa dana syariah. Sementara itu, pengelola juga bertugas<br />

untuk mengumpulkan iuran dari para peserta. Oleh karena itu,<br />

pengelola tersebut akan mempunyai kompetensi yang baik dalam<br />

melakukan penagihan (collection) dan pencatatan iuran. Nah,<br />

bagaimana kalau kedua keahlian pengelola tersebut digabungkan<br />

217


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

“Cara pengelolaan dana<br />

tabarru’ agar sesuai<br />

prinsip syariah dapat<br />

dilakukan dengan <strong>cara</strong><br />

yang mirip dengan<br />

pengelolaan portofolio<br />

investasi di reksa dana<br />

syariah.”<br />

Bila kita gabungkan,<br />

maka produk gabungan akan<br />

memberikan perlindungan<br />

atas risiko tertentu (misalnya<br />

risiko kehilangan penghasilan<br />

karena meninggalnya sese<br />

orang) seperti produk<br />

ta’a wun-takafuli dan akan<br />

mem berikan hasil investasi<br />

yang halal dan baik seperti<br />

produk reksa dana syariah.<br />

Dalam industri keuangan, gabungan produk pertanggungan<br />

(asuransi) dan produk investasi (reksa dana) disebut dengan<br />

unit-link, maksudnya mengadakan “link (hubungan) unit<br />

penyertaan dari suatu reksa dana dengan perlindungan risiko<br />

(ta’awun-takafuli atau asuransi syariah)”.<br />

Apakah produk unit-link itu halal dan baik<br />

Selama pengelolaan dana investasi tersebut sesuai dengan<br />

pengelolaan portofolio investasi reksa dana syariah, maka<br />

produk tersebut adalah produk yang halal dan insya Allah akan<br />

memberikan hasil yang baik. Dan bila perlindungan risiko<br />

tersebut mengikuti prinsip ta’awun-takafuli, maka perlindungan<br />

atau pertanggungan yang diberikan adalah halal, sehingga<br />

produk unit-link adalah produk yang halal dan insya Allah<br />

memberikan hasil yang baik.<br />

Semua bisa tetap kaya, semua bisa bahagia, dengan<br />

<strong>cara</strong> syariah.<br />

218


Bab 10<br />

Ciptakan Kekayaan<br />

Sepanjang periode tahun 2002 hingga 2005, rata-rata<br />

harga rumah di Amerika Serikat meningkat sekitar 13,5%<br />

per tahun. Pada kurun waktu yang sama, suku bunga kredit<br />

pemilikan rumah (KPR) yang berlaku, paling tinggi dipatok<br />

pada level 6%. Saat itu, bank maupun lembaga keuangan<br />

berlomba menyalurkan KPR (mortgage) meski kepada nasabah<br />

yang sebenarnya tidak layak menerima KPR (sub-prime). Di<br />

tengah sumringah-nya industri properti yang seperti itu, tak<br />

mengherankan jika banyak nasabah yang sebenarnya tidak<br />

memiliki kemampuan mencicil, tergoda memanfaatkan fasilitas<br />

KPR untuk membeli rumah yang harganya naik terus itu.<br />

Celakanya, tujuan mereka bukan mengejar target untuk<br />

segera memiliki rumah sendiri, tetapi untuk dijual kembali.<br />

Maklum, uang muka yang dipersyaratkan sangat rendah dengan<br />

beban suku bunga yang juga rendah, atau cuma 6% per tahun.<br />

Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang rata-rata 13,5%<br />

219


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

per tahun, dengan hitung-hitungan se<strong>cara</strong> kasar saja, mereka<br />

akan meraih untung cukup besar, jika dalam 2 tahun rumah<br />

KPR-nya bisa dijual kembali.<br />

Ambil contoh, untuk pembelian rumah seharga<br />

US$200.000, calon nasabah hanya dikenakan uang muka 10%<br />

atau US$20.000. Bunga KPR 6% per tahun cuma US$21.600<br />

untuk 2 tahun. Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang<br />

menunjukkan kenaikan rata-rata 13,5% per tahun, maka dalam<br />

2 tahun ke depan harga rumah tersebut diharapkan membengkak<br />

menjadi US$257.000.<br />

Artinya, dengan modal awal sebesar US$20.000 (untuk uang<br />

muka), nasabah akan memperoleh keuntungan dari harga jual<br />

sebesar US$57.000 (US$257.000 - US$200.000). Potong biaya<br />

bunga US$21.600 dan biaya-biaya lain, katakanlah US$10.000,<br />

maka nasabah tersebut masih menangguk margin (keuntungan)<br />

sebesar US$25.400.<br />

Singkat cerita, dengan modal yang cuma US$20.000,<br />

spekulasi pada jual beli rumah nasabah KPR itu memiliki potensi<br />

keuntungan sebesar US$25.400 atau 127% dalam waktu 2<br />

tahun. Siapa yang tak tergiur<br />

Pertanyaannya kemudian tentulah:<br />

“Apa benar begitu”<br />

“Siapa yang menentukan harga rumah”<br />

“Apakah kenaikan harga yang diterapkan cukup wajar”<br />

“Mungkinkah kenaikan harga terjadi karena “permainan”<br />

pihak-pihak tertentu yang didukung spekulasi “gila-gilaan””<br />

“Apakah situasi ini ibarat cerita “Pulau Monyet” di Amerika<br />

Serikat”<br />

220


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

Menariknya, cerita ajaib ini ternyata tak cukup hanya<br />

berhenti sampai di situ. Di Amerika Serikat juga berkembang<br />

pasar sekunder untuk portofolio KPR yang disebut secondary<br />

mortgage. Instrumen ini dipasang untuk menarik investor<br />

institusi dengan iming-iming mempunyai pendapatan yang stabil<br />

(dari cicilan KPR). Berdasarkan aset riil atau underlying asset,<br />

dan umumnya mempunyai tingkat bunga yang cukup menarik.<br />

Dan instrument secondary mortgage ini diterbitkan oleh lembaga<br />

keuangan yang mendapat dukungan dari Pemerintah Amerika<br />

Serikat, sehingga dianggap sebagai BUMN, yang dikenal dengan<br />

julukan Fannie Mae dan Freddie Mac.<br />

Fenomena lain yang<br />

menarik saat itu, pada kurun<br />

waktu 2002-2004 tingkat<br />

pengembalian atau imbalhasil<br />

(return) dari secondary<br />

mortgage ditawarkan sekitar<br />

5,25%, sementara suku bunga<br />

pinjaman (prime rate) dipatok<br />

sebesar 4,25%. Artinya,<br />

terdapat selisih (spread)<br />

sebesar 1.00% di atas suku<br />

“Bila sudah membuat<br />

akad yang sesuai dengan<br />

ketentuan, maka Allah<br />

SWT memerintahkan<br />

semua orang yang<br />

beriman untuk memenuhi<br />

akad-akad yang telah<br />

mereka buat (QS 5:1).”<br />

bunga pinjaman (prime rate). Bila benar atas instrumen ini ada<br />

underlying asset dengan valuasi yang wajar dan pendapatannya<br />

stabil, maka instrumen investasi ini tentu sangat menarik. Tapi<br />

bila tidak, “Wah, pasti bisa gawat”.<br />

Hebatnya lagi, “kegawatan” itu ternyata belum ingin<br />

berhenti sampai di sini. Harga rumah terus melejit bak “harga<br />

monyet”. Prinsip kehati-hatian dilanggar dengan memberi<br />

221


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

pinjaman kepada nasabah yang tidak layak (sub-prime). Nasabah<br />

mengambil pinjaman bukan untuk membeli rumah yang<br />

akan dihuni sendiri, tetapi dengan tujuan spekulasi. Bukan<br />

main! Atas aset KPR yang “gawat” itu diterbitkan secondary<br />

mortgage, kemudian atas instrumen tersebut ternyata juga dijual<br />

instrumen derivatif. Artinya, “kegawatan” semakin berulang dan<br />

menumpuk, karena ada praktik gali lubang tutup lubang<br />

yang telah digali untuk menutup lubang sebelumnya, lalu<br />

digali lagi, dan seterusnya. Begitu selalu. Celakanya, instrumen<br />

derivatif yang dijual pun bukan hanya satu tingkat, tetapi<br />

bertingkat-tingkat.<br />

Hingga saat itu, Amerika Serikat adalah negara adidaya.<br />

Negara yang menjadi panutan negara-negara maju lainnya.<br />

Jadi, tak mengherankan jika instrumen yang dinilai “inovatif”<br />

ini laris manis bak pisang goreng. Penikmat ragam instrumen<br />

investasi yang ditawarkan itu datang dari berbagai penjuru<br />

dunia, terutama Jepang dan Eropa.<br />

Ibarat pepatah, untung tak mudah diraih malang tak dapat<br />

ditolak, pada tahun 2006-2007 gelembung harga rumah di<br />

Amerika Serikat pecah. Harga rumah di Amerika Serikat terjun<br />

bebas. Menukik tajam. Bila informasi ini dipahami oleh otoritas<br />

keuangan dan masyarakat keuangan, seharusnya mereka segera<br />

mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko yang<br />

mungkin terjadi. Tapi, entah kenapa, tak banyak tindakan yang<br />

diambil. Akhirnya krisis keuangan pun meledak di akhir 2008.<br />

Tak jauh berbeda dengan virus komputer, flu burung, atau<br />

H1N1, dampaknya segera menyebar dengan gegap gempita<br />

ke seantero dunia.<br />

222


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

“Mengapa hal ini bisa terjadi di negara maju seperti Amerika<br />

Serikat”<br />

“Mengapa pula dampaknya tak dapat dibendung meski di<br />

negara-negara maju yang selama ini dianggap mempunyai sistem<br />

ekonomi, sistem keuangan, dengan budaya tata kelola (corporate<br />

governance) yang baik”<br />

“Bagaimana sebenarnya sistem ekonomi dan sistem keuangan<br />

yang berlaku”<br />

“Apakah sistem-sistem tersebut tidak bisa mencegah situasi<br />

yang sangat berbahaya itu”<br />

“Apakah ada <strong>cara</strong> lain yang lebih sesuai untuk menuju dunia<br />

yang lebih baik”<br />

“Shariah Way for a Better World”<br />

<br />

Prinsip ekonomi yang sesuai dengan ketentuan Allah<br />

SWT adalah mencari hasil yang halal dan thoyib, dengan <strong>cara</strong><br />

yang penuh keridhaan (tidak terkait riba) dan kehati-hatian<br />

(mencegah kondisi gharar dan menghindari maysir), serta<br />

menjaga keseimbangan hasil dengan risiko. Esensi dari prinsip<br />

ekonomi tersebut adalah menciptakan manfaat yang dapat<br />

menghasilkan nilai tambah dan dapat dibagihasilkan oleh pihakpihak<br />

yang bekerja sama dalam penciptaan manfaat tersebut.<br />

Manfaat diperoleh dengan menciptakan sesuatu yang<br />

mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai jumlah biaya dan usaha<br />

yang dicurahkan untuk menghasilkan sesuatu tersebut. Sesuatu<br />

tersebut dapat berbentuk barang atau jasa. Nilai barang atau jasa<br />

tersebut diukur dari sudut pandang pihak yang membutuhkan<br />

223


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

atau memakai barang atau jasa tersebut, bukan dari sudut<br />

pandang pihak yang menghasilkan barang atau jasa tersebut.<br />

Nilai tersebut terwujudkan bila terjadi transaksi antara pihak<br />

yang memberikan barang atau jasa dengan pihak membutuhkan<br />

barang atau jasa tersebut.<br />

Agar nilai tersebut terwujudkan sesuai dengan niat para<br />

pihak yang terkait, maka diadakan kesepakatan yang mengikat,<br />

dengan tujuan agar para pihak yang terkait memenuhi<br />

kewajibannya dan mendapatkan haknya. Kesepakatan yang<br />

mengikat tersebut adalah ikatan (akad).<br />

Ikatan atau akad akan dibuat sesuai dengan keyakinan<br />

pihak-pihak yang mengadakan ikatan atau akad. Kaidah dalam<br />

hubungan antarmanusia menyatakan bahwa semua hal pada<br />

prinsipnya diperbolehkan kecuali yang telah dilarang. Karena<br />

itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa<br />

manusia bebas mengadakan akad kecuali bila dalam akad<br />

tersebut ada syarat atau ketentuan yang mengharamkan<br />

yang halal maupun adanya syarat atau ketentuan yang<br />

menghalalkan yang haram. Dan bila sudah membuat akad<br />

yang sesuai dengan ketentuan, maka Allah SWT memerintahkan<br />

semua orang yang beriman untuk memenuhi akad-akad yang<br />

telah mereka buat (QS 5:1).<br />

Manfaat yang tercipta dari suatu kegiatan ekonomi<br />

merupakan hak dari pihak-pihak yang terkait dalam penciptaan<br />

manfaat tersebut sehingga nilai tambah yang dihasilkan oleh<br />

penciptaan manfaat juga merupakan hak dari pihak-pihak<br />

terkait. Oleh karena itu, nilai tambah atau keuntungan akibat<br />

manfaat yang tercipta harus dibagihasilkan di antara para pihak<br />

yang terkait dalam penciptaan manfaat tersebut. Sehingga, bila<br />

224


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

tidak ada manfaat yang tercipta, maka tidak ada nilai tambah<br />

yang dapat menjadi objek untuk bagi hasil, dan oleh karena<br />

itu tidak terjadi akad. Karena itu, gerakan pertama untuk<br />

memperoleh keuntungan adalah dengan menciptakan nilai<br />

tambah.<br />

Berbasis Objek Riil<br />

Krisis keuangan yang menimpa seluruh dunia pada akhirakhir<br />

ini adalah karena maraknya pembiayaan dan investasi tanpa<br />

ada kejelasan manfaat dari objek transaksi. Hal ini terjadi karena<br />

objek transaksi tidak dapat berfungsi sebagai aset produktif.<br />

Sehingga, dapat dikatakan bahwa transaksi tersebut tidak<br />

memiliki underlying asset. Karena nilai tambah yang diciptakan<br />

oleh objek transaksi tidak jelas, maka pembiayaan atau investasi<br />

tersebut tidak dapat mengacu pada valuasi yang wajar atas<br />

objek transaksi berdasarkan kemampuan objek tersebut dalam<br />

memberikan nilai tambah sehingga tambahan yang diperoleh<br />

dari transaksi tersebut adalah riba.<br />

Dunia mengalami krisis keuangan karena meluasnya<br />

transaksi dengan riba. Riba dalam hal ini bukanlah semata-mata<br />

bunga bank, tetapi riba yang sebenar-benarnya karena telah<br />

terjadi kezhaliman. Kezhaliman terjadi karena transaksi bukan<br />

ditujukan untuk menciptakan manfaat melalui nilai tambah<br />

yang dihasilkan oleh objek transaksi.<br />

Sebenarnya, untuk nilai tambah diperoleh bila nilai<br />

objek transaksi lebih besar dari jumlah nilai atau biaya yang<br />

dibutuhkan untuk menciptakan dan menyampaikan objek<br />

transaksi kepada pemakainya. Nilai objek transaksi hanya dapat<br />

ditentukan dengan adil berdasarkan valuasi yang wajar atas objek<br />

225


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

transaksi. Maka, bila pemberi pembiayaan maupun penerima<br />

pembiayaan sama-sama tutup mata, pura-pura tidak tahu bahwa<br />

valuasi atas objek transaksi sudah sangat tidak wajar. Bila nilai<br />

sebenarnya adalah dibawah nilai transaksi, maka timbul kondizi<br />

zhalim, dan tambahan yang dihasilkan adalah riba. Haram!<br />

Itulah sebabnya Allah SWT membandingkan riba dengan<br />

jual-beli (QS 2:275), bukan dengan bagi hasil atau perserikatan<br />

atau kongsi. Karena jual-beli adalah dasar dari perniagaan, dan<br />

dalam jual-beli harus ada objek jual beli atau objek transaksi<br />

yang merupakan sesuatu barang atau jasa yang mempunyai<br />

nilai sehingga dapat menjadi harta. Dan harga yang terjadi<br />

dalam transaksi tersebut tentunya berdasarkan valuasi dari objek<br />

transaksi, di mana valuasi dari objek transaksi ditentukan oleh<br />

manfaat yang diharapkan diterima oleh masing-masing pihak,<br />

dalam mekanisme pasar yang wajar. Karena itu gerakan kedua<br />

untuk memperoleh keuntungan adalah dengan melakukan<br />

transaksi atas objek riil, atau aset, khususnya melalui transaksi<br />

jual-beli atau peralihan kepemilikan atau penguasaan manfaat<br />

dari objek riil tersebut.<br />

<br />

Ibnu Khaldun telah menyatakan bahwa setiap individu<br />

tidak dapat dengan sendirinya memperoleh seluruh kebutuhan<br />

hidupnya, semua harus bekerja sama untuk memperoleh<br />

kebutuhan hidup dalam peradabannya. Dan hasil kerja sama<br />

sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan hidup beberapa<br />

kali lipat dari jumlah mereka. Jadi, pemikir Islam ini telah<br />

menyatakan bahwa manusia harus saling tolong-menolong agar<br />

dapat meningkatkan produktivitasnya.<br />

226


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolongmenolong<br />

dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan<br />

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melanggar aturan (QS<br />

05:02). Manusia pun harus saling tolong-menolong karena Allah<br />

SWT telah menjadikan sebagian manusia lebih baik dari sebagian<br />

lain agar mereka dapat berguna bagi yang lain (QS 43:32), serta<br />

karena Allah SWT menghendaki kemudahan bagi manusia dan<br />

tidak menghendaki kesukaran bagi manusia. Bahkan, Allah<br />

SWT menjanjikan bahwa dibalik setiap satu kesukaran akan<br />

ada banyak kemudahan, bila manusia bertakwa (QS 65:07).<br />

“Dunia mengalami<br />

krisis keuangan karena<br />

meluasnya transaksi<br />

dengan riba. Riba dalam<br />

hal ini bukanlah sematamata<br />

bunga bank, tetapi<br />

riba yang sebenarbenarnya<br />

karena telah<br />

terjadi kezhaliman.”<br />

Memudahkan sesuatu<br />

yang sukar serta mengurangi<br />

atau bahkan menghilangkan<br />

kesukaran adalah salah satu<br />

<strong>cara</strong> tolong-menolong. Nabi<br />

Muhammad SAW telah<br />

mengajarkan, barangsiapa<br />

memudahkan kesukaran<br />

seseorang, maka Allah SWT<br />

akan memudahkan baginya<br />

di dunia dan di akhirat.<br />

Allah SWT selalu menolong hamba-Nya yang suka menolong<br />

temannya. Bahkan, orang yang hanya memberi petunjuk kepada<br />

kebaikan sama pahalanya dengan orang yang memberikan<br />

kebaikan itu.<br />

Tolong-menolong bukan hanya antara manusia dengan<br />

manusia lain se<strong>cara</strong> langsung, tetapi juga bisa dilakukan antara<br />

manusia dengan suatu organisasi atau antarorganisasi, baik<br />

227


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

organisasi usaha, organisasi masyarakat, organisasi sosial, maupun<br />

organisasi pemerintah.<br />

Tolong-menolong bukan hanya dalam bentuk kerja sama<br />

atas suatu tanah atau aset, dapat juga karena kemampuan atau<br />

kesempatan yang dimiliki oleh suatu pihak dan dibutuhkan<br />

oleh pihak lain. Bila pihak yang mempunyai kemampuan atau<br />

kesempatan yang lebih baik memberikan jasa kepada pihak lain<br />

yang membutuhkan kemampuan atau kesempatan tersebut,<br />

maka se<strong>cara</strong> total hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan.<br />

Dengan kata lain, melalui pemberian jasa tersebut produktivitas<br />

dapat ditingkatkan.<br />

Pertama, peningkatan produktivitas karena efisien.<br />

Hal ini dapat terjadi karena pihak yang paling tepat dalam arti<br />

mempunyai kemampuan yang tepat, atau kesempatan yang<br />

tepat dan dengan waktu yang paling singkat. atau biaya yang<br />

paling rendah akan melaksanakan pekerjaan atau tugas tersebut.<br />

Sehingga dapat mencapai hasil yang diinginkan dengan biaya<br />

atau waktu atau bahan yang lebih sedikit.<br />

Kedua, peningkatan produktivitas karena efektif. Hal<br />

ini dapat terjadi bila pihak yang memberikan jasa mempunyai<br />

keahlian atau kemampuan yang lebih baik sehingga dengan<br />

biaya atau waktu atau bahan yang sama dapat diperoleh hasil<br />

yang lebih baik.<br />

<br />

Pada tahun 2000, saya mengikuti delegasi yang dipimpin<br />

oleh Menteri Luar Negeri RI, Bapak Alwi Shihab, mengunjungi<br />

beberapa negara Timur Tengah untuk menawarkan peluang<br />

228


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

investasi di Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya bertemu<br />

dengan salah satu investor dari Oman yang sangat berminat<br />

untuk berinvestasi di Indonesia.<br />

Sebagaimana diketahui,<br />

negara-negara Timur Tengah<br />

banyak memasok energi ke<br />

negara-negara Asia Timur,<br />

khususnya China, Jepang,<br />

dan Korea. Dalam perjalanan<br />

kembali dari Asia Timur,<br />

kapal pengangkut energi<br />

tersebut relatif kosong—<br />

mem buka peluang me manfaat<br />

kan kapasitas angkut<br />

”KPR adalah pembiayaan<br />

yang aman, memberikan<br />

hasil yang relatif pasti,<br />

dan se<strong>cara</strong> tidak langsung<br />

akan meningkatkan<br />

perekonomian negara<br />

dan kesejahteraan<br />

masyarakat.”<br />

yang tidak terpakai itu. Di negara-negara Teluk, termasuk<br />

Oman, energi cukup berlimpah. Sementara itu, negaranegara<br />

Teluk memerlukan bahan logam untuk konstruksi dan<br />

industri. Untuk mengolah bijih logam menjadi bahan logam<br />

(smeltering) diperlukan energi yang besar. Oleh karena itu,<br />

investor dari Oman menawarkan untuk membangun smeltering<br />

facility di Oman untuk mengolah bijih logam dari Indonesia.<br />

Pengangkutan bijih logam dari Indonesia ke Oman akan<br />

memanfaatkan kapal pengangkut energi yang kembali dari Asia<br />

Timur ke Kawasan Teluk. Sungguh suatu proposal yang menarik.<br />

Sayangnya, waktu itu, saya tidak mampu mewujudkannya.<br />

Enam tahun kemudian Oman mewujudkan rencana<br />

tersebut, tetapi kerja sama yang terjadi bukan dengan Indonesia.<br />

Sohar Aluminium, anak perusahaan Oman Oil Company,<br />

membangun aluminium smelter lengkap dengan fasilitas<br />

229


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

pendukungnya untuk memanfaatkan sumber energi Oman<br />

guna menghasilkan aluminium. Ternyata sebagian pendanaan<br />

diperoleh dengan menerbitkan obligasi (sukuk) dengan nilai<br />

US$260 juta. Ikatan yang digunakan adalah akad Istishna dan<br />

akad Ijarah.<br />

Akad Istishna adalah akad pembelian suatu objek yang<br />

perlu memerlukan proses pembuatan. Melalui penerbitan sukuk<br />

istishna oleh Sohar, investor mengadakan kontrak dengan Sohar<br />

untuk membeli aluminium smelter. Jadi, investor menyediakan<br />

dana. Sohar yang membangun aluminium smelter. Investor<br />

kemudian akan memiliki aluminium smelter tersebut. Sohar<br />

mendapat keuntungan dari kontrak pembangunan aluminium<br />

smelter ini.<br />

Akad Ijarah adalah akad penyewaan suatu aset. Sohar<br />

menyewa aluminium smelter dari investor—aluminium smelter<br />

ini dibuat oleh Sohar dalam akad Istishna. Karena Sohar akan<br />

menyewa aluminium smelter tersebut setelah selesai dibuat<br />

berdasarkan akad Istishna, maka tentunya spesifikasi aluminium<br />

tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh Sohar.<br />

Investor memperoleh hasil sewa dari investasi dalam bentuk<br />

aluminium smelter ini.<br />

Kontrak penyewaan dimulai setelah aluminium smelter<br />

selesai dibuat, dan berakhir 15 tahun setelah pembangunan<br />

aluminium smelter dimulai. Jadi, investor menanam investasi<br />

selama 15 tahun dan memperoleh imbal hasil dalam bentuk<br />

sewa.<br />

Sebagai pelengkap akad Istishna dan akad Ijarah ini,<br />

investor mengadakan kontrak penjualan aluminium smelter<br />

ini kepada Sohar pada akhir masa sewa. Jadi, investor akan<br />

230


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

mendapatkan kembali dana pokok investasinya pada akhir<br />

masa 15 tahun setelah awal penempatan dana. Tentunya besar<br />

marjin keuntungan Sohar dari kontrak Istishna, nilai sewa yang<br />

diperoleh investor selama masa Ijarah, dan nilai penjualan aset<br />

aluminium smelter harus lebih kecil dari manfaat dan nilai aset<br />

aluminium smelter yang diperoleh Sohar. Dan, tentu saja harus<br />

memenuhi imbal hasil yang diharapkan oleh investor.<br />

Kombinasi kontrak Istishna dan Ijarah ini terbukti sangat<br />

sesuai untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas produksi.<br />

Dengan pola pembiayaan semacam ini, fasilitas jalan tol,<br />

bandara, pelabuhan laut, transportasi kereta, pembangkit tenaga<br />

listrik, dan sebagainya, dapat dibangun. Pola pembiayaan ini<br />

memberi peluang kepada masyarakat—baik yang memiliki dana<br />

yang besar maupun yang hanya memiliki dana terbata—untuk<br />

ikut menikmati imbal hasil dari proyek-proyek infrastruktur.<br />

Proyek infrastruktur juga akan meningkatkan perekonomian<br />

yang pada gilirannya akan meningkatkan peluang mendapatkan<br />

keuntungan. Bila pola pembiayaan ini diterapkan, semua akan<br />

kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

Maukah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat<br />

menerapkannya<br />

Jurus Cipta II: Ijarah<br />

Di Hongkong, ada suatu tempat yang namanya Admiralty.<br />

Tempat itu sangat strategis karena di sana terdapat stasiun kereta<br />

bawah tanah yang menghubungkan berbagai rute, baik di Pulau<br />

Hongkong maupun yang menuju ke daratan Kowloon. Di<br />

lokasi itu, seorang pengusaha dari Australia dan New Zealand<br />

231


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

mendirikan bangunan menara kembar dengan rancangan<br />

arsitektur yang cukup unik: Menggambarkan beberapa koala<br />

sedang memanjat pada suatu batang pohon. Bangunan itu<br />

diberi nama “The Bond Tower”, dan relatif cukup laku karena<br />

menempati lokasi yang strategis.<br />

Untung tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak.<br />

Pengusaha tersebut terkena suatu kasus keuangan sehingga<br />

dihukum penjara. Akibatnya, banyak penyewa ruangan di<br />

Bond Tower yang pindah ke bangunan lain. Peluang ini dilihat<br />

oleh Mochtar Riady, pemilik Lippo Group. Ia menghubungi<br />

pengelola Bond Tower dan mengadakan negosiasi untuk<br />

menyewa seluruh ruangan di bangunan tersebut dengan harga<br />

murah. Maklum saat itu Bond Tower kekurangan penyewa<br />

karena penyewa tidak ingin dikaitkan dengan nama pemilik<br />

bangunan itu. Tidak hanya meminta harga yang sangat murah,<br />

Mochtar Riady juga meminta hak untuk menyewakan kembali<br />

serta hak untuk mengganti nama bangunan tersebut.<br />

Setelah mendapat hak menyewa dan mengganti nama<br />

bangunan menjadi “Lippo Center”, ruangan di bangunan<br />

tersebut kemudian ditawarkan kepada mitra usaha Lippo.<br />

Karena Lippo juga akan berkantor di Lippo Center, maka banyak<br />

pengusaha yang berminat. Akhirnya, Lippo dapat menyewakan<br />

sebagian besar dari ruangan tersebut dengan jumlah harga yang<br />

lebih besar dari harga yang dibayar oleh Lippo untuk seluruh<br />

bangunan itu. Sehingga, Lippo mendapat nama bangunan dan<br />

sebagian ruangan serta mendapat keuntungan dari menyewakan<br />

kembali.<br />

Dalam konsep syariah, akad yang digunakan<br />

Mochtar Riady dalam kasus di atas disebut sebagai akad<br />

232


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

Ijarah. Akar katanya adalah ujrah, artinya upah. Dalam<br />

akad ini, yang menjadi objek akad adalah manfaat<br />

dari suatu “aset”. Karena itu, tidak menjadi soal, siapa yang<br />

sebenarnya memiliki aset tersebut. Selama pihak tersebut<br />

memiliki kuasa atau mendapat kuasa untuk menggunakan<br />

manfaat dari aset tersebut, maka pihak tersebut dapat menjual<br />

manfaat tersebut kepada menerima bayaran. Menjual manfaat<br />

mungkin lebih dikenal sebagai “menyewakan”, dan bayaran yang<br />

diterima lebih dikenal sebagai “uang sewa”. Jadi Mochtar Riady<br />

memiliki hak manfaat atas bangunan yang sebelumnya diberi<br />

nama Bond Tower, kemudian berhak mengganti nama serta<br />

menyewakan kembali ruangan-ruangan pada bangunan tersebut<br />

kepada orang lain. Bila harga yang dibayar kepada pemilik<br />

bangunan lebih kecil dari harga yang dibayar oleh penyewa,<br />

maka tentunya Mochtar Riady memperoleh keuntungan. Smart<br />

bukan<br />

Ada cerita lain. Setelah krisis moneter, Merpati Nusantara<br />

tidak memiliki armada pesawat terbang yang cukup, sehingga<br />

banyak awak pesawat, termasuk pramugari dan pramugara yang<br />

tidak mendapat tugas “terbang”. Hal ini cukup meresahkan para<br />

awak pesawat, karena penghasilan mereka sangat tergantung<br />

pada “jam terbang”. Artinya, kalau jumlah “jam terbang” pada<br />

suatu bulan tidak memadai, maka penghasilan mereka juga<br />

tidak memadai.<br />

Sementara itu, Saudia Airlines memenangkan “tender”<br />

untuk melayani perjalanan haji Indonesia. Saudia Airlines<br />

memiliki cukup uang untuk mengadakan pesawat terbang yang<br />

diperlukan untuk melayani perjalanan haji. Namun, Saudia<br />

Airlines tidak memiliki cukup pramugari/pramugara untuk<br />

233


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

melayani perjalanan haji tersebut. Di samping itu, sebagian<br />

besar jamaah haji belum terbiasa mengadakan perjalanan dengan<br />

pesawat terbang, apalagi untuk ibadah haji. Sehingga, Saudia<br />

Airlines memerlukan pramugari/pramugara yang bisa berbahasa<br />

Indonesia dan memahami budaya jamaah haji Indonesia agar<br />

dapat melayani dengan baik.<br />

Merpati Nusantara yang “kelebihan” awak pesawat dan<br />

memerlukan kesempatan “terbang” dan Saudia Airlines yang<br />

memerlukan awak pesawat dan memiliki kesempatan “terbang”<br />

bisa mengadakan kerja sama. Merpati bisa “menjual” manfaat<br />

dari “aset” yang dikuasainya, yaitu awak pesawat yang terlatih<br />

dan mampu melayani jama’ah haji Indonesia, dan menerima<br />

bayaran atau “upah”. Akadnya juga disebut Ijarah.<br />

Merpati senang menerima bayaran, awak pesawat senang<br />

mendapat honor “terbang” dan kesempatan untuk haji atau<br />

umrah, Saudia Airlines senang bisa menjalankan pekerjaan<br />

dengan baik.<br />

Semua senang, semua kaya, semua bahagia, dengan<br />

<strong>cara</strong> syariah.<br />

Jurus Cipta III: Penjaga Kekayaan<br />

Dalam upaya mengelola risiko yang dihadapi, manusia dapat<br />

saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful)<br />

dengan niat mendapat berkah dari Allah SWT dan membentuk<br />

dana tabarru’. Semua pihak yang menjadi peserta ta’awun-takaful<br />

akan memerlukan suatu pihak untuk mengelola dana tabarru’.<br />

Mulai dari menghitung dan menentukan jumlah iuran (hibah)<br />

yang harus dibayarkan agar dapat memberikan perlindungan<br />

234


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

yang diharapkan, memungut iuran (hibah) yang telah disepakati,<br />

mengelola dana untuk meningkatkan nilainya, memeriksa klaim<br />

perlindungan, dan membayar santunan perlindungan. Pihak<br />

pengelola dana tersebut tentunya berhak memperoleh imbal<br />

jasa. Dan karena pihak pengelola adalah wakil peserta untuk<br />

mengelola dan atas jasanya berhak mendapat imbal jasa (ujrah),<br />

maka ikatannya disebut akad wakalah bi al ujrah.<br />

Kebutuhan para peserta<br />

untuk mempunyai wakil<br />

yang profesional guna<br />

mengelola dana tabarru’<br />

ini dilihat oleh pengusaha<br />

sebagai peluang. Oleh karena<br />

“all well will end well.<br />

Semua niat baik, yang<br />

dijalankan dengan baik,<br />

akan berakhir baik.”<br />

itu, beberapa perusahaan yang mempunyai kompetensi dalam<br />

menghitung risiko (aktuari), mengadministrasikan dana,<br />

penagihan dan pembayaran, dan mengelola dana, mengajukan<br />

diri untuk jadi pengelola. Tentu saja dalam proses pengalihan<br />

pengelolaan ini harus ditentukan pedoman pengelolaan, batasan<br />

pengelolaan, serta kuasa atau wewenang yang diberikan. Dan<br />

atas jasa yang diberikan dapat diberikan imbal jasa dengan nilai<br />

tertentu atau bahkan imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah<br />

yang besarnya telah disepakati sebelumnya. Perusahaan seperti<br />

itu adalah perusahaan asuransi. Akadnya tetap akad wakalah<br />

bi al ujrah.<br />

Perusahaan asuransi juga mempunyai kompetensi dalam<br />

memberikan perlindungan atau jaminan (takaful). Karena itu,<br />

perusahaan asuransi dapat menawarkan untuk ikut memberikan<br />

jaminan, sehingga bila ternyata dana tabarru’ tidak cukup<br />

untuk membayar santunan, maka perusahaan asuransi akan<br />

235


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

memberikan dana talangan. Atas dana talangan itu, perusahaan<br />

asuransi berhak mendapatkan imbalan yang lazim disebut<br />

premi. Akadnya menjadi akad Takaful. Dana talangan atau dana<br />

pinjaman dari perusahaan asuransi kepada dana tabarru’ untuk<br />

menanggulangi ketidakcukupan dana tabarru’ yang diperlukan<br />

untuk membayar santunan atau klaim dari peserta, yang dalam<br />

istilah syariah disebut qardh.<br />

Perusahaan asuransi juga dapat menawarkan untuk<br />

mengambil alih semua kegiatan pengelolaan dan penjaminan<br />

dalam kegiatan ta’awun-takafuli tersebut. Dengan demikian<br />

perusahaan asuransi menjadi pengusaha (mudharib) yang<br />

mendapat kuasa untuk dalam mengelola dana tabarru’ dan<br />

kuasa untuk menggabungkan dana tabarru’ tersebut dengan<br />

kekayaan (aset) perusahaan asuransi. Peserta ta’awun-takafuli<br />

menjadi pemilik dana (shahibul maal). Dan perusahaan asuransi<br />

berhak mendapat imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah yang<br />

besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan perusahaan<br />

asuransi terhadap dana tabarru’ yang digabungkan. Akadnya<br />

disebut akad Mudharabah Musytarakah.<br />

Dalam uraian di atas, inisiatif untuk melakukan kerja sama<br />

saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful)<br />

dengan membentuk dana tabarru’, berasal dari para peserta.<br />

Bagaimana bila sebenarnya banyak orang-orang yang perlu untuk<br />

saling tolong-menolong dan saling menjamin tetapi mereka tidak<br />

saling mengenal Mungkin ibaratnya banyak pria dan wanita yang<br />

saling memerlukan pasangan untuk membina keluarga, tetapi<br />

tidak saling mengenal. Maka, timbul peluang untuk jasa biro<br />

jodoh. Dalam hal ini, timbul peluang bagi perusahaan asuransi<br />

236


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

untuk menawarkan diri menjadi pengelola dana tabarru’ dan<br />

memberikan jasa takaful.<br />

Produk yang ditawarkan tersebut disebut produk takaful.<br />

Produk tersebut dirancang oleh perusahaan asuransi. Bila<br />

produknya sesuai dengan kebutuhan (calon) peserta, maka<br />

akan banyak orang yang menjadi peserta. Sebaliknya, bila tidak<br />

sesuai, peminatnya jarang. Bila pesertanya tidak memenuhi<br />

batasan keekonomian, maka tentunya perusahaan asuransi<br />

akan rugi. Peserta semakin banyak, berarti dana tabarru’ akan<br />

surplus dan perusahaan asuransi akan untung. Kemudian,<br />

perusahaan asuransi dapat menurunkan nilai premi sehingga<br />

semakin banyak peserta yang ikut. Semakin banyak orang yang<br />

mendapat perlindungan dan jaminan.<br />

”Bisnis harus punya<br />

tanggung jawab sosial.”<br />

Di samping kebutuhan<br />

untuk mendapat perlin dungan<br />

dan jaminan ter hadap<br />

risiko di usia pro duk tif, manusia<br />

juga membutuhkan “perlindungan” ketika sudah tidak<br />

lagi produktif. Atau, masa-masa pensiun. Ada mekanisme yang<br />

dipakai untuk pengelolaan dana tabarru’ maupun untuk dana<br />

investasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini. Dana<br />

yang dihimpun disebut sebagai dana pensiun. Perbedaannya,<br />

pada dana tabarru’ atau dana investasi yang mengambil inisiatif<br />

adalah para peserta, karena itu mereka yang membayar iuran.<br />

Sedangkan pada dana pensiun dimulai sebagai penghargaan<br />

kepada karyawan dan pegawai negeri, sehingga yang mengambil<br />

inisiatif adalah pemberi kerja, yaitu perusahaan atau Pemerintah.<br />

Akibatnya, yang membayar iuran adalah perusahaan atau<br />

237


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Pemerintah. Dana pensiun seperti ini disebut sebagai dana<br />

pensiun pemberi kerja.<br />

Tetapi tidak semua orang bekerja di perusahaan atau menjadi<br />

pegawai negeri. Banyak juga orang yang bekerja mandiri sebagai<br />

profesional, memberikan jasa bersama beberapa partner, atau<br />

berwirausaha sebagai UKM dengan jumlah karyawan yang<br />

sedikit. Mereka juga memerlukan perlindungan untuk masa<br />

pensiun. Mereka juga perlu memiliki dana pensiun.<br />

Memang sebaiknya mereka bergabung dalam suatu dana<br />

kumpulan atau dana bersama. Tetapi, bagaimana bila mereka<br />

belum saling mengenal Seperti halnya pada program ta’awuntakafuli,<br />

terbuka bagi lembaga keuangan untuk menawarkan<br />

produk dana pensiun. Produk ini disebut Dana Pensiun<br />

Lembaga Keuangan (DPLK). Bila pengelolaan investasi DPLK<br />

mengikuti ketentuan yang sama dengan pengelolaan investasi<br />

reksa dana syariah, maka tentunya hasilnya akan halal, dan<br />

mudah-mudahan thoyib.<br />

Semakin banyak merasa orang kaya, makin bahagia<br />

di hari tua, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

Jurus Cipta IV: Rumahku, Surgaku<br />

Salah satu jurus sistem ekonomi neo-liberal menyatakan<br />

bahwa Pemerintah harus menerapkan disiplin kebijakan fiskal<br />

yang menghindari defisit anggaran. Untuk memenuhi hal itu,<br />

anggaran belanja negara harus diutamakan pada layanan umum,<br />

termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan prasarana<br />

(infrastruktur). Ini berarti bahwa Pemerintah sebaiknya tidak<br />

membiayai pembangunan infrastruktur dengan dana yang<br />

238


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

diperoleh dari utang, tetapi harus mengandalkan penerimaan<br />

pajak. Apakah ini benar Sementara cerita di awal bab ini<br />

menunjukkan bahwa krisis keuangan dunia berawal dari masalah<br />

subprime mortage di Amerika Serikat. Lantas, bagaimana <strong>cara</strong><br />

mengatasi masalah ini<br />

Baiklah, saya ambil suatu analogi. Coba lihat pada<br />

kehidupan kita sendiri. Pada saat kita memulai kehidupan<br />

berkeluarga, sebagian besar dari kita belum memiliki mobil<br />

dan—apalagi—rumah. Dalam kondisi semacam itu, dengan<br />

hanya mengandalkan pada sisa penghasilan—setelah dipotong<br />

biaya hidup, apakah kita dapat membeli mobil dan rumah<br />

Memang dengan disiplin yang ketat, kita bisa menabung. Tetapi,<br />

kapankah tabungan kita akan cukup untuk membeli mobil dan<br />

rumah Faktanya, harga mobil dan rumah meningkat lebih pesat<br />

dari peningkatan nilai tabungan kita. Apalagi kalau kita harus<br />

membayar biaya sewa rumah dan biaya transportasi.<br />

Tidak heran jika pertanyaan seperti di bawah ini kerap<br />

menghantui kita.<br />

”Kapan kita punya mobil”<br />

”Kapan kita punya rumah”<br />

”Kapan kita bisa kaya dan bahagia”<br />

Karena itu, fakta menunjukkan bahwa pembiayaan<br />

kepemilikan mobil dan rumah adalah suatu keniscayaan. Suatu<br />

kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi, bagaimana <strong>cara</strong> yang<br />

terbaik<br />

Adakah <strong>cara</strong> penciptaan kekayaan yang sesuai syariah<br />

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang<br />

menabung sejak usia belasan tahun sampai dengan usia tiga<br />

239


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

puluhan. Sebagian besar dari mereka berharap bisa mempunyai<br />

rumah, setidaknya ketika mereka telah mencapai usia tiga puluh<br />

tahun. Jadi, mereka menabung selama sekitar 10 tahun, dan<br />

selama itu mereka berharap mendapat imbal hasil (selama ini<br />

disebut ”bunga”) yang baik (maksudnya, ”tinggi”). Namun<br />

ketika mereka berusia 30 tahun, mereka mengambil KPR untuk<br />

jangka waktu 15 tahun lebih dan berharap membayar beban<br />

atau imbal hasil (selama ini disebut ”bunga”) yang rendah.<br />

Lucu juga ya, selama menabung meminta imbal hasil yang<br />

tinggi dan selama mencicil KPR berharap beban imbal hasil<br />

yang rendah. Padahal, imbal hasil dari tabungan menentukan<br />

imbal hasil KPR. Karena sebagian dana untuk KPR yang dicicil<br />

orang-orang pada usia 30 sampai 45 tahun berasal dari tabungan<br />

orang-orang pada usia 15 hingga 30 tahun.<br />

Bagaimana kalau mereka berserikat untuk menciptakan sinergi<br />

di antara mereka<br />

Pembiayaan KPR adalah pembiayaan yang sangat menarik.<br />

Pertama, orang yang memerlukan KPR banyak sekali dan mereka<br />

dalam usia produktif. Rumah adalah aset utama suatu keluarga<br />

sehingga nasabah KPR akan berjuang sekuat tenaga untuk<br />

membayar cicilan KPR mereka. Rumah juga suatu jenis aset<br />

yang—se<strong>cara</strong> umum—harganya terus meningkat. Dan, rumah<br />

mempunyai fungsi ekonomi dan sosial yang besar sekali. Dengan<br />

rumah yang baik, suatu keluarga akan sehat dan bahagia. Dan<br />

keluarga yang sehat dan bahagia akan produktif dan menjadi<br />

anggota masyarakat yang baik pula.<br />

Jadi, KPR adalah pembiayaan yang aman, memberikan hasil<br />

yang relatif pasti, dan se<strong>cara</strong> tidak langsung akan meningkatkan<br />

240


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat. KPR juga<br />

sangat dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan terbatas<br />

(maksudnya ”rendah”). Jadi, KPR sangat dibutuhkan oleh<br />

suatu negara. Rumah bagi suatu keluarga adalah identik dengan<br />

infrastruktur bagi suatu negara. Kalau begitu, kenapa neo-liberal<br />

tidak mendukung negara menerbitkan obligasi untuk membiayai<br />

infrastruktur dan kenapa KPR untuk golongan tidak mampu<br />

(subprime mortgage) di AS memicu krisis keuangan di dunia<br />

kerja sama antara masyarakat<br />

yang menabung atau<br />

menyimpan dana dengan<br />

ma syarakat yang memerlukan<br />

pembiayaan KPR akan menim<br />

bulkan sinergi yang akan<br />

menguntungkan masyarakat.<br />

Imbal hasil dari penempatan<br />

”Rasulullah SAW juga<br />

menganjurkan agar kita<br />

mendengarkan hal yang<br />

benar, sekalipun yang<br />

menyampaikan adalah<br />

anak kecil.”<br />

dana tidak boleh dilihat hanya dari hasil bulanan atau tahunan<br />

yang diterima oleh masyarakat pemilik dana. Akan tetapi,<br />

juga harus dilihat dari dampak positif pada ekonomi dan<br />

kesejahteraan. Karena bila ekonomi membaik dan rakyat makin<br />

sejahtera maka perusahaan akan semakin mudah memperoleh<br />

keuntungan, dan imbal hasil dari kegiatan ekonomi akan<br />

meningkat.<br />

Hal serupa juga berlaku untuk pembiayaan infrastruktur<br />

bagi Pemerintah. Bila pemilik dana menempatkan dana<br />

pada obligasi yang diterbitkan Pemerintah untuk membiayai<br />

pembangunan infrastruktur, maka imbal hasil yang diperoleh<br />

bukan hanya yang se<strong>cara</strong> langsung diterima dari penempatan<br />

dana di obligasi, tetapi juga pada kemudahan kegiatan<br />

241


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi yang difasilitasi<br />

oleh infrastruktur tersebut.<br />

Jadi, siapa bilang Pemerintah sebaiknya membatasi<br />

peminjaman dana untuk pembangunan infrastruktur<br />

Lalu, bagaimana dengan pembiayaan KPR bagi masyarakat<br />

berpenghasilan terbatas (rendah) Apakah mereka tidak berhak<br />

untuk mendapatkan fasilitas KPR Tentu saja mereka berhak,<br />

karena mereka juga anggota masyarakat. Hanya saja, mereka<br />

ditakdirkan mempunyai penghasilan yang terbatas. Lantas,<br />

bagaimana <strong>cara</strong>nya<br />

Sebenarnya tidak ada batasan minimum untuk nilai cicilan<br />

atau angsuran. Hanya saja, bila nilai cicilan lebih rendah dari<br />

imbal hasil yang diharapkan oleh pemilik dana, akan timbul<br />

masalah. Tetapi perlu diingat bahwa dalam jangka panjang (5<br />

tahun atau lebih), harga rumah akan meningkat dan penghasilan<br />

nasabah KPR juga akan meningkat. Khususnya karena nasabah<br />

tersebut akan makin sehat dan produktif.<br />

Jadi, bagaimana <strong>cara</strong>nya<br />

Pada akhir tahun ’80-an, saya bekerja di Lippo Bank sebagai<br />

Senior Vice President untuk Consumer Banking. Saat itu banyak<br />

bank yang ”jor-joran” menawarkan KPR. Saya diajak ke Batam<br />

untuk menjual KPR bagi orang Indonesia dan Singapura yang<br />

ingin memiliki rumah atau apartemen di Batam. Sepulang<br />

dari Batam, saya dipanggil oleh Pak Mochtar Riady. Beliau<br />

menasehati saya untuk berhati-hati dalam memberikan KPR.<br />

Kata beliau, ”Pak <strong>Iwan</strong>, saya tidak ingin Anda membuat orang<br />

yang sudah cukup bahagia menjadi tidak bahagia karena<br />

mendapat KPR dari Lippo”. Waktu itu saya bingung juga. Saya<br />

242


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

tidak mengerti maksud Pak Mochtar Riady. Tapi saya ”manut”<br />

saja karena toh beliau sudah terbukti bisa berhasil dalam bisnis<br />

perbankan dan beliau pemilik Lippo.<br />

Tidak lama setelah dinasehati oleh Pak Mochtar, Pemerintah<br />

menerapkan kebijakan uang ketat, tight money policy. Wah gawat,<br />

suku bunga naik menjadi lebih dari 15% per tahun. Dampaknya<br />

cukup besar untuk cicilan KPR. Karena berjangka panjang, pada<br />

tahap awal, sebagian besar dari cicilan KPR adalah pembayaran<br />

bunga. Jadi, kalau suku bunga naik dari 10% menjadi 15%,<br />

maka cicilan KPR bisa naik lebih dari 30%. Cukup merepotkan<br />

untuk nasabah yang penghasilannya terbatas. Akibatnya bisa<br />

lebih dari 50% gajinya dipakai untuk membayar cicilan KPR.<br />

Dampaknya, banyak juga nasabah KPR Lippo yang tidak<br />

sanggup dan meminta keringanan.<br />

Bersama anggota tim lainnya, Fransiscus The Fon Kiu dan<br />

Muliadi Hardja, saya harus mengatur strategi untuk mencari<br />

solusi yang tepat. Solusi yang dapat mengakomodasikan<br />

keterbatasan nasabah dan tetap memberikan imbal hasil yang<br />

memadai bagi bank serta nasabah pemilik dana. Kami membuat<br />

analisis portofolio KPR berdasarkan nilai rumah, saldo pinjaman,<br />

dan pendapatan bulanan nasabah. Dari analisis tersebut kami<br />

menemukan bahwa kami dapat menerapkan cicilan yang<br />

tetap selama 36 bulan dan membukukan tambahan pinjaman<br />

agar imbal hasil tetap di atas biaya dana. Mengingat bahwa<br />

harga rumah umumnya meningkat, maka nilai jaminan juga<br />

akan meningkat sehingga dimungkinkan adanya penambahan<br />

pinjaman. Kemudian pendapatan nasabah juga meningkat,<br />

maka kemampuan mencicil juga akan meningkat. Sehingga,<br />

243


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

bila nilai cicilan ditingkatkan setiap 3 sampai dengan 5 tahun<br />

sekali, nasabah tetap akan mampu membayar.<br />

Lalu, saya menghadap Pak Mochtar. Pertama-tama, saya<br />

meminta maaf karena saya tidak paham nasihat Pak Mochtar.<br />

Setelah itu, saya sampaikan analisis kami atas portofolio KPR.<br />

Setelah yakin Pak Mochtar bisa menangkap ide yang kami<br />

sampaikan, kami mengajukan usul menerapkan cicilan tetap<br />

untuk nasabah dengan penghasilan terbatas. Alhamdulillah,<br />

Pak Mochtar tersenyum dan berkata bahwa beliau senang kami<br />

paham maksud dari nasihat yang telah diberikan. Beliau juga<br />

menyatakan bahwa bisnis harus punya tanggung jawab sosial.<br />

Dan, beliau mendukung usulan kami serta menyuruh kami<br />

menghadap ke direksi untuk ditindaklanjuti. Alhamdulillah.<br />

Ketika saya undang nasabah-nasabah yang bersangkutan dan<br />

saya sampaikan keputusan kami banyak nasabah yang menangis<br />

gembira. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang berusaha<br />

memeluk saya. Ada juga yang berusaha mencium tangan saya.<br />

Tentu saja saya menghindar dan menyatakan bahwa memang<br />

sudah kewajiban kami untuk memberikan yang terbaik bagi<br />

nasabah dan bagi bank.<br />

Alhamdulillah, seperti ungkapan di cerita Tintin, “all well<br />

will end well”. Semua niat baik, yang dijalankan dengan baik,<br />

akan berakhir baik.<br />

Pengalaman ini memberi pelajaran bahwa cicilan KPR<br />

sebaiknya tidak berubah sewaktu-waktu. Cicilan KPR sebaiknya<br />

ditentukan di muka dan nilainya bertambah se<strong>cara</strong> berkala—<br />

misalnya setiap lima tahun sekali. Cara ini persis sama dengan<br />

<strong>cara</strong> pemberian KPR dengan akad Murabaha. Cara yang lebih<br />

adil dibandingkan dengan KPR yang cicilannya berubah<br />

244


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro. Karena manfaat<br />

dari rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR tidak berubah<br />

berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro, tentunya tidak<br />

adil bila cicilan KPR boleh berubah berdasarkan perubahan<br />

kondisi ekonomi makro.<br />

Jurus Cipta V: Rusunawa Rusunami<br />

Ternyata, sebelum saya diserahi amanah memimpin<br />

Jamsostek, direksi sebelumnya telah mendirikan rumah<br />

susun sewa di Bekasi dan Batam. Dalam istilah Kementerian<br />

Negara Perumahan Rakyat, rumah susun sederhana yang<br />

disewakan disebut rusunawa, sedangkan rumah susun<br />

sederhana yang dapat dimiliki disebut rusunami.<br />

Kebetulan, saya mengenal dengan baik Menteri dan beberapa<br />

pejabat di Kementerian Perumahan Rakyat sehingga sering ikut<br />

rapat membahas program rusunawa-rusunami. Pemerintah<br />

mempunyai rencana akan membangun banyak rusunawa<br />

dan rusunami. Karena rusun berupa bangunan tinggi, maka<br />

dicanangkan program “1000 tower”. Maksudnya, 1000<br />

bangunan rusuna. Pemerintah juga menyusun program insentif<br />

agar pengembang maupun rakyat berminat untuk membangun<br />

dan tinggal di rusuna.<br />

Jamsostek mengelola dana yang berasal iuran peserta dan<br />

hasil pengembangannya. Dengan dana tersebut, Jamsostek<br />

memberikan perlindungan berupa Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan<br />

Kematian (JK), serta mengelola dana Jaminan Hari Tua (JHT).<br />

Sepanjang masa kepesertaan dalam program Jamsostek, tenaga<br />

kerja mungkin memanfaatkan fasilitas JPK beberapa kali dalam<br />

245


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

setahun, mengajukan klaim JKK satu atau dua kali setahun,<br />

klaim kematian (JK) tentunya hanya sekali, dan mengambil<br />

JHT seharusnya hanya setelah berusia 55 tahun. Karena itu,<br />

lebih dari 70% dana amanah yang dikelola oleh Jamsostek<br />

adalah merupakan tabungan JHT. Otomatis, dana JHT terus<br />

meningkat setiap tahun, baik karena pertambahan iuran maupun<br />

karena akumulasi hasil investasi (pengembangan).<br />

“Ke mana dana JHT diinvestasikan”<br />

Menurut ketentuan, dana JHT dapat diinvestasikan<br />

ke dalam obligasi pemerintah, deposito di bank, obligasi<br />

korporasi, saham serta beberapa instrument investasi lainnya.<br />

Apa manfaatnya bagi tenaga kerja Manfaat utamanya adalah<br />

mendapatkan hasil investasi. Kapan mereka menikmatinya<br />

Seharusnya setelah mencapai usia 55 tahun. Wah, lama bener<br />

nih. Padahal, sementara itu, mereka membutuhkan dana untuk<br />

membeli rumah, membeli kendaraan untuk transportasi,<br />

membayar biaya pendidikan untuk anak-anak mereka, dan<br />

biaya kebutuhan hidup yang lainnya.<br />

Karena itu, timbul pemikiran untuk meningkatkan manfaat<br />

dana JHT bagi tenaga kerja dengan menggunakan dana JHT<br />

untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja. Tetapi, untuk<br />

mewujudkannya ternyata tidaklah mudah.<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong>nya menentukan alokasi dana JHT untuk<br />

pembiayaan KPR ini”<br />

“Bagaimana <strong>cara</strong>nya menentukan tenaga kerja yang berhak<br />

menerima”<br />

“Bagaimana pula <strong>cara</strong>nya pelaksanaan yang memenuhi prinsip<br />

kehati-hatian<br />

246


“Diharapkan kerja sama<br />

PNM-Danareksa dapat<br />

memberi manfaat kepada<br />

rakyat Indonesia yang<br />

tidak kalah dengan<br />

manfaat yang diberikan<br />

PNB kepada rakyat<br />

Malaysia.”<br />

CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

Pembiayaan perumahan,<br />

khususnya untuk rumah<br />

pertama, adalah salah satu<br />

jenis investasi yang paling<br />

aman. Dari segi aset yang<br />

dibiayai, cukup aman, karena<br />

permintaan akan jenis rumah<br />

(atau rusun) yang tersebut<br />

relatif besar sehingga harga<br />

juga relatif terjaga baik. Dari<br />

segi kemauan nasabah untuk membayar kembali pinjamannya,<br />

juga cukup baik, karena rumah adalah kebutuhan utama setiap<br />

keluarga dan tentunya mereka akan berjuang untuk membayar<br />

cicilan KPR agar tidak kehilangan rumah satu-satunya itu.<br />

Memang imbal hasil tidak akan setinggi hasil investasi di saham,<br />

tetapi bagi tenaga kerja yang belum punya rumah, lebih baik<br />

mendapat fasilitas KPR dengan biaya terjangkau selama 15 tahun<br />

di usia 30-an walaupun untuk itu harus imbal hasil yang lebih<br />

kecil untuk dana yang akan mereka nikmati di usia 55 tahun.<br />

Karena itu, tidak ada salahnya mengalokasikan sebagian besar<br />

dana JHT untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja peserta JHT.<br />

Sampai tahun 2005, Jamsostek telah menerbitkan lebih dari<br />

20 juta kartu untuk peserta program JHT. Memang sistem yang<br />

digunakan memungkinkan seorang peserta mempunyai lebih dari<br />

satu kartu. Karena bila ia pindah kerja dan tidak mengalihkan<br />

kartu yang lama, maka peserta tersebut akan mempunyai lebih<br />

dari satu kartu. Padahal, peserta yang aktif membayar iuran<br />

hanya sekitar 8 juta orang. Sehingga, mungkin peserta program<br />

JHT hanya sekitar 15 juta orang.<br />

247


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Jumlah dana JHT saat itu sekitar Rp.30 triliun. Kelihatannya<br />

besar, bukan Tetapi bila pinjaman KPR rata-rata Rp.100 juta<br />

per orang, maka dana JHT saat itu hanya cukup untuk 300.000<br />

peserta. Bila dana JHT digunakan untuk pembiayaan “uang<br />

muka” KPR dengan nilai Rp.30 juta per orang, maka dana JHT<br />

bisa untuk 1 juta peserta.<br />

Perbankan umumnya mensyaratkan nilai cicilan KPR<br />

maksimum sepertiga dari penghasilan bulanan. Untuk jangka<br />

waktu 20 tahun, bila imbal hasil 10% dan nilai cicilan bulanan<br />

tidak berubah, maka nilai KPR sekitar 100 kali cicilan bulanan.<br />

Namun bila cicilan meningkat 5% per tahun, maka nilai KPR<br />

sekitar 300 kali cicilan tahun pertama. Jadi, untuk peserta<br />

dengan gaji Rp.1 juta per bulan, cicilan KPR tahun pertama<br />

adalah Rp.330.000 per bulan dan nilai pinjaman KPR bisa<br />

mencapai Rp.100 juta. Bila 30% dari harga rumah (rusun)<br />

dibiayai oleh dana JHT dan sisanya oleh bank, maka harga<br />

netto rumah (rusun) yang dapat dibiayai mencapai Rp.100 juta.<br />

Setiap tahun, peserta program JHT yang mendapat KPR<br />

dari dana JHT akan membayar cicilan ke dana JHT. Berarti,<br />

akan ada pengembalian dana JHT yang dapat digunakan untuk<br />

memberikan pinjaman KPR untuk peserta JHT lainnya. Dari<br />

simulasi perhitungan di atas, ada kemungkinan 1 juta peserta<br />

yang akan membayar cicilan Rp.330.000 per bulan. Berarti<br />

tahun pertama akan terdapat pengembalian dana sekitar Rp.4<br />

triliun. Dana hasil pengembalian ini bisa dimanfaatkan untuk<br />

memberikan pinjaman KPR serupa kepada 130.000 peserta.<br />

Dan, tentunya pada tahun kedua, jumlah pengembalian dari<br />

tiap peserta akan meningkat. Demikian pula jumlah peserta<br />

yang mengembalikan juga akan meningkat. Sehingga, semakin<br />

248


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

banyak peserta yang akan mendapat kesempatan memperoleh<br />

pinjaman KPR dengan dukungan dana JHT.<br />

Ada satu hal menarik yang perlu kita ketahui. Jumlah<br />

penduduk Indonesia hampir 10 kali lipat dari penduduk<br />

Malaysia, tetapi jumlah dana JHT di Malaysia lebih dari 10<br />

kali lipat dari dana JHT di Indonesia.<br />

“Kenapa hal ini bisa terjadi”<br />

“Mengapa keberhasilan penghimpunan dana JHT di Malaysia<br />

bisa 100 kali lebih baik dari di Indonesia”<br />

Di samping sistem informasi yang digunakan lebih baik,<br />

ternyata kesadaran tenaga kerja Malaysia untuk ikut program<br />

JHT jauh lebih baik daripada tenaga kerja Indonesia. Salah satu<br />

penyebabnya adalah manfaat pengelolaan dana JHT di Malaysia<br />

lebih baik. Di Malaysia, tenaga kerja yang ikut program JHT<br />

dapat menggunakan sebagian dari dana JHT mereka untuk<br />

membeli rumah melalui fasilitas KPR. Tentunya hanya rumah<br />

yang pertama. Kemudian dapat juga digunakan untuk membeli<br />

mobil, juga hanya mobil pertama. Bahkan, peserta JHT di<br />

Malaysia dapat menentukan pilihan investasi untuk sebagian<br />

dana JHT mereka, sehingga sesuai dengan pilihan mereka<br />

tersebut. Asyik, kan<br />

Jadi, bila Peraturan Pemerintah mengenai investasi dana JHT<br />

bisa disesuaikan, fasilitas KPR tersebut di atas mulai diterapkan<br />

untuk peserta program JHT dengan gaji maksimal Rp.1 juta per<br />

bulan, dan dilanjutkan dengan peserta dengan gaji maksimal<br />

Rp. 2 juta per bulan, maka daya beli peserta program JHT<br />

akan meningkat dan tentunya makin banyak pengembang yang<br />

akan membangun rusuna untuk memenuhi permintaan dari<br />

249


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

peserta program JHT. Dan bila peserta program JHT merasa<br />

bahwa program JHT memberi manfaat yang lebih dini—bukan<br />

hanya setelah mereka mencapai usia 55 tahun, berarti makin<br />

banyak orang yang menjadi peserta program JHT dan semakin<br />

mereka peduli akan akurasi pembayaran dan pencatatan iuran<br />

JHT mereka.<br />

Bila hal itu terjadi, tentu saja jumlah dana JHT di Indonesia<br />

akan lebih banyak dari yang di Malaysia. Dan dengan dana<br />

yang lebih besar, makin banyak peserta program JHT yang<br />

akan mendapat kesempatan memiliki rumah. Makin banyak<br />

keluarga yang kaya, makin banyak keluarga yang<br />

bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

“Kapan hal ini akan mulai terjadi”<br />

Mungkin bila Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan,<br />

Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri<br />

BUMN membaca buku ini. Insya Allah.<br />

<br />

Sebelum reksa dana KIK yang pertama diterbitkan, PT.<br />

Danareksa Investment Management (waktu itu namanya PT.<br />

Danareksa Fund Management) mengelola beberapa produk<br />

investasi Danareksa yang disebut sebagai Sertifikat Danareksa.<br />

Pada dasarnya, Sertifikat Danareksa serupa dengan reksa dana<br />

KIK. Bedanya terdapat pada dasar hukum dan mekanisme<br />

kerjanya.<br />

Pada saat diterbitkan, Sertifikat Danareksa dimaksudkan<br />

untuk memberi peluang bagi rakyat dengan dana serta<br />

pengetahuan investasi yang terbatas untuk ikut serta mendapat<br />

250


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

keuntungan sebagai pemegang saham dari perusahaanperusahaan<br />

yang besar dan menguntungkan. Termasuk beberapa<br />

perusahaan multinasional. Saat itu, diberikan beberapa pilihan.<br />

Ada yang hanya berisi saham satu perusahaan. Ada pula yang<br />

merupakan portofolio dari saham beberapa perusahaan.<br />

Kemudian se<strong>cara</strong> berkala, pemegang Sertifikat Danareksa<br />

mendapat pembagian hasil yang mirip dengan dividen. Namun,<br />

karena diberikan beberapa kali dalam satu tahun, maka untuk<br />

sebagian investor Sertifikat Danareksa dianggap seperti deposito.<br />

Ketika kami akan menerbitkan reksa dana KIK yang<br />

pertama, Bapepam menanyakan rencana kami dengan produk<br />

Sertifikat Danareksa yang selama ini kami kelola. Khususnya,<br />

karena dasar hukum untuk penerbitannya sudah berubah karena<br />

sudah ada UU tantang Pasar Modal Tahun 1995. Karena itu,<br />

kami perlu mempersiapkan rencana yang baik.<br />

Kemudian, saya mendapat informasi mengenai keberhasilan<br />

Permodalan Nasional Berhad (PNB) di Malaysia dalam<br />

menggalang dana investasi dari masyarakat. Oleh karena itu,<br />

saya segera mengadakan studi banding ke PNB. Pada saat studi<br />

banding itu, saya mendapat kesempatan bertemu dengan Tan Sri<br />

Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (saat itu Chairman—<br />

Komisaris Utama—PNB), Tan Sri Dato’ Abdul Khalid Ibrahim<br />

(mantan CEO PNB), dan Hamad Kama Piah bin Che Othman<br />

(saat itu CEO PNB).<br />

Ada sesuatu yang agak “lucu” ketika bertemu dengan<br />

Hamad Kama Piah. Ia menanyakan sejak kapan saya bekerja<br />

di Danareksa. Ketika saya menjawab bahwa saya belum lama<br />

ditunjuk sebagai Direktur Utama DIM, ia tersenyum. Lalu, ia<br />

sampaikan bahwa sebenarnya di tahun 1970-an, ia datang ke<br />

251


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Danareksa untuk belajar. Waktu itu dia masih berstatus staf<br />

biasa. Dua puluh tahun kemudian, ia sudah jadi orang no-1 di<br />

PNB. Lucunya, Direktur Danareksa datang untuk belajar ke<br />

PNB—yang dulu belajar di perusahaannya. “Apa tidak aneh”<br />

Katanya.<br />

Dengan lugas saya menjawab bahwa Nabi Muhammad SAW<br />

menganjurkan agar kita belajar sampai ke “Negeri Cina”. Selain<br />

itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan agar kita mendengarkan<br />

hal yang benar, sekalipun yang menyampaikan adalah anak<br />

kecil. Jadi, tidaklah salah atau aneh kalau sekarang saya sebagai<br />

“anak kemarin sore” di Danareksa belajar ke “orang yang paling<br />

berhasil” di PNB. Hamad Kama Piah tersenyum lagi, dan kami<br />

menjadi sahabat baik.<br />

Dari hasil studi banding itu, saya juga mendapat<br />

pelajaran berharga dan berkesimpulan bahwa kunci<br />

keberhasilan (key success factors) dari PNB ada lima,<br />

yaitu: adanya Jaminan Modal Awal (Capital Guarantee),<br />

Dividen tahunan lebih baik dari bunga tabungan<br />

atau deposito, kemudahan investasi bagi pemodal,<br />

independensi dari Pengelola Investasi (Amanah), dan<br />

transparansi pengelolaan<br />

Mulai tahun 1981, PNB meluncurkan produk Amanah<br />

Saham Nasional (ASN) yang sebenarnya dibuat mengikuti pola<br />

Sertifikat Danareksa. Untuk menarik minat masyarakat karena<br />

investasi dalam saham umumnya membawa resiko penurunan<br />

nilai modal (capital loss), diberikan jaminan pencairan unit<br />

pada nilai modal awal, yaitu RM1.00. Jaminan modal awal ini<br />

dirancang untuk mendorong pemerataan kesempatan pemilikan<br />

atas aset nasional karena portofolio investasi adalah pada<br />

252


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

perusahaan nasional yang merupakan aset nasional. Namun,<br />

jaminan ini mempunyai dampak “penyimpangan hukum pasar”,<br />

karena harga pasar dari unit penyertaan dapat bergerak sesuai<br />

dengan nilai aktiva bersih (NAB) dari portofolio investasi,<br />

sehingga tidak selalu sama dengan RM1.00. Karena itu, perlu<br />

diadakan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan atas<br />

unit penyertaan dari ASN agar fasilitas ini tidak disalahgunakan.<br />

ASN diluncurkan tahun 1981 dan menurut perjanjian<br />

pada saat pendirian, jaminan modal diberikan untuk jangka<br />

waktu 10 tahun, dan setelah itu pencairan unit dilakukan<br />

pada harga pasar (Nilai Aktiva Bersih). Namun dalam survei<br />

pada 1989, diketahui bahwa sebagian besar pemodal akan<br />

mencairkan unitnya bila harga pasar (NAB) lebih tinggi dari<br />

nilai modal awal. Sementara itu, harga saham yang menjadi<br />

portofolio ASN telah meningkat pesat. Karena tidak mungkin<br />

merubah ketentuan ASN, maka diluncurkanlah Amanah Saham<br />

Bumiputera (ASB) yang memberikan jaminan modal awal untuk<br />

jangka waktu yang tidak terbatas.<br />

PNB menganut prinsip bahwa tidak boleh ada subsidi<br />

dalam pembagian dividen. Baik subsidi pendapatan pengelolaan<br />

investasi, maupun subsidi (potongan) harga pembelian saham<br />

(efek) dalam portofolio. Tingkat hasil yang tinggi dimungkinkan<br />

karena pada saat ASN diluncurkan, kondisi ekonomi Malaysia<br />

sedang baik sehingga tingkat suku bunga cukup rendah dan<br />

kemampuan menabung cukup tinggi. Di samping itu, ASN<br />

diluncurkan tiga tahun setelah PNB didirikan (1978). Selama<br />

tiga tahun tersebut, modal awal PNB—yang nilainya sekitar<br />

RM 3 miliar—telah dikelola dengan baik sehingga memberikan<br />

hasil yang baik. Hasil investasi ini dibukukan sebagai cadangan<br />

253


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

atas jaminan modal awal. Untuk mendorong investasi jangka<br />

panjang, dividen dibagikan se<strong>cara</strong> pro-rata menurut jangka<br />

waktu investasi dalam tahun dividen. Dan nilai dividen<br />

diupayakan selalu lebih tinggi dari imbal hasil tabungan maupun<br />

deposito.<br />

Kemudahan investasi yang berupa kemudahan dalam<br />

membeli, mencairkan dan mengetahui saldo unit penyertaan<br />

se<strong>cara</strong> on-line adalah merupakan bagian dari Strategi Pemasaran.<br />

Kemudahan dalam membeli dan mencairkan dilakukan dengan<br />

menunjuk agen-agen penjualan di seluruh Malaysia sehingga<br />

memudahkan distribusi. Kemudahan dalam mengetahui saldo<br />

unit penyertaan se<strong>cara</strong> on-line diperlukan untuk meningkatkan<br />

kepercayaan pemodal karena setiap saat pemodal dapat mencek<br />

saldo kepemilikan mereka.<br />

Walaupun merupakan organisasi yang sarat dengan pejabat<br />

pemerintah, PNB sebagai pengelola investasi memiliki kebebasan<br />

se<strong>cara</strong> profesional dan bebas dari intervensi anggota kabinet.<br />

Hal ini dimungkinan karena PNB bukanlah suatu perseroan<br />

(Berhad) yang dimiliki oleh Pemerintah (seperti BUMN),<br />

tapi perseroan didirikan oleh Yayasan Pelaburan Bumi Putra,<br />

suatu yayasan yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri.<br />

Pengawasan atas operasi PNB dilakukan melalui suatu Dewan<br />

yang dipimpin oleh PM dan beranggotakan 3 Menteri dan 2<br />

Tokoh Masyarakat. Pedoman Investasi dijabarkan se<strong>cara</strong> jelas<br />

dan tegas oleh Dewan, dan Pengelola Investasi harus mengikuti<br />

pedoman tersebut sehingga investasi tidak spekulatif. Tim<br />

Pengelola Investasi PNB dipimpin oleh Professional Investment<br />

Manager dan memiliki jenjang karier yang jelas. Bukti yang<br />

paling jelas adalah Hamad Kama Piah sendiri. Ia adalah<br />

254


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

karyawan PNB yang memulai karier sebagai Analis Pengelola<br />

Investasi dan 20 tahun kemudian menjadi CEO.<br />

Amanah Saham adalah Public Trustee. Karena itu, ada wakil<br />

pemodal yang duduk dalam Dewan dan Badan Pengawas.<br />

Portofolio investasi diumumkan se<strong>cara</strong> berkala dan dimuat<br />

dalam informasi on-line sehingga kepercayaan pemodal semakin<br />

bertambah. Ada pedoman yang jelas mengenai posisi PNB dalam<br />

perusahaan (emiten) di mana PNB memiliki saham. Bila PNB<br />

memiliki saham 51% atau lebih, maka perusahaan tersebut<br />

disebut subsidiary <strong>com</strong>pany dan posisi Chairman (Komisaris<br />

Utama) akan ditunjuk oleh PNB. Bila PNB memiliki saham<br />

lebih dari 30% namun kurang dari 51%, maka perusahaan<br />

tersebut menjadi associate <strong>com</strong>pany dan wakil dari PNB akan<br />

menempati posisi Direktur Keuangan. Perusahaan yang menjadi<br />

sasaran investasi bukan hanya perusahaan yang dimiliki oleh<br />

pemerintah (BUMN), tetapi juga pada badan usaha swasta dan<br />

anak perusahaan (subsidiary) dari usaha multinasional.<br />

PNB jelas merupakan contoh keberhasilan pemerataan<br />

penciptaan kekayaan kepada masyarakat. Memang selalu ada<br />

perbedaan situasi dan kondisi sehingga muncul hal-hal yang<br />

dapat dianggap sebagai tantangan dalam penerapan. Misalnya,<br />

bagaimana memberikan jaminan modal awal yang tidak<br />

bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan serta tidak<br />

membebani APBN. Atau, apakah pengelola dapat mengelola<br />

dana dengan baik sehingga mampu member imbal hasil (dividen)<br />

yang lebih baik daripada imbal hasil tabungan maupun deposito<br />

Di samping itu, ada tantangan besar dalam bersaing dengan<br />

produk tabungan serta kesalahpahaman mengenai investasi di<br />

pasar modal. Kebetulan saya ikut serta dalam tim BCA-Lippo<br />

255


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

sewaktu mempromosikan produk tabungan “Tahapan”. Jadi, saya<br />

paham betul tantangan yang dihadapi dalam hal komunikasi<br />

dan promosi. Yang terakhir adalah tantangan mengenai struktur<br />

hukum dari badan pengelola investasi dan produk investasi<br />

keuangan yang akan ditawarkan. Dengan adanya UU Pasar<br />

Modal, maka bentuk produk seperti Sertifikat Danareksa harus<br />

diganti dengan reksa dana atau produk yang mengacu pada<br />

reksa dana.<br />

Pada saat itu, Presiden kita adalah Prof. B.J. Habibie,<br />

Meneg BUMN adalah Tanri Abeng, Menteri Keuangan adalah<br />

Bambang Subianto, dan Menteri Koperasi dan UKM adalah Adi<br />

Sasono. Kabinet memberi arahan untuk membentuk badan baru<br />

yang mengikuti keberhasilan PNB dengan nama Permodalan<br />

Nasional Madani. Mengingat keterbatasan anggaran di kantor<br />

Meneg BUMN, maka Danareksa menjadi penyandang dana<br />

dari lokakarya pendirian PNM.<br />

Setelah mempelajari tujuan pendirian dan situasi serta<br />

kondisi Indonesia, pada tahun 1999, kami mengusulkan agar<br />

PNM didirikan sebagai BUMN yang menjadi Perusahaan<br />

Pengelola Aset Keuangan milik Negara. Pemerintah sebagai<br />

pemegang saham BUMN diharapkan membentuk portofolio<br />

yang terdiri dari saham-saham BUMN yang sudah dan akan<br />

“go-public”. Kemudian, PNM ditunjuk sebagai pengelola<br />

portofolio tersebut.<br />

Melanjutkan pengalaman dan kompetensi yang terbina<br />

selama mengelola Sertifikat Danareksa dan reksa dana, kami<br />

usulkan Danareksa mendirikan reksa dana saham dan reksa<br />

dana campuran dengan portofolio berisi saham dan obligasi<br />

yang diterbitkan oleh BUMN. PNM kemudian menjadi sponsor<br />

256


CIPTAKAN KEKAYAAN<br />

utama reksa dana tersebut dengan “inbreng” portofolio saham<br />

BUMN. Reksa dana tersebut dapat diberi nama reksa dana<br />

Amanah Madani Saham, Amanah Madani Nusantara,<br />

atau nama-nama lainnya.<br />

Kemudian, Danareksa akan bekerja sama dengan bank-bank<br />

BUMN dan perusahaan asuransi BUMN untuk memasarkan<br />

produk reksa dana tersebut. Untuk itu akan dilakukan sosialisasi<br />

dan promosi yang terstruktur agar dapat diperoleh pemahaman<br />

yang baik atas tujuan, potensi, risiko, dan manfaat dari investasi<br />

di reksa dana tersebut.<br />

Data empiris menunjukkan bahwa dalam periode 1990-<br />

1999 BUMN yang sudah go-public umumnya memberikan imbal<br />

hasil rata-rata dengan nilai lebih dari 15%/tahun. Sedangkan<br />

imbal hasil deposito di bawah 10%/tahun. Karena PNM<br />

(yang kami usulkan) bukanlah lembaga keuangan, melainkan<br />

perusahaan pengelola aset, maka PNM dapat memberikan<br />

jaminan pembelian kembali pada akhir tahun ke-5 dan<br />

seterusnya yang akan memberikan imbal hasil 12% per tahun.<br />

Saya membuat simulasi portofolio saham dan obligasi BUMN<br />

yang ada pada periode 1999-2004 dan sampai dengan 2009.<br />

Ternyata portofolio tersebut memberikan imbal hasil rata-rata<br />

lebih dari 20% per tahun. Sehingga, tentu saja tidak akan ada<br />

investor yang memanfaatkan jaminan PNM karena harga pasar<br />

sudah lebih tinggi.<br />

Bila PNM—yang kami usulkan—dan Danareksa beroperasi<br />

mengikuti ketentuan UU BUMN dan UU Pasar Modal,<br />

maka good corporate governance dapat diterapkan dengan baik.<br />

Di samping itu, kami usulkan membentuk Dewan Pengarah<br />

Investasi yang akan terdiri dari pejabat publik (Menteri atau<br />

257


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Dirjen) dan orang-orang yang ditunjuk oleh 100 pemegang unit<br />

penyertaan terbesar. Dewan tersebut dapat memberi arahan,<br />

panduan dan penilaian atas kegiatan pengelolaan investasi<br />

reksa dana oleh Danareksa. Dengan demikian diharapkan kerja<br />

sama PNM-Danareksa dapat memberi manfaat kepada rakyat<br />

Indonesia yang tidak kalah dengan manfaat yang diberikan<br />

PNB kepada rakyat Malaysia.<br />

Mengikuti dinamika politik yang ada, akhirnya kantor<br />

Meneg BUMN mendirikan BUMN baru dengan nama PT.<br />

Permodalan Nasional Madani. Kegiatan usaha PNM difokuskan<br />

pada pembinaan dan pengembangan UKM. Walaupun saya<br />

banyak terlibat dalam pendirian PNM, tapi karena tujuan<br />

saya adalah untuk ikut berperan serta dalam upaya penciptaan<br />

kekayaan masyarakat, maka saya menolak tawaran untuk<br />

menjadi Direksi PNM. Dan, akhirnya PNM berdiri dan<br />

berkembang. Tentu saja, saya berdoa dan berharap agar PNM<br />

dapat berkembang mengikuti keberhasilan PNB. Karena dengan<br />

keberhasilan tersebut maka<br />

makin banyak orang yang bisa menjadi kaya, makin<br />

banyak orang yang bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />

258


Khatimah<br />

Dunia memang tengah berada pada situasi yang cukup sulit.<br />

Hal itu, nyata terlihat pada beberapa fenomena yang membuat<br />

sebagian besar manusia hampir kehilangan akal. Mulai dari<br />

dampak gejolak ekonomi di negeri adidaya Amerika Serikat<br />

yang meluas ke berbagai penjuru dunia, dilema perdagangan<br />

bebas, efek sampingan demokrasi dan pemakaian teknologi<br />

informasi yang kebablasan, sampai dengan perubahan iklim<br />

yang tidak terduga-duga.<br />

Namun bila percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,<br />

Yang Mahakuasa, Pencipta seluruh alam, tentu yakin pula bahwa<br />

pasti ada jalan untuk mengatasi semua kesulitan yang dihadapi.<br />

Tuhan telah berjanji: bahwa pada setiap satu kesukaran akan<br />

terdapat banyak kemudahan. Karena itu, pasti ada <strong>cara</strong> yang<br />

cerdas untuk menemukan dunia yang lebih baik. Ada Shariah<br />

Ways for a Better World.<br />

259


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana<br />

menyesuaikan kaidah usaha, etika bisnis, dan sistem ekonomi<br />

yang ada, sehingga bisa memudahkan manusia dalam mencapai<br />

dunia yang lebih baik. Memang, bangun sistem ekonomi—di<br />

mana pun juga—pada hakikatnya adalah serupa. Tercipta atau<br />

terbentuk dari peristiwa dan fenomena-fenomena ekonomi<br />

yang nyaris serupa. Sebagai sistim ekonomi yang terbangun<br />

dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan<br />

memanfaatkan sumber daya dan kesempatan yang ada.<br />

“Pasti ada <strong>cara</strong> yang<br />

cerdas untuk menemukan<br />

dunia yang lebih baik. Ada<br />

Shariah Ways for a Better<br />

World.”<br />

Hanya memang, peristiwa<br />

dan fenomena ekonomi<br />

di suatu tempat, biasanya<br />

tergantung pada faktor<br />

penentu dan faktor pengaruh<br />

yang sangat menentukan<br />

dan mempengaruhi kondisi,<br />

tindakan, hingga hasil dari kegiatan ekonomi yang diterapkan.<br />

Ringkasnya, sistim ekonomi yang berlaku di suatu tempat,<br />

sangat tergantung pada paradigma dan keyakinan manusianya.<br />

Pada falsafah hidup dan nilai-nilai dasar masyarakatnya, bangsa<br />

atau negara.<br />

Indonesia didirikan oleh para founding fathers (dan founding<br />

mothers) yang telah menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara<br />

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itulah, siapapun<br />

yang tinggal dan hidup di negeri ini, harus menerima Pancasila<br />

sebagai dasar negara.<br />

Seluruh bangsa Indonesia paham betul dengan sila pertama<br />

dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, semua<br />

warganegara Indonesia mengakui, percaya atau beriman kepada<br />

260


KHATIMAH<br />

Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh bangsa Indonesia memiliki<br />

keyakinan pada keberadaan Tuhan yang telah menciptakan<br />

manusia dan alam raya beserta segala isinya.<br />

Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong> adalah <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> cerdas<br />

untuk menuju dunia yang lebih baik berdasarkan keyakinan<br />

atau keimanan manusia kepada Tuhan. Karena itulah, keyakinan<br />

dan paradigma para pelaku ekonomi di negeri ini seharusnya<br />

mengikuti falsafah, tata nilai, prinsip, dan kaidah seperti<br />

dijabarkan dalam firman Tuhan dan diajarkan oleh para nabi<br />

dan rasul-Nya.<br />

Manusia akan lebih mudah menjadi ‘kaya dan bahagia’ bila<br />

dapat memahami dirinya, peran dan tugas yang harus dijalankan<br />

di muka bumi dengan berpegang pada pemahaman bahwa:<br />

1. Manusia adalah abdi Tuhan atau hamba Allah SWT yang<br />

telah diangkat menjadi wakil-Nya di muka bumi untuk<br />

menyebarluaskan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Dalam<br />

menjalankan tugas sebagai wakil-Nya, manusia diberi<br />

wewenang untuk mengatasnamakan Tuhan atas segala<br />

sesuatu yang dilakukannya. Keistimewaan itu dilakukan dengan<br />

mengucapkan: “dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi<br />

Maha Penyayang”, atau “bismillahir rahmanir rahiim”.<br />

2. Untuk mendukung peran manusia, Tuhan telah menciptakan<br />

bumi dan segala isinya se<strong>cara</strong> seimbang menurut ukuran yang<br />

sesuai dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, semua sumber<br />

daya yang ada telah dimudahkan untuk kepentingan manusia,<br />

dan disempurnakan sebagai nikmat lahir dan batin.<br />

261


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

3. Atas bumi dan segala isinya yang telah diciptakan dan<br />

telah dipusakakan-Nya kepada manusia, Allah SWT juga<br />

memberi manusia kewenangan sebagai pemilik sementara<br />

dari (sebagian) bumi dan segala isinya agar digunakan untuk<br />

kegiatan produktif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Manusia<br />

harus mengelola sumber daya yang ada untuk kegiatan<br />

produktif, sehingga dapat terus dinikmati umat manusia. Dari<br />

generasi ke generasi.<br />

4. Tugas utama manusia adalah menggunakan bumi dan segala<br />

isinya untuk menciptakan kemasalahatan bagi umat manusia.<br />

Kemaslahatan utama bagi manusia adalah keuntungan atau<br />

kebahagiaan di akhirat. Pada saat yang sama, manusia juga<br />

diperintahkan untuk tidak melupakan haknya atas keuntungan<br />

atau kenikmatan di dunia.<br />

5. Dalam menjalankan tugasnya, manusia harus berlaku adil<br />

kepada dirinya dan kepada orang lain. Karena, esensi keadilan<br />

adalah terciptanya keseimbangan antara kemasalahatan<br />

individu dengan kemasalahatan umat manusia.<br />

Selain meyakini pandangan hidup manusia sebagaimana<br />

diuraikan di atas, manusia yang ingin menjadi ‘kaya dan bahagia’<br />

harus pula mengikuti prinsip-prinsip tata nilai yang terungkap<br />

setelah mempelajari prinsip syariah, yaitu:<br />

1. Ruang lingkup tugas manusia sebagai hamba Allah SWT yang<br />

utama adalah menjaga keimanan kepada Tuhan Yang Maha<br />

Esa. Selanjutnya, diikuti dengan menjaga kehidupan, menjaga<br />

akal, menjaga kelangsungan keturunan, dan menjaga harta,<br />

milik atau kekayaan yang telah dikaruniakan kepadanya.<br />

2. Kebutuhan manusia adalah terbatas. Namun, kebutuhan utama<br />

manusia adalah memenuhi keperluan hidup sebagai makhluk,<br />

262


KHATIMAH<br />

dan melengkapi kebutuhannya untuk mencapai fitrah sebagai<br />

manusia. Lebih dari itu, manusia juga diberi keinginan untuk<br />

memenuhi kebutuhannya se<strong>cara</strong> lebih baik. Namun manusia<br />

senantiasa diuji dengan “hasrat” untuk memenuhi keinginan<br />

yang sebenarnya belum menjadi haknya. Keinginan atau hasrat<br />

ini harus dikendalikan agar tidak menimbulkan kerugian.<br />

3. Atas segala upaya yang dilakukan manusia dalam membawakan<br />

peran dan melaksanakan tugasnya di muka bumi, Tuhan<br />

telah berjanji akan memberi balasan yang sempurna. Balasan<br />

tersebut dapat berupa hasil di dunia maupun pahala di akhirat.<br />

Tak hanya itu, Tuhan Yang Maha Pemurah masih memberikan<br />

tambahan, dan hadiah karena kasih sayang-Nya kepada<br />

manusia.<br />

4. Bila balasan yang diberikan oleh Tuhan melebihi harapan, maka<br />

manusia akan merasa beruntung dan memperoleh rezeki.<br />

Bahkan, bila manusia berterima kasih atas semua balasan<br />

dari-Nya, maka Tuhan akan memberi tambahan balasan-Nya.<br />

Karena itulah, agar senantiasa memperoleh rezeki, manusia<br />

diperintahkan untuk berterima kasih kepada Tuhan atas segala<br />

rezeki-Nya.<br />

5. Dalam rezeki yang Tuhan berikan terdapat kewajiban berupa<br />

amanah yang perlu disampaikan, yaitu amanah untuk orang<br />

lain (zakat), amanah untuk masa kini, masa sulit, masa depan,<br />

hingga amanah untuk masyarakat. Karena itulah, manusia harus<br />

mengelola rezeki yang diterima dengan sebaik-baiknya.<br />

Dengan semua keyakinan yang telah dipegangnya, manusia<br />

harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah berikut ini:<br />

263


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

1. Hasil yang diperoleh harus memenuhi kriteria kehalalan yang<br />

meliputi kehalalan dari sisi dzatnya, <strong>cara</strong> memperolehan dan<br />

penggunaannya.<br />

2. Hasil yang diperoleh juga harus memenuhi kriteria kethoyyiban,<br />

yaitu hal-hal yang membawa kebaikan dan membuat manusia<br />

lebih arif, sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi<br />

larangan-Nya dan menerima takdir-Nya.<br />

3. Cara terbaik untuk memperoleh hasil yang halal dan thoyyib<br />

adalah melalui jalan peniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling<br />

ridha. Tidak berlaku zhalim dan tidak mau diperlakukan se<strong>cara</strong><br />

zhalim. Tidak merugikan dan tidak pula bersedia dirugikan oleh<br />

orang lain.<br />

4. Di samping berlaku saling ridha, manusia harus menghindari<br />

keraguan yang merugikan maupun keputusan untuk mengambil<br />

risiko yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya.<br />

5. Agar dapat berlaku saling ridha, menghindari keraguan yang<br />

mungkin merugikan dan risiko yang melebihi kemampuan,<br />

harus dicari keseimbangan antara pendapatan dengan biaya<br />

serta antara hasil dengan risiko.<br />

6. Tujuan utama dari kegiatan ekonomi sesuai prinsip, tata nilai<br />

dan falsafah di atas adalah untuk menciptakan nilai tambah<br />

yang diperoleh bila nilai atas hasil lebih besar terhadap<br />

jumlah nilai biaya dan usaha yang dikeluarkan dalam upaya<br />

memperoleh hasil tersebut.<br />

7. Cara terbaik untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan<br />

melakukan kerja sama yang menghasilkan sinergi antara pihakpihak<br />

yang memiliki kesempatan, kemampuan, dan sumber<br />

daya.<br />

264


KHATIMAH<br />

8. Cara lain untuk menciptakan nilai tambah adalah melalui<br />

transaksi atas objek transaksi yang menciptakan manfaat bagi<br />

para pihak yang terlibat dalam transaksi.<br />

9. Di samping melalui kerja sama yang menghasilkan sinergi<br />

dan transaksi atas objek yang bermanfaat, nilai tambah dapat<br />

diciptakan melalui <strong>cara</strong> saling tolong menolong berdasarkan<br />

kemampuan, keahlian dan kesempatan dengan memberikan<br />

jasa.<br />

10. Penciptaan nilai tambah dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />

se<strong>cara</strong> saling ridha, akan terselenggara melalui mekanisme<br />

pasar yang wajar dan didukung oleh informasi yang dapat<br />

menghindarkan keraguan yang merugikan maupun risiko yang<br />

melebihi kemampuan.<br />

Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah<br />

nasib suatu bangsa, kecuali bila bangsa itu telah berupaya<br />

untuk mengubah nasibnya. Jika hal itu yang dilakukan, maka<br />

pertolongan Tuhan akan datang. Semoga pemikiran yang tersurat<br />

maupun tersirat dalam buku ini mampu memberikan inspirasi<br />

bagi pembaca untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam<br />

upaya merubah nasib bangsanya.<br />

Ilmu pengetahuan yang disebarkan akan digunakan dalam<br />

kegiatan-kegiatan yang membawa manfaat dan kemaslahatan<br />

bagi umat manusia. Semua kegiatan itu akan dicatat sebagai amal<br />

ibadah bagi para pihak yang mengajarkan dan menyebarkan<br />

ilmu pengetahuan. Insya Allah akan membuat kita menjadi<br />

kaya dan bahagia.<br />

265


Addendum<br />

Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong><br />

Bangun Sistem Ekonomi<br />

Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan<br />

ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan<br />

kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan rangkaian peristiwaperistiwa<br />

serta fenomena-fenomena yang tampak se<strong>cara</strong> lahiriyah<br />

dalam kehidupan yang terkait dengan produksi, distribusi,<br />

dan pemakaian produk serta jasa dalam kehidupan. Peristiwa<br />

ekonomi adalah semua transaksi-transaksi yang terjadi dalam<br />

kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi dari produk atau<br />

jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh masyarakat dalam<br />

suatu negara, yang mempunyai nilai. Fenomena ekonomi adalah<br />

gejala-gejala yang dapat dipantau dalam peristiwa ekonomi yang<br />

mempengaruhi perubahan peristiwa ekonomi. Peristiwa ekonomi<br />

dan fenomena ekonomi terjadi karena adanya faktor-faktor yang<br />

menjadi penentu atau penyebab terjadinya peristiwa dan gejala<br />

ekonomi tersebut (yang disebut faktor penentu) serta karena<br />

267


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa<br />

dan gejala ekonomi (yang disebut faktor pengaruh).<br />

Bangun sistem ekonomi sendiri sebenarnya sangat mengikuti<br />

fitrah dan kodrat manusia, yaitu yang memerlukan hubungan<br />

dan keteraturan sosial untuk memenuhi segala kebutuhan,<br />

keinginan dan hasratnya. Inti pokok dari bangun sistem ekonomi<br />

adalah interaksi dan saling ketergantungan antara tenaga kerja<br />

dengan pengusaha serta antara konsumen dengan produsen.<br />

Tenaga kerja memberikan tenaga dan jasanya kepada<br />

pengusaha atau perusahaan, dan sebagai imbalannya pengusaha<br />

atau perusahaan memberikan gaji dan upah. Di lain pihak,<br />

pengusaha atau perusahaan sebagai produsen dari barang dan<br />

jasa membutuhkan konsumen untuk membeli barang dan jasa<br />

yang dihasilkan. Dari interaksi dan saling ketergantungan para<br />

pihak diharapkan akan tercipta nilai tambah atau bahkan sinergi,<br />

sehingga nilai hasil yang diperoleh lebih besar dari nilai biaya<br />

dan usaha yang diberikan. Akibatnya para pihak memperoleh<br />

keuntungan dan dapat meningkatkan kemampuan dan daya<br />

belinya. Jadi inti pokok dari sistem ekonomi adalah sistem<br />

produksi, konsumsi dan niaga yang sering disebut sebagai<br />

sektor riil.<br />

Untuk mempermudah transaksi para pihak memerlukan<br />

sarana pertukaran nilai yang disebut uang dan membutuhkan<br />

pihak lain untuk memberikan jasa terkait dengan transaksi dan<br />

pembayaran. Kemudian bila para pihak mendapat keuntungan,<br />

maka mereka membutuhkan pihak lain untuk menyimpan nilai<br />

dari keuntungan tersebut atau bahkan untuk meningkatkan<br />

nilai dari keuntungan. Pihak lain tersebut adalah lembaga<br />

keuangan. Sehingga terbentuk suatu sub-sistem untuk kegiatan<br />

268


ADDENDUM<br />

pembayaran, penyimpanan dan pembiayaan, yang disebut<br />

sebagai sistem keuangan atau sektor keuangan.<br />

Baik pihak-pihak yang terkait dalam sektor riil maupun<br />

pihak-pihak yang terkait dalam sektor keuangan, semuanya<br />

memerlukan kepastian dan keteraturan dalam melakukan<br />

kegiatannya. Oleh karena itu mereka membutuhkan pemerintah<br />

yang melindungi mereka dengan peraturan dan penegakkan<br />

peraturan. Untuk itu para pihak wajib membiayai kegiatan<br />

pemerintah dengan membayar pajak. Di samping itu para<br />

pihak yang terkait dalam pembayaran dan penyimpanan nilai<br />

memerlukan keabsahan dan kepastian nilai uang. Oleh karena itu<br />

mereka membutuhkan lembaga pemerintah yang menerbitkan<br />

uang sebagai alat pembayaran yang sah dan menjamin nilainya.<br />

Selanjutnya lembaga keuangan memerlukan dukungan untuk<br />

menyalurkan kelebihan dana serta sebagai ‘lender of last resort’.<br />

Sehingga sistem ekonomi juga meliputi pihak pemerintah<br />

yang akan memberikan keteraturan dan oleh karena itu berhak<br />

memungut pajak serta lembaga yang akan menerbitkan dan<br />

pengatur jumlah uang yang beredar. Dan terbentuklah subsistem<br />

ekonomi yang disebut sistem fiskal dan sistem moneter.<br />

Dan akhirnya pemerintah sebagai wakil dari seluruh warga<br />

negara bertugas untuk mengelola sumber daya alam yang<br />

dimiliki negara tersebut serta menyebarluaskan kesejahteraan<br />

bagi seluruh warga negara.<br />

Sehingga bangun sistem ekonomi dapat digambarkan<br />

sebagai berikut:<br />

269


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

Sistem Ekonomi<br />

Bangun sistem ekonomi ini bersifat bebas norma, karena<br />

berlaku untuk seluruh masyarakat, dalam berbagai negara.<br />

Bangun sistem ekonomi ini akan menjadi sistem ekonomi<br />

komunis, sosialis, kapitalis, liberal, atau apapun juga tergantung<br />

pada paradigma atau sudut pandang dari pelaku ekonomi<br />

yang mempengaruhi tindakan yang diambil oleh pelaku<br />

ekonomi. Paradigma pelaku ekonomi sangat tergantung oleh<br />

keyakinannya akan falsafah, tata-nilai, prinsip dan kaidah yang<br />

mempengaruhi keputusan yang diambil dan tindakan yang<br />

dilakukan. Keyakinan dan paradigma pelaku ekonomi akan<br />

menentukan <strong>cara</strong> atau metode yang dipilih dan diikuti dalam<br />

kehidupan serta dalam memecahkan masalah yang dihadapi.<br />

Bila keyakinan pelaku ekonomi adalah sosialisme, maka<br />

faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi keputusan<br />

270


ADDENDUM<br />

ekonominya juga akan mengutamakan persamaan hak dengan<br />

metoda kompensasi yang egaliter. Sehingga fenomena dan<br />

peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham<br />

sosialis di mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki<br />

se<strong>cara</strong> kolektif. Sedangkan bila keyakinan pelaku ekonomi<br />

adalah kapitalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan<br />

mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan<br />

kebebasan untuk menggunakan kekuatan ekonomi dengan<br />

hak kepemilikan individu. Sehingga fenomena dan peristiwa<br />

ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham kapitalis di<br />

mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki, digunakan<br />

serta diperdagangkan dengan tujuan mendapatkan keuntungan<br />

bagi pemiliknya. Sementara bila keyakinan pelaku ekonomi<br />

adalah liberalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan<br />

mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan<br />

kepemilikan swasta dengan kebebasan berkontrak untuk<br />

kepentingan individu atau kelompok. Sehingga fenomena<br />

dan peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung<br />

faham liberalis di mana perdagangan dibebaskan seluas-luasnya<br />

sementara peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi dibatasi<br />

dalam penyediaan prasarana dan sarana untuk layanan umum.<br />

Bagaimana bila keyakinan pelaku ekonomi di Indonesia<br />

mengikuti syariah<br />

Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong><br />

Dalam hidupnya, semua manusia pasti mau berjuang<br />

untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Kebahagiaan yang<br />

sesuai dengan keyakinan hidupnya. Untuk itu manusia terus<br />

mencari <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang lebih baik untuk mencapai kebahagiaan<br />

271


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

hidup. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam<br />

dunia yang lebih baik. Manusia akan berjuang mengikuti<br />

keyakinannya, yang membentuk paradigma serta faktor-faktor<br />

yang menentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

keputusan-keputusan dalam kehidupannya, termasuk dalam<br />

kehidupan ekonominya.<br />

Keyakinan yang paling mendasar dan karenanya menempati<br />

hierarki tertinggi bagi rakyat Indonesia adalah kepercayaan<br />

atau keimanan atas Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian diikuti<br />

dengan keyakinan bahwa keimanan tersebut dapat dijaga bila<br />

mereka dapat menjaga kemanusiaan se<strong>cara</strong> adil dan beradab.<br />

Dan sebagai bangsa, untuk menjaga kemanusiaan se<strong>cara</strong> adil<br />

dan beradab maka perlu dijaga persatuan bangsa Indonesia.<br />

Berikutnya, persatuan bangsa dapat dijaga bila mereka dapat<br />

memenuhi harapan rakyat melalui hikmah musyawarah. Dan<br />

akhirnya, agar harapan rakyat dapat dipenuhi dengan optimal<br />

maka hak-hak sosial dari seluruh rakyat harus dapat dipenuhi<br />

se<strong>cara</strong> adil. Itulah Pancasila.<br />

Bila hierarki keyakinan itu yang diyakini oleh rakyat<br />

Indonesia, maka bagaimana sistem ekonomi yang paling cocok<br />

untuk rakyat Indonesia dapat terbentuk Bagaimana falsafah,<br />

tata nilai, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang menjadi dasar<br />

bagi faktor penentu dan faktor pengaruh dalam pengambilan<br />

keputusan ekonomi yang sesuai dengan hierarki keyakinan<br />

tersebut Kemudian, bagaimana peran lembaga pemerintah,<br />

peran lembaga kemasyarakatan, peran lembaga usaha, dan<br />

peran individu dalam sistem ekonomi tersebut Dan akhirnya,<br />

bagaimana <strong>cara</strong> para pelaku ekonomi mengadakan ikatan-ikatan<br />

transaksi di antara mereka, baik ikatan kerja sama, ikatan jual-<br />

272


ADDENDUM<br />

beli, ikatan jasa, maupun ikatan pembiayaan Bagaimana ciri<br />

sistem ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia<br />

Sistem ekonomi yang mengikuti prinsip-prinsip syariah,<br />

atau Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, pada dasarnya mempunyai ciriciri<br />

sebagai berikut:<br />

1. Falsafah Dasar:<br />

Sistem ekonomi yang sesuai dengan fitrah manusia adalah<br />

sistem ekonomi yang sesuai dengan falsafah hidup manusia.<br />

Karena itu falsafah dasar dari Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> harus<br />

sesuai dengan falsafah hidup manusia menurut syariah.<br />

Semua kajian tentang falsafah hidup manusia tentunya dimulai<br />

dengan kajian tentang siapa manusia itu. Menurut syariah,<br />

manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi Abdi Tuhan<br />

dan telah diangkat menjadi khalifah di muka bumi untuk<br />

menyebarkan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Untuk itu Tuhan<br />

telah memberikan fasilitas berupa bumi dan segala isinya yang<br />

telah diciptakan Tuhan se<strong>cara</strong> seimbang menurut ukuran<br />

yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan telah dimudahkan<br />

sebagai nikmat lahir dan bathin bagi manusia. Sehingga pasti<br />

dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia, lahir dan bathin.<br />

Kemudian bumi dan segala isinya telah di’pusaka’kan untuk<br />

manusia. Dan sebagai khalifah, manusia berhak mengatur<br />

kepemilikan sementara atas bumi dan segala isinya untuk<br />

dimanfaatkan dengan tujuan untuk memberikan kemasalahatan<br />

bagi umat manusia, yang harus dilaksanakan se<strong>cara</strong> adil.<br />

Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> lembaga-lembaga<br />

yang dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan,<br />

lembaga masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial<br />

273


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

harus diatur untuk mendukung peran manusia dalam mengelola<br />

dan mengatur alokasi kepemilikan sumber daya alam untuk<br />

menciptakan kemaslahatan dan menegakkan keadilan sesuai<br />

dengan prinsip syariah. <strong>Syariah</strong> mengatur prioritas kepemilikan<br />

atas sumber daya alam pada kepemilikan negara (daulat).<br />

Kemudian sebagian sumber daya alam tersebut dialokasikan<br />

untuk kepemilikan ummat, dan kepemilikan masyarakat.<br />

Akhirnya bagian dari kepemilikan negara dapat dialokasikan<br />

untuk kepemilikan swasta (perorangan maupun badan hukum)<br />

bila digunakan se<strong>cara</strong> produktif sehingga memberikan nilai<br />

tambah. Karena itu dalam konteks ekonomi nasional, semua<br />

sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup rakyat<br />

harus dikuasai oleh negara, baik melalui lembaga pemerintah<br />

(departemen, kementerian, dsb.), badan layanan umum (BLU),<br />

maupun badan usaha milik negara (BUMN). Sumber daya<br />

alam yang menyangkut kepentingan ummat dan masyarakat,<br />

misalnya jalan raya, saluran air, lapangan, ruang terbuka<br />

hijau, situs bersejarah, dsb. harus dikuasai oleh lembaga<br />

yang ditunjuk oleh negara, termasuk BLU, BUMN, lembaga<br />

khusus milik negara dan lembaga masyarakat. Penguasaan<br />

sumber daya alam melalui kepemilikan swasta harus bersifat<br />

sementara (maksudnya: tidak boleh mutlak) karena bila<br />

dikemudian hari ternyata sumber daya alam tersebut ternyata<br />

menyangkut hajat hidup rakyat maupun kepentingan ummat<br />

atau masyarakat, maka kepemilikan swasta harus bisa dialihkan<br />

menjadi kepemilikan masyarakat, atau kepemilikan ummat,<br />

atau bahkan kepemilikan negara.<br />

274


ADDENDUM<br />

2. Tata Nilai :<br />

Sistem ekonomi juga harus sesuai dengan tata nilai dalam<br />

falsafah hidup manusia. Sebagai Abdi Tuhan, manusia<br />

mempunyai hierarki kebutuhan di mana kebutuhan tertinggi<br />

adalah kebutuhan untuk menjaga keimanan, diikuti dengan<br />

kebutuhan untuk menjaga kehidupan, akal, keturunan,<br />

dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk menjaga harta<br />

duniawi. Kemudian mengacu pada pengalaman Nabi Adam<br />

dan Hawa sebagaimana dijabarkan dalam Kitab Suci dapat<br />

difahami bahwa kebutuhan manusia bukanlah tidak terbatas,<br />

melainkan mempunyai tingkatan tertentu yang perlu difahami<br />

dan dikendalikan. Karena manusia pasti akan berupaya untuk<br />

memenuhi semua tingkat kebutuhannya, maka syariah juga<br />

mengatur karakteristik hubungan antara usaha manusia dengan<br />

hasilnya. <strong>Syariah</strong> menegaskan janji Tuhan untuk memberi<br />

balasan yang sempurna atas semua usaha manusia. Dan<br />

bahwa balasan yang Tuhan berikan dapat melebihi harapan<br />

manusia sehingga manusia merasa beruntung dan mendapat<br />

rezeki. Namun atas semua balasan yang Tuhan berikan kepada<br />

manusia terdapat amanah yang perlu disampaikan, baik untuk<br />

diri sendiri, untuk keluarga, dan untuk masyarakat; pada masa<br />

kini, masa sulit, dan masa depan.<br />

Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, manusia bukanlah<br />

sekedar ”economic man”, melainkan ”socially and economically<br />

responsible religious man”. Definisi ini mempunyai makna<br />

bahwa hierarki kebutuhan utama manusia adalah ’religious’,<br />

kemudian mempunyai tanggung jawab sosial dan mempunyai<br />

kebutuhan ekonomi. Sehingga kebutuhan manusia adalah<br />

tertentu dan terbatas. Karena itu manusia melaksanakan<br />

kegiatan usaha berdasarkan keyakinan akan diperolehnya<br />

275


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

balasan yang adil dan sempurna, serta memiliki tanggung<br />

jawab untuk memenuhi semua amanah yang terkait dengan<br />

hasil yang diterima. Dan tentunya lembaga-lembaga yang<br />

dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan, lembaga<br />

masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial harus<br />

diatur untuk mendukung peran manusia sebagai ”socially and<br />

economically responsible religious man”.<br />

Pemerintah harus mengatur agar rakyatnya memiliki<br />

kesempatan yang wajar untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya,<br />

yang terdiri dari kebutuhan dasar sebagai<br />

mahluk hidup (basic needs), kebutuhan normatif sebagai<br />

manusia (social needs), serta kebutuhan untuk berusaha<br />

memenuhi keinginan dan hasratnya (wants and desires). Untuk<br />

itu kebijakan ekonomi harus ditujukan untuk memberikan<br />

kesempatan kerja yang seluas-luasnya (full employment),<br />

berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang<br />

ditunjang dengan jaminan sosial sebagai sasaran primer,<br />

serta peluang untuk memenuhi keinginan dan hasrat manusia<br />

dengan memberikan peluang berusaha yang seluas-luasnya<br />

dalam kondisi persaingan yang adil dan mekanisme pasar yang<br />

wajar (socially responsible market) sebagai sasaran sekunder.<br />

Pemerintah juga harus mengatur dan menyediakan fasilitas,<br />

baik melalui lembaga negara, lembaga masyarakat, maupun<br />

lembaga sosial, agar penduduk dapat memperoleh bimbingan<br />

dan pembinaan serta dapat menjalankan kegiatan ibadahnya<br />

sesuai dengan keyakinan agamanya, berdasarkan sila Ke-Tuhanan<br />

Yang Maha Esa.<br />

276


ADDENDUM<br />

3. Prinsip Ekonomi:<br />

Sistem ekonomi juga harus mengikuti prinsip-prinsip yang<br />

mendukung tata nilai dalam falsafah hidup manusia. Karena<br />

itu sistem ekonomi harus diatur menurut kriteria dari hasil yang<br />

perlu dicari oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya<br />

sesuai dengan tata nilai dalam falsafah hidup manusia serta<br />

kriteria dari <strong>cara</strong> memperolehnya. Kriteria hasil adalah harus<br />

halal dan thoyib, sedangkan kriteria <strong>cara</strong> memperoleh hasil<br />

adalah dengan jalan yang saling ridha, berlandaskan pada<br />

prinsip kehati-hatian, dan dengan menjaga keseimbangan<br />

hasil dengan risiko. Kriteria kehalalan terdapat pada dzat,<br />

pada <strong>cara</strong> perolehan, dan <strong>cara</strong> penggunaan. Kriteria thoyib<br />

adalah segala hal-hal yang baik dan dapat membuat manusia<br />

lebih arif sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi<br />

larangan-Nya serta menerima takdir-Nya dengan ikhlas.<br />

Sedangkan keridhaan dapat diperoleh bila para pihak tidak<br />

bertindak zhalim ataupun mau diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim<br />

sehingga keridhaan akan memastikan bahwa tidak ada pihak<br />

yang dirugikan maupun merugikan pihak lain. Kehati-hatian<br />

dapat dicapai dengan menghindari keraguan yang merugikan<br />

serta pengambilan risiko yang melebihi kemampuan yang<br />

wajar untuk menanggulangi. Sedangkan keseimbangan yang<br />

dimaksud adalah keseimbangan antara pendapatan dengan<br />

biaya, antara hasil dengan risiko.<br />

Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, ketentuan dibuat<br />

agar manusia hanya memperoleh hasil yang halal, dan<br />

mengutamakan yang thoyib, melalui transaksi atau kegiatan<br />

yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari keraguan<br />

yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko yang melebihi<br />

277


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

kemampuan (maysir), dengan menjaga keseimbangan antara<br />

pendapatan dengan biaya, serta antara hasil dengan risiko. Dan<br />

tentunya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh manusia, baik<br />

lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga bisnis,<br />

maupun lembaga sosial harus diatur agar rakyat dan penduduk<br />

dapat memperoleh hasil dan mengelola hasil (harta) dengan<br />

<strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari<br />

keraguan yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko<br />

yang melebihi kemampuan (maysir), dengan menjaga<br />

keseimbangan antara pendapatan dengan biaya, serta antara<br />

hasil dengan risiko. Untuk itu pemerintah harus mengatur<br />

kegiatan perniagaan (produksi, distribusi, dan perdagangan),<br />

pendukung perniagaan (infrastruktur), pembayaran (uang<br />

sebagai alat tukar, sistim pembayaran), pembiayaan (lembaga<br />

keuangan, pasar uang, dan pasar modal), serta perlindungan<br />

nilai hasil usaha dan harta rakyat (stabilitas nilai uang atau<br />

inflasi, dan nilai tukar valuta).<br />

4. Kaidah Hubungan Ekonomi:<br />

Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan<br />

ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara.<br />

Sedangkan kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan<br />

rangkaian peristiwa-peristiwa serta fenomena-fenomena yang<br />

tampak se<strong>cara</strong> lahiriyah dalam kehidupan yang terkait dengan<br />

produksi, distribusi, dan pemakaian produk serta jasa dalam<br />

kehidupan. Karena itu dalam sistem ekonomi harus diatur<br />

kaidah-kaidah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah<br />

mengenai tujuan utama dari kegiatan ekonomi serta <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong><br />

melaksanakan kegiatan ekonomi. Tujuan utama dari kegiatan<br />

ekonomi menurut syariah adalah menciptakan nilai tambah,<br />

278


ADDENDUM<br />

yaitu agar nilai hasil yang diperoleh lebih jumlah nilai dari biaya<br />

dan usaha yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil tersebut.<br />

Cara menciptakan nilai tambah adalah melalui penciptaan<br />

sinergi dan manfaat, dengan meningkatkan produktivitas, serta<br />

melalui mekanisme pasar yang wajar. Kitab Suci menegaskan<br />

bahwa sebagian manusia diciptakan oleh Tuhan lebih baik<br />

dari sebagian lain agar dapat berguna bagi yang lain. Dan<br />

bila manusia bersyarikat maka Tuhan akan bergabung<br />

dalam persyarikatan itu selama tidak ada diantara mereka<br />

yang berkhianat. Dengan bergabungnya Tuhan ke dalam<br />

persyarikatan tersebut pastilah hasil yang diperoleh lebih besar<br />

dari jumlah yang diberikan ke dalam persyarikatan. Sehingga<br />

melalui perserikatan tanpa pengkhianatan niscaya akan tercipta<br />

sinergi. Kegiatan ekonomi harus dapat menciptakan manfaat<br />

bagi para pihak yang melakukan kegiatan ekonomi dan atas<br />

manfaat yang tercipta dapat dilakukan pembagian hasil. Cara<br />

lain untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan <strong>cara</strong><br />

tolong-menolong berdasarkan kemampuan dan kesempatan<br />

melalui pemberian jasa. Serta dengan menciptakan nilai tambah<br />

dengan memegang prinsip keridhaan yaitu melalui mekanisme<br />

pasar yang wajar.<br />

<strong>Syariah</strong> mengatur kaidah ikatan-ikatan (akad) kegiatan usaha<br />

atau transaksi ekonomi, baik akad kerja sama, akad jual-beli,<br />

akad jasa, maupun akad pembiayaan. Kaidah ikatan diatur<br />

berdasarkan kontribusi para pihak dalam transaksi, yaitu<br />

kontribusi tenaga, kompetensi, dana, dan aset. Sehingga<br />

dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> pengaturan bukan melalui jenis<br />

badan hukum melainkan menurut hubungan antara pemilik<br />

harta (dana) dengan pemilik usaha. Spektrum hubungan<br />

meliputi perserikatan penuh (musyarakah), penggabungan<br />

279


<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />

dana dan kemampuan usaha (mudharabah), pembangunan<br />

aset (istishna’), penyewaan aset (ijara), pembiayaan jual beli<br />

baik kepada pembeli (murabahah) ataupun kepada penjual<br />

(salam), jasa dengan kekuatan aset seperti penjaminan (kafala),<br />

pengalihan kewajiban (hawala) dan gadai (rahn), sampai ke<br />

pemberian jasa kompetensi (wakala, dsb.). Oleh karena itu<br />

negara perlu memberikan prasarana hukum untuk memberikan<br />

kepastian dan perlindungan kepada pelaku ekonomi dalam<br />

melakukan transaksi ekonomi. Sementara itu hubungan<br />

transaksi ekonomi pemerintah dengan pelaku ekonomi harus<br />

disesuaikan dengan akad-akad tersebut. Termasuk dalam<br />

transaksi dengan pemasok dan penyedia jasa, hubungan<br />

kerja sama dengan swasta (public-private partnership), sampai<br />

kepada pembiayaan APBN melalui penerbitan surat berharga<br />

(sukuk).<br />

5. Peran Pelaku Ekonomi:<br />

Pelaku dalam sistem ekonomi terdiri dari perseorangan dan<br />

lembaga. Oleh karena sistem ekonomi juga harus mengatur<br />

peran lembaga, baik lembaga pemerintah, peran lembaga<br />

kemasyarakatan dan sosial, serta peran lembaga usaha.<br />

Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> mengatur peran lembaga negara<br />

dalam pemanfaatan sumber daya melalui kepemilikan<br />

negara dan kepemilikan ummat, dalam menegakkan keadilan<br />

ekonomi melalui kewajiban menjaga nilai uang (inflasi) dan<br />

mekanisme pasar yang wajar, dalam distribusi kesejahteraan<br />

dan jaminan sosial, dalam pengembangan perniagaan dan<br />

kesempatan kerja, dalam pengembangan kegiatan keuangan,<br />

serta dalam hubungan internasional. Lembaga negara adalah<br />

pengejawantahan dari kedaulatan dan adalah pemegang<br />

amanah dari bangsa untuk menjaga dan melindungi kesatuan,<br />

280


ADDENDUM<br />

persatuan dan kesejahteraan bangsa. Lembaga kemasyarakatan<br />

merupakan penjabaran dari konsep jamaah serta merupakan<br />

perpanjangan dari peran keluarga. Karena itu lembaga<br />

kemasyarakatan, atas nama daulah atau pemerintah, berperan<br />

dalam pengumpulan dan distribusi zakat, pengembangan dan<br />

pemanfaatan waqaf, pelayanan pendidikan dan kesehatan,<br />

penanganan masalah sosial, serta dalam perlindungan hak<br />

masyarakat. Lembaga usaha melengkapi peran yang tidak<br />

dapat dilakukan oleh lembaga negara maupun lembaga<br />

kemasyarakatan. Lembaga usaha merupakan badan yang<br />

memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh hasil,<br />

baik melalui usaha dalam sektor riil, sektor jasa, maupun sektor<br />

keuangan. <strong>Syariah</strong> mengatur hubungan antara pemegang<br />

saham dengan pengurus perusahaan serta karyawan dalam<br />

suatu perusahaan, hubungan pemilik dana dengan lembaga<br />

keuangan, hubungan antara pemilik usaha dengan lembaga<br />

keuangan, serta hubungan antara pemberi jasa dengan<br />

penerima jasa. Dan akhirnya sistem ekonomi akan membentuk<br />

karakteristik manusia yang berhasil serta karakteristik kepemimpinan<br />

yang sesuai, yaitu yang jujur (siddiq), teguh pendirian<br />

(istiqomah), cerdas (fathonah), dapat dipercaya (amanah) dan<br />

mempunyai kemampuan berkomunikasi (tabligh).<br />

281

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!