06.02.2015 Views

CIPTA KARYA HADAPI 2010 - Ditjen Cipta Karya

CIPTA KARYA HADAPI 2010 - Ditjen Cipta Karya

CIPTA KARYA HADAPI 2010 - Ditjen Cipta Karya

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LIPUTAN KHUSUS<br />

Infrastruktur Agropolitan Investasi Terbesar<br />

Perkebunan Kelapa Sulawesi Utara 12<br />

INFO BARU<br />

Konferensi Perubahan Iklim Ke 15<br />

COPENHAGEN 2009, Indonesia Bicara!! 23<br />

MEMANFAATKAN TV<br />

UNTUK SOSIALISASI<br />

JUKNIS BIDANG <strong>CIPTA</strong> <strong>KARYA</strong><br />

Sinergi, Energi<br />

<strong>CIPTA</strong> <strong>KARYA</strong><br />

<strong>HADAPI</strong> <strong>2010</strong>


daftar isi<br />

Januari <strong>2010</strong><br />

Berita Utama<br />

http://ciptakarya.pu.go.id<br />

4 Sinergi Energi <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

Hadapi <strong>2010</strong><br />

Pelindung<br />

Budi Yuwono P<br />

Penanggung Jawab<br />

Danny Sutjiono<br />

Dewan Redaksi<br />

Antonius Budiono, Tamin M. Zakaria<br />

Amin, Susmono, Guratno Hartono,<br />

Joessair Lubis, Budi Hidayat<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Dwityo A. Soeranto, Sudarwanto<br />

Penyunting dan Penyelaras Naskah<br />

T.M. Hasan, Bukhori<br />

Bagian Produksi<br />

Djoko Karsono, Emah Sadjimah, Radja<br />

Mulana MP. Sibuea, Djati Waluyo<br />

Widodo, Aulia UI Fikri<br />

Indah Raftiarty<br />

Bagian Administrasi & Distribusi<br />

Sri Murni Edi K, Ilham Muhargiady,<br />

Doddy Krispatmadi, A. Sihombing,<br />

Ahmad Gunawan, Didik Saukat Fuadi,<br />

Harni Widayanti, Deva Kurniawan, Mitha<br />

Aprini, Nurfhatiah<br />

Kontributor<br />

Panani Kesai, Rina Agustin Indriani,<br />

Sriningsih BZ, Hadi Sucahyono,<br />

Amiruddin, Handy B. Legowo, Endang<br />

Setyaningrum, Syamsul Hadi, Ismono<br />

Yahmo, Muhammad Abid, Siti<br />

Bellafolijani, Djoko Mursito, Ade Syaeful<br />

Rahman, Th. Srimulyatini Respati, Alex<br />

A. Chalik, Bambang Purwanto, Edward<br />

Abdurahman, Alfin B. Setiawan, Nieke<br />

Nindyaputri, Deddy Sumantri, M. Yasin<br />

Kurdi, Lini Tambajong<br />

Alamat Redaksi<br />

Jl. Patimura No. 20, Kebayoran Baru<br />

12110 Telp/Fax. 021-72796578<br />

Email<br />

sddatainfo@yahoo.com<br />

di_bpck@yahoo.com<br />

Redaksi menerima artikel, berita,<br />

karikatur yang terkait bidang cipta<br />

karya dan disertai gambar/foto<br />

serta identitas penulis. Naskah<br />

ditulis maksimal 5 halaman A4,<br />

Arial 12. Naskah yang dimuat akan<br />

mendapat insentif.<br />

8 Sinergi untuk Melejitkan<br />

Pelayanan Air Minum<br />

Liputan Khusus<br />

11 Infrastruktur Agropolitan<br />

Investasi Terbesar<br />

Perkebunan Kelapa<br />

Sulawesi Utara<br />

Info Baru<br />

15 Konferensi Perubahan<br />

Iklim Ke 15<br />

COPENHAGEN 2009<br />

Indonesia Bicara!!<br />

18 Memanfaatkan TV untuk<br />

Sosialisasi Juknis Bidang<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

21 Program Pembangunan<br />

Infrastruktur Perdesaan<br />

(PPIP) 2005-2008<br />

Melampaui Target Kinerja<br />

Inovasi<br />

24 Peluang <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> Sebagai Pelopor<br />

Pengembangan Energi<br />

dari Sampah Makanan<br />

Resensi<br />

29 Melapangkan Jalan<br />

Pemberdayaan<br />

4<br />

24<br />

21


LIPUTAN KHUSUS<br />

Infrastruktur Agropolitan Investasi Terbesar<br />

Perkebunan Kelapa Sulawesi Utara 12<br />

INFO BARU<br />

Konferensi Perubahan Iklim Ke 15<br />

COPENHAGEN 2009, Indonesia Bicara!! 23<br />

MEMANFAATKAN TV<br />

UNTUK SOSIALISASI<br />

JUKNIS BIDANG <strong>CIPTA</strong> <strong>KARYA</strong><br />

Sinergi Energi<br />

<strong>CIPTA</strong> <strong>KARYA</strong><br />

<strong>HADAPI</strong> <strong>2010</strong><br />

Foto Cover : Rusunawa Cingised<br />

Bandung<br />

editorial<br />

Wajah Baru, Semangat dan Harapan Baru<br />

Tanpa terasa Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> sudah tujuh tahun eksis menghadirkan beragam informasi terkait bidang<br />

cipta karya, baik tentang kebijakan, kejadian aktual pada bulan bersangkutan, teknologi, inovasi, maupun<br />

informasi ringan seputar Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> dan lain-lain. Harapannya tentu saja bisa bermanfaat<br />

bagi semua stakeholder bidang cipta karya dan feed back yang diberikan. Dengan tidak mengurangi rasa<br />

bangga dengan media informasi internal ini, Tim Redaksi masih haus akan sumbangan-sumbangan informasi<br />

yang sulit kami jangkau tapi penting untuk diberitakan.<br />

Ada beberapa masalah internal yang mendesak diputuskan, satu sisi kami ingin menampilkan pandangan<br />

para pengamat dan akademisi untuk memperkaya khasanah Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>. Namun di sisi lain, beberapa<br />

pihak mengkhawatirkan pandangan yang kontraproduktif dengan kebijakan <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>. Sekedar<br />

mengulang informasi, Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> sejak awal tahun 2008 telah bisa dinikmati oleh Satker – Satker di<br />

lingkungan <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>, baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota, serta unit kerja lain<br />

di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, stakeholder interdept (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian<br />

Kesehatan, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Perumahan Rakyat, dan lain-lain), serta lembaga<br />

umum seperti National Library untuk US Ambassy dan Australia Ambassy, serta masyarakat umum yang ingin<br />

berlangganan. Artinya, jika optimistis bahwa tidak ada masalah dengan distribusi, maka <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

ingin Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> sebagai corong kebijakannya kepada semua stakeholder.<br />

Memulai tahun <strong>2010</strong> ini, Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> menampilkan wajah baru dan juga tata letak yang baru.<br />

Inginnya agar pembaca tidak bosan, apalagi yang selama ini mendambakan perubahan pada Buletin <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> dengan memberi masukan positif, contohnya merubah jenis huruf agar lebih enak dibaca. Perubahan<br />

adalah keniscayaan, begitu juga dengan apa yang kami kemas dalam setiap pesannya. Bisa merubah sikap,<br />

kebijakan, maupun pandangan stakeholder, dan yang lebih penting sebagai bagian tugas ke-humas-an kami,<br />

citra Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> semakin cantik di mata masyarakat.<br />

Evaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan bidang <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Tahun Anggaran 2009 dan Persiapan<br />

Pelaksanaan TA. <strong>2010</strong> menjadi sajian utama kami. Dengan suguhan tema tersebut kita diharapkan bercermin<br />

dan merapatkan barisan untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagian<br />

tema lain, tentu saja kami merindukan ulasan-ulasan best practices dari daerah-daerah agar bisa ditiru daerah<br />

lainnya. Tidak muluk-muluk, pada akhirnya tujuan kami adalah menjadi media tempat belajar. Belajar bersama,<br />

karena dengan bersama kita pasti dibisakan.<br />

Selamat membaca dan berkarya!<br />

@.....Suara Anda<br />

Pengadaan sarana air bersih bagi RSH<br />

Terima kasih kepada Menteri PU dan seluruh jajaran Kementerian<br />

PU yang telah memberikan bantuan pengadaan sarana air bersih di<br />

lingkungan kami melalui paket pekerjaan “Pembuatan Sumur Bor,<br />

Menara Air, Pengadaan dan Pemasangan Pipa (AM-Bdg-02 dan 03,surat<br />

penunjukan no.: KU.08.09-PKPAM.JB/SPPJ/L-20 dan L-21 tanggal 8 Juni<br />

2009 yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi kesulitan memperoleh<br />

air bersih di wilayah kami.yang ingin saya tanyakan adalah : 1. Lingkup<br />

pekerjaan proyek tersebut di atas, apakah hingga pemasangan pipa<br />

ke rumah-rumah 2. Siapakah yg menguasai aset dari proyek tersebut<br />

Karena saya memperoleh informasi bahwa aset tersebut telah<br />

diserahterimakan kepada kelompok masyarakat tertentu. 3. Siapakah<br />

yang memiliki hak untuk mengelola aset tersebut karena saat ini<br />

sudah ada pihak swasta/lembaga yang memberikan penawaran dan<br />

pendaftaran pemasangan instalasi air bersih kepada warga dengan<br />

biaya tertentu. Pertanyaan ini timbul karena kekhawatiran saya akan<br />

adanya penyalahgunaan aset yang sangat berharga bagi kami ini. Saya<br />

sangat menghargai apabila pihak Kementerian PU bisa memberikan<br />

jawaban secepatnya,sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan.<br />

Terima kasih.<br />

Djoko Hartanto<br />

Sdr. Djoko Hartanto, Yth. (1) Lingkup pekerjaan proyek tersebut<br />

adalah pembuatan sumur bor, reservoir dan jaringan pipa distribusi<br />

utama sedangkan pemasangan pipa ke rumah-rumah menjadi<br />

tanggung jawab pengembang RSH; (2) Aset yang dibangun oleh<br />

Satuan Kerja Pengembangan Kinerja Pengolahan Air Minum Provinsi<br />

Jawa Barat adalah milik Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Kementerian<br />

Pekerjaan Umum dan sampai saat ini aset tersebut belum pernah<br />

diserahterimakan; (3) Yang menjadi pengelola Sistem Penyediaan Air<br />

Minum (SPAM) adalah kelompok masyarakat yang dipilih atau ditunjuk<br />

oleh masyarakat pengguna dan pembinaannya dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah Kabupaten Bandung. Terima kasih. (Direktorat Jenderal<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>)<br />

Redaksi menerima saran maupun tanggapan terkait bidang <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> ke email sddatainfo@yahoo.com atau saran dan pengaduan di www.pu.go.id<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 3


Berita Utama<br />

Sinergi<br />

Dermaga Kedaton, Ternate<br />

Energi <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

Hadapi <strong>2010</strong><br />

Tepuk gemuruh dan senyum lebar<br />

mengiringi kabar melegakan tentang kinerja<br />

Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Tahun<br />

Anggaran 2009 dinyatakan terbaik dalam<br />

sebuah rapat pimpinan yang dipimpin oleh<br />

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto,<br />

di penghujung tahun 2009. Sampai 30<br />

Desember 2009, <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> mampu<br />

menyerap 93,4% anggaran yang dibebankan<br />

rakyat kepadanya, bandingkan dengan<br />

Satminkal lain yang pada waktu bersamaan<br />

hanya mampu mencetak angka di bawah<br />

90%, kecuali <strong>Ditjen</strong> Bina Marga (92%), dan BPP<br />

SPAM (91%).<br />

Di atas baru tampilan capaian<br />

pembangunan, belum lagi jika ditampilkan<br />

juga peran-peran pengaturan, pembinaan,<br />

dan pengawasan, tentu akan lebih banyak<br />

lagi outputnya. Prestasi di atas tak lepas dari<br />

pertemuan bersama membangun komitmen<br />

yang telah menghasilkan perbaikan<br />

proses penyerapan dana, sehingga dapat<br />

memperbaiki kualitas pelaksanaan tahun<br />

anggaran selanjutnya.<br />

Menurut Dirjen <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Budi Yuwono,<br />

prestasi yang telah dicapai selama 5 tahun<br />

belakangan harus menjadi pembelajaran<br />

untuk pelaksanaan Renstra <strong>2010</strong> – 2014 yang<br />

anggarannya meningkat dua kali lipat menjadi<br />

Rp 50 triliun, sehingga berbagai kelemahan<br />

dapat diantisipasi dan tidak terulang.<br />

Budi Yuwono menekankan beberapa hal<br />

termasuk sinergi antar sektor di lingkungan<br />

<strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> maupun unit kerja lain<br />

yang erat hubungannya. Misalnya antara<br />

Dit. Pengembangan Air Minum dengan<br />

Badan Pendukung Pengembangan Sistem<br />

Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) agar<br />

dapat memacu kontribusi pihak swasta dan<br />

perbankan untuk membiayai kegiatan bidang<br />

air minum yang lebih besar.<br />

Seperti tahun-tahun sebelumnya,<br />

pelaksanaan tender selalu di pertengahan<br />

tahun sehingga ke depan diharapkan Satker<br />

mampu melakukannya lebih awal. Itu semua<br />

untuk mendukung S-Curve yang sudah<br />

disusun, selain itu perlu didukung juga dengan<br />

kesiapan-kesiapan lapangan, pelaksanaan,<br />

pelelangan, dan lain-lain.<br />

Pertajam Kualitas RPIJM<br />

Sejak dicanangkan tiga tahun lalu,<br />

Rencana Program dan Investasi Jangka<br />

Menengah (RPIJM) telah mendapat respon<br />

cukup baik dari Pemda. Dari kuantitas<br />

cukup menggembirakan, yaitu sebanyak<br />

415 dokumen RPIJM, atau 86% dari total<br />

kabupaten/kota sudah menyusun RPIJM. Dari<br />

jumlah itu, yang dinilai sudah komprehensif<br />

baru 28%, multisektor 45%, dan single sector<br />

27%.<br />

Selain itu, sinergi antara Direktorat Bina<br />

Program dengan sektor lainnya terkait<br />

4 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


BERITAUTAMA<br />

SOP (Standard Operating Prosedur) untuk<br />

persiapan bantuan luar negeri. Dengan<br />

SOP tersebut direncanakan menghilangkan<br />

fungsi-fungsi pengaturan yang melekat pada<br />

Subdit Perencanaan Teknis yang kemudian<br />

lebih fokus pada perencanaan, programming,<br />

dan evaluasi. Fungsi pengaturan nantinya<br />

diintegrasikan dengan Subdit lain di<br />

lingkungan unit kerjanya agar lebih fokus.<br />

Sinergi Dit. PAM dan BPPSPAM<br />

Budi Yuwono menjelaskan pernah ada<br />

sinergi antara kedua unti kerja ini, namun<br />

menurutnya belum terlihat hasil yang<br />

signifikan. Perpaduan program antara<br />

keduanya untuk menjawab kritikan dari<br />

inspektorat jenderal mengenai tumpang<br />

tindihnya kegiatan antar keduanya. “Direktorat<br />

PAM dan BPP-SPAM harus jalan beriringan dan<br />

saling bersinergi untuk peningkatan efektifitas<br />

dan efesiensi kegiatan. Untuk itu perlu segera<br />

duduk bersama untuk membahas program 5<br />

tahun ke depan agar dapat diketahui Tupoksi<br />

dan menghindari tumpang tindih sehingga<br />

dapat meningkatkan sinergi,” ujar Budi.<br />

BPPSPAM, lanjut Budi, tidak hanya<br />

menangani Kerjasama Pemerintah dan Swasta<br />

(KPS) saja, sejalan dengan Peraturan Presiden<br />

Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama<br />

Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam<br />

SPAM IKK Kare Kabupaten Madiun, Jawa Timur<br />

Penyediaan Infrastruktur, diharapkan terjadi<br />

lompatan kinerja PDAM yang signifikan. PDAM<br />

menjadi mandiri, dan menjadi lokomotif<br />

penyelenggara penyediaan air minum di<br />

Indonesia.<br />

Budi Yuwono juga menyoroti program<br />

air minum yang bersifat pemberdayaan,<br />

agar kegiatan yang massal dan sudah<br />

banyak terlihat manfaatnya tersebut dikelola<br />

dengan lebih baik dengan tetap melakukan<br />

pendampingan dan tidak membiarkan<br />

masyarakat bekerja sendiri.<br />

PLP<br />

Menindaklanjuti sukses tahun<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 5


sebelumnya, Direktorat Pengembangan<br />

Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP)<br />

akan lebih meningkatkan kerjasama dengan<br />

ibu-ibu, menggunakan media anak-anak<br />

dalam kampanye bidang sanitasi. Gayung pun<br />

bersambut, akhir Desember 2009 lalu Menteri<br />

Pekerjaan Umum didatangi badan PBB untuk<br />

anak-anak, UNICEF. Mereka menawarkan<br />

kerjasama kampanye bidang sanitasi dan air<br />

minum dengan anak-anak Indonesia.<br />

Selain agenda tahunan tersebut, pada<br />

<strong>2010</strong> PLP juga dihadapkan pada tugas<br />

berat di mana ada beberapa paket besar<br />

yang harus diselesaikan seperti Denpasar<br />

Sewerage Development Project (DSDP) tahap<br />

2 dengan nilai anggaran yang dikeluarkan<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> sebesar Rp. 156 miliar, Semarang<br />

Urban Drainage, TPA Regional Maminasata,<br />

Pemanfaatan IPAL Medan dan DIY.<br />

Tahun <strong>2010</strong> adalah ujian awal bagi PLP<br />

yang akan mendapatkan angin segar karena<br />

dana yang didapat bakal lebih banyak. Pada<br />

periode 2009-2014, <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> akan<br />

menganggarkan Rp 14,2 triliun untuk sektor<br />

PLP. Anggaran ini meningkat hampir empat<br />

kali dari periode lima tahun sebelumnya yang<br />

hanya Rp 4 triliun. Hal itu diungkapkan Direktur<br />

Pengembangan PLP, Susmono pada Rapat<br />

Evaluasi TA 2009 dan Persiapan Pelaksanaan<br />

TA <strong>2010</strong> di Jakarta akhir Desember 2009 lalu.<br />

6 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Dirjen <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Budi Yuwono<br />

menambahkan, dukungan pemerintah<br />

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam hal<br />

sanitasi selama lima tahun mendatang sangat<br />

besar, dimana pemerintah akan fokus pada<br />

tiga hal yaitu, masalah pengelolaan air limbah,<br />

drainase dan juga masalah sampah. “Dana<br />

Rp 14,2 triliun itu adalah skenario minimal,<br />

kemungkinan bisa lebih besar lagi,” katanya.<br />

Salah satu fokus sektor PLP yaitu untuk<br />

“Prestasi yang telah dicapai selama 5 tahun<br />

belakangan harus menjadi pembelajaran<br />

untuk pelaksanaan Renstra <strong>2010</strong> – 2014 yang<br />

anggarannya meningkat dua kali lipat menjadi<br />

Rp 50 triliun, sehingga berbagai kelemahan<br />

dapat diantisipasi dan tidak terulang”.<br />

Foto : Rusunawa Tanjung Balai<br />

masalah drainase. Hal ini mengingat masalah<br />

drainase atau banjir di kota besar semakin<br />

sering terjadi. Kalau biasanya <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> hanya fokus pada masalah sampah,<br />

maka periode kali ini juga menangani masalah<br />

drainase.<br />

“Untuk periode sebelumnya kita tidak<br />

memiliki cukup anggaran sehingga kita<br />

tidak berani masuk lebih jauh untuk bidang<br />

drainase” katanya.<br />

Selain drainase, masalah pengelolaan air<br />

limbah juga menjadi prioritas. Pemerintah<br />

akan mendorong, meningkatkan dan<br />

memperbanyak pengelolaan air limbah secara<br />

terpusat. Disamping tidak melupakan kotakota<br />

lain yang sudah menyiapkan strategi<br />

sanitasi untuk sistem yang lebih kecil seperti<br />

sistem komunal.<br />

Untuk itu, Budi mengingatkan kepada<br />

seluruh daerah untuk menyiapkan program<br />

dan desainnya yang dituangkan dalam RPIJM.<br />

Seperti kita ketahui, anggaran <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> untuk periode lima tahun mendatang<br />

meningkat hampir dua kali sekitar Rp 30 triliun<br />

menjadi Rp 50 triliun. “Ini merupakan peluang<br />

besar, siapkan semuanya dan kita akan masuk<br />

kesana,” tambahnya.<br />

Dit. PPLP juga ditantang mengurangi emisi<br />

dari sampah yang merupakan penyumbang<br />

nomor tiga paling besar dengan memberikan<br />

rincian lokasi yang mengacu pada Renstra<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>. Sebagai tindak lanjut dari<br />

pertemuan di Copenhagen – Denmark,<br />

Indonesia berkomitmen mengurangi emisi<br />

gas rumah kaca.<br />

PBL<br />

Selama ini Direktorat Penataan Bangunan<br />

dan Lingkungan (PBL) dibebani Program<br />

Penanggulangan Kemiskinan dan Perkotaan<br />

(P2KP) yang sudah berjalan dengan baik,<br />

namun PBL tidak boleh melupakan tugas<br />

melekat lainnya seperti Penataan dan<br />

Revitalisasi Kawasan dan penataan, bangunan<br />

gedung, dan lain-lain.<br />

Penanganan kawasan dan lingkungan<br />

diharuskan mengikuti kriteria kawasan antara<br />

lain untuk revitalisasi diutamakan di kawasan<br />

perkotaan yang memiliki potensi dan nilai<br />

strategis. Untuk tahun <strong>2010</strong> – 2014 perlu<br />

BERITAUTAMA<br />

diperhatikan hal-hal sebagai berikut; pertama,<br />

penanganan revitalisasi baik heritage<br />

maupun non heritage tidak hanya melakukan<br />

perencanaan terhadap lingkungan tetapi<br />

juga menyentuh bangunan gedung. Kedua,<br />

penanganan RTH tidak hanya lingkup skala<br />

lingkungan permukiman tetapi menangani<br />

RTH skala kota. Ketiga, penyediaan fasilitas<br />

dan aksesibilitas tidak hanya pada bangunan<br />

gedung tetapi juga untuk ruang-ruang terbuka<br />

publik. Keempat, penanganan PBL termasuk<br />

fasilitasi pelestarian gedung bersejarah.<br />

Bangkim<br />

Direktorat Pengembangan Permukiman<br />

masih menerima banyak sorotan terkait<br />

Rusunawa yang dituntut harus lebih baik ke<br />

depannya. Karena itu diperlukan persiapan<br />

jangka menengah yang lebih teliti, tidak lagi<br />

persiapan yang setahun sekali. Selama ini<br />

verifikasi dilakukan setiap tahun berdasarkan<br />

permintaan Pemda. Lima tahun ke depan<br />

akan dipetakan kebutuhan Rusunawa yang<br />

berangkat dari peta kumuh masing-masing<br />

Pemda, apakah Pemda memiliki strategi<br />

pengembangan kota jangka menengah<br />

hingga membutuhkan Rusunawa.<br />

Direktur Pengembangan Permukiman,<br />

Guratno Hartono mengatakan, ke depan<br />

perlu dilakukan pengkajian terhadap<br />

dampak pembangunan Rusunawa dikaitkan<br />

pengurangan luasan kawasan kumuh di<br />

perkotaan serta pengembangan sosial<br />

ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah<br />

yang menghuninya. Dari hasil evaluasi<br />

terhadap 32 kabupaten/kota di mana lokasi<br />

Rusunawa dibangun, baru sekitar 62,5% yang<br />

sesuai dengan Sistem Perkotaan Nasional<br />

dalam PP 26/2008 tentang RTRWN. Proses<br />

verifikasi usulan dan lahan Pemda yang<br />

siap bangun sangat berpengaruh kepada<br />

pemenuhan target Renstra dan jadwal<br />

pelaksanaan pembangunan yang tepat<br />

waktu.<br />

Pada bagian lain, dampak pembangunan<br />

Rusunawa dalam mengurangi kawasan<br />

kumuh juga mendapatkan perhatian. Guratno<br />

mengakui belum mendapatkan informasi<br />

yang pasti tentang angka luasan kawasan<br />

kumuh di Indonesia, namun dia yakin secara<br />

lokal, Rusunawa sudah bisa mengurangi<br />

kawasan kumuh. Tantangan berat yang akan<br />

dihadapi Dit. Bangkim salah satunya adalah<br />

pembangunan 40 twin block Rusunawa<br />

pada <strong>2010</strong>. Penyiapan lahan dan kesiapan<br />

infrastruktur lain seperti listrik dan air harus<br />

disusun sepanjang lima tahun, tidak lagi per<br />

tahun. (bcr)<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 7


Berita Utama<br />

Kehadiran Badan Pendukung<br />

Pengembangan Sistem Penyediaan Air<br />

Minum (BPPSPAM) secara tidak langsung<br />

menjelma menjadi partner tak terpisahkan<br />

Direktorat Pengembangan Air Minum.<br />

Namun tidak jarang pelaksanaan tugas pokok<br />

dan fungsi dua lembaga ini saling tumpang<br />

tindih, meskipun langkah dan tujuan sedikit<br />

banyak terlihat berbeda tapi satu muara, yaitu<br />

melejitkan pelayanan dan pengembangan<br />

air minum di Indonesia. Begitu juga sinergi<br />

Dit. PAM dengan lembaga lainnya, baik di<br />

lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum,<br />

maupun kementerian lain.<br />

Direktur Pengembangan Air Minum<br />

<strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>, Tamin MZ. Amin mencoba<br />

mengurai permasalahan ini kepada redaksi<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> beberapa waktu lalu.<br />

Ia mengakui di lapangan masih banyak<br />

penyelenggara air minum yang belum<br />

memenuhi Norma, Standar, dan Pedoman<br />

Manual (NSPM), contohnya memberikan<br />

air minum yang berkualitas sesuai standar<br />

kepada masyarakat, tekanan air yang masih<br />

rendah (belum 24 jam), dan lain-lain. Padahal<br />

Kementerian PU sudah menerbitkan NSPM<br />

untuk kualitas pipa (SNI), kualitas air minum<br />

diatur oleh Kepmenkes Nomor 907/2002<br />

tentang syarat dan pengawasan kualitas<br />

air minum, tarif air minum berpedoman<br />

pada Permendagri Nomor 23/2006 tentang<br />

pedoman teknis dan tata cara pengaturan<br />

tarif air minum pada PDAM, hingga<br />

pemilihan direksi PDAM juga diatur dalam<br />

Permendagri Nomor 2/2007 tentang organ<br />

dan kepegawaian PDAM.<br />

8 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


BERITAUTAMA<br />

Foto Kiri : IPA Bendang Samarinda, Foto Kanan : PDAM Tirta Musi, Palembang<br />

Sinergi<br />

Untuk Melejitkan<br />

Pelayanan<br />

Air Minum<br />

Tidak dipungkiri, ketidakpatuhan PDAM<br />

(Pemda) terhadap NSPM tersebut di atas<br />

sebagai penyebab sakitnya PDAM. Dengan<br />

demikian Kementerian Pekerjaan Umum<br />

melalui Permen PU nomor 294/PRT/M/2005<br />

membentuk BPPSPAM yang saat ini dikepalai<br />

oleh Rachmat Karnadi. Tugas BPPSPAM<br />

adalah mengawal penerapan NSPM tersebut<br />

dan memberikan masukan strategis kepada<br />

Menteri Pekerjaan Umum untuk menyusun<br />

kebijakan strategi maupun NSPM.<br />

BPPSPAM juga membantu PDAM<br />

untuk mendapatkan sumber-sumber<br />

pendanaan bekerjasama dengan swasta.<br />

Pada perkembangannya, mau tidak mau<br />

PDAM harus bekerjasama dengan pihak<br />

swasta. Namun alih-alih daerah mendapatkan<br />

keuntungan yang instan diharapkan, PDAM<br />

malah ‘dipusingkan’ oleh skema kerjasama<br />

dengan swasta dan masuk dalam perjanjian<br />

merugikan daerah sendiri. Karena itulah<br />

BPPSPAM hadir untuk mendampingi daerah<br />

agar tidak merugikan dalam melakukan<br />

kontrak kerjasama.<br />

Selain mengatur kerjasama, BPPSPAM juga<br />

berhak memberikan masukan atas kebijakan<br />

pemerintah saat ini misalnya tugas pemerintah<br />

pusat dalam membangun SPAM baru sampai<br />

pada pembangunan unit produksi sedangkan<br />

unit distribusi diserahkan kepada daerah.<br />

Jika BPPSPAM menilai itu sudah tidak cocok<br />

lagi, bukan tidak mungkin kebijakan tersebut<br />

dimodifikasi.<br />

Peningkatan koordinasi dengan BPPSPAM<br />

perlu dilakukan misalnya dengan duduk<br />

bersama menentukan lokasi mana yang<br />

akan menjadi sasaran pembinaan oleh kedua<br />

lembaga ini sehingga pelaksanaan akan<br />

saling menguatkan agar daerah tersebut bisa<br />

secepat mungkin sehat.<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 9


BERITAUTAMA<br />

Dalam hal Kerjasama Pemerintah<br />

Swasta (KPS), BPPSPAM menindaklanjuti<br />

pra FS (Feasibility Study) yang dilakukan Dit.<br />

Pengembangan Air Minum untuk kemudian<br />

ditawarkan kepada calon investor, serta<br />

mendampingi Pemda hingga transaksi agar<br />

Pemda tidak terjebak dalam perjanjian yang<br />

merugikan.<br />

Selain dengan BPPSPAM, Dit. PAM juga<br />

melakukan sinergi dengan unit kerja lain<br />

di lingkungan <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> seperti<br />

Direktorat Pengembangan Permukiman<br />

untuk mendukung kebutuhan air minum bagi<br />

Rusunawa/RSH/kawasan perbatasan yang<br />

berpihak pada Masyarakat Berpenghasilan<br />

Rendah (MBR) lainnya.<br />

Selain dengan Dit. Bangkim, Dit. PAM juga<br />

bersinergi dengan Kementerian Kelautan dan<br />

Perikanan dalam program dukungan air minum<br />

bagi pelabuhan perikanan, dan Kementerian<br />

Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) untuk<br />

mendukung kebutuhan prasarana dan sarana<br />

air minum.<br />

Sinergi yang diupayakan oleh Direktorat<br />

Pengembangan Air Minum dengan beberapa<br />

lembaga lainnya menurut Tamin tertumpu<br />

pada tujuan bersama yang dirangkum dalam<br />

6 C berikut ini; Competency to Overcome<br />

Complexity (Kompetensi Untuk Mengatasi<br />

Kompleksitas), Communication, Coordination,<br />

And Cooperation to Overcome Conflict<br />

(Komunikasi, Koordinasi, dan Kerja Sama<br />

Untuk Mengatasi Konflik). (bcr)<br />

PDAM Tirta Musi, Palembang<br />

10 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Liputan Khusus<br />

Infrastruktur Agropolitan<br />

LIPUTANKHUSUS<br />

Investasi Terbesar<br />

Perkebunan Kelapa<br />

Sulawesi Utara<br />

Liny Tambajong *)<br />

Pemandangan perkebunan kelapa<br />

M<br />

Masih ingat lagu “Rayuan Pulau Kelapa”<br />

(Ismail Marzuki) ...Tanah airku aman dan<br />

makmur Pulau Kelapa nan amat subur...<br />

melambai lambai nyiur di pantai...<br />

Indonesia merupakan negara kepulauan<br />

terbesar di dunia yang memiliki luas areal<br />

perkebunan kelapa dengan luas 3,81 juta<br />

ha. Sepenggal lagu yang menggambarkan<br />

Indonesia sebagai negara agraris menjadikan<br />

komoditas pertanian sebagai primadona yang<br />

sangat prospektif untuk bersaing secara global,<br />

namun demikian komoditas unggulan tersebut<br />

hanya mengandalkan kelimpahan sumberdaya<br />

alam yang ada dan belum kompetitif.<br />

Sistem produksi, lemahnya kelembagaan<br />

dan SDM serta keterbatasan infrastruktur<br />

mengakibatkan produktivitas dan produksi<br />

belum optimal, bersifat musiman, dan<br />

harga sangat fluktuatif. Konsekuensinya<br />

adalah keunggulan komparatif (comparative<br />

advantage) yang sebagian besar dimiliki<br />

komoditas pertanian sulit diwujudkan<br />

menjadi keunggulan kompetitif (competitive<br />

advantage).<br />

Untuk dapat bersaing secara global, setiap<br />

negara perlu merumuskan visi dan misinya<br />

sebagai pola sasar perkembangan wilayah<br />

yang ada di dalamnya. Perumusan visi dan<br />

misi yang spesifik, unik, tepat dan akurat akan<br />

mendorong suatu wilayah meraih keunggulan<br />

daya saing yang berkelanjutan (suistanable<br />

competitive advantage), pertumbuhan wilayah<br />

serta peningkatan nilai tambah (value added),<br />

adalah melalui pengembangan produk<br />

unggulan.<br />

Di Indonesia, penerapan konsep<br />

pengembangan komoditas unggulan<br />

dalam pembangunan pertanian difasilitasi<br />

dalam program pengembangan kawasan<br />

agropolitan, dimana terdapat satu komoditas<br />

unggulan utama yang dikembangkan melalui<br />

diversifikasi usaha, baik diversifikasi usaha tani<br />

maupun dalam proses industrinya agar produk<br />

yang dihasilkannya mempunyai kualitas daya<br />

saing yang tinggi (Suwandi, 2005).<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 11


Posisi agribisnis kawasan<br />

Program agropolitan ini dicanangkan oleh<br />

Menteri Pertanian dan Menteri Permukiman<br />

dan Prasarana Wilayah pada tahun 2002, yang<br />

merupakan program multisektoral dari masingmasing<br />

departemen dan instansi terkait.<br />

Kawasan agropolitan dalam UUPR No. 26<br />

tahun 2007 diartikan sebagai kawasan yang<br />

terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada<br />

wilayah perdesaan sebagai sistem produksi<br />

pertanian dan pengelolaan sumber daya<br />

alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya<br />

keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan<br />

satuan sistem permukiman dan sistem<br />

agribisnis.<br />

Brand image & Keterbatasan Infra struktur.<br />

Sulawesi Utara dengan brand image<br />

sebagai daerah “nyiur melambai” membuat<br />

posisi tanaman kelapa sangat strategis. Sekitar<br />

70 persen rakyat hidup bergantung dari<br />

tanaman ini dengan sistem budidaya seadanya<br />

agar bisa bertahan hidup. Komoditas unggulan<br />

ini belum diolah secara maksimal, terlihat dari<br />

sebagian besar transaksi hanya berupa bahan<br />

mentah yang belum diolah maupun hanya<br />

setengah jadi sehingga nilai tambah komoditas<br />

yang paling besar justru dinikmati oleh sektor<br />

industri yang berada di luar kawasan bahkan<br />

negara lain (Disbun, 2007).<br />

Kondisi saat ini sistem dan usaha agribisnis<br />

petani dalam hal pengolahan agroindustri<br />

belum optimal, produk turunan kelapa belum<br />

terolah maksimal. Hal tersebut disebabkan<br />

karena keterbatasan infrastruktur yang<br />

mengakibatkan struktur industri masih bersifat<br />

parsial dan individual sehingga optimalisasi<br />

dan efisiensi pemanfaatan seluruh potensi<br />

kelapa masih rendah.<br />

Industri pengolahan minyak berbahan baku<br />

kopra menyebabkan sabut, air, tempurung<br />

tersebar dan terbuang sehingga tidak memiliki<br />

nilai ekonomi. Di lain pihak, industri pengolahan<br />

sabut, arang dan nata de coco kesulitan<br />

mendapat bahan baku. Biaya pengumpulan<br />

bahan baku menjadi mahal karena kurangnya<br />

prasarana & sarana transportasi dari kebun ke<br />

tempat pengolahan.<br />

Berdasarkan analisis SWOT, posisi<br />

agribisnis kawasan saat ini berada pada<br />

kuadran III (strategi WO) yaitu memanfaatkan<br />

peluang yang ada pada kawasan dengan cara<br />

meminimalkan kelemahan maka rencana<br />

strategi ke depan bertujuan sebagai berikut:<br />

(1) meningkatkan Infrastruktur penunjang<br />

agribisnis berbasis komoditas unggulan<br />

kelapa untuk memanfaatkan peluang ekspor,<br />

(2) meningkatkan motivasi pengembangan<br />

produk turunan kelapa dan pengelolaan skala<br />

kelompok untuk peningkatan pendapatan<br />

dan penyerapan tenaga kerja, (3) merevitalisasi<br />

kelembagaan dan manajemen pengelolaan<br />

agribisnis untuk menunjang pengembangan<br />

agroindustri tanpa limbah dan ramah<br />

lingkungan.<br />

Untuk mencapai tujuan di atas maka<br />

direkomendasikan beberapa program sebagai<br />

berikut: (1) pembangunan Infrastruktur<br />

penunjang agribisnis pada kawasan, (2) studi<br />

kelayakan pengembangan produk turunan<br />

kelapa, pelatihan pengembangan produk<br />

(pengolahan, packaging dan pemasaran),<br />

(3) penguatan kelembagaan, pelatihan<br />

manajemen pengelolaan agribisnis dan<br />

agroindustri yang ramah lingkungan.<br />

Brand Image & Businnes Plan.<br />

Businnes plan merupakan salah satu<br />

strategi perencanaan suatu kawasan dalam<br />

mengembangkan ekonomi lokalnya. Model<br />

pengembangan AKT (Agribisnis Kelapa<br />

Terpadu), merupakan businnes plan kawasan<br />

ini, hal ini berdasarkan analisis finansial yg<br />

ditujukan untuk mengkaji kelayakan finansial<br />

pengembangan unit usaha pengolahan<br />

agribisnis kelapa terpadu yang berdampak<br />

pada tingkat kesejahteraan petani dan tenaga<br />

kerja off-farm di sekitar unit usaha. Pemilihan<br />

jenis AKT ini sejalan dengan pemikiran Porter<br />

dalam Rangkuti (2008) yang menyatakan<br />

keunggulan kompetitif diterapkan untuk<br />

memperoleh keunggulan bersaing sesuai<br />

dengan segmentasi pasar sasaran (positioning)<br />

yang diharapkan dengan memanfaatkan skala<br />

ekonomis, kemudahan akses bahan baku,<br />

efisiensi produksi dan penggunaan teknologi.<br />

Agribisnis pengolahan kelapa terpadu<br />

dengan produk utama VCO dan kopra putih<br />

didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan<br />

sebagai berikut: (1) Skala usaha dapat dikelola<br />

oleh kelompok tani; (2) teknologi yang<br />

digunakan adalah teknologi sederhana yang<br />

masih bisa dijangkau oleh petani dan masih<br />

membutuhkan tenaga kerja yang relatif tinggi<br />

(padat karya); (3) seluruh bagian buah kelapa<br />

yaitu, daging, air, sabut, dan tempurung diolah;<br />

(4) produk-produk turunan yang dihasilkan<br />

pada skala ini mampu diserap oleh pasar.<br />

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan<br />

di atas maka indikator skala usaha AKT<br />

didasarkan pada biaya rata-rata jangka<br />

panjang (LAC) terendah untuk menghasilkan<br />

VCO atau kopra putih serta suplai bahan baku<br />

yang terjangkau oleh kelompok tani. Indikator<br />

kelayakan finansial yang digunakan adalah NPV<br />

(Net Present Value), IRR (Internal Rate Of Return),<br />

PB-P (Payback Period), dan BEP (Break Even<br />

Poin). Karena seluruh modal usaha (termasuk<br />

modal kerja selama 25 hari kerja) diharapkan<br />

berasal dari pinjaman yang dikembalikan<br />

secara bertahap selama 5 tahun maka dalam<br />

analisis diasumsikan bunga pinjaman 24%,<br />

12 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


LIPUTANKHUSUS<br />

disusun dengan mengingat hal-hal berikut :<br />

(1) Perlunya pemantapan sistem usaha<br />

agribisnis kelapa dalam kawasan yang meliputi<br />

5 subsistem yang ada ;(2) Prospek dan potensi<br />

yang dimiliki Kawasan ;(3) Akses jalan usaha<br />

tani yang menjadi penghambat terbesar dalam<br />

subsistem pengolahan hasil tani ;(4) Kurangnya<br />

infrastruktur tani dan belum memadainya<br />

infrastruktur dasar kawasan.<br />

Secara keseluruhan hirarki ruang dalam<br />

kawasan agropolitan terbagi 3 yaitu : kota<br />

utama, Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) dan<br />

hinterland. Pada subsistem agribisnis hulu,<br />

infrastruktur yang dibutuhkan tersebar di<br />

daerah hinterland. Pada subsistem usaha<br />

tani, infrastruktur yang dibutuhkan tersebar<br />

di kota utama dan daerah hinterland, dengan<br />

proporsi lebih besar pada daerah hinterland.<br />

Pada subsistem pengolahan hasil, infrastruktur<br />

tersebar di seluruh kawasan mulai dari kota<br />

utama, DPP hingga daerah hinterland.<br />

Pada subsistem pemasaran hasil, sebaran<br />

infrastruktur berada di kota utama dan DPP<br />

dengan ditunjang pula oleh pelabuhan/<br />

bandara untuk pemasaran ke luar daerah. Dan<br />

yang terakhir, infrastruktur pada subsistem<br />

jasa penunjang tersebar di seluruh kawasan<br />

agropolitan dengan proporsi terbesar berada<br />

di daerah hinterland. Pemenuhan kebutuhan<br />

infrastruktur di daerah hinterland pada<br />

subsistem jasa penunjang ini antara lain<br />

mencerminkan ada atau tidaknya peningkatan<br />

kesejahteraan masyarakat dalam kawasan<br />

agropolitan tersebut.<br />

Atas: Agribisnis Kelapa Terpadu (AKT) skala kelompok tani Bawah: Klasifikasi kebutuhan infrastruktur secara<br />

spasial<br />

pajak penghasilan 15% (untuk kreditur<br />

dan debitur), dan laju inflasi 9%. Dengan<br />

asumsi tersebut, discount rate sebesar 10,5%<br />

digunakan dalam analisis cash flow untuk<br />

perhitungan NPV, IRR, PB-P, dan BEP. Jangka<br />

waktu proyek diasumsikan 5 tahun sehingga<br />

modal yang ada dinilai kembali nilai jualnya<br />

pada akhir tahun ke-5 dengan menggunakan<br />

metode diminishing balance sebesar 15% per<br />

tahun dan dimasukkan sebagai cash inflow<br />

akhir tahun ke-5.<br />

Infrastruktur Kawasan<br />

Pemenuhan Kebutuhan di Daerah<br />

Hinterland<br />

Kebutuhan infrastruktur dalam kawasan ini<br />

Model Pengembangan Infrastruktur<br />

Kawasan<br />

Analisis finansial model infrastruktur<br />

agropolitan berbasis komoditas unggulan<br />

kelapa, nilai investasi meliputi pembangunan<br />

infrastruktur pada lima subsistem agribisnis<br />

kawasan dan biaya pemeliharaannya sebesar<br />

2% pertahun, dimulai pada tahun pertama<br />

pemanfaatan infrastruktur. Nilai produk hasil<br />

olahan AKT VCO dan AKT kopra memiliki nilai<br />

tambah yang sangat menguntungkan serta<br />

biaya oportunitas dianggap konstan selama<br />

lima tahun pemanfaatan, mengakibatkan<br />

project balance menunjukan nilai positif pada<br />

tahun ketiga pemanfaatan.<br />

Hasil analisa finansial pembangunan<br />

infrastruktur kawasan agropolitan terhadap<br />

perkembangan agribisnis kelapa dengan<br />

modal sebesar Rp.512.685.544.000,- untuk<br />

pembangunan infrastruktur dinyatakan layak<br />

dilaksanakan dengan indikator NPV bernilai<br />

positif, IRR jauh di atas bunga pinjaman dan<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 13


LIPUTANKHUSUS<br />

PBP di tahun ke tiga, seperti yang terlihat pada<br />

tabel cash flow investasi.<br />

Faktor dan aktor penggerak kunci<br />

keberlanjutan serta kebijakan dan strategi.<br />

Untuk keberlanjutan pengembangan<br />

kawasan maka, faktor penggerak adalah<br />

menyediakan infrastruktur agribisnis kawasan<br />

untuk menunjang subsistem agribisnis hulu,<br />

usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran<br />

hasil serta jasa penunjang. Aktor penggerak<br />

adalah pemerintah sebagai leader, organisasi<br />

masyarakat sebagai partner pemerintah,<br />

akademisi sebagai pendamping, perbankan<br />

sebagai penopang permodalan petani, swasta<br />

sebagai partner petani. Arahan kebijakan<br />

adalah pembangunan infrastruktur agropolitan<br />

berbasis komoditas unggulan kelapa. Strategi<br />

yang perlu dilakukan adalah meningkatkan<br />

Infrastruktur penunjang agribisnis berbasis<br />

komoditas unggulan kelapa untuk<br />

memanfaatkan peluang ekspor, meningkatkan<br />

motivasi pengembangan produk turunan<br />

kelapa dan pengelolaan skala kelompok untuk<br />

peningkatan pendapatan dan penyerapan<br />

tenaga kerja, merevitalisasi kelembagaan dan<br />

manajemen pengelolaan agribisnis untuk<br />

menunjang pengembangan agroindustri<br />

tanpa limbah dan ramah lingkungan<br />

Kesimpulan<br />

Model pengembangan infrastruktur<br />

kawasan agropolitan berbasis komoditas<br />

unggulan kelapa berdasarkan hasil penelitian<br />

saya, membuktikan bahwa ini merupakan<br />

model pengembangan wilayah dari dan untuk<br />

masyarakat. Berorientasi pada komoditas<br />

setempat, karena perkebunan kelapa di Sulawesi<br />

Utara merupakan investasi terbesar milik rakyat,<br />

sehingga bila model diimplementasikan akan<br />

langsung menggerakan ekonomi kawasan<br />

yang berbasis masyarakat.<br />

Nilai transformasi dari pemanfaatan<br />

tradisional (kopra asap) ke pemanfaatan<br />

komersial (kopra putih) dan VCO dengan<br />

memanfaatkan teknologi sederhana dapat<br />

menciptakan lapangan kerja yang dikuasai<br />

oleh masyarakat pada kawasan (tepat guna &<br />

padat karya) dan menghasilkan nilai tambah<br />

yang nyata dan distribusi pendapatan<br />

antar pemilik input dan pekerja cukup baik<br />

dan bersifat sosial. Keunggulan kompetitif<br />

kawasan tercipta, berdampak pada tingkat<br />

kesejahteraan petani dan tenaga kerja off-farm,<br />

dan menjawab tantangan eco-eficiency tanpa<br />

limbah & ramah lingkungan.<br />

Model menggambarkan bahwa betapa<br />

Atas: Kompilasi Model Infrastruktur Kawasan Agropolitan Berbasis Komoditas Unggulan Kelapa<br />

Bawah: Cash Flow Investasi Kawasan<br />

pentingnya peranan wilayah perdesaan<br />

sebagai sentra produksi bahan baku serta<br />

lokasi agroindustri, akan berdampak<br />

pada wilayah perkotaan secara positif.<br />

Dengan terciptanya lapangan pekerjaan di<br />

perdesaan, peningkatan pendapatan petani,<br />

infrastruktur desa berkembang setara kota,<br />

dapat mengurangi migrasi masyarakat<br />

desa ke kota sehingga tercipta sinergitas<br />

hubungan antara desa-kota.<br />

*) Staf Dinas PU Propinsi Sulawesi Utara. (Tulisan<br />

merupakan ringkasan sebagian dari disertasi<br />

penulis pada Program Pasca Sarjana Pengelolaan<br />

Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB, dan<br />

bukan merupakan sebuah kebijakan).<br />

14 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Info Baru<br />

INFOBARU<br />

Konferensi Perubahan Iklim Ke-15<br />

COPENHAGEN 2009<br />

Indonesia<br />

Bicara!!<br />

Dian Harwitasari *)<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 15


Tahun 2009 yang baru saja berakhir telah<br />

ditutup dengan suatu konferensi yang hasilnya<br />

sangat bermanfaat bagi kelangsungan<br />

kehidupan dunia yaitu Konferensi Perubahan<br />

Iklim ke-15 Kopenhagen. Konferensi yang<br />

diselenggarakan di kota Kopenhagen,<br />

Denmark pada tanggal 7 – 19 Desember 2009<br />

ini merupakan tindak lanjut dari konferensi<br />

serupa di Bali, Indonesia yang diselenggarakan<br />

pada tahun 2007 yang lalu.<br />

Tugas utama konferensi Kopenhagen ini<br />

adalah membuat rencana rinci baru untuk<br />

menggantikan Protokol Tokyo yang berakhir<br />

pada tahun 2012. Konferensi ini dihadiri oleh<br />

194 negara di dunia termasuk Indonesia, yang<br />

kemudian dikelompokkan menjadi beberapa<br />

kelompok negara peserta seperti kelompok<br />

negara maju, negara berkembang, negara<br />

kepulauan kecil dan negara tertinggal.<br />

Indonesia sebagai bagian dari<br />

kelompok negara berkembang ikut serta<br />

mempresentasikan usulan-usulan yang<br />

berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi<br />

pemanasan global dan perubahan iklim. Poin<br />

usulan yang disampaikan oleh Indonesia antara<br />

lain, negara maju perlu untuk menentukan<br />

target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)<br />

secara ambisius untuk mendukung usaha<br />

seluruh dunia dengan menjaga suhu global<br />

tidak meningkat sampai dua derajat Celcius<br />

pada tahun 2050.<br />

Selain itu, negara maju perlu ikut andil<br />

dalam pembiayaan untuk penanganan<br />

dampak perubahan iklim yang dilakukan oleh<br />

negara berkembang dan negara tertinggal,<br />

penerapan pola pembangunan yang ramah<br />

lingkungan perlu dilakukan untuk mengurangi<br />

jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) dan<br />

perlu adanya MRV (Measurement, Reporting,<br />

Verifying/pengukuran, pelaporan dan verifikasi)<br />

dalam pelaksanaan komitmen penanganan<br />

perubahan iklim.<br />

Dan juga perlu adanya pengurangan<br />

emisi dari perusakan dan penggundulan<br />

hutan. Konsep Reducing Emission from Forest<br />

Degradation (REDD) yang kini telah tertuang<br />

dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P36/<br />

Menhut/II/2009 tentang tata cara penyerapan<br />

karbon dengan melakukan konservasi di<br />

bidang kehutanan ini pertama kali diusulkan<br />

dalam Konferensi Perubahan Iklim pada 2007<br />

di Bali.<br />

Dari beberapa usulan tersebut semua<br />

usulan diterima oleh para peserta konferensi<br />

dan bahkan poin usulan tentang REDD tertuang<br />

dalam dokumen Copenhagen Accord yang<br />

merupakan hasil kesepakatan dari Konferensi<br />

Kopenhagen.<br />

Copenhagen Accord atau Kesepakatan<br />

Kopenhagen dirumuskan oleh representasi<br />

semua kelompok negara untuk mencapai<br />

beberapa tujuan penting, yaitu:<br />

• Membatasi kenaikan suhu pemanasan<br />

global maksimum 2 derajat Celsius. Peran<br />

ini lebih difokuskan pada negara-negara<br />

berkembang, namun negara maju juga harus<br />

terus ikut berperan dalam penurunan emisi<br />

gas rumah kaca. Hal ini telah disepakati oleh<br />

negara maju untuk dilaksanakan dalam waktu<br />

jangka pendek hingga tahun 2020, namun<br />

tentu saja ini harus disesuaikan dengan<br />

kemampuan, keadaan dan kesediaan masingmasing<br />

negara.<br />

• Negara berkembang harus melakukan<br />

aksi pengurangan emisi gas rumah kaca<br />

secara nasional. Saat ini negara berkembang<br />

masih menghasilkan jumlah emisi gas rumah<br />

kaca yang jauh di bawah emisi gas di negara<br />

maju, namun diharapkan dapat membawa<br />

mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca<br />

pada dekade mendatang secara signifikan.<br />

Hasil dari Kesepakatan Kopenhagen ini akan<br />

ditindaklanjuti dengan aksi pengurangan<br />

emisi domestik yang akan dilakukan oleh<br />

negara berkembang dan pemberian bantuan<br />

dari negara maju kepada negara berkembang<br />

untuk mengimplementasi aksi tersebut.<br />

• Setiap negara harus meningkatkan<br />

dukungan teknologi dan finansial untuk aksi<br />

pengurangan dan adaptasi yang merupakan<br />

mesin untuk meningkatkan kerja sama<br />

internasional perubahan iklim. Dukungan<br />

teknologi dan sumber keuangan untuk<br />

melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim<br />

ini membutuhkan dana yang diperkirakan<br />

mencapai 250 milyar dolar AS per tahunnya<br />

pada tahun 2020. Untuk itu Kesepakatan<br />

Kopenhagen telah memperhitungkan<br />

kebutuhan tersebut dan menetapkan dana<br />

awal sebesar 10 miliar AS per tahun pada tahun<br />

<strong>2010</strong> – 2012 yang akan diberikan oleh negara<br />

maju kepada negara berkembang.<br />

• Negara berkembang dianjurkan untuk<br />

menyusun kerangka kerja institutional yang<br />

efektif bersama struktur pemerintahan untuk<br />

menghasilkan instrumen finansial yang kuat<br />

dan efektif untuk mengatur pengeluaran,<br />

pemasukan, laporan dan verifikasi keuangan.<br />

Kesepakatan Kopenhagen ingin menerapkan<br />

sistem atas dasar persamaan dan menghormati<br />

kebutuhan negara berkembang dan negara<br />

maju dan mendudukkan keduanya sebagai<br />

partner dalam membuat keputusan bersama<br />

dalam menangani perubahan iklim.<br />

Namun sebagian besar negara berkembang<br />

dan negara miskin menganggap hasil dari<br />

konferensi Kopenhagen ini terlalu memihak<br />

negara maju. Hal ini dikarenakan kesepakatan<br />

untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan<br />

global tidak diikuti dengan target yang spesifik<br />

dari negara-negara yang paling besar membuat<br />

gas emisi yang biasanya dilakukan oleh negaranegara<br />

maju.<br />

16 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


INFOBARU<br />

www.flickr.com<br />

Foto Kiri : Asap dari pabrik industri merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim dunia<br />

Foto Kanan : Suasana penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim Ke-15 di Copenhagen, Denmark<br />

www.flickr.com<br />

Kesepakatan ‘Copenhagen Accord’<br />

menetapkan komitmen untuk membatasi<br />

pemanasan global menjadi dua derajat Celcius,<br />

namun tidak menyebutkan target emisi global<br />

yang harus dicapai untuk tahun 2020 atau tahun<br />

2050. Selain itu poin kesepakatan mengenai<br />

rencana bantuan bagi negara-negara miskin<br />

dalam upaya mengatasi masalah pemanasan<br />

global.<br />

Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa<br />

negara-negara berkembang dan negara<br />

miskin akan diberi bantuan sebesar 30 milyar<br />

dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke<br />

depan untuk membiayai program-program<br />

penanggulangan pemanasan global. Setelah<br />

tiga tahun, bantuan akan ditingkatkan sebesar<br />

100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.<br />

Namun jumlah bantuan tersebut masih<br />

dinilai kecil, bila dibandingkan dengan<br />

anggaran belanja militer Negara Amerika<br />

Serikat, sehingga dianggap Amerika Serikat<br />

masih setengah hati untuk berkomitmen dalam<br />

menangani masalah pemanasan global ini.<br />

Kesepakatan Kopenhagen merupakan<br />

komitmen yang bisa segera dioperasionalkan<br />

oleh para penandatangan, meskipun sifatnya<br />

tidak mengikat secara hukum. Kesepakatan<br />

Kopenhagen ini nantinya juga akan menjadi<br />

kerangka politik untuk merumuskan dan<br />

menghasilkan kesepakatan hukum yang<br />

direncanakan akan dicapai paling lambat pada<br />

akhir tahun <strong>2010</strong> pada konferensi di Meksiko.<br />

Indonesia sebagai salah satu negara<br />

penandatangan Kesepakatan Kopenhagen harus menyiapkan langkah konkrit dari hasil<br />

Kesepakatan Kopenhagen. Langkah konkrit yang akan dijabarkan dalam kebijakan, program dan<br />

kegiatan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja namun juga merupakan<br />

tanggungjawab pemerintah daerah, swasta dan masyarakat.<br />

Beberapa rencana yang akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti hasil<br />

Kesepakatan Kopenhagen antara lain adalah :<br />

- Membuat rencana aksi nasional penanganan perubahan iklim. Rencana aksi nasional ini<br />

hendaknya dijadikan pedoman dalam melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di<br />

Indonesia. Untuk mitigasi terhadap perubahan iklim ini, pemerintah Indonesia sedang me<br />

nyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) penurunan emisi sebanyak 26% yang ditargetkan<br />

akan selesai pada bulan Maret <strong>2010</strong>.<br />

- Rencana aksi di tingkat nasional haruslah diikuti dengan rencana aksi di tingkat daerah<br />

yang perlu ditunjang oleh komitmen para pemimpin daerah (gubernur dan walikota/bu<br />

pati) dalam penanganan perubahan iklim.<br />

- Penyusunan kebijakan yang jelas dan implementatif untuk mengurangi emisi gas rumah<br />

kaca terutama dari sektor kehutanan yang melibatkan pemerintah daerah, swasta dan<br />

masyarakat. Sektor swasta yang terutama bergerak dalam bidang kehutanan harus dapat<br />

menghentikan kegiatan pembakaran dan penebangan hutan. Sedangkan pelibatan ma<br />

syarakat perlu dilakukan agar dapat menghentikan kebiasaan ladang berpindah yang<br />

dapat mengancam keberlanjutan hutan.<br />

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan<br />

iklim ini merupakan langkah positif yang perlu terus dilakukan untuk melindungi masyarakat<br />

dan lingkungan dari efek buruk perubahan iklim. Rencana aksi nasional maupun daerah yang<br />

implementatif yang didukung oleh komitmen semua pihak baik pemerintah, swasta maupun<br />

masyarakat diharapkan dapat mengurangi resiko Indonesia dalam menghadapi masalah<br />

perubahan iklim.<br />

*) Staf Subdit Kawasan Metropolitan, Direktorat Pengembangan Permukiman.<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 17


Info Baru<br />

MEMANFAATKAN TV<br />

UNTUK SOSIALISASI<br />

JUKNIS<br />

BIDANG<br />

<strong>CIPTA</strong> <strong>KARYA</strong><br />

Nurdien Adji *)<br />

Televisi, saat ini merupakan salah satu<br />

media yang paling berpengaruh terhadap<br />

masyarakat. Dengan melihat statistik, 65%<br />

keluarga Indonesia memiliki televisi, yang<br />

berarti, jika rata-rata keluarga Indonesia<br />

memiliki 4 anggota keluarga, maka jumlah<br />

penonton televisi di Indonesia mencapai 143<br />

juta orang.<br />

Menurut hasil survey AGB Nielsen Media<br />

Research yang dilakukan pada Oktober 2008,<br />

rata-rata masyarakat Jakarta, menonton televisi<br />

2 jam 36 menit per harinya (http://bataviase.<br />

co.id/detailberita-10289360.html). Sumber lain<br />

menyebutkan rata-rata masyarakat Indonesia<br />

menghabiskan 2 jam 29 menit per harinya<br />

di depan televisi, dan merupakan peringkat<br />

ke-5 negara dengan penduduk paling lama<br />

menonton televisi.<br />

Dampak negatif dari televisi sudah banyak<br />

diulas dalam banyak tempat, terutama<br />

berkaitan dengan tumbuh kembang mental<br />

anak-anak dan menurunnya minat dan<br />

kemampuan membaca. Selain itu, buruknya<br />

18 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


INFOBARU<br />

Suasana syuting program pariwara untuk publikasi melalui media TV di ruangan Dirjen <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

kualitas acara-acara di televisi di Indonesia<br />

juga sudah banyak ditulis, dan sering dituding<br />

sebagai perusak mental masyarakat.<br />

Di luar segala dampak negatifnya, baik<br />

yang berkaitan dengan kualitas acara maupun<br />

kegemaran menonton televisi itu sendiri,<br />

televisi tetaplah hanya sebuah alat (tools) yang<br />

jika dipergunakan dengan bijaksana akan dapat<br />

mendatangkan kebaikan bagi masyarakat.<br />

Televisi, sebagai sebuah hiburan murah<br />

banyak dimanfaatkan masyarakat untuk<br />

menghabiskan waktu sehari-hari. Dengan<br />

karakternya yang berupa visual, lebih<br />

menarik dan lebih mudah dicerna masyarakat<br />

dibandingkan dengan media tekstual. Apalagi<br />

televisi di Indonesia yang tidak berbasis area,<br />

sehingga jangkauannya dapat mencakup<br />

seluruh wilayah Republik Indonesia. TVRI<br />

dengan 27 stasiun daerah dan 376 stasiun<br />

transmitter bahkan disebut-sebut dapat<br />

menjangkau 82% penduduk Indonesia.<br />

Dengan melihat sifat-sifat televisi tersebut,<br />

Kementerian Pekerjaan Umum, dalam hal<br />

ini Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> dapat<br />

memanfaatkan media televisi sebagai salah<br />

satu alat untuk meningkatkan pembangunan<br />

infrastruktur permukiman di masyarakat.<br />

Kementerian Pekerjaan Umum sudah sering<br />

memanfaatkan televisi dengan membuat<br />

acara di televisi, misalnya: GarPU (Garapan<br />

PU), Jalan-Jalan, dan beberapa talkshow<br />

para pejabat Kementerian Pekerjaan Umum.<br />

Acara-acara televisi ini lebih bersifat sosialisasi<br />

kebijakan dan peraturan serta sosialisasi hasilhasil<br />

pembangunan. Sebagai bagian dari<br />

kehumasan, sosialisasi kebijakan dan hasilhasil<br />

pembangunan memang diperlukan oleh<br />

Kementerian Pekerjaan Umum.<br />

Sayangnya pemanfaatan media televisi<br />

oleh Kementerian Pekerjaan Umum masih<br />

dalam sebatas untuk tujuan kehumasan<br />

tersebut. Ada manfaat lain yang bisa diperoleh<br />

dari televisi, yang bisa dipergunakan oleh<br />

Kementerian Pekerjaan Umum untuk<br />

membantu meningkatkan pembangunan<br />

infrastruktur permukiman.<br />

Tugas dan fungsi Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> untuk mensosialisasikan peraturan<br />

terkait infrastruktur permukiman hingga dalam<br />

bentuk manual atau petunjuk teknis yang detail<br />

belum dilaksanakan melalui media televisi.<br />

Sosialisasi manual dan petunjuk teknis<br />

infrastruktur permukiman sudah dilaksanakan<br />

dalam bentuk pelatihan dan pembagian buku,<br />

yang umumnya hanya sampai pada tingkat<br />

kabupaten. Sementara, pihak pemerintah<br />

daerah tidak memiliki dana dan sumberdaya<br />

lain untuk melaksanakan sosialisasi hingga<br />

tingkat masyarakat akar rumput.<br />

Hal ini terbukti pada saat gempa di Jawa<br />

Barat dan Sumatera Barat. Dengan melihat<br />

besarnya jumlah kerusakan rumah konstruksi<br />

dinding bata, dapat disimpulkan bahwa<br />

pengetahuan masyarakat akan konstruksi<br />

sangat lemah.<br />

Rendahnya pengetahuan masyarakat akan<br />

konstruksi dan infrastruktur permukiman,<br />

ditambah dengan lemahnya pengawasan<br />

pelaksanaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)<br />

oleh pemerintah daerah, menghasilkan<br />

permukiman kumuh potensi kerusakan yang<br />

besar akibat bencana alam.<br />

Jika Kementerian Pekerjaan Umum berniat<br />

untuk mensosialisasikan peraturan dalam<br />

bentuk konvensional, misalnya dalam bentuk<br />

buku, hingga ke tingkat desa, dibutuhkan<br />

lebih dari 50.000 eksemplar buku setiap 1 jenis<br />

sosialisasi. Tentu saja akan membutuhkan biaya<br />

sangat besar.<br />

Dengan memanfaatkan media televisi<br />

sebagai alat untuk menyebarkan pengetahuan<br />

konstruksi dan infrastruktur permukiman,<br />

sosialisasi akan lebih efektif karena dapat<br />

menjangkau hampir seluruh lapisan<br />

masyarakat.<br />

Diperlukan program acara televisi yang<br />

menjelaskan pengetahuan dasar infrastruktur<br />

permukiman, sehingga masyarakat bisa belajar<br />

tentang bagaimana sebuah permukiman<br />

itu sebaiknya. Dengan adanya programprogram<br />

penanggulangan kemiskinan yang<br />

dilaksanakan dengan model pemberdayaan<br />

masyarakat, di mana masyarakat lah yang<br />

merencanakan dan membangun sendiri<br />

infrastruktur permukiman yang mereka<br />

butuhkan, pengetahuan dasar konstruksi<br />

menjadi semakin penting. Program<br />

televisi semacam ini akan mendukung<br />

keberhasilan pelaksanaan program-<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 19


program penanggulangan kemiskinan yang<br />

menggunakan model pemberdayaan.<br />

Program televisi ini seharusnya detail dan<br />

menggambarkan langkah demi langkah cara<br />

pembangunan infrastruktur, baik yang teknis<br />

maupun non teknis, tapi tetap dengan bahasa<br />

yang sederhana agar mudah dipahami. Lebih<br />

baik lagi jika menggunakan contoh nyata dan<br />

digambarkan secara visual, sehingga lebih<br />

mudah ditangkap masyarakat.<br />

Untuk lebih menarik minat masyarakat<br />

untuk menonton, program televisi ini bisa<br />

dibuat menjadi cerita, walaupun ditangan<br />

sutradara dan penulis skenario yang bagus,<br />

acara dokumenter atau semi dokumenter pun<br />

Foto Atas: Menyaksikan program acara PAMSIMAS<br />

melalui televisi<br />

Foto Bawah: Menyaksikan bersama hasil syuting<br />

salah satu program pariwara di ruangan Dirjen<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

bisa dibuat menarik.<br />

Sebagai contoh, mungkin bisa digambarkan<br />

proses pembangunan sebuah rumah tingal.<br />

Kenapa dipilih rumah tinggal Karena dalam<br />

membangun rumah tinggal hampir semua<br />

sektor keciptakaryaan terlibat.<br />

Pada episode pertama, bisa digambarkan<br />

bagaimana seseorang yang hendak<br />

membangun rumah tinggal. Mulai dari<br />

pencarian lokasi pembangunan sampai<br />

pembelian tanah. Dalam memilih lokasi<br />

tempat tinggal, bisa diceritakan mengenai<br />

peraturan terat penataan ruang, seperti: zona<br />

permukiman, zona hijau, sempadan sungai,<br />

sempadan jalan, dan lain sebagainya. Bisa<br />

juga dilaksanakan kerja sama dengan Badan<br />

Pertanahan Nasional terkait status legal tanah,<br />

karena dalam beberapa hal, status hukum<br />

tanah sering berkaitan dengan kekumuhan,<br />

karena kondisi tanpa hak legal atas tanah<br />

disebut sebagai salah satu sebab kemiskinan,<br />

dan akhirnya menyebabkan permukiman<br />

kumuh juga.<br />

Episode berikutnya bisa digambarkan<br />

bagaimana orang tadi merencanakan rumah<br />

tersebut, menghitung kebutuhan ruang,<br />

kebutuhan ventilasi, kebutuhan air bersih,<br />

dan lain sebagainya. Pada momen ini, bisa<br />

dijelaskan mengenai peraturan-peraturan<br />

bangunan setempat, seperti garis sempadan<br />

bangunan, koefisien dasar bangunan, koefisien<br />

luas bangunan, batas ketinggian maksimal,<br />

Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lainnya,<br />

serta bagaimana cara mengakses peraturanperaturan<br />

tersebut.<br />

Pada episode tahap konstruksi, bisa<br />

diceritakan bagaimana konstruksi beton<br />

bertulang itu seharusnya, konstruksi tahan<br />

gempa dan pembagian zona gempa, konstruksi<br />

pondasi untuk 1 lantai dan bertingkat, tahapantahapan<br />

konstruksi dan hal-hal yang berkaitan.<br />

Selanjutnya adalah penjelasan mengenai<br />

pembuatan septic tank yang baik, pembuatan<br />

sumur, persyaratan jarak antara sumur dengan<br />

septic tank, pembuatan drainase, jaringan pipa<br />

air bersih, sumur resapan, dan lain sebagainya.<br />

Jika seluruh tahapan pembangunan rumah<br />

sudah dijelaskan dengan detail, episode bisa<br />

dilanjutkan dengan pembangunan rumah<br />

dengan material selain tembok bata, seperti<br />

kayu atau bambu. Sesudah itu, bisa diperluas<br />

untuk pembuatan infrastruktur permukiman<br />

dalam skala yang lebih luas, misalnya jalan<br />

desa, jembatan, saluran drainase, tambatan<br />

perahu, TPS, instalasi pengolahan air minum,<br />

pengolah kompos dan lain sebagainya.<br />

Dengan adanya program tersebut,<br />

masyarakat dapat memiliki pengetahuan<br />

dasar konstruksi dan memahami bahaya<br />

dari konstruksi yang tidak sesuai dengan<br />

persyaratan, sehingga masyarakat memiliki<br />

kemauan untk meningkatkan kualitas<br />

konstruksi rumah tinggal maupun infrastruktur<br />

permukiman di lingkungan tempat tinggalnya.<br />

Dengan mempertimbangkan luas<br />

jangkauan, TVRI menjadi stasiun televisi ideal<br />

sebagai tempat menyiarkan program televisi<br />

ini. Namun, dengan mempertimbangkan<br />

rendahnya rating TVRI, terutama pada daerah<br />

di mana siaran dari stasiun televisi swasta<br />

sudah bisa ditangkap, televisi swasta bisa<br />

menjadi pelengkap, sehingga program televisi<br />

ini bisa menjangkau kepada seluas mungkin<br />

masyarakat.<br />

*) Staf Subdit Evaluasi Kinerja, Direktorat Bina<br />

Program.<br />

20 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Info Baru<br />

INFOBARU<br />

Jembatan PPIP Desa Kedung Gempol, Kec. Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur<br />

Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) 2005-2008<br />

Melampaui Target Kinerja<br />

Panani Kesai *)<br />

Sumber daya alam yang berlimpah dan<br />

posisi geografis yang strategis merupakan<br />

salah satu modal utama pembangunan untuk<br />

mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.<br />

Akan tetapi, hingga saat ini potensi Sumber<br />

Daya Alam yang besar itu belum berhasil<br />

secara nyata meningkatkan kesejahteraan dan<br />

kemakmuran bersama.<br />

Saat ini 38,6 juta penduduk Indonesia<br />

adalah penduduk miskin, sekitar 65% dari<br />

penduduk miskin tersebut bermukim di<br />

perdesaan (sumber BPS: 2008). Salah satu<br />

penyebab kemiskinan di daerah perdesaan<br />

adalah rendahnya akses terhadap pelayanan<br />

prasarana dasar, antara lain jalan dan jembatan,<br />

air minum, irigasi dan sebagainya.<br />

Rendahnya penanganan pembangunan<br />

infrastruktur dalam mendukung peningkatan<br />

akses pelayanan dasar prasarana perdesaaan<br />

telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> sejak tahun 2005. Program ini<br />

dititikberatkan pada desa-desa terpencil dan<br />

terisolasi di wilayah kabupaten tertinggal dan<br />

memiliki tingkat pelayanan prasarana yang<br />

rendah, yang sejalan dengan PNPM Mandiri,<br />

program ditekankan untuk mendukung<br />

pengentasan kemiskinan perdesaan.<br />

Program Pembangunan Infrastruktur<br />

Perdesaan (PPIP) dari tahun anggaran 2005<br />

sampai tahun anggaran 2008 ternyata telah<br />

melampaui target kinerja, hal ini terlihat dari<br />

jumlah desa yang mengalami perbaikan akses<br />

yang cukup signifikan, sampai dengan desa<br />

yang menerima kemudahan dalam memenuhi<br />

kebutuhan air miinum. Dilihat dari kemampuan<br />

masyarakat berorganisasi, dari seluruh desa<br />

telah mampu mengelola program secara<br />

swadaya, yang dapat dilihat dari terkelolanya<br />

Organisasi Masyarakat Setempat (OMS) pada<br />

semua desa sasaran yang secara nyata juga<br />

telah mendorong pembentukan KPP sebagai<br />

organisasi yang mengelola dan memelihara<br />

prasarana terbangun. Hal ini merupakan wujud<br />

dari pendekatan pemberdayaan masyarakat<br />

dan peningkatan peran stakeholder serta<br />

pemerintah daerah dilaksanakan untuk<br />

mendorong kemandirian dan sinergi berbagai<br />

pihak dalam menanggulangi permasalahan<br />

kemiskinan di perdesaan dan sebagai upaya<br />

keberlanjutan program.<br />

Di samping itu, manfaat terhadap PPIP<br />

2005-2008 sudah dirasakan secara luas oleh<br />

masyarakat, seperti akses yang lebih mudah<br />

ke pusat kegiatan perekonomian. Program ini<br />

juga telah meningkatkan akses terhadap irigasi,<br />

dan bermanfaat pula dalam meningkatkan<br />

produksi pertanian. Lebih jauh lagi, program<br />

ini telah mempermudah perolehan air minum,<br />

dan meningkatkan akses terhadap prasarana<br />

sanitasi. Tidak mengherankan lebih dari 50<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 21


persen pemanfaat menyatakan kepuasannya.<br />

Setelah memperoleh hasil dan manfaat<br />

infrastruktur terbangun yang nyata, tampaknya<br />

di masa depan pertanyaan lebih penting<br />

diarahkan kepada upaya keberlanjutan<br />

program. Hal ini mencakup keberlanjutan<br />

manfaat dan dampak yang telah terbentuk.<br />

Manfaat dan Dampak<br />

Dari pelaksanaan Program PPIP 2005-2008,<br />

sebagian besar pemanfaat menilai kualitas<br />

hasil PPIP 2005-2008 pada taraf tinggi (48%<br />

pemanfaat) dan sedang (47% pemanfaat).<br />

Pembangunan jalan telah meningkatkan<br />

kualitas jalan tanah (di sekitar tempat tinggal<br />

76,32% pemanfaat) menjadi jalan sirtu<br />

(26,74%), jalan aspal (16,99%), jalan macadam<br />

(6,69%), dan jalan rabat beton (6,13%). Adapun<br />

kualitas jalan sirtu (17,55%) naik terutama<br />

menjadi jalan aspal (naik 7,52%).<br />

Pembangunan jembatan/gorong-gorong<br />

telah mengurangi wilayah yang semula tidak<br />

memiliki prasarana tersebut (turun dari 50,70%<br />

tempat tinggal pemanfaat menjadi 39,48%).<br />

Sebagian besar jembatan kayu yang semula<br />

ada di 32,31% tempat tinggal pemanfaat telah<br />

dibangun menjadi jembatan beton (18,38%)<br />

dan jembatan besi (4,18%). Adapun sebanyak<br />

8,08% jembatan kayu tersebut diperbaiki<br />

kembali.<br />

Akses transportasi meningkat, sebagaimana<br />

ditunjukkan oleh penurunan lama waktu<br />

menuju pasar hingga 58%, dari rata-rata 48<br />

menit menjadi 20 menit. Tidak mengherankan<br />

sebanyak 79% pemanfaat menyatakan<br />

kepuasan atas infrastruktur transportasi.<br />

Prasarana transportasi juga telah<br />

meningkatkan volume produk panen yang<br />

dijual di pasar hingga 42%, dari semula rata-rata<br />

19 kuintal menjadi 27 kuintal. Jumlah modal<br />

rata-rata per bulan untuk berjualan di pasar<br />

meningkat 16%, dari Rp 352.000,00 menjadi<br />

Rp 408.000,00. Adapun jumlah pengeluaran<br />

rata-rata per bulan untuk membeli barang di<br />

pasar meningkat lebih tinggi, sebesar 22%, dari<br />

Rp 261.000 menjadi Rp 319.000,00. Sebanyak<br />

79% pemanfaat menyatakan puas terhadap<br />

peningkatan akses pemasaran tersebut.<br />

Pembangunan irigasi diarahkan terutama<br />

untuk memperbaiki kembali saluran<br />

pembawa, sebagaimana dirasakan oleh<br />

15,08% pemanfaat. Pembangunan irigasi telah<br />

meningkatkan penjualan hasil panen sebesar<br />

33%, dari semula rata-rata 42,8 kg menjadi 57,1<br />

kg. Penerimaan yang diperoleh semasa panen<br />

meningkat 135%, dari semula rata-rata Rp<br />

285.710,00 menjadi Rp 680.336,00.<br />

Pembangunan infrastruktur MCK telah<br />

mengurangi ketiadaan fasilitas yang dirasakan<br />

pemanfaat (dari semula 31,19% menjadi<br />

24.23%). Akses terhadap infrastruktur MCK<br />

ditunjukkan oleh meningkatnya fasilitas MCK<br />

milik sendiri (dari 38,71% menjadi 48,46%).<br />

PPIP 2005-2009 telah mengadakan fasilitas<br />

baru untuk penyediaan air bersih. Pemanfaat<br />

yang semula tidak memiliki fasilitas tersebut<br />

menurun dari 33,82% menjadi hanya 8,45%.<br />

Sebagian fasilitas tersebut berupa penampung<br />

air hujan (dirasakan 12,68% pemanfaat).<br />

Jenis fasilitas baru yang dirasakan pemanfaat<br />

meliputi perpipaan (dari semula dirasakan<br />

28,45% menjadi 37,46% pemanfaat).<br />

Masyarakat merasakan peningkatan<br />

akses air bersih. Konsumsi air telah meningkat<br />

hingga 43%, dari semula mengonsumsi 99 liter<br />

menjadi 142 liter per rumahtangga per hari.<br />

Tidak mengherankan sebanyak 74% pemanfaat<br />

menyatakan kepuasannya.<br />

Kapasitas Masyarakat<br />

PPIP 2005-2008 dilaksanakan ketika<br />

masyarakat telah berpengalaman dalam<br />

mengelola program-program partisipatif.<br />

Jika dimulai dari Program IDT (Inpres Desa<br />

Tertinggal) pada tahun 1993, maka usia<br />

program-program partisipatif dari pemerintah<br />

telah mencapai 12-15 tahun. Pengalaman<br />

program-program tersebut turut meningkatkan<br />

kapasitas masyarakat.<br />

Dari aspek pemberdayaan masyarakat,<br />

sebagai pendekatan dalam pelaksanaan<br />

program PPIP 2005-2008. Pada pelaksanaan<br />

program, mampu diserap tenaga kerja lokal<br />

yang mampu menyerap hampir 150.000 orang<br />

(16 persen penduduk dewasa di desa terserap<br />

sebagai tenaga kerja lokal). Secara keseluruhan<br />

PPIP 2005-2008 mampu menyumbang<br />

peningkatan ketrampilan dalam pembangunan<br />

infrastruktur bagi sekitar 1 juta orang (37%<br />

pemanfaat). Disamping itu, masyarakat telah<br />

diberdayakan untuk berorganisasi dan mampu<br />

mengelola program pada sekitar 7230 desa .<br />

Melalui pelaksanaan PPIP 2005-2008,<br />

masyarakat mampu meningkatkan kapasitas<br />

mereka dalam menjalin kerjasama dengan<br />

instansi pemerintah (28% pemanfaat).<br />

Peningkatan kapasitas ini dinilai sangat penting<br />

untuk menjaga kelangsungan program<br />

22 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


INFOBARU<br />

desa (mencapai hingga 71,33%). Pengelola<br />

program juga merasakan peningkatan interaksi<br />

dengan aparat pemerintahn pusat (45,58%)<br />

dan misi donor internasional (18,30%).<br />

pembangunan perdesaan.<br />

Manfaat program ditinjau dari tujuan<br />

dalam mendukung pengentasan kemiskinan,<br />

program ini telah mengentaskan 19,66%<br />

penduduk miskin di perdesaan. Dalam<br />

kehidupan sehari-hari di perdesaan, program<br />

ini juga telah meningkatkan status sosial atau<br />

gengsi dari 84,96% penduduk.<br />

Kapasitas Pemda<br />

Pemda sendiri memperoleh imbas dari<br />

PPIP 2005-2008. Program ini mempengaruhi<br />

peningkatan frekuensi koordinasi internal<br />

dinas (hingga 62,78%), peningkatan koordinasi<br />

dengan instansi lain (hingga 60,85%), dan yang<br />

lebih penting adalah meningkatkan kesediaan<br />

aparat Pemda untuk berinteraksi dengan warga<br />

Tantangan Masa Depan<br />

Realisasi pemanfaat PPIP 2005-2008 ternyata<br />

jauh lebih besar daripada rencana semula,<br />

sebagaimana diamati oleh 83% pemanfaat. Di<br />

masa depan tantangan keberlanjutan program<br />

terletak pada kemampuannya untuk mengajak<br />

pemanfaat dalam merawat dan meningkatkan<br />

infrastruktur terbangun, serta peningkatan<br />

peran Pemda dalam penyelenggaraan PPIP.<br />

Peluang sharing pembiayaan oleh pemda<br />

baru diyakini oleh 35% pengelola program.<br />

Sebanyak 47% pemanfaat memandang bahwa<br />

tanpa perawatan maka fungsi infrastruktur<br />

terbangun menurun.<br />

Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa<br />

sebagian besar pemanfaat dan pengelola<br />

program memandang PPIP sebagai program<br />

pemberdayaan yang berkonsekuensi untuk<br />

meningkatkan rasa memiliki atas infrastruktur<br />

terbangun. Konsekuensi tersebut tercapai<br />

melalui proses partisipatif dalam perencanaan<br />

dan pelaksanaan konstruksi. Oleh karena itu,<br />

masih diperlukan kerjasama dan kordinasi<br />

dalam meningkatkan efektivitas program<br />

sehingga mampu mewujudkan Indonesia yang<br />

lebih sejahtera.<br />

*) Kasubdit Program dan Anggaran, Direktorat<br />

Bina Program<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 23


Inovasi<br />

Konversi sampah makanan menjadi<br />

kompos, sudah merupakan hal yang biasa. Akan<br />

tetapi, nilai jual industri dari produk kompos itu<br />

sendiri sangat rendah, hanya mencapai Rp 400<br />

– Rp 500 / kilogram kompos.<br />

Dengan harga jual dan daya beli masyarakat<br />

yang begitu rendah, seringkali aplikasi program<br />

pengomposan sampah tidak dapat mencapai<br />

nilai ke-ekonomisannya.<br />

Oleh karenanya, diperlukan suatu<br />

terobosan baru untuk mengalihkan produk<br />

turunan sampah makanan menjadi produk<br />

selain kompos, yang memiliki nilai jual industri<br />

lebih tinggi.<br />

Tingginya kadar karbohidrat dalam<br />

sampah makanan di Indonesia, menyiratkan<br />

adanya potensi produksi senyawa lain yang<br />

sangat bermanfaat, yaitu produk industri<br />

kimia berupa energi terbarukan dari proses<br />

fermentasi, seperti senyawa etanol (C2H5OH).<br />

Dengan harga jual mencapai Rp 12.500 –<br />

15.000 / kilogram etanol, maka konversi<br />

sampah makanan ke etanol dirasakan lebih<br />

menguntungkan secara finansial ketimbang<br />

konversi ke kompos.<br />

Selain mampu memberikan penyelesaian<br />

sampah makanan di Indonesia yang<br />

komposisinya mencapai 55% - 58 % dari<br />

timbunan sampah, industri etanol dari<br />

sampah makanan ini juga mampu membuka<br />

peluang produksi bahan bakar atau energi<br />

terbarukan, mengurangi emisi gas rumah kaca,<br />

berpeluang untuk mendapatkan pendanaan<br />

Carbon Development Mechanism (CDM),<br />

serta juga memiliki nilai jual politis yang<br />

lebih menguntungkan di dunia internasional<br />

24 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


INOVASI<br />

Salah satu makanan yang dijajakan di restoran. Sumber sampah makanan yang paling ideal untuk dijadikan<br />

bahan baku fermentasi etanol adalah sampah makanan dari restoran<br />

www.flickr.com<br />

Peluang <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Sebagai Pelopor<br />

Pengembangan Energi<br />

dari Sampah Makanan<br />

Sandhi Eko Bramono *)<br />

bagi pengembangan sumber daya energi<br />

terbarukan di Indonesia. Dan kesemuanya ini<br />

bisa dipelopori oleh departemen kita tercinta,<br />

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) khususnya<br />

Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>.<br />

Mengapa Etanol <br />

Senyawa kaya energi yang umumnya<br />

digunakan untuk konversi sampah makanan<br />

adalah gas metana (CH4) melalui proses<br />

pengolahan anaerobik. Meskipun metana<br />

memiliki nilai kalor yang lebih tinggi ketimbang<br />

etanol, yaitu 50,00 Megajoule / kilogram<br />

berbanding 28,85 Megajoule / kilogram,<br />

namun metana berbentuk gas, dimana massa<br />

jenisnya yang kecil menjadikannya sebagai<br />

senyawa dengan kerapatan energi yang kecil<br />

ketimbang etanol.<br />

Selain itu, jika diaplikasikan sebagai bahan<br />

bakar aditif untuk sistem transportasi di<br />

Indonesia yang umumnya masih menggunakan<br />

bahan bakar cair ketimbang bahan bakar gas,<br />

maka etanol dirasakan lebih sesuai ketimbang<br />

metana.<br />

Bahkan, jika ditinjau dari segi proses<br />

pengolahan, bila metana tidak dapat terekstraksi<br />

dengan baik dalam proses pengolahannya dan<br />

terlepas ke atmosfer, maka metana justru akan<br />

menjadi penyebab gas rumah kaca.<br />

Karena bersumber dari sampah, maka<br />

secara tinjauan psikologi dan kesehatan, tidak<br />

akan ada konsumen yang mau membeli etanol<br />

berbahan dasar sampah ini untuk keperluan<br />

industri minuman (minuman beralkohol) dan<br />

industri farmasi.<br />

Oleh karenanya, dibutuhkan kerjasama<br />

dengan industri lain yang siap membeli etanol<br />

yang diproduksi dari sampah makanan ini.<br />

Selain dapat digunakan sebagai bahan bakar<br />

alternatif, etanol juga sangat bermanfaat<br />

sebagai bahan kimia dasar untuk berbagai<br />

industri produk senyawa organik.<br />

Sumber sampah makanan<br />

Meskipun industri etanol bukanlah hal<br />

yang baru dalam dunia teknologi industri<br />

kimia, namun aplikasinya yang bersumber dari<br />

sampah makanan masih dirasakan tertinggal<br />

dan belum tergarap sepenuhnya. Sumber<br />

sampah makanan yang paling ideal untuk<br />

dijadikan bahan baku fermentasi etanol adalah<br />

sampah makanan dari restoran.<br />

Hal ini ditunjang dari segi kemudahan<br />

untuk melakukan proses pengumpulan<br />

sampah ketimbang yang berasal dari rumah<br />

tangga, karena sampah restoran umumnya<br />

sudah dipilah oleh pemilik restoran dan waktu<br />

pembuangan sampahnya yang lebih teratur.<br />

Sampah selain sisa makanan, seperti sampah<br />

kertas, sampah plastik, serta sampah kaleng<br />

yang umumnya dijumpai di industri makanan<br />

atau restoran, tidak ikut disertakan di sini, karena<br />

sampah – sampah tersebut tidak memiliki<br />

karakteristik yang sama dengan sampah<br />

makanan dan membutuhkan pengolahan yang<br />

lebih sulit untuk dijadikan etanol.<br />

Selain itu, sampah makanan restoran<br />

umumnya sudah dipotong – potong karena<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 25


www.flickr.com<br />

Foto Kiri Atas & Bawah: Beberapa contoh sampah makanan<br />

Foto Kanan: Tata letak instalasi produksi bioethanol<br />

merupakan sisa dari proses memasak, sehingga<br />

akan sangat menguntungkan dalam kinerja<br />

proses fermentasi yang akan dilakukan.<br />

Timbulan sampah makanan pada restoran<br />

di Indonesia umumnya berkisar antara 1,1 –<br />

1,5 kilogram sampah makanan / m2 restoran /<br />

hari, yang umumnya didominasi oleh bahan –<br />

bahan karbohidrat. Angka ini dapat digunakan<br />

untuk menghitung potensi timbulan sampah<br />

makanan di restoran dari suatu kompleks<br />

restoran misalnya, sehingga jumlah sampah<br />

yang akan dikumpulkan dan diangkut setiap<br />

harinya dapat dihitung.<br />

Proses fermentasi<br />

Sampah makanan dicacah hingga<br />

berukuran 1 - 2 cm, lalu dimasukkan ke dalam<br />

reaktor yang berisi air hingga kandungan<br />

26 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


INOVASI<br />

air dalam reaktor secara total mencapai<br />

60 %. Untuk meningkatkan kinerja proses,<br />

umumnya diberikan penambahan enzim<br />

amilase untuk menyederhanakan karbohidrat<br />

pada sampah makanan menjadi gula<br />

sederhana (monosakarida), sebelum akhirnya<br />

difermentasikan dengan penambahan<br />

ragi, yang umumnya menggunakan ragi<br />

Saccharomyces cerevisiae.<br />

Proses fermentasi dilakukan dengan<br />

pembiakan ragi dalam kondisi terpapar dengan<br />

oksigen atau kondisi aerobik. Dalam fase yang<br />

biasa disebut sebagai tahap fermentasi primer<br />

ini, perbanyakan sel ragi mencapai 100 – 200<br />

kali dari jumlah sel awalnya, hanya dalam<br />

waktu 4 – 7 hari.<br />

Etanol juga mulai diproduksi dalam tahap<br />

ini, meskipun sebagian besar energi yang<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 27


INOVASI<br />

ada dalam proses, akan digunakan untuk<br />

perbanyakan sel ragi itu sendiri. Setelah itu<br />

reaktor ditutup untuk dilanjutkan pada tahap<br />

fermentasi sekunder dalam kondisi ketiadaan<br />

oksigen atau seringkali dikenal sebagai proses<br />

anaerobik.<br />

Pada tahap ini, ragi akan mengkonversi<br />

seluruh gula yang tersedia dari sampah<br />

makanan yang ada menjadi etanol, dengan<br />

waktu reaksi sekitar 2 – 3 minggu. Keseluruhan<br />

proses ini dilakukan dengan pengadukan pada<br />

kecepatan yang konstan dan temperatur yang<br />

diatur pada suhu 35 – 37 o C (kondisi mesofilik)<br />

untuk memberikan kondisi yang terbaik bagi<br />

produksi etanol. Derajat keasaman (pH) dari<br />

sampah makanan harus tetap dijaga sekitar 4,0<br />

– 4,5 dengan penambahan larutan penyangga,<br />

sehingga dapat tetap memberikan kondisi<br />

pertumbuhan sel ragi yang optimum.<br />

Etanol yang terbentuk dari proses<br />

fermentasi sampah makanan dapat mencapai<br />

160 – 200 gram / liter, untuk kemudian<br />

dipisahkan dengan proses distilasi atau<br />

membran. Konversi etanol itu sendiri dari<br />

sampah makanan dapat mencapai 0,25 – 0,27<br />

kilogram etanol / kilogram sampah makanan.<br />

Indonesia sangat kaya dengan berbagai<br />

potensinya. Proporsi dan jumlah sampah<br />

makanan yang sangat dominan dalam timbulan<br />

sampah di Indonesia saat ini, harus juga<br />

dipandang sebagai suatu potensi dan harus<br />

dapat memberikan manfaat sebesar – besarnya<br />

dari suatu hal yang seringkali kita anggap<br />

tidak berguna, yaitu sampah. Semoga dengan<br />

pemikiran ini, sampah dapat terus dieksploitasi<br />

manfaatnya dengan tetap mempertimbangkan<br />

aspek penyelamatan kualitas lingkungan,<br />

sehingga masyarakat Indonesia akan tetap<br />

dan semakin memberikan penilaian yang lebih<br />

positif terhadap penanganan permasalahan<br />

sampah di Indonesia. Semoga !<br />

*) Staf Sub Direktorat Kebijakan dan Strategi,<br />

Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong>.<br />

Beberapa Manfaat Pengembangan Energi dari Sampah Makanan<br />

www.flickr.com<br />

28 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Resensi<br />

Melapangkan<br />

Jalan<br />

Pemberdayaan<br />

(Gagasan, Strategi dan Kerja Pelaku P2KP)<br />

RESENSI<br />

Proses pemberdayaan memang efektif menggali apa potensi<br />

masyarakat dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang mereka<br />

alami. Masyarakat juga tidak sebatas menghadiri pertemuan yang<br />

partisipatif, melainkan juga memahami substansi pemberdayaan. Salah<br />

satu program pemberdayaan yang sudah berpengalaman adalah Proyek<br />

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).<br />

Buku setebal 137 halaman ini bercerita bagaimana gagasan, strategi<br />

dan kerja pelaku P2KP. Disini mengandung makna bagaimana P2KP<br />

tidak hanya sebatas pada program pemberdayaan, tetapi melakukan<br />

transformasi sosial, membawa komunitas miskin menjadi mandiri, juga<br />

menyebabkan pemerintah serta kelompok peduli menjadi pro-poor.<br />

Buku ini berisi pengalaman dan juga bagaimana melihat sudut<br />

pandang P2KP dari segi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Buku<br />

ini merupakan kumpulan tulisan para tim fasilitator kelurahan (faskel)<br />

maupun koordinasi kota (korkot) P2KP dari seluruh Indonesia.<br />

Tengok saja salah satu isi buku dengan judul “Perubahan Sosial<br />

Bergerak dari Bawah”, dalam tulisan ini melihat perubahan sosial yang<br />

dibawa oleh P2KP, bukan hanya pada level permukaan (proximate level)<br />

saja, namun meneropong aspek lain yang lebih esensial yaitu perubahan<br />

nilai-nilai kepemimpinan dan hidup bermasyarakat.<br />

Salah satunya yaitu menggoyang nilai kepemimpinan paternalis,<br />

gerontokrasi dan superior paternalis, yang merupakan prinsip dan nilai<br />

yang mengagungkan unsur senioritas, dimana pengejawantahannya,<br />

tampil dalam sistem perilaku yang mengagungkan “bapakisme”.<br />

Contohnya bisa kita lihat pada sistem politik kita yang masih dipenuhi<br />

oleh pemimpin-pemimpin tua, dan mengalami konflik internal partai<br />

ketika muncul calon-calon pemimpin muda. Jika di tingkat elite saja<br />

sudah terjadi perubahan dalam hal kepemimpinan yang paternalis atau<br />

gerontokrasi, tidak demikian halnya pada tingkat komunitas di lokasi<br />

sasaran P2KP.<br />

Melalui pembangunan BKM, nilai-nilai kebaikan, kejujuran, keadilan<br />

untuk menjadi seorang pemimpin tidak lagi diukur dari berapa “sepuh”<br />

usia seseorang, melainkan dari track record orang tersebut di mata<br />

komunitasnya. Ini jelas-jelas merupakan suatu akuntabilitas yang diuji<br />

langsung oleh publik (komunitas).<br />

P2KP juga melakukan penyadaran kritis tentang konsep nilai<br />

kepemimpinan. Simbol-simbol superior semacam tersebut telah<br />

terbongkar. Tidak sedikit para anggota BKM yang buta huruf, misalnya<br />

di salah satu kelurahan di Kabupaten Sinjai dan Jeneponto, Sulawesi<br />

Selatan. Selain itu juga, tidak sedikit mereka yang memiliki kekurangan<br />

secara fisik, misalnya di salah satu kelurahan di kabupaten Bone, Sulsel.<br />

Selain itu ada juga kisah sukses penerima manfaat pinjaman bergulir<br />

dari P2KP. Dewi (26), warga Dusun Melati, Desa Le Masen, Kecamatan<br />

Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, salah satu<br />

orang yang tetap gigih buka usaha sekalipun dengan modal yang kecil.<br />

Dengan modal sebesar Rp 500.000, bagi sebagian orang, modal<br />

setengah juta ini, boleh jadi dianggap terlampau kecil nilainya. Dengan<br />

modal setengah juta, Dewi mengembangkan usaha penjulan pisang<br />

goreng adabi.<br />

Tambahan bahan baku pisang goreng, menjadikan pisang goreng<br />

yang diproduksi meningkat menjadi 400-500 biji per hari. Kedai yang<br />

dititipi pisang goreng oleh Dewi bertambah. Dewi pun lebih sering<br />

menitipkan pisang goreng buatannya, pagi dan siang. Sekarang,<br />

keuntungannya dapat mencapai Rp 70.000 per hari. Kalau pun sepi<br />

pembeli, Dewi masih bisa mendapatkan Rp 30.000 per hari.<br />

Buku ini merupakan pegangan wajib bagi siapa saja yang bergerak<br />

dalam bidang P2KP. Selain itu juga berguna bagi siapa saja yang ingin<br />

memahami tentang P2KP. Dengan membaca buku ini kita akan<br />

mengenal dan memiliki paradigma baru mengenai program-program<br />

pemberdayaan, khususnya P2KP. (dvt)<br />

Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong> 29


Seputar Kita<br />

Presiden SBY Resmikan<br />

6 Infrastruktur <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

di Jawa Timur<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)<br />

didampingi oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto<br />

dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo meresmikan secara<br />

simbolis enam proyek infrastruktur ke-PU-an bidang<br />

<strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> di Ngawi Jatim, Rabu (18/2). Proyek tersebut<br />

adalah Sistem Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan<br />

(SPAM IKK) di empat kecamatan yaitu Krian Kabupaten<br />

Sidoarjo, Pagerwojo Kabupaten Tulungangung,<br />

Bangsalsari Kabupaten Jember serta desa rawan air di<br />

pulau Giliketapang Kabupaten Probolinggo. Selain itu<br />

juga dua Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) di<br />

Probolinggo dan Jember.<br />

Djoko Kirmanto menerangkan, seluruh SPAM IKK<br />

tersebut dibangun dengan dana senilai Rp 28,4 miliar<br />

SEPUTARKITA<br />

dengan pembagian Rp 18,52 miliar dari APBN dan Rp<br />

9,87 dari APBD. Total kapasitas air keempat SPAM tersebut<br />

ialah 100 liter per detik yang dapat melayani kebutuhan<br />

air minum 9.400 Sambungan Rumah (SR) baru.<br />

Kinerja <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> 2009<br />

Terbaik se Kementerian PU<br />

Kinerja Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> tercatat yang terbaik<br />

dibandingkan Satminkal lain di lingkungan Kementerian Pekerjaan<br />

Umum. Hingga akhir tahun 2009 <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> menyerap anggaran<br />

sebesar 93,4% dari sekitar Rp. 8,3 triliun, unggul tipis atas <strong>Ditjen</strong> Bina<br />

Marga yang masih di angka 92%. Perbaikan juga ditunjukkan dari peranperan<br />

Turbinwas (Pengaturan, Pembinaan, dan Pengawasan) yang<br />

selama 2009 dilakukan. Capaian itu tidak terlepas dari penyiapan yang<br />

lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.<br />

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> Budi Yuwono pada<br />

penutupan Rapat Evaluasi Kinerja TA 2009 dan Persiapan Pelaksanaan TA<br />

<strong>2010</strong> di Jakarta, (Rabu (30/12), sesaat setelah melakukan Rapat Pimpinan<br />

bersama Menteri Pekerjaan Umum. Ia mengatakan, peran Turbinwas<br />

harus lebih ditingkatkan terutama dalam mengawal Rencana Program<br />

dan Investasi Jangka Menengah (RPIJM) yang saat ini baru 26% yang<br />

kualitasnya baik.<br />

106 Pegawai Mendapatkan<br />

Penghargaan Satya Lancana<br />

Sebanyak 106 pegawai negeri sipil di Lingkungan <strong>Ditjen</strong> <strong>Cipta</strong><br />

<strong>Karya</strong> Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan penghargaan Satya<br />

Lancana <strong>Karya</strong> Satya dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang<br />

Yudhoyono. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Dirjen <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

Budi Yuwono di Gedung Sapta Taruna Dep PU, Senin (28/12).<br />

Penghargaan Satya Lancana merupakan penghargaan yang<br />

diberikan sebagai wujud pengabdian, kesetiaan, kejujuran, kecakapan<br />

dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas sebagai pegawai negeri<br />

sipil. Penghargaan diberikan kepada pegawai yang telah mengabdi<br />

selama 10, 20 dan 30 tahun.<br />

Selain penghargaan Satya Lancana, juga terdapat penghargaan<br />

Satya Lancana Wira <strong>Karya</strong> sebagai wujud penghargaan atas jasa yang<br />

diberikan kepada masyarakat bangsa dan negara. Dalam kesempatan kali<br />

ini Kasubdit Kawasan Metropolitan Joerni Makmoerniati mendapatkan<br />

penghargaan tersebut.<br />

30 Buletin <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong> - 01/Tahun VIII/<strong>2010</strong>


Sukseskan Gerakan Menanam Nasional<br />

“ONE MAN ONE TREE”<br />

untuk melindungi bumi kita<br />

dari perubahan iklim dunia yang mengancam.<br />

**) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />

mengajak masyarakat merealisasikan penanam,<br />

terutama pohon trembesi, sampai 4 miliar pohon<br />

pada 2020 dan 9,2 miliar pohon pada 2050 untuk<br />

memperbaiki lingkungan dan mencegah bahaya<br />

perubahan iklim.


Segenap Pimpinan dan Staf Direktorat Jenderal <strong>Cipta</strong> <strong>Karya</strong><br />

Mengucapkan<br />

Selamat Tahun Baru<br />

<strong>2010</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!