02.02.2015 Views

Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org

Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org

Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Sudaryatno Sudirham<br />

Analisis Keadaan Mantap<br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong><br />

Tenaga<br />

Darpublic<br />

ii


Analisis Keadaan Mantap<br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

oleh<br />

Sudaryatno Sudirham<br />

i


Hak cipta pada penulis, 2011<br />

SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />

Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

Oleh Sudaryatmo Sudirham<br />

Darpublic, Bandung<br />

arst-711<br />

edisi Juli 2011<br />

http://www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />

Alamat pos: Kanayakan D-30, Bandung, 40135.<br />

Fax: (62) (22) 2534117<br />

ii


Daftar Isi<br />

Pengantar<br />

Daftar Isi<br />

Bab 1: <strong>Rangkaian</strong> Magnetik 1<br />

Hukum-Hukum. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik.<br />

Rugi-Rugi dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik. Gaya Magnetik.<br />

Induktor.<br />

Bab 2: Transformator 25<br />

Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.<br />

Diagram Fasor. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Impedansi Masukan.<br />

Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi<br />

Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada<br />

<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa.<br />

Bab 3: Mesin Sikron 45<br />

Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

Bab 4: Motor Asinkron 65<br />

Konstruksi Dan Cara Kerja. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen.<br />

Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong>. Torka.<br />

Bab 5: Pembebanan Seimbang – <strong>Sistem</strong> Polifasa 85<br />

Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban.<br />

Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang. Model Satu Fasa<br />

<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang. <strong>Sistem</strong> Enam Fasa Seimbang.<br />

Bab 6: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Waktu) 99<br />

Sinyal Nonsinus. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus.<br />

Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi. Pembebanan<br />

Nonlinier Dilihat Dari Sisi Beban. Pembebenan Nonlinier<br />

Dilihat Dari Sisi Sumber. Kasus Penyearah Setengah<br />

Gelombang. Perambatan Harmonisa. Ukuran distorsi<br />

Harmonisa.<br />

Bab 7: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Fasor) 131<br />

Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai<br />

Efektif. Sumber Tegangan Sinus Dengan Beban Nonlinier.<br />

Contoh-contoh Perhitrungan. Transfer Daya. Kompensasi<br />

Daya Reaktif.<br />

iii<br />

v<br />

iii


Bab 8: Pembebanan Nonlinier <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa dan Dampak<br />

Pada Piranti 163<br />

Komponen Harmonisa Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa. Relasi<br />

Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber<br />

dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke<br />

Beban. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk Analisis. Dampak<br />

Harmonisa Pada Piranti.<br />

Bab 9: Pembebanan Tak Seimbang 199<br />

Pernyataan Komponen Simetris. Mencari Komponen<br />

Simetris. Impedansi dan <strong>Rangkaian</strong> Urutan. Daya Pada<br />

<strong>Sistem</strong> Tak Seimbang. <strong>Sistem</strong> Per-Unit. <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />

Dalam Per-Unit.<br />

Bab 10: Saluran Transmisi 215<br />

Resistansi. Induktansi. Impedansi dan Transposisi.<br />

Admitansi dan Transposisi.<br />

Bab 11: <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen 241<br />

Persamaan Saluran Transmisi. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen π.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Kinerja saluran Transmisi.<br />

Pembebanan Saluran Transmisi. Batas Thermal. Tegangan<br />

dan Arus di Ujung Kirim. Pembebanan Maksimum.<br />

Diagram Lingkaran.<br />

Pustaka 267<br />

Indeks 269<br />

Biodata 271<br />

iv Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Pengantar<br />

Buku ini berisi analisis rangkaian piranti-piranti dalam sistem tenaga<br />

listrik yang berada dalam keadaan mantap, dengan pembebanan<br />

seimbang, non-linier, maupun pembebanan tak-seimbang. Pembahasan<br />

akan diawali dengan analisis rangkaian magnetik yang menjadi dasar<br />

dibangunnya mesin-mesin konversi energi elektrik. Analisis rangkaian<br />

magnetik ini disusul dengan pengenalan pada mesin-mesin konversi<br />

energi mencakup transformator, mesin sinkron, dan mesin asinkron.<br />

Setelah mesin-mesin konversi, pembahasan dilanjutkan dengan sistem<br />

banyak-fasa dengan pembebanan seimbang. Masih dalam keadaan<br />

seimbang, pembahasan berikutnya adalah mengenai pembebanan<br />

nonlinier; pokok bahasan pembebanan nonlinier mencakup tinjauan di<br />

kawasan waktu, tinjauan di kawasan fasor pada sistem satu fasa dan tiga<br />

fasa, serta dampak harmonisa pada piranti. Pembahasan berikutnya<br />

adalah mengenai pembebanan tak-seimbang yang diawali dengan<br />

bahasan tentang komponen simetris, rangkaian urutan, serta penggunaan<br />

sistem per-unit; selanjutnya adalah bahasan mengenai saluran transmisi<br />

yang mencakup parameter saluran transmisi seperti impedansi,<br />

admitansi, impedansi karakteristik, disusul dengan persamaan saluran<br />

transmisi, rangkaian ekivalen dan pembebanan saluran transmisi.<br />

Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />

usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat<br />

penulis harapkan.<br />

Bandung, 26 Juli 2011.<br />

Wassalam,<br />

Penulis.<br />

v


A. Schopenhauer, 1788 – 1860<br />

dari<br />

Mini-Encyclopédie, France Loisirs<br />

ISBN 2-7242-1551-6<br />

vi Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 1<br />

<strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

<strong>Rangkaian</strong> magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan<br />

listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang<br />

bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik<br />

yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita<br />

akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian<br />

magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.<br />

Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa<br />

hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian<br />

magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum<br />

Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua<br />

hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,<br />

yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun<br />

demikian, kita tidak akan membahas mengenai material magnetik itu<br />

sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang kita perlukan<br />

dalam kaitannya dengan pembahasan peralatan listrik. Kita juga hanya<br />

akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak lama<br />

digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.<br />

1. 1. Hukum-Hukum<br />

Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa<br />

gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan<br />

hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis<br />

telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :<br />

dλ<br />

e = −<br />

(1.1)<br />

dt<br />

dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,<br />

dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan<br />

mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ<br />

[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)<br />

menjadi<br />

1


dφ<br />

e = −<br />

(1.2)<br />

dt<br />

Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah<br />

melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi<br />

selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang<br />

menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.<br />

Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan<br />

percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai<br />

timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.<br />

Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai<br />

µ l<br />

F = I 1 I 2<br />

(1.3)<br />

2π<br />

r<br />

dengan I 1 dan I 2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah<br />

panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua<br />

konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh<br />

medium dimana kedua kawat tersebut berada.<br />

Arus I 2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit<br />

di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah<br />

µ I 2<br />

B = (1.4)<br />

2 π r<br />

Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.<br />

Savart. Dengan (4), maka (3) menjadi lebih sederhana yaitu<br />

F = BlI 1<br />

(1.5)<br />

Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika<br />

kawat ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5)<br />

menjadi<br />

Secara umum (1.6) dapat ditulis<br />

F = BlI 1 sin θ<br />

(1.6)<br />

F = K B B I f (θ)<br />

(1.7)<br />

dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan K B<br />

adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti<br />

2 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter 2 ];<br />

hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />

Menurut (1.5), satuan B adalah :<br />

[ newton]<br />

[ B]<br />

=<br />

[ amp]<br />

× [ meter]<br />

sedangkan<br />

sehingga<br />

energi [ watt].[detik]<br />

[ volt][<br />

amp][detik]<br />

[ newton ] = =<br />

=<br />

panjang [ meter]<br />

[ meter]<br />

[ volt][amp][detik]<br />

[ volt][detik]<br />

[ weber]<br />

[ B ] = =<br />

= .<br />

2<br />

2<br />

2<br />

[ amp][<br />

meter ] [ meter ] [ meter ]<br />

Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan<br />

[weber/m 2 ] atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan<br />

kanan yang menyatakan bahwa: jika kawat yang dialiri arus digenggam<br />

dengan tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka<br />

arah B adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang<br />

menggenggam kawat tersebut.<br />

Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium tempat kedua<br />

konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk ruang<br />

hampa, permeabilitas ini adalah<br />

dengan satuan<br />

[<br />

]<br />

[ meter]<br />

−7<br />

µ 0 = 4π × 10<br />

(1.8)<br />

henry . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />

]<br />

[ newton]<br />

[ volt][<br />

amp][detik]<br />

[ volt][detik]<br />

[ henry]<br />

[ µ 0]<br />

= =<br />

=<br />

=<br />

2<br />

2<br />

[ amp ] [ amp ][ meter]<br />

[ amp][<br />

meter]<br />

[ meter<br />

[ volt][detik]<br />

karena = [ henry]<br />

yaitu satuan induktansi.<br />

[ amp]<br />

Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan<br />

sebagai<br />

µ = µ r × µ 0<br />

(1.9)<br />

dengan µ r adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan<br />

antara permeabilitas medium terhadap vakum.<br />

3


Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian<br />

magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik<br />

yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada<br />

mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam<br />

medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas<br />

medan magnetik , yaitu<br />

H ≡ B<br />

(1.10)<br />

µ<br />

dengan satuan<br />

[ newton]/[<br />

amp][<br />

meter]<br />

[ amp]<br />

[ H ] = = .<br />

2<br />

[ newton]/[<br />

amp ] [ meter]<br />

Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung<br />

dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan<br />

bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh<br />

belitan yang terdiri dari banyak lilitan.<br />

Hukum <strong>Rangkaian</strong> Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik<br />

Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan<br />

magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang<br />

membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai<br />

∫<br />

Hdl = F m<br />

(1.11)<br />

F m dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut<br />

magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan<br />

jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang<br />

tertutup.<br />

Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk<br />

perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi<br />

magnit adalah L, maka total F m yang diperlukan untuk membangkitkan<br />

fluksi tersebut adalah<br />

B<br />

F m = H L = L<br />

(1.12)<br />

µ<br />

Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang<br />

luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah<br />

φ = BA<br />

(1.13)<br />

4 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh<br />

⎛ L ⎞<br />

F m = H L = φ⎜<br />

⎟<br />

(1.14)<br />

⎝ µ A ⎠<br />

Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,<br />

karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.<br />

Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan<br />

⎛ µ A ⎞ Fm<br />

φ = ⎜ ⎟ Fm<br />

=<br />

⎝ L ⎠ R<br />

(1.15)<br />

Pada (1.15) ini, F m merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya<br />

fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran R yang kita<br />

sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan<br />

R =<br />

L (1.16)<br />

µA<br />

Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian<br />

magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini<br />

dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.<br />

Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.<br />

1.2. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya<br />

melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua<br />

kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan<br />

(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ<br />

apabila geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui<br />

(permasalahan ini kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus<br />

mengetahui fluksi gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang<br />

dikendalikan oleh lebih dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat<br />

perhitungan-perhitungan rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.<br />

5


COTOH-1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material<br />

ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnet yang<br />

terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.<br />

Material a adalah besi nikel<br />

(nickel iron) dengan panjang<br />

+<br />

−<br />

E<br />

R<br />

L a<br />

rata-rata L a = 0.4 m. Material b<br />

adalah baja silikon (medium<br />

silicon sheet steel) dengan<br />

panjang rata-rata L b = 0.2 m.<br />

Kedua bagian itu mempunyai<br />

luas penampang sama, yaitu 0.001 m 2 . a). Tentukan F m yang<br />

diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ= 6×10 −4 weber. b).<br />

Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi<br />

tersebut tercapai.<br />

Penyelesaian :<br />

Untuk memperoleh F m total yang diperlukan kita aplikasikan hukum<br />

rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.<br />

Fm<br />

total = Fm<br />

a + Fm<br />

b = HaL a + HbLb<br />

Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10 −4 weber,<br />

sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi<br />

kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu<br />

φ 0.0006<br />

Ba<br />

= Bb<br />

= = = 0.6 tesla<br />

A 0.001<br />

Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material<br />

memerlukan intensitas medan yang berbeda. Besarnya intensitas<br />

medan yang diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masingmasing<br />

material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva<br />

B-H yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1 di<br />

halaman berikut.<br />

Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh<br />

Material a : untuk Ba<br />

= 0.6 tesla diperlukan Ha<br />

= 10 AT/m<br />

Material b : untuk Bb<br />

= 0.6 tesla diperlukan Hb<br />

= 65 AT/m<br />

Dengan demikian F m total yang diperlukan adalah<br />

F m total = HaL a + HbLb<br />

= 10 × 0.4 + 65×<br />

0.2 = 17 AT<br />

6 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

L b


). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus<br />

mengalir di belitan untuk memperoleh F m total sebesar 17 AT adalah<br />

1.75<br />

17 I = = 0.17<br />

100<br />

A<br />

1.5<br />

1.25<br />

Nickel-iron alloy , 47%<br />

B [tesla]<br />

1<br />

0.75<br />

0.5<br />

Medium silicon sheet<br />

steel<br />

Soft steel casting<br />

0.25<br />

Cast iron<br />

H [ampre-turn / meter]<br />

Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material magnetik.<br />

Pemahaman :<br />

Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak<br />

dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik<br />

B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan<br />

kurva B-H Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak<br />

linier. Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besarnya<br />

permeabilitas masing-masing material, kita dapat menghitungnya<br />

sebagai berikut.<br />

Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik<br />

operasi ini adalah<br />

B 0.6<br />

µ 0.06<br />

µ = a = = 0.06 henry/meter → µ = a<br />

a<br />

r a = = 47740<br />

H 10<br />

µ<br />

−7<br />

a<br />

0 4π×<br />

10<br />

B 0.6<br />

µ 0.0092<br />

µ = b = = 0.0092 henry/meter → µ = b<br />

b<br />

r b = = 7340<br />

H 65<br />

µ<br />

−7<br />

4π × 10<br />

b<br />

0<br />

0 50 100 150 200 250 300 350 400<br />

0<br />

7


Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a<br />

dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu<br />

Fm 4 13<br />

R = a<br />

F<br />

= ≈ 6670 ; R = m b<br />

a<br />

b = ≈ 21670<br />

φ 0.6 × 0.001<br />

φ 0.6×<br />

0.001<br />

Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,<br />

reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik<br />

yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar<br />

Rtot = Ra<br />

+ Rb<br />

≈ 6670 + 21670 = 28340 .<br />

Untuk meyakinkan, kita hitung balik besarnya fluksi magnet<br />

φ =<br />

F m total<br />

Rtot<br />

17 −<br />

= = 6×<br />

10<br />

4<br />

28340<br />

weber<br />

dan ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam<br />

persoalan ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnet yang<br />

dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri<br />

pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah<br />

reluktansi yang diserikan.<br />

COTOH-1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh-1.1. di atas,<br />

berapakah fluksi magnet yang akan dibangkitkan bila arus pada<br />

belitan dinaikkan menjadi 0.35 A <br />

Penyelesaian :<br />

Dengan arus 0.35 A, F m total menjadi<br />

Untuk menghitung besarnya fluksi yang terbangkit, kita perlu<br />

mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari<br />

masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena<br />

untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui F m dan B<br />

untuk masing-masing bagian sedangkan untuk menghitungnya perlu<br />

diketahui besarnya fluksi φ yang justru ditanyakan.<br />

Dari apa yang diketahui, yaitu F m total dan ukuran toroid, kita<br />

dapatkan hubungan<br />

Fm<br />

total = HaLa<br />

+ HbLb<br />

= 0.4Ha<br />

+ 0.2Hb<br />

= 35<br />

F m total = 100 × 0.35 = 35 AT<br />

35 − 0.2H<br />

⇒ H<br />

b<br />

a =<br />

0.4<br />

Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0.001<br />

m 2 , maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita<br />

mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-<br />

8 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


H. Kita perkirakan suatu nilai H b dan menghitung H a , kemudian kita<br />

mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai H a dan H b ini terdapat<br />

B a = B b . Jika tidak, kita koreksi nilai H b dan dihitung lagi H a dan<br />

dilihat lagi apakah B a = B b . Jika tidak dilakukan koreksi lagi, dan<br />

seterusnya sampai akhirnya diperoleh B a ≈ B b .<br />

Kita mulai dengan H b = 100 AT yang memberikan H a = 37.5. Kedua<br />

nilai ini terkait dengan B b = 0.75 dan B a = 0.9 tesla. Ternyata B a ≠<br />

B b . Kita perbesar H b agar H a mengecil dan akan menyebabkan B b<br />

bertambah dan B a berkurang. Pada nilai H b = 110 AT, maka H a =<br />

32.5; dan terdapat B b = 0.8 dan B a = 0.85 tesla. Kita lakukan koreksi<br />

lagi dan akan kita dapatkan B a ≈ B b ≈ 0.825 pada nilai H b = 125 dan<br />

H a = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah<br />

φ =<br />

−4<br />

B × A = 0.825×<br />

0.001 = 8.25×<br />

10<br />

weber.<br />

Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika<br />

kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini<br />

dapat dianggap memadai.<br />

Pemahaman :<br />

Jika kita bandingkan hasil pada contoh-1.1. dan 1.2. maka akan<br />

terlihat hal berikut.<br />

Contoh-1.1 :<br />

I = 0.17 A → B = 0.6<br />

tesla<br />

→ φ =<br />

−4<br />

6×<br />

10<br />

weber<br />

Contoh-1.2 :<br />

I = 0.35 A → B = 0.825 tesla<br />

→ φ =<br />

−4<br />

8.25×<br />

10<br />

weber<br />

Menaikkan arus belitan menjadi dua kali lipat tidak menghasilkan<br />

fluksi dua kali. Hal ini disebabkan oleh karakteristik magnetisasi<br />

material yang tidak linier.<br />

9


COTOH-1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf<br />

yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0.0014 weber<br />

di “kaki” sebelah kanan. <strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai luas<br />

penampang sama yaitu 0.002 m 2 , kecuali “kaki” tengah yang<br />

luasnya 0.0008 m 2 . Material yang digunakan adalah medium silicon<br />

steel.<br />

a b c<br />

f<br />

e<br />

d<br />

0.15 m<br />

0.15 m 0.15 m<br />

Penyelesaian :<br />

<strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu<br />

efab dengan reluktansi R 1 ;<br />

be dengan reluktansi R 2 dan<br />

bcde dengan reluktansi R 3 .<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dari rangkaian magnetik ini dapat digambarkan<br />

seperti di bawah ini.<br />

F m<br />

R 1<br />

R 2 R 3<br />

Fluksi yang diminta di kaki kanan adalah φ 3 = 0.0014 weber. Karena<br />

dimensi kaki ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung,<br />

yaitu<br />

0.0014<br />

B 3 = = 0.7 tesla .<br />

0.002<br />

Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi<br />

ini memerlukan H 3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan<br />

adalah<br />

10 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


F m3 = H3<br />

× Lbcde<br />

= 80 × (3×<br />

0.15) = 36 AT<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen memperlihatkan bahwa R 2 terhubung paralel<br />

dengan R 3 . Hal ini berarti bahwa F m3 juga harus muncul pada R 2 ,<br />

yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain F m2 = F m3 . Dengan<br />

demikian kita dapat menghitung H 2 .<br />

F F 36<br />

H 2 m3<br />

2 = m = = = 240 AT/m<br />

Lbe<br />

Lbe<br />

0.15<br />

Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H 2 ini<br />

B 2 = 1.125 tesla .<br />

Luas penampang kaki tengah adalah 0.0008 m 2 . Maka<br />

φ2 = B 2 × 0.0008 = 1.125×<br />

0.0008 = 0.0009 weber<br />

Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah<br />

φ 1 = φ2<br />

+ φ3<br />

= 0.0014 + 0.0009 = 0.0023 weber<br />

Luas penampang kaki kiri adalah 0.002 m 2 , sama dengan kaki<br />

kanan. Kerapatan fluksinya adalah<br />

φ 0.0023<br />

B 1<br />

1 = = = 1.15 tesla<br />

0.002 0.002<br />

Dari kurva B-H, untuk B 1 ini diperlukan<br />

H 1 = 240 AT/m , sehingga<br />

F m1 = H1<br />

× Lefab<br />

= 240×<br />

(3×<br />

0.15) = 108 AT<br />

Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar<br />

0.0014 weber di kaki kanan adalah<br />

F mtot = Fm<br />

1 + Fm<br />

2 + Fm3<br />

= 108 + 36 + 36 = 180 AT<br />

11


COTOH-1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada Contoh-1.3. jika<br />

kaki tengah ditiadakan<br />

Penyelesaian :<br />

Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian<br />

magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ=φ 3 =0.0014<br />

weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama<br />

karena luas penampangnya sama, yaitu<br />

0.0014<br />

B = B3 = = 0.7 tesla<br />

0.002<br />

Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang<br />

diperlukan adalah<br />

F m = H × L abcdefa = 80×<br />

(6 × 0.15) = 72 AT<br />

Pemahaman :<br />

Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi<br />

lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas<br />

penampangnya <br />

Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi<br />

kerapatan fluksi di kaki ini sebab F m3 tetap harus muncul di kaki<br />

tengah. H 2 tak berubah, yaitu H 2 = F m3 /L be = 240 AT/m dan B 2 juga<br />

tetap 1.125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ 2 akan<br />

bertambah sehingga φ 1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan naiknya<br />

B 1 yang berarti naiknya H 1 sehingga F m1 akan bertambah pula.<br />

Dengan demikian F m total akan lebih besar. Penjelasan ini<br />

menunjukkan seolah-olah kaki tengah berlaku sebagai “pembocor”<br />

fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar mmf yang diperlukan.<br />

1.3. Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />

Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani<br />

dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif<br />

dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat<br />

kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan<br />

magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H<br />

membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop<br />

histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan<br />

membahas akibat dari karakteristik material seperti ini dalam rekayasa.<br />

12 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


B [tesla]<br />

d b<br />

c<br />

0<br />

H [AT/m]<br />

e<br />

a<br />

Loop histerisis ini menunjukkan bahwa untuk satu nilai H tertentu<br />

terdapat dua kemungkinan nilai B. Dalam memecahkan persoalan<br />

rangkaian magnetik pada contoh-contoh di sub-bab 1.2. kita<br />

menggunakan kurva B-H yang kita sebut kurva B-H normal atau kurva<br />

magnetisasi normal, dimana satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai<br />

B, yaitu kurva B-H pada Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan<br />

sebesar ± 5 % masih dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H<br />

normal karena sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal,<br />

melainkan tergantung dari riwayat magnetisasi material.<br />

Perhatikan integrasi :<br />

Bb<br />

Bc<br />

HdB = luas bidang abda ; HdB = luas bidang bdcb<br />

B<br />

∫B<br />

∫<br />

a<br />

dan satuan dari HB :<br />

Gb.1.2. Loop histerisis.<br />

ampere newton newton newto ⋅ meter joule<br />

[ HB ] = ×<br />

= =<br />

=<br />

meter ampre.<br />

meter 2<br />

3<br />

3<br />

meter meter meter<br />

Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang<br />

abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.<br />

Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B<br />

naik, atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia<br />

menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas<br />

bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan<br />

magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.<br />

b<br />

13


Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda.<br />

Ini berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari<br />

kerapatan energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan<br />

digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang<br />

diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)<br />

sehingga disebut rugi energi histerisis.<br />

Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu<br />

siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari<br />

loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas<br />

loop histerisis) kita sebut w h , dan jumlah siklus per detik (frekuensi)<br />

adalah f , maka untuk material dengan volume v m 3 besar rugi energi<br />

histerisis per detik atau rugi daya histerisis adalah<br />

⎡ joule⎤<br />

Ph = wh<br />

f v ⎢ = wh<br />

f v [watt]<br />

det ik<br />

⎥<br />

(1.17)<br />

⎣ ⎦<br />

Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz<br />

memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai<br />

n<br />

P h = v f ( KhBm<br />

)<br />

(1.18)<br />

dengan B m adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai<br />

antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. K h adalah konstanta<br />

yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon<br />

sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.<br />

Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain<br />

rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.<br />

Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet.<br />

Jika material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan<br />

rugi arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus<br />

pusar kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material<br />

magnetik yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi<br />

arus pusar adalah<br />

2 2 2<br />

P e = Ke<br />

f Bm<br />

τ v watt<br />

(1.19)<br />

dengan K e = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi<br />

(Hz); B m = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume<br />

material.<br />

Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari<br />

frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu<br />

14 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama<br />

disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur<br />

rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.<br />

1.4. Gaya Magnetik<br />

Energi yang tersimpan dalam B<br />

B<br />

medan magnetik dapat<br />

B 1 b a<br />

digunakan untuk melakukan<br />

kerja mekanik (misalnya<br />

menarik tuas rele). Untuk<br />

mempelajari bagaimana gaya<br />

ini dapat timbul, kurva B-H<br />

H 0 H 1 H<br />

normal yang tidak linier<br />

a) b)<br />

seperti terlihat pada Gb.1.3.a,<br />

kita dekati dengan suatu Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.<br />

kurva linier seperti pada<br />

Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H 1 , maka B naik dari 0 ke B 1 .<br />

Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam<br />

material, dan besarnya adalah<br />

w f =<br />

1<br />

2<br />

3<br />

B1H<br />

1 joule/m<br />

Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material<br />

akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar<br />

1 w<br />

3<br />

f = BH joule/m<br />

(1.20)<br />

2<br />

Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi<br />

kurva B-H.<br />

Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan<br />

dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi<br />

total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang<br />

rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi<br />

1 1<br />

1<br />

W = BHAL<br />

= ( BA)(<br />

HL)<br />

= φF m joule (1.21)<br />

2 2<br />

2<br />

Antara fluksi φ dan F m terdapat hubungan φ = F m / R , sehingga (1.21)<br />

dapat juga dituliskan<br />

15


2<br />

1 1 Fm<br />

1 2<br />

W = φFm<br />

= = φ R joule<br />

(1.22)<br />

2 2 R 2<br />

Untuk memahami timbulnya gaya magnetik, kita lakukan percobaan<br />

dengan suatu rangkaian magnetik yang terdiri dari tiga bagian yaitu<br />

gandar, celah udara, dan jangkar, seperti terlihat pada Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />

ini dicatu oleh sumber tegangan V s<br />

yang diserikan dengan resistor variabel<br />

R. Luas penampang gandar sama<br />

dengan luas penampang jangkar. Untuk<br />

suatu kedudukan jangkar tertentu,<br />

dengan V s dan R tertentu, terjadi<br />

eksitasi sebesar F m yang akan membuat<br />

simpanan energi dalam rangkaian<br />

magnetik ini sebesar<br />

W =<br />

1<br />

2<br />

2 2 2<br />

( φ R + φ R + φ R )<br />

g<br />

g<br />

u<br />

u<br />

j<br />

j<br />

(1.23)<br />

Indeks g, u, dan j berturut-turut<br />

menunjukkan gandar, udara dan<br />

jangkar. Karena ketiga bagian<br />

rangkaian terhubung seri maka jika penyebaran fluksi di bagian pinggir<br />

di celah udara diabaikan fluksi di ketiga bagian tersebut akan sama.<br />

Kerapatan fluksi juga akan sama di ketiga bagian tersebut. Dengan<br />

demikian maka persamaan (1.23) dapat kita tulis<br />

1 2<br />

W = φ<br />

2<br />

Besar reluktansi total adalah<br />

1 2<br />

( R g + Ru<br />

+ R j ) = φ Rtotal<br />

2<br />

(1.24)<br />

Lg<br />

L j L<br />

R<br />

u<br />

total = + +<br />

(1.25)<br />

µ A µ A µ A<br />

g<br />

j<br />

gandar<br />

jangkar<br />

Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />

magnetik dengan jangkar<br />

Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas<br />

material menjadi konstan.<br />

Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µ g dan µ j dianggap<br />

konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ 0 .<br />

0<br />

V s<br />

+<br />

−<br />

L j<br />

R<br />

L g<br />

x<br />

16 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan<br />

menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus<br />

catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (F m +∆F m ) dan simpanan energi<br />

pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan<br />

energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆F m<br />

tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu<br />

gandar, jangkar dan celah udara.<br />

Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan<br />

semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi<br />

kembali menjadi F m dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan<br />

sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan<br />

menyebabkan reluktansi R u menurun sehingga secara keseluruhan R tot<br />

juga menurun. Menurunnya R tot akan memperbesar fluksi karena eksitasi<br />

F m dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam<br />

rangkaian magnetik bertambah.<br />

Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini<br />

berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada<br />

percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan<br />

masukan, yaitu ∆F m . Pada percobaan ke-dua, F m dipertahankan tetap.<br />

Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah<br />

dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan<br />

tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita<br />

dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah<br />

menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial<br />

jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian<br />

magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.<br />

Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), F x adalah gaya mekanik<br />

pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar<br />

adalah<br />

dW j = Fxdx<br />

(1.26)<br />

Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.<br />

Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka<br />

dW<br />

j<br />

+ dW = F dx + dW = 0 → F dx = −dW<br />

(1.27)<br />

x<br />

Karena F m kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)<br />

bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh<br />

x<br />

17


1 2 −1<br />

Fxdx<br />

= −dW<br />

= − d(<br />

Fm<br />

Rtot<br />

)<br />

2<br />

1<br />

→ Fx<br />

= −<br />

2<br />

d<br />

dx<br />

2<br />

2 −1<br />

1 Fm<br />

dRtot<br />

1 2 dR<br />

( Fm<br />

Rtot<br />

) = −<br />

= − φ<br />

2 2 dx 2 dx<br />

Rtot<br />

tot<br />

(1.28)<br />

Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada<br />

jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang<br />

memanfaatkan gaya magnetik.<br />

1.5. Induktor<br />

Perhatikan rangkaian<br />

induktor (Gb.1.5).<br />

Apabila resistansi belitan<br />

dapat diabaikan, maka<br />

menurut hukum<br />

Kirchhoff<br />

+<br />

v 1<br />

−<br />

≈<br />

i f<br />

+<br />

e 1<br />

−<br />

1<br />

Gb.1.5. <strong>Rangkaian</strong> induktor.<br />

φ<br />

di f<br />

− v1 + e1<br />

= 0 → v1<br />

= e1<br />

= L<br />

(1.29)<br />

dt<br />

Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari<br />

sumber v 1 dan beban induktor L. Tegangan e 1 adalah tegangan jatuh<br />

pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis<br />

rangkaian listrik.<br />

Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti<br />

induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).<br />

Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan<br />

oleh arus i f . Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi<br />

pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />

dφ<br />

e t = −1 (1.30)<br />

dt<br />

Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi e t harus<br />

mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian<br />

tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi<br />

lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan<br />

kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e 1 pada Gb.1.5. Jadi<br />

18 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas e t sedangkan<br />

nilai e t tentulah sama dengan tegangan jatuh e 1 . Jadi<br />

dφ<br />

di f<br />

et = 1 = e1<br />

= L<br />

(1.31)<br />

dt dt<br />

Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />

bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />

i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />

Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />

sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi<br />

mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor dapat kita<br />

gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang merupakan<br />

gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika resistansi<br />

belitan diabaikan, persamaan (1.29) dan (1.31) dapat kita tulis dalam<br />

bentuk fasor sebagai<br />

E1<br />

= jωLI<br />

f ; Et<br />

= jω1Φ = E1<br />

= jωLI<br />

f (1.32)<br />

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.<br />

Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi<br />

dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan<br />

adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi<br />

yaitu I φ sama dengan I f .<br />

Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada<br />

pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti<br />

menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar<br />

γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.<br />

dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan<br />

ini,<br />

I f<br />

Φ<br />

I f<br />

= I φ<br />

a). ideal<br />

E 1 = E t c E 1 = Et<br />

I c E 1 = Et<br />

I φ<br />

γ<br />

I<br />

Φ<br />

I f<br />

b). ada rugi-rugi inti<br />

θ<br />

I f<br />

Φ<br />

Gb.1.6. Diagram fasor induktor<br />

I f R1<br />

c). ada resistansi belitan<br />

dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ<br />

yang<br />

I φ<br />

V 1<br />

19


diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic<br />

yang diperlukan untuk<br />

mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = Ic<br />

+ Iφ<br />

.<br />

Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E 1 akan<br />

memberikan rugi-rugi inti<br />

o<br />

c = c 1 1 f γ<br />

P I E = E I cos(90 − ) watt<br />

(1.33)<br />

Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V 1 ≠ E 1 . Misalkan<br />

resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />

V 1 = E1<br />

+ I f R1<br />

(1.34)<br />

Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.<br />

Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />

untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />

pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu .<br />

Jadi<br />

P = P + P = P + I R = V I cos θ (1.35)<br />

in<br />

c<br />

20 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

cu<br />

dengan V 1 dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />

COTOH-1.5: Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.<br />

Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.<br />

Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum<br />

fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari<br />

1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya<br />

Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka<br />

E<br />

1<br />

= V<br />

1<br />

1ωΦ<br />

→<br />

2<br />

115 2<br />

⇒ Φ maks =<br />

= 0,00108 weber<br />

400×<br />

2π×<br />

60<br />

Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka<br />

Φ<br />

maks<br />

A<br />

≤12<br />

⇒<br />

c<br />

maks<br />

Φ<br />

A ≥<br />

1,2<br />

maks<br />

2<br />

f<br />

1<br />

= 115<br />

=<br />

1<br />

0,00108<br />

1,2<br />

f<br />

m<br />

2 =<br />

Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah<br />

⎛ µ A ⎞<br />

φ = ⎜ ⎟ F<br />

⎝ L ⎠<br />

m<br />

Fm<br />

= .<br />

R<br />

9 cm<br />

2<br />

.


Dengan mengabaikan fluksi bocor,<br />

dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh<br />

F m<br />

= i dan jika φ ini<br />

<br />

1<br />

dφ<br />

= <br />

dt<br />

1<br />

d<br />

dt<br />

⎛ 1i<br />

⎜<br />

⎝ R<br />

f<br />

2<br />

⎞ <br />

⎟ 1<br />

=<br />

⎠ R<br />

di<br />

f<br />

dt<br />

di f<br />

= L<br />

dt<br />

sehingga<br />

2<br />

1 2 ⎛ µ A ⎞<br />

L = = 1<br />

⎜ ⎟ (1.36)<br />

R ⎝ L ⎠<br />

Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan<br />

kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ<br />

seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah<br />

dφ<br />

d ⎛ 1i<br />

f ⎞ di f<br />

e ⎜ ⎟ 2 1<br />

2 = 2 = 2 =<br />

dt dt<br />

(1.37)<br />

⎝ R ⎠ R dt<br />

Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita<br />

tahu dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama<br />

bahwa<br />

e<br />

2<br />

= L<br />

2<br />

di di<br />

2 f<br />

+ M<br />

dt dt<br />

sehingga kita peroleh induktansi bersama<br />

di f<br />

= M<br />

dt<br />

21<br />

⎛ µ A ⎞<br />

M = = 21<br />

⎜ ⎟<br />

(1.38)<br />

R ⎝ L ⎠<br />

Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat<br />

kita analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan<br />

mengaplikasikan hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan<br />

persamaan (1.29). Kita dapat pula memandangnya sebagai rangkaian<br />

magnetik dan mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik<br />

yang berubah terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi i f )<br />

menimbulkan tegangan induksi pada belitan.<br />

21


COTOH-1.6: Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti<br />

udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan<br />

dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.<br />

Penyelesaian :<br />

Induktansi:<br />

2<br />

−7<br />

−4<br />

1 2 ⎛ µ A ⎞ ⎛<br />

6 (4 10 ) ( 10 / 4) ⎞<br />

−6<br />

1 10 ⎜<br />

π× × π<br />

L = = ⎜ ⎟ =<br />

⎟ = 98,6 × 10 H<br />

R ⎝ L ⎠ ⎜ 1 ⎟<br />

⎝<br />

⎠<br />

Resistansi :<br />

R = ρ<br />

l<br />

A<br />

−2<br />

−6<br />

1000 × π × 10<br />

= 0,0173 × 10 [ Ω.m]<br />

−3<br />

2<br />

π × (0,5 × 10 )<br />

/ 4<br />

= 2,77<br />

Ω<br />

COTOH-1.6: Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan<br />

140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai<br />

reluktansi 160000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan<br />

fluksi bocor.<br />

Penyelesaian : Induktansi bersama :<br />

2 1<br />

1250×<br />

140<br />

M = = = 1,094 ≈ 1,1 H<br />

R 160000<br />

COTOH-1.7: Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai<br />

1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%<br />

fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi<br />

kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan<br />

membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masingmasing<br />

kumparan dan induktansi bersama.<br />

Penyelesaian :<br />

Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan<br />

1000 maka reluktansi dapat dihitung<br />

Induktansi masing-masing<br />

1000 × 5<br />

R =<br />

0,05×<br />

10<br />

−3<br />

= 10<br />

8<br />

22 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


2<br />

<br />

L =<br />

R<br />

2<br />

1000 −2<br />

= = 10<br />

8<br />

10<br />

H = 10 mH.<br />

Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang<br />

dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah<br />

Induktansi bersama<br />

1<br />

M =<br />

R<br />

M<br />

R M<br />

2<br />

8<br />

R 10<br />

= = = 1,667 × 10<br />

0.6 0,6<br />

1000×<br />

1000<br />

−2<br />

=<br />

= 0,6×<br />

10<br />

8<br />

1,667×<br />

10<br />

8<br />

H = 6 mH<br />

Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan<br />

induksi E , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil<br />

t<br />

tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah E merupakan<br />

tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E 1 , dan hal ini<br />

ditunjukkan oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang<br />

tegangan terbangkit Et<br />

sebagai tegangan naik Et<br />

= −E1<br />

, dengan<br />

mengikut sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan<br />

bukan menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita<br />

lakukan maka<br />

t<br />

Et<br />

= − jω1 Φ = −E1<br />

= − jωLI<br />

f<br />

(1.39)<br />

Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi<br />

untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan<br />

terbangkit E t berada 90 o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.<br />

Fasor Φ sefasa dengan I φ = I f dan tertinggal 90 o dari E 1 .<br />

Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan<br />

memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.<br />

23


E t<br />

E 1<br />

a). Induktor ideal.<br />

I f<br />

Φ<br />

= I φ<br />

E t<br />

b). ada rugi-rugi inti<br />

I φ<br />

Φ<br />

I c<br />

γ<br />

I f<br />

V L<br />

I c V L<br />

E t<br />

I<br />

θ φ<br />

V s<br />

I f<br />

c). ada resistansi belitan Φ<br />

Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.<br />

I f R 1<br />

24 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 2<br />

Transformator<br />

2.1. Transformator Satu Fasa<br />

Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem<br />

komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio<br />

sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita<br />

mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output<br />

transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga<br />

dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi<br />

agar tercapai transfer daya maksimum.<br />

Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />

berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator<br />

tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak<br />

jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi<br />

listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan<br />

menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan<br />

kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada<br />

umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita<br />

akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.<br />

Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />

rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal<br />

sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas<br />

hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari<br />

secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.<br />

Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk<br />

mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi<br />

elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan<br />

sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi<br />

energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal<br />

tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.<br />

25


2.2. Teori Operasi Transformator<br />

Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.2.5.<br />

kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua<br />

belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan<br />

primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.<br />

I f<br />

φ<br />

V s<br />

+<br />

+<br />

≈ E 1 2<br />

1<br />

E2<br />

−<br />

−<br />

Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />

, maka<br />

fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />

atau dalam bentuk fasor<br />

dφ<br />

e1 = 1<br />

= 1Φ<br />

maksωcos<br />

ωt<br />

(2.1)<br />

dt<br />

o 1ωΦ<br />

maks o<br />

E 1 = E1∠0 =<br />

∠0<br />

; E1<br />

= nilai efektif (2.2)<br />

2<br />

Karena ω = 2π f maka<br />

E<br />

2π<br />

f<br />

<br />

1<br />

1 = Φ maks = 4.44 f 1<br />

2<br />

maks<br />

Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar<br />

Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh<br />

Gb.2.1. Transformator dua belitan.<br />

E<br />

E<br />

26 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

Φ<br />

(2.3)<br />

2 = 4 .44 f 2Φ<br />

maks<br />

(2.4)<br />

E<br />

1<br />

2<br />

1<br />

= ≡ a = rasio<br />

<br />

2<br />

transformasi<br />

(2.5)<br />

Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi<br />

yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o maka E 2 juga<br />

mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio transformasi a = 1, dan


esistansi belitan primer adalah R 1 , diagram fasor tegangan dan arus<br />

adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus I f adalah arus<br />

magnetisasi, yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen<br />

yaitu I φ (90 o dibelakang E 1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa<br />

dengan E 1 ) guna mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam<br />

diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh I f R1<br />

.<br />

I c<br />

E 1 = E 2<br />

I f R 1<br />

I<br />

V<br />

I<br />

φ<br />

φ<br />

1<br />

I<br />

I f<br />

I f R 1<br />

f<br />

φ<br />

φ<br />

a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />

Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />

Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh<br />

arus yang mengalir di<br />

belitan primer. Dalam<br />

kenyataan, tidak semua<br />

fluksi magnit yang<br />

dibangkitkan tersebut akan<br />

melingkupi baik belitan<br />

primer maupun sekunder.<br />

Selisih antara fluksi yang<br />

dibangkitkan oleh belitan<br />

primer dengan fluksi<br />

bersama (yaitu fluksi yang<br />

V s<br />

≈<br />

melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya<br />

melingkupi belitan primer saja dan tidak seluruhnya berada dalam inti<br />

transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.2.3). Oleh karena itu<br />

reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi<br />

udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis<br />

sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan<br />

dalam diagram fasor Gb.2.2.b.<br />

Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di<br />

belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ). Tegangan induksi<br />

I f<br />

I c<br />

φ l<br />

E 1 = E 2<br />

φ l1<br />

φ<br />

V 1<br />

jI f X l<br />

Gb.2.3. Transformator tak berbeban.<br />

Fluksi bocor belitan primer.<br />

E 2<br />

27


ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E1<br />

90 o mendahului φ) dan dapat<br />

dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1<br />

, di rangkaian<br />

primer dan dinyatakan sebagai<br />

E l 1 = jI f X 1<br />

(2.6)<br />

dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan<br />

dan arus di rangkaian primer menjadi<br />

1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

jI1X1<br />

(2.7)<br />

V +<br />

Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah<br />

Gb.2.2.b.<br />

Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban resistif,<br />

R B , diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah timbul<br />

dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di<br />

rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini<br />

membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ<br />

dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).<br />

I 1<br />

φ I 2<br />

V s<br />

≈<br />

φ l1<br />

φ l2<br />

V 2<br />

R B<br />

Gb.2.4. Transformator berbeban.<br />

Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan<br />

E l2 di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 . Seperti halnya untuk<br />

belitan primer, tegangan El2<br />

ini diganti dengan suatu besaran ekivalen<br />

yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X 2 di<br />

rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R 2 , maka<br />

untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan<br />

2 = V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ El2<br />

= V2<br />

+ I 2 R2<br />

jI<br />

2 X 2 (2.8)<br />

E +<br />

dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />

28 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang<br />

melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung<br />

mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer<br />

juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung<br />

ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik.<br />

Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban<br />

hanyalah arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah<br />

transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa<br />

sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan E1<br />

juga tetap seperti<br />

semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap<br />

terpenuhi.<br />

Pertambahan arus primer dari<br />

I f menjadi I 1<br />

adalah untuk<br />

mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ<br />

dipertahankan. Jadi haruslah<br />

( I − I ) − ( I ) 0<br />

1 1 f 2 2 =<br />

(2.9)<br />

Pertambahan arus primer ( I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />

mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />

penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />

Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari<br />

(2.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />

2.3. Diagram Fasor<br />

I<br />

f<br />

( I )<br />

2 I 2<br />

= I1<br />

− 2 = I1<br />

−<br />

(2.10)<br />

<br />

a<br />

1<br />

Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara<br />

lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita<br />

mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:<br />

Gambarkan V2<br />

dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V 2 .<br />

Selain itu kita dapat gambarkan I ′ 2 = I 2 / a yaitu besarnya arus<br />

sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />

Dari 2 V dan 2 I kita dapat menggambarkan 2 E sesuai dengan<br />

persamaan (2.8) yaitu<br />

29


E 2 = V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ El2<br />

= V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />

sekunder.<br />

Untuk rangkaian primer, karena E1<br />

sefasa dengan E 2 maka E 1<br />

dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2<br />

.<br />

Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih<br />

<br />

dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita gambarkan<br />

yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus<br />

'<br />

belitan primer adalah I 1 = I f + I 2 .<br />

Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai<br />

dengan persamaan (2.7), yaitu<br />

V 1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X<br />

Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.<br />

Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan<br />

mengambil rasio transformasi 1 / 2 = a > 1<br />

I f<br />

V 1<br />

φ γ<br />

I<br />

f<br />

'<br />

I 2<br />

I 1<br />

I 2<br />

V 2<br />

E 2<br />

I 2 R 2<br />

jI 2 X 2<br />

E 1<br />

I 1 R 1<br />

jI 1 X 1<br />

Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,<br />

transformator berbeban resistif . a > 1<br />

COTOH-2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk<br />

tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini<br />

dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />

besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />

terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms) b). Berapa<br />

persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V<br />

(rms) pada setengah belitan primer c). Berapa persenkah<br />

pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />

pada setengah belitan primer d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />

30 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />

tersebut di atas<br />

Penyelesaian :<br />

a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />

adalah<br />

E1<br />

2 V1<br />

2 220 2<br />

Φ m = = =<br />

1ω<br />

1ω<br />

160ω<br />

Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />

V1′<br />

2 110 2<br />

Φ′ m = =<br />

1ω<br />

160ω<br />

Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />

b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

V ′′<br />

Φ ′′ 1 2 55 2 110 2<br />

m = = =<br />

(1/ 2) 1ω<br />

80ω<br />

160ω<br />

Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />

c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />

V ′′′<br />

Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />

m = = =<br />

(1/ 2) 1ω<br />

80ω<br />

160ω<br />

Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />

d). Dengan 1 / 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />

tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />

pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />

Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V.<br />

COTOH-2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan<br />

primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />

penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />

dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />

tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />

belitan sekunder.<br />

Penyelesaian :<br />

31


Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />

1ωΦ<br />

m<br />

500 2<br />

V1<br />

= = 500 → Φ m =<br />

= 0.00563 weber<br />

2<br />

400 × 2π × 50<br />

0.00563<br />

→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm<br />

= = 0.94 weber/m<br />

0.006<br />

1000<br />

Tegangan belitan sekunder adalah V 2 = × 500 = 1250 V<br />

400<br />

COTOH-2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu<br />

perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />

berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />

dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan<br />

jumlah lilitan primer dan sekunder.<br />

Penyelesaian :<br />

Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />

mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />

1ωΦ<br />

m<br />

6000 2<br />

V1<br />

= = 6000 → 1<br />

=<br />

= 450<br />

2<br />

2π × 50 × 0.06<br />

250<br />

⇒ 2 = × 450 = 18.75<br />

6000<br />

Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />

pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />

terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />

6000<br />

⇒ 2 = 20 lilitan ⇒ 1<br />

= × 20 = 480 lilitan<br />

250<br />

2.4. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik<br />

biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang<br />

sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara<br />

rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan<br />

perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang<br />

menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),<br />

yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).<br />

2<br />

32 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X1<br />

; E2<br />

= V2<br />

+ I2R2<br />

+ jI2X2<br />

'<br />

I1<br />

= I f + I2<br />

' <br />

dengan 2 I<br />

I<br />

2<br />

2 = I2<br />

=<br />

1<br />

a<br />

;<br />

(2.11)<br />

Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan ke-dua dari<br />

(2.11) dapat ditulis sebagai<br />

E<br />

a<br />

⇒ E<br />

1<br />

1<br />

= V<br />

2<br />

= aV<br />

2<br />

dengan<br />

+ a I′<br />

R<br />

+ I′<br />

( a<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

V ′ = aV<br />

+ ja I′<br />

X<br />

2<br />

2<br />

;<br />

2<br />

2<br />

R′<br />

2<br />

2<br />

R ) + j I′<br />

( a<br />

Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi<br />

X<br />

= a<br />

2<br />

2<br />

) = V′<br />

+ I′<br />

R′<br />

+ j I′<br />

X ′ (2.12)<br />

R<br />

V1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X1;<br />

E1<br />

= aV2<br />

+ I2′<br />

R2′<br />

+ j I2′<br />

X 2′<br />

;<br />

I1<br />

= I f + I2′<br />

2<br />

2<br />

;<br />

2<br />

X ′<br />

2<br />

2<br />

= a<br />

2<br />

X<br />

2<br />

2<br />

2<br />

(2.13)<br />

'<br />

I 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang<br />

dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian<br />

ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.<br />

I<br />

'<br />

1<br />

I 2<br />

∼<br />

V 1<br />

R 1<br />

jX 1<br />

E 1<br />

Z<br />

I<br />

f<br />

R′ 2<br />

jX′ 2<br />

B<br />

V<br />

'<br />

2 = aV2<br />

Gb.2.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).<br />

Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat<br />

dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa<br />

dengan E 1 sedangkan I φ 90 o dibelakang E 1 . Dengan demikian maka<br />

impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai<br />

hubungan paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />

sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi<br />

seperti Gb.2.7.<br />

33


∼<br />

I 1<br />

'<br />

I 2<br />

R 1<br />

jX 1 I f R′ 2<br />

jX′ 2<br />

V 1 E 1<br />

I φ<br />

B V2′<br />

= aV2<br />

R I<br />

c c jX c<br />

Gb.2.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator lebih detil.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang<br />

digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi<br />

yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga<br />

listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari<br />

arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti<br />

transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik<br />

yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang<br />

terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat<br />

rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.<br />

'<br />

I 1 = I 2<br />

∼<br />

R e = R 1 +R′ 2<br />

jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />

V<br />

B V<br />

1<br />

2′<br />

2.5. Impedansi Masukan<br />

'<br />

jI 2 X e<br />

V 2′<br />

'<br />

I 2<br />

Gb.2.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator<br />

disederhanakan dan diagram fasornya.<br />

Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer resistansi<br />

tersebut menjadi<br />

V 1<br />

34 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V2′<br />

aV2<br />

V2<br />

RB′ 2 2<br />

= = = a = a R B<br />

(2.14)<br />

I 2′<br />

I 2 / a I 2<br />

Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,<br />

impedansi masukan adalah<br />

V1<br />

2<br />

Z in = = Re<br />

+ a RB<br />

+ jX<br />

I<br />

2.6. Penentuan Parameter Transformator<br />

1<br />

e<br />

(2.15)<br />

Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter<br />

transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 , R c , dan X φ .<br />

Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung<br />

menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter<br />

yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.<br />

Uji Tak Berbeban ( Uji Beban ol ). Uji beban nol ini biasanya<br />

dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah<br />

maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi<br />

tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber<br />

tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan<br />

rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan<br />

daya (aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />

magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />

pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan<br />

jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan tegangan induksi E r .<br />

Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di<br />

resistansi belitan sehingga P r menunjukkan kehilangan daya pada R cr (R c<br />

dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.<br />

Pr<br />

Pr<br />

Daya kompleks masukan : Sr<br />

= Vr<br />

I r ; cosθ = =<br />

S V I<br />

⇒<br />

⇒<br />

Icr<br />

= I r cosθ<br />

Vr<br />

Rcr<br />

=<br />

Icr<br />

;<br />

Vr<br />

=<br />

I r cosθ<br />

→ sin θ =<br />

I φr<br />

= I r sin θ<br />

;<br />

Vr<br />

X φr<br />

=<br />

I φr<br />

2 2<br />

Sr<br />

− Pr<br />

Sr<br />

r<br />

Vr<br />

=<br />

I r sin θ<br />

r<br />

r<br />

(2.16)<br />

35


Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan<br />

tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan<br />

tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />

Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah<br />

masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi<br />

dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan V t ,<br />

arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan P t . Tegangan masukan yang<br />

dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita<br />

dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan<br />

demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang<br />

disederhanakan Gb.2.9. Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk<br />

mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen<br />

yang dilihat dari sisi tegangan tinggi R et .<br />

t<br />

t<br />

2<br />

t<br />

P = I<br />

V = I<br />

t<br />

R<br />

Z<br />

et<br />

et<br />

→ R<br />

et<br />

→ Z<br />

P<br />

=<br />

I<br />

et<br />

t<br />

2<br />

t<br />

V<br />

=<br />

I<br />

t<br />

t<br />

;<br />

→ X<br />

e<br />

=<br />

Z<br />

2<br />

et<br />

− R<br />

2<br />

et<br />

(2.17)<br />

Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />

resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran<br />

terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />

Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak dapat<br />

memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing<br />

belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan<br />

kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 . Kondisi ini sesungguhnya<br />

benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.<br />

COTOH-2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50<br />

Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />

Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />

V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />

Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />

belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />

tegangan tinggi<br />

V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />

36 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />

tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada<br />

beban penuh <br />

Penyelesaian :<br />

a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c dan<br />

X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan<br />

rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />

2 2<br />

P 114<br />

(240×<br />

1.6) −114<br />

cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />

= 0.95<br />

VI 240×<br />

1.6<br />

240×<br />

1.6<br />

V 240 240<br />

V 240<br />

Rcr<br />

= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />

I c I cos θ 1.6×<br />

0.3<br />

I φ 1.6×<br />

0.95<br />

Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />

R<br />

X<br />

ct<br />

φt<br />

2<br />

= a R<br />

= a<br />

2<br />

cr<br />

X<br />

⎛<br />

= ⎜<br />

⎝<br />

φr<br />

2<br />

2400 ⎞<br />

⎟<br />

240 ⎠<br />

= 15.8 kΩ<br />

× 500 = 50 kΩ<br />

Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />

hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan<br />

tinggi ini memberikan<br />

Pt<br />

360<br />

Ret<br />

= = = 3.33 Ω ;<br />

2 2<br />

It<br />

(10.4)<br />

Vt<br />

55<br />

Zet<br />

= = = 5.29 Ω →<br />

It<br />

10.4<br />

X et =<br />

2 2<br />

5.29 = 3.33<br />

= 4.1Ω<br />

b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator<br />

hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi<br />

inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga<br />

tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban<br />

penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan<br />

hubung singkat, yaitu<br />

S 25000 2<br />

I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />

= I1<br />

Ret<br />

= (10.4)<br />

2 × 3.33 = 360 W<br />

V 2400<br />

1<br />

37


Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />

sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />

penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />

2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />

Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />

daya keluaran [watt]<br />

η =<br />

(2.18)<br />

daya masukan [watt]<br />

Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi<br />

daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />

rugi - rugi daya [watt]<br />

η =1 −<br />

(2.19)<br />

daya masukan [watt]<br />

Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugirugi<br />

daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung<br />

singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />

Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />

besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban<br />

nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />

V2 beban nol −V2 beban penuh<br />

Regulasi Tegangan =<br />

V2 beban penuh<br />

V1<br />

/ a − V2<br />

=<br />

V2<br />

V1<br />

− aV2<br />

=<br />

aV2<br />

V1<br />

− V2′<br />

=<br />

V2′<br />

Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi<br />

Regulasi Tegangan =<br />

V2 ′ + I′<br />

2 ( R e + jX e ) − V2′<br />

V2′<br />

(2.25)<br />

(2.26)<br />

COTOH-2.6 : Transformator pada Contoh-5. mencatu beban 25 KVA<br />

pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah<br />

regulasi tegangannya.<br />

Penyelesaian :<br />

38 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Total rugi daya : P c + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />

a). Daya keluaran : Po<br />

= 25000×<br />

0.8 = 20 KW<br />

0.474<br />

Efisiensi : η = 1−<br />

= 0.976 atau 97.6 %<br />

20<br />

b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />

′ −1<br />

o<br />

I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />

o<br />

o<br />

2400∠0<br />

+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />

− 2400<br />

Reg.Tegangan =<br />

2400<br />

0.022 atau 2.2 %<br />

2.8. Konstruksi Transformator<br />

Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan<br />

satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti<br />

dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan<br />

tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan<br />

sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di<br />

setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris<br />

dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini<br />

fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi<br />

bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />

lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih<br />

tinggi.<br />

R / 2 R / 2<br />

T /<br />

T /<br />

2<br />

2<br />

a). tipe inti.<br />

a). tipe sel.<br />

Gb.2.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />

T : jumlah lilitan tegangan tinggi<br />

R : jumlah lilitan tegangan rendah.<br />

R / 4<br />

T / 2<br />

R / 2<br />

T / 2<br />

R / 4<br />

39


Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa<br />

adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.<br />

memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder<br />

yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti<br />

yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini<br />

sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah<br />

ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini<br />

sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi<br />

ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />

2.9. Transformator Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />

Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan<br />

dengan dua cara yaitu :<br />

(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,<br />

(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.<br />

Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki<br />

mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang<br />

sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,<br />

lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit<br />

transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator<br />

satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu<br />

unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika<br />

untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit<br />

ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya<br />

kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh<br />

penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari<br />

berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />

sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />

transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga<br />

unit transformator satu fasa.<br />

Hubungan ∆−∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu<br />

fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus<br />

diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini<br />

diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W<br />

sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer<br />

kita sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa sekunder<br />

kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai tegangan saluran<br />

(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut V LP dan V LS . Nilai<br />

40 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut I LP dan I LS<br />

sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS . Rasio tegangan fasa primer<br />

terhadap sekunder V / V a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk<br />

FP FS =<br />

hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />

U<br />

V<br />

W<br />

V UO<br />

V VO<br />

V WO<br />

VLP VFP<br />

I LP I FP 3 1<br />

= = a ; = =<br />

(2.27)<br />

VLS<br />

VFP<br />

I LS I FS 3 a<br />

V XO<br />

V YO<br />

V ZO<br />

X<br />

Y V UV = V UO<br />

V XY = V XO<br />

Z<br />

Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.<br />

Hubungan ∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan<br />

tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi kita<br />

peroleh<br />

VLP VFP<br />

a I LP I FP 3 3<br />

= = ; = =<br />

(2.28)<br />

VLS<br />

VFS<br />

3 3 I LS I FS a<br />

Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />

U<br />

X<br />

V<br />

V UO<br />

V XO<br />

Y<br />

V UV = V UO<br />

V ZO<br />

V XY<br />

W<br />

V VO<br />

V YO<br />

Z<br />

V XO<br />

V WO<br />

V ZO<br />

Gb.2.11. Hubungan ∆-Y<br />

V YO<br />

41


Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />

dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30 o .<br />

Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah<br />

VLP VFP<br />

3 I LP I FP 1<br />

= = a ; = =<br />

(2.29)<br />

VLS<br />

V<br />

I LS I FS a<br />

FS 3<br />

Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />

perbedaan sudut fasa.<br />

U<br />

X<br />

V UO<br />

V XO<br />

V<br />

Y<br />

V VO<br />

V YO<br />

W<br />

Z<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V WO<br />

V UV<br />

V ZO<br />

V XY<br />

V UO<br />

V XO<br />

V VO<br />

V YO<br />

Gb.2.12. Hubungan Y-Y<br />

42 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Hubungan Y-∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.<br />

Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder<br />

sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi<br />

diperoleh<br />

VLP<br />

VLS<br />

VFP<br />

3<br />

I LP I FP 1<br />

= = a 3 ; = = (2.30)<br />

VFS<br />

I LS I FS 3 a 3<br />

Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />

U<br />

V<br />

W<br />

V UO<br />

V VO<br />

V WO<br />

V XO<br />

V YO<br />

V ZO<br />

X<br />

Y<br />

Z<br />

V WO<br />

V UV<br />

V XY = V XO<br />

V UO<br />

V ZO<br />

V YO<br />

V VO<br />

Gb.2.13. Hubungan Y-∆<br />

COTOH-2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />

tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />

mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />

tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />

untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />

(d) Y-∆ .<br />

43


Penyelesaian :<br />

a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

= = = = 550 V ;<br />

a a 12<br />

I LP<br />

I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />

3<br />

b). Untuk hubungan Y-Y :<br />

VFP<br />

VLP<br />

3 6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

3 = 3 = = = 550 V ;<br />

a 3 a 12<br />

I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.<br />

c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />

a a 12<br />

I LP 10<br />

I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />

3 3<br />

d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />

V<br />

I<br />

LS<br />

LS<br />

= V<br />

= I<br />

FS<br />

FS<br />

V<br />

=<br />

a<br />

FP<br />

3 = aI<br />

1 VLP<br />

= =<br />

a 3<br />

FP<br />

3 = aI<br />

1<br />

12<br />

LP<br />

6600<br />

= 318 V ;<br />

3<br />

3 = 12 × 10 ×<br />

3 = 208 A .<br />

Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya<br />

masukan.<br />

S keluaran<br />

= Smasukan<br />

= VLP<br />

I LP<br />

3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />

44 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 3<br />

Mesin Sinkron<br />

Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari<br />

sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator<br />

tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka<br />

mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda<br />

besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti<br />

konversi energi dari energi elektrik ke energi listrik.<br />

Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />

transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />

fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />

primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu<br />

dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;<br />

cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari<br />

energi mekanis ke energi elektrik atau disebut konversi energi<br />

elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari<br />

mekanis ke elektrik tetapi juga dari elektrik ke mekanis, dan<br />

dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum<br />

Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini<br />

dinyatakan dalam dua persamaan berikut<br />

dλ<br />

dφ<br />

e = − = −<br />

dan F = KB<br />

B i f (θ)<br />

dt dt<br />

Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan<br />

dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis<br />

ditimbulkan.<br />

Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat<br />

luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut<br />

generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat<br />

yaitu konstruksi kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />

45


3.1. Mesin Kutub Menonjol<br />

Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.1.a.<br />

Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan<br />

a 1 a 11 sampai c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar<br />

yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat<br />

kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor<br />

yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut<br />

belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu<br />

siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut<br />

sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar sudut 360 o ini<br />

melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120 o<br />

antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan belitan b 1 b 11<br />

berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi 120 o , dan<br />

mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan<br />

yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />

kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />

a<br />

b 11<br />

1 c1<br />

c 11 S b 11<br />

a 1 U U a 2<br />

b 22 S c 22<br />

c 2<br />

a 22<br />

b 2<br />

a 1 a 11<br />

180 o mekanis = 360 o<br />

φ<br />

φ<br />

φ<br />

a) b) c)<br />

konstruksi kutub tonjol belitan fluksi magnetik<br />

Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol<br />

Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub<br />

(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran<br />

rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan<br />

antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />

atau secara umum<br />

θ magnetik [ derajat]<br />

= 2×<br />

θmekanik<br />

[ derajat]<br />

46 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


p<br />

θ magnetik [ derajat]<br />

= × θmekanik<br />

[ derajat]<br />

(3.1)<br />

2<br />

dengan p adalah jumlah kutub.<br />

Kecepatan sudut mekanik adalah<br />

dθmekanik<br />

ω mekanik = = 2π f mekanik<br />

(3.2)<br />

dt<br />

Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik<br />

yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.<br />

Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah<br />

rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n<br />

rpm, maka jumlah siklus per detik adalah<br />

n n<br />

atau f mekanis =<br />

60<br />

60<br />

siklus per detik.<br />

Kecepatan sudut magnetik adalah<br />

dθmagnetik<br />

ω magnetik = = 2π f magnetik<br />

(3.3)<br />

dt<br />

Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi<br />

p<br />

p<br />

p n p n<br />

ω magnetik = ωmekanik<br />

= 2π<br />

f mekanik = 2π<br />

= 2π<br />

2<br />

2<br />

2 60 120<br />

yang berarti<br />

p n<br />

f magnetik = siklus per detik (3.4)<br />

120<br />

Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi<br />

di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />

p n<br />

f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan<br />

120<br />

mempunyai frekuensi<br />

p n<br />

f tegangan = Hz<br />

(3.5)<br />

120<br />

47


Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi<br />

tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah<br />

kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =<br />

3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000<br />

rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol<br />

seperti pada Gb.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak<br />

sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.<br />

Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi<br />

silindris.<br />

180 o mekanis = 360 o magnetik<br />

a 11<br />

φ s<br />

a θ<br />

1<br />

Gb.3.2. Perhitungan fluksi.<br />

Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />

kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk<br />

setiap pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan<br />

e c1 pada c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2<br />

dan e c2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi<br />

setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa<br />

pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan<br />

yang sefasa, misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk<br />

memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk<br />

memperoleh arus yang lebih besar.<br />

Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan<br />

berbentuk gelombang sinus v = Acos ωt<br />

, dengan pergeseran 120 o<br />

untuk belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu<br />

48 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder<br />

karena fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron,<br />

fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus<br />

searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi<br />

fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi<br />

waktu agar persamaan (3.1) dapat diterapkan untuk memperoleh<br />

tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran<br />

rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki<br />

celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka,<br />

dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang<br />

ditangkap oleh belitan stator adalah<br />

dφ<br />

dθ<br />

s magnetik<br />

= φ<br />

dt dt<br />

= φ ω magnetik<br />

p n<br />

Karena ω magnetik = 2π<br />

f magnetik = 2π<br />

, maka<br />

120<br />

d φ s = φ<br />

dt<br />

π<br />

p n<br />

60<br />

Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />

(3.6)<br />

(3.7)<br />

dφ<br />

s<br />

p n<br />

v = − = − φ π<br />

(3.8)<br />

dt<br />

60<br />

Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t<br />

egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />

perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda<br />

berikutnya. Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang<br />

tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus<br />

berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi<br />

sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu<br />

terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />

φ = φ m cos θ maknetik<br />

(3.9)<br />

maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />

49


( φ cosθ<br />

)<br />

dφs<br />

dφ<br />

d<br />

dθmagnetik<br />

= = m magnetik = −φm<br />

sinθmagnetik<br />

dt dt dt<br />

dt<br />

⎛ p n ⎞<br />

= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />

π ⎟ sin θmagnetik<br />

⎝ 120 ⎠<br />

(3.10)<br />

sehingga tegangan belitan<br />

dφ<br />

s p n<br />

e = −<br />

= π φm<br />

sin θmagnetik<br />

dt 60 (3.11)<br />

= 2π<br />

f φm<br />

sin θmagnetik<br />

= ω φm<br />

sin ωt<br />

Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />

dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini<br />

adalah<br />

dan nilai efektifnya adalah<br />

Em<br />

= ω<br />

φm<br />

Volt<br />

(3.12)<br />

Em<br />

ω<br />

φm<br />

2π<br />

f<br />

Erms<br />

= = =<br />

2 2 2<br />

= 4,44 f φm<br />

Volt<br />

φm<br />

(3.13)<br />

Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />

perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.2. yang merupakan<br />

penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada<br />

Gb.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />

1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan<br />

a 1 a 11 , yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun<br />

gulungan itu terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita<br />

sebut belitan terpusat.<br />

2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />

adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut<br />

kisar penuh.<br />

Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,<br />

melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati<br />

beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />

terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh<br />

50 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


(60 o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati<br />

sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu<br />

kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan tetapi hanya 80%<br />

sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi<br />

dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />

menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan<br />

fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi<br />

komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan<br />

suatu faktor K w yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w<br />

mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor<br />

belitan ini formulasi tegangan (3.13) menjadi<br />

Erms = 4,44<br />

f K w φm<br />

Volt<br />

(3.14)<br />

Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol<br />

dalam keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan<br />

kita pelajari lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesinmesin<br />

listrik. Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor<br />

silindris.<br />

COTOH-3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan<br />

jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan<br />

setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara<br />

sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan<br />

perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar<br />

dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />

p n 4×<br />

1500<br />

f = = = 50 Hz<br />

120 120<br />

12<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />

4<br />

kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga<br />

fasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />

Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />

E ak = 4 ,44 f φm<br />

= 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V<br />

51


Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2<br />

× 66,6 = 133 V.<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />

COTOH-3.2: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur<br />

pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain<br />

tetap.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />

karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />

24<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap<br />

4<br />

pasang kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem<br />

tegangan tiga fasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub<br />

terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai<br />

rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah<br />

E a1 = 4,44 f φm<br />

V = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V .<br />

Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda,<br />

maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.<br />

Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />

360 o<br />

= o<br />

15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau<br />

24<br />

2 pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi<br />

selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o<br />

elektrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub<br />

adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa<br />

30 o tersebut.<br />

o<br />

o<br />

E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />

Karena ada 2 pasang kutub maka<br />

E a<br />

= 2×<br />

2 2<br />

(124,8) + (33,3)<br />

= 258<br />

V<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />

52 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


COTOH-3.3: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur<br />

pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat<br />

16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375<br />

rpm. Ketentuan yang lain tetap.<br />

Penyelesaian :<br />

Frekuensi tegangan jangkar :<br />

16×<br />

375<br />

f = = 50 Hz<br />

120<br />

144<br />

Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan<br />

16<br />

per pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap<br />

fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />

E a1 = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />

belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan<br />

dan fluksi maksimum tidak berubah.<br />

Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan<br />

o<br />

o<br />

adalah<br />

360 = 2,5 mekanik. Karena mesin mengandung 16<br />

144<br />

kutub (8 pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik,<br />

sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah<br />

o<br />

2 ,5 × 8 = 20 listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah<br />

jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing<br />

berselisih fasa 20 o .<br />

E<br />

o<br />

o<br />

ak = 66,6 + 66,6∠20<br />

+ 66,6∠40<br />

= 66,61<br />

o o<br />

o o<br />

( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />

= 180,2 + j65,6<br />

Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />

E a<br />

= 8×<br />

2 2<br />

(180,2) + (65,6)<br />

= 8×<br />

191,8 = 1534<br />

V<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />

53


3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />

Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai<br />

untuk perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin<br />

rotor silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.<br />

a<br />

b 1<br />

c<br />

U c 1<br />

S b<br />

a 1<br />

Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />

Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk<br />

menempatkan belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi<br />

magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub<br />

tonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi<br />

lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub tonjol. Belitan<br />

eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor<br />

membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada<br />

gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa 1 , bb 1 dan<br />

cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu<br />

rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitanbelitan<br />

terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.<br />

Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi<br />

rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi<br />

mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada<br />

transformator kita mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin<br />

sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva<br />

magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.<br />

Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000<br />

rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran<br />

pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus<br />

medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran<br />

54 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.3.4 disebut<br />

karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada<br />

kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan<br />

ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis<br />

mesin sinkron.<br />

Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat<br />

yang dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung<br />

singkat ini mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan<br />

terminal belitan jangkar dihubung singkat (belitan jangkar<br />

terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus<br />

eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada<br />

Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan<br />

arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan<br />

tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan<br />

jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang<br />

diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi<br />

tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar.<br />

12000<br />

11000<br />

10000<br />

9000<br />

Tegangan Fasa-Netral [V]<br />

8000<br />

7000<br />

6000<br />

5000<br />

4000<br />

3000<br />

2000<br />

1000<br />

celah<br />

udara<br />

V=kI<br />

beban-nol<br />

V=V(I f )| I =0<br />

hubung singkat<br />

I = I (I f ) | V=0<br />

0<br />

0<br />

50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />

350 400 450 500<br />

Arus fasa [A]<br />

Gb.3.4. Karakteristik beban-nol dan hubung<br />

singkat.<br />

55


Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />

memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus<br />

medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf<br />

(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang<br />

mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan<br />

karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak<br />

dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal<br />

inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor<br />

yang akan kita pelajari beikut ini.<br />

Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada<br />

transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya<br />

merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap<br />

waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan<br />

menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan<br />

dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor,<br />

walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu<br />

tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya.<br />

Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke<br />

dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan<br />

berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang<br />

dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini<br />

mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai<br />

dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.<br />

Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />

dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar<br />

melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru<br />

karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai<br />

dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan<br />

imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat<br />

oleh belitan jangkar.<br />

Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga<br />

arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />

56 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


a<br />

U<br />

θ<br />

U<br />

a<br />

S<br />

sumbu<br />

e maks<br />

S<br />

sumbu<br />

i maks<br />

a 1<br />

sumbu<br />

magnet<br />

(a)<br />

Gb.3.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />

Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa 1<br />

maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu<br />

kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah<br />

maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang<br />

dilingkupi oleh belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu arus di<br />

belitan aa 1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus<br />

mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat<br />

pada Gb.3.5.b.<br />

Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />

magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama<br />

dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan<br />

mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang<br />

akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini<br />

maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan<br />

keluaran mesin dipertahankan.<br />

Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami<br />

reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor.<br />

Hal ini berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat<br />

analisis mesin kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita<br />

tidak melakukannya dalam bab pengenalan ini.<br />

Diagram fasor (Gb.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />

(b)<br />

1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />

a 1<br />

sumbu<br />

magnet<br />

57


2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar<br />

nominal.<br />

I a adalah<br />

3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />

tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />

membangkitkannya.<br />

4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi<br />

R a .<br />

5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />

Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai referensi,<br />

arus jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban induktif).<br />

Tegangan imbas pada jangkar adalah<br />

( R + jX )<br />

E a = Va<br />

+ Ia<br />

a l<br />

(3.15)<br />

Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara<br />

Φ a yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa mendahului E a 90 o .<br />

Arus jangkar<br />

dengan arus ekivalen<br />

I a memberikan fluksi jangkar Φ a yang dinyatakan<br />

. Jadi fluksi dalam celah udara merupakan<br />

I φa<br />

jumlah dari fluksi rotor Φ f<br />

I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />

yang dinyatakan dengan arus ekivalen<br />

I fa = I f + Iφa<br />

atau I f = I fa − Iφa<br />

(3.16)<br />

Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor<br />

I f haruslah cukup untuk<br />

membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan E a dan<br />

mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />

dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. I f membangkitkan tegangan<br />

E aa 90 o di belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />

58 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


E aa<br />

I f<br />

= I fa − I φa<br />

I fa<br />

γ<br />

E a<br />

− I φa<br />

I φa<br />

θ<br />

I a<br />

V a<br />

I a R a<br />

jI a X l<br />

Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />

Hubungan antara nilai<br />

E a dan<br />

celah udara, sedangkan antara nilai<br />

I fa diperoleh dari karakteristik<br />

I a dan<br />

I φa<br />

diperoleh dari<br />

karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti<br />

terlihat pada Gb.3.6., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />

E a = kv<br />

I fa dan I a = ki<br />

Iφa<br />

atau I fa = Ea<br />

/ kv<br />

dan<br />

I φ a = I a / ki<br />

(3.17)<br />

dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />

kurva. Dari (3.7) dan Gb.3.6. kita peroleh<br />

I<br />

Ea<br />

o I a o<br />

f = I fa − Iφa<br />

= ∠(90<br />

+ γ)<br />

+ ∠(180<br />

− θ)<br />

kv<br />

ki<br />

Ea<br />

I a<br />

= j ∠γ − ∠ − θ<br />

kv<br />

ki<br />

Dari (3.18) kita peroleh<br />

E aa yaitu<br />

⎛ Ea<br />

I a ⎞<br />

Eaa<br />

= − jkvI<br />

f = − jkv<br />

⎜ j<br />

⎟<br />

∠γ − ∠ − θ<br />

kv<br />

k<br />

⎝<br />

i ⎠<br />

kv<br />

kv<br />

= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />

+ j I a<br />

ki<br />

ki<br />

(3.18)<br />

(3.19)<br />

59


Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai<br />

jX φa<br />

I a dengan<br />

kv<br />

X φ a =<br />

(3.20)<br />

ki<br />

yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />

adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis<br />

E<br />

E<br />

( R + jX )<br />

a<br />

a<br />

( R + jX )<br />

aa = a + jX φa<br />

a = a + a a l + jX φa<br />

= Va<br />

+ Ia<br />

I<br />

V<br />

I<br />

I<br />

a<br />

(3.21)<br />

dengan<br />

X a = X l + X φa<br />

yang disebut reaktansi sinkron.<br />

Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7.<br />

untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi<br />

sinkron.<br />

E aa<br />

I<br />

f = I fa − Iφa<br />

− I φa<br />

I<br />

fa<br />

I φa<br />

θ<br />

I a<br />

γ<br />

V a<br />

jI a X l<br />

j Ia X φa<br />

jI a X a<br />

Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />

reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />

Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan<br />

dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik<br />

linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh<br />

karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak<br />

jenuh.<br />

E a<br />

I a R a<br />

60 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


3.3. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

Dengan pengertian<br />

I a<br />

reaktansi sinkron<br />

dan memperhatikan<br />

persamaan (3.21)<br />

R<br />

+ a jX a +<br />

Beban<br />

kita dapat<br />

− E<br />

Va<br />

aa<br />

−<br />

menggambarkan<br />

rangkaian ekivalen<br />

mesin sinkron Gb.3.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen mesin sinkron.<br />

dengan beban<br />

seperti terlihat pada Gb.3.8. Perhatikanlah bahwa rangkaian<br />

ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen per fasa. Tegangan V a<br />

adalah tegangan fasa-netral dan I a adalah arus fasa.<br />

COTOH-3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,<br />

terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai<br />

karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai<br />

E a = 53,78<br />

I f V dan karakteristik hubung singkat<br />

I a = 2,7<br />

I f A (I f dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa<br />

adalah 0,08 Ω dan reaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah<br />

arus eksitasi (arus medan) yang diperlukan untuk<br />

membangkitkan tegangan terminal nominal jika generator<br />

dibebani dengan beban nominal seimbang pada faktor daya 0,8<br />

lagging.<br />

Penyelesaian :<br />

Tegangan per fasa adalah<br />

13800<br />

V a = = 7967,4 V .<br />

3<br />

Arus jangkar per fasa :<br />

6<br />

10 × 10<br />

I a =<br />

= 418,4 A .<br />

13800×<br />

3<br />

Reaktansi reaksi jangkar :<br />

Reaktansi sinkron :<br />

kv<br />

X φ a =<br />

ki<br />

=<br />

53,78<br />

= 19,92 Ω<br />

2,7<br />

X a = X l + X φ a = 1,9 + 19,92 = 21,82 Ω<br />

61


Dengan mengambil V a sebagai referensi, maka V a = 7967,4<br />

∠0 o V dan I a = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :<br />

E aa = V a + I a ( R a + jXa)<br />

o<br />

= 7967,4∠0<br />

+ 418,4∠ − 36,87(0.08 + j21.82)<br />

o<br />

o<br />

≈ 7967,4∠0<br />

+ 9129,5∠53,13<br />

= 13445,1 + j7303,6<br />

E aa<br />

=<br />

(13445,1)<br />

2<br />

+ (7303,6)<br />

Arus eksitasi yang diperlukan adalah<br />

I<br />

E<br />

=<br />

aa<br />

f<br />

kv<br />

15300 = = 284,5 A<br />

53,78<br />

2<br />

= 15300 V<br />

Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah<br />

P = V I cos θ<br />

(3.22)<br />

f<br />

a<br />

a<br />

Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil<br />

dibandingkan dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan<br />

mengabaikan resistansi jangkar maka diagram fasor mesin sinkron<br />

menjadi seperti Gb.3.9.<br />

E aa<br />

θ<br />

jI a X a<br />

θ<br />

δ<br />

I a<br />

V a<br />

Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; resistansi<br />

jangkar diabaikan.<br />

62 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Gb.3.9. memperlihatkan bahwa<br />

Eaa<br />

E aa sin δ = Ia<br />

X a cosθ<br />

atau I a cos θ = sin δ .<br />

X a<br />

Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai<br />

Va<br />

Eaa<br />

P f = sin δ<br />

(3.23)<br />

X a<br />

Persamaan (3.23) ini memberikan formulasi daya per fasa dan sudut<br />

δ menentukan besarnya daya; oleh karena itu sudut δ disebut sudut<br />

daya (power angle).<br />

Daya P f merupakan fungsi sinus dari sudut daya δ seperti terlihat<br />

pada Gb.3.10.<br />

P1.1<br />

f<br />

generator<br />

0<br />

-180 -90 0 90 180<br />

motor<br />

-1.1<br />

δ ( o<br />

listrik)<br />

Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.<br />

Untuk 0 < δ < 180 o daya bernilai positif, mesin beroperasi sebagai<br />

generator yang memberikan daya. (Jangan dikacaukan oleh<br />

konvensi pasif karena dalam menggambarkan diagram fasor untuk<br />

mesin ini kita menggunakan ketentuan tegangan naik dan bukan<br />

tegangan jatuh). Untuk 0 > δ > −180 o mesin beroperasi sebagai<br />

motor, mesing menerima daya.<br />

Dalam pengenalan mesin-mesin elektrik ini, pembahasan mengenai<br />

mesin sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut<br />

akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin<br />

listrik.<br />

63


64 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja<br />

Motor merupakan<br />

piranti konversi dari<br />

energi elektrik ke energi<br />

mekanik. Salah satu<br />

jenis yang banyak<br />

dipakai adalah motor<br />

asinkron atau motor<br />

induksi. Di sini kita<br />

hanya akan melihat<br />

motor asinkron tiga fasa.<br />

Stator memiliki alur-alur<br />

untuk memuat belitanbelitan<br />

yang akan<br />

terhubung pada sistem<br />

tiga fasa. Gb.4.1. hanya<br />

memperlihatkan tiga<br />

BAB 4<br />

Motor Asinkron<br />

belitan pada stator sebagai belitan terpusat, yaitu belitan aa 1 , bb 1<br />

dan cc 1 yang berbeda posisi 120 o mekanik. Susunan belitan ini sama<br />

dengan susunan belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan<br />

ini dapat dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya<br />

disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang<br />

berisi konduktor dan semua konduktor pada rotor ini dihubung<br />

singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi rotor yang<br />

disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu berbentuk<br />

sangkar).<br />

Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita<br />

melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor<br />

generator yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada<br />

porosnya. Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada<br />

belitan stator yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila<br />

rangkaian belitan stator tertutup, misalnya melalui pembebanan,<br />

akan mengalir arus tiga fasa pada belitan stator. Sesuai dengan<br />

b 1<br />

c<br />

a<br />

c 1<br />

b<br />

a 1<br />

Gb.4.1. Motor asinkron.<br />

65


hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan membangkitkan fluksi yang<br />

melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar.<br />

Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran<br />

rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai<br />

perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz<br />

dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor<br />

membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada<br />

belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan<br />

stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi<br />

konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada<br />

reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi<br />

berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke<br />

sumber tiga fasa.<br />

Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi<br />

berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai<br />

tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120 o mekanis satu<br />

sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masingmasing<br />

dialiri arus i a , i b , dan i c yang berbeda fasa 120 o elektrik<br />

seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan<br />

membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan<br />

arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi<br />

pada beberapa titik waktu.<br />

Perhatikan Gb.4.2. Pada t 1 arus i a maksimum negatif dan arus i b = i c<br />

positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φ a , φ b<br />

dan φ c yang memberikan fluksi total φ tot . Kejadian ini berubah pada<br />

t 2 , t 3 , t 4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total<br />

berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa.<br />

Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.<br />

Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi<br />

antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran<br />

sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu<br />

p n s<br />

120 f<br />

f 1 = Hz atau n 1<br />

s = rpm (4.1)<br />

120<br />

p<br />

dengan f 1 adalah frekuensi tegangan stator, n s adalah kecepatan<br />

perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah<br />

kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator<br />

66 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub<br />

adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran<br />

sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4,<br />

belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1.<br />

b<br />

c<br />

b 1<br />

c 1<br />

a 1<br />

a).<br />

a<br />

1.1<br />

0<br />

-1.1<br />

-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180<br />

i a i b i c<br />

t<br />

b). t 1 t 2 t 3 t 4<br />

i b<br />

φ b<br />

φ c<br />

i a<br />

φ a<br />

φ tot<br />

i b<br />

φ b<br />

t 2<br />

i a<br />

φc<br />

φ tot<br />

i b<br />

i c<br />

t 3<br />

i a<br />

φ tot<br />

i c<br />

i b<br />

φ a<br />

φ b<br />

φ c<br />

t 4<br />

i a<br />

i c<br />

t 1<br />

φ a<br />

i c<br />

φ a<br />

φ tot<br />

φ b<br />

φ c<br />

Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar.<br />

Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik<br />

netral. Fluksi total φ tot tetap dan berputar.<br />

Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator<br />

akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena<br />

konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir<br />

arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang<br />

berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan<br />

gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar<br />

dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi<br />

67


torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu<br />

harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi<br />

tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil<br />

dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan<br />

perputaran sinkron n s ) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada<br />

fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi<br />

beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip<br />

yang besarnya adalah :<br />

n<br />

− n<br />

s<br />

s =<br />

ns<br />

(4.2)<br />

Nilai s terletak antara 0 dan 1.<br />

Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron,<br />

kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan<br />

rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk<br />

meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan<br />

stator maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal<br />

belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar<br />

bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada<br />

resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan<br />

belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu<br />

operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini<br />

mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan<br />

tegangan baik pada belitan stator maupun rotor.<br />

E 1<br />

E 2<br />

belitan stator<br />

belitan rotor<br />

Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor<br />

mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus<br />

menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.<br />

68 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Tegangan imbas pada stator adalah :<br />

E<br />

1 = 4 ,44 f 1K w 1φm<br />

(4.3)<br />

p ns<br />

dengan K w1 adalah faktor belitan stator, f = = frekuensi<br />

120<br />

tegangan stator, φ m adalah fluksi maksimum di celah udara, 1<br />

adalah jumlah lilitan belitan stator.<br />

Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan<br />

imbas pada belitan rotor adalah<br />

E<br />

2 = 4 ,44 f 2K w 2φm<br />

(4.4)<br />

p ns<br />

dengan K w2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi<br />

120<br />

tegangan stator (karena rotor tidak berputar), φ m adalah fluksi<br />

maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan<br />

tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.<br />

Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka<br />

terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan<br />

imbas pada rotor menjadi<br />

f<br />

p ( ns<br />

− n)<br />

p s ns<br />

= = = s Hz<br />

(4.5)<br />

120 120<br />

2 f<br />

Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan<br />

frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut<br />

frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan<br />

berputar menjadi<br />

E 22 = sE 2<br />

(4.6)<br />

Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan<br />

(4.6) kita peroleh<br />

E1<br />

1K<br />

=<br />

E K<br />

2<br />

2<br />

w 1<br />

=<br />

w2<br />

Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.<br />

a<br />

(4.7)<br />

69


COTOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan<br />

kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor<br />

melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah<br />

0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif<br />

terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan<br />

perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan<br />

perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan<br />

perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator<br />

(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub<br />

p n<br />

adalah f = s<br />

. Jadi kecepatan perputaran medan putar<br />

120<br />

adalah<br />

n s<br />

120 f<br />

=<br />

p<br />

120 × 50<br />

= = 1500 rpm<br />

4<br />

(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1<br />

= 0,05 × 50 = 2, 5 Hz.<br />

(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga<br />

fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor<br />

akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus<br />

belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan<br />

perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah<br />

n<br />

120 f 2 120 × 2,5<br />

= =<br />

p 4<br />

2 =<br />

75 Hz<br />

(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor<br />

harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator,<br />

yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm.<br />

(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan<br />

kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran<br />

relatifnya adalah 0.<br />

70 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


4.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen yang akan kita pelajari adalah<br />

ekivalen per fasa.<br />

rangkaian<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa<br />

adalah R 1 dan reaktansinya adalah X 1 , sedangkan rugi-rugi inti<br />

dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi R c dan<br />

reaktansi X φ seperti halnya pada transformator. Jika V 1 adalah<br />

tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E 1 adalah<br />

tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti<br />

diberikan oleh (4.3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor<br />

( 1 + 1 ) 1<br />

V +<br />

1 = I1<br />

R jX E<br />

(4.8)<br />

Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini<br />

adalah pada frekuensi sinkron ω s = 2π f 1 . <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator<br />

menjadi seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer<br />

transformator. Perbedaan terletak pada besarnya I f yang pada<br />

transformator berkisar antara 2 − 5 persen dari arus nominal,<br />

sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 − 40 persen arus<br />

nominal, tergantung dari besarnya motor.<br />

I 1<br />

V1<br />

R 1<br />

jX 1 I f<br />

I<br />

I<br />

c<br />

φ<br />

jX c<br />

A<br />

R c<br />

E 1<br />

B<br />

Gb.4.4. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator.<br />

Selain itu reaktansi bocor X 1 pada motor jauh lebih besar karena<br />

adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan<br />

dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada<br />

intinya. Tegangan E 1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini<br />

haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor.<br />

71


<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar<br />

maka tegangan imbas pada rotor adalah E 22 . Jika resistansi rotor<br />

adalah R 22 dan reaktansinya adalah X 22 maka arus rotor adalah:<br />

E22<br />

I 22 =<br />

(4.9)<br />

( R 22 + jX 22 )<br />

Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai<br />

reaktansi pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω 2 =<br />

2π f 2 , berbeda dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan<br />

rangkaian untuk persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.<br />

I22<br />

I 2<br />

A′<br />

A′<br />

R 22<br />

jX 22<br />

E 22<br />

sE 2<br />

R 2<br />

jsX 2<br />

B′<br />

A′<br />

B′<br />

E 2<br />

I 2<br />

a)<br />

R 2<br />

jX 2<br />

s<br />

c)<br />

Menurut (4.6) E 22 = sE 2 dimana E 2 adalah tegangan rotor dengan<br />

frekuensi sinkron ω s . Reaktansi rotor X 22 dapat pula dinyatakan<br />

dengan frekuensi sinkron; jika L 2 adalah induktansi belitan rotor<br />

(yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh<br />

konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan<br />

X =<br />

22 = ω2L2<br />

= sω1L2<br />

sX 2<br />

(4.10)<br />

Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron<br />

X 2 = ω1L2<br />

. Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita<br />

nyatakan resistansi rotor sebagai R 2 = R 22 . Dengan demikian maka<br />

arus rotor menjadi<br />

I 2<br />

E 2<br />

Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.<br />

B′<br />

A′<br />

B′<br />

R 2<br />

b)<br />

d)<br />

jX 2<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

72 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


sE<br />

2<br />

I 2 =<br />

(4.11)<br />

R2<br />

+ jsX 2<br />

Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada<br />

frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang<br />

terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah<br />

tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE 2 . Dari rangkaian<br />

ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor<br />

per fasa, yaitu<br />

P I 2<br />

cr = 2 R 2<br />

(4.12)<br />

Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi<br />

dengan s kita akan mendapatkan<br />

2<br />

I 2 =<br />

(4.13)<br />

R 2 + jX 2<br />

s<br />

E<br />

Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I 2 dan rangkaian<br />

dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun<br />

demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada<br />

terminal rotor A´B´ sekarang adalah tegangan imbas pada belitan<br />

rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti<br />

diberikan oleh (4.14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada<br />

Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi<br />

konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip,<br />

maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor<br />

dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang<br />

tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir<br />

ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya<br />

yang diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :<br />

= 2 R<br />

I 2<br />

s<br />

(4.14)<br />

P g<br />

2<br />

Daya ini jauh lebih besar dari P cr pada (4.12). Pada mesin besar nilai<br />

s adalah sekitar 0,02 sehingga P g sekitar 50 kali P cr . Perbedaan<br />

antara (4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan<br />

73


otor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan<br />

frekuensi sinkron. Daya nyata P g tidak hanya mencakup daya hilang<br />

pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari<br />

motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran<br />

dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk<br />

mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan<br />

angin. Oleh karena itu daya P g kita sebut daya celah udara artinya<br />

daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang<br />

meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan<br />

daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika<br />

kita menuliskan<br />

R 2 ⎛ − s ⎞<br />

= R + R ⎜<br />

1<br />

2 2 ⎟<br />

s ⎝ s ⎠<br />

(4.15)<br />

Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor<br />

(per fasa) P I 2<br />

cr = 2 R 2 dan suku kedua memberikan daya keluaran<br />

mekanik ekivalen<br />

2 ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = I 2 R2⎜<br />

⎟<br />

(4.16)<br />

⎝ s ⎠<br />

Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor<br />

seperti pada Gb.4.5.d.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian<br />

ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar<br />

dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita<br />

harus melihat tegangan rotor E 2 dari sisi stator yang memberikan<br />

E 1 = aE 2 . Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan E1 = aE2<br />

,<br />

yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan<br />

semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi<br />

' '<br />

'<br />

I 2 , R2<br />

dan X 2 . Dengan demikian kita dapat menghubungkan<br />

terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada<br />

Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat<br />

pada Gb.4.6.<br />

74 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


I 1<br />

A<br />

'<br />

I 2<br />

V 1<br />

I f<br />

R c jX c<br />

R 1<br />

jX 1<br />

'<br />

R 2<br />

'<br />

jX 2<br />

'<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

B<br />

Gb.4.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen lengkap motor asikron.<br />

Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita<br />

baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk<br />

ke stator motor melalui tegangan V 1 dan arus I 1 digunakan untuk :<br />

• mengatasi rugi tembaga stator : P I 2<br />

cs = 1 R 1<br />

• mengatasi rugi-rugi inti stator : P inti<br />

• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara<br />

R<br />

= ( I '<br />

2 ) 2 , yang digunakan untuk<br />

s<br />

• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor :<br />

P g<br />

'<br />

2<br />

P ' 2 '<br />

cr = ( 2 ) 2<br />

• memberikan daya mekanis rotor<br />

' 2 ' ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = ( I 2 ) R2<br />

⎜ ⎟ , yang terdiri dari :<br />

⎝ s ⎠<br />

• daya untuk mengatasi rugi rotasi<br />

(gesekan dan angin) : P rotasi<br />

• daya keluaran di poros rotor : P o .<br />

Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :<br />

P<br />

= P m − P rotasi<br />

= P − P ;<br />

o ; m g cr<br />

P<br />

P<br />

g = Pin<br />

− Pinti<br />

− P<br />

cs<br />

75


<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor<br />

asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan<br />

yang lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugirugi<br />

tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( ' 2<br />

I2 ) Re<br />

.<br />

I 1<br />

'<br />

jX e = jX 1 + jX 2<br />

V 1<br />

R c<br />

I f<br />

'<br />

R e = R 1 + R 2<br />

jX c<br />

'<br />

R 1−<br />

s<br />

2<br />

s<br />

Gb.4.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />

Bagaimana R e dan X e ditentukan akan kita bahas berikut ini.<br />

4.3. Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong><br />

Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan<br />

rotor dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran<br />

dilakukan dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan<br />

pengukuran dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan<br />

koreksi-koreksi. Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat<br />

bahwa resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dibandingkan<br />

dengan resistansi pada arus searah karena adanya gejala yang<br />

disebut efek kulit. Selain dari itu, pada kondisi kerja normal,<br />

temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur kamar yang berarti<br />

nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.<br />

Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan<br />

nominal sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis.<br />

Pada uji ini kita mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya<br />

masuk yang kita ukur adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga<br />

pada beban nol, rugi inti, dan daya celah udara untuk mengatasi rugi<br />

rotasi pada beban nol. Dalam uji ini slip sangat kecil, arus rotor<br />

cukup kecil untuk diabaikan sehingga biasanya arus eksitasi<br />

dianggap sama dengan arus uji beban nol yang terukur.<br />

Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada<br />

transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi<br />

76 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


otor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya<br />

mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat<br />

cukup rendah untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak<br />

melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah<br />

(antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil<br />

sehingga dapat diabaikan. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen dalam uji ini adalah<br />

seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan<br />

fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.<br />

I 0<br />

'<br />

jX e = jX 1 + jX 2<br />

'<br />

R e = R 1 + R 2<br />

V fn<br />

Gb.4.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen motor asikron pada uji rotor diam.<br />

Jika P d adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, I d<br />

adalah arus saluran dan V d adalah tegangan fasa-fasa yang terukur<br />

dalam uji ini, maka<br />

' Pd<br />

Re<br />

= X1<br />

+ jX 2 =<br />

2<br />

3I<br />

d<br />

Vd<br />

Ze<br />

=<br />

(4.17)<br />

I d 3<br />

X e ==<br />

2 2<br />

'<br />

Ze<br />

− Re<br />

= X1<br />

+ X 2<br />

Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan<br />

antara X 1 dan X 2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan<br />

X e .<br />

COTOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga<br />

fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugirugi<br />

inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah<br />

2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A..<br />

Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%.<br />

77


Penyelesaian:<br />

Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah<br />

' 2 ' ⎛1<br />

− s ⎞<br />

P m = ( I 2 ) R2<br />

⎜ ⎟ .<br />

⎝ s ⎠<br />

P m dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor<br />

dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah<br />

daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui<br />

900 W sehingga<br />

P m = 75000 + 900 = 75900 W<br />

dan rugi-rugi tembaga rotor adalah<br />

' 2 ' Pm<br />

s 75900 × 0,0375<br />

Pcr<br />

= ( I 2 ) R2<br />

= =<br />

= 2957<br />

1−<br />

s 1 − 0,0375<br />

Efisiensi motor adalah<br />

Pkeluaran<br />

η =<br />

× 100%<br />

Pkeluaran<br />

+ rugi − rugi<br />

75000<br />

=<br />

× 100%<br />

75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957<br />

= 87,45%<br />

COTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga<br />

fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data<br />

berikut: daya masuk P d = 10 kW, arus saluran I d = 250 A, V d =<br />

65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R 1<br />

= 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.<br />

Penyelesaian :<br />

Menurut (4.17) kita dapat menghitung<br />

Pd<br />

10000<br />

R e = = = 0,0533 Ω per fasa<br />

2<br />

2<br />

3I<br />

d 3×<br />

(250)<br />

'<br />

R2 = Re − R1<br />

= 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa<br />

W<br />

78 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


COTOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4<br />

kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan<br />

uji rotor diam.<br />

Beban nol : V 0 = 220 V; I 0 = 9,2 A; P 0 = 670 W<br />

Rotor diam : V d = 57 V; I d = 30 A; P d = 950 W.<br />

Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω<br />

per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung:<br />

(a) parameter-parameter yang diperlukan untuk<br />

menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus<br />

eksitasi dan rugi-rugi inti.<br />

Penyelesaian :<br />

a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah<br />

220<br />

V 1 = = 127 V .<br />

3<br />

Uji rotor diam memberikan :<br />

Pd<br />

950<br />

R e = = = 0,35 Ω ;<br />

2<br />

2<br />

3( I d ) 3×<br />

(30)<br />

'<br />

R2 = Re<br />

− R1<br />

= 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω<br />

Vd<br />

57<br />

Z e = = = 1,1 Ω ;<br />

3 × I d 3 × 30<br />

X e =<br />

2 2<br />

Z e − Re<br />

=<br />

2 2<br />

(1,1) − (0,35)<br />

= 3,14 Ω<br />

b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan;<br />

jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap<br />

arus eksitasi I f .<br />

Daya pada uji beban nol P 0 = 670 = V0I<br />

f cos θ 3<br />

670<br />

⇒ cos θ =<br />

= 0, 19 lagging.<br />

220 3 × 9,2<br />

o<br />

Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠<br />

− 79 .<br />

79


Rugi inti :<br />

2<br />

2<br />

P inti = P0<br />

− 3×<br />

I0<br />

R1<br />

= 670 − 3×<br />

9,2 × 0,15 = 632<br />

W<br />

I 1<br />

jX e =<br />

j3,14<br />

127∠0 o<br />

V<br />

R c<br />

I f<br />

R e = 0,35<br />

jX c<br />

1− s<br />

0,2<br />

s<br />

COTOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu<br />

beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan<br />

data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah<br />

: (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip<br />

yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika<br />

diketahui rugi rotasi 500 W.<br />

Penyelesaian :<br />

a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data<br />

pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:<br />

o<br />

I 1 = 28∠<br />

− 35 . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :<br />

'<br />

I 2 = I1<br />

− I f<br />

= 28<br />

( 0,82 − j0,57) − 9,2( 0,19 − j0,98)<br />

o<br />

= 22,3∠ −18<br />

o<br />

o<br />

= 28∠ − 35 − 9,2∠ − 79<br />

A<br />

b). Daya mekanik rotor adalah :<br />

= 21,2 − j6,94<br />

Pm<br />

= Pin<br />

− Pi<br />

nti − Pcs<br />

− Pcr<br />

2<br />

2<br />

= 9150 − 632 − 3×<br />

28 × 0,15 − 3×<br />

22,3 × 0,2 = 7867<br />

c). Slip dapat dicari dari formulasi<br />

' 2 '<br />

3× ( I 2 ) R2<br />

Pg<br />

= Pin<br />

− Pinti<br />

− Pcs<br />

=<br />

.<br />

s<br />

' 2 '<br />

2<br />

3( I 2 ) R2<br />

3×<br />

22,3 × 0,2<br />

s = =<br />

= 0,0365<br />

P 2<br />

g 9150 − 632 − 3×<br />

28 × 0,15<br />

W<br />

80 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


e). Rugi rotasi = 500 W.<br />

atau 3,65 %<br />

Daya keluaran sumbu rotor :<br />

P o = P m − Protasi<br />

= 7867 − 500 = 7367 W<br />

Po<br />

7367<br />

Efisiensi motor : η = × 100% = × 100% = 80%<br />

P in 9150<br />

4.4. Torka<br />

Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator<br />

menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga<br />

rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara P g dan ini<br />

memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan<br />

perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka<br />

P g<br />

Pg<br />

= Tωs<br />

atau T = (4.18)<br />

ωs<br />

Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang<br />

dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol.<br />

Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen<br />

Gb.4.7. dengan s = 1 adalah<br />

I<br />

'<br />

1<br />

2 = (4.19)<br />

Besar torka asut adalah<br />

T<br />

a<br />

P<br />

=<br />

ω<br />

' 2<br />

'<br />

( R + R ) + ( X + X ) 2<br />

g<br />

s<br />

1<br />

2<br />

V<br />

1<br />

= × 3<br />

ω<br />

s<br />

'<br />

( I )<br />

1<br />

2<br />

2<br />

'<br />

2<br />

R<br />

×<br />

s<br />

2<br />

1<br />

=<br />

ω<br />

s<br />

'<br />

2<br />

'<br />

( R + R ) + ( X + X ) 2<br />

1<br />

2<br />

3V<br />

2<br />

1<br />

R<br />

'<br />

2<br />

1<br />

2<br />

(4.20)<br />

Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi<br />

besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi<br />

dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus.<br />

Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka<br />

asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan<br />

dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi<br />

seperempatnya.<br />

81


Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi<br />

pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka<br />

ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan<br />

kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan<br />

motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa<br />

saat saja. Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan<br />

secara kontinyu<br />

sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.<br />

I 1<br />

V 1<br />

'<br />

j ( X 1 + X 2 )<br />

I f R 1<br />

R c<br />

jX c<br />

R 2<br />

' s<br />

Karena torka sebanding dengan daya celah udara P g , maka torka<br />

maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum.<br />

Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya<br />

maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke<br />

jika<br />

s<br />

'<br />

( X + X ) 2<br />

'<br />

2 2<br />

= R1<br />

+ 1 2 atau<br />

m<br />

R<br />

Gb.4.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />

R 2 ' akan maksimum<br />

s<br />

'<br />

R2<br />

= (4.21)<br />

2<br />

'<br />

R ( ) 2<br />

1 + X1<br />

X 2<br />

s m<br />

+<br />

Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa s m dapat diperbesar<br />

'<br />

dengan memperbesar R 2 . Suatu motor dapat dirancang agar torka<br />

asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai<br />

resistansi rotor.<br />

Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah<br />

82 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


'<br />

I2<br />

=<br />

=<br />

V1<br />

2<br />

⎛ '<br />

R ⎞<br />

⎜ 2<br />

R1<br />

+ ⎟ +<br />

⎜ s ⎟<br />

⎝ m ⎠<br />

2<br />

2R1<br />

+ 2R1<br />

2<br />

2 ⎛ 2<br />

' 2 ⎞<br />

'<br />

'<br />

( X + X ) ⎜ R1<br />

+ R1<br />

+ ( X1<br />

+ X 2) ⎟ + ( X1<br />

+ X2<br />

)<br />

1<br />

2<br />

R1<br />

+<br />

Torka maksimum adalah<br />

'<br />

( I )<br />

V1<br />

' 2<br />

'<br />

( X + X ) + 2( X + X )<br />

1<br />

2<br />

2<br />

=<br />

⎜<br />

⎝<br />

1<br />

2<br />

2<br />

V1<br />

⎟<br />

⎠<br />

(4.22)<br />

'<br />

2<br />

1 2 R2<br />

1<br />

3V1<br />

Tm = × 3 2 =<br />

(4.23)<br />

ωs<br />

sm<br />

ωs<br />

⎛<br />

2 ⎞<br />

⎜ 2<br />

'<br />

2 R + + ( + ) ⎟<br />

1 R1<br />

X1<br />

X 2<br />

⎝<br />

⎠<br />

Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak<br />

tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21)<br />

slip maksimum s m berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi<br />

mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan<br />

memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya<br />

torka maksimum itu sendiri.<br />

Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan<br />

bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip.<br />

Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor<br />

terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan<br />

rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.<br />

torka dalam % nominal<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

1<br />

0<br />

s m1<br />

resistansi rotor tinggi<br />

s m 0<br />

n s<br />

resistansi rotor rendah<br />

Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran<br />

slip<br />

perputaran<br />

2<br />

83


Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut<br />

karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam<br />

penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum<br />

digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan<br />

konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi.<br />

Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower,<br />

alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan<br />

tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan<br />

jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan<br />

karena akan terjadi pemanasan.<br />

Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan<br />

pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut<br />

dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa<br />

merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung<br />

pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu<br />

diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut<br />

(agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi<br />

terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan<br />

tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang<br />

dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini<br />

pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut<br />

akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin<br />

listrik.<br />

Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi<br />

HP<br />

0,5<br />

s/d<br />

200<br />

2p<br />

T a<br />

[%]<br />

T maks<br />

[%]<br />

2<br />

4<br />

6<br />

150<br />

150<br />

135<br />

200<br />

s/d<br />

250<br />

8 125<br />

10 120<br />

12 115<br />

14 110<br />

16 105<br />

I a<br />

[%]<br />

500<br />

s/d<br />

1000<br />

s<br />

[%]<br />

3<br />

s/d<br />

5<br />

f.d.<br />

0,87<br />

s/d<br />

0,89<br />

η<br />

[%]<br />

87<br />

s/d<br />

89<br />

2p : jumlah kutub; T a : torka asut; T maks : torka maks<br />

I a : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi.<br />

84 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 5<br />

Pembebanan Seimbang<br />

<strong>Sistem</strong> Polifasa<br />

5.1. Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban<br />

Suatu sumber tiga fasa membangkitkan tegangan tiga fasa, yang dapat<br />

digambarkan sebagai tiga sumber tegangan yang terhubung Y (bintang)<br />

seperti terlihat pada Gb.5.1.a. Tiga sumber tegangan ini dibangkitkan<br />

oleh satu mesin sinkron. Titik hubung antara ketiga tegangan itu disebut<br />

titik netral, . Antara satu tegangan dengan tegangan yang lain berbeda<br />

fasa 120 o . Jika kita mengambil tegangan V A sebagai referensi, maka kita<br />

dapat menggambarkan diagram fasor tegangan dari sistem tiga fasa ini<br />

seperti terlihat pada Gb.5.1.b. Urutan fasa dalam gambar ini disebut<br />

urutan positif. Bila fasor tegangan V B dan V C dipertukarkan, kita<br />

akan memperoleh urutan fasa negatif.<br />

Sumber tiga fasa pada umumnya dihubungkan Y karena jika<br />

dihubungkan ∆ akan terbentuk suatu rangkaian tertutup yang apabila<br />

ketiga tegangan tidak tepat berjumlah nol akan terjadi arus sirkulasi yang<br />

merugikan. Sumber tegangan tiga fasa ini dihubungkan ke beban tiga<br />

fasa yang terdiri dari tiga impedansi yang dapat terhubung Y ataupun ∆<br />

seperti terlihat pada Gb.5.2. Dalam kenyataan, beban tiga fasa dapat<br />

berupa satu piranti tiga fasa, misalnya motor asinkron, ataupun tiga<br />

piranti satu fasa yang dihubungkan secara Y atau ∆, misalnya resistor<br />

pemanas.<br />

C<br />

V B<br />

B<br />

+<br />

−<br />

<br />

−<br />

+<br />

V C<br />

− +<br />

V A<br />

A<br />

a). Sumber terhubung Y<br />

V B<br />

VC<br />

120 o<br />

120 o<br />

V A<br />

b). Diagram fasor.<br />

Gb.5.1. Sumber tiga fasa.<br />

85


C<br />

A<br />

C<br />

≈<br />

VAB<br />

A<br />

C<br />

A<br />

B<br />

B<br />

B<br />

N<br />

Gb.5.2. Sumber dan beban tiga fasa.<br />

Dengan mengambil tegangan fasa-netral V A sebagai tegangan referensi,<br />

maka hubungan antara fasor-fasor tegangan tersebut adalah:<br />

o<br />

VA<br />

= V fn∠0<br />

V<br />

V<br />

B<br />

C<br />

= V<br />

= V<br />

fn<br />

fn<br />

V A<br />

∠ −120<br />

o<br />

∠ − 240<br />

Tegangan fasa-fasa yaitu V AB , V BC , dan V CA yang fasor-fasornya adalah<br />

o<br />

(5.1)<br />

VAB<br />

= VA<br />

+ VB<br />

= VA<br />

− VB<br />

VBC<br />

= VB<br />

+ VC<br />

= VB<br />

− VC<br />

VCA<br />

= VC<br />

+ VA<br />

= VC<br />

− VA<br />

(5.2)<br />

5.2. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang<br />

Daya kompleks yang diserap oleh beban 3 fasa adalah jumlah dari daya<br />

yang diserap oleh masing-masing fasa, yaitu:<br />

* * *<br />

S3 f = VAIA<br />

+ VB<br />

IB<br />

+ VC<br />

IC<br />

o<br />

o o<br />

= ( V fn)<br />

∠0<br />

( I f ∠θ)<br />

+ ( V fn)<br />

∠ −120<br />

( I f ∠120<br />

+ θ)<br />

o o<br />

+ ( V fn)<br />

∠ − 240 ( I f ∠240<br />

+ θ)<br />

= 3V<br />

fnI<br />

f ∠θ = 3V<br />

fnI<br />

A∠θ<br />

(5.3)<br />

86 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Karena hubungan antara tegangan fasa-netral dan tegangan fasa-fasa<br />

adalah V ff = V fn √3, maka kita dapat menyatakan daya kompleks dalam<br />

tegangan fasa-fasa, yaitu<br />

Daya nyata dan daya reaktif adalah<br />

S = V I 3∠θ<br />

(5.4)<br />

3 f ff A<br />

P<br />

3 f<br />

Q<br />

3 f<br />

= V<br />

= V<br />

ff<br />

ff<br />

I<br />

I<br />

A<br />

A<br />

3 cos θ = S<br />

3 sin θ = S<br />

3 f<br />

3 f<br />

cos θ<br />

sin θ<br />

(5.5)<br />

Formulasi daya kompleks (5.4) berlaku untuk beban terhubung Y<br />

maupun ∆. Jadi tanpa melihat bagaimana hubungan beban, daya<br />

kompleks yang diberikan ke beban adalah<br />

S 3 f = V ff I A 3<br />

(5.6)<br />

COTOH-5.1: Sebuah beban terhubung ∆ mempunyai impedansi di<br />

setiap fasa sebesar Z = 4 + j3 Ω. Beban ini dicatu oleh sumber tiga<br />

fasa dengan tegangan fasa-fasa V ff = 80 V (rms). Dengan<br />

menggunakan V A sebagai fasor tegangan referensi, tentukanlah:<br />

a). Tegangan fasa-fasa dan arus saluran; b). Daya kompleks, daya<br />

rata-rata, daya reaktif.<br />

Penyelesaian :<br />

a). Dalam soal ini kita diminta untuk menggunakan tegangan V A<br />

sebagai referensi. Titik netral pada hubungan ∆ merupakan titik<br />

fiktif; namun perlu kita ingat bahwa sumber mempunyai titik<br />

netral yang nyata. Untuk memudahkan mencari hubungan fasorfasor<br />

tegangan, kita menggambarkan hubungan beban sesuai<br />

dengan tegangan referensi yang diambil yaitu V A. .<br />

Dengan menggambil V A sebagai referensi maka tegangan fasanetral<br />

adalah<br />

380 o<br />

o<br />

VA<br />

= ∠0<br />

= 220∠0<br />

;<br />

3<br />

o<br />

VC<br />

= 220∠ − 240<br />

o<br />

VB<br />

= 220∠ −120<br />

;<br />

87


I B<br />

V C<br />

I CA<br />

Im<br />

− V B<br />

V AB<br />

I AB<br />

θ<br />

I A<br />

I C<br />

I CA<br />

I BC<br />

I BC<br />

θ<br />

θ<br />

I AB<br />

V A<br />

Re<br />

V B<br />

Tegangan-tegangan fasa-fasa adalah<br />

V<br />

V<br />

V<br />

3<br />

AB = V A ∠ θ A<br />

o<br />

BC = 380∠ − 90<br />

o<br />

CA = 380∠ − 210<br />

Arus-arus fasa adalah<br />

(<br />

o<br />

+ 30 ) = 380∠30<br />

o<br />

VAB<br />

I AB =<br />

Z<br />

o<br />

380∠30<br />

=<br />

4 + j3<br />

o<br />

380∠30<br />

=<br />

o<br />

5∠36,8<br />

o o<br />

o<br />

I BC = 76∠ − 6,8 −120<br />

= 76∠ −126,8<br />

o o<br />

o<br />

ICA<br />

= 76∠ − 6,8 − 240 = 76∠ − 246,8<br />

dan arus-arus saluran adalah<br />

o<br />

= 76∠ − 6,8<br />

A<br />

A<br />

A<br />

o o<br />

o<br />

o<br />

IA = I AB 3∠(<br />

−6,8<br />

− 30 ) = 76 3∠ − 36,8 = 131.6∠ − 36,8<br />

o o<br />

o<br />

IB<br />

= 131.6∠(<br />

−36,8<br />

−120<br />

) = 131,6∠ −156,8<br />

A<br />

o o<br />

o<br />

IC<br />

= 131.6∠(<br />

−36,8<br />

− 240 ) = 131,6∠ − 276.8 A<br />

A<br />

b). Daya kompleks 3 fasa adalah<br />

S3<br />

f<br />

*<br />

= 3VABI<br />

AB<br />

o<br />

= 86.64∠36.8<br />

o<br />

o<br />

= 3×<br />

380∠30<br />

× 76∠ + 6.8<br />

= 69,3 + j52<br />

kVA<br />

88 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Jika kita mengkaji ulang nilai P 3f dan Q 3f , dengan menghitung daya<br />

yang diserap resistansi dan reaktansi beban, akan kita peroleh:<br />

P3<br />

f<br />

Q3<br />

f<br />

2<br />

2<br />

= 3×<br />

R × I AB = 3×<br />

4×<br />

(76) = 69,3 kW<br />

2<br />

2<br />

= 3×<br />

X × I AB = 3×<br />

3×<br />

(76) = 52 kVAR<br />

COTOH-5.2: Sebuah beban 100 kW dengan faktor daya 0,8 lagging,<br />

dihubungkan ke jala-jala tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa 4800 V<br />

rms. Impedansi saluran antara sumber dan beban per fasa adalah 2 +<br />

j20 Ω . Berapakah daya kompleks yang harus dikeluarkan oleh<br />

sumber dan pada tegangan berapa sumber harus bekerja <br />

≈<br />

Is<br />

V s<br />

Z = 2+j20 Ω<br />

I B<br />

V B<br />

b<br />

e<br />

b<br />

a<br />

n<br />

100 kW<br />

4800 V<br />

cosϕ = 0,9 lag<br />

Penyelesaian :<br />

Dalam persoalan ini, beban 100 kW dihubungkan pada jala-jala<br />

4800 V, artinya tegangan beban harus 4800 V. Karena saluran antara<br />

sumber dan beban mempunyai impedansi, maka sumber tidak hanya<br />

memberikan daya ke beban saja, tetapi juga harus mengeluarkan<br />

daya untuk mengatasi rugi-rugi di saluran. Sementara itu, arus yang<br />

dikeluarkan oleh sumber harus sama dengan arus yang melalui<br />

saluran dan sama pula dengan arus yang masuk ke beban, baik<br />

beban terhubung Y ataupun ∆.<br />

Daya beban :<br />

PB<br />

= 100 kW = S B<br />

cos ϕ →<br />

S B<br />

QB<br />

= S B sin ϕ = 125 × 0,6 = 75 kVAR<br />

⇒ S B = PB<br />

+ jQB<br />

= 100 + j75<br />

kVA<br />

100<br />

= = 125<br />

0,8<br />

kVA<br />

Besarnya arus yang mengalir ke beban dapat dicari karena tegangan<br />

beban diharuskan 4800 V :<br />

89


100<br />

PB<br />

= VB<br />

I B cos ϕ 3 → I B =<br />

= 15<br />

4800 × 0,8 × 3<br />

A<br />

Daya kompleks yang diserap saluran adalah tiga kali (karena ada<br />

tiga kawat saluran) tegangan jatuh di saluran kali arus saluran<br />

konjugat, atau tiga kali impedansi saluran kali pangkat dua besarnya<br />

arus :<br />

Jadi<br />

2<br />

*<br />

*<br />

2<br />

S sal = 3V<br />

sal I sal = 3ZI<br />

sal I sal = 3Z<br />

I sal = 3ZI<br />

sal<br />

2<br />

S sal = 3×<br />

(2 + j20)<br />

× 15 = 1350 + j13500<br />

= 1,35 + j13,5<br />

kVA<br />

VA<br />

Daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber adalah<br />

S S = S B + Ssal<br />

= 100 + j75<br />

+ 1,35 + j13,5<br />

= 101,35 + j88,5<br />

2 2<br />

S S = 101,35 + 88,5 = 134,5 kVA<br />

kVA<br />

Dari daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber ini kita dapat<br />

menghitung tegangan sumber karena arus yang keluar dari sumber<br />

harus sama dengan arus yang melalui saluran.<br />

S S<br />

⇒<br />

= VS<br />

I S 3 = VS<br />

I B 3<br />

SS<br />

134,5×<br />

1000<br />

VS<br />

= =<br />

= 5180<br />

I B 3 15 3<br />

V rms<br />

5.3. Model Satu Fasa <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang<br />

Sebagaimana terlihat dalam pembahasan di atas, perhitungan daya<br />

ke beban tidak tergantung pada hubungan beban, apakah Y atau ∆.<br />

Hal ini berarti bahwa kita memiliki pilihan untuk memandang beban<br />

sebagai terhubung Y walaupun sesungguhnya ia terhubung ∆,<br />

selama kita berada pada sisi sumber. Hubungan daya, tegangan, dan<br />

arus sistem tiga fasa adalah:<br />

90 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


S3φ<br />

= 3S<br />

f<br />

V ff = V fn<br />

3<br />

I L = I f (beban terhubung Y)<br />

dengan<br />

S 3 φ = daya 3 fasa, S f = daya satu fasa, V ff = tegangan fasa ke fasa<br />

V fn = tegangan fasa ke netral, I L = arus saluran, I f = arus fasa.<br />

(5.7)<br />

Dengan mengingat relasi (5.7), kita dapat melakukan analisis sistem<br />

tiga fasa seimbang dengan menggunakan model satu fasa. Hasil<br />

perhitungan model satu fasa digunakan untuk menghitung besaranbesaran<br />

tiga fasa. Akan kita lihat dalam bab berikutnya bahwa model<br />

satu fasa memberi jalan kepada kita untuk melakukan analisis<br />

sistem tiga fasa tidak seimbang, yaitu dengan menguraikan besaran<br />

tiga fasa yang tidak seimbang menjadi komponen-komponen<br />

simetris; komponen simetris merupakan sistem fasa seimbang<br />

sehingga dapat dimodelkan dengan sistem satu fasa.<br />

Berikut ini adalah contoh penggunaan model satu fasa.<br />

CONTOH-5.3: Sebuah sumber tiga fasa, dengan tegangan fasa-fasa<br />

2400 V, mencatu dua beban parallel. Beban pertama 300 kVA<br />

dengan factor daya 0,8 lagging, dan beban ke-dua 240 kVA<br />

dengan factor daya 0,6 leading.<br />

a). Gambarkan rangkaian ekivalen (model) satu fasa.<br />

b). Hitunglah arus-arus saluran.<br />

Penyelesaian:<br />

Perhatikanlah bahwa beban dinyatakan sebagai daya yang<br />

diserapnya dan bukan impedansi yang dimilikinya. Cara<br />

pernyataan beban semacam inilah yang biasa digunakan dalam<br />

analisis sistem tenaga listrik.<br />

a) Kita ambil salah satu fasa misalnya fasa A sebagai referensi<br />

V A<br />

2400 = =<br />

3<br />

Beban dan arus beban:<br />

2386 V<br />

91


S3φ1<br />

300<br />

S f 1 = = = 100 kVA<br />

3 3<br />

−1<br />

o<br />

ϕ1<br />

= cos (0,8) = + 36,9<br />

(sudut fasa ini positif karena faktor daya lagging)<br />

∗<br />

⎡ S f 1 ⎤ 100∠36,9<br />

o<br />

I1<br />

= ⎢ ⎥ = = 72,2∠ − 36,9<br />

o<br />

o<br />

⎢⎣<br />

VAn∠0<br />

⎥⎦<br />

1386∠0<br />

S3φ2<br />

240<br />

S f 2 = = = 80 kVA<br />

3 3<br />

−1<br />

o<br />

ϕ2<br />

= cos (0,6) = −53,1<br />

(sudut fasa ini negatif karena faktor daya leading)<br />

S f 2<br />

I 2 =<br />

o<br />

V A ∠0<br />

Impedansi ekivalen<br />

o<br />

80∠ − 53,1<br />

=<br />

o<br />

1386∠0<br />

o<br />

= 57,7∠ + 53,1<br />

A<br />

A<br />

V<br />

o<br />

A 1386∠0<br />

Z1<br />

= =<br />

I<br />

o<br />

1 72,2∠<br />

-36,9<br />

= 15,36 + j11,52<br />

Ω<br />

= 19,2∠36,9<br />

Z 2<br />

V<br />

o<br />

A 1386∠0<br />

= =<br />

I<br />

o<br />

2 57,7∠ + 53,1<br />

= 14,4 − j19,2<br />

Ω<br />

= 24∠ − 53,1<br />

∼<br />

V A<br />

=<br />

1386 V<br />

15,36 Ω<br />

j11,52 Ω<br />

14,4 Ω<br />

− j19,2 Ω<br />

92 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


) Arus saluran<br />

I A = I1<br />

+ I 2 = 15,36 + j11,52<br />

+ 14,4 − j19,2<br />

o<br />

= 92,3 + j2,9<br />

= 92,4∠1,8<br />

Ω<br />

I B<br />

o o<br />

o<br />

= 92,4∠(1,8<br />

−120<br />

) = 92,4∠ −118,2<br />

Ω<br />

I C<br />

o o<br />

o<br />

= 92,4∠(1,8<br />

+ 120 ) = 92,4∠121,8<br />

Ω<br />

(urutan ABC)<br />

5.4. <strong>Sistem</strong> Polifasa<br />

Pada sistem polifasa (polyphase system), yang secara umum kita<br />

sebut N-fasa, kita mempunyai N penghantar fasa dan satu<br />

penghantar netral. Tegangan fasa-netral dan arus di pengahantar<br />

dapat kita nyatakan sebagai<br />

VA<br />

VB<br />

= VA<br />

= V A∠α<br />

A<br />

= VB<br />

= VB∠α<br />

B<br />

.... dst.<br />

I A = I A∠β<br />

A<br />

I B = I B∠β<br />

B<br />

.... dst.<br />

(5.8)<br />

Dalam system ini, jika I adalah arus penghantar netral, maka<br />

I A + I B + IC<br />

+ ⋅⋅⋅⋅ + I = 0<br />

(5.9)<br />

Daya kompleks total pada sistem N-fasa adalah jumlah daya dari<br />

setiap fasa, yaitu:<br />

S <br />

=<br />

∗<br />

∑ iIi<br />

; P<br />

= ∑ Pi<br />

; Q<br />

= ∑<br />

V Qi<br />

(5.10)<br />

<br />

<br />

<br />

dengan Vi<br />

adalah tegangan fasa-netral dari penghantar fasa ke-i<br />

dan I i adalah arus penghantar ke-i.<br />

Tegangan fasa-fasa adalah<br />

V ij = Vi<br />

− V j = Vi∠αi<br />

−V<br />

j∠α<br />

j (5.11)<br />

93


<strong>Sistem</strong> Seimbang. Jika sistem beroperasi seimbang maka<br />

VA<br />

= VB<br />

= VC<br />

....dst = V f<br />

I A = I B = IC<br />

.... dst = I L<br />

αi<br />

−βi<br />

= αi<br />

−βi<br />

.... dst = ϕ<br />

(5.12)<br />

di mana V f adalah tegangan fasa-netral, I L arus saluran, dan cosϕ<br />

adalah factor daya. Dalam kondisi seimbang<br />

S = V f I L ;<br />

P<br />

= V f I L cos ϕ;<br />

Q<br />

= V f I L sin ϕ<br />

(5.13)<br />

Jika beda sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah θ maka<br />

o<br />

360<br />

θ =<br />

(5.14)<br />

<br />

Relasi antara tegangan fasa-fasa dan tegangan fasa adalah<br />

2 2 2<br />

V ij = 2V<br />

f − 2V<br />

f cos θ<br />

atau<br />

Vij<br />

V f<br />

=<br />

2(1<br />

− cos θ)<br />

(5.15)<br />

94 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Hubungan Beban. Beban terhubung bintang dan poligon terlihat<br />

pada Gb.5.8.<br />

I L<br />

I L<br />

Z Y<br />

I ∆<br />

Z Y<br />

Hubungan bintang.<br />

Hubungan poligon.<br />

Gb.5.8. Hubungan beban.<br />

Dalam pembebanan seimbang daya yang diserap setiap impedansi<br />

haruslah sama besar. Dengan demikian relasi antara impedansi Z Y<br />

dan Z ∆ dapat dicari.<br />

Z ∆<br />

Z Y<br />

Z ∆<br />

Z ∆<br />

Z ∆<br />

2<br />

Vij<br />

Z ∆<br />

2<br />

2(1 − cos θ)<br />

V f<br />

=<br />

Z ∆<br />

2<br />

V f<br />

=<br />

ZY<br />

Z ∆<br />

⇒<br />

ZY<br />

= 2(1 − cos θ)<br />

(5.16)<br />

Tabel-5.1 memuat nilai θ, rasio tegangan fasa-fasa terhadap<br />

tegangan fasa ( V ij / V f ), dan rasio impedansi hubungan polygon<br />

terhadap impedansi hubungan bintang ( Z ∆ / Z Y ).<br />

Tabel.5.1. θ, V ij / V f dan Z ∆ / Z Y<br />

θ [ o ] V ij / V f Z ∆ / Z Y<br />

2 180 2,000 4,0000<br />

3 120 1,732 3,0000<br />

6 60 1,000 1,0000<br />

9 40 0,684 0,4679<br />

12 30 0,518 0,2679<br />

95


5.4. <strong>Sistem</strong> Enam Fasa Seimbang<br />

Kita mengambil contoh sistem enam fasa seimbang. Pada sistem ini,<br />

perbedaan sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah 60 o .<br />

Jika fasa A dipakai sebagai referensi dengan urutan ABC, maka enam<br />

fasa tersebut adalah<br />

V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

A<br />

B<br />

C<br />

D<br />

E<br />

F<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

fn<br />

fn<br />

fn<br />

fn<br />

fn<br />

fn<br />

∠0<br />

o<br />

;<br />

∠ − 60<br />

o<br />

∠ −120<br />

∠ −180<br />

∠ − 240<br />

∠ − 300<br />

;<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

;<br />

;<br />

;<br />

;<br />

(5.17)<br />

Im<br />

V E<br />

V F<br />

V D<br />

Ν<br />

θ<br />

60 ο<br />

V A<br />

Re<br />

V C<br />

V B<br />

Gb.5.9. Fasor tegangan sistem enam fasa seimbang.<br />

Dalam diagram fasor ini hubungan tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />

adalah sebagai berikut:<br />

96 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

V<br />

AB<br />

BC<br />

CD<br />

DE<br />

EF<br />

FA<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

f<br />

f<br />

A<br />

B<br />

C<br />

f<br />

− V<br />

− V<br />

B<br />

− V<br />

C<br />

D<br />

∠ −120<br />

∠ −180<br />

∠ − 240<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

o<br />

o<br />

o<br />

f<br />

f<br />

f<br />

∠0<br />

o<br />

−V<br />

∠ − 60<br />

o<br />

∠ −120<br />

f<br />

o<br />

∠ − 60<br />

−V<br />

f<br />

−V<br />

o<br />

= V<br />

∠ −120<br />

f<br />

o<br />

∠ −180<br />

f<br />

o<br />

∠60<br />

= V<br />

f<br />

= V<br />

o<br />

∠0<br />

f<br />

o<br />

∠ − 60<br />

o<br />

(5.18)<br />

CONTOH-5.9: Satu sumber enam fasa seimbang dengan<br />

o<br />

V A = 1000∠0 V, mencatu beban seimbang yang menyerap daya<br />

sebesar 900 kVA pada factor daya 0,8 lagging. Jika urutan fasa<br />

adalah ABC, hitunglah<br />

Penyelesaian:<br />

a). arus saluran;<br />

b). tegangan fasa-fasa<br />

a). Arus saluran:<br />

S f S6<br />

f / 6<br />

I L = = =<br />

VA<br />

1000<br />

V AE ;<br />

c). impedansi ekivalen untuk hubungan bintang;<br />

d). impedansi ekivalen untuk hubungan segi enam.<br />

900 / 6<br />

1<br />

= 150 A<br />

b). Tegangan fasa-fasa<br />

V<br />

AE = VA<br />

− VE<br />

o<br />

= 1732∠30<br />

V AE :<br />

= 1000∠0<br />

V<br />

o<br />

+ 1000∠ − 60<br />

c). Impedansi ekivalen untuk hubungan bintang<br />

V f 1000<br />

Z Y = = = 6,67 Ω<br />

I L 150<br />

−1<br />

o<br />

ϕ = cos (0,8) = + 36,9 ( factor daya lagging)<br />

→<br />

Z Y<br />

= 6,67∠36,9<br />

o<br />

Ω<br />

o<br />

= 2×<br />

500<br />

3∠ − 30<br />

o<br />

97


d). Impedansi ekivalen untuk hubungan segi-enam:<br />

Z ∆<br />

Z Y<br />

= 2(1<br />

− cos θ)<br />

Z ∆<br />

o<br />

= 2(1 − cos 60 ) Z Y = Z Y<br />

= 6,67∠36,9<br />

o<br />

Ω<br />

98 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 6<br />

Pembebanan Nonlinier<br />

(Analisis Di Kawasan Waktu)<br />

Penyediaan energi elektrik pada umumnya dilakukan dengan<br />

menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang<br />

mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun<br />

perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada<br />

peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alatalat<br />

seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke<br />

mesin cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan<br />

semua peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan<br />

elektronik, yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga<br />

semakin banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus.<br />

Pembebanan-pembebanan semacam ini membuat arus beban tidak lagi<br />

berbentuk gelombang sinus.<br />

Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk<br />

sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus<br />

dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini<br />

mengandung harmonisa.<br />

6.1. Sinyal onsinus<br />

Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal<br />

nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi<br />

gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di<br />

sistem tenaga.<br />

Dalam Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik kita telah membahas bagaimana<br />

mencari spektrum amplitudo dan sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus<br />

yang mudah dicari persamaannya [2]. Berikut ini kita akan membahas<br />

cara menentukan spektrum amplitudo sinyal nonsinus melalui<br />

pendekatan numerik. Cara ini digunakan jika kita menghadapi sinyal<br />

nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya. Cara pendekatan ini<br />

dapat dilakukan dengan bantuan komputer sederhana, terutama jika<br />

sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari suatu pengukuran analog.<br />

Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan menggunakan alat ukur<br />

99


elektronik yang dapat menunjukkan langsung spektrum amplitudo dari<br />

sinyal nonsinus yang diukur.<br />

Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu<br />

sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier<br />

dengan formula seperti berikut ini.<br />

a<br />

a<br />

b<br />

0<br />

n<br />

n<br />

1<br />

=<br />

T<br />

0<br />

2<br />

=<br />

T<br />

0<br />

2<br />

=<br />

T<br />

0<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

dengan T 0 adalah perioda sinyal.<br />

∫<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t) cos( nω0t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

T0<br />

/ 2<br />

y(<br />

t)sin(<br />

nω0t)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

0<br />

0<br />

0<br />

;<br />

;<br />

n > 0<br />

n > 0<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)<br />

− T0<br />

/ 2<br />

dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam<br />

rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T 0 ), yang berarti dibagi<br />

dengan T 0 , akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen<br />

searah a 0 .<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t) cos( nω0t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />

− T / 2<br />

0<br />

kurva y( t ) cos( n ω 0 t ) dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika<br />

luas bidang ini dikalikan dengan (2/T 0 ), yang berarti dibagi (T 0 /2), akan<br />

diperoleh a n . Di sini T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />

terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />

T0<br />

/ 2<br />

Integral<br />

∫<br />

y ( t) sin( nω0t)<br />

dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />

− T / 2<br />

0<br />

kurva y( t )sin( n ω 0 t ) dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika<br />

luas ini dikalikan dengan (2/T 0 ) akan diperoleh b n . Seperti halnya<br />

penghitungan a n , T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />

terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />

Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka<br />

pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas<br />

100 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


idang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat<br />

dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponenkomponennya<br />

diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah<br />

untuk diintegrasi.<br />

Prosedur Pendekatan umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)<br />

dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.<br />

1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar<br />

masing-masing ∆t k ; ∆t k bisa sama untuk semua segmen bisa juga<br />

tidak, tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤<br />

q dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang<br />

tersebut. Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu<br />

segmen merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi<br />

kanan suatu segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya.<br />

Jika sisi kanan segmen (trapesium) adalah A k maka sisi kirinya<br />

adalah A k-1 , maka luas segmen ke-k adalah<br />

L<br />

( A + A ) × ∆t<br />

/ 2<br />

k = k k− 1 k<br />

(6.1)<br />

Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah<br />

q<br />

m<br />

f ( t)<br />

dt ≈∑<br />

Lk<br />

(6.2)<br />

p<br />

k=<br />

1<br />

∫<br />

2. Nilai ∆t k dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih<br />

berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal<br />

diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari<br />

harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n<br />

segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak<br />

lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi<br />

menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat<br />

memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan<br />

mudah dilakukan namun cukup teliti.<br />

3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti<br />

berikut:<br />

101


a<br />

a<br />

b<br />

0<br />

n<br />

n<br />

1<br />

=<br />

T<br />

2<br />

=<br />

T<br />

2<br />

=<br />

T<br />

m<br />

∑<br />

0 k=<br />

1<br />

m<br />

∑<br />

0 k=<br />

1<br />

m<br />

∑<br />

[ A + A ]<br />

k<br />

k−1<br />

∆t<br />

=<br />

∑<br />

[ A cos( nω<br />

t)<br />

+ A cos( nω<br />

t )]<br />

k<br />

k−1<br />

[ A sin( nω<br />

t)<br />

+ A sin( nω<br />

t )]<br />

k<br />

2<br />

0<br />

0<br />

k<br />

k−1<br />

2<br />

2<br />

ka0<br />

0 k−1<br />

0 k−1<br />

∆t<br />

∆t<br />

∑<br />

∑<br />

0 k=<br />

1 0<br />

4. Formula untuk sudut fasa adalah<br />

ϕ<br />

n<br />

T<br />

L<br />

0<br />

k<br />

k<br />

=<br />

=<br />

T<br />

T<br />

0<br />

L<br />

L<br />

kan<br />

/ 2<br />

kbn<br />

/ 2<br />

(6.3)<br />

−1<br />

⎛ b ⎞<br />

⎜<br />

n<br />

= tan ⎟<br />

(6.4)<br />

⎝ an<br />

⎠<br />

5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan<br />

numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.<br />

Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a 1 = 0 dan b 1 =<br />

150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang<br />

sedikit menyimpang, misalnya a 1 = 0,01 dan b 1 = 150,2.<br />

2 2<br />

6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah A n = an<br />

+ bn<br />

.<br />

Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan<br />

mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas<br />

pada waktu kita membahas spektrum sinyal. Persamaan sinyal<br />

nonsinus adalah<br />

2 2<br />

( ) 0 ∑ ∞ y t = a +<br />

⎡<br />

a + cos( ω0<br />

− ϕ )<br />

⎤<br />

n bn<br />

n t n (6.5)<br />

⎢⎣<br />

⎥⎦<br />

n=<br />

1<br />

Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva<br />

yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik<br />

dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil<br />

pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut<br />

ini.<br />

102 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


COTOH-6.1:<br />

200<br />

y[volt]<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

-50<br />

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02<br />

t[detik]<br />

-100<br />

-150<br />

-200<br />

Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal<br />

periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang<br />

diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini<br />

adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam<br />

0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.<br />

Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t<br />

dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan A k<br />

untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan<br />

sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian<br />

selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula<br />

sisi kanan segmen terakhir pada t = T 0 . Hasil perhitungan yang<br />

diperoleh dimuatkan dalam Tabel-1.1 (hanya ditampilkan sebagian),<br />

dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan<br />

sampai 2 angka di belakang koma.<br />

103


Tabel-6.1. Analisis Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-6.1.<br />

T 0 = 0,02 s<br />

∆t k = 0,0004 s<br />

Komp.<br />

searah<br />

Fundamental<br />

f 0 = 1/T 0 = 50 Hz<br />

Harmonisa ke-3<br />

t A k L ka0 L ka1 L kb1 L ka3 L kb3<br />

0 50<br />

0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006<br />

0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019<br />

0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035<br />

: : : : : : :<br />

0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005<br />

0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001<br />

0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001<br />

Jumlah L k 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211<br />

a 0 19,90<br />

a 1 , b 1 0,36 150,05<br />

a 3 , b 3 −21,18 21,13<br />

Ampli-1, ϕ 1 150,05 1,57<br />

Ampli-3, ϕ 3 29,92 -0,78<br />

Tabel ini memberikan<br />

a<br />

a<br />

a<br />

0<br />

1<br />

3<br />

= 19,90<br />

= 0,36; b<br />

1<br />

= −21,18;<br />

b<br />

= 150,05 ⇒<br />

3<br />

= 21,13 ⇒<br />

A<br />

ϕ<br />

ϕ<br />

1<br />

1<br />

A<br />

3<br />

3<br />

=<br />

= tan<br />

=<br />

= tan<br />

0,36<br />

−1<br />

(150,05 / 0,36) = 1,57<br />

( −21,18)<br />

−1<br />

2<br />

+ 150,05<br />

2<br />

2<br />

+ 21,13<br />

= 150,05<br />

= 29,92<br />

(21,13/ − 21,18) = −0,78<br />

Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa kedua.<br />

Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil<br />

a 2 = 49,43 dan b 2 = −0, 36<br />

amplitudo A 2 = 49,43 dan ϕ 2 = −0, 01<br />

2<br />

104 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal<br />

yang diberikan adalah<br />

y(<br />

t)<br />

= 19,90 + 150,05cos(2πf<br />

0t<br />

−1,57)<br />

+ 49,43cos(4πf<br />

0t<br />

+ 0,01)<br />

+ 29,92cos(6πf<br />

0t<br />

+ 0,78)<br />

6.2. Elemen Linier Dengan Sinyal onsinus<br />

Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal<br />

sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.<br />

COTOH-6.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus<br />

v = 100 sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5) V<br />

(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,<br />

dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)<br />

kurva tegangan dan arus kapasitor.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah<br />

Oleh karena itu arus kapasitor adalah<br />

dv<br />

i C = C<br />

dt<br />

i C<br />

{ 100sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5) }<br />

d<br />

= C<br />

dt<br />

= 100ωC<br />

cos( ωt<br />

+ 0,5) + 60ωC<br />

cos(3ωt<br />

− 0,2)<br />

+ 50ωC<br />

cos(5ωt<br />

+ 1,5)<br />

= 100ωC<br />

sin( ωt<br />

+ 2,07) + 60ωC<br />

sin(3ωt<br />

+ 1,37)<br />

+ 50ωC<br />

sin(5ωt<br />

+ 3,07) A<br />

(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />

150<br />

[V]<br />

100<br />

50<br />

0<br />

-50<br />

-100<br />

-150<br />

v C<br />

5 [A]<br />

i C<br />

2,5<br />

0 0.005 0.01<br />

0<br />

0.015 detik 0.02<br />

−2,5<br />

−5<br />

105


Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi<br />

nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata<br />

fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik<br />

memberikan nilai rata-rata<br />

vrr<br />

−14<br />

= 1,8 × 10 V dan<br />

−17<br />

irr<br />

= 5 × 10 A.<br />

ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai ratarata<br />

sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T 0 adalah<br />

1<br />

Yrr<br />

=<br />

T0<br />

T<br />

y(<br />

t)<br />

dt<br />

0<br />

∫<br />

(6.6)<br />

Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal<br />

tersebut.<br />

ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T 0<br />

adalah<br />

Yrms<br />

=<br />

1<br />

T0<br />

T<br />

2<br />

y ( t)<br />

dt<br />

0<br />

∫<br />

(6.7)<br />

Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y 1 = Y m1 sin(ωt + θ)<br />

adalah<br />

1 T<br />

2 2<br />

Ym<br />

Y 1rms<br />

= Ym<br />

sin ( )<br />

1<br />

1 ωt<br />

+ θ dt =<br />

(6.8)<br />

T ∫<br />

0 0<br />

2<br />

Nilai efektif sinyal nonsinus ∑ ∞ y ( t)<br />

= Y0 + Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) adalah<br />

n=<br />

1<br />

Yrms<br />

=<br />

1<br />

T0<br />

T ⎛<br />

∫ ⎜<br />

⎜ Y + ∑ ω + θ<br />

⎟ ⎟ 0 Ymn<br />

sin( n 0t<br />

n )<br />

0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan<br />

⎝<br />

∞<br />

2<br />

⎞<br />

dt<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

T0<br />

T ⎛<br />

∫ ⎜<br />

⎜ Y + ∑ ω + θ<br />

⎟ ⎟ 0 Ymn<br />

sin( n 0t<br />

n )<br />

0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

⎝<br />

∞<br />

2<br />

⎞<br />

dt<br />

atau<br />

106 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


2 1<br />

Y rms =<br />

T0<br />

1<br />

+<br />

T0<br />

∫<br />

T ⎛ ∞<br />

⎞<br />

⎜ 2 2 2<br />

Y<br />

⎟<br />

⎜ 0 + ∑Ymn<br />

sin ( nω0t<br />

+ θn<br />

) dt<br />

0<br />

⎟<br />

⎝ n=<br />

1<br />

⎠<br />

∫<br />

⎛ ∞<br />

⎞<br />

⎜2Y<br />

⎟<br />

⎜ 0∑Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

)<br />

⎟<br />

⎜ n=<br />

1<br />

⎟<br />

⎜<br />

∞<br />

⎟<br />

T ⎜+<br />

2Y<br />

ω + θ ∑ ω + θ ⎟<br />

m1<br />

sin( 0t<br />

1)<br />

Ymn<br />

sin( n 0t<br />

n )<br />

⎜<br />

⎟dt<br />

0<br />

n=<br />

2<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎜<br />

∞<br />

⎟<br />

⎜+<br />

2Ym2<br />

sin(2ω0t<br />

+ θ2<br />

) ∑Ymn<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) ⎟<br />

⎜<br />

n=<br />

3<br />

⎟<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎝+<br />

.................................<br />

⎠<br />

(6.9)<br />

Melalui kesamaan trigonometri<br />

2 sin α sin β = cos( α − b ) − cos( α + β)<br />

dan karena Y 0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (6.8)<br />

merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing<br />

memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh<br />

karena itu (6.9) dapat kita tulis<br />

atau<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

T<br />

T ⎛<br />

∫ ⎜<br />

⎜ 2 2 2<br />

Y + ∑ ω + θ<br />

⎟ ⎟ 0 Ynm<br />

sin ( n 0t<br />

n )<br />

0<br />

n=<br />

1<br />

⎠<br />

⎝<br />

∞<br />

∞<br />

2 1 t<br />

2 1<br />

Y rms =<br />

∫<br />

Y0<br />

dt +<br />

T 0 T<br />

n=<br />

1<br />

∞<br />

2 2<br />

= Y0<br />

+ ∑Ynrms<br />

n=<br />

1<br />

∑ ∫<br />

⎞<br />

dt<br />

T<br />

2 2<br />

Ynm<br />

sin ( nω0t<br />

+ θn)<br />

dt<br />

0<br />

(6.10)<br />

(6.11)<br />

Persamaan (6.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non<br />

sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua<br />

nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah<br />

untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus<br />

sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y 0 ),<br />

107


komponen fundamental (y 1 ), dan komponen harmonisa (y h ). Komponen<br />

searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah<br />

komponen dengan frekuensi fundamental ω 0 , sedangkan komponen<br />

harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang<br />

memiliki frekuensi nω 0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat<br />

dinyatakan sebagai<br />

y = y0<br />

+ y1<br />

+ y h<br />

Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri<br />

dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen<br />

harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen<br />

searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses<br />

transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang<br />

sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya<br />

kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang<br />

ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai<br />

y = y 1 + y h<br />

(6.12)<br />

dengan y1 = Y1m<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

dan<br />

k<br />

yh<br />

= Y0 + ∑Ynm<br />

sin( nω0t<br />

+ θn<br />

) .<br />

n=<br />

2<br />

Dengan demikian maka relasi (1.11) menjadi<br />

2 2 2<br />

Y rms Y1rms<br />

+ Yhrms<br />

= (6.13)<br />

Dalam praktik, komponen harmonisa y h dihitung tidak melibatkan<br />

seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita<br />

spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi<br />

tertinggi yang ditentukan yaitu kω 0 ; sinyal dengan frekuensi di atas batas<br />

frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup<br />

kecil untuk diabaikan.<br />

COTOH-6.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji<br />

memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per<br />

detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;<br />

(b) uraian harmonisa.<br />

Penyelesaian:<br />

108 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: v( t)<br />

= 400t<br />

.<br />

Nilai efektif:<br />

1 0,05<br />

0,05<br />

2 1 ⎡1600<br />

3 ⎤<br />

V rms = (400 )<br />

≈11,55 V<br />

0,05 ∫<br />

t dt =<br />

0<br />

0,05<br />

⎢ t<br />

3<br />

⎥<br />

⎣ ⎦0<br />

(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam<br />

contoh di Bab-3, yaitu<br />

v(<br />

t)<br />

= 10 − 6,366sin ω0t<br />

− 3,183sin 2ω0t<br />

− 2,122sin 3ω0t<br />

−1,592sin 4ω0t<br />

−1,273sin 5ω0t<br />

−1,061sin 6ω0t<br />

− 0,909sin 7ω0t<br />

V<br />

Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,<br />

tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.<br />

6,366<br />

V 1rms<br />

= ≈ 4,5 V<br />

2<br />

V hrms<br />

=<br />

2 2<br />

2 3,166 2,10<br />

10 + +<br />

2 2<br />

2<br />

2<br />

≈10,5<br />

V<br />

Vrms<br />

= V1rms<br />

+ Vhrms<br />

= 4,49 + 10,35 ≈11,4 V<br />

2<br />

2<br />

Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai<br />

efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen<br />

fundamentalnya.<br />

COTOH-6.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus<br />

i = sin ω 0 t A sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:<br />

i(<br />

t)<br />

= 0,318 + 0,5cos( ω<br />

0<br />

+ 0,018cos(6ω<br />

t −1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω<br />

0<br />

t)<br />

+ 0.010 cos(8ω<br />

0<br />

0<br />

t ) + 0,042 cos(4ω<br />

t)<br />

+ 0.007 cos(10ω<br />

Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,<br />

dan arus total.<br />

Penyelesaian:<br />

Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total<br />

berturut-turut adalah<br />

0<br />

0<br />

t)<br />

t)<br />

A<br />

109


0,5<br />

I1 rms = = 0,354 A<br />

2<br />

I hrms<br />

2<br />

2 0,212<br />

= 0,318 +<br />

2<br />

= 0,354 A<br />

2<br />

0,042<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,018<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,01<br />

+<br />

2<br />

2<br />

0,007<br />

+<br />

2<br />

I rms<br />

2 2<br />

2 2<br />

= I1rms<br />

+ I hrms = 0,354 + 0,354 ≈<br />

0,5<br />

A<br />

Contoh-6.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang<br />

nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen<br />

harmonisanya.<br />

COTOH-6.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua<br />

komponen yaitu v1 = 200sin<br />

ωt<br />

dan v15 = 20sin15ωt<br />

. Jika<br />

diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai<br />

efektif arus yang diberikan oleh v 1 ; (b) nilai efektif arus yang<br />

diberikan oleh v 15 ; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga<br />

arus tersebut sebagai fungsi waktu.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Komponen tegangan pertama adalah v1 = 200sin(100πt)<br />

V. Arus<br />

yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />

−6<br />

−6<br />

i1<br />

= 20 × 10 dv1<br />

/ dt = 20 × 10 × 200 × 100πcos100πt<br />

= 1,257 cos100πt<br />

Nilai efektifnya adalah:<br />

1,257<br />

=<br />

2<br />

I 1 rms =<br />

0,89 A<br />

b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20sin(1500πt)<br />

V. Arus<br />

yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />

−6<br />

−6<br />

i15<br />

= 20 × 10 dv15<br />

/ dt = 20 × 10 × 20 × 1500πsin1500πt<br />

= 1,885cos1500πt<br />

1,885<br />

Nilai efektifnya adalah: I 15 rms = = 1,33 A<br />

2<br />

c). Tegangan gabungan adalah<br />

v = 200sin(100πt)<br />

+ 20sin(1500πt)<br />

110 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah<br />

−6<br />

−6<br />

d<br />

i = 20 × 10 dv / dt = 20 × 10 ( v1<br />

+ v15<br />

)<br />

dt<br />

= 1,257 cos100πt<br />

+ 1,885cos1500t<br />

Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang<br />

berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.<br />

Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di<br />

jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah<br />

I<br />

2 2<br />

rms = rms rms<br />

I1 + I15<br />

= 0,89 + 1,33 = 1,60 A<br />

d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.<br />

4<br />

A i i 1 i 15<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

detik<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06<br />

-1<br />

-2<br />

-3<br />

-4<br />

COTOH-6.5: Arus i = 2 sin ωt<br />

+ 0,2 sin 3ωt<br />

A, mengalir pada beban<br />

yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />

induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva<br />

tegangan dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban<br />

dan arus beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Arus beban adalah<br />

adalah<br />

2<br />

i = 2 sin ωt<br />

+ 0,2sin 3ωt<br />

. Tegangan beban<br />

di<br />

v = vR<br />

+ vL<br />

= iR + L<br />

dt<br />

= 200sin<br />

ωt<br />

+ 20sin 3ωt<br />

+ ωcos<br />

ωt<br />

+ 0,3ω<br />

cos 3ωt<br />

Kurva tegangan dan arus beban dibuat dengan sumbu mendatar<br />

dalam detik. Karena frekuensi 50 Hz, satu perioda adalah 0,02<br />

detik.<br />

2<br />

V<br />

111


V<br />

600<br />

400<br />

200<br />

v<br />

i<br />

0<br />

0<br />

0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02<br />

-200<br />

−2<br />

A<br />

4<br />

2<br />

-400<br />

−4<br />

-600<br />

(b). Nilai efektif arus beban adalah<br />

I<br />

2 2<br />

2 2<br />

rms = I1 rms + I3rms<br />

=<br />

=<br />

Tegangan beban adalah<br />

2 0,2<br />

+<br />

2 2<br />

1,42 A<br />

v = 200sin<br />

ωt<br />

+ 20 sin 3ωt<br />

+ ωcos<br />

ωt<br />

+ 0,3ω<br />

cos 3ωt<br />

Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah<br />

V<br />

V rms<br />

=<br />

2 2<br />

200 + ω<br />

2<br />

2 2<br />

20 + (0,3ω)<br />

+<br />

2<br />

= 272<br />

V<br />

6.3. Daya Pada Sinyal onsinus<br />

Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula<br />

pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,<br />

sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.<br />

Kita tinjau resistor R b yang menerima arus berbentuk gelombang<br />

nonsinus<br />

i Rb = i 1 + i h<br />

Nilai efektif arus ini adalah<br />

2 2 2<br />

I Rbrms = I1rms<br />

+ I hrms<br />

Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />

2<br />

2 2<br />

PRb<br />

= I Rbrms × Rb<br />

= I1rmsRb<br />

+ I hrmsRb<br />

(6.14)<br />

112 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Formulasi (6.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri<br />

dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata<br />

diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.<br />

COTOH-6.6: Seperti pada contoh-1.5, arus i = 2 sinωt<br />

+ 0,2sin3ωt<br />

A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />

induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan<br />

dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban<br />

sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya<br />

yang diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus<br />

resistor; (b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada<br />

pertanyaan b; (c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i<br />

sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: p R =<br />

i 2 R = v R i R<br />

Kurva dari p dan p R terlihat pada gambar berikut.<br />

600<br />

400<br />

200<br />

W p = vi p R = i 2 R = v R i R<br />

detik<br />

0<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

-200<br />

-400<br />

(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.<br />

Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif<br />

yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-3.5. yaitu<br />

1,42 A. Daya nyta yang diterima beban adalah<br />

2<br />

2<br />

PR = I rms R = (1,42) × 100 = 202 W.<br />

Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya<br />

rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan<br />

dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah<br />

113


P rr = 202 W<br />

(c) Kurva p R selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W<br />

yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif<br />

yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p<br />

ini sama dengan nilai rata-rata kurva p R yang menunjukkan<br />

bagian nyata dari daya tampak.<br />

COTOH-6.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah<br />

v = 100 sin( ωt<br />

+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />

− 0,2) + 10sin(5ωt<br />

+ 1,5) V<br />

Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang<br />

diserap resistor.<br />

Penyelesaian:<br />

Arus yang mengalir adalah<br />

v<br />

i = = 5 sin( ωt<br />

+ 0,5) + sin(3ωt<br />

− 0,2) + 0,5sin(5ωt<br />

+ 1,5) A<br />

R<br />

Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah<br />

5<br />

1<br />

0,5<br />

I 1 rms = ; I3rms<br />

= ; I5rms<br />

=<br />

2<br />

2<br />

2<br />

Arus efektif yang mengalir adalah<br />

I rms<br />

=<br />

25<br />

2<br />

+<br />

1<br />

2<br />

+<br />

0,25<br />

2<br />

Daya nyata yang diserap resistor adalah<br />

2 ⎛ 25<br />

PR<br />

= I rms R = ⎜ +<br />

⎝ 2<br />

1<br />

2<br />

=<br />

0,25 ⎞<br />

+<br />

2<br />

26,25<br />

= 3,62 A<br />

2<br />

⎟ ×<br />

⎠<br />

20 = 262,5 W<br />

COTOH-6.8: Tegangan nonsinus v = 100 sin ωt<br />

+ 10 sin 3ωt<br />

V, terjadi<br />

pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung<br />

paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah<br />

50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya<br />

nyata yang diserap beban.<br />

Penyelesaian:<br />

114 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (i R ) dan<br />

kapasitor (i C ).<br />

v<br />

i R = = sin ωt<br />

+ 0,1sin 3ωt<br />

R<br />

dv −6<br />

i C = C = 50 × 10 ( 100ωcos<br />

ωt<br />

+ 30ωcos3ωt<br />

)<br />

dt<br />

Arus total beban:<br />

i = sin ωt<br />

+ 0,1sin 3ωt<br />

+ 0,005cos ωt<br />

+ 0.0015ω<br />

cos 3ωt<br />

(b). Arus efektif melalui resistor<br />

I Rrms<br />

=<br />

2 2<br />

1 0,1<br />

+<br />

2 2<br />

= 0,71 A<br />

Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap<br />

resistor:<br />

2<br />

P R = 0,71 × 100 = 50 W<br />

6.4. Resonansi<br />

Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam<br />

frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa<br />

bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi<br />

resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan<br />

melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi<br />

harmonisa.<br />

COTOH-6.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025<br />

H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total<br />

sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung<br />

kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan<br />

resonansi.<br />

Penyelesaian:<br />

Frekuensi resonansi adalah<br />

ωr<br />

=<br />

1<br />

=<br />

LC<br />

f r<br />

1<br />

−<br />

0,025 × 5 × 10<br />

6 =<br />

2828,4<br />

= = 450 Hz<br />

2π<br />

2828,4<br />

115


Inilah frekuensi harmonisa ke-9.<br />

COTOH-6.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu<br />

beban melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam<br />

keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total<br />

rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari<br />

sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak<br />

ada beban tersebut.<br />

Penyelesaian:<br />

Frekuensi resonansi adalah<br />

ωr<br />

=<br />

1<br />

=<br />

LC<br />

1<br />

−<br />

0,02 × 2,03×<br />

10<br />

6 =<br />

1569,4 rad/det<br />

1569,4<br />

atau<br />

f r = = 249,78 Hz<br />

2π<br />

Resonansi akan terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.<br />

6.5. Pembebanan onlinier Dilihat Dari Sisi Beban<br />

<strong>Rangkaian</strong> yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber<br />

tegangan sinus memberikan arus pada resistor R b melalui saluran dengan<br />

resistansi R s dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;<br />

pengubah arus inilah yang<br />

menyebabkan arus yang<br />

mengalir di R b berbentuk<br />

gelombang nonsinus.<br />

v s +<br />

−<br />

Menurut teorema Tellegen, Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.<br />

transfer daya elektrik hanya bisa<br />

terjadi melalui tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban<br />

ini, R b hanya melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara<br />

bagaimana arus ini sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.<br />

R s<br />

i Rb = i 1 + i h<br />

(6.15)<br />

dengan i1 = I1m<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

k<br />

ih<br />

= I0 + ∑ I nm sin( nω0t<br />

+ θn<br />

)<br />

n=<br />

2<br />

Inilah arus yang diterima oleh R b .<br />

116 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

p.i.<br />

i nonsinus<br />

R b


Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />

2 2<br />

PRb<br />

= I1 rmsRb<br />

+ I hrmsRb<br />

(6.16)<br />

6.6. Pembebanan onlinier Ditinjau Dari Sisi Sumber<br />

Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu vs = Vs<br />

sinω0t<br />

.<br />

Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus<br />

sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari<br />

sumber adalah<br />

ps<br />

= vs<br />

( t)<br />

is<br />

( t)<br />

⎛ k<br />

⎞<br />

= V<br />

⎜<br />

⎟<br />

s I1 sin ω0t<br />

sin( ω0t<br />

+ θ1)<br />

+ Vs<br />

sin ω0t<br />

I + ω + θ<br />

⎜ 0 ∑ I n sin( n 0t<br />

n )<br />

⎟<br />

⎝ n=<br />

2<br />

⎠<br />

(6.17)<br />

Suku pertama (6.17) memberikan daya<br />

⎛ cosθ<br />

cos(2 )<br />

sin sin( )<br />

1 − ω0t<br />

+ θ1<br />

⎞<br />

ps1<br />

= VsI1<br />

ω0t<br />

ω0t<br />

+ θ1<br />

= VsI1⎜<br />

⎟<br />

⎝ 2 ⎠<br />

V<br />

= sI1<br />

V I<br />

cosθ<br />

1<br />

1 − s cos(2ω0t<br />

+ θ1)<br />

2 2<br />

(6.18)<br />

Walaupun suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol<br />

akan tetapi suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti p s1<br />

memberikan transfer energi netto.<br />

Suku kedua (6.17) memberikan daya<br />

p<br />

sh<br />

= V ∑ ∞<br />

=<br />

= p<br />

s0<br />

sh2<br />

[ I sin( nω<br />

t + θ ) ω t]<br />

s I 0 sin ω0t<br />

+ Vs<br />

n 0 n sin<br />

n 2<br />

+ p<br />

0<br />

(6.19)<br />

Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku kedua<br />

juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam tanda<br />

kurung pada (6.19) berbentuk fungsi cosinus.<br />

∑ ∞ ⎡ I n<br />

⎤<br />

y = Vs<br />

⎢ { cos( ( n + 1) ω0 t + θn<br />

) − cos( ( n −1)<br />

ω0t<br />

+ θn<br />

)}<br />

⎥<br />

= 2 ⎣ 2<br />

n<br />

⎦<br />

yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa p sh tidak<br />

memberikan transfer energi netto.<br />

117


Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan<br />

nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu<br />

p s = ps1 + psh<br />

(6.20)<br />

Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, p s1 , yang<br />

memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya p s1 yang<br />

memberikan daya nyata, yaitu sebesar<br />

Vs<br />

I1<br />

s1 = cos θ1<br />

= Vsrms<br />

I1rms<br />

cos θ1<br />

2<br />

P (6.21)<br />

dengan θ 1 adalah beda susut fasa antara v s dan i 1 . Sementara itu P sh<br />

merupakan daya reaktif.<br />

Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus<br />

tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang<br />

diterima oleh R b adalah P Rb , jadi daya nyata yang diberikan oleh sumber,<br />

yaitu P s1 , haruslah diserap oleh R b dan R s .<br />

6.7. Kasus Penyearah Setengah Gelombang<br />

Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan<br />

mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal<br />

sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda. <strong>Rangkaian</strong><br />

penyearah yang kita tinjau terlihat pada Gb.6.2.a.<br />

V s<br />

a).<br />

v s R v R<br />

v<br />

v s<br />

s<br />

i s<br />

i R<br />

i R<br />

p R p R<br />

0 ωt [<br />

p o ]<br />

R 0 90 180 270 360 450 540 630 720<br />

b). −V s<br />

Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.<br />

118 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah<br />

perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai<br />

nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6adalah<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i(<br />

t)<br />

= I m ×<br />

⎜<br />

V<br />

0,042cos(4 0 ) 0,018cos(6 0 )<br />

⎟ (6.22)<br />

⎝ + ω t + ω t ⎠<br />

Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang<br />

mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi,<br />

arus sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung<br />

seri; tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda<br />

dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan<br />

bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus<br />

sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva<br />

tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya<br />

merupakan fungsi nonsinus.<br />

Pada persamaan (6.22) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi<br />

cosinus yaitu<br />

i1 = 0,5I<br />

m cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90 o ke arah positif<br />

dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus<br />

i1 = 0,5I<br />

m sin( ω0t)<br />

Pernyataan i 1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk<br />

gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan<br />

yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;<br />

ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus<br />

fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />

COTOH-6.11: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />

internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui<br />

penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω0 t V dan resistansi beban R b adalah 3,8 Ω. Hitung<br />

daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan<br />

oleh sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

119


Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.<br />

Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi<br />

⎛31,8<br />

+ 50 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 21,2cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i ( t)<br />

=<br />

⎜<br />

A<br />

4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />

⎟<br />

⎝ + ω t + ω t ⎠<br />

yang memberikan arus-arus efektif pada beban<br />

50<br />

Ib1rms<br />

= A;<br />

2<br />

Ibhrms<br />

=<br />

2<br />

2 21,2<br />

31,8 +<br />

2<br />

Daya yang diterima beban adalah<br />

2<br />

4,2<br />

+<br />

2<br />

2<br />

1,8<br />

+<br />

2<br />

= 35,31<br />

A;<br />

2<br />

( I + I ) × 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW<br />

2 2<br />

P = I rmsRb<br />

= b 1 rms bhrms<br />

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω 0 t . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh<br />

sumber adalah sama dengan arus fundamental beban<br />

i1s = i1Rb<br />

= 50 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

= 50sin<br />

ω0t<br />

A<br />

dengan nilai efektif I1 srms = 50 / 2 A<br />

Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.<br />

Daya dikeluarkan oleh sumber adalah<br />

380 50<br />

P s1 = Vs<br />

rms I1s<br />

rms = × = 9,5 kW<br />

2 2<br />

Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang<br />

diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah<br />

Vs<br />

I1<br />

ps1<br />

=<br />

2<br />

380×<br />

50<br />

=<br />

2<br />

( 1−<br />

cos(2ω<br />

t)<br />

0<br />

( 1−<br />

cos(2ω<br />

t) = 19( 1−<br />

cos(2ω<br />

t) kW<br />

Gb.6.3 memperlihatkan kurva p s1 pada Contoh-2.1 di atas. Kurva p s1<br />

bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,<br />

0<br />

0<br />

120 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari<br />

nilai puncak yaitu 9,5 kW.<br />

Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, p s0 yaitu suku<br />

pertama (6.19), dan komponen harmonisa p sh2 yaitu suku ke-dua<br />

persamaan (6.19), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua<br />

komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki<br />

nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen<br />

harmonisa tidak memberikan daya nyata.<br />

W<br />

20000<br />

15000<br />

10000<br />

5000<br />

0<br />

-5000<br />

-10000<br />

-15000<br />

Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.<br />

Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada<br />

penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir<br />

sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di<br />

keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah<br />

2<br />

2<br />

ps<br />

= Vs<br />

I s sin ω0t<br />

= 38000sin ω0t<br />

cos 2ω0t<br />

+ cos 0<br />

= 38000<br />

= 38(1 + cos 2ω0t)<br />

kW<br />

2<br />

Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap<br />

setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber<br />

menjadi setengahnya, sehingga<br />

p setengah<br />

p s0<br />

p s1<br />

t [det]<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

p sh2<br />

gel = 19(1<br />

+ cos 2ω0 t ) kW , dan inilah p s1 .<br />

COTOH-6.12: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />

internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel<br />

dengan resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang.<br />

Tegangan sumber adalah v s = 380sin<br />

ω0 t V dan resistansi beban R<br />

adalah 3,8 Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.<br />

121


Penyelesaian:<br />

<strong>Rangkaian</strong> sistem ini adalah seperti berikut<br />

v s =380sinω 0 t<br />

R s =0,2Ω<br />

R b =3,8Ω<br />

Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah<br />

I m<br />

380<br />

= = 95 A<br />

3,8 + 0,2<br />

Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212 cos(2ω0t<br />

) ⎞<br />

i(<br />

t)<br />

= 95 ×<br />

⎜<br />

0,042 cos(4 0t)<br />

0,018cos(6 0t)<br />

⎟<br />

⎝ + ω + ω ⎠<br />

= 30,21 + 47,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 20,14 cos(2ω0t)<br />

+ 4,09 cos(4ω0t)<br />

+ 1,71cos(6ω0t)<br />

A<br />

Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah<br />

47.5<br />

I1rms<br />

= = 33,59 A;<br />

2<br />

I hrms =<br />

Daya yang diterima R b adalah<br />

2 2 2<br />

2 20,14 4,09 1,71<br />

30,21 + + +<br />

2 2 2<br />

= 33,54 A<br />

2<br />

2 2<br />

P Rb = I rmsRb<br />

= (33,59 + 33,54 ) × 3,8 = 8563<br />

W<br />

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental<br />

sumber adalah<br />

v s = 380sin<br />

ω0 t<br />

V<br />

is1 = iRb<br />

= 47,5cos(<br />

ω0t<br />

−1,57)<br />

= 47,5sin ω0t<br />

A<br />

122 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Tidak ada beda fasa antara v s dan i s1 . Daya nyata yang diberikan oleh<br />

sumber adalah<br />

380 47,5<br />

P s = vsrmsi1 rms cos 0<br />

o = × = 9025 W<br />

2 2<br />

Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran<br />

adalah<br />

2<br />

2 2<br />

Psaluran<br />

= 0,02 × isrms<br />

= 0,02 × ( i1rms<br />

+ ihrms<br />

)<br />

2 2<br />

= 0,02 × (33,6 + 33,55 ) = 450,7 W<br />

Perbedaan angka perhitungan P Rb dengan (P s – P saluran ) adalah<br />

sekitar 0,2%.<br />

6.8. Perambatan Harmonisa<br />

Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,<br />

melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban<br />

linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan<br />

demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier<br />

saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut<br />

perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada<br />

suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan<br />

rangkaian yang dimaksud.<br />

i s A<br />

R s<br />

i a<br />

i b =i b1 +i bh<br />

v s<br />

R a<br />

B<br />

R b<br />

Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.<br />

Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni vs = Vsm<br />

sin ω0t<br />

.<br />

Sumber ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi R s .<br />

Beban yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari<br />

beban linier R a dengan arus i a dan beban R b yang dialiri arus nonlinier i b<br />

= i b1 + i bh dengan i b1 adalah komponen fundamental dari i b dan i bh adalah<br />

komponen harmonisa total dari i b .<br />

123


Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi<br />

Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua<br />

beban, memberikan<br />

dan dari sini kita peroleh<br />

( v − v ) / R + v / R + ( i 1 + i ) = 0<br />

A<br />

s<br />

s<br />

124 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

A<br />

a<br />

Ra<br />

Rs<br />

Ra<br />

v A = vs<br />

− ( i b1<br />

+ i bh )<br />

(6.23)<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan<br />

tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat<br />

selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminalbersama<br />

ini juga mengandung harmonisa.<br />

v A vs<br />

Rs<br />

i a = = − ( i b1<br />

+ i bh )<br />

(6.24)<br />

Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus<br />

vs = Vsm<br />

sin ω0t<br />

, keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu<br />

is<br />

= ia<br />

+ ib<br />

vs<br />

Rs<br />

= − ( ib1<br />

+ ibh<br />

) + ( ib1<br />

+ ibh<br />

)<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

Rs<br />

+ Ra<br />

vs<br />

⎛ Ra<br />

⎞<br />

= + ⎜ ⎟(<br />

ib1<br />

+ ibh<br />

)<br />

Rs<br />

+ R<br />

a Rs<br />

R<br />

⎝ + a ⎠<br />

b<br />

bh<br />

(6.25)<br />

Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang<br />

seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan<br />

penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.<br />

COTOH-6.13: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, v = 240sin<br />

ω 0 t V<br />

memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber<br />

ini mencatu beban resistif R a = 5 Ω melalui saluran yang memiliki<br />

resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu R b = 5 Ω dengan<br />

penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan R a .<br />

Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap R a sebelum R b dan<br />

penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap R b sesudah R b<br />

dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap R a sesudah


R b dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran<br />

R s ; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata<br />

yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian<br />

rangkaian yang lain.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Sebelum R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian adalah<br />

seperti di bawah ini.<br />

i s<br />

R s =1Ω<br />

A<br />

v s =<br />

240sinω 0 t<br />

B<br />

R a = 5Ω<br />

Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang<br />

diserap R a dan R s , serta daya nyata yang diberikan sumber<br />

adalah<br />

I Rarms<br />

= ( 240 / 2) /(5 + 1) = 28,28 A<br />

2<br />

2<br />

P Ra = 28,28 × 5 = 4000 W ; P Rs = 28,28 × 1 = 800 W<br />

P s = 28 ,28 × 240 / 2 = 4800 W = PRa<br />

+ PRs<br />

(b) Setelah R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi<br />

i s A<br />

R s<br />

v s<br />

i a i Rb =<br />

i Rb1 +i Rbh<br />

R a<br />

B<br />

Untuk menghitung i Rb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin<br />

terlebih dulu di terminal A-B.<br />

5<br />

v sTh = × 240sin ω0t<br />

= 200 sin ω0t<br />

V ;<br />

1 + 5<br />

1×<br />

5<br />

R sTh = = 0,833 Ω<br />

1 + 5<br />

Setelah R b dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,<br />

rangkaian menjadi<br />

R b<br />

125


i sTh<br />

0,833Ω<br />

A<br />

v sTh =<br />

200sinω 0 t<br />

B<br />

5Ω<br />

i b =i b1 +i bh<br />

Nilai maksimum arus i Rb adalah<br />

200<br />

I Rbm = = 34,29<br />

0,833 + 5<br />

Arus yang melalui R b menjadi<br />

A<br />

i Rb<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212 cos(2ω<br />

= 34,29 ×<br />

⎜<br />

⎝ + 0,042 cos(4ω0t)<br />

+ 0,018cos(6ω0t)<br />

= 10,9 + 17,14 cos( ω t −1,57)<br />

+ 7,27 cos(2ω<br />

t)<br />

+ 1,47 cos(4ω<br />

Dari sini kita peroleh<br />

17,14<br />

I Rb1rms<br />

= = 12,12 A<br />

2<br />

I Rbhrms =<br />

0<br />

0<br />

2 2<br />

10,9 + 7,27<br />

Daya yang diserap R b adalah<br />

t)<br />

+ 0,62 cos(6ω<br />

/ 2<br />

2<br />

+ 1,47<br />

0<br />

t)<br />

/ 2<br />

0<br />

2<br />

+ 0,62<br />

/ 2<br />

0<br />

t)<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

= 12.1 A<br />

P Rb<br />

2 2<br />

= (12,12 + 12.1 ) × 5 ≈ 1470<br />

W<br />

(c) Untuk menghitung daya yang diserap R a setelah R b<br />

dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus<br />

Kischhoff untuk simpul A memberikan<br />

v A − vs<br />

v A<br />

⎛ 1 ⎞ vs<br />

+ + iRb<br />

= 0 ⇒ v A⎜<br />

⎟ =<br />

Rs<br />

R<br />

+<br />

1<br />

a<br />

Rs<br />

R<br />

⎝ a ⎠ Rs<br />

− iRb<br />

126 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


127<br />

( )<br />

Ah<br />

A<br />

bh<br />

bh<br />

bh<br />

b<br />

a<br />

s<br />

a<br />

s<br />

s<br />

a<br />

s<br />

a<br />

A<br />

v<br />

v<br />

i<br />

t<br />

i<br />

t<br />

t<br />

i<br />

i<br />

R<br />

R<br />

R<br />

R<br />

v<br />

R<br />

R<br />

R<br />

v<br />

−<br />

=<br />

−<br />

ω<br />

=<br />

+<br />

ω<br />

×<br />

×<br />

−<br />

ω<br />

×<br />

=<br />

+<br />

+<br />

−<br />

+<br />

=<br />

1<br />

0<br />

0<br />

0<br />

1<br />

V<br />

6<br />

5<br />

185,71sin<br />

17,14sin<br />

6<br />

1<br />

5<br />

240sin<br />

6<br />

5<br />

)<br />

(<br />

V<br />

131,32<br />

2<br />

185,71<br />

1 =<br />

=<br />

⇒<br />

rms<br />

A<br />

V<br />

)<br />

0,51cos(6<br />

)<br />

1,23cos(4<br />

)<br />

6,06cos(2<br />

9,09<br />

)<br />

0,62cos(6<br />

)<br />

1,47 cos(4<br />

)<br />

7,27 cos(2<br />

10,9<br />

6<br />

5<br />

6<br />

5<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

t<br />

t<br />

t<br />

t<br />

t<br />

t<br />

i<br />

v<br />

bh<br />

Ah<br />

ω<br />

+<br />

ω<br />

+<br />

ω<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

ω<br />

+<br />

ω<br />

+<br />

ω<br />

+<br />

×<br />

=<br />

×<br />

=<br />

V<br />

10,09<br />

2<br />

0,51<br />

2<br />

1.23<br />

2<br />

6,06<br />

9,09<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

=<br />

⇒<br />

Ahrms<br />

V<br />

Daya yang diserap R a adalah<br />

3469 W<br />

5<br />

10,09<br />

5<br />

131,32<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

=<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

a<br />

Ahrms<br />

a<br />

rms<br />

A<br />

Ra<br />

R<br />

V<br />

R<br />

V<br />

P<br />

(d) Tegangan jatuh di saluran adalah<br />

V<br />

54,29sin<br />

185,71sin<br />

sin<br />

240 0<br />

0<br />

0<br />

1<br />

1<br />

t<br />

t<br />

t<br />

v<br />

v<br />

v<br />

A<br />

s<br />

s<br />

ω<br />

=<br />

ω<br />

−<br />

ω<br />

=<br />

−<br />

=<br />

∆<br />

→<br />

V<br />

38,39<br />

2<br />

54,29<br />

1 =<br />

=<br />

∆<br />

rms<br />

s<br />

V<br />

→<br />

V<br />

=10,09<br />

=<br />

∆<br />

Ahrms<br />

shrms<br />

V<br />

V<br />

Daya yang diserap saluran adalah<br />

1575 W<br />

1<br />

10,09<br />

1<br />

38,39<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

=<br />

+<br />

=<br />

∆<br />

+<br />

∆<br />

=<br />

s<br />

shrms<br />

s<br />

rms<br />

s<br />

Rs<br />

R<br />

V<br />

R<br />

V<br />

P


(e) Tegangan sumber adalah<br />

v = 240sin<br />

ω 0 t V<br />

Arus fundamental sumber adalah<br />

∆vs1<br />

is1 = = 54,29sin<br />

ω0t<br />

R<br />

Daya nyata yang diberikan sumber<br />

p<br />

s<br />

240 54,29<br />

= ×<br />

R2<br />

2<br />

s 1 = Vsrms<br />

I s1rms<br />

=<br />

A<br />

6515 W<br />

(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah R s ,<br />

R a , dan R b . Daya nyata yang diserap adalah<br />

P Rtotal = PRs<br />

+ PRa<br />

+ PRb<br />

= 1575 + 3469 + 1468 = 6512 W<br />

Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan<br />

sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain<br />

dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatanpembulatan).<br />

6.9. Ukuran Distorsi Harmonisa<br />

Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh<br />

karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan<br />

diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.<br />

Crest Factor. Crest factor didefinisikan sebagai<br />

crest<br />

nilai puncak<br />

factor =<br />

nilai efektif<br />

Total Harmonic Distortion (THD). THD digunakan sebagai ukuran<br />

untuk melihat berapa besar pengaruh keseluruhan adanya harmonisa<br />

terhadap sinyal sinus. Pengaruh keseluruhan harmonisa diperbandingkan<br />

terhadap komponen fundamental, karena komponen fundamental-lah<br />

yang memberikan transfer energi nyata.<br />

128 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />

THD<br />

Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />

THD<br />

V<br />

hrms<br />

V = (6.26)<br />

V1rms<br />

I<br />

hrms<br />

I = (6.27)<br />

I1rms<br />

COTOH-6.14: Arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai<br />

puncak arus 100 A, memiliki sampai harmonisa ke-enam sebagi<br />

⎛31,8<br />

+ 50 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 21,2cos(2ω<br />

i ( t)<br />

=<br />

⎜<br />

⎝ + 4,2 cos(4ω0t)<br />

+ 1,8cos(6ω0t)<br />

Hitunglah crest factor dan THD I .<br />

0<br />

t ) ⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

A<br />

Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal<br />

tersebut<br />

I<br />

b1rms<br />

=<br />

50<br />

A;<br />

2<br />

I<br />

bhrms<br />

=<br />

31,8<br />

2<br />

21,2<br />

+<br />

2<br />

2<br />

4,2<br />

+<br />

2<br />

2<br />

1,8<br />

+<br />

2<br />

2<br />

= 35,31<br />

A<br />

Nilai efektif arus adalah<br />

I rms<br />

=<br />

50<br />

2<br />

/ 2<br />

2<br />

+ 35,31<br />

= 49,7<br />

A<br />

100<br />

Crest factor adalah: c . f . = = 2 ;<br />

49,2<br />

I hrms 35,31<br />

THD I adalah: THD I = = ≈1<br />

atau 100%<br />

I1rms<br />

50 / 2<br />

Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung<br />

dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai<br />

puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan<br />

arus secara umum adalah<br />

129


⎛ n maks<br />

i(<br />

t)<br />

= I<br />

⎜<br />

m A +<br />

⎜ ∑ A<br />

⎝ n=<br />

1<br />

cos( nω<br />

t − ϕ<br />

0 n 0 n )<br />

sehingga dalam perhitungan I rms, I 1rms , dan I hrms faktor I m akan<br />

terhilangkan.<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

130 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 7<br />

Pembebanan Nonlinier<br />

(Analisis Di Kawasan Fasor)<br />

7.1. Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor<br />

Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, suatu sinyal sinus di<br />

kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus<br />

v( t)<br />

= VA<br />

cos[ ω0 t − φ]<br />

dengan V A adalah amplitudo sinyal, ω 0 adalah frekuensi sudut, dan φ<br />

adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi<br />

cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil<br />

sebagai pernyataan standar.<br />

Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal<br />

sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan<br />

sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu<br />

dinyatakan sebagai v ( t)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

maka di kawasan fasor ia<br />

jθ<br />

dituliskan dalam format kompleks sebagai V = Ae dengan A adalah<br />

nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan<br />

sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan<br />

sebagai<br />

V = A∠θ = Acos θ + jAsin<br />

θ<br />

yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti<br />

pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0 o maka pernyataan sinyal di<br />

kawasan waktu menjadi v( t)<br />

= Acos(<br />

ωt)<br />

yang dalam bentuk fasor<br />

o<br />

menjadi V = A∠0 dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu<br />

sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai<br />

v ( t)<br />

= Asin(<br />

ωt)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

− π / 2) di kawasan fasor menjadi<br />

o<br />

V = A∠ − 90 dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c<br />

131


Im<br />

V = A∠θ<br />

θ<br />

Re<br />

a). b).<br />

Im<br />

Im<br />

o<br />

V = A∠0<br />

Re<br />

c).<br />

Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:<br />

a) v ( t)<br />

= Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

; b) v( t)<br />

= Acos(<br />

ωt)<br />

; c) v( t)<br />

= Asin(<br />

ωt)<br />

.<br />

Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal<br />

nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena<br />

walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi<br />

(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi<br />

mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus<br />

terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen<br />

sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.<br />

Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponenkomponennya<br />

dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen<br />

sinus sinyal ini adalah<br />

yang dapat dituliskan sebagai<br />

i ( t)<br />

= a cos nωt<br />

+ b sin nωt<br />

n<br />

n<br />

2 2<br />

in<br />

( t)<br />

= an<br />

+ bn<br />

cos( nωt<br />

− θn<br />

)<br />

yang dalam bentuk fasor menjadi<br />

2 2<br />

I n = an<br />

+ bn<br />

∠ − θn<br />

dengan<br />

n<br />

θ = tan −1<br />

Mengacu pada Gb.7.1, diagram fasor komponen sinyal ini adalah seperti<br />

pada Gb.7.2.<br />

Re<br />

o<br />

V = A∠ − 90<br />

b<br />

a<br />

n<br />

n<br />

132 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Im<br />

θ<br />

a n<br />

Re<br />

b n<br />

I<br />

n<br />

=<br />

a<br />

2<br />

n<br />

2<br />

n<br />

+ b<br />

∠ − θ<br />

Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan a n > 0 dan b n > 0.<br />

Fasor I n pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika a n positif dan b n<br />

positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90 o − θ). Gb.7.3<br />

berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai a n dan b n yang lain.<br />

a n > 0, b n < 0<br />

I n leading (90 0 + θ)<br />

terhadap sinyal sinus<br />

Im<br />

b n<br />

θ<br />

a n<br />

In<br />

=<br />

Re<br />

2 2<br />

an<br />

+ bn<br />

∠θ<br />

Im<br />

a n<br />

θ<br />

b n<br />

2 2 o<br />

In<br />

= an<br />

+ bn<br />

∠(180<br />

+ θ)<br />

Re<br />

a n < 0, b n > 0<br />

I n lagging (90 0 − θ)<br />

terhadap sinyal sinus<br />

2 2 o<br />

In<br />

= an<br />

+ bn<br />

∠(180<br />

− θ)<br />

a n<br />

θ<br />

b n<br />

Im<br />

Re<br />

a n < 0, b n < 0<br />

I n lagging (90 0 + θ)<br />

terhadap sinyal sinus<br />

Gb.7.3. Fasor komponen arus nonsinus untuk berbagai kombinasi nilai<br />

a n dan b n .<br />

133


Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang<br />

dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar<br />

fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh<br />

karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal<br />

nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.<br />

COTOH-7.1: Uraian di kawasan waktu arus penyearahan setengah<br />

gelombang dengan nilai maksimum I m A adalah<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5 cos( ω0t<br />

−1,57)<br />

+ 0,212cos(2ω0t<br />

)<br />

⎜<br />

( t)<br />

= I × ⎜+<br />

0,042 cos(4ω0t)<br />

+ 0,018cos(6ω0t)<br />

+ 0.010cos(8ω<br />

⎜<br />

⎝+<br />

0.007 cos(10ω0t)<br />

Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.<br />

i m<br />

0<br />

⎞<br />

⎟<br />

t)<br />

⎟ A<br />

⎟<br />

⎠<br />

Penyelesaian:<br />

Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret<br />

Fourier yang komponen fundamentalnya adalah<br />

i1 ( t)<br />

= 0 + 0,5 sin ω0t<br />

; jadi sesungguhnya komponen ini adalah<br />

fungsi sinus di kawasan waktu.<br />

Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka<br />

pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah<br />

0,5I<br />

o 0,212 o 0,042 o<br />

0 = 0,318 ; 1 = m<br />

I<br />

∠ − 90 ; 2 = m<br />

I<br />

I I<br />

∠0<br />

; 4 = m<br />

m I<br />

I<br />

I<br />

∠0<br />

;<br />

2<br />

2<br />

2<br />

0,018I<br />

o 0,010 o 0,007 o<br />

6 = m<br />

I<br />

∠0<br />

; 8 = m<br />

I<br />

I<br />

I<br />

∠0<br />

; I10<br />

= m ∠0<br />

;<br />

2<br />

2<br />

2<br />

Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan<br />

(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.<br />

I 1<br />

I 2 I 4<br />

Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,<br />

harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />

134 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />

dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi<br />

⎛0,318<br />

+ 0,5sin( ω0t)<br />

+ 0,212sin(2ω0t<br />

+ 1,57) ⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

i(<br />

t)<br />

= Im<br />

⎜+<br />

0,021sin(4ω0t<br />

+ 1,57) + 0,018sin(6ω0t<br />

+ 1,57) ⎟ A<br />

⎜<br />

0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />

⎟<br />

⎝+<br />

ω t +<br />

ω t ⎠<br />

Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi<br />

o<br />

dengan pernyataan fasornya I 1 = I1<br />

rms ∠0<br />

, maka masing-masing<br />

komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:<br />

0,5I<br />

o 0,212 o<br />

0 = 0,318 ; 1 = m<br />

I<br />

I I<br />

∠0<br />

; 2 = m<br />

m I<br />

I<br />

∠90<br />

;<br />

2<br />

2<br />

0,042I<br />

o 0,018 o<br />

4 = m<br />

I<br />

I<br />

∠90<br />

; I6<br />

= m ∠90<br />

;...........<br />

2<br />

2<br />

Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada<br />

Gb.7.5.<br />

I 1<br />

I 2 I 4<br />

Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,<br />

harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />

Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada<br />

Gb.7.4 yang diputar 90 o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan<br />

referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar<br />

fasor tidak berubah. Pada Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa komponen<br />

harmonisa ke-2 ‘leading’ 90 o dari komponen fundamental; demikian juga<br />

dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor harmonisa ke-2<br />

berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat dibanding dengan<br />

komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4 berputar kearah positif<br />

dengan frekuensi empat kali lipat dibanding komponen fundamental.<br />

Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara langsung dijumlahkan.<br />

Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara<br />

penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah<br />

fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan<br />

memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus<br />

nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus<br />

135


sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.<br />

o<br />

Fasor tegangan sumber akan berbentuk V s = Vsrms∠ − 90 dan relasirelasi<br />

sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.<br />

Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus<br />

berkut ini<br />

vs<br />

= Vsrms<br />

sin ωt<br />

= 100sin ωt<br />

V , I 1 rms = 30 A 30 o lagging dari<br />

tegangan sumber dan I 2 rms = 50 A 90 o leading dari tegangan<br />

sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

Im<br />

I 2<br />

I 1<br />

30<br />

o<br />

Re<br />

7.2. Impedansi<br />

Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka<br />

pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan<br />

terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap<br />

komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang<br />

rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan<br />

berbeda.<br />

COTOH-7.3: Arus i = 200sin<br />

ω0t<br />

+ 70sin 3ω0t<br />

+ 30sin 5ω0t<br />

A<br />

mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor<br />

20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan<br />

puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen<br />

harmonisa.<br />

(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah<br />

X<br />

C<br />

−6<br />

1 = 1/(2π × 50 × 20 × 10 ) = 159,15 →<br />

2<br />

Z1 = 5 + 159,15 = 159,23Ω<br />

136 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

V s<br />

2


Tegangan puncak fundamental adalah<br />

V 1m<br />

= Z1<br />

× I1m<br />

= 159,23×<br />

200 ≈ 31,85<br />

kV<br />

(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah<br />

X X / 3 53,05 → Z = 5 + 53,05 53, 29 Ω<br />

C 3 = C 1 =<br />

2 2<br />

3 =<br />

Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah<br />

V 3 m = Z3<br />

× I3m<br />

= 53,29 × 70 = 3,73 kV<br />

(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah<br />

X X / 5 31,83 → Z = 5 + 31,83 32, 22 Ω<br />

C 5 = C 1 =<br />

2 2<br />

3 =<br />

Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah<br />

V 5 m = Z5<br />

× I5m<br />

= 32,22 × 30 = 0,97<br />

kV<br />

7.3. ilai Efektif<br />

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus<br />

dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen<br />

fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal<br />

periodik nonsinus y, adalah<br />

Y<br />

2 2<br />

rms = Y1rms<br />

Yhrms<br />

(7.1)<br />

Y +<br />

Y 1 rms<br />

dengan<br />

: nilai efektif komponen fundamental.<br />

hrms : nilai efektif komponen harmonisa total.<br />

Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan<br />

gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka<br />

komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya<br />

menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan<br />

kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin<br />

terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.<br />

137


7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban onlinier<br />

Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier<br />

terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus<br />

nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh<br />

pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam<br />

analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu<br />

memperhatikan hal-hal berikut ini.<br />

7.4.1. Daya Kompleks<br />

Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif V brms V<br />

dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif I brms A,<br />

maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar<br />

S b = Vbrms<br />

× Ibrms<br />

VA<br />

(7.2)<br />

Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada<br />

persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai S = VI . Definisi ini adalah untuk<br />

sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan<br />

fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa<br />

menyatakan besarnya, yaitu persamaan (3.2), tetapi kita tidak<br />

menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya<br />

untuk komponen fundamental.<br />

Sisi Sumber. Daya kompleks |S s | yang diberikan oleh sumber tegangan<br />

sinus vs<br />

= Vsm<br />

sin ωt<br />

V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai<br />

efektif<br />

2 2<br />

s1rms<br />

shrms<br />

I = I + I A adalah<br />

srms<br />

Vsm<br />

S s = Vsrms<br />

× I srms = × I srms VA<br />

(7.3)<br />

2<br />

7.4.2. Daya yata<br />

Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi R b , maka beban tersebut<br />

menyerap daya nyata sebesar<br />

2<br />

( I I ) R W<br />

2<br />

2<br />

b = IbrmsRb<br />

= b 1 rms bhrms b<br />

(7.4)<br />

P +<br />

di mana Ib<br />

1 rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus<br />

efektif harmonisa total.<br />

*<br />

138 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui<br />

komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak<br />

memberikan transfer energi netto.<br />

P s 1 = VsrmsI<br />

1 rmscosϕ<br />

1 W<br />

(7.5)<br />

ϕ 1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,<br />

dan cosϕ 1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut<br />

displacement power factor.<br />

7.4.3. Faktor Daya<br />

Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti<br />

diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung<br />

sebagai<br />

P<br />

b<br />

f.d. beban =<br />

(7.6)<br />

Sb<br />

Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah<br />

7.4.4. Impedansi Beban<br />

Ps<br />

f .d. 1<br />

s = (7.7)<br />

Ss<br />

Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masingmasing<br />

harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.<br />

Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat<br />

dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai<br />

Vbrms<br />

Z b = Ω<br />

(7.8)<br />

I<br />

brms<br />

Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita<br />

hitung besarnya dengan relasi (3.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam<br />

format kompleks seperti (a + jb).<br />

7.4.5. Teorema Tellegen<br />

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di<br />

setiap rangkaian elektrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya<br />

yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen<br />

aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah<br />

139


pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satusatunya<br />

cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu<br />

bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.<br />

Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.<br />

Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor<br />

untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah<br />

pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi<br />

pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang<br />

dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama<br />

dengan perhitungan di kawasan waktu.<br />

7.5. Contoh-Contoh Perhitungan<br />

COTOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor R b =10<br />

Ω terhubung seri dengan induktor L b = 0,05 H terdapat tegangan<br />

nonsinus v s = 100 + 200 2 sin ω0 t V . Jika frekuensi fundamental<br />

adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)<br />

impedansi beban; (c) faktor daya beban;<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen<br />

searah dan komponen fundamental:<br />

V 0 =100 V dan o<br />

V 1 = 200∠<br />

− 90<br />

Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah<br />

I b0 = V0<br />

/ Rb<br />

= 100 /10 = 10 A<br />

Arus efektif komponen fundamental di beban adalah<br />

I<br />

V<br />

10<br />

200<br />

1rms<br />

b1rms = =<br />

=<br />

Zb<br />

2<br />

2<br />

+ (100π × 0,05)<br />

Nilai efektif arus rangkaian total adalah<br />

I<br />

2<br />

brms = b b 1 rms<br />

10,74 A<br />

2 2<br />

I<br />

2 0 + I = 10 + 10,74 = 14,68 A<br />

Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap<br />

R b karena hanya R b yang menyerap daya nyata.<br />

140 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


P<br />

2<br />

Rb = Ibrms<br />

Rb<br />

=<br />

2<br />

14,68 × 10 = 2154<br />

W<br />

(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus<br />

efektif beban.<br />

V<br />

brms<br />

2 2<br />

= rms<br />

V0 + V1<br />

= 100 + 200 = 100<br />

2<br />

2<br />

5<br />

V<br />

Z<br />

beban<br />

V<br />

=<br />

I<br />

brms<br />

brms<br />

100<br />

=<br />

5<br />

14,68<br />

= 15,24 Ω<br />

(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya<br />

kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap<br />

beban adalah:<br />

S<br />

b<br />

= Vbrms<br />

× Ibrms<br />

= 100 5 × 14,68 = 3281 VA<br />

Sehingga faktor daya beban<br />

P 2154<br />

f.d. =<br />

b<br />

b = = 0,656<br />

S 3281<br />

COTOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal<br />

beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V<br />

dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki<br />

nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor<br />

5 Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan<br />

efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)<br />

tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen<br />

harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total<br />

daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil<br />

perhitungan (a) dan (c).<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan efektif komponen fundamental<br />

Reaktansi pada frekuensi fundamental<br />

b<br />

V<br />

150<br />

=<br />

2<br />

1 rms<br />

=<br />

106 V<br />

X L1<br />

= 2π × 50 × 4 × 10<br />

−3<br />

= 1,26<br />

Ω<br />

141


Impedansi pada frekuensi fundamental adalah<br />

Z 1<br />

=<br />

5<br />

2<br />

+ 1,26<br />

2<br />

= 5,16 Ω<br />

Arus efektif fundamental<br />

V<br />

106<br />

=<br />

5,16<br />

1rms<br />

1 rms = =<br />

Z 1<br />

I<br />

20,57<br />

A<br />

Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental<br />

2<br />

P rms<br />

1 = I1<br />

R = 20,57 × 5 = 2083<br />

Daya kompleks komponen fundamental<br />

2<br />

W<br />

S 1 = V1<br />

rms I1rms<br />

= 106 × 20,57 = 2182<br />

VA<br />

P1<br />

2083<br />

Faktor daya komponen fundamental f.d. 1 = = = 0, 97<br />

S 2182<br />

Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan<br />

formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus<br />

murni.<br />

2<br />

2<br />

Q 1 = S1<br />

− P1<br />

= 2182 − 2083 = 531,9 VAR<br />

(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

30<br />

5<br />

V 3 rms = = 21,21 V ; V 5 rms = = 3,54 V<br />

2<br />

2<br />

Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

X = × X = 3×<br />

1,26 = 3,77 Ω ;<br />

X<br />

L3 3 L1<br />

L5 = 5 × X L1<br />

2<br />

2<br />

= 5×<br />

1,26 = 6,28 Ω<br />

Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />

2<br />

2<br />

Z = 5 + 3,77 = 6,26 Ω ; Z = 5 + 6,28 = 8,03 Ω<br />

3<br />

Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />

5<br />

2<br />

1<br />

2<br />

142 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V 21,21<br />

I<br />

3<br />

3 =<br />

rms<br />

rms = = 3,39 A ;<br />

Z 6,26<br />

I<br />

V<br />

3<br />

3,54<br />

=<br />

8,03<br />

5rms<br />

5 rms = =<br />

Z 5<br />

0,44 A<br />

Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5<br />

2<br />

2<br />

3 3<br />

=<br />

2<br />

2<br />

P5 = I5rms<br />

R = 0,44 × 5 =<br />

P = I rms R = 3,39 × 5 57,4 W ;<br />

0,97<br />

(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya<br />

nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat<br />

komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili<br />

satu sumber)<br />

P = P + P +<br />

b<br />

=<br />

1 3<br />

2<br />

I1rms<br />

R<br />

+<br />

2 2 2<br />

P5<br />

= ( I1rms<br />

+ I3rms<br />

+ I5rms<br />

)<br />

2 2 2<br />

( I + I ) R = I R + I<br />

3rms<br />

Tegangan efektif beban<br />

5rms<br />

1rms<br />

W<br />

× R = 2174 W<br />

2<br />

hrms<br />

R<br />

V brms<br />

Arus efektif beban<br />

=<br />

150<br />

2<br />

2<br />

30<br />

+<br />

2<br />

2<br />

2<br />

5<br />

+<br />

2<br />

= 108,22<br />

V<br />

I brms<br />

=<br />

20,57<br />

Daya kompleks beban<br />

S<br />

b<br />

2<br />

= Vbrms<br />

× Ibrms<br />

+ 3,39<br />

2<br />

+ 0,44<br />

2<br />

= 20,86 A<br />

= 108 ,22 × 20,86 = 2257 VA<br />

Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />

formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.<br />

(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita<br />

lakukan menghasilkan<br />

P 1 = 2083 W , S 1 = 2182 VA , dan<br />

2 2<br />

1 1 1 =<br />

Q = S − P 531,9 VAR .<br />

Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan<br />

143


P b = 2174 W , dan S b = 2257 VA ; Q b = <br />

Perbedaan antara P 1 dan P b disebabkan oleh adanya harmonisa<br />

P 3 dan P 5 .<br />

2<br />

P1 = I1rmsR<br />

( sedang<br />

2 2 2 2<br />

Pb<br />

= P1 + P2<br />

+ P3<br />

= I1rms<br />

+ I3rms<br />

+ I5rms<br />

) R = IbrmsR<br />

.<br />

Daya reaktif beban Q b tidak bisa kita hitung dengan cara seperti<br />

menghitung Q 1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga<br />

daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan<br />

komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan<br />

komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif<br />

2<br />

sebagai Qn<br />

= I nrms X n dan kemudian menjumlahkan daya<br />

reaktif Q n untuk memperoleh daya reaktif ke beban Q b .<br />

Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:<br />

b<br />

2<br />

2<br />

2<br />

( I X + I X I X )<br />

Q = Q + Q + Q =<br />

+<br />

1 3 5 1rms<br />

L1<br />

3rms<br />

L3<br />

5rms<br />

L5<br />

Hasil perhitungan memberikan<br />

Q<br />

2<br />

2<br />

2<br />

b = Q1<br />

+ Q2<br />

+ Q3<br />

= I1rms<br />

X L1<br />

+ I3rms<br />

X L3<br />

+ I5rms<br />

X L5<br />

Perhatikan bahwa hasil perhitungan<br />

2<br />

1 = 1rms X L1<br />

=<br />

= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4<br />

Q I 531,9 VAR sama dengan<br />

2 2<br />

1 1 1 =<br />

Q = S − P 531,9 VAR .<br />

VAR<br />

Jika untuk menghitung Q b kita paksakan menggunakan<br />

formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa<br />

menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen<br />

hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh<br />

Q<br />

2 2<br />

b = Sb<br />

− Pb<br />

=<br />

2257<br />

2<br />

− 2174<br />

2<br />

= 604 VAR<br />

lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masingmasing<br />

komponen harmonisa dihitung dengan formula<br />

2<br />

Qn<br />

= I nrms X n .<br />

144 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


COTOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />

V<br />

mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui dioda mewakili<br />

penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo<br />

arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks<br />

sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang<br />

berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)<br />

faktor daya komponen fundamental.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini<br />

adalah<br />

A<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

45.00<br />

70.71<br />

40<br />

30<br />

30.04<br />

20<br />

10<br />

0<br />

6.03<br />

01 12 23 4 65 68 10 7<br />

harmonisa<br />

Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-<br />

10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus<br />

fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam<br />

perhitungan tidak akan terlalu besar.<br />

b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah<br />

2.60 1.46 0.94<br />

I<br />

I<br />

0<br />

= 45; I<br />

6rms<br />

1rms<br />

= 1,8; I<br />

= 50; I<br />

8rms<br />

= 1; I<br />

2rms<br />

10rms<br />

= 21,2; I<br />

= 0.7<br />

4rms<br />

= 4,3;<br />

Nilai efektif arus fundamental<br />

I 1 rms = 50<br />

Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:<br />

A<br />

I hrms<br />

=<br />

2 2 2 2 2 2<br />

2 × 31,8 + 21,2 + 4,3 + 1,8 + 1 + 0,7<br />

= 50<br />

A<br />

145


Nilai efektif arus total adalah<br />

I<br />

2 2<br />

rms = rms shrms<br />

I1 + I = 50 + 50 = 70,7<br />

c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />

2<br />

2<br />

A<br />

S s<br />

= Vsrms<br />

× I rms = 1000 × 70,7 = 70,7<br />

kVA<br />

d). Daya nyata yang diserap beban adalah<br />

2<br />

P b = I rmsRb<br />

=<br />

2<br />

70,67 × 10 = 50 kW<br />

e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.<br />

Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah<br />

P s = Vsrms<br />

I1rms<br />

cos ϕ 1<br />

Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,<br />

sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan<br />

arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ 1 tidak diketahui.<br />

Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen<br />

yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus<br />

tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya<br />

nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah<br />

P s = P b = 50 kW<br />

f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah<br />

f.d. s = Ps<br />

/ S s = Pb<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0,7<br />

g). Faktor daya komponen fundamental adalah<br />

Ps<br />

50000<br />

cosϕ1 = = = 1<br />

VsrmsI1rms<br />

1000 × 50<br />

Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental<br />

sefasa dengan tegangan sumber.<br />

I hrms 50<br />

h). THD I = = = 1 atau 100%<br />

I1rms<br />

50<br />

Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber<br />

lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental<br />

146 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,<br />

sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya<br />

nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita<br />

tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada<br />

sinyal nonsinus.<br />

Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.<br />

Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus<br />

fundamental saja, akan kita peroleh<br />

P Rb1 = I1<br />

2 rms Rb<br />

= 50 2 × 10 = 25 kW<br />

Jadi daya nyata yang diserap R b melalui arus fundamental hanya<br />

setengah dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah<br />

setengah gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang<br />

diserap R b tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus<br />

harmonisa, sesuai dengan relasi<br />

2 2<br />

( I rms + Ibrms<br />

) Rb<br />

2<br />

P Rb = Ibrms<br />

Rb<br />

= 1 ×<br />

Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat<br />

lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda<br />

namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan<br />

sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.<br />

COTOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai<br />

efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif R b =10 Ω, namun<br />

kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua<br />

dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo<br />

arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan<br />

arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang<br />

diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)<br />

faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen<br />

fundamental.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:<br />

i s<br />

saklar sinkron<br />

v s<br />

∼<br />

V srms =1000 V<br />

R b<br />

i Rb<br />

10 Ω<br />

147


Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah<br />

[V]<br />

[A]<br />

300<br />

v s (t)/5<br />

200 i Rb (t)<br />

100<br />

[detik]<br />

0<br />

0 0,01 0,02<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa<br />

ke-11 adalah seperti di bawah ini.<br />

A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0.00<br />

83.79<br />

44.96<br />

14.83 14.83<br />

8.71 8.71<br />

10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />

Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di<br />

atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitunganperhitungan<br />

yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo<br />

ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal<br />

ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat<br />

amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus<br />

fundamental baru pada harmonisa ke-55.<br />

(b) Arus fundamental yang mengalir ke R b<br />

83,79<br />

I 1 rms = = 59,25<br />

2<br />

A<br />

148 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Arus harmonisa total<br />

I hrms<br />

44,96<br />

= 0 +<br />

2<br />

= 36,14 A<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

2<br />

14,83<br />

+<br />

2<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

2<br />

8,71<br />

+<br />

2<br />

2<br />

Arus total :<br />

I rms<br />

=<br />

2 2<br />

59,25 + 36,14 = 69,4 A<br />

(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />

S<br />

s<br />

= VsrmsI<br />

rms<br />

= 1000 × 69,4 = 69,4<br />

kVA<br />

(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya<br />

nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap R b<br />

karena hanya R b yang menyerap daya nyata<br />

P s = Pb<br />

= I rms<br />

2 Rb<br />

= 69,4<br />

2 × 10 = 48,17 kW<br />

(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah<br />

f.d.<br />

s = Ps<br />

s<br />

/ S = 48,17 / 69,4 = 0,69<br />

(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen<br />

fundamental.<br />

P s = Vsrms<br />

I1rms<br />

cos ϕ 1<br />

Ps<br />

48170<br />

f . d.<br />

1 = cosϕ1<br />

= =<br />

= 0,813<br />

Vsrms<br />

I1rms<br />

1000 × 59,25<br />

I hrms 36,14<br />

(g) THD I = = = 0,61 atau 61%<br />

I1rms<br />

59,25<br />

Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan<br />

spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila<br />

tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.<br />

149


Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui<br />

pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier<br />

adalah<br />

( − 0.5cos( ω t)<br />

+ 0,7sin( ))<br />

i1 ( t)<br />

= I m 0 ω0t<br />

Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada<br />

Contoh-7.7.<br />

Penyelesaian:<br />

Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:<br />

Sudut<br />

( − 0.5cos( ω t)<br />

+ 0,7sin( ))<br />

i1 ( t)<br />

= I m 0 ω0t<br />

−1<br />

o<br />

θ = tan (0.7 / 0.5) = 57,6 . Mengacu ke Gb.3.3, komponen<br />

fundamental ini lagging sebesar (90 o −57,6 o ) = 32,4 o dari tegangan<br />

sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian<br />

maka faktor daya komponen fundamental adalah<br />

o<br />

f . d.<br />

1 = cosϕ1<br />

= cos(32,4 ) = 0,844<br />

Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat<br />

menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan<br />

menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu<br />

P s = Vsrms<br />

I 1 rms cos ϕ 1 = 1000 × 59,4 × 0.844 = 50 kW<br />

Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang<br />

diterima resistor di rangkaian beban<br />

demikian arus total adalah<br />

I<br />

rms = Ps<br />

b<br />

/ R = 50000 /10 = 70,7 A<br />

P b = I rms<br />

2 Rb<br />

= Ps<br />

. Dengan<br />

Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang<br />

berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi<br />

arus harmonisa yaitu<br />

I<br />

2 2<br />

hrms = I rms − I1rms<br />

70,7<br />

− 59,25<br />

Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />

= 38,63 A<br />

150 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

=<br />

S s = Vsrms<br />

I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA<br />

2<br />

2


Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi<br />

THD I<br />

38,63<br />

= = 0,65 atau<br />

59,25<br />

f . d.<br />

s = Ps<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0,7<br />

65%<br />

Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)<br />

dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan<br />

spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan<br />

spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah<br />

setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa<br />

ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa<br />

terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih<br />

sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus<br />

penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari<br />

ampltudo fundamentalnya.<br />

Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor<br />

hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh<br />

2<br />

2<br />

P Rb1 = I1rms<br />

Rb<br />

= 59,25 × 10 = 35,1 kW<br />

Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus<br />

fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus<br />

fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang<br />

sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada<br />

Contoh-7.6.<br />

7.6. Transfer Daya<br />

Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-3.6 dan Contoh-3.7, daya<br />

nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih<br />

kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus<br />

fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆P Rb ; kekurangan ini<br />

diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh<br />

R b tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus<br />

harmonisa, sesuai formula<br />

2 2<br />

P Rb = ( Ib<br />

1 rms + Ibhrms)<br />

Rb<br />

Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi<br />

transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa<br />

151


sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh R b , dan<br />

sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban<br />

selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan<br />

piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin<br />

menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan<br />

menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata<br />

yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera<br />

meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total<br />

sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata<br />

tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan<br />

oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini<br />

dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh R b melalui arus<br />

harmonisa sebesar<br />

2<br />

2 2<br />

P Rbh = IbhrmsR<br />

= ( I1rms<br />

+ Ibhrms<br />

) × Rb<br />

.<br />

Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d. 1 < 1,<br />

menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus<br />

fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor<br />

hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap<br />

daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus<br />

menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor<br />

dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif<br />

ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.<br />

7.7. Kompensasi Daya Reaktif<br />

Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah<br />

dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen<br />

fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1 yang berarti<br />

arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya<br />

komponen fundamental pada saklar sinkron f.d. 1 = 0,844. Nilai faktor<br />

daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan<br />

menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang<br />

“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.<br />

Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya<br />

total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,<br />

meskipun f.d. 1 = 1, faktor daya total f.d. s = 0,7. Dalam kasus saklar<br />

sinkron f.d. 1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d. s = 0,7. Sebuah<br />

pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa<br />

152 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan<br />

nonlinier<br />

Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya<br />

reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian<br />

rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke<br />

nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1, sudah<br />

mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d. s yang hanya 0,7. Dalam<br />

kasus saklar sinkron f.d. 1 = 0,844 dan f.d. s = 0,7. Kita coba melihat kasus<br />

saklar sinkron ini terlebih dulu.<br />

COTOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-3.7 membuat arus<br />

fundamental lagging 32,4 o dari tegangan sumber yang sinusoidal.<br />

Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh<br />

sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan<br />

pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan<br />

kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang<br />

keluar dari sumber.<br />

Penyelesaian:<br />

a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor<br />

paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan<br />

berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental<br />

yang lagging 32,4 o . <strong>Rangkaian</strong> menjadi sebagai berikut:<br />

i s<br />

saklar sinkron<br />

v s<br />

∼<br />

i C<br />

C<br />

R b<br />

i Rb<br />

Sebelum pemasangan kapasitor:<br />

I 1 rms = 59,25 A ; I hrms = 38,63 A ; f . d.<br />

s = 0, 7<br />

S 1 = V srms I 1rms<br />

= 1000 × 59,25 = 59,25 kVA ;<br />

f.d. 1 = 0,844;<br />

P 1 = 59,25×<br />

0,844 = 50 kW<br />

2 2<br />

Q s 1 = S − P1<br />

= 31,75 kVAR<br />

153


Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya<br />

reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR<br />

Q<br />

s1<br />

2<br />

srms<br />

2<br />

srms<br />

= V × Z = V / ωC<br />

Qs1<br />

31000<br />

→ C = =<br />

= 99 µ F ; kita tetapkan 100 µF<br />

V ω 2<br />

srms 1000 × 100π<br />

Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah<br />

Q C<br />

Arus kapasitor adalah<br />

C<br />

2<br />

−6<br />

= 1000 × 100π × 100 × 10 = 31,4 kVAR<br />

I<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

1000<br />

= = 31,4 A<br />

1/(100π)<br />

C<br />

Crms<br />

srms<br />

.<br />

C<br />

Arus ini leading 90 o dari tegangan sumber dan hampir sama<br />

dengan nilai<br />

o<br />

I 1 rms sin(32,4 ) = 31,75 A<br />

Diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />

I 1 sin32,4 o<br />

Im<br />

I C<br />

Re<br />

I 1<br />

32,4 o I 1 cos32,4 o<br />

V s<br />

Dari diagram fasor ini kita lihat bahwa arus<br />

o<br />

I C dan I1 sin 32, 4 tidak saling meniadakan sehingga beban<br />

o<br />

akan menerima arus I 1rms cos(32,4 ) , akan tetapi beban tetap<br />

menerima arus seperti semula. Beban tidak merasakan adanya<br />

perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap terhubung langsung<br />

ke sumber. Sementara itu sumber sangat merasakan adanya<br />

beban tambahan berupa arus kapasitif yang melalui C. Sumber<br />

yang semula mengeluarkan arus fundamental dan arus<br />

harmonisa total ke beban, setelah pemasangan kapasitor<br />

154 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke beban<br />

ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian arus<br />

fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi<br />

o<br />

I 1 rmsC ≈ I1<br />

rms cos(32,4 ) = 50 A<br />

turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.<br />

Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi<br />

I<br />

2 2<br />

srmsC = hrms<br />

I1 rmsC + I = 50 + 38,63 = 63,2<br />

Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />

S sC<br />

= 1000 × 63,2 = 63,2 kVA<br />

2<br />

2<br />

A<br />

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />

f . d.<br />

sC = 50 / 63,2 = 0,8<br />

sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor<br />

f . d.<br />

s = 0,7<br />

b). Arus sumber, i s , adalah jumlah dari arus yang melalui resistor<br />

seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.<br />

- bentuk gelombang arus yang melalui resistor i Rb adalah<br />

seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;<br />

- gelombang arus kapasitor, i C , 90 o mendahului tegangan<br />

sumber.<br />

Bentuk gelonbang arus i s terlihat pada gambar berikut:<br />

[V]<br />

[A]<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

i Rb<br />

i s<br />

v s /5<br />

[detik]<br />

0 0.005 i C<br />

0.01 0.015 0.02<br />

155


Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen<br />

fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh<br />

sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah<br />

gelombang.<br />

Dalam analisis rangkaian listrik [2], kita membahas filter kapasitor pada<br />

penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan<br />

untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun<br />

fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan searah. Kita akan<br />

mencoba menghubungkan kapasitor seperti pada Gb.7.6 dengan harapan<br />

akan memperbaiki faktor daya.<br />

i s<br />

v s<br />

i C<br />

C<br />

i R<br />

R<br />

Gb.7.6. Kapasitor paralel dengan beban.<br />

COTOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />

V<br />

mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui penyearah setengah<br />

gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk<br />

“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.<br />

Penyelesaian:<br />

Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-3.5:<br />

tegangan sumber V srms =1000 V ;<br />

arus fundamental I 1 rms = 50 A ;<br />

arus harmonisa total I hrms = 50 A<br />

arus efektif total I rms = 70,7 A ;<br />

daya kompleks sumber S s = 70,7 kVA ;<br />

daya nyata P s = P 1 = 50 kW ;<br />

faktor daya sumber f . d.<br />

s = Ps<br />

/ Ss<br />

= 50 / 70,7 = 0, 7 ;<br />

faktor daya komponen fundamental f . d . 1 = 1 .<br />

Spektrum amplitudo arus maksimum adalah<br />

156 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


A<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

45.00<br />

70.71<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />

Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan<br />

sumber v s /5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang<br />

i R , dan arus kapasitor i C seandainya dipasang kapasitor (besar<br />

kapasitor belum dihitung).<br />

400<br />

[V]<br />

[A]<br />

200<br />

v s /5<br />

i R<br />

0<br />

-200<br />

0 0.01 i 0.02 0.03<br />

C<br />

t [s]<br />

-400<br />

Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan<br />

jumlah i R + i C yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk<br />

lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan<br />

bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang i R .<br />

Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.<br />

157


400<br />

[V]<br />

[A]<br />

200<br />

v s /5<br />

i R +i C<br />

i R<br />

0<br />

-200<br />

i R<br />

0 i C 0.01 0.02 0.03<br />

t [s]<br />

-400<br />

Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.<br />

a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.6 menyebabkan sumber<br />

mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus<br />

sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti<br />

dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya<br />

memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titiktolak<br />

untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,<br />

dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d. 1 = 1; arus<br />

fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />

Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan<br />

menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.<br />

2 2<br />

Q s = Ss<br />

− Ps<br />

=<br />

2 2<br />

70.7 − 50<br />

= 50 kVAR<br />

Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya<br />

sekitar<br />

Q<br />

s = S s<br />

sin(cos -1 0,9)<br />

≈ 30 kVAR<br />

Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak<br />

dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh<br />

karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu<br />

memberikan kompensasi daya reaktif Q C sekitar 25 kVAR. Dari<br />

sini kita menghitung kapasitansi C.<br />

QC<br />

2<br />

Vs<br />

2<br />

1000 6<br />

= = = 10 ωC<br />

= 25 kVAR<br />

ZC<br />

(1/ ωC)<br />

158 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Pada frekuensi 50 Hz<br />

Kita tetapkan 80 µF<br />

Arus kapasitor adalah<br />

25000<br />

C = = 79,6 µ F .<br />

6<br />

10 × 100π<br />

I<br />

C<br />

=<br />

V<br />

Z<br />

s<br />

1000<br />

=<br />

1/(100π×<br />

80×<br />

10<br />

−6<br />

= 25,13 A<br />

)<br />

yang leading 90 o dari tegangan sumber atau<br />

I C<br />

o<br />

= 25,13∠90<br />

Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus<br />

fundamental semula, yaitu<br />

o<br />

o<br />

o<br />

I s1C<br />

= Is1semula<br />

+ IC<br />

= 50∠0<br />

+ 25,13∠90<br />

= 55,96∠21<br />

A<br />

Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari<br />

sumber adalah<br />

I<br />

2<br />

2 2<br />

I<br />

2 1 + I = 55,96 + 50 = 75 A<br />

sCrms = s Crms hrms<br />

Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:<br />

I s1 Crms<br />

= 55,96 A ; ini adalah arus pada frekuensi<br />

fundamental yang keluar dari sumber<br />

sementara arus ke beban tidak berubah<br />

I hrms<br />

I sCrms<br />

semula<br />

= 50 A ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.<br />

= 75 A ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang<br />

I rms = 70,7 A .<br />

Daya kompleks sumber menjadi<br />

S sC<br />

= VsrmsI<br />

sCrms = 1000 × 75 = 75 kVA<br />

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />

f.d. sC = Ps<br />

/ SsC<br />

= 50 / 75 = 0,67<br />

Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus<br />

serta spektrum amplitudo arus sumber.<br />

159


V<br />

A<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

i Rb<br />

v s /5<br />

0 0.005 i C 0.01 0.015 0.02<br />

i sC<br />

-200<br />

-300<br />

A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

45.00<br />

79.14<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

01 12 32 4 65 68 10 7<br />

harmonisa<br />

Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total<br />

bahkan arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.<br />

Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus<br />

kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus<br />

dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di<br />

bawah ini.<br />

160 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V<br />

A<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

v s /5<br />

i Rb<br />

i C<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

i sC<br />

-200<br />

-300<br />

A<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

45.00<br />

79.14<br />

30.04<br />

6.03<br />

2.60 1.46 0.94<br />

1 2 3 4 5 6 7<br />

0 1 2 4 6 8 10<br />

harmonisa<br />

Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 kita dapat melihat<br />

bahwa perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat<br />

dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental<br />

yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental<br />

sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak<br />

terjadi dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total<br />

masih lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan<br />

akibat dari arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan<br />

adalah menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan<br />

tidak dicakup dalam buku ini melainkan dalam Elektronika Daya.<br />

161


162 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Bab 8<br />

Pembebanan Nonlinier <strong>Sistem</strong> Tiga<br />

Fasa dan Dampak pada Piranti<br />

8.1. Komponen Harmonisa Dalam <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />

a 11<br />

b 1 c 1<br />

b 11<br />

Frekuensi Fundamental.<br />

Pada pembebanan seimbang,<br />

180 o mekanis = 360 o magnetik<br />

komponen fundamental<br />

berbeda fasa 120 o antara<br />

fasa ini timbul karena<br />

a 1 U U a 2<br />

masing-masing fasa.<br />

c 11 S<br />

medan magnet, yaitu sebesar<br />

c 2 b 2<br />

Perbedaan fasa 120 o antar<br />

perbedaan posisi kumparan<br />

jangkar terhadap siklus<br />

b 22 S c 22<br />

120 o sudut magnetik. Hal ini<br />

dijelaskan pada Gb.8.1.<br />

Gb.8.1. memperlihatkan<br />

Gb.8.1. Skema generator empat kutub<br />

skema generator empat kutub; 180 o sudut mekanis ekivalen dengan 360 o<br />

sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang pertama sebesar 360 o<br />

magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U berikutnya, terdapat tiga<br />

kumparan yaitu kumparan fasa-a (a 1 -a 11 ), kumparan fasa-b (b 1 -b 11 ),<br />

kumparan fasa-c (c 1 -c 11 ) . Antara posisi kumparan fasa-a dan fasa-b<br />

terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ; antara posisi kumparan fasa-b<br />

dan fasa-c terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ; demikian pula<br />

halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-a. Perbedaan posisi inilah yang<br />

menimbulkan perbedaan sudut fasa antara tegangan di fasa-a, fasa-b,<br />

fasa-c.<br />

Harmonisa Ke-3. Hal yang sangat berbeda terjadi pada komponen<br />

harmonisa ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen<br />

fundamental, atau 360 o , berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti<br />

bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120 o dalam skala<br />

komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara<br />

komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada<br />

163


perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang<br />

sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.8.2<br />

V<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

-100<br />

v 1a<br />

v 3a<br />

v 1b v 1c<br />

v 3b<br />

v 3c<br />

0 90 180 270 360 [ o ]<br />

-200<br />

-300<br />

Gb.8.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3<br />

pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.<br />

Pada gambar ini tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental dari<br />

fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120 o . Tegangan v 3a , v 3b , v 3c ,<br />

adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing<br />

digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.<br />

Diagram fasor harmonisa ke-3 digambarkan pada Gb.8.3. Jika V 3a , V 3b ,<br />

V 3c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line<br />

to line) harmonisa ke-3 adalah nol.<br />

V 3a<br />

V 3b<br />

V 3c<br />

Gb.8.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.<br />

Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti<br />

harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang<br />

berarti lebar satu siklus adalah 40 o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3<br />

siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,<br />

sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,<br />

fasa-b, dan fasa-c.<br />

Harmonisa ke-5. Gb.8.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental<br />

dan harmonisa ke-5. Tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental<br />

dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v 5a , v 5b , v 5c , adalah tegangan harmonisa<br />

ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk<br />

menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.<br />

164 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V<br />

300<br />

200<br />

100<br />

v 1a<br />

v 1b<br />

v 1c<br />

0<br />

0 90 180 270 360<br />

-100<br />

-200<br />

-300<br />

Gb.8.4. Fundamental dan harmonisa ke-5<br />

Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus<br />

harmonisa mempunyai lebar 72 o dalam skala fundamental. Perbedaan<br />

fasa antara v 5a dan v 5b adalah (2 × 72 o − 120 o ) = 24 o dalam skala<br />

fundamental atau 120 o dalam skala harmonisa ke-5; beda fasa antara v 5b<br />

dan v 5c juga 120 o . Diagram fasor<br />

V 5b<br />

dari harmonisa ke-5 terlihat pada<br />

Gb.8.5. Jika V 5a , V 5b , V 5c<br />

merupakan fasor tegangan fasanetral<br />

maka tegangan fasa-fasa<br />

V 5a<br />

(line to line) harmonisa ke-5<br />

adalah 3 kali lebih besar dari<br />

tegangan fasa-netral-nya.<br />

Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43 o<br />

dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v 7a dan v 7b adalah (3 ×<br />

51,43 o − 120 o ) = 34,3 o dalam skala fundamental atau 240 o dalam skala<br />

harmonisa ke-7; beda fasa antara v 7b dan v 7c juga 240 o . Diagram fasor<br />

dari harmonisa ke-7 terlihat<br />

V 7c<br />

pada Gb.8.6. Jika V 7a , V 7b , V 7c<br />

merupakan fasor tegangan<br />

fasa-netral maka tegangan<br />

V 7a<br />

fasa-fasa (line to line)<br />

harmonisa ke-7 adalah 3<br />

kali lebih besar dari tegangan<br />

fasa-netral-nya.<br />

v 5a v 5b v 5c<br />

[ o ]<br />

V 5c<br />

Gb.8.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.<br />

V 7b<br />

Gb.8.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.<br />

165


8.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-etral<br />

Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />

dalam pembebanan seimbang adalah<br />

V ff<br />

= V fn<br />

3 =1,732V<br />

fn<br />

di mana V ff tegangan fasa-fasa dan V f-n tegangan fasa-netral. Apakah<br />

relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita<br />

akan melihat melalui contoh berikut.<br />

COTOH-8.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung<br />

bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak<br />

200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak<br />

berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa<br />

terhadap tegangan fasa-netral.<br />

Penyelesaian:<br />

Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah<br />

harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini<br />

masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.<br />

Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa<br />

ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :<br />

V 1 f −n =141,42 V ; V 3 f −n = 28,28 V ; V 5 f −n =17,68 V<br />

V 7 f −n =14,14 V ; V 9 f −n = 7,07 V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-netral total<br />

V f −n<br />

=<br />

2 2 2 2 2<br />

141,42 + 28,28 + 17,68 + 14,14 + 7,07<br />

= 146,16<br />

V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah<br />

V 1 f − f = 244,95 V ; V 3 f − f = 0 V ; V 5 f − f = 26,27 V<br />

V 7 f − f = 22,11 V ; V 9 f − f = 0 V<br />

Nilai efektif tegangan fasa-fasa total<br />

166 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V f − f<br />

=<br />

2<br />

2 2<br />

244,95 + 0 + 26,27 + 22,11 + 0 = 247,35<br />

Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />

V f − f 247,35<br />

= = 1,70<br />

V f −n<br />

146,16<br />

V<br />

Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan<br />

efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan<br />

fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.<br />

8.3. Hubungan Sumber Dan Beban<br />

Generator Terhubung Bintang. Jika belitan jangkar generator terhubung<br />

bintang, harmonisa kelipatan tiga yang terkandung pada tegangan fasanetral<br />

tidak muncul pada tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya<br />

pada contoh berikut.<br />

COTOH-8.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang<br />

membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang<br />

nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan<br />

v = 800sin<br />

ω0t<br />

+ 200sin 3ω0t<br />

+ 100sin 5ω0t<br />

V<br />

Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang<br />

masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.<br />

Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.<br />

Penyelesaian:<br />

Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah<br />

V fn1 rms = 800 / 2 V ; V fn3 rms = 200 / 2 V ;<br />

V fn5 rms = 100 / 2 V .<br />

Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali<br />

tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen<br />

merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masingmasing<br />

komponen adalah<br />

3 kali tegangan fasa-netral-nya.<br />

( 800 / 2) 3 800 3/2 V<br />

V ff 1 rms =<br />

=<br />

; V ff 3 rms = 0 V ;<br />

V ff 5 rms = 100<br />

3 / 2<br />

V<br />

167


V ffrms<br />

=<br />

2<br />

2<br />

800 (3/ 2) + 100 (3/ 2) = 987,4<br />

V<br />

Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />

X 1 = 2π × 50 × 0,1 = 31,42 Ω ; X 3 = 3X<br />

1 = 94,25 Ω ;<br />

X 5 = 5X<br />

1 = 157,08 Ω<br />

Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />

Z f 1<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 31,42<br />

= 37,24 Ω<br />

Z f 3<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 94,25<br />

= 96,35 Ω<br />

Z f 5<br />

=<br />

2 2<br />

20 + 157,08<br />

= 158,35 Ω<br />

Arus fasa:<br />

V ff 1rms<br />

800 3 / 2<br />

I f 1 rms = = = 26,3 A<br />

Z 37,24<br />

f 1<br />

V ff 3rms<br />

I f 3 rms = = 0 A<br />

Z f 1<br />

V ff 5rms<br />

100 3 / 2<br />

I f 5 rms = = = 0,77 A<br />

Z 158,35<br />

f 5<br />

I frms =<br />

2 2<br />

26,3 + 0,77<br />

= 26,32<br />

A<br />

Daya nyata diserap beban<br />

P b<br />

2<br />

= 3×<br />

I frms × 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW<br />

Daya kompleks beban<br />

S b<br />

= 3×<br />

V ff × I f = 3×<br />

987,4×<br />

26,32 = 77967 W ≈ 78 kW<br />

Faktor daya beban<br />

Pb<br />

41,6<br />

f . d.<br />

= = = 0,53<br />

S 78<br />

b<br />

168 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Generator Terhubung Segitiga. Jika belitan jangkar generator terhubung<br />

segitiga, maka tegangan harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan<br />

terjadinya arus sirkulasi pada belitan jangkar generator tersebut.<br />

COTOH-8.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.<br />

Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam<br />

keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa<br />

ke-3, -7, dan -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%,<br />

2% dan 1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus<br />

sirkulasi dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan<br />

sedemikian rupa sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.<br />

Penyelesaian:<br />

Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh<br />

adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah<br />

harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif<br />

masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah<br />

V 3 m = 4% × 1500 = 60 V ; V 3 rms = 60 / 2 V<br />

V 9 m = 2% × 1500 = 30 V ; V 9 rms = 30 / 2 V<br />

V 15 m = 1% × 1500 = 15 V ; V 15 rms =15 / 2 V<br />

Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah<br />

X 1<br />

X<br />

= 2π × 50 × 0,9 × 10<br />

3 = 3×<br />

X1<br />

= 0,85 Ω<br />

X 9 = 9 × X1<br />

= 2,55 Ω<br />

X 15 = 15×<br />

X1<br />

= 4,24 Ω<br />

−<br />

3<br />

= 0,283 Ω<br />

Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa<br />

Z 3<br />

Z 9<br />

Z 15<br />

Arus sirkulasi adalah<br />

=<br />

=<br />

=<br />

0,06<br />

0,06<br />

2<br />

2<br />

0,06<br />

2<br />

+ 0,85<br />

+ 2,54<br />

2<br />

2<br />

+ 4,24<br />

2<br />

= 0,85 Ω<br />

= 2,55 Ω<br />

= 4,24 Ω<br />

169


I<br />

I<br />

I<br />

60 / 2<br />

=<br />

0,85<br />

3 rms =<br />

30 / 2<br />

=<br />

2,55<br />

9 rms =<br />

15 / 2<br />

=<br />

4,24<br />

15 rms =<br />

49,89 A<br />

8,33 A<br />

2,5 A<br />

2 2 2<br />

I sirkulasi( rms)<br />

= 48,89 + 8,33 + 2,5 = 50,6<br />

A<br />

<strong>Sistem</strong> Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral<br />

sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan<br />

mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini<br />

merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali<br />

lipat dari arus di setiap fasa.<br />

COTOH-8.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing<br />

kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.<br />

Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan<br />

kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral<br />

mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5<br />

dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.<br />

Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.<br />

Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;<br />

(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen<br />

Reaktansi per fasa<br />

V fn1rms<br />

= 254,6 V;<br />

V fn3rms<br />

= 42,4 V;<br />

V fn5rms<br />

= 35,4 V<br />

X 1<br />

X<br />

X<br />

= 2π × 50 × 0,05 = 15,70 Ω<br />

= 3×<br />

1 = 47,12 Ω<br />

= × = 78,54 Ω<br />

3 X<br />

5 5 X1<br />

170 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Impedansi per fasa<br />

Z 1<br />

=<br />

2 2<br />

25 + 15,70<br />

= 29,53<br />

Ω<br />

Z 3<br />

=<br />

2 2<br />

25 + 47,12<br />

= 53,35<br />

Ω<br />

Z 5<br />

=<br />

25<br />

2<br />

+ 78,54<br />

2<br />

= 82,42<br />

Ω<br />

Arus saluran<br />

254,6<br />

I 1 rms = = 8,62 A<br />

29,53<br />

42,4<br />

I 3 rms = = 0,795 A<br />

53,35<br />

35,4<br />

I 5 rms = = 0,43 A<br />

82,42<br />

I saluran<br />

rms =<br />

2 2 2<br />

8.62 + 0,795 + 0,43<br />

(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen<br />

= 8,67<br />

V 1 f − f = 440,9<br />

V; V3<br />

f − f = 0 V; V5<br />

f − f = 61,24 V<br />

Tegangan fasa-fasa<br />

A<br />

V f − f<br />

=<br />

440,9<br />

2<br />

+ 0 + 61,2<br />

2<br />

= 445<br />

V<br />

Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,<br />

yang merupakan arus urutan nol.<br />

I<br />

netral = rms<br />

3×<br />

I3 = 3×<br />

0,795 = 2,39 A<br />

(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen<br />

2<br />

resistif 25 Ω, yaitu P = 3 × I f −n<br />

× R . Arus beban terhubung<br />

bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap<br />

beban adalah<br />

2<br />

2<br />

P b = 3×<br />

I × R = 3×<br />

8,67 × 25 = 5636 W<br />

= 5,64 kW<br />

171


<strong>Sistem</strong> Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik<br />

netral sumber dan titik netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak<br />

mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh<br />

berikut.<br />

COTOH-8.5: Persoalan seperti pada contoh-29-4 akan tetapi<br />

penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan<br />

beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)<br />

tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap<br />

beban.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak<br />

mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung<br />

pada contoh-6.4. yaitu<br />

Arus saluran menjadi<br />

I<br />

I<br />

254,6<br />

29,53<br />

35,4<br />

82,42<br />

1 rms = =<br />

5 rms = =<br />

I saluran<br />

rms =<br />

8,62 A<br />

0,43 A<br />

2 2<br />

8,62 + 0,43 = 8,63 A<br />

(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasanetral<br />

harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak<br />

muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan<br />

sebelum penghantar netral diputus<br />

V f − f<br />

=<br />

2<br />

2<br />

440,9 + 0 + 61,2<br />

= 445<br />

V<br />

(c) Arus di penghantar netral = 0 A<br />

(d) Daya yang diserap beban<br />

8.4. Sumber Bekerja Paralel<br />

2<br />

P b = 3×<br />

I × R = 3×<br />

8,63 × 25 = 5589 W = 5,59 kW<br />

Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga<br />

harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral<br />

masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi<br />

melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.<br />

172 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

2


COTOH-8.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,<br />

terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar<br />

20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3<br />

dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua<br />

generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing<br />

ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di<br />

pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.<br />

Penyelesaian:<br />

Tegangan kedua generator adalah<br />

V ffrms<br />

=10000 V<br />

V fnrms<br />

10000 = = 5774<br />

3<br />

V<br />

Reaktansi jangkar 20% :<br />

X a<br />

Reaktansi pentanahan 10% :<br />

3×<br />

5774<br />

= 20% ×<br />

= 1 Ω<br />

20 000 × 1000<br />

X g<br />

Reaktansi pentanahan untuk urutan nol :<br />

3×<br />

5774<br />

= 10% ×<br />

= 0,5 Ω<br />

20 000 × 1000<br />

X 0<br />

2<br />

2<br />

= 3×<br />

0,5 = 1,5 Ω<br />

Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :<br />

V fn3 rms = 577,4<br />

Kedua generator memiliki X a dan X g yang sama besar dengan<br />

tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi<br />

akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah<br />

I<br />

sirkulasi<br />

8.5. Penyaluran Energi ke Beban<br />

=<br />

V<br />

fn3rms<br />

( X + X )<br />

a<br />

0<br />

=<br />

V<br />

577,4<br />

= 231 A<br />

2,5<br />

Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan<br />

penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari<br />

transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan<br />

beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita<br />

menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.<br />

173


Penyulang. Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai<br />

memiliki resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen<br />

ini bisa diabaikan.<br />

Transformator. Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan<br />

1 = E1<br />

+ I1R1<br />

jI1X1<br />

V +<br />

2 = V2<br />

+ I2R2<br />

jI2X2<br />

E +<br />

2<br />

I<br />

I 2<br />

1 = I f + I2′<br />

dengan I2′<br />

= I2<br />

=<br />

1<br />

a<br />

V 1 , I1,<br />

E1,<br />

R1<br />

, X1<br />

berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan<br />

induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.<br />

V 2 , I2,<br />

E2,<br />

R2,<br />

X2<br />

berturut-turut adalah tegangan terminal, arus,<br />

tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian<br />

sekunder; V 2 sama dengan tegangan pada beban. E 1 sefasa dengan E 2<br />

karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai<br />

masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2 . Jika<br />

a = 1 / 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E 1 menjadi<br />

E 1 ' = E1<br />

/ a , I 1 menjadi I 1 ' = aI 1 , R 1 menjadi R 1 /a 2 , X 1 menjadi X 1 /a 2 .<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada<br />

Gb.5.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi I f dan menggabungkan<br />

resistansi dan reaktansi menjadi R T = R 1 ′ + R2<br />

dan X T = X 1 ′ + X 2<br />

maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada Gb.8.7.b.<br />

(a)<br />

R′<br />

X′ 1 I f<br />

1<br />

R X 2 2<br />

V∼<br />

1 E<br />

B V 2<br />

1<br />

X c<br />

R c<br />

I c<br />

B<br />

(b)<br />

Gb.8.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban.<br />

174 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

R T<br />

X T<br />

∼ V 1<br />

V 2


8.6. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk Analisis<br />

Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi<br />

sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula<br />

diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber V s menjadi V s /a, resistansi<br />

penyulang menjadi R p /a 2 , reaktansi penyulang menjadi X p /a 2 . Jika<br />

resistansi penyulang R p /a 2 maupun resistansi transformator R T diabaikan,<br />

maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi<br />

seperti pada Gb.8.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana<br />

untuk melakukan analisis lebih lanjut. V s /a adalah tegangan sumber.<br />

X T<br />

V s /a B V 2<br />

X p /a 2 X C<br />

B<br />

Gb.8.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen penyaluran energi dari sumber ke<br />

beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian<br />

serta arus eksitasi transformator.<br />

Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya<br />

memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan<br />

nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.8.9.<br />

X p /a 2<br />

X T<br />

i beban<br />

X C<br />

Gb.8.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pada pembebanan nonlinier.<br />

Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang<br />

bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa<br />

digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak<br />

memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya<br />

komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan<br />

pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa<br />

melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu<br />

sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan<br />

terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini<br />

175


sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu<br />

sistem seperti terlihat pada Gb.8.10.<br />

X p /a 2<br />

X T<br />

X C<br />

sumber arus<br />

harmonisa<br />

Gb.8.10. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen untuk analisis arus harmonisa.<br />

8.7 Dampak Harmonisa Pada Piranti<br />

Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,<br />

dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam<br />

bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,<br />

baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.<br />

Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:<br />

a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu<br />

energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara<br />

alamiah berubah menjadi panas. [5,6].<br />

b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari<br />

terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada<br />

konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus<br />

melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian<br />

pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan<br />

transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan<br />

justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih<br />

besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut<br />

energi.<br />

Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga<br />

umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu<br />

kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang<br />

waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi<br />

temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat<br />

tertentu. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat<br />

menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam<br />

piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function bisa<br />

terjadi pada piranti.<br />

176 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


8.7.1. Konduktor<br />

Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan<br />

daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan<br />

temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita<br />

sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus<br />

dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan<br />

kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.<br />

Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang<br />

memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah<br />

2 2 2<br />

2<br />

2<br />

P s I rms Rs<br />

= ( I1rms<br />

+ I hrms ) Rs<br />

= I1rms<br />

Rs<br />

( 1 + THDI<br />

)<br />

2<br />

Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( THD )<br />

= (8.1)<br />

1+ I pada<br />

(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.<br />

Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I<br />

tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan<br />

yang diberikan di Bab-4, THD I besar terjadi misalnya pada arus<br />

penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus<br />

melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap<br />

setengah perioda yang mencapai 61%.<br />

COTOH-8.7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,<br />

menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini<br />

beroperasi normal pada temperatur 70 o C sedangkan temperatur<br />

sekitarnya adalah 25 o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel<br />

menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan<br />

nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)<br />

perubahan temperatur kerja pada konduktor.<br />

(a) Susut daya semula pada konduktor adalah<br />

P 1 = 100 2 × 0,08 = 800<br />

Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah<br />

W<br />

Susut daya berubah menjadi<br />

P 7 = 40 2 × 0,08 = 128 W<br />

P kabel<br />

= 800 + 128 = 928 W<br />

177


Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut<br />

daya sebesar 16%.<br />

(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula<br />

adalah (70 o − 25 o ) = 45 o C. Perubahan kenaikan temperatur<br />

adalah<br />

∆T = 0,16 × 45<br />

o =<br />

7,2<br />

Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah<br />

o<br />

T = 45 C + 7,2<br />

o<br />

o<br />

C ≈ 52<br />

dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah<br />

T ′ =<br />

25<br />

o<br />

+ 52<br />

10% di atas temperatur kerja semula.<br />

o<br />

= 77<br />

o<br />

o<br />

C<br />

C<br />

C<br />

COTOH-8.8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω<br />

digunakan untuk mencatu beban resistif R b yang tersambung di<br />

ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa<br />

pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah<br />

gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya<br />

pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak<br />

berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan<br />

mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah<br />

P k<br />

= 20 2 × 0,2 = 80 W<br />

Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak<br />

berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20<br />

A. THD I pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.<br />

Susut daya pada kabel menjadi<br />

P<br />

*<br />

k<br />

= 20<br />

2<br />

× 0,21<br />

Susut daya menjadi dua kali lipat.<br />

2<br />

( + 1 ) = 160 W<br />

178 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di<br />

kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu<br />

P<br />

k<br />

= 20 2 × 0,2 = 80<br />

Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental<br />

yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,<br />

yaitu<br />

I<br />

2<br />

rms<br />

2<br />

1ms<br />

2<br />

hms<br />

2<br />

1ms<br />

W<br />

= I + I = I (1 + THD<br />

Dengan THD 100%, maka I 1 2 rms = 20 2 /2<br />

jadi<br />

I<br />

1 rms<br />

= 20/ 2 = 14,14 A<br />

2<br />

) = 20<br />

Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental<br />

turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak<br />

berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi<br />

0,7<br />

2 ≈ 0,5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.<br />

(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada<br />

saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur<br />

dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65 o C pada<br />

temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa<br />

mencapai lebih dari 100 o C.<br />

8.7.2. Kapasitor<br />

Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat<br />

maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai<br />

menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat<br />

diartikan sebagai derating kabel.<br />

Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki<br />

permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki<br />

luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang<br />

semula (tanpa bahan dielektrik)<br />

A<br />

C 0 = ε 0 d<br />

berubah menjadi<br />

C = C 0 ε r<br />

Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali.<br />

2<br />

179


Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.11.<br />

Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif I C ideal<br />

yang 90 o mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus ekivalen losses<br />

pada dielektrik I Rp yang sefasa dengan tegangan.<br />

im<br />

IC<br />

δ<br />

I tot<br />

Gb.8.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.<br />

Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah<br />

P = V I = V I tan δ<br />

(8.2)<br />

C<br />

Rp<br />

C<br />

atau<br />

2<br />

0 0<br />

0 r<br />

C<br />

P = ε V ωC<br />

V tan δ = 2πf<br />

V C ε tan δ (8.3)<br />

r<br />

I Rp<br />

tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)<br />

ε r tanδ disebut faktor kerugian (loss factor)<br />

Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai ε r tergantung dari frekuensi,<br />

yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.12.<br />

VC<br />

re<br />

ε r<br />

ε r<br />

loss factor<br />

ε r tanδ<br />

power audio<br />

frekuensi listrik<br />

radio<br />

frekuensi<br />

frekuensi optik<br />

Gb.8.12. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.<br />

Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai<br />

180 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


1<br />

X C = 2 πfC<br />

Gb.8.12. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi<br />

yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun<br />

perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi<br />

dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita<br />

menganggap kapasitansi konstan.<br />

Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />

dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung<br />

dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun<br />

tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena<br />

itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />

dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor<br />

konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi<br />

panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan<br />

kuadrat tegangan.<br />

Tegangan onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang<br />

tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini<br />

disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen<br />

fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.<br />

Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal<br />

kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:<br />

vC ( t)<br />

= vC1 ( t)<br />

+ vC3(<br />

t)<br />

+ vC5<br />

( t)<br />

+ .........<br />

(8.4)<br />

Arus kapasitor akan berbentuk<br />

iC ( t)<br />

= ω0 CvC1(<br />

t)<br />

+ 3ω0CvC3(<br />

t)<br />

+ 5ω0CvC5<br />

( t)<br />

+ ......... (8.5)<br />

Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa<br />

bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang<br />

arusnya.<br />

COTOH-8.9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />

fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />

harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.<br />

Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.<br />

Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.<br />

181


Penyelesaian:<br />

Jika persamaan tegangan<br />

maka persamaan arus adalah<br />

i C<br />

v C = 150 sin100πt<br />

+ 30sin 300πt<br />

V<br />

= 150×<br />

500×<br />

10<br />

+ 30×<br />

500×<br />

10<br />

−6<br />

−6<br />

× 100π<br />

cos100πt<br />

× 500π<br />

cos 500πt<br />

Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada<br />

Gb.8.13.<br />

200<br />

[V]<br />

[A]<br />

100<br />

-100<br />

0<br />

i C<br />

v C<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />

t [detik]<br />

-200<br />

Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-8.9.<br />

COTOH-8.10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />

fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz,<br />

serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak<br />

berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms,<br />

50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus<br />

efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD<br />

tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik<br />

0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik<br />

dalam situasi ini.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah<br />

X C1<br />

1<br />

=<br />

2π×<br />

50×<br />

500×<br />

10<br />

= 6,37 Ω<br />

182 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

−6


Arus efektif untuk komponen fundamental<br />

150 / 2<br />

I C1 rms = = 16,7 A<br />

6,37<br />

(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut<br />

adalah<br />

(c)<br />

X<br />

= C1<br />

X<br />

X C3<br />

= 2,12 Ω ; X = C1<br />

C5<br />

= 1,27 Ω<br />

3<br />

5<br />

Arus efektif harmonisa<br />

THD<br />

V<br />

30 / 2<br />

I C3 rms = = 10 A<br />

2,12<br />

I C<br />

V<br />

=<br />

V<br />

5 / 2<br />

=<br />

1,27<br />

5 rms =<br />

THD<br />

I<br />

hrms<br />

1rms<br />

I<br />

=<br />

I<br />

=<br />

hrms<br />

C1rms<br />

30<br />

2<br />

2<br />

150 /<br />

=<br />

2,8 A<br />

5<br />

+<br />

2<br />

2<br />

2<br />

10<br />

2<br />

+ 2,8<br />

16,7<br />

2<br />

= 0,62 atau<br />

62%<br />

21,5<br />

= = 0,20 atau 20 %<br />

106<br />

(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan<br />

kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,<br />

losses adalah 0,6 watt.<br />

P 50 Hz,110V =<br />

0,6<br />

W<br />

150 ⎛ 30 ⎞<br />

P 150 Hz,30V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,134 W<br />

50 ⎝110<br />

⎠<br />

250 ⎛ 5 ⎞<br />

P 250 Hz,5V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,006 W<br />

50 ⎝110<br />

⎠<br />

Losses dielektrik total:<br />

P total<br />

= 0 ,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74<br />

2<br />

2<br />

W<br />

183


8.7.3. Induktor<br />

Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan<br />

sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.<br />

Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita<br />

melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan<br />

satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai<br />

tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila<br />

resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk<br />

gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi<br />

di f<br />

v = L<br />

dt<br />

dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi.<br />

Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding<br />

dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor<br />

sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />

dφ<br />

e i = −<br />

dt<br />

Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,<br />

sehingga nilai e i sama dengan v.<br />

dφ<br />

di f<br />

e = ei = = L<br />

dt dt<br />

Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />

bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />

i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />

Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />

sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai<br />

frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk<br />

fasor<br />

V = E i = jωΦ = jωLI<br />

f<br />

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan<br />

2π<br />

Vrms<br />

= fφmaks<br />

= 4, 44 f φmaks<br />

2<br />

184 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


2π<br />

Vrms<br />

= fLi fmaks = 4, 44 fL i<br />

2<br />

fmaks<br />

Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di<br />

samping ini dimana arus yang membangkitkan<br />

fluksi yaitu I φ sama dengan I f .<br />

I f<br />

Φ<br />

= I φ<br />

V = E i<br />

COTOH-8.11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang<br />

mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan<br />

harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.<br />

Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor<br />

adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.<br />

Penyelesaian:<br />

Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen<br />

fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah<br />

V L 1 rms = 4,44×<br />

50×<br />

L×<br />

50 = 11100×<br />

L V<br />

V L 3 rms = 4,44×<br />

150×<br />

L × 10 = 6660×<br />

L V<br />

V L 5 rms = 4,44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V<br />

sedangkan<br />

2 2 2<br />

Lrms = V1rms<br />

+ V3rms<br />

V5rms<br />

. Jadi<br />

V +<br />

2<br />

75 = L × 11100 + 6660 + 5550 = 14084, 3× L<br />

Induktansi kumparan adalah<br />

L =<br />

75<br />

14084,3<br />

2<br />

2<br />

= 0,0053 H<br />

Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan<br />

frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam<br />

inti dihitung dengan formula<br />

φm<br />

V<br />

= rms<br />

4,44×<br />

f × <br />

185


φ m adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui<br />

contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila<br />

tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.<br />

COTOH-8.12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat<br />

tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan<br />

nilai efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif<br />

V 3rms = 50 V yang tertinggal 135 o dari komponen fundamental.<br />

Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.<br />

Penyelesaian:<br />

Persamaan tegangan adalah<br />

v L = 150 2 sin ω0t<br />

+ 50 2 sin(5ω0t<br />

−135<br />

Nilai puncak fluksi fundamental<br />

150<br />

φ1 m =<br />

= 563 µ Wb<br />

4,44×<br />

50×<br />

1200<br />

Fluksi φ 1m tertinggal 90 o dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan<br />

gelombang fluksi fundamental menjadi<br />

Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3<br />

φ1 = 563sin( ω0t<br />

− 90 ) µ Wb<br />

50<br />

3 =<br />

= 62,6 µ Wb<br />

4,44 × 3×<br />

50 × 1200<br />

φ m<br />

Fluksi φ 3m juga tertinggal 90 o dari tegangan harmonisa ke-3;<br />

sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan<br />

fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah<br />

o<br />

o<br />

φ3 = 62,6sin(3ω0t<br />

−135<br />

− 90 ) = 62,6sin(3ω0t<br />

− 225 ) µ Wb<br />

o<br />

o<br />

)<br />

o<br />

Persamaan fluksi total menjadi<br />

186 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

o<br />

φ = 563sin(<br />

ω0 t − 90 ) + 62,6sin(3ω0t<br />

− 225) µ Wb<br />

Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.14.


600<br />

[V]<br />

400<br />

[µWb]<br />

200<br />

0<br />

-200<br />

v L<br />

φ<br />

t [detik]<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04<br />

-400<br />

-600<br />

Gb.8.14. Kurva tegangan dan fluksi.<br />

Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi<br />

magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang<br />

disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.15. dimana<br />

arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar<br />

dengan memperhitungkan rugi hiterisis<br />

Ic<br />

V = Ei<br />

Iφ<br />

γ<br />

Φ<br />

I f<br />

Gb.8.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)<br />

Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti<br />

transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ<br />

yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />

mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />

Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan<br />

memberikan rugi-rugi inti<br />

o<br />

Pc<br />

= IcV<br />

= VI f cos(90 − γ)<br />

watt (8.6)<br />

Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus<br />

pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan<br />

Ph = whvf<br />

(8.7)<br />

187


P h rugi histerisis [watt], w h luas loop kurva histerisis dalam<br />

[joule/m 3 .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,<br />

Steinmetz memberikan formulasi empiris<br />

n<br />

( K B )<br />

P h = vf h m<br />

(8.8)<br />

di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari<br />

jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang<br />

juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h =<br />

0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi<br />

harmonisa.<br />

Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar<br />

dalam inti<br />

P e = Ke<br />

f Bm τ v<br />

(8.9)<br />

188 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

2<br />

di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan<br />

fluksi [Hz], B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan<br />

laminasi inti, dan v adalah volume material inti.<br />

Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 .<br />

Misalkan resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />

2<br />

V E + I<br />

2<br />

= 1 f R 1<br />

(8.10)<br />

Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan<br />

resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.16.<br />

Gb.8.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).<br />

Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />

untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />

pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi<br />

2<br />

f<br />

P = P + P = P + I R = VI cosθ<br />

(8.11)<br />

in<br />

I φ<br />

c<br />

Φ<br />

I c<br />

θ<br />

I<br />

cu<br />

f<br />

dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />

c<br />

E i<br />

I f R 1<br />

V<br />

1<br />

f


8.7.4. Transformator<br />

Ulas Ulang Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator<br />

berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.8.17. Tegangan<br />

induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak<br />

berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan<br />

arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang<br />

melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian<br />

akan bocor, φ l2 ; φ l2 yang sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan<br />

E l2 di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 .<br />

I 1<br />

V 1<br />

φ<br />

I2<br />

φ l1 φ l2<br />

V 2<br />

Gb.8.17. Transformator berbeban.<br />

Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan<br />

sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan<br />

menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung<br />

mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang<br />

tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer<br />

yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus<br />

magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />

Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama<br />

φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian<br />

maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.<br />

Karena pertambahan arus primer sebesar<br />

I1 − I f adalah untuk<br />

mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ<br />

dipertahankan, maka haruslah<br />

Pertambahan arus primer<br />

( I − I ) − I 0<br />

1 1 f 2 2 =<br />

(8.12)<br />

I1 − I f disebut arus penyeimbang yang akan<br />

mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />

189


penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />

Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.<br />

Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,<br />

φ l1 , yang menginduksikan tegangan E l1 . Tegangan induksi yang<br />

dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu E l1 dan E l2 , dinyatakan<br />

dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />

reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer<br />

dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R 1 dan belitan<br />

sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan<br />

untuk rangkaian di sisi primer<br />

V E I R El E I + I<br />

1 = 1 + 1 1 + 1 = 1 + 1R1<br />

j 1X1<br />

(8.13)<br />

untuk rangkaian di sisi sekunder<br />

E R l R + jˆ I X<br />

2 = V2<br />

+ I2<br />

2 + E 2 = V2<br />

+ I2<br />

2 2 2 (8.14)<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah<br />

penafsiran secara rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik<br />

yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,<br />

rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.<br />

Dengan relasi E 2 = E1<br />

/ a = E1<br />

′ dan I 2 = a I1<br />

= I1<br />

′ di mana<br />

a = 1 / 2 , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali<br />

sebagai satu set persamaan sebagai berikut.<br />

Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan<br />

E1<br />

E 2 = = V2<br />

+ I2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

a<br />

Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (4.13), kita peroleh<br />

E<br />

1 = V1<br />

− I1R1<br />

− jI1X1<br />

sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan<br />

R − j<br />

E1<br />

V1<br />

I1<br />

1 I1<br />

1<br />

E 2 = =<br />

= V2<br />

+ I 2R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

a<br />

−<br />

a<br />

X<br />

190 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Karena<br />

I 2<br />

I 1 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan<br />

a<br />

V<br />

a<br />

1<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

dengan<br />

2<br />

I R<br />

+ I 2 R2<br />

+ jI<br />

2 X 2 +<br />

a<br />

⎛ R1<br />

⎞ ⎛<br />

+<br />

⎜ R +<br />

⎟ I + j<br />

⎜ X<br />

2 1<br />

2<br />

jI<br />

X<br />

+<br />

a<br />

X1<br />

⎞<br />

+<br />

⎟ I<br />

2 1<br />

2<br />

2 2 2 2 2 2 2<br />

⎝ a ⎠ ⎝ a ⎠<br />

2 + ( R 2 + R 1 ′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1 ′ ) I 2<br />

R1<br />

X<br />

R 1 ′ = ; X<br />

2 1′<br />

=<br />

a a<br />

1<br />

2<br />

(8.15)<br />

Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita<br />

tuliskan I 2 = aI1<br />

− aI<br />

f = I1<br />

′ − aI<br />

f , memberikan rangkaian ekivalen<br />

untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang<br />

digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />

sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,<br />

jika I f diabaikan terhadap I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2<br />

bisa dianggap cukup kecil.<br />

Pengabaian ini akan membuat I 2 = a I1<br />

= I1′<br />

. Dengan pendekatan ini,<br />

dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang<br />

disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan<br />

rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.<br />

I 2 = I′ 1<br />

∼<br />

R e = R 2 +R′ 1 jX e = j(X 2 + X′ 1 )<br />

V 1 /a V 2<br />

V 2<br />

V 1 /a<br />

jI 2 X e<br />

I 2<br />

I 2 R e<br />

Gb.8.18. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator dan diagram fasor.<br />

191


Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi. Seperti halnya pada induktor,<br />

transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan<br />

rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugirugi<br />

arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor.<br />

Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar P cu = I 2 R, pada belitan<br />

terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang ditimbulkan oleh fluksi<br />

bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor ini menimbulkan<br />

tegangan induksi E l1 dan E l2 , karena fluksi ini melingkupi sebagian<br />

belitan; E l1 dan E l2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu<br />

tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain<br />

melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor<br />

belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus<br />

pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, P l .<br />

Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat<br />

diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material<br />

magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan<br />

cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan<br />

kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang<br />

kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.<br />

Rugi arus pusar P l diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi<br />

tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat<br />

bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat ferkuensi. Proporsi ini<br />

berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator.<br />

Kita lihat dua contoh berikut.<br />

Contoh-8.13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />

0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.<br />

Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang<br />

diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />

Penyelesaian:<br />

Rugi tembaga<br />

P cu<br />

= 40 2 × 0,05 = 80<br />

W<br />

Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0.05×<br />

80 = 4 W<br />

Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.<br />

192 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Contoh-8.14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />

0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />

fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai<br />

efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />

pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />

Penyelesaian:<br />

Rugi tembaga total adalah<br />

2<br />

Pcu<br />

= I rmsR = (40<br />

Rugi arus pusar komponen fundamental<br />

2<br />

2<br />

2<br />

+ 6 ) × 0,05 = 81,8 W<br />

Pl<br />

1 = 0,1 × I1rmsR<br />

= 0,1 × 40 × 0,05 = 8 W<br />

Rugi arus pusar harmonisa ke-7<br />

2<br />

2<br />

Pl<br />

7 = 0,1 × 7 × I 7rms<br />

R = 0,1 × 7 × 6 × 0,05 = 8,8 W<br />

Rugi daya total adalah<br />

P total = Pcu<br />

+ Pl<br />

1 + Pl<br />

7 = 81,8 + 8 + 8,8 = 98,6 W<br />

Contoh-8.14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki<br />

nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus<br />

pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini<br />

bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.<br />

Faktor K. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar<br />

pada belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul<br />

secara keseluruhan.<br />

Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar<br />

adalah<br />

2<br />

2<br />

k<br />

2<br />

I Trms = ∑ I nrms A<br />

(8.16)<br />

n=<br />

1<br />

dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.<br />

Dalam relasi (8.16) kita tidak memasukkan komponen searah karena<br />

komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.<br />

Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang<br />

ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus<br />

2<br />

193


menimbulkan rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan<br />

kuadrat arus masing-masing.<br />

Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R 0 ,<br />

dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g<br />

terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total<br />

adalah<br />

k<br />

2 2<br />

P K = gR0∑<br />

n I nrms W<br />

(8.17)<br />

n=<br />

1<br />

Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah<br />

k<br />

2 2<br />

P cu = R0∑<br />

I nrms = R0ITrms<br />

n=<br />

1<br />

W<br />

(8.18)<br />

Dengan (8.18) maka (8.17) dapat ditulis sebagai<br />

dengan<br />

2<br />

P K = gKR0ITrms<br />

W<br />

(8.19)<br />

K<br />

k<br />

2 2<br />

∑ n I nrms<br />

n=<br />

1<br />

= (8.20)<br />

2<br />

ITrms<br />

K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).<br />

Faktor K dapat dituliskan sebagai<br />

k 2 k<br />

2 I nrms 2 2<br />

K = ∑ n = ∑ n I<br />

2<br />

n(<br />

pu)<br />

n=<br />

1 ITrms<br />

n=<br />

1<br />

I nrms<br />

dengan I n(<br />

pu)<br />

=<br />

ITrms<br />

(8.21)<br />

Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik<br />

sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk<br />

mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.<br />

194 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


COTOH-8.15: Di belitan primer transformator yang memiliki<br />

resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari<br />

komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11<br />

bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai<br />

efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini<br />

jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.<br />

Penyelesaian:<br />

(a) Nilai efektif arus total adalah<br />

(b) Faktor K adalah<br />

I Trms<br />

=<br />

40<br />

2<br />

+ 15<br />

2<br />

+ 5<br />

2<br />

= 43 A<br />

40<br />

K =<br />

2<br />

+ 3<br />

2<br />

× 15<br />

43<br />

2<br />

2<br />

+ 11<br />

2<br />

× 5<br />

2<br />

= 3,59<br />

(c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus<br />

pusar P l .<br />

P cu<br />

Pl<br />

= 43 2 × 0,08 = 148 W<br />

= gPcu<br />

K = 0 ,05 × 148×<br />

3,59 = 26,6<br />

P tot = 148 + 26,6 = 174,6 W<br />

W<br />

8.7.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti<br />

Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti<br />

mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa<br />

terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung<br />

harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah<br />

contoh.<br />

COTOH-8.16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai<br />

resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini<br />

mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total<br />

2,9µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah<br />

e = 17000sin<br />

ω0t<br />

+ 170sin13ω0t<br />

. Dalam keadaan tak ada beban<br />

terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada<br />

kabel.<br />

195


Penyelesaian:<br />

Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi<br />

fundamental terdapat impedansi internal<br />

Z ernal = 1+<br />

6,5 Ω ; Z = 1 + 6,5 = 6,58 Ω<br />

1int<br />

j<br />

1int<br />

Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi<br />

2<br />

2<br />

Z 13int<br />

= 1 + j13<br />

× 6,5 Ω ; Z 13int = 1 + (13×<br />

6,5) = 84,5 Ω<br />

Impedansi kapasitif kabel<br />

− j<br />

Z C 1 =<br />

= − 1097,6 Ω<br />

−6<br />

ω0<br />

× 2,9 × 10<br />

j ;<br />

− j<br />

Z C 13 =<br />

= − 84,4 Ω<br />

−6<br />

13 × ω0<br />

× 2,9 × 10<br />

j<br />

Impedansi total rangkaian seri R-L-C<br />

Z1 tot = 1 + j6,5<br />

− j1097,6<br />

Ω ; Z 1tot = 1091,1 Ω<br />

Z13 tot = 1 + j13×<br />

6,5 − j84,4<br />

Ω ; Z 13tot = 1,0 Ω<br />

Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental<br />

ZC1<br />

1097,6<br />

V 1 m = × e1m<br />

= × 17000 = 17101 V<br />

Z1tot<br />

1091,1<br />

ZC13<br />

84,4<br />

V 13 m = × e13m<br />

= × 170 = 14315 V<br />

Z13tot<br />

1,0<br />

Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada<br />

seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang<br />

penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam<br />

setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang<br />

diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental<br />

dantegangan maksimum harmonisa ke-13.<br />

V m = V1m<br />

+ V13m<br />

= 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV<br />

Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum<br />

fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini<br />

memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.<br />

2<br />

2<br />

196 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


40<br />

[kV]<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

-40<br />

8.7.6. Partial Discharge<br />

v 1 +v 13<br />

0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]<br />

v 1<br />

Gb.8.19. Bentuk gelombang tegangan.<br />

Contoh-8.16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat<br />

menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi<br />

tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya<br />

harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge<br />

pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada<br />

gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang<br />

akan menimbulkan kerugtian finansial besar.<br />

8.7.7. Alat Ukur Elektromekanik<br />

Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus<br />

sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat<br />

ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter<br />

elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu<br />

kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan<br />

dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika<br />

masing-masing arus di kedua kumparan adalah iv<br />

= k1 Iv<br />

sin ωt<br />

dan<br />

ii<br />

= k2Ii<br />

sin( ωt<br />

+ ϕ)<br />

, maka kedua arus menimbulkan medan magnit<br />

yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang<br />

terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan<br />

sebanding dengan perkalian kedua arus<br />

me<br />

= k3Iv<br />

sin ωt<br />

× Ii<br />

sin( ωt<br />

+ ϕ)<br />

Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan<br />

defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ<br />

yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.<br />

197


ζ =<br />

kI vrms I irms cosϕ<br />

Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang<br />

masih banyak digunakan,<br />

kumparan tegangan<br />

dihubungkan pada<br />

tegangan sumber<br />

sementara kumparan arus<br />

dialiri arus beban. Bagan<br />

alat ukur ini terlihat pada<br />

Gb.8.20.<br />

S 1<br />

S 2 S 1<br />

S 2<br />

Gb.8.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.<br />

Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik<br />

yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus<br />

induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan<br />

tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan<br />

fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik<br />

tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar<br />

M e = kfΦ<br />

vΦi<br />

sin β<br />

piringan Al<br />

di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang<br />

ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah<br />

selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan<br />

k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan<br />

yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar<br />

dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua<br />

momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme<br />

penghitung.<br />

Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i .<br />

Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e<br />

akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.<br />

Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.<br />

Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena<br />

kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya<br />

50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup<br />

kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa<br />

menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.<br />

198 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 9<br />

Pembebanan Tak Seimbang<br />

Pada pembebanan seimbang, model satu fasa mempermudah<br />

analisis sistem tiga fasa. Apabila beban tidak seimbang, sistem<br />

akan mengandung fasor-fasor tidak seimbang, baik arus<br />

maupun tegangannya. Apabila fasor-fasor tidak seimbang<br />

tersebut dapat diuraikan kedalam komponen-komponen yang<br />

seimbang maka masing-masing komponen seimbang dapat<br />

dianalisis menggunakan model satu fasa. Jadi kita memandang<br />

sistem tak seimbang sebagai superpoisi dari sistem seimbang.<br />

Komponen-komponen seimbang itu disebut komponen simetris.<br />

Dalam pembahasan komponen simetris ini kita hanya akan<br />

melihat sistem tiga fasa.<br />

Bahwa fasor tegangan (ataupun arus) dalam sistem tak<br />

seimbang dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fasor tegangan<br />

(atau arus-arus) yang seimbang dikemukakan oleh C.L.<br />

Fortesque memaparkan dalam papernya, pada 1918.<br />

9.1. Pernyataan Komponen Simetris<br />

Hanya ada tiga kemungkinan fasor tiga fasa seimbang yang<br />

dapat digunakan untuk menyatakan komponen-komponen dari<br />

fasor tiga fasa tak seimbang, yaitu:<br />

a) Fasor tiga fasa seimbang urutan positif, ABC.<br />

b) Fasor tiga fasa seimbang urutan negatif, CBA.<br />

c) Fasor tiga fasa tanpa beda sudut fasa yang disebut<br />

urutan nol<br />

Ketiga sistem fasor tersebut diperlihatkan pada Gb.9.1.<br />

199


a) Fasor urutan positif (ABC):<br />

V<br />

V<br />

V<br />

1A<br />

1B<br />

1C<br />

= V ∠0<br />

1<br />

1<br />

1<br />

o<br />

o<br />

= V ∠−120<br />

o<br />

= V ∠− 240<br />

V 1C<br />

V 1B<br />

Im<br />

o<br />

120<br />

o<br />

120<br />

V 1A<br />

Re<br />

b) Fasor urutan negatif (CBA)<br />

V<br />

V<br />

V<br />

2A<br />

2B<br />

2C<br />

2<br />

2<br />

2<br />

o<br />

= V ∠0<br />

o<br />

= V ∠+ 120<br />

o<br />

= V ∠+ 240<br />

V 2B<br />

V 2C<br />

Im<br />

o<br />

120<br />

o<br />

120<br />

V 2A<br />

Re<br />

c) Fasor urutan nol<br />

V<br />

V = V ∠θ<br />

0A<br />

= V0B<br />

= V0C<br />

= V0<br />

Im<br />

V<br />

V<br />

0A<br />

0B<br />

0C<br />

0<br />

= V ∠θ<br />

0<br />

= V ∠θ<br />

0<br />

Re<br />

Operator a. Untuk menyatakan komponen simetris kita<br />

menggunakan operator a yaitu<br />

o<br />

a = 1∠120<br />

(9.1)<br />

Operator semacam ini telah kita kenal yaitu operator j di mana<br />

o<br />

j = 1∠90 .<br />

Dengan menggunakan operator a maka fasor urutan positif<br />

dapat kita tuliskan<br />

V<br />

2<br />

1 A = V1<br />

; V1B<br />

= a V1<br />

; V1C<br />

= aV1<br />

(9.2)<br />

200 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


dan fasor urutan negatif sebagai<br />

V<br />

2<br />

2 A = V2<br />

; V2B<br />

= aV2<br />

; V2C<br />

= a V2<br />

(9.3)<br />

Fasor Tak Seimbang. Fasor tak seimbang merupakan jumlah<br />

dari komponen-komponen simetrisnya.<br />

V<br />

V<br />

V<br />

A<br />

B<br />

C<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

0A<br />

0B<br />

0C<br />

+ V<br />

+ V<br />

+ V<br />

1A<br />

1B<br />

1C<br />

+ V<br />

+ V<br />

+ V<br />

2A<br />

2B<br />

2C<br />

= V<br />

0<br />

= V<br />

0<br />

= V<br />

0<br />

+ V + V<br />

1<br />

2<br />

+ aV<br />

1<br />

1<br />

2<br />

+ a V + aV<br />

yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />

+ a<br />

2<br />

V<br />

2<br />

2<br />

(9.4)<br />

⎡VA<br />

⎤ ⎡1<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VB<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VC<br />

⎦ ⎣1<br />

1<br />

2<br />

a<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡V0<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥<br />

⎥ ⎢V1<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

V2<br />

⎦<br />

(9.5)<br />

9.2. Mencari Komponen Simetris<br />

Komponen-komponen simetris adalah besaran-besaran hasil<br />

olah matematik. Ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur<br />

dalam praktek adalah besaran-besaran yang tak seimbang yaitu<br />

V A , VB<br />

, VC<br />

. Komponen simetris dapat kita cari dari (9.4)<br />

dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat<br />

bahwa (1+a+a 2 ) = 0, yaitu<br />

V<br />

V<br />

V<br />

A<br />

B<br />

C<br />

= V<br />

0<br />

= V<br />

0<br />

= V<br />

0<br />

+ V + V<br />

1<br />

2<br />

+ aV<br />

( V + V V )<br />

1<br />

V = +<br />

3<br />

1<br />

1<br />

2<br />

+ a V + aV<br />

+ a<br />

2<br />

V<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

0 + (1 + a + a)<br />

V1<br />

+ (1 + a + ) V 3<br />

V + V + V = 3V<br />

a = V<br />

A<br />

B<br />

C<br />

+<br />

0 A B C<br />

(9.6)<br />

0<br />

201


Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga<br />

kita kalikan dengan a 2 , kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />

V<br />

aV<br />

a<br />

A<br />

B<br />

2<br />

VC<br />

2<br />

V<br />

= V<br />

0<br />

= aV<br />

= a<br />

1<br />

3<br />

2<br />

( V + aV<br />

+ a V )<br />

1 = A B C<br />

(9.7)<br />

Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a 2 dan baris ke-tiga<br />

kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />

2<br />

( V + a V aV<br />

)<br />

1<br />

V 2 = A B +<br />

3<br />

C<br />

(9.8)<br />

Relasi (9.6), (9.7), (9.8) kita kumpulkan dalam satu penulisan<br />

matriks:<br />

⎡V0<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢V1<br />

⎥ =<br />

⎢ ⎥<br />

⎣<br />

V2<br />

⎦<br />

+ V + V<br />

0<br />

2<br />

1<br />

3<br />

V<br />

1<br />

+ a<br />

0<br />

⎡1<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

3<br />

V<br />

+ a<br />

1<br />

3<br />

1<br />

2<br />

2<br />

a<br />

2<br />

a<br />

+ a<br />

V<br />

1 ⎤ ⎡VA<br />

⎤<br />

2 ⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥<br />

⎥ ⎢VB<br />

⎥<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

VC<br />

⎦<br />

(9.9)<br />

Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran<br />

fasa dan komponen simetrisnya yaitu (9.5) dan (9.9) yang dapat<br />

kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut.<br />

1<br />

0<br />

2<br />

V<br />

+ a<br />

V + aV<br />

+ a V = ( 1 + a + a ) V + 3V<br />

+ (1 + a + a)<br />

V = 3V<br />

A<br />

2<br />

B<br />

V<br />

a<br />

aV<br />

C<br />

C<br />

= V<br />

A<br />

2<br />

VB<br />

0<br />

= a<br />

= aV<br />

+ V + V<br />

2<br />

0<br />

V<br />

1<br />

0<br />

+ a<br />

+ a<br />

2<br />

2<br />

V<br />

2<br />

4<br />

1<br />

V<br />

1<br />

3<br />

+ a<br />

+ a<br />

V + a V + aV<br />

= ( 1+<br />

a + a)<br />

V + (1 + a + a ) V + 3V<br />

= 3V<br />

A<br />

B<br />

C<br />

0<br />

V<br />

2<br />

4<br />

3<br />

2<br />

V<br />

1<br />

V<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

+<br />

+<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

2<br />

202 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


dengan<br />

[ T]<br />

⎡1<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

~<br />

V<br />

~<br />

V<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

ABC<br />

012<br />

=<br />

=<br />

~<br />

[ T]<br />

V012<br />

−1<br />

~<br />

[ T] VABC<br />

(9.10)<br />

2<br />

−1<br />

2<br />

a dan [ T ] =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥<br />

(9.10.a)<br />

2<br />

a<br />

1<br />

3<br />

⎡1<br />

⎢<br />

⎢⎣<br />

1<br />

a<br />

1<br />

1 ⎤<br />

⎥<br />

a ⎥⎦<br />

Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk<br />

arus<br />

⎡I<br />

A ⎤ ⎡1<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢I<br />

B ⎥ ⎢<br />

1<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

IC<br />

⎦ ⎣1<br />

1<br />

2<br />

a<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡I0<br />

⎤ ⎡I0<br />

⎤<br />

⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥ ⎢I1<br />

⎥ dan ⎢I1<br />

⎥ =<br />

2<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

I ⎢ ⎥<br />

2 ⎦ ⎣<br />

I 2 ⎦<br />

1<br />

3<br />

⎡1<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

a<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

2 ⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥<br />

⎥ ⎢I<br />

B ⎥ (9.11)<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

sehingga secara keseluruhan kita dapatkan relasi untuk<br />

tegangan dan arus:<br />

~<br />

V<br />

~<br />

I<br />

ABC<br />

ABC<br />

=<br />

=<br />

~<br />

~<br />

−1<br />

[ T] V012<br />

dan V012<br />

= [ T]<br />

V<br />

~ ~ −1<br />

~<br />

[ T] I012<br />

dan I012<br />

= [ T] IABC<br />

~<br />

ABC<br />

(9.12)<br />

CONTOH-9.1: Pada suatu pembebanan tak seimbang terukur<br />

arus-arus sebagai berikut:<br />

o<br />

I A = 90∠60<br />

A, I B = 60∠ − 60 A, IC<br />

Hitunglah arus-arus komponen simetrisnya.<br />

Penyelesaian:<br />

o<br />

= 0 A<br />

2<br />

( I A + aI<br />

B + a C )<br />

o o<br />

o<br />

( 90∠60<br />

+ 60∠60<br />

+ 0) = 50∠60<br />

= 25 + j43,3<br />

A<br />

1<br />

I1<br />

= I<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

203


I<br />

I<br />

2<br />

0<br />

2<br />

( I A + a I B + a C )<br />

o<br />

o<br />

( 90∠60<br />

+ 60∠180<br />

+ 0)<br />

1<br />

= I<br />

3<br />

1<br />

=<br />

= 30∠60<br />

3<br />

= 15 + j25,9<br />

− 20 = −5<br />

+ j25,9<br />

A<br />

( I + I + )<br />

1<br />

= A B IC<br />

3<br />

1 o<br />

o<br />

= ( 90∠60<br />

+ 60∠ − 60 + 0)<br />

= 30∠60<br />

3<br />

= 15 + j25,9<br />

+ 10 − j17,3<br />

= 25 + j8,6<br />

A<br />

o<br />

+ 20∠180<br />

o<br />

o<br />

+ 20∠ − 60<br />

Dalam Contoh-9.1 ini, I C = 0. Dengan diperolehnya nilai arus<br />

komponen simetris, kita dapat melakukan verifikasi dengan<br />

menghitung arus C<br />

o<br />

IC<br />

I . Dari (9.11) kita peroleh 2<br />

= I0<br />

+ aI1<br />

+ a I 2<br />

o<br />

o<br />

= 25 + j8,6<br />

+ 50∠180<br />

+ 30∠300<br />

+ 20∠60<br />

= 25 + j8,6<br />

− 50 + 15 − j25,98<br />

+ 10 + j17,32<br />

= 0 A<br />

Sesuai dengan yang diketahui.<br />

9.3. Impedansi Urutan<br />

Jika impedansi Z A, Z B , ZC<br />

merupakan impedansi seri dengan<br />

tegangan V A , VB<br />

, VC<br />

maka<br />

⎡VA<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢VB<br />

⎥ =<br />

⎢V<br />

⎥<br />

⎣ B ⎦<br />

~<br />

V ABC =<br />

⎡I<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

ABC ⎢I<br />

B ⎥<br />

⎢I<br />

⎥<br />

⎣ C ⎦<br />

[ Z ]<br />

~<br />

[ Z ABC ] I ABC<br />

atau<br />

(9.13)<br />

204 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


V ~ A adalah tegangan antar terminal impedansi dan I a adalah<br />

Z adalah matriks 3 × 3, yang<br />

arus yang melalui impedansi. [ ] ABC<br />

elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri dari<br />

impedansi sendiri dan bersama. Matriks ini belum tentu<br />

diagonal tetapi memiliki simetri tertentu. Simetri ini adalah<br />

sedemikian rupa sehingga matrik impedansi urutan, yaitu<br />

[ ] 012<br />

Z merupakan matriks diagonal atau hampir diagonal. Kita<br />

akan melihat sebuah contoh.<br />

CONTOH-9.2: Suatu saluran tiga fasa masing masing memiliki<br />

reaktansi sediri X s sedangkan antar fasa terdapat reaktansi<br />

bersama Xm. Tentukanlah impedansi urutan.<br />

Perhatikan bahwa X s adalah reaktansi sendiri dan X m adalah<br />

reaktansi bersama sehingga tegangan antara terminal<br />

impedansi adalah<br />

V<br />

V<br />

V<br />

A −<br />

B −<br />

C −<br />

V<br />

V<br />

V<br />

A′<br />

=<br />

B′<br />

=<br />

C′<br />

=<br />

jX<br />

jX<br />

jX<br />

I<br />

s A +<br />

mI<br />

A +<br />

mI<br />

A +<br />

jX<br />

jX<br />

jX<br />

I<br />

m B +<br />

s I B +<br />

mI<br />

B +<br />

yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks<br />

jX<br />

jX<br />

jX<br />

m<br />

m<br />

s<br />

I<br />

I<br />

I<br />

C<br />

C<br />

C<br />

⎡VA<br />

⎤ ⎡VA′<br />

⎤ ⎡ X s<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VB<br />

⎥ − ⎢VB′<br />

⎥ ⎢<br />

X m<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VC<br />

⎦ ⎣<br />

VB′<br />

⎦ ⎣X<br />

m<br />

X<br />

X<br />

X<br />

m<br />

s<br />

m<br />

X m ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

X<br />

⎥<br />

m ⎥ ⎢I<br />

B ⎥<br />

X ⎥ ⎢ ⎥<br />

s ⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

205


dan dapat dituliskan dengan lebih kompak<br />

~ ~<br />

~<br />

V ABC − V ABC ′ = Z ABC I<br />

[ ] ABC<br />

Dari (9.12) kita turunkan<br />

~ ~<br />

VABC<br />

= [ T]<br />

V012<br />

~ ~<br />

VABC<br />

′ = [ T]<br />

V012<br />

′<br />

~ ~<br />

IABC<br />

= [ T] I 012<br />

sehingga<br />

~ ~<br />

T V012<br />

− T V012<br />

′ = Z ABC<br />

dan<br />

~ ~ −1<br />

V012<br />

− V012<br />

′ = T Z ABC<br />

[ ] [ ] [ ][ T]<br />

~<br />

I<br />

~<br />

012<br />

[ ] [ ][ T] I 012<br />

Pada relasi terakhir ini:<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ X s X m X m ⎤ ⎡1<br />

1<br />

-1<br />

1<br />

[ ] [ ][ ]<br />

⎢ 2⎥<br />

⎢<br />

⎥ ⎢ 2<br />

T Z ABC T =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥<br />

j<br />

⎢<br />

X m X s X m ⎥ ⎢<br />

1 a<br />

3<br />

⎢ 2<br />

⎣1<br />

a a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

X m X m X s ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1 a<br />

⎡X<br />

s + 2X<br />

m X s + 2X<br />

m X s + 2X<br />

m ⎤ ⎡1<br />

j<br />

=<br />

⎢<br />

2 2<br />

⎥ ⎢<br />

⎢<br />

X s − X m aX s + (1 + a ) X m a X s + (1 + a)<br />

X m⎥<br />

⎢<br />

1<br />

3<br />

⎢<br />

2<br />

2<br />

⎣ X s − X m a X s + (1 + a)<br />

X m aX s + (1 + a ) X m ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1<br />

⎡X<br />

s + 2X<br />

m 0 0 ⎤<br />

= j<br />

⎢<br />

⎥<br />

⎢<br />

0 X s − X m 0<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

0 0 X s − X m⎥⎦<br />

sehingga<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

1<br />

2<br />

a<br />

a<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

⎡V0<br />

⎤ ⎡V0′<br />

⎤ ⎡X<br />

s + 2X<br />

m 0<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

− =<br />

⎢<br />

⎢V1⎥<br />

⎢V1′<br />

⎥ j<br />

⎢<br />

0 X s − X m<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

V2<br />

⎦ ⎣<br />

V2′<br />

⎦ ⎣ 0 0<br />

yang dapat ditulis secara kompak<br />

~ ~<br />

~<br />

V012<br />

− V012<br />

′ = Z 012 I<br />

[ ] 012<br />

0 ⎤ ⎡I<br />

⎢<br />

0<br />

⎥<br />

⎥ ⎢I<br />

X − ⎥ ⎢<br />

s X m ⎦ ⎣<br />

I<br />

206 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

0<br />

1<br />

2<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />


Untuk rangkaian dalam contoh di atas, dapat didefinisikan<br />

Impedansi urutan nol Z 0 = j(<br />

X s + 2X<br />

m )<br />

Impedeansi urutan positif Z1 = j(<br />

X s − X m )<br />

Impedansi urutan negatif Z 2 = j(<br />

X s − X m )<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan dari rangkaian dalam ini<br />

digambarkan sebagai berikut:<br />

Z 0<br />

V0<br />

V 0′<br />

Z 1<br />

V1<br />

V 1′<br />

Z 2<br />

V2<br />

V 2′<br />

Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />

Gb.9.1. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan.<br />

9.3. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tak Seimbang<br />

Daya pada sistem tiga fasa adalah adalah jumlah daya setiap<br />

fasa.<br />

∗ ∗ ∗<br />

S3<br />

f = VAI<br />

A + VB<br />

I B + VC<br />

IC<br />

=<br />

[ V V V ]<br />

A<br />

B<br />

∗<br />

= VABCT<br />

I ABC<br />

Relasi (9.12) memberikan<br />

~ ~<br />

VABC<br />

= T V012<br />

~ ~<br />

I ABC = T I012<br />

sehingga (9.14) menjadi<br />

⎡ ∗<br />

I ⎤<br />

A<br />

⎢ ∗ ⎥<br />

C ⎢I<br />

B ⎥<br />

⎢ ∗ ⎥<br />

I<br />

⎣ C<br />

⎦<br />

~<br />

[ ] ⇒ VABCT<br />

= V012T<br />

[ T]<br />

~ ∗ ∗ ~ ∗<br />

[ ] ⇒ I = [ T] I<br />

ABC<br />

~<br />

012<br />

T<br />

(9.14)<br />

(9.15)<br />

~<br />

∗ ∗<br />

S 3 f = V012T<br />

[ T] T [ T] I012<br />

(9.16)<br />

207


Pada (9.16) ini kita hitung [ ] [ ] ∗ T T T<br />

[ T] [ T]<br />

T<br />

⎡1<br />

∗<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

2<br />

a<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡1<br />

a<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

a<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡3<br />

2<br />

a<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥ ⎢<br />

0<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0<br />

Dengan demikian (9.16) dapat dituliskan<br />

S3<br />

f<br />

~ ∗<br />

= 3V012<br />

T I012<br />

= 3<br />

0<br />

3<br />

0<br />

∗ ∗ ∗<br />

( V I + V I + V I )<br />

0<br />

0<br />

atau<br />

1 1<br />

2<br />

2<br />

0⎤<br />

⎡1<br />

0<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥<br />

3<br />

⎢<br />

0<br />

3⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0<br />

0 0⎤<br />

1 0<br />

⎥<br />

⎥<br />

0 1⎥⎦<br />

(9.17)<br />

CONTOH-9.3: Hitunglah daya tiga fasa pada kondisi tidak<br />

seimbang seperti berikut:<br />

⎡ 10 ⎤<br />

⎡ j10⎤<br />

V<br />

⎢<br />

10<br />

⎥<br />

kV dan<br />

⎢<br />

10<br />

⎥<br />

ABC =<br />

⎢<br />

−<br />

⎥<br />

I ABC =<br />

⎢<br />

−<br />

⎥<br />

A<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

−10⎥⎦<br />

Penyelesaian:<br />

⎡−<br />

j10⎤<br />

∗<br />

V [ ]<br />

⎢ ⎥<br />

ABCT = 10 −10<br />

0 dan I ABC =<br />

⎢<br />

−10<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

−10<br />

⎥⎦<br />

Kita akan memperoleh daya tiga fasa langsung dengan<br />

mengalikan kedua matriks kolom ini<br />

⎡−<br />

j10⎤<br />

[ ]<br />

⎢ ⎥<br />

S3<br />

f = 10 −10<br />

0<br />

⎢<br />

−10<br />

⎥<br />

= − j100<br />

+ 100 + 0<br />

⎢⎣<br />

−10<br />

⎥⎦<br />

= (100 − j100)<br />

kVA<br />

Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung<br />

formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan<br />

arus yang tiadak simetris. Berikut ini kita akan<br />

menyelesaikan soal ini melalui komponen simetris.<br />

Tegangan urutan adalah:<br />

208 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


~<br />

V 012 =<br />

[ T]<br />

−1<br />

~<br />

V ABC<br />

=<br />

⎡1<br />

1 ⎢<br />

⎢<br />

1<br />

3<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

a<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡ 10 ⎤<br />

2<br />

a<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎥ ⎢<br />

−10<br />

⎥<br />

=<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

1<br />

3<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢<br />

⎥<br />

⎢<br />

10 − a10<br />

+ 0<br />

⎥<br />

⎢ 2<br />

⎣10<br />

− a 10 + 0⎥⎦<br />

~<br />

Dari sini kita hitung V 012T<br />

~ 1<br />

2<br />

⇒ V 012T<br />

= 0 10 − a10<br />

10 − a 10<br />

3<br />

~ ∗<br />

⇒ I012<br />

=<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢<br />

− j10<br />

+ 10<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

− j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

[ ]<br />

Arus urutan adalah:<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ j10⎤<br />

~ −1<br />

~ 1<br />

[ ]<br />

⎢ 2<br />

I<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

012 = T I ABC =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥ ⎢<br />

−10<br />

3<br />

⎥<br />

⎢ 2<br />

⎣1<br />

a a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

−10⎥⎦<br />

⎡ 0 ⎤<br />

1<br />

=<br />

⎢<br />

2 ⎥<br />

⎢<br />

j10<br />

− a10<br />

− a 10<br />

⎥<br />

=<br />

3<br />

⎢ 2<br />

⎣ j10<br />

− a 10 − a10⎥⎦<br />

1<br />

3<br />

Daya tiga fasa adalah seperti dinyatakan oleh (9.17).<br />

S3<br />

f<br />

~ ∗<br />

= 3V012T<br />

I012<br />

1 1<br />

= 3×<br />

×<br />

3 3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

2<br />

[ 0 10 - a10<br />

10 − a 10]<br />

2<br />

[ 0 + (10 − a10)(<br />

− j10<br />

+ 10) + (10 − a 10)( − j10<br />

+ 10) ]<br />

( 300 − j300) = (100 − j100)<br />

kVA<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢<br />

j10<br />

10<br />

⎥<br />

⎢<br />

− +<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

− j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

1<br />

3<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢<br />

j10<br />

+ 10<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada perkalian langsung.<br />

2<br />

(catatan: a + a = −1).<br />

209


9.4. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />

<strong>Sistem</strong> per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau<br />

normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,<br />

tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,<br />

ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit<br />

(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit<br />

dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan<br />

perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu<br />

sudah tidak berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa keuntungan<br />

yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan kita lihat<br />

kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan pelajari.<br />

Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran<br />

tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi<br />

sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran<br />

itu menjadi tidak berdimensi<br />

nilai sesungguhnya<br />

Nilai per - unit =<br />

nilai basis<br />

Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun<br />

nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu<br />

sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa<br />

sesungguhnya.<br />

Sebagai contoh kita ambil daya kompleks<br />

∗<br />

S = V I = VI∠( α − β)<br />

(9.18)<br />

di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus.<br />

Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan S basis yang berupa<br />

bilangan nyata, sehingga<br />

Didefinisikan pula bahwa<br />

S∠(<br />

α − β)<br />

S pu = = S pu∠(<br />

α − β)<br />

(9.19)<br />

Sbasis<br />

S basis = Vbasis<br />

× Ibasis<br />

(9.20)<br />

210 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Nilai S basis dipilih secra bebas. Oleh karena itu, kita dapat memilih<br />

salah satu V basis atau I basis untuk ditentukan secara bebas, tetapi<br />

tidak kedua-duanya.<br />

Jika kita ambil rasio dari (9.18) dan (9.20) kita peroleh<br />

S V∠αI∠ −β ∗<br />

S pu = =<br />

= V pu I pu (9.21)<br />

Sbasis<br />

Vbasis<br />

Ibasis<br />

Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi<br />

2<br />

Vbasis<br />

Vbasis<br />

Zbasis<br />

= =<br />

(9.22)<br />

Ibasis<br />

Sbasis<br />

Dengan Z basis ini relasi arus dan tegangan<br />

akan memberikan<br />

Karena Z = R + jX maka<br />

V<br />

V = Z I atau Z =<br />

I<br />

Z V / I<br />

= atau<br />

Zbasis<br />

Vbasis<br />

/ I basis<br />

Z pu = V pu I pu<br />

(9.23)<br />

Z<br />

Zbasis<br />

R + jX R X<br />

= = + j atau<br />

Z basis Z basis Zbasis<br />

Z pu = R pu + jX pu<br />

(9.24)<br />

Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara<br />

sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai<br />

basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri.<br />

S P + jQ<br />

= atau<br />

Sbasis S basis<br />

S pu = Ppu<br />

+ Q pu<br />

(9.25)<br />

211


COTOH-9.4: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu<br />

fasa berikut dalam per-unit dengan mengambil S basis = 1000 VA<br />

dan V basis = 200 V.<br />

V = 200∠0<br />

o<br />

V<br />

4Ω<br />

− j4 Ω<br />

j8 Ω<br />

Penyelesaian:<br />

S basis = 1000 VA; Vbasis<br />

= 200<br />

S 1000 =<br />

basis<br />

I basis = = 5 A<br />

Vbasis<br />

200<br />

Vbasis<br />

200<br />

Z basis = = = 40 Ω<br />

Ibasis<br />

5<br />

o<br />

200∠0<br />

o<br />

Maka: V pu = = 1∠0<br />

pu<br />

200<br />

V<br />

4 4<br />

R pu = = 0,1 pu ; X Cpu = = 0,1 pu ;<br />

40<br />

40<br />

8<br />

X Lpu = = 0,2 pu<br />

40<br />

Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi<br />

1∠0<br />

o<br />

pu<br />

≈<br />

0,1pu<br />

− j0,1 pu<br />

j0,2 pu<br />

o<br />

Z pu = 0,1 − j0,1<br />

+ j0,2<br />

= 0,1 + j0,1<br />

= 0,1 2∠45<br />

pu<br />

V pu<br />

I pu =<br />

Z pu<br />

o<br />

1∠0<br />

o<br />

=<br />

= 5 2∠ − 45 pu<br />

o<br />

0,1 2∠45<br />

∗ o<br />

o<br />

o<br />

S pu = V pu I pu = 1∠0<br />

× 5 2∠45<br />

= 5 2∠45<br />

pu<br />

212 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa. <strong>Sistem</strong> tiga fasa sangat luas dipakai dalam<br />

penyediaan energy listrik. Oleh karena itu dikembangkan pengertian<br />

nilai basis tambahan sebagai berikut.<br />

Sbasis3<br />

f = 3Sbasis<br />

VLbasis<br />

= Vbasis<br />

3<br />

ZYbasis<br />

= Z basis<br />

Z ∆ basis = 3Z<br />

basis<br />

(9.26)<br />

I Lbasis = Ibasis<br />

IYbasis<br />

= I basis<br />

I ∆basis<br />

= Ibasis<br />

/<br />

Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat<br />

pada contoh berikut ini.<br />

COTOH-9.5: Sebuah sumber tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa<br />

6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel.<br />

Beban-A: 600 kVA, factor daya 0,8 lagging.<br />

Beban-B: 300 kVA, factor daya 0,6 leading.<br />

Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus saluran dalam<br />

per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.<br />

Penyelesaian: Penentuan nilai basis adalah sembarang.<br />

Kita pilih S basis3f = 600 kVA dan V Lbasis = 6 kV, sehingga<br />

600<br />

Sbasis<br />

= = 200 kVA<br />

3<br />

6<br />

Vbasis<br />

= = 3464 V<br />

3<br />

S 200<br />

I = basis<br />

basis = = 57,74 A<br />

Vbasis<br />

6 / 3<br />

V 3464<br />

Z = basis<br />

basis = = 60 Ω<br />

Ibasis<br />

57,74<br />

Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan<br />

positif. Besaran per fasa adalah:<br />

3<br />

213


214 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

Beban-A:<br />

0,6<br />

0,8<br />

36,9<br />

1<br />

36,9<br />

1<br />

0<br />

1<br />

36,9<br />

1<br />

;<br />

0<br />

1<br />

3<br />

6 /<br />

3<br />

6 /<br />

36,9<br />

1<br />

200<br />

36,9<br />

200<br />

kVA<br />

36,9<br />

200<br />

)<br />

(f.d.<br />

36,9<br />

(0,8)<br />

cos<br />

kVA;<br />

200<br />

3<br />

600<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

1<br />

j<br />

I<br />

V<br />

S<br />

I<br />

V<br />

S<br />

S<br />

S<br />

S<br />

lag<br />

S<br />

Apu<br />

Apu<br />

Apu<br />

Apu<br />

Apu<br />

basis<br />

A<br />

Apu<br />

A<br />

A<br />

A<br />

−<br />

=<br />

∠ −<br />

=<br />

⇒<br />

∠<br />

=<br />

∠<br />

∠<br />

=<br />

=<br />

∠<br />

=<br />

=<br />

∠<br />

=<br />

∠ +<br />

=<br />

=<br />

→<br />

∠<br />

=<br />

= +<br />

=<br />

ϕ<br />

=<br />

=<br />

∗<br />

−<br />

Beban-B:<br />

0,4<br />

0,3<br />

53,1<br />

0,5<br />

53,1<br />

0,5<br />

0<br />

1<br />

53,1<br />

0,5<br />

0<br />

1<br />

53,1<br />

0.5<br />

200<br />

53,1<br />

100<br />

kVA<br />

53,1<br />

100<br />

)<br />

(f.d.<br />

53,1<br />

cos(0,6)<br />

kVA;<br />

100<br />

3<br />

300<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

j<br />

I<br />

V<br />

S<br />

I<br />

V<br />

V<br />

S<br />

S<br />

S<br />

S<br />

lead<br />

S<br />

Bpu<br />

Bpu<br />

Bpu<br />

Bpu<br />

Apu<br />

Bpu<br />

basis<br />

B<br />

Bpu<br />

B<br />

B<br />

B<br />

+<br />

=<br />

∠<br />

=<br />

⇒<br />

∠ −<br />

=<br />

∠<br />

∠ −<br />

=<br />

=<br />

∠<br />

=<br />

=<br />

∠ −<br />

=<br />

∠ −<br />

=<br />

=<br />

⇒<br />

∠ −<br />

=<br />

= −<br />

=<br />

ϕ<br />

=<br />

=<br />

∗<br />

Arus saluran:<br />

0,2<br />

1,1<br />

0,4<br />

0,3<br />

0,6<br />

.8<br />

0 j<br />

j<br />

j<br />

I<br />

I<br />

I<br />

Bpu<br />

Apu<br />

pu<br />

−<br />

=<br />

+<br />

+<br />

−<br />

=<br />

+<br />

=<br />

A<br />

10,3<br />

64,55<br />

11,55<br />

63,51<br />

57,74<br />

0,2)<br />

(1,1<br />

o<br />

∠ −<br />

=<br />

−<br />

=<br />

×<br />

−<br />

= j<br />

j<br />

I<br />

Impedansi beban-A:<br />

o<br />

o<br />

o<br />

36,9<br />

1<br />

36<br />

1<br />

0<br />

1<br />

∠<br />

=<br />

∠ −<br />

∠<br />

=<br />

=<br />

Apu<br />

Apu<br />

Apu<br />

I<br />

V<br />

Z<br />

Ω<br />

+<br />

=<br />

∠<br />

=<br />

⇒<br />

36)<br />

(48<br />

36,9<br />

60<br />

o<br />

j<br />

Z A


BAB 10<br />

Penyulang dan<br />

Saluran Transmisi<br />

Saluran transmisi penyulang merupakan koridor yang harus dilalui<br />

dalam penyaluran energi listrik Kita akan membahas saluran udara<br />

(dengan konduktor terbuka) dan pembahasan kita bagi dalam dua<br />

bab. Di bab ini kita membahas impedansi dan admitansi saluran<br />

transmisi, sedangkan di bab berikutnya akan kita bahas rangkaian<br />

ekivalen dan pembebanan.<br />

Walaupun rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana,<br />

ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />

• Resistansi konduktor,<br />

• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir<br />

di konduktor yang lain,<br />

• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar<br />

konduktor,<br />

• Arus bocor pada isolator<br />

Arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil<br />

dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor<br />

sangat penting dalam permbahasan isolator<br />

Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,<br />

perlu kita lihat besaran-besarn fisis udara yang akan masuk dalam<br />

perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:<br />

Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama dengan<br />

permeabilitas ruang hampa:<br />

µ = µ 0µ<br />

r<br />

≈ µ 0<br />

−7<br />

= 4π×<br />

10<br />

H/m<br />

Permitivitas: permitivitas elektrik udara dianggap sama dengan<br />

permitivitas ruang hampa:<br />

−<br />

10 9<br />

ε = εr<br />

ε0<br />

≈ ε0<br />

=<br />

36π<br />

F/m<br />

215


10.1. Resistansi<br />

Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga<br />

atau aluminium. Untuk saluran transmisi banyak digunakan<br />

aluminium dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminium,<br />

seperti:<br />

• Aluminium: AAL (all aluminium coductor)<br />

• Aloy aluminium: AAAL (all aluminium alloy conductor)<br />

• Dengan penguatan kawat baja: ACSR (aluminium<br />

conductor steel reinforced)<br />

Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km],<br />

radius [cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta<br />

kemampuan mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar /<br />

spesifikasi namun untuk sementara kita tidak membahasnya.<br />

Relasi resistansi untuk arus searah adalah<br />

ρl<br />

R AS = Ω<br />

(10.1)<br />

A<br />

dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor [m 2 ],<br />

ρ adalah resistivitas bahan.<br />

ρ Al<br />

−8<br />

= 2,83×<br />

10<br />

ρCu<br />

−8<br />

= 1,77×<br />

10<br />

Resistansi tergantung dari temperature,<br />

o<br />

Ω.m<br />

[20 C]<br />

o<br />

Ω .m [20 C]<br />

T2<br />

+ T0<br />

ρ T 2 = ρT1<br />

(10.2)<br />

T1<br />

+ T0<br />

o<br />

T0<br />

= 228 C<br />

o<br />

= 241 C<br />

untuk aluminium<br />

untuk tembaga<br />

Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk<br />

arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik<br />

untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang<br />

konduktor.<br />

216 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan<br />

konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari<br />

panjang lateral yang kita ukur.<br />

10.2. Induktansi<br />

Arus pada suatu konduktor menimbulkan medan magnit di<br />

sekeliling konduktor dan juga di dalam konduktor walaupun tidak<br />

merata di seluruh penampang. Menurut hukum Ampere, jika arus<br />

yang mengalir pada konduktor adalah i maka medan magnet H di<br />

sekitar konduktor adalah<br />

∫<br />

Hdl = i . Di titik berjarak x di luar<br />

konduktor relasi ini menjadi<br />

l<br />

1<br />

H x = 2 πx<br />

(10.3)<br />

Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu segmen<br />

dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi segmen ini<br />

sampai jarak D x dari konduktor adalah<br />

Dx<br />

µ il µ il D<br />

λ<br />

x<br />

=<br />

∫<br />

dx = ln<br />

(10.4)<br />

r 2πx<br />

2π<br />

r<br />

dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (10.4) ini adalah<br />

fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam<br />

konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di<br />

dalam konduktor itu didefinisikan suatu radius ekivalen yang<br />

disebut Geometric Mean Radius (GMR), r’, sehingga (10.4) menjadi<br />

µ il Dx<br />

λ′ = ln<br />

2π<br />

r′<br />

(10.5)<br />

<strong>Sistem</strong> Dua Konduktor. Kita perhatikan suatu saluran kirim dialiri<br />

arus i dengan saluran balik yang juga dialiri arus i tetapi dengan arah<br />

yang berlawanan seperti terlihat pada Gb.10.1. Kita pandang sistem<br />

dua konduktor ini sebagai satu segmen dari loop yang sangat<br />

panjang. Pada ujung-ujung segmen loop ini terdapat tegangan di<br />

antara kedua ujung konduktor, yaitu v A dan v′<br />

A .<br />

217


v A<br />

A<br />

N<br />

i A<br />

i A<br />

A′<br />

N′<br />

v′ A<br />

D<br />

r′<br />

: GMR<br />

A<br />

r′<br />

<br />

A<br />

: jarak A ke N<br />

konduktor A<br />

: GMR konduktor N<br />

Gb.10.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.<br />

Jika panjang segmen ini adalah l maka arus i A di saluran A<br />

memberikan fluksi lingkup di bidang segmen loop ini sebesar<br />

µ i Al<br />

DA<br />

λ A1 = ln<br />

(10.6.a)<br />

2π<br />

rA′<br />

Arus i A di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />

µ i Al<br />

DA<br />

λ A 2 = ln<br />

(10.6.b)<br />

2π<br />

r′<br />

Fluksi λ A1<br />

dan λ A 2 saling menguatkan di bidang segmen loop<br />

ini sehingga fluksi lingkup total menjadi<br />

λ A<br />

2<br />

µ i Al<br />

D A<br />

= λ A1 + λ A2<br />

= ln<br />

2π<br />

rA′<br />

r′<br />

(10.6.c)<br />

λ A adalah fluksi lingkup konduktor A-N yang ditimbulkan oleh<br />

i A , dan merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi<br />

sendiri L AA .<br />

<strong>Sistem</strong> Tiga Konduktor. Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor<br />

A-B-N seperti terlihat pada Gb.10.2 dengan arus i A dan i B yang<br />

masing-masing menglir di A dan B. Konduktor N adalah saluran<br />

balik yang mengalirkan arus balik ( i A + iB<br />

) . Kita akan menghitung<br />

fluksi lingkup segmen loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi<br />

lingkup pada segmen loop A-N.<br />

218 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


A<br />

B<br />

i A<br />

i B<br />

A′<br />

B′<br />

N<br />

Gb.10.2. Saluran kirim A dan B, dan saluran balik N.<br />

Dalam situasi ini arus i A di konduktor A dan arus (i A +i B ) di N<br />

memberikan fluksi lingkup sebesar<br />

µ i Al<br />

D A µ ( i A + iB<br />

) l DA<br />

λ AB1 = ln + ln<br />

(10.7.a)<br />

2π<br />

rA′<br />

2π<br />

r′<br />

sedangkan arus i B di konduktor B memberikan<br />

µ iBl<br />

DAB<br />

µ iBl<br />

DB<br />

λ AB2 = ln + ln<br />

(10.7.b)<br />

2π<br />

rB′<br />

2π<br />

rB′<br />

Karena arus i B searah dengan i A maka suku pertama (10.7.b)<br />

memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua<br />

memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan N<br />

dengan kehadiran B menjadi<br />

λAB<br />

= λ AB1<br />

+ λAB2<br />

µ i ⎛<br />

⎞ µ ⎛<br />

⎞<br />

= Al<br />

D<br />

⎜ A D<br />

⎟ + ⎜<br />

⎟<br />

+ A iBl<br />

DA<br />

D<br />

− AB D<br />

ln ln<br />

ln ln + ln B<br />

2π<br />

π<br />

⎝ rA′<br />

r′<br />

⎠ 2 ⎝ r′<br />

rB′<br />

rB′<br />

⎠<br />

2<br />

µ i Al<br />

DA<br />

λ AB = ln<br />

2π<br />

rA′<br />

r′<br />

atau<br />

i A + i B<br />

µ iBl<br />

⎛ D ⎞<br />

⎜ A DB<br />

+<br />

⎟<br />

π<br />

ln<br />

2<br />

⎝ r′<br />

DAB<br />

⎠<br />

(10.7.c)<br />

λ AB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran<br />

arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (10.6.c)<br />

terlihat bahwa suku ke-dua (10.6.c) adalah tambahan yang<br />

disebabkan oleh adanya arus i B ..<br />

N′<br />

219


Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara<br />

konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus di B<br />

dan arus di N adalah<br />

µ iBl<br />

DB<br />

µ ( iB<br />

+ i A ) l DB<br />

λ BA1 = ln + ln<br />

(10.8.a)<br />

2π<br />

rB′<br />

2π<br />

r′<br />

dan fluksi yang ditimbulkan oleh i A yang memperkuat fluksi λ BA1<br />

adalah<br />

µ i Al<br />

⎛ DA<br />

DAB<br />

⎞ µ i Al<br />

DA<br />

λ BA2<br />

= ln ln<br />

ln<br />

2<br />

⎜ − =<br />

rA<br />

r<br />

⎟<br />

(10.8.b)<br />

π ⎝ ′ A′<br />

⎠ 2π<br />

DAB<br />

sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi<br />

λ BA = λ BA1<br />

+ λ BA2<br />

2<br />

µ iBl<br />

DB<br />

µ i Al<br />

DB<br />

DA<br />

= ln + ln<br />

2π<br />

rB′<br />

r′<br />

2π<br />

DABr′<br />

Kita lihat bahwa formulai (10.8.c) mirip dengan (10.7.c)<br />

(10.8.c)<br />

<strong>Sistem</strong> Empat Konduktor. Dengan cara yang sama, kita menghitung<br />

fluksi-fluksi lingkup pada sistem empat konduktor dengan tiga<br />

konduktor A, B, dan C masing-masing dengan arus i A , i B , dan i C ,<br />

dan satu konduktor balik N dengan arus ( i A + iB<br />

+ iC<br />

) seperti<br />

terlihat pada Gb.10.3.<br />

A<br />

B<br />

C<br />

N<br />

v A<br />

v B<br />

v C<br />

D<br />

: jarak konduktor<br />

r′<br />

= GMR<br />

i<br />

ij<br />

i B<br />

i C<br />

i,<br />

j : A, B, C, N<br />

i + i + i<br />

A<br />

konduktor<br />

i dan j ;<br />

Gb.10.3. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />

B<br />

C<br />

v′ A<br />

v′ B<br />

v′ C<br />

A′<br />

B′<br />

C′<br />

N′<br />

220 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


221<br />

Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N:<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

′<br />

+<br />

′<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

AC<br />

<br />

C<br />

A<br />

C<br />

AB<br />

<br />

B<br />

A<br />

B<br />

<br />

A<br />

A<br />

A<br />

C<br />

AC<br />

C<br />

C<br />

C<br />

C<br />

B<br />

AB<br />

B<br />

B<br />

B<br />

B<br />

<br />

A<br />

C<br />

B<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

)ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

2<br />

(10.9.a)<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+ +<br />

′<br />

′<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

BC<br />

<br />

C<br />

B<br />

C<br />

<br />

B<br />

B<br />

B<br />

AB<br />

<br />

A<br />

B<br />

A<br />

C<br />

BC<br />

C<br />

C<br />

C<br />

C<br />

A<br />

AB<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

<br />

B<br />

C<br />

B<br />

A<br />

B<br />

B<br />

B<br />

B<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

) ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

2<br />

(10.9.b)<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

′<br />

+<br />

′<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

<br />

C<br />

C<br />

C<br />

BC<br />

<br />

B<br />

C<br />

B<br />

AC<br />

<br />

A<br />

C<br />

A<br />

B<br />

BC<br />

B<br />

B<br />

B<br />

B<br />

A<br />

AC<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

<br />

C<br />

C<br />

B<br />

A<br />

A<br />

C<br />

C<br />

C<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

) ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

(10.9.c)


Penurunan relasi (10.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya<br />

untuk empat konduktor. Akan tetapi kita mengaitkannya dengan<br />

keperluan kita untuk meninjau sistem tiga fasa. Oleh karena itu kita<br />

batasi tinjauan pada sistem empat konduktor. Dalam bentuk matriks,<br />

(10.9) dapat kita tuliskan<br />

⎡<br />

2<br />

µ D<br />

⎢ ln A<br />

⎢ 2π<br />

r′<br />

′<br />

⎡λ<br />

Ar<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ µ D<br />

⎢<br />

λ<br />

⎥<br />

=<br />

B DA<br />

B l ⎢ ln<br />

⎢2π<br />

r′<br />

⎢⎣<br />

λ ⎥<br />

DAB<br />

C ⎦ ⎢ µ D<br />

⎢ C D<br />

ln A<br />

⎢⎣<br />

2π<br />

r′<br />

DAC<br />

µ DA<br />

D<br />

ln B<br />

2π<br />

r′<br />

DAB<br />

2<br />

µ D<br />

ln B<br />

2π<br />

rB′<br />

r′<br />

µ DC<br />

D<br />

ln B<br />

2π<br />

r′<br />

DBC<br />

µ D ⎤<br />

A D<br />

ln C<br />

⎥<br />

2π<br />

r′<br />

DAC<br />

⎥<br />

⎡i<br />

⎤<br />

⎥ A<br />

µ DB<br />

D<br />

ln C ⎢ ⎥<br />

⎥<br />

π ′ ⎢<br />

iB<br />

2 r<br />

⎥<br />

DBC<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

⎥<br />

2<br />

µ ⎥<br />

iC<br />

D<br />

⎦<br />

ln C ⎥<br />

2π<br />

rC′<br />

r′<br />

⎥⎦<br />

(10.10)<br />

Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan<br />

imbas<br />

⎡<br />

2<br />

µ D µ D D µ D D ⎤<br />

⎢ ln A ln A B ln A C<br />

⎥ ⎡ diA<br />

⎤<br />

⎢ 2π<br />

r′<br />

r′<br />

π r′<br />

D π r′<br />

D ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎡v<br />

A 2 AB 2 AC<br />

AA′<br />

⎤<br />

⎢<br />

2<br />

1 µ<br />

µ<br />

µ<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥ D D<br />

D<br />

D D di dt<br />

= ⎢<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢<br />

v<br />

B A<br />

B<br />

B C B<br />

BB′<br />

⎥<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

l ⎢2π<br />

r′<br />

D π r′<br />

r′<br />

π r′<br />

D ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢⎣<br />

′ ⎥<br />

AB 2 B 2 BC<br />

v ⎦ ⎢ µ<br />

µ<br />

µ ⎥ ⎢di dt<br />

CC<br />

2<br />

D D D D<br />

D<br />

C ⎥<br />

⎢ ln C A ln C B ln C ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎣ ⎦<br />

⎢⎣<br />

π ′ π ′<br />

π ′ ′<br />

dt<br />

2 r<br />

DAC<br />

2 r<br />

DBC<br />

2 rC<br />

r<br />

⎥⎦<br />

(10.11)<br />

Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas<br />

dapat kita tuliskan dalam fasor<br />

⎡<br />

2<br />

µ D<br />

⎤<br />

A µ DA<br />

DB<br />

µ DA<br />

D<br />

⎢ ln<br />

ln<br />

ln C<br />

⎥<br />

⎢ 2π<br />

r′<br />

′ π ′ π ′<br />

⎡ ⎤<br />

Ar<br />

2 r<br />

DAB<br />

2 r<br />

D<br />

V<br />

AC ⎥<br />

AA′<br />

⎡I<br />

⎤<br />

⎢<br />

2<br />

µ<br />

µ<br />

µ<br />

⎥ A<br />

1 ⎢ ⎥<br />

D<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥ = ω⎢<br />

B DA<br />

DB<br />

DB<br />

D<br />

V<br />

C<br />

BB′<br />

j ln<br />

ln<br />

ln ⎥ ⎢IB<br />

l<br />

⎥<br />

⎢ π ′<br />

π ′ ′ π ′<br />

⎢ ⎥<br />

2 r<br />

DAB<br />

2 rB<br />

r<br />

2 r<br />

DBC<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎣<br />

VCC<br />

′ ⎦ ⎢<br />

2<br />

µ<br />

µ<br />

µ ⎥ ⎣<br />

IC<br />

D<br />

⎦<br />

⎢ C DA<br />

DC<br />

DB<br />

D<br />

ln<br />

ln<br />

ln C ⎥<br />

⎢⎣<br />

2π<br />

r′<br />

DAC<br />

2π<br />

r′<br />

DBC<br />

2π<br />

rC<br />

′ r′<br />

⎥⎦<br />

(10.12)<br />

Persamaan ini memberikan tegangan imbas pada setiap konduktor.<br />

222 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


10.3. Impedansi<br />

Jika resistansi konduktor dimasukkan maka kita dapatkan matriks<br />

impedansi yang tidak hanya memberikan tegangan imbas tetapi<br />

tegangan jatuh di konduktor. Dalam memasukkan resistansi ini kita<br />

amati hal berikut:<br />

Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, dan<br />

melalui konduktor netral secara bersama-sama. Oleh karena itu<br />

impedansi sendiri suatu fasa akan mengandung resistansi<br />

konduktor fasa dan resistansi konduktor netral, sedangkan<br />

impedansi bersama akan mengandung resistansi konduktor netral<br />

saja. Persamaan (10.12) berubah menjadi:<br />

dengan<br />

⎡VAA′<br />

⎤ ⎡Z<br />

AA<br />

1 ⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VBB′<br />

⎥ ⎢<br />

Z BA<br />

l<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VCC′<br />

⎦ ⎣Z<br />

CA<br />

Z AB<br />

Z BB<br />

ZCB<br />

Z AC ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Z<br />

⎥<br />

BC ⎥ ⎢I<br />

B ⎥<br />

Z ⎥ ⎢ ⎥<br />

CC ⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

(10.13.a)<br />

2<br />

ωµ DA<br />

ωµ DA<br />

D<br />

Z<br />

B<br />

AA = RA<br />

+ R<br />

+ j ln ; Z AB = R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

rA′<br />

r′<br />

2π<br />

r′<br />

DAB<br />

ωµ DA<br />

D<br />

Z<br />

C<br />

AC = R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

r′<br />

DAC<br />

2<br />

ωµ DB<br />

DA<br />

ωµ D<br />

Z<br />

B<br />

BA = R<br />

+ j ln ; ZBB<br />

= RB<br />

+ R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

r′<br />

DAB<br />

2π<br />

rB′<br />

r′<br />

ωµ DB<br />

D<br />

Z<br />

C<br />

BC = R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

r′<br />

DBC<br />

ωµ DC<br />

DA<br />

ωµ DC<br />

D<br />

Z<br />

B<br />

CA = R<br />

+ j ln ; ZCB<br />

= R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

r′<br />

DAC<br />

2π<br />

r′<br />

DBC<br />

2<br />

ωµ D<br />

Z<br />

C<br />

CC = RC<br />

+ R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

rC<br />

′ r′<br />

(10.13.b)<br />

Walaupun matriks impedansi pada (10.13.a) terlihat simetris namun<br />

tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal<br />

jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada<br />

konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi.<br />

223


Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-sisi). Konfigurasi ini adalah<br />

konfigurasi segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di<br />

puncak-puncak segitiga; DAB = DBC<br />

= DAC<br />

= D . Konduktor<br />

netral berposisi di titik berat segitiga sehingga<br />

DA = DB<br />

= DC<br />

= D / 3 .<br />

D<br />

D<br />

D /<br />

D<br />

Gb.10.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).<br />

Jika kita misalkan resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R dan<br />

GMR-nya pun sama yaitu r maka jika kita masukkan besaranbesaran<br />

ini ke (10.13.b) kita peroleh<br />

3<br />

2<br />

ωµ D<br />

ωµ D<br />

Z AA = R + R<br />

+ j ln ; Z AB = R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

r′<br />

2π<br />

3r′<br />

ωµ D<br />

Z AC = R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3r′<br />

2<br />

ωµ D<br />

ωµ D<br />

Z BA = R<br />

+ j ln ; Z BB = R + R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

2π<br />

3r′<br />

r′<br />

ωµ D<br />

Z BC = R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3r′<br />

ωµ D<br />

ωµ D<br />

Z CA = R<br />

+ j ln ; Z CB = R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

2π<br />

3r′<br />

2<br />

ωµ D<br />

ZCC<br />

= R + R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3r′<br />

r′<br />

Pada (10.14) ini terlihat bahwa<br />

Z AB = Z BC = ZCA<br />

= Z m<br />

Z AA = Z BB = Z CC = Z s<br />

(10.14)<br />

224 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


225<br />

sehingga (10.13.a) dapat dituliskan:<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

′<br />

′<br />

′<br />

C<br />

B<br />

A<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

CC<br />

BB<br />

AA<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

l<br />

I<br />

I<br />

I<br />

V<br />

V<br />

V<br />

1<br />

(10.15.a)<br />

dengan<br />

/m<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

/m<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

2<br />

Ω<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

Ω<br />

′<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

+<br />

=<br />

<br />

<br />

m<br />

<br />

<br />

s<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

Z<br />

r<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

R<br />

Z<br />

(10.15.b)<br />

Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti pada<br />

Contoh-9.2 di bab sebelumnya.<br />

[ ] [ ] [ ][ ]<br />

T<br />

T 1<br />

012 ABC<br />

Z<br />

Z<br />

−<br />

=<br />

[ ] [ ][ ]<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

−<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

−<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

−<br />

+<br />

+<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

ABC<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

Z<br />

a<br />

aZ<br />

Z<br />

a<br />

Z<br />

a<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

a<br />

Z<br />

a<br />

Z<br />

a<br />

aZ<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

Z<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

2<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

)<br />

(1<br />

)<br />

(1<br />

)<br />

(1<br />

)<br />

(1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1<br />

3<br />

1<br />

T<br />

T<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

-1<br />

Dengan memasukkan (10.15.b) kita peroleh<br />

/m<br />

ln<br />

2<br />

/m<br />

)<br />

(<br />

27<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

4<br />

0<br />

Ω<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

−<br />

=<br />

=<br />

Ω<br />

′<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

r<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

R<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

m<br />

s<br />

<br />

<br />

m<br />

s<br />

(10.16)


COTOH-10.1: Penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, panjang 20 km.<br />

Konduktor penyulang berpenampang 95 mm 2 dan memiliki<br />

radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah 0,0286<br />

Ω.mm 2 /m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆ dengan<br />

jarak antar konduktor 1m. Hitunglah impedansi sendiri dan<br />

impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan<br />

mengabaikan kapasitansi.<br />

Penyelesaian:<br />

ρl<br />

0,0286<br />

Resistansi konduktor: R A = = = 0,00031 Ω/m<br />

A 95<br />

Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi<br />

bersama fasa A dihitung menggunakan formulasi (10.14):<br />

⎛0.00031+<br />

0,00031<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

Z AA = ⎜<br />

−7<br />

2<br />

100π×<br />

4π×<br />

10<br />

1 ⎟×<br />

20000<br />

⎜+<br />

j<br />

ln<br />

⎟<br />

⎝ 2π<br />

3×<br />

0,006×<br />

0,006 ⎠<br />

o<br />

= 12,04 + j12,85<br />

= 17,61∠46,86<br />

Ω<br />

⎛<br />

−7<br />

2 ⎞<br />

Z ⎜ 100π×<br />

4π×<br />

10 1<br />

AB = 0,00031+<br />

j<br />

ln ⎟×<br />

20000<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎝<br />

2π<br />

3×<br />

0,006<br />

⎠<br />

o<br />

= 6,02 + j5,05<br />

= 7,86∠39,96<br />

Ω<br />

Z AC = Z AB<br />

Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (10.16)<br />

Z1<br />

= Z s − Z m = Z AA − Z AB<br />

= 12,04 + j12,85<br />

− 6,02 + j5,05<br />

o<br />

= 6,02 + j7,8<br />

= 9,86∠52,35<br />

COTOH-10.2: Beban 5000 kW dengan factor daya 0,8 dicatu<br />

melalui penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, sepanjang 20 km<br />

yang diberikan pada Contoh-10.1. Dengan mengabaikan<br />

kapasitansi antar konduktor, hitunglah tegangan di ujung kirim<br />

apabila tegangan di ujung terima (beban) ditetapkan 20 kV<br />

dengan cara: a) menggunakan besaran-besaran fasa; b)<br />

menggunakan besaran urutan.<br />

Ω<br />

226 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Penyelesaian:<br />

a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan<br />

antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh<br />

impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,<br />

perhitungan dilakukan menggunakan model satu fasa. Kita<br />

amati fasa A. Impedansi sendiri dan impedansi bersama<br />

fasa A telah dihitung pada contoh-10.1:<br />

o<br />

Z AA = 12,04 + j12,85<br />

= 17,61∠46,86<br />

Ω<br />

o<br />

Z AB = Z AC = 6,02 + j5,05<br />

= 7,86∠39,96<br />

Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima<br />

fasa A sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung<br />

terima fasa A, B, dan C adalah<br />

20 o<br />

o<br />

VrA<br />

= ∠0<br />

= 11,55∠0<br />

kV<br />

3<br />

VrB<br />

o<br />

= 11,55∠ −120<br />

kV<br />

VrC<br />

o<br />

= 11,55∠ − 240 kV<br />

Arus fasa A, B, dan C adalah<br />

5000 / 3<br />

o<br />

I A = = 180,4 A → I A = 180,4∠ − 36,87 A<br />

11,55×<br />

0,8<br />

V<br />

I<br />

I<br />

B<br />

C<br />

= 180,4∠ −156,87<br />

= 180,4∠ − 276,87<br />

o<br />

o<br />

A<br />

A<br />

Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />

Z<br />

Z<br />

AA′ = AAI<br />

A + ABI<br />

B + AC IC<br />

o<br />

= 17,61∠46,86<br />

+ 7,86∠39,96<br />

+ 7,86∠39,96<br />

= 3129,33+<br />

j551,34<br />

− 641,39 − j1263,93−<br />

773,90 + j1187,43<br />

= 1714,04 + j474,84<br />

× 180,4∠ − 36,87<br />

o<br />

o<br />

Z<br />

o<br />

× 180,4∠ −156,87<br />

× 180,4∠ − 276,87<br />

o<br />

o<br />

Ω<br />

227


Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />

V<br />

sA<br />

= V + V ′ = 11,55 + 1,71+<br />

j0,48<br />

= 13,2∠2<br />

rA<br />

AA<br />

o<br />

kV<br />

Tegangan fsa-fasa di ujung kirim:<br />

V s LL<br />

= 13 ,2 3 = 22,8<br />

kV<br />

b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada hanyalah<br />

urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung pada<br />

contoh-10.1.<br />

Z 1 = 6,02 + j7,8<br />

= 9,86∠52,35<br />

Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />

V<br />

= Z ×<br />

AA′ 1 I A<br />

= 9,86∠52,35<br />

= 1778,59∠15,48<br />

o<br />

o<br />

o<br />

= 1,71+<br />

j0,48<br />

V<br />

Ω<br />

× 180,4∠ − 36,87<br />

o<br />

V<br />

sA<br />

= V + V ′ = 11,55 + 1,71+<br />

j0,48<br />

= 13,2∠2<br />

rA<br />

AA<br />

o<br />

kV<br />

Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />

V s LL<br />

= 13 ,2 3 = 22,8<br />

kV<br />

Transposisi. Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi<br />

simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi<br />

konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi<br />

mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris seperti<br />

terlihat pada Gb.10.4. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga<br />

seksi dan posisi konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan.<br />

Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.10.5 memiliki<br />

resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jari-jari<br />

serta GMR-nya; RA = RB<br />

= RC<br />

= R , rA = rB<br />

= rC<br />

= r dan<br />

rA ′ = rB′<br />

= rC′<br />

= r′<br />

. Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan<br />

impedansi urutan dengan melihat seksi per seksi.<br />

228 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


229<br />

3<br />

2<br />

1<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

C<br />

B<br />

A<br />

=<br />

=<br />

=<br />

1<br />

3<br />

2<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

C<br />

B<br />

A<br />

=<br />

=<br />

=<br />

2<br />

1<br />

3<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

C<br />

B<br />

A<br />

=<br />

=<br />

=<br />

Gb.10.5. Transposisi.<br />

Kita lihat konduktor A di seksi pertama:<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

+<br />

=<br />

<br />

AC<br />

<br />

AC<br />

<br />

AB<br />

<br />

AB<br />

<br />

<br />

AA<br />

r<br />

D<br />

D D<br />

j<br />

R<br />

Z<br />

r<br />

D<br />

D D<br />

j<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

r<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

3<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

1<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

(10.17.a)<br />

Konduktor A di seksi ke-dua:<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

+<br />

=<br />

<br />

AC<br />

<br />

AC<br />

<br />

AB<br />

<br />

AB<br />

<br />

<br />

AA<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

j<br />

R<br />

Z<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

j<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

r r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

1<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

1<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

(10.17.b)<br />

Konduktor A di seksi ke-tiga<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

′<br />

π<br />

ωµ<br />

+<br />

+<br />

=<br />

<br />

AC<br />

<br />

AC<br />

<br />

AB<br />

<br />

AB<br />

<br />

A<br />

<br />

AA<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

j<br />

R<br />

Z<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

j<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

r<br />

r<br />

D<br />

j<br />

R<br />

R<br />

d<br />

Z<br />

2<br />

3<br />

1<br />

3<br />

2<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

1<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

;<br />

ln<br />

2<br />

3<br />

(10.17.c)


Impedansi per satuan panjang konduktor A di seluruh seksi dapat<br />

dinyatakan sebagai:<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

AA<br />

AB<br />

AC<br />

= R + R<br />

= R<br />

= R<br />

<br />

<br />

<br />

Jika didefinisikan:<br />

2<br />

ωµ ⎛ ⎞<br />

1<br />

ln⎜<br />

D<br />

+ j<br />

⎟<br />

2π<br />

⎜ ′ ′ ⎟<br />

⎝<br />

r r<br />

⎠<br />

ωµ ⎛ D1<br />

D2<br />

⎞<br />

+ j ln⎜<br />

⎟<br />

2π<br />

⎝ DABr′<br />

⎠<br />

ωµ ⎛ D1D3<br />

⎞<br />

+ j ln⎜<br />

⎟<br />

2π<br />

⎝ DAC<br />

r′<br />

⎠<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

⎛<br />

⎜ D<br />

⎜ ′ ′<br />

⎝<br />

r r<br />

⎛ D<br />

⎜<br />

⎝ D<br />

2<br />

2<br />

2<br />

AB<br />

⎛ D<br />

⎜<br />

⎝ D<br />

<br />

2<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

1/ 3<br />

D3<br />

⎞<br />

⎟<br />

r′<br />

⎠<br />

AC<br />

1/ 3<br />

D1<br />

⎞<br />

⎟<br />

r′<br />

⎠<br />

⎛ 2<br />

⎜ D3<br />

⎜ r′<br />

r′<br />

⎝ <br />

1/ 3<br />

⎛ D<br />

⎜<br />

⎝ D<br />

1/ 3<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

3<br />

AB<br />

⎛ D<br />

⎜<br />

⎝ D<br />

D1<br />

⎞<br />

⎟<br />

r′<br />

⎠<br />

3<br />

AC<br />

1/ 3<br />

D2<br />

⎞<br />

⎟<br />

r′<br />

⎠<br />

1/ 3<br />

(10.18)<br />

D 3 h = D1D2<br />

D3<br />

dan D 3<br />

f = D AB DBC<br />

D AC (10.19)<br />

maka formulasi (10.18) menjadi<br />

⎛ 2<br />

ωµ<br />

⎞<br />

⎜ Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

AA = R + R<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

⎜ r′<br />

r′<br />

⎟<br />

⎝ ⎠<br />

⎛ 2<br />

ωµ<br />

⎞<br />

⎜ Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

AB = R<br />

+ j ln ; Z<br />

π ⎜ ′ ⎟ AC<br />

2 D<br />

⎝ f r<br />

⎠<br />

= R<br />

⎛ 2<br />

ωµ<br />

⎞<br />

⎜ Dh<br />

+ j ln<br />

⎟<br />

2π<br />

⎜ D ′ ⎟<br />

⎝ f r<br />

⎠<br />

(10.20)<br />

Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A dan kita<br />

mendapatkan relasi<br />

⎡VAA′<br />

⎤ ⎡ Z s<br />

1 ⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VBB′<br />

⎥ ⎢<br />

Z m<br />

l<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VCC′<br />

⎦ ⎣Z<br />

m<br />

Z m<br />

Z s<br />

Z m<br />

Z m ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Z<br />

⎥<br />

m ⎥ ⎢I<br />

B ⎥<br />

Z ⎥ ⎢ ⎥<br />

s ⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

(10.21.a)<br />

dengan<br />

230 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Impedansi urutan<br />

2<br />

ωµ<br />

⎛ ⎞<br />

ln<br />

⎜ Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

s = R + R<br />

+ j<br />

2π<br />

⎜ r′<br />

r ⎟<br />

⎝ ′<br />

⎠<br />

Ω/m<br />

⎛ 2<br />

ωµ<br />

⎞<br />

= + ln<br />

⎜ Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

m R<br />

j<br />

2π<br />

⎜ D ′ ⎟<br />

⎝ f r<br />

⎠<br />

Ω/m<br />

−<br />

[ Z ] = [ T] 1 [ Z ][ T]<br />

012 ABC<br />

dan dengan (10.21.b) kita peroleh:<br />

6<br />

ωµ Dh<br />

Z 0 = Z s + 2Z<br />

m = R + 3R<br />

+ j ln<br />

2π<br />

2<br />

D f r′<br />

r′<br />

3<br />

( )<br />

ωµ D f<br />

Z1<br />

= Z 2 = Z s − Z m = R + j ln<br />

2π<br />

r′<br />

(10.21.b)<br />

(10.22)<br />

COTOH-10.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi<br />

50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />

mempunyai konfigurasi sebagai berikut:<br />

A<br />

4,2 m<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

C<br />

= r′<br />

= r′<br />

= 0.088 Ω / km<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

Penyelesaian: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km)<br />

r<br />

r′<br />

= R<br />

= r<br />

= R<br />

= r<br />

Untuk menggunakan relasi (10.22), kita hitung lebih dulu D f<br />

dengan menggunakan relasi (10.19):<br />

R<br />

A<br />

A<br />

A<br />

B<br />

B<br />

B<br />

C<br />

C<br />

C<br />

D f<br />

3<br />

= 4×<br />

4×<br />

8 = 5,29<br />

m<br />

Jadi:<br />

Z<br />

1<br />

2π×<br />

50×<br />

4π×<br />

10<br />

= 0,088+<br />

j<br />

2π<br />

= 0,088+<br />

j0,3896<br />

Ω/km<br />

−7<br />

× 1000<br />

ln<br />

5,29<br />

0,01073<br />

231


10.4. Admitansi<br />

Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga dan<br />

mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satual panjang. Pada<br />

konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk<br />

menghitung displacement D menjadi sederhana.<br />

∫<br />

S<br />

Dds = ρl<br />

dengan S adalah luas dinding silinder dengan sumbu pada konduktor<br />

sepanjang l. Bidang equipotensial di sekitar konduktor akan<br />

berbentuk silindris dengan sumbu pada konduktor tersebut. Kuat<br />

medan listrik di suatu titik berjarak x dari konduktor adalah:<br />

Untuk udara<br />

D ρl<br />

ρ<br />

E x = = =<br />

ε ε × 2πx<br />

× l 2πεx<br />

1 −<br />

ε = ε0<br />

= × 10<br />

9<br />

36π<br />

F/m<br />

Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan potensial<br />

antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan pada<br />

Gb.10.5.<br />

A B<br />

x A<br />

x B<br />

Gb.10.5. Dua titik di luar konduktor.<br />

v<br />

AB<br />

ρ<br />

xB<br />

xB<br />

B<br />

∫<br />

Edx = dx = ln (10.23)<br />

xA<br />

xA<br />

2πεx<br />

2πε<br />

x A<br />

=<br />

∫<br />

ρ<br />

x<br />

v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai posistif<br />

jika x B > x A . Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah<br />

kenaikan potensial.<br />

Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan. Kita lihat<br />

sekarang satu konduktor k dengan jari-jari r k dan bermuatan ρ k . Dua<br />

konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j, berjarak D ik dan D jk<br />

dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.10.6.<br />

232 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


k,<br />

r k<br />

, ρ<br />

k<br />

i<br />

j<br />

D ik<br />

D jk<br />

Gb.10.6. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor tak<br />

bermuatan.<br />

Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di<br />

konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan<br />

konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial antara<br />

konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan<br />

konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara konduktor<br />

i dan j adalah selisih antara keduanya.<br />

vij<br />

ρ<br />

k<br />

= vkj<br />

ρ<br />

k<br />

− vki<br />

ρ<br />

k<br />

ρk<br />

⎛ D D<br />

ik jk ⎞ ρk<br />

Dik<br />

= ⎜ln<br />

− ln ⎟ = ln<br />

2πε<br />

rk<br />

r<br />

⎝<br />

k ⎠ 2πε<br />

Dij<br />

(10.24.)<br />

Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan. Tiga konduktor<br />

bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.10.7. Setiap muatan di<br />

setiap konduktor akan menyebabkan beda potensial di dua<br />

konduktor yang lain.<br />

D AC<br />

DAB<br />

DBC<br />

A,<br />

r<br />

Gb.10.7. Tiga konduktor bermuatan.<br />

v<br />

A<br />

, ρ<br />

BC<br />

A<br />

= v<br />

B,<br />

BC ρ<br />

A<br />

r<br />

B<br />

+ v<br />

, ρ<br />

B<br />

BC ρ<br />

B<br />

C, r<br />

+ v<br />

C<br />

, ρ<br />

BC ρ<br />

C<br />

C<br />

v<br />

BC<br />

ρ<br />

A<br />

ρ A D<br />

= ln<br />

2πε D<br />

AC<br />

AB<br />

233


v<br />

BC<br />

ρ<br />

B<br />

ρ B D<br />

= ln<br />

2πε r<br />

BC<br />

B<br />

v<br />

BC ρ<br />

c<br />

ρC<br />

r<br />

= ln<br />

2πε D<br />

C<br />

BC<br />

Jadi<br />

vBC<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ AC<br />

=<br />

ρ A ln<br />

2πε<br />

⎝ DAB<br />

DBC<br />

+ ρ B ln<br />

rB<br />

rC<br />

⎞<br />

+ ρC<br />

ln ⎟<br />

D<br />

BC ⎠<br />

(10.25)<br />

Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan. Empat konduktor<br />

bermuatan terlihat pada Gb.10.8:<br />

A,<br />

r<br />

A<br />

, ρ<br />

A<br />

B,<br />

Gb. 10.8. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />

Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada<br />

gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ A DB<br />

v A =<br />

ρ A ln + ρ B ln<br />

2πε<br />

⎝ rA<br />

DAB<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ A DB<br />

vB<br />

=<br />

ρ A ln + ρ B ln<br />

2πε<br />

⎝ DAB<br />

rB<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ A DB<br />

vC<br />

=<br />

ρ A ln + ρ B ln<br />

2πε<br />

⎝ DAC<br />

DBC<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ A<br />

v = ln<br />

2<br />

ρ A<br />

πε ⎝ D A<br />

ρ A + ρ A + ρ A + ρ A = 0<br />

(10.26)<br />

DB<br />

+ ρ B ln<br />

DB<br />

DC<br />

+ ρC<br />

ln<br />

DAC<br />

DC<br />

+ ρC<br />

ln<br />

DBC<br />

DC<br />

+ ρC<br />

ln<br />

rC<br />

DC<br />

+ ρC<br />

ln<br />

DC<br />

Jika kita terapkan relasi konservasi muatan (10.26)<br />

r<br />

r<br />

⎞<br />

+ ρ ln ⎟<br />

D<br />

A ⎠<br />

r<br />

⎞<br />

+ ρ ln ⎟<br />

D<br />

B ⎠<br />

r<br />

⎞<br />

+ ρ ln ⎟<br />

D<br />

C ⎠<br />

D<br />

⎞<br />

+ ρ ln ⎟<br />

= 0<br />

D<br />

⎠<br />

ρa + ρb<br />

+ ρc<br />

+ ρn<br />

= 0 atau ρ n = −( ρa<br />

+ ρb<br />

+ ρc<br />

)<br />

maka ρ akan ter-eliminasi dari persamaan (10.27)<br />

B<br />

, ρ<br />

B<br />

C, r<br />

C<br />

, ρ<br />

C<br />

N, r<br />

<br />

, ρ<br />

<br />

(10.27)<br />

234 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


235<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

<br />

AC<br />

C<br />

A<br />

C<br />

<br />

AB<br />

B<br />

A<br />

B<br />

<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

v<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

<br />

BC<br />

C<br />

B<br />

C<br />

<br />

B<br />

B<br />

B<br />

<br />

AB<br />

B<br />

A<br />

A<br />

B<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

<br />

C<br />

C<br />

C<br />

<br />

BC<br />

B<br />

C<br />

B<br />

<br />

AC<br />

A<br />

C<br />

A<br />

C<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

(10.28.a)<br />

yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

ρ<br />

ρ<br />

ρ<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

C<br />

B<br />

A<br />

n<br />

c<br />

C<br />

n<br />

BCB<br />

B<br />

C<br />

n<br />

AC<br />

A<br />

C<br />

n<br />

BC<br />

C<br />

B<br />

n<br />

b<br />

B<br />

n<br />

AB<br />

A<br />

B<br />

n<br />

AC<br />

C<br />

A<br />

n<br />

AB<br />

B<br />

A<br />

n<br />

a<br />

A<br />

C<br />

B<br />

A<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

v<br />

v<br />

v<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

(10.28.b)<br />

atau secara singkat<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

ρ<br />

ρ<br />

ρ<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

C<br />

A<br />

A<br />

CC<br />

CB<br />

CA<br />

BC<br />

BB<br />

AB<br />

AC<br />

AB<br />

AA<br />

C<br />

B<br />

A<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

v<br />

v<br />

v<br />

(10.28.c)<br />

atau<br />

[ ] ABC<br />

ABC<br />

ABC<br />

ρ<br />

F<br />

v<br />

~<br />

~<br />

= (10.28.d)<br />

dengan<br />

C<br />

B<br />

A<br />

j<br />

i<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

f<br />

n<br />

ij<br />

jn<br />

in<br />

ij<br />

,<br />

,<br />

,<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

(10.28.e)<br />

Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, dapat kita tuliskan:


⎡VA<br />

⎤ ⎡ f AA<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VB<br />

⎥ ⎢<br />

f BA<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VC<br />

⎦ ⎣ fCA<br />

f AB f AC ⎤ ⎡ρ<br />

A ⎤<br />

f<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

BB f BC ⎥ ⎢<br />

ρ B ⎥<br />

fCB<br />

fCC<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

ρC<br />

⎥⎦<br />

atau<br />

(10.29.a)<br />

⎡ρ<br />

A ⎤ ⎡ f AA<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

ρ B ⎥ ⎢<br />

f BA<br />

⎢⎣<br />

ρC<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

fCA<br />

f AB<br />

f BB<br />

fCB<br />

atau<br />

−1<br />

f AC ⎤ ⎡VA<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

f<br />

⎥<br />

BC ⎥ ⎢VB<br />

⎥<br />

f ⎥ ⎢ ⎥<br />

CC ⎦ ⎣<br />

VC<br />

⎦<br />

(10.29.b)<br />

ρ<br />

~ -1 ~<br />

~<br />

ABC = [ FABC<br />

] VABC<br />

= [ C ABC ] VABC<br />

(10.29.c)<br />

Kita ingat relasi kapasitor<br />

dan kita peroleh admitansi<br />

Q = CV<br />

-1<br />

[ ] [ ] F/m<br />

. Dari (10.25.c) kita turunkan<br />

C ABC = F ABC<br />

(10.30)<br />

[ ] ω[ ] Ω/m<br />

Y ABC = j C ABC<br />

(10.31)<br />

Namun kita tidak menghitung [Y ABC ] dengan menggunakan (10.31)<br />

F dan sini<br />

melainkan dari (10.30) dengan menghitung [ ABC ]<br />

menghitung [ F 012 ] sehingga diperoleh [ C 012 ] dan [ 012 ]<br />

nilai urutannya adalah<br />

dan akan kita peroleh<br />

[ ]<br />

Y .<br />

⎡ f AA f AB f AC ⎤<br />

F =<br />

⎢<br />

⎥<br />

ABC ⎢<br />

f BA f BB f BC ⎥<br />

(10.32)<br />

⎢⎣<br />

fCA<br />

fCB<br />

fCC<br />

⎥⎦<br />

−1<br />

[ F ] [ T] [ F ][ T]<br />

012 = ABC<br />

(10.33)<br />

−<br />

[ C ] = [ F ] 1 sehingga [ Y ] ω[ ]<br />

012<br />

012<br />

012 = j C 012 (10.34)<br />

236 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


237<br />

Konfigurasi ∆.<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

AC<br />

BC<br />

AB =<br />

=<br />

= ; 3<br />

D /<br />

D<br />

D<br />

D<br />

C<br />

B<br />

A =<br />

=<br />

= .<br />

[ ]<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

=<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

ABC<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

rr<br />

D<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

rr<br />

D<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

rr<br />

D<br />

F<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

3<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

(10.35)<br />

[ ] [ ] [ ]<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

−<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

−<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

s<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

s<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

f<br />

F<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

2<br />

T<br />

T 1<br />

012<br />

(10.36)<br />

r<br />

D<br />

f<br />

f<br />

F<br />

F<br />

r<br />

r<br />

D<br />

f<br />

f<br />

F<br />

m<br />

s<br />

n<br />

m<br />

s<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

)<br />

(<br />

27<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

4<br />

0<br />

πε<br />

=<br />

−<br />

=<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

+<br />

=<br />

(10.37)<br />

Kapasitansi<br />

)<br />

/<br />

ln(<br />

2<br />

1<br />

]<br />

)<br />

(<br />

27<br />

/<br />

ln[<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

3<br />

4<br />

0<br />

0<br />

r<br />

D<br />

C<br />

F<br />

C<br />

r<br />

r<br />

D<br />

F<br />

C<br />

<br />

πε<br />

=<br />

=<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

=<br />

(10.38)


Admitansi<br />

Y<br />

Y<br />

0<br />

1<br />

= jωC<br />

= jωC<br />

1<br />

0<br />

= j<br />

ln[ D<br />

= Y<br />

2<br />

4<br />

2πεω<br />

/ 27r(<br />

r<br />

2πεω<br />

= j<br />

ln( D / r)<br />

<br />

)<br />

3<br />

]<br />

(10.39)<br />

Transposisi. Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan<br />

maka impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang<br />

sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks [F ABC ]<br />

berbentuk<br />

⎡ f s f m f m ⎤<br />

[ F ] =<br />

⎢<br />

⎥<br />

ABC ⎢<br />

f m f s f m ⎥<br />

(10.40)<br />

⎢⎣<br />

f m f m f s<br />

⎥⎦<br />

Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun dalam<br />

analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi, impedansi,<br />

serta admitansi difahami sebagai konstanta proporsiaonalitas<br />

rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka adalah besaranbesaran<br />

dimensional. Mereka merupakan besaran yang tergantung<br />

dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat fisis material yang<br />

membentuknya. Oleh karena itu, selama dimensinya sama,<br />

pengolahan aritmatika dapat dilakukan.<br />

Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana ditunjukkan<br />

oleh matriks [F ABC ] di atas, konduktor-konduktor memiliki nilai<br />

sama jika dilihat dalam selang saluran yang ditransposisikan yaitu<br />

yang terdiri dari tiga seksi. Dengan demikian maka admitansi dapat<br />

kita peroleh dengan mengambil nilai rata-rata dari admitansi per<br />

seksi.<br />

1<br />

fij<br />

=<br />

3<br />

dengan<br />

( f + f + f )<br />

ij seksi-1<br />

f<br />

f<br />

ij<br />

if<br />

= f<br />

s<br />

= f<br />

Kita memperoleh (lihat Gb.10.4.)<br />

m<br />

ij seksi-2<br />

jika i = j<br />

jika i ≠ j<br />

ij seksi-3<br />

(10.41)<br />

238 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


239<br />

3<br />

1<br />

3<br />

3<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

3<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

6<br />

1<br />

ln<br />

6<br />

1<br />

<br />

AC<br />

BC<br />

AB<br />

m<br />

<br />

s<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

f<br />

r<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

f<br />

πε<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

(10.41)<br />

Dengan definisi (10.19)<br />

3<br />

3<br />

2<br />

1 D<br />

D<br />

D<br />

D h = dan 3<br />

AC<br />

BC<br />

AB<br />

f<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D =<br />

kita peroleh<br />

<br />

f<br />

h<br />

m<br />

<br />

h<br />

s<br />

r<br />

D<br />

D<br />

f<br />

rr<br />

D<br />

f<br />

2<br />

2<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

πε<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

(10.42)<br />

sehingga<br />

r<br />

D<br />

f<br />

f<br />

F<br />

F<br />

r<br />

r<br />

D<br />

D<br />

f<br />

f<br />

F<br />

f<br />

m<br />

s<br />

n<br />

f<br />

h<br />

m<br />

s<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

)<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

2<br />

6<br />

0<br />

πε<br />

=<br />

−<br />

=<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

+<br />

=<br />

(10.43<br />

Kapasitansi adalah<br />

F/m<br />

)<br />

/<br />

ln(<br />

2<br />

1<br />

F/m<br />

]<br />

)<br />

(<br />

/<br />

ln[<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

3<br />

2<br />

6<br />

0<br />

0<br />

r<br />

D<br />

C<br />

F<br />

C<br />

r<br />

r<br />

D<br />

D<br />

F<br />

C<br />

f<br />

<br />

f<br />

h<br />

πε<br />

=<br />

=<br />

=<br />

πε<br />

=<br />

=<br />

(10.44)<br />

Admitansi adalah<br />

S/m<br />

)<br />

/<br />

ln(<br />

2<br />

S/m<br />

)<br />

/<br />

ln(<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

2<br />

6<br />

0<br />

0<br />

r<br />

D<br />

j<br />

Y<br />

Y<br />

rr<br />

D<br />

D<br />

j<br />

C<br />

j<br />

Y<br />

f<br />

<br />

f<br />

h<br />

πε<br />

ω<br />

=<br />

=<br />

πε<br />

ω<br />

=<br />

ω<br />

=<br />

(10.45)


COTOH-10.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi<br />

50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />

mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.3:<br />

A<br />

4,2 m<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

C<br />

RA<br />

= RB<br />

= RC<br />

= 0.088 Ω / km<br />

rA<br />

= rB<br />

= rC<br />

= r = 1,350 cm<br />

rA′<br />

= rB′<br />

= rC′<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

Penyelesaian:<br />

Dengan menggunakan relasi (10.37), di mana D f sudah dihitung<br />

−9<br />

pada Contoh-10.2 dan ε = (1/ 36π)<br />

× 10 F/m maka:<br />

Y<br />

1<br />

−<br />

2πε<br />

2π×<br />

50×<br />

2π×<br />

(1/ 36π)<br />

× 10<br />

= jω<br />

= j<br />

ln( D / r)<br />

ln(5,29 / 0,01350)<br />

−<br />

= j2,923×<br />

10<br />

f<br />

9<br />

S/m = j2,923<br />

µ S/km<br />

Catatan: Formulasi untuk Y 0 pada (10.39) tidak terlalu cocok untuk<br />

menghitung admitansi urutan nol. Kopling kapasitif tidak<br />

hanya terjadi antar konduktor tetapi juga dengan tanah.<br />

9<br />

240 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


BAB 11<br />

<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />

Saluran Transmisi<br />

Di bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi dan<br />

admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu kita<br />

telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat<br />

menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang<br />

diagonal.<br />

Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi<br />

sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Dengan<br />

menggunakan model satu fasa, kita akan melihat bagaimana<br />

perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita<br />

akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis jika<br />

saluran transmisi ini terhubung dengan peralatan lain, transformator<br />

misalnya.<br />

11.1. Persamaan Saluran Transmisi<br />

Karena impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran<br />

maka dalam penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan<br />

arus antara setiap posisi yang berbeda. Kita lihat saluran transmisi<br />

dua konduktor lebih dulu, seperti pada Gb.11.1.<br />

I s+<br />

∆x<br />

∆x<br />

Z∆xI<br />

x<br />

I x<br />

I r<br />

Vs<br />

Vs+<br />

∆x<br />

Y∆xV<br />

x<br />

V x<br />

Vr<br />

x<br />

Gb.11.1 Model satu fasa saluran transmisi.<br />

241


Saluran transmisi ini bertegangan<br />

V s di ujung kirim dan<br />

Vr<br />

di<br />

ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan<br />

kita perhatikan suatu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada<br />

segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:<br />

Tegangan<br />

V x di x.<br />

Tegangan<br />

∆ V<br />

x<br />

V x+<br />

∆x<br />

di (x + ∆x) karena terjadi tegangan jatuh<br />

= Z∆xI<br />

x (Z adalah impedansi per satuan panjang).<br />

Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.<br />

Arus ∆ I x = Y∆xVx<br />

mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi<br />

per satuan panjang).<br />

Arus<br />

I<br />

x+<br />

∆x<br />

mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim.<br />

Vx+∆x<br />

I x+∆x<br />

−<br />

−<br />

Vx<br />

I x<br />

= Z∆x<br />

= Y∆x<br />

Jika ∆x mendekati nol, maka<br />

I x<br />

Vx<br />

atau<br />

atau<br />

Vx+∆x<br />

I x+∆x<br />

∆x<br />

−<br />

∆x<br />

−<br />

Vx<br />

I x<br />

= Z<br />

= Y<br />

Vx<br />

I x<br />

d<br />

d<br />

Vx<br />

I x<br />

= ZI<br />

x dan = YVx<br />

(11.1)<br />

dx<br />

Jika (11.1) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh<br />

d<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

dx<br />

dI<br />

x<br />

= Z<br />

dx<br />

Substitusi (11.1) ke (11.2) memberikan<br />

dx<br />

2<br />

d I x dVx<br />

dan = Y<br />

(11.2)<br />

2<br />

dx dx<br />

d<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

dx<br />

= ZY<br />

Vx<br />

2<br />

d I x<br />

dan = ZYI<br />

2 x (11.3)<br />

dx<br />

242 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Konstanta Propagasi. Persamaan (11.3) ini telah menjadi sebuah<br />

persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama<br />

sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi tersebut<br />

didefinisikan<br />

γ<br />

2<br />

= ZY atau γ =<br />

ZY<br />

(11.4)<br />

γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan<br />

Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu<br />

karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga<br />

merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />

γ = α + j β<br />

(11.5)<br />

α disebut konstanta redaman<br />

β disebut konstanta fasa<br />

Impedansi Karakteristik. Dengan menggunakan pengertian<br />

konstanta propagasi maka persamaan (11.3) dapat dituliskan<br />

menjadi<br />

atau<br />

d<br />

2<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

d I x 2<br />

= γ Vx<br />

dan = γ I<br />

2<br />

2 x (11.6.a)<br />

dx<br />

dx<br />

d<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

dx<br />

− γ<br />

2<br />

Vx<br />

= 0<br />

dan<br />

d<br />

2<br />

I x<br />

2<br />

dx<br />

− γ<br />

2<br />

I x<br />

= 0<br />

(11.6.b)<br />

Solusi persamaan (11.6.b) adalah (lihat bahasan analisis transien<br />

orde ke-dua di pustaka [3]):<br />

γx<br />

−γx<br />

γx<br />

−γx<br />

V x = kv1e<br />

+ kv2e<br />

dan Ix<br />

= ki1e<br />

+ ki2e<br />

(11.6.c)<br />

Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (11.6.c) yaitu<br />

Persamaan (11.1) dan (11.7.a) memberikan<br />

x −γx<br />

V x = kv1<br />

e<br />

γ + kv1e<br />

(11.7.a)<br />

243


d<br />

Vx<br />

γx<br />

= ZI<br />

x = kv1<br />

γe<br />

− kv2<br />

dx<br />

Persamaan (11.7.a) dan (11.7.b serta definisi (11.4) memberikan<br />

k<br />

Z<br />

γe<br />

γx<br />

(11.7.b)<br />

γx<br />

γx<br />

v1 e − kv2e<br />

= I x = I x (11.7.c)<br />

ZY<br />

Perhatikan bahwa ruas paling kiri (11.7.c) adalah tegangan. Hal ini<br />

berarti bahwa ruas paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh<br />

karena itu<br />

Z di ruas paling kanan (11.7.c) haruslah berdimensi impedansi;<br />

Y<br />

impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Z c .<br />

Z<br />

Y<br />

Z<br />

Z c = (11.8)<br />

Y<br />

Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (11.7.c) kita<br />

tulis menjadi<br />

k<br />

γx<br />

γx<br />

v1 e − kv2e<br />

= Z cI<br />

x<br />

(11.9.a)<br />

sementara persamaan pertama (11.6.c) dapat kita tulis<br />

k<br />

γx<br />

−γx<br />

v1e<br />

+ kv2e<br />

= Vx<br />

Pada x = 0 persamaan (11.9.a) dan (11.9.b) memberikan<br />

(11.9.b)<br />

k<br />

k<br />

v1 v2<br />

c r<br />

sehingga diperoleh<br />

v1<br />

− k<br />

+ k<br />

v2<br />

= Z I<br />

= V<br />

r<br />

k<br />

v1<br />

k<br />

v2<br />

Z<br />

=<br />

=<br />

cI<br />

r<br />

Vr<br />

+<br />

2<br />

− Z<br />

2<br />

Vr<br />

cI<br />

r<br />

Dengan (11.9.c) ini maka persamaan pertama (11.6.c) menjadi<br />

(11.9.c)<br />

244 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


245<br />

)<br />

sinh(<br />

)<br />

cosh(<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

x<br />

Z<br />

x<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

k<br />

e<br />

k<br />

r<br />

c<br />

r<br />

x<br />

x<br />

r<br />

c<br />

x<br />

x<br />

r<br />

x<br />

r<br />

c<br />

r<br />

x<br />

r<br />

r<br />

c<br />

x<br />

v<br />

x<br />

v<br />

x<br />

λ<br />

+<br />

γ<br />

=<br />

−<br />

+<br />

+<br />

=<br />

−<br />

+<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

I<br />

V<br />

I<br />

V<br />

I<br />

V<br />

V<br />

I<br />

V<br />

(11.9.d)<br />

Persamaan ke-dua (11.6.c) kita olah dengan cara yang sama.<br />

x<br />

c<br />

x<br />

i<br />

x<br />

i<br />

x<br />

x<br />

i<br />

x<br />

i<br />

x<br />

x<br />

i<br />

x<br />

i<br />

x<br />

Z<br />

e<br />

k<br />

e<br />

k<br />

Y<br />

e<br />

k<br />

e<br />

k<br />

dx<br />

d<br />

e<br />

k<br />

e<br />

k<br />

V<br />

V<br />

I<br />

I<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

=<br />

−<br />

→<br />

=<br />

γ<br />

−<br />

γ<br />

=<br />

→<br />

+<br />

=<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

(11.10.a)<br />

Untuk x = 0,<br />

r<br />

c<br />

i<br />

i<br />

r<br />

i<br />

i<br />

Z<br />

k<br />

k<br />

k<br />

k<br />

V<br />

I<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

=<br />

−<br />

=<br />

+<br />

dan diperoleh<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

1<br />

c<br />

r<br />

r<br />

i<br />

c<br />

r<br />

r<br />

i<br />

Z<br />

k<br />

Z<br />

k<br />

V<br />

I<br />

V<br />

I<br />

−<br />

=<br />

+<br />

=<br />

(11.10.b)<br />

Dengan (11.11.c) ini kita peroleh<br />

)<br />

cosh(<br />

)<br />

sinh(<br />

2<br />

2<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

x<br />

x<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

Z<br />

r<br />

c<br />

r<br />

x<br />

x<br />

r<br />

x<br />

x<br />

c<br />

r<br />

x<br />

c<br />

r<br />

r<br />

x<br />

c<br />

r<br />

r<br />

x<br />

γ<br />

+<br />

λ<br />

=<br />

+<br />

+<br />

−<br />

=<br />

−<br />

+<br />

+<br />

=<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

I<br />

V<br />

I<br />

V<br />

V<br />

I<br />

V<br />

I<br />

I<br />

(11.10.c)<br />

Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan<br />

)<br />

cosh(<br />

)<br />

sinh(<br />

)<br />

sinh(<br />

)<br />

cosh(<br />

x<br />

x<br />

Z<br />

x<br />

Z<br />

x<br />

r<br />

c<br />

r<br />

x<br />

r<br />

c<br />

r<br />

x<br />

γ<br />

+<br />

γ<br />

=<br />

γ<br />

+<br />

γ<br />

=<br />

I<br />

V<br />

I<br />

I<br />

V<br />

V<br />

(11.11)


Persamaan (11.11) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x<br />

pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima<br />

diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk<br />

melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat<br />

dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi<br />

karakteristik Z c . Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter<br />

yang ditunjukkan oleh persamaan (11.4); impedansi karakteristik<br />

mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan<br />

oleh (11.8).<br />

11.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen π<br />

Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim<br />

adalah Vs<br />

dan I s maka dari (11.11) kita peroleh<br />

Vs<br />

= Vr<br />

cosh( γd)<br />

+ Z cI<br />

r sinh( γd)<br />

V<br />

(11.12)<br />

r<br />

I s = sinh( γd)<br />

+ I r cosh( γd)<br />

Z c<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen diperlukan dalam analisis saluran transmisi jika<br />

terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu rangkaian<br />

ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada<br />

Gb.11.2.<br />

I<br />

s<br />

I r<br />

Z t<br />

Vs<br />

Y t<br />

2<br />

Y t<br />

2<br />

Vr<br />

Gb.11.2. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen π.<br />

Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang<br />

terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan<br />

admitansi tergumpal ekivalen. Aplikasi hukum Kirchhoff pada<br />

rangkaian ini memberikan:<br />

246 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


247<br />

r<br />

t<br />

r<br />

t<br />

t<br />

r<br />

t<br />

r<br />

t<br />

r<br />

s<br />

Z<br />

Y<br />

Z<br />

Y<br />

Z<br />

I<br />

V<br />

V<br />

I<br />

V<br />

V +<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎟ = ⎛ +<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+<br />

+<br />

=<br />

2<br />

1<br />

2<br />

(11.13.a)<br />

r<br />

t<br />

t<br />

r<br />

t<br />

t<br />

t<br />

r<br />

t<br />

r<br />

t<br />

t<br />

t<br />

r<br />

t<br />

r<br />

s<br />

t<br />

r<br />

t<br />

r<br />

s<br />

Y<br />

Z<br />

Y<br />

Y<br />

Z<br />

Z<br />

Y<br />

Z<br />

Y<br />

Y<br />

Y<br />

Y<br />

I<br />

V<br />

I<br />

V<br />

V<br />

I<br />

V<br />

V<br />

I<br />

I<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

+ ⎛ +<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

+<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛ +<br />

+<br />

+<br />

= +<br />

+<br />

=<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

(11.13.b)<br />

Kita ringkaskan (11.3.a dan b) menjadi :<br />

r<br />

t<br />

t<br />

r<br />

t<br />

t<br />

t<br />

s<br />

t<br />

r<br />

t<br />

t<br />

s<br />

Y<br />

Z<br />

Y<br />

Y<br />

Z<br />

Z<br />

Y<br />

Z<br />

I<br />

V<br />

I<br />

I<br />

V<br />

V<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

+ ⎛ +<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+<br />

=<br />

+<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛ +<br />

= 2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

1<br />

(11.14)<br />

Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan (11.12),<br />

kita dapatkan<br />

)<br />

sinh(<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

)<br />

sinh(<br />

)<br />

cosh(<br />

2<br />

1<br />

d<br />

Z<br />

Y<br />

Y<br />

Z<br />

d<br />

Z<br />

Z<br />

d<br />

Y<br />

Z<br />

c<br />

t<br />

t<br />

t<br />

c<br />

t<br />

t<br />

t<br />

γ<br />

=<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+<br />

γ<br />

=<br />

γ<br />

=<br />

+<br />

(11.15)<br />

Substitusi persamaan pertama (11.15 ke persamaan ke-tiga<br />

memberikan<br />

( )<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛ γ<br />

=<br />

+<br />

−<br />

=<br />

+<br />

+<br />

×<br />

−<br />

=<br />

+<br />

+<br />

−<br />

=<br />

+<br />

γ<br />

γ<br />

=<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

−γ<br />

γ<br />

2<br />

tanh<br />

1<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

2<br />

/<br />

2)<br />

(<br />

2<br />

/<br />

)<br />

(<br />

1<br />

)<br />

cosh(<br />

)<br />

sinh(<br />

2<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

d<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

e<br />

e<br />

e<br />

e<br />

Z<br />

e<br />

e<br />

d<br />

Z<br />

d<br />

Y<br />

c<br />

d<br />

d<br />

c<br />

d<br />

d<br />

d<br />

d<br />

c<br />

d<br />

d<br />

d<br />

d<br />

d<br />

d<br />

c<br />

d<br />

d<br />

c<br />

t


Jadi dalam rangkaian ekivalen π<br />

Yt<br />

1 ⎛ γd<br />

⎞<br />

Zt<br />

= Zc<br />

sinh( γd)<br />

dan = tanh⎜<br />

⎟<br />

2 Z c ⎝ 2 ⎠<br />

d = jarak ujung terima dan ujung kirim<br />

Z c<br />

= impedansi karakteristik<br />

(11.16)<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen π diturunkan dari model satu fasa rangkaian tiga<br />

fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga fasa tak-seimbang, fasor-fasor<br />

tak seimbang kita uraikan menjadi komponen-komponen simetris.<br />

Masing-masing komponen simetris merupakan fasa-fasa seimbang<br />

sehingga masing-masing komponen dapat di analisis menggunakan<br />

rangkaian ekivalen satu fasa. Dengan kata lain masing-masing<br />

komponen memiliki rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen<br />

urutan positif, urutan negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada<br />

Gb.11.3.<br />

Besaran rangkaian ekivalen adalah:<br />

Konstanta propagasi urutan:<br />

γ<br />

γ<br />

γ<br />

0<br />

1<br />

2<br />

=<br />

=<br />

=<br />

Z<br />

0<br />

Z Y<br />

1 1<br />

Z<br />

2<br />

Y<br />

Y<br />

0<br />

2<br />

(11.17)<br />

Impedansi karakteristik urutan:<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

c0<br />

c1<br />

c2<br />

=<br />

=<br />

=<br />

Z<br />

Z<br />

1<br />

0<br />

/ Y<br />

/ Y<br />

1<br />

Z 2 / Y<br />

0<br />

2<br />

(11.18)<br />

Impedansi urutan:<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

0<br />

1<br />

2<br />

= Z<br />

= Z<br />

= Z<br />

c0<br />

c1<br />

c2<br />

sinh γ<br />

sinh γ<br />

1<br />

sinh γ<br />

0<br />

d<br />

2<br />

d<br />

d<br />

(11.19)<br />

248 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Admitansi urutan:<br />

Y0<br />

1<br />

=<br />

2 Z<br />

c0<br />

Y1<br />

1<br />

=<br />

2 Z<br />

c1<br />

Y2<br />

1<br />

=<br />

2 Z<br />

c2<br />

γ 0d<br />

tanh<br />

2<br />

γ1d<br />

tanh<br />

2<br />

γ 2d<br />

tanh<br />

2<br />

(11.20)<br />

I s0<br />

I r 0<br />

Z t0<br />

Y t0<br />

Y<br />

V t0<br />

s0<br />

V r 0<br />

2<br />

2<br />

<strong>Rangkaian</strong> Urutan Nol<br />

I s1<br />

I r 1<br />

Z t1<br />

Y t1<br />

Y<br />

V t1<br />

s1<br />

V r 1<br />

2<br />

2<br />

<strong>Rangkaian</strong> Urutan Positif<br />

I s2<br />

I r 2<br />

Z t 2<br />

Y t 2<br />

Y<br />

V t 2<br />

s2<br />

V r 2<br />

2<br />

2<br />

<strong>Rangkaian</strong> Urutan Negatif<br />

Gb.11.3. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan.<br />

249


COTOH-11.1: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />

yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.2, tentukan (a)<br />

impedansi karakteristik; (b) konstanta propagasi; (c) rangkaian<br />

ekivalen π.<br />

8,4 m<br />

RA<br />

= RB<br />

= RC<br />

= 0.088 Ω / km<br />

4,2 m 4,2 m rA<br />

= rB<br />

= rC<br />

= r = 1,350 cm<br />

rA′<br />

= rB′<br />

= rC′<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

A B C Kapasitas arus: 900 A<br />

Penyelesaian:<br />

Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah<br />

dihitung pada contoh-10.2 dan 10.3.<br />

Z 1 = 0,088+<br />

j0,3896<br />

Ω/km<br />

Y 1 = j2,923<br />

µ S/km<br />

a) Impedansi karakteristik adalah<br />

Z c<br />

=<br />

Z<br />

Y<br />

=<br />

= 369,67∠<br />

- 6,4<br />

0,088 + j0,3896<br />

j2,923×<br />

10<br />

o<br />

Ω<br />

3<br />

= 10 ×<br />

−6 j<br />

0,088 + j0,3896<br />

2,923<br />

b) Konstanta propagasi<br />

γ =<br />

ZY<br />

=<br />

(0,088 + j0,3896)(<br />

j2,923×<br />

10<br />

= (0,1198 + j1,074)<br />

× 10<br />

−3<br />

per km<br />

−6<br />

c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,<br />

elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah<br />

Z<br />

t<br />

= Z<br />

c<br />

sinh( γd)<br />

= (369,67∠ − 6,4<br />

= 8,77 + j38,89<br />

= 39.87∠77.3<br />

o<br />

) sinh[(0,1198+<br />

j1,074)<br />

× 10<br />

o<br />

Ω<br />

)<br />

−1<br />

]<br />

250 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Y<br />

t<br />

2<br />

1 ⎛ γd<br />

⎞<br />

= tanh⎜<br />

⎟<br />

Z ⎝ 2 ⎠<br />

c<br />

1<br />

=<br />

369,67∠ − 6,4<br />

= 3,14×<br />

10<br />

−8<br />

≈ j0,1463<br />

mS<br />

o<br />

⎛ −3<br />

(0,1207 j1,074)<br />

10 100 ⎞<br />

tanh⎜<br />

+ × ×<br />

⎟<br />

⎜<br />

2<br />

⎟<br />

⎝<br />

⎠<br />

+ j0,1463×<br />

10<br />

−3<br />

I s<br />

8.77<br />

+ j38,89<br />

I r<br />

V s<br />

j0,1463<br />

j0, 1463<br />

Vr<br />

11.3. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan<br />

Apabila kita melakukan perhitungan-perhitungan dengan<br />

menggunakan komputer pendekatan ini sebenarnya tidak<br />

diperlukan. Namun untuk saluran pendek, perhitungan secara<br />

manual kadang-kadang diperlukan sehingga kita memerlukan<br />

besaran pendekatan.<br />

Pada saluran yang pendek, γd


COTOH-11.2: Tentukan rangkaian ekivan π pendekatan untuk<br />

saluran pada Contoh-11.1.<br />

Penyelesaian: Dengan menggunakan relasi (11.21) elemen<br />

rangkaian ekivalen pendekatan adalah:<br />

Z ′ = Z × 100 = 8,8 + j38,96<br />

Ω<br />

t<br />

1<br />

−6<br />

Yt′<br />

Y1<br />

j2,923×<br />

10<br />

= × 100 =<br />

2 2<br />

2<br />

= j0,1461<br />

mS<br />

× 100<br />

Lebih Lanjut Tentang <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Kinerja<br />

saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu<br />

Vs<br />

I s<br />

=<br />

Vr<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

r<br />

c<br />

cosh( γd)<br />

+ Z<br />

sinh( γd)<br />

+ I<br />

cI<br />

r<br />

r<br />

sinh( γd)<br />

cosh( γd)<br />

(11.12)<br />

Pada saluran yang pendek, γd


Vs<br />

I s<br />

=<br />

Vr<br />

= ( Yd)<br />

+ ( Zd )<br />

Vr<br />

+<br />

I r<br />

I r<br />

(11.22.c)<br />

Persamaan (11.22.c) ini memberikan diagram rangkaian ekivalen<br />

seperti tergambar terlihat pada Gb.11.4. di bawah ini, yang kita<br />

sebut rangkaian ekivalen pendekatan untuk saluran pendek<br />

I s<br />

Vs<br />

Zd<br />

Yd<br />

I r<br />

Vr<br />

Gb.11.4. Diagram rangkaian ekivalen pendekatan<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita<br />

perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan<br />

rangkaian ekivalen π yang sebenarnya<br />

11.4. Kinerja Saluran Transmisi<br />

Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu<br />

Vs<br />

=<br />

Vr<br />

cosh( γd)<br />

+ Z<br />

cI<br />

r<br />

sinh( γd)<br />

V<br />

(11.12)<br />

r<br />

I s = sinh( γd)<br />

+ I r cosh( γd)<br />

Z c<br />

Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan konstanta<br />

A, B, C, D:<br />

dengan<br />

V s<br />

I s<br />

=<br />

=<br />

AVr<br />

C Vr<br />

+<br />

+<br />

B I r<br />

D I r<br />

A = cosh γx<br />

; B = Z c sinh γx<br />

sinh γx<br />

1<br />

C = = B ; D = cosh γx<br />

= A<br />

Z 2<br />

c Z c<br />

(11.23.a)<br />

(11.23.b)<br />

253


Konstanta-konstanta ini dapat dapat pula diturunkan dari rangkaian<br />

ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (11.14) yaitu<br />

⎛ Z Y ⎞ +<br />

t t<br />

Vs<br />

= ⎜1<br />

⎟Vr<br />

+ Z t I<br />

⎝ 2 ⎠<br />

⎛ Z tYt<br />

⎞ Yt<br />

⎛ ZtYt<br />

I s = ⎜2<br />

+ Vr<br />

+ ⎜1<br />

+<br />

2 2<br />

2<br />

⎝<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎝<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

I r<br />

(11.14)<br />

yang jika kita perbandingkan dengan (11.23.a) kita dapatkan<br />

⎞<br />

A ⎜<br />

⎛ Z = + tYt<br />

1 ⎟ B = Z t<br />

⎝ 2 ⎠<br />

⎛ Z ⎞<br />

⎛ ⎞<br />

C = ⎜ +<br />

tYt<br />

Yt<br />

Z<br />

2 ⎟ D = ⎜1<br />

+<br />

tYt<br />

⎟ = A<br />

⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />

(11.23.c)<br />

Memperbandingkan (11.23.c) dengan (11.23.b) akan kembali<br />

kita peroleh (11.15).<br />

Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan<br />

kompleks karena Z t maupun Y t adalah bilangan kompleks yang<br />

nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang<br />

saluran. Kita lihat lagi Contoh-11.1. untuk memberi gambaran<br />

tentang nilai konstanta-konstanta ini.<br />

COTOH-11.3: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />

yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-11.1,<br />

tentukan konstanta A, B, C, D saluran transmisi ini.<br />

A<br />

4,2 m<br />

Penyelesaian:<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

γ dan Z c telah dihitung pada Contoh-11.1:<br />

C<br />

RA<br />

= RB<br />

= RC<br />

= 0.088 Ω / km<br />

rA<br />

= rB<br />

= rC<br />

= r = 1,350 cm<br />

rA′<br />

= rB′<br />

= rC′<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

254 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Z c<br />

= 369,67∠<br />

- 6,4<br />

o<br />

Ω<br />

γ = (0,1198 + j 1,074) × 10<br />

−3<br />

per km<br />

Menggunakan formulasi (11.23.b), nilai konstanta adalah<br />

A = cosh γx<br />

= 0,9943∠0,07<br />

B = Z<br />

c<br />

sinh γx<br />

= 39,87∠77,30<br />

sinh γx<br />

1<br />

C = =<br />

Z c Z<br />

2<br />

c<br />

D = cosh γx<br />

= A = 0,9943∠0,07<br />

o<br />

o<br />

B = 0,0003∠90,02<br />

o<br />

o<br />

Dengan menggunakan konstanta-konstanta saluran, kita akan<br />

mecermati kinerja saluran.<br />

COTOH-11.4: Jika saluran transmisi pada soal-11.2 mencatu<br />

beban sebesar 250 MVA dengan factor daya 0.9 lagging pada<br />

tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di<br />

ujung kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,<br />

faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />

Penyelesaian:<br />

Dengan model satu fasa, tegangan beban 270 kV digunakan<br />

sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah<br />

V r<br />

270 o<br />

= = 155,88 ∠0<br />

3<br />

kV<br />

Karena factor daya 0,9 lagging maka arus beban:<br />

I r<br />

250 o<br />

=<br />

= 0.53∠<br />

- 25,8<br />

270×<br />

0,9 × 3<br />

kA<br />

255


Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />

V<br />

Arus di ujung kirim:<br />

I s<br />

s<br />

= 0,9943∠0,07<br />

o<br />

= 155 + j0.2<br />

+ 13.3+<br />

j16.7<br />

= 169.1∠5.7<br />

= 0.51∠<br />

- 21,2<br />

kV<br />

o<br />

V<br />

r<br />

+ 39,87∠77,30<br />

kV<br />

= CV + D I = -2×<br />

10 + j0.05<br />

+ 0.48 − j0.23<br />

r<br />

r<br />

o<br />

Tegangan jatuh di saluran adalah<br />

-5<br />

∆V<br />

= V s − V r = 169,1∠<br />

5,7<br />

= 12,4 + j16,9<br />

= 21∠53,7<br />

o<br />

kV<br />

o<br />

I<br />

−155,88∠0<br />

21<br />

atau × 100 ≈ 12% dari tegangan di ujung kirim.<br />

169,1<br />

Daya kompleks ujung kirim<br />

o<br />

o<br />

r<br />

S s<br />

= 3×<br />

V I<br />

s<br />

∗<br />

s<br />

= 3×<br />

169,1∠<br />

5,7 × 0,51∠21,2<br />

= 260∠27<br />

o<br />

MVA<br />

Faktor daya ujung kirim cos(27 o ) = 0.89<br />

Daya nyata ujung kirim<br />

Daya nyata ujung terima<br />

P s<br />

P r<br />

= 260 × 0,89 = 232 MW<br />

= 250 × 0.9 =<br />

Susut yang terjadi di saluran adalah<br />

225 MW<br />

Ps<br />

− Pr<br />

P saluran = ×100 % = 3.1% .<br />

P<br />

s<br />

256 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Pengaruh Pembebanan. Dalam Contoh-11.4 di atas,<br />

pembebanan 250 MVA dengan factor daya 0,9 menyebabkan<br />

tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,12% sementara factor<br />

daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan melihat akibat<br />

dari perubahan pembebanan<br />

COTOH-11.5: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi<br />

pada Contoh-11.4 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor<br />

daya tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran,<br />

daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya<br />

di saluran.<br />

Penyelesaian:<br />

Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />

Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />

Beban [MVA]<br />

200 250 300<br />

Panjang 100 km 100 km 100 km<br />

V r [kV] 155,88∠0 o 155,88∠0 o 155,88∠0 o<br />

I r [kA] 0.43∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.64∠-25.8 o<br />

V s [kV] 166.2∠4.7 o 169.1∠5.7 o 172.1∠6.7 o<br />

I s [kA] 0.40∠-20 o 0.51∠-21.2 o 0.62∠-22 o<br />

∆ V [kV] 16.7∠54.3 o 21∠53.7 o 25.2∠53.3 o<br />

∆ V [%] 10 12 15<br />

S s [MVA] 203 260 320<br />

f.d. 0.9 0.89 0.88<br />

Susut [%] 2.5 3.1 3.75<br />

257


Pengaruh Panjang Saluran. Perubahan panjang saluran akan<br />

mengubah konstanta saluran. Kita lihat contoh berikut.<br />

COTOH-11.6: Dengan beban tetap 250 MVA dan factor daya 0,9<br />

lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung<br />

kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran<br />

untuk panjang saluran 100, 150, 200 km<br />

Penyelesaian:<br />

Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />

Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />

Panjang Saluran<br />

100 150 200<br />

Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA<br />

A 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0,17 o 0.9773∠0.3 o<br />

B [Ω] 39.867∠77.3 o 59.658 ∠77.3 o 79.28∠77.4 o<br />

C [mS] 0.2917∠90.02 o 0.4366 ∠90.06 o 0.5802∠90.1 o<br />

D 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0.17 o 0.9773∠0.3 o<br />

V r [kV] 155.88∠0 o 155.88∠0 o 155.88∠0 o<br />

I r [kA] 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o<br />

V s [kV] 169.1∠5.7 o 175.6∠8.3 o 181.9∠10.8 o<br />

I s [kA] 0.51∠-21.2 o 0.50∠-18.7 o 0.49∠-16 o<br />

∆ V [kV] 21∠53.7 o 31∠54.9 o 41∠56.1 o<br />

∆ V [%] 12 18 22<br />

S s [MVA] 260 264 267<br />

f.d. 0.89 0.89 0.89<br />

Susut [%] 3.1 4.5 5.8<br />

258 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


11.5. Batas Pembebanan<br />

Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan<br />

peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan<br />

yang kita hitung pada contoh-11.5 sebesar 250 MVA, tegangan<br />

jatuh sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika<br />

kita mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya<br />

saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,<br />

daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah<br />

S r<br />

3fasa = 270×<br />

0,9 × 3 =<br />

420 MVA<br />

Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di<br />

saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.<br />

Batas Thermal. Sebagian energy yang melalui saluran transmisi<br />

terkonversi menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.<br />

saluran<br />

2<br />

fasa<br />

P = 3 × I × R<br />

saluran<br />

Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang diperkenankan<br />

mengalir pada konduktor agar tidak terjadi pemanasan yang<br />

berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur konduktor akan<br />

menyebabkan pemuaian; jika temperature meningkat maka<br />

andongan akan bertambah .<br />

Dari relasi daya tiga fasa<br />

S3 fasa = VI<br />

3<br />

kita dapat menghitung berapa daya yang dapat dipasok melalui<br />

suatu saluran transmisi. Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa<br />

150 kV misalnya, setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya<br />

sebesar 150 3 = 2,5 MVA ; pada transmisi 500 kV berarti<br />

penyaluran daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan<br />

daya ini yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu<br />

saluran transmisi.<br />

259


Tegangan dan Arus di Ujung Kirim. Jika konstanta saluran kita<br />

misalkan A = A∠α<br />

dan B = B∠β<br />

, tegangan ujung terima<br />

o<br />

digunakan sebagai referensi V r = V r ∠0 , arus beban lagging<br />

o<br />

I r = I r ∠ − ϕ , maka persamaan pertama (11.23.a) menjadi:<br />

Sudut<br />

V<br />

s<br />

= AV<br />

= AV<br />

r<br />

r<br />

+ B I<br />

r<br />

∠( α + 0) + BI ∠(<br />

β − ϕ)<br />

r<br />

(11.24.a)<br />

A ∠α<br />

dan B ∠β<br />

adalah konstanta yang ditentukan hanya<br />

oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran<br />

tidak berubah. Oleh karena itu jika factor daya beban<br />

dipertahankan pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di<br />

ujung kirim ditentukan hanya oleh arus beban I r . Gb.11.5.<br />

memperlihatkan peristiwa tersebut.<br />

Im<br />

I r<br />

I′ r<br />

α<br />

Gb.11.5. Perubahan arus beban dari I r menjadi I′ r<br />

menyebabkan perubahan tegangan di ujung kirim dari<br />

Vs<br />

menjadi V′ s .<br />

Jika kita misalkan Z c = Z c ∠θ<br />

, maka persamaan ke-dua<br />

(11.23.a) menjadi:<br />

B<br />

I s = V<br />

2 r + A Ir<br />

Z c<br />

BVr<br />

= ∠(0<br />

− 2θ)<br />

+ AI ∠(<br />

α − ϕ)<br />

2<br />

r<br />

Z c<br />

(11.24.b)<br />

V r<br />

V s<br />

AV r<br />

BI r<br />

V′ s<br />

β − ϕ<br />

Re<br />

260 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Impedansi karakteristik Z c juga merupakan besaran konstan<br />

untuk satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban<br />

dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung<br />

terima dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter<br />

saluran.<br />

Pembebanan. Peningkatan arus I r berarti peningkatan<br />

pembebanan. Selain batas thermal sebagaimana telah<br />

dikemukakan di atas, ada pembatasan lain yang akan kita lihat<br />

berikut ini.<br />

Jika δ adalah sudut antara<br />

V<br />

s<br />

dan<br />

V<br />

r<br />

Im<br />

V s<br />

α<br />

AV r<br />

BI r<br />

δ<br />

Re<br />

V r<br />

I r<br />

Gb.11.6. Perubahan sudut δ.<br />

maka dari relasi tegangan<br />

beban<br />

V<br />

s<br />

= AVr<br />

+ B I r kita peroleh arus<br />

I r<br />

Vs<br />

AVr<br />

= −<br />

B B<br />

Vs<br />

AVr<br />

= ∠( δ −β)<br />

− ∠(<br />

α −β)<br />

B<br />

B<br />

Daya per fasa di ujung terima adalah<br />

(11.25)<br />

S<br />

∗<br />

r 1fasa = Vr<br />

I r<br />

VrV<br />

=<br />

B<br />

s<br />

AV<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

−<br />

B<br />

2<br />

r<br />

∠(<br />

β − α)<br />

(11.26)<br />

261


Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai<br />

tertentu, kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di<br />

ujung kirim. Jika hal ini dilakukan maka V r V s dan 2<br />

V r pada<br />

persamaan daya (11.26) akan bernilai konstan. Persamaan ini<br />

akan menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi<br />

apabila terjadi perubahan penerimaan daya di ujung terima. Sudut<br />

ini, δ, disebut sudut daya.<br />

Diagram Lingkaran. Dari (11.26), daya tiga fasa di ujung<br />

terima adalah<br />

3V<br />

rVs<br />

3AVr<br />

Sr 3fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(11.27)<br />

B<br />

B<br />

Jika V r dan V s dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat<br />

bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan daya<br />

akan mengikuti bentuk kurva lingkaran. Kita akan mencoba<br />

menggambarkannya.<br />

Pada Contoh-11.2 kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari<br />

sudut β. Oleh karena itu sudut fasa suku ke-dua (12.4) akan berada<br />

di sekitar nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih<br />

dari 10% seperti halnya hasil perhitungan pada Contoh-11.2, nilai<br />

2<br />

V r Vs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan nilai V r di<br />

suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita akan<br />

menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala. Diagram lingkaran<br />

diperlihatkan pada Gb.11.7. dengan penjelasan sebagai berikut:<br />

2<br />

3AV 1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor r<br />

∠(<br />

β − α)<br />

B<br />

2<br />

3AV yaitu OM kemudian kita gambar − r<br />

∠(<br />

β − α)<br />

yaitu<br />

O M′ .<br />

2<br />

B<br />

262 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


2. Pada fasor O M′ kita tambahkan fasor<br />

3V<br />

r V s<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

yaitu<br />

B<br />

fasor M′ N<br />

3. Sudut antara M′ N dengan sumbu mendatar adalah ( β − δ)<br />

.<br />

4. Pada perubahan sudut δ fasor M′ N akan bergerak mengikuti<br />

lingkaran yang berpusat di M′ berjari-jari M′ N .<br />

5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor M′ N dengan garis<br />

M ′ M ′′ yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.<br />

6. Daya nyata maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />

= 0 yaitu pada<br />

waktu M′ N menjadi M ′ N′<br />

o<br />

7. Daya reaktif maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />

= 90<br />

Im<br />

M ′<br />

N ′′<br />

M<br />

δ<br />

N<br />

β − α<br />

O<br />

β − δ<br />

Re<br />

M′<br />

N′<br />

Gb.11.7. Diagram lingkaran.<br />

263


Daya Maksimum di Ujung Terima. Dalam meninjau daya<br />

maksimum ini, kita akan menyederhanakan relasi (11.27) dengan<br />

melihat saluran transmisi pada tegangan pengenalnya yang kita<br />

sebut V, misalnya transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak<br />

memperbedakan V r atau V s . Dengan pengertian ini maka (11.27)<br />

menjadi:<br />

2<br />

2<br />

V<br />

AV<br />

S r 1fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(11.28.a)<br />

3B<br />

3B<br />

Daya tiga fasa menjadi<br />

2<br />

V<br />

AV<br />

S r 3fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(11.28.b)<br />

B<br />

B<br />

Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan daya<br />

nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian nyata dari<br />

relasi daya ini.<br />

P<br />

r 3fasa<br />

= Re S<br />

⎡ 2<br />

V<br />

= Re⎢<br />

⎢⎣<br />

B<br />

2<br />

V<br />

=<br />

B<br />

r 3fasa<br />

dan daya reaktif Q adalah<br />

Q<br />

r 3fasa<br />

= Im S<br />

⎡ 2<br />

V<br />

= Im⎢<br />

⎢⎣<br />

B<br />

2<br />

V<br />

=<br />

B<br />

AV<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

−<br />

B<br />

AV<br />

cos( β − δ)<br />

−<br />

B<br />

r 3fasa<br />

AV<br />

sin( β − δ)<br />

−<br />

B<br />

2<br />

AV<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

−<br />

B<br />

2<br />

2<br />

2<br />

⎤<br />

∠(<br />

β − α)<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

cos( β − α)<br />

2<br />

⎤<br />

∠(<br />

β − α)<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

sin( β − α)<br />

(11.29.a)<br />

(11.29.b)<br />

Daya nyata pada relasi (11.29.a) akan mencapai nilai maksimum<br />

pada waktu ( β − δ)<br />

= 0 atau δ = β . Daya nyata maksimum ini<br />

merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan<br />

keadaan mantap (steady state); besarnya adalah<br />

264 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


2<br />

V<br />

P r 3fasa maks mantap = [ 1 − A cos( β − α)<br />

] (11.30)<br />

B<br />

Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai<br />

maksimum mantap, daya reaktif adalah<br />

AV<br />

Q r 3fasa maks mantap = − sin( β − α)<br />

(11.31)<br />

B<br />

Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah<br />

S<br />

3fasa maks mantap<br />

=<br />

2 2<br />

P + Q<br />

2<br />

V<br />

=<br />

B<br />

2<br />

2<br />

1+<br />

A − 2A<br />

cos( β − α)<br />

(11.32)<br />

Ini merupakan daya kompleks tiga fasa maksimum yang bisa<br />

dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang<br />

digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar<br />

I c, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa<br />

dibebankan pada saluran transmisi adalah<br />

S = VI 3<br />

(11.33)<br />

3 fasa saluran c<br />

Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi<br />

batas pembebanan saluran transmisi<br />

S < S<br />

3fasa maks mantap<br />

3 fasa saluran<br />

CONTOH-11.7: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi<br />

pada Contoh-11.3. di mana saluran transmisi mencatu beban<br />

sebesar 100 MW dengan factor daya 0.9 lagging pada tegangan 270<br />

kV.<br />

8,4 m<br />

RA<br />

= RB<br />

= RC<br />

= 0.088 Ω / km<br />

4,2 m 4,2 m rA<br />

= rB<br />

= rC<br />

= r = 1,350 cm<br />

rA′<br />

= rB′<br />

= rC′<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

A B C Kapasitas arus: 900 A<br />

265


<strong>Sistem</strong> ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.<br />

Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim<br />

telah dihitung pada Contoh-11.3 sebesar 279 kV. Konstanta A<br />

dan B telah dihitung pada Contoh-11.2 yaitu<br />

o<br />

o<br />

A = 0,9943∠0,07<br />

dan B = 39,87∠77,30<br />

Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini<br />

menurut (11.32) adalah<br />

2<br />

V 2<br />

S 3fasa maks mantap = 1 + A − 2A<br />

cos( β − α)<br />

B<br />

275<br />

= 1 + 0,9943 − 2 × 0,09943(cos(77,30 − 0,07)<br />

39,87<br />

= 417 MVA<br />

Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan<br />

saluran<br />

S 3 fasa saluran = VI c 3 = 275×<br />

0,9 × 3 = 428<br />

S < S<br />

3fasa maks mantap<br />

3 fasa saluran<br />

MVA<br />

Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.<br />

266 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Pustaka<br />

1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit<br />

ITB, Bandung, 2002.<br />

2. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik Jilid-1”, e-<br />

book, Darpublic, Bandung, 2010<br />

3. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik Jilid-2”, e-<br />

book, Darpublic, Bandung, 2010<br />

4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam<br />

Permasalahan Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, ITB,<br />

Bandung, 2008.<br />

5. Vincent Del Toro : “Electric Power System”, Prentice-Hall<br />

International, Inc., 1992.<br />

6. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &<br />

Son, 1986.<br />

7. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System<br />

Engineering”, John Willey & Son, 1988.<br />

267


Daftar Simbol<br />

φ : fluksi magnet<br />

λ : fluksi lingkup<br />

γ : konstanta propagasi saluran transmisi<br />

ε : permitivitas<br />

µ : permeabilitas<br />

A, B, C, D : konstanta saluran transmisi<br />

Z c : impedansi karakteristik<br />

268 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


INDEKS<br />

a<br />

admitansi 336<br />

Ampère 2, 4<br />

arus pusar 13<br />

asinkron, motor 65, 71<br />

b<br />

batas pembebanan 263<br />

c<br />

Crest Factor 128<br />

d<br />

daya 138, 139, 151, 209<br />

diagram lingkaran 266<br />

f<br />

Faraday 1<br />

Fourier 100<br />

h<br />

harmonisa 123, 128, 163, 176<br />

histerisis 12<br />

n<br />

impedansi 206, 227<br />

impedansi karakteristik 247<br />

inductor 17, 184<br />

induktansi 221<br />

k<br />

kapasitor 179<br />

kompensasi 152<br />

komponen simetris 201, 203<br />

konduktor 177<br />

konstanta ABCD 257<br />

konstanta propagasi 247<br />

m<br />

magnetik 1, 14<br />

model satu fasa 90<br />

n<br />

nilai efektif 137<br />

nonlinier 99, 116, 117, 131,<br />

163<br />

nonsinus 99, 105, 112<br />

o<br />

operator a 202<br />

p<br />

partial discharge 197<br />

permeabilitas 3<br />

per unit 212, 215<br />

polifasa 85, 93<br />

r<br />

rangkaian ekivalen π 250<br />

resistansi 220<br />

resonansi 115<br />

s<br />

sinkron, mesin 45, 54, 56, 61<br />

t<br />

torka 81<br />

THD 128<br />

transformator 25, 26, 32, 35,<br />

39, 40, 189<br />

transmisi 209<br />

269


270 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga


Biodata<br />

Nama: Sudaryatno Sudirham<br />

Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943<br />

Istri: Ning Utari<br />

Anak: Arga Aridarma<br />

Aria Ajidarma.<br />

1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.<br />

1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.<br />

1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia.<br />

1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis.<br />

1981 : INPT - Toulouse − Perancis; 1982 DEA; 1985 Doktor.<br />

Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar<br />

Teknik Elektro”, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, “Material<br />

Elektroteknik”, “Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”,<br />

“Dielektrika”, “Material Biomedika”.<br />

Buku: “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB, Bandung, 2002;<br />

“Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut Energi Jaringan<br />

Distribusi”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Fungsi dan Grafik,<br />

Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Analisis<br />

<strong>Rangkaian</strong> Listrik (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010;<br />

“Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik (2)”, Darpublic, e-Book, Bandung,<br />

2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung,<br />

2010; “Analisis Keadaan Mantap <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga”,<br />

Darpublic, Bandung, 2011;<br />

271


Analisis Keadaan Mantap<br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />

Pembebanan Seimbang<br />

Pebebanan Nonlinier<br />

Pembebanan Tak Seimbang<br />

272 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!