30.01.2015 Views

Laporan Transgender Day_INDO

Laporan Transgender Day_INDO

Laporan Transgender Day_INDO

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

LAPORAN kegiatan<br />

HARI<br />

<strong>Transgender</strong><br />

2014<br />

indonesia<br />

www.idahotindonesia.net


<strong>Laporan</strong> Kegiatan<br />

Hari <strong>Transgender</strong> 2014<br />

Indonesia


<strong>Laporan</strong> Kegiatan Hari <strong>Transgender</strong> 2014 Indonesia<br />

@suara kita 2014<br />

ISBN 978-602-71755-2-5<br />

Editor :<br />

Hartoyo & Teguh<br />

Penulis :<br />

Yatna, Yudi, Melinda Siahaan, Astrida, Rikky<br />

Produksi : Suara Kita 2014<br />

Desain dan lay-out: Cyprianus Jaya Napiun<br />

www.idahotindonesia.netw w.idahotindonesia.net


<strong>Laporan</strong> Kegiatan<br />

Hari <strong>Transgender</strong> 2014<br />

Indonesia<br />

Komunitas Diskusi<br />

Kritis Oase-Tarutung<br />

w w w.idahotindonesia.net<br />

Jakarta 2014


Daftar isi<br />

Sebuah Pengantar 1<br />

Rangkaian kegiatan <strong>Transgender</strong> <strong>Day</strong> 4<br />

Response public 23<br />

Lampiran 31


Sebuah Pengantar<br />

Peringatan Hari <strong>Transgender</strong> Tahun 2014 yang diorganisir oleh Suara Kita melibatkan 11 organisasi<br />

di 8 propinsi di Indonesia. Kegiatan dilaksanakan mulai 19 November sampai dengan 27 November<br />

2014, meliputi diskusi publik, diskusi komunitas, nonton film, pameran foto, launching buku,<br />

kampanye media sosial dan aksi damai turun ke jalan.<br />

Hari <strong>Transgender</strong> diperingati setiap tanggal 20 November, biasanya disebut dengan International<br />

<strong>Transgender</strong> <strong>Day</strong> of Remembrance (TDOR). Sejarah peringatan Hari <strong>Transgender</strong> berawal dari<br />

mengenang kematian Rita Hester. Dia adalah seorang aktivis transgender dari San Francisco,<br />

Amerika Serikat yang dibunuh orang tak dikenal pada 20 November 1998. Kematian Rita<br />

bukanlah kasus pembunuhan pertama terhadap transgender yang dilakukan kelompok nontranseksual.<br />

Maka moment ini dijadikan kampanye dan advokasi bersama untuk hak-hak warga<br />

negara khususnya kelompok transgender.<br />

<strong>Transgender</strong> di Indonesia biasanya ditujukan pada kelompok Waria (laki-laki yang berpenampilan<br />

perempuan). Pada perkembangannya ada kelompok lain yang biasa disebut transgender female<br />

to male, yang sebagian pihak menyebutnya sebagai Priawan (perempuan yang berpenampilan<br />

laki-laki).<br />

Berangkat dari sejarah kebudayaan nusantara, keberagaman identitas dan ekspresi gender<br />

sudah ada di negeri ini sebelum ada yang namanya Indonesia dan agama yang “diakui” di<br />

Indonesia. Masyarakat Bone, Sulawesi Selatan mengakui berbagai gender, bukan hanya lakilaki<br />

dan perempuan. Ada yang dinamakan Calalai maupun Bissu untuk mengakui identitas<br />

gender selain laki-laki dan perempuan. Begitu juga di kebudayaan Jawa, beberapa kesenian<br />

dapat mengekspresikan sosok laki-laki yang berpenampilan layaknya perempuan, begitu juga<br />

sebaliknya, perempuan berpenampilan layaknya laki-laki, contohnya dalam Kesenian Ludruk,<br />

Ketoprak dan Tarian Lengger. Tapi sayangnya generasi muda sekarang sering “lupa” akan akar<br />

budayanya sendiri.<br />

Peringatan Hari <strong>Transgender</strong> tahun ini bukan hanya simbol semata. Kegiatan-kegiatan yang<br />

dilaksanakan merupakan salah satu cara untuk mengingatkan publik khususnya generasi muda,<br />

bahwa Indonesia mempunyai akar budaya yang sangat menghargai perbedaan identitas gender,<br />

selain untuk mengingatkan negara bahwa masih ada warga negara yang mengalami diskriminasi<br />

dan kekerasan hanya karena identitas gendernya.<br />

Semoga melalui dokumentasi ini, setiap orang secara terus menerus menghentikan segala bentuk<br />

stigma, diskriminasi dan kekerasan atas dasar identitas-ekspresi gender maupun alasan apapun di<br />

negeri ini. Karena tindakan memanusiakan manusia berarti secara langsung telah memanusiakan<br />

diri sendiri dan orang lain. Sehingga Indonesia akan menjadi Indonesia yang beradab.<br />

Selamat Hari <strong>Transgender</strong> 2014.<br />

1


<strong>Transgender</strong><br />

19<br />

20<br />

21<br />

20<br />

21<br />

22<br />

November<br />

2014<br />

November<br />

2014<br />

November<br />

2014<br />

November<br />

2014<br />

Diskusi Publik<br />

Topik Diskusi: Mari Mengenal Keberagaman<br />

Gender dan Seksualitas (diskusi bagi pemula)<br />

Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan<br />

Negeri (STAKPN) –Tarutung<br />

Kampanye Antibullying<br />

Human Care Community Gorontalo<br />

Pemutaran Film<br />

“Madam X”<br />

Yayasan Teratai Hati Papua<br />

Talk Show Radio<br />

Topik Talk Show: “Ideologi Tubuh <strong>Transgender</strong>”<br />

106 FM, Radio Komunitas Marsinah<br />

Diskusi dan Pemutaran Film<br />

Judul Film: “Albert Nobs”<br />

Topik Diskusi: “Seksualitas Priawan”<br />

Pembicara: TalitaKum<br />

Jejer Wadon<br />

Pameran Foto, Peluncuran Buku Photosory dan<br />

Diskusi Publik (Acara di Unila)<br />

Topik Diskusi: “Ekspresi untuk Identitas”<br />

Pembicara: Tanti Noor Said<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)<br />

Universitas Negeri, Lampung<br />

Diskusi dan Pemutaran Film<br />

Judul Film: “All About My Mother”<br />

Topik Diskusi: "Diskriminasi dan Kekerasan<br />

Terhadap <strong>Transgender</strong> di Indonesia"<br />

Pembicara: Yuli Rustinawati<br />

Suara Kita<br />

Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan<br />

Negeri (STAKPN) –Tarutung<br />

Melinda Siahaan, 0813-7552-0750<br />

Terminal Kota Gorontalo – Sulawesi Utara<br />

Melky, 0852-4034-3888<br />

Wamena - Papua<br />

Astrida, 0852-385-14633<br />

Cakung, Jakarta Utara<br />

Thin Koesna, 0852-8393-2027<br />

Solo – Jawa Tengah<br />

Eliza, 0818-0584-1001<br />

Universitas Lampung (Universitas di Sumatra)<br />

Fahri, 0853-6943-4262<br />

Kalibata – Jakarta Selatan<br />

Yatna, 0877-7779-7334<br />

2


<strong>Day</strong><br />

2014<br />

23<br />

24<br />

25<br />

26<br />

November<br />

2014<br />

November<br />

2014<br />

November<br />

2014<br />

26 November<br />

2014<br />

27<br />

Diskusi Komunitas<br />

Topik Diskusi: “Keberagaman Identitas Gender<br />

dan SOGIE.”<br />

Maleo, Palu<br />

Pameran Foto<br />

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta<br />

Pemutaran Film<br />

Judul Film: “All About My Mother”<br />

Sanubari Sulawesi Utara (SALUT)<br />

Pameran Foto<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik<br />

(FISIP), Universitas Indonesia<br />

Kabupaten Sigi – Palu, Sulawesi Tengah<br />

Suharlin, 0852-4196-6860<br />

STT Jakarta<br />

Pendeta Stephen, 0818-0600-9779<br />

Menado, Sulawesi Utara<br />

Coco, 0813-5678-4402<br />

FISIP, UI Depok<br />

Tika, 0811-815-930<br />

Komunitas Diskusi<br />

Kritis Oase-Tarutung<br />

3


19 November<br />

Meretas Stigma<br />

Di Sumatra Utara Peringatan Hari <strong>Transgender</strong> diadakan di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN)<br />

Tarutung. Kegiatan diskusi ini diinisiasi oleh kelompok diskusi Oase Tarutung yang bekerja sama dengan temanteman<br />

jurusan Pastoral Konseling yang mengambil mata Kuliah “Psikologi Keluarga” dan “Psikologi Pastoral”, dengan<br />

mengundang Wanda Shahab, seorang transgender (waria) dan pekerja sosial di kota Medan.<br />

Mendengarkan dan didengarkan menjadi sebuah proses mengkikis kecurigaan satu sama lain. Stigma-stigma<br />

telah mendominasi cara pandang melihat ‘yang lain’ lebih rendah dan kadangkala tidak manusiawi. Kecurigaan<br />

dan stigma semestinya memiliki ruang untuk dijumpai atau berjumpa dengan realita sesungguhnya. Shock, aneh,<br />

takut, orang jahat, tidak normal adalah ungkapan kejujuran dari setiap stigma yang meresap dalam bawah sadar<br />

manusia. Demikianlah stigma tersebut selama ini telah dilekatkan kepada teman-teman transgender.<br />

Dalam diskusi Wanda, mencoba memberikan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta diskusi<br />

dengan rasionalitas dan pengalamannya. Semua pertanyaan yang diajukan peserta coba ditanggapi, menurut<br />

Wanda seperti seseorang sedang mengupas kulit bawang, terlalu banyak lapisan yang meminta untuk diberikan<br />

kejelasan. “Mahasiswa yang sangat kritis” itulah yang diungkapkan Wanda terhadap teman-teman diskusi yang<br />

dihadiri sekitar 40 orang tersebut.<br />

“Apa yang menyebabkan Kakak (Wanda- red) menjadi seperti ini, Apakah Kakak merasa bersalah kepada Tuhan<br />

dengan situasi sekarang ini Apakah ada trauma masa kecil Apakah Kakak tidak takut kalau ini dosa Apakah<br />

benar waria itu jahat Apakah Kakak jatuh cinta melihat perempuan seksi Apakah Kakak sudah punya pacar”,<br />

itulah beberapa pertanyaan yang muncul di awal diskusi. Kemudian ada juga yang mengungkapkan: “Bagi saya<br />

waria itu menyalahi kodrat ilahi. Apa pun yang diberikan Tuhan kepada kita patut untuk disyukuri. Rambut di kepala<br />

ini sekalipun tidak boleh untuk diwarnai karena itu pemberian Tuhan.” Situasi semakin bergejolak, rasa ingin tahu<br />

memaksa hasrat untuk dipuaskan. Tunjukan tangan untuk bertanya tak hentinya terputus, ada yang dua, tiga,<br />

bahkan empat kali bertanya yang diajukan oleh lebih dari satu orang; hingga waktu harus memutuskan pertanyaanpertanyaan<br />

dihentikan.<br />

Wanda seperti oase yang menyegarkan. Satu per satu pertanyaan diuraikan sejelas mungkin. Mengupas stigma<br />

ketakutan terhadap waria dengan penampilannya yang hangat. Mengupas stigma waria yang jahat dengan karyakarya<br />

untuk masyarakat melalui kepeduliannya terhadap realita HIV/AIDS di Sumatera Utara. Wanda mengubah<br />

pandangan bahwa semua transgender terjadi karena ada trauma masa kecil, ternyata tidak semua demikian terjadi.<br />

Wanda berasal dari keluarga yang justru menopang kehidupannya dan tidak memiliki trauma yang menyakitkan<br />

di masa kecil. Wanda mengurai konsep bahwa waria itu adalah dosa dengan memperlihatkan kedekatan dirinya<br />

dengan Tuhan dalam ibadah dan penyerahan hidupnya yang tulus kepada Tuhan. Semua kesempatan hidupnya<br />

yang sekarang ini adalah bagian dari ungkapan syukurnya yang tidak henti kepada Sang Khalik yang terus meridhoi<br />

segala pekerjaan tangannya.<br />

4


Wanda pun memperlihatkan keanggunan pemikirannya dan kepedulian sosialnya yang tinggi kepada masyarakat<br />

sebagai seorang aktivis sosial.<br />

Di akhir sesi, para peserta diskusi membuat testimoni dari perjumpaan yang mungkin seperti cambuk bahkan petir<br />

menyadarkan mereka bahwa tidak selamanya benar transgender itu begini dan begitu. Inilah beberapa testimoni<br />

mereka;<br />

“Awalnya saya mengira transgender adalah sosok orang yang aneh dan kurang baik. Tapi dengan pertemuan kali ini<br />

akhirnya saya tahu bahwa setiap orang punya hak menentukan jati diri mereka sendiri. Kita tidak boleh menjauhinya<br />

karena menolak kodrat yang ada padanya, melainkan kita harus menerima mereka sama halnya seperti orang-orang<br />

yang ada di sekeliling kita. Banyak hal juga yang bersifat positif yang dilakukan oleh narasumber dan saya sangat<br />

berterima kasih kepada kak Wanda.”, ujar Irene Friskila mahasiswa semester 1.<br />

“Dulunya saya takut dengan waria, tetapi melihat kak Wanda, saya tidak merasa takut. Waria itu tidak perlu ditakuti,<br />

dia juga sama seperti kita. Untuk diskusi selanjutnya, kalau boleh kita juga membahas tentang HIV/AIDS.” Kata Vera<br />

Oktaviana Munthe, mahasiswa semester 1.<br />

“Pelajaran dari kak Wanda bahwa orang tidak berhak untuk menghakimi atau mengatakan bahwa ia telah berdosa,<br />

tapi Tuhanlah yang berhak untuk menjawabnya. <strong>Transgender</strong> sama seperti kita yang juga memiliki kebutuhan sama<br />

dan berhak untuk dilindungi oleh negara maupun masyarakat.”, ujar Soedami, mahasiswa semester 1.<br />

Setiap perjumpaan pasti menghasilkan perubahan. Perjumpaan itu masih terus menerus digumuli sebab itu<br />

merupakan proses.<br />

5


20 November<br />

Mengkikis Stigma Untuk Kesetaraan<br />

Dalam rangka memperingati Hari <strong>Transgender</strong>, Komunitas Human Care Community (HCC), Gorontalo mengadakan<br />

diskusi komunitas dengan tema ”Mengkikis Stigma Senioritas Waria Gorontalo”.<br />

Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 19 November 2014 pukul 20.00 WITA di Kafe Senyum Dunia, Sulawesi Utara.<br />

Dihadiri oleh sebelas kawan-kawan waria dan enam orang Gay. Kelompok waria yang hadir dari berbagai generasi,<br />

“dewasa, muda, dan belia”.<br />

Menurut Melky koordinator HCC, kegiatan ini dilakukan karena selama ini senioritas di kawan-kawan waria gorontalo<br />

sangat kuat. Kelompok waria muda dan waria dewasa cenderung tidak mau menyatu, padahal jika bersatu tentulah<br />

akan membuat gerakan yang ada semakin solid, ungkap Melky. Sehingga peringatan transgender day kali ini<br />

merupakan sebuah moment yang tepat untuk membuka dialog yang salama ini sulit dipertemukan.<br />

Di akhir pertemuan para peserta yang hadir berkomitmen untuk saling bergandengan tangan untuk berjuang<br />

bersama melawan diskriminasi dan kekerasan yang kerap dialami oleh kawan-kawan waria di kota Gorontalo.<br />

7


20 November<br />

Selamat Dari Tanah Papua<br />

Yayasan Teratai Hati Papua (YTH), dalam rangka memperingati Hari <strong>Transgender</strong> melaksanakan diskusi dan<br />

pemutaran film “Madame X”, sebuah film tentang perjuangan seorang transgender. Acara dihadiri kurang lebih dua<br />

puluh orang.<br />

Sehari sebelum pemutaran film, YTH berdiskusi dahulu dengan seorang <strong>Transgender</strong> bernama Tama. Tama adalah<br />

seorang <strong>Transgender</strong> yang bekerja pada sebuah lembaga bernama Kampung Halaman. Kampung Halaman adalah<br />

sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM) yang beralamat di Yogyakarta. Mereka ke Wamena dalam rangka<br />

melaksanakan kegiatan Sekolah Remaja 2014 di Hepuba Wamena. Selama sebulan Tama yang ditemani oleh<br />

rekannya Oyik memberikan pelatihan membuat film dokumenter dan pemetaan kampung dengan menggunakan<br />

teknologis alat GPS.<br />

“Saya itu female to male, saya jarang sekali membicarakan identitas saya dimuka umum, dan Ini tempat coming out<br />

saya yang paling jauh”, ungkap Tama dengan senyuman saat membuka diri dihadapan kawan-kawan.<br />

“Selama ini kita lihat hanya laki-laki yang jadi perempuan, ini baru kita lihat perempuan yang jadi laki-laki. Dan di<br />

kampung ini ada. Namanya Very. Dia itu laki-laki tapi macam perempuan. Pintar anyam-anyam rambut. Dia tidak<br />

bisa kerja kebun. Tapi pekerjaan yang perempuan punya macam tanam atau gali hiperekah, petik sayurkah, dia<br />

macam pintar sekali” jelas Frans salah seorang masyarakat Papua.<br />

Diakhir diskusi kawan-kawan bernyanyi bersama, dan keesokan harinya, semua mengantar Tama dan Oyik ke<br />

Bandara. Dalam perjalanan, kawan-kawan tetap memanggil Tama dengan “Mas Tama” (sebutan untuk laki-laki<br />

pada suku Jawa). Tidak ada yang berbeda dari sebelum mengetahui identitas Tama sebagai female to male.<br />

8


20 November<br />

Pameran Foto Bersama Mahasiswa Lampung<br />

Suara Kita bekerja sama dengan Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Lampung (FISIP UNILA)<br />

mengadakan pameran foto yang diberi tajuk “Ekspresi untuk Identitas” untuk memperingati Hari <strong>Transgender</strong>, pada<br />

20 - 22 November 2014.<br />

Pameran dibuka secara simbolik oleh staf Suara Kita, Sussan Magi dengan menyerahkan buku photostory kepada<br />

Ikram Baadila (Dosen Sosiologi UNILA), dan panitia pelaksana kegiatan, di gedung B.31 FISIP UNILA.<br />

“Pameran foto yang dilaksanakan dikampus UNILA merupakan sebuah kegiatan yang memperkenalkan keragaman<br />

identitas gender kepada mahasiswi dan mahasiswa agar kelak ketika para mahasiswa berada di ruang publik mereka<br />

tidak “gagap” menghadapi segala keragaman yang ada di sekelilingnya”, ungkap Sussan.<br />

Andri, seorang mahasiswa UNILA sekaligus panitia mengatakan bahwa ini adalah kegiatan pameran foto bertema<br />

transgender yang pertama kali dilakukan oleh departemen FISIP UNILA.<br />

9


21 November<br />

Diskusi Dan Launching Buku “Ekspresi Untuk Identitas” Di Unila-<br />

Lampung<br />

Bertempat di gedung B.31. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila), Suara Kita<br />

bekerja sama dengan Jurusan Sosiologi FISIP-Unila, mengadakan diskusi publik dengan tema Ekspresi Untuk<br />

Identitas. Diskusi kali ini menghadirkan pembicara: Tanti Noor Said (antropolog-Belanda), Ikram Baadila (dosen<br />

FISIP UNILA) dan Marisa (<strong>Transgender</strong> asal Bandar Lampung) dengan moderator Arif Moenandar, S.sos.<br />

Ada 150 mahasiswa dan mahasiswi UNILA hadir dalam diskusi ini. Ikram Baadila (dosen FISIP Unila) membuka<br />

diskusi dengan memberikan paparan tentang keragaman identitas gender yang ada di masyarakat Indonesia.<br />

Kemudian ia menjelaskan bahwa trangender sebagai sebuah identitas gender sudah ada sejak dahulu kala. Ini<br />

bukanlah seperti yang banyak didengungkan sebagian orang yang menyatakan bahwa transgender adalah budaya<br />

barat. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa budaya yang ada di Nusantara, diantaranya; ada Bissu (di Sulawesi),<br />

warok gemblak (di Jawa Timur). Pada masa itu masyarakat nusantara begitu menghargai keberagaman gender<br />

tersebut. Namun masa kini justru terjadi kemunduran pola pikir hingga hampir semua transgender yang ada di<br />

Indonesia kerap mendapatkan diskriminasi dan bahkan berujung pada kekerasan.<br />

Selanjutnya Tanti Noor Said memaparkan makalahnya berjudul Waria; Ancaman Pada Kategori ‘Normal’ Dalam<br />

Struktur Sosial Di Indonesia. Dalam makalah ini, Tanti mengatakan tradisi transgenderisme ditekan secara<br />

10


dramatis karena tidak sesuai dengan versi modernitas yang<br />

dianggap mewakili identitas Indonesia sejati. Namun, ideologi<br />

modern dan kekuasaan pemerintahan, tentu saja tidak<br />

menjangkau setiap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu,<br />

praktek transgenderisme ini masih ada di beberapa masyarakat<br />

pedesaan dan pedalaman. Sementara itu, di Jakarta dan kotakota<br />

besar lain, pekerjaan waria paling umum adalah sebagai<br />

pemilik dan pekerja salon kecantikan, sebagai penyanyi jalanan<br />

(pengamen), penghibur atau pekerja seks. Peluang karir dalam<br />

pekerjaan formal tetap terbatas, bahkan di kota besar sekalipun,<br />

ungkap Tanti.<br />

Di sesi akhir diskusi Marisa memberikan testimoni tentang<br />

pengalaman hidupnya sebagai seorang transgender di<br />

tengah-tengah keluarga dan masyarakat Lampung. Marisa<br />

menceritakan bahwa hingga detik ini, ia masih belum diterima<br />

oleh keluarga karena ia memiliki identitas gender yang berbeda.<br />

Walau demikian ia tetap bertahan untuk tetap tinggal bersama<br />

keluarganya di rumah orang tuanya di Bandar Lampung. Butuh<br />

proses agar orang tua bisa menerima perbedaan tapi ia tetap<br />

berusaha semampunya untuk membuktikan bahwa memiliki<br />

identitas gender yang berbeda juga bisa banyak melakukan<br />

hal-hal yang positif dan membanggakan keluarga dan negara.<br />

11


21 November<br />

Talk Show Radio Komunitas Marsinah<br />

Radio Marsinah bekerja sama dengan Suara Kita mengadakan talkshow dengan tema transgender di program<br />

radio Cermin. Acara yang dipandu oleh Thin Koesna ini mengupas tema “Ideologi Tubuh <strong>Transgender</strong>”. Acara yang<br />

berlangsung pada Hari Jum’at, 21 November 2014 ini mengundang dua narasumber transgender, Pritz (transman,<br />

female to male) dan Khanza Vhina (waria, male to female). Acara ini berlangsung dari pukul 19:00 – 20:00 WIB ini.<br />

Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi dengan komunitas buruh sampai pukul 21:30 WIB.<br />

Talkshow ini secara live mengupas tentang Waria dan transman di mana pewancara bertanya tentang kehidupan<br />

para narasumber secara pribadi. Sedangkan dalam diskusi dengan komunitas buruh, teman buruh merasa senang<br />

dapat mengenal langsung waria dan transman dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga menghilangkan<br />

stigma satu sama lain.<br />

12


21 November<br />

Diskusi Publik Seksualitas Priawan<br />

Komunitas Jejer Wadon dan Talita Kum mengadakan pemutaran film Albert Nobs dalam rangka memperingati Hari<br />

<strong>Transgender</strong>. Kegiatan yang diadakan pada tanggal 21 November 2014 di Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI<br />

, Surakarta ini menghadirkan 2 narasumber, yaitu : Reny Kristanti (Direktur Talita kum) dan Dewi Candraningrum<br />

(Jurnal Perempuan).<br />

Untuk membuka wacana, Reny Kristanti menjelaskan konsep seksualitas berbasis SOGIEB (Sexual Orientation,<br />

Gender Identity, Expression and Body) sebagai konsep yang tidak kaku melihat keberagaman gender. Misalnya<br />

adanya Priawan , wanita yang merasa laki-laki, sebagai sesuatu yang alamiah sifatnya.<br />

Diskusi menjadi semakin menarik ketika Dewi Candraningrum memaparkan bahwa konsep “kenormalan” yang ada<br />

saat ini adalah konsep yang diciptakan oleh modernitas padahal jika kita mencoba melihat bahwa homoseksual<br />

(yang dianggap abnormal) sudah ada sejak dulu kala dalam budaya nusantara.<br />

Foto Jejer Wadon 1<br />

Foto Jejer Wadon 2<br />

13


22 November<br />

Diskusi dan Pemutaran Film All About My Mother<br />

Dalam rangka memperingati hari <strong>Transgender</strong> , Suara Kita mengadakan pemutaran film All About My Mother di<br />

sekretariat Suara Kita, Kalibata pada 22 November 2014. Sebuah Film yang menceritakan, seorang Ibu bernama<br />

Manuela setelah putranya wafat melakukan perjalanan menemui mantan suaminya seorang transgender yang<br />

bekerja sebagai pekerja sex dipinggiran kota Barcelona, Spanyol. Pertemuan dengan mantan suaminya tersebut<br />

membuka mata Manuela tentang kehidupan transgender yang rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan yang<br />

tak pernah ia bayangkan sebelumnya.<br />

Setelah melakukan pemutaran film, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi bertema Diskriminasi dan Kekerasan yang<br />

dialami <strong>Transgender</strong> di Indonesia dengan naraasumber Yuli Rustinawati, ketua Arus Pelangi, organisasi hak-hak LGBT<br />

Indonesia. Dalam acara tersebut dihadiri 25 orang dari komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT),<br />

mahasiswa dan masyarakat umum yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya.<br />

Dalam diskusi tersebut, Yuli mengatakan secara umum diskriminasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yakni; diskriminasi<br />

langsung dan diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat hukum,<br />

14


peraturan, kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu seperti jenis kelamin, orientasi seksual, ras<br />

sehingga menghambat peluang yang sama bagi individu yang mempunyai karekteristik yang disebutkan di dalam<br />

hukum, peraturan atau kebijakan tersebut. Sedangkan diskriminasi tidak langsung yaitu diskriminasi yang terjadi<br />

pada saat peraturan yang bersifat netral namun menjadi diskriminatif pada saat diterapkan.<br />

Kekerasan, stigma dan diskriminasi yang dialami LGBT ada berbagai bentuk, mulai dari perilaku agresif, bullying,<br />

kekerasan fisik, psikis, penyiksaan, ataupun penculikan. Berdasarkan penelitian Arus pelangi di 3 kota tahun 2013,<br />

89,3% LGBT mengalami kekerasan di ruang publik dan domestik. Sedangkan 79,1 % kekerasan dalam bentuk<br />

psikologi, 46,3 % kekerasan dalam bentuk fisik, 45,1 % kekerasan seksual, 26,3% kekerasan ekonomi, 63,3 %<br />

kekerasan budaya.<br />

15


22 November<br />

Pawai Budaya <strong>Transgender</strong> Gorontalo<br />

Dalam rangka memperingati hari<br />

<strong>Transgender</strong>, Ikatan Waria Indonesia<br />

Gorontalo (IWIG) mengikuti kegiatan<br />

pawai budaya yang diadakan oleh<br />

Pemerintah Kabupaten Gorontalo,<br />

Propinsi Sulawesi Gorontalo. Kegiatan<br />

tahunan ini bernama Carnival Danau<br />

Limboto 2014.<br />

Festival ini menyuguhkan budaya dan<br />

adat istiadat orang Gorontalo, mulai<br />

pakaian khas Karawo, makanan, tata cara<br />

sunat, pernikahan, tarian, sampai tata<br />

cara adat dan doa hamil tujuh bulanan.<br />

Event ini mulai pertama kali pada 2012<br />

dan menjadi bagian dalam rangkaian<br />

HUT Kabupaten Gorontalo ke-341.<br />

16


Ratusan warga berdiri di pinggir jalan melihat kawan-kawan IWIG berpawai dengan busana hasil kreasinya. Para<br />

waria itu berjalan bersama peserta lainnya dari berbagai komunitas dengan menggunakan busana penuh warna.<br />

Dalam karnaval ini hadir, Direktur Promosi Wisata Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata<br />

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Bupati Gorontalo dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat<br />

Gorontalo, Ibu Rahmijati ikut dalam pawai tersebut. Beliau selama ini selalu melibatkan waria dalam kegiatankegiatan<br />

budaya yang diselengarakan oleh pemerintah setempat.<br />

17


23 November<br />

Diskusi Komunitas Tentang Keberagaman Identitas<br />

Pada Peringatan Hari <strong>Transgender</strong> 2014, Gema Lentera Tadulako (Maleo), sebuah organisasi gay di kota Palu,<br />

Sulawesi Tengah, mengadakan kegiatan yang diberi tajuk Maleo Visit Community, merupakan kunjungan dan<br />

diskusi ke komunitas waria di Desa Sibalaya Selatan, Kecamatan Tanambulawa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.<br />

Jarak menuju desa ini kurang lebih 45 menit dari kota Palu, dengan menggunakan kendaraan bermotor.<br />

Kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Identity,<br />

Expression and Body) dan sosialisasi HIV/AIDS ini dilaksanakan pada 23 November 2014, pukul 13.00- 15.00 Wita,<br />

di Balai Desa Sibalaya Selatan. Para peserta cukup antusias terutama saat membicarakan HIV/AIDS karena selama ini<br />

kawan-kawan waria belum pernah mendapatkan informasi SOGIEB dan HIV/AIDS secara komprehensif.<br />

Di dalam diskusi muncul pernyataan dari salah satu peserta bahwa mereka sulit mendapatkan akses pemeriksaan<br />

kesehatan yang ramah terhadap waria. Sehingga kebanyakan waria menahan diri untuk melakukan pemeriksaan<br />

kesehatan ke klinik. Selain masalah kesehatan, dalam diskusi juga muncul tentang konsep kecantikan. Selama<br />

ini kawan-kawan waria beranggapan bahwa menjadi waria harus mempesona dan terlihat cantik dengan<br />

menggunakan segala atribut feminim. Bahkan mereka melakukan suntik silikon agar bisa diterima oleh masyarakat.<br />

Namun setelah diberikan pengetahun tentang identitas gender, menjadi waria ternyata tidak selamanya harus<br />

terlihat feminim, menjadi waria bisa saja berjanggut dan berbadan kekar.<br />

Setelah mengikuti diskusi yang cukup panjang, kawan-kawan waria berharap kegiatan diskusi seperti ini bisa<br />

diadakan secara rutin. Maleo akan menindak-lanjuti permintaan kawan-kawan waria untuk diskusi tiga bulan<br />

kedepan. Acara diskusi diakhiri dengan pertandingan bola voli antara Maleo dengan komunitas waria Sibalaya.<br />

18


24 dan 25 November<br />

Pameran Fotostory “Ekspresi Untuk Identitas”<br />

Dalam rangka memperingati Hari <strong>Transgender</strong> , Suara Kita mengadakan pameran foto di Kampus Sekolah Tinggi<br />

Teologi (STT) Jakarta, Jakarta Pusat. STT Jakarta adalah kampus yang akan “melahirkan” pemimpin agama Kristen<br />

protestan (baca: pendeta). Pameran dibuka pukul: 10.00.WIB hinga 16.00 selama dua hari, 24-25 November 2014.<br />

Di saat yang bersamaan, STT Jakarta sedang mengadakan pertemuan International Consultation on Church and<br />

Homophobia. Acara ini berlangsung dari tanggal 23 hingga 26 November 2014. Dalam acara tersebut terdapat<br />

beberapa diskusi dan workshop yang bertemakan Lesbian, Gay, Bisexual, <strong>Transgender</strong>, Intersex, dan Queer (LGBTIQ)<br />

serta remaja dan keberagaman. Acara ini dihadiri oleh perwakilan sejumlah gereja dan sekolah-sekolah teologi baik<br />

dari Indonesia maupun berbagai negara lain diantaranya: India, Jerman dan Filipina.<br />

Di sela-sela acara, para peserta yang ikut dalam pertemuan tersebut menyaksikan pameran foto yang dilaksanakan<br />

oleh Suara Kita. Menurut salah satu peserta transgender dari India, Bharati, pameran foto yang ia saksikan sangat<br />

menarik dan ia berharap kegiatan ini harus terus dilakukan tidak hanya dikampus-kampus tapi juga di tempat publik<br />

lainnya, agar masyarakat tahu tentang eksistensi waria.<br />

19


Dede Oetomo, Aktivis LGBT Indonesia, menyambut baik kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi terhadap kaum<br />

transgender. Sedangkan Pendeta Stephen Suleman mengatakan bahwa acara pameran foto ini dilaksanakan sebagai<br />

upaya mendekatkan kelompok transgender ke publik terutama mahasiswa dan kaum gereja, karena transgender<br />

juga manusia yang mempunyai hak sama sperti manusia lainnya. Sementara Lizi, ketua panitia acara tersebut,<br />

mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan upaya “menyadarkan” gereja akan hak-hak LGBTIQ sebagai manusia.<br />

20


26 November<br />

Pemutaran Film dan Diskusi LGBT Di Manado<br />

Dalam rangka Peringatan Hari <strong>Transgender</strong>, Sanubari Sulawesi Utara (Salut) mengadakan pemutaran film berjudul<br />

Carllota, sebuah film yang bercerita tentang kisah nyata seorang artis transgender Australia (Carlotta Spencer) yang<br />

menceritakan identitas dan penerimaan diri transgender di dunia hiburan dan publik pada tahun 1960an di Australia.<br />

Kegiatan dilaksanakan di Kantor Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdahtul Ulama (LKKNU) Manado. Berbagai<br />

komunitas LGBT di kota Manado, Sulawesi Utara hadir dalam kegiatan ini. Mereka adalah Kelompok Dukungan<br />

Sebaya (KDS) Satu Hati; Gay, Waria , LSL (GWL) Kawanua, Waria Manado, Manado Man. Kegiatan dihadiri oleh<br />

kurang lebih 30 orang dari komunitas LGBT kota Manado.<br />

Menurut Coco Jerico, koordinator SALUT, kegiatan memperingati Hari <strong>Transgender</strong> dilakukan oleh komuitas SALUT<br />

sebagai bentuk keprihatinan SALUT atas seringnya masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap orang<br />

yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) dan waria. Padahal kawan-kawan ODHA dan waria adalah warga negara<br />

yang punya hak yang sama dalam segala aspek kehidupan, ungkap Coco saat dihubungi oleh Suara Kita.<br />

21


26 dan 27 November<br />

Pameran Fotostory di FISIP UI Depok<br />

Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia (HMS UI) bekerja sama dengan Suara kita mengadakan<br />

pameran foto “Ekspresi Untuk Identitas”. Acara bertempat di Selasar FISIP UI Depok, 26-27 November 2014 dengan<br />

menampilkan foto-foto transgender dalam kehidupan sehari-hari yang terkumpul dalam Buku Foto “Ekspresi Untuk<br />

Identitas”.<br />

Umumnya respon pengunjung (mahasiswa) positif terhadap kegiatan ini. Hal ini dapat dilihat dari komentar para<br />

mahasiswa, misalnya komentar dari Anendya Niervana, mahasiswi Kriminologi UI, “Mereka (transgender) sama kok<br />

dengan kita, mari dukung hak yang setara bagi para transgender”, ungkapnya. Sedangkan Tara Swasti mahasiswi<br />

Sosiologi UI mengatakan, jangan langsung menghakimi kaum transgender, selalu ada dua sisi dibalik suatu hal,<br />

katanya dalam account twitter @suarakita. Sementara Irwan M Hidayana, Ketua Departemen Antropologi Fisip UI,<br />

menyambut baik kegiatan pameran foto ini sebagai bentuk apresiasi terhadap kelompok transgender.<br />

22


RESPON PUBLIK<br />

23


EKSPRESI<br />

IDENTITAS<br />

24


Berikut ini adalah beberapa tanggapan publik dibeberapa kampus<br />

tempat penyelenggaraan Pameran Phostory “Ekpresi Untuk Identitas” :<br />

Respon Publik UNILA Lampung<br />

25


Respon Publik Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta<br />

27


Respon Publik<br />

di FISIP Universitas Indonesia, Depok<br />

28


l a m p i r a n<br />

31


www.idahotindonesia.net

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!