Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BERITA UTAMA<br />
palawija. Apalagi saat itu tanah disewakan kepada pihak lain<br />
untuk menanam tebu. Padahal, disaat yang sama warga amat<br />
membutuhkan lahan itu untuk hidup. Agar peristiwa serupa<br />
tak terulang, lanjut Nur Wahid, seharusnya pemerintah,<br />
terutama BPN, dapat bertindak lebih tegas, khususnya<br />
mengatur penggunaan lahan. Hidayat juga berpendapat<br />
penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya dengan permintaan<br />
maaf. “Minta maaf dan menanggung seluruh biaya bagi korban<br />
saja tidak cukup. Masalah ini harus diusut tuntas sesuai dengan<br />
proses hukum, “ katanya.<br />
Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria<br />
Usep Setiawan menuturkan, Undang-Undang nomor 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebenarnya<br />
mengatur dengan jelas perihal tata cara penggunaan lahan. Pasal<br />
10 Ayat 1 UU itu menyatakan, setiap orang dan badan hukum<br />
yang memiliki hak atas tanah pertanian pada azasnya<br />
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara<br />
aktif. Juga disebutkan, mereka yang<br />
mendapatkan hak guna usaha atau hak<br />
guna bangunan wajib menggunakan<br />
lahan itu sesuai rencana semula.<br />
“Dalam konteks ini, tindakan TNI AL<br />
menyewakan lahan pada pihak lain<br />
melanggar Pasal 10 UU PA.<br />
Penggunaan lahan itu untuk pertanian<br />
juga harus dipertanyakan karena<br />
rencana sebelumnya diapaki untuk<br />
pusat pendidikan, “ papar Usep.<br />
Menurut Usep, BPN seharusnya dapat<br />
bertindak tegas sebab disinyalir ada<br />
pelanggaran dalam pemakaian lahan<br />
itu.<br />
Dilakukan dengan sengaja<br />
“Polisi harus dipastikan ikut<br />
dalam penyelidikan dan<br />
penyidikan kasus penembakan<br />
warga Alas Trogo. Hal itu untuk<br />
menjamin proses penyelidikan<br />
dan penyidikan yang adil” ujar<br />
Ketua Pansus DPR tentang<br />
RUU Peradilan Militer Andreas<br />
Pareira.<br />
Dari tragedi diatas terlihat jelas bahwa penembakan oleh<br />
pasukan Marinir/TNI AL terhadap warga sipil yang melakukan<br />
protes damai dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan<br />
kematian dan penderitaan bagi warga yang dianggap musuh<br />
oleh para pelaku. Hal lainnya, komandan Marinir/TNI AL dalam<br />
garis komando sampai ke unit pasukan para pelaku<br />
penembakan, patut menduga mengetahui bahwa peristiwa<br />
tersebut akan terjadi, tetapi tidak mengambil tindakan<br />
pencegahan.<br />
Sayangnya, seperti biasa, Panglima TNI dan Panglima Armada<br />
Timur cenderung menutupi kebenaran dengan berbagai alasan,<br />
antara lain alasan pembelaan diri, jatuhnya korban karena<br />
pantulan peluru, dan pendudukan warga atas tanah untuk<br />
membenarkan tindak pembunuhan tersebut.<br />
Padahal terlihat jelas pihak TNI AL telah melakukan kesalahan<br />
dalam mengamankan asset tanah-yang diklaim sebagai Negarayang<br />
dikelolanya, dengan mengambil tindakan sendiri, bahkan<br />
dengan menggunakan kekerasan dan penembakan. Kesalahan<br />
lainnya, TNI AL telah melakukan komersialisasi asset Negara<br />
kepada perusahaan PT. Kebun Grati Agung (KGA) dan PT<br />
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).<br />
Seharusnya,pengamanan asset diserahkan pada pemerintah<br />
daerah dan Polri, apalagi menyangkut tindakan hukum.<br />
Disisi lain, pasukan Marinir juga telah menggunakan<br />
kekuatan berlebihan (excessive use of force), yang tak sebanding<br />
dengan aksi protes warga secara verbal. Aparat marinir<br />
mengabaikan pertimbangan moral dan tidak<br />
memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari aksi<br />
penembakan, baik yang terarah pada target tertentu maupun<br />
yang diarahkan secara acak. Penggunaan kekuatan secara<br />
berlebihan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran<br />
berat terhadap hak-hak asasi manusia. Jadi jelas terdapat<br />
pelanggaran HAM (arbitrary execution atau extrajudicial execution),<br />
yang merupakan pelanggaran atas Pasal 6 Kovenan Hak-Hak<br />
Sipil Politik, yang sudah diratifikasi Pemerintah lewat UU<br />
No. 12 Tahun 2005.<br />
sendiri.<br />
Polisi ikut penyidikan<br />
Agaknya persoalan tidak hanya berhenti<br />
sampai disini. Keinginan warga untuk<br />
mencari keadilan bisa jadi akan terjanggal<br />
dengan prosedur yang ada, yakni<br />
menyangkut tata prosedur hukum. Dimana<br />
seluruh proses penegakan hukum atas<br />
kasus Alas Tlogo ini, ditangani lewat<br />
mekanisme Peradilan Militer, yang selama<br />
ini dikenal tertutup dan tidak bisa bersifat<br />
mandiri atau independen. Hal ini patut<br />
disayangkan, karena proses reformasi<br />
sistem Peradilan Militer Indonesia masih<br />
sedang berjalan alot di tingkatan<br />
parlemen. Lagi-lagi insiden Alas Tlogo,<br />
menunjukkan penundaan reformasi sektor<br />
militer (peradilan militer) berakibat mahal.<br />
Kekhawatiran ini jelas masuk akal<br />
mengingat sejak awal hingga saat ini<br />
pihak TNI masih bersikukuh<br />
mempertahankan versi peristiwanya<br />
Ketua Pansus DPR tentang RUU Peradilan Militer Andreas<br />
Pareira mengemukakan, polisi harus dipastikan ikut dalam<br />
penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan warga Alas<br />
Trogo. Hal itu untuk menjamin proses penyelidikan dan<br />
penyidikan yang adil. Menurutnya, RUU Peradilan Militer<br />
memang masih dalam proses perumusan. Jadi, prinsip bahwa<br />
tindakan pidana sipil oleh militer harus diadili di peradilan<br />
sipil belum bisa dilaksanakan.<br />
Namun, tambah anggota F-PDIP itu, prinsip proses hukum<br />
yang adil terhadap warga sipil harus tetap dipertahankan.<br />
Caranya dengan melibatkan unsur sipil, yakni kepolisian,<br />
dalam proses hukumnya. “Untuk menjamin adanya proses<br />
peradilan yang fair terhadap kasus penembakan warga sipil<br />
oleh militer ini, polisi harus dilibatkan dalam penyelidikan<br />
dan penyidikan. Itu cara yang paling mungkin dilakukan, “<br />
tandas Andreas. Sedang untuk bentuk keterlibatan polisi,<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 5