05.01.2015 Views

Download - KontraS

Download - KontraS

Download - KontraS

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

REMPAH-REMPAH<br />

Korem Lilawangsa dan sekarang menjabat<br />

Kaposwil NAD BIN.<br />

Terlepas dari apapun sanksi yang diputus<br />

oleh pengadilan, masih aktifnya para pelaku<br />

bahkan memperoleh jabatan strategis ini<br />

menunjukkan bahwa kejahatan serius yang<br />

mereka lakukan hanya dipandang sebagai<br />

pelanggaran ringan oleh TNI. Semestinya<br />

ada ukuran yang jelas untuk promosi atau<br />

kenaikan jabatan strategis TNI, termasuk<br />

tidak terlibat dalam tindak pidana apalagi<br />

pelanggaran HAM berat.<br />

Pemberian jabatan strategis bagi para pelaku<br />

tindak pelanggaran HAM berat ini justru<br />

mencoreng reformasi TNI. Situasi ini menunjukkan ketiadaan<br />

efek jera yang turut menyumbang peran dalam terjadinya<br />

kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya pada kasus Munir<br />

‘Terlepas dari apapun<br />

sanksi yang diputus<br />

oleh pengadilan, masih<br />

aktifnya para pelaku<br />

bahkan memperoleh<br />

jabatan strategis ini<br />

menunjukkan bahwa<br />

kejahatan serius yang<br />

mereka lakukan hanya<br />

dipandang sebagai<br />

pelanggaran ringan oleh<br />

TNI”<br />

yang diduga kuat melibatkan Muchdi PR<br />

diantara pelakunya. Bila tiada<br />

penghukuman yang maksimal bagi para<br />

pelaku kejahatan itu, maka sesungguhnya<br />

masyarakat luas dalam ancaman hidup<br />

bersama diantara para penjahat<br />

kemanusiaan.<br />

Oleh karenanya, <strong>KontraS</strong> bersama korban<br />

dan keluarga korban kembali mendesak<br />

Jaksa Agung segera membentuk tim<br />

penyidik untuk melakukan penyidikan<br />

kasus kasus pelanggaran berat HAM.<br />

Sedangkan kenaikan pangkat dan<br />

pengangkatan anggota Tim Mawar sebagai<br />

perwira dan pejabat strategis di<br />

lingkungan TNI, <strong>KontraS</strong> meminta DPR untuk memanggil<br />

Panglima TNI mengklarifikasi promosi terhadap mereka itu.***<br />

Jaksa Agung Harus Merujuk Pada Pengadilan HAM<br />

Bila ditelaah lebih dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM untuk kasus penculikan aktivis 1997/1998,<br />

maka terdapat beberapa penekanan terpenting pada adanya perbedaan kelompok korban yaitu kelompok<br />

korban yang telah kembali dan kelompok korban yang belum diketahui nasib dan keberadaannya. Terhadap<br />

13 orang korban yang hingga sekarang belum kembali harus dipandang berbeda dengan para korban yang<br />

telah kembali. Status para korban yang belum kembali adalah bahwa “mereka masih hilang hingga sekarang,<br />

belum diketahui dimana nasib dan keberadaannya. “<br />

Dalam kondisi seperti ini, statue of limitation (batas kadaluarsa) tidak berlaku, mengingat nasib dan keberadaan<br />

korban belum diketahui. Sehingga terhadap 13 orang korban tersebut, status kasusnya masih berlangsung<br />

hingga sekarang atau biasa disebut sebagai kejahatan berkelanjutan (continuing crime). Sebuah analisis<br />

instrumen intemasional tentang “Orang Hilang”, Nunca Mas, dalam Human Rights Quarterly, vol. 19, 1997<br />

dalam Amsterdam Law Clinic menyebutkan bahwa: “ Praktek penghilangan orang secara paksa khususnya bagi<br />

beberapa korban yang belum kembali, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya sejak kasus penghilangan paksa tersebut<br />

berhenti, maka kondisi seperti itu, menyebabkan kasus penghilangan paksa tidak mengenal batasan waktu (statue of limitation)<br />

mengingat tidak diketahuinya penahanan, keberadaan dan nasib para korban. Karena hal ini merupakan bagian yang cukup<br />

penting dari kejahatan itu sendiri. “<br />

Begitu pun penjelasan dalam Deklarasi Perlindungan terhadap Penghilangan Orang Secara Paksa - dimana<br />

Indonesia juga terikat secara moral sebagai anggota PBB dan sebagai anggota dewan HAM PBB untuk<br />

melakukan penyelidikan sepanjang nasib korban penghilangan orang secara paksa belum diklarifikasi.<br />

Pendapat Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang akan menyelesaikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II,<br />

Peristiwa Mei 1998 dan Penculikan & Penghilangan aktivis 1997-1998, dalam kerangka pidana biasa,<br />

merupakan pencederaan perjuangan keluarga korban-yang telah berjuang sekian lama mencari keadilan<br />

dan kebenaran.<br />

Selain itu, penyelesaian dengan pidana biasa tidak akan berbeda jauh kualitas penghukumannya dengan<br />

proses pengadilan Tim Mawar melalui mahkamah militer, yang gagal membongkar kebijakan, rantai komando<br />

kejahatan penghilangan orang serta gagal mengungkap ke 13 orang yang masih tidak diketahui nasib dan<br />

keberadaannya. Kegagalan negara menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, seperti penculikan dan<br />

penghilangan orang secara paksa 1997-1998, seakan memberi jalan bagi para pelaku untuk menikmati<br />

impunity bahkan memperoleh promosi. Akhirnya keadilan masih berupa nyanyian sunyi. ***<br />

32<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!