Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
REMPAH-REMPAH<br />
Sembilan Tahun Reformasi<br />
“Jalan Masih Belum Berakhir”<br />
Sembilan tahun sudah reformasi bergulir, sejak rejim orde baru Soeharto ditumbangkan oleh<br />
gerakan pemuda dan mahasiswa, yang didukung oleh masyarakat (21 Mei 1998). Meski<br />
tampuk kepemimpinan dan kekuasan bangsa terus berganti, namun reformasi tetap belum<br />
menghasilkan perubahan yang berarti bagi kehidupan dan keadilan bagi masyarakat.<br />
Kasus-kasus pelanggaran HAM terus diabaikan lewat berbagai mekanisme formal. Namun<br />
perjuangan korban untuk terus mengajak masyarakat ‘mengingat’ tak pernah berhenti.<br />
Sembilan tahun<br />
Dok.Kontras pula negara<br />
belum mampu<br />
menuntaskan<br />
dan membawa<br />
para pelaku<br />
pelanggaran<br />
berat HAM untuk<br />
diadili. Sembilan<br />
tahun tragedi<br />
Trisakti dan<br />
Semanggi I dan II<br />
serta tragedi Mei<br />
Tabur bunga untuk kasus TSS<br />
1998, jadi saksi<br />
bagaimana<br />
negara telah lalai memberikan keadilan dan kebenaran bagi<br />
warganya. Pemerintahan SBY-JK maupun wakil rakyat yang<br />
berkursi di gedung DPR, juga tidak pernah pula bersungguhsungguh<br />
dalam penyelesaian hukum kasus- kasus pelanggaran<br />
HAM.<br />
Kita mungkin tak akan bisa melupakan peristiwa berdarah<br />
tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan empat<br />
mahasiswa kusuma bangsa muda, Elang Mulya Lesmana,<br />
Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hertanto, yang telah<br />
menjadi pemicu lengsernya Soeharto dari Presiden (21/ Mei/<br />
1998). Nyawa merekalah yang kemudian melapangkan jalan<br />
bagi demokrasi yang ada sekarang ini. Mungkin, tanpa<br />
pengorbanan para perintis perubahan, kita tetap dibekap junta<br />
militer, dipasung birokrasi dan digerus oligarki.<br />
Namun fakta perjalanan penuntasan kasus pelanggaran HAM<br />
menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR seakan hendak<br />
melupakan sejarah reformasi. Sikap itu pemerintah SBY<br />
ditunjukkan melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang<br />
menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas Kasus<br />
Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998. Sedangkan Badan<br />
Musyawarah DPR menolak usulan Komisi III DPR agar pimpinan<br />
DPR meminta Presiden SBY segera membentuk pengadilan HAM<br />
adhoc untuk kasus ini (13/03/07).<br />
Fakta ini jelas merisaukan keluarga korban pelanggaran HAM.<br />
Untuk kasus Trisakti yang jelas-jelas turut mengantarkan<br />
jabatan yang dipangku Presiden dan anggota DPR saat ini saja<br />
mereka abai, apalagi kasus-kasus lain, seperti kasus pelanggaran<br />
HAM 1965, Tanjung Priok, Talangsari/Lampung, Tragedi Mei<br />
1998, Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Peristiwa 1965.<br />
Amanat reformasi<br />
Pemerintahan di bawah SBY-JK tak bisa dipungkiri memang<br />
tak menunjukkan “hati” dan keseriuasan atas semua<br />
peristiwa ini. Hati nurani mereka seolah telah hilang di bawah<br />
tampuk kekuasaan yang mereka miliki kini. Sementara<br />
perombakan kabinet terbatas yang baru saja dilakukan<br />
Presiden, juga belum menampakkan kesungguhan<br />
menjalankan amanat reformasi, terutama penegakan hukum<br />
dan HAM. Terbukti kentalnya politik kekuasaan dalam<br />
perombakan tersebut, yang ditandai tarik-menarik antar<br />
parpol untuk menduduki kursi menteri. Sehingga jelas bahwa<br />
sumber masalah adalah pengkhianatan komitmen reformasi<br />
dengan menelantarkan korban atas nama kepentingan<br />
kekuasaan.<br />
Sembilan Hari Peringatan Trisakti dan Mei 1998<br />
Sementara dalam rangka memperingati sembilan tahun<br />
reformasi, serangkaian acara digelar oleh korban, keluarga<br />
korban yang didampingi oleh <strong>KontraS</strong>. Selama hampir<br />
sembilan hari pula acara ini dilakukan. Dimulai pada (6/05)<br />
diskusi korban dengan para pemuda dan masyarakat dalam<br />
rangka menuntut negara<br />
menuntaskan kasus Mei.<br />
Serangkaian aksi juga<br />
digelar (11/05) ke DPR. Aksi<br />
tersebut dilakukan untuk<br />
menuntut para Dewan<br />
Perwakilan Rakyat (DPR)<br />
mempertanggungjawaban<br />
penolakan enam fraksi<br />
membawa kasus TSS ke<br />
paripurna. Aksi ini<br />
meminta DPR untuk segera<br />
m e n g e l u a r k a n<br />
rekomendasi pembentukan<br />
pengadilan HAM adhoc<br />
untuk kasus Mei dan TSS.<br />
Acara dilanjutkan dengan<br />
Dok.Kontras<br />
“Malam refleksi<br />
aksi tabur bunga untuk<br />
penuntasan kasus<br />
korban tragedi Mei 1998<br />
pelanggaran HAM” (12/05),<br />
dimana Usman Hamid,<br />
Romo Sandiyawan, Ibu<br />
Sumarsih menyampaikan bentuk perenungan bersama atas<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 25