Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
OPINI<br />
Meneropong<br />
Alas Tlogo<br />
Usman Hamid<br />
Koordinator Badan Pekerja Kontras<br />
Kita perlu memahami logika sistemik penyebab insiden Alas<br />
Tlogo, Pasuruan, Jatim, kemudian mencari cara<br />
penyelesaian yang tepat. Penyelesaian yang tepat punya makna<br />
strategis bagi korban dan kepentingan umum, khususnya dalam<br />
konteks penataan reforma agraria.<br />
Setidaknya ada tiga<br />
masalah fundamental<br />
yang terefleksikan dari<br />
insiden Alas Tlogo pada 30<br />
Mei lalu. Pertama,<br />
terjadinya sebuah tindak<br />
kekerasan dan disertai<br />
penembakan terhadap<br />
warga sipil di Desa Alas<br />
Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />
Kabupaten Pasuruan,<br />
Jatim. Akibat insiden itu,<br />
empat warga sipil tewas<br />
seketika dan delapan lagi<br />
mengalami luka-luka.<br />
Selain itu peristiwa ini<br />
juga menimbulkan<br />
penderitaan mental dan<br />
psikologis pada korban<br />
luka dan keluarga korban,<br />
serta warga desa pada<br />
umumnya.<br />
Kedua, insiden Alas Tlogo<br />
berakar dari sengketa<br />
tanah antara warga dan<br />
TNI-AL sejak 1960. Sengketa ini berlangsung lewat proses<br />
peradilan maupun lewat proses politik. Ketika itu KKO meminta<br />
warga Alas Tlogo menyerahkan lahan kepada KKO, dengan<br />
alasan akan dijadikan landasan pesawat terbang.<br />
Pada masa Orde Baru, setidaknya hingga 1984, lahan tersebut<br />
dikelola Puskopal, ditanami pohon jarak dan palawija. Tahun<br />
1984, keluar SK KSAL Nomor Skep/675/1984 tanggal 28 Maret<br />
1984 yang menunjuk Puskopal, dalam hal ini Yayasan Sosial<br />
Bhumyamca (Yasbhum), sebagai pengelola.<br />
di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat<br />
2.810 kasus konflik agraria.<br />
Ketiga, ada kesan kuat TNI-AL selalu menyatakan warga<br />
sebagai pihak yang melanggar hukum dalam sengketa kedua<br />
belah pihak. Meski proses hukum sementara memihak kepada<br />
TNI-AL, banyak pihak<br />
masih mempersoalkan<br />
manajemen pertanahan<br />
TNI-AL.<br />
TNI-AL kemudian<br />
melakukan komersialisasi<br />
aset dengan memberikan<br />
sertifikat hak pakai (hingga<br />
tahun 2018) seluas 2.600 ha<br />
(73% lahan) kepada PT<br />
Kebon Grati Agung yang<br />
merupakan anak<br />
perusahaan PT Rajawali<br />
Nusantara. Komersialisasi<br />
ini salah dilihat dari aspek<br />
legal formal. UU Nomor 5<br />
Tahun 1960 (Pasal 10)<br />
tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-Pokok Agraria dan<br />
Pasal 76 UU Nomor 34/<br />
2004 tentang Tentara<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) Nasional Indonesia, yang<br />
Korban wafat peristiwa Pasuruan 30 Mei 2007<br />
mengharuskan negara<br />
menghentikan bisnis<br />
militer. Presiden perlu<br />
segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk<br />
mengakhiri bisnis-bisnis militer di mana pun.<br />
Jadi, pemerintah ditantang memberi jawaban atas masalah<br />
fundamental itu. Menyerahkan masalah tanah ke pengadilan<br />
bukan langkah tepat. Karena itu, jika pengadilan<br />
memenangkan warga, TNI-AL tetap perlu diberi tanah sebagai<br />
area latihan tempur. Begitu pula jika warga kalah di<br />
pengadilan, negara tetap wajib menyediakan tanah untuk<br />
rakyat, khususnya petani miskin di Alas Tlogo.<br />
Namun Desa Alas Tlogo hanya satu dari sekitar 11 desa yang<br />
memiliki sengketa dengan TNI-AL. Lebih jauh lagi, wilayah<br />
Pasuruan hanya satu di antara banyak persoalan sengketa tanah<br />
Soal kekerasan militer, sebaiknya tak lagi menggunakan<br />
pengadilan militer. Kita ingin lebih objektif agar kita dapat<br />
memenuhi amanat reformasi.***<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 11