05.01.2015 Views

Download - KontraS

Download - KontraS

Download - KontraS

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>KontraS</strong><br />

<strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang<br />

dan Korban Tindak Kekerasan)<br />

dibentuk untuk menangani persoalan<br />

penculikan beberapa aktivis yang<br />

diduga berhubungan dengan<br />

kegiatan politik yang mereka lakukan.<br />

Dalam perjalanannya <strong>KontraS</strong> tidak<br />

hanya menangani masalah<br />

penculikan dan penghilangan orang<br />

secara paksa tapi juga diminta oleh<br />

masyarakat korban untuk menangani<br />

berbagai bentuk kekerasan yang<br />

terjadi baik secara vertikal di Aceh dan<br />

Papua maupun secara horizontal<br />

seperti di Maluku, Sambas, Sampit<br />

dan Poso. Selanjutnya, ia<br />

berkembang menjadi organisasi yang<br />

independen dan banyak berpartisipasi<br />

dalam membongkar praktek<br />

kekerasan dan pelanggaran hak asasi<br />

manusia sebagai akibat dari<br />

penyalahgunaan kekuasaan.<br />

<strong>KontraS</strong> diprakarsai oleh beberapa<br />

organisasi non pemerintah dan satu<br />

organisasi mahasiswa, yakni: AJI,<br />

CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM,<br />

LPHAM, YLBHI dan PMII<br />

Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,<br />

Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, ,<br />

Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi,<br />

Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar,<br />

Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri,<br />

Daud.<br />

Federasi Kontras: Oslan P dan<br />

Bustami.<br />

Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara),<br />

Pieter Ell (Papua).<br />

Edmond LS (Kontras Sulawesi)<br />

Badan Pekerja Kontras dibantu oleh<br />

relawan-relawan yang tersebar<br />

di seluruh Indonesia<br />

Redaksi Berita <strong>KontraS</strong> menerima<br />

kritik, saran dan tulisan untuk Berita<br />

<strong>KontraS</strong><br />

2<br />

Salam dari Borobudur<br />

Salam redaksi<br />

Kekerasan kembali terjadi, korbannya warga kebanyakan dan pelakunya aparat TNI.<br />

Berita seperti ini seakan tak asing kita dengar. Namun, bila kekerasan itu berakhir<br />

dengan tercabut empat nyawa warga yang tak bersenjata, yang hanya terbiasa<br />

mengayuh pacul dilahan subur, atau ibu dan anak yang tengah berdekapan. Tentu<br />

peristiwa itu akan menjadi sorotan masyarakat, sebagai tragedi kemanusiaan. Tragedi<br />

Alastlogo, Pasuruan (30/05), kembali menghenyakan kita bahwa aparat kekerasan negara<br />

masih dengan enteng melepas peluru panas pada rakyatnya sendiri yang seharusnya<br />

dilindungi.<br />

Konflik antara warga Alastlogo dan pihak aparat TNI AU di Pasuruan ini bukan kali<br />

pertama yang memakan korban. Persoalan tanah sengketa menjadi cerita lama yang<br />

terulang. Cerita bagaimana aparat merasa berhak atas sejumlah hektar tanah yang<br />

sudah lama menjadi tempat rakyat menyadarkan keberlangsungan hidupnya. Ini bukan<br />

kali pertama, karena di sejumlah wilayah, konflik memperebutkan tanah juga terjadi.<br />

Buntutnya, jiwa-jiwa rakyat kecil harus melayang ketika senapan dan kekerasan menjadi<br />

pilihan yang dilakukan oleh aparat. Tragedi Alastlogo menjadi bahasan utama dalam<br />

buletin edisi kali ini.<br />

Sementara itu di sejumlah daerah, kekerasan seakan sebuah cerita yang tak henti<br />

terulang. Di Medan, Tegal, Makassar, aparat melakukan bertindak bak jagoan dalam<br />

film-film seri Hollywood ketika berhadapan dengan rakyat kecil. Disisi lain, untuk para<br />

pembela HAM, jiwa tetap menjadi taruhan yang begitu mahal. Ironisnya setelah<br />

kedatangan Hina Jilani, kawan-kawan kita di Papua menerima teror dan intimidasi<br />

untuk apa yang mereka perjuangan. Kekerasan berekpresi juga masih terjadi di sejumlah<br />

daerah. Inilah sebagian berita yang ada di rubrik kabar daerah.<br />

Sembilan tahun reformasi, peringatan hari tanpa penyiksaan, perkembangan terbaru<br />

dari pemilihan anggota Komnas HAM jadi beberapa bagian dari rubrik rempah-rempah.<br />

Dan sejumlah berita lain juga kami tampilkan. Termasuk perkembangan terbaru dari<br />

kasus jejak sang pejuang, Munir, yang memunculkan sejumlah saksi-saksi baru dalam<br />

penyelidikan kepolisian. Kita berharap agar semua ini jadi pertanda baik untuk<br />

menuntaskan kasus ini. ***<br />

Berita <strong>KontraS</strong><br />

Diterbitkan oleh: <strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).<br />

Penanggung Jawab: Usman Hamid<br />

Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi<br />

Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati.<br />

Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri<br />

Suparyati, Mouvty Makarim.<br />

Design layout: BHOR_14<br />

Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia.<br />

Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821<br />

Email: kontras_98@kontras.org. website: www.kontras.org<br />

<strong>KontraS</strong> berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan<br />

menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat<br />

dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan<br />

berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan<br />

dapat dikirimkan ke rekening atas nama <strong>KontraS</strong> di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196.<br />

Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi.<br />

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau kontras_98@kontras.org<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


BERITA UTAMA<br />

Tumpah Darah Untuk Tanah<br />

Hari itu 30 Mei 2007, di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />

Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur terjadi penembakan oleh<br />

aparat TNI Angkatan Laut yang mengakibatkan empat orang<br />

warga sipil tewas seketika, dan sekitar delapan orang warga<br />

sipil mengalami luka-luka. Selain itu terjadi pula kerusakan fisik<br />

pada beberapa bagian bangunan rumah, dan fasilitas umum<br />

desa.Tindakan itu dilakukan oleh 13 anggota TNI AL yang tengah<br />

menjaga lahan yang bersengketa dengan warga. Tindakan<br />

represif ini menimbulkan penderitaan mental dan psikologis<br />

pada korban dan keluarga korban, serta<br />

warga desa pada umumnya.<br />

Keempat warga tewas tersebut adalah<br />

seorang ibu Mistin (27), yang anaknya<br />

(Choirul, 4 tahun) juga menjadi korban<br />

penembakan, Sutam (45), Dewi Khotijah<br />

(20) yang sedang hamil, Rohman (41).<br />

Bocah Choirul bin Sutrisno meninggal<br />

di rumah sakit setelah dadanya<br />

tertembus peluru laras panjang SSI.<br />

Saat terjadi penembakan, ia digendong<br />

ibunya Mistin, yang berada di rumah.<br />

Sang ibu, yang juga tertembak di bagian<br />

kiri dadanya, langsung meninggal. Tiga<br />

korban lainnya juga tewas secara<br />

mengenaskan di kampung halamannya<br />

sendiri.<br />

Tragedi Berdarah 30 Mei Alas Tlogo, Pasuruan<br />

Kelima korban itu jadi tumbal sengketa tanah ratusan hektare<br />

antara warga Alas Togo dan TNI Angkatan Laut (AL). Tanah<br />

yang dikuasai 256 keluarga itu dipersengketakan sejak 1970-an.<br />

Ujungnya, Pengadilan Negeri Bangil memenangkan AL pada<br />

Maret lalu. Kendati kalah, warga meminta agar tanah itu tidak<br />

diutik-utik karena mereka sedang meminta banding.<br />

Keinginan warga rupanya tidak dipenuhi. Pusat Latihan<br />

Tempur TNI AL di Grati, Pasuruan, yang memenangi sengketa<br />

itu, mengizinkan PT Rajawali Nusantara menggarap tanah<br />

sengketa. Bentrokan pun terjadi ketika warga mendatangi lahan<br />

yang digarap oleh perusahaan itu hingga terjadi penembakan<br />

oleh pasukan AL yang sedang menjaga itu.<br />

Kejadian itu sendiri terjadi sekitar pukul 09.30 Wib. Sebuah<br />

traktor berada dilokasi, yang dikawal 13 anggota TNI AL yang<br />

menggarap lahan, yang sudah ditanami ketela pohon oleh<br />

warga (yang akan diganti dengan tanaman tebu). Anggota TNI<br />

AL tersebut terlihat diperlengkapi senjata laras panjang dan<br />

pistol. Warga yang berjumlah sekitar 50 orang kemudian<br />

mendatangi lokasi tersebut dan meminta tanah tersebut tidak<br />

digarap terlebih dahulu sebelum proses hukumnya final.<br />

Pada pukul 12.00, setelah warga semakin banyak mendatangi<br />

lokasi, anggota TNI AL tersebut kemudian mengeluarkan<br />

tembakan peringatan sebanyak dua kali dan setelah itu<br />

diarahkan ke warga dalam jarak sekitar 15 meter dan sepuluh<br />

orang jadi korban (empat di antaranya meninggal).Yang aneh<br />

tembakan tersebut justru menyasar korban yang tidak ikut<br />

dalam kerumunan massa tersebut. Seorang ibu, Mistin dan<br />

anaknya, Choirul tertembak di dalam rumahnya setelah<br />

berusaha lari menghindar dari halaman rumahnya sendiri.<br />

Versi TNI AL<br />

Bekas Tembakan anggota TNI-AL<br />

(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />

Pihak TNI AL hingga kini masih<br />

mempertahankan versi mereka<br />

bahwa penembakan terjadi karena<br />

prajurit TNI AL merasa terancam dan<br />

bermaksud membela diri secara<br />

spontan menghadapi serangan massa<br />

yang menggunakan senjata tajam.<br />

Namun, jelas hal ini menimbulkan<br />

pertanyaan. Mengapa pilihannya<br />

peluru tajam, padahal aparat TNI AL<br />

saat itu juga diperlengkapi oleh peluru<br />

karet dan hampa.<br />

“Warga yang menyerang lebih dulu,<br />

“ kata Komandan Korps Marinir<br />

Mayor Jenderal Safzen Noredin.<br />

Setelah komandan patroli berhasil<br />

membujuk warga agar bubar, Safzen<br />

menjelaskan, tiba-tiba massa datang lagi dengan membawa<br />

senjata tajam. Dari arah massa katanya, muncul aba-aba<br />

menyerang. Mereka sempat berhenti ketika senapan seorang<br />

marinir menyalak. Sejenak kemudian, bentrokan pecah.<br />

Lemparan batu warga dibalas dengan tembakan. Lima<br />

marinir luka-luka.<br />

Safzen mengakui semua anak buahnya dibekali senjata tajam<br />

lengkap peluru tajam. Dari 13 anggota pasukan, 10<br />

diantaranya memgang senjata tajam. Dan, di lokasi kejadian<br />

sendiri ditemukan sedikitnya 33 selongsong peluru yang<br />

berserakan.<br />

Sedangkan Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto hingga<br />

kini masih mempertahankan argumen bahwa tidak ada<br />

tembakan langsung ke arah massa dan korban yang<br />

berjatuhan akibat peluru pantulan. Menurutnya bila<br />

tembakan langsung diarahkan ke kerumunan massa, maka<br />

jatuhnya jumlah korban seharusnya jauh lebih besar.<br />

Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pengacara 13<br />

marinir tersangka penembakan, Ruhut Sitompul yang<br />

menyatakan kliennya sedang berpatroli, kemudian mendapat<br />

hadangan dari warga yang membawa senjata tajam dan juga<br />

mendapat ancaman ingin dibunuh.<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 3


BERITA UTAMA<br />

Setahun terintimidasi<br />

Ternyata penderitaaan yang dialami oleh warga Alas Trogo<br />

sudah berlangsung lama, dimana hampir setahun warga<br />

terus berada dalam teror dan intimidasi. Dari hasil laporan<br />

atas penyidikan yang dilakukan Kontras, LBH Surabaya dan<br />

LSM lainnya, sebelum berpuncak pada tragedi hujan peluru<br />

tajam dari senjata prajurit marinir, sedikitnya ada lima<br />

peristiwa intimidasi sepanjang 2006 yang dialami oleh<br />

warga, yaitu mulai 29 Maret, 9 April, 6 Juli, 20 November<br />

dan 14 Desember.<br />

Sementara pada tahun 2007, tercatat dua kasus teror, yakni<br />

pada 10 Januari dan 5 Maret. Semua itu sangat mengelisahkan<br />

warga. Rangkaian kekerasan sejak setahun lalu berupa<br />

pengambilan paksa alat pertanian, perusakan kebun dan<br />

barang (batu bata) oleh tank-tank marinir, pematokan lahan,<br />

bahkan sampai pemukulan. Aksi itu sempat mengundang<br />

protes warga dengan memblokir jalan propinsi.<br />

Kemudian empat hari menjelang peristiwa penembakan<br />

maut, pada akhir bulan April, warga Alas Tlogo, mengalami<br />

intimidasi beruntun dan ancaman penembakan saat Marinir<br />

mengawal pengerjaan lahan oleh PT Rajawali Nusantara.<br />

“Saat itu warga meminta PT. Rajawali Nusantara<br />

menghentikan pengolahan lahan, namun dijawab Marinir<br />

bahwa perintah atasan harus terus dilakukan, “ Ujar Usman<br />

Hamid.<br />

Sedangkan dari kesaksian warga bernama Musniatu dan<br />

Munaji, yang berdiri 1,5 meter dari komandan Marinir saat<br />

peristiwa penembakan, terungkap marinir hanya<br />

mendapatkan ancaman verbal, bukan senjata tajam seperti<br />

yang dituduhkan TNI selama ini. Jumlah warga yang<br />

berkumpul di lokasi pun hanya 50-60, bukan 300. Yang lain<br />

hanya berdiri di halaman rumah.<br />

Arah penembakan ternyata ditujukan pada beberapa warga<br />

yang vokal. Dari awal kejadian, Marinir maju hingga 50-60<br />

meter. Mayoritas luka diderita warga juga di belakang tubuh<br />

sehingga menegaskan bahwa mereka dikejar, dipukul, dan<br />

ditembaki dari belakang, bukan menyerang Marinir. Usman<br />

menyimpulkan, Marinir telah menggunakan kekuatan<br />

berlebihan. “ Ini dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat,<br />

“ ujarnya.<br />

Menuntut pertanggungjawaban<br />

Sementara itu, paska terjadinya peristiwa, warga Alas Tlogo<br />

menumpahkan kekecewaan, kemarahan dan rasa duka,<br />

dengan memblokir jalan propinsi Pantura jurusan Surabaya<br />

– Banyuwangi. Warga menutup jalan menuntut<br />

pertanggungjawaban TNI-AL atas peristiwa penembakan<br />

tersebut dan meminta pemerintah Kabupaten Pasuruan<br />

mengatasi persoalan ini. Penutupan jalan dilakukan mulai<br />

sekitar pukul 11.00-18.00 WIB.<br />

Pada pukul 17.30 WIB, perwakilan warga datang dari<br />

Pemerintah Kabupaten Pasuruan dengan M. Kholil disertai<br />

pihak aparat kepolisian, membacakan pernyataan resmi Bupati<br />

Pasuruan yang pada intinya menyatakan, meminta agar PT.<br />

Rajawali tidak melakukan penggarapan sebelum sengketa selesai<br />

dan meminta agar letnan Budi Santoso untuk bertanggung<br />

jawab atas kekerasan tersebut. Saat itu Bupati berjanji akan<br />

memfasilitasi warga berdialog dengan Pangarmatim, BPN,<br />

Dephankam, dengan pejabat Pemkab Pasuruan besok hari (31/<br />

05).<br />

Sementara jalur hukum juga bakal ditempuh Partai Kebangkitan<br />

Bangsa (PKB). Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid,<br />

menunjuk Mahfud MD sebagai kuasa hukum untuk menuntut<br />

para pelaku. “Ini negara hukum, bukan rimba belantara.<br />

Selesaikan semua masalah secara hukum. Jangan main tembak<br />

sendiri. Ini bukan zamannya, “ ujarnya.<br />

Potensial sosiologis<br />

Insiden 30 Mei di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, jelas<br />

menggambarkan sebuah kerumitan berbagai simpul masalah<br />

potensial sosiologis di Indonesia, yang dalam konteks tempat<br />

dan waktu lain mungkin menghasilkan kisah serupa. Insiden<br />

Alas Tlogo merupakan hasil dari problem sengketa/konflik<br />

agraria yang akut di Indonesia, yang sebagian lahir dari<br />

dinamika politik militer pasca kolonial, warisan sistem peradilan<br />

yang sangat tidak mandiri dan independen di masa lalu, residu/<br />

warisan watak militer yang belum profesional, dan tidak adanya<br />

preseden yang meyakinkan bagaimana supremasi hukum bisa<br />

menjamah (menghukum) aparat militer secara memadai, yang<br />

secara konseptual dinyatakan sebagai impunitas.<br />

Kasus konflik agraria di Indonesia diperkirakan hingga tahun<br />

2007 ini masih tercatat oleh KPA (Konsorsium Pembaruan<br />

Agraria) 1.753 buah dengan melibatkan 10 juta penduduk,<br />

sementara BPN (Badan Pertanahan Nasional) mencatat ada 2.810<br />

kasus. Insiden Alas Tlogo sendiri juga berakar dari sengketa<br />

tanah sejak tahun 1960. Sengketa ini terus juga berlangsung,<br />

baik itu lewat proses peradilan maupun lewat proses politik.<br />

Publik sendiri baru menyaksikan kasus sengketa tanah lain yang<br />

tidak kalah rumitnya, yaitu kasus sengketa tanah antara warga<br />

Meruya Selatan, Jakarta Barat dengan PT Portanigra. Bahkan<br />

kasus sengketa tanah ini sudah diputus oleh putusan hukum<br />

tertinggi di tingkat Mahkamah Agung. Sayangnya kali ini di Alas<br />

Tlogo, sengketa tanah tersebut memakan korban jiwa.<br />

Kecaman juga dilontarkan oleh Ketua MPR, Hidayat Nurwahid.<br />

Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat lebih tegas<br />

mengatur penggunaan lahan. Konflik terkait tanah selama ini<br />

terjadi, seperti di Desa Alas Trogo, yang mengakibatkan empat<br />

warga tewas, antara lain dipicu pemakain lahan yang tidak<br />

sesuai rencana. “Jika TNI AL segera memakai tanah di Desa Alas<br />

Trogo sesuai peruntukan awal, yaitu untuk pusat pendidikan,<br />

insiden ini mungkin tidak akan terjadi, “ kata Nur Wahid.<br />

Kesimpulan itu diambil sebab, menurut Hidayat, awalnya warga<br />

Desa Alas Trogo bersedia menjual tanahnya karena akan dipakai<br />

untuk Pusat Pendidikan TNI AL. Namun, mereka heran dan<br />

kecewa saat ternyata dipakai untuk menanam jarak dan<br />

4<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


BERITA UTAMA<br />

palawija. Apalagi saat itu tanah disewakan kepada pihak lain<br />

untuk menanam tebu. Padahal, disaat yang sama warga amat<br />

membutuhkan lahan itu untuk hidup. Agar peristiwa serupa<br />

tak terulang, lanjut Nur Wahid, seharusnya pemerintah,<br />

terutama BPN, dapat bertindak lebih tegas, khususnya<br />

mengatur penggunaan lahan. Hidayat juga berpendapat<br />

penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya dengan permintaan<br />

maaf. “Minta maaf dan menanggung seluruh biaya bagi korban<br />

saja tidak cukup. Masalah ini harus diusut tuntas sesuai dengan<br />

proses hukum, “ katanya.<br />

Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria<br />

Usep Setiawan menuturkan, Undang-Undang nomor 5 Tahun<br />

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebenarnya<br />

mengatur dengan jelas perihal tata cara penggunaan lahan. Pasal<br />

10 Ayat 1 UU itu menyatakan, setiap orang dan badan hukum<br />

yang memiliki hak atas tanah pertanian pada azasnya<br />

diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara<br />

aktif. Juga disebutkan, mereka yang<br />

mendapatkan hak guna usaha atau hak<br />

guna bangunan wajib menggunakan<br />

lahan itu sesuai rencana semula.<br />

“Dalam konteks ini, tindakan TNI AL<br />

menyewakan lahan pada pihak lain<br />

melanggar Pasal 10 UU PA.<br />

Penggunaan lahan itu untuk pertanian<br />

juga harus dipertanyakan karena<br />

rencana sebelumnya diapaki untuk<br />

pusat pendidikan, “ papar Usep.<br />

Menurut Usep, BPN seharusnya dapat<br />

bertindak tegas sebab disinyalir ada<br />

pelanggaran dalam pemakaian lahan<br />

itu.<br />

Dilakukan dengan sengaja<br />

“Polisi harus dipastikan ikut<br />

dalam penyelidikan dan<br />

penyidikan kasus penembakan<br />

warga Alas Trogo. Hal itu untuk<br />

menjamin proses penyelidikan<br />

dan penyidikan yang adil” ujar<br />

Ketua Pansus DPR tentang<br />

RUU Peradilan Militer Andreas<br />

Pareira.<br />

Dari tragedi diatas terlihat jelas bahwa penembakan oleh<br />

pasukan Marinir/TNI AL terhadap warga sipil yang melakukan<br />

protes damai dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan<br />

kematian dan penderitaan bagi warga yang dianggap musuh<br />

oleh para pelaku. Hal lainnya, komandan Marinir/TNI AL dalam<br />

garis komando sampai ke unit pasukan para pelaku<br />

penembakan, patut menduga mengetahui bahwa peristiwa<br />

tersebut akan terjadi, tetapi tidak mengambil tindakan<br />

pencegahan.<br />

Sayangnya, seperti biasa, Panglima TNI dan Panglima Armada<br />

Timur cenderung menutupi kebenaran dengan berbagai alasan,<br />

antara lain alasan pembelaan diri, jatuhnya korban karena<br />

pantulan peluru, dan pendudukan warga atas tanah untuk<br />

membenarkan tindak pembunuhan tersebut.<br />

Padahal terlihat jelas pihak TNI AL telah melakukan kesalahan<br />

dalam mengamankan asset tanah-yang diklaim sebagai Negarayang<br />

dikelolanya, dengan mengambil tindakan sendiri, bahkan<br />

dengan menggunakan kekerasan dan penembakan. Kesalahan<br />

lainnya, TNI AL telah melakukan komersialisasi asset Negara<br />

kepada perusahaan PT. Kebun Grati Agung (KGA) dan PT<br />

Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).<br />

Seharusnya,pengamanan asset diserahkan pada pemerintah<br />

daerah dan Polri, apalagi menyangkut tindakan hukum.<br />

Disisi lain, pasukan Marinir juga telah menggunakan<br />

kekuatan berlebihan (excessive use of force), yang tak sebanding<br />

dengan aksi protes warga secara verbal. Aparat marinir<br />

mengabaikan pertimbangan moral dan tidak<br />

memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari aksi<br />

penembakan, baik yang terarah pada target tertentu maupun<br />

yang diarahkan secara acak. Penggunaan kekuatan secara<br />

berlebihan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran<br />

berat terhadap hak-hak asasi manusia. Jadi jelas terdapat<br />

pelanggaran HAM (arbitrary execution atau extrajudicial execution),<br />

yang merupakan pelanggaran atas Pasal 6 Kovenan Hak-Hak<br />

Sipil Politik, yang sudah diratifikasi Pemerintah lewat UU<br />

No. 12 Tahun 2005.<br />

sendiri.<br />

Polisi ikut penyidikan<br />

Agaknya persoalan tidak hanya berhenti<br />

sampai disini. Keinginan warga untuk<br />

mencari keadilan bisa jadi akan terjanggal<br />

dengan prosedur yang ada, yakni<br />

menyangkut tata prosedur hukum. Dimana<br />

seluruh proses penegakan hukum atas<br />

kasus Alas Tlogo ini, ditangani lewat<br />

mekanisme Peradilan Militer, yang selama<br />

ini dikenal tertutup dan tidak bisa bersifat<br />

mandiri atau independen. Hal ini patut<br />

disayangkan, karena proses reformasi<br />

sistem Peradilan Militer Indonesia masih<br />

sedang berjalan alot di tingkatan<br />

parlemen. Lagi-lagi insiden Alas Tlogo,<br />

menunjukkan penundaan reformasi sektor<br />

militer (peradilan militer) berakibat mahal.<br />

Kekhawatiran ini jelas masuk akal<br />

mengingat sejak awal hingga saat ini<br />

pihak TNI masih bersikukuh<br />

mempertahankan versi peristiwanya<br />

Ketua Pansus DPR tentang RUU Peradilan Militer Andreas<br />

Pareira mengemukakan, polisi harus dipastikan ikut dalam<br />

penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan warga Alas<br />

Trogo. Hal itu untuk menjamin proses penyelidikan dan<br />

penyidikan yang adil. Menurutnya, RUU Peradilan Militer<br />

memang masih dalam proses perumusan. Jadi, prinsip bahwa<br />

tindakan pidana sipil oleh militer harus diadili di peradilan<br />

sipil belum bisa dilaksanakan.<br />

Namun, tambah anggota F-PDIP itu, prinsip proses hukum<br />

yang adil terhadap warga sipil harus tetap dipertahankan.<br />

Caranya dengan melibatkan unsur sipil, yakni kepolisian,<br />

dalam proses hukumnya. “Untuk menjamin adanya proses<br />

peradilan yang fair terhadap kasus penembakan warga sipil<br />

oleh militer ini, polisi harus dilibatkan dalam penyelidikan<br />

dan penyidikan. Itu cara yang paling mungkin dilakukan, “<br />

tandas Andreas. Sedang untuk bentuk keterlibatan polisi,<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 5


BERITA UTAMA<br />

Andreas mengatakan soal olah TKP, visum, uji balistik, dan<br />

uji forensik, kemampuan polisi lebih baik daripada aparat<br />

hukum lainnya.<br />

Sedangkan menurut Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas<br />

HAM, dirinya mengkhawatirkan penerapan impunitas dalam<br />

peradilan militer. “ Dalam UU TNI tertuang prinsip<br />

pengadilan militer, yakni anggota yang melakukan tindak<br />

pidana umum di luar tugas kemiliteran seperti perang dapat<br />

disidangkan di pengadilan umum. Apabila pimpinan TNI<br />

mau mereformasi, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan sipil<br />

dan disidik polisi sipil yang lebih netral, “ ujarnya.<br />

Sementara itu Komisi I DPR mengeluarkan lima kesimpulan,<br />

sekaligus rekomendasi, terkait insiden penembakan empat<br />

warga hingga tewas oleh prajurit Marinir TNI Angkatan Laut<br />

di Desa Alas Trogo.<br />

Kelima hal itu, antara lain, kesimpulan penembakan sebagai<br />

bentuk pelanggaran hukum<br />

dan harus diproses secara<br />

transparan, penilaian<br />

penembakan melanggar<br />

fungsi dan peran pertahanan<br />

TNI sesuai UU, serta desakan<br />

agar TNI segera memutus<br />

seluruh kontrak kerja sama<br />

dengan pihak swasta.<br />

Kelima kesimpulan tadi<br />

dihasilkan dalam rapat kerja<br />

Komisi I dengan Panglima TNI<br />

Marsekal Djoko Suyanto yang<br />

didampingi ketiga kepala staf<br />

angkatan dan seluruh jajaran<br />

Markas Besar TNI, (13/06).<br />

“Tindakan prajurit Marinir<br />

menembak warga desa Alas<br />

Trogo yang menewaskan<br />

empat orang adalah sesuatu<br />

yang tidak dapat diterima.<br />

Pelaku harus dihukum apa pun alasannya. Prajurit itu<br />

seharusnya tahu kalau mereka tidak sedang menghadapi<br />

separatis bersenjata atau serangan negara lain, “ ujar<br />

Sutradara Ginting dari F-PDIP.<br />

Yuddy Chrisnandi dari F-PG mempertanyakan komitmen<br />

Panglima TNI yang menjanjikan proses hukum kasus itu akan<br />

dilakukan secara transparan. Transparansi jangan hanya<br />

diartikan sebats proses persidangan yang dapat ditonton<br />

melalui liputan media massa.<br />

Sementara dari hasil penelusuran lapangan yang dilakukan,<br />

Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM<br />

pada persitiwa penembakan warga di Alas Trogo ini. “Ini<br />

bisa masuk pada kategori pembunuhan berencana, “ kata Abdul<br />

Hakim Garuda Nusantara. Menurutnya, penembakan yang<br />

dilakukan oleh marinir bukan rangka bela diri. “Karena<br />

masyarakat tidak melakukan penyerangan, “ ujarnya. Para<br />

anggota marinir yang menenbaki warga ini ternyata juga<br />

dilengkapi peluru karet dan hampa.<br />

“Salah seorang prajurit, Budi Santoso, mengaku setiap berpatroli<br />

(ke daerah), mereka (Marinir) membawa tiga jenis peluru. Peluru<br />

hampa, peluru karet, dan peluru tidak tajam. Agak aneh, situasi<br />

panas, kok pimpinannya ngasih ijin bawa peluru, “ kata Garuda.<br />

Ia menyayangkan penggunaan peluru tajam oleh anggota<br />

marinir saat mereka menghadapi warga. Padahal, mereka<br />

dibekali juga dengan peluru karet, bahkan peluru hampa.<br />

“Kalau peluru hampa kan tidak mematikan sehingga jatuhnya<br />

jatuhnya korban sebenarnya bisa dihindari. Masalahnya yang<br />

digunakan peluru tajam sehingga mematikan. Kita masih<br />

menelusuri kenapa yang digunakan<br />

justru peluru tajam tersebut,<br />

bukan yang lainnya, “ jelas Garuda.<br />

(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />

Suasana penguburan korban Pasuruan<br />

Menyerahkan tanah<br />

Dari tragedi berdarah ini, Kontras<br />

berharap Panglima TNI<br />

menyerahkan kasus ini ke<br />

Pengadilan di lingkungan peradilan<br />

umum, termasuk pengadilan HAM,<br />

sebagai terobosan momentum<br />

untuk mendorong reformasi TNI.<br />

Tuntutan serupa juga diungkapkan<br />

oleh mantan Presiden, Gus Dur,<br />

yang meminta ke-13 prajurit<br />

marinir, yang kini ditahan di<br />

Markas Polisi Militer TNI AL di<br />

Surabaya, diadili di Pengadilan<br />

Negeri Pasuruan.<br />

Sementara itu, Presiden dan Kepala<br />

BPN dapat menyerahkan tanah<br />

sengketa tersebut kepada warga 11 desa yang terletak di 3<br />

Kecamatan Lekok (9 desa), Nguling (1 desa), Grati (1 desa),<br />

Kabupaten Pasuruan. Pemerintah harus membuat kajian dan<br />

kebijakan yang pro rakyat terkait dengan sengketa tanah antara<br />

warga dan TNI yang banyak terjadi di berbagai daerah.<br />

Kontras juga mengusulkan agar Presiden dan Kepala BPN<br />

menyediakan Tanah bagi tempat latihan tempur TNI AL di<br />

Pasuruan, ke lokasi di luar Pulau Jawa dan yang jauh dari<br />

wilayah penduduk. Lokasi yang berdekatan dengan pemukiman<br />

warga sipil amat berpotensi bagi terjadinya kekerasan militer<br />

terhadap warga sipil. Dalam kasus Pasuruan, kekerasan aparat<br />

militer terhadap warga sipil bukan pertama kalinya terjadi di<br />

sekitar lokasi tempat latihan militer, melainkan terjadi secara<br />

berulang. ***<br />

6<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


BERITA UTAMA<br />

Uji Balistik harus Ilmiah, Bebas Intervensi Politik<br />

Rencana Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto untuk<br />

melakukan uji balistik atas senjata-senjata anggota marinir<br />

dalam penembakan warga Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />

Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (30/05) jadi sebuah hal yang<br />

baik. Rencana ini adalah perubahan sikap TNI yang positif.<br />

Bahkan merupakan langkah yang tepat bila dibandingkan<br />

dengan sikap awal petinggi TNI yang cenderung berat sebelah.<br />

Namun hendaknya, uji balistik tersebut dilakukan secara<br />

transparan, ilmiah dan bebas dari intervensi politik, demi<br />

terungkapnya kebenaran materiil. Kebenaran materiil ini<br />

setidaknya dapat menguak dua hal, menyangkut<br />

mengidentifikasi senjata dari selongsong atau proyektil yang<br />

ditemukan di tubuh korban dan TKP. Serta, mengetahui arah<br />

tembakan yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka.<br />

Apakah benar karena tembakan pantulan atau ada yang<br />

langsung ditujukan pada target tertentu.<br />

Uji Balistik juga hendaknya dilakukan dengan mencakup uji<br />

balistik luar dan akhir. Uji Balistik juga harus dilanjutkan<br />

dengan pengujian senjata dan penggunaan senjata oleh pelaku<br />

di tempat kejadian perkara (TKP). Pengujian atas senjata api<br />

harus dengan senjata yang digunakan saat peristiwa. Pengujian<br />

tersebut juga harus melibatkan warga, saksi dan korban serta<br />

ahli balistik, ahli forensik dan institusi independen seperti<br />

Komnas HAM.<br />

Tidak dilakukan di lokasi peristiwa<br />

Sementara, uji penembakan yang digelar Korps Marinir di<br />

Bhumi Marinir Cilandak. Patut kiranya disesalkan.<br />

Tindakan tersebut tidak bisa menggantikan kebutuhan<br />

adanya uji balistik yang independen. Sebab tidak dilakukan<br />

di lokasi peristiwa (locus delictie) dengan mengunakan jenis<br />

senjata dan amunisi yang ditembakkan saat kejadian, 30<br />

Mei 2007.<br />

Pengujian tembak oleh Korps Marinir tersebut tidak<br />

memenuhi ketentuan dasar pengujian penggunaan senjata<br />

api. Untuk kasus Pasuruan, kondisi lapangan seharusnya<br />

diatur identik dengan tempat kejadian karena hal ini<br />

menyangkut pengujian apakah ini peluru langsung atau<br />

pantulan.<br />

Uji balistik harus diikuti dengan sebuah proses olah Tempat<br />

kejadian perkara (TKP) serta rekonstruksi yang<br />

menghadirkan saksi peristiwa, serta 13 tersangka pelaku<br />

penembakan. Hal ini untuk menentukan posisi pelaku yang<br />

menembak korban sehingga dicapai temuan obyektif<br />

tentang peluru memantul (ricochet) atau tembakan langsung<br />

yang diarahkan ke korban.<br />

Segenap Redaksi Buletin <strong>KontraS</strong><br />

Mengucapkan:<br />

Selamat Idul Fitri<br />

1 Syawal 1428 H<br />

Mohon Maaf Lahir dan Batin<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 7


TUTUR<br />

Mereka Jadi Saksi Tragedi Alas Tlogo:<br />

“Sudah ini perintah dari atasan dan dari Bupati, yang macam-macam suruh tembak!”<br />

Saksi Jamaatun (48 tahun/Tani).<br />

Pagi hari sebelum terjadi penembakan, Jamaatun sempat<br />

melihat anaknya yang bernama Dewi Khotijah (25 tahun)<br />

sedang memarut singkong, dan sedang mengobrol dengan<br />

beberapa anggota Marinir di teras samping Musholla di depan<br />

rumahnya. Jamaatun sempat mendengar pembicaraan<br />

tersebut. Anggota Marinir menanyakan “Apa yang sedang<br />

dikerjakan Korban menjelaskan, “Mau membuat rengginang.”<br />

Jamaatun kemudian menggendong cucunya yang merupakan<br />

anak dari korban tewas Dewi Chotijah, lalu mengajak<br />

cucunya untuk jalan-jalan ke arah timur jalan. Di depan<br />

langgar/mushalla yang berada di depan rumah H. Soleh, saksi<br />

mendengar suara tembakan dan melihat ada korban jatuh.<br />

Jaamatun menitipkan anaknya. Saksi melihat ada mayat (di<br />

bawah pohon) di sana ada yang meninggal. Jaamatun juga<br />

melihat ada seorang wartawan yang lari, mau ditembak oleh<br />

aparat Marinir. Jaamatun kemudian lari pakai sepeda motor<br />

ke arah timur. Wartawan itu lalu ikut Jaamatun pakai sepeda<br />

motor.<br />

Setelah itu Jamaatun melihat ada pak Wandi intel Kodim.<br />

Jamaatun minta tolong sama pak Wandi. Terus pak Wandi<br />

menghubungi seseorang pake HP. Setelah itu terus datanglah<br />

semua. Jamaatun pulang ke rumah dan melihat di dapur Dewi<br />

Chotijah tergeletak dan telah meninggal.<br />

Saksi Munaji (30 tahun/Tani)<br />

Pada saat insiden terjadi, Munaji sedang duduk di bawah<br />

pohon Mengkudu, bersama Syaiful dan Samad,<br />

menyaksikan garapan sambil ngobrol dengan seorang<br />

tentara, yang Munaji tidak ketahui namanya. Munaji melihat<br />

ada tentara berjumlah sekitar 12 orang di sekitar musholla<br />

dan terlihat berbaris mengamankan pengoperasian buldoser.<br />

Munaji melihat warga berjumlah sekitar 30 orang dijalan<br />

tidak jauh dari musholla. Munaji mendengar ada seorang<br />

warga yang berteriak, “Pak, jangan perang dengan saya, perang<br />

kamu di Timur – Timur.” Munaji tidak tahu siapa yang bicara.<br />

Aparat Marinir terlihat marah, lalu salah seorang di<br />

antaranya berteriak “Nah itu, baju putih itu siapa namanya, wah<br />

suruh sini saja, tak tembak itu.<br />

Tak lama kemudian, Munaji mendengar tembakan, ‘dor dor’<br />

ke atas. Munaji menerangkan, setelah terdengar suara<br />

tembakan, warga berteriak lagi, “Wah jangan musuhi saya, pak,<br />

Timor - Timur itu.” Munaji lalu mendengar suara tembakan<br />

beruntun ‘dor, dor, dor, dor’. Munaji melihat seorang warga<br />

bernama Sutam tertembak di kepala dan langsung jatuh<br />

seketika itu, lalu Marinir bergerak maju, warga lari semua,<br />

dikejar dan tertembak lagi dua orang, Rohman dan Erwanto.<br />

Munaji masih di tempat semula, dalam posisi duduk sambil<br />

ditodong senjata, saksi melihat aparat Marinir maju mengejar<br />

warga dan menembak, termasuk ke arah rumah warga bernama<br />

Jamaatun. Begitu terdengar tembakan, saksi melihat Chotijah<br />

lari ke pintu dapur, terus ada tentara menutup pintu, lalu keluar<br />

sambil menangis.<br />

Munaji pindah tempat ke seberang, Munaji melihat terus, Munaji<br />

pura-pura mau kencing ke belakang rumah Saupir. Munaji<br />

melihat di belakang Nasum minta ampun, tapi tentara tetap<br />

menembak, Munaji balik lagi ke tempat sebelum kencing, tentara<br />

teriak ke Munaji, “Balik, kalau ndak balik, saya tembak kamu”.<br />

Kemudian, ada tentara yang meniup peluit, “Mundur semua”,<br />

tentara mundur dan berjejer lagi, ada yang bilang “kehabisan<br />

peluru pak”.<br />

Munaji dibawa bersama dua orang teman Saksi (Syaiful dan<br />

Samat), dibawa ke arah barat sambil Munaji terus ditodong pakai<br />

senjata. Munaji disuruh bawa karpet, karpet ini punya tentara<br />

yang dibuat untuk duduk – duduk. Dalam perjalanan tentara<br />

ada yang bilang, “Ada banyak korban, saya menyesal korban banyak”.<br />

Terus Munaji melihat ada tentara yang naik sepeda motor lewat,<br />

meninggalkan tentara yang lain. Terus tentara yang lain berteriak<br />

“jancok” kepada orang yang mengendarai motor. Menurut saksi,<br />

umpatan ini ditujukan pada yang meninggalkan lokasi dengan<br />

sepeda motor. Saat itu Munaji masih membawa karpet menuju<br />

arah barat sekitar 250 meter. Munaji memanggul karpet sendiri.<br />

Setelah dekat dengan mobil, tentara buru-buru naik mobil, terus<br />

tentara bilang “Cepat kamu lari, tak tembak kamu nanti”. Munaji lari<br />

ke utara, terus pulang.<br />

Saksi Ari alias Pak Misni (59 tahun/Tani).<br />

Misni berada di lokasi, duduk dibawah pohon beringin, jarak<br />

antara Misni dan Marinir sekitar 15 meter. Misni melihat<br />

sejumlah aparat Marinir yang berada di lokasi peristiwa<br />

berjumlah 13 orang dengan senjata laras panjang.<br />

Sehari sebelum peristiwa (Selasa, 29/05), Misni mengetahui ada<br />

seorang Marinir yang belakangan diketahui oleh Misni adalah<br />

komandan regu mengancam dengan teriakan kepada warga<br />

“Bahwa siapa saja yang mencoba menghalang-halangi pembajak tanah<br />

akan ditembak mati, “ sambil berteriak anggota Marinir tadi<br />

menujukan surat didalam amplop dan menyatakan bahwa dia<br />

“Marinir” telah mendapat perintah tugas dari bupati.<br />

Sekitar pukul 10.00 Wib, Misni melihat dari jarak sekitar 15 meter<br />

Marinir menembak kearah warga dalam posisi datar. Misni<br />

menyaksikan sekitar 35 warga yang umumnya perempuan<br />

berkumpul dibawah pohon beringin, sekitar 25 meter dari<br />

konsentrasi Marinir. Misni mendengar perintah komandan regu<br />

8<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


TUTUR<br />

(Budi Santoso) kepada prajurit Marinir untuk kokang senjata,<br />

tidak lama kemudian Misni menyaksikan rentetan tembakan<br />

diarahkan kearah warga yang berkumpul di bawah pohon<br />

beringin. Saat rentetan tembakan dari arah Marinir, warga yang<br />

tadinya berkumpul dibawah pohon beringin lari<br />

tungganglanggang mencari tempat yang aman, umunya warga<br />

berlari kearah rumah-rumah warga disekitar lokasi<br />

penembakan.<br />

Misni menyaksikan korban dikejar dan ditembak dari jarak<br />

sekitar 35 meter diarah timur, korban terjatuh setelah tertembak<br />

di bagian belakang tembus kebagian dada. Korban seorang ibu,<br />

Mistin yang saat itu mengendong anaknya Choirul Agung<br />

terjatuh dan peluru menembus dada korban Choirul. Korban<br />

Mistin tewas sedangkan anaknya Choirul langsung dilarikan<br />

oleh warga kerumah sakit.<br />

Saksi Samat (49 tahun),<br />

laki-laki (Tani)<br />

Samat berada dilokasi<br />

persisnya di hadapan<br />

didepan Marinir. Posisi Samat<br />

berada di bawah pohon<br />

mengkudu. Samat melihat jam<br />

delapan pagi pembajakan di<br />

sumber Anyer. Saat itu Marinir<br />

sudah ada disitu. Setelah jam<br />

sembilan pindah ke Alas Tlogo.<br />

(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />

Samat mendengar ada<br />

pengumuman di musholla dan<br />

masjid yang ada pengeras<br />

suara, mengajak warga untuk<br />

berkumpul. Samat melihat<br />

aparat Marinir menyebar ke<br />

beberapa titik yang letaknya<br />

tidak jauh dari posisi dirinya.<br />

Samat melihat ada sejumlah<br />

warga berkumpul dan diantaranya mengatakan “Jangan dibajak,<br />

pak, itu lahan sengketa”. Aparat Marinir tak menghiraukan<br />

perkataan warga. Samat melihat ada seorang warga yang<br />

mengantarkan sepucuk surat (dari pengadilan Tinggi Surabaya)<br />

yang isinya mengenai proses hukum di tingkat banding. Namun<br />

surat tersebut tidak dibaca oleh aparat Marinir.<br />

Akibat luka tembak oleh TNI-AL di Pasuruan<br />

Samat mendengar ada aparat Marinir berkata “Mana yang ngantar<br />

surat tadi itu Sudah tembak saja.”. Samat mendengar seorang warga<br />

berkata “Tembak apa, pak Paling itu tidak ada pelurunya. Paling peluru<br />

karet.” Kemudian saksi mendengar ada warga yang mengoceh<br />

lagi tapi tidak begitu jelas apa yang diocehkan itu. Saksi<br />

mendengar dari suara dari Marinir yang mengatakan “Sudah<br />

yang ngoceh ditembak saja”. Samat melihat anggota Marinir yang<br />

lain tetap diam saja. Samat mendengar warga mengoceh ,<br />

kemudian Samat mendengar Marinir tersebut berkata : “Pasang<br />

peluru tajam.” Samat melihat dan mendengar pemasangan peluru<br />

“trek-trek-trek-trek”. Setelah itu Samat mendengar perintah dari<br />

Marinir “Sudah tembak” , dan terdengar rentetan suara “tret-tettet-tet-tet.”<br />

Samat mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada tembakan<br />

peringatan sebelumnya. Samat yang saat itu duduk didekat<br />

kaki Marinir berdiri dan mengangkat kedua belah tangan<br />

sambil berkata “Pak-Pak-Pak jangan emosi, seberapa kekuatan<br />

warga itu pak” Samat mengatakan, setelah berkata seperti itu,<br />

Marinir berkata : “Melawan kamu !”. Kepala Saksi langsung<br />

dipukul dengan menggunakan tangan. Samat mengatakan<br />

mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh lima orang<br />

anggota Marinir, ditendang dengan menggunakan sepatu lars,<br />

dipukul dengan menggunakan popor senjata pada rahang<br />

sebelah kiri.<br />

Saksi Atini (31 tahun/Tani/Ibu Rumah Tangga).<br />

Atini mengatakan sebelum<br />

dan saat ketika kejadian terjadi, penembakan berdiri di<br />

depan di halaman rumah,<br />

berdiri bersama ibu yang lain<br />

sambil memomong anak dan<br />

berbincang diantara mereka.<br />

Atini mendengar ada suara<br />

tembakan dari Marinir, dan<br />

dirinya sangat terkejut dan<br />

takut.<br />

Atini mengatakan ibu-ibu<br />

yang ada di halaman tersebut<br />

langsung membubarkan diri<br />

dan lari ketakutan<br />

mendengarkan suara<br />

tembakan tersebut. Atini<br />

sempat mendengar ucapan<br />

dari anggota Marinir : “Sudah<br />

ini perintah dari atasan dan dari<br />

Bupati, yang macam-macam suruh<br />

tembak”! Atini mengaku hingga<br />

saat ini dirinya mengalami<br />

rasa takut sampai badan<br />

merasa meriang jika<br />

mengingat tentara yang menembaki warga secara langsung<br />

dan membabi buta.<br />

Saksi Saupir (35 tahun/Tani)<br />

Saupir berada di depan halaman rumah pada saat kejadian<br />

yang tidak jauh dari lokasi TKP. Saupir mendengar warga<br />

yang protes. Saupir melihat sejumlah warga lain. Dirinya<br />

juga melihat korban Sutam datang membawa sepeda,<br />

kemudian Sutam berdiri di depan teras rumah warga Saipir.<br />

Pada saat itu Saupir melihat Sutam sedang mengenakan<br />

caping (topi petani), duduk sambil melinting rokok. Tiba-tiba<br />

Saupir mendengar suara tembakan dan Saupir seketika itu<br />

juga langsung lari ke belakang rumah. Dalam upaya melarikan<br />

diri tersebut, Saupir melihat seorang warga bernama Nasum<br />

tertembak di depan Saupir. Tapi Saupir terus berusaha<br />

menghindar dari lokasi kejadian sampai situasi kembali<br />

tenang dan kemudian akhirnya pulang ke rumahnya.<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 9


TUTUR<br />

Saksi Misnatun (36 tahun/Tani)<br />

Sebelum kejadian, korban ada di lokasi menyaksikan<br />

pembajakan tanah. Rumah korban berada persis di depan<br />

tempat tentara ngumpul. Misnatun berada dalam jarak posisi<br />

yang cukup dekat dan mendengarkan pembicaraan Marinir.<br />

Misnatun mendengar suara warga yang datang dari arah<br />

timur mengatakan : “Pak kalau mau bertempur jangan disini, di<br />

Timor-Timur sana !”. Misnatun mendengar ada Marinir yang<br />

berkata “Nah itu perlu dicatat, nanti ditembak mati, baju apa itu!”.<br />

Misnatun mendengar Marinir berkata “Mana Kepala desa kalian,<br />

kalau datang bunuh duluan, nanti seret ke barak”. Saksi tidak<br />

mendengar adanya suara tembakan peringatan. Misnatun<br />

mendengar rentetan suara tembakan. Misnatun melihat<br />

sembilan orang tentara yang<br />

menggunakan senjata laras<br />

panjang semuanya melakukan<br />

penembakan. Misnatun mengenal<br />

salah satu anggota Marinir<br />

tersebut bernama Agus.<br />

Misnatun melihat saksi korban<br />

Samat dipukuli dengan<br />

menggunakan popor senjata<br />

setelah Samat mengatakan “Pak<br />

jangan emosi pak!” Misnatun<br />

berjalan pelan-pelan sambil<br />

mengangkat tangan dan kemudian<br />

lari kearah utara sampai kuburan.<br />

Saksi Muchtar, (Tani).<br />

M<br />

(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />

uchtar mengatakan bahwa<br />

satu hari sebelum kejadian Rekontruksi peristiwa Alastlogo Pasuruan<br />

tersebut, yaitu pada hari Selasa/<br />

29/05, Ia melihat ada traktor yang<br />

membajak di lokasi garapan, dan<br />

saat itu sudah ada tentara disana. Muchtar melihat ada warga<br />

yang mendatangi lokasi tersebut. Muchtar mendengar ada<br />

seorang anggota TNI AL yang bertanya “Ada apa ini kok banyak<br />

orang.” Lalu ada warga yang menjawab, “nggak apa-apa pak,<br />

dia itu masih ada tanaman di lahan (yang digarap perusahaan) ini.”<br />

Muchtar mendengar pimpinan tentara yang bernama Budi<br />

mengatakan : “Siapapun yang menghalangi saya membajak tanah<br />

ini, saya tembak di tempat karena saya mendapat komando pusat dari jakarta<br />

dan dari Bupati Pasuruan. Kalau kalian tidak percaya, ini bukti suratnya.”<br />

Saat itu Budi menunjukkan sebuah amplop surat , tapi tidak<br />

dibuka. Budi melanjutkan lagi, “Kalau kata komandan hitam ya, hitam,<br />

kalau merah ya merah. Kalau memang tidak percaya, lihat itu pelurunya”,<br />

“Tunjukkan pelurunya, ini peluru asli”. Rabu tanggal 30/05, dirinya<br />

bermaksud ke tempat pembajakan. Sebelum sampai ketempat<br />

tersebut lebih kurang 30 meter , ia melihat dan mendengar terjadi<br />

sebuah penembakan disitu. Muchtar lari memutar arah<br />

menjauhi sumber tembakan tersebut.<br />

Saksi Solihin (38/Tani).<br />

Solihin mendengar dari<br />

beberapa orang warga,<br />

termasuk juga Muchtar, bahwa<br />

sebelum peristiwa kekerasan<br />

pada tanggal 30 Mei, pada hari<br />

Selasa/29 Mei, sejumlah warga<br />

telah meminta agar aparat<br />

penggarapan lahan dihentikan.<br />

Solihin menerangkan bahwa<br />

aparat Marinir meminta “Jika<br />

mau dihentikan panggil tokoh-tokoh<br />

dulu, nanti tak tembak.”<br />

Solihin melihat penembakan<br />

dari jarak jauh, karena datang ke<br />

lokasi tempat kejadian perkara<br />

(TKP). Di tengah terjadinya<br />

peristiwa kekerasan dan<br />

penembakan. Solihin merasa<br />

enggan untuk masuk dan berada<br />

di lokasi TKP karena ia merasa<br />

masih menjadi TO (Target<br />

Operasi) bersama Sutam yang<br />

juga menjadi TO. Solihin<br />

menerangkan bahwa dirinya menjadi TO karena selama ini<br />

dinilai cukup keras dalam masalah tanah yang ingin dikuasai<br />

oleh aparat dan perusahaan Rajawali. Dirinya pernah<br />

mengalami intimidasi dari aparat, di mana warungnya pernah<br />

dirobohkan oleh aparat dengan menggunakan tali yang ditarik<br />

dengan tank militer. ***<br />

“Negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama laki-laki dan<br />

perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum<br />

dalam konvenan ini”<br />

(Pasal 3: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)<br />

“Negara pihak dalam konvenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk<br />

asuransi sosial”<br />

(Pasal 9: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)<br />

10<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


OPINI<br />

Meneropong<br />

Alas Tlogo<br />

Usman Hamid<br />

Koordinator Badan Pekerja Kontras<br />

Kita perlu memahami logika sistemik penyebab insiden Alas<br />

Tlogo, Pasuruan, Jatim, kemudian mencari cara<br />

penyelesaian yang tepat. Penyelesaian yang tepat punya makna<br />

strategis bagi korban dan kepentingan umum, khususnya dalam<br />

konteks penataan reforma agraria.<br />

Setidaknya ada tiga<br />

masalah fundamental<br />

yang terefleksikan dari<br />

insiden Alas Tlogo pada 30<br />

Mei lalu. Pertama,<br />

terjadinya sebuah tindak<br />

kekerasan dan disertai<br />

penembakan terhadap<br />

warga sipil di Desa Alas<br />

Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />

Kabupaten Pasuruan,<br />

Jatim. Akibat insiden itu,<br />

empat warga sipil tewas<br />

seketika dan delapan lagi<br />

mengalami luka-luka.<br />

Selain itu peristiwa ini<br />

juga menimbulkan<br />

penderitaan mental dan<br />

psikologis pada korban<br />

luka dan keluarga korban,<br />

serta warga desa pada<br />

umumnya.<br />

Kedua, insiden Alas Tlogo<br />

berakar dari sengketa<br />

tanah antara warga dan<br />

TNI-AL sejak 1960. Sengketa ini berlangsung lewat proses<br />

peradilan maupun lewat proses politik. Ketika itu KKO meminta<br />

warga Alas Tlogo menyerahkan lahan kepada KKO, dengan<br />

alasan akan dijadikan landasan pesawat terbang.<br />

Pada masa Orde Baru, setidaknya hingga 1984, lahan tersebut<br />

dikelola Puskopal, ditanami pohon jarak dan palawija. Tahun<br />

1984, keluar SK KSAL Nomor Skep/675/1984 tanggal 28 Maret<br />

1984 yang menunjuk Puskopal, dalam hal ini Yayasan Sosial<br />

Bhumyamca (Yasbhum), sebagai pengelola.<br />

di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat<br />

2.810 kasus konflik agraria.<br />

Ketiga, ada kesan kuat TNI-AL selalu menyatakan warga<br />

sebagai pihak yang melanggar hukum dalam sengketa kedua<br />

belah pihak. Meski proses hukum sementara memihak kepada<br />

TNI-AL, banyak pihak<br />

masih mempersoalkan<br />

manajemen pertanahan<br />

TNI-AL.<br />

TNI-AL kemudian<br />

melakukan komersialisasi<br />

aset dengan memberikan<br />

sertifikat hak pakai (hingga<br />

tahun 2018) seluas 2.600 ha<br />

(73% lahan) kepada PT<br />

Kebon Grati Agung yang<br />

merupakan anak<br />

perusahaan PT Rajawali<br />

Nusantara. Komersialisasi<br />

ini salah dilihat dari aspek<br />

legal formal. UU Nomor 5<br />

Tahun 1960 (Pasal 10)<br />

tentang Peraturan Dasar<br />

Pokok-Pokok Agraria dan<br />

Pasal 76 UU Nomor 34/<br />

2004 tentang Tentara<br />

(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) Nasional Indonesia, yang<br />

Korban wafat peristiwa Pasuruan 30 Mei 2007<br />

mengharuskan negara<br />

menghentikan bisnis<br />

militer. Presiden perlu<br />

segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk<br />

mengakhiri bisnis-bisnis militer di mana pun.<br />

Jadi, pemerintah ditantang memberi jawaban atas masalah<br />

fundamental itu. Menyerahkan masalah tanah ke pengadilan<br />

bukan langkah tepat. Karena itu, jika pengadilan<br />

memenangkan warga, TNI-AL tetap perlu diberi tanah sebagai<br />

area latihan tempur. Begitu pula jika warga kalah di<br />

pengadilan, negara tetap wajib menyediakan tanah untuk<br />

rakyat, khususnya petani miskin di Alas Tlogo.<br />

Namun Desa Alas Tlogo hanya satu dari sekitar 11 desa yang<br />

memiliki sengketa dengan TNI-AL. Lebih jauh lagi, wilayah<br />

Pasuruan hanya satu di antara banyak persoalan sengketa tanah<br />

Soal kekerasan militer, sebaiknya tak lagi menggunakan<br />

pengadilan militer. Kita ingin lebih objektif agar kita dapat<br />

memenuhi amanat reformasi.***<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 11


JEJAK SANG PENJUANG<br />

JEJAK SANG PEJUANG<br />

Saksi Kunci Ongen, Komitmen Jaksa Agung Baru<br />

dan Kedatangan Hina Jilani<br />

Penyelidikan kepolisian kian berkembang. Meski masih mengumpulkan bukti-bukti untuk<br />

membawa Indra Setiawan ke pengadilan, polisi juga tengah memeriksa Ongen Latuihamalo sebagai<br />

salah satu saksi kunci. Sementara Jaksa Agung yang baru menegaskan komitmennya untuk<br />

memperkuat bukti-bukti baru dalam pengajuan Peninjauan Kembali. Di sisi lain, Hina Jilani,<br />

Utusan Khusus PBB untuk Pembela HAM mengingatkan bahwa kasus Munir merupakan ujian bagi<br />

pemerintah untuk melindungi pembela HAM di Indonesia<br />

Pada awal Mei, tim penyidik kepolisian masih menyelidiki<br />

Indra Setiawan, mantan Direktur Garuda Indonesia yang<br />

mulai ditahan di Mabes Polri sejak April lalu. Dari beberapa<br />

rangkaian penyidikan yang telah dilakukan, tim penyidik<br />

mengalami kesulitan membuka satu dari dari handset telepon<br />

seluler milik Indra Setiawan.<br />

“Sofware-nya tidak kompatibel,” ujar Heru Susanto, salah satu<br />

pengacara Indra Setiawan, setelah mendampingi Indra di<br />

Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (1/05).<br />

Sedangkan satu handset yang dapat dibuka adalah telepon<br />

seluler merek Nokia tipe 9300i. Dari handset ini, penyidik<br />

berhasil membuka data yang dimiliki Indra dari November<br />

2006 hingga sekarang. Namun penyidik tidak menemukan<br />

sesuatu yang mencurigakan. Sementara handset telepon<br />

seluler lainnya tidak bisa dibuka.<br />

Heru juga menjelaskan, selain handset, penyidik menyita 19<br />

disket milik Indra. Dari jumlah itu, penyidik baru bisa<br />

membuka satu disket. “Isinya materi simposium di London,”<br />

ujarnya.<br />

Namun, juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Sisno<br />

Adiwinoto, membantah tudingan pengacara Indra itu.<br />

Menurutnya, penyidikan kasus kematian Munir tidak<br />

terpaku pada satu barang bukti. Polisi terus mengembangkan<br />

penyidikan itu dengan mengumpulkan alat bukti yang akan<br />

dibawa ke pengadilan. “Penyidikan tidak selesai pada dua<br />

tersangka itu (Rohainil Aini dan Indra Setiawan). Penyidik<br />

mempunyai alat bukti lain,” ujarnya. Sisno mempersilakan<br />

pihak pengacara menyampaikan pendapatnya. Penyidik,<br />

kata dia, tidak akan terpengaruh dengan pernyataan mereka.<br />

Pertanyaan tentang BIN<br />

Lebih lanjut pengacara tersangka Indra Setiawan dan<br />

Rochainil Aini mengatakan bahwa tim penyidik membuka<br />

telepon Indra Setiawan setelah dia mengaku tidak pernah<br />

berkomunikasi dengan orang dari BIN. “Seperti pertanyaan<br />

yang lalu, pertanyaan pada keduanya sama saja. Yakni,<br />

apakah mengenal orang-orang dari BIN. Dan dijawab yang<br />

sama pula, kenal dengan orang BIN karena sebagai dirut<br />

BUMN, tentu sering bertemu dalam acara-acara. Namun,<br />

tidak pernah berkomunikasi,” ujar Heru. Menurutnya, dalam<br />

proses itu juga ditanyakan kembali hubungan antara Kepala<br />

BIN Hendropriyono dengan mantan deputi V BIN Mucdhi<br />

PR.”Jawabannya juga sama. Sebatas kenal, tapi tidak<br />

berkomunikasi, “ kata Heru.<br />

Terkait dengan proses hukum yang tengah dilakukan, kriminolog<br />

Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai kalau ada<br />

anggota intelijen tertangkap polisi, berarti ia gagal. Sebab,<br />

intelijen adalah sebuah aktivitas di luar hukum. Ia bekerja hanya<br />

dan untuk kepentingan politik negara.<br />

Namun, kata Andrianus, kegagalan sebuah operasi intelijen tidak<br />

dilakukan dalam kerangka pertanggungjawaban hukum, tapi<br />

pertanggungjawaban politik. Menurutnya, cara berpikir yang<br />

mengaitkan kematian Munir dengan operasi intelijen merupakan<br />

cara berpikir post hoc facto. “Kita bisa menduga tapi sulit<br />

menunjuk siapa,” kata Andrianus.<br />

Relasi antara kekuasaan politik dan operasi intelijen, terwujud<br />

dalam relasi antara presiden dan kepala BIN. Operasi intelijen,<br />

juga bisa memakai pihak lain di luar intelijen untuk melancarkan<br />

tujuan. Karena itu, menurut Andrianus, pengungkapan kasus<br />

Munir oleh polisi akan sangat sulit jika harus menyentuh sebuah<br />

skema operasi intelijen. “Polisi harus mengusut unsur barang<br />

siapanya, bukan ke intelijennya. Kalaupun polisi masuk ke<br />

intelijen, paling yang terungkap sebatas keterlibatan Indra<br />

Setiawan,” ungkap Andrianus.<br />

Polisi menurutnya, juga harus bisa mengonstrusikan sebuah<br />

bangunan pidana dengan mengungkap sejumlah fakta antara<br />

lain rekaman telepon antara Pollycarpus BP dan Mucdhi.<br />

Putusan Garuda jadi pertimbangan<br />

Di sisi lain, putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />

sebagian gugatan perdata Suciwati terhadap PT Garuda<br />

Indonesia (03/05), ternyata juga akan menjadi bahan<br />

pertimbangan dan evaluasi penyidikan kasus Munir.<br />

“Apapun yang terkait dengan kasus Munir akan didalami oleh<br />

penyidik, termasuk evaluasi dan masukan dari hakim, menjadi<br />

bahan pertimbangan,” ujar Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto.<br />

Sisno mengatakan putusan yang menyatakan Garuda telah lalai<br />

menjadi bahan pertimbangan penyelidikan kasus ini. Ia<br />

menegaskan seluruh hal yang terkait dengan kasus terbunuhnya<br />

Munir akan diperiksa penyidik. Adapun, hal-hal yang bisa<br />

12<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


memperkuat hasil penyelidikan, telah dievaluasi kepolisian agar<br />

hasilnya tidak keliru.<br />

Sementara itu, usai memimpin rapat koordinasi Kapolda se-<br />

Jawa-Bali di Jakarta, Kapolri Jenderal Sutanto, sudah<br />

menyatakan melakukan langkah-langkah penyidikan. Sutanto<br />

menegaskan, siapapun yang mengarah pada tersangka kasus<br />

Munir, pasti akan diperlakukan sama. Ditanya bagaimana jika<br />

tersangka baru mengarah pada petinggi di lingkungan BIN,<br />

Sutanto kembali menegaskan, “Siapa pun, si A atau si B pasti<br />

akan kami usut.”<br />

Nota Kesepakatan Polri dan PT Telkom<br />

Untuk mendukung kinerja penyidikan, Polri melakukan<br />

penandatanganan Nota Kesepahaman<br />

dengan PT Telkom (3/5). Wakil Kepala Polri<br />

Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara<br />

mengatakan bahwa kemampuan teknologi<br />

yang dimiliki Telkom sangat dibutuhkan<br />

Polri dalam kinerjanya. “Kita butuh<br />

dukungan telekomunikasi yang baik karena<br />

jaringan Telkom saat ini tergelar sampai ke<br />

pelosok-pelosok, hingga mencapai<br />

tingkatan polsek,” ujar Makbul.<br />

Untuk penyadapan dalam rangka<br />

penyidikan, Telkom siap membantu selama<br />

tidak bertentangan dengan aturan hukum.<br />

“Selama itu memang secara undang-undang<br />

diizinkan, diperbolehkan, ya kita mengikuti<br />

undang-undang,” ujar Direktur PT Telkom<br />

Rinaldi Firmansyah. Saat ditanya soal kemungkinan Telkom<br />

membantu Polri dalam kasus pembunuhan Munir terkait<br />

dugaan hubungan telepon antara Pollycarpus dengan mantan<br />

Kepala Deputi V BIN Mucdhi PR, Rinaldi hanya menjawab, “Saya<br />

perlu cek dulu ya. Kalau semuanya direkam, itu akan berapa<br />

banyak,” ujarnya.<br />

“Setiap Fakta atau<br />

peristiwa merupakan suatu<br />

hal yang tidak dapat<br />

ditiadakan, dengan tanpa<br />

meniadakan kerugian itu<br />

sendiri, sehingga dengan<br />

demikian dapat dikatakan<br />

bahwa tanpa termaksud,<br />

kerugian itu tidak akan<br />

terjadi.”<br />

JEJAK SANG PENJUANG<br />

JEJAK SANG PEJUANG<br />

Menurutnya, kejaksaan harus menyiapkan novum dengan<br />

alat bukti yang benar-benar kuat. Sebab, jika tidak yakin<br />

dengan novum, upaya PK dapat kandas di tengah jalan.<br />

“Kejaksaan kan hanya punya kesempatan PK satu kali. Nah,<br />

kalau gagal habis kita,” tegas Hendarman tanpa memperjelas<br />

persiapan novum. Yang jelas, upaya tersebut diilustrasikan<br />

seperti membangun fondasi bangunan yang tahan<br />

menghadapi terpaan angin ribut.<br />

Hendarman menambahkan, kejaksaan terus memantapkan<br />

persiapan pengajuan PK. Diantaranya, mengadakan<br />

pertemuan untuk memaparkan bahan-bahan pengajuan PK<br />

pada Senin (14/05). “Kami masih mempelajari bahan-bahan<br />

tersebut,” jelasnya. Hal senada diungkapkan oleh JAM Pidum<br />

Abdul Hakim Ritonga, yang menegaskan bahwa kejaksaan<br />

dan Polri tengah menyatukan pendapat,<br />

antara lain untuk menentukan alasan apa<br />

yang akan digunakan dalam pengajuan PK.<br />

Pada akhirnya, empat hari setelah<br />

penyataan diatas, terungkap bahwa<br />

Kejaksaan Agung akan menganut conditio<br />

sine qua non dalam pembuktian secara<br />

tuntas kasus ini. Hal ini ditegaskan oleh<br />

Jaksa Agung Hendarman Supandji (14/05).<br />

“Opsi conditio qua non merupakan opsi yang<br />

paling bagus dari tiga opsi yang ada,” kata<br />

Hendarman. Meski demikian, ia tidak<br />

menyebutkan dua model yang lainnya.<br />

“Satu model yang dipilih itu adalah<br />

gabungan bentuk A dan B. Rencananya, kita<br />

akan menambahkan model yang gabungan<br />

itu dengan keterangan saksi-saksi,” katanya.<br />

Conditio Sine Qua non : Setiap Fakta atau peristiwa merupakan suatu<br />

hal yang tidak dapat ditiadakan, tanpa meniadakan kerugian itu sendiri,<br />

sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa termaksud,<br />

kerugian itu tidak akan terjadi.<br />

Komitmen Jaksa Agung baru<br />

Setelah dilakukan reshuflle kabinet oleh Presiden SBY (7/05),<br />

dalam acara serah terima jabatan Jaksa Agung, Abdul Rahman<br />

Saleh meminta Hendarman Supandji, Jaksa Agung yang baru<br />

agar tidak melupakan kasus Munir, selain kasus BLBI dan kasus<br />

Soeharto. “Jangan lupakan kasus Munir, tokoh penegak HAM<br />

yang diracun di maskapai penerbangan nasional. Skandal itu<br />

paling memalukan penegak hukum nasional. Saya mendesak Pak<br />

Sutanto (Kapolri) mencari novum dan pembunuh harus<br />

bertanggungjawab, “demikian ditegaskan oleh Abdul Rahman<br />

Saleh saat itu.<br />

Hendarman Supandji menyambut positif. Ia meminta Mabes<br />

Polri untuk melengkapi alat bukti petunjuk yang memungkinkan<br />

dapat memperkuat bukti baru (novum). Ini dilaksanakan<br />

sebelum kejaksaan agung mendaftarkan peninjauan kembali<br />

(PK) atas bebasnya Pollycarpus dalam kasus kematian Munir.<br />

“Permintaan itu diajukan JAM Pidum (pidana umum),” katanya.<br />

Hendarman mengakui bahasa conditio sine qua non sangat<br />

teknis, sehingga kalau diungkapkan, anggota masyarakat<br />

belum tentu mengetahuinya. Ia menjelaskan, opsi itu<br />

pembuktian adanya satu peristiwa pembunuhan, dimana<br />

pembunuhan itu ada. “Mulai dari 41 kali telekomunikasi<br />

telepon, kemudian adanya hubungan antara terdakwa<br />

sampai posisi pembunuhan semua kita perinci, kemudian ada<br />

saksi yang menemukan adanya pertemuan di Changi,<br />

Singapura. Itu kita dalami, kemudian ada saksi sebelum<br />

peristiwa itu menjadi sebab terjadinya suatu tindakan<br />

pidana,” tegas Hendarman.<br />

Terkait dugaan adanya konspirasi atas terbunuhnya Munir,<br />

ia mengutarakan, bukan dalam arti komplotan, tapi yang<br />

harus dibuktikan dulu adalah bahwa pembunuhan itu ada,<br />

seseorang yang melakukan, kemudian dalam pengembangan<br />

selanjutnya itu tidak sendirian.” Itu harus dirumuskan<br />

semuanya. Kita berdiskusi terus dengan polisi untuk fokus<br />

pada conditio sine qua non itu,” katanya.<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 13


JEJAK SANG PENJUANG<br />

JEJAK SANG PEJUANG<br />

Jaksa Agung, mengharapkan akhir Mei ini Polri telah<br />

memeriksa para saksi itu. “Saya sudah meminta JAM Pidsum<br />

segera berkoordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri guna<br />

mendapatkan beberapa saksi baru,” kata Hendarman. Sedang<br />

pada (14/05) secara tertutup, Jaksa Agung melakukan ekspos<br />

kasus Munir di lingkungan Kejasung. Ekspos yang dilakukan<br />

Hendarman adalah penjelasan konsep conditio sine qua non.<br />

Ongen saksi kunci<br />

Mabes Polri mengatakan bahwa Ongen Latuihamalo sebagai<br />

saksi kunci dalam kasus terbunuhnya Munir. Karena itu<br />

Orgen mendapatkan perlindungan khusus dari pihak<br />

kepolisian. “Terjadinya pembunuhan adalah di Changi<br />

(bandara di Singapura). Sehingga, ada<br />

beberapa saksi termasuk Ongen, yang<br />

merupakan saksi yang betul-betul nantinya<br />

dapat membuka terjadinya peristiwa<br />

terhadap Munir,” papar Kepala Bidang<br />

Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes<br />

Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Dahuri.<br />

“Berdasarkan hasil<br />

visum et repertum<br />

laboratorium, dapat<br />

disimpulkan bahwa<br />

terjadinya intake arsen<br />

diduga pada saat<br />

korban berada di<br />

Changi,<br />

S i n g a p u r a . ”<br />

ahli<br />

kedokteran forensik.<br />

Penetapan saksi penting ini, termuat dalam Bandara<br />

alat bukti baru (novum) dalam peristiwa<br />

terbunuhnya Munir. Dikatakannya, novum keterangan<br />

itu didapat dari hasil laboratorium di Seattle,<br />

Amerika Serikat, pemeriksaan saksi ahli, dan<br />

para saksi lainnya. Dalam hasil laboratorium<br />

disebutkan, arsen yang masuk ke dalam tubuh korban adalah<br />

jenis AS+3 dan AS+5.<br />

April lalu. Setelah itu, ia yang berprofesi sebagai penyanyi<br />

sempat pentas ke Belanda dan kembali lagi ke Indonesia pada 20<br />

April 2007. Dua penyidik polisi mengajak Ongen untuk menjalani<br />

prarekonstruksi di Bandara Changi, Singapura, tanpa<br />

didampingi penasehat hukumnya.<br />

Namun, saat itu mereka hanya berjalan-jalan dan melihat-lihat<br />

situasi bandara sebab lokasi Coffe Bean, yang disebut-sebut<br />

merupakan persinggahan Munir, telah berpindah lokasi. Ongen<br />

mengaku menyaksikan Munir dengan seseorang di Coffe Bean<br />

itu. Tetapi, ia mengaku tidak pernah berinteraksi dengan Munir<br />

saat itu. Keberadaannya di Changi dalam rangka kepergiannya<br />

ke Belanda.<br />

Terkait dengan hal itu, Kepala Bidang Penerangan<br />

Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Mabes Polri<br />

Kombes Pol Bambang Kuncoro, membenarkan hasil<br />

pemeriksaan beberapa kali terhadp Ongen oleh<br />

Mabes Polri. Pemeriksaan itu menunjukkan adanya<br />

perkembangan yang signifikan bagi Polri dan<br />

Kejaksaan, terutama untuk kepentingan guna<br />

memperkuat novum, “ ujar Bambang. “Keterangan<br />

Ongen menguatkan novum dalam rangka PK<br />

melawan Pollycarpus yang telah dinyatakan bebas<br />

oleh pengadilan karena dalam kasus tersebut hanya<br />

didakwa memalsukan surat keterangannya. Ada<br />

hitam di atas putih. Dia (Ongen), kita ambil<br />

keterangannya guna memperkuat novum, “ ujar<br />

Bambang. Tapi, ia menambahkan, polisi belum menetapkan<br />

tersangka baru selain Indra Setiawan dan Rohainil Aini.<br />

Sedangkan, keterangan ahli toksikologi forensik<br />

menyimpulkan, intake arsen ke dalam tubuh korban, terjadi<br />

antara 8-9 jam sebelum kematian. Padahal, korban Munir<br />

diperkirakan meninggal dunia tiga jam sebelum pesawat<br />

mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam, Belanda.<br />

Sedangkan, waktu tempuh penerbangan Singapura-Belanda<br />

12 jam. “Dari keterangan ahli kedokteran forensik,<br />

berdasarkan hasil visum et repertum laboratorium, dapat<br />

disimpulkan bahwa terjadinya intake arsen diduga pada saat<br />

korban berada di Bandara Changi, Singapura.”<br />

Karena itulah, para saksi yang tampak bersama dengan Munir<br />

pada saat almarhum transit di Singapura, dalam<br />

perjalanannya ke Belanda, memegang kunci dalam menguak<br />

peristiwa tersebut. Saat itu, selain Pollycarpus, Ongen juga<br />

disebutkan terlihat di dekat Munir di Changi.<br />

Sementara itu, dalam konferensi pers yang diadakannya,<br />

Ongen yang didampingi pengacara Ozhak Emanuel Sihotang,<br />

menegaskan, ia tak mengenal Pollycarpus. Ia juga<br />

mengatakan tak pernah berinterkasi fisik atau berkomunikasi<br />

dengan Munir. Ongen merasa hanyalah orang sedang berada<br />

di tempat yang salah menjelang kematian Munir.<br />

“Saya memang seperti berada di tempat yang salah. Tetapi,<br />

itu saya tabah. Saya mencoba lebih dekat dengan Tuhan,”<br />

katanya. Ongen memutuskan muncul terbuka setelah ia<br />

beberapa kali memberi keterangan pada kepolisian sejak 2<br />

Lengkapi Bahan PK<br />

Hingga minggu pertama bulan Juni, bahan-bahan yang dimiliki<br />

Kejaksaan Agung masih belum cukup bukti sebagai bukti baru<br />

untuk mengajukan PK atas keputusan Mahkamah Agung dalam<br />

perkara pembunuhan Munir. “Masih dibutuhkan lagi<br />

keterangan dari sejumlah saksi untuk melengkapi bahan-bahan<br />

yang dinilai masih tercerai-berai, menjadi satu kesatuan, “ kata<br />

Jaksa muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga<br />

mengenai bahan-bahan yang saat ini dimiliki Kejaksaan agung<br />

dalam upaya mengajukan PK (9/05).<br />

“Dari pertama, keterangan sudah ada, tapi ini belum nyambung.<br />

Butuh kesaksian. Enggak tahu (saksinya) siapa menurut polisi<br />

yang pas. Kami hanya menilai sudah cukup alasan atau tidak,”<br />

katanya. Hari Kamis (7/06), polisi menyerahkan tambahan bukti<br />

baru berupa kesaksian Ongen yang sudah tertuang dalam berita<br />

acara pemeriksaan. Hingga saat ini, menurut Ritonga, jaksa tetap<br />

yakin Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan Munir. “Namun<br />

hakim tidak yakin,” katanya.<br />

Sedangkan, polisi kembali (8/05) meminta keterangan dari<br />

Pollycarpus sebagai saksi. Polly diperiksa sebagai saksi untuk<br />

tersangka mantan Indra Setiawan. Kadiv Humas Polri Irjen Sisno<br />

Adiwinoto mengatakan, tidak tertutup kemungkinan penyidik<br />

polisi mengonfrontasikan hasil pemeriksaan terhadap Ongen<br />

14<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


JEJAK SANG PENJUANG<br />

dengan keterangan dari Pollycarpus atau siapa pun yang<br />

terkait dengan perkara Munir.<br />

Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supadji mengatakan<br />

kepolisian menemukan lebih dari 10 motif pembunuhan<br />

Munir. “Itu terungkap dalam rapat antara kejaksaan dan<br />

kepolisian,” ujar Hendarman. Penyebab kematian Munir yang<br />

tewas dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda (07/<br />

09/2004), katanya, dipastikan karena diracun. “Tapi tidak ada<br />

orang yang melihat siapa yang memasukkan racun ke tubuh<br />

Munir,” ujar Hendarman (8/05).<br />

Hendarman enggan menjelaskan berbagai motif tersebut.<br />

Yang jelas, katanya, motif itu sedang didalami oleh penyidik<br />

Mabes Polri. “Ini untuk lebih menyakinkan apa penyebabnya<br />

(Munir dibunuh),” katanya. Hendarman, menambahkan,<br />

bukti baru untuk peninjauan kembali kasus Munir sudah ada,<br />

berupa kesaksian. Meskipun saksi tidak secara nyata melihat<br />

proses peracunan. “Rentetan sebab-sebab kematian Munir<br />

semakin jelas dan terang,” katanya.<br />

Kapolri Jenderal Sutanto pernah mengungkapkan sejumlah<br />

motif ini. Di antaranya, kasus ini terkait dengan pemilihan<br />

presiden tahap kedua pada September 2004 dan karena<br />

banyaknya kalangan yang tak suka terhadap perjuangan<br />

Munir membela HAM. Isteri Munir, Suciwati,<br />

mengungkapkan motif lain, yaitu perihal kebocoran dana<br />

operasi darurat militer Aceh senilai Rp 2 triliun,<br />

keberangkatan Munir ke Belanda yang dianggap dapat<br />

mempersulit pengadaan kapal korvet oleh TNI Angkatan<br />

Laut, serta pemalsuan uang oleh BIN yang hendak dibongkar<br />

Munir.<br />

Kedatangan Hina Jilani<br />

Di sela-sela proses hukum yang tengah berlangsung, utusan<br />

khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM, Hina Jilani<br />

mengunjungi Indonesia (5/05-13/05). Ia datang untuk<br />

memantau perkembangan penghormatan HAM pembela<br />

HAM di Indonesia, termasuk penuntasan kasus pembunuhan<br />

aktivis HAM Munir.<br />

Saat bertemu dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (KY), Hina<br />

Jilani, meminta pemerintah pemerintah Indonesia<br />

memerhatikan perlindungan para pembela HAM.<br />

Perlindungan terhadap keselamatan semua pembela HAM<br />

adalah sesuatu yang sangat penting. Ia juga menjelaskan,<br />

meski ia membawa wacana HAM, ia memfokuskan pada<br />

perlindungan keselamatan aktivis pembela HAM, termasuk<br />

bagaimana mereka bekerja. Aktivis pembela HAM itu bisa<br />

wartawan, pengacara, dan pengiat LSM.<br />

Hina Jilani juga akan memberikan waktu khusus untuk<br />

bertemu dengan KASUM. “Dia ingin mengetahui seluk beluk<br />

penuntasan kasus Munir. Apa yang sesungguhnya terjadi,<br />

lalu (mengapa) sekarang belum selesai,” ujar Usman Hamid.<br />

Menurutnya, pertemuan dengan Hina Jilani akan dilakukan<br />

tertutup. Dia juga mengakui bahwa salah satu alasan<br />

kedatangan utusan khusus Sekjend PBB itu terkait dengan<br />

lambannya penuntasan kasus Munir. Sebelumnya, Hina Jilani<br />

telah mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia<br />

untuk mempertanyakan tindak lanjut kasus ini. Namun<br />

pemerintah Indonesia tidak memberikan tanggapan.<br />

KASUM bertemu Hina Jilani<br />

JEJAK SANG PEJUANG<br />

Pada Sabtu (9/06) Hina Jilani mengadakan pertemuan tertutup<br />

dengan Suciwati dan KASUM di kantor sekretariat KASUM. Pada<br />

pertemuan yang dimulai pada pukul 18.00, Hina Jilani ditemani<br />

oleh stafnya, Guillaume, sementara KASUM diwakili Suciwati,<br />

Asmara Nababan, Usman Hamid, Choirul Anam, Rusdi<br />

Marpaung, Indria Fernida dan Indra L.<br />

Seusai pertemuan sekitar pukul 18.40 WIB, Hina yang memakai<br />

pakaian khas Pakistan dengan warna dominan hitam kepada<br />

wartawan hanya mengatakan, “Saya bermaksud mendapatkan<br />

data-data untuk melengkapi laporan saya tentang kasus Munir.<br />

Hal lain akan saya jelaskan kepada pres pada 12 Juni,” ujar Hina.<br />

Sedangkan Suciwati mengaku, pasca pertemuan itu ia memiliki<br />

harapan tinggi agar pemerintah lebih serius menangani kasus<br />

Munir. “Serius bisa sampai bisa ketemu motifnya. Pertemuan<br />

itu akan semakin menguatkan dukungan internasional terhadap<br />

penuntasan kasus ini,” ujarnya.<br />

Ketua KASUM, Asmara Nababan menyatakan, kedatangan Jilani<br />

memperkuat fakta bahwa dunia internasional memberi<br />

perhatian khusus pada kasus Munir. Karena itulah, komitmen<br />

pemerintah menuntaskan kasus Munir harus jelas bila dikaitkan<br />

dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah<br />

konvenan HAM serta menjadi anggota Dewan HAM PBB.<br />

Karenanya, Asmara yakin kedatangan Hina Jilani akan<br />

membantu kasus Munir. Dia mencontohkan tekanan<br />

internasional dalam penyelesaian kasus pembantaian Santa<br />

Cruz 1991. Tekanan itu membuat Indonesia mengubah sikapnya<br />

terhadap HAM hingga membentuk Komnas HAM. “Itu karena<br />

tekanan internasional. Kasus Munir dengan Santa Cruz beda.<br />

Tapi tekanannya juga bisa lebih keras. Karena internasional akan<br />

mempertanyakan posisi kita sebagai anggota Dewan HAM PBB.”<br />

Sedangkan Usman Hamid menambahkan, dalam pertemuan itu<br />

pihaknya menginformasikan penilaian terhadap penyidikan<br />

kepolisian yang dianggap menunjukkan kemajuan. Namun ia<br />

juga mengungkapkan kendala yang muncul dalam proses ini.<br />

Hambatan itu, antara lain kecilnya akses informasi Suciwati<br />

terhadap hasil penyelidikan Polri. Dan rencana peninjauan<br />

kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Menurut Usman,<br />

hambatan terhadap akses itu sudah dialami Suciwati sejak<br />

Munir meninggal. “Sehingga kita menekankan setelah kunjungan<br />

Hina Jilani, ada akses yang lebih baik yang dimiliki Suciwati,”<br />

ujar Usman. Hambatan lain, adalah tertutupnya penyelidikan<br />

kasus itu saat proses membongkar hubungan telepon Mucdhi<br />

PR dengan Pollycarpus.<br />

Dalam siaran persnya (12/06), Hina Jilani menjelaskan soal<br />

kepedulian internasional terhadap kasus terbunuhnya Munir.<br />

Ia mengatakan, “Kasus itu secara pribadi merupakan kasus<br />

istimewa. Saya sudah menyampaikan pemikiran dan<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 15


JEJAK SANG PENJUANG<br />

pandangan saya kepada pemerintah Indonesia. Saya<br />

berharap selama rangkaian masa tugas bisa mengemukakan<br />

persoalan ini kepada pejabat yang saya temui dan bisa<br />

mendapatkan masukan-masukan dari mereka.”<br />

Dukungan masyarakat Kanada<br />

Tak henti mencari keadilan, selama seminggu pada bulan Mei,<br />

Suciwati bertandang ke Kanada. Dia diundang oleh<br />

Internasional Centre for Human Rights and Democratic Development<br />

(ICHRDD). Organisasi nonpartispan itu dibentuk Parlemen<br />

Kanada pada tahun 1988. Tujuannya adalah mempromosikan<br />

dan mendukung penegakan HAM di seluruh dunia. Selain<br />

unsur pemerintah, Suciwati juga bertemu dengan media.<br />

Rights & Democracy berserta anggota-anggota koalisi<br />

organisasi HAM Kanada yang bekerja untuk isu Indonesia<br />

bersama KASUM meminta perhatian khusus pemerintah<br />

terhadap kasus Munir. Lebih lanjut organisasi-organisasi ini<br />

mendorong Pemerintah Kanada membuat sebuah<br />

pernyataan publik untuk mendukung diumumkannya hasil<br />

laporan tim pencari fakta dan menguatkan investigasi polisi,<br />

serta memastikan bahwa isu tersebut dimasukan dalam<br />

pertemuan dialog bilateral tentang HAM dengan Indonesia<br />

di Vancouver.<br />

Sedangkan kepala Asia ICHRDD, Mika Levesque menambahkan,<br />

kasus kematian Munir menunjukkan bahwa masalah utama di<br />

Indonesia saat ini adalah nihilnya kontrol sipil terhadap militer<br />

yang masih menikmati kekebalan atas hukum. Disinilah<br />

organisasi kami yang mempromosikan demokrasi ke seluruh<br />

dunia menaruh ke pedulian. Kasus Munir adalah test case,”<br />

tambahnya.<br />

Hal senada juga diungkapkan oleh Jean-Louis Roy, Presiden<br />

Rights & Democracy. Menurutnya, kasus pembunuhan Munir<br />

yang belum terselesaikan menunjukkan bahwa walaupun telah<br />

ada reformasi politik tapi militer tetap jauh dari jangkauan<br />

hukum di Indonesia. “Tanpa kontrol masyarakat sipil terhadap<br />

militer, budaya impunity akan tetap ada dan terus melemahkan<br />

penerapan demokrasi di Indonesia,” tegas Jean.<br />

Dok.Kontras<br />

“Diskusi apapun tentang hak asasi manusia di Indonesia<br />

menunjukkan fakta bahwa impunity terus meningkat untuk<br />

kejahatan seperti pembunuhan suami saya. Kasus<br />

pembunuhan Munir yang belum terselesaikan hanya satu<br />

dari sekian kasus yang ada di Indonesia, dan keadilan yang<br />

didapatkan untuk kasus Munir akan membuka pintu<br />

keadilan bagi seluruh kasus di negeri ini”, kata Suciwati.<br />

Ongen Memberikan kesaksian di depan PN Jakarta Pusat<br />

Gugatan Suciwati kepada Garuda :<br />

Ajukan Banding untuk Dorong Profesionalisme Penerbangan Sipil<br />

Putusan tak penuhi harapan<br />

Gugatan Suciwati terhadap PT Garuda Indonesia dan pihak<br />

terkait lainnya, sebagian telah dikabulkan oleh majelis hakim.<br />

Dalam petikan putusan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Andriyani Nurdin dengan<br />

anggota Sutiyono dan Kusriyanto, Kamis, (3/5), Pantun<br />

Matondang, pilot pesawat Garuda Indonesia dengan nomor<br />

penerbangan GA 974, yang ditumpangi oleh Munir dalam<br />

penerbangan Jakarta-Amsterdam, dan PT Garuda Indonesia<br />

dinyatakan terbukti lalai menjaga keamanan dan keselamatan<br />

salah satu penumpangnya.<br />

Pantun dan PT Garuda Indonesia diperintahkan membayar<br />

ganti rugi kepada Suciwati sebesar Rp 664,209 juta secara<br />

tanggung renteng. Pantun (tergugat IX) terbukti melakukan<br />

perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar kaidah kepatutan,<br />

ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dipegang pilot.<br />

Pantun mengetahui keadaan Munir, tetapi tidak segera<br />

berkonsultasi dengan petugas darat (ground of-ficer) untuk<br />

meminta izin pendaratan pesawat. Pilot dinilai melanggar hak<br />

subyektif Munir.<br />

Majelis juga berpendapat, Pantun melakukan tindakan yang<br />

bertentangan dengan kewajiban hukumnya yang ditentukan<br />

Basic Operator Manual (BOM) dan Pasal 23 Undang-Undang (UU)<br />

Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan juncto Pasal 40<br />

Peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2001. Ketentuan itu<br />

mengatur bahwa kapten pesawat udara berhak menentukan dan<br />

mengambil tindakan demi keselamatan penerbangan serta<br />

bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan<br />

penumpang. Dalam BOM 5.2.1. disebutkan, jika penumpang<br />

16<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


JEJAK SANG PENJUANG<br />

mengalami sakit serius di pesawat, pilot in command harus<br />

berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan perlu atau tidak<br />

meneruskan penerbangan atau mendarat. Bila ragu-ragu, ia<br />

harus minta saran medis dari darat.<br />

terutama campur tangan pihak tertentu untuk kepentingan<br />

yang bukan penerbangan sipil. Dengan tidak dikabulkannya<br />

permintaan atas audit Indepentden ini maka spirit gugatan<br />

ini menjadi tiada.<br />

Pantun bekerja di PT Garuda Indonesia. Karena itu, majelis hakim<br />

menyatakan perusahaan itu, selaku tergugat I, otomatis juga<br />

melakukan perbuatan melawan hukum. Pantun dan PT Garuda<br />

Indonesia diperintahkan membayar ganti rugi materiil dan<br />

imateriil sebebsar Rp 664,209 juta. Nilai<br />

ini lebih kecil dari ganti rugi yang<br />

dituntut Suciwati, yakni Rp 14,329<br />

miliar.<br />

Besaran ganti rugi itu dihitung<br />

berdasarkan ganti gaji Munir selama<br />

tiga bulan Rp 21,390 juta, uang<br />

pendidikan untuk anak Munir hingga<br />

jenjang sarjana Rp 557 juta, uang<br />

kesehatan Rp 35,7 juta, uang<br />

pemakaman Rp 3 juta, serta uang<br />

pengganti biaya yang dikeluarkan<br />

untuk pendidikan Munir sebesar Rp 6<br />

juta.<br />

Sedangkan terhadap tergugat lain, yaitu<br />

mantan Direktur Utama PT Garuda<br />

Indonesia (tergugat II), Vice President<br />

Corporate Ramelgia Anwar (tergugat<br />

III), Flight Operator Support Officer Rohainil Aini (tergugat IV),<br />

Pollycarpus BP (tergugat V), dan awak GA 974 lain, majelis hakim<br />

menyatakan mereka tidak terbukti melakukan perbuatan<br />

melawan hukum.<br />

Menanggapi putusan itu, kedua belah pihak menyatakan<br />

banding. Pengacara PT Garuda Indonesia, Uki Indra, mengatakan<br />

pertimbangan hakim tentang kelalaian pilot tak meminta saran<br />

dari petugas medis di darat dinilainya tidak tepat. Sementara<br />

Suciwati menyatakan menilai putusan tersebut masih jauh dari<br />

harapan keadilan dan tujuan gugatan itu sendiri.<br />

Alasan pengajuan banding<br />

Kuasa hukum Suciwati menilai<br />

bahwa kontruksi fakta putusan PN<br />

Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />

sebagian permintaan dalam gugatan<br />

dan menyatakan Garuda bersalah<br />

hanya dilandasi oleh kelalaian<br />

Garuda dalam penanganan orang<br />

sakit. Padahal beberapa fakta yang<br />

memang terjadi dan diakui kejadian<br />

tersebut ada dan merupakan<br />

perbuatan melawan hukum. Namun<br />

tidak dimasukkan sebagai kontruksi<br />

putusan. Fakta tersebut misalkan saja<br />

keberadaan kru dengan surat resmi<br />

yang cacat hukum dan pemindahan<br />

tempat duduk yang ilegal<br />

Yang kedua, tidak ada permintaan maaf atas kesalahan di<br />

media publik. Dalam putusan tersebut memang pihak<br />

Garuda dinyatakan bersalah. Namun kesalahan tersebut<br />

tidak dibarengi dengan permintaan maaf atas perbuatannya<br />

yang telah merugikan Suciwati dan<br />

keluarga. Harusnya Majelis Hakim juga<br />

mengabulkan permintaan maaf Garuda<br />

yang dimuat dalam media publik. Hal<br />

ini disebabkan karena pelayanan<br />

Garuda selalu berhubungan dengan<br />

wilayah publik. Permintaan maaf yang<br />

dilakukan di hadapan publik, akan<br />

mendorong Garuda lebih baik dan<br />

bertanggung jawab atas semua kegiatan<br />

yang telah dan akan dilakukan.<br />

Kuasa hukum Suciwati menilai bahwa<br />

kontruksi fakta putusan putusan PN<br />

Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />

sebagian permintaan dalam gugatan<br />

dan menyatakan Garuda bersalah<br />

hanya dilandasi oleh kelalaian Garuda<br />

dalam penanganan orang sakit.<br />

Padahal beberapa fakta yang memang<br />

terjadi dan diakui kejadian tersebut ada dan merupakan<br />

perbuatan melawan hukum. Namun tidak dimasukkan<br />

sebagai kontruksi putusan. Fakta tersebut misalkan saja<br />

keberadaan kru dengan surat resmi yang cacat hukum dan<br />

pemindahan tempat duduk yang ilegal.<br />

Bagi Suciwati, fakta ini dapat menjadi titik masuk<br />

pengungkapan kebenaran pembunuhan Munir dari aspek<br />

yang lebih luas. Begitu pula penting bagi penerbangan sipil,<br />

terutama Garuda yang menjadikan fakta tersebut sebagai<br />

pengalaman yang tidak boleh terjadi lagi. Dua alasan inilah<br />

yang menjadi bagian alasan mengajukan banding terhadap<br />

putusan PN Jakarta Pusat.<br />

Alasan pengajuan Suciwati untuk mengajukan banding<br />

didasarkan karena dua permintaan penting yang diajukan tidak<br />

dikabulkan oleh majelis hakim. Pertama, permintaan untuk<br />

melakukan Audit Independent. Padahal, permintaan ini<br />

merupakan tujuan dari gugatan, yaitu mendorong agar Garuda<br />

sebagai perusahaan BUMN yang menyediakan layanan jasa<br />

penerbangan sipil agar professional. Tidak dicampuri oleh<br />

kepentingan lain dalam pengelolaan perusahaan tersebut,<br />

Gugatan PT Garuda Indonesia ini tenyata juga dilakukan oleh<br />

Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menilai<br />

awak pesawat Garuda lalai memberikan pertolongan,<br />

sehingga aktivis HAM Munir tewas di atas pesawat.<br />

Pengurus harian YLKI, Sudaryatmo menyatakan bahwa<br />

“materi gugatannya hampir sama dengan gugatan Suciwati<br />

terdahulu. Tapi, kini YLKI mengajukan berdasarkan hak legal<br />

standingnya.”<br />

Penghargaan HAM Princen<br />

Munir, mendapatkan penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007. Penghargaan itu didasarkan pada kerja-kerjanya<br />

sebagai aktivis HAM dan dikategorikan sebagai Human Rights Lifetime Achievement. Selain Munir, panitia Penghargaan Poncke<br />

Princen Human Rights Prize juga menetapkan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri Inu Kencana, sebagai Human Rights<br />

Promotor and Educator dan program pemberitaan Liputan 6 SCTV sebagai Human Rights Campaigner sebagai penerima anugerah<br />

itu.<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 17


KABAR DARI DAERAH<br />

Lindungi Kebebasan Sipil !<br />

Intimidasi dan tindak kekerasan hingga kini masih saja dilakukan oleh sekelompok<br />

orang pada kelompok lainnya. Sementara aparat keamanan tak mengambil tindakan<br />

hukum untuk menindaknya, bahkan ikut melakukan intimidasi untuk membubarkan<br />

kebebasan sipil tersebut. Padahal dengan jelas negara menjamin tiap warga negaranya<br />

untuk bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat.<br />

Peristiwa pembubaran paksa terhadap forum sipil kembali<br />

terjadi di Solo, 21 Juni 2007. Dengan alasan mendapatkan<br />

ancaman dari LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta), aparat<br />

Polses Colomadu Karanganyar dan Polres Karanganyar, Jawa<br />

Tengah membubarkan seminar yang digelar LPH YAPHI dan<br />

Insan Emas di Rumah Makan Taman Sari, Solo.<br />

Acara bertajuk “Memperkuat Ketahanan Masyarakat Sipil<br />

Tanpa Kekerasan” tersebut sedianya dimaksudkan untuk<br />

membangun ruang komunikasi dan<br />

dialog masyarakat agar tidak melakukan<br />

kekerasan dalam menyelesaikan<br />

masalah. Seminar ini juga berangkat<br />

dari maraknya berbagai peristiwa<br />

pelarangan membangun tempat<br />

beribadah dan kekerasan di Solo, yang<br />

antara lain terjadi di Gereja Penyebaran<br />

Injil Rajawali (sejak 1995-2007), Gereja<br />

Jemaat Kristen Indonesia “Kristus<br />

Gembala” (3 Juni 2007) dan Kapel St.<br />

Antonius Gombang (September 2005-<br />

2007), maupun aktifitas beribadah di<br />

rumah Buntoro, Surakarta (29 Juni 2007).<br />

Para pelaku pembubaran (pelaku<br />

kekerasan) mengatasnamakan kelompok<br />

agama tertentu.<br />

Saat itu Kapolsek Colomandu<br />

Karanganyar Jateng Kridho Baskara meminta agar kegiatan<br />

seminar dibatalkan dan melarang pemilik rumah makan<br />

Taman Sari untuk mengeluarkan makanan kecil (snack),<br />

sambil marah serta menggebrak meja. Karena ketakutan<br />

pemilik rumah makan tersebut menelepon panitia acara yang<br />

segera datang sesaat kemudian. Tak lama setelah itu anggota<br />

Polres Karanganyar Jateng kembali. Setelah terjadi dialog<br />

antara panitia acara seminar dengan pihak kepolisian,<br />

akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan kegiatan seminar<br />

boleh dilaksanakan hanya sampai pukul 11.30 Wib.<br />

Baru saja acara berlangsung, tiba-tiba datang satu mobil<br />

kijang dan satu truk berisi anggota kepolisian lengkap dengan<br />

pentungan, siap siaga di sekitar tempat berlangsungnya<br />

acara. Mereka meminta acara dibubarkan. Karena situasi<br />

tegang, akhirnya panitia acara terpaksa menghentikan acara<br />

dan mempersilahkan peserta pulang. Pihak Polres<br />

Karanganyar membubarkan acara tersebut dengan alasan<br />

ada permintaan dari kelompok yang menamakan diri LUIS.<br />

Sehari sebelumnya, pada pukul 23.30 Wib panitia mendapat<br />

teror via telepon dari LUIS. LUIS meminta acara seminar<br />

“Seyogyanya Polri<br />

memberikan perhatian<br />

yang serius atas hal ini.<br />

Kapolri harus segera<br />

menginstruksikan<br />

jajarannya untuk<br />

melindungi warga yang<br />

bermaksud menjalankan<br />

hak-hak dasarnya<br />

sekaligus mencegah<br />

kembali terjadinya aksi<br />

kekerasan masyarakat.”<br />

dibatalkan. Secara khusus, LUIS menolak kehadiran Dawan<br />

Rahardjo selaku salah satu pembicara karena dianggap telah<br />

menyebarkan ajaran-ajaran pluralisme yang<br />

mencampuradukan agama.<br />

Peristiwa serupa juga terjadi di Tasikmalaya. Pelarangan,<br />

intimidasi dan kekerasan terhadap jamaah Ahmadyah kembali<br />

terjadi sejak 19 hingga 26 Juni 2007 oleh<br />

kelompok tertentu yang mengatasnamakan<br />

GERAK (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi),<br />

Taliban dan FPI.<br />

Melanggar Hukum<br />

Pemasungan berekpresi ini jelas merupakan<br />

pelanggaran atas kemerdekaan seseorang<br />

yang telah dijamin oleh negara. Negara wajib<br />

menjamin hak-hak warganegara untuk bebas<br />

menjalankan haknya untuk berkumpul,<br />

mengeluarkan pendapat serta menjalankan<br />

agama dan keyakinannya berdasarkan<br />

konstitusi RI. Apalagi kebebasan beragama<br />

dan berkeyakinan merupakan salah satu hak<br />

asasi manusia yang tidak bisa dikurangi,<br />

dibatasi dan dilanggar dalam bentuk apapun<br />

(non derogable rights).<br />

Maka sudah sepantasnya Polri berani menindak para pelaku<br />

yang melakukan aksi-aksi yang sepihak melanggar hukum, dan<br />

bukan justru membiarkan aksi-aksi kekerasan terus<br />

berlangsung. Jika Polri tidak mengambil tindakan hukum<br />

terhadap pelaku, maka tak heran jika timbul persepsi di<br />

masyarakat tentang adanya sikap disriminasi aparat kepolisian<br />

terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam menjalankan<br />

keyakinannya.<br />

Seyogyanya Polri memberikan perhatian yang serius atas hal<br />

ini. Kapolri harus segera menginstruksikan jajarannya untuk<br />

melindungi warga yang bermaksud menjalankan hak-hak<br />

dasarnya sekaligus mencegah kembali terjadinya aksi kekerasan<br />

masyarakat. Di sisi lain Pemerintah harus memberikan<br />

dukungan yang penuh terhadap setiap inisiatif masyarakat yang<br />

hendak membangun ruang komunikasi dan dialog demi<br />

mencegah aksi-aksi sepihak yang justru menimbulkan keresahan<br />

dan memicu ketegangan hubungan antar masyarakat.***<br />

18<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


KABAR DARI DAERAH<br />

Buntut Bentrokan, TNI Tangkap Warga di Alue Dua, Aceh<br />

Kekerasan dibalas dengan kekerasan, begitulah yang dialami<br />

warga desa Alue Dua, Aceh. Pada kali pertama terjadi keributan<br />

antara warga dan anggota TNI yang mengakibatkan pemukulan<br />

terhadap anggota TNI tersebut (21/3) aksi pemukilan tersebut<br />

dibalas oleh aparat TNI beberapa hari kemudian (24/3).<br />

Bak operasi khusus yang hendak menangkap seorang pelaku<br />

kejahatan besar, sekitar pukul 06.30 WIB sejumlah aparat polisi<br />

dan TNI (8/05), melakukan penggeledahan terhadap rumah<br />

Ramli (68), warga dusun Drien Kemuneng, Seumirah, Kec. Nisam<br />

yang diduga sebagai pelaku pemukulan terhadap anggota TNI<br />

di desa Alue Dua. Berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga,<br />

Ramli Hamid ditangkap tanpa surat perintah penangkapan dan<br />

sampai saat ini masih ditahan di Polres Lhokseumawe. Padahal<br />

sebelumnya korban tidak pernah<br />

menerima surat pemanggilan dan juga<br />

tidak terdapat namanya dalam list DPO<br />

(daftar pencarian orang).<br />

Padahal, jauh-jauh sebelumnya, <strong>KontraS</strong><br />

pernah menyatakan agar TNI tidak terlalu<br />

jauh masuk dalam urusan penegakan<br />

hukum, baik tugas-tugas penyelidikan dan<br />

penyidikan yang notabenenya merupakan<br />

wewenang penuh kepolisian. Adalah<br />

sangat tidak bijak apabila TNI masih terus<br />

memburu pelaku pemukulan terhadap<br />

anggota TNI di desa Alue Dua, padahal<br />

pihak TNI sendiri sudah menyatakan<br />

bahwa kasus ini telah diserahkan kepada<br />

polisi untuk mengusutnya.<br />

Kompetensi kepolisian<br />

Upaya hukum untuk<br />

menyelesaikan kasus tindak<br />

kekerasan terhadap ke-empat<br />

anggota TNI tetap harus<br />

ditegakkan, lagi-lagi ini harus<br />

dilakukan oleh polisi bukan<br />

tentara. Polisi harus mengusut<br />

tuntas kasus ini untuk<br />

kepentingan hukum dan tidak<br />

diskriminatif. Tidak seperti<br />

pengusutan kasus-kasus<br />

sebelumnya, kasus Paya Bakong<br />

misalnya, dimana penyelidikan<br />

polisi menjadi mentok bila kasus<br />

tersebut dilakukan oleh aparat<br />

negara.<br />

Jika benar seperti yang dikatakan oleh<br />

Danrem 011/LW, Kolonel Inf Muhammad<br />

Erwin Syahfitri bahwa keterlibatan TNI dalam proses hukum<br />

kasus Alue Dua telah dikoordinasikan dengan Polres<br />

Lhokseumawe karena penyelesaian kasus ini kurang berjalan<br />

(Serambi, 7/5/07). Seharusnya proses hukum terhadap kasus<br />

Alue Dua secara hukum merupakan kompetensi kepolisian. Jika<br />

ternyata ada faktor ketidakmampuan polisi dalam menganani<br />

kasus ini sehingga membutuhkan bantuan TNI, maka perihal<br />

tersebut harus dideklarasikan atau dijelaskan oleh pihak<br />

kepolisian atau atas permintaan otoritas pemerintahan sipil.<br />

Tentunya, dengan menyebutkan argumentasi yang tepat perihal<br />

kesulitan yang dialami oleh kepolisian tersebut.<br />

Menjadi tidak tepat jika TNI mendesak atau mengintervensi polisi<br />

dalam proses hukum terhadap kasus Alue Dua. Karena diketahui,<br />

kasus ini juga melibatkan TNI, maka sudah seharusnya polisi<br />

menunjukkan sikap profesional dan independen dalam<br />

mengungkap kasus ini.<br />

Sebelumnya, saat peristiwa pemukulan atas empat anggota<br />

TNI itu belum terjadi, keberadaan pasukan TNI di SD Alue<br />

Dua patut dipertanyakan. Apabila menyangkut dengan<br />

pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara,<br />

Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Karena, hal<br />

tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6<br />

dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Apalagi kondisi<br />

Aceh sudah damai. Maka tugas kepolisian-lah untuk menjaga<br />

keamanan dan ketertiban masyarakat, TNI hanya terlibat jika<br />

diminta bantuannya.<br />

Upaya hukum untuk menyelesaikan<br />

kasus tindak kekerasan terhadap keempat<br />

anggota TNI tetap harus<br />

ditegakkan, lagi-lagi ini harus dilakukan<br />

oleh polisi bukan tentara. Polisi harus<br />

mengusut tuntas kasus ini untuk<br />

kepentingan hukum dan tidak<br />

diskriminatif. Tidak seperti pengusutan<br />

kasus-kasus sebelumnya, kasus Paya<br />

Bakong misalnya, dimana penyelidikan<br />

polisi menjadi mentok bila kasus<br />

tersebut dilakukan oleh aparat negara.<br />

Untuk sebuah penegakan hukum yang<br />

tidak diskriminatif maka polisi harus<br />

bertindak lebih profesional dan<br />

transparan serta berlaku adil dengan<br />

memberikan perlakuan yang sama<br />

kepada setiap warga negara di hadapan<br />

hukum. Karenanya, Kapolda segera<br />

dapat menjelaskan kepada publik di Aceh<br />

mengenai pelibatan TNI dalam proses penegakan hukum<br />

kasus Alue Dua sekaligus menjelaskan peran perbantuan apa<br />

yang diminta oleh pihak kepolisian kepada TNI dalam<br />

membantu penanganan kasus tersebut.<br />

Kapolda hendaknya dapat pula bekerja layaknya polisi<br />

profesional dengan tetap mengedepankan independensi dan<br />

kemandirian sebagaimana yang diatur dalam perundangundangan.<br />

Selain itu, TNI seharusnya menerima dan<br />

menyerahkan sepenuhnya proses hukum kasus Alue Dua<br />

kepada pihak kepolisian sekaligus menjelaskan kepada publik<br />

Aceh bentuk koordinasi seperti apa yang telah mereka<br />

lakukan dengan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti<br />

kasus tersebut.***<br />

“ Tidak ada pengecualian apapun, apakah dalam keadaan perang atau ancaman perang, situasi politik dalam<br />

negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lainnya, yang dapat diterima sebagai alasan pembenar tindakan<br />

penghilangan secara paksa “.<br />

(Pasal 1 (2) Konvensi Internasional tentang perlindungan semua orang dari tindakan penghilangan secara paksa)<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 19


KABAR DARI DAERAH<br />

Bentrokan Dua Kubu di Kampus UISU Medan<br />

Konflik dualisme kepemimpinan<br />

rektorat antara Sahriani Siregar dan<br />

Helmi Nasution yang telah<br />

berlangsung sejak tahun lalu,<br />

akhirnya berujung pada tindak<br />

kekerasan antar dua kelompok<br />

bertikai dengan pengerahan massa<br />

(10/05). Peristiwa serangan subuh<br />

sekitar pukul 05.00 Wib itu, dilakukan<br />

oleh kelompok Sahriani terhadap<br />

kelompok Helmi yang menguasai<br />

kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Keduanya<br />

mengklaim berhak atas kepemimpinan di perguruan tinggi<br />

yang terletak di Jalan Sisingamangaraja, Medan, itu.<br />

Mereka saling menyerang dengan batu serta mengacungacungkan<br />

senjata tajam. Kurang-lebih 400 orang dari kubu<br />

Sahrani menguasai kampus. Massa merazia mahasiswa,<br />

anggota satuan pengamanan, dan pengawai kampus yang<br />

mendukung Helmi. Mereka juga menggeledah sejumlah<br />

ruangan. Aksi ini mengakibatkan jatuhnya puluhan korban<br />

luka. Bahkan, sejumlah mahasiswa lainnya hingga kini belum<br />

diketahui nasibnya.<br />

Sekitar pukul 08.00 Wib, aparat kepolisian datang, yang<br />

disusul sejumlah warga yang ikut membantu melerai<br />

bentrokan. Tak lama kemudian anggota DPRD Sumatera<br />

Utara, diantaranya Abdul Hakim Siagian dan Nurdin<br />

Ahmad, tiba. Namun, kedatangan sejumlah pihak ini tak<br />

berhasil menyelesaikan dualisme kepemimpinan Yayasan<br />

UISU. Di tengah negosisasi, massa pendukung Sahriani dan<br />

Helmi kian membeludak. Suasana kampus pun memanas lagi.<br />

Sekitar pukul 12.30 Wib bentrokan yang kedua pecah.<br />

Perang batu berlangsung sekitar setengah jam. Satu unit<br />

mobil ambulans inventaris kampus rusak dan tiga unit<br />

sepesa motor hangus dibakar. Atap gedung dan jendela kaca<br />

kampus berantakan. Masjid As-sholihin di lingkungan<br />

kampus juga tak luput dari sasaran perusakan.<br />

Kekerasan yang terjadi akibat dualisme kepemimpinan ini<br />

bukanlah yang pertama. Pada 25 April lalu, sejumlah<br />

mashasiswa UISU yang melakukan aksi damai<br />

mempertanyakan kejelasan tentang kepengurusan rektorat<br />

juga mengalami tindak kekerasan. Tindak kekerasan itu<br />

dilakukan oleh satpam dan pengawai kampus terhadap lima<br />

mahasiswa peserta aksi. Tindakan penganiayaan yang<br />

dilakukan pihak kampus itu telah dilaporkan oleh para<br />

mahasiswa ke Mapoltabes Medan (26/04), namun hingga saat<br />

ini belum ada tindakan yang jelas terhadap para pelaku.<br />

Dualisme kepemimpinan di kampus ini, menurut dia, sudah<br />

beberapa kali memicu keributan di antara dua kelompok yang<br />

bertikai. Kubu Sahriani merasa paling berhak memimpin<br />

yayasan karena ditunjuk oleh Direktorat Pendidikan Tinggi<br />

Departemen Pendidikan Nasional. Adapun Helmi Nasution<br />

merasa lebih berhak memimpin UISU karena mendapat<br />

amanat melalui pemilihan anggota yayasan.<br />

Diproses secara hukum<br />

Anggota Komisi II DPR, Arbab Paproeka, meminta kemelut yang<br />

di terjadi UISU diproses secara hukum. “Dari data dan fakta<br />

yang saya pelajari menunjukkan apa yang terjadi di UISU<br />

merupakan rekayasa yang sistematis. Siapapun yang<br />

mendesainnya harus dibongkar tuntas. Ada indikasi<br />

keterlibatan oknum di Kepolisian daerah Sumatera Utara di<br />

balik kekisruhan UISU, “ katanya, Rabu (23/05). Karena itu, ia<br />

meminta kepada pihak yang berwenang, terutama Kapolri,<br />

untuk mengungkap rekayasa sistematis yang diduga<br />

melibatkan oknum pensiunan dan aparat.<br />

Arbab mengatakan semestinya tugas polisi adalah<br />

menciptakan rasa aman dan kepastian hukum di masyarakat.<br />

Tapi, yang terjadi justru membiarkan sebaliknya; aparat justru<br />

membiarkan terjadinya kekisruhan. Seharusnya polisi bisa<br />

mengantisipasi bentrok fisik di kampus UISU. “Medan itu bukan<br />

sebuah desa terpencil yang susah dijangkau aparat kepolisian.<br />

Apalagi, sebelum memasuki kampus, pihak yayasan UISU yang<br />

sah sudah melayangkan permohonan tertulis kepada<br />

Kapoldassu, “ tegas Arbab, wakil rakyat yang berasal dari<br />

Fraksi Partai Amanat Nasional.<br />

Sementara itu, dari informasi yang berhasil dikumpulkan<br />

Kontras Medan di lapangan, memang terlihat adanya sesuatu<br />

yang janggal, khususnya berkenaan dengan profesionalisme<br />

kepolisian dalam menjaga keamanan masyarakat. Sejumlah<br />

pertanyaan-pun mengemuka. Antara lain, apakah benar polisi<br />

mempunyai hubungan bisnis (conflik of interest) dengan PT.Wira<br />

sebagai outsourcing jasa pengamanan yang digunakan oleh<br />

kelompok Helmi Nasution<br />

Hal janggal lainnya, Pihak Sahriani mengklaim bahwa sebelum<br />

melakukan serangan subuh itu, mereka telah memberitahukan<br />

kepada pihak Polda. Polsek Medan Kota pun telah<br />

mempersiapkan diri dengan melakukan apel (sekitar pukul<br />

04.15). Namun, baru pada pukul 06.30 polisi baru bergerak ke<br />

lokasi peristiwa. Padahal jarak Polsek dengan tempat perkara<br />

hanya 200 meter.<br />

Dari bentrokan ini, kita berharap agar Kapolri dapat bertindak<br />

profesional dan menjalankan mandatnya untuk memelihara<br />

keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan melindungi<br />

keselamatan jiwa, harta benda dan masyarakat dari gangguan<br />

ketertiban. Disamping itu, polisi harus mengembalikan kampus<br />

dalam suasana normal, dengan memberikan jaminan<br />

keamanan bagi berlangsungnya perkuliahan secara normal,<br />

serta meniadakan keberadaan para preman/jasa pengamanan<br />

yang digunakan oleh pihak yang bertikai. Ketiadaan jaminan<br />

akan tindakan polisi ini akan selalu membuahkan tindakan<br />

main hakim sendiri menjadi kian subur di masyarakat.<br />

Yang terpenting lainnya, aparat kepolisian segera bisa<br />

melakukan penyelidikan secara menyeluruh, termasuk<br />

memberikan jaminan peradilan yang fair (fair trial) terhadap<br />

pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab.***<br />

20<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


KABAR DARI DAERAH<br />

Polisi Medan: Sulit Bedakan Penjahat dan Polisi<br />

Di Medan, Sumatera Utara, polisi dengan dalih menangkap perampok<br />

malah berulah selayak yang ditargetkan. Dua orang korban aksi polisi<br />

tersebut merenggang nyawa, sementara harta benda yang mereka<br />

miliki diambil paksa polisi. Pihak keluarga korban yang<br />

mempermasalahkan hal ini malah dikriminalkan.<br />

Peristiwa terjadi pada 11 April sekitar pukul 03.00 Wib dini hari. Sekitar<br />

30 orang anggota Poltabes Medan dipimpin Kasat Reskrim dan Kanit<br />

Jahtanras mendatangi rumah Hj. Supiah (kakak kandung Suherman).<br />

Karena mereka mencari Suherman, Hj Supiah mengatakan<br />

Suherman tidak berada di rumahnya. Hj Supiah lalu meminta aparat<br />

langsung mencari ke rumah Suherman yang hanya berjarak 400<br />

meter dari rumah Hj Supiah. Mendengar jawaban tersebut, ke-30<br />

anggota Poltabes Medan ini malah menggeledah rumah Hj Supiah<br />

sembari menodongkan senjata kepada Hj Supiah. Setelah itu, mereka<br />

mengambi dua unit Handphone dan satu pesawat telepon rumah<br />

tanpa menunjukkan penggeledahan, surat penyitaan dan tidak<br />

memberikan berita acara penyitaan.<br />

Dengan menodongkan senjata api ke suami Hj. Supiah, mereka<br />

memaksa menunjukkan rumah Suherman. Setibanya di sana, oknumaparat<br />

polisi ini langsung menangkap Suherman (yang saat itu tidak<br />

melawan), tanpa menunjukkan surat penangkapan. Tangan dan kaki<br />

Suherman diborgol dan dibawa ke dalam mobil. Setelah menangkap<br />

dan membawa Suherman, aparat juga menangkap isteri Suherman,<br />

dua orang anak Suherman (berumur 7,5 tahun dan 4 tahun), dua<br />

orang keponakan Suherman berikut seorang pembantu Suherman<br />

dan seorang tetangga Suherman yang kebetulan berada di rumah<br />

Suherman.<br />

Harta benda Suherman yang seluruhnya berjumlah sekitar 2,7 miliar<br />

(berupa uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah) juga dirampas<br />

oleh para aparat. Semua ini dilakukan tanpa menunjukkan surat<br />

penangkapan, surat penyitaan dan surat penggeledahan. Perbuatan<br />

ini juga jelas bertentangan dengan prosedur hukum. Di hari yang<br />

sama kejadian serupa dialami juga oleh Marsudi Triwijaya.<br />

Tewas dengan luka tembak<br />

Tak lama setelah penangkapan kedua orang ini, siang harinya,<br />

keluarga mendapat kabar kalau kedua orang tersebut telah<br />

meninggal dunia. Diketahui akhirnya, kedua orang ini tewas dengan<br />

luka tembakan di dada dan luka penganiayaan di tubuh.<br />

Keluarga almarhum Suherman & Keluarga almarhum Marsudi<br />

menuntut Polri agar menghukum anggota Poltabes Medan yang<br />

melakukan tindak pidana pembunuhan yang juga telah melakukan<br />

tindak pidana perampokan harta benda senilai sekitar 2,7 miliar (berupa<br />

uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah). Namun, tuntutan ini malah<br />

disikapi Polri secara tidak konsisten dengan mengingkari paradigma<br />

barunya. Polri lebih cenderung melindungi Poltabes Medan yang<br />

nota bene anggotanya ketimbang berpihak kepada keluarga korban.<br />

Pengaduan yang disampaikan ke Dit Reskrim Polda Sumut (16/04)<br />

dan (20/04) serta pengaduan di Divisi Propam Mabes Polri (26/04),<br />

hingga kini tetap tidak ada tindak lanjutnya. Selama kurun waktu dua<br />

bulan ini para pelaku dibiarkan bebas. Bebas untuk mengulangi<br />

perbuatannya, menghilangkan barang bukti serta mengintimidasi<br />

dan mengkriminalisasi keluarga korban yang menuntut keadilan.<br />

Merasa tidak diawasi dan diberi kesempatan untuk mengulangi<br />

perbuatannya, para pelaku yang diantaranya Pejabat di Poltabes<br />

Medan kembali menyalahgunakan kewenangannya untuk<br />

mengintimidasi dan mengkriminalisasi keluarga korban.<br />

Penyalahgunaan wewenang pertama dilakukan oleh Poltabes<br />

Medan. Keluarga korban dituduh telah memfitnah Poltabes<br />

Medan dan akan ditahan di Poltabes Medan karena telah<br />

menuntut pembunuhan dan perampokan yang dilakukan jajaran<br />

Poltabes Medan.<br />

Keluarga korban menuntut harta yang dirampok agar<br />

dikembalikan dan aparat pelakunya dihukum. Namun,<br />

Kapoltabes Medan mengatakan bahwa harta benda senilai 2,7<br />

miliar yang telah dirampok anggotanya tersebut berasal dari<br />

hasil kejahatan. Selanjutnya Kapoltabes Medan memerintahkan<br />

penyidikan asal-usul/sumber harta tersebut dengan<br />

menggunakan Undang-undang No.25 tahun 2003 tentang<br />

Pencucian Uang. Hal ini seperti sengaja dilakukan agar dapat<br />

menahan dan menghukum isteri korban yang tidak ikhlas<br />

dengan pembunuhan suaminya dan perampokan yang dilakukan<br />

Poltabes Medan.<br />

Tak berhenti sampai disini, Poltabes Medan juga menangkap<br />

dan menahan kakak kandung Suherman yang selama ini sangat<br />

gigih menuntut keadilan adiknya. Supiah (kakak kandung<br />

Suherman) ditangkap tanggal 21 Juni 2007 dan hingga kini masih<br />

ditahan.<br />

Melihat kebrutalan dan penyalahgunaan kewenangan Poltabes<br />

Medan yang dibiarkan oleh Kapolda Sumut, Juliana (isteri<br />

almarhum Suherman) & Rusmini (isteri almarhum Marsudi)<br />

merasa terancam keselamatan dan keamanannya bila tetap<br />

berada di wilayah kekuasaan Poltabes Medan. Keduanya<br />

terpaksa mengungsi dari Sumatera Utara dan meminta<br />

perlindungan hukum kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia<br />

dan Kapolri.<br />

Dari semua rangkaian kejadian sewenang-wenang diatas,<br />

Kontras, YLBHI, dan LBH Medan, menghimbau Kapolri dapat<br />

memberikan tindakan tegas kepada oknum Medan yang terlibat<br />

dalam pembunuhan dan perampokan Suherman dan Marsudi<br />

Triwijaya, serta melimpahkannya ke proses persidangan untuk<br />

dihukum.<br />

Kapolri harus memberikan perlindungan kepada keluarga korban<br />

dari upaya intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh<br />

Poltabes medan. Mengupayakan pengembalian harta benda<br />

Suherman dan Marsudi yang telah dirampok oleh oknum<br />

Poltabes Medan. Yang terpenting pula, menjatuhkan tindakan<br />

tegas pada Kapoltabes Medan karena telah melindungi oknum<br />

Poltabes Medan yang terlibat pembunuhan Suherman dan<br />

Marsudi.<br />

Tak ada kata lain. Kasus kekerasan ini adalah kasus pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak untuk<br />

hidup. Kontras juga berharap Komnas HAM bisa segera<br />

melakukan pemantauan dan penyelidikan langsung ke Medan.<br />

Hukum harus ditegakkan. Karena bukan zamannya lagi,<br />

seseorang termasuk aparat berhak dan mempunyai kekebalan<br />

melakukan perbuatan yang jelas melanggar hukum di negeri<br />

ini.***<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 21


KABAR DARI DAERAH<br />

Kekerasan Aparat Masih Terjadi Di Berbagai Daerah<br />

Kekerasan. Entah mengapa menjadi tontonan yang kerap, bahkan terlalu sering kita<br />

lihat. Ironisnya, segala bentuk kekerasan itu jadi “santapan rutin” bagi para penegak<br />

dan pengayom masyarakat. Mereka yang mengingkrarkan diri dan profesinya pada<br />

hukum dan kebenaran, malah menjadi para pelaku kekerasan itu sendiri. Cerita dari<br />

kekerasan di berbagai daerah jadi potret bagaimana “janji” untu membela hukum dan<br />

kebenaran telah dinodai oleh mereka sendiri.<br />

Cerita kekerasan di bulan Juni jadi awal dari dari begitu<br />

banyak cerita kekerasan lainnya. Pembunuhan terhadap Caci<br />

bin Tibu (40 th), warga Dusun Pakkeng, Desa Mamampang<br />

Kecamatan Tombolo Pao, diduga kuat dilakukan oleh anggota<br />

Kepolisian Sektor Tombolo Pao. Korban “sengaja dihabisi”<br />

dengan tuduhan melakukan tindakan kriminal.<br />

Korban awalnya ditangkap Selasa (26/06), sekitar pukul 11.00<br />

WITA, oleh aparat kepolisian ketika hendak menuju ke Kota<br />

Makasar. Pada saat itu mobil yang ditumpanginya dihentikan<br />

oleh Kapolsek AKB Abidin WSC. Dari keterangan sopir angkot<br />

yang sedang makan di rumah makan Bonto Aji, korban<br />

dibawa oleh polisi (tidak diketahui korban dibawa kemana).<br />

Penangkapan tersebut tidak diinformasikan pada keluarga.<br />

Sedang kabar meninggalnya korban diketahui dari Kepala<br />

Rukun Kampung (RK). dari keterangan Kapolsek (lewat<br />

telepon yang dilakukan oleh keponakan korban), dikatakan<br />

bahwa Caci ditangkap dan ditembak karena berusaha<br />

melawan dan melarikan diri.<br />

Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WITA, Jenasah korban<br />

tiba di rumah orang tuanya dengan diantar menggunakan<br />

mobil ambulance Puskesmas Tamaona. Di dalam mobil ini<br />

terdapat pula tiga orang perawat. Entah mengapa, jenazah<br />

korban juga diiringi satu mobil kijang pribadi yang<br />

digunakan aparat Polsek Tombolo Pao, berjumlah sekitar<br />

lima orang, turut pula kepala dusun (tiga orang aparat<br />

tersebut membawa senjata laras panjang).<br />

Korban diserahkan pada pihak keluarga. Dari tubuh korban<br />

terlihat bahwa korban mengalami luka tembak sebanyak<br />

lima kali (dua di bagian dada sebelah kanan tembus, satu di<br />

bagian perut sebelah kanan, satu di paha sebelah kanan<br />

tembus, dan satu di betis sebelah kanan). Pipi sebelah kiri<br />

bengkak (memar) warna biru. Selain itu tangan dan kaki<br />

korban remuk. Pihak keluarga menguburkan korban pada<br />

pukul 12.20 malam. penguburan ini dilakukan atas<br />

permintaan kepala dusun, yang meminta korban dikubur<br />

secara cepat dengan alasan takut membusuk akibat luka<br />

tembak.<br />

Esok harinya, Kepala Desa Mamampang membawa dua pucuk<br />

surat ke rumah orang tua korban dan meminta mereka<br />

menandatangani surat-surat tersebut. Surat pertama<br />

menyangkut bukti bahwa jenasah korban sudah diterima<br />

pihak keluarga, surat kedua menyangkut penolakan autopsi<br />

oleh orang tua korban. Berada ‘dalam tekanan” kedua surat<br />

ditandatangani oleh meraka.<br />

Dua harinya setelah peristiwa (28/06), datang lagi, dua orang<br />

polisi ditemani salah seorang membawa surat pernyataan untuk<br />

ditandatangani oleh orang tua korban, berisikan pernyataan<br />

bahwa, orang tua korban tidak merasa keberatan atas<br />

meninggalnya korban dan menganggap korban meninggal<br />

akibat sudah ajal, dan juga karena kelalaian sendiri melarikan<br />

diri. Dalam surat tersebut, dinyaakan pula bahwa selaku orang<br />

tua tidak putus-putusnya menasihati untuk tidak berbuat salah,<br />

namun korban tidak menghiraukan hingga saya (korban)<br />

menganggap bahwa sudah sepantasnya meninggal dengan jalan<br />

seperti itu.<br />

Jumlah surat satu lembar rangkap lima, namun surat tidak<br />

ditandatangani oleh orang tua korban. Saat itu, keluarga korban<br />

yang ingin melihat isinya meminta satu rangkap surat tersebut.<br />

Satu lembar surat tersebut akhirnya diberikan kepada keluarga<br />

korban. Namun, sekitar pukul 01.30 dini hari, Kepala Desa datang<br />

kembali meminta surat yang diberikan, dengan alasan akan<br />

mencari tahu pembuat surat itu (mengatasnamakan Kapolsek<br />

Tombolo Pao). Kepala Desa berjanji akan mengembalikannya<br />

setelah mengetahui pembuat surat. Esok harinya, keponakan<br />

korban menghubungi Kepala Desa (telpon) meminta surat yang<br />

telah diambil. Namun kepala desa mengatakan, surat telah basah<br />

dan hancur lantaran ia malam itu terjatuh dengan motornya<br />

saat menuju kantor Polsek Tombolo Pao.<br />

Pasca peristiwa tersebut, aparat polsek dan kepala desa<br />

menggalang dukungan dari masyarakat agar menandatangani<br />

surat yang mengucapkan terima kasih kepada polisi karena<br />

sudah menangkap korban (Caci), serta menyukuri tewasnya Caci<br />

karena yang bersangkutan dianggap pelaku tindak kriminal/<br />

kejahatan.<br />

Tindakan tak terhormat dan tak prikemanusiaan ini jelas adalah<br />

tindak pidana dan pelanggaran HAM. Semestinya aparat<br />

kepolisian bertindak profesional dan transparan dalam<br />

menegakkan hukum, termasuk menindak pihak-pihak yang<br />

dianggap bersalah dengan menerapkan azas praduga tak<br />

bersalah serta menghormati HAM. Semestinya pula aparat<br />

menghindari penggunaan kekerasan dalam upaya menggali<br />

bukti keterangan dan informasi dari siapapun, termasuk kepada<br />

pelaku kriminal.<br />

22<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


KABAR DARI DAERAH<br />

Di Tegal<br />

Aksi “main hakim dan sok jagoan” para aparat juga dialami<br />

oleh Kurniawan (23), seorang tukang becak juga mengalami<br />

tindakan penyiksaan di Mapolresta Tegal (3/05). Peristiwa<br />

dimulai saat Kurniawan yang sedang melintas di jalan Brantas<br />

dengan menggunkan sepeda melihat seorang perempuan yang<br />

menggunakan sepeda di jalan Brantas. Lantaran menyakini<br />

perempuan itu adalah pacarnya yang bernama Dewi<br />

(belakangan diketahui perempuan itu bernama DewiAstuti/30<br />

thn). Korban menghampiri dan mencolek badannya. Namun,<br />

ketika perempuan tersebut memalingkan muka, korban kaget<br />

karena perempuan itu ternyata bukan pacarnya. Ia berbalik arah<br />

tapi ditarik oleh perempuan tersebut. Buntutnya, sepeda yang<br />

digunakan korban jatuh dan badannya jatuh pula menimpa<br />

perempuan ini.<br />

Seketika perempuan ini berteriak hingga memancing perhatian<br />

warga. Sekitar sepuluh orang datang langsung memukul dan<br />

mengeroyok Kurniawan. Bersamaan dengan itu, patroli polisi<br />

sedang melintas, maka Kurniawan dan perempuan ini dibawa<br />

ke Mapolresta Tegal.<br />

Disinilah korban mulai mengalami tindak kekerasan. Dirinya<br />

dituduh melakukan pencabulan terhadap Dwi Astuti. Penyidik<br />

polisi lalu memaksa korban mengakui perbuatan ini dengan<br />

menyuruh korban menaruh jari kakinya di bawah kaki meja,<br />

kemudian mereka menduduki meja tersebut. Para oknum aparat<br />

ini juga menendang dada korban dengan menggunakan sepatu.<br />

Sayang, korban tak bisa mengenali para pelaku karena para<br />

aparat ini menggunakan kaos.<br />

Aparat kepolisian menuduh korban telah melanggar pasal 289<br />

jo 281 KUHP dan menahan korban. Keluarga korban baru dapat<br />

menjenguk korban (7/05). Saat menjenguk, juga dibatasi hanya<br />

tiga kali dalam seminggu. Pada (22/05), keluarga korban<br />

menerima surat penahanan dari Kapolresta Tegal dan surat<br />

perpanjangan penahanan dari Kejaksaan Negeri Tegal. Hal ini<br />

kian membuat keluarga kian cemas, karena korban pasti kembali<br />

mengalami sejumlah tindakan penyiksaan jika ia dipindahkan<br />

ke LP.<br />

Di Medan<br />

Tindak kekerasan berupa penculikan, penganiayaan berat dan<br />

pembunuhan juga terjadi di Medan. Korban, Ibrahim (37),<br />

sebelum dirinya dibunuh mengalami penganiayaan yang<br />

menyebabkan hidung pecah dan berdarah, kepala bagian<br />

belakang robek berdarah, tangan kanan patah, seluruh tubuh<br />

lebam akibat pukulan yang diduga dilakukan menggunakan<br />

rantai. Diduga pelaku pembunuhan dan tindak kekerasan<br />

berjumlah sekitar delapan orang, dari Paskah TNI AU Lanud<br />

Polonia Medan, antara lain Serka Sulistiyo, Pratu Gutoyo,<br />

Hartono, Hadi dan kawan-kawan.<br />

Peristiwa kekerasan ini bermula (27/03) sekitar pukul 16.00 Wib.<br />

Ibrahim dijemput teman kerjanya, Buyung Waroka. Dari<br />

kesaksian Buyung, bahwa beberapa meter setelah keluar rumah<br />

ternyata sudah ada dua orang anggota Paska TNI AU Lanud<br />

Polonia Medan yang menunggu Ibrahim yaitu Pratu Gutoyo<br />

dan Hadi.<br />

Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 20.00 Wib, keluarga<br />

menerima kabar dari warga sekitar kalau Ibrahim dipukuli<br />

oleh Serka Sulistiyo di Cafe Erna. Keluarga pun segera menuju<br />

Cafe Erna, tapi tidak menjumpai Ibrahim disana. Mereka lalu<br />

menuju klinik Bidan Syam di Jalan Bridjen Katamso Kp. Baru<br />

Medan. Sebelumnya keluarga menerima telepon dari korban<br />

yang meminta uang untuk biaya pengobatan. Korban<br />

meminta uang diserahkan pada Hartono yang akan datang<br />

ke rumah.<br />

Atas saran Hartono, keluarga membawa korban ke RS. Auri<br />

Abdul Muluk di jalan Ir. Juanda Medan. Ketika selesai berobat<br />

dan akan pulang, tiba-tiba di depan rumah sakit korban<br />

dibawa secara paksa oleh enam orang anggota Paska TNI AU<br />

dengan menggunakan mobil patroli (28/03 sektar pukul 01.00<br />

Wib). Mereka juga mengancam keluarga korban yang<br />

menghalangi penangkapan paksa ini.<br />

Esok paginya keluarga melapor ke POM TNI AD, POM TNI<br />

UA Lanud Medan, Markas Paskas TNI AU Medan. Petugas<br />

sempat tidak melayani dengan baik. Saat melapor kedua<br />

kalinya barulah petugas membuatkan laporan tertulis<br />

namun laporan tersebut tidak diberikan pada keluarga<br />

korban.<br />

Setelah 17 hari dinyatakan hilang, pada (14/04) keluarga<br />

korban mendapat informasi berupa foto-foto hasil outopsi<br />

dari anggota Polres Aceh Tamiang dan seorang kerabat<br />

keluarga korban, bahwa Ibrahim telah tewas dan mayatnya<br />

dtemukan di wilayah Aceh Tamiang. Diperkirakan korban<br />

tewas beberapa saat sejak ia diculik. Hal ini dibuktikan dari<br />

berita beberapa harian terbitan Medan (31/03), yang<br />

memberitakan adanya penemuan mayat “Mr X” di Aceh<br />

Tamiang. Dari semua bukti yang ada jelas terlihat bahwa<br />

korban telah dianiaya dan dibunuh secara keji oleh para<br />

oknum yang menculiknya.<br />

Di Simalungun<br />

Sementara itu, kinerja buruk dan perbuatan sewenangwenang<br />

para oknum polisi juga dapat dicermati di Resort<br />

Simalungun, Sumatera Utara. Para aparat pengayom<br />

masyarakat ini malah kerap kali melakukan kekerasan dan<br />

pembiaran terhadap kasus-kasus yang mengancam hak-hak<br />

asasi manusia. Pem-backing-an terhadap pemodal, tidak<br />

berjalannya role of law jadi indikasi kuat dugaan gagalnya<br />

Polres Simalungun melakukan tugas utamanya yaitu<br />

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan<br />

terhadap masyarakat. Perbuatan ini jelas telah<br />

memburamkan citra polisi yang tengah berupaya mengubah<br />

paradigmanya menjadi “community police”.<br />

Tercatat enam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di<br />

Simalungun. Mulai dari pemerkosaan, penangkapan tanpa<br />

prosedur, dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota<br />

Polres Simalungun yang hingga kni tak jelas penyelesaiannya.<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 23


KABAR DARI DAERAH<br />

Tak ada ada akses dan transparansi pada masyarakat luas<br />

atas kasus-kasus yang mereka tangani ini.<br />

Sedang sampai pertengahan tahun 2007 ini telah tercatat dua<br />

kasus yang massif yaitu kasus pemukulan terhadap petani<br />

yang mempertahankan haknya dan penahanan 17 petani di<br />

Mariah Hombang yang dilakukan tanpa prosedur hukum.<br />

Aparat yang diyakini juga bersama para preman bayaran<br />

melakukan intimidasi dan kekerasan.<br />

Keberpihakan Polres Simalungun terhadap pemodal kembali<br />

dipraktekkan saat buruh harian lepas PTPN IV Dolok<br />

Sinumbah berunjuk rasa menuntut hak mereka yang belum<br />

terpenuhi. Kapolres Simalungun, Alex Mandalika<br />

membubarkan aksi buruh harian lepas PTPN IV Dolok<br />

Sinumbah di depan kantor PTPN IV dengan alasan massa<br />

aksi tidak mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan<br />

(STTP). Padahal para buruh telah mengirim surat<br />

pemberitahuan aksi. Tindakan ini jelas mencerminkan<br />

represifitas negara dengan mengekang kebebasan berekspresi<br />

yang dijamin oleh UUD 1945 serta pembungkaman terhadap<br />

demokrasi.<br />

Abu Dujana<br />

Sementara itu, penanganan terhadap aksi-aksi terorisme di<br />

Indonesia menjadi catatan kelam tersendiri bagi aparat<br />

kepolisian. Lihat saja, bagaimana maraknya protes dari<br />

sejumlah pihak terhadap upaya Polri menangkap para<br />

tersangka terorisme itu. Yang terakhir adalah kasus<br />

penangkapan dan penembakan terhadap Abu Dujana. Dari<br />

keterangan sang anak, Sidiq Abdullah (8 thn), Dujana<br />

ditembak dalam keadaan menyerah tanpa perlawanan.<br />

Ironisnya, peristiwa ini juga terjadi dan dilakukan di<br />

hadapan sang anak yang masih kecil.<br />

Sedangkan pernyataan Kapolri yang meminta agar<br />

penembakan Abu Dujana dimaklumi, justru membenarkan<br />

adanya kesalahan. Jelas, hal ini patut di pertanggungjawaban<br />

secara hukum.<br />

Patut dihargai upaya Polri khususnya Datesemen 88 Anti<br />

Teror Mabes Polri untuk menangkap para pelaku kejahatan<br />

terorisme di Indonesia. Segala upaya memberantas aksi-aksi<br />

peledakan bom atau aksi kekerasan lainnya yang menimbulkan<br />

banyak korban jiwa tak bersalah, ketakutan serta rasa tidak<br />

aman kalangan masyarakat luas wajib kita dukung. Terlebih,<br />

upaya mengakhiri kejahatan terorisme merupakan upaya untuk<br />

melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia.<br />

Namun, segala upaya yang dilakukan oleh negara dan setiap<br />

lembaga penegak hukum tetap harus memperhatikan kaidahkaidah<br />

yang berlaku dalam hukum nasional maupun<br />

internasional. Undang-undang nasional maupun konvensi PBB<br />

membolehkan aparat penegak hukum untuk menggunakan<br />

kekuatan, termasuk dengan senjata api. Namun penggunaan<br />

kekuatan itu tidak boleh digunakan secara eksesif (berlebihan).<br />

Penegak hukum boleh menembak jika keadaan jiwa atau<br />

keselamatan orang lain terancam. Alasan Polri bahwa<br />

kemungkinan nyawa aparat atau keselamatan orang lain<br />

terancam jelas masuk akal. Namun pertanyaannya, apakah<br />

ancaman itu bersifat nyata (imminent) atau masih potensial <br />

Penggunaan kekuatan hanya boleh jika ancaman itu bersifat<br />

nyata. Penegak hukum tidak boleh menembak pelaku kejahatan<br />

yang dalam keadaan tidak melawan.<br />

Dan, bila Kapolri mengabaikan kritik, maka sikap Kapolri sama<br />

saja membiarkan terjadinya penyalahgunaan senjata api dalam<br />

tugas. Sikap ini kurang tepat dan bijaksana. Ini bukan kali<br />

pertama Densus 88 dikritik. Gaya penangkapan Densus 88 yang<br />

lebih mirip aksi penculikan juga sempat diprotes keras<br />

masyarakat Poso.<br />

Apapun kesalahan para pelaku kriminal, termasuk terorisme,<br />

harus dihadapi dengan proses hukum yang benar agar dapat<br />

dipertanggungjawabkan pada di muka peradilan. Penangkapan<br />

secara brutal malah dapat menjadi stimulus bagi gerakan<br />

terorisme untuk melancarkan aksi balas dendam yang akan<br />

berakibat fatal bagi masyarakat umum. Densus 88 sebagai tim<br />

khusus anti teror yang didukung oleh Amerika Serikat dan<br />

Australia, harus tampil memberi contoh terbaik penghormatan<br />

HAM dalam upaya penegakan hukum. ***<br />

“Setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajin diperlakukan secara manusiawi<br />

dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia tersebut”.<br />

(Pasal 10 (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik)<br />

“Siapapun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat penangkapan, alasan-alasan<br />

penangkapannya, dan harus segera diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan<br />

padanya”.<br />

(Pasal 9 (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik)<br />

24<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


REMPAH-REMPAH<br />

Sembilan Tahun Reformasi<br />

“Jalan Masih Belum Berakhir”<br />

Sembilan tahun sudah reformasi bergulir, sejak rejim orde baru Soeharto ditumbangkan oleh<br />

gerakan pemuda dan mahasiswa, yang didukung oleh masyarakat (21 Mei 1998). Meski<br />

tampuk kepemimpinan dan kekuasan bangsa terus berganti, namun reformasi tetap belum<br />

menghasilkan perubahan yang berarti bagi kehidupan dan keadilan bagi masyarakat.<br />

Kasus-kasus pelanggaran HAM terus diabaikan lewat berbagai mekanisme formal. Namun<br />

perjuangan korban untuk terus mengajak masyarakat ‘mengingat’ tak pernah berhenti.<br />

Sembilan tahun<br />

Dok.Kontras pula negara<br />

belum mampu<br />

menuntaskan<br />

dan membawa<br />

para pelaku<br />

pelanggaran<br />

berat HAM untuk<br />

diadili. Sembilan<br />

tahun tragedi<br />

Trisakti dan<br />

Semanggi I dan II<br />

serta tragedi Mei<br />

Tabur bunga untuk kasus TSS<br />

1998, jadi saksi<br />

bagaimana<br />

negara telah lalai memberikan keadilan dan kebenaran bagi<br />

warganya. Pemerintahan SBY-JK maupun wakil rakyat yang<br />

berkursi di gedung DPR, juga tidak pernah pula bersungguhsungguh<br />

dalam penyelesaian hukum kasus- kasus pelanggaran<br />

HAM.<br />

Kita mungkin tak akan bisa melupakan peristiwa berdarah<br />

tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan empat<br />

mahasiswa kusuma bangsa muda, Elang Mulya Lesmana,<br />

Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hertanto, yang telah<br />

menjadi pemicu lengsernya Soeharto dari Presiden (21/ Mei/<br />

1998). Nyawa merekalah yang kemudian melapangkan jalan<br />

bagi demokrasi yang ada sekarang ini. Mungkin, tanpa<br />

pengorbanan para perintis perubahan, kita tetap dibekap junta<br />

militer, dipasung birokrasi dan digerus oligarki.<br />

Namun fakta perjalanan penuntasan kasus pelanggaran HAM<br />

menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR seakan hendak<br />

melupakan sejarah reformasi. Sikap itu pemerintah SBY<br />

ditunjukkan melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang<br />

menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas Kasus<br />

Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998. Sedangkan Badan<br />

Musyawarah DPR menolak usulan Komisi III DPR agar pimpinan<br />

DPR meminta Presiden SBY segera membentuk pengadilan HAM<br />

adhoc untuk kasus ini (13/03/07).<br />

Fakta ini jelas merisaukan keluarga korban pelanggaran HAM.<br />

Untuk kasus Trisakti yang jelas-jelas turut mengantarkan<br />

jabatan yang dipangku Presiden dan anggota DPR saat ini saja<br />

mereka abai, apalagi kasus-kasus lain, seperti kasus pelanggaran<br />

HAM 1965, Tanjung Priok, Talangsari/Lampung, Tragedi Mei<br />

1998, Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Peristiwa 1965.<br />

Amanat reformasi<br />

Pemerintahan di bawah SBY-JK tak bisa dipungkiri memang<br />

tak menunjukkan “hati” dan keseriuasan atas semua<br />

peristiwa ini. Hati nurani mereka seolah telah hilang di bawah<br />

tampuk kekuasaan yang mereka miliki kini. Sementara<br />

perombakan kabinet terbatas yang baru saja dilakukan<br />

Presiden, juga belum menampakkan kesungguhan<br />

menjalankan amanat reformasi, terutama penegakan hukum<br />

dan HAM. Terbukti kentalnya politik kekuasaan dalam<br />

perombakan tersebut, yang ditandai tarik-menarik antar<br />

parpol untuk menduduki kursi menteri. Sehingga jelas bahwa<br />

sumber masalah adalah pengkhianatan komitmen reformasi<br />

dengan menelantarkan korban atas nama kepentingan<br />

kekuasaan.<br />

Sembilan Hari Peringatan Trisakti dan Mei 1998<br />

Sementara dalam rangka memperingati sembilan tahun<br />

reformasi, serangkaian acara digelar oleh korban, keluarga<br />

korban yang didampingi oleh <strong>KontraS</strong>. Selama hampir<br />

sembilan hari pula acara ini dilakukan. Dimulai pada (6/05)<br />

diskusi korban dengan para pemuda dan masyarakat dalam<br />

rangka menuntut negara<br />

menuntaskan kasus Mei.<br />

Serangkaian aksi juga<br />

digelar (11/05) ke DPR. Aksi<br />

tersebut dilakukan untuk<br />

menuntut para Dewan<br />

Perwakilan Rakyat (DPR)<br />

mempertanggungjawaban<br />

penolakan enam fraksi<br />

membawa kasus TSS ke<br />

paripurna. Aksi ini<br />

meminta DPR untuk segera<br />

m e n g e l u a r k a n<br />

rekomendasi pembentukan<br />

pengadilan HAM adhoc<br />

untuk kasus Mei dan TSS.<br />

Acara dilanjutkan dengan<br />

Dok.Kontras<br />

“Malam refleksi<br />

aksi tabur bunga untuk<br />

penuntasan kasus<br />

korban tragedi Mei 1998<br />

pelanggaran HAM” (12/05),<br />

dimana Usman Hamid,<br />

Romo Sandiyawan, Ibu<br />

Sumarsih menyampaikan bentuk perenungan bersama atas<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 25


REMPAH-REMPAH<br />

tragedi ini. Acara juga dilanjutkan dengan pemuntaran film<br />

dan paduan suara dari PMKRI. Keesokan harinya, bertepatan<br />

dengan peristiwa Mei 1998 (13/05) diadakan tabur bunga di<br />

Mall Klender, tabur bunga di depan istana Merdeka dan<br />

dilanjutkan dengan longmarch dari Istana menuju Hotel<br />

Indonesia.<br />

Sedang (14/05), diadakan audiensi ke Kejaksaan Agung.<br />

Audiensi ini diterima Kapuspenkum, Dirjen HAM (Zainuddin<br />

Arief), dan para staf-staf Kejaksaan Agung. Terjadi<br />

perdebatan tentang penafsiran pasal 43 UU 26/2000. Kontras<br />

dan keluarga korban menolak argumentasi bahwa tidak<br />

seharusnya Jaksa Agung menunggu pencabutan rekomendasi<br />

DPR, karena DPR bukan lembaga yudikatif. DPR hanya<br />

merekomendasikan pengadilan HAM adhoc, bukan<br />

menunjukkan ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Pada<br />

akhirnya, Dirjen HAM dan Kapuspenku Kejagung<br />

menjanjikan akan mencari jalan keluar perihal perbedaan<br />

pendapat tersebut.<br />

Setelah audiensi acara dilanjutkan dengan ziarah ke Pondok<br />

Rangon. Puncak acara digelar (15/05) digelar di tempat tinggal<br />

sebagian korban Mei 1998, Klender, Jakarta Timur, lewat acara<br />

Panggung Solidaritas “Bersama Mengikat Solidaritas untuk<br />

Penuntasan Kasus Mei.” Turut hadir dalam acara itu, anggota<br />

Komisi III DPR RI Nursyahbani Katjasungkana, artis Rike Diah<br />

Pitaloka, Suciwati, Sri Suparyati dan Mugiyanto. Acara berisi<br />

renungan, musikalisasi puisi, paduan suara dan pemutaran film<br />

Mei (Memecah Kebisuan).<br />

Telah terlalu banyak pengabaian-pengabaian yang dilakukan<br />

khususnya oleh Presiden dan DPR. Namun, kita tak akan diam<br />

akan semua pengabaian ini. Apapun kendala yang ada,<br />

perjuangan belum berakhir. Kita percaya meski telang<br />

berlangsung selama sembilan tahun, namun semangat untuk<br />

memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan<br />

keluarga korban tak akan berakhir sebelum para pelakunya<br />

menerima hukuman setimpal dengan apa yang telah<br />

dilakukannya. Termasuk perjuangan untuk melawan<br />

ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM lainnya ***<br />

Rangkaian kegiatan memeperingati tragedi Trisakti<br />

Doc.Kontras<br />

26<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


REMPAH-REMPAH<br />

Teror, paska kedatangan Hina Jilani<br />

Baru pertengahan Juni lalu, pemerintah Indonesia menerima kunjungan Wakil Khusus<br />

Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM Hina Jilani (5-12 Juni) serta<br />

menegaskan komitmennya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM.<br />

Namun pasca kepulangan Hina Jilani, masih terjadi beberapa peristiwa kekerasan<br />

terhadap pembela HAM di berbagai daerah.<br />

Akhirnya pemerintah Indonesia mengundang Wakil Khusus<br />

Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM, Hina Jilani untuk<br />

mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi<br />

perlindungan bagi pembela HAM. Hina Jilani juga mengunjungi<br />

Papua (8/6) dan Aceh (9/6) untuk bertemu dengan aparat<br />

pemerintah setempat serta mendengar langsung kesaksian para<br />

pembela HAM yang mengalami intimidasi dan kekerasan saat<br />

menjalankan kerja-kerja kemanusiaan.<br />

Di Jakarta, secara khusus Hina Jilani bertemu dengan Komite<br />

Solidaritas Aksi untuk Munir untuk mendapatkan informasi<br />

tentang perkembangan kasus ini. Sementara di Aceh, Hina Jilani<br />

menitikberatkan pada ketiadaan pencegahan serta<br />

penghukuman terhadap kasus-kasus kekerasan kepada pembela<br />

HAM pada saat darurat militer berlangsung.<br />

Saat bertemu dengan jajaran Muspida di Papua, Hina Jilani<br />

langsung mengkonfirmasikan kasus-kasus kekerasan terhadap<br />

para pembela HAM di Papua. Aparat Muspida di Papua,<br />

termasuk pihak kepolisian dan militer menjamin tidak adanya<br />

kebijakan untuk menyerang para pembela HAM dan bahkan<br />

berjanji untuk melindungi mereka.<br />

Ironisnya, pada hari yang sama kekerasan dan intimidasi justru<br />

diterima oleh Frederika Korain dan Pdt. Perinus Kogoya dari<br />

SKP Jayapura. Mobil mereka ditabrak oleh mobil yang<br />

dikendarai dua aparat yang mengaku sebagai Komandan Intel<br />

Kodam XVII Trikora dalam perjalanan dari bandara Sentani<br />

menuju Jayapura.<br />

Intimidasi juga diterima oleh Albert Rumbekwam Ketua Komnas<br />

Perwakilan di Papua, setelah bertemu dengan Hina Jilani di<br />

Papua. Albert menerima ancaman pembunuhan melalui telepon<br />

serta dibuntuti oleh orang-orang tak dikenal. Kantor Komnas<br />

HAM juga dikepung sementara rumahnya terus diawasi oleh<br />

orang-orang tersebut. Walaupun telah melaporkan kepada pihak<br />

kepolisian, namun intimidasi tersebut terus berlangsung sejak<br />

11 Juni.<br />

Hal serupa juga diterima oleh Yan Christian Warinussy Direktur<br />

Eksekutif LP3BH Manokwari, yang terus dimata-matai<br />

aktifitasnya, baik ketika berada di rumah maupun ketika berada<br />

di kantor. Peristiwa terjadi setelah pertemuannya dengan Hina<br />

Jilani, masing-masing pada (9/06) pukul 20.00 wib dan pukul<br />

23.00 wib (11, 16, 18, Juni ).<br />

Ancaman dan teror terhadap para pembela HAM juga diterima<br />

oleh dua orang staf LBH Medan Oktober Siahaan (Okto) dan<br />

Ahmad Irwandi, di Pengadilan Negeri Pancur Batu –<br />

Sumatera Utara (5/06). Pada saat melakukan pembelaan<br />

terhadap kliennya, mereka diancam dengan menggunakan<br />

senjata api oleh enam orang aparat TNI AD dari Batalyon<br />

Kavaleri (Yon Kav) 6 Kodam I/Bukit Barisan yang dipimpin<br />

oleh Lettu Bina Satria Sembiring dan diancam akan ditikam<br />

jika LBH meneruskan pembelaan terhadap klien mereka.<br />

Sementara Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI dan<br />

Interaksi Solidaritas antar elemen Masyarakat (Insan Mas)<br />

Solo mengalami intimidasi dan tindak kekerasan berupa<br />

ancaman dan pembubaran acara seminar nasional oleh<br />

Kapolsek Colomadu Karanganyar dan Kasat Intelkam Polres<br />

Karanganyar, pada (21/06) di Rumah Makan Taman Sari, Solo.<br />

Seminar Nasional dengan tema “Memperkuat Masyarakat<br />

Sipil Tanpa Kekerasan” dibubarkan dengan alasan atas<br />

permintaan kelompok Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS).<br />

Di Jakarta, Jhonson Panjaitan dan kawan-kawan yang<br />

tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan<br />

(SEMARAK) RCTI, mengalami tindak kekerasan berupa<br />

pemukulan, dan perusakan barang dari aparat keamanan<br />

Security Group Artha (SGA) pada (22/07) di depan gedung<br />

BEJ, ketika mereka melakukan unjuk rasa berkaitan dengan<br />

launching penjualan saham PT. MNC ke publik. Tujuan<br />

Jhonson dkk melakukan unjuk rasa untuk melindungi<br />

masyarakat calon investor dari kebohongan yang dilakukan<br />

PT. MNC dalam prosperktusnya di harian Seputar Indonesia.<br />

<strong>KontraS</strong> melaporkan peristiwa kekerasan tersebut ke Komnas<br />

HAM dan aparat kepolisian untuk mendapatkan perhatian<br />

yang khusus. Namun, baik Komnas HAM maupun aparat<br />

kepolisian tidak memberikan respon yang cukup untuk<br />

mendorong berjalannya proses hukum terhadap para pelaku.<br />

Makin marak<br />

Dari beberapa kejadian kekerasan dan teror yang diterima<br />

oleh para pembela HAM diatas, terlihat jelas bahwa sampai<br />

saat ini cara-cara kekerasan masih diberlakukan untuk<br />

membungkam kebebasan masyarakat sipil dan jaminan hakhak<br />

sipil masyarakat. Praktek-praktek intimidasi dan<br />

kekerasan makin marak dan dipertontonkan secara<br />

gamblang, baik secara fisik atau psikis. Ironisnya, tak satupun<br />

dari para pelaku kekerasan tersebut yang diadili secara<br />

transparan, sementara para korban pun tidak mendapatkan<br />

perbaikan kondisi secara layak. Kondisi ini yang membuat<br />

kekerasan terus berulang. Kekerasan dan ketiadaan<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 27


REMPAH-REMPAH<br />

penegakan hukum secara terang-terangan merupakan<br />

pelanggaran hukum dan konstitusi.<br />

memang hanya bisa membujuk dan mendesak pemerintah<br />

Indonesia untuk melakukan perubahan, “ katanya.<br />

Berkaitan dengan hal tersebut, Hina Jilani juga memberikan<br />

catatan-catatan<br />

khusus, termasuk<br />

selama dirinya<br />

mengetahui langsung<br />

kondisi tersebut di<br />

Indonesia. “Saya<br />

sangat prihatin<br />

mendengar kesaksian<br />

adanya intimidasi<br />

terhadap para<br />

pembela HAM masih<br />

terus berlanjut, “<br />

katanya di Jakarta,<br />

Selasa (12/06).<br />

Jilani mengatakan<br />

intimidasi yang<br />

terjadi ini dilakukan<br />

oleh polisi, militer dan<br />

badan keamanan atau<br />

badan intelijen. Selain<br />

mengintimidasi, kata<br />

dia, mereka juga<br />

Pertemuan Hina Jilani dengan KASUM<br />

melecehkan dan<br />

membatasi akses<br />

pembela HAM kepada<br />

ini.<br />

para korban di daerah-daerah dimana terjadi pelanggaran<br />

HAM, seperti di Papua Barat.<br />

Ia menyatakan mendapatkan laporan dari pihak yang dapat<br />

dipercaya mengenai serangkaian peristiwa yang melibatkan<br />

penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan intimidasi<br />

yang menghambat kebebasan pembela HAM untuk<br />

menyelidiki kasus pelanggaran HAM. Mereka yang berupaya<br />

untuk melindungi lingkungan hidup, hak atas tanah serta<br />

sumber-sumber alam juga tak mendapatkan perlindungan<br />

dari polisi.<br />

“Kondisi pembela HAM di Papua Barat merupakan isu yang<br />

akan saya tindak lanjuti, “ ujarnya. Jilani menyatakan, isu<br />

ini akan ia angkat di Dewan HAM PBB. Ia berharap<br />

pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap<br />

masalah yang terjadi di Papua Barat. “Dalam hal ini, saya<br />

Dalam pernyataannya setelah melakukan kunjungan di Indonesia<br />

sejak 5-12 Juni 2007,<br />

Jilani menyatakan<br />

Dok.KASUM<br />

pula bahwa ia<br />

menaruh perhatian<br />

khusus atas kasus<br />

pembunuhan<br />

Munir. Ia prihatin<br />

dengan munculnya<br />

kekhawatiran<br />

proses pengadilan<br />

dipengaruhi untuk<br />

melindungi pelaku<br />

pembunuhan. Jilani<br />

juga mengingatkan<br />

pemerintah<br />

Indonesia, bahwa<br />

kasus Munir<br />

menggambarkan<br />

situasi HAM secara<br />

umum. Ini<br />

merupakan ujian<br />

bagi pemerintah<br />

untuk melindungi<br />

pembela Hak Asasi<br />

Manusia di negeri<br />

<strong>KontraS</strong> sendiri berharap, pihak Komnas HAM sebagai lembaga<br />

yang kompeten dalam hal ini, memberikan perhatian serius<br />

terhadap maraknya tindakan kekerasan, termasuk yang<br />

ditujukan kepada pembela HAM. Perhatian serius tersebut harus<br />

diupayakan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya,<br />

termasuk mendorong kebijakan yang dapat mencegah terjadinya<br />

tindak kekerasan terhadap pembela HAM maupun penyelidikan<br />

atas kekerasan yang menimpa mereka.<br />

Karena segala bentuk tindak kekerasan aparat terhadap para<br />

Pembela HAM ini, jelas-jelas telah melanggar hukum pidana<br />

nasional dan Deklarasi Pembela HAM. Hal ini sangat merugikan,<br />

tidak hanya terhadap para Pembela HAM dan kerja-kerjanya<br />

melakukan promosi dan proteksi terhadap HAM, tetapi juga telah<br />

mencoreng muka Pemerintah Indonesia yang telah berupaya<br />

menunjukkan komitmennya dalam menghormati HAM dan<br />

melindungi para Pembela HAM.***<br />

“Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri sendiri maupun bersama-sama, untuk<br />

memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia<br />

dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional”.<br />

(Pasal 1 , Deklarasi hak dan kewajiban individu, kelompok dan badan-badan masyarakat untuk pemajuan dan perlindungan<br />

hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui secara universal)<br />

28<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


REMPAH-REMPAH<br />

Insiden Sutiyoso di Australia,<br />

‘Mengejar’ Pelaku Pelanggar HAM<br />

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso merasa dipermalukan, ketika polisi federal Australia<br />

memintanya memberikan keterangan di pengadilan untuk kasus Balibo. Respon keras muncul<br />

dari Indonesia. Mulai statement pejabat negara yang merasa dilecehkan, hingga demonstrasi<br />

kelompok-kelompok konservatif atas nama nasionalisme. Sikap berlebihan di tengah upaya<br />

bersama di tingkat internasional untuk mengadili para pelaku pelanggar HAM.<br />

Saat itu orang nomor satu di DKI Jakarta ini sedang berada di<br />

Australia. Tiba-tiba dua orang polisi federal Australia, sersan<br />

Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens, menerobos<br />

masuk ke kamar hotel tempat Sutiyoso menginap, Selasa (29/05)<br />

di Hotel Shangri-la, Sydney. Mereka meminta Sutiyoso<br />

menandatangani surat undangan untuk datang ke Pangadilan<br />

Sydney guna memberikan keterangan kasus Balibo. Merasa<br />

diperlakukan tidak sopan, sang gubernur marah besar. Dirinya<br />

menolak menandatangani surat tersebut. Bahkan, Sutiyoso<br />

langsung bergegas pulang dan kembali ke Jakarta.<br />

Insiden Sutiyoso ini langsung mendapat “simpatik” dari<br />

berbagai pejabat tinggi di Indonesia serta sejumlah demonstrasi<br />

yang digelar untuk memprotes aparat Australia terhadap<br />

Sutiyoso saat berada di Australia. Pada akhirnya Perdana<br />

Menteri Negara Bagian New South Wales (NSW) meminta maaf<br />

dan Sutiyoso pun “memaafkan”. Namun insiden ini<br />

membuktikan berlakunya universalitas HAM, dimana<br />

kewenangan mengadili pihak-pihak yang diduga melakukan<br />

pelanggaran HAM melewati jurisdiksi batas negara.<br />

Kasus pembunuhan jurnalis Australia di Balibo terjadi di Timor<br />

Leste pada tahun 1975, yang diduga melibatkan beberapa<br />

anggota Kopassus (dulu Kopashanda). Kasus ini adalah sebuah<br />

proses pencarian keadilan oleh keluarga korban di Timor Leste<br />

sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.<br />

Harus diadili<br />

Prinsip Internasional Hukum HAM menyatakan bahwa<br />

kejahatan berat HAM harus diadili dan setiap negara wajib<br />

mengambil langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut.<br />

Hal ini juga dipertegas Resolusi PBB 3074 yang disetujui pada 3<br />

Des 1973 oleh Majelis Umum PBB, tentang “Principles of<br />

international cooperation in the detection, arrest, extradition and punishment<br />

of persons quilty of war crimes and crimes against humanity”.<br />

Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Kepolisian Australia<br />

untuk kepentingan proses pengadilan Kasus Balibo merupakan<br />

implementasi dari berbagai prinsip hukum HAM internasional<br />

dan resolusi PBB di atas. Dan seharusnya pemerintah Indonesia<br />

yang menjadi bagian dari anggota PBB dan komunitas<br />

internasional juga mengambil langkah efektif untuk menjamin<br />

terselenggaranya proses pengadilan tersebut, bukan menjadikan<br />

proses hukum ini menjadi masalah politik.<br />

Koordinator Human Right working Group Refendi Djamin,<br />

mengatakan,” Pemerintah Negara Bagian New South Wales<br />

sudah meminta maaf, tetapi tidak berarti perkara selesai.<br />

Pengadilan belum mencabut permintaan bersaksi kepada<br />

Sutiyoso.” Pengadilan New South Wales, kata Rafendi, masih<br />

mungkin mengirimkan surat permohonan ke Sutiyoso untuk<br />

bersaksi atas kasus terbunuhnya lima wartawan ini. Jika<br />

surat tidak ditanggapi, mereka dapat minta bantuan polisi<br />

internasional untuk mendatangkan Sutiyoso.<br />

Peristiwa yang menimpa Sutiyoso ini bukanlah kasus<br />

pertama. Sebelumnya, Jend Wiranto pernah dicekal oleh<br />

pemerintah AS karena terlibat pelanggaran HAM di Timor<br />

Leste, 1999. Sementara Letjen Johny Lumintang, mantan<br />

WAKASAD semasa referendum 1999, digugat perdata oleh<br />

keluarga korban Timor Leste di pengadilan kota Washington,<br />

Amerika Serikat. Nasib serupa diterima Sintong Panjaitan,<br />

yang digugat di pengadilan kota Boston, Amerika Serikat<br />

karena dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan di<br />

makam Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991.<br />

Tak ada alasan<br />

Disisi lain, pemerintah semestinya mengambil langkah<br />

kooperatif dan menjamin kesediaan dan kerjasama siapapun<br />

untuk mengikuti proses pengadilan. Tak ada alasan bagi<br />

Pemerintah Indonesia untuk menggunakan pendekatan<br />

diplomatik dan menuntut jaminan kekebalan hukum atas<br />

seorang warga negara yang diminta menjadi saksi peristiwa<br />

kejahatan internasional.<br />

Sebagaimana diatur tegas dalam pembukaan UUD 45,<br />

Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berperan<br />

aktif dalam usaha perdamaian dunia. Dalam konteks ini, salah<br />

satu usaha perdamaian tersebut adalah melaksanakan semua<br />

instrumen hukum HAM internasional serta memerangi<br />

semua tindak kejahatan HAM berat yang terjadi di muka<br />

bumi. Sebagai anggota Dewan HAM dan sebagai bagian dari<br />

komunitas Internasional yang tunduk dan terikat dalam<br />

berbagai instrumen hukum HAM internasional, Indonesia<br />

wajib menunjukan implementasi berbagai prinsip hukum<br />

HAM internasional dalam kasus tersebut.<br />

Sikap yang ditunjukkan dengan memberi proteksi berlebihan<br />

terhadap Sutiyoso maupun Yunus Yosfiah atau para tertuduh<br />

lain, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip no<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 29


REMPAH-REMPAH<br />

save heaven yang menentang impunitas terhadap kejahatan<br />

berat internasional.<br />

Sementara itu, pemberian jaminan immunity terhadap<br />

siapapun yang terlibat kejahatan itu menyalahi prinsip<br />

internasional. Immunity memang masih diakui hukum<br />

internasional namun dibatasi terhadap Kepala Negara yang<br />

masih menjalankan fungsi pemerintahan.<br />

Perkembangan ini sesuai dengan kemajuan Hukum HAM<br />

internasional. Apalagi dalam konteks kejahatan yang<br />

dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, seperti<br />

penyiksaan, pembunuhan, penghilangan paksa. Kejahatankejahatan<br />

seperti ini yang dilakukan oleh siapa saja pasti<br />

akan di hukum. Jika pelakunya masih menjadi Kepala Negara<br />

maka setelah masa jabatannya berakhir dia akan tetap di adili<br />

dan ini menjadi kewajiban seluruh Negara di dunia. Hal ini juga<br />

dipertegas dalam doktrin hukum internasional dengan istilah<br />

“Hostis Humanis Generis”, musuh seluruh umat manusia.<br />

Dalam konteks ini, siapapun yang diduga terlibat, tidak berhak<br />

mendapatkan immunity. Sebagai negara yang memiliki<br />

konstitusi yang berisi pernyataan keikutsertaannya dalam<br />

perdamian dunia seharusnya langkah yang diambil dalam kasus<br />

Sutiyoso cukup dengan memberikan bantuan hukum dengan<br />

menyediakan pengacara untuk Sutiyoso maupun para pelaku<br />

yang lain. Sekaligus membuktikan komitmennya sebagai Negara<br />

beradab dan tunduk pada kesepakatan PBB.***<br />

Reshuffle Harus Bisa Perbaiki Penegakan Hukum & HAM<br />

Pada akhirnya, setelah terus “ditekan” hingga menjadi<br />

bahan perbincangan di hampir tiap lapisan masyarakat,<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan<br />

perombakan kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/<br />

05) pukul 15.00 Wib. Empat menteri dan satu pejabat<br />

setingkat menteri dicopot serta dua menteri dirotasi.<br />

Menurut Presiden, pencopotan menteri dan kabinet<br />

bukanlah suatu musibah.<br />

Empat menteri yang dicopot dari kabinet Indonesia bersatu<br />

dalam perombakan kabinet kedua adalah Menteri Sekretaris<br />

Negara Yusril Ilza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM<br />

Hamid Awaluddin, Menteri Negara BUMN Sugiarto, dan<br />

Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah<br />

Tertinggal Saifullah Yusuf, serta Jaksa Agung Abdul Rahman<br />

Saleh.<br />

Dari empat menteri yang dicopot tersebut, dua menteri<br />

yakni Menteri Hukum dan HAM dipegang oleh Andi<br />

Mattalata, sedangkan Jaksa Agung dipercayakan pada<br />

Hendarman Supandji.<br />

Sementara saat serah terima jabatan dari Jaksa Agung<br />

Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung Hendarman Supandji<br />

menyatakan akan melanjutkan pembaruan kejaksaan<br />

melalui pembenahan internal. Ia juga akan bekerjasama<br />

dengan instansi penegak hukum lainnya agar lebih efisian<br />

dan efektif. Dalam kesempatan tersebut, mantan Jaksa<br />

Agung Abdul Rahman Saleh meminta Hendraman agar<br />

tidak melupakan kasus Munir, kasus BLBI dan kasus<br />

Soeharto.<br />

Sedangkan Menteri Hukum & HAM baru, Andi Mattalata<br />

berjanji akan menghilangkan korupsi di departemennya. Ia<br />

menegaskan Depkum & HAM sebagai lembaga yang<br />

mengurusi hukum harus memberi teladan yang baik bagi<br />

departemen lainnya.<br />

Menyisakan pekerjaan rumah<br />

Pada akhirnya, dengan terpilihnya Jaksa Agung dan Menteri<br />

Hukum dan HAM yang baru, kita berharap akan ada banyak<br />

perubahan. Khusus untuk Jaksa Agung baru, Hendarman<br />

Supandji, dituntut agar dirinya pro aktif dalam menyelesaikan<br />

kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini adalah<br />

sebuah parameter utama, apakah pejabat Jaksa Agung hasil<br />

reshuffle membawa perubahan dibanding sebelumnya.<br />

Hal tersebut dikarenakan lantaran dua setengah tahun<br />

perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu Pemerintahan SBY-JK,<br />

kinerja Jaksa Agung menyisakan pekerjaan rumah yang selama<br />

ini diendapkan. Diantaranya, Jaksa Agung belum menyidik<br />

kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Padahal ini adalah janji<br />

SBY saat kampanye Pilpres 2004 lalu, yaitu komitmen<br />

menyelesaikan kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat.<br />

Kasus pelanggaran HAM berat yang harus segera disidik<br />

adalah tragedi Trisakti Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998 serta<br />

kasus Wasior dan Wamena. Jaksa Agung baru ada baiknya<br />

merubah sikap akhir tahun lalu yang menolak menindaklanjuti<br />

kasus penculikan aktivis 1997/1998. Sikap yang akhirnya<br />

digunakan DPR untuk mempolitisasi kasus-kasus pelanggaran<br />

HAM berat dalam lembaga rakyat. Baik Jaksa Agung maupun<br />

DPR abai terhadap pemenuhan keadilan bagi korban dan<br />

keluarganya. Begitu pula dengan kasus pembunuhan aktivis<br />

HAM Munir, Jaksa Agung sebaiknya membuat terobosan.<br />

Sementara, Menteri Hukum dan HAM yang baru, Andi<br />

Mattalatta, sebaiknya segera mereview semua produk<br />

rancangan perundang-undangan yang bertentangan dengan<br />

HAM. Review ini digunakan sebagai patokan kebijakan yang<br />

dibuat sendiri oleh Pemerintah yaitu, Keputusan Presiden<br />

tentang RAN HAM 2003-2008. RUU-RUU itu antara lain RUU<br />

Rahasia Negara, RUU Peradilan Militer, RUU Intelijen, RUU<br />

KUHP hingga Perda-perda yang bertentangan dengan<br />

konstitusi.<br />

Yang paling penting adalah, Jaksa Agung dan Menhukham<br />

yang baru, harus dapat membebaskan diri dari kepentingan<br />

politik. Keduanya harus menegaskan komitmennya terhadap<br />

hukum dan HAM. Agar hasil reshuffle tak sia-sia, keduanya<br />

harus mengambil langkah-langkah hukum yang progresif.<br />

Terobosan hukum, pertemuan antar lembaga negara, termasuk<br />

Mahkamah Agung dan para ahli hukum internasional menjadi<br />

hal yang penting untuk segera dilakukan.***<br />

30<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


REMPAH-REMPAH<br />

Korban Penculikan Belum Kembali, Tim Mawar Sudah Bebas<br />

Negara kembali menunjukkan ketidaktegasan dan<br />

ketidakjelasan sikap politiknya dalam kasus-kasus pelangaran<br />

HAM berat yang terjadi sepanjang 1997-1999. Pernyataan Jaksa<br />

Agung Hendarman Supanji yang akan menggunakan<br />

mekanisme penyelesaian tindak pidana biasa untuk<br />

penyelesaian kasus TSS, Mei dan Penculikan Aktivis, telah<br />

menyakiti perasaan korban dan keluarga korban yang telah<br />

menanti keadilan selama bertahun-tahun. Pernyataan ini juga<br />

jelas mendelegitimasi kerja instansi hukum lainnya, yakni<br />

penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan adanya dugaan<br />

tindakan pelanggaran berat HAM untuk kasus-kasus tersebut.<br />

Sementara itu, <strong>KontraS</strong> mendapat informasi yang cukup<br />

mengejutkan, yang mengungkapkan beberapa orang terdakwa<br />

(Kopassus) pelaku penculikan aktifis yang dikenal sebagai Tim<br />

Mawar, mereka justru<br />

mendapatkan promosi<br />

dan menempati<br />

jabatan yang strategis<br />

dalam lingkungan TNI.<br />

Mereka adalah;<br />

1. Letkol Fausani<br />

Syahrial Multhazar,<br />

Dandim 0719 Jepara.<br />

2. Letkol Untung Budi<br />

Harto, Dandim 1504<br />

Ambon.<br />

3. Letkol Dadang<br />

Hendra Yuda, Dandim<br />

0801 Pacitan.<br />

4. Letkol Djaka Budi<br />

Utara, DanYon 115<br />

Macan Leuser.<br />

Sebelumnya Putusan<br />

Tingkat I Mahkamah<br />

Militer menjatuhkan<br />

pidana dan pemecatan<br />

pada lima dari 11<br />

terdakwa tim mawar<br />

Kopassus TNI AD tersebut. Enam lainnya hanya dikenai sanksi<br />

penjara. Selanjutnya, pada tingkat banding, 10 anggota<br />

terdakwa tersebut hanya mendapat hukuman pidana.<br />

Sedangkan yang dijatuhi sanksi tambahan berupa pemecatan<br />

hanya dikenakan terhadap komandan tim, Mayor Inf Bambang<br />

Kristiono.<br />

Dari penjelasan Panglima TNI melalui media, dinyatakan bahwa<br />

karier militer anggota Tim Mawar sempat terhambat beberapa<br />

tahun. “Akan tetapi, itu sudah dihitung dalam perjalanan karier<br />

mereka. Memang ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi<br />

sehingga mereka bisa diperlakukan sama dengan yang lainnya,<br />

“ ungkap Djoko tanpa merinci persyaratannya. “Jadi, mereka<br />

bisa saja aktif lagi. Dihukum, kan, bukan berarti lalu...(tak<br />

diteruskan). Kecuali, jika mereka memang dipecat.” (Kompas, 16<br />

Mei 2007).<br />

<strong>KontraS</strong> dan keluarga korban (22/05/2007), sebelumnya<br />

menanyakan perkembangan kasus ini kepada Mahkamah<br />

Agung melalui Juru Bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko.<br />

Namun, pihak Mahkamah Agung justru menyatakan tidak<br />

mengetahui putusan peradilan militer tersebut. Ketertutupan<br />

seluruh proses ini membuat kontrol publik terhambat.<br />

Paska pertemuan (22/05/2007), Ketua Mahkamah Agung, Bagir<br />

Manan menyampaikan dalam siaran persnya bahwa kasus<br />

penculikan sembilan aktivis pro demokrasi yang dilakukan<br />

Tim Mawar itu, hanya sampai ditingkat banding yakni<br />

Mahkamah Militer Agung dan tidak sampai kasasi di tingkat<br />

MA.<br />

Malah<br />

promosi<br />

dapat<br />

Dari awal, kita dapat<br />

menebak bahwa<br />

penerapan hukum<br />

pidana biasa termasuk<br />

pidana militer hanya<br />

untuk membatasi<br />

pelaku sebatas pelaku<br />

di lapangan. Selain itu,<br />

akses publik terhadap<br />

peradilan militer,<br />

sejauh ini dapat<br />

dikatakan tertutup<br />

bahkan ditutuptutupi.<br />

Pemberian<br />

jabatan strategis<br />

dalam lingkungan TNI<br />

Dok.Kontras<br />

Persidangan Tim Mawar Kopassus untuk kasus penculikan<br />

kepada empat orang<br />

terdakwa di atas,<br />

mempertegas soal<br />

ketertutupan itu.<br />

Apalagi sejak 1999<br />

keluarga korban yang<br />

mencoba untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus<br />

lewat surat maupun permohonan pertemuan tidak pernah<br />

direspon.<br />

Di sisi lain, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan<br />

Kehormatan Perwira (salah anggotanya, Letjen Susilo<br />

Bambang Yudhoyono-Kassospol ABRI, ketika itu) pada<br />

Agustus 1998 hanya menghukum Letjen Probowo dengan<br />

pengakhiran masa tugas, sementara Mayjen Muchdi PR dan<br />

Kolonel Inf Chairawan K. Nusyirwan hanya mendapat sanksi<br />

pembebasan tugas dari jabatan. Panglima Kodam Jaya ketika<br />

itu Syafrie Syamsudin yang juga diakui keterlibatannya oleh<br />

Prabowo tidak tersentuh. Letjen Syafrie Syamsudin justru<br />

mendapatkan jabatan sebagai Sekjen Dephan, Muchdi PR<br />

sebagai Deputi V BIN dan Brigjen Chairawan, sebagai mantan<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 31


REMPAH-REMPAH<br />

Korem Lilawangsa dan sekarang menjabat<br />

Kaposwil NAD BIN.<br />

Terlepas dari apapun sanksi yang diputus<br />

oleh pengadilan, masih aktifnya para pelaku<br />

bahkan memperoleh jabatan strategis ini<br />

menunjukkan bahwa kejahatan serius yang<br />

mereka lakukan hanya dipandang sebagai<br />

pelanggaran ringan oleh TNI. Semestinya<br />

ada ukuran yang jelas untuk promosi atau<br />

kenaikan jabatan strategis TNI, termasuk<br />

tidak terlibat dalam tindak pidana apalagi<br />

pelanggaran HAM berat.<br />

Pemberian jabatan strategis bagi para pelaku<br />

tindak pelanggaran HAM berat ini justru<br />

mencoreng reformasi TNI. Situasi ini menunjukkan ketiadaan<br />

efek jera yang turut menyumbang peran dalam terjadinya<br />

kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya pada kasus Munir<br />

‘Terlepas dari apapun<br />

sanksi yang diputus<br />

oleh pengadilan, masih<br />

aktifnya para pelaku<br />

bahkan memperoleh<br />

jabatan strategis ini<br />

menunjukkan bahwa<br />

kejahatan serius yang<br />

mereka lakukan hanya<br />

dipandang sebagai<br />

pelanggaran ringan oleh<br />

TNI”<br />

yang diduga kuat melibatkan Muchdi PR<br />

diantara pelakunya. Bila tiada<br />

penghukuman yang maksimal bagi para<br />

pelaku kejahatan itu, maka sesungguhnya<br />

masyarakat luas dalam ancaman hidup<br />

bersama diantara para penjahat<br />

kemanusiaan.<br />

Oleh karenanya, <strong>KontraS</strong> bersama korban<br />

dan keluarga korban kembali mendesak<br />

Jaksa Agung segera membentuk tim<br />

penyidik untuk melakukan penyidikan<br />

kasus kasus pelanggaran berat HAM.<br />

Sedangkan kenaikan pangkat dan<br />

pengangkatan anggota Tim Mawar sebagai<br />

perwira dan pejabat strategis di<br />

lingkungan TNI, <strong>KontraS</strong> meminta DPR untuk memanggil<br />

Panglima TNI mengklarifikasi promosi terhadap mereka itu.***<br />

Jaksa Agung Harus Merujuk Pada Pengadilan HAM<br />

Bila ditelaah lebih dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM untuk kasus penculikan aktivis 1997/1998,<br />

maka terdapat beberapa penekanan terpenting pada adanya perbedaan kelompok korban yaitu kelompok<br />

korban yang telah kembali dan kelompok korban yang belum diketahui nasib dan keberadaannya. Terhadap<br />

13 orang korban yang hingga sekarang belum kembali harus dipandang berbeda dengan para korban yang<br />

telah kembali. Status para korban yang belum kembali adalah bahwa “mereka masih hilang hingga sekarang,<br />

belum diketahui dimana nasib dan keberadaannya. “<br />

Dalam kondisi seperti ini, statue of limitation (batas kadaluarsa) tidak berlaku, mengingat nasib dan keberadaan<br />

korban belum diketahui. Sehingga terhadap 13 orang korban tersebut, status kasusnya masih berlangsung<br />

hingga sekarang atau biasa disebut sebagai kejahatan berkelanjutan (continuing crime). Sebuah analisis<br />

instrumen intemasional tentang “Orang Hilang”, Nunca Mas, dalam Human Rights Quarterly, vol. 19, 1997<br />

dalam Amsterdam Law Clinic menyebutkan bahwa: “ Praktek penghilangan orang secara paksa khususnya bagi<br />

beberapa korban yang belum kembali, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya sejak kasus penghilangan paksa tersebut<br />

berhenti, maka kondisi seperti itu, menyebabkan kasus penghilangan paksa tidak mengenal batasan waktu (statue of limitation)<br />

mengingat tidak diketahuinya penahanan, keberadaan dan nasib para korban. Karena hal ini merupakan bagian yang cukup<br />

penting dari kejahatan itu sendiri. “<br />

Begitu pun penjelasan dalam Deklarasi Perlindungan terhadap Penghilangan Orang Secara Paksa - dimana<br />

Indonesia juga terikat secara moral sebagai anggota PBB dan sebagai anggota dewan HAM PBB untuk<br />

melakukan penyelidikan sepanjang nasib korban penghilangan orang secara paksa belum diklarifikasi.<br />

Pendapat Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang akan menyelesaikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II,<br />

Peristiwa Mei 1998 dan Penculikan & Penghilangan aktivis 1997-1998, dalam kerangka pidana biasa,<br />

merupakan pencederaan perjuangan keluarga korban-yang telah berjuang sekian lama mencari keadilan<br />

dan kebenaran.<br />

Selain itu, penyelesaian dengan pidana biasa tidak akan berbeda jauh kualitas penghukumannya dengan<br />

proses pengadilan Tim Mawar melalui mahkamah militer, yang gagal membongkar kebijakan, rantai komando<br />

kejahatan penghilangan orang serta gagal mengungkap ke 13 orang yang masih tidak diketahui nasib dan<br />

keberadaannya. Kegagalan negara menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, seperti penculikan dan<br />

penghilangan orang secara paksa 1997-1998, seakan memberi jalan bagi para pelaku untuk menikmati<br />

impunity bahkan memperoleh promosi. Akhirnya keadilan masih berupa nyanyian sunyi. ***<br />

32<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


REMPAH-REMPAH<br />

No Nama Putusan Tingkat I<br />

Semuanya mengajukan Banding<br />

1. Mayor Inf Bambang<br />

Kristiono (Komandan<br />

Tim Mawar)<br />

2. Kapten Inf Fausani<br />

Syahrial Multhazar<br />

(Wakil Komandan Tim<br />

Mawar)<br />

3. Kapten Inf Nugroho<br />

Sulistiyo Budi<br />

4. Kapten Inf Yuius<br />

Selvanus<br />

5. Kapten Inf Untung<br />

Budi Harto<br />

Tabel Hasil Pengadilan<br />

Tim Mawar<br />

Dipidana 1 tahun 10 bulan penjara<br />

dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI<br />

AD<br />

1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />

dari dinas ABRI cq TNI AD<br />

1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />

dari dinas ABRI cq TNI AD<br />

1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />

dari dinas ABRI cq TNI AD<br />

1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />

dari dinas ABRI cq TNI AD<br />

Putusan Tingkat II<br />

INKRACHT<br />

Dipidana 1 tahun 10<br />

bulan penjara dan<br />

dipecat dari dinas<br />

ABRI cq TNI AD<br />

Dipidana 3 tahun<br />

penjara dan tidak<br />

dipecat dari dinas<br />

TNI AD<br />

Dipidana 2 tahun 10<br />

bulan penjara dan<br />

tidak dipecat dari<br />

dinas TNI AD<br />

Dipidana 2 tahun 6<br />

bulan penjara dan<br />

tidak dipecat dari<br />

dinas TNI AD<br />

Dipidana 2 tahun 6<br />

bulan penjara dan<br />

tidak dipecat dari<br />

dari dinas TNI AD<br />

6. Kapten Dadang 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />

Hendra Yuda<br />

7. Kapten Inf Djaka Budi 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />

Utama<br />

8. Kapten Inf Fauka Noor 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />

Farid<br />

9. Serka Sunaryo 1 tahun 1 tahun<br />

10. Serka Sigit Sugiarto 1 tahun 1 tahun<br />

11. Sertu Sukadi 1 tahun 1 tahun<br />

“Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku<br />

dan harus memperoleh konsekwensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional”<br />

(Pasal 5 Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang<br />

dari Tindakan Penghilangan Paksa)<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 33


REMPAH-REMPAH<br />

Dendang-Dendang Kebringasan<br />

(Josef B.Kalengkongan)<br />

Dendang-dendang kebringasan<br />

Gubahan komponis-komponis sadis<br />

Iringi kematian tak wajar berjuta anak banga<br />

Dendang-dendang kebringasan<br />

Torehkan sejarah hitam pekat<br />

Bangsa ranah dan santun jadi bar-bar<br />

Rekayasa gestok enam lima<br />

Didendangkan<br />

Dalam pengingkaran bait-bait supermar<br />

Bau busuk mayat-mayat terbantai<br />

Lebih merangsang gairah sang komponis<br />

Ada dendang khusus di Serambi Mekah Aceh<br />

Disana juga banyak darah membasahi bumi<br />

Di Papua ujung timur tanah pertiwi<br />

Ada Theis dibunuh<br />

Di pinggiran utara Kota Metropolitan<br />

Di Tanjung Priuk<br />

Jamaah dibantai<br />

Mengikuti alunan dengan-dendang klasik<br />

Juga korban berjatuhan di Talangsari<br />

Ada rekayasa kerusuhan Mei Sembilan Delapan<br />

Penjarahan perampokan<br />

Penganiayaan pembunuhan dan perkosaan<br />

Mengisi kalimat-kalimat bait lagu<br />

Dendang-dendang lewat moncong bedil<br />

Digelar di Trisakti dan Semanggi<br />

Disana putera terbaik bangsaku mengerang sakit dan gugur<br />

Kata orang Republik-ku negara hukum<br />

Eh, Petrus sang eksekutor melanglang nusantara<br />

Mengikuti dendang lagu menyebar maut<br />

Aktivis pro demokrasi diculik dan hilang tak berbekas<br />

Ada wartawan Udin yang juga merenggang nyawa<br />

Dihabisi karena tekadnya mengungkap kakaen<br />

Srikandi Marsinah pahlawan kaum pekerja<br />

Dengan tabah dan gagah berpacu dengan maut<br />

Akhirnya tewas oleh konspirasi yang misterius<br />

Dendang-dendang kebringasan<br />

dengan aksara-aksara bait yang beda<br />

ada tangan-tangan berdarah dingin<br />

hadir di pesta saling bantai bermotif sara<br />

Ambon Maluku tidak lagi manise<br />

Dan damai rukun jadi langkah di bumi Poso<br />

Dendang kebringasan<br />

Masihkah hilang hati nuranimu<br />

34<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007


Peringatan Week Of The Disappeared Di Filipina<br />

KABAR DARI SEBERANG<br />

KABAR DARI SEBERANG<br />

Pada peringatan Week of the Disappeared atau sepekan anti<br />

penghilangan paksa pada tahun ini, Asean Federation Against<br />

Involuntary Disappearances (AFAD) memusatkan peringatannya<br />

di Philipina. Bentuk kegiatan yang dilakukan yaitu penanaman<br />

pohon oleh masing-masing anggota AFAD di Manila dan<br />

pelatihan dokumentasi di Provinsi Ilocos Norte, Philipina.<br />

Kegiatan ini diikuti oleh Anggota AFAD yang berasal dari<br />

Kashmir, Nepal, India, Srilangka, Thailand, Philipina dan<br />

Indonesia. Peserta dari Indonesia diwakili oleh dua orang yaitu,<br />

Edwin Partogi (<strong>KontraS</strong>) dan Agnes T. Gurning (IKOHI). Pada<br />

kegiatan penanaman pohon yang dilakukan pada 30 Mei di tugu<br />

Bantayog ng Mga Bayani (semacam tugu proklamasi di Jakarta,<br />

namun tugu ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap<br />

perjuangan menumbangkan rejim Marcos), kegiatan ini dihadiri<br />

oleh sejumlah duta-duta besar seperti Perancis, Nepal, Belanda,<br />

dan lainnya. Selain itu juga dihadiri oleh keluarga korban orang<br />

hilang di Philipina dan pers setempat.<br />

Pada kesempatan ini turut memberikan sambutan yaitu Duta<br />

Besar Perancis, diplomat yang pernah ditugaskan di Indonesia<br />

pada era 70-an ini memprihatinkan masih terjadinya praktek<br />

penghilangan paksa dan meminta agar negara-negara anggota<br />

PBB yang khususnya (negara-negara anggota AFAD, red.)<br />

dimana praktek itu masih berlangsung, untuk meratifikasi<br />

konvensi anti penghilangan paksa yang diterbitkan oleh PBB.<br />

Dalam kesempatan itu juga dipertunjukan teaterikal yang<br />

menggambarkan fenomena orang hilang.<br />

Dalam kegiatan penanaman pohon, semua anggota AFAD<br />

menanam tunas pohon yang telah disiapkan dengan nama<br />

negara atau wilayah masing-masing didepannya.<br />

Penanaman pohon ini dimaksudkan sebagai bentuk harapan<br />

yang terus dipupuk untuk tumbuh dan berbuah bagi<br />

perlindungan dari tidakan penghilangan paksa maupun<br />

pemulihan hak-hak korban.<br />

Usai acara Tree Planting, penanaman pohon, para anggota<br />

AFAD beserta undangan dari 5 perwakilan NGO Philipina,<br />

mengikuti kegiatan Seminar-Workshop tentang Pencarian<br />

Fakta dan Dokumentasi dengan tema “Reclaming Stolen<br />

Lives.” Pelatihan ini dilaksanakan selama 5 hari di Fort<br />

Ilocandia Resort, di propinsi Ilocos Norte, Philipina.<br />

Peringatan pekan orang hilang dilaksanakan oleh AFAD ini<br />

sangat bermanfaat bagi forum tukar pengalaman dan<br />

peningkatan kapasitas antar anggota. Pertemuan semacam<br />

ini menghadirkan spirit baru bagi perjuangan melawan<br />

penghilangan paksa.<br />

Dok.Kontras<br />

Ketua AFAD Aileen Bacalso saat memberi sambutan<br />

Aksi teaterikal oleh peserta Week of Disappeared<br />

Dok.Kontras<br />

Berita Kontras No.03/V-VI/2007 35

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!