Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>KontraS</strong><br />
<strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang<br />
dan Korban Tindak Kekerasan)<br />
dibentuk untuk menangani persoalan<br />
penculikan beberapa aktivis yang<br />
diduga berhubungan dengan<br />
kegiatan politik yang mereka lakukan.<br />
Dalam perjalanannya <strong>KontraS</strong> tidak<br />
hanya menangani masalah<br />
penculikan dan penghilangan orang<br />
secara paksa tapi juga diminta oleh<br />
masyarakat korban untuk menangani<br />
berbagai bentuk kekerasan yang<br />
terjadi baik secara vertikal di Aceh dan<br />
Papua maupun secara horizontal<br />
seperti di Maluku, Sambas, Sampit<br />
dan Poso. Selanjutnya, ia<br />
berkembang menjadi organisasi yang<br />
independen dan banyak berpartisipasi<br />
dalam membongkar praktek<br />
kekerasan dan pelanggaran hak asasi<br />
manusia sebagai akibat dari<br />
penyalahgunaan kekuasaan.<br />
<strong>KontraS</strong> diprakarsai oleh beberapa<br />
organisasi non pemerintah dan satu<br />
organisasi mahasiswa, yakni: AJI,<br />
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM,<br />
LPHAM, YLBHI dan PMII<br />
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,<br />
Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, ,<br />
Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi,<br />
Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar,<br />
Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri,<br />
Daud.<br />
Federasi Kontras: Oslan P dan<br />
Bustami.<br />
Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara),<br />
Pieter Ell (Papua).<br />
Edmond LS (Kontras Sulawesi)<br />
Badan Pekerja Kontras dibantu oleh<br />
relawan-relawan yang tersebar<br />
di seluruh Indonesia<br />
Redaksi Berita <strong>KontraS</strong> menerima<br />
kritik, saran dan tulisan untuk Berita<br />
<strong>KontraS</strong><br />
2<br />
Salam dari Borobudur<br />
Salam redaksi<br />
Kekerasan kembali terjadi, korbannya warga kebanyakan dan pelakunya aparat TNI.<br />
Berita seperti ini seakan tak asing kita dengar. Namun, bila kekerasan itu berakhir<br />
dengan tercabut empat nyawa warga yang tak bersenjata, yang hanya terbiasa<br />
mengayuh pacul dilahan subur, atau ibu dan anak yang tengah berdekapan. Tentu<br />
peristiwa itu akan menjadi sorotan masyarakat, sebagai tragedi kemanusiaan. Tragedi<br />
Alastlogo, Pasuruan (30/05), kembali menghenyakan kita bahwa aparat kekerasan negara<br />
masih dengan enteng melepas peluru panas pada rakyatnya sendiri yang seharusnya<br />
dilindungi.<br />
Konflik antara warga Alastlogo dan pihak aparat TNI AU di Pasuruan ini bukan kali<br />
pertama yang memakan korban. Persoalan tanah sengketa menjadi cerita lama yang<br />
terulang. Cerita bagaimana aparat merasa berhak atas sejumlah hektar tanah yang<br />
sudah lama menjadi tempat rakyat menyadarkan keberlangsungan hidupnya. Ini bukan<br />
kali pertama, karena di sejumlah wilayah, konflik memperebutkan tanah juga terjadi.<br />
Buntutnya, jiwa-jiwa rakyat kecil harus melayang ketika senapan dan kekerasan menjadi<br />
pilihan yang dilakukan oleh aparat. Tragedi Alastlogo menjadi bahasan utama dalam<br />
buletin edisi kali ini.<br />
Sementara itu di sejumlah daerah, kekerasan seakan sebuah cerita yang tak henti<br />
terulang. Di Medan, Tegal, Makassar, aparat melakukan bertindak bak jagoan dalam<br />
film-film seri Hollywood ketika berhadapan dengan rakyat kecil. Disisi lain, untuk para<br />
pembela HAM, jiwa tetap menjadi taruhan yang begitu mahal. Ironisnya setelah<br />
kedatangan Hina Jilani, kawan-kawan kita di Papua menerima teror dan intimidasi<br />
untuk apa yang mereka perjuangan. Kekerasan berekpresi juga masih terjadi di sejumlah<br />
daerah. Inilah sebagian berita yang ada di rubrik kabar daerah.<br />
Sembilan tahun reformasi, peringatan hari tanpa penyiksaan, perkembangan terbaru<br />
dari pemilihan anggota Komnas HAM jadi beberapa bagian dari rubrik rempah-rempah.<br />
Dan sejumlah berita lain juga kami tampilkan. Termasuk perkembangan terbaru dari<br />
kasus jejak sang pejuang, Munir, yang memunculkan sejumlah saksi-saksi baru dalam<br />
penyelidikan kepolisian. Kita berharap agar semua ini jadi pertanda baik untuk<br />
menuntaskan kasus ini. ***<br />
Berita <strong>KontraS</strong><br />
Diterbitkan oleh: <strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).<br />
Penanggung Jawab: Usman Hamid<br />
Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi<br />
Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati.<br />
Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri<br />
Suparyati, Mouvty Makarim.<br />
Design layout: BHOR_14<br />
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia.<br />
Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821<br />
Email: kontras_98@kontras.org. website: www.kontras.org<br />
<strong>KontraS</strong> berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan<br />
menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat<br />
dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan<br />
berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan<br />
dapat dikirimkan ke rekening atas nama <strong>KontraS</strong> di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196.<br />
Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi.<br />
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau kontras_98@kontras.org<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA<br />
Tumpah Darah Untuk Tanah<br />
Hari itu 30 Mei 2007, di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur terjadi penembakan oleh<br />
aparat TNI Angkatan Laut yang mengakibatkan empat orang<br />
warga sipil tewas seketika, dan sekitar delapan orang warga<br />
sipil mengalami luka-luka. Selain itu terjadi pula kerusakan fisik<br />
pada beberapa bagian bangunan rumah, dan fasilitas umum<br />
desa.Tindakan itu dilakukan oleh 13 anggota TNI AL yang tengah<br />
menjaga lahan yang bersengketa dengan warga. Tindakan<br />
represif ini menimbulkan penderitaan mental dan psikologis<br />
pada korban dan keluarga korban, serta<br />
warga desa pada umumnya.<br />
Keempat warga tewas tersebut adalah<br />
seorang ibu Mistin (27), yang anaknya<br />
(Choirul, 4 tahun) juga menjadi korban<br />
penembakan, Sutam (45), Dewi Khotijah<br />
(20) yang sedang hamil, Rohman (41).<br />
Bocah Choirul bin Sutrisno meninggal<br />
di rumah sakit setelah dadanya<br />
tertembus peluru laras panjang SSI.<br />
Saat terjadi penembakan, ia digendong<br />
ibunya Mistin, yang berada di rumah.<br />
Sang ibu, yang juga tertembak di bagian<br />
kiri dadanya, langsung meninggal. Tiga<br />
korban lainnya juga tewas secara<br />
mengenaskan di kampung halamannya<br />
sendiri.<br />
Tragedi Berdarah 30 Mei Alas Tlogo, Pasuruan<br />
Kelima korban itu jadi tumbal sengketa tanah ratusan hektare<br />
antara warga Alas Togo dan TNI Angkatan Laut (AL). Tanah<br />
yang dikuasai 256 keluarga itu dipersengketakan sejak 1970-an.<br />
Ujungnya, Pengadilan Negeri Bangil memenangkan AL pada<br />
Maret lalu. Kendati kalah, warga meminta agar tanah itu tidak<br />
diutik-utik karena mereka sedang meminta banding.<br />
Keinginan warga rupanya tidak dipenuhi. Pusat Latihan<br />
Tempur TNI AL di Grati, Pasuruan, yang memenangi sengketa<br />
itu, mengizinkan PT Rajawali Nusantara menggarap tanah<br />
sengketa. Bentrokan pun terjadi ketika warga mendatangi lahan<br />
yang digarap oleh perusahaan itu hingga terjadi penembakan<br />
oleh pasukan AL yang sedang menjaga itu.<br />
Kejadian itu sendiri terjadi sekitar pukul 09.30 Wib. Sebuah<br />
traktor berada dilokasi, yang dikawal 13 anggota TNI AL yang<br />
menggarap lahan, yang sudah ditanami ketela pohon oleh<br />
warga (yang akan diganti dengan tanaman tebu). Anggota TNI<br />
AL tersebut terlihat diperlengkapi senjata laras panjang dan<br />
pistol. Warga yang berjumlah sekitar 50 orang kemudian<br />
mendatangi lokasi tersebut dan meminta tanah tersebut tidak<br />
digarap terlebih dahulu sebelum proses hukumnya final.<br />
Pada pukul 12.00, setelah warga semakin banyak mendatangi<br />
lokasi, anggota TNI AL tersebut kemudian mengeluarkan<br />
tembakan peringatan sebanyak dua kali dan setelah itu<br />
diarahkan ke warga dalam jarak sekitar 15 meter dan sepuluh<br />
orang jadi korban (empat di antaranya meninggal).Yang aneh<br />
tembakan tersebut justru menyasar korban yang tidak ikut<br />
dalam kerumunan massa tersebut. Seorang ibu, Mistin dan<br />
anaknya, Choirul tertembak di dalam rumahnya setelah<br />
berusaha lari menghindar dari halaman rumahnya sendiri.<br />
Versi TNI AL<br />
Bekas Tembakan anggota TNI-AL<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />
Pihak TNI AL hingga kini masih<br />
mempertahankan versi mereka<br />
bahwa penembakan terjadi karena<br />
prajurit TNI AL merasa terancam dan<br />
bermaksud membela diri secara<br />
spontan menghadapi serangan massa<br />
yang menggunakan senjata tajam.<br />
Namun, jelas hal ini menimbulkan<br />
pertanyaan. Mengapa pilihannya<br />
peluru tajam, padahal aparat TNI AL<br />
saat itu juga diperlengkapi oleh peluru<br />
karet dan hampa.<br />
“Warga yang menyerang lebih dulu,<br />
“ kata Komandan Korps Marinir<br />
Mayor Jenderal Safzen Noredin.<br />
Setelah komandan patroli berhasil<br />
membujuk warga agar bubar, Safzen<br />
menjelaskan, tiba-tiba massa datang lagi dengan membawa<br />
senjata tajam. Dari arah massa katanya, muncul aba-aba<br />
menyerang. Mereka sempat berhenti ketika senapan seorang<br />
marinir menyalak. Sejenak kemudian, bentrokan pecah.<br />
Lemparan batu warga dibalas dengan tembakan. Lima<br />
marinir luka-luka.<br />
Safzen mengakui semua anak buahnya dibekali senjata tajam<br />
lengkap peluru tajam. Dari 13 anggota pasukan, 10<br />
diantaranya memgang senjata tajam. Dan, di lokasi kejadian<br />
sendiri ditemukan sedikitnya 33 selongsong peluru yang<br />
berserakan.<br />
Sedangkan Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto hingga<br />
kini masih mempertahankan argumen bahwa tidak ada<br />
tembakan langsung ke arah massa dan korban yang<br />
berjatuhan akibat peluru pantulan. Menurutnya bila<br />
tembakan langsung diarahkan ke kerumunan massa, maka<br />
jatuhnya jumlah korban seharusnya jauh lebih besar.<br />
Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pengacara 13<br />
marinir tersangka penembakan, Ruhut Sitompul yang<br />
menyatakan kliennya sedang berpatroli, kemudian mendapat<br />
hadangan dari warga yang membawa senjata tajam dan juga<br />
mendapat ancaman ingin dibunuh.<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 3
BERITA UTAMA<br />
Setahun terintimidasi<br />
Ternyata penderitaaan yang dialami oleh warga Alas Trogo<br />
sudah berlangsung lama, dimana hampir setahun warga<br />
terus berada dalam teror dan intimidasi. Dari hasil laporan<br />
atas penyidikan yang dilakukan Kontras, LBH Surabaya dan<br />
LSM lainnya, sebelum berpuncak pada tragedi hujan peluru<br />
tajam dari senjata prajurit marinir, sedikitnya ada lima<br />
peristiwa intimidasi sepanjang 2006 yang dialami oleh<br />
warga, yaitu mulai 29 Maret, 9 April, 6 Juli, 20 November<br />
dan 14 Desember.<br />
Sementara pada tahun 2007, tercatat dua kasus teror, yakni<br />
pada 10 Januari dan 5 Maret. Semua itu sangat mengelisahkan<br />
warga. Rangkaian kekerasan sejak setahun lalu berupa<br />
pengambilan paksa alat pertanian, perusakan kebun dan<br />
barang (batu bata) oleh tank-tank marinir, pematokan lahan,<br />
bahkan sampai pemukulan. Aksi itu sempat mengundang<br />
protes warga dengan memblokir jalan propinsi.<br />
Kemudian empat hari menjelang peristiwa penembakan<br />
maut, pada akhir bulan April, warga Alas Tlogo, mengalami<br />
intimidasi beruntun dan ancaman penembakan saat Marinir<br />
mengawal pengerjaan lahan oleh PT Rajawali Nusantara.<br />
“Saat itu warga meminta PT. Rajawali Nusantara<br />
menghentikan pengolahan lahan, namun dijawab Marinir<br />
bahwa perintah atasan harus terus dilakukan, “ Ujar Usman<br />
Hamid.<br />
Sedangkan dari kesaksian warga bernama Musniatu dan<br />
Munaji, yang berdiri 1,5 meter dari komandan Marinir saat<br />
peristiwa penembakan, terungkap marinir hanya<br />
mendapatkan ancaman verbal, bukan senjata tajam seperti<br />
yang dituduhkan TNI selama ini. Jumlah warga yang<br />
berkumpul di lokasi pun hanya 50-60, bukan 300. Yang lain<br />
hanya berdiri di halaman rumah.<br />
Arah penembakan ternyata ditujukan pada beberapa warga<br />
yang vokal. Dari awal kejadian, Marinir maju hingga 50-60<br />
meter. Mayoritas luka diderita warga juga di belakang tubuh<br />
sehingga menegaskan bahwa mereka dikejar, dipukul, dan<br />
ditembaki dari belakang, bukan menyerang Marinir. Usman<br />
menyimpulkan, Marinir telah menggunakan kekuatan<br />
berlebihan. “ Ini dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat,<br />
“ ujarnya.<br />
Menuntut pertanggungjawaban<br />
Sementara itu, paska terjadinya peristiwa, warga Alas Tlogo<br />
menumpahkan kekecewaan, kemarahan dan rasa duka,<br />
dengan memblokir jalan propinsi Pantura jurusan Surabaya<br />
– Banyuwangi. Warga menutup jalan menuntut<br />
pertanggungjawaban TNI-AL atas peristiwa penembakan<br />
tersebut dan meminta pemerintah Kabupaten Pasuruan<br />
mengatasi persoalan ini. Penutupan jalan dilakukan mulai<br />
sekitar pukul 11.00-18.00 WIB.<br />
Pada pukul 17.30 WIB, perwakilan warga datang dari<br />
Pemerintah Kabupaten Pasuruan dengan M. Kholil disertai<br />
pihak aparat kepolisian, membacakan pernyataan resmi Bupati<br />
Pasuruan yang pada intinya menyatakan, meminta agar PT.<br />
Rajawali tidak melakukan penggarapan sebelum sengketa selesai<br />
dan meminta agar letnan Budi Santoso untuk bertanggung<br />
jawab atas kekerasan tersebut. Saat itu Bupati berjanji akan<br />
memfasilitasi warga berdialog dengan Pangarmatim, BPN,<br />
Dephankam, dengan pejabat Pemkab Pasuruan besok hari (31/<br />
05).<br />
Sementara jalur hukum juga bakal ditempuh Partai Kebangkitan<br />
Bangsa (PKB). Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid,<br />
menunjuk Mahfud MD sebagai kuasa hukum untuk menuntut<br />
para pelaku. “Ini negara hukum, bukan rimba belantara.<br />
Selesaikan semua masalah secara hukum. Jangan main tembak<br />
sendiri. Ini bukan zamannya, “ ujarnya.<br />
Potensial sosiologis<br />
Insiden 30 Mei di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, jelas<br />
menggambarkan sebuah kerumitan berbagai simpul masalah<br />
potensial sosiologis di Indonesia, yang dalam konteks tempat<br />
dan waktu lain mungkin menghasilkan kisah serupa. Insiden<br />
Alas Tlogo merupakan hasil dari problem sengketa/konflik<br />
agraria yang akut di Indonesia, yang sebagian lahir dari<br />
dinamika politik militer pasca kolonial, warisan sistem peradilan<br />
yang sangat tidak mandiri dan independen di masa lalu, residu/<br />
warisan watak militer yang belum profesional, dan tidak adanya<br />
preseden yang meyakinkan bagaimana supremasi hukum bisa<br />
menjamah (menghukum) aparat militer secara memadai, yang<br />
secara konseptual dinyatakan sebagai impunitas.<br />
Kasus konflik agraria di Indonesia diperkirakan hingga tahun<br />
2007 ini masih tercatat oleh KPA (Konsorsium Pembaruan<br />
Agraria) 1.753 buah dengan melibatkan 10 juta penduduk,<br />
sementara BPN (Badan Pertanahan Nasional) mencatat ada 2.810<br />
kasus. Insiden Alas Tlogo sendiri juga berakar dari sengketa<br />
tanah sejak tahun 1960. Sengketa ini terus juga berlangsung,<br />
baik itu lewat proses peradilan maupun lewat proses politik.<br />
Publik sendiri baru menyaksikan kasus sengketa tanah lain yang<br />
tidak kalah rumitnya, yaitu kasus sengketa tanah antara warga<br />
Meruya Selatan, Jakarta Barat dengan PT Portanigra. Bahkan<br />
kasus sengketa tanah ini sudah diputus oleh putusan hukum<br />
tertinggi di tingkat Mahkamah Agung. Sayangnya kali ini di Alas<br />
Tlogo, sengketa tanah tersebut memakan korban jiwa.<br />
Kecaman juga dilontarkan oleh Ketua MPR, Hidayat Nurwahid.<br />
Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat lebih tegas<br />
mengatur penggunaan lahan. Konflik terkait tanah selama ini<br />
terjadi, seperti di Desa Alas Trogo, yang mengakibatkan empat<br />
warga tewas, antara lain dipicu pemakain lahan yang tidak<br />
sesuai rencana. “Jika TNI AL segera memakai tanah di Desa Alas<br />
Trogo sesuai peruntukan awal, yaitu untuk pusat pendidikan,<br />
insiden ini mungkin tidak akan terjadi, “ kata Nur Wahid.<br />
Kesimpulan itu diambil sebab, menurut Hidayat, awalnya warga<br />
Desa Alas Trogo bersedia menjual tanahnya karena akan dipakai<br />
untuk Pusat Pendidikan TNI AL. Namun, mereka heran dan<br />
kecewa saat ternyata dipakai untuk menanam jarak dan<br />
4<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA<br />
palawija. Apalagi saat itu tanah disewakan kepada pihak lain<br />
untuk menanam tebu. Padahal, disaat yang sama warga amat<br />
membutuhkan lahan itu untuk hidup. Agar peristiwa serupa<br />
tak terulang, lanjut Nur Wahid, seharusnya pemerintah,<br />
terutama BPN, dapat bertindak lebih tegas, khususnya<br />
mengatur penggunaan lahan. Hidayat juga berpendapat<br />
penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya dengan permintaan<br />
maaf. “Minta maaf dan menanggung seluruh biaya bagi korban<br />
saja tidak cukup. Masalah ini harus diusut tuntas sesuai dengan<br />
proses hukum, “ katanya.<br />
Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria<br />
Usep Setiawan menuturkan, Undang-Undang nomor 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebenarnya<br />
mengatur dengan jelas perihal tata cara penggunaan lahan. Pasal<br />
10 Ayat 1 UU itu menyatakan, setiap orang dan badan hukum<br />
yang memiliki hak atas tanah pertanian pada azasnya<br />
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara<br />
aktif. Juga disebutkan, mereka yang<br />
mendapatkan hak guna usaha atau hak<br />
guna bangunan wajib menggunakan<br />
lahan itu sesuai rencana semula.<br />
“Dalam konteks ini, tindakan TNI AL<br />
menyewakan lahan pada pihak lain<br />
melanggar Pasal 10 UU PA.<br />
Penggunaan lahan itu untuk pertanian<br />
juga harus dipertanyakan karena<br />
rencana sebelumnya diapaki untuk<br />
pusat pendidikan, “ papar Usep.<br />
Menurut Usep, BPN seharusnya dapat<br />
bertindak tegas sebab disinyalir ada<br />
pelanggaran dalam pemakaian lahan<br />
itu.<br />
Dilakukan dengan sengaja<br />
“Polisi harus dipastikan ikut<br />
dalam penyelidikan dan<br />
penyidikan kasus penembakan<br />
warga Alas Trogo. Hal itu untuk<br />
menjamin proses penyelidikan<br />
dan penyidikan yang adil” ujar<br />
Ketua Pansus DPR tentang<br />
RUU Peradilan Militer Andreas<br />
Pareira.<br />
Dari tragedi diatas terlihat jelas bahwa penembakan oleh<br />
pasukan Marinir/TNI AL terhadap warga sipil yang melakukan<br />
protes damai dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan<br />
kematian dan penderitaan bagi warga yang dianggap musuh<br />
oleh para pelaku. Hal lainnya, komandan Marinir/TNI AL dalam<br />
garis komando sampai ke unit pasukan para pelaku<br />
penembakan, patut menduga mengetahui bahwa peristiwa<br />
tersebut akan terjadi, tetapi tidak mengambil tindakan<br />
pencegahan.<br />
Sayangnya, seperti biasa, Panglima TNI dan Panglima Armada<br />
Timur cenderung menutupi kebenaran dengan berbagai alasan,<br />
antara lain alasan pembelaan diri, jatuhnya korban karena<br />
pantulan peluru, dan pendudukan warga atas tanah untuk<br />
membenarkan tindak pembunuhan tersebut.<br />
Padahal terlihat jelas pihak TNI AL telah melakukan kesalahan<br />
dalam mengamankan asset tanah-yang diklaim sebagai Negarayang<br />
dikelolanya, dengan mengambil tindakan sendiri, bahkan<br />
dengan menggunakan kekerasan dan penembakan. Kesalahan<br />
lainnya, TNI AL telah melakukan komersialisasi asset Negara<br />
kepada perusahaan PT. Kebun Grati Agung (KGA) dan PT<br />
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).<br />
Seharusnya,pengamanan asset diserahkan pada pemerintah<br />
daerah dan Polri, apalagi menyangkut tindakan hukum.<br />
Disisi lain, pasukan Marinir juga telah menggunakan<br />
kekuatan berlebihan (excessive use of force), yang tak sebanding<br />
dengan aksi protes warga secara verbal. Aparat marinir<br />
mengabaikan pertimbangan moral dan tidak<br />
memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari aksi<br />
penembakan, baik yang terarah pada target tertentu maupun<br />
yang diarahkan secara acak. Penggunaan kekuatan secara<br />
berlebihan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran<br />
berat terhadap hak-hak asasi manusia. Jadi jelas terdapat<br />
pelanggaran HAM (arbitrary execution atau extrajudicial execution),<br />
yang merupakan pelanggaran atas Pasal 6 Kovenan Hak-Hak<br />
Sipil Politik, yang sudah diratifikasi Pemerintah lewat UU<br />
No. 12 Tahun 2005.<br />
sendiri.<br />
Polisi ikut penyidikan<br />
Agaknya persoalan tidak hanya berhenti<br />
sampai disini. Keinginan warga untuk<br />
mencari keadilan bisa jadi akan terjanggal<br />
dengan prosedur yang ada, yakni<br />
menyangkut tata prosedur hukum. Dimana<br />
seluruh proses penegakan hukum atas<br />
kasus Alas Tlogo ini, ditangani lewat<br />
mekanisme Peradilan Militer, yang selama<br />
ini dikenal tertutup dan tidak bisa bersifat<br />
mandiri atau independen. Hal ini patut<br />
disayangkan, karena proses reformasi<br />
sistem Peradilan Militer Indonesia masih<br />
sedang berjalan alot di tingkatan<br />
parlemen. Lagi-lagi insiden Alas Tlogo,<br />
menunjukkan penundaan reformasi sektor<br />
militer (peradilan militer) berakibat mahal.<br />
Kekhawatiran ini jelas masuk akal<br />
mengingat sejak awal hingga saat ini<br />
pihak TNI masih bersikukuh<br />
mempertahankan versi peristiwanya<br />
Ketua Pansus DPR tentang RUU Peradilan Militer Andreas<br />
Pareira mengemukakan, polisi harus dipastikan ikut dalam<br />
penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan warga Alas<br />
Trogo. Hal itu untuk menjamin proses penyelidikan dan<br />
penyidikan yang adil. Menurutnya, RUU Peradilan Militer<br />
memang masih dalam proses perumusan. Jadi, prinsip bahwa<br />
tindakan pidana sipil oleh militer harus diadili di peradilan<br />
sipil belum bisa dilaksanakan.<br />
Namun, tambah anggota F-PDIP itu, prinsip proses hukum<br />
yang adil terhadap warga sipil harus tetap dipertahankan.<br />
Caranya dengan melibatkan unsur sipil, yakni kepolisian,<br />
dalam proses hukumnya. “Untuk menjamin adanya proses<br />
peradilan yang fair terhadap kasus penembakan warga sipil<br />
oleh militer ini, polisi harus dilibatkan dalam penyelidikan<br />
dan penyidikan. Itu cara yang paling mungkin dilakukan, “<br />
tandas Andreas. Sedang untuk bentuk keterlibatan polisi,<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 5
BERITA UTAMA<br />
Andreas mengatakan soal olah TKP, visum, uji balistik, dan<br />
uji forensik, kemampuan polisi lebih baik daripada aparat<br />
hukum lainnya.<br />
Sedangkan menurut Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas<br />
HAM, dirinya mengkhawatirkan penerapan impunitas dalam<br />
peradilan militer. “ Dalam UU TNI tertuang prinsip<br />
pengadilan militer, yakni anggota yang melakukan tindak<br />
pidana umum di luar tugas kemiliteran seperti perang dapat<br />
disidangkan di pengadilan umum. Apabila pimpinan TNI<br />
mau mereformasi, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan sipil<br />
dan disidik polisi sipil yang lebih netral, “ ujarnya.<br />
Sementara itu Komisi I DPR mengeluarkan lima kesimpulan,<br />
sekaligus rekomendasi, terkait insiden penembakan empat<br />
warga hingga tewas oleh prajurit Marinir TNI Angkatan Laut<br />
di Desa Alas Trogo.<br />
Kelima hal itu, antara lain, kesimpulan penembakan sebagai<br />
bentuk pelanggaran hukum<br />
dan harus diproses secara<br />
transparan, penilaian<br />
penembakan melanggar<br />
fungsi dan peran pertahanan<br />
TNI sesuai UU, serta desakan<br />
agar TNI segera memutus<br />
seluruh kontrak kerja sama<br />
dengan pihak swasta.<br />
Kelima kesimpulan tadi<br />
dihasilkan dalam rapat kerja<br />
Komisi I dengan Panglima TNI<br />
Marsekal Djoko Suyanto yang<br />
didampingi ketiga kepala staf<br />
angkatan dan seluruh jajaran<br />
Markas Besar TNI, (13/06).<br />
“Tindakan prajurit Marinir<br />
menembak warga desa Alas<br />
Trogo yang menewaskan<br />
empat orang adalah sesuatu<br />
yang tidak dapat diterima.<br />
Pelaku harus dihukum apa pun alasannya. Prajurit itu<br />
seharusnya tahu kalau mereka tidak sedang menghadapi<br />
separatis bersenjata atau serangan negara lain, “ ujar<br />
Sutradara Ginting dari F-PDIP.<br />
Yuddy Chrisnandi dari F-PG mempertanyakan komitmen<br />
Panglima TNI yang menjanjikan proses hukum kasus itu akan<br />
dilakukan secara transparan. Transparansi jangan hanya<br />
diartikan sebats proses persidangan yang dapat ditonton<br />
melalui liputan media massa.<br />
Sementara dari hasil penelusuran lapangan yang dilakukan,<br />
Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM<br />
pada persitiwa penembakan warga di Alas Trogo ini. “Ini<br />
bisa masuk pada kategori pembunuhan berencana, “ kata Abdul<br />
Hakim Garuda Nusantara. Menurutnya, penembakan yang<br />
dilakukan oleh marinir bukan rangka bela diri. “Karena<br />
masyarakat tidak melakukan penyerangan, “ ujarnya. Para<br />
anggota marinir yang menenbaki warga ini ternyata juga<br />
dilengkapi peluru karet dan hampa.<br />
“Salah seorang prajurit, Budi Santoso, mengaku setiap berpatroli<br />
(ke daerah), mereka (Marinir) membawa tiga jenis peluru. Peluru<br />
hampa, peluru karet, dan peluru tidak tajam. Agak aneh, situasi<br />
panas, kok pimpinannya ngasih ijin bawa peluru, “ kata Garuda.<br />
Ia menyayangkan penggunaan peluru tajam oleh anggota<br />
marinir saat mereka menghadapi warga. Padahal, mereka<br />
dibekali juga dengan peluru karet, bahkan peluru hampa.<br />
“Kalau peluru hampa kan tidak mematikan sehingga jatuhnya<br />
jatuhnya korban sebenarnya bisa dihindari. Masalahnya yang<br />
digunakan peluru tajam sehingga mematikan. Kita masih<br />
menelusuri kenapa yang digunakan<br />
justru peluru tajam tersebut,<br />
bukan yang lainnya, “ jelas Garuda.<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />
Suasana penguburan korban Pasuruan<br />
Menyerahkan tanah<br />
Dari tragedi berdarah ini, Kontras<br />
berharap Panglima TNI<br />
menyerahkan kasus ini ke<br />
Pengadilan di lingkungan peradilan<br />
umum, termasuk pengadilan HAM,<br />
sebagai terobosan momentum<br />
untuk mendorong reformasi TNI.<br />
Tuntutan serupa juga diungkapkan<br />
oleh mantan Presiden, Gus Dur,<br />
yang meminta ke-13 prajurit<br />
marinir, yang kini ditahan di<br />
Markas Polisi Militer TNI AL di<br />
Surabaya, diadili di Pengadilan<br />
Negeri Pasuruan.<br />
Sementara itu, Presiden dan Kepala<br />
BPN dapat menyerahkan tanah<br />
sengketa tersebut kepada warga 11 desa yang terletak di 3<br />
Kecamatan Lekok (9 desa), Nguling (1 desa), Grati (1 desa),<br />
Kabupaten Pasuruan. Pemerintah harus membuat kajian dan<br />
kebijakan yang pro rakyat terkait dengan sengketa tanah antara<br />
warga dan TNI yang banyak terjadi di berbagai daerah.<br />
Kontras juga mengusulkan agar Presiden dan Kepala BPN<br />
menyediakan Tanah bagi tempat latihan tempur TNI AL di<br />
Pasuruan, ke lokasi di luar Pulau Jawa dan yang jauh dari<br />
wilayah penduduk. Lokasi yang berdekatan dengan pemukiman<br />
warga sipil amat berpotensi bagi terjadinya kekerasan militer<br />
terhadap warga sipil. Dalam kasus Pasuruan, kekerasan aparat<br />
militer terhadap warga sipil bukan pertama kalinya terjadi di<br />
sekitar lokasi tempat latihan militer, melainkan terjadi secara<br />
berulang. ***<br />
6<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA<br />
Uji Balistik harus Ilmiah, Bebas Intervensi Politik<br />
Rencana Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto untuk<br />
melakukan uji balistik atas senjata-senjata anggota marinir<br />
dalam penembakan warga Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (30/05) jadi sebuah hal yang<br />
baik. Rencana ini adalah perubahan sikap TNI yang positif.<br />
Bahkan merupakan langkah yang tepat bila dibandingkan<br />
dengan sikap awal petinggi TNI yang cenderung berat sebelah.<br />
Namun hendaknya, uji balistik tersebut dilakukan secara<br />
transparan, ilmiah dan bebas dari intervensi politik, demi<br />
terungkapnya kebenaran materiil. Kebenaran materiil ini<br />
setidaknya dapat menguak dua hal, menyangkut<br />
mengidentifikasi senjata dari selongsong atau proyektil yang<br />
ditemukan di tubuh korban dan TKP. Serta, mengetahui arah<br />
tembakan yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka.<br />
Apakah benar karena tembakan pantulan atau ada yang<br />
langsung ditujukan pada target tertentu.<br />
Uji Balistik juga hendaknya dilakukan dengan mencakup uji<br />
balistik luar dan akhir. Uji Balistik juga harus dilanjutkan<br />
dengan pengujian senjata dan penggunaan senjata oleh pelaku<br />
di tempat kejadian perkara (TKP). Pengujian atas senjata api<br />
harus dengan senjata yang digunakan saat peristiwa. Pengujian<br />
tersebut juga harus melibatkan warga, saksi dan korban serta<br />
ahli balistik, ahli forensik dan institusi independen seperti<br />
Komnas HAM.<br />
Tidak dilakukan di lokasi peristiwa<br />
Sementara, uji penembakan yang digelar Korps Marinir di<br />
Bhumi Marinir Cilandak. Patut kiranya disesalkan.<br />
Tindakan tersebut tidak bisa menggantikan kebutuhan<br />
adanya uji balistik yang independen. Sebab tidak dilakukan<br />
di lokasi peristiwa (locus delictie) dengan mengunakan jenis<br />
senjata dan amunisi yang ditembakkan saat kejadian, 30<br />
Mei 2007.<br />
Pengujian tembak oleh Korps Marinir tersebut tidak<br />
memenuhi ketentuan dasar pengujian penggunaan senjata<br />
api. Untuk kasus Pasuruan, kondisi lapangan seharusnya<br />
diatur identik dengan tempat kejadian karena hal ini<br />
menyangkut pengujian apakah ini peluru langsung atau<br />
pantulan.<br />
Uji balistik harus diikuti dengan sebuah proses olah Tempat<br />
kejadian perkara (TKP) serta rekonstruksi yang<br />
menghadirkan saksi peristiwa, serta 13 tersangka pelaku<br />
penembakan. Hal ini untuk menentukan posisi pelaku yang<br />
menembak korban sehingga dicapai temuan obyektif<br />
tentang peluru memantul (ricochet) atau tembakan langsung<br />
yang diarahkan ke korban.<br />
Segenap Redaksi Buletin <strong>KontraS</strong><br />
Mengucapkan:<br />
Selamat Idul Fitri<br />
1 Syawal 1428 H<br />
Mohon Maaf Lahir dan Batin<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 7
TUTUR<br />
Mereka Jadi Saksi Tragedi Alas Tlogo:<br />
“Sudah ini perintah dari atasan dan dari Bupati, yang macam-macam suruh tembak!”<br />
Saksi Jamaatun (48 tahun/Tani).<br />
Pagi hari sebelum terjadi penembakan, Jamaatun sempat<br />
melihat anaknya yang bernama Dewi Khotijah (25 tahun)<br />
sedang memarut singkong, dan sedang mengobrol dengan<br />
beberapa anggota Marinir di teras samping Musholla di depan<br />
rumahnya. Jamaatun sempat mendengar pembicaraan<br />
tersebut. Anggota Marinir menanyakan “Apa yang sedang<br />
dikerjakan Korban menjelaskan, “Mau membuat rengginang.”<br />
Jamaatun kemudian menggendong cucunya yang merupakan<br />
anak dari korban tewas Dewi Chotijah, lalu mengajak<br />
cucunya untuk jalan-jalan ke arah timur jalan. Di depan<br />
langgar/mushalla yang berada di depan rumah H. Soleh, saksi<br />
mendengar suara tembakan dan melihat ada korban jatuh.<br />
Jaamatun menitipkan anaknya. Saksi melihat ada mayat (di<br />
bawah pohon) di sana ada yang meninggal. Jaamatun juga<br />
melihat ada seorang wartawan yang lari, mau ditembak oleh<br />
aparat Marinir. Jaamatun kemudian lari pakai sepeda motor<br />
ke arah timur. Wartawan itu lalu ikut Jaamatun pakai sepeda<br />
motor.<br />
Setelah itu Jamaatun melihat ada pak Wandi intel Kodim.<br />
Jamaatun minta tolong sama pak Wandi. Terus pak Wandi<br />
menghubungi seseorang pake HP. Setelah itu terus datanglah<br />
semua. Jamaatun pulang ke rumah dan melihat di dapur Dewi<br />
Chotijah tergeletak dan telah meninggal.<br />
Saksi Munaji (30 tahun/Tani)<br />
Pada saat insiden terjadi, Munaji sedang duduk di bawah<br />
pohon Mengkudu, bersama Syaiful dan Samad,<br />
menyaksikan garapan sambil ngobrol dengan seorang<br />
tentara, yang Munaji tidak ketahui namanya. Munaji melihat<br />
ada tentara berjumlah sekitar 12 orang di sekitar musholla<br />
dan terlihat berbaris mengamankan pengoperasian buldoser.<br />
Munaji melihat warga berjumlah sekitar 30 orang dijalan<br />
tidak jauh dari musholla. Munaji mendengar ada seorang<br />
warga yang berteriak, “Pak, jangan perang dengan saya, perang<br />
kamu di Timur – Timur.” Munaji tidak tahu siapa yang bicara.<br />
Aparat Marinir terlihat marah, lalu salah seorang di<br />
antaranya berteriak “Nah itu, baju putih itu siapa namanya, wah<br />
suruh sini saja, tak tembak itu.<br />
Tak lama kemudian, Munaji mendengar tembakan, ‘dor dor’<br />
ke atas. Munaji menerangkan, setelah terdengar suara<br />
tembakan, warga berteriak lagi, “Wah jangan musuhi saya, pak,<br />
Timor - Timur itu.” Munaji lalu mendengar suara tembakan<br />
beruntun ‘dor, dor, dor, dor’. Munaji melihat seorang warga<br />
bernama Sutam tertembak di kepala dan langsung jatuh<br />
seketika itu, lalu Marinir bergerak maju, warga lari semua,<br />
dikejar dan tertembak lagi dua orang, Rohman dan Erwanto.<br />
Munaji masih di tempat semula, dalam posisi duduk sambil<br />
ditodong senjata, saksi melihat aparat Marinir maju mengejar<br />
warga dan menembak, termasuk ke arah rumah warga bernama<br />
Jamaatun. Begitu terdengar tembakan, saksi melihat Chotijah<br />
lari ke pintu dapur, terus ada tentara menutup pintu, lalu keluar<br />
sambil menangis.<br />
Munaji pindah tempat ke seberang, Munaji melihat terus, Munaji<br />
pura-pura mau kencing ke belakang rumah Saupir. Munaji<br />
melihat di belakang Nasum minta ampun, tapi tentara tetap<br />
menembak, Munaji balik lagi ke tempat sebelum kencing, tentara<br />
teriak ke Munaji, “Balik, kalau ndak balik, saya tembak kamu”.<br />
Kemudian, ada tentara yang meniup peluit, “Mundur semua”,<br />
tentara mundur dan berjejer lagi, ada yang bilang “kehabisan<br />
peluru pak”.<br />
Munaji dibawa bersama dua orang teman Saksi (Syaiful dan<br />
Samat), dibawa ke arah barat sambil Munaji terus ditodong pakai<br />
senjata. Munaji disuruh bawa karpet, karpet ini punya tentara<br />
yang dibuat untuk duduk – duduk. Dalam perjalanan tentara<br />
ada yang bilang, “Ada banyak korban, saya menyesal korban banyak”.<br />
Terus Munaji melihat ada tentara yang naik sepeda motor lewat,<br />
meninggalkan tentara yang lain. Terus tentara yang lain berteriak<br />
“jancok” kepada orang yang mengendarai motor. Menurut saksi,<br />
umpatan ini ditujukan pada yang meninggalkan lokasi dengan<br />
sepeda motor. Saat itu Munaji masih membawa karpet menuju<br />
arah barat sekitar 250 meter. Munaji memanggul karpet sendiri.<br />
Setelah dekat dengan mobil, tentara buru-buru naik mobil, terus<br />
tentara bilang “Cepat kamu lari, tak tembak kamu nanti”. Munaji lari<br />
ke utara, terus pulang.<br />
Saksi Ari alias Pak Misni (59 tahun/Tani).<br />
Misni berada di lokasi, duduk dibawah pohon beringin, jarak<br />
antara Misni dan Marinir sekitar 15 meter. Misni melihat<br />
sejumlah aparat Marinir yang berada di lokasi peristiwa<br />
berjumlah 13 orang dengan senjata laras panjang.<br />
Sehari sebelum peristiwa (Selasa, 29/05), Misni mengetahui ada<br />
seorang Marinir yang belakangan diketahui oleh Misni adalah<br />
komandan regu mengancam dengan teriakan kepada warga<br />
“Bahwa siapa saja yang mencoba menghalang-halangi pembajak tanah<br />
akan ditembak mati, “ sambil berteriak anggota Marinir tadi<br />
menujukan surat didalam amplop dan menyatakan bahwa dia<br />
“Marinir” telah mendapat perintah tugas dari bupati.<br />
Sekitar pukul 10.00 Wib, Misni melihat dari jarak sekitar 15 meter<br />
Marinir menembak kearah warga dalam posisi datar. Misni<br />
menyaksikan sekitar 35 warga yang umumnya perempuan<br />
berkumpul dibawah pohon beringin, sekitar 25 meter dari<br />
konsentrasi Marinir. Misni mendengar perintah komandan regu<br />
8<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
TUTUR<br />
(Budi Santoso) kepada prajurit Marinir untuk kokang senjata,<br />
tidak lama kemudian Misni menyaksikan rentetan tembakan<br />
diarahkan kearah warga yang berkumpul di bawah pohon<br />
beringin. Saat rentetan tembakan dari arah Marinir, warga yang<br />
tadinya berkumpul dibawah pohon beringin lari<br />
tungganglanggang mencari tempat yang aman, umunya warga<br />
berlari kearah rumah-rumah warga disekitar lokasi<br />
penembakan.<br />
Misni menyaksikan korban dikejar dan ditembak dari jarak<br />
sekitar 35 meter diarah timur, korban terjatuh setelah tertembak<br />
di bagian belakang tembus kebagian dada. Korban seorang ibu,<br />
Mistin yang saat itu mengendong anaknya Choirul Agung<br />
terjatuh dan peluru menembus dada korban Choirul. Korban<br />
Mistin tewas sedangkan anaknya Choirul langsung dilarikan<br />
oleh warga kerumah sakit.<br />
Saksi Samat (49 tahun),<br />
laki-laki (Tani)<br />
Samat berada dilokasi<br />
persisnya di hadapan<br />
didepan Marinir. Posisi Samat<br />
berada di bawah pohon<br />
mengkudu. Samat melihat jam<br />
delapan pagi pembajakan di<br />
sumber Anyer. Saat itu Marinir<br />
sudah ada disitu. Setelah jam<br />
sembilan pindah ke Alas Tlogo.<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />
Samat mendengar ada<br />
pengumuman di musholla dan<br />
masjid yang ada pengeras<br />
suara, mengajak warga untuk<br />
berkumpul. Samat melihat<br />
aparat Marinir menyebar ke<br />
beberapa titik yang letaknya<br />
tidak jauh dari posisi dirinya.<br />
Samat melihat ada sejumlah<br />
warga berkumpul dan diantaranya mengatakan “Jangan dibajak,<br />
pak, itu lahan sengketa”. Aparat Marinir tak menghiraukan<br />
perkataan warga. Samat melihat ada seorang warga yang<br />
mengantarkan sepucuk surat (dari pengadilan Tinggi Surabaya)<br />
yang isinya mengenai proses hukum di tingkat banding. Namun<br />
surat tersebut tidak dibaca oleh aparat Marinir.<br />
Akibat luka tembak oleh TNI-AL di Pasuruan<br />
Samat mendengar ada aparat Marinir berkata “Mana yang ngantar<br />
surat tadi itu Sudah tembak saja.”. Samat mendengar seorang warga<br />
berkata “Tembak apa, pak Paling itu tidak ada pelurunya. Paling peluru<br />
karet.” Kemudian saksi mendengar ada warga yang mengoceh<br />
lagi tapi tidak begitu jelas apa yang diocehkan itu. Saksi<br />
mendengar dari suara dari Marinir yang mengatakan “Sudah<br />
yang ngoceh ditembak saja”. Samat melihat anggota Marinir yang<br />
lain tetap diam saja. Samat mendengar warga mengoceh ,<br />
kemudian Samat mendengar Marinir tersebut berkata : “Pasang<br />
peluru tajam.” Samat melihat dan mendengar pemasangan peluru<br />
“trek-trek-trek-trek”. Setelah itu Samat mendengar perintah dari<br />
Marinir “Sudah tembak” , dan terdengar rentetan suara “tret-tettet-tet-tet.”<br />
Samat mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada tembakan<br />
peringatan sebelumnya. Samat yang saat itu duduk didekat<br />
kaki Marinir berdiri dan mengangkat kedua belah tangan<br />
sambil berkata “Pak-Pak-Pak jangan emosi, seberapa kekuatan<br />
warga itu pak” Samat mengatakan, setelah berkata seperti itu,<br />
Marinir berkata : “Melawan kamu !”. Kepala Saksi langsung<br />
dipukul dengan menggunakan tangan. Samat mengatakan<br />
mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh lima orang<br />
anggota Marinir, ditendang dengan menggunakan sepatu lars,<br />
dipukul dengan menggunakan popor senjata pada rahang<br />
sebelah kiri.<br />
Saksi Atini (31 tahun/Tani/Ibu Rumah Tangga).<br />
Atini mengatakan sebelum<br />
dan saat ketika kejadian terjadi, penembakan berdiri di<br />
depan di halaman rumah,<br />
berdiri bersama ibu yang lain<br />
sambil memomong anak dan<br />
berbincang diantara mereka.<br />
Atini mendengar ada suara<br />
tembakan dari Marinir, dan<br />
dirinya sangat terkejut dan<br />
takut.<br />
Atini mengatakan ibu-ibu<br />
yang ada di halaman tersebut<br />
langsung membubarkan diri<br />
dan lari ketakutan<br />
mendengarkan suara<br />
tembakan tersebut. Atini<br />
sempat mendengar ucapan<br />
dari anggota Marinir : “Sudah<br />
ini perintah dari atasan dan dari<br />
Bupati, yang macam-macam suruh<br />
tembak”! Atini mengaku hingga<br />
saat ini dirinya mengalami<br />
rasa takut sampai badan<br />
merasa meriang jika<br />
mengingat tentara yang menembaki warga secara langsung<br />
dan membabi buta.<br />
Saksi Saupir (35 tahun/Tani)<br />
Saupir berada di depan halaman rumah pada saat kejadian<br />
yang tidak jauh dari lokasi TKP. Saupir mendengar warga<br />
yang protes. Saupir melihat sejumlah warga lain. Dirinya<br />
juga melihat korban Sutam datang membawa sepeda,<br />
kemudian Sutam berdiri di depan teras rumah warga Saipir.<br />
Pada saat itu Saupir melihat Sutam sedang mengenakan<br />
caping (topi petani), duduk sambil melinting rokok. Tiba-tiba<br />
Saupir mendengar suara tembakan dan Saupir seketika itu<br />
juga langsung lari ke belakang rumah. Dalam upaya melarikan<br />
diri tersebut, Saupir melihat seorang warga bernama Nasum<br />
tertembak di depan Saupir. Tapi Saupir terus berusaha<br />
menghindar dari lokasi kejadian sampai situasi kembali<br />
tenang dan kemudian akhirnya pulang ke rumahnya.<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 9
TUTUR<br />
Saksi Misnatun (36 tahun/Tani)<br />
Sebelum kejadian, korban ada di lokasi menyaksikan<br />
pembajakan tanah. Rumah korban berada persis di depan<br />
tempat tentara ngumpul. Misnatun berada dalam jarak posisi<br />
yang cukup dekat dan mendengarkan pembicaraan Marinir.<br />
Misnatun mendengar suara warga yang datang dari arah<br />
timur mengatakan : “Pak kalau mau bertempur jangan disini, di<br />
Timor-Timur sana !”. Misnatun mendengar ada Marinir yang<br />
berkata “Nah itu perlu dicatat, nanti ditembak mati, baju apa itu!”.<br />
Misnatun mendengar Marinir berkata “Mana Kepala desa kalian,<br />
kalau datang bunuh duluan, nanti seret ke barak”. Saksi tidak<br />
mendengar adanya suara tembakan peringatan. Misnatun<br />
mendengar rentetan suara tembakan. Misnatun melihat<br />
sembilan orang tentara yang<br />
menggunakan senjata laras<br />
panjang semuanya melakukan<br />
penembakan. Misnatun mengenal<br />
salah satu anggota Marinir<br />
tersebut bernama Agus.<br />
Misnatun melihat saksi korban<br />
Samat dipukuli dengan<br />
menggunakan popor senjata<br />
setelah Samat mengatakan “Pak<br />
jangan emosi pak!” Misnatun<br />
berjalan pelan-pelan sambil<br />
mengangkat tangan dan kemudian<br />
lari kearah utara sampai kuburan.<br />
Saksi Muchtar, (Tani).<br />
M<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)<br />
uchtar mengatakan bahwa<br />
satu hari sebelum kejadian Rekontruksi peristiwa Alastlogo Pasuruan<br />
tersebut, yaitu pada hari Selasa/<br />
29/05, Ia melihat ada traktor yang<br />
membajak di lokasi garapan, dan<br />
saat itu sudah ada tentara disana. Muchtar melihat ada warga<br />
yang mendatangi lokasi tersebut. Muchtar mendengar ada<br />
seorang anggota TNI AL yang bertanya “Ada apa ini kok banyak<br />
orang.” Lalu ada warga yang menjawab, “nggak apa-apa pak,<br />
dia itu masih ada tanaman di lahan (yang digarap perusahaan) ini.”<br />
Muchtar mendengar pimpinan tentara yang bernama Budi<br />
mengatakan : “Siapapun yang menghalangi saya membajak tanah<br />
ini, saya tembak di tempat karena saya mendapat komando pusat dari jakarta<br />
dan dari Bupati Pasuruan. Kalau kalian tidak percaya, ini bukti suratnya.”<br />
Saat itu Budi menunjukkan sebuah amplop surat , tapi tidak<br />
dibuka. Budi melanjutkan lagi, “Kalau kata komandan hitam ya, hitam,<br />
kalau merah ya merah. Kalau memang tidak percaya, lihat itu pelurunya”,<br />
“Tunjukkan pelurunya, ini peluru asli”. Rabu tanggal 30/05, dirinya<br />
bermaksud ke tempat pembajakan. Sebelum sampai ketempat<br />
tersebut lebih kurang 30 meter , ia melihat dan mendengar terjadi<br />
sebuah penembakan disitu. Muchtar lari memutar arah<br />
menjauhi sumber tembakan tersebut.<br />
Saksi Solihin (38/Tani).<br />
Solihin mendengar dari<br />
beberapa orang warga,<br />
termasuk juga Muchtar, bahwa<br />
sebelum peristiwa kekerasan<br />
pada tanggal 30 Mei, pada hari<br />
Selasa/29 Mei, sejumlah warga<br />
telah meminta agar aparat<br />
penggarapan lahan dihentikan.<br />
Solihin menerangkan bahwa<br />
aparat Marinir meminta “Jika<br />
mau dihentikan panggil tokoh-tokoh<br />
dulu, nanti tak tembak.”<br />
Solihin melihat penembakan<br />
dari jarak jauh, karena datang ke<br />
lokasi tempat kejadian perkara<br />
(TKP). Di tengah terjadinya<br />
peristiwa kekerasan dan<br />
penembakan. Solihin merasa<br />
enggan untuk masuk dan berada<br />
di lokasi TKP karena ia merasa<br />
masih menjadi TO (Target<br />
Operasi) bersama Sutam yang<br />
juga menjadi TO. Solihin<br />
menerangkan bahwa dirinya menjadi TO karena selama ini<br />
dinilai cukup keras dalam masalah tanah yang ingin dikuasai<br />
oleh aparat dan perusahaan Rajawali. Dirinya pernah<br />
mengalami intimidasi dari aparat, di mana warungnya pernah<br />
dirobohkan oleh aparat dengan menggunakan tali yang ditarik<br />
dengan tank militer. ***<br />
“Negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama laki-laki dan<br />
perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum<br />
dalam konvenan ini”<br />
(Pasal 3: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)<br />
“Negara pihak dalam konvenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk<br />
asuransi sosial”<br />
(Pasal 9: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)<br />
10<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
OPINI<br />
Meneropong<br />
Alas Tlogo<br />
Usman Hamid<br />
Koordinator Badan Pekerja Kontras<br />
Kita perlu memahami logika sistemik penyebab insiden Alas<br />
Tlogo, Pasuruan, Jatim, kemudian mencari cara<br />
penyelesaian yang tepat. Penyelesaian yang tepat punya makna<br />
strategis bagi korban dan kepentingan umum, khususnya dalam<br />
konteks penataan reforma agraria.<br />
Setidaknya ada tiga<br />
masalah fundamental<br />
yang terefleksikan dari<br />
insiden Alas Tlogo pada 30<br />
Mei lalu. Pertama,<br />
terjadinya sebuah tindak<br />
kekerasan dan disertai<br />
penembakan terhadap<br />
warga sipil di Desa Alas<br />
Tlogo, Kecamatan Lekok,<br />
Kabupaten Pasuruan,<br />
Jatim. Akibat insiden itu,<br />
empat warga sipil tewas<br />
seketika dan delapan lagi<br />
mengalami luka-luka.<br />
Selain itu peristiwa ini<br />
juga menimbulkan<br />
penderitaan mental dan<br />
psikologis pada korban<br />
luka dan keluarga korban,<br />
serta warga desa pada<br />
umumnya.<br />
Kedua, insiden Alas Tlogo<br />
berakar dari sengketa<br />
tanah antara warga dan<br />
TNI-AL sejak 1960. Sengketa ini berlangsung lewat proses<br />
peradilan maupun lewat proses politik. Ketika itu KKO meminta<br />
warga Alas Tlogo menyerahkan lahan kepada KKO, dengan<br />
alasan akan dijadikan landasan pesawat terbang.<br />
Pada masa Orde Baru, setidaknya hingga 1984, lahan tersebut<br />
dikelola Puskopal, ditanami pohon jarak dan palawija. Tahun<br />
1984, keluar SK KSAL Nomor Skep/675/1984 tanggal 28 Maret<br />
1984 yang menunjuk Puskopal, dalam hal ini Yayasan Sosial<br />
Bhumyamca (Yasbhum), sebagai pengelola.<br />
di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat<br />
2.810 kasus konflik agraria.<br />
Ketiga, ada kesan kuat TNI-AL selalu menyatakan warga<br />
sebagai pihak yang melanggar hukum dalam sengketa kedua<br />
belah pihak. Meski proses hukum sementara memihak kepada<br />
TNI-AL, banyak pihak<br />
masih mempersoalkan<br />
manajemen pertanahan<br />
TNI-AL.<br />
TNI-AL kemudian<br />
melakukan komersialisasi<br />
aset dengan memberikan<br />
sertifikat hak pakai (hingga<br />
tahun 2018) seluas 2.600 ha<br />
(73% lahan) kepada PT<br />
Kebon Grati Agung yang<br />
merupakan anak<br />
perusahaan PT Rajawali<br />
Nusantara. Komersialisasi<br />
ini salah dilihat dari aspek<br />
legal formal. UU Nomor 5<br />
Tahun 1960 (Pasal 10)<br />
tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-Pokok Agraria dan<br />
Pasal 76 UU Nomor 34/<br />
2004 tentang Tentara<br />
(Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) Nasional Indonesia, yang<br />
Korban wafat peristiwa Pasuruan 30 Mei 2007<br />
mengharuskan negara<br />
menghentikan bisnis<br />
militer. Presiden perlu<br />
segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk<br />
mengakhiri bisnis-bisnis militer di mana pun.<br />
Jadi, pemerintah ditantang memberi jawaban atas masalah<br />
fundamental itu. Menyerahkan masalah tanah ke pengadilan<br />
bukan langkah tepat. Karena itu, jika pengadilan<br />
memenangkan warga, TNI-AL tetap perlu diberi tanah sebagai<br />
area latihan tempur. Begitu pula jika warga kalah di<br />
pengadilan, negara tetap wajib menyediakan tanah untuk<br />
rakyat, khususnya petani miskin di Alas Tlogo.<br />
Namun Desa Alas Tlogo hanya satu dari sekitar 11 desa yang<br />
memiliki sengketa dengan TNI-AL. Lebih jauh lagi, wilayah<br />
Pasuruan hanya satu di antara banyak persoalan sengketa tanah<br />
Soal kekerasan militer, sebaiknya tak lagi menggunakan<br />
pengadilan militer. Kita ingin lebih objektif agar kita dapat<br />
memenuhi amanat reformasi.***<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 11
JEJAK SANG PENJUANG<br />
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Saksi Kunci Ongen, Komitmen Jaksa Agung Baru<br />
dan Kedatangan Hina Jilani<br />
Penyelidikan kepolisian kian berkembang. Meski masih mengumpulkan bukti-bukti untuk<br />
membawa Indra Setiawan ke pengadilan, polisi juga tengah memeriksa Ongen Latuihamalo sebagai<br />
salah satu saksi kunci. Sementara Jaksa Agung yang baru menegaskan komitmennya untuk<br />
memperkuat bukti-bukti baru dalam pengajuan Peninjauan Kembali. Di sisi lain, Hina Jilani,<br />
Utusan Khusus PBB untuk Pembela HAM mengingatkan bahwa kasus Munir merupakan ujian bagi<br />
pemerintah untuk melindungi pembela HAM di Indonesia<br />
Pada awal Mei, tim penyidik kepolisian masih menyelidiki<br />
Indra Setiawan, mantan Direktur Garuda Indonesia yang<br />
mulai ditahan di Mabes Polri sejak April lalu. Dari beberapa<br />
rangkaian penyidikan yang telah dilakukan, tim penyidik<br />
mengalami kesulitan membuka satu dari dari handset telepon<br />
seluler milik Indra Setiawan.<br />
“Sofware-nya tidak kompatibel,” ujar Heru Susanto, salah satu<br />
pengacara Indra Setiawan, setelah mendampingi Indra di<br />
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (1/05).<br />
Sedangkan satu handset yang dapat dibuka adalah telepon<br />
seluler merek Nokia tipe 9300i. Dari handset ini, penyidik<br />
berhasil membuka data yang dimiliki Indra dari November<br />
2006 hingga sekarang. Namun penyidik tidak menemukan<br />
sesuatu yang mencurigakan. Sementara handset telepon<br />
seluler lainnya tidak bisa dibuka.<br />
Heru juga menjelaskan, selain handset, penyidik menyita 19<br />
disket milik Indra. Dari jumlah itu, penyidik baru bisa<br />
membuka satu disket. “Isinya materi simposium di London,”<br />
ujarnya.<br />
Namun, juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Sisno<br />
Adiwinoto, membantah tudingan pengacara Indra itu.<br />
Menurutnya, penyidikan kasus kematian Munir tidak<br />
terpaku pada satu barang bukti. Polisi terus mengembangkan<br />
penyidikan itu dengan mengumpulkan alat bukti yang akan<br />
dibawa ke pengadilan. “Penyidikan tidak selesai pada dua<br />
tersangka itu (Rohainil Aini dan Indra Setiawan). Penyidik<br />
mempunyai alat bukti lain,” ujarnya. Sisno mempersilakan<br />
pihak pengacara menyampaikan pendapatnya. Penyidik,<br />
kata dia, tidak akan terpengaruh dengan pernyataan mereka.<br />
Pertanyaan tentang BIN<br />
Lebih lanjut pengacara tersangka Indra Setiawan dan<br />
Rochainil Aini mengatakan bahwa tim penyidik membuka<br />
telepon Indra Setiawan setelah dia mengaku tidak pernah<br />
berkomunikasi dengan orang dari BIN. “Seperti pertanyaan<br />
yang lalu, pertanyaan pada keduanya sama saja. Yakni,<br />
apakah mengenal orang-orang dari BIN. Dan dijawab yang<br />
sama pula, kenal dengan orang BIN karena sebagai dirut<br />
BUMN, tentu sering bertemu dalam acara-acara. Namun,<br />
tidak pernah berkomunikasi,” ujar Heru. Menurutnya, dalam<br />
proses itu juga ditanyakan kembali hubungan antara Kepala<br />
BIN Hendropriyono dengan mantan deputi V BIN Mucdhi<br />
PR.”Jawabannya juga sama. Sebatas kenal, tapi tidak<br />
berkomunikasi, “ kata Heru.<br />
Terkait dengan proses hukum yang tengah dilakukan, kriminolog<br />
Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai kalau ada<br />
anggota intelijen tertangkap polisi, berarti ia gagal. Sebab,<br />
intelijen adalah sebuah aktivitas di luar hukum. Ia bekerja hanya<br />
dan untuk kepentingan politik negara.<br />
Namun, kata Andrianus, kegagalan sebuah operasi intelijen tidak<br />
dilakukan dalam kerangka pertanggungjawaban hukum, tapi<br />
pertanggungjawaban politik. Menurutnya, cara berpikir yang<br />
mengaitkan kematian Munir dengan operasi intelijen merupakan<br />
cara berpikir post hoc facto. “Kita bisa menduga tapi sulit<br />
menunjuk siapa,” kata Andrianus.<br />
Relasi antara kekuasaan politik dan operasi intelijen, terwujud<br />
dalam relasi antara presiden dan kepala BIN. Operasi intelijen,<br />
juga bisa memakai pihak lain di luar intelijen untuk melancarkan<br />
tujuan. Karena itu, menurut Andrianus, pengungkapan kasus<br />
Munir oleh polisi akan sangat sulit jika harus menyentuh sebuah<br />
skema operasi intelijen. “Polisi harus mengusut unsur barang<br />
siapanya, bukan ke intelijennya. Kalaupun polisi masuk ke<br />
intelijen, paling yang terungkap sebatas keterlibatan Indra<br />
Setiawan,” ungkap Andrianus.<br />
Polisi menurutnya, juga harus bisa mengonstrusikan sebuah<br />
bangunan pidana dengan mengungkap sejumlah fakta antara<br />
lain rekaman telepon antara Pollycarpus BP dan Mucdhi.<br />
Putusan Garuda jadi pertimbangan<br />
Di sisi lain, putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />
sebagian gugatan perdata Suciwati terhadap PT Garuda<br />
Indonesia (03/05), ternyata juga akan menjadi bahan<br />
pertimbangan dan evaluasi penyidikan kasus Munir.<br />
“Apapun yang terkait dengan kasus Munir akan didalami oleh<br />
penyidik, termasuk evaluasi dan masukan dari hakim, menjadi<br />
bahan pertimbangan,” ujar Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto.<br />
Sisno mengatakan putusan yang menyatakan Garuda telah lalai<br />
menjadi bahan pertimbangan penyelidikan kasus ini. Ia<br />
menegaskan seluruh hal yang terkait dengan kasus terbunuhnya<br />
Munir akan diperiksa penyidik. Adapun, hal-hal yang bisa<br />
12<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
memperkuat hasil penyelidikan, telah dievaluasi kepolisian agar<br />
hasilnya tidak keliru.<br />
Sementara itu, usai memimpin rapat koordinasi Kapolda se-<br />
Jawa-Bali di Jakarta, Kapolri Jenderal Sutanto, sudah<br />
menyatakan melakukan langkah-langkah penyidikan. Sutanto<br />
menegaskan, siapapun yang mengarah pada tersangka kasus<br />
Munir, pasti akan diperlakukan sama. Ditanya bagaimana jika<br />
tersangka baru mengarah pada petinggi di lingkungan BIN,<br />
Sutanto kembali menegaskan, “Siapa pun, si A atau si B pasti<br />
akan kami usut.”<br />
Nota Kesepakatan Polri dan PT Telkom<br />
Untuk mendukung kinerja penyidikan, Polri melakukan<br />
penandatanganan Nota Kesepahaman<br />
dengan PT Telkom (3/5). Wakil Kepala Polri<br />
Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara<br />
mengatakan bahwa kemampuan teknologi<br />
yang dimiliki Telkom sangat dibutuhkan<br />
Polri dalam kinerjanya. “Kita butuh<br />
dukungan telekomunikasi yang baik karena<br />
jaringan Telkom saat ini tergelar sampai ke<br />
pelosok-pelosok, hingga mencapai<br />
tingkatan polsek,” ujar Makbul.<br />
Untuk penyadapan dalam rangka<br />
penyidikan, Telkom siap membantu selama<br />
tidak bertentangan dengan aturan hukum.<br />
“Selama itu memang secara undang-undang<br />
diizinkan, diperbolehkan, ya kita mengikuti<br />
undang-undang,” ujar Direktur PT Telkom<br />
Rinaldi Firmansyah. Saat ditanya soal kemungkinan Telkom<br />
membantu Polri dalam kasus pembunuhan Munir terkait<br />
dugaan hubungan telepon antara Pollycarpus dengan mantan<br />
Kepala Deputi V BIN Mucdhi PR, Rinaldi hanya menjawab, “Saya<br />
perlu cek dulu ya. Kalau semuanya direkam, itu akan berapa<br />
banyak,” ujarnya.<br />
“Setiap Fakta atau<br />
peristiwa merupakan suatu<br />
hal yang tidak dapat<br />
ditiadakan, dengan tanpa<br />
meniadakan kerugian itu<br />
sendiri, sehingga dengan<br />
demikian dapat dikatakan<br />
bahwa tanpa termaksud,<br />
kerugian itu tidak akan<br />
terjadi.”<br />
JEJAK SANG PENJUANG<br />
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Menurutnya, kejaksaan harus menyiapkan novum dengan<br />
alat bukti yang benar-benar kuat. Sebab, jika tidak yakin<br />
dengan novum, upaya PK dapat kandas di tengah jalan.<br />
“Kejaksaan kan hanya punya kesempatan PK satu kali. Nah,<br />
kalau gagal habis kita,” tegas Hendarman tanpa memperjelas<br />
persiapan novum. Yang jelas, upaya tersebut diilustrasikan<br />
seperti membangun fondasi bangunan yang tahan<br />
menghadapi terpaan angin ribut.<br />
Hendarman menambahkan, kejaksaan terus memantapkan<br />
persiapan pengajuan PK. Diantaranya, mengadakan<br />
pertemuan untuk memaparkan bahan-bahan pengajuan PK<br />
pada Senin (14/05). “Kami masih mempelajari bahan-bahan<br />
tersebut,” jelasnya. Hal senada diungkapkan oleh JAM Pidum<br />
Abdul Hakim Ritonga, yang menegaskan bahwa kejaksaan<br />
dan Polri tengah menyatukan pendapat,<br />
antara lain untuk menentukan alasan apa<br />
yang akan digunakan dalam pengajuan PK.<br />
Pada akhirnya, empat hari setelah<br />
penyataan diatas, terungkap bahwa<br />
Kejaksaan Agung akan menganut conditio<br />
sine qua non dalam pembuktian secara<br />
tuntas kasus ini. Hal ini ditegaskan oleh<br />
Jaksa Agung Hendarman Supandji (14/05).<br />
“Opsi conditio qua non merupakan opsi yang<br />
paling bagus dari tiga opsi yang ada,” kata<br />
Hendarman. Meski demikian, ia tidak<br />
menyebutkan dua model yang lainnya.<br />
“Satu model yang dipilih itu adalah<br />
gabungan bentuk A dan B. Rencananya, kita<br />
akan menambahkan model yang gabungan<br />
itu dengan keterangan saksi-saksi,” katanya.<br />
Conditio Sine Qua non : Setiap Fakta atau peristiwa merupakan suatu<br />
hal yang tidak dapat ditiadakan, tanpa meniadakan kerugian itu sendiri,<br />
sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa termaksud,<br />
kerugian itu tidak akan terjadi.<br />
Komitmen Jaksa Agung baru<br />
Setelah dilakukan reshuflle kabinet oleh Presiden SBY (7/05),<br />
dalam acara serah terima jabatan Jaksa Agung, Abdul Rahman<br />
Saleh meminta Hendarman Supandji, Jaksa Agung yang baru<br />
agar tidak melupakan kasus Munir, selain kasus BLBI dan kasus<br />
Soeharto. “Jangan lupakan kasus Munir, tokoh penegak HAM<br />
yang diracun di maskapai penerbangan nasional. Skandal itu<br />
paling memalukan penegak hukum nasional. Saya mendesak Pak<br />
Sutanto (Kapolri) mencari novum dan pembunuh harus<br />
bertanggungjawab, “demikian ditegaskan oleh Abdul Rahman<br />
Saleh saat itu.<br />
Hendarman Supandji menyambut positif. Ia meminta Mabes<br />
Polri untuk melengkapi alat bukti petunjuk yang memungkinkan<br />
dapat memperkuat bukti baru (novum). Ini dilaksanakan<br />
sebelum kejaksaan agung mendaftarkan peninjauan kembali<br />
(PK) atas bebasnya Pollycarpus dalam kasus kematian Munir.<br />
“Permintaan itu diajukan JAM Pidum (pidana umum),” katanya.<br />
Hendarman mengakui bahasa conditio sine qua non sangat<br />
teknis, sehingga kalau diungkapkan, anggota masyarakat<br />
belum tentu mengetahuinya. Ia menjelaskan, opsi itu<br />
pembuktian adanya satu peristiwa pembunuhan, dimana<br />
pembunuhan itu ada. “Mulai dari 41 kali telekomunikasi<br />
telepon, kemudian adanya hubungan antara terdakwa<br />
sampai posisi pembunuhan semua kita perinci, kemudian ada<br />
saksi yang menemukan adanya pertemuan di Changi,<br />
Singapura. Itu kita dalami, kemudian ada saksi sebelum<br />
peristiwa itu menjadi sebab terjadinya suatu tindakan<br />
pidana,” tegas Hendarman.<br />
Terkait dugaan adanya konspirasi atas terbunuhnya Munir,<br />
ia mengutarakan, bukan dalam arti komplotan, tapi yang<br />
harus dibuktikan dulu adalah bahwa pembunuhan itu ada,<br />
seseorang yang melakukan, kemudian dalam pengembangan<br />
selanjutnya itu tidak sendirian.” Itu harus dirumuskan<br />
semuanya. Kita berdiskusi terus dengan polisi untuk fokus<br />
pada conditio sine qua non itu,” katanya.<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 13
JEJAK SANG PENJUANG<br />
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Jaksa Agung, mengharapkan akhir Mei ini Polri telah<br />
memeriksa para saksi itu. “Saya sudah meminta JAM Pidsum<br />
segera berkoordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri guna<br />
mendapatkan beberapa saksi baru,” kata Hendarman. Sedang<br />
pada (14/05) secara tertutup, Jaksa Agung melakukan ekspos<br />
kasus Munir di lingkungan Kejasung. Ekspos yang dilakukan<br />
Hendarman adalah penjelasan konsep conditio sine qua non.<br />
Ongen saksi kunci<br />
Mabes Polri mengatakan bahwa Ongen Latuihamalo sebagai<br />
saksi kunci dalam kasus terbunuhnya Munir. Karena itu<br />
Orgen mendapatkan perlindungan khusus dari pihak<br />
kepolisian. “Terjadinya pembunuhan adalah di Changi<br />
(bandara di Singapura). Sehingga, ada<br />
beberapa saksi termasuk Ongen, yang<br />
merupakan saksi yang betul-betul nantinya<br />
dapat membuka terjadinya peristiwa<br />
terhadap Munir,” papar Kepala Bidang<br />
Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes<br />
Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Dahuri.<br />
“Berdasarkan hasil<br />
visum et repertum<br />
laboratorium, dapat<br />
disimpulkan bahwa<br />
terjadinya intake arsen<br />
diduga pada saat<br />
korban berada di<br />
Changi,<br />
S i n g a p u r a . ”<br />
ahli<br />
kedokteran forensik.<br />
Penetapan saksi penting ini, termuat dalam Bandara<br />
alat bukti baru (novum) dalam peristiwa<br />
terbunuhnya Munir. Dikatakannya, novum keterangan<br />
itu didapat dari hasil laboratorium di Seattle,<br />
Amerika Serikat, pemeriksaan saksi ahli, dan<br />
para saksi lainnya. Dalam hasil laboratorium<br />
disebutkan, arsen yang masuk ke dalam tubuh korban adalah<br />
jenis AS+3 dan AS+5.<br />
April lalu. Setelah itu, ia yang berprofesi sebagai penyanyi<br />
sempat pentas ke Belanda dan kembali lagi ke Indonesia pada 20<br />
April 2007. Dua penyidik polisi mengajak Ongen untuk menjalani<br />
prarekonstruksi di Bandara Changi, Singapura, tanpa<br />
didampingi penasehat hukumnya.<br />
Namun, saat itu mereka hanya berjalan-jalan dan melihat-lihat<br />
situasi bandara sebab lokasi Coffe Bean, yang disebut-sebut<br />
merupakan persinggahan Munir, telah berpindah lokasi. Ongen<br />
mengaku menyaksikan Munir dengan seseorang di Coffe Bean<br />
itu. Tetapi, ia mengaku tidak pernah berinteraksi dengan Munir<br />
saat itu. Keberadaannya di Changi dalam rangka kepergiannya<br />
ke Belanda.<br />
Terkait dengan hal itu, Kepala Bidang Penerangan<br />
Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Mabes Polri<br />
Kombes Pol Bambang Kuncoro, membenarkan hasil<br />
pemeriksaan beberapa kali terhadp Ongen oleh<br />
Mabes Polri. Pemeriksaan itu menunjukkan adanya<br />
perkembangan yang signifikan bagi Polri dan<br />
Kejaksaan, terutama untuk kepentingan guna<br />
memperkuat novum, “ ujar Bambang. “Keterangan<br />
Ongen menguatkan novum dalam rangka PK<br />
melawan Pollycarpus yang telah dinyatakan bebas<br />
oleh pengadilan karena dalam kasus tersebut hanya<br />
didakwa memalsukan surat keterangannya. Ada<br />
hitam di atas putih. Dia (Ongen), kita ambil<br />
keterangannya guna memperkuat novum, “ ujar<br />
Bambang. Tapi, ia menambahkan, polisi belum menetapkan<br />
tersangka baru selain Indra Setiawan dan Rohainil Aini.<br />
Sedangkan, keterangan ahli toksikologi forensik<br />
menyimpulkan, intake arsen ke dalam tubuh korban, terjadi<br />
antara 8-9 jam sebelum kematian. Padahal, korban Munir<br />
diperkirakan meninggal dunia tiga jam sebelum pesawat<br />
mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam, Belanda.<br />
Sedangkan, waktu tempuh penerbangan Singapura-Belanda<br />
12 jam. “Dari keterangan ahli kedokteran forensik,<br />
berdasarkan hasil visum et repertum laboratorium, dapat<br />
disimpulkan bahwa terjadinya intake arsen diduga pada saat<br />
korban berada di Bandara Changi, Singapura.”<br />
Karena itulah, para saksi yang tampak bersama dengan Munir<br />
pada saat almarhum transit di Singapura, dalam<br />
perjalanannya ke Belanda, memegang kunci dalam menguak<br />
peristiwa tersebut. Saat itu, selain Pollycarpus, Ongen juga<br />
disebutkan terlihat di dekat Munir di Changi.<br />
Sementara itu, dalam konferensi pers yang diadakannya,<br />
Ongen yang didampingi pengacara Ozhak Emanuel Sihotang,<br />
menegaskan, ia tak mengenal Pollycarpus. Ia juga<br />
mengatakan tak pernah berinterkasi fisik atau berkomunikasi<br />
dengan Munir. Ongen merasa hanyalah orang sedang berada<br />
di tempat yang salah menjelang kematian Munir.<br />
“Saya memang seperti berada di tempat yang salah. Tetapi,<br />
itu saya tabah. Saya mencoba lebih dekat dengan Tuhan,”<br />
katanya. Ongen memutuskan muncul terbuka setelah ia<br />
beberapa kali memberi keterangan pada kepolisian sejak 2<br />
Lengkapi Bahan PK<br />
Hingga minggu pertama bulan Juni, bahan-bahan yang dimiliki<br />
Kejaksaan Agung masih belum cukup bukti sebagai bukti baru<br />
untuk mengajukan PK atas keputusan Mahkamah Agung dalam<br />
perkara pembunuhan Munir. “Masih dibutuhkan lagi<br />
keterangan dari sejumlah saksi untuk melengkapi bahan-bahan<br />
yang dinilai masih tercerai-berai, menjadi satu kesatuan, “ kata<br />
Jaksa muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga<br />
mengenai bahan-bahan yang saat ini dimiliki Kejaksaan agung<br />
dalam upaya mengajukan PK (9/05).<br />
“Dari pertama, keterangan sudah ada, tapi ini belum nyambung.<br />
Butuh kesaksian. Enggak tahu (saksinya) siapa menurut polisi<br />
yang pas. Kami hanya menilai sudah cukup alasan atau tidak,”<br />
katanya. Hari Kamis (7/06), polisi menyerahkan tambahan bukti<br />
baru berupa kesaksian Ongen yang sudah tertuang dalam berita<br />
acara pemeriksaan. Hingga saat ini, menurut Ritonga, jaksa tetap<br />
yakin Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan Munir. “Namun<br />
hakim tidak yakin,” katanya.<br />
Sedangkan, polisi kembali (8/05) meminta keterangan dari<br />
Pollycarpus sebagai saksi. Polly diperiksa sebagai saksi untuk<br />
tersangka mantan Indra Setiawan. Kadiv Humas Polri Irjen Sisno<br />
Adiwinoto mengatakan, tidak tertutup kemungkinan penyidik<br />
polisi mengonfrontasikan hasil pemeriksaan terhadap Ongen<br />
14<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
JEJAK SANG PENJUANG<br />
dengan keterangan dari Pollycarpus atau siapa pun yang<br />
terkait dengan perkara Munir.<br />
Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supadji mengatakan<br />
kepolisian menemukan lebih dari 10 motif pembunuhan<br />
Munir. “Itu terungkap dalam rapat antara kejaksaan dan<br />
kepolisian,” ujar Hendarman. Penyebab kematian Munir yang<br />
tewas dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda (07/<br />
09/2004), katanya, dipastikan karena diracun. “Tapi tidak ada<br />
orang yang melihat siapa yang memasukkan racun ke tubuh<br />
Munir,” ujar Hendarman (8/05).<br />
Hendarman enggan menjelaskan berbagai motif tersebut.<br />
Yang jelas, katanya, motif itu sedang didalami oleh penyidik<br />
Mabes Polri. “Ini untuk lebih menyakinkan apa penyebabnya<br />
(Munir dibunuh),” katanya. Hendarman, menambahkan,<br />
bukti baru untuk peninjauan kembali kasus Munir sudah ada,<br />
berupa kesaksian. Meskipun saksi tidak secara nyata melihat<br />
proses peracunan. “Rentetan sebab-sebab kematian Munir<br />
semakin jelas dan terang,” katanya.<br />
Kapolri Jenderal Sutanto pernah mengungkapkan sejumlah<br />
motif ini. Di antaranya, kasus ini terkait dengan pemilihan<br />
presiden tahap kedua pada September 2004 dan karena<br />
banyaknya kalangan yang tak suka terhadap perjuangan<br />
Munir membela HAM. Isteri Munir, Suciwati,<br />
mengungkapkan motif lain, yaitu perihal kebocoran dana<br />
operasi darurat militer Aceh senilai Rp 2 triliun,<br />
keberangkatan Munir ke Belanda yang dianggap dapat<br />
mempersulit pengadaan kapal korvet oleh TNI Angkatan<br />
Laut, serta pemalsuan uang oleh BIN yang hendak dibongkar<br />
Munir.<br />
Kedatangan Hina Jilani<br />
Di sela-sela proses hukum yang tengah berlangsung, utusan<br />
khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM, Hina Jilani<br />
mengunjungi Indonesia (5/05-13/05). Ia datang untuk<br />
memantau perkembangan penghormatan HAM pembela<br />
HAM di Indonesia, termasuk penuntasan kasus pembunuhan<br />
aktivis HAM Munir.<br />
Saat bertemu dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (KY), Hina<br />
Jilani, meminta pemerintah pemerintah Indonesia<br />
memerhatikan perlindungan para pembela HAM.<br />
Perlindungan terhadap keselamatan semua pembela HAM<br />
adalah sesuatu yang sangat penting. Ia juga menjelaskan,<br />
meski ia membawa wacana HAM, ia memfokuskan pada<br />
perlindungan keselamatan aktivis pembela HAM, termasuk<br />
bagaimana mereka bekerja. Aktivis pembela HAM itu bisa<br />
wartawan, pengacara, dan pengiat LSM.<br />
Hina Jilani juga akan memberikan waktu khusus untuk<br />
bertemu dengan KASUM. “Dia ingin mengetahui seluk beluk<br />
penuntasan kasus Munir. Apa yang sesungguhnya terjadi,<br />
lalu (mengapa) sekarang belum selesai,” ujar Usman Hamid.<br />
Menurutnya, pertemuan dengan Hina Jilani akan dilakukan<br />
tertutup. Dia juga mengakui bahwa salah satu alasan<br />
kedatangan utusan khusus Sekjend PBB itu terkait dengan<br />
lambannya penuntasan kasus Munir. Sebelumnya, Hina Jilani<br />
telah mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia<br />
untuk mempertanyakan tindak lanjut kasus ini. Namun<br />
pemerintah Indonesia tidak memberikan tanggapan.<br />
KASUM bertemu Hina Jilani<br />
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Pada Sabtu (9/06) Hina Jilani mengadakan pertemuan tertutup<br />
dengan Suciwati dan KASUM di kantor sekretariat KASUM. Pada<br />
pertemuan yang dimulai pada pukul 18.00, Hina Jilani ditemani<br />
oleh stafnya, Guillaume, sementara KASUM diwakili Suciwati,<br />
Asmara Nababan, Usman Hamid, Choirul Anam, Rusdi<br />
Marpaung, Indria Fernida dan Indra L.<br />
Seusai pertemuan sekitar pukul 18.40 WIB, Hina yang memakai<br />
pakaian khas Pakistan dengan warna dominan hitam kepada<br />
wartawan hanya mengatakan, “Saya bermaksud mendapatkan<br />
data-data untuk melengkapi laporan saya tentang kasus Munir.<br />
Hal lain akan saya jelaskan kepada pres pada 12 Juni,” ujar Hina.<br />
Sedangkan Suciwati mengaku, pasca pertemuan itu ia memiliki<br />
harapan tinggi agar pemerintah lebih serius menangani kasus<br />
Munir. “Serius bisa sampai bisa ketemu motifnya. Pertemuan<br />
itu akan semakin menguatkan dukungan internasional terhadap<br />
penuntasan kasus ini,” ujarnya.<br />
Ketua KASUM, Asmara Nababan menyatakan, kedatangan Jilani<br />
memperkuat fakta bahwa dunia internasional memberi<br />
perhatian khusus pada kasus Munir. Karena itulah, komitmen<br />
pemerintah menuntaskan kasus Munir harus jelas bila dikaitkan<br />
dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah<br />
konvenan HAM serta menjadi anggota Dewan HAM PBB.<br />
Karenanya, Asmara yakin kedatangan Hina Jilani akan<br />
membantu kasus Munir. Dia mencontohkan tekanan<br />
internasional dalam penyelesaian kasus pembantaian Santa<br />
Cruz 1991. Tekanan itu membuat Indonesia mengubah sikapnya<br />
terhadap HAM hingga membentuk Komnas HAM. “Itu karena<br />
tekanan internasional. Kasus Munir dengan Santa Cruz beda.<br />
Tapi tekanannya juga bisa lebih keras. Karena internasional akan<br />
mempertanyakan posisi kita sebagai anggota Dewan HAM PBB.”<br />
Sedangkan Usman Hamid menambahkan, dalam pertemuan itu<br />
pihaknya menginformasikan penilaian terhadap penyidikan<br />
kepolisian yang dianggap menunjukkan kemajuan. Namun ia<br />
juga mengungkapkan kendala yang muncul dalam proses ini.<br />
Hambatan itu, antara lain kecilnya akses informasi Suciwati<br />
terhadap hasil penyelidikan Polri. Dan rencana peninjauan<br />
kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Menurut Usman,<br />
hambatan terhadap akses itu sudah dialami Suciwati sejak<br />
Munir meninggal. “Sehingga kita menekankan setelah kunjungan<br />
Hina Jilani, ada akses yang lebih baik yang dimiliki Suciwati,”<br />
ujar Usman. Hambatan lain, adalah tertutupnya penyelidikan<br />
kasus itu saat proses membongkar hubungan telepon Mucdhi<br />
PR dengan Pollycarpus.<br />
Dalam siaran persnya (12/06), Hina Jilani menjelaskan soal<br />
kepedulian internasional terhadap kasus terbunuhnya Munir.<br />
Ia mengatakan, “Kasus itu secara pribadi merupakan kasus<br />
istimewa. Saya sudah menyampaikan pemikiran dan<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 15
JEJAK SANG PENJUANG<br />
pandangan saya kepada pemerintah Indonesia. Saya<br />
berharap selama rangkaian masa tugas bisa mengemukakan<br />
persoalan ini kepada pejabat yang saya temui dan bisa<br />
mendapatkan masukan-masukan dari mereka.”<br />
Dukungan masyarakat Kanada<br />
Tak henti mencari keadilan, selama seminggu pada bulan Mei,<br />
Suciwati bertandang ke Kanada. Dia diundang oleh<br />
Internasional Centre for Human Rights and Democratic Development<br />
(ICHRDD). Organisasi nonpartispan itu dibentuk Parlemen<br />
Kanada pada tahun 1988. Tujuannya adalah mempromosikan<br />
dan mendukung penegakan HAM di seluruh dunia. Selain<br />
unsur pemerintah, Suciwati juga bertemu dengan media.<br />
Rights & Democracy berserta anggota-anggota koalisi<br />
organisasi HAM Kanada yang bekerja untuk isu Indonesia<br />
bersama KASUM meminta perhatian khusus pemerintah<br />
terhadap kasus Munir. Lebih lanjut organisasi-organisasi ini<br />
mendorong Pemerintah Kanada membuat sebuah<br />
pernyataan publik untuk mendukung diumumkannya hasil<br />
laporan tim pencari fakta dan menguatkan investigasi polisi,<br />
serta memastikan bahwa isu tersebut dimasukan dalam<br />
pertemuan dialog bilateral tentang HAM dengan Indonesia<br />
di Vancouver.<br />
Sedangkan kepala Asia ICHRDD, Mika Levesque menambahkan,<br />
kasus kematian Munir menunjukkan bahwa masalah utama di<br />
Indonesia saat ini adalah nihilnya kontrol sipil terhadap militer<br />
yang masih menikmati kekebalan atas hukum. Disinilah<br />
organisasi kami yang mempromosikan demokrasi ke seluruh<br />
dunia menaruh ke pedulian. Kasus Munir adalah test case,”<br />
tambahnya.<br />
Hal senada juga diungkapkan oleh Jean-Louis Roy, Presiden<br />
Rights & Democracy. Menurutnya, kasus pembunuhan Munir<br />
yang belum terselesaikan menunjukkan bahwa walaupun telah<br />
ada reformasi politik tapi militer tetap jauh dari jangkauan<br />
hukum di Indonesia. “Tanpa kontrol masyarakat sipil terhadap<br />
militer, budaya impunity akan tetap ada dan terus melemahkan<br />
penerapan demokrasi di Indonesia,” tegas Jean.<br />
Dok.Kontras<br />
“Diskusi apapun tentang hak asasi manusia di Indonesia<br />
menunjukkan fakta bahwa impunity terus meningkat untuk<br />
kejahatan seperti pembunuhan suami saya. Kasus<br />
pembunuhan Munir yang belum terselesaikan hanya satu<br />
dari sekian kasus yang ada di Indonesia, dan keadilan yang<br />
didapatkan untuk kasus Munir akan membuka pintu<br />
keadilan bagi seluruh kasus di negeri ini”, kata Suciwati.<br />
Ongen Memberikan kesaksian di depan PN Jakarta Pusat<br />
Gugatan Suciwati kepada Garuda :<br />
Ajukan Banding untuk Dorong Profesionalisme Penerbangan Sipil<br />
Putusan tak penuhi harapan<br />
Gugatan Suciwati terhadap PT Garuda Indonesia dan pihak<br />
terkait lainnya, sebagian telah dikabulkan oleh majelis hakim.<br />
Dalam petikan putusan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Andriyani Nurdin dengan<br />
anggota Sutiyono dan Kusriyanto, Kamis, (3/5), Pantun<br />
Matondang, pilot pesawat Garuda Indonesia dengan nomor<br />
penerbangan GA 974, yang ditumpangi oleh Munir dalam<br />
penerbangan Jakarta-Amsterdam, dan PT Garuda Indonesia<br />
dinyatakan terbukti lalai menjaga keamanan dan keselamatan<br />
salah satu penumpangnya.<br />
Pantun dan PT Garuda Indonesia diperintahkan membayar<br />
ganti rugi kepada Suciwati sebesar Rp 664,209 juta secara<br />
tanggung renteng. Pantun (tergugat IX) terbukti melakukan<br />
perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar kaidah kepatutan,<br />
ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dipegang pilot.<br />
Pantun mengetahui keadaan Munir, tetapi tidak segera<br />
berkonsultasi dengan petugas darat (ground of-ficer) untuk<br />
meminta izin pendaratan pesawat. Pilot dinilai melanggar hak<br />
subyektif Munir.<br />
Majelis juga berpendapat, Pantun melakukan tindakan yang<br />
bertentangan dengan kewajiban hukumnya yang ditentukan<br />
Basic Operator Manual (BOM) dan Pasal 23 Undang-Undang (UU)<br />
Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan juncto Pasal 40<br />
Peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2001. Ketentuan itu<br />
mengatur bahwa kapten pesawat udara berhak menentukan dan<br />
mengambil tindakan demi keselamatan penerbangan serta<br />
bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan<br />
penumpang. Dalam BOM 5.2.1. disebutkan, jika penumpang<br />
16<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
JEJAK SANG PENJUANG<br />
mengalami sakit serius di pesawat, pilot in command harus<br />
berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan perlu atau tidak<br />
meneruskan penerbangan atau mendarat. Bila ragu-ragu, ia<br />
harus minta saran medis dari darat.<br />
terutama campur tangan pihak tertentu untuk kepentingan<br />
yang bukan penerbangan sipil. Dengan tidak dikabulkannya<br />
permintaan atas audit Indepentden ini maka spirit gugatan<br />
ini menjadi tiada.<br />
Pantun bekerja di PT Garuda Indonesia. Karena itu, majelis hakim<br />
menyatakan perusahaan itu, selaku tergugat I, otomatis juga<br />
melakukan perbuatan melawan hukum. Pantun dan PT Garuda<br />
Indonesia diperintahkan membayar ganti rugi materiil dan<br />
imateriil sebebsar Rp 664,209 juta. Nilai<br />
ini lebih kecil dari ganti rugi yang<br />
dituntut Suciwati, yakni Rp 14,329<br />
miliar.<br />
Besaran ganti rugi itu dihitung<br />
berdasarkan ganti gaji Munir selama<br />
tiga bulan Rp 21,390 juta, uang<br />
pendidikan untuk anak Munir hingga<br />
jenjang sarjana Rp 557 juta, uang<br />
kesehatan Rp 35,7 juta, uang<br />
pemakaman Rp 3 juta, serta uang<br />
pengganti biaya yang dikeluarkan<br />
untuk pendidikan Munir sebesar Rp 6<br />
juta.<br />
Sedangkan terhadap tergugat lain, yaitu<br />
mantan Direktur Utama PT Garuda<br />
Indonesia (tergugat II), Vice President<br />
Corporate Ramelgia Anwar (tergugat<br />
III), Flight Operator Support Officer Rohainil Aini (tergugat IV),<br />
Pollycarpus BP (tergugat V), dan awak GA 974 lain, majelis hakim<br />
menyatakan mereka tidak terbukti melakukan perbuatan<br />
melawan hukum.<br />
Menanggapi putusan itu, kedua belah pihak menyatakan<br />
banding. Pengacara PT Garuda Indonesia, Uki Indra, mengatakan<br />
pertimbangan hakim tentang kelalaian pilot tak meminta saran<br />
dari petugas medis di darat dinilainya tidak tepat. Sementara<br />
Suciwati menyatakan menilai putusan tersebut masih jauh dari<br />
harapan keadilan dan tujuan gugatan itu sendiri.<br />
Alasan pengajuan banding<br />
Kuasa hukum Suciwati menilai<br />
bahwa kontruksi fakta putusan PN<br />
Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />
sebagian permintaan dalam gugatan<br />
dan menyatakan Garuda bersalah<br />
hanya dilandasi oleh kelalaian<br />
Garuda dalam penanganan orang<br />
sakit. Padahal beberapa fakta yang<br />
memang terjadi dan diakui kejadian<br />
tersebut ada dan merupakan<br />
perbuatan melawan hukum. Namun<br />
tidak dimasukkan sebagai kontruksi<br />
putusan. Fakta tersebut misalkan saja<br />
keberadaan kru dengan surat resmi<br />
yang cacat hukum dan pemindahan<br />
tempat duduk yang ilegal<br />
Yang kedua, tidak ada permintaan maaf atas kesalahan di<br />
media publik. Dalam putusan tersebut memang pihak<br />
Garuda dinyatakan bersalah. Namun kesalahan tersebut<br />
tidak dibarengi dengan permintaan maaf atas perbuatannya<br />
yang telah merugikan Suciwati dan<br />
keluarga. Harusnya Majelis Hakim juga<br />
mengabulkan permintaan maaf Garuda<br />
yang dimuat dalam media publik. Hal<br />
ini disebabkan karena pelayanan<br />
Garuda selalu berhubungan dengan<br />
wilayah publik. Permintaan maaf yang<br />
dilakukan di hadapan publik, akan<br />
mendorong Garuda lebih baik dan<br />
bertanggung jawab atas semua kegiatan<br />
yang telah dan akan dilakukan.<br />
Kuasa hukum Suciwati menilai bahwa<br />
kontruksi fakta putusan putusan PN<br />
Jakarta Pusat yang mengabulkan<br />
sebagian permintaan dalam gugatan<br />
dan menyatakan Garuda bersalah<br />
hanya dilandasi oleh kelalaian Garuda<br />
dalam penanganan orang sakit.<br />
Padahal beberapa fakta yang memang<br />
terjadi dan diakui kejadian tersebut ada dan merupakan<br />
perbuatan melawan hukum. Namun tidak dimasukkan<br />
sebagai kontruksi putusan. Fakta tersebut misalkan saja<br />
keberadaan kru dengan surat resmi yang cacat hukum dan<br />
pemindahan tempat duduk yang ilegal.<br />
Bagi Suciwati, fakta ini dapat menjadi titik masuk<br />
pengungkapan kebenaran pembunuhan Munir dari aspek<br />
yang lebih luas. Begitu pula penting bagi penerbangan sipil,<br />
terutama Garuda yang menjadikan fakta tersebut sebagai<br />
pengalaman yang tidak boleh terjadi lagi. Dua alasan inilah<br />
yang menjadi bagian alasan mengajukan banding terhadap<br />
putusan PN Jakarta Pusat.<br />
Alasan pengajuan Suciwati untuk mengajukan banding<br />
didasarkan karena dua permintaan penting yang diajukan tidak<br />
dikabulkan oleh majelis hakim. Pertama, permintaan untuk<br />
melakukan Audit Independent. Padahal, permintaan ini<br />
merupakan tujuan dari gugatan, yaitu mendorong agar Garuda<br />
sebagai perusahaan BUMN yang menyediakan layanan jasa<br />
penerbangan sipil agar professional. Tidak dicampuri oleh<br />
kepentingan lain dalam pengelolaan perusahaan tersebut,<br />
Gugatan PT Garuda Indonesia ini tenyata juga dilakukan oleh<br />
Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menilai<br />
awak pesawat Garuda lalai memberikan pertolongan,<br />
sehingga aktivis HAM Munir tewas di atas pesawat.<br />
Pengurus harian YLKI, Sudaryatmo menyatakan bahwa<br />
“materi gugatannya hampir sama dengan gugatan Suciwati<br />
terdahulu. Tapi, kini YLKI mengajukan berdasarkan hak legal<br />
standingnya.”<br />
Penghargaan HAM Princen<br />
Munir, mendapatkan penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007. Penghargaan itu didasarkan pada kerja-kerjanya<br />
sebagai aktivis HAM dan dikategorikan sebagai Human Rights Lifetime Achievement. Selain Munir, panitia Penghargaan Poncke<br />
Princen Human Rights Prize juga menetapkan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri Inu Kencana, sebagai Human Rights<br />
Promotor and Educator dan program pemberitaan Liputan 6 SCTV sebagai Human Rights Campaigner sebagai penerima anugerah<br />
itu.<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 17
KABAR DARI DAERAH<br />
Lindungi Kebebasan Sipil !<br />
Intimidasi dan tindak kekerasan hingga kini masih saja dilakukan oleh sekelompok<br />
orang pada kelompok lainnya. Sementara aparat keamanan tak mengambil tindakan<br />
hukum untuk menindaknya, bahkan ikut melakukan intimidasi untuk membubarkan<br />
kebebasan sipil tersebut. Padahal dengan jelas negara menjamin tiap warga negaranya<br />
untuk bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat.<br />
Peristiwa pembubaran paksa terhadap forum sipil kembali<br />
terjadi di Solo, 21 Juni 2007. Dengan alasan mendapatkan<br />
ancaman dari LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta), aparat<br />
Polses Colomadu Karanganyar dan Polres Karanganyar, Jawa<br />
Tengah membubarkan seminar yang digelar LPH YAPHI dan<br />
Insan Emas di Rumah Makan Taman Sari, Solo.<br />
Acara bertajuk “Memperkuat Ketahanan Masyarakat Sipil<br />
Tanpa Kekerasan” tersebut sedianya dimaksudkan untuk<br />
membangun ruang komunikasi dan<br />
dialog masyarakat agar tidak melakukan<br />
kekerasan dalam menyelesaikan<br />
masalah. Seminar ini juga berangkat<br />
dari maraknya berbagai peristiwa<br />
pelarangan membangun tempat<br />
beribadah dan kekerasan di Solo, yang<br />
antara lain terjadi di Gereja Penyebaran<br />
Injil Rajawali (sejak 1995-2007), Gereja<br />
Jemaat Kristen Indonesia “Kristus<br />
Gembala” (3 Juni 2007) dan Kapel St.<br />
Antonius Gombang (September 2005-<br />
2007), maupun aktifitas beribadah di<br />
rumah Buntoro, Surakarta (29 Juni 2007).<br />
Para pelaku pembubaran (pelaku<br />
kekerasan) mengatasnamakan kelompok<br />
agama tertentu.<br />
Saat itu Kapolsek Colomandu<br />
Karanganyar Jateng Kridho Baskara meminta agar kegiatan<br />
seminar dibatalkan dan melarang pemilik rumah makan<br />
Taman Sari untuk mengeluarkan makanan kecil (snack),<br />
sambil marah serta menggebrak meja. Karena ketakutan<br />
pemilik rumah makan tersebut menelepon panitia acara yang<br />
segera datang sesaat kemudian. Tak lama setelah itu anggota<br />
Polres Karanganyar Jateng kembali. Setelah terjadi dialog<br />
antara panitia acara seminar dengan pihak kepolisian,<br />
akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan kegiatan seminar<br />
boleh dilaksanakan hanya sampai pukul 11.30 Wib.<br />
Baru saja acara berlangsung, tiba-tiba datang satu mobil<br />
kijang dan satu truk berisi anggota kepolisian lengkap dengan<br />
pentungan, siap siaga di sekitar tempat berlangsungnya<br />
acara. Mereka meminta acara dibubarkan. Karena situasi<br />
tegang, akhirnya panitia acara terpaksa menghentikan acara<br />
dan mempersilahkan peserta pulang. Pihak Polres<br />
Karanganyar membubarkan acara tersebut dengan alasan<br />
ada permintaan dari kelompok yang menamakan diri LUIS.<br />
Sehari sebelumnya, pada pukul 23.30 Wib panitia mendapat<br />
teror via telepon dari LUIS. LUIS meminta acara seminar<br />
“Seyogyanya Polri<br />
memberikan perhatian<br />
yang serius atas hal ini.<br />
Kapolri harus segera<br />
menginstruksikan<br />
jajarannya untuk<br />
melindungi warga yang<br />
bermaksud menjalankan<br />
hak-hak dasarnya<br />
sekaligus mencegah<br />
kembali terjadinya aksi<br />
kekerasan masyarakat.”<br />
dibatalkan. Secara khusus, LUIS menolak kehadiran Dawan<br />
Rahardjo selaku salah satu pembicara karena dianggap telah<br />
menyebarkan ajaran-ajaran pluralisme yang<br />
mencampuradukan agama.<br />
Peristiwa serupa juga terjadi di Tasikmalaya. Pelarangan,<br />
intimidasi dan kekerasan terhadap jamaah Ahmadyah kembali<br />
terjadi sejak 19 hingga 26 Juni 2007 oleh<br />
kelompok tertentu yang mengatasnamakan<br />
GERAK (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi),<br />
Taliban dan FPI.<br />
Melanggar Hukum<br />
Pemasungan berekpresi ini jelas merupakan<br />
pelanggaran atas kemerdekaan seseorang<br />
yang telah dijamin oleh negara. Negara wajib<br />
menjamin hak-hak warganegara untuk bebas<br />
menjalankan haknya untuk berkumpul,<br />
mengeluarkan pendapat serta menjalankan<br />
agama dan keyakinannya berdasarkan<br />
konstitusi RI. Apalagi kebebasan beragama<br />
dan berkeyakinan merupakan salah satu hak<br />
asasi manusia yang tidak bisa dikurangi,<br />
dibatasi dan dilanggar dalam bentuk apapun<br />
(non derogable rights).<br />
Maka sudah sepantasnya Polri berani menindak para pelaku<br />
yang melakukan aksi-aksi yang sepihak melanggar hukum, dan<br />
bukan justru membiarkan aksi-aksi kekerasan terus<br />
berlangsung. Jika Polri tidak mengambil tindakan hukum<br />
terhadap pelaku, maka tak heran jika timbul persepsi di<br />
masyarakat tentang adanya sikap disriminasi aparat kepolisian<br />
terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam menjalankan<br />
keyakinannya.<br />
Seyogyanya Polri memberikan perhatian yang serius atas hal<br />
ini. Kapolri harus segera menginstruksikan jajarannya untuk<br />
melindungi warga yang bermaksud menjalankan hak-hak<br />
dasarnya sekaligus mencegah kembali terjadinya aksi kekerasan<br />
masyarakat. Di sisi lain Pemerintah harus memberikan<br />
dukungan yang penuh terhadap setiap inisiatif masyarakat yang<br />
hendak membangun ruang komunikasi dan dialog demi<br />
mencegah aksi-aksi sepihak yang justru menimbulkan keresahan<br />
dan memicu ketegangan hubungan antar masyarakat.***<br />
18<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH<br />
Buntut Bentrokan, TNI Tangkap Warga di Alue Dua, Aceh<br />
Kekerasan dibalas dengan kekerasan, begitulah yang dialami<br />
warga desa Alue Dua, Aceh. Pada kali pertama terjadi keributan<br />
antara warga dan anggota TNI yang mengakibatkan pemukulan<br />
terhadap anggota TNI tersebut (21/3) aksi pemukilan tersebut<br />
dibalas oleh aparat TNI beberapa hari kemudian (24/3).<br />
Bak operasi khusus yang hendak menangkap seorang pelaku<br />
kejahatan besar, sekitar pukul 06.30 WIB sejumlah aparat polisi<br />
dan TNI (8/05), melakukan penggeledahan terhadap rumah<br />
Ramli (68), warga dusun Drien Kemuneng, Seumirah, Kec. Nisam<br />
yang diduga sebagai pelaku pemukulan terhadap anggota TNI<br />
di desa Alue Dua. Berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga,<br />
Ramli Hamid ditangkap tanpa surat perintah penangkapan dan<br />
sampai saat ini masih ditahan di Polres Lhokseumawe. Padahal<br />
sebelumnya korban tidak pernah<br />
menerima surat pemanggilan dan juga<br />
tidak terdapat namanya dalam list DPO<br />
(daftar pencarian orang).<br />
Padahal, jauh-jauh sebelumnya, <strong>KontraS</strong><br />
pernah menyatakan agar TNI tidak terlalu<br />
jauh masuk dalam urusan penegakan<br />
hukum, baik tugas-tugas penyelidikan dan<br />
penyidikan yang notabenenya merupakan<br />
wewenang penuh kepolisian. Adalah<br />
sangat tidak bijak apabila TNI masih terus<br />
memburu pelaku pemukulan terhadap<br />
anggota TNI di desa Alue Dua, padahal<br />
pihak TNI sendiri sudah menyatakan<br />
bahwa kasus ini telah diserahkan kepada<br />
polisi untuk mengusutnya.<br />
Kompetensi kepolisian<br />
Upaya hukum untuk<br />
menyelesaikan kasus tindak<br />
kekerasan terhadap ke-empat<br />
anggota TNI tetap harus<br />
ditegakkan, lagi-lagi ini harus<br />
dilakukan oleh polisi bukan<br />
tentara. Polisi harus mengusut<br />
tuntas kasus ini untuk<br />
kepentingan hukum dan tidak<br />
diskriminatif. Tidak seperti<br />
pengusutan kasus-kasus<br />
sebelumnya, kasus Paya Bakong<br />
misalnya, dimana penyelidikan<br />
polisi menjadi mentok bila kasus<br />
tersebut dilakukan oleh aparat<br />
negara.<br />
Jika benar seperti yang dikatakan oleh<br />
Danrem 011/LW, Kolonel Inf Muhammad<br />
Erwin Syahfitri bahwa keterlibatan TNI dalam proses hukum<br />
kasus Alue Dua telah dikoordinasikan dengan Polres<br />
Lhokseumawe karena penyelesaian kasus ini kurang berjalan<br />
(Serambi, 7/5/07). Seharusnya proses hukum terhadap kasus<br />
Alue Dua secara hukum merupakan kompetensi kepolisian. Jika<br />
ternyata ada faktor ketidakmampuan polisi dalam menganani<br />
kasus ini sehingga membutuhkan bantuan TNI, maka perihal<br />
tersebut harus dideklarasikan atau dijelaskan oleh pihak<br />
kepolisian atau atas permintaan otoritas pemerintahan sipil.<br />
Tentunya, dengan menyebutkan argumentasi yang tepat perihal<br />
kesulitan yang dialami oleh kepolisian tersebut.<br />
Menjadi tidak tepat jika TNI mendesak atau mengintervensi polisi<br />
dalam proses hukum terhadap kasus Alue Dua. Karena diketahui,<br />
kasus ini juga melibatkan TNI, maka sudah seharusnya polisi<br />
menunjukkan sikap profesional dan independen dalam<br />
mengungkap kasus ini.<br />
Sebelumnya, saat peristiwa pemukulan atas empat anggota<br />
TNI itu belum terjadi, keberadaan pasukan TNI di SD Alue<br />
Dua patut dipertanyakan. Apabila menyangkut dengan<br />
pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara,<br />
Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Karena, hal<br />
tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6<br />
dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Apalagi kondisi<br />
Aceh sudah damai. Maka tugas kepolisian-lah untuk menjaga<br />
keamanan dan ketertiban masyarakat, TNI hanya terlibat jika<br />
diminta bantuannya.<br />
Upaya hukum untuk menyelesaikan<br />
kasus tindak kekerasan terhadap keempat<br />
anggota TNI tetap harus<br />
ditegakkan, lagi-lagi ini harus dilakukan<br />
oleh polisi bukan tentara. Polisi harus<br />
mengusut tuntas kasus ini untuk<br />
kepentingan hukum dan tidak<br />
diskriminatif. Tidak seperti pengusutan<br />
kasus-kasus sebelumnya, kasus Paya<br />
Bakong misalnya, dimana penyelidikan<br />
polisi menjadi mentok bila kasus<br />
tersebut dilakukan oleh aparat negara.<br />
Untuk sebuah penegakan hukum yang<br />
tidak diskriminatif maka polisi harus<br />
bertindak lebih profesional dan<br />
transparan serta berlaku adil dengan<br />
memberikan perlakuan yang sama<br />
kepada setiap warga negara di hadapan<br />
hukum. Karenanya, Kapolda segera<br />
dapat menjelaskan kepada publik di Aceh<br />
mengenai pelibatan TNI dalam proses penegakan hukum<br />
kasus Alue Dua sekaligus menjelaskan peran perbantuan apa<br />
yang diminta oleh pihak kepolisian kepada TNI dalam<br />
membantu penanganan kasus tersebut.<br />
Kapolda hendaknya dapat pula bekerja layaknya polisi<br />
profesional dengan tetap mengedepankan independensi dan<br />
kemandirian sebagaimana yang diatur dalam perundangundangan.<br />
Selain itu, TNI seharusnya menerima dan<br />
menyerahkan sepenuhnya proses hukum kasus Alue Dua<br />
kepada pihak kepolisian sekaligus menjelaskan kepada publik<br />
Aceh bentuk koordinasi seperti apa yang telah mereka<br />
lakukan dengan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti<br />
kasus tersebut.***<br />
“ Tidak ada pengecualian apapun, apakah dalam keadaan perang atau ancaman perang, situasi politik dalam<br />
negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lainnya, yang dapat diterima sebagai alasan pembenar tindakan<br />
penghilangan secara paksa “.<br />
(Pasal 1 (2) Konvensi Internasional tentang perlindungan semua orang dari tindakan penghilangan secara paksa)<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 19
KABAR DARI DAERAH<br />
Bentrokan Dua Kubu di Kampus UISU Medan<br />
Konflik dualisme kepemimpinan<br />
rektorat antara Sahriani Siregar dan<br />
Helmi Nasution yang telah<br />
berlangsung sejak tahun lalu,<br />
akhirnya berujung pada tindak<br />
kekerasan antar dua kelompok<br />
bertikai dengan pengerahan massa<br />
(10/05). Peristiwa serangan subuh<br />
sekitar pukul 05.00 Wib itu, dilakukan<br />
oleh kelompok Sahriani terhadap<br />
kelompok Helmi yang menguasai<br />
kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Keduanya<br />
mengklaim berhak atas kepemimpinan di perguruan tinggi<br />
yang terletak di Jalan Sisingamangaraja, Medan, itu.<br />
Mereka saling menyerang dengan batu serta mengacungacungkan<br />
senjata tajam. Kurang-lebih 400 orang dari kubu<br />
Sahrani menguasai kampus. Massa merazia mahasiswa,<br />
anggota satuan pengamanan, dan pengawai kampus yang<br />
mendukung Helmi. Mereka juga menggeledah sejumlah<br />
ruangan. Aksi ini mengakibatkan jatuhnya puluhan korban<br />
luka. Bahkan, sejumlah mahasiswa lainnya hingga kini belum<br />
diketahui nasibnya.<br />
Sekitar pukul 08.00 Wib, aparat kepolisian datang, yang<br />
disusul sejumlah warga yang ikut membantu melerai<br />
bentrokan. Tak lama kemudian anggota DPRD Sumatera<br />
Utara, diantaranya Abdul Hakim Siagian dan Nurdin<br />
Ahmad, tiba. Namun, kedatangan sejumlah pihak ini tak<br />
berhasil menyelesaikan dualisme kepemimpinan Yayasan<br />
UISU. Di tengah negosisasi, massa pendukung Sahriani dan<br />
Helmi kian membeludak. Suasana kampus pun memanas lagi.<br />
Sekitar pukul 12.30 Wib bentrokan yang kedua pecah.<br />
Perang batu berlangsung sekitar setengah jam. Satu unit<br />
mobil ambulans inventaris kampus rusak dan tiga unit<br />
sepesa motor hangus dibakar. Atap gedung dan jendela kaca<br />
kampus berantakan. Masjid As-sholihin di lingkungan<br />
kampus juga tak luput dari sasaran perusakan.<br />
Kekerasan yang terjadi akibat dualisme kepemimpinan ini<br />
bukanlah yang pertama. Pada 25 April lalu, sejumlah<br />
mashasiswa UISU yang melakukan aksi damai<br />
mempertanyakan kejelasan tentang kepengurusan rektorat<br />
juga mengalami tindak kekerasan. Tindak kekerasan itu<br />
dilakukan oleh satpam dan pengawai kampus terhadap lima<br />
mahasiswa peserta aksi. Tindakan penganiayaan yang<br />
dilakukan pihak kampus itu telah dilaporkan oleh para<br />
mahasiswa ke Mapoltabes Medan (26/04), namun hingga saat<br />
ini belum ada tindakan yang jelas terhadap para pelaku.<br />
Dualisme kepemimpinan di kampus ini, menurut dia, sudah<br />
beberapa kali memicu keributan di antara dua kelompok yang<br />
bertikai. Kubu Sahriani merasa paling berhak memimpin<br />
yayasan karena ditunjuk oleh Direktorat Pendidikan Tinggi<br />
Departemen Pendidikan Nasional. Adapun Helmi Nasution<br />
merasa lebih berhak memimpin UISU karena mendapat<br />
amanat melalui pemilihan anggota yayasan.<br />
Diproses secara hukum<br />
Anggota Komisi II DPR, Arbab Paproeka, meminta kemelut yang<br />
di terjadi UISU diproses secara hukum. “Dari data dan fakta<br />
yang saya pelajari menunjukkan apa yang terjadi di UISU<br />
merupakan rekayasa yang sistematis. Siapapun yang<br />
mendesainnya harus dibongkar tuntas. Ada indikasi<br />
keterlibatan oknum di Kepolisian daerah Sumatera Utara di<br />
balik kekisruhan UISU, “ katanya, Rabu (23/05). Karena itu, ia<br />
meminta kepada pihak yang berwenang, terutama Kapolri,<br />
untuk mengungkap rekayasa sistematis yang diduga<br />
melibatkan oknum pensiunan dan aparat.<br />
Arbab mengatakan semestinya tugas polisi adalah<br />
menciptakan rasa aman dan kepastian hukum di masyarakat.<br />
Tapi, yang terjadi justru membiarkan sebaliknya; aparat justru<br />
membiarkan terjadinya kekisruhan. Seharusnya polisi bisa<br />
mengantisipasi bentrok fisik di kampus UISU. “Medan itu bukan<br />
sebuah desa terpencil yang susah dijangkau aparat kepolisian.<br />
Apalagi, sebelum memasuki kampus, pihak yayasan UISU yang<br />
sah sudah melayangkan permohonan tertulis kepada<br />
Kapoldassu, “ tegas Arbab, wakil rakyat yang berasal dari<br />
Fraksi Partai Amanat Nasional.<br />
Sementara itu, dari informasi yang berhasil dikumpulkan<br />
Kontras Medan di lapangan, memang terlihat adanya sesuatu<br />
yang janggal, khususnya berkenaan dengan profesionalisme<br />
kepolisian dalam menjaga keamanan masyarakat. Sejumlah<br />
pertanyaan-pun mengemuka. Antara lain, apakah benar polisi<br />
mempunyai hubungan bisnis (conflik of interest) dengan PT.Wira<br />
sebagai outsourcing jasa pengamanan yang digunakan oleh<br />
kelompok Helmi Nasution<br />
Hal janggal lainnya, Pihak Sahriani mengklaim bahwa sebelum<br />
melakukan serangan subuh itu, mereka telah memberitahukan<br />
kepada pihak Polda. Polsek Medan Kota pun telah<br />
mempersiapkan diri dengan melakukan apel (sekitar pukul<br />
04.15). Namun, baru pada pukul 06.30 polisi baru bergerak ke<br />
lokasi peristiwa. Padahal jarak Polsek dengan tempat perkara<br />
hanya 200 meter.<br />
Dari bentrokan ini, kita berharap agar Kapolri dapat bertindak<br />
profesional dan menjalankan mandatnya untuk memelihara<br />
keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan melindungi<br />
keselamatan jiwa, harta benda dan masyarakat dari gangguan<br />
ketertiban. Disamping itu, polisi harus mengembalikan kampus<br />
dalam suasana normal, dengan memberikan jaminan<br />
keamanan bagi berlangsungnya perkuliahan secara normal,<br />
serta meniadakan keberadaan para preman/jasa pengamanan<br />
yang digunakan oleh pihak yang bertikai. Ketiadaan jaminan<br />
akan tindakan polisi ini akan selalu membuahkan tindakan<br />
main hakim sendiri menjadi kian subur di masyarakat.<br />
Yang terpenting lainnya, aparat kepolisian segera bisa<br />
melakukan penyelidikan secara menyeluruh, termasuk<br />
memberikan jaminan peradilan yang fair (fair trial) terhadap<br />
pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab.***<br />
20<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH<br />
Polisi Medan: Sulit Bedakan Penjahat dan Polisi<br />
Di Medan, Sumatera Utara, polisi dengan dalih menangkap perampok<br />
malah berulah selayak yang ditargetkan. Dua orang korban aksi polisi<br />
tersebut merenggang nyawa, sementara harta benda yang mereka<br />
miliki diambil paksa polisi. Pihak keluarga korban yang<br />
mempermasalahkan hal ini malah dikriminalkan.<br />
Peristiwa terjadi pada 11 April sekitar pukul 03.00 Wib dini hari. Sekitar<br />
30 orang anggota Poltabes Medan dipimpin Kasat Reskrim dan Kanit<br />
Jahtanras mendatangi rumah Hj. Supiah (kakak kandung Suherman).<br />
Karena mereka mencari Suherman, Hj Supiah mengatakan<br />
Suherman tidak berada di rumahnya. Hj Supiah lalu meminta aparat<br />
langsung mencari ke rumah Suherman yang hanya berjarak 400<br />
meter dari rumah Hj Supiah. Mendengar jawaban tersebut, ke-30<br />
anggota Poltabes Medan ini malah menggeledah rumah Hj Supiah<br />
sembari menodongkan senjata kepada Hj Supiah. Setelah itu, mereka<br />
mengambi dua unit Handphone dan satu pesawat telepon rumah<br />
tanpa menunjukkan penggeledahan, surat penyitaan dan tidak<br />
memberikan berita acara penyitaan.<br />
Dengan menodongkan senjata api ke suami Hj. Supiah, mereka<br />
memaksa menunjukkan rumah Suherman. Setibanya di sana, oknumaparat<br />
polisi ini langsung menangkap Suherman (yang saat itu tidak<br />
melawan), tanpa menunjukkan surat penangkapan. Tangan dan kaki<br />
Suherman diborgol dan dibawa ke dalam mobil. Setelah menangkap<br />
dan membawa Suherman, aparat juga menangkap isteri Suherman,<br />
dua orang anak Suherman (berumur 7,5 tahun dan 4 tahun), dua<br />
orang keponakan Suherman berikut seorang pembantu Suherman<br />
dan seorang tetangga Suherman yang kebetulan berada di rumah<br />
Suherman.<br />
Harta benda Suherman yang seluruhnya berjumlah sekitar 2,7 miliar<br />
(berupa uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah) juga dirampas<br />
oleh para aparat. Semua ini dilakukan tanpa menunjukkan surat<br />
penangkapan, surat penyitaan dan surat penggeledahan. Perbuatan<br />
ini juga jelas bertentangan dengan prosedur hukum. Di hari yang<br />
sama kejadian serupa dialami juga oleh Marsudi Triwijaya.<br />
Tewas dengan luka tembak<br />
Tak lama setelah penangkapan kedua orang ini, siang harinya,<br />
keluarga mendapat kabar kalau kedua orang tersebut telah<br />
meninggal dunia. Diketahui akhirnya, kedua orang ini tewas dengan<br />
luka tembakan di dada dan luka penganiayaan di tubuh.<br />
Keluarga almarhum Suherman & Keluarga almarhum Marsudi<br />
menuntut Polri agar menghukum anggota Poltabes Medan yang<br />
melakukan tindak pidana pembunuhan yang juga telah melakukan<br />
tindak pidana perampokan harta benda senilai sekitar 2,7 miliar (berupa<br />
uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah). Namun, tuntutan ini malah<br />
disikapi Polri secara tidak konsisten dengan mengingkari paradigma<br />
barunya. Polri lebih cenderung melindungi Poltabes Medan yang<br />
nota bene anggotanya ketimbang berpihak kepada keluarga korban.<br />
Pengaduan yang disampaikan ke Dit Reskrim Polda Sumut (16/04)<br />
dan (20/04) serta pengaduan di Divisi Propam Mabes Polri (26/04),<br />
hingga kini tetap tidak ada tindak lanjutnya. Selama kurun waktu dua<br />
bulan ini para pelaku dibiarkan bebas. Bebas untuk mengulangi<br />
perbuatannya, menghilangkan barang bukti serta mengintimidasi<br />
dan mengkriminalisasi keluarga korban yang menuntut keadilan.<br />
Merasa tidak diawasi dan diberi kesempatan untuk mengulangi<br />
perbuatannya, para pelaku yang diantaranya Pejabat di Poltabes<br />
Medan kembali menyalahgunakan kewenangannya untuk<br />
mengintimidasi dan mengkriminalisasi keluarga korban.<br />
Penyalahgunaan wewenang pertama dilakukan oleh Poltabes<br />
Medan. Keluarga korban dituduh telah memfitnah Poltabes<br />
Medan dan akan ditahan di Poltabes Medan karena telah<br />
menuntut pembunuhan dan perampokan yang dilakukan jajaran<br />
Poltabes Medan.<br />
Keluarga korban menuntut harta yang dirampok agar<br />
dikembalikan dan aparat pelakunya dihukum. Namun,<br />
Kapoltabes Medan mengatakan bahwa harta benda senilai 2,7<br />
miliar yang telah dirampok anggotanya tersebut berasal dari<br />
hasil kejahatan. Selanjutnya Kapoltabes Medan memerintahkan<br />
penyidikan asal-usul/sumber harta tersebut dengan<br />
menggunakan Undang-undang No.25 tahun 2003 tentang<br />
Pencucian Uang. Hal ini seperti sengaja dilakukan agar dapat<br />
menahan dan menghukum isteri korban yang tidak ikhlas<br />
dengan pembunuhan suaminya dan perampokan yang dilakukan<br />
Poltabes Medan.<br />
Tak berhenti sampai disini, Poltabes Medan juga menangkap<br />
dan menahan kakak kandung Suherman yang selama ini sangat<br />
gigih menuntut keadilan adiknya. Supiah (kakak kandung<br />
Suherman) ditangkap tanggal 21 Juni 2007 dan hingga kini masih<br />
ditahan.<br />
Melihat kebrutalan dan penyalahgunaan kewenangan Poltabes<br />
Medan yang dibiarkan oleh Kapolda Sumut, Juliana (isteri<br />
almarhum Suherman) & Rusmini (isteri almarhum Marsudi)<br />
merasa terancam keselamatan dan keamanannya bila tetap<br />
berada di wilayah kekuasaan Poltabes Medan. Keduanya<br />
terpaksa mengungsi dari Sumatera Utara dan meminta<br />
perlindungan hukum kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia<br />
dan Kapolri.<br />
Dari semua rangkaian kejadian sewenang-wenang diatas,<br />
Kontras, YLBHI, dan LBH Medan, menghimbau Kapolri dapat<br />
memberikan tindakan tegas kepada oknum Medan yang terlibat<br />
dalam pembunuhan dan perampokan Suherman dan Marsudi<br />
Triwijaya, serta melimpahkannya ke proses persidangan untuk<br />
dihukum.<br />
Kapolri harus memberikan perlindungan kepada keluarga korban<br />
dari upaya intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh<br />
Poltabes medan. Mengupayakan pengembalian harta benda<br />
Suherman dan Marsudi yang telah dirampok oleh oknum<br />
Poltabes Medan. Yang terpenting pula, menjatuhkan tindakan<br />
tegas pada Kapoltabes Medan karena telah melindungi oknum<br />
Poltabes Medan yang terlibat pembunuhan Suherman dan<br />
Marsudi.<br />
Tak ada kata lain. Kasus kekerasan ini adalah kasus pelanggaran<br />
hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak untuk<br />
hidup. Kontras juga berharap Komnas HAM bisa segera<br />
melakukan pemantauan dan penyelidikan langsung ke Medan.<br />
Hukum harus ditegakkan. Karena bukan zamannya lagi,<br />
seseorang termasuk aparat berhak dan mempunyai kekebalan<br />
melakukan perbuatan yang jelas melanggar hukum di negeri<br />
ini.***<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 21
KABAR DARI DAERAH<br />
Kekerasan Aparat Masih Terjadi Di Berbagai Daerah<br />
Kekerasan. Entah mengapa menjadi tontonan yang kerap, bahkan terlalu sering kita<br />
lihat. Ironisnya, segala bentuk kekerasan itu jadi “santapan rutin” bagi para penegak<br />
dan pengayom masyarakat. Mereka yang mengingkrarkan diri dan profesinya pada<br />
hukum dan kebenaran, malah menjadi para pelaku kekerasan itu sendiri. Cerita dari<br />
kekerasan di berbagai daerah jadi potret bagaimana “janji” untu membela hukum dan<br />
kebenaran telah dinodai oleh mereka sendiri.<br />
Cerita kekerasan di bulan Juni jadi awal dari dari begitu<br />
banyak cerita kekerasan lainnya. Pembunuhan terhadap Caci<br />
bin Tibu (40 th), warga Dusun Pakkeng, Desa Mamampang<br />
Kecamatan Tombolo Pao, diduga kuat dilakukan oleh anggota<br />
Kepolisian Sektor Tombolo Pao. Korban “sengaja dihabisi”<br />
dengan tuduhan melakukan tindakan kriminal.<br />
Korban awalnya ditangkap Selasa (26/06), sekitar pukul 11.00<br />
WITA, oleh aparat kepolisian ketika hendak menuju ke Kota<br />
Makasar. Pada saat itu mobil yang ditumpanginya dihentikan<br />
oleh Kapolsek AKB Abidin WSC. Dari keterangan sopir angkot<br />
yang sedang makan di rumah makan Bonto Aji, korban<br />
dibawa oleh polisi (tidak diketahui korban dibawa kemana).<br />
Penangkapan tersebut tidak diinformasikan pada keluarga.<br />
Sedang kabar meninggalnya korban diketahui dari Kepala<br />
Rukun Kampung (RK). dari keterangan Kapolsek (lewat<br />
telepon yang dilakukan oleh keponakan korban), dikatakan<br />
bahwa Caci ditangkap dan ditembak karena berusaha<br />
melawan dan melarikan diri.<br />
Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WITA, Jenasah korban<br />
tiba di rumah orang tuanya dengan diantar menggunakan<br />
mobil ambulance Puskesmas Tamaona. Di dalam mobil ini<br />
terdapat pula tiga orang perawat. Entah mengapa, jenazah<br />
korban juga diiringi satu mobil kijang pribadi yang<br />
digunakan aparat Polsek Tombolo Pao, berjumlah sekitar<br />
lima orang, turut pula kepala dusun (tiga orang aparat<br />
tersebut membawa senjata laras panjang).<br />
Korban diserahkan pada pihak keluarga. Dari tubuh korban<br />
terlihat bahwa korban mengalami luka tembak sebanyak<br />
lima kali (dua di bagian dada sebelah kanan tembus, satu di<br />
bagian perut sebelah kanan, satu di paha sebelah kanan<br />
tembus, dan satu di betis sebelah kanan). Pipi sebelah kiri<br />
bengkak (memar) warna biru. Selain itu tangan dan kaki<br />
korban remuk. Pihak keluarga menguburkan korban pada<br />
pukul 12.20 malam. penguburan ini dilakukan atas<br />
permintaan kepala dusun, yang meminta korban dikubur<br />
secara cepat dengan alasan takut membusuk akibat luka<br />
tembak.<br />
Esok harinya, Kepala Desa Mamampang membawa dua pucuk<br />
surat ke rumah orang tua korban dan meminta mereka<br />
menandatangani surat-surat tersebut. Surat pertama<br />
menyangkut bukti bahwa jenasah korban sudah diterima<br />
pihak keluarga, surat kedua menyangkut penolakan autopsi<br />
oleh orang tua korban. Berada ‘dalam tekanan” kedua surat<br />
ditandatangani oleh meraka.<br />
Dua harinya setelah peristiwa (28/06), datang lagi, dua orang<br />
polisi ditemani salah seorang membawa surat pernyataan untuk<br />
ditandatangani oleh orang tua korban, berisikan pernyataan<br />
bahwa, orang tua korban tidak merasa keberatan atas<br />
meninggalnya korban dan menganggap korban meninggal<br />
akibat sudah ajal, dan juga karena kelalaian sendiri melarikan<br />
diri. Dalam surat tersebut, dinyaakan pula bahwa selaku orang<br />
tua tidak putus-putusnya menasihati untuk tidak berbuat salah,<br />
namun korban tidak menghiraukan hingga saya (korban)<br />
menganggap bahwa sudah sepantasnya meninggal dengan jalan<br />
seperti itu.<br />
Jumlah surat satu lembar rangkap lima, namun surat tidak<br />
ditandatangani oleh orang tua korban. Saat itu, keluarga korban<br />
yang ingin melihat isinya meminta satu rangkap surat tersebut.<br />
Satu lembar surat tersebut akhirnya diberikan kepada keluarga<br />
korban. Namun, sekitar pukul 01.30 dini hari, Kepala Desa datang<br />
kembali meminta surat yang diberikan, dengan alasan akan<br />
mencari tahu pembuat surat itu (mengatasnamakan Kapolsek<br />
Tombolo Pao). Kepala Desa berjanji akan mengembalikannya<br />
setelah mengetahui pembuat surat. Esok harinya, keponakan<br />
korban menghubungi Kepala Desa (telpon) meminta surat yang<br />
telah diambil. Namun kepala desa mengatakan, surat telah basah<br />
dan hancur lantaran ia malam itu terjatuh dengan motornya<br />
saat menuju kantor Polsek Tombolo Pao.<br />
Pasca peristiwa tersebut, aparat polsek dan kepala desa<br />
menggalang dukungan dari masyarakat agar menandatangani<br />
surat yang mengucapkan terima kasih kepada polisi karena<br />
sudah menangkap korban (Caci), serta menyukuri tewasnya Caci<br />
karena yang bersangkutan dianggap pelaku tindak kriminal/<br />
kejahatan.<br />
Tindakan tak terhormat dan tak prikemanusiaan ini jelas adalah<br />
tindak pidana dan pelanggaran HAM. Semestinya aparat<br />
kepolisian bertindak profesional dan transparan dalam<br />
menegakkan hukum, termasuk menindak pihak-pihak yang<br />
dianggap bersalah dengan menerapkan azas praduga tak<br />
bersalah serta menghormati HAM. Semestinya pula aparat<br />
menghindari penggunaan kekerasan dalam upaya menggali<br />
bukti keterangan dan informasi dari siapapun, termasuk kepada<br />
pelaku kriminal.<br />
22<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH<br />
Di Tegal<br />
Aksi “main hakim dan sok jagoan” para aparat juga dialami<br />
oleh Kurniawan (23), seorang tukang becak juga mengalami<br />
tindakan penyiksaan di Mapolresta Tegal (3/05). Peristiwa<br />
dimulai saat Kurniawan yang sedang melintas di jalan Brantas<br />
dengan menggunkan sepeda melihat seorang perempuan yang<br />
menggunakan sepeda di jalan Brantas. Lantaran menyakini<br />
perempuan itu adalah pacarnya yang bernama Dewi<br />
(belakangan diketahui perempuan itu bernama DewiAstuti/30<br />
thn). Korban menghampiri dan mencolek badannya. Namun,<br />
ketika perempuan tersebut memalingkan muka, korban kaget<br />
karena perempuan itu ternyata bukan pacarnya. Ia berbalik arah<br />
tapi ditarik oleh perempuan tersebut. Buntutnya, sepeda yang<br />
digunakan korban jatuh dan badannya jatuh pula menimpa<br />
perempuan ini.<br />
Seketika perempuan ini berteriak hingga memancing perhatian<br />
warga. Sekitar sepuluh orang datang langsung memukul dan<br />
mengeroyok Kurniawan. Bersamaan dengan itu, patroli polisi<br />
sedang melintas, maka Kurniawan dan perempuan ini dibawa<br />
ke Mapolresta Tegal.<br />
Disinilah korban mulai mengalami tindak kekerasan. Dirinya<br />
dituduh melakukan pencabulan terhadap Dwi Astuti. Penyidik<br />
polisi lalu memaksa korban mengakui perbuatan ini dengan<br />
menyuruh korban menaruh jari kakinya di bawah kaki meja,<br />
kemudian mereka menduduki meja tersebut. Para oknum aparat<br />
ini juga menendang dada korban dengan menggunakan sepatu.<br />
Sayang, korban tak bisa mengenali para pelaku karena para<br />
aparat ini menggunakan kaos.<br />
Aparat kepolisian menuduh korban telah melanggar pasal 289<br />
jo 281 KUHP dan menahan korban. Keluarga korban baru dapat<br />
menjenguk korban (7/05). Saat menjenguk, juga dibatasi hanya<br />
tiga kali dalam seminggu. Pada (22/05), keluarga korban<br />
menerima surat penahanan dari Kapolresta Tegal dan surat<br />
perpanjangan penahanan dari Kejaksaan Negeri Tegal. Hal ini<br />
kian membuat keluarga kian cemas, karena korban pasti kembali<br />
mengalami sejumlah tindakan penyiksaan jika ia dipindahkan<br />
ke LP.<br />
Di Medan<br />
Tindak kekerasan berupa penculikan, penganiayaan berat dan<br />
pembunuhan juga terjadi di Medan. Korban, Ibrahim (37),<br />
sebelum dirinya dibunuh mengalami penganiayaan yang<br />
menyebabkan hidung pecah dan berdarah, kepala bagian<br />
belakang robek berdarah, tangan kanan patah, seluruh tubuh<br />
lebam akibat pukulan yang diduga dilakukan menggunakan<br />
rantai. Diduga pelaku pembunuhan dan tindak kekerasan<br />
berjumlah sekitar delapan orang, dari Paskah TNI AU Lanud<br />
Polonia Medan, antara lain Serka Sulistiyo, Pratu Gutoyo,<br />
Hartono, Hadi dan kawan-kawan.<br />
Peristiwa kekerasan ini bermula (27/03) sekitar pukul 16.00 Wib.<br />
Ibrahim dijemput teman kerjanya, Buyung Waroka. Dari<br />
kesaksian Buyung, bahwa beberapa meter setelah keluar rumah<br />
ternyata sudah ada dua orang anggota Paska TNI AU Lanud<br />
Polonia Medan yang menunggu Ibrahim yaitu Pratu Gutoyo<br />
dan Hadi.<br />
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 20.00 Wib, keluarga<br />
menerima kabar dari warga sekitar kalau Ibrahim dipukuli<br />
oleh Serka Sulistiyo di Cafe Erna. Keluarga pun segera menuju<br />
Cafe Erna, tapi tidak menjumpai Ibrahim disana. Mereka lalu<br />
menuju klinik Bidan Syam di Jalan Bridjen Katamso Kp. Baru<br />
Medan. Sebelumnya keluarga menerima telepon dari korban<br />
yang meminta uang untuk biaya pengobatan. Korban<br />
meminta uang diserahkan pada Hartono yang akan datang<br />
ke rumah.<br />
Atas saran Hartono, keluarga membawa korban ke RS. Auri<br />
Abdul Muluk di jalan Ir. Juanda Medan. Ketika selesai berobat<br />
dan akan pulang, tiba-tiba di depan rumah sakit korban<br />
dibawa secara paksa oleh enam orang anggota Paska TNI AU<br />
dengan menggunakan mobil patroli (28/03 sektar pukul 01.00<br />
Wib). Mereka juga mengancam keluarga korban yang<br />
menghalangi penangkapan paksa ini.<br />
Esok paginya keluarga melapor ke POM TNI AD, POM TNI<br />
UA Lanud Medan, Markas Paskas TNI AU Medan. Petugas<br />
sempat tidak melayani dengan baik. Saat melapor kedua<br />
kalinya barulah petugas membuatkan laporan tertulis<br />
namun laporan tersebut tidak diberikan pada keluarga<br />
korban.<br />
Setelah 17 hari dinyatakan hilang, pada (14/04) keluarga<br />
korban mendapat informasi berupa foto-foto hasil outopsi<br />
dari anggota Polres Aceh Tamiang dan seorang kerabat<br />
keluarga korban, bahwa Ibrahim telah tewas dan mayatnya<br />
dtemukan di wilayah Aceh Tamiang. Diperkirakan korban<br />
tewas beberapa saat sejak ia diculik. Hal ini dibuktikan dari<br />
berita beberapa harian terbitan Medan (31/03), yang<br />
memberitakan adanya penemuan mayat “Mr X” di Aceh<br />
Tamiang. Dari semua bukti yang ada jelas terlihat bahwa<br />
korban telah dianiaya dan dibunuh secara keji oleh para<br />
oknum yang menculiknya.<br />
Di Simalungun<br />
Sementara itu, kinerja buruk dan perbuatan sewenangwenang<br />
para oknum polisi juga dapat dicermati di Resort<br />
Simalungun, Sumatera Utara. Para aparat pengayom<br />
masyarakat ini malah kerap kali melakukan kekerasan dan<br />
pembiaran terhadap kasus-kasus yang mengancam hak-hak<br />
asasi manusia. Pem-backing-an terhadap pemodal, tidak<br />
berjalannya role of law jadi indikasi kuat dugaan gagalnya<br />
Polres Simalungun melakukan tugas utamanya yaitu<br />
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan<br />
terhadap masyarakat. Perbuatan ini jelas telah<br />
memburamkan citra polisi yang tengah berupaya mengubah<br />
paradigmanya menjadi “community police”.<br />
Tercatat enam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di<br />
Simalungun. Mulai dari pemerkosaan, penangkapan tanpa<br />
prosedur, dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota<br />
Polres Simalungun yang hingga kni tak jelas penyelesaiannya.<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 23
KABAR DARI DAERAH<br />
Tak ada ada akses dan transparansi pada masyarakat luas<br />
atas kasus-kasus yang mereka tangani ini.<br />
Sedang sampai pertengahan tahun 2007 ini telah tercatat dua<br />
kasus yang massif yaitu kasus pemukulan terhadap petani<br />
yang mempertahankan haknya dan penahanan 17 petani di<br />
Mariah Hombang yang dilakukan tanpa prosedur hukum.<br />
Aparat yang diyakini juga bersama para preman bayaran<br />
melakukan intimidasi dan kekerasan.<br />
Keberpihakan Polres Simalungun terhadap pemodal kembali<br />
dipraktekkan saat buruh harian lepas PTPN IV Dolok<br />
Sinumbah berunjuk rasa menuntut hak mereka yang belum<br />
terpenuhi. Kapolres Simalungun, Alex Mandalika<br />
membubarkan aksi buruh harian lepas PTPN IV Dolok<br />
Sinumbah di depan kantor PTPN IV dengan alasan massa<br />
aksi tidak mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan<br />
(STTP). Padahal para buruh telah mengirim surat<br />
pemberitahuan aksi. Tindakan ini jelas mencerminkan<br />
represifitas negara dengan mengekang kebebasan berekspresi<br />
yang dijamin oleh UUD 1945 serta pembungkaman terhadap<br />
demokrasi.<br />
Abu Dujana<br />
Sementara itu, penanganan terhadap aksi-aksi terorisme di<br />
Indonesia menjadi catatan kelam tersendiri bagi aparat<br />
kepolisian. Lihat saja, bagaimana maraknya protes dari<br />
sejumlah pihak terhadap upaya Polri menangkap para<br />
tersangka terorisme itu. Yang terakhir adalah kasus<br />
penangkapan dan penembakan terhadap Abu Dujana. Dari<br />
keterangan sang anak, Sidiq Abdullah (8 thn), Dujana<br />
ditembak dalam keadaan menyerah tanpa perlawanan.<br />
Ironisnya, peristiwa ini juga terjadi dan dilakukan di<br />
hadapan sang anak yang masih kecil.<br />
Sedangkan pernyataan Kapolri yang meminta agar<br />
penembakan Abu Dujana dimaklumi, justru membenarkan<br />
adanya kesalahan. Jelas, hal ini patut di pertanggungjawaban<br />
secara hukum.<br />
Patut dihargai upaya Polri khususnya Datesemen 88 Anti<br />
Teror Mabes Polri untuk menangkap para pelaku kejahatan<br />
terorisme di Indonesia. Segala upaya memberantas aksi-aksi<br />
peledakan bom atau aksi kekerasan lainnya yang menimbulkan<br />
banyak korban jiwa tak bersalah, ketakutan serta rasa tidak<br />
aman kalangan masyarakat luas wajib kita dukung. Terlebih,<br />
upaya mengakhiri kejahatan terorisme merupakan upaya untuk<br />
melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia.<br />
Namun, segala upaya yang dilakukan oleh negara dan setiap<br />
lembaga penegak hukum tetap harus memperhatikan kaidahkaidah<br />
yang berlaku dalam hukum nasional maupun<br />
internasional. Undang-undang nasional maupun konvensi PBB<br />
membolehkan aparat penegak hukum untuk menggunakan<br />
kekuatan, termasuk dengan senjata api. Namun penggunaan<br />
kekuatan itu tidak boleh digunakan secara eksesif (berlebihan).<br />
Penegak hukum boleh menembak jika keadaan jiwa atau<br />
keselamatan orang lain terancam. Alasan Polri bahwa<br />
kemungkinan nyawa aparat atau keselamatan orang lain<br />
terancam jelas masuk akal. Namun pertanyaannya, apakah<br />
ancaman itu bersifat nyata (imminent) atau masih potensial <br />
Penggunaan kekuatan hanya boleh jika ancaman itu bersifat<br />
nyata. Penegak hukum tidak boleh menembak pelaku kejahatan<br />
yang dalam keadaan tidak melawan.<br />
Dan, bila Kapolri mengabaikan kritik, maka sikap Kapolri sama<br />
saja membiarkan terjadinya penyalahgunaan senjata api dalam<br />
tugas. Sikap ini kurang tepat dan bijaksana. Ini bukan kali<br />
pertama Densus 88 dikritik. Gaya penangkapan Densus 88 yang<br />
lebih mirip aksi penculikan juga sempat diprotes keras<br />
masyarakat Poso.<br />
Apapun kesalahan para pelaku kriminal, termasuk terorisme,<br />
harus dihadapi dengan proses hukum yang benar agar dapat<br />
dipertanggungjawabkan pada di muka peradilan. Penangkapan<br />
secara brutal malah dapat menjadi stimulus bagi gerakan<br />
terorisme untuk melancarkan aksi balas dendam yang akan<br />
berakibat fatal bagi masyarakat umum. Densus 88 sebagai tim<br />
khusus anti teror yang didukung oleh Amerika Serikat dan<br />
Australia, harus tampil memberi contoh terbaik penghormatan<br />
HAM dalam upaya penegakan hukum. ***<br />
“Setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajin diperlakukan secara manusiawi<br />
dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia tersebut”.<br />
(Pasal 10 (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik)<br />
“Siapapun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat penangkapan, alasan-alasan<br />
penangkapannya, dan harus segera diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan<br />
padanya”.<br />
(Pasal 9 (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik)<br />
24<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH<br />
Sembilan Tahun Reformasi<br />
“Jalan Masih Belum Berakhir”<br />
Sembilan tahun sudah reformasi bergulir, sejak rejim orde baru Soeharto ditumbangkan oleh<br />
gerakan pemuda dan mahasiswa, yang didukung oleh masyarakat (21 Mei 1998). Meski<br />
tampuk kepemimpinan dan kekuasan bangsa terus berganti, namun reformasi tetap belum<br />
menghasilkan perubahan yang berarti bagi kehidupan dan keadilan bagi masyarakat.<br />
Kasus-kasus pelanggaran HAM terus diabaikan lewat berbagai mekanisme formal. Namun<br />
perjuangan korban untuk terus mengajak masyarakat ‘mengingat’ tak pernah berhenti.<br />
Sembilan tahun<br />
Dok.Kontras pula negara<br />
belum mampu<br />
menuntaskan<br />
dan membawa<br />
para pelaku<br />
pelanggaran<br />
berat HAM untuk<br />
diadili. Sembilan<br />
tahun tragedi<br />
Trisakti dan<br />
Semanggi I dan II<br />
serta tragedi Mei<br />
Tabur bunga untuk kasus TSS<br />
1998, jadi saksi<br />
bagaimana<br />
negara telah lalai memberikan keadilan dan kebenaran bagi<br />
warganya. Pemerintahan SBY-JK maupun wakil rakyat yang<br />
berkursi di gedung DPR, juga tidak pernah pula bersungguhsungguh<br />
dalam penyelesaian hukum kasus- kasus pelanggaran<br />
HAM.<br />
Kita mungkin tak akan bisa melupakan peristiwa berdarah<br />
tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan empat<br />
mahasiswa kusuma bangsa muda, Elang Mulya Lesmana,<br />
Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hertanto, yang telah<br />
menjadi pemicu lengsernya Soeharto dari Presiden (21/ Mei/<br />
1998). Nyawa merekalah yang kemudian melapangkan jalan<br />
bagi demokrasi yang ada sekarang ini. Mungkin, tanpa<br />
pengorbanan para perintis perubahan, kita tetap dibekap junta<br />
militer, dipasung birokrasi dan digerus oligarki.<br />
Namun fakta perjalanan penuntasan kasus pelanggaran HAM<br />
menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR seakan hendak<br />
melupakan sejarah reformasi. Sikap itu pemerintah SBY<br />
ditunjukkan melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang<br />
menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas Kasus<br />
Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998. Sedangkan Badan<br />
Musyawarah DPR menolak usulan Komisi III DPR agar pimpinan<br />
DPR meminta Presiden SBY segera membentuk pengadilan HAM<br />
adhoc untuk kasus ini (13/03/07).<br />
Fakta ini jelas merisaukan keluarga korban pelanggaran HAM.<br />
Untuk kasus Trisakti yang jelas-jelas turut mengantarkan<br />
jabatan yang dipangku Presiden dan anggota DPR saat ini saja<br />
mereka abai, apalagi kasus-kasus lain, seperti kasus pelanggaran<br />
HAM 1965, Tanjung Priok, Talangsari/Lampung, Tragedi Mei<br />
1998, Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Peristiwa 1965.<br />
Amanat reformasi<br />
Pemerintahan di bawah SBY-JK tak bisa dipungkiri memang<br />
tak menunjukkan “hati” dan keseriuasan atas semua<br />
peristiwa ini. Hati nurani mereka seolah telah hilang di bawah<br />
tampuk kekuasaan yang mereka miliki kini. Sementara<br />
perombakan kabinet terbatas yang baru saja dilakukan<br />
Presiden, juga belum menampakkan kesungguhan<br />
menjalankan amanat reformasi, terutama penegakan hukum<br />
dan HAM. Terbukti kentalnya politik kekuasaan dalam<br />
perombakan tersebut, yang ditandai tarik-menarik antar<br />
parpol untuk menduduki kursi menteri. Sehingga jelas bahwa<br />
sumber masalah adalah pengkhianatan komitmen reformasi<br />
dengan menelantarkan korban atas nama kepentingan<br />
kekuasaan.<br />
Sembilan Hari Peringatan Trisakti dan Mei 1998<br />
Sementara dalam rangka memperingati sembilan tahun<br />
reformasi, serangkaian acara digelar oleh korban, keluarga<br />
korban yang didampingi oleh <strong>KontraS</strong>. Selama hampir<br />
sembilan hari pula acara ini dilakukan. Dimulai pada (6/05)<br />
diskusi korban dengan para pemuda dan masyarakat dalam<br />
rangka menuntut negara<br />
menuntaskan kasus Mei.<br />
Serangkaian aksi juga<br />
digelar (11/05) ke DPR. Aksi<br />
tersebut dilakukan untuk<br />
menuntut para Dewan<br />
Perwakilan Rakyat (DPR)<br />
mempertanggungjawaban<br />
penolakan enam fraksi<br />
membawa kasus TSS ke<br />
paripurna. Aksi ini<br />
meminta DPR untuk segera<br />
m e n g e l u a r k a n<br />
rekomendasi pembentukan<br />
pengadilan HAM adhoc<br />
untuk kasus Mei dan TSS.<br />
Acara dilanjutkan dengan<br />
Dok.Kontras<br />
“Malam refleksi<br />
aksi tabur bunga untuk<br />
penuntasan kasus<br />
korban tragedi Mei 1998<br />
pelanggaran HAM” (12/05),<br />
dimana Usman Hamid,<br />
Romo Sandiyawan, Ibu<br />
Sumarsih menyampaikan bentuk perenungan bersama atas<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 25
REMPAH-REMPAH<br />
tragedi ini. Acara juga dilanjutkan dengan pemuntaran film<br />
dan paduan suara dari PMKRI. Keesokan harinya, bertepatan<br />
dengan peristiwa Mei 1998 (13/05) diadakan tabur bunga di<br />
Mall Klender, tabur bunga di depan istana Merdeka dan<br />
dilanjutkan dengan longmarch dari Istana menuju Hotel<br />
Indonesia.<br />
Sedang (14/05), diadakan audiensi ke Kejaksaan Agung.<br />
Audiensi ini diterima Kapuspenkum, Dirjen HAM (Zainuddin<br />
Arief), dan para staf-staf Kejaksaan Agung. Terjadi<br />
perdebatan tentang penafsiran pasal 43 UU 26/2000. Kontras<br />
dan keluarga korban menolak argumentasi bahwa tidak<br />
seharusnya Jaksa Agung menunggu pencabutan rekomendasi<br />
DPR, karena DPR bukan lembaga yudikatif. DPR hanya<br />
merekomendasikan pengadilan HAM adhoc, bukan<br />
menunjukkan ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Pada<br />
akhirnya, Dirjen HAM dan Kapuspenku Kejagung<br />
menjanjikan akan mencari jalan keluar perihal perbedaan<br />
pendapat tersebut.<br />
Setelah audiensi acara dilanjutkan dengan ziarah ke Pondok<br />
Rangon. Puncak acara digelar (15/05) digelar di tempat tinggal<br />
sebagian korban Mei 1998, Klender, Jakarta Timur, lewat acara<br />
Panggung Solidaritas “Bersama Mengikat Solidaritas untuk<br />
Penuntasan Kasus Mei.” Turut hadir dalam acara itu, anggota<br />
Komisi III DPR RI Nursyahbani Katjasungkana, artis Rike Diah<br />
Pitaloka, Suciwati, Sri Suparyati dan Mugiyanto. Acara berisi<br />
renungan, musikalisasi puisi, paduan suara dan pemutaran film<br />
Mei (Memecah Kebisuan).<br />
Telah terlalu banyak pengabaian-pengabaian yang dilakukan<br />
khususnya oleh Presiden dan DPR. Namun, kita tak akan diam<br />
akan semua pengabaian ini. Apapun kendala yang ada,<br />
perjuangan belum berakhir. Kita percaya meski telang<br />
berlangsung selama sembilan tahun, namun semangat untuk<br />
memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan<br />
keluarga korban tak akan berakhir sebelum para pelakunya<br />
menerima hukuman setimpal dengan apa yang telah<br />
dilakukannya. Termasuk perjuangan untuk melawan<br />
ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM lainnya ***<br />
Rangkaian kegiatan memeperingati tragedi Trisakti<br />
Doc.Kontras<br />
26<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH<br />
Teror, paska kedatangan Hina Jilani<br />
Baru pertengahan Juni lalu, pemerintah Indonesia menerima kunjungan Wakil Khusus<br />
Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM Hina Jilani (5-12 Juni) serta<br />
menegaskan komitmennya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM.<br />
Namun pasca kepulangan Hina Jilani, masih terjadi beberapa peristiwa kekerasan<br />
terhadap pembela HAM di berbagai daerah.<br />
Akhirnya pemerintah Indonesia mengundang Wakil Khusus<br />
Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM, Hina Jilani untuk<br />
mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi<br />
perlindungan bagi pembela HAM. Hina Jilani juga mengunjungi<br />
Papua (8/6) dan Aceh (9/6) untuk bertemu dengan aparat<br />
pemerintah setempat serta mendengar langsung kesaksian para<br />
pembela HAM yang mengalami intimidasi dan kekerasan saat<br />
menjalankan kerja-kerja kemanusiaan.<br />
Di Jakarta, secara khusus Hina Jilani bertemu dengan Komite<br />
Solidaritas Aksi untuk Munir untuk mendapatkan informasi<br />
tentang perkembangan kasus ini. Sementara di Aceh, Hina Jilani<br />
menitikberatkan pada ketiadaan pencegahan serta<br />
penghukuman terhadap kasus-kasus kekerasan kepada pembela<br />
HAM pada saat darurat militer berlangsung.<br />
Saat bertemu dengan jajaran Muspida di Papua, Hina Jilani<br />
langsung mengkonfirmasikan kasus-kasus kekerasan terhadap<br />
para pembela HAM di Papua. Aparat Muspida di Papua,<br />
termasuk pihak kepolisian dan militer menjamin tidak adanya<br />
kebijakan untuk menyerang para pembela HAM dan bahkan<br />
berjanji untuk melindungi mereka.<br />
Ironisnya, pada hari yang sama kekerasan dan intimidasi justru<br />
diterima oleh Frederika Korain dan Pdt. Perinus Kogoya dari<br />
SKP Jayapura. Mobil mereka ditabrak oleh mobil yang<br />
dikendarai dua aparat yang mengaku sebagai Komandan Intel<br />
Kodam XVII Trikora dalam perjalanan dari bandara Sentani<br />
menuju Jayapura.<br />
Intimidasi juga diterima oleh Albert Rumbekwam Ketua Komnas<br />
Perwakilan di Papua, setelah bertemu dengan Hina Jilani di<br />
Papua. Albert menerima ancaman pembunuhan melalui telepon<br />
serta dibuntuti oleh orang-orang tak dikenal. Kantor Komnas<br />
HAM juga dikepung sementara rumahnya terus diawasi oleh<br />
orang-orang tersebut. Walaupun telah melaporkan kepada pihak<br />
kepolisian, namun intimidasi tersebut terus berlangsung sejak<br />
11 Juni.<br />
Hal serupa juga diterima oleh Yan Christian Warinussy Direktur<br />
Eksekutif LP3BH Manokwari, yang terus dimata-matai<br />
aktifitasnya, baik ketika berada di rumah maupun ketika berada<br />
di kantor. Peristiwa terjadi setelah pertemuannya dengan Hina<br />
Jilani, masing-masing pada (9/06) pukul 20.00 wib dan pukul<br />
23.00 wib (11, 16, 18, Juni ).<br />
Ancaman dan teror terhadap para pembela HAM juga diterima<br />
oleh dua orang staf LBH Medan Oktober Siahaan (Okto) dan<br />
Ahmad Irwandi, di Pengadilan Negeri Pancur Batu –<br />
Sumatera Utara (5/06). Pada saat melakukan pembelaan<br />
terhadap kliennya, mereka diancam dengan menggunakan<br />
senjata api oleh enam orang aparat TNI AD dari Batalyon<br />
Kavaleri (Yon Kav) 6 Kodam I/Bukit Barisan yang dipimpin<br />
oleh Lettu Bina Satria Sembiring dan diancam akan ditikam<br />
jika LBH meneruskan pembelaan terhadap klien mereka.<br />
Sementara Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI dan<br />
Interaksi Solidaritas antar elemen Masyarakat (Insan Mas)<br />
Solo mengalami intimidasi dan tindak kekerasan berupa<br />
ancaman dan pembubaran acara seminar nasional oleh<br />
Kapolsek Colomadu Karanganyar dan Kasat Intelkam Polres<br />
Karanganyar, pada (21/06) di Rumah Makan Taman Sari, Solo.<br />
Seminar Nasional dengan tema “Memperkuat Masyarakat<br />
Sipil Tanpa Kekerasan” dibubarkan dengan alasan atas<br />
permintaan kelompok Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS).<br />
Di Jakarta, Jhonson Panjaitan dan kawan-kawan yang<br />
tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan<br />
(SEMARAK) RCTI, mengalami tindak kekerasan berupa<br />
pemukulan, dan perusakan barang dari aparat keamanan<br />
Security Group Artha (SGA) pada (22/07) di depan gedung<br />
BEJ, ketika mereka melakukan unjuk rasa berkaitan dengan<br />
launching penjualan saham PT. MNC ke publik. Tujuan<br />
Jhonson dkk melakukan unjuk rasa untuk melindungi<br />
masyarakat calon investor dari kebohongan yang dilakukan<br />
PT. MNC dalam prosperktusnya di harian Seputar Indonesia.<br />
<strong>KontraS</strong> melaporkan peristiwa kekerasan tersebut ke Komnas<br />
HAM dan aparat kepolisian untuk mendapatkan perhatian<br />
yang khusus. Namun, baik Komnas HAM maupun aparat<br />
kepolisian tidak memberikan respon yang cukup untuk<br />
mendorong berjalannya proses hukum terhadap para pelaku.<br />
Makin marak<br />
Dari beberapa kejadian kekerasan dan teror yang diterima<br />
oleh para pembela HAM diatas, terlihat jelas bahwa sampai<br />
saat ini cara-cara kekerasan masih diberlakukan untuk<br />
membungkam kebebasan masyarakat sipil dan jaminan hakhak<br />
sipil masyarakat. Praktek-praktek intimidasi dan<br />
kekerasan makin marak dan dipertontonkan secara<br />
gamblang, baik secara fisik atau psikis. Ironisnya, tak satupun<br />
dari para pelaku kekerasan tersebut yang diadili secara<br />
transparan, sementara para korban pun tidak mendapatkan<br />
perbaikan kondisi secara layak. Kondisi ini yang membuat<br />
kekerasan terus berulang. Kekerasan dan ketiadaan<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 27
REMPAH-REMPAH<br />
penegakan hukum secara terang-terangan merupakan<br />
pelanggaran hukum dan konstitusi.<br />
memang hanya bisa membujuk dan mendesak pemerintah<br />
Indonesia untuk melakukan perubahan, “ katanya.<br />
Berkaitan dengan hal tersebut, Hina Jilani juga memberikan<br />
catatan-catatan<br />
khusus, termasuk<br />
selama dirinya<br />
mengetahui langsung<br />
kondisi tersebut di<br />
Indonesia. “Saya<br />
sangat prihatin<br />
mendengar kesaksian<br />
adanya intimidasi<br />
terhadap para<br />
pembela HAM masih<br />
terus berlanjut, “<br />
katanya di Jakarta,<br />
Selasa (12/06).<br />
Jilani mengatakan<br />
intimidasi yang<br />
terjadi ini dilakukan<br />
oleh polisi, militer dan<br />
badan keamanan atau<br />
badan intelijen. Selain<br />
mengintimidasi, kata<br />
dia, mereka juga<br />
Pertemuan Hina Jilani dengan KASUM<br />
melecehkan dan<br />
membatasi akses<br />
pembela HAM kepada<br />
ini.<br />
para korban di daerah-daerah dimana terjadi pelanggaran<br />
HAM, seperti di Papua Barat.<br />
Ia menyatakan mendapatkan laporan dari pihak yang dapat<br />
dipercaya mengenai serangkaian peristiwa yang melibatkan<br />
penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan intimidasi<br />
yang menghambat kebebasan pembela HAM untuk<br />
menyelidiki kasus pelanggaran HAM. Mereka yang berupaya<br />
untuk melindungi lingkungan hidup, hak atas tanah serta<br />
sumber-sumber alam juga tak mendapatkan perlindungan<br />
dari polisi.<br />
“Kondisi pembela HAM di Papua Barat merupakan isu yang<br />
akan saya tindak lanjuti, “ ujarnya. Jilani menyatakan, isu<br />
ini akan ia angkat di Dewan HAM PBB. Ia berharap<br />
pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap<br />
masalah yang terjadi di Papua Barat. “Dalam hal ini, saya<br />
Dalam pernyataannya setelah melakukan kunjungan di Indonesia<br />
sejak 5-12 Juni 2007,<br />
Jilani menyatakan<br />
Dok.KASUM<br />
pula bahwa ia<br />
menaruh perhatian<br />
khusus atas kasus<br />
pembunuhan<br />
Munir. Ia prihatin<br />
dengan munculnya<br />
kekhawatiran<br />
proses pengadilan<br />
dipengaruhi untuk<br />
melindungi pelaku<br />
pembunuhan. Jilani<br />
juga mengingatkan<br />
pemerintah<br />
Indonesia, bahwa<br />
kasus Munir<br />
menggambarkan<br />
situasi HAM secara<br />
umum. Ini<br />
merupakan ujian<br />
bagi pemerintah<br />
untuk melindungi<br />
pembela Hak Asasi<br />
Manusia di negeri<br />
<strong>KontraS</strong> sendiri berharap, pihak Komnas HAM sebagai lembaga<br />
yang kompeten dalam hal ini, memberikan perhatian serius<br />
terhadap maraknya tindakan kekerasan, termasuk yang<br />
ditujukan kepada pembela HAM. Perhatian serius tersebut harus<br />
diupayakan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya,<br />
termasuk mendorong kebijakan yang dapat mencegah terjadinya<br />
tindak kekerasan terhadap pembela HAM maupun penyelidikan<br />
atas kekerasan yang menimpa mereka.<br />
Karena segala bentuk tindak kekerasan aparat terhadap para<br />
Pembela HAM ini, jelas-jelas telah melanggar hukum pidana<br />
nasional dan Deklarasi Pembela HAM. Hal ini sangat merugikan,<br />
tidak hanya terhadap para Pembela HAM dan kerja-kerjanya<br />
melakukan promosi dan proteksi terhadap HAM, tetapi juga telah<br />
mencoreng muka Pemerintah Indonesia yang telah berupaya<br />
menunjukkan komitmennya dalam menghormati HAM dan<br />
melindungi para Pembela HAM.***<br />
“Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri sendiri maupun bersama-sama, untuk<br />
memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia<br />
dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional”.<br />
(Pasal 1 , Deklarasi hak dan kewajiban individu, kelompok dan badan-badan masyarakat untuk pemajuan dan perlindungan<br />
hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui secara universal)<br />
28<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH<br />
Insiden Sutiyoso di Australia,<br />
‘Mengejar’ Pelaku Pelanggar HAM<br />
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso merasa dipermalukan, ketika polisi federal Australia<br />
memintanya memberikan keterangan di pengadilan untuk kasus Balibo. Respon keras muncul<br />
dari Indonesia. Mulai statement pejabat negara yang merasa dilecehkan, hingga demonstrasi<br />
kelompok-kelompok konservatif atas nama nasionalisme. Sikap berlebihan di tengah upaya<br />
bersama di tingkat internasional untuk mengadili para pelaku pelanggar HAM.<br />
Saat itu orang nomor satu di DKI Jakarta ini sedang berada di<br />
Australia. Tiba-tiba dua orang polisi federal Australia, sersan<br />
Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens, menerobos<br />
masuk ke kamar hotel tempat Sutiyoso menginap, Selasa (29/05)<br />
di Hotel Shangri-la, Sydney. Mereka meminta Sutiyoso<br />
menandatangani surat undangan untuk datang ke Pangadilan<br />
Sydney guna memberikan keterangan kasus Balibo. Merasa<br />
diperlakukan tidak sopan, sang gubernur marah besar. Dirinya<br />
menolak menandatangani surat tersebut. Bahkan, Sutiyoso<br />
langsung bergegas pulang dan kembali ke Jakarta.<br />
Insiden Sutiyoso ini langsung mendapat “simpatik” dari<br />
berbagai pejabat tinggi di Indonesia serta sejumlah demonstrasi<br />
yang digelar untuk memprotes aparat Australia terhadap<br />
Sutiyoso saat berada di Australia. Pada akhirnya Perdana<br />
Menteri Negara Bagian New South Wales (NSW) meminta maaf<br />
dan Sutiyoso pun “memaafkan”. Namun insiden ini<br />
membuktikan berlakunya universalitas HAM, dimana<br />
kewenangan mengadili pihak-pihak yang diduga melakukan<br />
pelanggaran HAM melewati jurisdiksi batas negara.<br />
Kasus pembunuhan jurnalis Australia di Balibo terjadi di Timor<br />
Leste pada tahun 1975, yang diduga melibatkan beberapa<br />
anggota Kopassus (dulu Kopashanda). Kasus ini adalah sebuah<br />
proses pencarian keadilan oleh keluarga korban di Timor Leste<br />
sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.<br />
Harus diadili<br />
Prinsip Internasional Hukum HAM menyatakan bahwa<br />
kejahatan berat HAM harus diadili dan setiap negara wajib<br />
mengambil langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut.<br />
Hal ini juga dipertegas Resolusi PBB 3074 yang disetujui pada 3<br />
Des 1973 oleh Majelis Umum PBB, tentang “Principles of<br />
international cooperation in the detection, arrest, extradition and punishment<br />
of persons quilty of war crimes and crimes against humanity”.<br />
Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Kepolisian Australia<br />
untuk kepentingan proses pengadilan Kasus Balibo merupakan<br />
implementasi dari berbagai prinsip hukum HAM internasional<br />
dan resolusi PBB di atas. Dan seharusnya pemerintah Indonesia<br />
yang menjadi bagian dari anggota PBB dan komunitas<br />
internasional juga mengambil langkah efektif untuk menjamin<br />
terselenggaranya proses pengadilan tersebut, bukan menjadikan<br />
proses hukum ini menjadi masalah politik.<br />
Koordinator Human Right working Group Refendi Djamin,<br />
mengatakan,” Pemerintah Negara Bagian New South Wales<br />
sudah meminta maaf, tetapi tidak berarti perkara selesai.<br />
Pengadilan belum mencabut permintaan bersaksi kepada<br />
Sutiyoso.” Pengadilan New South Wales, kata Rafendi, masih<br />
mungkin mengirimkan surat permohonan ke Sutiyoso untuk<br />
bersaksi atas kasus terbunuhnya lima wartawan ini. Jika<br />
surat tidak ditanggapi, mereka dapat minta bantuan polisi<br />
internasional untuk mendatangkan Sutiyoso.<br />
Peristiwa yang menimpa Sutiyoso ini bukanlah kasus<br />
pertama. Sebelumnya, Jend Wiranto pernah dicekal oleh<br />
pemerintah AS karena terlibat pelanggaran HAM di Timor<br />
Leste, 1999. Sementara Letjen Johny Lumintang, mantan<br />
WAKASAD semasa referendum 1999, digugat perdata oleh<br />
keluarga korban Timor Leste di pengadilan kota Washington,<br />
Amerika Serikat. Nasib serupa diterima Sintong Panjaitan,<br />
yang digugat di pengadilan kota Boston, Amerika Serikat<br />
karena dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan di<br />
makam Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991.<br />
Tak ada alasan<br />
Disisi lain, pemerintah semestinya mengambil langkah<br />
kooperatif dan menjamin kesediaan dan kerjasama siapapun<br />
untuk mengikuti proses pengadilan. Tak ada alasan bagi<br />
Pemerintah Indonesia untuk menggunakan pendekatan<br />
diplomatik dan menuntut jaminan kekebalan hukum atas<br />
seorang warga negara yang diminta menjadi saksi peristiwa<br />
kejahatan internasional.<br />
Sebagaimana diatur tegas dalam pembukaan UUD 45,<br />
Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berperan<br />
aktif dalam usaha perdamaian dunia. Dalam konteks ini, salah<br />
satu usaha perdamaian tersebut adalah melaksanakan semua<br />
instrumen hukum HAM internasional serta memerangi<br />
semua tindak kejahatan HAM berat yang terjadi di muka<br />
bumi. Sebagai anggota Dewan HAM dan sebagai bagian dari<br />
komunitas Internasional yang tunduk dan terikat dalam<br />
berbagai instrumen hukum HAM internasional, Indonesia<br />
wajib menunjukan implementasi berbagai prinsip hukum<br />
HAM internasional dalam kasus tersebut.<br />
Sikap yang ditunjukkan dengan memberi proteksi berlebihan<br />
terhadap Sutiyoso maupun Yunus Yosfiah atau para tertuduh<br />
lain, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip no<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 29
REMPAH-REMPAH<br />
save heaven yang menentang impunitas terhadap kejahatan<br />
berat internasional.<br />
Sementara itu, pemberian jaminan immunity terhadap<br />
siapapun yang terlibat kejahatan itu menyalahi prinsip<br />
internasional. Immunity memang masih diakui hukum<br />
internasional namun dibatasi terhadap Kepala Negara yang<br />
masih menjalankan fungsi pemerintahan.<br />
Perkembangan ini sesuai dengan kemajuan Hukum HAM<br />
internasional. Apalagi dalam konteks kejahatan yang<br />
dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, seperti<br />
penyiksaan, pembunuhan, penghilangan paksa. Kejahatankejahatan<br />
seperti ini yang dilakukan oleh siapa saja pasti<br />
akan di hukum. Jika pelakunya masih menjadi Kepala Negara<br />
maka setelah masa jabatannya berakhir dia akan tetap di adili<br />
dan ini menjadi kewajiban seluruh Negara di dunia. Hal ini juga<br />
dipertegas dalam doktrin hukum internasional dengan istilah<br />
“Hostis Humanis Generis”, musuh seluruh umat manusia.<br />
Dalam konteks ini, siapapun yang diduga terlibat, tidak berhak<br />
mendapatkan immunity. Sebagai negara yang memiliki<br />
konstitusi yang berisi pernyataan keikutsertaannya dalam<br />
perdamian dunia seharusnya langkah yang diambil dalam kasus<br />
Sutiyoso cukup dengan memberikan bantuan hukum dengan<br />
menyediakan pengacara untuk Sutiyoso maupun para pelaku<br />
yang lain. Sekaligus membuktikan komitmennya sebagai Negara<br />
beradab dan tunduk pada kesepakatan PBB.***<br />
Reshuffle Harus Bisa Perbaiki Penegakan Hukum & HAM<br />
Pada akhirnya, setelah terus “ditekan” hingga menjadi<br />
bahan perbincangan di hampir tiap lapisan masyarakat,<br />
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan<br />
perombakan kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/<br />
05) pukul 15.00 Wib. Empat menteri dan satu pejabat<br />
setingkat menteri dicopot serta dua menteri dirotasi.<br />
Menurut Presiden, pencopotan menteri dan kabinet<br />
bukanlah suatu musibah.<br />
Empat menteri yang dicopot dari kabinet Indonesia bersatu<br />
dalam perombakan kabinet kedua adalah Menteri Sekretaris<br />
Negara Yusril Ilza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM<br />
Hamid Awaluddin, Menteri Negara BUMN Sugiarto, dan<br />
Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah<br />
Tertinggal Saifullah Yusuf, serta Jaksa Agung Abdul Rahman<br />
Saleh.<br />
Dari empat menteri yang dicopot tersebut, dua menteri<br />
yakni Menteri Hukum dan HAM dipegang oleh Andi<br />
Mattalata, sedangkan Jaksa Agung dipercayakan pada<br />
Hendarman Supandji.<br />
Sementara saat serah terima jabatan dari Jaksa Agung<br />
Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung Hendarman Supandji<br />
menyatakan akan melanjutkan pembaruan kejaksaan<br />
melalui pembenahan internal. Ia juga akan bekerjasama<br />
dengan instansi penegak hukum lainnya agar lebih efisian<br />
dan efektif. Dalam kesempatan tersebut, mantan Jaksa<br />
Agung Abdul Rahman Saleh meminta Hendraman agar<br />
tidak melupakan kasus Munir, kasus BLBI dan kasus<br />
Soeharto.<br />
Sedangkan Menteri Hukum & HAM baru, Andi Mattalata<br />
berjanji akan menghilangkan korupsi di departemennya. Ia<br />
menegaskan Depkum & HAM sebagai lembaga yang<br />
mengurusi hukum harus memberi teladan yang baik bagi<br />
departemen lainnya.<br />
Menyisakan pekerjaan rumah<br />
Pada akhirnya, dengan terpilihnya Jaksa Agung dan Menteri<br />
Hukum dan HAM yang baru, kita berharap akan ada banyak<br />
perubahan. Khusus untuk Jaksa Agung baru, Hendarman<br />
Supandji, dituntut agar dirinya pro aktif dalam menyelesaikan<br />
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini adalah<br />
sebuah parameter utama, apakah pejabat Jaksa Agung hasil<br />
reshuffle membawa perubahan dibanding sebelumnya.<br />
Hal tersebut dikarenakan lantaran dua setengah tahun<br />
perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu Pemerintahan SBY-JK,<br />
kinerja Jaksa Agung menyisakan pekerjaan rumah yang selama<br />
ini diendapkan. Diantaranya, Jaksa Agung belum menyidik<br />
kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Padahal ini adalah janji<br />
SBY saat kampanye Pilpres 2004 lalu, yaitu komitmen<br />
menyelesaikan kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat.<br />
Kasus pelanggaran HAM berat yang harus segera disidik<br />
adalah tragedi Trisakti Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998 serta<br />
kasus Wasior dan Wamena. Jaksa Agung baru ada baiknya<br />
merubah sikap akhir tahun lalu yang menolak menindaklanjuti<br />
kasus penculikan aktivis 1997/1998. Sikap yang akhirnya<br />
digunakan DPR untuk mempolitisasi kasus-kasus pelanggaran<br />
HAM berat dalam lembaga rakyat. Baik Jaksa Agung maupun<br />
DPR abai terhadap pemenuhan keadilan bagi korban dan<br />
keluarganya. Begitu pula dengan kasus pembunuhan aktivis<br />
HAM Munir, Jaksa Agung sebaiknya membuat terobosan.<br />
Sementara, Menteri Hukum dan HAM yang baru, Andi<br />
Mattalatta, sebaiknya segera mereview semua produk<br />
rancangan perundang-undangan yang bertentangan dengan<br />
HAM. Review ini digunakan sebagai patokan kebijakan yang<br />
dibuat sendiri oleh Pemerintah yaitu, Keputusan Presiden<br />
tentang RAN HAM 2003-2008. RUU-RUU itu antara lain RUU<br />
Rahasia Negara, RUU Peradilan Militer, RUU Intelijen, RUU<br />
KUHP hingga Perda-perda yang bertentangan dengan<br />
konstitusi.<br />
Yang paling penting adalah, Jaksa Agung dan Menhukham<br />
yang baru, harus dapat membebaskan diri dari kepentingan<br />
politik. Keduanya harus menegaskan komitmennya terhadap<br />
hukum dan HAM. Agar hasil reshuffle tak sia-sia, keduanya<br />
harus mengambil langkah-langkah hukum yang progresif.<br />
Terobosan hukum, pertemuan antar lembaga negara, termasuk<br />
Mahkamah Agung dan para ahli hukum internasional menjadi<br />
hal yang penting untuk segera dilakukan.***<br />
30<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH<br />
Korban Penculikan Belum Kembali, Tim Mawar Sudah Bebas<br />
Negara kembali menunjukkan ketidaktegasan dan<br />
ketidakjelasan sikap politiknya dalam kasus-kasus pelangaran<br />
HAM berat yang terjadi sepanjang 1997-1999. Pernyataan Jaksa<br />
Agung Hendarman Supanji yang akan menggunakan<br />
mekanisme penyelesaian tindak pidana biasa untuk<br />
penyelesaian kasus TSS, Mei dan Penculikan Aktivis, telah<br />
menyakiti perasaan korban dan keluarga korban yang telah<br />
menanti keadilan selama bertahun-tahun. Pernyataan ini juga<br />
jelas mendelegitimasi kerja instansi hukum lainnya, yakni<br />
penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan adanya dugaan<br />
tindakan pelanggaran berat HAM untuk kasus-kasus tersebut.<br />
Sementara itu, <strong>KontraS</strong> mendapat informasi yang cukup<br />
mengejutkan, yang mengungkapkan beberapa orang terdakwa<br />
(Kopassus) pelaku penculikan aktifis yang dikenal sebagai Tim<br />
Mawar, mereka justru<br />
mendapatkan promosi<br />
dan menempati<br />
jabatan yang strategis<br />
dalam lingkungan TNI.<br />
Mereka adalah;<br />
1. Letkol Fausani<br />
Syahrial Multhazar,<br />
Dandim 0719 Jepara.<br />
2. Letkol Untung Budi<br />
Harto, Dandim 1504<br />
Ambon.<br />
3. Letkol Dadang<br />
Hendra Yuda, Dandim<br />
0801 Pacitan.<br />
4. Letkol Djaka Budi<br />
Utara, DanYon 115<br />
Macan Leuser.<br />
Sebelumnya Putusan<br />
Tingkat I Mahkamah<br />
Militer menjatuhkan<br />
pidana dan pemecatan<br />
pada lima dari 11<br />
terdakwa tim mawar<br />
Kopassus TNI AD tersebut. Enam lainnya hanya dikenai sanksi<br />
penjara. Selanjutnya, pada tingkat banding, 10 anggota<br />
terdakwa tersebut hanya mendapat hukuman pidana.<br />
Sedangkan yang dijatuhi sanksi tambahan berupa pemecatan<br />
hanya dikenakan terhadap komandan tim, Mayor Inf Bambang<br />
Kristiono.<br />
Dari penjelasan Panglima TNI melalui media, dinyatakan bahwa<br />
karier militer anggota Tim Mawar sempat terhambat beberapa<br />
tahun. “Akan tetapi, itu sudah dihitung dalam perjalanan karier<br />
mereka. Memang ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi<br />
sehingga mereka bisa diperlakukan sama dengan yang lainnya,<br />
“ ungkap Djoko tanpa merinci persyaratannya. “Jadi, mereka<br />
bisa saja aktif lagi. Dihukum, kan, bukan berarti lalu...(tak<br />
diteruskan). Kecuali, jika mereka memang dipecat.” (Kompas, 16<br />
Mei 2007).<br />
<strong>KontraS</strong> dan keluarga korban (22/05/2007), sebelumnya<br />
menanyakan perkembangan kasus ini kepada Mahkamah<br />
Agung melalui Juru Bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko.<br />
Namun, pihak Mahkamah Agung justru menyatakan tidak<br />
mengetahui putusan peradilan militer tersebut. Ketertutupan<br />
seluruh proses ini membuat kontrol publik terhambat.<br />
Paska pertemuan (22/05/2007), Ketua Mahkamah Agung, Bagir<br />
Manan menyampaikan dalam siaran persnya bahwa kasus<br />
penculikan sembilan aktivis pro demokrasi yang dilakukan<br />
Tim Mawar itu, hanya sampai ditingkat banding yakni<br />
Mahkamah Militer Agung dan tidak sampai kasasi di tingkat<br />
MA.<br />
Malah<br />
promosi<br />
dapat<br />
Dari awal, kita dapat<br />
menebak bahwa<br />
penerapan hukum<br />
pidana biasa termasuk<br />
pidana militer hanya<br />
untuk membatasi<br />
pelaku sebatas pelaku<br />
di lapangan. Selain itu,<br />
akses publik terhadap<br />
peradilan militer,<br />
sejauh ini dapat<br />
dikatakan tertutup<br />
bahkan ditutuptutupi.<br />
Pemberian<br />
jabatan strategis<br />
dalam lingkungan TNI<br />
Dok.Kontras<br />
Persidangan Tim Mawar Kopassus untuk kasus penculikan<br />
kepada empat orang<br />
terdakwa di atas,<br />
mempertegas soal<br />
ketertutupan itu.<br />
Apalagi sejak 1999<br />
keluarga korban yang<br />
mencoba untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus<br />
lewat surat maupun permohonan pertemuan tidak pernah<br />
direspon.<br />
Di sisi lain, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan<br />
Kehormatan Perwira (salah anggotanya, Letjen Susilo<br />
Bambang Yudhoyono-Kassospol ABRI, ketika itu) pada<br />
Agustus 1998 hanya menghukum Letjen Probowo dengan<br />
pengakhiran masa tugas, sementara Mayjen Muchdi PR dan<br />
Kolonel Inf Chairawan K. Nusyirwan hanya mendapat sanksi<br />
pembebasan tugas dari jabatan. Panglima Kodam Jaya ketika<br />
itu Syafrie Syamsudin yang juga diakui keterlibatannya oleh<br />
Prabowo tidak tersentuh. Letjen Syafrie Syamsudin justru<br />
mendapatkan jabatan sebagai Sekjen Dephan, Muchdi PR<br />
sebagai Deputi V BIN dan Brigjen Chairawan, sebagai mantan<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 31
REMPAH-REMPAH<br />
Korem Lilawangsa dan sekarang menjabat<br />
Kaposwil NAD BIN.<br />
Terlepas dari apapun sanksi yang diputus<br />
oleh pengadilan, masih aktifnya para pelaku<br />
bahkan memperoleh jabatan strategis ini<br />
menunjukkan bahwa kejahatan serius yang<br />
mereka lakukan hanya dipandang sebagai<br />
pelanggaran ringan oleh TNI. Semestinya<br />
ada ukuran yang jelas untuk promosi atau<br />
kenaikan jabatan strategis TNI, termasuk<br />
tidak terlibat dalam tindak pidana apalagi<br />
pelanggaran HAM berat.<br />
Pemberian jabatan strategis bagi para pelaku<br />
tindak pelanggaran HAM berat ini justru<br />
mencoreng reformasi TNI. Situasi ini menunjukkan ketiadaan<br />
efek jera yang turut menyumbang peran dalam terjadinya<br />
kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya pada kasus Munir<br />
‘Terlepas dari apapun<br />
sanksi yang diputus<br />
oleh pengadilan, masih<br />
aktifnya para pelaku<br />
bahkan memperoleh<br />
jabatan strategis ini<br />
menunjukkan bahwa<br />
kejahatan serius yang<br />
mereka lakukan hanya<br />
dipandang sebagai<br />
pelanggaran ringan oleh<br />
TNI”<br />
yang diduga kuat melibatkan Muchdi PR<br />
diantara pelakunya. Bila tiada<br />
penghukuman yang maksimal bagi para<br />
pelaku kejahatan itu, maka sesungguhnya<br />
masyarakat luas dalam ancaman hidup<br />
bersama diantara para penjahat<br />
kemanusiaan.<br />
Oleh karenanya, <strong>KontraS</strong> bersama korban<br />
dan keluarga korban kembali mendesak<br />
Jaksa Agung segera membentuk tim<br />
penyidik untuk melakukan penyidikan<br />
kasus kasus pelanggaran berat HAM.<br />
Sedangkan kenaikan pangkat dan<br />
pengangkatan anggota Tim Mawar sebagai<br />
perwira dan pejabat strategis di<br />
lingkungan TNI, <strong>KontraS</strong> meminta DPR untuk memanggil<br />
Panglima TNI mengklarifikasi promosi terhadap mereka itu.***<br />
Jaksa Agung Harus Merujuk Pada Pengadilan HAM<br />
Bila ditelaah lebih dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM untuk kasus penculikan aktivis 1997/1998,<br />
maka terdapat beberapa penekanan terpenting pada adanya perbedaan kelompok korban yaitu kelompok<br />
korban yang telah kembali dan kelompok korban yang belum diketahui nasib dan keberadaannya. Terhadap<br />
13 orang korban yang hingga sekarang belum kembali harus dipandang berbeda dengan para korban yang<br />
telah kembali. Status para korban yang belum kembali adalah bahwa “mereka masih hilang hingga sekarang,<br />
belum diketahui dimana nasib dan keberadaannya. “<br />
Dalam kondisi seperti ini, statue of limitation (batas kadaluarsa) tidak berlaku, mengingat nasib dan keberadaan<br />
korban belum diketahui. Sehingga terhadap 13 orang korban tersebut, status kasusnya masih berlangsung<br />
hingga sekarang atau biasa disebut sebagai kejahatan berkelanjutan (continuing crime). Sebuah analisis<br />
instrumen intemasional tentang “Orang Hilang”, Nunca Mas, dalam Human Rights Quarterly, vol. 19, 1997<br />
dalam Amsterdam Law Clinic menyebutkan bahwa: “ Praktek penghilangan orang secara paksa khususnya bagi<br />
beberapa korban yang belum kembali, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya sejak kasus penghilangan paksa tersebut<br />
berhenti, maka kondisi seperti itu, menyebabkan kasus penghilangan paksa tidak mengenal batasan waktu (statue of limitation)<br />
mengingat tidak diketahuinya penahanan, keberadaan dan nasib para korban. Karena hal ini merupakan bagian yang cukup<br />
penting dari kejahatan itu sendiri. “<br />
Begitu pun penjelasan dalam Deklarasi Perlindungan terhadap Penghilangan Orang Secara Paksa - dimana<br />
Indonesia juga terikat secara moral sebagai anggota PBB dan sebagai anggota dewan HAM PBB untuk<br />
melakukan penyelidikan sepanjang nasib korban penghilangan orang secara paksa belum diklarifikasi.<br />
Pendapat Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang akan menyelesaikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II,<br />
Peristiwa Mei 1998 dan Penculikan & Penghilangan aktivis 1997-1998, dalam kerangka pidana biasa,<br />
merupakan pencederaan perjuangan keluarga korban-yang telah berjuang sekian lama mencari keadilan<br />
dan kebenaran.<br />
Selain itu, penyelesaian dengan pidana biasa tidak akan berbeda jauh kualitas penghukumannya dengan<br />
proses pengadilan Tim Mawar melalui mahkamah militer, yang gagal membongkar kebijakan, rantai komando<br />
kejahatan penghilangan orang serta gagal mengungkap ke 13 orang yang masih tidak diketahui nasib dan<br />
keberadaannya. Kegagalan negara menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, seperti penculikan dan<br />
penghilangan orang secara paksa 1997-1998, seakan memberi jalan bagi para pelaku untuk menikmati<br />
impunity bahkan memperoleh promosi. Akhirnya keadilan masih berupa nyanyian sunyi. ***<br />
32<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH<br />
No Nama Putusan Tingkat I<br />
Semuanya mengajukan Banding<br />
1. Mayor Inf Bambang<br />
Kristiono (Komandan<br />
Tim Mawar)<br />
2. Kapten Inf Fausani<br />
Syahrial Multhazar<br />
(Wakil Komandan Tim<br />
Mawar)<br />
3. Kapten Inf Nugroho<br />
Sulistiyo Budi<br />
4. Kapten Inf Yuius<br />
Selvanus<br />
5. Kapten Inf Untung<br />
Budi Harto<br />
Tabel Hasil Pengadilan<br />
Tim Mawar<br />
Dipidana 1 tahun 10 bulan penjara<br />
dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI<br />
AD<br />
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />
dari dinas ABRI cq TNI AD<br />
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />
dari dinas ABRI cq TNI AD<br />
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />
dari dinas ABRI cq TNI AD<br />
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat<br />
dari dinas ABRI cq TNI AD<br />
Putusan Tingkat II<br />
INKRACHT<br />
Dipidana 1 tahun 10<br />
bulan penjara dan<br />
dipecat dari dinas<br />
ABRI cq TNI AD<br />
Dipidana 3 tahun<br />
penjara dan tidak<br />
dipecat dari dinas<br />
TNI AD<br />
Dipidana 2 tahun 10<br />
bulan penjara dan<br />
tidak dipecat dari<br />
dinas TNI AD<br />
Dipidana 2 tahun 6<br />
bulan penjara dan<br />
tidak dipecat dari<br />
dinas TNI AD<br />
Dipidana 2 tahun 6<br />
bulan penjara dan<br />
tidak dipecat dari<br />
dari dinas TNI AD<br />
6. Kapten Dadang 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />
Hendra Yuda<br />
7. Kapten Inf Djaka Budi 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />
Utama<br />
8. Kapten Inf Fauka Noor 1 tahun 4 bulan 1 tahun 4 bulan<br />
Farid<br />
9. Serka Sunaryo 1 tahun 1 tahun<br />
10. Serka Sigit Sugiarto 1 tahun 1 tahun<br />
11. Sertu Sukadi 1 tahun 1 tahun<br />
“Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah<br />
kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku<br />
dan harus memperoleh konsekwensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional”<br />
(Pasal 5 Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang<br />
dari Tindakan Penghilangan Paksa)<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 33
REMPAH-REMPAH<br />
Dendang-Dendang Kebringasan<br />
(Josef B.Kalengkongan)<br />
Dendang-dendang kebringasan<br />
Gubahan komponis-komponis sadis<br />
Iringi kematian tak wajar berjuta anak banga<br />
Dendang-dendang kebringasan<br />
Torehkan sejarah hitam pekat<br />
Bangsa ranah dan santun jadi bar-bar<br />
Rekayasa gestok enam lima<br />
Didendangkan<br />
Dalam pengingkaran bait-bait supermar<br />
Bau busuk mayat-mayat terbantai<br />
Lebih merangsang gairah sang komponis<br />
Ada dendang khusus di Serambi Mekah Aceh<br />
Disana juga banyak darah membasahi bumi<br />
Di Papua ujung timur tanah pertiwi<br />
Ada Theis dibunuh<br />
Di pinggiran utara Kota Metropolitan<br />
Di Tanjung Priuk<br />
Jamaah dibantai<br />
Mengikuti alunan dengan-dendang klasik<br />
Juga korban berjatuhan di Talangsari<br />
Ada rekayasa kerusuhan Mei Sembilan Delapan<br />
Penjarahan perampokan<br />
Penganiayaan pembunuhan dan perkosaan<br />
Mengisi kalimat-kalimat bait lagu<br />
Dendang-dendang lewat moncong bedil<br />
Digelar di Trisakti dan Semanggi<br />
Disana putera terbaik bangsaku mengerang sakit dan gugur<br />
Kata orang Republik-ku negara hukum<br />
Eh, Petrus sang eksekutor melanglang nusantara<br />
Mengikuti dendang lagu menyebar maut<br />
Aktivis pro demokrasi diculik dan hilang tak berbekas<br />
Ada wartawan Udin yang juga merenggang nyawa<br />
Dihabisi karena tekadnya mengungkap kakaen<br />
Srikandi Marsinah pahlawan kaum pekerja<br />
Dengan tabah dan gagah berpacu dengan maut<br />
Akhirnya tewas oleh konspirasi yang misterius<br />
Dendang-dendang kebringasan<br />
dengan aksara-aksara bait yang beda<br />
ada tangan-tangan berdarah dingin<br />
hadir di pesta saling bantai bermotif sara<br />
Ambon Maluku tidak lagi manise<br />
Dan damai rukun jadi langkah di bumi Poso<br />
Dendang kebringasan<br />
Masihkah hilang hati nuranimu<br />
34<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Peringatan Week Of The Disappeared Di Filipina<br />
KABAR DARI SEBERANG<br />
KABAR DARI SEBERANG<br />
Pada peringatan Week of the Disappeared atau sepekan anti<br />
penghilangan paksa pada tahun ini, Asean Federation Against<br />
Involuntary Disappearances (AFAD) memusatkan peringatannya<br />
di Philipina. Bentuk kegiatan yang dilakukan yaitu penanaman<br />
pohon oleh masing-masing anggota AFAD di Manila dan<br />
pelatihan dokumentasi di Provinsi Ilocos Norte, Philipina.<br />
Kegiatan ini diikuti oleh Anggota AFAD yang berasal dari<br />
Kashmir, Nepal, India, Srilangka, Thailand, Philipina dan<br />
Indonesia. Peserta dari Indonesia diwakili oleh dua orang yaitu,<br />
Edwin Partogi (<strong>KontraS</strong>) dan Agnes T. Gurning (IKOHI). Pada<br />
kegiatan penanaman pohon yang dilakukan pada 30 Mei di tugu<br />
Bantayog ng Mga Bayani (semacam tugu proklamasi di Jakarta,<br />
namun tugu ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap<br />
perjuangan menumbangkan rejim Marcos), kegiatan ini dihadiri<br />
oleh sejumlah duta-duta besar seperti Perancis, Nepal, Belanda,<br />
dan lainnya. Selain itu juga dihadiri oleh keluarga korban orang<br />
hilang di Philipina dan pers setempat.<br />
Pada kesempatan ini turut memberikan sambutan yaitu Duta<br />
Besar Perancis, diplomat yang pernah ditugaskan di Indonesia<br />
pada era 70-an ini memprihatinkan masih terjadinya praktek<br />
penghilangan paksa dan meminta agar negara-negara anggota<br />
PBB yang khususnya (negara-negara anggota AFAD, red.)<br />
dimana praktek itu masih berlangsung, untuk meratifikasi<br />
konvensi anti penghilangan paksa yang diterbitkan oleh PBB.<br />
Dalam kesempatan itu juga dipertunjukan teaterikal yang<br />
menggambarkan fenomena orang hilang.<br />
Dalam kegiatan penanaman pohon, semua anggota AFAD<br />
menanam tunas pohon yang telah disiapkan dengan nama<br />
negara atau wilayah masing-masing didepannya.<br />
Penanaman pohon ini dimaksudkan sebagai bentuk harapan<br />
yang terus dipupuk untuk tumbuh dan berbuah bagi<br />
perlindungan dari tidakan penghilangan paksa maupun<br />
pemulihan hak-hak korban.<br />
Usai acara Tree Planting, penanaman pohon, para anggota<br />
AFAD beserta undangan dari 5 perwakilan NGO Philipina,<br />
mengikuti kegiatan Seminar-Workshop tentang Pencarian<br />
Fakta dan Dokumentasi dengan tema “Reclaming Stolen<br />
Lives.” Pelatihan ini dilaksanakan selama 5 hari di Fort<br />
Ilocandia Resort, di propinsi Ilocos Norte, Philipina.<br />
Peringatan pekan orang hilang dilaksanakan oleh AFAD ini<br />
sangat bermanfaat bagi forum tukar pengalaman dan<br />
peningkatan kapasitas antar anggota. Pertemuan semacam<br />
ini menghadirkan spirit baru bagi perjuangan melawan<br />
penghilangan paksa.<br />
Dok.Kontras<br />
Ketua AFAD Aileen Bacalso saat memberi sambutan<br />
Aksi teaterikal oleh peserta Week of Disappeared<br />
Dok.Kontras<br />
Berita Kontras No.03/V-VI/2007 35