25.12.2014 Views

343 pemilihan zonasi kawasan konservasi keanekaragaman biota ...

343 pemilihan zonasi kawasan konservasi keanekaragaman biota ...

343 pemilihan zonasi kawasan konservasi keanekaragaman biota ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(3): <strong>343</strong>-360 ISSN 0125-9830<br />

PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

KEANEKARAGAMAN BIOTA MUARA LAYANG DI SEKITAR<br />

TELUK KLABAT, PULAU BANGKA<br />

oleh<br />

SULASTRI, DEDE IRVING HARTOTO dan IWAN RIDWANSYAH<br />

Pusat Penelitian Limnologi – LIPI<br />

Komplek LIPI Cibinong<br />

Jl. Raya Bogor – Jakarta, Km 46 Cibinong, Bogor.<br />

Email: lastri@indo.net.id<br />

Received 15 Desember 2009, Accepted 16 November 2010<br />

ABSTRAK<br />

Berkembangnya penambangan timah ilegal di Bangka, Belitung dikhawatirkan<br />

akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan muara di sekitar Teluk Klabat ,<br />

Propinsi Bangka Belitung. Pengembangan sistem <strong>konservasi</strong> di Muara Layang<br />

merupakan upaya mencapai keberlanjutan sistem perikanan perairan muara dan pesisir<br />

sekitar Teluk Klabat. Penelitian ditujukan untuk memilih <strong>zonasi</strong> <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> di<br />

Muara Layang. Kriteria <strong>pemilihan</strong> calon <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> mencakup kondisi<br />

konektivitas ekologis, integritas ekologis dan pertimbangan aspek sosial ekonomi<br />

perikanan. Konektivitas ekologis dianalisis berdasarkan pengamatan geomorfologi yang<br />

dilakukan melalui interpretasi peta topografi skala 1: 50.000 dan Citra satelit LANSAT<br />

serta pemetaan batimetri. Analisis integritas ekologis dilakukan melalui pengamatan<br />

kualitas air seperti kekeruhan, salinitas suhu, pH, oksigen terlarut yang diukur langsung<br />

menggunakan WQC Horiba U-10 dan parameter nitrat, nitrit, amonia, nitrogen total<br />

serta fosfor yang dianalisis menggunakan Standard Method. Komunitas <strong>biota</strong> seperti<br />

fitoplankton dan zooplankton juga diamati. Pertimbangan aspek sosial ekonomi<br />

perikanan dianalisis berdasarkan keterkaitan masyarakat dengan perairan muara. Dari<br />

analisis konektivitas dan integritas ekologi berhasil diperoleh zona inti yang memiliki<br />

keragaman habitat fisik tinggi seperti adanya meander, lubuk, kondisi vegetasi riparian<br />

yang tertutup serta kondisi kualitas perairan yang mendukung kehidupan <strong>biota</strong> muara.<br />

Zona inti tidak didominansi jenis-jenis fitoplankton kelompok dinoflagelata dan alga<br />

biru hijau seperti seperti Peridinium sp dan Thrichedesmium sp. sedangkan kelompok<br />

zooplankton didominasi oleh kopepoda Dari hasil analisis keragaman habitat,<br />

keterkaitan masyarakat dengan perairan muara, aspek kualitas air dan sruktur komunitas<br />

<strong>biota</strong> dapat dipetakan <strong>zonasi</strong> <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> <strong>keanekaragaman</strong> <strong>biota</strong> Muara Layang.<br />

Kata kunci: Konservasi, <strong>zonasi</strong>, <strong>biota</strong>, muara.<br />

<strong>343</strong>


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

ABSTRACT<br />

SELECTION OF ZONATION IN BIOLOGICAL DIVERSITY<br />

CONSERVATION AREA IN LAYANG ESTUARY, KLABAT BAY,<br />

BANGKA ISLAND. Development of tin mining in Bangka Belitung was<br />

threatening the sustainability of estuarine fisheries around Klabat Bay, Bangka<br />

Belitung Province. Conservation area is one of the tools to sustain fisheries<br />

production in this area. The study was aimed to determine the area for conservation<br />

of biological diversity of Layang Estuary. Conservation area was identified based on<br />

ecological connectivity and integrity criteria and social-economical fisheries<br />

aspects. Ecological connectivity was analyzed by observation of riparian vegetation,<br />

geomorphological feature of the river through interpretation of satellite image<br />

overlaid with land cover map from Earth Aspect Map scale of 1: 50,000. The profile<br />

of river was resulted from hydro acoustic survey. Ecological integrity was analyzed<br />

by observation of some water quality parameters, sedimentation and biotic<br />

communities structure. Some parameters such as turbidity, salinity, pH, dissolved<br />

oxygen were measure insitu using Horiba U-10 while nitrite, nitrate, ammonia, total<br />

nitrogen and phosphor were analyzed in the laboratory using Standard Methods.<br />

Socio-economical fisheries aspect was analyzed through Focus Group Discussion.<br />

The ecological connectivity and integrity analysis data were used to select the core<br />

zone that was characterized by high diversity of physical habitats such as<br />

meandering river banks, existence of pool and availability of water during ebb tide<br />

and good condition of riparian vegetation and tributary catchment area. Core zone<br />

was not dominated by dinoflagelata and blue green algae group while copepod<br />

dominant in this area. Based on habitat characteristic,water quality, biotic<br />

community, fisheries socio economical aspects a zonation for conservation area was<br />

presented.<br />

Key words: Conservation, zone, biotic, estuarine.<br />

PENDAHULUAN<br />

Perairan muara atau estuarin termasuk dalam perairan umum yang<br />

didefinisikan sebagai perairan yang letaknya di atas garis pasang laut terendah ke<br />

arah daratan (NONTJI et al. 1986). Perairan muara sudah lama dikenal sebagai<br />

tempat pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery ground) dan tempat<br />

mencari makan (feeding ground) <strong>biota</strong> bahari yang ekonomis penting. Oleh karena<br />

344


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

itu perairan muara memiliki peran penting untuk mendukung kelestarian produksi<br />

perikanan tangkap wilayah pesisir dan bahari.<br />

Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini tidak hanya<br />

masalah penurunan populasi atau stok sumber daya ikan akibat penangkapan yang<br />

berlebihan (overfishing), tetapi juga akibat kerusakan habitat serta tidak adanya<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> atau area yang dilindungi (COCHRANE, 2000). Oleh karena itu<br />

komponen dasar untuk mempertahankan keberlanjutan sistem perikanan antara lain<br />

adanya keberlanjutan secara ekologi, yakni adanya wilayah yang dilindungi atau<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong>, mempertahankan ekosistem serta menghindari penurunan stok<br />

(ADRIANTO et al. 2005).<br />

Berkembangnya penambangan timah ilegal di Pulau Bangka dikawatirkan<br />

akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan muara. Hasil penelitian<br />

menunjukkan adanya perubahan luasan mangrove di Muara Antan antara tahun 2000<br />

sampai 2002 dan adanya sedimentasi yang intensif di bagian hilir Muara Layang<br />

(RIDWANSYAH et al. 2004). Hasil penelitian ekologi juga menunjukkan Muara<br />

Layang lebih baik kondisinya dibandingkan dengan Muara Antan sehingga Muara<br />

Layang diusulkan sebagai <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> <strong>keanekaragaman</strong> <strong>biota</strong> muara di<br />

sekitar Teluk Klabat, Propinsi Bangka Belitung (SULASTRI et al. 2004). Adanya<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> di Muara Layang merupakan upaya untuk mendukung<br />

keberlanjutan produksi perikanan muara dan wilayah laut di sekitar Teluk Klabat.<br />

Keberadaan <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> <strong>biota</strong> muara yang mendukung pemanfaatan<br />

produksi perikanan muara dan bahari telah dijamin oleh PERATURAN<br />

PEMERINTAH NOMOR 60 TAHUN 2007 tentang Konservasi Sumber Daya ikan.<br />

Kawasan <strong>konservasi</strong> <strong>biota</strong> muara untuk kasus ini sesuai klasifikasi <strong>kawasan</strong><br />

<strong>konservasi</strong> dalam Pasal 1 ayat 12 yang diusulkan dalam bentuk suaka perikanan,<br />

yakni suatu <strong>kawasan</strong> perairan yang dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat<br />

berlindung atau tempat berkembang biak jenis sumber daya ikan yang berfungsi<br />

sebagai daerah perlindungan. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> yang dilindungi harus dikelola dengan sistem <strong>zonasi</strong> untuk<br />

mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.<br />

Menurut HARTOTO et al. (1998) persyaratan yang harus dipenuhi untuk<br />

menempatkan <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> perikanan di ruas sungai antara lain adanya ciri<br />

morfologi penting di ruas sungai utama seperti adanya lubuk yang dalam di kelokan<br />

sungai, kedalaman lubuk minimal 5 m pada saat musim kemarau, <strong>kawasan</strong><br />

<strong>konservasi</strong> harus mencakup vegetasi riparian minimal setebal 100 m dari batas air,<br />

bila ruas sungai utama tersebut ada percabangannya maka ruas tempat bertemunya<br />

anak sungai dan sungai utama, sebagian ruas anak sungai utama juga harus menjadi<br />

bagian dari zona inti. Selanjutnya zona inti harus dibatasi zona penyangga hulu dan<br />

zona penyangga hilir dan masing-masing zona penyangga ini harus ada paling tidak<br />

satu sekuens habitat lubuk- air tenang- lubuk<br />

Zona inti merupakan bagian tertentu dari <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> yang ikannya<br />

tidak boleh ditangkap oleh siapapun dengan cara apapun, pada waktu kapanpun agar<br />

ikannya dapat melaksanakan daur hidupnya dengan baik dan tidak terganggu sama<br />

345


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

sekali dari aktivitas penangkapan serta gangguan fisik, kimiawi dan biologi. Zona<br />

penyangga merupakan bagian <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> yang membatasi zona inti,<br />

dimana yang sumberdaya ikannya masih dapat ditangkap namun dilakukan secara<br />

terbatas, sedangkan zona ekonomi merupakan bagian perairan yang ikannya boleh<br />

ditangkap secara bebas dengan menggunakan cara dan alat sesuai dengan ketentuan<br />

yang sudah diatur dalam Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan.<br />

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian pengembangan<br />

sistem <strong>konservasi</strong> <strong>keanekaragaman</strong> <strong>biota</strong> untuk mendukung produksi perikanan laut<br />

dan pesisir di sekitar Teluk Kelabat, Propinsi Bangka Belitung (SULASTRI et al.<br />

2006), yang ditujukan untuk menetapkan <strong>zonasi</strong> <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong><br />

<strong>keanekaragaman</strong> <strong>biota</strong> muara Muara Layang di sekitar Teluk Klabat Propinsi<br />

Bangka Belitung.<br />

BAHAN DAN METODE<br />

Penelitian dilaksanakan tahun 2004 – 2005 di Muara Sungai Layang, sekitar<br />

Teluk Klabat Provinsi Bangka Belitung. Untuk menentukan zona <strong>kawasan</strong><br />

<strong>konservasi</strong> dilakukan pengamatan dan pengumpulan data di enam stasiun di Muara<br />

Layang (Gambar 1), sedangkan deskripsi habitat masing-masing stasiun disajikan<br />

pada Table 1. Kriteria <strong>pemilihan</strong> calon zona <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> didasarkan pada<br />

integritas dan konektivitas ekologis. Data konektivitas ekologis yang dikumpulkan<br />

antara lain keutuhan sistem alur air, kondisi tutupan vegetasi riparian sebagai sumber<br />

pemasuk bahan organik alohtonus, fungsi sistem hidrologi dan keterkaitan<br />

masyarakat dengan sumberdaya perikanan muara. Data integritas ekologis mencakup<br />

keragaman habitat fisik (kondisi morfometri), struktur komunitas biotik, kondisi<br />

sedimentasi, kualitas air dan ada tidaknya sumber pencemar.<br />

Analisis konektivitas ekologis dilakukan melalui analisis geomorfologi dan<br />

batimetri, sedangkan analisis integritas ekologis dilakukan dengan pengambilan<br />

berbagai sampel di lapangan yang dilanjutkan analisis di laboratorium (Tabel 2).<br />

Sampel sedimen diambil dengan Ekman Grab selanjutnya dikeringkan dengan oven<br />

(suhu 60 o C), kemudian diayak dengan saringan bertingkat dengan mesh size 45 m,<br />

63 m, 125 m, 250 m, 500 m dan 18 mm, setelah satu jam setiap fraksi<br />

ditimbang. Ukuran besaran dan kecepatan jatuh butiran sedimen dihitung dengan<br />

menggunakan rumus yang disajikan GRAF (1984). Data kualitas air mencakup<br />

parameter suhu. pH, oksigen terlarut (DO), turbiditas dan salinitas, pada beberapa<br />

kedalaman (0 m, kedalaman Secchi dan dasar perairan diukur secara langsung<br />

menggunakan alat Water Quality Checker Horiba U-10. Sampel air untuk analisa<br />

ammonia, nitrat, nitrit, nitrogen total, fosfor total dan beberapa jenis logam (Tabel 2)<br />

dilakukan pengawetan dan selanjutnya dianalisis di laboratorium dengan mengikuti<br />

metode standard dari APHA-AWWA (1992) yang secara rinci disajikan pada Table<br />

346


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

2. Beberapa parameter seperti Ca, K, Mg dan Na dianalisis di Pusat Penelitian<br />

Tanah, Departemen Pertanian.<br />

Data keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya perikanan muara diperoleh<br />

melalui Focus Group Discussion (FGD) yang membicarakan jumlah nelayan, hasil<br />

tangkapan, wilayah penangkapan, jauh dekatnya wilayah pemukiman nelayan<br />

dengan perairan muara dengan bantuan sebuah peta dasar.<br />

Kondisi geomorfologi diinterpretasikan dari peta topografi skala 1: 50.000<br />

yang diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Tanah Nasional<br />

(Bakosurtanal) dan Citra Satelit Landsat, sedangkan untuk membedakan antara<br />

sedimen dan air digunakan band 5. Pemetaan batimetri profil sungai didapatkan<br />

dengan metode akustik dan menggunakan Echosounder FURUNO FE616 dengan<br />

frekwensi 200 Hz. Navigasi dilakukan dengan alat GPS Garmin Survey II,<br />

sedangkan Echogram diplot menjadi peta Digital dengan menggunakan Arcview 3.3.<br />

Muara Layang<br />

Gambar 1. Lokasi kegiatan penelitian dan stasiun pengamatan.<br />

Figure 1. Location of research activity and site observation.<br />

347


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

Tabel 1. Lokasi dan klasifikasi habitat fisik stasiun pengamatan.<br />

Table 1 Location and habitat classification of sampling station.<br />

No. Site/secondary river Coordinate Habitat type<br />

1 Jelutung River E 105 o 47’ 31.2” Junction of bay and<br />

S 1 o 46’ 0 8.4” tributary river<br />

2 Kelam River E 105 o 48’ 42.1” Junction of bay and<br />

S 1 o 47’ 15.7” tributary river<br />

3 Lumut River E 105 o 49’ 10.6” Junction of bay and<br />

S 1 o 47’ 39.1” tributary river<br />

4 Maras River E 105 o 48’ 44.6” Junction of bay and<br />

S 1 o 48’ 25.9” tributary river, branch of<br />

Layang River<br />

5 Manjang River E 105 o 49’ 57.0” Junction of main and<br />

S 1 o 46’ 19.8”<br />

6 Melandut River E 105 o 52’ 11.6”<br />

S 1 o 47’ 53.2”<br />

tributary river<br />

Junction of main and<br />

tributary river<br />

Tabel 2. Metode dan alat yang digunakan untuk analisis parameter kualitas air calon<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> di Muara Layang.<br />

Table 2. Method and instrument used for analysis of water quality parameters of<br />

proposed conservation area in Layang Estuary.<br />

No Parameter Method Instrument<br />

1 Ammonia N-NH 3 Phenate Spectrophotometer<br />

2 Iron (Fe) Digested by HNO 3 Atomic Absorption<br />

Spectrophotometer (AAS)<br />

3 Cadmium(Cd) Extracted by MIBK Atomic Absorption<br />

Spectrophotometer (AAS)<br />

4 Manganese (Mn) Digested by HNO 3 Atomic Absorption<br />

Spectrophotometer (AAS)<br />

5 Mg,Ca, K, dan Na Digested by HNO 3 Atomic Absorption<br />

Spectrophotometer (AAS)<br />

5 Nitrate (N-NO 3 ) Brucine method Spectrophotometer<br />

6 Nitrite (N-NO 2 ) Sulfanilamide method Spectrophotometer<br />

7 Lead (Pb) Extraxted by MIBK Atomic Absorption<br />

Spectrophotometer AAS<br />

8 Total N (T-N) Pre digested by<br />

Spectrophotometer<br />

peroxodisulphate and analysis<br />

by Brucine method<br />

9 Total P (T-P) Pre digested by<br />

Spectrophotometer<br />

peroxodisulphate and<br />

analysis by ascorbic acid<br />

10 P-PO 4 Ascorbic acid method Spectrophotometer<br />

10. Plankton Lackey Drop Microtransect Inverted Microscope<br />

348


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

Navigasi dilakukan dengan alat GPS Garmin Survey II, sedangkan<br />

Echogram diplot menjadi peta Digital dengan menggunakan Arcview 3.3. Sampel<br />

fitoplankton dan zooplankton diambil masing-masing dengan menyaring air<br />

sebanyak 2 liter melalui plankton net ukuran mata jaring 40 µm dan 80 µm. Sampel<br />

fitoplankton diawetkan dengan larutan lugol 1 % dan zooplankton dengan larutan<br />

formalin 5 %. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dilaboratorium menggunakan<br />

inverted microscope merujuk buku kunci identifikasi yang disajikan TOMAS<br />

(1997), ALLEN et al.(1993),YAMAJI (1997). Penghitungan kuantitatif fitoplankton<br />

dengan metoda Hackey Drop Microtransect. Identifikasi zooplankton dilakukan di<br />

laboratorium Puslit Oseanografi LIPI.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Keragaman fisik habitat<br />

Keragaman fisik habitat masing-masing stasiun yang diamati disajikan pada<br />

Tabel 3. Kondisi fisik pantai ruas sungai yang diamati menunjukkan bahwa kondisi<br />

pantai berpasir dijumpai di Stasiun 2, 3 dan 4. Hasil pemetaan batimetri sungai<br />

menunjukkan adanya akumulasi sedimen khususnya pada Stasiun 1, 2, dan 3,<br />

mengindikasikan bahwa kondisi stasiun di ruas hilir mengalami sedimentasi.<br />

Adanya akumulasi sedimen terlihat seperti adanya gosong pasir yang dapat dilihat<br />

pada saat surut (Gambar 2). Pada perkembangan selanjutnya gosong pasir dapat<br />

membentuk pulau seperti Pulau Kayu Anak di Muara Layang. Selanjutnya di<br />

Stasiun 5 dan 6 morfologi dasar sungai terlihat lebih kasar dan dijumpai campuran<br />

batuan metamorfik dan dapat terlihat pada saat surut. Kondisi sedimentasi pada<br />

stasiun bagian hilir juga dapat dilihat dari peta citra Landsat band 5 yang<br />

memperlihatkan bahwa pada semua lokasi pengamatan telah terjadi proses<br />

sedimentasi yang intensif terutama di Stasiun 1, 2, 3, dan 4, dibandingkan di Stasiun<br />

5 dan Stasiun 6 (Gambar 3). Proses sedimentasi pada stasiun bagian hilir juga<br />

ditunjukkan oleh klasifikasi ukuran sedimen yang didominasi oleh pasir halus,<br />

sedangkan stasiun ke arah hulu didominasi ukuran pasir sedang sampai kasar.<br />

Stasiun 3 memiliki ukuran sedimen pasir kasar diduga merupakan masukan dari<br />

Sungai Lumut yang sekitarnya banyak kegiatan penambangan timah. Kecepatan<br />

jatuh butiran sedimen ruas sungai pada bagian hilir juga menunjukkan nilai yang<br />

lebih rendah mengindikasikan cepatnya pengendapan sedimen di bagian hilir.<br />

Morfometri tanggul sungai pada umumnya lurus, kecuali Stasiun 6 yang<br />

memiliki tanggul berkelak kelok (meander), menunjukkan bahwa stasiun 6 memiliki<br />

garis pantai yang lebih panjang dibandingkan stasiun lainnya. Hasil pemetaan<br />

batimetri rata-rata kedalaman sungai masing-masing stasiun mencapai 15 m, kecuali<br />

Stasiun 6 juga memiliki kedalaman maksimum lebih 15 m dan dijumpai palung<br />

(lubuk). Pada musim kemarau air di cabang anak sungainya Sungai Melandut masih<br />

349


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

mengalir. Adanya meander dan palung (lubuk) menunjukkan stasiun 6 memiliki<br />

keragaman fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya.<br />

Diasumsikan bahwa, semakin beragam habitat fisik akan lebih banyak menyediakan<br />

peluang bagi tersedianya spatial ecological niche, maka zona – zona yang tinggi<br />

heterogenitas fisiknya akan lebih mampu mendukung <strong>keanekaragaman</strong> <strong>biota</strong> yang<br />

tinggi.<br />

Tabel 3. Keragaman fisik habitat dari masing-masing stasiun yang diamati.<br />

Table 3. Variation of physical habitat from each observed station.<br />

Variation of physical<br />

habitat characteristic<br />

Station<br />

1 2 3 4 5 6<br />

Type of river Coast - Sandy Sandy Sandy - -<br />

Profile of river bottom<br />

Exist an<br />

accumu<br />

lation of<br />

sediment<br />

Exist an<br />

accumu<br />

lation of<br />

sediment<br />

Exist an<br />

accumu<br />

lation of<br />

sediment<br />

Exist an<br />

accumu<br />

lation of<br />

sediment<br />

a rougher<br />

morphology or<br />

exist a mixture<br />

of<br />

metamorphic<br />

rock<br />

a rougher<br />

morpholo<br />

gy or exist a<br />

mixture of<br />

metamorphic<br />

rock<br />

Granular size of sediment 0.18 0.27 0.37 0.24 0.33 0.37<br />

(mm)<br />

Sediment Settling velocity 0.75 1.70 3.00 1.30 2.80 3.00<br />

of sediment (cm/det)<br />

Group of sediment granular Fine sand Fine sand Coarse sand Fine sand Medium sand Coarce sand.<br />

size<br />

River bank Straight Straight Straight Straight Straight Meander<br />

Average of river depth (m) 15 15 15 15 15 >15<br />

Riparian<br />

condition<br />

vegetation<br />

bare bare bare bare bare dense<br />

264 m<br />

0 m<br />

Sand dunes<br />

St 2<br />

15 m<br />

Gambar 2. Profil dasar parairan sungai di Stasiun 2, Muara Layang.<br />

Figure 2. Profile of river bottom at Station 2 of Layang Estuary.<br />

350


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

Vegetasi riparian kondisinya lebih terbuka di stasiun lebih hilir, kecuali<br />

Stasiun 6 yang kondisinya lebih lebat dan padat. Ini menunjukkan Stasiun 6<br />

memiliki konektivitas ekologis yang lebih baik dibanding stasiun lainnya Kondisi<br />

demikian mengindikasikan transfer materi seperti sumberdaya pakan dari ekosistem<br />

mangrove ke sistem sungai serta peran mangrove sebagai tempat berlindung dan<br />

pemijahan <strong>biota</strong> perairan masih berjalan dengan baik.<br />

Gambar 3. Kondisi sedimentasi pada bagian hilir Muara Layang.<br />

Figure 3. Sedimentation condition at lower part of Layang Estuary.<br />

Kualitas air<br />

Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 4. Salinitas dari Stasiun 1<br />

(hilir) sampai ke Stasiun 6 tidak menggambarkan pola yang menurun dari hilir ke<br />

hulu. Variasi nilai kisaran salinitas pada masing-masing stasiun disebabkan oleh<br />

pengaruh pasang surut. Pengaruh pasang surut terlihat dari hasil pengamatan<br />

salinitas harian (SULASTRI et al. 2004). Salinitas pada masing-masing stasiun<br />

masih mendukung kehidupan <strong>biota</strong> muara. Ikan-ikan yang di hidup di perairan<br />

muara tropis umumnya memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap salinitas<br />

(euryhaline) dan secara rutin mampu mengatasi kondisi salinitas atau mampu<br />

beradaptasi dengan kadar salinitas (BLABER, 2000).<br />

Turbiditas rata-rata berkisar antara 9,88 – 32,02 NTU dengan nilai tertinggi<br />

di Stasiun 6. Di Amerika Serikat kriteria nilai turbiditas untuk perlindungan hewan<br />

akuatik secara umum berkisar antara 5-25 NTU (QUINN et al.1992), namun pada<br />

umumnya nilai turbiditas di perairan tropis seperti Indonesia cukup tinggi karena<br />

pengaruh curah hujan yang intensif sepanjang tahun, serta tanah yang mudah tererosi<br />

sehingga banyak sedimen yang terbawa ke perairan sungai seperti yang dilaporkan<br />

oleh SANDERSON & TAYLOR (2003), bahwa nilai maksimum total suspended<br />

351


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

sedimen di perairan pasang surut wilayah perairan estuarin Sumatera adalah 1.013<br />

mg/L.<br />

Rata-rata suhu, pH dan oksigen terlarut pada masing-masing stasiun masih<br />

mendukung kehidupan <strong>biota</strong>. Perubahan suhu di perairan tropis umumnya tidak<br />

menunjukkan kondisi yang ekstrem dari waktu ke waktu. KIRBY- SMITH et al (<br />

2003 ) melaporkan bahwa potensial stress bagi fauna nekton untuk perairan estuarin<br />

di North Carolina Branch Estuary adalah pada suhu > 30 o C pada pagi hari pada<br />

akhir musim panas khususnya di zona atas dan tengah estuarin, sedangkan potensial<br />

stress oksigen terlarut untuk fauna nekton < 2 mg/L pada zona yang sama. Di<br />

Indonesia pada umumnya konsentrasi oksigen yang baik yang ditetapkan untuk<br />

kehidupan <strong>biota</strong> perairan adalah > 3 mg/L, sedangkan pH berkisar antara 6 - 9<br />

(PERATURAN PEMERINTAH NO 20, 1990). Konsentrasi oksigen terlarut yang<br />

rendah pada umumnya dijumpai di dasar perairan sungai.<br />

N-NO 2 dan N-NH 4 digolongkan sebagai parameter penganggu (HARTOTO<br />

et al. 1998), maka pada umumnya konsentrasi N-NO 2 dan N-NH 4 untuk perairan<br />

yang baik konsentrasinya rendah. Rata-rata konsentrasi nitrit masih lebih rendah<br />

dari nilai yang ditetapkan oleh PERATURAN PEMERINTAH NO 20 TAHUN 1990<br />

untuk kegiatan perikanan, yakni < 0,006 mg/L kecuali Stasiun 2 yang<br />

menunjukkan nilai ambang batas yang ditetapkan. Selanjutnya untuk N-NH 4<br />

(amonia) rata-rata masih lebih tinggi dari nilai batasan maksimum untuk kualitas air<br />

yang baik untuk perikanan yakni 0,02 mg/L (PERATURAN PEMERINTAH.NO 20<br />

TAHUN,1990). Namun demikian nilai amonia tidak menjad<br />

masih cukup untuk mengoksidasi amonia dan nitrit menjadi nitrat. Rata-rata nilai<br />

parameter pengganggu yang tinggi dijumpai di stasiun lebih hilir (Stasiun 1,<br />

2 dan 3).<br />

Rata-rata parameter nutrisi (N-N0 3 , T-N, P-PO 4 , T-P dan TN/TP ) pada<br />

masing-masing-masing stasiun umumnya masih memiliki kisaran konsentrasi yang<br />

rendah. Di perairan alami konsentrasi nitrat berkisar antara 0,05 – 0,2 mg/L<br />

(WETZEL 2001). Demikian juga untuk T-N dan T-P umumnya lebih rendah yang<br />

ditetapkan oleh SWEDISH ENVIRONMENTAL PROTECTION AGENCY (1991)<br />

yang menetapkan T-N > 1,5 mg/L dan T-P > 0,05 mg/L sebagai sistem perairan<br />

yang kaya akan nutrien.<br />

Konsentrasi logam<br />

Hasil analisis logam dalam air disajikan pada Tabel 5. Beberapa unsur<br />

logam pada tingkat tertentu diperlukan untuk proses metabolisme organisme. Ion<br />

kalsium (Ca) yang melimpah di perairan muara diperlukan untuk membentuk<br />

cangkang organisme moluska dan invertebrata lainnya. Kalium (K ) diperlukan oleh<br />

sel <strong>biota</strong> perairan sebagai pembentuk enzim aktivasi sedangkan Natrium (Na) juga<br />

diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan dan di perairan estuarin cukup banyak<br />

tersedia (GOLDMAN & HORNE 1983). Besi (Fe) diperlukan oleh hampir seluruh<br />

organisme dalam proses metabolisme oksidatif dan fotosintesis pada tumbuhan yang<br />

memiliki sitrokom (cytocrom) yang mengandung besi. Mangan (Mn) diperlukan<br />

352


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

Tabel 4. Kondisi kualitas air pada masing-masing stasiun yang diamati.<br />

Table 4. Water quality condition at each observed station.<br />

Parameter<br />

Station<br />

Station 1 Station 2 Station 3 Station 4 Station 5 Station 6<br />

Salinity average 25.6 25.7 25.7 24.3 24.4 25.4<br />

18.2- 22.0 –<br />

(‰) range 31.5 30.5 21.0-29.7 14.0-30.4 16.0-29.0 17.0-30.9<br />

Turbidity average 9.88 10.44 13.42 18.84 21.30 32.02<br />

5.4 – 4.7 –<br />

(NTU) range 18.7 18.5 5.7 - 28.3 4.3 -59.0 5.0 - 50.3 8.0 - 88.3<br />

Temp average 29.5 29.8 29.9 29.2 29.8 29.5<br />

28.3 – 28.0 –<br />

( o C) range 30.7 31.6 27.9 -31.6 24.5 -30.7 27.4 - 31.6 28.1 -31.4<br />

DO average 5.16 5.07 5.01 4.84 4.63 4.37<br />

2.35 – 2.51-<br />

(mg/L) range 7.29 6.69 3.44 - 6.09 3.44 - 5.58 3.37 - 5.74 2.93 - 5.63<br />

pH average 7.21 7.16 7.17 7.16 7.17 7.10<br />

6.46 – 6.88-<br />

range 7.85 7.50 6.95 - 7.39 6.87 - 7.43 7.02 - 7.22 6.2 - 7.49<br />

N-NO 2 average 0.004 0.008 0.005 0.004 0.005 0.002<br />

0.001- 0.002-<br />

(mg/L) range 0.009 0.014 0.001-0.011 0.000-0.023 0.00-0.017 0.001-0.006<br />

N-NO 3 average 0.066 0.046 0.053 0.038 0.053 0.055<br />

0.000- 0.009 –<br />

(mg/L) range 0.126 0.106 0.019-0.151 0.019-0.100 0.002-0.133 0.005-0.123<br />

N-NH 4 average 0.079 0.074 0.078 0.054 0.048 0.040<br />

0.011- 0.011 –<br />

(mg/L) range 0.276 0.224 0.025-0.224 0.018-0.108 0.027-0.096 0.032-0.063<br />

T-N average 0.943 1.334 1.601 1.517 1.463 1.362<br />

0.600- 0.416-<br />

(mg/L) range 2.022 2.817 0.72-2.944 0.589-2.709 0.649-0.696 0. 8762.608<br />

P-PO 4 average 0.006 0.004 0.006 0.004 0.012 0.023<br />

0.000 - 0.001-<br />

(mg/L) range 0.014 0.007 0.002-0.014 0.002-0.008 0.00-0.020 0.005-0.075<br />

T-P average 0.042 0.024 0.055 0.038 0.048 0.071<br />

0.017- 0.017 –<br />

(mg/L) range 0.056 0032 0.014-0.114 0.019-0.077 0.0240.102 0.012-0.122<br />

TN/TP average 39.2 69.9 75.2 56.3 53.5 66.3<br />

7.8- 16.2 –<br />

range 188.9 187.8 11.3- 210.3 31.0-123.1 8.3-122.54 7.7-217.3<br />

oleh tumbuhan dan fauna perairan sebagai cofactor beberapa enzim. Magnesium<br />

(Mg) diperlukan oleh seluruh sel dalam proses reaksi transfer energi melalui reaksi<br />

pertukaran enzim. Magnesium cukup banyak di perairan dan bukan faktor pembatas<br />

utama untuk pertumbuhan tumbuhan atau fauna. Mn telah dilaporkan toksik hanya<br />

di perairan sungai yang terpolusi oleh kegiatan penambangan. Tingkat tosik Mn bagi<br />

kehidupan aquatik adalah > 2 mg/L yang ditunjukkan pada hasil percobaan di<br />

353


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

laboratorium (GOLDMAN & HORNE. 1983). Konsentrasi logam Mn, Pb dan Cd<br />

pada masing-masing stasiun relatif rendah dan aman untuk perikanan dan kehidupan<br />

ikan (PERATURAN PEMERINTAH NO 20, 1990; JORGENSEN 1980).<br />

Tabel 5. Konsentrasi logam di perairan Muara Layang.<br />

Table 5. Metal concentration in the waters of Layang Estuary.<br />

Station K Ca Mg Na Fe Mn Pb Cd<br />

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L<br />

1 213 167 769 5059 0.26 0.03 0.006 0.001<br />

2 256 182 986 5954 0.22 0.03 0.006 0<br />

3 309 197 1048 6573 0.13 0.02 0.006 0.001<br />

4 332 202 1141 7261 0.21 0.02 0.003 0.001<br />

5 312 196 1088 6952 0.19 0.02 0.009 0.001<br />

6 603 251 1880 12045 0.25 0.03 0.009 0.001<br />

Fitoplankton dan zooplankton<br />

Komposisi fitoplankton didominasi oleh kelompok diatom. Kondisi ini<br />

umum dijumpai di perairan muara (GOLDMAN & HORNE. 1983). Kelimpahan<br />

jenis-jenis fitoplankton yang dominan disajikan pada Gambar 4. Kelimpahan<br />

fitoplankton pada umumnya rendah maka sumber pakan organisme di perairan ini<br />

kemungkinan banyak dipasok dari detritus. serasah atau bahan alohtonus lainnya<br />

yang berasal dari luar sistem perairan, seperti hutan mangrove. Kelimpahan<br />

ftoplankton yang tinggi dijumpai di Stasiun 1, namun disisi lain ditinjau dari<br />

komposisi jenis fitoplankton jenis-jenis alga beracun seperti Trichodesmium sp dan<br />

Peridinium sp ternyata dominan di Stasiun 1. Oleh karena itu pertimbangan Stasiun<br />

6 menjadi zona inti masih dimungkinkan.<br />

Persentase komposisi zooplankton disajikan pada Tabel 6. Komposisi<br />

zooplankton bervariasi pada masing-masing stasiun. Kopepoda banyak dijumpai<br />

pada Stasiun 6, larva moluska dari kelompok bivalve dan gastropoda banyak<br />

dijumpai di Stasiun 3 dan 4. Selanjutnya larva Brachiura dan Caridina banyak<br />

dijumpai di Stasiun 6. Dilaporkan juga bahwa melimpahnya jenis-jenis dari<br />

kelompok Brachyuran di perairan muara mengindikasikan habitat mangrove yang<br />

masih baik (ASHTON et al. 2003). Caridina spp. adalah jenis-jenis udang yang<br />

berukuran kecil yang umumnya banyak dijumpai di anak-anak (alur) sungai sekitar<br />

perairan muara yang juga merupakan komponen penting jaring-jaring makanan (food<br />

web) ekosistem perairan muara. Persentase komposisi kelompok lain-lain merupakan<br />

hasil penjumlahan bermacam-macam takson dari zooplankton seperti Clenopore,<br />

Meduse, Chaetognata. telur ikan, larva ikan dan lainnya.<br />

354


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

Abundance (individual/L)<br />

20000<br />

18000<br />

16000<br />

14000<br />

12000<br />

10000<br />

8000<br />

6000<br />

4000<br />

2000<br />

0<br />

Chaetoceros spp<br />

Nitzschia spp<br />

Pleurosigma spp<br />

Thrichodesmium sp<br />

Peridinium sp<br />

Total kelimpahan<br />

St1 St 2 St3 St4 St 5 St 6<br />

Station<br />

Gambar 4. Kelimpahan total dan jenis-jenis fitoplankton yang dominan.<br />

Figure 4. Total abundance and dominant species of phytoplankton.<br />

Tabel 6. Persentase komposisi zooplankton pada masing-masing stasiun.<br />

Table 6 Persentage of zooplankton composition at each station.<br />

Composition<br />

Station<br />

Zooplankton St1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6<br />

Copepod 14.52 4.59 9.17 19.97 4.46 35.48<br />

Brachyura larvae 3.23 0.28 2.12 0.19 10.68<br />

Larva Bivalvia 22.93 21.73 0.64 3.23<br />

Gastropod larvae 21.16 44.89 0.64 6.45<br />

Luciveride 1.61 0.48 4.23 0.64 1.27<br />

Caridian larvae 3.23 0.92 0.18 0.19 2.23 3.23<br />

others 73.31 94.06 40.21 12.51 90.76 41.83<br />

Kelimpahan Stasiun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. masing-masing adalah 4,93; 8,67;<br />

45,12; 24,91; 54,75 dan 19,74 individu/m 3 . Melimpahnya kelompok copepod,<br />

brachyura dan Caridina di Stasiun 6 mendukung keputusan bahwa Stasiun 6 masih<br />

sesuai sebagai zona inti <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong>.<br />

355


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

Keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya ikan<br />

Keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya ikan muara dapat dilihat dari jumlah<br />

nelayan dan hasil tangkapan ikan. Dari pengamatan di lima dusun, yakni Dusun<br />

Rambang, Bernai, Gedong, Tanjung Batu dan Tirus masing-masing jumlah<br />

nelayannya adalah 23, 17, 19, 25 dan 15 orang dengan hasil tangkapan masingmasing<br />

53. 340; 31.603; 16.200; 13.130 dan 3.436 ton/tahun. Hasil tangkapan ikan<br />

ini cukup berarti untuk mendukung kehidupan masyarakat di wilayah tersebut<br />

karena ada jenis komoditas sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti<br />

kepiting, udang, rajungan dan ikan yang nilainya masing-masing mencapai<br />

Rp.35.000.- ; Rp.30.000.- ; Rp.40.000.- dan Rp 20.000.- per kilogram. Wilayah<br />

penangkapan sumberdaya ikan tersebut disajikan pada Gambar 5. Di bagian hilir<br />

ditangkap berbagai komoditas sumberdaya ikan seperti kerang, rajungan, kepiting<br />

dan udang karena kondisinya yang lebih dangkal sehingga memudahkan melakukan<br />

penangkapan dengan alat dan perahu yang lebih sederhana. Kondisi ini<br />

menunjukkan adanya keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya ikan muara di<br />

sekitar Teluk Klabat.<br />

Ikan Udang Kerang Rajungan Kepiting<br />

Gambar 5. Wilayah penangkapan sumberdaya ikan ekomis penting.<br />

Figure 5. Fishing area of economic fish resources.<br />

356


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

Pemilihan <strong>zonasi</strong> <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong><br />

Berdasarkan kondisi keragaman habitat, kualitas air, struktur komunitas<br />

<strong>biota</strong> , keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya ikan serta jarak pemukiman<br />

nelayan dengan stasiun pengamatan maka alternatif zona inti <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> di<br />

Muara Layang yang diusulkan adalah di sekitar Stasiun 6 (Muara Sungai Melandut)<br />

yang merupakan anak cabang Sungai Layang. Stasiun ini mempunyai garis pantai<br />

panjang, kedalaman perairan lebih dari 15 m dan pada saat kemarau anak Sungai<br />

Melandut masih mengalir airnya dan tidak ada penggundulan vegetasi riparian<br />

seperti mangrove.<br />

Sedimentasi di Stasiun 6 juga lebih rendah dibandingkan stasiun bagian<br />

hilir. Kondisi kualitas air dan komunitas <strong>biota</strong> di Stasiun 6 masih dalam batas untuk<br />

mendukung kehidupan <strong>biota</strong>. Hasil pemetaan menunjukkan Stasiun 6 lebih dekat<br />

dengan wilayah pemukiman, sehingga memudahkan dalam melakukan pengawasan<br />

dan pengelolaan <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong>. Selanjutnya stasiun yang berdekatan dengan<br />

Stasiun 6 ke arah hilir dijadikan zona penyangga (Stasiun 5), sedangkan Stasiun 4,<br />

3, 2 dan 1 dijadikan zona ekonomi (Gambar 6).<br />

Gambar 6. Peta <strong>zonasi</strong> <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> Muara Layang.<br />

Figure 6. Map of conservation zone at Layang Estuary.<br />

357


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

KESIMPULAN<br />

Dari kajian keragaman fisik habitat, kualitas air dan struktur komunitas <strong>biota</strong><br />

Stasiun 6 lebih sesuai untuk zona inti <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> <strong>biota</strong> Muara Layang. Hasil<br />

pemetaan juga menunjukkan Stasiun 6 sebagai zona inti lebih dekat dengan wilayah<br />

pemukiman, sehingga memudahkan dalam melakukan pengawasan dan pengelolaan<br />

<strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong>. Adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya ikan<br />

Muara Layang juga mendukung pentingnya dibuat <strong>kawasan</strong> <strong>konservasi</strong> sebagai<br />

sarana pengelolaan sumberdaya ikan di Muara Layang dan sekitar Teluk Klabat.<br />

PERSANTUNAN<br />

Penelitian ini merupakan bagian kegiatan penelitian riset unggulan<br />

Kompetitif LIPI Sub Program Kalimantan Timur dan Bangka Belitung yang<br />

dilaksanakan pada tahun 2004 – 2005. Penulis mengucapkan terima kasih kepada<br />

Prof. Dr. Asikin Djamali, Nomosatryo SSi dan Muhamad Suhaemi Syawal SSi atas<br />

saran dan bantuannya dalam kegiatan kegiatan penelitian di lapangan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

APHA-AWWA. 1992. Standard methods for the examination of water and waste<br />

water. 17 th edition. Washington. 1100 p.<br />

ALLEN W.E and E.E. CUPP. 1933. Plankton Diatom of the Java Sea. Annales: 102<br />

– 174.<br />

ADRIANTO, L, Y. MATSUDA and Y. SAKUMA. 2005. Assessing local<br />

sustainability of fisheries system: a multicriteria participatory approach with<br />

the case of Yoron Island. Kagoshima prefecture, Japan. Marine Policy 29: 9-<br />

23.<br />

ASHTON, E.C., P.J. HOGARTH and D.J. MACINTHOSH. 2003. A comparison of<br />

brachyuran crab community structure at four mangrove location under<br />

different management systems along the Malaka Straits-Andaman Sea Coast<br />

of Malaysia and Thailand. Estuaries (26) 6: 1461 -1471.<br />

358


PEMILIHAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI<br />

BLABER, S.M. 2000. Tropical estuarine fishes. Ecology, exploitation and<br />

conservation. fish and aquatic resources series 7. Blackwell Science.732 p.<br />

COCHRANE, K.L. 2000. Reconciling sustainability, economic efficiency and equity<br />

in fisheries the one that got away Fish and Fisheries: 3 – 21.<br />

GOLDMAN. C.R. and A.J. HORNE. 1983. Limnologi. Mc-Graw-Hill Book<br />

Company. New York. 464 pp.<br />

GRAF W. H. 1984. Hydraulics of sediment transport. Water Resources<br />

Publications. Colorado. 513 pp.<br />

HARTOTO, D.I., S. SARNITA, D. S. SJAFEI, AWALINA, YUSTIAWATI,<br />

SULASTRI, M. M. KAMAL dan Y. SIDDIK. 1998. Dokumen: Kriteria<br />

Evaluasi Suaka Perikanan Darat. Bogor. Puslitbang Limnologi-LIPI. 51 pp.<br />

JORGENSEN, S.E. 1980. Lake management. Pergamon Press Ltd. Oxford-Great<br />

Britain. 167pp.<br />

KIRBY-SMITH, W.W. MARTIN, E. LEBO and R.B. HERRMANN. 2003.<br />

Importance of water quality to nekton habitat use in a North Carolina Branch<br />

Estuary. Estuaries (26) 6: 1480-1485.<br />

NONTJI, A., C. MULUK and F. SABAR. 1986. Prosiding Ekspose Limnologi dan<br />

Pembangunan. Bogor, 28 – 29 Oktober 1986. Puslit Limnologi, Lembaga<br />

Ilmu Pengetahuan Indonesia. 122 pp.<br />

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 20 TAHUN 1990. Pengendalian kualitas<br />

air. Himpunan Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup. Eko Jaya. Jakarta<br />

1991: 69 – 107.<br />

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA No 60. 2007. Konservasi<br />

sumberdaya ikan. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan<br />

Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. 48 pp.<br />

QUINN J.M., R.J. DAVIES-COLLEY, C.W. HICKEY, M.L.VICKERS, P.A.<br />

RYAN. 1992. Effects of clay discharges on stream. 2. Benthic invertebrates.<br />

Hydrobiologia 248: 235-247.<br />

RIDWANSYAH, I., D.I. HARTOTO and L. SUBEHI. 2004. Geomorphological<br />

study for conservastion and sustainable management of <strong>biota</strong> in the Bay of<br />

Teluk Klabat. In : Ecological Condition of Estuaries of Klabat Bay. Bangka<br />

359


SULASTRI, HARTOTO & RIDWANSYAH<br />

Island. For the Development of Biological Diversity Conservation. Hartoto<br />

& Sulastri (Eds). Monograph (4): 1 – 15.<br />

SANDERSON. P.G. and D.M. TAYLOR. 2003. Short-term quality variability in<br />

two tropical estuaries. Central Sumatra. Estuaries (26) 1 : 156 – 165.<br />

SWEDISH ENVIRONMENTAL PROTECTION AGENCY. 1991. Quality criteria<br />

for lake and watercourses. A System for classification of water chemistry,<br />

organism and metal concentration. 32 pp.<br />

SULASTRI, D.I. HARTOTO, A. DJAMALI, M.S. SYAWAL, S.<br />

NOMOSATRIYO, I. RIDWANSYAH dan H. JOHAN, 2004.<br />

Pengembangan sistem <strong>konservasi</strong> <strong>biota</strong> muara untuk pemanfaatan secara<br />

lestari sumberdaya pesisir dan laut. Laporan Akhir Riset Unggulan<br />

Kompetitif 2004. Puslit Limnologi-LIPI. 76 pp.<br />

SULASTRI, D.I. HARTOTO, S. KOESHENDRAJANA, S. LARASHATI.<br />

SUGIARTI dan LIAS 2006. Pengembangan model sistem <strong>konservasi</strong> dan<br />

pemberdayaan masyarakat muara di Teluk Klabat. Propinsi Bangka<br />

Belitung. Laporan Akhir Riset Unggulan Kompetitif 2006. Puslit Limnologi<br />

LIPI.75 pp.<br />

TOMAS. C.R. 1977. Identifying marine phytoplankton. Academic Press. New York.<br />

858 pp.<br />

WETZEL, R.G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosystem. 3 th . Academic Press.<br />

New York. London. 1006 pp.<br />

YAMAJI . I. 1979. Illustration of marine plankton of Japan. Hoikusha Publishing<br />

Co.. Ltd. Osaka Japan. 537 pp.<br />

360

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!