25.12.2014 Views

Oseana, Volume XIV, Nomor 1 - Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Oseana, Volume XIV, Nomor 1 - Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Oseana, Volume XIV, Nomor 1 - Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

www.oseanografi.lipi.go.id<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong>, <strong>Nomor</strong> 1 : 27–36, 1989. ISSN 0216–1877<br />

FORAMINIFERA<br />

oleh<br />

Ricky Rositasari 1)<br />

ABSTRACT<br />

FORAMINIFERA. As unicelular animals, foraminifera have specific characteristics<br />

such as the capability to build a hard protective shell which is secreted by<br />

the animal and to adapt in the various kind of environments. This group of animals<br />

has high species diversity and widely distributed both geographically and geologically.<br />

These animals can be used as indicator in many aspects. Recent foraminifera<br />

are used as indicators in many oseanographic aspects such as chemical, physical and<br />

geological and their fossils can also be used as paleoecologic indicators.<br />

PENDAHULUAN<br />

Salah satu keunikan dari foraminifera<br />

adalah kemampuannya untuk melangsungkan<br />

proses fisiologis dalam sek tunggalnya<br />

yang memiliki ukuran 1 µm - 2 mm sesempurna<br />

proses fisiologis pada organisme bertulang<br />

belakang kecuali pada organel perkembangbiakannya.<br />

Keistimewaan lainnya<br />

adalah kemampuannya untuk membentuk<br />

arsitektur serta komposisi kimia yang rumit<br />

pada pembentukan cangkangnya sebagai hasil<br />

sekresi sel. ANDERSON & ALLAN<br />

(1978) menyebutkan bahwa kemampuan untuk<br />

membentuk arsitektur serta menyusun<br />

komposisi cangkang yang berbeda pada setiap<br />

jenis, dikontrol oleh kode genetika yang<br />

mempengaruhi proses fisiologisnya.<br />

Alasan para ahli perminyakan pada<br />

awal perang dunia pertama menggunakan<br />

analisis foraminifera dalam kegiatan eksplorasi<br />

adalah karena foraminifera memiliki<br />

bagian tubuh yang keras dengan ukurannya<br />

yang kecil, sehingga dengan mudah terawetkan<br />

di dalam sedimen. Selain itu sebaran<br />

geograflsnya yang luas serta kisaran umurnya<br />

yang panjang memungkinkan foraminifera<br />

untuk merekam informasi yang sangat berharga<br />

tentang sejarah bumi, sehingga hanya<br />

dengan menggunakan sejumlah kecil contoh<br />

para ahli sudah dapat menganalisis dan menginterpretasi<br />

korelasi regional antara satu<br />

tempat dengan tempat lainnya, serta sifat<br />

oseanografi dan ekologi pada masa lalu. Di<br />

samping itu hasil penelitian terakhir menunjukkan<br />

bahwa foraminifera dapat juga dipakai<br />

sebagai indikator untuk mengetahui<br />

keadaan suatu lingkungan yang sedang mengalami<br />

tekanan.<br />

1) Balai <strong>Penelitian</strong> dan Pengembangan <strong>Oseanografi</strong>, <strong>Pusat</strong> <strong>Penelitian</strong> dan Pengembangan Oseanologi - <strong>LIPI</strong>, Jakarta.<br />

27<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

BIOLOGI FORAMINIFERA<br />

Sistematika<br />

Dalam sistematik tata nama, foraminifera<br />

termasuk dalam filum Protozoa karena<br />

organisme ini bersel satu, dan termasuk<br />

pada kelas Sarcodina karena sistem pergerakannya<br />

terdiri dari kaki semu (pseudopodia).<br />

Ordo foraminifera terbagi lagi menjadi<br />

5 anak ordo yaitu Allogramiina, Textulariina,<br />

Fusulinina, Miliolina dan Rotaliina. Menurut<br />

HAQ & BOERSMA (1984) pembagian anak<br />

ordo tersebut didasarkan pada :<br />

1. Mikrostruktur dan komposisi dinding<br />

cangkang.<br />

2. Susunan kamar dan dinding tambahan.<br />

3. Bentuk dan modifikasi mulut (apertura).<br />

4. Bentuk kamar.<br />

5. Kebiasaan dan tempat hidup.<br />

6. Karakteristik protoplasma.<br />

7. Perubahan ontogeni.<br />

8. Proses perkembangbiakan<br />

9. Sebaran geologi.<br />

Anak ordo Allogramiina merupakan<br />

kelompok foraminifera yang mempunyai<br />

morfologi paling sederhana, yaitu terdiri dari<br />

1 sel dengan bentuk dan struktur cangkang<br />

yang sederhana pula. Contoh dari anak ordo<br />

ini sangat jarang ditemukan karena cangkang<br />

nya tersusun dari bahan tektin yang mudah<br />

rusak. Sedangkan jenis-jenis yang memiliki<br />

cangkang pasiran hanya sebagian kecil saja.<br />

Anak ordo Fusulinina merupakan foraminifera<br />

yang berukuran relatif besar dengan<br />

susunan kamar yang sangat kompleks, sehingga<br />

kelompok ini biasa disebut foraminifera<br />

bentonik besar. Kisaran hidupnya dalam<br />

kala geologi hanya sampai Triasik (200 juta<br />

tahun yang lalu). Jadi pada masa resen (0–<br />

0,23 juta tahun yang lalu) jenis-jenis ini tidak<br />

dapat ditemukan lagi.<br />

Jenis-jenis dari anak ordo Textulariina<br />

memiliki kamar lebih dari satu, dindingnya<br />

ada yang terdiri dari satu lapisan atau lebih.<br />

Struktur dinding terdiri dari tektin dengan<br />

lapisan pasiran, kristal butir-butir kalsit dengan<br />

atau tanpa lapisan pasiran. Kamar-kamar<br />

tersusun dalam satu jajar, terputar atau<br />

terpilin.<br />

Ciri morfologi pada anak ordo Miliolina<br />

adalah jumlah kamar banyak, tersusun<br />

secara terputar atau terpilin (Gambar 1), mulut<br />

tunggal atau jamak dengan atau tanpa<br />

gigi. Dinding cangkang terdiri dari kristal<br />

kalsit dengan kenampakan seperti porselen<br />

atau dengan tambahan bahan pasiran.<br />

Jenis-jenis foraminifera yang termasuk<br />

dalam anak ordo Rotaliina memiliki kamar<br />

lebih dari satu, sebagian besar memiliki dinding<br />

yang berlapis-lapis (Gambar 1). Susunan<br />

kamar pada sebagian besar jenisnya terpulir<br />

(trochospiral).<br />

Sel dan isinya<br />

Seperti jenis-jenis Protozoa lainnya,<br />

foraminifera terdiri dari satu sel yang dilengkapi<br />

oleh organel-organel yang berfungsi<br />

seperti organ pada organisme bertulang belakang.<br />

Badan golgi merupakan organel<br />

yang mengatur sekresi sel, mitokondria berfungsi<br />

unruk pernafasan, ribosom yang<br />

mengandung RNA merupakan tempat sintesa<br />

protein dan vakuola yang merupakan<br />

tempat pengaturan cairan dan gas dalam<br />

protoplasma. Gambar 2 memperlihatkan<br />

sel foraminifera hidup secara skematis. Pada<br />

umumnya sel foraminifera memiliki satu<br />

inti atau lebih dengan anak-anak inti yang<br />

berfungsi sebagai cadangan protein.<br />

Untuk hidupnya, foraminifera membutuhkan<br />

nutrisi yang berasal dari alga, diatom,<br />

krustasea, kimah, jenis mereka sendiri<br />

dan serpihan bahan organik (MURRAY<br />

1973). Berdasarkan jenis makanannya maka<br />

28<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

irisan melintang<br />

lapis bagian<br />

luar lapis<br />

Susunan Kamar<br />

rongga kamar<br />

Milioliina<br />

Gambar 1. Dinding cangkang pada anak ordo Rotaliina dan Milioliina (HAYNESS 1981).<br />

kaki semu<br />

^<br />

mulut<br />

endoplasma___<br />

badan golgi<br />

Gambar 2. Gambaran umum sel foraminifera pada waktu hidup (HAYNESS 1981).<br />

29<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

foraminifera dapat digolongkan sebagai herbivora,<br />

karnivora maupun omnivora. Foraminifera<br />

menangkap makanan dengan menggunakan<br />

kaki semu yang menjulur-julur ke<br />

segala arah melalui pori-pori atau mulut.<br />

Makanan yang tertangkap akan melekat dan<br />

langsung dicerna, sisa jasad dari mangsanya<br />

kemudian dilepas.<br />

Dalam pergerakannya foraminifera<br />

bentonik menggunakan kaki semu yang keluar<br />

melalui mulut, sehingga dapat merayap<br />

dan bergerak turun-naik pada substratnya.<br />

Pada jenis-jenis planktonik pergerakan dilakukan<br />

pada sepanjang kolom air, sebagai<br />

akibat perubahan kimia pada protoplasma<br />

yang menyebabkan terjadinya perubahan<br />

dalam kandungan gas di dalam sel. Foraminifera<br />

bentonik memiliki dua fase dalam<br />

daur perkembangannya yaitu seksual dan<br />

aseksual (Gambar 3). Namun demikian beberapa<br />

peneliti seperti HAQ & BOERSMA<br />

(1984), CUSHMAN (1955) dan ALBANY<br />

(1979) menduga perkembangbiakan yang<br />

utama pada foraminifera adalah secara aseksual.<br />

Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan<br />

bahwa jumlah individu yang memiliki<br />

ciri morfologi megalosperik sebagai hasil<br />

perkembangbiakan aseksual sangat melimpah.<br />

Foraminifera memiliki dua macam pertumbuhan<br />

yaitu pertumbuhan periodik dan<br />

nonperiodik. Pertumbuhan nonperiodik terjadi<br />

pada organisme yang memiliki satu kamar<br />

pada cangkangnya, seperti jenis-jenis<br />

pada anak ordo Allogromiina. Sedangkan<br />

pertumbuhan periodik terjadi pada organisme<br />

yang memiliki banyak kamar pada cangkangnya<br />

seperti jenis-jenis pada anak ordo<br />

Rotaliina, Textulariina, Miliolina dan Fusulinina.<br />

Pertumbuhan periodik adalah proses<br />

pertambahan ukuran cangkang sebagai akibat<br />

dari proses presipitasi dan akresi bahanbahan<br />

mineral untuk membentuk kamar<br />

yang bam. Sebelum proses ini berlangsung<br />

foraminifera akan menyelimuti cangkangnya<br />

dengan material-material yang ada di sekitarnya<br />

dan menghentikan seluruh aktivitasnya<br />

sampai kamar baru terbentuk. Bentuk dan<br />

susunan kamar pada foraminifera sangat bervariasi,<br />

secara garis besar dapat dibedakan<br />

menjadi dua yaitu unilokular yang hanya<br />

terdiri dari satu kamar dan multilokular<br />

yang terdiri dari banyak kamar. Kamar-kamar<br />

ini dipisahkan oleh dinding tambahan.<br />

Bentuk susunan kamar multilokular dapat<br />

dibagi lagi menjadi enam tipe, seperti yang<br />

dapat dilihat pada Gambar 4.<br />

Cangkang foraminifera secara garis<br />

besar dapat dibagi dua yaitu pasiran dan<br />

gampingan. Cangkang pasiran tersusun dari<br />

bahan-bahan yang terkandung dalam substratnya<br />

seperti spikula, pasir, mika atau<br />

pecahan-pecahan cangkang organisme lain.<br />

Sedangkan cangkang gampingan terbentuk<br />

dari hasil akresi dan presipitasi protoplasma.<br />

Cangkang gampingan ini terbagi lagi menjadi<br />

dua, yaitu gampingan yang memiliki pori<br />

dengan kenampakan seperti kaca dan gampingan<br />

tak berpori dengan kenampakan seperti<br />

porselen. Setiap cangkang pada foraminifera<br />

memiliki mulut yang berfungsi sebagai<br />

jalan keluar bagi kaki semu serta<br />

gamet-gamet pada saat berlangsung proses<br />

perkembangbiakkan. Bentuk dan letak mulut<br />

pada setiap cangkang berlainan seperti<br />

yang dapat dilihat pada Gambar 4. Pada<br />

beberapa marga terdapat hiasan yang berupa<br />

gigi pada mulutnya seperti pada marga Quinqueloculina.<br />

Selain mulut, gigi dan pori,<br />

komponen taksonomi lain adalah hiasan<br />

yang dapat berupa jalur-jalur, cucuk, duri,<br />

dan tonjolan-tonjolan yang tersebar secara<br />

beraturan atau tidak.<br />

30<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Megalosperik dewasa<br />

mikrosper<br />

ik muda<br />

mikrogperik dewasa<br />

Gambar 3. Daur perkembangbiakan foraminifera (GRELL dalam HAYNESS 1981).<br />

31<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Planispi<br />

ral<br />

Unicoile<br />

mulut<br />

Uniseria<br />

d<br />

l<br />

Biserial<br />

Triserial<br />

Polimorphin<br />

-<br />

mulut<br />

i<br />

- mulut<br />

Trochospiral<br />

mulu<br />

dorsal<br />

ventral<br />

. mulut<br />

irisan<br />

melintang<br />

Cangkang<br />

mUiolin<br />

Unilocular<br />

mulut<br />

Tubula<br />

r<br />

Gambar 4. Bentuk dan susunan kamar pada cangkang multilokular (HAYNESS 1981).<br />

32<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Sebaran<br />

EKOLOGI FORAMINIFERA<br />

Sebaran geografis foraminifera sangat<br />

luas, mulai dari perairan tawar sampai perairan<br />

dengan kandungan salinitas tinggi,<br />

tetapi sebagian besar dari jenis-jenisnya hidup<br />

di laut. Tipe lingkungan perairan tertentu<br />

tercirikan oleh jenis-jenis yang berbeda,<br />

tergantung pada tingkat adaptasi yang dimilikinya.<br />

Hasil penelitian MURRAY (1973)<br />

menunjukkan bahwa daerah perairan pasangsurut<br />

didominasi oleh Elphidium, Quinqueloculina,<br />

Ammonia dan beberapa jenis lainnya.<br />

Daerah terumbu karang didominasi oleh<br />

Peneroplis, Amphistegina. Calcarina dan beberapa<br />

jenis gampingan lainnya. Daerah delta<br />

didominasi oleh Bolivina, Nonionella, Brizalina<br />

dan beberapa jenis khusus lainnya.<br />

Lingkungan Biotik<br />

Di dalam daur makanan mahkluk<br />

hidup, foraminifera dapat berperan sebagai<br />

konsumen tingkat pertama atau kedua,<br />

karena selain memakan diatom dan alga<br />

mereka juga memakan kimah, krustasea dan<br />

jenis-jenis mereka sendiri. Di lain pihak foraminiferapun<br />

banyak dikonsumsi oleh ikan,<br />

ekinodermata dan jenis-jenis fauna lain yang<br />

mengambil makanan dengan cara mengisap.<br />

Selain sebagai hewan pemangsa dan yang dimangsa,<br />

foraminifera juga banyak digunakan<br />

sebagai tuan rumah dari beberapa organisme<br />

parasit seperti bakteri, nematoda, amuba serta<br />

jenis-jenis mereka sendiri.<br />

Berdasarkan cara hidupnya foraminifera<br />

dapat dibagi menjadi foraminifera planktonik<br />

dan bentonik. Jenis planktonik hidup<br />

secara mengapung di dekat permukaan air,<br />

dan jenis bentonik hidup dengan melekatkan<br />

diri pada substrat. Jenis-jenis substrat yang<br />

biasa didiami adalah pasir, lempung, rumput<br />

laut, cangkang pelesipoda, gastropoda dan<br />

koral. Cara hidup lain yang biasa dilakukan<br />

foraminifera adalah dengan mengadakan simbiose<br />

bersama alga. Cangkang foraminifera<br />

berfungsi sebagai rumah kaca bagi alga, dan<br />

alga berfungsi untuk mensintesa nutrisi bagi<br />

foraminifera. Bentuk simbiose seperti ini<br />

menyebabkan beberapa foraminifera terlihat<br />

seperti berwarna hijau, coklat atau merah,<br />

sesuai dengan jenis alga yang hidup di dalam<br />

cangkangnya.<br />

Lingkungan Abiotik<br />

Komponen-komponen lingkungan abiotik<br />

yang berperan dalam kehidupan foraminifera<br />

ada yang berpengaruh secara langsung<br />

ada juga yang tidak langsung.<br />

Komponen abiotik yang berpengaruh secara<br />

langsung adalah :<br />

1. Suhu<br />

Pada umumnya foraminifera merupakan<br />

organisme poikilotermik (suhu tubuhnya<br />

sama dengan suhu lingkungannya).<br />

Beberapa jenis foraminifera memiliki toleransi<br />

yang besar terhadap perubahan temperatur<br />

lingkungan dan beberapa jenis lain<br />

tidak memiliki toleransi tersebut. Pada organisme<br />

bentonik perubahan suhu siang-malam<br />

dan perubahan musim akan berpengaruh pada<br />

sebarannya. Perkembangbiakkan biasanya<br />

berlangsung pada temperatur optimum.<br />

BRADSHAW (dalam MURRAY 1973) telah<br />

mengamati batas toleransi suhu pada Ammonia<br />

beccarii tepida, pada suhu 10°C organisme<br />

ini tidak membentuk kamar baru,<br />

suhu 24°C – 30°C merupakan suhu yang<br />

paling optimum untuk berkembang biak,<br />

sedangkan suhu 35°C merupakan suhu letal<br />

bagi jenis ini Setiap jenis foraminifera memiliki<br />

batas toleransi yang berlainan seperti<br />

Spirilina vivipara yang mati pada suhu 39°C<br />

dan Bolivina compacta mati pada suhu<br />

41 °C.<br />

33<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

2. Salinitas<br />

Sebagian besar foraminifera bentonik<br />

merupakan stenohalin atau memiliki kemampuan<br />

yang terbatas dalam mentolelir perubahan<br />

salinitas seperti pada Rotaliella heterocaryotica<br />

yang hanya dapat bertahan pada<br />

salinitas 23,5‰ – 37,0‰. Beberapa jenis<br />

foraminifera mempunyai kemampuan adaptasi<br />

yang besar terhadap perubahan salinitas<br />

seperti jenis Ammonia beccarii tepida yang<br />

memiliki toleransi salinitas dari 2‰ sampai<br />

41‰, sehingga jenis ini dapat ditemukan di<br />

perairan yang bersalinitas rendah maupun<br />

tinggi. Jenis-jenis yang beradaptasi terhadap<br />

salinitas rendah, sangat jarang ditemukan<br />

pada salinitas normal karena perubahan salinitas<br />

akan berpengaruh pada densitas air dan<br />

tekanan osmotik pada sel foraminifera.<br />

3. Kandungan Oksigen<br />

LUTZE (dalam MURRAY 1973) menyebutkan<br />

bahwa foraminifera tidak ditemukan<br />

pada perairan anoksigenik seperti di<br />

cekungan dalam perairan Baltik, tetapi belum<br />

ada penelitian yang dapat memastikan<br />

bahwa oksigen merupakan faktor pembatas<br />

bagi foraminifera.<br />

4. Tekanan air<br />

BRADSHAW (dalam MURRAY 1973)<br />

telah mengadakan pengamatan terhadap daya<br />

tahan Ammonia beccarii tepida pada tekanan<br />

1000 atmosfir. Ternyata jenis ini<br />

hanya dapat bertahan dalam waktu yang<br />

sangat singkat. Ini memperlihatkan bahwa<br />

foraminifera perairan dangkal tidak dapat<br />

hidup di lingkungan abisal karena mereka<br />

telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan<br />

hidupnya.<br />

Faktor abiotik yang berperan secara tidak<br />

langsung adalah:<br />

1. Kekeruhan air<br />

Kekeruhan biasanya dijumpai di daerah<br />

pantai dan sekitarnya. Kekeruhan yang<br />

tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya dan<br />

salinitas yang merupakan salah satu faktor<br />

pembatas bagi foraminifera.<br />

2. Intensitas cahaya matahari<br />

Cahaya matahari tidak berpengaruh<br />

langsung terhadap kehidupan foraminifera<br />

tetapi mempengaruhi proses fotosintesa<br />

plankton dan alga yang merupakan makanan<br />

bagi foraminifera.<br />

3. Kedalaman air<br />

FUNNEL (dalam MURRAY 1973)<br />

menyebutkan bahwa kemungkinan besar kedalaman<br />

air bukan merupakan faktor pembatas<br />

bagi foraminifera. Diduga yang menjadi<br />

faktor pembatas adalah beberapa parameter<br />

yang berkaitan erat dengan perubahan kedalaman<br />

seperti tekanan air, densitas, penetrasi<br />

cahaya, suhu, kandungan oksigen dan<br />

karbon dioksida.<br />

4. Zat hara dalam perairan<br />

Jenis-jenis foraminifera yang paling dipengaruhi<br />

oleh zat hara adalah jenis-jenis<br />

yang hidup di daerah aliran tempat pembuangan<br />

limbah. Akan tetapi kandungan zat<br />

hara yang tinggi pada suatu perairan selalu<br />

identik dengan kandungan oksigen yang<br />

rendah, karena oksigen banyak digunakan<br />

untuk dekomposisi bahan organik. Diduga<br />

bahwa foraminifera lebih tergantung pada<br />

kandungan oksigen daripada terhadap kandungan<br />

zat hara. Jenis-jenis yang jumlah<br />

individunya meningkat di sekitar daerah<br />

tercemar, diduga merupakan jenis yang<br />

telah beradaptasi pada kandungan oksigen<br />

rendah.<br />

34<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

FORAMINIFERA SEBAGAI<br />

INDIKATOR LINGKUNGAN<br />

Dari hasil analisis data foraminifera<br />

dapat dihitung beberapa koefisien yang berguna<br />

sebagai indikator beberapa sifat oseanografi,<br />

seperti nilai perbandingan jumlah individu<br />

yang hidup dengan yang mati (L/D).<br />

Semakin rendah nilai perbandingan tersebut<br />

menunjukkan semakin tingginya tingkat kecepatan<br />

sedimentasi, kekeruhan, kekuatan<br />

arus, serta rendahnya kandungan zat hara<br />

dan oksigen. Dan semakin tingginya nilai<br />

L/D menunjukkan terdapatnya intensitas cahaya<br />

yang baik, kecerahan air tinggi, serta<br />

tingginya kandungan zat hara dan oksigen.<br />

Tingginya nilai perbandingan antara jumlah<br />

individu yang bercangkang pasiran dengan<br />

gampingan (A/C) menunjukkan kadar salinitas<br />

dan keasaman yang tingginya serta<br />

kandungan kalsium karbonat rendah. Nilai<br />

perbandingan antara jumlah individu planktonik<br />

dan individu bentonik (P/B) yang tinggi<br />

menunjukkan bahwa daerah tersebut<br />

merupakan perairan yang dalam dan terbuka,<br />

sedangkan rendahnya nilai perbandingan<br />

ini menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan<br />

perairan dangkal yang dikelilingi<br />

oleh daratan.<br />

Indikasi lain yang diperlihatkan foraminifera<br />

sebagai cerminan keadaan lingkungan<br />

adalah perubahan morfologi, keragaman<br />

dan kepadatan. Pada perairan yang bersalinitas<br />

rendah, diversitas foraminifera akan<br />

rendah dengan ukuran cangkang yang mengecil<br />

dan menipis. Hal ini terjadi akibat<br />

adanya penurunan sekresi kalsium karbonat<br />

dari dalam protoplasma.<br />

Pada lingkungan yang tercemar, jenisjenis<br />

yang beradaptasi akan memperlihatkan<br />

peningkatan kepadatan di sekeliling<br />

zona suspensi limbah, sebaliknya di dalam<br />

zona suspensi sendiri tidak terdapat foraminifera<br />

hidup. Di dalam kumpulan foraminifera<br />

hidup kepadatan anak ordo Rotaliina<br />

delapan kali lebih besar daripada kepadatan<br />

anak ordo Textulariina, tetapi di<br />

dalam kumpulan foraminifera yang sudah<br />

mati terjadi hal yang berlawanan. Hal ini<br />

diduga disebabkan karena terlarutnya cangkang<br />

gampingan yang telah kosong akibat<br />

keasaman air yang tinggi. (BANDY, INGE<br />

& RESIG dalam MURRAY 1973). Perubahan<br />

lain yang diperlihatkan oleh beberapa<br />

jenis foraminifera adalah terjadinya perkembangan<br />

cangkang yang abnormal. Peningkatan<br />

kepadatan foraminifera yang<br />

sangat mencolok di sekeliling zona suspensi<br />

limbah disebabkan melimpahnya fitoplankton<br />

sebagai produsen yang langsung menggunakan<br />

zat hara, dan kemudian fitoplankton<br />

yang melimpah ini akan dikonsumsi<br />

oleh foraminifera. Penggunaan fosil foraminifera<br />

sebagai indikator lingkungan purba,<br />

sepenuhnya didasarkan pada karakteristik<br />

dan perubahan yang diperlihatkan oleh<br />

organisme-organisme resen yang ada saat<br />

ini. Parameter lingkungan purba yang dapat<br />

ditentukan dengan menggunakan foraminifera<br />

sebagai indikator adalah iklim, sifat<br />

oseanografi, geografi, suhu, umur, korelasi<br />

regional dan keadaan ekologis dari suatu<br />

perairan laut.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

ALBANY, A.D. 1979. Recent shallow<br />

water Foraminifera from New South<br />

Wales. The Australian Marine Science<br />

Association, Australia : 54 pp.<br />

ANDERSON, O.R. and ALLAN W.H. BE.<br />

1978. Recent Advances in Foraminifera<br />

fine structure research. In : Foraminifera.<br />

(R.H. HEADLEY and C.G. ADAMS,<br />

Eds.) Acad. Press., London : 10–25.<br />

35<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989


www.oseanografi.lipi.go.id<br />

CUSMAN, J.A. 1955. Foraminifera their<br />

classification and economic use. Harvard<br />

University Press., Massachusetts: 683 pp.<br />

HAQ, B.U. and A. BOERSMA. 1984. Introduction<br />

to marine Micropaleontology.<br />

Elsevier Biomedical., New York: 376 pp.<br />

HAYNESS, J.R. 1981. Foraminifera. Macmillan<br />

Publishers, LTD. London : 555 pp.<br />

MURRAY, J.W. 1973. Distribution and<br />

ecology of living benthic Foraminifera.<br />

Crane, Russak and Co, Inc. New York:<br />

525 pp.<br />

36<br />

<strong>Oseana</strong>, <strong>Volume</strong> <strong>XIV</strong> No. 1, 1989

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!