24.12.2014 Views

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI DAN ...

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI DAN ...

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI DAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Oseana, Volume XXXII, Nomor 4, Tahun 2007 : 39- 47 ISSN 0216-1877<br />

<strong>BEBERAPA</strong> <strong>CATATAN</strong> <strong>TENTANG</strong> <strong>ASPEK</strong> <strong>BIOLOGI</strong><br />

<strong>DAN</strong> PERIKANAN ABALON<br />

Oleh<br />

Marisa Jusie Octaviany 1)<br />

ABSTRACT<br />

NOTES OF <strong>BIOLOGI</strong>CAL ASPECTS AND FISHERIES OF ABALONE.<br />

Abalone of genus Haliotis (Haliotidae) is a species group of shellfish (Mollusca)<br />

and belongs to the class of Gastropoda. According to its morphology, abalone<br />

shells are rounded or oval shaped with a large apex towards one end. The shell<br />

has a row of respiratory pores. The muscular foot has strong suction power<br />

permitting the abalone to clamp tightly on rocky surfaces. Abalone reaches sexual<br />

maturity in a small size, high fertility and increases exponentially with size. Male<br />

and female are separated individuals and it has external fertilization. Recently,<br />

the world abalone production of farmed fisheries has been dominated by China<br />

and Taiwan. While Australia was still the largest producer of abalone from<br />

capture fisheries. All part of abalone s body can be utilized. The entire flesh of the<br />

abalone is edible; while the shell could be used to make mother-of-pearl inlays<br />

on furniture, sold to shell collectors, sold as souvenirs, and used in making<br />

jewelry.<br />

PENDAHULUAN<br />

Berbagai jenis hewan invertebrata<br />

hidup dan berkembang biak di perairan, hampir<br />

di seluruh wilayah perairan di dunia. Salah<br />

satu kelompok invertebrata yang paling banyak<br />

jumlah dan jenisnya adalah moluska. Moluska<br />

dapat ditemukan di perairan laut, perairan<br />

tawar dan daratan. Saat ini diperkirakan jumlah<br />

jenis moluska berkisar antara 80.000 hingga<br />

lebih dari 100.000 jenis. Seperti filum lainnya,<br />

moluska dibagi menjadi beberapa kelas.<br />

Gastropoda adalah kelas moluska yang terbesar<br />

karena terdapat sekitar 90.000 jenis yang<br />

hidup di perairan laut, perairan tawar dan<br />

daratan. Gastropoda dalam sistematikanya<br />

dibagi menjadi 3 sub kelas, yaitu :<br />

Prosobranchia, Opisthobranchia, dan<br />

Pulmonada (WILSON & GILLET, 1971).<br />

Abalon termasuk dalam sub kelas<br />

Prosobranchia, hidup di perairan laut dan<br />

berkerabat dekat dengan tiram dan remis.<br />

Abalon hanya memiliki satu keping cangkang<br />

(univalve) dan memiliki kaki otot yang besar<br />

yang digunakan untuk menempelkan diri di<br />

batu karang dan substrat sejenisnya<br />

(ANONYMOUS, 2003).<br />

1) UPT Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Bitung<br />

39<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Salah satu keistimewaan dari ciri fisik<br />

abalon adalah warna cangkang bagian<br />

dalamnya yang beragam. Warna yang beragam<br />

ini dihasilkan oleh nacre (ANONYMOUS,<br />

2007a). Beberapa jenis abalon merupakan<br />

komoditi ekonomis. Permintaan dunia akan<br />

abalon meningkat sejalan dengan<br />

meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber<br />

protein serta perkembangan industri perhiasan<br />

dan akuarium (LITAAY, 2005).<br />

Di Indonesia, abalon dikenal dengan<br />

nama siput mata tujuh atau siput lapar<br />

kenyang. Nama lokal abalon lainnya adalah<br />

ormer dalam bahasa Guernsey, perlemoen<br />

(Afrika Selatan), abalone (Australia dan<br />

Amerika Serikat), aulone (Meksiko), dan paua<br />

(Selandia Baru) (ANONYMOUS, 2007a dan<br />

HUTCHINS, 2007).<br />

KLASIFIKASI ABALON<br />

Abalon, Haliotis termasuk dalam<br />

suku Haliotidae. Walaupun hanya ada satu<br />

marga dalam suku Haliotidae, terdapat sekitar<br />

4-7 buah submarga dan jumlah jenisnya<br />

berkisar antara 100-130 jenis (terkait dengan<br />

adanya hibridasi). BEVELANDER (1988)<br />

menyatakan bahwa terdapat sekitar 100 jenis<br />

yang tersebar di seluruh dunia.<br />

Adapun klasifikasi abalon adalah<br />

sebagai berikut (ANONYMOUS, 2007a):<br />

MORFOLOGI ABALON<br />

Suku Haliotidae memiliki beberapa ciri<br />

yaitu cangkangnya berbentuk bulat sampai oval,<br />

memiliki 2-3 buah puntiran (whorl), memiliki<br />

cangkang yang berbentuk seperti telinga<br />

(auriform), biasa disebut ear shell. Puntiran<br />

yang terakhir dan terbesar (body whorl) memiliki<br />

rangkaian lubang yang berjumlah sekitar 4-7<br />

buah tergantung jenis dan terletak di dekat sisi<br />

anterior. SETYONO (2004a) mengungkapkan<br />

bahwa abalon memiliki cangkang yang<br />

berbentuk seperti telinga, sehingga masyarakat<br />

di Maluku biota abalon biasa disebut sebagai<br />

"bia telinga". Pada bagian kiri cangkang terdapat<br />

rangkaian lubang pernafasan. Pada umumnya,<br />

terdapat tujuh buah lubang yang dapat terlihat,<br />

namun hanya 4-5 buah lubang yang tidak<br />

tertutup. Tujuh buah lubang inilah yang<br />

dijadikan alasan bagu masyarakat di wilayah<br />

Indonesia Timur menyebut abalon sebagai<br />

"siput mata tujuh" di Wilayah Indonesia Timur<br />

(Gambar 1).<br />

Abalon tidak memiliki operkulum.<br />

Cangkang abalon cembung dan melekat kuat<br />

(dengan kaki ototnya/muscular foot) di<br />

permukaan batu pada daerah sublitoral. Warna<br />

cangkang bervariasi antara jenis yang satu<br />

dengan jenis yang lain. Salah satu keistimewaan<br />

dari ciri fisik abalon adalah warna cangkang<br />

bagian dalamnya yang beragam. Warna ini<br />

dihasilkan oleh nacre (ANONYMOUS, 2007a).<br />

Bagian dalam cangkang abalon<br />

berwarna seperti pelangi, putih keperakan<br />

sampai hijau kemerahan. Haliotis iris dapat<br />

berwarna campuran merah muda dan merah<br />

dengan warna utama biru tua, hijau, dan ungu.<br />

Dilihat dari fisiknya, ukuran tubuh abalon<br />

berbeda-beda tergantung dari jenisnya, mulai<br />

dari 20 mm (seperti Haliotispulcherrima) sampai<br />

200 mm atau lebih (seperti Haliotis rufescens).<br />

40<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Gambar 1. Penampang cangkang bagian luar dan dalam abalon (HUTCHINS, 2007)<br />

DISTRIBUSI <strong>DAN</strong> HABITAT<br />

ABALON<br />

Suku Haliotidae memiliki distribusi<br />

yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia,<br />

yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua<br />

kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika<br />

Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika<br />

Serikat. Abalon paling banyak ditemukan di<br />

perairan dengan suhu yang dingin, di belahan<br />

bumi bagian selatan yaitu di perairan pantai<br />

Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia.<br />

Sedangkan di belahan bumi utara adalah di<br />

perairan pantai barat laut Amerika dan Jepang<br />

(ANONYMOUS, 2007a). Menurut SETYONO<br />

(2004a), abalon paling banyak ditemukan di<br />

daerah beriklim empat musim, hanya sedikit<br />

jenis yang dapat ditemukan di daerah tropis<br />

(termasuk Indonesia) dan daerah Artik.<br />

Loco (Concholepas concholepas,<br />

Bruguiere 1789) adalah abalon yang<br />

bercangkang keras berwama hitam yang<br />

merupakan jenis yang paling banyak diburu<br />

dan dikonsumsi di Chili. Abalon Pinto<br />

ditemukan di Kepulauan Aleutian, Alaska<br />

sampai daerah Point Conseption, California.<br />

Abalon Pinto merupakan satu-satunya abalon<br />

yang ditemukan hidup di alam di British<br />

Columbia (LEPORE, 1993).<br />

Abalon menyukai daerah bebatuan di<br />

pesisir pantai (Gambar 2), terutama pada<br />

daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan<br />

dengan salinitas yang tinggi dan suhu yang<br />

rendah juga merupakan syarat hidup abalon.<br />

Abalon dewasa lebih memilih hidup di tempattempat<br />

dimana banyak ditemukan makroalga.<br />

Di daerah utara (Alaska sampai British<br />

Columbia), abalon umumnya berada pada<br />

kedalaman 0-5 m, tetapi di California abalon<br />

berada pada kedalaman 10 m (LEPORE, 1993).<br />

41<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Gambar 2. Sifat hidup abalon yang menempel pada substrat batu<br />

(IMAMURA,2005)<br />

MAKANAN <strong>DAN</strong> KEBIASAAN MAKAN<br />

ABALON<br />

Abalon dewasa merupakan herbivora<br />

dan pada umumnya memakan makroalga,<br />

terutama alga merah, dengan menggunakan<br />

radula rhipidoglossate. Rhipidoglossate<br />

adalah jenis radula yang mempunyai ratusan<br />

gigi pada setiap barisnya dan biasanya dimiliki<br />

oleh siput herbivora (DHARMA, 1988). Abalon<br />

termasuk herbivora yang aktif memakan<br />

mikroalga dan makroalga pada malam hari<br />

(SETYONO, 2004a). Makanan utama abalon<br />

dewasa adalah potongan-potongan makroalga<br />

yang hanyut terbawa arus dan gelombang,<br />

terutama kelompok alga merah. Juvenil abalon<br />

memakan alga yang hidup di batu karang,<br />

diatom, dan bakteri, sedangkan larva abalon<br />

memakan plankton (ANONYMOUS, 2007a dan<br />

ANONYMOUS, 2007c).<br />

Pada saat masih larva, H. discuss<br />

hannai bersifat planktonik dan setelah<br />

bermetamorfosis ke fase juvenil hidup sebagai<br />

benthos. Larva H. discuss hannai bersifat<br />

lecithotrophic (tidak mengambil makanan dari<br />

lingkungannya), sumber makanan selama fase<br />

larva tersebut adalah kuning telur. Namun<br />

demikian, partikel organik terlarut yang ada di<br />

perairan sekitarnya merupakan tambahan<br />

makanan pada fase ini (MANAHAN &<br />

JAECKLE ,1992 dan SHILLING et al., 1996).<br />

Ketersediaan makanan bagi H. discus<br />

hannai yang baru memasuki masa post larvae<br />

adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan<br />

kelangsungan hidupnya (TAKAMI et al.,<br />

2000). Laju pertumbuhan pada fase hidup awal<br />

H. discus hannai bergantung pada<br />

ketersediaan makanan dan kemampuan masingmasing<br />

individu dalam memanfaatkan makanan<br />

yang tersedia (KAWAMURA & TAKAMI,<br />

1995; KAWAMURA et al., 1995; SEKI, 1997<br />

dan TAKAMI et al., 1997a, b).<br />

Abalon Pinto (H. kamtschatkana)<br />

biasanya memakan potongan makroalga coklat.<br />

Namun kadang-kadang abalon Pinto juga<br />

memakan fitoplankton dan diatom bila tidak<br />

ada bahan makanan lain. Saingan alami abalon<br />

dalam mencari makan dan ruang hidup adalah<br />

bulu babi. Persaingan tersebut biasanya<br />

dimenangkan oleh bulu babi (ANONYMOUS,<br />

1990).<br />

42<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Telur dan larva abalon merupakan<br />

mangsa bagi ikan penyaring plankton (filter<br />

feeding fish) dan moluska, sedangkan<br />

pemangsa bagi abalon yang masih juvenil<br />

maupun yang telah dewasa adalah kepiting,<br />

lobster, gurita, bintang laut, ikan, anjing laut<br />

dan gastropoda lain. Abalon yang ditemukan<br />

di daerah perairan yang dihuni oleh anjing<br />

laut, pada umumnya berukuran lebih kecil,<br />

sehingga cangkangnya lebih mudah untuk<br />

diretakkan. Kaki otot abalon merupakan<br />

santapan lezat bagi hewan pemangsa abalon<br />

(ANONYMOUS, 1990).<br />

REPRODUKSI ABALON<br />

Abalon merupakan hewan yang<br />

tergolong dioecious (jantan dan betina<br />

terpisah) seperti moluska lainnya. Abalon<br />

memiliki satu gonad, baik jantan maupun<br />

betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya.<br />

Abalon jantan dan betina dewasa mudah<br />

dibedakan, karena testis menampakan warna<br />

krem sedangkan ovarium menampakan warna<br />

kehijau-hijauan saat gonad matang. Pembuahan<br />

terjadi di luar (fertilisasi eksternal). Garnet<br />

jantan dan betina dilepaskan ke suatu perairan,<br />

kemudian terjadi pembuahan (SETYONO,<br />

2004a).<br />

Telur yang sudah dibuahi menetas<br />

menjadi larva yang melayang, kemudian pada<br />

tahap selanjutnya akan memakan plankton<br />

hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika<br />

cangkang sudah terbentuk, juvenil abalon<br />

akan cenderung menuju ke dasar perairan dan<br />

melekatkan diri pada batu dengan<br />

memanfaatkan kaki ototnya. Setelah<br />

menenggelamkan diri, abalon berubah menjadi<br />

pemakan makroalga (TOM, 2007). Siklus hidup<br />

abalon mulai dari terjadinya pemijahan hingga<br />

abalon menjadi dewasa dan kembali memijah,<br />

disajikan pada Gambar 3.<br />

43<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Reproduksi abalon diatur oleh hormon<br />

neurosecretory (HAHN, 1992). Di daerah<br />

yang beriklim empat musim dan subtropis,<br />

abalon pada umumnya memiliki musim<br />

pemijahan yang jelas dan bervariasi<br />

berdasarkan jenis dan suhu perairan<br />

(SETYONO, 2004a). Abalon hitam (H.<br />

cracherodii), hijau (H. fulgens) dan merah<br />

muda (H. corrugate) memijah antara musim<br />

semi dan gugur, sedangkan abalon Pinto (H.<br />

kamtschatkana) memijah selama musim panas.<br />

Pada beberapa lokasi, abalon merah (H.<br />

rufescens) mampu memijah sepanjang tahun<br />

(TOM, 2007).<br />

Proses pemijahan abalon, dipengaruhi<br />

oleh faktor alam di luar tubuh abalon (eksogen)<br />

dan faktor di dalam tubuh abalon (endogen).<br />

Faktor alam yang mempengaruhi pemijahan<br />

antara lain adalah perubahan temperatur air<br />

laut, kontak dengan udara selama air laut<br />

surut rendah, perubahan periode penyinaran<br />

(photoperiod), siklus bulan, garnet yang<br />

dilepaskan oleh individu lain dan kombinasi<br />

dari faktor-faktor tersebut. Adapula faktor dari<br />

dalam tubuh yang mempengaruhi pemijahan<br />

yaitu prostaglandins (PGs) dan beberapa<br />

amino yang dihasilkan oleh sel-sel saraf yang<br />

diduga sangat berperan penting pada proses<br />

pemijahan abalon (SETYONO, 2004b).<br />

Abalon dapat mencapai matang<br />

gonad, ketika masih berukuran kecil.<br />

Fekunditas abalon tinggi dan meningkat secara<br />

eksponensial, seiring dengan pertambahan<br />

ukuran. Sel telur dan sperma, dilepaskan ke<br />

perairan melalui lubang pernafasan. Walaupun<br />

abalon betina mampu menghasilkan jutaan<br />

telur pada satu waktu, laju mortalitas larva dan<br />

juvenil abalon sangat tinggi (ANONYMOUS,<br />

2007b).<br />

PERIKANAN ABALON<br />

Usaha perikanan abalon baik dalam<br />

bentuk perikanan tangkap maupun budidaya<br />

paling banyak dilakukan di Kanada, Amerika<br />

Serikat, Meksiko, Jepang, Korea, Australia,<br />

Selandia Baru, Perancis, Cili dan Afrika Selatan<br />

(HAHN, 1989 dan ANONYMOUS, 2007c).<br />

Penghasil terbesar abalon yang berasal dari<br />

perikanan tangkap adalah Australia (VIANA,<br />

2002). Sedangkan produksi abalon dari<br />

perikanan budidaya didominasi oleh Cina dan<br />

Taiwan (ANONYMOUS, 2007c).<br />

Ada empat jenis abalon di Australia<br />

yang ditangkap untuk tujuan komersial sejak<br />

akhir tahun 1960, yaitu abalon bibir hijau (H.<br />

laevigata), abalon bibir hitam (H. rubra),<br />

abalon bibir coklat (H. conicopora), dan<br />

abalon Roe (H. roei). Untuk menjaga stok<br />

abalon yang hidup di alam dari penangkapan<br />

berlebih (over-fishing), pemerintah Australia<br />

mengatur jumlah dan ukuran abalon yang<br />

boleh ditangkap. Di Australia Selatan, ukuran<br />

minimum abalon di alam yang boleh ditangkap<br />

adalah 130 mm (ANONYMOUS, 2003). Di<br />

perairan Indonesia, terdapat tujuh jenis abalon<br />

yang ditemukan, yaitu Haliotis asinina, H.<br />

varia, H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H.<br />

planata, dan H. crebisculpta (DHARMA,<br />

1988).<br />

Daging abalon banyak dikonsumsi<br />

dan merupakan santapan yang lezat bagi<br />

masyarakat Amerika Latin (terutama Cili), Asia<br />

Tenggara, dan Asia Timur (terutama Cina,<br />

Jepang dan Korea). Kaki abalon. termasuk<br />

bagian tubuh abalon yang dapat dimakan.<br />

Berat daging abalon berkisar antara 28-46%<br />

dari berat abalon hidup yang tergantung<br />

keadaan musim dan lokasi (ANONYMOUS,<br />

2003).<br />

Pada awal perkembangan usaha<br />

perikanan abalon di Amerika Serikat, abalon<br />

hanya dikeringkan atau diasap untuk diekspor<br />

dan dijual segar untuk pasar lokal. Saat ini,<br />

hampir semua abalon diekspor ke Jepang, baik<br />

dalam bentuk segar maupun beku. Pusat<br />

perdagangan abalon di Amerika Serikat adalah<br />

di California, untuk diolah menjadi sashimi<br />

dan untuk dibuat steak (TOM, 2007).<br />

44<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

Seluruh daging abalon dapat dimakan.<br />

Masyarakat tradisional Amerika Serikat<br />

cenderung lebih suka mengkonsumsi bagian<br />

otot abalon, sedangkan gonad abalon paling<br />

disukai oleh masyarakat Jepang, bahkan ketika<br />

masih dalam bentuk mentah. Sisa potongan<br />

otot abalon dimanfatkan sebagai pelengkap<br />

dalam pembuatan daging burger dan steak,<br />

namun saat ini, setelah harga daging abalon<br />

meningkat, potongan otot ini dijual dalam<br />

bentuk segar maupun beku ke restoran di Asia<br />

untuk dijadikan sup atau makanan pembuka<br />

lainnya (TOM, 2007).<br />

Beberapa manfaat juga dapat<br />

diperoleh dari keindahan warna pada bagian<br />

dalam cangkang abalon. Cangkang abalon<br />

dapat dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan<br />

mutiara untuk menghias mebel. Selain itu,<br />

cangkang abalon juga dapat dijual kepada<br />

kolektor cangkang, dibuat sebagai suvenir<br />

dan sebagai perhiasan (TOM, 2007).<br />

PROSPER PERIKANAN ABALON DI<br />

INDONESIA<br />

Permintaan pasar terhadap abalon<br />

beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat,<br />

sedangkan pada kenyataannya terjadi<br />

penurunan populasi abalon. Penurunan<br />

populasi abalon disebabkan oleh penangkapan<br />

berlebih, penangkapan liar, predasi oleh<br />

pemangsa abalon terutama anjing laut,<br />

kompetisi dengan bulu babi dan biota lainnya.<br />

Selain itu, abalon juga kehilangan habitat<br />

alami akibat pembangunan di daerah pesisir<br />

oleh manusia, serta terjadinya kematian alami<br />

karena berbagai alasan (ANONYMOUS,<br />

2007c).<br />

Oleh sebab itu, minat dunia terhadap<br />

budidaya abalon semakin meningkat dan dalam<br />

waktu dekat akan terjadi persaingan pasar<br />

abalon yang semakin ketat di seluruh dunia<br />

(VIANA, 2002). Peningkatan jumlah populasi<br />

manusia dan jumlah permintaan masyarakat<br />

terhadap seafood berdampak pada<br />

pengembangan akuakultur di Indonesia,<br />

termasuk budidaya ikan, teripang, dan moluska<br />

(SETYONO, 2004a).<br />

SETYONO (2003) dalam penelitiannya<br />

telah menemukan teknik reproduksi biologi<br />

dan produksi benih untuk H. asinina yang<br />

hidup di daerah tropis. Akuakultur bagi abalon<br />

yang hidup di daerah tropis, memiliki prospek<br />

yang cerah dan H. asinina tumbuh lebih cepat<br />

daripada abalon yang tumbuh di daerah beriklim<br />

empat musim.<br />

Keuntungan mengembangkan<br />

budidaya abalon di Indonesia adalah luasnya<br />

wilayah pesisir, melimpahnya alga yang<br />

merupakan pakan alami bagi abalon,<br />

melimpahnya sumberdaya alam untuk<br />

diproduksi menjadi makanan buatan bagi<br />

abalon (daging ikan, kedelai, jagung, minyak<br />

ikan). Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif<br />

tidak mahal, tenaga kerja terlatih dalam bidang<br />

perikanan dan budidaya dan jaringan pasar<br />

ekspor yang sudah terbangun (SETYONO,<br />

2004a).<br />

Pengembangan usaha perikanan<br />

abalon baik perikanan tangkap maupun<br />

budidaya, diharapkan tidak hanya berorientasi<br />

untuk mencapai keuntungan. Pengembangan<br />

tersebut harus juga memperhatikan<br />

ketersediaan stok alami di alam dengan menjaga<br />

jumlah sediaan stok alaminya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

ANONYMOUS 1990. Abalone study : Haliotis<br />

kamtschatkana. Marine Biology for<br />

Teachers. Bamfield Marine Station<br />

Publications.<br />

ANONYMOUS 2003. Abalone Aquaculture<br />

in South Australia. Primary Industries<br />

and Resources SA. http://<br />

www.pir.sa.gov. au/factsheets. Tanggal<br />

akses 13 April 2007.<br />

45<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

ANONYMOUS 2007a. Abalone. Wikipedia.<br />

h Up ://en. wikipedia. o rg/wiki/A b alone.<br />

Tanggal akses 11 April 2007.<br />

ANONYMOUS 2007b. Northern Abalone.<br />

Government of Canada. Fisheries and<br />

Ocean. Canada, http://www.dfompo.gc.ca/species-especes/species/<br />

species northern Abalone _e. asp.<br />

Tanggal akses 16 April 2007.<br />

ANONYMOUS. 2007c. Facts About Abalone.<br />

FISHTECH INC. California, http://<br />

www.fishtech.com/facts. Tanggal akses<br />

11 April 2007.<br />

BEVELANDER, G 1988. Abalon : Gross and<br />

fine structure. The Boxwood Press.<br />

Pacific Grove : 80 pp.<br />

DHARMA, B. 1988. Siput dan Kerang<br />

Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta.<br />

: lllhal.<br />

HAHN, K.O. 1989. Survey of Commercially<br />

Important abalon species in the World.<br />

In: Handbook of Culture of Abalon<br />

and Other Marine Gastropods (K.O<br />

HAHN ed.). CRC Press, Inc. Boca<br />

Raton, Florida : 3-12.<br />

HAHN, K.O. 1992. Review of Endocrine<br />

Regulation of Reproduction in Abalon,<br />

spp. In : Abalon of The World: Biology,<br />

Fisheries, and Culture. (S.A.<br />

SHEPPERD, M.J. TEGNER and S.A.<br />

GUZMAN del PROO eds.). Blackwells,<br />

Oxford: 49-58.<br />

HUTCHINS, P. 2007. Culturing Abalone<br />

Half-Pearls : The story of the New<br />

Zealand Eyris Blue Pearl. Wide Bay<br />

Valuation Services. Bundaberg.<br />

www.australiangemmologist.com.au/<br />

abalone_pearls.pdf Tanggal akses 13<br />

April 2007.<br />

IMAMURA, K. 2005. Abalone : Wild Life<br />

Notebook Series. Alaska Department of<br />

Fish and Game, www.adfg.state.ak.us.<br />

Tanggal akses 16 April 2007.<br />

KAWAMURA, T. and H. TAKAMI 1995.<br />

Analysis of Feeding and Growth Rate<br />

of Newly Metamorphosed Abalon<br />

Haliotis discus hannai Fed on Four<br />

Species of Benthic Diatom. Fisheries<br />

Sci. 61: 357-358.<br />

KAWAMURA, T; T. SAIDO; H. TAKAMI<br />

and Y. YAMASHITA1995. Dietary Value<br />

of Benthic Diatoms for the Growth of<br />

Post-Larval Abalon Haliotis discus<br />

hannai. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 194 :<br />

189-199.<br />

LEPORE, C. 1993. Feasibility of abalone culture<br />

in British Columbia. Principles of<br />

Aquaculture. Bamfield Marine Station<br />

Publications.<br />

LITAAY, M. 2005. Peranan Nutrisi dalam<br />

Siklus Reproduksi Abalon. Oseana XXX<br />

(3): 1-7.<br />

MANAHAN, D.T. and W.B. JAECKLE. 1992.<br />

Implications of dissolved organic matter<br />

in Seawater for the Energetics of Abalon<br />

Larvae Haliotis Rufescens: A Review,<br />

In: "Abalon of the World: Biology,<br />

Fisheries and Culture" (S.A.<br />

SHEPPERD, M.J. TEGNER and S.A.<br />

GUZMAN del PROO eds.). Blackwells,<br />

Oxford: 95-106.<br />

SETYONO, D.E.D. 2003. Reproductive Biology<br />

and Seed Production Techniques for<br />

Tropical Abalon (Haliotis asinina L) in<br />

Eastern Indonesia. PhD thesis, Otago<br />

University, New Zealand : 274 pp.<br />

46<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007


sumber:www.oseanografi.lipi.go.id<br />

SETYONO, D.E.D. 2004a. Abalon (Haliotis<br />

asinina L): LA Prospective Species for<br />

Aquaculture in Indonesia. Oseana XXIX<br />

(2): 25-30.<br />

SETYONO, D.E.D. 2004b. Abalon (Haliotis<br />

asinina L): 3. Induction of Spawning.<br />

Oseana XXIX(3): 17-23.<br />

SEKI, T. 1997. Biological Studies on the Seed<br />

Production of the Northern Japanese<br />

Abalon, Haliotis discus hannai Ino.<br />

Bull. Tohoku Natl Fish. Res. Inst. 59 :<br />

1-71.<br />

SHILLING, F.M.; O. HOEGH-GULDBERG and<br />

D.T. MANAHAN 1996. Sources of<br />

Energy for Increased Metabolic Demand<br />

During Metamorphosis of the Abalon<br />

Haliotis rufescens (Mollusca). Biol.<br />

Bull 191:402-412.<br />

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y.<br />

YAMASHITA 1997a. Contribution of<br />

Diatoms as Food Sources for Post-<br />

Larval Abalon Haliotis discus hannai<br />

on a Crustose Coralline Alga. Moll.<br />

Res. 18: 143-151.<br />

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y.<br />

YAMASHITA 1997b. Survival and<br />

Growth Rates of Post-Larval Abalon<br />

Haliotis discus hannai Fed Conspecific<br />

Trail Mucus and/or Benthic Diatom<br />

Cocconeis scutellum Var. parva.<br />

Aquaculture 152 : 129-138.<br />

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y.<br />

YAMASHITA 2000. Starvation<br />

Tolerance of Newly Metamorphosed<br />

Abalon Haliotis discus hannai.<br />

Fisheries Sci. 66: 1180-1182.<br />

TOM, P.D. 2007. Abalone. Seafood Network<br />

Information Center. http://<br />

seafood.ucdavis.edu/. Tanggal akses<br />

11 April 2007.<br />

VIANA, M.T. 2002. Abalon Aquaculture: An<br />

Overview. World Aquaculture 33 : 34-<br />

39.<br />

WILSON, B.R and K. GILLET. 1971. A Field<br />

Guide to Australian Shells : Posobranch<br />

Gastropods. Reed Books PTY Ltd. : 9-<br />

23.<br />

47<br />

Oseana, Volume XXXII No. 4, 2007

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!