28.11.2014 Views

lompat-lompat-ho-chi-minh-city-dan-hue1

lompat-lompat-ho-chi-minh-city-dan-hue1

lompat-lompat-ho-chi-minh-city-dan-hue1

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

6 7<br />

ta Vietnam bukan HCMC, melainkan Ha<br />

Noi—atau dieja juga Ha Noi—meskipun<br />

nama HCMC memang lebih santer terdengar.<br />

Jadilah saya coba baca betulbetul<br />

buku panduan Vietnam yang sudah<br />

saya beli agak lama.<br />

Dengan penuh syukur, saya membaca di<br />

buku tersebut bahwa bulan perjalanan<br />

yang kami pilih—Maret—memang merupakan<br />

salah satu bulan baik untuk mengunjungi<br />

Vietnam. Tentunya kurang enak<br />

mengunjungi suatu negara saat se<strong>dan</strong>g<br />

musim hujan, apalagi, belakangan kami<br />

tahu, bulan Oktober-Desember badai tropis<br />

kerap melanda Vietnam Tengah.<br />

Buku panduan terbitan Globetrotter yang<br />

saya beli itu memang cukup lengkap.<br />

Info-info dasar memang tersaji di buku<br />

itu, namun tetap saja, sekian banyak foto<br />

berwarna yang dihadirkan belum mampu<br />

menghadirkan gambaran utuh Vietnam<br />

di benak saya. Ya, banyak pagoda, banyak<br />

bangunan kuno, mestinya itu saja sudah<br />

bisa memuaskan seorang turis, tapi<br />

seperti apa Vietnam sebenarnya? Seperti<br />

apa kota-kotanya, desa-desanya? Foto<br />

memang bisa menghadirkan seribu kata,<br />

namun itu pun tak cukup bagi saya untuk<br />

memahami Vietnam. Pokoknya, saya<br />

berangkat sajalah, tanpa harapan mulukmuluk,<br />

yang penting bisa menjejakkan<br />

kaki di daerah yang belum pernah saya<br />

datangi.<br />

Eh, lagi-lagi saya harus minta maaf kepada<br />

segenap Vietnam karena telah menempatkan<br />

harapan yang begitu rendah<br />

atas negara mereka yang indah.<br />

Begitu tiba di Tan Son Nhat, alih-alih<br />

disambut bandara yang biasa-biasa saja<br />

atau ketinggalan zaman, saya dibuat tercengang<br />

oleh arsitektur bandara baru<br />

bergaya modern <strong>dan</strong> bersih yang mengingatkan<br />

pada Changi atau Suvarnabhumi,<br />

meski memang tidak terlalu besar. Bangunan<br />

kelabu dengan banyak kaca mungkin<br />

memang model favorit bandara masa<br />

kini. Wah, belum-belum skor sudah 1—0<br />

untuk Vietnam.<br />

Setelah melewati imigrasi <strong>dan</strong> mengambil<br />

bagasi, kami menukar dulu sebagian uang<br />

dollar Amerika yang kami bawa dengan<br />

dong Vietnam. Uang dollar Amerika<br />

sebenarnya juga diterima sebagai mata<br />

pembayaran di Vietnam, namun untuk<br />

berbagai keperluan, pembayaran dengan<br />

dong tentunya lebih praktis <strong>dan</strong> juga bisa<br />

lebih murah. Satu dong berharga kirakira<br />

setengah rupiah, sehingga es krim<br />

seharga 2.000 dong berarti setara dengan<br />

1.000 rupiah. Murah? Ya, memang! Ini<br />

lagi salah satu daya tarik Vietnam yang<br />

nantinya akan kami manfaatkan sebaikbaiknya.<br />

Sesudahnya, kami segera celingukan<br />

mencari penjemput dari penginapan.<br />

Kami memang lebih memanfaatkan fasilitas<br />

jemputan ini, dengan pertimbangan<br />

ini kali pertama kami di HCMC sehingga<br />

belum tahu seluk-beluk angkutan<br />

umum atau taksi <strong>dan</strong> jalan-jalan di kota<br />

tersebut, serta pesawat kami tiba malam<br />

hari, sehingga rasanya lebih enak langsung<br />

me<strong>lompat</strong> masuk ke dalam mobil,<br />

sisanya biar supir yang urus. Malas juga<br />

‘kan kalau sudah lelah-lelah begitu harus<br />

ngotot-ngototan dengan supir taksi yang<br />

meminta bayaran tidak berdasarkan argo<br />

atau malah tersesat.<br />

Mobil jemputan kami adalah sebuah minivan<br />

bertempat duduk 7. Biaya jemputan<br />

yang ditetapkan penginapan adalah 15<br />

dollar Amerika—belakangan kami tahu,<br />

sebenarnya ini cukup mahal untuk ukuran<br />

Vietnam. Naik taksi dari bandara ke<br />

Distrik 1, bila tidak macet, ternyata bisa<br />

hanya sekitar 100.000 dong alias 50.000<br />

rupiah saja. Tapi ya tak apa-apalah, namanya<br />

juga orang baru yang belum kenal<br />

me<strong>dan</strong>.<br />

Perjalanan menyusuri HCMC di malam<br />

hari menuju penginapan pun membuat<br />

kami terbengong-bengong. Astaga, kalau<br />

ini pertandingan bola, sudah dari tadi<br />

tim kami dicukur gundul oleh Vietnam.<br />

Sebuah pusat perbelanjaan modern menyambut<br />

kami dekat pintu keluar bandara.<br />

Papan nama berbagai waralaba<br />

<strong>dan</strong> merk internasional terkenal, juga<br />

merk-merk lokal yang terlihat mentereng,<br />

terpajang menyilaukan di pusat perbelanjaan<br />

itu. (Pada akhirnya, tempat itu tidak<br />

kami kunjungi sama sekali, soalnya ya<br />

sayang saja, sudah jauh-jauh ke Vietnam<br />

kalau malah main ke tempat-tempat yang<br />

di Jakarta juga banyak yang serupa.)<br />

Malam hari HCMC semarak oleh lampulampu<br />

neon, kendaraan bermotor yang<br />

berseliweran dengan kecepatan tinggi<br />

meski kondisi jalan se<strong>dan</strong>g ramai sekali<br />

pun. Wah! Terlalu banyak menonton film<br />

atau serial TV semacam Tour of Duty memang<br />

membuat pikiran kita tentang Vietnam<br />

mandeg di zaman perang. Vietnam<br />

tak lagi compang-camping, melainkan<br />

macan Asia yang siap menerjang kembali<br />

setelah sekian lama dirobek-robek kebencian<br />

<strong>dan</strong> pertarungan ideologi politik.<br />

Supir dengan lihai, <strong>dan</strong> dengan laju yang<br />

agak membuat ngeri, membawa kami menelusuri<br />

jalan-jalan gemerlapan HCMC<br />

menuju tempat penginapan kami berada.<br />

Perilakunya itu tidak unik, karena para<br />

pengemudi lain, mobil ataupun motor,<br />

sama e<strong>dan</strong>, meliuk-liuk dengan kecepatan<br />

tinggi. Hati juga agak ciut, karena saya

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!