Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
32 33<br />
Supir taksi membawa kami menyusuri<br />
sungai, jalur yang sama sekali belum kami<br />
lintasi kemarin. Letak C<strong>ho</strong>lon agak jauh,<br />
<strong>dan</strong> memang dahulu C<strong>ho</strong>lon belum merupakan<br />
bagian dari Sai Gon. Ketika Sai<br />
Gon semakin meluas, daerah itu ’ditelan’<br />
<strong>dan</strong> menjadi bagian dari HCMC—Distrik<br />
5. Bagian-bagian kota yang menuju ke<br />
C<strong>ho</strong>lon, <strong>dan</strong> juga Pecinan sendiri, belum<br />
selesai tertata rapi. Banyak proyek<br />
kanal, taman, jembatan, <strong>dan</strong> jalan yang<br />
masih berlangsung. HCMC rupanya giat<br />
berkembang. Supir bahkan sempat kecele,<br />
belok ke salah satu jalan yang ia tahu<br />
menuju ke pasar, namun ternyata jalan itu<br />
se<strong>dan</strong>g ditutup karena ada proyek pembenahan<br />
jalan. Saya membayangkan, nantinya<br />
daerah ini pun juga akan cantik <strong>dan</strong><br />
apik seperti Distrik 1.<br />
Udara hari itu juga menyengat seperti hari<br />
sebelumnya. Hal ini diperparah karena<br />
di Distrik 5, banyak taman <strong>dan</strong> jalur hijau<br />
yang belum selesai dibenahi. Waduh!<br />
Kawasan pejalan kaki lima C<strong>ho</strong>lon juga<br />
tidak seluas di Distrik 1, meski masih<br />
memadai. Beberapa taman yang sudah<br />
rin<strong>dan</strong>g bisa ditemukan <strong>dan</strong> dimanfaatkan<br />
sebagai tempat istirahat sementara.<br />
Pasar Binh Tay adalah pasar sentral tem-<br />
pat berbagai kebutuhan sehari-hari dijual,<br />
meski ada juga sebagian toko yang menyediakan<br />
barang yang mungkin menarik<br />
perhatian turis seperti tas atau sandal tradisional.<br />
Kami tidak membeli apa-apa<br />
(selain Ephi yang nantinya membeli buku<br />
bekas) <strong>dan</strong> memutuskan untuk menembus<br />
kelok-kelok sempit pasar saja, yang<br />
diramaikan pedagang yang ribut menawari<br />
kami berbagai macam dagangan.<br />
Ternyata di tengah pasar, ada ruang terbuka<br />
yang menawarkan sepercik kesejukan:<br />
ada tempat pemujaan Buddha kecil, yang<br />
memungkinkan para pedagang untuk sejenak<br />
meninggalkan urusan duniawinya<br />
<strong>dan</strong> bersembahyang, melaksanakan kewajiban<br />
<strong>dan</strong> mengisi batin mereka. Bau<br />
dupa terbakar beserta asapnya melayanglayang<br />
di udara.<br />
Kami keluar dari pasar <strong>dan</strong> berusaha<br />
menemukan sejumlah pagoda yang tercantum<br />
di peta. Aduh, ternyata kata-kata<br />
seorang mbak-mbak di depan pasar benar:<br />
pagoda-pagoda itu jauh dari pasar.<br />
Ia menawarkan memanggil taksi, namun<br />
kami menolak. Ceritanya, masih nekad<br />
ingin berjalan kaki. Setelah tidak ketemu<br />
apa-apa selain sebuah gereja yang agak<br />
tersembunyi <strong>dan</strong> taman dengan hiasan<br />
naga raksasa, kami menyerah <strong>dan</strong> menghentikan<br />
taksi di tepi jalan. Eh, tapi mau<br />
ke mana? Main tunjuk peta lagi deh, kali<br />
ini telunjuk kami mengarah ke sebuah<br />
<strong>dan</strong>au yang ditandai dengan nama ’Damsen<br />
Park’ <strong>dan</strong> dalam peta terlihat dikelilingi<br />
3 pagoda besar. Supir menganggukangguk<br />
seolah mengerti.<br />
Memang, dia tidak menyesatkan kami<br />
atau mengantar kami ke tempat yang<br />
salah. Namun kami bengong ketika tahu<br />
bahwa Damsen Park bukan sekadar taman<br />
(dalam bayangan saya, Damsen Park<br />
adalah taman luas yang mengelilingi <strong>dan</strong>au,<br />
<strong>dan</strong> kami bisa menyusurinya dengan<br />
santai untuk mengunjungi ketiga pagoda<br />
dalam peta). Ternyata, Damsen Park<br />
adalah taman permainan air—semacam<br />
Waterbom—yang dibangun mengelilingi<br />
<strong>dan</strong>au! Wah, bengong deh, karena niat<br />
kami kan bukan main air.<br />
Kami memutuskan tidak masuk, <strong>dan</strong><br />
berusaha menelusuri tepi luar Damsen<br />
Park, mencari pagoda yang tampak di<br />
peta. Tak dinyana, keliling <strong>dan</strong>au itu besar<br />
sekali, <strong>dan</strong> meski rasanya sudah lama<br />
berjalan di bawah terik matahari, tak<br />
juga kami sampai ke tempat yang kami<br />
inginkan. Apalagi Mel—yang tidak sarapan—sudah<br />
kelaparan. Kami bingung<br />
lagi, karena di kawasan itu tidak terlihat<br />
ada restoran yang benar-benar meyakinkan.<br />
Tapi justru di saat itulah kami menemukan<br />
salah satu permata tersembunyi<br />
HCMC!<br />
Kami melewati sebuah gerbang bertuliskan<br />
Stone Garden. Menu yang dipajang<br />
<strong>dan</strong> pelayan yang siap menyambut di luar<br />
menunjukkan tempat itu adalah sebuah<br />
restoran. Sekilas mengintip, terlihat sejumlah<br />
kursi <strong>dan</strong> meja di balik gerbang.<br />
Ngeri juga, sepertinya kok tempatnya mahal.<br />
Tapi apa boleh buat, karena rasa lapar<br />
sudah mendera. Dengan segera kami