27.11.2014 Views

Analisis Rangkaian Rangkaian Listrik - Ee-cafe.org

Analisis Rangkaian Rangkaian Listrik - Ee-cafe.org

Analisis Rangkaian Rangkaian Listrik - Ee-cafe.org

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Sudaryatno Sudirham<br />

<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong><br />

Jilid 2<br />

Darpublic


<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong><br />

Jilid 2<br />

(<strong>Analisis</strong> Transien, <strong>Analisis</strong> Menggunakan<br />

Transformasi Laplace, Fungsi Jaringan,Tanggapan<br />

Frekuensi, Pengenalan Pada Sistem, Persamaan Ruang<br />

Status, <strong>Analisis</strong> Menggunakan Transformasi<br />

Fourier)<br />

oleh<br />

Sudaryatno Sudirham


Hak cipta pada penulis, 2010<br />

SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)<br />

Darpublic, Bandung<br />

are-0710<br />

edisi Juli 2011<br />

http://ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />

Alamat pos: Kanayakan D-30, Bandung, 40135.<br />

Fax: (62) (22) 2534117


Pengantar<br />

Buku jilid ke-dua <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> ini berisi materi lanjutan,<br />

ditujukan kepada pembaca yang telah mempelajari materi di buku jilid<br />

pertama. Pokok bahasan disajikan dalam sebelas bab. Dalam dua bab<br />

pertama bahasan kembali ke kawasan waktu dengan pokok bahasan<br />

tentang analisis transien pada sistem orde pertama dan sistem orde kedua.<br />

Pokok bahasan dalam tujuh bab berikutnya adalah mengenai analisis<br />

rangkaian menggunakan transformasi Laplace, yang dapat digunakan<br />

untuk analisis keadaan mantap maupun transien; bahasan ini mencakup<br />

dasar-dasar transformasi Laplace sampai ke aplikasinya, yang kemudian<br />

dilanjutkan dengan pembahasan mengenai fungsi alih dan tanggapan<br />

frekuensi, serta pengenalan pada sistemtermasuk persamaan ruang status.<br />

Dua bab terakhir membahas analisis rangkaian listrik menggunakan<br />

transformasi Fourier. Pengetahuan tentang aplikasi transformasi Fourier<br />

dalam analisis akan memperluas pemahaman mengenai tanggapan<br />

frekuensi, baik mengenai perilaku sinyal itu sendiri maupun<br />

rangkaiannya. Senentara itu, lanjutan pembahasan dari buku ini akan<br />

dikhususkan pada rangkaian sistem tenaga listrik.<br />

Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />

usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat<br />

penulis harapkan.<br />

Bandung, 26 Juli 2010<br />

Wassalam,<br />

Penulis.<br />

iii


A. Schopenhauer, 1788 – 1860<br />

Dari Mini-Encyclopédie<br />

France Loisirs<br />

ISBN 2-7242-1551-6


Kata Pengantar<br />

Daftar Isi<br />

Daftar Isi<br />

Bab 1: <strong>Analisis</strong> Transien <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama 1<br />

Contoh <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama. Tinjauan Umum Tanggapan<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama. Komponen Mantap dan Komponen<br />

Transien. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Tanpa Fungsi Pemaksa.<br />

Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama Terhadap Sinyal Anak<br />

Tangga. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama Terhadap Sinyal<br />

Sinus. Tanggapan Masukan Nol dan Tanggapan Status Nol.<br />

Ringkasan Mengenai Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama.<br />

Bab 2: <strong>Analisis</strong> Transien <strong>Rangkaian</strong> Orde Ke-dua 31<br />

Contoh <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua. Tinjauan Umum Tanggapan<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua. Tiga Kemungkinan Bentuk<br />

Tanggapan. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Terhadap<br />

Sinyal Anak Tangga. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua<br />

Terhadap Sinyal Sinus.<br />

Bab 3: Transformasi Laplace 55<br />

Transformasi Laplace. Tabel Transformasi Laplace. Sifat-Sifat<br />

Transformasi Laplace. Transformasi Balik. Solusi Persamaan<br />

<strong>Rangkaian</strong> Menggunakan Transformasi Laplace.<br />

Bab 4: <strong>Analisis</strong> Menggunakan Transformasi Laplace 85<br />

Hubungan Tegangan-Arus Elemen di Kawasan s. Konsep<br />

Impedansi di Kawasan s. Representasi Elemen di Kawasan s.<br />

Transformasi <strong>Rangkaian</strong>. Hukum Kirchhoff. Kaidah-Kaidah<br />

<strong>Rangkaian</strong>. Teorema <strong>Rangkaian</strong>. Metoda-Metoda <strong>Analisis</strong>.<br />

Bab 5: Fungsi Jaringan 105<br />

Pengertian dan Macam Fungsi Jaringan. Peran Fungsi Alih.<br />

Hubungan Bertingkat dan Kaidah Rantai . Fungsi Alih dan<br />

Hubungan Masukan-Keluaran di Kawasan Waktu. Tinjauan<br />

Umum Mengenai Hubungan Masukan-Keluaran.<br />

Bab 6: Tanggapan Frekuensi <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama 121<br />

Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Terhadap Sinyal Sinus Keadaan<br />

Mantap. Pernyataan Tanggapan Frekuensi. Bode Plot.<br />

iii<br />

v<br />

v


Bab 7: Tanggapan Frekuensi <strong>Rangkaian</strong> Orde Ke-dua 141<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Dengan Pole Riil. Fungsi Alih<br />

Dengan Zero Riil Negatif . Tinjauan Umum Bode Plot dari<br />

<strong>Rangkaian</strong> Dengan Pole dan Zero Riil. Tinjauan Kualitatif<br />

Tanggapan Frekuensi di Bidang s. <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua<br />

Yang Memiliki Pole Kompleks Konjugat.<br />

Bab 8: <strong>Analisis</strong> Pada Sistem 163<br />

Sinyal. Sistem. Model Sistem. Diagram Blok. Pembentukan<br />

Diagram Blok. Reduksi Diagram Blok. Sub-Sistem Statis dan<br />

Dinamis. Diagram Blok Integrator.<br />

Bab 9: Sistem Dan Persamaan Ruang Status 185<br />

Blok Integrator dan Blok Statis. Diagram Blok Integrator,<br />

Sinyal Sebagai Fungsi t. Membangun Persamaan Ruang<br />

Status. Membangun Diagram Blok dari Persamaan Ruang<br />

Status.<br />

Bab 10: Transformasi Fourier 195<br />

Deret Fourier. Transformasi Fourier. Transformasi Balik.<br />

Sifat-Sifat Transformasi Fourier. Ringkasan.<br />

Bab 11: <strong>Analisis</strong> Menggunakan Transformasi Fourier 221<br />

Transformasi Fourier dan Hukum <strong>Rangkaian</strong>. Konvolusi dan<br />

Fungsi Alih. Energi Sinyal.<br />

Daftar Referensi 235<br />

Indeks 237<br />

Biodata 239<br />

vi


BAB 1<br />

<strong>Analisis</strong> Transien di Kawasan Waktu<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama<br />

Yang dimaksud dengan analisis transien adalah analisis rangkaian yang<br />

sedang dalam keadaan peralihan atau keadaan transien. Gejala transien<br />

atau gejala peralihan merupakan salah satu peristiwa dalam rangkaian<br />

listrik yang perlu kita perhatikan. Peristiwa ini biasanya berlangsung<br />

hanya beberapa saat namun jika tidak ditangani secara baik dapat<br />

menyebabkan terjadinya hal-hal yang sangat merugikan berupa<br />

kerusakan peralatan.<br />

Dalam sistem penyaluran energi, pemutusan dan penyambungan<br />

rangkaian merupakan hal yang sering terjadi. Operasi-operasi tersebut<br />

dapat menyebabkan terjadinya lonjakan tegangan yang biasa disebut<br />

tegangan lebih. Tegangan lebih pada sistem juga terjadi manakala ada<br />

sambaran petir yang mengimbaskan tegangan pada saluran transmisi.<br />

Tegangan lebih seperti ini akan merambat sepanjang saluran transmisi<br />

berbentuk gelombang berjalan dan akan sampai ke beban-beban yang<br />

terhubung pada sistem tersebut. Piranti-piranti elektronik akan menderita<br />

karenanya. Di samping melalui saluran transmisi, sambaran petir juga<br />

mengimbaskan tegangan secara induktif maupun kapasitif pada<br />

peralatan-peralatan. Semua kejadian itu merupakan peristiwa-peristiwa<br />

peralihan.<br />

Kita mengetahui bahwa kapasitor dan induktor adalah piranti-piranti<br />

dinamis dan rangkaian yang mengandung piranti-piranti jenis ini kita<br />

sebut rangkaian dinamis. Piranti dinamis mempunyai kemampuan untuk<br />

menyimpan energi dan melepaskan energi yang telah disimpan<br />

sebelumnya. Hal demikian tidak terjadi pada resistor, yang hanya dapat<br />

menyerap energi. Oleh karena itu, pada waktu terjadi operasi penutupan<br />

ataupun pemutusan rangkaian, perilaku rangkaian yang mengandung<br />

kapasitor maupun induktor berbeda dengan rangkaian yang hanya<br />

mengandung resistor saja.<br />

Karena hubungan antara arus dan tegangan pada induktor maupun<br />

kapasitor merupakan hubungan linier diferensial, maka persamaan<br />

rangkaian yang mengandung elemen-elemen ini juga merupakan<br />

persamaan diferensial. Persamaan diferensial ini dapat berupa persamaan<br />

1


diferensial orde pertama dan rangkaian yang demikian ini disebut<br />

rangkaian atau sistem orde pertama. Jika persamaan rangkaian berbentuk<br />

persamaan diferensial orde kedua maka rangkaian ini disebut rangkaian<br />

atau sistem orde kedua. Perilaku kedua macam sistem tersebut akan kita<br />

pelajari berikut ini.<br />

Dengan mempelajari analisis transien orde pertama, kita akan<br />

• mampu menurunkan persamaan rangkaian yang merupakan<br />

rangkaian orde pertama.<br />

• memahami bahwa tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan<br />

paksa dan tanggapan alami.<br />

• mampu melakukan analisis transien pada rangkaian orde<br />

pertama.<br />

1.1. Contoh <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama<br />

<strong>Rangkaian</strong> RC Seri. Salah<br />

satu contoh rangkaian orde<br />

pertama dalam keadaan<br />

peralihan adalah rangkaian<br />

RC seri seperti pada<br />

Gb.1.1. Pada awalnya<br />

saklar S pada rangkaian ini<br />

terbuka; kemudian pada<br />

saat t = 0 ia ditutup<br />

sehingga terbentuk<br />

v s<br />

+<br />

−<br />

rangkaian tertutup terdiri dari sumber v s dan hubungan seri resistor R<br />

dan kapasitor C. Jadi mulai pada t = 0 terjadilah perubahan status pada<br />

sistem tersebut dan gejala yang timbul selama terjadinya perubahan<br />

itulah yang kita sebut gejala perubahan atau gejala transien. Gejala<br />

transien ini merupakan tanggapan rangkaian seri RC ini setelah saklar<br />

ditutup, yaitu pada t > 0. Aplikasi HTK pada pada rangkaian untuk t > 0<br />

memberikan<br />

dv<br />

dv<br />

− vs + iR + v = −vs<br />

+ RC + v = 0 atau RC + v = vs<br />

(1.1)<br />

dt<br />

dt<br />

Persamaan (1.1) adalah persamaan rangkaian seri RC dengan<br />

menggunakan tegangan kapasitor sebagai peubah. Alternatif lain untuk<br />

memperoleh persamaan rangkaian ini adalah menggunakan arus i sebagai<br />

peubah. Tetapi dalam analisis transien, kita memilih peubah yang<br />

S<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

R<br />

C<br />

Gb.1.1. <strong>Rangkaian</strong> RC.<br />

i<br />

i C<br />

A<br />

+<br />

v<br />

−<br />

B<br />

2 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


merupakan peubah status dalam menyatakan persamaan rangkaian.<br />

Untuk rangkaian RC ini peubah statusnya adalah tegangan kapasitor, v.<br />

Pemilihan peubah status dalam melakukan analisis transien berkaitan<br />

dengan ada tidaknya simpanan energi dalam rangkaian yang sedang<br />

dianalisis, sesaat sebelum terjadinya perubahan. Hal ini akan kita lihat<br />

pada pembahasan selanjutnya.<br />

Persamaan (1.1) merupakan persamaan diferensial orde pertama tak<br />

homogen dengan koefisien konstan. Tegangan masukan v s merupakan<br />

sinyal sembarang, yang dapat berbentuk fungsi-fungsi yang pernah kita<br />

pelajari di Bab-1. Tugas kita dalam analisis rangkaian ini adalah mencari<br />

tegangan kapasitor, v, untuk t > 0.<br />

<strong>Rangkaian</strong> RL Seri. Contoh lain rangkaian orde pertama adalah<br />

rangkaian RL seri seperti pada<br />

Gb.1.2. Saklar S ditutup pada t S R<br />

= 0 sehingga terbentuk<br />

A<br />

rangkaian tertutup RL seri. +<br />

Aplikasi HTK pada rangkaian −<br />

ini untuk t > 0 memberikan :<br />

v s i<br />

i L<br />

L<br />

B<br />

di<br />

vs<br />

− Ri − vL<br />

= vs<br />

− Ri − L = 0<br />

dt Gb.1.2. <strong>Rangkaian</strong> RL seri.<br />

atau<br />

di<br />

L + Ri = v s<br />

(1.2)<br />

dt<br />

Persamaan (1.2) adalah persamaan rangkaian RL seri dengan arus i<br />

sebagai peubah. Sebagaimana kita ketahui, arus merupakan peubah status<br />

untuk induktor dan kita pilih ia sebagai peubah dalam analisis rangkaian<br />

RL.<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama yang Lain. Persamaan rangkaian RC dan RL<br />

merupakan persamaan diferensial orde pertama dan oleh karena itu<br />

rangkaian itu disebut rangkaian orde pertama atau sistem orde pertama.<br />

Sudah barang tentu sistem orde pertama bukan hanya rangkaian RC dan<br />

RL saja, akan tetapi setiap rangkaian yang persamaannya berupa<br />

persamaan diferensial orde pertama adalah sistem orde pertama.<br />

3


1.2. Tinjauan Umum Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama<br />

Secara umum, persamaan rangkaian orde pertama berbentuk<br />

dy<br />

a + by = x(t)<br />

(1.3)<br />

dt<br />

Peubah y adalah keluaran atau tanggapan dari rangkaian yang dapat<br />

berupa tegangan ataupun arus sedangkan nilai a dan b ditentukan oleh<br />

nilai-nilai elemen yang membentuk rangkaian. Fungsi x(t) adalah<br />

masukan pada rangkaian yang dapat berupa tegangan ataupun arus dan<br />

disebut fungsi pemaksa atau fungsi penggerak.<br />

Kita mengetahui bahwa persamaan diferensial seperti (1.3) mempunyai<br />

solusi total yang merupakan jumlah dari solusi khusus dan solusi<br />

homogen. Solusi khusus adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan<br />

(1.3) sedangkan solusi homogen adalah fungsi yang dapat memenuhi<br />

persamaan homogen<br />

dy<br />

a + by = 0<br />

(1.4)<br />

dt<br />

Hal ini dapat difahami karena jika fungsi x 1 memenuhi (1.3) dan fungsi<br />

x 2 memenuhi (1.4), maka y = (x 1 +x 2 ) akan memenuhi (1.3) sebab<br />

dy<br />

a<br />

dt<br />

( x + x )<br />

d 1 2<br />

dx<br />

( ) 1 dx<br />

+ by = a + b x<br />

2<br />

1 + x2<br />

= a + bx1<br />

+ a + bx2<br />

dt<br />

dt dt<br />

dx<br />

= a 1 + bx1<br />

+ 0<br />

dt<br />

Jadi y = (x 1 +x 2 ) adalah solusi dari (1.3), dan kita sebut solusi total.<br />

1.2.1. Tanggapan Alami, Tanggapan Paksa, Tanggapan Lengkap<br />

Dalam rangkaian listrik, solusi total persamaan diferensial (1.3)<br />

merupakan tanggapan lengkap (complete response) rangkaian, yang<br />

tidak lain adalah keluaran (tanggapan) rangkaian dalam kurun waktu<br />

setelah terjadi perubahan, atau kita katakan untuk t > 0. Tanggapan<br />

lengkap ini terdiri dua komponen yaitu tanggapan alami dan tanggapan<br />

paksa, sesuai dengan adanya solusi homogen dan solusi khusus dari (1.3).<br />

Tanggapan alami adalah solusi homogen dari persamaan homogen (1.4);<br />

disebut demikian karena ia merupakan tanggapan yang tidak ditentukan<br />

oleh fungsi pemaksa x(t) karena x(t) = 0. Komponen ini ditentukan oleh<br />

4 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


elemen rangkaian dan keadaannya sesaat setelah terjadinya perubahan<br />

atau kita katakan ditentukan oleh keadaan pada t = 0 + . Tanggapan paksa<br />

adalah solusi khusus dari persamaan rangkaian (1.3); disebut demikian<br />

karena tanggapan ini merupakan tanggapan rangkaian atas adanya fungsi<br />

pemaksa x(t).<br />

Tanggapan Alami. Banyak cara untuk mencari solusi persamaan (1.4).<br />

Salah satu cara adalah memisahkan peubah dan kemudian melakukan<br />

integrasi. Di sini kita tidak menggunakan cara itu, tetapi kita akan<br />

menggunakan cara pendugaan. Persamaan (1.4) menyatakan bahwa y<br />

ditambah dengan suatu koefisien konstan kali dy/dt, sama dengan nol<br />

untuk semua nilai t. Hal ini hanya mungkin terjadi jika y dan dy/dt<br />

berbentuk sama. Fungsi yang turunannya mempunyai bentuk sama<br />

dengan fungsi itu sendiri adalah fungsi eksponensial. Jadi kita dapat<br />

menduga bahwa solusi dari (1.4) mempunyai bentuk eksponensial y =<br />

K 1 e st . Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (1.4), kita peroleh<br />

( as + ) 0<br />

st st<br />

aK1 se + bK1e<br />

= 0 atau yK1<br />

b =<br />

(1.5)<br />

Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K 1 juga tidak<br />

boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk<br />

seluruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (1.5) terpenuhi adalah<br />

as + b = 0<br />

(1.6)<br />

Persamaan (1.6) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde<br />

pertama. Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi<br />

tanggapan alami yang kita cari adalah<br />

st −(<br />

b / a)<br />

t<br />

ya<br />

= K1e<br />

= K1e<br />

(1.7)<br />

Nilai K 1 masih harus kita tentukan melalui penerapan suatu persyaratan<br />

tertentu yang kita sebut kondisi awal yaitu kondisi pada t = 0 + . Yang<br />

dimaksud dengan t = 0 + adalah sesaat setelah terjadinya perubahan<br />

keadaan; dalam kasus penutupan saklar S pada rangkaian Gb.1.1, t = 0 +<br />

adalah sesaat setelah saklar ditutup. Ada kemungkinan bahwa y telah<br />

mempunyai nilai tertentu pada t = 0 + sehingga nilai K 1 haruslah<br />

sedemikian rupa sehingga nilai y pada t = 0 + tersebut dapat dipenuhi.<br />

Akan tetapi kondisi awal ini tidak dapat kita terapkan pada tanggapan<br />

alami karena tanggapan ini baru merupakan sebagian dari tanggapan<br />

rangkaian. Kondisi awal harus kita terapkan pada tanggapan lengkap dan<br />

bukan hanya untuk tanggapan alami saja. Oleh karena itu kita harus<br />

5


mencari tanggapan paksa lebih dulu agar tanggapan lengkap dapat kita<br />

peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal tersebut.<br />

Tanggapan Paksa. Tanggapan paksa dari (1.3) tergantung dari bentuk<br />

fungsi pemaksa x(t). Seperti halnya dengan tanggapan alami, kita dapat<br />

melakukan pendugaan pada tanggapan paksa. Bentuk tanggapan paksa<br />

haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan<br />

rangkaian (1.3) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan<br />

berisi bentuk fungsi yang sama. Jika tanggapan paksa kita sebut y p , maka<br />

y p dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut<br />

terpenuhi. Untuk berbagai bentuk fungsi pemaksa x(t), tanggapan paksa<br />

dugaan y p adalah sebagai berikut.<br />

Jika x(<br />

t)<br />

= 0 , maka y p = 0<br />

Jika x(<br />

t)<br />

= A = konstan, maka y p = konstan = K<br />

Jika<br />

αt<br />

x(<br />

t)<br />

= Ae = eksponensial, maka<br />

αt<br />

y p = eksponensial = Ke<br />

Jika x(<br />

t)<br />

= Asin<br />

ωt<br />

, maka y p = Kc<br />

cosωt<br />

+ Ks<br />

sin ωt<br />

Jika x(<br />

t)<br />

= Acosωt,<br />

maka y p = Kc<br />

cosωt<br />

+ Ks<br />

sin ωt<br />

Perhatikan : y = Kc<br />

cosωt<br />

+ Ks<br />

sin ωt<br />

adalah bentuk umum<br />

fungsi sinus maupun cosinus .<br />

(1.8)<br />

Tanggapan Lengkap. Jika tanggapan paksa kita sebut y p , maka<br />

tanggapan lengkap adalah<br />

s t<br />

y = y p + y a = y p + K 1e<br />

(1.9)<br />

Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan<br />

memberikan nilai K 1 .<br />

Kondisi Awal. Peubah y adalah peubah status, bisa berupa tegangan<br />

kapasitor v C atau arus induktor i L . Kondisi awal adalah nilai y pada t = 0 + .<br />

Sebagaimana telah kita pelajari di Bab-1, peubah status harus merupakan<br />

fungsi kontinyu. Jadi, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi<br />

perubahan pada t = 0, y harus bernilai sama. Dengan singkat dituliskan<br />

Kondisi awal<br />

+ −<br />

+ −<br />

: v C (0 ) = vC<br />

(0 ) ataupun iL(0<br />

) = iL(0<br />

) (1.10)<br />

Jika kondisi awal ini kita sebut y(0 + ) dan kita masukkan pada dugaan<br />

solusi lengkap (1.9) akan kita peroleh nilai K 1 .<br />

6 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


+ +<br />

+<br />

( = p 1 1<br />

p<br />

y 0 ) y (0 ) + K → K = y(0<br />

) − y (0 ) (1.11)<br />

Nilai y(0 + ) dan y p (0 + ) adalah tertentu (yaitu nilai pada t=0 + ). Jika kita<br />

sebut<br />

+<br />

+<br />

+<br />

y( 0 ) − yp (0 ) = A<br />

0<br />

(1.12)<br />

maka tanggapan lengkap menjadi<br />

s t<br />

y = y p + A0<br />

e<br />

(1.13)<br />

1.3. Komponen Mantap dan Komponen Transien<br />

Tanggapan lengkap rangkaian seperti yang ditunjukkan oleh (1.13),<br />

terdiri dari dua komponen. Komponen yang pertama (ditunjukkan oleh<br />

suku pertama) kita sebut komponen mantap. Komponen yang kedua<br />

(ditunjukkan oleh suku kedua) kita sebut komponen transien atau<br />

komponen peralihan. Komponen transien ini berbentuk eksponensial<br />

dengan konstanta waktu yang besarnya ditentukan oleh parameter<br />

rangkaian, yaitu τ = a/b. Dengan pengertian konstanta waktu ini<br />

tanggapan rangkaian dapat kita tulis<br />

−t<br />

/ τ<br />

y = y p + A0<br />

e<br />

(1.14)<br />

Sebagaimana kita ketahui, fungsi eksponensial dapat kita anggap hanya<br />

berlangsung selama 5 kali konstanta waktunya karena pada saat itu<br />

nilainya sudah tinggal kurang dari 1% dari amplitudo awalnya. Jadi<br />

komponen transien boleh kita anggap hanya berlangsung selama 5τ,<br />

sedangkan komponen mantap tetap berlangsung walau komponen<br />

transien telah hilang (oleh karena itulah disebut komponen mantap).<br />

Komponen transien tidak lain adalah tanggapan alami, yang merupakan<br />

reaksi alamiah dari rangkaian terhadap adanya perubahan. Berikut ini<br />

kita akan melihat beberapa contoh analisis transien sistem orde pertama.<br />

1.4. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Tanpa Fungsi Pemaksa, x(t) = 0<br />

Persamaan rangkaian tanpa fungsi pemaksa ini berasal dari rangkaian<br />

tanpa masukan. Perubahan tegangan dan arus dalam rangkaian bisa<br />

terjadi karena ada pelepasan energi yang semula tersimpan dalam<br />

rangkaian dan tanggapan rangkaian yang akan kita peroleh hanyalah<br />

tanggapan alami saja. Walaupun demikian, dalam melakukan analisis<br />

kita akan menganggap bahwa fungsi pemaksa tetap ada, akan tetapi<br />

7


ernilai nol. Hal ini kita lakukan karena kondisi awal harus diterapkan<br />

pada tanggapan lengkap, sedangkan tanggapan lengkap harus terdiri dari<br />

tanggapan alami dan tanggapan paksa (walaupun mungkin bernilai nol).<br />

Kondisi awal tidak dapat diterapkan hanya pada tanggapan alami saja<br />

atau tanggapan paksa saja.<br />

COTOH-1.1: Saklar S pada<br />

rangkaian di samping ini<br />

telah lama berada pada<br />

posisi 1. Pada t = 0, saklar S<br />

dipindahkan ke posisi 2.<br />

Carilah tegangan kapasitor,<br />

v, untuk t > 0.<br />

Penyelesaian :<br />

12V<br />

Karena S telah lama pada posisi 1,<br />

maka kapasitor telah terisi penuh, arus<br />

kapasitor tidak lagi mengalir, dan<br />

tegangan kapasitor sama dengan<br />

tegangan sumber, yaitu 12 V; jadi v(0 − )<br />

= 12 V. Setelah saklar dipindahkan ke posisi 2, kita mempunyai<br />

rangkaian tanpa sumber (masukan) seperti di samping ini, yang akan<br />

memberikan persamaan rangkaian tanpa fungsi pemaksa. Aplikasi<br />

HTK pada rangkaian ini memberikan : − v + iR R = 0 .<br />

dv<br />

Karena iR<br />

= −iC<br />

= −C<br />

maka kita dapat menuliskan persamaan<br />

dt<br />

rangkaian sebagai :<br />

dv dv<br />

− v − RC = 0 atau + 1 v = 0<br />

dt<br />

dt RC<br />

Dengan nilai elemen seperti diperlihatkan pada gambar, maka<br />

persamaan rangkaian menjadi :<br />

dv<br />

+ 1000 v = 0<br />

dt<br />

0.1µF<br />

10kΩ<br />

Inilah persamaan rangkaian untuk t > 0. Pada rangkaian ini tidak ada<br />

fungsi pemaksa. Ini bisa dilihat dari gambar rangkaian ataupun dari<br />

persamaan rangkaian yang ruas kanannya bernilai nol.<br />

+<br />

−<br />

+<br />

v<br />

−<br />

S<br />

1 2<br />

+<br />

v<br />

−<br />

0.1µF<br />

10kΩ<br />

i R<br />

8 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Persamaan karakteristik : s + 1000 = 0 → s = −1000<br />

Dugaan tanggapan alami: v<br />

Dugaan tanggpan paksa : v<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = v<br />

Kondisi awal : v(0<br />

) = v(0<br />

) = 12 V.<br />

Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap<br />

memberikan: 12 = 0 + A → A<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 e<br />

Pemahaman :<br />

+<br />

p<br />

−<br />

a<br />

= A<br />

= 0 ( tidak ada fungsi pemaksa)<br />

0<br />

−1000t<br />

0e<br />

p<br />

+ A e<br />

0<br />

st<br />

= 12<br />

0<br />

−1000<br />

t<br />

= 0 + A e<br />

V<br />

−1000t<br />

0<br />

<strong>Rangkaian</strong> tidak mengandung fungsi pemaksa. Jadi sesungguhnya<br />

yang ada hanyalah tanggapan alami. Tanggapan paksa dinyatakan<br />

sebagai v p = 0. Kondisi awal harus diterapkan pada tanggapan<br />

lengkap v = v p + va<br />

= 0 + va<br />

walaupun kita tahu bahwa hanya ada<br />

tanggapan alami dalam rangkaian ini.<br />

COTOH-1.2: Saklar S pada rangkaian berikut ini telah lama tertutup.<br />

Pada t = 0 saklar dibuka. Carilah arus dan tegangan induktor untuk t<br />

> 0.<br />

A<br />

S<br />

+ 1 kΩ<br />

i<br />

50 V −<br />

3 kΩ 0.6 H<br />

Penyelesaian :<br />

Saklar S telah lama tertutup, berarti keadaan mantap telah tercapai.<br />

Pada keadaan mantap ini tegangan induktor harus nol, karena<br />

sumber berupa sumber tegangan konstan. Jadi resistor 3 kΩ<br />

terhubung singkat melalui induktor. Arus pada induktor dalam<br />

keadaan mantap ini (sebelum saklar dibuka) sama dengan arus yang<br />

− 50<br />

melalui resistor 1 kΩ yaitu i ( 0 ) = = 50 mA . Setelah saklar<br />

1000<br />

dibuka, rangkaian tinggal induktor yang terhubung seri dengan<br />

9


v<br />

resistor 3 kΩ. Untuk simpul A berlaku A<br />

+ i = 0 . Karena v A = v L<br />

3000<br />

1 ⎛ di ⎞<br />

= L di/dt, maka persamaan ini menjadi ⎜0,6<br />

⎟ + i = 0 atau<br />

3000 ⎝ dt ⎠<br />

di<br />

0,6 + 3000 i = 0<br />

dt<br />

Persamaan karakteristik : 0,6s<br />

+ 3000 = 0 → s = −5000<br />

−5000<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: ia<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : i p = 0 (tak ada fungsi pemaksa)<br />

−5000<br />

t<br />

−5000<br />

t<br />

Dugaan tanggapan lengkap: i = i p + A0e<br />

= 0 + A0e<br />

+ −<br />

Kondisi awal : i(0<br />

) = i(0<br />

) = 50 mA .<br />

Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap<br />

memberikan : 50 = A0<br />

−5000<br />

t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : i = 50 e mA<br />

COTOH-1.3: Tentukanlah<br />

tegangan kapasitor, v , dan<br />

arus kapasitor i untuk t > 0<br />

pada rangkaian di samping<br />

ini jika diketahui bahwa<br />

kondisi awalnya adalah v(0 + )<br />

= 10 V.<br />

Penyelesaian :<br />

4 i<br />

Dalam soal ini tidak tergambar jelas mengenai terjadinya perubahan<br />

keadaan (penutupan saklar misalnya). Akan tetapi disebutkan bahwa<br />

kondisi awal v(0 + ) = 10 V. Jadi kita memahami bahwa rangkaian ini<br />

adalah rangkaian untuk keadaan pada t > 0 dengan kondisi awal<br />

sebagaimana disebutkan.<br />

Persamaan tegangan untuk simpul A adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞ 4i<br />

v A ⎜ + ⎟ + i − = 0 atau 3 v + 6i<br />

= 0 .<br />

⎝10<br />

5 ⎠ 10<br />

+<br />

−<br />

10Ω<br />

i<br />

1/6 F<br />

A<br />

+<br />

v<br />

−<br />

5Ω<br />

10 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Karena i = C dv/dt = (1/6) dv/dt maka persamaan tersebut menjadi<br />

dv<br />

+ 3 v = 0<br />

dt<br />

Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

−3<br />

t<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : v p = 0<br />

Dugaan tanggapan lengkap<br />

+<br />

Kondisi awal : v(0<br />

) = 10 V<br />

Penerapan kondisi awal memberikan: 10 = 0 + A0<br />

−3t<br />

Tanggapan lengkap (tegangan kapasitor) menjadi : v = 10 e<br />

Arus kapasitor : i = C<br />

dv<br />

dt<br />

−3t<br />

: v = v p + A0e<br />

1<br />

−3t<br />

−3t<br />

= × 10×<br />

( −3)<br />

e = −5<br />

e<br />

6<br />

A<br />

V<br />

COTOH-1.4:<br />

Tentukanlah arus<br />

induktor i(t) untuk t ><br />

0 pada rangkaian di<br />

samping ini jika<br />

diketahui bahwa i(0 + )<br />

= 2 A.<br />

Penyelesaian :<br />

Sumber tegangan tak-bebas berada di antara dua simpul yang bukan<br />

simpul referensi A dan B, dan kita jadikan simpul super. Dengan<br />

mengambil i sebagai peubah sinyal, kita peroleh:<br />

Simpul Super AB :<br />

i<br />

A<br />

+ −<br />

⎛ 1 1 ⎞<br />

i + vB⎜<br />

+ ⎟ = 0<br />

⎝ 3 2 ⎠<br />

v<br />

v<br />

B<br />

A − vB<br />

= 0,5 iR<br />

= 0,5<br />

2<br />

→ 3 i + 2vA<br />

= 0<br />

B<br />

0,5 i R<br />

0,5 H 3 Ω 2 Ω<br />

→ 6 i + 5vB<br />

= 0<br />

4<br />

→ vB<br />

= vA<br />

5<br />

i R<br />

11


Karena v A = L di/dt = 0,5 di/dt maka persamaan di atas menjadi<br />

+<br />

Kondisi awal i(0<br />

) = 2 A<br />

di<br />

+ 3 i =<br />

dt<br />

Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3<br />

−3<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: ia<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : ip<br />

= 0<br />

−3t<br />

−3<br />

t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : i = vp<br />

+ A0e<br />

= 0 + A0e<br />

Penerapan kondisi awal memberikan: 2 = 0 + A0<br />

−3<br />

t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : i = 2 e A<br />

1.5. Tanggapan Terhadap Sinyal Anak Tangga<br />

Fungsi anak tangga, Au(t), adalah fungsi yang bernilai 0 untuk t < 0 dan<br />

bernilai konstan A untuk t > 0. Masukan yang berupa tegangan dengan<br />

bentuk gelombang sinyal anak tangga dapat digambarkan dengan sebuah<br />

sumber tegangan konstan A V seri dengan saklar S yang ditutup pada t<br />

=0 yang akan memberikan tegangan masukan v s =Au(t). <strong>Rangkaian</strong><br />

sumber ini dapat juga kita nyatakan dengan sebuah sumber tegangan<br />

bebas v s =Au(t). Kedua cara ini sering digunakan dalam menyatakan<br />

persoalan-persoalan rangkaian.<br />

0<br />

A V<br />

+<br />

−<br />

S +<br />

+<br />

v s<br />

+<br />

Au(t)V v s<br />

−<br />

−<br />

−<br />

Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka masukan sinyal<br />

anak tangga v s = Au(t) dapat kita tuliskan sebagai v s = A (konstan) tanpa<br />

menuliskan faktor u(t) lagi.<br />

S<br />

i<br />

COTOH-1.5: Saklar S pada<br />

rangkaian di samping ini telah<br />

lama pada posisi 1. Pada t = 0,<br />

S dipindahkan ke posisi 2.<br />

Tentukan v (tegangan<br />

kapasitor) untuk t > 0.<br />

2<br />

1<br />

12V<br />

12 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)<br />

+<br />

−<br />

10kΩ +<br />

v<br />

0,1µF −


Penyelesaian :<br />

Saklar S telah lama pada posisi 1 dan hal ini berarti bahwa tegangan<br />

kapasitor sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2 adalah v(0 − ) = 0.<br />

Setelah saklar pada posisi 2, aplikasi HTK memberikan persamaan<br />

rangkaian<br />

4<br />

−12<br />

+ 10 i + v = 0 .<br />

Karena i = i C = C dv/dt, maka persamaan tersebut menjadi<br />

4 −6<br />

dv<br />

−12<br />

+ 10 × 0,1 × 10 + v = 0 atau<br />

dt<br />

−<br />

10 3 dv<br />

+ v = 12<br />

dt<br />

−3<br />

−3<br />

Persamaan karakteristik : 10 s + 1 = 0 → s = −1/10<br />

= −1000<br />

−1000<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A0e<br />

Fungsi pemaksa bernilai konstan (=12). Kita dapat menduga bahwa<br />

tanggapan paksa akan bernilai konstan juga karena turunannya akan<br />

nol sehingga kedua ruas persamaan rangkaian tersebut di atas dapat<br />

berisi suatu nilai konstan.<br />

Dugaan tanggapan paksa : v p = K<br />

Masukkan v p<br />

dugaan ini ke persamaan<br />

−1000<br />

t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = 12 + A0e<br />

V<br />

+<br />

Kondisi awal : v(0<br />

) = v(0−)<br />

= 0.<br />

rangkaian : 0 + K = 12 ⇒ v p = 12<br />

Penerapan kondisi awal memberikan : 0 = 12 + A0<br />

→ A0<br />

= −12<br />

−1000t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 − 12 e V<br />

Pemahaman :<br />

a). Persamaan tegangan<br />

kapasitor ini<br />

menunjukkan perubahan<br />

tegangan pada waktu ia<br />

diisi, sebagaimana<br />

terlihat pada gambar di<br />

samping ini.<br />

12<br />

v<br />

[V]<br />

12−12e −1000t<br />

0<br />

0 0.002 0.004<br />

t<br />

13


). Pemasukan suatu tegangan konstan ke suatu rangkaian dengan<br />

menutup saklar pada t = 0 sama dengan memberikan bentuk<br />

gelombang tegangan anak tangga pada rangkaian. Pernyataan<br />

persoalan diatas dapat dinyatakan dengan sumber sinyal anak tangga<br />

dengan tambahan keterangan bahwa v C (0 − ) = 0.<br />

COTOH-1.6: Tentukanlah<br />

tegangan kapasitor v untuk t > 0<br />

pada rangkaian di samping ini<br />

jika v(0 − ) = 4 V.<br />

Penyelesaian :<br />

Aplikasi HTK pada rangkaian ini memberikan<br />

4<br />

−3<br />

dv<br />

−12u ( t)<br />

+ 10 i + v = 0 ⇒10<br />

+ v = 12u(<br />

t)<br />

dt<br />

Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi anak<br />

tangga dapat kita tuliskan sebagai suatu nilai konstan tanpa<br />

menuliskan u(t) lagi. Jadi persamaan rangkaian di atas menjadi<br />

−<br />

10 3 dv<br />

+ v = 12<br />

dt<br />

−3<br />

3<br />

Persamaan karakteristik : 10 s + 1=<br />

0 → s = −10<br />

−1000<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : vp<br />

= K (fungsi pemaksa konstan)<br />

→ 0 + K = 12 → vp<br />

= 12<br />

−1000t<br />

−1000t<br />

Dugaan tanggapan lengkap: v = vp<br />

+ A0e<br />

= 12 + A0e<br />

+ −<br />

Kondisi awal: v(0<br />

) = v(0<br />

) = 4 V.<br />

12u(t)<br />

V<br />

10kΩ +<br />

v<br />

0,1µF −<br />

Penerapan kondisi awal memberikan: 4 = 12 + A0<br />

→ A0<br />

= −8<br />

−1000t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 − 8 e V<br />

+<br />

−<br />

i<br />

14 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-1.7: Semula, rangkaian berikut ini tidak mempunyai<br />

simpanan energi awal dan saklar S terbuka (tidak pada posisi 1<br />

maupun 2). Kemudian saklar S ditutup pada posisi 1 selama<br />

beberapa milidetik sampai arus yang mengalir pada resistor 15 Ω<br />

mencapai 2,6 A. Segera setelah nilai arus ini dicapai, saklar dipindah<br />

ke posisi 2. Carilah tegangan kapasitor mulai saat saklar pada posisi<br />

2.<br />

S 15Ω<br />

A<br />

1<br />

2 i C<br />

50 V +<br />

+<br />

+<br />

−<br />

100 V v 10 Ω<br />

−<br />

−<br />

1/30 F<br />

Penyelesaian :<br />

Persoalan menutup saklar ke posisi 1 adalah persoalan pengisian<br />

kapasitor. Kita tidak membahasnya lagi, dan selain itu berapa lama<br />

saklar ada di posisi 1 juga tidak dipermasalahkan. Informasi bahwa<br />

saklar ditutup pada posisi 1 sampai arus mencapai 2,6 A<br />

menunjukkan bahwa sesaat sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2,<br />

tegangan di simpul A (yang berarti pula tegangan pada kapasitor v),<br />

telah mencapai nilai tertentu yaitu<br />

−<br />

v ( 0 ) = 50 − 15 × 2,6 = 11 V .<br />

Setelah saklar ada di posisi 2, yaitu pada t > 0, persamaan tegangan<br />

untuk simpul A adalah:<br />

⎛<br />

v A⎜<br />

⎝<br />

1<br />

15<br />

1 ⎞ 100<br />

1<br />

+ ⎟ + iC<br />

− = 0 atau v + iC<br />

=<br />

10 ⎠ 15<br />

6<br />

Karena i C = C dv/dt , maka persamaan di atas menjadi<br />

1 1 dv 20<br />

v + = atau<br />

6 30 dt 3<br />

dv<br />

dt<br />

+ 5 v = 200<br />

20<br />

3<br />

15


Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5<br />

−5<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : vp<br />

= K → 0 + 5K<br />

= 200 → vp<br />

= 40<br />

−5t<br />

−5t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = vp<br />

+ A0e<br />

= 40 + A0e<br />

+ −<br />

Kondisi awal v(0<br />

) = v(0<br />

) = 11V<br />

Penerapan kondisi awal memberikan: 11=<br />

40 + A0<br />

−5t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v = 40 − 29 e V.<br />

→ A0<br />

= −29<br />

COTOH-1.8: Semula, rangkaian di berikut ini tidak mempunyai<br />

simpanan energi awal. Pada t = 0 saklar S ditutup di posisi 1 selama<br />

satu detik kemudian dipindah ke posisi 2. Carilah tegangan<br />

kapasitor untuk t > 0.<br />

S<br />

2<br />

1<br />

+<br />

−<br />

150Ω<br />

i C<br />

50 V<br />

1/30 F<br />

A<br />

100Ω<br />

+<br />

v<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Pada waktu saklar di posisi 1, persamaan tegangan simpul A adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞ 50<br />

vA⎜<br />

+ ⎟ + iC<br />

− = 0<br />

⎝150<br />

100 ⎠ 150<br />

⎛ 5 ⎞ 1 dv 100<br />

→ v⎜<br />

⎟ + − = 0<br />

⎝ 300 ⎠ 30 dt 300<br />

dv<br />

atau v + 2 = 20<br />

dt<br />

16 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Persamaan karakteristik : 1+<br />

2s<br />

= 0 → s = −0,5<br />

−0,5<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A0e<br />

Dugaan tanggapan paksa : v p = K → K + 0 = 20<br />

−0,5<br />

t<br />

−0,5<br />

t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v1<br />

= v p + A0e<br />

= 20 + A0e<br />

+<br />

Kondisi awal : v1<br />

(0 ) = 0<br />

Penerapan kondisi awal → 0 = 20 + A0<br />

→ A0<br />

= −20<br />

−0.5<br />

t<br />

Tanggapan lengkap menjadi: v1<br />

= 20 − 20 e V untuk 0 < t ≤1<br />

atau dapat dituliskan sebagai: v1<br />

=<br />

−0.5<br />

t<br />

[ 20 − 20 e ][ u(<br />

t)<br />

− u(<br />

t −1)<br />

] V<br />

Tanggapan ini berlangsung selama 1 detik, yaitu sampai saat saklar<br />

S dipindahkan ke posisi 2. Pada saat t = 1, tegangan kapasitor adalah<br />

−0,5<br />

v 1 = 20 − 20 e = 20 −12,1<br />

= 7,9 V<br />

Untuk t > 1, persamaan tegangan simpul A adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞<br />

⎛ 5 ⎞ 1 dv<br />

vA ⎜ + ⎟ + iC<br />

= 0 → v⎜<br />

⎟ + = 0 atau<br />

⎝150<br />

100 ⎠<br />

⎝ 300 ⎠ 30 dt<br />

Tanggapan lengkap: v2<br />

=<br />

dv<br />

v + 2 = 0<br />

dt<br />

Persamaan karakteristik : 1+<br />

2s<br />

= 0 → s = −0,5<br />

−0,5<br />

t<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A01e<br />

, untuk t ≥ 1<br />

va<br />

= 0 , untuk t < 1<br />

−0,5 ( t−1)<br />

atau dapat dituliskan sebagai: va<br />

= A01e<br />

u(<br />

t −1<br />

Tanggapan paksa : v p1<br />

= 0<br />

−0,5<br />

( t−1)<br />

[ v p1<br />

+ A01e<br />

] u<br />

−0,5<br />

( t−1)<br />

= [ 0 + A e ]<br />

( t −1)<br />

01 u(<br />

t −1)<br />

+ −<br />

Kondisi awal: v2<br />

(1 ) = v1<br />

(1 ) = 7,9 V<br />

+<br />

Penerapan kondisi awal ( t = 1 ) : 7,9 = 0 + A01<br />

→ A01<br />

= 7,9<br />

−0,5 ( t−1)<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v2<br />

= 7,9 e u(<br />

t −1)<br />

17


Pernyataan tanggapan lengkap untuk seluruh selang waktu adalah<br />

−0,5<br />

t<br />

−0,5 ( t−1)<br />

( 20 − 20e<br />

)( u(<br />

t)<br />

− u(<br />

t −1)<br />

) + 7,9 e u(<br />

t 1)<br />

v = v1 + v2<br />

=<br />

−<br />

Pemahaman :<br />

Gambar dari perubahan tegangan kapasitor adalah seperti di bawah<br />

ini.<br />

v<br />

10<br />

1.5.1. Prinsip Superposisi<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

(20−20e −0,5t ){u(t)−u(t−1)}<br />

0<br />

t<br />

0 0.5 1 1.5 2 2.5<br />

Prinsip superposisi berlaku juga pada analisis transien. Jika rangkaian<br />

mengandung beberapa fungsi pemaksa, maka tanggapan total rangkaian<br />

adalah jumlah dari tanggapan lengkap dari masing-masing fungsi<br />

pemaksa yang ditinjau secara terpisah.<br />

COTOH-1.9: Masukan pada rangkaian contoh 1.8. dapat dinyatakan<br />

sebagai sebuah sinyal impuls yang muncul pada t = 0 dengan<br />

amplitudo 50 V dan durasinya 1 detik. Carilah v untuk t > 0.<br />

Penyelesaian :<br />

Sinyal impuls ini dapat dinyatakan dengan fungsi anak tangga<br />

sebagai<br />

v s = 50u(<br />

t)<br />

− 50u(<br />

t −1)<br />

7,9e −0,5(t−1) u(t−1)<br />

Kita dapat memandang masukan ini sebagai terdiri dari dua sumber<br />

yaitu<br />

vs<br />

1 = 50u(<br />

t)<br />

V dan vs2<br />

= −50u(<br />

t − 1)<br />

<strong>Rangkaian</strong> ekivalennya dapat digambarkan seperti di bawah ini.<br />

V<br />

V<br />

18 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


150Ω<br />

A<br />

−<br />

+ 50u(t−1) V<br />

+<br />

−<br />

50u(t) V<br />

i C<br />

1/30 F<br />

100Ω<br />

+<br />

v<br />

−<br />

Untuk v s1 persamaan rangkaian adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞ 50<br />

dv<br />

v A⎜<br />

+ ⎟ + iC<br />

− = 0 ⇒ v + 2 = 20u(<br />

t)<br />

⎝150<br />

100 ⎠ 150<br />

dt<br />

Tanggapan lengkap dari persamaan ini telah diperoleh pada contoh<br />

1.8. yaitu<br />

−0,5<br />

t<br />

vo1<br />

= ( 20 − 20 e ) u(<br />

t)<br />

V<br />

Untuk v s2 dengan peninjauan hanya pada t > 1, persamaan rangkaian<br />

adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞ 50<br />

v A⎜<br />

+ ⎟ + iC<br />

+ = 0 atau<br />

⎝150<br />

100 ⎠ 150<br />

dv<br />

v + 2 = −20u(<br />

t −1)<br />

dt<br />

Persamaan karakteristik : 2s<br />

+ 1 = 0 → s = −0,5<br />

−0,5 ( t−1)<br />

Dugaan tanggapan alami: va<br />

= A01e<br />

u(<br />

t −1)<br />

Dugaan tanggapan paksa : vp2<br />

= K2<br />

→ K2<br />

+ 0 = −20<br />

−0,5 ( t−1)<br />

Dugaan tanggapan lengkap : vo2<br />

= −20<br />

+ A01e<br />

u(<br />

t −1)<br />

+<br />

Kondisi awal : v(1<br />

) = 0 → 0 = −20<br />

+ A01<br />

→ A01<br />

= 20<br />

Tanggapan lengkap menjadi:<br />

vo2<br />

=<br />

Tanggapan total :<br />

v = vo1<br />

+ vo2<br />

=<br />

−0,5 ( t−1)<br />

( − 20 + 20 e )<br />

u(<br />

t −1)<br />

V<br />

−0,5<br />

t<br />

−0,5 ( t−1)<br />

( 20 − 20 e ) u(<br />

t)<br />

+ ( − 20 + 20 e ) u(<br />

t −1)<br />

V<br />

Hasil ini sama dengan yang telah diperoleh pada contoh-1.8.<br />

19


1.6. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama Terhadap Sinyal Sinus<br />

Berikut ini kita akan melihat tanggapan rangkaian terhadap sinyal sinus.<br />

Karena tanggapan alami tidak tergantung dari bentuk fungsi pemaksa,<br />

maka pencarian tanggapan alami dari rangkaian ini sama seperti apa yang<br />

kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya,. Jadi dalam hal ini perhatian<br />

kita lebih kita tujukan pada pencarian tanggapan paksa.<br />

Bentuk umum dari fungsi sinus yang muncul pada t = 0 adalah<br />

y = Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

u(<br />

t)<br />

(1.15.a)<br />

Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka u(t) pada<br />

(1.15.a) tidak perlu dituliskan lagi, sehingga pernyataan fungsi sinus<br />

menjadi<br />

y = Acos( ωt<br />

+ θ)<br />

(1.15.b)<br />

Fungsi sinus umum ini dapat kita tuliskan sebagai berikut.<br />

{ cosωt<br />

cosθ − sin ωt<br />

θ}<br />

y = Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

= A<br />

sin<br />

y = A<br />

c<br />

dengan<br />

cosωt<br />

+ A<br />

sin ωt<br />

A = Acosθ<br />

c<br />

s<br />

dan<br />

A = −Asin<br />

θ<br />

s<br />

(1.16)<br />

Dengan pernyataan umum seperti (1.16), kita terhindar dari perhitungan<br />

sudut fasa θ, karena sudut fasa ini tercakup dalam koefisien A c dan A s .<br />

Dalam analisis rangkaian yang melibatkan sinyal sinus, kita akan<br />

menggunakan bentuk umum sinyal sinus seperti (1.16). Koefisien A c dan<br />

A s tidak selalu ada. Jika sudut fasa θ = 0 maka A s = 0 dan jika θ = 90 o<br />

maka A c = 0. Jika kita memerlukan nilai sudut fasa dari fungsi sinus<br />

yang dinyatakan dengan persamaan umum (1.16), kita menggunakan<br />

hubungan<br />

A<br />

tan θ = s<br />

(1.17)<br />

Ac<br />

Turunan fungsi sinus akan berbentuk sinus juga.<br />

dy<br />

y = Ac<br />

cosωt<br />

+ As<br />

sin ωt<br />

; = −Ac<br />

ωsin<br />

ωt<br />

+ Asω<br />

cosωt<br />

dt<br />

2 (1.18)<br />

d y 2<br />

2<br />

= −Ac<br />

ω cosωt<br />

− Asω<br />

sin ωt<br />

2<br />

dt<br />

20 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Oleh karena itu, penjumlahan y dan turunannya akan berbentuk fungsi<br />

sinus juga dan hal inilah yang membawa kita pada persamaan (1.8).<br />

COTOH-1.10: Carilah<br />

tegangan dan arus<br />

kapasitor untuk t > 0 pada<br />

rangkaian di bawah ini,<br />

jika diketahui bahwa<br />

v s =50cos10t u(t) V dan<br />

v(0 + ) = 0.<br />

Penyelesaian :<br />

Persamaan tegangan simpul untuk simpul A adalah<br />

⎛ 1 1 ⎞ vs<br />

1 v<br />

v 0<br />

s<br />

⎜ + ⎟ + iC<br />

− = → v + iC<br />

=<br />

⎝15<br />

10 ⎠ 15 6 15<br />

Karena i C = C dv/dt , persamaan di atas dapat kita tulis<br />

1 1 dv vs<br />

dv<br />

v + = atau + 5 v = 100cos10t<br />

6 30 dt 15 dt<br />

Faktor u(t) tak dituliskan lagi karena kita hanya melihat keadaan<br />

pada t > 0.<br />

Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5<br />

Dugaan tanggapan alami : v<br />

a<br />

= A e<br />

−5<br />

t<br />

0<br />

Fungsi pemaksa berbentuk sinus. Tanggapan paksa kita duga akan<br />

berbentuk A c cosωt+A s sinωt.<br />

Dugaan tanggapan paksa : v<br />

→ A<br />

s<br />

c<br />

→ −10A<br />

+ 5A<br />

c<br />

= 2A<br />

c<br />

s<br />

p<br />

s<br />

c<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

+ A e<br />

p<br />

→ 20A<br />

+ 5A<br />

= A cos10t<br />

+ A sin10t<br />

Substitusi tanggapan dugaan ini ke persamaan rangkaian memberikan:<br />

c<br />

= 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

c<br />

−10A<br />

sin10t<br />

+ 10A<br />

cos10t<br />

+ 5A<br />

cos10t<br />

+ 5A<br />

sin10t<br />

= 100cos10t<br />

Tanggapan paksa : v<br />

= 0<br />

+<br />

−<br />

s<br />

c<br />

v s<br />

dan 10A<br />

+ 5A<br />

c<br />

15Ω<br />

= 100 ⇒ A<br />

c<br />

i C<br />

1/30 F<br />

s<br />

= 100<br />

s<br />

A<br />

= 4 dan<br />

+<br />

v<br />

−<br />

A<br />

s<br />

= 8<br />

−5<br />

t<br />

0<br />

10Ω<br />

21


Kondisi awal v(0<br />

) = 0<br />

Penerapan kondisi awal : 0 = 4 + A → A<br />

Jadi tegangan<br />

Arus kapasitor : i<br />

+<br />

kapasitor : v = 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

− 4e<br />

C<br />

=<br />

dv<br />

C<br />

dt<br />

=<br />

1<br />

30<br />

0<br />

= −4<br />

−5t<br />

−5<br />

t<br />

( − 40sin10t<br />

+ 80cos10t<br />

+ 20 e )<br />

= −1,33sin10t<br />

+ 2,66cos10t<br />

+ 0,66 e<br />

0<br />

V<br />

−5<br />

t<br />

COTOH-1.11: Carilah tegangan dan arus kapasitor pada contoh-1.10.<br />

jika kondisi awalnya adalah v(0 + ) = 10 V.<br />

Penyelesaian :<br />

Tanggapan lengkap yang diperoleh pada contoh-1.10.<br />

Tanggapan lengkap : v = 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

+ A e<br />

Kondisi awal v(0<br />

) = 10 →10<br />

= 4 + A<br />

Jadi : v = 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

+ 6 e<br />

Arus kapasitor : i<br />

+<br />

C<br />

= C<br />

dv<br />

dt<br />

=<br />

1<br />

30<br />

0<br />

−5<br />

t<br />

V<br />

→ A = 6<br />

A<br />

−5<br />

t<br />

( − 40sin10t<br />

+ 80cos10t<br />

− 30 e )<br />

= −1,33sin10t<br />

+ 2,33cos10t<br />

− e<br />

0<br />

−5t<br />

0<br />

−5<br />

t<br />

A<br />

COTOH-1.12: Carilah tegangan kapasitor pada contoh 1.10. jika v s =<br />

50cos(10t + θ)u(t) V dan kondisi awalnya adalah v(0 + ) = 10 V.<br />

Penyelesaian :<br />

dv<br />

Persamaan rangkaian : + 5v<br />

= 100cos(10t<br />

+ θ)<br />

dt<br />

= 100cosθcos10t<br />

− 100sin θsin10t<br />

−5<br />

t<br />

Tanggapan alami : va<br />

= A0e<br />

(sama seperti contoh 4.10.)<br />

Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac<br />

cos10t<br />

+ As<br />

sin10t<br />

22 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Substitusi tanggapan paksa dugaan ini ke persamaan rangkaian<br />

memberikan:<br />

− 10Ac<br />

sin10t<br />

+ 10As<br />

cos10t<br />

+ 5Ac<br />

cos10t<br />

+ 5As<br />

sin10t<br />

= 100cosθcos10t<br />

− 100sin θsin10t<br />

→ −10Ac<br />

+ 5As<br />

= −100sin<br />

θ dan 10As<br />

+ 5Ac<br />

= 100cosθ<br />

→ As<br />

= −20sin<br />

θ + 2Ac<br />

dan − 200sin θ + 20Ac<br />

+ 5Ac<br />

= 100cosθ<br />

⇒ Ac<br />

= 4cosθ + 8sin θ dan As<br />

= −4sin<br />

θ + 8cosθ<br />

−5<br />

t<br />

Tanggapan lengkap : v = 4cos(10t<br />

+ θ)<br />

+ 8sin(10t<br />

+ θ)<br />

+ A0e<br />

+<br />

Kondisi awal v(0<br />

) = 10 →10<br />

= 4cosθ + 8sin θ + A0<br />

→ A0<br />

= 10 − (4cosθ + 8sin θ)<br />

−5<br />

t<br />

Jadi : v = 4cos(10t<br />

+ θ)<br />

+ 8sin(10t<br />

+ θ)<br />

+ (10 − 4cosθ − 8sin θ)<br />

e<br />

1.7. Tanggapan Masukan ol dan Tanggapan Status ol<br />

Jika suatu rangkaian tidak mempunyai masukan, dan yang ada hanyalah<br />

simpanan energi dalam rangkaian, maka tanggapan rangkaian dalam<br />

peristiwa ini kita sebut tanggapan masukan nol. Bentuk tanggapan ini<br />

secara umum adalah<br />

y<br />

+ −(<br />

b / a)<br />

t<br />

m0<br />

= y(0<br />

) e<br />

(1.19)<br />

Sebagaimana kita ketahui y(0 + ) adalah kondisi awal, yang menyatakan<br />

adanya simpanan energi pada rangkaian pada t = 0 − . Jadi tanggapan<br />

masukan nol merupakan pelepasan energi yang semula tersimpan dalam<br />

rangkaian.<br />

Jika rangkaian tidak mempunyai simpanan energi awal, atau kita katakan<br />

ber-status-nol, maka tanggapan rangkaian dalam peristiwa ini kita sebut<br />

tanggapan status nol. Bentuk tanggapan ini ditunjukkan oleh (1.13) yang<br />

kita tuliskan lagi sebagai<br />

y<br />

+ −(<br />

b / a)<br />

t<br />

s0<br />

= y f − y f (0 ) e<br />

(1.20)<br />

dengan y f adalah tanggapan keadaan mantap atau keadaan final, yang<br />

telah kita sebut pula sebagai tanggapan paksa. Suku kedua adalah negatif<br />

dari nilai tanggapan mantap pada t = 0 yang menurun secara<br />

23


eksponensial. Ini merupakan reaksi alamiah rangkaian yang mencoba<br />

mempertahankan status-nol-nya pada saat muncul fungsi pemaksa pada t<br />

= 0. Jadi suku kedua ini tidak lain adalah tanggapan alamiah dalam status<br />

nol.<br />

Tanggapan lengkap rangkaian seperti ditunjukkan oleh (1.12) dapat kita<br />

tuliskan kembali sebagai<br />

+ −(<br />

b / a)<br />

t + −(<br />

b / a)<br />

t<br />

y = ys0<br />

+ ym0<br />

= y f ( t)<br />

− y f (0 ) e + y(0<br />

) e<br />

Pengertian mengenai tanggapan status nol dan tanggapan masukan nol<br />

tersebut di atas, mengingatkan kita pada prinsip superposisi. <strong>Rangkaian</strong><br />

dapat kita pandang sebagai mengandung dua macam masukan; masukan<br />

yang pertama adalah sumber yang membangkitkan fungsi pemaksa x(t),<br />

dan masukan yang kedua adalah simpanan energi awal yang ada pada<br />

rangkaian. Dua macam masukan itu masing-masing dapat kita tinjau<br />

secara terpisah. Jika hanya ada fungsi pemaksa, kita akan mendapatkan<br />

tanggapan status nol y s0 , dan jika hanya ada simpanan energi awal saja<br />

maka kita akan mendapatkan tanggapan masukan nol y m0 . Tanggapan<br />

lengkap adalah jumlah dari tanggapan status nol dan tanggapan masukan<br />

nol, y = y s0 + y m0 . Sebagai contoh kita akan melihat lagi persoalan pada<br />

contoh 1.11. yang akan kita selesaikan dengan menggunakan pengertian<br />

tanggapan status nol dan tanggapan masukan nol.<br />

COTOH-1.13: Carilah tegangan dan arus kapasitor untuk t > 0 pada<br />

rangkaian di samping ini,<br />

jika diketahui bahwa<br />

v(0 + ) = 10 V dan<br />

v s =50cos10t u(t) V<br />

Penyelesaian :<br />

Persamaan rangkaian ini<br />

telah kita dapatkan untuk peninjauan pada t > 0, yaitu<br />

v s<br />

+<br />

−<br />

15Ω<br />

dv<br />

+ 5 v =100cos10t<br />

dt<br />

i C<br />

1/30 F<br />

+<br />

v<br />

−<br />

10Ω<br />

24 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5<br />

−5t<br />

Tanggapan masukan nol : vm0<br />

= Km0e<br />

+ +<br />

Kondisi awal : vm0(0<br />

) = v(0<br />

) = 10<br />

−5<br />

t<br />

⇒ Km0<br />

= 10 ⇒ vm0<br />

= 10e<br />

Dugaan tanggapan mantap : v f = Ac<br />

cos10t<br />

+ As<br />

sin10t<br />

→<br />

−10Ac<br />

sin10t<br />

+ 10As<br />

cos10t<br />

+ 5Ac<br />

cos10t<br />

+ 5As<br />

sin10t<br />

= 100cos10t<br />

→ −10Ac<br />

+ 5As<br />

= 0 → As<br />

= 2Ac<br />

10As<br />

+ 5Ac<br />

= 100 → 20Ac<br />

+ 5Ac<br />

= 100<br />

⇒ Ac<br />

= 4 ⇒ As<br />

= 8<br />

+<br />

Tanggapan mantap : v f = 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

→ v f (0 ) = 4<br />

+ st<br />

Tanggapan status nol : vs0<br />

= v f − v f (0 ) e<br />

−5t<br />

= 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

− 4e<br />

−5<br />

t<br />

Tanggapan lengkap: v = vs0<br />

+ vm0<br />

= 4cos10t<br />

+ 8sin10t<br />

+ 6e<br />

1.8. Ringkasan Mengenai Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama<br />

Tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan paksa dan tanggapan alami.<br />

Tanggapan alami merupakan komponen transien dengan konstanta waktu<br />

yang ditentukan oleh nilai-nilai elemen rangkaian. Tanggapan paksa<br />

merupakan tanggapan rangkaian terhadap fungsi pemaksa dari luar dan<br />

merupakan komponen mantap atau kondisi final.<br />

− τ<br />

= ( ) t /<br />

y y p t + A0<br />

e<br />

Tanggapan Paksa :<br />

ditentukan oleh fungsi pemaksa.<br />

merupakan komponen mantap; tetap ada untuk t →∞.<br />

Tanggapan Alami :<br />

tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa.<br />

merupakan komponen transien; hilang pada t →∞.<br />

konstanta waktu τ = a/b<br />

25


Tanggapan rangkaian juga dapat dipandang sebgai terdiri dari tanggapan<br />

status nol dan tanggapan masukan nol. Tanggapan status nol adalah<br />

tanggapan rangkaian tanpa simpanan energi awal. Tanggapan masukan<br />

nol adalah tanggapan rangkaian tanpa masukan atau dengan kata lain<br />

tanggapan rangkaian tanpa pengaruh fungsi pemaksa.<br />

+ − t / τ + − t / τ<br />

y = y p(<br />

t)<br />

− y p(0<br />

) e + y(0<br />

) e<br />

Tanggapan Status Nol :<br />

tanggapan rangkaian jika tidak ada simpanan energi awal.<br />

Tanggapan Masukan Nol :<br />

tanggapan rangkaian jika tidak ada masukan.<br />

upaya rangkaian untuk melepaskan simpanan energinya.<br />

26 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


27<br />

Soal-Soal<br />

1. Carilah bentuk gelombang tegangan / arus yang memenuhi persamaan<br />

diferensial berikut.<br />

5 V<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

0<br />

15<br />

b).<br />

10 V<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

0<br />

10<br />

a).<br />

=<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

v<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

v<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

5 mA<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

0<br />

10<br />

d).<br />

2 A<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

0<br />

8<br />

c).<br />

4<br />

= −<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

i<br />

i<br />

dt<br />

di<br />

i<br />

i<br />

dt<br />

di<br />

5 V<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

10<br />

10<br />

f).<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

10<br />

10<br />

e).<br />

=<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

v<br />

t<br />

u<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

v<br />

t<br />

u<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

20 mA<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

100<br />

10<br />

h).<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

100<br />

10<br />

g).<br />

4<br />

4<br />

= −<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

i<br />

t<br />

u<br />

i<br />

dt<br />

di<br />

i<br />

t<br />

u<br />

i<br />

dt<br />

di<br />

5 V<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

)<br />

10 cos(5<br />

10<br />

j).<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

)<br />

10 cos(5<br />

5<br />

i).<br />

=<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

v<br />

t<br />

u<br />

t<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

v<br />

t<br />

u<br />

t<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

0,5 A<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

]<br />

100[sin100<br />

10<br />

l).<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

,<br />

)<br />

(<br />

]<br />

100[sin100<br />

10<br />

k).<br />

4<br />

4<br />

=<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

i<br />

t<br />

u<br />

t<br />

i<br />

dt<br />

di<br />

i<br />

t<br />

u<br />

t<br />

i<br />

dt<br />

di


2. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama berada pada posisi A.<br />

Pada t = 0, ia dipindahkan ke posisi B. Carilah v C untuk t > 0.<br />

S<br />

+ 1kΩ<br />

− 20 V<br />

3. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama tertutup. Pada t = 0,<br />

ia dibuka. Carilah i L untuk t > 0.<br />

S<br />

A<br />

B<br />

1kΩ<br />

10µF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

+<br />

−<br />

1kΩ<br />

20 V<br />

2kΩ<br />

2kΩ 1H<br />

i L<br />

4. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama tertutup. Pada t = 0,<br />

ia dibuka. Carilah v C untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

1kΩ<br />

18 V<br />

S<br />

2kΩ<br />

2kΩ 1µF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

5. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,<br />

ia ditutup. Carilah v C untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

S<br />

0,5kΩ<br />

20 V 2kΩ<br />

0,6kΩ<br />

0,1µF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

28 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


6. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,<br />

ia ditutup. Carilah v o untuk t > 0.<br />

S<br />

+<br />

−<br />

20 V<br />

8kΩ<br />

3kΩ<br />

2kΩ<br />

0,1µF<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

7. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,<br />

ia ditutup. Carilah v o untuk t > 0.<br />

S<br />

+<br />

−<br />

20 V<br />

6kΩ<br />

3H<br />

10kΩ<br />

20kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

8. <strong>Rangkaian</strong> di bawah ini telah lama dalam keadaan mantap dengan<br />

saklar dalam keadaan terbuka. Pada t = 0 saklar S ditutup. Tentukan<br />

i dan v untuk t > 0.<br />

5Ω<br />

5A<br />

12Ω<br />

S<br />

+<br />

v<br />

_<br />

2 H<br />

4Ω<br />

1Ω<br />

i<br />

9. Sebuah kumparan mempunyai induktansi 10 H dan resistansi 10 Ω.<br />

Pada t = 0, kumparan ini diberi tegangan 100 V. Berapa lama<br />

dibutuhkan waktu untuk mencapai arus setengah dari nilai akhirnya ?<br />

10. Sebuah rele mempunyai kumparan dengan induktansi 1,2 H yang<br />

resis-tansinya 18 Ω. Jangkar rele akan terangkat jika arus di<br />

kumparannya mencapai 50 mA. Rele ini dioperasikan dari jauh<br />

melalui kabel yang resistansi totalnya 45 Ω dan dicatu oleh batere 12<br />

V dengan resistansi internal 1 Ω. Hitunglah selang waktu antara saat<br />

ditutupnya rangkaian dengan saat mulai beroperasinya rele.<br />

29


11. Sebuah kapasitor 20 µF terhubung paralel dengan resistor R.<br />

<strong>Rangkaian</strong> ini diberi tegangan searah 500 V dan setelah cukup lama<br />

sumber tegangan dilepaskan. Tegangan kapasitor menurun mencapai<br />

300 V dalam waktu setengah menit. Hitunglah berapa MΩ resistor<br />

yang terparalel dengan kapasitor ?<br />

12. Pada kabel penyalur daya, konduktor dan pelindung metalnya<br />

membentuk suatu kapasitor. Suatu kabel penyalur daya searah<br />

sepanjang 10 km mempunyai kapasitansi 2,5 µF dan resistansi<br />

isolasinya 80 MΩ. Jika kabel ini dipakai untuk menyalurkan daya<br />

searah pada tegangan 20 kV, kemudian beban dilepaskan dan<br />

tegangan sumber juga dilepaskan, berapakah masih tersisa tegangan<br />

kabel 5 menit setelah dilepaskan dari sumber ?<br />

13. Tegangan bolak-balik sinus dengan amplitudo 400 V dan frekuensi<br />

50 Hz, diterapkan pada sebuah kumparan yang mempunyai<br />

induktansi 0,1 H dan resistansinya 10 Ω. Bagaimanakah persamaan<br />

arus yang melalui kumparan itu beberapa saat setelah tegangan<br />

diterapkan ? Dihitung dari saat tegangan diterapkan, berapa lamakah<br />

keadaan mantap tercapai ?<br />

30 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 2<br />

<strong>Analisis</strong> Transien di Kawasan Waktu<br />

<strong>Rangkaian</strong> Orde Ke-Dua<br />

Dengan mempelajari analisis transien sistem orde ke-dua kita akan<br />

• mampu menurunkan persamaan rangkaian yang merupakan<br />

rangkaian orde kedua.<br />

• memahami bahwa tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan<br />

paksa dan tanggapan alami yang mungkin berosilasi.<br />

• mampu melakukan analisis transien pada rangkaian orde<br />

kedua.<br />

2.1. Contoh <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua<br />

<strong>Rangkaian</strong> RLC Seri. Kita lihat rangkaian seri RLC seperti pada Gb.2.1.<br />

Saklar S ditutup pada t =<br />

0. Langkah pertama<br />

S<br />

L<br />

dalam mencari<br />

tanggapan rangkaian ini<br />

+ R i<br />

+<br />

+<br />

adalah mencari<br />

v in<br />

v<br />

C<br />

persamaan rangkaian. v s<br />

−<br />

−<br />

−<br />

Karena rangkaian<br />

mengandung C dan<br />

Gb.2.1. <strong>Rangkaian</strong> RLC seri.<br />

L, maka ada dua peubah<br />

status, yaitu tegangan<br />

kapasitor dan arus induktor, yang dapat kita pilih untuk digunakan dalam<br />

mencari persamaan rangkaian,. Kita akan mencoba lebih dulu<br />

menggunakan tegangan kapasitor sebagai peubah rangkaian, kemudian<br />

melihat apa yang akan kita dapatkan jika arus induktor yang kita pilih.<br />

Aplikasi HTK untuk t > 0 pada rangkaian ini memberikan :<br />

di<br />

Ri + L + v = v in<br />

(2.1)<br />

dt<br />

Karena i = i C = C dv/dt, maka persamaan (2. 1) menjadi :<br />

31


2<br />

d v dv<br />

LC + RC + v =<br />

2<br />

dt dt<br />

v in<br />

(2.2)<br />

Persamaan (2.2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang<br />

merupakan diskripsi lengkap rangkaian, dengan tegangan kapasitor<br />

sebagai peubah. Untuk memperoleh persamaan rangkaian dengan arus<br />

induktor i sebagai peubah, kita manfaatkan hubungan arus-tegangan<br />

kapasitor, yaitu<br />

dv 1<br />

i = iC<br />

= C → v =<br />

∫<br />

idt<br />

dt C<br />

sehingga (2.1) menjadi:<br />

di 1<br />

L + Ri + idt + v = v in<br />

dt C ∫<br />

(0)<br />

atau<br />

2<br />

d i di dv<br />

LC + RC + i = C =<br />

2<br />

dt dt dt<br />

in<br />

i in<br />

(2.3)<br />

Persamaan (2.2) dan (2.3) sama bentuknya, hanya peubah sinyalnya<br />

yang berbeda. Hal ini berarti bahwa tegangan kapasitor ataupun arus<br />

induktor sebagai peubah akan memberikan persamaan rangkaian yang<br />

setara. Kita cukup mempelajari salah satu di antaranya.<br />

<strong>Rangkaian</strong> RLC Paralel. Perhatikan rangkaian RLC paralel seperti pada<br />

Gb.2.2. Aplikasi HAK<br />

pada simpul A<br />

A i s<br />

memberikan<br />

i + i + i = i<br />

R<br />

L<br />

C<br />

Hubungan ini dapat<br />

dinyatakan dengan arus<br />

induktor i L = i sebagai<br />

peubah, dengan<br />

memanfaatkan hubungan<br />

v =v L =L di/dt, sehingga<br />

i R = v/R dan i C = C<br />

dv/dt .<br />

s<br />

i R<br />

R<br />

i L = i<br />

B<br />

L<br />

i C<br />

C<br />

Gb.2.2. <strong>Rangkaian</strong> paralel RLC<br />

+<br />

v<br />

−<br />

32 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


v dv<br />

+ i + C = i<br />

R dt<br />

2<br />

d i L di<br />

LC + + i = i<br />

2<br />

dt R dt<br />

s<br />

atau<br />

s<br />

(2.4)<br />

Persamaan rangkaian paralel RLC juga merupakan persamaan diferensial<br />

orde kedua.<br />

2.2. Tinjauan Umum Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua<br />

Secara umum rangkaian orde kedua mempunyai persamaan yang<br />

berbentuk<br />

2<br />

d y dy<br />

a + b + cy = x(<br />

t)<br />

(2.5)<br />

2<br />

dt dt<br />

Pada sistem orde satu kita telah melihat bahwa tanggapan rangkaian<br />

terdiri dari dua komponen yaitu tanggapan alami dan tanggapan paksa.<br />

Hal yang sama juga terjadi pada sistem orde kedua yang dengan mudah<br />

dapat ditunjukkan secara matematis seperti halnya pada sistem orde<br />

pertama. Perbedaan dari kedua sistem ini terletak pada kondisi awalnya.<br />

Karena rangkaian orde kedua mengandung dua elemen yang mampu<br />

menyimpan energi yaitu L dan C, maka dalam sistem ini baik arus<br />

induktor maupun tegangan kapasitor harus merupakan fungsi kontinyu.<br />

Oleh karena itu ada dua kondisi awal yang harus dipenuhi, yaitu<br />

v<br />

C<br />

+<br />

−<br />

(0 ) = vC<br />

(0 ) dan iL<br />

(0 ) = iL<br />

(0 )<br />

Dalam penerapannya, kedua kondisi awal ini harus dijadikan satu,<br />

artinya v C dinyatakan dalam i L atau sebaliknya i L dinyatakan dalam v C ,<br />

tergantung dari apakah peubah y pada (2.25) berupa tegangan kapasitor<br />

ataukah arus induktor.<br />

Sebagai contoh, pada rangkaian RLC seri hubungan antara v C dan i L<br />

adalah<br />

i(0<br />

+<br />

) = i<br />

L<br />

+<br />

(0 ) = i<br />

C<br />

+ dv<br />

(0 ) = C<br />

C<br />

(0<br />

dt<br />

+<br />

)<br />

+<br />

atau<br />

dv<br />

dt<br />

C<br />

−<br />

+<br />

+ i(0<br />

)<br />

(0 ) =<br />

C<br />

Dengan demikian jika peubah y adalah tegangan kapasitor, dua kondisi<br />

awal yang harus diterapkan, adalah:<br />

33


v<br />

C<br />

+ −<br />

dv i<br />

v<br />

C + L(0<br />

)<br />

(0 ) = C (0 ) dan (0 ) = .<br />

dt C<br />

Contoh lain adalah rangkaian paralel RLC; hubungan antara v C dan i L<br />

adalah<br />

+ + di<br />

di v<br />

v v L<br />

L +<br />

L + C (0 )<br />

C (0 ) = L(0<br />

) = (0 ) atau (0 ) =<br />

dt<br />

dt L<br />

Dengan demikian jika peubah y adalah arus induktor, dua kondisi awal<br />

yang harus diterapkan, adalah:<br />

i<br />

L<br />

+ −<br />

di v<br />

i<br />

L + C (0 )<br />

(0 ) = L(0<br />

) dan (0 ) = .<br />

dt L<br />

Secara umum, dua kondisi awal yang harus kita terapkan pada (2.5)<br />

adalah<br />

+<br />

−<br />

y(0<br />

) = y(0<br />

)<br />

+<br />

dan<br />

dy + +<br />

(0 ) = y'(0<br />

)<br />

dt<br />

dengan y'(0<br />

) dicari dari hubungan rangkaian<br />

+<br />

+<br />

+<br />

(2.6)<br />

Tanggapan Alami. Tanggapan alami diperoleh dari persamaan rangkaian<br />

dengan memberikan nilai nol pada ruas kanan dari persamaan (2.5),<br />

sehingga persamaan menjadi<br />

2<br />

d y dy<br />

a + b + cy = 0<br />

(2.7)<br />

2<br />

dt dt<br />

Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai<br />

bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial y a =<br />

Ke st dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi ini<br />

dimasukkan ke (2.27) akan diperoleh :<br />

aKs<br />

Ke<br />

st<br />

2<br />

e<br />

st<br />

+ bKse<br />

st<br />

+ cKe<br />

2<br />

( as + bs + c) = 0<br />

st<br />

= 0<br />

atau<br />

(2.8)<br />

Fungsi e st tidak boleh nol untuk semua nilai t . Kondisi K = 0 juga tidak<br />

diperkenankan karena hal itu akan berarti y a = 0 untuk seluruh t. Satusatunya<br />

jalan agar persamaan ini dipenuhi adalah<br />

34 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


2<br />

as + bs + c = 0<br />

(2.9)<br />

Persamaan ini adalah persamaan karakteristik rangkaian orde kedua.<br />

Secara umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan<br />

kwadrat itu mempunyai dua akar yaitu :<br />

s , s<br />

1<br />

2<br />

2<br />

− b ± b − 4ac<br />

= (2.10)<br />

2a<br />

Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua<br />

akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat.<br />

Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap<br />

bentuk gelombang tanggapan rangkaian akan kita lihat lebih lanjut.<br />

Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan<br />

karakteristik mempunyai dua akar.<br />

Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua tanggapan<br />

alami, yaitu:<br />

a1<br />

s1t<br />

1<br />

2<br />

y = K e dan y = K e<br />

a2<br />

s t<br />

2<br />

Jika y a1 merupakan solusi dan y a2 juga merupakan solusi, maka jumlah<br />

keduanya juga merupakan solusi. Jadi tanggapan alami yang kita cari<br />

akan berbentuk<br />

s1t<br />

s t<br />

a = K1 e + K2e<br />

(2.11)<br />

y<br />

2<br />

Konstanta K 1 dan K 2 kita cari melalui penerapan kondisi awal pada<br />

tanggapan lengkap.<br />

Tanggapan Paksa. Tanggapan paksa kita cari dari persamaan (2.5).<br />

Tanggapan paksa ini ditentukan oleh bentuk fungsi masukan. Cara<br />

menduga bentuk tanggapan paksa sama dengan apa yang kita pelajari<br />

pada rangkaian orde pertama, yaitu relasi (2.8). Untuk keperluan<br />

pembahasan di sini, tanggapan paksa kita umpamakan sebagai y paksa = y p .<br />

Tanggapan Lengkap. Dengan pemisalan tanggapan paksa tersebut di<br />

atas maka tanggapan lengkap (tanggapan rangkaian) menjadi<br />

s1t<br />

s t<br />

= y p + ya<br />

= y p + K1 e + K2e<br />

(2.12)<br />

y<br />

2<br />

35


2.3. Tiga Kemungkinan Bentuk Tanggapan<br />

Sebagaimana disebutkan, akar-akar persamaan karakteristik yang bentuk<br />

umumnya adalah as 2 + bs + c = 0 dapat mempunyai tiga kemungkinan<br />

nilai akar, yaitu:<br />

a). Dua akar riil berbeda, s 1 ≠ s 2 , jika {b 2 − 4ac } > 0;<br />

b). Dua akar sama, s 1 = s 2 = s , jika {b 2 −4ac } = 0;<br />

c). Dua akar kompleks konjugat s 1 , s 2 = α ± jβ jika {b 2 −4ac } < 0.<br />

Tiga kemungkinan nilai akar tersebut akan memberikan tiga<br />

kemungkinan bentuk tanggapan yang akan kita lihat berikut ini, dengan<br />

contoh tanggapan rangkaian tanpa fungsi pemaksa.<br />

Dua Akar Riil Berbeda. Kalau kondisi awal y(0 + ) dan dy/dt (0 + ) kita<br />

terapkan pada tanggapan lengkap (2.12), kita akan memperoleh dua<br />

persamaan yaitu<br />

+<br />

+<br />

+<br />

p (0 ) K1 K2<br />

dan y'<br />

(0 ) y′<br />

+<br />

+ +<br />

= p(0<br />

) + s1K<br />

1 +<br />

y( 0 ) = y<br />

s K<br />

yang akan menentukan nilai K 1 dan K 2 . Jika kita sebut<br />

+<br />

+<br />

0 = ( + p<br />

0<br />

′ p<br />

A y 0 ) − y (0 ) dan B = y′<br />

(0 ) − y (0 ) (2.13)<br />

maka kita peroleh K 1 + K2<br />

= A0<br />

dan s1K1<br />

+ s2K2<br />

= B0<br />

dan dari<br />

sini kita memperoleh<br />

s2A0<br />

− B<br />

K<br />

0<br />

1 =<br />

dan<br />

s − s<br />

sehingga tanggapan lengkap menjadi<br />

2<br />

1<br />

s A − B<br />

K<br />

2<br />

s1<br />

A0<br />

− B<br />

=<br />

s − s<br />

s1t<br />

s t<br />

= y p +<br />

2 0 0<br />

e +<br />

1 0 0<br />

e (2.14)<br />

s2<br />

− s1<br />

s1<br />

− s2<br />

1<br />

s A − B<br />

y<br />

2<br />

Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada rangkaian orde<br />

pertama, pada rangkaian orde kedua ini kita juga mengartikan tanggapan<br />

rangkaian sebagai tanggapan lengkap. Hal ini didasari oleh pengertian<br />

tentang kondisi awal, yang hanya dapat diterapkan pada tanggapan<br />

lengkap. <strong>Rangkaian</strong>-rangkaian yang hanya mempunyai tanggapan alami<br />

kita fahami sebagai rangkaian dengan tanggapan paksa yang bernilai nol.<br />

2<br />

0<br />

+<br />

2<br />

2<br />

36 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-2.1: Saklar S<br />

pada rangkaian di<br />

samping ini telah lama<br />

berada pada posisi 1.<br />

Pada t = 0 saklar<br />

dipindahkan ke posisi 2.<br />

Tentukan tegangan<br />

kapasitor , v , untuk t ><br />

0.<br />

+<br />

−<br />

15 V<br />

S 1 2<br />

+<br />

v<br />

−<br />

i C<br />

0,25 µF<br />

1 H<br />

i<br />

8,5 kΩ<br />

Penyelesaian :<br />

Kondisi mantap yang telah tercapai pada waktu saklar di posisi 1<br />

membuat kapasitor bertegangan sebesar tegangan sumber, sementara<br />

induktor tidak dialiri arus. Jadi<br />

−<br />

v ( 0 ) = 15 V ; i(0<br />

) = 0<br />

Setelah saklar di posisi 2, persamaan rangkaian adalah :<br />

− v +<br />

di<br />

L<br />

dt<br />

−<br />

+ iR = 0<br />

Karena i =− i C = −C dv/dt , maka persamaan tersebut menjadi<br />

− v + L<br />

d<br />

dt<br />

2<br />

d v<br />

→ LC + RC<br />

2<br />

dt<br />

⎛ dv ⎞ ⎛ dv ⎞<br />

⎜ − C ⎟ + R⎜<br />

− C ⎟ = 0<br />

⎝ dt ⎠ ⎝ dt ⎠<br />

dv<br />

dt<br />

+ v = 0<br />

Jika nilai-nilai elemen dimasukkan dan dikalikan dengan 4×10 6<br />

maka persamaan rangkaian menjadi<br />

2<br />

d v<br />

3 dv 6<br />

+ 8,5 × 10 + 4 × 10 v = 0<br />

2<br />

dt<br />

dt<br />

37


2<br />

3 6<br />

Persamaan karkteristik : s + 8,5 × 10 s + 4 × 10 = 0<br />

→ akar<br />

- akar :<br />

−500t<br />

−8000t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = 0 + K1e<br />

+ K2e<br />

(tanggapan paksa nol))<br />

Kondisi awal :<br />

3 2<br />

s1,<br />

s2<br />

= −4250<br />

± 10 (4,25) − 4 = −500,<br />

− 8000<br />

( dua akar riil berbeda).<br />

+ −<br />

a). v(0<br />

) = v(0<br />

) = 15 V →15<br />

= K1<br />

+ K2<br />

⇒ K2<br />

= 15 − K1<br />

+ −<br />

+ dv + dv +<br />

b). iL<br />

(0 ) = iL<br />

(0 ) = 0 = −iC<br />

(0 ) = −C<br />

(0 ) → (0 ) = 0<br />

dt dt<br />

→ 0 = K1s1<br />

+ K2s2<br />

= K1s1<br />

+ (15 − K1)<br />

s2<br />

−15s2<br />

−15(<br />

−8000)<br />

⇒ K1<br />

= =<br />

= 16 ⇒ K2<br />

= 15 − K1<br />

= −1<br />

s1<br />

− s2<br />

− 500 + 8000<br />

−500<br />

t −8000<br />

t<br />

Tanggapan lengkap menjadi : v = 16e<br />

− e V<br />

( hanya<br />

terdiri dari tanggapan alami).<br />

Dua Akar Riil Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat<br />

kita tuliskan sebagai<br />

s 1 = s dan s2<br />

= s + δ ; dengan δ → 0 (2.15)<br />

Dengan demikian maka tanggapan lengkap (2.32) dapat kita tulis sebagai<br />

y<br />

s1t<br />

s2t<br />

st ( s+<br />

δ)<br />

t<br />

= y p + K1e<br />

+ K2e<br />

= y p + K1e<br />

+ K2e<br />

(2.16)<br />

Kalau kondisi awal pertama y(0 + ) kita terapkan, kita akan memperoleh<br />

+<br />

+<br />

+ +<br />

p (0 ) + K1 + K2<br />

→ K1<br />

+ K2<br />

= y(0<br />

) − y p(0<br />

) =<br />

y( 0 ) = y<br />

A<br />

Jika kondisi awal kedua dy/dt (0 + ) kita terapkan, kita peroleh<br />

+<br />

y′<br />

(0 ) = y′<br />

(0 ) + K s + K ( s + δ)<br />

→ ( K<br />

1<br />

p<br />

+ K ) s + K<br />

Dari kedua persamaan ini kita dapatkan<br />

2<br />

+<br />

2<br />

1<br />

2<br />

+<br />

δ = y′<br />

(0 ) − y′<br />

(0 ) = B<br />

p<br />

+<br />

0<br />

0<br />

38 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


A s + K<br />

0<br />

2<br />

δ = B<br />

Tanggapan lengkap menjadi<br />

0<br />

→<br />

→<br />

B − A s<br />

K =<br />

0 0<br />

2<br />

δ<br />

B − A s<br />

K = A −<br />

0 0<br />

1 0<br />

δ<br />

(2.17)<br />

⎛ B0<br />

− A0<br />

s ⎞ st B0<br />

− A0<br />

s ( s+δ)<br />

t<br />

y = y p + ⎜ A0<br />

− ⎟e<br />

+ e<br />

⎝ δ ⎠ δ<br />

⎡⎛<br />

B0<br />

− A0<br />

s ⎞ B0<br />

− A0<br />

s δ t ⎤ st<br />

= y p + ⎢⎜<br />

A0<br />

− ⎟ + e ⎥ e<br />

⎣⎝<br />

δ ⎠ δ ⎦<br />

⎡<br />

⎛ δ t<br />

1 e ⎞⎤<br />

st<br />

= y p + ⎢A0<br />

+ ( B0<br />

− A0<br />

s)<br />

⎜−<br />

+ ⎟⎥<br />

e<br />

⎢<br />

⎜ ⎟<br />

⎣<br />

⎝<br />

δ δ<br />

⎠⎥<br />

⎦<br />

(2.18.a)<br />

⎛ δ t<br />

1 e ⎞ ⎛ δt<br />

e 1⎞<br />

Karena lim ⎜<br />

lim ⎜<br />

−<br />

− + ⎟ =<br />

⎟ = t maka tanggapan lengkap<br />

δ→0⎜<br />

⎟ 0⎜<br />

⎟<br />

⎝<br />

δ δ δ→<br />

⎠ ⎝<br />

δ<br />

⎠<br />

(2.18.a) dapat kita tulis<br />

[ A + B A s)<br />

t] e<br />

st<br />

y = y p + 0 ( 0 − 0<br />

(2.18.b)<br />

Tanggapan lengkap seperti dinyatakan oleh (2.18.b) merupakan bentuk<br />

khusus yang diperoleh jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar<br />

sama besar. A 0 dan B 0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh<br />

kondisi awal. Dengan demikian kita dapat menuliskan (2.18.b) sebagai<br />

[ K + K t] e<br />

st<br />

y = y p + a b<br />

(2.18.c)<br />

dengan nilai K a yang ditentukan oleh kondisi awal, dan nilai K b<br />

ditentukan oleh kondisi awal dan s. Nilai s sendiri ditentukan oleh nilai<br />

elemen-elemen yang membentuk rangkaian dan tidak ada kaitannya<br />

dengan kondisi awal. Dengan kata lain, jika kita mengetahui bahwa<br />

persamaan karakteristik rangkaian mempunyai akar-akar yang sama<br />

besar (akar kembar) maka bentuk tanggapan rangkaian akan seperti yang<br />

ditunjukkan oleh (2.18.c).<br />

39


COTOH-2.2: Persoalan sama dengan contoh-2.1. akan tetapi resistor<br />

8,5 kΩ diganti dengan 4 kΩ.<br />

Penyelesaian :<br />

2<br />

d v 3 dv 6<br />

Persamaan rangkaian adalah : + 4 × 10 + 4×<br />

10 v = 0<br />

2<br />

dt dt<br />

2<br />

6<br />

Persamaan karakteristik : s + 4000s<br />

+ 4×<br />

10 = 0<br />

6 6<br />

akar - akar : s1,<br />

s2<br />

= −2000<br />

± 4 × 10 − 4×<br />

10 = −2000<br />

= s<br />

Di sini terdapat dua akar sama besar oleh karena itu<br />

tanggapan lengkap akan berbentuk :<br />

v = vp<br />

+<br />

st<br />

( K + K t) e = 0 + ( K + K t)<br />

Aplikasi kondisi awal pertama pada tanggapan lengkap ini<br />

+<br />

memberikan v(0<br />

) = 15 = Ka.<br />

dv +<br />

Aplikasi kondisi awal kedua (0 ) = 0 pada tanggapan<br />

dt<br />

lengkap memberikan<br />

dv<br />

dt<br />

st<br />

= Kbe<br />

+<br />

a<br />

( K + K t)<br />

a<br />

b<br />

b<br />

st<br />

s e<br />

→<br />

→ Kb<br />

= −Kas<br />

= 30000 ⇒ Jadi : v =<br />

a<br />

b<br />

st<br />

e , karena vp<br />

= 0.<br />

dv +<br />

(0 ) = 0 = Kb<br />

+ Kas<br />

dt<br />

−2000<br />

t<br />

( 15 + 30000t<br />

) e V<br />

Akar-Akar Kompleks Konjugat. Dua akar kompleks konjugat dapat<br />

dituliskan sebagai<br />

s1 = α + jβ<br />

dan s2<br />

= α − jβ<br />

Tanggapan lengkap dari situasi ini, menurut (2.32) adalah<br />

( α+ jβ)<br />

t ( α− jβ)<br />

t<br />

y = y p + K1e<br />

+ K2e<br />

= y p +<br />

+ jβ<br />

t − jβ<br />

t αt<br />

( K e + K e ) e<br />

1<br />

Aplikasi kondisi awal yang pertama, y(0 + ), pada (2.19) memberikan<br />

y(0<br />

) = y p(0<br />

) +<br />

→<br />

+<br />

+<br />

2<br />

( K + K )<br />

1<br />

+ +<br />

K1<br />

+ K2<br />

= y(0<br />

) − y p(0<br />

) = A0<br />

2<br />

(2.19)<br />

40 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


dv + +<br />

Aplikasi kondisi awal yang kedua, (0 ) = y′<br />

(0 ) , pada (2.19)<br />

dt<br />

memberikan<br />

dy dy p<br />

= +<br />

dt dt<br />

jβt<br />

− jβt<br />

αt<br />

jβt<br />

− jβt<br />

αt<br />

( jβK<br />

e − jβK<br />

e ) e + ( K e + K e ) α e<br />

1<br />

dy +<br />

(0 ) y′<br />

+<br />

(0 ) y′<br />

+<br />

= = p(0<br />

) +<br />

dt<br />

→ jβ<br />

Dari sini kita peroleh<br />

K1<br />

+ K2<br />

= A0<br />

jβ<br />

2<br />

1<br />

( jβK<br />

− jβK<br />

) + ( K + K )<br />

1<br />

( K1<br />

K2<br />

) ( K1<br />

K2<br />

) y′<br />

+<br />

(0 ) y′<br />

+<br />

− + α + = − p(0<br />

) = B0<br />

( K − K ) + α( K + K )<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

= B<br />

0<br />

→ K<br />

1<br />

2<br />

− K<br />

2<br />

1<br />

B<br />

=<br />

0<br />

2<br />

2<br />

jβ<br />

α<br />

− αA<br />

A0<br />

+ ( B0<br />

− αA0<br />

) / jβ<br />

A0<br />

− ( B0<br />

− αA0<br />

) / jβ<br />

K 1 =<br />

; K 2 =<br />

2<br />

2<br />

Tanggapan lengkap menjadi<br />

⎛ A0<br />

+ ( B0<br />

− αA0<br />

) / jβ<br />

+ jβ<br />

t A0<br />

− ( B0<br />

− αA0<br />

) / jβ<br />

− jβ<br />

t ⎞ αt<br />

y = y p + ⎜<br />

e +<br />

e ⎟ e<br />

⎝ 2<br />

2<br />

⎠<br />

⎛ + jβ<br />

t − jβ<br />

t<br />

+ jβ<br />

t − jβ<br />

t<br />

e e B A e e ⎞<br />

αt<br />

y ⎜<br />

+ ( 0 − α 0)<br />

−<br />

= p + A<br />

+<br />

⎟ e<br />

⎜ 0<br />

j ⎟<br />

⎝<br />

2<br />

β 2<br />

⎠<br />

⎛ ( B A ⎞ αt<br />

y p<br />

⎜<br />

0 − α 0)<br />

= + A0<br />

cosβt<br />

+ sinβt<br />

⎟ e<br />

⎝<br />

β ⎠<br />

0<br />

(2.20)<br />

A 0 dan B 0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal<br />

sedangkan α dan β ditentukan oleh nilai elemen rangkaian. Dengan<br />

demikian tanggapan lengkap (2.53) dapat kita tuliskan sebagai<br />

αt<br />

y = y p + ( Ka<br />

cos βt<br />

+ Kb<br />

sinβt) e<br />

(2.21)<br />

dengan K a dan K b yang masih harus ditentukan melalui penerapan<br />

kondisi awal. Ini adalah bentuk tanggapan lengkap khusus untuk<br />

rangkaian dengan persamaan karakteristik yang mempunyai dua akar<br />

kompleks konjugat.<br />

41


COTOH-2.3: Persoalan sama dengan contoh 2.1. akan tetapi resistor<br />

8,5 kΩ diganti dengan 1 kΩ.<br />

Penyelesaian :<br />

Dengan penggantian ini persamaan rangkaian menjadi<br />

Persamaan karakteristik : s<br />

Di sini terdapat dua akar<br />

Tanggapan lengkap diduga<br />

Aplikasi kondisi awal kedua<br />

Jadi<br />

akar - akar : s<br />

2<br />

d v 3 dv 6<br />

+ 10 + 4 × 10 v = 0<br />

2<br />

dt dt<br />

( K cosβt<br />

+ K sin βt)<br />

( K cosβt<br />

+ K sin βt)<br />

Aplikasi kondisi awal pertama memberikan: v(0<br />

dv<br />

dt<br />

dv<br />

dt<br />

=<br />

( − K βsin<br />

βt<br />

+ K β cosβt)<br />

+<br />

(0<br />

( K cosβt<br />

+ K sin βt)<br />

+<br />

a<br />

a<br />

tanggapan<br />

1<br />

, s<br />

= 0 +<br />

) = 0 = K<br />

v =<br />

v = v<br />

2<br />

2<br />

= −500<br />

±<br />

= −500<br />

± j500<br />

α ± jβ<br />

dengan α = −500<br />

; β = 500<br />

p<br />

b<br />

+<br />

a<br />

b<br />

a<br />

b<br />

β + αK<br />

akan<br />

lengkap adalah :<br />

+ 1000<br />

500<br />

+ 4×<br />

10<br />

− 4×<br />

10<br />

15<br />

kompleks konjugat :<br />

a<br />

α e<br />

→ K<br />

berbentuk<br />

b<br />

dv<br />

dt<br />

b<br />

e<br />

= 0<br />

15<br />

) = 15 = K<br />

500×<br />

15<br />

= =<br />

500 15<br />

−500t<br />

( 15cos(500 15 t)<br />

+ 15 sin(500 15 t)<br />

) e V<br />

2<br />

b<br />

αt<br />

αt<br />

e<br />

− αK<br />

=<br />

β<br />

a<br />

e<br />

6<br />

6<br />

αt<br />

αt<br />

+<br />

a<br />

15<br />

42 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Contoh 2.1, 2.2, dan 2.3 menunjukkan tiga kemungkinan bentuk<br />

tanggapan, yang ditentukan oleh akar-akar persamaan karakteristik.<br />

a). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang berbeda,<br />

tanggapan alami akan merupakan jumlah dari dua suku yang masingmasing<br />

merupakan fungsi eksponenial. Dalam kasus seperti ini,<br />

tanggapan rangkaian merupakan tanggapan amat teredam.<br />

b). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang sama besar,<br />

maka tanggapan alami akan merupakan jumlah dari fungsi eksponensial<br />

dan ramp teredam. Tanggapan ini merupakan tanggapan teredam kritis.<br />

c). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar kompleks<br />

konjugat, maka tanggapan alami merupakan jumlah dari fungsi-fungsi<br />

sinus teredam. Jadi tanggapan rangkaian berosilasi terlebih dulu sebelum<br />

akhirnya mencapai nol, dan disebut tanggapan kurang teredam. Bagian<br />

riil dari akar persamaan karakteristik menentukan peredaman; sedangkan<br />

bagian imajinernya menentukan frekuensi osilasi. (Gambar di bawah ini<br />

menunjukkan perubahan v pada contoh-contoh di atas.)<br />

v<br />

[V]<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

teredam kritis (contoh 18.15)<br />

sangat teredam (contoh 18.14)<br />

0<br />

0 0.00 0.004 0.006 0.008 0.01 t [s]<br />

-5<br />

kurang teredam (contoh 18.16)<br />

-10<br />

2.4. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Terhadap Sinyal Anak<br />

Tangga<br />

Bentuk umum sinyal anak tangga adalah Au(t). Jika kita hanya meninjau<br />

keadaan pada t > 0, maka faktor u(t) tidak perlu dituliskan lagi.<br />

43


COTOH-2.4: Jika v s =10u(t)<br />

V, bagaimana-kah<br />

keluaran v o rangkaian di<br />

samping ini pada t > 0<br />

untuk berbagai nilai µ ?<br />

Penyelesaian :<br />

Karena v o = µv B maka kita<br />

mencari persamaan<br />

rangkaian dengan tegangan simpul B , yaitu v B , sebagai peubah.<br />

Persamaan tegangan simpul untuk simpul A dan B adalah<br />

⎛ 1 1<br />

vA⎜<br />

+<br />

6 6<br />

⎝10<br />

10<br />

⎛ 1<br />

vB⎜<br />

6<br />

⎝10<br />

⎞<br />

⎟ +<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎟ +<br />

⎠<br />

v v<br />

i s B<br />

1 − − = 0<br />

6 6<br />

10 10<br />

i<br />

+ 1MΩ 1MΩ 2<br />

v s<br />

−<br />

1µF<br />

⇒ 2vA<br />

+<br />

d<br />

dt<br />

( v − µ v )<br />

v<br />

dv<br />

i A v B<br />

2 − = 0 ⇒ B + − vA<br />

= 0<br />

6<br />

10<br />

dt<br />

dv<br />

⇒ v v B<br />

A = B +<br />

dt<br />

A<br />

B − vs<br />

− vB<br />

= 0<br />

Dua persamaan diferensial orde satu ini jika digabungkan akan<br />

memberikan persamaan diferensial orde kedua.<br />

2<br />

dv<br />

2 + 2 B dv<br />

+ B d v<br />

+ B dv<br />

v − µ B<br />

B<br />

− v = = 10<br />

2<br />

B vs<br />

atau<br />

dt dt dt dt<br />

2<br />

d vB<br />

dv<br />

+ (3 − µ ) B + v = 10<br />

2<br />

B<br />

dt<br />

dt<br />

2<br />

Pers. karakteristik : s + (3 − µ ) s + 1 = 0<br />

2<br />

− (3 − µ ) ± (3 − µ ) − 4<br />

→ s1,<br />

ss<br />

=<br />

2<br />

s1t<br />

s2t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : vB<br />

= vBp<br />

+ K1e<br />

+ K2e<br />

Dugaan tanggapan paksa : vBp<br />

= K3<br />

→ 0 + 0 + K3<br />

= 10<br />

A<br />

i 1<br />

⇒ vBp<br />

= 10<br />

1µF<br />

B<br />

+<br />

−<br />

µv B<br />

+ v o<br />

44 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


s1t<br />

s2t<br />

Tanggapan lengkap : vB<br />

= 10 + K1e<br />

+ K2e<br />

Jika (3<br />

2<br />

Jika (3 − µ ) < 4 → µ > 1 →<br />

s1t<br />

s2t<br />

( 10 + K e + K e )<br />

⇒ vo<br />

= µ 1 2<br />

2<br />

− µ ) > 4 → µ < 1 → s1<br />

≠ s2<br />

⇒ vo<br />

sangat teredam.<br />

s1,s<br />

2 kompleks ⇒ vo<br />

kurang teredam.<br />

2<br />

Jika (3 − µ ) = 4 → µ = 1 → s1<br />

= s2<br />

⇒ vo<br />

teredam kritis.<br />

Pemahaman : Bentuk tegangan keluaran ditentukan oleh nilai µ dan<br />

nilai elemen-elemen rangkaian. Kita dapat memilih nilai-nilai yang<br />

sesuai untuk memperoleh tanggapan rangkaian yang kita inginkan.<br />

Untuk µ > 3 akan terjadi keadaan tak stabil karena akar-akar bernilai<br />

riil positif; peredaman tidak terjadi dan sinyal membesar tanpa batas.<br />

COTOH-2.5: Carilah v o pada contoh 2.4 jika µ = 2 dan tegangan awal<br />

kapasitor masing-masing adalah nol.<br />

Penyelesaian : Persamaan rangkaian, dengan µ = 2, adalah<br />

2<br />

d vB<br />

2<br />

dt<br />

dvB<br />

+ (3 − µ ) + vB<br />

= 10<br />

dt<br />

atau<br />

2<br />

d vB<br />

2<br />

dt<br />

dvB<br />

+ + vB<br />

= 10<br />

dt<br />

2<br />

Pers. karakteristik : s + s + 1 = 0<br />

−1±<br />

1−<br />

4<br />

→ s1,<br />

ss<br />

=<br />

= −0,5<br />

± j0,5<br />

3<br />

2<br />

(dua akar kompleks konjugat : α ± jβ<br />

; α = −0,5 ; β = 0,5<br />

Tanggapan lengkap diduga berbentuk :<br />

vB<br />

= vBp<br />

+<br />

( K cosβt<br />

+ K sinβt)<br />

a<br />

Tanggapan paksa : vBp<br />

= K → 0 + 0 + K = 10 ⇒ vBp<br />

= 10<br />

Tanggapan lengkap<br />

: vB<br />

= 10 +<br />

αt<br />

( K cosβt<br />

+ K sinβt) e<br />

a<br />

b<br />

αt<br />

e<br />

b<br />

3<br />

)<br />

45


Kondisi awalnya adalah : kedua kapasitor bertegangan<br />

+<br />

+ +<br />

→ vB(0<br />

) = 0 dan vA(0<br />

) − vo(0<br />

) = 0<br />

+ 5 + +<br />

→ vB(0<br />

) + 10 i2(0<br />

) − 2vB(0<br />

) = 0<br />

5 dvB<br />

+<br />

dv<br />

0 10 (0 ) 0 0 B +<br />

→ +<br />

− = → (0 ) = 0<br />

dt<br />

dt<br />

Penerapan dua kondisi awal ini ke tanggapan lengkap<br />

+<br />

memberikan : vB(<br />

0 ) = 0 = 10 + Ka<br />

⇒ Ka<br />

= −10<br />

dvB<br />

αt<br />

αt<br />

= ( − Kaβsinβt<br />

+ Kbβcosβt) e + ( Ka<br />

cosβt<br />

+ Kb<br />

sinβt)<br />

α e<br />

dt<br />

dvB<br />

+<br />

− αK<br />

K<br />

a 0,5×<br />

( −10)<br />

−10<br />

(0 ) = 0 = bβ + αKa<br />

→ Kb<br />

= = =<br />

dt<br />

β 0,5 3 3<br />

⎛<br />

⇒ vB<br />

= 10 −<br />

⎜10cos(0,5<br />

⎝<br />

3 t)<br />

+<br />

10<br />

sin(0,5<br />

3<br />

⎞ −0.5t<br />

3 t)<br />

⎟ e<br />

⎠<br />

nol.<br />

2.5. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Terhadap Sinyal Sinus<br />

Masukan sinyal sinus secara umum dapat kita nyatakan dengan x(t) =<br />

Acos(ωt+θ) u(t). Untuk peninjauan pada t > 0 faktor u(t) tak perlu ditulis<br />

lagi. Dengan demikian persamaan umum rangkaian orde kedua dengan<br />

masukan sinyal sinus akan berbentuk<br />

2<br />

d y dy<br />

a + b + cy = Acos(<br />

ωt<br />

+ θ)<br />

2<br />

dt dt<br />

Persamaan karakterisik serta akar-akarnya tidak berbeda dengan apa<br />

yang telah kita bahas untuk sumber tegangan konstan, dan memberikan<br />

tanggapan alami yang berbentuk<br />

a<br />

s1t<br />

1 e +<br />

s t<br />

2<br />

2<br />

v = K K e<br />

Untuk masukan sinus, tanggapan paksa diduga akan berbentuk<br />

v p = A c cosωt + A s sinωt<br />

46 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-2.6: Carilah v dan i untuk<br />

t > 0 pada rangkaian di samping<br />

ini jika v s = 26cos3t u(t) V<br />

sedangkan i(0) = 2 A dan v(0) =<br />

6 V.<br />

Penyelesaian :<br />

Aplikasi HTK untuk rangkaian<br />

ini akan memberikan<br />

di 5 dv 1 d v<br />

− v s + 5i<br />

+ + v = 0 → + + v = 26cos3t<br />

atau<br />

dt 6 dt 6 2<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

+ 5 + 6v<br />

= 156cos3t<br />

2<br />

dt dt<br />

2<br />

Persamaan karakteristik : s + 5s<br />

+ 6 = 0 = ( s + 2)( s + 3);<br />

akar - akar : s1,<br />

s2<br />

= −2,<br />

− 3<br />

−2t<br />

−3t<br />

Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + K1e<br />

+ K2e<br />

Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac<br />

cos3t<br />

+ As<br />

sin 3t<br />

( − 9A<br />

+ 15A<br />

+ 6A<br />

) cos3t<br />

+ ( − 9A<br />

− 15A<br />

+ 6A<br />

)<br />

→ c s c<br />

s c s sin 3t<br />

= 156cos3t<br />

→ −3Ac<br />

+ 15As<br />

= 156 dan − 15Ac<br />

− 3As<br />

= 0<br />

156 + 0<br />

5 × 156 − 0<br />

⇒ Ac<br />

= = −2<br />

; As<br />

=<br />

= 10<br />

− 3 − 75<br />

75 + 3<br />

−2t<br />

−3t<br />

Tanggapan lengkap : v = −2 cos3t<br />

+ 10sin 3t<br />

+ K1e<br />

+ K2e<br />

Kondisi awal :<br />

+<br />

+ 1 dv + dv +<br />

v(0<br />

) = 6 dan i(0<br />

) = 2 = (0 ) → (0 ) = 12<br />

6 dt dt<br />

Aplikasi kondisi awal pertama : 6 = −2<br />

+ K1<br />

+ K2<br />

→ K2<br />

= 8 − K1<br />

Aplikasi kondisi awal kedua : 12 = 30 − 2K1<br />

− 3K2<br />

⇒ K1<br />

= 6 ⇒ K2<br />

= 2<br />

−2t<br />

−3t<br />

Tanggapan lengkap : v = −2 cos3t<br />

+ 10sin 3t<br />

+ 6e<br />

+ 2e<br />

V<br />

+<br />

−<br />

1 dv<br />

−2t<br />

−3t<br />

⇒ i = = sin 3t<br />

+ 5cos3t<br />

− 2e<br />

− e<br />

6 dt<br />

2<br />

i<br />

1H<br />

5Ω<br />

+<br />

1<br />

F v<br />

v s 6 −<br />

A<br />

47


v [V]<br />

i [A]<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

v s<br />

v<br />

0 i 2 4 6 8 10<br />

t [s]<br />

COTOH-2.7: Pada rangkaian di samping ini, v s = 10cos5t u(t) V.<br />

Tentukanlah tegangan<br />

A<br />

kapasitor v untuk t > 0,<br />

jika tegangan awal<br />

kapasitor dan arusawal<br />

4Ω<br />

+<br />

6Ω +<br />

v<br />

induktor adalah nol.<br />

s<br />

− B<br />

v<br />

0,25F −<br />

Penyelesaian:<br />

1H<br />

⎛ 1 1 ⎞ 1 dv vs<br />

vB<br />

Simpul A : v⎜<br />

+ ⎟ + − − = 0<br />

⎝ 4 6 ⎠ 4 dt 4 6<br />

dv<br />

→ vB<br />

= 2,5v<br />

+ 1,5 − 1,5v<br />

s<br />

dt<br />

vB<br />

1<br />

v<br />

Simpul B : + (0) 0 6<br />

0<br />

6 ∫<br />

vBdt<br />

+ iL<br />

− = → vB<br />

+<br />

6 ∫<br />

vBdt<br />

− v =<br />

L<br />

dvB<br />

dv d ⎛ dv ⎞<br />

→ + 6vB<br />

− = 0 → ⎜2,5v<br />

+ 1,5 −1,5v<br />

s ⎟<br />

dt dt dt ⎝ dt ⎠<br />

⎛ dv ⎞ dv<br />

+ 6⎜2,5v<br />

+ 1,5 −1,5v<br />

s ⎟ − = 0<br />

⎝ dt ⎠ dt<br />

2<br />

d v dv<br />

dv<br />

→1,5<br />

+ 10,5 + 15v<br />

= 9v<br />

s<br />

s + 1, 5 atau<br />

2<br />

dt dt<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

dv<br />

v v s<br />

2<br />

dt<br />

+ 7<br />

s<br />

dt<br />

+ 10 = 6 + dt<br />

Dengan tegangan masukan v s = 10cos5t maka persamaan rangkaian<br />

menjadi<br />

48 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


49<br />

t<br />

t<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

dt<br />

v<br />

d<br />

50sin 5<br />

60cos5<br />

10<br />

7<br />

2<br />

2<br />

−<br />

=<br />

+<br />

+<br />

t<br />

t<br />

s<br />

C<br />

L<br />

t<br />

t<br />

p<br />

c<br />

s<br />

c<br />

s<br />

s<br />

c<br />

s<br />

c<br />

s<br />

c<br />

s<br />

c<br />

s<br />

c<br />

p<br />

t<br />

t<br />

p<br />

s<br />

e<br />

e<br />

t<br />

t<br />

v<br />

K<br />

K<br />

K<br />

K<br />

K<br />

K<br />

dt<br />

dv<br />

K<br />

K<br />

K<br />

K<br />

v<br />

dt<br />

dv<br />

dt<br />

dv<br />

v<br />

i<br />

i<br />

v<br />

e<br />

K<br />

K e<br />

t<br />

t<br />

v<br />

t<br />

t<br />

v<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

A<br />

t<br />

A<br />

A<br />

A<br />

t<br />

A<br />

A<br />

A<br />

t<br />

A<br />

t<br />

A<br />

v<br />

e<br />

K<br />

K e<br />

v<br />

v<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

5<br />

2<br />

2<br />

1<br />

1<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

5<br />

2<br />

2<br />

1<br />

5<br />

2<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4,83<br />

0,93sin5<br />

1,83cos5<br />

lengkap :<br />

Tanggapan<br />

3<br />

4,83<br />

)<br />

5(1.83<br />

2<br />

5,35<br />

5<br />

2<br />

4,65<br />

10<br />

)<br />

(0<br />

1,83<br />

1,83<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

:<br />

lengkap<br />

tanggapan<br />

pada<br />

ini<br />

awal<br />

kondisi<br />

kedua<br />

Aplikasi<br />

10<br />

)<br />

(0<br />

)<br />

(0<br />

4<br />

1<br />

2,5<br />

4<br />

10<br />

4<br />

)<br />

(0<br />

)<br />

(0<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

(2)<br />

0<br />

)<br />

(0<br />

(1)<br />

:<br />

awal<br />

Kondisi<br />

0,93sin5<br />

1,83cos5<br />

:<br />

lengkap<br />

Tanggapan<br />

0,93sin5<br />

1,83cos5<br />

1,83<br />

0,93;<br />

50<br />

35<br />

15<br />

dan<br />

60<br />

35<br />

15<br />

50sin6t<br />

60cos6t<br />

)sin 6<br />

10<br />

35<br />

25<br />

(<br />

)cos6<br />

10<br />

35<br />

25<br />

(<br />

sin5<br />

cos5<br />

:<br />

paksa<br />

Dugaan tanggapan<br />

:<br />

lengkap<br />

Dugaan tanggapan<br />

5.<br />

,<br />

2<br />

10<br />

3,5<br />

3,5<br />

,<br />

0<br />

10<br />

7<br />

:<br />

karakteristik<br />

Persamaan<br />

−<br />

−<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

+<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

+<br />

+<br />

−<br />

=<br />

−<br />

=<br />

⇒<br />

=<br />

⇒<br />

−<br />

−<br />

= −<br />

→<br />

−<br />

−<br />

=<br />

=<br />

−<br />

=<br />

→<br />

+<br />

+<br />

= −<br />

=<br />

=<br />

⇒<br />

=<br />

=<br />

=<br />

=<br />

→<br />

=<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

−<br />

=<br />

+<br />

−<br />

=<br />

⇒<br />

−<br />

=<br />

=<br />

⇒<br />

= −<br />

−<br />

−<br />

=<br />

+<br />

→ −<br />

−<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+<br />

−<br />

−<br />

+<br />

+<br />

+<br />

−<br />

→<br />

+<br />

=<br />

+<br />

+<br />

=<br />

−<br />

−<br />

=<br />

−<br />

±<br />

−<br />

=<br />

→<br />

=<br />

+<br />

+


Soal-Soal<br />

1. Carilah bentuk gelombang tegangan yang memenuhi persamaan<br />

diferensial berikut.<br />

2<br />

d v dv<br />

a). + 7 + 10v<br />

= 0 ,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0, (0 ) = 15 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

b). + 4 + 4v<br />

= 0 ,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0 V, (0 ) = 10 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

c). + 4 + 5v<br />

= 0 ,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0 V, (0 ) = 5 V/s<br />

dt<br />

2. Ulangi soal 1 untuk persamaan berikut.<br />

2<br />

d v dv<br />

a). + 10 + 24v<br />

= 100u(<br />

t)<br />

,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv(0)<br />

v(0<br />

) = 5, = 25 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

b). + 10 + 25v<br />

= 100u(<br />

t)<br />

,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv(0)<br />

v(0<br />

) = 5 V, = 10 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

c). + 8 + 25v<br />

= 100u(<br />

t)<br />

,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv(0)<br />

v(0<br />

) = 5 V, = 10 V/s<br />

dt<br />

50 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


3. Ulangi soal 1 untuk persamaan berikut.<br />

2<br />

d v dv<br />

a). + 6 + 8v<br />

= 100[cos1000t]<br />

u(<br />

t)<br />

,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0, (0 ) = 0 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

b). + 6 + 9v<br />

= 100[cos1000 t]<br />

u(<br />

t) ,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0 V, (0 ) = 0 V/s<br />

dt<br />

2<br />

d v dv<br />

c). + 2 + 10v<br />

= 100[cos1000t]<br />

u(<br />

t)<br />

,<br />

2<br />

dt dt<br />

+ dv +<br />

v(0<br />

) = 0 V, (0 ) = 0 V/s<br />

dt<br />

4. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah berada pada posisi A<br />

dalam waktu yang lama. Pada t = 0, ia dipindahkan ke posisi B.<br />

Carilah v C untuk t > 0<br />

A S<br />

+<br />

−<br />

6kΩ<br />

10 V<br />

B<br />

6kΩ<br />

0,4H<br />

25pF<br />

+<br />

v c<br />

−<br />

5. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam<br />

waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.<br />

Tentukan i L (t) untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

10kΩ<br />

15V<br />

A<br />

B<br />

S<br />

2,5kΩ<br />

0,02 µF<br />

i L<br />

2 H<br />

51


6. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam<br />

waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.<br />

Tentukan i L (t) untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

S<br />

i L<br />

A<br />

0,4kΩ B 25kΩ<br />

+<br />

15 V<br />

15 V − 0,01µF 10mH<br />

7. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,<br />

ia ditutup. Carilah v C untuk t > 0<br />

+<br />

−<br />

3kΩ<br />

10 V S<br />

3kΩ<br />

0,4H<br />

0,1µF<br />

+<br />

v c<br />

−<br />

8. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam<br />

waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.<br />

Tentukan v C untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

0,4kΩ<br />

15 V<br />

A<br />

B<br />

S<br />

+ v C −<br />

− +<br />

15 V<br />

0,01µF<br />

25kΩ<br />

10mH<br />

9. Tegangan masukan v s pada rangkaian di bawah ini adalah v s = 100u(t)<br />

V. Tentukan tegangan kapasitor untuk t>0.<br />

v s<br />

+<br />

−<br />

4kΩ<br />

50mH<br />

50pF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

52 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


10. Setelah terbuka dalam waktu cukup lama, saklar S pada rangkaian di<br />

bawah ini ditutup pada t = 0. Tentukan v 1 dan v 2 untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

S<br />

12V + 4Ω 4Ω + +<br />

v 1<br />

6V −<br />

0,05F 0,05F v 2<br />

− −<br />

11. <strong>Rangkaian</strong> berikut tidak mempunyai simpanan energi awal. Saklar S<br />

pada rangkaian berikut ditutup pada t = 0. Carilah i untuk t > 0.<br />

+<br />

−<br />

S<br />

12V<br />

4Ω<br />

0,25F<br />

0,25F<br />

+<br />

v 1<br />

−<br />

+<br />

− 2v 1<br />

8Ω<br />

i<br />

12. <strong>Rangkaian</strong> di bawah ini tidak memiliki simpanan energi awal.<br />

Tentukan v untuk t > 0 jika i s = [2cos2t] u(t) A dan v s = [6cos2t] u(t)<br />

V.<br />

− v +<br />

i s<br />

5H<br />

10Ω<br />

0,05F<br />

10Ω<br />

v s<br />

+<br />

−<br />

13. Sebuah kapasitor 1 µF dimuati sampai mencapai tegangan 200 V.<br />

Muatan kapasitor ini kemudian dilepaskan melalui hubungan seri<br />

induktor 100 µH dan resistor 20 Ω. Berapa lama waktu diperlukan<br />

untuk menunrunkan jumlah muatan kapasitor hingga tinggal 10%<br />

dari jumlah muatan semula ?<br />

14. Sebuah kumparan mempunyai induktansi 9 H dan resistansi 0,1 Ω,<br />

dihubungkan paralel dengan kapasitor 100 µF. Hubungan paralel ini<br />

diberi tegangan searah sehingga di kumparan mengalir arus sebesar 1<br />

A. Jika sumber tegangan diputus secara tiba-tiba, berapakah tegangan<br />

maksimum yang akan timbul di kapasitor dan pada frekuensi berapa<br />

arus berosilasi ?<br />

53


15. Kabel sepanjang 2 kM digunakan untuk mencatu sebuah beban pada<br />

tegangan searah 20 kV. Resistansi beban 200 Ω dan induktansinya 1<br />

H (seri). Kabel penyalur daya ini mempunyai resistansi total 0,2 Ω<br />

sedangkan antara konduktor dan pelindung metalnya membentuk<br />

kapasitor dengan kapasitansi total 0,5 µF. Bagaimanakah perubahan<br />

tegangan beban apabila tiba-tiba sumber terputus? (Kabel dimodelkan<br />

sebagai kapasitor; resistansi konduktor kabel diabaikan terhadap<br />

resistansi beban).<br />

54 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 3<br />

Transformasi Laplace<br />

Kita telah melihat bahwa analisis di kawasan fasor lebih sederhana<br />

dibandingkan dengan analisis di kawasan waktu karena tidak melibatkan<br />

persamaan diferensial melainkan persamaan-persamaan aljabar biasa.<br />

Akan tetapi analisis ini terbatas hanya untuk sinyal sinus dalam keadaan<br />

mantap. Berikut ini kita akan mempelajari analisis rangkaian di kawasan<br />

s, yang dapat kita terapkan pada analisis rangkaian dengan sinyal sinus<br />

maupun bukan sinus, keadaan mantap maupun keadaan peralihan.<br />

Dalam analisis di kawasan s ini, sinyal-sinyal fungsi waktu f(t),<br />

ditransformasikan ke kawasan s menjadi fungsi s, F(s). Sejalan dengan<br />

itu pernyataan elemen rangkaian juga mengalami penyesuaian yang<br />

mengantarkan kita pada konsep impedansi di kawasan s. Perubahan<br />

pernyataan suatu fungsi dari kawasan t ke kawasan s dilakukan melalui<br />

Transformasi Laplace, yang secara matematis didefinisikan sebagai suatu<br />

integral<br />

∫ ∞ −st<br />

F ( s)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

0<br />

dengan s merupakan peubah kompleks, s = σ + jω. Batas bawah integrasi<br />

ini adalah nol yang berarti bahwa dalam analisis rangkaian di kawasan s<br />

kita hanya meninjau sinyal-sinyal kausal.<br />

Dengan melakukan transformasi sinyal dari kawasan t ke kawasan s,<br />

karakteristik i-v elemenpun mengalami penyesuaian dan mengantarkan<br />

kita pada konsep impedansi dimana karakteristik tersebut menjadi fungsi<br />

s. Dengan sinyal dan karakteristik elemen dinyatakan di kawasan s, maka<br />

persamaan rangkaian tidak lagi berbentuk persamaan integrodiferensial<br />

melainkan berbentuk persamaan aljabar biasa sehingga penanganannya<br />

menjadi lebih mudah. Hasil yang diperoleh sudah barang tentu akan<br />

merupakan fungsi-fungsi s. Jika kita menghendaki suatu hasil di kawasan<br />

waktu, maka kita lakukan transformasi balik yaitu transformasi dari<br />

fungsi s ke fungsi t.<br />

55


Di bab ini kita akan membahas mengenai transformasi Laplace, sifat<br />

transformasi Laplace, pole dan zero, transformasi balik, solusi persamaan<br />

diferensial, serta transformasi bentuk gelombang dasar.<br />

Setelah mempelajari analisis rangkaian menggunakan transformasi<br />

Laplace bagian pertama ini, kita akan<br />

• memahami transformasi Laplace beserta sifat-sifatnya;<br />

• mampu melakukan transformasi berbagai bentuk gelombang<br />

sinyal dari kawasan t ke kawasan s.<br />

• mampu mencari transformasi balik dari pernyataan bentuk<br />

gelombang sinyal dari kawasan s ke kawasan t.<br />

3.1. Transformasi Laplace<br />

Melalui transformasi Laplace kita menyatakan suatu fungsi yang semula<br />

dinyatakan sebagai fungsi waktu, t, menjadi suatu fungsi s di mana s<br />

adalah peubah kompleks. Kita ingat bahwa kita pernah<br />

mentransformasikan fungsi sinus di kawasan waktu menjadi fasor,<br />

dengan memanfaatkan bagian nyata dari bilangan kompleks. Dengan<br />

transformasi Laplace kita mentransformasikan tidak hanya fungsi sinus<br />

akan tetapi juga fungsi-fungsi yang bukan sinus.<br />

Transformasi Laplace dari suatu fungsi f(t) didefinisikan sebagai<br />

∫ ∞ −st<br />

F ( s)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

(3.1)<br />

0<br />

dengan notasi :<br />

∫ ∞ −st<br />

L [ f ( t)]<br />

= F(<br />

s)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

(3.2)<br />

0<br />

Dengan mengikuti langsung definisi ini, kita dapat mencari transformasi<br />

Laplace dari suatu model sinyal, atau dengan kata lain mencari<br />

pernyataan sinyal tersebut di kawasan s. Berikut ini kita akan<br />

mengaplikasikannya untuk bentuk-bentuk gelombang dasar.<br />

3.1.1. Pernyataan Sinyal Anak Tangga di Kawasan s.<br />

Pernyataan sinyal anak tangga di kawasan t adalah v ( t)<br />

= Au(<br />

t)<br />

.<br />

Transformasi Laplace dari bentuk gelombang ini adalah<br />

∞<br />

∞<br />

∞<br />

−(<br />

σ+ jω)<br />

t<br />

−st<br />

−st<br />

Ae<br />

L [ Au(t) ] =<br />

∫<br />

Au(<br />

t)<br />

e dt =<br />

∫<br />

Ae dt = −<br />

0<br />

0<br />

σ + jω<br />

0<br />

Batas atas, dengan α > 0, memberikan nilai 0, sedangkan batas bawah<br />

memberikan nilai A/s.<br />

56 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Jadi<br />

A<br />

L [ Au ( t)]<br />

=<br />

(3.3)<br />

s<br />

3.1.2. Pernyataan Sinyal Eksponensial di Kawasan s<br />

Transformasi Laplace bentuk gelombang eksponensial beramplitudo A,<br />

yaitu v(t) = Ae −at u(t) , adalah<br />

∞<br />

∞<br />

∞<br />

−(<br />

s+<br />

a)<br />

t<br />

−at<br />

-at −st<br />

−(<br />

s+<br />

a)<br />

t Ae<br />

L [ Ae u(<br />

t)]<br />

=<br />

∫<br />

A e u(<br />

t)<br />

e dt =<br />

∫<br />

Ae = −<br />

0<br />

0<br />

s + a<br />

0<br />

Dengan a > 0, batas atas memberikan nilai 0 sedangkan batas bawah<br />

memberikan A/(s+a).<br />

Jadi<br />

− A<br />

L [ Ae at u(<br />

t)]<br />

=<br />

(3.4)<br />

s + a<br />

3.1.3. Sinyal Sinus di Kawasan s<br />

Transformasi Laplace bentuk gelombang sinus v(t) = (A cos ωt) u(t)<br />

adalah :<br />

∞<br />

−st<br />

∞<br />

−st<br />

L [(<br />

Acosωt)<br />

u(<br />

t)<br />

] = ( Acosωt)<br />

u(<br />

t)<br />

e dt = ( Acosωt)<br />

e dt<br />

∫<br />

0<br />

j t − jωt<br />

Dengan memanfaatkan hubungan Euler cosω<br />

= ( e<br />

ω + e ) / 2 , ruas<br />

kanan persamaan di atas menjadi<br />

∞ jωt<br />

+ − jωt<br />

e e<br />

∞<br />

∞<br />

−st<br />

A ( jω−s)<br />

t A ( − jω<br />

)<br />

e dt =<br />

+<br />

− s t<br />

A<br />

0 2 ∫<br />

e dt<br />

0 2 ∫<br />

e<br />

0 2<br />

∫<br />

=<br />

s<br />

2<br />

As<br />

+ ω<br />

Jadi [ ]<br />

2 2<br />

Dengan cara yang sama, diperoleh<br />

2<br />

s<br />

L ( Acosωt)<br />

u(<br />

t)<br />

= A<br />

(3.5)<br />

s + ω<br />

ω<br />

L [(<br />

Asin<br />

ωt)<br />

u(<br />

t)<br />

] = A<br />

(3.6)<br />

2 2<br />

s + ω<br />

∫<br />

0<br />

dt<br />

57


3.2. Tabel Transformasi Laplace<br />

Transformasi Laplace dari bentuk gelombang anak tangga, eksponensial,<br />

dan sinus di atas merupakan contoh bagaimana suatu transformasi<br />

dilakukan. Kita lihat bahwa amplitudo sinyal, A, selalu muncul sebagai<br />

faktor pengali dalam pernyataan sinyal di kawasan s. Transformasi dari<br />

beberapa bentuk gelombang yang lain termuat dalam Tabel-3.1. dengan<br />

mengambil amplitudo bernilai satu satuan. Tabel ini, walaupun hanya<br />

memuat beberapa bentuk gelombang saja, tetapi cukup untuk keperluan<br />

pembahasan analisis rangkaian di kawasan s yang akan kita pelajari di<br />

buku ini.<br />

Untuk selanjutnya kita tidak selalu menggunakan notasi L[f(t)]<br />

sebagai pernyataan dari “transformasi Laplace dari f(t)”, tetapi<br />

kita langsung memahami bahwa pasangan fungsi t dan<br />

transformasi Laplace-nya adalah seperti : f(t) ↔ F(s) , v 1 (t) ↔<br />

V 1 (s) , i 4 (t) ↔ I 4 (s) dan seterusnya. Dengan kata lain kita<br />

memahami bahwa V(s) adalah pernyataan di kawasan s dari<br />

v(t), I(s) adalah penyataan di kawasan s dari i(t) dan<br />

seterusnya.<br />

COTOH-3.1: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang<br />

berikut:<br />

a). v ( t)<br />

= 5 cos(10t)<br />

u(<br />

t) ;<br />

1<br />

c). v ( t)<br />

= 3e<br />

3<br />

−2t<br />

u(<br />

t)<br />

b). v<br />

2<br />

( t)<br />

= 5sin(10t)<br />

u(<br />

t) ;<br />

Penyelesaian : Dengan mnggunakan Tabel-3.1 kita peroleh :<br />

5s<br />

5s<br />

a). v1(<br />

t)<br />

= 5cos(10t)<br />

u(<br />

t)<br />

→ V1<br />

( s)<br />

= =<br />

2 2 2<br />

s + (10) s + 100<br />

5 × 10 50<br />

b). v2(<br />

t)<br />

= 5sin(10t)<br />

u(<br />

t)<br />

→ V2<br />

( s)<br />

= =<br />

2 2 2<br />

s + (10) s + 100<br />

−2t<br />

3<br />

c). v3(<br />

t)<br />

= 3e<br />

u(<br />

t)<br />

→ V3<br />

( s)<br />

=<br />

s + 2<br />

58 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Tabel 3.1. Pasangan Transformasi Laplace<br />

Pernyataan Sinyal<br />

di Kawasan t : f(t)<br />

Pernyataan Sinyal di<br />

Kawasan s : L[f(t)]=F(s)<br />

impuls : δ(t) 1<br />

anak tangga :<br />

eksponensial :<br />

cosinus :<br />

sinus :<br />

u(t)<br />

[e −at ]u(t)<br />

[cos ωt] u(t)<br />

[sin ωt] u(t)<br />

cosinus teredam : [e −at cos ωt] u(t)<br />

sinus teredam :<br />

[e −at sin ωt] u(t)<br />

cosinus tergeser : [cos (ωt + θ)] u(t)<br />

sinus tergeser :<br />

ramp :<br />

ramp teredam :<br />

[sin (ωt + θ)] u(t)<br />

[ t ] u(t)<br />

[ t e −at ] u(t)<br />

s<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s + a<br />

s<br />

2<br />

2<br />

2<br />

+ ω<br />

ω<br />

2<br />

s + ω<br />

s + a<br />

2 2<br />

( s + a) + ω<br />

ω<br />

2 2<br />

( s + a) + ω<br />

scosθ − ωsin<br />

θ<br />

2<br />

2<br />

s + ω<br />

s sin θ + ωcosθ<br />

s<br />

2<br />

+ ω<br />

1<br />

2<br />

s<br />

1<br />

2<br />

( s + a)<br />

2<br />

59


3.3. Sifat-Sifat Transformasi Laplace<br />

3.3.1. Sifat Unik<br />

Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.<br />

Jika f(t) mempunyai transformasi Laplace F(s) maka transformasi<br />

balik dari F(s) adalah f(t).<br />

Dengan kata lain<br />

Jika pernyataan di kawasan s suatu bentuk gelombang v(t)<br />

adalah V(s), maka pernyataan di kawasan t suatu bentuk<br />

gelombang V(s) adalah v(t).<br />

Bukti dari pernyataan ini tidak kita bahas di sini. Sifat ini memudahkan<br />

kita untuk mencari F(s) dari suatu fungsi f(t) dan sebaliknya mencari<br />

fungsi f(t) dari dari suatu fungsi F(s) dengan menggunakan tabel<br />

transformasi Lapalace. Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) disebut<br />

mencari transformasi balik dari F(s), dengan notasi L − 1 [F(s)] = f(t) . Hal<br />

terakhir ini akan kita bahas lebih lanjut setelah membahas sifat-sifat<br />

transformasi Laplace.<br />

3.3.2. Sifat Linier<br />

Karena transformasi Laplace adalah sebuah integral, maka ia bersifat<br />

linier.<br />

Transformasi Laplace dari jumlah beberapa fungsi t adalah<br />

jumlah dari transformasi masing-masing fungsi.<br />

Jika f ( t)<br />

= A1 f1(<br />

t)<br />

+ A2<br />

f2(<br />

t)<br />

maka transformasi Laplace-nya adalah<br />

st<br />

F(<br />

s)<br />

= ∞<br />

∞<br />

[ A1<br />

f1(<br />

t)<br />

+ A2<br />

f 2 ( t)<br />

] e dt = A 1 f ( ) 2 ( )<br />

0<br />

0 1 t dt + A<br />

∫<br />

∞<br />

−<br />

∫<br />

∫<br />

f<br />

0 2 t dt<br />

(3.7)<br />

= A1F1<br />

( s)<br />

+ A2F2<br />

( s)<br />

dengan F 1 (s) dan F 2 (s) adalah transformasi Laplace dari f 1 (t) dan f 2 (t).<br />

COTOH-3.2: a). Carilah transformasi Laplace dari :<br />

−2t<br />

v1 ( t)<br />

= (1 + 3e<br />

) u(<br />

t)<br />

b). Jika transformasi Laplace sinyal eksponensial<br />

Ae −at u(t) adalah 1/(s+a), carilah transformasi dari<br />

v 2 (t)=Acosωt u(t).<br />

60 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Penyelesaian :<br />

−2t<br />

1 3<br />

a). v1<br />

( t)<br />

= (1 + 3e<br />

) u(<br />

t)<br />

→V<br />

1(<br />

s)<br />

= +<br />

s s + 2<br />

jωt<br />

− jωt<br />

e + e<br />

b). v2(t)<br />

= A cos( ωt)<br />

u(<br />

t)<br />

= A<br />

u(<br />

t)<br />

2<br />

A jωt<br />

− jωt<br />

= ( e u(<br />

t)<br />

+ e u(<br />

t)<br />

)<br />

2<br />

A ⎛ 1 1 ⎞ A ⎛ 2s<br />

⎞ As<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

=<br />

=<br />

2<br />

⎜ +<br />

⎟<br />

2<br />

⎜<br />

2 2<br />

⎟<br />

2 2<br />

⎝ s − jω<br />

s + jω<br />

⎠ ⎝ s + ω ⎠ s + ω<br />

3.3.3. Integrasi<br />

Sebagaimana kita ketahui karakteristik i-v kapasitor dan induktor<br />

melibatkan integrasi dan diferensiasi. Karena kita akan bekerja di<br />

kawasan s, kita perlu mengetahui bagaimana ekivalensi proses integrasi<br />

dan diferensiasi di kawasan t tersebut. Transformasi Laplace dari<br />

integrasi suatu fungsi dapat kita lihat sebagai berikut.<br />

t<br />

Misalkan f ( t)<br />

=<br />

∫<br />

f ( )<br />

0 1 x dx . Maka<br />

∞<br />

⎛<br />

F ( s)<br />

= ⎜<br />

⎝<br />

0<br />

∫ ∫<br />

t<br />

−st<br />

⎞ ⎡<br />

−st<br />

e ⎛<br />

f x dx⎟<br />

e dt = ⎢ ⎜<br />

0 1 ( )<br />

⎠ ⎢⎣<br />

− s ⎝<br />

∞ ∞<br />

t<br />

st<br />

⎞⎤<br />

e −<br />

f x dx⎟⎥<br />

−<br />

0 1 ( )<br />

∫<br />

⎠⎥⎦<br />

− s<br />

0 0<br />

∫<br />

f1(<br />

t)<br />

dt<br />

Suku pertama ruas kanan persamaan di atas akan bernilai nol untuk t = ∞<br />

karena e −st = 0 pada t→∞ , dan juga akan bernilai nol untuk t = 0 karena<br />

integral yang di dalam tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol).<br />

Tinggallah suku kedua ruas kanan; jadi<br />

∞<br />

e − st<br />

∞<br />

1 −st<br />

F ( s)<br />

F ( s)<br />

= − f ( t)<br />

dt f ( t)<br />

e dt 1<br />

∫ 1 = 1 =<br />

− s s ∫<br />

(3.8)<br />

s<br />

0<br />

0<br />

Jadi secara singkat dapat kita katakan bahwa :<br />

transformasi dari suatu integrasi bentuk gelombang f(t) di kawasan t<br />

dapat diperoleh dengan cara membagi F(s) dengan s.<br />

61


COTOH-3.3: Carilah transformasi Laplace dari fungsi ramp r(t)=tu(t).<br />

Penyelesaian :<br />

Kita mengetahui bahwa fungsi ramp adalah integral dari fungsi anak<br />

tangga.<br />

r(<br />

t)<br />

= tu(<br />

t)<br />

=<br />

→<br />

R(<br />

s)<br />

=<br />

t<br />

u(<br />

x)<br />

dx<br />

0<br />

∫<br />

∞⎛<br />

t ⎞ −st<br />

1<br />

⎜ u(<br />

x)<br />

dx⎟<br />

e dt =<br />

0 0<br />

2<br />

⎝ ⎠ s<br />

∫ ∫<br />

Hasil ini sudah tercantum dalam Tabel.3.1.<br />

3.3.4. Diferensiasi<br />

Transformasi Laplace dari suatu diferensiasi dapat kita lihat sebagai<br />

berikut.<br />

Misalkan<br />

df ( t)<br />

f ( t)<br />

=<br />

1<br />

maka<br />

dt<br />

−st<br />

∞<br />

[ f1(<br />

t)<br />

e ]<br />

0 −<br />

∫<br />

∞ df −<br />

∞<br />

−<br />

= 1 ( t)<br />

st<br />

st<br />

F ( s)<br />

∫<br />

e dt =<br />

f1(<br />

t)(<br />

−s)<br />

e dt<br />

0 dt<br />

0<br />

Suku pertama ruas kanan bernilai nol untuk t = ∞ karena e −st = 0 untuk<br />

t→ ∞ , dan bernilai −f(0) untuk t = 0. Dengan demikian dapat kita<br />

tuliskan<br />

⎡ df 1 ( t)<br />

⎤<br />

st<br />

⎢ = s f ( t)<br />

e dt − f (0) = s 1(<br />

s)<br />

− f 1(0)<br />

dt<br />

⎥<br />

⎣ ⎦<br />

∫ ∞ −<br />

L F<br />

(3.9)<br />

0<br />

Transformasi dari suatu fungsi t yang diperoleh melalui<br />

diferensiasi fungsi f(t) merupakan perkalian dari F(s) dengan s<br />

dikurangi dengan nilai f(t) pada t = 0.<br />

COTOH-3.4: Carilah transformasi Laplace dari fungsi cos(ωt) dengan<br />

memandang fungsi ini sebagai turunan dari sin(ωt).<br />

Penyelesaian :<br />

62 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1 d sin( ωt)<br />

f ( t)<br />

= cos( ωt)<br />

=<br />

ω dt<br />

1 ⎛ ω ⎞ s<br />

→ F(<br />

s)<br />

= ⎜ s − sin(0) ⎟ =<br />

ω 2 2<br />

2 2<br />

⎝ s + ω ⎠ s + ω<br />

Penurunan di atas dapat kita kembangkan lebih lanjut sehingga kita<br />

mendapatkan transformasi dari fungsi-fungsi yang merupakan fungsi<br />

turunan yang lebih tinggi.<br />

2<br />

d f ( )<br />

jika ( ) 1 t<br />

f t =<br />

2<br />

dt<br />

2<br />

→ F(<br />

s)<br />

= s F1<br />

( s)<br />

− sf1(0)<br />

− f1′<br />

(0)<br />

3<br />

d f ( )<br />

jika ( ) 1 t<br />

f t =<br />

3<br />

dt<br />

3 2<br />

→ F ( s)<br />

= s F1<br />

( s)<br />

− s f1(0)<br />

− sf1′<br />

(0) − f1′′<br />

(0)<br />

3.3.5. Translasi di Kawasan t<br />

(3.10)<br />

Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan translasi di kawasan t ini<br />

dapat dinyatakan sebagai berikut<br />

Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s), maka<br />

transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) untuk a > 0 adalah<br />

e −as F(s).<br />

Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut. Menurut definisi, transformasi<br />

Laplace dari f(t−a)u(t−a) adalah<br />

∫ ∞<br />

−st<br />

f ( t − a)<br />

u(<br />

t − a)<br />

e dt<br />

0<br />

Karena u(t−a) bernilai nol untuk t < a dan bernilai satu untuk t > a ,<br />

bentuk integral ini dapat kita ubah batas bawahnya serta tidak lagi<br />

menuliskan faktor u(t−a), menjadi<br />

∞<br />

−st<br />

∞<br />

−st<br />

f ( t − a)<br />

u(<br />

t − a)<br />

e dt =<br />

∫<br />

f ( t − a)<br />

e dt<br />

0<br />

a<br />

∫<br />

Kita ganti peubah integrasinya dari t menjadi τ dengan suatu hubungan τ<br />

= (t−a). Dengan penggantian ini maka dt menjadi dτ dan τ = 0 ketika t =<br />

a dan τ = ∞ ketika t = ∞. Persamaan di atas menjadi<br />

63


∞<br />

−st<br />

∞<br />

−s(<br />

τ+ a)<br />

f ( t − a)<br />

u(<br />

t − a)<br />

e dt = f ( ) e d<br />

0<br />

∫<br />

τ τ<br />

0<br />

−as<br />

∞<br />

−sτ<br />

−as<br />

= e<br />

∫<br />

f ( τ)<br />

e dτ = e F(<br />

s)<br />

0<br />

∫<br />

COTOH-3.5: Carilah transformasi<br />

Laplace dari bentuk gelombang<br />

sinyal seperti yang tergambar di<br />

samping ini.<br />

Penyelesaian :<br />

Model bentuk gelombang ini dapat<br />

kita tuliskan sebagai<br />

A<br />

f ( t)<br />

= Au(<br />

t)<br />

− Au(<br />

t − a)<br />

.<br />

f(t)<br />

0 a →t<br />

(3.11)<br />

Transformasi Laplace-nya adalah :<br />

3.3.6. Translasi di Kawasan s<br />

−as<br />

A −as A A(1<br />

− e )<br />

F ( s)<br />

= − e =<br />

s s s<br />

Sifat mengenai translasi di kawasan s dapat dinyatakan sebagai berikut.<br />

Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka<br />

transformasi Laplace dari e −αt f(t) adalah F(s + α).<br />

Bukti dari pernyataan ini dapat langsung diperoleh dari definisi<br />

transformasi Laplace, yaitu<br />

∞<br />

−αt<br />

−st<br />

∞<br />

( )<br />

( ) =<br />

− s+α<br />

t<br />

e f t e dt ( ) = ( + α)<br />

0 ∫<br />

f t e dt F s (3.19)<br />

0<br />

∫<br />

Sifat ini dapat digunakan untuk menentukan transformasi fungsi teredam<br />

jika diketahui bentuk transformasi fungsi tak teredamnya.<br />

COTOH-3.6: Carilah transformasi Laplace dari fungsi-fungsi ramp<br />

teredam dan sinus teredam berikut ini :<br />

Penyelesaian :<br />

−αt<br />

−αt<br />

a). v1 = tu(<br />

t)<br />

e ; b). v2<br />

= e cosωt<br />

u(<br />

t)<br />

64 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1<br />

a).Karena untuk v(<br />

t)<br />

= tu(<br />

t)<br />

→ F(<br />

s)<br />

= ,<br />

2<br />

s<br />

−αt<br />

1<br />

maka jika v1<br />

( t)<br />

= tu(<br />

t)<br />

e ⇒ V1<br />

( s)<br />

=<br />

2<br />

( s + α)<br />

s<br />

b). Karena untuk v(<br />

t)<br />

= cosωt<br />

u(<br />

t)<br />

→V<br />

( s)<br />

= ,<br />

2 2<br />

s + ω<br />

−αt<br />

s + α<br />

maka jika v2(<br />

t)<br />

= e cosωt<br />

u(<br />

t)<br />

⇒ V2(<br />

s)<br />

=<br />

2 2<br />

( s + α)<br />

+ ω<br />

3.3.7. Pen-skalaan (scaling)<br />

Sifat ini dapat dinyatakan sebagai :<br />

Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka untuk a<br />

1 ⎛ s ⎞<br />

> 0 transformasi dari f(at) adalah F⎜<br />

⎟ .<br />

a ⎝ a ⎠<br />

Bukti dari sifat ini dapat langsung diperoleh dari definisinya. Dengan<br />

mengganti peubah t menjadi τ = at maka transformasi Laplace dari f(at)<br />

adalah:<br />

∞<br />

−st<br />

1<br />

f ( at)<br />

e dt =<br />

0<br />

a<br />

∫<br />

s<br />

∞ − τ 1 ⎛ s ⎞<br />

f ( τ)<br />

e a dτ = F ⎜ ⎟ (3.12)<br />

0<br />

a ⎝ a ⎠<br />

∫<br />

Jadi, jika skala waktu diperbesar (a > 1) maka skala frekuensi s mengecil<br />

dan sebaliknya apabila skala waktu diperkecil (a < 1) maka skala<br />

frekuensi menjadi besar.<br />

3.3.8. ilai Awal dan ilai Akhir<br />

Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan nilai awal dan nilai akhir<br />

dapat dinyatakan sebagai berikut.<br />

Nilai awal : lim f ( t)<br />

= lim sF(<br />

s)<br />

t→0+<br />

s→∞<br />

Nilai akhir : lim f ( t)<br />

= lim sF(<br />

s)<br />

t→∞<br />

s→0<br />

Jadi nilai f(t) pada t = 0 + di kawasan waktu (nilai awal) sama dengan<br />

nilai sF(s) pada tak hingga di kawasan s. Sedangkan nilai f(t) pada t = ∞<br />

65


(nilai akhir) sama dengan nilai sF(s) pada titik asal di kawasan s. Sifat<br />

ini dapat diturunkan dari sifat diferensiasi.<br />

COTOH-3.7: Transformasi Laplace dari suatu sinyal adalah<br />

Penyelesaian :<br />

Nilai awal adalah :<br />

s + 3<br />

V ( s)<br />

= 100<br />

s(<br />

s + 5)( s + 20)<br />

Carilah nilai awal dan nilai akhir dari v(t).<br />

⎡<br />

s + 3 ⎤<br />

lim v(<br />

t)<br />

= lim sV<br />

( s)<br />

= lim ⎢s<br />

× 100<br />

⎥ = 0<br />

t→0+<br />

s→∞<br />

s→∞⎣<br />

s(<br />

s + 5)( s + 20) ⎦<br />

Nilai akhir adalah :<br />

⎡<br />

s + 3 ⎤<br />

lim v(<br />

t)<br />

= lim sV<br />

( s)<br />

= lim ⎢s<br />

× 100<br />

⎥ = 3<br />

t→∞<br />

s→0<br />

s→0⎣<br />

s(<br />

s + 5)( s + 20) ⎦<br />

Tabel 3.2. memuat sifat-sifat transformasi Laplace yang dibahas di atas<br />

kecuali sifat yang terakhir yaitu konvolusi. Konvolusi akan dibahas di<br />

bagian akhir dari pembahasan mengenai transformasi balik.<br />

66 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Tabel 3.2. Sifat-sifat Transformasi Laplace<br />

Pernyataan f(t)<br />

Pernyataan F(s) =L[f(t)]<br />

linier : A 1 f 1 (t) + A 2 f 2 (t) A 1 F 1 (s) + A 2 F 2 (s)<br />

integrasi :<br />

∫ t<br />

f ( x)<br />

dx<br />

0<br />

F(s)<br />

s<br />

diferensiasi :<br />

df ( t)<br />

−<br />

sF ( s)<br />

− f (0 )<br />

dt<br />

2<br />

d f ( t)<br />

2 −<br />

s F ( s)<br />

− sf (0 ) − f ′(0<br />

− )<br />

2<br />

dt<br />

3<br />

d f ( t)<br />

3 2 −<br />

s F(<br />

s)<br />

− s f (0 )<br />

3<br />

dt<br />

− −<br />

− sf (0 ) − f ′′ (0 )<br />

linier : A 1 f 1 (t) + A 2 f 2 (t)<br />

A 1 F 1 (s) + A 2 F 2 (s)<br />

translasi di t: [ f ( t a)<br />

] u(<br />

t − a)<br />

− −<br />

e as F(s)<br />

translasi di s : e − at f (t)<br />

F ( s + a )<br />

penskalaan : f (at)<br />

1<br />

a F<br />

⎛<br />

⎜<br />

⎝<br />

s<br />

a<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

nilai awal : lim f ( t)<br />

lim sF ( s)<br />

t→0+<br />

s→∞<br />

nilai akhir : lim f ( t)<br />

t→∞<br />

lim sF ( s)<br />

s→0<br />

konvolusi :<br />

∫<br />

t<br />

0<br />

f ( x)<br />

f<br />

( t<br />

1 2 −<br />

x)<br />

dx<br />

F 1( s)<br />

F2<br />

( s)<br />

67


3.4. Transformasi Balik<br />

Berikut ini kita akan membahas mengenai transformasi balik, yaitu<br />

mencari f(t) dari suatu F(s) yang diketahui. Jika F(s) yang ingin dicari<br />

transformasi baliknya ada dalam tabel transformasi Laplace yang kita<br />

punyai, pekerjaan kita cukup mudah. Akan tetapi dalam analisis<br />

rangkaian di kawasan s, pada umumnya F(s) berupa rasio polinomial<br />

yang bentuknya tidak sesederhana dan tidak selalu ada pasangannya<br />

seperti dalam tabel. Untuk mengatasi hal itu, F(s) kita uraikan menjadi<br />

suatu penjumlahan dari bentuk-bentuk yang ada dalam tabel, sehingga<br />

kita akan memperoleh f(t) sebagai jumlah dari bentuk-bentuk gelombang<br />

sederhana. Dengan perkataan lain kita membuat F(s) menjadi<br />

transformasi dari suatu gelombang komposit dan kelinieran dari<br />

transformasi Laplace akan memberikan transformasi balik dari F(s) yang<br />

berupa jumlah dari bentuk-bentuk gelombang sederhana. Sebelum<br />

membahas mengenai transformasi balik kita akan mengenal lebih dulu<br />

pengertian tentang pole dan zero.<br />

3.4.1. Pole dan Zero<br />

Pada umumnya, transformasi Laplace berbentuk rasio polinom<br />

m m−1<br />

b s b<br />

( )<br />

1s<br />

b1<br />

s b<br />

s<br />

m + m + + +<br />

=<br />

− L<br />

F<br />

0<br />

(3.13)<br />

n n−1<br />

ans<br />

+ an−1s<br />

+ L + a1s<br />

+ a0<br />

yang masing-masing polinom dapat dinyatakan dalam bentuk faktor<br />

menjadi<br />

( s − z )( ) ( )<br />

( )<br />

1 s − z2<br />

L s − z<br />

F s = K<br />

m<br />

(3.14)<br />

( s − p1<br />

)( s − p2)<br />

L(<br />

s − pn)<br />

dengan K = b m /a n dan disebut faktor skala.<br />

Akar-akar dari pembilang dari pernyataan F(s) di atas disebut zero<br />

karena F(s) bernilai nol untuk s = z k (k = 1, 2, …m). Akar-akar dari<br />

penyebut disebut pole karena pada nilai s = p k (k = 1, 2, …n) nilai<br />

penyebut menjadi nol dan nilai F(s) menjadi tak-hingga. Pole dan zero<br />

disebut frekuensi kritis karena pada nilai-nilai itu F(s) menjadi nol atau<br />

tak-hingga.<br />

Peubah s merupakan peubah kompleks s = σ + jω. Dengan demikian kita<br />

dapat memetakan pole dan zero dari suatu F(s) pada bidang kompleks<br />

dan kita sebut diagram pole-zero. Titik pole diberi tanda ″× ″ dan titik<br />

zero diberi tanda ″o ″. Perhatikan contoh 3.8. berikut.<br />

68 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-3.8: Gambarkan diagram pole-zero dari<br />

1<br />

A(<br />

s + a)<br />

1<br />

a). F ( s)<br />

= b). F ( s)<br />

=<br />

c). F(<br />

s)<br />

=<br />

s + 1<br />

2 2<br />

( s + a)<br />

+ b<br />

s<br />

Penyelesaian :<br />

a). Fungsi ini mempunyai pole di s = −1<br />

tanpa zero<br />

tertentu.<br />

×<br />

−1<br />

jω<br />

σ<br />

b). Fungsi ini mempunyai zero di s = −a.<br />

Pole dapat dicari dari<br />

2<br />

2<br />

( s + a)<br />

+ b = 0 → pole di s = −a<br />

± jb<br />

−a<br />

jω<br />

+jb<br />

−jb<br />

σ<br />

c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu<br />

sedangkan pole terletak di titik asal, s = 0 +<br />

j0.<br />

jω<br />

σ<br />

3.4.2. Bentuk Umum F(s)<br />

Bentuk umum F(s) adalah seperti (3.14) yaitu<br />

( s − z )( ) ( )<br />

( )<br />

1 s − z2<br />

L s − z<br />

F s = K<br />

m<br />

( s − p )( s − p ) L(<br />

s − p )<br />

1<br />

Jika jumlah pole lebih besar dari jumlah zero, jadi n > m, kita katakan<br />

bahwa fungsi ini merupakan fungsi rasional patut. Jika fungsi ini<br />

memiliki pole yang semuanya berbeda, jadi p i ≠ p j untuk i ≠ j , maka<br />

dikatakan bahwa F(s) mempunyai pole sederhana. Jika ada pole yang<br />

berupa bilangan kompleks kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai<br />

pole kompleks. Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa<br />

fungsi ini mempunyai pole ganda.<br />

2<br />

n<br />

69


3.4.3. Fungsi Dengan Pole Sederhana<br />

Apabila fungsi rasional F(s) hanya mempunyai pole sederhana, maka ia<br />

dapat diuraikan menjadi berbentuk<br />

k<br />

( )<br />

1 k2<br />

k<br />

F s = + + L + n<br />

(3.15)<br />

( s − p ) ( s − p ) ( s − p )<br />

1<br />

Jadi F(s) merupakan kombinasi linier dari beberapa fungsi sederhana;<br />

konstanta k yang berkaitan dengan setiap fungsi pembangun F(s) itu kita<br />

sebut residu. Kita ingat bahwa transformasi balik dari masing-masing<br />

fungsi sederhana itu berbentuk ke −αt . Dengan demikian maka<br />

transformasi balik dari F(s) menjadi<br />

2<br />

p1t<br />

p2t<br />

pnt<br />

( t)<br />

= k1e<br />

+ k2e<br />

+ L kne<br />

(3.16)<br />

f +<br />

Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menentukan residu. Untuk<br />

mencari k 1 , kita kalikan kedua ruas (3.15) dengan (s − p 1 ) sehingga faktor<br />

(s− p 1 ) hilang dari ruas kiri sedangkan ruas kanan menjadi k 1 ditambah<br />

suku-suku lain yang semuanya mengandung faktor (s− p 1 ). Kemudian<br />

kita substitusikan s = p 1 sehingga semua suku di ruas kanan bernilai nol<br />

kecuali k 1 dan dengan demikian diperoleh nilai k 1 . Untuk mencari k 2 , kita<br />

kalikan kedua ruas (3.15) dengan (s − p 2 ) kemudian kita substitusikan s =<br />

p 2 ; demikian seterusnya sampai semua nilai k diperoleh, dan transformasi<br />

balik dapat dicari.<br />

COTOH-3.9: Carilah f(t) dari fungsi transformasi berikut.<br />

4<br />

a). F(<br />

s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 1)( s + 3)<br />

6( s + 2)<br />

c). F(<br />

s)<br />

=<br />

s(<br />

s + 1)( s + 4)<br />

Penyelesaian :<br />

4( s + 2)<br />

b). F(<br />

s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 1)( s + 3)<br />

n<br />

a).<br />

4 k<br />

( )<br />

1 k<br />

F s =<br />

= + 2<br />

( s + 1)( s + 3) s + 1 s + 3<br />

70 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


4<br />

→ F(<br />

s)<br />

× ( s + 1) → = k<br />

( s + 3)<br />

→ F(<br />

s)<br />

× ( s + 3) dan substitusi<br />

2 − 2<br />

⇒ F(<br />

s)<br />

= +<br />

s + 1 s + 3<br />

1<br />

k<br />

+ 2<br />

( s + 1)<br />

s + 3<br />

4<br />

→ substitusi s = −1→<br />

= k1<br />

→ k<br />

−1<br />

+ 3<br />

4<br />

s = −3<br />

→ = k<br />

− 3 + 1<br />

t −3t<br />

⇒ f ( t)<br />

= 2e<br />

− − 2e<br />

2<br />

→ k<br />

1<br />

= 2<br />

2 = −<br />

2<br />

b).<br />

4( s + 2) k<br />

( )<br />

1 k<br />

F s =<br />

= + 2<br />

( s + 1)( s + 3) s + 1 s + 3<br />

4( −1<br />

+ 2)<br />

→ F(<br />

s)<br />

× ( s + 1) dan substitusi s = −1→<br />

= k1<br />

→ k1<br />

= 2<br />

−1<br />

+ 3<br />

4( −3<br />

+ 2)<br />

→ F(<br />

s)<br />

× ( s + 3) dan substitusi s = −3<br />

→ = k2<br />

→ k2<br />

= 2<br />

− 3 + 1<br />

2 2<br />

t −3t<br />

⇒ F(<br />

s)<br />

= + ⇒ f ( t)<br />

= 2e<br />

− + 2e<br />

s + 1 s + 3<br />

c).<br />

6( s + 2) k<br />

( )<br />

1 k2<br />

k<br />

F s =<br />

= + + 3<br />

s(<br />

s + 1)( s + 4) s s + 1 s + 4<br />

Dengan cara seperti di a) dan b) kita peroleh<br />

6( s + 2)<br />

→ k1<br />

=<br />

= 3;<br />

( s + 1)( s + 4)<br />

s=<br />

0<br />

6( s + 2)<br />

k3<br />

=<br />

= −1<br />

s(<br />

s + 1)<br />

s=−4<br />

3 − 2 − 1<br />

⇒ F(<br />

s)<br />

= + +<br />

s s + 1 s + 4<br />

3.4.4 Fungsi Dengan Pole Kompleks<br />

6( s + 2)<br />

k2<br />

=<br />

= −2 ;<br />

s(<br />

s + 4)<br />

s=−1<br />

−t<br />

−4t<br />

→ f ( t)<br />

= 3 − 2e<br />

− e<br />

Secara fisik, fungsi F(s) merupakan rasio polinomial dengan koefisien<br />

riil. Jika F(s) mempunyai pole kompleks yang berbentuk p = −α + jβ,<br />

maka ia juga harus mempunyai pole lain yang berbentuk p* = −α − jβ;<br />

71


sebab jika tidak maka koefisien polinomial tersebut tidak akan riil. Jadi<br />

untuk sinyal yang memang secara fisik kita temui, pole kompleks dari<br />

F(s) haruslah terjadi secara berpasangan konjugat. Oleh karena itu uraian<br />

F(s) harus mengandung dua suku yang berbentuk<br />

k k *<br />

F ( s)<br />

= L + + + L<br />

(3.17)<br />

s + α − jβ<br />

s + α + jβ<br />

Residu k dan k* pada pole konjugat juga merupakan residu konjugat<br />

sebab F(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini<br />

dapat kita cari dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian<br />

fungsi dengan pole sederhana. Kita cukup mencari salah satu residu dari<br />

pole kompleks karena residu yang lain merupakan konjugatnya.<br />

Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks akan berupa<br />

cosinus teredam. Tansformasi balik dari dua suku pada (3.17) adalah<br />

−(<br />

α− jβ)<br />

t −(<br />

α+ jβ)<br />

t<br />

f k ( t)<br />

= ke + k * e<br />

jθ<br />

−(<br />

α− jβ)<br />

t − jθ<br />

−(<br />

α+ jβ)<br />

t<br />

= k e e + k e e<br />

=<br />

k e<br />

−αt<br />

= 2 k e<br />

−(<br />

α− j(<br />

β+θ))<br />

t<br />

+<br />

k e<br />

−(<br />

α+ j(<br />

β+θ))<br />

t<br />

j(<br />

β+θ)<br />

t − j(<br />

β+θ)<br />

t<br />

e + e<br />

2<br />

Jadi f(t) dari (3.17) akan berbentuk :<br />

−αt<br />

= 2 k e cos( β + θ)<br />

(3.18)<br />

−αt<br />

f ( t)<br />

= L + 2 k e cos( β + θ)<br />

+L<br />

COTOH-3.10: Carilah transformasi balik dari<br />

8<br />

F ( s)<br />

=<br />

2<br />

s(<br />

s + 4s<br />

+ 8)<br />

Penyelesaian :<br />

Fungsi ini mempunyai pole sederhana di s = 0, dan pole kompleks<br />

yang dapat ditentukan dari faktor penyebut yang berbentuk kwadrat,<br />

yaitu<br />

− 4 ± 16 − 32<br />

s =<br />

= −2<br />

±<br />

2<br />

j2<br />

72 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Uraian dari F(s) , penentuan residu, serta transformasi baliknya<br />

adalah sebagai berikut.<br />

F(<br />

s)<br />

=<br />

s(<br />

s<br />

→ k<br />

1<br />

=<br />

s(<br />

s<br />

2<br />

2<br />

8 k<br />

=<br />

1<br />

+ 4s<br />

+ 8) s<br />

8<br />

× s<br />

+ 4s<br />

+ 8)<br />

k2<br />

k<br />

+ +<br />

2<br />

s + 2 − j2<br />

s + 2 +<br />

s=<br />

0<br />

=<br />

8<br />

= 1<br />

8<br />

∗<br />

j2<br />

8<br />

→ k2<br />

=<br />

× ( s + 2 − j2)<br />

2<br />

s(<br />

s + 4s<br />

+ 8)<br />

8<br />

=<br />

s(<br />

s + 2 +<br />

∗ 2 − j(3π<br />

/ 4)<br />

→ k2<br />

= e<br />

2<br />

s=−2+<br />

j2<br />

8 2 j(3π<br />

/ 4)<br />

= = e<br />

j2)<br />

− 8 − j8<br />

2<br />

s=−2+<br />

j2<br />

⇒ f(t) = u(<br />

t)<br />

+<br />

= u(<br />

t)<br />

+<br />

= u(<br />

t)<br />

+<br />

2<br />

e<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2e<br />

j(3π<br />

/ 4) −(2−<br />

j2)<br />

t<br />

e<br />

−2t<br />

−2t<br />

e<br />

+<br />

j(3π<br />

/ 4+<br />

2t)<br />

− j(3π<br />

/ 4+<br />

2t)<br />

[ e + e ]<br />

cos(2t<br />

+ 3π<br />

/ 4)<br />

2<br />

e<br />

2<br />

− j(3π<br />

/ 4) −(2+<br />

j2)<br />

t<br />

e<br />

3.4.5. Fungsi Dengan Pole Ganda<br />

Pada kondisi tertentu, fungsi F(s) dapat mempunyai pole ganda.<br />

Penguraian F(s) yang demikian ini dilakukan dengan “memecah” faktor<br />

yang mengandung pole ganda dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk<br />

fungsi dengan pole sederhana yang dapat diuraikan seperti biasanya.<br />

Untuk jelasnya kita ambil suatu fungsi yang mengandung pole ganda<br />

(dua pole sama) seperti pada (3.19) berikut ini.<br />

K(<br />

s − z )<br />

F ( s)<br />

=<br />

1<br />

(3.19)<br />

2<br />

( s − p1)(<br />

s − p2)<br />

Dengan mengeluarkan salah satu faktor yang mengandung pole ganda<br />

kita dapatkan<br />

73


1 ⎡ K(<br />

s − z ) ⎤<br />

F ( s)<br />

=<br />

1<br />

⎢<br />

⎥<br />

(3.20)<br />

s − p2 ⎣(<br />

s − p1)(<br />

s − p2)<br />

⎦<br />

Bagian yang didalam tanda kurung dari (3.20) mengandung pole<br />

sederhana sehingga kita dapat menguraikannya seperti biasa.<br />

⎡<br />

K(<br />

s − z )<br />

⎤<br />

F<br />

1<br />

1 2<br />

1(<br />

s)<br />

= ⎢<br />

⎥ = +<br />

(3.21)<br />

( s − p1)(<br />

s − p2)<br />

s − p1<br />

s − p2<br />

⎣<br />

Residu pada (3.21) dapat ditentukan, misalnya k 1 = A dan k 2 = B , dan<br />

faktor yang kita keluarkan kita masukkan kembali sehingga (3.20)<br />

menjadi<br />

1<br />

F ( s)<br />

=<br />

s − p<br />

⎡<br />

⎢<br />

A<br />

+<br />

B<br />

⎤<br />

⎥ =<br />

⎦<br />

2<br />

2 ⎣ s − p1<br />

s − p2<br />

⎦ ( s − p2)(<br />

s − p1<br />

) ( s − p2)<br />

dan suku pertama ruas kanan diuraikan lebih lanjut menjadi<br />

k<br />

k<br />

F ( s)<br />

=<br />

11<br />

+<br />

12<br />

+<br />

(3.22)<br />

s − p<br />

2<br />

1 s − p2<br />

( s − p2)<br />

Transformasi balik dari (3.22) adalah<br />

p1t<br />

p2t<br />

p t<br />

= k11e<br />

+ k12e<br />

Bte<br />

(3.23)<br />

2<br />

f ( t)<br />

+<br />

k<br />

A<br />

B<br />

k<br />

+<br />

B<br />

COTOH-3.11: Tentukan transformasi balik dari fungsi:<br />

s<br />

F ( s)<br />

=<br />

2<br />

( s + 1)( s + 2)<br />

Penyelesaian :<br />

s<br />

F(<br />

s)<br />

=<br />

( s + 1)( s + 2)<br />

1 ⎡ k1<br />

k2<br />

⎤<br />

=<br />

( 2)<br />

⎢ +<br />

s + 1 2<br />

⎥<br />

⎣ s + s + ⎦<br />

→ k<br />

1<br />

s<br />

=<br />

( s + 2)<br />

2<br />

1 ⎡ s ⎤<br />

= ⎢<br />

⎥<br />

( s + 2) ⎣(<br />

s + 1)( s + 2) ⎦<br />

= −1<br />

→ k<br />

s<br />

=<br />

( s + 1)<br />

2<br />

s= −1<br />

s=−2<br />

= 2<br />

74 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1 ⎡ − 1 2 ⎤ − 1 2<br />

⇒ F(<br />

s)<br />

=<br />

+<br />

( 2)<br />

⎢ + =<br />

s + 1 2<br />

⎥<br />

⎣ s + s + ⎦ ( s + 1)( s + 2) ( s + 2)<br />

k11<br />

k12<br />

2<br />

= + +<br />

s + 1 s + 2 ( s + 2)<br />

−1<br />

−1<br />

→ k11<br />

= = −1<br />

→ k12<br />

= = 1<br />

s + 2 s=−1<br />

s + 1 s=−2<br />

−1<br />

1 2<br />

−t<br />

−2t<br />

−2t<br />

⇒ F ( s)<br />

= + + ⇒ f ( t)<br />

= −e<br />

+ e + 2te<br />

s + 1 s + 2 2<br />

( s + 2)<br />

3.4.6. Konvolusi<br />

Transformasi Laplace menyatakan secara timbal balik bahwa<br />

2<br />

jika f ( t)<br />

= f ( t)<br />

+ f2(<br />

t)<br />

maka F (s) = F1<br />

( s)<br />

+ F2<br />

(<br />

1 s<br />

jika F ( s ) = F1 ( s)<br />

+ F2<br />

( s)<br />

maka f (t) = f1(<br />

t)<br />

+ f2(<br />

t)<br />

Kelinieran dari transformasi Laplace ini tidak mencakup perkalian. Jadi<br />

jika F ( s)<br />

= F1 ( s)<br />

F2<br />

( s)<br />

maka f ( t)<br />

≠ f1(<br />

t)<br />

f2(<br />

t)<br />

Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) yang merupakan hasil kali dua<br />

fungsi s yang berlainan, melibatkan sifat transformasi Laplace yang kita<br />

sebut konvolusi. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.<br />

jika<br />

L<br />

−1<br />

F(<br />

s)<br />

= F ( s)<br />

F<br />

1<br />

2<br />

t<br />

( s)<br />

[ F ( s)<br />

] = f ( t)<br />

=<br />

∫<br />

f1(<br />

τ)<br />

f2(<br />

t − τ)<br />

dτ =<br />

∫<br />

0<br />

maka<br />

t<br />

(3.24)<br />

f2(<br />

τ)<br />

f1(<br />

t − τ)<br />

dτ<br />

0<br />

Kita katakan bahwa transformasi balik dari perkalian dua F(s) diperoleh<br />

dengan melakukan konvolusi dari kedua bentuk gelombang yang<br />

bersangkutan. Kedua bentuk integral pada (3.24) disebut integral<br />

konvolusi.<br />

Pandanglah dua fungsi waktu f 1 (τ) dan f 2 (t). Transformasi Laplace<br />

masing-masing adalah<br />

∫ ∞ −sτ<br />

F 1 ( s)<br />

= f1(<br />

τ)<br />

e dτ<br />

dan 0 ∫ ∞ −st<br />

F 2 ( s)<br />

= f2(<br />

t)<br />

e dt .<br />

0<br />

2<br />

)<br />

75


Jika kedua ruas dari persamaan pertama kita kalikan dengan F 2 (s) akan<br />

kita peroleh<br />

∫ ∞<br />

F<br />

− τ<br />

1 ( s)<br />

F<br />

s<br />

2(<br />

s)<br />

= f1(<br />

τ)<br />

e F 2(<br />

s)<br />

dτ<br />

.<br />

0<br />

Sifat translasi di kawasan waktu menyatakan bahwa e −sτ F 2 (s) adalah<br />

transformasi Laplace dari [ f 2 (t−τ) ] u(t−τ) sehingga persamaan tersebut<br />

dapat ditulis<br />

⎡<br />

⎤<br />

(<br />

∫ ⎢∫<br />

dt⎥dτ<br />

⎣<br />

⎦<br />

∞ ∞<br />

−st<br />

F 1 s)<br />

F2<br />

( s)<br />

= f1(<br />

τ)<br />

f2(<br />

t − τ)<br />

u(<br />

t − τ)<br />

e<br />

0 0<br />

Karena untuk τ > t nilai u(t−τ) = 0, maka integrasi yang berada di dalam<br />

kurung pada persamaan di atas cukup dilakukan dari 0 sampai t saja,<br />

sehingga<br />

∞ t<br />

1 2<br />

−<br />

=<br />

∫<br />

τ ⎢∫<br />

− τ<br />

0 1<br />

⎣ 0 2<br />

st<br />

F ( s)<br />

F ( s)<br />

f ( ) f ( t ) e<br />

∞ ⎡ t<br />

−st<br />

=<br />

∫ ⎢∫<br />

f1(<br />

τ)<br />

f2(<br />

t − τ)<br />

e dt<br />

0 0<br />

Dengan mempertukarkan urutan integrasi, kita peroleh<br />

∞ ⎡ t<br />

⎤ −st<br />

⎡<br />

F ( s)<br />

F2<br />

( s)<br />

=<br />

∫ ⎢∫<br />

f1(<br />

τ)<br />

f2(<br />

t − τ)<br />

dτ⎥e<br />

dt = L ⎢<br />

0 ∫<br />

⎣ 0<br />

⎦ ⎣<br />

⎣<br />

⎡<br />

⎤<br />

dt⎥dτ<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎥dτ<br />

⎦<br />

⎤<br />

( t − τ dτ⎥<br />

⎦<br />

t<br />

1 f1(<br />

τ)<br />

f2<br />

)<br />

0<br />

COTOH-3.12: Carilah f(t) dari F(s) berikut.<br />

1<br />

a). F(<br />

s)<br />

=<br />

( s + a)<br />

c). F(<br />

s)<br />

=<br />

s<br />

2<br />

1<br />

2<br />

( s + a)<br />

1<br />

b). F(<br />

s)<br />

=<br />

( s + a)(<br />

s + b)<br />

Penyelesaian : a). Fungsi ini kita pandang sebagai perkalian dari<br />

dua fungsi.<br />

76 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


77<br />

at<br />

t<br />

at<br />

t<br />

ax<br />

at<br />

ax<br />

t<br />

x<br />

t<br />

a<br />

ax<br />

t<br />

at<br />

te<br />

dx<br />

e<br />

dx<br />

e<br />

dx<br />

e<br />

e<br />

dx<br />

x<br />

t<br />

f<br />

x<br />

f<br />

t<br />

f<br />

e<br />

t<br />

f<br />

t<br />

f<br />

a<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

−<br />

−<br />

+<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

=<br />

=<br />

=<br />

=<br />

−<br />

=<br />

⇒<br />

=<br />

=<br />

→<br />

+<br />

=<br />

=<br />

=<br />

∫<br />

∫<br />

∫<br />

∫<br />

0<br />

0<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

1<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

dengan<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

( F<br />

F<br />

F<br />

F<br />

F<br />

b). Fungsi ini juga merupakan perkalian dari dua fungsi.<br />

bt<br />

at<br />

e<br />

t<br />

f<br />

e<br />

t<br />

f<br />

b<br />

s<br />

s<br />

a<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

−<br />

−<br />

=<br />

=<br />

→<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

=<br />

)<br />

(<br />

dan<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

1<br />

)<br />

(<br />

dan<br />

)<br />

(<br />

1<br />

)<br />

(<br />

dengan<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

F<br />

F<br />

F<br />

F<br />

F<br />

( )<br />

b<br />

a<br />

e<br />

e<br />

b<br />

a<br />

e<br />

e<br />

b<br />

a<br />

e<br />

e<br />

dx<br />

e<br />

e<br />

dx<br />

e<br />

e<br />

dx<br />

x<br />

t<br />

f<br />

x<br />

f<br />

t<br />

f<br />

bt<br />

at<br />

t<br />

b<br />

a<br />

bt<br />

t<br />

x<br />

b<br />

a<br />

bt<br />

t<br />

x<br />

b<br />

a<br />

bt<br />

t<br />

x<br />

t<br />

b<br />

ax<br />

t<br />

+<br />

−<br />

−<br />

=<br />

+<br />

−<br />

−<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

+<br />

−<br />

=<br />

=<br />

=<br />

−<br />

=<br />

⇒<br />

−<br />

−<br />

+<br />

−<br />

−<br />

+<br />

−<br />

−<br />

+<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

∫<br />

∫<br />

∫<br />

1<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

2<br />

1<br />

c). Fungsi ketiga ini juga dapat dipandang sebagai perkalian dua<br />

fungsi.<br />

2<br />

2<br />

0<br />

2<br />

0<br />

0<br />

0<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

1<br />

0<br />

0<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

dan<br />

)<br />

(<br />

1<br />

)<br />

(<br />

dan<br />

1<br />

)<br />

(<br />

dengan<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

a<br />

e<br />

at<br />

a<br />

e<br />

a<br />

te<br />

e<br />

a<br />

e<br />

a<br />

te<br />

e<br />

dx<br />

a<br />

e<br />

a<br />

xe<br />

e<br />

dx<br />

xe<br />

e<br />

dx<br />

xe<br />

dx<br />

x<br />

t<br />

f<br />

x<br />

f<br />

t<br />

f<br />

e<br />

t<br />

f<br />

t<br />

t<br />

f<br />

a<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

s<br />

at<br />

at<br />

at<br />

at<br />

t<br />

ax<br />

at<br />

at<br />

t<br />

ax<br />

t<br />

ax<br />

at<br />

t<br />

ax<br />

at<br />

t<br />

x<br />

t<br />

a<br />

t<br />

at<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

−<br />

+<br />

−<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

−<br />

−<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

−<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

=<br />

=<br />

=<br />

−<br />

=<br />

⇒<br />

=<br />

=<br />

→<br />

+<br />

=<br />

=<br />

=<br />

∫<br />

∫<br />

∫<br />

∫<br />

F<br />

F<br />

F<br />

F<br />

F


3.5. Solusi Persamaan <strong>Rangkaian</strong> Menggunakan Transformasi<br />

Laplace<br />

Dengan menggunakan transformasi Laplace kita dapat mencari solusi<br />

suatu persamaan rangkaian (yang sering berbentuk persamaan<br />

diferensial) dengan lebih mudah. Transformasi akan mengubah<br />

persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar biasa di kawasan s<br />

yang dengan mudah dicari solusinya. Dengan mentransformasi balik<br />

solusi di kawasan s tersebut, kita akan memperoleh solusi dari persamaan<br />

diferensialnya.<br />

COTOH-3.13: Gunakan transformasi Laplace untuk mencari solusi<br />

persamaan berikut.<br />

Penyelesaian :<br />

dv<br />

+<br />

+ 10 v = 0 , v(0<br />

) = 5<br />

dt<br />

Transformasi Laplace persamaan diferensial ini adalah<br />

+<br />

sV<br />

( s)<br />

− v(0<br />

) + 10V<br />

( s)<br />

= 0<br />

atau<br />

5<br />

sV<br />

( s)<br />

− 5 + 10V<br />

( s)<br />

= 0 ⇒ V ( s)<br />

=<br />

s + 10<br />

−10t<br />

Transformasi balik memberikan v(<br />

t)<br />

= 5e<br />

Transformasi Laplace dapat kita manfaatkan untuk mencari solusi dari<br />

persamaan diferensial dalam analisis transien. Langkah-langkah yang<br />

harus dilakukan adalah :<br />

1. Menentukan persamaan diferensial rangkaian di kawasan waktu.<br />

2. Mentransformasikan persamaan diferensial yang diperoleh pada<br />

langkah 1 ke kawasan s dan mencari solusinya.<br />

3. Transformasi balik solusi yang diperoleh pada langkah 2 untuk<br />

memperoleh tanggapan rangkaian.<br />

78 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-3.14: Saklar S pada rangkaian di samping ini ditutup pada t =<br />

0. Tentukan tegangan kapasitor untuk t > 0 jika sesaat sebelum S<br />

ditutup tegangan kapasitor 2 V.<br />

Penyelesaian<br />

:<br />

+<br />

−<br />

Langkah 12 V<br />

pertama<br />

0,02F<br />

v C<br />

−<br />

adalah<br />

menentukan<br />

persamaan rangkaian untuk t > 0. Aplikasi HTK memberikan<br />

dvC<br />

− 6 + 100i + vC<br />

= 0 atau − 6 + 2 + vC<br />

= 0 .<br />

dt<br />

Langkah kedua adalah mentransformasikan persamaan ini ke<br />

kawasan s, menjadi<br />

6<br />

− + 2sVC<br />

( s)<br />

− vC<br />

(0) + VC<br />

( s)<br />

= 0<br />

s<br />

6<br />

− + 2sVC<br />

( s)<br />

− 2 + VC<br />

( s)<br />

= 0<br />

s<br />

atau<br />

Pemecahan persamaan ini dapat diperoleh dengan mudah.<br />

3 + s k1<br />

k2<br />

VC<br />

( s)<br />

= = +<br />

s(<br />

s + 0,5) s s + 0,5<br />

3 + s<br />

→ k1<br />

=<br />

= 6<br />

( s + 0,5)<br />

s=<br />

0<br />

6 5<br />

⇒ VC<br />

( s)<br />

= −<br />

s s + 0,5<br />

S<br />

i 100Ω +<br />

3 + s<br />

dan k2<br />

=<br />

= −5<br />

s s=−0,5<br />

Langkah terakhir adalah mentransformasi balik V C (s) :<br />

−0,5t<br />

vC<br />

( t)<br />

= 6 − 5e<br />

V<br />

79


COTOH-3.15: Pada rangkaian di samping ini, saklar S dipindahkan<br />

dari posisi 1 ke 2 pada t = 0. Tentukan i(t) untuk t > 0, jika sesaat<br />

sebelum saklar dipindah tegangan kapasitor 4 V dan arus induktor 2<br />

A.<br />

1<br />

i<br />

S<br />

Bagian<br />

lain<br />

rangkaian<br />

+<br />

−<br />

2<br />

6 V<br />

6 Ω<br />

1 H<br />

1/13 F<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Aplikasi HTK pada rangkaian ini setelah saklar ada di posisi 2 ( t > 0<br />

) memberikan<br />

di 1<br />

− 6 + 6i<br />

+ L +<br />

∫<br />

idt + vC<br />

(0) = 0<br />

dt C<br />

di<br />

− 6 + 6i<br />

+ + 13∫<br />

idt + 4 = 0<br />

dt<br />

atau<br />

Transformasi Laplace dari persamaan rangkaian ini menghasilkan<br />

−6<br />

I(<br />

s)<br />

4<br />

+ 6I(<br />

s)<br />

+ sI(<br />

s)<br />

− i(0)<br />

+ 13 + = 0<br />

s<br />

s s<br />

− 6<br />

I(<br />

s)<br />

4<br />

+ 6I(<br />

s)<br />

+ sI(<br />

s)<br />

− 2 + 13 + = 0<br />

s<br />

s s<br />

Pemecahan persamaan ini adalah :<br />

→ I(<br />

s)<br />

=<br />

s<br />

2<br />

2s<br />

+ 2<br />

+ 6s<br />

+ 13<br />

2s<br />

+ 2<br />

=<br />

( s + 3 − j2)(<br />

s + 3 +<br />

atau<br />

k1<br />

k<br />

= +<br />

1<br />

j2)<br />

s + 3 − j2<br />

s + 3 + j2<br />

∗<br />

2s<br />

+ 2<br />

→ k1<br />

=<br />

s + 3 + j2<br />

s=−3+<br />

j2<br />

= 1+<br />

j1<br />

=<br />

o<br />

j45<br />

2e<br />

∗<br />

→ k1<br />

=<br />

o<br />

− j45<br />

2e<br />

j45<br />

− j45<br />

2e<br />

2e<br />

⇒ I(<br />

s)<br />

= +<br />

s + 3 − j2<br />

s + 3 + j2<br />

o<br />

o<br />

80 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Transformasi balik dari I(s) memberikan<br />

⇒ i(<br />

t)<br />

=<br />

2e<br />

= 2e<br />

j45<br />

−3t<br />

o<br />

−(3−<br />

j2)<br />

t<br />

e<br />

+<br />

(cos2t<br />

− sin 2t)<br />

2e<br />

− j45<br />

A<br />

o<br />

e<br />

−(3+<br />

j2)<br />

t<br />

81


Soal-Soal<br />

1. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.<br />

−2t<br />

v1(<br />

t)<br />

= 10[1 − e ] u(<br />

t);<br />

v2(<br />

t)<br />

= 10[1 + 4t]<br />

u(<br />

t)<br />

−2t<br />

−4t<br />

v3(<br />

t)<br />

= 10[ e − e ] u(<br />

t);<br />

−2t<br />

−4t<br />

v4(<br />

t)<br />

= 10[2e<br />

− 4e<br />

] u(<br />

t)<br />

2. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.<br />

o<br />

v1(<br />

t)<br />

= 15[sin(20t<br />

− 30 )] u(<br />

t);<br />

v2(<br />

t)<br />

= 15[cos20t<br />

− sin 20t]<br />

u(<br />

t)<br />

v3(<br />

t)<br />

= 15[cos20t<br />

− cos10t]<br />

u(<br />

t);<br />

v4(<br />

t)<br />

= 15[1 − 2sin10t]<br />

u(<br />

t)<br />

3. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.<br />

−2t<br />

o<br />

v1(<br />

t)<br />

= 20[ e sin(20t<br />

− 30 )] u(<br />

t);<br />

−2t<br />

v2(<br />

t)<br />

= 20[ e (cos20t<br />

− sin 20t)]<br />

u(<br />

t)<br />

−2t<br />

v3(<br />

t)<br />

= 20[ e (cos20t<br />

− cos10t)]<br />

u(<br />

t);<br />

−2t<br />

v4(<br />

t)<br />

= 20[ e (1 − 2sin10t)]<br />

u(<br />

t)<br />

4. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.<br />

2<br />

v1(<br />

t)<br />

= 15[cos 10t)]<br />

u(<br />

t);<br />

v2(<br />

t)<br />

= 15[(cos20t)(sin 20t)]<br />

u(<br />

t)<br />

−2t<br />

v3(<br />

t)<br />

= 20te<br />

u(<br />

t);<br />

−2t<br />

v4(<br />

t)<br />

= 20[ e sin10t]<br />

u(<br />

t)<br />

82 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


5. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s. Carilah<br />

pernyataannya di kawasan waktu t.<br />

1<br />

V1<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 2)( s + 3)<br />

s<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

( s + 2)( s + 3)<br />

2<br />

s<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 2)( s + 3)<br />

2<br />

s<br />

V4<br />

( s)<br />

=<br />

( s + 2)( s + 3)( s + 4)<br />

6. Carilah pernyataan di kawasan waktu dari sinyal yang dinyatakan di<br />

kawasan s berikut ini.<br />

1<br />

V1<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2<br />

( s + 2) + 9<br />

s<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2<br />

( s + 2) + 9<br />

2<br />

s<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

2<br />

( s + 2) + 9<br />

7. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s; carilah<br />

pernyataannya di kawasan waktu.<br />

1<br />

V1<br />

( s)<br />

= ;<br />

( s + 3)<br />

1<br />

V2<br />

( s)<br />

= ;<br />

s(<br />

s + 3)<br />

1<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

s(<br />

s + 3)<br />

83


8. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s; carilah<br />

pernyataannya di kawasan waktu.<br />

10<br />

V1<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2<br />

s + 10s<br />

+ 16<br />

10<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2<br />

s + 8s<br />

+ 16<br />

10<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

2<br />

s + 6s<br />

+ 25<br />

9. Carilah pernyataannya di kawasan waktu sinyal-sinyal berikut ini.<br />

6s<br />

+ 14<br />

V1<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 2)( s + 3)<br />

9s<br />

+ 26<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

( s + 2)( s + 3)( s + 4)<br />

2<br />

6s<br />

+ 34s<br />

+ 46<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

( s + 2)( s + 3)( s + 4)<br />

10. Carilah pernyataannya di kawasan waktu sinyal-sinyal berikut ini.<br />

s + 2<br />

V1<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2<br />

s(<br />

s + 2s<br />

+ 1)( s + 3)<br />

( s + 1)( s + 4)<br />

V2<br />

( s)<br />

=<br />

;<br />

2 2<br />

s ( s + 2s<br />

+ 4)<br />

( s + 10)( s + 200)<br />

V3<br />

( s)<br />

=<br />

( s + 20)( s + 100)<br />

84 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 4<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Menggunakan<br />

Transformasi Laplace<br />

Setalah mempelajari bab ini kita akan<br />

• memahami konsep impedansi di kawasan s.<br />

• mampu melakukan transformasi rangkaian ke kawasan s.<br />

• mampu melakukan analisis rangkaian di kawasan s.<br />

Di bab sebelumnya kita menggunakan transformasi Laplace untuk<br />

memecahkan persamaan rangkaian. Kita harus mencari terlebih dahulu<br />

persamaan rangkaian di kawasan t sebelum perhitungan-perhitungan di<br />

kawasan s kita lakukan. Berikut ini kita akan mempelajari konsep<br />

impedansi dan dengan konsep ini kita akan dapat melakukan<br />

transformasi rangkaian ke kawasan s. Dengan transformasi rangkaian ini,<br />

kita langsung bekerja di kawasan s, artinya persamaan rangkaian<br />

langsung dicari di kawasan s tanpa mencari persamaan rangkaian di<br />

kawasan t lebih dulu.<br />

Sebagaimana kita ketahui, elemen dalam analisis rangkaian listrik adalah<br />

model dari piranti yang dinyatakan dengan karakteristik i-v-nya. Jika<br />

analisis dilakukan di kawasan s dimana v(t) dan i(t) ditransformasikan<br />

menjadi V(s) dan I(s), maka pernyataan elemenpun harus dinyatakan di<br />

kawasan s.<br />

4.1. Hubungan Tegangan-Arus Elemen di Kawasan s<br />

4.1.1. Resistor<br />

Hubungan arus dan tegangan resistor di kawasan t adalah<br />

Transformasi Laplace dari v R adalah<br />

VR(<br />

s)<br />

=<br />

vR ( t)<br />

= RiR(t)<br />

∞<br />

−st<br />

vR(<br />

t)<br />

e dt =<br />

0<br />

∫<br />

∞<br />

−st<br />

RiR(<br />

t)<br />

e dt = RIR(s)<br />

0<br />

Jadi hubungan arus-tegangan resistor di kawasan s adalah<br />

∫<br />

V R( s)<br />

= R IR(<br />

s)<br />

(4.1)<br />

85


4.1.2. Induktor<br />

Hubungan antara arus dan tegangan induktor di kawasan t adalah<br />

v ( t)<br />

L =<br />

di (t)<br />

L<br />

L<br />

dt<br />

Transformasi Laplace dari v L adalah (ingat sifat diferensiasi dari<br />

transformasi Laplace) :<br />

V ( s)<br />

=<br />

L<br />

∞<br />

vL<br />

0<br />

∫<br />

( t)<br />

e<br />

−st<br />

dt =<br />

∫<br />

∞<br />

0<br />

⎡ diL(<br />

t)<br />

⎤<br />

⎢L<br />

e<br />

dt<br />

⎥<br />

⎣ ⎦<br />

Jadi hubungan tegangan-arus induktor adalah<br />

−st<br />

dt = sLI<br />

L<br />

( s)<br />

− Li<br />

L<br />

(0)<br />

V L( s)<br />

= sLIL(<br />

s)<br />

− LiL(0)<br />

(4.2)<br />

dengan i L (0) adalah arus induktor pada saat awal integrasi dilakukan atau<br />

dengan kata lain adalah arus pada t = 0. Kita ingat pada analisis transien<br />

di Bab-4, arus ini adalah kondisi awal dari induktor, yaitu i(0 + ) = i(0 − ).<br />

4.1.3. Kapasitor<br />

Hubungan antara tegangan dan arus kapasitor di kawasan t adalah<br />

v<br />

C<br />

1 t<br />

( t)<br />

=<br />

∫<br />

iC<br />

( t)<br />

dt + vc<br />

(0)<br />

C 0<br />

Transformasi Laplace dari tegangan kapasitor adalah<br />

s v<br />

s<br />

C ( ) C (0)<br />

V C ( ) = I +<br />

(4.3)<br />

sC s<br />

dengan v C (0) adalah tegangan kapasitor pada t =0. Inilah hubungan<br />

tegangan dan arus kapasitor di kawasan s.<br />

4.2. Konsep Impedansi di Kawasan s<br />

Impedansi merupakan suatu konsep di kawasan s yang didefinisikan<br />

sebagai berikut.<br />

Impedansi di kawasan s adalah rasio tegangan terhadap arus di<br />

kawasan s dengan kondisi awal nol.<br />

86 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Sesuai dengan definisi ini, maka impedansi elemen dapat kita peroleh<br />

dari (4.1), (4.2), dan (4.3) dengan i L (0) = 0 maupun v C (0) = 0,<br />

V s<br />

s<br />

Z R(<br />

)<br />

V<br />

R Z L(<br />

)<br />

R = = ; L = = sL ;<br />

IR(<br />

s)<br />

IL(<br />

s)<br />

VC<br />

( s)<br />

1<br />

ZC<br />

= =<br />

IC(<br />

s)<br />

sC<br />

(4.4)<br />

Dengan konsep impedansi ini maka hubungan tegangan-arus untuk<br />

resistor, induktor, dan kapasitor menjadi sederhana, mirip dengan relasi<br />

hukum Ohm.<br />

1<br />

V R( s)<br />

= RIR(s)<br />

; VL(<br />

s)<br />

= sLIL(s)<br />

; VC<br />

= IC<br />

( s)<br />

(4.5)<br />

sC<br />

Sejalan dengan pengertian impedansi, dikembangkan pengertian<br />

admitansi, yaitu Y = 1/Z sehingga untuk resistor, induktor, dan kapasitor<br />

kita mempunyai<br />

1<br />

1<br />

YR = ; YL<br />

= ; YC<br />

= sC<br />

R<br />

sL<br />

4.3. Representasi Elemen di Kawasan s<br />

(4.6)<br />

Dengan pengertian impedansi seperti dikemukakan di atas, dan hubungan<br />

tegangan-arus elemen di kawasan s, maka elemen-elemen dapat<br />

direpresentasikan di kawasan s dengan impedansinya, sedangkan kondisi<br />

awal (untuk induktor dan kapasitor) dinyatakan dengan sumber tegangan<br />

yang terhubung seri dengan impedansi tersebut, seperti terlihat pada Gb.<br />

4.1.<br />

+<br />

V R (s)<br />

−<br />

I R (s)<br />

R<br />

V L (s)<br />

Resistor Induktor Kapasitor<br />

Gb.4.1. Representasi elemen di kawasan s.<br />

V R( s)<br />

= R IR(<br />

s)<br />

; V L( s)<br />

= sLIL(<br />

s)<br />

− LiL(0)<br />

;<br />

+<br />

−<br />

−<br />

+<br />

sL<br />

I L (s)<br />

Li L (0)<br />

+<br />

V C (s)<br />

−<br />

+<br />

−<br />

I C (s)<br />

1<br />

sC<br />

v C (0)<br />

s<br />

s v<br />

s C ( ) C (0)<br />

V C ( ) = I +<br />

sC s<br />

87


Representasi elemen di kawasan s dapat pula dilakukan dengan<br />

menggunakan sumber arus untuk menyatakan kondisi awal induktor dan<br />

kapasitor seperti terlihat pada Gb.4.2.<br />

+<br />

V R (s)<br />

I R (s)<br />

R<br />

sL<br />

+<br />

V L (s)<br />

−<br />

I L (s)<br />

i L (0)<br />

s<br />

1<br />

sC<br />

+<br />

V C (s)<br />

−<br />

I C (s)<br />

Cv C (0)<br />

−<br />

Gb.4.2. Representasi elemen di kawasan s.<br />

⎛ i ⎞<br />

V R( s)<br />

= R IR(<br />

s)<br />

; s = sL⎜<br />

s − L(0)<br />

V L( ) IL(<br />

) ⎟ ;<br />

⎝ s ⎠<br />

1<br />

V C ( s ) = ( IC<br />

( s)<br />

+ CvC<br />

(0))<br />

sC<br />

4.4. Transformasi <strong>Rangkaian</strong><br />

Representasi elemen ini dapat kita gunakan untuk mentransformasi<br />

rangkaian ke kawasan s. Dalam melakukan transformasi rangkaian perlu<br />

kita perhatikan juga apakah rangkaian yang kita transformasikan<br />

mengandung simpanan energi awal atau tidak. Jika tidak ada, maka<br />

sumber tegangan ataupun sumber arus pada representasi elemen tidak<br />

perlu kita gambarkan.<br />

COTOH 4.1: Saklar S pada rangkaian berikut telah lama ada di posisi<br />

1. Pada t = 0 saklar<br />

dipindahkan ke<br />

1<br />

S<br />

posisi 2 sehingga<br />

rangkaian RLC<br />

+<br />

2<br />

3 Ω<br />

1 H<br />

+<br />

8 V<br />

seri terhubung ke<br />

− +<br />

− 2e −3t V 1/2 F v C<br />

sumber tegangan<br />

−<br />

2e −3t V.<br />

Transformasikan rangkaian ke kawasan untuk t > 0.<br />

Penyelesaian :<br />

Pada t < 0, keadaan telah mantap. Arus induktor nol dan tegangan<br />

kapasitor sama dengan tegangan sumber 8 V.<br />

88 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Untuk t > 0, sumber tegangan adalah v s = 2e −3t yang transformasinya<br />

adalah<br />

2<br />

V s(<br />

s)<br />

=<br />

s + 3<br />

Representasi kapasitor adalah impedansinya 1/sC = 2/s seri dengan<br />

sumber tegangan 8/s karena tegangan kapasitor pada t = 0 adalah 8<br />

V. Representasi induktor impedansinya sL = s tanpa diserikan<br />

dengan sumber tegangan karena arus induktor pada t = 0 adalah nol.<br />

Transformasi rangkaian ke kawasan s untuk t > 0 adalah<br />

2<br />

s + 3<br />

3 s<br />

+<br />

− 8 +<br />

s −<br />

2<br />

s<br />

+<br />

V C (s)<br />

−<br />

Perhatikan bahwa tegangan kapasitor V C (s) mencakup sumber<br />

tegangan (8/s) dan bukan hanya tegangan pada impedansi (2/s) saja.<br />

Setelah rangkaian ditransformasikan, kita mengharapkan dapat langsung<br />

mencari persamaan rangkaian di kawasan s. Apakah hukum-hukum,<br />

kaidah, teorema rangkaian serta metoda analisis yang telah kita pelajari<br />

dapat kita terapkan? Hal tersebut kita bahas berikut ini.<br />

4.5. Hukum Kirchhoff<br />

Hukum arus Kirchhoff menyatakan bahwa untuk suatu simpul<br />

n<br />

∑<br />

k = 1<br />

i k ( t ) = 0<br />

Jika kita lakukan transformasi, akan kita peroleh<br />

∞ ⎡ n ⎤ n<br />

⎡ ∞<br />

n<br />

−st<br />

−st<br />

⎤<br />

⎢ ik<br />

( t)<br />

⎥e<br />

dt = ∑ ⎢ ( ) ⎥ = ∑ ( ) = 0<br />

0 ⎢<br />

0<br />

⎣ 1 ⎥<br />

∫<br />

ik<br />

t e dt I k s (4.7)<br />

k = ⎦ k = 1⎣<br />

⎦ k = 1<br />

∫ ∑<br />

Jadi hukum arus Kirchhoff (HAK) berlaku di kawasan s. Hal yang sama<br />

terjadi juga pada hukum tegangan Kirchhoff. Untuk suatu loop<br />

89


⇒<br />

n<br />

∑vk<br />

( t)<br />

= 0<br />

k = 1<br />

∞ ⎡ n ⎤ n<br />

−st<br />

⎡ ∞<br />

−st<br />

⎤<br />

⎢ vk<br />

( t)<br />

⎥e<br />

dt = ∑ ⎢ ( ) ⎥<br />

0 ⎢<br />

0<br />

⎣ 1 ⎥<br />

∫<br />

vk<br />

t e dt<br />

k = ⎦ k = 1⎣<br />

⎦<br />

∫ ∑<br />

n<br />

= ∑Vk<br />

( s)<br />

= 0<br />

k = 1<br />

(4.8)<br />

4.6. Kaidah-Kaidah <strong>Rangkaian</strong><br />

Kaidah-kaidah rangkaian, seperti rangkaian ekivalen seri dan paralel,<br />

pembagi arus, pembagi tegangan, sesungguhnya merupakan konsekuensi<br />

hukum Kirchhoff. Karena hukum ini berlaku di kawasan s maka kaidahkaidah<br />

rangkaian juga harus berlaku di kawasan s. Dengan mudah kita<br />

akan mendapatkan impedansi ekivalen maupun admitansi ekivalen<br />

∑ Zk<br />

Yekiv<br />

paralel = ∑<br />

Z ekiv seri = Yk<br />

; (4.9)<br />

Demikian pula dengan pembagi arus dan pembagi tegangan.<br />

Y<br />

Z<br />

I ( s)<br />

k<br />

( s) ; ( s)<br />

k<br />

k = Itotal<br />

Vk<br />

= Vtotal<br />

( s)<br />

(4.10)<br />

Y<br />

Z<br />

ekiv paralel<br />

ekiv seri<br />

COTOH-4.2: Carilah V C (s) pada rangkaian impedansi seri RLC<br />

berikut ini.<br />

V in (s)<br />

+<br />

−<br />

3<br />

s<br />

2<br />

s<br />

+<br />

V C (s)<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Kaidah pembagi tegangan pada rangkaian ini memberikan<br />

2 / s<br />

VR(<br />

s)<br />

= V<br />

2<br />

3 + s +<br />

s<br />

in<br />

Pemahaman :<br />

Jika V in (s) = 10/s maka<br />

( s)<br />

=<br />

s<br />

2<br />

2<br />

V<br />

+ 3s<br />

+ 2<br />

in<br />

2<br />

( s)<br />

=<br />

V<br />

( s + 1)( s + 2)<br />

in<br />

( s)<br />

90 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


V<br />

20 k k k<br />

C ( s)<br />

=<br />

= 1 + 2 + 3<br />

s(<br />

s + 1)( s + 2) s s + 1 s + 2<br />

20<br />

20<br />

→ k1<br />

=<br />

= 10 ; k2<br />

=<br />

= −20<br />

;<br />

( s + 1)( s + 2)<br />

s(<br />

s + 2)<br />

s=<br />

0<br />

s=−1<br />

20<br />

k3<br />

=<br />

= 10<br />

s(<br />

s + 1)<br />

s=−2<br />

10 − 20 10<br />

⇒VC<br />

( s)<br />

= + +<br />

s s + 1 s + 2<br />

−t<br />

−2t<br />

⇒ vC<br />

( t)<br />

= 10 − 20e<br />

+ 10e<br />

Inilah tanggapan rangkaian rangkaian RLC seri (dengan R = 3Ω , L =<br />

1H, C = 0,5 F) dengan masukan sinyal anak tangga yang<br />

amplitudonya 10 V.<br />

4.7. Teorema <strong>Rangkaian</strong><br />

4.7.1. Prinsip Proporsionalitas<br />

Prinsip proporsionalitas merupakan pernyataan langsung dari sifat<br />

rangkaian linier. Di kawasan t, pada rangkaian dengan elemen-elemen<br />

resistor, sifat ini dinyatakan oleh hubungan<br />

y ( t)<br />

= Kx(<br />

t)<br />

dengan y(t) dan x(t) adalah keluaran dan masukan dan K adalah suatu<br />

konstanta yang ditentukan oleh nilai-nilai resistor yang terlibat.<br />

Transformasi Laplace dari kedua ruas hubungan diatas akan memberikan<br />

Y ( s)<br />

= KX<br />

( s)<br />

dengan Y(s) dan X(s) adalah sinyal keluaran dan masukan di kawasan s.<br />

Untuk rangkaian impedansi,<br />

Y ( s)<br />

= Ks X ( s)<br />

(4.11)<br />

Perbedaan antara prinsip proporsionalitas pada rangkaian-rangkaian<br />

resistor dengan rangkaian impedansi terletak pada faktor K s . Dalam<br />

rangkaian impedansi nilai K s , merupakan fungsi rasional dalam s.<br />

Sebagai contoh kita lihat rangkaian seri RLC dengan masukan V in (s). Jika<br />

tegangan keluaran adalah tegangan pada resistor V R (s), maka<br />

91


R<br />

VR(<br />

s)<br />

=<br />

V<br />

R + sL + (1/ sC)<br />

in<br />

⎡<br />

( s)<br />

= ⎢<br />

⎣ LCs<br />

2<br />

RCs ⎤<br />

⎥V<br />

+ RCs + 1 ⎦<br />

in<br />

( s)<br />

Besaran yang berada dalam tanda kurung adalah faktor proporsionalitas.<br />

Faktor ini, yang merupakan fungsi rasional dalam s, memberikan<br />

hubungan antara masukan dan keluaran dan disebut fungsi jaringan.<br />

4.7.2. Prinsip Superposisi<br />

Prinsip superposisi menyatakan bahwa untuk rangkaian linier besarnya<br />

sinyal keluaran dapat dituliskan sebagai<br />

y o( t)<br />

= K1x1<br />

( t)<br />

+ K2x2(<br />

t)<br />

+ K3x3(<br />

t)<br />

+ ⋅⋅ ⋅<br />

dengan x 1 , x 2 , x 3 … adalah sinyal masukan dan K 1 , K 2 , K 3 … adalah<br />

konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari nilai-nilai<br />

elemen dalam rangkaian. Sifat linier dari transformasi Laplace menjamin<br />

bahwa prinsip superposisi berlaku pula untuk rangkaian linier di kawasan<br />

s dengan perbedaan bahwa konstanta proporsionalitas berubah menjadi<br />

fungsi rasional dalam s dan sinyal-sinyal dinyatakan dalam kawasan s.<br />

Y o ( s)<br />

= Ks<br />

1X1(<br />

s)<br />

+ Ks2<br />

X 2(<br />

s)<br />

+ Ks3X3(<br />

s)<br />

+ ⋅ ⋅ ⋅ (4.12)<br />

4.7.3. Teorema Thévenin dan orton<br />

Konsep mengenai teorema Thévenin dan Norton pada rangkaianrangkaian<br />

impedansi, sama dengan apa yang kita pelajari untuk<br />

rangkaian dengan elemen-elemen resistor. Cara mencari rangkaian<br />

ekivalen Thévenin dan Norton sama seperti dalam rangkaian resistor,<br />

hanya di sini kita mempunyai impedansi ekivalen Thévenin, Z T , dan<br />

admitansi ekivalen Norton, Y , dengan hubungan sbb:<br />

V ( s)<br />

= V<br />

Z<br />

T<br />

T<br />

1<br />

=<br />

Y<br />

<br />

ht<br />

( s)<br />

= I<br />

V<br />

=<br />

I<br />

T<br />

<br />

( s)<br />

( s)<br />

<br />

( s)<br />

Z<br />

T<br />

;<br />

I<br />

<br />

( s)<br />

= I<br />

hs<br />

V ( s)<br />

( s)<br />

=<br />

T<br />

Z<br />

T<br />

(4.13)<br />

92 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-4.3: Carilah rangkaian ekivalen Thevenin dari rangkaian<br />

impedansi berikut ini.<br />

s<br />

2<br />

s<br />

+ ω<br />

2<br />

+<br />

−<br />

R<br />

1<br />

sC<br />

B<br />

E<br />

B<br />

A<br />

N<br />

Penyelesaian :<br />

V ( s)<br />

= V<br />

T<br />

ht<br />

1/ sC<br />

( s)<br />

=<br />

R + (1/ sC)<br />

s<br />

2<br />

s<br />

+ ω<br />

2<br />

s / RC<br />

=<br />

( s + 1/ RC)(<br />

s<br />

2<br />

+ ω<br />

2<br />

)<br />

1 s<br />

I ( s)<br />

= Ihs(<br />

s)<br />

=<br />

R 2 2<br />

s + ω<br />

Z R / sC 1<br />

T = R || (1/ RC)<br />

= =<br />

R + 1/ sC C(<br />

s + 1/ RC)<br />

V T<br />

+<br />

−<br />

Z T<br />

B<br />

E<br />

B<br />

A<br />

N<br />

4.8. Metoda-Metoda <strong>Analisis</strong><br />

Metoda-metoda analisi, baik metoda dasar (metoda reduksi rangkaian,<br />

unit output, superposisi, rangkaian ekivalen Thevenin dan Norton)<br />

maupun metoda umum (metoda tegangan simpul, arus mesh) dapat kita<br />

gunakan untuk analisis di kawasan s. Hal ini mudah dipahami mengingat<br />

hukum-hukum, kaidah-kaidah maupun teorema rangkaian yang berlaku<br />

di kawasan t berlaku pula di kawasan s. Berikut ini kita akan melihat<br />

contoh-contoh penggunaan metoda analisis tersebut di kawasan s.<br />

4.8.1. Metoda Unit Output<br />

COTOH-4.4: Dengan menggunakan metoda unit output, carilah<br />

V 2 (s) pada rangkaian impedansi di bawah ini.<br />

93


I 1 (s)<br />

Penyelesaian :<br />

Misalkan : V2(<br />

s)<br />

= 1<br />

→VC<br />

( s)<br />

= V2(<br />

s)<br />

= 1 →<br />

1<br />

IC<br />

( s)<br />

= = sC<br />

1/ sC<br />

→ IL(<br />

s)<br />

= IC<br />

( s)<br />

= sC →<br />

2<br />

VL(<br />

s)<br />

= sL × sC = LCs<br />

2<br />

2<br />

LCs + 1<br />

→VR(<br />

s)<br />

= VL(<br />

s)<br />

+ VC<br />

( s)<br />

= LCs + 1 → IR(<br />

s)<br />

=<br />

R<br />

2<br />

2<br />

*<br />

LCs + 1 LCs + RCs + 1<br />

⇒ I1<br />

( s)<br />

= IR(<br />

s)<br />

+ I L(<br />

s)<br />

= + sC =<br />

R<br />

R<br />

1 R<br />

⇒ Ks<br />

= =<br />

*<br />

2<br />

I1<br />

( s)<br />

LCs + RCs + 1<br />

R<br />

⇒V2(<br />

s)<br />

= KsI1(<br />

s)<br />

=<br />

I1(<br />

s)<br />

2<br />

LCs + RCs + 1<br />

4.8.2. Metoda Superposisi<br />

COTOH-4.5: Dengan menggunakan metoda superposisi, carilah<br />

tegangan<br />

induktor v o (t)<br />

pada rangkaian<br />

berikut ini.<br />

Penyelesaian :<br />

Au(t)<br />

I R (s)<br />

<strong>Rangkaian</strong> kita transformasikan ke kawasan s menjadi<br />

+<br />

−<br />

I L (s)<br />

R<br />

R<br />

sL<br />

I C (s)<br />

L<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

1/sC<br />

R<br />

+<br />

V 2 (s)<br />

−<br />

Bsinβt<br />

A<br />

s<br />

R<br />

+<br />

+<br />

Bβ<br />

− sL V<br />

R<br />

o<br />

2 2<br />

s + β<br />

−<br />

Jika sumber arus dimatikan, maka rangkaian menjadi :<br />

94 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


95<br />

L<br />

R<br />

s<br />

A<br />

A<br />

sL<br />

R<br />

L<br />

s<br />

A<br />

sL<br />

R<br />

RLs<br />

R<br />

sL<br />

R<br />

RLs<br />

s<br />

sL<br />

R<br />

RLs<br />

Z<br />

R<br />

L<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

2<br />

)<br />

o1 (<br />

//<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

+<br />

+<br />

+<br />

=<br />

⇒<br />

+<br />

=<br />

→<br />

V<br />

Jika sumber tegangan dimatikan, rangkaian menjadi :<br />

)<br />

)(<br />

2<br />

/<br />

(<br />

2<br />

2<br />

1<br />

1<br />

1<br />

1/<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

o2<br />

+ β<br />

+<br />

β<br />

=<br />

+ β<br />

β<br />

×<br />

+<br />

=<br />

+ β<br />

β<br />

×<br />

+<br />

+<br />

×<br />

=<br />

×<br />

=<br />

s<br />

L<br />

R<br />

s<br />

s<br />

RB<br />

s<br />

B<br />

R<br />

sL<br />

sRL<br />

s<br />

B<br />

sL<br />

R<br />

R<br />

sL<br />

sL<br />

s<br />

I<br />

sL<br />

s<br />

L<br />

V<br />

θ<br />

−<br />

−<br />

θ<br />

β<br />

=−<br />

=−<br />

β<br />

+<br />

=<br />

→<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

β<br />

+<br />

θ =<br />

β<br />

+<br />

=<br />

β<br />

−<br />

=<br />

β<br />

−<br />

+<br />

=<br />

→<br />

+ β<br />

= −<br />

+ β<br />

=<br />

→<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

β<br />

−<br />

+<br />

β<br />

+<br />

+<br />

+<br />

β<br />

+<br />

+<br />

=<br />

+<br />

=<br />

⇒<br />

j<br />

j<br />

j<br />

s<br />

L<br />

R<br />

s<br />

e<br />

L<br />

R<br />

k<br />

L<br />

R<br />

e<br />

L<br />

R<br />

j<br />

L<br />

R<br />

j<br />

s<br />

L<br />

R<br />

s<br />

s<br />

k<br />

L<br />

R<br />

L<br />

R<br />

s<br />

s<br />

k<br />

j<br />

s<br />

k<br />

j<br />

s<br />

k<br />

L<br />

R<br />

s<br />

k<br />

RB<br />

L<br />

R<br />

s<br />

A<br />

s<br />

s<br />

s<br />

2<br />

2<br />

3<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

/<br />

2<br />

2<br />

1<br />

3<br />

2<br />

1<br />

o2<br />

o1<br />

o<br />

4<br />

)<br />

/<br />

(<br />

1<br />

/<br />

2<br />

tan<br />

,<br />

4<br />

)<br />

/<br />

(<br />

1<br />

2<br />

/<br />

1<br />

)<br />

)(<br />

2<br />

/<br />

(<br />

)<br />

2<br />

/<br />

(<br />

)<br />

2<br />

/<br />

(<br />

)<br />

(<br />

2<br />

/<br />

2<br />

2<br />

/<br />

2<br />

/<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

)<br />

( V<br />

V<br />

V<br />

+<br />

−<br />

s<br />

A R sL<br />

+<br />

V o1<br />

−<br />

R<br />

2<br />

2<br />

+ β<br />

β<br />

s<br />

B<br />

R<br />

sL<br />

+<br />

V o2<br />

−<br />

R


R<br />

L<br />

A −<br />

⇒ v = 2<br />

o ( t)<br />

e<br />

2<br />

⎡<br />

R<br />

⎢ ( R / 2L)<br />

− t<br />

−<br />

e 2L<br />

t RBβ<br />

⎢<br />

2 2<br />

( R / 2L)<br />

+ β<br />

+ ⎢<br />

2 ⎢ 1<br />

⎢<br />

+<br />

2 2<br />

⎢⎣<br />

( R / L)<br />

+ 4β<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

− j(<br />

βt−θ)<br />

j(<br />

βt−θ)<br />

( e + e )<br />

⎤<br />

2<br />

R<br />

⎡ A R Bβ<br />

⎤ − t<br />

⇒ v ( )<br />

2<br />

o t = ⎢ − ⎥e<br />

L +<br />

2 2 2<br />

⎢⎣<br />

R + 4Lβ<br />

⎥⎦<br />

RBβ<br />

cos( βt<br />

− θ)<br />

2 2<br />

( R / L)<br />

+ 4β<br />

4.8.3. Metoda Reduksi <strong>Rangkaian</strong><br />

COTOH-4.6: Dengan menggunakan metoda reduksi rangkaian<br />

selesaikanlah persoalan pada contoh 4.5.<br />

Penyelesaian :<br />

<strong>Rangkaian</strong> yang<br />

ditransformasikan ke<br />

kawasan s kita gambar<br />

lagi seperti di samping<br />

ini.<br />

Jika sumber<br />

tegangan<br />

+<br />

ditransformasikan<br />

A R Bβ<br />

menjadi sumber<br />

sL V<br />

R<br />

o<br />

2<br />

sR<br />

s + β<br />

arus, kita<br />

−<br />

mendapatkan<br />

rangkaian dengan dua sumber arus dan dua resistor diparalel.<br />

<strong>Rangkaian</strong> tersebut dapat<br />

disederhanakan menjadi<br />

rangkaian dengan satu<br />

sumber arus, dan kemudian<br />

menjadi rangkaian dengan<br />

sumber tegangan.<br />

+<br />

+<br />

R A Bβ<br />

− sL V<br />

R<br />

o<br />

2 2<br />

s<br />

s + β<br />

−<br />

R/2 sL<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

2<br />

Bβ<br />

+<br />

2 2<br />

s + β<br />

A<br />

sR<br />

sL<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

R/2<br />

+<br />

−<br />

R ⎛<br />

⎜<br />

Bβ<br />

+<br />

2<br />

2 2<br />

⎝ s + β<br />

A<br />

sR<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

96 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Dari rangkaian terakhir ini kita diperoleh :<br />

sL R ⎛<br />

⎞<br />

⎜<br />

Bβ<br />

A<br />

V<br />

+ ⎟<br />

o(<br />

s)<br />

= ×<br />

sL + R / 2 2<br />

2 2<br />

⎝ s + β sR ⎠<br />

A / 2 ( RBβ<br />

/ 2) s<br />

V o(<br />

s)<br />

= +<br />

s + R / 2L<br />

2 2<br />

( s + R / 2L)(<br />

s + β )<br />

Hasil ini sama dengan apa yang telah kita peroleh dengan metoda<br />

superposisi pada contoh 4.20. Selanjutnya transformasi balik ke kawasan<br />

t dilakukan sebagaimana telah dilakukan pada contoh 4.20.<br />

4.8.4. Metoda <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Thévenin<br />

COTOH-4.7: Dengan menggunakan rangkaian ekivalen Thévenin<br />

selesaikanlah persoalan<br />

pada contoh 4.5.<br />

+<br />

R +<br />

A Bβ<br />

Penyelesaian :<br />

sL V<br />

R<br />

o<br />

Kita akan menggunakan<br />

gabungan metoda<br />

superposisi dengan<br />

rangkaian ekivalen<br />

Thévenin.<br />

+<br />

R +<br />

A<br />

V<br />

R<br />

ht<br />

2<br />

s<br />

s<br />

Tegangan hubungan<br />

−<br />

terbuka pada waktu<br />

induktor dilepas, adalah jumlah tegangan yang diberikan oleh<br />

sumber tegangan dan sumber arus secara terpisah, yaitu<br />

V T ( s)<br />

= V<br />

( s)<br />

=<br />

R<br />

R<br />

×<br />

+ R<br />

A/<br />

2 RBβ<br />

/ 2<br />

= +<br />

s 2 2<br />

s + β<br />

Dilihat dari terminal induktor,<br />

impedansi Z T hanyalah berupa dua<br />

resistor paralel, yaitu<br />

ht<br />

R<br />

Z T =<br />

2<br />

− 2 2<br />

s<br />

s + β<br />

A<br />

s<br />

+ R ×<br />

+<br />

−<br />

−<br />

Bβ<br />

− 2<br />

+ β<br />

1<br />

2<br />

×<br />

s<br />

V T<br />

2<br />

Z T<br />

Bβ<br />

+ β<br />

2<br />

sL<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

97


Dengan demikian maka tegangan induktor menjadi<br />

Vo<br />

sL<br />

sL ⎛ / 2 / 2 ⎞<br />

( )<br />

( )<br />

⎜<br />

A RBβ<br />

s = V<br />

⎟<br />

T s =<br />

+<br />

sL + Z<br />

/ 2<br />

2 2<br />

T sL + R ⎝ s s + β ⎠<br />

A/<br />

2 ( RBβ<br />

/ 2) s<br />

= +<br />

s + R / 2L<br />

2 2<br />

( s + R / 2L)(<br />

s + β )<br />

Persamaan ini telah kita peroleh sebelumnya, baik dengan metoda<br />

superposisi maupun metoda reduksi rangkaian.<br />

4.8.5. Metoda Tegangan Simpul<br />

COTOH 4.8: Selesaikan persoalan pada contoh 4.5. dengan<br />

menggunakan metoda<br />

A<br />

tegangan simpul.<br />

Penyelesaian :<br />

+<br />

R +<br />

A Bβ<br />

sL V<br />

R<br />

o<br />

2<br />

s<br />

s + β<br />

Dengan referensi<br />

−<br />

B<br />

tegangan seperti terlihat<br />

pada gambar di atas,<br />

persamaan tegangan simpul untuk simpul A adalah:<br />

⎛ 1 1 1 ⎞ 1 A<br />

( s)<br />

⎜ + + ⎟ − −<br />

⎝ R R sL ⎠ R s s<br />

Bβ<br />

V o 2 2<br />

=<br />

Dari persamaan tersebut di atas kita peroleh<br />

⎛ 2Ls<br />

+ R ⎞ A Bβ<br />

Vo<br />

( s)<br />

⎜ ⎟ = +<br />

2 2<br />

⎝ RLs ⎠ Rs s + β<br />

+ β<br />

atau<br />

RLs ⎛<br />

⎞<br />

( ) ⎜<br />

A Bβ<br />

Vo<br />

s =<br />

+ ⎟<br />

2Ls<br />

+ R<br />

2 2<br />

⎝ Rs s + β ⎠<br />

A / 2 ( RBβ<br />

/ 2) s<br />

= +<br />

s + R / 2L<br />

2 2<br />

( s + R / 2L)(<br />

s + β )<br />

Hasil yang kita peroleh sama seperti sebelumnya.<br />

Pemahaman :<br />

− 2<br />

Dalam analisis di kawasan s, metoda tegangan simpul untuk<br />

rangkaian dengan beberapa sumber yang mempunyai frekuensi<br />

0<br />

98 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


erbeda, dapat langsung digunakan. Hal ini sangat berbeda dari<br />

analisis di kawasan fasor, dimana kita tidak dapat melakukan<br />

superposisi fasor dari sumber-sumber yang mempunyai frekuensi<br />

berbeda.<br />

4.8.6. Metoda Arus Mesh<br />

COTOH-4.9: Pada rangkaian berikut ini tidak terdapat simpanan<br />

energi awal. Gunakan metoda arus mesh untuk menghitung i(t).<br />

10 u(t)<br />

+<br />

−<br />

10mH<br />

10kΩ<br />

10kΩ<br />

i(t)<br />

1µF<br />

Penyelesaian :<br />

Transformasi rangkaian ke kawasan s adalah seperti gambar berikut<br />

ini. Kita<br />

tetapkan<br />

0.01s 10 4 I(s)<br />

referensi<br />

10 +<br />

10 4 6<br />

V<br />

arus mesh 1 ( s)<br />

=<br />

10<br />

s − I A I B<br />

s<br />

I A dan I B .<br />

Persamaan<br />

arus mesh dari kedua mesh adalah<br />

4<br />

( 0.01s<br />

+ 10 )<br />

10<br />

4<br />

− + I A(<br />

s)<br />

− IB(<br />

s)<br />

× 10 = 0<br />

s<br />

⎛<br />

6<br />

4 4 10 ⎞<br />

4<br />

I ( ) ⎜10<br />

+ 10 + ⎟<br />

B s<br />

− I ( s)<br />

× 10 = 0<br />

⎜<br />

⎟ A<br />

⎝<br />

s<br />

⎠<br />

Dari persamaan kedua kita peroleh:<br />

→<br />

2<br />

( 2s<br />

+ 10 )<br />

( s)<br />

I A ( s)<br />

= I<br />

s<br />

Sehingga:<br />

B<br />

99


dengan<br />

4<br />

− 10 −<br />

β =<br />

( ) ( 2<br />

)<br />

4 2s<br />

+ 10<br />

0.01s<br />

+ 10<br />

10<br />

4<br />

⇒ − +<br />

I B ( s)<br />

− IB<br />

( s)<br />

× 10 = 0<br />

s<br />

s<br />

10<br />

⇒ I(<br />

s)<br />

= IB<br />

( s)<br />

=<br />

2 4<br />

6 4<br />

0,02s<br />

+ 2 × 10 s + s + 10 − 10 s<br />

10<br />

10<br />

=<br />

=<br />

2 4 6<br />

0,02s<br />

+ 10 s + 10 ( s − α)(<br />

s − β)<br />

4<br />

− 10 +<br />

α =<br />

8 4<br />

10 − 8 × 10<br />

0,04<br />

8 4<br />

10 − 8 × 10<br />

0,04<br />

≈ −500000<br />

≈ −100<br />

;<br />

10<br />

k<br />

( )<br />

1 k<br />

⇒ I s =<br />

= + 2<br />

( s + 100)( s + 500000) s + 100 s + 50000<br />

10<br />

−5<br />

10<br />

−5<br />

k1<br />

=<br />

= 2 × 10 ; k2<br />

=<br />

= −2<br />

× 10<br />

s + 500000 s=−100<br />

s + 100 s=−500000<br />

−100t<br />

−500000t<br />

⇒ i(<br />

t)<br />

= 0,02[ e − e ] mA<br />

100 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Soal-Soal<br />

1. Sebuah resistor 2 kΩ dihubungkan seri dengan sebuah induktor 2 H;<br />

kemudian pada rangkaian ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t)<br />

V. Bagaimanakah bentuk tegangan pada induktor dan pada resistor ?<br />

Bagaimanakah tegangannya setelah keadaan mantap tercapai?<br />

2. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20sin300t] u(t) V.<br />

3. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20cos300t] u(t) V.<br />

4. <strong>Rangkaian</strong> seri resistor dan induktor soal 1 diparalelkan kapasitor 0.5<br />

µF. Jika kemudian pada rangkaian ini diterapkan tegangan<br />

v(s)=10u(t) V bagaimanakah bentuk arus induktor ? Bagaimanakah<br />

arus tersebut setelah keadaan mantap tercapai?<br />

5. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20sin300t]u(t) V.<br />

6. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20cos300t]u(t) V.<br />

7. Sebuah kapasitor 2 pF diserikan dengan induktor 0,5 H dan pada<br />

hubungan seri ini diparalelkan resistor 5 kΩ. Jika kemudian pada<br />

hubungan seri-paralel ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t) V,<br />

bagaimanakah bentuk tegangan kapasitor ?<br />

8. Ulangi soal 7 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.<br />

9. Sebuah resistor 100 Ω diparalelkan dengan induktor 10 mH dan pada<br />

hubungan paralel ini diserikan kapasitor 0,25 µF. Jika kemudian pada<br />

hubungan seri-paralel ini diterapkan tegangan v(t) = 10u(t) V, carilah<br />

bentuk tegangan kapasitor.<br />

10. Ulangi soal 9 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.<br />

11. Carilah tanggapan status nol (tidak ada simpanan energi awal pada<br />

rangkaian) dari i L pada rangkaian berikut jika v s =10u(t) V.<br />

+<br />

−<br />

1kΩ i L<br />

v s 1kΩ 0.1H<br />

101


12. Carilah tanggapan status nol dari v C dan i L pada rangkaian berikut<br />

jika v s =100u(t) V.<br />

+<br />

−<br />

5kΩ<br />

v s<br />

0,05µF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

i L<br />

50mH<br />

13. Carilah tanggapan status nol dari v C dan i L pada rangkaian berikut<br />

jika v s =[10cos20000t]u(t) V.<br />

+<br />

−<br />

500Ω<br />

v s<br />

0,05µF<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

i L<br />

50mH<br />

14. Carilah i pada rangkaian berikut, jika i s =100u(t) mA dan tegangan<br />

awal kapasitor adalah v C (0) = 10 V.<br />

i s<br />

0,05µF i<br />

5kΩ<br />

5kΩ<br />

15. Ulangi soal 14 untuk i s =[100cos400t] u(t) mA.<br />

16. Carilah v o pada rangkaian berikut, jika i s =100u(t) mA dan arus awal<br />

induktor adalah i L (0) = 10 mA.<br />

i s<br />

5kΩ<br />

0,1H<br />

5kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

17. Ulangi soal 16 untuk i s = [100cos400t] u(t) mA.<br />

18. Carilah tanggapan status nol dari v L pada rangkaian berikut, jika v s =<br />

10u(t) V , i s = [10sin400t]u(t) mA.<br />

+<br />

−<br />

0,5kΩ +<br />

v v L s<br />

−<br />

0,1H 0,5kΩ<br />

i s<br />

102 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


19. Carilah tanggapan status nol dari v 2 pada rangkaian berikut jika v s =<br />

[10cos(900t+30 o )] u(t) V.<br />

+<br />

−<br />

10mH<br />

v 1<br />

10kΩ<br />

1µF<br />

10kΩ<br />

+<br />

v 2<br />

−<br />

20. Ulangi soal 17 jika tegangan awal kapasitor 5 V sedangkan arus awal<br />

induktor nol.<br />

21. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan<br />

keluaran v o (t) jika tegangan masukan v s (t)=10u(t) mV.<br />

v s<br />

+<br />

−<br />

10kΩ<br />

1kΩ<br />

i<br />

10kΩ<br />

100i<br />

0,1µF +<br />

v o<br />

100kΩ −<br />

22. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan<br />

keluaran v o (t) jika tegangan masukan v s (t)=10u(t) mV.<br />

i<br />

10kΩ 2pF<br />

v s<br />

+<br />

− 20pF<br />

1kΩ<br />

10kΩ<br />

50i<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

23. Untuk rangkaian berikut, tentukanlah v o dinyatakan dalam v in .<br />

R 1<br />

C 1<br />

C 2<br />

R 2<br />

+<br />

v in<br />

+<br />

− +<br />

v o<br />

103


10kΩ<br />

10kΩ<br />

+<br />

1µF<br />

v in<br />

−<br />

+ +<br />

v o<br />

R 1<br />

C 1<br />

C 2<br />

R 2<br />

+<br />

v in<br />

R 2<br />

−<br />

+ +<br />

v o<br />

26. Untuk rangkaian<br />

transformator linier<br />

berikut ini tentukanlah i 1<br />

dan i 2 .<br />

+<br />

−<br />

50Ω<br />

50u(t) V<br />

i 1<br />

i 2<br />

M<br />

L 1 L 2<br />

80Ω<br />

L 1 =0,75H L 2 =1H<br />

M = 0,5H<br />

27. Pada hubungan beban dengan<br />

transformator berikut ini,<br />

nyatakanlah impedansi masukan<br />

Z in sebagai fungsi dari M.<br />

M<br />

L 1 L 2<br />

50Ω<br />

Z in<br />

L 1 =20mH L 2 =2mH<br />

28. Berapakah M agar Z in pada soal 27 menjadi<br />

( 0,2s<br />

+ 25000)<br />

0,02s<br />

Z in =<br />

s + 25000<br />

29. Jika tegangan masukan pada transformator soal 28 adalah<br />

v in = 10cos300t<br />

V , tentukan arus pada beban 50 Ω.<br />

104 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 5<br />

Fungsi Jaringan<br />

Pembahasan fungsi jaringan akan membuat kita<br />

• memahami makna fungsi jaringan, fungsi masukan, dan fungsi<br />

alih;<br />

• mampu mencari fungsi alih dari suatu rangkaian melalui analisis<br />

rangkaian;<br />

• memahami peran pole dan zero dalam tanggapan rangkaian;<br />

• mampu mencari fungsi alih rangkaian jika tanggapan terhadap<br />

sinyal impuls ataupun terhadap sinyal anak tangga diketahui.<br />

5.1. Pengertian dan Macam Fungsi Jaringan<br />

Sebagaimana kita ketahui, prinsip proporsionalitas berlaku di kawasan s.<br />

Faktor proporsionalitas yang menghubungkan keluaran dan masukan<br />

berupa fungsi rasional dalam s yang disebut fungsi jaringan (network<br />

function). Secara formal, fungsi jaringan di kawasan s didefinisikan<br />

sebagai perbandingan antara tanggapan status nol dan sinyal masukan.<br />

Tanggapan Status Nol ( s)<br />

Fungsi Jaringan = (5.1)<br />

Sinyal Masukan ( s)<br />

Definisi ini mengandung dua pembatasan, yaitu a) kondisi awal harus<br />

nol dan b) sistem hanya mempunyai satu masukan.<br />

Fungsi jaringan yang sering kita hadapi ada dua bentuk, yaitu fungsi<br />

masukan (driving-point function) dan fungsi alih (transfer function).<br />

Fungsi masukan adalah perbandingan antara tanggapan di suatu gerbang<br />

(port) dengan masukan di gerbang yang sama. Fungsi alih adalah<br />

perbandingan antara tanggapan di suatu gerbang dengan masukan pada<br />

gerbang yang berbeda.<br />

5.1.1. Fungsi Masukan<br />

Contoh fungsi masukan adalah impedansi masukan dan admitansi<br />

masukan, yang merupakan perbandingan antara tegangan dan arus di<br />

terminal masukan.<br />

V ( s)<br />

I(<br />

s)<br />

Z(<br />

s)<br />

= ; Y ( s)<br />

=<br />

(5.2)<br />

I(<br />

s)<br />

V ( s)<br />

105


5.1.2. Fungsi Alih<br />

Dalam rangkaian pemroses sinyal, pengetahuan mengenai fungsi alih<br />

sangat penting karena fungsi ini menentukan bagaimana suatu sinyal<br />

masukan akan mengalami modifikasi dalam pemrosesan. Karena sinyal<br />

masukan maupun sinyal keluaran dapat berupa tegangan ataupun arus,<br />

maka kita mengenal empat macam fungsi alih, yaitu<br />

Vo<br />

( s)<br />

Fungsi Alih Tegangan : TV<br />

( s)<br />

= ;<br />

Vin(<br />

s)<br />

Fungsi Alih Arus :<br />

Io(<br />

s)<br />

TI<br />

( s)<br />

=<br />

Iin(<br />

s)<br />

Admitansi Alih :<br />

Io(<br />

s)<br />

TY<br />

( s)<br />

= ;<br />

Vin(<br />

s)<br />

Impedansi Alih :<br />

Vo<br />

( s)<br />

TZ<br />

( s)<br />

=<br />

Iin(<br />

s)<br />

(5.3)<br />

T V (s) dan T I (s) tidak berdimensi. T Y (s) mempunyai satuan siemens dan<br />

T Z (s) mempunyai satuan ohm. Fungsi alih suatu rangkaian dapat<br />

diperoleh melalui penerapan kaidah-kaidah rangkaian serta analisis<br />

rangkaian di kawasan s. Fungsi alih memberikan hubungan antara sinyal<br />

masukan dan sinyal keluaran di kawasan s. Berikut ini kita akan melihat<br />

beberapa contoh pencarian fungsi alih.<br />

COTOH-5.1: a).<br />

b).<br />

Carilah<br />

+ R 1<br />

impedansi<br />

− V s (s) Cs<br />

masukan yang<br />

dilihat oleh<br />

sumber pada rangkaian-rangkaian berikut ini.<br />

Penyelesaian :<br />

1 RCs + 1<br />

a). Zin<br />

= R + = ;<br />

Cs Cs<br />

R<br />

⇒ Zin<br />

=<br />

1 + RCs<br />

b). Y<br />

in<br />

I s (s)<br />

R<br />

1 1 + RCs<br />

= + Cs =<br />

R R<br />

1<br />

Cs<br />

106 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-5.2: Carilah fungsi alih rangkaian-rangkaian berikut.<br />

+<br />

V in (s)<br />

−<br />

R<br />

a).<br />

Penyelesaian :<br />

1<br />

Cs<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

I in (s)<br />

Kaidah pembagi tegangan untuk rangkaian a) dan kaidah pembagi<br />

arus untuk rangkaian b) akan memberikan :<br />

1<br />

Cs<br />

b).<br />

Vo<br />

( s)<br />

1/ Cs 1<br />

a). TV<br />

( s)<br />

= = = ;<br />

Vin<br />

( s)<br />

R + 1/ Cs RCs + 1<br />

Io<br />

( s)<br />

1/ R 1<br />

b). TI<br />

( s)<br />

= = =<br />

Iin(<br />

s)<br />

1/ R + sC 1 + sRC<br />

R<br />

I o (s)<br />

COTOH-5.3: Tentukan impedansi<br />

masukan dan fungsi alih<br />

rangkaian di samping ini.<br />

Penyelesaian :<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

L<br />

R 1<br />

R<br />

C<br />

2<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

Transformasi rangkaian ke<br />

kawasan s memberikan<br />

+<br />

V in (s)<br />

−<br />

Ls<br />

R 1<br />

R<br />

1/Cs<br />

2<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

( R + 1/ Cs) || ( Ls + R )<br />

Z in<br />

Vo<br />

( s)<br />

R2<br />

TV<br />

( s)<br />

= = V in ( s)<br />

Ls + R2<br />

= 1<br />

2<br />

( R1<br />

+ 1/ Cs)(<br />

Ls + R )<br />

=<br />

2<br />

R1<br />

+ 1/ Cs + R2<br />

+ Ls<br />

( R1Cs<br />

+ 1)( Ls + R2<br />

)<br />

=<br />

2<br />

LCs + ( R1<br />

+ R2)<br />

Cs + 1<br />

107


COTOH-5.4: Tentukan impedansi<br />

masukan dan fungsi alih<br />

rangkaian di samping ini.<br />

Penyelesaian :<br />

Transformasi rangkaian ke<br />

kawasan s memberikan<br />

rangkaian berikut ini :<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

R 1<br />

R 2<br />

C 1<br />

C 2<br />

−<br />

+<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

R 1<br />

R 2<br />

+<br />

V in (s)<br />

−<br />

1/C 1 s 1/C 2 s<br />

−<br />

+<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

R /<br />

|| ( 1/ )<br />

1 C1s<br />

R<br />

Z 1<br />

in = R1<br />

C1s<br />

= =<br />

R1<br />

+ 1/ C1s<br />

R1<br />

C1s<br />

+ 1<br />

Vo<br />

( s)<br />

Z 2 R2<br />

|| (1/ C2s)<br />

TV<br />

( s)<br />

= = − = −<br />

Vin<br />

( s)<br />

Z1<br />

R1<br />

|| (1/ C1s)<br />

R2<br />

R1C1<br />

s + 1<br />

= − ×<br />

R2C2s<br />

+ 1 R1<br />

R2<br />

R1C1s<br />

+ 1<br />

= −<br />

R1<br />

R2C2s<br />

+ 1<br />

COTOH-5.5: Tentukan<br />

fungsi alih rangkaian<br />

di samping ini.<br />

Penyelesaian :<br />

+<br />

v s<br />

−<br />

1MΩ<br />

1µF<br />

µv x<br />

Transformasi<br />

rangkaian ke kawasan s memberikan rangkaian dan persamaan<br />

berikut ini<br />

A<br />

1MΩ<br />

1µF<br />

+<br />

v x<br />

−<br />

+<br />

−<br />

+ v o<br />

108 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


+<br />

V s (s)<br />

−<br />

10 6 /s<br />

10 6 A +<br />

10 6<br />

V x<br />

10 6 /s<br />

−<br />

+<br />

−<br />

µV x<br />

+ V o (s)<br />

Persamaan tegangan untuk simpul A :<br />

(2s<br />

+ 2 + s<br />

⎛<br />

⎜V<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

1<br />

A<br />

−6<br />

−6<br />

−6<br />

( 10 + 10 + 10 s)<br />

− V<br />

−10<br />

10<br />

in<br />

−6<br />

+ (3 − µ ) s + 1<br />

−6<br />

sµ<br />

V<br />

+ s − 1 − µ s)<br />

V<br />

− V<br />

x<br />

x<br />

10<br />

−6<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎟<br />

= 0<br />

⎟<br />

⎠<br />

10 / s<br />

sedangkan : Vx<br />

=<br />

V<br />

6 6 A<br />

10 + 10 / s<br />

1<br />

= VA<br />

→ VA<br />

= ( s + 1) Vx<br />

s + 1<br />

⇒ ( s + 1)(2 + s)<br />

V − V − V − sµ<br />

V = 0 atau<br />

V<br />

⇒<br />

V<br />

x<br />

in<br />

=<br />

s<br />

2<br />

2<br />

x<br />

in<br />

6<br />

x<br />

x<br />

= V<br />

in<br />

x<br />

Fungsi alih :<br />

T<br />

V<br />

V<br />

( s)<br />

=<br />

V<br />

o<br />

s<br />

( s)<br />

µ Vx<br />

( s)<br />

= =<br />

( s)<br />

V ( s)<br />

s<br />

s<br />

2<br />

µ<br />

+ (3 − µ ) s + 1<br />

5.2. Peran Fungsi Alih<br />

Dengan pengertian fungsi alih sebagaimana telah didefinisikan, keluaran<br />

dari suatu rangkaian di kawasan s dapat dituliskan sebagai<br />

Y ( s)<br />

= T(<br />

s)<br />

X ( s)<br />

; dengan<br />

X ( s)<br />

: pernyataan sinyal masukan di<br />

Y ( s)<br />

T(<br />

s)<br />

adalah fungsi alih<br />

kawasan<br />

: keluaran (tanggapan status nol) di kawasan<br />

s<br />

s.<br />

(5.4)<br />

Fungsi alih T(s) berupa fungsi rasional yang dapat dituliskan dalam<br />

bentuk rasio dari dua polinom a(s) dan b(s) :<br />

109


(<br />

s)<br />

bm<br />

s<br />

T(<br />

s)<br />

= =<br />

a(<br />

s)<br />

a s<br />

n<br />

m<br />

n<br />

+ b<br />

+ a<br />

m−1<br />

m−1s<br />

n−1<br />

n−1s<br />

⋅⋅⋅⋅⋅+ b s + b<br />

1<br />

1<br />

⋅⋅⋅⋅⋅+ a s + a<br />

0<br />

0<br />

(5.5)<br />

Nilai koefisien polinom-polinom ini berupa bilangan riil, karena<br />

ditentukan oleh parameter rangkaian yang riil yaitu R, L, dan C. Fungsi<br />

alih dapat dituliskan dalam bentuk<br />

( s − z )( ) ( )<br />

( )<br />

1 s − z2<br />

⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ s − z<br />

T s = K<br />

m<br />

(5.6)<br />

( s − p )( s − p ) ⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ ( s − p )<br />

1<br />

Dengan bentuk ini jelas terlihat bahwa fungsi alih akan memberikan zero<br />

di z 1 …. z m dan pole di p 1 …. p n . Pole dan zero dapat mempunyai nilai<br />

riil ataupun kompleks konjugat karena koefisien dari b(s) dan a(s) adalah<br />

riil. Sementara itu sinyal masukan X(s) juga mungkin mengandung zero<br />

dan pole sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.6), sinyal<br />

keluaran Y(s) akan mengandung pole dan zero yang dapat berasal dari<br />

T(s) ataupun X(s). Pole dan zero yang berasal dari T(s) disebut pole<br />

alami dan zero alami, karena mereka ditentukan semata-mata oleh<br />

parameter rangkaian dan bukan oleh sinyal masukan; sedangkan yang<br />

berasal dari X(s) disebut pole paksa dan zero paksa karena mereka<br />

ditentukan oleh fungsi pemaksa (masukan).<br />

COTOH-5.6: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5<br />

adalah v in = cos2t u(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran V o (s)<br />

untuk µ = 0,5.<br />

Penyelesaian :<br />

2<br />

s<br />

Pernyataan sinyal masukan di kawasan s adalah : V in(<br />

s)<br />

=<br />

s 2 + 4<br />

Fungsi alih rangkaian telah diperoleh pada contoh 5.5; dengan µ =<br />

0,5 maka<br />

µ<br />

0,5<br />

T V ( s)<br />

=<br />

=<br />

2<br />

2<br />

s + (3 − µ ) s + 1 s + 2,5s<br />

+ 1<br />

Dengan demikian sinyal keluaran menjadi<br />

0,5 s<br />

Vo<br />

( s)<br />

= TV<br />

( s)<br />

Vin<br />

( s)<br />

=<br />

2<br />

2<br />

s + 2,5s<br />

+ 1 s + 4<br />

0,5<br />

s<br />

=<br />

( s + 2)( s + 0,5) ( s + j2)(<br />

s − j2)<br />

Pole dan zero adalah :<br />

n<br />

110 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


s = −2<br />

:<br />

s = −0.5<br />

:<br />

pole<br />

pole<br />

alami<br />

alami<br />

riil<br />

riil<br />

s = 0<br />

: satu<br />

s = − j2<br />

: pole<br />

s = + j2<br />

: pole<br />

zero paksa riil<br />

paksa imaginer<br />

paksa imajiner<br />

5.2.1. <strong>Rangkaian</strong> Dengan Masukan Sinyal Impuls<br />

Sinyal masukan yang berbentuk gelombang impuls dinyatakan dengan<br />

x(t) = δ(t). Pernyataan sinyal ini di kawasan s adalah X(s) = 1. Dengan<br />

masukan ini maka bentuk sinyal keluaran V o (s) akan sama dengan bentuk<br />

fungsi alih T(s).<br />

V ( s)<br />

= T(<br />

s)<br />

X ( s)<br />

= T(<br />

s)<br />

× 1 = H(<br />

s)<br />

(5.7)<br />

o<br />

V o (s) yang diperoleh dengan X(s) = 1 ini kita sebut H(s) agar tidak rancu<br />

dengan T(s). Karena X(s) = 1 tidak memberikan pole paksa, maka H(s)<br />

hanya akan mengandung pole alami.<br />

Kembali ke kawasan t, keluaran v o (t) = h(t) diperoleh dengan<br />

transformasi balik H(s). Bentuk gelombang h(t) terkait dengan pole yang<br />

dikandung oleh H(s). Pole riil akan memberikan komponen eksponensial<br />

pada h(t); pole kompleks konjugat (dengan bagian riil negatif ) akan<br />

memberikan komponen sinus teredam pada h(t) dan pole-pole yang lain<br />

akan memberikan bentuk-bentuk h(t) tertentu yang akan kita lihat<br />

melalui contoh berikut.<br />

COTOH-5.7: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5<br />

adalah v in = δ(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran untuk nilai µ<br />

= 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 ; 4, 5.<br />

Penyelesaian :<br />

µ<br />

Fungsi alih rangkaian ini adalah : T V ( s)<br />

=<br />

2<br />

s + (3 − µ ) s + 1<br />

Dengan masukan v in = δ(t) yang berarti V in (s) = 1, maka keluaran<br />

rangkaian adalah :<br />

µ<br />

H ( s)<br />

=<br />

2<br />

s + (3 − µ ) s + 1<br />

0,5<br />

0,5<br />

µ = 0,5 ⇒ H(<br />

s)<br />

=<br />

=<br />

2<br />

s + 2,5s<br />

+ 1 ( s + 2)( s + 0,5)<br />

⇒ dua pole riil di s = −2<br />

dan s = −0,5<br />

111


1 0,5<br />

µ = 1⇒<br />

H ( s)<br />

= = ⇒ dua pole riil di s = −1<br />

2<br />

2<br />

s + 2s<br />

+ 1 ( s + 1)<br />

2<br />

2<br />

µ = 2 ⇒ H(<br />

s)<br />

= =<br />

2<br />

s + s + 1 ( s + 0,5 − j 3 / 2)( s + 0,5 + j 3 / 2)<br />

⇒ dua pole kompleks konjugat di s = −0,5<br />

± j<br />

3 3<br />

µ = 3 ⇒ H ( s)<br />

= =<br />

2<br />

s + 1 ( s + j1)(<br />

s − j1)<br />

⇒ dua pole imajiner di s = ± j1<br />

µ = 4 ⇒ H(<br />

s)<br />

=<br />

s<br />

2<br />

4<br />

=<br />

− s + 1 ( s − 0,5 − j<br />

3 / 2)( s − 0,5 + j<br />

⇒ dua pole kompleks konjugat di s = 0,5 ± j<br />

4<br />

3 / 2<br />

3 / 2<br />

3 / 2)<br />

5 5<br />

µ = 5 ⇒ H ( s)<br />

= = ⇒ dua pole riil di s = 1<br />

2<br />

2<br />

s − 2s<br />

+ 1 ( s −1)<br />

Contoh-5.7 ini memperlihatkan bagaimana fungsi alih menentukan<br />

bentuk gelombang sinyal keluaran melalui pole-pole yang dikandungnya.<br />

Berbagai macam pole tersebut akan memberikan h(t) dengan perilaku<br />

sebagai berikut.<br />

µ = 0,5 : dua pole riil negatif tidak sama besar; sinyal keluaran<br />

sangat teredam.<br />

µ = 1 : dua pole riil negatif sama besar ; sinyal keluaran teredam<br />

kritis.<br />

µ =2 : dua pole kompleks konjugat dengan bagian riil negatif ;<br />

sinyal keluaran kurang teredam, berbentuk sinus teredam.<br />

µ = 3 : dua pole imaginer; sinyal keluaran berupa sinus tidak<br />

teredam.<br />

µ = 4 : dua pole kompleks konjugat dengan bagian riil positif ;<br />

sinyal keluaran tidak teredam, berbentuk sinus dengan<br />

amplitudo makin besar.<br />

µ = 5 : dua pole riil posistif sama besar; sinyal keluaran<br />

eksponensial dengan eksponen positif; sinyal makin besar<br />

dengan berjalannya t.<br />

112 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Gambar berikut menjelaskan posisi pole dan bentuk tanggapan rangkaian<br />

di kawasan t yang berkaitan.<br />

1 .2<br />

0<br />

pole di ± jβ<br />

jω<br />

0 20<br />

-1 .2<br />

×<br />

×<br />

×<br />

pole di + α ± jβ<br />

pole di − α ± jβ<br />

×<br />

×<br />

×<br />

σ<br />

pole riil negatif<br />

×<br />

×<br />

×<br />

pole riil positif<br />

pole di 0+j0<br />

(lihat pembahasan berikut)<br />

Gb.5.3. Posisi pole dan bentuk gelombang keluaran.<br />

5.2.2. <strong>Rangkaian</strong> Dengan Masukan Sinyal Anak Tangga<br />

Transformasi sinyal masukan yang berbentuk gelombang anak tangga<br />

x(t) = u(t) adalah X(s) = 1/s. Jika fungsi alih adalah T(s) maka sinyal<br />

keluaran adalah<br />

T(<br />

s)<br />

Y ( s)<br />

= T(<br />

s)<br />

X ( s)<br />

=<br />

(5.8)<br />

s<br />

Jika kita bandingkan (5.8) ini dengan (5.7) dimana tanggapan terhadap<br />

sinyal impuls dinyatakan sebagai H(s), maka tanggapan terhadap sinyal<br />

anak tangga ini dapat kita sebut<br />

T(<br />

s)<br />

H(<br />

s)<br />

G ( s)<br />

= =<br />

(5.9)<br />

s s<br />

Karena H(s) hanya mengandung pole alami, maka dengan melihat bentuk<br />

ini kita segera mengetahui bahwa tanggapan terhadap sinyal anak tangga<br />

di kawasan s akan mengandung satu pole paksa disamping pole-pole<br />

113


alami. Pole paksa ini terletak di s = 0 + j0; pole inilah yang ditambahkan<br />

pada Gb. 5.3.<br />

Mengingat sifat integrasi pada transformasi Laplace, maka g(t) dapat<br />

diperoleh jika h(t) diketahui, yaitu<br />

∫<br />

g( t)<br />

= t h(<br />

x)<br />

dx<br />

(5.10)<br />

0<br />

Secara timbal balik, maka<br />

dg(<br />

t)<br />

h ( t)<br />

= , berlaku di semua titik kecuali di t<br />

dt<br />

(5.11)<br />

dimana g(<br />

t)<br />

tidak kontinyu.<br />

COTOH-5.8: Dalam contoh-5.7, jika µ = 2 dan sinyal masukan<br />

berupa sinyal anak tangga, carilah pole dan zero sinyal keluaran.<br />

Penyelesaian :<br />

2<br />

Dengan µ = 2 fungsi alihnya adalah T V ( s)<br />

=<br />

2<br />

s + s + 1<br />

Dengan sinyal masukan X(s) = 1/s , tanggapan rangkaian adalah<br />

2 1<br />

2<br />

G ( s)<br />

=<br />

=<br />

2<br />

( s + s + 1) s ( s + 0,5 − j 3 / 2)( s + 0,5 + j 3 / 2) s<br />

Dari sini kita peroleh :<br />

s = −0,5<br />

± j<br />

s = 0<br />

3 / 2<br />

: dua pole kompleks konjugat<br />

dengan bagian riil negatif<br />

: satu pole paksa di 0 + j0<br />

5.3. Hubungan Bertingkat dan Kaidah Rantai<br />

Hubungan masukan-keluaran melalui suatu fungsi alih dapat kita<br />

gambarkan dengan suatu diagam blok seperti Gb.5.4.a.<br />

X(s)<br />

T(s)<br />

a).<br />

Y(s)<br />

X(s)<br />

T 1 (s)<br />

Y 1 (s)<br />

b).<br />

Gb.5.4. Diagram blok<br />

T 2 (s) Y(s)<br />

Suatu rangkaian pemroses sinyal seringkali merupakan hubungan<br />

bertingkat dari beberapa tahap pemrosesan. Dalam hubungan bertingkat<br />

ini, tegangan keluaran dari suatu tahap menjadi tegangan masukan dari<br />

114 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


tahap berikutnya. Diagram blok dari hubungan bertingkat ini ditunjukkan<br />

oleh Gb.5.4.b. Untuk hubungan bertingkat ini berlaku kaidah rantai yaitu<br />

apabila suatu rangkaian merupakan hubungan bertingkat dari tahapantahapan<br />

yang masing-masing mempunyai fungsi alih tegangan T V1 (s),<br />

T V2 (s) ….dst. maka fungsi alih tegangan total rangkaian menjadi<br />

T<br />

V ( V1 V1<br />

Vk s<br />

s)<br />

= T ( s)<br />

T ( s)<br />

⋅⋅ ⋅ ⋅T<br />

( )<br />

(5.12)<br />

Kaidah rantai ini mempermudah kita dalam melakukan analisis dari suatu<br />

rangkaian yang merupakan hubungan bertingkat dari beberapa tahapan.<br />

Namun dalam hubungan bertingkat ini perlu kita perhatikan agar suatu<br />

tahap tidak membebani tahap sebelumnya. Jika pembebanan ini terjadi<br />

maka fungsi alih total tidak sepenuhnya menuruti kaidah rantai. Untuk<br />

menekan efek pembebanan tersebut maka harus diusahakan agar<br />

impedansi masukan dari setiap tahap sangat besar, yang secara ideal<br />

adalah tak hingga besarnya. Jika impedansi masukan dari suatu tahap<br />

terlalu rendah, kita perlu menambahkan rangkaian penyangga antara<br />

rangkaian ini dengan tahap sebelumnya agar efek pembebanan tidak<br />

terjadi. Kita akan melihat hal ini pada contoh berikut.<br />

COTOH-5.9: Carilah fungsi alih kedua rangkaian berikut; sesudah itu<br />

hubungkan kedua rangkaian secara bertingkat dan carilah fungsi alih<br />

total.<br />

+<br />

V in<br />

−<br />

R 1<br />

1/Cs<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

+<br />

V in<br />

−<br />

Ls +<br />

R 2 V o<br />

−<br />

Penyelesaian : Fungsi alih kedua rangkaian berturut-turut adalah<br />

1/ Cs 1<br />

T V 1(<br />

s)<br />

= =<br />

dan<br />

R + 1/ Cs R Cs + 1<br />

1<br />

1<br />

R<br />

T V s =<br />

2<br />

2 ( )<br />

R + Ls<br />

Jika kedua rangkaian dihubungkan maka rangkaian menjadi seperti<br />

di bawah ini.<br />

2<br />

+<br />

V in<br />

−<br />

R 1<br />

Ls<br />

1/Cs R 2<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

Fungsi alih rangkaian gabungan ini adalah:<br />

115


R2<br />

⎛ 1/ Cs || ( R + ⎞<br />

⎜<br />

2 Ls)<br />

T V ( s)<br />

=<br />

⎟<br />

R +<br />

2 Ls ⎝1/<br />

Cs || ( R2<br />

+ Ls)<br />

+ R1<br />

⎠<br />

R2<br />

⎛ 1/ Cs(<br />

R + )<br />

= ⎜ 2 Ls<br />

R +<br />

2 Ls ⎝1/<br />

Cs + R2<br />

+ Ls<br />

1/ Cs(<br />

R2<br />

+ Ls)<br />

⎞<br />

+ R1<br />

⎟<br />

1/ Cs + R +<br />

2 Ls ⎠<br />

R ⎛<br />

⎞<br />

2 ⎜ R2<br />

+ Ls<br />

=<br />

⎟<br />

R + ⎜ 2<br />

⎟<br />

2 Ls<br />

⎝ LCs + ( L + R2C)<br />

s + ( R1<br />

+ R2<br />

) ⎠<br />

Pemahaman :<br />

Fungsi alih dari rangkaian yang diperoleh dengan menghubungkan<br />

kedua rangkaian secara bertingkat tidak merupakan perkalian fungsi<br />

alih masing-masing. Hal ini disebabkan terjadinya pembebanan<br />

rangkaian pertama oleh rangkaian kedua pada waktu mereka<br />

dihubungkan. Untuk mengatasi hal ini kita dapat menambahkan<br />

rangkaian penyangga di antara kedua rangkaian sehingga rangkaian<br />

menjadi seperti di bawah ini.<br />

+<br />

V in<br />

−<br />

R 1<br />

1/Cs<br />

+<br />

−<br />

Ls +<br />

R 2 V o<br />

−<br />

Diagram blok rangkaian ini menjadi :<br />

V in (s)<br />

T V1<br />

V o1<br />

1<br />

V o1<br />

T V1<br />

V o (s)<br />

Contoh-5.9. di atas menunjukkan bahwa kaidah rantai berlaku jika suatu<br />

tahap tidak membebani tahap sebelumnya. Oleh karena itu agar kaidah<br />

rantai dapat digunakan, impedansi masukan harus diusahakan sebesar<br />

mungkin, yang dalam contoh diatas dicapai dengan menambahkan<br />

rangkaian penyangga. Dengan cara demikian maka hubungan masukankeluaran<br />

total dari seluruh rangkaian dapat dengan mudah diperoleh jika<br />

hubungan masukan-keluaran masing-masing bagian diketahui.<br />

Pengembangan dari konsep ini akan kita lihat dalam analisis sistem.<br />

5.4. Fungsi Alih dan Hubungan Masukan-Keluaran di Kawasan<br />

Waktu<br />

Dalam pembahasan di atas dapat kita lihat bahwa jika kita bekerja di<br />

kawasan s, hubungan masukan-keluaran diberikan oleh persamaan<br />

Y ( s)<br />

= T ( s)<br />

X ( s)<br />

116 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Bagaimanakah bentuk hubungan masukan-keluaran di kawasan waktu?<br />

Menurut (5.9) T(s) = H(s), sehingga kita dapat menggunakan konvolusi<br />

untuk melakukan transformasi balik dari hubungan di atas dan kita<br />

dapatkan hubungan masukan-keluaran di kawasan waktu, yaitu<br />

t<br />

t<br />

y( t)<br />

=<br />

∫<br />

h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

dτ =<br />

∫<br />

x(<br />

τ)<br />

h(<br />

t − τ)<br />

dτ<br />

(5.13)<br />

0<br />

0<br />

dengan h(t) adalah tanggapan impuls dari rangkaian.<br />

Persamaan (5.13) ini memberikan hubungan di kawasan waktu, antara<br />

besaran keluaran y(t), besaran masukan x(t), dan tanggapan impuls<br />

rangkaian h(t). Hubungan ini dapat digunakan langsung tanpa melalui<br />

transformasi Laplace. Hubungan ini sangat bermanfaat untuk mencari<br />

keluaran y(t) jika h(t) ataupun x(t) diperoleh secara experimental dan sulit<br />

dicari transformasi Laplace-nya. Konvolusi berlaku untuk rangkaian<br />

linier invarian waktu. Jika batas bawah adalah nol (seperti pada 5.13),<br />

maka sinyal masukan adalah sinyal kausal, yaitu x(t) = 0 untuk t < 0.<br />

5.5. Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Masukan-Keluaran<br />

Dari pembahasan mengenai fungsi alih diatas dan pembahasan mengenai<br />

hubungan masukan-keluaran pada bab-bab sebelumnya, kita dapat<br />

mengetahui bahwa hubungan antara sinyal keluaran dan sinyal masukan<br />

di suatu rangkaian dapat kita peroleh dalam beberapa bentuk. Di kawasan<br />

s, hubungan tersebut diperoleh melalui transformasi Laplace. Hubungan<br />

tersebut juga dapat kita peroleh di kawasan t melalui konvolusi. Di<br />

samping itu kita ingat pula bahwa hubungan antara sinyal keluaran dan<br />

sinyal masukan dapat pula diperoleh dalam bentuk persamaan<br />

diferensial, seperti yang kita temui pada waktu kita membahas analisis<br />

transien. Jadi kita telah mempelajari tiga macam bentuk hubungan antara<br />

sinyal keluaran dan sinyal masukan, yaitu<br />

• transformasi Laplace,<br />

• konvolusi,<br />

• persamaan diferensial.<br />

Kita masih akan menjumpai satu lagi bentuk hubungan sinyal keluaran<br />

dan sinyal masukan yaitu melalui transformasi Fourier. Akan tetapi<br />

sebelum membahas transformasi Fourier kita akan melihat lebih dulu<br />

tanggapan frekuensi dalam bab berikut ini.<br />

117


Soal-Soal<br />

1. Terminal AB rangkaian berikut<br />

adalah terminal masukan, dan<br />

terminal keluarannya adalah CD.<br />

Tentukanlah admitansi<br />

masukannya (arus / tegangan<br />

masukan di kawasan s) jika<br />

terminal keluaran terbuka.<br />

A<br />

B<br />

1H<br />

1kΩ<br />

0,5µF<br />

1kΩ<br />

C<br />

D<br />

2. Jika tegangan masukan v 1 (t)=10u(t) V, gambarkan diagram pole-zero<br />

dari arus masukan dan sebutkan jenis pole dan zero yang ada<br />

3. Tegangan keluaran v 2 (t) rangkaian soal 1 diperoleh di terminal CD.<br />

Tentukan fungsi alih tegangannya (tegangan keluaran / tegangan<br />

masukan di kawasan s).<br />

4. Jika tegangan masukan v 1 (t) = 10 u(t) V Gambarkan diagram pole-zero<br />

tegangan keluaran.<br />

5. Ulangi soal 2 dengan tegangan masukan v 1 (t) = 10[sin100t]u(t) V.<br />

6. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v 1 (t) = 10[sin100t]u(t) V.<br />

7. Tentukan fungsi alih pada rangkaian berikut dan gambarkan digram<br />

pole-zero dari tegangan keluaran V o (s)dan sebutkan jenis pole dan<br />

zeronya.<br />

R 1 C<br />

+<br />

+<br />

− u(t)<br />

v<br />

L R o<br />

2<br />

−<br />

a). b).<br />

+<br />

−<br />

R 1<br />

cos1000t<br />

R 2<br />

C<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

R 1<br />

R 2<br />

C<br />

R<br />

+<br />

+<br />

C<br />

− u(t) L<br />

v o<br />

−<br />

c). d).<br />

+<br />

−<br />

u(t)<br />

−<br />

+<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

118 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


+<br />

−<br />

u(t)<br />

+<br />

−<br />

R 1<br />

R 2<br />

C −<br />

e). f).<br />

+<br />

v o<br />

+<br />

−<br />

u(t)<br />

+<br />

−<br />

R 1<br />

R 2<br />

C<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

+<br />

−<br />

u(t)<br />

R 2<br />

+<br />

−<br />

C<br />

R 1<br />

−<br />

g). L<br />

h),<br />

+<br />

v o<br />

+<br />

−<br />

u(t)<br />

R 2<br />

+<br />

−<br />

L<br />

C<br />

R 1<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

8. Carilah fungsi alih, g(t), dan h(t) dari rangkaian berikut.<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

a).<br />

10kΩ<br />

0,5H<br />

1kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

b).<br />

1H<br />

1kΩ<br />

0,5µF<br />

1kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

c),<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10kΩ<br />

+<br />

−<br />

10kΩ<br />

1µF<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

d).<br />

100kΩ<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10kΩ<br />

−<br />

+<br />

1µF<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

9. Carilah fungsi alih hubungan bertingkat yang: (a)tahap pertamanya<br />

rangkaian soal 18 dan tahap keduan rangkaian pada soal 15; (b) tahap<br />

pertama rangkaian pada soal 19 dan tahap kedua rangkaian pada soal<br />

16; (c) tahap pertama rangkaian soal 15 sedangkan tahap kedua<br />

rangkaian pada soal 18; (d) tahap pertama rangkaian soal 16<br />

sedangkan rangkaian pada soal 19 menjadi tahap kedua.<br />

119


13. Carilah fungsi alih dari suatu rangkaian jika diketahui bahwa<br />

tanggapannya terhadap sinyal anak tangga adalah :<br />

−5000<br />

t<br />

a). g(<br />

t)<br />

= −e<br />

u(<br />

t);<br />

b). g(<br />

t)<br />

=<br />

c). g(<br />

t)<br />

=<br />

d). g(<br />

t)<br />

=<br />

e). g(<br />

t)<br />

=<br />

f). g(<br />

t)<br />

=<br />

g). g(<br />

t)<br />

=<br />

−5000<br />

t<br />

( 1−<br />

e ) u(<br />

t);<br />

−5000<br />

t<br />

( −1+<br />

5e<br />

) u(<br />

t);<br />

−1000<br />

t −2000<br />

t<br />

( e − e ) u(<br />

t);<br />

−1000<br />

t −2000<br />

t<br />

( e − e ) u(<br />

t<br />

−1000<br />

t<br />

( e sin 2000t<br />

) u(<br />

t)<br />

−1000<br />

t<br />

( e sin 2000t<br />

)<br />

−<br />

h). h(<br />

t)<br />

= −1000<br />

e<br />

1000 t<br />

−<br />

i). h(<br />

t)<br />

= δ(<br />

t)<br />

− 1000 e<br />

−<br />

j). h(<br />

t)<br />

= δ(<br />

t)<br />

− 2000 e<br />

k). h(<br />

t)<br />

=<br />

l). h(<br />

t)<br />

=<br />

u(<br />

t);<br />

1000 t<br />

1000 t<br />

);<br />

u(<br />

t) ;<br />

u(<br />

t) ;<br />

u(<br />

t)<br />

−1000<br />

t<br />

( e sin 2000t)<br />

u(<br />

t);<br />

−1000<br />

t<br />

( e cos 2000t<br />

) u(<br />

t)<br />

14. Dengan menggunakan integral konvolusi carilah tegangan kapasitor<br />

pada rangkaian seri RC jika tegangan masukannya: (a) v 1 (t) = tu(t) ;<br />

(b) v 1 (t) = A e −α t u(t).<br />

120 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 6<br />

Tanggapan Frekuensi <strong>Rangkaian</strong> Orde Pertama<br />

Sebagaimana kita ketahui, kondisi operasi normal rangkaian pada<br />

umumnya adalah kondisi mantap dan dalam operasi tersebut banyak<br />

digunakan sinyal sinus baik pada pemrosesan energi maupun pemrosesan<br />

sinyal listrik. Dalam teknik energi listrik, tenaga listrik dibangkitkan,<br />

ditransmisikan, serta dimanfaatkan dalam bentuk sinyal sinus dengan<br />

frekuensi yang dijaga konstan yaitu 50 atau 60 Hz. Dalam teknik<br />

telekomunikasi, sinyal sinus dimanfaatkan dalam selang frekuensi yang<br />

lebih lebar, mulai dari beberapa Hz sampai jutaan Hz. Untuk hal yang<br />

kedua ini, walaupun rangkaian beroperasi pada keadaan mantap, tetapi<br />

frekuensi sinyal yang diproses dapat bervariasi ataupun mengandung<br />

banyak frekuensi (gelombang komposit), misalnya suara manusia<br />

ataupun suara musik. Karena impedansi satu macam rangkaian<br />

mempunyai nilai yang berbeda untuk frekuensi yang berbeda, maka<br />

timbullah persoalan bagaimanakah tanggapan rangkaian terhadap<br />

perubahan nilai frekuensi atau bagaimanakah tanggapan rangkaian<br />

terhadap sinyal yang tersusun dari banyak frekuensi. Dalam bab inilah<br />

persoalan tersebut akan kita bahas.<br />

6.1. Tanggapan <strong>Rangkaian</strong> Terhadap Sinyal Sinus Keadaan Mantap<br />

Pernyataan di kawasan s dari sinyal masukan berbentuk sinus x(t) =<br />

Acos(ωt+θ) adalah (lihat Tabel-3.1.) :<br />

s cosθ − ωsin<br />

θ<br />

X ( s)<br />

= A<br />

(6.1)<br />

2 2<br />

s + ω<br />

Jika T(s) adalah fungsi alih, maka tanggapan rangkaian adalah<br />

s cosθ − ωsin<br />

θ<br />

Y(<br />

s)<br />

= T(<br />

s)<br />

X(<br />

s)<br />

= A<br />

T(<br />

s)<br />

2 2<br />

s + ω<br />

s cosθ − ωsin<br />

θ<br />

= A<br />

T(<br />

s)<br />

( s − jω)(<br />

s + jω)<br />

(6.2)<br />

Sebagaimana telah kita bahas di bab sebelumnya, T(s) akan memberikan<br />

pole-pole alami sedangkan X(s) akan memberikan pole paksa dan<br />

pernyataan (6.2) dapat kita uraikan menjadi berbentuk<br />

121


*<br />

k k k1<br />

k2<br />

kn<br />

Y ( s)<br />

= + + + + ⋅⋅⋅ +<br />

s − jω<br />

s + jω<br />

s − p1<br />

s − p2<br />

s − pn<br />

(6.3)<br />

yang transformasi baliknya akan berbentuk<br />

jωt<br />

* − jωt<br />

p1t<br />

p2t<br />

pnt<br />

( t)<br />

= ke + k e + K1e<br />

+ k2e<br />

+ ⋅ ⋅ ⋅ kne<br />

(6.4)<br />

y +<br />

Di kawasan t, pole-pole alami akan memberikan komponen transien yang<br />

biasanya berlangsung hanya beberapa detik (dalam kebanyakan<br />

rangkaian praktis) dan tidak termanfaatkan dalam operasi normal.<br />

Komponen mantaplah yang kita manfaatkan untuk berbagai keperluan<br />

dan komponen ini kita sebut tanggapan mantap yang dapat kita peroleh<br />

dengan menghilangkan komponen transien dari (6.4), yaitu :<br />

y<br />

j t j t<br />

tm t ke<br />

ω * − ω<br />

( ) = + k e<br />

(6.5)<br />

Nilai k dapat kita cari dari (6.2) yaitu<br />

k = ( s − jω)<br />

Y ( s)<br />

=<br />

= jω<br />

s<br />

A<br />

cosθ + j sin θ<br />

= A<br />

T(<br />

jω)<br />

2<br />

s<br />

cosθ − ωsin<br />

θ<br />

T ( s)<br />

( s + jω)<br />

s=<br />

jω<br />

(6.6)<br />

Faktor T(jω) dalam (6.6) adalah suatu pernyataan kompleks yang dapat<br />

kita tuliskan dalam bentuk polar sebagai |T(jω)|e jϕ dimana |T(jω)| adalah<br />

nilai mutlaknya dan ϕ adalah sudutnya. Sementara itu menurut Euler<br />

(cosθ + jsinθ) = e jθ . Dengan demikian (6.6) dapat kita tuliskan<br />

jθ<br />

e<br />

jϕ<br />

k = A T(<br />

jω)<br />

e<br />

2<br />

Dengan (6.7) ini maka tanggapan mantap (6.5) menjadi<br />

(6.7)<br />

jθ<br />

− jθ<br />

e<br />

jϕ<br />

jωt<br />

e<br />

− jϕ<br />

− jωt<br />

ytm(<br />

t)<br />

= A T(<br />

jω)<br />

e e + A T ( jω)<br />

e e<br />

2<br />

2<br />

⎡ j(<br />

ωt+θ+ϕ)<br />

− j(<br />

ωt+θ+ϕ)<br />

e + e ⎤<br />

= A T(<br />

jω)<br />

⎢<br />

⎥ (6.8)<br />

⎢⎣<br />

2 ⎥⎦<br />

= A T(<br />

jω)<br />

cos( ωt<br />

+ θ + ϕ)<br />

122 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Persamaan (6.8) ini menunjukkan bahwa tanggapan keadaan mantap dari<br />

suatu rangkaian yang mempunyai fungsi alih T(s) dengan masukan sinyal<br />

sinus, akan :<br />

• berbentuk sinus juga, tanpa perubahan frekuensi<br />

• amplitudo berubah dengan faktor |T(jω)|<br />

• sudut fasa berubah sebesar sudut dari T(jω), yaitu ϕ.<br />

Jadi, walaupun frekuensi sinyal keluaran sama dengan frekuensi sinyal<br />

masukan tetapi amplitudo maupun sudut fasanya berubah dan perubahan<br />

ini tergantung dari frekuensi. Kita akan melihat kejadian ini dengan suatu<br />

contoh.<br />

COTOH-6.1 : Carilah sinyal keluaran<br />

keadaan mantap dari rangkaian di<br />

samping ini jika masukannya adalah v s =<br />

10√2cos(50t + 60 o ) V.<br />

Penyelesaian :<br />

Transformasi rangkaian ke kawasan s<br />

memberikan rangkaian impedansi seperti<br />

di samping ini.<br />

Fungsi alih rangkaian ini adalah<br />

100 50<br />

T V ( s)<br />

= = .<br />

2s<br />

+ 100 s + 50<br />

Karena frekuensi sinyal ω = 50 , maka<br />

T ( j50)<br />

V<br />

50<br />

= =<br />

=<br />

− 1<br />

50 + j50<br />

2 2 j tan (50 / 50) 2<br />

50<br />

Keluaran keadaan mantap adalah :<br />

50<br />

+ 50 e<br />

10 2<br />

o o<br />

v o ( t)<br />

= cos(50t<br />

+ 60 − 45 ) = 10cos(50t<br />

+ 15<br />

2<br />

Pemahaman :<br />

1<br />

e<br />

− j45<br />

Frekuensi sinyal keluaran sama dengan sinyal masukan, yaitu ω = 50<br />

rad/sec.<br />

Amplitudo sinyal masukan<br />

v maks<br />

=10<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

v s<br />

V s<br />

2H<br />

100Ω<br />

2s<br />

2 V , sedangkan<br />

100<br />

o<br />

)<br />

o<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

+<br />

V o<br />

−<br />

123


T V ( jω)<br />

= TV<br />

( j50)<br />

=<br />

1<br />

.<br />

2<br />

Amplitudo sinyal keluaran<br />

vo maks = vsmaks<br />

T(<br />

jω)<br />

= 10 2 ×<br />

1<br />

= 10 V<br />

2<br />

Sudut fasa sinyal masukan θ = 60 o , sedang sudut |T(jω)| = −45 o .<br />

Sudut fasa sinyal keluaran : θ + ϕ = 60 o − 45 o = 15 o .<br />

6.2. Pernyataan Tanggapan Frekuensi<br />

6.2.1. Fungsi Gain dan Fungsi Fasa<br />

Faktor pengubah amplitudo, yaitu |T(jω)| yang merupakan fungsi<br />

frekuensi, disebut fungsi gain yang akan menentukan bagaimana gain<br />

(perubahan amplitudo sinyal) bervariasi terhadap perubahan frekuensi.<br />

Pengubah fasa ϕ yang juga merupakan fungsi frekuensi disebut fungsi<br />

fasa dan kita tuliskan sebagai ϕ(ω); ia menunjukkan bagaimana sudut<br />

fasa sinyal berubah dengan berubahnya frekuensi. Jadi kedua fungsi<br />

tersebut dapat menunjukkan bagaimana amplitudo dan sudut fasa sinyal<br />

sinus berubah terhadap perubahan frekuensi atau dengan singkat disebut<br />

sebagai tanggapan frekuensi dari rangkaian. Pernyataan tanggapan ini<br />

bisa dalam bentuk formulasi matematis ataupun dalam bentuk grafik.<br />

COTOH-6.2: Selidikilah perubahan gain dan sudut fasa terhadap<br />

perubahan frekuensi dari rangkaian orde pertama di bawah ini.<br />

+<br />

−<br />

1 H<br />

500Ω<br />

500Ω<br />

v s<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Setelah di transformasikan ke kawasan s, diperoleh<br />

124 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


500<br />

fungsi alih rangkaian : TV<br />

( s)<br />

=<br />

s + 1000<br />

⇒ TV<br />

( jω)<br />

=<br />

500<br />

jω + 1000<br />

500<br />

⇒ fungsi gain : TV<br />

( jω)<br />

=<br />

2 2<br />

1000 + ω<br />

−1<br />

ω<br />

⇒ fungsi fasa : ϕ(<br />

ω)<br />

= − tan<br />

1000<br />

Untuk melihat dengan lebih jelas bagaimana gain dan fasa berubah<br />

terhadap frekuensi, fungsi gain dan fungsi fasa di plot terhadap ω.<br />

Absis ω dibuat dalam skala logaritmik karena rentang nilai ω sangat<br />

besar. Hasilnya terlihat seperti gambar di bawah ini.<br />

Gain<br />

0.5<br />

0.5/√2<br />

passband<br />

stopband<br />

ω C<br />

0<br />

0<br />

ω<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

-45<br />

ϕ [ o ]<br />

-90<br />

Kurva gain menunjukkan bahwa pada frekuensi rendah terdapat<br />

gain tinggi yang relatif konstan, sedangkan pada frekuensi tinggi<br />

gain menurun dengan cepat. Kurva fungsi fasa menujukkan bahwa<br />

pada frekuensi rendah sudut fasa tidak terlalu berubah tetapi<br />

kemudian cepat menurun mulai suatu frekuensi tertentu.<br />

Gain tinggi di daerah frekuensi rendah pada contoh di atas<br />

menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi rendah mengalami<br />

125


perubahan amplitudo dengan faktor tinggi, sedangkan gain rendah di<br />

frekuensi tinggi menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi tinggi<br />

mengalami perubahan amplitudo dengan faktor rendah. Daerah<br />

frekuensi dimana terjadi gain tinggi disebut passband sedangkan daerah<br />

frekuensi dimana terjadi gain rendah disebut stopband. Nilai frekuensi<br />

yang menjadi batas antara passband dan stopband disebut frekuensi<br />

cutoff , ω C . Nilai frekuensi cutoff biasanya diambil nilai frekuensi<br />

dimana gain menurun dengan faktor 1/√2 dari gain maksimum pada<br />

passband.<br />

Dalam contoh-6.2 di atas, rangkaian mempunyai satu passband yang<br />

terentang dari frekuensi ω = 0 (tegangan searah) sampai frekuensi<br />

cuttoff ω C , dan satu stopband mulai dari frekuensi cutoff ke atas.<br />

Dengan kata lain rangkaian ini mempunyai passband di daerah frekuensi<br />

rendah saja sehingga disebut low-pass gain. Inilah tanggapan frekuensi<br />

rangkaian pada contoh-6.2.<br />

Kebalikan dari low-pass gain adalah high-pass gain, yaitu jika passband<br />

berada hanya di daerah frekuensi tinggi saja seperti pada contoh 6.3.<br />

berikut ini.<br />

COTOH-6.3: Selidikilah tanggapan frekuensi rangkaian di bawah ini.<br />

v +<br />

s 10 5 /s 500<br />

− 500<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Fungsi alih rangkaian adalah<br />

T<br />

V<br />

⇒ T<br />

( s)<br />

=<br />

10<br />

V<br />

5<br />

( jω)<br />

=<br />

500<br />

=<br />

0,5s<br />

/ s + 1000 s + 10<br />

ω<br />

0,5ω<br />

2<br />

+ 10<br />

4<br />

2<br />

→ T<br />

V<br />

; ⇒ ϕ(<br />

ω)<br />

= 90<br />

( jω)<br />

=<br />

o<br />

− tan<br />

0,5×<br />

jω<br />

jω + 10<br />

−1<br />

ω<br />

10<br />

2<br />

2<br />

126 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Kurva gain dan fasa terlihat seperti pada gambar di bawah ini.<br />

Stopband ada di daerah frekuensi rendah sedangkan passband ada di<br />

daerah frekuensi tinggi. Inilah karakteristik high-pass gain<br />

Gain<br />

0.5<br />

0.5/√2<br />

stopband<br />

passband<br />

6.2.2. Decibel<br />

ω C<br />

0<br />

ω<br />

90<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

45<br />

ϕ [ o ]<br />

0<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

Dalam meninjau tanggapan frekuensi, gain biasanya dinyatakan dalam<br />

5260s (disingkat dB) yang didefinisikan sebagai<br />

Gain<br />

dalam<br />

dB<br />

= 20 logT ( jω)<br />

(6.9)<br />

Gain dalam dB dapat bernilai nol, positif atau negatif. Gain dalam dB<br />

akan nol jika |T(jω)| bernilai satu, yang berarti sinyal tidak diperkuat<br />

ataupun diperlemah; jadi gain 0 dB berarti amplitudo sinyal keluaran<br />

sama dengan sinyal masukan. Gain dalam dB akan positif jika |T(jω)| >1,<br />

yang berarti sinyal diperkuat, dan akan bernilai negatif jika |T(jω)| < 1,<br />

yang berarti sinyal diperlemah.<br />

Frekuensi cutoff adalah frekuensi dimana gain telah turun 1/√2 = 0.707<br />

kali nilai gain maksimum dalam passband. Jadi pada frekuensi cutoff,<br />

nilai gain adalah<br />

⎛ 1<br />

⎞<br />

20 log⎜<br />

( ) ⎟<br />

T jω<br />

= 20 logT(<br />

jω)<br />

− log 2<br />

maks<br />

maks<br />

⎝ 2<br />

⎠<br />

(6.10)<br />

= T(<br />

j ω ) 3 dB<br />

maks dB −<br />

127


Dengan demikian dapat kita katakan bahwa frekuensi cutoff adalah<br />

frekuensi di mana gain telah turun sebanyak 3 dB.<br />

Untuk memberikan gambaran lebih jelas, mengenai satuan decibel<br />

tersebut, berikut ini contoh numerik gain dalam dB yang sebaiknya kita<br />

ingat.<br />

COTOH-6.4: Berapa dB-kah nilai gain sinyal yang diperkuat K kali ,<br />

jika K = 1; √2 ; 2 ; 10; 30; 100; 1000 ?<br />

Penyelesaian :<br />

Untuk sinyal yang diperkuat K kali,<br />

( K T(<br />

jω)<br />

) = 20log( T ( jω)<br />

) 20log( K)<br />

gain = 20 log<br />

+<br />

Jadi pertambahan gain sebesar 20log(K) berarti penguatan sinyal K<br />

kali.<br />

K = 1<br />

K =<br />

K = 2<br />

2<br />

K = 10<br />

K = 30<br />

K = 100<br />

⇒<br />

⇒<br />

⇒<br />

⇒<br />

⇒<br />

⇒<br />

K = 1000 ⇒<br />

gain : 20log1<br />

gain : 20log<br />

gain : 20log 2<br />

gain : 20log10<br />

gain : 20log30<br />

gain : 20log100<br />

= 0 dB<br />

2 ≈ 3 dB<br />

≈ 6 dB<br />

= 20 dB<br />

≈ 30 dB<br />

= 40 dB<br />

gain : 20log1000 = 60 dB<br />

Jika faktor K tersebut di atas bukan penguatan akan tetapi<br />

perlemahan sinyal maka gain menjadi negatif.<br />

K = 1/ 2 ⇒<br />

K = 1/ 2 ⇒<br />

K = 1/10 ⇒<br />

K = 1/ 30 ⇒<br />

K = 1/100 ⇒<br />

K = 1/1000 ⇒<br />

gain : − 3 dB<br />

gain : − 6 dB<br />

gain : − 20 dB<br />

gain : − 30 dB<br />

gain : − 40 dB<br />

gain : − 60 dB<br />

128 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


6.2.3. Kurva Gain Dalam Decibel<br />

Kurva gain dibuat dengan absis (frekuensi) dalam skala logaritmik<br />

(karena rentang frekuensi yang sangat lebar); jika gain dinyatakan dalam<br />

dB yang juga merupakan bilangan logaritmik sebagaimana didefinisikan<br />

pada (6.9), maka kurva gain akan berbentuk garis-garis lurus.<br />

Low-pass gain. Dengan menggunakan satuan dB, kurva low-pass gain<br />

pada contoh-6.2 adalah seperti terlihat pada ganbar di bawah ini. Gain<br />

hampir konstan −6 dB di daerah frekuensi rendah, sedangkan di daerah<br />

frekuensi tinggi gain menurun dengan kemiringan yang hampir konstan<br />

pula.<br />

Gain<br />

0<br />

[dB] −6<br />

−9<br />

-20<br />

-40<br />

ω C<br />

ω<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

High-pass gain. Dalam skala dB, high-pass gain pada contoh-6.3 adalah<br />

seperti terlihat pada ganbar di bawah ini. Gain hampir konstan −6 dB di<br />

daerah frekuensi tinggi sedangkan di daerah frekuensi rendah gain<br />

meningkat dengan kemiringan yang hampir konstan pula<br />

Gain<br />

[dB]<br />

0<br />

−6<br />

−9<br />

-20<br />

-40<br />

ω C<br />

ω<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

Band-pass gain. Apabila gain meningkat di daerah frekuensi rendah<br />

dengan kemiringan yang hampir konstan, dan menurun di daerah<br />

frekuensi tinggi dengan kemiringan yang hampir konstan pula,<br />

sedangkan gain tinggi berada di antara dua frekuensi cutoff kita memiliki<br />

karakteristik band-pass gain.<br />

129


0<br />

Gain −3<br />

[dB]<br />

-20<br />

-40<br />

ω C<br />

ω<br />

1 10 100 1000 10000 1E+05<br />

Band-pass gain kita peroleh pada rangkaian orde kedua yang akan kita<br />

pelajari lebih lanjut di bab selanjutnya. Walaupun demikian kita akan<br />

melihat rangkaian orde kedua tersebut sebagai contoh di di bawah ini.<br />

COTOH-6.5: Selidikilah perubahan gain dari rangkaian orde kedua di<br />

samping ini. Gain belum dinyatakan dalam dB.<br />

+<br />

−<br />

s<br />

10 5 /s<br />

V in (s) 1100<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Fungsi alih rangkaian ini adalah<br />

1100<br />

1100s<br />

1100s<br />

T V ( s)<br />

=<br />

=<br />

=<br />

5 2<br />

5<br />

1100 + s + 10 / s s + 1100s<br />

+ 10 ( s + 100)( s + 1000)<br />

j1100ω<br />

TV<br />

( jω)<br />

=<br />

( jω + 100)( jω + 1000)<br />

1000ω<br />

⇒ TV<br />

( jω)<br />

=<br />

2 2 2 2<br />

ω + 100 × ω + 1000<br />

Kurva gain terlihat seperti gambar di bawah ini. Di sini terdapat satu<br />

passband , yaitu pada ω antara 100 ÷ 1000 dan dua stopband di<br />

daerah frekuensi rendah dan tinggi.<br />

130 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1.4<br />

Gain<br />

1<br />

1/√2 0.7<br />

stopband<br />

passband<br />

stopband<br />

Apabila kurva gain dibuat dalam dB, kurva yang akan diperoleh<br />

adalah seperti diperlihatkan di atas.<br />

COTOH-6.6: Selidikilah<br />

perubahan gain dari rangkaian<br />

orde kedua di samping ini.<br />

Gain belum dinyatakan<br />

dalam dB.<br />

Penyelesaian :<br />

Fungsi alih rangkaian ini<br />

adalah<br />

− ω + 10<br />

TV<br />

( jω)<br />

=<br />

2 4 6<br />

− ω + j10<br />

ω + 10<br />

⇒ T<br />

0<br />

ω<br />

1 10 100 1000 10000<br />

10<br />

TV<br />

( s)<br />

=<br />

=<br />

5<br />

0,1s<br />

× 10 / s s<br />

10 +<br />

5<br />

0,1s<br />

+ 10 / s<br />

V<br />

( jω)<br />

=<br />

(10<br />

2<br />

6<br />

− ω<br />

2<br />

− ω<br />

V in (s)<br />

6<br />

2<br />

+ 10<br />

)<br />

2<br />

6<br />

2<br />

s<br />

8<br />

2<br />

+ 10<br />

2<br />

4<br />

6<br />

6<br />

+ 10 s + 10<br />

+ 10 ω<br />

Kurva gain adalah seperti gambar di bawah ini.<br />

1.4<br />

Gain passband stopband passband<br />

1<br />

0.7<br />

1/√2<br />

+<br />

−<br />

0<br />

ω<br />

1 100 10000 1000000<br />

0,1s<br />

10 5 /s<br />

10<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

131


Kurva ini menunjukkan bahwa ada satu stopband pada ω antara 100<br />

÷ 10000 dan dua passband masing-masing di daerah frekuensi<br />

rendah dan tinggi.<br />

Karakteristik gain seperti pada contoh-6.5. disebut band-pass gain<br />

sedangkan pada contoh-6.6 disebut band-stop gain. Frekuensi cutoff<br />

pada band-pass gain ada dua; selang antara kedua frekuensi cutoff<br />

disebut bandwidth (lebar pita).<br />

6.3. Bode Plot<br />

Bode plots adalah grafik gain dalam dB ( |T(jω| dB ) serta fasa (ϕ(ω) )<br />

sebagai fungsi dari frekuensi dalam skala logaritmik. Kurva-kurva ini<br />

berbentuk garis-garis lengkung. Walaupun demikian kurva ini mendekati<br />

nilai-nilai tertentu secara asimtotis, yang memungkinkan kita untuk<br />

melakukan pendekatan dengan garis lurus dengan patahan di titik-titik<br />

belok. Melalui pendekatan ini, penggambaran akan lebih mudah<br />

dilakukan. Bila kita ingin mendapatkan nilai yang lebih tepat, terutama di<br />

sekitar titik belok, kita dapat melakukan koreksi-koreksi pada kurva<br />

pendekatan ini.<br />

Manfaat Bode plots dapat kita lihat misalnya dalam proses perancangan<br />

rangkaian; kurva-kurva pendekatan garis lurus tersebut merupakan cara<br />

sederhana tetapi jelas untuk menyatakan karakteristik rangkaian yang<br />

diinginkan. Dari sini kita dapat menetapkan maupun mengembangkan<br />

persyaratan-persyaratan perancangan. Selain dari pada itu, tanggapan<br />

frekuensi dari berbagai piranti, perangkat maupun sistem, sering<br />

dinyatakan dengan menggunakan Bode plots. Pole dan zero dari fungsi<br />

alih peralatan-peralatan tersebut dapat kita perkirakan dari bentuk Bode<br />

plots yang diberikan. Berikut ini kita akan mempelajari tahap demi tahap<br />

penggambaran Bode plots dengan pendekatan garis lurus. Kita akan<br />

mulai dari rangkaian orde pertama disusul dengan rangkaian orde kedua.<br />

6.3.1. Low-Pass Gain<br />

Bentuk fungsi alih rangkaian orde pertama dengan karakteristik low-pass<br />

gain adalah<br />

K<br />

T V ( s)<br />

= (6.11)<br />

s + α<br />

K dapat bernilai riil positif ataupun negatif. Jika K positif berarti K<br />

mempunyai sudut θ K = 0 o dan jika negatif mempunyai sudut θ K = ±180 o .<br />

132 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Pole fungsi alih ini haruslah riil negatif karena hanya pole negatif (di<br />

sebelah kiri sumbu imajiner dalam bidang s) yang dapat membuat<br />

rangkaian stabil; komponen transiennya menuju nol untuk t →∞. Hanya<br />

rangkaian yang stabil sajalah yang kita tinjau dalam analisis mengenai<br />

tanggapan frekuensi.<br />

Dari (6.11) kita dapatkan :<br />

K K<br />

T ( jω)<br />

= =<br />

(6.12)<br />

jω + α α<br />

( 1 + jω/<br />

α)<br />

Fungsi gain dan fungsi fasa dapat kita tuliskan<br />

K / α<br />

−1<br />

T V ( jω)<br />

=<br />

dan ϕ(<br />

ω)<br />

= θK<br />

− tan ( ω/<br />

α)<br />

(6.13)<br />

2<br />

1 + ( ω/<br />

α)<br />

Fungsi gain dalam satuan dB, menjadi<br />

( )<br />

⎛<br />

2<br />

/ α − 20log 1 + ( ω/<br />

α)<br />

⎞<br />

⎟ ⎠<br />

T V ( jω)<br />

= 20log K<br />

dB<br />

⎜<br />

(6.14)<br />

⎝<br />

Fungsi gain ini terdiri dari dua komponen, yang ditunjukkan oleh suku<br />

pertama dan suku kedua ruas kanan (6.14). Komponen pertama bernilai<br />

konstan untuk seluruh frekuensi. Komponen kedua tergantung dari<br />

frekuensi dan komponen inilah yang menyebabkan gain berkurang<br />

dengan naiknya frekuensi. Komponen ini pula yang menentukan<br />

frekuensi cutoff, yaitu saat (ω/α) =1 dimana komponen ini mencapai<br />

nilai −20log√2 ≈ −3 dB. Jadi dapat kita katakan bahwa frekuensi cutofff<br />

ditentukan oleh komponen yang berasal dari pole fungsi alih, yaitu<br />

ω C = α<br />

(6.15)<br />

Gb.6.1. memperlihatkan perubahan nilai komponen kedua tersebut<br />

sebagai fungsi frekuensi, yang dibuat dengan α = 1000. Dengan pola<br />

perubahan komponen kedua seperti ini maka gain total akan tinggi di<br />

daerah frekuensi rendah dan menurun di daerah frekuensi tinggi, yang<br />

menunjukkan karakteristik low-pass gain. Kurva ini mendekati nilai<br />

tertentu secara asimtotis yang memungkinkan dilakukannya pendekatan<br />

garis lurus sebagai berikut.<br />

133


0<br />

dB<br />

-20<br />

-40<br />

-60<br />

−log√((ω/α) 2 +1)<br />

ω C<br />

1<br />

10<br />

100<br />

1000<br />

10000<br />

pendekatan<br />

garis lurus<br />

1E+05<br />

1E+06<br />

ω<br />

[rad/s]<br />

Gb.6.1. Pola perubahan−log√((ω/α) 2 +1); α=1000 ; dan pendekatan garis<br />

lurusnya.<br />

Untuk frekuensi rendah, (ω/α) 1 atau ω>>α, komponen kedua tersebut<br />

didekati dengan<br />

⎛<br />

2<br />

− 20log<br />

⎞<br />

⎜ 1 + ( ω/<br />

α)<br />

⎟ ≈ −20log<br />

/<br />

⎝<br />

⎠<br />

( ω α)<br />

134 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)<br />

(6.18)<br />

sehingga kurvanya berupa garis lurus menurun terhadap log(ω). Untuk<br />

setiap kenaikan frekuensi 10 kali, yang kita sebut satu dekade, penurunan<br />

itu adalah<br />

( ω/<br />

α) − 20log( ω/<br />

α) = −20log10<br />

= 20 dB<br />

− 20log 10<br />

−<br />

Jadi pendekatan garis lurus untuk komponen kedua ini adalah garis nol<br />

untuk 1


0<br />

ϕ [ o ]<br />

-45<br />

−tan −1 (ω/α)<br />

pendekatan<br />

garis lurus<br />

-90<br />

1<br />

10<br />

100<br />

ω C<br />

1000<br />

10000<br />

1E+05<br />

1E+06<br />

ω<br />

[rad/s]<br />

Gb.6.2. Pola perubahan−tan −1 (ω/α); α=1000 ; dan pendekatan garis<br />

lurusnya.<br />

Seperti halnya kurva pada Gb.6.1. kurva inipun mendekati nilai-nilai<br />

tertentu secara asimtotik yang juga memungkinkan kita untuk<br />

melakukan pendekatan garis lurus. Pendekatan garis lurus untuk<br />

komponen kedua fungsi fasa ini kita lakukan dengan memperhatikan<br />

bahwa pada (ω/α)=1, yaitu pada frekuensi cutoff, nilai −tan −1 (ω/α)<br />

adalah −45 o . Pada ω=0.1ω C , nilai −tan −1 (ω/α) kecil dan dianggap 0 o ;<br />

pada ω=10ω C , nilai −tan −1 (ω/α) mendekati −90 o dan dianggap −90 o ;<br />

untuk ω>10ω C , nilai −tan −1 (ω/α) adalah −90 o . Jadi untuk daerah<br />

frekuensi 0.1ω C < ω < 10ω C perubahan fasa dapat dianggap linier −45 o<br />

per dekade, seperti terlihat pada Gb.6.2.<br />

Dengan pendekatan garis lurus seperti di atas, baik untuk fungsi gain<br />

maupun untuk fungsi fasa, maka tanggapan gain dan tanggapan fasa<br />

dapat digambarkan dengan nilai seperti tercantum dalam dua tabel di<br />

bawah ini. Perhatikanlah bahwa nilai komponen pertama konstan untuk<br />

seluruh frekuensi sedangkan komponen ke-dua mempunyai nilai hanya<br />

pada selang frekuensi tertentu.<br />

135


Gain<br />

Frekuensi<br />

ω C = α<br />

ω=1 1


contoh, pada Gb.6.3.a. gain pada frekuensi cutoff sama dengan gain<br />

maksimum dalam pass-band; seharusnya gain pada frekuensi cutoff<br />

adalah gain maksimum dalam pass-band dikurangi 3 dB.<br />

6.3.2. High-Pass Gain<br />

Fungsi alih rangkaian orde pertama dengan karakteristik high-pass gain<br />

ini berbentuk<br />

Ks<br />

Ks Ks<br />

T ( s)<br />

= sehingga T(<br />

jω)<br />

= =<br />

(6.19)<br />

s + α<br />

jω + α α<br />

( 1 + jω/<br />

α)<br />

Berbeda dengan fungsi alih low-pass gain, fungsi alih ini mempunyai<br />

zero pada s = 0. Fungsi gain dan fungsi fasa-nya adalah<br />

( K / )<br />

α ω<br />

o −1<br />

T ( jω)<br />

=<br />

dan ϕ(<br />

ω)<br />

= θK<br />

+ 90 − tan ( ω / α)<br />

(6.20)<br />

2<br />

1+<br />

( ω / α)<br />

( K / α)<br />

2<br />

⇒ T ( jω)<br />

= 20log + 20logω − 20log 1 + ( ω/<br />

α)<br />

(6.21)<br />

dB<br />

Dengan hanya menggunakan pendekatan garis lurus, nilai fungsi gain<br />

dan fungsi fasa adalah seperti dalam tabel berikut.<br />

Gain<br />

Frekuensi<br />

ω C = α<br />

ω=1 1


ϕ(ω)<br />

Frekuensi<br />

ω C = α<br />

ω=1 0,1α


T1<br />

( jω)<br />

=<br />

20 0.2<br />

=<br />

⇒ T1<br />

( jω)<br />

=<br />

jω + 100 1 + jω<br />

/100<br />

⇒ T1<br />

( jω)<br />

= 20log<br />

dB<br />

2<br />

( T ( jω)<br />

) = 20log(0.2) − 20log 1 + ( ω /100)<br />

1<br />

0.2<br />

2<br />

1 + ( ω/100)<br />

Frekuensi dan nilai tanggapan gain rangkaian pertama terlihat pada<br />

tabel berikut ini.<br />

Gain<br />

Frekuensi<br />

ω C = 100 rad/s<br />

ω=1 1


Gain [dB]<br />

40<br />

20<br />

0<br />

-20<br />

-40<br />

-60<br />

Gain<br />

ω C<br />

Komp-1<br />

Komp-2<br />

Gain [dB]<br />

40<br />

20<br />

Komp-2<br />

Gain<br />

0<br />

-20<br />

-40 Komp-1 Komp-3<br />

-60<br />

1<br />

10<br />

100<br />

1000<br />

ω<br />

(<strong>Rangkaian</strong><br />

[rad/s]<br />

1)<br />

10000<br />

1<br />

10<br />

100<br />

1000<br />

ω<br />

(<strong>Rangkaian</strong> [rad/s] 2)<br />

10000<br />

6.3.3. Band-Pass Gain<br />

<strong>Rangkaian</strong> dengan karakteristik band-pass gain dapat diperoleh dengan<br />

menghubungkan secara bertingkat dua rangkaian orde pertama dengan<br />

menjaga agar rangkaian yang di belakang (rangkaian kedua) tidak<br />

membebani rangkaian di depannya (rangkaian pertama). <strong>Rangkaian</strong><br />

pertama mempunyai karakteristik high-pass gain sedangkan rangkaian<br />

kedua mempunyai karakteristik low-pass gain. Hubungan kaskade<br />

demikian ini akan mempunyai fungsi alih sesuai kaidah rantai dan akan<br />

berbentuk<br />

K1s<br />

K2<br />

T = T1 × T2<br />

= ×<br />

s + α s + β<br />

(6.22)<br />

K1(<br />

jω)<br />

K 2 K1(<br />

jω)<br />

K 2<br />

T(<br />

jω)<br />

= × =<br />

×<br />

jω + α jω + β α 1+<br />

jω<br />

/ α β 1+<br />

jω<br />

/ β<br />

⇒ T ( jω)<br />

=<br />

1+<br />

⇒ T(<br />

jω)<br />

= 20 log<br />

dB<br />

{ K K / }<br />

1<br />

( ω / α) × 1+<br />

( ω / β) 2<br />

− 20 log<br />

2 2<br />

( ) ( )<br />

αβ ω<br />

( K K / αβ)<br />

1<br />

2<br />

+ 20 log ω<br />

2<br />

1+<br />

( ω / α)<br />

− 20 log<br />

2<br />

1+<br />

( ω / β)<br />

Dengan membuat β >> α maka akan diperoleh karakteristik band-pass<br />

gain dengan frekuensi cutoff ω C1 = α dan ω C2 = β. Sesungguhnya<br />

fungsi alih (6.22) berbentuk fungsi alih rangkaian orde kedua. Kita akan<br />

melihat karakteristik band-pass gain rangkaian orde ke-dua dalam bab<br />

berikut.<br />

140 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 7<br />

Tanggapan Frekuensi <strong>Rangkaian</strong> Orde<br />

Ke-Dua<br />

7.1. <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Dengan Pole Riil<br />

Pole dari fungsi tansfer rangkaian orde kedua bisa riil ataupun kompleks<br />

konjugat. Pembahasan berikut ini akan dikhususkan untuk fungsi alih<br />

dengan pole riil<br />

7.1.1. Band-Pass Gain<br />

Fungsi alih rangkaian orde kedua dengan satu zero dan dua pole riil<br />

dapat ditulis sebagai<br />

Ks<br />

T(<br />

s)<br />

=<br />

sehingga<br />

( s + α)(<br />

s + β)<br />

(7.1)<br />

K × jω<br />

( K / αβ)<br />

× jω<br />

T(<br />

jω)<br />

=<br />

=<br />

( jω + α)(<br />

jω + β)<br />

(1 + jω<br />

/ α)(1<br />

+ jω<br />

/ β)<br />

Fungsi gain adalah<br />

yang dalam satuan dB menjadi<br />

T(<br />

jω)<br />

= 20 log K<br />

dB<br />

( K / )<br />

αβ ω<br />

T ( jω)<br />

=<br />

(7.2)<br />

2<br />

2<br />

1 + ( ω / α)<br />

× 1 + ( ω / β)<br />

( / αβ)<br />

− 20 log<br />

+ 20 log ω − 20 log<br />

2<br />

1+<br />

( ω / β)<br />

2<br />

1+<br />

( ω / α)<br />

(7.3)<br />

Fungsi gain ini terdiri dari komponen-komponen yang bentuknya telah<br />

kita kenal pada pembahasan rangkaian orde pertama. Komponen pertama<br />

(suku pertama ruas kanan (7.3)) bernilai konstan. Komponen kedua<br />

berbanding lurus dengan logω dengan perubahan gain +20 dB per<br />

dekade; komponen ketiga pengurangan gain −20 dB per dekade;<br />

komponen ke-empat juga pengurangan gain −20 dB / dekade. Frekuensi<br />

cutoff ω C1 = α diberikan oleh komponen ke-tiga sedangkan komponen<br />

ke-empat memberikan frekuensi cutoff ω C2 = β.<br />

141


Nilai fungsi gain dengan pendekatan garis lurus untuk β > α adalah<br />

seperti dalam tabel di bawah ini. Mengenai fungsi fasa-nya akan kita<br />

lihat pada contoh-contoh.<br />

Gain<br />

Frekuensi<br />

ω C1 = α rad/s ω C2 = β rad/s<br />

ω=1 1


Gain<br />

Frekuensi<br />

ω C1 = 10 rad/s ω C2 = 10000 rad/s<br />

ω=1 1


ϕ(ω)<br />

Frekuensi<br />

ω C1 = 10 rad/s ω C2 = 10 4 rad/s<br />

ω=1 1


2<br />

10s<br />

T ( s)<br />

=<br />

( s + 40)( s + 200)<br />

Penyelesaian :<br />

Gain dari sistem ini adalah<br />

2<br />

10( jω)<br />

1<br />

T ( jω)<br />

=<br />

= ×<br />

( jω + 40)( jω + 200) 800<br />

2<br />

− ω<br />

( 1 + jω/<br />

40)( 1 + jω/<br />

200)<br />

T(<br />

jω)<br />

=<br />

T(<br />

jω)<br />

dB<br />

1<br />

800<br />

×<br />

1 + ( ω/<br />

40)<br />

( )<br />

= 20log 1/ 800 + 2 × 20logω − 20log<br />

− 20log<br />

2<br />

ω<br />

×<br />

2<br />

( ω/<br />

200)<br />

2<br />

1 + ( ω/<br />

200)<br />

+ 1<br />

2<br />

( ω/<br />

40)<br />

2<br />

+ 1<br />

Komponen pertama tanggapan gain adalah konstan 20log(1/800) =<br />

−58 dB. Komponen kedua berbanding lurus dengan log(ω) dengan<br />

kenaikan 2×20 dB per dekade. Pengurangan gain oleh komponen<br />

ketiga mulai pada ω C1 = 40 dengan −20 dB per dekade. Pengurangan<br />

gain oleh komponen ke-empat mulai pada ω C2 = 200 dengan −20 dB<br />

per dekade. Kurva tanggapan gain adalah sebagai berikut.<br />

Gain<br />

[dB]<br />

20<br />

0<br />

-20<br />

+20dB/dek<br />

+40dB/dek<br />

-40<br />

−58<br />

-60<br />

Fungsi fasa adalah :<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

ω [rad/s]<br />

ϕ(<br />

ω)<br />

= 0 + 2 × 90<br />

o<br />

− tan<br />

−1<br />

( ω/<br />

40) − tan<br />

−1<br />

( ω/<br />

200)<br />

Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0 o + 2× 90 o =180 o . Pada ω=(ω C1 /10)=4,<br />

komponen ke-tiga mulai memberikan perubahan fasa −45 o per<br />

145


dekade dan akan berlangsung sampai ω=10ω C1 =400. Pada ω =<br />

0.1ω C2 =20, komponen ke-empat mulai memberikan perubahan fasa<br />

−45 o per dekade dan akan berlangsung sampai ω=10ω C2 =2000.<br />

225<br />

ϕ [ o ]<br />

180<br />

135<br />

90<br />

45<br />

0<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

0,1ω C1 0,1ω C2 10ω C1 10ω C2 ω [rad/s]<br />

Pemahaman :<br />

Penggambaran tanggapan gain dan tanggapan fasa di sini tidak lagi<br />

melalui langkah antara yang berupa pembuatan tabel peran tiap<br />

komponen dalam berbagai daerah frekuensi. Kita dapat melakukan<br />

hal ini setelah kita memahami peran tiap-tiap komponen tersebut<br />

dalam membentuk tanggapan gain dan tanggapan fasa. Melalui<br />

latihan yang cukup, penggambaran tanggapan gain dan tanggapan<br />

fasa dapat dilakukan langsung dari pengamatan formulasi kedua<br />

macam tanggapan tersebut.<br />

Kita perhatikan penggambaran tanggapan fasa. Dalam contoh ini<br />

0,1ω C2 < 10ω C1 dan bahkan 0,1ω C2 < ω C1 . Oleh karena itu,<br />

penurunan fasa −45 o per dekade oleh pole pertama, yang akan<br />

berlangsung sampai ω=10ω C1 , telah ditambah penurunan oleh pole<br />

kedua pada ω=0,1ω C2 sebesar −45 o per dekade. Hal ini<br />

menyebabkan terjadinya penurunan fasa −2×45 o mulai dari<br />

ω=0,1ω C2 sampai dengan ω=10ω C1 karena dalam selang frekuensi<br />

tersebut dua pole berperan menurunkan fasa secara bersamaan. Pada<br />

ω=10ω C1 peran pole pertama berakhir dan mulai dari sini penurunan<br />

fasa hanya disebabkan oleh pole kedua, yaitu −45 o per dekade.<br />

146 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


7.1.3. Low-pass Gain<br />

Karakteristik low-pass gain dapat diperoleh dari rangkaian orde kedua<br />

yang fungsi alihnya tidak mengandung zero.<br />

COTOH-7.3: Gambarkan Bode plots pendekatan garis lurus rangkaian<br />

yang fungsi alihnya adalah :<br />

4<br />

5×<br />

10<br />

T ( s)<br />

=<br />

( s + 100)( s + 1000)<br />

Penyelesaian :<br />

4<br />

5 × 10<br />

0,5<br />

T(<br />

jω)<br />

=<br />

=<br />

( jω + 100)( jω + 1000) (1 + jω/100)(1<br />

+ jω<br />

/1000)<br />

T ( jω)<br />

=<br />

0,5<br />

2<br />

1 + ( ω/100)<br />

×<br />

2<br />

1 + ( ω /1000)<br />

2<br />

T ( jω)<br />

= 20log0,5 − 20log 1 + ( ω/100)<br />

− 20log<br />

dB<br />

−1<br />

−1<br />

ϕ(<br />

ω)<br />

= 0 − tan ( ω /100) − tan ( ω /1000)<br />

2<br />

1 + ( ω/1000)<br />

Komponen pertama tanggapan gain adalah 20log(0,8) ≈ −6 dB.<br />

Komponen kedua memberikan perubahan gain −20 dB per dekade<br />

mulai pada ω = ω C1 = 100. Komponen ke-tiga memberikan perubahan<br />

gain −20 dB per dekade mulai pada ω = ω C2 = 1000,<br />

sehingga mulai ω = 1000 perubahan gain adalah −40 dB per dekade.<br />

0<br />

Gain<br />

[dB]<br />

-20<br />

-40<br />

-60<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

ω [rad/s]<br />

Fungsi fasa adalah<br />

147


ϕ(<br />

ω)<br />

= 0 − tan<br />

−1<br />

( ω/100)<br />

− tan<br />

−1<br />

( ω/1000)<br />

Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0. Mulai pada ω = 10 , komponen kedua<br />

memberikan perubahan fasa −45 o per dekade sampai ω = 1000.<br />

Mulai pada ω = 100 , komponen ke-tiga memberikan perubahan fasa<br />

−45 o per dekade sampai ω = 10000. Jadi pada selang 100


T(<br />

jω)<br />

= 20log8 + 20log<br />

dB<br />

− 20log<br />

2<br />

1 + ( ω/<br />

20)<br />

2<br />

1 + ( ω/100)<br />

− 20log<br />

2<br />

1 + ( ω/1000)<br />

−1<br />

−1<br />

−1<br />

ϕ(<br />

ω)<br />

= 0 + tan ( ω/<br />

20) − tan ( ω/100)<br />

− tan ( ω/1000)<br />

Komponen pertama dari tanggapan gain adalah 20log8 = 18 dB.<br />

Komponen kedua memberikan perubahan gain +20 dB per dekade,<br />

mulai pada ω = 20. Komponen ke-tiga memberikan perubahan −20<br />

dB per dekade mulai pada ω = 100. Komponen ke-empat<br />

memberikan perubahan −20 dB per dekade mulai pada ω = 1000.<br />

40<br />

Gain<br />

[dB]<br />

30<br />

+20dB/dek<br />

−20dB/dek<br />

20<br />

18<br />

10<br />

0<br />

Fungsi fasa adalah:<br />

ϕ(<br />

ω)<br />

= 0 + tan<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

ω [rad/s]<br />

−1<br />

( ω/<br />

20) − tan<br />

−1<br />

( ω/100)<br />

− tan<br />

−1<br />

( ω/1000)<br />

Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0. Komponen kedua memberikan perubahan fasa<br />

+45 o per dekade mulai dari ω = 2 sampai ω = 200. Komponen ketiga<br />

memberikan perubahan fasa −45 o per dekade mulai dari ω = 10<br />

sampai ω = 1000. Komponen keempat memberi-kan perubahan fasa<br />

−45 o per dekade mulai dari ω = 100 sampai ω = 10000. Kurva<br />

tanggapan fasa adalah seperti di bawah ini.<br />

149


45<br />

ϕ [ o ]<br />

0<br />

-45<br />

-90<br />

Pemahaman :<br />

Zero tetap berperan sebagai peningkat gain dan fasa. Zero riil<br />

negatif meningkatkan gain dan fasa mulai pada frekuensi yang sama<br />

dengan nilai zero.<br />

7.3. Tinjauan Umum Bode Plot dari <strong>Rangkaian</strong> Yang Memiliki Pole<br />

dan Zero Riil<br />

Bode plots terutama bermanfaat jika pole dan zero bernilai riil, yaitu pole<br />

dan zero yang dalam diagram pole-zero di bidang s terletak di sumbu riil<br />

negatif. Dari contoh-contoh fungsi alih yang mengandung zero dan pole<br />

riil yang telah kita bahas di atas, kita dapat membuat suatu ringkasan<br />

mengenai kaitan antara pole dan zero yang dimiliki oleh suatu fungsi alih<br />

dengan bentuk kurva gain dan kurva fasa pada Bode plots dengan<br />

pendekatan garis lurus. Untuk itu kita lihat fungsi alih yang berbentuk<br />

Ks( s + α )<br />

T ( s)<br />

=<br />

1<br />

(7.4)<br />

( s + α2<br />

)( s + α3)<br />

yang akan memberikan<br />

-135<br />

1 10 100 1000 10000 100000<br />

ω [rad/s]<br />

Kα<br />

T ( jω)<br />

= 1<br />

α2α3<br />

jω( 1 + jω/<br />

α1)<br />

( 1 + jω/<br />

α )( 1 + jω<br />

/ α )<br />

2<br />

3<br />

(7.5)<br />

Dari (7.5) terlihat ada tiga macam faktor yang akan menentukan bentuk<br />

kurva gain maupun kurva fasa. Ke-tiga faktor tersebut adalah:<br />

150 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1. Faktor K<br />

1<br />

0 yang disebut faktor skala. Kontribusi faktor<br />

α2α3<br />

skala ini pada gain dan fasa berupa suatu nilai konstan, tidak<br />

tergantung pada frekuensi. Kontribusinya pada gain sebesar 20log<br />

|K 0 | akan bernilai positif jika |K 0 | > 1 dan bernilai negatif jika |K 0 | <<br />

1. Kontribunya pada sudut fasa adalah 0 o jika K 0 > 0 dan 180 o jika<br />

K 0 < 0.<br />

= Kα<br />

2. Faktor jω. Faktor ini berasal dari pole atau zero yang terletak di titik<br />

(0,0) dalam diagram pole-zero di bidang s. Kontribusinya pada gain<br />

adalah sebesar ± 20log(ω) dan kontribusinya untuk sudut fasa adalah<br />

± 90 o ; tanda plus untuk zero dan tanda minus untuk pole. Jika fungsi<br />

alih mengandung pole ataupun zero ganda (lebih dari satu) maka<br />

kontribusinya pada gain adalah sebesar ± 20nlog(ω) dan pada sudut<br />

fasa adalah ±n90 o dengan n adalah jumlah pole atau zero. Dalam<br />

pendekatan garis lurus, faktor ini memberikan perubahan gain<br />

sebesar ±20n dB per dekade mulai pada ω = 1; tanda plus untuk zero<br />

dan tanda minus untuk pole.<br />

3. Faktor 1 + jω/α. Faktor ini berasal dari pole ataupun zero yang<br />

terletak di sumbu riil negatif dalam diagram pole-zero di bidang s.<br />

Faktor ini berkontribusi pada gain sebesar<br />

⎛<br />

2<br />

± 20 log<br />

⎞<br />

⎜ 1+<br />

( ω / α)<br />

⎟ dan berkontribusi pada sudut fasa sebesar<br />

⎝<br />

⎠<br />

−<br />

± tan 1 ( ω/<br />

α)<br />

; tanda plus untuk zero dan tanda minus untuk pole.<br />

Dalam pendekatan garis lurus, faktor ini memberikan perubahan<br />

gain sebesar ±20dB per dekade mulai pada ω = α; untuk frekuensi di<br />

bawahnya kontribusinya nol. Perubahan fasa yang dikontribusikan<br />

adalah sebesar ±45 o per dekade dalam selang frekuensi 0,1α < ω <<br />

10α; di luar selang itu kontribusinya nol.<br />

Koreksi-koreksi untuk memperoleh nilai yang lebih tepat, terutama di<br />

sekitar titik belok, dapat kita lakukan dengan kembali pada formulasi<br />

kontribusi pole ataupun zero pada gain yaitu sebesar<br />

⎛<br />

2<br />

± 20 log<br />

⎞<br />

⎜ 1 + ( ω/<br />

α)<br />

⎟ . Nilai perubahan gain yang lebih tepat<br />

⎝<br />

⎠<br />

diperoleh dengan memasukkan nilai ω yang kita maksudkan pada<br />

formulasi tersebut sehingga kita akan memperoleh:<br />

151


• perubahan gain di ω = α adalahsebesar<br />

2<br />

± 20log<br />

⎛<br />

1 ( / )<br />

⎞<br />

⎜ + α α ⎟ ≈ 3 dB .<br />

⎝<br />

⎠<br />

• perubahan gain di ω = 2α adalah sebesar<br />

2<br />

± 20log<br />

⎛<br />

1 (2 / )<br />

⎞<br />

⎜ + α α ⎟ ≈ 7 dB .<br />

⎝<br />

⎠<br />

• perubahan gain di ω = 0.5α adalah sebesar<br />

2<br />

± 20log<br />

⎛<br />

1 (0.5 / )<br />

⎞<br />

⎜ + α α ⎟ ≈1<br />

dB .<br />

⎝<br />

⎠<br />

7.4. Tinjauan Kualitatif Tanggapan Frekuensi di Bidang s<br />

Pembahasan kuantitatif mengenai tanggapan frekuensi dari rangkaian<br />

dengan fungsi alih yang mengandung pole riil di atas, telah cukup lanjut.<br />

Berikut ini kita akan sedikit mundur dengan melakukan tinjauan secara<br />

kualitatif mengenai tanggapan frekuensi ini, untuk kemudian<br />

melanjutkan pembahasan tanggapan frekuensi rangkaian dari rangkaian<br />

dengan fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat.<br />

Tinjaulah sistem orde pertama dengan fungsi alih yang mengandung<br />

pole riil<br />

K<br />

T ( s)<br />

=<br />

s + α<br />

Diagram pole-zero dari fungsi alih ini adalah seperti terlihat pada<br />

Gb.7.5.a. Dari gambar ini kita dapatkan bahwa fungsi gain :<br />

K | K | | K |<br />

T ( jω)<br />

= = =<br />

(7.6)<br />

jω + α 2 2<br />

α + ω<br />

A(<br />

ω)<br />

dengan A(ω) adalah jarak antara pole dengan suatu nilai ω di sumbu<br />

tegak. Makin besar ω akan makin besar nilai A(ω) sehingga |T(jω)| akan<br />

semakin kecil.<br />

Jika kita gambarkan kurva |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita<br />

akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.5.b. Akan tetapi jika<br />

dalam penggambaran itu kita menggunakan skala logaritmis, baik untuk<br />

absis maupun ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat<br />

pada Gb.7.5.c. Inilah bentuk karakteristik low-pass gain dari rangkaian<br />

orde satu yang telah kita kenal.<br />

152 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


jω<br />

A(ω)<br />

ω<br />

(a)<br />

×<br />

α<br />

0<br />

σ<br />

|T(jω)|<br />

12<br />

low-pass gain|<br />

|T(jω)|<br />

10<br />

(b)<br />

0<br />

0 500 1000<br />

(c)<br />

0 500 ω 10 3 1<br />

100 ω 1000<br />

1 10 2 3<br />

Gb.7.5. Diagram pole-zero sistem orde pertama dan kurva |T(jω)|<br />

terhadap ω<br />

Kita lihat rangkaian orde pertama dengan fungsi alih yang mengandung<br />

zero di (0,0)<br />

Ks<br />

T ( s)<br />

=<br />

s + α<br />

Fungsi gain adalah<br />

Kjω<br />

| K | ω | K | ω<br />

T ( jω)<br />

= = =<br />

(7.7)<br />

jω + α 2 2<br />

α + ω<br />

A(<br />

ω)<br />

Jika kita plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita akan<br />

mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.a. Akan tetapi jika kita<br />

plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala logaritmis, baik untuk absis maupun<br />

ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.b.<br />

Inilah bentuk karakteristik high-pass gain dari rangkaian orde satu yang<br />

telah kita kenal.<br />

153


|T(jω)|<br />

1008 1020 1032 1044 1056<br />

108 120 132 144 156 168 180 192 204 216 228 240 252 264 276 288 300 312 324 336 348 360 372 384 396 408 420 432 444 456 468 480 492 504 516 528 540 552 564 576 588 600 612 624 636 648 660 672 684 696 708 720 732 744 756 768 780 792 804 816 828 840 852 864 876 888 900 912 924 936 948 960 972 984 996<br />

12 24 36 48 60 72 84 96<br />

0<br />

(a)<br />

ω 1000<br />

0 500 3<br />

Gb.7.6. Diagram pole-zero sistem orde pertama dan kurva |T(jω)|<br />

terhadap ω.<br />

Fungsi alih rangkaian orde kedua dengan fungsi transfer yang<br />

mengandung dua pole riil, berbentuk<br />

K<br />

T ( s)<br />

=<br />

( s + α ) ( s +<br />

1 α 2<br />

Diagram pole-zero dari fungsi alih ini adalah seperti terlihat pada<br />

Gb.7.6.a. Dari diagram ini terlihat bahwa fungsi gain dapat dituliskan<br />

sebagai<br />

| K |<br />

T(<br />

jω)<br />

=<br />

( jω + α ) ( jω + α<br />

| K |<br />

=<br />

A ( ω)<br />

× A<br />

1<br />

1<br />

2<br />

high-pass gain|<br />

|T(jω)|<br />

( ω)<br />

2<br />

=<br />

)<br />

ω<br />

2<br />

)<br />

+ α<br />

| K |<br />

2<br />

1<br />

ω<br />

2<br />

+ α<br />

2<br />

(7.8)<br />

dengan A 1 (ω)dan A 2 (ω) adalah jarak masing-masing pole ke suatu nilai<br />

ω. Dengan bertambahnya ω, A 1 (ω)dan A 2 (ω) bertambah secara<br />

bersamaan. Situasi ini mirip dengan apa yang dibahas di atas, yaitu<br />

bahwa |T(jω)| akan menurun dengan naiknya frekuensi; perbedaannya<br />

adalah bahwa penurunan pada rangkaian orde kedua ini ditentukan oleh<br />

dua faktor yang berasal dari dua pole. Dalam skala linier bentuk kurva<br />

|T(jω)| adalah seperti Gb.7.7.b. Dalam skala logaritmik kita memperoleh<br />

karakteristik low-pass gain seperti terlihat pada Gb.7.7.c. yang sudah<br />

kita kenal.<br />

1000<br />

100<br />

10<br />

ω<br />

(b) 1<br />

100 1000 10000<br />

1 10 2<br />

3 4<br />

154 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


|T(jω)|<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

Gb.7.7. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva<br />

|T(jω)| terhadap ω<br />

Jika fungsi alih mengandung satu zero di (0,0) kurva |T(jω)| dengan<br />

skala linier akan terlihat seperti Gb.7.8.a. dan jika dibuat dengan skala<br />

logaritmik akan seperti Gb.7.8.b. yang telah kita kenal sebagai<br />

karakteristik band-pass gain. Jika fungsi alih mengandung dua zero di<br />

(0,0) kita memperoleh kurva |T(jω)| dalam skala linier seperti pada<br />

Gb.7.9.a. dan jika digunakan skala logaritmik akan kita peroleh<br />

karakteristik high-pass gain seperti Gb.7.9.b.<br />

|T(jω)|<br />

A 2 (ω)<br />

A 1 (ω)<br />

(a)<br />

× ×<br />

α 2 α 1 0<br />

low-pass gain|<br />

|T(jω)|<br />

(b) 0<br />

(c) 1<br />

2000 6000<br />

8000<br />

0 4000 ω<br />

100 1000 10000<br />

1 10 2<br />

3 4<br />

96<br />

84<br />

72<br />

60<br />

48<br />

36<br />

24<br />

12<br />

0<br />

0 2000 4000 6000 8000<br />

(a)<br />

0 4000 ω 8000<br />

band-pass gain|<br />

|T(jω)|<br />

Gb.7.8. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva |T(jω)| terhadap<br />

ω<br />

10<br />

100<br />

10<br />

jω<br />

ω<br />

σ<br />

(b) 1<br />

100 1000 ω 10000<br />

1 10 2 3 4<br />

155


|T(jω)|<br />

1200000<br />

1000000<br />

800000<br />

600000<br />

400000<br />

200000<br />

(a)<br />

0 4000<br />

0<br />

0 2000 4000 6000 8000<br />

Gb.7.9. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva |T(jω)| terhadap<br />

ω<br />

Keadaan yang sangat berbeda terjadi pada rangkaian orde dua dengan<br />

fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat yang akan kita<br />

lihat berikut ini.<br />

7.5. <strong>Rangkaian</strong> Orde Kedua Yang Memiliki Pole Kompleks<br />

Konjugat<br />

<strong>Rangkaian</strong> orde ke-dua yang memiliki pole kompleks konjugat<br />

dinyatakan oleh fungsi alih yang berbentuk<br />

yang memberikan fungsi gain<br />

high-pass gain|<br />

|T(jω)|<br />

ω 8000<br />

1000000<br />

(b) 1<br />

1 10<br />

100 1000 10000<br />

ω<br />

K<br />

T ( s)<br />

=<br />

(7.9)<br />

( s + α + jβ)<br />

( s + α − jβ)<br />

T(<br />

jω)<br />

=<br />

=<br />

K<br />

( jω + α + jβ)<br />

( jω + α − jβ)<br />

K<br />

K<br />

=<br />

2 2<br />

2 2<br />

( ω + β)<br />

+ α × ( ω − β)<br />

+ α<br />

A1<br />

( ω)<br />

× A2<br />

( ω)<br />

Gb.7.10. memperlihatkan diagram pole-zero rangkaian orde kedua<br />

dengan fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat dalam<br />

tiga keadaan yaitu frekuensi ω 1 < ω 2 < ω 3 .<br />

156 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


jω<br />

jω<br />

jω<br />

×<br />

A 2 (ω)<br />

×<br />

A 2 (ω)<br />

ω 2<br />

A 2 (ω)<br />

×<br />

ω 3<br />

β<br />

ω 1<br />

α<br />

(a)<br />

×<br />

0<br />

A 1 (ω)<br />

σ<br />

(b)<br />

×<br />

0<br />

A 1 (ω)<br />

σ<br />

(c)<br />

×<br />

A 1 (ω)<br />

0<br />

σ<br />

Gb.7.10. Diagram pole-zero sistem orde kedua dengan pole kompleks<br />

konjugat.<br />

Dari Gb.7.10. terlihat bahwa peningkatan ω akan selalu diikuti oleh<br />

bertambahnya nilai A 1 (ω). Akan tetapi tidak demikian halnya dengan<br />

A 2 (ω). Pada awalnya peningkatan ω diikuti oleh turunnya nilai A 2 (ω)<br />

sampai mencapai nilai minimum yaitu pada saat ω = ω 2 = β seperti pada<br />

Gb.7.10.b. Setelah itu A 2 (ω) meningkat dengan meningkatnya ω.<br />

Hasilnya adalah fungsi gain |T(jω)| meningkat pada awal peningkatan ω<br />

sampai mencapai nilai maksimum dan kemudian menurun lagi. Puncak<br />

tanggapan gain disebut resonansi.<br />

Untuk mempelajari tanggapan frekuensi di sekitar frekuensi resonansi,<br />

kita tuliskan fungsi alih rangkaian orde kedua dalam bentuk<br />

Ks<br />

T( s)<br />

= (7.10)<br />

s 2<br />

+ bs + c<br />

yang dapat kita tuliskan<br />

Ks<br />

T(<br />

s)<br />

=<br />

2<br />

2<br />

s + 2ζω0s<br />

+ ω0<br />

dengan<br />

(7.11)<br />

2<br />

b<br />

ω0<br />

= c dan ζ =<br />

2c<br />

Bentuk penulisan penyebut seperti pada (7.11) ini disebut bentuk<br />

normal. ζ disebut rasio redaman dan ω 0 adalah frekuensi alami tanpa<br />

redaman atau dengan singkat disebut frekuensi alami. Frekuensi alami<br />

adalah frekuensi di mana rasio redaman ζ = 0.<br />

Fungsi alih (7.11) dapat kita tuliskan<br />

157


T(<br />

s)<br />

=<br />

s<br />

2<br />

+ 2ζω<br />

K<br />

= ×<br />

2<br />

ω0<br />

dan dari sini kita peroleh<br />

K<br />

T(<br />

jω)<br />

= ×<br />

2<br />

ω − ω/<br />

ω<br />

0<br />

K<br />

⇒ T(<br />

jω)<br />

= ×<br />

2<br />

ω0<br />

o<br />

⇒ ϕ(<br />

ω)<br />

= θK<br />

+ 90 −<br />

Ks<br />

0<br />

s + ω<br />

2<br />

( s / ω ) + ( 2ζ<br />

/ ω ) s + 1<br />

0<br />

2<br />

0<br />

2<br />

( ) + j( 2ζω/<br />

ω )<br />

0<br />

jω<br />

s<br />

ω<br />

2 2<br />

( 1 − ( ω/<br />

ω0<br />

) ) + ( 2ζω/<br />

ω0<br />

)<br />

−1<br />

( 2ζω/<br />

ω0<br />

)<br />

tan<br />

1 − ( ω/<br />

ω ) 2<br />

Fungsi gain dalam dB adalah<br />

K<br />

T(<br />

jω)<br />

= 20 log + 20 log ω<br />

dB<br />

2<br />

ω0<br />

− 20 log<br />

0<br />

0<br />

0<br />

+ 1<br />

2 2<br />

( 1−<br />

( ω / ω ) ) + ( 2ζω<br />

/ ω ) 2<br />

2<br />

(7.12)<br />

(7.13)<br />

(7.14)<br />

0<br />

0<br />

Rasio redaman akan mempengaruhi perubahan nilai gain oleh pole<br />

seperti ditunjukkan oleh komponen ketiga dari fungsi gain ini.<br />

Untuk frekuensi rendah komponen ketiga ini mendekati nilai<br />

2 2<br />

2<br />

( 1 − ( ω/<br />

ω ) ) + ( 2ζω/<br />

ω ) ≈ −20log<br />

1 + 0 0<br />

− 20log<br />

0 0<br />

= (7.15)<br />

Untuk frekuensi tinggi komponen ketiga mendekati<br />

− 20log<br />

2 2<br />

( 1 − ( ω/<br />

ω ) ) + ( 2ζω/<br />

ω )<br />

0<br />

2<br />

0<br />

2 2<br />

2<br />

( ω/<br />

ω ) + ( 2ζ) ≈ −20log(<br />

ω/<br />

ω )<br />

(7.16)<br />

≈ −20log(<br />

ω/<br />

ω0)<br />

0<br />

0<br />

Pendekatan garis lurus untuk menggambarkan tanggapan gain<br />

mengambil garis horizontal 0 dB untuk frekuensi rendah dan garis lurus<br />

−20log(ω/ω 0 ) 2 untuk frekuensi tinggi yang memberikan kemiringan −40<br />

dB per dekade. Kedua garis ini berpotongan di ω = ω 0 yang merupakan<br />

titik beloknya. Gb.7.11. memperlihatkan pengaruh nilai rasio redaman<br />

pada tanggapan gain ini di sekitar titik belok.<br />

158 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


20<br />

dB<br />

0<br />

ζ=0,1<br />

ζ=0,5<br />

ζ=0,05<br />

ζ=1<br />

-20<br />

pendekatan<br />

linier<br />

ω 0<br />

-40<br />

100 1000 ω[rad/s] 10000<br />

Gb.7.11. Pengaruh rasio redamaan pada perubahan gain oleh pole.<br />

Fungsi fasa adalah<br />

( 2ζω/<br />

ω0<br />

)<br />

− ( ω/<br />

ω ) 2<br />

o −1<br />

ϕ(<br />

ω)<br />

= θ + 90 − tan<br />

(7.17)<br />

K<br />

1 0<br />

Untuk frekuensi rendah pengurangan fasa oleh pole mendekati nilai<br />

−1<br />

( 2ζω/<br />

ω ) ( 2 / )<br />

tan 0 −1<br />

ζω ω<br />

−<br />

≈ − tan<br />

0 ≈ 0 (7.18)<br />

2<br />

1−<br />

( ω/<br />

ω )<br />

1<br />

0<br />

dan untuk frekuensi tinggi mendekati<br />

− 1 ( 2ζω/<br />

ω0<br />

) −1<br />

( 2ζω/<br />

ω0<br />

) o<br />

− tan<br />

≈ −tan<br />

≈ −180<br />

(7.19)<br />

2<br />

2<br />

1−<br />

( ω/<br />

ω0<br />

) − ( ω/<br />

ω0<br />

)<br />

Gb.7.12. memperlihatkan pengaruh rasio redaman terhadap perubahan<br />

fasa yang disebabkan oleh pole.<br />

ϕ(ω) [ o ]<br />

0<br />

-45<br />

-90<br />

-135<br />

-180<br />

ζ=0,1<br />

ζ=0,5<br />

ζ=1<br />

pendekatan<br />

linier<br />

ω 0<br />

ζ=0,05<br />

10 100 1000 10000 100000<br />

ω[rad/s]<br />

Gb.7.12. Pengaruh rasio redaman pada perubahan fasa oleh pole.<br />

159


COTOH-7.5: Gambarkan tanggapan gain dan tanggapan fasa untuk<br />

fungsi alih berikut ini dan selidiki pengaruh rasio redaman terhadap<br />

tanggapan gain.<br />

80000s<br />

T ( s)<br />

=<br />

2<br />

4<br />

s + 100s<br />

+ 4 × 10<br />

Penyelesaian :<br />

Kita tuliskan fungsi alih dengan penyebutnya dalam bentuk normal<br />

80000s<br />

menjadi T ( s)<br />

=<br />

. Dari sini kita peroleh<br />

2<br />

2<br />

s + 2×<br />

0,25×<br />

200s<br />

+ 200<br />

ω 0 = 200, dan ζ = 0,25.<br />

2s<br />

T ( s)<br />

=<br />

2<br />

s / 200 + (2ζ<br />

/ 200) s + 1<br />

( )<br />

j2ω<br />

⇒ T ( jω)<br />

=<br />

2<br />

− ( ω / 200) + j2ζω<br />

/ 200 + 1<br />

⇒ T ( jω)<br />

=<br />

2ω<br />

2 2<br />

( 1−<br />

( ω / 200) ) + (2ζω<br />

/ 200)<br />

2 2<br />

( 1 − ( ω/<br />

200) ) + (2ζω/<br />

2<br />

T ( jω)<br />

= 20log2 + 20logω − 20log<br />

200)<br />

dB<br />

Komponen pertama konstan 20log2 = −6 dB. Komponen kedua<br />

memberikan penambahan gain 20 dB per dekade, mulai frekuensi<br />

rendah. Pengurangan gain oleh komponen ketiga −40 dB per<br />

dekade mulai pada ω = ω 0 .<br />

o o o<br />

Fungsi fasa adalah : ϕ ( ω)<br />

= 0 + 90 − 90 / dek | 20


Soal-Soal<br />

1. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan<br />

frekuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

9kΩ<br />

0,5H<br />

1kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

2. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan<br />

frekuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10kΩ<br />

1µF<br />

10kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

3. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan<br />

frekuensi cutoff dari rangkaian-rangkaian di bawah ini.<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

1H<br />

1kΩ<br />

0,5µF<br />

+<br />

v o<br />

1kΩ<br />

−<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10kΩ<br />

+<br />

−<br />

10kΩ<br />

1µF<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

100kΩ<br />

10kΩ<br />

1µF<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

−<br />

+<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

4. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan<br />

frekuensi cutoff dari hubungan bertingkat dengan tahap pertama<br />

rangkaian ke-dua dan tahap kedua rangkaian pertama.<br />

161


5. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan<br />

frekuensi cutoff dari hubungan bertingkat dengan tahap pertama<br />

rangkaian ke-tiga dan tahap ke-dua rangkaian pertama.<br />

6. Tentukanlah tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian jika diketahui<br />

tanggapannya terhadap sinyal anak tangga adalah sebagai seperti di<br />

bawah ini. Tentukan gain tertinggi dan frekuensi cutoff.<br />

−5000<br />

t<br />

a). g(<br />

t)<br />

= −e<br />

u(<br />

t);<br />

b). g(<br />

t)<br />

=<br />

7. Ulangi soal 6 jika diketahui :<br />

a). g(<br />

t)<br />

=<br />

b). g(<br />

t)<br />

=<br />

−5000<br />

t<br />

( 1−<br />

5e<br />

) u(<br />

t)<br />

−1000t<br />

−2000t<br />

( e − e ) u(<br />

t)<br />

−1000t<br />

( e sin2000t<br />

) u(<br />

t)<br />

8. Tentukanlah tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian jika diketahui<br />

tanggapannya terhadap sinyal impuls adalah seperti di bawah ini.<br />

Tentukan gain tertinggi dan frekuensi cutoff.<br />

−1000<br />

t<br />

a). h(<br />

t)<br />

= −1000<br />

e u(<br />

t)<br />

−1000<br />

t<br />

b). h(<br />

t)<br />

= δ(<br />

t)<br />

− 2000 e u(<br />

t)<br />

9. Gambarkan Bode plot (pendekatan garis lurus) jika diketahui fungsi<br />

alihnya<br />

(5s<br />

+ 1)(0.005s<br />

+ 1)<br />

T ( s)<br />

= 10<br />

(0.05s<br />

+ 1)(0.5s<br />

+ 1)<br />

10. Gambarkan Bode plots (pendekatan garis lurus) jika diketahui fungsi<br />

alihnya<br />

s(0.02s<br />

+ 1)<br />

T ( s)<br />

= 50<br />

(0.001s<br />

+ 1)(0.4s<br />

+ 1)<br />

162 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 8<br />

<strong>Analisis</strong> Pada Suatu Sistem<br />

Pengenalan pada sistem ini bertujuan agar kita<br />

• memahami sinyal dalam pengertian yang lebih luas;<br />

• memahami pengertian tentang sistem;<br />

• mampu membangun diagram blok suatu sistem;<br />

• mampu mereduksi diagram blok suatu sistem.<br />

8.1. Sinyal<br />

Di awal buku ini kita telah mempelajari bentuk gelombang sinyal yang<br />

merupakan suatu persamaan yang menyatakan sinyal sebagai fungsi dari<br />

waktu. Dalam analisis rangkaian listrik, sinyal-sinyal yang kita tangani<br />

biasanya berupa tegangan ataupun arus listrik. Pengertian ini dapat kita<br />

perluas menjadi suatu pengertian yang tidak hanya mencakup sinyal<br />

listrik saja tetapi juga mencakup sinyal-sinyal non-listrik yang juga<br />

merupakan fungsi waktu. Dengan perluasan pengertian ini maka kita<br />

mempunyai definisi untuk sinyal sebagai,<br />

Sinyal adalah suatu fungsi yang menyatakan variasi terhadap<br />

waktu dari suatu peubah fisik.<br />

Fungsi yang kita tetapkan untuk menyatakan suatu sinyal kita sebut<br />

representasi dari sinyal atau model sinyal dan proses penentuan<br />

representasi sinyal itu kita sebut pemodelan sinyal. Suatu sinyal yang<br />

tergantung dari peubah riil t dan yang memodelkan peubah fisik yang<br />

berevolusi dalam waktu nyata disebut sinyal waktu kontinyu. Sinyal<br />

waktu kontinyu ditulis sebagai suatu fungsi dengan peubah riil t seperti<br />

misalnya x(t). Sebagaimana telah disebutkan di awal buku ini, sinyal jenis<br />

inilah yang sedang kita pelajari.<br />

Untuk memberi contoh dari sinyal non-listrik, kita bayangkan suatu<br />

benda yang mendapat gaya. Benda ini akan bergerak sesuai dengan arah<br />

gaya., posisinya akan berubah dari waktu ke waktu. Dengan mengambil<br />

suatu kooordinat referensi, perubahan posisi benda akan merupakan<br />

fungsi waktu dan akan menjadi salah satu peubah fisik dari benda<br />

tersebut dan merupakan suatu sinyal. Selain perubahan posisi, benda juga<br />

163


mempunyai kecepatan yang juga merupakan fungsi dari waktu;<br />

kecepatan juga merupakan suatu sinyal.<br />

Jika posisi benda dalam contoh di atas merupakan suatu sinyal, apakah ia<br />

dapat dijadikan suatu masukan (input) pada sebuah “rangkaian” ?<br />

Bayangkanlah benda yang bergerak itu adalah sebuah pesawat terbang.<br />

Kita ingin mengamatinya dengan menggunakan sebuah teropong, dan<br />

untuk itu teropong kita arahkan pada pesawat. Setiap saat pesawat<br />

berubah posisi, kedudukan teropong kita sesuaikan sedemikian rupa<br />

sehingga bayangan pesawat selalu terlihat oleh kita melalui teropong.<br />

Kita katakan bahwa posisi pesawat merupakan masukan pada kita untuk<br />

mengubah arah teropong; dalam hal ini kita dan teropong menjadi<br />

sebuah “rangkaian”. Apakah dari “rangkaian” ini ada suatu keluaran<br />

(output)? Keluaran dari “rangkaian” ini adalah berupa perubahan arah<br />

teropong. Jelaslah bahwa ada hubungan tertentu antara arah teropong<br />

sebagai keluaran dengan posisi pesawat sebagai masukan, dan hubungan<br />

keluaran-masukan demikian ini sudah biasa kita lihat pada rangkaian<br />

listrik. Kalau kita yang meneropong pesawat tersebut digantikan oleh<br />

sebuah mesin penggerak otomatis dan teropong diganti dengan sebuah<br />

meriam, maka jadilah sebuah “rangkaian” mesin penembak pesawat.<br />

Mesin penembak ini dapat kita sebut sebagai suatu perangkat yang<br />

mampu menetapkan arah meriam jika mendapatkan masukan mengenai<br />

posisi pesawat (istilah “perangkat” di sini kita beri pengertian sebagai<br />

gabungan dari banyak piranti untuk menjalankan fungsi tertentu).<br />

Dengan kata lain antara sinyal keluaran dengan sinyal masukan terdapat<br />

hubungan yang sepenuhnya ditentukan oleh perilaku perangkat; hal ini<br />

berarti bahwa perangkat “memiliki aturan” yang menetapkan bagaimana<br />

bentuk keluaran untuk sesuatu masukan yang ia terima.<br />

8.2. Sistem<br />

Dengan contoh di atas, kita sampai pada pengertian mengenai sistem<br />

yaitu :<br />

atau<br />

sistem merupakan aturan yang menetapkan sinyal keluaran<br />

dari adanya sinyal masukan.<br />

sistem membangkitkan sinyal keluaran tertentu dari adanya<br />

sinyal masukan tertentu.<br />

Jika kita ingat mengenai pengertian elemen sebagai model piranti dalam<br />

rangkaian listrik, maka sistem dapat dipandang sebagai model dari<br />

164 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


perangkat. Dengan demikian rangkaian-rangkaian listrik yang sudah<br />

pernah kita pelajari, yang juga menetapkan hubungan antara keluaran dan<br />

masukan, dapat kita pandang sebagai suatu sistem. Kalau rangkaian<br />

tersebut merupakan bagian lain dari rangkaian (dalam hubungan kaskade<br />

misalnya) kita dapat memandangnya sebagai sub-sistem. Hubungan<br />

keluaran-masukan dari suatu sistem dapat kita nyatakan sebagai<br />

[ x(<br />

)]<br />

y ( t)<br />

= H t<br />

(8.1)<br />

dengan y(t) sinyal keluaran dan x(t) sinyal masukan. Hubungan ini dapat<br />

kita gambarkan dengan diagram berikut.<br />

sinyal<br />

masukan<br />

x(t)<br />

H<br />

y(t)<br />

sinyal<br />

keluaran<br />

Gb.8.1. Diagram suatu sistem.<br />

Perhatikanlah bahwa sistem didefinisikan menurut sinyal keluaran dan<br />

masukannya. Jadi kita memandang sistem dari sudut pandang sinyal<br />

masukan dan keluaran. Selain dari pada itu, Gb.8.1. mempelihatkan<br />

bahwa arah propagasi sinyal adalah sesuai dengan arah anak panah. Jadi<br />

sinyal berasal dari masukan menuju ke keluaran. Penggambaran ini<br />

sesuai dengan definisi kita yaitu bahwa suatu sistem membangkitkan<br />

sinyal keluaran dari sinyal masukan.<br />

Suatu sistem dapat mempunyai satu masukan atau lebih; demikian juga<br />

keluarannya bisa hanya satu atau lebih. Sistem dengan satu masukan dan<br />

satu keluaran disebut single-input-single-output (SISO) system atau kita<br />

terjemahkan dengan sistem masukan-tunggal-keluaran-tunggal (MTKT).<br />

Jika masukan dan keluarannya lebih dari satu disebut multi-input-multioutput<br />

(MIMO) system atau kita terjemahkan sistem masukan-gandakeluaran-ganda<br />

(MGKG).<br />

8.3. Model Sistem<br />

Pernyataan matematis secara eksplisit dari suatu sistem seperti pada (8.1)<br />

disebut representasi sistem atau model sistem. Proses untuk memperoleh<br />

model sistem kita sebut pemodelan sistem. Ada dua cara yang dapat<br />

ditempuh untuk membangun model sistem. Cara pertama adalah<br />

menurunkan langsung dari hukum-hukum fisika dan cara kedua adalah<br />

melalui observasi empiris. Cara pertama dapat digunakan apabila prosesproses<br />

fisiknya terdefinisi dengan jelas dan difahami. Model sistem yang<br />

165


diturunkan haruslah cukup sederhana untuk keperluan analisis dan<br />

simulasi.<br />

Cara kedua digunakan untuk sistem yang sangat kompleks dan sangat<br />

sulit untuk dianalisis langsung, dan perilaku dinamiknya tidak difahami<br />

secara baik. Untuk melakukan observasi empiris diperlukan sinyal<br />

masukan yang harus dipilih secara cermat, dan sinyal keluarannya<br />

diamati. Model sistem diperoleh dengan melakukan perhitungan balik<br />

dari kedua sinyal tersebut. Pembangunan model sistem melalui cara<br />

observasi sinyal masukan dan keluaran ini disebut identifikasi sistem.<br />

Kita telah melihat bahwa ada empat macam cara untuk menyatakan<br />

hubungan antara sinyal keluaran dan sinyal masukan, yaitu persamaan<br />

diferensial, transformasi Laplace, konvolusi, dan transformasi Fourier.<br />

Sejalan dengan itu, kita mengenal empat macam representasi sistem atau<br />

model sistem sebagai berikut.<br />

1. Persamaan Diferensial. Bentuk ini kita kenal misalnya sistem orde<br />

kedua<br />

2<br />

d y(<br />

t)<br />

dy(<br />

t)<br />

+ a + by(<br />

t)<br />

= f ( t)<br />

2<br />

dt dt<br />

Bentuk umum dari model ini dinyatakan dalam persamaan diferensial<br />

:<br />

( n)<br />

( n−1)<br />

y ( t)<br />

+ an−1y<br />

( t)<br />

L+<br />

a1<br />

y&<br />

( t)<br />

+ a0<br />

y(<br />

t)<br />

=<br />

( m)<br />

( m−1)<br />

bm<br />

x ( t)<br />

+ bm<br />

−1x<br />

( t)<br />

+ L+<br />

b0<br />

x(<br />

t)<br />

( n−1)<br />

( n−2)<br />

y (0) = yn−1<br />

, y (0) = yn−2<br />

, L<br />

y&<br />

(0) = y1,<br />

y(0)<br />

= y0.<br />

,<br />

(8.2)<br />

Dalam (8.2) kita menganggap bahwa koefisien a k dan b k adalah<br />

bilangan riil (konstan tidak tergantung waktu). Kita juga menganggap<br />

m ≤ n. Masukan sistem adalah x(t) dan keluarannya adalah y(t). Orde<br />

dari persamaan diferensial ini adalah n.<br />

2. Fungsi Alih Laplace<br />

m m−1<br />

Y ( s)<br />

bm<br />

s + bm<br />

1s<br />

+ + b<br />

=<br />

− L 0<br />

X ( s)<br />

n n−1<br />

s + an−1s<br />

+ L+<br />

a1s<br />

+ a0<br />

= T ( s)<br />

= H ( s)<br />

(8.3)<br />

166 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Di sini sinyal keluaran dan masukan dinyatakan di kawasan s, yaitu<br />

Y(s) dan X(s). T(s) adalah fungsi alih Laplace, yang untuk selanjutnya<br />

akan kita gunakan sebagai representasi sistem di bab ini dan kita<br />

tuliskan sebagai H(s).<br />

3. Integral Konvolusi<br />

−1<br />

dengan h(<br />

t)<br />

{ H(<br />

s)<br />

}<br />

4. Fungsi Alih Fourier<br />

y ( t)<br />

= ∫ ∞ −<br />

h(<br />

t − λ)<br />

x(<br />

λ)<br />

dλ<br />

(8.4)<br />

0<br />

= L .<br />

dengan H ( ) = F{ h(<br />

t)<br />

}<br />

Y ( ω)<br />

= H ( ω)<br />

X ( ω)<br />

(8.5)<br />

ω adalah fungsi alih Fourier.<br />

Untuk selanjutanya, kita akan menggunakan cara representasi sistem<br />

yang ke-dua, yaitu menggunakan fungsi alih Laplace.<br />

8.4. Diagram Blok<br />

8.4.1. Penggambaran Sistem Dengan Diagram Blok<br />

Diagram blok adalah representasi dari fungsi alih dengan menggunakan<br />

gambar. Diagram blok sangat bermanfaat untuk menggambarkan<br />

struktur sistem, terutama jika sistem tersusun dari banyak sub-sistem<br />

(penjelasan pengertian sub-sistem akan diberikan kemudian).<br />

Diagram ini juga bermanfaat untuk melakukan analisis sistem. Di subbab<br />

ini kita mengambil model sistem dengan transformasi Laplace (di<br />

kawasan s). Hubungan masukan- keluaran sistem akan berbentuk :<br />

Y ( s)<br />

= H ( s)<br />

atau Y ( s)<br />

= H ( s)<br />

X ( s)<br />

(8.6)<br />

X ( s)<br />

Diagram blok dari sistem<br />

ini adalah seperti terlihat<br />

pada Gb.8.2. Diagram blok<br />

X(s) H(s) Y(s)<br />

seperti ini telah kita kenal<br />

dalam analisis rangkaian<br />

Gb.8.2. Diagram blok.<br />

listrik. Hanya di sini kita mempunyai pengertian H(s) sebagai<br />

representasi dari sistem. Diagram blok ini ekivalen dengan persamaan<br />

aljabar (8.6). Jadi susunan diagram blok merupakan pernyataan operasi-<br />

167


operasi matematis. Hal ini berbeda dengan Gb.8.1. yang hanya<br />

merupakan diagram untuk memperjelas definisi tentang sistem.<br />

Suatu sistem yang kompleks tersusun dari sistem-sistem yang lebih<br />

sederhana. Diagram blok dapat kita gunakan untuk menyatakan<br />

hubungan dari sistem-sistem yang lebih sederhana tersebut untuk<br />

membentuk sistem yang kompleks. Diagram blok akan mempelihatkan<br />

struktur dari sistem yang kompleks yaitu interkoneksi dari komponenkomponen<br />

sistem. Lebih dari itu, diagram blok juga dapat dimanfaatkan<br />

sebagai alat untuk melakukan perhitungan-perhitungan; fungsi alih<br />

sistem diturunkan dari diagram blok yang tersusun dari banyak<br />

komponen tersebut.<br />

8.4.2. Hubungan-Hubungan Sistem<br />

Berikut ini kita akan melihat hubungan-hubungan sederhana dari sistem<br />

yang akan menjadi dasar bagi kita untuk memandang sistem yang lebih<br />

kompleks. Kita akan meninjau dua sistem yaitu H 1 (s) dan H 2 (s). Untuk<br />

menghubungkan dua sistem, atau dua blok, harus ada titik-titik hubung.<br />

Titik Hubung. Ada dua macam titik hubung yang perlu kita perhatikan<br />

yaitu titik pencabangan (pickoff point) dan titik penjumlahan. Titik<br />

pencabangan adalah titik tempat terjadinya duplikasi sinyal; sinyal-sinyal<br />

yang meninggalkan titik pencabangan sama dengan sinyal yang<br />

memasuki titik pencabangan. Hal ini digambarkan pada Gb.8.3.a. Pada<br />

titik penjumlahan, beberapa sinyal dijumlahkan. Sinyal yang keluar dari<br />

titik penjumlahan adalah jumlah dari sinyal yang masuk ke titik<br />

penjumlahan. Jika sinyal yang masuk bertanda “+” maka ia dijumlahkan<br />

dan jika bertanda “−” ia dikurangkan. Untuk titik penjumlahan ini ada<br />

konvensi, yaitu bahwa hanya ada satu sinyal saja yang meninggalkan<br />

titik penjumlahan. Hal ini digambarkan pada Gb.8.3.b.<br />

X(s)<br />

titik pencabangan<br />

a). titik pencabangan<br />

X(s)<br />

X(s)<br />

X 1 (s)<br />

X 2 (s)<br />

X 3 (s)<br />

+<br />

−<br />

Gb.8.3. Titik-titik hubung.<br />

b). titik penjumlahan<br />

X 1 (s)−X 2 (s)+ X 3 (s)<br />

Hubungan Kaskade atau Hubungan Seri. Hubungan seri antara dua<br />

sistem terjadi jika keluaran dari sistem yang satu merupakan masukan<br />

+<br />

168 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


pada sistem berikutnya seperti terlihat pada Gb.8.4. Fungsi alih dari<br />

hubungan kaskade, yang merupakan fungsi alih total, adalah hasil kali<br />

dari fungsi alih sistem yang menyusunnya. Jadi hubungan kaskade sistem<br />

H 1 (s) dan H 2 (s) dapat digantikan oleh satu sistem H 1 (s)H 2 (s). Hal ini<br />

sesuai dengan kaidah rantai yang telah kita pelajari dalam analisis<br />

rangkaian di kawasan s.<br />

X(s)<br />

H 1 (s)<br />

H 2 (s)<br />

Y(s)<br />

X(s)<br />

H 1 (s)H 2 (s)<br />

Y(s)<br />

Gb.8.4. Hubungan seri<br />

Hubungan Paralel. Hubungan paralel antara dua sistem terjadi jika<br />

kedua sistem mendapat masukan yang sama sedangkan keluarannya<br />

merupakan jumlah dari keluaran kedua sistem tersebut, seperti terlihat<br />

pada Gb.8.4.b. Jadi hubungan paralel antara dua sistem H 1 (s) dan H 2 (s)<br />

dapat digantikan oleh satu sistem dengan fungsi alih H 1 (s)+H 2 (s).<br />

X(s)<br />

H 1 (s)<br />

H 2 (s)<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

X(s)<br />

H 1 (s)+H 2 (s)<br />

Y(s)<br />

Gb. 8.5. Hubungan paralel.<br />

Hubungan Umpan Balik. Pada hubungan umpan balik, keluaran dari<br />

sistem pertama menjadi masukan pada sistem kedua dan keluaran sistem<br />

kedua menjadi pengurang pada sinyal dari luar R(s); sinyal hasil<br />

pengurangan ini menjadi masukan pada sistem pertama. Hubungan ini<br />

diperlihatkan pada Gb.8.6.<br />

R(s)<br />

+<br />

X 1 (s)<br />

−<br />

Y 2 (s)<br />

H 1 (s)<br />

H 2 (s)<br />

X 2 (s)<br />

R(s)<br />

Y(s)<br />

H1(<br />

s)<br />

1+<br />

H ( s)<br />

H<br />

1<br />

2<br />

( s)<br />

Y(s)<br />

Gb.8.6. Hubungan umpan balik .<br />

169


Dari diagram blok pada Gb.8.6. diperoleh persamaan berikut.<br />

Y ( s)<br />

= H1(<br />

s)<br />

X1(<br />

s)<br />

= H1(<br />

s)<br />

= H1(<br />

s)<br />

R(<br />

s)<br />

− H1(<br />

s)<br />

Y2<br />

( s)<br />

= H1(<br />

s)<br />

R(<br />

s)<br />

− H1(<br />

s)<br />

2<br />

[ H ( s)<br />

Y ( s)<br />

]<br />

⇒ Y ( s)<br />

+ H1(<br />

s)<br />

2<br />

Y ( s)<br />

H1(<br />

s)<br />

⇒ =<br />

R(<br />

s)<br />

1 + H1(<br />

s)<br />

H 2 ( s)<br />

[ R(<br />

s)<br />

− Y ( s)<br />

]<br />

2<br />

[ H ( s)<br />

Y ( s)<br />

]<br />

= H1(<br />

s)<br />

R(<br />

s)<br />

Dengan hubungan umpan balik seperti pada Gb.8.6. fungsi alih sistem<br />

keseluruhan menjadi<br />

H1(<br />

s)<br />

1+<br />

H1(<br />

s)<br />

H 2 ( s)<br />

Fungsi alih H 1 (s) adalah fungsi alih dari suatu sistem yang disebut sistem<br />

H1(<br />

s)<br />

loop terbuka sedangkan<br />

adalah fungsi alih dari sistem<br />

1+<br />

H1(<br />

s)<br />

H 2 ( s)<br />

yang disebut sistem loop tertutup. Jika pada titik penjumlahan terdapat<br />

tanda negatif pada jalur umpan balik maka sistem ini disebut sistem<br />

dengan umpan balik negatif. Jika fungsi alih H 2 (s) = − 1 maka sistem<br />

menjadi sistem dengan umpan balik negatif satu satuan.<br />

Sub-Sistem. Jika kita memisahkan salah satu bagian dari diagram blok<br />

suatu sistem yang tersusun dari banyak bagian dan bagian yang kita<br />

pisahkan ini merupakan suatu sistem juga maka bagian ini kita sebut subsistem.<br />

H 2 (s) dalam contoh hubungan paralel di atas merupakan salah<br />

satu sub-sistem.<br />

8.5. Pembentukan Diagram Blok<br />

Berikut ini kita akan melihat contoh penggambaran diagram blok dan<br />

penyederhanaan diagram blok. Sebagaimana telah disebutkan, walaupun<br />

kita telah mengembangkan pengertian sistem akan tetapi dalam contohcontoh<br />

yang akan kita lihat di sini kita membatasi diri pada sistem listrik.<br />

8.5.1. Diagram Blok Elemen <strong>Rangkaian</strong><br />

Definisi sistem menyatakan bahwa dari sinyal masukan tertentu suatu<br />

sistem akan memberikan sinyal keluaran tertentu. Definisi ini dipenuhi<br />

oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen<br />

170 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika<br />

diberi sinyal masukan (arus atau tegangan) tertentu yang kita kenal<br />

sebagai karakteristik i-v dalam analisis rangkaian listrik. Jika sistem<br />

dapat divisualisasikan menggunakan diagram blok, maka elemen-elemen<br />

rangkaian listrik dapat pula digambarkan dengan diagram blok.<br />

Resistor. Gb.8.7. memperlihatkan diagram blok dari resistor. Hubungan<br />

tegangan-arus resistor adalah V ( s)<br />

= RI(<br />

s)<br />

atau I ( s)<br />

= (1/ R)<br />

V ( s)<br />

.<br />

Kedua relasi memberikan diagram blok seperti ditunjukkan pada gambar.<br />

I(s)<br />

I(s)<br />

R<br />

V(s)<br />

R<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

V(s)<br />

1 I(s)<br />

R<br />

Gb.8.7 Diagram blok resistor.<br />

Kapasitor. Gb.8.8. memperlihatkan diagram blok dari kapasitor.<br />

Hubungan tegangan-arus kapasitor adalah V ( s)<br />

= (1/ sC)<br />

I(<br />

s)<br />

atau<br />

I ( s)<br />

= ( sC)<br />

V ( s)<br />

. Kedua relasi memberikan diagram blok seperti<br />

ditunjukkan pada gambar.<br />

1<br />

sC<br />

I(s)<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

V(s)<br />

1<br />

sC<br />

sC<br />

V(s)<br />

I(s)<br />

Gb.8.8. Diagram blok kapasitor.<br />

Berbeda dengan resistor, kapasitor adalah elemen dinamik. Hubungan<br />

yang pertama mengambil peubah status, yaitu tegangan kapasitor,<br />

sebagai keluaran dan dapat ditulis sebagai V ( s)<br />

= (1/ C)(1/<br />

s)<br />

I(<br />

s)<br />

dan<br />

diagram bloknya menjadi :<br />

1 1<br />

I(s)→ → →V(s)<br />

C s<br />

171


Di kawasan t hubungan tersebut adalah<br />

∫<br />

v ( t)<br />

= (1/ C)<br />

idt . Oleh karena<br />

itu blok s<br />

1 disebut sebagai blok integrator.<br />

Induktor. Gb.8.9. memperlihatkan diagram blok dari induktor.<br />

Hubungan tegangan-arus induktor adalah V ( s)<br />

= ( sL)<br />

I(<br />

s)<br />

atau<br />

I ( s)<br />

= (1/ sL)<br />

V ( s)<br />

. Kedua relasi memberikan diagram blok seperti<br />

ditunjukkan pada gambar.<br />

sL<br />

I(s)<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

V(s)<br />

Gb.8.9. Diagram blok induktor.<br />

Seperti halnya kapasitor, induktor adalah elemen dinamik. Hubungan<br />

yang kedua mengambil peubah status, yaitu arus induktor, sebagai<br />

keluaran dan dapat ditulis sebagai I ( s)<br />

= (1/ L)(1/<br />

s)<br />

V ( s)<br />

. Dengan blok<br />

integrator diagram bloknya menjadi :<br />

sL<br />

1<br />

sL<br />

V(s)→ L<br />

1 → s<br />

1 →I(s).<br />

V(s)<br />

I(s)<br />

8.5.2. Pembentukan Diagram Blok<br />

Dalam contoh-contoh berikut ini kita akan melihat bagaimana diagram<br />

blok dibentuk. Kita menggabungkan pemahaman mengenai rangkaian<br />

listrik dengan pemahaman hubungan-hubungan sistem.<br />

172 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-8.1: Gambarkan diagram blok rangkaian-rangkaian berikut.<br />

I(s)<br />

R 1<br />

(a)<br />

I 2 (s)<br />

I 1 (s)<br />

R 2<br />

Penyelesaian :<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

R 1<br />

(b)<br />

I 2 (s)<br />

I 1 (s)<br />

⎡<br />

V ( s)<br />

= R2<br />

I2<br />

( s)<br />

= R2<br />

I(<br />

s)<br />

− I1(<br />

s)<br />

= R2<br />

⎢I(<br />

s)<br />

−<br />

⎣<br />

Diagram blok rangkaian ini adalah:<br />

V ( s)<br />

⎤<br />

a). [ ] ⎥<br />

⎦<br />

sL<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

R 1<br />

(c)<br />

R1<br />

I 2 (s)<br />

I 1 (s)<br />

1<br />

sC<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

R<br />

1<br />

R 2<br />

V(s)<br />

⎡<br />

V ( s)<br />

= sLI<br />

2 ( s)<br />

= sL I(<br />

s)<br />

− I1(<br />

s)<br />

= sL⎢I(<br />

s)<br />

−<br />

⎣<br />

Diagram blok rangkaian ini adalah:<br />

V ( s)<br />

⎤<br />

b). [ ] ⎥<br />

⎦<br />

R1<br />

I(s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

R<br />

1<br />

sL<br />

V(s)<br />

⎡<br />

= ⎢I(<br />

s)<br />

−<br />

sC ⎣<br />

1 1<br />

1 V ( s)<br />

⎤<br />

c). [ ] ⎥<br />

⎦<br />

V ( s)<br />

= I2<br />

( s)<br />

=<br />

sC sC<br />

I(<br />

s)<br />

− I1(<br />

s)<br />

Diagram blok rangkaian ini adalah:<br />

I(s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

R<br />

1<br />

1<br />

sC<br />

V(s)<br />

R1<br />

173


COTOH-8.2: Gambarkan diagram blok rangkaian-rangkaian berikut.<br />

I(s)<br />

Penyelesaian :<br />

sL<br />

(a)<br />

I 2 (s)<br />

I 1 (s)<br />

R 1<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

⎡ V ( s)<br />

V ( s)<br />

= R1<br />

I2<br />

( s)<br />

= R1<br />

I(<br />

s)<br />

− I1(<br />

s)<br />

= R1<br />

⎢I(<br />

s)<br />

−<br />

⎣ sL<br />

Diagram blok:<br />

a). [ ] ⎥ ⎦<br />

⎤<br />

1<br />

sL<br />

I(s)<br />

1<br />

sC<br />

(b)<br />

I 2 (s)<br />

I 1 (s)<br />

R 1<br />

+<br />

V(s)<br />

−<br />

I(s)<br />

+<br />

− R 1<br />

V(s)<br />

b). V s)<br />

= R I ( s)<br />

= R [ I(<br />

s)<br />

− I ( s)<br />

] = R [ I(<br />

s)<br />

− sC V ( )]<br />

( 1 2 1 1 1<br />

s<br />

Diagram blok:<br />

sC<br />

I(s)<br />

+<br />

− R 1<br />

V(s)<br />

Tegangan V(s) pada contoh 8.1.b. dan 8.1.c. haruslah identik dengan<br />

tegangan pada contoh 8.2. karena tegangan ini adalah tegangan pada<br />

hubungan paralel dari dua elemen. Walaupun demikian kita mendapatkan<br />

diagram blok yang berbeda pada kedua contoh tersebut. Kita akan<br />

menguji apakah kedua diagram blok tersebut identik dengan mencari<br />

fungsi alih masing-masing. Untuk itu kita akan memanfaatkan formulasi<br />

hubungan blok paralel.<br />

Untuk rangkaian R-L paralel di kedua contoh tersebut di atas kita peroleh<br />

:<br />

174 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


I(s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

R<br />

1<br />

sL<br />

V(s)<br />

1<br />

sL<br />

sL sLR ( )<br />

( )<br />

1 V s<br />

H1<br />

s =<br />

= =<br />

1+<br />

( sL)(1/<br />

R ) R + sL I(<br />

s)<br />

1<br />

1<br />

I(s)<br />

+<br />

− R 1<br />

V(s)<br />

R<br />

( )<br />

1 sLR<br />

H<br />

1<br />

2 s =<br />

=<br />

1+<br />

( R )(1/ sL)<br />

sL + R<br />

1<br />

1<br />

V ( s)<br />

=<br />

I(<br />

s)<br />

Untuk rangkaian R-C paralel kita peroleh :<br />

1<br />

R<br />

1<br />

I(s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

sC<br />

V(s)<br />

1/ sC R / ( )<br />

( )<br />

1 sC V s<br />

H3<br />

s =<br />

=<br />

=<br />

1+<br />

(1/ sC)(1/<br />

R ) R + (1/ sC)<br />

I(<br />

s)<br />

1<br />

1<br />

sC<br />

I(s)<br />

+<br />

− R 1<br />

V(s)<br />

R<br />

/<br />

( )<br />

1 R1<br />

sC<br />

H4<br />

s =<br />

=<br />

1+<br />

( R )( sC)<br />

(1/ sC)<br />

+ R<br />

V ( s)<br />

=<br />

I(<br />

s)<br />

Fungsi alih dari kedua hubungan paralel terserbut ternyata sama yang<br />

tidak lain adalah impedansi total rangkaian R-L dan R-C paralel. Jadi<br />

diagram blok yang diperoleh pada kedua contoh di atas adalah identik.<br />

1<br />

1<br />

175


COTOH-8.3: Bangunlah diagram blok dari rangkaian listrik yang telah<br />

ditransformasikan ke kawasan s di bawah ini.<br />

+<br />

V i (s)<br />

−<br />

I 1 (s)<br />

R 1<br />

1<br />

sC<br />

I 3 (s)<br />

V 1 (s)<br />

1<br />

sL<br />

I 2 (s) 1<br />

sC<br />

2<br />

I 5 (s)<br />

I 4 (s)<br />

R 2<br />

+<br />

V o (s)<br />

−<br />

Penyelesaian :<br />

Dalam membangun diagram blok rangkaian ini, kita akan<br />

menempuh langkah-langkah yang kita mulai dari tegangan keluaran<br />

dan mencari formulasinya secara berurut menuju ke arah masukan.<br />

Tegangan V o (s) dapat dinyatakan sebagai R2 I 5 ( s)<br />

ataupun<br />

(1/sC 2 ) I 4 (s). Kita ambil yang kedua.<br />

1<br />

1. V o ( s)<br />

= I 4 ( s)<br />

sC2<br />

I 4 (s)<br />

1<br />

sC<br />

2<br />

V o (s)<br />

1<br />

2. I4( s)<br />

= I3(<br />

s)<br />

− I5(<br />

s)<br />

= I3<br />

− Vo(<br />

s)<br />

R2<br />

I 3 (s)<br />

+<br />

1<br />

R2<br />

− 1<br />

I sC 4 (s)<br />

2<br />

V o (s)<br />

1<br />

sL<br />

3. I s)<br />

= [ V ( s)<br />

−V<br />

( )]<br />

3 ( 1 o s<br />

176 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


V 1 (s)<br />

−<br />

1<br />

R2<br />

− 1<br />

sC<br />

I 4 (s)<br />

1 1<br />

1( 2<br />

1 3 s<br />

sC1<br />

sC1<br />

4. V s)<br />

= I ( s)<br />

= [ I ( s)<br />

− I ( )]<br />

1<br />

sL<br />

+<br />

I 3 (s)<br />

2<br />

V o (s)<br />

I 1 (s)<br />

+<br />

−<br />

1<br />

sC<br />

1<br />

V 1(s)<br />

−<br />

1<br />

sL<br />

+<br />

I 3(s)<br />

−<br />

I 4(s)<br />

1<br />

R<br />

2<br />

1<br />

sC<br />

2<br />

V o (s)<br />

1<br />

1 ( 1<br />

R<br />

s<br />

1<br />

5. I s)<br />

= [ Vi ( s)<br />

−V<br />

( )]<br />

V i(s) +<br />

−<br />

1<br />

R<br />

1<br />

+<br />

I 1(s)<br />

−<br />

1<br />

sC<br />

1 V 1(s)<br />

−<br />

1<br />

sL<br />

−<br />

+<br />

I<br />

I 3(s) 4(s)<br />

1<br />

R<br />

2<br />

1<br />

sC<br />

2<br />

V o<br />

Pada langkah ke-5 ini terbentuklah diagram blok yang kita cari.<br />

Walaupun diagram ini terlihat cukup rumit, tetapi sesungguhnya setiap<br />

blok menggambarkan peran dari setiap elemen. Perhatikan pula bahwa<br />

dalam diagram blok ini digunakan blok-blok integrator.<br />

8.6. Reduksi Diagram Blok<br />

Dalam Contoh-8.3 kita melihat bagaimana diagram blok dibentuk.<br />

Diagram blok ini cukup panjang. Dengan menggunakan relasi-relasi<br />

ekivalensi sistem terhubung seri dan paralel kita dapat menyederhanakan<br />

diagram blok tersebut. Penyederhanaan diagram blok ini disebut reduksi<br />

diagram blok. Karena diagram blok ekivalen dengan persamaan<br />

rangkaian, maka penyederhanaan diagram blok akan menuju pada<br />

diperolehnya fungsi alih.<br />

177


Selain ekivalensi seri dan paralel, dalam melakukan reduksi diagram<br />

blok kita memanfaatkan juga kaidah-kaidah pemindahan titik<br />

pencabangan sebagai berikut.<br />

Keluaran Y 2 (s) tidak akan berubah jika pemindahan titik<br />

pencabangannya ke depan melampaui blok H(s) diikuti dengan<br />

penambahan satu blok seri yang ekivalen dengan blok H(s).<br />

Keluaran Y 3 (s) tidak akan berubah jika pemindahan titik<br />

pencabangannya ke belakang melampauai blok H(s) diikuti<br />

dengan penambahan satu blok seri 1/H(s).<br />

Perhatikanlah Gb.8.10. Gambar b) diperoleh dengan jalan memindahkan<br />

titik pencabangan di gambar a). Pencabangan keluaran Y 2 (s) di pindah ke<br />

depan melewati blok H(s) dan pencabangan keluaran Y 3 (s) ke belakang<br />

melewati blok H(s).<br />

Y 2 (s)<br />

X(s)<br />

H(s)<br />

Y 1 (s)<br />

a).<br />

Y 3 (s)<br />

H(s)<br />

Y 2 (s)<br />

X(s)<br />

H(s)<br />

Y 1 (s)<br />

b).<br />

1<br />

H ( s)<br />

Y 3 (s)<br />

Gb.8.10. Pemindahan titik pencabangan.<br />

COTOH-8.4: Lakukanlah reduksi pada diagram blok berikut ini.<br />

1<br />

V i(s) + −<br />

2<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

−<br />

1<br />

s<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

V o(s)<br />

Penyelesaian :<br />

178 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


1. Hubungan paralel dari blok 1 dan<br />

1/ s<br />

dengan H1(<br />

s)<br />

= =<br />

1+<br />

(1)(1/ s)<br />

menjadi:<br />

1<br />

s + 1<br />

1<br />

s<br />

dapat digantikan<br />

sehingga diagram blok<br />

V i (s<br />

+ −<br />

2<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

−<br />

1<br />

s<br />

A<br />

1<br />

s + 1<br />

V o (s<br />

2. Titik pencabangan A dapat dipindahkan ke belakang dan terjadi<br />

1 1<br />

hubungan seri dan yang dapat diganti dengan<br />

s s + 1<br />

1<br />

.<br />

s(<br />

s + 1)<br />

Diagram blok menjadi :<br />

V i (s)<br />

+<br />

−<br />

2<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

s+1<br />

−<br />

1<br />

s(<br />

s + 1)<br />

V o (s)<br />

3. Umpan balik langsung dari V o (s) pada blok<br />

1<br />

s(<br />

s + 1)<br />

sama<br />

dengan memparalel blok ini dengan blok 1 walaupun tidak<br />

tergambarkan dalam diagram. Hubungan paralel ini dapat<br />

diganti<br />

dengan<br />

1/ s(<br />

s + 1)<br />

H 2 ( s)<br />

=<br />

1+<br />

(1)<br />

Diagram blok menjadi<br />

{ 1/ s(<br />

s + 1) } =<br />

1<br />

.<br />

s(<br />

s + 1) + 1<br />

179


V i (s)<br />

+<br />

−<br />

2<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

B<br />

s+1<br />

1<br />

s(<br />

s + 1) + 1<br />

V o (s)<br />

4. Titik pencabangan B dapat dipindahkan ke belakang yang akan<br />

menyebabkan terjadinya hubungan seri antara blok<br />

1<br />

s<br />

1<br />

dan<br />

yang dapat diganti dengan<br />

s(<br />

s + 1) + 1<br />

Diagram blok menjadi :<br />

1<br />

2<br />

s ( s + 1)<br />

+ s<br />

V i (s)<br />

+<br />

−<br />

2<br />

s ( s + 1) + 1<br />

+<br />

−<br />

2<br />

1<br />

s ( s + 1)<br />

+ s<br />

s+1<br />

V o (s)<br />

5. Selanjutnya s + 1 paralel dengan<br />

1<br />

2<br />

s ( s + 1)<br />

+ s<br />

2<br />

1 ( s ( s + 1) + s)<br />

H3(<br />

s)<br />

=<br />

=<br />

2<br />

1+<br />

( s + 1) ( s ( s + 1) + s)<br />

1<br />

=<br />

2<br />

( s ( s + 1) + s)<br />

+ ( s + 1)<br />

s<br />

3<br />

2<br />

1<br />

+ s + 2s<br />

+ 1<br />

dan H 3 (s) seri dengan 2 sehingga diagram blok menjadi :<br />

180 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


V i (s)<br />

+<br />

−<br />

s ( s + 1) + 1<br />

2<br />

3 2<br />

s + s + 2s<br />

+ 1<br />

V o (s)<br />

6. Diagram blok paralel terakhir ini memberikan<br />

3 2<br />

2 /( s + s + 2s<br />

+ 1)<br />

2<br />

H 4(<br />

s)<br />

=<br />

=<br />

2<br />

3 2<br />

3 2<br />

1+<br />

2( s + s + 1) /( s + s + 2s<br />

+ 1) s + 3s<br />

+ 4s<br />

+ 3<br />

dan diagram blok menjadi<br />

V i (s)<br />

3<br />

2<br />

2<br />

s + 3s<br />

+ 4s<br />

+ 3<br />

V o (s)<br />

Reduksi diagram blok pada akhirnya akan memberikan fungsi alih<br />

dari sistem yaitu H 4 (s).<br />

8.7. Sub-Sistem Statis dan Dinamis<br />

Perhatikanlah bahwa dalam diagram blok yang diperoleh pada contoh<br />

8.3. terdapat blok-blok yang berisi nilai konstan dan ada yang berisi<br />

fungsi s atau lebih tepat blok yang menggambarkan fungsi alih bernilai<br />

konstan dan blok yang menggambarkan fungsi alih yang merupakan<br />

fungsi dari peubah Laplace s. Blok yang berisi nilai konstan berasal dari<br />

elemen statis resistor, dan yang berisi fungsi s berasal dari elemen<br />

dinamik C ataupun L. Suatu sub-sistem disebut dinamis jika fungsi<br />

transfernya merupakan fungsi peubah Laplace s. Jika fungsi alihnya<br />

bernilai konstan (gain kontan) maka sub-sistem itu disebut statis.<br />

8.8. Diagram Blok Integrator<br />

Suatu diagram blok yang seluruh blok-blok dinamisnya berupa blok<br />

integrator disebut diagram blok integrator. Sebagaimana telah dibahas,<br />

blok integrator berasal dari elemen dinamik apabila kita mengambil<br />

peubah status sebagai keluaran. Untuk kapasitor V ( s)<br />

= (1/ C)(1/<br />

s)<br />

I(<br />

s)<br />

dan untuk induktor I ( s)<br />

= (1/ L)(1/<br />

s)<br />

V ( s)<br />

.<br />

Pembentukan diagram blok integrator dari suatu fungsi alih dapat<br />

dilakukan karena fungsi alih H(s) yang berbentuk rasio polinomial dapat<br />

kita uraikan menjadi suku-suku :<br />

181


( s − z1)(<br />

s − z2<br />

) L(<br />

s − zm<br />

)<br />

H ( s)<br />

= K<br />

( s − p )( s − p ) L(<br />

s − p )<br />

1<br />

2<br />

k1<br />

=<br />

( s − p<br />

1<br />

n<br />

k2<br />

+<br />

) ( s − p<br />

2<br />

kn<br />

+ L+<br />

) ( s − p<br />

Hal ini telah kita lihat pada waktu kita membahas transformasi Laplace.<br />

a<br />

Selanjutnya, setiap suku dari fungsi alih H(s) yang berbentuk<br />

s + b<br />

⎛ a ⎞ b(1/<br />

s)<br />

dapat ditulis sebagai ⎜ ⎟ yang diagram bloknya merupakan<br />

⎝ b ⎠ 1 + b(1/<br />

s)<br />

a<br />

hubungan seri antara blok statis<br />

b<br />

yang jalur umpan-balik-nya berisi blok statis<br />

1<br />

s<br />

b . Dengan demikian<br />

dengan blok berumpan balik<br />

maka diagram blok dari H(s) dapat dibuat hanya terdiri dari blok statis<br />

dan blok integrator saja.<br />

n<br />

)<br />

182 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Soal-Soal<br />

1. Susunlah diagram blok dari rangkaian-rangkaian berikut, lakukan<br />

reduksi diagram blok, tentukan fungsi alihnya.<br />

a).<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10Ω<br />

10Ω<br />

+<br />

1H<br />

v o<br />

−<br />

1µF<br />

v in<br />

+<br />

+<br />

− 1kΩ 1kΩ<br />

1µF v o<br />

b).<br />

−<br />

100m<br />

+<br />

v in<br />

+ 1kΩ 1kΩ<br />

v<br />

− 1kΩ o<br />

c).<br />

1µF −<br />

e).<br />

+<br />

−<br />

1kΩ<br />

1µF<br />

v in<br />

10µ<br />

F<br />

10k<br />

Ω<br />

1kΩ<br />

5kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

f).<br />

i<br />

1kΩ<br />

in 0.1H<br />

1kΩ 1µF<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

i in 5mH<br />

2µF<br />

g).<br />

1kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

2. Lakukan reduksi diagram blok dan carilah fungsi alih dari diagram<br />

blok berikut.<br />

a).<br />

X (s)<br />

X(s)<br />

+<br />

−<br />

+<br />

10<br />

k<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

Y(s)<br />

b).<br />

ω 2<br />

183


X(s)<br />

1<br />

s + 1<br />

+<br />

−<br />

Y(s)<br />

c).<br />

s + 2<br />

X(s)<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

3<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

c).<br />

4<br />

1<br />

s<br />

d).<br />

X(s)<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

3<br />

1<br />

s<br />

4<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

X(s) +<br />

−<br />

1<br />

s<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

4<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

e).<br />

5<br />

184 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 9<br />

Sistem Dan Persamaan Ruang Status<br />

Persamaan ruang status (state space equations) atau representasi<br />

ruang keadaan (state space reprentation) merupakan satu alternatif<br />

untuk menyatakan sistem dalam bentuk persamaan diferensial.<br />

Persamaan ini dapat diturunkan dari diagram blok integrator.<br />

9.1. Blok Integrator dan Blok Statis<br />

1<br />

Kita lihat lebih dulu blok integrator X(s)→<br />

s →Y(s) yang<br />

1<br />

menunjukkan hubungan Y ( s)<br />

= X ( s)<br />

. Hubungan ini di kawasan t<br />

s<br />

adalah<br />

∫<br />

y ( t)<br />

= x(<br />

t)<br />

yang dapat kita tuliskan sebagai x ( t)<br />

= y&<br />

( t)<br />

Hubungan terakhir di kawasan t ini dapat kita baca sebagai : sinyal<br />

masukan adalah turunan dari sinyal keluaran.<br />

1<br />

Sekarang blok kita pandang sebagai integrator dan bukan sebagai<br />

s<br />

gambaran dari fungsi alih 1/s. Dengan pandangan ini maka jika keluaran<br />

integrator adalah q(t) masukannya adalah q& (t)<br />

. Kita dapat<br />

menggambarkan hubungan keluaran dan masukan di kawasan t dari<br />

integrator sebagai<br />

q& (t) →<br />

1<br />

s → q (t)<br />

Perhatikan: Secara teknis penggambaran di atas tidak benar.<br />

Akan tetapi kita harus mengartikan gambar tersebut sebagai<br />

diagram sub-sistem yang mempunyai sinyal masukan q& (t)<br />

dan<br />

sinyal keluarannya q(t) dan bukan q(t) sama dengan (1/s) kali<br />

q& (t) .<br />

185


Berbeda dengan blok integrator, blok statis X(s)→ a →Y(s)<br />

memberikan hubungan Y ( s)<br />

= aX<br />

( s)<br />

yang di kawasan t memberikan<br />

hubungan<br />

y ( t)<br />

= ax(<br />

t)<br />

Jadi kita dapat menggambarkan hubungan y ( t)<br />

= ax(<br />

t)<br />

dengan<br />

menggunakan blok statis, yaitu<br />

x(t)→<br />

a →y(t).<br />

9.2. Diagram Blok Integrator, Sinyal Sebagai Fungsi t<br />

Berikut ini kita akan melihat contoh suatu diagram blok integrator yang<br />

sinyal masukan dan keluaran dari setiap integrator dinyatakan sebagai<br />

fungsi t.<br />

COTOH-9.1: Dalam diagram blok di bawah ini nyatakanlah sinyal<br />

masukan dan keluaran pada setiap blok integrator sebagai fungsi t.<br />

b<br />

a<br />

X(s)<br />

c<br />

−<br />

1<br />

s<br />

+<br />

d<br />

−<br />

1<br />

s<br />

+<br />

Y(s)<br />

Penyelesaian :<br />

Dalam diagram blok ini terdapat dua blok integrator. Jika sinyal<br />

masukan setiap blok integrator adalah q& i (t)<br />

dan sinyal keluarannya<br />

adalah q i (t) maka diagram blok di atas dapat kita gambarkan seperti<br />

di bawah ini, di mana masukan dua blok integrator adalah<br />

q& 1(<br />

t ) dan q& 2 ( t )<br />

sedangkan keluarannya adalah<br />

q 1 (t) dan q 2 (t).<br />

186 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Dengan diagram ini keluaran sistem adalah<br />

y ( t)<br />

= q2(<br />

t)<br />

+ dx(<br />

t)<br />

.<br />

b<br />

a<br />

x(t)<br />

c<br />

+<br />

− 1<br />

+<br />

q& ( )<br />

s<br />

q 1 ( t)<br />

1 t<br />

−<br />

1<br />

q&<br />

2(<br />

t)<br />

s<br />

q 2 ( t)<br />

+ y(t)<br />

+<br />

d<br />

9.3. Membangun Persamaan Ruang Status<br />

Dari diagram blok di atas, kita dapat memperoleh satu set persamaan di<br />

kawasan t yang akan memberikan hubungan antara sinyal masukan dan<br />

sinyal keluaran sistem, yaitu x(t) dan y(t). Dengan perkataan lain kita<br />

dapat memperoleh persamaan sistem di kawasan t. Set persamaan<br />

tersebut kita peroleh dengan memperhatikan masukan blok-blok<br />

integrator, dan keluaran sistem. Dalam contoh ini set persamaan tersebut<br />

adalah :<br />

q&<br />

1(<br />

t)<br />

= −bq2<br />

( t)<br />

+ cx(<br />

t)<br />

q&<br />

2 ( t)<br />

= q1<br />

( t)<br />

− aq2<br />

( t)<br />

y(<br />

t)<br />

= q2<br />

( t)<br />

+ dx(<br />

t)<br />

y ( t)<br />

= q2(<br />

t)<br />

+ dx(<br />

t)<br />

(9.1)<br />

Dengan cara ini set persamaan yang kita peroleh, yaitu persamaan (9.1),<br />

akan terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah persamaan<br />

yang ruas kirinya berisi q& (t)<br />

, yang merupakan masukan blok integrator,<br />

dan kelompok kedua adalah yang ruas kirinya berisi y(t), yaitu keluaran<br />

sistem. Kelompok pertama dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />

⎡q&<br />

1(<br />

t)<br />

⎤ ⎡0<br />

⎢ ⎥ =<br />

q2<br />

( t)<br />

⎢<br />

⎣ & ⎦ ⎣1<br />

− b⎤<br />

⎡q1(<br />

t)<br />

⎤ ⎡1⎤<br />

⎢ ⎥ + x(<br />

t)<br />

− a<br />

⎥<br />

q2<br />

( t)<br />

⎢<br />

0<br />

⎥<br />

⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦<br />

(9.2)<br />

187


⎡q1(<br />

t)<br />

⎤<br />

Dengan mendefinisikan vektor q&r<br />

&<br />

⎡q1(<br />

t)<br />

⎤<br />

= ⎢ ⎥ dan q r =<br />

⎣q&<br />

⎢ ⎥ maka<br />

2 ( t)<br />

⎦ ⎣q2<br />

( t)<br />

⎦<br />

(9.2) dapat kita tuliskan<br />

0 b 1<br />

[ q&r<br />

⎡ − ⎤ r ⎡ ⎤<br />

( t)<br />

] = ⎢ ⎥ [ q(<br />

t)<br />

] + ⎢ ⎥x(<br />

t)<br />

(9.3)<br />

⎣1<br />

− a⎦<br />

⎣0<br />

⎦<br />

Kelompok kedua dari (9.1) adalah y ( t)<br />

= q2(<br />

t)<br />

+ dx(<br />

t)<br />

dan dengan<br />

definisi untuk vektor q(t) maka ia dapat kita tuliskan dalam bentuk<br />

matriks<br />

r<br />

y ( t)<br />

= [ 0 1][ q(<br />

t)<br />

] + [ d] x(<br />

t)<br />

(9.4)<br />

Dengan demikian maka set persamaan (9.1) dapat kita tuliskan sebagai<br />

0 b 1<br />

[ q&r<br />

⎡ − ⎤ r ⎡ ⎤<br />

( t)<br />

] = ⎢ [ q(<br />

t)<br />

] x(<br />

t)<br />

1 a<br />

⎥ + ⎢<br />

0<br />

⎥<br />

⎣ − ⎦ ⎣ ⎦<br />

(9.5)<br />

r<br />

y(<br />

t)<br />

= 0 1 q(<br />

t)<br />

+ d x(<br />

t<br />

[ ][ ] [ ] )<br />

Secara umum bentuk persamaan (9.5) dapat kita tulis sebagai<br />

[ q&r<br />

r<br />

( t)<br />

] = [ A][ q(<br />

t)<br />

] + [ B]<br />

x(<br />

t)<br />

r<br />

y(<br />

t)<br />

= C q(<br />

t)<br />

+ D x(<br />

t<br />

[ ][ ] [ ] )<br />

(9.6)<br />

Set persamaan (9.6) ini disebut representasi ruang status dari sistem.<br />

Sebutan lain dari representasi ini adalah model ruang status atau juga<br />

persamaan peubah status atau persamaan ruang status.<br />

COTOH-9.2: Carilah representasi ruang status dari sistem berikut.<br />

x (t)<br />

a 1<br />

+<br />

−<br />

+<br />

a 2<br />

−<br />

q& 1<br />

q& 2<br />

b<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

q 1<br />

ω 2<br />

q 2<br />

q& 3<br />

1<br />

s<br />

c 2<br />

q 3<br />

+<br />

+<br />

c 3<br />

+ +<br />

y (t)<br />

d<br />

188 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Penyelesaian:<br />

Dari diagram blok di atas, masukan blok-blok integrator dan<br />

keluaran sistem memberi kita persamaan berikut.<br />

2<br />

q&<br />

1 = a1x(<br />

t)<br />

− ω q3<br />

q&<br />

2 = a2x(<br />

t)<br />

− bq2<br />

q&<br />

3 = q1<br />

y(<br />

t)<br />

= c3q3<br />

+ c2q2<br />

+ dx(<br />

t)<br />

Persamaan ini kita tuliskan dalam bentuk matriks, menjadi<br />

⎡q&<br />

1(<br />

t)<br />

⎤ ⎡0<br />

q&r<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

( t)<br />

= q&<br />

⎢ 2 ( t)<br />

⎥<br />

= ⎢0<br />

⎢q3(<br />

t)<br />

⎥ ⎢<br />

⎣ & ⎦ ⎢<br />

1<br />

⎣<br />

y(<br />

t)<br />

=<br />

[ 0 c c ] q ( t)<br />

+ [ d] x(<br />

t)<br />

2<br />

0<br />

− b<br />

0<br />

⎡q1(<br />

t)<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

3 ⎢ 2 ⎥<br />

⎢⎣<br />

q3(<br />

t)<br />

⎥⎦<br />

2<br />

− ω ⎤ ⎡q1(<br />

t)<br />

⎤ ⎡a1<br />

⎤<br />

⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

0 ⎥ ⎢<br />

q2<br />

( t)<br />

⎥<br />

+<br />

⎢<br />

a2<br />

⎥<br />

x(<br />

t)<br />

0 ⎥ ⎢⎣<br />

q3(<br />

t)<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥<br />

⎥⎦<br />

⎦<br />

Inilah representasi ruang status dari sistem yang kita cari<br />

9.4. Membangun Diagram Blok dari Persamaan Ruang Status<br />

Melalui contoh berikut ini kita akan melihat bagaimana diagram blok<br />

dari suatu sistem dapat dibangun jika persamaan ruang statusnya<br />

diketahui.<br />

COTOH 9.3: Bangunlah diagram blok sistem yang persamaan ruang<br />

statusnya adalah sebagai berikut.<br />

Penyelesaian :<br />

⎡ 0<br />

q&r<br />

( t)<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

0<br />

⎢⎣<br />

− a1<br />

y(<br />

t)<br />

= 1<br />

1 0 ⎤ ⎡q1(<br />

t)<br />

⎤ ⎡0⎤<br />

0 1<br />

⎥ ⎢<br />

q2(<br />

t)<br />

⎥ ⎢<br />

0<br />

⎥<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

+<br />

⎢ ⎥<br />

x(t)<br />

− a2<br />

− a3⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

q3(<br />

t)<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1⎥⎦<br />

r<br />

2 3<br />

[ b b b ] q(<br />

t)<br />

Langkah pertama adalah melakukan pengembangan dari persamaan<br />

yang diketahui sehingga diperoleh set persamaan berikut.<br />

189


q&<br />

1(<br />

t)<br />

= q2<br />

( t)<br />

q&<br />

2 ( t)<br />

= q3(<br />

t)<br />

q&<br />

3(<br />

t)<br />

= −a1q1<br />

( t)<br />

− a2q2<br />

( t)<br />

− a3q3(<br />

t)<br />

+ x(<br />

t)<br />

y(<br />

t)<br />

= b1q1<br />

( t)<br />

+ b2q2<br />

( t)<br />

+ b3q3<br />

( t)<br />

Langkah berikutnya adalah menggambarkan blok-blok integrator<br />

dengan masukan dan keluaran masing-masing. Langkah ini<br />

memberikan diagram blok integrator sebagai berikut<br />

q&<br />

1 1 q1<br />

s<br />

q& 2<br />

1 q 2 q& 3 1 q3<br />

s<br />

s<br />

Langkah berikutnya adalah melakukan penghubungan blok-blok ini<br />

sesuai dengan persamaan yang diketahui, yaitu<br />

persamaan q & 1( t)<br />

= q2<br />

( t)<br />

berarti bahwa masukan blok<br />

integrator nomer-1 adalah keluaran dari blok integrator<br />

nomer-2.<br />

persamaan q & 2 ( t ) = q 3 ( t ) berarti masukan blok<br />

integrator nomer-2 adalah keluaran blok integratir<br />

nomer-3. Kita mendapatkan hubungan:<br />

q& 3 q 3 q&<br />

2 q 2 1<br />

1<br />

s<br />

Selanjutnya kita membuat pencabangan-pencabangan dan<br />

penjumlahan dengan blok-blok statis, sesuai dengan persamaan<br />

yang diketahui, yaitu<br />

q & 3( t)<br />

= −a1q1<br />

( t)<br />

− a2q2<br />

( t)<br />

− a3q3(<br />

t)<br />

+ x(<br />

t)<br />

Hasil yang kita peroleh adalah:<br />

1<br />

s<br />

q&<br />

1 q 1<br />

s<br />

190 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


x (t)<br />

+<br />

−<br />

−<br />

−<br />

q& 3 1 q 3 2 1 q 2 1<br />

s<br />

s<br />

q&<br />

q& 1 q 1<br />

s<br />

a 3<br />

a 2<br />

a 1<br />

Satu persamaan lagi yang harus kita penuhi, yaitu persamaan<br />

keluaran<br />

y ( t)<br />

= b1q<br />

1(<br />

t)<br />

+ b2q2<br />

( t)<br />

+ b3q3<br />

( t)<br />

Dengan pencabangan dan penjumlahan persamaan ini kita penuhi.<br />

x (t)<br />

+<br />

−<br />

−<br />

−<br />

q& 3 1 q 3 2 1 q 2 1<br />

s<br />

s<br />

q&<br />

b 3<br />

+<br />

b 2<br />

q& 1 q 1<br />

s<br />

b 1<br />

+<br />

+<br />

y(t)<br />

a 3<br />

a 2<br />

a 1<br />

191


Soal-Soal<br />

1. Carilah persamaan ruang status dari sistem-sistem dengan diagram<br />

blok di bawah ini.<br />

X (s)<br />

+<br />

−<br />

10<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

a).<br />

k<br />

X(s)<br />

+<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

Y(s)<br />

b).<br />

ω 2<br />

X(s)<br />

1<br />

s + 1<br />

+<br />

−<br />

Y(s)<br />

c).<br />

s + 2<br />

X(s)<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

Y(s)<br />

3<br />

d).<br />

4<br />

1<br />

s<br />

192 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


193<br />

e).<br />

f).<br />

2. Gambarkan diagram blok dari sistem dengan persamaan status berikut<br />

ini.<br />

a).<br />

[ ] )<br />

(<br />

10<br />

)<br />

(<br />

0<br />

0<br />

9<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

5<br />

3<br />

)<br />

(<br />

4<br />

6<br />

0<br />

5<br />

3<br />

7<br />

0<br />

1<br />

2<br />

)<br />

(<br />

t<br />

x<br />

t<br />

q<br />

t<br />

y<br />

t<br />

x<br />

t<br />

q<br />

t<br />

q<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

+<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

=<br />

r<br />

r<br />

&r<br />

b).<br />

[ ] )<br />

(<br />

5<br />

)<br />

(<br />

0<br />

0<br />

5<br />

)<br />

(<br />

)<br />

(<br />

0<br />

1<br />

0<br />

)<br />

(<br />

0<br />

0<br />

2<br />

1<br />

0<br />

4<br />

2<br />

0<br />

0<br />

)<br />

(<br />

t<br />

x<br />

t<br />

q<br />

t<br />

y<br />

t<br />

x<br />

t<br />

q<br />

t<br />

q<br />

+<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

+<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

−<br />

=<br />

r<br />

r<br />

&r<br />

1<br />

s<br />

+<br />

X(s)<br />

Y(s)<br />

3<br />

−<br />

+<br />

+<br />

−<br />

+<br />

1<br />

s<br />

+<br />

4<br />

−<br />

X(s) 1<br />

s<br />

+<br />

Y(s)<br />

4<br />

−<br />

1<br />

s<br />

+<br />

+<br />

−<br />

+<br />

+<br />

−<br />

5<br />

1<br />

s<br />

1<br />

s


c).<br />

d).<br />

q&r<br />

⎡− σ<br />

( t)<br />

= ⎢<br />

⎣− ω<br />

y(<br />

t)<br />

=<br />

[ 1 1] q(<br />

t)<br />

0<br />

q&r<br />

⎡<br />

t)<br />

= ⎢<br />

⎣− ω<br />

y(<br />

t)<br />

=<br />

( 2<br />

[ 1 0] q(<br />

t)<br />

ω ⎤ r ⎡1⎤<br />

q(<br />

t)<br />

+ ⎢ x(<br />

t)<br />

− σ<br />

⎥<br />

1<br />

⎥<br />

⎦ ⎣ ⎦<br />

r<br />

1 ⎤ r ⎡0⎤<br />

q(<br />

t)<br />

+ x(<br />

t)<br />

− 2ζω<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎥<br />

⎦ ⎣ ⎦<br />

r<br />

e).<br />

0<br />

q&r<br />

⎡<br />

t)<br />

= ⎢<br />

⎣− ω<br />

y(<br />

t)<br />

=<br />

( 2<br />

[ 0 1] q(<br />

t)<br />

1 ⎤ r ⎡0⎤<br />

q(<br />

t)<br />

+ x(<br />

t)<br />

− 2ζω<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎥<br />

⎦ ⎣ ⎦<br />

r<br />

194 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 10<br />

Transformasi Fourier<br />

Kita telah mempelajari tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian.<br />

<strong>Analisis</strong> dengan menggunakan transformasi Fourier yang akan kita<br />

pelajari berikut ini akan memperluas pemahaman kita mengenai<br />

tanggapan frekuensi, baik mengenai perilaku sinyal itu sendiri<br />

maupuan rangkaiannya. Selain dari pada itu, pada rangkaianrangkaian<br />

tertentu dijumpai keadaan dimana model sinyal dan piranti<br />

tidak dapat dinyatakan melalui transformasi Laplace akan tetapi<br />

dapat dilakukan melalui transformasi Fourier. Topik-topik yang akan<br />

kita bahas meliputi: deret Fourier, transformasi Fourier, sifat-sifat<br />

transformasi Fourier, dan analisis rangkaian menggunakan<br />

transformasi Fourier. Dalam bab ini kita mempelajari tiga hal yang<br />

pertama, sedangkan hal yang terakhir akan kita pelajari di bab<br />

berikutnya.<br />

Dengan mempelajari deret dan transformasi Fourier kita akan<br />

• memahami deret Fourier.<br />

• mampu menguraikan bentuk gelombang periodik<br />

menjadi deret Fourier.<br />

• mampu menentukan spektrum bentuk gelombang<br />

periodik.<br />

• memahami transformasi Fourier.<br />

• mampu mencari transformasi Fourier dari suatu<br />

fungsi t.<br />

• mampu mencari transformasi balik dari suatu<br />

transformasi Fourier.<br />

10.1. Deret Fourier<br />

10.1.1. Koefisien Fourier<br />

Kita telah melihat bahwa sinyal periodik dapat diuraikan menjadi<br />

spektrum sinyal. Penguraian suatu sinyal periodik menjadi suatu<br />

spektrum sinyal tidak lain adalah pernyataan fungsi periodik<br />

kedalam deret Fourier. Jika f(t) adalah fungsi periodik yang<br />

memenuhi persyaratan Dirichlet, maka f(t) dapat dinyatakan sebagai<br />

deret Fourier :<br />

195


[ a cos( nω<br />

t)<br />

+ b sin( nω<br />

t ]<br />

∑ ∞ f ( t)<br />

= a0 + n 0 n 0 ) (10.1)<br />

n=<br />

1<br />

yang dapat kita tuliskan sebagai (lihat sub-bab 3.2)<br />

⎡<br />

( cos( nω<br />

t − θ )<br />

∑ ∞ 2 2<br />

f ( t)<br />

= a0 + an<br />

+ bn<br />

0 n ) (10.2)<br />

n=<br />

1<br />

⎢⎣<br />

⎥⎦<br />

Koefisien Fourier a 0 , a n , dan b n ditentukan dengan hubungan berikut.<br />

1 T0<br />

/ 2<br />

a0<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)<br />

dt<br />

T0<br />

−T0<br />

/ 2<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

an<br />

=<br />

∫<br />

f ( t) cos( nω0t)<br />

dt<br />

T0<br />

−T0<br />

/ 2<br />

; n > 0<br />

(10.3)<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

bn<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)sin(<br />

nω0t)<br />

dt<br />

T0<br />

−T0<br />

/ 2<br />

; n > 0<br />

Hubungan (10.3) dapat diperoleh dari (10.1). Misalkan kita mencari<br />

a n : kita kalikan (10.1) dengan cos(kω o t) kemudian kita integrasikan<br />

antara −T o /2 sampai T o /2 dan kita akan memperoleh<br />

To<br />

/ 2<br />

f ( t) cos( kωot)<br />

dt =<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

o<br />

+<br />

To<br />

/ 2<br />

a0<br />

cos( kωot)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

o<br />

⎡ T / 2<br />

a<br />

o<br />

∞ ⎢∫−<br />

T<br />

⎢<br />

∑<br />

⎢<br />

n=<br />

1<br />

⎢+<br />

∫<br />

⎣<br />

cos( nω<br />

t) cos( kω<br />

t)<br />

dt<br />

n 0 o ⎥<br />

o / 2<br />

⎥<br />

To<br />

/ 2<br />

⎥<br />

bn<br />

sin( nω0t) cos( kωot)<br />

dt⎥<br />

−To<br />

/ 2<br />

⎦<br />

Dengan menggunakan kesamaan tigonometri<br />

1<br />

1<br />

cos α cosβ = cos( α − β)<br />

+ cos( α + β)<br />

2<br />

2<br />

1<br />

1<br />

cos α sin β = sin( α − β)<br />

+ sin( α + β)<br />

2<br />

2<br />

maka persamaan di atas menjadi<br />

⎤<br />

⎤<br />

196 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


To<br />

/ 2<br />

f ( t)cos(<br />

kωot)<br />

dt =<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

o<br />

∫<br />

⎡a<br />

To<br />

/ 2<br />

n<br />

∞ ⎢ ∫−<br />

⎢<br />

2 To<br />

/ 2<br />

+ ∑⎢<br />

b To<br />

/ 2<br />

n=<br />

1⎢+<br />

n<br />

⎣ 2 ∫ −To<br />

/ 2<br />

To<br />

/ 2<br />

a0<br />

cos( kωot)<br />

dt<br />

−T<br />

/ 2<br />

o<br />

( cos(( n − k)<br />

ω t)<br />

+ cos(( n + k)<br />

ω t)<br />

)<br />

0<br />

( sin(( n − k)<br />

ω t)<br />

+ sin(( n + k)<br />

ω t)<br />

)<br />

0<br />

⎤<br />

o dt ⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

o dtdt⎥<br />

⎦<br />

Karena integral untuk satu perioda dari fungsi sinus adalah nol, maka<br />

semua integral di ruas kanan persamaan ini bernilai nol kecuali satu<br />

yaitu<br />

a T<br />

n<br />

o<br />

/ 2<br />

2 ∫ − T / 2<br />

o<br />

a<br />

n<br />

( cos(( n − k)<br />

ω t)<br />

) dt = yang terjadi jika n = k<br />

2 To<br />

/ 2<br />

oleh karena itu a n =<br />

∫<br />

f ( t) cos( nω0t)<br />

dt<br />

To<br />

− To<br />

/ 2<br />

0<br />

Pada bentuk-bentuk gelombang yang sering kita temui, banyak<br />

diantara koefisien-koefisien Fourier yang bernilai nol. Keadaan ini<br />

ditentukan oleh kesimetrisan fungsi f(t) yang pernah kita pelajari di<br />

Bab-3; kita akan melihatnya sekali lagi dalam urain berikut ini.<br />

10.1.2. Kesimetrisan Fungsi<br />

Simetri Genap. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri genap<br />

jika f(t) = f(−t). Salah satu contoh fungsi yang memiliki simetri<br />

genap adalah fungsi cosinus, cos(ωt) = cos(−ωt). Untuk fungsi<br />

semacam ini, dari (10.1) kita dapatkan<br />

∞<br />

f ( t)<br />

= a0<br />

+ ∑ n<br />

n=<br />

1<br />

∞<br />

f ( −t)<br />

= a0<br />

+<br />

n=<br />

1<br />

[ a cos( nω<br />

t)<br />

+ b sin( nω<br />

t)<br />

]<br />

0<br />

∑[ an<br />

cos( nω0t)<br />

− bn<br />

sin( nω0t)<br />

]<br />

Kalau kedua fungsi ini harus sama, maka haruslah b n = 0, dan f(t)<br />

menjadi<br />

2<br />

n<br />

0<br />

dan<br />

∑ ∞ f ( t)<br />

= ao + [ an<br />

cos( nω0t)<br />

]<br />

(10.4)<br />

n=<br />

1<br />

197


COTOH-10.1: Tentukan<br />

deret Fourier dari bentuk<br />

gelombang deretan pulsa<br />

berikut ini.<br />

v(t)<br />

A<br />

−T/2 0 T/2<br />

T o<br />

T<br />

Penyelesaian :<br />

Bentuk gelombang ini memiliki simetri genap, amplitudo A,<br />

perioda T o , lebar pulsa T.<br />

T / 2<br />

1 T / 2 At AT<br />

ao<br />

=<br />

∫<br />

Adt = = ; bn<br />

= 0 ;<br />

To<br />

−T<br />

/ 2 To<br />

T<br />

−T/<br />

2 o<br />

2 T / 2<br />

2A<br />

T / 2<br />

an<br />

=<br />

∫<br />

Acos(<br />

nωot)<br />

dt = sin nωot<br />

T − / 2<br />

ω<br />

− / 2<br />

o T<br />

To<br />

on<br />

T<br />

A ⎡ ⎛ nπT<br />

⎞⎤<br />

2A<br />

⎡ ⎛ nπT<br />

⎞⎤<br />

= ⎢2sin⎜<br />

⎟⎥<br />

= ⎢ ⎜ ⎟<br />

sin<br />

⎥<br />

πn<br />

⎢⎣<br />

⎝ To<br />

⎠⎥⎦<br />

πn<br />

⎢⎣<br />

⎝ To<br />

⎠⎥⎦<br />

Untuk n = 2, 4, 6, …. (genap), a n = 0; a n hanya mempunyai<br />

nilai untuk n = 1, 3, 5, …. (ganjil).<br />

∞<br />

AT 2A<br />

⎡ ⎛ nπT<br />

⎞⎤<br />

f ( t)<br />

= +<br />

sin cos( nωot)<br />

T<br />

∑ ⎢ ⎜ ⎟⎥<br />

o<br />

nπ<br />

T<br />

n=<br />

1,<br />

ganjil ⎢⎣<br />

⎝ o ⎠⎥⎦<br />

∞<br />

AT 2A<br />

( n−<br />

/ 2<br />

= +<br />

( 1) 1) cos( n ot)<br />

T<br />

∑ −<br />

ω<br />

o<br />

nπ<br />

n=<br />

1, ganjil<br />

Pemahaman :<br />

Pada bentuk gelombang yang memiliki simetri genap, b n = 0.<br />

Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθ n = b n /a n = 0 yang<br />

berarti θ n = 0 o .<br />

Simetri Ganjil. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri ganjil<br />

jika f(t) = −f(−t). Contoh fungsi yang memiliki simetri ganjil adalah<br />

fungsi sinus, sin(ωt) = −sin(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari<br />

(10.1) kita dapatkan<br />

−<br />

∑ ∞ f ( −t)<br />

= −a0 + n 0 n 0 )<br />

n=<br />

1<br />

[ − a cos( nω<br />

t)<br />

+ b sin( nω<br />

t ]<br />

198 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Kalau fungsi ini harus sama dengan<br />

∑ ∞ f ( t)<br />

= a0 +<br />

n=<br />

1<br />

n 0 n 0 )<br />

maka haruslah<br />

[ a cos( nω<br />

t)<br />

+ b sin( nω<br />

t ]<br />

[ b sin( nω<br />

t)<br />

]<br />

0 0 dan 0 ( ) ∑ ∞ a = an<br />

= ⇒ f t = n 0 (10.5)<br />

n=<br />

1<br />

COTOH-10.2: Carilah deret<br />

Fourier dari bentuk gelombang<br />

persegi di samping ini.<br />

Penyelesaian:<br />

Bentuk gelombang ini memiliki<br />

simetri ganjil, amplitudo A,<br />

perioda T o = T.<br />

a o = 0 ; an<br />

= 0<br />

;<br />

v(t)<br />

A<br />

−A<br />

2 ⎛ T / 2<br />

T<br />

⎞<br />

bn<br />

= ⎜ sin( o )<br />

sin( o ) ⎟<br />

⎝∫<br />

A nω<br />

t dt +<br />

0 ∫<br />

− A nω<br />

t dt<br />

T<br />

T / 2<br />

⎠<br />

2A<br />

/ 2<br />

⎜<br />

⎛<br />

T<br />

T<br />

= − cos( nωot)<br />

+ cos( nωot)<br />

⎟<br />

⎞<br />

Tnω<br />

0<br />

/ 2<br />

o ⎝<br />

T ⎠<br />

A 2<br />

= ( 1+<br />

cos ( nπ)<br />

− 2cos( nπ)<br />

)<br />

nπ<br />

Untuk n ganjil cos(nπ) = −1 sedangkan untuk n genap cos(nπ)<br />

= 1. Dengan demikian maka<br />

A<br />

4A<br />

bn<br />

= ( 1 + 1 + 2)<br />

= untuk n ganjil<br />

nπ<br />

nπ<br />

A<br />

bn<br />

= ( 1 + 1 − 2) = 0 untuk n genap<br />

nπ<br />

∑ ∞ 4A<br />

⇒ v(<br />

t)<br />

=<br />

nω<br />

t<br />

nπ<br />

sin( o )<br />

n=<br />

1, ganjil<br />

Pemahaman:<br />

Pada bentuk gelombang dengan semetri ganjil, a n = 0. Oleh<br />

karena itu sudut fasa harmonisa tanθ n = b n /a n = ∞ atau θ n = 90 o .<br />

T<br />

t<br />

199


Simetri Setengah Gelombang. Suatu fungsi dikatakan mempunyai<br />

simetri setengah gelombang jika f(t) = −f(t−T o /2). Fungsi dengan<br />

sifat ini tidak berubah bentuk dan nilainya jika diinversi kemudian<br />

digeser setengah perioda. Fungsi sinus(ωt) misalnya, jika kita kita<br />

inversikan kemudian kita geser sebesar π akan kembali menjadi<br />

sinus(ωt). Demikain pula halnya dengan fungsi-fungsi cosinus,<br />

gelombang persegi, dan gelombang segitiga.<br />

− f ( t − To<br />

/ 2) = −a0<br />

+<br />

= −a0<br />

+<br />

∞<br />

∑<br />

n=<br />

1<br />

[ − a cos( nω<br />

( t − π))<br />

− b sin( nω<br />

( t − π))<br />

]<br />

∞<br />

n<br />

n<br />

∑[ − ( −1)<br />

an<br />

cos( nω0t)<br />

− ( −1)<br />

bn<br />

sin( nω0t)<br />

]<br />

n=<br />

1<br />

Kalau fungsi ini harus sama dengan<br />

f ( t)<br />

= a<br />

n<br />

∑ ∞ 0 + n 0 n 0 )<br />

n=<br />

1<br />

0<br />

[ a cos( nω<br />

t)<br />

+ b sin( nω<br />

t ]<br />

maka haruslah a o = 0 dan n harus ganjil. Hal ini berarti bahwa<br />

fungsi ini hanya mempunyai harmonisa ganjil saja.<br />

n<br />

0<br />

10.1.3. Deret Fourier Bentuk Eksponensial<br />

Deret Fourier dalam bentuk seperti (10.1) sering disebut sebagai<br />

bentuk sinus-cosinus. Bentuk ini dapat kita ubah kedalam cosinus<br />

(bentuk sinyal standar) seperti (10.2). Sekarang bentuk (10.2) akan<br />

kita ubah ke dalam bentuk eksponensial dengan menggunakan<br />

hubungan<br />

e<br />

cosα =<br />

jα +<br />

e<br />

2<br />

− jα<br />

.<br />

Dengan menggunakan relasi ini maka (10.2) akan menjadi<br />

200 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


∞<br />

⎡ 2 2<br />

f ( t)<br />

= a ∑ ( )<br />

⎤<br />

0 + an<br />

+ bn<br />

cos( nω0t<br />

− θn)<br />

⎢⎣<br />

⎥⎦<br />

n=<br />

1<br />

∞ ⎡ j(<br />

nω0t−θn<br />

) − j(<br />

nω0t−θn<br />

)<br />

+<br />

⎤<br />

2 2 e<br />

e<br />

= a0<br />

+ ∑ ⎢ an<br />

+ bn<br />

⎥<br />

= 1⎢⎣<br />

2<br />

n<br />

⎥⎦<br />

∞ ⎡<br />

= a ⎢<br />

0 + ∑ ⎢<br />

n=<br />

1<br />

⎣<br />

2 2<br />

∞<br />

a<br />

⎤ ⎡<br />

n + bn<br />

j(<br />

nω0t−θn<br />

)<br />

e ⎥ + ⎢<br />

2<br />

⎥ ∑ ⎢<br />

⎦ n=<br />

1<br />

⎣<br />

2 2<br />

a<br />

⎤<br />

n + bn<br />

− j(<br />

nω0t−θn<br />

)<br />

e ⎥<br />

2<br />

⎥<br />

⎦<br />

(10.6)<br />

Suku ketiga (10.6) adalah penjumlahan dari n = 1 sampai n =∞. Jika<br />

penjumlahan ini kita ubah mulai dari n = −1 sampai n = −∞, dengan<br />

penyesuaian a n menjadi a −n , b n menjadi b −n , dan θ n menjadi θ −n ,<br />

maka menurut (10.3) perubahan ini berakibat<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

a−n<br />

= f ( t)cos(<br />

n 0t)<br />

dt<br />

f ( t)cos(<br />

n 0t)<br />

dt an<br />

T ∫<br />

− ω =<br />

ω =<br />

0 −T0<br />

/ 2<br />

T ∫<br />

0 −T0<br />

/ 2<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

2 T0<br />

/ 2<br />

b−n<br />

= f ( t)sin(<br />

n 0t)<br />

dt<br />

f ( t)sin(<br />

n 0t)<br />

dt b<br />

T ∫<br />

− ω = −<br />

ω = −<br />

0 −T0<br />

/ 2<br />

T ∫<br />

0 −T0<br />

/ 2<br />

b<br />

tan n − b<br />

θ<br />

n<br />

n = −<br />

− = ⇒ θ−n<br />

= −θn<br />

a−n<br />

an<br />

(10.7)<br />

Dengan (10.7) ini maka (10.6) menjadi<br />

f ( t)<br />

=<br />

∞<br />

∑<br />

n=<br />

0<br />

⎡<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

a<br />

2<br />

n<br />

+ b<br />

2<br />

2<br />

n<br />

e<br />

j(<br />

nω<br />

t−θ<br />

)<br />

0<br />

n<br />

⎤<br />

⎥ +<br />

⎥<br />

⎦<br />

−∞<br />

∑<br />

n=−1<br />

⎡<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

a<br />

2<br />

n<br />

2<br />

n<br />

+ b<br />

2<br />

e<br />

⎤<br />

n ⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

(10.8)<br />

j(<br />

nω<br />

t−θ<br />

)<br />

Suku pertama dari (10.8) merupakan penjumlahan yang kita mulai<br />

dari n = 0 untuk memasukkan a 0 sebagai salah satu suku<br />

penjumlahan ini. Dengan cara ini maka (10.8) dapat ditulis menjadi<br />

⎛<br />

⎞<br />

+∞ 2 2<br />

+∞<br />

⎜ an<br />

+ bn<br />

− jθ<br />

⎟<br />

n j(<br />

nω0<br />

t)<br />

j(<br />

nω0t)<br />

f ( t)<br />

= ∑ ⎜ e ⎟ e = ∑cn<br />

e (10.9)<br />

n=−∞<br />

2<br />

n=−∞<br />

⎝<br />

⎠<br />

Inilah bentuk eksponensial deret Fourier, dengan c n adalah koefisien<br />

Fourier yang mungkin berupa besaran kompleks.<br />

0<br />

201


c<br />

n<br />

=<br />

a<br />

2<br />

n<br />

+ b<br />

2<br />

2<br />

n<br />

e<br />

− jθ<br />

a<br />

=<br />

n<br />

− jb<br />

2<br />

n<br />

(10.10)<br />

2 2<br />

an<br />

+ bn<br />

cn<br />

=<br />

dan ∠cn<br />

= θn<br />

dengan<br />

2<br />

−1⎛ − b ⎞<br />

1⎛<br />

⎞<br />

n tan ⎜ n<br />

θ = ⎟<br />

− b<br />

jika < 0; θn<br />

= tan ⎜ n ⎟<br />

an<br />

⎝ an<br />

⎠<br />

⎝ an<br />

⎠<br />

jika an<br />

> 0<br />

(10.11)<br />

Jika a n dan b n pada (10.3) kita masukkan ke (10.10) akan kita<br />

dapatkan<br />

a<br />

− jb<br />

1<br />

T0<br />

/ 2<br />

− ω<br />

=<br />

n n<br />

jn n t<br />

cn<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)<br />

e dt (10.12)<br />

2 T0<br />

− T0<br />

/ 2<br />

dan dengan (10.12) ini maka (10.9) menjadi<br />

+∞<br />

+∞<br />

j(<br />

nω<br />

t)<br />

⎛ 1 T0<br />

/ 2<br />

− ω ⎞<br />

0<br />

ω<br />

= ∑ = ∑<br />

⎜<br />

jn<br />

ot<br />

⎟ j(<br />

n<br />

0t)<br />

f ( t)<br />

cn<br />

e<br />

∫<br />

f ( t)<br />

e dt<br />

−<br />

e (10.13)<br />

=−∞<br />

n=−∞⎝<br />

T T / 2<br />

n<br />

0 0<br />

⎠<br />

Persamaan (10.11) menunjukkan bahwa 2|c n | adalah amplitudo dari<br />

harmonisa ke-n dan sudut fasa harmonisa ke-n ini adalah ∠c n .<br />

Persamaan (10.10) ataupun (10.12) dapat kita pandang sebagai<br />

pengubahan sinyal periodik f(t) menjadi suatu spektrum yang terdiri<br />

dari spektrum amplitudo dan spektrum sudut fasa seperti telah kita<br />

kenal di Bab-1. Persamaan (10.9) ataupun (10.13) memberikan f(t)<br />

apabila komposisi harmonisanya c n diketahui. Persamaan (10.12)<br />

menjadi cikal bakal transformasi Fourier, sedangkan persamaan<br />

(10.13) adalah transformasi baliknya.<br />

COTOH-10.3: Carilah koefisien Fourier c n dari fungsi pada<br />

contoh-10.1.<br />

Penyelesaian :<br />

c<br />

n<br />

1<br />

=<br />

T<br />

o<br />

∫<br />

T / 2<br />

−T<br />

/ 2<br />

A e<br />

A ⎛ e<br />

= ⎜<br />

nωoT<br />

⎜<br />

o ⎝<br />

− jnω<br />

t<br />

jnω<br />

T / 2<br />

o<br />

o<br />

dt =<br />

− e<br />

j<br />

o<br />

A ⎛ − jnω<br />

t<br />

⎜ e<br />

T ⎜<br />

o ⎝<br />

− jnωo<br />

− jnω<br />

T / 2<br />

o<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

T / 2<br />

−T<br />

/ 2<br />

⎞<br />

⎟ 2A<br />

=<br />

⎟<br />

⎠<br />

nωoT<br />

o<br />

sin<br />

( nω<br />

T / 2)<br />

o<br />

202 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


10.2. Transformasi Fourier<br />

10.2.1. Spektrum Kontinyu<br />

Deret Fourier, yang koefisiennya diberikan oleh (10.12) hanya<br />

berlaku untuk sinyal periodik. Sinyal-sinyal aperiodik seperti sinyal<br />

eksponensial dan sinyal anak tangga tidak dapat direpresentasikan<br />

dengan deret Fourier. Untuk menangani sinyal-sinyal demikian ini<br />

kita memerlukan transformasi Fourier dan konsep spektrum<br />

kontinyu. Sinyal aperiodik dipandang sebagai sinyal periodik dengan<br />

perioda tak-hingga.<br />

Jika diingat bahwa ω 0 = 2π/T 0 , maka (10.13) menjadi<br />

∞<br />

⎛ 1 T0<br />

/ 2<br />

f ( t)<br />

= ∑<br />

⎜<br />

∫−<br />

=−∞⎝<br />

T<br />

n 0 T0<br />

/ 2<br />

∞<br />

1 ⎛ T0<br />

/ 2<br />

= ∑ ⎜<br />

2π<br />

∫−<br />

n=−∞⎝<br />

T0<br />

/ 2<br />

− jnω<br />

⎞<br />

0t<br />

⎟ jnω0t<br />

f ( t)<br />

e dt<br />

e<br />

⎠<br />

− jnω<br />

⎞<br />

0t<br />

jnω0t<br />

f ( t)<br />

e dt ⎟ ω0<br />

e<br />

⎠<br />

(10.14)<br />

Kita lihat sekarang apa yang terjadi jika perioda T 0 diperbesar.<br />

Karena ω 0 = 2π/T 0 maka jika T 0 makin besar, ω 0 akan makin kecil.<br />

Beda frekuensi antara dua harmonisa yang berturutan, yaitu<br />

∆ ω =<br />

2π<br />

( n + 1) ω0<br />

− nω0<br />

= ω0<br />

=<br />

T0<br />

juga akan makin kecil yang berarti untuk suatu selang frekuensi<br />

tertentu jumlah harmonisa semakin banyak. Oleh karena itu jika<br />

perioda sinyal T 0 diperbesar menuju ∞ maka spektrum sinyal<br />

menjadi spektrum kontinyu, ∆ω menjadi dω (pertambahan frekuensi<br />

infinitisimal), dan nω 0 menjadi peubah kontinyu ω. Penjumlahan<br />

pada (10.14) menjadi integral. Jadi dengan membuat T 0 → ∞ maka<br />

(10.14) menjadi<br />

1 ∞ ⎛ ∞<br />

− jωt<br />

⎞ jωt<br />

1 ∞<br />

jωt<br />

f ( t)<br />

=<br />

∫<br />

⎜<br />

−∞ ∫<br />

f ( t)<br />

e dt ⎟ e dω =<br />

−∞<br />

∫<br />

F(<br />

ω)<br />

e dω<br />

2π<br />

⎝<br />

⎠ 2π<br />

−∞<br />

(10.15)<br />

dengan F(ω) merupakan sebuah fungsi frekuensi yang baru,<br />

sedemikian rupa sehingga<br />

203


∫ ∞ − jωt<br />

F ( ω)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

(10.16)<br />

−∞<br />

dan F(ω) inilah transformasi Fourier dari f(t), yang ditulis dengan<br />

notasi<br />

F<br />

[ f ( t)<br />

] = F ( ω)<br />

Proses transformasi balik dapat kita lakukan melalui persamaan<br />

(10.15).<br />

F<br />

f ( t)<br />

= −1 ( ω)<br />

COTOH-10.4: Carilah transformasi<br />

Fourier dari bentuk gelombang pulsa<br />

di samping ini.<br />

Penyelesaian :<br />

−T/2 0 T/2<br />

Bentuk gelombang ini adalah<br />

aperiodik yang hanya mempunyai nilai antara −T/2 dan +T/2,<br />

sedangkan untuk t yang lain nilainya nol. Oleh karena itu<br />

integrasi yang diminta oleh (10.16) cukup dilakukan antara −T/2<br />

dan +T/2 saja.<br />

F(<br />

ω)<br />

=<br />

T / 2<br />

− jωt<br />

A e dt = −<br />

−T<br />

/ 2<br />

∫<br />

sin( ωT<br />

= AT<br />

ωT<br />

/ 2)<br />

/ 2<br />

T<br />

A − jωt<br />

e<br />

jω<br />

−T<br />

/ 2<br />

/ 2<br />

Kita bandingkan transformasi Fourier (10.16)<br />

∫ ∞ − jωt<br />

F ( ω)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

−∞<br />

dengan koefisien Fourier<br />

A ⎡ jωT<br />

e<br />

= ⎢<br />

ω/<br />

2 ⎢⎣<br />

/ 2<br />

− jωT<br />

− e<br />

an<br />

− jbn<br />

1 T0<br />

/ 2<br />

− jnω<br />

n t<br />

cn<br />

= =<br />

∫<br />

f ( t)<br />

e dt<br />

(10.17)<br />

2 T0<br />

− T0<br />

/ 2<br />

Koefisien Fourier c n merupakan spektrum sinyal periodik dengan<br />

perioda T 0 yang terdiri dari spektrum amplitudo |c n | dan spektrum<br />

A<br />

v(t)<br />

j2<br />

/ 2<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

204 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


sudut fasa ∠c n , dan keduanya merupakan spektrum garis (tidak<br />

kontinyu, memiliki nilai pada frekuensi-frekuensi tertentu yang<br />

diskrit). Sementara itu transformasi Fourier F(ω) diperoleh dengan<br />

mengembangkan perioda sinyal menjadi tak-hingga guna mencakup<br />

sinyal aperiodik yang kita anggap sebagai sinyal periodik yang<br />

periodenya tak-hingga. Faktor 1/T 0 pada c n dikeluarkan untuk<br />

memperoleh F(ω) yang merupakan spektrum kontinyu, baik<br />

spektrum amplitudo |F(jω)| maupun spektrum sudut fasa ∠ F(ω).<br />

COTOH-10.5: Gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal pada<br />

contoh 10.4.<br />

Penyelesaian :<br />

Spektrum amplitudo<br />

sinyal aperiodik ini<br />

merupakan spektrum<br />

kontinyu |F(jω)|.<br />

F ( ω)<br />

=<br />

sin( ωT<br />

/ 2)<br />

AT<br />

ωT<br />

/ 2 -5<br />

|F(ω)|<br />

−6π −4π −2π 0 2π 4π 6π ω<br />

T T 0 T T T T<br />

Pemahaman:<br />

Sinyal ini mempunyai simetri genap. Sudut fasa harmonisa<br />

adalah nol sehingga spektrum sudut fasa tidak digambarkan.<br />

Perhatikan pula bahwa |F(ω)| mempunyai spektrum di dua sisi,<br />

ω positif maupun negatif; nilai nol terjadi jika sin(ωT/2)=0 yaitu<br />

pada ω = ±2kπ/T (k = 1,2,3,…); nilai maksimum terjadi pada ω<br />

= 0, yaitu pada waktu nilai sin(ωT/2)/(ωT/2) = 1.<br />

COTOH-10.6: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = [A e −αt ] u(t)<br />

dan gambarkan spektrum amplitudo dan fasanya.<br />

Penyelesaian :<br />

205


∞<br />

−αt<br />

− jωt<br />

∞<br />

−(<br />

α+ jω)<br />

t<br />

F(<br />

ω)<br />

=<br />

∫<br />

Ae u(<br />

t)<br />

e dt =<br />

−∞ ∫<br />

Ae dt<br />

0<br />

∞<br />

−(<br />

α+ jω)<br />

t<br />

e<br />

A<br />

= − A<br />

= untuk α > 0<br />

α + jω<br />

α + jω<br />

0<br />

| A |<br />

⇒ F(<br />

ω)<br />

=<br />

2 2<br />

α + ω<br />

−1 ω<br />

⇒ θ(<br />

ω)<br />

= ∠F(<br />

jω)<br />

= − tan<br />

α<br />

|F(ω)<br />

25<br />

| A/α<br />

θ(ω)<br />

90<br />

+90 o<br />

Pemahaman:<br />

Untuk α < 0, tidak ada transformasi Fourier-nya karena<br />

integrasi menjadi tidak konvergen.<br />

10.3. Transformasi Balik<br />

Pada transformasi Fourier transformasi balik sering dilakukan<br />

dengan mengaplikasikan relasi formalnya yaitu persamaan (10.15).<br />

Hal ini dapat dimengerti karena aplikasi formula tersebut relatif<br />

mudah dilakukan<br />

COTOH-10.7: Carilah f(t) dari<br />

Penyelesaian :<br />

1<br />

f ( t)<br />

=<br />

2π<br />

F( ω)<br />

= 2πδ(<br />

ω)<br />

∞<br />

jωt<br />

2πδ(<br />

ω)<br />

e dω =<br />

−∞<br />

∫<br />

+<br />

ω<br />

α<br />

=<br />

∫<br />

δ(<br />

ω)(1)<br />

dω = 1<br />

−<br />

α<br />

1<br />

2π<br />

+<br />

0<br />

jωt<br />

2πδ(<br />

ω)<br />

e dω<br />

−<br />

0<br />

∫<br />

−90 o<br />

206 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Pemahaman :<br />

Fungsi 2πδ(ω) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya<br />

mempunyai nilai di ω=0 sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga<br />

hanya mempunyai nilai di ω=0 sebesar e j0t =1. Karena fungsi<br />

hanya mempunyai nilai di ω=0 maka integral dari −∞ sampai<br />

+∞ cukup dilakukan dari 0 − sampai 0 + , yaitu sedikit di bawah<br />

dan di atas ω=0. Contoh ini menunjukkan bahwa transformasi<br />

Fourier dari sinyal searah beramplitudo 1 adalah 2πδ(ω).<br />

COTOH-10.8: Carilah f(t) dari<br />

Penyelesaian :<br />

f ( t)<br />

=<br />

1<br />

2<br />

F( jω)<br />

= 2πδ(<br />

ω − α)<br />

∞<br />

jωt<br />

πδ ω − α e dω =<br />

π ∫<br />

2 ( )<br />

−∞<br />

+<br />

jαt<br />

α<br />

jαt<br />

= e<br />

∫<br />

δ(<br />

ω − α)<br />

dω = e<br />

−<br />

α<br />

Pemahaman :<br />

1<br />

2<br />

+<br />

α<br />

jωt<br />

πδ ω − α e dω<br />

π ∫<br />

2 ( )<br />

−<br />

α<br />

Fungsi 2πδ(ω−α) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang<br />

hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt<br />

juga hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar e jαt . Karena fungsi<br />

hanya mempunyai nilai di ω=α maka integral dari −∞ sampai<br />

+∞ cukup dilakukan dari α − sampai α + , yaitu sedikit di bawah<br />

dan di atas ω=α.<br />

COTOH-10.9: Carilah f(t) dari<br />

πA<br />

F( ω)<br />

= u(<br />

ω + α)<br />

− u(<br />

ω − α)<br />

α<br />

Penyelesaian :<br />

[ ]<br />

207


1 ∞ πA<br />

jωt<br />

f ( t)<br />

= [ u ω + α − u ω − α ] e dω<br />

π ∫<br />

( ) ( )<br />

2 −∞ α<br />

α<br />

jωt<br />

1 ∞ πA<br />

jωt<br />

A e<br />

= [ ] e dω<br />

=<br />

π ∫<br />

1<br />

2 −∞ α<br />

2α<br />

jt<br />

−α<br />

jαt<br />

− jαt<br />

jαt<br />

− jαt<br />

A e − e A e − e sin( αt)<br />

=<br />

=<br />

= A<br />

2α<br />

jt αt<br />

j2<br />

αt<br />

Pemahaman:<br />

Dalam soal ini F(ω) mempunyai nilai pada selang −α


dengan s = σ + jω adalah peubah frekuensi kompleks. Batas bawah<br />

integrasi adalah nol, artinya fungsi f(t) haruslah kausal. Jika f(t)<br />

memenuhi persyaratan Dirichlet maka integrasi tersebut di atas akan<br />

tetap konvergen jika σ = 0, dan formulasi transformasi Laplace ini<br />

menjadi<br />

∫ ∞ − jωt<br />

F ( s)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

(10.19)<br />

0<br />

Sementara itu untuk sinyal kausal integrasi transformasi Fourier<br />

cukup dilakukan dari nol, sehingga transformasi Fourier untuk sinyal<br />

kausal menjadi<br />

∫ ∞ − jωt<br />

F ( ω)<br />

= f ( t)<br />

e dt<br />

(10.20)<br />

0<br />

Bentuk (10.20) sama benar dengan (10.19), sehingga kita dapat<br />

simpulkan bahwa<br />

untuk sinyal f ( t)<br />

kausal dan dapat di - integrasi<br />

F(<br />

ω)<br />

= F(<br />

s)<br />

σ= 0<br />

berlaku<br />

(10.21)<br />

Persyaratan “dapat di-integrasi” pada hubungan (10.21) dapat<br />

dipenuhi jika f(t) mempunyai durasi yang terbatas atau cepat<br />

menurun menuju nol sehingga integrasi |f(t)| dari t=0 ke t=∞<br />

konvergen. Ini berarti bahwa pole-pole dari F(s) harus berada di<br />

sebelah kiri sumbu imajiner. Jika persyaratan-persyaratan tersebut di<br />

atas dipenuhi, pencarian transformasi balik dari F(ω) dapat pula<br />

dilakukan dengan metoda transformasi balik Laplace.<br />

COTOH-10.10: Dengan menggunakan metoda transformasi<br />

Laplace carilah transformasi Fourier dari fungsi-fungsi berikut<br />

(anggap α, β > 0).<br />

Penyelesaian:<br />

−αt<br />

a). f1(<br />

t)<br />

= A e u(<br />

t)<br />

b). f2(<br />

t)<br />

= δ(<br />

t)<br />

c) f3(<br />

t)<br />

= A e<br />

−αt<br />

[ sin βt] u(<br />

t)<br />

209


−αt<br />

a). f1(<br />

t)<br />

= Ae u(<br />

t)<br />

→ fungsi kausal dan dapat di -integrasi<br />

A<br />

→ F(<br />

s)<br />

= → pole p1<br />

= −α (di kiri sumbu imag)<br />

s + α<br />

1<br />

→ F ( ω)<br />

=<br />

jω + α<br />

b). f2(<br />

t)<br />

= δ(<br />

t)<br />

→ fungsi kausal dan<br />

→ F ( s)<br />

= 1 → F ( ω)<br />

= 1<br />

−αt<br />

[ sinβt]<br />

dapat di - integrasi<br />

c). f3(<br />

t)<br />

= A e u(<br />

t)<br />

→ fungsi kausal, dapat<br />

A<br />

→ F ( s)<br />

=<br />

→ pole p = −α ± jβ<br />

2 2<br />

( s + α)<br />

+ β<br />

A<br />

a<br />

→ F ( ω)<br />

=<br />

=<br />

2 2 2 2 2<br />

( jω + α)<br />

+ β α + β − ω + j2αω<br />

di - integrasi<br />

(di kiri sumbu<br />

im)<br />

COTOH-10.11: Carilah f(t) dari<br />

10<br />

F ( ω)<br />

=<br />

( jω + 3)( jω + 4)<br />

Penyelesaian :<br />

Jika kita ganti jω dengan s kita dapatkan<br />

10<br />

F ( s)<br />

=<br />

( s + 3)( s + 4)<br />

Pole dari fungsi ini adalah p 1 = −3 dan p 2 = −4, keduanya di<br />

sebelah kiri sumbu imajiner.<br />

10 k1<br />

k2<br />

F(<br />

s)<br />

=<br />

= +<br />

( s + 3)( s + 4) s + 3 s + 4<br />

→ k<br />

10<br />

s + 4<br />

10 10<br />

⇒ F(<br />

s)<br />

= −<br />

s + 3 s + 4<br />

1<br />

=<br />

s=−3<br />

Transformasi balik dari F(ω) adalah :<br />

f ( t)<br />

=<br />

= 10 ; k<br />

2<br />

=<br />

−3t<br />

−4t<br />

[ 10 e −10<br />

e ] u(<br />

t)<br />

10<br />

s + 3<br />

s=−4<br />

= −10<br />

210 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


10.4. Sifat-Sifat Transformasi Fourier<br />

10.4.1. Kelinieran<br />

Seperti halnya transformasi Laplace, sifat utama transformasi Fourier<br />

adalah kelinieran.<br />

Jika<br />

maka<br />

:<br />

:<br />

F<br />

[ f<br />

1<br />

( t)<br />

] = F1<br />

( ω)<br />

dan F[ f ( t)<br />

] = F2(<br />

[ Af t)<br />

+ Bf t)<br />

] = AF<br />

( ω)<br />

+ BF<br />

( ω)<br />

F<br />

2<br />

1 (<br />

2 (<br />

1<br />

2<br />

ω)<br />

COTOH-10.12: Carilah transformasi Fourier dari v(t) = cosβt.<br />

Penyelesaian:<br />

(10.22)<br />

Fungsi ini adalah non-kausal; oleh karena itu metoda<br />

transformasi Laplace tidak dapat di terapkan. Fungsi cosinus ini<br />

kita tuliskan dalam bentuk eksponensial.<br />

F<br />

⎡ jβt<br />

− jβt<br />

e + e ⎤ 1 jβt<br />

1 − jβt<br />

[ cosβt] = F⎢<br />

⎥ = F[ e ] + F[ e ]<br />

⎢⎣<br />

2<br />

Dari contoh 10.8. kita ketahui bahwa F ⎡<br />

e<br />

jωt<br />

⎤<br />

= 2πδ(<br />

ω − β)<br />

⎢⎣ ⎥⎦<br />

F<br />

Jadi [ cosβt] = πδ( ω − β)<br />

+ πδ(<br />

ω + β)<br />

10.4.2. Diferensiasi<br />

Sifat ini dinyatakan sebagai berikut<br />

⎡df<br />

( t)<br />

⎤<br />

F ⎢ ⎥ = jωF<br />

( ω)<br />

(10.23)<br />

⎣ dt ⎦<br />

Persamaan (10.15) menyatakan<br />

1 ∞<br />

jωt<br />

f ( t)<br />

= ( ω)<br />

ω<br />

2π<br />

∫<br />

F e d<br />

−∞<br />

df ( t)<br />

d ⎛ 1 ∞<br />

jωt<br />

⎞ 1 ∞ ⎡ d jωt<br />

⎤<br />

→ = ⎜ ( ω)<br />

ω⎟<br />

= ( ( ) )<br />

2<br />

2<br />

⎢ ω ω<br />

π<br />

⎥<br />

⎝ π ∫<br />

F e d<br />

∫<br />

F e d<br />

dt dt −∞<br />

⎠ −∞ ⎣dt<br />

⎦<br />

1 ∞<br />

jωt<br />

= ω ( ω)<br />

ω<br />

2π<br />

∫<br />

j F e d<br />

−∞<br />

⎡df<br />

( t)<br />

⎤<br />

→ F⎢<br />

⎥ = jωF<br />

( ω)<br />

⎣ dt ⎦<br />

⎥⎦<br />

2<br />

2<br />

211


10.4.3. Integrasi<br />

Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.<br />

⎡ t ⎤ F(<br />

ω)<br />

F ⎢∫ f ( x)<br />

dx⎥<br />

= + πF(0)<br />

δ(<br />

ω)<br />

(10.24)<br />

⎣ −∞<br />

⎦ jω<br />

Suku kedua ruas kanan (10.24) merupakan komponen searah jika<br />

sekiranya ada. Faktor F(0) terkait dengan f(t); jika ω diganti dengan<br />

nol akan kita dapatkan<br />

F (0)<br />

=<br />

∫ ∞ f ( t)<br />

dt<br />

−∞<br />

COTOH-10.13: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = Au(t).<br />

Penyelesaian:<br />

Metoda transformasi Laplace tidak dapat diterapkan untuk<br />

fungsi anak tangga. Dari contoh (10.10.b) kita dapatkan bahwa<br />

F [ δ( t)<br />

] = 1<br />

. Karena fungsi anak tangga adalah integral dari<br />

fungsi impuls, kita dapat menerapkan hbungan (10.24) tersebut<br />

di atas.<br />

F<br />

10.4.4. Pembalikan<br />

t<br />

1<br />

j ω<br />

[ u( t)<br />

] = F∫ δ(<br />

x)<br />

dx = + πδ(<br />

ω)<br />

∞<br />

−<br />

Pembalikan suatu fungsi f(t) adalah mengganti t dengan −t. Jika kita<br />

membalikkan suatu fungsi, maka urutan kejadian dalam fungsi yang<br />

baru berlawanan dengan urutan kejadian pada fungsi semula.<br />

Transformsi Fourier dari fungsi yang dibalikkan sama dengan<br />

kebalikan dari transformasi Fourier fungsi semula. Secara formal hal<br />

ini dapat dituliskan sebagai<br />

[ f ( t)<br />

] = F(<br />

ω)<br />

maka F[ f ( −t)<br />

] = F(<br />

−ω)<br />

Jika F (10.25)<br />

Menurut (10.16)<br />

212 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


F<br />

[ f ( −t)<br />

]<br />

→ F<br />

∞<br />

− jωt<br />

=<br />

∫<br />

f ( −t)<br />

e dt ; Misalkan − t = τ<br />

−∞<br />

−∞<br />

jωτ<br />

= −∫<br />

f ( τ)<br />

e dτ<br />

∞<br />

∞<br />

− jωτ<br />

=<br />

∫<br />

f ( τ)<br />

e dτ<br />

= F(<br />

−ω)<br />

−∞<br />

[ f ( −t)<br />

] = F[ f ( τ)<br />

]<br />

Sifat pembalikan ini dapat kita manfaatkan untuk mencari<br />

transformasi Fourier dari fungsi signum dan fungsi eksponensial dua<br />

sisi.<br />

COTOH-10.14: Carilah transformasi Fourier dari fungsi signum<br />

dan eksponensial dua sisi breikut ini.<br />

v(t)<br />

u(t)<br />

1<br />

v(t)<br />

1<br />

e −α(−t)<br />

e −αt u(t)<br />

0 t<br />

−u(−t)<br />

−1<br />

0<br />

t<br />

eksponensial dua sisi :<br />

signum : sgn(t) = u(t) − e −α| t | = e −αt u(t) + e −α(−t) u(−t)<br />

Penyelesaian u(−t) :<br />

1<br />

Contoh 10.13. memberikan F [ u( t)<br />

] = + πδ(<br />

ω)<br />

maka<br />

jω<br />

F<br />

[ sgn( t)<br />

] = F[ u(<br />

t)<br />

− u(<br />

−t)<br />

]<br />

2<br />

=<br />

jω<br />

−αt 1<br />

F e u(<br />

t)<br />

= maka<br />

Contoh 10.10.a memberikan [ ]<br />

α + jω<br />

−α |<br />

( )<br />

[ ] [ ]<br />

| t −αt<br />

−α −t<br />

F e = F e u(<br />

t)<br />

+ e u(<br />

−t)<br />

1 1 2α<br />

= + =<br />

α + jω<br />

α + j(<br />

−ω)<br />

2 2<br />

α + ω<br />

10.4.5. Komponen yata dan Imajiner dari F(ω)<br />

Pada umumnya transformasi Fourier dari f(t), F(ω), berupa fungsi<br />

kompleks yang dapat kita tuliskan sebagai<br />

213


F<br />

∞<br />

− jωt<br />

∞<br />

( ω)<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)<br />

e dt =<br />

ω −<br />

−∞ ∫<br />

f ( t)<br />

cos<br />

t dt j<br />

−∞<br />

jθ = A(<br />

ω)<br />

+ jB(<br />

ω)<br />

= ( ω)<br />

e ω<br />

F<br />

∞<br />

f ( t)<br />

sinωt<br />

dt<br />

−∞<br />

dengan<br />

∞<br />

∞<br />

A ( ω)<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)cosωt<br />

dt ; B(<br />

ω)<br />

= −<br />

−∞<br />

∫<br />

f ( t)sin<br />

ωt<br />

dt (10.26)<br />

−∞<br />

2 2<br />

−1⎛<br />

B(<br />

ω)<br />

⎞<br />

F ( ω)<br />

= A ( ω)<br />

+ B ( ω)<br />

; θ(<br />

ω)<br />

= tan<br />

⎜<br />

⎟ (10.27)<br />

⎝ A(<br />

ω)<br />

⎠<br />

Jika f(t) fungsi nyata, maka dari (10.26) dan (10.27) dapat kita<br />

simpulkan bahwa<br />

1. Komponen riil dari F(ω) merupakan fungsi genap, karena<br />

A(−ω) = A(ω).<br />

2. Komponen imajiner F(ω) merupakan fungsi ganjil, karena<br />

B(−ω) =− B(ω).<br />

3. |F(ω)| merupakan fungsi genap, karena |F(−ω)| = |F(ω)|.<br />

4. Sudut fasa θ(ω) merupakan fungsi ganjil, karena θ(−ω) =−<br />

θ(ω).<br />

5. Kesimpulan (1) dan (2) mengakibatkan : kebalikan F(ω)<br />

adalah konjugat-nya, F(−ω) = A(ω) − jB(ω) = F * (ω) .<br />

6. Kesimpulan (5) mengakibatkan : F(ω) × F(−ω) = F(ω) ×<br />

F * (ω) = |F(ω)| 2 .<br />

7. Jika f(t) fungsi genap, maka B(ω) = 0, yang berarti F(ω) riil.<br />

8. Jika f(t) fungsi ganjil, maka A(ω) = 0, yang berarti F(ω)<br />

imajiner.<br />

∫<br />

10.4.6. Kesimetrisan<br />

Sifat ini dinyatakan secara umum sebagai berikut.<br />

Jika<br />

[ f ( t)<br />

] = ( ω)<br />

maka F[ F(<br />

t)<br />

] = 2π<br />

f ( −ω)<br />

F F (10.28)<br />

Sifat ini dapat diturunkan dari formulasi transformasi balik.<br />

214 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


2π<br />

f ( t)<br />

=<br />

Jika<br />

t<br />

∫<br />

∞<br />

−∞<br />

F<br />

jωt<br />

( ω)<br />

e dω → 2π<br />

f ( −t)<br />

=<br />

dan ω dipertukarkan<br />

10.4.7. Pergeseran Waktu<br />

Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.<br />

Jika<br />

∫<br />

∞<br />

−∞<br />

F<br />

maka : 2π<br />

f ( −ω)<br />

=<br />

− jωt<br />

( ω)<br />

e dω<br />

∫<br />

∞<br />

−∞<br />

− jωT<br />

[ f ( t)<br />

] = F(<br />

ω)<br />

maka F[ f ( t − T )] = e F(<br />

ω)<br />

F<br />

− jωt<br />

( t)<br />

e dω<br />

F (10.29)<br />

Sifat ini mudah diturunkan dari definisinya.<br />

10.4.8. Pergeseran Frekuensi<br />

Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.<br />

[ ]<br />

1<br />

jβt<br />

F(<br />

ω)<br />

= f ( t)<br />

maka F−<br />

[ F ( ω − β)<br />

] = e f ( t)<br />

Jika F<br />

−1<br />

(10.30)<br />

Sifat ini juga mudah diturunkan dari definisinya.<br />

10.4.9. Penskalaan<br />

Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.<br />

1 ⎛ ω ⎞<br />

Jika F [ f ( t)<br />

] = F(<br />

ω)<br />

maka F[ f ( at)<br />

] = F⎜<br />

⎟ (10.31)<br />

| a | ⎝ a ⎠<br />

10.5. Ringkasan<br />

Tabel-10.1 berikut ini memuat pasangan transformasi Fourier<br />

sedangkan sifat-sifat transformasi Fourier termuat dalam Tabel-10.2.<br />

215


Tabel 10.1. Pasangan transformasi Fourier.<br />

Sinyal f(t) F(ω)<br />

Impuls δ(t) 1<br />

Sinyal searah (konstan) 1 2π δ(ω)<br />

Fungsi anak tangga u(t) 1<br />

+ πδ(<br />

ω)<br />

jω<br />

Signum<br />

sgn(t)<br />

2<br />

jω<br />

Exponensial (kausal) −αt<br />

( e ) u(t)<br />

1<br />

α + j<br />

ω<br />

Eksponensial (dua sisi) |<br />

e α |t<br />

Eksponensial kompleks<br />

− 2α<br />

2 2<br />

α + ω<br />

j t<br />

e β 2π<br />

δ(<br />

ω − β)<br />

Kosinus cosβt π [ δ( ω − β)<br />

+ δ(<br />

ω + β)<br />

]<br />

Sinus sinβt − j π [ δ( ω − β)<br />

− δ(<br />

ω + β)<br />

]<br />

Tabel 10.2. Sifat-sifat transformasi Fourier.<br />

Sifat Kawasan Waktu Kawasan Frekuensi<br />

Sinyal f(t) F(ω)<br />

Kelinieran A f 1 (t) + B f 2 (t) AF 1 (ω) + BF 2 (ω)<br />

Diferensiasi<br />

Integrasi<br />

df ( t)<br />

jωF(ω)<br />

dt<br />

t<br />

F ( ω)<br />

f ( x)<br />

dx<br />

+ π F (0) δ(<br />

ω)<br />

∫ −∞<br />

jω<br />

Kebalikan f (−t) F(−ω)<br />

Simetri F (t) 2π f (−ω)<br />

Pergeseran waktu f (t − T) − jωT<br />

e F (ω)<br />

Pergeseran frekuensi e j β t f (t) F(ω − β)<br />

Penskalaan |a| f (at)<br />

⎛ ω ⎞<br />

F ⎜ ⎟<br />

⎝ a ⎠<br />

216 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Soal-Soal<br />

Deret Fourier Bentuk Sinus-Cosinus.<br />

1. Tentukan deret Fourier dari gelombang segitiga berikut ini.<br />

v 1ms<br />

5V<br />

t<br />

a). −5V<br />

v 1ms<br />

10V<br />

b).<br />

c).<br />

d).<br />

v<br />

v<br />

v<br />

20ms<br />

20ms<br />

1ms<br />

t<br />

150V<br />

t<br />

150V<br />

t<br />

10V<br />

e).<br />

−5V<br />

2. Siklus pertama dari deretan pulsa dinyatakan sebagai<br />

v ( t)<br />

= 2u(<br />

t)<br />

− 2u(<br />

t −1)<br />

+ u(<br />

t − 2) − u(<br />

t − 3)<br />

Gambarkan siklus pertama tersebut dan carilah koefisien Fouriernya<br />

serta gambarkan spektrum amplitudo dan sudut fasanya.<br />

t<br />

217


3. Suatu gelombang komposit dibentuk dengan menjumlahkan<br />

tegangan searah 10V dengan gelombang persegi yang amplitudo<br />

puncak ke puncak-nya 10 V. Carilah deret Fouriernya dan<br />

gambarkan spektrum amplitudonya.<br />

Deret Fourier Bentuk Eksponensial.<br />

4. Carilah koefisien kompleks deret Fourier bentuk gelombang<br />

berikut.<br />

a).<br />

−5V<br />

v<br />

v<br />

1ms<br />

1ms<br />

5V<br />

t<br />

10V<br />

b).<br />

v<br />

10V<br />

1ms<br />

2ms<br />

t<br />

t<br />

c).<br />

−5V<br />

v<br />

150V<br />

d).<br />

v<br />

20ms<br />

1ms<br />

t<br />

10V<br />

e).<br />

−5V<br />

t<br />

218 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Transformasi Fourier<br />

5. Carilah transformasi Fourier dari bentuk-bentuk gelombang<br />

berikut:<br />

At<br />

a). v( t)<br />

= [ u(<br />

t)<br />

− u(<br />

t − T )];<br />

T<br />

b).<br />

⎛ 2πt<br />

⎞⎡<br />

⎞ ⎞⎤<br />

⎢ ⎜<br />

⎛ T<br />

⎜<br />

⎛ T<br />

v ( t)<br />

= Acos⎜<br />

⎟ u t + ⎟ − u t − ⎟⎥ ⎝ T ⎠⎣<br />

⎝ 4 ⎠ ⎝ 4 ⎠ ⎦<br />

A ⎡<br />

⎤<br />

c).<br />

⎛ 2πt<br />

⎞⎤<br />

⎡ ⎞ ⎞<br />

⎢ ⎜<br />

⎛ T<br />

⎜<br />

⎛ T<br />

v ( t)<br />

= ⎢1<br />

+ cos⎜<br />

⎟⎥<br />

u t + ⎟ − u t − ⎟⎥ 2 ⎣ ⎝ T ⎠⎦<br />

⎣ ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠ ⎦<br />

d). v ( t)<br />

= 2 + 2u(<br />

t)<br />

;<br />

e). v ( t)<br />

= 2sgn( −t)<br />

+ 6u(<br />

t)<br />

−2t<br />

f). v(<br />

t)<br />

= [ 2e<br />

u(<br />

t)<br />

+ 2sgn( t)<br />

] δ(<br />

t + 2)<br />

−2(<br />

t−2)<br />

−2(<br />

t+<br />

2)<br />

g). v(<br />

t)<br />

= 2e<br />

u(<br />

t − 2) + 2e<br />

u(<br />

t + 2)<br />

6. Tentukan transformasi balik dari fungsi-fungsi berikut:<br />

π −α|<br />

ω|<br />

a). F ( ω)<br />

= e ;<br />

α<br />

πA<br />

β<br />

b). F ( ω)<br />

= [ u(<br />

ω + β)<br />

− u(<br />

ω − β)<br />

]<br />

c). F 1000<br />

( ω)<br />

=<br />

( jω + 20) ( jω + 50)<br />

;<br />

jω<br />

d). F ( ω)<br />

=<br />

( jω + 20) ( jω + 50)<br />

2<br />

e). F − ω<br />

( ω)<br />

=<br />

( jω + 20) ( jω + 50)<br />

;<br />

1000<br />

f). F ( ω)<br />

=<br />

jω(<br />

jω + 20) ( jω + 50)<br />

219


j500ω<br />

g). F ( ω)<br />

=<br />

;<br />

( − jω + 50) ( jω + 50)<br />

j5ω<br />

h). F ( ω)<br />

=<br />

( jω + 50) ( jω + 50)<br />

i). F 5000<br />

( ω)<br />

=<br />

jω(<br />

− jω + 50) ( jω + 50)<br />

;<br />

5000δ(<br />

ω)<br />

j). F ( ω)<br />

=<br />

2<br />

− ω + j200ω + 2500<br />

−2ω<br />

k). F ( ω)<br />

= 4π δ(<br />

ω)<br />

+ e ;<br />

− ω<br />

4π δ(<br />

ω − 4)e j2<br />

l). F ( ω)<br />

=<br />

jω<br />

4π δ(<br />

ω)<br />

+ 4( jω + 1)<br />

m). F ( ω)<br />

=<br />

;<br />

jω(2<br />

+ jω)<br />

−2ω<br />

n). F ( ω)<br />

= 4π δ(<br />

ω)<br />

+ e<br />

o). F ( ω)<br />

= 4π δ(<br />

ω)<br />

+ 4π δ(<br />

ω − 2) + 4π δ(<br />

ω + 2)<br />

220 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


BAB 11<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> Menggunakan<br />

Transformasi Fourier<br />

Dengan pembahasan analisis rangkaian dengan menggunakan<br />

transformasi Fourier, kita akan<br />

• mampu melakukan analisis rangkaian menggunakan<br />

transformasi Fourier.<br />

• mampu mencari tanggapan frekuensi.<br />

11.1. Transformasi Fourier dan Hukum <strong>Rangkaian</strong><br />

Kelinieran dari transformasi Fourier menjamin berlakunya relasi hukum<br />

Kirchhoff di kawasan frekuensi. Relasi HTK misalnya, jika<br />

ditransformasikan akan langsung memberikan hubungan di kawasan<br />

frekuensi yang sama bentuknya dengan relasinya di kawasan waktu.<br />

Misalkan relasi HTK<br />

jika<br />

ditransformasikan<br />

: v ( t)<br />

+ v<br />

1<br />

: V ( ω)<br />

+ V<br />

1<br />

2<br />

( t)<br />

− v<br />

3<br />

3<br />

( ω)<br />

−V<br />

( t)<br />

= 0<br />

3<br />

( ω)<br />

= 0<br />

Hal inipun berlaku untuk KCL. Dengan demikian maka transformasi<br />

Fourier dari suatu sinyal akan mengubah pernyataan sinyal di kawasan<br />

waktu menjadi spektrum sinyal di kawasan frekuensi tanpa mengubah<br />

bentuk relasi hukum Kirchhoff, yang merupakan salah satu persyaratan<br />

rangkaian yang harus dipenuhi dalam analisis rangkaian listrik.<br />

Persyaratan rangkaian yang lain adalah persyaratan elemen, yang dapat<br />

kita peroleh melalui transformasi hubungan tegangan-arus (karakteristik<br />

i-v elemen). Dengan memanfaatkan sifat diferensiasi dari transformasi<br />

Fourier, kita akan memperoleh relasi di kawasan frekuensi untuk resistor,<br />

induktor, dan kapasitor sebagai berikut.<br />

Resistor<br />

Induktor<br />

Kapasitor<br />

: VR<br />

( ω)<br />

= RI<br />

R ( ω)<br />

: VL<br />

( ω)<br />

= jωLI<br />

L ( ω)<br />

: IC<br />

( ω)<br />

= jωCVC<br />

( ω)<br />

Relasi diatas mirip dengan relasi hukum Ohm. Dari relasi di atas kita<br />

dapatkan impedansi elemen, yaitu perbandingan antara tegangan dan arus<br />

di kawasan frekuensi<br />

221


Z R = R<br />

1<br />

; Z L = jωL<br />

; ZC<br />

=<br />

(11.1)<br />

jωC<br />

Bentuk-bentuk (11.1) telah kita kenal sebagai impedansi arus bolakbalik.<br />

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa transformasi Fourier<br />

suatu sinyal akan tetap memberikan relasi hukum Kirchhoff di kawasan<br />

frekuensi dan hubungan tegangan-arus elemen menjadi mirip dengan<br />

relasi hukum Ohm jika elemen dinyatakan dalam impedansinya. Dengan<br />

dasar ini maka kita dapat melakukan transformasi rangkaian, yaitu<br />

menyatakan elemen-elemen rangkaian dalam impedansinya dan<br />

menyatakan sinyal dalam transformasi Fouriernya. Pada rangkaian yang<br />

ditransformasikan ini kita dapat menerapkan kaidah-kaidah rangkaian<br />

dan metoda-metoda analisis rangkaian. Tanggapan rangkaian di kawasan<br />

waktu dapat diperoleh dengan melakukan transformasi balik.<br />

Uraian di atas paralel dengan uraian mengenai transformasi Laplace,<br />

kecuali satu hal yaitu bahwa kita tidak menyebut-nyebut tentang kondisiawal.<br />

Hal ini dapat difahami karena batas integrasi dalam mencari<br />

transformasi Fourier adalah dari −∞ sampai +∞. Hal ini berbeda dengan<br />

transformasi Laplace yang batas integrasinya dari 0 ke +∞. Jadi analisis<br />

rangkaian dengan menggunakan transformasi Fourier mengikut sertakan<br />

seluruh kejadian termasuk kejadian untuk t < 0. Oleh karena itu cara<br />

analisis dengan transformasi Fourier tidak dapat digunakan jika kejadian<br />

pada t < 0 dinyatakan dalam bentuk kondisi awal. Pada dasarnya<br />

transformasi Fourier diaplikasikan untuk sinyal-sinyal non-kausal<br />

sehingga metoda Fourier memberikan tanggapan rangkaian yang berlaku<br />

untuk t = −∞ sampai t = +∞.<br />

COTOH-11.1: Pada rangkaian seri antara<br />

resistor R dan kapasitor C diterapkan<br />

tegangan v 1 . Tentukan tanggapan<br />

rangkaian v C .<br />

Penyelesaian:<br />

Persoalan rangkaian orde pertama ini telah pernah kita tangani pada<br />

analisis transien di kawasan waktu maupun kawasan s<br />

(menggunakan transformasi Laplace). Di sini kita akan<br />

menggunakan transformasi Fourier.<br />

+<br />

v 1<br />

−<br />

R<br />

C<br />

+<br />

v C<br />

−<br />

222 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Transformasi Fourier dari rangkaian ini<br />

adalah : tegangan masukan V 1 (ω),<br />

impedansi resistor R terhubung seri<br />

1<br />

dengan impedansi kapasitor .<br />

jωC<br />

Dengan kaidah pembagi tegangan kita dapatkan tegangan pada<br />

kapasitor adalah<br />

ZC<br />

1/ jωC<br />

1/ RC<br />

VC<br />

( ω)<br />

= V1 ( ω)<br />

=<br />

V1<br />

( ω)<br />

=<br />

V1<br />

( ω)<br />

R + ZC<br />

R + (1/ jωC)<br />

jω + (1/ RC)<br />

Tegangan kapasitor tergantung dari V 1 (ω). Misalkan tegangan<br />

masukan v 1 (t) berupa sinyal anak tangga dengan amplitudo 1. Dari<br />

tabel 11.1. tegangan ini di kawasan frekuensi adalah<br />

1<br />

V 1(<br />

ω)<br />

= + π δ(<br />

ω)<br />

. Dengan demikian maka<br />

jω<br />

V C ( ω)<br />

=<br />

1/ RC ⎛ 1 ⎞<br />

( ) =<br />

j (1/ RC)<br />

⎜ + π δ ω<br />

j<br />

⎟<br />

ω + ⎝ ω ⎠<br />

jω<br />

1/ RC<br />

π δ(<br />

ω)<br />

/ RC<br />

+<br />

( jω + 1/ RC) ( jω + 1/ RC)<br />

Fungsi impuls δ(ω) hanya mempunyai nilai untuk ω = 0, sehingga<br />

pada umumnya F(ω)δ(ω) = F(0)δ(ω). Dengan demikian suku kedua<br />

π δ(<br />

ω)<br />

/ RC<br />

ruas kanan persamaan di atas = π δ(<br />

ω)<br />

. Suku pertama<br />

( jω + 1/ RC )<br />

dapat diuraikan, dan persamaan menjadi<br />

V C<br />

1 1<br />

( ω)<br />

= −<br />

+ π δ(<br />

ω)<br />

jω<br />

jω + 1/ RC<br />

Dengan menggunakan Tabel 11.1. kita dapat mencari transformasi<br />

balik<br />

1<br />

vC<br />

( t)<br />

= sgn( t)<br />

−<br />

2<br />

−(1/<br />

RC)<br />

t 1 −(1/<br />

RC)<br />

t<br />

[ e ] u(<br />

t)<br />

+ = [ 1 − e ] u(<br />

t)<br />

Pemahaman :<br />

Hasil yang kita peroleh menunjukkan keadaan transien tegangan<br />

kapasitor, sama dengan hasil yang kita peroleh dalam analisis<br />

transien di kawasan waktu di Bab-4 contoh 4.5. Dalam<br />

menyelesaikan persoalan ini kita tidak menyinggung sama sekali<br />

mengenai kondisi awal pada kapasitor karena transformasi Fourier<br />

telah mencakup keadaan untuk t < 0.<br />

2<br />

+<br />

V 1<br />

−<br />

R<br />

1/jωC<br />

+<br />

V C<br />

−<br />

223


COTOH-11.2: Bagaimanakah v C pada contoh 11.1. jika tegangan<br />

yang diterapkan adalah v 1 (t) = sgn(t) ?<br />

Penyelesaian:<br />

Dari Tabel 11.1. kita peroleh F [ sgn( t)<br />

]<br />

maka V C (ω) dan uraiannya adalah<br />

2<br />

= . Dengan demikian<br />

jω<br />

⎡ 1/ RC ⎤<br />

V C ( ω)<br />

= ⎢ ⎥<br />

⎣ jω + 1/ RC ⎦<br />

Transformasi baliknya memberikan<br />

2<br />

=<br />

jω<br />

2<br />

−<br />

jω<br />

2<br />

jω + 1/ RC<br />

Pemahaman:<br />

−(1/<br />

RC)<br />

t<br />

vC<br />

( t)<br />

= sgn( t)<br />

− 2 e u(<br />

t)<br />

Persoalan ini melibatkan sinyal non-kausal yang memerlukan<br />

penyelesaian dengan transformasi Fourier. Suku pertama dari v C (t)<br />

memberikan informasi tentang keadaan pada t < 0, yaitu bahwa<br />

tegangan kapasitor bernilai −1 karena suku kedua bernilai nol untuk<br />

t < 0. Untuk t > 0, v C (t) bernilai 1 − 2e −(1/RC) t u(t) yang merupakan<br />

tegangan transien yang nilai akhirnya adalah +1. Di sini terlihat jelas<br />

bahwa analisis dengan menggunakan transformasi Fourier<br />

memberikan tanggapan rangkaian yang mencakup seluruh sejarah<br />

rangkaian mulai dari −∞ sampai +∞. Gambar v C (t) adalah seperti di<br />

bawah ini.<br />

2<br />

v C<br />

+1 1<br />

0<br />

-40 -20 0 20 40<br />

sgn(t)<br />

-1<br />

−1<br />

−2 -2<br />

sgn(t)−2e −(1/RC) t u(t)<br />

t<br />

−2e −(1/RC) t u(t)<br />

224 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


11.2. Konvolusi dan Fungsi Alih<br />

Jika h(t) adalah tanggapan rangkaian terhadap sinyal impuls dan x(t)<br />

adalah sinyal masukan, maka sinyal keluaran y(t) dapat diperoleh melalui<br />

integral konvolusi yaitu<br />

∫<br />

y ( t)<br />

= t h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

dτ<br />

(11.2)<br />

0<br />

Dalam integral konvolusi ini batas integrasi adalah τ = 0 sampai τ = t<br />

karena dalam penurunan formulasi ini h(t) dan x(t) merupakan bentuk<br />

gelombang kausal. Jika batas integrasi tersebut diperlebar mulai dari τ =<br />

−∞ sampai τ = +∞, (11.2) menjadi<br />

y ( t)<br />

=<br />

∫ +∞ h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

dτ<br />

(11.3)<br />

τ= −∞<br />

Persamaan (11.3) ini merupakan bentuk umum dari integral konvolusi<br />

yang berlaku untuk bentuk gelombang kausal maupun non-kausal.<br />

Transformasi Fourier untuk kedua ruas (11.3) adalah<br />

F<br />

⎡ +∞<br />

( = Y ( ω)<br />

= F ⎢∫<br />

⎣ τ=−∞<br />

[ y t)<br />

]<br />

⎤<br />

h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

dτ⎥<br />

⎦<br />

∞ ⎡ +∞<br />

⎤ − jωt<br />

=<br />

∫ ⎢<br />

=−∞ ∫<br />

h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

dτ⎥<br />

e dt<br />

t ⎣ τ=−∞<br />

⎦<br />

Pertukaran urutan integrasi pada (11.4) memberikan<br />

(11.4)<br />

∞ ⎡ +∞<br />

Y ( ω)<br />

=<br />

∫ ⎢<br />

τ=−∞ ⎣∫t<br />

=−∞<br />

− jωt<br />

⎤<br />

h(<br />

τ)<br />

x(<br />

t − τ)<br />

e dt⎥dτ<br />

⎦<br />

∞ ⎡ +∞<br />

− jωt<br />

⎤<br />

=<br />

∫<br />

h(<br />

τ)<br />

⎢<br />

τ=−∞ ∫<br />

x(<br />

t − τ)<br />

e dt⎥dτ<br />

⎣ t=−∞<br />

⎦<br />

(11.5)<br />

Mengingat sifat pergeseran waktu pada transformasi Fourier, maka<br />

(11.5) dapat ditulis<br />

Y ( ω)<br />

=<br />

∞<br />

− jωτ<br />

h(<br />

τ)<br />

e X ( ω)<br />

dτ<br />

τ=−∞<br />

∫<br />

⎡ ∞<br />

− jωτ<br />

⎤<br />

= ⎢ ( τ)<br />

τ⎥<br />

( ω)<br />

⎣∫<br />

h e d X<br />

τ=−∞<br />

⎦<br />

= H(<br />

ω)<br />

X ( ω)<br />

(11.6)<br />

225


Persamaan (11.6) menunjukkan hubungan antara transformasi Fourier<br />

sinyal keluaran dan masukan. Hubungan ini mirip bentuknya dengan<br />

persamaan yang memberikan hubungan masukan-keluaran melalui<br />

fungsi alih T(s) di kawasan s yaitu Y(s) = T(s) X(s). Oleh karena itu H(ω)<br />

disebut fungsi alih bentuk Fourier.<br />

COTOH-11.3: Tanggapan impuls suatau sistem adalah<br />

α −α|<br />

t|<br />

h(<br />

t)<br />

= e . Jika sistem ini diberi masukan sinyal signum,<br />

2<br />

sgn(t), tentukanlah tanggapan transiennya.<br />

Penyelesaian:<br />

Dengan Tabel 11.1. didapatkan H(ω) untuk sistem ini<br />

⎡α −α| t|<br />

⎤ α 2α<br />

H ( ω)<br />

= F ⎢ e =<br />

2<br />

⎥<br />

⎣ ⎦ 2 2<br />

α + ω<br />

Sinyal masukan, menurut Tabel 11.1. adalah<br />

Sinyal keluaran adalah<br />

X ( ω)<br />

= F<br />

α<br />

Y ( ω)<br />

= H ( ω)<br />

X ( ω)<br />

=<br />

2<br />

α + ω<br />

yang dapat diuraikan menjadi<br />

k2<br />

= ( α + jω)<br />

Y ( ω)<br />

=<br />

jω=−α<br />

k3<br />

= ( α − jω)<br />

Y ( ω)<br />

=<br />

jω=α<br />

2<br />

[ sgn(t) ]<br />

2<br />

2<br />

=<br />

jω<br />

2<br />

2<br />

=<br />

jω<br />

k1<br />

k2<br />

k3<br />

Y ( ω)<br />

= + +<br />

jω<br />

α + jω<br />

α − jω<br />

2<br />

2α<br />

k1<br />

= jωY<br />

( ω)<br />

=<br />

jω=<br />

0 ( α + jω)(<br />

α − jω)<br />

2<br />

α<br />

=<br />

2<br />

α + ω<br />

2α<br />

jω(<br />

α + jω)(<br />

α − jω)<br />

jω=<br />

0<br />

= 2<br />

2<br />

2<br />

2α<br />

2α<br />

=<br />

= −1<br />

jω(<br />

α − jω)<br />

− α(<br />

α + α)<br />

jω=−α<br />

2<br />

2<br />

2α<br />

2α<br />

= = + 1<br />

jω(<br />

α + jω)<br />

α(<br />

α + α)<br />

jω=α<br />

2<br />

2<br />

226 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Jadi<br />

Y 2 −1<br />

1<br />

( ω)<br />

= + +<br />

jω<br />

α + jω<br />

α + j(<br />

−ω)<br />

sehingga<br />

−αt<br />

−α(<br />

−t)<br />

y(<br />

t)<br />

= sgn( t)<br />

− e u(<br />

t)<br />

+ e u(<br />

−t)<br />

−α t<br />

α t<br />

= [1 − e ] u(<br />

t)<br />

+ [ −1+<br />

e ] u(<br />

−t)]<br />

Gambar dari hasil yang kita peroleh adalah seperti di bawah ini.<br />

COTOH-11.4: Tentukan tanggapan frekuensi dari sistem pada contoh-<br />

11.3.<br />

Penyelesaian :<br />

Fungsi alih sistem tersebut adalah<br />

0<br />

-40 0 40<br />

[−1+e α t ] u(t)<br />

y(t)<br />

1<br />

+1<br />

-1<br />

2<br />

α<br />

H ( ω)<br />

= .<br />

2 2<br />

α + ω<br />

Kurva |H(ω)| kita gambarkan dengan ω sebagai absis dan hasilnya<br />

adalah seperti gambar di bawah ini.<br />

|H(ω)|<br />

1<br />

−1<br />

[1−e −α t ] u(t)<br />

1<br />

t<br />

0<br />

0<br />

-20 -10 0 10 20<br />

ω<br />

227


Pada ω =0, yaitu frekuensi sinyal searah, |H(ω)| bernilai 1 sedangkan<br />

untuk ω tinggi |H(ω)| menuju nol. Sistem ini bekerja seperti lowpass<br />

filter. Frekuensi cutoff terjadi jika | H ( ω ) | =<br />

| H (0) |<br />

2<br />

2<br />

α<br />

2 2<br />

α + ωc<br />

=<br />

1 2 2<br />

⇒ ωc<br />

= α 2 − α<br />

2<br />

= 0.644α<br />

11.3. Energi Sinyal<br />

Energi total yang dibawa oleh suatu bentuk gelombang sinyal<br />

didefinisikan sebagai<br />

W<br />

∫ +∞ total = p(<br />

t)<br />

dt<br />

−∞<br />

dengan p(t) adalah daya yang diberikan oleh sinyal kepada suatu beban.<br />

2<br />

2 v ( t)<br />

Jika beban berupa resistor maka p(<br />

t)<br />

= i ( t)<br />

R = ; dan jika<br />

R<br />

bebannya adalah resistor 1 Ω maka<br />

2<br />

W1<br />

∫ +∞ Ω = f ( t)<br />

dt<br />

−∞<br />

(11.7)<br />

dengan f ( t)<br />

berupa arus ataupun tegangan<br />

Persamaan (11.7) digunakan sebagai definisi untuk menyatakan energi<br />

yang dibawa oleh suatu bentuk gelombang sinyal. Dengan kata lain,<br />

energi yang diberikan oleh suatu gelombang sinyal pada resistor 1 Ω<br />

menjadi pernyataan kandungan energi gelombang tersebut.<br />

Teorema Parseval menyatakan bahwa energi total yang dibawa oleh<br />

suatu bentuk gelombang dapat dihitung baik di kawasan waktu maupun<br />

kawasan frekuensi. Pernyataan ini dituliskan sebagai<br />

+∞<br />

2 1 +∞<br />

2<br />

W1<br />

Ω =<br />

∫<br />

f ( t)<br />

dt =<br />

−∞ ∫<br />

| F ( ω) | dω<br />

(11.8)<br />

2π<br />

−∞<br />

Karena |F(ω)| 2 merupakan fungsi genap, maka (11.8) dapat dituliskan<br />

1<br />

∫ +∞ 2<br />

W1<br />

Ω = | F ( ω) | dω<br />

(11.9)<br />

π 0<br />

228 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Jadi di kawasan waktu energi gelombang adalah integral untuk seluruh<br />

waktu dari kuadrat bentuk gelombang, dan di kawasan frekuensi<br />

energinya adalah (1/2π) kali integrasi untuk seluruh frekuensi dari<br />

kuadrat besarnya (nilai mutlak) transformasi Fourier dari sinyal.<br />

Penurunan teorema ini dimulai dari (11.7).<br />

+∞<br />

2<br />

+∞ ⎡ 1 ∞<br />

jωt<br />

⎤<br />

W1Ω<br />

=<br />

∫<br />

f ( t)<br />

dt =<br />

−∞ ∫<br />

f ( t)<br />

⎢<br />

−∞ ∫<br />

F ( ω)<br />

e dω⎥dt<br />

⎣2π<br />

−∞<br />

⎦<br />

Integrasi yang berada di dalam tanda kurung adalah integrasi terhadap ω<br />

dan bukan terhadap t. Oleh karena itu f(t) dapat dimasukkan ke dalam<br />

integrasi tersebut menjadi<br />

1 +∞⎡<br />

∞<br />

jωt<br />

⎤<br />

W1Ω<br />

=<br />

∫ ⎢<br />

−∞ ∫<br />

f ( t)<br />

F ( ω)<br />

e dω<br />

π<br />

⎥dt<br />

2 ⎣ −∞<br />

⎦<br />

Dengan mempertukarkan urutan integrasi, akan diperoleh<br />

W1Ω<br />

=<br />

1<br />

2<br />

1<br />

=<br />

2π<br />

1<br />

=<br />

2π<br />

+∞⎡<br />

∞<br />

jωt<br />

⎤<br />

∫ ⎢<br />

−∞ ∫<br />

f ( t)<br />

F(<br />

ω)<br />

e dt⎥dω<br />

π ⎣ −∞<br />

⎦<br />

∫<br />

∫<br />

+∞<br />

−∞<br />

+∞<br />

−∞<br />

F<br />

⎡ ∞<br />

− j(<br />

−ωt)<br />

⎤<br />

( ω)<br />

⎢∫<br />

f ( t)<br />

e dt⎥dω<br />

⎣ −∞<br />

⎦<br />

1 +∞<br />

2<br />

( ω)<br />

F(<br />

−ω)<br />

dω =<br />

∫<br />

| F ( ω)<br />

| dω<br />

2π<br />

−∞<br />

F<br />

Teorema Parseval menganggap bahwa integrasi pada persamaan (11.8)<br />

ataupun (11.9) adalah konvergen, mempunyai nilai berhingga. Sinyal<br />

yang bersifat demikian disebut sinyal energi; sebagai contoh: sinyal<br />

kausal eksponensial, eksponensial dua sisi, pulsa persegi, sinus teredam.<br />

Jadi tidak semua sinyal merupakan sinyal energi. Contoh sinyal yang<br />

mempunyai transformasi Fourier tetapi bukan sinyal energi adalah sinyal<br />

impuls, sinyal anak tangga, signum, dan sinus (tanpa henti). Hal ini<br />

bukan berarti bahwa sinyal ini, anak tangga dan sinyal sinus misalnya,<br />

tidak dapat digunakan untuk menyalurkan energi bahkan penyaluran<br />

energi akan berlangsung sampai tak hingga; justru karena itu ia tidak<br />

disebut sinyal energi melainkan disebut sinyal daya.<br />

229


COTOH-11.5: Hitunglah energi yang dibawa oleh gelombang<br />

−1000<br />

t<br />

v(<br />

t)<br />

= 10 e u(<br />

t V<br />

Penyelesaian:<br />

[ ] )<br />

Kita dapat menghitung di kawasan waktu<br />

W<br />

1Ω<br />

=<br />

∫<br />

0<br />

= −<br />

∞<br />

−1000t<br />

2 ∞<br />

−2000t<br />

[ 10 e ] dt = [ 100 e ]<br />

100<br />

2000<br />

e<br />

∫<br />

0<br />

∞<br />

−2000t<br />

=<br />

0<br />

Untuk menghitung di kawasan frekuensi, kita cari lebih dulu<br />

V(ω)=10/(jω+1000).<br />

2<br />

∞<br />

1 ∞ ⎡ 100 ⎤ 100 −1<br />

ω<br />

W1<br />

Ω = ⎢<br />

ω = tan<br />

2 2 6 ⎥<br />

π ∫<br />

d<br />

−∞ ⎣ω<br />

+ 10 ⎦ 2π(1000)<br />

1000<br />

−∞<br />

1 ⎡π<br />

⎛ π ⎞⎤<br />

= ⎢ − ⎜−<br />

⎟⎥<br />

=<br />

20π<br />

⎣ 2 ⎝ 2 ⎠⎦<br />

1<br />

20<br />

Pemahaman: Kedua cara perhitungan memberikan hasil yang sama.<br />

Fungsi |F(ω)| 2 menunjukkan kerapatan energi dalam spektrum sinyal.<br />

Persamaan (11.40) adalah energi total yang dikandung oleh seluruh<br />

spektrum sinyal. Jika batas integrasi adalah ω 1 dan ω 2 maka kita<br />

memperoleh persamaan<br />

J<br />

1<br />

20<br />

1<br />

∫ ω 2 2<br />

W12 = | F ( ω)<br />

| dω<br />

(11.10)<br />

π ω<br />

1<br />

yang menunjukkan energi yang dikandung oleh gelombang dalam selang<br />

frekuensi ω 1 dan ω 2 .<br />

Jika hubungan antara sinyal keluaran dan masukan suatu pemroses sinyal<br />

adalah Y ( ω)<br />

= H ( ω)<br />

X ( ω)<br />

maka energi sinyal keluaran adalah<br />

1<br />

∫ ∞ 2 2<br />

W1 Ω = | H ( ω)<br />

| | X ( ω)<br />

| dω<br />

(11.11)<br />

π 0<br />

Dengan hubungan-hubungan yang kita peroleh ini, kita dapat<br />

menghitung energi sinyal langsung menggunakan transformasi<br />

Fouriernya tanpa harus mengetahui bentuk gelombang sinyalnya.<br />

J<br />

dt<br />

230 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


COTOH-11.6: Tentukan lebar pita yang diperlukan agar 90% dari<br />

−1000<br />

t<br />

total energi gelombang exponensial v(<br />

t)<br />

= 10 [ e ] u(<br />

t)<br />

V dapat<br />

diperoleh.<br />

Penyelesaian:<br />

Bentuk gelombang<br />

−1000<br />

t<br />

[ e ] u(<br />

t)<br />

v(<br />

t)<br />

= 10<br />

→V<br />

( ω)<br />

=<br />

10<br />

jω + 1000<br />

Energi total :<br />

2<br />

∞<br />

1 ∞ ⎡ 100 ⎤ 100 −1<br />

ω<br />

W1<br />

Ω = ⎢<br />

tan<br />

0 2 6 ⎥ ω =<br />

π ∫<br />

d<br />

⎣ω<br />

+ 10 ⎦ π(1000)<br />

1000<br />

0<br />

1 ⎡π<br />

⎤ 1<br />

= 0 = J<br />

10<br />

⎢ −<br />

π 2<br />

⎥<br />

⎣ ⎦ 20<br />

Misalkan lebar pita yang diperlukan untuk memperoleh 90% energi<br />

adalah β, maka<br />

2<br />

β<br />

1 β⎡<br />

100 ⎤ 100 −1<br />

ω<br />

W90%<br />

= ⎢<br />

tan<br />

0 2 6 ⎥ ω =<br />

π ∫<br />

d<br />

⎣ω<br />

+ 10 ⎦ π(1000)<br />

1000<br />

0<br />

1 −1<br />

β<br />

= tan<br />

10π<br />

1000<br />

Jadi<br />

1 −<br />

1<br />

9<br />

tan<br />

1 β<br />

β ⎛ π ⎞<br />

⇒<br />

= 0.9 × ⇒ = tan⎜<br />

⎟<br />

10π<br />

1000 20 1000 ⎝ 20 ⎠<br />

⇒ β = 6310 rad/s<br />

231


Soal-Soal<br />

1. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =<br />

−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2<br />

sampai t = + ∞. Jika v 1 = −10 V, v 2 = 10 V, tentukan v in , V in (ω) ,<br />

V o (ω) , v o .<br />

1<br />

− + S 1 µf<br />

− +<br />

v 1<br />

v 2<br />

2<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10 kΩ<br />

2. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =<br />

−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2<br />

sampai t = + ∞. Tentukan v in , V in (ω) , V o (ω) , v o , jika v 1 = −10 V,<br />

v 2 = 5 V.<br />

1<br />

− + S<br />

− +<br />

v 1<br />

v 2<br />

2<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

10 kΩ<br />

1 µf<br />

3. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =<br />

−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2<br />

sampai t = + ∞. Tentukan v in , V in (ω) , V o (ω) , v o , jika v 1 = 10e 100t<br />

V, v 2 = 10e −100t V.<br />

1<br />

− + S<br />

− +<br />

v 1<br />

v 2<br />

2<br />

+<br />

v in<br />

−<br />

1 H<br />

0,5 kΩ<br />

4. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =<br />

−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2<br />

sampai t = + ∞. Tentukan v in , V in (ω) , V o (ω) , v o , jika v 1 = 10e 100t<br />

V, v 2 = −10e −100t V.<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

232 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


− +<br />

v 1<br />

1<br />

S<br />

− + +<br />

v 2<br />

2<br />

v in<br />

−<br />

0,5 kΩ<br />

1 H<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

5. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =<br />

−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2<br />

sampai t = + ∞. Tentukan v in , V in (ω) , V o (ω) , v o , jika v 1 = 10 V,<br />

v 2 = 10e −100t V.<br />

1<br />

− + S<br />

v 1<br />

− + +<br />

v 2<br />

2<br />

v in<br />

−<br />

1 H<br />

100 Ω<br />

6. Pada sebuah rangkaian seri L = 1 H, C = 1µF, dan R = 1 kΩ,<br />

diterapkan tegangan v s = 10sgn(t) V. Tentukan tegangan pada<br />

resistor.<br />

7. Tanggapan impuls sebuah rangkaian linier adalah h(t) = sgn(t).<br />

Jika tagangan masukan adalah v s (t) = δ(t)−10e −10t u(t) V, tentukan<br />

tegangan keluarannya.<br />

8. Tentukan tanggapan frekuensi rangkaian yang mempunyai<br />

tanggapan impuls<br />

h(t) = δ(t)−20e −10t u(t).<br />

9. Tentukan tegangan keluaran rangkaian soal 8, jika diberi masukan<br />

v s (t) = sgn(t).<br />

10. Jika tegangan masukan pada rangkaian berikut adalah<br />

v1 = 10cos100t<br />

V, tentukan tegangan keluaran v o.<br />

1µF 10kΩ<br />

−<br />

+<br />

10kΩ +<br />

v<br />

+<br />

1<br />

v o<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

233


11. Ulangi soal 10 untuk sinyal yang transformasinya<br />

200<br />

V 1(<br />

ω)<br />

=<br />

2<br />

ω + 400<br />

12. Tentukan enegi yang dibawa oleh sinyal<br />

−100<br />

t<br />

v(<br />

t)<br />

= 500 t e u(<br />

t)<br />

V . Tentukan pula berapa persen energi<br />

yang dikandung dalam selang frekuensi −100 ≤ ω ≤ +100 rad/s .<br />

13. Pada rangkaian filter RC berikut ini, tegangan masukan adalah<br />

−<br />

20 5 t<br />

v1 = e u(<br />

t)<br />

V .<br />

+<br />

−<br />

v 1<br />

100kΩ<br />

1µF<br />

100kΩ<br />

+<br />

v o<br />

−<br />

Tentukan energi total masukan, persentase energi sinyal keluaran<br />

v o terhadap energi sinyal masukan, persentase energi sinyal<br />

keluaran dalam selang passband-nya.<br />

14. Pada rangkaian berikut ini, tegangan masukan adalah<br />

−<br />

20 5 t<br />

v1 = e u(<br />

t)<br />

V .<br />

1µF 10kΩ<br />

−<br />

+<br />

10kΩ +<br />

+<br />

v 1<br />

Tentukan energi total masukan, persentase energi sinyal keluaran<br />

v o terhadap energi sinyal masukan, persentase energi sinyal<br />

keluaran dalam selang passband-nya.<br />

v o<br />

234 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Daftar Pustaka<br />

1. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong>”, Penerbit ITB<br />

2002, ISBN 979-9299-54-3.<br />

2. Sudaryatno Sudirham, “Pengembangan Metoda Unit Output Untuk<br />

Perhitungan Susut Energi Pada Penyulang Tegangan Menengah”,<br />

Monograf, 2005, limited publication.<br />

3. Sudaryatno Sudirham, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong>”, Catatan<br />

Kuliah El 1001, Penerbit ITB, 2007.<br />

4. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Harmonisa Dalam Permasalahan<br />

Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, 2008.<br />

5. P. C. Sen, “Power Electronics” McGraw-Hill, 3rd Reprint, 1990,<br />

ISBN 0-07-451899-2.<br />

6. Ralph J. Smith & Richard C. Dorf : “Circuits, Devices and Systems”<br />

; John Wiley & Son Inc, 5 th ed, 1992.<br />

7. David E. Johnson, Johnny R. Johnson, John L. Hilburn : “Electric<br />

Circuit Analysis” ; Prentice-Hall Inc, 2 nd ed, 1992.<br />

8. Vincent Del Toro : “Electric Power Systems”, Prentice-Hall<br />

International, Inc., 1992.<br />

9. Roland E. Thomas, Albert J. Rosa : “The Analysis And Design of<br />

Linier Circuits”, . Prentice-Hall Inc, 1994.<br />

10. Douglas K Lindner : “Introduction to Signals and Systems”,<br />

McGraw-Hill, 1999.<br />

235


Daftar otasi<br />

v atau v(t) : tegangan sebagai fungsi waktu.<br />

V : tegangan dengan nilai tertentu, tegangan searah.<br />

V rr : tegangan, nilai rata-rata.<br />

V rms : tegangan, nilai efektif.<br />

V maks : tegangan, nilai maksimum, nilai puncak.<br />

V : fasor tegangan dalam analisis di kawasan fasor.<br />

V : nilai mutlak fasor tegangan.<br />

V(s) : tegangan fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />

i atau i(t) : arus sebagai fungsi waktu.<br />

I<br />

: arus dengan nilai tertentu, arus searah.<br />

I rr : arus, nilai rata-rata.<br />

I rms : arus, nilai efektif.<br />

I maks : arus, nilai maksimum, nilai puncak.<br />

I : fasor arus dalam analisis di kawasan fasor.<br />

I : nilai mutlak fasor arus.<br />

I(s) : arus fungsi s dalam analisis di kawasan s.<br />

p atau p(t) : daya sebagai fungsi waktu.<br />

p rr : daya, nilai rata-rata.<br />

S : daya kompleks.<br />

|S| : daya kompleks, nilai mutlak.<br />

P : daya nyata.<br />

Q : daya reaktif.<br />

q atau q(t) : muatan, fungsi waktu.<br />

w : energi.<br />

R : resistor; resistansi.<br />

L : induktor; induktansi.<br />

C : kapasitor; kapasitansi.<br />

Z : impedansi.<br />

Y : admitansi.<br />

T V (s) : fungsi alih tegangan.<br />

T I (s) : fungsi alih arus.<br />

T Y (s) : admitansi alih.<br />

T Z (s) : impedansi alih.<br />

µ : gain tegangan.<br />

β : gain arus.<br />

r<br />

: resistansi alih, transresistance.<br />

g : konduktansi; konduktansi alih, transconductance.<br />

236 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


IDEKS<br />

a<br />

akar kompleks 40<br />

akar riil 36, 38<br />

anak tangga 12, 43, 56, 113<br />

analisis transien 1<br />

arus mesh 99<br />

b<br />

Bode plot 132<br />

c<br />

cutoff 126<br />

d<br />

decibel 127<br />

diagram blok 169, 172, 174,<br />

177, 189<br />

diferensiasi 62, 216<br />

dinamis 181<br />

e<br />

eksponensial 57, 200<br />

energi sinyal 228<br />

f<br />

Fourier 195<br />

fungsi alih 106, 109, 117,<br />

166, 225<br />

fungsi fasa 124<br />

fungsi gain 124<br />

fungsi jaringan 105<br />

fungsi masukan 105<br />

fungsi pemaksa 7<br />

g<br />

gain 126<br />

gain, band-pass 129, 140, 143<br />

gain, high-pass 126, 129, 137,<br />

146<br />

gain, low-pass 126, 129, 149<br />

h<br />

hubungan bertingkat 114<br />

i<br />

impedansi 86<br />

impuls 111<br />

induktor 86<br />

integrasi 61, 216<br />

integrator 186, 188<br />

k<br />

kaidah 90<br />

kaidah rantai 114<br />

kapasitor 86, 171<br />

kaskade 168<br />

Kirchhoff 89<br />

komponen mantap 7<br />

komponen transien 7<br />

kondisi awal 6<br />

konvolusi 75, 117, 167, 225<br />

l<br />

linier 60<br />

m<br />

metoda-metoda 93<br />

n<br />

nilai akhir 65<br />

nilai awal 65<br />

Norton 92<br />

o<br />

orde ke-dua 31, 33, 141<br />

orde pertama 1, 2, 4, 26, 121<br />

p<br />

paralel 169<br />

Parseval 229<br />

passband 126<br />

pembalikan 212<br />

pen-skalaan 65, 215<br />

pole 68, 70, 71, 73, 156<br />

proporsionalitas 91<br />

237


reduksi rangkaian 96<br />

resistor 85<br />

ruang status 187, 189<br />

s<br />

simetri 198, 200, 202<br />

sinyal 163<br />

sinyal sinus 20, 46, 57, 121<br />

sistem 164, 165, 165, 185<br />

spektrum kontinyu 203<br />

statis 181<br />

stopband 126<br />

sub-sistem 181<br />

superposisi 18, 92, 94<br />

t<br />

tanggapan alami 4, 5, 26, 34<br />

tanggapan frekuensi 121, 124,<br />

141, 152<br />

tanggapan lengkap 4, 6, 35<br />

tanggapan masukan nol 24, 26<br />

tanggapan paksa 4, 6, 26, 35<br />

tanggapan status nol 24, 26<br />

tegangan simpul 98<br />

teorema 91<br />

Thévenin 97<br />

transformasi balik 55, 59, 206<br />

transformasi Fourier 195, 203,<br />

208, 211, 223<br />

transformasi Laplace 55, 56, ,<br />

58, 59, 67, 78, 85, 211<br />

translasi s 64<br />

translasi t 63<br />

u<br />

umpan balik 169<br />

unik 59<br />

unit output 93<br />

z<br />

zero 68, 150, 152<br />

238 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)


Biodata<br />

Nama: Sudaryatno Sudirham<br />

Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943<br />

Istri: Ning Utari<br />

Anak: Arga Aridarma<br />

Aria Ajidarma.<br />

1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.<br />

1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.<br />

1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia.<br />

1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis.<br />

1981 : INPT - Toulouse − Perancis; 1982 DEA; 1985 Doktor.<br />

Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran <strong>Listrik</strong>”, “Pengantar Teknik<br />

Elektro”, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong>”, “Material Elektroteknik”,<br />

“Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”, “Dielektrika”,<br />

“Material Biomedika”.<br />

Buku: “<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong>”, Penerbit ITB, Bandung, 2002;<br />

“Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut Energi Jaringan<br />

Distribusi”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Fungsi dan Grafik,<br />

Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010; “<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010; ”Mengenal<br />

Sifat Material (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010; “<strong>Analisis</strong><br />

Keadaan Mantap <strong>Rangkaian</strong> Sistem Tenaga”, Darpublic, Bandung, 2011.<br />

239


<strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)<br />

<strong>Analisis</strong> Transien,<br />

Transformasi Laplace,<br />

Fungsi Jaringan,<br />

Tanggapan Frekuensi,<br />

Pengenalan Pada Sistem,<br />

Persamaan Ruang Status,<br />

Transformasi Fourier.<br />

240 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> <strong>Rangkaian</strong> <strong>Listrik</strong> (2)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!