Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org
Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org
Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Saluran Transmisi<br />
Sudaryatno Sudirham<br />
<strong>Analisis</strong><br />
<strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Darpublic – Edisi Juli 2012
<strong>Analisis</strong><br />
<strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
oleh<br />
Sudaryatno Sudirham<br />
i
Hak cipta pada penulis<br />
SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />
<strong>Analisis</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.<br />
ii
Pengantar<br />
Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan<br />
suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem<br />
distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama<br />
berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan<br />
sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan<br />
seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai<br />
perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan<br />
dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab<br />
berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga,<br />
mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di<br />
tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan<br />
yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai<br />
permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu<br />
metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem<br />
yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung<br />
situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas<br />
transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam<br />
buku ini.<br />
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,<br />
sangat penulis harapkan.<br />
Bandung, Juli 2012<br />
Wassalam,<br />
Penulis.<br />
iii
Darpublic<br />
Kanayakan D-30, Bandung, 40135<br />
Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di<br />
www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />
Selain Buku-e, di<br />
www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />
tersedia juga open course<br />
dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf<br />
iv
Daftar Isi<br />
Kata Pengantar<br />
Daftar Isi<br />
Bab 1: Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> 1<br />
Energi yang Tersedia. Struktur <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik.<br />
Penyaluran Energi Listrik. Sumber Energi Primer.<br />
Beban. <strong>Sistem</strong> Polifasa. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Seimbang.<br />
<strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Tak Seimbang. Pernyataan <strong>Sistem</strong><br />
<strong>Tenaga</strong>.<br />
Bab 2: Saluran Transmisi 47<br />
Impedansi dan Admitansi. Rangkaian Ekivalen.<br />
Perubahan Pembebanan. Perubahan Panjang Saluran.<br />
Lossless Line. <strong>Analisis</strong> Pembebanan Saluran Transmisi.<br />
Transien Pada Saluran Transmisi.<br />
Bab 3: Transformator 113<br />
Transformator Satu –fasa. Transformator Pada <strong>Sistem</strong><br />
Tiga-fasa. Transformator Tiga Belitan. Transformator<br />
Tiga-fasa Dibangaun Dari Transformator Satu-fasa.<br />
Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-∆. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />
Pada Saluran Dengan Transformator. Transformator<br />
Polifasa.<br />
Bab 4: Mesin Sinkron 157<br />
Mesin Sinkron Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor<br />
Silindris. Kopling Turbin-Generator. Daya Mesin<br />
Sinkron. Batas Operasi Mesin Sinkron. Transien Pada<br />
Mesin Sinkron. Lebih Lanjut Tentang Mesin Sinkron<br />
Kutub Menonjol.<br />
iii<br />
v<br />
v
Bab 5: <strong>Analisis</strong> Aliran Daya 197<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya. Persamaan Arus-Tegangan.<br />
Persamaan Aliran Daya. Metoda Newton-Raphson.<br />
Contoh <strong>Sistem</strong> Dua Bus. Contoh <strong>Sistem</strong> Tiga Bus.<br />
Daftar Pustaka 225<br />
Biodata Penulis 226<br />
Indeks 227<br />
vi
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
BAB 1 Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik<br />
Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia<br />
mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi<br />
kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan<br />
keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang<br />
tidak kecil.<br />
Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam<br />
energi listrik:<br />
• Energi radiasi (sinar matahari).<br />
• Energi panas bumi.<br />
• Energi kimia (batubara, minyak bumi).<br />
• Energi kinetik gelombang laut.<br />
• Energi kinetic arus laut.<br />
• Energi potensial air terjun.<br />
• Energi nuklir.<br />
Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan:<br />
• Lebih mudah diatur/dikendalikan.<br />
• Dapat ditransmisikan dengan kecepatan cahaya.<br />
• Dapat dikonversikan ke bentuk energi lain dengan efisiensi<br />
tinggi.<br />
• Bebas polusi, walaupun dalam konversinya dari bentuk<br />
aslinya menimbulkan juga masalah polusi.<br />
• Konversi ke bentuk lain biasanya mudah dan sederhana.<br />
Kelemahan energi listrik terutama adalah bahwa proses<br />
penyediaannya memerlukan pendanaan cukup besar. Kita sadari<br />
bahwa sistem tenaga listrik adalah besar baik dilihat dari ukurannya,<br />
investasinya, jumlah energi yang dikelola, besaran fisisnya<br />
(tegangan, arus) sampai kepada piranti-pirantinya. Oleh karena itu<br />
pembangunan sistem biasanya dilakukan tidak selalu dari nol<br />
melainkan mengembangakan sistem yang sudah ada; kebutuhan<br />
energi listrik yang terus tumbuh, memaksa sistem tenaga listrik<br />
selalu di-modifikasi dengan mengambil manfaat dari perkembangan<br />
teknologi yang terjadi.<br />
1
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Dalam Tinjauan <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik ini, kita banyak menoleh ke<br />
PLN. Energi listrik diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada<br />
tahun 1897 (masih zaman penjajahan) dengan didirikannya<br />
perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische<br />
Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia (sekarang Jakarta)<br />
dengan kantor pusat di Gambir. Dua belas tahun setelah itu di<br />
Surabaya didirikan Algemeene Indische Electriciteit Maatschappij<br />
(ANIEM) pada tahun 1909 oleh perusahaan gas NIGM [Ensiklopedi<br />
Blora, 2011]. Frekuensi yang digunakan pada sistem tenaga yang<br />
dibangun adalah 50 Hz, standar Eropa.<br />
Yang menarik dalam kaitan perkembangan kelistrikan di Indonesia<br />
adalah bahwa pengenalan energi listrik di Indonesia tidaklah jauh<br />
dari perkembangan kelistrikan di Amerika. Kita baca misalnya<br />
dalam buku Charles A Gross [1] bahwa pada tahun 1890-an<br />
perusahaan Westinghouse baru bereksperimen dengan apa yang<br />
disebut “alternating current”. Persaingan berkembang antara<br />
General Electric dan Westinghouse dalam menentukan apakah dc<br />
atau ac yang sebaiknya digunakan oleh industri. Pada akhirnya<br />
bentuk ac dapat diterima, antara lain oleh alasan-alasan berikut:<br />
• Transformator (ac) memberikan kemungkinan untuk<br />
mengubah tegangan maupun arus secara mudah.<br />
• Generator ac jauh lebih sederhana dibandingkan dengan<br />
generator dc.<br />
• Motor-motor ac juga lebih sederhana dan lebih murah dari<br />
motor dc.<br />
Pada sekitar 1900 masih diperdebatkan mengenai frekuensi yang<br />
harus digunakan dalam mencatu daya ac, apakah 25, 50, 60, 125,<br />
dan 133 Hz. Jika tidak di-standarkan akan diperlukan beaya untuk<br />
peralatan konversi agar antar sistem dapat dihubungkan. Pada waktu<br />
itu pembangkit hidro cenderung menggunakan 25 Hz karena turbin<br />
air dapat dirancang untuk mencapai efisiensi yang lebih baik pada<br />
kecepatan yang sesuai dengan pembangkitan 25 Hz. Masalah yang<br />
timbul pada penggunaan frekuensi ini adalah terjadinya flicker pada<br />
lampu pijar. Pada akhirnya diterimalah frekuensi 60 Hz sebagai<br />
frekuensi standar karena pada frekuensi ini flicker tidak lagi terasa<br />
dan turbin uap berkinerja baik pada kecepatan perputaran yang<br />
berkaitan yaitu 3600 dan 1800 rpm. Sementara itu di Eropa<br />
ditetapkan frekuensi 50 Hz sebagai frekuensi standar.<br />
2 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Pemanfaatan energi listrik yang pertama kali adalah untuk keperluan<br />
penerangan. Lampu listrik terus dikembangkan untuk memperoleh<br />
lumen per watt semakin tinggi. Kebutuhan energi listrik kemudian<br />
berkembang, tidak hanya untuk memenuhi keperluan penerangan<br />
tetapi juga keperluan akan energi untuk mengoperasikan berbagai<br />
alat rumah tanggga, alat kantor, pabrik-pabrik, gedung-gedung,<br />
sampai ke arena hiburan. Kebutuhan yang terus meningkat tersebut<br />
memerlukan penyaluran energi dengan tegangan yang lebih tinggi.<br />
Dibuatlah transformator penaik tegangan untuk mengirimkan energi<br />
dan transformator penurun tegangan untuk disesuaikan dengan<br />
kebutuhan pengguna.<br />
1.2 Struktur <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik<br />
An electrical power system can be defined as follows: An<br />
electrical power system is a network of interconnected components<br />
designed to convert nonelectrical energy continuously into the<br />
electrical form; transport the electrical energy over potentially<br />
great distances; transform the electrical energy into a specific<br />
form subject to close tolerances; and convert the electrical energy<br />
into a usable nonelectrical form. [1].<br />
Agar dapat diimplementasikan, sistem ini harus aman, dapat<br />
diandalkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan secara sosial dapat<br />
diterima. <strong>Sistem</strong> tenaga dapat dipandang terdiri dari beberapa subsistem,<br />
yaitu<br />
Pembangkitan (Generation)<br />
Transmisi (Transmission)<br />
Subtransmission<br />
Distribusi: primer, sekunder<br />
Beban<br />
1.2.1 Pembangkitan<br />
Piranti utama di sub-sistem pembangkitan adalah generator yang<br />
merupakan sumber energi listrik. Istilah “sumber energi” di sini<br />
agaknya kurang tepat, mengingat bahwa sesungguhnya generator<br />
hanyalah mengubah energi non-listrik menjadi energi listrik.<br />
Generator ini, di pusat pembangkit tenaga air misalnya,<br />
digerakkan (diputar) oleh turbin air dan turbin sendiri digerakkan<br />
oleh air terjun. Air terjunlah yang sesungguhnya sumber energi.<br />
Namun demikian pembahasan kita hanya menyangkut sistem<br />
3
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
tenaga listrik, sehingga peralatan-peralatan “di depan generator”<br />
tidak kita bicarakan dan kita menganggap generator sebagai<br />
sumber energi.<br />
Pada umumnya generator merupakan mesin berputar, yang<br />
membangkitkan daya mulai dari puluhan kW hingga lebih dari<br />
1000 MW, dengan tegangan mulai dari 380 V sampai 25 kV. Sisi<br />
keluaran generator merupakan sistem tiga-fasa.<br />
1.2.2 Transmisi<br />
Daya listrik dari pusat pembangkit disalurkan ke berbagai tempat<br />
melalui saluran transmisi. Tegangan saluran transmisi di sistem<br />
PLN adalah 150 kV, yang disebut Saluran Udara Tegangan Tinggi<br />
(SUTT) dan 275 – 500 kV yang disebut Saluran Udara Tegangan<br />
Ekstra Tinggi (SUTET). Di Amerika digunakan tegangan mulai<br />
115 kV sampai 765 kV.<br />
Sesungguhnya ada dua kemungkinan pembangunan saluran<br />
transmisi yaitu bawah tanah (underground) dan diatas tanah<br />
(overhead) yang kita sebut saluran udara. Saluran udaralah yang<br />
umum digunakan. Saluran udara ini biasanya panjang sampai<br />
ratusan kilometer. Konduktor yang digunakan adalah konduktor<br />
telanjang (tanpa isolasi padat) sehingga ia harus didukung oleh<br />
isolator yang terpasang pada menara. Saluran ini berhubungan<br />
langsung dengan udara sekitarnya sehingga sangat terpengaruh<br />
oleh kondisi alam seperti polusi dan petir.<br />
Jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas untuk menyalurkan<br />
daya besar melalui sejumlah route. Ia harus dirancang sedemikian<br />
rupa sehingga gagalnya sejumlah kecil saluran tidak menyebabkan<br />
kegagalan seluruh sistem. Saluran ini juga harus mampu berfungsi<br />
sebagai penghubung yang mampu menyalurkan energi ke kedua<br />
arah.<br />
Piranti yang menghubungkan generator dan saluran transmisi<br />
adalah transformator, yang berfungsi untuk mengubah tegangan<br />
keluaran generator ke tegangan transmisi yang lebih tinggi.<br />
1.2.3 Subtransmissi<br />
Di Indonesia (jaringan PLN), istilah “subtransmisi” tidak<br />
digunakan. Di PLN pernah digunakan saluran dengan tegangan 30<br />
kV dan 70 kV, namun telah mulai ditinggalkan. Saluran<br />
subtransmisi biasanya tidak panjang (kurang dari beberapa puluh<br />
4 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
kilometer), kapasitas rendah (kurang dari 100 MVA) dan banyak<br />
cabang untuk mencatu pusat-pusat beban.<br />
1.2.4 Distribusi<br />
Saluran transmisi mencatu gardu-gardu induk, di mana tegangan<br />
diturunkan menjadi tegangan distribusi primer. Jaringan distribusi<br />
primer mencatu pelanggan tegangan menengah 20 kV. Pernah<br />
pula digunakan tegangan 6 dan 12 kV namun telah ditinggalkan.<br />
Jaringan distribusi primer bisa dirancang sebagai jaringan radial<br />
ataupun loop. (lihat Gb.1.1) Pada jaringan radial daya mengalir<br />
satu arah yaitu dari sumber (gardu) ke beban<br />
(pengguna/pelang<br />
gan). Pada<br />
jaringan loop,<br />
Beban 1 Beban 2<br />
beban dapat<br />
menerima daya<br />
GI<br />
lebih dari satu<br />
Beban 3 Beban 4<br />
arah. Selain radial<br />
dan loop,<br />
Radial<br />
dikembangkan<br />
pula struktur<br />
jaringan spindle.<br />
Beban 1 Beban 2<br />
Pada tahap<br />
terakhir, tegangan<br />
diturunkan lagi<br />
menjadi 380/220<br />
V. Jaringan yang<br />
melayani<br />
pengguna pada tegangan rendah ini merupakan jaringan distribusi<br />
sekunder. Jaringan ini bisa sangat rumit, terutama di lokasi padat<br />
pengguna.<br />
1.2.5 Beban<br />
GI<br />
Beban (pengguna/pelanggan) mengambil energi listrik dari<br />
jaringan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi dalam melayani beban<br />
ini.<br />
1. Tegangan harus konstan, tidak naik-turun.<br />
2. Frekuensi harus konstan.<br />
Beban 3 Beban 4<br />
Loop<br />
Gb.15.1 Jaringan radial dan loop.<br />
5
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
3. Bentuk gelombang tegangan sedapat mungkin sinusoidal.<br />
Untuk menentukan apakah ketentuan ini terpenuhi atau tidak,<br />
digunakan indeks kinerja.<br />
1. Regulasi Tegangan: Deviasi nilai tegangan pada waktu beban<br />
berubah dalam batas-batasnya. Biasanya diambil sekitar 5%.<br />
2. Regulasi Frekuensi: Pada keadaan normal, variasi frekuensi<br />
biasanya cukup kecil, ± 0.1Hz<br />
, dan tidak terasa oleh beban.<br />
3. Kandungan Harmonisa: (Lihat: <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik Jilid-<br />
3).<br />
1.3 Penyaluran Energi Listrik<br />
Kita mengenal dua cara penyaluran energi listrik yaitu penyaluran<br />
menggunakan arus searah (selanjutnya kita sebut sistem arus searah,<br />
disingkat sistem AS) dan menggunakan arus bolak-balik sinusoidal<br />
(selanjutnya kita sebut sistem arus bolak-balik, disingkat sistem<br />
ABB). Berikut ini kita akan melihat perbandingan daya maksimum<br />
yang mampu disalurkan melalui beberapa konfigurasi saluran.<br />
1.3.1. Daya<br />
Perhatikan<br />
situasi<br />
penyaluran<br />
daya antar<br />
dua jaringan<br />
seperti<br />
diperlihatkan<br />
pada Gb.1.2.<br />
Hubungan<br />
Jaringan<br />
A<br />
Gb.15.2. Penyaluran daya antara dua jaringan.<br />
antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun<br />
penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah<br />
konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita<br />
sebut konfigurasi saluran.<br />
Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah<br />
p = vi<br />
(1.1)<br />
p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil<br />
untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu).<br />
Untuk memperbesar aliran daya, v dan/atau i harus diperbesar.<br />
Akan tetapi upaya memperbesar kedua besaran ini dibatasi oleh<br />
6 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
i<br />
+<br />
v<br />
−<br />
Jaringan<br />
B
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
kemampuan teknologi. Arus dibatasi oleh kemampuan hantar arus<br />
dari konduktor, sedangkan tegangan dibatasi oleh kekuatan isolasi.<br />
Konduktor dibuat dari material yang memiliki konduktivitas listrik<br />
yang tinggi, memiliki kekuatan mekanis yang sesuai, serta<br />
ekonomis. Untuk itu banyak digunakan aluminum untuk saluran<br />
transmisi, dan tembaga untuk saluran distribusi serta bagianbagian<br />
tertentu sistem tenaga. Kemampuan hantar arus dari suatu<br />
konduktor terkait erat dengan kerapatan arus dan luas<br />
penampangnya.<br />
Imax = JmaxA<br />
(1.2)<br />
I max = arus maksimum, J max = kerapatan arus maksimum, A =<br />
luas penampang konduktor. Kerapatan arus maksimum, J max ,<br />
ditentukan oleh pembatasan temperatur maksimum konduktor agar<br />
tidak terjadi kerusakan konduktor serta isolasinya.<br />
1.3.2. Konfigurasi Saluran<br />
Berikut ini kita akan memperbandingkan daya maksimum yang<br />
mampu disalurkan melalui suatu konfigurasi saluran tertentu.[1].<br />
Ada enam konfigurasi yang akan kita lihat yaitu sistem AS 2<br />
kawat, sisten AS 3 kawat, sistem ABB 1 fasa 2 kawat, sistem ABB<br />
2 fasa 3 kawat, dan sistem ABB 3 fasa 4 kawat.<br />
Pada setiap konfigurasi, salah satu kawat di-tanah-kan, dan disebut<br />
kawat netral; kawat yang tidak ditanahkan disebut kawat fasa.<br />
Dalam memperbandingkan kemampuan penyaluran setiap<br />
konfigurasi ini kita tetapkan bahwa<br />
1. Luas penampang konduktor total, yaitu total jumlah luas<br />
penampang kawat fasa dan kawat netral, adalah sama yaitu<br />
A. Karena salah satu saluran adalah saluran balik (netral)<br />
maka luas penampang konduktor yang sesungguhnya<br />
digunakan untuk mengirim daya adalah lebih kecil dari A.<br />
2. Kerapatan arus yang mengalir tidak melebihi batas<br />
kerapatan arus maksimum yang di tentukan, yaitu J 0 .<br />
Pembatasan ini diperlukan karena kita akan<br />
memperbandingkan kemampuan penyaluran daya pada<br />
berbagai konfigurasi. Bukan arus yang kita tetapkan<br />
mempunyai batas maksimum karena setiap konfigurasi<br />
memiliki luas penampang konduktor kirim yang berbeda.<br />
7
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Dengan membatasi kerapatan arus maksimum, maka setiap<br />
konfigurasi memiliki arus maksimum yang berbeda.<br />
3. Tegangan setiap konduktor ke ground (tegangan fasa ke<br />
netral) tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan<br />
yaitu V 0 . Tegangan antara kawat fasa dan kawat netral,<br />
berbeda antara satu konfigurasi dengan konfigurasi yang<br />
lain. Tegangan maksimum ini kita batasi untuk melihat<br />
berapakah daya yang dapat disalurkan pada tegangan fasanetral<br />
maksimum dengan kerapatan arus yang juga<br />
maksimum.<br />
4. Kawat netral (yang ditanahkan) merupakan saluran balik.<br />
Konfigurasi (a): <strong>Sistem</strong> AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat<br />
netral yang merupakan saluran balik.<br />
0,5A 0,5A<br />
V 0<br />
n<br />
Total luas konduktor adalah A, koduktor yang ditanahkan<br />
merupakan penghantar balik. Jadi sistem ini menyalurkan daya<br />
melalui konduktor dengan luas penampang 0,5A. Daya yang mampu<br />
disalurkan paling tinggi adalah<br />
P a =<br />
= ( 0.5A)<br />
J0V0<br />
0. 5P0<br />
dengan P 0 = AJ0V0<br />
(1.3)<br />
Selanjutnya kita menggunakan P 0 = AJ0V0<br />
sebagai referensi untuk<br />
melihat kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi yang lain;<br />
yaitu berapa kali P 0 kemampuan penyaluran dayanya.<br />
Konfigurasi (b): <strong>Sistem</strong> AS, 3 kawat; dua kawat merupakan saluran<br />
kirim, satu bertegangan positif dan yang satu lagi bertegangan<br />
negatif. Kawat ke-tiga adalah saluran balik yang ditanahkan.<br />
0,5A 0,5A<br />
+V 0<br />
−V 0<br />
Konduktor pertama bertegangan positif sedangkan konduktor kedua<br />
bertegangan negatif, konduktor ketiga ditanahkan. Karena tegangan<br />
berlawanan, arus di konduktor pertama dan kedua juga berlawanan<br />
arah. Konduktor ketiga merupakan konduktor netral sebagai<br />
8 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
n
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
penghamtar balik sehingga di konduktor ini arus balik dari<br />
konduktor pertama dan kedua berlawanan arah; jika pembebanan<br />
seimbang kedua arus balik ini saling meniadakan. Hal ini<br />
memungkinkan penampang konduktor netral dibuat kecil saja<br />
sehingga total penampang konduktor dapat dikatakan tetap sama<br />
dengan A. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah<br />
P b =<br />
= 2 × (0.5A)<br />
J0V0<br />
P0<br />
(1.4)<br />
Dari persamaan (1.4) terlihat bahwa kemampuan menyalurkan daya<br />
pada konfigurasi (b) ini dua kali lipat dari konfigurasi (a).<br />
Konfigurasi (c): <strong>Sistem</strong> ABB satu fasa, dua kawat; satu kawat fasa<br />
dan yang lain kawat netral.<br />
0,5A 0,5A<br />
n<br />
Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,<br />
Daya sesaat adalah<br />
p<br />
c<br />
v = Vm cos ωt<br />
i = Im cos ωt<br />
(1.5)<br />
VmIm<br />
= vi = VmIm<br />
cos 2 ωt<br />
= ( 1 + cos 2ωt)<br />
(1.6)<br />
2<br />
Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2ω. Nilai rata-rata bagian<br />
yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata<br />
(atau daya nyata) adalah<br />
V I<br />
P =<br />
2<br />
0,707V 0<br />
V<br />
=<br />
m<br />
2<br />
m m m<br />
=<br />
I<br />
2<br />
VI<br />
(1.7)<br />
dengan V dan I adalah nilai efektif (rms). Arus efektif maksimum<br />
yang bisa disalurkan adalah<br />
I = 0.5AJ0<br />
(1.8)<br />
(di sini kita menganggap bahwa arus bolak-balik yang menglir di<br />
konduktor terdistribusi secara merata di seluruh penampang<br />
walaupun kenyataannya tidak demikian karena terjadi efek kulit.<br />
Namun anggapan ini cukup layak untuk keperluan diskusi.)<br />
Karena kita telah menetapkan bahwa tegangan konduktor tidak lebih<br />
dari nilai batas V 0 maka tegangan efektif maksimum adalah<br />
9
V<br />
V<br />
0<br />
= 707<br />
2<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
= 0, V0<br />
(1.9)<br />
Nilai ini yang dicantumkan pada gambar konfigurasi.<br />
Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah<br />
V<br />
P c =<br />
2<br />
0<br />
= IV = 0.5AJ0 = 0.354AJ0V0<br />
0. 354P0<br />
(1.10)<br />
Persamaan (1.10) menunjukkan bahwa kemampuan penyaluran daya<br />
pada konfigurasi ini hanya sekitar 35% dari kemampuan sistem AS<br />
3 kawat. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan oleh (1.6) penyaluran<br />
daya berfluktuasi, berarti laju penyaluran energi tidaklah konstan.<br />
Penyaluran energi semacam ini akan memaksa turbin penggerak<br />
generator juga memasok energi dengan laju yang berfluktuasi. Hal<br />
demikian tentu tidak dikehendaki. Oleh karena itu konfigurasi ini<br />
tidak digunakan untuk keluaran generator di pusat pembangkit.<br />
Konfigurasi (d): sistem ABB satu fasa tiga kawat.<br />
0,5A 0,5A<br />
0,707V 0<br />
<strong>Sistem</strong> ini memiliki keuntungan seperti halnya untuk arus searah;<br />
oleh karena itu daya maksimum yang mampu disalurkan adalah dua<br />
kali lipat kemampuan penyaluran daya pada sistem ABB satu fasa<br />
dua kawat (konfigurasi (c)).<br />
P<br />
0,707V 0<br />
d = 2Pc<br />
= 0,707P0<br />
(1.11)<br />
Nilai daya sesaat diperlihatkan pada Gb.1.3, bersama dengan nilai<br />
sesaat daya pada konfigurasi (c). Perhatikan bahwa daya<br />
berfluktuasi dengan nilai rata-rata yang positif. Walaupun daya<br />
rata-rata bernilai positif, fluktuasi daya yang terjadi merupakan<br />
kelemahan dari konfigurasi (d) dan (c). Penyaluran energi tidak<br />
terjadi secara mantap; aliran energi berfluktuasi.<br />
Konfigurasi (e): <strong>Sistem</strong> ABB, 2 fasa, 3 kawat; dua kawat fasa dan<br />
satu kawat netral.<br />
n<br />
10 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
x<br />
0,293A 0,293A<br />
0,707V 0<br />
y<br />
0,414A<br />
0,707V 0<br />
n<br />
Jika tegangan dan arus di fasa x adalah<br />
v<br />
x<br />
= V cos ωt<br />
i = I cos ωt<br />
(1.12.a)<br />
m<br />
dan di fasa y berbeda 90 o ,<br />
v<br />
y<br />
x<br />
m<br />
= V sin ωt<br />
i = I sin ωt<br />
(1.12.b)<br />
m<br />
maka daya sesaat menjadi<br />
e<br />
x x<br />
y y<br />
y<br />
m<br />
2 2<br />
( ωt<br />
+ sin ωt) VmIm<br />
p = v i + v i = V<br />
=<br />
mIm<br />
cos (1.13)<br />
Persamaan (1.13) ini cukup mengejutkan. Perhatikan bahwa daya<br />
sesaat bernilai konstan. Daya rata-rata sama dengan daya sesaat.<br />
P =<br />
e = pe<br />
VmIm<br />
(l5.14)<br />
Karena tegangan tidak boleh melebihi batas V 0 maka tegangan<br />
maksimum adalah<br />
V m = V 0<br />
(1.15.a)<br />
Arus di kedua fasa berbeda 90 o , sehingga penghantar netral<br />
mengalirkan arus<br />
dibuat<br />
2 kali arus fasa; luas penampangnya juga harus<br />
2 kali sehingga perbandingan luas penampang konduktor<br />
fasa dan netral adalah 1:1:<br />
2 . Luas penampang konduktor fasa<br />
menjadi ( 1/(2<br />
+ 2)<br />
= 0,293 kali A. Arus maksimum konduktor fasa<br />
adalah<br />
I m = J 0 (0.293A)<br />
2<br />
(1.15.b)<br />
Sehingga daya rata-rata adalah<br />
V I<br />
2<br />
V J (0,293A)<br />
2<br />
2<br />
m m 0 0<br />
e = =<br />
= 0.414P0<br />
(1.16)<br />
P<br />
11
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Perhatikan bahwa konduktor netral berpenampang lebih besar dari<br />
konduktor fasa sebab ia harus mengalirkan arus 2 kali dari arus<br />
fasa, jika sistem beroperasi dalam keadaan seimbang. Hal ini dapat<br />
dimengerti karena arus balik dari kedua fasa berbeda 90 o dan bukan<br />
180 o sehingga tidak saling meniadakan. Akan tetapi di konfigurasi<br />
ini aliran daya tidak berfluktuasi seperti dinyatakan oleh persamaan<br />
(1.13).<br />
Konfigurasi (f): <strong>Sistem</strong> ABB 3 fasa, 4 kawat; tiga kawat fasa dan<br />
satu kawat netral.<br />
Tegangan dan arus fasa berbeda 120 o . Dengan urutan fasa positif,<br />
tegangan dan arus tersebut adalah:<br />
o<br />
o<br />
va<br />
= Vm<br />
cosωt;<br />
vb<br />
= Vm<br />
(cosωt<br />
−120<br />
); vc<br />
= Vm<br />
(cosωt<br />
+ 120 ).<br />
o<br />
o<br />
ia<br />
= Im<br />
cosωt;<br />
ib<br />
= Im(cosωt<br />
−120<br />
0; ic<br />
= Im(cosωt<br />
+ 120 ).<br />
Daya sesaat adalah<br />
p<br />
f<br />
= v i<br />
a a<br />
= V I<br />
m<br />
+ v i<br />
m<br />
b b<br />
+ v i<br />
c c<br />
2 2 o 2 o<br />
( cos ωt<br />
+ cos ( ωt<br />
−120<br />
) + cos ( ωt<br />
+ 120 ))<br />
Dengan memanfaatkan relasi trigonometri<br />
12 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
(1.17)<br />
(1.18)<br />
1 cos 2<br />
cos 2 + θ<br />
θ =<br />
(1.19)<br />
2<br />
persamaan (1.18) menjadi<br />
VmI<br />
p m<br />
f =<br />
2<br />
3V<br />
mI<br />
= m<br />
2<br />
0,333A 0,333A 0,333A n<br />
0,707V 0<br />
0,707V 0<br />
0,707V 0<br />
o<br />
o<br />
( 3 + cos 2ωt<br />
+ cos(2ωt<br />
− 240 ) + cos(2ωt<br />
+ 240 ))<br />
(1.20)<br />
Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya<br />
rata-rata, yaitu<br />
P<br />
3V<br />
I<br />
= p<br />
m m<br />
f = = VI<br />
(1.21)<br />
2<br />
f 3
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Tegangan dan arus efektif yang diperkenankan adalah<br />
sehingga<br />
V<br />
V =<br />
2<br />
0<br />
= dan I 0.333AJ0<br />
(1.22)<br />
3V<br />
P 0 f =<br />
2<br />
707<br />
= 0.333AJ0<br />
0. P0<br />
(1.23)<br />
1,141P 0<br />
1,000P 0<br />
Konfig.(b)<br />
0,707P 0<br />
Konfig. (d), (f)<br />
0,500P 0<br />
Konfig. (a)<br />
0,354P 0 Konfig. (e)<br />
Konfig. (c)<br />
t<br />
Gb.1.3. Kurva daya terhadap waktu pada enam<br />
konfigurasi saluran.<br />
Hasil perhitungan untuk enam konfigurasi di atas, dimuatkan dalam<br />
Tabel-1.1.<br />
Tabel-1.1: Daya maksimum yang mampu ditransmisikan<br />
pada enam kofigurasi<br />
Konfigurasi Modus operasi Daya maksimum<br />
a) Dua kawat AS 0.500P 0<br />
b) Tiga kawat AS 1,000P 0<br />
c) Dua kawat ABB, 1 fasa 0,354P 0<br />
d) Tiga kawat ABB, 1fasa 0,707P 0<br />
e) Tiga kawat ABB, 2fasa 0,414P 0<br />
f) Empat kawat ABB, 3 fasa 0,707P 0<br />
Bagaimana memilih konfigurasi yang akan digunakan untuk<br />
menyalurkan energi? Misalkan kita memilih sisem ABB.<br />
Konfigurasi c) dan d) kelihatannya terpaksa kita tolak karena<br />
13
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
terjadinya fluktuasi aliran daya pada konfigurasi ini. Di antara<br />
konfigurasi e) dan f) kita lebih memilih f) karena konfigurasi ini<br />
memiliki kemampuan penyaluran daya lebih tinggi.<br />
Bagaimanakah sistem penyaluran energi dengan jumlah fasa lebih<br />
banyak? <strong>Sistem</strong> multifasa dengan konfigurasi N fasa, N+1 kawat<br />
akan memiliki kemampuan penyaluran daya sebesar 0,707P 0 . Jadi<br />
sistem 3 fasa 4 kawat merupakan sistem multi fasa yang paling<br />
sederhana ditinjau dari kemampuan penyaluran daya.<br />
Perhitungan-perhitungan di atas ditujukan hanya untuk melihat<br />
kemampuan penyaluran daya di setiap konfigurasi. Dalam<br />
pembangunan saluran transmisi masih harus diperhitungkan banyak<br />
faktor, misalnya keperluan akan isolator, menara, susut energi.<br />
Makin banyak kita gunakan saluran fasa, makin bayak diperlukan<br />
isolator dan perancangan menara pun harus disesuaikan.<br />
Jika kita perhatikan Tabel-1.1 di atas, transmisi AS tiga kawat,<br />
memiliki kemampuan penyaluran daya paling tinggi untuk total luas<br />
penampang konduktor yang sama. Kemajuan teknologi telah<br />
memungkinkan digunakannya sistem transmisi AS dan mengatasi<br />
kendala yang selama ini dihadapi. Mulai dari suatu jarak transmisi<br />
tertentu, biaya pembanguan sistem transmisi AS sudah menjadi<br />
lebih rendah dari sistem ABB. PLN merencanakan pembangunan<br />
transmisi AS untuk menghubungkan Sumatra dan Jawa.<br />
1.4 Sumber Energi Primer<br />
Sebagaimana telah disinggung, generator yang kita sebut sebagai<br />
sumber, tidak lain adalah piranti pengubah (konversi) energi dari<br />
energi non-listrik ke energi listrik. Dalam hal konversi elektromekanik,<br />
energi non-listrik berupa energi mekanik yang diberikan<br />
oleh turbin, dan turbin sendiri menerima energi masukan berupa<br />
energi thermal yang diubah olehnya menjadi gerak putar untuk<br />
memutar generator. Masukan energi thermal ke turbin berasal dari<br />
sumber energi primer, yang dapat berupa energi thermal maupun<br />
non-thermal.<br />
1.4.1. Sumber Energi Primer pada Pusat Pembangkit Thermal<br />
Batubara. Cadangan batubara Indonesia terlihat pada gambar<br />
berikut.<br />
14 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.<br />
Untuk pembangkitan, batubara harus diangkut dari lokasi tambang<br />
ke pusat pembangkit. Untuk pusat pembangkit di Jawa, biaya angkut<br />
ini tidak sedikit dan dapat terganggu bila cuaca buruk. Hasil<br />
tambang batubara ada dua kategori yaitu batubara dengan<br />
kandungan kalori tinggi dan kandungan kalori rendah.<br />
Minyak Bumi. Gambar berikut menginformasikan cadangan<br />
minyak Indonesia.<br />
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.<br />
Penggunaan minyak sebagai sumber energi primer untuk<br />
pembangkitan energi listrik terus diusahakan untuk dikurangi<br />
proporsinya karena harga yang terlalu tinggi.<br />
Gas Alam. Cadangan gas bumi Indonesia terbaca pada gambar<br />
berikut. Penggunaan gas alam sebagai sumber energi primer untuk<br />
pembangkitan energi listrik diperbesar proporsinya untuk<br />
15
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
menggantikan minyak. Pengangkutan gas dari sumber gas ke pusat<br />
pembangkit dilakukan melalui pipa gas.<br />
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.<br />
Panas Bumi..Energi panas bumi cukup banyak tersedia di Indonesia.<br />
Penggunaan energi ini masih perlu dikembangkan. Gambar dan<br />
daftar berikut ini memperlihatkan distribusi lokasi sumber energi<br />
panas bumi.<br />
1.Daerah Aceh 17 lks 9.Banten 5 lks 17.Sulawesi Utara 5 lks<br />
2.Sumatra Utara 16 lks 10.Jawa Barat 40 lks 18.Gorontalo 2 lks<br />
3.Sumatra Barat 16 lks 11 Jawa Tengah 14 lks 19.Sulawesi Tengah 14 lks<br />
4.Riau 1 lks 12.DI Yogyakarta 1 lks 20.Sulawesi Selatan 16 lks<br />
5.Jambi 8 lks 13.Jawa Timur 11 lks 21.Sulawesi Tenggara 13 lks<br />
6.Sumatra Selatan 8 lks 14.Bali 5 lks 22.Maluku 15 lks<br />
7.Bengkulu 6 lks 15.NTB 3 lks 23.Papua 2 lks<br />
8.Lampung 13 lks 16.NTT 18 lks 24.Kalimantan 3 lks<br />
Total lokasi: 251<br />
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. /RUKN.<br />
16 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Biomassa. Sumber energi ini belum berkembang walaupun dalam<br />
skala rumah tangga telah mulai dirintis.<br />
Sampah. Sampah sebagai sumber pembangkit energi listrik masih<br />
diwacanakan terutama untuk mengatasi masalah sampah di kota<br />
Bandung.<br />
Energi Nuklir. Penggunaan energi nuklir di Indonesia masih dalam<br />
tingkat wacana. Sementara itu Jerman sudah mulai meninggalkan<br />
penggunaan energi nuklir untuk pembangkitan energi listrik.<br />
1.4.2. Sumber Energi Primer Pusat Pembangkit Nonthermal<br />
<strong>Tenaga</strong> Air (Hydro). <strong>Tenaga</strong> air merupakan sumber energi yang<br />
paling murah dan kelangsungannya dapat dipercaya. Namun<br />
pembangunannya memerlukan waktu lama dibandingkan dengan<br />
pembangkit thermal. Dibandingkan dengan pembangkit thermal,<br />
pembangkit tenaga air dapat di-start dengan sangat cepat; sementara<br />
untuk men-start pembangkit thermal diperlukan waktu untuk<br />
pemanasan. Oleh karena itu pembangkit tenaga air biasanya<br />
digunakan sebagai pembangkit untuk memenuhi beban puncak,<br />
sementara pembangkit thermal menanggung beban dasar.<br />
Angin. Di Eropa energi angin telah banyak dimanfaatkan namun di<br />
Indonesia masih belum berkembang walaupun telah mulai ada.<br />
Gelombang Laut. Sumber energi ini belum termanfaatkan di<br />
Indonesia.<br />
Arus laut. Di Indonesia sumber energi ini masih menjadi wacana.<br />
<strong>Tenaga</strong> Surya. Di Indonesia Sumber energi ini telah mulai<br />
dimanfaatkan baik sebagai sumber tenaga listrik “stand alone”<br />
maupun sebagai pusat pembangkit walaupun masih dalam skala<br />
yang tidak besar.<br />
1.5. Beban<br />
1.5.1. Pengelompokan Beban<br />
Tujuan dibangunnya suatu sistem tenaga adalah untuk mencatu<br />
energi ke beban yang berupa peralatan-peralatan yang mengubah<br />
energi listrik menjadi bentuk energi yang sesuai dengan kebutuhan<br />
pengguna. Jenis peralatan sangat beragam, ada yang statis, ada<br />
yang berputar, ada pula yang merupakan gabungan statis dan<br />
berputar. Dalam pengusahaan tenaga listrik beban tidak<br />
17
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
diklasifikasikan berdasarkan peralatan yang dicatu akan tetapi<br />
berdasarkan sifat-sifat umum pengguna akhir. PLN melakukan<br />
klasifikasi beban (pelanggan) sebagai berikut.<br />
Beban Rumah Tangga. Energi di jenis beban ini digunakan<br />
untuk mencatu peralatan rumah tangga yang sangat beragam.<br />
Beban ini biasanya tersebar dalam area yang luas.<br />
Beban Industri. Beban ini membutuhkan sejumlah besar energi<br />
untuk keperluan manufaktur dan proses-proses produksi. Beban<br />
demikian biasanya terlokalisasi pada titik-titik beban di area<br />
tertentu.<br />
Beban Komersial. Jenis beban ini bisa sekumpulan peralatan<br />
kecil seperti di rumah tangga, akan tetapi memerlukan daya agak<br />
besar untuk penerangan, pemanasan dan pendinginan. Beban ini<br />
lebih tersebar dibandingkan dengan beban industri tetapi tidak<br />
se-tersebar beban rumah tangga; misalnya pusat perbelanjaan,<br />
bandara, hotel.<br />
Beban Lain. Beban lain yang dimaksud di sini adalah bebanbeban<br />
yang terkait dengan pentarifan ataupun pelayanan tertentu.<br />
Termasuk di dalamnya adalah beban kantor pemerintah, sosial,<br />
dan penerangan jalan umum.<br />
Di PLN jumlah pelanggan Rumah Tangga sangat dominan;<br />
sementara jumlah pelanggan Industri dan pelanggan Komersial<br />
sangat sedikit dibanding dengan jumlah pelanggan Rumah<br />
Tangga. Namun demikian daya tersambung ke pelanggan tidaklah<br />
proporsional dengan jumlah pelanggan. Dan sudah barang tentu<br />
demikian juga dengan penggunaan energi per kelompok<br />
pelanggan.<br />
1.5.2. Model Beban<br />
Untuk keperluan analisis, kita perlu “mengombinasikan” berbagai<br />
karakteristik piranti listrik yang jumlahnya ribuan ke satu titik<br />
beban tertentu. Melakukan kombinasi secara harfiah tentulah tidak<br />
mungkin. Oleh karena itu kita membangun model beban; beban<br />
dapat kita modelkan sebagai sumber tegangan, atau sumber arus,<br />
atau impedansi.<br />
18 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Z<br />
Beban<br />
Z<br />
Beban<br />
Z<br />
Beban<br />
+<br />
−<br />
E<br />
+<br />
−<br />
+<br />
−<br />
E<br />
+<br />
−<br />
E<br />
Model sumber tegangan Model sumber arus Model impedansi<br />
Gb.1.4. Model-model beban<br />
Model yang kita pilih tentulah yang mewakili sifat-sifat yang<br />
menonjol dari beban. Beban yang pasif misalnya, kita modelkan<br />
sebagai suatu impedansi. Beban yang karakter arusnya menonjol,<br />
kita modelkan sebagai sumber arus; hal ini misalnya digunakan<br />
pada beban nonlinier.<br />
1.5.3. Pengaruh Perubahan Tegangan dan Perubahan Frekuensi<br />
Daya yang mengalir ke beban tergantung dari tegangan maupun<br />
frekuensi. Apabila terjadi perubahan tegangan dan/atau perubahan<br />
frekuensi, daya yang mengalir ke beban akan berubah pula.<br />
Sesungguhnya, beban mengharapkan tegangan dan frekuensi tidak<br />
berubah-ubah. Namun situasi operasional sering memaksa<br />
terjadinya perubahan-perubahan besaran tersebut. Masuknya<br />
beban besar yang tiba-tiba ke jaringan akan diikuti oleh penurunan<br />
tegangan; keluarnya beban besar yang tiba-tiba akan menyebabkan<br />
kenaikan tegangan. Di jaringan sistem tenaga, dipasang peralatan<br />
untuk membatasi lama terjadinya suatu perubahan tegangan. Pada<br />
umumnya, jika perubahan tegangan tidak besar (karena tegangan<br />
seharusnya tidak berubah-ubah, sesuai standar) pasokan daya ke<br />
beban dapat didekati dengan hubungan linier<br />
P<br />
∂P<br />
∂P<br />
∂Q<br />
∂Q<br />
P0<br />
+ ∆V<br />
+ ∆f<br />
; Q = P + ∆V<br />
+ ∆f<br />
(1.24)<br />
∂V<br />
∂f<br />
∂V<br />
∂f<br />
= 0<br />
dengan ∆ V = V −V0<br />
= perubahan tegangan sekitar titik referensi<br />
V 0 , ∆ f = f − f 0 = perubahan frekuensi sekitar titik referensi f 0.<br />
∂P<br />
∂P<br />
∂Q<br />
∂Q<br />
Diferensial parsial , , , dapat diturunkan melalui<br />
∂V<br />
∂f<br />
∂V<br />
∂f<br />
rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari<br />
19
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang<br />
kemudian dihitung menggunakan computer.<br />
CONTOH-1.1: Kita akan<br />
memperbandingkan<br />
pengaruh perubahan<br />
tegangan dan perubahan<br />
frekuesi pada rangkaian R-L<br />
+<br />
v<br />
−<br />
R<br />
L<br />
seri dan rangkaian R-L parallel dengan melihat<br />
+<br />
v<br />
−<br />
∂ P / ∂V<br />
, ∂P<br />
/ ∂f<br />
, ∂Q<br />
/ ∂V<br />
, dan ∂P<br />
/ ∂V<br />
.<br />
R<br />
L<br />
Solusi untuk rangkaian seri:<br />
∗<br />
⎛ o<br />
2<br />
2<br />
o V 0 ⎞<br />
∗<br />
V V<br />
S seri V 0 ⎜ ∠<br />
= VI = ∠<br />
⎟ = =<br />
( R + jωL)<br />
⎜ R j L ⎟ R j L 2 2 2<br />
⎝<br />
+ ω<br />
⎠<br />
− ω R + ω L<br />
2<br />
2<br />
RV ωLV<br />
=<br />
+ j<br />
2 2 2 2 2 2<br />
R + ω L R + ω L<br />
2<br />
RV ∂Pseri<br />
Pseri<br />
=<br />
⇒<br />
2 2 2<br />
R + ω L ∂ω<br />
2<br />
ωLV<br />
∂Qseri<br />
Qseri<br />
=<br />
⇒<br />
2 2 2<br />
R + ω L ∂ω<br />
∂Qseri<br />
∂V<br />
2 2<br />
2RV<br />
ωL<br />
=<br />
;<br />
2 2 2 2<br />
( R + ω L )<br />
2 2 2 2 2 3 2<br />
( R + ω L ) LV − 2ω<br />
L V<br />
=<br />
;<br />
2 2 2 2<br />
( R + ω L )<br />
2ωLV<br />
=<br />
2 2 2<br />
R + ω L<br />
∂Pseri<br />
∂V<br />
Solusi untuk rangkaian parallel:<br />
∗<br />
⎛ ⎞ 2 2<br />
∗ V V V V<br />
S paralel = VI = V<br />
⎜ +<br />
j<br />
R j L<br />
⎟ = +<br />
⎝ ω ⎠ R ωL<br />
2<br />
V ∂Pparalel<br />
∂Pparalel<br />
2V<br />
Pparalel<br />
= ⇒ = 0 ;<br />
=<br />
R ∂ω<br />
∂V<br />
R<br />
2<br />
V ∂Q<br />
2<br />
paralel −V<br />
L ∂Qparalel<br />
2V<br />
Qparalel<br />
= ⇒ = ;<br />
=<br />
ωL<br />
∂ω<br />
2<br />
( ωL)<br />
∂V<br />
ωL<br />
20 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
2RV<br />
=<br />
2 2 2<br />
R + ω L<br />
Perhatikan: ketergantungan terhadap tegangan kedua rangkaian ini<br />
sama, yaitu sebanding dengan tegangan. Akan tetapi<br />
ketergantungan terhadap frekuensi sangat berbeda. Polinom
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
pangkat 4 dari penyebut pada ∂ P seri / ∂ω<br />
membuat penyebut<br />
hampir tak berubah bila terjadi perubahan ω hanya 10% misalnya;<br />
Oleh karena itu ∂ P seri / ∂ω<br />
dapat dikatakan berbanding lurus<br />
dengan ω. Sebaliknya ∂ P paralel / ∂ω<br />
bernilai nol; perubahan<br />
frekuensi tidak mempengaruhi besarnya daya nyata.<br />
1.6. <strong>Sistem</strong> Polifasa<br />
Kita telah mempelajari salah satu sistem polifasa yaitu sistem tigafasa.<br />
Di sub-bab ini kita akan melihat secara lebih umum, dan juga<br />
akan melihat bagaimana perhitungan-perhitungan dilakukan baik<br />
pada kondisi pembebanan seimbang maupun tidak seimbang.<br />
1.6.1. <strong>Sistem</strong> Polifasa Secara Umum<br />
Kita lihat secara umum suatu sistem polifasa. Gb.1.5. berikut ini<br />
memperlihatkan hubungan dua jaringan secara umum yaitu<br />
jaringan A dan B yang dihubungkan dengan (N+1) konduktor.<br />
Salah satu konduktor adalah konduktor netral; jadi sistem ini<br />
adalah sistem N fasa.<br />
a<br />
I a<br />
Jaringan<br />
A<br />
b<br />
z<br />
I b<br />
I z<br />
.<br />
.<br />
.<br />
Jaringan<br />
B<br />
Van<br />
Vbn<br />
. . . .<br />
V zn<br />
n<br />
I n<br />
Gb.1.5. Dua jaringan dihubungkan dengan (N+1) konduktor.<br />
21
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Tegangan konduktor fasa terhadap netral adalah sebagai berikut<br />
V = tegangan fasa a.<br />
an = Va<br />
= Va∠α<br />
a<br />
bn = Vb<br />
= Vb∠α<br />
b<br />
V = tegangan fasa b.<br />
………………<br />
V zn = Vz<br />
= Vz∠α<br />
z<br />
= tegangan fasa z.<br />
Arus di setiap penghantar fasa adalah<br />
I = arus fasa a.<br />
a = I a∠βa<br />
b = I b∠βb<br />
I = arus fasa b.<br />
………………<br />
I z = I z∠β<br />
z<br />
= arus fasa z.<br />
I n = I n∠βn<br />
= arus penghantar netral.<br />
Menurut hukum arus Kirchhoff<br />
I I + I + ....... + I + I = 0<br />
(1.25)<br />
a + b c<br />
z n<br />
Daya kompleks total (sejumlah N fasa) yang mengalir ke B adalah:<br />
z<br />
∗ ∗<br />
∗<br />
S Nf = V a I a + Vb<br />
Ib<br />
+ ...... + Vz<br />
I z = ∑ Si<br />
(1.26.a)<br />
i=<br />
a<br />
dengan<br />
i = a,<br />
b,<br />
c,.......<br />
z<br />
Dapat dimengerti pula bahwa<br />
S<br />
i<br />
∗<br />
i i<br />
= V I<br />
(1.26.b)<br />
z<br />
PNf<br />
= ∑ Pi<br />
, Pi<br />
= Vi<br />
I i cos ψ i<br />
(1.27.a)<br />
i=<br />
a<br />
z<br />
QNf<br />
= ∑ Qi<br />
, Qi<br />
= Vi<br />
I i sin ψ i<br />
(1.28.b)<br />
i=<br />
a<br />
Dalam kondisi pembebanan seimbang<br />
V =<br />
a = Vb<br />
= ...... = Vz<br />
V f<br />
(1.29.a)<br />
22 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
dan, dengan mengambil fasa a sebagai referensi,<br />
α<br />
a<br />
dan<br />
= 0;<br />
α<br />
b<br />
360<br />
θ =<br />
N<br />
= −θ;<br />
o<br />
α<br />
c<br />
= −2θ;<br />
..... α<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
n<br />
= −nθ<br />
(1.29.b)<br />
Dalam pembebanan seimbang ini, arus fasa dan sudut ψ adalah:<br />
I =<br />
a = Ib<br />
= ...... = I z I f = arus fasa (1.30.a)<br />
ψ a = ψb<br />
= ψc<br />
= ....... = ψ z = ψ = sudut faktor daya (1.30.b)<br />
Urutan penamaan fasa abc. . . z kita sebut urutan positif. Jika<br />
seandainya urutan penamaan ini kita balik, z . . cba maka kita<br />
mempunyai urutan negatif.<br />
Sementara itu tegangan fasa-fasa adalah<br />
V<br />
ij<br />
= V − V i,<br />
j = a,<br />
b,<br />
c.......<br />
z<br />
i<br />
i<br />
= V ∠α −V<br />
∠α<br />
i<br />
j<br />
yang dalam kondisi seimbang akan menjadi<br />
dan<br />
i<br />
j<br />
j<br />
f<br />
j<br />
(1.31)<br />
V = V = V = tegangan fasa-netral (1.32)<br />
V<br />
= [1 − cos( α − α )] (1.33)<br />
ij V f<br />
2 i j<br />
Perhatikan Gb.1.4. Gambar ini memperlihatkan hubungan<br />
tegangan fasanetral<br />
V ab<br />
V an , Vbn<br />
,.........<br />
Vzn<br />
serta tegangan<br />
fasa-fasa V ab<br />
θ<br />
dan V .<br />
az<br />
ψ<br />
o<br />
360<br />
θ<br />
Diperlihatkan θ =<br />
I a<br />
N<br />
pula arus fasa<br />
I yang<br />
a<br />
lagging<br />
terhadap<br />
V .<br />
an<br />
V az<br />
Gb.15.4 Fasor tegangan sistem N-fasa<br />
seimbang.<br />
V zn<br />
V bn<br />
V an<br />
23
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Perbandingan tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />
untuk N dari 2 sampai 12 (dinormalisasi terhadap V a ) diberikan<br />
pada Tabel -1.1.<br />
Table 1.1. Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa<br />
untuk sistem 2 ÷ 12 fasa, dinormalisir terhadap V a [1]<br />
N: 1 2 3 4 5 6<br />
V ab /V a 2,000 1,732 1,414 1,176 1,000<br />
V ac /V a 1,732 2,000 1,902 1,732<br />
V ad /V a 1,414 1,902 2,000<br />
V ae /V a 1,176 1,732<br />
V af /V a 1,000<br />
N: 7 8 9 10 11 12<br />
V ab /V a 0,868 0,765 0,684 0,618 0,563 0,518<br />
V ac /V a 1,564 1,414 1,286 1,176 1,081 1,000<br />
V ad /V a 1,950 1,848 1,732 1,618 1,511 1,414<br />
V ae /V a 1,950 2,000 1,970 1,902 1,819 1,732<br />
V af /V a 1,564 1,848 1,970 2,000 1,980 1,932<br />
V ag /V a 0,868 1,414 1,732 1,902 1,980 2,000<br />
V ah /V a 0,765 0,286 1,618 1,819 1,932<br />
V ai /V a 0,684 1,176 1,511 1,732<br />
V aj /V a 0,618 1,081 1,414<br />
V ak /V a 0,563 1,000<br />
V al /V a 0,518<br />
Daya sesaat total untuk N ≥ 3 adalah<br />
z z<br />
pNf<br />
= ∑ viii<br />
= ∑ ( V 2)( I 2) cos( ωt<br />
− αi<br />
) cos( ωt<br />
− βi)<br />
i=<br />
a i=<br />
a<br />
= NV f I f cos ψ<br />
(1.34)<br />
Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa<br />
memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS.<br />
Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa<br />
24 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita<br />
akan memperoleh relasi<br />
S Nf = NV f I f<br />
PNf<br />
= NV f I f cos ψ<br />
QNf<br />
= NV f I f sin ψ<br />
(1.35)<br />
1.6.2. Hubungan Bintang dan Hubungan Mesh<br />
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dinyatakan dengan<br />
model impedansi. Impedansi pada sistem multifasa dapat<br />
dihubungkan bintang ataupun mesh; rangkaian ini diperlihatkan<br />
pada Gb.1.5.<br />
a<br />
I aY<br />
Z Y<br />
a<br />
I a∆<br />
b<br />
c<br />
z<br />
Bintang<br />
Mesh<br />
Gb.1.5 Hubungan bintang dan hubungan mesh.<br />
Transformasi dari rangkaian bintang ke mesh diturunkan sebagai<br />
berikut.<br />
Rangkaian bintang :<br />
Rangkaian mesh:<br />
Z Y<br />
Z Y<br />
.<br />
.<br />
.<br />
Z Y<br />
b<br />
c<br />
z<br />
Z <br />
Z <br />
Z <br />
Z <br />
o<br />
V<br />
an f ∠0<br />
I aY = V =<br />
(1.36)<br />
ZY<br />
ZY<br />
25
I<br />
a∆<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
f<br />
ab<br />
∆<br />
∆<br />
V<br />
+<br />
Z<br />
(1∠<br />
0<br />
az<br />
∆<br />
o<br />
1<br />
=<br />
Z<br />
∆<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
( V − V + V − V )<br />
an<br />
−1∠ − θ + 1∠0<br />
o<br />
bn<br />
an<br />
zn<br />
2V<br />
−1∠θ)<br />
=<br />
Z<br />
Jika kedua rangkaian ini harus sama maka<br />
a∆<br />
aY<br />
Y<br />
f<br />
∆<br />
(1 − cosθ)<br />
(1.37)<br />
I = I ⇒ Z = 2(1<br />
− cosθ)<br />
Z<br />
(1.38)<br />
∆<br />
o<br />
CONTOH-1.2: Sumber 6 fasa seimbang dengan V a = 1000∠0<br />
V ,<br />
urutan fasa abc, mencatu beban 6 fasa seimbang S 6f = 900 kVA,<br />
faktor daya = 0.8 lagging. (a) Hitunglah arus fasa; (b) Hitung<br />
tegangan fasa-fasa ac; (c) Hitung impedansi ekivalen Y, Z Y ; (d)<br />
Hitung impedansi ekivalen ∆, Z ∆ .<br />
Solusi:<br />
V a<br />
= 1000∠0<br />
o<br />
V = 1∠0<br />
o<br />
kV<br />
(a)<br />
I fasa<br />
S6φ<br />
/ 6<br />
= =<br />
V fasa<br />
900 / 6<br />
1<br />
= 150 A<br />
(b)<br />
o<br />
o<br />
o<br />
V ac = Va<br />
− Vc<br />
= 1000∠0<br />
−1000∠ −120<br />
= 1732∠ − 30 V<br />
(c)<br />
Z Y<br />
V fasa<br />
=<br />
I fasa<br />
1000<br />
= = 6.67 Ω;<br />
150<br />
−1<br />
o<br />
ψ = cos (0.8) = ± 36.9<br />
Z<br />
Z Y<br />
o<br />
= 6 .67∠<br />
+ 36.9<br />
o<br />
o<br />
∆ = 2 (1 − cos 60 ) ZY<br />
= 2(1/ 2) ZY<br />
= ZY<br />
= 6.67∠<br />
+ 36.9<br />
1.7. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Seimbang<br />
<strong>Sistem</strong> tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana.<br />
Lihat Gb.1.6. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa<br />
adalah<br />
26 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
V<br />
V<br />
V<br />
an<br />
bn<br />
cn<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
a<br />
b<br />
c<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
f<br />
f<br />
f<br />
∠0<br />
o<br />
∠ −120<br />
∠ − 240<br />
o<br />
o<br />
= V<br />
f<br />
∠ + 120<br />
o<br />
(1.39)<br />
Tegangan fasa-fasa adalah<br />
V<br />
V<br />
V<br />
ab<br />
bc<br />
ca<br />
= V<br />
= V<br />
b<br />
= V<br />
a<br />
c<br />
− V<br />
− V<br />
c<br />
− V<br />
a<br />
a<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
f<br />
f<br />
f<br />
3∠30<br />
o<br />
3∠ − 90<br />
o<br />
3∠ + 150<br />
o<br />
(1.40)<br />
a<br />
I a<br />
Jaringan<br />
A<br />
b<br />
c<br />
I b<br />
I c<br />
Jaringan<br />
B<br />
Va<br />
Vb<br />
Vc<br />
n<br />
I n<br />
Gb.1.6. <strong>Sistem</strong> tiga-fasa.<br />
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dimodelkan dengan<br />
impedansi dan impedansi ini dapat terhubung Y atau ∆, seperti<br />
diperlihatkan oleh Gb.1.7.<br />
a<br />
a<br />
Z Y<br />
b<br />
Z ∆<br />
Z ∆<br />
b<br />
Z Y<br />
c<br />
Z ∆<br />
c Z Y<br />
∆<br />
Y<br />
Gb.1.7. Beban terhubung ∆ dan terhubung Y.<br />
27
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Dalam kondisi seimbang, arus-arus fasa pada hubungan Y adalah<br />
I<br />
I<br />
I<br />
I<br />
a<br />
b<br />
c<br />
n<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
= I<br />
= I<br />
= 0<br />
f<br />
f<br />
a<br />
Y<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
f<br />
Y<br />
∠(<br />
−120<br />
∠(<br />
−240<br />
∠(0<br />
o<br />
o<br />
o<br />
− ψ)<br />
− ψ)<br />
− ψ)<br />
= I<br />
f<br />
∠ − ψ<br />
(1.41)<br />
Gb. 1.8. memperlihatkan diagram fasor tegangan dan arus pada<br />
sistem tiga-fasa seimbang dengan beban induktif; arus lagging<br />
terhadap tegangan.<br />
V ca<br />
V c<br />
ψ<br />
I c<br />
− V b<br />
V ab<br />
− V a<br />
I b ψ<br />
ψ<br />
I a<br />
V a<br />
V b<br />
− V c<br />
V bc<br />
Gb.15.8. Diagram fasor sistem tiga<br />
fasa seimbang; urutan fasa abc.<br />
Transformasi hubungan Y ke ∆ diberikan oleh (1.30), yang untuk<br />
o<br />
sistem tiga-fasa θ = 120 .<br />
Z∆ = 2 (1 − cosθ)<br />
Z Y = 3Z Y<br />
(1.42)<br />
Jika diperlukan, arus pada cabang-cabang hubungan ∆ dapat<br />
dihitung, dengan relasi<br />
I<br />
ab<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
V<br />
V<br />
ab; I =<br />
bc<br />
=<br />
ca<br />
bc ; Ica<br />
(1.43)<br />
∆ Z∆<br />
Z∆<br />
28 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Hubungan arus fasa I a<br />
pada Gb.1.6, yang juga disebut arus saluran<br />
(line current) I L<br />
, dengan arus pada cabang ∆ adalah<br />
I<br />
a<br />
= I<br />
ab<br />
−I<br />
1.8. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Tak-seimbang<br />
ca; Ib<br />
= Ibc<br />
−Iab;<br />
Ic<br />
= Ica<br />
−Ibc<br />
(1.44)<br />
Dalam sistem tiga-fasa seimbang, besar tegangan adalah sama di<br />
semua fasa dan antara fasa yang berurutan terdapat beda fasa 120 o .<br />
Demikian pula halnya dengan arus; keadaan ini membuat arus di<br />
penghantar netral bernilai nol. Tidak demikian halnya dengan<br />
keadaan tak-seimbang; tegangan dan arus di setiap fasa tidak sama<br />
dan beda fasa antar tegangan fasa-netral tidak 120 o .<br />
1.8.1. Komponen Simetris<br />
Tegangan di setiap fasa (fasa-netral) sistem tak-seimbang dapat<br />
kita tuliskan sebagai<br />
V a = Va∠α<br />
a ; Vb<br />
= Vb∠αb<br />
; Vc<br />
= Vc∠α<br />
c<br />
Satu kesatuan tiga fasor tak-seimbang ini, dipandang sebagai<br />
terdiri dari tiga komponen fasor seimbang yaitu:<br />
komponen urutan positif<br />
komponen urutan negatif<br />
komponen urutan nol<br />
Komponen urutan positif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan<br />
selisih sudut fasa 120 o , dengan urutan abc. Komponen urutan<br />
negatif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa<br />
120 o dengan urutan cba, dan komponen urutan nol adalah fasor<br />
tiga-fasa tanpa selisih sudut fasa. Tiga set fasor seimbang ini<br />
digambarkan pada Gb.1.9. Perhatikanlah bahwa baik komponen<br />
urutan positif maupun negatif, memiliki selisih sudut fasa 120 o ;<br />
artinya kemunculan tegangan berselisih 120 o secara berurutan,<br />
sedangkan komponen urutan nol tidak memiliki selisih sudut fasa,<br />
yang berarti gelombang tegangan di ketiga-fasa muncul dan<br />
bervariasi secara bersamaan. Oleh karena itu jumlah fasor arus<br />
urutan nol di titik penghatar netral tidaklah nol melainkan 3 kali<br />
arus urutan nol.<br />
29
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Komponen urutan nol diberi tambahan indeks 0, urutan positif<br />
diberi tambahan indeks 1, urutan negatif dengan tambahan indeks<br />
2. Komponen-komponen ini disebut komponen simetris. Dengan<br />
komponen simetris ini maka pernyataan tegangan semula (yang<br />
tidak seimbang) menjadi<br />
Va<br />
= Va0<br />
+ Va1<br />
+ Va2<br />
;<br />
Vb<br />
= Vb<br />
0 + Vb1<br />
+ Vb<br />
2;<br />
Vc<br />
= Vc0<br />
+ Vc1<br />
+ Vc2<br />
(1.45)<br />
V c1<br />
V b2<br />
V<br />
a0 , Vb<br />
0,<br />
Vc0<br />
V a1<br />
V a2<br />
V b1<br />
V c2<br />
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />
Gb.1.9. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa<br />
tak-seimbang.<br />
1.8.2. Operator a<br />
Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan<br />
operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang<br />
berbentuk<br />
o<br />
a = 1∠120<br />
(1.46)<br />
Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain<br />
yang terputar ke arah positif sebesar 120 o ; dan jika kita kalikan<br />
dengan a 2 akan terputar ke arah posistif 240 o (operator semacam<br />
o<br />
ini telah pernah kita kenal yaitu operator j = 1∠90 ). Kita<br />
manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan<br />
positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita<br />
hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a,<br />
sehingga kita dapat menuliskan<br />
30 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
sehingga<br />
V<br />
V<br />
V<br />
a0<br />
a1<br />
a2<br />
= V<br />
b0<br />
= V ; V<br />
1<br />
2<br />
= V<br />
b1<br />
= V ; V<br />
b2<br />
c0<br />
= V<br />
1<br />
2<br />
0<br />
= aV<br />
;<br />
2<br />
V<br />
c1<br />
= a V ; V<br />
= a<br />
c2<br />
2<br />
V<br />
= aV<br />
a0<br />
2<br />
V<br />
V<br />
V<br />
a<br />
b<br />
c<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
0<br />
0<br />
0<br />
+ V + V<br />
1<br />
2<br />
+ aV<br />
1<br />
1<br />
2<br />
+ a V + aV<br />
+ a<br />
Agar lebih jelas, perhatikan Gb.1.10 berikut ini.<br />
2<br />
V<br />
2<br />
2<br />
(1.47)<br />
aV = V<br />
1 c1<br />
aV = V<br />
2 b2<br />
V 0<br />
V 1 = Va1<br />
V 2 = Va2<br />
2<br />
a V 1 = V b 1<br />
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />
Gb.1.10. Penulisan komponen urutan dengan<br />
menggunakan operator a.<br />
Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />
menjadi<br />
⎡Va<br />
⎤ ⎡1<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢Vb<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
Vc<br />
⎦ ⎣1<br />
1<br />
2<br />
a<br />
1.8.3. Mencari Komponen Simetris<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡V0<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥<br />
⎥ ⎢V1<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
V2<br />
⎦<br />
2<br />
a V 2 = V c 2<br />
(1.48)<br />
Komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik;<br />
ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur adalah besaranbesaran<br />
yang tak-seimbang yaitu V a , Vb<br />
, Vc<br />
. Komponen simetris<br />
dapat kita cari dari (1.47.a) dengan menjumlahkan fasor-fasor dan<br />
dengan mengingat bahwa (1 + a + a 2 ) = 0, yaitu<br />
31
V<br />
= V<br />
+ V + V<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
a 0 1 2<br />
Vb<br />
2<br />
= V0<br />
+ a V1<br />
+ aV2<br />
Vc<br />
2<br />
= V0<br />
+ aV1<br />
+ a V2<br />
⇒ V a + Vb<br />
+ Vc<br />
2<br />
2<br />
= 3V0 + (1 + a + a)<br />
V1<br />
+ (1 + a + a ) V2<br />
= 3V0<br />
1<br />
⇒ V 0 = ( Va<br />
+ Vb<br />
+ Vc<br />
3<br />
)<br />
(1.49.a)<br />
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga<br />
kita kalikan dengan a 2 , kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />
Va<br />
= V0<br />
+ V1<br />
+ V2<br />
3 2<br />
aVb<br />
= aV0<br />
+ a V1<br />
+ a V2<br />
2 2 3 4<br />
a Vc<br />
= a V0<br />
+ a V1<br />
+ a V2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
⇒ V a + aVb<br />
+ a Vc<br />
= ( 1+<br />
a + a ) V0<br />
+ 3V1<br />
+ (1 + a + a)<br />
V2<br />
= 3V1<br />
1<br />
2<br />
⇒ V1<br />
= ( Va<br />
+ aVb<br />
+ a Vc<br />
)<br />
(1.49.b)<br />
3<br />
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a 2 dan baris ke-tiga<br />
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />
Va<br />
= V0<br />
+ V1<br />
+ V2<br />
2 2 4 3<br />
a Vb<br />
= a V0<br />
+ a V1<br />
+ a V2<br />
2 3<br />
aVc<br />
= aV0<br />
+ a V1<br />
+ a V2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
⇒ V a + aVb<br />
+ a Vc<br />
= ( 1+<br />
a + a)<br />
V0<br />
+ (1 + a + a ) V1<br />
+ 3V2<br />
= 3V2<br />
1 2<br />
⇒ V 1 = ( Va<br />
+ a Vb<br />
+ aVc<br />
)<br />
(1.49.c)<br />
3<br />
Relasi (1.49.a,b,c) kita kumpulkan dalam satu penulisan matriks:<br />
⎡V0<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢V1<br />
⎥ =<br />
⎢ ⎥<br />
⎣<br />
V2<br />
⎦<br />
1<br />
3<br />
⎡1<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
a<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡VA<br />
⎤<br />
2 ⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥<br />
⎥ ⎢VB<br />
⎥<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
VC<br />
⎦<br />
(1.50)<br />
32 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran fasa<br />
dan komponen simetrisnya yaitu (1.48) dan (1.50) yang masingmasing<br />
dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut:<br />
~ ~<br />
Vabc<br />
= [ T]<br />
V012<br />
~<br />
~<br />
(1.51.a)<br />
−1<br />
V012<br />
= [ T]<br />
Vabc<br />
dengan<br />
[ T]<br />
⎡1<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
2<br />
−1<br />
2<br />
a dan [ T ] =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥<br />
(1.51.b)<br />
2<br />
a<br />
1<br />
3<br />
⎡1<br />
⎢<br />
⎢⎣<br />
1<br />
a<br />
1<br />
1 ⎤<br />
⎥<br />
a ⎥⎦<br />
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus<br />
~ ~<br />
Iabc<br />
= [ T]<br />
I012<br />
~ ~<br />
(1.51.c)<br />
−1<br />
I012<br />
= [ T]<br />
Iabc<br />
1.8.4. Relasi Transformasi<br />
Relasi (1.51) inilah pasangan relasi untuk menghitung komponen<br />
urutan jika diketahui besaran fasanya, dan sebaliknya menghitung<br />
besaran fasa jika diketahui komponen urutannya; mereka kita<br />
sebut relasi transformasi fasor tak-seimbang. Perhatikan sekali<br />
lagi bahwa masing-masing komponen urutan membentuk fasor<br />
seimbang; komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah<br />
matematik, tidak diukur dalam praktek; yang terukur adalah<br />
besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu V a , Vb<br />
, Vc<br />
.<br />
o<br />
o<br />
CONTOH-1.3: Diketahui I a = 1∠60<br />
, Ib<br />
= 1∠ − 60 , and Ic<br />
= 0 ,<br />
hitunglah komponen-komponen simetrisnya .<br />
Solusi:<br />
1<br />
I1<br />
= a<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
2 1 o o<br />
( I + aI<br />
+ a I ) = ( 1∠60<br />
+ 1∠60<br />
+ 0)<br />
b<br />
((0,5<br />
+ j0,866)<br />
+ (0,5 + j0,866)<br />
+ 0)<br />
1 o<br />
( 1 + j1,732<br />
) = ( 2∠60<br />
)<br />
c<br />
3<br />
3<br />
33
1<br />
I2<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
I0<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
2 1 o o<br />
( I + a I + aI<br />
) = ( 1∠60<br />
+ 1∠180<br />
+ 0)<br />
a<br />
b<br />
((0,5<br />
+ j0,866)<br />
−1<br />
+ 0)<br />
c<br />
o<br />
( − 0,5 + j0,866) = 0,333∠120<br />
1 o o<br />
( I + I + I ) = ( 1∠60<br />
+ 1∠60<br />
+ 0)<br />
a<br />
b<br />
3<br />
((0,5<br />
+ j0,866)<br />
+ (0,5 − j0,866)<br />
+ 0)<br />
o<br />
( 1 + j0) = 0,333∠0<br />
c<br />
Perhatikan: perhitungan dalam soal ini memberikan<br />
I<br />
c1<br />
I<br />
I<br />
c2<br />
c0<br />
= aI<br />
= I<br />
1<br />
2<br />
= a I<br />
0<br />
= 1∠120<br />
2<br />
o<br />
= 1∠240<br />
= 0,333∠0<br />
2<br />
× ∠60<br />
3<br />
o<br />
o<br />
o<br />
3<br />
2<br />
= ∠(120<br />
3<br />
× 0,333∠120<br />
o<br />
o<br />
o<br />
+ 60 ) = 0,667∠180<br />
= 0,333∠360<br />
sedangkan diketahui I c = 0<br />
Kita yakinkan:<br />
I c = Ic1 + Ic2<br />
+ Ic0<br />
= −0,667<br />
+ 0,333 + 0,333 ≈ 0<br />
1.8.3. Impedansi Urutan<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Jika impedansi A, B , C merupakan impedansi-impedansi<br />
dengan tegangan antar terminal masing-masing V aa'<br />
, Vbb'<br />
, Vcc'<br />
maka<br />
⎡Vaa'<br />
⎤ ⎡I<br />
a ⎤<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢Vbb'<br />
⎥ = [ Z ABC ] ⎢Ib<br />
⎥<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎣<br />
Vcc'<br />
⎦ ⎣<br />
Ic<br />
⎦<br />
atau lebih kompak<br />
o<br />
o<br />
34 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
~<br />
~<br />
V( abc )' = [ Z ABC ] Iabc<br />
(1.52)<br />
~<br />
V ( abc)'<br />
adalah tegangan antar terminal impedansi dan Iabc<br />
adalah arus yang melalui impedansi. [ Z ABC ] adalah matriks 3 × 3,<br />
yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri<br />
dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Kita akan melihat<br />
sebuah contoh saluran transmisi yang mendapat pembebanan tidak<br />
seimbang.<br />
CONTOH-1.4: Suatu saluran tiga-fasa masing masing memiliki<br />
reaktansi sediri X s sedangkan antar fasa terdapat reaktansi bersama<br />
X m . Resistansi konduktor diabaikan. Tentukanlah impedansi urutan.<br />
Perhatikan bahwa X s adalah reaktansi sendiri dan X m adalah<br />
reaktansi bersama antar konduktor.<br />
V a<br />
V b<br />
X m<br />
X m<br />
X m<br />
.<br />
.<br />
.<br />
X s<br />
X s<br />
X s<br />
I b<br />
I a<br />
I c<br />
V′ b<br />
~<br />
V′ a<br />
V c<br />
I + I + I<br />
a<br />
b<br />
c<br />
V′ c<br />
Solusi:<br />
Vaa'<br />
= Va<br />
− Va'<br />
= jX sI<br />
a + jX mIb<br />
+ jX mIc<br />
Vbb'<br />
= Vb<br />
− Vb'<br />
= jX mI<br />
a + jX s Ib<br />
+ jX mIc<br />
Vcc'<br />
= Vc<br />
− Vc'<br />
= jX mI<br />
a + jX mIb<br />
+ jX sIc<br />
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks<br />
⎡Va<br />
⎤ ⎡Va'<br />
⎤ ⎡ X s X m<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
− =<br />
⎢<br />
⎢Vb<br />
⎥ ⎢Vb'<br />
⎥ j<br />
⎢<br />
X m X s<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
Vc<br />
⎦ ⎣<br />
Vc'<br />
⎦ ⎣X<br />
m X m<br />
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak<br />
X m ⎤ ⎡I<br />
a ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
X<br />
⎥<br />
m ⎥ ⎢Ib<br />
⎥<br />
X ⎥ ⎢ ⎥<br />
s ⎦ ⎣<br />
Ic<br />
⎦<br />
35
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
~<br />
V<br />
~<br />
′<br />
~<br />
abc − Vabc<br />
= [ Z ABC ] Iabc<br />
Karena<br />
~ ~ ~ −1<br />
~ ~ ~<br />
V abc = [ T]<br />
V012<br />
, V012<br />
= [ T]<br />
Vabc<br />
, dan Iabc<br />
= [ T]<br />
I012<br />
maka relasi diatas menjadi<br />
~ ~<br />
~<br />
[ T]<br />
V012<br />
− [ T]<br />
V012<br />
′ = [ Z ABC ][ T]<br />
I012<br />
atau<br />
~ ~ −1<br />
~<br />
V012<br />
− V012<br />
′ = [ T]<br />
[ Z ABC ][ T]<br />
I012<br />
Pada relasi terakhir ini terdapat faktor<br />
−<br />
[ T] 1 [ Z ][ T]<br />
ABC<br />
yang dapat kita hitung sebagai berikut:<br />
-1<br />
[ T] [ Z ][ T]<br />
ABC<br />
⎡X<br />
s + 2X<br />
j<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
X s − X<br />
3<br />
⎢⎣<br />
X s − X<br />
⎡X<br />
s + 2X<br />
= j<br />
⎢<br />
⎢<br />
0<br />
⎢⎣<br />
0<br />
m<br />
m<br />
m<br />
⎡1<br />
1<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
3<br />
⎢⎣<br />
1<br />
m<br />
X<br />
aX<br />
a<br />
s<br />
2<br />
X s<br />
s<br />
0<br />
X<br />
1<br />
a<br />
a<br />
s<br />
+ (1 + a<br />
− X<br />
0<br />
2<br />
1 ⎤ ⎡ X<br />
2<br />
a<br />
⎥ ⎢<br />
⎥<br />
j<br />
⎢<br />
X<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
X<br />
+ 2X<br />
+ (1 + a)<br />
X<br />
m<br />
X<br />
m<br />
2<br />
) X<br />
s<br />
0<br />
0<br />
m<br />
m<br />
− X<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
a<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
2<br />
aX<br />
Hasil perhitungan ini memberikan relasi berikut<br />
X<br />
X<br />
X<br />
X<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
X<br />
s<br />
s<br />
X<br />
X<br />
X<br />
m<br />
m<br />
s<br />
+ 2X<br />
+ (1 + a)<br />
X<br />
+ (1 + a<br />
⎤ ⎡1<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1<br />
m<br />
2<br />
) X<br />
m<br />
m<br />
a<br />
1<br />
2<br />
a<br />
⎤ ⎡1<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
1<br />
a<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
~<br />
V<br />
012<br />
~<br />
− V′<br />
012<br />
⎡X<br />
s + 2X<br />
⎢<br />
= j<br />
⎢<br />
0<br />
⎢⎣<br />
0<br />
⎡Z<br />
0 0<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
0 Z1<br />
⎢⎣<br />
0 0<br />
m<br />
X<br />
s<br />
0 ⎤<br />
~<br />
0<br />
⎥<br />
⎥<br />
I<br />
Z 2<br />
⎥⎦<br />
0<br />
− X<br />
0<br />
012<br />
m<br />
= [ Z<br />
X<br />
s<br />
012<br />
0<br />
0<br />
− X<br />
~<br />
] I<br />
m<br />
012<br />
⎤<br />
⎥ ~<br />
⎥<br />
I<br />
⎥⎦<br />
012<br />
=<br />
36 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Jika didefinisikan:<br />
Impedansi urutan nol Z 0 = j(<br />
X s + 2X<br />
m )<br />
Impedeansi urutan positif Z1 = j(<br />
X s − X m )<br />
Impedansi urutan negatif Z 2 = j(<br />
X s − X m )<br />
Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam relasi ini<br />
digambarkan sebagai berikut:<br />
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />
1.9.4. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tak-seimbang<br />
Daya pada sistem tiga-fasa adalah jumlah daya setiap fasa.<br />
S<br />
Z 0<br />
V0<br />
V 0′<br />
∗ ∗ ∗<br />
3 f = VaI<br />
a + Vb<br />
Ib<br />
+ VcI<br />
c atau dalam bentuk matriks<br />
S<br />
Z 1<br />
V1<br />
V 1′<br />
⎡<br />
⎤<br />
∗<br />
I a<br />
⎢<br />
∗<br />
⎥ ~ ~ ∗<br />
3 f = [ Va<br />
Vb<br />
Vc<br />
] ⎢Ib<br />
⎥ = VabcT<br />
Iabc<br />
(1.53)<br />
⎢ ∗<br />
I ⎥<br />
c<br />
⎢⎣<br />
( V ~ abcT adalah transposisi dari V ~ abc )<br />
~ ~ ~ ~<br />
Karena V abc = [ T]<br />
V012<br />
dan Iabc<br />
= [ T]<br />
I012<br />
, maka relasi<br />
diatas menjadi<br />
~<br />
∗ ~ ∗<br />
S 3 f = V012[<br />
T]<br />
T[<br />
T]<br />
I012<br />
(1.54)<br />
~ ~ ~ ~<br />
Catatan: V abc = [ T]<br />
V012 ⇒ VabcT<br />
= V012T<br />
[ T]<br />
T<br />
~ ~ ~ ∗ ∗ ~ ∗<br />
Iabc<br />
= [ T]<br />
I012<br />
⇒ Iabc<br />
= [ T]<br />
I012<br />
⎥⎦<br />
Z 2<br />
V2<br />
V 2′<br />
Pada (1.54) terdapat faktor [ T] [ T] ∗<br />
T yang dapat kita hitung<br />
[ T] [ T]<br />
T<br />
∗<br />
⎡1<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
a<br />
1<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡1<br />
a<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1<br />
a<br />
1<br />
a<br />
2<br />
1 ⎤ ⎡3<br />
2<br />
a<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥ ⎢<br />
0<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0<br />
0<br />
3<br />
0<br />
0⎤<br />
⎡1<br />
0<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥<br />
3<br />
⎢<br />
0<br />
3⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0<br />
0<br />
1<br />
0<br />
0⎤<br />
0<br />
⎥<br />
⎥<br />
1⎥⎦<br />
37
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Dengan demikian (1.54) dapat dituliskan<br />
∗<br />
S 3 f = 3V012<br />
T I012<br />
atau<br />
38 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
~<br />
~<br />
∗ ∗ ∗<br />
( V I + V I + V )<br />
S 3 f = 3 0 0 1 1 2I<br />
2 (1.55)<br />
CONTOH-1.5: Hitunglah daya tiga-fasa pada kondisi tidak<br />
seimbang seperti berikut:<br />
Solusi (1):<br />
V<br />
V<br />
⎡ 10 ⎤<br />
=<br />
⎢<br />
10<br />
⎥<br />
⎢<br />
−<br />
⎥<br />
kV<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
dan<br />
ABC I ABC<br />
[ 10 −10<br />
0]<br />
∗<br />
ABCT =<br />
dan I ABC<br />
⎡ j10<br />
⎤<br />
=<br />
⎢<br />
10<br />
⎥<br />
⎢<br />
−<br />
⎥<br />
A<br />
⎢⎣<br />
−10⎥⎦<br />
⎡−<br />
j10⎤<br />
=<br />
⎢ ⎥<br />
⎢<br />
−10<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
−10<br />
⎥⎦<br />
Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan<br />
mengalikan kedua matriks kolom ini<br />
⎡−<br />
j10⎤<br />
S3 f =<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
j<br />
⎢⎣<br />
−10<br />
⎥⎦<br />
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung<br />
formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus<br />
yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini<br />
melalui komponen simetris.<br />
Solusi (2):<br />
[ 10 −10<br />
0] −10<br />
= − j100<br />
+ 100 + 0 = (100 − 100) kVA<br />
Tegangan urutan adalah:<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ 10 ⎤ ⎡ 0 ⎤<br />
~ −1<br />
~ 1<br />
[ ]<br />
⎢<br />
2 ⎥ ⎢ ⎥ 1<br />
V<br />
=<br />
⎢<br />
⎥<br />
012 = T V ABC =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥ ⎢<br />
−10<br />
⎥ ⎢<br />
10 − a10<br />
+ 0<br />
3<br />
3<br />
⎥<br />
⎢<br />
2<br />
⎣1<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
⎢<br />
2<br />
a a<br />
⎣10<br />
− a 10 + 0⎥⎦<br />
~<br />
Dari sini kita hitung V 012T<br />
~ 1<br />
2<br />
⇒ V 012T<br />
= [ 0 10 − a10<br />
10 − a 10]<br />
3
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Arus urutan adalah:<br />
~<br />
I<br />
012<br />
~<br />
⇒ I<br />
=<br />
∗<br />
012<br />
[ T]<br />
=<br />
−1<br />
~<br />
I<br />
ABC<br />
⎡ 0 ⎤<br />
1 ⎢ ⎥<br />
⎢<br />
− j10<br />
+ 10<br />
3 ⎥<br />
⎢⎣<br />
− j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
Daya tiga-fasa adalah<br />
S3<br />
f<br />
~ ∗<br />
= 3V012<br />
T I012<br />
1 1<br />
= 3×<br />
×<br />
3 3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ j10<br />
⎤<br />
1 ⎢<br />
2<br />
=<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥ ⎢<br />
−10<br />
3<br />
⎥<br />
⎢<br />
2<br />
⎣1<br />
a a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
−10⎥⎦<br />
⎡ 0 ⎤<br />
1<br />
=<br />
⎢<br />
2 ⎥<br />
⎢<br />
j10<br />
− a10<br />
− a 10<br />
⎥<br />
=<br />
3<br />
⎢<br />
2<br />
⎣ j10<br />
− a 10 − a10⎥⎦<br />
2<br />
[ 0 10 - a10<br />
10 − a 10]<br />
1<br />
3<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢<br />
j10<br />
+ 10<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
2<br />
[ 0 + (10 − a10)(<br />
− j10<br />
+ 10) + (10 − a 10)( − j10<br />
+ 10) ]<br />
( 300 − j300) = (100 − j100)<br />
kVA<br />
2<br />
(catatan: a + a = −1)<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢<br />
j10<br />
10<br />
⎥<br />
⎢<br />
− +<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
− j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung<br />
tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil<br />
perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama,<br />
mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen<br />
simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan takseimbang<br />
tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus<br />
dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat<br />
yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan<br />
komponen simetris.<br />
39
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
1.9. Pernyataan <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
<strong>Sistem</strong> tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping<br />
banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga<br />
sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada<br />
banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka<br />
sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah.<br />
1.9.1. Diagram Satu Garis<br />
Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian<br />
sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian.<br />
Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis<br />
(single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan<br />
secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu<br />
garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari<br />
diagram satu garis.<br />
Generator<br />
G<br />
Y<br />
Z<br />
beban<br />
Y-ditanahkan<br />
melalui<br />
impedansi<br />
1 ∆<br />
3 Y<br />
∆<br />
Trafo<br />
3 belitan<br />
2 4<br />
Circuit<br />
Breaker<br />
Saluran<br />
transmisi<br />
Nomer bus<br />
Y ∆<br />
5 6<br />
Trafo<br />
2 belitan<br />
beban<br />
Gb.1.11. Diagram satu garis.<br />
Gb.1.11. memperlihatkan sebuah generator terhubung Y, dengan<br />
titik netral yang ditanahkan melalui sebuah impedansi. Generator<br />
ini dihubungkan ke trasformator tiga belitan melalui bus-1. Belitan<br />
primer trafo terhubung ∆, belitan sekunder terhubung Y dengan<br />
titik netral ditanahkan langsung dan terhubung ke bus-2,<br />
sedangkan belitan tertier dihubungkan ∆ masuk ke bus-3 untuk<br />
mencatu beban.<br />
Dari bus-2 melalui circuit breaker masuk ke saluran transmisi<br />
melalui bus-4. Ujung saluran transmisi melalui bus-5 terhubung ke<br />
transformator 2 belitan; transformator ini terhubung Y-∆ dengan<br />
40 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
titik netral primernya ditanahkan langsung. Sekunder<br />
transformator terhubung ke bus-6 untuk mencatu beban.<br />
Dalam diagram satu garis, impedansi-impedansi tidak<br />
digambarkan. Untuk analisis, diagram satu garis perlu<br />
“diterjemahkan” menjadi diagram rangkaian listrik model satu<br />
fasa seperti terlihat pada Gb. 1.12.<br />
+<br />
∼<br />
Generator<br />
1<br />
3<br />
beban<br />
Transformator<br />
2 4 5 6<br />
Circuit<br />
breaker<br />
Rangkaian<br />
ekivalen π<br />
saluran<br />
transmisi<br />
Transformator<br />
beban<br />
Gb.1.12. Model satu fasa dari diagram satu garis Gb.1.11.<br />
Dengan model satu fasa inilah analisis dilakukan. Dalam Gb.1.12.<br />
ini saluran transmisi dinyatakan dengan rangkaian ekivalennya,<br />
yaitu rangkaian ekivalen π, yang akan kita pelajari lebih lanjut.<br />
1.9.2. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />
<strong>Sistem</strong> per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau<br />
normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,<br />
tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,<br />
ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit<br />
(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit<br />
dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan<br />
perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu<br />
sudah kurang berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa<br />
keuntungan yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan<br />
kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan<br />
pelajari.<br />
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran<br />
tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi<br />
sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit<br />
besaran itu menjadi tidak berdimensi<br />
41
Nilai per - unit =<br />
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
nilai sesungguhnya<br />
nilai basis<br />
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun<br />
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu<br />
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa<br />
sesungguhnya.<br />
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks<br />
∗<br />
S = V I = VI∠( α − β)<br />
(1.56)<br />
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa<br />
arus. Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan S basis yang<br />
berupa bilangan nyata, sehingga<br />
Didefinisikan pula bahwa<br />
S∠(<br />
α − β)<br />
S pu = = S pu∠(<br />
α − β)<br />
(1.57)<br />
S<br />
basis<br />
S ×<br />
basis = Vbasis<br />
Ibasis<br />
(1.58)<br />
Nilai S basis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang<br />
memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika<br />
S basis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu V basis atau<br />
I basis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa<br />
dipilih bebas.<br />
Jika kita hitung S pu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh<br />
S<br />
V∠αI∠ − β<br />
∗<br />
S pu = =<br />
= V pu I pu (1.59)<br />
Sbasis<br />
VbasisIbasis<br />
Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi<br />
2<br />
Vbasis<br />
Vbasis<br />
Zbasis<br />
= =<br />
(1.60)<br />
Ibasis<br />
Sbasis<br />
Dengan Z basis ini relasi arus dan tegangan<br />
akan memberikan<br />
V<br />
V = Z I atau Z =<br />
I<br />
42 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Z<br />
Zbasis<br />
V / I<br />
= atau<br />
Vbasis<br />
/ Ibasis<br />
V pu<br />
Z pu = (1.61)<br />
I pu<br />
Karena Z = R + jX maka<br />
Z<br />
Z<br />
basis<br />
R + jX<br />
R<br />
= = + j atau<br />
Zbasis<br />
Zbasis<br />
Zbasis<br />
Z +<br />
X<br />
pu = R pu jX pu<br />
(1.62)<br />
Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara<br />
sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai<br />
basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri pula.<br />
S P + jQ<br />
S<br />
= atau<br />
basis S basis<br />
S +<br />
pu = Ppu<br />
jQ pu<br />
(1.63)<br />
Contoh-1.6:<br />
Nyatakanlah<br />
besaran-besaran<br />
4Ω<br />
− j4 Ω<br />
o<br />
pada rangkaian V = 200∠0<br />
V ∼<br />
j8 Ω<br />
satu fasa berikut<br />
ini dalam perunit<br />
dengan mengambil S basis = 1000 VA dan V basis = 200 V.<br />
Solusi:<br />
S basis = 1000 VA; Vbasis<br />
= 200 V<br />
I<br />
S<br />
1000 =<br />
basis<br />
basis = = 5 A<br />
Vbasis<br />
200<br />
Z<br />
basis<br />
Maka:<br />
V<br />
=<br />
I<br />
V pu<br />
basis<br />
basis<br />
=<br />
200<br />
= 40 Ω<br />
5<br />
o<br />
200∠0<br />
o<br />
= = 1∠0<br />
pu<br />
200<br />
R pu<br />
4 = = 0,1 pu<br />
40<br />
43
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
X Cpu<br />
X Lpu<br />
4 = = 0,1 pu<br />
40<br />
8 = = 0,2 pu<br />
40<br />
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi seperti<br />
gambar di bawah ini.<br />
o<br />
Z pu = 0,1 − j0,1<br />
+ j0,2<br />
= 0,1 + j0,1<br />
= 0,1 2∠45<br />
pu<br />
V pu<br />
I pu =<br />
Z pu<br />
S<br />
pu<br />
= V<br />
pu<br />
I<br />
o<br />
1∠0<br />
o<br />
=<br />
= 5 2∠ − 45 pu<br />
o<br />
0,1 2∠45<br />
∗<br />
pu<br />
= 1∠0<br />
o<br />
× 5<br />
2∠45<br />
o<br />
= 5<br />
2∠45<br />
o<br />
pu<br />
1∠0<br />
o<br />
pu<br />
∼<br />
0,1pu<br />
− j0,1 pu<br />
j0,2 pu<br />
1.9.3. <strong>Sistem</strong> Per-Unit Dalam <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa<br />
Di sub-bab sebelumnya, kita lihat aplikasi sistem per-unit pada<br />
sistem satu fasa. Untuk sistem tiga-fasa (yang kita ketahui bahwa<br />
sistem tiga-fasa ini sangat luas dipakai dalam penyediaan energi<br />
listrik) dikembangkan pengertian nilai basis tambahan sebagai<br />
berikut.<br />
S3<br />
f basis = 3Sbasis<br />
V<br />
Z<br />
ff basis<br />
Ybasis<br />
Z ∆ basis = 3Z<br />
basis<br />
(1.64)<br />
I = I<br />
I<br />
I<br />
f asis<br />
Ybasis<br />
∆basis<br />
= V<br />
= Z<br />
= I<br />
= I<br />
basis<br />
basis<br />
basis<br />
basis<br />
basis<br />
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita<br />
lihat pada contoh berikut ini.<br />
44 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
/<br />
3<br />
3
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6<br />
kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: beban-<br />
A: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor<br />
daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus<br />
saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.<br />
Solusi:<br />
Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S 3f basis = 600<br />
kVA dan V ff basis = 6 kV, sehingga<br />
600<br />
Sbasis<br />
= = 200kVA<br />
3<br />
6<br />
Vbasis<br />
= = 3464 V<br />
3<br />
S 200<br />
I = basis<br />
basis = = 57,74 A<br />
Vbasis<br />
6 / 3<br />
V 3464<br />
Z = basis<br />
basis = = 60 Ω<br />
Ibasis<br />
57,74<br />
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif.<br />
Besaran per fasa adalah:<br />
Beban-A:<br />
S<br />
S<br />
A<br />
A<br />
→ S<br />
600<br />
= = 200 kVA; ϕA<br />
3<br />
= 200∠36,9<br />
Apu<br />
S<br />
=<br />
S<br />
A<br />
o<br />
basis<br />
kVA<br />
= cos<br />
200∠ + 36,9<br />
=<br />
200<br />
−1<br />
o<br />
(0,8) = + 36,9<br />
= 1∠36,9<br />
o<br />
o<br />
(f.d. lag)<br />
6 / 3 o<br />
VApu<br />
= = 1∠0<br />
;<br />
6 / 3<br />
S<br />
∗ Apu<br />
I Apu =<br />
VApu<br />
o<br />
1∠36,9<br />
=<br />
o<br />
1∠0<br />
o<br />
= 1∠36,9<br />
⇒ I Apu = 1∠ − 36,9 = 0,8 −<br />
j0,6<br />
45
Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />
Beban-B:<br />
300<br />
o<br />
SB<br />
= = 100 kVA; ϕB<br />
= cos(0,6) = −53,1<br />
(f.d. lead)<br />
3<br />
o<br />
SB<br />
= 100∠ − 53,1 kVA<br />
o<br />
S 100 53,1<br />
o<br />
S B ∠ −<br />
⇒ Bpu = =<br />
= 0.5∠ − 53,1<br />
Sbasis<br />
200<br />
o<br />
VBpu<br />
= VApu<br />
= 1∠0<br />
o<br />
∗ SBpu<br />
0,5∠ − 53,1<br />
o<br />
IBpu<br />
= =<br />
= 0,5∠ − 53,1<br />
V<br />
o<br />
Bpu 1∠0<br />
o<br />
⇒ IBpu<br />
= 0,5∠53,1<br />
= 0,3 + j0,4<br />
Arus saluran:<br />
I pu<br />
= I Apu<br />
+ I Bpu<br />
= 0.8<br />
− j0,6<br />
+ 0,3 + j0,4<br />
= 1,1 − j0,2<br />
I = (1,1 − j0,2)<br />
× 57,74 = 63,51 − j11,55<br />
= 64,55∠ −10,3<br />
Impedansi beban-A:<br />
o<br />
A<br />
VApu<br />
Z Apu =<br />
I Apu<br />
o<br />
1∠0<br />
o<br />
= = 1∠36,9<br />
o<br />
1∠ − 36<br />
o<br />
⇒ Z A = 60∠36,9<br />
= (48 + j36)<br />
Ω<br />
46 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
BAB 2 Saluran Transmisi<br />
Saluran transmisi merupakan koridor yang harus dilalui dalam<br />
penyaluran energi listrik. Saluran transmisi biasanya dinyatakan<br />
menggunakan rangkaian ekivalen. Hal ini telah kita lihat secara<br />
selintas pada pembahasan diagram satu garis, Gb.1.9. Walaupun<br />
rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana, ada empat<br />
hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />
• Resistansi konduktor,<br />
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir<br />
di konduktor yang lain,<br />
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor,<br />
• Arus bocor pada isolator.<br />
Dalam analisis sistem tenaga, arus bocor pada isolator biasanya<br />
diabaikan karena cukup kecil dibandingkan dengan arus konduktor.<br />
Namun masalah arus bocor menjadi sangat penting jika kita<br />
membahas isolator karena arus bocor ini mengawali terjadinya<br />
kerusakan pada permukaan isolator yang dapat mengakibatkan<br />
flashover dan kegagalan sistem.<br />
Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,<br />
perlu kita lihat besaran-besaran fisis udara yang akan masuk dalam<br />
perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:<br />
Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama<br />
dengan permeabilitas ruang hampa:<br />
µ = µ 0µ<br />
r<br />
≈ µ<br />
0<br />
= 4π×<br />
10<br />
−7<br />
H/m<br />
Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan<br />
permitivitas ruang hampa:<br />
ε = ε<br />
r<br />
ε<br />
0<br />
≈ ε<br />
0<br />
−<br />
10 9<br />
=<br />
36π<br />
F/m<br />
47
Saluran Transmisi<br />
2.1. Impedansi dan Admitansi<br />
2.1.1. Resistansi<br />
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga<br />
dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan<br />
aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum,<br />
seperti:<br />
• Aluminum: AAL (all aluminum coductor)<br />
• Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor)<br />
• Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR<br />
(aluminum conductor steel reinforced)<br />
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km], radius<br />
[cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan<br />
mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi;<br />
untuk sementara kita tidak membahasnya.<br />
Relasi resistansi untuk arus searah adalah<br />
ρl<br />
R AS = Ω<br />
(2.1)<br />
A<br />
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor<br />
[m 2 ], dan ρ adalah resistivitas bahan.<br />
−8<br />
ρAl<br />
= 2,83 × 10 Ω.m<br />
o<br />
[20 C]<br />
−8<br />
ρAl<br />
= 1,77 × 10 Ω.m<br />
o<br />
[20 C]<br />
Resistansi tergantung dari temperature,<br />
Untuk aluminum<br />
T<br />
T<br />
2 + 0<br />
ρ T 2 = ρT1<br />
(2.2)<br />
T1<br />
+ T0<br />
T 0 = 228o C ; untuk tembaga T 0 = 241o C<br />
Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk<br />
arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik<br />
untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang<br />
konduktor.<br />
48 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan<br />
konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari<br />
panjang lateral yang kita ukur.<br />
2.1.2. Induktansi<br />
Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di<br />
sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun<br />
yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang.<br />
Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor<br />
adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh<br />
dengan relasi<br />
∫<br />
Hdl = i . Di titik berjarak x di luar konduktor<br />
l<br />
relasi ini menjadi<br />
H x<br />
i<br />
= (2.3)<br />
2 πx<br />
Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu<br />
segmen dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi<br />
segmen ini sampai jarak D x dari konduktor adalah<br />
Dx<br />
Dx<br />
µ il µ il Dx<br />
λ =<br />
∫<br />
µ Hldx = dx = ln<br />
r ∫<br />
(2.4)<br />
r 2πx<br />
2π<br />
r<br />
dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (2.4) ini adalah<br />
fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam<br />
konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di<br />
dalam konduktor tersebut, didefinisikan suatu radius ekivalen yang<br />
disebut Geometric Mean Radius (GMR), r′, sehingga (2.4) menjadi<br />
µ il Dx<br />
λ′ = ln<br />
2π<br />
r′<br />
(2.5)<br />
GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik<br />
konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius<br />
konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar<br />
konduktor. Dengan r′ yang lebih kecil dari r ini, kita telah<br />
memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.<br />
49
Saluran Transmisi<br />
2.1.2.1. <strong>Sistem</strong> Dua Konduktor<br />
v A<br />
A<br />
N<br />
i A<br />
A′<br />
DAN<br />
: jarak A ke N<br />
v′ A rA′<br />
: GMR konduktor A<br />
rN′<br />
: GMR konduktor N<br />
i N′<br />
A<br />
Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.<br />
Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua<br />
konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik.<br />
Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri<br />
arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan<br />
pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu<br />
segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung<br />
segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor,<br />
yaitu v A dan v′<br />
A .<br />
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus i A di saluran A<br />
memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini<br />
sebesar<br />
λ<br />
µ i<br />
A AN<br />
AN1 = ln<br />
(2.6.a)<br />
2π<br />
rA′<br />
Arus i A di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />
A<br />
D AN<br />
Fluksi saling<br />
menguatkan<br />
N<br />
50 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
l<br />
λ<br />
D<br />
µ i<br />
l<br />
D<br />
A AN<br />
AN 2 = ln (2.6.b)<br />
2π<br />
rN′<br />
Di ruang antara A dan N, fluksi λ AN1<br />
dan λ AN 2 saling menguatkan sehingga<br />
fluksi lingkup total menjadi<br />
2<br />
µ i Al<br />
DAN<br />
λ AN = λ A1 + λ A2<br />
= ln (2.6.c)<br />
2π<br />
rA′<br />
rN′<br />
λ AN adalah fluksi lingkup konduktor<br />
A-N yang ditimbulkan oleh i A , dan
Saluran Transmisi<br />
merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi<br />
sendiri L AA .<br />
2.1.2.2. <strong>Sistem</strong> Tiga Konduktor<br />
Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B<br />
serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus i A dan i B<br />
masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus<br />
balik ( i A + iB<br />
) . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen<br />
loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada<br />
segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N.<br />
i A<br />
A<br />
A′<br />
i B<br />
B<br />
B′<br />
Dalam situasi ini arus i A di konduktor A dan arus balik (i A +i B ) di<br />
N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />
λ<br />
N<br />
µ i<br />
l<br />
D<br />
µ ( i<br />
+ i<br />
A AN A B AN<br />
ANB1 = ln +<br />
ln (2.7.a)<br />
2π<br />
rA′<br />
2π<br />
rN′<br />
Sementara itu arus i B di konduktor B juga memberikan fluksi<br />
λ<br />
µ i<br />
l<br />
D<br />
µ i<br />
) l<br />
B AB B BN<br />
ANB2 = ln + ln (2.7.b)<br />
2π<br />
rB′<br />
2π<br />
rB′<br />
Karena arus i B searah dengan i A maka suku pertama (2.7.b)<br />
memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua<br />
memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan<br />
N dengan kehadiran B menjadi<br />
λ ANB = λ ANB1<br />
+ λ ANB2<br />
i A + i B<br />
Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan<br />
saluran balik N<br />
µ i ⎛<br />
⎞ µ ⎛<br />
⎞<br />
= Al<br />
D<br />
⎜ AN D<br />
⎟ + ⎜<br />
⎟<br />
+ AN iBl<br />
DAN<br />
D<br />
− AB D<br />
ln ln<br />
ln ln + ln BN<br />
2π<br />
π<br />
⎝ rA′<br />
rN′<br />
⎠ 2 ⎝ rN′<br />
rB′<br />
rB′<br />
⎠<br />
l<br />
D<br />
N′<br />
D<br />
51
atau<br />
2<br />
µ iAl<br />
DAN<br />
λ ANB = ln<br />
2π<br />
rA′<br />
rN′<br />
µ iBl<br />
⎛ D ⎞<br />
⎜ AN DBN<br />
+<br />
⎟<br />
π<br />
ln<br />
2<br />
⎝ rN′<br />
DAB<br />
⎠<br />
Saluran Transmisi<br />
(2.7.c)<br />
λ ANB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran<br />
arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (2.6.c)<br />
terlihat bahwa suku ke-dua (2.7.c) adalah tambahan yang<br />
disebabkan oleh adanya arus i B .<br />
Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara<br />
konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus<br />
di B dan arus di N adalah<br />
λ<br />
µ i<br />
l<br />
D<br />
µ ( i<br />
+ i<br />
B BN B A BN<br />
BNA1 = ln +<br />
ln (2.8.a)<br />
2π<br />
rB′<br />
2π<br />
rN′<br />
dan fluksi yang ditimbulkan oleh i A yang memperkuat fluksi<br />
λ BNA1 adalah<br />
µ i l ⎛<br />
D<br />
D<br />
A AN AB A AN<br />
λ BNA2<br />
= ln ln<br />
ln<br />
2<br />
⎜ − =<br />
rA<br />
r<br />
⎟<br />
(2.8.b)<br />
π ′ A′<br />
2π<br />
DAB<br />
⎝<br />
⎞<br />
⎠<br />
) l<br />
µ i<br />
sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi<br />
λ<br />
BNA<br />
= λ<br />
2<br />
µ iBl<br />
DBN<br />
µ i Al<br />
DBN<br />
DAN<br />
BNA1 + λ BNA2<br />
= ln + ln<br />
(2.8.c)<br />
2π<br />
rB′<br />
rN′<br />
2π<br />
DABrN′<br />
Kita lihat bahwa formulasi (2.8.c) mirip dengan (2.7.c); suku<br />
pertama adalah fluksi yang ditimbulkan oleh arus i B sedangkan<br />
suku kedua adalah tambahan yang disebabkan oleh arus i A .<br />
2.2.1.3. <strong>Sistem</strong> Empat Konduktor<br />
Dengan cara yang sama, kita menghitung fluksi-fluksi lingkup<br />
pada sistem empat konduktor dengan tiga konduktor A, B, dan C<br />
masing-masing dengan arus i A , i B , dan i C , dan konduktor balik N<br />
dengan arus ( i A + iB<br />
+ iC<br />
) seperti terlihat pada Gb.2.3.<br />
l<br />
D<br />
D<br />
52 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
53<br />
Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N adalah:<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
′<br />
+<br />
′<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
AC<br />
N<br />
CN<br />
AN<br />
C<br />
AB<br />
N<br />
BN<br />
AN<br />
B<br />
N<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
C<br />
AC<br />
C<br />
C<br />
CN<br />
C<br />
B<br />
AB<br />
B<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
N<br />
AN<br />
C<br />
B<br />
A<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
AN<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
)ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
2<br />
(2.9.a)<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+ +<br />
′<br />
′<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
BC<br />
N<br />
CN<br />
BN<br />
C<br />
N<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
AB<br />
N<br />
AN<br />
BN<br />
A<br />
C<br />
BC<br />
C<br />
C<br />
CN<br />
C<br />
A<br />
AB<br />
A<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
N<br />
BN<br />
C<br />
B<br />
A<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
BN<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
) ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
2<br />
(2.9.b)<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
′<br />
+<br />
′<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
N<br />
C<br />
CN<br />
C<br />
BC<br />
N<br />
BN<br />
CN<br />
B<br />
AC<br />
N<br />
AN<br />
CN<br />
A<br />
B<br />
BC<br />
B<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
A<br />
AC<br />
A<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
N<br />
CN<br />
C<br />
B<br />
A<br />
A<br />
CN<br />
C<br />
CN<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
) ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
(2.9.c)<br />
Gb.2.3. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />
A<br />
B<br />
C<br />
N<br />
A′<br />
B′<br />
C′<br />
N′<br />
v AN<br />
v BN<br />
v CN<br />
AN<br />
v′<br />
BN<br />
v′<br />
CN<br />
v′<br />
i B<br />
i C<br />
C<br />
B<br />
A<br />
i<br />
i<br />
i +<br />
+<br />
N<br />
C,<br />
B,<br />
A,<br />
:<br />
,<br />
;<br />
konduktor<br />
;<br />
dan<br />
jarak konduktor<br />
: j<br />
i<br />
i<br />
GMR<br />
r<br />
j<br />
i<br />
D<br />
i<br />
ij =<br />
′
54 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Saluran Transmisi<br />
Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk<br />
empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita<br />
mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tigafasa.<br />
Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat<br />
konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai<br />
⎡<br />
2<br />
µ D<br />
⎢ ln AN<br />
⎢ 2π<br />
r′<br />
′<br />
⎡λ<br />
ArN<br />
AN ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ µ D<br />
⎢<br />
λ<br />
⎥<br />
= ⎢ BN DAN<br />
BN l ln<br />
⎢2π<br />
r′<br />
⎢⎣<br />
λ ⎥<br />
N DAB<br />
CN ⎦ ⎢ µ D<br />
⎢ CN D<br />
ln AN<br />
⎢⎣<br />
2π<br />
rN′<br />
DAC<br />
µ DAN<br />
D<br />
ln BN<br />
2π<br />
rN′<br />
DAB<br />
2<br />
µ D<br />
ln BN<br />
2π<br />
rB′<br />
rN′<br />
µ DCN<br />
D<br />
ln BN<br />
2π<br />
rN′<br />
DBC<br />
µ D ⎤<br />
AN D<br />
ln CN<br />
⎥<br />
2π<br />
rN′<br />
DAC<br />
⎥<br />
⎡i<br />
⎤<br />
⎥ A<br />
µ DBN<br />
D<br />
ln CN ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
π ′ ⎢<br />
iB<br />
2 r<br />
⎥<br />
N DBC<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
iC<br />
⎥<br />
2<br />
µ D<br />
⎦<br />
ln CN ⎥<br />
2π<br />
rC′<br />
rN′<br />
⎥⎦<br />
(2.10)<br />
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan<br />
imbas<br />
⎡<br />
2<br />
µ DAN<br />
⎢ ln<br />
⎢ 2π<br />
rA′<br />
rN′<br />
⎡v<br />
AA′<br />
⎤<br />
1<br />
⎢<br />
⎢ ⎥ µ D<br />
= ⎢ BN DAN<br />
⎢<br />
vBB′<br />
⎥<br />
ln<br />
l ⎢2π<br />
r′<br />
D<br />
⎢⎣<br />
v ′ ⎥<br />
N AB<br />
CC ⎦ ⎢<br />
⎢<br />
µ DCN<br />
DAN<br />
ln<br />
⎢ ′<br />
⎣<br />
2π<br />
rN<br />
DAC<br />
µ DAN<br />
DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DAB<br />
2<br />
µ DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rB′<br />
rN′<br />
µ DCN<br />
DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DBC<br />
µ D ⎤<br />
AN DCN<br />
ln ⎥ ⎡diA<br />
⎤<br />
2π<br />
rN′<br />
DAC<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
µ D<br />
⎥ ⎢<br />
di dt<br />
BN DCN<br />
B<br />
ln<br />
⎥<br />
2π<br />
rN′<br />
DBC<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎥ ⎢di dt<br />
2 ⎥<br />
µ D<br />
C<br />
CN<br />
ln ⎥ ⎢ ⎥<br />
π ′ ′ ⎥ ⎣ dt<br />
2 r r ⎦<br />
C N ⎦<br />
(2.11)<br />
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas<br />
dapat kita tuliskan dalam fasor<br />
⎡<br />
2<br />
µ D AN<br />
⎢ ln<br />
⎢ 2π<br />
r′<br />
′<br />
⎡ ⎤<br />
ArN<br />
VAA′<br />
1 ⎢ ⎥<br />
⎢<br />
µ D<br />
⎢ ⎥ = ω⎢<br />
BN D AN<br />
VBB′<br />
j ln<br />
l<br />
⎢ π ′<br />
⎢ ⎥<br />
2 rN<br />
DAB<br />
⎣<br />
VCC′<br />
⎦ ⎢<br />
⎢<br />
µ DCN<br />
D AN<br />
ln<br />
⎢2π<br />
r′<br />
⎣ N D AC<br />
µ D AN DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rN′<br />
D AB<br />
2<br />
µ DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rB′<br />
rN′<br />
µ DCN<br />
DBN<br />
ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DBC<br />
µ D ⎤<br />
AN DCN<br />
ln ⎥<br />
2π<br />
rN′<br />
D AC ⎥<br />
⎡ ⎤<br />
⎥<br />
I A<br />
µ DBN<br />
DCN<br />
⎢ ⎥<br />
ln ⎥<br />
π ′ ⎢I<br />
B<br />
2 r<br />
⎥<br />
N DBC<br />
⎥<br />
⎢ ⎥<br />
2 ⎥<br />
µ<br />
⎣<br />
IC<br />
D ⎦<br />
CN<br />
ln ⎥<br />
2π<br />
rC′<br />
rN′<br />
⎥<br />
⎦<br />
(2.12)<br />
Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor,<br />
sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan).
Saluran Transmisi<br />
2.1.3. Impedansi<br />
Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri<br />
maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain)<br />
pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor.<br />
Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut:<br />
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa,<br />
sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersamasama.<br />
Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan<br />
mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor<br />
netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi<br />
konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan<br />
menjadi:<br />
⎡VAA′<br />
⎤ ⎡Z<br />
AA<br />
1 ⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VBB′<br />
⎥ ⎢<br />
ZBA<br />
l<br />
⎢ ⎥<br />
⎣VCC<br />
′ ⎦<br />
⎢⎣<br />
ZCA<br />
Z AB<br />
ZBB<br />
ZCB<br />
Z AC ⎤ ⎡I<br />
A⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Z<br />
⎥<br />
BC ⎥ ⎢IB<br />
⎥<br />
Z ⎥⎦<br />
⎢ ⎥<br />
CC ⎣IC<br />
⎦<br />
(2.13.a)<br />
dengan Z XX adalah impedansi sendiri konduktor X dan Z XY adalah<br />
impedansi konduktor X karena adanya imbas dari konduktor Y;<br />
impedansi ini adalah per satuan panjang. (Perhatikan adanya<br />
faktor 1/l di ruas kiri (2.13.a))<br />
2<br />
ωµ DAN<br />
Z AA = RA<br />
+ RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
rA′<br />
rN′<br />
2<br />
ωµ DBN<br />
Z BB = RB<br />
+ RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
rB′<br />
rN′<br />
2<br />
ωµ DCN<br />
Z CC = RC<br />
+ RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
rC′<br />
rN′<br />
ωµ DAN<br />
DBN<br />
Z AB = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DAB<br />
ωµ DAN<br />
DCN<br />
Z AC = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DAC<br />
ωµ DBN<br />
DAN<br />
Z BA = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DAB<br />
ωµ DBN<br />
DCN<br />
Z BC = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
rN′<br />
DBC<br />
ωµ<br />
π<br />
ZCA<br />
= RN<br />
+ j<br />
2<br />
ωµ<br />
π<br />
Z CB = RN<br />
+ j<br />
2<br />
DCN<br />
DAN<br />
ln<br />
rN′<br />
DAC<br />
DCN<br />
DBN<br />
ln<br />
rN′<br />
DAC<br />
(2.13.b)<br />
55
Saluran Transmisi<br />
Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun<br />
tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal<br />
jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada<br />
konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang<br />
akan kita lihat berikut ini.<br />
2.1.3.1. Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-Sisi)<br />
Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana<br />
konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.<br />
DAB = DBC<br />
= DAC<br />
= D<br />
Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga<br />
DAN = DBN<br />
= DCN<br />
= D /<br />
3<br />
Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.<br />
D<br />
D<br />
D / 3<br />
D<br />
Gb.2.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).<br />
Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R<br />
dan GMR-nya pun sama yaitu r′ , maka jika kita masukkan<br />
besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di<br />
bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri Z XX yang akan kita sebut<br />
Z s dan impedansi bersama Z XY yang akan kita sebut Z m dalam<br />
persamaan yang diperoleh ini.<br />
56 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
2<br />
ωµ D<br />
Z AA = R + RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
rN′<br />
2<br />
ωµ D<br />
Z<br />
BN<br />
BB = R + RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
rN′<br />
2<br />
ωµ D<br />
Z<br />
CN<br />
CC = R + RN<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
rN′<br />
Pada (2.14) ini terlihat bahwa<br />
Z =<br />
Saluran Transmisi<br />
ωµ D<br />
Z AB = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
ωµ D<br />
Z AC = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
ωµ D<br />
Z BA = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
ωµ D<br />
Z BC = RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
ωµ D<br />
ZCA<br />
= RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
ωµ D<br />
ZCB<br />
= RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3rN′<br />
AB = ZBC<br />
= ZCA<br />
Zm<br />
dan Z AA = Z BB = ZCC<br />
= Zs<br />
sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:<br />
dengan<br />
⎡VAA′<br />
⎤ ⎡ Z s<br />
1 ⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VBB′<br />
⎥ ⎢<br />
Z m<br />
l<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VCC′<br />
⎦ ⎣Z<br />
m<br />
Z m<br />
Z s<br />
Z m<br />
Z m ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Z<br />
⎥<br />
m ⎥ ⎢I<br />
B ⎥<br />
Z ⎥ ⎢ ⎥<br />
s ⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
2<br />
ωµ D<br />
Zs<br />
= R + RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3r′<br />
rN′<br />
ωµ D<br />
Zs<br />
= RN<br />
+ j ln Ω/m<br />
2π<br />
3rN′<br />
Ω/m<br />
(2.14)<br />
(2.15.a)<br />
(2.15.b)<br />
jika R dan R N dinyatakan dalam Ω/m, dan µ dalam H/m. D, r′ ,<br />
dan r′ N dinyatakan dengan satuan yang sama (biasanya dalam<br />
meter disesuaikan dengan D yang juga diukur dalam meter).<br />
Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti yang<br />
kita pelajari di bab sebelumnya, yaitu<br />
57
Saluran Transmisi<br />
−1<br />
[ Z ] = [ T] [ Z ][ T]<br />
012<br />
ABC<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ Zs<br />
Zm<br />
Zm⎤<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤<br />
1 ⎢ 2⎥<br />
⎢<br />
⎥ ⎢ 2<br />
=<br />
⎥<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥ ⎢<br />
Zm<br />
Zs<br />
Zm⎥<br />
⎢<br />
1 a a<br />
3<br />
⎥<br />
⎢ 2 ⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢ 2<br />
⎣1<br />
a a ⎦ ⎣Zm<br />
Zm<br />
Zs<br />
⎦ ⎣1<br />
a a ⎥⎦<br />
⎡Zs<br />
+ 2Zm<br />
Zs<br />
+ 2Zm<br />
Zs<br />
+ 2Zm<br />
⎤ ⎡1<br />
1 1 ⎤<br />
1<br />
=<br />
⎢<br />
2 2<br />
⎥ ⎢ 2 ⎥<br />
⎢<br />
Zs<br />
− Zm<br />
aZs<br />
+ (1 + a ) Zm<br />
a Zs<br />
+ (1 + a)<br />
Zm<br />
⎥ ⎢<br />
1 a a<br />
3<br />
⎥<br />
⎢<br />
2<br />
2<br />
⎣ Zs<br />
− Zm<br />
a Zs<br />
+ + a Zm<br />
aZs<br />
+ + a Zm⎥⎦<br />
⎢ 2<br />
(1 ) (1 ) ⎣1<br />
a a ⎥⎦<br />
⎡Zs<br />
+ 2Zm<br />
0 0 ⎤<br />
=<br />
⎢<br />
⎥<br />
⎢<br />
0 Zs<br />
− Zm<br />
0<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
0 0 Zs<br />
− Zm⎥⎦<br />
(2.16.a)<br />
Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh<br />
4<br />
ωµ D<br />
Z0<br />
= Zs<br />
+ 2Zm<br />
= R + 3RN<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3<br />
27r′<br />
( rN′<br />
)<br />
ωµ D<br />
Z1<br />
= Z2<br />
= Zs<br />
− Zm<br />
= R + j ln Ω/km<br />
2π<br />
r′<br />
Ω/km<br />
(2.16.b)<br />
CONTOH-2.1: Penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50<br />
Hz, panjang 20 km. Konduktor penyulang berpenampang 95 mm 2<br />
dan memiliki radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah<br />
0,0286 Ω.mm 2 /m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆<br />
dengan jarak antar konduktor 1 m. Hitunglah impedansi sendiri dan<br />
impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan<br />
mengabaikan kapasitansi.<br />
Solusi:<br />
Resistansi konduktor:<br />
ρl<br />
R A = = A<br />
0,0286<br />
95<br />
= 0,00031 Ω/m<br />
Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi bersama<br />
fasa A dihitung menggunakan formulasi (2.14) dengan panjang<br />
saluran l = 20 km = 20000 m:<br />
58 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
⎛0,00031+<br />
0,00031<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
Z AAl = ⎜<br />
−7<br />
2<br />
100π×<br />
4π×<br />
10<br />
1 ⎟ × 20000<br />
⎜+<br />
j<br />
ln<br />
⎟<br />
⎝ 2π<br />
3×<br />
0,006 × 0,006 ⎠<br />
o<br />
= 12,<br />
04 + j12,<br />
85 = 17,61∠46,86<br />
Ω<br />
⎛<br />
−7<br />
2 ⎞<br />
Z ⎜ 100π×<br />
4π×<br />
10 1<br />
ABl = 0,00031+<br />
j<br />
ln ⎟ × 20000<br />
⎝<br />
2π<br />
3×<br />
0,006<br />
⎠<br />
o<br />
= 6,<br />
02 + j5,<br />
05 = 7,68∠39,96<br />
Ω<br />
Z ACl = Z ABl<br />
Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (2.16.b)<br />
Z<br />
1<br />
= Z<br />
s<br />
− Z<br />
m<br />
= Z<br />
AAl<br />
− Z<br />
ABl<br />
= 12,04 + j12,85<br />
− 6,02 − j5,05<br />
= 6,02 + j7,8<br />
= 9,86∠52,35<br />
CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu<br />
melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz,<br />
sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada<br />
Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor,<br />
hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima<br />
(beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaranbesaran<br />
fasa; b) menggunakan besaran urutan.<br />
Solusi:<br />
a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan<br />
antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh<br />
impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,<br />
perhitungan dilakukan menggunakan model satu-fasa. Kita<br />
amati fasa A. Impedansi sendiri total dan impedansi<br />
bersama total fasa A telah dihitung pada contoh-2.1:<br />
o<br />
Z AAl = 12,<br />
04 + j12,<br />
85 = 17,61∠46,86<br />
Ω<br />
o<br />
Z ABl = Z ACl = 6,<br />
02 + j5,<br />
05 = 7,68∠39,96<br />
Ω<br />
59
Saluran Transmisi<br />
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A<br />
sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A,<br />
B, dan C adalah<br />
V<br />
V<br />
V<br />
rA<br />
rB<br />
rC<br />
20<br />
= ∠0<br />
3<br />
o<br />
= 11,55∠ −120<br />
= 11,55∠ − 240<br />
Arus fasa A, B, dan C adalah<br />
I<br />
A<br />
5000 / 3<br />
= = 180,4 A → I<br />
11,55 × 0,8<br />
Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />
= 1714,04 + j474,84<br />
= 11,55∠<br />
0<br />
o<br />
o<br />
+ 7,86∠39,96<br />
× 180,4∠ − 276,87<br />
I<br />
I<br />
o<br />
o<br />
B<br />
C<br />
A<br />
kV<br />
kV<br />
o<br />
kV<br />
= 180,4∠ − 36,87<br />
= 180,4∠ − 156,87<br />
= 180,4∠ − 276,87<br />
VAA′ = Z AAI<br />
A + Z AB I B + Z AC IC<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
= 17,61∠46,86<br />
× 180,4∠ − 36,87 + 7,86∠39,96<br />
× 180,4∠ −156,87<br />
= 3129,33 + j551,34<br />
− 641,39 − j1263,93<br />
− 773,90 + j1187,43<br />
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />
o<br />
o<br />
o<br />
A<br />
A<br />
A<br />
V<br />
sA<br />
= V + V ′ = 11,55 + 1,71 + j0,48<br />
= 13,2∠2<br />
rA<br />
AA<br />
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />
o<br />
kV<br />
V sff<br />
= 13 ,2 3 = 22,8<br />
kV<br />
b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada<br />
hanyalah urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung<br />
pada contoh-2.1.<br />
Z 1 = 6,02 + j7,8<br />
= 9,86∠52,35<br />
Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />
60 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
o<br />
Ω
Saluran Transmisi<br />
V<br />
= Z<br />
×<br />
AA′ 1 I A<br />
= 9,86∠52,35<br />
= 1778,59∠15,48<br />
Tegangan fasa-netral di ujung kirim<br />
o<br />
o<br />
× 180,4∠ − 36,87<br />
= 1,71 + j0,48<br />
V<br />
o<br />
V<br />
sA<br />
= V + V ′ = 11,55 + 1,71 + j0,48<br />
= 13,2∠2<br />
rA<br />
AA<br />
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />
o<br />
kV<br />
V sff<br />
= 13 ,2 3 = 22,8<br />
kV<br />
2.1.3.2. Transposisi<br />
Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi simetris adalah<br />
melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi konduktor<br />
sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi<br />
mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris.<br />
Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi<br />
konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan, seperti<br />
diperlihatkan secara skematis oleh Gb.2.5.<br />
D<br />
D<br />
D<br />
AN<br />
BN<br />
CN<br />
= D<br />
1<br />
= D<br />
= D<br />
2<br />
3<br />
D<br />
D<br />
D<br />
AN<br />
BN<br />
CN<br />
= D<br />
= D<br />
= D<br />
2<br />
3<br />
1<br />
D<br />
D<br />
D<br />
AN<br />
BN<br />
CN<br />
= D<br />
= D<br />
3<br />
1<br />
= D<br />
2<br />
Gb.2.5. Transposisi.<br />
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki<br />
resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jarijari<br />
serta GMR-nya;<br />
R<br />
= R = R R , r = r = r r , dan r′ = r′<br />
= r′<br />
= r .<br />
A B C =<br />
A B C =<br />
A B C ′<br />
61
Saluran Transmisi<br />
Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi<br />
urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan<br />
saluran adalah d, maka untuk konduktor A:<br />
seksi pertama:<br />
⎛<br />
2<br />
d<br />
⎞<br />
⎜ ωµ D1<br />
Z<br />
⎟<br />
AA = R + R +<br />
⎜ N j ln ;<br />
3<br />
′ ′ ⎟<br />
⎝<br />
2π<br />
r rN<br />
⎠<br />
d<br />
Z AB =<br />
3<br />
ωµ D1D2<br />
1 ⎛<br />
RN<br />
+ j ln ; Z AC = ⎜<br />
RN<br />
+ j<br />
2π<br />
DABrN′<br />
3 ⎝ 2<br />
seksi ke-dua:<br />
⎛<br />
2<br />
d<br />
⎞<br />
⎜<br />
ωµ D<br />
Z<br />
⎟<br />
AA = R + R +<br />
⎜ N j ln 2 ;<br />
3<br />
⎟<br />
⎝<br />
2π<br />
r′<br />
rN′<br />
⎠<br />
ωµ<br />
π<br />
D1D3<br />
⎞<br />
ln ⎟<br />
D ′<br />
AC rN<br />
⎠<br />
(2.17.a)<br />
d ⎛ ωµ D D ⎞ ⎛ ωµ D D ⎞<br />
Z AB = ⎜<br />
⎟ = ⎜<br />
⎟<br />
RN<br />
+ j 2 3 1<br />
ln<br />
; ZAC<br />
RN<br />
+ j ln 2 1<br />
3<br />
⎝ 2π<br />
DABrN′<br />
⎠ 3⎝<br />
2π<br />
DACrN′<br />
⎠<br />
(2.17.b)<br />
seksi ke-tiga<br />
⎛<br />
2<br />
d<br />
⎞<br />
⎜<br />
ωµ D<br />
Z<br />
⎟<br />
AA = R + R +<br />
⎜ N j ln 3 ;<br />
3<br />
⎟<br />
⎝<br />
2π<br />
rA′<br />
rN′<br />
⎠<br />
d ⎛ ωµ D D ⎞ ⎛ ωµ D D ⎞<br />
Z AB = ⎜<br />
⎟ = ⎜<br />
⎟<br />
RN<br />
+ j 3 1 1<br />
ln<br />
; Z AC<br />
RN<br />
+ j ln 3 2<br />
3<br />
⎝ 2π<br />
DABrN′<br />
⎠ 3 ⎝ 2π<br />
DACrN′<br />
⎠<br />
(2.17.c)<br />
Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi:<br />
1/ 3 1/ 3 1/ 3<br />
2 2 2<br />
ωµ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞<br />
1<br />
2 3<br />
ln⎜<br />
D ⎟ ⎜ D ⎟ ⎜ D<br />
Z<br />
⎟<br />
AA = R + RN<br />
+ j<br />
2π<br />
⎜ ⎟ ⎜ ′ ′ ⎟ ⎜ ′ ′ ⎟<br />
⎝<br />
r′<br />
rN′<br />
⎠ ⎝<br />
r rN<br />
⎠ ⎝<br />
r rN<br />
⎠<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
ωµ ⎛ D1D2<br />
⎞ ⎛ D2D3<br />
⎞ ⎛ D3D1<br />
⎞<br />
Z AB = RN<br />
+ j ln⎜<br />
⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟<br />
2π<br />
⎝ D ABrN′<br />
⎠ ⎝ D ABrN′<br />
⎠ ⎝ D ABrN′<br />
⎠<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
ωµ ⎛ D1D3<br />
⎞ ⎛ D2D1<br />
⎞ ⎛ D3D2<br />
⎞<br />
Z AC = RN<br />
+ j ln⎜<br />
⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟<br />
2π<br />
⎝ DAC<br />
rN′<br />
⎠ ⎝ DAC<br />
rN′<br />
⎠ ⎝ D AC rN′<br />
⎠<br />
(2.18)<br />
62 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Jika didefinisikan:<br />
D 3 h = D1D2<br />
D3<br />
dan D 3<br />
f = DAB<br />
DBC<br />
D AC (2.19)<br />
maka formulasi (2.18) menjadi<br />
⎛ 2<br />
ωµ ⎞<br />
⎜ D<br />
Z = + +<br />
h ⎟<br />
AA R RN<br />
j ln ;<br />
2π<br />
⎜ ⎟<br />
⎝<br />
r′<br />
rN′<br />
⎠<br />
(2.20)<br />
ωµ ⎛ 2 ⎞<br />
ωµ ⎛ 2 ⎞<br />
= + ⎜ Dh<br />
⎟ = + ⎜ D<br />
Z<br />
h ⎟<br />
AB RN<br />
j ln ; Z<br />
π ⎜ ′ ⎟ AC RN<br />
j ln<br />
2<br />
π ⎜ ′ ⎟<br />
⎝<br />
D f rN<br />
⎠<br />
2<br />
⎝<br />
D f rN<br />
⎠<br />
Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A.<br />
Relasi lengkap untuk ketiga fasa adalah:<br />
⎡VAA′<br />
⎤ ⎡ Z s Z m Z m ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
1 ⎢ ⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢VBB′<br />
⎥ =<br />
⎢<br />
Z m Z s Z m ⎥ ⎢I<br />
B<br />
l<br />
⎥<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎣<br />
VCC′<br />
⎦ ⎣Z<br />
m Z m Z s ⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
dengan<br />
2<br />
ωµ ⎛ ⎞<br />
ln⎜<br />
Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
s = R + RN<br />
+ j<br />
Ω/m<br />
2π<br />
⎜ ′ ′ ⎟<br />
⎝<br />
r rN<br />
⎠<br />
2<br />
ωµ ⎛ ⎞<br />
ln⎜<br />
Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
m = RN<br />
+ j<br />
Ω/m<br />
2π<br />
⎜ ′ ⎟<br />
⎝<br />
D f rN<br />
⎠<br />
Impedansi urutan<br />
−<br />
Z 012 = T 1 Z ABC T<br />
[ ] [ ] [ ][ ]<br />
dan dengan (2.21.b) kita peroleh:<br />
Z<br />
Z<br />
0<br />
1<br />
= Z<br />
= Z<br />
s<br />
2<br />
+ 2Z<br />
= Z<br />
s<br />
m<br />
= R + 3R<br />
− Z<br />
m<br />
N<br />
= R + j<br />
2<br />
ωµ<br />
+ j ln<br />
2π<br />
D<br />
ωµ<br />
π<br />
D f<br />
ln<br />
r′<br />
2<br />
f<br />
D<br />
6<br />
h<br />
r′<br />
( r′<br />
)<br />
N<br />
3<br />
(2.21.a)<br />
(2.21.b)<br />
(2.22)<br />
63
Saluran Transmisi<br />
CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi<br />
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />
mempunyai konfigurasi sebagai berikut:<br />
A<br />
Solusi: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km; µ juga harus<br />
dinyatakan sebagai H/km = 1000 × H/m)<br />
Untuk menggunakan relasi (2.22), kita hitung lebih dulu D f dengan<br />
menggunakan relasi (2.19):<br />
3<br />
D f = 4 × 4 × 8 = 5,29 m<br />
Jadi:<br />
Z<br />
4,2 m<br />
1<br />
2.1.4. Admitansi<br />
2π × 50 × 4π × 10<br />
= 0,088 + j<br />
2π<br />
= 0,088 + j0,3896<br />
Ω/km<br />
−7<br />
× 1000<br />
ln<br />
5,29<br />
0,01073<br />
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga<br />
dan mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satuan panjang.<br />
Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk<br />
menghitung displacement D menjadi sederhana.<br />
Dds = ρl<br />
S<br />
dengan S adalah luas dinding silinder sepanjang l dengan sumbu<br />
yang berimpit pada konduktor. Bidang equipotensial di sekitar<br />
konduktor akan berbentuk silindris. Kuat medan listrik di suatu<br />
titik berjarak x dari konduktor adalah:<br />
D ρl<br />
ρ<br />
E x = = =<br />
ε ε × 2 πx<br />
× l 2πεx<br />
Untuk udara,<br />
8,4 m<br />
B<br />
ε = ε<br />
4,2 m<br />
0<br />
64 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
C<br />
∫<br />
1 − 9<br />
= × 10<br />
36π<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
= r′<br />
B<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
F/m<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
= r′<br />
C<br />
C<br />
= 0.088 Ω / km<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm
Saluran Transmisi<br />
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan<br />
potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan<br />
pada Gb.2.6.<br />
A B<br />
x A<br />
x B<br />
v<br />
AB<br />
Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.<br />
x<br />
x<br />
B<br />
=<br />
∫<br />
Edx =<br />
∫<br />
A<br />
x<br />
x<br />
A<br />
B<br />
ρ ρ x<br />
dx = ln<br />
2πεx<br />
2πε<br />
x<br />
B<br />
A<br />
(2.23)<br />
v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai positif<br />
jika x B > x A . Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah<br />
kenaikan potensial.<br />
2.1.4.1. Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan<br />
Kita lihat sekarang satu konduktor k dengan jari-jari r k dan<br />
bermuatan ρ k . Dua konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j,<br />
berjarak D ik dan D jk dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.2.7.<br />
k,<br />
r k<br />
, ρ<br />
k<br />
i<br />
j<br />
D ik<br />
D jk<br />
Gb.2.7. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor<br />
tak bermuatan.<br />
Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di<br />
konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan<br />
konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial<br />
antara konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan<br />
konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara<br />
konduktor i dan j adalah selisih antara keduanya.<br />
ρk<br />
⎛ D D<br />
ik jk ⎞<br />
vij<br />
= vkj<br />
− vki<br />
= ⎜ln<br />
ln ⎟<br />
k<br />
k<br />
k 2<br />
−<br />
ρ ρ ρ πε rk<br />
rk<br />
⎝<br />
⎠<br />
(2.24)<br />
ρk<br />
D<br />
= ln<br />
ik<br />
2πε<br />
Dij<br />
65
Saluran Transmisi<br />
2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan<br />
Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8.<br />
Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda<br />
potensial di dua konduktor yang lain.<br />
D AC<br />
DAB<br />
DBC<br />
A,<br />
rA<br />
, ρ A B,<br />
rB<br />
, ρ B C, rC<br />
, ρC<br />
Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan.<br />
v<br />
v<br />
v<br />
BC<br />
= v<br />
BC ρ<br />
BC ρ<br />
c<br />
A<br />
BC ρ<br />
A<br />
+ v<br />
ρ A D<br />
= ln<br />
2πε D<br />
ρC<br />
r<br />
= ln<br />
2πε D<br />
BC ρ<br />
C<br />
AC<br />
AB<br />
BC<br />
B<br />
+ v<br />
BC ρ<br />
; vBC<br />
ρ<br />
B<br />
C<br />
ρ B D<br />
= ln<br />
2πε r<br />
BC<br />
B<br />
;<br />
Jadi<br />
vBC<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ AC<br />
=<br />
ρ A ln<br />
2πε<br />
⎝ DAB<br />
DBC<br />
+ ρ B ln<br />
rB<br />
rC<br />
⎞<br />
+ ρC<br />
ln ⎟<br />
D<br />
(2.25)<br />
BC ⎠<br />
2.1.4.3. Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan<br />
Empat konduktor bermuatan terlihat pada Gb.2.9:<br />
A,<br />
rA,<br />
ρ A B,<br />
rB<br />
, ρ B C, rC<br />
, ρC<br />
N, rN<br />
, ρ N<br />
Gb. 2.9. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />
Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada<br />
gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu<br />
ρ A + ρ A + ρ A + ρ A = 0<br />
(2.26)<br />
66 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
67<br />
0<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
NN<br />
NN<br />
N<br />
CN<br />
CN<br />
C<br />
BN<br />
BN<br />
B<br />
AN<br />
AN<br />
A<br />
NN<br />
CN<br />
N<br />
N<br />
C<br />
CN<br />
C<br />
BC<br />
BN<br />
B<br />
AC<br />
AN<br />
A<br />
CN<br />
BN<br />
N<br />
N<br />
BC<br />
CN<br />
C<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
AB<br />
AN<br />
A<br />
BN<br />
AN<br />
N<br />
N<br />
AC<br />
CN<br />
C<br />
AB<br />
BN<br />
B<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
AN<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
v<br />
(2.27)<br />
Jika kita terapkan relasi konservasi muatan yaitu<br />
= 0<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
n<br />
c<br />
b<br />
a atau ( )<br />
c<br />
b<br />
a<br />
n<br />
ρ<br />
+<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
= −<br />
ρ<br />
maka ρ N akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27).<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
N<br />
C<br />
CN<br />
C<br />
N<br />
BC<br />
BN<br />
CN<br />
B<br />
N<br />
AC<br />
AN<br />
CN<br />
A<br />
CN<br />
N<br />
BC<br />
CN<br />
BN<br />
C<br />
N<br />
B<br />
BN<br />
B<br />
N<br />
AB<br />
BN<br />
AN<br />
A<br />
BN<br />
N<br />
AC<br />
CN<br />
AN<br />
C<br />
N<br />
AB<br />
BN<br />
AN<br />
B<br />
N<br />
A<br />
AN<br />
A<br />
AN<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
v<br />
2<br />
2<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
(2.28.a)<br />
yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
ρ<br />
ρ<br />
ρ<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
C<br />
B<br />
A<br />
n<br />
c<br />
CN<br />
n<br />
BCB<br />
BN<br />
CN<br />
n<br />
AC<br />
AN<br />
CN<br />
n<br />
BC<br />
CN<br />
BN<br />
n<br />
b<br />
BN<br />
n<br />
AB<br />
AN<br />
BN<br />
n<br />
AC<br />
CN<br />
AN<br />
n<br />
AB<br />
BN<br />
AN<br />
n<br />
a<br />
AN<br />
C<br />
B<br />
A<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
v<br />
v<br />
v<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
(2.28.b)<br />
atau secara singkat
Saluran Transmisi<br />
⎡v<br />
⎢<br />
⎢<br />
v<br />
⎢⎣<br />
v<br />
A<br />
B<br />
C<br />
⎤ ⎡ f<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥ ⎢<br />
f<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
f<br />
AA<br />
AB<br />
CA<br />
f<br />
f<br />
f<br />
AB<br />
BB<br />
CB<br />
f<br />
f<br />
f<br />
AC<br />
BC<br />
CC<br />
⎤ ⎡ρ<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
ρ<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
ρ<br />
A<br />
A<br />
C<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
(2.28.c)<br />
atau lebih ringkas<br />
~<br />
v ABC = [ FABC<br />
] ρ<br />
~<br />
ABC<br />
(2.28.d)<br />
dengan<br />
f<br />
ij<br />
1 Din<br />
D jn<br />
= ln ; i,<br />
j = A,<br />
B,<br />
C (2.28.e)<br />
2πε<br />
D r<br />
ij<br />
n<br />
Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, (2.28.c) dapat kita<br />
tuliskan:<br />
⎡VA<br />
⎤ ⎡ f AA<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VB<br />
⎥ ⎢<br />
f BA<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VC<br />
⎦ ⎣ fCA<br />
f AB<br />
f BB<br />
fCB<br />
f AC ⎤ ⎡ρ<br />
A ⎤<br />
f<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
BC ⎥ ⎢<br />
ρ B ⎥<br />
fCC<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
ρC<br />
⎥⎦<br />
(2.29.a)<br />
atau<br />
Atau<br />
ABC<br />
⎡ρ<br />
⎢<br />
⎢<br />
ρ<br />
⎢⎣<br />
ρ<br />
A<br />
B<br />
C<br />
⎤ ⎡ f<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥ ⎢<br />
f<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
f<br />
AA<br />
BA<br />
CA<br />
f<br />
f<br />
f<br />
AB<br />
BB<br />
CB<br />
f<br />
f<br />
f<br />
AC<br />
BC<br />
CC<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
−1<br />
⎡V<br />
⎢<br />
⎢V<br />
⎢<br />
⎣<br />
V<br />
[ FABC<br />
] VABC<br />
= [ C ABC ] VABC<br />
A<br />
B<br />
C<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
(2.29.b)<br />
~<br />
ρ<br />
~ -1 ~<br />
= (2.29.c)<br />
Kita ingat relasi kapasitor<br />
Q = CV . Dari (2.29.c) kita turunkan<br />
dan kita peroleh admitansi<br />
-1<br />
[ ] [ ] F/m<br />
C = (2.30)<br />
ABC F ABC<br />
[ ] ω[ ] Ω/m<br />
= ABC<br />
Y ABC j C<br />
(2.31)<br />
68 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Namun kita tidak menghitung [Y ABC ]<br />
Saluran Transmisi<br />
dengan menggunakan<br />
F dan<br />
(2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [ ABC ]<br />
sini menghitung [ F 012 ] sehingga diperoleh [ C 012 ] dan [ 012 ]<br />
[ ]<br />
nilai urutannya adalah<br />
dan akan kita peroleh<br />
Y .<br />
⎡ f AA f AB f AC ⎤<br />
F =<br />
⎢<br />
⎥<br />
ABC ⎢<br />
f BA f BB f BC ⎥<br />
(2.32)<br />
⎢⎣<br />
fCA<br />
fCB<br />
fCC<br />
⎥⎦<br />
−1<br />
[ F ] [ T] [ F ][ T]<br />
012 = ABC<br />
(2.33)<br />
−<br />
[ C ] = [ F ] 1 sehingga [ Y ] ω[ ]<br />
012<br />
012<br />
012 = j C 012 (2.35)<br />
2.1.4.4. Konfigurasi ∆<br />
Pada konfigurasi ∆,<br />
DAB = DBC<br />
= DAC<br />
=<br />
D<br />
;<br />
DAN = DBN<br />
= DCN<br />
= D /<br />
3<br />
⎡ 2<br />
1 D<br />
⎢ ln<br />
⎢2πε<br />
3rrn<br />
⎢ 1 D<br />
ABC = ⎢ ln<br />
⎢ 2πε<br />
3rn<br />
⎢ 1 D<br />
⎢ ln<br />
⎢⎣<br />
2πε<br />
3rn<br />
[ F ]<br />
1 D<br />
ln<br />
2πε<br />
3rn<br />
2<br />
1 D<br />
ln<br />
2πε<br />
3rrn<br />
1 D<br />
ln<br />
2πε<br />
3rn<br />
1 D ⎤<br />
ln ⎥<br />
2πε<br />
3rn<br />
⎥<br />
⎡ f<br />
⎥ s<br />
1 D<br />
ln =<br />
⎢<br />
⎥<br />
πε ⎢<br />
f m<br />
2 3rn<br />
⎥<br />
⎢<br />
2 ⎥ ⎣ f m<br />
1 D<br />
ln ⎥<br />
2πε<br />
3rrn<br />
⎥⎦<br />
f m<br />
f s<br />
f m<br />
f m ⎤<br />
f<br />
⎥<br />
m ⎥<br />
f s ⎥⎦<br />
(2.35)<br />
⎡ f s<br />
f m ⎤<br />
−<br />
[ F ] = [ T] 1 ⎢<br />
f f f<br />
⎥<br />
[ T]<br />
012<br />
⎢ m<br />
⎢⎣<br />
f m<br />
f m<br />
s<br />
f m<br />
m ⎥<br />
f s ⎥⎦<br />
⎡ f s + 2 f m<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
0<br />
⎢⎣<br />
0<br />
0<br />
f s − f m<br />
0<br />
4<br />
1 D<br />
F0<br />
= f s + 2 f m = ln<br />
2πε<br />
3<br />
27r(<br />
rn<br />
)<br />
1 D<br />
F1<br />
= F2<br />
= f s − f m = ln<br />
2πε<br />
r<br />
0 ⎤<br />
0<br />
⎥<br />
⎥<br />
f s − f m ⎥⎦<br />
(2.36)<br />
(2.37)<br />
69
Saluran Transmisi<br />
Kapasitansi<br />
Admitansi<br />
1 2πε<br />
C0<br />
= =<br />
F 4 3<br />
0 ln[ D / 27r(<br />
rN<br />
) ]<br />
1 2πε<br />
C1<br />
= = C2<br />
=<br />
F1<br />
ln( D / r)<br />
2πεω<br />
Y0<br />
= jωC0<br />
= j<br />
4<br />
3<br />
ln[ D / 27r(<br />
rN<br />
) ]<br />
2πεω<br />
Y1<br />
= jωC1<br />
= Y2<br />
= j<br />
ln( D / r)<br />
(2.38)<br />
(2.39)<br />
2.1.4.5. Transposisi<br />
Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka<br />
impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang<br />
sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks<br />
[F ABC ] berbentuk<br />
[ F ]<br />
ABC<br />
⎡ f<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
f<br />
⎢⎣<br />
f<br />
s<br />
m<br />
m<br />
f<br />
f<br />
f<br />
m<br />
s<br />
m<br />
f<br />
f<br />
f<br />
m<br />
m<br />
s<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
(2.40)<br />
Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun<br />
dalam analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi,<br />
impedansi, serta admitansi difahami sebagai konstanta<br />
proporsiaonalitas rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka<br />
adalah besaran-besaran dimensional. Mereka merupakan besaran<br />
yang tergantung dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat<br />
fisis material yang membentuknya. Oleh karena itu, selama<br />
dimensinya sama, pengolahan aritmatika dapat dilakukan.<br />
Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana<br />
ditunjukkan oleh matriks [F ABC ] di atas, konduktor-konduktor<br />
memiliki nilai sama jika dilihat dalam selang saluran yang<br />
ditransposisikan yaitu yang terdiri dari tiga seksi. Dengan<br />
70 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil<br />
nilai rata-rata dari admitansi per seksi.<br />
1<br />
fij<br />
=<br />
3<br />
dengan<br />
Kita memperoleh<br />
( f + f + f )<br />
ij seksi-1<br />
f<br />
f<br />
ij<br />
if<br />
=<br />
=<br />
f<br />
s<br />
f<br />
m<br />
ij seksi-2<br />
jika i = j<br />
jika i ≠ j<br />
ij seksi-3<br />
(2.41)<br />
Dengan definisi:<br />
2 2 2<br />
1 D1<br />
D2<br />
D3<br />
f s = ln<br />
6πε<br />
3 3<br />
r rN<br />
1 D1D2<br />
D2D3D3D1<br />
f m = ln<br />
6πε<br />
3<br />
DAB<br />
DBC<br />
DAC<br />
rN<br />
(2.42)<br />
kita peroleh<br />
f<br />
s<br />
sehingga<br />
D 3 h = D1D2<br />
D<br />
3<br />
3 D f = DABDBC<br />
DAC<br />
1 D<br />
= ln<br />
2πε<br />
rr<br />
F<br />
0<br />
2<br />
h<br />
N<br />
= f<br />
s<br />
F = F<br />
1<br />
2<br />
+ 2 f<br />
= f<br />
s<br />
m<br />
− f<br />
Kapasitansi adalah<br />
1<br />
C0<br />
= =<br />
F ln[ D<br />
1<br />
0<br />
1<br />
C1<br />
=<br />
F<br />
= C<br />
2<br />
f<br />
m<br />
f<br />
2<br />
h<br />
1 D<br />
= ln<br />
2πε<br />
D r<br />
1 Dh<br />
= ln<br />
2πε<br />
2<br />
D r(<br />
r )<br />
m<br />
6<br />
h<br />
1 D<br />
= ln<br />
2πε<br />
r<br />
2πε<br />
/ D<br />
2<br />
f<br />
r(<br />
r<br />
2πε<br />
=<br />
ln( D / r)<br />
f<br />
N<br />
f<br />
)<br />
3<br />
]<br />
6<br />
f<br />
n<br />
F/m<br />
3<br />
F/m<br />
N<br />
(2.43)<br />
(2.44)<br />
(2.45)<br />
71
Saluran Transmisi<br />
Admitansi adalah<br />
2πε<br />
Y0<br />
= jωC0<br />
= jω<br />
6<br />
ln( D / D rr<br />
Y = Y<br />
1<br />
2<br />
2πε<br />
= jω<br />
ln( D / r)<br />
f<br />
h<br />
2<br />
f<br />
S/m<br />
3<br />
N<br />
)<br />
S/m<br />
(2.46)<br />
CONTOH-2.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi<br />
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />
mempunyai konfigurasi seperti berikut:<br />
A<br />
Solusi:<br />
Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana D f sudah dihitung<br />
pada Contoh-2.3. Dengan<br />
maka:<br />
4,2 m<br />
8,4 m<br />
B<br />
= j2,923<br />
× 10<br />
ε = (1/ 36π)<br />
× 10<br />
−9<br />
−9<br />
F/m<br />
2πε<br />
2π × 50 × 2π × (1/ 36π)<br />
× 10<br />
Y1<br />
= jω<br />
= j<br />
ln( D / r)<br />
ln(5,29 / 0,01350)<br />
f<br />
4,2 m<br />
C<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
= r′<br />
B<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
= r′<br />
C<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
S/m = j2,923<br />
µ S/km<br />
C<br />
= 0.088 Ω / km<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
−9<br />
2.2. Rangkaian Ekivalen<br />
Di sub-bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi<br />
dan admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu<br />
kita telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat<br />
menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang<br />
diagonal.<br />
Dengan menggunakan model satu-fasa, kita akan melihat bagaimana<br />
perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita<br />
akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis.<br />
72 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi<br />
terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya.<br />
2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi<br />
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi<br />
sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena<br />
impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam<br />
penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara<br />
setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran<br />
transmisi seperti pada Gb.2.10.<br />
I s+<br />
∆x<br />
∆x<br />
Z∆xI<br />
x<br />
I x<br />
I r<br />
Vs<br />
Vs+<br />
∆x<br />
Y∆xV<br />
x<br />
V x<br />
Vr<br />
x<br />
Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.<br />
Saluran transmisi ini bertegangan<br />
V s di ujung kirim dan<br />
Vr<br />
di<br />
ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima<br />
dan kita perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim.<br />
Pada segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:<br />
• Di posisi x terdapat tegangan<br />
V x .<br />
• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan V x+<br />
∆x<br />
karena terjadi<br />
tegangan jatuh ∆ Vx<br />
= Z∆xI<br />
x (Z adalah impedansi per satuan<br />
panjang).<br />
• Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.<br />
• Arus ∆ I x = Y∆xVx<br />
mengalir di segmen ∆x (Y adalah<br />
admitansi per satuan panjang).<br />
• Arus I<br />
kirim.<br />
x+<br />
∆x<br />
mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung<br />
73
V<br />
I<br />
x+∆x<br />
x+∆x<br />
− V<br />
− I<br />
x<br />
x<br />
= Z∆xI<br />
= Y∆xV<br />
Jika ∆x mendekati nol, maka<br />
dV<br />
dx<br />
x<br />
x<br />
atau<br />
atau<br />
dI<br />
I<br />
V<br />
x+∆x<br />
x+∆x<br />
∆x<br />
− I<br />
∆x<br />
− V<br />
x<br />
Saluran Transmisi<br />
x<br />
= ZI<br />
= YV<br />
x<br />
x<br />
= ZI<br />
x dan = YVx<br />
(2.47)<br />
Jika (2.47) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh<br />
d<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
dx<br />
dI<br />
x<br />
= Z<br />
dx<br />
dx<br />
Substitusi (2.47) ke (2.48) memberikan<br />
2<br />
d I x dVx<br />
dan = Y<br />
(2.48)<br />
2<br />
dx dx<br />
x<br />
x<br />
2<br />
d Vx<br />
2<br />
dx<br />
= ZYVx<br />
2<br />
d I<br />
dan x = ZYI<br />
2 x<br />
(2.49)<br />
dx<br />
2.2.2. Konstanta Propagasi<br />
Persamaan (2.49) ini telah menjadi sebuah persamaan di mana<br />
ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama sehingga solusi dapat<br />
dicari. Untuk mencari solusi tersebut didefinisikan<br />
2<br />
γ<br />
= ZY atau γ =<br />
ZY<br />
(2.50)<br />
γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m<br />
dan Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter.<br />
Selain itu karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ<br />
juga merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />
γ = α + j β<br />
(2.51)<br />
α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo<br />
tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.<br />
β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan<br />
dari satu posisi ke posisi yang lain.<br />
74 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
2.2.3. Impedansi Karakteristik<br />
Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka<br />
persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi<br />
atau<br />
2<br />
2<br />
d Vx<br />
2<br />
d Ix<br />
2<br />
= γ Vx<br />
dan = γ I<br />
2<br />
2 x<br />
(2.52.a)<br />
dx<br />
dx<br />
d<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
dx<br />
− γ<br />
2<br />
V<br />
x<br />
= 0<br />
dan<br />
d<br />
2<br />
I x<br />
2<br />
dx<br />
− γ<br />
2<br />
I<br />
x<br />
= 0<br />
(2.52.b)<br />
Solusi persamaan (2.52.b) adalah :<br />
γx<br />
−γx<br />
−γx<br />
V x = kv1e<br />
+ kv2e<br />
dan I x = ki1e<br />
+ ki2e<br />
(2.52.c)<br />
Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (2.52.c) yaitu<br />
γx<br />
−γx<br />
V x = kv1<br />
e + kv1e<br />
(2.53.a)<br />
Turunan (2.53.a) terhadap x memberikan<br />
dVx<br />
γx<br />
γx<br />
= kv1<br />
γe<br />
− kv2γe<br />
(2.53.b)<br />
dx<br />
sedangkan persamaan pertama (2.47) memberikan<br />
d<br />
V x =<br />
dx<br />
ZI<br />
sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan<br />
k<br />
x<br />
γx<br />
γx<br />
γx<br />
v1 γe<br />
− kv2γe<br />
= ZI<br />
x<br />
(2.53.c)<br />
Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (2.50) yaitu<br />
γ =<br />
ZY<br />
Kita masukkan γ ke (2.53c) dan kita peroleh<br />
ZY<br />
γx<br />
γx<br />
( kv1<br />
e − kv2e<br />
) = ZI<br />
x<br />
atau<br />
75
Saluran Transmisi<br />
γx<br />
γx<br />
Z Z<br />
kv1 e − kv2e<br />
= I x = I x (2.53.d)<br />
ZY Y<br />
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (2.53.d) adalah ruas kanan<br />
persamaan (2.53a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas<br />
Z<br />
paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu di<br />
Y<br />
ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi;<br />
impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Z c .<br />
Z<br />
Z c = (2.54)<br />
Y<br />
Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu<br />
saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu<br />
besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Z c . Kita dapat<br />
menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen<br />
saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu<br />
saluran transmisi.<br />
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita<br />
tulis menjadi<br />
k<br />
γx<br />
γx<br />
v1 e − kv2e<br />
= Z cI<br />
x<br />
(2.55)<br />
Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan<br />
pertama (2.53.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu<br />
V<br />
γx<br />
x = kv1<br />
e + kv1<br />
e<br />
−γx<br />
Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan<br />
di ujung terima<br />
k<br />
v1 + k v 2 = Vr<br />
(2.56.a)<br />
sedangkan pada x = 0 persamaan (2.55) memberikan arus di ujung<br />
terima yaitu<br />
Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh<br />
k<br />
v1 − kv2<br />
= Z cI<br />
r<br />
(2.56.b)<br />
76 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Z cIr<br />
+ Vr<br />
Vr<br />
− ZcIr<br />
kv1<br />
= kv2<br />
=<br />
(2.56.c)<br />
2<br />
2<br />
Dengan (2.56.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x,<br />
yaitu persamaan pertama (2.52.c) menjadi<br />
V<br />
x<br />
= k<br />
v1<br />
= V<br />
r<br />
= V<br />
r<br />
e<br />
γx<br />
γx<br />
+ k<br />
v2<br />
e<br />
Z cIr<br />
+ Vr<br />
= e<br />
2<br />
γx<br />
−γx<br />
−γx<br />
V<br />
+<br />
e + e<br />
+ Z<br />
2<br />
cosh( γx)<br />
+ Z I<br />
c<br />
c<br />
r<br />
r<br />
− Z I<br />
2<br />
c<br />
γx<br />
r<br />
e<br />
e − e<br />
I r<br />
2<br />
sinh( λx)<br />
−γx<br />
−γx<br />
(2.57)<br />
Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan<br />
arus di ujung terima adalah V r dan I r .<br />
Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua<br />
(2.52.c) dapat kita olah dengan cara yang sama.<br />
γx<br />
−γx<br />
dI<br />
x γx<br />
−γx<br />
I x = ki1e<br />
+ ki2e<br />
→ = ki1γe<br />
− ki2γe<br />
= YVx<br />
dx<br />
(2.58.a)<br />
γx<br />
−γx<br />
1<br />
→ ki1e<br />
− ki2e<br />
= Vx<br />
Z c<br />
Untuk x = 0,<br />
1<br />
ki1 + ki2<br />
= Ir<br />
ki1<br />
− ki2<br />
= Vr<br />
Zc<br />
sehingga diperoleh<br />
k<br />
i1<br />
Ir<br />
+ Vr<br />
/ Zc<br />
Ir<br />
− Vr<br />
/ Zc<br />
= ki2<br />
=<br />
(2.58.b)<br />
2<br />
2<br />
Dengan (2.58.b) ini kita peroleh<br />
I<br />
x<br />
I<br />
=<br />
r<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
r<br />
c<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
r<br />
c<br />
+ V<br />
e<br />
2<br />
r<br />
γx<br />
/ Z<br />
− e<br />
2<br />
c<br />
e<br />
−γx<br />
γx<br />
sinh( λx)<br />
+ I<br />
+ I<br />
r<br />
I<br />
+<br />
r<br />
r<br />
e<br />
− V<br />
γx<br />
2<br />
+ e<br />
2<br />
cosh( γx)<br />
r<br />
/ Z<br />
−γx<br />
c<br />
e<br />
−γx<br />
(2.58.c)<br />
77
Saluran Transmisi<br />
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan<br />
V<br />
I<br />
x<br />
x<br />
= V<br />
r<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
cosh( γx)<br />
+ Z I<br />
r<br />
c<br />
sinh( γx)<br />
+ I<br />
c<br />
r<br />
r<br />
sinh( γx)<br />
cosh( γx)<br />
(2.59)<br />
Persamaan (2.59) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x<br />
pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima<br />
diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk<br />
melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat<br />
dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi<br />
karakteristik Z c . Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter<br />
yang ditunjukkan oleh persamaan (2.50); impedansi karakteristik<br />
mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan<br />
oleh (2.54).<br />
2.2.4. Rangkaian Ekivalen π<br />
Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim<br />
adalah Vs<br />
dan Is<br />
maka dari (2.59) kita peroleh<br />
Vs<br />
= Vr<br />
cosh( γd<br />
) + Z cI<br />
r sinh( γd)<br />
Vr<br />
I s = sinh( γd<br />
) + I r cosh( γd)<br />
Z c<br />
(2.60)<br />
Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis jika saluran<br />
transmisi terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu<br />
rangkaian ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti<br />
terlihat pada Gb.2.11.<br />
I s<br />
I r<br />
Z t<br />
Vs<br />
Y t<br />
2<br />
Y t<br />
2<br />
Vr<br />
Gb.2.11. Rangkaian ekivalen π<br />
78 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang<br />
terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan<br />
admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian<br />
ini memberikan:<br />
⎛ Yt<br />
⎞ ⎛ ZtYt<br />
⎞<br />
V s = Vr<br />
+ Zt<br />
⎜I<br />
r + Vr<br />
⎟ = ⎜1<br />
+ ⎟Vr<br />
+ Zt<br />
I r<br />
⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠<br />
Yt<br />
Yt<br />
Is<br />
= Ir<br />
+ Vr<br />
+ Vs<br />
2 2<br />
Yt<br />
Yt<br />
⎡ ZtYt<br />
⎞ ⎤<br />
Ir<br />
Vr<br />
⎢⎜<br />
⎛ = + + 1 + ⎟Vr<br />
+ ZtIr<br />
⎥<br />
2 2 ⎣⎝<br />
2 ⎠ ⎦<br />
ZtYt<br />
⎞Yt<br />
⎛ ZtYt<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎛ = 2 + ⎟ Vr<br />
+ ⎜1<br />
+ ⎟Ir<br />
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />
Kita ringkaskan (2.61.a dan b) menjadi :<br />
(2.61.a)<br />
(2.61.b)<br />
ZtYt<br />
⎞<br />
Vs<br />
⎜<br />
⎛ = 1 + ⎟Vr<br />
+ ZtIr<br />
⎝ 2 ⎠<br />
⎛ ZtYt<br />
⎞ Yt<br />
⎛ ZtY<br />
I<br />
t ⎞<br />
s = ⎜2<br />
+ ⎟ Vr<br />
+ ⎜1<br />
+ ⎟Ir<br />
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />
(2.62)<br />
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan<br />
tegangan dan arus pada (2.60) yaitu<br />
kita dapatkan<br />
V<br />
I<br />
s<br />
s<br />
= V<br />
r<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
cosh( γd<br />
) + Z I<br />
r<br />
c<br />
sinh( γd<br />
) + I<br />
c<br />
r<br />
r<br />
sinh( γd)<br />
cosh( γd)<br />
Z tYt<br />
1+<br />
= cosh( γd)<br />
2<br />
Z t = Z c sinh( γd)<br />
⎛ Z tYt<br />
⎞ Yt<br />
1<br />
⎜2<br />
+ ⎟ = sinh( γd<br />
)<br />
⎝ 2 ⎠ 2 Z c<br />
(2.63)<br />
Substitusi persamaan pertama (2.63) ke persamaan ke-tiga (2.63)<br />
memberikan<br />
79
Saluran Transmisi<br />
Yt<br />
2<br />
γd<br />
−γd<br />
sinh( γd)<br />
( e − e ) / 2<br />
=<br />
=<br />
Z ( cosh( γd)<br />
+ 1)<br />
γd<br />
−γd<br />
c<br />
Zc<br />
( e + e + 2) / 2<br />
γd<br />
/ 2 −γd<br />
/ 2 γd<br />
/ 2 −γd<br />
/ 2<br />
( e − e ) × ( e + e )<br />
=<br />
γd<br />
/ 2 −γd<br />
/ 2 2<br />
Zc<br />
( e + e )<br />
γd<br />
/ 2 −γd<br />
/ 2<br />
( e − e ) 1 ⎛ γd<br />
⎞<br />
=<br />
= tanh⎜<br />
⎟<br />
γd<br />
/ 2 −γd<br />
/ 2<br />
Zc<br />
( e + e ) Zc<br />
⎝ 2 ⎠<br />
Jadi dalam rangkaian ekivalen π<br />
Z<br />
t<br />
Yt<br />
1 ⎛ γd<br />
⎞<br />
= Z c sinh( γd)<br />
dan = tanh⎜<br />
⎟<br />
2 Z ⎝ 2 ⎠<br />
c<br />
(2.64)<br />
dengan d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Z c =<br />
impedansi karakteristik.<br />
Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu-fasa rangkaian<br />
tiga-fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga-fasa tak-seimbang,<br />
fasor-fasor tak seimbang kita uraikan menjadi komponenkomponen<br />
simetris. Masing-masing komponen simetris<br />
merupakan fasa-fasa seimbang sehingga masing-masing<br />
komponen dapat di analisis menggunakan rangkaian ekivalen satufasa.<br />
Dengan kata lain masing-masing komponen memiliki<br />
rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen urutan positif, urutan<br />
negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada Gb.2.12.<br />
Besaran rangkaian ekivalen adalah:<br />
Konstanta propagasi urutan:<br />
γ 0 = Z 0Y0<br />
; γ1<br />
= Z1Y<br />
1 ; γ2<br />
= Z2Y2<br />
(2.65)<br />
Impedansi karakteristik urutan:<br />
Z<br />
Z<br />
Impedansi urutan:<br />
c0<br />
Z<br />
c1<br />
c2<br />
=<br />
=<br />
=<br />
Z<br />
0<br />
1<br />
/ Y<br />
0<br />
Z / Y<br />
1<br />
Z 2 / Y<br />
2<br />
(2.66)<br />
80 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
0<br />
1<br />
2<br />
= Z<br />
= Z<br />
= Z<br />
c0<br />
c1<br />
c2<br />
sinh γ<br />
d<br />
sinh γ d<br />
1<br />
sinh γ<br />
Admitansi urutan:<br />
Y0<br />
1 γ<br />
tanh 0d<br />
=<br />
2 Zc0<br />
2<br />
Y1<br />
1 γ<br />
tanh 1d<br />
=<br />
2 Zc1<br />
2<br />
Y2<br />
1 γ<br />
tanh 2d<br />
=<br />
2 Zc2<br />
2<br />
0<br />
2<br />
d<br />
(2.67)<br />
(2.68)<br />
Is0<br />
I r 0<br />
Z t0<br />
Y t0<br />
Y<br />
V t0<br />
s0<br />
V r 0<br />
2<br />
2<br />
Rangkaian Urutan Nol<br />
Is1<br />
I r 1<br />
Z t1<br />
Y t1<br />
Y<br />
V t1<br />
s1<br />
V r 1<br />
2<br />
2<br />
Rangkaian Urutan Positif<br />
Is2<br />
I r 2<br />
Z t2<br />
Y t2<br />
Y<br />
V t2<br />
s2<br />
V r 2<br />
2<br />
Rangkaian Urutan Negatif<br />
Gb.2.12. Rangkaian ekivalen urutan.<br />
2<br />
81
Saluran Transmisi<br />
CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan<br />
(a) impedansi karakteristik;<br />
(b) konstanta propagasi;<br />
(c) rangkaian ekivalen π.<br />
A<br />
Solusi:<br />
4,2 m<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah<br />
dihitung pada dua contoh sebelumnya.<br />
Z = 0,088 + j0,3896<br />
/km Y = j2,923<br />
S/km<br />
1 Ω<br />
a) Impedansi karakteristik adalah:<br />
C<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
= r′<br />
B<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
= r′<br />
C<br />
C<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
1 µ<br />
= 0.088 Ω / km<br />
Z c =<br />
Z<br />
Y<br />
3<br />
= 10 ×<br />
=<br />
b) Konstanta propagasi<br />
0,088 + j0,3896<br />
−6<br />
j2,923<br />
× 10<br />
0,088 + j0,3896<br />
o<br />
= 369,67∠<br />
- 6,4<br />
j2,923<br />
Ω<br />
γ =<br />
ZY<br />
=<br />
(0,088 + j0,3896)(<br />
j2,923<br />
× 10<br />
= (0,1198 + j1,074)<br />
× 10<br />
−3<br />
per km<br />
c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,<br />
elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah<br />
Z<br />
t<br />
= Z<br />
c<br />
sinh( γd<br />
)<br />
= (369,67∠ − 6,4<br />
= 8,77 + j38,89<br />
= 39.87∠77.3<br />
o<br />
)sinh[(0,1198 + j1,074)<br />
× 10<br />
o<br />
Ω<br />
−1<br />
]<br />
−6<br />
)<br />
82 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Yt<br />
2<br />
1 ⎛ γd<br />
= tanh⎜<br />
Zc<br />
⎝ 2<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
1 ⎛ −3<br />
(0,1207 j1,074)<br />
10 100 ⎞<br />
tanh⎜<br />
+ × ×<br />
=<br />
⎟<br />
o<br />
369,67∠ − 6,4 ⎜<br />
2<br />
⎟<br />
⎝<br />
⎠<br />
−8<br />
−3<br />
= 3,14 × 10 + j0,1463<br />
× 10 ≈ j0,1463<br />
mS<br />
I s<br />
8.77<br />
+ j38,89<br />
Ir<br />
Vs<br />
j0,1463<br />
j0, 1463<br />
Vr<br />
16.2.5. Rangkaian Ekivalen Pendekatan<br />
Apabila kita melakukan perhitungan dengan menggunakan<br />
computer, pendekatan ini sebenarnya tidak diperlukan. Namun<br />
untuk saluran pendek, perhitungan secara manual kadang-kadang<br />
diperlukan sehingga diperlukan besaran pendekatan. Pada saluran<br />
yang pendek, γd
Saluran Transmisi<br />
2.2.6. Saluran Pendek<br />
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)<br />
yaitu<br />
V<br />
I<br />
s<br />
s<br />
= V<br />
r<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
r<br />
c<br />
cosh( γd)<br />
+ Z I<br />
sinh( γd)<br />
+ I<br />
c<br />
r<br />
r<br />
sinh( γd)<br />
cosh( γd)<br />
Pada saluran yang pendek, γd
Saluran Transmisi<br />
Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita<br />
perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan<br />
rangkaian ekivalen π yang sebenarnya.<br />
2.2.7. Konstanta ABCD<br />
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)<br />
yaitu<br />
V<br />
I<br />
s<br />
s<br />
= V<br />
r<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
cosh( γd<br />
) + Z I<br />
r<br />
c<br />
sinh( γd<br />
) + I<br />
c<br />
r<br />
r<br />
sinh( γd)<br />
cosh( γd)<br />
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan<br />
konstanta A, B, C, D seperti berikut:<br />
dengan<br />
V<br />
I<br />
s<br />
s<br />
= AV<br />
r<br />
= C V<br />
r<br />
A = cosh γd<br />
;<br />
+ B I<br />
r<br />
+ D I<br />
sinh γd<br />
1<br />
C = = B ;<br />
Z 2<br />
c Z<br />
r<br />
B = Z<br />
c<br />
c<br />
sinh γd<br />
D = cosh γd<br />
= A<br />
(2.71.a)<br />
(2.71.b)<br />
Konstanta-konstanta ini dapat pula diturunkan dari rangkaian<br />
ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (2.60) yaitu<br />
ZtYt<br />
⎞<br />
Vs<br />
⎜<br />
⎛ = 1 + ⎟Vr<br />
+ Zt<br />
I<br />
⎝ 2 ⎠<br />
⎛ ZtYt<br />
⎞ Yt<br />
⎛ ZtYt<br />
⎞<br />
I s = ⎜2<br />
+ ⎟ Vr<br />
+ ⎜1<br />
+ ⎟Ir<br />
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />
yang jika kita perbandingkan dengan (2.71.a) kita dapatkan<br />
⎞<br />
A ⎜<br />
⎛ Z = + tYt<br />
1 ⎟ B = Zt<br />
⎝ 2 ⎠<br />
⎛ Z ⎞<br />
⎛<br />
C = ⎜ +<br />
tYt<br />
Yt<br />
Z<br />
2 ⎟ D = ⎜1<br />
+<br />
tY<br />
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2<br />
t<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
= A<br />
(2.71.c)<br />
85
86 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Saluran Transmisi<br />
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan<br />
kompleks karena Z t maupun Y t adalah bilangan kompleks yang<br />
nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang<br />
saluran. Kita lihat lagi saluran pada Contoh-7.1. untuk memberi<br />
gambaran tentang nilai konstanta-konstanta ini.<br />
CONTOH-2.7: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, sedangkan<br />
panjang saluran 100 km, tentukan konstanta A, B, C, D saluran<br />
transmisi ini.<br />
A<br />
4,2 m<br />
Solusi:<br />
γ dan Z c telah dihitung pada Contoh-2.5:<br />
Z c<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
C<br />
= 369,67∠<br />
- 6,4<br />
o<br />
Ω<br />
γ = (0,1198 + j 1,074) × 10<br />
= r′<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
−3<br />
= r′<br />
per km<br />
Menggunakan formulasi (2.71.b), nilai konstanta A, B, C,<br />
D, adalah<br />
o<br />
A = cosh γd<br />
= 0,9943∠0,07<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
o<br />
B = Z c sinh γd<br />
= 39,87∠77,30<br />
sinh γd<br />
1<br />
o<br />
C = = B = 0,0003∠90,02<br />
Z 2<br />
c Z c<br />
o<br />
D = cosh γd<br />
= A = 0,9943∠0,07<br />
= 0.088 Ω / km<br />
Dengan menggunakan konstanta A,B,C,D, ini, kita akan<br />
mecermati kinerja saluran.<br />
CONTOH-2.8: Jika saluran transmisi pada Contoh-2.7 mencatu<br />
beban sebesar 250 MVA dengan faktor daya 0.9 lagging pada<br />
tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di ujung<br />
kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di<br />
ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
B<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
C<br />
C
Saluran Transmisi<br />
Solusi:<br />
Dengan model satu-fasa, tegangan beban 270 kV digunakan<br />
sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah<br />
V r<br />
270 o<br />
= = 155,88 ∠0<br />
3<br />
kV<br />
Karena faktor daya 0,9 lagging maka arus beban:<br />
I r<br />
250 o<br />
=<br />
= 0.53∠<br />
- 25,8<br />
270 × 0,9 × 3<br />
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />
kA<br />
o<br />
o<br />
Vs<br />
= 0,9943∠0,07<br />
Vr<br />
+ 39,87∠77,30<br />
Ir<br />
o<br />
= 155 + j0.2<br />
+ 13.3+<br />
j16.7<br />
= 169.1∠5.7<br />
Arus di ujung kirim:<br />
I<br />
s<br />
= 0.51∠<br />
- 21,2<br />
kV<br />
kV<br />
= CV + D I = -2 × 10 + j0.05<br />
+ 0.48 − j0.23<br />
r<br />
r<br />
o<br />
Tegangan jatuh di saluran adalah<br />
-5<br />
∆V<br />
= V s − V r = 169,1∠<br />
5,7<br />
= 12,4 + j16,9<br />
= 21∠53,7<br />
o<br />
−155,88∠0<br />
o<br />
kV<br />
21<br />
atau × 100 ≈12%<br />
dari tegangan di ujung kirim.<br />
169,1<br />
Daya kompleks ujung kirim<br />
Ss<br />
∗<br />
o<br />
= 3×<br />
V sIs<br />
= 3×<br />
169,1 ∠5,7<br />
× 0,51∠21,2<br />
= 260∠27<br />
MVA<br />
Faktor daya ujung kirim cos(27 o ) = 0.89<br />
Daya nyata ujung kirim<br />
Daya nyata ujung terima<br />
P s<br />
P r<br />
Susut yang terjadi di saluran adalah<br />
= 260 × 0,89 = 232 MW<br />
= 250 × 0.9 = 225 MW<br />
Ps<br />
− Pr<br />
P saluran = ×100 % = 3.1% .<br />
Ps<br />
o<br />
87
Saluran Transmisi<br />
2.3. Perubahan Pembebanan<br />
Dalam Contoh-2.8 di atas, pembebanan 250 MVA dengan faktor<br />
daya 0,9 menyebabkan tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,1%<br />
sementara faktor daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan<br />
melihat situasi jika terjadi perubahan pembebanan<br />
CONTOH-2.9: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi<br />
pada Contoh-2.8 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor daya<br />
tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung<br />
kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />
Solusi:<br />
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />
Beban [MVA]<br />
200 250 300<br />
Panjang 100 km 100 km 100 km<br />
V r [kV] 155,88∠0 o 155,88∠0 o 155,88∠0 o<br />
I r [kA] 0.43∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.64∠-25.8 o<br />
V s [kV] 166.2∠4.7 o 169.1∠5.7 o 172.1∠6.7 o<br />
I s [kA] 0.40∠-20 o 0.51∠-21.2 o 0.62∠-22 o<br />
∆ V [kV] 16.7∠54.3 o 21∠53.7 o 25.2∠53.3 o<br />
∆ V [%] 10 12 15<br />
S s [MVA] 203 260 320<br />
f.d. 0.9 0.89 0.88<br />
Susut [%] 2.5 3.1 3.75<br />
88 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
2.4. Perubahan Panjang Saluran<br />
Perubahan panjang saluran akan mengubah konstanta saluran. Kita<br />
lihat contoh berikut.<br />
CONTOH-2.10: Dengan beban tetap 250 MVA dan faktor daya 0,9<br />
lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,<br />
faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran untuk panjang<br />
saluran 100, 150, 200 km<br />
Solusi:<br />
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />
Panjang Saluran<br />
100 150 200<br />
Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA<br />
A 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0,17 o 0.9773∠0.3 o<br />
B [Ω] 39.867∠77.3 o 59.658 ∠77.3 o 79.28∠77.4 o<br />
C [mS] 0.2917∠90.02 o 0.4366 ∠90.06 o 0.5802∠90.1 o<br />
D 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0.17 o 0.9773∠0.3 o<br />
V r [kV] 155.88∠0 o 155.88∠0 o 155.88∠0 o<br />
I r [kA] 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o<br />
V s [kV] 169.1∠5.7 o 175.6∠8.3 o 181.9∠10.8 o<br />
I s [kA] 0.51∠-21.2 o 0.50∠-18.7 o 0.49∠-16 o<br />
∆ V [kV] 21∠53.7 o 31∠54.9 o 41∠56.1 o<br />
∆ V [%] 12 18 22<br />
S s [MVA] 260 264 267<br />
f.d. 0.89 0.89 0.89<br />
Susut [%] 3.1 4.5 5.8<br />
89
Saluran Transmisi<br />
2.5. Lossless Line<br />
Konstanta ABCD saluran transmisi diberikan oleh (2.71.b) yaitu<br />
A = cosh γd<br />
;<br />
sinh γd<br />
1<br />
C = =<br />
Z c Z<br />
B = Z<br />
2<br />
c<br />
B ;<br />
c<br />
sinh γd<br />
D = cosh γd<br />
= A<br />
Untuk d tertentu, konstanta A dan D ditentukan oleh konstanta<br />
propagasi γ yang didefinisikan pada (2.50)<br />
γ<br />
2<br />
= ZY atau γ =<br />
ZY<br />
dimana Z impedansi seri per satuan panjang, dan Y admitansi per<br />
satuan panjang. Konstanta propagasi ini merupakan besaran<br />
kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />
γ = α + j β<br />
α disebut konstanta redaman, sedangkan β disebut konstanta fasa.<br />
Konstanta redaman α muncul dari impedansi seri Z s = Rs<br />
+ jX s .<br />
Jika resistansi seri R s = 0, konstanta redaman juga 0.<br />
γ = 0 + jβ = jβ<br />
(2.72)<br />
Keadaan ideal ini, dimana R s atau α bernilai nol menjadikan saluran<br />
transmisi lossless, tidak menyerap daya atau tidak terjadi susut<br />
energi di saluran transmisi. Dalam situasi ini, konstanta A dan D<br />
adalah<br />
jβ − jβ<br />
e + e<br />
A = D = cosh γd<br />
=<br />
= cosβ<br />
2<br />
(2.73)<br />
Konstanta B menjadi<br />
jβ<br />
− jβ<br />
e − e<br />
B = Z c sinh γd<br />
= Z c<br />
= Z c j sin β<br />
2<br />
(2.74)<br />
Kondisi ideal ini akan kita gunakan dalam membahas surge<br />
impedance loading di sub-bab 2.6.6.<br />
90 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
2.6. <strong>Analisis</strong> Pembebanan Saluran Transmisi<br />
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan<br />
peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan<br />
yang kita hitung pada Contoh-2.8 sebesar 250 MVA, tegangan jatuh<br />
sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika kita<br />
mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya<br />
saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,<br />
daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah<br />
S r<br />
3fasa = 270 × 0,9 × 3 =<br />
420 MVA<br />
Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di<br />
saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.<br />
2.6.1. Pembebanan Thermal<br />
Sebagian energy yang melalui saluran transmisi terkonversi<br />
menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.<br />
saluran<br />
2<br />
fasa<br />
P = 3 × I × R<br />
saluran<br />
Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang<br />
diperkenankan mengalir pada konduktor agar tidak terjadi<br />
pemanasan yang berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur<br />
konduktor akan menyebabkan pemuaian; jika temperature<br />
meningkat maka andongan akan bertambah .<br />
Dari relasi daya tiga-fasa S3 fasa = VI 3 kita dapat menghitung<br />
berapa daya yang dapat dipasok melalui suatu saluran transmisi.<br />
Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa 150 kV misalnya,<br />
setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya sebesar<br />
150 3 = 2,5 MVA ; pada transmisi 500 kV berarti penyaluran<br />
daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan daya ini saja<br />
yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu saluran<br />
transmisi. Beberapa hal akan kita lihat berikut ini.<br />
91
Saluran Transmisi<br />
2.6.2. Tegangan dan Arus di Ujung Kirim<br />
Kita misalkan:<br />
konstanta saluran:<br />
A = A∠α<br />
dan B = B∠β<br />
,<br />
o<br />
tegangan ujung terima V r = V r ∠0 (sebagai referensi)<br />
o<br />
arus beban lagging I r = I r ∠ − ϕ ,<br />
maka tegangan di ujung kirim adalah<br />
V s = AVr<br />
+ B Ir<br />
= AVr∠( α + 0) + BIr∠(<br />
β − ϕ)<br />
(2.75.a)<br />
Sudut A ∠α<br />
dan B ∠β<br />
adalah konstanta yang ditentukan hanya<br />
oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran tidak<br />
berubah. Oleh karena itu jika faktor daya beban dipertahankan<br />
pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di ujung kirim<br />
ditentukan hanya oleh arus beban I r . Gb.2.14. memperlihatkan<br />
peristiwa tersebut.<br />
Im<br />
I r<br />
I′ r<br />
Gb.2.14. Perubahan Ir<br />
menjadi I′ r menyebabkan perubahan<br />
2<br />
c<br />
Vs<br />
menjadi<br />
Jika kita misalkan Z c = Z c<br />
(2.71.a) menjadi:<br />
B<br />
I s = Vr<br />
+ A I<br />
Z<br />
∠θ<br />
V′ s .<br />
, maka persamaan ke-dua<br />
92 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
α<br />
r<br />
(2.75.b)<br />
BVr<br />
= ∠(0<br />
− 2θ)<br />
+ AI ∠(<br />
α − ϕ)<br />
2<br />
r<br />
Z c<br />
Impedansi karakteristik Z c juga merupakan besaran konstan untuk<br />
satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban<br />
dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung terima<br />
dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter saluran.<br />
V r<br />
V s<br />
AV r<br />
BI r<br />
V′ s<br />
β − ϕ<br />
Re
Saluran Transmisi<br />
2.6.3. Tegangan Jatuh Pada Saluran<br />
Peningkatan arus I r berarti peningkatan pembebanan. Selain batas<br />
thermal sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pembatasan<br />
lain yang akan kita lihat berikut ini.<br />
Jika δ adalah sudut antara Vs<br />
dan Vr<br />
maka dari relasi tegangan<br />
V s = AVr<br />
+ B Ir<br />
kita peroleh arus beban<br />
I<br />
r<br />
Vs<br />
AVr<br />
= −<br />
B B<br />
Vs<br />
AVr<br />
= ∠( δ −β)<br />
− ∠(<br />
α −β)<br />
B<br />
B<br />
Daya per fasa di ujung terima adalah<br />
(2.76)<br />
∗<br />
Sr 1fasa = Vr<br />
I r<br />
2<br />
VrVs<br />
AVr<br />
= ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
B<br />
B<br />
(2.77)<br />
Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai tertentu,<br />
kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di ujung<br />
kirim. Jika hal ini dilakukan maka V r V s dan 2<br />
V r pada persamaan<br />
daya (2.77) akan bernilai konstan. Persamaan ini akan<br />
menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi apabila<br />
terjadi perubahan permintaan daya di ujung terima. Sudut ini, δ,<br />
disebut sudut daya.<br />
Diagram fasor perubahan sudut daya diperlihatkan pada Gb. 2.15.<br />
Im<br />
V s<br />
α<br />
AV r<br />
BI r<br />
δ<br />
Re<br />
V r<br />
I r<br />
Gb.2.15. Perubahan sudut δ.<br />
93
Saluran Transmisi<br />
2.6.4. Diagram Lingkaran<br />
Daya tiga-fasa di ujung terima diperoleh dari (2.77) yaitu<br />
3V<br />
rVs<br />
3AVr<br />
Sr 3fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(2.78)<br />
B<br />
B<br />
Jika V r dan V s dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat<br />
bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan<br />
daya akan mengikuti bentuk kurva lingkaran.<br />
Kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari sudut β. Oleh<br />
karena itu sudut fasa suku ke-dua (2.78) akan berada di sekitar<br />
nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih dari<br />
10%, nilai V r Vs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan<br />
2<br />
nilai V r di suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita<br />
akan menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala, yang<br />
diperlihatkan pada Gb.2.16.<br />
Im<br />
N ′<br />
M ′<br />
2<br />
M<br />
δ<br />
N<br />
β − α<br />
O<br />
β − δ<br />
Re<br />
M′<br />
N′<br />
Gb.2.16. Diagram lingkaran.<br />
94 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Penjelasan dari Gb.2.16 adalah sebagai berikut:<br />
1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor<br />
3 AV 2<br />
r ∠(<br />
β − α)<br />
B<br />
yaitu OM kemudian kita gambar<br />
2<br />
3<br />
−<br />
AV r ∠(<br />
β − α)<br />
B<br />
yaitu O M ′ .<br />
2. Pada fasor O M′ kita tambahkan fasor<br />
3V<br />
r V s<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
B<br />
yaitu fasor M′ N .<br />
3. Sudut antara M′ N dengan sumbu mendatar adalah ( β − δ)<br />
.<br />
4. Pada perubahan sudut δ fasor M′ N akan bergerak<br />
mengikuti lingkaran yang berpusat di M′ berjari-jari M′ N .<br />
5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor M′ N dengan garis<br />
M ′ M′<br />
yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.<br />
6. Daya nyata maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />
= 0 yaitu pada<br />
waktu M′ N menjadi M ′ N′<br />
o<br />
7. Daya reaktif maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />
= 90 .<br />
2.6.5. Batas Stabilitas Keadaan Mantap<br />
Dalam meninjau daya maksimum ini, kita akan<br />
menyederhanakan relasi (2.77) dengan melihat saluran transmisi<br />
pada tegangan pengenalnya yang kita sebut V, misalnya<br />
transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak membedakan V r atau V s .<br />
Dengan pengertian ini maka (2.77) menjadi:<br />
2<br />
2<br />
V<br />
AV<br />
S r 1fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(2.79.a)<br />
3B<br />
3B<br />
Daya tiga-fasa menjadi<br />
2<br />
2<br />
V<br />
AV<br />
S r 3fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(2.79.b)<br />
B<br />
B<br />
Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan<br />
daya nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian<br />
nyata dari relasi daya ini, dan daya reaktif adalah bagian<br />
imajinernya.<br />
95
P<br />
r 3fasa<br />
= Re S<br />
⎡ 2<br />
V<br />
= Re⎢<br />
⎢⎣<br />
B<br />
2<br />
V<br />
=<br />
B<br />
r 3fasa<br />
dan daya reaktif Q adalah<br />
Q<br />
r 3fasa<br />
= Im S<br />
⎡ 2<br />
V<br />
= Im⎢<br />
⎢⎣<br />
B<br />
2<br />
AV<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
−<br />
B<br />
AV<br />
cos( β − δ)<br />
−<br />
B<br />
r 3fasa<br />
2<br />
AV<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
−<br />
B<br />
2<br />
cos( β − α)<br />
Saluran Transmisi<br />
⎤<br />
∠(<br />
β − α)<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
⎤<br />
∠(<br />
β − α)<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
(2.80.a)<br />
V<br />
AV<br />
= sin( β − δ)<br />
− sin( β − α)<br />
B<br />
B<br />
Daya nyata pada relasi (2.80.a) akan mencapai nilai maksimum<br />
pada waktu ( β − δ)<br />
= 0 atau δ = β . Daya nyata maksimum ini<br />
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan<br />
keadaan mantap (steady state); besarnya adalah<br />
2<br />
V<br />
P r 3fasa maks mantap = [ 1 − A cos( β − α)<br />
] (2.81)<br />
B<br />
2<br />
2<br />
(2.80.b)<br />
Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai<br />
maksimum mantap, daya reaktif adalah<br />
AV<br />
Q r 3fasa maks mantap = − sin( β − α)<br />
(2.82)<br />
B<br />
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah<br />
S<br />
3 fasa maks mantap<br />
=<br />
2<br />
V<br />
=<br />
B<br />
P<br />
2<br />
+ Q<br />
1+<br />
A<br />
2<br />
2<br />
2<br />
− 2Acos(<br />
β − α)<br />
(2.83)<br />
Ini merupakan daya kompleks tiga-fasa maksimum yang bisa<br />
dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang<br />
digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar<br />
I c , maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa<br />
dibebankan pada saluran transmisi adalah<br />
96 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
S = VI 3<br />
(2.84)<br />
3 fasa saluran c<br />
dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi<br />
batas pembebanan saluran transmisi dan menjadi batas stabilitas<br />
keadaan mantap<br />
S < S<br />
3fasa maks mantap<br />
3 fasa saluran<br />
CONTOH-2.11: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi<br />
pada Contoh-2.8. di mana saluran transmisi mencatu beban sebesar<br />
100 MW dengan faktor daya 0.9 lagging pada tegangan 270 kV.<br />
A<br />
4,2 m<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
C<br />
= r′<br />
= r′<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
<strong>Sistem</strong> ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.<br />
Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim telah<br />
dihitung pada sebelumnya sebesar 279 kV. Konstanta A dan B<br />
telah dihitung yaitu<br />
o<br />
o<br />
A = 0,9943∠0,07<br />
dan B = 39,87∠77,30<br />
= 0.088 Ω / km<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini menurut<br />
(2.83) adalah<br />
2<br />
V 2<br />
S 3fasa maks mantap = 1 + A − 2A<br />
cos( β − α)<br />
B<br />
275<br />
= 1 + 0,9943 − 2 × 0,09943(cos(77,30 − 0,07)<br />
39,87<br />
= 417 MVA<br />
Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan saluran<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
B<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
C<br />
C<br />
S 3 fasa saluran = VI c 3 = 275 × 0,9 × 3 = 428<br />
⇒<br />
S < S<br />
3fasa maks mantap<br />
3 fasa saluran<br />
MVA<br />
Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.<br />
97
Saluran Transmisi<br />
2.6.6. Surge Impedance Loading (SIL)<br />
SIL kita tinjau untuk suatu lossless line. Dalam kondisi ini<br />
cosh γd = cosβ<br />
dan sinh γd<br />
= j sin β<br />
Jika selain lossless saluran, transmisi ini dibebani dengan beban<br />
sebesar impedansi karakteristik Z c (beban dimodelkan sebagai satu<br />
impedansi) sehingga tegangan di ujung terima (beban) menjadi<br />
V r = Z c I r atau<br />
Vr<br />
I r =<br />
Z c<br />
(2.85)<br />
maka tegangan di ujung kirim menjadi<br />
Vs<br />
= Vr<br />
cosh( γd)<br />
+ Z cI<br />
r sinh( γd)<br />
Vr<br />
= Vr<br />
cos( βd)<br />
+ jZ c sin( βd)<br />
Z c<br />
( cos( βd)<br />
+ j sin( βd)<br />
)<br />
= Vr<br />
= Vr<br />
∠(<br />
βd)<br />
(2.86)<br />
Persamaan (2.86) ini menunjukkan bahwa besar tegangan di ujung<br />
kirim sama dengan besar tegangan di ujung terima,<br />
V s = Vr<br />
,<br />
berapapun panjang saluran transmisi. Panjang saluran transmisi d<br />
hanya menentukan perbedaan sudut fasa. Dengan kata lain, jika d<br />
tertentu maka tegangan di seluruh posisi pada saluran transmisi<br />
sama besar; persamaan (2.86) dapat kita tulis<br />
V s = Vr<br />
∠βx<br />
(2.87)<br />
V (x)<br />
Tegangan sepanjang<br />
saluran<br />
V r<br />
d<br />
Gb.2.17. Saluran transmisi lossless, beban = Z c .<br />
Dalam kondisi ini daya yang tersalur ke beban disebut surge<br />
impedance loading (SIL).<br />
x<br />
0<br />
98 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
SIL<br />
2 2<br />
Vr<br />
V<br />
= 3 ==<br />
(2.88)<br />
Zc<br />
Zc<br />
dengan V adalah tegangan penunjuk saluran transmisi, misalnya<br />
150 kV, 270 kV. Perhatikan bahwa dalam perhitungan ini beban<br />
dimodelkan sebagai impedansi karakteristik, yaitu<br />
Z c = Z / Y<br />
dengan Z dan Y adalah besaran per satuan panjang; dan Z tetap<br />
mengandung resistansi, Z = R + jX .<br />
Pembebanan sesungguhnya bisa lebih besar atau lebih kecil dari<br />
SIL. Jika tegangan di ujung terima, V r , dipertahankan pada suatu<br />
nilai tertentu, pembebanan yang lebih besar dari SIL<br />
mengharuskan tegangan di ujung kirim lebih besar dari tegangan<br />
ujung terima, V s > Vr<br />
. Jika pembebanan lebih kecil dari SIL,<br />
tegangan di ujung kirim lebih kecil dari tegangan di unjung terima<br />
maka V s > Vr<br />
> SIL<br />
V (x) SIL<br />
V r<br />
< SIL<br />
CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan<br />
panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL.<br />
Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250<br />
MVA.<br />
A<br />
4,2 m<br />
d<br />
x<br />
Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL.<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
C<br />
R<br />
r<br />
A<br />
r′<br />
A<br />
A<br />
= R<br />
= r<br />
B<br />
= r′<br />
B<br />
B<br />
= R<br />
= r<br />
C<br />
= r′<br />
C<br />
C<br />
= 0.088 Ω / km<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
99
Saluran Transmisi<br />
Solusi:<br />
Z c telah dihitung pada sebelumnya, yaitu<br />
Z c<br />
= 369,67∠<br />
- 6,4<br />
o<br />
Ω<br />
SIL =<br />
V<br />
2 275 2<br />
= =<br />
Z c 369,67<br />
205<br />
MVA<br />
Jika saluran dibebani lebih besar dari SIL, maka tegangan di<br />
ujung kirim akan lebih besar dari 275 kV. Hal ini terlihat pada<br />
contoh-2.8, dimana pada pembebanan 250 MVA, tegangan<br />
o<br />
ujung kirim adalah V s = 169,1<br />
∠5,7<br />
yang berarti tegangan fasafasa<br />
adalah<br />
V s = 169 ,1 3 = 293 kV<br />
lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV.<br />
2.7. Transien Pada Saluran Transmisi<br />
2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi<br />
Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor<br />
saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai<br />
ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung<br />
konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor<br />
dari menara.<br />
Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu<br />
dipertimbangkan, yaitu:<br />
Tegangan kerja sistem itu sendiri.<br />
Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir.<br />
Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan<br />
circuit breaker.<br />
Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena<br />
kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu,<br />
biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji<br />
surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk<br />
100 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
gelombang surja dinyatakan sebagai T 1 × T 2 dimana keduanya<br />
dinyatakan dalam mikrodetik (µs). Jika tegangan puncaknya<br />
adalah V 0 maka T 1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai<br />
puncak sedangkan T 2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V 0 .<br />
Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan<br />
menggunakan fungsi eksponensial ganda<br />
dengan<br />
τ<br />
V<br />
2<br />
1<br />
v(<br />
t)<br />
= V<br />
0<br />
1<br />
T2<br />
= = 1,443T<br />
ln(2)<br />
= V<br />
e<br />
−t<br />
/ τ2 −t<br />
/ τ1<br />
[ e − e ]<br />
( T /1,443T<br />
)<br />
1<br />
2<br />
2<br />
;<br />
τ<br />
1<br />
T1<br />
= = 0,2T1<br />
5<br />
(2.89.a)<br />
(2.89.b)<br />
Pengujian isolator dilakukan pada suatu kondisi yang ditentukan,<br />
dengan bentuk gelombang uji yang terdefinisi secara baik.<br />
Beberapa pengertian perlu kita fahami, yaitu:<br />
Critical Flashover Voltage (CFO): adalah tegangan maksimum<br />
dimana probabilitas terjadinya flashover adalah 0,50.<br />
Withstand Voltage: Tegangan maksimum 3 × standar deviasi<br />
dibawah CFO.<br />
Basic (lightning) Impulse Insulation Level (BIL): Tegangan<br />
puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01<br />
pada surja uji 1,2/50 µs.<br />
Basic (switching) Surge Impulse Insulation Level (BSL):<br />
Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover<br />
adalah 0,01 pada surja uji 250/2500 µs.<br />
2.7.2. Surja Petir<br />
Petir (lightning) sangat berbahaya bagi saluran transmisi.<br />
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan petir. Arus petir<br />
yang pernah teramati di Jawa ini berkisar dari 7 sampai 130 A<br />
dengan rata-rata 30 kA, tapi di daerah Sumatra bisa sampai di atas<br />
200 kA.<br />
Saluran transmisi dilengkapi dengan kawat tanah yang dipasang di<br />
puncak menara dan berfungsi sebagai pelindung kawat fasa<br />
101
Saluran Transmisi<br />
terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa<br />
yang berada dalam sektor 60 o di bawah kawat tanah ini “aman”<br />
terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa<br />
terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi.<br />
Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah<br />
melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat<br />
mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi<br />
tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash<br />
yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa.<br />
Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh<br />
tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara<br />
mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa<br />
terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran<br />
transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari<br />
saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung.<br />
Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari<br />
kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod<br />
gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan<br />
menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat<br />
sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan<br />
tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini<br />
adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan<br />
sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang<br />
logam.<br />
Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran<br />
langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak<br />
langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan<br />
imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran<br />
transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak<br />
langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat<br />
sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan<br />
peristiwa transien.<br />
2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi<br />
Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari<br />
gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19.<br />
+<br />
memberikan persamaan orde dua pada t ≥ 0 sebagai berikut<br />
102 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
di<br />
Ri + L + v =<br />
dt<br />
v in<br />
Saluran Transmisi<br />
Persamaan ini diperoleh dengan pandangan bahwa begitu saklar<br />
ditutup, seluruh tegangan<br />
S v<br />
v L = L di / dt<br />
v in terterapkan pada<br />
R = iR<br />
seluruh rangkaian RLC<br />
+ i<br />
dan hukum Kirchhoff ∪∩ v in<br />
v C = v<br />
dapat kita terapkan pada<br />
−<br />
rangkaian ini. Pandangan<br />
ini tidak dapat kita<br />
Gb.2.19. Rangkaian RLC seri.<br />
aplikasikan begitu saja<br />
pada saluran transmisi.<br />
Panjang saluran transmisi adalah ratusan kilometer. Jika kita<br />
menutup circuit breaker di ujung kirim, tegangan tidak serta merta<br />
terasakan di ujung terima; artinya tegangan masuk di ujung kirim<br />
tidak segera mencakup seluruh rangkaian. Tegangan di ujung<br />
kirim harus merambat dan memerlukan waktu untuk sampai ke<br />
ujung terima, walaupun waktu yang diperlukan itu sangat pendek.<br />
Oleh karena itu kita harus hati-hati menerapkan hukum Kirchhoff.<br />
Kita akan melihat kasus<br />
tegangan durasi terbatas<br />
yang muncul pada t = 0 di<br />
ujung kirim, sementara<br />
saluran transmisi tidak<br />
memiliki simpanan energi<br />
sebelum t = 0. Tegangan<br />
dengan durasi terbatas ini<br />
ditunjukkan pada Gb.2.20.<br />
Tegangan ini merupakan<br />
fungsi waktu dan muncul pada t = 0 di ujung kirim; persamaannya<br />
adalah<br />
v<br />
in =<br />
0<br />
t<br />
Gb.2.20. Tegangan dengan durasi<br />
terbatas diterapkan di ujung kirim.<br />
v<br />
in<br />
( t)<br />
u(<br />
t)<br />
Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari<br />
ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa<br />
waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = T x . Jadi terdapat<br />
pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan<br />
v<br />
v in = v( t)<br />
u(<br />
t)<br />
103
Saluran Transmisi<br />
di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang<br />
dapat kita tuliskan sebagai<br />
v<br />
= v t)<br />
u(<br />
t −T<br />
)<br />
(2.90)<br />
x x ( x<br />
Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama<br />
dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor<br />
redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien<br />
v<br />
0<br />
T x<br />
v<br />
x<br />
= v t)<br />
u(<br />
t −T<br />
)<br />
( x<br />
ini, kita menganggap<br />
saluran transmisi sebagai<br />
lossless line). Dengan<br />
anggapan ini maka kita<br />
boleh menganggap pula<br />
bentuk gelombang tidak<br />
berubah<br />
saluran.<br />
sepanjang<br />
Gb.2.21. Tegangan di posisi x.<br />
Dengan demikian kita<br />
mengerti bahwa bentuk<br />
gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut<br />
gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan<br />
fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini<br />
dapat kita tuliskan sebagai<br />
v x,<br />
t)<br />
= v(<br />
t)<br />
u(<br />
t − t )<br />
(2.91)<br />
( x<br />
t<br />
Kita tinjau satu segmen saluran transmisi sepanjang<br />
kecil, seperti ditunjukkan oleh Gb.2.22.<br />
∆x<br />
i( x,<br />
t)<br />
i( x,<br />
t)<br />
− ∆i(<br />
x,<br />
t)<br />
∆xL<br />
∆x<br />
yang<br />
v ( x,<br />
t)<br />
v( x,<br />
t)<br />
− ∆v(<br />
x,<br />
t)<br />
∆xC<br />
x<br />
Gb.2.22. Situasi di satu segmen kecil saluran transmisi, ∆x.<br />
Perhatikan bahwa kita menghitung jarak x dari ujung kiri (ujung<br />
kirim), bukan dari ujung kanan (ujung terima) karena kita sedang<br />
104 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau<br />
lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan.<br />
Pada segmen kecil terdapat induktansi seri ∆ xL dan kapasitansi<br />
∆xC<br />
dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan<br />
panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap<br />
saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita<br />
dapat menerapkan hukum Kirchhoff.<br />
∂i<br />
∂v<br />
− ∆v( x,<br />
t)<br />
= ∆xL<br />
dan − ∆i(<br />
x,<br />
t)<br />
= ∆xC<br />
(2.92)<br />
∂t<br />
∂t<br />
Jika ∆x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial<br />
∂v(<br />
x,<br />
t)<br />
∂i<br />
− = L<br />
∂x<br />
∂t<br />
∂i(<br />
x,<br />
t)<br />
∂v<br />
− = C<br />
∂x<br />
∂t<br />
(2.93)<br />
Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai<br />
∂<br />
∂<br />
v(<br />
x,<br />
t)<br />
= −L<br />
i(<br />
x,<br />
t)<br />
∂x<br />
∂t<br />
(2.94)<br />
∂<br />
∂<br />
i(<br />
x,<br />
t)<br />
= −C<br />
v(<br />
x,<br />
t)<br />
∂x<br />
∂t<br />
Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan<br />
parsial terhadap x dari v ( x,<br />
t)<br />
, ruas kanan adalah turunan parsial<br />
terhadap t dari i ( x,<br />
t)<br />
. Transformasi Laplace ruas kiri<br />
∂<br />
memberikan ( x,<br />
s)<br />
∂x V sedangkan transformasi Laplace ruas<br />
kanan adalah − L{ sI ( x,<br />
s)<br />
− i(<br />
x,0)<br />
} dengan i(x,0)<br />
adalah nilai awal<br />
dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi<br />
maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas<br />
kanan menjadi − sLI( x,<br />
s)<br />
. Argumen yang sama berlaku untuk<br />
persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi<br />
Laplace dari (2.94) adalah<br />
∂<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= −sLI(<br />
x,<br />
s)<br />
∂x<br />
(2.95)<br />
∂<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= −sCV<br />
( x,<br />
s)<br />
∂x<br />
Diferensiasi terhadap x persamaan (2.95) memberikan<br />
105
∂<br />
2<br />
∂x<br />
∂<br />
2<br />
∂x<br />
2<br />
2<br />
∂<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= −sL<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
∂x<br />
∂<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= −sC<br />
V ( x,<br />
s)<br />
∂x<br />
Saluran Transmisi<br />
(2.96)<br />
Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti<br />
ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh<br />
∂<br />
2<br />
∂x<br />
∂<br />
2<br />
∂x<br />
2<br />
2<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= s<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= s<br />
2<br />
2<br />
LCV<br />
( x,<br />
s)<br />
LCI(<br />
x,<br />
s)<br />
(2.97)<br />
Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama<br />
bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah<br />
fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah<br />
px<br />
qx<br />
V ( x , s)<br />
= V ( s)<br />
e dan I ( x , s)<br />
= I(<br />
s)<br />
e ; jika fungsi dugaan ini<br />
kita masukkan ke (2.97) kita peroleh<br />
Dari sini kita peroleh<br />
p<br />
q<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
p V ( s)<br />
e<br />
2<br />
q I(<br />
s)<br />
e<br />
− s LC = 0 ⇒<br />
2<br />
− s LC = 0 ⇒<br />
qx<br />
px<br />
− s<br />
− s<br />
2<br />
2<br />
p = ± s<br />
q = ± s<br />
LCV ( s)<br />
e<br />
LCI ( s)<br />
e<br />
LC<br />
LC<br />
qx<br />
px<br />
= 0<br />
= 0<br />
Kita masukkan hasil ini ke fungsi dugaan, kita peroleh<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= V ( s)<br />
e<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= I(<br />
s)<br />
e<br />
± s<br />
± s<br />
LC x<br />
LC x<br />
(2.98)<br />
(2.99)<br />
(2.100)<br />
Untuk menafsirkan persamaan di kawasan s ini, kita lakukan<br />
transformasi balik guna melihat bentuk persamaannya di kawasan<br />
t. Kita gunakan salah satu sifat transformasi Laplace yaitu<br />
pergeseran di kawasan t,<br />
L [ f ( t a)<br />
] u(<br />
t − a)<br />
−<br />
− = e as F(s)<br />
(2.101)<br />
Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh<br />
106 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
v(<br />
x,<br />
t)<br />
= v(<br />
t ±<br />
i(<br />
x,<br />
t)<br />
= i(<br />
t ±<br />
LC x)<br />
u(<br />
t ±<br />
LC x)<br />
u(<br />
t ±<br />
LC x)<br />
LC x)<br />
(2.102.a)<br />
Kita lihat persamaan pertama (2.102.a) dengan mengambil tanda<br />
minus<br />
v( x,<br />
t)<br />
= v(<br />
t − LC x)<br />
u(<br />
t − LC x)<br />
(2.102.b)<br />
Faktor u( t − LC x)<br />
menunjukkan pergeseran waktu tibanya<br />
gelombang di posisi x sedangkan bentuk gelombang itu sendiri<br />
adalah<br />
v( x,<br />
t)<br />
= v(<br />
t − LC x)<br />
(2.102.c)<br />
Untuk suatu nilai konstan v ( x,<br />
t)<br />
= A , ruas kanan juga harus<br />
konstan. Jika t bertambah besar harus diimbangi dengan x yang<br />
bertambah besar pula. Artinya jika waktu makin bertambah posisi<br />
A makin menjauh dari ujung kirim; gelombang ini bergerak kekanan<br />
yang disebut gelombang maju. Kita simpulkan pula bahwa<br />
jika kita mengambil tanda plus, gelombang ini akan bergerak ke<br />
kiri dan disebut gelombang mundur. Penafsiran yang sama berlaku<br />
pula untuk persamaan kedua (2.102.a). Jika gelombang maju kita<br />
beri indeks atas “+” dan gelombang mundur kita beri indeks atas<br />
“−”, maka bentuk persamaan (2.102.a) menjadi<br />
+<br />
v(<br />
x,<br />
t)<br />
= v ( t −<br />
+<br />
i(<br />
x,<br />
t)<br />
= i ( t −<br />
LC x)<br />
u(<br />
t −<br />
LC x)<br />
u(<br />
t −<br />
−<br />
LC x)<br />
+ v ( t + LC x)<br />
u(<br />
t + LC x)<br />
(2.103)<br />
−<br />
LC x)<br />
+ i ( t + LC x)<br />
u(<br />
t + LC x)<br />
Pada persamaan (2.102.c) , v( x,<br />
t)<br />
= v(<br />
t − LC x)<br />
, LC x haruslah<br />
berdimensi waktu, t. Karena x adalah jarak, maka 1 / LC haruslah<br />
berdimensi jarak/waktu; dan inilah kecepatan perambatan<br />
gelombang maju maupun gelombang mundur.<br />
Persamaan (2.103) ini adalah persamaan di kawasan waktu.<br />
Persamaan di kawasan s telah kita peroleh yang kita tulis ulang<br />
menjadi<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= V<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= I<br />
+<br />
+<br />
( s)<br />
e<br />
( s)<br />
e<br />
−s<br />
−s<br />
LC x<br />
LC x<br />
+ V<br />
+ I<br />
−<br />
−<br />
( s)<br />
e<br />
( s)<br />
e<br />
+ s<br />
+ s<br />
LC x<br />
LC x<br />
(2.104)<br />
107
Saluran Transmisi<br />
2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan<br />
Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita<br />
melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita<br />
akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan.<br />
Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan<br />
∂<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= −sLI(<br />
x,<br />
s)<br />
∂x<br />
∂<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
= −sCV<br />
( x,<br />
s)<br />
∂x<br />
Apabila V ( x,<br />
s)<br />
dari persamaan pertama ini dimasukkan ke<br />
persamaan pertama (2.104) kita dapatkan<br />
∂ ∂ + −s<br />
LC x − + s LC x<br />
V( x,<br />
s)<br />
=<br />
⎧<br />
V s e V s e<br />
⎫<br />
⎨ ( ) + ( ) ⎬<br />
∂x<br />
∂x<br />
⎩<br />
⎭<br />
= −s<br />
+ −s<br />
LC x<br />
LCV ( s)<br />
e + s<br />
− + s<br />
LCV ( s)<br />
e<br />
LC x<br />
Dengan (2.105.a) ini, persamaan pertama (2.104) menjadi<br />
(2.105.a)<br />
∂<br />
V( x,<br />
s)<br />
= −sLI(<br />
x,<br />
s)<br />
∂x<br />
= −s<br />
LCV<br />
+<br />
( s)<br />
e<br />
−s<br />
LC x<br />
+ s<br />
LCV<br />
−<br />
( s)<br />
e<br />
+ s<br />
LC x<br />
(2.105.b)<br />
dan dari sini diperoleh<br />
− s<br />
I( x,<br />
s)<br />
=<br />
−<br />
=<br />
C<br />
V<br />
L<br />
LC + −s<br />
LC x s LC − + s LC x<br />
V ( s)<br />
e + V ( s)<br />
e<br />
sL<br />
− sL<br />
+ −s<br />
LC x<br />
( s)<br />
e −<br />
C − + s<br />
V ( s)<br />
e<br />
L<br />
LC x<br />
(2.105.c)<br />
Dalam persamaan (2.105.c) ini, ruas kiri adalah pernyataan arus di<br />
kawasan s sedangkan di ruas kanan merupakan C / L kali<br />
pernyataan tegangan yang juga di kawasan s. Kita dapat berharap<br />
bahwa C / L adalah admitansi atau 1 / C / L = L / C adalah<br />
impedansi yang juga merupakan pernyataan impedansi di kawasan<br />
s. Kita lihat hal ini sebagai berikut.<br />
108 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
Pada lossless line impedansi seri adalah Z = jX L karena R = 0.<br />
Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan<br />
fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi<br />
Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis<br />
di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan<br />
pernyataan impedansi di kawasan s yaitu Z = sL dengan s adalah<br />
operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan<br />
admitansi Y = jX C di kawasan s adalah Y = sC . Dengan<br />
pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal,<br />
impedansi karekteristik di kawasan s adalah<br />
Z sL L<br />
Z c = = =<br />
(2.106)<br />
Y sC C<br />
Dengan (2.106) ini maka arus pada (2.105.c) menjadi<br />
+ −s<br />
LC x − + s LC x<br />
V ( s)<br />
e V ( s)<br />
e<br />
I( x,<br />
s)<br />
=<br />
−<br />
(2.107)<br />
Zc<br />
Zc<br />
Dengan (2.107) ini maka persamaan tegangan dan arus<br />
+ −s<br />
LC x − + s LC x<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= V ( s)<br />
e + V ( s)<br />
e<br />
+ −s<br />
LC x − + s LC x<br />
V ( s)<br />
e V ( s)<br />
e<br />
I(<br />
x,<br />
s)<br />
=<br />
−<br />
Zc<br />
Zc<br />
(2.108)<br />
Persamaan (2.108) inilah persamaan gelombang berjalan di<br />
saluran transmisi dengan arus yang juga dinyatakan dalam<br />
tegangan.<br />
2.7.5. Situasi di Ujung Saluran<br />
Kita lihat sekarang situasi di ujung saluran (ujung terima). Di<br />
posisi ini, x = d. Jadi persamaan tegangan dan arus (2.108)<br />
menjadi<br />
+ −s<br />
LCd − + s LCd<br />
V ( d,<br />
s)<br />
= V ( s)<br />
e + V ( s)<br />
e<br />
+ −s<br />
V ( s)<br />
e<br />
I(<br />
d,<br />
s)<br />
=<br />
Zc<br />
LCd − + s LCd<br />
V ( s)<br />
e<br />
−<br />
Zc<br />
(2.109)<br />
109
Saluran Transmisi<br />
Rasio antara tegangan dan arus di ujung terima adalah impedansi<br />
di ujung terima. Kita bagi persamaan pertama pada (2.109) dengan<br />
persamaan yang kedua untuk mendapatkan impedansi di ujung<br />
terima Z r .<br />
Z<br />
r<br />
V ( d,<br />
s)<br />
V<br />
= =<br />
I(<br />
d,<br />
s)<br />
V<br />
= Z<br />
c<br />
V<br />
V<br />
+<br />
+<br />
( s)<br />
e<br />
( s)<br />
e<br />
+<br />
+<br />
( s)<br />
e<br />
( s)<br />
e<br />
Z<br />
c<br />
−s<br />
LCd<br />
−s<br />
LCd<br />
−s<br />
LCd<br />
−s<br />
LCd<br />
+ V<br />
−V<br />
−<br />
−<br />
+ V<br />
V<br />
−<br />
( s)<br />
e<br />
( s)<br />
e<br />
−<br />
−<br />
( s)<br />
e<br />
+ s<br />
( s)<br />
e<br />
Z<br />
+ s LCd<br />
+ s LCd<br />
+ s<br />
c<br />
LCd<br />
LCd<br />
(2.110.a)<br />
atau<br />
Z<br />
⎧<br />
r ⎨V<br />
⎩<br />
+<br />
= Z<br />
( s)<br />
e<br />
c<br />
−s<br />
LC x<br />
⎧<br />
⎨V<br />
⎩<br />
+<br />
( s)<br />
e<br />
− V<br />
−<br />
−s<br />
LC x<br />
( s)<br />
e<br />
+ s LC x<br />
+ V<br />
−<br />
( s)<br />
e<br />
⎫<br />
⎬<br />
⎭<br />
+ s<br />
LC x<br />
⎫<br />
⎬<br />
⎭<br />
(2.110.b)<br />
atau<br />
sehingga<br />
+ −s<br />
LC x<br />
− + s LC x<br />
( Z r − Zc<br />
) V ( s)<br />
e = ( Zc<br />
+ Zr<br />
) V ( s)<br />
e (2.110.c)<br />
− + s LC x ( Zr<br />
− Zc<br />
) + −s<br />
LC x<br />
V ( s)<br />
e = V ( s)<br />
e<br />
( Zc<br />
+ Zr<br />
)<br />
(2.110.d)<br />
Persamaan (2.23.d) memperlihatkan bahwa di ujung saluran<br />
terdapat gelombang mundur yang merambat balik menuju ujung<br />
kirim. Inilah gelombang pantulan yang terjadi di ujung saluran.<br />
Besar gelombang pantulan ini adalah suatu faktor k r dikalikan<br />
besar gelombang maju. Faktor k r itu adalah<br />
( Zr<br />
− Zc)<br />
k r = (2.110.e)<br />
( Zc<br />
+ Zr<br />
)<br />
110 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi<br />
2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan<br />
Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan<br />
akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan<br />
datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang<br />
memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s<br />
menjadi<br />
+ −s<br />
LC x − + s LC x<br />
V ( x,<br />
s)<br />
= V ( s)<br />
e + V ( s)<br />
e<br />
+ −s<br />
LC x ( Zr<br />
− Zc)<br />
+ −s<br />
LC x<br />
= V ( s)<br />
e + V ( s)<br />
e<br />
( Zc<br />
+ Zr<br />
)<br />
(2.111)<br />
Persamaan (2.111) ini menunjukkan bahwa gelombang tegangan<br />
di setiap posisi saluran transmisi merupakan superposisi dari<br />
gelombang maju dan gelombang pantulan. Besar gelombang<br />
pantulan sama dengan besar gelombang maju dengan faktor skala<br />
k<br />
yang disebut koefisien pantulan.<br />
( Zr<br />
− Zc)<br />
k r =<br />
( Zc<br />
+ Zr<br />
)<br />
Koefisien pantulan ini bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Jika k<br />
= 0, yaitu jika Z r = Zc<br />
, tidak terjadi pantulan di ujung saluran;<br />
hanya ada gelombang maju. Seandainya gelombang maju ini<br />
adalah gelombang sinusoidal, yaitu gelombang yang ter-injeksi ke<br />
saluran transmisi pada waktu penutupan circuit breaker di ujung<br />
kirim, maka hanya gelombang inilah yang ada di semua posisi<br />
pada saluran transmisi. Hal ini berarti bahwa tegangan di semua<br />
posisi sama besar; inilah situasi yang kita ulas pada surge<br />
impedance loading di sub-bab-2.6.6<br />
2.7.7 Pantulan di Ujung Kirim<br />
Gelombng patulan di ujung terima, setibanya di ujung kirim akan<br />
dipantulkan oleh ujung kirim karena ada perbedaan impedansi<br />
karakteristirk saluran dengan impedansi sumber. Gelombang yang<br />
dipantulkan di ujung kirim akanmerambat ke ujung terima dan<br />
sesampai di ujung terima akan dipantulkan lagi menuju ujung<br />
111
Saluran Transmisi<br />
kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang<br />
pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah<br />
Z s adalah impedansi ujung kirim.<br />
( Zs<br />
− Zc)<br />
k s = (2.112)<br />
( Zc<br />
+ Zs<br />
)<br />
112 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
BAB 3 Transformator<br />
3.1. Transformator Satu-fasa<br />
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam<br />
sistem komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi<br />
audio sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan.<br />
Kita mengenal misalnya input transformers, interstage transformers,<br />
output transformers pada rangkaian radio dan televisi.<br />
Transformator juga dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk<br />
penyesuaian impedansi agar tercapai transfer daya maksimum.<br />
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan<br />
transformator tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat<br />
dilakukan dalam jarak jauh dan susut daya pada jaringan dapat<br />
ditekan. Di jaringan distribusi listrik banyak digunakan<br />
transformator penurun tegangan, dari tegangan menengah 20 kV<br />
menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan kantor-kantor<br />
pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada umumnya<br />
merupakan transformator tiga-fasa. Dalam pembahasan ini kita akan<br />
melihat transformator satu-fasa lebih dulu.<br />
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak<br />
ideal sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan<br />
membahas hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan<br />
dipelajari secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesinmesin<br />
listrik.<br />
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal<br />
untuk mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun<br />
konversi energi elektromekanik membahas konversi energi antara<br />
sistem mekanik dan sistem listrik, sedangkan transformator<br />
merupakan piranti konversi energi listrik ke listrik, akan tetapi<br />
kopling antar sistem dalam kedua hal tersebut pada dasarnya sama<br />
yaitu kopling magnetik<br />
113
Transformator<br />
3.1.1. Teori Operasi Transformator<br />
3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban.<br />
Diagram transformator<br />
dua belitan tak<br />
I f<br />
φ<br />
berbeban diperlihatkan<br />
pada Gb.3.1. Belitan<br />
+<br />
+<br />
pertama kita sebut<br />
∼<br />
belitan primer dan yang<br />
V E N 1 N 2<br />
s 1<br />
E2<br />
−<br />
−<br />
ke-dua kita sebut<br />
belitan sekunder.<br />
Gb.3.1. Transformator dua belitan.<br />
Jika fluksi di rangkaian<br />
magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />
, maka fluksi ini akan<br />
menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />
atau dalam bentuk fasor :<br />
dφ<br />
e1 = N1<br />
= N1Φ<br />
maksωcos<br />
ωt<br />
(3.1)<br />
dt<br />
o N1ωΦ<br />
maks o<br />
E1 = E1∠0 =<br />
∠0<br />
; E1<br />
= nilai efektif<br />
2<br />
(3.2)<br />
Karena ω = 2π f maka:<br />
E<br />
2π<br />
f<br />
N<br />
1<br />
1 = Φ maks = 4.44 f N1<br />
2<br />
Φ<br />
maks<br />
(3.3)<br />
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan<br />
sebesar<br />
E<br />
2<br />
= 4.44 f N 2Φ<br />
Dari (3.3) dan (3.4) kita peroleh:<br />
E<br />
E<br />
1<br />
2<br />
maks<br />
N1<br />
= ≡ a = rasio<br />
N<br />
2<br />
transformasi<br />
(3.4)<br />
(3.5)<br />
114 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan<br />
oleh fluksi yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o<br />
maka E 2 juga mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio<br />
transformasi a = 1, dan resistansi belitan primer adalah R 1 ,<br />
diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti ditunjukkan oleh<br />
Gb.3.2.a. Arus I 1 adalah arus magnetisasi, yang dapat dipandang<br />
sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90 o dibelakang E 1 )<br />
yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E 1 ) guna mengatasi<br />
rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam diagram fasor ini muncul<br />
sebagai tegangan jatuh I f R1<br />
.<br />
I φ<br />
I c<br />
E 1 = E 2<br />
φ l<br />
E 1 = E<br />
I<br />
2<br />
f R 1<br />
V<br />
I φ<br />
1<br />
I<br />
I f<br />
I<br />
f R 1<br />
f<br />
φ<br />
φ<br />
a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />
Gb.3.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />
3.1.1.2. Fluksi Bocor<br />
Fluksi di belitan<br />
primer<br />
transformator<br />
dibangkitkan oleh<br />
arus yang mengalir<br />
di belitan primer.<br />
Dalam kenyataan,<br />
tidak semua fluksi<br />
magnit yang<br />
dibangkitkan<br />
tersebut akan<br />
V s<br />
∼<br />
I f<br />
f X l<br />
melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara<br />
fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi<br />
bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut<br />
fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja<br />
I c<br />
φ l1<br />
φ<br />
V 1<br />
Gb.3.3. Transformator tak berbeban.<br />
Fluksi bocor belitan primer.<br />
jI<br />
E 2<br />
115
Transformator<br />
dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga<br />
melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang<br />
dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara.<br />
Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis<br />
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini<br />
ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b.<br />
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan<br />
induksi di belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ).<br />
Tegangan induksi ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E1<br />
90 o<br />
mendahului φ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh<br />
ekivalen, E l1<br />
, di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai<br />
E l 1 = jI f X 1<br />
(3.6)<br />
dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan<br />
tegangan dan arus di rangkaian primer menjadi<br />
V +<br />
1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
jI1X1<br />
(3.7)<br />
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini<br />
adalah Gb.3.2.b.<br />
3.1.1.3. Transformator Berbeban.<br />
Rangkaian<br />
I 1<br />
φ<br />
transformator<br />
I 2<br />
berbeban resistif,<br />
R B , diperlihatkan ≈<br />
φ l1 φ l2<br />
V R B<br />
oleh Gb.3.4. V 2<br />
s<br />
Tegangan induksi<br />
E 2 (yang telah<br />
timbul dalam<br />
Gb.3.4. Transformator berbeban.<br />
keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di<br />
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2<br />
ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi<br />
bersama φ dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor<br />
sekunder).<br />
116 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan<br />
tegangan E l2<br />
di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 .<br />
Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan El2<br />
ini diganti<br />
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />
reaktansi bocor sekunder X 2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi<br />
belitan sekunder adalah R 2 , maka untuk rangkaian sekunder kita<br />
peroleh hubungan<br />
E 2 = V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ El2<br />
= V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ jI<br />
2 X 2 (3.8)<br />
dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi<br />
yang melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan<br />
cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi<br />
di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena<br />
belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak<br />
berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam<br />
keadaan transformator tidak berbeban hanyalah arus magnetisasi<br />
I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi<br />
bersama φ dipertahankan dan E1<br />
juga tetap seperti semula.<br />
Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (3.7) tetap<br />
terpenuhi.<br />
Pertambahan arus primer dari<br />
I f menjadi I 1 adalah untuk<br />
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ<br />
dipertahankan. Jadi haruslah<br />
( I − I ) − N ( I ) 0<br />
N1 1 f 2 2 =<br />
(3.9)<br />
Pertambahan arus primer ( I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang<br />
yang akan mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin<br />
besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin<br />
besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya<br />
dari primer ke sekunder. Dari (3.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />
( I )<br />
N 2 I 2<br />
I f = I1<br />
− 2 = I1<br />
−<br />
(3.10)<br />
N1<br />
a<br />
117
Transformator<br />
3.1.2. Diagram Fasor Transformator<br />
Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan<br />
secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator.<br />
Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkahlangkah:<br />
Gambarkan V2<br />
dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan<br />
V 2 . Selain itu kita dapat gambarkan I ′ 2 = I 2 / a yaitu besarnya<br />
arus sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />
Dari V 2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan<br />
persamaan (3.8) yaitu<br />
E 2 = V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ El2<br />
= V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />
sekunder.<br />
Untuk rangkaian primer, karena E1<br />
sefasa dengan E 2 maka<br />
E 1 dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2<br />
.<br />
Untuk menggambarkan arus magnetisasi<br />
I f kita gambarkan<br />
lebih dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita<br />
gambarkan I f yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ.<br />
'<br />
Selanjutnya arus belitan primer adalah I 1 = I f + I 2 .<br />
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi<br />
sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu<br />
V 1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X<br />
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator<br />
berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud,<br />
yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N 1 /N 2 = a > 1<br />
118 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
φ γ I f<br />
'<br />
I 2<br />
I 1<br />
I 2<br />
V 2<br />
E 2<br />
I 2 R 2<br />
jI 2 X 2<br />
E 1<br />
V 1<br />
I 1 R 1<br />
Gb.3.5. Diagram fasor lengkap,<br />
transformator berbeban resistif . a > 1<br />
jI 1 X 1<br />
CONTOH-3.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat<br />
untuk tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan<br />
ini dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa<br />
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55<br />
V (rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah<br />
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />
tersebut di atas?<br />
Solusi :<br />
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />
adalah<br />
E1<br />
2 V1<br />
2 220 2<br />
Φ m = = =<br />
N1ω<br />
N1ω<br />
160ω<br />
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />
V1′<br />
2 110 2<br />
Φ′ m = =<br />
N1ω<br />
160ω<br />
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
Φ m ′′<br />
V1′′<br />
2 55 2<br />
= =<br />
(1/ 2) N1ω<br />
80ω<br />
110 2<br />
=<br />
160ω<br />
119
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />
Transformator<br />
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />
V ′′′<br />
Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />
m = = =<br />
(1/ 2) N1ω<br />
80ω<br />
160ω<br />
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />
d). Dengan N 1 /N 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V.<br />
CONTOH-3.2 : Sebuah transformator satu-fasa mempunyai belitan<br />
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />
penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />
belitan sekunder.<br />
Solusi :<br />
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />
N1ωΦ<br />
V1<br />
=<br />
2<br />
m<br />
→ Kerapatan<br />
= 500 → Φ<br />
m<br />
fluksi maksimum : B<br />
500 2<br />
=<br />
= 0.00563 weber<br />
400 × 2π × 50<br />
m<br />
0.00563<br />
2<br />
= = 0.94 weber/m<br />
0.006<br />
Tegangan belitan sekunder adalah<br />
1000<br />
V 2 = × 500 = 1250<br />
400<br />
V<br />
CONTOH-3.3 : Dari sebuah transformator satu-fasa diinginkan<br />
suatu perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan<br />
jumlah lilitan primer dan sekunder.<br />
120 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Solusi :<br />
Transformator<br />
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />
N1ωΦ<br />
m<br />
6000 2<br />
V1<br />
= = 6000 → N1<br />
=<br />
= 450<br />
2<br />
2π × 50 × 0.06<br />
250<br />
⇒ N 2 = × 450 = 18.75<br />
6000<br />
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />
6000<br />
⇒ N 2 = 20 lilitan ⇒ N1<br />
= × 20 = 480 lilitan<br />
250<br />
3.1.3. Rangkaian Ekivalen Transformator<br />
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti<br />
listrik biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik<br />
ekivalen yang sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah<br />
penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan<br />
matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk<br />
transformator, ada tiga persamaan yang menggambarkan<br />
perilakunya, yaitu persamaan (3.7), (3.8), dan (3.10), yang kita<br />
tulis lagi sebagai satu set persamaan (3.11).<br />
V1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X1<br />
;<br />
'<br />
I1<br />
= I f + I2<br />
E2<br />
= V2<br />
+ I2R2<br />
+ jI2X<br />
2 ;<br />
' N2<br />
I<br />
dengan I<br />
2<br />
2 = I2<br />
=<br />
N1<br />
a<br />
(3.11)<br />
Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan kedua<br />
dari (3.11) dapat ditulis sebagai<br />
E<br />
a<br />
⇒ E<br />
1<br />
1<br />
= V<br />
2<br />
= aV<br />
2<br />
dengan<br />
+ a I′<br />
R<br />
+ I′<br />
( a<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
V ′ = aV<br />
+ ja I′<br />
X<br />
2<br />
2<br />
;<br />
2<br />
2<br />
R′<br />
2<br />
2<br />
R ) + j I′<br />
( a<br />
X<br />
= a<br />
2<br />
2<br />
) = V′<br />
+ I′<br />
R′<br />
+ j I′<br />
X ′<br />
R<br />
2<br />
2<br />
;<br />
2<br />
X ′<br />
2<br />
2<br />
= a<br />
2<br />
X<br />
2<br />
2<br />
2 (3.12)<br />
121
Transformator<br />
Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi<br />
V = E + I R<br />
E<br />
I<br />
1<br />
1<br />
1<br />
= I<br />
1<br />
= aV<br />
f<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
1<br />
+ I′<br />
R′<br />
+ j I′<br />
X ′ ;<br />
+ I′<br />
+ jI<br />
X<br />
2<br />
;<br />
2<br />
(3.13)<br />
'<br />
I 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder<br />
yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah<br />
rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.<br />
I 1<br />
'<br />
I 2<br />
∼<br />
V 1<br />
R 1<br />
jX 1<br />
E 1<br />
Z<br />
I<br />
f<br />
R′ 2<br />
jX′ 2<br />
B<br />
V<br />
'<br />
2 = aV2<br />
Gb.3.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (3.13).<br />
Arus magnetisasi dapat dipandang sebagai terdiri dari dua<br />
komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa dengan E 1 sedangkan I φ 90 o<br />
dibelakang E 1 . Dengan demikian maka impedansi Z pada<br />
rangkaian ekivalen Gb.3.6. dapat dinyatakan sebagai hubungan<br />
paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil<br />
menjadi seperti Gb.3.7.<br />
I 1<br />
'<br />
I 2<br />
∼<br />
V 1<br />
R 1<br />
jX 1 I f R′ 2<br />
jX′ 2<br />
E 1<br />
B V2′<br />
= aV2<br />
R I<br />
I φ<br />
c c jX c<br />
Gb.3.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.<br />
Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator<br />
yang digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan<br />
frekuensi yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada<br />
sistem tenaga listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Keadaan ini<br />
bisa dicapai karena inti transformator dibangun dari material<br />
122 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f<br />
diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup<br />
kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi<br />
lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.<br />
'<br />
I 1 = I 2<br />
∼<br />
R e = R 1 +R′ 2<br />
jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />
V B V<br />
1<br />
2′<br />
3.1.4. Impedansi Masukan Transformator<br />
Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer<br />
resistansi tersebut menjadi<br />
R<br />
'<br />
jI 2 X e<br />
V 2′<br />
'<br />
I 2<br />
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator<br />
disederhanakan dan diagram fasornya.<br />
V ′<br />
aV<br />
V<br />
2 2 2<br />
B′ 2 2<br />
= = = a = a R B<br />
(3.14)<br />
I 2′<br />
I 2 / a I 2<br />
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan<br />
Gb.16.10, impedansi masukan adalah<br />
V 1<br />
V1<br />
2<br />
Z in = = Re<br />
+ a RB<br />
+ jX e<br />
I1<br />
(3.15)<br />
3.1.5. Penentuan Parameter Transformator<br />
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.3.7. terlihat ada enam<br />
parameter transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 ,<br />
R c , dan X φ . Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur<br />
langsung menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan<br />
empat parameter yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti<br />
diuraikan berikut ini.<br />
123
Transformator<br />
3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol )<br />
Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah<br />
karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan<br />
rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi<br />
masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi<br />
tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan<br />
pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan daya<br />
(aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan<br />
tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan<br />
tegangan induksi E r . Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan<br />
kehilangan daya di resistansi belitan sehingga P r menunjukkan<br />
kehilangan daya pada R cr (R c dilihat dari sisi tegangan rendah)<br />
saja.<br />
Daya kompleks masukan :<br />
⇒<br />
⇒<br />
Icr<br />
= I r cos θ<br />
Vr<br />
Rcr<br />
=<br />
Icr<br />
;<br />
Vr<br />
=<br />
I r cos θ<br />
Pr<br />
Sr<br />
= Vr<br />
I r ; cos θ =<br />
Sr<br />
→ sin θ =<br />
I φr<br />
= I r sin θ<br />
3.1.5.2. Uji Hubung Singkat<br />
;<br />
Vr<br />
X φr<br />
=<br />
I φr<br />
2 2<br />
Sr<br />
− Pr<br />
Sr<br />
Vr<br />
=<br />
I r sin θ<br />
Pr<br />
=<br />
Vr<br />
I r<br />
(3.16)<br />
Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan tinggi dengan si`si<br />
tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan tinggi menjadi<br />
sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan<br />
rendah masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan<br />
tegangan tinggi dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu<br />
tegangan masukan V t , arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan<br />
P t . Tegangan masukan yang dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi<br />
inti menjadi kecil sehingga kita dapat membuat pendekatan<br />
dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan demikian kita dapat<br />
menggunakan rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.3.9.<br />
Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk mengatasi rugi-rugi<br />
124 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat<br />
dari sisi tegangan tinggi R et .<br />
2<br />
Pt<br />
Pt<br />
= It<br />
Ret<br />
→ Ret<br />
= ;<br />
2<br />
It<br />
Vt<br />
Vt<br />
= It<br />
Zet<br />
→ Z et = → X e =<br />
It<br />
2 2<br />
Z et − Ret<br />
(3.17)<br />
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan<br />
pengukuran terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak<br />
dapat memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masingmasing<br />
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing<br />
belitan diperlukan kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 .<br />
Kondisi ini sesungguhnya benar adanya jika transformator<br />
dirancang dengan baik.<br />
CONTOH-3.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt,<br />
50 Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />
V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />
tegangan tinggi<br />
V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />
tinggi. b). Hitung rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada beban<br />
penuh.<br />
Solusi :<br />
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c<br />
dan X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari<br />
tegangan rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />
2 2<br />
P 114<br />
(240×<br />
1.6) −114<br />
cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />
= 0.95<br />
VI 240×<br />
1.6<br />
240×<br />
1.6<br />
V 240 240<br />
V 240<br />
Rcr<br />
= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />
I c I cos θ 1.6×<br />
0.3<br />
I φ 1.6×<br />
0.95<br />
125
Transformator<br />
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />
R<br />
X<br />
ct<br />
φt<br />
2<br />
= a R<br />
= a<br />
2<br />
cr<br />
X<br />
⎛<br />
= ⎜<br />
⎝<br />
φr<br />
2<br />
2400 ⎞<br />
⎟<br />
240 ⎠<br />
= 15.8 kΩ<br />
× 500 = 50 kΩ<br />
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi<br />
tegangan tinggi ini memberikan<br />
R<br />
Z<br />
et<br />
et<br />
Pt<br />
=<br />
I<br />
2<br />
t<br />
V<br />
=<br />
I<br />
t<br />
t<br />
360<br />
=<br />
(10.4)<br />
=<br />
55<br />
10.4<br />
2<br />
= 3.33 Ω<br />
= 5.29 Ω<br />
→<br />
;<br />
X<br />
et<br />
=<br />
5.29<br />
2<br />
= 3.33<br />
2<br />
= 4.1Ω<br />
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti<br />
transformator hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban<br />
nol. Jadi rugi-rugi inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt.<br />
Rugi-rugi tembaga tergantung dari besar arus. Besar arus primer<br />
pada beban penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi<br />
pada percobaan hubung singkat, yaitu<br />
S 25000 2<br />
I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />
= I1<br />
Ret<br />
= (10.4)<br />
2 × 3.33 = 360 W<br />
V1<br />
2400<br />
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />
3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />
daya keluaran [watt]<br />
η =<br />
(3.18)<br />
daya masukan [watt]<br />
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugirugi<br />
daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />
126 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
rugi - rugi daya [watt]<br />
η =1 −<br />
(3.19)<br />
daya masukan [watt]<br />
Formulasi (3.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator<br />
rugi-rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji<br />
hubung singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke<br />
beban nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />
V2 beban nol −V2 beban penuh<br />
Regulasi Tegangan =<br />
V2 beban penuh<br />
V1<br />
/ a − V2<br />
=<br />
V2<br />
V1<br />
− aV2<br />
=<br />
aV2<br />
V1<br />
− V2′<br />
=<br />
V2′<br />
(3.25)<br />
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.16.9. maka (3.25)<br />
menjadi<br />
Regulasi Tegangan =<br />
V2 ′ + I′<br />
2 ( R e + jX e ) − V2′<br />
V2′<br />
(3.26)<br />
CONTOH-3.6 : Transformator pada Contoh-16.5. mencatu beban<br />
25 KVA pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b).<br />
Hitunglah regulasi tegangannya.<br />
Solusi :<br />
Total rugi daya : P<br />
a). Daya keluaran : P<br />
= 25000×<br />
0.8 = 20 KW<br />
0.474<br />
Efisiensi : η = 1−<br />
= 0.976<br />
20<br />
o<br />
c + cu<br />
= 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />
atau<br />
97.6 %<br />
b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />
′ −1<br />
o<br />
I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />
o<br />
o<br />
2400∠0<br />
+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />
− 2400<br />
Reg. Tegangan =<br />
2400<br />
0.022 atau 2.2 %<br />
127
Transformator<br />
3.1.7. Konstruksi Transformator<br />
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator<br />
dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah<br />
satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang<br />
lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi<br />
bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi<br />
dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan<br />
sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder<br />
berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat<br />
ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama.<br />
Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang<br />
tentu lebih tinggi.<br />
N R / 2 N R / 2<br />
N T / 2<br />
N T / 2<br />
N R / 4<br />
N T / 2<br />
N R / 2<br />
N T / 2<br />
N R / 4<br />
a). tipe inti.<br />
a). tipe sel.<br />
Gb.3.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />
N T : jumlah lilitan tegangan tinggi; N R : jumlah lilitan tegangan<br />
rendah.<br />
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satufasa<br />
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.3.9.a.<br />
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan<br />
sekunder yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung<br />
dekat dengan inti yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan<br />
tinggi. Konstruksi ini sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah<br />
isolasi lebih mudah ditangani. Gb.3.9.b. memperlihatkan<br />
konstruksi tipe sel. Konstruksi ini sesuai untuk transformator daya<br />
dengan arus besar. Inti pada konstruksi ini memberikan<br />
perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />
128 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
3.2. Transformator Pada <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa<br />
Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat<br />
dilakukan dengan dua cara yaitu :<br />
(a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa,<br />
(b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa.<br />
Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap<br />
kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran<br />
daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan<br />
lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga<br />
unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit<br />
transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan<br />
dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya<br />
beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat<br />
dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika<br />
penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah<br />
satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya.<br />
Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai<br />
pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui<br />
tiga unit transformator satu-fasa.<br />
3.2.1. Hubungan ∆−∆<br />
Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk<br />
melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan<br />
agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan<br />
pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan<br />
fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita<br />
sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa<br />
sekunder kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai<br />
tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita<br />
sebut V LP dan V LS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masingmasing<br />
kita sebut I LP dan I LS sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS .<br />
Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder V / V a .<br />
FP FS =<br />
Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />
129
V<br />
V<br />
LS<br />
Transformator<br />
VFP<br />
I LP I FP 3<br />
= = a ; = =<br />
(3.27)<br />
V I I 3 a<br />
LP 1<br />
U<br />
V<br />
FP<br />
LS<br />
V UO V XO<br />
FS<br />
X<br />
Y<br />
V VO<br />
V YO<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V UV = V UO<br />
V XY = V XO<br />
Gb.3.10. Hubungan ∆-∆.<br />
3.2.2. Hubungan ∆-Y<br />
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan fasa-fasa<br />
pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan tegangan<br />
fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi<br />
kita peroleh<br />
V<br />
V<br />
I<br />
I<br />
LP<br />
LS<br />
LP<br />
LS<br />
V<br />
=<br />
V<br />
FS<br />
I<br />
=<br />
I<br />
FP<br />
FP<br />
FS<br />
3<br />
=<br />
3<br />
=<br />
a<br />
3<br />
3<br />
a<br />
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />
(3.28)<br />
130 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
U<br />
X<br />
V<br />
V UO<br />
V XO<br />
Y<br />
V VO<br />
V YO<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V UV = V UO<br />
V ZO<br />
V XY<br />
V XO<br />
V YO<br />
Gb.3.11. Hubungan ∆-Y<br />
3.2.3. Hubungan Y-Y<br />
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.12. Tegangan fasa-fasa<br />
pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan<br />
perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut<br />
fasa 30 o . Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder<br />
adalah<br />
V<br />
V<br />
I<br />
I<br />
LP<br />
LS<br />
LP<br />
LS<br />
V<br />
=<br />
V<br />
I<br />
=<br />
I<br />
FP<br />
FS<br />
FP<br />
FS<br />
3<br />
= a<br />
3<br />
1<br />
=<br />
a<br />
(3.29)<br />
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />
perbedaan sudut fasa.<br />
131
Transformator<br />
U<br />
X<br />
V UO<br />
V XO<br />
V<br />
Y<br />
V VO<br />
V YO<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V WO<br />
V UV<br />
V ZO<br />
V XY<br />
V UO<br />
V XO<br />
V VO<br />
V YO<br />
Gb.3.12. Hubungan Y-Y<br />
3.2.4. Hubungan Y-∆<br />
Hubungan ini terlihat pada Gb.3.13. Tegangan fasa-fasa pimer<br />
sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut<br />
fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan<br />
tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi diperoleh<br />
V<br />
V<br />
I<br />
I<br />
LP<br />
LS<br />
LP<br />
LS<br />
V<br />
=<br />
V<br />
FP<br />
I<br />
=<br />
V<br />
FS<br />
FS<br />
FP<br />
3<br />
= a 3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
3<br />
a<br />
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />
(3.30)<br />
132 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
U<br />
V<br />
V UO<br />
V VO<br />
V XO<br />
V YO<br />
X<br />
Y<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V WO<br />
V UV<br />
V XY = V XO<br />
V UO<br />
V ZO<br />
V YO<br />
V VO<br />
Gb.3.13. Hubungan Y-∆<br />
CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />
(d) Y-∆ .<br />
Solusi :<br />
a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
= = = = 550 V ;<br />
a a 12<br />
I LP<br />
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />
3<br />
b). Untuk hubungan Y-Y :<br />
VFP<br />
VLP<br />
3 6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
3 = 3 = = = 550 V ;<br />
a 3 a 12<br />
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.<br />
133
Transformator<br />
c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />
a a 12<br />
I LP 10<br />
I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />
3 3<br />
d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />
VFP<br />
1 VLP<br />
VLS<br />
= VFS<br />
= = =<br />
a a 3<br />
I<br />
LS<br />
= I<br />
FS<br />
3 = aI<br />
FP<br />
3 = aI<br />
1<br />
12<br />
LP<br />
6600<br />
= 318 V ;<br />
3<br />
3 = 12 × 10 ×<br />
3 = 208 A .<br />
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan<br />
daya masukan.<br />
S keluaran<br />
= Smasukan<br />
= VLP<br />
I LP<br />
3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />
3.3. Transformator Tiga Belitan<br />
3.3.1. Transformator Ideal Tiga Belitan<br />
Hubungan belitan primer, sekunder, dan tertier tansformator satufasa<br />
tiga belitan terlihat pada Gb.3.14. Konvensi titik kita gunakan<br />
di sini.<br />
+<br />
I 2<br />
I 1 +<br />
N 2 V<br />
− 2<br />
V 1 N 1<br />
+<br />
I 3<br />
−<br />
N 3 V 3<br />
−<br />
Gb.3.14. Hubungan belitan transformator tiga belitan.<br />
Indeks 1, 2, 3 menunjukkan primer, sekunder, tertier.<br />
V 1 , V2<br />
, V3<br />
: tegangan.<br />
I 1 , I2,<br />
I3<br />
: arus, digambarkan masuk pada ujung belitan<br />
yang bertanda titik.<br />
N 1 , N2,<br />
N3<br />
: jumlah lilitan.<br />
134 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan<br />
transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah<br />
lilitan adalah:<br />
V<br />
V<br />
1<br />
2<br />
N<br />
=<br />
N<br />
1<br />
2<br />
;<br />
V<br />
V<br />
2<br />
3<br />
N<br />
=<br />
N<br />
2<br />
3<br />
;<br />
V<br />
V<br />
1<br />
3<br />
N<br />
=<br />
N<br />
1<br />
3<br />
(3.31)<br />
Kita juga menganggap tidak terjadi fluksi bocor dan permeabilitas<br />
magnetik inti inti yang sempurna, sehingga<br />
N 1 I1<br />
+ N 2I<br />
2 + N3I3<br />
= 0<br />
(3.32)<br />
Contoh-3.8: Sebuah transformator tiga belitan (Gb.3.14), memiliki<br />
jumlah lilitan N 1 = 1000,<br />
N 2 = 500, N3<br />
= 2000 .Belitan primer<br />
o<br />
terhubung ke sumber tegangan ideal, V 1 = 1000∠0<br />
V . Belitan<br />
sekunder terhubung ke resistor 20 Ω. Belitan tertier terhubung ke<br />
induktor dengan reaktansi 100 Ω. Hitung arus dan daya di belitan<br />
primer, I 1 dan S 1.<br />
Solusi:<br />
Arus di belitan primer dapat dihitung setelah arus di belitan<br />
sekunder dan tertier diperoleh; arus-arus ini adalah arus beban.<br />
V<br />
2<br />
N<br />
=<br />
N<br />
2<br />
1<br />
N<br />
V<br />
3<br />
3 =<br />
N<br />
1<br />
V<br />
1<br />
=<br />
500<br />
1000<br />
× 1000∠0<br />
2000<br />
V1<br />
= × 1000∠0<br />
1000<br />
o<br />
o<br />
= 500∠0<br />
o<br />
= 2000∠0<br />
Dengan referensi arah arus seperti tergambar pada Gb.16.1, kita<br />
dapatkan<br />
o<br />
V2<br />
500∠0<br />
o<br />
− I2<br />
= = = 25∠0<br />
= 25 + j0<br />
A<br />
Z<br />
o<br />
2 20∠0<br />
o<br />
V3<br />
2000∠0<br />
o<br />
− I3<br />
= = = 20∠ − 90 = 0 − j20<br />
A<br />
Z<br />
o<br />
3 100∠90<br />
Arus di belitan primer dihitung dengan menggunakan formulasi<br />
(3.32) adalah<br />
o<br />
V<br />
V<br />
135
Transformator<br />
N I<br />
1 1<br />
⇒ I<br />
+ N I<br />
1<br />
2<br />
2<br />
− N<br />
=<br />
+ N I<br />
2<br />
1<br />
3 3<br />
I2<br />
− N3I<br />
N<br />
= 0<br />
= 12,5 − j40<br />
= 41,9∠ − 72,6<br />
3<br />
500×<br />
25 + 2000×<br />
( − j20)<br />
=<br />
1000<br />
Daya kompleks yang masuk di belitan adalah<br />
∗<br />
o<br />
S 1 = V1<br />
I1<br />
= 1000∠0<br />
× 41,9∠ + 72,6 = 41,9∠72,6<br />
o<br />
o<br />
A<br />
o<br />
kVA<br />
Karena kita menganggap transformator ideal, tidak ada rugi-rugi<br />
daya pada transformator, daya masuk di belitan primer harus<br />
sama dengan jumlah daya keluar dari belitan sekunder dan<br />
tertier. Kita jakinkan hal itu sebagai berikut<br />
S<br />
S<br />
2<br />
3<br />
⇒ S<br />
= V<br />
( −I<br />
= V ( −I<br />
2<br />
2<br />
3<br />
+ S<br />
3<br />
∗<br />
2)<br />
∗<br />
3)<br />
= 500∠0<br />
o<br />
= 2000∠0<br />
Ternyata benar S 2 + S3<br />
= S1<br />
× 25 = 12500 VA<br />
o<br />
× 20∠ + 90<br />
= j40000<br />
VA<br />
= 12500 + j40000<br />
= 41900 VA = 41,9 kVA<br />
o<br />
3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan<br />
Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung<br />
impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita<br />
nyatakan sebagai Z 1 = R1<br />
+ jX1<br />
, Z 2 = R2<br />
+ jX 2 , dan<br />
Z 3 = R3<br />
+ jX3<br />
. Selain itu terdapat rugi-rugi inti yang dalam<br />
rangkaian dinyatakan dengan cabang parallel R φ dan X φ . Jika<br />
elemen-elemen ini tidak kita abaikan dan kita nyatakan juga dalam<br />
per-unit, maka rangkaian pada Gb.3.14. akan berbentuk seperti<br />
Gb.3.15.<br />
136 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
2<br />
I 1<br />
1<br />
2 X 2 I 2<br />
4<br />
+<br />
1 X 1<br />
3<br />
o ∼<br />
1∠0<br />
3 X 3<br />
R<br />
I<br />
φ X φ<br />
3<br />
−<br />
j1, 25<br />
Gb.3.15. Rangkaian transformator nyata satu-fasa<br />
tiga belitan.<br />
Transformator<br />
Contoh-3.9: [1] Hitunglah I 1 pada contoh-3.8 jika diketahui pula<br />
Solusi:<br />
R = R<br />
X<br />
R<br />
1<br />
1<br />
φ<br />
2<br />
= X<br />
= X<br />
φ<br />
= R<br />
2<br />
3<br />
= X<br />
= ∝<br />
= 0,01 pu<br />
3<br />
= 0,03 pu<br />
Dengan R φ = X φ = ∝ , jika kita melihat ke belitan primer, kita<br />
dapatkan<br />
( R2<br />
+ jX 2 + 4) ( R3<br />
+ jX 3 + j1,25)<br />
Z1<br />
pu = R1<br />
+ jX1<br />
+<br />
( R2<br />
+ jX 2 + 4) + ( R3<br />
+ jX 3 + j1,25)<br />
(4,01 + j0,03)<br />
(0,01+<br />
j1,28)<br />
= 0,01+<br />
j0,03<br />
+<br />
(4,02 + j1,31)<br />
o<br />
= 0,38654 + j1,184<br />
= 1,245∠71,92<br />
Maka<br />
o<br />
1 o<br />
V1<br />
∠0<br />
I 1pu<br />
= =<br />
= 0,803∠<br />
− 71,92<br />
Z<br />
o<br />
1,245∠71,92<br />
1<br />
pu<br />
Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan<br />
o<br />
traformator ideal yang memberikan I 1 = 0,838∠<br />
− 72,6 pu .<br />
Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita<br />
∗<br />
tinjau dari sisi daya dimana S = V I berarti pula ada perbedaan<br />
daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup<br />
besar.<br />
137
Transformator<br />
3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga<br />
Transformator Satu-fasa<br />
Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat<br />
menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan.<br />
Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu<br />
memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi<br />
dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan<br />
primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan<br />
tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau ∆. Pada<br />
diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga<br />
belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer<br />
terhubung ∆, sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian<br />
ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung ∆ mencatu<br />
beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis<br />
tersebut.<br />
Generator<br />
G<br />
beban<br />
∆<br />
1<br />
2<br />
3 Y<br />
∆<br />
CB<br />
Saluran transmisi<br />
Gb.3.16. Penggalan diagram satu garis Gb.1.11 untuk<br />
memperlihatkan hubungan transformator tiga-fasa tiga belitan.<br />
3.4.1. Tinjauan Pada Sisi Primer Terhubung Y, dengan Netral<br />
Ditanahkan Melalui Impedansi<br />
Kita akan melihat belitan primer terlebih dulu, dengan<br />
menganggap belitan sekunder dan belitan tertier terbuka. Pada<br />
Gb.3.16. belitan ini terhubung ∆. Namun dalam pembahasan<br />
transformator ini kita akan melihat sisi primer yang terhubung Y<br />
lebih dulu dengan titik netral yang dihubungkan ke tanah melalui<br />
sebuah impedansi. Karena sisi sekunder dan tersier terbuka, maka<br />
setiap transformator satu-fasa yang tersedia (untuk dibangun<br />
menjadi transformator tiga-fasa) mempunyai diagram rangkaian<br />
seperti pada Gb.3.17.<br />
138 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
I 1<br />
1<br />
+ R 1 X 1<br />
2<br />
3<br />
V 1<br />
R φ<br />
X φ<br />
Gb.3.17. Sisi primer transformator satu-fasa tiga belitan dengan<br />
sisi sekunder dan tersier terbuka.<br />
Dari terminal primer terlihat impedansi, yang kita sebut impedansi<br />
fasa primer Z f1 , sebesar<br />
Z f 1 = Z 1 + Z φ = R 1 + jX 1 + Z φ<br />
(3.33)<br />
dengan<br />
Rφ<br />
× jX φ<br />
Z φ =<br />
(3.34)<br />
Rφ<br />
+ jX φ<br />
Impedansi Z f1 inilah kita hubungkan Y membentuk sisi primer<br />
transformator tiga-fasa. Dalam membentuk hubungan Y ini, di<br />
titik netral kita sambungkan satu impedansi Z n1 untuk<br />
pentanahan. Dengan demikian kita memperoleh rangkaian tigafasa<br />
abc seperti terliht pada Gb.3.18.<br />
a<br />
Z f 1<br />
Va1<br />
b<br />
Z f 1<br />
V b1<br />
V c1<br />
n<br />
Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa<br />
tiga belitan.<br />
Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah<br />
c<br />
Z n1<br />
Z f 1<br />
139
⎡V<br />
⎢<br />
⎢V<br />
⎢<br />
⎣<br />
V<br />
a1<br />
b1<br />
c1<br />
⎤ ⎡(<br />
Z<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ = ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
⎦ ⎣<br />
f 1<br />
Z<br />
Z<br />
+ Z<br />
n1<br />
n1<br />
n1<br />
)<br />
( Z<br />
Z<br />
f 1<br />
Z<br />
n1<br />
+ Z<br />
n1<br />
n1<br />
)<br />
Transformator<br />
Z n1<br />
⎤ ⎡I<br />
a1<br />
⎤<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
Z n1<br />
⎥ ⎢Ib1<br />
⎥ (3.35)<br />
( Z + ⎥ ⎢ ⎥<br />
f 1 Z n1<br />
)<br />
⎦ ⎣<br />
Ic1<br />
⎦<br />
Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,<br />
kita peroleh<br />
[ ]<br />
−1<br />
[ Z ] = [ T] [ Z ] [ T]<br />
012 1 abc 1<br />
⎡ ( Z f 1 + 3Z<br />
n1<br />
) 0 0 ⎤<br />
⎢<br />
⎥<br />
Z 012 primer = ⎢ 0 Z f 1 0 ⎥ (3.36.a)<br />
⎢<br />
⎥<br />
⎣<br />
0 0 Z f 1)<br />
⎦<br />
Catatan: indeks 012 yang menunjukkan impedansi urutan, ditulis<br />
dengan huruf tebal untuk membedakan dengan indeks 1<br />
yang menunjuk pada belitan primer.<br />
3.4.2. Tinjauan Pada Sisi Sekunder dan Tersier Terhubung Y,<br />
dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi<br />
Persamaan (3.36.a) adalah impedansi urutan dilihat dari sisi<br />
primer. Jika kita memperlakukan sisi sekunder dan tersier sama<br />
seperti sisi primer, yaitu membuatnya terhubung Y dengan<br />
impedansi pada titik netralnya, kita akan mendapatkan rangkaian<br />
belitan sekunder dan tersier seperti terlihat pada Gb.3.19. Pada<br />
gambar ini Z f2 dan Z f3 adalah impedansi fasa sekunder dan<br />
impedansi fasa tersier.<br />
Z f 2<br />
a<br />
Z f 3<br />
a<br />
Z f 2<br />
b<br />
V a2<br />
Z f 3<br />
b<br />
V a3<br />
Z f 2<br />
Z n2<br />
c<br />
n<br />
Sekunder<br />
V cs<br />
V b2<br />
Z f 3<br />
Z n3<br />
n<br />
Tersier<br />
Gb.3.19. Hubungan Y sisi sekunder dan tersier.<br />
c<br />
V c3<br />
V b3<br />
140 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada<br />
sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan<br />
tertier yaitu<br />
⎡ Z + 3Z<br />
0 0 ⎤<br />
[ ]<br />
Z 012 sekunder =<br />
[ ]<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
f 2<br />
0<br />
dan<br />
0<br />
n2<br />
⎡ Z f 3 + 3Zn3<br />
⎢<br />
Z 012 tersier = ⎢ 0<br />
⎢<br />
⎣<br />
0<br />
Z f 2<br />
0<br />
0<br />
Z f 3<br />
0<br />
⎥<br />
0 ⎥<br />
Z ⎥<br />
f 2⎦<br />
0 ⎤<br />
⎥<br />
0 ⎥<br />
Z ⎥<br />
f 3⎦<br />
(3.36.b)<br />
(3.36.c)<br />
Persamaan (3.36.a), (3.36.b), dan (3.36.c) memberi jalan untuk<br />
menggambarkan rangkaian impedansi urutan taransformator.<br />
Kita kumpulkan impedansi urutan sebagai berikut:<br />
Z +<br />
01 = Z f 1 + 3Z<br />
n1;<br />
Z 02<br />
= Z f 2 + 3Z<br />
n2<br />
; Z 03<br />
= Z f 3 3Z<br />
n3<br />
(3.37.a)<br />
dan seperti (3.33)<br />
Z<br />
Z 11 = Z f 1; Z12<br />
= Z f 2 ; Z13<br />
= Z f 3 (3.37.b)<br />
Z 21 = Z f 1; Z 22<br />
= Z f 2 ; Z 23<br />
= Z f 3 (3.37.c)<br />
f 1 = Z1<br />
+ Z φ ; Z f 2 = Z 2 + Z φ;<br />
Z f 3 = Z3<br />
+ Z φ (3.37.d)<br />
Persamaan pertama (3.37.a) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />
urutan nol seperti pada Gb.3.20. Terminal 1, 2, 3 adalah terminal<br />
primer, sekunder, dan tersier.<br />
1 3Z<br />
n 1<br />
Z 1<br />
Z φ<br />
Z2<br />
3Z<br />
n2 2<br />
Z3<br />
3Z<br />
n 3 3<br />
Gb.3.20. Rangkaian urutan nol transformator tiga<br />
belitan.<br />
Persamaan pertama (3.37.b) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />
urutan positif seperti pada Gb.3.21.<br />
141
Transformator<br />
1 Z1<br />
Z2<br />
2<br />
Z 3<br />
3<br />
Z φ<br />
Gb.3.21. Rangkaian urutan positif transformator tiga belitan.<br />
Persamaan pertama (3.37.c) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />
urutan negatif seperti pada Gb.3.22.<br />
1 Z1<br />
Z φ<br />
Z2<br />
2<br />
Z 3<br />
3<br />
Gb.3.22. Rangkaian urutan negatif transformator tiga belitan.<br />
3.4.3. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />
Terhubung Y Dengan Ketiga Titik Netral Ditanahkan Langsung<br />
Jika titik netral ditanahkan secara langsung (solidly grounded),<br />
baik di sisi primer maupun sekunder dan tersier, maka<br />
Z n1 = Z n2<br />
= N n3<br />
= 0 . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang<br />
berubah hanyalah rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif<br />
dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi sama<br />
dengan rangkaian urutan yang lain.<br />
3.4.4. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />
Terhubung Y, dengan Ketiga Titik Netral Tidak Ditanahkan.<br />
Jika titik netral tidak di tanahkan maka Z n1 = Z n2<br />
= N n3<br />
=∝ .<br />
Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah juga hanya<br />
rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak<br />
berubah. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka baik di sisi<br />
primer, sekuder, maupun tersier.<br />
142 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />
dengan Ketiga Sisi Terhubung <br />
Transformator<br />
Hubungan ∆ dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika<br />
ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung<br />
Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi<br />
terbuka. Jadi belitan yang terhubung ∆ memiliki rangkaian urutan<br />
nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan<br />
identik).<br />
3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />
dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan<br />
Berbeda.<br />
Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada<br />
diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer<br />
terhubung ∆, sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan<br />
langsung, dan sisi tersier terhubung ∆. Rangkaian urutan nol sisi<br />
primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol<br />
sekunder tidak mengandung 3Z<br />
n 2<br />
Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari<br />
transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y<br />
maupun ∆. Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang<br />
terhubung ∆: hubungan ini adalah hubungan yang membentuk<br />
loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ∆ ini tidak<br />
benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di<br />
belitan ini.<br />
Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9<br />
dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubunganhubungan<br />
belitan sebagai berikut:<br />
Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui<br />
impedansi Z n = j0, 04<br />
Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung.<br />
Belitan-3: dihubungkan ∆<br />
Gambarkanlah rangkaian urutan.<br />
Solusi:<br />
Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah:<br />
143
R = R<br />
X<br />
R<br />
1<br />
1<br />
φ<br />
2<br />
= X<br />
= X<br />
φ<br />
= R<br />
2<br />
3<br />
= X<br />
= ∝<br />
= 0,01 pu<br />
Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20)<br />
1 3Z<br />
n 1<br />
Z 1<br />
Z φ<br />
3<br />
= 0,03 pu<br />
Z2<br />
3Z<br />
n2 2<br />
Z3<br />
3Z<br />
n 3<br />
Transformator<br />
3<br />
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian<br />
urutan nol menjadi<br />
1 j0,<br />
12 0,01<br />
+ j0,<br />
03<br />
0,01+<br />
j0,03<br />
0,01<br />
+ j0,03<br />
2<br />
3<br />
Rangkaian urutan positif adalah (Gb.3.21)<br />
1 Z1<br />
Z φ<br />
Z2<br />
2<br />
Z 3<br />
3<br />
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian<br />
urutan positif menjadi<br />
1 0,01+<br />
j0,<br />
03<br />
0,01<br />
+ j0,03<br />
0,01+<br />
j0,03<br />
2<br />
3<br />
Rangkaian urutan negatif sama dengan rangkaian urutan positif.<br />
144 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-, Transformator<br />
Tiga-fasa Dua Belitan<br />
Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun ∆-∆, diagram<br />
fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda<br />
fasa. Akan tetapi pada hubungan Y-∆ atau ∆-Y terjadi pergeseran<br />
fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator<br />
tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini<br />
terlihat V a1<br />
sefasa Vab2<br />
, V b1<br />
sefasa Vbc<br />
2 , V c1<br />
sefasa Vca2<br />
.<br />
Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan<br />
tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung ∆. Kalau kita<br />
buat rangkaian ekivalen Y dari ∆, hal tersebtu berarti tegangan fasnetral<br />
di sisi sekunder berbeda fasa 30 o dengan tegangan fasa-netral<br />
di sisi primer.<br />
a<br />
a<br />
V ab2<br />
Va1<br />
V b1<br />
V c1<br />
b<br />
c<br />
b<br />
c<br />
V bc2<br />
V ca2<br />
n<br />
Gb.3.23. Hubungan Y-∆ transformator tiga-fasa.<br />
Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-∆<br />
ataupun ∆-Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi<br />
ketentuan sebagai berikut:<br />
Penamaan fasa baik pada hubugan Y-∆ ataupun ∆-Y haruslah<br />
sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan<br />
tinggnya mendahului 30 o dari pasangan di tegangan rendahnya.<br />
Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu<br />
bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi<br />
tertinggal 30 o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya.<br />
Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.<br />
145
Transformator<br />
3.5. <strong>Sistem</strong> Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator<br />
Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga<br />
terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen<br />
memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan<br />
sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih<br />
sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah<br />
dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada<br />
sistem tiga-fasa.<br />
Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah<br />
sebagai berikut:<br />
a) Tetapkan daya 3 fasa basis, kita sebut S 3 f basis . Penetapan<br />
daya basis ini biasanya mengambil angka-angka yang mudah,<br />
seperti 1, 10, 100, 1000. Karena untuk analisis sistem tiga-fasa<br />
kita menggunakan model satu-fasa maka harus kita hitung daya<br />
basis untuk satu-fasa, yaitu:<br />
S3 f basis<br />
S f basis =<br />
3<br />
b) Tetapkan tegangan basis di bus tertentu sebagai referensi, yaitu<br />
tegangan nominal. Tegangan nominal adalah nilai tegangan<br />
yang dirancang untuk sistem bekerja pada pembebanan<br />
seimbang. Tegangan nominal fasa-fasa, V ff di Indonesia<br />
misalnya 20 kV, 150 kV, 500 kV. Karena kita melakukan<br />
analisis menggunakan model rangkaian satu-fasa maka kita<br />
tetapkan tegangan basis fasa-netral di bus ini yaitu<br />
V = V / 3 .<br />
fn basis<br />
ff basis<br />
c) Dalam menentukan besaran-besaran basis, kita menganggap<br />
semua saluran dan transformator adalah ideal. Dengan demikian<br />
maka bus-bus yang terhubung langsung oleh saluran<br />
transmisitanpa melalui transformator akan memiliki tegangan<br />
basis yang sama.<br />
Tegangan basis bus-bus yang dihubungkan oleh saluran<br />
transmisi melewati suatu transformator berbanding lurus<br />
dengan perbandingan jumlah lilitan di kedua sisi transformator.<br />
Dengan demikian maka nilai per-unit tegangan di kedua sisi<br />
transformator tidak lagi tergantung dari tegangan transformator.<br />
146 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian<br />
tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.<br />
S f basis<br />
I basis =<br />
V fn basis<br />
e) Impedansi basis di tiap bagian sistem adalah tegangan basis<br />
dibagi arus basis<br />
V fn basis<br />
Z basis =<br />
I f basis<br />
Walaupun demikian, relasi ini dapat kita uraikan sebagai berikut:<br />
Z<br />
basis<br />
V<br />
=<br />
I<br />
=<br />
fn basis<br />
f basis<br />
( V / 3)<br />
ff basis<br />
S<br />
=<br />
S<br />
f basis<br />
V<br />
f basis<br />
2<br />
fn basis<br />
/ V<br />
V<br />
=<br />
3S<br />
fn basis<br />
2<br />
ff basis<br />
f basis<br />
V<br />
=<br />
S<br />
V<br />
=<br />
S<br />
2<br />
fn basis<br />
f basis<br />
2<br />
ff basis<br />
3 f basis<br />
Relasi terakhir ini yang biasa digunakan menentukan impedansi<br />
basis, yaitu<br />
Z<br />
basis<br />
V<br />
=<br />
S<br />
2<br />
ff basis<br />
3 f basis<br />
f) Besaran dalam per-unit adalah besaran sesungguhnya dibagi<br />
dengan besaran basis. Dengan besaran dalam per-unit kita<br />
gambarkan diagram rangkaian model satu-fasa.<br />
Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam perunit<br />
dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan<br />
berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2<br />
S 3 f basis = 100<br />
MVA<br />
dan tegangan basis fasa-fasa<br />
V ff<br />
basis<br />
= 345<br />
kV<br />
147
1 ∆ Y 2 3 Y ∆ 4<br />
Z = 12,8 + j64 Ω<br />
Y/2 = j280 mS<br />
Transformator<br />
Transformator T 1<br />
1 trafo 3 fasa, 120 MVA<br />
35 kV ∆, 350 kV Y<br />
Z=(1+j8%) pada ratingnya<br />
Transformator T 2<br />
3 trafo 1 fasa, 30 MVA<br />
200 kV / 20 kV<br />
Z=(1+j7%) pada ratingnya<br />
Solusi:<br />
a) Kita harus membuat rangkaian ekivalen model 1 fasa dalam<br />
per-unit. Oleh karena itu besaran-besaran harus dinyatakan<br />
sebagai besaran fasa-netral. Daya basis 3 fasa telah<br />
ditentukan untuk bus-2 dengan memilih angka yang mudah<br />
yaitu<br />
S 3 f basis = 100<br />
MVA<br />
Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa<br />
adalah<br />
S fn basis<br />
100 = = 33,3 MVA<br />
3<br />
Daya basis per fasa ini berlaku untuk semua bus.<br />
Tegangan nominal sistem ini adalah 345 kV fasa-fasa. Tegangan<br />
basis fasa-netral adalah<br />
V nominal 345<br />
V = ff<br />
fn basis<br />
= = 199 kV<br />
3 3<br />
Rangkaian ekivalen model satu-fasa yang harus kita bangun harus<br />
menggunakan basis ini, artinya semua besaran akan dilihat dari<br />
sisi tegangan tinggi, termasuk impedansi-impedansi di sisi<br />
tegangan rendah transformator. Rangkaian ekivalen saluran<br />
transmisinya adalah rangkaian ekivalen π dengan ujung di bus 2<br />
terhubunhg ke transformator T 1 dan ujung di bus-3 terhubung ke<br />
transformator T 2 . Rangkaian ekivalen sistem ini akan berbentuk<br />
seperti berikut:<br />
148 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
1 2 3 4<br />
Z T1<br />
Y<br />
2<br />
Z s<br />
Y<br />
2<br />
Z T 2<br />
1, 2, 3, 4: nomer bus<br />
Z T1 : impedansi trafo T 1 ; Z T 2 : impedansi trafo T 2<br />
Y<br />
Z s ; impedansi seri saluran transmisi; : admitansi saluran transmisi<br />
2<br />
Kita lihat situasi di setiap bus sebagai berikut:<br />
Bus-2. Daya basis di bus ini adalah<br />
S fn basis<br />
tegangan basis V fn basis. bus.2<br />
= V fn basis = 199 kV<br />
= 33,3 MVA dan<br />
Arus basis bus-2:<br />
S f basis 33,3<br />
I f basis. bus.2<br />
= = = 0,167 kA<br />
V fn basis 199<br />
Impedansi basis:<br />
Z basis.<br />
bus.2<br />
V fn basis<br />
=<br />
I f basis<br />
=<br />
199<br />
0,167<br />
= 1190<br />
Ω<br />
Bus-3. Daya basis di bus ini juga S = 33,3 MVA Bus ini<br />
fbasis<br />
terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu<br />
tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu<br />
V fn basis. bus.3<br />
= 199 kV<br />
Arus basis bus-3:<br />
S f basis 33,3<br />
I f basis. bus.3<br />
= = = 0,167 kA<br />
V fn basis 199<br />
Impedansi basis bus-3:<br />
V fn basis<br />
Z basis.<br />
bus.3<br />
=<br />
I f basis<br />
=<br />
199<br />
0,167<br />
= 1190 Ω<br />
Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah<br />
ditetapkan yaitu S fn basis = 33,3 MVA . Bus ini terhubung pada<br />
transformator Y-∆ dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV<br />
149
Transformator<br />
: 35 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 kV : 35 / 3 kV .<br />
Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu<br />
V fn bus.1<br />
35 / 3<br />
V fn basis. bus.1<br />
= × V fn basis.<br />
bus.2<br />
= × 199 = 19,9 kV<br />
V fn bus.2<br />
350 / 3<br />
Arus basis di bus-1:<br />
S f basis 33,3<br />
I f basis. bus.1<br />
= = = 1,674 kA<br />
V fn basis 19,9<br />
Impedansi basis:<br />
V fn basis<br />
Z basis bus.1<br />
=<br />
I f basis<br />
=<br />
19,9<br />
1,674<br />
= 11,9<br />
Ω<br />
fbasis<br />
Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah<br />
ditetapkan yaitu S = 33,3 MVA . Bus ini bertegangan fasafasa<br />
20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung ∆.<br />
Ini berarti tegangan fasa–netral adalah 20 / 3 kV , walaupun tak<br />
terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan<br />
tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral<br />
350 / 3 = 200 kV . Tegangan basis di bus-4 ini adalah<br />
V fn bus.4<br />
20 / 3<br />
V fn basis. bus.4<br />
= × V fn basis.<br />
bus.3<br />
= × 199 = 11,5<br />
V fn bus.3<br />
200<br />
kV<br />
Arus basis bus-4:<br />
S f basis 33,3<br />
I f basis.b us.4<br />
= = = 2,889<br />
V fn basis 11,5<br />
kA<br />
Impedansi basis:<br />
V f basis<br />
Z basis bus−<br />
4 =<br />
I f basis<br />
=<br />
11,5<br />
2,889<br />
= 3,97<br />
Ω<br />
Untuk melihat dengan lebih jelas, hasil perhitungan di atas kita<br />
kumpulkan dalam satu tabel seperti di bawah ini.<br />
150 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
Bus<br />
S basis<br />
MVA<br />
V basis<br />
kV<br />
I basis<br />
kA<br />
Z basis<br />
1 33,3 19,9 1,674 11,9<br />
2 33,3 199 0,167 1190<br />
3 33,3 199 0,167 1190<br />
4 33,3 11,5 2,889 3,97<br />
b) Saluran Transmisi. Impedansi dan admitansi saluran dalam<br />
per-unit dihitung dengan menggunakan impedansi dan<br />
admitansi basis di bus-2 atau bus-3<br />
Z sal 12,8 + j64<br />
Z sal pu = = = 0,0108 + j0,0538<br />
pu<br />
Z basis 1190<br />
Y<br />
−3<br />
sal basis pu j0,0280×<br />
10<br />
=<br />
= j0,333<br />
pu<br />
2 1/1190<br />
c) Impedansi transformator.<br />
Nilai dalam per-unit impedansi transformator yang<br />
diberikan adalah:<br />
T 1 :<br />
Z T 1pu<br />
= 0,01+<br />
j0,08<br />
pu<br />
Ω<br />
( pada ratingnya)<br />
T 2 :<br />
Z T 2 pu = 0,01+<br />
j0,07<br />
pu<br />
( pada ratingnya)<br />
Impedansi ini dinyatakan dalam per-unit dengan basis rating<br />
masing-masing transformator.<br />
Transformator T 1 . Transformator T 1 adalah sebuah<br />
transformator tiga-fasa, dua belitan. Rating daya T 1 adalah 120<br />
MVA, dengan tegangan nominal (sisi tegangan tinggi) 345 kV<br />
(fasa-fasa). Hal ini berarti bahwa basis yang di gunakan untuk<br />
menghitung Z T1pu adalah Z basis rating yaitu<br />
Z<br />
basis rating<br />
V<br />
=<br />
S<br />
2<br />
ff rating<br />
3 f rating<br />
Ω<br />
151
Transformator<br />
Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu<br />
Z T 1 = 0,01+<br />
j0,08<br />
pu . Impedansi ini harus kita ubah<br />
menggunakan basis sistem yaitu S 3 f basis = 100 MVA dan<br />
tegangan nominal 345 kV dan Z basis di bus-2 (tempat<br />
dihubungkannya T 1 ) yang telah dihitung sebesar 1190 Ω.<br />
Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita<br />
lakukan sebagai berikut:<br />
Z<br />
T1basis sistem<br />
(0,01+<br />
j0,08)<br />
× Z<br />
=<br />
Z<br />
basis sistem<br />
= (0,01+<br />
j0,08)<br />
×<br />
basis rating<br />
2<br />
( V / S )<br />
ff rating<br />
2<br />
( 345 /120)<br />
= (0,01+<br />
j0,08)<br />
×<br />
1190<br />
= (0,0083+<br />
j0,0667)<br />
pu<br />
1190<br />
3 f rating<br />
Transformator T 2 . Transformator T 2 adalah transformator 3<br />
fasa yang dibangun dari 3 tansformator 1 fasa dua belitan.<br />
Rating daya trafo ini adalah 30 MVA dengan tegangan rating<br />
200 kV. Sisi primer dihubungkan Y agar sesuai dengan tegangan<br />
sistem di sisi tegangan tinggi (345 kV), dan sisi sekunder<br />
dihubungkan ∆ dengan tegangan sekunder 20 kV. Impedansi<br />
yang diberikan adalah<br />
Z T 2 = 0,01+<br />
j0,07<br />
pu<br />
( pada ratingnya)<br />
Impedansi ini harus kita ubah dengan menggunakan basis<br />
sistem.<br />
2<br />
(0,01+<br />
j0,07)<br />
× ( 200 / 30)<br />
Z T 2 basis sistem =<br />
1190<br />
= (0,0112 + j0,0784)<br />
pu<br />
Dengan hasil perhitungan ini, rangkaian ekivalen satu-fasa<br />
menjadi sebagai berikut:<br />
152 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
1 2<br />
0,0108<br />
+ j0,0538<br />
3 4<br />
0,0083+<br />
j0,0667<br />
j0,333<br />
0,0112 + j0,0784<br />
j0,333<br />
3.6. Transformator Polifasa<br />
Dari transformator satu-fasa dapat pula dibangun transformator<br />
polifasa. Berikut ini kita lihat contoh transformator enam fasa yang<br />
dibangun dari enam transformator satu-fasa. Setiap transformator<br />
satu-fasa ini mempunyai rating masing-masing.<br />
Contoh-3.12: [1] Enam buah transformator satu-fasa dua belitan<br />
yang identik dihubungkan sebagai berikut:<br />
- dua-dua belitan primer di hubungkan paralel,<br />
- kemudian tiga set paralel tersebut dihubungkan membentuk<br />
sisi primer transformator 3 fasa yang terhubung Y.<br />
- enam belitan sekunder dari enam transformator dihubungkan<br />
membentuk sisi sekunder transformator 6 fasa.<br />
Rating setiap transformator adalah 13,8 kV / 138 kV, 15 MVA, X<br />
= 7% (pada ratingnya). Tegangan nominal fasa-netral dari sistem<br />
adalah 13,2 kV pada bus tegangan rendah yang terhubung Y.<br />
Dengan menggunakan daya 3 fasa basis S 3 f = S6<br />
f = 100 MVA .<br />
(a) Hitung semua besaran basis di kedua sisi transformator.<br />
(b) Jika sisi primer terhubung pada sumber seimbang dengan<br />
tegangan fasa-netral Van<br />
= 13,2 kV hitunglah tegangan fasa<br />
dan tegangan urutan di kedua sisi transfomator.<br />
(c) Gambarkan rangkaian urutan positif dengan X dalam per-unit.<br />
Solusi:<br />
Tranformator yang terbentuk terhubung Y- yang skema hubungan<br />
serta diagram fasor tegangannya terlihat pada gambar berikut.<br />
153
Transformator<br />
a<br />
A<br />
c<br />
b<br />
D<br />
C<br />
E<br />
F<br />
b<br />
a<br />
c<br />
F<br />
E<br />
D<br />
C<br />
B<br />
A<br />
B<br />
(a)<br />
Besaran-besaran basis:<br />
S f<br />
Bus tegangan rendah<br />
100<br />
basis = = 33,3 MVA<br />
3<br />
V fn basis<br />
= 13,2 kV<br />
S f basis<br />
I f basis =<br />
V fn basis<br />
V fn basis<br />
Z basis = =<br />
I f basis<br />
33,3<br />
= = 2,52 A<br />
13,2<br />
13,2<br />
2,52<br />
= 5,23 Ω<br />
Bus tegangan tinggi<br />
100<br />
S f basis = = 16,7 MVA<br />
6<br />
Jika sisi tegangan V an =13,2 kV:<br />
V AN<br />
V fn basis<br />
⎛ 138 ⎞<br />
= 13 ,2 ⎜ ⎟ = 132 kV<br />
⎝13,8<br />
⎠<br />
= 132 kV<br />
S f basis 16,7<br />
I f basis = = = 0,126 A<br />
V fn basis 132<br />
V fn basis<br />
Z basis = =<br />
I f basis<br />
132<br />
0,126<br />
= 1045 Ω<br />
154 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Transformator<br />
(b)<br />
Dengan sumber 13,2 kV:<br />
Bus tegangan rendah<br />
Tegangan fasa-netral:<br />
V<br />
an<br />
= Vbn<br />
= Vcn<br />
= 13,2 kV<br />
Dalam per-unit:<br />
13,2<br />
V an = = 1,0 pu<br />
13,2<br />
Tegangan urutan:<br />
V 0 = V2<br />
= 0<br />
1<br />
V 1 = (3Van<br />
) = 13,2 kV<br />
3<br />
Dalam per-unit:<br />
13,2<br />
V 1 = = 1,0 pu<br />
13,2<br />
Bus tegangan tinggi<br />
Tegangan fasa-netral:<br />
VAN<br />
= VBN<br />
= VCN<br />
=<br />
VDN<br />
= VFN<br />
= 132 kV<br />
Dalam per-unit:<br />
132<br />
V AN = = 1,0 pu<br />
132<br />
Tegangan urutan:<br />
V 0 = V2<br />
= V3<br />
= V4<br />
= V5<br />
= 0<br />
1<br />
V 1 = (6VAN<br />
) = 132 kV<br />
6<br />
Dalam per-unit:<br />
132<br />
V 1 = = 1,0 pu<br />
132<br />
c) Rangkaian urutan positif.<br />
Rangkaian urutan positif dari transformator ini hanya berupa satu<br />
impedansi yang mengubungkan bus di sisi primer dan sisi<br />
sekunder. Kita dapat melihat trafo ini dari sisi tegangan rendah<br />
ataupun sisi tegangan tinggi.<br />
Dari sisi tegangan rendah:<br />
Reaktansi dalam per-unit X = 7 % = 0,07 pu (pada rating trafo) .<br />
Rating trafo adalah 15 MVA, 13,8 kV sehingga impedansi basis<br />
menurut rating trafo adalah<br />
Z basis rating<br />
2<br />
Vrating<br />
=<br />
S rating<br />
=<br />
13,8<br />
2<br />
15<br />
155
Transformator<br />
Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo<br />
satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y,<br />
sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu<br />
1<br />
X = × 0,07 ×<br />
2<br />
Z basis rating<br />
1 13,8<br />
= × 0,07 ×<br />
2 15<br />
2<br />
= 0,444 Ω<br />
Impedansi basis sistem sudah dihitung sebesar 5,23 Ω. Impedansi<br />
basis ini memberikan reaktansi dalam per-unit:<br />
0,0444<br />
X = = 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif menjadi :<br />
5,23<br />
0,0850 pu<br />
Dari sisi tegangan tinggi:<br />
X<br />
138<br />
= 0,07 ×<br />
15<br />
2<br />
= 88,8 Ω<br />
Dalam per-unit:<br />
menjadi :<br />
X<br />
=<br />
88,8<br />
1045<br />
= 0,0850<br />
pu . Rangkaian urutan positif<br />
0,0850<br />
pu<br />
156 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
BAB 4 Mesin Sinkron<br />
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari<br />
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator<br />
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka<br />
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda<br />
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti<br />
konversi energi dari energi listrik ke energi listrik.<br />
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu<br />
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;<br />
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari<br />
energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi<br />
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari<br />
mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi<br />
oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan<br />
hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan<br />
dalam dua persamaan berikut<br />
dλ<br />
dφ<br />
e = − = −N<br />
dan F = KB<br />
B i f (θ)<br />
dt dt<br />
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan<br />
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis<br />
ditimbulkan.<br />
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat<br />
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut<br />
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat<br />
yaitu konstruksi kutub menonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />
4.1. Mesin Sinkron Kutub Menonjol<br />
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.4.1.a.<br />
Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan<br />
a 1 a 11 sampai c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar<br />
yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat<br />
157
Mesin Sinkron<br />
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor<br />
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut<br />
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu<br />
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut<br />
sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar sudut 360 o ini<br />
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120 o<br />
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan belitan b 1 b 11<br />
berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi 120 o , dan<br />
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan<br />
yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />
a<br />
b 11<br />
1 c 1<br />
c 11 S b 11<br />
a 1 U U a 2<br />
b 22 S c 22<br />
c 2<br />
a 22<br />
b 2<br />
a 1 a 11<br />
180 o mekanis = 360 o<br />
φ<br />
φ<br />
φ<br />
a) b) c)<br />
konstruksi kutub menonjol belitan fluksi magnetik<br />
Gb.4.1. Mesin sinkron kutub menonjol<br />
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub<br />
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran<br />
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan<br />
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />
θ<br />
atau secara umum<br />
magnetik<br />
dengan p adalah jumlah kutub.<br />
[ derajat]<br />
= 2×<br />
θ [ derajat]<br />
mekanik<br />
p<br />
θ magnetik [ derajat]<br />
= × θmekanik<br />
[ derajat]<br />
(4.1)<br />
2<br />
158 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
Kecepatan sudut mekanik adalah<br />
dθmekanik<br />
ω mekanik = = 2π f mekanik (4.2)<br />
dt<br />
Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik<br />
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.<br />
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah<br />
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n<br />
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah<br />
n n<br />
atau f mekanis =<br />
60<br />
60<br />
siklus per detik.<br />
Kecepatan sudut magnetik adalah<br />
dθ<br />
magnetik<br />
ω magnetik = = 2π f magnetik (4.3)<br />
Dengan hubungan (4.1) maka (4.3) menjadi<br />
ω<br />
magnetik<br />
p<br />
= ω<br />
2<br />
yang berarti<br />
mekanik<br />
dt<br />
p<br />
= 2π<br />
f<br />
2<br />
mekanik<br />
p n p n<br />
= 2π<br />
= 2π<br />
2 60 120<br />
p n<br />
f magnetik = siklus per detik (4.4)<br />
120<br />
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi<br />
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />
p n<br />
f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan<br />
120<br />
mempunyai frekuensi<br />
p n<br />
f tegangan = Hz<br />
(4.5)<br />
120<br />
Dengan (4.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi<br />
tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah<br />
kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =<br />
3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000<br />
rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol<br />
seperti pada Gb.17.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak<br />
sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.<br />
159
160 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Mesin Sinkron<br />
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi<br />
silindris.<br />
Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk<br />
setiap pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan<br />
e c1 pada c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2<br />
dan e c2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi<br />
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa<br />
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan<br />
yang sefasa, misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk<br />
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk<br />
memperoleh arus yang lebih besar.<br />
Tegangan yang<br />
terbangkit di belitan<br />
pada umumnya<br />
diinginkan berbentuk<br />
gelombang sinus<br />
v = Acos ωt<br />
, dengan<br />
pergeseran 120 o untuk<br />
belitan fasa-fasa yang<br />
lain. Tegangan<br />
sebagai fungsi waktu<br />
ini pada transformator<br />
dapat langsung<br />
diperoleh di belitan<br />
sekunder karena<br />
fluksinya merupakan<br />
fungsi waktu. Pada<br />
mesin sinkron, fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor<br />
yang dialiri arus searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi<br />
waktu. Akan tetapi fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus<br />
merupakan fungsi waktu agar persamaan (4.1) dapat diterapkan<br />
untuk memperoleh tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh<br />
melalui putaran rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di<br />
rotor dan memasuki celah udara antara rotor dan stator dengan nilai<br />
konstan maka, dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan<br />
fluksi yang ditangkap oleh belitan stator adalah<br />
dφ<br />
dt<br />
s<br />
dθ<br />
= φ<br />
magnetik<br />
dt<br />
180 o mekanis = 360 o magnetik<br />
a 11<br />
φ s<br />
a<br />
θ<br />
1<br />
Gb.4.2. Perhitungan fluksi.<br />
= φ ω<br />
magnetik<br />
(4.6)
Mesin Sinkron<br />
p n<br />
Karena ω magnetik = 2π<br />
f magnetik = 2π<br />
, maka<br />
120<br />
d φ s p n<br />
= φ<br />
dt<br />
π<br />
(4.7)<br />
60<br />
Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />
dφ<br />
s<br />
p n<br />
v = − N = − N φ π<br />
(4.8)<br />
dt<br />
60<br />
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu<br />
tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda<br />
berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang<br />
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus<br />
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi<br />
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu<br />
terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />
φ = φ m cos θ maknetik<br />
(4.9)<br />
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />
dφs<br />
dφ<br />
d<br />
dθmagnetik<br />
= = ( φm<br />
cosθmagnetik<br />
) = −φm<br />
sin θmagnetik<br />
dt dt dt<br />
dt (4.10)<br />
⎛ p n ⎞<br />
= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />
π ⎟ sin θmagnetik<br />
⎝ 120 ⎠<br />
sehingga tegangan belitan<br />
dφ<br />
s p n<br />
e = −N<br />
= Nπ φm<br />
sin θmagnetik<br />
dt 60 (4.11)<br />
= 2π<br />
f N φm<br />
sin θmagnetik<br />
= ω N φm<br />
sin ωt<br />
Persamaan (4.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini<br />
adalah<br />
Em<br />
= ωN<br />
φm<br />
Volt<br />
(4.12)<br />
dan nilai efektifnya adalah<br />
Em<br />
ωN<br />
φm<br />
2π<br />
f<br />
Erms<br />
= = = N φm<br />
2 2 2<br />
(4.13)<br />
= 4,44 f N φm<br />
Volt<br />
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />
perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi<br />
mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />
161
Mesin Sinkron<br />
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a 1 a 11 ,<br />
yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan<br />
itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />
terpusat.<br />
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />
adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut<br />
kisar penuh.<br />
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,<br />
melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati<br />
beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />
terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh<br />
(60 o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati<br />
sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu<br />
kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan tetapi hanya 80%<br />
sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi<br />
dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan<br />
fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi<br />
komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan<br />
suatu faktor K w yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w<br />
mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor<br />
belitan ini formulasi tegangan (4.13) menjadi<br />
E<br />
rms 4 K w m<br />
= ,44 f N φ Volt<br />
(4.14)<br />
Berikut ini beberapa contoh perhitungan tegangan jangkar. Untuk<br />
sementara pembahasan mesin sinkron kutub menonjol kita hentikan<br />
di sini. Kita akan melihat mesin jenis ini lagi setelah pembahasan<br />
mesin sinkron rotor silindris.<br />
CONTOH-4.1: Sebuah generator sinkron tiga-fasa, 4 kutub, belitan<br />
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap<br />
alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus<br />
dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor<br />
1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms<br />
tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />
Solusi :<br />
Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />
p n 4×<br />
1500<br />
f = = = 50 Hz<br />
120 120<br />
162 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
12<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />
4<br />
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa.<br />
Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />
E<br />
ak = m<br />
4 ,44 f N φ = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V<br />
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2<br />
× 66,6 = 133 V.<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />
CONTOH-4.2: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur<br />
pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.<br />
Solusi :<br />
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />
24<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap pasang<br />
4<br />
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa.<br />
Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan<br />
yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar<br />
untuk setiap belitan adalah<br />
E 4,44 f N φ V = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 66,6 V .<br />
a1 = m<br />
=<br />
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka<br />
terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.<br />
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />
360 o<br />
= o<br />
15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2<br />
24<br />
pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi<br />
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o<br />
listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah<br />
jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30 o<br />
tersebut.<br />
o<br />
o<br />
E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />
Karena ada 2 pasang kutub maka<br />
E a<br />
= 2×<br />
2 2<br />
(124,8) + (33,3)<br />
= 258<br />
V<br />
163
Mesin Sinkron<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />
CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur<br />
pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8<br />
pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.<br />
Ketentuan yang lain tetap.<br />
Solusi :<br />
Frekuensi tegangan jangkar :<br />
16×<br />
375<br />
f = = 50 Hz<br />
120<br />
144<br />
Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan<br />
16<br />
per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap<br />
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />
E a1 = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan,<br />
dan fluksi maksimum tidak berubah.<br />
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah<br />
360 o<br />
= o<br />
2,5 mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8<br />
144<br />
pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik, sehingga<br />
beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah<br />
o<br />
2 ,5 × 8 = 20 listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah<br />
jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing<br />
berselisih fasa 20 o .<br />
E<br />
ak<br />
= 66,6 + 66,6∠20<br />
= 66,61<br />
o o<br />
o o<br />
( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />
= 180,2 + j65,6<br />
o<br />
+ 66,6∠40<br />
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />
o<br />
E a<br />
= 8×<br />
2 2<br />
(180,2) + (65,6)<br />
= 8×<br />
191,8 = 1534<br />
V<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />
164 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />
Sebagaimana telah<br />
disinggung di atas,<br />
mesin kutub menonjol<br />
a<br />
sesuai untuk perputaran<br />
b<br />
rendah. Untuk<br />
1<br />
U c 1<br />
perputaran tinggi<br />
digunakan mesin rotor<br />
silindris yang skemanya<br />
diperlihatkan ada<br />
c S b<br />
Gb.4.3. Rotor mesin ini<br />
a<br />
berbentuk silinder<br />
1<br />
dengan alur-alur untuk<br />
menempatkan belitan<br />
eksitasi. Dengan<br />
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />
konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan<br />
dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis<br />
untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin<br />
kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah<br />
sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti<br />
terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat<br />
aa 1 , bb 1 dan cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar<br />
tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya<br />
dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari<br />
kisaran penuh.<br />
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi<br />
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi<br />
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada<br />
transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin<br />
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva<br />
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.<br />
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000<br />
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran<br />
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus<br />
medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran<br />
sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut<br />
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada<br />
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan<br />
165
Mesin Sinkron<br />
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis<br />
mesin sinkron.<br />
Karakterik<br />
lain yang<br />
penting adalah<br />
karakteritik<br />
hubung singkat<br />
yang dapat kita<br />
peroleh dari uji<br />
hubung<br />
singkat. Dalam<br />
uji hubung<br />
singkat ini<br />
mesin diputar<br />
pada kecepatan<br />
perputaran<br />
sinkron dan<br />
terminal<br />
belitan jangkar<br />
dihubung<br />
singkat (belitan<br />
jangkar<br />
terhubung Y).<br />
12000<br />
11000<br />
10000<br />
9000<br />
Tegangan Fasa-Netral [V]<br />
8000<br />
7000<br />
6000<br />
5000<br />
4000<br />
3000<br />
2000<br />
1000<br />
celah udara<br />
V=kI f<br />
beban-nol<br />
V=V(I f )| I =0<br />
hubung singkat<br />
I = I (I f ) | V=0<br />
0 0 50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />
350 400 450 500<br />
Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.<br />
Karakteristik celah udara (linier).<br />
Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva<br />
yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini<br />
berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh<br />
pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar<br />
sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi<br />
magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk<br />
membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di<br />
impedansi belitan jangkar.<br />
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus<br />
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf<br />
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang<br />
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan<br />
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak<br />
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal<br />
Arus fasa [A]<br />
166 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor<br />
yang akan kita pelajari beikut ini.<br />
4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron<br />
Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan,<br />
arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang<br />
berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang<br />
sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai<br />
fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang<br />
merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia<br />
merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap<br />
posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut<br />
konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam<br />
fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan<br />
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang<br />
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini<br />
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai<br />
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.<br />
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar<br />
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru<br />
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai<br />
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi<br />
tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi<br />
yang dilihat oleh belitan jangkar.<br />
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga<br />
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />
a<br />
U<br />
θ<br />
U<br />
a<br />
S<br />
sumbu<br />
e maks<br />
S<br />
sumbu<br />
i maks<br />
(a)<br />
a 1<br />
sumbu magnet<br />
(b)<br />
Gb.4.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />
a 1<br />
sumbu magnet<br />
167
Mesin Sinkron<br />
Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di<br />
aa 1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu<br />
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah<br />
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik<br />
yang dilingkupi oleh belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu<br />
arus di belitan aa 1 belum maksimum karena beban induktif. Pada<br />
saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah<br />
seperti terlihat pada Gb.4.5.b.<br />
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama<br />
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan<br />
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang<br />
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini<br />
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan<br />
keluaran mesin dipertahankan.<br />
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami<br />
reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf<br />
rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan<br />
membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara<br />
khusus sehingga kita menunda pembahasannya.<br />
Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />
2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar I a adalah<br />
nominal.<br />
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />
tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />
membangkitkannya.<br />
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi<br />
R a .<br />
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai<br />
referensi, arus jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban<br />
induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah<br />
( R + jX )<br />
E a = Va<br />
+ I a a l<br />
(4.15)<br />
168 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara<br />
yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa yang 90 o mendahului<br />
E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang<br />
dinyatakan dengan arus ekivalen . Jadi fluksi dalam celah udara<br />
I φa<br />
merupakan jumlah dari fluksi rotor Φ f yang dinyatakan dengan arus<br />
ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />
I fa = I f + Iφa<br />
atau I f = I fa − Iφa<br />
(4.16)<br />
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor<br />
I f haruslah cukup untuk<br />
membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan E a dan<br />
mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />
dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: I f membangkitkan tegangan<br />
E f yang 90 o di belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />
E f<br />
I f<br />
= − I<br />
I fa<br />
φa<br />
− I φa<br />
I fa<br />
I φa<br />
Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />
Hubungan antara nilai<br />
θ<br />
I a<br />
E a dan I fa diperoleh dari karakteristik<br />
celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φa<br />
diperoleh dari<br />
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti<br />
terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />
E a = kv<br />
I fa dan I a = ki<br />
Iφa<br />
atau<br />
γ<br />
V a<br />
E a<br />
I a R a<br />
jI a X l<br />
169
I /<br />
Mesin Sinkron<br />
fa = Ea<br />
kv<br />
dan I φ a = I a / ki<br />
(4.17)<br />
dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />
kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh<br />
Ea<br />
o I a o<br />
I f = I fa − Iφa<br />
= ∠(90<br />
+ γ)<br />
+ ∠(180<br />
− θ)<br />
kv<br />
ki<br />
(4.18)<br />
Ea<br />
I a<br />
= j ∠γ − ∠ − θ<br />
kv<br />
ki<br />
Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu<br />
E<br />
aa<br />
= − jk I<br />
v<br />
v<br />
= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />
ki<br />
Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai<br />
f<br />
k<br />
X =<br />
⎛ Ea<br />
= − jkv<br />
⎜<br />
j<br />
⎝ kv<br />
k<br />
I a ⎞<br />
∠γ − ∠ − θ⎟<br />
k<br />
i ⎠<br />
kv<br />
+ j I a<br />
k<br />
jX<br />
i<br />
φa<br />
I a dengan<br />
(4.19)<br />
v<br />
φ a<br />
(4.20)<br />
ki<br />
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis<br />
dengan<br />
E<br />
a<br />
a<br />
( R + jX )<br />
a<br />
a<br />
( R + jX )<br />
f = Ea<br />
+ jX φa<br />
I a = Va<br />
+ I a a l + jX φa<br />
I a<br />
X<br />
= V<br />
+ I<br />
a = X l + X φa<br />
yang disebut reaktansi sinkron.<br />
(4.21)<br />
Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7.<br />
untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi<br />
sinkron.<br />
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan<br />
dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik<br />
linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh<br />
karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak<br />
jenuh.<br />
170 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
E aa<br />
I<br />
f<br />
= I − I<br />
− I φa<br />
fa<br />
φa<br />
I<br />
fa<br />
I φa<br />
θ<br />
I a<br />
γ<br />
V a<br />
jI a X l<br />
a X φa<br />
Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />
reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />
E a<br />
I a R a<br />
j I<br />
jI a X a<br />
4.2.2. Rangkaian Ekivalen Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />
Sumber tegangan cukup memadai untuk menggambarkan<br />
rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris. Kumparankumparan<br />
jangkar, tempat dibangkitkannya tegangan,<br />
mengandung resistansi dan reaktansi. Selain itu, antar kumparan<br />
juga terjadi kopling magnetic karena letak mereka yang saling<br />
berdekatan pada posisi yang simetris. Kita anggap bahwa ketiga<br />
kumparan jangkar adalah identik, masing-masing dengan<br />
resistansi R a dan reaktansi X a . Antar ketiga kumparan terjadi<br />
reaktansi bersama X m . Jika tegangan terbangkit di kumparan<br />
jangkar adalah Ea<br />
, Eb<br />
, dan Ec<br />
dan tegangan fasa-netral di<br />
terminal mesin adalah Van<br />
, Vbn<br />
, dan Vcn<br />
, maka dapat<br />
digambarkan rangkaian ekivalen seperti pada Gb.4.8.<br />
Pada Gb.4.8. ini I a , Ib<br />
, dan Ic<br />
adalah arus fasa a, b, dan c yang<br />
keluar dari terminal mesin dan ketiganya kembali melalui<br />
penghantar netral melalui impedansi Z n . Aplikasi hokum Kirchhoff<br />
pada rangkaian ini memberikan persamaan<br />
171
Mesin Sinkron<br />
Ea<br />
= ( Ra<br />
+ jX a ) Ia<br />
+ Z n ( I a + Ib<br />
+ Ic<br />
) + jX m ( Ib<br />
+ Ic<br />
) + Van<br />
= ( Ra<br />
+ jX a + Z n ) Ia<br />
+ ( Z n + jX m ) Ib<br />
+ ( Z n + jX m ) Ic<br />
+ Van<br />
(4.20.a)<br />
E b = ( Ra<br />
+ jX a + Z n ) Ib<br />
+ ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) Ic<br />
+ Vbn<br />
(4.20.b)<br />
E c = ( Ra<br />
+ jX a + Z n ) Ic<br />
+ ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) Ib<br />
+ Vcn<br />
E b<br />
+<br />
+<br />
∼<br />
N +<br />
∼<br />
E c<br />
∼<br />
E a<br />
R a jX a<br />
R a jX a<br />
R a jX a<br />
jX m<br />
jX m<br />
jX m<br />
b<br />
I a + Ib<br />
+ Ic<br />
V<br />
Z bn<br />
n<br />
n<br />
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron<br />
c<br />
a<br />
I c<br />
I a<br />
I b<br />
V an<br />
(4.20.c)<br />
V cn<br />
Jika kita tuliskan<br />
Z s = Ra<br />
+ jX a + Z n<br />
Z m = Z n + jX m<br />
Maka persamaan 4.20.a,b,c menjadi<br />
Ea<br />
= Z sI<br />
a + Z mIb<br />
+ Z mIc<br />
+ Van<br />
Eb<br />
= Z sIb<br />
+ Z mI<br />
a + Z mIc<br />
+ Vbn<br />
Ec<br />
= Z s Ic<br />
+ Z mI<br />
a + Z mIb<br />
+ Vcn<br />
Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah<br />
(4.21)<br />
(4.22)<br />
⎡Ea<br />
⎤ ⎡ Z s<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢Eb<br />
⎥ ⎢<br />
Z m<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
Ec<br />
⎦ ⎣Z<br />
m<br />
Z m<br />
Z s<br />
Z m<br />
Z m ⎤ ⎡Ia<br />
⎤ ⎡Van<br />
⎤<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
Z<br />
⎥<br />
m ⎥ ⎢Ib<br />
⎥ + ⎢Van<br />
⎥<br />
Z ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
s ⎦ ⎣<br />
Ic<br />
⎦ ⎣<br />
Van<br />
⎦<br />
(4.23.a)<br />
172 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
atau secara lebih ringkas<br />
~<br />
~ ~<br />
Eabc = [ Z abc ] Iabc<br />
+ Vabc<br />
(4.23.b)<br />
Kita ingat bahwa<br />
~<br />
I =<br />
~<br />
abc [ T] I 012 dan V abc = [ T] V012<br />
dan kita masukkan ke (4.23.b) serta kita kalikan kedua ruas<br />
(4.23.b) dengan [ T ] −1<br />
maka kita peroleh<br />
~<br />
−1<br />
−1<br />
−1<br />
[ T] E abc = [ T] [ Z abc ][ T] I012<br />
+ [ T] [ ]<br />
~ ~<br />
= [ Z 012 ] I012<br />
+ V012<br />
Kita hitung ruas kiri (9.24.a)<br />
[ ]<br />
~<br />
~<br />
~<br />
~<br />
T V<br />
012<br />
(4.24.a)<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ E f<br />
⎤ ⎡ 0 ⎤ ⎡ 0 ⎤<br />
−1<br />
~ 1 ⎢<br />
2 ⎥ ⎢ 2 ⎥ 1<br />
T E<br />
=<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢ ⎥<br />
abc =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥ ⎢a<br />
E f ⎥ ⎢<br />
3E<br />
f ⎥ ⎢<br />
E f ⎥<br />
( 4.24.b)<br />
3<br />
⎢<br />
2<br />
⎥ ⎢ ⎥ 3<br />
⎣1<br />
a a ⎦ aE<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥<br />
⎣ f ⎦<br />
⎦<br />
[ Z 012 ] pada (4.24.a) adalah<br />
⎡Z<br />
s + 2Z<br />
m 0 0 ⎤<br />
⎢<br />
⎥<br />
012 T abc T =<br />
⎢<br />
0 Z s − Z m 0 (4.24.c)<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
0 0 Z s − Z m ⎥⎦<br />
−1<br />
[ Z ] = [ ] [ Z ][ ]<br />
dengan Z s dan Z m diberikan oleh (4.21). Elemen-elemen matriks<br />
(4.24.c) menjadi<br />
Z 00 = Z s + 2Z<br />
m = Ra<br />
+ jX a + Z n + 2Z<br />
n + j2X<br />
m<br />
= Ra<br />
+ j(<br />
X a + 2X<br />
m ) + 3Z<br />
n<br />
(4.25.a)<br />
Z11<br />
= Z s − Z m<br />
= Ra<br />
+ jX a + Z n − Z n − jX m<br />
= Ra<br />
+ j(<br />
X a − X m )<br />
4.25.b)<br />
Z 22 = Z s − Z m = Ra<br />
+ jX a + Z n − Z n − jX m<br />
= Ra<br />
+ j(<br />
X a − X m )<br />
sehingga (4.24.c) menjadi<br />
(4.25.c)<br />
173
[ ]<br />
Mesin Sinkron<br />
⎡Z<br />
00 0 0 ⎤<br />
Z<br />
⎢<br />
⎥<br />
012 =<br />
⎢<br />
0 Z11<br />
0<br />
⎥<br />
(4.25.d)<br />
⎢⎣<br />
0 0 Z 22<br />
⎥⎦<br />
Dengan (4.25.b) dan (4.25.d) maka (4.23.a) menjadi<br />
⎡ 0 ⎤ ⎡Z<br />
00<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
E<br />
⎥ ⎢<br />
0<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0<br />
0<br />
Z11<br />
0<br />
0 ⎤ ⎡I0<br />
⎤ ⎡V0<br />
⎤<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
0<br />
⎥<br />
⎥ ⎢I1<br />
⎥ + ⎢V1<br />
⎥<br />
Z ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
22 ⎦ ⎣<br />
I 2 ⎦ ⎣<br />
V2<br />
⎦<br />
(4.26.a)<br />
Persamaan (4.26.a) ini memberi jalan untuk menggambarkan<br />
rangkaian urutan dari mesin sinkron. Dengan mengingat bahwa Z n<br />
bukanlah komponen mesin, didefinisikan impedansi urutan mesin<br />
sebagai<br />
Z0<br />
= Z00<br />
− 3Zn ; Z1<br />
= Z11<br />
; Z2<br />
= Z22<br />
(4.26.b)<br />
Berdasarkan (4.26.a) dan (4.26.b) kita gambarkan rangkaian<br />
urutan seperti terlihat pada Gb.4.9.<br />
I 0<br />
Z 0<br />
+<br />
3Z n<br />
V 0<br />
−<br />
Rangkaian urutan nol.<br />
I 1<br />
Z 1<br />
+<br />
E ∼<br />
V 1<br />
−<br />
Rangkaian urutan Positif<br />
I 2<br />
Z 2<br />
+<br />
Rangkaian urutan negatif.<br />
V 2<br />
−<br />
Gb.4.9. Rangkaian urutan mesin sinkron.<br />
174 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil<br />
yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam<br />
analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita<br />
pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan<br />
damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan<br />
terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus<br />
eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak<br />
demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki<br />
karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang<br />
kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin.<br />
4.2. Kopling Turbin-Generator<br />
Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya<br />
mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang<br />
dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan<br />
dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros<br />
dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan<br />
torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil<br />
dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya<br />
diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi<br />
beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat<br />
pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan<br />
medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan<br />
terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut T m (torka mekanis)<br />
dan torka lawan dari generator kita sebut T e (torka listrik) maka kita<br />
mendapat persamaan<br />
dωrm<br />
Tm<br />
− Te<br />
= J<br />
(4.27)<br />
dt<br />
dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan ω rm<br />
adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis).<br />
Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan<br />
umum yaitu jika memang ω rm berubah terhadap waktu; hal<br />
demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak<br />
melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena<br />
itu dω<br />
rm / dt = 0 sehingga (4.27) menjadi<br />
T m −T<br />
e = 0 atau T m = T e<br />
(4.28)<br />
175
Mesin Sinkron<br />
Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, ω rm ,<br />
sama dengan kecepatan perputar sinkron, ω rm = ωs<br />
. Jika<br />
persamaan (4.28) kita kalikan dengan ω rm maka kita peroleh<br />
T<br />
m<br />
ω<br />
rm<br />
= T ω<br />
P<br />
e rm e s<br />
atau (4.29)<br />
m<br />
= P<br />
e<br />
= T ω<br />
Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugirugi<br />
gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya<br />
mekanik diubah menjadi daya listrik.<br />
4.4. Daya Mesin Sinkron<br />
Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar<br />
per fasa adalah E f , tegangan di terminal generator adalah V .<br />
Adanya impedansi belitan jangkar membuat E f dan V berbeda fasa.<br />
Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan<br />
beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit<br />
adalah δ, maka<br />
V<br />
= f<br />
V∠0 o dan E f = E ∠δ<br />
(4.30)<br />
dan δ disebut sudut daya (power angle)<br />
Impedansi belitan jangkar tiap fasa adalah<br />
Karena X a >> R a maka<br />
Z = R a + jX a<br />
(4.31.a)<br />
Z ≈ jX a = jX d<br />
(4.31.b)<br />
X d adalah reaktansi jangkar yang disebut direct axis reactance.<br />
176 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh<br />
karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian<br />
urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai<br />
sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator<br />
sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.<br />
f<br />
+<br />
jX d<br />
E ∼ ∼<br />
Gb.4.10. Rangkaian ekivalen model satufasa<br />
generator sinkron dengan beban<br />
seimbang.<br />
Dengan (4.12.b) daya per fasa yang keluar dari terminal generator<br />
adalah<br />
I<br />
+<br />
V<br />
∗<br />
⎛<br />
∗ E ⎞<br />
⎜ f − V<br />
S = = ⎟<br />
f V I V<br />
⎜ ⎟<br />
⎝<br />
jX d ⎠<br />
Dengan memasukkan (4.30) maka (4.32.a) menjadi<br />
(4.32.a)<br />
S<br />
f<br />
= V∠0<br />
VE<br />
=<br />
X<br />
dengan<br />
f<br />
d<br />
⎛<br />
o<br />
E f V ⎞<br />
⎜ ∠δ − ∠0<br />
⎟<br />
⎜<br />
o<br />
X ⎟<br />
⎝ d∠90<br />
⎠<br />
o<br />
⎛VE<br />
sin δ + j⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
X<br />
f<br />
d<br />
∗<br />
VE<br />
=<br />
X<br />
V<br />
cosδ −<br />
X<br />
2<br />
d<br />
f<br />
d<br />
∠(90<br />
⎞<br />
⎟ = P<br />
⎟<br />
⎠<br />
f<br />
o<br />
V<br />
− δ)<br />
−<br />
X<br />
+ jQ<br />
f<br />
2<br />
d<br />
∠90<br />
o<br />
(4.32.b)<br />
VE f<br />
P f = sin δ dan<br />
X d<br />
Q<br />
f<br />
⎛VE<br />
= ⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
X<br />
f<br />
d<br />
2<br />
V ⎞<br />
cos δ − ⎟ (4.33)<br />
X ⎟<br />
d ⎠<br />
P f adalah daya nyata dan Q f adalah daya reaktif (per fasa).<br />
Kita telah melihat pada (4.10) bahwa dengan mengabaikan rugi<br />
daya pada gesekan, seluruh daya mekanik dari turbin dikonversi<br />
menjadi daya listrik. Turbin hanya memberikan daya nyata, namun<br />
generator mengubahnya menjadi daya nyata dan daya reaktif. Hal<br />
177
Mesin Sinkron<br />
ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah<br />
uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya<br />
yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika E f , V, X d tidak<br />
berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya δ.<br />
Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat sin δ = 1 ,<br />
dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator,<br />
yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan<br />
menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan<br />
keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron<br />
dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya,<br />
sekitar 20%.<br />
Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita<br />
menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam<br />
operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari<br />
jaringan). Dalam hal demikian sudut δ meningkat untuk sementara,<br />
perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur<br />
masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran<br />
semula, dan kondisi operasi kembali normal.<br />
Jika kita perhatikan persamaan untuk Q f pada (4.33), peningkatan δ<br />
yang meningkatkan P f , justru menurunkan Q f . Daya reaktif Q f bisa<br />
meningkat jika E f meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi.<br />
Dengan kata lain penambahan Q f dilakukan dengan menambah<br />
arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari<br />
sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban<br />
ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya<br />
adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat<br />
contoh persoalan berikut.<br />
CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki<br />
faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi X d = 0,7 pu (pada ratingnya) .<br />
I<br />
jX = 0,7 pu<br />
+<br />
d<br />
+<br />
E ∼ ∼<br />
f<br />
a). Hitung , P f , Q f , E f , dan δ, dan gambarkan fasor diagramnya.<br />
V<br />
178 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan<br />
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, E f , dan δ, pada keadaan<br />
ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor<br />
keadaan sebelumnya (soal a).<br />
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan<br />
arus eksitasi sehingga E f meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, E f ,<br />
dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya<br />
bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).<br />
Solusi:<br />
o<br />
a). Kita tetapkan referensi V = 1∠0<br />
−1<br />
o<br />
ψ = cos (0,8) = 36,9<br />
I = 1∠ − 36,9<br />
o<br />
= 0,8 − j0,6<br />
o<br />
E f = jX d I = j0,7(0,8<br />
− j0,6)<br />
+ 1 = 1,42 + j0,56<br />
= 1,53∠<br />
21,5<br />
⇒ E f = 1, 53<br />
o<br />
δ = 21,5<br />
VE f 1×<br />
1,53<br />
P f = sin δ = sin(21,5<br />
o ) = 0,8<br />
X d 0,7<br />
VE<br />
2<br />
2<br />
f V1<br />
1×<br />
1,53 o 1<br />
Q f = cos δ − = cos(21,5 ) − = 0,6<br />
X d X d 0,7<br />
0,7<br />
Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut.<br />
δ<br />
ψ<br />
I<br />
E f<br />
V<br />
jX d I<br />
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan<br />
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, E f , dan δ, pada<br />
keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan<br />
diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).<br />
Tetap gunakan referensi<br />
o<br />
V = 1∠0<br />
179
Mesin Sinkron<br />
P ′ = 1 ,2P<br />
= 1,2 × 0,8 = 0,96 (meningkat 20% dari P pada soal a).<br />
E ′ f = E f = 1,53 (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).<br />
⎛ ⎞<br />
−1<br />
1 0,96 0,7 o<br />
sin ⎜<br />
P′<br />
X<br />
⎟ − ⎛ × ⎞<br />
δ′ =<br />
= sin ⎜ ⎟ = 26,1<br />
⎜ ′ ⎟<br />
⎝<br />
E f V<br />
⎠ ⎝ 1,53 × 1 ⎠<br />
E′<br />
f V V<br />
Q′<br />
= cos δ′ −<br />
X X<br />
d<br />
= 0,535<br />
d<br />
(meningkat 21%).<br />
2<br />
d<br />
(menurun 11%)<br />
1,53 × 1 o 1<br />
= cos(26,1 ) −<br />
0,7<br />
0,7<br />
Diagram fasor adalah seperti gambar berikut<br />
.<br />
I 1<br />
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang<br />
naikkan arus eksitasi sehingga E f meningkat sebesar 20%. Hitung<br />
P, Q, E f , dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram<br />
fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya<br />
(soal a).<br />
Tetap gunakan referensi<br />
P ′ = P = 0,8 (tidak berubah)<br />
o<br />
V = 1∠0 .<br />
E f′′ = 1 ,2×<br />
E f = 1,2 × 1,53 = 1,84 (naik 20%)<br />
⎛ ⎞<br />
1<br />
1 0,8 0,7 o<br />
sin ⎜<br />
′′<br />
⎛ × ⎞<br />
δ ′′ − P X<br />
⎟ −<br />
=<br />
= sin ⎜ ⎟ = 17,8<br />
⎜ ′′ ⎟<br />
⎝<br />
E f V<br />
⎠ ⎝ 1,84 × 1 ⎠<br />
ψ<br />
δ<br />
E′ f<br />
d<br />
(menurun 17%)<br />
E ′′<br />
2<br />
2<br />
f V V 1,84 × 1 o 1<br />
Q′′<br />
= cos δ ′<br />
− = cos(17,8 ) −<br />
X d X d 0,7<br />
0,7<br />
= 1,07 (meningkat 44%)<br />
δ′<br />
I′ 1<br />
E f<br />
V<br />
jX d I′<br />
jX d I<br />
2<br />
180 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
Diagram fasor terlihat di bawah ini.<br />
I 1′<br />
ψ ′′<br />
E f<br />
δ ′′<br />
V<br />
jX d I<br />
E f′′<br />
4.5. Batas Operasi Mesin Sinkron<br />
Menambah daya nyata ada batasnya karena menambah daya nyata<br />
berarti memperbesar arus jangkar yang berarti menaikkan<br />
temperatur kumparan jangkar. Demikian juga halnya dengan daya<br />
reaktif. Meningkatkan E f , untuk menambah daya reaktif, ada<br />
batasnya karena meningkatkan E f berarti menambah arus eksitasi.<br />
Kita lihat lebih dulu upaya menambah daya reaktif dengan<br />
menambah arus eksitasi. Makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan<br />
temperatur pada belitan eksitasi. Kenaikan temperatur ini harus<br />
dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai<br />
maksimum arus eksitasi, I fmaks . Arus maksimum ini akan<br />
memberikan tegangan terbangkit maksimum, E f maks . Dengan E f maks<br />
maka daya per fasa generator adalah:<br />
S<br />
f<br />
E<br />
fmaks<br />
VE<br />
=<br />
X<br />
fmaks<br />
d<br />
⎛ VE<br />
2 ⎞<br />
⎜<br />
fmaks V<br />
sin δ + j cos δ − ⎟ (4.34)<br />
⎝<br />
X d X d ⎠<br />
yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan E f . Jika daya ini<br />
kita plot pada bidang P-Q, maka kurva<br />
lingkaran dengan jari-jari<br />
dan pusat di<br />
seperti terrlihat pada Gb.4.11.<br />
VE f maks<br />
r E =<br />
X d<br />
⎛<br />
O ′ = ⎜0,<br />
−<br />
⎜<br />
⎝<br />
V 2<br />
X d<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
S f akan berbentuk<br />
E fmaks<br />
181
Mesin Sinkron<br />
Q<br />
q<br />
S f<br />
p<br />
E fmaks<br />
P<br />
V 2<br />
−<br />
X d<br />
O'<br />
r E<br />
Akan tetapi tidak seluruh lingkaran merupakan tempat kedudukan<br />
S f karena ada nilai maksimum daya nyata yaitu batas<br />
E fmaks<br />
Gb.4.11. Kurva S f pada bidang P-Q.<br />
E fmaks<br />
stabilitas keadaan mantap yang terjadi pada nilai<br />
o<br />
o<br />
sin δ = 1 atau δ = 90 . Pada δ = 90 P mencapai nilai maksimum<br />
o<br />
dan Q = 0; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik p. Pada δ = 0 ,<br />
P = 0 dan Q mencapai nilai maksimum; keadaan ini ditunjukkan<br />
oleh posisi titik q. Inilah batas operasi generator sinkron yang terkait<br />
dengan pembatasan arus eksitasi.<br />
Sekarang kita lihat upaya menambah daya nyata. Penambahan daya<br />
nyata, dengasn menambah pasokan uap misalnya, akan menambah<br />
arus jangkar; arus jangkar juga harus dibatasi. Kumparan jangkar<br />
mengandung resistansi. Arus yang dikeluarkan oleh generator harus<br />
melalui resistansi ini dan menimbulkan panas di kumparan jangkar.<br />
Upaya pendinginan harus dilakukan agar panas yang timbul di<br />
kumparan jangkar tidak melewati batas yang bisa merusakkan<br />
isolasi. Perlu kita ingat bahwa suhu jangkar tidaklah merata, akan<br />
tetapi ada bagian-bagian tertentu yang lebih tinggi suhunya dari<br />
bagian lain. Suhu di titik terpanas inilah yang harus diperhatikan<br />
untuk menetapkan batas suhu dalam operasi. Bagaimanapun usaha<br />
pendinginan dilakukan, tetap ada batas teratas nilai arus yang harus<br />
182 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan<br />
untuk arus itu disebut rated current, I rated .<br />
Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas<br />
atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut<br />
rated voltage, V ff rated . Batas arus dan batas tegangan memberikan<br />
batas nilai daya tiga-fasa |S 3f rated |.<br />
S V × I 3<br />
(4.35.a)<br />
3 f rated = ff rated f rated ×<br />
Daya keluaran mesin pada waktu operasi haruslah<br />
S<br />
S<br />
3 f ≤ 3 f rated atau daya per fasa<br />
S3 f rated<br />
S f ≤ (4.35.b)<br />
3<br />
Dari rangkaian ekivalen Gb.4.10, batas daya per fasa adalah<br />
S<br />
S<br />
f rated<br />
f<br />
= V<br />
= V<br />
rated<br />
rated<br />
I<br />
rated<br />
I<br />
∗<br />
rated<br />
cosψ<br />
V<br />
=<br />
X<br />
rated<br />
2<br />
rated<br />
d<br />
∠ψ<br />
rated<br />
(4.36)<br />
Faktor daya juga memiliki nilai batas yang terkait dengan batas<br />
tegangan terbangkit yang ditetapkan, E f maks .<br />
Kurva batas daya per fasa<br />
S f<br />
rated<br />
juga berbentuk lingkaran dengan<br />
pusat di O(0,0)<br />
2<br />
jari-jari r r = Vrated<br />
/ X d .<br />
Gb.4.12. memperlihatkan kurva<br />
S f .<br />
E fmaks<br />
S f<br />
rated<br />
bersama dengan kurva<br />
183
Mesin Sinkron<br />
Q<br />
V 2<br />
−<br />
X d<br />
O<br />
c<br />
q<br />
O'<br />
S f<br />
rated<br />
a<br />
b<br />
p<br />
S f<br />
ψ rated<br />
P<br />
E fmaks<br />
Gb.4.12. Kurva<br />
S f dan S f rated .<br />
E fmaks<br />
Titik potong antara kurva<br />
S f<br />
rated<br />
dan kurva<br />
S f<br />
E fmaks<br />
, yaitu titik a<br />
pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas<br />
daya yang terkait dengan V rated , I rated , mupun terkait dengan E f<br />
maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya ψ rated dengan sumbu P.<br />
Apabila ψ kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurva S f rated<br />
mencapai titik b, dan cos ψ = 1 ; daya reaktif nol. Titik b inilah<br />
menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh<br />
mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya<br />
nyata di p.<br />
Apabila ψ kita naikkan sampai 90 o maka kurva S f rated mencapai<br />
titik c, dan cos ψ = 0 ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak<br />
menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan<br />
lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya<br />
reakti oleh adanya pembatasan E fmaks.<br />
Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai E f maks pada kedua kondisi<br />
limit tersebut.<br />
184 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki X d = 1,2 pu. Hitung<br />
E f yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1,<br />
(b) minimum, f.d. = 0 (lagging),<br />
Solusi: Kita ambil<br />
referensi fasor<br />
o<br />
V = 1∠0 pada<br />
rangkaian ekivalen<br />
di samping ini.<br />
a) Agar faktor daya = 1:<br />
f<br />
+<br />
jX d<br />
E ∼ ∼<br />
I<br />
+<br />
V<br />
I = 1∠0<br />
o<br />
= 1+<br />
j0<br />
E<br />
f<br />
= jX d I + V = j1,2<br />
× 1+<br />
1 = 1,56∠50,2<br />
o<br />
⇒ E = 1, 56<br />
b) Agar faktor daya = 0:<br />
f<br />
I = 1∠ − 90<br />
o<br />
= 0 − j1<br />
E<br />
f<br />
= jX d I + V = j1,2<br />
× ( − j1)<br />
+ 1 = 2,20∠0<br />
o<br />
⇒ E = 2, 20<br />
f<br />
Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai<br />
dari 1 sampai 0, E f yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya E f<br />
berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi<br />
berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula.<br />
Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan<br />
eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, I f maks .<br />
Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit<br />
maksimum, E f maks . Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai<br />
mencapai kondisi dimana faktor daya nol (E f =2,20 pada contoh di<br />
atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang<br />
dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata.<br />
Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki<br />
impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti<br />
permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah,<br />
185
Mesin Sinkron<br />
generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya<br />
yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan<br />
faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban<br />
paling rendah 0,85 lagging.<br />
Kita amati sekarang bagian kurva<br />
S f<br />
rated<br />
yang berada di bawah<br />
sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan S f rated<br />
dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif,<br />
makin kecil arus eksitasi karena batas E maks kecil, namun makin<br />
besar sudut daya δ makin besar. Contoh berikut ini akan<br />
memberikan gambaran lebih jelas.<br />
CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan E f<br />
agar faktor daya menjadi 0,553.<br />
Solusi:<br />
Pada faktor daya 0,553,<br />
−1<br />
ψ = cos (0,553) = 56,4<br />
o<br />
→<br />
E<br />
f<br />
o<br />
I = 1∠56,4<br />
= jX d I + V = j1,2<br />
× 1∠56,4<br />
+ 1 = 0,664∠90<br />
o<br />
⇒ E = 0, 664<br />
f<br />
o<br />
δ = 90<br />
Untuk pembebanan dengan faktor daya leading eksitasi yang<br />
diperlukan cukup rendah. Namun makin rendah E maks , sudut δ makin<br />
besar dan mencapai 90 o pada faktor daya 0,553. Inilah nilai δ yang<br />
tak dikehendaki karena generator berada pada titik batas stabilitas<br />
mantapnya; sedikit saja terjadi kenaikan δ, generator akan keluar<br />
dari perputaran sinkron. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai<br />
maksimum δ maks untuk membatasi operasi. Penetapan nilai δ maks<br />
dapat dilakukan dengan menetapkan daya nyata minimum yang<br />
tetap harus masih ada jika terjadi pembebanan kapasitif; misalkan<br />
P minimal = 10% P rated atau sin δ maks = 0, 9 sehingga<br />
−1<br />
o<br />
δmaks = sin 0,9 = 64,2 . Pada suatu δ maks yang ditetapkan, nilai<br />
P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu<br />
186 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
VE f<br />
P = sin δmaks<br />
dan<br />
Xd<br />
Dari daya nyata diperoleh relasi<br />
VE f<br />
Xd<br />
⎛VE<br />
Q = ⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
X<br />
f<br />
d<br />
P<br />
= sinδ maks<br />
jika ini kita pakai untuk menyatakan Q kita peroleh:<br />
Q<br />
⎛<br />
⎞<br />
Mesin Sinkron<br />
2<br />
V ⎞<br />
cos δ − ⎟<br />
maks<br />
(4.37)<br />
X ⎟<br />
d ⎠<br />
2<br />
2<br />
P<br />
V P V<br />
= ⎜ cosδmaks<br />
− ⎟ = − (4.38)<br />
⎜ sin δmaks<br />
X ⎟<br />
d tan δmaks<br />
X d<br />
⎝<br />
Persamaan (4.38) membentuk kurva garis lurus di bidang P-Q.<br />
V 2<br />
Garis ini memotong sumbu Q di − dan memotong sumbu P di<br />
X d<br />
V<br />
2<br />
tan δ<br />
X<br />
d<br />
maks<br />
bersama dengan kurva<br />
berpotongan dengan kurva<br />
⎠<br />
. Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut,<br />
S frated dan<br />
S f<br />
S frated di titk d.<br />
E maks<br />
; garis lurus itu<br />
Q<br />
V 2<br />
−<br />
X d<br />
O<br />
c<br />
q<br />
O'<br />
S f<br />
rated<br />
a<br />
b<br />
d<br />
p<br />
S f<br />
ψ rated<br />
E fmaks<br />
P<br />
2<br />
V tan δmaks<br />
X d<br />
Gb.4.13. Batas-batas operasi generator sinkron.<br />
187
188 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Mesin Sinkron<br />
Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik<br />
karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar<br />
dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO’ pada Gb.4.13. Bagian<br />
kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada<br />
pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena<br />
pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif,<br />
kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar<br />
dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO’ adalah<br />
batas operasi karena pembatasan δ maks . Di dalam batas-batas kurva<br />
inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah<br />
kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus.<br />
Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan<br />
di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga<br />
pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolakbalik<br />
di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada<br />
transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu<br />
kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata.<br />
Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik<br />
yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi<br />
yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di<br />
kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak<br />
lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini<br />
juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu<br />
akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di<br />
Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita<br />
bahas.<br />
4.6. Transien Pada Mesin Sinkron<br />
Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin<br />
sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah<br />
terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung<br />
singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu<br />
kita dapat<br />
menyatakan<br />
rangkaian ekivalen<br />
model satu-fasa<br />
untuk situasi ini,<br />
seperti terlihat pada<br />
Gb.4.14.<br />
E f<br />
+<br />
∼<br />
R a + jX d<br />
I hs<br />
Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satufasa,<br />
gangguan hubung singkat tiga-fasa.
Mesin Sinkron<br />
Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian<br />
orde-2, seperti yang kita pelajari pada <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik.<br />
Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu<br />
akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk<br />
ˆ<br />
−t<br />
/ τ<br />
i ( t)<br />
= i sin( ωt<br />
− α)(1<br />
+ e )<br />
(4.39.a)<br />
hs<br />
hs<br />
i hs<br />
t<br />
Gb.4.15. Arus hubung singkat tak simetris terhadap<br />
sumbu waktu.<br />
i hs<br />
î hs<br />
t<br />
Gb.4.16. Arus hubung singkat simetris terhadap<br />
sumbu waktu.<br />
α<br />
ditentukan oleh saat terjadinya hubung singkat atau masuknya saklar<br />
pada rangkaian Gb.4.14. Sudah barang tentu nilainya sangat tidak<br />
menentu dan α ini membuat alur variasi arus hubung singkat tidak<br />
simetris terhadap sumbu waktu, seperti terlihat pada Gb.4.15.<br />
189
190 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Mesin Sinkron<br />
Untuk keperluan analisis sistem tenaga, α dianggap nol dan<br />
persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk<br />
ˆ<br />
−t<br />
/ τ<br />
i ( t)<br />
= i sin( ωt)(1<br />
+ e ) (4.39.b)<br />
hs<br />
hs<br />
Kurva arus hubung singkat akan simetris terhadap sumbu waktu<br />
seperti terlihat pada Gb.4.16, dan disebut arus hubung singkat<br />
simetris.<br />
Penurunan nilai arus hubung singkat ditentukan oleh konstanta<br />
waktu τ, yang besarnya tergantung dari proporsi R a dan X d . Namun<br />
bentuk gelombang arus ini hampir sinusoidal dan kita dapat<br />
mendekati nilai arus efektifnya dengan membagi nilai puncak<br />
dengan 2 . Nilai efektif ini dapat kita plot sebagai nilai efektif<br />
yang merupakan fungsi waktu seperti terlihat pada Gb.4.17.<br />
Kurva I ˆ<br />
hs ( t)<br />
= ihs<br />
( t)<br />
/ 2 dapat didekati dengan suatu nilai<br />
konstan dalam selang-selang waktu tertentu.<br />
I ′′<br />
I′<br />
I<br />
Gb.4.17. Kurva arus hubung singkat efektif.<br />
0 ≤ t ≤ t1 : I ′<br />
disebut arus hubung singkat subtransien<br />
t 1 ≤ t ≤ t2<br />
: I ′ disebut arus hubung singkat transien<br />
t ≥ t : I disebut arus hubung singkat mantap.<br />
2<br />
0<br />
iˆ<br />
( t)<br />
I ( t)<br />
hs<br />
hs =<br />
2<br />
pendekatan<br />
t1<br />
t 2<br />
<strong>Analisis</strong> sistem tenaga dilakukan di kawasan fasor, bukan di<br />
kawasan waktu. Oleh karena itu pernyataan arus hubung singkat<br />
harus dilakukan dalam bentuk<br />
E f E f<br />
I hs = ≈<br />
(4.40)<br />
Ra<br />
+ jX d X d<br />
Perubahan I hs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan<br />
dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber E f konstan dan<br />
t
Mesin Sinkron<br />
X d yang berubah terhadap waktu, atau X d konstan dan E f yang<br />
berubah terhadap waktu. Kita memilih E f tetap dan X d berubah<br />
terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang<br />
E f<br />
0 ≤ t ≤ t1 : X d′′<br />
=<br />
I ′′<br />
disebut reaktansi subtransien<br />
E f<br />
t1 ≤ t ≤ t2<br />
: X d′<br />
=<br />
I ′<br />
disebut reaktansi transien<br />
t ≥ t2 :<br />
E f<br />
X d =<br />
I<br />
disebut reaktansi mantap.<br />
Impedansi urutan positif menjadi<br />
Z ′ = R + j ′<br />
′1 a X d ;<br />
Z = R + j ′<br />
′1 a X d ;<br />
Z 1 = R a + jX d<br />
Nilai-nilai X d ′ dan X d ′ diberikan oleh pembuat generator.<br />
Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita<br />
hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan<br />
memilih menggunakan reaktansi subtransien, X d′ .<br />
4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol<br />
Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita<br />
gambarkan sekali<br />
lagi pada Gb.4.18.<br />
I<br />
X d adalah direct<br />
jX<br />
axis reactance yang +<br />
d<br />
+<br />
memberikan beda E f<br />
∼ ∼ V<br />
tegangan sebesar<br />
IX d antara tegangan Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satufasa<br />
generator sinkron rotor silindris.<br />
terbangkit dan<br />
tegangan terminal<br />
generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan<br />
magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet<br />
lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet<br />
rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor<br />
silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di<br />
191
Mesin Sinkron<br />
seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub<br />
menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit<br />
disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu<br />
kutub. Lihat Gb.4.19.<br />
d<br />
θ<br />
a<br />
q<br />
d<br />
θ<br />
a<br />
q<br />
U<br />
U<br />
S<br />
sumbu fluksi<br />
lawan jangkar<br />
S<br />
sumbu fluksi<br />
lawan jangkar<br />
a 1<br />
sumbu fluksi<br />
rotor<br />
Rotor silindris<br />
Kutub menonjol<br />
Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol.<br />
Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu<br />
yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90 o adalah sumbu q<br />
(quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari<br />
dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen<br />
sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan<br />
tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar Id<br />
X d dan Iq<br />
X q ,<br />
dengan I d dan I q adalah direct axis current dan quadrature axis<br />
current, sedangkan X d dan X q adalah direct axis reactance dan<br />
quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan<br />
fasa adalah E f dan tegangan di terminal generator adalah V maka<br />
dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,<br />
E j I X + jI<br />
X + V<br />
(4.41)<br />
f = d d q q<br />
Gb.4.19 menggambarkan mesin sinkron dua kutub, sehingga sudut<br />
mekanis θ sama dengan sudut listrik. Pada umumnya generator<br />
dibangun dengan lebih dari dua kutub; oleh karena itu kita gunakan<br />
sudut listrik δ yang memiliki relasi tertentu dengan sudut mekanis.<br />
Jika V kita ambil sebagai referensi dengan sudut fasa nol, maka<br />
a 1<br />
sumbu fluksi<br />
rotor<br />
192 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron<br />
o<br />
o<br />
V = V∠0<br />
, I = I∠ − ψ,<br />
E f = E f ∠δ,<br />
Id<br />
= Id<br />
∠δ − 90 , Iq<br />
= Iq∠δ<br />
Untuk jelasnya kita gambarkan diagram fasor seperti pada Gb.4.20.<br />
Perhatikan bahwa beda fasa antara tegangan terbangkit dan tegangan<br />
terminal adalah δ; tegangan jatuh direct axis sefasa dengan tegangan<br />
terbangkit; tegangan jatuh quadrature axis berbeda fasa 90 o dengan<br />
tegangan terbangkit.<br />
E f<br />
jI q X q<br />
jIX q<br />
I q<br />
ψ<br />
δ<br />
I q X q<br />
V<br />
jI d X d<br />
I d ( X d − X q )<br />
I d<br />
I<br />
Gb.4.20. Diagram fasor mesin kutub menonjol.<br />
Kita perhatikan pula bahwa pada tegangan terminal yang ditetapkan<br />
(dalam operasi), sudut δ tergantung dari daya beban dan faktor daya<br />
beban (tergantung dari I dan ψ dalam diagram fasor). Nilai X d dan<br />
X q dapat diberikan oleh pembuat generator, maka menjadi<br />
pertanyaan berpakah daya maksimum yang dapat diberikan oleh<br />
generator.<br />
Daya per fasa adalah<br />
∗<br />
o<br />
S f = VI = V ( Iq∠δ + Id<br />
∠(<br />
δ − 90 ) )<br />
o<br />
= V( I ∠ − δ + I ∠90<br />
− δ)<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
q<br />
( I q + jI d ) ∠ − δ<br />
( I q (cos δ − j sin δ)<br />
+ jI d (cos δ − j sin δ)<br />
)<br />
( I (cos δ − j sin δ)<br />
+ I ( j cos δ + sin δ)<br />
)<br />
q<br />
d<br />
= V ( I q cos δ + I d sin δ)<br />
+ jV ( I d cos δ − I q sin δ)<br />
= Pf<br />
+ jQ f<br />
d<br />
∗<br />
(4.42)<br />
193
Mesin Sinkron<br />
Dari Gb.4.20 kita peroleh<br />
E<br />
cosδ =<br />
Iq<br />
X<br />
sin δ =<br />
V<br />
f<br />
− I<br />
V<br />
q<br />
d<br />
X<br />
d<br />
→ I<br />
q<br />
→ I<br />
sehingga kita peroleh daya nyata<br />
d<br />
E<br />
=<br />
V sin δ<br />
=<br />
X<br />
q<br />
f<br />
−V<br />
cosδ<br />
X<br />
d<br />
(4.43)<br />
Pf<br />
= V ( I q cos δ + I d sin δ)<br />
⎛<br />
⎞<br />
⎜V<br />
sin δ E f −V<br />
cos δ<br />
= V cos δ +<br />
sin δ⎟<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎝<br />
X q<br />
X d ⎠<br />
2<br />
2<br />
V<br />
VE f V<br />
= sin δ cos δ + sin δ − sin δ cos δ<br />
X q<br />
X d X d<br />
VE f<br />
=<br />
X d<br />
VE f<br />
=<br />
X d<br />
⎛ 2<br />
⎜ V<br />
sin δ + −<br />
⎜<br />
⎝<br />
X q<br />
2<br />
V<br />
sin δ +<br />
2X<br />
d X q<br />
V<br />
X<br />
2 ⎞<br />
⎟ sin δ cos δ<br />
⎟<br />
d ⎠<br />
( X − X ) sin 2δ<br />
d<br />
q<br />
(4.44)<br />
Jika kita bandingkan persamaan (4.44) ini dengan peramaan (4.33)<br />
untuk mesin rotor silindris, yaitu<br />
VE f<br />
P f = sinδ<br />
X d<br />
terlihat bahwa daya maksimum mesin kutub menonjol lebih tinggi<br />
dan terjadi pada sudut δ yang lebih rendah. Lagipula pada E f = 0<br />
(kehilangan eksitasi) mesin kutub menonjol masih bisa memberikan<br />
daya. Persamaan (4.44) akan menjadi (4.33) bila X d = X q .<br />
Untuk daya reaktif mesin kutub menonjol, (4.42) memberikan<br />
194 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
VE f<br />
=<br />
X d<br />
VE f<br />
=<br />
X d<br />
⎛ 2<br />
V ( X d X q ) ⎞<br />
2<br />
V ( X d X q )<br />
cos<br />
⎜<br />
−<br />
+<br />
δ +<br />
⎟<br />
⎜<br />
cos 2δ −<br />
2X<br />
d X ⎟<br />
q<br />
X d X q<br />
⎝<br />
⎠<br />
Mesin Sinkron<br />
⎛ E f −V<br />
cos δ V sin ⎞<br />
Q f V ( I d cos I q sin ) V ⎜<br />
δ<br />
= δ − δ =<br />
cos δ − sin δ⎟<br />
⎜ X d<br />
X ⎟<br />
⎝<br />
q ⎠<br />
VE<br />
2 2 2 2<br />
f V cos δ V sin δ<br />
= cos δ − −<br />
X d<br />
X d X q<br />
VE<br />
2<br />
2<br />
f V ⎛ cos 2δ<br />
2 ⎞ V ⎛ cos 2δ<br />
2 ⎞<br />
= cos δ − ⎜ + sin δ⎟ + ⎜ − cos δ⎟<br />
X d X d ⎝ 2 ⎠ X q ⎝ 2 ⎠<br />
2<br />
2 2 2 2<br />
V cos 2δ<br />
⎛ 1 1 ⎞ V sin δ V cos δ<br />
cos δ + ⎜−<br />
+ ⎟ − −<br />
2 ⎜ X d X ⎟<br />
⎝<br />
q ⎠<br />
X d X q<br />
(4.45)<br />
Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk<br />
mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33)<br />
yaitu:<br />
⎛VE<br />
2 ⎞<br />
⎜ f V<br />
Q = δ − ⎟<br />
f cos<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎝<br />
X d X d ⎠<br />
terlihat bahwa (4.33) dapat diperoleh dari (4.45) jika X d = X q .<br />
195
196 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
Mesin Sinkron
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
BAB 5 <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Dalam analisis rangkaian listrik pada umumnya, suatu sumber<br />
dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal,<br />
dan beban dinyatakan sebagai impedansi. Sumber tegangan ideal<br />
memberikan daya ke rangkaian pada tegangan tertentu, berapapun<br />
besar arus yang dibutuhkan oleh rangkaian; sumber arus ideal<br />
memberikan daya pada rangkaian pada arus tertentu, berapapun<br />
tegangan yang diperlukan oleh rangkaian. Oleh karena itu apabila<br />
rangkaian merupakan rangkaian linier, terdapat hubungan linier<br />
antara tegangan, arus dan impedansi; dan dalam analisis, misalnya<br />
dengan menggunakan metoda tegangan simpul, kita memperoleh<br />
persamaan linier.<br />
Dalam sistem tenaga, kita melihat situasi yang berbeda. Sumber,<br />
merupakan sumber daya yang hanya boleh beroperasi pada batas<br />
daya dan tegangan tertentu. Sementara itu beban dinyatakan sebagai<br />
besar daya yang diminta/diperlukan, pada tegangan yang juga<br />
ditentukan. Suatu permintaan daya hanya dapat dilayani selama<br />
pembebanan tidak melampaui batas daya yang mampu disediakan<br />
oleh sumber. Kita mengetahui bahwa walaupun rangkaian tetap<br />
rangkaian linier, relasi daya antara sumber dan beban tidaklah linier.<br />
Oleh karena itu jika kita menurunkan persamaan rangkaian, dengan<br />
daya sebagai parameter, persamaan rangkaian yang kita peroleh<br />
merupakan persamaan nonlinier. Dalam memecahkan persamaan<br />
nonlinier ini kita memerlukan cara khusus.<br />
5.1. <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Dalam analisis aliran daya, kita mengambil ketentuan-ketentuan<br />
sebagai berikut:<br />
a). <strong>Sistem</strong> dalam keadaan seimbang; dengan demikian kita dapat<br />
melakukan perhitungan dengan menggunakan model satu-fasa.<br />
b). Semua besaran dinyatakan dalam per-unit; dengan demikian<br />
berbagai tingkat tegangan dalam sistem sebagai akibat<br />
digunakannya transformator, tidaklah menjadi persoalan.<br />
197
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Bus-bus dalam rangkaian sistem tenaga merupakan simpul-simpul<br />
rangkaian yang biasa kita kenal dalam analisis rangkaian listrik.<br />
Bus-bus ini dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis:<br />
i) Bus-generator (generator bus), adalah bus dimana generator<br />
dihubungkan melalui transformator. Daya yang masuk dari<br />
generator ke bus-generator ke-i (bus nomer i) adalah<br />
ii)<br />
S +<br />
Gi = PGi<br />
jQGi<br />
(5.1)<br />
Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama<br />
adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus<br />
ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran<br />
transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah<br />
S +<br />
Bi = PBi<br />
jQBi<br />
(5.2)<br />
dan daya yang menuju saluran transmisi menjadi<br />
S<br />
i = Pi<br />
+ jQi<br />
= SGi<br />
− SBi<br />
(5.3)<br />
Bus yang tidak terhubung ke generator tetapi terhubung hanya<br />
ke beban disebut bus-beban (load bus). Dari bus-beban ke-j<br />
(nomor bus j) mengalir daya menuju ke beban sebesar S Bj atau<br />
kita katakan daya mengalir menuju saluran transmisi sebesar<br />
S<br />
j = −S Bj<br />
(5.4)<br />
iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban,<br />
teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya<br />
keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang<br />
diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk<br />
keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui,<br />
baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan busgenerator<br />
juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya<br />
yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut<br />
slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber<br />
tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita<br />
kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa<br />
dipenuhi.<br />
198 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
5.2. Persamaan Arus-Tegangan<br />
Karena relasi linier hanya ada pada tegangan dan arus, tidak pada<br />
daya, maka persamaan aliran daya harus diturunkan melalui<br />
persamaan arus dan tegangan terlebih dulu. Selain itu, karena kita<br />
menggunakan sistem per-unit, impedansi transformator dapat<br />
disatukan dengan impedansi generator sehingga transformator tak<br />
digambarkan lagi dalam diagram satu garis untuk analisis ini.<br />
<strong>Sistem</strong> Dengan Dua Bus. Kita tinjau bus-1 (bus-generator nomer-1)<br />
yang terhubung melalui saluran transmisi ke bus-2 (bus-generator<br />
nomer-2). Diagram satu garis dan model satu-fasa terlihat pada<br />
Gb.5.1.<br />
SG1<br />
V S<br />
1 I 1<br />
I V2<br />
G 2<br />
saluran transmisi 2<br />
∼<br />
bus -1 IB1<br />
I B 2 bus - 2<br />
diagram rangkaian<br />
bus -1<br />
bus - 2<br />
z<br />
I s<br />
1<br />
I2<br />
S S<br />
G1 S S G 2<br />
B1 y p y p<br />
B2<br />
∼<br />
Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen.<br />
SG1,<br />
SG2<br />
:daya per fasa generator<br />
V1<br />
, V1<br />
: tegangan fasa - netral<br />
I1,<br />
I2<br />
: arus ke saluran transmisi dari bus -1dan bus - 2<br />
IB1,<br />
IB2<br />
: arus beban (langsung) dari bus -1dan bus - 2.<br />
z12<br />
:impedansi seri antar bus dalam rangkaian ekivalen π<br />
y p :admitansi paralelsaluran transmisi pada rangkaian ekivalen π<br />
Arus yang keluar dari bus-1 ke saluran transmisi adalah<br />
I<br />
rangkaian ekivalen<br />
1 = y pV1<br />
+ y12<br />
( V1<br />
− V2<br />
) = ( y p + y12<br />
) V1<br />
− y12V2<br />
(5.5.a)<br />
dengan y 12 = 1/<br />
z12<br />
adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2.<br />
199
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Admitansi total yang dilihat oleh bus-1 didefinisikan sebagai<br />
Y p +<br />
11 = y y 12<br />
(5.5.c)<br />
Dengan pengertian ini maka relasi (5.5.a) dapat ditulis<br />
I1 = Y11V<br />
1 − y12V2<br />
(5.6.a)<br />
Dengan pengertian yang sama, kita peroleh relasi untuk bus-2<br />
sebagai<br />
I2 = Y22V2<br />
− y12V1<br />
(5.6.b)<br />
Dengan demikian kita memperoleh persamaan untuk sistem dengan<br />
dua bus (dengan mengubah urutan penulisan pada (5.6.b))<br />
I<br />
I<br />
1<br />
2<br />
= Y<br />
11<br />
= −Y<br />
V<br />
12<br />
1<br />
− y<br />
V<br />
1<br />
12<br />
+ y<br />
V<br />
22<br />
2<br />
V<br />
1<br />
(5.7)<br />
<strong>Sistem</strong> Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7)<br />
dikembangkan menjadi<br />
I1<br />
= Y11<br />
V1<br />
− y12V2<br />
− y13V3<br />
I2<br />
= −y12V1<br />
+ Y22V1<br />
− y23V3<br />
I3<br />
= −y12V2<br />
− y23V<br />
+ Y33V3<br />
Secara formal, penulisan persamaan (5.8.a) adalah<br />
I1<br />
= Y11V<br />
1 + Y12<br />
V2<br />
+ Y13<br />
V3<br />
I2<br />
= Y12<br />
V1<br />
+ Y22V1<br />
+ Y23V3<br />
I3<br />
= Y12<br />
V2<br />
+ Y23V<br />
+ Y33V3<br />
(5.8.a)<br />
(5.8.b)<br />
dengan Yij<br />
= −yij<br />
. Persamaan (5.8.b) dapat kita tuliskan dalam<br />
bentuk matriks sebagai<br />
⎡I1<br />
⎤ ⎡Y11<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢I2⎥<br />
⎢<br />
Y12<br />
⎢ ⎥<br />
⎣I3⎦<br />
⎢⎣<br />
Y13<br />
Y12<br />
Y22<br />
Y23<br />
Y13<br />
⎤ ⎡V1<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Y<br />
⎥<br />
23⎥<br />
⎢V2<br />
⎥<br />
Y ⎥⎦<br />
⎢ ⎥<br />
33 ⎣V3<br />
⎦<br />
(5.9)<br />
<strong>Sistem</strong> Dengan n Bus. Persamaan untuk sistem dengan tiga bus<br />
(5.9) dikembangkan untuk sistem dengan n bus menjadi<br />
200 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
⎡I1<br />
⎤ ⎡Y11<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎢I2<br />
⎥ ⎢<br />
Y12<br />
⎢I<br />
⎥<br />
3 = ⎢Y13<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎢ . ⎥ ⎢ .<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣In<br />
⎦ ⎣Y1<br />
n<br />
Y12<br />
Y22<br />
Y23<br />
.<br />
Y2n<br />
Y13<br />
Y23<br />
Y33<br />
.<br />
Y3n<br />
.<br />
.<br />
.<br />
.<br />
.<br />
Y1<br />
n ⎤ ⎡V1<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Y<br />
⎥<br />
2n<br />
⎥ ⎢V2<br />
⎥<br />
Y3n<br />
⎥ ⎢V<br />
⎥<br />
3<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
. ⎥ ⎢ . ⎥<br />
Y ⎥ ⎢ ⎥<br />
nn ⎦ ⎣Vn<br />
⎦<br />
(5.10.a)<br />
Persamaan (5.10.a) ini dapat kita tulis dengan ringkas:<br />
~ ~<br />
I bus = [ Ybus<br />
] Vbus<br />
(5.10.b)<br />
5.3. Persamaan Aliran Daya<br />
Untuk menurunkan persamaan aliran daya kita perhatikan arus yang<br />
mengalir ke saluran transmisi (tidak termasuk arus ke beban<br />
langsung). Untuk bus ke-i dalam sistim dengan n bus, kita dapatkan<br />
n<br />
I i = ∑Y ij V j<br />
(5.11)<br />
j=<br />
1<br />
j = 1 , 2,... i,...<br />
n;<br />
Y = Y ∠θ ; V<br />
ij<br />
ij<br />
ij<br />
j<br />
= V ∠ψ<br />
Dengan (5.11) ini kita dapat menghitung daya dari bus-i yang<br />
menuju saluran transmisi, yaitu<br />
n<br />
∗<br />
∗<br />
Si<br />
= Vi<br />
Ii<br />
= Vi∑<br />
( Yij<br />
V j )<br />
j=<br />
1<br />
= Vi∠ψi<br />
j=<br />
1<br />
n<br />
∑( Yij<br />
∠ − θij<br />
V j∠ − ψ j ) = Pi<br />
+ jQi<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
Pi<br />
= Vi<br />
⎜∑<br />
Yij<br />
V j cos( ψi<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
⎟<br />
dan<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
Qi<br />
= Vi<br />
⎜∑<br />
Yij<br />
V j sin( ψi<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
⎟<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
j<br />
j<br />
(5.12)<br />
(5.13)<br />
201
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Perhatikan bahwa S i adalah daya yang mengalir ke saluran<br />
transmisi. Hubungan dengan daya generator bisa diperoleh melalui<br />
relasi (5.3) yaitu<br />
Si<br />
= Pi<br />
+ jQi<br />
= SGi<br />
− SBi<br />
sehingga<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
PGi<br />
− PBi<br />
= Vi<br />
⎜∑V<br />
j Yij<br />
cos( ψi<br />
− ψ j − θij<br />
)<br />
⎟<br />
dan<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
(5.14)<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
QGi<br />
− QBi<br />
= Vi<br />
⎜∑V<br />
j Yij<br />
sin( ψi<br />
− ψ j − θij<br />
)<br />
⎟<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
Persamaan (5.14) adalah dua persamaan yang kita peroleh untuk<br />
setiap bus-i. Dalam persamaan ini terdapat enam besaran peubah<br />
yang terkait dengan bus yang bersangkutan, yaitu<br />
P<br />
Q<br />
P<br />
Q<br />
V<br />
Gi , Gi , Bi,<br />
Bi,<br />
i , dan i<br />
(5.15)<br />
Besaran yang lain adalah peubah di luar bus-i.<br />
Jika bus-i adalah bus-generator, maka sebagian besaran yang terdapat<br />
pada persamaan (5.14) merupakan besaran yang diketahui atau<br />
ditentukan:<br />
- P Bi dan Q Bi adalah daya beban yang diketahui.<br />
- P Gi merupakan besaran yang diketahui karena daya nyata ini<br />
bisa ditentukan dengan mengatur masukan uap di turbin<br />
misalnya.<br />
- V i juga tertentu besarnya karena bisa di atur melalui arus<br />
eksitasi.<br />
- Q Gi walaupun tidak diketahui namun, akan tertentu besarnya<br />
jika tegangan dan sudut fasa di bus yang lain diketahui.<br />
- dengan demikian hanya tinggal satu peubah yang harus<br />
dihitung yaitu ψ i .<br />
Jika bus-i adalah bus-beban, tak ada generator terhubung ke sini; P Gi<br />
dan Q Gi bernilai nol, dan Pi<br />
= −PBi<br />
dan Qi<br />
= −QBi<br />
keduanya<br />
diketahui (tanda minus pda P Bi dan Q Bi diberikan karena daya<br />
ψ<br />
202 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
dianggap mengalir ke saluran). Dengan demikian untuk bus-beban<br />
hanya ada dua besaran peubah yang harus dihitung yaitu V i dan ψ i .<br />
Jadi di setiap bus pada dasarnya hanya ada dua atau satu peubah<br />
yang harus dicari, yaitu V i dan ψ i di bus-beban dan ψ i saja di busgenerator.<br />
Dalam satu jaringan transmisi yang terdiri dari total n<br />
bus, dengan n G bus-generator dan satu slack-bus, terdapat besaran<br />
yang harus dihitung sebanyak<br />
besaran harus dihitung = 2( n −1)<br />
− n G (5.16)<br />
Kebanyakan bus dalam sistem tenaga adalah bus-beban; hanya<br />
sebagian kecil dari total jumlah bus merupakan bus-generator.<br />
5.4. Proses Pencarian Solusi<br />
Solusi suatu persamaan aliran daya adalah mencari profil tegangan<br />
di semua bus dalam suatu sistem tenaga. Karena persamaan daya<br />
merupakan persamaan non-linier, maka solusi dilakukan dengan<br />
cara iterasi. Proses pencarian solusi adalah sebagai berikut:<br />
1. Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemenelemen<br />
dari matriks [Y bus ].<br />
2. Pada bus-beban tentukan P B dan Q B .<br />
3. Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan P G .<br />
o<br />
4. Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan V 1 = 1∠0<br />
.<br />
5. Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan ψ, bus<br />
yang lain.<br />
6. Masukkan data [Y bus ] dan profil tegangan yang diasumsikan<br />
ke persamaan (5.14) untuk mencari P i dan Q i . Setiap kali<br />
iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan<br />
besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau<br />
hasil perhitungan sebelumnya.<br />
7. Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai<br />
dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi<br />
berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi<br />
semakin kecil.<br />
8. Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat<br />
mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada<br />
situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.<br />
203
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
5.4. Metoda Newton-Raphson<br />
5.4.1. Formula Iterasi – Persamaan Rekursi<br />
Dalam buku Vincent del Toro, [2], formula iterasi diturunkan<br />
melalui penguraian fungsi nonlinier menjadi deret Taylor dan<br />
mengabaikan suku-suku dengan orde tinggi. Di sini kita akan<br />
menurunkannya melalui pengamatan grafis.<br />
Persamaan dengan Peubah Tunggal. Kita misalkan sebuah<br />
persamaan nonlinier dengan peubah tunggal<br />
p ( x)<br />
= 0<br />
(5.17)<br />
dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri<br />
persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita<br />
misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau.<br />
Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x<br />
sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu<br />
sol<br />
x , seperti terlihat pada Gb.5.2 di bawah ini. Indeks atas<br />
digunakan untuk menunjukkan langkah iterasi; misalnya x 0 adalah<br />
iterasai ke-0 yaitu dugaan awal, x 1 adalah iterasi ke-1, dan<br />
seterusnya.<br />
p<br />
p( x<br />
0 )<br />
p(x)<br />
sol<br />
x<br />
p(<br />
x<br />
2 )<br />
p( x<br />
1 )<br />
0<br />
dp<br />
dx<br />
2<br />
0 x<br />
x 1<br />
x x<br />
1 0<br />
∆x ∆x<br />
Gb.5.2. Proses iterasi untuk persamaan p ( x)<br />
= 0 .<br />
Kita tentukan dugaan awal solusi persamaan, yaitu x 0 . Jika kita<br />
masukkan solusi dugaan ini ke dalam persamaannya, kita<br />
memperoleh p ( x<br />
0 ) . Antara p ( x<br />
0 ) ini dengan nilai yang<br />
204 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
ditentukan pada persamaan (5.17) yaitu 0, terdapat selisih sebesar<br />
0<br />
0<br />
∆ p(<br />
x ) = 0 − p(<br />
x ) ; perhatikan bahwa selisih ini bernilai negatif.<br />
Oleh karena itu kita melakukan dugaan solusi baru yaitu x 1 yang<br />
mendekati x sol ; dugaan baru ini kita masukkan ke persamaan, dan<br />
akan memberikan p ( x<br />
1 ) . Jika p( x<br />
1 ) belum juga bernilai nol<br />
sebagaimana diminta, kita coba lagi nilai x 2 , dan demikian<br />
seterusnya sampai kita memperoleh suatu nilai x yang memberikan<br />
p ( x)<br />
= 0 atau sangat dekat dengan 0.<br />
Menetukan x 1 secara efektif dilakukan sebagai berikut. Setelah<br />
dugaan solusi x 0 memberikan p(x 0 ), kita buat garis singgung pada<br />
kurva di titik p(x 0 0<br />
) yaitu dp / dx ; garis singgung ini akan<br />
memotong sumbu-x di x 1 0<br />
yang berposisi tergeser sebesar ∆ x dari<br />
0<br />
posisi x 0 0 0 0<br />
0 ∆p(<br />
x )<br />
. Karena dp / dx = p(<br />
x ) / ∆x<br />
maka ∆ x =<br />
0<br />
( dp / dx)<br />
dan karena ∆p( x<br />
0 ) bernilai negatif maka kita dapat menentukan x 1<br />
yaitu<br />
0<br />
1 0 0 0 ∆p(<br />
x )<br />
x = x + ∆x<br />
= x +<br />
0<br />
( dy / dx)<br />
x 1 akan memberikan p ( x<br />
1 ) yang memungkinkan kita menghitung<br />
1 1<br />
1<br />
∆ x = ∆p( x )/( dp / dx)<br />
yang akan memberikan x 2 ; dan demikian<br />
seterusnya sampai kita mendapatkan<br />
p ( x n ) ≈ 0 .<br />
n<br />
∆x<br />
yang akan memberikan<br />
Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan<br />
sebagai berikut:<br />
Jika x k adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka<br />
k −1<br />
k k −1<br />
∆p(<br />
x )<br />
x = x +<br />
(5.18)<br />
k −1<br />
dp dx<br />
(<br />
Persamaan (5.18) inilah persamaan rekursi atau formula iterasi.<br />
/<br />
)<br />
205
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Uraian di atas adalah untuk persamaan (5.17) dimana ruas kanan<br />
bernilai nol. Kita tinjau sekarang persamaan dengan ruas kanan<br />
tidak bernilai nol, yang kita tuliskan sebagai<br />
p ( x)<br />
= P<br />
(5.19)<br />
dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai<br />
fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi x sol<br />
yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan<br />
garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3.<br />
p<br />
p( x<br />
0 )<br />
p(x)<br />
P<br />
sol<br />
x<br />
p(<br />
x<br />
1 )<br />
2 1<br />
x x 1<br />
0<br />
∆x ∆x<br />
Gb.5.3. Proses iterasi untuk persamaan<br />
p ( x)<br />
= P .<br />
0<br />
Untuk persamaan (5.19) ini ∆ x adalah<br />
0<br />
0 P + ∆p<br />
∆ x = x<br />
(5.20)<br />
0<br />
( dp / dx)<br />
Kita coba untuk memahami persamaan terakhir ini.<br />
∆ p 0 P p( x 0 x = − ) adalah perbedaan antara nilai fungsi yang<br />
seharusnya, yaitu P, dengan nilai fungsi jika dugaan awal peubah<br />
x 0 kita terapkan; perbedaan ini bernilai negatif. Perbedaan ini<br />
harus dikoreksi dengan mengoreksi dugaan awal sebesar ∆x 0<br />
sehingga nilai peubah berubah dari x 0<br />
1 0 0<br />
menjadi x = x + ∆x<br />
;<br />
koreksi inilah koreksi terhadap dugaan awal. Setelah koreksi awal<br />
ini, perbedaan nilai fungsi terhadap nilai seharusnya adalah<br />
1 ( x 1 0<br />
∆ p = P − p ) yang lebih kecil dari ∆p<br />
yang berarti nilai<br />
fungsi mendekati P. Koreksi peubah kita lakukan lagi untuk lebih<br />
mendekat lagi ke P; langkah koreksi ini merupakan iterasi<br />
pertama. Pada iterasi pertama ini kita akan memperoleh<br />
206 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />
0<br />
x<br />
0<br />
dp / dx<br />
x<br />
0 1<br />
p(<br />
x ) − p(<br />
x )
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
perbedaan ∆p 2 P p( x 2<br />
x = − ) yang mungkin masih harus di koreksi<br />
lagi pada itersi ke-dua. Demikian seterusnya sampai kita peroleh<br />
n<br />
( P − p(<br />
x )) ≈ 0 . Dalam perjalanan menuju P tersebut alur yang<br />
kita lewati adalah kurva p(x). Secara umum, pada iterasi ke-k kita<br />
akan mempunyai persamaan yang memberikan perbedaan nilai<br />
fungsi dengan nilai seharusnya, yaitu<br />
k<br />
k k<br />
( dp / dx ∆x<br />
(5.21)<br />
∆ p = )<br />
Dengan pemahaman ini kita lanjutkan pengamatan pada<br />
persamaan dengan dua peubah.<br />
Persamaan Dengan Dua Peubah. Sepasang persamaan dengan<br />
dua peubah kita tuliskan sebagai<br />
p(<br />
x,<br />
y)<br />
= P<br />
q(<br />
x,<br />
y)<br />
= Q<br />
(5.22)<br />
dengan P dan Q adalah tetapan. Kita harus melakukan iterasi<br />
untuk dua peubah x dan y. Dugaan solusi awal memberikan<br />
persamaan yang merupakan pengembangan dari (15.21) yaitu<br />
∆p<br />
∆q<br />
0<br />
0<br />
= P − p(<br />
x<br />
= P − q(<br />
x<br />
0<br />
0<br />
, y<br />
, y<br />
0<br />
0<br />
) = ( ∂p<br />
/ ∂x)<br />
) = ( ∂q<br />
/ ∂x)<br />
0<br />
0<br />
∆x<br />
∆x<br />
0<br />
0<br />
+ ( ∂p<br />
/ ∂y)<br />
+ ( ∂q<br />
/ ∂y)<br />
0<br />
0<br />
∆y<br />
∆y<br />
0<br />
0<br />
(5.23)<br />
yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />
⎡∆p⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆q⎦<br />
0<br />
⎡∂p<br />
/ ∂x<br />
= ⎢<br />
⎣∂p<br />
/ ∂x<br />
∂p<br />
/ ∂y⎤<br />
∂p<br />
/ ∂y<br />
⎥<br />
⎦<br />
0<br />
⎡∆x⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆y⎦<br />
0<br />
= J<br />
0<br />
⎡∆x⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆y⎦<br />
0<br />
(5.24)<br />
Matriks 2×2 turunan parsial terhadap x dan y disebut jacobian dan<br />
dinyatakan dengan J. Apabila ∆p 0 dan ∆q 0 tidak bernilai nol maka<br />
⎡∆x⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆y⎦<br />
0<br />
=<br />
−1<br />
( J )<br />
0<br />
⎡∆p⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆q⎦<br />
0<br />
(5.25)<br />
Inilah persamaan untuk menentukan besar koreksi. Dengan (5.25)<br />
ini dapat dihitung ∆x 0 dan ∆y 0 sehingga dapat diperoleh x 1 dan y 1<br />
untuk iterasi selanjutnya.<br />
207
1<br />
⎡x⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎣y⎦<br />
⎡x<br />
+ ∆x⎤<br />
= ⎢ ⎥<br />
⎣y<br />
+ ∆y⎦<br />
0<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
(5.26)<br />
Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaanpersamaan<br />
sebagai berikut:<br />
k<br />
k<br />
⎡∆p⎤<br />
⎡P<br />
− p(<br />
x)<br />
⎤<br />
1). ⎢<br />
q<br />
⎥ ≡ ⎢<br />
P p y<br />
⎥ ;<br />
⎣∆<br />
⎦ ⎣ − ( ) ⎦<br />
k<br />
k ⎡∂p<br />
/ ∂x⎤<br />
3). J = ⎢<br />
p y<br />
⎥ ;<br />
⎣∂<br />
/ ∂ ⎦<br />
k<br />
k<br />
⎡∆p⎤<br />
k ⎡∆x⎤<br />
2). ⎢ J<br />
q<br />
⎥ = ⎢<br />
y<br />
⎥ ;<br />
⎣∆<br />
⎦ ⎣∆<br />
⎦<br />
k<br />
k<br />
⎡∆x⎤<br />
−1 k ⎡∆p⎤<br />
4). ⎢ = ( J )<br />
y<br />
⎥ ⎢<br />
q<br />
⎥<br />
⎣∆<br />
⎦ ⎣∆<br />
⎦<br />
(5.27)<br />
Persamaan pertama (5.27) yang berupa identitas akan menentukan<br />
perlu tidaknya dilakukan koreksi (iterasi) lagi terhadap hasil<br />
perhitungan sebelumnya; oleh karena itu persamaan ini disebut<br />
corrective force. Identitas ini menjadi ruas kiri persamaan ke-dua,<br />
yang terkait dengan koreksi peubah yang harus dilakukan melalui<br />
jacobian J k yang nilainya diberikan oleh persamaan ke-tiga. Besar<br />
koreksi yang harus dilakukan diberikan oleh persamaan ke-empat.<br />
Setelah koreksi dilakukan, kita kembali pada persamaan pertama<br />
untuk melihat perlu tidaknya iterasi dilanjutkan lagi.<br />
5.4.2. Aplikasi Pada <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Berapa banyak peubah yang harus ditentukan dalam satu jaringan<br />
transmisi diberikaan oleh (5.16). Namun dalam menuliskan<br />
persamaan aliran daya, kita memperlakukan semua bus sebagai<br />
bus-beban, agar penulisan lebih terstruktur; ini berarti bahwa<br />
semua bus megandung dua peubah yaitu tegangan dan sudut<br />
fasanya, walupun ada peubah yang sudah ditetapkan di beberapa<br />
bus-generator.<br />
Karena slack-bus ditetapkan sebagai bus nomer-1, dengan<br />
o<br />
tegangan 1∠<br />
0 pu , maka kita bekerja mulai dari bus-2, dan nilai<br />
peubah yang harus dicari agar persamaan aliran daya terpenuhi<br />
adalah tegangan serta sudut fasa di setiap bus yaitu (V 2 , V 3 , V i ,...,<br />
V n ) dan (ψ 2 , ψ 3 , …., ψ i , … ψ n ). Pengembangan dari (5.28) untuk<br />
jaringan transmisi dengan n bus adalah sebagai berikut:<br />
208 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
209<br />
k<br />
nk<br />
k<br />
n<br />
n<br />
nk<br />
k<br />
nk<br />
k<br />
n<br />
n<br />
nk<br />
k<br />
nk<br />
k<br />
n<br />
n<br />
k<br />
V<br />
q<br />
Q<br />
V<br />
q<br />
Q<br />
V<br />
p<br />
P<br />
V<br />
p<br />
P<br />
V<br />
p<br />
P<br />
q<br />
q<br />
p<br />
p<br />
p<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
ψ<br />
−<br />
ψ<br />
−<br />
ψ<br />
−<br />
ψ<br />
−<br />
ψ<br />
−<br />
≡<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
∆<br />
∆<br />
∆<br />
∆<br />
∆<br />
=<br />
∆<br />
)<br />
,.......,<br />
(<br />
)<br />
,.......,<br />
(<br />
)<br />
,.......,<br />
(<br />
)<br />
,.......,<br />
(<br />
)<br />
,.......,<br />
(<br />
~<br />
1).<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
2<br />
M<br />
M<br />
M<br />
M<br />
u (5.28.a)<br />
k<br />
k<br />
k<br />
x<br />
J<br />
u<br />
∆<br />
=<br />
∆ ~<br />
).<br />
2 (5.28.b)<br />
k<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
k<br />
q<br />
q<br />
V<br />
q<br />
V<br />
q<br />
V<br />
q<br />
q<br />
q<br />
V<br />
q<br />
V<br />
q<br />
V<br />
q<br />
p<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
p<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
p<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
V<br />
p<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂ψ<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
∂<br />
=<br />
2<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
2<br />
3<br />
2<br />
3<br />
3<br />
3<br />
3<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3).<br />
L<br />
L<br />
M<br />
L<br />
L<br />
L<br />
L<br />
M<br />
L<br />
L<br />
L<br />
L<br />
J (5.28.c)<br />
( ) k<br />
k<br />
k<br />
n<br />
n<br />
k<br />
V<br />
V<br />
V<br />
u<br />
J<br />
x<br />
~<br />
~<br />
4).<br />
1<br />
2<br />
3<br />
2<br />
∆<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
∆ψ<br />
∆ψ<br />
∆<br />
∆<br />
∆<br />
≡<br />
∆<br />
−<br />
M<br />
M<br />
(5.28.d)<br />
Kiranya perlu kita fahami arti dari persamaan-persamaan (5.28)<br />
sebelum kita melangkah lebih lanjut.<br />
u ~k<br />
∆ adalah vektor yang berisi perbedaan nilai daya di setiap<br />
bus terhadap nilai daya yang ditetapkan untuk setiap bus yang
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
bersangkutan pada iterasi ke-k, baik daya nyata maupun daya<br />
reaktif.<br />
~<br />
k<br />
∆ x adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus,<br />
yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi<br />
ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu<br />
menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh ∆<br />
~ x<br />
0 untuk<br />
melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1<br />
diperoleh ∆<br />
~ x<br />
1 untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan<br />
seterusnya.<br />
Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan<br />
daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan<br />
tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa<br />
daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh<br />
karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang<br />
ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k,<br />
merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan<br />
vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k.<br />
Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa<br />
dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan<br />
peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak<br />
sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan<br />
relasi (5.28.d), ~ k −1<br />
k k<br />
∆x<br />
= ( J ) ∆u<br />
~ . Inversi matriks jacobian<br />
dalam relasi ini, akan kita fahami dengan meninjau sistem<br />
dengan dua bus seperti dalam contoh berikut.<br />
5.4.3. CONTOH <strong>Sistem</strong> Dua Bus<br />
Untuk melihat aplikasi dalam perhitungan kita akan melihat sistem<br />
dua bus seperti pada gambar berikut. Contoh ini diambil dari buku<br />
referensi [3], sedangkan perhitungan-perhitungan dilakukan secara<br />
manual dengan menggunakan “excel”. Cara ini akan membuat kita<br />
memahami langkah demi langkah proses perhitungan; hasil<br />
perhitungan yang kita lakukan ini sedikit berbeda dengan apa yang<br />
tercantum dalam buku referensi. Diagram rangkaian untuk contoh<br />
ini terlihat pada halaman berikut, dimana saluran transmisi<br />
digambarkan sebagai rangkaian ekivale π.<br />
210 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
P bus -1<br />
1 ,Q 1<br />
z = 20 + 80<br />
V1 = 1∠0<br />
y p<br />
o<br />
pu<br />
−3<br />
= 0,27 × 10 S<br />
12 j<br />
y p<br />
bus - 2<br />
S B 2<br />
=<br />
1+<br />
j1pu<br />
V2<br />
= V2∠ψ<br />
2 pu<br />
Bus-1 adalah bus-generator tanpa beban langsung. Bus-2 adalah<br />
bus-beban.<br />
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data<br />
jaringan; kemudian data jaringan ini kita nyatakan dalam per unit<br />
dengan memilih suatu nilai basis tertentu. Data jaringan adalah:<br />
o<br />
z12<br />
= 20 + j80<br />
= 82,4621∠<br />
75,96 Ω<br />
o<br />
o<br />
y12<br />
= 1/82,4621∠<br />
75,96 = 0,012127∠ − 75,96<br />
= 0,002941−<br />
j0,011765S<br />
−3<br />
y p = j0,27<br />
× 10 S<br />
y11<br />
= y22<br />
= y12<br />
+ y p = 0,002942 − j0,011495<br />
o<br />
= 0,011865∠ − 75,65<br />
S<br />
Besaran-besaran dinyatakan dalam per-unit setelah ditetapkan nilai<br />
basis.<br />
S<br />
basis<br />
⇒ Z<br />
= 100 MVA ;<br />
basis<br />
= 100 / 230<br />
2<br />
V<br />
basis<br />
= 529 Ω;<br />
= 230 kV<br />
Y<br />
basis<br />
→ Y12<br />
= Y21<br />
= −y12<br />
Y12<br />
= Y21<br />
= 0,012127/ 0,00189 = 6,4151<br />
o<br />
θ12<br />
= θ21<br />
= −75,96<br />
+ 180 = 104,04<br />
o<br />
→ Y11<br />
= Y22<br />
= 6,2766; θ11<br />
= θ22<br />
= −75,65<br />
Peubah dan daya yang ditetapkan di bus adalah:<br />
Bus -1: V<br />
1<br />
Bus - 2 : P<br />
V<br />
2<br />
2<br />
= 1;<br />
ψ<br />
1<br />
= −1;<br />
Q<br />
dan ψ<br />
= 0<br />
2<br />
2<br />
o<br />
= −1;<br />
( slack bus)<br />
(bus - beban)<br />
(harus dihitung)<br />
= 1/ 529 = 0,001890 S<br />
211
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Matriks Y-bus. Dari perhitungan di atas kita peroleh matriks Y bus<br />
sebagai berikut<br />
⎡Y<br />
⎤ ⎡<br />
o<br />
o<br />
11 Y12<br />
6,2766∠ − 75,64 6,4151∠104,04<br />
⎤<br />
Y = ⎢ ⎥ = ⎢<br />
o<br />
o ⎥ (5.29)<br />
bus<br />
⎣Y21<br />
Y22<br />
⎦ ⎢⎣<br />
6,4151∠104,04<br />
6,2766∠ − 75,64 ⎥⎦<br />
[ ]<br />
Persamaan Aliran Daya dan Jacobian. Secara umum, persamaan<br />
aliran daya di bus-i adalah<br />
n<br />
pi<br />
= Vi∠ψ<br />
2∑YijV<br />
j cos( −θij<br />
− ψ j )<br />
j = 1<br />
n<br />
qi<br />
= Vi∠ψ<br />
2∑YijV<br />
j sin( −θij<br />
− ψ j )<br />
j = 1<br />
Untuk bus-2 persamaan ini menjadi<br />
p2<br />
= V2[<br />
Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22V2<br />
cos( ψ2<br />
− θ22<br />
− ψ2)]<br />
= V2[<br />
Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22V2<br />
cos( −θ22<br />
]<br />
q2<br />
= V2[<br />
Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22V2<br />
sin( ψ2<br />
− θ22<br />
− ψ2)]<br />
= V2[<br />
Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22V2<br />
sin( −θ22<br />
)]<br />
(5.30)<br />
Daya nyata maupun reaktif untuk bus-2, dituliskan dengan huruf<br />
kecil karena ia masih akan berubah menuju nilai yang ditetapkan<br />
yaitu P 2 dan Q 2 .<br />
Nilai yang sudah tetap, yaitu V 1 = 1,<br />
ψ1<br />
= 0 di slack bus, dan<br />
elemen-elemen matriks Y bus , dapat kita masukkan ke dalam<br />
persamaan daya untuk mendapatkan persamaan yang lebih<br />
sederhana. Namun karena kita akan menggunakan excel, kita<br />
biarkan persamaan aliran daya ini seperti apa adanya agar mudah<br />
ditelusuri dalam spreadsheet.<br />
Karena kita hanya menghadapi dua persamaan daya, yaitu<br />
persamaan p dan q dengan dua peubah yaitu V 2 dan ψ 2 , maka<br />
matriks jacobian akan berukuran 2×2.<br />
dengan elemen-elemen:<br />
⎡∂p2<br />
/ ∂ψ 2 ∂p2<br />
/ ∂V2<br />
⎤<br />
J =<br />
(5.31.a)<br />
⎢<br />
⎥<br />
⎣∂q2<br />
/ ∂ψ 2 ∂q2<br />
/ ∂V2<br />
⎦<br />
212 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
∂p2<br />
= −V2Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
∂ψ 2<br />
∂p2<br />
= Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ 2Y22V2<br />
cos( −θ22<br />
]<br />
∂V2<br />
∂q2<br />
= V2Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
∂ψ 2<br />
∂q2<br />
= Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ 2Y22V<br />
2 sin( −θ22)]<br />
∂V2<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
(5.31.b)<br />
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal<br />
daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke<br />
nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita<br />
sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal<br />
0<br />
~ 0<br />
⎡ψ ⎤ ⎡0⎤<br />
x ≡ ⎢ 2<br />
⎥ =<br />
0 ⎢ ⎥<br />
⎢⎣<br />
V2<br />
⎥⎦<br />
⎣1⎦<br />
(5.32)<br />
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30)<br />
untuk mendapatkan nilai<br />
0<br />
p 2<br />
0<br />
dan q 2 . Darisini kita peroleh<br />
corrective force:<br />
0<br />
⎡∆<br />
⎤ ⎡ 0<br />
− − ⎤<br />
∆<br />
~ 0 p2<br />
1 p<br />
u = ⎢ ⎥ == 2<br />
⎢ ⎥<br />
⎣∆q<br />
0<br />
2⎦<br />
⎢⎣<br />
−1−<br />
q2<br />
⎥⎦<br />
(5.33)<br />
Corrective force menentukan besar koreksi<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎡ 0<br />
∆ψ<br />
− − ⎤<br />
∆<br />
~ 0 − 0 − 0<br />
≡ ⎢ 2 1<br />
⎥ = ( ) ∆<br />
~ 0 1 1 p<br />
x J u = ( J )<br />
2<br />
0<br />
⎢ 0 ⎥<br />
⎢⎣<br />
∆V2<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
−1<br />
− q2<br />
⎥⎦<br />
(5.34)<br />
Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam<br />
perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah<br />
setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P 2 , Q 2 ,<br />
dan elemen matriks Y bus .<br />
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan<br />
dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada<br />
secara umum dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut<br />
ini ditulis lagi data Y bus , persamaan aliran daya, kemudian<br />
diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian<br />
dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.<br />
⎡Y11<br />
bus = ⎢<br />
⎣Y21<br />
[ Y ]<br />
Y ⎤ ⎡<br />
o<br />
12 6,2766∠ − 75,64<br />
⎥ = ⎢<br />
Y<br />
o<br />
22 ⎦ ⎢⎣<br />
6,4151∠104,04<br />
o<br />
6,4151∠104,04<br />
⎤<br />
o ⎥<br />
6,2766∠ − 75,64 ⎥⎦<br />
213
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
2<br />
p2<br />
= V2Y21V1<br />
cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22<br />
( V2<br />
) cos( −θ22<br />
)<br />
2<br />
q2<br />
= V2Y21V1<br />
sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y22<br />
( V2<br />
) sin( −θ22<br />
)<br />
∆u ~<br />
∆<br />
~<br />
x<br />
∆u ~<br />
∆<br />
~<br />
x<br />
P 2 -1<br />
(tetapan)<br />
Q 2 -1<br />
ψ 2 0<br />
(dugaan<br />
-0.1169<br />
(iterasi<br />
V 2 1 awal) 0.8250 ke-1)<br />
p 2 5.29E-06 (substitusi ke -0.8149 (substitusi ke<br />
q 2 -0.14283 persamaan) -0.8109 persamaan)<br />
∆p 2 -1.0000 -0.1851<br />
~ 0<br />
∆q 2 -0.8572 ∆ u -0.1891<br />
~1<br />
∆ u<br />
J k 6.2235 1.5559 4.9496 0.2959<br />
-1.5559 5.9379 -1.8739 4.0337<br />
(J −1 ) k 0.1508 -0.0395 0.1966 -0.0144<br />
0.0395 0.1581 0.0913 0.2412<br />
∆ψ 2 -0.1169 -0.0337<br />
~<br />
∆v 2 -0.1750 ∆ x<br />
0<br />
-0.0625<br />
~ x<br />
1 ∆<br />
P 2 -1<br />
Q 2 -1<br />
(tetapan)<br />
ψ 2 -0.1506<br />
(iterasi<br />
-0.1552<br />
(iterasi<br />
V 2 0.7625 ke-2) 0.7535 ke-3)<br />
p 2 -0.9803 (substitusi ke -0.9996 (substitusi ke<br />
q 2 -0.9784 persamaan) -0.9996 persamaan)<br />
∆p 2 -0.0197 -0.0004<br />
~ 2<br />
∆q 2 -0.0216 ∆ u -0.0004<br />
~3<br />
∆ u<br />
J k 4.5137 -0.0993 4.4518 -0.1543<br />
-1.8849 3.3532 -1.8830 3.2551<br />
(J −1 ) k 0.2243 0.0066 0.2292 0.0109<br />
0.1261 0.3020 0.1326 0.3135<br />
∆ψ 2 -0.0046 -0.0001<br />
~<br />
∆v 2 -0.0090 ∆ x<br />
2<br />
-0.0002<br />
~ x<br />
3 ∆<br />
214 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
∆u ~<br />
∆<br />
~<br />
x<br />
P 2 -1<br />
Q 2 -1<br />
ψ 2 -0.1553 (iterasi<br />
V 2 0.7533<br />
ke-4)<br />
p 2 -0.99999983 (substitusi ke<br />
q 2 -0.99999981 persamaan)<br />
∆p 2 -2.0000<br />
∆q 2 -2.0000<br />
~ 4<br />
∆ u<br />
J k 4.4505 -0.1554<br />
-1.8829 3.2531<br />
(J −1 ) k 0.2293 0.0110<br />
0.1327 0.3137<br />
∆ψ 2 -0.4806<br />
∆v 2 -0.8930<br />
P 1 1.1229<br />
Q 1 1.2677<br />
(tetapan)<br />
∆<br />
~ x<br />
4<br />
Iterasi ke-5 tidak<br />
dilakukan.<br />
4 4<br />
p2<br />
dan<br />
q 2 sudah<br />
dianggap sama<br />
dengan P 2 dan Q 2<br />
yang ditetapkan<br />
3<br />
3<br />
Sampai iterasi ke-3, nilai p 2 ≈ −1<br />
dan q2<br />
≈ −1<br />
. Pada iterasi ke-4<br />
nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P 2 dan Q 2<br />
yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan<br />
lagi.<br />
Profil Tegangan <strong>Sistem</strong> dan Daya Pada Bus-Generator. Pada<br />
Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini<br />
sebagai berikut<br />
o<br />
V1<br />
= 1pu; ψ1<br />
= 0<br />
o<br />
V2<br />
= 0,7533 pu ; ψ 2 = −0,1553 rad = -8.90<br />
dengan diagram fasor:<br />
Pada kondisi ini, daya yang dialirkan ke<br />
saluran transmisi dari bus-1 dan bus-2 adalah<br />
P1<br />
= 1,12 pu ; Q1<br />
= 1,27 pu (bus - generator)<br />
P2<br />
= −1<br />
pu ; Q2<br />
= −1<br />
pu (bus - beban)<br />
Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut<br />
daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P 1 dan P 2 cukup<br />
besar pula yaitu P sal = 1 ,12 −1<br />
= 0,12 pu ≈ 12%. (P 1 dan Q 1 pada<br />
iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir).<br />
V 2<br />
V 1<br />
215
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
5.6.4 CONTOH <strong>Sistem</strong> Tiga Bus<br />
Contoh ini juga diambil dari buku referensi [3]. Seperti pada contoh<br />
sebelumnya, perhitungan-perhitungan di sini dilakukan secara<br />
manual dengan menggunakan excel.<br />
Diagram rangkaian beserta data jaringan yang diketahui diberikan<br />
berikut ini.<br />
S G1<br />
G 1<br />
o<br />
V1 = 1∠0<br />
pu<br />
bus -1<br />
y12 = − j10 pu<br />
bus - 2<br />
SB1<br />
S B1 = 2 pu<br />
y13 = − j15 pu<br />
y23 = − j12 pu<br />
V3<br />
= 1.1<br />
P3<br />
= 2.0<br />
− j2 pu<br />
2,5 pu<br />
j1,2 pu<br />
bus - 3<br />
S G3 S 2.5 1,2 2 2,5 0,8<br />
G B 2 = + j − j = − j<br />
3<br />
Sbasis<br />
= 100 MVA, Vbasis<br />
= 230 V<br />
2<br />
Zbasis<br />
= 230 /100 = 529 Ω,<br />
Ybasis<br />
= 1/529 = 0,00189 S<br />
G 1 = 300 MVA, 15 kV<br />
G 3 = 250 MVA, 15 kV<br />
Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line.<br />
Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit:<br />
o<br />
o<br />
o<br />
Y11<br />
= y12<br />
+ y13<br />
= 25∠ − 90 ; Y12<br />
= − y12<br />
= 10∠90<br />
; Y13<br />
= − y13<br />
= 15∠90<br />
o<br />
o<br />
o<br />
Y22<br />
= y12<br />
+ y23<br />
= 22∠ − 90 ; Y21<br />
= − y21<br />
= 10∠90<br />
; Y23<br />
= −y23<br />
= 12∠90<br />
o<br />
o<br />
o<br />
Y33<br />
= y31<br />
+ y32<br />
= 27∠ − 90 ; Y31<br />
= − y31<br />
= 15∠90<br />
; Y32<br />
= − y32<br />
= 12∠90<br />
Matriks Y bus . Dari perhitungan di atas kita dapatkan matriks<br />
sebagai berikut:<br />
⎡ o<br />
o<br />
o<br />
⎡Y<br />
⎤<br />
11 Y12<br />
Y13<br />
⎤ 25∠ − 90 10∠90<br />
15∠90<br />
⎢<br />
⎥ ⎢ o<br />
o<br />
o ⎥<br />
Y =<br />
⎢<br />
Y21<br />
Y22<br />
Y23<br />
⎥<br />
= ⎢ 10∠90<br />
22∠ − 90 12∠90<br />
⎥ (5.35)<br />
bus<br />
⎢<br />
⎥ ⎢ o<br />
o<br />
o ⎥<br />
⎣Y31<br />
Y32<br />
Y33<br />
⎦ ⎢<br />
15∠90<br />
12∠90<br />
27∠ − 90<br />
⎣<br />
⎥⎦<br />
216 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Peubah-Peubah Dan Pembebanan Pada Bus.<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
o<br />
Bus-1: slack bus, V 1 = 1 ψ1<br />
= 0 . Daya di bus P 1 dan Q 1 ini<br />
tergantung dari profil tegangan di semua bus; jadi P 1 dan Q 1<br />
merupakan peubah tak bebas.<br />
Bus-2: bus-beban. Beban di bus ini dinyatakan dengan resistor<br />
yang menyerap daya nyata P R = 2,5 pu , terhubung seri dengan<br />
ystem r yang menyerap daya reaktif Q L = j1,2 pu . Sebuah<br />
kapasitor dihubungkan ke bus-2 dan menyerap daya reaktif<br />
sebesar Q C = − j2<br />
. Total beban yang tersambung ke bus-2<br />
menjadi S B 2 = 2,5 − j0,<br />
8 . Beban di bus-2 yang mengalir ke<br />
saluran transmisi menjadi P 2 = −2,5<br />
dan Q2<br />
= j0,<br />
8 . Peubah di<br />
bus ini adalah tegangan dan sudut fasanya, V 2 dan ψ 2 .<br />
Bus-3: bus-generator. Daya nyata dari generator di diberikan<br />
melalui pengaturan masukan uap (di turbin) sebesar P 3 = 2,0 pu<br />
sedangkan tegangan diatur melalui arus eksitasi sebesar<br />
V 3 = 1,1pu ; oleh karena itu peubah di bus ini tinggallah sudut<br />
fasa tegangan ψ 3 .<br />
Jadi peubah yang ada pada ystem ini adalah V 2, ψ2,<br />
dan ψ3<br />
.<br />
Persamaan Aliran Daya. Bentuk umum persamaan aliran daya<br />
adalah<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
pi<br />
= Vi<br />
⎜∑<br />
Yij<br />
V j cos( ψi<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
⎟<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
qi<br />
= Vi<br />
⎜∑<br />
Yij<br />
V j sin( ψi<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
⎟<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2<br />
dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi<br />
adalah P 2 = −2,5<br />
dan Q2<br />
= 0, 8 . Sedangkan di bus-3 daya nyata<br />
yang harus dicapai adalah P 2 = 2, 0 . Jadi dalam ystem ini<br />
diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu<br />
persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p 2 ,<br />
p 3 , dan q 2 .<br />
217
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
p2<br />
= V2Y21V<br />
1cos(<br />
ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ V2Y23V<br />
3 cos( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
2<br />
+ Y22<br />
( V2<br />
) cos( −θ22)]<br />
p3<br />
= V3Y<br />
31V<br />
1 cos( ψ3<br />
− θ31<br />
− ψ1)<br />
+ V3Y<br />
32V2<br />
cos( ψ3<br />
− θ32<br />
− ψ2)<br />
(5.36)<br />
2<br />
+ Y33(<br />
V3)<br />
cos( −θ33)]<br />
q2<br />
= V2Y21V<br />
1sin(<br />
ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ V2Y23V<br />
3 sin( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
2<br />
+ Y22<br />
( V2)<br />
sin( −θ22)]<br />
Jacobian. Persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan<br />
seperti ditunjukkan oleh (5.36) dengan tiga peubah yaitu<br />
V 2, ψ2,<br />
dan ψ3<br />
. Matriks jacobian akan berukuran 3×3, yaitu<br />
∂p2<br />
/ ∂ψ 2 ∂p2<br />
/ ∂ψ3<br />
∂p2<br />
/ ∂V2<br />
J = ∂p3<br />
/ ∂ψ2<br />
∂p3<br />
/ ∂ψ3<br />
∂p3<br />
/ ∂V2<br />
(5.37.a)<br />
∂q2<br />
/ ∂ψ 2 ∂q2<br />
/ ∂ψ3<br />
∂q2<br />
/ ∂V2<br />
Elemen-elemen matriks ini adalah<br />
∂p2<br />
= −V2Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
−V2Y23V3<br />
sin( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂ψ 2<br />
∂p2<br />
= + V2Y23V3<br />
sin( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂ψ3<br />
∂p2<br />
= Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y23V3<br />
cos( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂V2<br />
+ 2Y22V<br />
2 cos( −θ22)]<br />
∂p3<br />
= + V3Y32V<br />
2 sin( ψ3<br />
− θ32<br />
− ψ2)<br />
∂ψ 2<br />
∂p3<br />
= −V3Y<br />
31V1<br />
sin( ψ3<br />
− θ31<br />
− ψ1)<br />
−V3Y32V<br />
2 sin( ψ3<br />
− θ32<br />
− ψ2)<br />
∂ψ3<br />
∂p3<br />
= + V3Y32<br />
cos( ψ3<br />
− θ32<br />
− ψ2)<br />
∂V2<br />
∂q2<br />
= V2Y21V<br />
1 cos( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ V2Y23V<br />
3 cos( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂ψ 2<br />
∂q2<br />
= −V2Y23V<br />
3 cos( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂ψ3<br />
∂q2<br />
= Y21V<br />
1 sin( ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ Y23V3<br />
sin( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
∂V2<br />
(5.37.b)<br />
+ 2Y22V<br />
2 sin( −θ22)<br />
218 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita coba dugaan awal<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
⎡ 0<br />
V ⎤<br />
2 ⎡1⎤<br />
⎢ ⎥<br />
∆<br />
~ 0 0<br />
x ≡ =<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ψ<br />
2 ⎥ ⎢<br />
0<br />
⎥<br />
(5.38)<br />
⎢ 0 ⎥ ⎢⎣<br />
⎥<br />
⎢<br />
ψ<br />
⎣<br />
3 ⎥<br />
0<br />
⎦ ⎦<br />
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya untuk<br />
mendapatkan corrective force:<br />
Besar koreksi<br />
⎡ 0 ⎤ ⎡ 0<br />
⎡∆p<br />
⎤<br />
2 ⎤ P2<br />
− p2<br />
− 2,5 − p2<br />
0 ⎢ ⎥ ⎢<br />
0<br />
⎥ ⎢<br />
0<br />
⎥<br />
∆u ~<br />
≡<br />
⎢<br />
∆p3<br />
⎥<br />
= ⎢P3<br />
− p3<br />
⎥ = ⎢ 2 − p3<br />
⎥ (5.39)<br />
⎢ ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 0 ⎥<br />
⎣∆q2<br />
⎦ ⎢<br />
Q −<br />
⎥ ⎢<br />
−<br />
⎣<br />
2 q2<br />
0,8 q<br />
⎦ ⎣<br />
2 ⎥⎦<br />
⎡ 0<br />
− 2,5 − p ⎤<br />
2<br />
⎢ ⎥<br />
∆<br />
~ 0 −1<br />
0 0 −1<br />
0 0<br />
x = ( J ) ∆u<br />
~<br />
= ( J ) ⎢ 2 − p3<br />
⎥<br />
(5.40)<br />
⎢ 0 ⎥<br />
⎢<br />
0,8 − q<br />
⎣ 2 ⎥⎦<br />
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan<br />
dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada<br />
dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi<br />
data Y bus , persamaan aliran daya, formulsi jacobian, kemudian<br />
diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian<br />
dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.<br />
Y bus<br />
⎡Y11<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
Y21<br />
⎢⎣<br />
Y31<br />
Y12<br />
Y22<br />
Y32<br />
⎡ o<br />
Y13<br />
⎤ 25∠ − 90<br />
⎥ ⎢ o<br />
Y23<br />
⎥<br />
= ⎢ 10∠90<br />
⎥ ⎢ o<br />
Y33<br />
⎦ ⎢<br />
15∠90<br />
⎣<br />
o<br />
10∠90<br />
o<br />
22∠ − 90<br />
o<br />
12∠90<br />
o<br />
15∠90<br />
⎤<br />
o ⎥<br />
12∠90<br />
⎥<br />
o<br />
27∠ − 90 ⎥<br />
⎥⎦<br />
p2<br />
= V2Y21V<br />
1cos(<br />
ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ V2Y23V<br />
3 cos( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
2<br />
+ Y22<br />
( V2<br />
) cos( −θ22)]<br />
p3<br />
= V3Y<br />
31V<br />
1 cos( ψ3<br />
− θ31<br />
− ψ1)<br />
+ V3Y<br />
32V2<br />
cos( ψ3<br />
− θ32<br />
− ψ2)<br />
2<br />
+ Y33(<br />
V3)<br />
cos( −θ33)]<br />
q2<br />
= V2Y21V<br />
1sin(<br />
ψ2<br />
− θ21<br />
− ψ1)<br />
+ V2Y23V<br />
3 sin( ψ2<br />
− θ23<br />
− ψ3)<br />
2<br />
+ Y22<br />
( V2)<br />
sin( −θ22)]<br />
219
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
∂p<br />
∂q<br />
2<br />
3<br />
2<br />
/ ∂ψ<br />
/ ∂ψ<br />
2<br />
J = ∂p<br />
/ ∂ψ<br />
2<br />
2<br />
∂p<br />
∂q<br />
2<br />
3<br />
2<br />
/ ∂ψ<br />
/ ∂ψ<br />
3<br />
∂p<br />
/ ∂ψ<br />
3<br />
3<br />
∂p<br />
∂q<br />
2<br />
3<br />
2<br />
/ ∂V<br />
2<br />
∂p<br />
/ ∂V<br />
2<br />
/ ∂V<br />
2<br />
p,q<br />
∆u ~<br />
P 2 -2.5<br />
P 3 2<br />
Q 2 0.8<br />
ψ 1 0<br />
V 1 1<br />
(tetapan)<br />
ψ 2 0 -0.0929<br />
V 2 1 (dugaan awal) 1.0962<br />
ψ 3 0<br />
0.0260<br />
V 3 1.1 (tetapan)<br />
p 2 0.0000 (substitusi ke -2.7349<br />
p 3 3E-15 persamaan aliran 2.2399<br />
q 2 -1.2000<br />
daya)<br />
1.1530<br />
∆p<br />
2 -2.5 ~ 0<br />
∆ u<br />
0.2349<br />
∆p<br />
3 2 -0.2399<br />
∆q<br />
2 2.0000<br />
J k 23.2000 -13.2000 0.0000<br />
-13.2000<br />
0.0000 0.0000<br />
29.700<br />
0 0.0000 -14.3669<br />
(iterasi ke-1)<br />
(substitusi ke<br />
persamaan aliran<br />
daya)<br />
~1<br />
∆ u<br />
-0.3530<br />
25.281<br />
2 -14.3669 -2.4950<br />
20.800<br />
0 -2.7349 1.7175<br />
30.861<br />
4 1.5668<br />
25.167<br />
3<br />
0.0577 0.0256 0.0000 0.0542 0.0250 0.0038<br />
(J -1 ) k 0.0256 0.0451 0.0000 0.0250 0.0441 -0.0003<br />
0.0000 0.0000 0.0481 0.0042 -0.0003 0.0402<br />
∆<br />
~<br />
x<br />
ψ 2 -0.0929 0.0054<br />
~<br />
ψ 3 0.0260 x<br />
0<br />
-0.0046<br />
V 2 0.0962<br />
∆<br />
-0.0131<br />
~ x<br />
1 ∆<br />
220 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
p,q<br />
∆ u ~<br />
P 2 -2.5<br />
P 3 2<br />
Q 2 0.8<br />
(tetapan)<br />
ψ 1 0<br />
V 1 1<br />
ψ 2 -0.0876 -0.0874<br />
V 2 1.0830 (iterasi ke-2) 1.0828<br />
ψ 3 0.0214<br />
0.0217<br />
V 3<br />
(tetapan)<br />
p 2 -2.5023 (substitusi ke -2.5000<br />
p 3 1.9963 persamaan aliran 1.9998<br />
q 2 0.8049 daya) 0.8000<br />
∆p 2 0.0023 0.0000<br />
~ 2<br />
∆p 3 0.0037 ∆ u<br />
0.0002<br />
∆q 2 -0.0049<br />
24.9999 -14.2111 -2.3105<br />
J k -14.2111 30.7073 1.4359<br />
-2.5023 1.5551 24.5698<br />
0.0000<br />
(iterasi ke-3)<br />
(substitusi ke<br />
persamaan aliran<br />
daya)<br />
~3<br />
∆ u<br />
Proses iterasi dihentikan;<br />
nilai p 2 , p 3 , dan q 2 sudah<br />
dapat dianggap sama dengan<br />
0.0546 0.0251 0.0037<br />
nilai tetapan yang diberikan<br />
(J -1 ) k 0.0251 0.0442 -0.0002<br />
yaitu<br />
0.0040 -0.0002 0.0411<br />
P 2 = −2,5 P 3 = 2 Q 2 = 0,8<br />
ψ 2 0.0002<br />
∆<br />
~ x<br />
2<br />
∆<br />
~<br />
x<br />
ψ 3 0.0002<br />
V 2 -0.0002<br />
P 1 0.5876<br />
Q 1 -2.2832<br />
Q 3 1.9653<br />
P 12 -0.9448<br />
Q 12 0.7870<br />
P 13 0.3573<br />
Q 13 1.4961<br />
P 31 -0.3573<br />
Q 31 -1.6539<br />
P 32 -1.5552<br />
Q 32 -0.3115<br />
P 21 -0.9448<br />
Q 21 0.9382<br />
P 23 -1.5552<br />
Q 23 -0.1382<br />
221
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Profil Tegangan <strong>Sistem</strong>. Pada iterasi terakhir kita perloeh profil<br />
tegangan sistem tiga bus ini yaitu<br />
V<br />
V<br />
V<br />
1<br />
2<br />
3<br />
= 1 pu;<br />
= 1,08 pu<br />
= 1,1 pu<br />
ψ<br />
ψ<br />
ψ<br />
1<br />
2<br />
3<br />
= 0<br />
o<br />
= −0,0876 rad = −5,0<br />
= 0,0214 rad = 1,24<br />
Diagram fasor tegangan di tiga bus tersebut kurang lebih adalah:<br />
o<br />
o<br />
V 3<br />
V 2<br />
V 1<br />
Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya<br />
antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung<br />
menggunakan relasi<br />
∗<br />
∗ ∗ ∗ ∗ ∗<br />
Sij<br />
= Vi<br />
× Iij<br />
= Vi<br />
( Yij<br />
( Vi<br />
− V j ))<br />
= ViYij<br />
Vi<br />
− ViYij<br />
V j<br />
2<br />
⇒ Pij<br />
= YijVi<br />
cos( −θij<br />
) −ViYijV<br />
j cos( ψ1<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
2<br />
⇒ Qij<br />
= YijVi<br />
sin( −θij<br />
) −ViYijV<br />
j sin( ψ1<br />
− θij<br />
− ψ j )<br />
yang tidak lain adalah bentuk awal dari persamaan aliran daya<br />
sebelum cara penulisannya diubah untuk memperoleh bentuk<br />
pernyataan yang lebih terstruktur. Hasil perhitungan tercantum<br />
dalam bagian tabel yang diberi batas garis tebal. Dari bagian tabel<br />
tersebut kita peroleh daya kompleks antar bus dan daya kompleks<br />
di setiap bus.<br />
Bus-1:<br />
S12<br />
= −0,945<br />
+ j0,787<br />
pu<br />
S13<br />
= 0,357 + j1,496<br />
pu<br />
⇒ S1<br />
= −0,588<br />
+ j2,283<br />
pu<br />
Bus-3:<br />
S31<br />
= −0,357<br />
− j1,654<br />
pu<br />
S32<br />
= −1,555<br />
− j0.311<br />
pu<br />
⇒ S3<br />
= − j1,912<br />
− j1,965<br />
pu<br />
222 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Bus-2:<br />
S<br />
S<br />
21<br />
23<br />
⇒ S<br />
= −0,945<br />
+ j0.938<br />
pu<br />
= −1,555<br />
− j0,138<br />
pu<br />
2<br />
= −2,500<br />
+ j0,800<br />
pu<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke<br />
bus-1; daya di bus-3 S31 = −0,357<br />
− j1,654<br />
sedangkan daya di<br />
bus-1 S 13 = 0,357 + j1,496<br />
. Daya nyata yang dikirim oleh bus-3<br />
tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi<br />
karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara<br />
daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah<br />
daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar j 0,158 pu .<br />
Aliran daya di bus-2 dari arah bus-1 adalah<br />
S 21 = −0,945<br />
+ j0.938<br />
sedang dari arah bus-3<br />
S23 = −1,555<br />
− j0,138<br />
dengan jumlah yang sesuai yang<br />
ditetapkan yaitu S 2 = −2.500<br />
+ j0.800<br />
. Penyerapan daya reaktif<br />
di saluran antara bus-1 dan bus-2 adalah j 0,151 pu sedangkan<br />
antara bus-3 dan bus-2 j 0,499 pu .<br />
Bus-Generator. Kita perhatikan sekarang dua bus-generator pada<br />
sistem ini yaitu bus-1 dan bus-3. Seperti kita pelajari di bab<br />
sebelumnya, mesin sinkron memiliki batas-batas maksimum dan<br />
minimum dalam mencatu daya reaktif agar tidak over-excited<br />
ataupun under-excited. Oleh karena itu pada setiap langkah<br />
iterasi perlu dicermati apakah batas-batas tersebut tidak<br />
dilampaui. Jika pada suatu tahap iterasi batas tersebut dicapai,<br />
maka batas tersebut dijadikan besaran tetapan untuk dipakai<br />
dalam melakukan iterasi selanjutnya.<br />
Persamaan aliran daya di bus generator adalah (5.14)<br />
⎛ n<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
PGi<br />
− PBi<br />
= Vi<br />
⎜∑V<br />
j Yij<br />
cos( ψi<br />
− ψ j − θij<br />
)<br />
⎟<br />
⎝ j=<br />
1<br />
⎠<br />
Q<br />
Gi<br />
− Q<br />
Bi<br />
⎛<br />
⎜<br />
= Vi<br />
⎜<br />
⎝<br />
n<br />
∑<br />
j=<br />
1<br />
V<br />
j<br />
Y<br />
ij<br />
sin( ψ<br />
i<br />
− ψ<br />
j<br />
− θ<br />
ij<br />
⎞<br />
⎟<br />
)<br />
⎟<br />
⎠<br />
dan<br />
223
atau<br />
P − P = P dan Q − Q = Q<br />
Gi<br />
Bi<br />
Dengan demikian maka<br />
dan<br />
P<br />
G1<br />
Q<br />
G1<br />
⇒ S<br />
P<br />
G3<br />
Q<br />
G3<br />
⇒ S<br />
= P<br />
G1<br />
1<br />
= Q<br />
= P<br />
G3<br />
1<br />
i<br />
+ P<br />
B1<br />
+ Q<br />
B1<br />
Gi<br />
Bi<br />
= −0,588<br />
+ 2 = 1,412 pu<br />
= 2,283 + 0 = 2,283 pu<br />
= 1,412 + j2,283<br />
= 2,684∠58,3<br />
3<br />
= Q<br />
+ P<br />
3<br />
B3<br />
+ Q<br />
B3<br />
= 2,742∠45,8<br />
= −1,912<br />
+ 0 = −1,912 pu<br />
pu<br />
<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />
i<br />
o<br />
pu<br />
= −1,965<br />
+ 0 = −1,965 pu<br />
Karena daya basis adalah 100 MVA, maka<br />
o<br />
S G1 = 2684 MVA dan SG3<br />
= 2742 MVA<br />
Ternyata S G1 masih dalam batas kapasitas G 1 yaitu 300 MVA;<br />
akan tetapi S G3 melebihi kapasitas generator G 3 yang 250 MVA.<br />
Kita dapat menurunkan pasokan daya nyata oleh G 3 ; pasokan daya<br />
ini ditetapkan P G3 = 2 pu pada awal iterasi. Jika tetapan ini kita<br />
kurangi dengan diimbangi tambahan daya nyata dari G 1 agar<br />
kebutuhan daya di seluruh sistem terpenuhi, maka hasil iterasi<br />
ulang dari awal (tidak disajikan dalam tabel) memberikan:<br />
profil tegangan<br />
V<br />
V<br />
V<br />
1<br />
2<br />
3<br />
= 1 pu;<br />
= 1,083 pu<br />
= 1,1 pu<br />
ψ<br />
ψ<br />
ψ<br />
1<br />
2<br />
3<br />
= 0<br />
daya di setiap bus<br />
S1<br />
= −0.9978+<br />
j2.2772 pu<br />
S2<br />
= −2.5000<br />
+ j0.8000 pu<br />
S3<br />
= −1.5022<br />
− j1.9491pu<br />
daya generator:<br />
S<br />
G 1<br />
S<br />
G3<br />
o<br />
= −0,0977 rad = −5,60<br />
= 0,0035 rad = 0,21<br />
= 1,0022 − j2,2772<br />
= 2,488∠ − 66,25<br />
= −1,5022<br />
− j1,9491<br />
= 2,461∠52,38<br />
pu<br />
o<br />
o<br />
o<br />
pu<br />
224 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
Daftar Pustaka<br />
1. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &<br />
Son, 1986.<br />
2. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System<br />
Engineering”, John Willey & Son, 1988.<br />
3. Vincent Del Toro, “Electric Power Systems”, Prentice-Hall<br />
International, Inc., 1992.<br />
4. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik”, Penerbit<br />
ITB 2002.<br />
5. “Rencana Umum Kelistrikan Nasional”, 2005.<br />
6. Sudaryatno Sudirham, “Fungsi dan Grafik, Diferensial dan<br />
Integral”, Darpublic, Bandung, , 2011.<br />
7. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listik Jilid 1”,<br />
Darpublic, Bandung, , 2012.<br />
8. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listik Jilid 2”,<br />
Darpublic, Bandung, , 2012.<br />
9. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik Jilid 3”,<br />
Darpublic, Bandung, , 2012.<br />
225
Biodata Penulis<br />
Nama: Sudaryatno Sudirham<br />
Lahir: 26 Juli 1943, di Blora.<br />
Istri: Ning Utari<br />
Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.<br />
Pendidikan & Pekerjaan:<br />
1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.<br />
1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.<br />
1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.<br />
1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.<br />
Training & Pengalaman lain:<br />
1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT,<br />
Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete,<br />
Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo,<br />
Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand;<br />
2005 − 2009 : <strong>Tenaga</strong> Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero);<br />
2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.<br />
226 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)
a<br />
ABCD, konstanta 85<br />
admitansi 48, 64<br />
air, tenaga 17<br />
aliran daya 199, 203, 210,<br />
214<br />
angin 17<br />
arus laut 17<br />
b<br />
batas operasi 183<br />
batubara 14<br />
beban 5, 17, 18<br />
beban, model 18<br />
bintang, hubungan 25<br />
biomassa 17<br />
bus beban 200, 205<br />
bus-generator 200, 205, 225<br />
d<br />
daya 6, 37, 199<br />
daya mesin sinkron 178<br />
diagram lingkaran 94<br />
diagram satu garis 40<br />
distribusi 5<br />
e<br />
efisiensi 128<br />
energi 1, 6<br />
energi primer 14<br />
f<br />
fluksi bocor 117<br />
g<br />
gas alam 15<br />
gelombang laut 17<br />
i<br />
impedansi 48, 55<br />
impedansi karakteristik 75<br />
impedansi urutan 34<br />
induktansi 49<br />
iterasi 206, 215, 220<br />
Indeks<br />
j<br />
jacobian 209, 214, 220<br />
k<br />
komponen simetris 29, 31<br />
konfigurai saluran 7<br />
konfigurasi ∆ 56, 69<br />
kutub menonjol 159, 193<br />
l<br />
lossless line 90<br />
m<br />
mesh, hubungan 25<br />
mesin sinkron 159<br />
minyak bumi 15<br />
n<br />
Newton-Raphson 206<br />
nuklir 17<br />
o<br />
operator a 30<br />
p<br />
panas bumi 16<br />
pembangkitan 3<br />
pergeseran fasa 147<br />
permeabilitas 47<br />
permitivitas 47<br />
per-unit 41, 44, 148<br />
polifasa 21<br />
propagasi, konstanta 74<br />
r<br />
rangkaian ekivalen 72, 123<br />
rangkaian ekivalen π 78<br />
reaktansi sinkron 169<br />
regulasi tegangan 128<br />
resistansi 48<br />
rotor silindris 167, 173<br />
227
s<br />
sampah 17<br />
slack bus 200, 205<br />
stabilitas, mantap 95<br />
struktur 3<br />
subtransmisi 4<br />
surge impedance loading 98<br />
surja 101<br />
surya, tenaga 17<br />
t<br />
tiga-fasa 26, 29<br />
transformator 115, 116, 118,<br />
120, 123, 125, 130, 131<br />
transformator polifasa 155<br />
transformator tiga belitan<br />
136, 138, 140, 144<br />
transien 100, 102, 190<br />
transmisi 4, 47, 73<br />
transposisi 61, 70<br />
turbin 177<br />
u<br />
uji beban nol 126<br />
uji hubung singkat 126<br />
urutan negatif 29<br />
urutan nol 29<br />
urutan positif 29<br />
y<br />
Y bus 203, 205, 214<br />
228 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)