19.11.2014 Views

Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org

Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org

Analisis Sistem Tenaga - Ee-cafe.org

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Saluran Transmisi<br />

Sudaryatno Sudirham<br />

<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Darpublic – Edisi Juli 2012


<strong>Analisis</strong><br />

<strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

oleh<br />

Sudaryatno Sudirham<br />

i


Hak cipta pada penulis<br />

SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />

<strong>Analisis</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.<br />

ii


Pengantar<br />

Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan<br />

suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem<br />

distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama<br />

berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan<br />

sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan<br />

seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai<br />

perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan<br />

dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab<br />

berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga,<br />

mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di<br />

tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan<br />

yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai<br />

permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu<br />

metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem<br />

yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung<br />

situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas<br />

transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam<br />

buku ini.<br />

Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />

usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,<br />

sangat penulis harapkan.<br />

Bandung, Juli 2012<br />

Wassalam,<br />

Penulis.<br />

iii


Darpublic<br />

Kanayakan D-30, Bandung, 40135<br />

Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di<br />

www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />

Selain Buku-e, di<br />

www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />

tersedia juga open course<br />

dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf<br />

iv


Daftar Isi<br />

Kata Pengantar<br />

Daftar Isi<br />

Bab 1: Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> 1<br />

Energi yang Tersedia. Struktur <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik.<br />

Penyaluran Energi Listrik. Sumber Energi Primer.<br />

Beban. <strong>Sistem</strong> Polifasa. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Seimbang.<br />

<strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Tak Seimbang. Pernyataan <strong>Sistem</strong><br />

<strong>Tenaga</strong>.<br />

Bab 2: Saluran Transmisi 47<br />

Impedansi dan Admitansi. Rangkaian Ekivalen.<br />

Perubahan Pembebanan. Perubahan Panjang Saluran.<br />

Lossless Line. <strong>Analisis</strong> Pembebanan Saluran Transmisi.<br />

Transien Pada Saluran Transmisi.<br />

Bab 3: Transformator 113<br />

Transformator Satu –fasa. Transformator Pada <strong>Sistem</strong><br />

Tiga-fasa. Transformator Tiga Belitan. Transformator<br />

Tiga-fasa Dibangaun Dari Transformator Satu-fasa.<br />

Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-∆. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />

Pada Saluran Dengan Transformator. Transformator<br />

Polifasa.<br />

Bab 4: Mesin Sinkron 157<br />

Mesin Sinkron Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor<br />

Silindris. Kopling Turbin-Generator. Daya Mesin<br />

Sinkron. Batas Operasi Mesin Sinkron. Transien Pada<br />

Mesin Sinkron. Lebih Lanjut Tentang Mesin Sinkron<br />

Kutub Menonjol.<br />

iii<br />

v<br />

v


Bab 5: <strong>Analisis</strong> Aliran Daya 197<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya. Persamaan Arus-Tegangan.<br />

Persamaan Aliran Daya. Metoda Newton-Raphson.<br />

Contoh <strong>Sistem</strong> Dua Bus. Contoh <strong>Sistem</strong> Tiga Bus.<br />

Daftar Pustaka 225<br />

Biodata Penulis 226<br />

Indeks 227<br />

vi


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

BAB 1 Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik<br />

Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia<br />

mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi<br />

kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan<br />

keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang<br />

tidak kecil.<br />

Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam<br />

energi listrik:<br />

• Energi radiasi (sinar matahari).<br />

• Energi panas bumi.<br />

• Energi kimia (batubara, minyak bumi).<br />

• Energi kinetik gelombang laut.<br />

• Energi kinetic arus laut.<br />

• Energi potensial air terjun.<br />

• Energi nuklir.<br />

Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan:<br />

• Lebih mudah diatur/dikendalikan.<br />

• Dapat ditransmisikan dengan kecepatan cahaya.<br />

• Dapat dikonversikan ke bentuk energi lain dengan efisiensi<br />

tinggi.<br />

• Bebas polusi, walaupun dalam konversinya dari bentuk<br />

aslinya menimbulkan juga masalah polusi.<br />

• Konversi ke bentuk lain biasanya mudah dan sederhana.<br />

Kelemahan energi listrik terutama adalah bahwa proses<br />

penyediaannya memerlukan pendanaan cukup besar. Kita sadari<br />

bahwa sistem tenaga listrik adalah besar baik dilihat dari ukurannya,<br />

investasinya, jumlah energi yang dikelola, besaran fisisnya<br />

(tegangan, arus) sampai kepada piranti-pirantinya. Oleh karena itu<br />

pembangunan sistem biasanya dilakukan tidak selalu dari nol<br />

melainkan mengembangakan sistem yang sudah ada; kebutuhan<br />

energi listrik yang terus tumbuh, memaksa sistem tenaga listrik<br />

selalu di-modifikasi dengan mengambil manfaat dari perkembangan<br />

teknologi yang terjadi.<br />

1


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Dalam Tinjauan <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik ini, kita banyak menoleh ke<br />

PLN. Energi listrik diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada<br />

tahun 1897 (masih zaman penjajahan) dengan didirikannya<br />

perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische<br />

Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia (sekarang Jakarta)<br />

dengan kantor pusat di Gambir. Dua belas tahun setelah itu di<br />

Surabaya didirikan Algemeene Indische Electriciteit Maatschappij<br />

(ANIEM) pada tahun 1909 oleh perusahaan gas NIGM [Ensiklopedi<br />

Blora, 2011]. Frekuensi yang digunakan pada sistem tenaga yang<br />

dibangun adalah 50 Hz, standar Eropa.<br />

Yang menarik dalam kaitan perkembangan kelistrikan di Indonesia<br />

adalah bahwa pengenalan energi listrik di Indonesia tidaklah jauh<br />

dari perkembangan kelistrikan di Amerika. Kita baca misalnya<br />

dalam buku Charles A Gross [1] bahwa pada tahun 1890-an<br />

perusahaan Westinghouse baru bereksperimen dengan apa yang<br />

disebut “alternating current”. Persaingan berkembang antara<br />

General Electric dan Westinghouse dalam menentukan apakah dc<br />

atau ac yang sebaiknya digunakan oleh industri. Pada akhirnya<br />

bentuk ac dapat diterima, antara lain oleh alasan-alasan berikut:<br />

• Transformator (ac) memberikan kemungkinan untuk<br />

mengubah tegangan maupun arus secara mudah.<br />

• Generator ac jauh lebih sederhana dibandingkan dengan<br />

generator dc.<br />

• Motor-motor ac juga lebih sederhana dan lebih murah dari<br />

motor dc.<br />

Pada sekitar 1900 masih diperdebatkan mengenai frekuensi yang<br />

harus digunakan dalam mencatu daya ac, apakah 25, 50, 60, 125,<br />

dan 133 Hz. Jika tidak di-standarkan akan diperlukan beaya untuk<br />

peralatan konversi agar antar sistem dapat dihubungkan. Pada waktu<br />

itu pembangkit hidro cenderung menggunakan 25 Hz karena turbin<br />

air dapat dirancang untuk mencapai efisiensi yang lebih baik pada<br />

kecepatan yang sesuai dengan pembangkitan 25 Hz. Masalah yang<br />

timbul pada penggunaan frekuensi ini adalah terjadinya flicker pada<br />

lampu pijar. Pada akhirnya diterimalah frekuensi 60 Hz sebagai<br />

frekuensi standar karena pada frekuensi ini flicker tidak lagi terasa<br />

dan turbin uap berkinerja baik pada kecepatan perputaran yang<br />

berkaitan yaitu 3600 dan 1800 rpm. Sementara itu di Eropa<br />

ditetapkan frekuensi 50 Hz sebagai frekuensi standar.<br />

2 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Pemanfaatan energi listrik yang pertama kali adalah untuk keperluan<br />

penerangan. Lampu listrik terus dikembangkan untuk memperoleh<br />

lumen per watt semakin tinggi. Kebutuhan energi listrik kemudian<br />

berkembang, tidak hanya untuk memenuhi keperluan penerangan<br />

tetapi juga keperluan akan energi untuk mengoperasikan berbagai<br />

alat rumah tanggga, alat kantor, pabrik-pabrik, gedung-gedung,<br />

sampai ke arena hiburan. Kebutuhan yang terus meningkat tersebut<br />

memerlukan penyaluran energi dengan tegangan yang lebih tinggi.<br />

Dibuatlah transformator penaik tegangan untuk mengirimkan energi<br />

dan transformator penurun tegangan untuk disesuaikan dengan<br />

kebutuhan pengguna.<br />

1.2 Struktur <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong> Listrik<br />

An electrical power system can be defined as follows: An<br />

electrical power system is a network of interconnected components<br />

designed to convert nonelectrical energy continuously into the<br />

electrical form; transport the electrical energy over potentially<br />

great distances; transform the electrical energy into a specific<br />

form subject to close tolerances; and convert the electrical energy<br />

into a usable nonelectrical form. [1].<br />

Agar dapat diimplementasikan, sistem ini harus aman, dapat<br />

diandalkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan secara sosial dapat<br />

diterima. <strong>Sistem</strong> tenaga dapat dipandang terdiri dari beberapa subsistem,<br />

yaitu<br />

Pembangkitan (Generation)<br />

Transmisi (Transmission)<br />

Subtransmission<br />

Distribusi: primer, sekunder<br />

Beban<br />

1.2.1 Pembangkitan<br />

Piranti utama di sub-sistem pembangkitan adalah generator yang<br />

merupakan sumber energi listrik. Istilah “sumber energi” di sini<br />

agaknya kurang tepat, mengingat bahwa sesungguhnya generator<br />

hanyalah mengubah energi non-listrik menjadi energi listrik.<br />

Generator ini, di pusat pembangkit tenaga air misalnya,<br />

digerakkan (diputar) oleh turbin air dan turbin sendiri digerakkan<br />

oleh air terjun. Air terjunlah yang sesungguhnya sumber energi.<br />

Namun demikian pembahasan kita hanya menyangkut sistem<br />

3


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

tenaga listrik, sehingga peralatan-peralatan “di depan generator”<br />

tidak kita bicarakan dan kita menganggap generator sebagai<br />

sumber energi.<br />

Pada umumnya generator merupakan mesin berputar, yang<br />

membangkitkan daya mulai dari puluhan kW hingga lebih dari<br />

1000 MW, dengan tegangan mulai dari 380 V sampai 25 kV. Sisi<br />

keluaran generator merupakan sistem tiga-fasa.<br />

1.2.2 Transmisi<br />

Daya listrik dari pusat pembangkit disalurkan ke berbagai tempat<br />

melalui saluran transmisi. Tegangan saluran transmisi di sistem<br />

PLN adalah 150 kV, yang disebut Saluran Udara Tegangan Tinggi<br />

(SUTT) dan 275 – 500 kV yang disebut Saluran Udara Tegangan<br />

Ekstra Tinggi (SUTET). Di Amerika digunakan tegangan mulai<br />

115 kV sampai 765 kV.<br />

Sesungguhnya ada dua kemungkinan pembangunan saluran<br />

transmisi yaitu bawah tanah (underground) dan diatas tanah<br />

(overhead) yang kita sebut saluran udara. Saluran udaralah yang<br />

umum digunakan. Saluran udara ini biasanya panjang sampai<br />

ratusan kilometer. Konduktor yang digunakan adalah konduktor<br />

telanjang (tanpa isolasi padat) sehingga ia harus didukung oleh<br />

isolator yang terpasang pada menara. Saluran ini berhubungan<br />

langsung dengan udara sekitarnya sehingga sangat terpengaruh<br />

oleh kondisi alam seperti polusi dan petir.<br />

Jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas untuk menyalurkan<br />

daya besar melalui sejumlah route. Ia harus dirancang sedemikian<br />

rupa sehingga gagalnya sejumlah kecil saluran tidak menyebabkan<br />

kegagalan seluruh sistem. Saluran ini juga harus mampu berfungsi<br />

sebagai penghubung yang mampu menyalurkan energi ke kedua<br />

arah.<br />

Piranti yang menghubungkan generator dan saluran transmisi<br />

adalah transformator, yang berfungsi untuk mengubah tegangan<br />

keluaran generator ke tegangan transmisi yang lebih tinggi.<br />

1.2.3 Subtransmissi<br />

Di Indonesia (jaringan PLN), istilah “subtransmisi” tidak<br />

digunakan. Di PLN pernah digunakan saluran dengan tegangan 30<br />

kV dan 70 kV, namun telah mulai ditinggalkan. Saluran<br />

subtransmisi biasanya tidak panjang (kurang dari beberapa puluh<br />

4 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

kilometer), kapasitas rendah (kurang dari 100 MVA) dan banyak<br />

cabang untuk mencatu pusat-pusat beban.<br />

1.2.4 Distribusi<br />

Saluran transmisi mencatu gardu-gardu induk, di mana tegangan<br />

diturunkan menjadi tegangan distribusi primer. Jaringan distribusi<br />

primer mencatu pelanggan tegangan menengah 20 kV. Pernah<br />

pula digunakan tegangan 6 dan 12 kV namun telah ditinggalkan.<br />

Jaringan distribusi primer bisa dirancang sebagai jaringan radial<br />

ataupun loop. (lihat Gb.1.1) Pada jaringan radial daya mengalir<br />

satu arah yaitu dari sumber (gardu) ke beban<br />

(pengguna/pelang<br />

gan). Pada<br />

jaringan loop,<br />

Beban 1 Beban 2<br />

beban dapat<br />

menerima daya<br />

GI<br />

lebih dari satu<br />

Beban 3 Beban 4<br />

arah. Selain radial<br />

dan loop,<br />

Radial<br />

dikembangkan<br />

pula struktur<br />

jaringan spindle.<br />

Beban 1 Beban 2<br />

Pada tahap<br />

terakhir, tegangan<br />

diturunkan lagi<br />

menjadi 380/220<br />

V. Jaringan yang<br />

melayani<br />

pengguna pada tegangan rendah ini merupakan jaringan distribusi<br />

sekunder. Jaringan ini bisa sangat rumit, terutama di lokasi padat<br />

pengguna.<br />

1.2.5 Beban<br />

GI<br />

Beban (pengguna/pelanggan) mengambil energi listrik dari<br />

jaringan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi dalam melayani beban<br />

ini.<br />

1. Tegangan harus konstan, tidak naik-turun.<br />

2. Frekuensi harus konstan.<br />

Beban 3 Beban 4<br />

Loop<br />

Gb.15.1 Jaringan radial dan loop.<br />

5


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

3. Bentuk gelombang tegangan sedapat mungkin sinusoidal.<br />

Untuk menentukan apakah ketentuan ini terpenuhi atau tidak,<br />

digunakan indeks kinerja.<br />

1. Regulasi Tegangan: Deviasi nilai tegangan pada waktu beban<br />

berubah dalam batas-batasnya. Biasanya diambil sekitar 5%.<br />

2. Regulasi Frekuensi: Pada keadaan normal, variasi frekuensi<br />

biasanya cukup kecil, ± 0.1Hz<br />

, dan tidak terasa oleh beban.<br />

3. Kandungan Harmonisa: (Lihat: <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik Jilid-<br />

3).<br />

1.3 Penyaluran Energi Listrik<br />

Kita mengenal dua cara penyaluran energi listrik yaitu penyaluran<br />

menggunakan arus searah (selanjutnya kita sebut sistem arus searah,<br />

disingkat sistem AS) dan menggunakan arus bolak-balik sinusoidal<br />

(selanjutnya kita sebut sistem arus bolak-balik, disingkat sistem<br />

ABB). Berikut ini kita akan melihat perbandingan daya maksimum<br />

yang mampu disalurkan melalui beberapa konfigurasi saluran.<br />

1.3.1. Daya<br />

Perhatikan<br />

situasi<br />

penyaluran<br />

daya antar<br />

dua jaringan<br />

seperti<br />

diperlihatkan<br />

pada Gb.1.2.<br />

Hubungan<br />

Jaringan<br />

A<br />

Gb.15.2. Penyaluran daya antara dua jaringan.<br />

antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun<br />

penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah<br />

konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita<br />

sebut konfigurasi saluran.<br />

Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah<br />

p = vi<br />

(1.1)<br />

p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil<br />

untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu).<br />

Untuk memperbesar aliran daya, v dan/atau i harus diperbesar.<br />

Akan tetapi upaya memperbesar kedua besaran ini dibatasi oleh<br />

6 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

i<br />

+<br />

v<br />

−<br />

Jaringan<br />

B


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

kemampuan teknologi. Arus dibatasi oleh kemampuan hantar arus<br />

dari konduktor, sedangkan tegangan dibatasi oleh kekuatan isolasi.<br />

Konduktor dibuat dari material yang memiliki konduktivitas listrik<br />

yang tinggi, memiliki kekuatan mekanis yang sesuai, serta<br />

ekonomis. Untuk itu banyak digunakan aluminum untuk saluran<br />

transmisi, dan tembaga untuk saluran distribusi serta bagianbagian<br />

tertentu sistem tenaga. Kemampuan hantar arus dari suatu<br />

konduktor terkait erat dengan kerapatan arus dan luas<br />

penampangnya.<br />

Imax = JmaxA<br />

(1.2)<br />

I max = arus maksimum, J max = kerapatan arus maksimum, A =<br />

luas penampang konduktor. Kerapatan arus maksimum, J max ,<br />

ditentukan oleh pembatasan temperatur maksimum konduktor agar<br />

tidak terjadi kerusakan konduktor serta isolasinya.<br />

1.3.2. Konfigurasi Saluran<br />

Berikut ini kita akan memperbandingkan daya maksimum yang<br />

mampu disalurkan melalui suatu konfigurasi saluran tertentu.[1].<br />

Ada enam konfigurasi yang akan kita lihat yaitu sistem AS 2<br />

kawat, sisten AS 3 kawat, sistem ABB 1 fasa 2 kawat, sistem ABB<br />

2 fasa 3 kawat, dan sistem ABB 3 fasa 4 kawat.<br />

Pada setiap konfigurasi, salah satu kawat di-tanah-kan, dan disebut<br />

kawat netral; kawat yang tidak ditanahkan disebut kawat fasa.<br />

Dalam memperbandingkan kemampuan penyaluran setiap<br />

konfigurasi ini kita tetapkan bahwa<br />

1. Luas penampang konduktor total, yaitu total jumlah luas<br />

penampang kawat fasa dan kawat netral, adalah sama yaitu<br />

A. Karena salah satu saluran adalah saluran balik (netral)<br />

maka luas penampang konduktor yang sesungguhnya<br />

digunakan untuk mengirim daya adalah lebih kecil dari A.<br />

2. Kerapatan arus yang mengalir tidak melebihi batas<br />

kerapatan arus maksimum yang di tentukan, yaitu J 0 .<br />

Pembatasan ini diperlukan karena kita akan<br />

memperbandingkan kemampuan penyaluran daya pada<br />

berbagai konfigurasi. Bukan arus yang kita tetapkan<br />

mempunyai batas maksimum karena setiap konfigurasi<br />

memiliki luas penampang konduktor kirim yang berbeda.<br />

7


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Dengan membatasi kerapatan arus maksimum, maka setiap<br />

konfigurasi memiliki arus maksimum yang berbeda.<br />

3. Tegangan setiap konduktor ke ground (tegangan fasa ke<br />

netral) tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan<br />

yaitu V 0 . Tegangan antara kawat fasa dan kawat netral,<br />

berbeda antara satu konfigurasi dengan konfigurasi yang<br />

lain. Tegangan maksimum ini kita batasi untuk melihat<br />

berapakah daya yang dapat disalurkan pada tegangan fasanetral<br />

maksimum dengan kerapatan arus yang juga<br />

maksimum.<br />

4. Kawat netral (yang ditanahkan) merupakan saluran balik.<br />

Konfigurasi (a): <strong>Sistem</strong> AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat<br />

netral yang merupakan saluran balik.<br />

0,5A 0,5A<br />

V 0<br />

n<br />

Total luas konduktor adalah A, koduktor yang ditanahkan<br />

merupakan penghantar balik. Jadi sistem ini menyalurkan daya<br />

melalui konduktor dengan luas penampang 0,5A. Daya yang mampu<br />

disalurkan paling tinggi adalah<br />

P a =<br />

= ( 0.5A)<br />

J0V0<br />

0. 5P0<br />

dengan P 0 = AJ0V0<br />

(1.3)<br />

Selanjutnya kita menggunakan P 0 = AJ0V0<br />

sebagai referensi untuk<br />

melihat kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi yang lain;<br />

yaitu berapa kali P 0 kemampuan penyaluran dayanya.<br />

Konfigurasi (b): <strong>Sistem</strong> AS, 3 kawat; dua kawat merupakan saluran<br />

kirim, satu bertegangan positif dan yang satu lagi bertegangan<br />

negatif. Kawat ke-tiga adalah saluran balik yang ditanahkan.<br />

0,5A 0,5A<br />

+V 0<br />

−V 0<br />

Konduktor pertama bertegangan positif sedangkan konduktor kedua<br />

bertegangan negatif, konduktor ketiga ditanahkan. Karena tegangan<br />

berlawanan, arus di konduktor pertama dan kedua juga berlawanan<br />

arah. Konduktor ketiga merupakan konduktor netral sebagai<br />

8 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

n


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

penghamtar balik sehingga di konduktor ini arus balik dari<br />

konduktor pertama dan kedua berlawanan arah; jika pembebanan<br />

seimbang kedua arus balik ini saling meniadakan. Hal ini<br />

memungkinkan penampang konduktor netral dibuat kecil saja<br />

sehingga total penampang konduktor dapat dikatakan tetap sama<br />

dengan A. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah<br />

P b =<br />

= 2 × (0.5A)<br />

J0V0<br />

P0<br />

(1.4)<br />

Dari persamaan (1.4) terlihat bahwa kemampuan menyalurkan daya<br />

pada konfigurasi (b) ini dua kali lipat dari konfigurasi (a).<br />

Konfigurasi (c): <strong>Sistem</strong> ABB satu fasa, dua kawat; satu kawat fasa<br />

dan yang lain kawat netral.<br />

0,5A 0,5A<br />

n<br />

Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,<br />

Daya sesaat adalah<br />

p<br />

c<br />

v = Vm cos ωt<br />

i = Im cos ωt<br />

(1.5)<br />

VmIm<br />

= vi = VmIm<br />

cos 2 ωt<br />

= ( 1 + cos 2ωt)<br />

(1.6)<br />

2<br />

Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2ω. Nilai rata-rata bagian<br />

yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata<br />

(atau daya nyata) adalah<br />

V I<br />

P =<br />

2<br />

0,707V 0<br />

V<br />

=<br />

m<br />

2<br />

m m m<br />

=<br />

I<br />

2<br />

VI<br />

(1.7)<br />

dengan V dan I adalah nilai efektif (rms). Arus efektif maksimum<br />

yang bisa disalurkan adalah<br />

I = 0.5AJ0<br />

(1.8)<br />

(di sini kita menganggap bahwa arus bolak-balik yang menglir di<br />

konduktor terdistribusi secara merata di seluruh penampang<br />

walaupun kenyataannya tidak demikian karena terjadi efek kulit.<br />

Namun anggapan ini cukup layak untuk keperluan diskusi.)<br />

Karena kita telah menetapkan bahwa tegangan konduktor tidak lebih<br />

dari nilai batas V 0 maka tegangan efektif maksimum adalah<br />

9


V<br />

V<br />

0<br />

= 707<br />

2<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

= 0, V0<br />

(1.9)<br />

Nilai ini yang dicantumkan pada gambar konfigurasi.<br />

Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah<br />

V<br />

P c =<br />

2<br />

0<br />

= IV = 0.5AJ0 = 0.354AJ0V0<br />

0. 354P0<br />

(1.10)<br />

Persamaan (1.10) menunjukkan bahwa kemampuan penyaluran daya<br />

pada konfigurasi ini hanya sekitar 35% dari kemampuan sistem AS<br />

3 kawat. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan oleh (1.6) penyaluran<br />

daya berfluktuasi, berarti laju penyaluran energi tidaklah konstan.<br />

Penyaluran energi semacam ini akan memaksa turbin penggerak<br />

generator juga memasok energi dengan laju yang berfluktuasi. Hal<br />

demikian tentu tidak dikehendaki. Oleh karena itu konfigurasi ini<br />

tidak digunakan untuk keluaran generator di pusat pembangkit.<br />

Konfigurasi (d): sistem ABB satu fasa tiga kawat.<br />

0,5A 0,5A<br />

0,707V 0<br />

<strong>Sistem</strong> ini memiliki keuntungan seperti halnya untuk arus searah;<br />

oleh karena itu daya maksimum yang mampu disalurkan adalah dua<br />

kali lipat kemampuan penyaluran daya pada sistem ABB satu fasa<br />

dua kawat (konfigurasi (c)).<br />

P<br />

0,707V 0<br />

d = 2Pc<br />

= 0,707P0<br />

(1.11)<br />

Nilai daya sesaat diperlihatkan pada Gb.1.3, bersama dengan nilai<br />

sesaat daya pada konfigurasi (c). Perhatikan bahwa daya<br />

berfluktuasi dengan nilai rata-rata yang positif. Walaupun daya<br />

rata-rata bernilai positif, fluktuasi daya yang terjadi merupakan<br />

kelemahan dari konfigurasi (d) dan (c). Penyaluran energi tidak<br />

terjadi secara mantap; aliran energi berfluktuasi.<br />

Konfigurasi (e): <strong>Sistem</strong> ABB, 2 fasa, 3 kawat; dua kawat fasa dan<br />

satu kawat netral.<br />

n<br />

10 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

x<br />

0,293A 0,293A<br />

0,707V 0<br />

y<br />

0,414A<br />

0,707V 0<br />

n<br />

Jika tegangan dan arus di fasa x adalah<br />

v<br />

x<br />

= V cos ωt<br />

i = I cos ωt<br />

(1.12.a)<br />

m<br />

dan di fasa y berbeda 90 o ,<br />

v<br />

y<br />

x<br />

m<br />

= V sin ωt<br />

i = I sin ωt<br />

(1.12.b)<br />

m<br />

maka daya sesaat menjadi<br />

e<br />

x x<br />

y y<br />

y<br />

m<br />

2 2<br />

( ωt<br />

+ sin ωt) VmIm<br />

p = v i + v i = V<br />

=<br />

mIm<br />

cos (1.13)<br />

Persamaan (1.13) ini cukup mengejutkan. Perhatikan bahwa daya<br />

sesaat bernilai konstan. Daya rata-rata sama dengan daya sesaat.<br />

P =<br />

e = pe<br />

VmIm<br />

(l5.14)<br />

Karena tegangan tidak boleh melebihi batas V 0 maka tegangan<br />

maksimum adalah<br />

V m = V 0<br />

(1.15.a)<br />

Arus di kedua fasa berbeda 90 o , sehingga penghantar netral<br />

mengalirkan arus<br />

dibuat<br />

2 kali arus fasa; luas penampangnya juga harus<br />

2 kali sehingga perbandingan luas penampang konduktor<br />

fasa dan netral adalah 1:1:<br />

2 . Luas penampang konduktor fasa<br />

menjadi ( 1/(2<br />

+ 2)<br />

= 0,293 kali A. Arus maksimum konduktor fasa<br />

adalah<br />

I m = J 0 (0.293A)<br />

2<br />

(1.15.b)<br />

Sehingga daya rata-rata adalah<br />

V I<br />

2<br />

V J (0,293A)<br />

2<br />

2<br />

m m 0 0<br />

e = =<br />

= 0.414P0<br />

(1.16)<br />

P<br />

11


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Perhatikan bahwa konduktor netral berpenampang lebih besar dari<br />

konduktor fasa sebab ia harus mengalirkan arus 2 kali dari arus<br />

fasa, jika sistem beroperasi dalam keadaan seimbang. Hal ini dapat<br />

dimengerti karena arus balik dari kedua fasa berbeda 90 o dan bukan<br />

180 o sehingga tidak saling meniadakan. Akan tetapi di konfigurasi<br />

ini aliran daya tidak berfluktuasi seperti dinyatakan oleh persamaan<br />

(1.13).<br />

Konfigurasi (f): <strong>Sistem</strong> ABB 3 fasa, 4 kawat; tiga kawat fasa dan<br />

satu kawat netral.<br />

Tegangan dan arus fasa berbeda 120 o . Dengan urutan fasa positif,<br />

tegangan dan arus tersebut adalah:<br />

o<br />

o<br />

va<br />

= Vm<br />

cosωt;<br />

vb<br />

= Vm<br />

(cosωt<br />

−120<br />

); vc<br />

= Vm<br />

(cosωt<br />

+ 120 ).<br />

o<br />

o<br />

ia<br />

= Im<br />

cosωt;<br />

ib<br />

= Im(cosωt<br />

−120<br />

0; ic<br />

= Im(cosωt<br />

+ 120 ).<br />

Daya sesaat adalah<br />

p<br />

f<br />

= v i<br />

a a<br />

= V I<br />

m<br />

+ v i<br />

m<br />

b b<br />

+ v i<br />

c c<br />

2 2 o 2 o<br />

( cos ωt<br />

+ cos ( ωt<br />

−120<br />

) + cos ( ωt<br />

+ 120 ))<br />

Dengan memanfaatkan relasi trigonometri<br />

12 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

(1.17)<br />

(1.18)<br />

1 cos 2<br />

cos 2 + θ<br />

θ =<br />

(1.19)<br />

2<br />

persamaan (1.18) menjadi<br />

VmI<br />

p m<br />

f =<br />

2<br />

3V<br />

mI<br />

= m<br />

2<br />

0,333A 0,333A 0,333A n<br />

0,707V 0<br />

0,707V 0<br />

0,707V 0<br />

o<br />

o<br />

( 3 + cos 2ωt<br />

+ cos(2ωt<br />

− 240 ) + cos(2ωt<br />

+ 240 ))<br />

(1.20)<br />

Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya<br />

rata-rata, yaitu<br />

P<br />

3V<br />

I<br />

= p<br />

m m<br />

f = = VI<br />

(1.21)<br />

2<br />

f 3


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Tegangan dan arus efektif yang diperkenankan adalah<br />

sehingga<br />

V<br />

V =<br />

2<br />

0<br />

= dan I 0.333AJ0<br />

(1.22)<br />

3V<br />

P 0 f =<br />

2<br />

707<br />

= 0.333AJ0<br />

0. P0<br />

(1.23)<br />

1,141P 0<br />

1,000P 0<br />

Konfig.(b)<br />

0,707P 0<br />

Konfig. (d), (f)<br />

0,500P 0<br />

Konfig. (a)<br />

0,354P 0 Konfig. (e)<br />

Konfig. (c)<br />

t<br />

Gb.1.3. Kurva daya terhadap waktu pada enam<br />

konfigurasi saluran.<br />

Hasil perhitungan untuk enam konfigurasi di atas, dimuatkan dalam<br />

Tabel-1.1.<br />

Tabel-1.1: Daya maksimum yang mampu ditransmisikan<br />

pada enam kofigurasi<br />

Konfigurasi Modus operasi Daya maksimum<br />

a) Dua kawat AS 0.500P 0<br />

b) Tiga kawat AS 1,000P 0<br />

c) Dua kawat ABB, 1 fasa 0,354P 0<br />

d) Tiga kawat ABB, 1fasa 0,707P 0<br />

e) Tiga kawat ABB, 2fasa 0,414P 0<br />

f) Empat kawat ABB, 3 fasa 0,707P 0<br />

Bagaimana memilih konfigurasi yang akan digunakan untuk<br />

menyalurkan energi? Misalkan kita memilih sisem ABB.<br />

Konfigurasi c) dan d) kelihatannya terpaksa kita tolak karena<br />

13


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

terjadinya fluktuasi aliran daya pada konfigurasi ini. Di antara<br />

konfigurasi e) dan f) kita lebih memilih f) karena konfigurasi ini<br />

memiliki kemampuan penyaluran daya lebih tinggi.<br />

Bagaimanakah sistem penyaluran energi dengan jumlah fasa lebih<br />

banyak? <strong>Sistem</strong> multifasa dengan konfigurasi N fasa, N+1 kawat<br />

akan memiliki kemampuan penyaluran daya sebesar 0,707P 0 . Jadi<br />

sistem 3 fasa 4 kawat merupakan sistem multi fasa yang paling<br />

sederhana ditinjau dari kemampuan penyaluran daya.<br />

Perhitungan-perhitungan di atas ditujukan hanya untuk melihat<br />

kemampuan penyaluran daya di setiap konfigurasi. Dalam<br />

pembangunan saluran transmisi masih harus diperhitungkan banyak<br />

faktor, misalnya keperluan akan isolator, menara, susut energi.<br />

Makin banyak kita gunakan saluran fasa, makin bayak diperlukan<br />

isolator dan perancangan menara pun harus disesuaikan.<br />

Jika kita perhatikan Tabel-1.1 di atas, transmisi AS tiga kawat,<br />

memiliki kemampuan penyaluran daya paling tinggi untuk total luas<br />

penampang konduktor yang sama. Kemajuan teknologi telah<br />

memungkinkan digunakannya sistem transmisi AS dan mengatasi<br />

kendala yang selama ini dihadapi. Mulai dari suatu jarak transmisi<br />

tertentu, biaya pembanguan sistem transmisi AS sudah menjadi<br />

lebih rendah dari sistem ABB. PLN merencanakan pembangunan<br />

transmisi AS untuk menghubungkan Sumatra dan Jawa.<br />

1.4 Sumber Energi Primer<br />

Sebagaimana telah disinggung, generator yang kita sebut sebagai<br />

sumber, tidak lain adalah piranti pengubah (konversi) energi dari<br />

energi non-listrik ke energi listrik. Dalam hal konversi elektromekanik,<br />

energi non-listrik berupa energi mekanik yang diberikan<br />

oleh turbin, dan turbin sendiri menerima energi masukan berupa<br />

energi thermal yang diubah olehnya menjadi gerak putar untuk<br />

memutar generator. Masukan energi thermal ke turbin berasal dari<br />

sumber energi primer, yang dapat berupa energi thermal maupun<br />

non-thermal.<br />

1.4.1. Sumber Energi Primer pada Pusat Pembangkit Thermal<br />

Batubara. Cadangan batubara Indonesia terlihat pada gambar<br />

berikut.<br />

14 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.<br />

Untuk pembangkitan, batubara harus diangkut dari lokasi tambang<br />

ke pusat pembangkit. Untuk pusat pembangkit di Jawa, biaya angkut<br />

ini tidak sedikit dan dapat terganggu bila cuaca buruk. Hasil<br />

tambang batubara ada dua kategori yaitu batubara dengan<br />

kandungan kalori tinggi dan kandungan kalori rendah.<br />

Minyak Bumi. Gambar berikut menginformasikan cadangan<br />

minyak Indonesia.<br />

Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.<br />

Penggunaan minyak sebagai sumber energi primer untuk<br />

pembangkitan energi listrik terus diusahakan untuk dikurangi<br />

proporsinya karena harga yang terlalu tinggi.<br />

Gas Alam. Cadangan gas bumi Indonesia terbaca pada gambar<br />

berikut. Penggunaan gas alam sebagai sumber energi primer untuk<br />

pembangkitan energi listrik diperbesar proporsinya untuk<br />

15


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

menggantikan minyak. Pengangkutan gas dari sumber gas ke pusat<br />

pembangkit dilakukan melalui pipa gas.<br />

Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.<br />

Panas Bumi..Energi panas bumi cukup banyak tersedia di Indonesia.<br />

Penggunaan energi ini masih perlu dikembangkan. Gambar dan<br />

daftar berikut ini memperlihatkan distribusi lokasi sumber energi<br />

panas bumi.<br />

1.Daerah Aceh 17 lks 9.Banten 5 lks 17.Sulawesi Utara 5 lks<br />

2.Sumatra Utara 16 lks 10.Jawa Barat 40 lks 18.Gorontalo 2 lks<br />

3.Sumatra Barat 16 lks 11 Jawa Tengah 14 lks 19.Sulawesi Tengah 14 lks<br />

4.Riau 1 lks 12.DI Yogyakarta 1 lks 20.Sulawesi Selatan 16 lks<br />

5.Jambi 8 lks 13.Jawa Timur 11 lks 21.Sulawesi Tenggara 13 lks<br />

6.Sumatra Selatan 8 lks 14.Bali 5 lks 22.Maluku 15 lks<br />

7.Bengkulu 6 lks 15.NTB 3 lks 23.Papua 2 lks<br />

8.Lampung 13 lks 16.NTT 18 lks 24.Kalimantan 3 lks<br />

Total lokasi: 251<br />

Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. /RUKN.<br />

16 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Biomassa. Sumber energi ini belum berkembang walaupun dalam<br />

skala rumah tangga telah mulai dirintis.<br />

Sampah. Sampah sebagai sumber pembangkit energi listrik masih<br />

diwacanakan terutama untuk mengatasi masalah sampah di kota<br />

Bandung.<br />

Energi Nuklir. Penggunaan energi nuklir di Indonesia masih dalam<br />

tingkat wacana. Sementara itu Jerman sudah mulai meninggalkan<br />

penggunaan energi nuklir untuk pembangkitan energi listrik.<br />

1.4.2. Sumber Energi Primer Pusat Pembangkit Nonthermal<br />

<strong>Tenaga</strong> Air (Hydro). <strong>Tenaga</strong> air merupakan sumber energi yang<br />

paling murah dan kelangsungannya dapat dipercaya. Namun<br />

pembangunannya memerlukan waktu lama dibandingkan dengan<br />

pembangkit thermal. Dibandingkan dengan pembangkit thermal,<br />

pembangkit tenaga air dapat di-start dengan sangat cepat; sementara<br />

untuk men-start pembangkit thermal diperlukan waktu untuk<br />

pemanasan. Oleh karena itu pembangkit tenaga air biasanya<br />

digunakan sebagai pembangkit untuk memenuhi beban puncak,<br />

sementara pembangkit thermal menanggung beban dasar.<br />

Angin. Di Eropa energi angin telah banyak dimanfaatkan namun di<br />

Indonesia masih belum berkembang walaupun telah mulai ada.<br />

Gelombang Laut. Sumber energi ini belum termanfaatkan di<br />

Indonesia.<br />

Arus laut. Di Indonesia sumber energi ini masih menjadi wacana.<br />

<strong>Tenaga</strong> Surya. Di Indonesia Sumber energi ini telah mulai<br />

dimanfaatkan baik sebagai sumber tenaga listrik “stand alone”<br />

maupun sebagai pusat pembangkit walaupun masih dalam skala<br />

yang tidak besar.<br />

1.5. Beban<br />

1.5.1. Pengelompokan Beban<br />

Tujuan dibangunnya suatu sistem tenaga adalah untuk mencatu<br />

energi ke beban yang berupa peralatan-peralatan yang mengubah<br />

energi listrik menjadi bentuk energi yang sesuai dengan kebutuhan<br />

pengguna. Jenis peralatan sangat beragam, ada yang statis, ada<br />

yang berputar, ada pula yang merupakan gabungan statis dan<br />

berputar. Dalam pengusahaan tenaga listrik beban tidak<br />

17


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

diklasifikasikan berdasarkan peralatan yang dicatu akan tetapi<br />

berdasarkan sifat-sifat umum pengguna akhir. PLN melakukan<br />

klasifikasi beban (pelanggan) sebagai berikut.<br />

Beban Rumah Tangga. Energi di jenis beban ini digunakan<br />

untuk mencatu peralatan rumah tangga yang sangat beragam.<br />

Beban ini biasanya tersebar dalam area yang luas.<br />

Beban Industri. Beban ini membutuhkan sejumlah besar energi<br />

untuk keperluan manufaktur dan proses-proses produksi. Beban<br />

demikian biasanya terlokalisasi pada titik-titik beban di area<br />

tertentu.<br />

Beban Komersial. Jenis beban ini bisa sekumpulan peralatan<br />

kecil seperti di rumah tangga, akan tetapi memerlukan daya agak<br />

besar untuk penerangan, pemanasan dan pendinginan. Beban ini<br />

lebih tersebar dibandingkan dengan beban industri tetapi tidak<br />

se-tersebar beban rumah tangga; misalnya pusat perbelanjaan,<br />

bandara, hotel.<br />

Beban Lain. Beban lain yang dimaksud di sini adalah bebanbeban<br />

yang terkait dengan pentarifan ataupun pelayanan tertentu.<br />

Termasuk di dalamnya adalah beban kantor pemerintah, sosial,<br />

dan penerangan jalan umum.<br />

Di PLN jumlah pelanggan Rumah Tangga sangat dominan;<br />

sementara jumlah pelanggan Industri dan pelanggan Komersial<br />

sangat sedikit dibanding dengan jumlah pelanggan Rumah<br />

Tangga. Namun demikian daya tersambung ke pelanggan tidaklah<br />

proporsional dengan jumlah pelanggan. Dan sudah barang tentu<br />

demikian juga dengan penggunaan energi per kelompok<br />

pelanggan.<br />

1.5.2. Model Beban<br />

Untuk keperluan analisis, kita perlu “mengombinasikan” berbagai<br />

karakteristik piranti listrik yang jumlahnya ribuan ke satu titik<br />

beban tertentu. Melakukan kombinasi secara harfiah tentulah tidak<br />

mungkin. Oleh karena itu kita membangun model beban; beban<br />

dapat kita modelkan sebagai sumber tegangan, atau sumber arus,<br />

atau impedansi.<br />

18 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Z<br />

Beban<br />

Z<br />

Beban<br />

Z<br />

Beban<br />

+<br />

−<br />

E<br />

+<br />

−<br />

+<br />

−<br />

E<br />

+<br />

−<br />

E<br />

Model sumber tegangan Model sumber arus Model impedansi<br />

Gb.1.4. Model-model beban<br />

Model yang kita pilih tentulah yang mewakili sifat-sifat yang<br />

menonjol dari beban. Beban yang pasif misalnya, kita modelkan<br />

sebagai suatu impedansi. Beban yang karakter arusnya menonjol,<br />

kita modelkan sebagai sumber arus; hal ini misalnya digunakan<br />

pada beban nonlinier.<br />

1.5.3. Pengaruh Perubahan Tegangan dan Perubahan Frekuensi<br />

Daya yang mengalir ke beban tergantung dari tegangan maupun<br />

frekuensi. Apabila terjadi perubahan tegangan dan/atau perubahan<br />

frekuensi, daya yang mengalir ke beban akan berubah pula.<br />

Sesungguhnya, beban mengharapkan tegangan dan frekuensi tidak<br />

berubah-ubah. Namun situasi operasional sering memaksa<br />

terjadinya perubahan-perubahan besaran tersebut. Masuknya<br />

beban besar yang tiba-tiba ke jaringan akan diikuti oleh penurunan<br />

tegangan; keluarnya beban besar yang tiba-tiba akan menyebabkan<br />

kenaikan tegangan. Di jaringan sistem tenaga, dipasang peralatan<br />

untuk membatasi lama terjadinya suatu perubahan tegangan. Pada<br />

umumnya, jika perubahan tegangan tidak besar (karena tegangan<br />

seharusnya tidak berubah-ubah, sesuai standar) pasokan daya ke<br />

beban dapat didekati dengan hubungan linier<br />

P<br />

∂P<br />

∂P<br />

∂Q<br />

∂Q<br />

P0<br />

+ ∆V<br />

+ ∆f<br />

; Q = P + ∆V<br />

+ ∆f<br />

(1.24)<br />

∂V<br />

∂f<br />

∂V<br />

∂f<br />

= 0<br />

dengan ∆ V = V −V0<br />

= perubahan tegangan sekitar titik referensi<br />

V 0 , ∆ f = f − f 0 = perubahan frekuensi sekitar titik referensi f 0.<br />

∂P<br />

∂P<br />

∂Q<br />

∂Q<br />

Diferensial parsial , , , dapat diturunkan melalui<br />

∂V<br />

∂f<br />

∂V<br />

∂f<br />

rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari<br />

19


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang<br />

kemudian dihitung menggunakan computer.<br />

CONTOH-1.1: Kita akan<br />

memperbandingkan<br />

pengaruh perubahan<br />

tegangan dan perubahan<br />

frekuesi pada rangkaian R-L<br />

+<br />

v<br />

−<br />

R<br />

L<br />

seri dan rangkaian R-L parallel dengan melihat<br />

+<br />

v<br />

−<br />

∂ P / ∂V<br />

, ∂P<br />

/ ∂f<br />

, ∂Q<br />

/ ∂V<br />

, dan ∂P<br />

/ ∂V<br />

.<br />

R<br />

L<br />

Solusi untuk rangkaian seri:<br />

∗<br />

⎛ o<br />

2<br />

2<br />

o V 0 ⎞<br />

∗<br />

V V<br />

S seri V 0 ⎜ ∠<br />

= VI = ∠<br />

⎟ = =<br />

( R + jωL)<br />

⎜ R j L ⎟ R j L 2 2 2<br />

⎝<br />

+ ω<br />

⎠<br />

− ω R + ω L<br />

2<br />

2<br />

RV ωLV<br />

=<br />

+ j<br />

2 2 2 2 2 2<br />

R + ω L R + ω L<br />

2<br />

RV ∂Pseri<br />

Pseri<br />

=<br />

⇒<br />

2 2 2<br />

R + ω L ∂ω<br />

2<br />

ωLV<br />

∂Qseri<br />

Qseri<br />

=<br />

⇒<br />

2 2 2<br />

R + ω L ∂ω<br />

∂Qseri<br />

∂V<br />

2 2<br />

2RV<br />

ωL<br />

=<br />

;<br />

2 2 2 2<br />

( R + ω L )<br />

2 2 2 2 2 3 2<br />

( R + ω L ) LV − 2ω<br />

L V<br />

=<br />

;<br />

2 2 2 2<br />

( R + ω L )<br />

2ωLV<br />

=<br />

2 2 2<br />

R + ω L<br />

∂Pseri<br />

∂V<br />

Solusi untuk rangkaian parallel:<br />

∗<br />

⎛ ⎞ 2 2<br />

∗ V V V V<br />

S paralel = VI = V<br />

⎜ +<br />

j<br />

R j L<br />

⎟ = +<br />

⎝ ω ⎠ R ωL<br />

2<br />

V ∂Pparalel<br />

∂Pparalel<br />

2V<br />

Pparalel<br />

= ⇒ = 0 ;<br />

=<br />

R ∂ω<br />

∂V<br />

R<br />

2<br />

V ∂Q<br />

2<br />

paralel −V<br />

L ∂Qparalel<br />

2V<br />

Qparalel<br />

= ⇒ = ;<br />

=<br />

ωL<br />

∂ω<br />

2<br />

( ωL)<br />

∂V<br />

ωL<br />

20 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

2RV<br />

=<br />

2 2 2<br />

R + ω L<br />

Perhatikan: ketergantungan terhadap tegangan kedua rangkaian ini<br />

sama, yaitu sebanding dengan tegangan. Akan tetapi<br />

ketergantungan terhadap frekuensi sangat berbeda. Polinom


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

pangkat 4 dari penyebut pada ∂ P seri / ∂ω<br />

membuat penyebut<br />

hampir tak berubah bila terjadi perubahan ω hanya 10% misalnya;<br />

Oleh karena itu ∂ P seri / ∂ω<br />

dapat dikatakan berbanding lurus<br />

dengan ω. Sebaliknya ∂ P paralel / ∂ω<br />

bernilai nol; perubahan<br />

frekuensi tidak mempengaruhi besarnya daya nyata.<br />

1.6. <strong>Sistem</strong> Polifasa<br />

Kita telah mempelajari salah satu sistem polifasa yaitu sistem tigafasa.<br />

Di sub-bab ini kita akan melihat secara lebih umum, dan juga<br />

akan melihat bagaimana perhitungan-perhitungan dilakukan baik<br />

pada kondisi pembebanan seimbang maupun tidak seimbang.<br />

1.6.1. <strong>Sistem</strong> Polifasa Secara Umum<br />

Kita lihat secara umum suatu sistem polifasa. Gb.1.5. berikut ini<br />

memperlihatkan hubungan dua jaringan secara umum yaitu<br />

jaringan A dan B yang dihubungkan dengan (N+1) konduktor.<br />

Salah satu konduktor adalah konduktor netral; jadi sistem ini<br />

adalah sistem N fasa.<br />

a<br />

I a<br />

Jaringan<br />

A<br />

b<br />

z<br />

I b<br />

I z<br />

.<br />

.<br />

.<br />

Jaringan<br />

B<br />

Van<br />

Vbn<br />

. . . .<br />

V zn<br />

n<br />

I n<br />

Gb.1.5. Dua jaringan dihubungkan dengan (N+1) konduktor.<br />

21


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Tegangan konduktor fasa terhadap netral adalah sebagai berikut<br />

V = tegangan fasa a.<br />

an = Va<br />

= Va∠α<br />

a<br />

bn = Vb<br />

= Vb∠α<br />

b<br />

V = tegangan fasa b.<br />

………………<br />

V zn = Vz<br />

= Vz∠α<br />

z<br />

= tegangan fasa z.<br />

Arus di setiap penghantar fasa adalah<br />

I = arus fasa a.<br />

a = I a∠βa<br />

b = I b∠βb<br />

I = arus fasa b.<br />

………………<br />

I z = I z∠β<br />

z<br />

= arus fasa z.<br />

I n = I n∠βn<br />

= arus penghantar netral.<br />

Menurut hukum arus Kirchhoff<br />

I I + I + ....... + I + I = 0<br />

(1.25)<br />

a + b c<br />

z n<br />

Daya kompleks total (sejumlah N fasa) yang mengalir ke B adalah:<br />

z<br />

∗ ∗<br />

∗<br />

S Nf = V a I a + Vb<br />

Ib<br />

+ ...... + Vz<br />

I z = ∑ Si<br />

(1.26.a)<br />

i=<br />

a<br />

dengan<br />

i = a,<br />

b,<br />

c,.......<br />

z<br />

Dapat dimengerti pula bahwa<br />

S<br />

i<br />

∗<br />

i i<br />

= V I<br />

(1.26.b)<br />

z<br />

PNf<br />

= ∑ Pi<br />

, Pi<br />

= Vi<br />

I i cos ψ i<br />

(1.27.a)<br />

i=<br />

a<br />

z<br />

QNf<br />

= ∑ Qi<br />

, Qi<br />

= Vi<br />

I i sin ψ i<br />

(1.28.b)<br />

i=<br />

a<br />

Dalam kondisi pembebanan seimbang<br />

V =<br />

a = Vb<br />

= ...... = Vz<br />

V f<br />

(1.29.a)<br />

22 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


dan, dengan mengambil fasa a sebagai referensi,<br />

α<br />

a<br />

dan<br />

= 0;<br />

α<br />

b<br />

360<br />

θ =<br />

N<br />

= −θ;<br />

o<br />

α<br />

c<br />

= −2θ;<br />

..... α<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

n<br />

= −nθ<br />

(1.29.b)<br />

Dalam pembebanan seimbang ini, arus fasa dan sudut ψ adalah:<br />

I =<br />

a = Ib<br />

= ...... = I z I f = arus fasa (1.30.a)<br />

ψ a = ψb<br />

= ψc<br />

= ....... = ψ z = ψ = sudut faktor daya (1.30.b)<br />

Urutan penamaan fasa abc. . . z kita sebut urutan positif. Jika<br />

seandainya urutan penamaan ini kita balik, z . . cba maka kita<br />

mempunyai urutan negatif.<br />

Sementara itu tegangan fasa-fasa adalah<br />

V<br />

ij<br />

= V − V i,<br />

j = a,<br />

b,<br />

c.......<br />

z<br />

i<br />

i<br />

= V ∠α −V<br />

∠α<br />

i<br />

j<br />

yang dalam kondisi seimbang akan menjadi<br />

dan<br />

i<br />

j<br />

j<br />

f<br />

j<br />

(1.31)<br />

V = V = V = tegangan fasa-netral (1.32)<br />

V<br />

= [1 − cos( α − α )] (1.33)<br />

ij V f<br />

2 i j<br />

Perhatikan Gb.1.4. Gambar ini memperlihatkan hubungan<br />

tegangan fasanetral<br />

V ab<br />

V an , Vbn<br />

,.........<br />

Vzn<br />

serta tegangan<br />

fasa-fasa V ab<br />

θ<br />

dan V .<br />

az<br />

ψ<br />

o<br />

360<br />

θ<br />

Diperlihatkan θ =<br />

I a<br />

N<br />

pula arus fasa<br />

I yang<br />

a<br />

lagging<br />

terhadap<br />

V .<br />

an<br />

V az<br />

Gb.15.4 Fasor tegangan sistem N-fasa<br />

seimbang.<br />

V zn<br />

V bn<br />

V an<br />

23


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Perbandingan tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />

untuk N dari 2 sampai 12 (dinormalisasi terhadap V a ) diberikan<br />

pada Tabel -1.1.<br />

Table 1.1. Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa<br />

untuk sistem 2 ÷ 12 fasa, dinormalisir terhadap V a [1]<br />

N: 1 2 3 4 5 6<br />

V ab /V a 2,000 1,732 1,414 1,176 1,000<br />

V ac /V a 1,732 2,000 1,902 1,732<br />

V ad /V a 1,414 1,902 2,000<br />

V ae /V a 1,176 1,732<br />

V af /V a 1,000<br />

N: 7 8 9 10 11 12<br />

V ab /V a 0,868 0,765 0,684 0,618 0,563 0,518<br />

V ac /V a 1,564 1,414 1,286 1,176 1,081 1,000<br />

V ad /V a 1,950 1,848 1,732 1,618 1,511 1,414<br />

V ae /V a 1,950 2,000 1,970 1,902 1,819 1,732<br />

V af /V a 1,564 1,848 1,970 2,000 1,980 1,932<br />

V ag /V a 0,868 1,414 1,732 1,902 1,980 2,000<br />

V ah /V a 0,765 0,286 1,618 1,819 1,932<br />

V ai /V a 0,684 1,176 1,511 1,732<br />

V aj /V a 0,618 1,081 1,414<br />

V ak /V a 0,563 1,000<br />

V al /V a 0,518<br />

Daya sesaat total untuk N ≥ 3 adalah<br />

z z<br />

pNf<br />

= ∑ viii<br />

= ∑ ( V 2)( I 2) cos( ωt<br />

− αi<br />

) cos( ωt<br />

− βi)<br />

i=<br />

a i=<br />

a<br />

= NV f I f cos ψ<br />

(1.34)<br />

Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa<br />

memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS.<br />

Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa<br />

24 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita<br />

akan memperoleh relasi<br />

S Nf = NV f I f<br />

PNf<br />

= NV f I f cos ψ<br />

QNf<br />

= NV f I f sin ψ<br />

(1.35)<br />

1.6.2. Hubungan Bintang dan Hubungan Mesh<br />

Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dinyatakan dengan<br />

model impedansi. Impedansi pada sistem multifasa dapat<br />

dihubungkan bintang ataupun mesh; rangkaian ini diperlihatkan<br />

pada Gb.1.5.<br />

a<br />

I aY<br />

Z Y<br />

a<br />

I a∆<br />

b<br />

c<br />

z<br />

Bintang<br />

Mesh<br />

Gb.1.5 Hubungan bintang dan hubungan mesh.<br />

Transformasi dari rangkaian bintang ke mesh diturunkan sebagai<br />

berikut.<br />

Rangkaian bintang :<br />

Rangkaian mesh:<br />

Z Y<br />

Z Y<br />

.<br />

.<br />

.<br />

Z Y<br />

b<br />

c<br />

z<br />

Z <br />

Z <br />

Z <br />

Z <br />

o<br />

V<br />

an f ∠0<br />

I aY = V =<br />

(1.36)<br />

ZY<br />

ZY<br />

25


I<br />

a∆<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

f<br />

ab<br />

∆<br />

∆<br />

V<br />

+<br />

Z<br />

(1∠<br />

0<br />

az<br />

∆<br />

o<br />

1<br />

=<br />

Z<br />

∆<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

( V − V + V − V )<br />

an<br />

−1∠ − θ + 1∠0<br />

o<br />

bn<br />

an<br />

zn<br />

2V<br />

−1∠θ)<br />

=<br />

Z<br />

Jika kedua rangkaian ini harus sama maka<br />

a∆<br />

aY<br />

Y<br />

f<br />

∆<br />

(1 − cosθ)<br />

(1.37)<br />

I = I ⇒ Z = 2(1<br />

− cosθ)<br />

Z<br />

(1.38)<br />

∆<br />

o<br />

CONTOH-1.2: Sumber 6 fasa seimbang dengan V a = 1000∠0<br />

V ,<br />

urutan fasa abc, mencatu beban 6 fasa seimbang S 6f = 900 kVA,<br />

faktor daya = 0.8 lagging. (a) Hitunglah arus fasa; (b) Hitung<br />

tegangan fasa-fasa ac; (c) Hitung impedansi ekivalen Y, Z Y ; (d)<br />

Hitung impedansi ekivalen ∆, Z ∆ .<br />

Solusi:<br />

V a<br />

= 1000∠0<br />

o<br />

V = 1∠0<br />

o<br />

kV<br />

(a)<br />

I fasa<br />

S6φ<br />

/ 6<br />

= =<br />

V fasa<br />

900 / 6<br />

1<br />

= 150 A<br />

(b)<br />

o<br />

o<br />

o<br />

V ac = Va<br />

− Vc<br />

= 1000∠0<br />

−1000∠ −120<br />

= 1732∠ − 30 V<br />

(c)<br />

Z Y<br />

V fasa<br />

=<br />

I fasa<br />

1000<br />

= = 6.67 Ω;<br />

150<br />

−1<br />

o<br />

ψ = cos (0.8) = ± 36.9<br />

Z<br />

Z Y<br />

o<br />

= 6 .67∠<br />

+ 36.9<br />

o<br />

o<br />

∆ = 2 (1 − cos 60 ) ZY<br />

= 2(1/ 2) ZY<br />

= ZY<br />

= 6.67∠<br />

+ 36.9<br />

1.7. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Seimbang<br />

<strong>Sistem</strong> tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana.<br />

Lihat Gb.1.6. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa<br />

adalah<br />

26 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

V<br />

V<br />

V<br />

an<br />

bn<br />

cn<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

a<br />

b<br />

c<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

f<br />

f<br />

f<br />

∠0<br />

o<br />

∠ −120<br />

∠ − 240<br />

o<br />

o<br />

= V<br />

f<br />

∠ + 120<br />

o<br />

(1.39)<br />

Tegangan fasa-fasa adalah<br />

V<br />

V<br />

V<br />

ab<br />

bc<br />

ca<br />

= V<br />

= V<br />

b<br />

= V<br />

a<br />

c<br />

− V<br />

− V<br />

c<br />

− V<br />

a<br />

a<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

f<br />

f<br />

f<br />

3∠30<br />

o<br />

3∠ − 90<br />

o<br />

3∠ + 150<br />

o<br />

(1.40)<br />

a<br />

I a<br />

Jaringan<br />

A<br />

b<br />

c<br />

I b<br />

I c<br />

Jaringan<br />

B<br />

Va<br />

Vb<br />

Vc<br />

n<br />

I n<br />

Gb.1.6. <strong>Sistem</strong> tiga-fasa.<br />

Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dimodelkan dengan<br />

impedansi dan impedansi ini dapat terhubung Y atau ∆, seperti<br />

diperlihatkan oleh Gb.1.7.<br />

a<br />

a<br />

Z Y<br />

b<br />

Z ∆<br />

Z ∆<br />

b<br />

Z Y<br />

c<br />

Z ∆<br />

c Z Y<br />

∆<br />

Y<br />

Gb.1.7. Beban terhubung ∆ dan terhubung Y.<br />

27


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Dalam kondisi seimbang, arus-arus fasa pada hubungan Y adalah<br />

I<br />

I<br />

I<br />

I<br />

a<br />

b<br />

c<br />

n<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

= I<br />

= I<br />

= 0<br />

f<br />

f<br />

a<br />

Y<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

f<br />

Y<br />

∠(<br />

−120<br />

∠(<br />

−240<br />

∠(0<br />

o<br />

o<br />

o<br />

− ψ)<br />

− ψ)<br />

− ψ)<br />

= I<br />

f<br />

∠ − ψ<br />

(1.41)<br />

Gb. 1.8. memperlihatkan diagram fasor tegangan dan arus pada<br />

sistem tiga-fasa seimbang dengan beban induktif; arus lagging<br />

terhadap tegangan.<br />

V ca<br />

V c<br />

ψ<br />

I c<br />

− V b<br />

V ab<br />

− V a<br />

I b ψ<br />

ψ<br />

I a<br />

V a<br />

V b<br />

− V c<br />

V bc<br />

Gb.15.8. Diagram fasor sistem tiga<br />

fasa seimbang; urutan fasa abc.<br />

Transformasi hubungan Y ke ∆ diberikan oleh (1.30), yang untuk<br />

o<br />

sistem tiga-fasa θ = 120 .<br />

Z∆ = 2 (1 − cosθ)<br />

Z Y = 3Z Y<br />

(1.42)<br />

Jika diperlukan, arus pada cabang-cabang hubungan ∆ dapat<br />

dihitung, dengan relasi<br />

I<br />

ab<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

V<br />

V<br />

ab; I =<br />

bc<br />

=<br />

ca<br />

bc ; Ica<br />

(1.43)<br />

∆ Z∆<br />

Z∆<br />

28 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Hubungan arus fasa I a<br />

pada Gb.1.6, yang juga disebut arus saluran<br />

(line current) I L<br />

, dengan arus pada cabang ∆ adalah<br />

I<br />

a<br />

= I<br />

ab<br />

−I<br />

1.8. <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa Tak-seimbang<br />

ca; Ib<br />

= Ibc<br />

−Iab;<br />

Ic<br />

= Ica<br />

−Ibc<br />

(1.44)<br />

Dalam sistem tiga-fasa seimbang, besar tegangan adalah sama di<br />

semua fasa dan antara fasa yang berurutan terdapat beda fasa 120 o .<br />

Demikian pula halnya dengan arus; keadaan ini membuat arus di<br />

penghantar netral bernilai nol. Tidak demikian halnya dengan<br />

keadaan tak-seimbang; tegangan dan arus di setiap fasa tidak sama<br />

dan beda fasa antar tegangan fasa-netral tidak 120 o .<br />

1.8.1. Komponen Simetris<br />

Tegangan di setiap fasa (fasa-netral) sistem tak-seimbang dapat<br />

kita tuliskan sebagai<br />

V a = Va∠α<br />

a ; Vb<br />

= Vb∠αb<br />

; Vc<br />

= Vc∠α<br />

c<br />

Satu kesatuan tiga fasor tak-seimbang ini, dipandang sebagai<br />

terdiri dari tiga komponen fasor seimbang yaitu:<br />

komponen urutan positif<br />

komponen urutan negatif<br />

komponen urutan nol<br />

Komponen urutan positif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan<br />

selisih sudut fasa 120 o , dengan urutan abc. Komponen urutan<br />

negatif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa<br />

120 o dengan urutan cba, dan komponen urutan nol adalah fasor<br />

tiga-fasa tanpa selisih sudut fasa. Tiga set fasor seimbang ini<br />

digambarkan pada Gb.1.9. Perhatikanlah bahwa baik komponen<br />

urutan positif maupun negatif, memiliki selisih sudut fasa 120 o ;<br />

artinya kemunculan tegangan berselisih 120 o secara berurutan,<br />

sedangkan komponen urutan nol tidak memiliki selisih sudut fasa,<br />

yang berarti gelombang tegangan di ketiga-fasa muncul dan<br />

bervariasi secara bersamaan. Oleh karena itu jumlah fasor arus<br />

urutan nol di titik penghatar netral tidaklah nol melainkan 3 kali<br />

arus urutan nol.<br />

29


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Komponen urutan nol diberi tambahan indeks 0, urutan positif<br />

diberi tambahan indeks 1, urutan negatif dengan tambahan indeks<br />

2. Komponen-komponen ini disebut komponen simetris. Dengan<br />

komponen simetris ini maka pernyataan tegangan semula (yang<br />

tidak seimbang) menjadi<br />

Va<br />

= Va0<br />

+ Va1<br />

+ Va2<br />

;<br />

Vb<br />

= Vb<br />

0 + Vb1<br />

+ Vb<br />

2;<br />

Vc<br />

= Vc0<br />

+ Vc1<br />

+ Vc2<br />

(1.45)<br />

V c1<br />

V b2<br />

V<br />

a0 , Vb<br />

0,<br />

Vc0<br />

V a1<br />

V a2<br />

V b1<br />

V c2<br />

Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />

Gb.1.9. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa<br />

tak-seimbang.<br />

1.8.2. Operator a<br />

Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan<br />

operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang<br />

berbentuk<br />

o<br />

a = 1∠120<br />

(1.46)<br />

Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain<br />

yang terputar ke arah positif sebesar 120 o ; dan jika kita kalikan<br />

dengan a 2 akan terputar ke arah posistif 240 o (operator semacam<br />

o<br />

ini telah pernah kita kenal yaitu operator j = 1∠90 ). Kita<br />

manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan<br />

positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita<br />

hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a,<br />

sehingga kita dapat menuliskan<br />

30 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

sehingga<br />

V<br />

V<br />

V<br />

a0<br />

a1<br />

a2<br />

= V<br />

b0<br />

= V ; V<br />

1<br />

2<br />

= V<br />

b1<br />

= V ; V<br />

b2<br />

c0<br />

= V<br />

1<br />

2<br />

0<br />

= aV<br />

;<br />

2<br />

V<br />

c1<br />

= a V ; V<br />

= a<br />

c2<br />

2<br />

V<br />

= aV<br />

a0<br />

2<br />

V<br />

V<br />

V<br />

a<br />

b<br />

c<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

0<br />

0<br />

0<br />

+ V + V<br />

1<br />

2<br />

+ aV<br />

1<br />

1<br />

2<br />

+ a V + aV<br />

+ a<br />

Agar lebih jelas, perhatikan Gb.1.10 berikut ini.<br />

2<br />

V<br />

2<br />

2<br />

(1.47)<br />

aV = V<br />

1 c1<br />

aV = V<br />

2 b2<br />

V 0<br />

V 1 = Va1<br />

V 2 = Va2<br />

2<br />

a V 1 = V b 1<br />

Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />

Gb.1.10. Penulisan komponen urutan dengan<br />

menggunakan operator a.<br />

Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />

menjadi<br />

⎡Va<br />

⎤ ⎡1<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢Vb<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

Vc<br />

⎦ ⎣1<br />

1<br />

2<br />

a<br />

1.8.3. Mencari Komponen Simetris<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡V0<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥<br />

⎥ ⎢V1<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

V2<br />

⎦<br />

2<br />

a V 2 = V c 2<br />

(1.48)<br />

Komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik;<br />

ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur adalah besaranbesaran<br />

yang tak-seimbang yaitu V a , Vb<br />

, Vc<br />

. Komponen simetris<br />

dapat kita cari dari (1.47.a) dengan menjumlahkan fasor-fasor dan<br />

dengan mengingat bahwa (1 + a + a 2 ) = 0, yaitu<br />

31


V<br />

= V<br />

+ V + V<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

a 0 1 2<br />

Vb<br />

2<br />

= V0<br />

+ a V1<br />

+ aV2<br />

Vc<br />

2<br />

= V0<br />

+ aV1<br />

+ a V2<br />

⇒ V a + Vb<br />

+ Vc<br />

2<br />

2<br />

= 3V0 + (1 + a + a)<br />

V1<br />

+ (1 + a + a ) V2<br />

= 3V0<br />

1<br />

⇒ V 0 = ( Va<br />

+ Vb<br />

+ Vc<br />

3<br />

)<br />

(1.49.a)<br />

Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga<br />

kita kalikan dengan a 2 , kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />

Va<br />

= V0<br />

+ V1<br />

+ V2<br />

3 2<br />

aVb<br />

= aV0<br />

+ a V1<br />

+ a V2<br />

2 2 3 4<br />

a Vc<br />

= a V0<br />

+ a V1<br />

+ a V2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

⇒ V a + aVb<br />

+ a Vc<br />

= ( 1+<br />

a + a ) V0<br />

+ 3V1<br />

+ (1 + a + a)<br />

V2<br />

= 3V1<br />

1<br />

2<br />

⇒ V1<br />

= ( Va<br />

+ aVb<br />

+ a Vc<br />

)<br />

(1.49.b)<br />

3<br />

Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a 2 dan baris ke-tiga<br />

kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />

Va<br />

= V0<br />

+ V1<br />

+ V2<br />

2 2 4 3<br />

a Vb<br />

= a V0<br />

+ a V1<br />

+ a V2<br />

2 3<br />

aVc<br />

= aV0<br />

+ a V1<br />

+ a V2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

⇒ V a + aVb<br />

+ a Vc<br />

= ( 1+<br />

a + a)<br />

V0<br />

+ (1 + a + a ) V1<br />

+ 3V2<br />

= 3V2<br />

1 2<br />

⇒ V 1 = ( Va<br />

+ a Vb<br />

+ aVc<br />

)<br />

(1.49.c)<br />

3<br />

Relasi (1.49.a,b,c) kita kumpulkan dalam satu penulisan matriks:<br />

⎡V0<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢V1<br />

⎥ =<br />

⎢ ⎥<br />

⎣<br />

V2<br />

⎦<br />

1<br />

3<br />

⎡1<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

a<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡VA<br />

⎤<br />

2 ⎢ ⎥<br />

a<br />

⎥<br />

⎥ ⎢VB<br />

⎥<br />

a ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎦ ⎣<br />

VC<br />

⎦<br />

(1.50)<br />

32 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran fasa<br />

dan komponen simetrisnya yaitu (1.48) dan (1.50) yang masingmasing<br />

dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut:<br />

~ ~<br />

Vabc<br />

= [ T]<br />

V012<br />

~<br />

~<br />

(1.51.a)<br />

−1<br />

V012<br />

= [ T]<br />

Vabc<br />

dengan<br />

[ T]<br />

⎡1<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

2<br />

−1<br />

2<br />

a dan [ T ] =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥<br />

(1.51.b)<br />

2<br />

a<br />

1<br />

3<br />

⎡1<br />

⎢<br />

⎢⎣<br />

1<br />

a<br />

1<br />

1 ⎤<br />

⎥<br />

a ⎥⎦<br />

Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus<br />

~ ~<br />

Iabc<br />

= [ T]<br />

I012<br />

~ ~<br />

(1.51.c)<br />

−1<br />

I012<br />

= [ T]<br />

Iabc<br />

1.8.4. Relasi Transformasi<br />

Relasi (1.51) inilah pasangan relasi untuk menghitung komponen<br />

urutan jika diketahui besaran fasanya, dan sebaliknya menghitung<br />

besaran fasa jika diketahui komponen urutannya; mereka kita<br />

sebut relasi transformasi fasor tak-seimbang. Perhatikan sekali<br />

lagi bahwa masing-masing komponen urutan membentuk fasor<br />

seimbang; komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah<br />

matematik, tidak diukur dalam praktek; yang terukur adalah<br />

besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu V a , Vb<br />

, Vc<br />

.<br />

o<br />

o<br />

CONTOH-1.3: Diketahui I a = 1∠60<br />

, Ib<br />

= 1∠ − 60 , and Ic<br />

= 0 ,<br />

hitunglah komponen-komponen simetrisnya .<br />

Solusi:<br />

1<br />

I1<br />

= a<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

2 1 o o<br />

( I + aI<br />

+ a I ) = ( 1∠60<br />

+ 1∠60<br />

+ 0)<br />

b<br />

((0,5<br />

+ j0,866)<br />

+ (0,5 + j0,866)<br />

+ 0)<br />

1 o<br />

( 1 + j1,732<br />

) = ( 2∠60<br />

)<br />

c<br />

3<br />

3<br />

33


1<br />

I2<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

I0<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

2 1 o o<br />

( I + a I + aI<br />

) = ( 1∠60<br />

+ 1∠180<br />

+ 0)<br />

a<br />

b<br />

((0,5<br />

+ j0,866)<br />

−1<br />

+ 0)<br />

c<br />

o<br />

( − 0,5 + j0,866) = 0,333∠120<br />

1 o o<br />

( I + I + I ) = ( 1∠60<br />

+ 1∠60<br />

+ 0)<br />

a<br />

b<br />

3<br />

((0,5<br />

+ j0,866)<br />

+ (0,5 − j0,866)<br />

+ 0)<br />

o<br />

( 1 + j0) = 0,333∠0<br />

c<br />

Perhatikan: perhitungan dalam soal ini memberikan<br />

I<br />

c1<br />

I<br />

I<br />

c2<br />

c0<br />

= aI<br />

= I<br />

1<br />

2<br />

= a I<br />

0<br />

= 1∠120<br />

2<br />

o<br />

= 1∠240<br />

= 0,333∠0<br />

2<br />

× ∠60<br />

3<br />

o<br />

o<br />

o<br />

3<br />

2<br />

= ∠(120<br />

3<br />

× 0,333∠120<br />

o<br />

o<br />

o<br />

+ 60 ) = 0,667∠180<br />

= 0,333∠360<br />

sedangkan diketahui I c = 0<br />

Kita yakinkan:<br />

I c = Ic1 + Ic2<br />

+ Ic0<br />

= −0,667<br />

+ 0,333 + 0,333 ≈ 0<br />

1.8.3. Impedansi Urutan<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

Jika impedansi A, B , C merupakan impedansi-impedansi<br />

dengan tegangan antar terminal masing-masing V aa'<br />

, Vbb'<br />

, Vcc'<br />

maka<br />

⎡Vaa'<br />

⎤ ⎡I<br />

a ⎤<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢Vbb'<br />

⎥ = [ Z ABC ] ⎢Ib<br />

⎥<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

⎣<br />

Vcc'<br />

⎦ ⎣<br />

Ic<br />

⎦<br />

atau lebih kompak<br />

o<br />

o<br />

34 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

~<br />

~<br />

V( abc )' = [ Z ABC ] Iabc<br />

(1.52)<br />

~<br />

V ( abc)'<br />

adalah tegangan antar terminal impedansi dan Iabc<br />

adalah arus yang melalui impedansi. [ Z ABC ] adalah matriks 3 × 3,<br />

yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri<br />

dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Kita akan melihat<br />

sebuah contoh saluran transmisi yang mendapat pembebanan tidak<br />

seimbang.<br />

CONTOH-1.4: Suatu saluran tiga-fasa masing masing memiliki<br />

reaktansi sediri X s sedangkan antar fasa terdapat reaktansi bersama<br />

X m . Resistansi konduktor diabaikan. Tentukanlah impedansi urutan.<br />

Perhatikan bahwa X s adalah reaktansi sendiri dan X m adalah<br />

reaktansi bersama antar konduktor.<br />

V a<br />

V b<br />

X m<br />

X m<br />

X m<br />

.<br />

.<br />

.<br />

X s<br />

X s<br />

X s<br />

I b<br />

I a<br />

I c<br />

V′ b<br />

~<br />

V′ a<br />

V c<br />

I + I + I<br />

a<br />

b<br />

c<br />

V′ c<br />

Solusi:<br />

Vaa'<br />

= Va<br />

− Va'<br />

= jX sI<br />

a + jX mIb<br />

+ jX mIc<br />

Vbb'<br />

= Vb<br />

− Vb'<br />

= jX mI<br />

a + jX s Ib<br />

+ jX mIc<br />

Vcc'<br />

= Vc<br />

− Vc'<br />

= jX mI<br />

a + jX mIb<br />

+ jX sIc<br />

yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks<br />

⎡Va<br />

⎤ ⎡Va'<br />

⎤ ⎡ X s X m<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

− =<br />

⎢<br />

⎢Vb<br />

⎥ ⎢Vb'<br />

⎥ j<br />

⎢<br />

X m X s<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

Vc<br />

⎦ ⎣<br />

Vc'<br />

⎦ ⎣X<br />

m X m<br />

dan dapat dituliskan dengan lebih kompak<br />

X m ⎤ ⎡I<br />

a ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

X<br />

⎥<br />

m ⎥ ⎢Ib<br />

⎥<br />

X ⎥ ⎢ ⎥<br />

s ⎦ ⎣<br />

Ic<br />

⎦<br />

35


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

~<br />

V<br />

~<br />

′<br />

~<br />

abc − Vabc<br />

= [ Z ABC ] Iabc<br />

Karena<br />

~ ~ ~ −1<br />

~ ~ ~<br />

V abc = [ T]<br />

V012<br />

, V012<br />

= [ T]<br />

Vabc<br />

, dan Iabc<br />

= [ T]<br />

I012<br />

maka relasi diatas menjadi<br />

~ ~<br />

~<br />

[ T]<br />

V012<br />

− [ T]<br />

V012<br />

′ = [ Z ABC ][ T]<br />

I012<br />

atau<br />

~ ~ −1<br />

~<br />

V012<br />

− V012<br />

′ = [ T]<br />

[ Z ABC ][ T]<br />

I012<br />

Pada relasi terakhir ini terdapat faktor<br />

−<br />

[ T] 1 [ Z ][ T]<br />

ABC<br />

yang dapat kita hitung sebagai berikut:<br />

-1<br />

[ T] [ Z ][ T]<br />

ABC<br />

⎡X<br />

s + 2X<br />

j<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

X s − X<br />

3<br />

⎢⎣<br />

X s − X<br />

⎡X<br />

s + 2X<br />

= j<br />

⎢<br />

⎢<br />

0<br />

⎢⎣<br />

0<br />

m<br />

m<br />

m<br />

⎡1<br />

1<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

3<br />

⎢⎣<br />

1<br />

m<br />

X<br />

aX<br />

a<br />

s<br />

2<br />

X s<br />

s<br />

0<br />

X<br />

1<br />

a<br />

a<br />

s<br />

+ (1 + a<br />

− X<br />

0<br />

2<br />

1 ⎤ ⎡ X<br />

2<br />

a<br />

⎥ ⎢<br />

⎥<br />

j<br />

⎢<br />

X<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

X<br />

+ 2X<br />

+ (1 + a)<br />

X<br />

m<br />

X<br />

m<br />

2<br />

) X<br />

s<br />

0<br />

0<br />

m<br />

m<br />

− X<br />

s<br />

m<br />

m<br />

m<br />

a<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

2<br />

aX<br />

Hasil perhitungan ini memberikan relasi berikut<br />

X<br />

X<br />

X<br />

X<br />

s<br />

m<br />

s<br />

m<br />

X<br />

s<br />

s<br />

X<br />

X<br />

X<br />

m<br />

m<br />

s<br />

+ 2X<br />

+ (1 + a)<br />

X<br />

+ (1 + a<br />

⎤ ⎡1<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1<br />

m<br />

2<br />

) X<br />

m<br />

m<br />

a<br />

1<br />

2<br />

a<br />

⎤ ⎡1<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

1<br />

a<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤<br />

a<br />

⎥<br />

⎥<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

~<br />

V<br />

012<br />

~<br />

− V′<br />

012<br />

⎡X<br />

s + 2X<br />

⎢<br />

= j<br />

⎢<br />

0<br />

⎢⎣<br />

0<br />

⎡Z<br />

0 0<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

0 Z1<br />

⎢⎣<br />

0 0<br />

m<br />

X<br />

s<br />

0 ⎤<br />

~<br />

0<br />

⎥<br />

⎥<br />

I<br />

Z 2<br />

⎥⎦<br />

0<br />

− X<br />

0<br />

012<br />

m<br />

= [ Z<br />

X<br />

s<br />

012<br />

0<br />

0<br />

− X<br />

~<br />

] I<br />

m<br />

012<br />

⎤<br />

⎥ ~<br />

⎥<br />

I<br />

⎥⎦<br />

012<br />

=<br />

36 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Jika didefinisikan:<br />

Impedansi urutan nol Z 0 = j(<br />

X s + 2X<br />

m )<br />

Impedeansi urutan positif Z1 = j(<br />

X s − X m )<br />

Impedansi urutan negatif Z 2 = j(<br />

X s − X m )<br />

Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam relasi ini<br />

digambarkan sebagai berikut:<br />

Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />

1.9.4. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tak-seimbang<br />

Daya pada sistem tiga-fasa adalah jumlah daya setiap fasa.<br />

S<br />

Z 0<br />

V0<br />

V 0′<br />

∗ ∗ ∗<br />

3 f = VaI<br />

a + Vb<br />

Ib<br />

+ VcI<br />

c atau dalam bentuk matriks<br />

S<br />

Z 1<br />

V1<br />

V 1′<br />

⎡<br />

⎤<br />

∗<br />

I a<br />

⎢<br />

∗<br />

⎥ ~ ~ ∗<br />

3 f = [ Va<br />

Vb<br />

Vc<br />

] ⎢Ib<br />

⎥ = VabcT<br />

Iabc<br />

(1.53)<br />

⎢ ∗<br />

I ⎥<br />

c<br />

⎢⎣<br />

( V ~ abcT adalah transposisi dari V ~ abc )<br />

~ ~ ~ ~<br />

Karena V abc = [ T]<br />

V012<br />

dan Iabc<br />

= [ T]<br />

I012<br />

, maka relasi<br />

diatas menjadi<br />

~<br />

∗ ~ ∗<br />

S 3 f = V012[<br />

T]<br />

T[<br />

T]<br />

I012<br />

(1.54)<br />

~ ~ ~ ~<br />

Catatan: V abc = [ T]<br />

V012 ⇒ VabcT<br />

= V012T<br />

[ T]<br />

T<br />

~ ~ ~ ∗ ∗ ~ ∗<br />

Iabc<br />

= [ T]<br />

I012<br />

⇒ Iabc<br />

= [ T]<br />

I012<br />

⎥⎦<br />

Z 2<br />

V2<br />

V 2′<br />

Pada (1.54) terdapat faktor [ T] [ T] ∗<br />

T yang dapat kita hitung<br />

[ T] [ T]<br />

T<br />

∗<br />

⎡1<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

1<br />

⎢⎣<br />

1<br />

a<br />

1<br />

2<br />

a<br />

1 ⎤ ⎡1<br />

a<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

1<br />

2<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

1<br />

a<br />

1<br />

a<br />

2<br />

1 ⎤ ⎡3<br />

2<br />

a<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥ ⎢<br />

0<br />

a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0<br />

0<br />

3<br />

0<br />

0⎤<br />

⎡1<br />

0<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥<br />

3<br />

⎢<br />

0<br />

3⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0<br />

0<br />

1<br />

0<br />

0⎤<br />

0<br />

⎥<br />

⎥<br />

1⎥⎦<br />

37


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Dengan demikian (1.54) dapat dituliskan<br />

∗<br />

S 3 f = 3V012<br />

T I012<br />

atau<br />

38 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

~<br />

~<br />

∗ ∗ ∗<br />

( V I + V I + V )<br />

S 3 f = 3 0 0 1 1 2I<br />

2 (1.55)<br />

CONTOH-1.5: Hitunglah daya tiga-fasa pada kondisi tidak<br />

seimbang seperti berikut:<br />

Solusi (1):<br />

V<br />

V<br />

⎡ 10 ⎤<br />

=<br />

⎢<br />

10<br />

⎥<br />

⎢<br />

−<br />

⎥<br />

kV<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

dan<br />

ABC I ABC<br />

[ 10 −10<br />

0]<br />

∗<br />

ABCT =<br />

dan I ABC<br />

⎡ j10<br />

⎤<br />

=<br />

⎢<br />

10<br />

⎥<br />

⎢<br />

−<br />

⎥<br />

A<br />

⎢⎣<br />

−10⎥⎦<br />

⎡−<br />

j10⎤<br />

=<br />

⎢ ⎥<br />

⎢<br />

−10<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

−10<br />

⎥⎦<br />

Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan<br />

mengalikan kedua matriks kolom ini<br />

⎡−<br />

j10⎤<br />

S3 f =<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

j<br />

⎢⎣<br />

−10<br />

⎥⎦<br />

Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung<br />

formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus<br />

yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini<br />

melalui komponen simetris.<br />

Solusi (2):<br />

[ 10 −10<br />

0] −10<br />

= − j100<br />

+ 100 + 0 = (100 − 100) kVA<br />

Tegangan urutan adalah:<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ 10 ⎤ ⎡ 0 ⎤<br />

~ −1<br />

~ 1<br />

[ ]<br />

⎢<br />

2 ⎥ ⎢ ⎥ 1<br />

V<br />

=<br />

⎢<br />

⎥<br />

012 = T V ABC =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥ ⎢<br />

−10<br />

⎥ ⎢<br />

10 − a10<br />

+ 0<br />

3<br />

3<br />

⎥<br />

⎢<br />

2<br />

⎣1<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

⎢<br />

2<br />

a a<br />

⎣10<br />

− a 10 + 0⎥⎦<br />

~<br />

Dari sini kita hitung V 012T<br />

~ 1<br />

2<br />

⇒ V 012T<br />

= [ 0 10 − a10<br />

10 − a 10]<br />

3


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Arus urutan adalah:<br />

~<br />

I<br />

012<br />

~<br />

⇒ I<br />

=<br />

∗<br />

012<br />

[ T]<br />

=<br />

−1<br />

~<br />

I<br />

ABC<br />

⎡ 0 ⎤<br />

1 ⎢ ⎥<br />

⎢<br />

− j10<br />

+ 10<br />

3 ⎥<br />

⎢⎣<br />

− j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

Daya tiga-fasa adalah<br />

S3<br />

f<br />

~ ∗<br />

= 3V012<br />

T I012<br />

1 1<br />

= 3×<br />

×<br />

3 3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ j10<br />

⎤<br />

1 ⎢<br />

2<br />

=<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥ ⎢<br />

−10<br />

3<br />

⎥<br />

⎢<br />

2<br />

⎣1<br />

a a ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

−10⎥⎦<br />

⎡ 0 ⎤<br />

1<br />

=<br />

⎢<br />

2 ⎥<br />

⎢<br />

j10<br />

− a10<br />

− a 10<br />

⎥<br />

=<br />

3<br />

⎢<br />

2<br />

⎣ j10<br />

− a 10 − a10⎥⎦<br />

2<br />

[ 0 10 - a10<br />

10 − a 10]<br />

1<br />

3<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢<br />

j10<br />

+ 10<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

2<br />

[ 0 + (10 − a10)(<br />

− j10<br />

+ 10) + (10 − a 10)( − j10<br />

+ 10) ]<br />

( 300 − j300) = (100 − j100)<br />

kVA<br />

2<br />

(catatan: a + a = −1)<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎢<br />

j10<br />

10<br />

⎥<br />

⎢<br />

− +<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

− j10<br />

+ 10⎥⎦<br />

Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung<br />

tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil<br />

perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama,<br />

mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen<br />

simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan takseimbang<br />

tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus<br />

dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat<br />

yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan<br />

komponen simetris.<br />

39


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

1.9. Pernyataan <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

<strong>Sistem</strong> tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping<br />

banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga<br />

sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada<br />

banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka<br />

sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah.<br />

1.9.1. Diagram Satu Garis<br />

Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian<br />

sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian.<br />

Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis<br />

(single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan<br />

secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu<br />

garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari<br />

diagram satu garis.<br />

Generator<br />

G<br />

Y<br />

Z<br />

beban<br />

Y-ditanahkan<br />

melalui<br />

impedansi<br />

1 ∆<br />

3 Y<br />

∆<br />

Trafo<br />

3 belitan<br />

2 4<br />

Circuit<br />

Breaker<br />

Saluran<br />

transmisi<br />

Nomer bus<br />

Y ∆<br />

5 6<br />

Trafo<br />

2 belitan<br />

beban<br />

Gb.1.11. Diagram satu garis.<br />

Gb.1.11. memperlihatkan sebuah generator terhubung Y, dengan<br />

titik netral yang ditanahkan melalui sebuah impedansi. Generator<br />

ini dihubungkan ke trasformator tiga belitan melalui bus-1. Belitan<br />

primer trafo terhubung ∆, belitan sekunder terhubung Y dengan<br />

titik netral ditanahkan langsung dan terhubung ke bus-2,<br />

sedangkan belitan tertier dihubungkan ∆ masuk ke bus-3 untuk<br />

mencatu beban.<br />

Dari bus-2 melalui circuit breaker masuk ke saluran transmisi<br />

melalui bus-4. Ujung saluran transmisi melalui bus-5 terhubung ke<br />

transformator 2 belitan; transformator ini terhubung Y-∆ dengan<br />

40 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

titik netral primernya ditanahkan langsung. Sekunder<br />

transformator terhubung ke bus-6 untuk mencatu beban.<br />

Dalam diagram satu garis, impedansi-impedansi tidak<br />

digambarkan. Untuk analisis, diagram satu garis perlu<br />

“diterjemahkan” menjadi diagram rangkaian listrik model satu<br />

fasa seperti terlihat pada Gb. 1.12.<br />

+<br />

∼<br />

Generator<br />

1<br />

3<br />

beban<br />

Transformator<br />

2 4 5 6<br />

Circuit<br />

breaker<br />

Rangkaian<br />

ekivalen π<br />

saluran<br />

transmisi<br />

Transformator<br />

beban<br />

Gb.1.12. Model satu fasa dari diagram satu garis Gb.1.11.<br />

Dengan model satu fasa inilah analisis dilakukan. Dalam Gb.1.12.<br />

ini saluran transmisi dinyatakan dengan rangkaian ekivalennya,<br />

yaitu rangkaian ekivalen π, yang akan kita pelajari lebih lanjut.<br />

1.9.2. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />

<strong>Sistem</strong> per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau<br />

normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,<br />

tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,<br />

ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit<br />

(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit<br />

dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan<br />

perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu<br />

sudah kurang berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa<br />

keuntungan yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan<br />

kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan<br />

pelajari.<br />

Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran<br />

tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi<br />

sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit<br />

besaran itu menjadi tidak berdimensi<br />

41


Nilai per - unit =<br />

Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

nilai sesungguhnya<br />

nilai basis<br />

Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun<br />

nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu<br />

sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa<br />

sesungguhnya.<br />

Sebagai contoh kita ambil daya kompleks<br />

∗<br />

S = V I = VI∠( α − β)<br />

(1.56)<br />

di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa<br />

arus. Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan S basis yang<br />

berupa bilangan nyata, sehingga<br />

Didefinisikan pula bahwa<br />

S∠(<br />

α − β)<br />

S pu = = S pu∠(<br />

α − β)<br />

(1.57)<br />

S<br />

basis<br />

S ×<br />

basis = Vbasis<br />

Ibasis<br />

(1.58)<br />

Nilai S basis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang<br />

memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika<br />

S basis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu V basis atau<br />

I basis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa<br />

dipilih bebas.<br />

Jika kita hitung S pu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh<br />

S<br />

V∠αI∠ − β<br />

∗<br />

S pu = =<br />

= V pu I pu (1.59)<br />

Sbasis<br />

VbasisIbasis<br />

Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi<br />

2<br />

Vbasis<br />

Vbasis<br />

Zbasis<br />

= =<br />

(1.60)<br />

Ibasis<br />

Sbasis<br />

Dengan Z basis ini relasi arus dan tegangan<br />

akan memberikan<br />

V<br />

V = Z I atau Z =<br />

I<br />

42 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Z<br />

Zbasis<br />

V / I<br />

= atau<br />

Vbasis<br />

/ Ibasis<br />

V pu<br />

Z pu = (1.61)<br />

I pu<br />

Karena Z = R + jX maka<br />

Z<br />

Z<br />

basis<br />

R + jX<br />

R<br />

= = + j atau<br />

Zbasis<br />

Zbasis<br />

Zbasis<br />

Z +<br />

X<br />

pu = R pu jX pu<br />

(1.62)<br />

Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara<br />

sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai<br />

basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri pula.<br />

S P + jQ<br />

S<br />

= atau<br />

basis S basis<br />

S +<br />

pu = Ppu<br />

jQ pu<br />

(1.63)<br />

Contoh-1.6:<br />

Nyatakanlah<br />

besaran-besaran<br />

4Ω<br />

− j4 Ω<br />

o<br />

pada rangkaian V = 200∠0<br />

V ∼<br />

j8 Ω<br />

satu fasa berikut<br />

ini dalam perunit<br />

dengan mengambil S basis = 1000 VA dan V basis = 200 V.<br />

Solusi:<br />

S basis = 1000 VA; Vbasis<br />

= 200 V<br />

I<br />

S<br />

1000 =<br />

basis<br />

basis = = 5 A<br />

Vbasis<br />

200<br />

Z<br />

basis<br />

Maka:<br />

V<br />

=<br />

I<br />

V pu<br />

basis<br />

basis<br />

=<br />

200<br />

= 40 Ω<br />

5<br />

o<br />

200∠0<br />

o<br />

= = 1∠0<br />

pu<br />

200<br />

R pu<br />

4 = = 0,1 pu<br />

40<br />

43


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

X Cpu<br />

X Lpu<br />

4 = = 0,1 pu<br />

40<br />

8 = = 0,2 pu<br />

40<br />

Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi seperti<br />

gambar di bawah ini.<br />

o<br />

Z pu = 0,1 − j0,1<br />

+ j0,2<br />

= 0,1 + j0,1<br />

= 0,1 2∠45<br />

pu<br />

V pu<br />

I pu =<br />

Z pu<br />

S<br />

pu<br />

= V<br />

pu<br />

I<br />

o<br />

1∠0<br />

o<br />

=<br />

= 5 2∠ − 45 pu<br />

o<br />

0,1 2∠45<br />

∗<br />

pu<br />

= 1∠0<br />

o<br />

× 5<br />

2∠45<br />

o<br />

= 5<br />

2∠45<br />

o<br />

pu<br />

1∠0<br />

o<br />

pu<br />

∼<br />

0,1pu<br />

− j0,1 pu<br />

j0,2 pu<br />

1.9.3. <strong>Sistem</strong> Per-Unit Dalam <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa<br />

Di sub-bab sebelumnya, kita lihat aplikasi sistem per-unit pada<br />

sistem satu fasa. Untuk sistem tiga-fasa (yang kita ketahui bahwa<br />

sistem tiga-fasa ini sangat luas dipakai dalam penyediaan energi<br />

listrik) dikembangkan pengertian nilai basis tambahan sebagai<br />

berikut.<br />

S3<br />

f basis = 3Sbasis<br />

V<br />

Z<br />

ff basis<br />

Ybasis<br />

Z ∆ basis = 3Z<br />

basis<br />

(1.64)<br />

I = I<br />

I<br />

I<br />

f asis<br />

Ybasis<br />

∆basis<br />

= V<br />

= Z<br />

= I<br />

= I<br />

basis<br />

basis<br />

basis<br />

basis<br />

basis<br />

Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita<br />

lihat pada contoh berikut ini.<br />

44 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

/<br />

3<br />

3


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6<br />

kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: beban-<br />

A: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor<br />

daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus<br />

saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.<br />

Solusi:<br />

Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S 3f basis = 600<br />

kVA dan V ff basis = 6 kV, sehingga<br />

600<br />

Sbasis<br />

= = 200kVA<br />

3<br />

6<br />

Vbasis<br />

= = 3464 V<br />

3<br />

S 200<br />

I = basis<br />

basis = = 57,74 A<br />

Vbasis<br />

6 / 3<br />

V 3464<br />

Z = basis<br />

basis = = 60 Ω<br />

Ibasis<br />

57,74<br />

Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif.<br />

Besaran per fasa adalah:<br />

Beban-A:<br />

S<br />

S<br />

A<br />

A<br />

→ S<br />

600<br />

= = 200 kVA; ϕA<br />

3<br />

= 200∠36,9<br />

Apu<br />

S<br />

=<br />

S<br />

A<br />

o<br />

basis<br />

kVA<br />

= cos<br />

200∠ + 36,9<br />

=<br />

200<br />

−1<br />

o<br />

(0,8) = + 36,9<br />

= 1∠36,9<br />

o<br />

o<br />

(f.d. lag)<br />

6 / 3 o<br />

VApu<br />

= = 1∠0<br />

;<br />

6 / 3<br />

S<br />

∗ Apu<br />

I Apu =<br />

VApu<br />

o<br />

1∠36,9<br />

=<br />

o<br />

1∠0<br />

o<br />

= 1∠36,9<br />

⇒ I Apu = 1∠ − 36,9 = 0,8 −<br />

j0,6<br />

45


Tinjauan Pada <strong>Sistem</strong> <strong>Tenaga</strong><br />

Beban-B:<br />

300<br />

o<br />

SB<br />

= = 100 kVA; ϕB<br />

= cos(0,6) = −53,1<br />

(f.d. lead)<br />

3<br />

o<br />

SB<br />

= 100∠ − 53,1 kVA<br />

o<br />

S 100 53,1<br />

o<br />

S B ∠ −<br />

⇒ Bpu = =<br />

= 0.5∠ − 53,1<br />

Sbasis<br />

200<br />

o<br />

VBpu<br />

= VApu<br />

= 1∠0<br />

o<br />

∗ SBpu<br />

0,5∠ − 53,1<br />

o<br />

IBpu<br />

= =<br />

= 0,5∠ − 53,1<br />

V<br />

o<br />

Bpu 1∠0<br />

o<br />

⇒ IBpu<br />

= 0,5∠53,1<br />

= 0,3 + j0,4<br />

Arus saluran:<br />

I pu<br />

= I Apu<br />

+ I Bpu<br />

= 0.8<br />

− j0,6<br />

+ 0,3 + j0,4<br />

= 1,1 − j0,2<br />

I = (1,1 − j0,2)<br />

× 57,74 = 63,51 − j11,55<br />

= 64,55∠ −10,3<br />

Impedansi beban-A:<br />

o<br />

A<br />

VApu<br />

Z Apu =<br />

I Apu<br />

o<br />

1∠0<br />

o<br />

= = 1∠36,9<br />

o<br />

1∠ − 36<br />

o<br />

⇒ Z A = 60∠36,9<br />

= (48 + j36)<br />

Ω<br />

46 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

BAB 2 Saluran Transmisi<br />

Saluran transmisi merupakan koridor yang harus dilalui dalam<br />

penyaluran energi listrik. Saluran transmisi biasanya dinyatakan<br />

menggunakan rangkaian ekivalen. Hal ini telah kita lihat secara<br />

selintas pada pembahasan diagram satu garis, Gb.1.9. Walaupun<br />

rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana, ada empat<br />

hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />

• Resistansi konduktor,<br />

• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir<br />

di konduktor yang lain,<br />

• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor,<br />

• Arus bocor pada isolator.<br />

Dalam analisis sistem tenaga, arus bocor pada isolator biasanya<br />

diabaikan karena cukup kecil dibandingkan dengan arus konduktor.<br />

Namun masalah arus bocor menjadi sangat penting jika kita<br />

membahas isolator karena arus bocor ini mengawali terjadinya<br />

kerusakan pada permukaan isolator yang dapat mengakibatkan<br />

flashover dan kegagalan sistem.<br />

Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,<br />

perlu kita lihat besaran-besaran fisis udara yang akan masuk dalam<br />

perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:<br />

Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama<br />

dengan permeabilitas ruang hampa:<br />

µ = µ 0µ<br />

r<br />

≈ µ<br />

0<br />

= 4π×<br />

10<br />

−7<br />

H/m<br />

Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan<br />

permitivitas ruang hampa:<br />

ε = ε<br />

r<br />

ε<br />

0<br />

≈ ε<br />

0<br />

−<br />

10 9<br />

=<br />

36π<br />

F/m<br />

47


Saluran Transmisi<br />

2.1. Impedansi dan Admitansi<br />

2.1.1. Resistansi<br />

Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga<br />

dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan<br />

aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum,<br />

seperti:<br />

• Aluminum: AAL (all aluminum coductor)<br />

• Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor)<br />

• Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR<br />

(aluminum conductor steel reinforced)<br />

Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km], radius<br />

[cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan<br />

mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi;<br />

untuk sementara kita tidak membahasnya.<br />

Relasi resistansi untuk arus searah adalah<br />

ρl<br />

R AS = Ω<br />

(2.1)<br />

A<br />

dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor<br />

[m 2 ], dan ρ adalah resistivitas bahan.<br />

−8<br />

ρAl<br />

= 2,83 × 10 Ω.m<br />

o<br />

[20 C]<br />

−8<br />

ρAl<br />

= 1,77 × 10 Ω.m<br />

o<br />

[20 C]<br />

Resistansi tergantung dari temperature,<br />

Untuk aluminum<br />

T<br />

T<br />

2 + 0<br />

ρ T 2 = ρT1<br />

(2.2)<br />

T1<br />

+ T0<br />

T 0 = 228o C ; untuk tembaga T 0 = 241o C<br />

Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk<br />

arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik<br />

untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang<br />

konduktor.<br />

48 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan<br />

konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari<br />

panjang lateral yang kita ukur.<br />

2.1.2. Induktansi<br />

Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di<br />

sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun<br />

yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang.<br />

Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor<br />

adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh<br />

dengan relasi<br />

∫<br />

Hdl = i . Di titik berjarak x di luar konduktor<br />

l<br />

relasi ini menjadi<br />

H x<br />

i<br />

= (2.3)<br />

2 πx<br />

Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu<br />

segmen dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi<br />

segmen ini sampai jarak D x dari konduktor adalah<br />

Dx<br />

Dx<br />

µ il µ il Dx<br />

λ =<br />

∫<br />

µ Hldx = dx = ln<br />

r ∫<br />

(2.4)<br />

r 2πx<br />

2π<br />

r<br />

dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (2.4) ini adalah<br />

fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam<br />

konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di<br />

dalam konduktor tersebut, didefinisikan suatu radius ekivalen yang<br />

disebut Geometric Mean Radius (GMR), r′, sehingga (2.4) menjadi<br />

µ il Dx<br />

λ′ = ln<br />

2π<br />

r′<br />

(2.5)<br />

GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik<br />

konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius<br />

konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar<br />

konduktor. Dengan r′ yang lebih kecil dari r ini, kita telah<br />

memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.<br />

49


Saluran Transmisi<br />

2.1.2.1. <strong>Sistem</strong> Dua Konduktor<br />

v A<br />

A<br />

N<br />

i A<br />

A′<br />

DAN<br />

: jarak A ke N<br />

v′ A rA′<br />

: GMR konduktor A<br />

rN′<br />

: GMR konduktor N<br />

i N′<br />

A<br />

Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.<br />

Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua<br />

konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik.<br />

Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri<br />

arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan<br />

pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu<br />

segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung<br />

segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor,<br />

yaitu v A dan v′<br />

A .<br />

Jika panjang segmen ini adalah l maka arus i A di saluran A<br />

memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini<br />

sebesar<br />

λ<br />

µ i<br />

A AN<br />

AN1 = ln<br />

(2.6.a)<br />

2π<br />

rA′<br />

Arus i A di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />

A<br />

D AN<br />

Fluksi saling<br />

menguatkan<br />

N<br />

50 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

l<br />

λ<br />

D<br />

µ i<br />

l<br />

D<br />

A AN<br />

AN 2 = ln (2.6.b)<br />

2π<br />

rN′<br />

Di ruang antara A dan N, fluksi λ AN1<br />

dan λ AN 2 saling menguatkan sehingga<br />

fluksi lingkup total menjadi<br />

2<br />

µ i Al<br />

DAN<br />

λ AN = λ A1 + λ A2<br />

= ln (2.6.c)<br />

2π<br />

rA′<br />

rN′<br />

λ AN adalah fluksi lingkup konduktor<br />

A-N yang ditimbulkan oleh i A , dan


Saluran Transmisi<br />

merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi<br />

sendiri L AA .<br />

2.1.2.2. <strong>Sistem</strong> Tiga Konduktor<br />

Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B<br />

serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus i A dan i B<br />

masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus<br />

balik ( i A + iB<br />

) . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen<br />

loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada<br />

segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N.<br />

i A<br />

A<br />

A′<br />

i B<br />

B<br />

B′<br />

Dalam situasi ini arus i A di konduktor A dan arus balik (i A +i B ) di<br />

N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />

λ<br />

N<br />

µ i<br />

l<br />

D<br />

µ ( i<br />

+ i<br />

A AN A B AN<br />

ANB1 = ln +<br />

ln (2.7.a)<br />

2π<br />

rA′<br />

2π<br />

rN′<br />

Sementara itu arus i B di konduktor B juga memberikan fluksi<br />

λ<br />

µ i<br />

l<br />

D<br />

µ i<br />

) l<br />

B AB B BN<br />

ANB2 = ln + ln (2.7.b)<br />

2π<br />

rB′<br />

2π<br />

rB′<br />

Karena arus i B searah dengan i A maka suku pertama (2.7.b)<br />

memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua<br />

memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan<br />

N dengan kehadiran B menjadi<br />

λ ANB = λ ANB1<br />

+ λ ANB2<br />

i A + i B<br />

Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan<br />

saluran balik N<br />

µ i ⎛<br />

⎞ µ ⎛<br />

⎞<br />

= Al<br />

D<br />

⎜ AN D<br />

⎟ + ⎜<br />

⎟<br />

+ AN iBl<br />

DAN<br />

D<br />

− AB D<br />

ln ln<br />

ln ln + ln BN<br />

2π<br />

π<br />

⎝ rA′<br />

rN′<br />

⎠ 2 ⎝ rN′<br />

rB′<br />

rB′<br />

⎠<br />

l<br />

D<br />

N′<br />

D<br />

51


atau<br />

2<br />

µ iAl<br />

DAN<br />

λ ANB = ln<br />

2π<br />

rA′<br />

rN′<br />

µ iBl<br />

⎛ D ⎞<br />

⎜ AN DBN<br />

+<br />

⎟<br />

π<br />

ln<br />

2<br />

⎝ rN′<br />

DAB<br />

⎠<br />

Saluran Transmisi<br />

(2.7.c)<br />

λ ANB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran<br />

arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (2.6.c)<br />

terlihat bahwa suku ke-dua (2.7.c) adalah tambahan yang<br />

disebabkan oleh adanya arus i B .<br />

Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara<br />

konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus<br />

di B dan arus di N adalah<br />

λ<br />

µ i<br />

l<br />

D<br />

µ ( i<br />

+ i<br />

B BN B A BN<br />

BNA1 = ln +<br />

ln (2.8.a)<br />

2π<br />

rB′<br />

2π<br />

rN′<br />

dan fluksi yang ditimbulkan oleh i A yang memperkuat fluksi<br />

λ BNA1 adalah<br />

µ i l ⎛<br />

D<br />

D<br />

A AN AB A AN<br />

λ BNA2<br />

= ln ln<br />

ln<br />

2<br />

⎜ − =<br />

rA<br />

r<br />

⎟<br />

(2.8.b)<br />

π ′ A′<br />

2π<br />

DAB<br />

⎝<br />

⎞<br />

⎠<br />

) l<br />

µ i<br />

sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi<br />

λ<br />

BNA<br />

= λ<br />

2<br />

µ iBl<br />

DBN<br />

µ i Al<br />

DBN<br />

DAN<br />

BNA1 + λ BNA2<br />

= ln + ln<br />

(2.8.c)<br />

2π<br />

rB′<br />

rN′<br />

2π<br />

DABrN′<br />

Kita lihat bahwa formulasi (2.8.c) mirip dengan (2.7.c); suku<br />

pertama adalah fluksi yang ditimbulkan oleh arus i B sedangkan<br />

suku kedua adalah tambahan yang disebabkan oleh arus i A .<br />

2.2.1.3. <strong>Sistem</strong> Empat Konduktor<br />

Dengan cara yang sama, kita menghitung fluksi-fluksi lingkup<br />

pada sistem empat konduktor dengan tiga konduktor A, B, dan C<br />

masing-masing dengan arus i A , i B , dan i C , dan konduktor balik N<br />

dengan arus ( i A + iB<br />

+ iC<br />

) seperti terlihat pada Gb.2.3.<br />

l<br />

D<br />

D<br />

52 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

53<br />

Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N adalah:<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

′<br />

+<br />

′<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

AC<br />

N<br />

CN<br />

AN<br />

C<br />

AB<br />

N<br />

BN<br />

AN<br />

B<br />

N<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

C<br />

AC<br />

C<br />

C<br />

CN<br />

C<br />

B<br />

AB<br />

B<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

N<br />

AN<br />

C<br />

B<br />

A<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

AN<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

)ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

2<br />

(2.9.a)<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+ +<br />

′<br />

′<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

BC<br />

N<br />

CN<br />

BN<br />

C<br />

N<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

AB<br />

N<br />

AN<br />

BN<br />

A<br />

C<br />

BC<br />

C<br />

C<br />

CN<br />

C<br />

A<br />

AB<br />

A<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

N<br />

BN<br />

C<br />

B<br />

A<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

BN<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

) ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

2<br />

(2.9.b)<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

′<br />

+<br />

′<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

−<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

+<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

′<br />

+<br />

+<br />

+<br />

′<br />

π<br />

µ<br />

=<br />

λ<br />

N<br />

C<br />

CN<br />

C<br />

BC<br />

N<br />

BN<br />

CN<br />

B<br />

AC<br />

N<br />

AN<br />

CN<br />

A<br />

B<br />

BC<br />

B<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

A<br />

AC<br />

A<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

N<br />

CN<br />

C<br />

B<br />

A<br />

A<br />

CN<br />

C<br />

CN<br />

r<br />

r<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

i<br />

l<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

i<br />

i<br />

r<br />

D<br />

i<br />

l<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

) ln<br />

(<br />

ln<br />

2<br />

(2.9.c)<br />

Gb.2.3. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />

A<br />

B<br />

C<br />

N<br />

A′<br />

B′<br />

C′<br />

N′<br />

v AN<br />

v BN<br />

v CN<br />

AN<br />

v′<br />

BN<br />

v′<br />

CN<br />

v′<br />

i B<br />

i C<br />

C<br />

B<br />

A<br />

i<br />

i<br />

i +<br />

+<br />

N<br />

C,<br />

B,<br />

A,<br />

:<br />

,<br />

;<br />

konduktor<br />

;<br />

dan<br />

jarak konduktor<br />

: j<br />

i<br />

i<br />

GMR<br />

r<br />

j<br />

i<br />

D<br />

i<br />

ij =<br />


54 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Saluran Transmisi<br />

Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk<br />

empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita<br />

mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tigafasa.<br />

Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat<br />

konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai<br />

⎡<br />

2<br />

µ D<br />

⎢ ln AN<br />

⎢ 2π<br />

r′<br />

′<br />

⎡λ<br />

ArN<br />

AN ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ µ D<br />

⎢<br />

λ<br />

⎥<br />

= ⎢ BN DAN<br />

BN l ln<br />

⎢2π<br />

r′<br />

⎢⎣<br />

λ ⎥<br />

N DAB<br />

CN ⎦ ⎢ µ D<br />

⎢ CN D<br />

ln AN<br />

⎢⎣<br />

2π<br />

rN′<br />

DAC<br />

µ DAN<br />

D<br />

ln BN<br />

2π<br />

rN′<br />

DAB<br />

2<br />

µ D<br />

ln BN<br />

2π<br />

rB′<br />

rN′<br />

µ DCN<br />

D<br />

ln BN<br />

2π<br />

rN′<br />

DBC<br />

µ D ⎤<br />

AN D<br />

ln CN<br />

⎥<br />

2π<br />

rN′<br />

DAC<br />

⎥<br />

⎡i<br />

⎤<br />

⎥ A<br />

µ DBN<br />

D<br />

ln CN ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

π ′ ⎢<br />

iB<br />

2 r<br />

⎥<br />

N DBC<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

iC<br />

⎥<br />

2<br />

µ D<br />

⎦<br />

ln CN ⎥<br />

2π<br />

rC′<br />

rN′<br />

⎥⎦<br />

(2.10)<br />

Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan<br />

imbas<br />

⎡<br />

2<br />

µ DAN<br />

⎢ ln<br />

⎢ 2π<br />

rA′<br />

rN′<br />

⎡v<br />

AA′<br />

⎤<br />

1<br />

⎢<br />

⎢ ⎥ µ D<br />

= ⎢ BN DAN<br />

⎢<br />

vBB′<br />

⎥<br />

ln<br />

l ⎢2π<br />

r′<br />

D<br />

⎢⎣<br />

v ′ ⎥<br />

N AB<br />

CC ⎦ ⎢<br />

⎢<br />

µ DCN<br />

DAN<br />

ln<br />

⎢ ′<br />

⎣<br />

2π<br />

rN<br />

DAC<br />

µ DAN<br />

DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DAB<br />

2<br />

µ DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rB′<br />

rN′<br />

µ DCN<br />

DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DBC<br />

µ D ⎤<br />

AN DCN<br />

ln ⎥ ⎡diA<br />

⎤<br />

2π<br />

rN′<br />

DAC<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

µ D<br />

⎥ ⎢<br />

di dt<br />

BN DCN<br />

B<br />

ln<br />

⎥<br />

2π<br />

rN′<br />

DBC<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎥ ⎢di dt<br />

2 ⎥<br />

µ D<br />

C<br />

CN<br />

ln ⎥ ⎢ ⎥<br />

π ′ ′ ⎥ ⎣ dt<br />

2 r r ⎦<br />

C N ⎦<br />

(2.11)<br />

Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas<br />

dapat kita tuliskan dalam fasor<br />

⎡<br />

2<br />

µ D AN<br />

⎢ ln<br />

⎢ 2π<br />

r′<br />

′<br />

⎡ ⎤<br />

ArN<br />

VAA′<br />

1 ⎢ ⎥<br />

⎢<br />

µ D<br />

⎢ ⎥ = ω⎢<br />

BN D AN<br />

VBB′<br />

j ln<br />

l<br />

⎢ π ′<br />

⎢ ⎥<br />

2 rN<br />

DAB<br />

⎣<br />

VCC′<br />

⎦ ⎢<br />

⎢<br />

µ DCN<br />

D AN<br />

ln<br />

⎢2π<br />

r′<br />

⎣ N D AC<br />

µ D AN DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rN′<br />

D AB<br />

2<br />

µ DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rB′<br />

rN′<br />

µ DCN<br />

DBN<br />

ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DBC<br />

µ D ⎤<br />

AN DCN<br />

ln ⎥<br />

2π<br />

rN′<br />

D AC ⎥<br />

⎡ ⎤<br />

⎥<br />

I A<br />

µ DBN<br />

DCN<br />

⎢ ⎥<br />

ln ⎥<br />

π ′ ⎢I<br />

B<br />

2 r<br />

⎥<br />

N DBC<br />

⎥<br />

⎢ ⎥<br />

2 ⎥<br />

µ<br />

⎣<br />

IC<br />

D ⎦<br />

CN<br />

ln ⎥<br />

2π<br />

rC′<br />

rN′<br />

⎥<br />

⎦<br />

(2.12)<br />

Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor,<br />

sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan).


Saluran Transmisi<br />

2.1.3. Impedansi<br />

Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri<br />

maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain)<br />

pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor.<br />

Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut:<br />

Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa,<br />

sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersamasama.<br />

Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan<br />

mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor<br />

netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi<br />

konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan<br />

menjadi:<br />

⎡VAA′<br />

⎤ ⎡Z<br />

AA<br />

1 ⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VBB′<br />

⎥ ⎢<br />

ZBA<br />

l<br />

⎢ ⎥<br />

⎣VCC<br />

′ ⎦<br />

⎢⎣<br />

ZCA<br />

Z AB<br />

ZBB<br />

ZCB<br />

Z AC ⎤ ⎡I<br />

A⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Z<br />

⎥<br />

BC ⎥ ⎢IB<br />

⎥<br />

Z ⎥⎦<br />

⎢ ⎥<br />

CC ⎣IC<br />

⎦<br />

(2.13.a)<br />

dengan Z XX adalah impedansi sendiri konduktor X dan Z XY adalah<br />

impedansi konduktor X karena adanya imbas dari konduktor Y;<br />

impedansi ini adalah per satuan panjang. (Perhatikan adanya<br />

faktor 1/l di ruas kiri (2.13.a))<br />

2<br />

ωµ DAN<br />

Z AA = RA<br />

+ RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

rA′<br />

rN′<br />

2<br />

ωµ DBN<br />

Z BB = RB<br />

+ RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

rB′<br />

rN′<br />

2<br />

ωµ DCN<br />

Z CC = RC<br />

+ RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

rC′<br />

rN′<br />

ωµ DAN<br />

DBN<br />

Z AB = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DAB<br />

ωµ DAN<br />

DCN<br />

Z AC = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DAC<br />

ωµ DBN<br />

DAN<br />

Z BA = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DAB<br />

ωµ DBN<br />

DCN<br />

Z BC = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

rN′<br />

DBC<br />

ωµ<br />

π<br />

ZCA<br />

= RN<br />

+ j<br />

2<br />

ωµ<br />

π<br />

Z CB = RN<br />

+ j<br />

2<br />

DCN<br />

DAN<br />

ln<br />

rN′<br />

DAC<br />

DCN<br />

DBN<br />

ln<br />

rN′<br />

DAC<br />

(2.13.b)<br />

55


Saluran Transmisi<br />

Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun<br />

tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal<br />

jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada<br />

konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang<br />

akan kita lihat berikut ini.<br />

2.1.3.1. Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-Sisi)<br />

Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana<br />

konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.<br />

DAB = DBC<br />

= DAC<br />

= D<br />

Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga<br />

DAN = DBN<br />

= DCN<br />

= D /<br />

3<br />

Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.<br />

D<br />

D<br />

D / 3<br />

D<br />

Gb.2.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).<br />

Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R<br />

dan GMR-nya pun sama yaitu r′ , maka jika kita masukkan<br />

besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di<br />

bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri Z XX yang akan kita sebut<br />

Z s dan impedansi bersama Z XY yang akan kita sebut Z m dalam<br />

persamaan yang diperoleh ini.<br />

56 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


2<br />

ωµ D<br />

Z AA = R + RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

rN′<br />

2<br />

ωµ D<br />

Z<br />

BN<br />

BB = R + RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

rN′<br />

2<br />

ωµ D<br />

Z<br />

CN<br />

CC = R + RN<br />

+ j ln ;<br />

2π<br />

3r′<br />

rN′<br />

Pada (2.14) ini terlihat bahwa<br />

Z =<br />

Saluran Transmisi<br />

ωµ D<br />

Z AB = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

ωµ D<br />

Z AC = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

ωµ D<br />

Z BA = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

ωµ D<br />

Z BC = RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

ωµ D<br />

ZCA<br />

= RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

ωµ D<br />

ZCB<br />

= RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3rN′<br />

AB = ZBC<br />

= ZCA<br />

Zm<br />

dan Z AA = Z BB = ZCC<br />

= Zs<br />

sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:<br />

dengan<br />

⎡VAA′<br />

⎤ ⎡ Z s<br />

1 ⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VBB′<br />

⎥ ⎢<br />

Z m<br />

l<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VCC′<br />

⎦ ⎣Z<br />

m<br />

Z m<br />

Z s<br />

Z m<br />

Z m ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Z<br />

⎥<br />

m ⎥ ⎢I<br />

B ⎥<br />

Z ⎥ ⎢ ⎥<br />

s ⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

2<br />

ωµ D<br />

Zs<br />

= R + RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3r′<br />

rN′<br />

ωµ D<br />

Zs<br />

= RN<br />

+ j ln Ω/m<br />

2π<br />

3rN′<br />

Ω/m<br />

(2.14)<br />

(2.15.a)<br />

(2.15.b)<br />

jika R dan R N dinyatakan dalam Ω/m, dan µ dalam H/m. D, r′ ,<br />

dan r′ N dinyatakan dengan satuan yang sama (biasanya dalam<br />

meter disesuaikan dengan D yang juga diukur dalam meter).<br />

Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti yang<br />

kita pelajari di bab sebelumnya, yaitu<br />

57


Saluran Transmisi<br />

−1<br />

[ Z ] = [ T] [ Z ][ T]<br />

012<br />

ABC<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ Zs<br />

Zm<br />

Zm⎤<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤<br />

1 ⎢ 2⎥<br />

⎢<br />

⎥ ⎢ 2<br />

=<br />

⎥<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥ ⎢<br />

Zm<br />

Zs<br />

Zm⎥<br />

⎢<br />

1 a a<br />

3<br />

⎥<br />

⎢ 2 ⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢ 2<br />

⎣1<br />

a a ⎦ ⎣Zm<br />

Zm<br />

Zs<br />

⎦ ⎣1<br />

a a ⎥⎦<br />

⎡Zs<br />

+ 2Zm<br />

Zs<br />

+ 2Zm<br />

Zs<br />

+ 2Zm<br />

⎤ ⎡1<br />

1 1 ⎤<br />

1<br />

=<br />

⎢<br />

2 2<br />

⎥ ⎢ 2 ⎥<br />

⎢<br />

Zs<br />

− Zm<br />

aZs<br />

+ (1 + a ) Zm<br />

a Zs<br />

+ (1 + a)<br />

Zm<br />

⎥ ⎢<br />

1 a a<br />

3<br />

⎥<br />

⎢<br />

2<br />

2<br />

⎣ Zs<br />

− Zm<br />

a Zs<br />

+ + a Zm<br />

aZs<br />

+ + a Zm⎥⎦<br />

⎢ 2<br />

(1 ) (1 ) ⎣1<br />

a a ⎥⎦<br />

⎡Zs<br />

+ 2Zm<br />

0 0 ⎤<br />

=<br />

⎢<br />

⎥<br />

⎢<br />

0 Zs<br />

− Zm<br />

0<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

0 0 Zs<br />

− Zm⎥⎦<br />

(2.16.a)<br />

Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh<br />

4<br />

ωµ D<br />

Z0<br />

= Zs<br />

+ 2Zm<br />

= R + 3RN<br />

+ j ln<br />

2π<br />

3<br />

27r′<br />

( rN′<br />

)<br />

ωµ D<br />

Z1<br />

= Z2<br />

= Zs<br />

− Zm<br />

= R + j ln Ω/km<br />

2π<br />

r′<br />

Ω/km<br />

(2.16.b)<br />

CONTOH-2.1: Penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50<br />

Hz, panjang 20 km. Konduktor penyulang berpenampang 95 mm 2<br />

dan memiliki radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah<br />

0,0286 Ω.mm 2 /m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆<br />

dengan jarak antar konduktor 1 m. Hitunglah impedansi sendiri dan<br />

impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan<br />

mengabaikan kapasitansi.<br />

Solusi:<br />

Resistansi konduktor:<br />

ρl<br />

R A = = A<br />

0,0286<br />

95<br />

= 0,00031 Ω/m<br />

Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi bersama<br />

fasa A dihitung menggunakan formulasi (2.14) dengan panjang<br />

saluran l = 20 km = 20000 m:<br />

58 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

⎛0,00031+<br />

0,00031<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

Z AAl = ⎜<br />

−7<br />

2<br />

100π×<br />

4π×<br />

10<br />

1 ⎟ × 20000<br />

⎜+<br />

j<br />

ln<br />

⎟<br />

⎝ 2π<br />

3×<br />

0,006 × 0,006 ⎠<br />

o<br />

= 12,<br />

04 + j12,<br />

85 = 17,61∠46,86<br />

Ω<br />

⎛<br />

−7<br />

2 ⎞<br />

Z ⎜ 100π×<br />

4π×<br />

10 1<br />

ABl = 0,00031+<br />

j<br />

ln ⎟ × 20000<br />

⎝<br />

2π<br />

3×<br />

0,006<br />

⎠<br />

o<br />

= 6,<br />

02 + j5,<br />

05 = 7,68∠39,96<br />

Ω<br />

Z ACl = Z ABl<br />

Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (2.16.b)<br />

Z<br />

1<br />

= Z<br />

s<br />

− Z<br />

m<br />

= Z<br />

AAl<br />

− Z<br />

ABl<br />

= 12,04 + j12,85<br />

− 6,02 − j5,05<br />

= 6,02 + j7,8<br />

= 9,86∠52,35<br />

CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu<br />

melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz,<br />

sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada<br />

Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor,<br />

hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima<br />

(beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaranbesaran<br />

fasa; b) menggunakan besaran urutan.<br />

Solusi:<br />

a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan<br />

antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh<br />

impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,<br />

perhitungan dilakukan menggunakan model satu-fasa. Kita<br />

amati fasa A. Impedansi sendiri total dan impedansi<br />

bersama total fasa A telah dihitung pada contoh-2.1:<br />

o<br />

Z AAl = 12,<br />

04 + j12,<br />

85 = 17,61∠46,86<br />

Ω<br />

o<br />

Z ABl = Z ACl = 6,<br />

02 + j5,<br />

05 = 7,68∠39,96<br />

Ω<br />

59


Saluran Transmisi<br />

Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A<br />

sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A,<br />

B, dan C adalah<br />

V<br />

V<br />

V<br />

rA<br />

rB<br />

rC<br />

20<br />

= ∠0<br />

3<br />

o<br />

= 11,55∠ −120<br />

= 11,55∠ − 240<br />

Arus fasa A, B, dan C adalah<br />

I<br />

A<br />

5000 / 3<br />

= = 180,4 A → I<br />

11,55 × 0,8<br />

Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />

= 1714,04 + j474,84<br />

= 11,55∠<br />

0<br />

o<br />

o<br />

+ 7,86∠39,96<br />

× 180,4∠ − 276,87<br />

I<br />

I<br />

o<br />

o<br />

B<br />

C<br />

A<br />

kV<br />

kV<br />

o<br />

kV<br />

= 180,4∠ − 36,87<br />

= 180,4∠ − 156,87<br />

= 180,4∠ − 276,87<br />

VAA′ = Z AAI<br />

A + Z AB I B + Z AC IC<br />

o<br />

o<br />

o<br />

o<br />

= 17,61∠46,86<br />

× 180,4∠ − 36,87 + 7,86∠39,96<br />

× 180,4∠ −156,87<br />

= 3129,33 + j551,34<br />

− 641,39 − j1263,93<br />

− 773,90 + j1187,43<br />

Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />

o<br />

o<br />

o<br />

A<br />

A<br />

A<br />

V<br />

sA<br />

= V + V ′ = 11,55 + 1,71 + j0,48<br />

= 13,2∠2<br />

rA<br />

AA<br />

Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />

o<br />

kV<br />

V sff<br />

= 13 ,2 3 = 22,8<br />

kV<br />

b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada<br />

hanyalah urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung<br />

pada contoh-2.1.<br />

Z 1 = 6,02 + j7,8<br />

= 9,86∠52,35<br />

Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />

60 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

o<br />

Ω


Saluran Transmisi<br />

V<br />

= Z<br />

×<br />

AA′ 1 I A<br />

= 9,86∠52,35<br />

= 1778,59∠15,48<br />

Tegangan fasa-netral di ujung kirim<br />

o<br />

o<br />

× 180,4∠ − 36,87<br />

= 1,71 + j0,48<br />

V<br />

o<br />

V<br />

sA<br />

= V + V ′ = 11,55 + 1,71 + j0,48<br />

= 13,2∠2<br />

rA<br />

AA<br />

Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />

o<br />

kV<br />

V sff<br />

= 13 ,2 3 = 22,8<br />

kV<br />

2.1.3.2. Transposisi<br />

Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi simetris adalah<br />

melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi konduktor<br />

sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi<br />

mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris.<br />

Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi<br />

konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan, seperti<br />

diperlihatkan secara skematis oleh Gb.2.5.<br />

D<br />

D<br />

D<br />

AN<br />

BN<br />

CN<br />

= D<br />

1<br />

= D<br />

= D<br />

2<br />

3<br />

D<br />

D<br />

D<br />

AN<br />

BN<br />

CN<br />

= D<br />

= D<br />

= D<br />

2<br />

3<br />

1<br />

D<br />

D<br />

D<br />

AN<br />

BN<br />

CN<br />

= D<br />

= D<br />

3<br />

1<br />

= D<br />

2<br />

Gb.2.5. Transposisi.<br />

Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki<br />

resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jarijari<br />

serta GMR-nya;<br />

R<br />

= R = R R , r = r = r r , dan r′ = r′<br />

= r′<br />

= r .<br />

A B C =<br />

A B C =<br />

A B C ′<br />

61


Saluran Transmisi<br />

Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi<br />

urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan<br />

saluran adalah d, maka untuk konduktor A:<br />

seksi pertama:<br />

⎛<br />

2<br />

d<br />

⎞<br />

⎜ ωµ D1<br />

Z<br />

⎟<br />

AA = R + R +<br />

⎜ N j ln ;<br />

3<br />

′ ′ ⎟<br />

⎝<br />

2π<br />

r rN<br />

⎠<br />

d<br />

Z AB =<br />

3<br />

ωµ D1D2<br />

1 ⎛<br />

RN<br />

+ j ln ; Z AC = ⎜<br />

RN<br />

+ j<br />

2π<br />

DABrN′<br />

3 ⎝ 2<br />

seksi ke-dua:<br />

⎛<br />

2<br />

d<br />

⎞<br />

⎜<br />

ωµ D<br />

Z<br />

⎟<br />

AA = R + R +<br />

⎜ N j ln 2 ;<br />

3<br />

⎟<br />

⎝<br />

2π<br />

r′<br />

rN′<br />

⎠<br />

ωµ<br />

π<br />

D1D3<br />

⎞<br />

ln ⎟<br />

D ′<br />

AC rN<br />

⎠<br />

(2.17.a)<br />

d ⎛ ωµ D D ⎞ ⎛ ωµ D D ⎞<br />

Z AB = ⎜<br />

⎟ = ⎜<br />

⎟<br />

RN<br />

+ j 2 3 1<br />

ln<br />

; ZAC<br />

RN<br />

+ j ln 2 1<br />

3<br />

⎝ 2π<br />

DABrN′<br />

⎠ 3⎝<br />

2π<br />

DACrN′<br />

⎠<br />

(2.17.b)<br />

seksi ke-tiga<br />

⎛<br />

2<br />

d<br />

⎞<br />

⎜<br />

ωµ D<br />

Z<br />

⎟<br />

AA = R + R +<br />

⎜ N j ln 3 ;<br />

3<br />

⎟<br />

⎝<br />

2π<br />

rA′<br />

rN′<br />

⎠<br />

d ⎛ ωµ D D ⎞ ⎛ ωµ D D ⎞<br />

Z AB = ⎜<br />

⎟ = ⎜<br />

⎟<br />

RN<br />

+ j 3 1 1<br />

ln<br />

; Z AC<br />

RN<br />

+ j ln 3 2<br />

3<br />

⎝ 2π<br />

DABrN′<br />

⎠ 3 ⎝ 2π<br />

DACrN′<br />

⎠<br />

(2.17.c)<br />

Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi:<br />

1/ 3 1/ 3 1/ 3<br />

2 2 2<br />

ωµ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞<br />

1<br />

2 3<br />

ln⎜<br />

D ⎟ ⎜ D ⎟ ⎜ D<br />

Z<br />

⎟<br />

AA = R + RN<br />

+ j<br />

2π<br />

⎜ ⎟ ⎜ ′ ′ ⎟ ⎜ ′ ′ ⎟<br />

⎝<br />

r′<br />

rN′<br />

⎠ ⎝<br />

r rN<br />

⎠ ⎝<br />

r rN<br />

⎠<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

ωµ ⎛ D1D2<br />

⎞ ⎛ D2D3<br />

⎞ ⎛ D3D1<br />

⎞<br />

Z AB = RN<br />

+ j ln⎜<br />

⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟<br />

2π<br />

⎝ D ABrN′<br />

⎠ ⎝ D ABrN′<br />

⎠ ⎝ D ABrN′<br />

⎠<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

1/ 3<br />

ωµ ⎛ D1D3<br />

⎞ ⎛ D2D1<br />

⎞ ⎛ D3D2<br />

⎞<br />

Z AC = RN<br />

+ j ln⎜<br />

⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟<br />

2π<br />

⎝ DAC<br />

rN′<br />

⎠ ⎝ DAC<br />

rN′<br />

⎠ ⎝ D AC rN′<br />

⎠<br />

(2.18)<br />

62 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Jika didefinisikan:<br />

D 3 h = D1D2<br />

D3<br />

dan D 3<br />

f = DAB<br />

DBC<br />

D AC (2.19)<br />

maka formulasi (2.18) menjadi<br />

⎛ 2<br />

ωµ ⎞<br />

⎜ D<br />

Z = + +<br />

h ⎟<br />

AA R RN<br />

j ln ;<br />

2π<br />

⎜ ⎟<br />

⎝<br />

r′<br />

rN′<br />

⎠<br />

(2.20)<br />

ωµ ⎛ 2 ⎞<br />

ωµ ⎛ 2 ⎞<br />

= + ⎜ Dh<br />

⎟ = + ⎜ D<br />

Z<br />

h ⎟<br />

AB RN<br />

j ln ; Z<br />

π ⎜ ′ ⎟ AC RN<br />

j ln<br />

2<br />

π ⎜ ′ ⎟<br />

⎝<br />

D f rN<br />

⎠<br />

2<br />

⎝<br />

D f rN<br />

⎠<br />

Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A.<br />

Relasi lengkap untuk ketiga fasa adalah:<br />

⎡VAA′<br />

⎤ ⎡ Z s Z m Z m ⎤ ⎡I<br />

A ⎤<br />

1 ⎢ ⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎢VBB′<br />

⎥ =<br />

⎢<br />

Z m Z s Z m ⎥ ⎢I<br />

B<br />

l<br />

⎥<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

⎣<br />

VCC′<br />

⎦ ⎣Z<br />

m Z m Z s ⎦ ⎣<br />

IC<br />

⎦<br />

dengan<br />

2<br />

ωµ ⎛ ⎞<br />

ln⎜<br />

Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

s = R + RN<br />

+ j<br />

Ω/m<br />

2π<br />

⎜ ′ ′ ⎟<br />

⎝<br />

r rN<br />

⎠<br />

2<br />

ωµ ⎛ ⎞<br />

ln⎜<br />

Dh<br />

Z<br />

⎟<br />

m = RN<br />

+ j<br />

Ω/m<br />

2π<br />

⎜ ′ ⎟<br />

⎝<br />

D f rN<br />

⎠<br />

Impedansi urutan<br />

−<br />

Z 012 = T 1 Z ABC T<br />

[ ] [ ] [ ][ ]<br />

dan dengan (2.21.b) kita peroleh:<br />

Z<br />

Z<br />

0<br />

1<br />

= Z<br />

= Z<br />

s<br />

2<br />

+ 2Z<br />

= Z<br />

s<br />

m<br />

= R + 3R<br />

− Z<br />

m<br />

N<br />

= R + j<br />

2<br />

ωµ<br />

+ j ln<br />

2π<br />

D<br />

ωµ<br />

π<br />

D f<br />

ln<br />

r′<br />

2<br />

f<br />

D<br />

6<br />

h<br />

r′<br />

( r′<br />

)<br />

N<br />

3<br />

(2.21.a)<br />

(2.21.b)<br />

(2.22)<br />

63


Saluran Transmisi<br />

CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi<br />

50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />

mempunyai konfigurasi sebagai berikut:<br />

A<br />

Solusi: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km; µ juga harus<br />

dinyatakan sebagai H/km = 1000 × H/m)<br />

Untuk menggunakan relasi (2.22), kita hitung lebih dulu D f dengan<br />

menggunakan relasi (2.19):<br />

3<br />

D f = 4 × 4 × 8 = 5,29 m<br />

Jadi:<br />

Z<br />

4,2 m<br />

1<br />

2.1.4. Admitansi<br />

2π × 50 × 4π × 10<br />

= 0,088 + j<br />

2π<br />

= 0,088 + j0,3896<br />

Ω/km<br />

−7<br />

× 1000<br />

ln<br />

5,29<br />

0,01073<br />

Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga<br />

dan mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satuan panjang.<br />

Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk<br />

menghitung displacement D menjadi sederhana.<br />

Dds = ρl<br />

S<br />

dengan S adalah luas dinding silinder sepanjang l dengan sumbu<br />

yang berimpit pada konduktor. Bidang equipotensial di sekitar<br />

konduktor akan berbentuk silindris. Kuat medan listrik di suatu<br />

titik berjarak x dari konduktor adalah:<br />

D ρl<br />

ρ<br />

E x = = =<br />

ε ε × 2 πx<br />

× l 2πεx<br />

Untuk udara,<br />

8,4 m<br />

B<br />

ε = ε<br />

4,2 m<br />

0<br />

64 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

C<br />

∫<br />

1 − 9<br />

= × 10<br />

36π<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

= r′<br />

B<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

F/m<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

= r′<br />

C<br />

C<br />

= 0.088 Ω / km<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm


Saluran Transmisi<br />

Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan<br />

potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan<br />

pada Gb.2.6.<br />

A B<br />

x A<br />

x B<br />

v<br />

AB<br />

Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.<br />

x<br />

x<br />

B<br />

=<br />

∫<br />

Edx =<br />

∫<br />

A<br />

x<br />

x<br />

A<br />

B<br />

ρ ρ x<br />

dx = ln<br />

2πεx<br />

2πε<br />

x<br />

B<br />

A<br />

(2.23)<br />

v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai positif<br />

jika x B > x A . Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah<br />

kenaikan potensial.<br />

2.1.4.1. Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan<br />

Kita lihat sekarang satu konduktor k dengan jari-jari r k dan<br />

bermuatan ρ k . Dua konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j,<br />

berjarak D ik dan D jk dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.2.7.<br />

k,<br />

r k<br />

, ρ<br />

k<br />

i<br />

j<br />

D ik<br />

D jk<br />

Gb.2.7. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor<br />

tak bermuatan.<br />

Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di<br />

konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan<br />

konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial<br />

antara konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan<br />

konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara<br />

konduktor i dan j adalah selisih antara keduanya.<br />

ρk<br />

⎛ D D<br />

ik jk ⎞<br />

vij<br />

= vkj<br />

− vki<br />

= ⎜ln<br />

ln ⎟<br />

k<br />

k<br />

k 2<br />

−<br />

ρ ρ ρ πε rk<br />

rk<br />

⎝<br />

⎠<br />

(2.24)<br />

ρk<br />

D<br />

= ln<br />

ik<br />

2πε<br />

Dij<br />

65


Saluran Transmisi<br />

2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan<br />

Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8.<br />

Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda<br />

potensial di dua konduktor yang lain.<br />

D AC<br />

DAB<br />

DBC<br />

A,<br />

rA<br />

, ρ A B,<br />

rB<br />

, ρ B C, rC<br />

, ρC<br />

Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan.<br />

v<br />

v<br />

v<br />

BC<br />

= v<br />

BC ρ<br />

BC ρ<br />

c<br />

A<br />

BC ρ<br />

A<br />

+ v<br />

ρ A D<br />

= ln<br />

2πε D<br />

ρC<br />

r<br />

= ln<br />

2πε D<br />

BC ρ<br />

C<br />

AC<br />

AB<br />

BC<br />

B<br />

+ v<br />

BC ρ<br />

; vBC<br />

ρ<br />

B<br />

C<br />

ρ B D<br />

= ln<br />

2πε r<br />

BC<br />

B<br />

;<br />

Jadi<br />

vBC<br />

1 ⎛ D<br />

⎜ AC<br />

=<br />

ρ A ln<br />

2πε<br />

⎝ DAB<br />

DBC<br />

+ ρ B ln<br />

rB<br />

rC<br />

⎞<br />

+ ρC<br />

ln ⎟<br />

D<br />

(2.25)<br />

BC ⎠<br />

2.1.4.3. Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan<br />

Empat konduktor bermuatan terlihat pada Gb.2.9:<br />

A,<br />

rA,<br />

ρ A B,<br />

rB<br />

, ρ B C, rC<br />

, ρC<br />

N, rN<br />

, ρ N<br />

Gb. 2.9. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />

Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada<br />

gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu<br />

ρ A + ρ A + ρ A + ρ A = 0<br />

(2.26)<br />

66 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

67<br />

0<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

NN<br />

NN<br />

N<br />

CN<br />

CN<br />

C<br />

BN<br />

BN<br />

B<br />

AN<br />

AN<br />

A<br />

NN<br />

CN<br />

N<br />

N<br />

C<br />

CN<br />

C<br />

BC<br />

BN<br />

B<br />

AC<br />

AN<br />

A<br />

CN<br />

BN<br />

N<br />

N<br />

BC<br />

CN<br />

C<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

AB<br />

AN<br />

A<br />

BN<br />

AN<br />

N<br />

N<br />

AC<br />

CN<br />

C<br />

AB<br />

BN<br />

B<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

AN<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

v<br />

(2.27)<br />

Jika kita terapkan relasi konservasi muatan yaitu<br />

= 0<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

n<br />

c<br />

b<br />

a atau ( )<br />

c<br />

b<br />

a<br />

n<br />

ρ<br />

+<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

= −<br />

ρ<br />

maka ρ N akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27).<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

⎛<br />

+ ρ<br />

+ ρ<br />

ρ<br />

πε<br />

=<br />

N<br />

C<br />

CN<br />

C<br />

N<br />

BC<br />

BN<br />

CN<br />

B<br />

N<br />

AC<br />

AN<br />

CN<br />

A<br />

CN<br />

N<br />

BC<br />

CN<br />

BN<br />

C<br />

N<br />

B<br />

BN<br />

B<br />

N<br />

AB<br />

BN<br />

AN<br />

A<br />

BN<br />

N<br />

AC<br />

CN<br />

AN<br />

C<br />

N<br />

AB<br />

BN<br />

AN<br />

B<br />

N<br />

A<br />

AN<br />

A<br />

AN<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

v<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

v<br />

2<br />

2<br />

2<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

ln<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

(2.28.a)<br />

yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

ρ<br />

ρ<br />

ρ<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

πε<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

C<br />

B<br />

A<br />

n<br />

c<br />

CN<br />

n<br />

BCB<br />

BN<br />

CN<br />

n<br />

AC<br />

AN<br />

CN<br />

n<br />

BC<br />

CN<br />

BN<br />

n<br />

b<br />

BN<br />

n<br />

AB<br />

AN<br />

BN<br />

n<br />

AC<br />

CN<br />

AN<br />

n<br />

AB<br />

BN<br />

AN<br />

n<br />

a<br />

AN<br />

C<br />

B<br />

A<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

D<br />

D<br />

D<br />

r<br />

r<br />

D<br />

v<br />

v<br />

v<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

ln<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

2<br />

(2.28.b)<br />

atau secara singkat


Saluran Transmisi<br />

⎡v<br />

⎢<br />

⎢<br />

v<br />

⎢⎣<br />

v<br />

A<br />

B<br />

C<br />

⎤ ⎡ f<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥ ⎢<br />

f<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

f<br />

AA<br />

AB<br />

CA<br />

f<br />

f<br />

f<br />

AB<br />

BB<br />

CB<br />

f<br />

f<br />

f<br />

AC<br />

BC<br />

CC<br />

⎤ ⎡ρ<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

ρ<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

ρ<br />

A<br />

A<br />

C<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

(2.28.c)<br />

atau lebih ringkas<br />

~<br />

v ABC = [ FABC<br />

] ρ<br />

~<br />

ABC<br />

(2.28.d)<br />

dengan<br />

f<br />

ij<br />

1 Din<br />

D jn<br />

= ln ; i,<br />

j = A,<br />

B,<br />

C (2.28.e)<br />

2πε<br />

D r<br />

ij<br />

n<br />

Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, (2.28.c) dapat kita<br />

tuliskan:<br />

⎡VA<br />

⎤ ⎡ f AA<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢VB<br />

⎥ ⎢<br />

f BA<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

VC<br />

⎦ ⎣ fCA<br />

f AB<br />

f BB<br />

fCB<br />

f AC ⎤ ⎡ρ<br />

A ⎤<br />

f<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

BC ⎥ ⎢<br />

ρ B ⎥<br />

fCC<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

ρC<br />

⎥⎦<br />

(2.29.a)<br />

atau<br />

Atau<br />

ABC<br />

⎡ρ<br />

⎢<br />

⎢<br />

ρ<br />

⎢⎣<br />

ρ<br />

A<br />

B<br />

C<br />

⎤ ⎡ f<br />

⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎥ ⎢<br />

f<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

f<br />

AA<br />

BA<br />

CA<br />

f<br />

f<br />

f<br />

AB<br />

BB<br />

CB<br />

f<br />

f<br />

f<br />

AC<br />

BC<br />

CC<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

−1<br />

⎡V<br />

⎢<br />

⎢V<br />

⎢<br />

⎣<br />

V<br />

[ FABC<br />

] VABC<br />

= [ C ABC ] VABC<br />

A<br />

B<br />

C<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

(2.29.b)<br />

~<br />

ρ<br />

~ -1 ~<br />

= (2.29.c)<br />

Kita ingat relasi kapasitor<br />

Q = CV . Dari (2.29.c) kita turunkan<br />

dan kita peroleh admitansi<br />

-1<br />

[ ] [ ] F/m<br />

C = (2.30)<br />

ABC F ABC<br />

[ ] ω[ ] Ω/m<br />

= ABC<br />

Y ABC j C<br />

(2.31)<br />

68 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Namun kita tidak menghitung [Y ABC ]<br />

Saluran Transmisi<br />

dengan menggunakan<br />

F dan<br />

(2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [ ABC ]<br />

sini menghitung [ F 012 ] sehingga diperoleh [ C 012 ] dan [ 012 ]<br />

[ ]<br />

nilai urutannya adalah<br />

dan akan kita peroleh<br />

Y .<br />

⎡ f AA f AB f AC ⎤<br />

F =<br />

⎢<br />

⎥<br />

ABC ⎢<br />

f BA f BB f BC ⎥<br />

(2.32)<br />

⎢⎣<br />

fCA<br />

fCB<br />

fCC<br />

⎥⎦<br />

−1<br />

[ F ] [ T] [ F ][ T]<br />

012 = ABC<br />

(2.33)<br />

−<br />

[ C ] = [ F ] 1 sehingga [ Y ] ω[ ]<br />

012<br />

012<br />

012 = j C 012 (2.35)<br />

2.1.4.4. Konfigurasi ∆<br />

Pada konfigurasi ∆,<br />

DAB = DBC<br />

= DAC<br />

=<br />

D<br />

;<br />

DAN = DBN<br />

= DCN<br />

= D /<br />

3<br />

⎡ 2<br />

1 D<br />

⎢ ln<br />

⎢2πε<br />

3rrn<br />

⎢ 1 D<br />

ABC = ⎢ ln<br />

⎢ 2πε<br />

3rn<br />

⎢ 1 D<br />

⎢ ln<br />

⎢⎣<br />

2πε<br />

3rn<br />

[ F ]<br />

1 D<br />

ln<br />

2πε<br />

3rn<br />

2<br />

1 D<br />

ln<br />

2πε<br />

3rrn<br />

1 D<br />

ln<br />

2πε<br />

3rn<br />

1 D ⎤<br />

ln ⎥<br />

2πε<br />

3rn<br />

⎥<br />

⎡ f<br />

⎥ s<br />

1 D<br />

ln =<br />

⎢<br />

⎥<br />

πε ⎢<br />

f m<br />

2 3rn<br />

⎥<br />

⎢<br />

2 ⎥ ⎣ f m<br />

1 D<br />

ln ⎥<br />

2πε<br />

3rrn<br />

⎥⎦<br />

f m<br />

f s<br />

f m<br />

f m ⎤<br />

f<br />

⎥<br />

m ⎥<br />

f s ⎥⎦<br />

(2.35)<br />

⎡ f s<br />

f m ⎤<br />

−<br />

[ F ] = [ T] 1 ⎢<br />

f f f<br />

⎥<br />

[ T]<br />

012<br />

⎢ m<br />

⎢⎣<br />

f m<br />

f m<br />

s<br />

f m<br />

m ⎥<br />

f s ⎥⎦<br />

⎡ f s + 2 f m<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

0<br />

⎢⎣<br />

0<br />

0<br />

f s − f m<br />

0<br />

4<br />

1 D<br />

F0<br />

= f s + 2 f m = ln<br />

2πε<br />

3<br />

27r(<br />

rn<br />

)<br />

1 D<br />

F1<br />

= F2<br />

= f s − f m = ln<br />

2πε<br />

r<br />

0 ⎤<br />

0<br />

⎥<br />

⎥<br />

f s − f m ⎥⎦<br />

(2.36)<br />

(2.37)<br />

69


Saluran Transmisi<br />

Kapasitansi<br />

Admitansi<br />

1 2πε<br />

C0<br />

= =<br />

F 4 3<br />

0 ln[ D / 27r(<br />

rN<br />

) ]<br />

1 2πε<br />

C1<br />

= = C2<br />

=<br />

F1<br />

ln( D / r)<br />

2πεω<br />

Y0<br />

= jωC0<br />

= j<br />

4<br />

3<br />

ln[ D / 27r(<br />

rN<br />

) ]<br />

2πεω<br />

Y1<br />

= jωC1<br />

= Y2<br />

= j<br />

ln( D / r)<br />

(2.38)<br />

(2.39)<br />

2.1.4.5. Transposisi<br />

Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka<br />

impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang<br />

sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks<br />

[F ABC ] berbentuk<br />

[ F ]<br />

ABC<br />

⎡ f<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

f<br />

⎢⎣<br />

f<br />

s<br />

m<br />

m<br />

f<br />

f<br />

f<br />

m<br />

s<br />

m<br />

f<br />

f<br />

f<br />

m<br />

m<br />

s<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

(2.40)<br />

Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun<br />

dalam analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi,<br />

impedansi, serta admitansi difahami sebagai konstanta<br />

proporsiaonalitas rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka<br />

adalah besaran-besaran dimensional. Mereka merupakan besaran<br />

yang tergantung dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat<br />

fisis material yang membentuknya. Oleh karena itu, selama<br />

dimensinya sama, pengolahan aritmatika dapat dilakukan.<br />

Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana<br />

ditunjukkan oleh matriks [F ABC ] di atas, konduktor-konduktor<br />

memiliki nilai sama jika dilihat dalam selang saluran yang<br />

ditransposisikan yaitu yang terdiri dari tiga seksi. Dengan<br />

70 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil<br />

nilai rata-rata dari admitansi per seksi.<br />

1<br />

fij<br />

=<br />

3<br />

dengan<br />

Kita memperoleh<br />

( f + f + f )<br />

ij seksi-1<br />

f<br />

f<br />

ij<br />

if<br />

=<br />

=<br />

f<br />

s<br />

f<br />

m<br />

ij seksi-2<br />

jika i = j<br />

jika i ≠ j<br />

ij seksi-3<br />

(2.41)<br />

Dengan definisi:<br />

2 2 2<br />

1 D1<br />

D2<br />

D3<br />

f s = ln<br />

6πε<br />

3 3<br />

r rN<br />

1 D1D2<br />

D2D3D3D1<br />

f m = ln<br />

6πε<br />

3<br />

DAB<br />

DBC<br />

DAC<br />

rN<br />

(2.42)<br />

kita peroleh<br />

f<br />

s<br />

sehingga<br />

D 3 h = D1D2<br />

D<br />

3<br />

3 D f = DABDBC<br />

DAC<br />

1 D<br />

= ln<br />

2πε<br />

rr<br />

F<br />

0<br />

2<br />

h<br />

N<br />

= f<br />

s<br />

F = F<br />

1<br />

2<br />

+ 2 f<br />

= f<br />

s<br />

m<br />

− f<br />

Kapasitansi adalah<br />

1<br />

C0<br />

= =<br />

F ln[ D<br />

1<br />

0<br />

1<br />

C1<br />

=<br />

F<br />

= C<br />

2<br />

f<br />

m<br />

f<br />

2<br />

h<br />

1 D<br />

= ln<br />

2πε<br />

D r<br />

1 Dh<br />

= ln<br />

2πε<br />

2<br />

D r(<br />

r )<br />

m<br />

6<br />

h<br />

1 D<br />

= ln<br />

2πε<br />

r<br />

2πε<br />

/ D<br />

2<br />

f<br />

r(<br />

r<br />

2πε<br />

=<br />

ln( D / r)<br />

f<br />

N<br />

f<br />

)<br />

3<br />

]<br />

6<br />

f<br />

n<br />

F/m<br />

3<br />

F/m<br />

N<br />

(2.43)<br />

(2.44)<br />

(2.45)<br />

71


Saluran Transmisi<br />

Admitansi adalah<br />

2πε<br />

Y0<br />

= jωC0<br />

= jω<br />

6<br />

ln( D / D rr<br />

Y = Y<br />

1<br />

2<br />

2πε<br />

= jω<br />

ln( D / r)<br />

f<br />

h<br />

2<br />

f<br />

S/m<br />

3<br />

N<br />

)<br />

S/m<br />

(2.46)<br />

CONTOH-2.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi<br />

50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />

mempunyai konfigurasi seperti berikut:<br />

A<br />

Solusi:<br />

Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana D f sudah dihitung<br />

pada Contoh-2.3. Dengan<br />

maka:<br />

4,2 m<br />

8,4 m<br />

B<br />

= j2,923<br />

× 10<br />

ε = (1/ 36π)<br />

× 10<br />

−9<br />

−9<br />

F/m<br />

2πε<br />

2π × 50 × 2π × (1/ 36π)<br />

× 10<br />

Y1<br />

= jω<br />

= j<br />

ln( D / r)<br />

ln(5,29 / 0,01350)<br />

f<br />

4,2 m<br />

C<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

= r′<br />

B<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

= r′<br />

C<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

S/m = j2,923<br />

µ S/km<br />

C<br />

= 0.088 Ω / km<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

−9<br />

2.2. Rangkaian Ekivalen<br />

Di sub-bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi<br />

dan admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu<br />

kita telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat<br />

menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang<br />

diagonal.<br />

Dengan menggunakan model satu-fasa, kita akan melihat bagaimana<br />

perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita<br />

akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis.<br />

72 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi<br />

terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya.<br />

2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi<br />

Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi<br />

sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena<br />

impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam<br />

penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara<br />

setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran<br />

transmisi seperti pada Gb.2.10.<br />

I s+<br />

∆x<br />

∆x<br />

Z∆xI<br />

x<br />

I x<br />

I r<br />

Vs<br />

Vs+<br />

∆x<br />

Y∆xV<br />

x<br />

V x<br />

Vr<br />

x<br />

Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.<br />

Saluran transmisi ini bertegangan<br />

V s di ujung kirim dan<br />

Vr<br />

di<br />

ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima<br />

dan kita perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim.<br />

Pada segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:<br />

• Di posisi x terdapat tegangan<br />

V x .<br />

• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan V x+<br />

∆x<br />

karena terjadi<br />

tegangan jatuh ∆ Vx<br />

= Z∆xI<br />

x (Z adalah impedansi per satuan<br />

panjang).<br />

• Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.<br />

• Arus ∆ I x = Y∆xVx<br />

mengalir di segmen ∆x (Y adalah<br />

admitansi per satuan panjang).<br />

• Arus I<br />

kirim.<br />

x+<br />

∆x<br />

mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung<br />

73


V<br />

I<br />

x+∆x<br />

x+∆x<br />

− V<br />

− I<br />

x<br />

x<br />

= Z∆xI<br />

= Y∆xV<br />

Jika ∆x mendekati nol, maka<br />

dV<br />

dx<br />

x<br />

x<br />

atau<br />

atau<br />

dI<br />

I<br />

V<br />

x+∆x<br />

x+∆x<br />

∆x<br />

− I<br />

∆x<br />

− V<br />

x<br />

Saluran Transmisi<br />

x<br />

= ZI<br />

= YV<br />

x<br />

x<br />

= ZI<br />

x dan = YVx<br />

(2.47)<br />

Jika (2.47) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh<br />

d<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

dx<br />

dI<br />

x<br />

= Z<br />

dx<br />

dx<br />

Substitusi (2.47) ke (2.48) memberikan<br />

2<br />

d I x dVx<br />

dan = Y<br />

(2.48)<br />

2<br />

dx dx<br />

x<br />

x<br />

2<br />

d Vx<br />

2<br />

dx<br />

= ZYVx<br />

2<br />

d I<br />

dan x = ZYI<br />

2 x<br />

(2.49)<br />

dx<br />

2.2.2. Konstanta Propagasi<br />

Persamaan (2.49) ini telah menjadi sebuah persamaan di mana<br />

ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama sehingga solusi dapat<br />

dicari. Untuk mencari solusi tersebut didefinisikan<br />

2<br />

γ<br />

= ZY atau γ =<br />

ZY<br />

(2.50)<br />

γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m<br />

dan Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter.<br />

Selain itu karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ<br />

juga merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />

γ = α + j β<br />

(2.51)<br />

α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo<br />

tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.<br />

β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan<br />

dari satu posisi ke posisi yang lain.<br />

74 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

2.2.3. Impedansi Karakteristik<br />

Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka<br />

persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi<br />

atau<br />

2<br />

2<br />

d Vx<br />

2<br />

d Ix<br />

2<br />

= γ Vx<br />

dan = γ I<br />

2<br />

2 x<br />

(2.52.a)<br />

dx<br />

dx<br />

d<br />

2<br />

Vx<br />

2<br />

dx<br />

− γ<br />

2<br />

V<br />

x<br />

= 0<br />

dan<br />

d<br />

2<br />

I x<br />

2<br />

dx<br />

− γ<br />

2<br />

I<br />

x<br />

= 0<br />

(2.52.b)<br />

Solusi persamaan (2.52.b) adalah :<br />

γx<br />

−γx<br />

−γx<br />

V x = kv1e<br />

+ kv2e<br />

dan I x = ki1e<br />

+ ki2e<br />

(2.52.c)<br />

Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (2.52.c) yaitu<br />

γx<br />

−γx<br />

V x = kv1<br />

e + kv1e<br />

(2.53.a)<br />

Turunan (2.53.a) terhadap x memberikan<br />

dVx<br />

γx<br />

γx<br />

= kv1<br />

γe<br />

− kv2γe<br />

(2.53.b)<br />

dx<br />

sedangkan persamaan pertama (2.47) memberikan<br />

d<br />

V x =<br />

dx<br />

ZI<br />

sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan<br />

k<br />

x<br />

γx<br />

γx<br />

γx<br />

v1 γe<br />

− kv2γe<br />

= ZI<br />

x<br />

(2.53.c)<br />

Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (2.50) yaitu<br />

γ =<br />

ZY<br />

Kita masukkan γ ke (2.53c) dan kita peroleh<br />

ZY<br />

γx<br />

γx<br />

( kv1<br />

e − kv2e<br />

) = ZI<br />

x<br />

atau<br />

75


Saluran Transmisi<br />

γx<br />

γx<br />

Z Z<br />

kv1 e − kv2e<br />

= I x = I x (2.53.d)<br />

ZY Y<br />

Perhatikan bahwa ruas paling kiri (2.53.d) adalah ruas kanan<br />

persamaan (2.53a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas<br />

Z<br />

paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu di<br />

Y<br />

ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi;<br />

impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Z c .<br />

Z<br />

Z c = (2.54)<br />

Y<br />

Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu<br />

saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu<br />

besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Z c . Kita dapat<br />

menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen<br />

saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu<br />

saluran transmisi.<br />

Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita<br />

tulis menjadi<br />

k<br />

γx<br />

γx<br />

v1 e − kv2e<br />

= Z cI<br />

x<br />

(2.55)<br />

Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan<br />

pertama (2.53.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu<br />

V<br />

γx<br />

x = kv1<br />

e + kv1<br />

e<br />

−γx<br />

Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan<br />

di ujung terima<br />

k<br />

v1 + k v 2 = Vr<br />

(2.56.a)<br />

sedangkan pada x = 0 persamaan (2.55) memberikan arus di ujung<br />

terima yaitu<br />

Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh<br />

k<br />

v1 − kv2<br />

= Z cI<br />

r<br />

(2.56.b)<br />

76 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Z cIr<br />

+ Vr<br />

Vr<br />

− ZcIr<br />

kv1<br />

= kv2<br />

=<br />

(2.56.c)<br />

2<br />

2<br />

Dengan (2.56.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x,<br />

yaitu persamaan pertama (2.52.c) menjadi<br />

V<br />

x<br />

= k<br />

v1<br />

= V<br />

r<br />

= V<br />

r<br />

e<br />

γx<br />

γx<br />

+ k<br />

v2<br />

e<br />

Z cIr<br />

+ Vr<br />

= e<br />

2<br />

γx<br />

−γx<br />

−γx<br />

V<br />

+<br />

e + e<br />

+ Z<br />

2<br />

cosh( γx)<br />

+ Z I<br />

c<br />

c<br />

r<br />

r<br />

− Z I<br />

2<br />

c<br />

γx<br />

r<br />

e<br />

e − e<br />

I r<br />

2<br />

sinh( λx)<br />

−γx<br />

−γx<br />

(2.57)<br />

Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan<br />

arus di ujung terima adalah V r dan I r .<br />

Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua<br />

(2.52.c) dapat kita olah dengan cara yang sama.<br />

γx<br />

−γx<br />

dI<br />

x γx<br />

−γx<br />

I x = ki1e<br />

+ ki2e<br />

→ = ki1γe<br />

− ki2γe<br />

= YVx<br />

dx<br />

(2.58.a)<br />

γx<br />

−γx<br />

1<br />

→ ki1e<br />

− ki2e<br />

= Vx<br />

Z c<br />

Untuk x = 0,<br />

1<br />

ki1 + ki2<br />

= Ir<br />

ki1<br />

− ki2<br />

= Vr<br />

Zc<br />

sehingga diperoleh<br />

k<br />

i1<br />

Ir<br />

+ Vr<br />

/ Zc<br />

Ir<br />

− Vr<br />

/ Zc<br />

= ki2<br />

=<br />

(2.58.b)<br />

2<br />

2<br />

Dengan (2.58.b) ini kita peroleh<br />

I<br />

x<br />

I<br />

=<br />

r<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

r<br />

c<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

r<br />

c<br />

+ V<br />

e<br />

2<br />

r<br />

γx<br />

/ Z<br />

− e<br />

2<br />

c<br />

e<br />

−γx<br />

γx<br />

sinh( λx)<br />

+ I<br />

+ I<br />

r<br />

I<br />

+<br />

r<br />

r<br />

e<br />

− V<br />

γx<br />

2<br />

+ e<br />

2<br />

cosh( γx)<br />

r<br />

/ Z<br />

−γx<br />

c<br />

e<br />

−γx<br />

(2.58.c)<br />

77


Saluran Transmisi<br />

Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan<br />

V<br />

I<br />

x<br />

x<br />

= V<br />

r<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

cosh( γx)<br />

+ Z I<br />

r<br />

c<br />

sinh( γx)<br />

+ I<br />

c<br />

r<br />

r<br />

sinh( γx)<br />

cosh( γx)<br />

(2.59)<br />

Persamaan (2.59) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x<br />

pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima<br />

diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk<br />

melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat<br />

dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi<br />

karakteristik Z c . Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter<br />

yang ditunjukkan oleh persamaan (2.50); impedansi karakteristik<br />

mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan<br />

oleh (2.54).<br />

2.2.4. Rangkaian Ekivalen π<br />

Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim<br />

adalah Vs<br />

dan Is<br />

maka dari (2.59) kita peroleh<br />

Vs<br />

= Vr<br />

cosh( γd<br />

) + Z cI<br />

r sinh( γd)<br />

Vr<br />

I s = sinh( γd<br />

) + I r cosh( γd)<br />

Z c<br />

(2.60)<br />

Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis jika saluran<br />

transmisi terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu<br />

rangkaian ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti<br />

terlihat pada Gb.2.11.<br />

I s<br />

I r<br />

Z t<br />

Vs<br />

Y t<br />

2<br />

Y t<br />

2<br />

Vr<br />

Gb.2.11. Rangkaian ekivalen π<br />

78 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang<br />

terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan<br />

admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian<br />

ini memberikan:<br />

⎛ Yt<br />

⎞ ⎛ ZtYt<br />

⎞<br />

V s = Vr<br />

+ Zt<br />

⎜I<br />

r + Vr<br />

⎟ = ⎜1<br />

+ ⎟Vr<br />

+ Zt<br />

I r<br />

⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠<br />

Yt<br />

Yt<br />

Is<br />

= Ir<br />

+ Vr<br />

+ Vs<br />

2 2<br />

Yt<br />

Yt<br />

⎡ ZtYt<br />

⎞ ⎤<br />

Ir<br />

Vr<br />

⎢⎜<br />

⎛ = + + 1 + ⎟Vr<br />

+ ZtIr<br />

⎥<br />

2 2 ⎣⎝<br />

2 ⎠ ⎦<br />

ZtYt<br />

⎞Yt<br />

⎛ ZtYt<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎛ = 2 + ⎟ Vr<br />

+ ⎜1<br />

+ ⎟Ir<br />

⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />

Kita ringkaskan (2.61.a dan b) menjadi :<br />

(2.61.a)<br />

(2.61.b)<br />

ZtYt<br />

⎞<br />

Vs<br />

⎜<br />

⎛ = 1 + ⎟Vr<br />

+ ZtIr<br />

⎝ 2 ⎠<br />

⎛ ZtYt<br />

⎞ Yt<br />

⎛ ZtY<br />

I<br />

t ⎞<br />

s = ⎜2<br />

+ ⎟ Vr<br />

+ ⎜1<br />

+ ⎟Ir<br />

⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />

(2.62)<br />

Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan<br />

tegangan dan arus pada (2.60) yaitu<br />

kita dapatkan<br />

V<br />

I<br />

s<br />

s<br />

= V<br />

r<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

cosh( γd<br />

) + Z I<br />

r<br />

c<br />

sinh( γd<br />

) + I<br />

c<br />

r<br />

r<br />

sinh( γd)<br />

cosh( γd)<br />

Z tYt<br />

1+<br />

= cosh( γd)<br />

2<br />

Z t = Z c sinh( γd)<br />

⎛ Z tYt<br />

⎞ Yt<br />

1<br />

⎜2<br />

+ ⎟ = sinh( γd<br />

)<br />

⎝ 2 ⎠ 2 Z c<br />

(2.63)<br />

Substitusi persamaan pertama (2.63) ke persamaan ke-tiga (2.63)<br />

memberikan<br />

79


Saluran Transmisi<br />

Yt<br />

2<br />

γd<br />

−γd<br />

sinh( γd)<br />

( e − e ) / 2<br />

=<br />

=<br />

Z ( cosh( γd)<br />

+ 1)<br />

γd<br />

−γd<br />

c<br />

Zc<br />

( e + e + 2) / 2<br />

γd<br />

/ 2 −γd<br />

/ 2 γd<br />

/ 2 −γd<br />

/ 2<br />

( e − e ) × ( e + e )<br />

=<br />

γd<br />

/ 2 −γd<br />

/ 2 2<br />

Zc<br />

( e + e )<br />

γd<br />

/ 2 −γd<br />

/ 2<br />

( e − e ) 1 ⎛ γd<br />

⎞<br />

=<br />

= tanh⎜<br />

⎟<br />

γd<br />

/ 2 −γd<br />

/ 2<br />

Zc<br />

( e + e ) Zc<br />

⎝ 2 ⎠<br />

Jadi dalam rangkaian ekivalen π<br />

Z<br />

t<br />

Yt<br />

1 ⎛ γd<br />

⎞<br />

= Z c sinh( γd)<br />

dan = tanh⎜<br />

⎟<br />

2 Z ⎝ 2 ⎠<br />

c<br />

(2.64)<br />

dengan d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Z c =<br />

impedansi karakteristik.<br />

Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu-fasa rangkaian<br />

tiga-fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga-fasa tak-seimbang,<br />

fasor-fasor tak seimbang kita uraikan menjadi komponenkomponen<br />

simetris. Masing-masing komponen simetris<br />

merupakan fasa-fasa seimbang sehingga masing-masing<br />

komponen dapat di analisis menggunakan rangkaian ekivalen satufasa.<br />

Dengan kata lain masing-masing komponen memiliki<br />

rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen urutan positif, urutan<br />

negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada Gb.2.12.<br />

Besaran rangkaian ekivalen adalah:<br />

Konstanta propagasi urutan:<br />

γ 0 = Z 0Y0<br />

; γ1<br />

= Z1Y<br />

1 ; γ2<br />

= Z2Y2<br />

(2.65)<br />

Impedansi karakteristik urutan:<br />

Z<br />

Z<br />

Impedansi urutan:<br />

c0<br />

Z<br />

c1<br />

c2<br />

=<br />

=<br />

=<br />

Z<br />

0<br />

1<br />

/ Y<br />

0<br />

Z / Y<br />

1<br />

Z 2 / Y<br />

2<br />

(2.66)<br />

80 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Z<br />

Z<br />

Z<br />

0<br />

1<br />

2<br />

= Z<br />

= Z<br />

= Z<br />

c0<br />

c1<br />

c2<br />

sinh γ<br />

d<br />

sinh γ d<br />

1<br />

sinh γ<br />

Admitansi urutan:<br />

Y0<br />

1 γ<br />

tanh 0d<br />

=<br />

2 Zc0<br />

2<br />

Y1<br />

1 γ<br />

tanh 1d<br />

=<br />

2 Zc1<br />

2<br />

Y2<br />

1 γ<br />

tanh 2d<br />

=<br />

2 Zc2<br />

2<br />

0<br />

2<br />

d<br />

(2.67)<br />

(2.68)<br />

Is0<br />

I r 0<br />

Z t0<br />

Y t0<br />

Y<br />

V t0<br />

s0<br />

V r 0<br />

2<br />

2<br />

Rangkaian Urutan Nol<br />

Is1<br />

I r 1<br />

Z t1<br />

Y t1<br />

Y<br />

V t1<br />

s1<br />

V r 1<br />

2<br />

2<br />

Rangkaian Urutan Positif<br />

Is2<br />

I r 2<br />

Z t2<br />

Y t2<br />

Y<br />

V t2<br />

s2<br />

V r 2<br />

2<br />

Rangkaian Urutan Negatif<br />

Gb.2.12. Rangkaian ekivalen urutan.<br />

2<br />

81


Saluran Transmisi<br />

CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />

yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan<br />

(a) impedansi karakteristik;<br />

(b) konstanta propagasi;<br />

(c) rangkaian ekivalen π.<br />

A<br />

Solusi:<br />

4,2 m<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah<br />

dihitung pada dua contoh sebelumnya.<br />

Z = 0,088 + j0,3896<br />

/km Y = j2,923<br />

S/km<br />

1 Ω<br />

a) Impedansi karakteristik adalah:<br />

C<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

= r′<br />

B<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

= r′<br />

C<br />

C<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

1 µ<br />

= 0.088 Ω / km<br />

Z c =<br />

Z<br />

Y<br />

3<br />

= 10 ×<br />

=<br />

b) Konstanta propagasi<br />

0,088 + j0,3896<br />

−6<br />

j2,923<br />

× 10<br />

0,088 + j0,3896<br />

o<br />

= 369,67∠<br />

- 6,4<br />

j2,923<br />

Ω<br />

γ =<br />

ZY<br />

=<br />

(0,088 + j0,3896)(<br />

j2,923<br />

× 10<br />

= (0,1198 + j1,074)<br />

× 10<br />

−3<br />

per km<br />

c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,<br />

elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah<br />

Z<br />

t<br />

= Z<br />

c<br />

sinh( γd<br />

)<br />

= (369,67∠ − 6,4<br />

= 8,77 + j38,89<br />

= 39.87∠77.3<br />

o<br />

)sinh[(0,1198 + j1,074)<br />

× 10<br />

o<br />

Ω<br />

−1<br />

]<br />

−6<br />

)<br />

82 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Yt<br />

2<br />

1 ⎛ γd<br />

= tanh⎜<br />

Zc<br />

⎝ 2<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

1 ⎛ −3<br />

(0,1207 j1,074)<br />

10 100 ⎞<br />

tanh⎜<br />

+ × ×<br />

=<br />

⎟<br />

o<br />

369,67∠ − 6,4 ⎜<br />

2<br />

⎟<br />

⎝<br />

⎠<br />

−8<br />

−3<br />

= 3,14 × 10 + j0,1463<br />

× 10 ≈ j0,1463<br />

mS<br />

I s<br />

8.77<br />

+ j38,89<br />

Ir<br />

Vs<br />

j0,1463<br />

j0, 1463<br />

Vr<br />

16.2.5. Rangkaian Ekivalen Pendekatan<br />

Apabila kita melakukan perhitungan dengan menggunakan<br />

computer, pendekatan ini sebenarnya tidak diperlukan. Namun<br />

untuk saluran pendek, perhitungan secara manual kadang-kadang<br />

diperlukan sehingga diperlukan besaran pendekatan. Pada saluran<br />

yang pendek, γd


Saluran Transmisi<br />

2.2.6. Saluran Pendek<br />

Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)<br />

yaitu<br />

V<br />

I<br />

s<br />

s<br />

= V<br />

r<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

r<br />

c<br />

cosh( γd)<br />

+ Z I<br />

sinh( γd)<br />

+ I<br />

c<br />

r<br />

r<br />

sinh( γd)<br />

cosh( γd)<br />

Pada saluran yang pendek, γd


Saluran Transmisi<br />

Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita<br />

perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan<br />

rangkaian ekivalen π yang sebenarnya.<br />

2.2.7. Konstanta ABCD<br />

Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)<br />

yaitu<br />

V<br />

I<br />

s<br />

s<br />

= V<br />

r<br />

V<br />

=<br />

Z<br />

cosh( γd<br />

) + Z I<br />

r<br />

c<br />

sinh( γd<br />

) + I<br />

c<br />

r<br />

r<br />

sinh( γd)<br />

cosh( γd)<br />

Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan<br />

konstanta A, B, C, D seperti berikut:<br />

dengan<br />

V<br />

I<br />

s<br />

s<br />

= AV<br />

r<br />

= C V<br />

r<br />

A = cosh γd<br />

;<br />

+ B I<br />

r<br />

+ D I<br />

sinh γd<br />

1<br />

C = = B ;<br />

Z 2<br />

c Z<br />

r<br />

B = Z<br />

c<br />

c<br />

sinh γd<br />

D = cosh γd<br />

= A<br />

(2.71.a)<br />

(2.71.b)<br />

Konstanta-konstanta ini dapat pula diturunkan dari rangkaian<br />

ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (2.60) yaitu<br />

ZtYt<br />

⎞<br />

Vs<br />

⎜<br />

⎛ = 1 + ⎟Vr<br />

+ Zt<br />

I<br />

⎝ 2 ⎠<br />

⎛ ZtYt<br />

⎞ Yt<br />

⎛ ZtYt<br />

⎞<br />

I s = ⎜2<br />

+ ⎟ Vr<br />

+ ⎜1<br />

+ ⎟Ir<br />

⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />

yang jika kita perbandingkan dengan (2.71.a) kita dapatkan<br />

⎞<br />

A ⎜<br />

⎛ Z = + tYt<br />

1 ⎟ B = Zt<br />

⎝ 2 ⎠<br />

⎛ Z ⎞<br />

⎛<br />

C = ⎜ +<br />

tYt<br />

Yt<br />

Z<br />

2 ⎟ D = ⎜1<br />

+<br />

tY<br />

⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2<br />

t<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

= A<br />

(2.71.c)<br />

85


86 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Saluran Transmisi<br />

Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan<br />

kompleks karena Z t maupun Y t adalah bilangan kompleks yang<br />

nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang<br />

saluran. Kita lihat lagi saluran pada Contoh-7.1. untuk memberi<br />

gambaran tentang nilai konstanta-konstanta ini.<br />

CONTOH-2.7: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />

yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, sedangkan<br />

panjang saluran 100 km, tentukan konstanta A, B, C, D saluran<br />

transmisi ini.<br />

A<br />

4,2 m<br />

Solusi:<br />

γ dan Z c telah dihitung pada Contoh-2.5:<br />

Z c<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

C<br />

= 369,67∠<br />

- 6,4<br />

o<br />

Ω<br />

γ = (0,1198 + j 1,074) × 10<br />

= r′<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

−3<br />

= r′<br />

per km<br />

Menggunakan formulasi (2.71.b), nilai konstanta A, B, C,<br />

D, adalah<br />

o<br />

A = cosh γd<br />

= 0,9943∠0,07<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

o<br />

B = Z c sinh γd<br />

= 39,87∠77,30<br />

sinh γd<br />

1<br />

o<br />

C = = B = 0,0003∠90,02<br />

Z 2<br />

c Z c<br />

o<br />

D = cosh γd<br />

= A = 0,9943∠0,07<br />

= 0.088 Ω / km<br />

Dengan menggunakan konstanta A,B,C,D, ini, kita akan<br />

mecermati kinerja saluran.<br />

CONTOH-2.8: Jika saluran transmisi pada Contoh-2.7 mencatu<br />

beban sebesar 250 MVA dengan faktor daya 0.9 lagging pada<br />

tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di ujung<br />

kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di<br />

ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

B<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

C<br />

C


Saluran Transmisi<br />

Solusi:<br />

Dengan model satu-fasa, tegangan beban 270 kV digunakan<br />

sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah<br />

V r<br />

270 o<br />

= = 155,88 ∠0<br />

3<br />

kV<br />

Karena faktor daya 0,9 lagging maka arus beban:<br />

I r<br />

250 o<br />

=<br />

= 0.53∠<br />

- 25,8<br />

270 × 0,9 × 3<br />

Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />

kA<br />

o<br />

o<br />

Vs<br />

= 0,9943∠0,07<br />

Vr<br />

+ 39,87∠77,30<br />

Ir<br />

o<br />

= 155 + j0.2<br />

+ 13.3+<br />

j16.7<br />

= 169.1∠5.7<br />

Arus di ujung kirim:<br />

I<br />

s<br />

= 0.51∠<br />

- 21,2<br />

kV<br />

kV<br />

= CV + D I = -2 × 10 + j0.05<br />

+ 0.48 − j0.23<br />

r<br />

r<br />

o<br />

Tegangan jatuh di saluran adalah<br />

-5<br />

∆V<br />

= V s − V r = 169,1∠<br />

5,7<br />

= 12,4 + j16,9<br />

= 21∠53,7<br />

o<br />

−155,88∠0<br />

o<br />

kV<br />

21<br />

atau × 100 ≈12%<br />

dari tegangan di ujung kirim.<br />

169,1<br />

Daya kompleks ujung kirim<br />

Ss<br />

∗<br />

o<br />

= 3×<br />

V sIs<br />

= 3×<br />

169,1 ∠5,7<br />

× 0,51∠21,2<br />

= 260∠27<br />

MVA<br />

Faktor daya ujung kirim cos(27 o ) = 0.89<br />

Daya nyata ujung kirim<br />

Daya nyata ujung terima<br />

P s<br />

P r<br />

Susut yang terjadi di saluran adalah<br />

= 260 × 0,89 = 232 MW<br />

= 250 × 0.9 = 225 MW<br />

Ps<br />

− Pr<br />

P saluran = ×100 % = 3.1% .<br />

Ps<br />

o<br />

87


Saluran Transmisi<br />

2.3. Perubahan Pembebanan<br />

Dalam Contoh-2.8 di atas, pembebanan 250 MVA dengan faktor<br />

daya 0,9 menyebabkan tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,1%<br />

sementara faktor daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan<br />

melihat situasi jika terjadi perubahan pembebanan<br />

CONTOH-2.9: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi<br />

pada Contoh-2.8 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor daya<br />

tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung<br />

kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />

Solusi:<br />

Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />

Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />

Beban [MVA]<br />

200 250 300<br />

Panjang 100 km 100 km 100 km<br />

V r [kV] 155,88∠0 o 155,88∠0 o 155,88∠0 o<br />

I r [kA] 0.43∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.64∠-25.8 o<br />

V s [kV] 166.2∠4.7 o 169.1∠5.7 o 172.1∠6.7 o<br />

I s [kA] 0.40∠-20 o 0.51∠-21.2 o 0.62∠-22 o<br />

∆ V [kV] 16.7∠54.3 o 21∠53.7 o 25.2∠53.3 o<br />

∆ V [%] 10 12 15<br />

S s [MVA] 203 260 320<br />

f.d. 0.9 0.89 0.88<br />

Susut [%] 2.5 3.1 3.75<br />

88 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

2.4. Perubahan Panjang Saluran<br />

Perubahan panjang saluran akan mengubah konstanta saluran. Kita<br />

lihat contoh berikut.<br />

CONTOH-2.10: Dengan beban tetap 250 MVA dan faktor daya 0,9<br />

lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,<br />

faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran untuk panjang<br />

saluran 100, 150, 200 km<br />

Solusi:<br />

Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />

Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />

Panjang Saluran<br />

100 150 200<br />

Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA<br />

A 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0,17 o 0.9773∠0.3 o<br />

B [Ω] 39.867∠77.3 o 59.658 ∠77.3 o 79.28∠77.4 o<br />

C [mS] 0.2917∠90.02 o 0.4366 ∠90.06 o 0.5802∠90.1 o<br />

D 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0.17 o 0.9773∠0.3 o<br />

V r [kV] 155.88∠0 o 155.88∠0 o 155.88∠0 o<br />

I r [kA] 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o<br />

V s [kV] 169.1∠5.7 o 175.6∠8.3 o 181.9∠10.8 o<br />

I s [kA] 0.51∠-21.2 o 0.50∠-18.7 o 0.49∠-16 o<br />

∆ V [kV] 21∠53.7 o 31∠54.9 o 41∠56.1 o<br />

∆ V [%] 12 18 22<br />

S s [MVA] 260 264 267<br />

f.d. 0.89 0.89 0.89<br />

Susut [%] 3.1 4.5 5.8<br />

89


Saluran Transmisi<br />

2.5. Lossless Line<br />

Konstanta ABCD saluran transmisi diberikan oleh (2.71.b) yaitu<br />

A = cosh γd<br />

;<br />

sinh γd<br />

1<br />

C = =<br />

Z c Z<br />

B = Z<br />

2<br />

c<br />

B ;<br />

c<br />

sinh γd<br />

D = cosh γd<br />

= A<br />

Untuk d tertentu, konstanta A dan D ditentukan oleh konstanta<br />

propagasi γ yang didefinisikan pada (2.50)<br />

γ<br />

2<br />

= ZY atau γ =<br />

ZY<br />

dimana Z impedansi seri per satuan panjang, dan Y admitansi per<br />

satuan panjang. Konstanta propagasi ini merupakan besaran<br />

kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />

γ = α + j β<br />

α disebut konstanta redaman, sedangkan β disebut konstanta fasa.<br />

Konstanta redaman α muncul dari impedansi seri Z s = Rs<br />

+ jX s .<br />

Jika resistansi seri R s = 0, konstanta redaman juga 0.<br />

γ = 0 + jβ = jβ<br />

(2.72)<br />

Keadaan ideal ini, dimana R s atau α bernilai nol menjadikan saluran<br />

transmisi lossless, tidak menyerap daya atau tidak terjadi susut<br />

energi di saluran transmisi. Dalam situasi ini, konstanta A dan D<br />

adalah<br />

jβ − jβ<br />

e + e<br />

A = D = cosh γd<br />

=<br />

= cosβ<br />

2<br />

(2.73)<br />

Konstanta B menjadi<br />

jβ<br />

− jβ<br />

e − e<br />

B = Z c sinh γd<br />

= Z c<br />

= Z c j sin β<br />

2<br />

(2.74)<br />

Kondisi ideal ini akan kita gunakan dalam membahas surge<br />

impedance loading di sub-bab 2.6.6.<br />

90 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

2.6. <strong>Analisis</strong> Pembebanan Saluran Transmisi<br />

Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan<br />

peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan<br />

yang kita hitung pada Contoh-2.8 sebesar 250 MVA, tegangan jatuh<br />

sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika kita<br />

mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya<br />

saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,<br />

daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah<br />

S r<br />

3fasa = 270 × 0,9 × 3 =<br />

420 MVA<br />

Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di<br />

saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.<br />

2.6.1. Pembebanan Thermal<br />

Sebagian energy yang melalui saluran transmisi terkonversi<br />

menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.<br />

saluran<br />

2<br />

fasa<br />

P = 3 × I × R<br />

saluran<br />

Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang<br />

diperkenankan mengalir pada konduktor agar tidak terjadi<br />

pemanasan yang berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur<br />

konduktor akan menyebabkan pemuaian; jika temperature<br />

meningkat maka andongan akan bertambah .<br />

Dari relasi daya tiga-fasa S3 fasa = VI 3 kita dapat menghitung<br />

berapa daya yang dapat dipasok melalui suatu saluran transmisi.<br />

Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa 150 kV misalnya,<br />

setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya sebesar<br />

150 3 = 2,5 MVA ; pada transmisi 500 kV berarti penyaluran<br />

daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan daya ini saja<br />

yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu saluran<br />

transmisi. Beberapa hal akan kita lihat berikut ini.<br />

91


Saluran Transmisi<br />

2.6.2. Tegangan dan Arus di Ujung Kirim<br />

Kita misalkan:<br />

konstanta saluran:<br />

A = A∠α<br />

dan B = B∠β<br />

,<br />

o<br />

tegangan ujung terima V r = V r ∠0 (sebagai referensi)<br />

o<br />

arus beban lagging I r = I r ∠ − ϕ ,<br />

maka tegangan di ujung kirim adalah<br />

V s = AVr<br />

+ B Ir<br />

= AVr∠( α + 0) + BIr∠(<br />

β − ϕ)<br />

(2.75.a)<br />

Sudut A ∠α<br />

dan B ∠β<br />

adalah konstanta yang ditentukan hanya<br />

oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran tidak<br />

berubah. Oleh karena itu jika faktor daya beban dipertahankan<br />

pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di ujung kirim<br />

ditentukan hanya oleh arus beban I r . Gb.2.14. memperlihatkan<br />

peristiwa tersebut.<br />

Im<br />

I r<br />

I′ r<br />

Gb.2.14. Perubahan Ir<br />

menjadi I′ r menyebabkan perubahan<br />

2<br />

c<br />

Vs<br />

menjadi<br />

Jika kita misalkan Z c = Z c<br />

(2.71.a) menjadi:<br />

B<br />

I s = Vr<br />

+ A I<br />

Z<br />

∠θ<br />

V′ s .<br />

, maka persamaan ke-dua<br />

92 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

α<br />

r<br />

(2.75.b)<br />

BVr<br />

= ∠(0<br />

− 2θ)<br />

+ AI ∠(<br />

α − ϕ)<br />

2<br />

r<br />

Z c<br />

Impedansi karakteristik Z c juga merupakan besaran konstan untuk<br />

satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban<br />

dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung terima<br />

dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter saluran.<br />

V r<br />

V s<br />

AV r<br />

BI r<br />

V′ s<br />

β − ϕ<br />

Re


Saluran Transmisi<br />

2.6.3. Tegangan Jatuh Pada Saluran<br />

Peningkatan arus I r berarti peningkatan pembebanan. Selain batas<br />

thermal sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pembatasan<br />

lain yang akan kita lihat berikut ini.<br />

Jika δ adalah sudut antara Vs<br />

dan Vr<br />

maka dari relasi tegangan<br />

V s = AVr<br />

+ B Ir<br />

kita peroleh arus beban<br />

I<br />

r<br />

Vs<br />

AVr<br />

= −<br />

B B<br />

Vs<br />

AVr<br />

= ∠( δ −β)<br />

− ∠(<br />

α −β)<br />

B<br />

B<br />

Daya per fasa di ujung terima adalah<br />

(2.76)<br />

∗<br />

Sr 1fasa = Vr<br />

I r<br />

2<br />

VrVs<br />

AVr<br />

= ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

B<br />

B<br />

(2.77)<br />

Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai tertentu,<br />

kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di ujung<br />

kirim. Jika hal ini dilakukan maka V r V s dan 2<br />

V r pada persamaan<br />

daya (2.77) akan bernilai konstan. Persamaan ini akan<br />

menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi apabila<br />

terjadi perubahan permintaan daya di ujung terima. Sudut ini, δ,<br />

disebut sudut daya.<br />

Diagram fasor perubahan sudut daya diperlihatkan pada Gb. 2.15.<br />

Im<br />

V s<br />

α<br />

AV r<br />

BI r<br />

δ<br />

Re<br />

V r<br />

I r<br />

Gb.2.15. Perubahan sudut δ.<br />

93


Saluran Transmisi<br />

2.6.4. Diagram Lingkaran<br />

Daya tiga-fasa di ujung terima diperoleh dari (2.77) yaitu<br />

3V<br />

rVs<br />

3AVr<br />

Sr 3fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(2.78)<br />

B<br />

B<br />

Jika V r dan V s dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat<br />

bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan<br />

daya akan mengikuti bentuk kurva lingkaran.<br />

Kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari sudut β. Oleh<br />

karena itu sudut fasa suku ke-dua (2.78) akan berada di sekitar<br />

nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih dari<br />

10%, nilai V r Vs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan<br />

2<br />

nilai V r di suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita<br />

akan menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala, yang<br />

diperlihatkan pada Gb.2.16.<br />

Im<br />

N ′<br />

M ′<br />

2<br />

M<br />

δ<br />

N<br />

β − α<br />

O<br />

β − δ<br />

Re<br />

M′<br />

N′<br />

Gb.2.16. Diagram lingkaran.<br />

94 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Penjelasan dari Gb.2.16 adalah sebagai berikut:<br />

1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor<br />

3 AV 2<br />

r ∠(<br />

β − α)<br />

B<br />

yaitu OM kemudian kita gambar<br />

2<br />

3<br />

−<br />

AV r ∠(<br />

β − α)<br />

B<br />

yaitu O M ′ .<br />

2. Pada fasor O M′ kita tambahkan fasor<br />

3V<br />

r V s<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

B<br />

yaitu fasor M′ N .<br />

3. Sudut antara M′ N dengan sumbu mendatar adalah ( β − δ)<br />

.<br />

4. Pada perubahan sudut δ fasor M′ N akan bergerak<br />

mengikuti lingkaran yang berpusat di M′ berjari-jari M′ N .<br />

5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor M′ N dengan garis<br />

M ′ M′<br />

yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.<br />

6. Daya nyata maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />

= 0 yaitu pada<br />

waktu M′ N menjadi M ′ N′<br />

o<br />

7. Daya reaktif maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />

= 90 .<br />

2.6.5. Batas Stabilitas Keadaan Mantap<br />

Dalam meninjau daya maksimum ini, kita akan<br />

menyederhanakan relasi (2.77) dengan melihat saluran transmisi<br />

pada tegangan pengenalnya yang kita sebut V, misalnya<br />

transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak membedakan V r atau V s .<br />

Dengan pengertian ini maka (2.77) menjadi:<br />

2<br />

2<br />

V<br />

AV<br />

S r 1fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(2.79.a)<br />

3B<br />

3B<br />

Daya tiga-fasa menjadi<br />

2<br />

2<br />

V<br />

AV<br />

S r 3fasa = ∠(<br />

β − δ)<br />

− ∠(<br />

β − α)<br />

(2.79.b)<br />

B<br />

B<br />

Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan<br />

daya nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian<br />

nyata dari relasi daya ini, dan daya reaktif adalah bagian<br />

imajinernya.<br />

95


P<br />

r 3fasa<br />

= Re S<br />

⎡ 2<br />

V<br />

= Re⎢<br />

⎢⎣<br />

B<br />

2<br />

V<br />

=<br />

B<br />

r 3fasa<br />

dan daya reaktif Q adalah<br />

Q<br />

r 3fasa<br />

= Im S<br />

⎡ 2<br />

V<br />

= Im⎢<br />

⎢⎣<br />

B<br />

2<br />

AV<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

−<br />

B<br />

AV<br />

cos( β − δ)<br />

−<br />

B<br />

r 3fasa<br />

2<br />

AV<br />

∠(<br />

β − δ)<br />

−<br />

B<br />

2<br />

cos( β − α)<br />

Saluran Transmisi<br />

⎤<br />

∠(<br />

β − α)<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

⎤<br />

∠(<br />

β − α)<br />

⎥<br />

⎥⎦<br />

(2.80.a)<br />

V<br />

AV<br />

= sin( β − δ)<br />

− sin( β − α)<br />

B<br />

B<br />

Daya nyata pada relasi (2.80.a) akan mencapai nilai maksimum<br />

pada waktu ( β − δ)<br />

= 0 atau δ = β . Daya nyata maksimum ini<br />

merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan<br />

keadaan mantap (steady state); besarnya adalah<br />

2<br />

V<br />

P r 3fasa maks mantap = [ 1 − A cos( β − α)<br />

] (2.81)<br />

B<br />

2<br />

2<br />

(2.80.b)<br />

Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai<br />

maksimum mantap, daya reaktif adalah<br />

AV<br />

Q r 3fasa maks mantap = − sin( β − α)<br />

(2.82)<br />

B<br />

Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah<br />

S<br />

3 fasa maks mantap<br />

=<br />

2<br />

V<br />

=<br />

B<br />

P<br />

2<br />

+ Q<br />

1+<br />

A<br />

2<br />

2<br />

2<br />

− 2Acos(<br />

β − α)<br />

(2.83)<br />

Ini merupakan daya kompleks tiga-fasa maksimum yang bisa<br />

dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang<br />

digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar<br />

I c , maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa<br />

dibebankan pada saluran transmisi adalah<br />

96 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

S = VI 3<br />

(2.84)<br />

3 fasa saluran c<br />

dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi<br />

batas pembebanan saluran transmisi dan menjadi batas stabilitas<br />

keadaan mantap<br />

S < S<br />

3fasa maks mantap<br />

3 fasa saluran<br />

CONTOH-2.11: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi<br />

pada Contoh-2.8. di mana saluran transmisi mencatu beban sebesar<br />

100 MW dengan faktor daya 0.9 lagging pada tegangan 270 kV.<br />

A<br />

4,2 m<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

C<br />

= r′<br />

= r′<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

<strong>Sistem</strong> ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.<br />

Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim telah<br />

dihitung pada sebelumnya sebesar 279 kV. Konstanta A dan B<br />

telah dihitung yaitu<br />

o<br />

o<br />

A = 0,9943∠0,07<br />

dan B = 39,87∠77,30<br />

= 0.088 Ω / km<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini menurut<br />

(2.83) adalah<br />

2<br />

V 2<br />

S 3fasa maks mantap = 1 + A − 2A<br />

cos( β − α)<br />

B<br />

275<br />

= 1 + 0,9943 − 2 × 0,09943(cos(77,30 − 0,07)<br />

39,87<br />

= 417 MVA<br />

Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan saluran<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

B<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

C<br />

C<br />

S 3 fasa saluran = VI c 3 = 275 × 0,9 × 3 = 428<br />

⇒<br />

S < S<br />

3fasa maks mantap<br />

3 fasa saluran<br />

MVA<br />

Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.<br />

97


Saluran Transmisi<br />

2.6.6. Surge Impedance Loading (SIL)<br />

SIL kita tinjau untuk suatu lossless line. Dalam kondisi ini<br />

cosh γd = cosβ<br />

dan sinh γd<br />

= j sin β<br />

Jika selain lossless saluran, transmisi ini dibebani dengan beban<br />

sebesar impedansi karakteristik Z c (beban dimodelkan sebagai satu<br />

impedansi) sehingga tegangan di ujung terima (beban) menjadi<br />

V r = Z c I r atau<br />

Vr<br />

I r =<br />

Z c<br />

(2.85)<br />

maka tegangan di ujung kirim menjadi<br />

Vs<br />

= Vr<br />

cosh( γd)<br />

+ Z cI<br />

r sinh( γd)<br />

Vr<br />

= Vr<br />

cos( βd)<br />

+ jZ c sin( βd)<br />

Z c<br />

( cos( βd)<br />

+ j sin( βd)<br />

)<br />

= Vr<br />

= Vr<br />

∠(<br />

βd)<br />

(2.86)<br />

Persamaan (2.86) ini menunjukkan bahwa besar tegangan di ujung<br />

kirim sama dengan besar tegangan di ujung terima,<br />

V s = Vr<br />

,<br />

berapapun panjang saluran transmisi. Panjang saluran transmisi d<br />

hanya menentukan perbedaan sudut fasa. Dengan kata lain, jika d<br />

tertentu maka tegangan di seluruh posisi pada saluran transmisi<br />

sama besar; persamaan (2.86) dapat kita tulis<br />

V s = Vr<br />

∠βx<br />

(2.87)<br />

V (x)<br />

Tegangan sepanjang<br />

saluran<br />

V r<br />

d<br />

Gb.2.17. Saluran transmisi lossless, beban = Z c .<br />

Dalam kondisi ini daya yang tersalur ke beban disebut surge<br />

impedance loading (SIL).<br />

x<br />

0<br />

98 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

SIL<br />

2 2<br />

Vr<br />

V<br />

= 3 ==<br />

(2.88)<br />

Zc<br />

Zc<br />

dengan V adalah tegangan penunjuk saluran transmisi, misalnya<br />

150 kV, 270 kV. Perhatikan bahwa dalam perhitungan ini beban<br />

dimodelkan sebagai impedansi karakteristik, yaitu<br />

Z c = Z / Y<br />

dengan Z dan Y adalah besaran per satuan panjang; dan Z tetap<br />

mengandung resistansi, Z = R + jX .<br />

Pembebanan sesungguhnya bisa lebih besar atau lebih kecil dari<br />

SIL. Jika tegangan di ujung terima, V r , dipertahankan pada suatu<br />

nilai tertentu, pembebanan yang lebih besar dari SIL<br />

mengharuskan tegangan di ujung kirim lebih besar dari tegangan<br />

ujung terima, V s > Vr<br />

. Jika pembebanan lebih kecil dari SIL,<br />

tegangan di ujung kirim lebih kecil dari tegangan di unjung terima<br />

maka V s > Vr<br />

> SIL<br />

V (x) SIL<br />

V r<br />

< SIL<br />

CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan<br />

panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL.<br />

Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250<br />

MVA.<br />

A<br />

4,2 m<br />

d<br />

x<br />

Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL.<br />

8,4 m<br />

B<br />

4,2 m<br />

C<br />

R<br />

r<br />

A<br />

r′<br />

A<br />

A<br />

= R<br />

= r<br />

B<br />

= r′<br />

B<br />

B<br />

= R<br />

= r<br />

C<br />

= r′<br />

C<br />

C<br />

= 0.088 Ω / km<br />

= r = 1,350 cm<br />

= r′<br />

= 1,073 cm<br />

Kapasitas arus: 900 A<br />

99


Saluran Transmisi<br />

Solusi:<br />

Z c telah dihitung pada sebelumnya, yaitu<br />

Z c<br />

= 369,67∠<br />

- 6,4<br />

o<br />

Ω<br />

SIL =<br />

V<br />

2 275 2<br />

= =<br />

Z c 369,67<br />

205<br />

MVA<br />

Jika saluran dibebani lebih besar dari SIL, maka tegangan di<br />

ujung kirim akan lebih besar dari 275 kV. Hal ini terlihat pada<br />

contoh-2.8, dimana pada pembebanan 250 MVA, tegangan<br />

o<br />

ujung kirim adalah V s = 169,1<br />

∠5,7<br />

yang berarti tegangan fasafasa<br />

adalah<br />

V s = 169 ,1 3 = 293 kV<br />

lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV.<br />

2.7. Transien Pada Saluran Transmisi<br />

2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi<br />

Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor<br />

saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai<br />

ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung<br />

konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor<br />

dari menara.<br />

Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu<br />

dipertimbangkan, yaitu:<br />

Tegangan kerja sistem itu sendiri.<br />

Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir.<br />

Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan<br />

circuit breaker.<br />

Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena<br />

kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu,<br />

biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji<br />

surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk<br />

100 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

gelombang surja dinyatakan sebagai T 1 × T 2 dimana keduanya<br />

dinyatakan dalam mikrodetik (µs). Jika tegangan puncaknya<br />

adalah V 0 maka T 1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai<br />

puncak sedangkan T 2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V 0 .<br />

Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan<br />

menggunakan fungsi eksponensial ganda<br />

dengan<br />

τ<br />

V<br />

2<br />

1<br />

v(<br />

t)<br />

= V<br />

0<br />

1<br />

T2<br />

= = 1,443T<br />

ln(2)<br />

= V<br />

e<br />

−t<br />

/ τ2 −t<br />

/ τ1<br />

[ e − e ]<br />

( T /1,443T<br />

)<br />

1<br />

2<br />

2<br />

;<br />

τ<br />

1<br />

T1<br />

= = 0,2T1<br />

5<br />

(2.89.a)<br />

(2.89.b)<br />

Pengujian isolator dilakukan pada suatu kondisi yang ditentukan,<br />

dengan bentuk gelombang uji yang terdefinisi secara baik.<br />

Beberapa pengertian perlu kita fahami, yaitu:<br />

Critical Flashover Voltage (CFO): adalah tegangan maksimum<br />

dimana probabilitas terjadinya flashover adalah 0,50.<br />

Withstand Voltage: Tegangan maksimum 3 × standar deviasi<br />

dibawah CFO.<br />

Basic (lightning) Impulse Insulation Level (BIL): Tegangan<br />

puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01<br />

pada surja uji 1,2/50 µs.<br />

Basic (switching) Surge Impulse Insulation Level (BSL):<br />

Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover<br />

adalah 0,01 pada surja uji 250/2500 µs.<br />

2.7.2. Surja Petir<br />

Petir (lightning) sangat berbahaya bagi saluran transmisi.<br />

Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan petir. Arus petir<br />

yang pernah teramati di Jawa ini berkisar dari 7 sampai 130 A<br />

dengan rata-rata 30 kA, tapi di daerah Sumatra bisa sampai di atas<br />

200 kA.<br />

Saluran transmisi dilengkapi dengan kawat tanah yang dipasang di<br />

puncak menara dan berfungsi sebagai pelindung kawat fasa<br />

101


Saluran Transmisi<br />

terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa<br />

yang berada dalam sektor 60 o di bawah kawat tanah ini “aman”<br />

terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa<br />

terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi.<br />

Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah<br />

melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat<br />

mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi<br />

tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash<br />

yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa.<br />

Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh<br />

tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara<br />

mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa<br />

terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran<br />

transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari<br />

saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung.<br />

Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari<br />

kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod<br />

gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan<br />

menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat<br />

sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan<br />

tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini<br />

adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan<br />

sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang<br />

logam.<br />

Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran<br />

langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak<br />

langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan<br />

imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran<br />

transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak<br />

langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat<br />

sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan<br />

peristiwa transien.<br />

2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi<br />

Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari<br />

gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19.<br />

+<br />

memberikan persamaan orde dua pada t ≥ 0 sebagai berikut<br />

102 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


di<br />

Ri + L + v =<br />

dt<br />

v in<br />

Saluran Transmisi<br />

Persamaan ini diperoleh dengan pandangan bahwa begitu saklar<br />

ditutup, seluruh tegangan<br />

S v<br />

v L = L di / dt<br />

v in terterapkan pada<br />

R = iR<br />

seluruh rangkaian RLC<br />

+ i<br />

dan hukum Kirchhoff ∪∩ v in<br />

v C = v<br />

dapat kita terapkan pada<br />

−<br />

rangkaian ini. Pandangan<br />

ini tidak dapat kita<br />

Gb.2.19. Rangkaian RLC seri.<br />

aplikasikan begitu saja<br />

pada saluran transmisi.<br />

Panjang saluran transmisi adalah ratusan kilometer. Jika kita<br />

menutup circuit breaker di ujung kirim, tegangan tidak serta merta<br />

terasakan di ujung terima; artinya tegangan masuk di ujung kirim<br />

tidak segera mencakup seluruh rangkaian. Tegangan di ujung<br />

kirim harus merambat dan memerlukan waktu untuk sampai ke<br />

ujung terima, walaupun waktu yang diperlukan itu sangat pendek.<br />

Oleh karena itu kita harus hati-hati menerapkan hukum Kirchhoff.<br />

Kita akan melihat kasus<br />

tegangan durasi terbatas<br />

yang muncul pada t = 0 di<br />

ujung kirim, sementara<br />

saluran transmisi tidak<br />

memiliki simpanan energi<br />

sebelum t = 0. Tegangan<br />

dengan durasi terbatas ini<br />

ditunjukkan pada Gb.2.20.<br />

Tegangan ini merupakan<br />

fungsi waktu dan muncul pada t = 0 di ujung kirim; persamaannya<br />

adalah<br />

v<br />

in =<br />

0<br />

t<br />

Gb.2.20. Tegangan dengan durasi<br />

terbatas diterapkan di ujung kirim.<br />

v<br />

in<br />

( t)<br />

u(<br />

t)<br />

Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari<br />

ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa<br />

waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = T x . Jadi terdapat<br />

pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan<br />

v<br />

v in = v( t)<br />

u(<br />

t)<br />

103


Saluran Transmisi<br />

di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang<br />

dapat kita tuliskan sebagai<br />

v<br />

= v t)<br />

u(<br />

t −T<br />

)<br />

(2.90)<br />

x x ( x<br />

Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama<br />

dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor<br />

redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien<br />

v<br />

0<br />

T x<br />

v<br />

x<br />

= v t)<br />

u(<br />

t −T<br />

)<br />

( x<br />

ini, kita menganggap<br />

saluran transmisi sebagai<br />

lossless line). Dengan<br />

anggapan ini maka kita<br />

boleh menganggap pula<br />

bentuk gelombang tidak<br />

berubah<br />

saluran.<br />

sepanjang<br />

Gb.2.21. Tegangan di posisi x.<br />

Dengan demikian kita<br />

mengerti bahwa bentuk<br />

gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut<br />

gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan<br />

fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini<br />

dapat kita tuliskan sebagai<br />

v x,<br />

t)<br />

= v(<br />

t)<br />

u(<br />

t − t )<br />

(2.91)<br />

( x<br />

t<br />

Kita tinjau satu segmen saluran transmisi sepanjang<br />

kecil, seperti ditunjukkan oleh Gb.2.22.<br />

∆x<br />

i( x,<br />

t)<br />

i( x,<br />

t)<br />

− ∆i(<br />

x,<br />

t)<br />

∆xL<br />

∆x<br />

yang<br />

v ( x,<br />

t)<br />

v( x,<br />

t)<br />

− ∆v(<br />

x,<br />

t)<br />

∆xC<br />

x<br />

Gb.2.22. Situasi di satu segmen kecil saluran transmisi, ∆x.<br />

Perhatikan bahwa kita menghitung jarak x dari ujung kiri (ujung<br />

kirim), bukan dari ujung kanan (ujung terima) karena kita sedang<br />

104 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau<br />

lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan.<br />

Pada segmen kecil terdapat induktansi seri ∆ xL dan kapasitansi<br />

∆xC<br />

dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan<br />

panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap<br />

saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita<br />

dapat menerapkan hukum Kirchhoff.<br />

∂i<br />

∂v<br />

− ∆v( x,<br />

t)<br />

= ∆xL<br />

dan − ∆i(<br />

x,<br />

t)<br />

= ∆xC<br />

(2.92)<br />

∂t<br />

∂t<br />

Jika ∆x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial<br />

∂v(<br />

x,<br />

t)<br />

∂i<br />

− = L<br />

∂x<br />

∂t<br />

∂i(<br />

x,<br />

t)<br />

∂v<br />

− = C<br />

∂x<br />

∂t<br />

(2.93)<br />

Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai<br />

∂<br />

∂<br />

v(<br />

x,<br />

t)<br />

= −L<br />

i(<br />

x,<br />

t)<br />

∂x<br />

∂t<br />

(2.94)<br />

∂<br />

∂<br />

i(<br />

x,<br />

t)<br />

= −C<br />

v(<br />

x,<br />

t)<br />

∂x<br />

∂t<br />

Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan<br />

parsial terhadap x dari v ( x,<br />

t)<br />

, ruas kanan adalah turunan parsial<br />

terhadap t dari i ( x,<br />

t)<br />

. Transformasi Laplace ruas kiri<br />

∂<br />

memberikan ( x,<br />

s)<br />

∂x V sedangkan transformasi Laplace ruas<br />

kanan adalah − L{ sI ( x,<br />

s)<br />

− i(<br />

x,0)<br />

} dengan i(x,0)<br />

adalah nilai awal<br />

dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi<br />

maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas<br />

kanan menjadi − sLI( x,<br />

s)<br />

. Argumen yang sama berlaku untuk<br />

persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi<br />

Laplace dari (2.94) adalah<br />

∂<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= −sLI(<br />

x,<br />

s)<br />

∂x<br />

(2.95)<br />

∂<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= −sCV<br />

( x,<br />

s)<br />

∂x<br />

Diferensiasi terhadap x persamaan (2.95) memberikan<br />

105


∂<br />

2<br />

∂x<br />

∂<br />

2<br />

∂x<br />

2<br />

2<br />

∂<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= −sL<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

∂x<br />

∂<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= −sC<br />

V ( x,<br />

s)<br />

∂x<br />

Saluran Transmisi<br />

(2.96)<br />

Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti<br />

ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh<br />

∂<br />

2<br />

∂x<br />

∂<br />

2<br />

∂x<br />

2<br />

2<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= s<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= s<br />

2<br />

2<br />

LCV<br />

( x,<br />

s)<br />

LCI(<br />

x,<br />

s)<br />

(2.97)<br />

Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama<br />

bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah<br />

fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah<br />

px<br />

qx<br />

V ( x , s)<br />

= V ( s)<br />

e dan I ( x , s)<br />

= I(<br />

s)<br />

e ; jika fungsi dugaan ini<br />

kita masukkan ke (2.97) kita peroleh<br />

Dari sini kita peroleh<br />

p<br />

q<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

p V ( s)<br />

e<br />

2<br />

q I(<br />

s)<br />

e<br />

− s LC = 0 ⇒<br />

2<br />

− s LC = 0 ⇒<br />

qx<br />

px<br />

− s<br />

− s<br />

2<br />

2<br />

p = ± s<br />

q = ± s<br />

LCV ( s)<br />

e<br />

LCI ( s)<br />

e<br />

LC<br />

LC<br />

qx<br />

px<br />

= 0<br />

= 0<br />

Kita masukkan hasil ini ke fungsi dugaan, kita peroleh<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= V ( s)<br />

e<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= I(<br />

s)<br />

e<br />

± s<br />

± s<br />

LC x<br />

LC x<br />

(2.98)<br />

(2.99)<br />

(2.100)<br />

Untuk menafsirkan persamaan di kawasan s ini, kita lakukan<br />

transformasi balik guna melihat bentuk persamaannya di kawasan<br />

t. Kita gunakan salah satu sifat transformasi Laplace yaitu<br />

pergeseran di kawasan t,<br />

L [ f ( t a)<br />

] u(<br />

t − a)<br />

−<br />

− = e as F(s)<br />

(2.101)<br />

Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh<br />

106 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

v(<br />

x,<br />

t)<br />

= v(<br />

t ±<br />

i(<br />

x,<br />

t)<br />

= i(<br />

t ±<br />

LC x)<br />

u(<br />

t ±<br />

LC x)<br />

u(<br />

t ±<br />

LC x)<br />

LC x)<br />

(2.102.a)<br />

Kita lihat persamaan pertama (2.102.a) dengan mengambil tanda<br />

minus<br />

v( x,<br />

t)<br />

= v(<br />

t − LC x)<br />

u(<br />

t − LC x)<br />

(2.102.b)<br />

Faktor u( t − LC x)<br />

menunjukkan pergeseran waktu tibanya<br />

gelombang di posisi x sedangkan bentuk gelombang itu sendiri<br />

adalah<br />

v( x,<br />

t)<br />

= v(<br />

t − LC x)<br />

(2.102.c)<br />

Untuk suatu nilai konstan v ( x,<br />

t)<br />

= A , ruas kanan juga harus<br />

konstan. Jika t bertambah besar harus diimbangi dengan x yang<br />

bertambah besar pula. Artinya jika waktu makin bertambah posisi<br />

A makin menjauh dari ujung kirim; gelombang ini bergerak kekanan<br />

yang disebut gelombang maju. Kita simpulkan pula bahwa<br />

jika kita mengambil tanda plus, gelombang ini akan bergerak ke<br />

kiri dan disebut gelombang mundur. Penafsiran yang sama berlaku<br />

pula untuk persamaan kedua (2.102.a). Jika gelombang maju kita<br />

beri indeks atas “+” dan gelombang mundur kita beri indeks atas<br />

“−”, maka bentuk persamaan (2.102.a) menjadi<br />

+<br />

v(<br />

x,<br />

t)<br />

= v ( t −<br />

+<br />

i(<br />

x,<br />

t)<br />

= i ( t −<br />

LC x)<br />

u(<br />

t −<br />

LC x)<br />

u(<br />

t −<br />

−<br />

LC x)<br />

+ v ( t + LC x)<br />

u(<br />

t + LC x)<br />

(2.103)<br />

−<br />

LC x)<br />

+ i ( t + LC x)<br />

u(<br />

t + LC x)<br />

Pada persamaan (2.102.c) , v( x,<br />

t)<br />

= v(<br />

t − LC x)<br />

, LC x haruslah<br />

berdimensi waktu, t. Karena x adalah jarak, maka 1 / LC haruslah<br />

berdimensi jarak/waktu; dan inilah kecepatan perambatan<br />

gelombang maju maupun gelombang mundur.<br />

Persamaan (2.103) ini adalah persamaan di kawasan waktu.<br />

Persamaan di kawasan s telah kita peroleh yang kita tulis ulang<br />

menjadi<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= V<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= I<br />

+<br />

+<br />

( s)<br />

e<br />

( s)<br />

e<br />

−s<br />

−s<br />

LC x<br />

LC x<br />

+ V<br />

+ I<br />

−<br />

−<br />

( s)<br />

e<br />

( s)<br />

e<br />

+ s<br />

+ s<br />

LC x<br />

LC x<br />

(2.104)<br />

107


Saluran Transmisi<br />

2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan<br />

Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita<br />

melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita<br />

akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan.<br />

Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan<br />

∂<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= −sLI(<br />

x,<br />

s)<br />

∂x<br />

∂<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

= −sCV<br />

( x,<br />

s)<br />

∂x<br />

Apabila V ( x,<br />

s)<br />

dari persamaan pertama ini dimasukkan ke<br />

persamaan pertama (2.104) kita dapatkan<br />

∂ ∂ + −s<br />

LC x − + s LC x<br />

V( x,<br />

s)<br />

=<br />

⎧<br />

V s e V s e<br />

⎫<br />

⎨ ( ) + ( ) ⎬<br />

∂x<br />

∂x<br />

⎩<br />

⎭<br />

= −s<br />

+ −s<br />

LC x<br />

LCV ( s)<br />

e + s<br />

− + s<br />

LCV ( s)<br />

e<br />

LC x<br />

Dengan (2.105.a) ini, persamaan pertama (2.104) menjadi<br />

(2.105.a)<br />

∂<br />

V( x,<br />

s)<br />

= −sLI(<br />

x,<br />

s)<br />

∂x<br />

= −s<br />

LCV<br />

+<br />

( s)<br />

e<br />

−s<br />

LC x<br />

+ s<br />

LCV<br />

−<br />

( s)<br />

e<br />

+ s<br />

LC x<br />

(2.105.b)<br />

dan dari sini diperoleh<br />

− s<br />

I( x,<br />

s)<br />

=<br />

−<br />

=<br />

C<br />

V<br />

L<br />

LC + −s<br />

LC x s LC − + s LC x<br />

V ( s)<br />

e + V ( s)<br />

e<br />

sL<br />

− sL<br />

+ −s<br />

LC x<br />

( s)<br />

e −<br />

C − + s<br />

V ( s)<br />

e<br />

L<br />

LC x<br />

(2.105.c)<br />

Dalam persamaan (2.105.c) ini, ruas kiri adalah pernyataan arus di<br />

kawasan s sedangkan di ruas kanan merupakan C / L kali<br />

pernyataan tegangan yang juga di kawasan s. Kita dapat berharap<br />

bahwa C / L adalah admitansi atau 1 / C / L = L / C adalah<br />

impedansi yang juga merupakan pernyataan impedansi di kawasan<br />

s. Kita lihat hal ini sebagai berikut.<br />

108 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

Pada lossless line impedansi seri adalah Z = jX L karena R = 0.<br />

Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan<br />

fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi<br />

Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis<br />

di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan<br />

pernyataan impedansi di kawasan s yaitu Z = sL dengan s adalah<br />

operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan<br />

admitansi Y = jX C di kawasan s adalah Y = sC . Dengan<br />

pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal,<br />

impedansi karekteristik di kawasan s adalah<br />

Z sL L<br />

Z c = = =<br />

(2.106)<br />

Y sC C<br />

Dengan (2.106) ini maka arus pada (2.105.c) menjadi<br />

+ −s<br />

LC x − + s LC x<br />

V ( s)<br />

e V ( s)<br />

e<br />

I( x,<br />

s)<br />

=<br />

−<br />

(2.107)<br />

Zc<br />

Zc<br />

Dengan (2.107) ini maka persamaan tegangan dan arus<br />

+ −s<br />

LC x − + s LC x<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= V ( s)<br />

e + V ( s)<br />

e<br />

+ −s<br />

LC x − + s LC x<br />

V ( s)<br />

e V ( s)<br />

e<br />

I(<br />

x,<br />

s)<br />

=<br />

−<br />

Zc<br />

Zc<br />

(2.108)<br />

Persamaan (2.108) inilah persamaan gelombang berjalan di<br />

saluran transmisi dengan arus yang juga dinyatakan dalam<br />

tegangan.<br />

2.7.5. Situasi di Ujung Saluran<br />

Kita lihat sekarang situasi di ujung saluran (ujung terima). Di<br />

posisi ini, x = d. Jadi persamaan tegangan dan arus (2.108)<br />

menjadi<br />

+ −s<br />

LCd − + s LCd<br />

V ( d,<br />

s)<br />

= V ( s)<br />

e + V ( s)<br />

e<br />

+ −s<br />

V ( s)<br />

e<br />

I(<br />

d,<br />

s)<br />

=<br />

Zc<br />

LCd − + s LCd<br />

V ( s)<br />

e<br />

−<br />

Zc<br />

(2.109)<br />

109


Saluran Transmisi<br />

Rasio antara tegangan dan arus di ujung terima adalah impedansi<br />

di ujung terima. Kita bagi persamaan pertama pada (2.109) dengan<br />

persamaan yang kedua untuk mendapatkan impedansi di ujung<br />

terima Z r .<br />

Z<br />

r<br />

V ( d,<br />

s)<br />

V<br />

= =<br />

I(<br />

d,<br />

s)<br />

V<br />

= Z<br />

c<br />

V<br />

V<br />

+<br />

+<br />

( s)<br />

e<br />

( s)<br />

e<br />

+<br />

+<br />

( s)<br />

e<br />

( s)<br />

e<br />

Z<br />

c<br />

−s<br />

LCd<br />

−s<br />

LCd<br />

−s<br />

LCd<br />

−s<br />

LCd<br />

+ V<br />

−V<br />

−<br />

−<br />

+ V<br />

V<br />

−<br />

( s)<br />

e<br />

( s)<br />

e<br />

−<br />

−<br />

( s)<br />

e<br />

+ s<br />

( s)<br />

e<br />

Z<br />

+ s LCd<br />

+ s LCd<br />

+ s<br />

c<br />

LCd<br />

LCd<br />

(2.110.a)<br />

atau<br />

Z<br />

⎧<br />

r ⎨V<br />

⎩<br />

+<br />

= Z<br />

( s)<br />

e<br />

c<br />

−s<br />

LC x<br />

⎧<br />

⎨V<br />

⎩<br />

+<br />

( s)<br />

e<br />

− V<br />

−<br />

−s<br />

LC x<br />

( s)<br />

e<br />

+ s LC x<br />

+ V<br />

−<br />

( s)<br />

e<br />

⎫<br />

⎬<br />

⎭<br />

+ s<br />

LC x<br />

⎫<br />

⎬<br />

⎭<br />

(2.110.b)<br />

atau<br />

sehingga<br />

+ −s<br />

LC x<br />

− + s LC x<br />

( Z r − Zc<br />

) V ( s)<br />

e = ( Zc<br />

+ Zr<br />

) V ( s)<br />

e (2.110.c)<br />

− + s LC x ( Zr<br />

− Zc<br />

) + −s<br />

LC x<br />

V ( s)<br />

e = V ( s)<br />

e<br />

( Zc<br />

+ Zr<br />

)<br />

(2.110.d)<br />

Persamaan (2.23.d) memperlihatkan bahwa di ujung saluran<br />

terdapat gelombang mundur yang merambat balik menuju ujung<br />

kirim. Inilah gelombang pantulan yang terjadi di ujung saluran.<br />

Besar gelombang pantulan ini adalah suatu faktor k r dikalikan<br />

besar gelombang maju. Faktor k r itu adalah<br />

( Zr<br />

− Zc)<br />

k r = (2.110.e)<br />

( Zc<br />

+ Zr<br />

)<br />

110 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Saluran Transmisi<br />

2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan<br />

Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan<br />

akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan<br />

datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang<br />

memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s<br />

menjadi<br />

+ −s<br />

LC x − + s LC x<br />

V ( x,<br />

s)<br />

= V ( s)<br />

e + V ( s)<br />

e<br />

+ −s<br />

LC x ( Zr<br />

− Zc)<br />

+ −s<br />

LC x<br />

= V ( s)<br />

e + V ( s)<br />

e<br />

( Zc<br />

+ Zr<br />

)<br />

(2.111)<br />

Persamaan (2.111) ini menunjukkan bahwa gelombang tegangan<br />

di setiap posisi saluran transmisi merupakan superposisi dari<br />

gelombang maju dan gelombang pantulan. Besar gelombang<br />

pantulan sama dengan besar gelombang maju dengan faktor skala<br />

k<br />

yang disebut koefisien pantulan.<br />

( Zr<br />

− Zc)<br />

k r =<br />

( Zc<br />

+ Zr<br />

)<br />

Koefisien pantulan ini bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Jika k<br />

= 0, yaitu jika Z r = Zc<br />

, tidak terjadi pantulan di ujung saluran;<br />

hanya ada gelombang maju. Seandainya gelombang maju ini<br />

adalah gelombang sinusoidal, yaitu gelombang yang ter-injeksi ke<br />

saluran transmisi pada waktu penutupan circuit breaker di ujung<br />

kirim, maka hanya gelombang inilah yang ada di semua posisi<br />

pada saluran transmisi. Hal ini berarti bahwa tegangan di semua<br />

posisi sama besar; inilah situasi yang kita ulas pada surge<br />

impedance loading di sub-bab-2.6.6<br />

2.7.7 Pantulan di Ujung Kirim<br />

Gelombng patulan di ujung terima, setibanya di ujung kirim akan<br />

dipantulkan oleh ujung kirim karena ada perbedaan impedansi<br />

karakteristirk saluran dengan impedansi sumber. Gelombang yang<br />

dipantulkan di ujung kirim akanmerambat ke ujung terima dan<br />

sesampai di ujung terima akan dipantulkan lagi menuju ujung<br />

111


Saluran Transmisi<br />

kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang<br />

pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah<br />

Z s adalah impedansi ujung kirim.<br />

( Zs<br />

− Zc)<br />

k s = (2.112)<br />

( Zc<br />

+ Zs<br />

)<br />

112 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

BAB 3 Transformator<br />

3.1. Transformator Satu-fasa<br />

Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam<br />

sistem komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi<br />

audio sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan.<br />

Kita mengenal misalnya input transformers, interstage transformers,<br />

output transformers pada rangkaian radio dan televisi.<br />

Transformator juga dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk<br />

penyesuaian impedansi agar tercapai transfer daya maksimum.<br />

Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />

berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan<br />

transformator tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat<br />

dilakukan dalam jarak jauh dan susut daya pada jaringan dapat<br />

ditekan. Di jaringan distribusi listrik banyak digunakan<br />

transformator penurun tegangan, dari tegangan menengah 20 kV<br />

menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan kantor-kantor<br />

pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada umumnya<br />

merupakan transformator tiga-fasa. Dalam pembahasan ini kita akan<br />

melihat transformator satu-fasa lebih dulu.<br />

Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />

rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak<br />

ideal sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan<br />

membahas hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan<br />

dipelajari secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesinmesin<br />

listrik.<br />

Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal<br />

untuk mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun<br />

konversi energi elektromekanik membahas konversi energi antara<br />

sistem mekanik dan sistem listrik, sedangkan transformator<br />

merupakan piranti konversi energi listrik ke listrik, akan tetapi<br />

kopling antar sistem dalam kedua hal tersebut pada dasarnya sama<br />

yaitu kopling magnetik<br />

113


Transformator<br />

3.1.1. Teori Operasi Transformator<br />

3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban.<br />

Diagram transformator<br />

dua belitan tak<br />

I f<br />

φ<br />

berbeban diperlihatkan<br />

pada Gb.3.1. Belitan<br />

+<br />

+<br />

pertama kita sebut<br />

∼<br />

belitan primer dan yang<br />

V E N 1 N 2<br />

s 1<br />

E2<br />

−<br />

−<br />

ke-dua kita sebut<br />

belitan sekunder.<br />

Gb.3.1. Transformator dua belitan.<br />

Jika fluksi di rangkaian<br />

magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />

, maka fluksi ini akan<br />

menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />

atau dalam bentuk fasor :<br />

dφ<br />

e1 = N1<br />

= N1Φ<br />

maksωcos<br />

ωt<br />

(3.1)<br />

dt<br />

o N1ωΦ<br />

maks o<br />

E1 = E1∠0 =<br />

∠0<br />

; E1<br />

= nilai efektif<br />

2<br />

(3.2)<br />

Karena ω = 2π f maka:<br />

E<br />

2π<br />

f<br />

N<br />

1<br />

1 = Φ maks = 4.44 f N1<br />

2<br />

Φ<br />

maks<br />

(3.3)<br />

Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan<br />

sebesar<br />

E<br />

2<br />

= 4.44 f N 2Φ<br />

Dari (3.3) dan (3.4) kita peroleh:<br />

E<br />

E<br />

1<br />

2<br />

maks<br />

N1<br />

= ≡ a = rasio<br />

N<br />

2<br />

transformasi<br />

(3.4)<br />

(3.5)<br />

114 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan<br />

oleh fluksi yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o<br />

maka E 2 juga mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio<br />

transformasi a = 1, dan resistansi belitan primer adalah R 1 ,<br />

diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti ditunjukkan oleh<br />

Gb.3.2.a. Arus I 1 adalah arus magnetisasi, yang dapat dipandang<br />

sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90 o dibelakang E 1 )<br />

yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E 1 ) guna mengatasi<br />

rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam diagram fasor ini muncul<br />

sebagai tegangan jatuh I f R1<br />

.<br />

I φ<br />

I c<br />

E 1 = E 2<br />

φ l<br />

E 1 = E<br />

I<br />

2<br />

f R 1<br />

V<br />

I φ<br />

1<br />

I<br />

I f<br />

I<br />

f R 1<br />

f<br />

φ<br />

φ<br />

a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />

Gb.3.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />

3.1.1.2. Fluksi Bocor<br />

Fluksi di belitan<br />

primer<br />

transformator<br />

dibangkitkan oleh<br />

arus yang mengalir<br />

di belitan primer.<br />

Dalam kenyataan,<br />

tidak semua fluksi<br />

magnit yang<br />

dibangkitkan<br />

tersebut akan<br />

V s<br />

∼<br />

I f<br />

f X l<br />

melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara<br />

fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi<br />

bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut<br />

fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja<br />

I c<br />

φ l1<br />

φ<br />

V 1<br />

Gb.3.3. Transformator tak berbeban.<br />

Fluksi bocor belitan primer.<br />

jI<br />

E 2<br />

115


Transformator<br />

dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga<br />

melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang<br />

dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara.<br />

Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis<br />

sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini<br />

ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b.<br />

Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan<br />

induksi di belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ).<br />

Tegangan induksi ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E1<br />

90 o<br />

mendahului φ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh<br />

ekivalen, E l1<br />

, di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai<br />

E l 1 = jI f X 1<br />

(3.6)<br />

dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan<br />

tegangan dan arus di rangkaian primer menjadi<br />

V +<br />

1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

jI1X1<br />

(3.7)<br />

Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini<br />

adalah Gb.3.2.b.<br />

3.1.1.3. Transformator Berbeban.<br />

Rangkaian<br />

I 1<br />

φ<br />

transformator<br />

I 2<br />

berbeban resistif,<br />

R B , diperlihatkan ≈<br />

φ l1 φ l2<br />

V R B<br />

oleh Gb.3.4. V 2<br />

s<br />

Tegangan induksi<br />

E 2 (yang telah<br />

timbul dalam<br />

Gb.3.4. Transformator berbeban.<br />

keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di<br />

rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2<br />

ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi<br />

bersama φ dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor<br />

sekunder).<br />

116 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan<br />

tegangan E l2<br />

di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 .<br />

Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan El2<br />

ini diganti<br />

dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />

reaktansi bocor sekunder X 2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi<br />

belitan sekunder adalah R 2 , maka untuk rangkaian sekunder kita<br />

peroleh hubungan<br />

E 2 = V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ El2<br />

= V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ jI<br />

2 X 2 (3.8)<br />

dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />

Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi<br />

yang melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan<br />

cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi<br />

di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena<br />

belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak<br />

berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam<br />

keadaan transformator tidak berbeban hanyalah arus magnetisasi<br />

I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />

Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi<br />

bersama φ dipertahankan dan E1<br />

juga tetap seperti semula.<br />

Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (3.7) tetap<br />

terpenuhi.<br />

Pertambahan arus primer dari<br />

I f menjadi I 1 adalah untuk<br />

mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ<br />

dipertahankan. Jadi haruslah<br />

( I − I ) − N ( I ) 0<br />

N1 1 f 2 2 =<br />

(3.9)<br />

Pertambahan arus primer ( I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang<br />

yang akan mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin<br />

besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin<br />

besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya<br />

dari primer ke sekunder. Dari (3.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />

( I )<br />

N 2 I 2<br />

I f = I1<br />

− 2 = I1<br />

−<br />

(3.10)<br />

N1<br />

a<br />

117


Transformator<br />

3.1.2. Diagram Fasor Transformator<br />

Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan<br />

secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator.<br />

Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkahlangkah:<br />

Gambarkan V2<br />

dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan<br />

V 2 . Selain itu kita dapat gambarkan I ′ 2 = I 2 / a yaitu besarnya<br />

arus sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />

Dari V 2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan<br />

persamaan (3.8) yaitu<br />

E 2 = V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ El2<br />

= V2<br />

+ I 2 R2<br />

+ jI<br />

2 X 2<br />

Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />

sekunder.<br />

Untuk rangkaian primer, karena E1<br />

sefasa dengan E 2 maka<br />

E 1 dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2<br />

.<br />

Untuk menggambarkan arus magnetisasi<br />

I f kita gambarkan<br />

lebih dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita<br />

gambarkan I f yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ.<br />

'<br />

Selanjutnya arus belitan primer adalah I 1 = I f + I 2 .<br />

Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi<br />

sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu<br />

V 1 = E1<br />

+ I1R1<br />

+ El1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X<br />

Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator<br />

berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud,<br />

yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N 1 /N 2 = a > 1<br />

118 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

φ γ I f<br />

'<br />

I 2<br />

I 1<br />

I 2<br />

V 2<br />

E 2<br />

I 2 R 2<br />

jI 2 X 2<br />

E 1<br />

V 1<br />

I 1 R 1<br />

Gb.3.5. Diagram fasor lengkap,<br />

transformator berbeban resistif . a > 1<br />

jI 1 X 1<br />

CONTOH-3.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat<br />

untuk tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan<br />

ini dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />

besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />

terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa<br />

persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55<br />

V (rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah<br />

pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />

pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />

sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />

tersebut di atas?<br />

Solusi :<br />

a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />

adalah<br />

E1<br />

2 V1<br />

2 220 2<br />

Φ m = = =<br />

N1ω<br />

N1ω<br />

160ω<br />

Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />

V1′<br />

2 110 2<br />

Φ′ m = =<br />

N1ω<br />

160ω<br />

Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />

b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

Φ m ′′<br />

V1′′<br />

2 55 2<br />

= =<br />

(1/ 2) N1ω<br />

80ω<br />

110 2<br />

=<br />

160ω<br />

119


Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />

Transformator<br />

c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />

V ′′′<br />

Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />

m = = =<br />

(1/ 2) N1ω<br />

80ω<br />

160ω<br />

Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />

d). Dengan N 1 /N 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />

tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />

pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />

Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />

tegangan sekunder adalah 55 V.<br />

CONTOH-3.2 : Sebuah transformator satu-fasa mempunyai belitan<br />

primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />

penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />

dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />

tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />

belitan sekunder.<br />

Solusi :<br />

Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />

N1ωΦ<br />

V1<br />

=<br />

2<br />

m<br />

→ Kerapatan<br />

= 500 → Φ<br />

m<br />

fluksi maksimum : B<br />

500 2<br />

=<br />

= 0.00563 weber<br />

400 × 2π × 50<br />

m<br />

0.00563<br />

2<br />

= = 0.94 weber/m<br />

0.006<br />

Tegangan belitan sekunder adalah<br />

1000<br />

V 2 = × 500 = 1250<br />

400<br />

V<br />

CONTOH-3.3 : Dari sebuah transformator satu-fasa diinginkan<br />

suatu perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />

berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />

dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan<br />

jumlah lilitan primer dan sekunder.<br />

120 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Solusi :<br />

Transformator<br />

Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />

mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />

N1ωΦ<br />

m<br />

6000 2<br />

V1<br />

= = 6000 → N1<br />

=<br />

= 450<br />

2<br />

2π × 50 × 0.06<br />

250<br />

⇒ N 2 = × 450 = 18.75<br />

6000<br />

Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />

pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />

terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />

6000<br />

⇒ N 2 = 20 lilitan ⇒ N1<br />

= × 20 = 480 lilitan<br />

250<br />

3.1.3. Rangkaian Ekivalen Transformator<br />

Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti<br />

listrik biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik<br />

ekivalen yang sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah<br />

penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan<br />

matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk<br />

transformator, ada tiga persamaan yang menggambarkan<br />

perilakunya, yaitu persamaan (3.7), (3.8), dan (3.10), yang kita<br />

tulis lagi sebagai satu set persamaan (3.11).<br />

V1<br />

= E1<br />

+ I1R1<br />

+ jI1X1<br />

;<br />

'<br />

I1<br />

= I f + I2<br />

E2<br />

= V2<br />

+ I2R2<br />

+ jI2X<br />

2 ;<br />

' N2<br />

I<br />

dengan I<br />

2<br />

2 = I2<br />

=<br />

N1<br />

a<br />

(3.11)<br />

Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan kedua<br />

dari (3.11) dapat ditulis sebagai<br />

E<br />

a<br />

⇒ E<br />

1<br />

1<br />

= V<br />

2<br />

= aV<br />

2<br />

dengan<br />

+ a I′<br />

R<br />

+ I′<br />

( a<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

V ′ = aV<br />

+ ja I′<br />

X<br />

2<br />

2<br />

;<br />

2<br />

2<br />

R′<br />

2<br />

2<br />

R ) + j I′<br />

( a<br />

X<br />

= a<br />

2<br />

2<br />

) = V′<br />

+ I′<br />

R′<br />

+ j I′<br />

X ′<br />

R<br />

2<br />

2<br />

;<br />

2<br />

X ′<br />

2<br />

2<br />

= a<br />

2<br />

X<br />

2<br />

2<br />

2 (3.12)<br />

121


Transformator<br />

Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi<br />

V = E + I R<br />

E<br />

I<br />

1<br />

1<br />

1<br />

= I<br />

1<br />

= aV<br />

f<br />

2<br />

1<br />

2<br />

2<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

+ I′<br />

R′<br />

+ j I′<br />

X ′ ;<br />

+ I′<br />

+ jI<br />

X<br />

2<br />

;<br />

2<br />

(3.13)<br />

'<br />

I 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder<br />

yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah<br />

rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.<br />

I 1<br />

'<br />

I 2<br />

∼<br />

V 1<br />

R 1<br />

jX 1<br />

E 1<br />

Z<br />

I<br />

f<br />

R′ 2<br />

jX′ 2<br />

B<br />

V<br />

'<br />

2 = aV2<br />

Gb.3.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (3.13).<br />

Arus magnetisasi dapat dipandang sebagai terdiri dari dua<br />

komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa dengan E 1 sedangkan I φ 90 o<br />

dibelakang E 1 . Dengan demikian maka impedansi Z pada<br />

rangkaian ekivalen Gb.3.6. dapat dinyatakan sebagai hubungan<br />

paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />

sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil<br />

menjadi seperti Gb.3.7.<br />

I 1<br />

'<br />

I 2<br />

∼<br />

V 1<br />

R 1<br />

jX 1 I f R′ 2<br />

jX′ 2<br />

E 1<br />

B V2′<br />

= aV2<br />

R I<br />

I φ<br />

c c jX c<br />

Gb.3.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.<br />

Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator<br />

yang digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan<br />

frekuensi yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada<br />

sistem tenaga listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />

sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Keadaan ini<br />

bisa dicapai karena inti transformator dibangun dari material<br />

122 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f<br />

diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup<br />

kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi<br />

lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.<br />

'<br />

I 1 = I 2<br />

∼<br />

R e = R 1 +R′ 2<br />

jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />

V B V<br />

1<br />

2′<br />

3.1.4. Impedansi Masukan Transformator<br />

Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer<br />

resistansi tersebut menjadi<br />

R<br />

'<br />

jI 2 X e<br />

V 2′<br />

'<br />

I 2<br />

Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator<br />

disederhanakan dan diagram fasornya.<br />

V ′<br />

aV<br />

V<br />

2 2 2<br />

B′ 2 2<br />

= = = a = a R B<br />

(3.14)<br />

I 2′<br />

I 2 / a I 2<br />

Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan<br />

Gb.16.10, impedansi masukan adalah<br />

V 1<br />

V1<br />

2<br />

Z in = = Re<br />

+ a RB<br />

+ jX e<br />

I1<br />

(3.15)<br />

3.1.5. Penentuan Parameter Transformator<br />

Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.3.7. terlihat ada enam<br />

parameter transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 ,<br />

R c , dan X φ . Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur<br />

langsung menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan<br />

empat parameter yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti<br />

diuraikan berikut ini.<br />

123


Transformator<br />

3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol )<br />

Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah<br />

karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan<br />

rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi<br />

masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi<br />

tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan<br />

pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan daya<br />

(aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />

magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />

pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan<br />

tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan<br />

tegangan induksi E r . Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan<br />

kehilangan daya di resistansi belitan sehingga P r menunjukkan<br />

kehilangan daya pada R cr (R c dilihat dari sisi tegangan rendah)<br />

saja.<br />

Daya kompleks masukan :<br />

⇒<br />

⇒<br />

Icr<br />

= I r cos θ<br />

Vr<br />

Rcr<br />

=<br />

Icr<br />

;<br />

Vr<br />

=<br />

I r cos θ<br />

Pr<br />

Sr<br />

= Vr<br />

I r ; cos θ =<br />

Sr<br />

→ sin θ =<br />

I φr<br />

= I r sin θ<br />

3.1.5.2. Uji Hubung Singkat<br />

;<br />

Vr<br />

X φr<br />

=<br />

I φr<br />

2 2<br />

Sr<br />

− Pr<br />

Sr<br />

Vr<br />

=<br />

I r sin θ<br />

Pr<br />

=<br />

Vr<br />

I r<br />

(3.16)<br />

Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan tinggi dengan si`si<br />

tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan tinggi menjadi<br />

sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />

Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan<br />

rendah masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan<br />

tegangan tinggi dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu<br />

tegangan masukan V t , arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan<br />

P t . Tegangan masukan yang dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi<br />

inti menjadi kecil sehingga kita dapat membuat pendekatan<br />

dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan demikian kita dapat<br />

menggunakan rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.3.9.<br />

Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk mengatasi rugi-rugi<br />

124 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat<br />

dari sisi tegangan tinggi R et .<br />

2<br />

Pt<br />

Pt<br />

= It<br />

Ret<br />

→ Ret<br />

= ;<br />

2<br />

It<br />

Vt<br />

Vt<br />

= It<br />

Zet<br />

→ Z et = → X e =<br />

It<br />

2 2<br />

Z et − Ret<br />

(3.17)<br />

Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />

resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan<br />

pengukuran terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />

Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak<br />

dapat memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masingmasing<br />

belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing<br />

belitan diperlukan kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 .<br />

Kondisi ini sesungguhnya benar adanya jika transformator<br />

dirancang dengan baik.<br />

CONTOH-3.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt,<br />

50 Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />

Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />

V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />

Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />

belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />

tegangan tinggi<br />

V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />

a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />

tinggi. b). Hitung rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada beban<br />

penuh.<br />

Solusi :<br />

a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c<br />

dan X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari<br />

tegangan rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />

2 2<br />

P 114<br />

(240×<br />

1.6) −114<br />

cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />

= 0.95<br />

VI 240×<br />

1.6<br />

240×<br />

1.6<br />

V 240 240<br />

V 240<br />

Rcr<br />

= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />

I c I cos θ 1.6×<br />

0.3<br />

I φ 1.6×<br />

0.95<br />

125


Transformator<br />

Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />

R<br />

X<br />

ct<br />

φt<br />

2<br />

= a R<br />

= a<br />

2<br />

cr<br />

X<br />

⎛<br />

= ⎜<br />

⎝<br />

φr<br />

2<br />

2400 ⎞<br />

⎟<br />

240 ⎠<br />

= 15.8 kΩ<br />

× 500 = 50 kΩ<br />

Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />

hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi<br />

tegangan tinggi ini memberikan<br />

R<br />

Z<br />

et<br />

et<br />

Pt<br />

=<br />

I<br />

2<br />

t<br />

V<br />

=<br />

I<br />

t<br />

t<br />

360<br />

=<br />

(10.4)<br />

=<br />

55<br />

10.4<br />

2<br />

= 3.33 Ω<br />

= 5.29 Ω<br />

→<br />

;<br />

X<br />

et<br />

=<br />

5.29<br />

2<br />

= 3.33<br />

2<br />

= 4.1Ω<br />

b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti<br />

transformator hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban<br />

nol. Jadi rugi-rugi inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt.<br />

Rugi-rugi tembaga tergantung dari besar arus. Besar arus primer<br />

pada beban penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi<br />

pada percobaan hubung singkat, yaitu<br />

S 25000 2<br />

I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />

= I1<br />

Ret<br />

= (10.4)<br />

2 × 3.33 = 360 W<br />

V1<br />

2400<br />

Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />

sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />

penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />

3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />

Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />

daya keluaran [watt]<br />

η =<br />

(3.18)<br />

daya masukan [watt]<br />

Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugirugi<br />

daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />

126 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

rugi - rugi daya [watt]<br />

η =1 −<br />

(3.19)<br />

daya masukan [watt]<br />

Formulasi (3.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator<br />

rugi-rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji<br />

hubung singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />

Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />

besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke<br />

beban nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />

V2 beban nol −V2 beban penuh<br />

Regulasi Tegangan =<br />

V2 beban penuh<br />

V1<br />

/ a − V2<br />

=<br />

V2<br />

V1<br />

− aV2<br />

=<br />

aV2<br />

V1<br />

− V2′<br />

=<br />

V2′<br />

(3.25)<br />

Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.16.9. maka (3.25)<br />

menjadi<br />

Regulasi Tegangan =<br />

V2 ′ + I′<br />

2 ( R e + jX e ) − V2′<br />

V2′<br />

(3.26)<br />

CONTOH-3.6 : Transformator pada Contoh-16.5. mencatu beban<br />

25 KVA pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b).<br />

Hitunglah regulasi tegangannya.<br />

Solusi :<br />

Total rugi daya : P<br />

a). Daya keluaran : P<br />

= 25000×<br />

0.8 = 20 KW<br />

0.474<br />

Efisiensi : η = 1−<br />

= 0.976<br />

20<br />

o<br />

c + cu<br />

= 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />

atau<br />

97.6 %<br />

b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />

′ −1<br />

o<br />

I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />

o<br />

o<br />

2400∠0<br />

+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />

− 2400<br />

Reg. Tegangan =<br />

2400<br />

0.022 atau 2.2 %<br />

127


Transformator<br />

3.1.7. Konstruksi Transformator<br />

Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator<br />

dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah<br />

satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang<br />

lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi<br />

bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi<br />

dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan<br />

sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder<br />

berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat<br />

ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama.<br />

Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />

lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang<br />

tentu lebih tinggi.<br />

N R / 2 N R / 2<br />

N T / 2<br />

N T / 2<br />

N R / 4<br />

N T / 2<br />

N R / 2<br />

N T / 2<br />

N R / 4<br />

a). tipe inti.<br />

a). tipe sel.<br />

Gb.3.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />

N T : jumlah lilitan tegangan tinggi; N R : jumlah lilitan tegangan<br />

rendah.<br />

Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satufasa<br />

adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.3.9.a.<br />

memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan<br />

sekunder yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung<br />

dekat dengan inti yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan<br />

tinggi. Konstruksi ini sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah<br />

isolasi lebih mudah ditangani. Gb.3.9.b. memperlihatkan<br />

konstruksi tipe sel. Konstruksi ini sesuai untuk transformator daya<br />

dengan arus besar. Inti pada konstruksi ini memberikan<br />

perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />

128 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

3.2. Transformator Pada <strong>Sistem</strong> Tiga-fasa<br />

Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat<br />

dilakukan dengan dua cara yaitu :<br />

(a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa,<br />

(b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa.<br />

Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap<br />

kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran<br />

daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan<br />

lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga<br />

unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit<br />

transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan<br />

dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya<br />

beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat<br />

dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika<br />

penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah<br />

satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya.<br />

Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai<br />

pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />

sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />

transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui<br />

tiga unit transformator satu-fasa.<br />

3.2.1. Hubungan ∆−∆<br />

Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk<br />

melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan<br />

agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan<br />

pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan<br />

fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita<br />

sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa<br />

sekunder kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai<br />

tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita<br />

sebut V LP dan V LS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masingmasing<br />

kita sebut I LP dan I LS sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS .<br />

Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder V / V a .<br />

FP FS =<br />

Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />

129


V<br />

V<br />

LS<br />

Transformator<br />

VFP<br />

I LP I FP 3<br />

= = a ; = =<br />

(3.27)<br />

V I I 3 a<br />

LP 1<br />

U<br />

V<br />

FP<br />

LS<br />

V UO V XO<br />

FS<br />

X<br />

Y<br />

V VO<br />

V YO<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V UV = V UO<br />

V XY = V XO<br />

Gb.3.10. Hubungan ∆-∆.<br />

3.2.2. Hubungan ∆-Y<br />

Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan fasa-fasa<br />

pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan tegangan<br />

fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />

dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi<br />

kita peroleh<br />

V<br />

V<br />

I<br />

I<br />

LP<br />

LS<br />

LP<br />

LS<br />

V<br />

=<br />

V<br />

FS<br />

I<br />

=<br />

I<br />

FP<br />

FP<br />

FS<br />

3<br />

=<br />

3<br />

=<br />

a<br />

3<br />

3<br />

a<br />

Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />

(3.28)<br />

130 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

U<br />

X<br />

V<br />

V UO<br />

V XO<br />

Y<br />

V VO<br />

V YO<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V UV = V UO<br />

V ZO<br />

V XY<br />

V XO<br />

V YO<br />

Gb.3.11. Hubungan ∆-Y<br />

3.2.3. Hubungan Y-Y<br />

Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.12. Tegangan fasa-fasa<br />

pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan<br />

perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />

dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut<br />

fasa 30 o . Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder<br />

adalah<br />

V<br />

V<br />

I<br />

I<br />

LP<br />

LS<br />

LP<br />

LS<br />

V<br />

=<br />

V<br />

I<br />

=<br />

I<br />

FP<br />

FS<br />

FP<br />

FS<br />

3<br />

= a<br />

3<br />

1<br />

=<br />

a<br />

(3.29)<br />

Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />

perbedaan sudut fasa.<br />

131


Transformator<br />

U<br />

X<br />

V UO<br />

V XO<br />

V<br />

Y<br />

V VO<br />

V YO<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V WO<br />

V UV<br />

V ZO<br />

V XY<br />

V UO<br />

V XO<br />

V VO<br />

V YO<br />

Gb.3.12. Hubungan Y-Y<br />

3.2.4. Hubungan Y-∆<br />

Hubungan ini terlihat pada Gb.3.13. Tegangan fasa-fasa pimer<br />

sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut<br />

fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan<br />

tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi diperoleh<br />

V<br />

V<br />

I<br />

I<br />

LP<br />

LS<br />

LP<br />

LS<br />

V<br />

=<br />

V<br />

FP<br />

I<br />

=<br />

V<br />

FS<br />

FS<br />

FP<br />

3<br />

= a 3<br />

1<br />

=<br />

3<br />

3<br />

a<br />

Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />

(3.30)<br />

132 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

U<br />

V<br />

V UO<br />

V VO<br />

V XO<br />

V YO<br />

X<br />

Y<br />

V WO<br />

V ZO<br />

V WO<br />

V UV<br />

V XY = V XO<br />

V UO<br />

V ZO<br />

V YO<br />

V VO<br />

Gb.3.13. Hubungan Y-∆<br />

CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />

tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />

mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />

tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />

untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />

(d) Y-∆ .<br />

Solusi :<br />

a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

= = = = 550 V ;<br />

a a 12<br />

I LP<br />

I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />

3<br />

b). Untuk hubungan Y-Y :<br />

VFP<br />

VLP<br />

3 6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

3 = 3 = = = 550 V ;<br />

a 3 a 12<br />

I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.<br />

133


Transformator<br />

c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />

VFP<br />

VLP<br />

6600<br />

VLS<br />

= VFS<br />

3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />

a a 12<br />

I LP 10<br />

I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />

3 3<br />

d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />

VFP<br />

1 VLP<br />

VLS<br />

= VFS<br />

= = =<br />

a a 3<br />

I<br />

LS<br />

= I<br />

FS<br />

3 = aI<br />

FP<br />

3 = aI<br />

1<br />

12<br />

LP<br />

6600<br />

= 318 V ;<br />

3<br />

3 = 12 × 10 ×<br />

3 = 208 A .<br />

Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan<br />

daya masukan.<br />

S keluaran<br />

= Smasukan<br />

= VLP<br />

I LP<br />

3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />

3.3. Transformator Tiga Belitan<br />

3.3.1. Transformator Ideal Tiga Belitan<br />

Hubungan belitan primer, sekunder, dan tertier tansformator satufasa<br />

tiga belitan terlihat pada Gb.3.14. Konvensi titik kita gunakan<br />

di sini.<br />

+<br />

I 2<br />

I 1 +<br />

N 2 V<br />

− 2<br />

V 1 N 1<br />

+<br />

I 3<br />

−<br />

N 3 V 3<br />

−<br />

Gb.3.14. Hubungan belitan transformator tiga belitan.<br />

Indeks 1, 2, 3 menunjukkan primer, sekunder, tertier.<br />

V 1 , V2<br />

, V3<br />

: tegangan.<br />

I 1 , I2,<br />

I3<br />

: arus, digambarkan masuk pada ujung belitan<br />

yang bertanda titik.<br />

N 1 , N2,<br />

N3<br />

: jumlah lilitan.<br />

134 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan<br />

transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah<br />

lilitan adalah:<br />

V<br />

V<br />

1<br />

2<br />

N<br />

=<br />

N<br />

1<br />

2<br />

;<br />

V<br />

V<br />

2<br />

3<br />

N<br />

=<br />

N<br />

2<br />

3<br />

;<br />

V<br />

V<br />

1<br />

3<br />

N<br />

=<br />

N<br />

1<br />

3<br />

(3.31)<br />

Kita juga menganggap tidak terjadi fluksi bocor dan permeabilitas<br />

magnetik inti inti yang sempurna, sehingga<br />

N 1 I1<br />

+ N 2I<br />

2 + N3I3<br />

= 0<br />

(3.32)<br />

Contoh-3.8: Sebuah transformator tiga belitan (Gb.3.14), memiliki<br />

jumlah lilitan N 1 = 1000,<br />

N 2 = 500, N3<br />

= 2000 .Belitan primer<br />

o<br />

terhubung ke sumber tegangan ideal, V 1 = 1000∠0<br />

V . Belitan<br />

sekunder terhubung ke resistor 20 Ω. Belitan tertier terhubung ke<br />

induktor dengan reaktansi 100 Ω. Hitung arus dan daya di belitan<br />

primer, I 1 dan S 1.<br />

Solusi:<br />

Arus di belitan primer dapat dihitung setelah arus di belitan<br />

sekunder dan tertier diperoleh; arus-arus ini adalah arus beban.<br />

V<br />

2<br />

N<br />

=<br />

N<br />

2<br />

1<br />

N<br />

V<br />

3<br />

3 =<br />

N<br />

1<br />

V<br />

1<br />

=<br />

500<br />

1000<br />

× 1000∠0<br />

2000<br />

V1<br />

= × 1000∠0<br />

1000<br />

o<br />

o<br />

= 500∠0<br />

o<br />

= 2000∠0<br />

Dengan referensi arah arus seperti tergambar pada Gb.16.1, kita<br />

dapatkan<br />

o<br />

V2<br />

500∠0<br />

o<br />

− I2<br />

= = = 25∠0<br />

= 25 + j0<br />

A<br />

Z<br />

o<br />

2 20∠0<br />

o<br />

V3<br />

2000∠0<br />

o<br />

− I3<br />

= = = 20∠ − 90 = 0 − j20<br />

A<br />

Z<br />

o<br />

3 100∠90<br />

Arus di belitan primer dihitung dengan menggunakan formulasi<br />

(3.32) adalah<br />

o<br />

V<br />

V<br />

135


Transformator<br />

N I<br />

1 1<br />

⇒ I<br />

+ N I<br />

1<br />

2<br />

2<br />

− N<br />

=<br />

+ N I<br />

2<br />

1<br />

3 3<br />

I2<br />

− N3I<br />

N<br />

= 0<br />

= 12,5 − j40<br />

= 41,9∠ − 72,6<br />

3<br />

500×<br />

25 + 2000×<br />

( − j20)<br />

=<br />

1000<br />

Daya kompleks yang masuk di belitan adalah<br />

∗<br />

o<br />

S 1 = V1<br />

I1<br />

= 1000∠0<br />

× 41,9∠ + 72,6 = 41,9∠72,6<br />

o<br />

o<br />

A<br />

o<br />

kVA<br />

Karena kita menganggap transformator ideal, tidak ada rugi-rugi<br />

daya pada transformator, daya masuk di belitan primer harus<br />

sama dengan jumlah daya keluar dari belitan sekunder dan<br />

tertier. Kita jakinkan hal itu sebagai berikut<br />

S<br />

S<br />

2<br />

3<br />

⇒ S<br />

= V<br />

( −I<br />

= V ( −I<br />

2<br />

2<br />

3<br />

+ S<br />

3<br />

∗<br />

2)<br />

∗<br />

3)<br />

= 500∠0<br />

o<br />

= 2000∠0<br />

Ternyata benar S 2 + S3<br />

= S1<br />

× 25 = 12500 VA<br />

o<br />

× 20∠ + 90<br />

= j40000<br />

VA<br />

= 12500 + j40000<br />

= 41900 VA = 41,9 kVA<br />

o<br />

3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan<br />

Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung<br />

impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita<br />

nyatakan sebagai Z 1 = R1<br />

+ jX1<br />

, Z 2 = R2<br />

+ jX 2 , dan<br />

Z 3 = R3<br />

+ jX3<br />

. Selain itu terdapat rugi-rugi inti yang dalam<br />

rangkaian dinyatakan dengan cabang parallel R φ dan X φ . Jika<br />

elemen-elemen ini tidak kita abaikan dan kita nyatakan juga dalam<br />

per-unit, maka rangkaian pada Gb.3.14. akan berbentuk seperti<br />

Gb.3.15.<br />

136 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


2<br />

I 1<br />

1<br />

2 X 2 I 2<br />

4<br />

+<br />

1 X 1<br />

3<br />

o ∼<br />

1∠0<br />

3 X 3<br />

R<br />

I<br />

φ X φ<br />

3<br />

−<br />

j1, 25<br />

Gb.3.15. Rangkaian transformator nyata satu-fasa<br />

tiga belitan.<br />

Transformator<br />

Contoh-3.9: [1] Hitunglah I 1 pada contoh-3.8 jika diketahui pula<br />

Solusi:<br />

R = R<br />

X<br />

R<br />

1<br />

1<br />

φ<br />

2<br />

= X<br />

= X<br />

φ<br />

= R<br />

2<br />

3<br />

= X<br />

= ∝<br />

= 0,01 pu<br />

3<br />

= 0,03 pu<br />

Dengan R φ = X φ = ∝ , jika kita melihat ke belitan primer, kita<br />

dapatkan<br />

( R2<br />

+ jX 2 + 4) ( R3<br />

+ jX 3 + j1,25)<br />

Z1<br />

pu = R1<br />

+ jX1<br />

+<br />

( R2<br />

+ jX 2 + 4) + ( R3<br />

+ jX 3 + j1,25)<br />

(4,01 + j0,03)<br />

(0,01+<br />

j1,28)<br />

= 0,01+<br />

j0,03<br />

+<br />

(4,02 + j1,31)<br />

o<br />

= 0,38654 + j1,184<br />

= 1,245∠71,92<br />

Maka<br />

o<br />

1 o<br />

V1<br />

∠0<br />

I 1pu<br />

= =<br />

= 0,803∠<br />

− 71,92<br />

Z<br />

o<br />

1,245∠71,92<br />

1<br />

pu<br />

Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan<br />

o<br />

traformator ideal yang memberikan I 1 = 0,838∠<br />

− 72,6 pu .<br />

Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita<br />

∗<br />

tinjau dari sisi daya dimana S = V I berarti pula ada perbedaan<br />

daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup<br />

besar.<br />

137


Transformator<br />

3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga<br />

Transformator Satu-fasa<br />

Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat<br />

menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan.<br />

Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu<br />

memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi<br />

dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan<br />

primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan<br />

tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau ∆. Pada<br />

diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga<br />

belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer<br />

terhubung ∆, sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian<br />

ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung ∆ mencatu<br />

beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis<br />

tersebut.<br />

Generator<br />

G<br />

beban<br />

∆<br />

1<br />

2<br />

3 Y<br />

∆<br />

CB<br />

Saluran transmisi<br />

Gb.3.16. Penggalan diagram satu garis Gb.1.11 untuk<br />

memperlihatkan hubungan transformator tiga-fasa tiga belitan.<br />

3.4.1. Tinjauan Pada Sisi Primer Terhubung Y, dengan Netral<br />

Ditanahkan Melalui Impedansi<br />

Kita akan melihat belitan primer terlebih dulu, dengan<br />

menganggap belitan sekunder dan belitan tertier terbuka. Pada<br />

Gb.3.16. belitan ini terhubung ∆. Namun dalam pembahasan<br />

transformator ini kita akan melihat sisi primer yang terhubung Y<br />

lebih dulu dengan titik netral yang dihubungkan ke tanah melalui<br />

sebuah impedansi. Karena sisi sekunder dan tersier terbuka, maka<br />

setiap transformator satu-fasa yang tersedia (untuk dibangun<br />

menjadi transformator tiga-fasa) mempunyai diagram rangkaian<br />

seperti pada Gb.3.17.<br />

138 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

I 1<br />

1<br />

+ R 1 X 1<br />

2<br />

3<br />

V 1<br />

R φ<br />

X φ<br />

Gb.3.17. Sisi primer transformator satu-fasa tiga belitan dengan<br />

sisi sekunder dan tersier terbuka.<br />

Dari terminal primer terlihat impedansi, yang kita sebut impedansi<br />

fasa primer Z f1 , sebesar<br />

Z f 1 = Z 1 + Z φ = R 1 + jX 1 + Z φ<br />

(3.33)<br />

dengan<br />

Rφ<br />

× jX φ<br />

Z φ =<br />

(3.34)<br />

Rφ<br />

+ jX φ<br />

Impedansi Z f1 inilah kita hubungkan Y membentuk sisi primer<br />

transformator tiga-fasa. Dalam membentuk hubungan Y ini, di<br />

titik netral kita sambungkan satu impedansi Z n1 untuk<br />

pentanahan. Dengan demikian kita memperoleh rangkaian tigafasa<br />

abc seperti terliht pada Gb.3.18.<br />

a<br />

Z f 1<br />

Va1<br />

b<br />

Z f 1<br />

V b1<br />

V c1<br />

n<br />

Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa<br />

tiga belitan.<br />

Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah<br />

c<br />

Z n1<br />

Z f 1<br />

139


⎡V<br />

⎢<br />

⎢V<br />

⎢<br />

⎣<br />

V<br />

a1<br />

b1<br />

c1<br />

⎤ ⎡(<br />

Z<br />

⎥ ⎢<br />

⎥ = ⎢<br />

⎥ ⎢<br />

⎦ ⎣<br />

f 1<br />

Z<br />

Z<br />

+ Z<br />

n1<br />

n1<br />

n1<br />

)<br />

( Z<br />

Z<br />

f 1<br />

Z<br />

n1<br />

+ Z<br />

n1<br />

n1<br />

)<br />

Transformator<br />

Z n1<br />

⎤ ⎡I<br />

a1<br />

⎤<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

Z n1<br />

⎥ ⎢Ib1<br />

⎥ (3.35)<br />

( Z + ⎥ ⎢ ⎥<br />

f 1 Z n1<br />

)<br />

⎦ ⎣<br />

Ic1<br />

⎦<br />

Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,<br />

kita peroleh<br />

[ ]<br />

−1<br />

[ Z ] = [ T] [ Z ] [ T]<br />

012 1 abc 1<br />

⎡ ( Z f 1 + 3Z<br />

n1<br />

) 0 0 ⎤<br />

⎢<br />

⎥<br />

Z 012 primer = ⎢ 0 Z f 1 0 ⎥ (3.36.a)<br />

⎢<br />

⎥<br />

⎣<br />

0 0 Z f 1)<br />

⎦<br />

Catatan: indeks 012 yang menunjukkan impedansi urutan, ditulis<br />

dengan huruf tebal untuk membedakan dengan indeks 1<br />

yang menunjuk pada belitan primer.<br />

3.4.2. Tinjauan Pada Sisi Sekunder dan Tersier Terhubung Y,<br />

dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi<br />

Persamaan (3.36.a) adalah impedansi urutan dilihat dari sisi<br />

primer. Jika kita memperlakukan sisi sekunder dan tersier sama<br />

seperti sisi primer, yaitu membuatnya terhubung Y dengan<br />

impedansi pada titik netralnya, kita akan mendapatkan rangkaian<br />

belitan sekunder dan tersier seperti terlihat pada Gb.3.19. Pada<br />

gambar ini Z f2 dan Z f3 adalah impedansi fasa sekunder dan<br />

impedansi fasa tersier.<br />

Z f 2<br />

a<br />

Z f 3<br />

a<br />

Z f 2<br />

b<br />

V a2<br />

Z f 3<br />

b<br />

V a3<br />

Z f 2<br />

Z n2<br />

c<br />

n<br />

Sekunder<br />

V cs<br />

V b2<br />

Z f 3<br />

Z n3<br />

n<br />

Tersier<br />

Gb.3.19. Hubungan Y sisi sekunder dan tersier.<br />

c<br />

V c3<br />

V b3<br />

140 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada<br />

sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan<br />

tertier yaitu<br />

⎡ Z + 3Z<br />

0 0 ⎤<br />

[ ]<br />

Z 012 sekunder =<br />

[ ]<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

f 2<br />

0<br />

dan<br />

0<br />

n2<br />

⎡ Z f 3 + 3Zn3<br />

⎢<br />

Z 012 tersier = ⎢ 0<br />

⎢<br />

⎣<br />

0<br />

Z f 2<br />

0<br />

0<br />

Z f 3<br />

0<br />

⎥<br />

0 ⎥<br />

Z ⎥<br />

f 2⎦<br />

0 ⎤<br />

⎥<br />

0 ⎥<br />

Z ⎥<br />

f 3⎦<br />

(3.36.b)<br />

(3.36.c)<br />

Persamaan (3.36.a), (3.36.b), dan (3.36.c) memberi jalan untuk<br />

menggambarkan rangkaian impedansi urutan taransformator.<br />

Kita kumpulkan impedansi urutan sebagai berikut:<br />

Z +<br />

01 = Z f 1 + 3Z<br />

n1;<br />

Z 02<br />

= Z f 2 + 3Z<br />

n2<br />

; Z 03<br />

= Z f 3 3Z<br />

n3<br />

(3.37.a)<br />

dan seperti (3.33)<br />

Z<br />

Z 11 = Z f 1; Z12<br />

= Z f 2 ; Z13<br />

= Z f 3 (3.37.b)<br />

Z 21 = Z f 1; Z 22<br />

= Z f 2 ; Z 23<br />

= Z f 3 (3.37.c)<br />

f 1 = Z1<br />

+ Z φ ; Z f 2 = Z 2 + Z φ;<br />

Z f 3 = Z3<br />

+ Z φ (3.37.d)<br />

Persamaan pertama (3.37.a) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />

urutan nol seperti pada Gb.3.20. Terminal 1, 2, 3 adalah terminal<br />

primer, sekunder, dan tersier.<br />

1 3Z<br />

n 1<br />

Z 1<br />

Z φ<br />

Z2<br />

3Z<br />

n2 2<br />

Z3<br />

3Z<br />

n 3 3<br />

Gb.3.20. Rangkaian urutan nol transformator tiga<br />

belitan.<br />

Persamaan pertama (3.37.b) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />

urutan positif seperti pada Gb.3.21.<br />

141


Transformator<br />

1 Z1<br />

Z2<br />

2<br />

Z 3<br />

3<br />

Z φ<br />

Gb.3.21. Rangkaian urutan positif transformator tiga belitan.<br />

Persamaan pertama (3.37.c) dan (3.37.d) memberikan rangkaian<br />

urutan negatif seperti pada Gb.3.22.<br />

1 Z1<br />

Z φ<br />

Z2<br />

2<br />

Z 3<br />

3<br />

Gb.3.22. Rangkaian urutan negatif transformator tiga belitan.<br />

3.4.3. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />

Terhubung Y Dengan Ketiga Titik Netral Ditanahkan Langsung<br />

Jika titik netral ditanahkan secara langsung (solidly grounded),<br />

baik di sisi primer maupun sekunder dan tersier, maka<br />

Z n1 = Z n2<br />

= N n3<br />

= 0 . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang<br />

berubah hanyalah rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif<br />

dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi sama<br />

dengan rangkaian urutan yang lain.<br />

3.4.4. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />

Terhubung Y, dengan Ketiga Titik Netral Tidak Ditanahkan.<br />

Jika titik netral tidak di tanahkan maka Z n1 = Z n2<br />

= N n3<br />

=∝ .<br />

Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah juga hanya<br />

rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak<br />

berubah. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka baik di sisi<br />

primer, sekuder, maupun tersier.<br />

142 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />

dengan Ketiga Sisi Terhubung <br />

Transformator<br />

Hubungan ∆ dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika<br />

ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung<br />

Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi<br />

terbuka. Jadi belitan yang terhubung ∆ memiliki rangkaian urutan<br />

nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan<br />

identik).<br />

3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan<br />

dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan<br />

Berbeda.<br />

Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada<br />

diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer<br />

terhubung ∆, sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan<br />

langsung, dan sisi tersier terhubung ∆. Rangkaian urutan nol sisi<br />

primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol<br />

sekunder tidak mengandung 3Z<br />

n 2<br />

Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari<br />

transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y<br />

maupun ∆. Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang<br />

terhubung ∆: hubungan ini adalah hubungan yang membentuk<br />

loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ∆ ini tidak<br />

benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di<br />

belitan ini.<br />

Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9<br />

dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubunganhubungan<br />

belitan sebagai berikut:<br />

Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui<br />

impedansi Z n = j0, 04<br />

Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung.<br />

Belitan-3: dihubungkan ∆<br />

Gambarkanlah rangkaian urutan.<br />

Solusi:<br />

Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah:<br />

143


R = R<br />

X<br />

R<br />

1<br />

1<br />

φ<br />

2<br />

= X<br />

= X<br />

φ<br />

= R<br />

2<br />

3<br />

= X<br />

= ∝<br />

= 0,01 pu<br />

Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20)<br />

1 3Z<br />

n 1<br />

Z 1<br />

Z φ<br />

3<br />

= 0,03 pu<br />

Z2<br />

3Z<br />

n2 2<br />

Z3<br />

3Z<br />

n 3<br />

Transformator<br />

3<br />

Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian<br />

urutan nol menjadi<br />

1 j0,<br />

12 0,01<br />

+ j0,<br />

03<br />

0,01+<br />

j0,03<br />

0,01<br />

+ j0,03<br />

2<br />

3<br />

Rangkaian urutan positif adalah (Gb.3.21)<br />

1 Z1<br />

Z φ<br />

Z2<br />

2<br />

Z 3<br />

3<br />

Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian<br />

urutan positif menjadi<br />

1 0,01+<br />

j0,<br />

03<br />

0,01<br />

+ j0,03<br />

0,01+<br />

j0,03<br />

2<br />

3<br />

Rangkaian urutan negatif sama dengan rangkaian urutan positif.<br />

144 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-, Transformator<br />

Tiga-fasa Dua Belitan<br />

Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun ∆-∆, diagram<br />

fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda<br />

fasa. Akan tetapi pada hubungan Y-∆ atau ∆-Y terjadi pergeseran<br />

fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator<br />

tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini<br />

terlihat V a1<br />

sefasa Vab2<br />

, V b1<br />

sefasa Vbc<br />

2 , V c1<br />

sefasa Vca2<br />

.<br />

Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan<br />

tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung ∆. Kalau kita<br />

buat rangkaian ekivalen Y dari ∆, hal tersebtu berarti tegangan fasnetral<br />

di sisi sekunder berbeda fasa 30 o dengan tegangan fasa-netral<br />

di sisi primer.<br />

a<br />

a<br />

V ab2<br />

Va1<br />

V b1<br />

V c1<br />

b<br />

c<br />

b<br />

c<br />

V bc2<br />

V ca2<br />

n<br />

Gb.3.23. Hubungan Y-∆ transformator tiga-fasa.<br />

Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-∆<br />

ataupun ∆-Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi<br />

ketentuan sebagai berikut:<br />

Penamaan fasa baik pada hubugan Y-∆ ataupun ∆-Y haruslah<br />

sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan<br />

tinggnya mendahului 30 o dari pasangan di tegangan rendahnya.<br />

Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu<br />

bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi<br />

tertinggal 30 o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya.<br />

Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.<br />

145


Transformator<br />

3.5. <strong>Sistem</strong> Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator<br />

Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga<br />

terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen<br />

memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan<br />

sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih<br />

sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah<br />

dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada<br />

sistem tiga-fasa.<br />

Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah<br />

sebagai berikut:<br />

a) Tetapkan daya 3 fasa basis, kita sebut S 3 f basis . Penetapan<br />

daya basis ini biasanya mengambil angka-angka yang mudah,<br />

seperti 1, 10, 100, 1000. Karena untuk analisis sistem tiga-fasa<br />

kita menggunakan model satu-fasa maka harus kita hitung daya<br />

basis untuk satu-fasa, yaitu:<br />

S3 f basis<br />

S f basis =<br />

3<br />

b) Tetapkan tegangan basis di bus tertentu sebagai referensi, yaitu<br />

tegangan nominal. Tegangan nominal adalah nilai tegangan<br />

yang dirancang untuk sistem bekerja pada pembebanan<br />

seimbang. Tegangan nominal fasa-fasa, V ff di Indonesia<br />

misalnya 20 kV, 150 kV, 500 kV. Karena kita melakukan<br />

analisis menggunakan model rangkaian satu-fasa maka kita<br />

tetapkan tegangan basis fasa-netral di bus ini yaitu<br />

V = V / 3 .<br />

fn basis<br />

ff basis<br />

c) Dalam menentukan besaran-besaran basis, kita menganggap<br />

semua saluran dan transformator adalah ideal. Dengan demikian<br />

maka bus-bus yang terhubung langsung oleh saluran<br />

transmisitanpa melalui transformator akan memiliki tegangan<br />

basis yang sama.<br />

Tegangan basis bus-bus yang dihubungkan oleh saluran<br />

transmisi melewati suatu transformator berbanding lurus<br />

dengan perbandingan jumlah lilitan di kedua sisi transformator.<br />

Dengan demikian maka nilai per-unit tegangan di kedua sisi<br />

transformator tidak lagi tergantung dari tegangan transformator.<br />

146 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian<br />

tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.<br />

S f basis<br />

I basis =<br />

V fn basis<br />

e) Impedansi basis di tiap bagian sistem adalah tegangan basis<br />

dibagi arus basis<br />

V fn basis<br />

Z basis =<br />

I f basis<br />

Walaupun demikian, relasi ini dapat kita uraikan sebagai berikut:<br />

Z<br />

basis<br />

V<br />

=<br />

I<br />

=<br />

fn basis<br />

f basis<br />

( V / 3)<br />

ff basis<br />

S<br />

=<br />

S<br />

f basis<br />

V<br />

f basis<br />

2<br />

fn basis<br />

/ V<br />

V<br />

=<br />

3S<br />

fn basis<br />

2<br />

ff basis<br />

f basis<br />

V<br />

=<br />

S<br />

V<br />

=<br />

S<br />

2<br />

fn basis<br />

f basis<br />

2<br />

ff basis<br />

3 f basis<br />

Relasi terakhir ini yang biasa digunakan menentukan impedansi<br />

basis, yaitu<br />

Z<br />

basis<br />

V<br />

=<br />

S<br />

2<br />

ff basis<br />

3 f basis<br />

f) Besaran dalam per-unit adalah besaran sesungguhnya dibagi<br />

dengan besaran basis. Dengan besaran dalam per-unit kita<br />

gambarkan diagram rangkaian model satu-fasa.<br />

Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam perunit<br />

dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan<br />

berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2<br />

S 3 f basis = 100<br />

MVA<br />

dan tegangan basis fasa-fasa<br />

V ff<br />

basis<br />

= 345<br />

kV<br />

147


1 ∆ Y 2 3 Y ∆ 4<br />

Z = 12,8 + j64 Ω<br />

Y/2 = j280 mS<br />

Transformator<br />

Transformator T 1<br />

1 trafo 3 fasa, 120 MVA<br />

35 kV ∆, 350 kV Y<br />

Z=(1+j8%) pada ratingnya<br />

Transformator T 2<br />

3 trafo 1 fasa, 30 MVA<br />

200 kV / 20 kV<br />

Z=(1+j7%) pada ratingnya<br />

Solusi:<br />

a) Kita harus membuat rangkaian ekivalen model 1 fasa dalam<br />

per-unit. Oleh karena itu besaran-besaran harus dinyatakan<br />

sebagai besaran fasa-netral. Daya basis 3 fasa telah<br />

ditentukan untuk bus-2 dengan memilih angka yang mudah<br />

yaitu<br />

S 3 f basis = 100<br />

MVA<br />

Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa<br />

adalah<br />

S fn basis<br />

100 = = 33,3 MVA<br />

3<br />

Daya basis per fasa ini berlaku untuk semua bus.<br />

Tegangan nominal sistem ini adalah 345 kV fasa-fasa. Tegangan<br />

basis fasa-netral adalah<br />

V nominal 345<br />

V = ff<br />

fn basis<br />

= = 199 kV<br />

3 3<br />

Rangkaian ekivalen model satu-fasa yang harus kita bangun harus<br />

menggunakan basis ini, artinya semua besaran akan dilihat dari<br />

sisi tegangan tinggi, termasuk impedansi-impedansi di sisi<br />

tegangan rendah transformator. Rangkaian ekivalen saluran<br />

transmisinya adalah rangkaian ekivalen π dengan ujung di bus 2<br />

terhubunhg ke transformator T 1 dan ujung di bus-3 terhubung ke<br />

transformator T 2 . Rangkaian ekivalen sistem ini akan berbentuk<br />

seperti berikut:<br />

148 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

1 2 3 4<br />

Z T1<br />

Y<br />

2<br />

Z s<br />

Y<br />

2<br />

Z T 2<br />

1, 2, 3, 4: nomer bus<br />

Z T1 : impedansi trafo T 1 ; Z T 2 : impedansi trafo T 2<br />

Y<br />

Z s ; impedansi seri saluran transmisi; : admitansi saluran transmisi<br />

2<br />

Kita lihat situasi di setiap bus sebagai berikut:<br />

Bus-2. Daya basis di bus ini adalah<br />

S fn basis<br />

tegangan basis V fn basis. bus.2<br />

= V fn basis = 199 kV<br />

= 33,3 MVA dan<br />

Arus basis bus-2:<br />

S f basis 33,3<br />

I f basis. bus.2<br />

= = = 0,167 kA<br />

V fn basis 199<br />

Impedansi basis:<br />

Z basis.<br />

bus.2<br />

V fn basis<br />

=<br />

I f basis<br />

=<br />

199<br />

0,167<br />

= 1190<br />

Ω<br />

Bus-3. Daya basis di bus ini juga S = 33,3 MVA Bus ini<br />

fbasis<br />

terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu<br />

tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu<br />

V fn basis. bus.3<br />

= 199 kV<br />

Arus basis bus-3:<br />

S f basis 33,3<br />

I f basis. bus.3<br />

= = = 0,167 kA<br />

V fn basis 199<br />

Impedansi basis bus-3:<br />

V fn basis<br />

Z basis.<br />

bus.3<br />

=<br />

I f basis<br />

=<br />

199<br />

0,167<br />

= 1190 Ω<br />

Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah<br />

ditetapkan yaitu S fn basis = 33,3 MVA . Bus ini terhubung pada<br />

transformator Y-∆ dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV<br />

149


Transformator<br />

: 35 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 kV : 35 / 3 kV .<br />

Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu<br />

V fn bus.1<br />

35 / 3<br />

V fn basis. bus.1<br />

= × V fn basis.<br />

bus.2<br />

= × 199 = 19,9 kV<br />

V fn bus.2<br />

350 / 3<br />

Arus basis di bus-1:<br />

S f basis 33,3<br />

I f basis. bus.1<br />

= = = 1,674 kA<br />

V fn basis 19,9<br />

Impedansi basis:<br />

V fn basis<br />

Z basis bus.1<br />

=<br />

I f basis<br />

=<br />

19,9<br />

1,674<br />

= 11,9<br />

Ω<br />

fbasis<br />

Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah<br />

ditetapkan yaitu S = 33,3 MVA . Bus ini bertegangan fasafasa<br />

20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung ∆.<br />

Ini berarti tegangan fasa–netral adalah 20 / 3 kV , walaupun tak<br />

terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan<br />

tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral<br />

350 / 3 = 200 kV . Tegangan basis di bus-4 ini adalah<br />

V fn bus.4<br />

20 / 3<br />

V fn basis. bus.4<br />

= × V fn basis.<br />

bus.3<br />

= × 199 = 11,5<br />

V fn bus.3<br />

200<br />

kV<br />

Arus basis bus-4:<br />

S f basis 33,3<br />

I f basis.b us.4<br />

= = = 2,889<br />

V fn basis 11,5<br />

kA<br />

Impedansi basis:<br />

V f basis<br />

Z basis bus−<br />

4 =<br />

I f basis<br />

=<br />

11,5<br />

2,889<br />

= 3,97<br />

Ω<br />

Untuk melihat dengan lebih jelas, hasil perhitungan di atas kita<br />

kumpulkan dalam satu tabel seperti di bawah ini.<br />

150 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

Bus<br />

S basis<br />

MVA<br />

V basis<br />

kV<br />

I basis<br />

kA<br />

Z basis<br />

1 33,3 19,9 1,674 11,9<br />

2 33,3 199 0,167 1190<br />

3 33,3 199 0,167 1190<br />

4 33,3 11,5 2,889 3,97<br />

b) Saluran Transmisi. Impedansi dan admitansi saluran dalam<br />

per-unit dihitung dengan menggunakan impedansi dan<br />

admitansi basis di bus-2 atau bus-3<br />

Z sal 12,8 + j64<br />

Z sal pu = = = 0,0108 + j0,0538<br />

pu<br />

Z basis 1190<br />

Y<br />

−3<br />

sal basis pu j0,0280×<br />

10<br />

=<br />

= j0,333<br />

pu<br />

2 1/1190<br />

c) Impedansi transformator.<br />

Nilai dalam per-unit impedansi transformator yang<br />

diberikan adalah:<br />

T 1 :<br />

Z T 1pu<br />

= 0,01+<br />

j0,08<br />

pu<br />

Ω<br />

( pada ratingnya)<br />

T 2 :<br />

Z T 2 pu = 0,01+<br />

j0,07<br />

pu<br />

( pada ratingnya)<br />

Impedansi ini dinyatakan dalam per-unit dengan basis rating<br />

masing-masing transformator.<br />

Transformator T 1 . Transformator T 1 adalah sebuah<br />

transformator tiga-fasa, dua belitan. Rating daya T 1 adalah 120<br />

MVA, dengan tegangan nominal (sisi tegangan tinggi) 345 kV<br />

(fasa-fasa). Hal ini berarti bahwa basis yang di gunakan untuk<br />

menghitung Z T1pu adalah Z basis rating yaitu<br />

Z<br />

basis rating<br />

V<br />

=<br />

S<br />

2<br />

ff rating<br />

3 f rating<br />

Ω<br />

151


Transformator<br />

Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu<br />

Z T 1 = 0,01+<br />

j0,08<br />

pu . Impedansi ini harus kita ubah<br />

menggunakan basis sistem yaitu S 3 f basis = 100 MVA dan<br />

tegangan nominal 345 kV dan Z basis di bus-2 (tempat<br />

dihubungkannya T 1 ) yang telah dihitung sebesar 1190 Ω.<br />

Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita<br />

lakukan sebagai berikut:<br />

Z<br />

T1basis sistem<br />

(0,01+<br />

j0,08)<br />

× Z<br />

=<br />

Z<br />

basis sistem<br />

= (0,01+<br />

j0,08)<br />

×<br />

basis rating<br />

2<br />

( V / S )<br />

ff rating<br />

2<br />

( 345 /120)<br />

= (0,01+<br />

j0,08)<br />

×<br />

1190<br />

= (0,0083+<br />

j0,0667)<br />

pu<br />

1190<br />

3 f rating<br />

Transformator T 2 . Transformator T 2 adalah transformator 3<br />

fasa yang dibangun dari 3 tansformator 1 fasa dua belitan.<br />

Rating daya trafo ini adalah 30 MVA dengan tegangan rating<br />

200 kV. Sisi primer dihubungkan Y agar sesuai dengan tegangan<br />

sistem di sisi tegangan tinggi (345 kV), dan sisi sekunder<br />

dihubungkan ∆ dengan tegangan sekunder 20 kV. Impedansi<br />

yang diberikan adalah<br />

Z T 2 = 0,01+<br />

j0,07<br />

pu<br />

( pada ratingnya)<br />

Impedansi ini harus kita ubah dengan menggunakan basis<br />

sistem.<br />

2<br />

(0,01+<br />

j0,07)<br />

× ( 200 / 30)<br />

Z T 2 basis sistem =<br />

1190<br />

= (0,0112 + j0,0784)<br />

pu<br />

Dengan hasil perhitungan ini, rangkaian ekivalen satu-fasa<br />

menjadi sebagai berikut:<br />

152 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

1 2<br />

0,0108<br />

+ j0,0538<br />

3 4<br />

0,0083+<br />

j0,0667<br />

j0,333<br />

0,0112 + j0,0784<br />

j0,333<br />

3.6. Transformator Polifasa<br />

Dari transformator satu-fasa dapat pula dibangun transformator<br />

polifasa. Berikut ini kita lihat contoh transformator enam fasa yang<br />

dibangun dari enam transformator satu-fasa. Setiap transformator<br />

satu-fasa ini mempunyai rating masing-masing.<br />

Contoh-3.12: [1] Enam buah transformator satu-fasa dua belitan<br />

yang identik dihubungkan sebagai berikut:<br />

- dua-dua belitan primer di hubungkan paralel,<br />

- kemudian tiga set paralel tersebut dihubungkan membentuk<br />

sisi primer transformator 3 fasa yang terhubung Y.<br />

- enam belitan sekunder dari enam transformator dihubungkan<br />

membentuk sisi sekunder transformator 6 fasa.<br />

Rating setiap transformator adalah 13,8 kV / 138 kV, 15 MVA, X<br />

= 7% (pada ratingnya). Tegangan nominal fasa-netral dari sistem<br />

adalah 13,2 kV pada bus tegangan rendah yang terhubung Y.<br />

Dengan menggunakan daya 3 fasa basis S 3 f = S6<br />

f = 100 MVA .<br />

(a) Hitung semua besaran basis di kedua sisi transformator.<br />

(b) Jika sisi primer terhubung pada sumber seimbang dengan<br />

tegangan fasa-netral Van<br />

= 13,2 kV hitunglah tegangan fasa<br />

dan tegangan urutan di kedua sisi transfomator.<br />

(c) Gambarkan rangkaian urutan positif dengan X dalam per-unit.<br />

Solusi:<br />

Tranformator yang terbentuk terhubung Y- yang skema hubungan<br />

serta diagram fasor tegangannya terlihat pada gambar berikut.<br />

153


Transformator<br />

a<br />

A<br />

c<br />

b<br />

D<br />

C<br />

E<br />

F<br />

b<br />

a<br />

c<br />

F<br />

E<br />

D<br />

C<br />

B<br />

A<br />

B<br />

(a)<br />

Besaran-besaran basis:<br />

S f<br />

Bus tegangan rendah<br />

100<br />

basis = = 33,3 MVA<br />

3<br />

V fn basis<br />

= 13,2 kV<br />

S f basis<br />

I f basis =<br />

V fn basis<br />

V fn basis<br />

Z basis = =<br />

I f basis<br />

33,3<br />

= = 2,52 A<br />

13,2<br />

13,2<br />

2,52<br />

= 5,23 Ω<br />

Bus tegangan tinggi<br />

100<br />

S f basis = = 16,7 MVA<br />

6<br />

Jika sisi tegangan V an =13,2 kV:<br />

V AN<br />

V fn basis<br />

⎛ 138 ⎞<br />

= 13 ,2 ⎜ ⎟ = 132 kV<br />

⎝13,8<br />

⎠<br />

= 132 kV<br />

S f basis 16,7<br />

I f basis = = = 0,126 A<br />

V fn basis 132<br />

V fn basis<br />

Z basis = =<br />

I f basis<br />

132<br />

0,126<br />

= 1045 Ω<br />

154 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Transformator<br />

(b)<br />

Dengan sumber 13,2 kV:<br />

Bus tegangan rendah<br />

Tegangan fasa-netral:<br />

V<br />

an<br />

= Vbn<br />

= Vcn<br />

= 13,2 kV<br />

Dalam per-unit:<br />

13,2<br />

V an = = 1,0 pu<br />

13,2<br />

Tegangan urutan:<br />

V 0 = V2<br />

= 0<br />

1<br />

V 1 = (3Van<br />

) = 13,2 kV<br />

3<br />

Dalam per-unit:<br />

13,2<br />

V 1 = = 1,0 pu<br />

13,2<br />

Bus tegangan tinggi<br />

Tegangan fasa-netral:<br />

VAN<br />

= VBN<br />

= VCN<br />

=<br />

VDN<br />

= VFN<br />

= 132 kV<br />

Dalam per-unit:<br />

132<br />

V AN = = 1,0 pu<br />

132<br />

Tegangan urutan:<br />

V 0 = V2<br />

= V3<br />

= V4<br />

= V5<br />

= 0<br />

1<br />

V 1 = (6VAN<br />

) = 132 kV<br />

6<br />

Dalam per-unit:<br />

132<br />

V 1 = = 1,0 pu<br />

132<br />

c) Rangkaian urutan positif.<br />

Rangkaian urutan positif dari transformator ini hanya berupa satu<br />

impedansi yang mengubungkan bus di sisi primer dan sisi<br />

sekunder. Kita dapat melihat trafo ini dari sisi tegangan rendah<br />

ataupun sisi tegangan tinggi.<br />

Dari sisi tegangan rendah:<br />

Reaktansi dalam per-unit X = 7 % = 0,07 pu (pada rating trafo) .<br />

Rating trafo adalah 15 MVA, 13,8 kV sehingga impedansi basis<br />

menurut rating trafo adalah<br />

Z basis rating<br />

2<br />

Vrating<br />

=<br />

S rating<br />

=<br />

13,8<br />

2<br />

15<br />

155


Transformator<br />

Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo<br />

satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y,<br />

sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu<br />

1<br />

X = × 0,07 ×<br />

2<br />

Z basis rating<br />

1 13,8<br />

= × 0,07 ×<br />

2 15<br />

2<br />

= 0,444 Ω<br />

Impedansi basis sistem sudah dihitung sebesar 5,23 Ω. Impedansi<br />

basis ini memberikan reaktansi dalam per-unit:<br />

0,0444<br />

X = = 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif menjadi :<br />

5,23<br />

0,0850 pu<br />

Dari sisi tegangan tinggi:<br />

X<br />

138<br />

= 0,07 ×<br />

15<br />

2<br />

= 88,8 Ω<br />

Dalam per-unit:<br />

menjadi :<br />

X<br />

=<br />

88,8<br />

1045<br />

= 0,0850<br />

pu . Rangkaian urutan positif<br />

0,0850<br />

pu<br />

156 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

BAB 4 Mesin Sinkron<br />

Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari<br />

sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator<br />

tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka<br />

mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda<br />

besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti<br />

konversi energi dari energi listrik ke energi listrik.<br />

Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />

transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />

fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />

primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu<br />

dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;<br />

cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari<br />

energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi<br />

elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari<br />

mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi<br />

oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan<br />

hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan<br />

dalam dua persamaan berikut<br />

dλ<br />

dφ<br />

e = − = −N<br />

dan F = KB<br />

B i f (θ)<br />

dt dt<br />

Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan<br />

dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis<br />

ditimbulkan.<br />

Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat<br />

luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut<br />

generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat<br />

yaitu konstruksi kutub menonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />

4.1. Mesin Sinkron Kutub Menonjol<br />

Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.4.1.a.<br />

Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan<br />

a 1 a 11 sampai c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar<br />

yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat<br />

157


Mesin Sinkron<br />

kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor<br />

yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut<br />

belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu<br />

siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut<br />

sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar sudut 360 o ini<br />

melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120 o<br />

antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan belitan b 1 b 11<br />

berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi 120 o , dan<br />

mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan<br />

yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />

kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />

a<br />

b 11<br />

1 c 1<br />

c 11 S b 11<br />

a 1 U U a 2<br />

b 22 S c 22<br />

c 2<br />

a 22<br />

b 2<br />

a 1 a 11<br />

180 o mekanis = 360 o<br />

φ<br />

φ<br />

φ<br />

a) b) c)<br />

konstruksi kutub menonjol belitan fluksi magnetik<br />

Gb.4.1. Mesin sinkron kutub menonjol<br />

Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub<br />

(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran<br />

rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan<br />

antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />

θ<br />

atau secara umum<br />

magnetik<br />

dengan p adalah jumlah kutub.<br />

[ derajat]<br />

= 2×<br />

θ [ derajat]<br />

mekanik<br />

p<br />

θ magnetik [ derajat]<br />

= × θmekanik<br />

[ derajat]<br />

(4.1)<br />

2<br />

158 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

Kecepatan sudut mekanik adalah<br />

dθmekanik<br />

ω mekanik = = 2π f mekanik (4.2)<br />

dt<br />

Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik<br />

yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.<br />

Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah<br />

rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n<br />

rpm, maka jumlah siklus per detik adalah<br />

n n<br />

atau f mekanis =<br />

60<br />

60<br />

siklus per detik.<br />

Kecepatan sudut magnetik adalah<br />

dθ<br />

magnetik<br />

ω magnetik = = 2π f magnetik (4.3)<br />

Dengan hubungan (4.1) maka (4.3) menjadi<br />

ω<br />

magnetik<br />

p<br />

= ω<br />

2<br />

yang berarti<br />

mekanik<br />

dt<br />

p<br />

= 2π<br />

f<br />

2<br />

mekanik<br />

p n p n<br />

= 2π<br />

= 2π<br />

2 60 120<br />

p n<br />

f magnetik = siklus per detik (4.4)<br />

120<br />

Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi<br />

di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />

p n<br />

f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan<br />

120<br />

mempunyai frekuensi<br />

p n<br />

f tegangan = Hz<br />

(4.5)<br />

120<br />

Dengan (4.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi<br />

tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah<br />

kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =<br />

3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000<br />

rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol<br />

seperti pada Gb.17.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak<br />

sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.<br />

159


160 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Mesin Sinkron<br />

Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi<br />

silindris.<br />

Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />

kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk<br />

setiap pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan<br />

e c1 pada c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2<br />

dan e c2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi<br />

setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa<br />

pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan<br />

yang sefasa, misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk<br />

memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk<br />

memperoleh arus yang lebih besar.<br />

Tegangan yang<br />

terbangkit di belitan<br />

pada umumnya<br />

diinginkan berbentuk<br />

gelombang sinus<br />

v = Acos ωt<br />

, dengan<br />

pergeseran 120 o untuk<br />

belitan fasa-fasa yang<br />

lain. Tegangan<br />

sebagai fungsi waktu<br />

ini pada transformator<br />

dapat langsung<br />

diperoleh di belitan<br />

sekunder karena<br />

fluksinya merupakan<br />

fungsi waktu. Pada<br />

mesin sinkron, fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor<br />

yang dialiri arus searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi<br />

waktu. Akan tetapi fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus<br />

merupakan fungsi waktu agar persamaan (4.1) dapat diterapkan<br />

untuk memperoleh tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh<br />

melalui putaran rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di<br />

rotor dan memasuki celah udara antara rotor dan stator dengan nilai<br />

konstan maka, dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan<br />

fluksi yang ditangkap oleh belitan stator adalah<br />

dφ<br />

dt<br />

s<br />

dθ<br />

= φ<br />

magnetik<br />

dt<br />

180 o mekanis = 360 o magnetik<br />

a 11<br />

φ s<br />

a<br />

θ<br />

1<br />

Gb.4.2. Perhitungan fluksi.<br />

= φ ω<br />

magnetik<br />

(4.6)


Mesin Sinkron<br />

p n<br />

Karena ω magnetik = 2π<br />

f magnetik = 2π<br />

, maka<br />

120<br />

d φ s p n<br />

= φ<br />

dt<br />

π<br />

(4.7)<br />

60<br />

Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />

dφ<br />

s<br />

p n<br />

v = − N = − N φ π<br />

(4.8)<br />

dt<br />

60<br />

Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu<br />

tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />

perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda<br />

berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang<br />

tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus<br />

berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi<br />

sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu<br />

terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />

φ = φ m cos θ maknetik<br />

(4.9)<br />

maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />

dφs<br />

dφ<br />

d<br />

dθmagnetik<br />

= = ( φm<br />

cosθmagnetik<br />

) = −φm<br />

sin θmagnetik<br />

dt dt dt<br />

dt (4.10)<br />

⎛ p n ⎞<br />

= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />

π ⎟ sin θmagnetik<br />

⎝ 120 ⎠<br />

sehingga tegangan belitan<br />

dφ<br />

s p n<br />

e = −N<br />

= Nπ φm<br />

sin θmagnetik<br />

dt 60 (4.11)<br />

= 2π<br />

f N φm<br />

sin θmagnetik<br />

= ω N φm<br />

sin ωt<br />

Persamaan (4.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />

dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini<br />

adalah<br />

Em<br />

= ωN<br />

φm<br />

Volt<br />

(4.12)<br />

dan nilai efektifnya adalah<br />

Em<br />

ωN<br />

φm<br />

2π<br />

f<br />

Erms<br />

= = = N φm<br />

2 2 2<br />

(4.13)<br />

= 4,44 f N φm<br />

Volt<br />

Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />

perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi<br />

mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />

161


Mesin Sinkron<br />

1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a 1 a 11 ,<br />

yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan<br />

itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />

terpusat.<br />

2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />

adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut<br />

kisar penuh.<br />

Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,<br />

melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati<br />

beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />

terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh<br />

(60 o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati<br />

sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu<br />

kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan tetapi hanya 80%<br />

sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi<br />

dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />

menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan<br />

fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi<br />

komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan<br />

suatu faktor K w yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w<br />

mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor<br />

belitan ini formulasi tegangan (4.13) menjadi<br />

E<br />

rms 4 K w m<br />

= ,44 f N φ Volt<br />

(4.14)<br />

Berikut ini beberapa contoh perhitungan tegangan jangkar. Untuk<br />

sementara pembahasan mesin sinkron kutub menonjol kita hentikan<br />

di sini. Kita akan melihat mesin jenis ini lagi setelah pembahasan<br />

mesin sinkron rotor silindris.<br />

CONTOH-4.1: Sebuah generator sinkron tiga-fasa, 4 kutub, belitan<br />

jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap<br />

alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus<br />

dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor<br />

1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms<br />

tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />

Solusi :<br />

Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />

p n 4×<br />

1500<br />

f = = = 50 Hz<br />

120 120<br />

162 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

12<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />

4<br />

kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa.<br />

Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />

Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />

E<br />

ak = m<br />

4 ,44 f N φ = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V<br />

Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2<br />

× 66,6 = 133 V.<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />

CONTOH-4.2: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur<br />

pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.<br />

Solusi :<br />

Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />

karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />

24<br />

Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap pasang<br />

4<br />

kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa.<br />

Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan<br />

yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar<br />

untuk setiap belitan adalah<br />

E 4,44 f N φ V = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 66,6 V .<br />

a1 = m<br />

=<br />

Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka<br />

terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.<br />

Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />

360 o<br />

= o<br />

15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2<br />

24<br />

pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi<br />

selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o<br />

listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah<br />

jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30 o<br />

tersebut.<br />

o<br />

o<br />

E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />

Karena ada 2 pasang kutub maka<br />

E a<br />

= 2×<br />

2 2<br />

(124,8) + (33,3)<br />

= 258<br />

V<br />

163


Mesin Sinkron<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />

CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur<br />

pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8<br />

pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.<br />

Ketentuan yang lain tetap.<br />

Solusi :<br />

Frekuensi tegangan jangkar :<br />

16×<br />

375<br />

f = = 50 Hz<br />

120<br />

144<br />

Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan<br />

16<br />

per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap<br />

fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />

E a1 = 4,44×<br />

50×<br />

10×<br />

0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />

belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan,<br />

dan fluksi maksimum tidak berubah.<br />

Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah<br />

360 o<br />

= o<br />

2,5 mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8<br />

144<br />

pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik, sehingga<br />

beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah<br />

o<br />

2 ,5 × 8 = 20 listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah<br />

jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing<br />

berselisih fasa 20 o .<br />

E<br />

ak<br />

= 66,6 + 66,6∠20<br />

= 66,61<br />

o o<br />

o o<br />

( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />

= 180,2 + j65,6<br />

o<br />

+ 66,6∠40<br />

Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />

o<br />

E a<br />

= 8×<br />

2 2<br />

(180,2) + (65,6)<br />

= 8×<br />

191,8 = 1534<br />

V<br />

Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />

164 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />

Sebagaimana telah<br />

disinggung di atas,<br />

mesin kutub menonjol<br />

a<br />

sesuai untuk perputaran<br />

b<br />

rendah. Untuk<br />

1<br />

U c 1<br />

perputaran tinggi<br />

digunakan mesin rotor<br />

silindris yang skemanya<br />

diperlihatkan ada<br />

c S b<br />

Gb.4.3. Rotor mesin ini<br />

a<br />

berbentuk silinder<br />

1<br />

dengan alur-alur untuk<br />

menempatkan belitan<br />

eksitasi. Dengan<br />

Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />

konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan<br />

dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis<br />

untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin<br />

kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah<br />

sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti<br />

terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat<br />

aa 1 , bb 1 dan cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar<br />

tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya<br />

dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari<br />

kisaran penuh.<br />

Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi<br />

rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi<br />

mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada<br />

transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin<br />

sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva<br />

magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.<br />

Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000<br />

rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran<br />

pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus<br />

medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran<br />

sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut<br />

karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada<br />

kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan<br />

165


Mesin Sinkron<br />

ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis<br />

mesin sinkron.<br />

Karakterik<br />

lain yang<br />

penting adalah<br />

karakteritik<br />

hubung singkat<br />

yang dapat kita<br />

peroleh dari uji<br />

hubung<br />

singkat. Dalam<br />

uji hubung<br />

singkat ini<br />

mesin diputar<br />

pada kecepatan<br />

perputaran<br />

sinkron dan<br />

terminal<br />

belitan jangkar<br />

dihubung<br />

singkat (belitan<br />

jangkar<br />

terhubung Y).<br />

12000<br />

11000<br />

10000<br />

9000<br />

Tegangan Fasa-Netral [V]<br />

8000<br />

7000<br />

6000<br />

5000<br />

4000<br />

3000<br />

2000<br />

1000<br />

celah udara<br />

V=kI f<br />

beban-nol<br />

V=V(I f )| I =0<br />

hubung singkat<br />

I = I (I f ) | V=0<br />

0 0 50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />

350 400 450 500<br />

Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.<br />

Karakteristik celah udara (linier).<br />

Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva<br />

yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini<br />

berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh<br />

pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar<br />

sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi<br />

magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk<br />

membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di<br />

impedansi belitan jangkar.<br />

Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />

memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus<br />

medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf<br />

(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang<br />

mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan<br />

karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak<br />

dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal<br />

Arus fasa [A]<br />

166 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor<br />

yang akan kita pelajari beikut ini.<br />

4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron<br />

Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan,<br />

arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang<br />

berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang<br />

sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai<br />

fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang<br />

merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia<br />

merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap<br />

posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut<br />

konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam<br />

fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan<br />

berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang<br />

dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini<br />

mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai<br />

dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.<br />

Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />

dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar<br />

melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru<br />

karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai<br />

dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi<br />

tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi<br />

yang dilihat oleh belitan jangkar.<br />

Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga<br />

arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />

a<br />

U<br />

θ<br />

U<br />

a<br />

S<br />

sumbu<br />

e maks<br />

S<br />

sumbu<br />

i maks<br />

(a)<br />

a 1<br />

sumbu magnet<br />

(b)<br />

Gb.4.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />

a 1<br />

sumbu magnet<br />

167


Mesin Sinkron<br />

Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di<br />

aa 1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu<br />

kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah<br />

maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik<br />

yang dilingkupi oleh belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu<br />

arus di belitan aa 1 belum maksimum karena beban induktif. Pada<br />

saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah<br />

seperti terlihat pada Gb.4.5.b.<br />

Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />

magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama<br />

dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan<br />

mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang<br />

akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini<br />

maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan<br />

keluaran mesin dipertahankan.<br />

Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami<br />

reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf<br />

rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan<br />

membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara<br />

khusus sehingga kita menunda pembahasannya.<br />

Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />

1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />

2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar I a adalah<br />

nominal.<br />

3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />

tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />

membangkitkannya.<br />

4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi<br />

R a .<br />

5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />

Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai<br />

referensi, arus jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban<br />

induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah<br />

( R + jX )<br />

E a = Va<br />

+ I a a l<br />

(4.15)<br />

168 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara<br />

yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa yang 90 o mendahului<br />

E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang<br />

dinyatakan dengan arus ekivalen . Jadi fluksi dalam celah udara<br />

I φa<br />

merupakan jumlah dari fluksi rotor Φ f yang dinyatakan dengan arus<br />

ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />

I fa = I f + Iφa<br />

atau I f = I fa − Iφa<br />

(4.16)<br />

Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor<br />

I f haruslah cukup untuk<br />

membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan E a dan<br />

mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />

dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: I f membangkitkan tegangan<br />

E f yang 90 o di belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />

E f<br />

I f<br />

= − I<br />

I fa<br />

φa<br />

− I φa<br />

I fa<br />

I φa<br />

Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />

Hubungan antara nilai<br />

θ<br />

I a<br />

E a dan I fa diperoleh dari karakteristik<br />

celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φa<br />

diperoleh dari<br />

karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti<br />

terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />

E a = kv<br />

I fa dan I a = ki<br />

Iφa<br />

atau<br />

γ<br />

V a<br />

E a<br />

I a R a<br />

jI a X l<br />

169


I /<br />

Mesin Sinkron<br />

fa = Ea<br />

kv<br />

dan I φ a = I a / ki<br />

(4.17)<br />

dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />

kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh<br />

Ea<br />

o I a o<br />

I f = I fa − Iφa<br />

= ∠(90<br />

+ γ)<br />

+ ∠(180<br />

− θ)<br />

kv<br />

ki<br />

(4.18)<br />

Ea<br />

I a<br />

= j ∠γ − ∠ − θ<br />

kv<br />

ki<br />

Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu<br />

E<br />

aa<br />

= − jk I<br />

v<br />

v<br />

= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />

ki<br />

Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai<br />

f<br />

k<br />

X =<br />

⎛ Ea<br />

= − jkv<br />

⎜<br />

j<br />

⎝ kv<br />

k<br />

I a ⎞<br />

∠γ − ∠ − θ⎟<br />

k<br />

i ⎠<br />

kv<br />

+ j I a<br />

k<br />

jX<br />

i<br />

φa<br />

I a dengan<br />

(4.19)<br />

v<br />

φ a<br />

(4.20)<br />

ki<br />

yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />

adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis<br />

dengan<br />

E<br />

a<br />

a<br />

( R + jX )<br />

a<br />

a<br />

( R + jX )<br />

f = Ea<br />

+ jX φa<br />

I a = Va<br />

+ I a a l + jX φa<br />

I a<br />

X<br />

= V<br />

+ I<br />

a = X l + X φa<br />

yang disebut reaktansi sinkron.<br />

(4.21)<br />

Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7.<br />

untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi<br />

sinkron.<br />

Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan<br />

dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik<br />

linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh<br />

karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak<br />

jenuh.<br />

170 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

E aa<br />

I<br />

f<br />

= I − I<br />

− I φa<br />

fa<br />

φa<br />

I<br />

fa<br />

I φa<br />

θ<br />

I a<br />

γ<br />

V a<br />

jI a X l<br />

a X φa<br />

Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />

reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />

E a<br />

I a R a<br />

j I<br />

jI a X a<br />

4.2.2. Rangkaian Ekivalen Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />

Sumber tegangan cukup memadai untuk menggambarkan<br />

rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris. Kumparankumparan<br />

jangkar, tempat dibangkitkannya tegangan,<br />

mengandung resistansi dan reaktansi. Selain itu, antar kumparan<br />

juga terjadi kopling magnetic karena letak mereka yang saling<br />

berdekatan pada posisi yang simetris. Kita anggap bahwa ketiga<br />

kumparan jangkar adalah identik, masing-masing dengan<br />

resistansi R a dan reaktansi X a . Antar ketiga kumparan terjadi<br />

reaktansi bersama X m . Jika tegangan terbangkit di kumparan<br />

jangkar adalah Ea<br />

, Eb<br />

, dan Ec<br />

dan tegangan fasa-netral di<br />

terminal mesin adalah Van<br />

, Vbn<br />

, dan Vcn<br />

, maka dapat<br />

digambarkan rangkaian ekivalen seperti pada Gb.4.8.<br />

Pada Gb.4.8. ini I a , Ib<br />

, dan Ic<br />

adalah arus fasa a, b, dan c yang<br />

keluar dari terminal mesin dan ketiganya kembali melalui<br />

penghantar netral melalui impedansi Z n . Aplikasi hokum Kirchhoff<br />

pada rangkaian ini memberikan persamaan<br />

171


Mesin Sinkron<br />

Ea<br />

= ( Ra<br />

+ jX a ) Ia<br />

+ Z n ( I a + Ib<br />

+ Ic<br />

) + jX m ( Ib<br />

+ Ic<br />

) + Van<br />

= ( Ra<br />

+ jX a + Z n ) Ia<br />

+ ( Z n + jX m ) Ib<br />

+ ( Z n + jX m ) Ic<br />

+ Van<br />

(4.20.a)<br />

E b = ( Ra<br />

+ jX a + Z n ) Ib<br />

+ ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) Ic<br />

+ Vbn<br />

(4.20.b)<br />

E c = ( Ra<br />

+ jX a + Z n ) Ic<br />

+ ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) Ib<br />

+ Vcn<br />

E b<br />

+<br />

+<br />

∼<br />

N +<br />

∼<br />

E c<br />

∼<br />

E a<br />

R a jX a<br />

R a jX a<br />

R a jX a<br />

jX m<br />

jX m<br />

jX m<br />

b<br />

I a + Ib<br />

+ Ic<br />

V<br />

Z bn<br />

n<br />

n<br />

Gb.4.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron<br />

c<br />

a<br />

I c<br />

I a<br />

I b<br />

V an<br />

(4.20.c)<br />

V cn<br />

Jika kita tuliskan<br />

Z s = Ra<br />

+ jX a + Z n<br />

Z m = Z n + jX m<br />

Maka persamaan 4.20.a,b,c menjadi<br />

Ea<br />

= Z sI<br />

a + Z mIb<br />

+ Z mIc<br />

+ Van<br />

Eb<br />

= Z sIb<br />

+ Z mI<br />

a + Z mIc<br />

+ Vbn<br />

Ec<br />

= Z s Ic<br />

+ Z mI<br />

a + Z mIb<br />

+ Vcn<br />

Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah<br />

(4.21)<br />

(4.22)<br />

⎡Ea<br />

⎤ ⎡ Z s<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢Eb<br />

⎥ ⎢<br />

Z m<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣<br />

Ec<br />

⎦ ⎣Z<br />

m<br />

Z m<br />

Z s<br />

Z m<br />

Z m ⎤ ⎡Ia<br />

⎤ ⎡Van<br />

⎤<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

Z<br />

⎥<br />

m ⎥ ⎢Ib<br />

⎥ + ⎢Van<br />

⎥<br />

Z ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

s ⎦ ⎣<br />

Ic<br />

⎦ ⎣<br />

Van<br />

⎦<br />

(4.23.a)<br />

172 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

atau secara lebih ringkas<br />

~<br />

~ ~<br />

Eabc = [ Z abc ] Iabc<br />

+ Vabc<br />

(4.23.b)<br />

Kita ingat bahwa<br />

~<br />

I =<br />

~<br />

abc [ T] I 012 dan V abc = [ T] V012<br />

dan kita masukkan ke (4.23.b) serta kita kalikan kedua ruas<br />

(4.23.b) dengan [ T ] −1<br />

maka kita peroleh<br />

~<br />

−1<br />

−1<br />

−1<br />

[ T] E abc = [ T] [ Z abc ][ T] I012<br />

+ [ T] [ ]<br />

~ ~<br />

= [ Z 012 ] I012<br />

+ V012<br />

Kita hitung ruas kiri (9.24.a)<br />

[ ]<br />

~<br />

~<br />

~<br />

~<br />

T V<br />

012<br />

(4.24.a)<br />

⎡1<br />

1 1 ⎤ ⎡ E f<br />

⎤ ⎡ 0 ⎤ ⎡ 0 ⎤<br />

−1<br />

~ 1 ⎢<br />

2 ⎥ ⎢ 2 ⎥ 1<br />

T E<br />

=<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢ ⎥<br />

abc =<br />

⎢<br />

1 a a<br />

⎥ ⎢a<br />

E f ⎥ ⎢<br />

3E<br />

f ⎥ ⎢<br />

E f ⎥<br />

( 4.24.b)<br />

3<br />

⎢<br />

2<br />

⎥ ⎢ ⎥ 3<br />

⎣1<br />

a a ⎦ aE<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥<br />

⎣ f ⎦<br />

⎦<br />

[ Z 012 ] pada (4.24.a) adalah<br />

⎡Z<br />

s + 2Z<br />

m 0 0 ⎤<br />

⎢<br />

⎥<br />

012 T abc T =<br />

⎢<br />

0 Z s − Z m 0 (4.24.c)<br />

⎥<br />

⎢⎣<br />

0 0 Z s − Z m ⎥⎦<br />

−1<br />

[ Z ] = [ ] [ Z ][ ]<br />

dengan Z s dan Z m diberikan oleh (4.21). Elemen-elemen matriks<br />

(4.24.c) menjadi<br />

Z 00 = Z s + 2Z<br />

m = Ra<br />

+ jX a + Z n + 2Z<br />

n + j2X<br />

m<br />

= Ra<br />

+ j(<br />

X a + 2X<br />

m ) + 3Z<br />

n<br />

(4.25.a)<br />

Z11<br />

= Z s − Z m<br />

= Ra<br />

+ jX a + Z n − Z n − jX m<br />

= Ra<br />

+ j(<br />

X a − X m )<br />

4.25.b)<br />

Z 22 = Z s − Z m = Ra<br />

+ jX a + Z n − Z n − jX m<br />

= Ra<br />

+ j(<br />

X a − X m )<br />

sehingga (4.24.c) menjadi<br />

(4.25.c)<br />

173


[ ]<br />

Mesin Sinkron<br />

⎡Z<br />

00 0 0 ⎤<br />

Z<br />

⎢<br />

⎥<br />

012 =<br />

⎢<br />

0 Z11<br />

0<br />

⎥<br />

(4.25.d)<br />

⎢⎣<br />

0 0 Z 22<br />

⎥⎦<br />

Dengan (4.25.b) dan (4.25.d) maka (4.23.a) menjadi<br />

⎡ 0 ⎤ ⎡Z<br />

00<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

E<br />

⎥ ⎢<br />

0<br />

⎢⎣<br />

0 ⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

0<br />

0<br />

Z11<br />

0<br />

0 ⎤ ⎡I0<br />

⎤ ⎡V0<br />

⎤<br />

⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

0<br />

⎥<br />

⎥ ⎢I1<br />

⎥ + ⎢V1<br />

⎥<br />

Z ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />

22 ⎦ ⎣<br />

I 2 ⎦ ⎣<br />

V2<br />

⎦<br />

(4.26.a)<br />

Persamaan (4.26.a) ini memberi jalan untuk menggambarkan<br />

rangkaian urutan dari mesin sinkron. Dengan mengingat bahwa Z n<br />

bukanlah komponen mesin, didefinisikan impedansi urutan mesin<br />

sebagai<br />

Z0<br />

= Z00<br />

− 3Zn ; Z1<br />

= Z11<br />

; Z2<br />

= Z22<br />

(4.26.b)<br />

Berdasarkan (4.26.a) dan (4.26.b) kita gambarkan rangkaian<br />

urutan seperti terlihat pada Gb.4.9.<br />

I 0<br />

Z 0<br />

+<br />

3Z n<br />

V 0<br />

−<br />

Rangkaian urutan nol.<br />

I 1<br />

Z 1<br />

+<br />

E ∼<br />

V 1<br />

−<br />

Rangkaian urutan Positif<br />

I 2<br />

Z 2<br />

+<br />

Rangkaian urutan negatif.<br />

V 2<br />

−<br />

Gb.4.9. Rangkaian urutan mesin sinkron.<br />

174 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil<br />

yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam<br />

analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita<br />

pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan<br />

damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan<br />

terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus<br />

eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak<br />

demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki<br />

karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang<br />

kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin.<br />

4.2. Kopling Turbin-Generator<br />

Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya<br />

mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang<br />

dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan<br />

dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros<br />

dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan<br />

torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil<br />

dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya<br />

diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi<br />

beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat<br />

pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan<br />

medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan<br />

terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut T m (torka mekanis)<br />

dan torka lawan dari generator kita sebut T e (torka listrik) maka kita<br />

mendapat persamaan<br />

dωrm<br />

Tm<br />

− Te<br />

= J<br />

(4.27)<br />

dt<br />

dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan ω rm<br />

adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis).<br />

Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan<br />

umum yaitu jika memang ω rm berubah terhadap waktu; hal<br />

demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak<br />

melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena<br />

itu dω<br />

rm / dt = 0 sehingga (4.27) menjadi<br />

T m −T<br />

e = 0 atau T m = T e<br />

(4.28)<br />

175


Mesin Sinkron<br />

Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, ω rm ,<br />

sama dengan kecepatan perputar sinkron, ω rm = ωs<br />

. Jika<br />

persamaan (4.28) kita kalikan dengan ω rm maka kita peroleh<br />

T<br />

m<br />

ω<br />

rm<br />

= T ω<br />

P<br />

e rm e s<br />

atau (4.29)<br />

m<br />

= P<br />

e<br />

= T ω<br />

Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugirugi<br />

gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya<br />

mekanik diubah menjadi daya listrik.<br />

4.4. Daya Mesin Sinkron<br />

Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar<br />

per fasa adalah E f , tegangan di terminal generator adalah V .<br />

Adanya impedansi belitan jangkar membuat E f dan V berbeda fasa.<br />

Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan<br />

beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit<br />

adalah δ, maka<br />

V<br />

= f<br />

V∠0 o dan E f = E ∠δ<br />

(4.30)<br />

dan δ disebut sudut daya (power angle)<br />

Impedansi belitan jangkar tiap fasa adalah<br />

Karena X a >> R a maka<br />

Z = R a + jX a<br />

(4.31.a)<br />

Z ≈ jX a = jX d<br />

(4.31.b)<br />

X d adalah reaktansi jangkar yang disebut direct axis reactance.<br />

176 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh<br />

karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian<br />

urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai<br />

sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator<br />

sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.<br />

f<br />

+<br />

jX d<br />

E ∼ ∼<br />

Gb.4.10. Rangkaian ekivalen model satufasa<br />

generator sinkron dengan beban<br />

seimbang.<br />

Dengan (4.12.b) daya per fasa yang keluar dari terminal generator<br />

adalah<br />

I<br />

+<br />

V<br />

∗<br />

⎛<br />

∗ E ⎞<br />

⎜ f − V<br />

S = = ⎟<br />

f V I V<br />

⎜ ⎟<br />

⎝<br />

jX d ⎠<br />

Dengan memasukkan (4.30) maka (4.32.a) menjadi<br />

(4.32.a)<br />

S<br />

f<br />

= V∠0<br />

VE<br />

=<br />

X<br />

dengan<br />

f<br />

d<br />

⎛<br />

o<br />

E f V ⎞<br />

⎜ ∠δ − ∠0<br />

⎟<br />

⎜<br />

o<br />

X ⎟<br />

⎝ d∠90<br />

⎠<br />

o<br />

⎛VE<br />

sin δ + j⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

X<br />

f<br />

d<br />

∗<br />

VE<br />

=<br />

X<br />

V<br />

cosδ −<br />

X<br />

2<br />

d<br />

f<br />

d<br />

∠(90<br />

⎞<br />

⎟ = P<br />

⎟<br />

⎠<br />

f<br />

o<br />

V<br />

− δ)<br />

−<br />

X<br />

+ jQ<br />

f<br />

2<br />

d<br />

∠90<br />

o<br />

(4.32.b)<br />

VE f<br />

P f = sin δ dan<br />

X d<br />

Q<br />

f<br />

⎛VE<br />

= ⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

X<br />

f<br />

d<br />

2<br />

V ⎞<br />

cos δ − ⎟ (4.33)<br />

X ⎟<br />

d ⎠<br />

P f adalah daya nyata dan Q f adalah daya reaktif (per fasa).<br />

Kita telah melihat pada (4.10) bahwa dengan mengabaikan rugi<br />

daya pada gesekan, seluruh daya mekanik dari turbin dikonversi<br />

menjadi daya listrik. Turbin hanya memberikan daya nyata, namun<br />

generator mengubahnya menjadi daya nyata dan daya reaktif. Hal<br />

177


Mesin Sinkron<br />

ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah<br />

uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya<br />

yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika E f , V, X d tidak<br />

berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya δ.<br />

Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat sin δ = 1 ,<br />

dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator,<br />

yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan<br />

menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan<br />

keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron<br />

dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya,<br />

sekitar 20%.<br />

Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita<br />

menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam<br />

operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari<br />

jaringan). Dalam hal demikian sudut δ meningkat untuk sementara,<br />

perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur<br />

masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran<br />

semula, dan kondisi operasi kembali normal.<br />

Jika kita perhatikan persamaan untuk Q f pada (4.33), peningkatan δ<br />

yang meningkatkan P f , justru menurunkan Q f . Daya reaktif Q f bisa<br />

meningkat jika E f meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi.<br />

Dengan kata lain penambahan Q f dilakukan dengan menambah<br />

arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari<br />

sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban<br />

ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya<br />

adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat<br />

contoh persoalan berikut.<br />

CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki<br />

faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi X d = 0,7 pu (pada ratingnya) .<br />

I<br />

jX = 0,7 pu<br />

+<br />

d<br />

+<br />

E ∼ ∼<br />

f<br />

a). Hitung , P f , Q f , E f , dan δ, dan gambarkan fasor diagramnya.<br />

V<br />

178 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan<br />

menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, E f , dan δ, pada keadaan<br />

ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor<br />

keadaan sebelumnya (soal a).<br />

c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan<br />

arus eksitasi sehingga E f meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, E f ,<br />

dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya<br />

bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).<br />

Solusi:<br />

o<br />

a). Kita tetapkan referensi V = 1∠0<br />

−1<br />

o<br />

ψ = cos (0,8) = 36,9<br />

I = 1∠ − 36,9<br />

o<br />

= 0,8 − j0,6<br />

o<br />

E f = jX d I = j0,7(0,8<br />

− j0,6)<br />

+ 1 = 1,42 + j0,56<br />

= 1,53∠<br />

21,5<br />

⇒ E f = 1, 53<br />

o<br />

δ = 21,5<br />

VE f 1×<br />

1,53<br />

P f = sin δ = sin(21,5<br />

o ) = 0,8<br />

X d 0,7<br />

VE<br />

2<br />

2<br />

f V1<br />

1×<br />

1,53 o 1<br />

Q f = cos δ − = cos(21,5 ) − = 0,6<br />

X d X d 0,7<br />

0,7<br />

Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut.<br />

δ<br />

ψ<br />

I<br />

E f<br />

V<br />

jX d I<br />

b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan<br />

menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, E f , dan δ, pada<br />

keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan<br />

diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).<br />

Tetap gunakan referensi<br />

o<br />

V = 1∠0<br />

179


Mesin Sinkron<br />

P ′ = 1 ,2P<br />

= 1,2 × 0,8 = 0,96 (meningkat 20% dari P pada soal a).<br />

E ′ f = E f = 1,53 (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).<br />

⎛ ⎞<br />

−1<br />

1 0,96 0,7 o<br />

sin ⎜<br />

P′<br />

X<br />

⎟ − ⎛ × ⎞<br />

δ′ =<br />

= sin ⎜ ⎟ = 26,1<br />

⎜ ′ ⎟<br />

⎝<br />

E f V<br />

⎠ ⎝ 1,53 × 1 ⎠<br />

E′<br />

f V V<br />

Q′<br />

= cos δ′ −<br />

X X<br />

d<br />

= 0,535<br />

d<br />

(meningkat 21%).<br />

2<br />

d<br />

(menurun 11%)<br />

1,53 × 1 o 1<br />

= cos(26,1 ) −<br />

0,7<br />

0,7<br />

Diagram fasor adalah seperti gambar berikut<br />

.<br />

I 1<br />

c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang<br />

naikkan arus eksitasi sehingga E f meningkat sebesar 20%. Hitung<br />

P, Q, E f , dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram<br />

fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya<br />

(soal a).<br />

Tetap gunakan referensi<br />

P ′ = P = 0,8 (tidak berubah)<br />

o<br />

V = 1∠0 .<br />

E f′′ = 1 ,2×<br />

E f = 1,2 × 1,53 = 1,84 (naik 20%)<br />

⎛ ⎞<br />

1<br />

1 0,8 0,7 o<br />

sin ⎜<br />

′′<br />

⎛ × ⎞<br />

δ ′′ − P X<br />

⎟ −<br />

=<br />

= sin ⎜ ⎟ = 17,8<br />

⎜ ′′ ⎟<br />

⎝<br />

E f V<br />

⎠ ⎝ 1,84 × 1 ⎠<br />

ψ<br />

δ<br />

E′ f<br />

d<br />

(menurun 17%)<br />

E ′′<br />

2<br />

2<br />

f V V 1,84 × 1 o 1<br />

Q′′<br />

= cos δ ′<br />

− = cos(17,8 ) −<br />

X d X d 0,7<br />

0,7<br />

= 1,07 (meningkat 44%)<br />

δ′<br />

I′ 1<br />

E f<br />

V<br />

jX d I′<br />

jX d I<br />

2<br />

180 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

Diagram fasor terlihat di bawah ini.<br />

I 1′<br />

ψ ′′<br />

E f<br />

δ ′′<br />

V<br />

jX d I<br />

E f′′<br />

4.5. Batas Operasi Mesin Sinkron<br />

Menambah daya nyata ada batasnya karena menambah daya nyata<br />

berarti memperbesar arus jangkar yang berarti menaikkan<br />

temperatur kumparan jangkar. Demikian juga halnya dengan daya<br />

reaktif. Meningkatkan E f , untuk menambah daya reaktif, ada<br />

batasnya karena meningkatkan E f berarti menambah arus eksitasi.<br />

Kita lihat lebih dulu upaya menambah daya reaktif dengan<br />

menambah arus eksitasi. Makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan<br />

temperatur pada belitan eksitasi. Kenaikan temperatur ini harus<br />

dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai<br />

maksimum arus eksitasi, I fmaks . Arus maksimum ini akan<br />

memberikan tegangan terbangkit maksimum, E f maks . Dengan E f maks<br />

maka daya per fasa generator adalah:<br />

S<br />

f<br />

E<br />

fmaks<br />

VE<br />

=<br />

X<br />

fmaks<br />

d<br />

⎛ VE<br />

2 ⎞<br />

⎜<br />

fmaks V<br />

sin δ + j cos δ − ⎟ (4.34)<br />

⎝<br />

X d X d ⎠<br />

yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan E f . Jika daya ini<br />

kita plot pada bidang P-Q, maka kurva<br />

lingkaran dengan jari-jari<br />

dan pusat di<br />

seperti terrlihat pada Gb.4.11.<br />

VE f maks<br />

r E =<br />

X d<br />

⎛<br />

O ′ = ⎜0,<br />

−<br />

⎜<br />

⎝<br />

V 2<br />

X d<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎟<br />

⎠<br />

S f akan berbentuk<br />

E fmaks<br />

181


Mesin Sinkron<br />

Q<br />

q<br />

S f<br />

p<br />

E fmaks<br />

P<br />

V 2<br />

−<br />

X d<br />

O'<br />

r E<br />

Akan tetapi tidak seluruh lingkaran merupakan tempat kedudukan<br />

S f karena ada nilai maksimum daya nyata yaitu batas<br />

E fmaks<br />

Gb.4.11. Kurva S f pada bidang P-Q.<br />

E fmaks<br />

stabilitas keadaan mantap yang terjadi pada nilai<br />

o<br />

o<br />

sin δ = 1 atau δ = 90 . Pada δ = 90 P mencapai nilai maksimum<br />

o<br />

dan Q = 0; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik p. Pada δ = 0 ,<br />

P = 0 dan Q mencapai nilai maksimum; keadaan ini ditunjukkan<br />

oleh posisi titik q. Inilah batas operasi generator sinkron yang terkait<br />

dengan pembatasan arus eksitasi.<br />

Sekarang kita lihat upaya menambah daya nyata. Penambahan daya<br />

nyata, dengasn menambah pasokan uap misalnya, akan menambah<br />

arus jangkar; arus jangkar juga harus dibatasi. Kumparan jangkar<br />

mengandung resistansi. Arus yang dikeluarkan oleh generator harus<br />

melalui resistansi ini dan menimbulkan panas di kumparan jangkar.<br />

Upaya pendinginan harus dilakukan agar panas yang timbul di<br />

kumparan jangkar tidak melewati batas yang bisa merusakkan<br />

isolasi. Perlu kita ingat bahwa suhu jangkar tidaklah merata, akan<br />

tetapi ada bagian-bagian tertentu yang lebih tinggi suhunya dari<br />

bagian lain. Suhu di titik terpanas inilah yang harus diperhatikan<br />

untuk menetapkan batas suhu dalam operasi. Bagaimanapun usaha<br />

pendinginan dilakukan, tetap ada batas teratas nilai arus yang harus<br />

182 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan<br />

untuk arus itu disebut rated current, I rated .<br />

Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas<br />

atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut<br />

rated voltage, V ff rated . Batas arus dan batas tegangan memberikan<br />

batas nilai daya tiga-fasa |S 3f rated |.<br />

S V × I 3<br />

(4.35.a)<br />

3 f rated = ff rated f rated ×<br />

Daya keluaran mesin pada waktu operasi haruslah<br />

S<br />

S<br />

3 f ≤ 3 f rated atau daya per fasa<br />

S3 f rated<br />

S f ≤ (4.35.b)<br />

3<br />

Dari rangkaian ekivalen Gb.4.10, batas daya per fasa adalah<br />

S<br />

S<br />

f rated<br />

f<br />

= V<br />

= V<br />

rated<br />

rated<br />

I<br />

rated<br />

I<br />

∗<br />

rated<br />

cosψ<br />

V<br />

=<br />

X<br />

rated<br />

2<br />

rated<br />

d<br />

∠ψ<br />

rated<br />

(4.36)<br />

Faktor daya juga memiliki nilai batas yang terkait dengan batas<br />

tegangan terbangkit yang ditetapkan, E f maks .<br />

Kurva batas daya per fasa<br />

S f<br />

rated<br />

juga berbentuk lingkaran dengan<br />

pusat di O(0,0)<br />

2<br />

jari-jari r r = Vrated<br />

/ X d .<br />

Gb.4.12. memperlihatkan kurva<br />

S f .<br />

E fmaks<br />

S f<br />

rated<br />

bersama dengan kurva<br />

183


Mesin Sinkron<br />

Q<br />

V 2<br />

−<br />

X d<br />

O<br />

c<br />

q<br />

O'<br />

S f<br />

rated<br />

a<br />

b<br />

p<br />

S f<br />

ψ rated<br />

P<br />

E fmaks<br />

Gb.4.12. Kurva<br />

S f dan S f rated .<br />

E fmaks<br />

Titik potong antara kurva<br />

S f<br />

rated<br />

dan kurva<br />

S f<br />

E fmaks<br />

, yaitu titik a<br />

pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas<br />

daya yang terkait dengan V rated , I rated , mupun terkait dengan E f<br />

maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya ψ rated dengan sumbu P.<br />

Apabila ψ kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurva S f rated<br />

mencapai titik b, dan cos ψ = 1 ; daya reaktif nol. Titik b inilah<br />

menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh<br />

mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya<br />

nyata di p.<br />

Apabila ψ kita naikkan sampai 90 o maka kurva S f rated mencapai<br />

titik c, dan cos ψ = 0 ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak<br />

menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan<br />

lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya<br />

reakti oleh adanya pembatasan E fmaks.<br />

Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai E f maks pada kedua kondisi<br />

limit tersebut.<br />

184 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki X d = 1,2 pu. Hitung<br />

E f yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1,<br />

(b) minimum, f.d. = 0 (lagging),<br />

Solusi: Kita ambil<br />

referensi fasor<br />

o<br />

V = 1∠0 pada<br />

rangkaian ekivalen<br />

di samping ini.<br />

a) Agar faktor daya = 1:<br />

f<br />

+<br />

jX d<br />

E ∼ ∼<br />

I<br />

+<br />

V<br />

I = 1∠0<br />

o<br />

= 1+<br />

j0<br />

E<br />

f<br />

= jX d I + V = j1,2<br />

× 1+<br />

1 = 1,56∠50,2<br />

o<br />

⇒ E = 1, 56<br />

b) Agar faktor daya = 0:<br />

f<br />

I = 1∠ − 90<br />

o<br />

= 0 − j1<br />

E<br />

f<br />

= jX d I + V = j1,2<br />

× ( − j1)<br />

+ 1 = 2,20∠0<br />

o<br />

⇒ E = 2, 20<br />

f<br />

Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai<br />

dari 1 sampai 0, E f yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya E f<br />

berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi<br />

berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula.<br />

Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan<br />

eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, I f maks .<br />

Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit<br />

maksimum, E f maks . Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai<br />

mencapai kondisi dimana faktor daya nol (E f =2,20 pada contoh di<br />

atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang<br />

dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata.<br />

Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki<br />

impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti<br />

permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah,<br />

185


Mesin Sinkron<br />

generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya<br />

yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan<br />

faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban<br />

paling rendah 0,85 lagging.<br />

Kita amati sekarang bagian kurva<br />

S f<br />

rated<br />

yang berada di bawah<br />

sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan S f rated<br />

dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif,<br />

makin kecil arus eksitasi karena batas E maks kecil, namun makin<br />

besar sudut daya δ makin besar. Contoh berikut ini akan<br />

memberikan gambaran lebih jelas.<br />

CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan E f<br />

agar faktor daya menjadi 0,553.<br />

Solusi:<br />

Pada faktor daya 0,553,<br />

−1<br />

ψ = cos (0,553) = 56,4<br />

o<br />

→<br />

E<br />

f<br />

o<br />

I = 1∠56,4<br />

= jX d I + V = j1,2<br />

× 1∠56,4<br />

+ 1 = 0,664∠90<br />

o<br />

⇒ E = 0, 664<br />

f<br />

o<br />

δ = 90<br />

Untuk pembebanan dengan faktor daya leading eksitasi yang<br />

diperlukan cukup rendah. Namun makin rendah E maks , sudut δ makin<br />

besar dan mencapai 90 o pada faktor daya 0,553. Inilah nilai δ yang<br />

tak dikehendaki karena generator berada pada titik batas stabilitas<br />

mantapnya; sedikit saja terjadi kenaikan δ, generator akan keluar<br />

dari perputaran sinkron. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai<br />

maksimum δ maks untuk membatasi operasi. Penetapan nilai δ maks<br />

dapat dilakukan dengan menetapkan daya nyata minimum yang<br />

tetap harus masih ada jika terjadi pembebanan kapasitif; misalkan<br />

P minimal = 10% P rated atau sin δ maks = 0, 9 sehingga<br />

−1<br />

o<br />

δmaks = sin 0,9 = 64,2 . Pada suatu δ maks yang ditetapkan, nilai<br />

P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu<br />

186 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


VE f<br />

P = sin δmaks<br />

dan<br />

Xd<br />

Dari daya nyata diperoleh relasi<br />

VE f<br />

Xd<br />

⎛VE<br />

Q = ⎜<br />

⎜<br />

⎝<br />

X<br />

f<br />

d<br />

P<br />

= sinδ maks<br />

jika ini kita pakai untuk menyatakan Q kita peroleh:<br />

Q<br />

⎛<br />

⎞<br />

Mesin Sinkron<br />

2<br />

V ⎞<br />

cos δ − ⎟<br />

maks<br />

(4.37)<br />

X ⎟<br />

d ⎠<br />

2<br />

2<br />

P<br />

V P V<br />

= ⎜ cosδmaks<br />

− ⎟ = − (4.38)<br />

⎜ sin δmaks<br />

X ⎟<br />

d tan δmaks<br />

X d<br />

⎝<br />

Persamaan (4.38) membentuk kurva garis lurus di bidang P-Q.<br />

V 2<br />

Garis ini memotong sumbu Q di − dan memotong sumbu P di<br />

X d<br />

V<br />

2<br />

tan δ<br />

X<br />

d<br />

maks<br />

bersama dengan kurva<br />

berpotongan dengan kurva<br />

⎠<br />

. Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut,<br />

S frated dan<br />

S f<br />

S frated di titk d.<br />

E maks<br />

; garis lurus itu<br />

Q<br />

V 2<br />

−<br />

X d<br />

O<br />

c<br />

q<br />

O'<br />

S f<br />

rated<br />

a<br />

b<br />

d<br />

p<br />

S f<br />

ψ rated<br />

E fmaks<br />

P<br />

2<br />

V tan δmaks<br />

X d<br />

Gb.4.13. Batas-batas operasi generator sinkron.<br />

187


188 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Mesin Sinkron<br />

Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik<br />

karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar<br />

dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO’ pada Gb.4.13. Bagian<br />

kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada<br />

pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena<br />

pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif,<br />

kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar<br />

dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO’ adalah<br />

batas operasi karena pembatasan δ maks . Di dalam batas-batas kurva<br />

inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah<br />

kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus.<br />

Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan<br />

di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga<br />

pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolakbalik<br />

di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada<br />

transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu<br />

kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata.<br />

Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik<br />

yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi<br />

yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di<br />

kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak<br />

lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini<br />

juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu<br />

akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di<br />

Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita<br />

bahas.<br />

4.6. Transien Pada Mesin Sinkron<br />

Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin<br />

sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah<br />

terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung<br />

singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu<br />

kita dapat<br />

menyatakan<br />

rangkaian ekivalen<br />

model satu-fasa<br />

untuk situasi ini,<br />

seperti terlihat pada<br />

Gb.4.14.<br />

E f<br />

+<br />

∼<br />

R a + jX d<br />

I hs<br />

Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satufasa,<br />

gangguan hubung singkat tiga-fasa.


Mesin Sinkron<br />

Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian<br />

orde-2, seperti yang kita pelajari pada <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik.<br />

Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu<br />

akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk<br />

ˆ<br />

−t<br />

/ τ<br />

i ( t)<br />

= i sin( ωt<br />

− α)(1<br />

+ e )<br />

(4.39.a)<br />

hs<br />

hs<br />

i hs<br />

t<br />

Gb.4.15. Arus hubung singkat tak simetris terhadap<br />

sumbu waktu.<br />

i hs<br />

î hs<br />

t<br />

Gb.4.16. Arus hubung singkat simetris terhadap<br />

sumbu waktu.<br />

α<br />

ditentukan oleh saat terjadinya hubung singkat atau masuknya saklar<br />

pada rangkaian Gb.4.14. Sudah barang tentu nilainya sangat tidak<br />

menentu dan α ini membuat alur variasi arus hubung singkat tidak<br />

simetris terhadap sumbu waktu, seperti terlihat pada Gb.4.15.<br />

189


190 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Mesin Sinkron<br />

Untuk keperluan analisis sistem tenaga, α dianggap nol dan<br />

persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk<br />

ˆ<br />

−t<br />

/ τ<br />

i ( t)<br />

= i sin( ωt)(1<br />

+ e ) (4.39.b)<br />

hs<br />

hs<br />

Kurva arus hubung singkat akan simetris terhadap sumbu waktu<br />

seperti terlihat pada Gb.4.16, dan disebut arus hubung singkat<br />

simetris.<br />

Penurunan nilai arus hubung singkat ditentukan oleh konstanta<br />

waktu τ, yang besarnya tergantung dari proporsi R a dan X d . Namun<br />

bentuk gelombang arus ini hampir sinusoidal dan kita dapat<br />

mendekati nilai arus efektifnya dengan membagi nilai puncak<br />

dengan 2 . Nilai efektif ini dapat kita plot sebagai nilai efektif<br />

yang merupakan fungsi waktu seperti terlihat pada Gb.4.17.<br />

Kurva I ˆ<br />

hs ( t)<br />

= ihs<br />

( t)<br />

/ 2 dapat didekati dengan suatu nilai<br />

konstan dalam selang-selang waktu tertentu.<br />

I ′′<br />

I′<br />

I<br />

Gb.4.17. Kurva arus hubung singkat efektif.<br />

0 ≤ t ≤ t1 : I ′<br />

disebut arus hubung singkat subtransien<br />

t 1 ≤ t ≤ t2<br />

: I ′ disebut arus hubung singkat transien<br />

t ≥ t : I disebut arus hubung singkat mantap.<br />

2<br />

0<br />

iˆ<br />

( t)<br />

I ( t)<br />

hs<br />

hs =<br />

2<br />

pendekatan<br />

t1<br />

t 2<br />

<strong>Analisis</strong> sistem tenaga dilakukan di kawasan fasor, bukan di<br />

kawasan waktu. Oleh karena itu pernyataan arus hubung singkat<br />

harus dilakukan dalam bentuk<br />

E f E f<br />

I hs = ≈<br />

(4.40)<br />

Ra<br />

+ jX d X d<br />

Perubahan I hs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan<br />

dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber E f konstan dan<br />

t


Mesin Sinkron<br />

X d yang berubah terhadap waktu, atau X d konstan dan E f yang<br />

berubah terhadap waktu. Kita memilih E f tetap dan X d berubah<br />

terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang<br />

E f<br />

0 ≤ t ≤ t1 : X d′′<br />

=<br />

I ′′<br />

disebut reaktansi subtransien<br />

E f<br />

t1 ≤ t ≤ t2<br />

: X d′<br />

=<br />

I ′<br />

disebut reaktansi transien<br />

t ≥ t2 :<br />

E f<br />

X d =<br />

I<br />

disebut reaktansi mantap.<br />

Impedansi urutan positif menjadi<br />

Z ′ = R + j ′<br />

′1 a X d ;<br />

Z = R + j ′<br />

′1 a X d ;<br />

Z 1 = R a + jX d<br />

Nilai-nilai X d ′ dan X d ′ diberikan oleh pembuat generator.<br />

Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita<br />

hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan<br />

memilih menggunakan reaktansi subtransien, X d′ .<br />

4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol<br />

Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita<br />

gambarkan sekali<br />

lagi pada Gb.4.18.<br />

I<br />

X d adalah direct<br />

jX<br />

axis reactance yang +<br />

d<br />

+<br />

memberikan beda E f<br />

∼ ∼ V<br />

tegangan sebesar<br />

IX d antara tegangan Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satufasa<br />

generator sinkron rotor silindris.<br />

terbangkit dan<br />

tegangan terminal<br />

generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan<br />

magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet<br />

lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet<br />

rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor<br />

silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di<br />

191


Mesin Sinkron<br />

seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub<br />

menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit<br />

disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu<br />

kutub. Lihat Gb.4.19.<br />

d<br />

θ<br />

a<br />

q<br />

d<br />

θ<br />

a<br />

q<br />

U<br />

U<br />

S<br />

sumbu fluksi<br />

lawan jangkar<br />

S<br />

sumbu fluksi<br />

lawan jangkar<br />

a 1<br />

sumbu fluksi<br />

rotor<br />

Rotor silindris<br />

Kutub menonjol<br />

Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol.<br />

Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu<br />

yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90 o adalah sumbu q<br />

(quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari<br />

dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen<br />

sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan<br />

tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar Id<br />

X d dan Iq<br />

X q ,<br />

dengan I d dan I q adalah direct axis current dan quadrature axis<br />

current, sedangkan X d dan X q adalah direct axis reactance dan<br />

quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan<br />

fasa adalah E f dan tegangan di terminal generator adalah V maka<br />

dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,<br />

E j I X + jI<br />

X + V<br />

(4.41)<br />

f = d d q q<br />

Gb.4.19 menggambarkan mesin sinkron dua kutub, sehingga sudut<br />

mekanis θ sama dengan sudut listrik. Pada umumnya generator<br />

dibangun dengan lebih dari dua kutub; oleh karena itu kita gunakan<br />

sudut listrik δ yang memiliki relasi tertentu dengan sudut mekanis.<br />

Jika V kita ambil sebagai referensi dengan sudut fasa nol, maka<br />

a 1<br />

sumbu fluksi<br />

rotor<br />

192 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Mesin Sinkron<br />

o<br />

o<br />

V = V∠0<br />

, I = I∠ − ψ,<br />

E f = E f ∠δ,<br />

Id<br />

= Id<br />

∠δ − 90 , Iq<br />

= Iq∠δ<br />

Untuk jelasnya kita gambarkan diagram fasor seperti pada Gb.4.20.<br />

Perhatikan bahwa beda fasa antara tegangan terbangkit dan tegangan<br />

terminal adalah δ; tegangan jatuh direct axis sefasa dengan tegangan<br />

terbangkit; tegangan jatuh quadrature axis berbeda fasa 90 o dengan<br />

tegangan terbangkit.<br />

E f<br />

jI q X q<br />

jIX q<br />

I q<br />

ψ<br />

δ<br />

I q X q<br />

V<br />

jI d X d<br />

I d ( X d − X q )<br />

I d<br />

I<br />

Gb.4.20. Diagram fasor mesin kutub menonjol.<br />

Kita perhatikan pula bahwa pada tegangan terminal yang ditetapkan<br />

(dalam operasi), sudut δ tergantung dari daya beban dan faktor daya<br />

beban (tergantung dari I dan ψ dalam diagram fasor). Nilai X d dan<br />

X q dapat diberikan oleh pembuat generator, maka menjadi<br />

pertanyaan berpakah daya maksimum yang dapat diberikan oleh<br />

generator.<br />

Daya per fasa adalah<br />

∗<br />

o<br />

S f = VI = V ( Iq∠δ + Id<br />

∠(<br />

δ − 90 ) )<br />

o<br />

= V( I ∠ − δ + I ∠90<br />

− δ)<br />

= V<br />

= V<br />

= V<br />

q<br />

( I q + jI d ) ∠ − δ<br />

( I q (cos δ − j sin δ)<br />

+ jI d (cos δ − j sin δ)<br />

)<br />

( I (cos δ − j sin δ)<br />

+ I ( j cos δ + sin δ)<br />

)<br />

q<br />

d<br />

= V ( I q cos δ + I d sin δ)<br />

+ jV ( I d cos δ − I q sin δ)<br />

= Pf<br />

+ jQ f<br />

d<br />

∗<br />

(4.42)<br />

193


Mesin Sinkron<br />

Dari Gb.4.20 kita peroleh<br />

E<br />

cosδ =<br />

Iq<br />

X<br />

sin δ =<br />

V<br />

f<br />

− I<br />

V<br />

q<br />

d<br />

X<br />

d<br />

→ I<br />

q<br />

→ I<br />

sehingga kita peroleh daya nyata<br />

d<br />

E<br />

=<br />

V sin δ<br />

=<br />

X<br />

q<br />

f<br />

−V<br />

cosδ<br />

X<br />

d<br />

(4.43)<br />

Pf<br />

= V ( I q cos δ + I d sin δ)<br />

⎛<br />

⎞<br />

⎜V<br />

sin δ E f −V<br />

cos δ<br />

= V cos δ +<br />

sin δ⎟<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎝<br />

X q<br />

X d ⎠<br />

2<br />

2<br />

V<br />

VE f V<br />

= sin δ cos δ + sin δ − sin δ cos δ<br />

X q<br />

X d X d<br />

VE f<br />

=<br />

X d<br />

VE f<br />

=<br />

X d<br />

⎛ 2<br />

⎜ V<br />

sin δ + −<br />

⎜<br />

⎝<br />

X q<br />

2<br />

V<br />

sin δ +<br />

2X<br />

d X q<br />

V<br />

X<br />

2 ⎞<br />

⎟ sin δ cos δ<br />

⎟<br />

d ⎠<br />

( X − X ) sin 2δ<br />

d<br />

q<br />

(4.44)<br />

Jika kita bandingkan persamaan (4.44) ini dengan peramaan (4.33)<br />

untuk mesin rotor silindris, yaitu<br />

VE f<br />

P f = sinδ<br />

X d<br />

terlihat bahwa daya maksimum mesin kutub menonjol lebih tinggi<br />

dan terjadi pada sudut δ yang lebih rendah. Lagipula pada E f = 0<br />

(kehilangan eksitasi) mesin kutub menonjol masih bisa memberikan<br />

daya. Persamaan (4.44) akan menjadi (4.33) bila X d = X q .<br />

Untuk daya reaktif mesin kutub menonjol, (4.42) memberikan<br />

194 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


VE f<br />

=<br />

X d<br />

VE f<br />

=<br />

X d<br />

⎛ 2<br />

V ( X d X q ) ⎞<br />

2<br />

V ( X d X q )<br />

cos<br />

⎜<br />

−<br />

+<br />

δ +<br />

⎟<br />

⎜<br />

cos 2δ −<br />

2X<br />

d X ⎟<br />

q<br />

X d X q<br />

⎝<br />

⎠<br />

Mesin Sinkron<br />

⎛ E f −V<br />

cos δ V sin ⎞<br />

Q f V ( I d cos I q sin ) V ⎜<br />

δ<br />

= δ − δ =<br />

cos δ − sin δ⎟<br />

⎜ X d<br />

X ⎟<br />

⎝<br />

q ⎠<br />

VE<br />

2 2 2 2<br />

f V cos δ V sin δ<br />

= cos δ − −<br />

X d<br />

X d X q<br />

VE<br />

2<br />

2<br />

f V ⎛ cos 2δ<br />

2 ⎞ V ⎛ cos 2δ<br />

2 ⎞<br />

= cos δ − ⎜ + sin δ⎟ + ⎜ − cos δ⎟<br />

X d X d ⎝ 2 ⎠ X q ⎝ 2 ⎠<br />

2<br />

2 2 2 2<br />

V cos 2δ<br />

⎛ 1 1 ⎞ V sin δ V cos δ<br />

cos δ + ⎜−<br />

+ ⎟ − −<br />

2 ⎜ X d X ⎟<br />

⎝<br />

q ⎠<br />

X d X q<br />

(4.45)<br />

Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk<br />

mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33)<br />

yaitu:<br />

⎛VE<br />

2 ⎞<br />

⎜ f V<br />

Q = δ − ⎟<br />

f cos<br />

⎜<br />

⎟<br />

⎝<br />

X d X d ⎠<br />

terlihat bahwa (4.33) dapat diperoleh dari (4.45) jika X d = X q .<br />

195


196 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

Mesin Sinkron


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

BAB 5 <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Dalam analisis rangkaian listrik pada umumnya, suatu sumber<br />

dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal,<br />

dan beban dinyatakan sebagai impedansi. Sumber tegangan ideal<br />

memberikan daya ke rangkaian pada tegangan tertentu, berapapun<br />

besar arus yang dibutuhkan oleh rangkaian; sumber arus ideal<br />

memberikan daya pada rangkaian pada arus tertentu, berapapun<br />

tegangan yang diperlukan oleh rangkaian. Oleh karena itu apabila<br />

rangkaian merupakan rangkaian linier, terdapat hubungan linier<br />

antara tegangan, arus dan impedansi; dan dalam analisis, misalnya<br />

dengan menggunakan metoda tegangan simpul, kita memperoleh<br />

persamaan linier.<br />

Dalam sistem tenaga, kita melihat situasi yang berbeda. Sumber,<br />

merupakan sumber daya yang hanya boleh beroperasi pada batas<br />

daya dan tegangan tertentu. Sementara itu beban dinyatakan sebagai<br />

besar daya yang diminta/diperlukan, pada tegangan yang juga<br />

ditentukan. Suatu permintaan daya hanya dapat dilayani selama<br />

pembebanan tidak melampaui batas daya yang mampu disediakan<br />

oleh sumber. Kita mengetahui bahwa walaupun rangkaian tetap<br />

rangkaian linier, relasi daya antara sumber dan beban tidaklah linier.<br />

Oleh karena itu jika kita menurunkan persamaan rangkaian, dengan<br />

daya sebagai parameter, persamaan rangkaian yang kita peroleh<br />

merupakan persamaan nonlinier. Dalam memecahkan persamaan<br />

nonlinier ini kita memerlukan cara khusus.<br />

5.1. <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Dalam analisis aliran daya, kita mengambil ketentuan-ketentuan<br />

sebagai berikut:<br />

a). <strong>Sistem</strong> dalam keadaan seimbang; dengan demikian kita dapat<br />

melakukan perhitungan dengan menggunakan model satu-fasa.<br />

b). Semua besaran dinyatakan dalam per-unit; dengan demikian<br />

berbagai tingkat tegangan dalam sistem sebagai akibat<br />

digunakannya transformator, tidaklah menjadi persoalan.<br />

197


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Bus-bus dalam rangkaian sistem tenaga merupakan simpul-simpul<br />

rangkaian yang biasa kita kenal dalam analisis rangkaian listrik.<br />

Bus-bus ini dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis:<br />

i) Bus-generator (generator bus), adalah bus dimana generator<br />

dihubungkan melalui transformator. Daya yang masuk dari<br />

generator ke bus-generator ke-i (bus nomer i) adalah<br />

ii)<br />

S +<br />

Gi = PGi<br />

jQGi<br />

(5.1)<br />

Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama<br />

adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus<br />

ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran<br />

transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah<br />

S +<br />

Bi = PBi<br />

jQBi<br />

(5.2)<br />

dan daya yang menuju saluran transmisi menjadi<br />

S<br />

i = Pi<br />

+ jQi<br />

= SGi<br />

− SBi<br />

(5.3)<br />

Bus yang tidak terhubung ke generator tetapi terhubung hanya<br />

ke beban disebut bus-beban (load bus). Dari bus-beban ke-j<br />

(nomor bus j) mengalir daya menuju ke beban sebesar S Bj atau<br />

kita katakan daya mengalir menuju saluran transmisi sebesar<br />

S<br />

j = −S Bj<br />

(5.4)<br />

iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban,<br />

teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya<br />

keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang<br />

diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk<br />

keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui,<br />

baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan busgenerator<br />

juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya<br />

yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut<br />

slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber<br />

tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita<br />

kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa<br />

dipenuhi.<br />

198 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

5.2. Persamaan Arus-Tegangan<br />

Karena relasi linier hanya ada pada tegangan dan arus, tidak pada<br />

daya, maka persamaan aliran daya harus diturunkan melalui<br />

persamaan arus dan tegangan terlebih dulu. Selain itu, karena kita<br />

menggunakan sistem per-unit, impedansi transformator dapat<br />

disatukan dengan impedansi generator sehingga transformator tak<br />

digambarkan lagi dalam diagram satu garis untuk analisis ini.<br />

<strong>Sistem</strong> Dengan Dua Bus. Kita tinjau bus-1 (bus-generator nomer-1)<br />

yang terhubung melalui saluran transmisi ke bus-2 (bus-generator<br />

nomer-2). Diagram satu garis dan model satu-fasa terlihat pada<br />

Gb.5.1.<br />

SG1<br />

V S<br />

1 I 1<br />

I V2<br />

G 2<br />

saluran transmisi 2<br />

∼<br />

bus -1 IB1<br />

I B 2 bus - 2<br />

diagram rangkaian<br />

bus -1<br />

bus - 2<br />

z<br />

I s<br />

1<br />

I2<br />

S S<br />

G1 S S G 2<br />

B1 y p y p<br />

B2<br />

∼<br />

Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen.<br />

SG1,<br />

SG2<br />

:daya per fasa generator<br />

V1<br />

, V1<br />

: tegangan fasa - netral<br />

I1,<br />

I2<br />

: arus ke saluran transmisi dari bus -1dan bus - 2<br />

IB1,<br />

IB2<br />

: arus beban (langsung) dari bus -1dan bus - 2.<br />

z12<br />

:impedansi seri antar bus dalam rangkaian ekivalen π<br />

y p :admitansi paralelsaluran transmisi pada rangkaian ekivalen π<br />

Arus yang keluar dari bus-1 ke saluran transmisi adalah<br />

I<br />

rangkaian ekivalen<br />

1 = y pV1<br />

+ y12<br />

( V1<br />

− V2<br />

) = ( y p + y12<br />

) V1<br />

− y12V2<br />

(5.5.a)<br />

dengan y 12 = 1/<br />

z12<br />

adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2.<br />

199


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Admitansi total yang dilihat oleh bus-1 didefinisikan sebagai<br />

Y p +<br />

11 = y y 12<br />

(5.5.c)<br />

Dengan pengertian ini maka relasi (5.5.a) dapat ditulis<br />

I1 = Y11V<br />

1 − y12V2<br />

(5.6.a)<br />

Dengan pengertian yang sama, kita peroleh relasi untuk bus-2<br />

sebagai<br />

I2 = Y22V2<br />

− y12V1<br />

(5.6.b)<br />

Dengan demikian kita memperoleh persamaan untuk sistem dengan<br />

dua bus (dengan mengubah urutan penulisan pada (5.6.b))<br />

I<br />

I<br />

1<br />

2<br />

= Y<br />

11<br />

= −Y<br />

V<br />

12<br />

1<br />

− y<br />

V<br />

1<br />

12<br />

+ y<br />

V<br />

22<br />

2<br />

V<br />

1<br />

(5.7)<br />

<strong>Sistem</strong> Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7)<br />

dikembangkan menjadi<br />

I1<br />

= Y11<br />

V1<br />

− y12V2<br />

− y13V3<br />

I2<br />

= −y12V1<br />

+ Y22V1<br />

− y23V3<br />

I3<br />

= −y12V2<br />

− y23V<br />

+ Y33V3<br />

Secara formal, penulisan persamaan (5.8.a) adalah<br />

I1<br />

= Y11V<br />

1 + Y12<br />

V2<br />

+ Y13<br />

V3<br />

I2<br />

= Y12<br />

V1<br />

+ Y22V1<br />

+ Y23V3<br />

I3<br />

= Y12<br />

V2<br />

+ Y23V<br />

+ Y33V3<br />

(5.8.a)<br />

(5.8.b)<br />

dengan Yij<br />

= −yij<br />

. Persamaan (5.8.b) dapat kita tuliskan dalam<br />

bentuk matriks sebagai<br />

⎡I1<br />

⎤ ⎡Y11<br />

⎢ ⎥<br />

=<br />

⎢<br />

⎢I2⎥<br />

⎢<br />

Y12<br />

⎢ ⎥<br />

⎣I3⎦<br />

⎢⎣<br />

Y13<br />

Y12<br />

Y22<br />

Y23<br />

Y13<br />

⎤ ⎡V1<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Y<br />

⎥<br />

23⎥<br />

⎢V2<br />

⎥<br />

Y ⎥⎦<br />

⎢ ⎥<br />

33 ⎣V3<br />

⎦<br />

(5.9)<br />

<strong>Sistem</strong> Dengan n Bus. Persamaan untuk sistem dengan tiga bus<br />

(5.9) dikembangkan untuk sistem dengan n bus menjadi<br />

200 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

⎡I1<br />

⎤ ⎡Y11<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎢I2<br />

⎥ ⎢<br />

Y12<br />

⎢I<br />

⎥<br />

3 = ⎢Y13<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎢ . ⎥ ⎢ .<br />

⎢ ⎥ ⎢<br />

⎣In<br />

⎦ ⎣Y1<br />

n<br />

Y12<br />

Y22<br />

Y23<br />

.<br />

Y2n<br />

Y13<br />

Y23<br />

Y33<br />

.<br />

Y3n<br />

.<br />

.<br />

.<br />

.<br />

.<br />

Y1<br />

n ⎤ ⎡V1<br />

⎤<br />

⎢ ⎥<br />

Y<br />

⎥<br />

2n<br />

⎥ ⎢V2<br />

⎥<br />

Y3n<br />

⎥ ⎢V<br />

⎥<br />

3<br />

⎥ ⎢ ⎥<br />

. ⎥ ⎢ . ⎥<br />

Y ⎥ ⎢ ⎥<br />

nn ⎦ ⎣Vn<br />

⎦<br />

(5.10.a)<br />

Persamaan (5.10.a) ini dapat kita tulis dengan ringkas:<br />

~ ~<br />

I bus = [ Ybus<br />

] Vbus<br />

(5.10.b)<br />

5.3. Persamaan Aliran Daya<br />

Untuk menurunkan persamaan aliran daya kita perhatikan arus yang<br />

mengalir ke saluran transmisi (tidak termasuk arus ke beban<br />

langsung). Untuk bus ke-i dalam sistim dengan n bus, kita dapatkan<br />

n<br />

I i = ∑Y ij V j<br />

(5.11)<br />

j=<br />

1<br />

j = 1 , 2,... i,...<br />

n;<br />

Y = Y ∠θ ; V<br />

ij<br />

ij<br />

ij<br />

j<br />

= V ∠ψ<br />

Dengan (5.11) ini kita dapat menghitung daya dari bus-i yang<br />

menuju saluran transmisi, yaitu<br />

n<br />

∗<br />

∗<br />

Si<br />

= Vi<br />

Ii<br />

= Vi∑<br />

( Yij<br />

V j )<br />

j=<br />

1<br />

= Vi∠ψi<br />

j=<br />

1<br />

n<br />

∑( Yij<br />

∠ − θij<br />

V j∠ − ψ j ) = Pi<br />

+ jQi<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

Pi<br />

= Vi<br />

⎜∑<br />

Yij<br />

V j cos( ψi<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

⎟<br />

dan<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

Qi<br />

= Vi<br />

⎜∑<br />

Yij<br />

V j sin( ψi<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

⎟<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

j<br />

j<br />

(5.12)<br />

(5.13)<br />

201


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Perhatikan bahwa S i adalah daya yang mengalir ke saluran<br />

transmisi. Hubungan dengan daya generator bisa diperoleh melalui<br />

relasi (5.3) yaitu<br />

Si<br />

= Pi<br />

+ jQi<br />

= SGi<br />

− SBi<br />

sehingga<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

PGi<br />

− PBi<br />

= Vi<br />

⎜∑V<br />

j Yij<br />

cos( ψi<br />

− ψ j − θij<br />

)<br />

⎟<br />

dan<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

(5.14)<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

QGi<br />

− QBi<br />

= Vi<br />

⎜∑V<br />

j Yij<br />

sin( ψi<br />

− ψ j − θij<br />

)<br />

⎟<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

Persamaan (5.14) adalah dua persamaan yang kita peroleh untuk<br />

setiap bus-i. Dalam persamaan ini terdapat enam besaran peubah<br />

yang terkait dengan bus yang bersangkutan, yaitu<br />

P<br />

Q<br />

P<br />

Q<br />

V<br />

Gi , Gi , Bi,<br />

Bi,<br />

i , dan i<br />

(5.15)<br />

Besaran yang lain adalah peubah di luar bus-i.<br />

Jika bus-i adalah bus-generator, maka sebagian besaran yang terdapat<br />

pada persamaan (5.14) merupakan besaran yang diketahui atau<br />

ditentukan:<br />

- P Bi dan Q Bi adalah daya beban yang diketahui.<br />

- P Gi merupakan besaran yang diketahui karena daya nyata ini<br />

bisa ditentukan dengan mengatur masukan uap di turbin<br />

misalnya.<br />

- V i juga tertentu besarnya karena bisa di atur melalui arus<br />

eksitasi.<br />

- Q Gi walaupun tidak diketahui namun, akan tertentu besarnya<br />

jika tegangan dan sudut fasa di bus yang lain diketahui.<br />

- dengan demikian hanya tinggal satu peubah yang harus<br />

dihitung yaitu ψ i .<br />

Jika bus-i adalah bus-beban, tak ada generator terhubung ke sini; P Gi<br />

dan Q Gi bernilai nol, dan Pi<br />

= −PBi<br />

dan Qi<br />

= −QBi<br />

keduanya<br />

diketahui (tanda minus pda P Bi dan Q Bi diberikan karena daya<br />

ψ<br />

202 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

dianggap mengalir ke saluran). Dengan demikian untuk bus-beban<br />

hanya ada dua besaran peubah yang harus dihitung yaitu V i dan ψ i .<br />

Jadi di setiap bus pada dasarnya hanya ada dua atau satu peubah<br />

yang harus dicari, yaitu V i dan ψ i di bus-beban dan ψ i saja di busgenerator.<br />

Dalam satu jaringan transmisi yang terdiri dari total n<br />

bus, dengan n G bus-generator dan satu slack-bus, terdapat besaran<br />

yang harus dihitung sebanyak<br />

besaran harus dihitung = 2( n −1)<br />

− n G (5.16)<br />

Kebanyakan bus dalam sistem tenaga adalah bus-beban; hanya<br />

sebagian kecil dari total jumlah bus merupakan bus-generator.<br />

5.4. Proses Pencarian Solusi<br />

Solusi suatu persamaan aliran daya adalah mencari profil tegangan<br />

di semua bus dalam suatu sistem tenaga. Karena persamaan daya<br />

merupakan persamaan non-linier, maka solusi dilakukan dengan<br />

cara iterasi. Proses pencarian solusi adalah sebagai berikut:<br />

1. Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemenelemen<br />

dari matriks [Y bus ].<br />

2. Pada bus-beban tentukan P B dan Q B .<br />

3. Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan P G .<br />

o<br />

4. Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan V 1 = 1∠0<br />

.<br />

5. Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan ψ, bus<br />

yang lain.<br />

6. Masukkan data [Y bus ] dan profil tegangan yang diasumsikan<br />

ke persamaan (5.14) untuk mencari P i dan Q i . Setiap kali<br />

iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan<br />

besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau<br />

hasil perhitungan sebelumnya.<br />

7. Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai<br />

dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi<br />

berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi<br />

semakin kecil.<br />

8. Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat<br />

mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada<br />

situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.<br />

203


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

5.4. Metoda Newton-Raphson<br />

5.4.1. Formula Iterasi – Persamaan Rekursi<br />

Dalam buku Vincent del Toro, [2], formula iterasi diturunkan<br />

melalui penguraian fungsi nonlinier menjadi deret Taylor dan<br />

mengabaikan suku-suku dengan orde tinggi. Di sini kita akan<br />

menurunkannya melalui pengamatan grafis.<br />

Persamaan dengan Peubah Tunggal. Kita misalkan sebuah<br />

persamaan nonlinier dengan peubah tunggal<br />

p ( x)<br />

= 0<br />

(5.17)<br />

dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri<br />

persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita<br />

misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau.<br />

Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x<br />

sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu<br />

sol<br />

x , seperti terlihat pada Gb.5.2 di bawah ini. Indeks atas<br />

digunakan untuk menunjukkan langkah iterasi; misalnya x 0 adalah<br />

iterasai ke-0 yaitu dugaan awal, x 1 adalah iterasi ke-1, dan<br />

seterusnya.<br />

p<br />

p( x<br />

0 )<br />

p(x)<br />

sol<br />

x<br />

p(<br />

x<br />

2 )<br />

p( x<br />

1 )<br />

0<br />

dp<br />

dx<br />

2<br />

0 x<br />

x 1<br />

x x<br />

1 0<br />

∆x ∆x<br />

Gb.5.2. Proses iterasi untuk persamaan p ( x)<br />

= 0 .<br />

Kita tentukan dugaan awal solusi persamaan, yaitu x 0 . Jika kita<br />

masukkan solusi dugaan ini ke dalam persamaannya, kita<br />

memperoleh p ( x<br />

0 ) . Antara p ( x<br />

0 ) ini dengan nilai yang<br />

204 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

ditentukan pada persamaan (5.17) yaitu 0, terdapat selisih sebesar<br />

0<br />

0<br />

∆ p(<br />

x ) = 0 − p(<br />

x ) ; perhatikan bahwa selisih ini bernilai negatif.<br />

Oleh karena itu kita melakukan dugaan solusi baru yaitu x 1 yang<br />

mendekati x sol ; dugaan baru ini kita masukkan ke persamaan, dan<br />

akan memberikan p ( x<br />

1 ) . Jika p( x<br />

1 ) belum juga bernilai nol<br />

sebagaimana diminta, kita coba lagi nilai x 2 , dan demikian<br />

seterusnya sampai kita memperoleh suatu nilai x yang memberikan<br />

p ( x)<br />

= 0 atau sangat dekat dengan 0.<br />

Menetukan x 1 secara efektif dilakukan sebagai berikut. Setelah<br />

dugaan solusi x 0 memberikan p(x 0 ), kita buat garis singgung pada<br />

kurva di titik p(x 0 0<br />

) yaitu dp / dx ; garis singgung ini akan<br />

memotong sumbu-x di x 1 0<br />

yang berposisi tergeser sebesar ∆ x dari<br />

0<br />

posisi x 0 0 0 0<br />

0 ∆p(<br />

x )<br />

. Karena dp / dx = p(<br />

x ) / ∆x<br />

maka ∆ x =<br />

0<br />

( dp / dx)<br />

dan karena ∆p( x<br />

0 ) bernilai negatif maka kita dapat menentukan x 1<br />

yaitu<br />

0<br />

1 0 0 0 ∆p(<br />

x )<br />

x = x + ∆x<br />

= x +<br />

0<br />

( dy / dx)<br />

x 1 akan memberikan p ( x<br />

1 ) yang memungkinkan kita menghitung<br />

1 1<br />

1<br />

∆ x = ∆p( x )/( dp / dx)<br />

yang akan memberikan x 2 ; dan demikian<br />

seterusnya sampai kita mendapatkan<br />

p ( x n ) ≈ 0 .<br />

n<br />

∆x<br />

yang akan memberikan<br />

Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan<br />

sebagai berikut:<br />

Jika x k adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka<br />

k −1<br />

k k −1<br />

∆p(<br />

x )<br />

x = x +<br />

(5.18)<br />

k −1<br />

dp dx<br />

(<br />

Persamaan (5.18) inilah persamaan rekursi atau formula iterasi.<br />

/<br />

)<br />

205


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Uraian di atas adalah untuk persamaan (5.17) dimana ruas kanan<br />

bernilai nol. Kita tinjau sekarang persamaan dengan ruas kanan<br />

tidak bernilai nol, yang kita tuliskan sebagai<br />

p ( x)<br />

= P<br />

(5.19)<br />

dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai<br />

fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi x sol<br />

yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan<br />

garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3.<br />

p<br />

p( x<br />

0 )<br />

p(x)<br />

P<br />

sol<br />

x<br />

p(<br />

x<br />

1 )<br />

2 1<br />

x x 1<br />

0<br />

∆x ∆x<br />

Gb.5.3. Proses iterasi untuk persamaan<br />

p ( x)<br />

= P .<br />

0<br />

Untuk persamaan (5.19) ini ∆ x adalah<br />

0<br />

0 P + ∆p<br />

∆ x = x<br />

(5.20)<br />

0<br />

( dp / dx)<br />

Kita coba untuk memahami persamaan terakhir ini.<br />

∆ p 0 P p( x 0 x = − ) adalah perbedaan antara nilai fungsi yang<br />

seharusnya, yaitu P, dengan nilai fungsi jika dugaan awal peubah<br />

x 0 kita terapkan; perbedaan ini bernilai negatif. Perbedaan ini<br />

harus dikoreksi dengan mengoreksi dugaan awal sebesar ∆x 0<br />

sehingga nilai peubah berubah dari x 0<br />

1 0 0<br />

menjadi x = x + ∆x<br />

;<br />

koreksi inilah koreksi terhadap dugaan awal. Setelah koreksi awal<br />

ini, perbedaan nilai fungsi terhadap nilai seharusnya adalah<br />

1 ( x 1 0<br />

∆ p = P − p ) yang lebih kecil dari ∆p<br />

yang berarti nilai<br />

fungsi mendekati P. Koreksi peubah kita lakukan lagi untuk lebih<br />

mendekat lagi ke P; langkah koreksi ini merupakan iterasi<br />

pertama. Pada iterasi pertama ini kita akan memperoleh<br />

206 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)<br />

0<br />

x<br />

0<br />

dp / dx<br />

x<br />

0 1<br />

p(<br />

x ) − p(<br />

x )


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

perbedaan ∆p 2 P p( x 2<br />

x = − ) yang mungkin masih harus di koreksi<br />

lagi pada itersi ke-dua. Demikian seterusnya sampai kita peroleh<br />

n<br />

( P − p(<br />

x )) ≈ 0 . Dalam perjalanan menuju P tersebut alur yang<br />

kita lewati adalah kurva p(x). Secara umum, pada iterasi ke-k kita<br />

akan mempunyai persamaan yang memberikan perbedaan nilai<br />

fungsi dengan nilai seharusnya, yaitu<br />

k<br />

k k<br />

( dp / dx ∆x<br />

(5.21)<br />

∆ p = )<br />

Dengan pemahaman ini kita lanjutkan pengamatan pada<br />

persamaan dengan dua peubah.<br />

Persamaan Dengan Dua Peubah. Sepasang persamaan dengan<br />

dua peubah kita tuliskan sebagai<br />

p(<br />

x,<br />

y)<br />

= P<br />

q(<br />

x,<br />

y)<br />

= Q<br />

(5.22)<br />

dengan P dan Q adalah tetapan. Kita harus melakukan iterasi<br />

untuk dua peubah x dan y. Dugaan solusi awal memberikan<br />

persamaan yang merupakan pengembangan dari (15.21) yaitu<br />

∆p<br />

∆q<br />

0<br />

0<br />

= P − p(<br />

x<br />

= P − q(<br />

x<br />

0<br />

0<br />

, y<br />

, y<br />

0<br />

0<br />

) = ( ∂p<br />

/ ∂x)<br />

) = ( ∂q<br />

/ ∂x)<br />

0<br />

0<br />

∆x<br />

∆x<br />

0<br />

0<br />

+ ( ∂p<br />

/ ∂y)<br />

+ ( ∂q<br />

/ ∂y)<br />

0<br />

0<br />

∆y<br />

∆y<br />

0<br />

0<br />

(5.23)<br />

yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />

⎡∆p⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆q⎦<br />

0<br />

⎡∂p<br />

/ ∂x<br />

= ⎢<br />

⎣∂p<br />

/ ∂x<br />

∂p<br />

/ ∂y⎤<br />

∂p<br />

/ ∂y<br />

⎥<br />

⎦<br />

0<br />

⎡∆x⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆y⎦<br />

0<br />

= J<br />

0<br />

⎡∆x⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆y⎦<br />

0<br />

(5.24)<br />

Matriks 2×2 turunan parsial terhadap x dan y disebut jacobian dan<br />

dinyatakan dengan J. Apabila ∆p 0 dan ∆q 0 tidak bernilai nol maka<br />

⎡∆x⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆y⎦<br />

0<br />

=<br />

−1<br />

( J )<br />

0<br />

⎡∆p⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆q⎦<br />

0<br />

(5.25)<br />

Inilah persamaan untuk menentukan besar koreksi. Dengan (5.25)<br />

ini dapat dihitung ∆x 0 dan ∆y 0 sehingga dapat diperoleh x 1 dan y 1<br />

untuk iterasi selanjutnya.<br />

207


1<br />

⎡x⎤<br />

⎢ ⎥<br />

⎣y⎦<br />

⎡x<br />

+ ∆x⎤<br />

= ⎢ ⎥<br />

⎣y<br />

+ ∆y⎦<br />

0<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

(5.26)<br />

Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaanpersamaan<br />

sebagai berikut:<br />

k<br />

k<br />

⎡∆p⎤<br />

⎡P<br />

− p(<br />

x)<br />

⎤<br />

1). ⎢<br />

q<br />

⎥ ≡ ⎢<br />

P p y<br />

⎥ ;<br />

⎣∆<br />

⎦ ⎣ − ( ) ⎦<br />

k<br />

k ⎡∂p<br />

/ ∂x⎤<br />

3). J = ⎢<br />

p y<br />

⎥ ;<br />

⎣∂<br />

/ ∂ ⎦<br />

k<br />

k<br />

⎡∆p⎤<br />

k ⎡∆x⎤<br />

2). ⎢ J<br />

q<br />

⎥ = ⎢<br />

y<br />

⎥ ;<br />

⎣∆<br />

⎦ ⎣∆<br />

⎦<br />

k<br />

k<br />

⎡∆x⎤<br />

−1 k ⎡∆p⎤<br />

4). ⎢ = ( J )<br />

y<br />

⎥ ⎢<br />

q<br />

⎥<br />

⎣∆<br />

⎦ ⎣∆<br />

⎦<br />

(5.27)<br />

Persamaan pertama (5.27) yang berupa identitas akan menentukan<br />

perlu tidaknya dilakukan koreksi (iterasi) lagi terhadap hasil<br />

perhitungan sebelumnya; oleh karena itu persamaan ini disebut<br />

corrective force. Identitas ini menjadi ruas kiri persamaan ke-dua,<br />

yang terkait dengan koreksi peubah yang harus dilakukan melalui<br />

jacobian J k yang nilainya diberikan oleh persamaan ke-tiga. Besar<br />

koreksi yang harus dilakukan diberikan oleh persamaan ke-empat.<br />

Setelah koreksi dilakukan, kita kembali pada persamaan pertama<br />

untuk melihat perlu tidaknya iterasi dilanjutkan lagi.<br />

5.4.2. Aplikasi Pada <strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Berapa banyak peubah yang harus ditentukan dalam satu jaringan<br />

transmisi diberikaan oleh (5.16). Namun dalam menuliskan<br />

persamaan aliran daya, kita memperlakukan semua bus sebagai<br />

bus-beban, agar penulisan lebih terstruktur; ini berarti bahwa<br />

semua bus megandung dua peubah yaitu tegangan dan sudut<br />

fasanya, walupun ada peubah yang sudah ditetapkan di beberapa<br />

bus-generator.<br />

Karena slack-bus ditetapkan sebagai bus nomer-1, dengan<br />

o<br />

tegangan 1∠<br />

0 pu , maka kita bekerja mulai dari bus-2, dan nilai<br />

peubah yang harus dicari agar persamaan aliran daya terpenuhi<br />

adalah tegangan serta sudut fasa di setiap bus yaitu (V 2 , V 3 , V i ,...,<br />

V n ) dan (ψ 2 , ψ 3 , …., ψ i , … ψ n ). Pengembangan dari (5.28) untuk<br />

jaringan transmisi dengan n bus adalah sebagai berikut:<br />

208 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

209<br />

k<br />

nk<br />

k<br />

n<br />

n<br />

nk<br />

k<br />

nk<br />

k<br />

n<br />

n<br />

nk<br />

k<br />

nk<br />

k<br />

n<br />

n<br />

k<br />

V<br />

q<br />

Q<br />

V<br />

q<br />

Q<br />

V<br />

p<br />

P<br />

V<br />

p<br />

P<br />

V<br />

p<br />

P<br />

q<br />

q<br />

p<br />

p<br />

p<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

ψ<br />

−<br />

ψ<br />

−<br />

ψ<br />

−<br />

ψ<br />

−<br />

ψ<br />

−<br />

≡<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

∆<br />

∆<br />

∆<br />

∆<br />

∆<br />

=<br />

∆<br />

)<br />

,.......,<br />

(<br />

)<br />

,.......,<br />

(<br />

)<br />

,.......,<br />

(<br />

)<br />

,.......,<br />

(<br />

)<br />

,.......,<br />

(<br />

~<br />

1).<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

2<br />

M<br />

M<br />

M<br />

M<br />

u (5.28.a)<br />

k<br />

k<br />

k<br />

x<br />

J<br />

u<br />

∆<br />

=<br />

∆ ~<br />

).<br />

2 (5.28.b)<br />

k<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

n<br />

k<br />

q<br />

q<br />

V<br />

q<br />

V<br />

q<br />

V<br />

q<br />

q<br />

q<br />

V<br />

q<br />

V<br />

q<br />

V<br />

q<br />

p<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

p<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

p<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

V<br />

p<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂ψ<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

∂<br />

=<br />

2<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

2<br />

3<br />

2<br />

3<br />

3<br />

3<br />

3<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3<br />

2<br />

2<br />

2<br />

3).<br />

L<br />

L<br />

M<br />

L<br />

L<br />

L<br />

L<br />

M<br />

L<br />

L<br />

L<br />

L<br />

J (5.28.c)<br />

( ) k<br />

k<br />

k<br />

n<br />

n<br />

k<br />

V<br />

V<br />

V<br />

u<br />

J<br />

x<br />

~<br />

~<br />

4).<br />

1<br />

2<br />

3<br />

2<br />

∆<br />

=<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

⎤<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

⎡<br />

∆ψ<br />

∆ψ<br />

∆<br />

∆<br />

∆<br />

≡<br />

∆<br />

−<br />

M<br />

M<br />

(5.28.d)<br />

Kiranya perlu kita fahami arti dari persamaan-persamaan (5.28)<br />

sebelum kita melangkah lebih lanjut.<br />

u ~k<br />

∆ adalah vektor yang berisi perbedaan nilai daya di setiap<br />

bus terhadap nilai daya yang ditetapkan untuk setiap bus yang


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

bersangkutan pada iterasi ke-k, baik daya nyata maupun daya<br />

reaktif.<br />

~<br />

k<br />

∆ x adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus,<br />

yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi<br />

ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu<br />

menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh ∆<br />

~ x<br />

0 untuk<br />

melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1<br />

diperoleh ∆<br />

~ x<br />

1 untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan<br />

seterusnya.<br />

Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan<br />

daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan<br />

tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa<br />

daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh<br />

karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang<br />

ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k,<br />

merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan<br />

vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k.<br />

Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa<br />

dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan<br />

peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak<br />

sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan<br />

relasi (5.28.d), ~ k −1<br />

k k<br />

∆x<br />

= ( J ) ∆u<br />

~ . Inversi matriks jacobian<br />

dalam relasi ini, akan kita fahami dengan meninjau sistem<br />

dengan dua bus seperti dalam contoh berikut.<br />

5.4.3. CONTOH <strong>Sistem</strong> Dua Bus<br />

Untuk melihat aplikasi dalam perhitungan kita akan melihat sistem<br />

dua bus seperti pada gambar berikut. Contoh ini diambil dari buku<br />

referensi [3], sedangkan perhitungan-perhitungan dilakukan secara<br />

manual dengan menggunakan “excel”. Cara ini akan membuat kita<br />

memahami langkah demi langkah proses perhitungan; hasil<br />

perhitungan yang kita lakukan ini sedikit berbeda dengan apa yang<br />

tercantum dalam buku referensi. Diagram rangkaian untuk contoh<br />

ini terlihat pada halaman berikut, dimana saluran transmisi<br />

digambarkan sebagai rangkaian ekivale π.<br />

210 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

P bus -1<br />

1 ,Q 1<br />

z = 20 + 80<br />

V1 = 1∠0<br />

y p<br />

o<br />

pu<br />

−3<br />

= 0,27 × 10 S<br />

12 j<br />

y p<br />

bus - 2<br />

S B 2<br />

=<br />

1+<br />

j1pu<br />

V2<br />

= V2∠ψ<br />

2 pu<br />

Bus-1 adalah bus-generator tanpa beban langsung. Bus-2 adalah<br />

bus-beban.<br />

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data<br />

jaringan; kemudian data jaringan ini kita nyatakan dalam per unit<br />

dengan memilih suatu nilai basis tertentu. Data jaringan adalah:<br />

o<br />

z12<br />

= 20 + j80<br />

= 82,4621∠<br />

75,96 Ω<br />

o<br />

o<br />

y12<br />

= 1/82,4621∠<br />

75,96 = 0,012127∠ − 75,96<br />

= 0,002941−<br />

j0,011765S<br />

−3<br />

y p = j0,27<br />

× 10 S<br />

y11<br />

= y22<br />

= y12<br />

+ y p = 0,002942 − j0,011495<br />

o<br />

= 0,011865∠ − 75,65<br />

S<br />

Besaran-besaran dinyatakan dalam per-unit setelah ditetapkan nilai<br />

basis.<br />

S<br />

basis<br />

⇒ Z<br />

= 100 MVA ;<br />

basis<br />

= 100 / 230<br />

2<br />

V<br />

basis<br />

= 529 Ω;<br />

= 230 kV<br />

Y<br />

basis<br />

→ Y12<br />

= Y21<br />

= −y12<br />

Y12<br />

= Y21<br />

= 0,012127/ 0,00189 = 6,4151<br />

o<br />

θ12<br />

= θ21<br />

= −75,96<br />

+ 180 = 104,04<br />

o<br />

→ Y11<br />

= Y22<br />

= 6,2766; θ11<br />

= θ22<br />

= −75,65<br />

Peubah dan daya yang ditetapkan di bus adalah:<br />

Bus -1: V<br />

1<br />

Bus - 2 : P<br />

V<br />

2<br />

2<br />

= 1;<br />

ψ<br />

1<br />

= −1;<br />

Q<br />

dan ψ<br />

= 0<br />

2<br />

2<br />

o<br />

= −1;<br />

( slack bus)<br />

(bus - beban)<br />

(harus dihitung)<br />

= 1/ 529 = 0,001890 S<br />

211


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Matriks Y-bus. Dari perhitungan di atas kita peroleh matriks Y bus<br />

sebagai berikut<br />

⎡Y<br />

⎤ ⎡<br />

o<br />

o<br />

11 Y12<br />

6,2766∠ − 75,64 6,4151∠104,04<br />

⎤<br />

Y = ⎢ ⎥ = ⎢<br />

o<br />

o ⎥ (5.29)<br />

bus<br />

⎣Y21<br />

Y22<br />

⎦ ⎢⎣<br />

6,4151∠104,04<br />

6,2766∠ − 75,64 ⎥⎦<br />

[ ]<br />

Persamaan Aliran Daya dan Jacobian. Secara umum, persamaan<br />

aliran daya di bus-i adalah<br />

n<br />

pi<br />

= Vi∠ψ<br />

2∑YijV<br />

j cos( −θij<br />

− ψ j )<br />

j = 1<br />

n<br />

qi<br />

= Vi∠ψ<br />

2∑YijV<br />

j sin( −θij<br />

− ψ j )<br />

j = 1<br />

Untuk bus-2 persamaan ini menjadi<br />

p2<br />

= V2[<br />

Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22V2<br />

cos( ψ2<br />

− θ22<br />

− ψ2)]<br />

= V2[<br />

Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22V2<br />

cos( −θ22<br />

]<br />

q2<br />

= V2[<br />

Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22V2<br />

sin( ψ2<br />

− θ22<br />

− ψ2)]<br />

= V2[<br />

Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22V2<br />

sin( −θ22<br />

)]<br />

(5.30)<br />

Daya nyata maupun reaktif untuk bus-2, dituliskan dengan huruf<br />

kecil karena ia masih akan berubah menuju nilai yang ditetapkan<br />

yaitu P 2 dan Q 2 .<br />

Nilai yang sudah tetap, yaitu V 1 = 1,<br />

ψ1<br />

= 0 di slack bus, dan<br />

elemen-elemen matriks Y bus , dapat kita masukkan ke dalam<br />

persamaan daya untuk mendapatkan persamaan yang lebih<br />

sederhana. Namun karena kita akan menggunakan excel, kita<br />

biarkan persamaan aliran daya ini seperti apa adanya agar mudah<br />

ditelusuri dalam spreadsheet.<br />

Karena kita hanya menghadapi dua persamaan daya, yaitu<br />

persamaan p dan q dengan dua peubah yaitu V 2 dan ψ 2 , maka<br />

matriks jacobian akan berukuran 2×2.<br />

dengan elemen-elemen:<br />

⎡∂p2<br />

/ ∂ψ 2 ∂p2<br />

/ ∂V2<br />

⎤<br />

J =<br />

(5.31.a)<br />

⎢<br />

⎥<br />

⎣∂q2<br />

/ ∂ψ 2 ∂q2<br />

/ ∂V2<br />

⎦<br />

212 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


∂p2<br />

= −V2Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

∂ψ 2<br />

∂p2<br />

= Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ 2Y22V2<br />

cos( −θ22<br />

]<br />

∂V2<br />

∂q2<br />

= V2Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

∂ψ 2<br />

∂q2<br />

= Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ 2Y22V<br />

2 sin( −θ22)]<br />

∂V2<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

(5.31.b)<br />

Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal<br />

daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke<br />

nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita<br />

sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal<br />

0<br />

~ 0<br />

⎡ψ ⎤ ⎡0⎤<br />

x ≡ ⎢ 2<br />

⎥ =<br />

0 ⎢ ⎥<br />

⎢⎣<br />

V2<br />

⎥⎦<br />

⎣1⎦<br />

(5.32)<br />

Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30)<br />

untuk mendapatkan nilai<br />

0<br />

p 2<br />

0<br />

dan q 2 . Darisini kita peroleh<br />

corrective force:<br />

0<br />

⎡∆<br />

⎤ ⎡ 0<br />

− − ⎤<br />

∆<br />

~ 0 p2<br />

1 p<br />

u = ⎢ ⎥ == 2<br />

⎢ ⎥<br />

⎣∆q<br />

0<br />

2⎦<br />

⎢⎣<br />

−1−<br />

q2<br />

⎥⎦<br />

(5.33)<br />

Corrective force menentukan besar koreksi<br />

⎡ 0 ⎤<br />

⎡ 0<br />

∆ψ<br />

− − ⎤<br />

∆<br />

~ 0 − 0 − 0<br />

≡ ⎢ 2 1<br />

⎥ = ( ) ∆<br />

~ 0 1 1 p<br />

x J u = ( J )<br />

2<br />

0<br />

⎢ 0 ⎥<br />

⎢⎣<br />

∆V2<br />

⎥⎦<br />

⎢⎣<br />

−1<br />

− q2<br />

⎥⎦<br />

(5.34)<br />

Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam<br />

perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah<br />

setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P 2 , Q 2 ,<br />

dan elemen matriks Y bus .<br />

Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan<br />

dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada<br />

secara umum dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut<br />

ini ditulis lagi data Y bus , persamaan aliran daya, kemudian<br />

diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian<br />

dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.<br />

⎡Y11<br />

bus = ⎢<br />

⎣Y21<br />

[ Y ]<br />

Y ⎤ ⎡<br />

o<br />

12 6,2766∠ − 75,64<br />

⎥ = ⎢<br />

Y<br />

o<br />

22 ⎦ ⎢⎣<br />

6,4151∠104,04<br />

o<br />

6,4151∠104,04<br />

⎤<br />

o ⎥<br />

6,2766∠ − 75,64 ⎥⎦<br />

213


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

2<br />

p2<br />

= V2Y21V1<br />

cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22<br />

( V2<br />

) cos( −θ22<br />

)<br />

2<br />

q2<br />

= V2Y21V1<br />

sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y22<br />

( V2<br />

) sin( −θ22<br />

)<br />

∆u ~<br />

∆<br />

~<br />

x<br />

∆u ~<br />

∆<br />

~<br />

x<br />

P 2 -1<br />

(tetapan)<br />

Q 2 -1<br />

ψ 2 0<br />

(dugaan<br />

-0.1169<br />

(iterasi<br />

V 2 1 awal) 0.8250 ke-1)<br />

p 2 5.29E-06 (substitusi ke -0.8149 (substitusi ke<br />

q 2 -0.14283 persamaan) -0.8109 persamaan)<br />

∆p 2 -1.0000 -0.1851<br />

~ 0<br />

∆q 2 -0.8572 ∆ u -0.1891<br />

~1<br />

∆ u<br />

J k 6.2235 1.5559 4.9496 0.2959<br />

-1.5559 5.9379 -1.8739 4.0337<br />

(J −1 ) k 0.1508 -0.0395 0.1966 -0.0144<br />

0.0395 0.1581 0.0913 0.2412<br />

∆ψ 2 -0.1169 -0.0337<br />

~<br />

∆v 2 -0.1750 ∆ x<br />

0<br />

-0.0625<br />

~ x<br />

1 ∆<br />

P 2 -1<br />

Q 2 -1<br />

(tetapan)<br />

ψ 2 -0.1506<br />

(iterasi<br />

-0.1552<br />

(iterasi<br />

V 2 0.7625 ke-2) 0.7535 ke-3)<br />

p 2 -0.9803 (substitusi ke -0.9996 (substitusi ke<br />

q 2 -0.9784 persamaan) -0.9996 persamaan)<br />

∆p 2 -0.0197 -0.0004<br />

~ 2<br />

∆q 2 -0.0216 ∆ u -0.0004<br />

~3<br />

∆ u<br />

J k 4.5137 -0.0993 4.4518 -0.1543<br />

-1.8849 3.3532 -1.8830 3.2551<br />

(J −1 ) k 0.2243 0.0066 0.2292 0.0109<br />

0.1261 0.3020 0.1326 0.3135<br />

∆ψ 2 -0.0046 -0.0001<br />

~<br />

∆v 2 -0.0090 ∆ x<br />

2<br />

-0.0002<br />

~ x<br />

3 ∆<br />

214 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

∆u ~<br />

∆<br />

~<br />

x<br />

P 2 -1<br />

Q 2 -1<br />

ψ 2 -0.1553 (iterasi<br />

V 2 0.7533<br />

ke-4)<br />

p 2 -0.99999983 (substitusi ke<br />

q 2 -0.99999981 persamaan)<br />

∆p 2 -2.0000<br />

∆q 2 -2.0000<br />

~ 4<br />

∆ u<br />

J k 4.4505 -0.1554<br />

-1.8829 3.2531<br />

(J −1 ) k 0.2293 0.0110<br />

0.1327 0.3137<br />

∆ψ 2 -0.4806<br />

∆v 2 -0.8930<br />

P 1 1.1229<br />

Q 1 1.2677<br />

(tetapan)<br />

∆<br />

~ x<br />

4<br />

Iterasi ke-5 tidak<br />

dilakukan.<br />

4 4<br />

p2<br />

dan<br />

q 2 sudah<br />

dianggap sama<br />

dengan P 2 dan Q 2<br />

yang ditetapkan<br />

3<br />

3<br />

Sampai iterasi ke-3, nilai p 2 ≈ −1<br />

dan q2<br />

≈ −1<br />

. Pada iterasi ke-4<br />

nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P 2 dan Q 2<br />

yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan<br />

lagi.<br />

Profil Tegangan <strong>Sistem</strong> dan Daya Pada Bus-Generator. Pada<br />

Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini<br />

sebagai berikut<br />

o<br />

V1<br />

= 1pu; ψ1<br />

= 0<br />

o<br />

V2<br />

= 0,7533 pu ; ψ 2 = −0,1553 rad = -8.90<br />

dengan diagram fasor:<br />

Pada kondisi ini, daya yang dialirkan ke<br />

saluran transmisi dari bus-1 dan bus-2 adalah<br />

P1<br />

= 1,12 pu ; Q1<br />

= 1,27 pu (bus - generator)<br />

P2<br />

= −1<br />

pu ; Q2<br />

= −1<br />

pu (bus - beban)<br />

Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut<br />

daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P 1 dan P 2 cukup<br />

besar pula yaitu P sal = 1 ,12 −1<br />

= 0,12 pu ≈ 12%. (P 1 dan Q 1 pada<br />

iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir).<br />

V 2<br />

V 1<br />

215


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

5.6.4 CONTOH <strong>Sistem</strong> Tiga Bus<br />

Contoh ini juga diambil dari buku referensi [3]. Seperti pada contoh<br />

sebelumnya, perhitungan-perhitungan di sini dilakukan secara<br />

manual dengan menggunakan excel.<br />

Diagram rangkaian beserta data jaringan yang diketahui diberikan<br />

berikut ini.<br />

S G1<br />

G 1<br />

o<br />

V1 = 1∠0<br />

pu<br />

bus -1<br />

y12 = − j10 pu<br />

bus - 2<br />

SB1<br />

S B1 = 2 pu<br />

y13 = − j15 pu<br />

y23 = − j12 pu<br />

V3<br />

= 1.1<br />

P3<br />

= 2.0<br />

− j2 pu<br />

2,5 pu<br />

j1,2 pu<br />

bus - 3<br />

S G3 S 2.5 1,2 2 2,5 0,8<br />

G B 2 = + j − j = − j<br />

3<br />

Sbasis<br />

= 100 MVA, Vbasis<br />

= 230 V<br />

2<br />

Zbasis<br />

= 230 /100 = 529 Ω,<br />

Ybasis<br />

= 1/529 = 0,00189 S<br />

G 1 = 300 MVA, 15 kV<br />

G 3 = 250 MVA, 15 kV<br />

Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line.<br />

Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit:<br />

o<br />

o<br />

o<br />

Y11<br />

= y12<br />

+ y13<br />

= 25∠ − 90 ; Y12<br />

= − y12<br />

= 10∠90<br />

; Y13<br />

= − y13<br />

= 15∠90<br />

o<br />

o<br />

o<br />

Y22<br />

= y12<br />

+ y23<br />

= 22∠ − 90 ; Y21<br />

= − y21<br />

= 10∠90<br />

; Y23<br />

= −y23<br />

= 12∠90<br />

o<br />

o<br />

o<br />

Y33<br />

= y31<br />

+ y32<br />

= 27∠ − 90 ; Y31<br />

= − y31<br />

= 15∠90<br />

; Y32<br />

= − y32<br />

= 12∠90<br />

Matriks Y bus . Dari perhitungan di atas kita dapatkan matriks<br />

sebagai berikut:<br />

⎡ o<br />

o<br />

o<br />

⎡Y<br />

⎤<br />

11 Y12<br />

Y13<br />

⎤ 25∠ − 90 10∠90<br />

15∠90<br />

⎢<br />

⎥ ⎢ o<br />

o<br />

o ⎥<br />

Y =<br />

⎢<br />

Y21<br />

Y22<br />

Y23<br />

⎥<br />

= ⎢ 10∠90<br />

22∠ − 90 12∠90<br />

⎥ (5.35)<br />

bus<br />

⎢<br />

⎥ ⎢ o<br />

o<br />

o ⎥<br />

⎣Y31<br />

Y32<br />

Y33<br />

⎦ ⎢<br />

15∠90<br />

12∠90<br />

27∠ − 90<br />

⎣<br />

⎥⎦<br />

216 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Peubah-Peubah Dan Pembebanan Pada Bus.<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

o<br />

Bus-1: slack bus, V 1 = 1 ψ1<br />

= 0 . Daya di bus P 1 dan Q 1 ini<br />

tergantung dari profil tegangan di semua bus; jadi P 1 dan Q 1<br />

merupakan peubah tak bebas.<br />

Bus-2: bus-beban. Beban di bus ini dinyatakan dengan resistor<br />

yang menyerap daya nyata P R = 2,5 pu , terhubung seri dengan<br />

ystem r yang menyerap daya reaktif Q L = j1,2 pu . Sebuah<br />

kapasitor dihubungkan ke bus-2 dan menyerap daya reaktif<br />

sebesar Q C = − j2<br />

. Total beban yang tersambung ke bus-2<br />

menjadi S B 2 = 2,5 − j0,<br />

8 . Beban di bus-2 yang mengalir ke<br />

saluran transmisi menjadi P 2 = −2,5<br />

dan Q2<br />

= j0,<br />

8 . Peubah di<br />

bus ini adalah tegangan dan sudut fasanya, V 2 dan ψ 2 .<br />

Bus-3: bus-generator. Daya nyata dari generator di diberikan<br />

melalui pengaturan masukan uap (di turbin) sebesar P 3 = 2,0 pu<br />

sedangkan tegangan diatur melalui arus eksitasi sebesar<br />

V 3 = 1,1pu ; oleh karena itu peubah di bus ini tinggallah sudut<br />

fasa tegangan ψ 3 .<br />

Jadi peubah yang ada pada ystem ini adalah V 2, ψ2,<br />

dan ψ3<br />

.<br />

Persamaan Aliran Daya. Bentuk umum persamaan aliran daya<br />

adalah<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

pi<br />

= Vi<br />

⎜∑<br />

Yij<br />

V j cos( ψi<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

⎟<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

qi<br />

= Vi<br />

⎜∑<br />

Yij<br />

V j sin( ψi<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

⎟<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2<br />

dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi<br />

adalah P 2 = −2,5<br />

dan Q2<br />

= 0, 8 . Sedangkan di bus-3 daya nyata<br />

yang harus dicapai adalah P 2 = 2, 0 . Jadi dalam ystem ini<br />

diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu<br />

persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p 2 ,<br />

p 3 , dan q 2 .<br />

217


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

p2<br />

= V2Y21V<br />

1cos(<br />

ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ V2Y23V<br />

3 cos( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

2<br />

+ Y22<br />

( V2<br />

) cos( −θ22)]<br />

p3<br />

= V3Y<br />

31V<br />

1 cos( ψ3<br />

− θ31<br />

− ψ1)<br />

+ V3Y<br />

32V2<br />

cos( ψ3<br />

− θ32<br />

− ψ2)<br />

(5.36)<br />

2<br />

+ Y33(<br />

V3)<br />

cos( −θ33)]<br />

q2<br />

= V2Y21V<br />

1sin(<br />

ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ V2Y23V<br />

3 sin( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

2<br />

+ Y22<br />

( V2)<br />

sin( −θ22)]<br />

Jacobian. Persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan<br />

seperti ditunjukkan oleh (5.36) dengan tiga peubah yaitu<br />

V 2, ψ2,<br />

dan ψ3<br />

. Matriks jacobian akan berukuran 3×3, yaitu<br />

∂p2<br />

/ ∂ψ 2 ∂p2<br />

/ ∂ψ3<br />

∂p2<br />

/ ∂V2<br />

J = ∂p3<br />

/ ∂ψ2<br />

∂p3<br />

/ ∂ψ3<br />

∂p3<br />

/ ∂V2<br />

(5.37.a)<br />

∂q2<br />

/ ∂ψ 2 ∂q2<br />

/ ∂ψ3<br />

∂q2<br />

/ ∂V2<br />

Elemen-elemen matriks ini adalah<br />

∂p2<br />

= −V2Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

−V2Y23V3<br />

sin( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂ψ 2<br />

∂p2<br />

= + V2Y23V3<br />

sin( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂ψ3<br />

∂p2<br />

= Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y23V3<br />

cos( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂V2<br />

+ 2Y22V<br />

2 cos( −θ22)]<br />

∂p3<br />

= + V3Y32V<br />

2 sin( ψ3<br />

− θ32<br />

− ψ2)<br />

∂ψ 2<br />

∂p3<br />

= −V3Y<br />

31V1<br />

sin( ψ3<br />

− θ31<br />

− ψ1)<br />

−V3Y32V<br />

2 sin( ψ3<br />

− θ32<br />

− ψ2)<br />

∂ψ3<br />

∂p3<br />

= + V3Y32<br />

cos( ψ3<br />

− θ32<br />

− ψ2)<br />

∂V2<br />

∂q2<br />

= V2Y21V<br />

1 cos( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ V2Y23V<br />

3 cos( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂ψ 2<br />

∂q2<br />

= −V2Y23V<br />

3 cos( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂ψ3<br />

∂q2<br />

= Y21V<br />

1 sin( ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ Y23V3<br />

sin( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

∂V2<br />

(5.37.b)<br />

+ 2Y22V<br />

2 sin( −θ22)<br />

218 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Dugaan Awal dan Iterasi. Kita coba dugaan awal<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

⎡ 0<br />

V ⎤<br />

2 ⎡1⎤<br />

⎢ ⎥<br />

∆<br />

~ 0 0<br />

x ≡ =<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ψ<br />

2 ⎥ ⎢<br />

0<br />

⎥<br />

(5.38)<br />

⎢ 0 ⎥ ⎢⎣<br />

⎥<br />

⎢<br />

ψ<br />

⎣<br />

3 ⎥<br />

0<br />

⎦ ⎦<br />

Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya untuk<br />

mendapatkan corrective force:<br />

Besar koreksi<br />

⎡ 0 ⎤ ⎡ 0<br />

⎡∆p<br />

⎤<br />

2 ⎤ P2<br />

− p2<br />

− 2,5 − p2<br />

0 ⎢ ⎥ ⎢<br />

0<br />

⎥ ⎢<br />

0<br />

⎥<br />

∆u ~<br />

≡<br />

⎢<br />

∆p3<br />

⎥<br />

= ⎢P3<br />

− p3<br />

⎥ = ⎢ 2 − p3<br />

⎥ (5.39)<br />

⎢ ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 0 ⎥<br />

⎣∆q2<br />

⎦ ⎢<br />

Q −<br />

⎥ ⎢<br />

−<br />

⎣<br />

2 q2<br />

0,8 q<br />

⎦ ⎣<br />

2 ⎥⎦<br />

⎡ 0<br />

− 2,5 − p ⎤<br />

2<br />

⎢ ⎥<br />

∆<br />

~ 0 −1<br />

0 0 −1<br />

0 0<br />

x = ( J ) ∆u<br />

~<br />

= ( J ) ⎢ 2 − p3<br />

⎥<br />

(5.40)<br />

⎢ 0 ⎥<br />

⎢<br />

0,8 − q<br />

⎣ 2 ⎥⎦<br />

Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan<br />

dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada<br />

dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi<br />

data Y bus , persamaan aliran daya, formulsi jacobian, kemudian<br />

diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian<br />

dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.<br />

Y bus<br />

⎡Y11<br />

=<br />

⎢<br />

⎢<br />

Y21<br />

⎢⎣<br />

Y31<br />

Y12<br />

Y22<br />

Y32<br />

⎡ o<br />

Y13<br />

⎤ 25∠ − 90<br />

⎥ ⎢ o<br />

Y23<br />

⎥<br />

= ⎢ 10∠90<br />

⎥ ⎢ o<br />

Y33<br />

⎦ ⎢<br />

15∠90<br />

⎣<br />

o<br />

10∠90<br />

o<br />

22∠ − 90<br />

o<br />

12∠90<br />

o<br />

15∠90<br />

⎤<br />

o ⎥<br />

12∠90<br />

⎥<br />

o<br />

27∠ − 90 ⎥<br />

⎥⎦<br />

p2<br />

= V2Y21V<br />

1cos(<br />

ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ V2Y23V<br />

3 cos( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

2<br />

+ Y22<br />

( V2<br />

) cos( −θ22)]<br />

p3<br />

= V3Y<br />

31V<br />

1 cos( ψ3<br />

− θ31<br />

− ψ1)<br />

+ V3Y<br />

32V2<br />

cos( ψ3<br />

− θ32<br />

− ψ2)<br />

2<br />

+ Y33(<br />

V3)<br />

cos( −θ33)]<br />

q2<br />

= V2Y21V<br />

1sin(<br />

ψ2<br />

− θ21<br />

− ψ1)<br />

+ V2Y23V<br />

3 sin( ψ2<br />

− θ23<br />

− ψ3)<br />

2<br />

+ Y22<br />

( V2)<br />

sin( −θ22)]<br />

219


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

∂p<br />

∂q<br />

2<br />

3<br />

2<br />

/ ∂ψ<br />

/ ∂ψ<br />

2<br />

J = ∂p<br />

/ ∂ψ<br />

2<br />

2<br />

∂p<br />

∂q<br />

2<br />

3<br />

2<br />

/ ∂ψ<br />

/ ∂ψ<br />

3<br />

∂p<br />

/ ∂ψ<br />

3<br />

3<br />

∂p<br />

∂q<br />

2<br />

3<br />

2<br />

/ ∂V<br />

2<br />

∂p<br />

/ ∂V<br />

2<br />

/ ∂V<br />

2<br />

p,q<br />

∆u ~<br />

P 2 -2.5<br />

P 3 2<br />

Q 2 0.8<br />

ψ 1 0<br />

V 1 1<br />

(tetapan)<br />

ψ 2 0 -0.0929<br />

V 2 1 (dugaan awal) 1.0962<br />

ψ 3 0<br />

0.0260<br />

V 3 1.1 (tetapan)<br />

p 2 0.0000 (substitusi ke -2.7349<br />

p 3 3E-15 persamaan aliran 2.2399<br />

q 2 -1.2000<br />

daya)<br />

1.1530<br />

∆p<br />

2 -2.5 ~ 0<br />

∆ u<br />

0.2349<br />

∆p<br />

3 2 -0.2399<br />

∆q<br />

2 2.0000<br />

J k 23.2000 -13.2000 0.0000<br />

-13.2000<br />

0.0000 0.0000<br />

29.700<br />

0 0.0000 -14.3669<br />

(iterasi ke-1)<br />

(substitusi ke<br />

persamaan aliran<br />

daya)<br />

~1<br />

∆ u<br />

-0.3530<br />

25.281<br />

2 -14.3669 -2.4950<br />

20.800<br />

0 -2.7349 1.7175<br />

30.861<br />

4 1.5668<br />

25.167<br />

3<br />

0.0577 0.0256 0.0000 0.0542 0.0250 0.0038<br />

(J -1 ) k 0.0256 0.0451 0.0000 0.0250 0.0441 -0.0003<br />

0.0000 0.0000 0.0481 0.0042 -0.0003 0.0402<br />

∆<br />

~<br />

x<br />

ψ 2 -0.0929 0.0054<br />

~<br />

ψ 3 0.0260 x<br />

0<br />

-0.0046<br />

V 2 0.0962<br />

∆<br />

-0.0131<br />

~ x<br />

1 ∆<br />

220 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

p,q<br />

∆ u ~<br />

P 2 -2.5<br />

P 3 2<br />

Q 2 0.8<br />

(tetapan)<br />

ψ 1 0<br />

V 1 1<br />

ψ 2 -0.0876 -0.0874<br />

V 2 1.0830 (iterasi ke-2) 1.0828<br />

ψ 3 0.0214<br />

0.0217<br />

V 3<br />

(tetapan)<br />

p 2 -2.5023 (substitusi ke -2.5000<br />

p 3 1.9963 persamaan aliran 1.9998<br />

q 2 0.8049 daya) 0.8000<br />

∆p 2 0.0023 0.0000<br />

~ 2<br />

∆p 3 0.0037 ∆ u<br />

0.0002<br />

∆q 2 -0.0049<br />

24.9999 -14.2111 -2.3105<br />

J k -14.2111 30.7073 1.4359<br />

-2.5023 1.5551 24.5698<br />

0.0000<br />

(iterasi ke-3)<br />

(substitusi ke<br />

persamaan aliran<br />

daya)<br />

~3<br />

∆ u<br />

Proses iterasi dihentikan;<br />

nilai p 2 , p 3 , dan q 2 sudah<br />

dapat dianggap sama dengan<br />

0.0546 0.0251 0.0037<br />

nilai tetapan yang diberikan<br />

(J -1 ) k 0.0251 0.0442 -0.0002<br />

yaitu<br />

0.0040 -0.0002 0.0411<br />

P 2 = −2,5 P 3 = 2 Q 2 = 0,8<br />

ψ 2 0.0002<br />

∆<br />

~ x<br />

2<br />

∆<br />

~<br />

x<br />

ψ 3 0.0002<br />

V 2 -0.0002<br />

P 1 0.5876<br />

Q 1 -2.2832<br />

Q 3 1.9653<br />

P 12 -0.9448<br />

Q 12 0.7870<br />

P 13 0.3573<br />

Q 13 1.4961<br />

P 31 -0.3573<br />

Q 31 -1.6539<br />

P 32 -1.5552<br />

Q 32 -0.3115<br />

P 21 -0.9448<br />

Q 21 0.9382<br />

P 23 -1.5552<br />

Q 23 -0.1382<br />

221


<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Profil Tegangan <strong>Sistem</strong>. Pada iterasi terakhir kita perloeh profil<br />

tegangan sistem tiga bus ini yaitu<br />

V<br />

V<br />

V<br />

1<br />

2<br />

3<br />

= 1 pu;<br />

= 1,08 pu<br />

= 1,1 pu<br />

ψ<br />

ψ<br />

ψ<br />

1<br />

2<br />

3<br />

= 0<br />

o<br />

= −0,0876 rad = −5,0<br />

= 0,0214 rad = 1,24<br />

Diagram fasor tegangan di tiga bus tersebut kurang lebih adalah:<br />

o<br />

o<br />

V 3<br />

V 2<br />

V 1<br />

Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya<br />

antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung<br />

menggunakan relasi<br />

∗<br />

∗ ∗ ∗ ∗ ∗<br />

Sij<br />

= Vi<br />

× Iij<br />

= Vi<br />

( Yij<br />

( Vi<br />

− V j ))<br />

= ViYij<br />

Vi<br />

− ViYij<br />

V j<br />

2<br />

⇒ Pij<br />

= YijVi<br />

cos( −θij<br />

) −ViYijV<br />

j cos( ψ1<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

2<br />

⇒ Qij<br />

= YijVi<br />

sin( −θij<br />

) −ViYijV<br />

j sin( ψ1<br />

− θij<br />

− ψ j )<br />

yang tidak lain adalah bentuk awal dari persamaan aliran daya<br />

sebelum cara penulisannya diubah untuk memperoleh bentuk<br />

pernyataan yang lebih terstruktur. Hasil perhitungan tercantum<br />

dalam bagian tabel yang diberi batas garis tebal. Dari bagian tabel<br />

tersebut kita peroleh daya kompleks antar bus dan daya kompleks<br />

di setiap bus.<br />

Bus-1:<br />

S12<br />

= −0,945<br />

+ j0,787<br />

pu<br />

S13<br />

= 0,357 + j1,496<br />

pu<br />

⇒ S1<br />

= −0,588<br />

+ j2,283<br />

pu<br />

Bus-3:<br />

S31<br />

= −0,357<br />

− j1,654<br />

pu<br />

S32<br />

= −1,555<br />

− j0.311<br />

pu<br />

⇒ S3<br />

= − j1,912<br />

− j1,965<br />

pu<br />

222 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Bus-2:<br />

S<br />

S<br />

21<br />

23<br />

⇒ S<br />

= −0,945<br />

+ j0.938<br />

pu<br />

= −1,555<br />

− j0,138<br />

pu<br />

2<br />

= −2,500<br />

+ j0,800<br />

pu<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke<br />

bus-1; daya di bus-3 S31 = −0,357<br />

− j1,654<br />

sedangkan daya di<br />

bus-1 S 13 = 0,357 + j1,496<br />

. Daya nyata yang dikirim oleh bus-3<br />

tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi<br />

karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara<br />

daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah<br />

daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar j 0,158 pu .<br />

Aliran daya di bus-2 dari arah bus-1 adalah<br />

S 21 = −0,945<br />

+ j0.938<br />

sedang dari arah bus-3<br />

S23 = −1,555<br />

− j0,138<br />

dengan jumlah yang sesuai yang<br />

ditetapkan yaitu S 2 = −2.500<br />

+ j0.800<br />

. Penyerapan daya reaktif<br />

di saluran antara bus-1 dan bus-2 adalah j 0,151 pu sedangkan<br />

antara bus-3 dan bus-2 j 0,499 pu .<br />

Bus-Generator. Kita perhatikan sekarang dua bus-generator pada<br />

sistem ini yaitu bus-1 dan bus-3. Seperti kita pelajari di bab<br />

sebelumnya, mesin sinkron memiliki batas-batas maksimum dan<br />

minimum dalam mencatu daya reaktif agar tidak over-excited<br />

ataupun under-excited. Oleh karena itu pada setiap langkah<br />

iterasi perlu dicermati apakah batas-batas tersebut tidak<br />

dilampaui. Jika pada suatu tahap iterasi batas tersebut dicapai,<br />

maka batas tersebut dijadikan besaran tetapan untuk dipakai<br />

dalam melakukan iterasi selanjutnya.<br />

Persamaan aliran daya di bus generator adalah (5.14)<br />

⎛ n<br />

⎞<br />

⎜<br />

⎟<br />

PGi<br />

− PBi<br />

= Vi<br />

⎜∑V<br />

j Yij<br />

cos( ψi<br />

− ψ j − θij<br />

)<br />

⎟<br />

⎝ j=<br />

1<br />

⎠<br />

Q<br />

Gi<br />

− Q<br />

Bi<br />

⎛<br />

⎜<br />

= Vi<br />

⎜<br />

⎝<br />

n<br />

∑<br />

j=<br />

1<br />

V<br />

j<br />

Y<br />

ij<br />

sin( ψ<br />

i<br />

− ψ<br />

j<br />

− θ<br />

ij<br />

⎞<br />

⎟<br />

)<br />

⎟<br />

⎠<br />

dan<br />

223


atau<br />

P − P = P dan Q − Q = Q<br />

Gi<br />

Bi<br />

Dengan demikian maka<br />

dan<br />

P<br />

G1<br />

Q<br />

G1<br />

⇒ S<br />

P<br />

G3<br />

Q<br />

G3<br />

⇒ S<br />

= P<br />

G1<br />

1<br />

= Q<br />

= P<br />

G3<br />

1<br />

i<br />

+ P<br />

B1<br />

+ Q<br />

B1<br />

Gi<br />

Bi<br />

= −0,588<br />

+ 2 = 1,412 pu<br />

= 2,283 + 0 = 2,283 pu<br />

= 1,412 + j2,283<br />

= 2,684∠58,3<br />

3<br />

= Q<br />

+ P<br />

3<br />

B3<br />

+ Q<br />

B3<br />

= 2,742∠45,8<br />

= −1,912<br />

+ 0 = −1,912 pu<br />

pu<br />

<strong>Analisis</strong> Aliran Daya<br />

i<br />

o<br />

pu<br />

= −1,965<br />

+ 0 = −1,965 pu<br />

Karena daya basis adalah 100 MVA, maka<br />

o<br />

S G1 = 2684 MVA dan SG3<br />

= 2742 MVA<br />

Ternyata S G1 masih dalam batas kapasitas G 1 yaitu 300 MVA;<br />

akan tetapi S G3 melebihi kapasitas generator G 3 yang 250 MVA.<br />

Kita dapat menurunkan pasokan daya nyata oleh G 3 ; pasokan daya<br />

ini ditetapkan P G3 = 2 pu pada awal iterasi. Jika tetapan ini kita<br />

kurangi dengan diimbangi tambahan daya nyata dari G 1 agar<br />

kebutuhan daya di seluruh sistem terpenuhi, maka hasil iterasi<br />

ulang dari awal (tidak disajikan dalam tabel) memberikan:<br />

profil tegangan<br />

V<br />

V<br />

V<br />

1<br />

2<br />

3<br />

= 1 pu;<br />

= 1,083 pu<br />

= 1,1 pu<br />

ψ<br />

ψ<br />

ψ<br />

1<br />

2<br />

3<br />

= 0<br />

daya di setiap bus<br />

S1<br />

= −0.9978+<br />

j2.2772 pu<br />

S2<br />

= −2.5000<br />

+ j0.8000 pu<br />

S3<br />

= −1.5022<br />

− j1.9491pu<br />

daya generator:<br />

S<br />

G 1<br />

S<br />

G3<br />

o<br />

= −0,0977 rad = −5,60<br />

= 0,0035 rad = 0,21<br />

= 1,0022 − j2,2772<br />

= 2,488∠ − 66,25<br />

= −1,5022<br />

− j1,9491<br />

= 2,461∠52,38<br />

pu<br />

o<br />

o<br />

o<br />

pu<br />

224 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


Daftar Pustaka<br />

1. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &<br />

Son, 1986.<br />

2. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System<br />

Engineering”, John Willey & Son, 1988.<br />

3. Vincent Del Toro, “Electric Power Systems”, Prentice-Hall<br />

International, Inc., 1992.<br />

4. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik”, Penerbit<br />

ITB 2002.<br />

5. “Rencana Umum Kelistrikan Nasional”, 2005.<br />

6. Sudaryatno Sudirham, “Fungsi dan Grafik, Diferensial dan<br />

Integral”, Darpublic, Bandung, , 2011.<br />

7. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listik Jilid 1”,<br />

Darpublic, Bandung, , 2012.<br />

8. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listik Jilid 2”,<br />

Darpublic, Bandung, , 2012.<br />

9. Sudaryatno Sudirham, “<strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik Jilid 3”,<br />

Darpublic, Bandung, , 2012.<br />

225


Biodata Penulis<br />

Nama: Sudaryatno Sudirham<br />

Lahir: 26 Juli 1943, di Blora.<br />

Istri: Ning Utari<br />

Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.<br />

Pendidikan & Pekerjaan:<br />

1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.<br />

1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.<br />

1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.<br />

1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.<br />

Training & Pengalaman lain:<br />

1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT,<br />

Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete,<br />

Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo,<br />

Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand;<br />

2005 − 2009 : <strong>Tenaga</strong> Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero);<br />

2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.<br />

226 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)


a<br />

ABCD, konstanta 85<br />

admitansi 48, 64<br />

air, tenaga 17<br />

aliran daya 199, 203, 210,<br />

214<br />

angin 17<br />

arus laut 17<br />

b<br />

batas operasi 183<br />

batubara 14<br />

beban 5, 17, 18<br />

beban, model 18<br />

bintang, hubungan 25<br />

biomassa 17<br />

bus beban 200, 205<br />

bus-generator 200, 205, 225<br />

d<br />

daya 6, 37, 199<br />

daya mesin sinkron 178<br />

diagram lingkaran 94<br />

diagram satu garis 40<br />

distribusi 5<br />

e<br />

efisiensi 128<br />

energi 1, 6<br />

energi primer 14<br />

f<br />

fluksi bocor 117<br />

g<br />

gas alam 15<br />

gelombang laut 17<br />

i<br />

impedansi 48, 55<br />

impedansi karakteristik 75<br />

impedansi urutan 34<br />

induktansi 49<br />

iterasi 206, 215, 220<br />

Indeks<br />

j<br />

jacobian 209, 214, 220<br />

k<br />

komponen simetris 29, 31<br />

konfigurai saluran 7<br />

konfigurasi ∆ 56, 69<br />

kutub menonjol 159, 193<br />

l<br />

lossless line 90<br />

m<br />

mesh, hubungan 25<br />

mesin sinkron 159<br />

minyak bumi 15<br />

n<br />

Newton-Raphson 206<br />

nuklir 17<br />

o<br />

operator a 30<br />

p<br />

panas bumi 16<br />

pembangkitan 3<br />

pergeseran fasa 147<br />

permeabilitas 47<br />

permitivitas 47<br />

per-unit 41, 44, 148<br />

polifasa 21<br />

propagasi, konstanta 74<br />

r<br />

rangkaian ekivalen 72, 123<br />

rangkaian ekivalen π 78<br />

reaktansi sinkron 169<br />

regulasi tegangan 128<br />

resistansi 48<br />

rotor silindris 167, 173<br />

227


s<br />

sampah 17<br />

slack bus 200, 205<br />

stabilitas, mantap 95<br />

struktur 3<br />

subtransmisi 4<br />

surge impedance loading 98<br />

surja 101<br />

surya, tenaga 17<br />

t<br />

tiga-fasa 26, 29<br />

transformator 115, 116, 118,<br />

120, 123, 125, 130, 131<br />

transformator polifasa 155<br />

transformator tiga belitan<br />

136, 138, 140, 144<br />

transien 100, 102, 190<br />

transmisi 4, 47, 73<br />

transposisi 61, 70<br />

turbin 177<br />

u<br />

uji beban nol 126<br />

uji hubung singkat 126<br />

urutan negatif 29<br />

urutan nol 29<br />

urutan positif 29<br />

y<br />

Y bus 203, 205, 214<br />

228 Sudaryatno Sudirham, <strong>Analisis</strong> Rangkaian Listrik (3)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!