Download - Departemen Fisika - Unair
Download - Departemen Fisika - Unair
Download - Departemen Fisika - Unair
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
PROSIDING<br />
SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />
2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
“ Peran <strong>Fisika</strong> dan Terapannya<br />
Sebagai Modal Pengembangan Kemandirian Bangsa<br />
Di Bidang Industri dan Kedokteran ”<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
Tim Editor :<br />
Samian<br />
Yhosep Gita Y.Y.<br />
Prodi S1 <strong>Fisika</strong><br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />
Fakultas Sains dan Teknologi<br />
Universitas Airlangga
SAMBUTAN KETUA PRODI S1 FISIKA<br />
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI, UNIVERSITAS AIRLANGGA<br />
Assalamualaikum Wr. Wb.<br />
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberikan rahmat dan<br />
hidayahNya sehingga pada hari ini “Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II “ dapat terlaksana dengan baik<br />
dan lancar.<br />
Perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan dari kemajuan ilmu fisika. Dengan<br />
ilmu fisika manusia dapat menjawab berbagai tantangan kehidupan diberbagai bidang, dan<br />
menjadikan manusia lebih bermartabat dan memiliki daya saing. Selain mengungkap sejumlah<br />
fakta-fakta yang terjadi di alam, fisika diupayakan dapat diterapkan dalam kehidupan manusia<br />
dan memberikan arti, makna dan manfaat bagi kelangsungan umat manusia. Oleh sebab itu,<br />
prodi fisika ikut memberi kontribusinya dengan mengadakan seminar nasional fisika. Kegiatan<br />
ini merupakan salah satu dari delapan kegiatan RKAT Pengembangan pada Prodi <strong>Fisika</strong> <strong>Unair</strong><br />
yang disetujui oleh Fakutas Sanis dan Teknologi dan Universitas Airlangga. Tujuan dari<br />
diselenggarakannya seminar ini antara lain ; meningkatkan jumlah publikasi bagi dosen fisika,<br />
menjadi media komunikasi tentang penelitian dan peralatan yang sedang dikerjakan dan<br />
dimiliki antar perguruan tinggi dan instansi lain. Selain itu, melalui seminar ini diharapkan<br />
dapat meningkatkan image building prodi fisika, sehingga ilmu ini tidak lagi bersifat eksklusif<br />
untuk komunitas tertentu, tetapi dapat bermanfaat untuk berbagai jenis kalangan pengguna.<br />
Dengan demikian, prodi fisika bukan lagi menjadi pilihan kedua atau ketiga, tetapi merupakan<br />
prodi pilihan utama bagi calon mahasiswa baru.<br />
Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Rektor <strong>Unair</strong> dan Dekan Fakultas Sains dan<br />
Teknologi atas disetujuinya RKAT Pengembangan Prodi <strong>Fisika</strong> ini. Terima kasih juga saya<br />
sampaikan kepada ketua panitia seminar Dr. Retna Apsari, M.Si dan anggotanya atas kerja<br />
kerasnya, sehingga kegiatan ini bisa terlaksana . Semoga kegiatan ini dapat berlangsung secara<br />
rutin dan memberi kontribusi bagi perkembangan fisika di Indonesia. Selamat melaksanakan<br />
seminar ini.<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
Ketua Prodi S1 <strong>Fisika</strong>,<br />
Drs.Siswanto,M.Si<br />
i
KATA PENGANTAR KETUA SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />
Assalamualaikum Wr. Wb.<br />
Peserta seminar yang saya hormati,<br />
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan<br />
seluruh tahapan pelaksanaan Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II dengan tema Peran <strong>Fisika</strong> Dan<br />
Terapannya Sebagai Modal Pengembangan Kemandirian Bangsa Di Bidang Industri Dan<br />
Kedokteran. Kegiatan seminar yang diadakan oleh Program Studi S1 <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong><br />
<strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga ini bertujuan untuk menyuarakan<br />
peranan ilmu fisika dalam upaya peningkatan pengembangan kemandirian bangsa di bidang<br />
industri dan kedokteran. Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II mengkaji topik-topik dasar sampai dengan<br />
kontemporer dalam bidang Pendidikan <strong>Fisika</strong>, Biofisika dan Medis, <strong>Fisika</strong> Material dan<br />
Nanoteknologi, Optika dan Laser, <strong>Fisika</strong> Teori dan Komputasi, serta <strong>Fisika</strong> Instrumentasi dan<br />
Kontrol. Bagaimanapun, kemajuan dan sumbangsih para fisikawan, praktisi dan peneliti di<br />
seluruh Indonesia terhadap kemandirian bangsa Indonesia ditentukan salah satunya oleh<br />
gagasan para fisikawan dalam bentuk publikasi, khususnya publikasi hasil penelitian yang<br />
dipresentasikan dalam seminar ini, dan dibukukan dalam prosiding kami.<br />
Harapan kami Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II merupakan tonggak awal silaturahmi,<br />
diskusi dan kolaborasi seluruh fisikawan, peneliti dan praktisi yang terkait dengan fisika di<br />
seluruh nusantara untuk membangun sinergi dan solusi dalam menunjang kemajuan dan<br />
kemandirian bangsa Indonesia. Dengan sinergi dan solusi tersebut, serta ditunjang dengan<br />
motto Excellence With Morality maka kontribusi fisika dan terapannya termasuk pendidikan<br />
fisika, akan semakin nyata untuk negeri tercinta ini.<br />
Terima kasih kami haturkan kepada keynote speaker Bapak Prof. Dr. Moh. Nuh, DEA<br />
selaku menteri Pendidikan Nasional Indonesia, dan ketiga inivited speaker : Prof. Dr. Noriah<br />
Bidin (Universiti Teknologi Malaysia), Dr. Taufiqurohman (LIPI Jakarta), Prof. Dr.<br />
Suhariningsih (Universitas Airlangga) yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan<br />
pencerahan dan berbagi pengalaman dengan kami.<br />
Terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada seluruh jajaran panitia termasuk<br />
didalamnya dosen, karyawan, dan mahasiswa atas kerjasama dan perjuangannya selama ini<br />
mulai dari tahapan awal sampai akhir pelaksanaan seminar. Semoga kebersamaan ini senantiasa<br />
terjaga demi kemajuan Prodi S1 <strong>Fisika</strong> di masa yang akan datang.<br />
Terima kasih kami sampaikan kepada para sponsor yang telah berkenan memberikan<br />
kontribusi pada seminar kami. Semoga kerjasama ini senantiasa terbina. Ucapan terima kasih<br />
juga kami sampaikan kepada Bapak/Ibu/Undangan dan peserta Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II atas<br />
ii
kehadiran dan partisipasinya pada Seminar kami. Atas nama panitia kami menghaturkan beribu<br />
maaf, jika ada yang kurang berkenan di hati seluruh peserta mulai dari awal sampai akhir<br />
pelaksanaan Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II, termasuk dalam penerbitan prosiding seminar. Semoga<br />
prosiding yang kami terbitkan bermanfaat untuk kita semua.<br />
Selamat berseminar, semoga Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II ini memberikan kontribusi<br />
positif pada seluruh peserta. Sampai jumpa pada Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> III. Semoga Allah<br />
Swt senantiasa membimbing kita untuk berbuat maksimal di setiap langkah kita. Sukses selalu.<br />
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
Ketua Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II,<br />
Dr. Retna Apsari, M.Si<br />
iii
SUSUNAN PANITIA<br />
SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />
2010<br />
Steering Commitee :<br />
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi<br />
Wakil Dekan I<br />
Wakil Dekan II<br />
Ketua <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />
Kaprodi S1 <strong>Fisika</strong><br />
Organizing Committee :<br />
Ketua<br />
Sekretaris<br />
Bendahara<br />
Sie Tim Naskah<br />
Sie Prosiding (ISBN)<br />
Sie Dana<br />
Sie Acara<br />
Sie Promosi, Akomodasi dan Gedung<br />
Sie Website dan Pendaftaran<br />
: Drs. Salamun, M.Kes<br />
: Prof. Win Darmanto, Ph.D<br />
: Drs. Pujiyanto, M.S<br />
: Drs.R. Arif Wibowo, M.Si<br />
: Drs. Siswanto, M.Si<br />
: Dr. Retna Apsari, M.Si<br />
: Nuril Ukhrowiyah,S.Si,MSi<br />
: Ir. Aminatun, M.Si<br />
: Prof. Dr. Suhariningsih<br />
Dr. Soegianto S, M.Si<br />
Dr. Moh. Yasin, M.Si<br />
Dr. Retna Apsari, M.Si<br />
Drs. Siswanto, M.Si<br />
Drs.R Arif Wibowo,MSi<br />
Drs. Bambang S.,M.Si<br />
: Samian, S.Si,M.Si<br />
Yoseph Ghita Y, S.Si<br />
: Drs. Pujiyanto, MS<br />
Dr.Prihartini W,drg.M.Kes<br />
Mahniza, SH<br />
Fadli Ama,ST,MT<br />
: Riris Rulaningtyas,ST,MT<br />
Dyah Hikmawati,SSi,MSi<br />
Imam Sapuan,S.Si,M.Si<br />
Franky Candra SA,ST,MT<br />
Supadi,S.Si,M.Si<br />
Akif Rahmatilah, ST<br />
Winarno, S.Si<br />
: Drs.Adri Supardi,MS<br />
Andi Hamim Z,S.Si,M.Si<br />
Jan Ady, S.Si,M.Si<br />
Heri Trilaksana,S.Si,M.Si<br />
Imam Soegiarto<br />
Suwadi<br />
I Made Artania<br />
Denny Fikasah<br />
: Febdian Rusydi, ST, M.Sc<br />
Farid Ardiansyah, S.Kom<br />
Yoseph Ghita Y, S.Si<br />
iv
Sie Konsumsi<br />
Sie Kesekretariatan<br />
Sie Dokumentasi<br />
Sie Perlengkapan<br />
: Lis Wismaningtias, S.Sos<br />
Jemawan<br />
: Endang, S,Sos<br />
Dwi Hastuti, ST<br />
Mashuri<br />
: Drs. Djoni Izak R, Drs, M.Si<br />
Fajar Shodiq, ST<br />
: Khusnul Ain, ST, MT<br />
Siman<br />
Abd. Rozak<br />
Salam<br />
v
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
Sambutan Kaprodi S1 <strong>Fisika</strong> …………………………………………………………………<br />
Kata Pengantar Ketua Panitia ……………………………………………………………….<br />
Susunan Panitia ……………………………………………………………………………...<br />
Daftar Isi …………………………………………………………………………………......<br />
i<br />
ii<br />
iv<br />
vi<br />
A . B I D A N G K A J I A N P E N D I D I K A N F I S I K A<br />
Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda dalam Pelajaran Sains<br />
Aulia Tittin R, Frida U. Ermawati ..........................................................................................<br />
Karakteristik Aktivitas Belajar Mahasiswa Terhadap Modul e-Learning: Studi Kasus<br />
Kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />
Cuk Imawan, Efta Yudiarsah ………………………………………………………………...<br />
Penerapan Soft Skill Dalam Kegiatan Program Pengalaman Lapangan Sebagai Upaya<br />
Mempersiapkan Mahasiswa Menjadi Guru Profesional<br />
Eko Hariyono ………………………………………………………………………………...<br />
Student Group Works Skill Test in 2rd Year of State Junior High School of Satu Atap<br />
Bobol, Sekar District, Bojonegoro Regency for Lever Subject<br />
Lusi Kusuma W, Firda U. Ermawati …………………………………………………………<br />
The Ability of Student at State Elementary School Tanjungsari II in Drawing Concepts<br />
Map in the Chapter Changes of Substances Form<br />
Martha Prasetianingrum, Frida U Ermawati ………………………………………….…….<br />
Kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri II Ngrimbi Jombang dalam Melakukan<br />
Penyelidikan Melalui Tahapan Metode Ilmiah pada Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda<br />
Mukhammad Arif Eka Permana, Frida U. Ermawati ………………………………….…….<br />
The Ability of Student Year 5 of State Elementary School TANJUNGSARI II in Designing<br />
an Experiment<br />
Rohma Wati, Frida U Ermawati ………………………………………………………….….<br />
Bravery and Skill in Asking Questions of Students Grade IV of The Elementary School<br />
Wonokromo III in the Changes of Substance Form Unit (Pokok Bahasan Perubahan Wujud<br />
Zat)<br />
Siti Nur Hidayah, Frida U Ermawati ………………………………………………….……..<br />
Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Komputer pada Pokok Bahasan Kapasitor untuk<br />
SMA<br />
Surya Arif Kartono, Herwinarso, I Nyoman Arcana ...............................................................<br />
A1<br />
A9<br />
A14<br />
A18<br />
A25<br />
A31<br />
A37<br />
A42<br />
A48<br />
B. BIDANG KAJIAN BIOFISIKA DAN MEDIS<br />
Studi Implamantasi Ion Radioaktif Iridium-192 dan Renium-188 dalam Pemanfaatannya<br />
untuk Intravascular Brachytherapy<br />
Angga Setiyo Prayogo, Johan A E Noor ……………………………………………….…….<br />
B1<br />
vi
Study On The Relationship Between Sunspot Area and Flare Occurrences to Support Flare<br />
Prediction<br />
Bachtiar Anwar ……………………………………………………………………….……...<br />
Dosis Kulit pada Simulasi Penyinaran Radioterapi Pasien Karsinoma Nasofaring<br />
Menggunakan Radiasi Gamma Cobalt-60<br />
Dwi Seno K. Sihono, Imanuddin Rahman, Djawani S. Soejoko ..............................................<br />
Use Of Sugar In EPR Emergency Personal Dosimetry<br />
Frida U Ermawati …………………………………………………………………………....<br />
Efek Medan Listrik pada Kadar Gula Darah Tikus Diabetes Melitus<br />
Ibrahim bin Sa`id, Dwi Winarni, Suhariningsih ………………………………………..……<br />
Bioremediasi Pb(II) dalam Limbah Cair oleh Activated Eichhornia Carbon (AEC): Studi<br />
Penyerapan dengan Metode Potensiometri<br />
Johan A.E. Noor, Nilawati K. Anthony, dan Unggul P. Juswono ……………………….…...<br />
Pengaruh Posisi Matahari Terhadap Intensitas Radiasi Ultraviolet-B dan Efeknya<br />
Terhadap Kesehatan Dilihat dari Data SPD LAPAN Watukosek Tahun 2008<br />
Lalu Husnan Wijaya, Hari Susanto ……………………………………………………….…<br />
Pemanfaatan Radiasi dalam Terapi Dupuytren Disease (Morbus Dupuytren )<br />
Novita Rosyida, Johan A.E. Noor ……………………………………………………….…...<br />
Dampak Badai Geomagnet di Daerah Anomali Ekuator<br />
Sarmoko Saroso ………………………………………………………………………….…..<br />
Efek Gelombang Ultrasonik Terhadap Jaringan Tubuh dan Proteksinya<br />
Silvia Nike Saputri, Johan A.E.Noor …………………………………………………….…...<br />
Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) untuk Pemetaan Daerah Rawan Ambles di<br />
Daerah Sisir, Batu, Jawa Timur<br />
Sukir Maryanto, Husnul Khotimah, Adi Susilo …………………………………………..….<br />
Pengaruh Daya dan Waktu Paparan Laserpuntur<br />
Wellina Ratnayanti ………………………………………………………………………..…<br />
B5<br />
B10<br />
B15<br />
B18<br />
B25<br />
B32<br />
B37<br />
B41<br />
B45<br />
B48<br />
B56<br />
C. BIDANG KAJIAN FISIKA MATERIAL DAN NANOTEKNOLOGI<br />
Pengurutan Kestabilan Relatif Kristal Na Melalui Keriteria Koefisien Variasi<br />
Agus Rifani ………………………………………………………………………………...…<br />
Analisis Porositas dan Densitas Cic Akibat Proses Sintering<br />
Aminatun, Siswanto, Ita Fauriya ………………………………………………………….....<br />
Pengaruh Implantasi Ion Cerium (Ce) Terhadap Sifat Ketahanan Oksidasi Suhu Tinggi<br />
Material Feal dan Karakterisasinya.<br />
Anis Yuniati, Sudjatmoko .........................................................................................................<br />
Komparasi Karakteristik Plastik Layak Santap (Edible Plastic) Berbasis Pati<br />
Arie Chintya Martania, Siswanto, Aminatun ……………………………………………...…<br />
C1<br />
C6<br />
C10<br />
C15<br />
vii
Pengaruh Radiasi Terhadap Kekuatan Tarik Polietilen<br />
D. Tamara Dirasutisna ............................................................................................................ C21<br />
Sintesis dan Analisis Kegradualan Komposisi FGM α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 dengan Aditif Y 2 O 3<br />
pada Suhu Sinter 1450°C<br />
Erni Junita Sinaga, Suminar Pratapa ......................................................................................<br />
Pengaruh Kekasaran Permukaan pada Sifat Magnetik dari Lapisan Tipis Rare Earth-<br />
Transition Metal (RE-TM)<br />
Erwin …………………………………………………………………………………...…….<br />
Karakterisasi Mikrostruktur FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 Distabilisasi MgO Hasil Infiltrasi<br />
Berulang<br />
Eva Weddakarti, Khusnul Umaroh, Suminar Pratapa ………………………………..……..<br />
Penentuan Gap Elektronik N-Germanium Intrinsik Hasil Pengukuran Tegangan Hall<br />
Terhadap Suhu<br />
Jan Ady ……………………………………………………………………………..………..<br />
Doping Proton Cu2+ Dan Fe3+ pada Sintesis Room Temperature Interface Polianilin dan<br />
Karakterisasi Dielektrisnya<br />
Markus Diantoro …………………………………………………………………...………...<br />
Aplikasi Material Piezoelektrik PVDF Film<br />
Mochammad Nasir, Muhammad Rivai, Taufik Arif Setyanto ..................................................<br />
Sintesis Partikel Nano Spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1) dengan Metode Sonokimia dan<br />
Karakterisasi Struktur serta Dielektrisitasnya<br />
Nurul Hidayat, Markus Diantoro, Ahmad Taufiq, Nasikhudin, Abdulloh Fuad .....................<br />
Aplikasi dan Karakterisasi Edible Plastik Pati - Tapioka untuk Pengawetan Buah Jeruk<br />
(Citrus sp)<br />
Siswanto , Aminatun, dan Anjar Anggraeni …………………………………………..……..<br />
Sintesis Partikel Nano ZnCo 2 O 4 dengan Metode Kopresipitasi dan Karakterisasi Struktur<br />
serta Magneto Dielektrisitasnya<br />
Sri Astutik Ningtiyas, Markus Diantoro, Ahmad Taufiq …………..………………………...<br />
Pengaruh Ketebalan Elektroda Terhadap Nilai Kapasitansi Spesifik dan Retained Ratio<br />
Serbuk Gergaji Kayu Karet untuk Pembuatan Superkapasitor<br />
Yanuar, Iwantono, Erman Taer, Risa Andriani ………………………………………...……<br />
C28<br />
C33<br />
C38<br />
C42<br />
C45<br />
C50<br />
C55<br />
C61<br />
C65<br />
C72<br />
D. BIDANG KAJIAN FISIKA INSTRUMENTASI DAN KONTROL<br />
Prototipe Pengangkat Cincin Otomatis pada Alat Pengukur Tegangan Permukaan Zat Cair<br />
Berbasis PC<br />
Achmad Zulkarnain, Frida U. Ermawati …………………………………………………..<br />
Perancangan Sistem Kendali Pid Kecepatan Putar Turbin Miniatur PLTA<br />
Akif Rahmatillah ………………………………………………………………………..……<br />
The Increase Of Flaring Activity In Noaa 9026 Due To A Coronal Mass Ejection<br />
Bachtiar Anwar …………………………………………………………………………...….<br />
D1<br />
D7<br />
D13<br />
viii
Rancang Bangun Sumber Arus DC Konstan Menggunakan Mikrokontroler 8951<br />
Bambang Suprijanto …………………………………………………………………..……..<br />
Analisa Ketidakpastian Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal<br />
Berthy Pelasula, I Made Londen Batan ………………………………………………...…...<br />
Rancang Bangun Eksperimen Hidrostatika untuk Aplikasi Remote Laboratory<br />
Cuk Imawan, Adhi Harmoko, Supriyanto, Fauziyyah ……………………………..………...<br />
Aplikasi Interdigital Capacitor (IDC) sebagai Elemen Sensing untuk Pengukuran<br />
Konsentrasi Larutan Gula dalam Air: Studi Eksperimen<br />
Didik R.. Santoso …………………………………………………………………..………...<br />
Pengenalan Uap Menggunakan Sensor Resonator Kuarsa yang Diimplementasikan pada<br />
FPGA dengan Metode Analisa Data PCA Dan SOM Kohonen Neural Network<br />
Hari Agus Sujono, Muhammad Rivai, Taripan ………………..…………………………….<br />
Klasifikasi Odor pada Ruang Terbuka dengan Menggunakan Short Time Fourier<br />
Transform dan Neural Learning Vector Quantization<br />
Hendrick, Muhammad Rivai, Tasripan …………………………………………...………….<br />
Pengukuran Tingkat Gas Polutan pada Udara Menggunakan Tabung Detektor Gas dengan<br />
Bantuan Kamera<br />
Ilmawan Mustaqim, Muhammad Rivai, Djoko Purwanto, Tasripan ……………...…………<br />
Desain Dan Karakterisasi Load Cell Tipe Czl601 Sebagai Sensor Massa Untuk Mengukur<br />
Derajat Layu Pada Pengolahan Teh Hitam<br />
Iwan Sugriwan, Melania Suweni Muntini, Yono Hadi Pramono ……………………..……..<br />
Perbandingan Metode Neural Network Backpropagation Dengan Regresi Non Linier<br />
Levenberg-Marquardt pada Analisa Uji Rhodamin Menggunakan Instrument Kolorimeter<br />
Berbasis Kamera<br />
Joko Catur Condro Cahyono ..................................................................................................<br />
An Autonomous Wireless Modul for Early Warning System of Forest-Fire Based on NTC<br />
Sensor<br />
Lazuardi Umar, Erwin ……………………………..…………………………………….…..<br />
Koordinasi Pengaman Arus Lebih Berbasis Relai MIF II Pada Jaringan Listrik sebagai<br />
Proteksi Transformator pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB Paiton<br />
Mochamad Arief Iskandar, Teguh Yuliatmoko, Frida U. Ermawati .......................................<br />
Presisi Pengukuran Interfacial Angles pada Pemutar Goniometer Optic Berbasis<br />
Mikrokontroler<br />
Moch. Sholikhudin, Frida U. Ermawati ...................................................................................<br />
Development of Screen Printed Glucose Biosensor with Direct Immobilization Technique<br />
Pratondo Busono, Nur Hajiyah and Subintoro …………………………………………...….<br />
Hasil Pengukuran Fungsi Arus Tegangan pada Sel Surya Silikon<br />
Satwiko Sidopekso ……………………………………………………………………...…….<br />
D17<br />
D20<br />
D26<br />
D31<br />
D36<br />
D42<br />
D48<br />
D53<br />
D59<br />
D62<br />
D67<br />
D79<br />
D86<br />
D89<br />
ix
Pengukur Viskositas dengan Metode Rotasi Silinder Pejal<br />
Setyawan P. Sakti, H.A. Dharmawan, A. H. Pudyasmara ……………………………...……<br />
Analisa Pengaruh Tebal dan Kuat Arus Terhadap Distorsi Pada Pengelasan Multilayer Pelat<br />
Datar dengan Menggunakan GMAW Type Pulsa<br />
Sukendro. Bs, Mochtar Karokaro, Hari Subiyanto ………………………...………………...<br />
D93<br />
D97<br />
Sensor Kadar Hemoglobin dalam Darah Tanpa Melukai (Non-Invasive) Berbasis Komputer<br />
dengan Metode Pengenalan Pola<br />
Sutrisno,. Yoyok Adisetio Laksono ……………………………………………...…………… D103<br />
Perancangan Instrument Pengukur Suhu Badan Pasien Menggunakan Sensor ECC Sistem<br />
Logger<br />
Toni Subiakto, Lalu Husnan Wijaya …………………………………………...……………. D109<br />
Sistem Monitoring Kecelakaan Pengendara Sepeda Motor dengan Menggunakan<br />
Accelerometer sebagai Pengidentifikasi Benturan<br />
Yusuf Wibisono S., Djoko Purwanto, Agus Sigit Pramono ………………...………………... D114<br />
E . B I D A N G K A J I A N O P T I K A D A N L A S E R<br />
Stability Of Gratings Written In A Telecommunication Fiber Using Light at 193 nm<br />
Arif Hidayat ……………………………………………………………..…………………...<br />
Rancang Bangun Modulator Optik Berbasis Efek Pockel dalam Sistem Komunikasi Serat<br />
Optik<br />
Arif Hidayat, Septianingsih., Moh Yasin, Bambang Widyatmoko ..........................................<br />
Measurements of CO 2 Emissions Emitted from Burning of Queensland Trees<br />
Arinto Y. P. Wardoyo ……………………………………………………………...…………<br />
Pengujian Stabilitas Laser sebagai Penelitian Awal dalam Perancangan Sensor Strain Tanah<br />
Berbasis FBG dengan Teknik Sweeping Laser Dioda<br />
Asnawi, Moh. Ridha, Bambang Widiyatmoko ……………………………………...………...<br />
Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik untuk Pengukuran Koefisien Ekspansi Linier<br />
Logam Stainless Steel Austenitik 316L<br />
Bayu Buwana Bakti, Samian, Siswanto …………………………………………………..….<br />
Forward Model For Depth Measurement Of A Fluorophore In A Tissue<br />
Deddy Ardiansyah ………………………………………………………………………...….<br />
Kajian Teoretik dan Numerik Distribusi Daya pada Step Index Fiber Taper<br />
Lilin Lalita., Samian, Andi Hamim Zaidan ……………………………………………...…...<br />
E1<br />
E5<br />
E9<br />
E13<br />
E17<br />
E20<br />
E25<br />
A Simple Bundled Fiber Optic Microdisplacement Sensor Using A 543nm Green Laser<br />
M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono, and H. Ahmad ……………………….……... E29<br />
Sinkronisasi Pemanfaatan Osiloskop Digital dan Perangkat Komputer dalam Sistem<br />
Fotoakustik<br />
Pujiyanto .....................................................................................................................<br />
E32<br />
x
Penentuan Kualitas Enamel Gigi dari Image Sistem Laser Speckle Imaging (LSI) Berbasis<br />
Logika Fuzzy<br />
Retna Apsari, Yhosep Gita Y, Aji Brahma Nugraha …………………………………...…...<br />
Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor Pergeseran Menggunakan Sumber LED<br />
Samian, Herri Trilaksana …………………………………………………………………….<br />
Potensi Photodinamik Inaktivasi Bakteri Gram Positive Staphylococci dengan Endogen<br />
Photosensitizer pada Penyinaran Light Emitting Diode (Led) Biru (429,8 ± 3,7)Nm<br />
Suryani Dyah Astuti, Endah Robiyati, Agus Supriyanto .........................................................<br />
Pembuatan Fiber Taper dari Bahan Serat Optik Plastik Multimode<br />
Yudiawan F., Samian, Andi Hamim Zaidan ……………………………………………..…..<br />
E35<br />
E42<br />
E45<br />
E50<br />
F. BIDANG KAJIAN FISIKA TEORI DAN KOMPUTASI<br />
Pendugaan Statistik Inti dari Molekul Melalui Pecobaan Pulsa Ganda<br />
Abdurrouf .................................................................................................................................<br />
Sistem Monitoring Jarak Jauh Simulasi Sistem Pengendali dengan Menggunakan Fasilitas<br />
GPRS dan Java pada Telepon Selular<br />
Aditya Tri Laksmana, Arief Sudarmaji, Djati Handoko ..........................................................<br />
Reduksi Dimensi dengan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) pada Data Persen<br />
Transmitan Kurkumin Menggunakan Open Source Software-R (OSS-R)<br />
Aniq Atiqi Rohmawati, Yanti Lina Mayasari, Elly Ana, Nur Chamidah .................................<br />
Keterkaitan Antara Angin Surya Dengan Kejadian Badai Geomagnet<br />
Anwar Santoso ……………………………………………………………………………….<br />
Penerapan Jaringan Syaraf Learning Vector Quantization pada Pendeteksian Kelainan Otak<br />
Ischemic Cerebral Infarction dari Hasil Rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI)<br />
Auli Damayanti, Hellena Adhelya Mayangsari ……………………………………...………<br />
Pengembangan Gold nanoparticles sebagai Agen Fototerapi untuk Terapi Kanker: Sintesis<br />
dan Analisis Spektrum Serapan<br />
Biantoro, Adri Supardi , Andi H Zaidan, Herri Trilaksana, Febdian Rusydi …………..…...<br />
Sistem Peringatan Dini (EWS) berbasis SMS yang terintegrasi dengan Badan Meteorologi<br />
dan Geofisika<br />
Farid Andriansyah Zakaria …………………………………………………………..……...<br />
Study Karakteristik Levitasi Magnet Pada Dua Rol Tembaga yang Berputar dengan Model<br />
Kereta Maglev sebagai Pengembangan Industri Transportasi Masa Depan<br />
Galih STA Bangga, Hendro Nurhadi …………………………………………………...……<br />
Telaah Perubahan Variasi Harian Komponen H Geomagnet Menggunakan Metode Analisis<br />
Harmonik<br />
Habirun …………………………………………………………………...………………….<br />
Machine Vision untuk Instrumentasi Peralatan Biomedis<br />
Hendro Nurhadi …………………………………………………………………...…………<br />
F1<br />
F6<br />
F11<br />
F14<br />
F19<br />
F23<br />
F27<br />
F29<br />
F34<br />
F40<br />
xi
Determination Of Endothelial Cell Density Of Corneal Transplant by Digital Image<br />
Processing Method<br />
Johanes Kristianto and Pratondo Busono ………………………………………...…………<br />
Perbandingan Metode Rekonstruksi Proyeksi Balik dan Iterasi untuk Sistem Tomografi<br />
Komputer dengan Berkas Cahaya Tampak<br />
Khusnul Ain, Nuril Ukhrowiyah …………………………………………………..…………<br />
Sistem Tomografi Komputer Translasi Rotasi dengan Proses Scanning Berbasis Intensitas<br />
Nuril Ukhrowiyah, Khusnul Ain ………………………………………………………..…...<br />
Simulasi Konfigurasi Perisai Sebagai Penyerap Intensitas Radiasi Gamma pada Beam Port<br />
Radial Reaktor Kartini dengan Menggunakan Metode Monte Carlo N-Particle (Mcnp)<br />
Retno Rahmawati, Triwulan Tjiptono …………………………………………………..…..<br />
Pengenalan Pola Tumor Otak Hasil Deteksi Tepi dengan Menggunakan Jaringan Syaraf<br />
Tiruan<br />
Riries Rulaningtyas, Khusnul Ain, Nur Laelatus …………………………………..…….…..<br />
Pengaruh Fungsi Kernel terhadap Stabilitas dan Akurasi Simulasi Dinamika Fluida<br />
Menggunakan Metode Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH)<br />
Rizal Arifin, Agus Naba, Abdurrouf …………………………………………………….…....<br />
Kajian Teoretik dan Pemodelan Matematis Dark Energy Berdasarkan Persamaan<br />
Friedmann<br />
Satriyaji Wibisono, Adri Supardi, Febdian Rusydi ……………………………………...…...<br />
Frekuensi Kemunculan Badai Geomagnet Saat Matahari Aktif<br />
Sity Rachyany …………………………………………………………………………...……<br />
HFCM (Histogram Fuzzy C-Means) sebagai Koreksi Kecepatan MsFCM (Multiscale Fuzzy<br />
C-Means)<br />
Soegianto Soelistiono …………………………………………………………………...……<br />
A Volume Rendering for Haptic Interaction on a Human Head<br />
Sugeng Rianto …………………………………………………………………………...…...<br />
Studi Energi Adsorbsi O 2 dan OH pada Paduan Pd-Cu sebagai Katalis Fuel Cell Hidrogen<br />
dengan Metode Ab-Initio<br />
Wahyu Aji Eko Prabow, ,Adri Supardi, Febdian Rusydi ………………………..…………..<br />
F47<br />
F53<br />
F57<br />
F61<br />
F65<br />
F70<br />
F75<br />
F81<br />
F85<br />
F92<br />
F97<br />
Penggunaan CCD Garis dan Sumber Cahaya Polikromatis untuk Pendeteksian Perubahan<br />
Warna pada Bahan Tumpatan Gigi Menggunakan Metode Pengolahan Citra<br />
Yhosep Gita Yhun Y, Samian, Endah Srimulyani ……………………………………………. F102<br />
Sistem Pengenalan Wicara Otomatis Menggunakan Discrete Wavelet Neural Network<br />
(DWNN)<br />
Yunus Wicaksono S, Djoko Purwanto, Agus Sigit Pramono ……………………………...…. F107<br />
xii
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
A1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai<br />
Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda dalam Pelajaran Sains<br />
Aulia Tittin R, Frida U. Ermawati<br />
Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Negeri Surabaya<br />
Email : tin.khaylila@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Laporan Praktikum Perubahan Wujud<br />
Benda bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mempresentasikan laporan praktikum Perubahan<br />
Wujud Benda. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode pre-experimental design jenis oneshot<br />
case study, dalam pengambilan data menggunakan metode observasi partisipan, pengambilan sampel<br />
dilakukan secara simple random sampling yaitu 6 Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III. Peneliti bertindak<br />
sebagai guru yaitu mengulas materi yang telah diterima siswa sebelumnya dan mengajarkan cara presentasi,<br />
kemudian merekam (menggunakan telepon seluler) siswa ketika mereka melakukan presentasi. Hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa seluruh siswa sangat baik dalam aspek memahami konsep dan aspek berpakaian, semua<br />
siswa tidak melakukan kegiatan dalam aspek pemberian detail tambahan, penggunaan media visual, dan<br />
penggunaan humor positif. Mayoritas siswa telah melakukan dengan baik dalam aspek pemberian waktu berpikir<br />
bagi audiens dan penggunaan kosakata, namun mereka masih kurang dalam aspek memberikan respon<br />
pertanyaan dari audiens. Sementara itu, siswa dalam melakukan kegiatan pada aspek struktur presentasi, kualitas<br />
pengucapan, dan kegiatan penggunaan bahasa tubuh, memberikan distribusi jumlah siswa yang rata pada<br />
masing-masing nilai.Berdasarkan uraian hasil tersebut disimpulkan bahwa seluruh siswa telah menguasai<br />
konsep, namun untuk menyampaikannya dengan kata-kata mereka sendiri masih diperlukan latihan yang<br />
frekuentatif agar siswa menguasai cara-cara berpresentasi. Menyikapi hal demikian, peneliti menyarankan<br />
kepada guru sains untuk mengagendakan presentasi dalam kegiatan belajar mengajar.<br />
Kata kunci: Presentasi<br />
PENDAHULUAN<br />
Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah<br />
Dasar (SD) yang perlu diketahui para guru, agar<br />
lebih mudah mengetahui keadaan peserta<br />
didik. Sebagai guru harus dapat menerapkan metode<br />
pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya,<br />
Maka sangat penting untuk mengetahui karakteristik<br />
dan kebutuhan siswanya. Adapun karakeristik dan<br />
kebutuhan siswa SD 1 sebagai berikut:<br />
Pertama, siswa SD senang bermain.<br />
Karakteristik ini menuntut guru SD untuk<br />
melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM)<br />
yang mengandung permainan. Kedua, anak senang<br />
bergerak, mereka dapat duduk dengan tenang paling<br />
lama sekitar 30 menit. Ketiga, anak senang bekerja<br />
dalam kelompok. Dari pergaulannya dengan teman<br />
sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting<br />
dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi<br />
aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar<br />
bertanggung jawab, belajar bersaing dengan orang<br />
lain secara sehat, dan sebagainya. Hal tersebut<br />
membawa implikasi bahwa guru harus merancang<br />
model pembelajaran yang memungkinkan anak<br />
untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru<br />
dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok<br />
kecil dengan anggota 3-4 siswa untuk<br />
menyelesaikan tugas secara kelompok. Keempat,<br />
anak SD senang merasakan, melakukan atau<br />
memperagakan sesuatu secara langsung. Ditunjau<br />
dari teori perkembangan kognitif, anak SD<br />
memasuki tahap operasional konkret. Berdasarkan<br />
apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar<br />
menghubungkan konsep-konsep baru dengan<br />
konsep-konsep lama. Berdasar pengalaman ini,<br />
siswa membentuk konsep-konsep tentang angka,<br />
ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran jenis<br />
kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD,<br />
penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih<br />
mudah dipahami jika anak melaksanakan sendiri.<br />
Berdasarkan karakteristik tersebut khususnya<br />
karakteristik yang ketiga, maka perlu dilakukan<br />
kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam<br />
kelompok, dalam hal ini adalah presentasi. Kegiatan<br />
presentasi akan bermakna bagi siswa bila dihargai<br />
oleh guru yaitu bisa berupa penilaian. Merujuk pada<br />
hal tersebut, maka peneliti perlu untuk melakukan<br />
penelitian dan penilaian terhadap proses presentasi<br />
siswa. Agar presentasi ini menarik minat siswa SD<br />
dan mengingat karakteristik keempat siswa SD<br />
bahwa mereka senang merasakan, melakukan atau<br />
memperagakan sesuatu secara langsung, maka bahan<br />
presentasi yang dipergunakan dalam penelitian ini<br />
adalah Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br />
kemampuan Presentasi Laporan Praktikum<br />
A1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perubahan Wujud Benda oleh siswa kelas IV-A SD<br />
Wonokromo III<br />
DASAR TEORI<br />
Ciri Kecenderungan Belajar Siswa SD dan<br />
Presentasi<br />
Jean Piaget menyatakan bahwa setiap anak<br />
memiliki cara tersendiri dalam menginterpre- sikan<br />
dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori<br />
perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak<br />
memiliki struktur kognitif yang disebut schemata<br />
yaitu sistem konsep yang ada dalam pemikiran<br />
sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada<br />
dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek<br />
tersebut berlangsung melalui proses asimilasi<br />
(menghubungkan objek dengan konsep yang sudah<br />
ada dalam pikiran) dan proses akomodasi (proses<br />
memanfaatkan konsep dalam pikiran untuk<br />
menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika<br />
berlangsung terus menerus akan membuat<br />
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi<br />
seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap<br />
anak dapat membangun pengetahuan melalui<br />
interaksi dengan lingkungannya.<br />
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perilaku<br />
belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek<br />
dari dalam dirinya dan lingkungan. Kedua hal<br />
tersebut tidak mungkin dipisahkan karena proses<br />
belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak<br />
dengan lingkungannya.<br />
Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan<br />
operasi konkret. Pada rentang usia sekolah dasar<br />
tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar<br />
sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia secara<br />
objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek<br />
lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur<br />
secara serentak, (2) Mulai berpikir secara<br />
operasional, (3) Menggunakan cara berpikir<br />
operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda,<br />
(4) Menyusun dan menggunakan inter hubungan<br />
antar aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan<br />
menggunakan hubungan sebab akibat, dan (5)<br />
Memahami konsep substansi, volume zat cair,<br />
panjang, lebar, luas, dan berat.<br />
Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir<br />
tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah<br />
dasar memiliki tiga ciri, yaitu:<br />
(1) Konkrit. Konkrit adalah proses belajar yang<br />
berasal dari hal-hal yang dapat dilihat, didengar,<br />
dibaui, diraba, dan diubah-ubah dengan titik<br />
penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai<br />
sumber belajar.Pemanfaatan lingkungan akan<br />
menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih<br />
bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan<br />
dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya,<br />
keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih<br />
faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya dapat<br />
dipertanggungjawabkan. (2) Integratif; Pada tahap<br />
usia sekolah dasar, anak memandang sesuatu yang<br />
dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum<br />
mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin<br />
ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang<br />
deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi<br />
bagian. (3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah<br />
dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap<br />
mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang<br />
lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut,<br />
maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis,<br />
keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta<br />
kedalaman materi<br />
Presentasi adalah kegiatan berbicara di hadapan<br />
banyak hadirin. adalah suatu kegiatan berbicara di<br />
hadapan banyak hadirin.<br />
Perubahan Wujud Benda dan Contoh<br />
Berdasarkan wujud zat yang kita kenal yaitu zat<br />
padat, cair, dan gas, ada suatu zat yang dapat<br />
mengalami ketiga wujud tersebut, misalnya air. Hal<br />
itu dapat terjadi apabila zat dalam keadaan suhu<br />
yang berbeda. Misalnya, es pada suhu di bawah 0 o C<br />
berbentuk padat, jika dipanaskan dari suhu 0 o C<br />
sampai dengan 100 o C berbentuk cair, sedangkan jika<br />
dipanaskan lagi sehingga suhunya lebih besar dari<br />
100 o C, air tersebut akan menguap dan berbentuk<br />
gas.<br />
Perubahan wujud zat padat menjadi cair disebut<br />
mencair atau melebur. Contohnya Es menjadi air.<br />
Sebaliknya perubahan wujud zat dari cair menjadi<br />
padat disebut membeku. Contoh: air menjadi es.<br />
Perubahan wujud zat dari cair menjadi uap atau<br />
gas disebut menguap. Contohnya: es menjadi uap<br />
atau gas, jemuran yang basah menjadi kering.<br />
Sebaliknya, perubahan wujud zat dari uap atau gas<br />
menjadi cair disebut mengembun. Contoh: terjadinya<br />
embun pada pagi hari, tetes air pada tutup panci<br />
yang diangkat ketika memasak.<br />
Perubahan wujud zat dari padat menjadi gas<br />
atau sebaliknya perubahan wujud zat dari gas<br />
menjadi padat disebut menyublim. Contoh: kabur<br />
barus lama kelamaan jika dibiarkan akan habis.<br />
Perubahan ketiga tingkat wujud zat tersebut di<br />
atas dirangkum sebagai berikut:<br />
Gambar 1. Siklus perubahan wujud zat yang melibatkan wujud<br />
zat padat, cair, dan gas<br />
A2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 1 berikut memberikan nama-nama dari<br />
perubahan wujud zat tersebut.<br />
TABEL 1. PERUBAHAN WUJUD ZAT<br />
No<br />
Wujud<br />
Nama Perubahan Awal Akhir<br />
1. Membeku Cair Padat<br />
2. Mencair Padat Cair<br />
3. Menguap Cair Gas<br />
4. Mengembun Gas Cair<br />
5. Menyublim<br />
(Melenyap)<br />
Padat Gas<br />
6. Menyublim<br />
(Mengkristal)<br />
Gas Padat<br />
METODE PENELITIAN<br />
Populasi dan Sampel<br />
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif<br />
dengan metode pre-experimental design jenis oneshot<br />
case study. Penelitian dilakukan di SDN III<br />
Wonokromo Surabaya. Pengambilan data dilakukan<br />
pada tanggal 9 dan 30 Desember 2009. Populasi<br />
adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi<br />
penelitian ini adalah semua siswa kelas IV-A SD<br />
Wonokromo III. Adapun dalam pengambilan sampel<br />
menggunakan teknik simple random sampling dan<br />
sampel yang digunakan adalah 6.<br />
Metode Pengumpulan Data<br />
Dalam mengambil data pada penelitian ini<br />
menggunakan metode observasi partisipan, dimana<br />
peneliti terlibat langsung dengan presentasi yang<br />
dilakukan oleh siswa, peneliti bertindak sebagai guru<br />
yaitu, mengulas materi Perubahan Wujud Benda<br />
yang telah diterima sebelumnya oleh siswa dan<br />
mengajarkan cara-cara presentasi. Metode<br />
pengumpulan data penilaian presentasi siswa kelas<br />
IV-A SD Wonoromo III digambarkan dalam alur<br />
kerja di samping<br />
Instrumen Perangkat Pembelajaran<br />
Silabus<br />
Silabus adalah susunan teratur materi<br />
pembelajaran tertentu pada kelas dan semester<br />
tertentu. Dalam penelitian ini silabus khusus pada<br />
pokok bahasan Perubahan Wujud Benda. (lihat<br />
Lampiran 1)<br />
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran<br />
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah<br />
perangkat pembelajaran yang digunakan setiap kali<br />
tatap muka, yang memuat:<br />
1. Kompetensi dasar<br />
2. Indikator pencapaian hasil belajar<br />
3. Kegiatan pembelajaran yang berisi<br />
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. (lihat<br />
Lampiran 2)<br />
Buku Ajar<br />
Buku ajar yang digunakan merupakan buku<br />
yang telah ditentukan oleh sekolah untuk membantu<br />
siswa memahami materi yang diajarkan<br />
Baik<br />
Peneliti menyiapkan instrumen (elemen<br />
penilaian dan rubriknya). Lihat Lampiran 3<br />
Validasi<br />
Tidak baik<br />
Revisi<br />
Peneliti (sebagai pengajar):<br />
• Mengulas Materi Perubahan Wujud Benda yang<br />
telah diterima sebelumnya oleh siswa<br />
• Mengajarkan cara-cara presentasi<br />
Siswa<br />
melakukan<br />
presentasi<br />
Peneliti mengamati presentasi:<br />
• Peneliti (dibantu rekan) merekam proses<br />
presentasi siswa<br />
• Mengamati menggunakan instrument<br />
yang tervalidasi<br />
Data<br />
Analisis<br />
Kesimpulan<br />
Gambar 1. Desain alur kerja dalam Penelitian Terhadap Siswa<br />
Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Penilaian Presentasi<br />
Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda.<br />
Instrumen untuk Pengambilan Data<br />
Lembar Penilaian (lihat Lampiran 3)<br />
Dari lembar penilaian ini diketahui performansi<br />
siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi<br />
dilakukan oleh peneliti selama penelitian<br />
berlangsung. Dalam instrumen penilaian pada<br />
penelitian performansi presentasi siswa kelas IV-A<br />
SD Wonokromo III mengenai Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda, elemen penelitian dibagi<br />
menjadi dua, yaitu elemen isi dan elemen penyajian.<br />
Elemen isi mengandung 5 aspek, aspek konsep<br />
sains, detail tambahan, penggunaan kosakata, media<br />
visual, dan struktur presentasi. Adapun elemen<br />
penyajian terdiri atas 6 aspek, aspek kualitas<br />
pengucapan, humor positif, penggunaan bahasa<br />
tubuh, pakaian, pemberian waktu berpikir bagi<br />
audiens, dan respon terhadap pertanyaan siswa.<br />
elemen penelitian dibagi menjadi dua, yaitu elemen<br />
isi dan elemen penyajian. Elemen isi mengandung 5<br />
aspek, aspek konsep sains, detail tambahan,<br />
penggunaan kosakata, media visual, dan struktur<br />
presentasi.<br />
A3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 2. Data Penilaian Presentasi Percobaan Perubahan Wujud<br />
Benda oleh Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III<br />
Keterangan<br />
Nama Siswa<br />
N = nilai<br />
Ad = Adbel<br />
4 = sangat baik Am = Amilia<br />
3 = baik B = Boby<br />
2 = kurang E = Era<br />
1=sangat kurang atau<br />
K=Khoirunisa<br />
tidak melakukan<br />
W=Winda<br />
Adapun elemen penyajian terdiri atas 6 aspek, aspek<br />
kualitas pengucapan, humor positif, penggunaan<br />
bahasa tubuh, pakaian, pemberian waktu berpikir<br />
bagi audiens, dan respon terhadap pertanyaan siswa.<br />
Masing-masing poin memiliki skala 1-4, dengan 1<br />
adalah sangat kurang atau bahkan tidak melakukan<br />
sama sekali dan nilai 4 adalah sangat baik. (lihat<br />
elemen penilaian pada Tabel 2)<br />
DATA DAN ANALISIS<br />
Penelitian ini menggunakan 2 elemen penilaian<br />
yakni elemen isi dan elemen penyajian. Masingmasing<br />
elemen terbagi menjadi beberapa poin.<br />
Untuk elemen isi, aspeknya sebagai berikut, konsep<br />
sains, detail tambahan, penggunaan kosakata, media<br />
visual, dan struktur presentasi. Adapun pada elemen<br />
penyajian, aspek-aspeknya yakni kualitas<br />
pengucapan, humor positif, penggunaan bahasa<br />
tubuh, cara berpakaian, pemberian waktu berpikir<br />
bagi audiens, dan respon terhadap pertanyaan dari<br />
audiens.<br />
Selama presentasi berlangsung, ada 3 siswa<br />
yang mengajukan pertanyaan, antara lain Adbel,<br />
Aprilia, dan Amilia (lihat Lampiran 4 ). Meskipun<br />
munculnya pertanyaan tersebut tidak menjadi<br />
pertimbangan dalam penilaian, tetapi ini merupakan<br />
indikator bahwa perhatian ketiga siswa tersebut<br />
terpusat pada presentasi dan menunjukkan adanya<br />
dialog, sehingga presentasi yang ada bersifat dua<br />
arah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam<br />
presentasi juga mengindikasikan antusiasme siswa<br />
sangat besar.<br />
Berdasarkan survei lisan kepada siswa sampel<br />
yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan<br />
penelitian, diperoleh informasi bahwa siswa sampel<br />
sama sekali belum pernah mengenal cara-cara<br />
presentasi dalam belajar. Oleh karenanya, ketika<br />
penelitian ini dilakukan, dalam berpresentasi, siswa<br />
masih melakukannya dengan cara membaca bahan<br />
yang dipresentasikan, meskipun peneliti telah<br />
mngajarkan cara-cara berpresentasi. Ditemuinya<br />
fakta bahwa siswa masih membaca dalam<br />
berpresentasi dapat dimaklumi mengingat siswa<br />
belum memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam<br />
presentasi. Membaca ketika berpresentasi dapat<br />
diartikan siswa belum memahami materi yang<br />
dipresentasikan. Itu sebabnya ketika mereka dinilai,<br />
performansi mereka masih kurang (rata-rata<br />
mendapat nilai 2).<br />
Aturan skala nilai pada rubrik penilaian<br />
memberikan makna sebagai berikut, nilai 4<br />
diperoleh siswa jika melakukan presentasi dengan<br />
lancar, menguasai konsep dan metode presentasi,<br />
strategi-strategi presentasi seperti media visual dan<br />
humor yang positif, nilai 3 jika siswa tidak baik<br />
(nilai 2 atau 1) dalam melakukan salah satu atau dua<br />
poin lainnya yang berhubungan dengan poin yang<br />
sedang dinilai, nilai 2 jika siswa dapat melakukan<br />
dengan baik (nilai 3 atau 4) hanya pada dua atau satu<br />
poin yang berhubungan dengan poin yang sedang<br />
dinilai. Adapun nilai 1 diberikan jika siswa sangat<br />
kurang dalam berpresentasi atau bahkan tidak<br />
melakukan kegiatan dalam poin<br />
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa seluruh<br />
siswa sangat baik (nilai 4) dalam memahami konsep<br />
dan berpakaian, semua siswa tidak melakukan (nilai<br />
1) kegiatan dalam aspek pemberian detail tambahan,<br />
penggunaan media visual, dan penggunaan humor<br />
positif. Melihat pada Tabel 1, mayoritas siswa telah<br />
melakukan dengan baik (nilai 3) dalam pemberian<br />
waktu berpikir bagi audiens dan penggunaan<br />
kosakata, namun mereka masih kurang (nilai 2)<br />
dalam memberikan respon pertanyaan dari audiens.<br />
Sementara itu, siswa dalam melakukan kegiatan<br />
pada aspek struktur presentasi, kualitas pengucapan,<br />
dan kegiatan penggunaan bahasa tubuh, memberikan<br />
distribusi jumlah siswa yang rata pada masingmasing<br />
nilai.<br />
Tabel 2 dapat ditampilkan dalam Gambar 2.<br />
Berdasarkan grafik distribusi kemampuan siswa<br />
A4
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dalam presentasi berdasarkan 11 aspek penilaian,<br />
dapat dilihat bahwa jumlah siswa yang memperoleh<br />
nilai tertentu pada masing-masing poin penilaian<br />
adalah berbeda. Hal tersebut tampak pada perbedaan<br />
ketinggian batang yang menunjukkan jumlah siswa<br />
Keterangan nilai:<br />
4 = sangat baik<br />
3 = baik<br />
2 = kurang<br />
1 = sangat kurang atau tidak melakukan<br />
Gambar 2. Distribusi Kemampuan Presentasi Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda oleh Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo<br />
III Surabaya Berdasarkan 11 Poin Penilaian<br />
Aspek 1 (konsep sains digunakan secara<br />
akurat), seluruh siswa mendapat nilai maksimum<br />
(4). Pada Aspek 2 yaitu ”detail tambahan yang<br />
akurat dapat menjelaskan konsep”, semua sampel<br />
mendapatkan nilai minimum (1). Ditemuinya fakta<br />
tersebut disebabkan siswa hanya membaca hasil<br />
percobaan, sehingga dalam presentasi siswa terpaku<br />
pada laporan hasil percobaan<br />
Penggunaan kosakata (Aspek 3), tidak ada<br />
siswa yang mendapatkan nilai maksimum, satu<br />
siswa mendapat nilai 3, empat siswa mendapat nilai<br />
2, dan satu siswa mendapat nilai minimum.<br />
Dalam Aspek 4 yaitu penggunaan media visual,<br />
tidak ada satupun siswa yang mempersiapkan media<br />
karena peneliti mengambil data penilaian presentasi<br />
bersamaan (pada hari dan jam pelajaran yang sama;<br />
30 Desember 2009 pukul 13.00-14.30) dengan<br />
peneliti lain yang mengambil data Penilaian Proses<br />
Pengambilan Data Percobaan Perubahan Wujud<br />
Benda dan hasil percobaan merupakan bahan<br />
presentasi siswa.<br />
Pada Aspek 5 dari elemen isi, tidak ada siswa<br />
yang mendapatkan nilai minimum, persentase siswa<br />
tersebar rata pada tiap nilai, masing-masing nilai<br />
didapatkan oleh 2 siswa.<br />
Aspek kualitas pengucapan, Amilia siswa<br />
mendapatkan nilai 1 karena dalam presentasi dia<br />
hanya membaca dan antusiasme minim (nada bicara<br />
datar). Dua siswa medapat nilai 3 karena mereka<br />
kurang dalam volum atau kecepatan berbicara di<br />
depan audiens. Sementara itu 2 siswa mendapat nilai<br />
2 sebab mereka kurang dalam kecepatan<br />
menyampaikan bahan presentasi, volum, dan<br />
antusias. Namun mereka tidak murni membaca<br />
dalam berpresentasi.<br />
Aspek 2, “Humor yang positif digunakan<br />
dengan tepat”, tidak ada satupun siswa yang<br />
melakukan,sehingga seluruh siswa mendapatkan<br />
nilai 1.<br />
Penggunaan bahasa tubuh (Aspek 3), terdapat<br />
dua siswa yang mendapat nilai 1 karena dalam<br />
berpresentasi mereka terpaku pada kegiatan<br />
membaca. Winda mendapat nilai 2 karena dia hanya<br />
membaca dan melihat sekilas pada audiens. Adapun<br />
dua siswa lainnya memperoleh nilai 3 karena pada<br />
saat siswa melakukan presentasi peneliti melihat<br />
adanya gerakan tangan yang mendukung penjelasan<br />
(pembacaan) bahan presentasi. Sementara itu,<br />
Khoirunisa memperoleh nilai maksimum karena<br />
memperagakan bahasa tubuh dengan efektif antara<br />
kontak mata dan perubahan gerak tubuh.<br />
Dalam hal berpakaian (Aspek 4 dari elemen<br />
penyajian), seluruh sampel mendapat nilai<br />
maksimum. Mengingat bahwa siswa SD yang<br />
cenderung patuh dengan peraturan, misalnya ketika<br />
berpakaian, kemeja dimasukkan dan menggunakan<br />
ikat pinggang.<br />
Aspek 5 (Pembicara memberikan waktu<br />
berpikir bagi audiens), mayoritas (4 siswa)<br />
mendapatkan nilai 3. Khoirunisa memperoleh nilai<br />
maksimum(4). Sementara itu, satu siswa mendapat<br />
nilai 2 karena hanya mempersilakan audiens<br />
bertanya namun tidak menunggu respon audiens dan<br />
langsung kembali ke bangku.<br />
Pada Aspek 6, 3 siswa tidak merespon sama<br />
sekali pertanyaan dari audiens sehingga mendapat<br />
nilai 1. Satu siswa mendapat nilai 2. Sementara itu 2<br />
siswa mendapat nilai 3 karena mereka berusaha<br />
menjawab pertanyaan dengan mengulang<br />
menjelaskan (membaca) bagian yang ditanyakan.<br />
Penjelasan mengenai nilai masing – masing<br />
siswa digambar dalam diagram lingkaran pada<br />
masing-masing siswa. Dalam diagram lingkaran<br />
terdapat keterangan perolehan nilai dalam angka<br />
biasa dan bentuk persen, penulisan kedua bentuk<br />
angka tersebut dipisahkan oleh tanda titik koma.<br />
Untuk masing-masing potongan diagram lingkaran,<br />
nilai maksimalnya adalah 4 dan jika dihitung dalam<br />
persentase menjadi 14%-17%.<br />
Menurut Gambar 3, Adbel sangat baik dalam<br />
penggunaan konsep, struktur presentasi, dan<br />
berpakaian dengan indikator 14% telah dicapai pada<br />
poin tersebut, dia baik dalam pemberian waktu<br />
berpikir pada audiens, dan respon pertanyaan dari<br />
audiens, namun kurang baik dalam penggunaan<br />
kosakata, kualitas pengucapan, dan tidak melakukan<br />
kegiatan pada poin detail tambahan info, media<br />
visual, humor positif, dan bahasa tubuh.<br />
A5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perolehan Nilai Adbel dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />
3; 12%<br />
4; 15%<br />
3; 12%<br />
1; 4% 1; 4% 2; 8%<br />
4; 14%<br />
4; 15%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />
6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />
1; 4%<br />
2; 8%<br />
1; 4%<br />
Gambar 3. Perolehan Nilai Adbel dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />
Penilaian<br />
Menurut Gambar 4, Era sangat baik dalam<br />
konsep dan berpakaian, baik dalam struktur<br />
presentasi, pengucapan, penggunaan bahasa tubuh,<br />
dan pemberian waktu berpikir pada audiens,<br />
sehingga mendapat persentase 11%, namun dia<br />
kurang dalam penggunaan kosakata dan respon<br />
terhadap pertanyaan dari audiens. Era memperoleh<br />
nilai 1 yang jika dikonversi menjadi 4% penguasaan<br />
pada poin penambahan detail informasi, tampilan<br />
(media visual), dan humor yang positif. Perolehan<br />
nilai 1 tersebut dikarenakan Era tidak melakukan<br />
kegiatan pada aspek terkait.<br />
Perolehan Nilai Era dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda<br />
2; 7%<br />
4; 15%<br />
3; 11%<br />
1;<br />
4%<br />
4; 15%<br />
3; 11%<br />
1; 4%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
3; 11%<br />
2;<br />
7%<br />
3; 11%<br />
1;<br />
4%<br />
Gambar 4. Perolehan Nilai Era dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />
Penilaian<br />
Berdasarkan Gambar 5, Khoirunisa sangat<br />
baik dalam konsep, struktur presentasi, kualitas<br />
pengucapan, penggunaan bahasa tubuh, dan<br />
pemberian waktu berpikir pada audiens, dia<br />
merespon pertanyaan dari audiens dengan baik<br />
sehingga mendapatkan nilai 3 (menguasai 10%).<br />
Khoirunisa tidak melakukan kegiatan pada aspek<br />
detail informasi, penggunaan kosakata, tampilan<br />
(media visual), dan humor yang positif, oleh<br />
karenanya hanya mendapatkan nilai 1 untuk aspekaspek<br />
tersebut.<br />
Perolehan Nilai Khoirunisa dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />
3; 10% 4; 13% 1; 3%<br />
4; 13%<br />
1; 3%<br />
4; 13%<br />
4; 13%<br />
1; 3%<br />
4; 13%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />
6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />
1; 3%<br />
4; 13%<br />
Gambar 5. Perolehan Nilai Khoirunisa dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />
Penilaian.<br />
Dari Gambar 6, Winda sangat baik dalam<br />
konsep dan berpakaian, menguasai 13%<br />
(memperoleh nilai 3) dalam penggunaan kosakata<br />
sehingga dia telah menggunakan kosakata dengan<br />
baik, namun dia kurang dalam struktur presentasi,<br />
pengucapan, penggunaan bahasa tubuh, dan<br />
pemberian waktu berpikir pada audiens, Winda tidak<br />
melakukan aspek penambahan detail informasi,<br />
tampilan (media visual), humor yang positif, dan<br />
respon terhadap pertanyaan dari audiens sehingga<br />
mendapatkan nilai 1 yang jika dipersentasekan<br />
menjadi 4%.<br />
Perolehan Nilai Winda dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda<br />
4; 17%<br />
2; 9% 1; 4%<br />
4; 18%<br />
1; 4%<br />
2; 9%<br />
1; 4% 2; 9% 2; 9% 1; 4% 3; 13%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />
6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />
Gambar 6. Perolehan Nilai Winda dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />
Penilaian<br />
Melihat pada Gambar 7, Boby sangat baik<br />
dalam konsep dan berpakaian, menguasai 12% (nilai<br />
3) dalam kemampuan kualitas pengucapan,<br />
penggunaan bahasa tubuh, dan pemberian waktu<br />
berpikir pada audiens, namun dia kurang dalam<br />
A6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
penggunaan kosakata dan struktur presentasi. Pada<br />
aspek penambahan detail informasi, tampilan (media<br />
visual), humor yang positif, dan respon terhadap<br />
pertanyaan dari audiens, Boby menguasai 4%<br />
(mendapat nilai 1) karena dia tidak melakukan<br />
kegiatan pada aspek-aspek tersebut.<br />
Perolehan Nilai Boby dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda<br />
4; 16%<br />
3; 12% 1; 4%<br />
3; 12%<br />
1; 4%<br />
3; 12%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />
6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />
4; 16%<br />
1; 4%<br />
2; 8%<br />
2; 8%<br />
1; 4%<br />
Gambar 7.Perolehan Nilai Boby dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />
Penilaian<br />
Berdasarkan Gambar 8, Amilia sangat baik<br />
dalam konsep dan berpakaian, baik dalam struktur<br />
presentasi dan pemberian waktu berpikir bagi<br />
audiens, kurang dalam penggunaan kosakata. Amilia<br />
tidak melakukan kegiatan pada poin detail informasi,<br />
tampilan (media visual), kualitas pengucapan, humor<br />
yang positif, penggunaan bahasa tubuh, dan respon<br />
pertanyaan dari audiens.<br />
Perolehan Nilai Amilia dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />
Perubahan Wujud Benda<br />
4,<br />
17%<br />
1,<br />
5%<br />
3,<br />
14%<br />
1,<br />
5%<br />
1,<br />
5% 1,<br />
5%<br />
4,<br />
17%<br />
3,<br />
13%<br />
1. Konsep<br />
2. Detail tambahan<br />
3. Kosakata<br />
4. Penggunaan media visuall<br />
5. Presentasi terstruktur<br />
1. Pengucapan<br />
2. humor yang positif<br />
3. penggunaan bahasa tubuh<br />
4. pakaian<br />
5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />
6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />
1,<br />
5%<br />
2,<br />
9%<br />
1,<br />
5%<br />
Gambar 8.Perolehan Nilai Amilia dalam Presentasi Laporan<br />
Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Poin<br />
Penilaian<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang<br />
telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik<br />
kesimpulan dalam Tabel 3.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian.<br />
Jakarta: Rineka Cipta.<br />
http://Ciri Kecenderungan Belajar Dan Cara Belajar<br />
Anak SD dan MI « Pembelajaran<br />
Guru.htm.2008@google.com.15 Januari 2010<br />
http://Kurniawan,Nursidik.2007.KARAKTERISTIK<br />
_PENDIDIKAN_USIA_SD.htm@google.co<br />
m.15 Januari 2010.<br />
http://Presentasi.htm @ wikipedia .com 15 Januari<br />
2010.<br />
http://Direktorat Pembinaan SMA Ditjen<br />
Manajemen Pendidikan Dasar Dan<br />
Menengah <strong>Departemen</strong> Pendidikan<br />
Nasional.Rancangan Penilaian Hasil Belajar.<br />
@google.com.15 Januari 2010.<br />
A7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 3. Kesimpulan Penelitian Terhadap Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Presentasi<br />
Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />
A8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Karakteristik Aktivitas Belajar Mahasiswa<br />
Terhadap Modul e-Learning: Studi Kasus Kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />
Cuk Imawan, Efta Yudiarsah<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia<br />
Email : cuk.imawan@ui.ac.id<br />
Abstrak<br />
Aktivitas belajar mahasiswa dalam kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar di Universitas Indonesia terhadap modul e-learning telah<br />
dikarakterisasi dan dianalisa. Modul e-learning kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar yang digunakan untuk diuji berasal dari hasil<br />
pengembangan PHKI-UI. Terdapat dua tipe modul yang diujicobakan yaitu: model 1: Penayangan modul tanpa<br />
aktivitas online dan model 2: Penayangan modul dengan aktivitas online. Aplikasi e-learning yang digunakan<br />
adalah SCeLE-UI yang berbasis Moodle. Semua aktivitas atau interaksi mahasiswa dengan modul e-learning<br />
direkam oleh SCeLE dan telah dianalisa. Dari hasil ini diperoleh kesimpulan bahwa kuliah yang hanya<br />
menayangkan modul e-learning saja tanpa disertai oleh aktivitas online hanya dikunjungi oleh mahasiswa di<br />
pekan-pekan awal perkuliahan. Mahasiswa hanya berkepentingan untuk mengunduh modul saja. Aktivitas test<br />
online yang digunakan di model 2, telah berhasil memaksa mahasiswa untuk selalu berinteraksi dengan materi<br />
kuliah setiap pekannya. Walaupun modul yang dikembangkan telah mencakup presentasi materi kuliah, diktat<br />
kuliah, materi pengayaan berupa multimedia dan alamat web terkait dari materi yang dibahas, mahasiswa masih<br />
kurang tertarik untuk berinteraksi dengan materi-materi tersebut. Hal ini memberikaan kesimpulan, bahwa<br />
perkuliahan e-learning disamping harus mempunyai skenario pembelajaran yang tepat juga harus diasuh oleh<br />
faslitator yang baik sehingga mahasiswa dapat termotivasi untuk rajin belajar.<br />
Kata kunci : e-learning, kuliah <strong>Fisika</strong> dasar, aktivitas belajar.<br />
PENDAHULUAN<br />
Saat ini penggunaan TIK untuk medukung<br />
aktivitas belajar telah banyak dilakukan. Salah satu<br />
bentuknya adalah e-learning (Holden, 2005).<br />
Walaupun perkembangan e-learning sudah melewati<br />
dua dekade, perkuliahan e-learning masih belum<br />
banyak dilakukan di Indonesia. Memang dapat<br />
dijumpai beberapa kuliah yang dilaksanakan oleh<br />
dosen secara individual telah menggunakan fasilitas<br />
e-learning, tetapi perkuliahan dasar, misalnya untuk<br />
matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar universitas, yang biasanya<br />
menjadi matakuliah wajib bagi bidang eksakta<br />
sehingga selalu dilaksanakan secara masal, belum<br />
dijumpai dilakukan secara institusional di PT di<br />
Indonesia. Kendala utamanya adalah infrastruktur<br />
jaringan komputer yang belum memadai,<br />
keterbatasan sumber daya manusia yang<br />
bertanggung jawab untuk mengembangkan,<br />
merawat, dan mengoperasikan modulnya, dan biaya<br />
operasionalnya yang masih mahal. Seandainya<br />
semua rintangan ini teratasi, masih ada kendala yang<br />
sering membuat e-learning gagal, yaitu rendahnya<br />
komitmen institusi dan pelaksana yang frustrasi<br />
karena sering harapannya tidak sesuai dengan<br />
kenyataan di lapangan (Dokeos, 2008). Hal lainnya<br />
adalah bahwa e-learning menuntut perubahan<br />
budaya, sehingga yang diperhatikan atau<br />
diselesaikan tidak hanya permasalahan fisik saja<br />
tetapi juga permasalahan manusianya (Forman,<br />
2002).<br />
Universitas Indonesia (UI) melalui proyek<br />
PHKI Batch 1 program B, telah mengembangkan<br />
dan mengimplementasikan e-learning ini secara<br />
masal yang diikuti oleh lebih dari 4000 mahasiswa<br />
pengguna secara serentak. Pengambangan modul e-<br />
learning ini merupakan prototipe untuk menuju<br />
cyber campus yang telah dicanangkan oleh UI.<br />
Penelitian ini merupakan evaluasi awal tentang<br />
pelaksanaan e-learning pada matakuliah <strong>Fisika</strong><br />
Dasar di UI yang telah dilaksanakan pada akhir<br />
tahun 2009. Evaluasi yang dilakukan adalah tentang<br />
karakteristik aktivitas mahasiswa pada jenis materi<br />
yang telah dikembangkan dan diberikan secara<br />
online selama kuliah berlangsung.<br />
PERANCANGAN PEMBELAJARAN<br />
Pada penelitian ini digunakan teori pemelajaran<br />
berarti (significant learning) untuk perancangan<br />
pembelajarannya (Fink, 2003). Secara skematik<br />
komponen kunci dalam perancangan pembelajaran<br />
terintegrasi menurut teori ini ditunjukkan pada<br />
gambar 1. Dalam perancangan pembelajaran telah<br />
dilakukan urutan langkah berikut:<br />
Mengamati faktor-faktor situasi yang<br />
mempengaruhi proses pembelajaran, meli-puti<br />
karakteristik pelajar dan pengajar, lingkungan<br />
belajar, dll.<br />
Menentukan tujuan akhir belajar:, terma-suk<br />
dampaknya pada pelajar, perbedaan terhadap<br />
pelajaran lainnya, dll.<br />
Melakukan asesmen dan umpan balik, dapat<br />
berupa asesmen peer dan pribadi, bentuk ujian, dll.<br />
A9
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Merancang aktivitas belajar, meliputi jenis dan<br />
bentuk aktivitas, dukungan TIK, dll.<br />
Penayangan modul dengan aktivitas online:<br />
disamping menayangakan semua materi secara<br />
online, aktivitas belajar terstruktur dilakukan juga<br />
secara online.<br />
Tujuan dari pemilihan kedua model ini adalah<br />
untuk mempelajari bagaimana karakteristik aktivitas<br />
belajar mahasiswa terkait dengan jenis materi ajar,<br />
teknologi e-learning dan skenario proses<br />
pembelajaran yang dirancang.<br />
Gambar. 1 Komponen kunci dalam perancangan pembelajaaran<br />
terintegrasi. (Fink, 2003)<br />
Pengamatan terhadap faktor-faktor situasi di<br />
lapangan, untuk matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar telah<br />
dilakukan sebelum model pembelajaran baru akan<br />
dikembangkan. Faktor-faktor situasi belajar utama<br />
yang teramati adalah:<br />
Motivasi belajar mahasiswa cenderung langsung<br />
tertuju untuk mendapatkan nilai akhir, tidak terlalu<br />
memperhatikan proses belajar.<br />
Efektivitas belajar mandiri dari mahasiswa<br />
masih rendah. Terbatas pada persiapan menjelang<br />
ujian tengah dan akhir semester.<br />
Jenis materi ajar terlalu monoton, hanya terbatas<br />
pada buku teks.<br />
Aktivitas kerja kelompok untuk membantu<br />
pengembangan soft skills belum ada.<br />
Proses pembelajaran 100% tatap muka satu<br />
arah, tanpa disertai tugas terstruktur.<br />
Evaluasi belajar hanya sumatif, lewat ujian<br />
tengah dan akhir semester.<br />
Mahasiswa belum dikenalkan teknologi TIK<br />
untuk mendukung pembelajaran.<br />
Berdasarkan faktor-faktor situasi ini,<br />
dikembangkan model pembelajaran active blended<br />
e-learning. Model ini pada dasarnya<br />
menggabungkan model tatap muka dan e-learning<br />
secara bersama dengan model belajar aktif. Pada<br />
prinsipnya semua materi ajar diberikan lewat tatap<br />
muka sedangkan e-learning membantu dalam<br />
aktivitas belajar terstruktur di luar tatap muka.<br />
Materi ajar dikem-bangkan secara variatif dalam<br />
bentuk e-diktat, power point, animasi, simulai dan<br />
link ke web, yang semuanya dapat diakses secara<br />
online.<br />
Pada riset ini dikembangkan dua model aktivitas<br />
pembelajaran, yaitu:<br />
Penayangan modul tanpa aktivitas online:<br />
semua materi ajar ditayangkan secara online, tetapi<br />
tidak ada aktivitas belajar terstruktur baik secara<br />
online maupun offline.<br />
PENGEMBANGAN MODUL E-LEARNING<br />
Implementasi perancangan pembelajaran<br />
matakuliah <strong>Fisika</strong> dasar dengan metode active<br />
blended e-learning dikerjakan dengan melakukan<br />
pengem-bangan modul e-learning beserta<br />
perancangan instruksional pembelajarannya. Seperti<br />
diketahui e-learning tidak sekedar menampilkan<br />
materi kuliah secara online di web, tetapi juga harus<br />
memperhatikan atau merancang bagaimana interaksi<br />
belajar mahasiswa dengan materi onlinenya (Fetaji,<br />
2007).<br />
Skema pengembangan kedua model di atas<br />
ditunjukkan pada gambar 2. Pengembangan modul<br />
terdiri dari dua bagian, yaitu pengembangan<br />
multimedia dan instructional design. Pengembangan<br />
multimedia meliputi pengembangan materi ajar<br />
berbasis TIK yang terdiri dari pengembangan PPt<br />
sebagai bahan kuliah tatap muka interaktif,<br />
pengembangan e-diktat sebagai buku teks yang<br />
digunakan untuk tugas reading, e-test bank sebagai<br />
bank soal berjenis multiple choice yang digunakan<br />
untuk pre dan post test, video clip, animasi/simulasi<br />
sebagai sarana pengayaan materi visual untuk<br />
mempermudah atau membantu menerangkan/<br />
memahami materi, dan links ke web, sebagai materi<br />
pengayaan penambah informasi dan wawasan.<br />
Semua materi multimedia yang dikembangkan<br />
dirancang dalam suatu instructional design sehingga<br />
harus dikembangkan suatu metode, skenario, dan<br />
evaluasi pembelajaran secara integratif seperti dapat<br />
dilihat di gambar 2.<br />
Perbedaan model 1 dan model 2 secara prinsip<br />
terletak di skenario dan evaluasi pembelajarannya.<br />
Model 1 adalah suatu pembelajaran konvensional<br />
atau pasif yang didukung dengan sarana TIK.<br />
Multimedia yang dikembangkan hanya diletakkan<br />
online di web sehingga dapat diunduh atau dipelajari<br />
secara online, tetapi tidak dirancang sebagai suatu<br />
kesatuan proses pembelajaran berbentuk aktivitas<br />
belajar. Sedangkan model 2, memanfaatkan semua<br />
multimedia yang dikembangkan ke dalam aktivitas<br />
belajar yang telah dirancang.<br />
Perbedaan lainnya yang menyolok di model 2<br />
adalah dijumpainya aktivitas kerja kelompok berupa<br />
collaborative learning (CL) dan Problem based<br />
Learning (PBL) yang diakhiri dengan presentasi<br />
hasil tugasnya. Metode ini telah dicoba dan baik<br />
untuk jenis matakuliah eksakta (Göl, 2007). CL/PBL<br />
A10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ini beserta evaluasinya berupa borang-borang tugas<br />
kelompok merupakan salah satu metode belajar aktif<br />
yang diintegrasikan dalam aktivitas belajar.<br />
setiap minggu selama satu semester penuh, sehingga<br />
mahasiswa dapat mengatur sendiri strategi<br />
belajarnya dan juga memahami segala konsekuensi<br />
yang akan dilakukannya. Pada gambar 3 di bagian<br />
bawah ditunjukkan skenario tugas kelompok. Di<br />
modul online ini diberikan semua peraturan dan tata<br />
cara penyelesaikan dan evaluasi tugas kelompok<br />
beserta kemajuan yang harus dicapai setiap<br />
pekannya. Pada tugas ini, setiap kelompok harus<br />
menyelesaikan suatu permasalaahan yang diberikan<br />
secara berkelompok dalam waktu empat pekan.<br />
Gambar. 2 Model pengembangan modul matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />
dengan metode active blended e-learning.<br />
Gambar. 3 Tampilan modul e-learning <strong>Fisika</strong> dasar di SCeLE-UI.<br />
Pengembangan modul e-learning ini dituangkan<br />
dalam LMS SCeLE (Student Centered e-Learning<br />
Environment) yang dikembangkan oleh Universitas<br />
Indonesia dan digunakan sebagai aplikasi resmi e-<br />
learning di UI. Tampilan modul e-learning ditunjukkan<br />
di gambar 3. Pada modul ditampilkan semua<br />
rancangan pembelajaran dan materinya secara rinci<br />
ANALISIS KARAKTERISTIK AKTIVITAS<br />
BELAJAR<br />
Pada artikel ini yang diteliti adalah karakteristik<br />
aktivitas belajar mahasiswa terhadap modul yang<br />
meliputi materi-materi dan skenario pembelajaran<br />
yang diberikan. Penelitian tentang peningkatan<br />
kemampuan pemahaman materi oleh mahasiswa<br />
A11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sangat sulit dilakukan, disamping waktu penelitian<br />
yang terbatas yaitu hanya satu semester saja atau<br />
satu kali proses kuliah, implementasi di lapangan<br />
tidak memungkinkan untuk dibandingkan antara<br />
metode konvensional dibandingkan dengan metode<br />
ini pada mahasiswa yang sama. Walaupun demikian<br />
hasil evaluasi ini sangat bermanfaat untuk<br />
mengetahui karakteristik aktivitas belajar dan<br />
kemudian dapat digunakan dalam memperbaiki<br />
instructional design sehingga sesuai dengan faktorfaktor<br />
situasi belajar yang ada.<br />
Aktivitas belajar yang dianalisis adalah semua<br />
aktivitas interaksi mahasiswa dengan materi ajar<br />
secara online dan aktivitas mahasiswa ketika<br />
menyelesaikan tugas kelompok. Aktivitas tugas<br />
kelompok dievaluasi dari borang-borang tugas<br />
kelompok yang diisi oleh mahasiswa.<br />
Gambar 4 menunjukkan aktivitas mahasiswa<br />
ketika menjalankan Instructional design model 1.<br />
Aktivitas ini adalah nilai rata-rata interaksi<br />
mahasiswa terhadap materi panduan, PPt, diktat, dan<br />
materi pengayaan (animasi, simulasi, links ke web,<br />
& video clips) yang ditampilkan online di SCeLE<br />
selama perkuliahan berlangsung. Nilai rata-rata<br />
diambil dari 19 kelas paralel yang ada di Fakultas<br />
Teknik. Seperti diketahui model 1 menggunakan<br />
materi online tanpa mewajibkan mahasiswa<br />
berinteraksi dengannya. walaupun demikian dosen<br />
menganjurkan mahasiswa untuk berinteraksi.<br />
Jadi mahasiswa hanya mengunduh materi dari web<br />
dan tidak menjenguk web lagi, karena memang tidak<br />
ada aktivitas online lainnya.<br />
Hasil yang sangat jauh berbeda ditunjukkan<br />
untuk model 2 (gambar 5). Interaksi dengan materi<br />
terlihat sangat banyak, terutama dengan kuis online<br />
(pre test dan post test). Grafik 5 menunjukkan<br />
mahasiswa telah berinteraksi sampai 5 kali dengan<br />
test, padahal untuk menyelesaikan test sebenarnya<br />
cukup berinteraksi 1-2 kali saja. Interaksi yang<br />
tinggi pada test online mungkin disebabkan karena<br />
bersifat wajib dan nilai test merupakan salah satu<br />
komponen nilai akhir kuliah. Keinginan mahasiswa<br />
untuk mendapatkan nilai test yang baik ini, mungkin<br />
menyebabkan mereka harus banyak berinteraksi<br />
dengan materi PPt dan Diktat, seperti dapat dilihat di<br />
gambar 5. Walaupun demikian ternyata mahasiswa<br />
masih tidak berminat untuk berinteraksi dengan<br />
materi pengayaan.<br />
Gambar. 5 Aktivitas belajar mahasiswa terhadap materi online<br />
setiap pekan. Instructional design menggunakan model 2,<br />
dilakukan oleh 6 kelas.<br />
Gambar. 4 Rata-rata aktivitas belajar mahasiswa terhadap materi<br />
online setiap pekan. Instructional design menggunakan model 1,<br />
dilakukan oleh 19 kelas.<br />
Gambar 4 menunjukkan terdapat sekitar 20 kali<br />
interaksi dengan panduan kuliah, padahal jumlah<br />
mahasiswa rata-rata di kelas adalah 60, dengan<br />
demikian hanya sekitar 30% mahasiswa yang<br />
melihat sendiri panduan kuliah secara online.<br />
Interaksi dengan PPt dan diktat tercatat tinggi pada<br />
pekan ke-1 dan kemudian menurun sampai ke angka<br />
sekitar 20 kali setiap pekan. Dilain pihak mahasiswa<br />
terlihat tidak tertarik untuk berinteraksi dengan<br />
materi pengayaan. Karakteristik ini diduga sebagai<br />
akibat dari tiadanya aktivitas wajib yang harus<br />
dikerjakan oleh mahasiswa dengan materi onlinenya.<br />
Gambar. 6 Aktivitas belajar mahasiswa selama menyelesaikan<br />
tugas kelompok. Instructional design menggunakan model 2.<br />
Aktivitas lainnya pada model 2 adalah tugas<br />
kelompok. Selama mengerjakan tugas, mahasiswa<br />
diharuskan mengisi borang-borang selama proses<br />
penyelesaian kegiatan. Salah satu borang yang wajib<br />
diisi adalah borang evaluasi diri dan kelompok, yang<br />
A12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
menggambarkan bagaimana interaksi setiap<br />
mahasiswa dengan kelompoknya selama proses<br />
penyelesaian tugas. Evaluasi yang dilakukan<br />
meliputi kontribusi individu dalam kelompok,<br />
kerjasama individu dalam kelompok dan<br />
kemampuan komunikasi individu dalam kelompok.<br />
Hasil evaluasi ini ditunjukkan pada gambar 6.<br />
Evaluasi dilakukan dua kali yaitu ketika di tengah<br />
waktu penyelesaian tugas dan di akhir tugas. Hasil<br />
evaluasi menunjukkan bahwa semua nilai untuk<br />
ketiga aspek di atas lebih dari 90%. Hasil ini tidak<br />
diduga sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa<br />
mahasiswa dapat melakukan aktivitas kerja<br />
kelompok dengan baik.<br />
Hasil model 1 dan 2 di atas menyimpulkan<br />
bahwa materi online jika tidak disertai dengan<br />
aktivitas yang mengharuskan mahasiswa<br />
berinteraksi dengan materinya akan tidak efektif<br />
dalam membantu atau mendorong aktivitas belajar<br />
mahasiswa. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />
bahwa kesadaran mahasiswa dalam belajar masih<br />
rendah, sehingga sangat diperlukan suatu aktivitas<br />
belajar terstruktur yang “memaksa” mahasiswa<br />
untuk melakukan atau menyelesaikannya.<br />
Jolly T. Holden, Philip J.-L. Westfall (2005), An<br />
Instructional Media Selection Guide for<br />
Distance learning, United States Distance<br />
Learning Association.<br />
Dokeos (2008), The Dokeos e-learning project<br />
management guide.<br />
Dawn Forman (2002), Cultural Change for the E-<br />
World, Proceedings of the International<br />
Conference on Computers in Education<br />
(ICCE’02),<br />
L. Dee Fink (2003), A Self-Directed Guide to<br />
Designing Courses for Significant Learning.<br />
Bekim Fetaji & Majlinda Fetaji (2007) E-Learning<br />
Indicators Methodology Approach in Designing<br />
Successful e-Learning, Proceedings of<br />
the ITI 2007 29th Int. Conf. on Information<br />
Technology Interfaces, June 25-28, 2007,<br />
Cavtat, Croatia, 307-312.<br />
Özdemir Göl & Andrew Nafalski (2007), Collaborative<br />
Learning in Engineering Education,<br />
Global J. of Engng. Educ., Vol.11, No.2,<br />
173-180.<br />
KESIMPULAN<br />
Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan proses<br />
belajar dengan memanfaatkan modul e-learning<br />
telah dilakukan pada kasus matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />
yang dilaksanakan di Universitas Indonesia. Di sini<br />
diujicobakan dua model: model 1 hanya menaruh<br />
semua materi secara online di SCeLE dan model 2<br />
disamping meletakkan materi secara online<br />
dilakukan pula aktivitas belajar terstruktur melalui<br />
tugas online. Karakteristik aktivitas mahasiswa yang<br />
diamati mununjukkan bahwa mahasiswa sangat aktif<br />
jika diadakan aktivitas yang terkait langsung dengan<br />
nilai akhir kuliah. Mahasiswa lebih memilih<br />
berinteraksi dengan PPt dan Diktat dari pada dengan<br />
materi pengayaan, sebab kedua materi tersebut dapat<br />
membantu mereka dalam menyelesaikan test online.<br />
Interaksi mahasiswa meningkat jika dikaitkan<br />
dengan aktivitas test online secara rutin setiap<br />
pekan. Aktivitas tugas kelompok dapat meningkatkan<br />
soft skills mahasiswa dalam kerja tim dan<br />
komunikasi.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terima kasih ditujukan kepada tim<br />
PHKI batch 1 Universitas Indonesia, khususnya<br />
pada program B1.1 Pengembangan kuliah layanan<br />
sains integratif, yang telah bersama-sama<br />
mengembang-kan modul dan mengawal<br />
implementasinya, sehingga evaluasi dan artikel ini<br />
dapat diselesaikan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
A13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Penerapan Soft Skill Dalam Kegiatan Program Pengalaman Lapangan<br />
Sebagai Upaya Mempersiapkan Mahasiswa Menjadi Guru Profesional<br />
Eko Hariyono<br />
Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> FMIPA UNESA<br />
Email: hari_fisika@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan proses<br />
pembelajaran di lapangan dan soft skill mahasiswa. Manfaat dari penelitian adalah untuk dapat mempersiapkan<br />
mahasiswa sehingga dapat berhasil menyelenggarakan program pengalaman lapangan (PPL). Penelitian ini<br />
diterapkan pada 40 orang mahasiswa Prodi Pendidikan <strong>Fisika</strong> yang melaksanakan Program Penglaman Lapangan<br />
(PPL) dengan focus penelitian pada keterampilan mahasiswa dalam mengembangkan perangkat pembelajaran<br />
dan penerapan soft skill dalam pembelajaran. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, rata-rata kemampuan<br />
pengelolaan pembelajaran mahasiswa fisika dalam kategori baik, sedangkan aspek soft skill yang pelu<br />
ditingkatkan terutama pada aspek kemampuan berpikir kritis dan analitis.<br />
Kata Kunci: Pogram Pengalaman Lapangan, Soft Skill, Guru Profesional.<br />
PENDAHULUAN<br />
Tantangan dunia perguruan tinggi untuk dapat<br />
mempersiapkan mahasiswa menjadi agen<br />
pembaharu dalam dunia pendidikan saat ini<br />
mendapatkan jawaban yang lebih nyata dari<br />
masyarakat. Seiring dengan semakin<br />
berkembangnya tuntutan untuk meningkatkan mutu<br />
pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga<br />
perguruan tinggi. Seluruh mahasiswa lulusan<br />
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata<br />
dengan berperan secara aktif dalam setiap perubahan<br />
yang terjadi dalam masyarakat. Namun secara<br />
makro, harapan tersebut hampir tidak mampu<br />
terpenuhi oleh pendidikan yang ada di perguruan<br />
tinggi. Seperti yang ditulis oleh Adiwijaya (2009),<br />
Indonesia telah memasuki suatu era yang cukup<br />
memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan.<br />
Lulusan perguruan tinggi kita relatif tidak berguna.<br />
Ketika telah selesai menempuh kuliah di perguruan<br />
tinggi dan meraih gelar sarjana, lulusan kita banyak<br />
tidak bisa apa-apa. Pengangguran sangat banyak,<br />
sepertinya lulusan pendidikan tinggi tidak bisa<br />
berbuat sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun<br />
lingkungannya. Bahkan banyak sarjana yang tidak<br />
tahu apa yang harus dilakukan. Sampai-sampai<br />
banyak ditemui di sekitar kita, calon-calon sarjana<br />
yang bukannya senang tetapi takut dan stres, akibat<br />
bingung mau berbuat apa? Lalu, pendidikan tinggi<br />
itu mendidik apa?<br />
Pertanyaan di atas sungguh menggelitik bagi<br />
para praktisi pendidikan di perguruan tinggi.<br />
Pertanyaan yang sangat mendasar yang perlu untuk<br />
dijadikan sebagai bahan renungan dan introspeksi<br />
tentang proses pendidikan yang selama ini sudah<br />
dilakukan. Sehingga muncul beberapa pertanyaan<br />
tambahan, Apakah pendidikan yang dilaksanakan<br />
diperguruan tinggi selama ini sudah mampu<br />
mempersiapkan mahasiswa untuk bisa hidup di<br />
masyarakat?, apakah pendidikan di perguruan tinggi<br />
sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Dan<br />
apakah pendidikan di peguruan tinggi sudah mampu<br />
menjamin perubahan bagi masyarakat kearah yang<br />
lebih baik?<br />
Tujuan pendidikan di perguruan tinggi adalah<br />
yaitu menyiapkan peserta didik menjadi anggota<br />
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik<br />
dan/atau profesional yang dapat menerapkan,<br />
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu<br />
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dan<br />
mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu<br />
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta<br />
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan<br />
taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya<br />
kebudayaan nasional.(Pongtuluran, 2008). Jika<br />
dikaji secara mendalam, proses pendidikan yang<br />
dilaksanakan selama ini belum mampu menyentuh<br />
semua aspek yang tercantum dalam tujuan<br />
pendidikan di perguruan tinggi walaupun upaya<br />
tersebut selalu dilakukan. Orientasi perkuliahan<br />
yang belum tepat menjadikan kurang bermaknanya<br />
segala pengetahuan yang diperoleh mahasiswa<br />
selama proses pendidikan. Hariyono (2009),<br />
menyatakan bahwa hal yang sering muncul pada saat<br />
mahasiswa diminta untuk memodelkan pengajaran<br />
sebuah konsep sering terjadi salah konsep (mis<br />
konsep), ada kesan konsep tidak lebih penting dari<br />
model pembelajaran sehingga tidak jarang ada<br />
kesalahan dalam mengkomunikasikannya. Ini<br />
menandakan bahwa proses pembelajaran yang<br />
dilaksanakan belum optimal.<br />
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang<br />
Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tahun 2005<br />
tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 tahun 2005<br />
tentang Standar Nasional Pendidikan<br />
mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik<br />
A14
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
profesional. Seorang guru atau pendidik profesional<br />
harus memiliki kualifikasi akademik minimum<br />
sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai<br />
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan<br />
rokhani, serta memiliki kemampuan untuk<br />
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (Madewi,<br />
dkk, 2009). Dalam membentuk guru profesional,<br />
tidak sekedar kualifikasi akademik namun calon<br />
guru harus memiliki kecakapan pofesional untuk<br />
dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional<br />
dengan tugas utama mendidik, mengajar,<br />
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan<br />
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak<br />
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,<br />
dan pendidikan menengah (PLPG, 2009: 7). Untuk<br />
mewujudkan kecakapan tersebut, mahasiswa perlu<br />
dipersiapkan secara matang sebelum<br />
mengaplikasikan kemampuannya di lapangan.<br />
Program Pengalaman Lapangan (PPL)<br />
merupakan salah satu program bagi mahasiswa prodi<br />
pendidikan untuk terjun langsung pada masyarakat<br />
untuk melaksanakan praktek mengajar. Di dalam<br />
kegiatan PPL diharapkan mahasiswa memiliki<br />
pengalaman belajar langsung (direct experiences)<br />
terkait dengan proses belajar mengajar yang ada di<br />
sekolah. Mahasiswa dapat mengaplikasikan segala<br />
hal baik dalam bentuk pengetahuan maupun<br />
keterampilan yang pernah diperoleh di kampus<br />
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang<br />
dihadapi dalam kehidupan nyata. Untuk dapat<br />
mewujudkan hal tersebut, perlu adanya pembekalan<br />
yang tepat bagi mahasiswa yang akan melaksanakan<br />
Program Pengalaman Lapangan (PPL) sehingga<br />
dapat memaksimalkan peran pada kegiatan langsung<br />
di sekolah. Permasalahan yang akan di bahas adalah<br />
Bagaimana mengoptimalkan kegiatan program<br />
pengalaman lapangan untuk mempersiapkan<br />
mahasiswa menjadi guru profesioanal?<br />
PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN<br />
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)<br />
merupakan media bagi mahasiswa untuk<br />
mengaplikasikan dasar profesi. Dalam jurusan<br />
kependidikan praktik pengalaman lapangan<br />
diaplikasikan dalam bentuk praktik mengajar dan<br />
kegiatan edukasional lainnya di lembaga sekolah.<br />
Berdasarkan Undang-undang profesi yang<br />
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)<br />
tanggal 6 Dersember tahun 2005 guru ditetapkan<br />
sebagai profesi. Dengan demikian pekerjaan guru<br />
selain harus mempunyai nilai tawar yang tinggi<br />
seperti profesi dokter dan professional lainnya, guru<br />
harus mempunyai kompetensi yang dapat<br />
diandalkan.<br />
Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakukan<br />
mahasiswa merupakan salah satu wadah agar<br />
mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang<br />
dapat diandalkan. Dalam PPL mahasiswa akan<br />
dihadapkan pada kondisi riil aplikasi bidang<br />
keilmuan, seperti; kemampuan mengajar,<br />
kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi, dan<br />
kemampuan manajerial kependidikan lainnya. PPL<br />
bukan hanya kegiatan mengajar yang harus<br />
ditempuh oleh mahasiswa, tetapi juga menyangkut<br />
kemampuan berpartisipasi, membangun, atau<br />
mengembangkan potensi pendidikan dimana ia<br />
berlatih.<br />
Tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman<br />
Lapangan Jurusan <strong>Fisika</strong> Unesa adalah sebagai<br />
berikut:<br />
• Memberikan wahana aplikasi kelimuan bagi<br />
mahasiswa.<br />
• Memberikan pengalaman profesional<br />
mahasiswa sebagai calon guru, sehingga benarbenar<br />
menjadi lulusan kependidikan yang siap<br />
terjun di masyarakat khususnya dunia<br />
kependidikan.<br />
• Menjalin kerjasama edukasional dengan<br />
lembaga sekolah sebagai mitra dalam<br />
penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan<br />
Tinggi.<br />
Program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)<br />
dilaksanakan dua tahap yaitu Program Micro<br />
teaching yang terintegrasi dalam mata kuliah PPL 1<br />
berkaitan dengan keterampilan mengajar guru serta<br />
kesiapan mahasiswa untuk PPL sebenarnya dan<br />
tahap Program Praktik Pengalaman Lapangan<br />
(Praktik Mengajar) dilaksanakan di sekolah latihan.<br />
Dalam penelitian ini ditekankan pada PPL 1<br />
sebagai pembekalan mahasiswa sebagai calon guru.<br />
Pembekalan ini selain pada hard skill juga<br />
ditekankan pada soft skill meliputi inisiatif,<br />
integritas, berfikir kritis, kemauan untuk belajar,<br />
komitmen, motivasi meraih prestasi, antusias,<br />
kemampuan komunikasi, handal dan berkreasi.<br />
Banyak survey yang telah dilakukan dan<br />
mengungkapkan bahwa calon guru yang dibutuhkan<br />
di dunia kerja adalah calon guru yang tidak hanya<br />
memiliki hardskills namun juga yang memiliki<br />
serangkaian softskill. sebutlah seperti kemampuan<br />
berkomunikasi dan bekerja dalam tim. hampir tidak<br />
ada lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan<br />
orang-orang yang memiliki kemampuan tersebut.<br />
Pada umumnya, hardskills didefinisikan sebagai<br />
kemampuan menguasai ilmu pengetahuan teknologi<br />
dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan<br />
bidang ilmunya. misalnya seorang guru seharusnya<br />
menguasai ilmu dan keterampilan mengajar.<br />
sedangkan softskills didefinisikan sebgai<br />
kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan<br />
orang lain (interpersonal skills) dan kemampuan<br />
dalam mengatur/mengelola dirinya sendiri<br />
(intrapersonal skills).<br />
Oleh karena itu PPL 1 sebagai wahana<br />
pembekalan mahasiswa sebelum melaksanakan PPL<br />
yang sebenarnya, maka dosen pengajar harus bisa<br />
mengembangkan perangkat pengajaran mahasiswa<br />
yang tidak hanya menekankan pada hard skill tetapi<br />
A15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
juga pada soft skill mahasiswa. Adapun langkahlangkah<br />
penyusunan pengembangan softskills dalam<br />
mata kuliah PPL 1 dapat dilakukan dengan cara:<br />
4. Mengindetifikasi soft skills apa saja yang<br />
diperlukan oleh seorang guru, dalam<br />
penelitian ini digunakan top ten university<br />
yaitu (a) kerja keras, (b) percaya diri, (c)<br />
visioner, (d) team work, (e) planer (f)<br />
analitycal thinking, (g) adaptasi, (h) under<br />
pressure (i) bahasa asing, (j) organizer.<br />
5. Mendefiniskan softskills, setelah softskills<br />
yang dibutuhkan diidentifikasi, kemudian<br />
dipilih soft skill yang sangat diperlukan oleh<br />
calon guru.Soft skill yang akan<br />
dikembangkan adalah inisiatif, integritas,<br />
berfikir kritis, kemauan untuk belajar,<br />
komitmen, motivasi meraih prestasi, antusias,<br />
kemampuan komunikasi, handal dan<br />
berkreasi.<br />
6. Program pengembangan, (1) written<br />
curriculum, ini dilakukan dengan memasukan<br />
softskills yang telah ditentukan ke dalam<br />
rancangan pembelajaran, dengan demikian<br />
penguasaan mahasiswa terhadap softskills<br />
tertentu harus dimasukkan dalam aspek<br />
penilaian mata kuliah tersebut. (2) hidden<br />
curriculum, ini dilakukan secara informal<br />
yaitu melalui interaksi dosen-mahasiswa.<br />
dosen sebagai panutan (role model). dapat<br />
juga dilakukan dengan menciptakan atmosfir<br />
akademik di lingkungan jurusan anda. (3) Cocurriculum,<br />
manfaatkan kegiatan seperti<br />
magang (internship), PPL.<br />
HASIL PENELITIAN PPL<br />
Aspek yang dinilai dalam kegiatan PPL adalah<br />
kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan PBM<br />
di kelas dan soft skill mahasiswa. Pengambilan data<br />
dilakukan secara sampling pada 33 mahasiswa dari<br />
total mahasiswa Pendidikan <strong>Fisika</strong> yang<br />
melaksanakan kegiatan PPL sejumlah 68<br />
mahasiswa.<br />
1. Kemampuan mahasiswa dalam PBM.<br />
Kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan<br />
KBM ditunjukkan seperti grafik berikut:<br />
Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa<br />
Berdasarkan grafik di atas, kemampuan<br />
mahasiswa dalam PBM yang meliputi<br />
menyampaikan pembelajaran secara sistematis,<br />
memiliki penguasaan konsep, menyampaikan<br />
konsep dengan jelas saat KBM dan menggunakan<br />
media saat PBM semuanya mendapat kategori baik<br />
dengan skor di atas 3,00. Aspek yang menonjol<br />
adalah kemampuan mahasiswa dalam<br />
menyampaikan pembelajaran secara sistematis<br />
dengan nilai rata-rata 3.45, sedangkan skor yang<br />
relatif paling rendah adalah kemampuan<br />
menyampaikan konsep dengan jelas saat KBM dan<br />
penggunaan media saat PBM.<br />
2. 1. Soft skill mahasiswa.<br />
Aspek soft skill yang dinilai meliputi: penuh<br />
percaya diri, penuh rasa tanggung jawab, bersikap<br />
kooperatif dengan warga sekolah, jujur, disiplin,<br />
memiliki sikap kepemimpinan yang baik, toleransi,<br />
komunikatif, memiliki kemampuan berpikir kritis,<br />
simpati, dan empati. Melalui lembar penilain soft<br />
skill yang diisi oleh guru pamong dapat di<br />
gambarkan hasilnya sebagai berikut:<br />
Gambar 2. Penilaian Soft Skill<br />
Hasil penilaian guru pamong menunjukkan<br />
bahwa soft skill mahasiswa fisika rata-rata pada<br />
kategori baik dengan nilai > 3.00. Aspek soft skill<br />
yang paling menonjol adalah sikap kepemimpinan<br />
A16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan nilai 3.76, sedangkan aspek yang paling<br />
rendah adalah kemampuan berpikir kritis dengan<br />
nilai 3.24.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat<br />
disimpulkan bahwa :<br />
1. Dalam kegiatan PPL yang perlu di persiapkan<br />
secara matang adalah soft skill mahasiswa<br />
selain keterampilan melaksanakan proses<br />
pembelajaran.<br />
2. Keterampilan mahasiswa dalam mengelola<br />
PBM rata-rata baik.<br />
3. Kecakapan yang perlu mendapat penekanan<br />
adalah kemampuan berpikir kritis dan analitis<br />
mahasiswa.<br />
Beberapa saran yang dianggap penting adalah dalam<br />
meningkatkan penerapan soft skill untuk<br />
mempersiapkan mahasiswa sebelum turun ke<br />
lapangan sehingga akan lebih mampu beradaptasi<br />
dan terampil dalam bermasyarakat.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih kami sampaikan pada para guru<br />
pamong yang berkenan membantu pelaksanaan<br />
penelitian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Adiwijaya ZA. 2009. Paradigma Pendidikan di<br />
Perguruan<br />
Tinggi,<br />
http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/1<br />
9/opi4.htm 15 April 2009<br />
Hariyono, E. 2009. Implementation Lesson Study<br />
Efforts As Improving Process And Results<br />
Teaching and Learning Process in Physic<br />
Department Surabaya State University.<br />
Makalah Seminar Internasional.<br />
Madewi, dkk, 2009. Penerapan Student Center<br />
Learning Untuk Meningkatkan Soft Skill<br />
Mahasiswa Dalam Mata Kuliah Program<br />
Pengalaman Lapangan I di Jurusan<br />
Pendidikan <strong>Fisika</strong> FMIPA UNESA. Laporan<br />
Hibah Dia Bermutu<br />
Pongtuluran, 2008. Student Centered Learning: The<br />
Urgency and Possibellities, Petra Christian<br />
University.<br />
A17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Student Group Works Skill Test in 2rd Year of State Junior High School of<br />
Satu Atap Bobol, Sekar District, Bojonegoro Regency for<br />
Lever Subject<br />
Lusi Kusuma W 1 , Firda U. Ermawati 2<br />
1,3 Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Negeri Surabaya<br />
Email : lkw_moslem@rocketmail.com<br />
Abstrak<br />
This paper reports the result of testing the student’s skill when they are working in a group (group work) at<br />
Junior High School Satu Atap Bobol, Sekar district of Bojonegoro regency. This research’s purposes were to test<br />
the student’s understanding in physics subject by doing group work and to test the student’s group work skill. In<br />
this work, the writer of this paper was acting as the teacher of those students. For the first step, the writer<br />
showed some skills to work in a group and students practiced it. After that, the students were trained to present<br />
their work in front of the class. Then, along with the writer, the students had to assess their performance by<br />
themselves using a scoring sheet. The sheets contains some important indicators and it’s scale. The assessment<br />
results from those two assessors were then used to see how skillful the students are. It was found that the average<br />
score of each indicator was more than 65, except the indicator of encouraging the others which is less than 65.<br />
Those results implied that the group work skills of the students were good, although some students couldn’t gain<br />
it perfectly. Further, 8 of 14 students got the post test score more than 65 and 13 of 14 students got the post test<br />
score better than the pre test score. It can be concluded that group work method could help the students to<br />
improve their learning achievement.<br />
Key word: group work, skill<br />
INTRODUCTION<br />
This paper reports the result of testing the<br />
student skill of group work at Junior High School<br />
Satu Atap Bobol, Sekar district of Bojonegoro<br />
regency. The background of this research is as a<br />
social human, it is impossible for one to live alone,<br />
without the others. From some literatures [1-2,4] about<br />
attitude and personality, show that something that<br />
have been accepted by someone in their group has<br />
many contribution in determining their personality<br />
identity. The same phenomenon takes place in<br />
learning process of a child in a class; pupil needs the<br />
others (friend, teacher and parents) to get<br />
achievement.<br />
Some literatures [2,10] also arguied that students<br />
will understand about learning subject and save their<br />
understanding in a long term memory if they studied<br />
in a small group than that by his/her self. A Group<br />
work has purpose to lead students work together,<br />
moreover it could solve their problems, such as<br />
doing experiment, dicussing, role playing, etc.<br />
Group work also support the stolid and coward<br />
students to speak breavely. A student would feel<br />
safe if he/she talks in small group rather than in front<br />
of class.<br />
Base on the statement above, the writer of this<br />
paper try to do a small research to test the student’s<br />
understanding in physics subject by doing group<br />
work. For this purpose, the 2 rd year of State Junior<br />
high School of Satu Atap Bobol were used as the<br />
sample.<br />
THEORY<br />
1. What Group Work is? [3]<br />
UTDC Guidelines stated that group work can<br />
be used to achieve a range of teaching and learning<br />
goals (related to process and product).<br />
While terminology varies, this literature<br />
identifies three types of group work: informal<br />
learning groups, formal learninggroups, and study<br />
groups. Informal learning groups are ad hoc<br />
temporary clusterings of students within a single<br />
class session. Formal learning groups are teams<br />
established to complete a specific task, such as<br />
perform a lab experiment, write a report, carry out a<br />
project, or prepare a position paper.<br />
2. Why We Use Group Work?<br />
a. Peer learning can improve the overall quality<br />
of student learning<br />
Group work enhances student<br />
understanding. Students learn from each other<br />
and benefit from activities that require them<br />
to articulate and test their knowledge. Group<br />
work provides an opportunity for students to<br />
clarify and refine their understanding of<br />
concepts through discussion and rehearsal<br />
with peers.<br />
A18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
b. Group work can help develop specific generic<br />
skills sought by employers<br />
Group work can facilitate the<br />
development of skills, which include:<br />
a) teamwork skills (skills in working within<br />
team dynamics; leadership skills);<br />
b) analytical and cognitive skills (analysing<br />
task requirements; questioning; critically<br />
interpreting material; evaluating the work<br />
of others);<br />
c) collaborative skills (conflict management<br />
and resolution; accepting intellectual<br />
criticism; flexibility; negotiation and<br />
compromise); and<br />
d) organisational and time management<br />
skills: '<br />
c. Group work may reduce the workload<br />
involved in assessing, grading and providing<br />
feedback to students<br />
The assessment of a group 'product' is<br />
rarely the only assessment taking place in<br />
group activities. The process of group work is<br />
increasingly recognised as an important<br />
element in the assessment of group work. And<br />
where group work is marked solely on the<br />
basis of product, and not process, there can be<br />
inequities in individual grading that are unfair<br />
and unacceptable.<br />
3. When we use group work? [3]<br />
Group work should be considered when one or<br />
more of the following criteria are met:<br />
a. Some goals of the course are best<br />
achieved through students working in<br />
groups<br />
b. The task can only be carried out by a group<br />
(e.g. where students work as a management<br />
team, or are required to assign roles to<br />
group members)<br />
c. The task is too large or complex for one<br />
person<br />
d. Resource limitations require group work<br />
(limited equipment, limited number of<br />
‘real’ clients).<br />
4. Group Work Skill<br />
[4]<br />
If we want to make a team, the main thing<br />
bellows must be considered:<br />
a. Positive interdependency<br />
b. Individual accountability<br />
c. Face-to-face interaction<br />
d. Collaborative skills<br />
e. Group processing<br />
5. Lever [6]<br />
If we want to make our work easier, we will<br />
better use some machines. For example, if we<br />
want to move a heavy thing into a box truck, it<br />
will be easier to use an inclined plane than<br />
remove it by our self. If we want to take a bail<br />
out of water from an underground well, it will be<br />
easier to use a pulley than use our hand. A<br />
machine that can make our work easier is called<br />
simple machine. There any four types simple<br />
machine,<br />
1. A lever 3. An Inclined Plane<br />
2. A Pulley 4. A Wheel and Axle<br />
In this part we want to describe the first<br />
kind of simple machine, it is Lever.<br />
a) What is Lever?<br />
Lever has some parts that is a load point, a<br />
force point, a fulcrum point, a load arm and a<br />
force arm (see Figure 1). A Load point is a<br />
point which in a load has been placed, a force<br />
point is a point which a force has been done,<br />
and fulcrum point is a point which a fulcrum<br />
has been placed. The distance between a load<br />
point and a fulcrum point is called load arm,<br />
whereas the distance between a force point and<br />
a fulcrum point is called force arm (see Figure<br />
1).<br />
A Lever is the simplest kind of machine’s<br />
kind that ever used, some examples of lever is<br />
a pliers (see Figure 2b) and a wheelbarrow (see<br />
Figure 3b). A heavy load can be removed<br />
easier by lever, that means a load that has<br />
weight W can be removed by the force that less<br />
than W. The force depends on the length of<br />
force arm (lk) and load arm (lb)<br />
Figure 1. An example of lever schem, consist of<br />
force point, fulcrum point and load point. (Source:<br />
www.edukasi.net/.../mp_280/materi2.html)<br />
b) The Three Classes of Lever<br />
1. First Class Lever<br />
In this class, the fulcrum point lies between<br />
the load and the force points (see Figure 2a).<br />
Some examples of this level class are a<br />
pliers (see Figure 2b), a scissors, a crowbar<br />
and a seesaw.<br />
Load<br />
Fulcrum<br />
Force<br />
fulcrum<br />
(a)<br />
(b)<br />
Figure 2. (a) the first class lever, the fulcrum point<br />
lies between load and force point (b). An example<br />
A19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
of this level class is pliers (source:<br />
www.wikipedia.or.ig)<br />
2. Second Class Lever<br />
In this class, the load point lies between the<br />
fulcrum and the force points (see Figure 3a).<br />
Some examples of this level class are a curb<br />
bit, a crow bar, a wheelbarrow (see Figure<br />
3b) and a bottle opener .<br />
Load<br />
load<br />
force<br />
RESEARCH METHOD<br />
The following is the flow chart followed in this<br />
work,<br />
Student group work skills<br />
Doing group works skill test, with the<br />
steps below;<br />
force<br />
(a)<br />
Fulcrum<br />
fulcrum<br />
(b)<br />
Figure 3. (a) the second class lever, the load point between<br />
fulcrum and force point, (b).an example of this level<br />
classes is wheelbarrow. (source: www.wikipedia.or.ig)<br />
3. Third Class Lever<br />
In this class, the force point lies between the<br />
load and the fulcrum points (see Figure 4a).<br />
Some examples of this level class are a<br />
pinset, a skop, a stapler, a human arm (see<br />
Figure 4b),a fish rod and a broom .<br />
Load<br />
Fulcrum<br />
Force<br />
Force<br />
(a) Load<br />
(b)<br />
Figure 4. (a) The third class lever, the force point<br />
between load and fulcrum point, (b). An example of<br />
this level class is human arm. (Source:<br />
www.wikipedia.or.ig)<br />
1. the 2 rd year students of State Junior high<br />
School of Satu Atap Bobol were used as<br />
the sample<br />
2. Students have been motivated to get<br />
involved actively in this work<br />
(see lesson plan at Appendix 2 )<br />
3. Students have been given pre test<br />
(see Appendix 2 for pre test sheet and<br />
the result at Appendix 5 )<br />
4. Students have been explained about the<br />
objectives of learning and have been<br />
given information about the material<br />
(Lever) (see Figure 7b in Appendix 1)<br />
5. Students were classified into several<br />
groups (see Appendix 4 for the members<br />
of each group)<br />
6. Students did worksheet in their group<br />
(see Appendix 2 for worksheet and the<br />
results at Appendix 5)<br />
7. Students presented group work results<br />
in front of class (see Figure 7d in<br />
Appendix 1)<br />
8. The teacher assessed the student’s<br />
performance (see Appendix 5 for<br />
observation sheet and the result at<br />
Appendix 4)<br />
9. Students have been given post test (see<br />
Appendix 2 for post test sheet and the<br />
result at Appendix 4 )<br />
10. Students did self assessment based on<br />
the teacher’s instruction (see Appendix<br />
3 for self assessment sheet and the<br />
results at Appendix 4)<br />
11. Analyses the assessment result (see<br />
Appendix 4)<br />
Research discovery and conclusion<br />
A20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DATA ANALYSES<br />
Figures 5a and 5b showing the result obtained in<br />
this work. The figures tell us that the majority of the<br />
students reached most of the indicators; just some<br />
indicators still have low bar (see Figure 5a and 5b).<br />
(a)<br />
(b)<br />
Figure 5. (a). Self (student) assessments for their performance in group based on the categorizes , (b). Assessment result by the teacher. Detail<br />
discussion on these results is provided in the text below.<br />
A21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ten indicators for group work assessments [11] ,<br />
1) Be in the group and ready to work together.<br />
2) Completes all individual tasks of the group timely<br />
and well.<br />
3) Participates in a constructive manner<br />
4) Encourages others to participate in a constructive<br />
manner<br />
5) Be a good, active listener<br />
6) Defends his/her ideas or opinions in strong and<br />
thoughtful manners.<br />
7) Shows his/her disagreement politely<br />
8) Work harmonically in a group<br />
9) Shares job responsibilities equally in a group<br />
10) Promotes positive human relations in the group<br />
From Figure 5a and 5b for the first indicator<br />
(Be in the group and ready to work together) show that<br />
most of the students got more than 65 (see pink bar<br />
in Figure 5a and grey bar in Figure 5b). This score<br />
showed that all students were in their group during<br />
works time. Most of students in this school were<br />
obedient, so they were easy to be organized.<br />
In the second indicator (Completes all individual<br />
tasks of the group timely and well) most of students did<br />
well. Just one of them didn’t get good score. Rika<br />
assessed herself 16,7, while other students evaluated<br />
themselves high (more than 80). Actually Rika<br />
Rahayu always did her tasks well, but she did not<br />
feel confidence, she thought that she was not as<br />
good as the others, she is a quiet student.<br />
Both the students and the teacher attributed<br />
good score to the third indicator (participates in a<br />
constructive manner). From the figure, we knew that<br />
the students, namely Karni, Johan, Eko and Dwi<br />
have lower bar than the others, (for self assessment<br />
they got 33 and teacher assessment they got 67),<br />
although classically they got 76,17 (see Appendix 4,<br />
Table 2). They are quiet and passive students.<br />
In the fourth indicator (encourage others to<br />
participate in a constructive manner) they got low bar<br />
scores (see Figure 6a and 6b). The average class<br />
less than 65 (see Appendix 4), just reach 64, 9 (see<br />
Appendix 4). The low of this indicator is caused by<br />
[9]<br />
various factors. Literature stated that<br />
environmental factor was very influent the spirit of<br />
student to study, as well as society environment.<br />
This school is located in the area of low education<br />
level. Peoples stay in that area mostly were<br />
graduated from elementary school and they have bad<br />
attitude in daily activity, such as spending their free<br />
times in front of television (based on society<br />
observation). This habits believed or not could<br />
interfere the students attitude in learning process .<br />
The impact was the students were not used to<br />
support one another achieved a good learning<br />
achievement . But some students could (Putut and<br />
Sumasri). But different with Tutik, in group 2, she<br />
tends to dominate. In the group, she often force her<br />
friends to agree her ideas. For example, during their<br />
work, Tutik didn’t allow Putut to do their task; she<br />
thought that he was unable to do it. (See private<br />
notes for teacher’s observation in Appendix 5)<br />
In the fifth indicator (be good, active listener)<br />
generally they were good listeners (see Figure 5a<br />
and 5b), but they were not active listener. That<br />
means most of them were stolid and afraid to<br />
express their opinion in class discussion. They brave<br />
enough to do that in their group. Their braveness in<br />
expressing ideas in the group was a starting point to<br />
do the same thing in the class. But some students<br />
have been active listeners (Arik, Tutik, Roin and<br />
Sumasri). They could answer questions or give<br />
feedback to the teacher’s and their friend’s<br />
stimulation. (see teacher assessment sheet, in<br />
Appendix 5).<br />
In the sixth indicator (Defends his/her ideas or<br />
opinions in strong and thoughtful manners) has good<br />
average 76,7 (see Figure 6). But see the score that<br />
teacher was given, the majority of their score were<br />
66,7 (see figure 5b and Appendix 4). This was<br />
because the environmental condition or the culture<br />
of the students who tend to be shy and less able to<br />
convey their thinking. This same condition takes<br />
place to the seventh indicator (Shows his/her<br />
disagreement politely). The students were difficult to<br />
express disagreed opinion with their friends (see<br />
Figure 5a and 5b at this indicator). They were only<br />
brave express it to their teacher, so interactive<br />
communication among students were not developed.<br />
It happened in majority of students, but some<br />
students have done that well (Roin, Tutik and<br />
Sumasri). Their score were very high (83,3). They<br />
able to express disagreed with the others group if<br />
there any different answer.<br />
The low student’s ability in supporting the<br />
others, in giving opinion and in giving feedback was<br />
caused by some factors. One of those factors was<br />
because of the psychological condition of the<br />
students. The children in this age tend to interact<br />
with their friends in a noncompetitive atmosphere<br />
and they usually have close relationship with their<br />
teachers and friends and make decisions according<br />
to their own [1] . So, when they have different opinion<br />
with their friends, they tend to keep their ideas rather<br />
than confronting it to their friends. They did it to<br />
keep their good relationships. Instead they prefer to<br />
complain the unpleasant condition to the teacher.<br />
In eighth indicator (Work harmonically in a group),<br />
this score is relative high, the average of this<br />
indicator is 79,17 (see Figure 5a and 5b at this<br />
indicator and Appendix 8). From this figure we<br />
knew that some students could compromise with<br />
their friends. The same condition takes place in the<br />
next indicator, shares job responsibilities equally in a<br />
group (see Figure 7e, Appendix 1). That was<br />
indicated by the high of this score (see Figure 5a<br />
and 5b in this indicator). They were very<br />
enthusiastic when they have been placed in a small<br />
A22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
group, they could share job or role for each student<br />
in the group.<br />
There was three students (Dwi S, Johan and<br />
Putut) assess their selves that couldn’t compromise<br />
with the others when they are working together in<br />
group. But as long as the writer observed them, there<br />
was two students (Karni and Dwi) that didn’t that<br />
well. They were not friendly with the others; they<br />
were different with the others. It was concluded<br />
from the interviewed carried out one of the teachers<br />
in that school. That was because Karni and Dwi<br />
came from different villages, the intensity to meet<br />
theirs friend outside of school was very rare. So,<br />
they have problem if they must communicate with<br />
their friends.<br />
For the last indicator (promote positive human<br />
relation with the others), teacher assessed they high<br />
score of 96,5, but their own score assess were 71,3.<br />
That maybe caused by the difference in justifying<br />
something. The teacher only saw of out student’s<br />
condition but the students used their feeling to taste<br />
their surrounds.<br />
Base on explanation above, the group work<br />
performance assessment was good. Although some<br />
students couldn’t reach some indicators perfectly.<br />
But the average of score classically most of all<br />
indicators show that they were able to gain most of<br />
all indicators. Apart of the fourth indicator<br />
(encourage others), the rest got the score more than<br />
65. 92 for the first indicator, 83 for the second, 65<br />
for the fourth, 76 for the third, 79 for the fifth, 76 for<br />
the sixth, 70 for the seventh, 79 for the eighth, 85 for<br />
the<br />
ninth and the last 84 (see Figure 6 for graph<br />
illustration and more information at Appendix 4).<br />
Figure 6. Average values for each indicator, the value can be<br />
read in explanation above<br />
Good achievements of the ten indicators above<br />
have led to significant influence on students'<br />
cognitive learning outcomes. From the Figure 7<br />
below (see Figure 7), we knew that generally the<br />
post test score of the students was higher than the<br />
pre test score. the eight student got post test more<br />
than 65 and one student got same low score in pre<br />
test (56).<br />
Figure 6. Comparison of pre test and post test results, generally, it shows that the average post test scores higher than<br />
pre test scores<br />
A23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Literature study [2] stated that group work would<br />
help the student to improve their learning<br />
achievement. In this work, the increased student<br />
achievement has been shown by the increasing the<br />
post test score compared to the pre test score (see<br />
Figure 6).<br />
In this work, among the five learning objectives<br />
(see Appendix 2, Lesson Plan), the last objectives<br />
which is calculate the mechanical advantages of<br />
lever has not been carried out yet until the end of<br />
this work. This is because of the limited time<br />
provided for the writer. This unfinished work,<br />
however, doesn’t interfere the aim of this work. The<br />
aim was met through this work as mention above.<br />
RESEARCH DISCOVERY AND CONCLUSION<br />
1. In this research the writer found that the average<br />
scores of each indicator was more than 6, except<br />
the indicator of encouraging the others which is<br />
less than 65. Those results implied that the<br />
group work skills of the students were good,<br />
although some students couldn’t gain it<br />
perfectly.<br />
2. Further, 8 of 14 students got the post test score<br />
more than 65 and 13 of 14 students got the post<br />
test score better than the pre test score. It can be<br />
concluded that group work method could help<br />
the students to improve their learning<br />
achievement.<br />
REFERENCESS<br />
Nur, Muhammad. 2001. Perkembangan Selama<br />
Anak-anak dan Remaja. Surabaya : Pusat<br />
Studi dan Matematika dan IPA Sekolah,<br />
Unesa.<br />
Ibrahim,Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran<br />
Kooperatif. Surabaya :Unesa University Press<br />
.<br />
UTDC Guidelines. 2004.Improving Teaching and<br />
Learning Group Work and Group<br />
Assessment. University Teaching<br />
Development Centre .Victoria University of<br />
Wellington (access at 26 November 2009)<br />
Maas, Linda T. 2004. Peranan Dinamika Kelompok<br />
Dalam Meningkatkan Efektifitas Kerja Tim,<br />
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas<br />
Sumatera Utara. Digitized by USU digital<br />
library. (access at 03 Desember 2009)<br />
http://www.kti ptk.com/gudang laporan penelitian<br />
tindakan kelas/belajar kelompok (access at 10<br />
Desember 2009).<br />
Kanginan, Martin.2004. Sains <strong>Fisika</strong> SMP. Jakarta:<br />
Erlangga<br />
www.wikipidia.or.ig (access at 28 Oktober 2009)<br />
www.edukasi.net/.../mp_280/materi2.html (access at<br />
28 Oktober 2009)<br />
Syaodih Sukmadinata, Nana. 2003. Landasan<br />
Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT<br />
Remaja Rosdakarya.<br />
]Barbara Gross davis. Collaborative<br />
Learning:Group Work and Study Teams.<br />
University of California.<br />
www.edukasi.net/.../mp_280/materi2/<br />
Collaborative Learning:Group Work and<br />
Study Teams.html (access at 28 Oktober<br />
2009)<br />
Hibbard, Michael. 1997. Performance assessment<br />
In the Science Classroom. New York :<br />
Glencoe McGraw Hill.<br />
A24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The Ability of Student at State Elementary School Tanjungsari II in<br />
Drawing Concepts Map in the Chapter Changes of Substances Form<br />
Martha Prasetianingrum 1 , Frida U Ermawati 2<br />
Education Study Program, Department of Physics, Surabaya State University<br />
Physics Department FMIPA Unesa<br />
Email : 1) martha_ok@yahoo.com 2) frida_dua@yahoo.com<br />
Abstract<br />
This paper reported the work in investigating the ability of 5th year students in the State Elementary School<br />
Tanjungsari II in drawing concepts map, especially their ability in the chapter of Change of Substances Form<br />
(Perubahan Wujud Zat). The reason for doing this work is because most students could not read and understand<br />
any concepts map which is usually provided in a student’s/text book. Such map in science book is actually<br />
intended by the author of the book to help student’s understanding on the sciences materials given in the<br />
textbook. Generally, a concepts map is a picture of mapping concepts (fundamental ideas) so that students are<br />
able to know and to understand all related concepts. There are 4 types of concepts map in sciences book, namely<br />
a network tree concepts map, an event chain concepts map, a cycle concepts map, and a spider concepts map. In<br />
this work, the writers of this paper have trained the student in that school to draw and to understand the concepts<br />
map on the intended chapter before checking their abilities in drawing the maps. To do that, three assessors had<br />
assessed their abilities independently, namely students themselves, an independent observer, and the writers. It<br />
was obtained that the student’s ability in drawing and understanding the concepts map of that chapter, in the<br />
form of those 4 types of maps, was increased significantly, compare to that before training. In order to complete<br />
student’s understanding on the learning materials, the writers had also suggested to the teacher of those students<br />
to train them regularly in drawing and understanding concepts map in their daily learning process.<br />
Keywords: concepts map, change of substance form, a network tree, an event chain, a cycle concepts map, a spider concepts<br />
map<br />
INTRODUCTION<br />
The paper reported the work of researcher<br />
in investigating the ability of 5 th year State<br />
Elementary School Tanjungsari students II in<br />
drawing concepts map in chapter Change of<br />
Substance Form. In Science, concepts map work to<br />
summarize material so that it can be studied easily.<br />
Some books [1-4] were providing type of concepts<br />
map at beginning of chapter. But unhappily, most<br />
students couldn’t read concepts map so that they<br />
assumed concepts map useless or just chapter<br />
decoration. This fact was detecting by the writer<br />
when she was teaching photosynthesis process to<br />
student in order to give an exercise in drawing<br />
concepts map (see Figure 1). Figure 1 showed the<br />
concepts map of photosynthesis process which was<br />
difficult to be understood by student. Why? Because<br />
we didn’t know what were requiring in<br />
photosynthesis processes, what were supporting<br />
photosynthesis processes, and what were producing<br />
photosynthesis processes. Everything was unclear.<br />
This fact happened because the students couldn’t<br />
read concepts map. Disabilities of State Elementary<br />
School Tanjungsari II students in reading and<br />
understanding concepts map because of the students<br />
didn’t know what for concepts map. Beside that,<br />
concepts map which provided at this book [4] less<br />
communicative and uninteresting for the Elementary<br />
School level that has verbal thinking. Concepts map<br />
should be modified by the students (see Figure 2).<br />
Concepts map cycle type was believe to be<br />
understood by student easily. A part having the skill<br />
to read, students must be skill to draw and to modify<br />
concepts map so that easier to be understood.<br />
Based on study evidence above, hence the<br />
writer did a trial to investigating the ability of 5 th<br />
years State Elementary School students at<br />
Tanjungsari II in drawing concepts map, especially<br />
in chapter Change of Substance Form. In this study,<br />
the writer not only checked the ability of 5 th year<br />
State Elementary School Tanjungsari II students in<br />
drawing concepts map, but also she taught all about<br />
concepts map.<br />
Sunlight<br />
Carbon dioxides<br />
+ water<br />
Chlorophyll<br />
Carbohydrates<br />
+ oxygen<br />
Figure1. Concept Map of Photosynthesis Process [4]<br />
This Concept map could not be understood by student because<br />
concepts map less communicative and uninteresting. The<br />
students remembered this map difficultly, what were requiring<br />
in photosynthesis process, what were supporting in<br />
photosynthesis process, what were producing in photosynthesis<br />
process, where carbon dioxides and water were from, where<br />
chlorophyll were from, what were carbohydrate and oxygen for,<br />
everything unclear. Beside that, this concept map didn’t be<br />
completed by interesting picture.<br />
A25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure2. The modified concept map of photosynthesis process.<br />
Concept map is more interesting and more communicative,<br />
because this map was completed by cycle flow chart. A leaf<br />
background on the chart indicated that the photosynthesis<br />
process take place on the leaf. In process 1, sunlight from the<br />
sun came to the leaf (marked by pointing down to leaf), plus<br />
chlorophyll and water, produced oxygen which was<br />
propagated to the air. In process 2, carbon dioxide from the air<br />
came to the leaf, plus carbon dioxide receiver, produced sugar<br />
which was propagated to all body of plant for metabolism<br />
THEORY<br />
1. Definition of concepts<br />
According to Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />
(KBBI) [5] , a concept is idea which is abstraction of<br />
concrete event. From definition above, the writer<br />
defined concepts as a fundamental ideas or<br />
elementary ideas. Analogue to those definitions, the<br />
writer defined as concepts in science was<br />
fundamental ideas or an elementary idea which was<br />
related to specific science lesson. By understanding<br />
the scientific concepts, the students will able to<br />
know the lesson clearly. The example of concepts in<br />
biology are biotic, a biotic, community, population,<br />
and individual. From the argument above, it is clear<br />
that understanding concepts is prerequisite to master<br />
something for any individual. In this tern, the<br />
student’s knowledge on those concepts is develops<br />
systematically. The following examples of non<br />
concepts are mathematical formulas.<br />
2. Concepts Map<br />
a. Definition of concepts map<br />
In Science, there are concepts must be<br />
understood by student. They have to know, to<br />
classify, and to study those concepts correctly and<br />
precisely. The most important factor which influent<br />
study achievement is prior knowledge. In studying<br />
new knowledge, the students must know relation<br />
between prior knowledge with new knowledge. The<br />
prerequisite of meaningful learning knows<br />
relationship between concepts. The new concepts<br />
must be related to prior concepts in student’s<br />
cognitive structure. Based on definition above, the<br />
way to know concepts mastered by student and<br />
hence the learning process will be meaningful, is by<br />
drawing concepts map. As written by Trianto [6] .,<br />
concepts map is diagram mapping concepts to make<br />
logic and understandable. In concepts map, concepts<br />
will be integrated proportionally Characteristic of<br />
concepts map [6] is as follows:<br />
1) Concepts map or mapping of concepts is a way<br />
to show concepts relation in study area<br />
(chemical, physics, etc). By using concepts<br />
map, student can see lesson meaningfully<br />
2) A concepts map represents a lesson. This<br />
characteristic can show proportional relation<br />
between concepts<br />
3) Concepts don’t have the same level. There are<br />
concepts having the more general characteristic<br />
than the other<br />
4) When concepts map consist of specific and<br />
general concepts, hence formed a hierarchy<br />
In Science, a fundamental idea is mapped clearly.<br />
By showing concepts map which are consist of<br />
fundamental ideas, the student will see the inter<br />
relationship between knowledge.<br />
b. The way to make concepts map<br />
Concepts map is made by student to draw visual<br />
way about how the ideas connected each other.<br />
Concepts map is like map of road, but concepts map<br />
show relation between ideas, not relation between<br />
places. First, students must try to identify<br />
fundamental ideas in logical pattern (see Figure 2).<br />
Concepts map be completed by hierarchy, or<br />
causality. Steps in drawing a concepts map of<br />
hierarchy are shown in Figure 3:<br />
Procedure to make concepts map [6]<br />
Choose topic<br />
Determine relevant concepts<br />
Classify from inclusive concept to<br />
specific concept<br />
Arrange concept in a diagram, and<br />
inclusive concept in center or top of the<br />
Give connecting line and connecting<br />
word to show relation between general<br />
concepts to specific concept. Connecting<br />
word which usually used for example<br />
“consist of”, or “use”<br />
A26<br />
Figure 3. Procedure to draw concepts map [6]
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
3. Types of Concepts Map<br />
There are four concepts maps<br />
[6] , namely: a<br />
network tree, an event chain, a cycle concepts map,<br />
and a spider concepts map.<br />
a. Network Tree<br />
Fundamental ideas are written in square, and the<br />
other connected by connecting line (see Figure 4).<br />
Connecting word gives relation between concepts.<br />
First, list concepts and start from general concepts to<br />
specific concepts. The interconnected concepts are<br />
arranged from general concepts, and give relation at<br />
lines.<br />
Network tree is compatible to visualize:<br />
1) Causality Information<br />
2) Hierarchy<br />
3) Branched Procedure<br />
Example:<br />
Human Respiration Organ<br />
c. Cycle Concepts Map<br />
In Cycle concepts map, we cannot determine<br />
initial and final events. Final event at cycles is<br />
reconnected to initial event and recurring by itself.<br />
There is no final event (see Figure 6). Cycle<br />
concepts map is compatible to visualize cycles.<br />
Example:<br />
Precipitations Cycle<br />
Become<br />
cloud<br />
Dew<br />
Evaporate<br />
Precipitations<br />
Cycle<br />
Presipitation<br />
Go to sea<br />
Absorption<br />
by land<br />
Consist of<br />
Human Respiration Organ<br />
Kind of respiration<br />
Figure 6. Cycle concept map [1]<br />
Nose<br />
Lung<br />
Throat<br />
Chest<br />
respiration<br />
Gambar 4. Network Tree Concept Map [2]<br />
Stomach<br />
respiration<br />
b. Events Chain<br />
Event chain concepts map can be used to map a<br />
sequence of event, steps in a procedure, or phases in<br />
a process. For example in experiment (see Figure 5).<br />
Event chain is compatible to visualize:<br />
1) Mapping phases a process<br />
2) Steps in a procedure<br />
3) Sequence of event<br />
Example:<br />
Steps of an Experiment<br />
Problems<br />
d. Spider Concepts Map<br />
Spider concepts map can be used to<br />
accommodate some opinions (see Figure 7). First<br />
idea is the central idea. From central idea, we can<br />
obtain some alternative ideas. The relation of one<br />
another isn’t clear. We start it by separating and<br />
grouping the alternative ideas, and then writing it<br />
outside of the central idea.<br />
Spider concepts map is compatible to visualize:<br />
1) Category which is not parallel<br />
2) Result of many opinions<br />
Example:<br />
Make a Magnet<br />
Rubbed<br />
Formulate<br />
Objective<br />
Prepare<br />
Equipment Needed<br />
The way<br />
to make<br />
magnet<br />
Nail on the bar<br />
magnet<br />
Procedure<br />
Arrange<br />
Electromagnetic<br />
Induction<br />
Do<br />
Experiment<br />
Get<br />
Data<br />
Do<br />
Analize<br />
Make<br />
Conclution<br />
Figure 5. Events chain<br />
Figure 7. Spider concept map [1]<br />
METHODS OF RESEARCH<br />
Kind of this research is pre-experimental<br />
qualitative research. The method of this research is<br />
one shot case study, and the design of this research<br />
is Random Sampling. Object was selected at random<br />
and observed one times, namely port polio.<br />
A27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The steps of research which have been followed<br />
by the writer are as follows:<br />
a). Performance assesment by student themselves<br />
5th year students in the State Elementary School<br />
Tanjungsari II<br />
Taught them to draw concepts map<br />
Procedure:<br />
1. Determine students as object of<br />
research (6 students) (see Appendix 1,<br />
student which was used in research<br />
selected at random)<br />
2. Write up learning instruments (see<br />
Appendix 2)<br />
3. Train elementary school students to<br />
produce concepts map (see Appendix 3)<br />
4. Make group, and teacher gave<br />
assignment to each team (see Appendix<br />
4 to see the result of student’s<br />
performance)<br />
5. Ask the students filled Performance<br />
assessment form (see Appendix 5)<br />
6. Ask the observer filled Performance<br />
assessment based on result of<br />
assignments form (see Appendix 6)<br />
7. The writer to fill Performance<br />
assessment form (see Appendix 7)<br />
Findings and conclusions<br />
Figure8. The steps of research which have been done by<br />
the writer to detect ability of 5 th year State Elementary<br />
School Tanjungsari II students to draw concepts map.<br />
Handa<br />
Ipung<br />
Rizky<br />
Name of<br />
the Students<br />
Handa<br />
Ipung<br />
Rizky<br />
Name of the<br />
students<br />
Dela<br />
Eka<br />
Arinda<br />
Dela<br />
Eka<br />
Arinda<br />
7<br />
7<br />
6<br />
6<br />
5<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
Aspects number<br />
4<br />
3<br />
2<br />
Aspects number<br />
1<br />
4<br />
3.5<br />
3<br />
2.5<br />
2<br />
1.5<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
3<br />
2.5<br />
2<br />
4<br />
3.5<br />
1.5<br />
Scores<br />
b) Performance assesment by an independent observer<br />
Scores<br />
ANALYSIS OF DATA<br />
Assessments are carried out by three<br />
assessors, which are students themselves, an<br />
independent observer, and the writer after teaching<br />
learning process (see Picture 9). As the result of<br />
performance assessments are as Figure 9:<br />
A28
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
c). Performance assesment by the reseacher<br />
4<br />
3.5<br />
3<br />
2.5<br />
2<br />
1.5<br />
1<br />
Handa<br />
0.5<br />
Ipung<br />
0<br />
Rizky<br />
Dela<br />
1<br />
Name of the<br />
2<br />
Eka<br />
3<br />
students<br />
4<br />
Arinda<br />
5<br />
6<br />
7<br />
Figure9. Result of assignment in drawing concepts map based on<br />
three assessors. a) Performance Assessments by students, b)<br />
Performance Assessments by observer c) Performance Assessments<br />
by the writer<br />
+<br />
Aspects number<br />
The seven aspects are as follows:<br />
1. To identify concepts<br />
2. To organize concepts<br />
3. To give connecting line<br />
4. To give connecting word<br />
5. To entitle concepts map<br />
6. A concepts map is easy to be understood<br />
7. Tidiness of concepts map<br />
From figure 9, the conclusions can be<br />
underlined by the writer as follow:<br />
First, in general, student of 5 th year State<br />
Elementary School Tanjungsari II students be able to<br />
draw a concepts map (see Appendix 4 for the result<br />
of student’s performance). Most students obtain<br />
score 4 for each aspect (see Figure 9).<br />
Second, aspect number 2 (to organize concepts),<br />
aspect number 7 (tidiness of concepts map), and<br />
aspect number 3 (to give connecting line) weren’t<br />
mastered by student. From Figure 9, the students<br />
could not draw concepts map easily, especially at a<br />
network tree concepts map (see Appendix 4 E, F, I,<br />
J, and L). As the result, the students could draw a<br />
good concepts map, but they needed extra guidance<br />
to differentiate between general and specific<br />
concepts. The difficulties appear because they didn’t<br />
master all the concepts yet. It is suggested that<br />
before drawing a concepts map, students have to<br />
master the study material completely first, so that the<br />
students could determine all related concepts easily.<br />
Male students could not draw concepts map tidily<br />
(see Appendix 4 A, B, and J). They didn’t a use ruler<br />
in drawing concepts map. Besides, the students<br />
unable to make use of a given space on piece of<br />
paper wisely in order to draw a concepts map. It is<br />
recommended, in drawing a concepts map, the<br />
Scores<br />
students use A 3 , and use a ruler to draw any straight<br />
lines in their drawing.<br />
Third, based on the result depict in Figure 9,<br />
according to Handa, he his self was unable to<br />
organize the concepts (see Figure 9 a), while<br />
according to the writer and the observer, he was able<br />
to organize concepts (see Figure 9 b and c), but his<br />
concepts map was messy (see Appendix 9 J). When<br />
Handa was working in his team, he could<br />
differentiate the characteristic between general<br />
concept of that specifics one. The result of Handa’s<br />
team was tidy. In his team, Handa didn’t write up<br />
the maps, but Ipung did it (see Appendix 4 A, B, and<br />
F). When Handa was working individually, the<br />
result of concepts map was messy, although his<br />
concepts map has good organization (see Appendix 4<br />
J). It happened because Handa’s handwriting was<br />
messy. It is therefore the teacher should to inform<br />
their students that the tidiness in drawing concepts<br />
map is important so that their concepts maps can be<br />
read clearly and much more communicative.<br />
According to Ipung, he his self was unable to<br />
draw tidy concepts map and also unable to give<br />
connecting line (see Figure 9 a). The result of<br />
Ipung’s teamwork was good especially on the aspect<br />
number 3 and 7 (see Appendix 4 A, B, F, G, H).<br />
When Ipung was working individually, he was<br />
unable to connect inter-concepts well. The Ipung’s<br />
final result was good enough, after twice revision<br />
(see Appendix 4 L). He erased his drawing over and<br />
over again, so the observer assessed him untidy (see<br />
Figure 9 b). Ipung was also difficult to connect<br />
connecting lines at his concepts map because he was<br />
inadequate inters concepts. The strong suggestion,<br />
before drawing a concepts map, the students have to<br />
master chapter completely first.<br />
Rizky got perfect scores on seven aspects based<br />
on the three assessors. Rizky drew a good concepts<br />
map both when he was working in his team (see<br />
Appendix 4 A, B, F), and when he was working<br />
individually (see Appendixe 4 H). Rizky mastered all<br />
the study material too. The rizky’s final result was<br />
tidy. The concepts map produced by Rizky was<br />
featured by his creative, and interesting pictures (see<br />
Appendix 4 H).<br />
Eka, Dela, and Arinda also got perfect scores<br />
on seven aspects based on the three assessors.<br />
Female student were more accurate in drawing a<br />
concepts map than male students. Female student<br />
studied the learning material more frequently than<br />
male student in order to be determined all related<br />
concepts (see Appendix 4 C, D, E when was working<br />
in team, and G, I, K when was working individually).<br />
FINDINGS AND CONCLUSIONS<br />
Some findings can be drawn from this research,<br />
namely:<br />
1. The training in drawing and understanding a<br />
concepts map was successful. The indication<br />
A29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
was the student’s performance in drawing and<br />
understanding concepts map was good.<br />
2. Their good performance was detected when<br />
they created the map on the topic of Change of<br />
Substances Form.<br />
Based on those findings, it was obtained that the<br />
student’s ability in drawing and understanding<br />
concepts map of Changes of Substances Form in the<br />
form of 4 types was increased significantly,<br />
beforehand they were not be able to read and to<br />
understand a concepts map (see line 8 of the<br />
Introduction part of this paper), and after this<br />
training, they can do that well (see Figure 9). The<br />
writer also suggested to the teacher of those students<br />
to conduct a regular exercise in drawing and<br />
understanding concepts map to the students in order<br />
to their students understanding in a material is<br />
master complete.<br />
BIBLIOGRAPHY<br />
Haryanto.2004. Sains untuk Sekolah dasar Kelas V.<br />
Jakarta : Erlangga<br />
Rachmat, dan Sunarto. 2007. Sains Sahabatku.<br />
Jakarta : Ganeca Exact<br />
Haryanto. 2007. Sains. Jakarta : Erlangga<br />
Rositawaty, dan Muharm Aris. 2008. Senang<br />
Belajar Ilmu Pengetahuan Alam BSE kelas V.<br />
Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas<br />
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.<br />
Jakarta : Balai Pustaka<br />
Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran<br />
Inovatif progresif. Surabaya : Kencana<br />
Hibbard, Michael. 1997. Performance Assesment In<br />
The Science Classroom. New York : Glencoe<br />
McGraw Hill<br />
A30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri II Ngrimbi Jombang<br />
dalam Melakukan Penyelidikan Melalui Tahapan Metode Ilmiah pada<br />
Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda<br />
Mukhammad Arif Eka Permana 1) dan Frida U. Ermawati 2)<br />
Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Negeri Surabaya<br />
Email : 1) kesempatan01@yahoo.co.id, 2) frida_dua@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Makalah ini melaporkan hasil kerja penulis dalam menyelidiki kemampuan siswa Kelas V Sekolah Dasar (SD)<br />
Negeri II Ngrimbi Jombang dalam melakukan penyelidikan Perubahan Sifat Benda. Penelitian ini bertujuan<br />
mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam melakukan penyelidikan perbahan sifat benda melalui<br />
tahapan metode ilmiah. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam Standar Kompetensi<br />
dan Kompetensi Dasar (SK-KD) SD/ MI kelas V Mata Pelajaran IPA pada Pokok Bahasan Benda dan Sifatnya,<br />
terutama pada KD 4.2, diisyaratkan bahwa pembelajaran pada pokok bahasan ini dilaksanakan melalui kegiatan<br />
penyelidikan. Penyelidikan dilakukan pada berbagai contoh perubahan sifat benda dengan cara mengidentifikasi<br />
penyebab, proses dan jenis perubahan sifat benda baik perubahan benda yang bersifat sementara (dapat balik)<br />
maupun perubahan yang bersifat tetap (tidak dapat balik) di sekitar siswa. Metode deskriptif kualitatif diterapkan<br />
dalam penelitian ini pada populasi yang berjumlah 9 siswa Kelas V. Pengambilan data dilakukan melalui<br />
penilaian kinerja dengan memberikan skor 1-4 pada tiap aspek penilaian. Temuan-temuan penting yang<br />
diperoleh adalah (i) siswa telah mampu melakukan tahapan metode ilmiah secara sederhana dalam kegiatan<br />
penyelidikan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. (ii) Namun demikian siswa masih malu dalam<br />
mengungkapkan ide-ide yang telah mereka peroleh selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Beberapa<br />
tindakan dan saran telah dilakukan oleh penulis guna mengoptimalkan perolehan tersebut di atas.<br />
Kata kunci : perubahan sifat benda, tahapan metode ilmiah, penilaian kinerja.<br />
PENDAHULUAN<br />
Makalah ini adalah sebuah studi kasus yang<br />
melaporkan hasil kerja penulis pada kemampuan<br />
siswa SD N II Ngimbi Kelas V dalam melakukan<br />
penyelidikan pada Pokok Bahasan Perubahan Sifat<br />
Benda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br />
seberapa besar kemampuan siswa dalam melakukan<br />
penyelidikan melalui tahapan-tahapan metode<br />
ilmiah.<br />
Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi<br />
Dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
(KTSP) mata pelajaran IPA Sekolah Dasar,<br />
pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara<br />
inkiuri ilmiah (scientific inquiri) untuk<br />
menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan<br />
bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya<br />
sebagai aspek penting kecakapan hidup.<br />
Pembelajaran IPA SD menekankan pada pemberian<br />
pengalaman belajar secara langsung melalui<br />
penggunaan dan pengembangan keterampilan<br />
proses dan sikap ilmiah.<br />
Berdasarkan Standar Kompetensi (SK) dan<br />
Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran IPA SD<br />
Kelas V Semester 1 pada Pokok Bahasan Benda<br />
dan Sifatnya, pada KD ke-4.2 diisyaratkan bahwa<br />
proses pembelajaran dilakukan melalui kegiatan<br />
penyelidikan tentang perubahan sifat benda baik<br />
sementara maupun tetap dan membuat kesimpulan<br />
dari kegiatan penyelidikan. Maka, dirasa perlu bagi<br />
peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul<br />
tersebut dan melaporkannya dalam makalah<br />
penelitian ini.<br />
LANDASAN TEORI<br />
Pengertian Metode Ilmiah<br />
Dalam Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />
Pengajaran <strong>Fisika</strong>, metode ilmiah adalah suatu pola<br />
berfikir yang biasa dipergunakan ilmuan dalam usaha<br />
untuk mencari jawaban terhadap suatu permasalahan.<br />
Metode ilmiah merupakan bagian yang paling<br />
penting dalam mempelajari ilmu alam. Pengetahuan<br />
yang diperoleh akan mempunyai karakteristik tertentu<br />
yang bersifat rasional dan teruji sehingga<br />
pengetahuan yang diperoleh dapat diandalkan. Dalam<br />
hal ini, metode ilimiah menggabungkan cara berfikir<br />
induktif dan cara berfikir deduktif dalam membangun<br />
pengetahuannya.<br />
Cara berpikir deduktif adalah cara berpikir<br />
dimana ditarik kesimpulan yang bersifat khusus dari<br />
pernyataan yang bersifat umum. Penarikan<br />
kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan<br />
pola berpikir silogismus yang disusun dari dua buah<br />
pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang<br />
mendukung disebut premis yang dibedakan premis<br />
A31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan<br />
pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif<br />
berdasarkan kedua premis tersebut.<br />
Cara berpikir induktif adalah menarik<br />
kesimpulan yang bersifat umum dari pernyataan<br />
khusus. Penalaran secara induktif dimulai dengan<br />
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang<br />
mempunyai ruang lingkup terbatas dalam<br />
menyusun argumentasi, dan diakhiri dengan<br />
pernyataan yang bersifat umum.<br />
Dalam metode ilmiah, pendekatan rasional<br />
digabungkan dengan pendekatan empiris. Secara<br />
sederhana hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah<br />
harus memenuhi dua syarat utama. Kedua syarat<br />
utama tersebut adalah konsisten dengan teori-teori<br />
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya<br />
kontradiksi dalam teori keilmuan secara<br />
keseluruhan dan harus cocok dengan fakta empiris.<br />
Bagaimanapun konsistennya sebuah teori, jika tidak<br />
didukung oleh pengkajian empiris tidak akan dapat<br />
diterima kebenarannya secara ilmiah.<br />
Metode ilmiah atau disebut dengan sikap<br />
ilmiah, memungkinkan berkembangnya<br />
pengetahuan mengenai adanya timbal balik antara<br />
fakta dan gagasan. Fakta diperoleh melalui<br />
pengamatan dan disajikan berupa data. Sedangkan<br />
gagasan adalah generalisasi melalui logika berpikif<br />
induktif .<br />
Tahapan-Tahapan Dalam Metode Ilmiah<br />
Dalam Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />
Pengajaran <strong>Fisika</strong>, dalam rangka penerapan metode<br />
ilmiah harus diwarnai oleh kemampuan berfikir<br />
secara intuitif dengan kesimpulan-kesimpulan yang<br />
bersifat tentatif sebelum dilakukan analisa<br />
sesungguhnya. Dalam menerapkan metode berfikir<br />
ilmiah memerlukan latihan secara bertahap sesuai<br />
dengan kreatifitas dan bakat siswa. Tahapantahapan<br />
itu adalah :<br />
a. Tahap pertama, meliputi tiga aspek :<br />
1) peka terhadap masalah, yaitu siswa<br />
mampu menyebutkan contoh perubahan<br />
sifat benda secara spontan setelah guru<br />
meminta siswa menyebutkan contoh<br />
peristiwa perubahan sifat benda<br />
2) kemampuan untuk mengingat, yaitu siswa<br />
mampu mengingat pokok bahasan<br />
perubahan sifat benda yang telah<br />
dijelaskan oleh guru dan menjelaskan<br />
kembali pokok bahasan tersebut sesuai<br />
dengan contoh peristiwa perubahan sifat<br />
benda<br />
3) kemampuan untuk memecahkan masalah<br />
secara terbatas, yaitu siswa secara spontan<br />
mampu mendeskripsikan faktor yang<br />
menyebabkan perubahan sifat benda, jenis<br />
perubahan sifat benda dan proses yang<br />
mengiringi perubahan sifat benda dari<br />
contoh yang telah disebutkan oleh siswa<br />
b. Tahap kedua, meliputi tiga aspek yaitu :<br />
1) kemampuan untuk memecahkan masalah<br />
yang lebih kompleks, yaitu siswa mampu<br />
menjelaskan faktor yang menyebabkan<br />
perubahan sifat benda, jenis perubahan sifat<br />
benda dan proses yang mengiringi<br />
perubahan sifat benda dari contoh yang telah<br />
disebutkan oleh guru<br />
2) kemampuan untuk mengemukakan berbagai<br />
macam ide untuk memecahkan masalah<br />
yang lebih kompleks, yaitu siswa dengan<br />
spontan mau mengemukakan ide mereka<br />
dari contoh perubahan sifat benda yang<br />
disebutkan oleh guru<br />
3) kemampuan untuk mendefinisikan kembali,<br />
yaitu siswa mampu mendefinisikan proses<br />
perubahan sifat benda dari contoh perubahan<br />
sifat yang disebutkan oleh guru secara detail<br />
c. Tahap ketiga, meliputi dua aspek yaitu :<br />
1) kemampuan mengkalrifikasi ide, yaitu siswa<br />
secara spontan mau mengemukakan ide<br />
mereka dalam rangka mengkarifikasikan<br />
ide-ide siswa lain pada contoh perubahan<br />
sifat banda yang diberikan oleh guru<br />
2) evaluasi, yaitu siswa mampu mengerjakan<br />
soal-soal evaluasi pada buku pegangan siswa<br />
Tahapan-tahapan tersebut dapat dijadikan<br />
pegangan dalam pengelolaan proses pembelajaran<br />
IPA dengan metode ilmiah. Pengelolaan ini harus<br />
disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang akan<br />
dicapai dalam proses pembelajaran. Adapun tahapantahapan<br />
pengelolaan pembelajaran tersebut meliputi :<br />
a. Tahapan persepsi, yaitu tahapan melakukan<br />
penginderaan untuk dapat mengidentifikasi dan<br />
diferensiasi informasi<br />
b. Tahapan identifikasi, yaitu mengolah informasi<br />
melalui kegiatan diskusi<br />
c. Tahapan diferensiasi informasi dengan<br />
menggunakan persepsi dan konsep-konsep<br />
informasi yang telah diketahui siswa<br />
d. Tahapan yang lengkap, yaitu melakukan<br />
tahapan-tahapan tersebut secara bolak-balik<br />
untuk mendapatkan ide atas informasi baru<br />
Melalui tahapan-tahapan metode ilmiah dalam<br />
proses pembelajaran tersebut, siswa harus dirangsang<br />
untuk berkembang dari kemampuan sederhana<br />
sampai yang kompleks. Melalui proses pendidikan,<br />
kemampuan siswa akan berkembang dari tahapan<br />
persepsi, identifikasi, diferensisasi, pembentukan<br />
konsep dan pembentukan prinsip.<br />
Perubahan Sifat Benda<br />
Dalam Heri Sulistyanto dan Edi Wiyono, benda<br />
dapat mengalami perubahan sifat karena beberapa<br />
faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah<br />
pemanasan, pendinginan, pembakaran, pembusukan<br />
dan perkaratan. Perubahan sifat pada benda dapat<br />
A32
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
diamati dari perubahan sifat yang terjadi baik<br />
sebelum dan sesudah proses tersebut. Perubahan<br />
sifat benda tersebut meliputi perubahan warna,<br />
bentuk, kelenturan, kekuatan dan bau.<br />
Perubahan sifat benda dikelompokkan menjadi<br />
dua, yaitu perubahan sifat benda dapat balik dan<br />
perubahan sifat benda tidak dapat balik. Salah satu<br />
contoh perubahan sifat benda dapat balik adalah<br />
perubahan pada wujud air. Air jika didinginkan<br />
akan menjadi es. Es ini apabila dipanaskan akan<br />
kembali menjadi air. Lihat Gambar 1 untuk siklus<br />
perubahan wujud air.<br />
melalui penilaian autentik pada kegiatan penyelidikan<br />
perubahan sifat benda melalui tahapan metode ilmiah.<br />
Penilaian dilakukan dengan memberi skor 1-4 pada<br />
tiap item penilaian, dengan skor 1 berarti kurang dan<br />
skor 4 berarti sangat memuaskan.<br />
Adapun rancangan penelitian dapat dirangkum<br />
dalam diagram alir sebagai berikut :<br />
Siswa Kelas V SD N II Ngrimbi<br />
Perubahan Sifat Benda<br />
Diajarkan pokok bahasan<br />
Melalui kegiatan<br />
Penyelidikan<br />
Pada berbagai perubahan sifat benda<br />
( Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 dan<br />
2 dan Lembar Kerja Siswa 1.1 dan 1.2)<br />
Gambar 1. Siklus perubahan wujud air. Wujud air pada suhu<br />
kamar adalah cair. Jika air dipanaskan sampai titik didihnya,<br />
air akan berubah wujud ke gas. Jika air didinginkan di bawah<br />
titik bekunya, air akan berubah ke wujud padat. (Sumber :<br />
Dokumen Penulis)<br />
Sebagian besar benda yang mengalami<br />
perubahan wujud tidak dapat kembali ke bentuk<br />
atau wujud semula. Apabila kertas dibakar maka<br />
kertas menjadi serpihan abu yang berwarna hitam.<br />
Serpihan abu yang berwarna hitam ini tidak dapat<br />
kembali menjadi kertas. Perubahan wujud kertas<br />
merupkan contoh perubahan wujud benda tidak<br />
dapat balik.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Adapun metode penelitian yang digunakan<br />
dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,<br />
yaitu penelitian yang bertujuan untuk<br />
mengumpulkan data dari suatu fenomena tertentu di<br />
suatu tempat dan mencocokkan fenomena tersebut<br />
dengan teori dan selanjutnya menarik kesimpulan.<br />
Seperti yang telah dijelaskan di atas, sasaran<br />
penelitian ini adalah siswa Kelas V SD Negeri II<br />
Ngrimbi yang berjumlah sembilan (9) siswa.<br />
Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 7-12<br />
Desember 2009.<br />
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini<br />
adalah data hasil penilaian terhadap kinerja<br />
(performance assesment) yang mengisyaratkan<br />
siswa bekerja dalam konteks kehidupan nyata dan<br />
Assesmen kinerja tahapan Metode Ilmiah<br />
pada kegiatan penyelidikan<br />
Assesmen kinerja<br />
siswa ”ideal” pada<br />
kegiatan<br />
penyelidikan<br />
melalui tahapan<br />
metode ilmiah pada<br />
Pokok bahasan<br />
Perubahan Sifat<br />
Benda<br />
Dibandingkan<br />
Interpretasi hasil<br />
Temuan<br />
Data yang diperoleh<br />
berupa<br />
Data hasil assesmen<br />
kinerja siswa pada<br />
kegiatan<br />
penyelidikan<br />
melalui tahapan<br />
metode ilmiah pada<br />
Pokok bahasan<br />
Perubahan Sifat<br />
Benda (, Assesmen<br />
Kinerja Siswa)<br />
Gambar 2. Diagram alir rancangan penelitian. Temuan penelitian<br />
yang diperoleh merupakan interpretasi dari data hasil assesmen<br />
kinerja siswa pada tahapan-tahapan metode ilmiah dengan kinerja<br />
“ideal” siswa pada tahapan-tahapn metode ilmiah pada landasan<br />
teori.<br />
A33
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DATA DAN PEMBAHASAN<br />
Data hasil observasi terhadap penilaian kinerja siswa dilukiskan dalam gambar dibawah ini :<br />
1. Distribusi kemampuan siswa pada tahapan pertama metode ilmiah, meliputi tiga aspek : peka terhadap<br />
masalah, kemampuan untuk mengingat dan kemampuan untuk memecahkan masalah<br />
Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Pertama Metode Ilmiah<br />
4<br />
3,5<br />
3<br />
2,5<br />
Skor<br />
2<br />
1,5<br />
1<br />
0,5<br />
0<br />
Danny Andiko Yopi Wahyu Anita<br />
Sindi<br />
Nama Siswa<br />
Ninik<br />
Garnis<br />
S.<br />
Sinta<br />
V.<br />
Memecah<br />
Mengingat<br />
Peka<br />
Gambar 3. Sebaran kemampuan siswa pada tahapan pertama pada ketiga aspek. Aspek peka terhadap masalah disingkat dengan kata<br />
“Peka”, kemampuan untuk mengingat disingkat “Mengingat” dan Kemampuan memecahkan masalah disingkat “Memecah”.<br />
Sedangkan deskripsi untuk gambar ini dijelaskan di bawah.<br />
2. Distribusi kemampuan siswa dalam melakukan tahapan kedua metode ilmiah, mliputi tiga aspek :<br />
kemampuan memecahkan masalah, kemampuan mengemukakan ide dan kemampuan mendefinisikan<br />
kembali<br />
Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Kedua Metode Ilmiah<br />
4<br />
3,5<br />
3<br />
2,5<br />
Skor<br />
2<br />
1,5<br />
1<br />
0,5<br />
0<br />
Danny Andiko Yopi Wahyu Anita<br />
Sindi<br />
Nama Siswa<br />
Ninik<br />
Garnis<br />
S.<br />
Sinta<br />
V.<br />
Memecah Masalah<br />
Definisikan Kembali<br />
Kemukakan Ide<br />
Gambar 4. Sebaran kemampuan siswa pada tahapan kedua pada ketiga aspek. Sama pada Gambar 2 di atas, aspek kemampuan<br />
memecahkan masalah disingkat “Memecah masalah”, aspek mengemukakan ide disingkat “Kemukakan Ide” dan kemampuan<br />
mendefinisikan kembali disingkat “Definisikan Kembali”. Deskripsi gambar ini juga dijelaskan di bawah.<br />
A34
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
3. Distribusi kemampuan siswa dalam melakukan tahapan ketiga metode ilmiah, meliputi dua aspek :<br />
kemampuan menglarifikasi ide dan evaluasi<br />
Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Ketiga Metode Ilmiah<br />
4<br />
3,5<br />
3<br />
2,5<br />
Skor<br />
2<br />
1,5<br />
1<br />
0,5<br />
0<br />
Danny<br />
Andiko<br />
Yopi<br />
Wahyu<br />
Anita<br />
Nama Siswa<br />
Sindi<br />
Ninik<br />
Garnis<br />
S.<br />
Sinta V.<br />
Evaluasi<br />
Mengklarifikasi Ide<br />
Gambar 5. “Megklarifikasi Ide” dan “Evaluasi” merupakan singkatan dari Kemampuan mengkarifikasi ide dan evaluasi untuk<br />
sebaran kemampuan siswa pada tahapan ketiga pada kedua aspek. Sama pada Gambar 3 dan 4 di atas, deskripsi gambar ini<br />
dijelaskan pada paragraf di bawah.<br />
Berdasarkan data hasil penilaian kinerja siswa<br />
yang diabstraksikan pada Gambar 3, secara umum<br />
tahapan pertama pada ketiga aspek siswa memiliki<br />
skor tiga (3). Hal ini menggambarkan siswa mampu<br />
melaksanakan tahapan metode ilmiah pada ketiga<br />
aspek pada tahapan pertama.<br />
Danny dan Andiko memperoleh nilai sempurna<br />
untuk ketiga aspek penilaian. Hal ini dikarenakan<br />
kedua siswa tersebut telah mampu menyebutkan<br />
contoh perubahan sifat benda yang diberikan oleh<br />
guru. Mereka juga mampu mendeskripsikan proses<br />
yang terjadi pada perubahan sifat benda tersebut<br />
baik faktor penyebab dan jenis perubahan tersebut<br />
tanpa bimbingan guru. Contoh yang perubahan sifat<br />
benda yang telah dikemukakan kedua siswa tersebut<br />
adalah perubahan wujud air dan kertas terbakar.<br />
Sedang siswa yang lain juga telah mampu<br />
mendeskripsikan proses perubahan sifat benda tetapi<br />
masih memerlukan bimbingan guru.<br />
Dari Gambar 4, secara umum kemampuan siswa<br />
dalam melakukan tahapan kedua pada ketiga aspek<br />
berada pada skor tiga (3). Hal ini juga<br />
menggambarkan siswa mampu melaksanakan<br />
tahapan kedua metode ilmiah.<br />
Ninik memperoleh skor terendah pada ketiga<br />
aspek tersebut. Hal ini karena siswa tersebut belum<br />
mampu memecahkan masalah yang diberikan, yakni<br />
menjelaskan proses yang terjadi pada contoh<br />
perubahan sifat benda yang dikemukakan di kelas.<br />
Masalah yang diberikan oleh guru tersebut adalah<br />
besi berkarat dan terbakarnya gas LPG (Liquid<br />
Petroleum Gas). Kesulitan yang dihadapi siswa yang<br />
lain adalah mengemukakan ide. Kemampuan siswa<br />
dalam mengungkapkan ide masih rendah, hal ini<br />
dikarenakan siswa masih malu untuk<br />
mengemukakan ide mereka.<br />
Pada Gambar 5, secara umum kemampuan<br />
siswa dalam melakukan tahapan ketiga pada kedua<br />
aspek berada pada skor tiga (3). Sama halnya pada<br />
Gambar 3 dan 4 di atas, Gambar 5 juga menjelaskan<br />
bahwa siswa telah mampu melaksanakan tahapan<br />
ketiga metode ilmiah.<br />
Pada tahapan ini, siswa juga masih kesulitan<br />
dalam menyatakan ide mereka dalam rangka<br />
mengklarifikasi ide-ide siswa lain yang telah<br />
dinyatakan sebelumnya. Dalam hal ini, siswa perlu<br />
didorong dalam hal menyatakan ide mereka. Sedang<br />
dalam aspek evaluasi, siswa menyelesaikan soal-soal<br />
yang ada pada buku pegangan siswa. Nilai yang<br />
diperoleh siswa bervariasi, secara umum nilainya<br />
bagus. Selama mengerjakan soal-soal tersebut, siswa<br />
mengalami kesulitan membedakan beberapa istilah.<br />
Kemudian mereka bertanya tentang arti istilah<br />
tersebut, yaitu jenis perubahan sifat benda sementara<br />
atau dapat balik dan perubahan sifat benda tetap atau<br />
tak dapat balik yang tertulis dalam dua buku<br />
pegangan yang berbeda kepada guru.<br />
Secara umum (i) siswa telah mampu<br />
melaksanakan ketiga tahapan metode ilmiah dalam<br />
kegiatan pembelajaran, mampu memecahkan<br />
masalah berupa menganalisis contoh-contoh<br />
perubahan sifat benda di sekitar dan mampu<br />
A35
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
menghubungkan dengan contoh tersebut dengan<br />
Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda yang telah<br />
diajarkan oleh guru, namun (ii) siswa masih kurang<br />
dalam menyampaikan dan mengungkapkan ide atau<br />
hasil analisis contoh perubahan sifat benda, siswa<br />
lebih cenderung menunggu siswa yang lain dalam<br />
mengungkapkan ide-ide mereka. Kegiatan<br />
pembelajaran melalui kegiatan investigasi dalam<br />
metode ilmiah ini membuat siswa tertarik dan aktif<br />
di kelas (lihat Lampiran 4 untuk gambar kegiatan<br />
pembelajaran)<br />
KESIMPULAN<br />
Dari bebrapa temuan dan gambar di atas, dapat<br />
ditarik kesimpulan bahwa siswa telah mampu<br />
melakukan tahapan metode ilmiah pada kegiatan<br />
pembelajaran pokok bahasan perubahan sifat benda<br />
melalui kegiatan penyelidikan, meskipun<br />
kemampuan yang diterapkan oleh siswa tersebut<br />
masih terbatas pada pengetahuan awal siswa yang<br />
sederhana. Ada beberapa aspek dalam tahapan<br />
metode ilmiah ini yang sulit diaplikasikan oleh<br />
siswa, yakni kemampuan dalam menyatakan ide dan<br />
mengklarifikasi ide. Akhirnya, disarankan kepada<br />
guru agar menerapkan kegiatan investigasi melalui<br />
tahapan metode ilmiah dan memberikan dukungan<br />
serta bimbingan kepada siswa secara terus-menerus<br />
dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Depdiknas, (2006), Standar Kompetensi dan<br />
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA SD.<br />
Jakarta : Permendiknas 22 tahun 2006.<br />
Hibbard, M., Performance Assesment. New York :<br />
Mc Graw Hill.<br />
Mulyasa, E., (2007), Kurikulum Tingkat Satuan<br />
Pendidikan. Bandung : PT. Remaja<br />
Rosdakarya Offset.<br />
Suahrsimi, A., (2006) Prosedur Penelitian Suatu<br />
Pendekatan Praktik. Jakarta : PT Rineka<br />
Cipta.<br />
Sulistyanto, H. dan Edi Wiyono, (2008), “Ilmu<br />
Pengetahuan Alam SD/MI Kelas V”. Jakarta:<br />
Pusat Perbukuan, <strong>Departemen</strong> Pendidikan<br />
Nasional.<br />
Wahyana (1986), Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />
Pengajaran <strong>Fisika</strong>. Jakarta : Karunika<br />
Universitas Terbuka.<br />
A36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The Ability of Student Year 5 of State Elementary School TANJUNGSARI<br />
II in Designing an Experiment<br />
Rohma Wati 1 , Frida U Ermawati 2<br />
Education Study Program, Department of Physics, Surabaya State University<br />
Physics Department FMIPA Unesa<br />
Email : rohma_fis06@yahoo.co.id<br />
Abstract<br />
This paper reports the writer’s work on investigating the ability of Student Year 5 of State Elementary School<br />
Tanjungsari II in designing an experiment on the matter of Green Plant (Tumbuhan HIjau). The writer of this<br />
paper decided to choose experimental design as the researcher topic because the elementary school student<br />
thinking level is still concrete. It means that the education will be better if the teaching and learning process is<br />
carried out as concrete as possible and as many hands-on activities as possible. If we want to create the teaching<br />
and learning process for the elementary students to become concrete, they need to study science concepts<br />
through conducting experiments, which are designed properly. Design an experiment is the complete steps and<br />
sequences that need to be taken by the experimenter before executing an experiment so that any data needed can<br />
be obtained, analysed, and interpreted, thereafter any symptoms or cause of the object can be concluded.<br />
Because of that, by giving students the knowledge about experimental design, the students year 5 of State<br />
Elementary School Tanjungsari II will be able to conduct better experiment, and then they feel more easily to<br />
understand the science concepts through real experiences. The research method used by the writer of this paper<br />
is, the writer taught the experimental design for Students year 5 of State Elementary School Tanjungsari II, and<br />
then related the matter Green Plant with the design an experiment. After that, the groups of students were asked<br />
to design an experiment, and then the writer, an independent observer, and each of them will assess their<br />
experimental design. The result showed that all the students could design an experiment. They got good value<br />
for their design. However, they were not skilled enough, so that the skills in experimental design must be trained<br />
as often as possible.<br />
Key words: Experimental Design, Elementary Students year 5 th Tanjungsari II, Green Plant (Tumbuhan Hijau).<br />
INTRODUCTION<br />
This paper reports the writer’s work on<br />
investigating the ability of student year 5 of state<br />
elementary school Tanjungsari II in experimental<br />
design on the matter of Green Plant (Tumbuhan<br />
Hijau). Design an experiment is complete steps and<br />
sequences that need to be taken by experimenter<br />
before executing an experiment so that any data<br />
needed can be obtained, analyzed, and interpreted,<br />
thereafter any symptoms or cause of the object can<br />
be concluded. The purpose of this work is to teach<br />
the elementary student in designing an experiment<br />
on Science matter so that the students will feel more<br />
easily to understand the Science Concepts through<br />
real experiences. According to Nur 1) , cognitive<br />
development of elementary school student generally<br />
stays at operation concrete. The students are usually<br />
weak in thinking abstract, therefore, teaching and<br />
learning process to elementary school students<br />
should be carried out as concrete as possible and as<br />
many hands-on activities as possible, that is by<br />
performing an experiment. In a real learning process,<br />
the student can touch, hear, smell, and see<br />
something, so that they can design and conduct an<br />
experiment that leads to meaningful of teaching and<br />
learning process.<br />
In order to be successful, an experiment should<br />
be designed properly. By doing that, any constrain<br />
or obstacles takes place before, during and after<br />
experiment can be controlled and anticipated.<br />
Further, any data needed can be corrected<br />
accurately. Based on the above background, this<br />
paper is intended to report the efforts of the writer to<br />
train the students year 5 of State Elementary School<br />
to design an experiment.<br />
THEORY<br />
A. The Definition of Experiment<br />
In scientific method, experiment (from Latina:<br />
ex-periri is meaning tests) is a set of actions and<br />
observations made to check or justify a hypothesis<br />
or identify a causal relationship between symptoms.<br />
An experiment is an action or a special observation<br />
made to test or to reinforce a tentatively true opinion<br />
in order to find out some principles that unknown<br />
previously.<br />
There are three important things in conducting<br />
an experiment 3) :<br />
1. Response given by the research object<br />
(something or someone that is examined), it<br />
means that by conducting an experiment, one<br />
will get response from the object.<br />
A37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2. Certain situation intentionally created to generate<br />
response at object. Creating such situation is very<br />
significant for the objects to respond properly.<br />
3. Environmental situation and natural variance of<br />
object that can interfere understanding of the<br />
response should be controlled.<br />
B. Experimental Design<br />
A. The Definition of Experimental Design<br />
Experimental design is a design of experiments<br />
(consist of well-defined stages of action) so that<br />
information relating to or necessary for the issue<br />
being studied can be collected. Design an<br />
experiment performed to determine the relationship<br />
between experimental variables so that the<br />
hypothesis could be proved.<br />
B. The purpose of Experimental Design 3)<br />
There are two purposes of experimental design,<br />
namely:<br />
a. To obtain information about how the response<br />
will be given by an object in various conditions<br />
of certain treatments that requires attention.<br />
b. To obtain or to collect necessary information as<br />
many as possible to solve the course of<br />
problems, which will be discussed.<br />
C. The Benefit of Experimental Design<br />
Some advantages in designing an experiment<br />
according to Quality Engineering 3) are:<br />
a. The experimental design can be used to<br />
identify the key decisions in controlling not<br />
only the process but also in improving or in<br />
repairing the process.<br />
b. In developing a new process in which historical<br />
data are not available, experimental design<br />
used in the development phase because it can<br />
indicate the factors that will maximize the<br />
results and reduce the cost of implementing the<br />
overall experiment.<br />
c. The experimental design can help to reduce the<br />
lead-time (time gap) between the design and<br />
implementation in producing a robust design<br />
(solid) of the factors that are not controlled,<br />
such as temperature in the energy transfer<br />
experiment.<br />
D. The Steps in Designing an Experiment<br />
The steps in designing an experiment according<br />
to Michael Hibbard 4) are:<br />
a. Problem Identification<br />
Good observation leads to precise predictions<br />
that can be tested on how to solve a problem or<br />
to explain a problem.<br />
b. Formulating Problem<br />
Formulation of the problem is usually written<br />
in the form of questions.<br />
c. Formulating Purpose of Experiment<br />
The purpose of an experiment is to answer the<br />
research problem, or to find out a new<br />
phenomenon, etc. the purpose of an experiment<br />
is usually as the answer of the problem.<br />
d. Formulating Hypothesis 5)<br />
A hypothesis is an idea or a provisional<br />
estimate of the proposed settlement of issues in<br />
research or experiments. A hypothesis was<br />
made based on previous experiences or<br />
observations. For example, collecting all<br />
information related to certain topics through<br />
experience, various sources of knowledge, or<br />
consultation to the appropriate experts. The<br />
hypothesis should be formulated before<br />
conducting an experiment to direct it to the<br />
objective of experiment. It should be noted, if<br />
an experiment result is unaccordance to the<br />
purpose of hypothesis, it does not mean that the<br />
experiment fails. Notice also that not all<br />
experiments require hypothesis 6) . For example,<br />
exploratory experimental research, survey, case<br />
study and developmental research do not<br />
require hypothesis.<br />
e. Identifying Variables<br />
Variable 7) is a quantity that can be varied or<br />
changed in a particular situation.<br />
There are three types of variables in an<br />
experiment:<br />
1. Independent Variable<br />
An independent variable is a variable that is<br />
changed intentionally during experiment.<br />
2. Dependent Variable<br />
A dependent variable is a variable that<br />
change along the changes of independent<br />
variable.<br />
3. Controlled Variable<br />
A controlled variable is a variable that is<br />
intentionally controlled during experiment.<br />
f. Determining Experiment equipments and<br />
Materials Needed<br />
Equipments and materials necessary to be<br />
determined and prepared detail so it will not<br />
impede the course of the experiment.<br />
g. Planning the Stages of an Experiment<br />
In designing an experiment, experimenter<br />
should create a coherent and systematic design<br />
so that other readers can understand the steps<br />
for carrying out the experiments.<br />
RESEARCH NETHOD<br />
This research is qualitative description research,<br />
which is collecting data from definite phenomena<br />
from a place, comparing it to the relevant theories,<br />
and drawing conclusion. As what have been<br />
explained above, this research was carried out to six<br />
(6) students of SDN Tanjungsari Sidoarjo at the 5 th<br />
year by random sampling techniques. This research<br />
was conducted at November, 13 th – 28 th 2009.<br />
A38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The data collected in this research is the data of<br />
performance assessment test that require students to<br />
learn and work in real live contexts and ready for<br />
authentic assessments on the matter of Green Plant<br />
(Tumbuhan Hijau) through experimental design.<br />
Scoring of this assessment was divided into four<br />
range score. For score 1 is less and 4 is very satisfy.<br />
Below is the flow chart of the research method<br />
followed in this research.<br />
Students year 5 of State Elementary School Tanjungsari II<br />
to be the research sample<br />
a)<br />
Will be taught about steps on how designing an experiment<br />
The steps are:<br />
8. To determine a group of students who will get<br />
involved in the research<br />
(Look at Appendix 1)<br />
9. Write up the teaching and learning instruments<br />
(Look at Appendix 2)<br />
10. To teach the student on how designing an<br />
experiment on several Science matter (Look at<br />
Appendix 3)<br />
11. Ask the group of students to design an experiment<br />
on Science matter (Look at Appendix 4)<br />
12. Ask the students to assess their experimental design<br />
made by them by filling performance assessment<br />
sheet.<br />
(Look at Appendix 5)<br />
13. Ask the observer to assess the students performance<br />
(Look at Appendix 6)<br />
14. The writer assesses the students performance (Look<br />
at Appendix 7)<br />
b)<br />
c)<br />
DATA AND ANALYSE<br />
Findings and Conclusion<br />
Figure1. The experiment method followed in this experiment to<br />
investigate the ability of students year 5 of State Elementary<br />
School Tanjungsari II in designing an experiment.<br />
As has been said above, the ability of each<br />
student in designing an experiment was assessed by<br />
three assessors. They are, students themselves, an<br />
independent observer and the writer of this paper as<br />
their teacher doing this research. The performance of<br />
each student is shown in the following Figures 2a-<br />
2f:<br />
A39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
d)<br />
again, there were some aspects that have not yet<br />
achieved completely, including:<br />
In Figure 2a, it appears overall Dela has been<br />
able to design an experiment, she feels that she was<br />
less skilled in planning the stages of experiment, this<br />
may because Dela be still unconfident, but the writer<br />
believe that Dela proficient in planning the stages of<br />
an experiment. This was appeared in the<br />
performance of Dela in Appendix 4. However,<br />
according to the writer, Dela’s ability in formulating<br />
hypotheses and identifying variable is still lack. The<br />
writer says like that because when she was designing<br />
an experiment Dela often made mistakes in<br />
arranging the words in the hypothesis.<br />
e) Whereas in Figure 2b, which shows Rizky’s<br />
achievement in designing an experiment that can be<br />
said that he is proficient in designing an experiment.<br />
However, Rizky’s ability to identify variable and to<br />
determine the experiment equipments and materials<br />
need to be sharpened again, because Rizky could not<br />
distinguish the types of experimental variables. In<br />
addition, when he was designing an experiment,<br />
Rizky less sensitive in determining the equipments<br />
and materials were needed for an experiment.<br />
Handa’s achievement in designing an<br />
experiment is shown in Figure 2c. The picture<br />
appears that according to the writer Handa less adept<br />
in formulating hypotheses. But as a whole, Handa<br />
f)<br />
has skilled in designing an experiment. It is shown<br />
in the picture that he got a perfect score (score 4) in<br />
all aspects except for the aspect of formulating a<br />
Figure2. Achievement of a) Dela, b) Rizky, c) Handa, d) Eka, e)<br />
Arinda, and f) Ipung in designing an experiment that is assessed<br />
by students themselves, an independent observer, and the writer<br />
of this paper. As has been shown, those students overall have<br />
good skills in formulating problem, formulating purpose,<br />
formulating hypothesis, identifying variables, determining<br />
experiment equipments and materials needed, and planning the<br />
stages of experiment.<br />
Based on the students’ performance depicted in<br />
Figure 2 above, it can be summarized:<br />
Generally, the six graders year 5 of elementary<br />
school Tanjungsari II students have been able to<br />
design an experiment after obtaining sufficient<br />
knowledge about the steps to design an experiment.<br />
The six students were able to design an experiment.<br />
It is appeared that in all aspects of student<br />
performance assessed by three assessors, on average,<br />
they get a perfect score (4). However, if it is seen<br />
hypothesis.<br />
Figure 2d shows that, overall Eka has been able<br />
to design an experiment, and her values close to<br />
perfect score. According to Eka herself, she felt less<br />
in planning the stages an experiment. Meanwhile,<br />
according to Martha as an independent observer,<br />
Eka was able to design an experiment, but Eka less<br />
able to formulate the problem and plan the stages of<br />
an experiment. This is shown in Figure 2d, Eka gets<br />
three for element identifying a problem and planning<br />
the experimental stages. Then, according to the<br />
writer, Eka less adept in formulating hypotheses and<br />
identifying variables. The writer evaluates that Eka’s<br />
hypothesis was unclear, so it is difficult to<br />
understand her sentence of hypothesis. The existence<br />
of different opinion given by the independent<br />
observer and that by the writer is because when she<br />
designed an experiment, the independent observer<br />
watched that Eka is often less precise in formulating<br />
the problem. Meanwhile, according to the writer,<br />
Eka was proficient in formulating the problem,<br />
because the writer thought that Eka often proposed<br />
good ideas for her experimental design.<br />
In Figure 2e, appears that Arinda less adept in<br />
formulating hypotheses, identifying variables and<br />
planning the experimental stages. That is because<br />
Arinda cannot concrete science-teaching materials.<br />
A40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
In designing the experiment, Ipung (see Figure<br />
2f) was less adept in formulating hypotheses. Ipung<br />
cannot show the relationship between the<br />
experimental variables in the formulation of the<br />
hypothesis. See Appendix 4 to see the Ipung’s<br />
performance in designing experiment.<br />
In order to be more skilled in experimental<br />
design, hence, the students must always exercise in<br />
designing an experiment on science matter so that<br />
the teaching and learning process becomes<br />
meaningful. If there is a settled experimental design,<br />
the students can conduct experiment truly, so that<br />
they can have many experiences when they are<br />
studying.<br />
FINDINGS AND CONCLUSION<br />
1. From this research, it was found that Students<br />
year 5 of State Elementary School Tanjungsari<br />
II had been able to design an experiment after<br />
they had given sufficient knowledge about the<br />
experimental design. However, they are not too<br />
adept in designing an experiment so that the<br />
skills should be used to design an experiment as<br />
often as possible that leads the students’ skills in<br />
designing experiments honed.<br />
2. Students year 5 of State Elementary School<br />
Tanjungsari II have skilled in designing an<br />
experiment in several Science Matter, especially<br />
in matter green plant (Tumbuhan Hijau).<br />
3. Based on the findings numbers 1 and 2, it can<br />
be concluded that the six students year 5 of<br />
State Elementary School Tanjungsari II was<br />
able to design an experiment in mater Green<br />
Plant. However, they have no good skill in<br />
designing an experiment. Thus, it is<br />
recommended for their teacher to train the<br />
students to conduct experiments regularly.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Nur, Mohammad. 2000. Perkembangan Selama<br />
Masa Anak-Anak dan Remaja. Surabaya:<br />
Unipress<br />
http://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan (accessed<br />
December 8 th , 2009 at 20:39)<br />
http://qualityengineering.wordpress.com/tag/peranc<br />
angan-eksperimen/ (Accessed December 8 th ,<br />
2009 at 20:39)<br />
Hibbard, Michael. 1997. Performance Assesment in<br />
The Science Classroom. New York:<br />
GLENCOE McGraw Hil<br />
http://alphaomega86.tripod.com/metode_ilmiah.htm<br />
(Accessed December 8 th , 2009 at 20:39)<br />
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian<br />
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka<br />
Cipta<br />
Nur, Mohammad. 2000. Buku Panduan<br />
Keterampilan Proses dan Hakikat Sains.<br />
Surabaya: Unipress<br />
A41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Bravery and Skill in Asking Questions of Students Grade IV of The<br />
Elementary School Wonokromo III in the Changes of Substance Form Unit<br />
(Pokok Bahasan Perubahan Wujud Zat)<br />
Siti Nur Hidayah 1) and Frida Ulfah Ermawati 2)<br />
1-2) Physics Education Study Program<br />
Physics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences<br />
Surabaya State University<br />
Email: no3r_hi3d@yahoo.com<br />
Abstract<br />
This paper reports the result of the search on bravery and skill of Elementary School of Wonokromo III’s<br />
students’ grade IV in asking questions when they studying Science subject (especially about physics), that was<br />
change of substance form unit. The aim was to train their bravery and skill in asking question during teaching<br />
learning process in the class. This work is a descriptive qualitative search, a case study approach. In this work,<br />
the writer of this paper acting as the science teacher in the class, showing the video on a simple experimental<br />
work in a laboratory (that was about evaporate and dew), and asking the students to pose questions. All questions<br />
were recorded by using a tape recorder. The recorded questions were then analyzed by using certain scale and a<br />
rubric before being weighted. It was obtained that none of them was very brave to pose question spontaneously,<br />
just one of them was brave after being encouraged. However, most of them (70%) were not. Besides, simply<br />
most of them (80 %) also didn’t have skill to ask question. Thus, it can be concluded that most of students didn’t<br />
have bravery and skill to ask question. Another fact was also found, is that student who was brave to ask<br />
question didn’t always has skill to ask question, and vice versa. In order to create good interaction in the class,<br />
and hence a good atmosphere, between the teacher and the students, as well as among the students, the students<br />
should have the ability and bravery to pose question. Thereby, a teacher should properly train these skills to the<br />
students for their achieving the learning aim especially the aim of physics lesson.<br />
Keywords-bravery and skill in asking questions.<br />
A. INTRODUCTION<br />
About five years since the year of 1957,<br />
Suchman (Rowe, 1978: 326) 12 has studied inquiry<br />
attitude at elementary school students and he has<br />
expressed that unaccustomed student got practice to<br />
ask questions. If they asking questions, usually their<br />
questions were not for investigating further study<br />
about the matter, but it may just a confirmation or<br />
fad.<br />
More concerning again, students often don’t<br />
want to ask questions because they don’t know what<br />
they must ask. It happened because students also<br />
don’t know what they don’t know beside they have<br />
not owned culture to ask questions. Another thing<br />
that gives rise to student doesn’t want to ask<br />
question is the teacher often doesn’t give<br />
opportunity to the students to ask questions<br />
seriously. This phenomenon can be shown from the<br />
limited time that provided by the teachers to their<br />
students to pose question. Teacher often gives<br />
chance to the students to ask questions just a<br />
formality (as a statement in the lesson plan (see<br />
Appendix 1)) in order to avoid an assumption that<br />
teaching learning model conducted by the teacher<br />
just conventional. Teacher’s awareness to make<br />
learning process as exploration together by giving<br />
enough space for students to ask question is still<br />
low.<br />
Dahar (1978: 95) 12 stated that generally in<br />
teaching learning process, questions have important<br />
roles. One of them is question in can increase<br />
learning quality. This is in accordance with<br />
Mulyasa’s opinion (2002:240) 12 that question and its<br />
answer during learning process was influenced by<br />
student’s inquiry. On the other hand, according to<br />
Rustaman (2002:7) 12 that even if teachers confess<br />
that encouraging students to ask questions is<br />
important, but many teachers assumed that<br />
encouraging students to ask question will only<br />
generate problem for teacher 12 . For example, if a<br />
critical student (that is the student who always asks<br />
question until she/he gets satisfying answer from the<br />
teacher) poses a question, commonly generate<br />
teacher’s fear because she/he could not answer the<br />
questions well. A teacher often asks students to<br />
delay their questions at the last of learning process<br />
because it was assumed influent teacher’s<br />
concentration when she/he explains the matter in the<br />
class. Because of that, cultural of asking questions<br />
are seldom to be created and developed in the class<br />
by a teacher.<br />
Based on the above explanation, the writer of<br />
this paper interested to search on bravery and skill of<br />
elementary school Wonokromo III students grade IV<br />
in asking questions in Changes of Substance Form<br />
Unit (Pokok Bahasan Perubahan Wujud Zat). The<br />
aim was to train their bravery and skill of students to<br />
A42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ask question during learning process in the class<br />
especially in the physics learning. Asking question is<br />
one of important parts to develop their<br />
understanding in the studied material.<br />
B. THEORY<br />
Teaching is one of professional works. In a<br />
class, a teacher is the main instrument of study; a<br />
teacher is not only as the learner of matter or main<br />
conveyor of lesson, but a teacher also a facilitator of<br />
learning activity in the class. Basic skill of teaching<br />
is a skill requires regular practice to master it and it<br />
needs to be integrated when teaching in the class.<br />
Mastery to this skill enables a teacher to manage<br />
learning activity effectively and by having this skill,<br />
a teacher is expected to increase teaching learning<br />
process quality. According to the result of Turney’s<br />
research (1979), there are 8 basic skills that<br />
determine learning success. Those skills are:<br />
a) Asking questions,<br />
b) Giving reinforcement,<br />
c) Performing a variation,<br />
d) Explaining,<br />
e) Opening and closing learning activity,<br />
f) Guiding the small group discussion,<br />
g) Managing the class, also<br />
h) Teaching individually and small group.<br />
1. Bravery to Ask Questions<br />
Silent! That is often happened in the most of<br />
classrooms at the schools in this country, when a<br />
teacher is pose question or gives an opportunity to<br />
the student to ask question. All of mouths are locked<br />
with empty sight. In contrast, classroom becomes<br />
crowded, whisper here and there when a teacher<br />
explains the material in front of class, and the class<br />
becomes more crowded when there is no teacher in<br />
the class. That reality often happens everywhere.<br />
Though, spraging in mind can be opened and<br />
awareness would still awake by posing question.<br />
Many new inventions began from posing question.<br />
People can open world secret by posing question.<br />
It is still unusual to ask question in the<br />
education world, it doesn't get out from the life<br />
culture in our country. In our country, posing a<br />
question is often taboo. Quiet is better than emerging<br />
contradiction-conflict because of posing a question<br />
though actually there are many questions in our<br />
mind. Attitude to silent from receiving something, in<br />
one side has kept quiet attitude of our public.<br />
Because children grow in that culture, it’s very<br />
fair if they are unaccustomed, ashamed and fear to<br />
ask question. Shyness and fearness to ask question<br />
are also triggered by our education culture which are<br />
not able to support students to ask questions. Since<br />
play ground until high school, they usually sit<br />
silently to listens to teacher’s explanation. If they are<br />
asking question, they will be assumed stupid, and<br />
they are laughed by their friends in the class.<br />
Most of students still find difficulties to pose<br />
idea, mind, opinion, and the other feeling during<br />
learning process. The difficulties that experienced by<br />
students are:<br />
4. Answering the question from teacher,<br />
5. Submitting the question or opinion in learning<br />
processing or in the other activity,<br />
6. Telling their own experiences,<br />
7. Introducing their self or other person.<br />
Continuous efforts to create culture of asking<br />
questions in our education world become important.<br />
The teachers must start support pupil to asking<br />
questions, it’s not problem whether teacher can<br />
answer the question or no. The important thing is<br />
how the pupils have bravery to ask question and to<br />
formulate the question correctly. Because this is the<br />
first step that must be done in order to grow critical<br />
attitude of students.<br />
There are many factors that influent to grow<br />
someone’s bravery; those are experience of life,<br />
knowledge and impression of someone to an object.<br />
Questions of student will emerge if a teacher creates<br />
the condition where student to ask question in<br />
teaching learning process. That is returns to how<br />
about the ability of a teacher to make students dare<br />
to ask question, for example in learning process<br />
where a teacher gives opportunity and larger space<br />
for student’s exploration. By an exploration, student<br />
can find more discoveries, and it is also testing<br />
her/his own understanding by asking about concept<br />
which she/he studied continuously. Simple questions<br />
about daily reality make student finds solution of<br />
that problem. It will ignite many questions from the<br />
students. Then, if a teacher gives good mark to a<br />
student who asking question, this will motivates<br />
students to ask question. Beside that, teacher<br />
properly suggests and gives opportunity to the<br />
students to ask question or pose idea, a teacher gives<br />
other student freedom to answer question from<br />
her/his friend and the last, teacher clarifies the<br />
answer of that question.<br />
2. Skill of Asking Questions<br />
Asking question done by all people regardless<br />
the age. Child often asks things that wish to be<br />
known by her/him. Even, in a development period of<br />
child, there is a period of which is called "what is<br />
that period ", that is a period of children to ask<br />
question about everything which seen by them.<br />
Young and old people also felt important to pose<br />
question if they find the problem that must be<br />
solved. Asking question and response are real<br />
important activities as improvement effort of<br />
learning effectiveness.<br />
Skill of asking question is a part that not<br />
dissociated to increase the quality of process and<br />
study result. This is also the part of success in<br />
instructional and class management. Instructional<br />
management is related to material management<br />
A43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
which makes student interest, while class<br />
management is related to the class arrangement and<br />
provide learning source to grow meaningful<br />
interaction of student.<br />
To implement the skill of asking question in<br />
learning process, a teacher is need to recognize kind<br />
of questions type especially process and high level<br />
questions. A process question is a question form that<br />
refers to concept of science development. While<br />
high level question is the effort digs ability of<br />
student to think that entangling assessment aspect,<br />
creation and common sense. Thus, skill in asking<br />
questions of teacher and student are important things<br />
in learning activity, and it is one of aspects to create<br />
interaction between teacher and student in the class.<br />
Generally, the purpose of asking question is to<br />
gets information. But, activity of asking question<br />
done by the teacher is not only to get information,<br />
but also to increase interaction between teacher with<br />
students as well as among students. Thereby,<br />
question which posed by teacher is not only intended<br />
to get information about knowledge of the student,<br />
but it is more important is to support the student’s<br />
participation in learning actively.<br />
Teaching success in bravery and skill of asking<br />
question generally is influenced by some factors.<br />
Those factors are factor from student self, the<br />
support from parents and public, teacher’s ability in<br />
executing teaching learning activity (begin from<br />
planning until evaluation) and available of learning<br />
facilities and basic facilities. From those factors,<br />
teacher factor is holding responsible to student<br />
learning. In this case, teacher trains students to dare<br />
and skillful of asking question by support them to<br />
ask question and to clarify question of student in<br />
order to be comprehended by other student easily.<br />
That is suitable with Suchman’s opinion that study<br />
of student will continue at higher or farther level if<br />
student always asking question.<br />
Teaching learning strategy is enforceable with<br />
various teaching methods, such as question and<br />
answer method, discussion, problem solving, case<br />
study, self-supporting research, etc. One of the<br />
techniques that often used in many teaching methods<br />
is “asking question technique”.<br />
In the relationship with learning process, the<br />
importance of asking question is like some following<br />
statements 7 : (Fraengkel): Effective learning strategy<br />
heart located in question posed by teacher.<br />
2. (Bank): From many learning methods, most of<br />
them often used are asking question. 3. (Clark):<br />
Asking question is one of the oldest and the best<br />
techniques. 4. (Dewey): Teaching is asking<br />
question. 5. (Hyman): Question is main element in<br />
learning strategy, it is key of language in teaching.<br />
For developing effective question, the following<br />
must be concerned: First, warm feeling and<br />
enthusiastism. Second, some habits must be avoided<br />
in raising question (teacher repeats question, teacher<br />
repeats the student answer, questioner answers<br />
her/his question self, questioner asks multiple<br />
question, teacher determines certain student).<br />
3. Changes of Substance Form and Its Example<br />
We know substance forms. Those are solid,<br />
liquid, and gas; there is something that changes of<br />
those three substances. It can happened if matter in a<br />
state of different temperature. For example, ices at<br />
temperature under 0 o C is in the form of solid, if it is<br />
heated from temperature 0 o C up to 100 o C is in the<br />
form of liquid, while if it is reheated so that its<br />
temperature bigger than 100 o C, the water will<br />
evaporate and it become gas form.<br />
Change of substance form from solid to liquid is<br />
called melt. For example: ice becomes water. In<br />
contrast, change of substance form from liquid to<br />
solid is called frozen. For example: water becomes<br />
ice.<br />
Change of substance form from liquid to vapour<br />
or gas is called evaporate. For example: ice becomes<br />
vapour or gas, wet drier become drought. In<br />
contrast, change of substance form from vapour or<br />
gas to liquid is called dew. For example: there is dew<br />
in the morning day, water drip at pan cover lifted<br />
when cooking.<br />
Change of substance form from solid to gas or<br />
vice versa is called sublimate. For example: camper<br />
over and over if it is let used up.<br />
Those changes of three substance forms can be<br />
summarised as follows:<br />
Figure 1.Cycle of Change of Substance Forms are solid, liquid,<br />
and gas. Table 1 bellow gives names of changes of those<br />
substance forms.<br />
TABLE I Changes of Substance Form<br />
No. Name of Change<br />
Form<br />
Initial Final<br />
1. Frozen Liquid Solid<br />
2. Melt Solid Liquid<br />
3. Evaporate Liquid Gas<br />
4. Dew Gas Liquid<br />
5. Sublimate (Vanish) Solid Gas<br />
6. Sublimate<br />
(Chrystalized)<br />
Gas Solid<br />
A44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
C. RESEARCH METHOD<br />
1. Population and Sample of Research<br />
This research was carried out on Wednesday,<br />
December 30 th , 2009 at elementary school of<br />
Wonokromo III-Surabaya on the 10 students. This<br />
one day research was possible because the students<br />
have studied the unit of Changes of substance Form<br />
beforehand. Thus, when this research was<br />
conducted, the students just applied their<br />
understanding on that unit by watching the video on<br />
a simple experiment about evaporate and dew, and<br />
then posing question. This is a descriptive<br />
qualitative research by using a case study approach.<br />
As a case study, data collected from students and the<br />
result of this research only applies at the case that<br />
investigated (10 students).<br />
Figure 2 shows the flowchart of stages followed<br />
in this work:<br />
and the second sheet consists of 8 (eight) aspects<br />
assessment of student’s skill. That is observed by<br />
rubric and separate weight (See Appendix 3)<br />
Based on the aspects on those sheets, the writer<br />
weighs the assessment (based on the level of<br />
difficulty), then the writer wrote up rubric with scale<br />
1-4, where score 1 is the lowest score and score 4 as<br />
the highest score. This can determine performance<br />
assessment of asking question with the maximum<br />
score 100:<br />
Total Score = ∑ (B x S) (1)<br />
Note:<br />
∑ = The number of score that a student got<br />
B = Weight<br />
S = Score (From Scale 1- 4)<br />
Then, the student’s total score was then<br />
converted to the criteria of bravery and skill to ask<br />
questions that have been determined. Finally,<br />
bravery and ability in asking question of students<br />
were presented in percentage by using the Equation<br />
(2) bellow:<br />
P = ∑ B x100 0<br />
(2)<br />
0<br />
N<br />
Note:<br />
P = Percentage of students which brave and<br />
skillful in asking question<br />
∑B = The number of students who got certain score<br />
N = The total number of students<br />
D. THE RESULT OF RESEARCH AND<br />
DISCUSSION<br />
1. The Result of Research<br />
Tables 2 and 3 show the results of performance<br />
assessment.<br />
TABLE II The Result of assessment “Bravery to Ask Question”<br />
Note: Converting score<br />
A: student is very brave to ask question,<br />
B: student is brave to ask question,<br />
C: student is brave enough to ask question<br />
D: student is not brave to ask question.<br />
Figure 2. Planning design of research that followed in this<br />
research from begining until the ending. The further explanation<br />
can be read on the text bellow.<br />
2. Collecting and Analising Data Methods<br />
In this work, data (student’s questions when<br />
they were viewing video and observing other friends<br />
experiment) were obtained by recording their<br />
questions by using recorder and transferring the data<br />
into observation sheets of performance assessment<br />
"Bravery of Asking Questions" and "Skill of Asking<br />
Questions". The first sheet contains 6 (six) aspects<br />
assessment about student’s bravery to ask question<br />
The result of assessment in aspect skill of<br />
asking question:<br />
TABLE III The Result of assessment “Skill of Asking Question”<br />
A45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Note: Converting score<br />
A: student very skillful in asking question,<br />
B: student is skillful in asking question,<br />
C: student is skillful enough in asking questions,<br />
D: student is not skillful in asking questions.<br />
Figure 3 above show that level of bravery to ask<br />
question for each student is different. This can be<br />
seen from the different height of each bar in the<br />
graph. As shown, Adbel is the only student who is<br />
brave to ask question. While, the others two (Essa<br />
and Ilham) are brave enough and the rests are not<br />
brave to ask question. This distribution is pictured in<br />
Figure 4 bellow.<br />
A student qualified to have skill of asking<br />
questions when her/his question:<br />
1. Is intended to investigate the topic, especially<br />
about Physics<br />
2. Is definite and focused to the topic concerned,<br />
3. Represent the student’s inquiry,<br />
4. Expresses her/his skill in asking question,<br />
5. Is stated in a simple form and understandable<br />
Further, a student is classified as very skillful<br />
when she/he meets those five criteria and done very<br />
well, and she/he participate actively in a class, such<br />
as answer the question from teacher or her/his<br />
friend, and pose her/his opinion. A skillful enough<br />
student when she/he meets three of those five<br />
criteria. When a student just meets only one of those<br />
five criteria, she/he is categorized unskillful student.<br />
2. Discussion<br />
The data of performance assessment “Bravery<br />
to Ask Questions” summarized in Table 2 is<br />
presented in the form of graph in Figure 3.<br />
Figure 4. Distribution of students who brave to ask question. The<br />
teks bellow gives explanation about Figure 4.<br />
Based on Figure 4 and as mentioned above, we<br />
know that none of them was very brave to ask<br />
question, just 1 student (10%) is brave, 20% (two<br />
students) are brave enough and most of them (70%)<br />
don’t brave to ask question.<br />
Data in Table 3 is presented in a form of graph<br />
in Figure 5 as follows:<br />
Figure 3. Bravery to ask question. Explanation for that graph can<br />
be read on the teks bellow.<br />
Figure 5. Skill in asking questions. Level of skill to ask question<br />
between one student and the other student is different. Ilham is<br />
the only student who skillful in asking question with score 71 and<br />
cintya is also skillful enough student in asking question with score<br />
60. The lowest score is 25 that obtained by two students (Artiyo<br />
and Aji). The rests of discussion of this graph is given in the<br />
captain of Figure 6.<br />
As the result of bravery to ask question, data of<br />
performance assessment “Skill of Asking Questions”<br />
were also analyzed by using Equation (2) and the<br />
result is given in Figure 6.<br />
A46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 6. Distribution of students who skilfull in asking<br />
question. We can see that this is same with the result in bravery to<br />
ask question, most of students (80 %)have not skill to ask<br />
question, none of them very skillful to ask question, and just 1<br />
student (10 %)who skillful to ask question or skillful enough.<br />
E. CONCLUSION AND SUGGESTION<br />
Based on the series results obtained in this<br />
work, we can conclude that most of students have<br />
not braved and had skill to ask question. But, a<br />
student who brave to ask question is not always has<br />
skill to pose question and vice versa. It happens<br />
because most of students unaccustomed got practice<br />
to ask question in their daily learning activities in the<br />
class, and they have not owned culture to ask<br />
question. Table 4 bellow summarized the level of<br />
bravery and skill to ask question for each student.<br />
TABLE IV Level of bravery and skill to ask questions for<br />
everyone of 10 students class IV-A.<br />
REFFERENCES<br />
Hibbard, Dr. K. Michael. 1999. Performance<br />
Assessment in the Science Classroom. New<br />
York: McGraw –Hill Companies.<br />
Komariah, dkk. 2009. Belajar Mudah IPA Soal dan<br />
Pembahasan. Bandung : CV Pustaka Setia.<br />
Purjiyanta Eka, dkk. 2009. Asah Terampil Mandiri<br />
IPA. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana.<br />
http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/teknikanalisis-data-dalam-penelitian/<br />
(diakses<br />
tanggal 18 Desember 2009 4:41 am)<br />
http://islamkuno.com/category/metodologi/ (diakses<br />
tanggal 18 Desember 2009 4:41 am)<br />
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastraindonesia/article/view/93/58<br />
(diakses tanggal<br />
18 Desember 2009 5:27 am)<br />
http://marsaja.wordpress.com/2008/04/14/strategiinkuiri-model-teknik-bertanya/<br />
(diakses<br />
tanggal 18 Desember 2009 5:26 am)<br />
http://massofa.wordpress.com/2008/02/04/keterampi<br />
lan-bertanya-mendengar-dan-evaluasi-dalampembelajaran-fisika/<br />
(diakses tanggal 18<br />
Desember 2009 5:35 am)<br />
http://rumahmatematika.blogspot.com/2009/02/pendidika<br />
n-serba-bertanya.html (diakses tanggal 10<br />
Januari 2010 6:59 am)<br />
http://rumahmatematika.blogspot.com/2008/11/tipsbertanya-di-kelas.html<br />
(diakses tanggal 10<br />
Januari 2010 7:33 am)<br />
http://sd2tamanrejo.blogspot.com/2009/07/keteramp<br />
ilan-bertanya.html (diakses tanggal 18<br />
Desember 2009 5:30 am)<br />
http://smpn2sumenep.dikti.net/?pilih=hal&id=30<br />
(diakses tanggal 14 November 2009 11:43<br />
am)<br />
http://www.formulabisnis.com/?id=syang (diakses<br />
tanggal 10 Januari 2010 7:51 am)<br />
Asking question and giving response to question<br />
were important activities to improve the<br />
effectiveness of Physics learning in the class.<br />
Teacher and students should have bravery and skill<br />
to ask question in order to create good interaction<br />
between them as well as among students. Thereby, a<br />
teacher should properly trains bravery and ability of<br />
students to ask question for gaining the learning aim.<br />
A47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Komputer<br />
Pada Pokok Bahasan Kapasitor Untuk SMA<br />
Surya Arif Kartono, Herwinarso, I Nyoman Arcana<br />
Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan<br />
Universitas Katolik Widya Mandala<br />
Xin Zhong School<br />
Email : sakdn_5@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Kegiatan berupa eksperimen di laboratorium sangat penting untuk dilaksanakan. Dengan melakukan<br />
eksperimen, siswa dapat melakukan pengamatan fenomena fisis, pencarian data, dan menganalisis hal yang<br />
diamatinya sehingga siswa dapat menemukan sendiri, memperoleh pengetahuan baru, merekonstruksi<br />
pemikirannya dan menyatukan pengetahuan yang baru diperolehnya dalam suatu pemikiran yang menyeluruh<br />
dan terpadu. Dari fakta yang diamati oleh penulis di lapangan, terdapat banyak kendala pelaksanaan eksperimen<br />
antara lain: tidak tersedianya alat-alat praktikum yang dibutuhkan di sekolah karena harganya yang mahal,<br />
kerumitan percobaan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, dan adanya beberapa percobaan yang<br />
berbahaya. Salah satu percobaan yang jarang dilakukan di sekolah karena keterbatasan waktu adalah percobaan<br />
pengisian dan pengosongan kapasitor.<br />
Salah satu solusi untuk mengatasi kendala pelaksanaan eksperimen tersebut antara lain adalah membuat Media<br />
Pembelajaran Berbasis Komputer. Media Pembelajaran Berbasis Komputer ini diharapkan mampu menjalankan<br />
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan hasil yang optimal sebagai pengganti pelaksanaan eksperimen. Maka<br />
dalam proposal ini dibahas bagaimana proses pembuatan dan analisis data hasil yang dapat diperoleh dari<br />
penggunaan media pembelajaran berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor.<br />
Kata kunci : eksperimen, kapasitor, media pembelajaran berbasis komputer, data.<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam pelajaran fisika di SMA terdapat<br />
pokok bahasan kapasitor. Pokok bahasan ini akan<br />
lebih baik dan optimal apabila dijelaskan<br />
menggunakan media pembelajaran berbasis<br />
komputer dan melalui kegiatan eksperimen. Hal<br />
tersebut disebabkan dengan melakukan eksperimen<br />
dan belajar membaca dari sebuah media<br />
pembelajaran siswa dapat melakukan pengamatan<br />
fenomena secara fisis, pencarian data, menganalisis<br />
sesuatu hal yang diamatinya dan lebih memahami<br />
konsep serta menimbulkan sifat kemandirian<br />
siswa.Namun dalam melakukan kegiatan eksperimen<br />
ada beberapa kendala yang dihadapi antara lain tidak<br />
tersedianya alat-alat praktikum yang dibutuhkan di<br />
sekolah karena harganya mahal, kerumitan<br />
percobaan yang membuat tenaga dan pikiran siswa<br />
lebih terkuras untuk memikirkan kerumitan alat<br />
daripada harus memikirkan konsep yang harus<br />
dipahaminya dan juga membutuhkan waktu yang<br />
cukup lama.<br />
Berdasarkan hal tersebut, salah satu solusi<br />
untuk mengatasi kendala pelaksanaan eksperimen<br />
adalah dengan membuat media pembelajaran<br />
berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor.<br />
Diharapkan melalui media pembelajaran berbasis<br />
komputer ini, sekolah tetap mampu menjalankan<br />
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan hasil<br />
yang optimal. Oleh karena itu, peneliti mencoba<br />
membuat media pembelajaran berbasis komputer<br />
yang diberi judul ”Pembuatan Media Pembelajaran<br />
Berbasis Komputer Pada Pokok Bahasan Kapasitor<br />
Untuk SMA”.<br />
KAJIAN PUSTAKA<br />
Media Pembelajaran Berbasis Komputer<br />
Penggunaan media pembelajaran berbasis<br />
komputer sudah banyak dilakukan di berbagai<br />
negara. Di negara Inggris misalnya telah<br />
dikembangkan SPLAT sebagai media dalam<br />
pembelajaran fisika. Peran komputer dalam institusiinstitusi<br />
akademis fisika antara lain digunakan dalam<br />
perhitungan-perhitungan numerik dan pembuatan<br />
program-program simulasi untuk memudahkan<br />
pemahaman akan suatu kejadian-kejadian fisis.<br />
Dengan media pembelajaran berbasis komputer ini,<br />
siswa dapat melakukan eksperimen secara maya<br />
dengan mengubah-ubah parameter input dan melihat<br />
pengaruhnya terhadap variabel output sesuai dengan<br />
keinginan mereka tanpa adanya resiko kerusakkan<br />
dan bahaya, sehingga siswa lebih bebas menggali<br />
pengetahuan.<br />
Macromedia Flash 8<br />
Macromedia merilis beberapa program<br />
aplikasi yang salah satunya adalah Flash. Flash<br />
A48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sengaja didesain untuk keperluan presentasi, desain<br />
web, animasi dan pembuatan interaktif movie.<br />
Kefleksibelan program ini mampu menampilkan<br />
animasi dan pemrograman yang ada dan dapat<br />
dimanfaatkan untuk pembuatan program simulasi<br />
eksperimen fisika dengan tampilan yang bagus dan<br />
pengolahan data yang kuat. Pada fersi Flash 8,<br />
Macromedia Flash sudah mengandung beberapa<br />
fasilitas seperti numeric stepper, combo box dan<br />
slider yang nantinya akan digunakan dalam media<br />
pembelajaran berbasis komputer untuk pengisian<br />
dan pengosongan kapasitor.<br />
Kemampuan Flash dalam pemrograman dengan<br />
sistem Object Oriented Programming (OOP)<br />
menggunakan action script memungkinkan<br />
programmer menggunakannya untuk berbagai<br />
keperluan seperti perhitungan matematis dan<br />
operasi-operasi logika.<br />
Pengisian dan Pengosongan Kapasitor<br />
Pengertian Kapasitor<br />
Kapasitor merupakan salah satu komponen<br />
pasif yang dapat digunakan sebagai penyimpan<br />
muatan listrik sementara. Dan kemampuan untuk<br />
menyimpan muatan itu disebut kapasitans (C)<br />
dengan satuan farad.<br />
Kapasitans<br />
berlawanan pada penghantar-penghantar seperti<br />
pada Gambar 2.2. Penghantar-penghantar tersebut<br />
tidak perlu dimuati secara terpisah, namun cukup<br />
dihubungkan untuk sementara ke kutub-kutub yang<br />
berlawanan dari sebuah baterai. Muatan-muatan<br />
yang besarnya sama dan tandanya berlawanan (± q)<br />
akan muncul secara otomatis.<br />
Untuk sementara maka akan dinyatakan<br />
tanpa bukti bahwa q dan V untuk sebuah kapasitor<br />
adalah sebanding terhadap satu sama lain, atau<br />
dimana C, yakni konstanta perbandingan, dinamakan<br />
kapasitans (capacitance) dari kapasitor tersebut, lalu<br />
bahwa C bergantung pada bentuk dan kedudukan<br />
relatif dari penghantar-penghantar tersebut.<br />
q = C.V ....... (2-1)<br />
Satuan SI dari kapasitans yang diperoleh<br />
dari Persamaan (2-1) adalah coulomb/volt. Sebuah<br />
satuan khusus, yakni farad (disingkat F), digunakan<br />
untuk menyatakan satuan SI tersebut. Nama ini<br />
diberikan untuk menghormati Michael Faraday<br />
yang, diantara kontribusi (sumbangan)-nya yang lain<br />
telah mengembangkan konsep kapaitans. Jadi<br />
1 farad = 1 coulomb/volt<br />
Sub pelipat (Sub multiples) dari farad, yakni<br />
mikrofarad (microfarad) (1µF = 10 -6 F) dan pikofarad<br />
(picofarad) (1pF = 10 -12 F) adalah merupakan satuansatuan<br />
yang lebih memudahkan di dalam praktek.<br />
Menghitung Kapasitans<br />
Gambar 2.2 Dua muatan +q dan –q yang terisolasi dari<br />
sekelilingnya.<br />
Gambar 2.2 memperlihatkan sebuah<br />
kapasitor, yang terdiri dari dua penghantar terisolasi,<br />
a dan b yang bentuknya sebarang (kelak, tanpa<br />
memperdulikan geometrinya, maka penghantarpenghantar<br />
tersebut akan dinamakan plat). Plat-plat<br />
tersebut seluruhnya terisolasi dari sekitarnya dan<br />
mengangkut muatan-muatan yang sama besarnya<br />
dan yang berlawanan tandanya berturut-turut sebesar<br />
+q dan –q. Tiap-tiap garis gaya yang berasal pada a<br />
akan berakhir pada b. Penghantar a dan penghantar b<br />
terdapat di dalam sebuah vakum.<br />
Kapasitor dari Gambar 2.2 dicirikan oleh q,<br />
yakni besarnya muatan pada setiap penghantar, dan<br />
oleh V, yakni perbedaan potensial diantara<br />
penghantar-penghantar. Perhatikan (a) bahwa q<br />
bukanlah merupakan muatan netto pada kapasitor<br />
yang sama dengan nol, dan (b) bahwa V bukanlah<br />
merupakan potensial pada masing-masing<br />
penghantar, yang barangkali dinyatakan dengan V<br />
0 di ∞, kecuali perbedaan potensial diantara<br />
penghantar-penghantar tersebut.<br />
Tidaklah sukar untuk meletakkan muatanmuatan<br />
yang besarnya sama dan tandanya<br />
Gambar 2.3 Sebuah kapasitor plat sejajar. Permukaan Gauss dekat<br />
dengan permukaan atas dan permukaan bawah.<br />
Gambar 2.3 memperlihatkan sebuah<br />
kapasitor plat sejajar (parallel-plate capacitor) yang<br />
di dalamnya penghantar-penghantar dari Gambar 2.2<br />
mengambil bentuk sebagai dua plat sejajar yang<br />
masing-masing luasnya A dan yang berjarak d<br />
terhadap satu sama lain. Jika setiap plat<br />
dihubungkan sementara ke terminal sebuah baterai,<br />
maka muatan +q dengan otomatis akan muncul pada<br />
salah satu plat dan muatan – q akan muncul pada<br />
plat yang satu lagi. Jika d adalah kecil dibandingkan<br />
terhadap dimensi-dimensi plat, maka medan listrik E<br />
diantara plat-plat tersebut akan uniform, yang berarti<br />
bahwa garis-garis gaya akan sejajar dan berjarak<br />
sama terhadap satu sama lain. Hukum-hukum<br />
keelektromagnetan mengharuskan bahwa ada<br />
sejumlah “pinggiran”(“fringing”) garis-garis pada<br />
tepi-tepi plat, tetapi untuk d yang cukup kecil maka<br />
dapat diabaikan.<br />
Kapasitans alat ini dapat dihitung dengan<br />
menggunakan hukum Gauss, yang merupakan suatu<br />
penggambaran lain dari kegunaan hukum ini di<br />
dalam situasi geometri yang sederhana. Gambar 2.3<br />
memperlihatkan (garis-garis terputus-putus) sebuah<br />
permukaan Gauss yang tingginya h dan yang<br />
A49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ditutupi oleh topi-topi bidang luasnya A yang<br />
merupakan bentuk dan ukuran plat-plat kapasitor<br />
tersebut. Fluks dari E adalah nol untuk bagian<br />
permukaan Gauss yang terletak di bagian sebelah<br />
dalam dari plat kapasitor atas karena medan listrik di<br />
dalam sebuah penghantar yang mengangkut muatan<br />
statik adalah nol. Fluks dari E yang melalui dinding<br />
vertikal permukaan Gauss adalah nol karena, sampai<br />
dengan keadaan dimana pinggiran garis-garis gaya<br />
dapat diabaikan, maka E terletak di dalam dinding<br />
tersebut.<br />
Dengan demikian hanya muka dari<br />
permukaan Gauss yang terletak diantara plat-plat<br />
tersebut. Di sini E adalah konstan dan fluks Φ E<br />
adalah tak lain dari pada EA sendiri. Hukum Gauss<br />
memberikan:<br />
∈ o Φ E = ∈ o EA = q ........... (2-2)<br />
Kerja yang diperlukan untuk mengangkut sebuah<br />
muatan uji q 0 dari salah satu plat ke plat yang lain<br />
dapat dinyatakan baik sebagai q 0 E dengan jarak d<br />
atau q 0 Ed. Pernyataan-pernyataan ini haruslah sama,<br />
atau<br />
V = Ed ........... (2-3)<br />
Secara formal, maka persamaan (2-3) adalah sebuah<br />
kasus khusus dari hubungan umum<br />
V = - ∫E.dl<br />
Dimana V adalah perbedaan potensial diantara platplat<br />
tersebut. Integral tersebut dapat diambil melalui<br />
setiap lintasan yang mulai pada salah satu plat dan<br />
berakhir pada plat yang lain karena setiap plat<br />
adalah sebuah permukaan ekipotensial dan karena<br />
gaya elektrostatik adalah tidak bergantung pada<br />
lintasan. Walaupun lintasan yang paling sederhana<br />
diantara plat-plat tersebut adalah sebuah garis lurus<br />
yang tegak lurus pada plat, namun Persamaan (2-3)<br />
akan dihasilkan tak perduli lintasan integrasi mana<br />
yang dipilih.<br />
Jika disubtitusikan Persamaan (2-2) dan<br />
Persamaan (2-3) ke dalam hubungan C = qV, maka<br />
didapatkan<br />
q ε<br />
0EA<br />
ε<br />
0<br />
A<br />
C = = =<br />
(2-4)<br />
V E.<br />
d d<br />
Persamaan (2-4) berlaku hanya untuk<br />
kapasitor dari jenis plat sejajar; rumus yang berbeda<br />
akan berlaku untuk kapasitor yang mempunyai<br />
geometri yang berbeda. Untuk sebuah kasus khusus,<br />
maka persamaan ini memperlihatkan bahwa C<br />
sungguh-sungguh bergantung pada geometri dari<br />
penghantar (plat) seperti yang telah ditunjukkan<br />
pada gambar 2.2. Kedua-duanya A dan d adalah<br />
faktor-faktor geometris.<br />
Rangkaian Paralel Kapasitor<br />
Gambar 2.4 Tiga kapasitor yang disusun paralel.<br />
Kapasitor-kapasitor yang disusun sejajar<br />
(Capacitors in paralel). Gambar 2.4 memperlihatkan<br />
tiga kapasitor yang dihubungkan sejajar. Perbedaan<br />
potensial melalui masing-masing kapasitor di dalam<br />
sebuah susunan sejajar (lihat gambar 2.4) adalah<br />
sama. Hal ini disimpulkan karena semua plat di<br />
sebelah atas dihubungkan bersama-sama dan<br />
dihubungkan ke terminal a sedangkan semua plat di<br />
sebelah bawah dihubungkan bersama-sama dan<br />
dihubungkan ke terminal b. Dengan menggunakan<br />
hubungan q = C.V kepada setiap kapasitor maka<br />
akan menghasilkan<br />
q 1 = C 1 .V ; q 2 = C 2 .V ; q 3 = C 3 .V<br />
Muatan total q pada kombinasi tersebut adalah<br />
q = q 1 + q 2 + q 3 = (C 1 + C 2 + C 3 ).V<br />
Kapasitans ekivalennya adalah<br />
q = C1 + C 2 + C 3 atau C = C 1 + C 2 + C 3............ (2-5)<br />
V<br />
Maka dapat diperluas hasil ini kepada sebarang<br />
banyaknya kapasitor yang dihubungkan sejajar.<br />
Rangkaian Seri Kapasitor<br />
Gambar 2.5 Tiga kapasitor yang disusun seri<br />
Kapasitor-kapasitor yang disusun seri<br />
(Capacitors in series). Gambar 2.5 memperlihatkan<br />
tiga kapasitor yang dihubungkan seri. Untuk<br />
kapasitor-kapasitor yang di hubungkan di dalam<br />
sebuah susunan seri (Gambar 2.5) maka besarnya<br />
muatan q pada setiap plat haruslah sama. Hal ini<br />
benar karena muatan netto pada bagian rangkaian<br />
yang terdapat di dalam garis terputus-putus pada<br />
Gambar 2.5 haruslah sebesar nol; yakni, muatan<br />
yang hadir mula-mula pada plat-plat ini adalah nol<br />
dan dengan menghubungkan sebuah baterai di<br />
antara a dan b hanyalah akan menghasilkan sebuah<br />
pemisahan muatan, sedangkan muatan netto pada<br />
plat-plat ini masih tetap sebesar nol.<br />
Dengan memakai hubungan q = C.V<br />
kepada setiap kapasitor maka dihasilkan<br />
q q q<br />
V 1 = ;V2 = ;V3 = ;<br />
C 1<br />
C 2<br />
C 13<br />
Perbedaan potensial untuk kombinasi seri tersebut<br />
adalah<br />
⎛ 1 1 1 ⎞<br />
V= (V 1 + V 2 + V 3 ) = q<br />
⎜ + +<br />
⎟<br />
⎝ C1<br />
C2<br />
C3<br />
⎠<br />
Kapasitans ekivalennya adalah<br />
1<br />
1 1 1<br />
+ +<br />
C C C<br />
q<br />
C = =<br />
V<br />
1 2 3<br />
A50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Atau<br />
1 1 1 1<br />
= + +<br />
C C1<br />
C2<br />
C3<br />
...... (2-6)<br />
Kapasitans seri ekivalen tersebut selalu lebih kecil<br />
daripada kapasitans terkecil di dalam rantai.<br />
Pengisian Kapasitor<br />
Proses Pengisian<br />
Gambar 2.6 Rangkaian proses pengisian kapasitor<br />
Pada saat t=0 (saklar s ditutup), elektronelektron<br />
akan berpindah dari keping bagian atas ke<br />
keping bagian bawah kapasitor melalui hambatan R,<br />
sumber tegangan ε dan stop kontak s, sehingga<br />
keping bagian atas kapasitor bermuatan positif dan<br />
keping bagian bawah bermuatan negatif (lihat<br />
gambar 2.6). Apabila muatan pada kapasitor C<br />
maksimum (Q = C.V), maka tidak ada arus yang<br />
mengalir (i = 0).<br />
Dengan mengabaikan hambatan dalam sumber<br />
tegangan ε, maka berdasarkan hukum Kirchhoff II<br />
ε = R i +<br />
C<br />
q<br />
dq q<br />
ε = R . +<br />
dt C<br />
ε dq q = +<br />
R dt RC<br />
t<br />
t<br />
ε<br />
RC<br />
e<br />
R . dq<br />
RC<br />
= e<br />
dt<br />
t<br />
ε<br />
RC<br />
e<br />
R .<br />
∫<br />
ε<br />
. e<br />
R<br />
=<br />
t<br />
RC<br />
t<br />
RC<br />
× e<br />
e<br />
RC<br />
t<br />
d ⎛ ⎞<br />
⎜ RC ⎟<br />
qe<br />
dt<br />
⎝ ⎠<br />
t<br />
⎛<br />
dt =<br />
∫ ⎟ ⎞<br />
⎜ RC<br />
d<br />
qe<br />
⎝ ⎠<br />
t<br />
qe RC<br />
ε .C. e = + k<br />
Pada saat t = 0, q = 0, sehingga<br />
0<br />
ε . C.<br />
e = 0+ k<br />
ε .C. = k<br />
t<br />
RC<br />
t<br />
qe RC<br />
ε .C. e = + ε. C<br />
t<br />
RC<br />
RC<br />
qe = ε.C.<br />
e<br />
t<br />
⎛<br />
RC<br />
qe = ε C.<br />
⎜<br />
e<br />
⎝<br />
t<br />
RC<br />
.<br />
t<br />
− ε. C<br />
⎞<br />
−1⎟<br />
⎠<br />
×<br />
1<br />
R<br />
t<br />
RC<br />
t<br />
q<br />
RC<br />
+<br />
t<br />
⎛ − ⎞<br />
Q(t) = ε C⎜<br />
⎟<br />
1 − e RC<br />
...... (2-7)<br />
⎝ ⎠<br />
Berdasarkan persamaan (2-7) didapatkan :<br />
a. Persamaan Kuat arus sebagai fungsi waktu.<br />
dQ ( t)<br />
i(t) =<br />
dt<br />
t<br />
d ⎛ ⎛ − ⎞⎞<br />
i(t) = ⎜ε<br />
C⎜<br />
⎟⎟<br />
1 − e RC<br />
dt<br />
⎝ ⎝ ⎠⎠<br />
t<br />
RC<br />
ε −<br />
i(t) = e ….. (2-8)<br />
R<br />
b. Persamaan tegangan kapasitor sebagai fungsi<br />
waktu.<br />
C.V C (t) = Q(t)<br />
t<br />
⎛ − ⎞ − RC<br />
C.V C (t) = ε C⎜<br />
⎟<br />
1 e<br />
⎝ ⎠<br />
t<br />
⎛ − ⎞<br />
V C (t) = ε ⎜ ⎟<br />
1 − e RC<br />
⎝ ⎠<br />
… (2-9)<br />
Q(t) : jumlah muatan kapasitor pada saat t detik<br />
I(t) : kuat arus yang mengalir pada saat t detik<br />
V C (t) : beda potensial kapasitor pada saat t detik<br />
ε : beda potensial sumber<br />
R : nilai resistor<br />
e : bilangan natural (e )<br />
≈ 2,712<br />
Gambar 2.7 Grafik hubungan antara I dengan t, grafik hubungan<br />
antara V dengan t dan grafik hubungan antara Q dengan t pada<br />
proses pengisian kapasitor<br />
τ adalah tetapan waktu yang besarnya sama dengan<br />
RC.<br />
Pengosongan Kapasitor<br />
Proses Pengosongan<br />
Gambar 2.8 Rangkaian proses pengosongan kapasitor<br />
A51
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pada proses pengosongan kapasitor yang telah<br />
t<br />
1<br />
bermuatan Q dirangkai seperti pada gambar 2.8. Saat<br />
RC<br />
i(t) = - ε C e<br />
−<br />
saklar ditutup (t=0) elektron-elektron di dalam<br />
RC<br />
kapasitor berpindah dari keping bawah ke keping<br />
t<br />
ε −<br />
RC<br />
atas melalui saklar s dan hambatan R (lihat gambar<br />
i(t) = - e<br />
2.8) sampai kapasitor tersebut tidak bermuatan,<br />
R<br />
sehingga besar kuat arus i = 0 .<br />
Berdasarkan hukum Kirchhoff II<br />
q<br />
C.V c (t) = Q(t)<br />
ε = R i + t<br />
C RC<br />
C.V c (t) = ε C e<br />
−<br />
t<br />
dq q<br />
= R + RC<br />
V c (t) = e −<br />
dt C<br />
dq q<br />
- R =<br />
dt C 1<br />
×<br />
dq 1<br />
- R =<br />
q<br />
q dt C<br />
dq 1 = -<br />
q dt RC<br />
dq 1<br />
∫ = - q<br />
∫ dt<br />
RC<br />
t<br />
ln q = - + k<br />
RC<br />
PEMBAHASAN<br />
Pada t = 0 maka q = q o<br />
ln q o = 0 + k<br />
ln q o = k<br />
t<br />
ln q = - + ln q o<br />
RC<br />
t<br />
ln q - ln q o = -<br />
RC<br />
t<br />
q<br />
ln = ln<br />
RC<br />
e −<br />
q<br />
0<br />
t<br />
q =<br />
RC<br />
e −<br />
q 0<br />
t<br />
RC<br />
q = q o e −<br />
t<br />
RC<br />
Q(t) = ε C e<br />
−<br />
…. (2-10)<br />
Berdasarkan persamaan (2-10) didapatkan:<br />
a. Persamaan kuat arus sebagai fungsi waktu<br />
dQ ( t)<br />
i(t) =<br />
dt<br />
t<br />
d ⎛ − ⎞<br />
i(t) = ⎜<br />
RC ⎟<br />
ε C e<br />
dt<br />
⎝ ⎠<br />
…. (2-11)<br />
b. Persamaan tegangan kapasitor sebagai fungsi<br />
waktu<br />
ε …. (2-12)<br />
Gambar 2.9 Grafik hubungan antara V dengan t, grafik hubungan<br />
I dengan t dan grafik hubungan antara Q dengan t pada proses<br />
pengosongan kapasitor<br />
Hasil penelitian berupa CD tentang Media<br />
Pembelajaran Pada Pokok Bahasan Kapasitor, secara<br />
garis besar isi program yang terdapat dalam CD<br />
meliputi :<br />
1. Teori, berisikan materi kapasitor secara umum<br />
yaitu definisi kapasitor, kapasitans, rangkaian<br />
seri kapasitor, rangkaian paralel kapasitor dan<br />
materi pengayaan yang di dalamnya adalah<br />
proses pengisian kapasitor dan proses<br />
pengosongan kapasitor.<br />
2. Video yang menampilkan cara merangkai<br />
peralatan praktikum pada proses pengisian dan<br />
pengosongan kapasitor.<br />
3. Simulasi rangkaian seri kapasitor, rangkaian<br />
paralel kapasitor, rangkaian gabungan<br />
kapasitor, proses pengisian kapasitor dan<br />
proses pengosongan kapasitor.<br />
Untuk memberikan gambaran secara umum<br />
tentang apa yang terdapat dalam CD, print out dari<br />
beberapa halaman yang ditampilkan pada layar<br />
monitor, terlihat seperti gambar-gambar di bawah<br />
ini.<br />
A52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Setelah diujicobakan didapat masukan dari<br />
dosen dan mahasiswa, kemudian dari masukanmasukan<br />
itu dilakukan lagi revisi program. Tahap<br />
ketiga, program diujicobakan pada 1 kelas siswa<br />
SMA sebagai wakil calon pemakai. Setelah<br />
diujicobakan kepada siswa maka program direvisi<br />
lagi berdasarkan komentar-komentar dari siswa.<br />
Cara pengujian dilakukan dengan menggunakan<br />
angket. Data yang diperoleh dari angket dirangkum,<br />
kemudian diolah menjadi bentuk persentase (%) dan<br />
dirangkum menjadi 2 kolom pilihan (SS + S dan TS<br />
+ STS).<br />
Berdasarkan data yang diperoleh, 100%<br />
mahasiswa dan 100% siswa menyatakan program<br />
menarik karena melalui komputer, serta lebih mudah<br />
mengingat karena adanya animasi, 100% mahasiswa<br />
dan 93% siswa menyatakan program dapat<br />
mempercepat pemahaman, 90% mahasiswa dan<br />
100% siswa dapat dipelajari sendiri, 100%<br />
mahasiswa dan 100% siswa menyatakan tidak ada<br />
kesulitan dalam membuka dan mengoperasikan<br />
program. Data yang diperoleh siswa dan mahasiswa<br />
yang diambil dari sampel, tidak ada yang<br />
menyatakan program media pembelajaran ini<br />
menambah kebingungan bagi mereka. Komentarkomentar<br />
yang didapat menyatakan perlu diberikan<br />
contoh soal dalam program. Namun secara umum<br />
dinyatakan program ini sudah cukup bagus.<br />
Berdasarkan data yang diperoleh, persentase<br />
mengidentifikasikan program ini baik 98%. Dengan<br />
demikian, program media pembelajaran pada pokok<br />
bahasan kapasitor yang telah dibuat dapat dikatakan<br />
baik.<br />
Meskipun program media pembelajaran<br />
berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor<br />
tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran guru,<br />
namun program media pembelajaran ini dapat<br />
membantu siswa untuk memahami konsep dari<br />
kapasitor dan secara mandiri siswa dapat<br />
memperdalam materi yang tellah disampaikan guru<br />
di sekolah.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Program Media Pembelajaran Berbasis<br />
Komputer Pada Pokok Bahasan Kapasitor Untuk<br />
SMA, telah dibuat dan diujicobakan melalui tiga<br />
tahap. Tahap pertama telah diperiksa oleh para<br />
dosen, tahap kedua telah diujicobakan kepada<br />
beberapa mahasiswa, dan tahap ketiga telah<br />
diujicobakan kepada beberapa siswa SMA. Dari<br />
hasil ujicoba secara umum mengatakan bahwa<br />
program sudah cukup bagus.<br />
Program media pembelajaran fisika ini<br />
dilengkapi dengan video penunjang serta animasianimasi<br />
yang dapat memperjelas konsep dari<br />
kapasitor. Program ini dapat dimanfaatkan oleh<br />
siswa sebagai persiapan sebelum diajarkan oleh<br />
guru, ataupun untuk pengetahuan setelah diajarkan<br />
di kelas. Program ini juga dapat dimanfaatkan oleh<br />
guru sebagai media pengajaran di kelas.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Gillies, A. D., B. D. Sinclair & S.T.SwitHenby<br />
(1996). Filling Physics Komputer Package<br />
for building concepts & understanding. New<br />
Approaches, XX, 362-368<br />
Halliday dan Resnick. 1991. <strong>Fisika</strong> Jilid 2<br />
(Terjemahan) Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.<br />
Hidayat, Dedi. 1997. Prinsip-prinsip <strong>Fisika</strong>. Jakarta<br />
: Yudhistira.<br />
Kamajaya. 2002. <strong>Fisika</strong> Untuk SMU Kelas II<br />
Semester I dan II. Bandung : Grafindo Media<br />
Pratama<br />
Kanginan, Marthen. 2003. <strong>Fisika</strong> 2000 Jilid 1A<br />
Untuk SMU kelas I1. Cimahi : Erlangga.<br />
Kelly, G.J., & T.Crawford.(1996). Students’<br />
interaction with computer representation:<br />
Analisis of discourse in laboratory groups.<br />
Journal of Research in Science Teaching, 33,<br />
693-707<br />
Sears. Zemansky. 1999. <strong>Fisika</strong> untuk Universitas 1.<br />
Jakarta : Trimitra Mandiri<br />
Serway, R.A. 1986. Physics for Scientists an<br />
Engineers with Modern Physics. New York :<br />
Saunders College Publishing.<br />
http://www.banksoal.sebarin.com<br />
A53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
B1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Studi Implantasi Ion Radioaktif<br />
Iridium-192 dan Renium-188 dalam Pemanfaatannya<br />
untuk Intravascular Brachytherapy<br />
Angga Setiyo Prayogo 1 , Johan A E Noor 2<br />
1,2 Program Studi Magister <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Brawijaya<br />
Email : look_lucky9@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Brachythetapy menjadi solusi masalah kesehatan di beberapa negara. Kontribusi yang diberikanpun sangat<br />
signifikan. Brachytherapy merupakan salah satu metode radioterapi yang dilakukan dengan memasukkan sumber<br />
radiasi ke dalam tubuh. Salah satu tipe brachytherapy adalah Intravascular Brachytherapy, yaitu memasukkan<br />
bahan radioaktif ke dalam pembuluh darah. Selain mematikan sel kanker, metode ini juga bisa mencegah<br />
penyempitan pembuluh darah (restenosis). Pengembangan radioisotop pemancar beta telah banyak<br />
dikembangkan, yang terbaru di antaranya adalah Iridium-192 dan Renium-188. Kedua radioisotop ini memiliki<br />
laju dosis yang relatif rendah dan perlu pengembangan lanjutan untuk mempercepat laju dosisnya, sekaligus<br />
kemungkinan dihasilkan radioaktif lain dengan sifat yang lebih baik. Pengembangan lanjutan dengan metode<br />
implantasi diharapkan menghasilkan alternatif sumber radiasi baru yang lebih baik, sehingga bisa dimanfaatkan<br />
dalam Intravascular Brachytherapy untuk mematikan sel kanker pada pembuluh darah.<br />
Teknik implantasi dilakukan dengan pencangkokan partikel radioisotop berenergi tinggi ke material. Besar<br />
energi radioisotop yang digunakan bervariasi. Partikel radioisotop yang ditembakkan bertumbukan dengan atom<br />
material, sehingga partikel radioisotop kehilangan energi dan berhenti pada jarak tertentu dari permukaan target.<br />
Proses implantasi ini dipengaruhi oleh massa, energi dan jenis partikel radioisotop yang ditembakkan, serta<br />
material target yang digunakan. Pengembangan dengan implantasi radioisotop dapat digunakan untuk<br />
intravascular brachytherapy dengan energi 0,633 MeV dan 0,317 MeV untuk Ir-192 dan Re-188. Sedangkan ada<br />
tidaknya material baru masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut lagi.<br />
Kata kunci : implantasi radioisotop, intravascular brachytherapy, restenosis<br />
PENDAHULUAN<br />
Brachythetapy terbukti menjadi solusi masalah<br />
kesehatan di beberapa negara. Tingkat kontribusinya<br />
telah mencapai kondisi signifikan. Brachytherapy<br />
merupakan salah satu metode radioterapi yang<br />
langsung memasukkan sumber radiasi ke dalam<br />
tubuh, salah satu tipenya adalah Intravascular<br />
Brachytherapy, yaitu memasukkan bahan radioaktif<br />
ke dalam pembuluh darah. Selain mematikan sel<br />
kanker, metode ini juga bertujuan mencegah<br />
terjadinya penyempitan pembuluh darah<br />
(restenosis). Pengembangan radioisotop pemancar<br />
beta telah banyak dikembangkan, beberapa yang<br />
terbaru di antaranya adalah Iridium-192 dan<br />
Renium-188. Namun kedua radioisotop ini memiliki<br />
laju dosis yang masih relatif rendah dan perlu<br />
pengembangan lebih lanjut untuk menghasilkan laju<br />
dosis yang tinggi, sekaligus kemungkinan dihasilkan<br />
bahan radioaktif lain yang memiliki sifat lebih baik.<br />
Salah satu caranya adalah metode implantasi.<br />
Metode implantasi ion radioaktif diharapkan<br />
menghasilkan alternatif sumber radiasi baru dengan<br />
laju dosis lebih cepat, sehingga bisa dimanfaatkan<br />
dalam teknik Intravascular Brachytherapy untuk<br />
mematikan sel kanker pada pembuluh arteri.<br />
INTRAVASCULAR BRACHYTHERAPY<br />
Intravascular brachytherapy adalah penanganan<br />
penyakit dengan meletakkan sumber radiasi di<br />
dalam pembuluh darah menggunakan kateter. Salah<br />
satu bentuk intravascular brachytherapy adalah<br />
pencegahan restenosis pada pembuluh darah jantung<br />
menggunakan radioisotop. Penyumbatan pada<br />
jantung dapat ditangani dengan menggunakan<br />
metode angioplasty dan selanjutnya dilakukan<br />
pemasangan coronary stent untuk mencegah<br />
terjadinya penyempitan kembali. Namun,<br />
pemasangan stent ini dapat menyebabkan<br />
pertumbuhan sel tidak normal di sekitar tempat<br />
pemasangan sehingga mengakibatkan restenosis.<br />
Ada beberapa metode untuk mencegah terjadinya<br />
restenosis ini, di antaranya dengan memanfaatkan<br />
radiasi. Beberapa radioisotop pemancar β seperti<br />
fosfor-32, yttrium-90, xenon-133, renium-186,<br />
renium-188 dan iridium-192 telah dikembangkan<br />
untuk dimanfaatkan.<br />
B1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dimana :<br />
A : Aktivitas awal<br />
A 0 : Aktivitas akhir<br />
λ : Konstanta peluruhan<br />
Hal yang sama dilakukan pada Re-188. Yang<br />
membedakan adalah besarnya energi yang<br />
digunakan untuk proses implantasi, karena iridium<br />
dan renium memiliki waktu paruh yang berbeda.<br />
Gambar 1 Restenosis dan Pemasangan Stent (Awaludin,2008)<br />
Terdapat tiga jenis penanganan yang telah<br />
dikembangkan yaitu metode pelet, metode larutan<br />
dan metode stent radioaktif. Dari ketiga metode ini,<br />
metode stent radioaktif merupakan metode yang<br />
banyak mendapat perhatian karena kemudahan<br />
dalam penggunaannya seperti gambar diatas. Ada 2<br />
jenis metode pembuatan stent radioaktif yang telah<br />
dikembangkan yaitu metode aktivasi neutron dan<br />
metode implantasi ion radioisotop.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Implantasi<br />
Bahan penyusun endovascular stent diiradiasi di<br />
posisi pneumatic rabbit system (PRS) reaktor G.A.<br />
Siwabessy BATAN dalam waktu singkat, karena<br />
radioaktivitas yang dikehendaki juga kecil. Hasil<br />
iradiasi diukur menggunakan spektrometer gamma<br />
untuk menentukan jenis jenis radioisotop yang<br />
terbentuk dan besarnya radioaktivitas. Pengukuran<br />
dilakukan setelah radioisotop meluruh dan tidak<br />
mengganggu pengukuran. Hasil pengukuran<br />
dihitung balik secara teoritis ke saat akhir iradiasi<br />
(end of irradiation, EOI). Sebelum digunakan,<br />
spektrometer gamma dikalibrasi menggunakan<br />
radioisotop 137 Cs dan 60 Co untuk kalibrasi energi dan<br />
kalibrasi kurva efisiensi.<br />
Perhitungan pada penelitian ini dilakukan secara<br />
teoritis berdasarkan jenis radioisotop yang terbentuk<br />
dan besarnya radioaktivitas ketika bahan diiradiasi.<br />
Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan<br />
umum aktivasi neutron.<br />
A= Nφσ (1-e -λt ) (1)<br />
Dimana,<br />
A : Radioaktivitas radioisotop yang dihasilkan<br />
(Bq)<br />
N : Jumlah atom isotop sasaran (atom)<br />
φ : Fluks neutron (ns -1 cm -2 )<br />
σ : Tampang lintang reaksi (barn = 10 -24 cm 2 )<br />
λ : Konstanta peluruhan radioisotop (s -1 )<br />
Ir-192 diimplant pada area surrogate substance<br />
dengan diameter 0,1 mm untuk menekan hingga<br />
terbentuk 25% iridium murni dan 75% platinum<br />
murni dengan ketebalan 0,15 mm. Kemudian dari<br />
proses itu dihitung besarnya radioaktivitas iridium<br />
dengan persamaan radioaktivitas.<br />
(-λxt)<br />
A = A 0 (2)<br />
Tabel 1. Unsur penyusun stent dari bahan SUS 316L dan<br />
radioisotop yang terbentuk dari paparan neutron termal<br />
(Awaludin, 2008)<br />
Intravascular Brachytherapy<br />
Hasil implantasi kedua bahan radioaktif tersebut<br />
dimasukkan ke dalam stent radioaktif untuk<br />
mencegah restenosis setelah pemasangan stent.<br />
Pemilihan jenis radioisotop didasarkan pada waktu<br />
paruh dan jenis radiasi yang dipancarkan.<br />
Radioisotop yang efektif adalah radioisotop dengan<br />
waktu paruh tidak terlalu pendek agar besarnya<br />
radiasi pengion tidak berkurang dalam waktu cepat.<br />
Namun, apabila waktu paruh terlalu panjang,<br />
radioisotop tersebut akan memancarkan radiasi<br />
pengion terus menerus ketika dosis radiasi yang<br />
dibutuhkan telah mencukupi sehingga<br />
membahayakan sel sel di sekitar tempat dia berada.<br />
Pemilihan jenis radiasi yang dipancarkan berguna<br />
untuk menentukan tingkat pengaruh yang diberikan<br />
kepada sel-sel sasaran. Besarnya pengaruh yang<br />
diberikan kepada sel-sel sasaran setara dengan<br />
besarnya linear energy transfer (LET) jenis radiasi<br />
tersebut. LET adalah besarnya energi yang<br />
dilepaskan tiap satu satuan jarak lintasan yang<br />
dilalui. Pembuluh darah dapat dilebarkan dengan<br />
memasukkan semacam balon yang dapat<br />
digelembungkan ke daerah penyempitan dengan<br />
catheter melalui femoral artery. Untuk mencegah<br />
terjadinya penyempitan kembali (restenosis),<br />
dipasang pula “penyangga” pembuluh darah yang<br />
dinamakan coronary stent setelah pembuluh darah<br />
dilebarkan.<br />
B2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 2. Jenis radioisotop untuk pencegahan restenosis<br />
(Awaludin, 2008)<br />
HASIL dan PEMBAHASAN<br />
Dari hasil pengukuran bahan yang diiradiasi,<br />
dan sesuai tabel 1, dapat diketahui bahwa radiasi γ<br />
dengan energi 0,633 MeV dan 0,317 MeV tersebut<br />
merupakan radiasi dari radioisotop 192 Ir dan 188 Re.<br />
Di dalam tabel tersebut disajikan radiasi gamma<br />
yang dipancarkan oleh radioisotop tersebut beserta<br />
intensitas untuk masing-masing radiasi gamma. Di<br />
dalam tabel tersebut disajikan pula waktu paruh<br />
untuk masing-masing radioisotop. Dari luas area<br />
untuk masing-masing energi, intensitas radiasi<br />
gamma dan nilai efisiensi penyerapan radiasi gamma<br />
oleh detektor pada energi tersebut selanjutnya<br />
dihitung besarnya radioaktivitas untuk masingmasing<br />
radioisotop. Radioaktivitas yang didapatkan<br />
dibagi dengan berat material dan diperoleh<br />
radioaktivitas 192 Ir dan 188 Re untuk tiap satuan berat.<br />
Radioisotop 192 Ir memiliki radioaktivitas sebesar 179<br />
Bq/mg, setelah dilakukan implantasi, maka<br />
dihasilkan 194 Ir dengan radioaktivitas 0,337 Bq dan<br />
meluruh dengan cepat.<br />
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa hampir seluruh<br />
radioisotop yang dikembangkan merupakan<br />
pemancar β, baik berupa pemancar β murni maupun<br />
pemancar β dan γ.<br />
Untuk pemasangan stent radioaktif, dilakukan<br />
simulasi pada pembuluh darah, kemudian dianalisis.<br />
Dari simulasi itu, diperoleh hasil bahwa metode<br />
stent radioaktif menawarkan kelebihan berupa<br />
kemudahan dalam pemanfaatannya karena cara<br />
penggunaan tidak berbeda dengan penanganan<br />
menggunakan stent selama ini. Perbedaannya hanya<br />
terletak pada stent yang digunakan.<br />
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sumber<br />
radiasi yang digunakan untuk terapi ini diproduksi<br />
menggunakan dua cara, yaitu aktivasi neutron (n,γ)<br />
dan pemisahan hasil belah (fisi) dari 235U. Pada<br />
aktivasi neutron, tantangan dalam produksi berupa<br />
rendahnya radioaktivitas tiap satuan berat<br />
(radioaktivitas jenis). Peningkatan radioaktivitas<br />
jenis dapat dilakukan menggunakan beam neutron<br />
dengan fluks yang tinggi, pemanjangan waktu<br />
iradiasi sampai mendekati radioaktivitas jenuh dan<br />
Gambar 2. Perubahan Energi Keseluruhan Untuk Ir-192<br />
(Wadsley, 2003)<br />
penggunaan sasaran dengan kandungan isotop<br />
sasaran yang diperkaya. Tantangan lainnya berupa<br />
pemilihan bentuk kimia sasaran yang tepat. Ketika<br />
proses iradiasi di dalam reaktor, temperatur sasaran<br />
akan naik. Oleh karenanya bentuk kimia sasaran<br />
harus tahan terhadap suhu tinggi. Alasan lain<br />
pemilihan bentuk kimia sasaran adalah untuk<br />
menekan sekecil mungkin munculnya pengotor<br />
radioisotop dari atom lain yang menyertainya.<br />
Bentuk kimia yang tepat biasanya berbentuk logam<br />
atau oksida. Dari metode produksi ini dapat<br />
diperoleh radioisotop dalam bentuk pelet atau<br />
larutan.<br />
Meskipun stent tersusun dari beberapa unsur,<br />
hanya beberapa jenis radioisotop yang akan<br />
diperoleh dengan besar radioaktivitas dapat<br />
dimanfaatkan. Beberapa radioisotop memiliki<br />
radioaktivitas sangat kecil karena tampang lintang<br />
reaksi inti yang kecil, kelimpahan isotop sasaran di<br />
alam yang rendah dan waktu paruh yang panjang.<br />
Beberapa radioisotop memiliki waktu paruh sangat<br />
pendek sehingga radioaktivitas mengecil dan dapat<br />
diabaikan dalam waktu singkat (beberapa hari).<br />
Akhirnya hanya ada 3 jenis radioisotop dengan<br />
radioaktivitas yang dapat dimanfaatkan di dalam<br />
stent yaitu 32 P, 51 Cr dan 59 Fe. Radiasi dari ketiga<br />
radioisotop ini diharapkan dapat digunakan untuk<br />
menekan pertumbuhan sel disekitar pemasangan<br />
stent.<br />
Dengan metode iradiasi, jenis radioisotop dapat<br />
pula diatur melalui penambahan unsur sasaran<br />
radioisotop yang dikehendaki ke dalam bahan<br />
penyusun stent. Penambahan dapat dilakukan<br />
dengan melapiskan unsur sasaran pada stent. Stent<br />
radioaktif yang diperoleh dengan cara ini<br />
memerlukan uji kerontokan untuk memastikan<br />
bahwa radioisotop yang terbentuk tidak mudah<br />
lepas. Hal ini untuk menghindari kemungkinan<br />
terlepasnya radioisotop ke dalam darah sehingga<br />
beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.<br />
KESIMPULAN<br />
Hasil studi penelitian menunjukkan bahwa<br />
radioisotop Ir-192 dan Re-188 memiliki peluang<br />
untuk dikembangkan lebih lanjut dalam upaya<br />
B3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
pencegahan terjadinya restenosis pada pembuluh<br />
darah. Beberapa jenis radioisotop lainnya, terutama<br />
radioisotop pemancar β bisa dikembangkan untuk<br />
dimanfaatkan. Radiosiotop tersebut digunakan<br />
dalam bentuk pelet, larutan maupun stent radioaktif.<br />
Hasil yang telah dicapai saat ini memberikan<br />
peluang untuk dikembangkan lebih lanjut di<br />
Indonesia. Penulis berharap bahwa tulisan singkat<br />
ini dapat memberikan sumbang sih dalam memacu<br />
berbagai pihak untuk pengembangan lebih lanjut.<br />
UCAPAN TERIMAKASIH<br />
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya<br />
kepada semua pihak yang mendukung<br />
menyelesaikan penulisan paper ini, khususnya Danie<br />
Dwi Setyawan, Bapak Johan A E Noor, serta tim<br />
Radioterapi <strong>Fisika</strong> Universitas Brawijaya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Alatas, Zubaidah. 1999. Aplikasi Teknik Nuklir<br />
Bagi Kesehatan. Pusat Radioisotop dan<br />
Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />
Serpong<br />
Awaludin, Rohadi. 2008. Pemanfaatan<br />
Radioisotop untuk mencegah restenosis<br />
pada jantung. Pusat Radioisotop dan<br />
Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />
Serpong<br />
Awaludin, Rohadi. 2007. Iradiasi Neutron Pada<br />
Bahan SS316 Untuk Pembuatan<br />
Endovascular Stent. Pusat Radioisotop dan<br />
Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />
Serpong<br />
Budiyono, Tris. . Brachytherapy Intracavitair<br />
Nasofarings Menggunakan mHDR Ir-<br />
192di RS Dr. Sardjito. Sub Instalasi<br />
Radioterapi RS. Dr. Sardjito. Yogyakarta<br />
Wadsley, J. C. et al. 2003. Iridium-192<br />
implantation for T1 and T2a carcinoma of<br />
the tongue and floor of mouth:<br />
retrospective study of the results of<br />
treatment at the Royal Berkshire Hospital.<br />
Berkshire Cancer Centre and 2 Department of<br />
Oral Surgery, Royal Berkshire Hospital,<br />
Reading. United Kingdom<br />
Terk, D Mitchell. 2007. Brachytherapy for<br />
prostate cancer. Florida Center for Prostate<br />
Care, Jacksonville<br />
Setyawan, Danie Dwi. 2007. Implantasi Ion<br />
Elemen reaktif Yttrium dan Cerium Pada<br />
Material Suhu Tinggi FeAl Untuk<br />
Ketahanan Sifat Oksidasi. Jurusan <strong>Fisika</strong><br />
UB. Malang<br />
Watanabe, S. 1999. Production of Radioactive<br />
Endovascular Stents by Implantation of<br />
133Xe Ions. Japan Atomic Energy Research<br />
Institute.<br />
Watanabe S. 1999. Research Activities. Japan<br />
Atomic Energy Research Institute.<br />
B4
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Study On The Relationship Between Sunspot Area And Flare Occurrences<br />
To Support Flare Prediction<br />
Bachtiar Anwar<br />
Division of Solar Physics and Space Environment<br />
Center for Utilization of Space Science<br />
National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />
Jl. Dr. Djunjunan 133, Bandung 40173<br />
E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />
Abstract<br />
Sunspot group is an intersection of magnetic flux tube with the photosphere that emerges from beneath of the<br />
solar surface. Sunspot group evolves from a tiny spot then gradually becomes larger and larger to reach a peak in<br />
the area. The number of spots in this sunspot groups tends to increase accordingly. After the peak phase is<br />
achieved, the sunspot group then enters a decaying phase where the area and its spot number decrease gradually<br />
and disappear. An increase in the sunspot area means that the magnetic energy increases as the volume of<br />
magnetic flux tube in the corona becomes larger. A large sunspot group has a large magnetic energy that<br />
eventually can be released as a flare. An increase in number of spots within the sunspot group can be thought as<br />
the increase of the complexity of the magnetic configuration. The possibility toward instability of magnetic<br />
system therefore becomes high. We have utilized data of flare lists and summary of active region from NOAA to<br />
study the relationship between sunspot areas and flare occurrences. We conclude that a sudden increase in area<br />
and the number of spots may trigger the occurrence of a flare.<br />
Key words: sunspot group, flare, sunspot area, sunspot number, magnetic type<br />
INTRODUCTION<br />
Sunspot is an intersection of magnetic flux tube<br />
with the photosphere which produces a cooling<br />
effect to cause darker than surrounding photosphere.<br />
Sunspot appears as a single spot of unipolar and<br />
gradually increases in area and the number of spots<br />
in sunspot group to form bipolar of magnetic<br />
configuration. Sunspot group may survive in several<br />
days or as long as several solar rotations. An intense<br />
magnetic flux emergence during short-term period<br />
(several days) is expected to have a high flaring<br />
activity (producing M or X-class flares) compared to<br />
sunspot group which evolves gradually. Flare<br />
accompanied with a coronal mass ejection may<br />
disturb the Earth’s space environment (Anwar, 2010;<br />
Anwar, 2009a; Anwar, 2009b; Anwar, 2009c). This<br />
further may cause damages to space-based and<br />
ground-based technologies as well as threat the<br />
human life (Bothmer and Daglis, 2007; Lanzerotti,<br />
2001).<br />
It has been known that the activity in sunspot<br />
group is related to complexity of the magnetic<br />
configuration. Number of spots in an active region<br />
can be used as an indication of the complexity. More<br />
spots mean more number of pair of bipolar in<br />
sunspot group. Thus, the possibility of interaction of<br />
magnetic loops of bipolar sunspot becomes higher.<br />
This is related to the triggering mechanism in<br />
sunspot that leads to the release of magnetic energy<br />
suddenly as solar flares (Setiahadi, 2005).<br />
The area of sunspot is related to the total of<br />
magnetic energy. Large sunspot has magnetic energy<br />
greater than small sunspot. Combining with the<br />
number of spots inside sunspot group, the flaring<br />
activity can be expected to be high for sunspot group<br />
with large in area and number of spots. This kind of<br />
sunspot should be monitored continuously in order<br />
to forecast the occurrence of flares (Anwar, 2008;<br />
Anwar, 2009a; Setiahadi et al., 2006).<br />
Section 2 describes observation data used in this<br />
work, while method and data analysis are given in<br />
section 3. In section 4, the results and discussions<br />
will be explained. Finally, section 5 gives summary<br />
of the work.<br />
OBSERVATION DATA<br />
This work uses solar data compiled by NOAA<br />
known as Join USAF/NOA Solar Region Summary.<br />
This summary of solar observation provides<br />
information of solar activity in daily basis as shown<br />
in Figure 1. The data contains active region number<br />
(NMBR), location in visible disk (LOCATION),<br />
longitude in the Carrington system (LO), area of<br />
spots in millionths of the visible hemisphere<br />
(AREA), Spot configuration in the McIntosh system<br />
(McI), Length of spot group in degrees (LL),<br />
number of spots (NN) and magnetic configuration<br />
(MAG TYPE). Furthermore, magnetic configuration<br />
of the spots based on the Mt. Wilson system:<br />
ALPHA = spots of only one magnetic polarity<br />
BETA = spots of both polarities, separated.<br />
B5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
GAMMA = spots of both polarities,<br />
intermingled.<br />
DELTA = spots of both polarities in a single<br />
penumbra.<br />
Figure 2 shows solar photosphere from<br />
SOHO/MDI (Michelson Doppler Imager) on<br />
January 10, 2001(left) along with solar active region<br />
map from Mees Observatory, Hawaii University<br />
(right). The map was produced based on<br />
USAF/NOAA Solar Region Summary.<br />
Figure 1. List of active regions based on observation in January 9, 2000.<br />
Figure 2. Images taken by SOHO/MDI Continuum (left) and magnetogram (right) on January 10, 2000, showing active region NOAA 8824<br />
(box).<br />
Figure 3. Images taken by SOHO/EIT195Å on January 10 and 12, 2000 show the solar corona. Active region (sunspot group) is bright<br />
regions, while coronal holes are dark. Active region NOAA 8824 is shown by a box.<br />
METHODS AND DATA PROCESSING<br />
In order to study the relationship between<br />
sunspot area and the occurrence of flares, the<br />
following steps have been performed:<br />
1. Compile flares data, and solar region<br />
summary from NOAA database, and<br />
images from SOHO spacecraft.<br />
2. Construct database system related to flare<br />
occurrences based on NOAA flare event<br />
list.<br />
B6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
3. Search for X-ray flare for a sunspot group<br />
based on NOAA number<br />
4. Construct scripts in Interactive Data<br />
Language to read solar region summary for<br />
one year data.<br />
5. Search for NOAA number from solar<br />
region summary to extract information on<br />
active region.<br />
6. Plot the area, length, number of sunspots<br />
and magnetic types<br />
7. Conclude the relationship between sunspot<br />
areas and flare occurrences.<br />
For a case study, we selected two active regions<br />
NOAA 8824. The first active region showed an<br />
evolution that did not produce large flare of X-class.<br />
It is important to study their evolutions in area,<br />
length in longitude, number of spots within the<br />
active region, magnetic type as well as their<br />
relationship with the occurrence of flares in active<br />
regions. Flare of C-class represents flares that<br />
produce X-ray flux in between 10 -6 -10 -5 watt/m 2 at<br />
the Earth’s orbit. The X-ray flux of M-class flare is<br />
10 -5 -10 -4 watt/m 2 , while the X-class flare produces<br />
X-ray flux greater than 10 -4 watt/m 2 .<br />
RESULTS AND DISCUSSIONS<br />
In this section we provide the results and<br />
discussions. Figures 2 and 3 show active region<br />
NOAA 8824 in the beginning of evolution where it<br />
was seen as a small spot in the photospheric image<br />
(Figure 1, left), but it was an extended feature seen<br />
in magnetogram (Figure 1, right). Meanwhile, the<br />
solar corona above the region revealed a small bright<br />
based on EIT image taken on January 10 and 12,<br />
2000 (Figure 3). This active region seems to have<br />
connection in coronal loops with an active region<br />
located at the eastern part.<br />
Figure 3 (top to bottom panel) shows evolution<br />
of active region NOAA 8824 in area, the length,<br />
number of spots and magnetic type. The active<br />
region represents a gradual evolution as the changes<br />
in sunspot area. The peak of area reached to 400<br />
millions of visible solar hemisphere (MSH) during<br />
four day period since January 10, 2000. The region<br />
was relatively small sunspot. At the same time, the<br />
length of sunspot in longitude direction changed<br />
from 10 o to 15 o . A significant change was occurred<br />
in number of spots from less than 10 on January 10<br />
and evolved to 70 on January 16. There was an<br />
increase in number of spots about 10 each day. This<br />
means that there was a rapid magnetic flux<br />
emergence during the period which caused a<br />
frequent flare occurrence (see Figure 4).<br />
As much as 12 C and 2 M class flares have been<br />
observed. A relatively small sunspot area of NOAA<br />
8824 caused the small in magnetic energy so that<br />
most of flares were C-class. After the peak of area,<br />
the sunspot area decreased gradually to form a tiny<br />
spot in January 21, 2000. During the decrease<br />
period, one C and one M-class flare were occurred.<br />
Furthermore, most of flares were released during the<br />
sunspot having magnetic type of Beta or Beta-<br />
Gamma. The sunspot evolved to Beta-Gamma-Delta<br />
during January 13-15, 2000. This is a critical<br />
condition where two opposite polarities surrounded<br />
by the same penumbra. Even though, due to the area<br />
of sunspot and the change of number of spots were<br />
relatively small, only two flares of C-class were<br />
occurred.<br />
CONCLUDING REMARKS<br />
We have described the methods and data<br />
analysis for studying the relationship between<br />
sunspot area and other sunspot’s properties such as<br />
the length, number of spots and magnetic type, with<br />
the number of flares that occurred in active region<br />
NOAA 8824. There was a significant increase in the<br />
number of spots and area in January 10-12, 2000,<br />
which may cause instability in the magnetic<br />
configuration that leads to the release of flares. As<br />
much as 15 C and two M class flares have been<br />
observed during this period. The fact that most of<br />
flares were C-class as the area of sunspot was small.<br />
No significant flare was occurred during the decay<br />
of active region. Based on the results, sunspot group<br />
having small area can be predicted to have small<br />
flares.<br />
Acknowledgements<br />
The use of data from NOAA (Solar Region<br />
Summary and flare list) and SOHO is<br />
acknowledged. This work is series of researches<br />
dedicated to support space weather program at<br />
LAPAN.<br />
B7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 3. Evolution of active region NOAA 8824 during January 10 – 21, 2000.<br />
Figure 4. A comparison of sunspot area and number of flares that occurred during January 10 – 20, 2000. The numbers represent the flare<br />
occurrences in NOAA 8824. The arrows indicate three M-class flares have been occurred in those days. Other flares were C-class, and no X-<br />
class flares have been occurred<br />
B8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
REFERENCES<br />
Anwar, B. (2010) The Geoeffectiveness of Coronal<br />
Mass Ejections Related to M-Class Flare, in<br />
Proc. National Seminar in Mathematic<br />
Education, Sebelas Maret University, May 5,<br />
2010, Solo.<br />
Anwar, B. (2009c) Identifying the Source Region of<br />
Coronal Mass Ejection, Proc. National<br />
Seminar in Mathematics and Natural<br />
Sciences, Faculty of Mathematics and<br />
Natural Sciences, Satyawacana Christian<br />
University (UKSW), June 13, 2009, Salatiga.<br />
Anwar, B. (2009b) Automatic Detection of Coronal<br />
Mass Ejection, Proc. National Seminar in<br />
Mathematics and Natural Sciences, Faculty<br />
of Mathematics and Natural Sciences, 16<br />
May 2009, Yogyakarta State University,<br />
Yogyakarta.<br />
Anwar, B. (2009a) Monitoring the Sun for Space<br />
Weather, Proc. National Seminar in<br />
Education Mathematics (LSM XVII), 4 April<br />
2009, Faculty of Mathematics and Natural<br />
Sciences, Yogyakarta State University.<br />
Anwar, B. (2008) Development of Database System<br />
for Space Early Warning, Proc. National<br />
Seminar in Science and Technology II, 17-18<br />
November 2008, Lampung University, p.18.<br />
Bothmer, V. and Daglis, I.A. (2007) “Space<br />
Weather, Physics and Effects”, Springer-<br />
Praxis Publishing<br />
Lanzerotti, L.J. (2001) Space Weather Effects on<br />
Technologies, in “Space Weather”, Song, P.,<br />
Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds),<br />
Geophysical monograph, 125, p.11.<br />
Setiahadi, B. (2005) Problems of Equilibria and<br />
Instabilities on Solar Coronal Magnetic<br />
Fields and Its Evolution Towards Energetic<br />
Energy Liberation: Effect to Interplanetary<br />
Space, Proc. National Seminar in<br />
Mathematics, FMIPA UNDIP, E1., p.1.<br />
Setiahadi, B., Sakurai, T., Miyazaki, H., and Hiei, E.<br />
(2006) Research on Magnetohydrodynamic<br />
Transport Phenomena in Solar-Terrestrial<br />
Space at LAPAN Watukosek 2006, Proc.<br />
National Seminar in Space Science III, p. 17<br />
B9
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dosis Kulit pada Simulasi Penyinaran Radioterapi Pasien Karsinoma<br />
Nasofaring Menggunakan Radiasi Gamma Cobalt-60<br />
Dwi Seno K. Sihono 1 , Imanuddin Rahman 1 , Djawani S. Soejoko 1<br />
1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Indonesia<br />
Email: dwi.seno@ui.ac.id<br />
Abstrak<br />
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu tumor ganas yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sampai saat<br />
ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Dengan simulasi<br />
penyinaran radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring, dosis permukaan dapat dihitung menggunakan TLD<br />
(Thermo Luminescent Dosimeter). Penyinaran dilakukan menggunakan radiasi gamma Cobalt-60, menggunakan<br />
fantom kepala dan leher, diradiasi dengan lapangan plan parallel 15 cm x 15 cm, SAD 80 cm, target pada<br />
midline dengan kedalaman 6,5 cm, dan dosis yang diberikan sebesar 2 Gy pada target. TLD diletakkan pada 9<br />
titik untuk daerah kepala dan 6 titik untuk daerah leher. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa dosis<br />
permukaan pada kepala berada pada range 40%-55% dosis target dan pada daerah leher diperoleh range 40%-<br />
50% dosis target. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam klinis, dalam hal ini dosis kulit pasien<br />
perlu diperhatikan karena dimungkinkan menerima dosis lebih tinggi 50% dari dosis target.<br />
Kata kunci : Dosis kulit, karsinoma nasofaring, fantom, Cobalt-60.<br />
Pendahuluan<br />
Karsinoma Nasofaring merupakan kanker<br />
bagian THT-KL (Telinga Hidung Tenggorokan-<br />
Kepala Leher) yang terjadi di selaput lendir daerah<br />
nasofaring. Nasofaring merupakan suatu rongga<br />
dengan dinding kaku di bagian atas, belakang dan<br />
lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring<br />
(Harry, 2002).<br />
Gambar 1. Bagian Nasofaring<br />
Sampai saat ini radioterapi masih memegang<br />
peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma<br />
nasofaring. Radioterapi karsinoma nasofaring<br />
dilakukan dengan radiasi eksterna, menggunakan<br />
pesawat teleterapi Cobalt-60 atau pesawat linier<br />
accelerator (linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker<br />
primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal<br />
serta pada daerah aliran getah bening leher atas,<br />
bawah serta klasikula.<br />
Berkas radiasi Cobalt-60 memiliki sifat buildup<br />
yang merupakan salah satu karakteristik berkas<br />
foton eksternal yang menyebabkan dosis kulit yang<br />
diterima relatif rendah. Sifat buildup tersebut<br />
memiliki beberapa keuntungan dalam radioterapi.<br />
Diantaranya dosis kulit relatif rendah, sehingga<br />
reaksi kulit pasien juga rendah. Efek demikian<br />
disebut “skin sparing”. Efek ini dapat hilang bila<br />
berkas foton yang jatuh pada kulit pasien<br />
terkontaminasi oleh elektron. Sumber elektron dapat<br />
berasal dari:<br />
• Interaksi foton dengan udara<br />
• Interaksi foton dengan kolimator<br />
• Interaksi foton dengan pembentuk lapangan<br />
radiasi, misalnya blok Pb<br />
• Interaksi foton dengan tempat pembentuk<br />
lapangan radiasi (tray).<br />
• Elektron dari sumber Co-60.<br />
Secara umum bila energi foton naik, efek skin<br />
sparing dan kedalaman buildup meningkat.<br />
Lapangan radiasi kecil akan memperbesar efek skin<br />
sparing, sebaliknya lapangan radiasi besar akan<br />
menurunkan efek skin sparing.<br />
Sistem dosimetri yang dapat digunakan untuk<br />
menentukan besarnya dosis kulit diantaranya adalah<br />
Thermoluminescent Dosimeter (TLD). TLD sering<br />
digunakan dalam pengukuran dosis kulit karena tipis<br />
dan mudah digunakan. Dosimeter termoluminisensi<br />
(TLD) LiF, dipilih karena nomor atom efektifnya<br />
(Z eff = 8,1), cukup ekivalen dengan Z efektif jaringan<br />
tubuh manusia yang nilainya 7,4 (Gunnila, 1992).<br />
Selain itu TLD LiF mempunyai pemudaran<br />
(fading) yang rendah, kedapat-ulangan yang tinggi,<br />
sensitifitas atau rentang dosis yang luas serta dapat<br />
digunakan untuk energi tinggi, sehingga<br />
memungkinkan digunakan untuk mengukur dosis<br />
pada radioterapi (Peter, et al, 1997).<br />
Tujuan penelitian ini adalah :<br />
B10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
1. Mengetahui besarnya dosis di permukaan<br />
kulit daerah penyinaran karsinoma<br />
nasofaring dengan pesawat teleterapi Co-60<br />
2. Mempelajari dosis kulit disekitar daerah<br />
kepala dan leher untuk terapi karsinoma<br />
nasofaring menggunakan pesawat teleterapi<br />
Co-60<br />
Metode Eksperimen<br />
Alat dan Bahan<br />
Seluruh pengambilan data dilakukan pada<br />
bagian Instalasi Radioterapi Rumah Sakit<br />
Persahabatan Jakarta. Penelitian ini menggunakan<br />
pesawat terapi Cobalt-60 merk Shinva (China),<br />
fantom kepala dan leher milik Jurusan Teknik<br />
Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes II<br />
Jakarta (Gambar 2), serta TLD 100 LiF dengan<br />
dimensi 3,175 mm x 3,175 mm x 0,889 mm yang<br />
digunakan untuk mengukur dosis kulit. Pembacaan<br />
hasil TLD yang sudah diradiasi dilakukan di<br />
PTKMR BATAN (Pusat Teknologi Keselamatan<br />
dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Atom<br />
Nasional) Pasar Jumat Jakarta.<br />
Untuk mendapatkan faktor kalibrasi TLD<br />
terhadap radiasi gamma Co-60, dilakukan<br />
pengukuran keluaran pesawat Cobalt-60<br />
menggunakan fantom air. Selain itu, digunakan juga<br />
fantom acrylic dengan ketebalan 5 cm untuk<br />
mengetahui tanggapan TLD. Kalibrasi menggunakan<br />
dosimeter PTW UNIDOS yang terdiri dari<br />
elektrometer dan detektor bilik ionisasi jenis farmer<br />
TM 30013-0821 dan jenis markus M 23343-3768.<br />
Pengukuran bertujuan untuk membandingkan<br />
tanggapan bilik ionisasi markus dengan bilik ionisasi<br />
farmer.<br />
Untuk menentukan faktor kalibrasi TLD<br />
digunakan bilik ionisasi markus yang diletakkan<br />
pada permukaan fantom acrylic. TLD yang dipakai<br />
dalam penelitian ini memiliki respon yang seragam.<br />
TLD pada permukaan fantom acrylic disinari dengan<br />
parameter penyinaran yang sama dengan penyinaran<br />
bilik ionisasi markus. Hasil bacaan pada TLD<br />
kemudian dibandingkan dengan bacaan pada<br />
Ionization Chamber (jenis farmer dan markus) untuk<br />
memperoleh faktor kalibrasi.<br />
Pengukuran yang dilakukan merupakan simulasi<br />
radioterapi kanker nasofaring. Kondisi pengukuran<br />
pada eksperimen ini adalah SAD 80 cm,<br />
menggunakan lapangan plan paralel dengan luas<br />
lapangan 15x15 cm 2 , kedalaman isocenter 6,5 cm<br />
dan dosis target ditentukan sebesar 1 Gy setiap<br />
lapangan. TLD diletakkan pada 30 titik dalam<br />
lapangan radiasi yang tersebar disekitar kepala dan<br />
leher.<br />
TLD diletakkan 9 titik di daerah kepala yaitu di<br />
daerah bagian belakang telinga, bagian bawah<br />
telinga, pipi /belakang hidung, bawah tengkorak,<br />
rahang, pipi/belakang mulut, pangkal leher, dagu,<br />
dan bawah rahang yang merupakan pusat lapangan<br />
radiasi. Sedangkan di daerah leher TLD diletakkan<br />
di 6 titik yaitu daerah 2 titik di leher bagian atas, 2<br />
titik di daerah leher bagian bawah serta tiroid.<br />
TLD pada bagian kanan fantom (No. 1 – 15)<br />
mendapatkan dua kali penyinaran yaitu ketika sudut<br />
gantry 90 o dan 270 o . Dengan demikian TLD tersebut<br />
menerima dosis total, yaitu penjumlahan dosis<br />
entrance (entrance dose) dan dosis keluar (exit<br />
dose). Adapun TLD yang terletak di bagian kiri<br />
fantom (No. 16-30), mendapat satu kali penyinaran<br />
yaitu bacaan dosis entrance ketika sudut gantry 90 o .<br />
Metode Eksperimen<br />
Gambar 2. Fantom kepala dan leher<br />
Eksperimen dilakukan beberapa tahap. Tahap<br />
pertama adalah kalibrasi pesawat Cobalt-60 dan<br />
TLD, kemudian dilanjutkan dengan penyinaran TLD<br />
pada fantom kepala dan leher menggunakan pesawat<br />
Cobalt-60.<br />
Pengukuran kalibrasi keluaran pesawat Cobalt-<br />
60 menggunakan fantom air dan bilik ionisasi farmer<br />
dengan kondisi penyinaran: luas lapangan 10 x 10<br />
cm 2 , jarak sumber ke permukaan fantom (SSD) = 80<br />
cm, kedalaman bilik ionisasi (d) = 5 cm, waktu<br />
penyinaran selama 1 menit. Selain itu juga dilakukan<br />
pengukuran dengan parameter penyinaran yang<br />
sama menggunakan bilik ionisasi jenis Markus.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 3. Skema letak TLD pada penyinaran simulasi radioterapi<br />
ca nasofaring.<br />
Hasil Eksperimen<br />
Kalibrasi Pesawat Cobalt-60<br />
Hasil rata-rata pengukuran keluaran pesawat<br />
terapi Cobalt-60 dengan bilik ionisasi farmer (N D,w<br />
B11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
=5,284.10 9 cGy/C) dengan kondisi SSD 80 cm,<br />
lapangan 10 cm x 10 cm, waktu penyinaran selama 1<br />
menit, dan kedalaman 5 cm adalah 25,16 . 10 -9 C/<br />
menit. Berdasarkan data pengukuran diperoleh<br />
keluaran pesawat dengan perhitungan:<br />
D w = M N D,w<br />
= 25,16 . 10 -9 C/menit x 5,284 . 10 9 cGy/C<br />
= 132,94 cGy/menit (1)<br />
Nilai PDD (Percentage Depth Dose) pada<br />
kedalaman 5 cm dengan kondisi penyinaran di atas<br />
adalah 78,8%. Dosis pada kedalaman maksimum<br />
(d max ) dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai<br />
berikut:<br />
100<br />
D max = x132,94<br />
cGy / menit = 168,7 Gy / menit (2)<br />
78,8<br />
Data pengukuran menunjukkan bahwa<br />
penyinaran selama 1 menit akan mendapatkan dosis<br />
sebesar 168,7 cGy pada kedalaman maksimum.<br />
Dengan demikian, untuk mendapatkan dosis sebesar<br />
1 Gy diperlukan waktu 0,58 menit. Perhitungannya<br />
sebagai berikut:<br />
t = 1 Gy / 1,687 Gy.menit -1 = 0,58 menit (3)<br />
Untuk memperoleh faktor perbandingan antara<br />
dosis permukaan dengan dosis pada kedalaman 5<br />
cm telah dilakukan pengukuran dengan bilik ionisasi<br />
markus. Hasil pengukuran menunjukkan<br />
perbandingan antara dosis permukaan dengan dosis<br />
pada kedalaman 5 cm adalah sebagai berikut:<br />
1,464nC 0, 778Gy<br />
= <br />
0,837nC x 0,778<br />
Dx = <br />
0,837nC<br />
Dx<br />
1,464 nC<br />
D x = 0,445 Gy (4)<br />
Kalibrasi TLD<br />
Jumlah TLD yang dipakai dalam penelitian ini<br />
sebanyak 90 keping dan telah diteliti memiliki<br />
respons mendekati homogen. Untuk keperluan<br />
kalibrasi diambil secara random 3 keping TLD. Dari<br />
pengukuran tersebut diperoleh faktor kalibrasi yang<br />
dapat diketahui dengan persamaan:<br />
Dx<br />
F kTLD = (5)<br />
RTLD<br />
dimana:<br />
F KTLD = Faktor kalibrasi TLD (Gy/nC).<br />
= Dosis yang didapat oleh bilik ionisasi (Gy).<br />
D x<br />
R TLD<br />
= Bacaan TLD di permukaan (nC).<br />
Hasil bacaan TLD rata-rata adalah 1414,60 nC,<br />
sehingga faktor kalibrasi rata-rata yang didapatkan<br />
dari hasil pengukuran ini sebesar 3,15 x 10 -4 Gy/nC.<br />
Pengukuran Dosis Kulit<br />
Hasil pengukuran dosis kulit dapat dilihat pada<br />
Gambar 4 untuk bagian kepala dan Gambar 5 untuk<br />
bagian leher.<br />
Gambar 4. Dosis Kulit Bagian Kepala dengan Dosis Target 1 Gy<br />
Dosis (Gy)<br />
1.400<br />
1.200<br />
1.000<br />
0.800<br />
0.600<br />
0.400<br />
0.200<br />
0.000<br />
9 10 11 12 13 14 15 16<br />
Nomor TLD<br />
Dosis Total Dosis Entrance Dosis Keluar<br />
Gambar 5. Dosis Kulit Bagian Leher dengan Dosis Target 1 Gy<br />
Sedangkan rata rata perbandingan dosis kulit pada<br />
kepala dan leher secara keseluruhan dapat dilihat<br />
dalam Tabel 1<br />
Tabel 1. Perbandingan dosis total, entrance dan exit<br />
pada daerah kepala dan leher<br />
Daerah<br />
Dosis Kulit (Gy)<br />
Total Entrance Exit<br />
Kepala 0,93 0,57 0,37<br />
Leher 0,92 0,49 0,43<br />
Pembahasan<br />
Dosimetri radioterapi kanker nasofaring sangat<br />
kompleks. Pertama, berkas radiasi melewati kepala<br />
dan leher dengan separasi berbeda. Kedua, radiasi<br />
jatuh pada permukaan yang tidak rata dan sebagian<br />
miring. Ketiga, berkas radiasi melewati medium<br />
yang heterogen, yang terdiri dari jaringan lunak,<br />
tulang, dan rongga udara. Karakteristik pasien yang<br />
demikian mengakibatkan kalkulasi dosis pada target<br />
menjadi tidak mudah.<br />
Pelaksanaan radioterapi pasien kanker<br />
nasofaring pada umumnya menggunakan 2 lapangan<br />
lateral plan paralel dengan pembebanan sama.<br />
Daerah lapangan radiasi meliputi sebagian daerah<br />
kepala dan sebagian daerah leher yang keduanya<br />
mempunyai ketebalan yang berbeda. Perbedaan<br />
ketebalan kepala dan leher menyebabkan kesulitan<br />
untuk memperoleh informasi dosis yang di terima<br />
oleh kulit.<br />
B12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pada radioterapi karsinoma nasofaring, berkas<br />
radiasi yang jatuh tidak tegak lurus pada permukaan<br />
kulit, terutama pada daerah leher, menyebabkan<br />
dosis kulit pada lapangan radiasi tidak homogen.<br />
Sehingga daerah leher akan menerima dosis kulit<br />
relatif tinggi, sehingga mengalami pengurangan efek<br />
skin sparing.<br />
Radioterapi dengan teknik 2 lapangan plan<br />
paralel mengharapkan distribusi dosis sepanjang<br />
berkas mendekati homogen. Hasil pengukuran<br />
dalam penelitian ini menunjukkan dosis kulit total<br />
pada setiap titik di kepala, memiliki nilai yang tidak<br />
jauh berbeda dalam rentang 0,8-1,1 Gy apabila<br />
tumor pada midline menerima dosis 2 Gy.<br />
Sedangkan dosis kulit total pada leher berkisar<br />
antara 0,8-0,99 Gy apabila tumor pada midline<br />
menerima dosis 2 Gy.<br />
Permukaan kulit menerima dosis radiasi dari<br />
berkas radiasi yang datang (entrance ) dan keluar<br />
(exit). Di atas telah disebutkan bahwa TLD yang<br />
diletakkan pada sebelah kanan fantom (nomor 1-15)<br />
mendapatkan dua kali penyinaran, yaitu dosis<br />
entrance dan dosis exit. Sedangkan TLD yang<br />
diletakkan di sebelah kiri fantom (nomor 16-30)<br />
mendapatkan satu kali penyinaran yaitu dosis<br />
entrance . Besarnya dosis exit dapat dikalkulasi<br />
dengan persamaan berikut.<br />
Dosis kulit exit = dosis kulit total – dosis kulit<br />
entrance (6)<br />
Dapat dilihat dalam Gambar 4, dosis total<br />
terendah (0,8 Gy) pada daerah kepala terjadi pada<br />
daerah pipi (TLD no 3). Titik ini terletak relatif datar<br />
yang tegak lurus dengan sumbu utama. Dosis total<br />
tertinggi (1,1 Gy) diterima oleh titik di bawah<br />
tengkorak (TLD no 7). Hasil ini kemungkinan<br />
disebabkan titik tersebut terletak pada permukaan<br />
relatif miring terhadap sumbu utama berkas,<br />
sehingga menurunkan efek skin sparing. Dalam<br />
gambar 4, dapat dilihat bahwa dosis exit lebih kecil<br />
dari dosis entrance di daerah kepala. Hasil ini<br />
disebabkan salah satu karakteristik dari berkas foton<br />
eksternal adalah terjadinya penyerapan dosis radiasi<br />
oleh kepala.<br />
Untuk daerah leher, dapat dilihat dalam<br />
Gambar 5 dosis terendah (0,8 Gy) diterima oleh<br />
leher bagian bawah (no 15). Hasil ini kemungkinan<br />
disebabkan titik tersebut terletak pada daerah yang<br />
relatif datar dengan sumbu utama. Sedangkan dosis<br />
tertinggi (0,99 Gy) terletak pada leher bagian atas /<br />
bawah tengkorak (no 10). Hasil ini kemungkinan<br />
disebabkan titik tersebut terletak pada permukaan<br />
yang relatif miring terhadap sumbu utama berkas,<br />
sehingga menurunkan efek skin sparing.<br />
Dapat dilihat dalam Gambar 5, dosis exit pada<br />
leher relative lebih rendah dibanding dengan dosis<br />
entrance terutama pada bagian tengah dan atas leher.<br />
Hasil ini kemungkinan disebabkan terjadinya<br />
penyerapan radiasi foton oleh medium leher. Pada<br />
bagian bawah leher dosis entrance hampir sama<br />
dengan dosis exit, dan keduanya lebih rendah dari<br />
dosis yang diterima oleh bagian tengah dan atas.<br />
Perbedaan ini dimungkinkan karena bagian bawah<br />
leher relatif lebih jauh dari isocenter.<br />
Perbandingan dosis kulit pada kepala dan dosis<br />
kulit pada leher, dapat dilihat dalam Tabel 1. Daerah<br />
kepala termasuk pusat lapangan, menerima dosis<br />
kulit total lebih besar dibandingkan dengan dosis<br />
total pada daerah leher. Hasil ini perlu diperhatikan<br />
karena pada radiasi kanker nasofaring, daerah leher<br />
mengalami kerusakan lebih parah bila dibandingkan<br />
dengan kerusakan pada kepala (Clarkson, et al,<br />
1948). Hasil ini kemungkinan disebabkan<br />
karakteristik fantom yang digunakan pada<br />
percobaan. Permukaan daerah kepala pada fantom<br />
yang digunakan, memiliki kemiringan yang relatif<br />
lebih besar jika dibandingkan dengan permukaan<br />
leher. Efek skin sparing menurun bila berkas foton<br />
jatuh pada kulit tidak tegak lurus. Sehingga pada<br />
percobaan ini, efek skin sparing pada daerah kepala<br />
lebih kecil dibandingkan daerah leher. Hasil ini juga<br />
disebabkan volum medium penghambur pada daerah<br />
kepala lebih besar dibandingkan daerah leher.<br />
Sehingga efek skin sparing pada daerah kepala lebih<br />
kecil dibandingkan daerah leher. Daerah leher<br />
menerima dosis exit lebih besar dibandingkan daerah<br />
kepala, disebabkan karena leher lebih tipis jika<br />
dibandingkan dengan daerah kepala. Sehingga<br />
penyerapan radiasi dalam kepala lebih besar dengan<br />
yang terjadi pada leher. Dosis tinggi dapat pula<br />
disebabkan oleh respons TLD yang berubah karena<br />
menerima radiasi yang tidak tegak lurus.<br />
Persentase dosis pada permukaan kulit atau<br />
yang disebut dosis entrance pada radiasi pesawat<br />
Cobalt-60 sekitar 40% (Harold, et al, 1983). Data<br />
yang diperoleh pada pengukuran memperlihatkan<br />
dosis entrance pada kepala sekitar 57% atau lebih<br />
tinggi sampai sekitar 29%, sedangkan pada leher<br />
diperoleh dosis kulit entrance sebesar 49% yang<br />
relatif masih sedikit lebih tinggi 18% jika<br />
dibandingkan dengan literatur. Perbedaan ini<br />
disebabkan permukaan kepala dan leher memiliki<br />
kemiringan yang menyebabkan penurunan efek skin<br />
sparing, sedangkan pada literatur pengukuran<br />
dilakukan menggunakan fantom air yang yang<br />
memiliki permukaan datar.<br />
Kesimpulan<br />
Pada simulasi perlakuan radioterapi kanker<br />
nasofaring menggunakan radiasi gamma Cobalt-60,<br />
ini diperoleh hasil<br />
• Dosis kulit daerah kepala berada dalam rentang<br />
40%-55% dosis target.<br />
• Dosis kulit daerah leher dalam rentang 40% -<br />
50% dosis target.<br />
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan<br />
dalam klinis, dalam hal ini dosis kulit pasien perlu<br />
diperhatikan karena dimungkinkan menerima dosis<br />
lebih tinggi 50% dari dosis target.<br />
B13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Gunnila C. Bentel (1992), Radiation Therapy<br />
Planning, McGraw-Hill Company, USA.<br />
Harry A. Asroel (2002), Penatalaksanaan<br />
Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring, USU<br />
digital library<br />
Harold Elford Johns, John Robert Cuningham<br />
(1983), The Physics of Radiology, Charles C<br />
Mavis Emmet (1964), The Calculation of<br />
Distribution for Recatangular X and Gamma<br />
Ray- Fields, British Journal of Radiology 37,<br />
444-457.<br />
Nasukha, Suseno MS, Santoso, Jumadi (2002),<br />
Dosimetri In-Vivo Pada Pasien Kanker<br />
Payudara dan Nasofaring, Kontribusi <strong>Fisika</strong><br />
Indonesia Vol. 13, 175-178.<br />
Thomas Publisher., USA. Peter Met Calfe, Thomas Kron, Peter Hoban (1997),<br />
The Physics of Radiotherapy X- ray and<br />
Electron. Medical Physics Publishing,<br />
Madison, Wisconsin, USA.<br />
Herman Cember (1987), Introduction to Health<br />
Physics, Pergamont Press.<br />
J.R Clarkson, R.J.T.Herbert (1948), Surface and<br />
Emergent Dose in Radiotheraphy, British<br />
Journal of Radiology 21, 494-500<br />
B14
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Use of Sugar in EPR Emergency Personal Dosimetry<br />
Frida U. Ermawati<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />
Kampus Ketintang Jln. Ketintang Surabaya 60231 INDONESIA<br />
Email: frida_dua@yahoo.com<br />
Abstract<br />
This paper reported the study on the use of ordinary sugars as an emergency dosimeter material for any persons exposed<br />
to a nuclear or radiation accident. To do that, pellets of sugar have been prepared and tested for their γ-radiation<br />
response, sensitivity and post irradiation stability. The peak-to-peak of the first-derivative absorption electron<br />
paramagnetic resonance (EPR) spectra from irradiated pellets sugars was occupied to evaluate those dosimetric<br />
properties. It was obtained that irradiated pellet sugar is detectable at 0.5 Gray, the signal intensity is linear with<br />
dose, and the fading of the signal post-irradiation is minimal for samples kept at room temperature. Thus, if<br />
sugar is present at the time of a radiation or nuclear accident, the absorbed dose of any exposed persons can be<br />
evaluated from the sugar, and the data will then be useful for both medical treatment and health effects of the<br />
persons.<br />
Keywords−EPR, sugar, emergency personal dosimetry.<br />
Introduction<br />
The major historic nuclear power plant accident<br />
occurred at Chernobyl in the former USSR in 1986s.<br />
Persons regularly occupied in work involving<br />
radiation (hereafter referred to as ‘radiation<br />
workers’, as opposed to ‘non-radiation workers’)<br />
and a lot of non-radiation workers, such as<br />
inhabitants around the power plant, were exposed.<br />
The absorbed dose of each of the exposed nonradiation<br />
workers had not been directly measured<br />
and evaluated yet.<br />
When the medical and health effects post<br />
irradiation treatment of the exposed persons are<br />
conducted, the absorbed dose must be estimated and<br />
evaluated precisely. However, a useful physical<br />
dosimeter for non-radiation workers had not been<br />
developed before the accident [1]-[3]. Long after the<br />
accident, it was recognized by dosimetrists that<br />
development of a physical dosimeter for the nonradiation<br />
workers is necessary for the medical<br />
treatment, health effect and the risk estimation of the<br />
exposed persons. At the present time [4]-[6], the<br />
most useful physical method for evaluating the dose<br />
of the non-radiation workers is a free radical<br />
dosimetry (FRD) using, one of them, electron<br />
paramagnetic resonance (EPR) equipment, whereas<br />
that for radiation workers is a manufactured finger,<br />
pen or quartz wrist watch dosimetry.<br />
Success of the FRD as an emergency dosimeter<br />
is strongly influenced by identifying FRD materials<br />
that satisfy the following conditions [4]-[5], [7]-[8]:<br />
1. Personal belongings or household goods<br />
including foods and seasonings used by every<br />
family.<br />
2. Ease of sample preparation without the effect of<br />
creating free radicals.<br />
3. Minimum detectable dose of 0.1 Gy or less.<br />
4. Linearity range from 0.1 to 20 Gy based on the<br />
medical treatment.<br />
5. Minimal fading (less than 3% one month after<br />
irradiation).<br />
6. No background EPR signal of free radicals<br />
before irradiation.<br />
Pencils, wood chops, certain kinds of woods,<br />
newspaper, tissue paper, many kinds of paper goods,<br />
cloth, shell goods, rubber goods, dry goods in<br />
kitchens and seasonings such as salt, sugar, pepper<br />
and L-monosodium glutamate were gathered as FRD<br />
materials.<br />
Based on the above criteria, and due to the<br />
property of near human tissue equivalence of sugar,<br />
sugar was selected and its dosimetric properties were<br />
studied in this experiment. The results, as viewed by<br />
EPR spectrometry, are reported in this paper.<br />
Sample Preparation and Experimental Method<br />
About 2-3 grams of cane sugar (obtained from<br />
an ordinary market) was mixed with RTV silicone<br />
(Merck) in different proportions and introduced into<br />
moulds by drilling holes (3 mm diameter, 10 mm<br />
long) through Teflon. After curing (24 hours),<br />
sample pellets were extracted using a stainless steel<br />
rod. The pellets were then irradiated in a<br />
60<br />
Gammacell-220 from Co γ-source available at<br />
Monash University to the doses up to 10 Gray. The<br />
number of trapped radicals was measured at room<br />
temperature by a Varian model E-12 EPR<br />
spectrometer Pty. Ltd. Australia equipped with a<br />
cavity operating in the TE-102 mode. The sample,<br />
consisting of one or more pellets, was inserted in a<br />
quartz tube and placed in the cavity. The<br />
spectrometer was operated at 9.2 GHz using<br />
B15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
microwave power levels of 10-20 mW, 100 KHz<br />
modulation frequency and 1 mT field modulation, a<br />
magnetic field setting of 331 mT and a field sweep<br />
of 20 mT. The first-derivative absorption spectra<br />
were obtained using scan times of 8 minutes. The<br />
signal intensity, which is normalized to a standard<br />
sample of strong pitch, was then recorded as peakto-peak<br />
height of the single line spectrum (see<br />
Figure 4) before being used for the intended<br />
purposes above.<br />
Results and Discussion<br />
In the first set of experiments, pellets were<br />
prepared with a sugar content of 40%. Since it is<br />
difficult to position samples consistently in the<br />
center of the magnetic field and in the region of<br />
maximum microwave absorption, all experiments<br />
were performed with the samples tube positioned<br />
reproducibility at the base of the microwave cavity<br />
by means of a Teflon locating rod.<br />
Figure 1 shows how the intensity of the EPR<br />
signal, attributed to a trapped sugar free radical in<br />
the irradiated sample, depends upon sample volume.<br />
Using 10 mm long pellets, the maximum signal is<br />
obtained with two or more pellets placed in the EPR<br />
cavity. To improve the reproducibility of the system<br />
and to avoid any uncertainties associated with<br />
sample handling, the use of three pellets per sample<br />
(completely filling the cavity) was adopted as a<br />
standard procedure.<br />
signal is directly proportional to the sugar content in<br />
the sample pellets. Thus, for convenience, the<br />
proportions of 40 to 60% of sugar to RTV silicon<br />
were followed for all the subsequent experiments.<br />
The results under these standard conditions are<br />
provided in Figure 3. Using a least square fit, a<br />
linear dose response was found over the dose range<br />
of 0.5 to 10 Gray.<br />
Furthermore, in order to examine any possible<br />
complications associated with using RTV Silicon, a<br />
comparison was also made between the spectra<br />
obtained from sugar irradiated both before and after<br />
pellet preparation (see Figure 4). As shown, both<br />
EPR spectra are essentially identical, qualitatively<br />
and quantitatively. No EPR spectrum was observed<br />
that could be associated with free radicals formed in<br />
the pellet production process, and no EPR spectrum<br />
was detectable from irradiated RTV silicon in the<br />
absence of sugar.<br />
Fig. 2: EPR signal intensity as a function of the sugar content in<br />
pellet. Three pellets were employed per sample and the absorbed<br />
dose was 10 Gray. The experimental condition was as listed in the<br />
section of the experimental method above<br />
Fig. 1: EPR signal intensity as a function of the number of pellets<br />
per sample obtained in this experiment. The proportion of each<br />
pellet is 40% sugar: 60% RTV silicon and the absorbed dose was<br />
10 Gray.<br />
In the next experiments, pellets were prepared<br />
with differing amount of sugar from 0 to 60%. The<br />
rate of curing to form stable pellets is inversely<br />
proportional to the sugar content; pure silicon<br />
required 24 hours to cure completely, but in all cases<br />
the production and quality of the resulting pellets is<br />
satisfactory. In this experiment, sugar content<br />
greater than 60% is not possible because of the<br />
inability of the sugar-silicone matrix to bond in the<br />
moulding process.<br />
Further, Figure 2 depicts the dependence of<br />
signal intensity with respect to sugar content of<br />
pellets. All the data were measured from a fixed<br />
radiation dose of 10 Gy. It was obtained that the<br />
Fig. 3: Dose-response relationship for silicon-bound sugar pellets.<br />
(40% sugar: 60% RTV silicon).<br />
B16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Fig. 4: EPR spectra of silicon-bound sugar (40% sugar: 60% RTV<br />
silicon) in which the sugar was irradiated to 10 Gray, either prior<br />
to (top) or after (bottom) pellet preparation. The experimental<br />
condition was as given in the experimental method section above.<br />
As a result, RTV silicone pellets can be used<br />
either for routine monitoring measurements or for<br />
emergency situations where sugar samples can be<br />
collected from a contaminated area and that can be<br />
fashioned into pellets after the fact. In the latter case,<br />
the use of sugar-silicon pellets improves the<br />
handling and sampling processes and, hence,<br />
improves the quality control and sample-to-sample<br />
reproducibility of the method.<br />
Finally, because the dose of the exposed persons<br />
to irradiation is usually measured and estimated at<br />
some days after the accident, it is therefore “fading”<br />
measurement of a dosimetric material is significant.<br />
“Fading” is defined as a ratio I(t)/I o between the<br />
initial I o and residual I(t) EPR absorption intensities<br />
of the same sample stored at room temperatures for a<br />
period of t before measurement. In this work, fading<br />
measurement of the irradiated sugar pellets was also<br />
performed. It was obtained that at room temperature<br />
(RT) no significant fading was observed up to one<br />
month after sample irradiation for doses from 0.5 to<br />
10 Gray (see Figure 5), indicating that the trapped<br />
free radicals remain stable under these conditions.<br />
therefore are conveniently used for the FRD when<br />
using EPR equipment. Therefore if a sugar bag of 1<br />
gram or more is available, the absorbed dose at a<br />
nuclear or radiation accident can be evaluated from<br />
the sugars. The data will then be used for both<br />
medical treatment and health effects of the exposed<br />
persons.<br />
Acknowledgment<br />
The author is thankful to Dr. D.R. Hutton of<br />
Magnetic Resonance Lab. of Monash University for<br />
appreciate communications and discussion on this<br />
results.<br />
References<br />
B. Majborn. “Studies of the dosimetric properties of<br />
watch jewels”, “Radiat. Prot. Dosim. Vol. 6,<br />
pp 129-132, 1984.<br />
T. Nakajima; K. Fujimoto; T. Hashizume. “A<br />
gamma-ray exposure estimation method for<br />
radiation accident”. J. Nucl. Sci. Techn. Vol.<br />
10, pp. 202-206, 1973.<br />
T. Nakajima. “The use of organic substance as<br />
emergency dosimeters”. Int. J. Appl. Radiat.<br />
Isot. Vol. 33, pp. 1077-1084, 1982.<br />
T. Nakajima and S. Watanabe. “New method for<br />
estimating gamma-ray exposure sustained in<br />
radiation accidents”. J. Appl. Radiat. Isot.<br />
Vol. 11, pp. 575-582, 1999.<br />
T. Nakajima. “The use of organic substance as<br />
emergency dosimeters”. Int. J. Appl. Radiat.<br />
Isot. Vol. 33, pp. 1077-1083, 1998.<br />
T. Nakajima. “Feasibility of quartz wrist watch to<br />
emergency dosimeters for non-occupational<br />
persons”. J. Japan Health Phys. Soc. Vol. 20,<br />
pp. 384-388, 2000.<br />
C.H. Hunter; D.R. Hutton and G.J. Troup.<br />
“Monitoring free radicals in γ-irradiated<br />
organics”. ANZAAS Search, Vol. 19, pp. 198-<br />
200, 1999.<br />
K. Onderdelinden and L. Strackee. “EPR as a tool<br />
for the identification of irradiated materials”.<br />
In Proceedings of the International<br />
Colloquium on the Identification of Irradiated<br />
Organics Compounds. Commission of the<br />
European Communities, Luxembourg, 2001.<br />
Fig. 5: Fading characteristics of free radicals trapped in pellet<br />
sugars γ-irradiated up 10 Gray and that was stored at room<br />
temperature to one-month post irradiation.<br />
Conclusion<br />
Based on the dosimetric properties shown<br />
herein, the irradiated sugar, in the form of pellets,<br />
are good emergency dosimetric materials and<br />
B17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Efek Medan Listrik pada Kadar Gula Darah Tikus Diabetes Melitus<br />
Ibrahim bin Sa`id 1 , Dwi Winarni 2 , Suhariningsih 3<br />
1,2 <strong>Departemen</strong> Biologi, 3 Departemem <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : iib@dr.com<br />
Abstrak<br />
Seseorang dinyatakan menderita diabetes melitus apabila kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau kadar gula<br />
darah puasa > 126 mg / dl. Dari beberapa penelitian sebelumnya, pembangkit listrik frekuensi rendah yang<br />
dihubungkan dengan matras curesonic dapat menghasilkan medan listrik yang dibuktikan dengan perubahan<br />
nilai kapasitansi sekitar matras sehingga dapat memberikan efek positif pada hewan percobaan baik secara fisik,<br />
seluler, atau fisiologi. Penelitian true experiment dengan desain randomized control-group pretest-postes ini<br />
menggunakan tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok; kelompok k-15, k-30, dan k-60 yang masingmasing<br />
diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz namun tanpa induksi STZ dan nicotinamide, dan 3<br />
kelompok diabetes yaitu d-15, d-30, dan d-60 yang masing-masing diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz<br />
serta diinduksi STZ dan nicotinamide. Terapi dilakukan dengan menempatkan tikus di atas matras curesonic<br />
yang dibangkitkan dengan beberapa variasi frekuensi (15, 30, dan 60 kHz) selama 1 jam per hari dalam 4<br />
minggu. Hasil rerata kapasitansi adalah 53,39 + 0,18 pF ketika listrik off, 292,14 + 5,87 pF untuk frekuensi 15<br />
kHz, 139,00 + 0,22 pF untuk frekuensi 30 kHz, dan 68,37 + 0,54 pF pada frekuensi 60 kHz. Dari rerata nilai<br />
kapasitansi, ada perbedaan signifikan antara nilai kapasitansi saat matras dihubungkan dengan pembangkit<br />
medan listrik (seluruh variasi frekuensi) dan saat listrik (off). Sedangkan dari pengamatan kadar gula darah<br />
didapatkan nilai p untuk masing-masing pasangan kelompok < α (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada<br />
perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (k-15 dengan d-15, k-30 dengan d-<br />
30, dan k-60 dengan d-60), dan pada minggu ke-4 kelompok k-15 dengan d-15 dan k-30 dengan d-30<br />
mempunyai nilai p > 0,05. Dari gambar grafik diketahui kadar gula darah tikus yang diterapi dengan frekuensi<br />
15 kHz memiliki kadar gula darah akhir (minggu ke-4) terendah dibandingkan dengan tikus yang diterapi dengan<br />
frekuensi 30 dan 60 kHz. Seluruh variasi frekuensi (15, 30, dan 60 kHz) dapat menurunkan kadar gula darah<br />
tikus diabetes melitus. Diantara beberapa frekuensi yang digunakan, frekuensi 15 kHz adalah frekuensi yang<br />
menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi dalam menurunkan kadar gula darah tikus diabetes mellitus.<br />
Kata kunci : Medan listrik, diabetes mellitus, gula darah.<br />
PENDAHULUAN<br />
Diabetes melitus (DM), kini menjadi ancaman<br />
serius bagi umat manusia. Pada tahun 2003, WHO<br />
memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8<br />
miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita<br />
DM dan tahun 2025 diperkirakan meningkat<br />
menjadi 333 juta jiwa. Pada tahun yang sama,<br />
International Diabetes Foundation (IDF)<br />
memperkirakan prevalensi DM dunia adalah 1,9%<br />
dan menjadikan DM sebagai penyebab kematian<br />
urutan ke-7 di dunia(Anonim, 2008; Anonim 1,<br />
2008; Anonim, 2006; Reinauer, et al., 2002)..<br />
Sedangkan di Indonesia, diprediksi kenaikan<br />
jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi<br />
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Angka ini<br />
menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4<br />
dunia setelah Amerika Serikat, India, dan China,<br />
untuk jumlah penderita DM. Mendukung angkaangka<br />
di atas, menurut Badan Pusat Statistik yang<br />
berdasar pada pola pertambahan penduduk<br />
diperkirakan pada tahun 2030 terdapat penderita DM<br />
sebanyak 12 juta jiwa di daerah urban dan 8,1 juta<br />
jiwa di daerah rural (Anonim, 2008; Anonim 1,<br />
2008; Anonim, 2006; Reinauer, et al., 2002).<br />
Menurut Department of Noncommunicable<br />
Disease Surveillance WHO, DM adalah suatu<br />
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia kronis<br />
disebabkan adanya hambatan sekresi insulin,<br />
kelainan fungsi insulin, atau keduanya (Berrens et<br />
al., 1999; Riddle dan Genuth, 2007). Hal ini dapat<br />
terjadi karena kerusakan sel beta pankreas atau<br />
terganggunya fungsi sel beta pankreas, yang<br />
disebabkan oleh kematian sel-sel beta (Arulmozhi et<br />
al., 2004; Szkudelski, 2001). Ada beberapa<br />
klasifikasi DM yang dipublikasi oleh WHO, namun<br />
untuk saat ini terdapat 4 macam tipe DM, yaitu DM<br />
tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain (3), dan DM<br />
gestasional. Seseorang dinyatakan menderita DM<br />
apabila kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau<br />
kadar gula darah puasa > 126 mg/dl (Anonim, 2006;<br />
Barik et al., 2008).<br />
Matras curesonic adalah alas tidur yang 30%<br />
bahannya tersusun dai serat tourmaline, tourmaline<br />
adalah sejenis batu yang mempunyai sifat kelistrikan<br />
yang jika diradiasi oleh pembangkit medan listrik<br />
frekuensi rendah dapat memberikan efek kesehatan<br />
melalui medan listrik yang terbentuk, keterangan ini<br />
sesuai dengan laporan penelitian yang dilakukan<br />
oleh Laboratorium Biofisika Universitas Airlangga<br />
tahun 2008 (Kadir, 2009; Octavia, 2009).<br />
B18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Mendukung keterangan di atas, Octavia (2009) dan<br />
Kadir (2009) melaporkan bahwa pembangkit medan<br />
listrik frekuensi rendah yang dihubungkan pada<br />
matras curesonic dapat menimbulkan medan listrik<br />
yang dibuktikan dengan adanya perubahan distribusi<br />
muatan listrik udara, yang memberikan positif pada<br />
hewan coba baik secara fisik, seluler, maupun<br />
fisiologis. (Bonner et al., 2002; Brown et al., 1999;<br />
Parson, 2006).<br />
Pembangkit medan listrik pada penelitian ini<br />
tidak lain adalah gelombang elektromagnetik (GEM)<br />
frekuensi rendah. Gelombang elektromagnetik<br />
adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak<br />
ada medium. Energi elektromagnetik merambat<br />
dalam gelombang dengan beberapa karakter yang<br />
bisa diukur, yaitu panjang gelombang, frekuensi,<br />
amplitudo, kecepatan. Amplitudo adalah tinggi<br />
gelombang, sedangkan panjang gelombang adalah<br />
jarak antara dua puncak. Frekuensi adalah jumlah<br />
gelombang yang melalui suatu titik dalam satu<br />
satuan waktu. Frekuensi tergantung dari kecepatan<br />
merambatnya gelombang. Karena kecepatan energi<br />
elektromagnetik adalah konstan (kecepatan cahaya),<br />
panjang gelombang dan frekuensi berbanding<br />
terbalik. Semakin panjang suatu gelombang,<br />
semakin rendah frekuensinya, dan semakin pendek<br />
suatu gelombang semakin tinggi frekuensinya<br />
(Alonso dan Finn, 1992; Hanafi, 2006; Swamardika,<br />
2009). Suatu gelombang ditimbulkan dengan<br />
mempercepat suatu partikel bermuatan. Bilamana<br />
hal ini terjadi sebagian energi dari partikel<br />
bermuatan, diradiasikan sebagai radiasi GEM.<br />
Gelombang elektromagnetik terdiri dari komponen<br />
medan listrik dan medan magnet, yang saling tegak<br />
lurus (Alonso dan Finn, 1992; Hanafi, 2006;<br />
Swamardika, 2009).<br />
Berbagai metode telah digunakan sebagai terapi<br />
DM diantaranya adalah injeksi insulin dan<br />
antidiabetik oral seperti sulfonilurea, dan tiazolidin.<br />
Disamping cara atau metode penggunaan yang harus<br />
dibawah pengawasan dokter, ada beberapa efek<br />
negatif yang dapat muncul dari metode-metode<br />
tersebut, diantaranya adalah hipoglikemia,<br />
peningkatan berat badan, dan gangguan pada saluran<br />
pencernaan (Syiariel, 2008).<br />
Berdasar manfaat-manfaat pembangkit medan<br />
listrik frekuensi rendah yang dihubungkan pada<br />
matras curesonic, sebagai terapi kesehatan pada<br />
penelitian sebelumnya dan makin meningkatnya<br />
penderita DM, maka penelitian ini bertujuan untuk<br />
mengetahui efek medan listrik yang dihasilkan oleh<br />
pembangkit dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz<br />
pada hewan coba tikus (Rattus novergicus) kondisi<br />
diabetes melitus.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Hewan coba<br />
Penggunaan hewan coba telah lama<br />
dimanfaatkan dalam penelitian DM. Kebanyakan<br />
hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba<br />
adalah mencit (Mus musculus) atau tikus (Rattus<br />
novergicus) (Rees dan Alcolado, 2005). Hewan yang<br />
digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus<br />
novergicus) wistar jantan umur 8-12 minggu dengan<br />
berat badan 150-200 gram yang diperoleh dari<br />
Laboratorium Hewan Fakultas Farmasi Universitas<br />
Airlangga.<br />
Bahan dan alat<br />
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini<br />
adalah pakan tikus berupa pelet PUR 521, air minum<br />
tikus berupa air PDAM, sekam, PBS (phosphate<br />
buffered saline), aquades steril, larutan normal<br />
saline, buffer sitrat, xylazin, nicotinamide, dan<br />
streptozotocin (STZ). Alat yang digunakan meliputi<br />
low frequency transmitter (sumber gelombang<br />
elektromagnetik 15, 30 dan 60 kHz) yang<br />
dihubungkan dengan matras curesonic, kapasitansi<br />
meter, glukometer (Accu-Check, Roche Diagnostic,<br />
USA) menggunakan oxidase-peroxidase reactive<br />
strips, timbangan digital, alat suntik (spuit) 1 ml dan<br />
3 ml, jarum sundel, gelas pengaduk, gelas ukur,<br />
pipet tetes, mikropipet 50, 100, dan 200 µl, bak<br />
plastik dengan ukuran 40 × 20 cm beserta tutupnya<br />
berupa anyaman kawat sebagai kandang tikus, botol<br />
minum beserta selang sedot.<br />
Prosedur<br />
Tikus jantan ditempatkan dalam bak plastik<br />
ukuran 40 × 20 cm, dialasi sekam dan diberi tutup<br />
berupa anyaman kawat yang di atasnya terdapat<br />
pakan berupa PUR 521 dan minuman air PDAM<br />
yang diberikan secara ad-libitum. Pemeliharaan<br />
dilakukan di dalam rumah hewan. Rumah hewan<br />
dilengkapi ventilasi serta rak tempat pemeliharaan.<br />
Selama 1 minggu tikus diaklimasi dengan kondisi<br />
kandang sebelum dibagi menjadi beberapa<br />
kelompok.<br />
Hewan coba dikelompokkan menjadi 6<br />
kelompok yaitu kelompok k-15, k-30, dan k-60 yang<br />
masing-masing diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan<br />
60 kHz namun tanpa induksi STZ dan nicotinamide,<br />
dan 3 kelompok diabetes yaitu d-15, d-30, dan d-60<br />
yang masing-masing diterapi dengan frekuensi 15,<br />
30, dan 60 kHz serta diinduksi STZ dan<br />
nicotinamide. Sebelum tikus dibagi secara acak<br />
menjadi kelompok kontrol/normal dan diabetes,<br />
seluruh tikus di cek kadar gula darah puasa (kadar<br />
glukosa darah tanpa ada asupan kalori selama 12<br />
jam) untuk memastikan bahwa seluruh tikus<br />
mempunyai kadar gula darah normal yakni < 126<br />
mg/dl dan dikonfirmasi dengan glucose tolerant test<br />
dengan cara pemberian D-glukosa peroral sebanyak<br />
5 kali (0, 30, 60, 90, dan 120 menit). (Barik et al.,<br />
2008). Terapi dilakukan dengan meletakkan tikus<br />
pada matras curesonic yang dihubungkan dengan<br />
pembangkit medan listrik selama 1 jam per hari<br />
dalam 4 minggu, dengan frekuensi 15 kHz (k-15 dan<br />
d-15), 30 kHz (k-30 dan d-30) dan 60 kHz (k-60 dan<br />
B19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
d-60) dan selama terapi diukur perubahan distribusi<br />
muatan listrik udara dengan kapasitansi meter.<br />
Untuk mengkondisikan tikus menjadi DM<br />
digunakan STZ dan nicotinamide. STZ mempunyai<br />
kemampuan merusak sel beta pankreas sehingga<br />
sekresi insulin terganggu. Agar kerusakan sel beta<br />
pankreas tidak berujung pada kematian sering<br />
digunakan nicotinamide pada beberapa menit<br />
sebelum induksi STZ (Abeeleh et al., 2009; Barik et<br />
al., 2008; Firdous et al., 2009; Nugroho, 2006;<br />
Szkudelski, 2001).<br />
Dosis nicotinamide yang digunakan untuk<br />
induksi adalah sebesar 240 mg/kg berat badan yang<br />
dilarutkan dalam larutan normal saline yang<br />
diinjeksi secara intraperitoneal. Setelah 15 menit<br />
dilanjutkan dengan induksi STZ (dosis 100 mg/kg<br />
berat badan), yang sebelumnya telah dilarutkan<br />
dalam buffer sitrat (pH 4,5). Konfirmasi kondisi DM<br />
dilakukan pada hari ke-7 setelah induksi STZ dan<br />
nicotinamide dengan mengukur kadar gula darah<br />
puasa (kadar glukosa darah tanpa ada asupan kalori<br />
selama 12 jam) > 126 mg/dl. dilanjutkan dengan<br />
glucose tolerance test yakni pengukuran kadar<br />
glukosa darah puasa selama 2 jam (menit ke-0, 30,<br />
60, 90, dan 120) yang pada awal pengukuran<br />
diberikan D-glukosa 2g/kg berat badan, peroral.<br />
Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan<br />
glukometer (Accu-Check, Roche Diagnostic, USA)<br />
menggunakan oxidase-peroxidase reactive strips.<br />
Kadar gula darah yang diukur pada tikus adalah<br />
kadar gula darah puasa (kadar glukosa darah tanpa<br />
ada asupan kalori selama 12 jam). Setiap 1 minggu<br />
selama terapi masing – masing tikus diukur kadar<br />
gula darah puasa (kadar glukosa darah tanpa ada<br />
asupan kalori selama 12 jam). Darah diporoleh dari<br />
vena ekor tikus (11µl) yang selanjutnya dianalisa<br />
menggunakan menggunakan glukometer (Accu-<br />
Check, Roche Diagnostic, USA). Pada akhir terapi<br />
(minggu ke-4) dilakukan glucose tolerant test<br />
setelah pengukuran kadar gula darah puasa.<br />
Untuk mengukur perubahan distribusi muatan<br />
listrik udara dilakukan dengan menggunkan alat<br />
kapasitansi sensor yaitu kapasitansi meter dengan<br />
cara menempelkan 56 titik konstruksi jahitan yang<br />
terletak ditengah matras curesonic. Pengukuran<br />
dilakukan saat matras dialiri gelombang<br />
elektromagnetik (GEM) frekuensi rendah atau saat<br />
pembangkit medan listrik (saat listrik on) juga saat<br />
matras tidak dialiri GEM frekuensi rendah atau saat<br />
pembangkit medan listrik (saat listrik off).<br />
Pengukuran pada saat listrik off dilakukan sebelum<br />
tikus diterapi, sedangkan pengukuran pada saat<br />
listrik on dilakukan saat tikus sedang diterapi.<br />
Analisa statistik<br />
Hasil ditampilkan dalam bentuk grafik atau<br />
mean + standart error of the mean (SEM). Analisa<br />
statistik menggunakan program SPSS versi 17. Data<br />
kapasitansi dianalisa dengan menggunakan ANOVA<br />
Sama Subyek dilanjutkan dengan uji T berpasangan,<br />
sedangkan data kadar gula darah dianalisa dengan<br />
menggunakan ANOVA Faktorial dan dilanjutkan<br />
dengan LSD post hoc test. Perbedaan antar<br />
kelompok dianggap signifikan jika p < 0,05.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil<br />
Pengukuran kapasitansi pada matras curesonic<br />
saat dialiri (listrik on) atau tidak dialiri (listrik off)<br />
GEM frekuensi rendah pembangkit medan listrik 15,<br />
30, dan 60 kHz dilakukan pada 56 titk yang sama,<br />
hasil rerata untuk tiap kelompok dapat dilihat pada<br />
tabel 1.<br />
TABEL I Rerata Kapasitansi Matras Curesonic<br />
Pembangkit<br />
Medan Listrik<br />
Listrik off<br />
Kapasitansi<br />
53,39 + 0,18 pF<br />
15 kHz 292,14 + 5,87<br />
pF<br />
30 kHz 139,00 + 0,22<br />
pF<br />
60 kHz 68,37 + 0,54 pF<br />
Dari hasil uji ANOVA dilihat ada beda<br />
signifikan antara nilai kapasitansi saat listrik off<br />
dibandingkan nilai kapasitansi matras saat dialiri<br />
GEM 15, 30, dan 60 kHz. Hal ini terlihat dari nilai p<br />
(listrik off dengan 15 kHz, listrik off dengan 30 kHz,<br />
dan listrik off dengan 60 kHz) = 0,00 atau p < α<br />
(0,05).<br />
Untuk perbedaan kadar gula darah 3 kelompok<br />
kontrol/ normal (k-15, k-30, dan k-60 yang masingmasing<br />
diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60<br />
kHz) dan 3 kelompok perlakuan (DM) (d-15, d-30,<br />
dan d-60 yang masing-masing diterapi dengan<br />
frekuensi 15, 30, dan 60 kHz serta diinduksi dengan<br />
STZ dan nicotinamide) yang diambil setiap minggu<br />
dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel rerata kadar<br />
gula darah per-minggu untuk tiap kelompok dapat<br />
disimpulkan terjadi penurunan pada seluruh<br />
kelompok DM. Namun pada kelompok kontrol tidak<br />
terjadi perubahan yang signifikan. Hasil uji ANAVA<br />
Faktorial yang dilanjutkan dengan LSD post hoc test<br />
menunjukan ada beda signifikan (p < 0,05) antar<br />
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan<br />
(diabetes melitus) pada masing-masing frekuensi (k-<br />
15 dengan d-15, k-30 dengan d-30, dan k-60 dengan<br />
d-60) dan dari perbandingan rerata kadar gula darah<br />
minggu ke-4 pada masing-masing pasangan<br />
kelompok kontrol dan perlakuan dengan frekuensi<br />
yang sama menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata<br />
B20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
antara kelompok k-15 dengan d-15 dan k-30 dengan<br />
d-30, hal ini berbeda pada kelompok k-60 dengan d-<br />
60 yang mempunyai nilai p > 0,05 atau masih<br />
berbeda signifikan antara kadar gula darah<br />
kelompok k-60 dengan d-60. Hal tersebut<br />
menunjukkan bahwa pada akhir masa terapi matras<br />
curesonic kadar gula darah tikus diabetes melitus<br />
yang diterapi dengan frekuensi 60 kHz tidak turun<br />
secara signifikan. Keterangan ini dapat dilihat pada<br />
gambar 1.<br />
TABEL II Rerata Rerata Kadar Gula Darah<br />
Gambar 1. Grafik Rerata Kadar Gula darah Puasa per-minggu.<br />
Dari gambar grafik juga dapat dilihat pada<br />
seluruh kelompok kontrol (k-15, 30, dan 60 kHz)<br />
terjadi penurunan kadar gula darah pada minggu ke-<br />
4 pada kisaran angka 90-an.<br />
Dari untuk konfirmasi kondisi gula darah tikus pada<br />
akhir masa terapi dilakukan glucose tolerant test.<br />
Grafik rerata kadar gula darah saat glucose tolerant<br />
test dapat dilihat pada gambar 2. Dari grafik pada<br />
gambar 2. Ada perbedaan kadar gula glucose<br />
tolerant test kelompok kontrol dan kelompok<br />
perlakuan (diabetes melitus), pada masing-masing<br />
kelompok kontrol kadar gula darah tikus tidak<br />
mengalami penurunan yang signifikan sedangkan<br />
pada kelompok diabetes cukup fluktuatif namun<br />
masih menunjukkan tren yang menurun meskipun<br />
pada menit ke-120 hanya kelompok d-30 yang<br />
mencapai angka dibawah 200 mg/dl.<br />
Pembahasan<br />
Gambar 2. Grafik Rerata Glucose Tolerant Test.<br />
Untuk mengetahui bahwa pembangkit medan<br />
listrik 15, 30, dan 60 kHz (low frequency<br />
transmitter) dapat menimbulkan medan listrik<br />
disekitar matras curesonic dapat diukur dengan<br />
perubahan muatan listrik udara disekitarnya dan<br />
salah satu alat yang dapat digunakan untuk<br />
mengukur muatan listrik adalah kapsitansi meter<br />
atau lazim disebut sebagai kapasitor. Kapasitor<br />
adalah suatu komponen elektronika yang terdiri dari<br />
dua buah plat penghantar sejajar yang disekat satu<br />
sama lain dengan suatu bahan elektrik, kedua plat<br />
tersebut bersifat sebagai konduktor yang diberi<br />
muatan sama besar tetapi jenisnya berlawanan yang<br />
satu bermuatan positif (+), lainnya bermuatan<br />
negatif (-). Kapasitor/ kapasitansi meter mempunyai<br />
beberapa sifat diantaranya adalah dapat menyimpan<br />
muatan listrik, dapat menahan arus searah, dan juga<br />
dapat melewatkan arus bolak-balik. Banyaknya<br />
muatan yang terrdapat pada kapasitansi<br />
meter/kapasitor sebanding dengan tegangan yang<br />
diberikan oleh sumber (Perangin-angin, 2003).<br />
Kemampuan kapasitor untuk menyimpan<br />
muatan listrik dinyatakan oleh besaran kapasitas<br />
atau kapasitansi, Kapasitansi dari kapasitor<br />
berbanding lurus dengan luas plat dan berbanding<br />
terbalik dengan jarak antara plat-plat (Peranginangin,<br />
2003; Yuliana, 2006). Satuan SI dari<br />
kapasitas adalah farad (F) (Yuliana, 2006), dimana 1<br />
B21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
farad didefinisikan sebagai 1 coulomb per volt. Nilai<br />
– nilai kapasitansi yang biasa dipakai untuk tujuan –<br />
tujuan praktis bernilai jauh lebih kecil dari 1 farad,<br />
tepatnya hingga satuan microfarad (µF), nanofarad<br />
(nF), dan picofarad (pF) (Hayt dan Buck, 2006).<br />
Dari hasil pengukuran di 56 titik matras curesonic<br />
saat listrik off dan saat diialiri GEM pembangkit<br />
medan listrik 15, 30, dan 60 kHz didapatkan rerata<br />
kapasitansi yang paling tinggi adalah pada frekuensi<br />
15 kHz sedangkan frekuensi 30 dan 60 kHz<br />
mempunyai kapasitansi lebih rendah. Hal ini dapat<br />
dipahami karena sesuai dengan persamaan 1. berikut<br />
;<br />
(1)<br />
Dimana :<br />
Xc : reaktan kapsitatif (Ω)<br />
F : ferekuensi (Hz)<br />
C : kapasitansi (F)<br />
Dari persamaan diatas tampak bahwa makin<br />
tinggi frekuensi makin rendah kapasitansinya.<br />
Sedangkan nilai kapasitansi 56 titik pada matras<br />
curesonic saat listrik off menghasilkan nilai<br />
kapasitansi sebesar 53,39 + 0,18 pF atau dapat<br />
dikatakan lebih rendah jika dibandingkan dengan<br />
saat dialiri pembangkit medan listrik 15, 30, dan 60<br />
kHz. Hal ini disebabkan kapasitansi meter hanya<br />
menyimpan/ mengukur muatan listrik udara yang<br />
jika dilihat dari nilai konstanta kapasitansi, udara<br />
mempunyai nilai konstanta kapasitansi paling rendah<br />
dibanding konstanta kapasitansi bahan – bahan<br />
dielektrik yang lain.<br />
Untuk membuat tikus dengan kondisi DM<br />
(kadar gula darah > 126 mg/dl) digunakan<br />
Streptozotocin (STZ). Streptozotocin dipilih sebagai<br />
diabetogen karena mempunyai jangka waktu yang<br />
cukup lama (Firdous et al, 2009). Streptozotocin<br />
merupakan donor NO (nitrit oxide) yang mempunyai<br />
kontribusi terhadap kerusakan sel beta pankreas<br />
melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan<br />
pembentukan cGMP. Nitrit Oksida dihasilkan<br />
sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel.<br />
Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan<br />
oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam<br />
kerusakan sel beta pankreas. Dalam mitokondria,<br />
STZ menghambat siklus krebs dan menurunkan<br />
konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP<br />
mitokondria yang terbatas selanjutnya<br />
mengakibatkan pengurangan secara drastis<br />
nukleotida sel beta pankreas, secara garis besar<br />
dapat dikatakan bahwa mekanisme STZ diperantarai<br />
terutama oleh pembentukan NO dan pembangkitan<br />
radikal bebas (Szkudelski, 2001). Selain itu<br />
mekanisme STZ sebagai penginduksi DM dilihat<br />
dari patofisiologi disebabkan karena tidak terjadinya<br />
depolarisasi akibat terganggunya kerja GLUT-2<br />
2+<br />
sehingga menghambat arus ion Ca ke dalam sel<br />
(Arulmozhi et al., 2004; Ito et al., 2006; Szkudelski,<br />
2001). Khusus pada sel beta pankreas, terganggunya<br />
2+<br />
arus ion Ca dapat mengganggu proses eksositosis<br />
insulin (Szkudelski, 2001; Xu et al., 2007).<br />
Streptozotocin dapat digunakan untuk menginduksi<br />
DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji (Nugroho,<br />
2006; Szkudelski, 2001). Nicotinamide 240 mg/kg<br />
berat badan yang diberikan 15 menit sebelum STZ<br />
100 mg/kg berat badan berfungsi untuk mencegah<br />
kerusakan parah dan kematian sel-sel beta pankreas<br />
(Hu et al., 1996; Polo et al., 1998).<br />
Penurunan kadar gula darah pada kelompok d-<br />
15, d-30, dan d-60 secara umum, dimungkinkan<br />
karena medan listrik frekuensi rendah dapat<br />
mempengaruhi muatan listrik di jaringan tubuh,<br />
perubahan muatan listrik tersebut mempengaruhi<br />
arus listrik yang mengalir ke seluruh tubuh. Arus ini<br />
dapat menstimulasi kerja sistem syaraf dan otot<br />
akibat dari berubahnya beda potensial membran<br />
(Brown et al., 1999; Gunawan, 2002; Bonner et al.,<br />
2002). Metode ini dapat membantu penderita DM<br />
yang fungsi kerja sel beta pankreas terganggu,<br />
disebabkan karena tidak terjadinya depolarisasi<br />
membran sehingga ion Ca 2+ tidak dapat masuk ke<br />
dalam sel sehingga tidak terjadi pengeluaran insulin<br />
(Arulmozhi et al., 2004; Szkudelski, 2001).<br />
Selain menstimulasi kerja syaraf dan otot,<br />
penyerapan energi dari medan listrik frekuensi<br />
rendah juga bermanfaat dalam pergerakan molekulmolekul<br />
dalam tubuh, juga bermanfaat untuk<br />
memecah molekul-molekul yang bergerak cepat di<br />
dalam tubuh (Bonner et al., 2002). Manfaat tersebut<br />
dapat sangat membantu penderita DM yang<br />
memiliki viskositas (kekentalan) darah yang tinggi,<br />
dan velositas (kecepatan aliran) darah yang rendah.<br />
Sedangkan untuk kelompok k-15, k-30, dan k-60<br />
nilai p > α artinya pembangkit medan listrik 15 dan<br />
30 kHz tidak menyebabkan penurunan kadar gula<br />
darah secara signifikan, namun dari rerata kedua<br />
kelompok kontrol tersebut terlihat penurunan kadar<br />
gula darah sampai kisaran 90-an mg/dl. Hal ini<br />
menunjukkan bahwa selain terapi ini tidak<br />
berbahaya (memberikan efek negatif pada<br />
kesehatan) bagi kondisi gula darah normal namun<br />
juga dapat mengarahkan kadar gula darah puasa<br />
pada kisaran normal sehat yakni kisaran 90 mg/dl<br />
(Butler, 1995).<br />
Penurunan kadar gula darah yang tidak<br />
mencapai kadar normal yakni < 126 mg/dl dapat<br />
dimungkinkan karena dosis tunggal STZ yang cukup<br />
tinggi juga masa waktu terapi yang cukup singkat<br />
yakni 1 jam perhari selama 48 jam. Sedangkan<br />
konfirmasi dengan glucose tolerant test juga terjadi<br />
fluktuasi dan tidak seluruh kelompok diabetes yang<br />
mencapai kadar gula darah < 200 mg/dl. Hal ini<br />
dapat disebabkan karena pola konsumsi yang<br />
berbeda pada masing-masing tikus baik dalam<br />
kelompok yang sama atau antar kelompok. Sehingga<br />
dari kadar gula darah puasa minggu ke-4 dan<br />
glucose tolerant test dapat disimpulkan perlunya<br />
terapi diet atau pola konsumsi yang dijaga agar<br />
B22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
penurunan kadar gula darah penderita DM dapat<br />
kontinyu dan signifikan.<br />
Dari rerata kadar gula darah dan rerata<br />
kapasitansi dapat disimpulkan bahwa terdapat<br />
korelasi antara frekuensi yang digunakan dengan<br />
kadar gula darah yang turun, dan penurunan kadar<br />
gula darah yang paling signifikan adalah pada<br />
kelompok d-15 yang diterapi dengan menggunakan<br />
frekuensi 15 kHz. Dan untuk mengetahui frekuensi<br />
optimal , selain perlu diadakan penelitian lanjutan<br />
dengan frekunsi < 15 kHz juga perlu dianalisa secara<br />
khusus efek tourmaline yang terdapat dalam matras<br />
curesonic, pada kadar gula darah penderita diabetes<br />
melitus.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih disampaikan kepada Fortune star<br />
atas bantuan dana penelitian, dan kepada bapak Drs.<br />
Muzakki, bapak Drs. Tri Anggono Prijo serta ibu<br />
Ir.Welina Ratnayanti K. atas seluruh saran dan<br />
masukannya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abeeleh, M.A., Ismail, Z.B., Alzaben, K.R., Abu-<br />
Halaweh, S.A., Al-Essa, M.K., Abuabeeleh,<br />
J., Alsmady, M.M., 2009. Induction of<br />
Diabetes Mellitus in Rats Using<br />
Intraperitoneal Streptozotocin: A<br />
Comparison between 2 Strains of Rats,<br />
European Journal of Scientific Research,<br />
ISSN 1450-216X.Vol.32.No.3; 398-402.<br />
Alonso, M. dan Finn, E, B., 1992. Medan dan<br />
Gelombang, Edisi Kedua, Penerjemah Lea<br />
Prasetyo dan Khusnul Hadi, Penerbit<br />
Erlangga, Jakarta.<br />
Anonim, 2008. Waspadai Diabetes Mellitus,<br />
Kesra, Sinar Harapan, No. 6046. Jumat, 14<br />
Nopember 2008.<br />
Anonim 1, 2008. Enam Persen Penduduk Terkena<br />
DM, Edisi Ultah, Jawa Pos,<br />
http://www.jawapos.co.id. akses tanggal 26<br />
Januari 2010.<br />
Anonim, 2006. Konsensus Pengelolaan dan<br />
Pencegahan Diabets Melitus Tipe 2 di<br />
Indonesia, Jilid ke-3, PB PERKENI, Jakarta.<br />
Arulmozhi, D. K., Veeranjaneyulu, A., Bodhankar,<br />
S. L., 2004. Neonatal Streptozotocin-<br />
Induced Rat Model of Type 2 Diabetes<br />
Mellitus: A glance, Indian Journal<br />
Pharmacol, Vol. 36, Issue 4, 217-221.<br />
Barik, R., Jain, S., Qwatra, D., Joshi, A., Tripathi,<br />
G.S., Goyal, R., 2008. Antidiabetic Activity<br />
of Aqueous Root Extract of Ichnocarpus<br />
frutescens in Strpetozotocin-Nicitinamide<br />
Induced Type-II Diabetes in Rats, Indian<br />
Journal of Pharmacology, ISSN 0253-7613,<br />
Vol. 40, Issue 1; 19-22.<br />
Berrens, M., Kahn, R., Nolan, J., Pramming, S.,<br />
Rizza, R. A., 1999. Definition, Diagnosis<br />
and Classification of Diabetes Mellitus and<br />
its Complications, Department of<br />
Noncommunicable Disease Surveillance,<br />
WHO, Swiss.<br />
Bonner, P., Kemp, R., Kheifets, L., Portier, C.,<br />
Repacholi, M., Sahl, J., Deventer, E. V.,<br />
Vogel, E., 2002. Establishing A Dialogue<br />
On Risks From Electromagnetic Fields,<br />
Department of Protection of The Human<br />
Environment, WHO, Swiss.<br />
Brown, B. H., Smallwood, R. H., Barber, D. C.,<br />
Lawford, P. V., Hose, D. R., 1999. Medical<br />
Physic and Biomedical Engineering,<br />
Department of Medical Physics and Clinical<br />
Engineering, University of Sheffield and<br />
Central Sheffield University Hospitals,<br />
Sheffield, UK, Institute of Physics<br />
Publishing, Bristol and Philadelphia.<br />
Butler, L. K., 1995. Regulation of Blood Glucose<br />
Levels in Normal and Diabetic Rats,<br />
Division of Biological Sciences, University<br />
of Texas, Austin, Texas.<br />
Firdous, M., Koneeri, R., Sarvaraidu, C.H., Harish,<br />
M., Shubhapriya, K.H., 2009. NIDDM<br />
Antidiabetic Activity of Saponins of<br />
Momordica Cymb Streptozotocin-<br />
Nicotinamide NIDDM Mice, Journal of<br />
Clinical and Diagnostic Research, ISSN-<br />
0973-709X, Vol. 3, Issue 2; 1460-1465.<br />
Gunawan, Adi, M. S., 2002. Mekanisme<br />
Penghantaran Dalam Neuron<br />
(Neurotransmisi), Integral, Vol. 7 No. 1; 38-<br />
43.<br />
Hanafi, D., 2006. Gelombang Elektromagnetik,<br />
ORARI, Jakarta.<br />
Hayt, W., H. dan Buck, J., A., 2006.<br />
Elektromagnetika, Edisi VII, Penerbit<br />
Erlangga, Jakarta.<br />
Hu, Y., Wang, Y., Wang, L., Zhang, H., Zhang,<br />
H., Zhao, B., Zhang, A., Li, Y., 1996.<br />
Effects of Nicotinamide On Prevention and<br />
Treatment of Streptozotocin-Induced<br />
Diabetes Mellitus In Rats. China Medical<br />
Journal (Engl), Vol. 109, No.11; 819-22<br />
Ito, I., Hayashi, Y., Kawai, Y., Iwasaki, M., Takada,<br />
K., Kamibayashi, T., Yamatodani, A.,<br />
Mashimo, T., 2006. Diabetes Mellitus<br />
Reduces the Antiarrhythmic Effect of Ion<br />
Channel Blockers, International Anasthesia<br />
Research Society, vol. 103, No. 3; 545-550.<br />
Kadir, Sumayyah Binti Abdul., 2009. Pemanfaatan<br />
Infra Merah Serat Tourmaline Pada<br />
Kelainan Organ Ginjal Mencit, Skripsi,<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan<br />
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />
Nugroho, A.E., 2006. Review Hewan Percobaan<br />
Diabetes Mellitus : Patologi dan<br />
Mekanisme Aksi Diabetogenik,<br />
Biodiversitas, Vol. 7, No. 4; 378-382.<br />
B23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Octavia, G.S., 2009. Pengaruh Gelombang<br />
Elektromagnetik Frekuensi Rendah<br />
Terhadap Kondisi Fisiologis Organ Liver<br />
Mencit (Mus musculus), Skripsi,<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan<br />
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />
Parson, W. W.. 2006. Modern Optical<br />
Spectroscopy, <strong>Departemen</strong>t of Biochemistry,<br />
University of Washington, Springer Berlin<br />
Heidelberg, New York, USA.<br />
Perangin-angin, B., 2003. Rancangan Kapasitansi<br />
Meter Digital, Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas<br />
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />
Universitas Sumatra Utara, USU Digital<br />
Library, akses tanggal 10 Mei 2010.<br />
Polo, V., Saibene, A., Pontiroli, A. E., 1998.<br />
Nicotinamide Improves Insulin Secretion and<br />
Metabolic Control In Lean Type 2 Diabetic<br />
Patients With Secondary Failure To<br />
Sulphonylureas. Acta Diabetologica, Vol.<br />
35, No. 1;61-64.<br />
Rees, D.A., dan Alcolado, J. C., 2005. Animal<br />
Models of Diabetes Mellitus, Diabetic<br />
Medicine, 22 ; 359-370.<br />
Reinauer, Hans., Home, Philip D.,<br />
Kanagasabapathy, Ariyur S., Heuck, Claus-<br />
Chr., 2002. Laboratory Diagnosis and<br />
Monitoring of Diabetes Mellitus, WHO,<br />
Swiss.<br />
Riddle, Matthew C., dan Genuth, Saul., 2007. Type<br />
2 Diabetes Mellitus, ACP Medicine<br />
Gastrointerology:VI; 1-15.<br />
Swamardika, I. B. A., 2009. Pengaruh Radiasi<br />
Gelombang Elektromagnetik Terhadap<br />
Kesehatan Manusia (Suatu Kajian<br />
Pustaka), Teknologi Elektro, Vol.8, No.1;<br />
106-109.<br />
Syiariel, G., 2008. Pengaruh Vanadil Sulfat<br />
Terhadap Jaringan Otot dan Adipose<br />
Mencit (Mus musculus) dengan Diabetes<br />
Mellitus, Skripsi, Fakultas Farmasi,<br />
Universitas Airlangga, Surabaya.<br />
Szkudelski, T., 2001. The Mechanism Of Alloxan<br />
And Streptozotocin Action In β Cells Of<br />
The Rat Pancreas, Physiology Research,<br />
Vol. 50; 536-546.<br />
Xu, J., Zhang, L., Chou, A., Allaby, T., langer, G.<br />
B., Radziuk, J., Jasmin, B. J., Miki, T., Seino,<br />
S., Renaud, J. M., 2007. KATP Channel-<br />
Deficient Pancreatic β-Cells are<br />
Streptozotocin Resistant Because of Lower<br />
GLUT2 Activity. AJP - Endocrinology and<br />
Metabolism, Vol. 294; 326-335.<br />
Yuliana, E., 2006. Rancang Bangun Alat Ukur<br />
Induktansi dan Kapasitansi Meter. Tugas<br />
Akhir, D3 Teknik Instrumentasi Kendali,<br />
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik,<br />
Universitas Negeri Semarang.<br />
B24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Bioremediasi Pb(II) dalam Limbah Cair oleh Activated Eichhornia Carbon<br />
(AEC): Studi Penyerapan dengan Metode Potensiometri<br />
Johan A.E. Noor, Nilawati K. Anthony, dan Unggul P. Juswono<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang<br />
65145<br />
Email : jnoor@ub.ac.id<br />
Abstrak<br />
Logam berat timbal (Pb) dari limbah industri sudah lama menjadi masalah sebagai pencemar lingkungan yang<br />
perlu diatasi. Di sisi lain pertumbuhan dan penyebaran enceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) yang<br />
sangat pesat menjadi gulma yang keberadaannya bisa menyebabkan kedangkalan sungai dan waduk.<br />
Pemanfaatan enceng gondok yang diolah menjadi Activated Eichhornia Carbon (AEC) untuk remediasi logam<br />
berat diharapkan bisa mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh keduanya, karena penyerapan oleh karbon aktif<br />
merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk menghilangkan bahan pencemar perairan.<br />
Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji efektivitas AEC dalam menyerap logam Pb(II) di dalam limbah cair<br />
buatan dengan menggunakan metode potensiometri. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin banyak<br />
konsentrasi awal limbah logam Pb(II) yang diberikan maka semakin banyak logam Pb(II) yang diserap oleh<br />
AEC. Efektivitas AEC dalam menyerap logam berat Pb(II) juga semakin tinggi dengan semakin banyak massa<br />
adsorben yang diberikan..<br />
Kata kunci : Bioremediasi, karbon aktif, enceng gondok, Activated Eichhornia Carbon, metode potensiometri.<br />
PENDAHULUAN<br />
Pembangunan di bidang industri sejak beberapa<br />
dekade ini oleh Pemerintah telah sangat berkembang<br />
dan beragam. Pemerintah telah berupaya<br />
mengkonsentrasikan industri di wilayah-wilayah<br />
tertentu yang khusus sesuai rencana tata kota. Akan<br />
tetapi perkembangan pembangunan indistri ini tidak<br />
diikuti dengan penerapan hukum di dalam masalah<br />
pengelolaan limbah. Masih banyak industri yang<br />
membuang limbahnya begitu saja di lingkungan<br />
sekitarnya (udara, tanah dan sungai) tanpa<br />
pengolahan yang memadai terlebih dahulu sebelum<br />
dibuang. Sebagai akibatnya kualitas udara, tanah dan<br />
air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi<br />
sesuai dengan peruntukannya.<br />
Salah satu pencemaran air adalah logam berat.<br />
Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan<br />
akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut<br />
dalam organisme air seperti ikan, kerang, rumput<br />
laut, dan biota laut lainnya sehingga pemanfaatan<br />
organisme ini sebagai bahan makanan akan<br />
membahayakan kesehatan manusia. Berdasarkan<br />
sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat<br />
dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam<br />
berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah<br />
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup,<br />
namun dalam jumlah yang berlebihan dapat<br />
menimbulkan efek racun. Contoh logam berat<br />
semacam ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, dan Mn.<br />
Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak<br />
esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam<br />
tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau<br />
bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, dan<br />
Cr. Logam berat ini dapat memberikan efek<br />
kesehatan negatif bagi manusia tergantung kepada di<br />
bagian mana logam berat tersebut terikat dalam<br />
tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja<br />
sebagai penghalang kerja enzim, sehingga<br />
mengganggu proses metabolisme tubuh. Lebih jauh<br />
lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai<br />
penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen<br />
bagi manusia. Jalur masuknya logam berat beracun<br />
ini bisa melalui kulit, pernapasan atau sistem<br />
pencernaan.<br />
Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh<br />
maka tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap<br />
tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang<br />
melalui proses ekskresi (Nordberg dkk., 1986). Hal<br />
serupa juga terjadi apabila suatu lingkungan<br />
terutama di perairan telah terkontaminasi (tercemar)<br />
logam berat maka proses pembersihannya akan sulit<br />
sekali dilakukan. Batas ambang kandungan logam<br />
berat timbal di dalam air minum adalah sebesar 0,05<br />
mg.dm −3 . Sedangkan batas ambang logam timbal di<br />
dalam limbah industri menurut Environmental<br />
Protection Agency (EPA) adalah 0,05 mg.dm −3 .<br />
Sementara standar untuk Indonesia telah ditetapkan<br />
oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagaimana<br />
ditampilkan pada Tabel.1.<br />
Beberapa metode telah dikembangkan untuk<br />
mengurangi limbah logam berat di dalam perairan<br />
antara lain: precipitation, electro-deposition,<br />
ultrafiltration, pertukaran ion (ion exchange),<br />
B25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
adsorpsi karbon aktif dan proses biologi. Metode<br />
adsorpsi, dibandingkan dengan metode yang lain<br />
mempunyai keuntungan lebih efektif dan efesien<br />
(Shekinah, 2002). Bahkan, metode adsorpsi karbon<br />
aktif (activated carbon) memberikan hasil yang<br />
efektif dan kompetitif dalam pengurangan kadar<br />
logam berat di dalam perairan (Huang dan<br />
Blankeship, 1984).<br />
Tabel 1. Baku mutu limbah cair untuk industri<br />
golongan I dan II untuk standar Indonesia (KLH,<br />
1995).<br />
physical reactivation prekursor diubah menjadi<br />
karbon aktif dengan menggunakan gas. Proses ini<br />
dilakukan dengan cara karbonisasi dan oksidasi pada<br />
suhu antara 600-1200 °C. Sementara di dalam<br />
metode chemical activation material direaksikan<br />
dengan bahan kimia seperti asam fosfat, potassium<br />
hidroksida, sodium hidroksida atau seng klorida<br />
yang disertai proses karbonisasi pada suhu antara<br />
450-900 °C.<br />
Karakteristik penting dalam memilih jenis<br />
karbon meliputi struktur pori-pori, ukuran partikel,<br />
luas area permukaan dan jarak ruang kosong antar<br />
partikel (Clark, 1989).<br />
Sumber material yang dapat digunakan sebagai<br />
karbon aktif di antaranya adalah sabut kelapa, kulit<br />
kacang tanah, batang padi, tempurung kelapa dan<br />
eceng gondok. Pengurangan logam berat dengan<br />
menggunakan karbon aktif eceng gondok merupakan<br />
suatu alternatif yang efektif dalam pegurangan<br />
limbah di perairan.<br />
Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart)<br />
Solm) merupakan tumbuhan air yang hidup di air<br />
tawar seperti di danau-danau dan di sungai-sungai<br />
dan dikenal sebagai gulma air karena kecepatan<br />
berkembang biaknya dan kemudahannya beradaptasi<br />
dengan lingkungannya (Suarna, 1990). Pertumbuhan<br />
eceng gondok yang tidak terkendali dapat<br />
menyebabkan pendangkalan pada danau, sungai atau<br />
daerah berair lainnya.<br />
Dalam penelitian ini telah dipelajari tentang<br />
AEC (Activated Eichhornia Carbon) yang<br />
digunakan untuk mengurangi limbah logam berat di<br />
dalam perairan. Pengukuran residu limbah dilakukan<br />
dengan metode potensiometri.<br />
Karbon Aktif (Activated Carbon)<br />
Karbon aktif (activated carbon) disebut juga<br />
arang aktif (activated charcoal) atau batubara aktif<br />
(activated coal) adalah suatu material organik yang<br />
mempunyai kandungan karbon sangat tinggi dengan<br />
luas permukaan (surface area) yang besar (lihat<br />
Gambar 1). Satu gram karbon aktif mempunyai luas<br />
permukaan kira-kira 500 m 2 yang ditentukan oleh<br />
adsorpsi gas nitrogen dan sejumlah pori-pori<br />
berukuran mikro (Hoehn, 1996) Pori-pori karbon<br />
aktif berukuran mikro mampu melakukan proses<br />
adsorpsi dengan baik secara bersamaan karena<br />
mempunyai area permukaan yang sangat luas.<br />
Secara fisik, ikatan material karbon aktif ditentukan<br />
oleh gaya van der Waals yaitu gaya dispersi London<br />
(Reynolds dan Richards, 1996).<br />
Karbon aktif dibuat dengan dua metode:<br />
physical reactivation dan chemical activation. Pada<br />
Gambar 1. Permukaan dan pori-pori karbon (diambil dari<br />
(Hoehn, 1996)).<br />
Adsorbsi Karbon Aktif<br />
Adsorpsi merupakan proses di mana karbon<br />
aktif memindahkan substansi dari air ke permukaan<br />
partikel adsorben. Dapat diartikan juga, adsorpsi<br />
adalah proses perpindahan substansi pada suatu<br />
permukaan partikel adsorben melalui proses fisika<br />
ataupun kimia (Reynolds dan Richards, 1996).<br />
Adsorpsi senyawa yang terlarut (adsorbat) oleh<br />
adsorben berlangsung terus menerus dan berhenti<br />
pada saat sistem mencapai keseimbangan yaitu<br />
antara konsentrasi yang tinggal dalam larutan<br />
dengan konsentrasi yang diadsorpsi oleh adsorben.<br />
Adapun adsorben yang baik umumnya mempunyai<br />
luas permukaan yang besar tiap unit partikelnya.<br />
Adsorpsi yang terjadi pada padatan disebabkan<br />
oleh gaya interaksi atom-atom atau molekul-molekul<br />
pada permukaan padatan. Secara umum adsorpsi<br />
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi<br />
fisik dan adsorpsi kimia (Prayoga, 1981).<br />
Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang disebabkan<br />
oleh interaksi antara adsorben dan adsorbat pada<br />
permukaan karena adanya gaya tarik van der Waals<br />
atau ikatan hidrogen (Oscik, 1982). Pada adsorpsi ini<br />
adsorbat tidak diikat dengan kuat pada permukaan<br />
adsorben sehingga dapat bergerak ke bagian<br />
permukaan adsorben yang lain. Adsorpsi fisika<br />
biasanya reversibel (dapat balik) karena adsorbat<br />
dapat dilepas kembali dengan adanya penurunan<br />
tekanan gas dan penurunan konsentrasi larutan.<br />
Panas adsorpsi fisika diketahui 63-84 kJ/mol<br />
(Parker, 1984).<br />
Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang<br />
melibatkan interaksi yang lebih kuat antara adsorbat<br />
dengan adsorben sehingga adsorbat tidak bebas<br />
bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian yang<br />
lain. Adsorben harus dipanaskan pada suhu tinggi<br />
B26
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
untuk memisahkan adsorbat. Panas kimia lebih besar<br />
daripada adsorpsi fisika yaitu 86-126 kJ/mol (Parker,<br />
1984).<br />
Faktor-faktor yang memengaruhi adsorpsi<br />
antara lain adalah pengocokan, luas permukaan<br />
adsorben, jenis adsorben, kemurnian adsorben,<br />
ukuran molekul adsorbat, temperatur, pH larutan,<br />
dan konsentrasi adsorbat (Weber Jr., 1977).<br />
Adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan<br />
konsentrasi adsorbat. Adsorbsi akan tetap jika terjadi<br />
keseimbangan antara konsentrasi adsorbat yang<br />
diserap dengan konsentrasi adsorbat yang tersisa<br />
dalam larutan.<br />
Metode Potensiometri<br />
Metode potensiometri mengukur beda potensial<br />
antara dua elektroda yang berada di dalam kondisi<br />
setimbang. Di dalam kondisi tersebut tidak ada arus<br />
listrik yang mengalir di dalam sistem.<br />
Partikel bermuatan banyak dijumpai di dalam<br />
sistem kimia dalam bentuk ion dan elektron. Secara<br />
umum larutan bermuatan netral. Akan tetapi prosesproses<br />
kimiawi dapat menyebabkan partikel-partikel<br />
bermuatan tersebut terdistribusi secara tidak merata<br />
yang menyebabkan munculnya ketidaknetralan.<br />
Sebagai contoh, jika seutas kawat Pt dicelupkan ke<br />
dalam larutan yang mengandung ion-ion Fe 2+ dan<br />
Fe 3+ , Fe 2+ cenderung untuk memberikan elektronnya<br />
ke logam elektroda, sementara Fe 3+ cenderung<br />
menarik elektron. Jika konsentrasi kedua ion Fe<br />
sama maka kecenderungan tersebut akan saling<br />
menghilangkan dan tidak aka nada muatan listrik di<br />
permukaan logam. Tetapi, jika konsentrasi salah satu<br />
ion lebih besar dari yang lain (katakanlah [Fe 3+ ] ><br />
[Fe 2+ ]), kawat Pt akan mengalami kekurangan<br />
elektron dan akan bermuatan positif.<br />
Pengukuran terhadap muatan tersebut<br />
memberikan perkiraan berapa konsentrasi ion Fe.<br />
Namun, pengukuran secara langsung sangat sulit,<br />
sehingga harus dilakukan pengukuran secara tidak<br />
langsung.<br />
Kawat Pt dalam hal ini merupakan Elektroda<br />
Selektif Ion (ESI), yaitu elektroda yang dapat<br />
menunjukkan selektifitas dalam pengukuran aktifitas<br />
ion tertentu (Cheek dkk., 1983). ESI digunakan<br />
untuk analisis kuantitatif suatu ion tertentu. Karena<br />
elektroda tersebut merupakan sensor elektrokimia<br />
yang potensialnya akan berubah secara reversibel<br />
terhadap keaktifan dari ion yang ditentukan<br />
(Buchari, 1990). Rangkaian ESI ditunjukkan pada<br />
Gambar 2.<br />
Gambar 2. Rangkaian ESI (diambil dari (Brian, 1997)).<br />
Elektroda selektif ion merupakan suatu sensor<br />
yang mengubah aktivitas spesifik ion di dalam suatu<br />
larutan menjadi suatu potensial listrik, dimana dapat<br />
diukur dengan sebuah volmeter atau pH meter.<br />
Bagian sensing dari elektroda terbuat dari suatu<br />
membran spesifik ion. Elektroda Selektif Ion banyak<br />
dimanfatkan dalam bidang biokimia dan biofisika<br />
untuk pengukuran konsentrasi ion di dalam suatu<br />
larutan, biasanya dalam basis real time. Perbedaan<br />
potensial di sekitar membran merupakan beda<br />
potensial pada antarmuka membran-larutan.<br />
Potensial membran adalah potensial listrik yang<br />
timbul pada antarmuka membran yang memisahkan<br />
dua larutan elektrolit (Lakshminarayanaiah, 1976).<br />
Beda potensial antarmuka membran-ion larutan<br />
dinyatakan dengan persamaan (1) (Brian, 1997):<br />
0<br />
E E RT nF a<br />
= − (2,303 / )log( ) (1)<br />
dengan E 0 adalah potensial elektroda normal, R<br />
adalah konstanta gas (8.314510 JK −1 mol −1 ), T adalah<br />
suhu (K), n adalah jumlah elektron, F adalah<br />
konstanta Faraday (9,6485309 ×10 4 C mol −1 ) dan a<br />
adalah aktivitas ion analit.<br />
ESI tipe kawat terlapis merupakan sel paruh<br />
elektrokimia (elektroda) yang tersusun dari kawat Pt<br />
yang dilapisi oleh membran selektif ion. Skema sel<br />
ESI tipe kawat terlapis ditunjukkan pada Gambar 3<br />
dan skema pengukuran larutan dengan menggunakan<br />
ESI tipe kawat terlapis ditunjukkan pada Gambar 2.<br />
Gambar 3. Skema sel ESI tipe kawat terlapis yang digunakan di<br />
dalam penelitian ini selektif terhadap ion PbCl 2−<br />
4 (IUPAC,<br />
2006)).<br />
2−<br />
ESI PbCl 4 tipe kawat terlapis merupakan<br />
elektroda selektif ion yang mempunyai keakurasian<br />
tinggi dengan persen kesalahan kurang dari 1 %<br />
(0,09%- 0,63% ). Batas deteksi pengukuran ESI<br />
2−<br />
PbCl 4 tipe kawat terlapis cukup rendah yaitu pada<br />
konsentrasi Na 2 PbCl 4 sebesar 10 −5 M atau 2,07 ppm<br />
B27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sehingga alat tersebut dapat digunakan untuk<br />
analisis renik (Anggraini, 2007).<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Pembuatan Sediaan AEC<br />
Beberapa tanaman eceng gondok diambil dari<br />
habitat asli di daerah Punten, Batu. Tanaman eceng<br />
gondok dicuci dengan air kran kemudian dipotong<br />
kecil-kecil. Bagian daun, batang dan akar<br />
dipisahkan. Setelah itu, potongan-potongan eceng<br />
gondok tersebut dijemur di bawah sinar matahari<br />
selama 1 hari. Setelah kering, eceng gondok dioven<br />
pada suhu 60 o C selama 24 jam hingga benar-benar<br />
kering. Selanjutnya, untuk proses pembuatan eceng<br />
gondok menjadi karbon aktif, eceng gondok<br />
diletakkan dalam sebuah wadah tertutup yang<br />
terbuat dari bahan tahan panas kemudian<br />
dimasukkan ke dalam tungku pembakaran pada suhu<br />
500<br />
o C selama ± 1 jam. Pembakaran dengan<br />
menggunakan tungku bertujuan agar eceng gondok<br />
dapat berubah menjadi karbon aktif dan tidak<br />
berubah menjadi abu.<br />
Pada tahap terakhir, eceng gondok yang sudah<br />
menjadi karbon aktif dihaluskan dengan cara<br />
ditumbuk dengan menggunakan mortar dan pestle.<br />
Karbon eceng gondok yang telah halus tersebut<br />
diayak dengan menggunakan ayakan 80-mesh.<br />
Karbon aktif yang dihasilkan tersebut berbentuk<br />
PAC (powdered activated carbon) dengan ukuran<br />
partikel
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
17,83 ppm, di mana massa adsorben yang diberikan<br />
sama yaitu sebanyak 25 mg.<br />
Gambar 4. Grafik kurva baku pengukuran Pb(II).<br />
Pengaruh Agitation Time dan Konsentrasi PbCl 4<br />
2−<br />
dalam Penyerapan Pb(II)<br />
Hasil pengukuran pengaruh agitation time dan<br />
konsentrasi PbCl 2−<br />
4 dalam penyerapan Pb(II) oleh<br />
AEC digambarkan dengan grafik pada Gambar 5.<br />
(a)<br />
Gambar 5. Grafik Pb terukur untuk konsentrasi awal adsorbat<br />
17,83 ppm. Garis warna merah adalah fitting dari data.<br />
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa karbon<br />
aktif mampu menyerap ion logam Pb dengan baik<br />
pada menit pertama hingga menit ke-11. Pada menit<br />
pertama, konsentrasi PbCl 2−<br />
4 yang terukur sebesar<br />
17,813 ppm. Konsentrasi awal larutan sampel<br />
limbah industri buatan yang diukur sebesar 17,83<br />
ppm dengan massa sebanyak 25 mg. Pada menit ke-<br />
12 hingga menit ke-15 perubahan konsentrasi<br />
larutan mendekati konstan yaitu sebesar 17,77 ppm.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa karbon aktif tidak dapat<br />
mengadsorpsi ion-ion Pb(II) lagi.<br />
Untuk melihat perilaku AEC dalam menyerap<br />
ion Pb maka dibuat larutan sampel limbah buatan<br />
dengan konsentrasi 124,76 ppm dan 1170,27 ppm<br />
sebagai pembanding. Jika dibandingkan dengan<br />
konsentrasi Pb yang lebih kecil maka pada<br />
konsentrasi yang lebih besar jumlah Pb yang<br />
terserap semakin banyak. Dari Gambar 6 dapat<br />
dilihat bahwa pada menit pertama, Pb yang terukur<br />
sebesar 122,38 ppm. Pb dapat terserap baik hingga<br />
menit ke-14, dengan jumlah Pb yang terukur sebesar<br />
117,045 ppm. Jumlah Pb yang terserap lebih banyak<br />
dibandingkan dengan konsentrasi sampel sebesar<br />
(b)<br />
Gambar 6. Grafik Pb terukur untuk konsentrasi awal adsorbat (a)<br />
124,76 ppm dan (b) 1170,27 ppm. Garis warna merah adalah<br />
fitting dari data.<br />
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan<br />
banyaknya ion-ion Pb yang terukur dari ketiga<br />
konsentrasi awal adsorbat yang berbeda yaitu 17,83<br />
ppm, 124,76 ppm dan 1170,27 ppm. Dari ketiga<br />
konsentrasi yang berbeda tersebut dapat dilihat<br />
bahwa semakin besar konsentrasi awal adsorbat<br />
maka semakin banyak ion-ion Pb yang dapat diserap<br />
oleh karbon aktif. Hal ini menunjukkan bahwa<br />
banyaknya ion Pb yang dapat diserap oleh karbon<br />
aktif sangat dipengaruhi oleh konsentrasi adsorbat.<br />
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui<br />
bahwa karbon aktif efektif dalam menyerap logam<br />
Pb dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Ukuran<br />
pori-pori karbon yang besar mampu menyerap ionion<br />
logam Pb dalam jumlah yang cukup banyak.<br />
Semakin besar konsentrasi larutan yang<br />
mengandung ion-ion Pb (adsorbat) maka semakin<br />
besar pula ion-ion Pb yang terserap oleh karbon<br />
aktif. Karbon aktif mempunyai keterbatasan waktu<br />
dalam menyerap ion-ion logam. Dalam batas waktu<br />
tertentu karbon aktif akan menjadi jenuh dan tidak<br />
dapat menyerap ion-ion logam kembali. Titik jenuh<br />
B29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ini dicapai ketika besarnya konsentrasi Pb yang<br />
terukur mencapai nilai konstan dan kejenuhan dari<br />
karbon aktif dalam menyerap ion logam Pb<br />
dipengaruhi besarnya konsentrasi dari adsorbat.<br />
Penyerapan ion-ion Pb oleh karbon aktif sangat<br />
dipengaruhi gaya tarik (gaya van der Waals) yang<br />
dihasilkan oleh interaksi molekul karbon aktif<br />
dengan molekul adsorbat (PbCl 4 2− ). Ion PbCl 4<br />
2−<br />
merupakan molekul polar, dimana interaksinya<br />
dengan karbon aktif yang merupakan molekul<br />
nonpolar menyebabkan molekul karbon bersifat<br />
polar sehingga terbentuk dipol induksian pada<br />
molekul karbon akibat interaksi dari kedua molekul<br />
tersebut.<br />
Data penelitian menunjukkan bahwa dengan<br />
massa adsorben yang sama pada konsentrasi awal<br />
adsorbat yang rendah (17,83 ppm) banyaknya ion Pb<br />
yang terserap karbon aktif lebih kecil dibandingkan<br />
dengan konsentrasi awal adsorbat yang lebih tinggi<br />
(1170,27 ppm). Hal ini dipengaruhi oleh gaya<br />
induksi yang dihasilkan oleh molekul adsorbat dan<br />
gaya tarik oleh molekul karbon aktif.<br />
Semakin banyak jumlah molekul adsorbat yang<br />
mengandung ion-ion Pb(II) maka semakin banyak<br />
pula jumlah dipol molekul adsorbat yang<br />
menginduksi molekul karbon aktif dan<br />
menyebabkan molekul karbon aktif semakin bersifat<br />
polar sehingga gaya tarik yang dihasilkan molekul<br />
karbon akan semakin besar untuk mengikat molekul<br />
adsorbat, khususnya ion-ion Pb dalam larutan. Maka<br />
untuk konsentrasi adsorbat yang rendah, tidak semua<br />
ion Pb terserap oleh karbon aktif. Hal ini disebabkan<br />
jumlah dipol yang lebih sedikit pada molekul<br />
adsorbat sehingga gaya induksi yang dihasilkan<br />
lebih kecil dan menyebabkan gaya tarik yang<br />
dihasilkan oleh molekul karbon cukup lemah karena<br />
sifat<br />
Pengaruh Massa Adsorben terhadap Penyerapan<br />
Ion Logam Pb(II)<br />
Pengukuran pengaruh massa adsorben terhadap<br />
penyerapan ion logam Pb(II) dilakukan dengan<br />
pemberian variasi dosis pada sampel limbah buatan.<br />
Variasi dosis yang digunakan sebanyak 10 mg, 20<br />
mg, 30 mg, 40 mg dan 50 mg. Hasil pengukuran<br />
untuk konsentrasi awal 12,58 ppm disajikan pada<br />
Gambar 7. Sementara Gambar 8 menyajikan hasil<br />
pengukuran untuk konsentrasi awal 34,95 ppm.<br />
Gambar 7. Grafik pengaruh massa adsorben terhadap konsentrasi<br />
Pb untuk konsentrasi awal adsorbat 12,58 ppm.<br />
Gambar 7 memperlihatkan variasi banyaknya<br />
ion Pb yang terserap oleh karbon aktif, di mana<br />
terlihat jelas bahwa jumlah ion Pb yang terserap<br />
cukup banyak pada pemberian adsorben sebanyak<br />
50 mg. Pb yang terserap hingga mencapai 5,58 ppm<br />
pada menit ke-10. Pengamatan hanya dilakukan<br />
hingga menit ke-10 karena pengukuran ini dilakukan<br />
untuk mengetahui karakteristik karbon aktif dalam<br />
menyerap ion Pb ketika diberikan massa adsorben<br />
yang berbeda.<br />
Gambar 8. Grafik pengaruh massa adsorben terhadap konsentrasi<br />
Pb untuk konsentrasi awal adsorbat 34,59 ppm.<br />
B30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa<br />
penyerapan ion logam Pb(II) oleh karbon aktif<br />
dipengaruhi oleh konsentrasi adsorbat dan massa<br />
adsorben. Semakin banyak konsentrasi adsorbat<br />
maka semakin besar konsentrasi Pb(II) yang terserap<br />
oleh AEC. Pada konsentrasi awal adsorbat sebesar<br />
1170,27 ppm, konsentrasi Pb(II) yang terserap<br />
cukup besar yaitu 957,556 ppm. Konsentrasi<br />
penyerapan terbesar terjadi pada menit pertama yaitu<br />
mencapai 60% dan mencapai konstan hingga 80%.<br />
Untuk konsentrasi awal adsorbat sebesar 124,76<br />
ppm, konsentrasi Pb(II) yang terserap yaitu 7,824<br />
ppm dengan persen penyerapan pada menit pertama<br />
mencapai 2% dan mencapai konstan hingga 6,27%.<br />
Pada konsentrasi awal adsorbat sebesar 17,83 ppm,<br />
besarnya konsentrasi Pb(II) yang terserap sangat<br />
kecil yaitu sebesar 0,057 ppm dengan persen<br />
penyerapan pada menit pertama hanya 0,09%<br />
hingga mencapai konstan sebesar 0,3%.<br />
Banyaknya jumlah karbon aktif (adsorben) yang<br />
diberikan dalam limbah cair buatan berpengaruh<br />
terhadap banyaknya konsentrasi ion Pb(II) yang<br />
terserap. Semakin banyak massa adsorben yang<br />
diberikan maka semakin banyak ion logam Pb(II)<br />
yang diserap oleh AEC. Namun AEC tidak efektif<br />
mengurangi limbah untuk konsentrasi yang rendah.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anggraini, E. (2007). Pembuatan dan Karakterisasi<br />
Elektroda Selektif Ion PbCl 4<br />
2-<br />
Tipe Kawat<br />
Terlapis untuk Mendeteksi Pb dalam Air<br />
Limbah. Skripsi. Universitas Brawijaya.<br />
Malang.<br />
Brian, M. (1997). Ion Selective Electrodes:<br />
Measurement Considerations. Diakses dari<br />
http://elchem.kaist.ac.kr/vt/chemed/echem/ise<br />
.htm, pada tanggal 20 April 2010.<br />
Buchari (1990). Analisis Instrumentasi Bagian 1:<br />
Tinjauan Umum dan Analisis Elektrometri.<br />
Jurusan Kimia FMIPA ITB. Bandung.<br />
Cheek, G., C. P. Wales dan R. J. Nowak. (1983). pH<br />
Respone of Platinume and Viterous Carbon<br />
Electrodes Modified by Electropolymerized<br />
Films. Analytical Chemistry. 55: 380.<br />
Clark, R. M. (1989). Granular Activated Carbon:<br />
Design, Operation, and Cost. Lewis<br />
Publishers.<br />
Hoehn, R. C. (1996). Class Notes: CE4104 Water<br />
and Wastewater Design, Virginia Tech.<br />
Huang, C. P. dan D. W. Blankeship (1984). The<br />
Removal of Hg(II) from Dilute Aqueous<br />
Solution Activated Carbon. Water Research.<br />
18 (1): 37-46.<br />
IUPAC (2006). General Terms Relevant to Ion-<br />
Selective Electrode, IUPAC Compendium of<br />
Chemical Technology.<br />
Lakshminarayanaiah, N. (1976). Membranes<br />
Electrodes. Academic Press. London.<br />
Nordberg, J. F., J. Parizek, G. Pershagen dan L.<br />
Gerhardsson, Eds. (1986). Factor Influencing<br />
Effect and Dose-Respons Relationships of<br />
Metals. Handbook on the Toxicology of<br />
Metals. Elsevier. New York.<br />
Oscik, J. (1982). Adsorption. Ellis Horwood<br />
Limited. New York.<br />
Parker, S. P. (1984). Encyclopedia of Science and<br />
Technology. Mc.Graw-Hill Book Company.<br />
New York.<br />
Prayoga, C. C. (1981). Ilmu Kimia Fisik II.<br />
Universitas Brawijaya. Malang.<br />
Reynolds, T. D. dan P. A. Richards (1996). Unit<br />
Operations and Processes in Environmental<br />
Engineering. 2nd ed. PWS Publishing Co.<br />
Shekinah, P. (2002). Adsorption of lead(II) from<br />
aqueous solution by activated carbon<br />
prepared from Eichhornia. Journal of<br />
Chemical Technology and Biotechnology.<br />
77: 458-464.<br />
Suarna, E. (1990). Pemanfaatan Eceng Gondok<br />
Menjadi Biogas (Methan). Majalah BPPT.<br />
39: 85-89.<br />
Weber Jr., W. J. (1977). Physicochemical Process<br />
for Water Quality Control. John Willey and<br />
Sons. New York.<br />
B31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Posisi Matahari Terhadap Intensitas Radiasi Ultraviolet-B<br />
Dan Efeknya Terhadap Kesehatan Dilihat dari Data<br />
SPD LAPAN Watukosek Tahun 2008<br />
Lalu Husnan Wijaya 1 , Hari Susanto 2<br />
1,2 Peneliti SPD LAPAN Watukosek<br />
Email : lalu_wako@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Data intesitas radiasi UV-B selama 1 tahun yang diperoleh dari hasil observasi yang dilaksanakan di SPD<br />
LAPAN Watukosek dengan interval waktu 15 menit sangat bermanfaat untuk mempelajari hubungan antara<br />
kenaikan intensitas radiasi UV-B dari matahari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dengan resiko kanker kulit.<br />
Dalam waktu yang berbeda, intensitas radiasi berubah-ubah dari hari kehari, menurut waktu dalam 1 tahun<br />
diperoleh hubungan antara data harian, bulanan dengan pergerakan bumi mengelilingi matahari pada titik balik<br />
Utara bulan Juni dan titik balik Selatan bulan Desember. Diketahui bahwa pengaruh sudut matahari terhadap<br />
intensitas radiasi UV-B yang menunjukkan bahwa ketika sudut matahari rendah yaitu mendekati matahari terbit<br />
dan matahari terbenam, intensitas radiasi UV-B kecil (mendekati nol) dan ketika matahari berada didekat sudut<br />
zenith korelasinya dengan jumlah intensitas radiasi UV-B lebih besar (mendekati puncak) . Pengaruh bumi<br />
mengelilingi matahari pada titik balik utara dan titik balik selatan siklus matahari dalam 1 tahun untuk jumlah<br />
intensitas radiasi UV-B bulan Maret dan bulan September mempunyai nilai relative lebih besar sekitar 1460 kJ<br />
karena posisi matahari berada diatas Ekuator dibandingkan dengan bulan Juni dan Desember sekitar 1016 kJ<br />
karena posisi matahari paling jauh dari Ekuator . Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan<br />
antara peredaran bumi mengelilingi matahari dan perubahan tingkat intensitas radiasi UV-B dari waktu kewaktu<br />
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan.<br />
Kata kunci : ultraviolet-B, korelasi, intensitas, radiasi .<br />
PENDAHULUAN<br />
Energi yang dipindahkan dari matahari sampai<br />
ke bumi melalui atmosfernya, sebagai pancaran<br />
gelombang electromagnet, yaitu gelombang yang<br />
merambat melalui ruang hampa, bahan tembus<br />
pandang ( seperti kaca ), bahkan benda padat. Jadi,<br />
semua pancaran electromagnet yang masing-masing<br />
memiliki panjang gelombang untuk menentukan<br />
warna. Yang paling panjang sekitar 16.000 cm dan<br />
menghasilkan cahaya yang kita sebut merah. Yang<br />
terpendek kira-kiran 1/28.000 cm dan menghasilkan<br />
warna violet ( Christian Huygens tahun 1960 )<br />
Diantara keduanya terletak panjang gelombang<br />
warna-warna lain dari spectrum yang kasat mata<br />
yakni cahaya yang dapat dilihat. Dari cahaya kasat<br />
mata diantaranya terdapat gelombang pendek yakni<br />
sinar ultraviolet. Sinar matahari yang mengandung<br />
radiasi ultraviolet dibagi tiga daerah yaitu : Radiasi<br />
UV-A, Radiasi UV-B dan Radiasi UV-C tergantung<br />
panjang gelombangnya.<br />
Radiasi gelombang pendek UV-C tidak sampai<br />
dipermukaan bumi karena semuanya diblok oleh<br />
oksigen dan ozon . radiasi gelombang menengah<br />
yaitu UV-B sebagian besar diserap oleh ozon dan<br />
sebagian kecil lainnya langsung kepermukaan bumi .<br />
Sedangkan radiasi gelombang yang lebih panjang<br />
yaitu UV-A hanya sedikit yang diserap dan<br />
selebihnya sampai langsung kepermukaan bumi .<br />
Radiasi UV-B dalam jumlah yang kecil sewaktu<br />
mengenai kulit dan diabsorbsi akan merangsang<br />
proses pembentukan Vitamin D3 yang berfungsi<br />
untuk memetabolisasikalsium sehingga membentuk<br />
tulang yang kuat . Namun semenjak dua decade<br />
terakhir ini, Sinar matahari yang awal mulanya<br />
bersahabat secara perlahan merupakan ancaman<br />
tidak langsung terhadap kesehatan. Ini terjadi<br />
disebabkan menipisnya konsentrasi lapisan ozon di<br />
stratosphere yang akan mengakibatkan intensitas<br />
radiasi ultraviolet dipermukaan bumi semakin tinggi.<br />
Ozon stratosfer yang terletak pada ketinggian 10<br />
sampai 50 km dengan jumlah sekitar 90% dari<br />
seluruh ozon yang ada di atmosfer bumi yang<br />
berfungsi untuk menyerap radiasi UV-B sehingga<br />
bumi terhindar dari paparan radiasi UV-B yang<br />
berlebihan (Stephen O. Andersen & K. Madhava<br />
Sarma “Protecting the Ozone Layer”).<br />
Beberapa penelitian melaporkan bahwa setiap<br />
decade ( sejak tahun 1970 ) lapisan ozon berkurang<br />
3 % akan menaikkan intensitas radiasi ultra violet<br />
sebesar 12 % . Dari uraian tersebut diatas maka<br />
menjadi lebih penting untuk dilakukan penelitian<br />
lebih lanjut dan pantauan mengenai perubahan<br />
intensitas radiasi ultra violet khususnya radiasi UV-<br />
B untuk tujuan penelitian yang berbeda. Kenaikan<br />
intensitas radiasi UV-B secara kontinu diamati dari<br />
SPD LAPAN Watukosek pada posisi 112°65’ BT<br />
dan 7°57’LS Jawa Timur. Pengamatan intensitas<br />
B32
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
radiasi UV-B dimulai dari matahari terbit dan<br />
berakhir waktu matahari terbenam dalam durasi<br />
waktu pengamatan 15 menit sekali. Hal tersebut<br />
terus menerus dilakukan dari hari kehari menurut<br />
waktu dalam satu tahun. Tujuan dalam penelitian ini<br />
adalah untuk mengetahui hubungan antara kenaikan<br />
intensitas radiasi UV- B dengan pergerakan bumi<br />
mengelilingi matahari dan pengaruhnya terhadap<br />
kesehatan.<br />
DATA DAN METODE<br />
Data Intensitas radiasi UV- B adalah data yang<br />
diperoleh dari hasil pengamatan Bulan Januari<br />
sampai dengan Bulan Desember tahun 2008, data<br />
UV-B dinyatakan dengan nilai satuan (kJ) . Data<br />
tersebut diperoleh dari hasil pengamatan di SDP<br />
LAPAN Watukosek yang menggunakan sensor<br />
Pyradiometer type MS 212W yang dilengkapi<br />
dengan converter yang mampu untuk melakukan<br />
pengukuran intensitas radiasi UV-B pada panjang<br />
gelombang 280 – 320 nm. Pengamatan dilakukan<br />
mulai pukul 06:00 sampai dengan 18 :00 secara<br />
terus menerus setiap hari dengan interval waktu<br />
pengamatan 15 menit sekali. Tahap selanjutnya<br />
adalah membuat analisis untuk mengetahui hasil<br />
rata-rata harian dan bulanan serta grafik dengan<br />
menggunakan program Microsoft Offece exell.<br />
Selain data hasil pengamatan juga diroleh dari<br />
sumber lain diantaranya : study literature dilakukan<br />
mengawali langkah penelitian , selanjutnya<br />
menngunakan basis data sebagai acuan untuk<br />
menggambarkan secara keseluruan dari tahapan<br />
penelitian yaitu melakukan analisis data UV-B dari<br />
hasil observasi di SPD LAPAN Watukosek yang<br />
terletak pada posisi 112º65’BT dan 7º57’LS<br />
dibandingkan dengan hsil observasi dari Stasiun di<br />
Bandung yang letaknya pada posisi 6º9’LS dan<br />
107º58’BT, untuk mengetahui adanya perbedaan<br />
tingkat intensitas radiasi UV-B juga dipengaruhi<br />
oleh factor posisi lintang dan bujur. Tahap<br />
selanjutnya adalah menghubungkan pergerakan<br />
bumi mengelilingi matahari pada titik balik Juni dan<br />
titik balik Desember dengan data intensitas radiasi<br />
UV-B dari hasil observasi di SPD LAPAN<br />
Watukosek , untuk mengetahui tingkat perubahan<br />
intensitas radiasi UV-B setiap bulan dalam satu<br />
tahun.<br />
Sumber lain dari Pusat Standarisasi dan<br />
Penelitian Keselamatan , Badan Tenaga Atom<br />
Nasional, Jakarta , yang telah mempublikasikan<br />
melalui hasil penelitian, menjelaskan mengenai<br />
pembagian Daerah Radiasi Ultra Violet ( UV-R)<br />
yang dipancarkan oleh matahari dibagi menjadi 3<br />
daerah yaitu : UV-A; UV-B dan UV-C, tergantung<br />
pada panjang gelombang yang dapat berpengaruh<br />
terhadap efek biologi .<br />
TABEL II<br />
Pembagian daerah radiasi ultra violet (UV-R) dan hubungannya<br />
dengan efek biologi.<br />
Rentang<br />
Daerah Spektrum<br />
(nm)<br />
Efek biologi<br />
pada mata<br />
Efek biologi pada<br />
kulit<br />
UV-C<br />
UV-B<br />
UV-A<br />
100 - 280<br />
280 - 315<br />
315 - 400<br />
Foto Keratin<br />
Foto keratis,<br />
katarak<br />
Katarak<br />
Anemia kanker<br />
Eritema kanker<br />
Penggelapan<br />
pigmen, percepatan<br />
penuaan.<br />
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan radiasi<br />
ultraviolet ( UV-R ) sampai dipermukaan bumi yang<br />
berakibat dengan efek biologi adalah penipisan<br />
lapisan ozon di stratosfer, karena bertambahnya<br />
bahan kimia buatan manusia yang mengandung<br />
senyawa klorin dan bromin, akan ikut merusak<br />
molekul ozon pada lapisan stratosfer ( oleh<br />
Sherwood Rowland dan Mario Molina dari<br />
Universitas California Tahun 1974 )<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Data dari hasil observasi SPD LAPAN<br />
Watukosek merupakan data digital yang<br />
menggambarkan tingkat intensitas radiasi UV-B<br />
setiap 15 menit sekali pada panjang gelombang 280-<br />
315 nm yang dinyatakan dalam satuan ( kJ ) . Data<br />
UV-B tersebut kemudian disusun dan ditampilkan<br />
dalam bentuk table harian yang sesuai dengan<br />
tanggal dan jam pengamatan. Selanjutnya diolah<br />
menggunakan Program Microsoft Office Excell<br />
menjadi data rata-rata bulanan maksimum ,<br />
minimum dan total dalam bentuk grafik variasi<br />
intensitas radiasi UV-B mulai dari Bulan Januari<br />
sampai dengan Desember 2008 seperti diperlihatkan<br />
pada table berikut :<br />
TABEL II<br />
Data integrated Ultra Violet B (kJ) LAPAN Watukosek Januari<br />
sampai Agustus 2008.<br />
Jam Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags<br />
6:00 4 2 2 3 2 1 1 1<br />
6:15 10 5 6 7 5 3 2 4<br />
6:30 23 14 15 18 12 8 6 10<br />
6:45 46 30 33 38 27 19 15 23<br />
7:00 79 60 63 68 49 37 31 45<br />
7:15 125 102 103 107 81 65 55 75<br />
7:30 180 144 155 158 122 99 87 114<br />
7:45 245 191 219 216 172 145 126 161<br />
8:00 317 243 297 280 229 195 176 217<br />
8:15 405 321 391 360 289 251 239 272<br />
8:30 491 402 484 442 358 317 288 345<br />
8:45 566 489 569 523 431 387 372 433<br />
9:00 684 573 676 631 493 454 442 511<br />
9:15 763 773 772 691 594 509 513 607<br />
B33
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
9:30 839 870 833 778 677 589 580 696<br />
9:45 954 892 916 913 758 676 635 788<br />
10:00 1068 1015 1025 974 836 734 714 867<br />
10:15 1134 1156 1087 1032 906 796 776 950<br />
10:30 1227 1142 1157 1123 959 850 822 1007<br />
10:45 1258 1154 1263 1215 1002 917 890 1062<br />
11:00 1292 1141 1337 1228 1030 945 940 1117<br />
11:15 1317 1071 1316 1208 1043 985 968 1139<br />
11:30 1303 1025 1310 1221 1070 1002 987 1170<br />
11:45 1290 998 1408 1268 1059 1016 987 1176<br />
12:00 1288 1013 1435 1266 1059 992 981 1181<br />
12:15 1238 952 1461 1237 1010 970 952 1158<br />
12:30 1158 926 1455 1225 983 927 920 1145<br />
12:45 1098 955 1300 1167 947 889 879 1105<br />
13:00 1057 931 1184 1113 901 832 839 1046<br />
13:15 1029 849 1107 1038 798 762 798 992<br />
13:30 965 629 951 937 709 699 752 929<br />
13:45 900 639 758 803 619 631 686 850<br />
14:00 743 611 661 694 530 563 606 761<br />
14:15 604 553 519 610 464 487 527 665<br />
14:30 473 417 426 504 388 411 444 575<br />
14:45 402 343 318 424 315 337 365 484<br />
15:00 334 307 269 342 256 272 300 399<br />
15:15 267 240 228 267 201 211 237 313<br />
15:30 212 232 172 211 148 161 178 238<br />
15:45 162 166 138 161 103 115 128 174<br />
16:00 120 119 98 116 66 75 87 121<br />
16:15 85 89 64 75 41 43 53 77<br />
16:30 58 65 44 44 22 25 30 45<br />
16:45 37 40 26 22 10 12 16 23<br />
17:00 21 23 13 10 4 4 7 10<br />
17:15 9 11 6 4 2 2 3 4<br />
17:30 4 4 2 2 1 1 1 2<br />
17:45 2 2 1 1 1 1 1 1<br />
18:00 1 1 1 1 1 0 0 0<br />
Total 27884 23932 28074 26775 21782 20423 20443 25085<br />
TABEL III<br />
Data integrated Ultra Violet B (kJ) LAPAN Watukosek bulan<br />
September sampai Desember tahun 2008.<br />
Jam Sep Okt Nop Des AVG Min Max STD<br />
6:00 4 11 16 13 5 1 16 5.2<br />
6:15 11 25 33 30 12 2 33 11.1<br />
9:15 662 798 899 806 699 509 899 123.7<br />
9:30 755 875 1002 912 784 580 1002 129.5<br />
9:45 847 972 1089 761 850 635 1089 131.3<br />
10:00 898 1055 1150 937 939 714 1150 134.5<br />
10:15 965 1134 1209 888 1003 776 1209 144.5<br />
10:30 1051 1193 1248 993 1064 822 1248 141.2<br />
10:45 1119 1276 1279 1084 1126 890 1279 138.7<br />
11:00 1143 1316 1304 1104 1158 940 1337 139.9<br />
11:15 1181 1373 1304 1150 1171 968 1373 136.9<br />
11:30 1223 1386 1273 1202 1181 987 1386 132.2<br />
11:45 1236 1381 1203 1272 1191 987 1408 146.2<br />
12:00 1252 1364 1187 1226 1187 981 1435 148.3<br />
12:15 1231 1346 1159 1134 1154 952 1461 161.7<br />
12:30 1190 1285 1114 1013 1112 920 1455 165.6<br />
12:45 1151 1214 1040 752 1041 752 1300 160.1<br />
13:00 1092 1121 971 639 977 639 1184 156.3<br />
13:15 1019 1036 878 585 908 585 1107 154.0<br />
13:30 947 943 803 420 807 420 965 170.8<br />
13:45 844 845 695 346 718 346 900 152.2<br />
14:00 747 741 595 322 631 322 761 125.3<br />
14:15 668 655 519 290 547 290 668 107.0<br />
14:30 569 547 426 263 454 263 575 88.0<br />
14:45 467 444 354 241 375 241 484 71.4<br />
15:00 375 358 304 174 308 174 399 60.6<br />
15:15 293 279 240 136 243 136 313 47.0<br />
15:30 223 208 175 81 187 81 238 44.1<br />
15:45 164 141 122 51 135 51 174 35.0<br />
16:00 114 98 85 36 94 36 121 26.1<br />
16:15 72 59 52 27 61 27 89 19.0<br />
16:30 42 33 28 20 38 20 65 14.2<br />
16:45 21 16 13 12 21 10 40 9.7<br />
17:00 9 7 6 5 10 4 23 6.1<br />
17:15 3 3 3 2 4 2 11 3.0<br />
17:30 1 1 1 1 2 1 4 1.2<br />
17:45 1 1 1 1 1 1 2 0.5<br />
18:00 1 1 0 1 1 0 1 0.2<br />
Total 26407 29235 27972 22589<br />
Dari data bulanan intensitas radiasi UV-B<br />
seperti yang titunjukkan pada table II dan table III<br />
ma ka dibuat grafik hubungan antara intensitas<br />
radiasi rata-rata dengan waktu dan bulan observasi<br />
dan juga grafik hubungan antara intensitas radiasi<br />
total rata-rata dengan bulan pengamatan .<br />
6:30 25 48 61 54 24 6 61 18.9<br />
6:45 47 79 98 87 45 15 98 27.9<br />
7:00 79 122 147 129 76 31 147 37.8<br />
7:15 120 176 209 180 116 55 209 48.8<br />
7:30 167 236 280 235 165 87 280 59.3<br />
7:45 222 307 361 303 222 126 361 71.3<br />
8:00 277 382 443 371 286 176 443 81.2<br />
8:15 355 452 523 436 358 239 523 87.6<br />
8:30 428 547 602 525 436 288 602 97.6<br />
8:45 509 625 679 621 517 372 679 98.6<br />
9:00 587 721 790 719 607 442 790 114.7<br />
Gambar 1: variasi intensitas radiasi rata-rata bulanan di<br />
Watukosek tahun 2008.<br />
B34
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2: intensitas radiasi UV-B total rata-rata bulanan di<br />
Watukosek tahun 2008.<br />
Data intensitas radiasi UV-B yang telah diolah<br />
berupa table dan garfik yang ditunjukkan pada<br />
gambar 1 dan gambar 2 terlihat bahwa intensitas<br />
radiasi ultra violet B bervariasi dari waktu ke waktu<br />
baik yang berupa intensitas radiasi rata-rata harian,<br />
bulanan maupun intensitas radiasi total bulanan ,<br />
kemudian dihubungkan dengan data Garis Edar<br />
Bumi mengelilingi Matahari yang diperoleh dari<br />
sumber”www.yohanessurya.com.”<br />
Gambar 3: garis edar bumi mengelilingi matahari.<br />
Ketika bumi bergerak mengelilingi matahari<br />
dengan berputar pada sumbunya menuju kearah<br />
yang tetap, daerah yang disinari matahari selalu<br />
berubah ubah, penyinaran meliputi kutub utara pada<br />
titik balik bulan Juni dan kutub Selatan pada bulan<br />
Desember , pada gambar 3 menunjukkan pengaruh<br />
tersebut secara lebih rinci . Bagian dari seluruh hari<br />
yang mataharinya bersinar pada setiap lintang<br />
ditunjukkan oleh daerah diantara garis lintang yang<br />
terdapat dibelahan bumi yang disinari. Pada titik<br />
balik Juni, matahari bersinar sepanjang periode<br />
perputaran bumi pada semua lintang yang berada<br />
disebelah Utara Lingkaran Antartika, sedangkan<br />
disebelah Selatan Lingkaran Antartika mengalami<br />
24 jam kegelapan .<br />
Pada garis lintang diantara Lingkaran Antartika<br />
berangsur-angsur terdapat jumlah jam siang hari<br />
yang makin kecil jika kita bergerak dari Utara ke<br />
Selatan. Pada khatulistiwa terdapat 12 jam siang<br />
dan 12 jam malam. Pada titik balik Desember,<br />
lamanya waktu siang hari tepat kebalikannya,<br />
dengan wilayah dibelahan Selatan Lingkaran<br />
Antartika mengalami 24 jam siang hari . Pada<br />
Ekuinoks ( matahari berada dikhatulistiwa ), terjadi<br />
12 jam siang hari untuk semua garis lintang. Dari<br />
garis edar bumi mengelilingi matahari pada titik<br />
balik Juni dan titk balik Desember tampak bahwa<br />
Pola Grafik Intensitas Radiasi UV-B yang terbentuk<br />
dipengaruhi oleh posisi Lintang dan Bujur seta<br />
peredaran Bumi mengelilingi matahari . Hal ini<br />
terbukti dari hasil pengamatan Bulan Juni di SPD<br />
LAPAN Watukosek mempunyai nilai rata-rata<br />
bulanan intensitas Radiasi UV-B paling rendah.<br />
Dan hasil pengamatan Bulan Desember mempunyai<br />
nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan<br />
Bulan Juni walaupun matahari sedang berada dititik<br />
balik Selatan yang disebabkan karena posisi SPD<br />
LAPAN Watukosek berada di Lintang Selatan yang<br />
cenderung lebih dekat dengan titik balik Bulan<br />
Desember ( matahari dibelahan bumi selatan ). Dan<br />
juga telah dibuktikan dari hasil penelitian LAPAN<br />
Bandung yang berjudul ”Energy of Solar Ultraviolet<br />
B Irradiance Over Bandung And Watukosek in<br />
2007” bahwa nilai rata-rata Intensitas Radiasi UV-B<br />
hasil pengamatan di SPD LAPAN Watuksek pada<br />
posisi : 7.5 ºLS dan 112.5 ºBT mempunyai nilai<br />
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengamatan<br />
dari Bandung yang berada pada posisi 6.9ºLS<br />
107.58 ºBT sebagai berikut :<br />
TABEL IV<br />
Statistical energy of solar ultraviolet B<br />
over Bandung and Watukosek<br />
Watukosek<br />
Bandung<br />
Average 27.623 kJ 19,192 kJ<br />
Stdev 5,834 kJ 5,570 kJ<br />
% 100.0 % 69.5 %<br />
Maximum 42,803 kJ 34,192 kJ<br />
Minimum 12,127 kJ 6,636 kJ<br />
Faktor lain dalam penelitian ini dilakukan<br />
pembahasan mengenai penipisan lapisan ozon yang<br />
mengakibatkan peningkatan intensitas radiasi ( UV-<br />
R ) yang ada hubungannya dengan efek biologi.<br />
Radiasi ultraviolet (UV-R ) sewaktu melwati lapisan<br />
ozon di stratosphere sebagian besar diserap oleh<br />
ozon, sehingga tinggal UV-A dan UV-B, yang<br />
sampai dipermukaan bumi dalam jumlah yang kecil.<br />
Sedangkan UV-C pada panjang gelombang 100 nm<br />
– 280 nm diserap oleh lapisan ozon sehingga tidak<br />
mempengaruhi terhadap kesehatan. Memperhatikan<br />
dampak dan efek biologi dari radiasi UV-B jauh<br />
lebih besar dibandingkan dengan radiasi UV-A,<br />
maka dalam pembahasan ini dikhususkan untuk<br />
mendeteksi perubahan tingkat intensitas radiasi UV-<br />
B dari waktu ke waktu secara kontinyu. Penyebaran<br />
radiasi ultraviolet hingga sampai dipermukaan bumi<br />
tergantung dari beberapa faktor yang<br />
mempengaruhi, diantaranya adalah penipisan lapisan<br />
ozon di stratosfer yang disebabkan oleh terlepasnya<br />
bahan-bahan kimia buatan manusia, seperti CFC,<br />
B35
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Halon, Metil Bromida dan bahan perusak ozon lain<br />
ke udara dapat menyebabkan rusaknya lapisan ozon<br />
di stratosfer. Kerusakan lapisan ozon yang berfungsi<br />
sebagai pelindung bumi ini dapat menyebabkan<br />
peningkatan intensitas radiasi UV-B yang sangat<br />
berbahaya bila sampai kepermukaan bumi. Apabila<br />
manusia terpapar oleh sinar ini, maka akan<br />
mempunyai resiko tinggi untuk terjangkit kanker<br />
kulit, katarak mata dan menurunnya ketahanan<br />
tubuh.<br />
Untuk mengatasi hal tersebut dituntut<br />
kesadaran Pemerintah, Kepedulian Pelaku Industri,<br />
Masyarakat bersama-sama mengambil tindakan<br />
dalam meghadapi kecenderungan meningkatnya<br />
bahaya pajanan radiasi ultraviolet dari matahari<br />
akibat menipisnya lapisan ozon di stratosfer, dengan<br />
cara mengurangi dan menghapuskan penggunaan<br />
Bahan Perusak Ozon<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Kesimpulan dari uraian data hasil observasi<br />
yang dilaksanakan di SPD LAPAN Watukosek<br />
selama periode Januari sampai Desember 2008<br />
adalah sebagai berikut :<br />
Intensitas radiasi UV-B harian mulai terlihat<br />
sekitar jam 06:00 pagi hari dan puncaknya terjadi<br />
sekitar jam 12:00 kemudian berangsur-angsur<br />
menurun sampai intensitas nol pada jam 18:00.<br />
Intensitas maksimm harian terjadi pada bulan<br />
Maret sebesar 1460 kJ , karena pada saat itu<br />
matahari sedang berada diatas ekuator .<br />
Pada bulan Juni intensitas radiasi UV-B relative<br />
lebih kecil yaitu sebesar 1016 kJ , karena matahari<br />
sedang berada dititik balik Utara .<br />
Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan<br />
intensitas radiasi UV-B seperti: waktu (pagi, siang<br />
dan sore), lintang (posisi geografis), ketebalan ozon<br />
stratosfer, ketebalan awan atau partikel aerosol .<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Bunawas , (1999), Radiasi Ultraviolet dari Matahari<br />
dan Risiko Kanker Kulit , Pusat<br />
Standardisasi dan Penelitian Keselamatan<br />
Radiasi,Badan Tenaga Atom Nasional,<br />
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No.122, 9<br />
– 12 .<br />
http://www.yohanessurya.com/news.php?pid=60<br />
Molina, M.J., and F.S. Rowland, (1974).<br />
Stratospheric sink for chlorofluoromethane:<br />
Chlorine atom-catalyzed destruction of<br />
ozone. Nature 249, 810-812<br />
Saiful Hamdi, Suparno, Lalu Husnan , Hari Susanto<br />
( 2009) , Energy of Solar Ultraviolet B<br />
Irradiance Over Bandung And Watukosek in<br />
2007.<br />
Stephen O. Andersen, K.Madhava Sarma (2002),<br />
Protecting the Ozone Layer, The United<br />
Nations History, 3 – 9.<br />
Saran-saran untuk menghindari penyakit yang<br />
diakibatkan oleh radiasi UV-B yang berlebih seperti<br />
kanker kulit, kulit terbakar, katarak pada mata ,<br />
adalah sebagai berikut :<br />
Kurangi terkena sinar matahari langsung mulai<br />
pukul 10:00 sampai 16:00 karena waktu itu radiasi<br />
UV sedang puncaknya .<br />
Kenakan pakaian yang melindungi seluruh kulit<br />
dan gunakan topi lebar untuk melindungi wajah .<br />
Gunakan kaca mata hitam dengan lensa<br />
pelindung yang anti UV .<br />
Oleskan tabir surya ke permukaan kult yang<br />
mampu melindungi kulit dari radiasi UV sebelum<br />
beraktifitas diluar gedung .<br />
Hindari permukaan yang bisa memantulkan<br />
sinar matahari langsung diatas permukaan kulit .<br />
B36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pemanfaatan Radiasi dalam Terapi Dupuytren Disease<br />
(Morbus Dupuytren )<br />
Novita Rosyida 1 , Johan A.E. Noor 2<br />
1,2 Program Studi S-2 <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Brawijaya<br />
Email : novitarosyida_05@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Dupuytren disease atau sering disebut morbus dupuytren (MD) adalah penyakit disebabkan karena adanya<br />
pengerutan jaringan fibrosa di bawah permukaan telapak tangan dengan membentuk ikatan dan simpul otot. MD<br />
biasanya tumbuh sangat lambat namun memberikan efek yang sangat menyakitkan bagi pasien. Pasien yang<br />
mengalami penyakit ini akan mengalami penebalan jaringan di bawah telapak tangan dan pemendekan jari<br />
tangan, sehingga otot-otot yang menghubungkan jari dengan telapak tangan tidak dapat bergerak secara bebas.<br />
Jika dibiarkan dalam waktu lama, telapak tangan akan hyperplastis dan mengerut. Penanganan dupuytren disease<br />
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembedahan dan radiasi untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal.<br />
Radiasi merupakan salah satu agen sitotoksik dengan menggunakan sinar pengion yang dikembangkan dalam<br />
terapi dupuytren disease. Saat ini telah terjadi perkembangan yang pesat dalam teknik pemberian radiasi pada<br />
dupuytren disease salah satunya adalah dengan menggunakan sinar-X (120 kV) atau dengan elektron (3 – 10<br />
MeV). Perkembangan tersebut didasari baik oleh perbaikan pengetahuan dalam bidang teknologi komputer dan<br />
peralatan radiasi, maupun oleh berkembangnya pengetahuan dalam bidang biologi seluler maupun molekuler<br />
baik jaringan sehat maupun jaringan yang tidak sehat.<br />
Makalah ini akan mendiskusikan metode radiasi untuk mendapatkan dosis radiasi yang efektif dan homogen di<br />
daerah target dan dosis serendah mungkin pada jaringan sehat di sekitar target.<br />
Kata kunci : morbus dupuytren, radiasi pengion, proteksi radiasi, terapi klinis.<br />
PENDAHULUAN<br />
Dupuytren disease atau sering disebut morbus<br />
dupuytren (MD) adalah penyakit yang disebabkan<br />
karena adanya pengerutan jaringan fibrosa di bawah<br />
permukaan telapak tangan dengan membentuk<br />
ikatan dan simpul-simpul pada otot. Pada stadium<br />
awal, simpul-simpul otot mulai muncul pada<br />
permukaan telapak tangan yang disebut dengan<br />
istilah cord. Simpul atau cord akan terus<br />
berkembang dan menjadi gejala awal morbus<br />
dupuytren. Pada perkembangan lebih lanjut, simpul<br />
atau cord akan menjalar ke periostium mendekati<br />
tulang telapak tangan yang menyebabkan terjadinya<br />
kontraksi antara telapak tangan dengan medial<br />
phalangeal (MP) dan penggabungan proximal<br />
interphalangeal (PIP). Peristiwa ini mengakibatkan<br />
permukaan telapak tangan tidak elastis (kaku) dan<br />
pembengkokan pada jari. Secara klinis<br />
perkembangan stadium pada MD didasarkan pada<br />
semakin melemahnya fungsi dari jari (McFarlane et<br />
al. 1990).<br />
Morbus dupuytren (MD) ditemukan oleh<br />
seorang anatomis dari Perancis, Guillaume<br />
Dupuytren, namun dideskripsikan oleh Felix Platter<br />
(1614) dan Astley Cooper (1824). Penyebaran dari<br />
MD berkisar antara 1-3% di pusat Eropa namun<br />
sangat bervariasi di daerah yang bebeda. Angka<br />
penyebaran tertinggi berada di daerah Irlandia,<br />
Skotlandia dan Prancis. MD biasanya mulai muncul<br />
di usia 40 tahun ke atas dengan rasio perbandingan<br />
antara laki-laki dan perempuan 3:1. Riwayat<br />
keluarga atau faktor keturunan biasanya lebih besar<br />
terjadi pada wanita jika dibandingkan dengan lakilaki<br />
(Millesi, 1981). Pada masa ilmu kedokteran<br />
belum berkembang, MD sering dikaitkan dengan<br />
alkohol, nikotin, diabetes mellitus dan epilepsi,<br />
namun penyebab sebenarnya belum dapat<br />
dimengerti secara klinis.<br />
Secara klinis tipe dari patihistologi MD dibagi<br />
menjadi tiga, yang pertama adalah fase proliferatif<br />
yang ditandai dengan peningkatan fibroblast dan<br />
mulai munculnya simpul-simpul jaringan. Fase<br />
kedua adalah fase evolusi, ditandai dengan<br />
meningkatnya myofibroblast pada simpul jaringan<br />
yang menyebabkan telapak tangan mulai kaku. Fase<br />
ketiga adalah fase residu, ditandai dengan<br />
banyaknya kolagen pada jaringan yang<br />
menghubungkan telapak tangan dengan jari (Luck,<br />
1959). Tidak seperti tumor atau desmoid, MD tidak<br />
menyerang otot-otot yang tidak berhubungan dengan<br />
simpul jaringan, namun terus berkembang secara<br />
perlahan dan cenderung stabil dari tahun-ketahun<br />
bahkan jarang berkembang secara spontan, hal ini<br />
didasarkan pada laporan perkembangan pasien<br />
selama lima tahun yang sama sekali tidak<br />
melakukan terapi.<br />
Obat-obatan (termasuk steroid, allopurinol,<br />
DMSO, nonsteroidal anti-inflamasi nonsteroid,<br />
enzim, Vitamin E) tidak dapat digunakan untuk<br />
B37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
pencegahan MD pada stadium awal. Operasi<br />
(pembedahan yang dilakukan secara lokal, parsial<br />
ataupun pembedahan total) merupakan salah satu<br />
cara yang cukup efektif untuk penanganan MD pada<br />
stadium yang lebih lanjut di mana jari dan telapak<br />
tangan sudah tidak fleksibel sehingga mengganggu<br />
aktivitas sehari-hari. Namun pembedahan<br />
mempunyai kelemahan yaitu timbulnya komplikasi<br />
dan kebanyakan pasien sekitar 30-50% mengalami<br />
kekambuhan walaupun operasi pengangkatan yang<br />
dilakukan pada jaringan yang mengalami MD<br />
berjalan dengan sukses.<br />
Gambar 1. Telapak tangan pasien yang menderita Morbus<br />
Dupuytren (www.dupuytren-online.<br />
info/dupuytren_stages_therapies.html)<br />
Terapi dengan menggunakan radiasi<br />
(radioterapi) merupakan terapi tanpa pembedahan<br />
yang dapat menghentikan atau mengurangi gejala<br />
MD pada stadium awal secara permanen atau dalam<br />
waktu yang cukup lama. Dengan teknik radioterapi<br />
pertumbuhan MD akan terhambat karena<br />
peningkatan produksi myofibroblast dan kolagen,<br />
namun tidak bisa mengembalikan kondisi telapak<br />
tangan seperti pada keadaan normal.<br />
Berdasarkan beberapa studi klinis yang telah<br />
dilakukan di Eropa, radioterapi merupakan salah<br />
satu jenis terapi yang sangat dianjurkan untuk<br />
penderita MD stadium awal walaupun radioterapi<br />
belum bisa diterima sebagai treatment yang standar.<br />
Walaupun beberapa konsep tentang dosis radiasi<br />
telah berhasil diaplikasikan untuk terapi, teknik<br />
radioterapi belum pernah diuji secara klinis. Dalam<br />
makalah ini akan didiskusikan bagaimana teknik<br />
radioterapi dapat diplikasikan dalam terapi MD<br />
secara optimal (sebagai contoh pengurangan dosis).<br />
METODE<br />
Pada makalah ini metode yang digunakan<br />
adalah studi pustaka untuk mendapatkan teknik<br />
radioterapi yang efektif pada penderita MD dengan<br />
penggunaan dosis radiasi serendah mungkin.<br />
Stadium Morbus Dupuytren (MD)<br />
Pembagian stadium pada MD didasarkan pada<br />
perhitungan deformasi total pada telapak tangan dan<br />
pengerutan jari sesuai pada Tabel 1 (Tubiana et al.<br />
1966). Stadium I meliputi hilangnya fungsi dari jari<br />
TABEL I<br />
Klasifikasi Morbus Dupuytren (MD) berdasarkan penelitian yang<br />
dilakukan oleh Tubiana, Michon, and Thomine (1966)<br />
Stadium<br />
N<br />
I<br />
II<br />
III<br />
IV<br />
Gejala Klinis<br />
Munculnya simpul, cord,<br />
kulit semakin kencang,<br />
dan kekakuan pada jari<br />
Munculnya simpul, cord,<br />
kulit semakin kencang,<br />
dan kekakuan pada jari<br />
serta deformasi pada jari<br />
Munculnya simpul, cord,<br />
kulit semakin kencang,<br />
dan kekakuan pada jari<br />
serta deformasi pada jari<br />
Munculnya simpul, cord,<br />
kulit semakin kencang,<br />
dan kekakuan pada jari<br />
serta deformasi pada jari<br />
Munculnya simpul, cord,<br />
kulit semakin kencang,<br />
dan kekakuan pada jari<br />
serta deformasi pada jari<br />
Sudut Deformasi pada<br />
Jari<br />
0<br />
1 o -45 o<br />
46 o -90 o<br />
91 o -135 o<br />
>135 o<br />
karena mengalami deformasi/ pembengkokan<br />
antara 1 o -45 o . pada stadium selanjutnya akan<br />
mengalami gejala yang sama yaitu hilangnya<br />
fungsi dari jari dengan deformasi yang lebih besar.<br />
Radioterapi<br />
Radioterapi diberikan kepada pasien<br />
berdasarkan tingkat/ stadium dari MD. Pada<br />
pelaksanaan radioterapi, simpul atau cord pada area<br />
MD diradiasi pada jarak 1-5 cm jika menggunakan<br />
mesin sinar-X (120 kV = soft X-Ray dengan daya<br />
tembus yang rendah) atau dengan menggunakan<br />
elektron (3-10 MeV). Fraksi dari terapi biasanya<br />
dilakukan selama lima hari berturut-turut untuk<br />
mendapatkan dosis yang efisien (dengan besar dosis<br />
sekali terapi sebesar 3 Gy, dengan total dosis 15 Gy<br />
untuk lima kali penyinaran). Setelah diistirahatkan<br />
selama enam minggu akan dilaksanakan perulangan<br />
terapi.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
MD dikarakterisasi oleh perkembangan jaringan<br />
fibrosa pada pembentukan node atau cord (Lukacs et<br />
al. 1978). Stadium dari MD dapat ditandai dengan<br />
adanya jaringan fibrosa yang bersifat neoplastis dan<br />
adanya perubahan bentuk jaringan pada daerah di<br />
bawah permukaan kulit (McFarlane et al. 1990).<br />
Gejala awal MD juga ditandai dengan adanya simpul<br />
dan cord pada jari dan telepak tangan. Jaringan tidak<br />
normal biasanya berkembang di daerah yang<br />
arahnya longitudinal dan mengikuti tendon/otot<br />
talapak tangan, sehingga menyebabkan adanya<br />
ketegangan pada telapak tangan dan jari. (Keilholz<br />
et al. 1997).<br />
B38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Setiap sel pada dasarnya memiliki masa<br />
proliferase dengan hipotesis bahwa setiap otot mikro<br />
TABEL III<br />
Konsep Radiasi dan Rdioterapi yang Diberikan pada Penderita Morbus Dupuytren (MD) (Seegenschmiedt et al. 2001)<br />
Studi (tahun)<br />
Finney (1955)<br />
Wasserburger<br />
(1956)<br />
Lukacs et al. (1978)<br />
Vogt & Hochschau<br />
(1980)<br />
Hesselkemp et al.<br />
(1981)<br />
Ko ¨hler (1984)<br />
Herbst et al. (1985)<br />
Keilholz et al.<br />
(1996)<br />
Seegenschemied t et<br />
al. (2001)<br />
randomized<br />
Fraksinasi<br />
1–3 x 1.000 rad<br />
Ra-Moulage<br />
1–3 x 1000 rad<br />
Ra-Moulage<br />
2 x 4 Gy<br />
(hari 1+2)<br />
Setiap 2 bulan<br />
2 x 4Gy<br />
(hari 1+2)<br />
Setiap 2 bulan<br />
2 x 4Gy<br />
(hari 1+2)<br />
Setiap 2 bulan<br />
10 x 2Gy<br />
3–5 x /minggu<br />
3–14 x3Gy<br />
5 x / minggu;<br />
2 seri radioterapi<br />
10 x 3Gy<br />
5 x /minggu<br />
2 seri radioterapi<br />
10 x 3Gy<br />
7 x 3Gy<br />
Konsep Radioterapi<br />
Dosis<br />
1.000–<br />
3.000 rad<br />
1.000–<br />
3.000 rad<br />
Follow Up<br />
NA<br />
> 12 tahun<br />
32 Gy NA<br />
32 Gy 3 tahun<br />
Gejala Klinis yang timbul pada Tiap-tiap<br />
stadium (%)<br />
Penurunan Kondisi Peningkatan<br />
Gejala Stabil Gejala<br />
I: 81%<br />
II: 75%<br />
I: 21%<br />
II: 25%<br />
III: —<br />
60% “memperolah hasil yang baik”<br />
stadium I: 90%;<br />
stadium II: 57%;<br />
stadium III: 32%<br />
I: 19% -<br />
I: 74%<br />
II: 50%<br />
III: 86%<br />
I: 4%<br />
II: 25%<br />
III: 20%<br />
40 Gy 1–9 tahun total: 52% total: 41% total: 7%;<br />
20 Gy<br />
1–3 tahun<br />
total: 21% total: 61% total: 18%<br />
42 Gy 1.5 tahun - total: 98% total: 2%<br />
30 Gy<br />
30 Gy<br />
21 Gy<br />
1–12 tahun;<br />
Rata-rata 6<br />
tahun<br />
> 1 tahun pada<br />
semua pasien<br />
72%<br />
7% stadium<br />
MD<br />
56%<br />
53%<br />
17%<br />
82% stadium<br />
MD<br />
37%<br />
38%<br />
11%<br />
11% stadium<br />
MD<br />
7%<br />
9%<br />
yang berdekatan dapat menyebabkan isemia<br />
lokal dan menghasilkan radikal bebas yang dapat<br />
merusak daerah di sekitar stroma dan menstimulasi<br />
perkembangan perivascular fibroblast. Stimulasi<br />
yang kontinyu akan mengakibatkan proliferase<br />
fibroblast dan deposisi kolagen yang mengakibatkan<br />
penjalaran sifat pathogenesis dari sel (Millesi, 1981).<br />
Efek dari radioterapi pada stadium lanjut telah<br />
ditunjukkan pada beberapa penelitian klinis (Tabel.<br />
II) di mana pada penelitian yang dilakukan oleh<br />
Lukacs (1978) tidak terjadi perkembangan MD<br />
setelah terapi dilaksanakan. Hesselkamp (1981)<br />
menyatakan bahwa terjadi kondisi pasien semakin<br />
meningkat bahkan mempunyai kondisi yang setabil<br />
setelah dilaksanakan radioterapi, yaitu lebih dari<br />
81% pasien pada stadium I mengalami penurunan<br />
gejala MD. Pada penelitian yang dilakukan<br />
Hesselkamp (1981) didapatkan 93% dari pasien<br />
yang melakukan radioterapi setelah dua tahun tidak<br />
mengalami peningkatan gejala klinis dan dalam<br />
kondisi yang stabil. Vogt dan Hocschau (1980)<br />
menyatakan 94 % dari 109 pasien yang<br />
melaksanakan radioterapi mempunyai kondisi yang<br />
stabil setelah lebih tiga tahun. Kohler (1984)<br />
melaporkan 82% dari 33 pasien yang telah diterapi<br />
mempunyai kondisi yang stabil dan 6% di antaranya<br />
mengalami kekambuhan tiga tahun setelah terapi.<br />
Observasi dari Herbst dan Regler (1985)<br />
menunjukkan adanya penurunan gejala klinis satu<br />
setengah tahun setelah terapi dilaksanakan. Keilholz<br />
(1996) menemukan 72% dari 142 pasien mengalami<br />
penurunan gejala kinis yaitu simpul yang semakin<br />
mengecil setelah lima tahun terapi dilaksanakan.<br />
Data-data klinis pada Tabel II. menggambarkan<br />
bagaimana perkembangan dari MD setelah<br />
redioterapi dilaksanakan, yang mana memberikan<br />
penurunan gejala klinis lebih dari 50% dibandingkan<br />
dengan pasien yang melaksanakan<br />
operasi/pembedahan. Namun demikian, semua studi<br />
tentang pencegahan MD dengan teknik radioterapi<br />
telah dilaksanakan cukup lama walaupun belum<br />
diperoleh dosis yang paling efektif, terlebih pada<br />
pasien yang berbeda, jenis penyakit yang berbeda,<br />
parameter-parameter treatment (fraksinasi, waktu<br />
treatmen, dosis total yang harus diberikan), akhir<br />
dari terapi dan follow up setelah terapi dilaksanakan.<br />
Kendala tersebut merupakan kunci utama yang<br />
mengakibatkan sulitnya menentukan kesimpulan<br />
seberapa efektifkah dosis yang harus diberikan pada<br />
pasien yang mengalami MD. Berdasarkan hasil<br />
tersebut, perlu diadakan penelitian lebih lanjut<br />
mengenai seberapa besar dosis yang paling efektif<br />
untuk pencegahan dan penanganan pasien yang<br />
mengalami MD.<br />
Kohler (1984) menyarankan bahwa dosis yang<br />
paling efektif untuk pencegahan MD adalah dosis<br />
total maksimal tidak lebih dari 20 Gy, sedangakan<br />
peneliti lain menyatakan untuk mendapatkan hasil<br />
yang maksimal dosis yang diberikan berkisar antara<br />
32-40 Gy. Pada studi lanjut yang dilaksanakan oleh<br />
B39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Keilholz (1996) hasil yang paling maksimal<br />
diperoleh dari dua seri radioterapi dengan dosis total<br />
dalam satu seri adalah 30 Gy (5 x 3 Gy dalam sekali<br />
terapi). Penelitian yang dilakukan oleh<br />
Seegenschemied (2001) dilaksanakan dengan waktu<br />
yang lebih lama jika dibandingkan dengan penelitian<br />
yang dilakukan oleh Keiholz. Penelitian<br />
dilaksanakan dengan membagi pasien menjadi dua<br />
grup yaitu grup A (30 Gy) dan grup B (21 Gy)<br />
dengan dosis yang diberikan pada tiap penyinaran<br />
adalah 3 Gy. Setelah satu tahun, ternyata dosis 21<br />
Gy dan 30 Gy memberikan efektifitas yang relatif<br />
sama.<br />
Teknik radioterapi yang tepat merupakan hal<br />
yang paling penting dalam radioterapi MD, yaitu<br />
dengan hanya memberikan radiasi pada daerah yang<br />
mengalami MD saja. Optimasi dapat dilakukan<br />
dengan memberikan penutup (shielding) pada daerah<br />
yang ada di sekitar MD untuk menjaga agar jaringan<br />
yang sehat tidak terkena radiasi, namun ada<br />
kemungkinan daerah yang tidak terdeteksi MD<br />
terlewatkan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal<br />
dapat dilakukan penggabungan antara pembedahan<br />
dan radioterapi. Orthovoltage photons (120-150 kV)<br />
atau linac (3-6 MeV) digunakan untuk radiasi pada<br />
semua simpul jaringan yang disisipkan pada daerah<br />
5-15 mm di bawah permukaan kulit, 120 kV/20mAs<br />
digunakan untuk radiasi pada kedalaman 33 mm<br />
karena mempunyai half value layer pada kedalaman<br />
33 mm. Dosimetri yang digunakan dapat mengacu<br />
pada ICRU 50 dalam perencanaan tretmen untuk<br />
mendaparkan dosis yang maksimal dan efektif, serta<br />
tidak memberikan banyak efek pada jaringan sehat<br />
yang ada disekitar MD.<br />
KESIMPULAN<br />
Teknik radioterapi dapat diaplikasikan pada<br />
pemderita morbus dupuytren (MD), utamanya pada<br />
stadium awal (stadium I) karena pada stadium ini<br />
gangguan dari simpul jaringan dan gejala-gejala<br />
klinis masih belum dominan. Jika tidak dilakukan<br />
radioterapi maka penanganan MD harus dengan<br />
melakukan operasi atau pembedehan dengan resiko<br />
kekambuhan yang lebih besar. Studi klinis sagat<br />
diperlukan untuk memonitoring apakah pasien<br />
dalam kondisi yang cukup baik, selain itu studi<br />
klinis dapat dimanfaatkan untuk menentukan dosis<br />
radiasi yang paling efektif berdasarkan pada kondisi<br />
pasien setelah diradiasi. Untuk studi lebih lanjut<br />
perlu dikembangkan kolaborasi antara teknik terapi<br />
dengan pembedahan dan radioterapi untuk<br />
mendapatkan hasil yang optimal.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih disampaikan kepada bapak Johan<br />
A.E. Noor selaku pembimbing, Alamsyah M.<br />
Juwono dan bapak Chomsin S. Widodo yang teleh<br />
bersedia membantu mencarikan paper yang<br />
dibutuhkan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonymous. 1834. Dupuytren G. Permanent<br />
retraction of the fingers, produced by an<br />
affection of the palmar fascia. Lancet;2:222–<br />
225<br />
Finney R. 1955. Dupuytren’s contracture. Brit J<br />
Radiol. Vol. 28, 610–613.<br />
Herbst M, Regler G. 1986. Dupuytrensche<br />
Kontraktur. Strahlenther.161, 143–147.<br />
Keilholz L, Seegenschmiedt MH, Sauer R. 1996.<br />
Radiotherapy for prevention of disease<br />
progression in early-stage Dupuytren’s<br />
contracture: Initial and long-term results. Int<br />
J Radiat Oncol Biol Phys. Vol.36, 891–897.<br />
Keilholz L, Seegenschmiedt MH, Born AD, et al.<br />
1997. Radiotherapy in the early stages of<br />
Dupuytren’s disease: Indication, technique,<br />
long-term results. Strahlenther Onkol. 173,<br />
27–35.<br />
Kohler AH. 1984. Die Strahlentherapie der<br />
Dupuytrenschen Kontraktur. Radiobiol<br />
Radiother. Vol. 25, 851–853.<br />
Luck JV. 1959. Dupuytren’s contracture. J Bone<br />
Joint Surg [Am].41, 635–664.<br />
Lukacs S, Braun Falco O, Goldschmidt H. 1978.<br />
Radiotherapy of benign dermatoses:<br />
Indications, practice, and results. J Dermatol<br />
Surg Oncol. Vol. 4, 620–625.<br />
McFarlane RM, McGrouther DA, Flint MH. 1990.<br />
Dupuytren’s disease. Biology and treatment,<br />
the hand and upper limb series.Vol. 5.<br />
Edinburgh: Churchill Livingstone.<br />
Millesi H. 1981. Dupuytren-Kontraktur. In: Nigst H,<br />
Buck-Gramcko D, Millesi H, editors.<br />
Handchirurgie, Band I. Stuttgart: Thieme.<br />
1500–1557.<br />
Seegenschmiedt M., Heinrich, M.D, Olschewski.<br />
T.,Guntrum F. 2001. Radiotherapy<br />
Optimization in Early Stage Dupuytren’s<br />
Contracture:First Results of a Randomized<br />
Clinical Study . Int. J. Radiation Oncology<br />
Biol. Phys., Vol. 49, No. 3, 785–798.<br />
Tubiana R, Michon J, Thomine JM. 1966.<br />
Evaluation chiffree des deformations dans la<br />
maladie de Dupuytren. In: Maladie du<br />
Dupuytren (monographies du G.E.M.). Paris:<br />
Expansion Scientifique Francaise.<br />
Vogt HJ, Hochschau L. 1980. Behandlung der<br />
Dupuytrenschen Kontraktur. Munch Med<br />
Wochenschr. 122, 125–130.<br />
Wasserburger K. 1956. Therapie der<br />
Dupuytrenschen Kontraktur. Strahlenther.<br />
100, 546–560.<br />
www.dupuytren-online.info/dupuytren_stages_ therapies.<br />
html. Tanggal akses 4 Juni 2010.<br />
B40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dampak Badai Geomagnet di Daerah Anomali Ekuator<br />
Sarmoko Saroso<br />
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />
Email : sarmoko@bdg.lapan.go.id<br />
Abstrak<br />
Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan fenomena yang timbul di matahari yaitu berupa lontaran massa<br />
korona (Coronal Mass Ejection-CME) dan angin surya berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona<br />
(coronal holes) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada magnetosfer, ionosfer, atmosfer bahkan sampai ke<br />
permukaan bumi, serta mengakibatkan gangguan baik pada komunikasi radio maupun komunikasi satelit. Selain<br />
itu juga akan menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasi data survey medan magnet bumi dan eksplorasi<br />
geofisika yang dilakukan oleh para surveyor yang disebabkan oleh terkontaminasinya data hasil survey di<br />
lapangan. Respons lapisan ionosfer terhadap badai geomagnet berupa perubahan yang signifikan pada kerapatan<br />
elektron di lapisan ionosfer, seperti kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer (NmF2) dan total<br />
electron content (TEC). Studi kasus dilakukan untuk mengamati pengaruh badai geomagnet yang sangat kuat<br />
yang terjadi pada bulan Oktober - November 2003 dengan menggunakan peralatan ionosonda dan satelit GPS di<br />
Taiwan dan Indonesia, yang masing-masing terletak di daerah ekuator anomali di belahan bumi utara dan<br />
selatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat fase pulih dari badai geomagnet tanggal 30 Oktober<br />
2003, terjadi punurunan kerapatan elektron di lapisan ionosfer. Penurunan tersebut lebih signifikan terjadi di<br />
daerah ekuator anomali di belahan bumi selatan dibandingkan dengan di belahan bumi utara. Hasil tersebut<br />
bersesuain dengan model SUPIM (Sheffield University Plasmasphere Ionosphere Model) dan model TIEGCM<br />
(Thermosphere-Ionosphere-Electrodynamic General Circulation Model) untuk daerah Asia.<br />
Kata kunci : Badai geomagnet, Magnetosfer, Ionosfer, Atmosfer, Ekuator anomali<br />
PENDAHULUAN<br />
Pengamatan yang terkait dengan kejadian badai<br />
geomagnet telah sejak lama dilakukan, yaitu yang<br />
pertama kali oleh Broun (1861) kemudian oleh<br />
Adams (1892) dan dilanjutkan oleh peneliti lainnya.<br />
Akan tetapi yang pertama kali dapat mengidentifikasi<br />
pola badai magnet adalah Moos (1910)<br />
yang mengamati terjadinya peningkatan mendadak<br />
dari komponen H geomagnet di Colaba, India,<br />
kemudian diikuti oleh penurunan yang cepat selama<br />
beberapa jam dan diakhiri dengan fase pulih yang<br />
lambat selama 2-3 hari. Chapman (1918)<br />
mendefinisikan kejadian tersebut sebagai ’geomagnetic<br />
storm’ dan menamakan urutan kejadian badai<br />
geomagnet tersebut dengan fase awal, kemudian fase<br />
utama, dan diakhiri dengan fase pulih. Selain itu<br />
Chapman juga yang pertama kali mengamati<br />
dampak badai geomagnet diberbagai tempat di<br />
dunia.<br />
Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan<br />
fenomena yang timbul di matahari terutama pada<br />
saat matahari aktif, yaitu berupa lontaran massa<br />
korona (Coronal Mass Ejection-CME) yang<br />
menyebabkan gangguan terhadap angin matahari<br />
dan berakibat pada peningkatan aktivitas medan<br />
magnet bumi. Lontaran massa korona merupakan<br />
peristiwa terlontarnya plasma dan medan magnet<br />
dari matahari dalam jumlah besar yang seringkali<br />
berasosiasi dengan flare. Materi ini menuju medium<br />
antar planet dan bila mengarah ke bumi akan<br />
mencapai bumi dalam waktu 1 – 5 hari. CME ini<br />
dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya<br />
gangguan di ruang antar planet yang akan memicu<br />
terjadinya badai geomagnet (Thompson, 1989;<br />
Webb et al., 2000). Pada saat matahari minimum,<br />
pengaruh lubang korona (coronal holes) sangat<br />
dominan pada medium antar planet. Lubang korona<br />
tersebut akan bermigrasi dari daerah polar ke lintang<br />
yang lebih rendah bahkan kadang-kadang sampai ke<br />
ekuator matahari (Jackson, 1997). Dari data hasil<br />
observasi Ulysses menunjukkan bahwa aliran<br />
plasma yang berasal dari lubang tersebut<br />
mempunyai kecepatan 750-800 km/s dan didominasi<br />
oleh gelombang Alfven yang beramplitudo besar.<br />
Pada saat siklus matahari menurun, ketika lubang<br />
korona bermigrasi ke lintang yang lebih rendah,<br />
aliran plasma yang berasal dari lubang korona akan<br />
corotate dalam interval 27 hari yang dikenal sebagai<br />
corotating streams. Aliran plasma ini akan menerpa<br />
magnetosfer bumi dengan interval yang periodik dan<br />
akan menyebabkan badai geomagnet yang berulang<br />
(recurrent geomagnetic storms), akan tetapi pada<br />
umumnya badai geomagnet tersebut hanya<br />
berkekuatan sedang (Tsurutani et al., 1995).<br />
Lontaran massa korona dan angin surya<br />
berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona<br />
tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan<br />
pada lapisan ionosfer, yaitu berupa perubahan yang<br />
signifikan pada kerapatan elektron di lapisan<br />
ionosfer, seperti kerapatan elektron maksimum di<br />
lapisan F2 ionosfer dan total electron content di<br />
B41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ionosfer (Lastovicka, 2002; Blagoveshchensky et al.,<br />
2003). Studi kasus dilakukan untuk mengamati<br />
pengaruh badai geomagnet yang sangat kuat yang<br />
terjadi pada bulan Oktober - November 2003 akibat<br />
peristiwa flare tipe X17.2 yang dipancarkan dari<br />
matahari pada tanggal 28 Oktober 2003, dengan<br />
menggunakan peralatan ionosonda dan satelit GPS<br />
yang berada di Taiwan dan Indonesia, yang masingmasing<br />
terletak di daerah ekuator anomali di belahan<br />
bumi utara dan selatan.<br />
DATA DAN METODE<br />
Untuk mengamati dampak badai geomagnet di<br />
lapisan ionosfer digunakan peralatan ionosonda yang<br />
berada di stasiun Tanjungsari, Sumedang (6.90°LS,<br />
107.50°BT) dan terletak di daerah ekuator anomali<br />
di belahan bumi selatan. Data ionosonda yang<br />
digunakan adalah frekuensi kritis lapisan F 2 (foF2)<br />
yang diamati setiap 15 menit, untuk menentukan<br />
kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer<br />
(NmF2) yang besarnya sebanding dengan foF 2<br />
kuadrat. Sayangnya pada waktu yang bersamaan,<br />
stasiun ionosonda yang berada di di daerah ekuator<br />
anomali di belahan bumi utara, yaitu di Taiwan<br />
sedang tidak beroperasi karena mengalami gangguan<br />
pada bagian peralatannya.<br />
Untuk mengamati parameter ionosfer lainnya,<br />
yaitu total electron content (TEC) digunakan satelit<br />
GPS (Global Positioning System). Setiap satelit dari<br />
24 satelit GPS secara kontinu memancarkan sinyalsinyal<br />
gelombang pada 2 frekuensi L-band, yaitu L1<br />
dan L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42 Mhz dan<br />
sinyal L2 berfrekuensi 1227.60 Mhz. Sinyal L1<br />
membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-<br />
P (P-code, Precise or Private code) dan kode C/A<br />
(C/A-code, Clear Access or Coarse Acquisition),<br />
sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-C/A.<br />
Sinyal-sinyal dari satelit GPS tersebut, yang terletak<br />
kira-kira 20000 km diatas permukaan bumi akan<br />
melalui lapisan ionosfer untuk sampai ke antena<br />
penerima (receiver) di permukaan bumi. Karena<br />
lapisan ionosfer merupakan medium yang dispersif,<br />
maka kecepatan jalar gelombang elektromagnetik<br />
yang dipancarkan dari satelit GPS akan menurun<br />
disepanjang lintasan yang dilaluinya. Dengan<br />
mengetahui waktu tunda dari sinyal GPS yang<br />
sebanding dengan kerapatan elektron disepanjang<br />
lintasan yang dilaluinya, dapat ditentukan TEC di<br />
ionosfer (Sarmoko, 2000). Untuk menentukan TEC<br />
di ionosfer tersebut digunakan data GPS dari<br />
beberapa stasiun, yaitu di YMSM (25.2°LU,<br />
121.6ºBT) dan KDNM (21.94°LU, 120.78ºBT) di<br />
Taiwan, dan stasiun BAKO (6.49°LS, 106.85ºBT) di<br />
Cibinong, Bogor.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Untuk mengamati dampak badai geomagnet di<br />
lapisan ionosfer, ditentukan terlebih dulu deviasi<br />
jam-an dari kerapatan elektron maksimum di lapisan<br />
F2 ionosfer (NmF2) pada saat terjadi badai<br />
geomagnet dengan pada saat medan geomagnet<br />
dalam keadaan tenang. Gambar 1 menunjukkan<br />
indeks Dst, yaitu indikator yang menunjukkan<br />
aktivitas medan geomagnet, pada bulan Oktober<br />
2003. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada<br />
tanggal 12 Oktober 2003 medan geomagnet dalam<br />
keadaan tenang. Deviasi kerapatan elektron<br />
maksimum di lapisan F2 ionosfer (NmF2) dapat<br />
ditentukan dari hubungan : ΔNmF2 = {[(NmF2-<br />
NmF2(q)]/NmF2(q)}x100, dengan NmF2(q) adalah<br />
kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer<br />
pada saat medan geomagnet dalam keadaan tenang<br />
(12 Oktober) dan NmF2 = 1.24×10 10 foF2 2 (m −3 ).<br />
Harga positif dan negatif dari ΔNmF2 masingmasing<br />
menunjukkan badai positif dan badai negatif,<br />
seperti yang terlihat pada Gambar 2.<br />
.<br />
Gambar 1. Indeks Dst pada bulan Oktober 2003<br />
Gambar 2. Variasi NmF2 dan ΔNmF2 di<br />
Tanjungsari dari tanggal 26 Oktober – 6 November<br />
2003<br />
Dari Gambar 2 terlihat bahwa harga NmF2 dan<br />
ΔNmF2 di Tanjungsari pada tanggal 30 dan 31<br />
Oktober mengalami penurunan yang sangat tajam.<br />
Hal ini menunjukkan terjadinya badai negatif pada<br />
tanggal tersebut.<br />
Dari berbagai mekanisme terkait dengan terjadinya<br />
badai negatif, diantaranya adalah disebabkan<br />
oleh terjadinya perubahan komposisi partikel netral<br />
akibat terjadinya badai geomagnet di daerah aurora<br />
yang kemudian menjalar ke daerah lintang rendah<br />
karena pengaruh sirkulasi angin di termosfer yang<br />
ditimbulkan oleh pemanasan Joule dan presipitasi<br />
partikel di daerah aurora. Berdasarkan aproksimasi<br />
bahwa puncak kerapatan elektron adalah sebanding<br />
dengan komposisi partikel O/N2, dimana N2 adalah<br />
komposisi molekul nitrogen dan O adalah komposisi<br />
atom oksigen (Rishbeth and Barron, 2006), maka<br />
dapat diperkirakan akan terjadi penurunan NmF2 di<br />
daerah dimana O/N2 berkurang. Jadi perubahan<br />
komposisi partikel netral akan mengubah kesetimbangan<br />
antara proses pembentukan dan proses<br />
penghilangan elektron yang menyebabkan terjadinya<br />
B42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
penurunan NmF2. Sedangkan penyebab terjadinya<br />
badai negatif di daerah anomali ekuator adalah<br />
pengaruh angin netral yang mengakibatkan perubahan<br />
pada komposisi partikel. Hal ini didukung<br />
oleh hasil pengamatan satelit pada saat terjadi badai<br />
geomagnet di daerah puncak (crest) anomali ekuator.<br />
Peningkatan yang signifikan dari komposisi molekul<br />
nitrogen dan atom oksigen yang menyebabkan penurunan<br />
komposisi partikel O/N2 juga terjadi di daerah<br />
lintang tengah akibat badai negatif (Mansilla, 2003).<br />
Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa pada tanggal<br />
1 dan 2 November terjadi peningkatan NmF2 yang<br />
menunjukkan terjadinya badai positif saat itu. Badai<br />
positif yang terjadi sejak tanggal 1 November<br />
disebabkan oleh peningkatan kerapatan atom O<br />
relatif terhadap kerapatan molekul N2. Peningkatan<br />
kerapatan atom O tersebut akan menyebabkan<br />
komposisi partikel O/N2 bertambah, sehingga hal ini<br />
mengakibatkan terjadinya peningkatan NmF2.<br />
Dampak badai geomagnet pada lapisan ionosfer<br />
berupa peningkatan mendadak TEC ionosfer sehari<br />
setelah terjadinya flare, yaitu pada tanggal 29<br />
Oktober 2003 teramati di stasiun YMSM, KDNM,<br />
dan BAKO, seperti terlihat pada Gambar 3, 4, 5, dan<br />
6. Selanjutnya terjadi penurunan TEC pada tanggal<br />
30 dan 31 Oktober seperti halnya yang terjadi pada<br />
NmF2. Dalam hal ini yang menarik adalah<br />
penurunan TEC di daerah ekuator anomali di<br />
belahan bumi selatan lebih besar dibandingkan<br />
dengan di belahan bumi utara. Hal ini antara lain<br />
disebabkan oleh pengaruh variasi musim.<br />
Gambar 4. Kontur TEC di YMSM dari tanggal<br />
26 Oktober – 6<br />
November 2003<br />
Gambar 5. Kontur TEC di KDNM dari tanggal 26 Oktober – 6<br />
November 2003<br />
Gambar 6. Kontur TEC di BAKO dari tanggal 26 Oktober – 6<br />
November 2003<br />
Gambar 3. Variasi TEC di YMSM, KDNM, dan<br />
BAKO dari tanggal 26 Oktober – 6 November 2003<br />
Hasil yang diperoleh tersebut bersesuaian<br />
dengan model SUPIM (Sheffield University Plasmasphere<br />
Ionosphere Model) dan model TIEGCM<br />
(Thermosphere-Ionosphere-Electrodynamic General<br />
Circulation Model) untuk daerah Asia, seperti yang<br />
terlihat pada Gambar 7 dan 8. Terbentuknya anomali<br />
ekuator pada tanggal 1 November kemungkinan<br />
disebabkan oleh penetrasi medan listrik dari lintang<br />
tinggi ke lintang rendah dan pada saat yang sama<br />
akan dipengaruhi pula oleh gangguan yang<br />
diakibatkan oleh aktivitas magnetik di lintang tinggi<br />
sebelum terjadinya badai geomagnet. Yeh et al.<br />
(1992) dan Abdu et al. (1990) menyatakan bahwa<br />
proses terbentuknya anomali ekuator sangat<br />
bergantung pada medan listrikdi lintang rendah.<br />
Kemungkinan terbentuknya anomali ekuator pada<br />
tanggal 1 November tidak hanya disebabkan oleh<br />
medan listrik, tetapi dapat juga disebabkan oleh<br />
faktor lain, seperti perubahan komposisi partikel<br />
B43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
netral khususnya atom O. Bila terjadi peningkatan<br />
yang signifikan dari konsentrasi atom O, maka<br />
dapat dipastikan terjadi badai positif yang kuat dan<br />
anomali di daerah ekuator.<br />
Gambar 7. Simulasi TEC untuk daerah Asia menggunakan model<br />
TIEGCM, dari tanggal 28 Oktober – 1 November 2003<br />
Gambar 8. Simulasi TEC untuk daerah Asia menggunakan model<br />
SUPIM, dari tanggal 28 –30 Oktober 2003<br />
KESIMPULAN<br />
Telah dilakukan studi kasus untuk mengamati<br />
dampak badai geomagnet yang sangat kuat di daerah<br />
anomali ekuator yang terjadi pada bulan Oktober -<br />
November 2003 dengan menggunakan peralatan<br />
ionosonda dan satelit GPS di Taiwan dan Indonesia,<br />
yang masing-masing terletak di daerah ekuator<br />
anomali di belahan bumi utara dan selatan. Hasil<br />
yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat fase<br />
pulih dari badai geomagnet tanggal 30 Oktober<br />
2003, terjadi penurunan kerapatan elektron di<br />
lapisan ionosfer. Penurunan tersebut lebih signifikan<br />
terjadi di daerah ekuator anomali di belahan bumi<br />
selatan dibandingkan dengan di belahan bumi utara<br />
yang disebabkan oleh variasi musim. Hasil tersebut<br />
bersesuain dengan model SUPIM (Sheffield<br />
University Plasmasphere Ionosphere Model) dan<br />
model TIEGCM (Thermosphere-Ionosphere-<br />
Electrodynamic General Circulation Model) untuk<br />
daerah Asia.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdu, M. A., J. H. A. Sobral, and E. R. De Paula.<br />
(1990), Journal of Atmospheric and Solarterrestrial<br />
Physics 53, 1055-1064.<br />
Adams, W.G. (1892), Comparison of simultaneous<br />
disturbance at several observatories,<br />
Philosophical Transactions of the Royal<br />
Society of London, Series A 183, 131–140.<br />
Blagoveshchensky, D. V., O. M. Pirog, N. M.<br />
Polekh, L. V. Chistyakova. (2003), Journal of<br />
Atmos-pheric and Solar-Terrestrial Physics<br />
65, 203–210.<br />
Broun, J.A. (1861), Horizontal force of the earth’s<br />
magnetism, Transactions of the Royal Society<br />
of Edinburg 22, 511.<br />
Chapman, S. (1918), An outline of theory of<br />
magnetic storms, Proceedings of the Royal<br />
Society of London A 95, 61–83.<br />
Jackson, B. V. (1997). Mon. Ser., Vol. 98. Amer.<br />
Geophys. Union Press, Washington D.C., p.<br />
59. 4.<br />
Lastovicka, J. (2002), Journal of Atmospheric and<br />
Solar-Terrestrial Physics 64, 697–705.<br />
Mansilla, G. A. (2003), Journal of Atmospheric and<br />
Solar-terrestrial Physics 65, 987.<br />
Moos, N.A.F. (1910), Magnetic observations made<br />
at the government observatory Bombay<br />
1846–1905 and their discussion, Part II. The<br />
phenomenon and its description.<br />
Rishbeth, H., R. Barron. (2006). Journal of Atmospheric<br />
and Solar-terrestrial Physics 68, 234.<br />
Sarmoko, S. (1998), Penentuan TEC dengan menggunakan<br />
data kode dan data fase dari satelit<br />
GPS, Majalah LAPAN, No. 3.<br />
Thompson, R. J. (1989), Geomagnetic precursors of<br />
the solar cycle, Solar-Terrestrial Physics<br />
Workshop, Leura.<br />
Titheridge, J. E., M. J. Buonsanto. (1988), Journal of<br />
Atmospheric and Terrestrial Physics 50, 763–<br />
780.<br />
Tsurutani, B.T., Ho, C.M., Arballo, J.K., Goldstein,<br />
B.E., and Balogh, A. 1995. Geophysical<br />
Research Letters 22, 3397.<br />
Webb, D. F., Cliver, E. W., Crooker, N. U., St. Cyr,<br />
O. C., Thompson, R. J. (2000), J. Geophys.<br />
Res. 105, 7491.<br />
Yeh, K. C., K. H. Lin, and R. O. Conkright. (1992),<br />
Can. J. Phys., 70, 532-543.<br />
B44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Efek Gelombang Ultrasonik terhadap Jaringan Tubuh dan Proteksinya<br />
Silvia Nike Saputri 1 , Johan A.E.Noor 2<br />
1,2 Program Studi Magister <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Brawijaya<br />
Email : silvianikesaputri@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan frekuensi di atas 20 kHz. Gelombang<br />
ultrasonik yang digunakan untuk diagnostik mempunyai frekuensi 1 MHz sampai 15 MHz sedangkan yang<br />
digunakan untuk terapi mempunyai frekuensi 0,7 MHz sampai 3 MHz. Pemaparan gelombang ultrasonik yang<br />
diberikan pada tubuh pasien dapat mempengaruhi struktur organ jaringan sel tubuh pasien sehingga<br />
menimbulkan efek biologis pada jaringan berupa efek termal, efek kavitasi, dan efek mekanik. Efek biologis<br />
gelombang ultrasonik disebabkan oleh salah satu atau kombinasi efek termal, efek kavitasi dan efek mekanik.<br />
Pemaparan gelombang ultrasonik sama dengan pemberian bentuk energi mekanik yang diteruskan ke jaringan<br />
biologis dengan frekuensi melebihi batas kemampuan pendengaran manusia, maka energi mekanik yang<br />
disebabkan gelombang ultrasonik dapat mengubah ikatan-ikatan molekul di dalam jaringan biologis yang dapat<br />
memengaruhi metabolisme sel. Efek kavitasi berupa rusaknya jaringan sel telah dapat terjadi pada gelombang<br />
ultrasonik di atas frekuensi 40 kHz. Semakin lama waktu pemaparan gelombang ultrasonik diberikan terhadap<br />
jaringan tubuh pasien semakin besar energi gelombang ultrasonik yang diterima oleh jaringan tubuh pasien.<br />
Pemaparan gelombang ultrasonik yang diberikan dengan waktu yang lama juga dapat menghambat aktivitas sel<br />
di dalam jaringan biologis. Metode yang digunakan adalah studi literatur dengan cara memperoleh informasi dari<br />
beberapa sumber mengenai informasi dan hasil penelitian mengenai dampak gelombang ultrasonik terhadap<br />
jaringan. Naskah ini akan mendiskusikan studi awal tentang interaksi antara gelombang ultrasonik dengan<br />
jaringan, efek-efek dari pemaparan ultrasonik terhadap jaringan dan proteksi agar jaringan tidak terlalu banyak<br />
memperoleh paparan gelombang ultrasonik.<br />
Kata kunci : gelombang ultrasonik, efek termal, efek kavitasi, efek mekanik, jaringan.<br />
PENDAHULUAN<br />
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang<br />
yang mempunyai frekuensi di atas 20 kHz. Dalam<br />
bidang kedokteran, gelombang ultrasonik umumnya<br />
digunakan untuk diagnosis dan terapi dengan cara<br />
meletakkan transduser atau probe pada tubuh pasien.<br />
Pulsa gelombang ultrasonik dipancarkan oleh<br />
transduser ke tubuh pasien dan akan dipantulkan<br />
kembali dimana transduser akan menerima pantulan<br />
tersebut. Kuat lemahnya intensitas yang dipantulkan<br />
oleh jaringan tergantung pada perbedaan impedansi<br />
akustik dari medium jaringan tersebut. Kemudian<br />
akan terbentuk citra dari proses tersebut yang<br />
ditampilkan oleh seperangkat komputer. Semakin<br />
tinggi frekuensi akan dihasilkan citra yang jelas<br />
tetapi tidak dapat menembus jaringan tubuh terlalu<br />
dalam. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi dapat<br />
semakin dalam menembus jaringan tetapi akan<br />
menghasilkan citra dengan resolusi rendah.<br />
Pemaparan gelombang ultrasonik yang<br />
diberikan pada tubuh pasien dapat memengaruhi<br />
jaringan tubuh pasien yang menimbulkan efek<br />
biologi pada jaringan tersebut yaitu efek termal dan<br />
efek nontermal.<br />
Energi bunyi merupakan radiasi non inonisasi<br />
dan tidak menimbulkan bahaya seperti radiasi<br />
ionisasi. Meskipun gelombang ultrasonik cukup<br />
aman digunakan tetapi untuk keamanan dan proteksi<br />
ada organisasi yang membahas tentang paparan<br />
gelombang ultrasonik pad tubuh manusia yaitu<br />
NCRP (National Council on Radiation Protection<br />
and Measurement) selain itu juga harus menerapkan<br />
prinsip ALARA (As Low AS Reasonaly Achievable)<br />
demi keamanan pasien.<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Gelombang ultrasonik dapat merambat dalam<br />
medium padat, cair dan gas, hal ini disebabkan<br />
karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan<br />
energi dan momentum mekanik sehingga merambat<br />
sebagai interaksi dengan molekul (Bueche, 1986).<br />
Karakteristik gelombang ultrasonik yang<br />
melalui medium mengakibatkan getaran partikel<br />
dengan medium amplitudo sejajar dengan arah<br />
rambat secara longitudinal sehingga menyebabkan<br />
partikel medium membentuk rapatan (Strain) dan<br />
tegangan (Stress). Proses kontinu yang<br />
menyebabkan terjadinya rapatan dan regangan di<br />
dalam medium disebabkan oleh getaran partikel<br />
secara periodik selama gelombang ultrasonik<br />
melaluinya (Resnick dan Halliday , 1992).<br />
Gelombang ultrasonik ini sering dipergunakan<br />
untuk pemeriksaan kualitas produksi di dalam<br />
industri. Di bidang kedokteran, frekuensi yang tinggi<br />
dari gelombang ultrasonik mempunyai daya tembus<br />
B45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
jaringan yang sangat kuat, sehingga sering<br />
digunakan untuk diagnosis, penghancuran atau<br />
destruktif, dan pengobatan (Cameron and<br />
Skofronick, 1978).<br />
Gelombang ultrasonik merambat membawa<br />
energi dari satu medium ke medium lainnya. Energi<br />
yang dipindahkan sebagai energi getaran dari<br />
partikel ke partikel pada medium tersebut.<br />
Banyaknya energi yang dibawa partikel tersebut<br />
tiap satuan waktu merupakan daya yang diberikan<br />
oleh gelombang ultrasonik kepada suatu medium.<br />
Jadi, semakin lama waktu pancaran gelombang<br />
ultrasonik terhadap suatu medium, semakin banyak<br />
medium atau jaringan tersebut menerima energi dari<br />
gelombang ultrasonik (Giancoli, 1998).<br />
Gelombang ultrasonik yang melalui jaringan<br />
juga mengalami pengurangan energi, karena<br />
sebagian energinya diabsorpsi oleh jaringan<br />
akibatnya suhu jaringan meningkat. Kenaikan suhu<br />
jaringan tergantung pada besar koefisien absorpsinya<br />
dan intensitas gelombang yang melaluinya<br />
(Sabbagha, 1980).<br />
Efek kavitasi yaitu terjadinya gelembung gas di<br />
dalam jaringan akibat penggunaan gelombang<br />
ultrasonik untuk pemanasan lokal dengan tekanan<br />
yang bervariasi, sehingga di dalam cairan tubuh<br />
terbentuk gelembung gas mikro. Ada dua macam<br />
kavitasi yang terjadi dari pemaparan gelombang<br />
ultrasonik ini, yaitu kavitasi stabil dan tidak stabil.<br />
Efek kavitasi stabil terjadi jika gelembung gas mikro<br />
tumbuh sampai ukuran tertentu lalu beresonansi<br />
pada frekuensi gelombang ultrasonik. Amplitudo<br />
osilasinya jauh lebih besar daripada amplitudo<br />
getaran partikel di dalam zat cair sebelum ada<br />
gelembung gas mikro. Jaringan disekitar gelembung<br />
gas mikro ini mengalami tegangan (stress) yang<br />
sangat besar sehingga mengakibatkan kerusakan<br />
molekul dan membran sel. Efek kavitasi yang tidak<br />
stabil lebih merusak jaringan sel. Pada tekanan<br />
rendah, gelombang ultrasonik dengan intensitas<br />
tinggi mengakibatkan timbulnya gelembung<br />
kavitasi. Tekanan tinggi menyebabkan pecahnya<br />
gelembung, sehingga energi yang serupa dengan<br />
gelombang kejut mengakibatkan kerusakan jaringan<br />
sel (Sabbagha, 1980).<br />
Perubahan struktur jaringan atau sel terutama<br />
terjadi pada inti sel sehingga mengakibatkan<br />
kerusakan inti dan selanjutnya menyebabkan<br />
kematian sel. Kematian sel tersebut dapat dikatakan<br />
terjadi berdasarkan konsep fisikomorfoseluler, yaitu<br />
suatu konsep yang mendasar pada pengaruh fisika<br />
yang merupakan pengaruh luar yang dapat<br />
menyebabkan perubahan struktur jaringan sel pada<br />
tingkat seluler terutama pada inti sel yang<br />
diakibatkan oleh salah satu atau kombinasi efek<br />
termal dan efek kavitasi (Sabbagha, 1980).<br />
Menurut Dunn dan Fry (1971), kerusakan<br />
jaringan sel akibat perlakuan gelombang ultrasonik<br />
ini dapat disebabkan oleh salah satu dari efek ini<br />
atau kombinasinya yang dapat menimbulkan<br />
pelebaran pembuluh darah, merangsang aktivitas sel,<br />
peningkatan permeabilitas membran sel dan kapiler<br />
dan hasil eksperimen mereka tentang kerusakan<br />
sistem saraf pusat mamalia akibat pemaparan<br />
gelombang ultrasonik sehingga menimbulkan<br />
kombinasi efek tersebut.<br />
METODE<br />
Metode yang digunakan adalah studi literatur<br />
dengan cara memperoleh informasi dari beberapa<br />
sumber mengenai informasi dan hasil penelitian<br />
mengenai dampak gelombang ultrasonik terhadap<br />
jaringan.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Gelombang ultrasonik dengan intensitas tinggi<br />
akan meningkatkan suhu jaringan lunak yang<br />
disebabkan oleh meningkatnya energi kinetik dari<br />
molekul jaringan dan meningkatnya produksi<br />
kavitasi yang tidak stabil. Energi kinetik gelombang<br />
ultrasonik dapat diubah menjadi panas ketika diserap<br />
oleh jaringan.<br />
Semakin lama pemaparan gelombang ultrasonik<br />
yang diberikan terhadap jaringan maka semakin<br />
besar pula energi yang diterima oleh jaringan<br />
tersebut.<br />
Hasil penelitian, eksperimen dan studi tentang<br />
efek mekanik dapat memengaruhi jaringan sel akibat<br />
pemaparan gelombang ultrasonik ini antara lain<br />
pengaruh mekanik berupa kompresi, distraksi,<br />
gravitasi, gelombang elektromagnetik dan<br />
gelombang ultrasonik dapat mempengaruhi aktivitas<br />
sel (Buckwalter et al., 2000).<br />
Pemaparan energi gelombang ultrasonik<br />
pada jaringan menyebabkan efek panas pada<br />
jaringan. Toleransi setiap jaringan terhadap derajat<br />
temperatur tergantung pada kenaikan suhu dan jenis<br />
jaringan.Kenaikan suhu yang sebenarnya akan<br />
tergantung pada kapasitas panas lokal spesifik dan<br />
waktu pemaparan. Hal ini juga akan tergantung pada<br />
tingkat kenaikan suhu dan distribusi panas di<br />
jaringan sekitarnya. Tulang merupakan sasaran yang<br />
potensial untuk efek pemanasan karena memiliki<br />
koefisien penyerapan yang jauh lebih tinggi daripada<br />
jaringan lain.<br />
Panas yang ditimbulkan gelombang ultrasonik<br />
akan merangsang aktivitas sel yang akan<br />
mengakibatkan pelebaran pembuluh darah. Pada<br />
umumnya panas dan kavitasi hanya berhubungan<br />
dengan intensitas yang tinggi.<br />
Efek utama dan penting pada pemaparan<br />
gelombang ultrasonik merupakan mekanisme<br />
nontermal yang disebut efek kavitasi. Kavitasi<br />
merupakan interiksi dari gelembung gas pada<br />
jaringan ketika berlangsungnya pemaparan<br />
gelombang ultrasonik.<br />
Pemaparan gelombang ultrasonik pada sel sama<br />
dengan pemberian energi mekanik pada sel yang<br />
B46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dapt mengubah ikatan-ikatan molekul jaringan dan<br />
apabila pemaparan dilakukan pada waktu yang lama<br />
dapat menghambat aktivitas sel pada jaringan.<br />
Hasil eksperimen dan percoban tersebut<br />
menunjukkan bahwa jaringan sel-sel rusak<br />
disebabkan adanya perobekan mekanisme sebagai<br />
akibat langsung efek kavitasi. Umumnya efek<br />
kavitasi terjadi pada perubahan intensitas dan efek<br />
kavitasi stabil sudah dapat terjadi pada frekuensi<br />
diatas 40 kHz (Ackerman et al., 1988, dan<br />
Sabbagha, 1980).<br />
Laporan hasil eksperimen Hawley (1963)<br />
melaporkan bahwa efek mekanik dapat merusak<br />
molekul sel jaringan lunak dan penurunan molekul<br />
DNA terjadi dengan menggunakan gelombang<br />
ultrasonik frekuensi 1 MHz berintensitas 30 W/cm 2 .<br />
Untuk memperkecil kemungkinan risiko yang<br />
ditimbulkan hendaknya operator melakukan<br />
pemeriksaan dengan cara memilih tipe transduser<br />
dan frekuensi yang tepat, mengatur fokus sesuai<br />
dengan target jaringan, dan menyesuaikan waktu<br />
pemaparan sesuai dengan keperluan.<br />
PENUTUP<br />
Ultrasonik diagnostik adalah salah satu alat<br />
bantu diagnostik di bidang medis yang dapat dipakai<br />
untuk mengamati dan menganalisis keadaan jaringan<br />
biologi dalam tubuh manusia. Alat ultrasonik ini<br />
bekerja atas dasar sifat-sifat penjalaran gelombang<br />
ultrasonik dalam medium.<br />
Interaksi gerak gelombang ultrasonik dalam<br />
suatu medium berhubungan dengan tingkat<br />
intensitas. Kuat lemahnya intensitas yang<br />
dipantulkan oleh jaringan biologi tergantung pada<br />
perbedaan impedansi akustik dari medium yang<br />
bersangkutan di mana setiap organ mempunyai<br />
struktur intensitas menurut kerapatan atau impedansi<br />
akustiknya. Semakin lama waktu pemaparan<br />
gelombang ultrasonik diberikan terhadap jaringan<br />
tubuh pasien semakin besar energi gelombang<br />
ultrasonik yang diterima jaringan tubuh pasien.<br />
Meskipun atenuasi gelombang ultrasonik<br />
sebagian besar disebabkan oleh absorbsi yang<br />
umumnya berkaitan dengan panas tetapi dalam<br />
instrumen diagnostik yang umumnya menggunakan<br />
frekuensi 1 MHz – 10 MHz absorbsi tersebut tidak<br />
mengganggu organ yang dideteksi ataupun tidak<br />
menimbulkan efek yang merugikan bagi pasien<br />
karena instrumen diagnostik dirancang dengan daya<br />
yang relatif rendah demi keamanan pasien.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih disampaikan kepada Johan A.E<br />
Noor selaku pembimbing utama dan semua pihak<br />
yang terlibat dalam membuat tulisan ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ackerman E., Lynda B. M. Ellis, Lawrence E.<br />
Williams (1988), Ilmu Biofisika (terjemahan;<br />
Redjani, Abdulbasir), Surabaya: Airlangga<br />
University Press.<br />
Buckwalter, Emhorn, Simon (2000), Orthopaedic<br />
Basic Science, Biology and biomechanic of<br />
the musculoskeletal system, 2 nd edition.<br />
American Academy of Orthopaedic Surgeon.<br />
Bueche, R. J. (1986), Introduction to Physics for<br />
Scientists and Engineers. New York: Mc<br />
Graw Hill Book Company.<br />
Cameron John R., and Skofronick James G (1978),<br />
Medical Physics. New York: John Wiley &<br />
Sons, Inc.<br />
Dunn F., and Fry F. J. (1971), Ultrasonic threshold<br />
dosages for the central mammalian nervous<br />
system. IEEE Trans Bio Eng 18.<br />
Hawley S.A., Macleod R.W., Dunn F. (1963),<br />
Degration of DNA by intense non-cavitating<br />
ultrasound. J. Acoust Soc Am 35.<br />
Giancoli D.C. (1998), <strong>Fisika</strong>. Penterjemah Yuhilsa<br />
Hanum. Jakarta : Penerbit Erlangga.<br />
Resnick R., dan Halliday D. (1992), <strong>Fisika</strong>.<br />
Penterjemah Pantur Silaban dan Erwin<br />
Sucipto. Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />
Sabbagha R. E., (1980) Diagnostic Ultrasound<br />
Applied to Obstetrics and Gynecology.<br />
London: Haper & Row.<br />
B47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) untuk Pemetaan Daerah Rawan<br />
Ambles di Daerah Sisir, Batu, Jawa Timur<br />
Sukir Maryanto 1 , Husnul Khotimah 2 , Adi Susilo 3<br />
1,3 Jurusan Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />
Universitas Brawijaya, Malang<br />
Email : sukir@ub.ac.id<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan studi potensi daerah rawan ambles menggunakan metode Ground Penetrating Radar (GPR)<br />
dengan tujuan memetakan keberadaan gorong-gorong bekas penambangan pasir di daerah Sisir, Batu, Jawa<br />
Timur. Penelitian dilakukan di daerah Sisir Kota Batu dengan menggunakan GPR OKM Future 2005.<br />
Pengambilan data dilakukan di dua lokasi, lokasi pertama dengan luasan 5 x 8 meter dan lokasi kedua dilakukan<br />
dengan teknik looping dengan total panjang sekitar 500 m. Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan<br />
sebaran kedalaman dan posisi relatif cavity. Citra yang diperoleh cross check dengan kondisi dan informasi awal,<br />
yang kemudian diidentifikasi untuk mendapatkan cavity yang diperkirakan sebagai gorong-gorong bekas<br />
penambangan sirtu. Dari penelitian ini, didapatkan keberadaan gorong-gorong bekas penambangan sirtu di lokasi<br />
pengambilan data yaitu terdapat pada Lokasi 1 dan lokasi 2 pada line 9, 15, 16, 17 dan 19. Posisi tersebut sesuai<br />
dengan lokasi keluhan masyarakat yaitu didaerah jalan Moch. Sahar, Sisir. Gorong-gorong bekas penambangan<br />
sirtu menjadi ancaman dan berpotensi ambles bagi pemukiman atau bangunan yang lokasinya berdekatan.<br />
Kata kunci : GPR, cavity, gorong-gorong bekas penambangan sirtu, Sisir<br />
PENDAHULUAN<br />
Penelitian ini mengambil bahasan tentang<br />
peristiwa amblesnya dua rumah di Kelurahan Sisir<br />
wilayah Kota Batu pada tanggal 4 Februari 2009 dan<br />
kembali dilanda bencana amblesnya sebagian<br />
pondasi rumah warga pada tanggal 19 Februari<br />
2009. Informasi awal yang didapatkan bahwasanya<br />
daerah tersebut merupakan bekas daerah<br />
penambangan pasir–batu (sirtu) yang rawan ambles<br />
karena penambangan tersebut menyisakan<br />
terowongan atau yang selanjutnya akan sering<br />
disebut sebagai gorong–gorong bekas penambangan<br />
sirtu. Pemerintah setempat telah menguruk rumah<br />
yang ambles dan berusaha meneliti daerah yang<br />
kemungkinan berpotensi ambles, kendala yang<br />
dihadapi adalah kurangnya informasi tentang lokasilokasi<br />
yang berpotensi ambles.<br />
Ground Penetrating Radar (GPR) merupakan<br />
metode Geofisika yang telah digunakan untuk<br />
aplikasi Geologi sejak tahun 1960-an<br />
(Reynolds,1997). Ground Penetrating Radar atau<br />
disebut juga Ground Probing Radar, Ground Radar<br />
atau Georadar banyak diaplikasikan dalam berbagai<br />
bidang seperti Geologi, lingkungan, Forensik,<br />
Arkeologi, teknik konstruksi, dan lain sebagainya.<br />
Metode GPR adalah teknik dengan resolusi tinggi<br />
dalam menggambarkan struktur tanah permukaan<br />
dangkal yang menggunakan gelombang elektromagnetik<br />
dalam range frekuensi 10-1000 MHz.<br />
Metode GPR memanfaatkan penjalaran gelombang<br />
elektromagnetik yang ditembakkan suatu transmitter<br />
yang kemudian dipantulkan dan diterima receiver,<br />
dengan panjang gelombang yang relatif pendek,<br />
penetrasi gelombang elektromagnetik ke dalam<br />
tanah dapat mendeteksi variasi kandungan dielektrik<br />
material geologi. Kelebihan GPR adalah<br />
pengoperasian dilapangan yang mudah dan metode<br />
ini termasuk metode NDT (Non-Destructive Testing)<br />
tidak merusak karena sinyal yang ditembakkan<br />
berasal dari alat tidak mempunyai efek perusakan<br />
lingkungan. Survei dengan metode GPR dianggap<br />
tepat untuk digunakan dalam kasus ini karena posisi<br />
lokasi daerah studi kasus berada pada pemukiman<br />
padat penduduk.<br />
GPR OKM Future 2005 memberikan output<br />
berupa pencitraan 2D dan 3D tentang struktur bawah<br />
permukaan dengan terbagi dalam empat tipe yaitu<br />
metal, mineral, native soil, dan cavity. Gua atau<br />
rongga disebut juga dengan cavity yang tentunya<br />
memiliki perbedaan sifat dielektrik dengan<br />
kandungan material lain yang dapat digunakan untuk<br />
menggambarkan perubahan relatif kondisi dibawah<br />
permukaan. Hal tersebut akan mempermudah<br />
interpretasi dalam menggambarkan kondisi gorong–<br />
gorong bekas penambangan sirtu di kelurahan Sisir<br />
Kota Batu. Model dari output GPR dipadukan<br />
dengan kondisi lapangan dan informasi awal yang<br />
ada, sehingga dapat diperoleh informasi baru tentang<br />
keberadaan gorong-gorong akibat penambangan<br />
sirtu sebagai area rawan ambles.<br />
Kondisi dan Geologi Daerah sisir<br />
B48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Kelurahan Sisir merupakan kawasan yang<br />
dulunya tanah negara, berupa semak-semak bambu,<br />
dan merupakan ceruk tempat aliran sungai kering,<br />
air hanya mengalir saat musim hujan atau banjir.<br />
Sekitar tahun 1960-an kawasan ini mulai dihuni<br />
masyarakat. Kasus amblesnya beberapa rumah<br />
penduduk di pemukiman padat penduduk Kota Batu<br />
di awal bulan Februari 2009 di beberapa wilayah<br />
kelurahan di Batu terutama di Kelurahan Sisir<br />
menurut informasi dari masyarakat adalah<br />
dikarenakan adanya terowongan di bawah tanah<br />
bekas penambangan pasir-batu. Bencana alam ini<br />
membawa kerugian secara material karena rusaknya<br />
infrastruktur rumah dan harta benda didalamnya,<br />
selain itu efek psikis yang ditimbulkan adalah<br />
ketakutan pada diri warga area bencana, atas<br />
kemungkinan keberadaan rumah mereka berada<br />
diatas terowongan bekas tambang pasir, karena<br />
belum ada informasi yang jelas mengenai lokasilokasi<br />
penyebaran terowongan.<br />
Kelurahan Sisir merupakan salah satu kawasan<br />
yang termasuk di daerah Batu. Jika didasarkan pada<br />
peta Geologi, maka daerah ini termasuk dalam<br />
pegunungan dan perbukitan vulkanik berupa<br />
perbukitan kuarter. Batuan yang mendominasi<br />
daerah ini adalah tuf batu apung, tuf pasiran, tuf<br />
breksi.<br />
Batuan gunungapi kuarter tengah merupakan<br />
endapan piroklastik bersusun andesit dan basal.<br />
Batuan gunungapi Arjuno-Welirang dan batuan<br />
gunungapi Tengger terdiri atas breksi, tufa, lava dan<br />
breksi tufaan. Tufa Malang dan Tufa Rabano<br />
merupakan endapan yang bahannya dari batuan<br />
gunungapi kuarter sekitarnya, umumnya terdiri dari<br />
tufa. Batuan gunungapi kuarter atas (batuan<br />
gunungapi Penanggungan dan Batuan gunungapi<br />
Panderman) merupakan batuan yang bersusun<br />
andesit.<br />
Menurut sifat fisik dan keteknikan tanah serta<br />
batuan untuk batuan gunungapi Penangggungan dan<br />
batuan gunungapi panderman di permukaan<br />
didominasi oleh sebaran breksi gunungapi, lava dan<br />
breksi tufaan dangan sisispan tufa dan anglomerat.<br />
Batuan breksi gunungapi yang ada umumnya<br />
memiliki ciri tingkat kelapukannya mulai dari<br />
sedang sampai ringan dengan warna kelabu kehitamhitaman,<br />
partikel batuannya berbutir pasir kasar<br />
sampai kerakal. Batuan Breksi gunungapi juga<br />
terdiri dari komponen batuan andesitik yang masih<br />
muda, batu apung. Sedangkan massa dasar berupa<br />
batuan tufa pasiran yang berbutir kasar dan mudah<br />
hancur.<br />
Batuan lava umumnya mempunyai tingkat<br />
kelapukan ringan dengan warna coklat kelabu dan<br />
tersusun oleh andesit yang mempunyai komposisi<br />
felspar, piroksin, kaca dan mineral. Untuk batuan<br />
breksi tufaan yang ada pada daerah tersebut<br />
umumnya mempunyai tingkat kelapukan mulai<br />
menengah sampai tinggi denagn warna putih keabuabuan<br />
dan mempunyai partikel yang berbutir pasir<br />
kasar-kerakal. Batuan breksi tufa tersusun dari<br />
komponen batuan andesitikl, batu apung dan kaca<br />
gunungapi dengan massa dasar tufa pasiran berbutir<br />
kasar dan mudah hancur.<br />
Batuan tufa umumnya mempunyai tingkat<br />
kelapukan mulai menengah sampai tinggi dengan<br />
warna putih kecoklatan dan mempunyai partikel<br />
yang berbutir pasir halus sampai lapili. Batuan tufa<br />
juga mempunyai komposisi pecahan batuan, batu<br />
apung, kaca gunungapi dan mudah hancur.<br />
Batuan anglomerat juga merupakan batuan<br />
yang mendominasi pada daerah Batu umunya batuan<br />
ini mempunyai tingkat kelapukan mulai sedang<br />
sampai tinggi dengan warna kelabu kecoklatcoklatan<br />
dan mempunyai partikel yang berbutir pasir<br />
sangat kasar dan kerakal. Batuan anglomerat<br />
tersusun atas pecahan batuan dan kaca gunungapi<br />
dengan massa dasarnya tufa pasiran yang mudah<br />
hancur dan secara umum formasi ini mempunyai<br />
tingkat kekuatan tanah dan batuan tinggi. Tanah<br />
pelapukan pada daerah Batu merupakan breksi<br />
gunungapi dan breksi tufaan<br />
Jika didasarkan pada Geologi daerah tersebut,<br />
daerah Batu bisa dikatakan sangat potensial atas<br />
kekayaan sumber daya mineral pasir dan batuan<br />
vulkanik. Pasir dan batuan vulkanik merupakan<br />
material bangunan yang baik, karena sifatnya yang<br />
keras dan kenyal dibandingkan pasir didaerah nonvulkanik.<br />
LOKASI PENELITIAN<br />
Data penelitian diambil pada daerah yang<br />
diduga mempunyai potensi rawan ambles akibat<br />
gorong-gorong bekas penambangan sirtu di kawasan<br />
Kelurahan Sisir Kota Batu. Penentuan lokasi<br />
penelitian dititik-beratkan pada daerah yang<br />
mempunyai keluhan terhadap kemungkinan adanya<br />
cavity, dan dalam hal ini dipilih Jalan M. Sahar.<br />
Keluhan masyarakat diantaranya adalah sering<br />
terjadi getaran di kediaman mereka ketika ada<br />
kendaraan berat melintas di jalan.. Lokasi penelitian<br />
merupakan daerah padat penduduk, sehingga<br />
dibutuhkan peralatan Non-Destructive Testing<br />
(NDT) dan desain survei yang optimal sehingga<br />
tidak merusak lingkungan dan bisa didapatkan data<br />
yang representatif.<br />
Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali,<br />
kedua Lokasi ini merupakan wilayah Kelurahan<br />
Sisir Kota Batu. Lokasi pertama dalam koordinat<br />
UTM zona 49 m longitude 0668075 latitude<br />
9129032 pada tanggal 26 Februari 2009 pukul 16.00<br />
WIB. Pengambilan data di lokasi kedua yaitu di<br />
Jalan M.Sahar diawali di koordinat UTM zona 49<br />
M longitude 668215 latitude 9128978 pada tanggal<br />
9 Maret 2009 pada pukul 10.00 WIB. Peta lokasi<br />
penelitian bisa dilihat pada Gambar 1. berikut.<br />
B49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
L<br />
I<br />
N<br />
E<br />
L<br />
I<br />
N<br />
E<br />
L<br />
I<br />
N<br />
E<br />
L<br />
I<br />
N<br />
E<br />
L<br />
I<br />
N<br />
E<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
Gambar 2. Desain survei lokasi pertama 5 x 8 meter<br />
Pengambilan data di lokasi kedua dilakukan<br />
dengan teknik looping di sisi kiri dan kanan badan<br />
jalan aspal di sebagian Jalan M. Sahar Kelurahan<br />
Sisir. Dengan panjang lingkaran looping sekitar 0.5<br />
Km dengan spasial 20 meter. Desain survei dapat<br />
dilihat pada Gambar 3.<br />
Gambar 1. Peta lokasi penelitian, peta bagian atas<br />
adalah peta kelurahan Sisir. (http://wikimapia.org)<br />
PENGAMBILAN DATA<br />
Pengambilan data di lokasi pertama dalam<br />
koordinat UTM zona 49 m longitude 0668075<br />
latitude 9129032 dengan lebar area 5 meter, tempat<br />
ini diduga merupakan sebaran gorong-gorong bekas<br />
penambangan sirtu, karena ketika warga menggali<br />
tanah untuk septitank tanah ini tiba-tiba ambles<br />
kebawah, sehingga galian septictank dialihkan<br />
dengan jarak beberapa meter dari amblesan galian<br />
pertama. Pada desain survei lokasi pertama, seperti<br />
pada Gambar 2 luas area dibagi menjadi 5 line. line<br />
pertama sengaja dilewatkan diatas galian septictank<br />
untuk mengetahui respon alat, setelah itu pindah ke<br />
line–line lainnya sehingga mampu men-scan seluruh<br />
area lokasi pertama, pengambilan data dilakukan dua<br />
kali dengan arah berlawanan, untuk mengetahui<br />
seberapa jauh error alat.<br />
Gambar 3. Desain survei lokasi ke dua<br />
Pada kedua pengambilan data diatas<br />
menggunakan impuls 110. Penggunaan besar impuls<br />
ini didasarkan pada range impuls yang representatif<br />
yaitu mempunyai jarak diantara dua impuls 20<br />
hingga 30 centimeter. Semakin kecil jarak dalam<br />
range tersebut semakin baik hasil pencitraannya,<br />
seperti diterangkan dalam persamaan berikut;<br />
(M.Jol, Harry, 2009)<br />
s<br />
line<br />
impuls =<br />
(1)<br />
s<br />
impuls<br />
s<br />
line : Panjang line<br />
s<br />
impuls<br />
: jarak impuls dalam range 20 – 30 cm<br />
Pada data pertama dengan panjang line 8 meter,<br />
impuls 110 banyak dipotong pada impuls 40 hingga<br />
60, sehingga jarak impuls antara 13,3 hingga 20 cm.<br />
Pada data kedua dengan panjang line 20 meter,<br />
impuls 110 dipotong pada impuls 80 hingga 97,<br />
sehingga jarak impuls adalah diantara 20 hingga 25<br />
cm.<br />
B50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
PENGOLAHAN DATA<br />
Prinsip <strong>Fisika</strong> yang digunakan dalam<br />
metode elektomagnetik GPR adalah prinsip pantulan<br />
gelombang. GPR merupakan alat berfasilitas digital<br />
yang langsung dapat dikoneksikan dan diproses<br />
dalam Komputer atau dengan menggunakan<br />
software GPR. Pengolahan data menggunakan<br />
software OKM Future 2005 dari unit gabungan alat<br />
GPR Future 2005 menampilkan penampang hasil<br />
akuisisi data secara langsung.<br />
Pengolahan data yang dilakukan oleh<br />
software OKM Future 2005 yang merupakan satu<br />
paket dengan GPR OKM Future 2005 dilakukan<br />
langsung ketika pengambilan data. Rangkaian alat<br />
GPR OKM Future 2005 dikoneksikan dengan<br />
komputer dengan memanfaatkan teknologi<br />
Bluetooth. Didalam software terdapat prosentase<br />
dari gradasi warna untuk mempermudah analisis.<br />
Hasil keluaran dari software OKM Future 2005 ini<br />
berupa informasi bentuk, ukuran, posisi relatif,<br />
persentase dari tiap-tiap warna dari hasil pencitraan<br />
yang menunjukkan kuantititas dari tiap karakteristik<br />
material, dan informasi kedalaman dari lapisan yang<br />
akan diinterpretasi seperti pada Gambar 4. dan<br />
Gambar 5., serta depth investigation atau kedalaman<br />
maksimal kerja alat.<br />
Gambar 5. Penentuan kedalaman<br />
Setelah diketahui posisi grid dan<br />
kedalaman titik-titik penyebarannya, jarak riil relatif<br />
dari posisi grid software atau konversi koordinat<br />
kesatuan panjang dapat ditentukan dengan<br />
menggunakan persamaan dibawah ini;<br />
r<br />
x n<br />
s<br />
s<br />
line<br />
r<br />
x<br />
×<br />
n<br />
xs<br />
= jarak dari start menuju posisi grid<br />
line= panjang line<br />
x<br />
s = jumlah scan line total<br />
x = scan line posisi titik grid<br />
n<br />
x<br />
= (2)<br />
Prosentase distribusi warna ditunjukkan<br />
oleh Gambar 6., banyaknya warna tidak<br />
menunjukkan obyek yang riil, ada kemungkinan<br />
pengaruh penjalaran gelombang dan karakteristik<br />
material yang ikut berperan. Prosentase distribusi<br />
warna memberikan luasan relatif dari obyek. Setiap<br />
obyek mempunyai luasan yang bisa dibandingkan<br />
dengan obyek-obyek yang lain, jumlah total dari<br />
seluruh prosentase material dalam satu scanning<br />
adalah 100%.<br />
n<br />
Gambar 4. Penentuan posisi grid<br />
Pada software alat, posisi dinyatakan dalam<br />
grid, seperti contoh pada Gambar 4. dan Gambar 5.<br />
yang memberikan output berupa 11,50 meters atau<br />
(28:5) angka 28 menunjukkan impuls ke 29,<br />
sedangkan 5 adalah sensor ke-6 yang telah<br />
menerima sinyal pantul. Kedua angka pada posisi<br />
grid seperti pada penggunaan posisi koordinat yaitu<br />
diawali dari titik (0:0). Posisi Kedalaman<br />
ditunjukkan oleh angka 11,50 meters menunjukkan<br />
kedalaman obyek hingga 11,5 meter dibawah<br />
permukaan tanah. Kedalaman maksimal investigasi<br />
berubah-ubah pada setiap grid impuls yang berbeda<br />
dalam satu keadaan scanning, dan akan dirata-rata<br />
kedalamannya setelah scanning berhenti.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 6. (a) Prosentase distribusi warna, (b) Skala<br />
kedalaman (________,2007)<br />
Skala kedalaman pada Gambar 6(b) adalah<br />
indikasi kedalaman penetrasi maksimal yang<br />
ditunjukkan oleh garis merah, ketika dalam<br />
perlakuan scanning kedalaman ini akan terus<br />
berubah hingga pemberian impuls selesai. Skala<br />
B51
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
kedalaman akan berubah pada satu nilai konstan<br />
yaitu pada jarak terdalam.<br />
INTERPRETASI DAN PEMBAHASAN<br />
Berdasarkan pada tampilan bentuk, warna,<br />
dan kedalaman dari hasil pengolahan, maka dapat<br />
diketahui materi-materi yang ter-scan, dari<br />
kedalaman dapat diperkirakan potensi sebaran<br />
gorong–gorong bekas penambangan pasir. Perlu<br />
diketahui sebelumnya pada pencitraan GPR, bahwa<br />
hanya ada satu objek data dalam grafis titik grid,<br />
kedalaman terdeteksi dan terukur hanya pada obyek<br />
yang terdalam dalam batas kedalaman maksimum.<br />
Obyek pada citra GPR tidak digambarkan pada real<br />
place, tetapi menurut kekuatan pada signal<br />
diketinggian berbeda, yaitu metal selalu diatas,<br />
native soil ditengah dan cavity di bawah.(<br />
Hadiwidjoyo. 1992)<br />
Pada penelitian mengenai daerah potensi<br />
rawan ambles akibat gorong-gorong bekas<br />
penambangan sirtu, analisa akan diutamakan kepada<br />
daerah cavity. Cavity merupakan daerah kosong<br />
yang tidak berisi material, hanya berupa saluran<br />
rongga sehingga memungkinkan terjadi ambles jika<br />
terdapat beban diatasnya seperti bangunan dan<br />
sebagainya atau tanah gembur atau rapuh akibat<br />
tergerus air (Abdelhady,Yehia, 2004). Ketebalan<br />
dari cavity dan native soil akan berpengaruh pada<br />
keberadaan serta keamanan bangunan.<br />
Berdasarkan nilai kandungan elektriknya,<br />
yaitu konduktivitas dan konstanta dielektriknya,<br />
metal, mineral, native soil, dan cavity dicitrakan<br />
dalam spasial warna yang berbeda, seperti pada<br />
Gambar 3.6. Material yang semakin konduktif<br />
kecepatan gelombang radarnya semakin kecil<br />
sehingga terdapat kontras yang besar antara medium<br />
native soil dengan bahan logam. Terdapatnya rongga<br />
atau cavity ditunjukkan dengan kontras yang besar<br />
dari sangat kecilnya harga konduktivitas ruang<br />
kosong dibandingkan dengan medium native soil.<br />
Kontras tersebut yang mengakibatkan perbedaan<br />
citra yang dihasilkan oleh material yang direkam<br />
oleh GPR. Dengan mengetahui nilai konduktivitas<br />
dapat diperkirakan material apa yang ada dibawah<br />
tanah, sinyal yang ditangkap GPR adalah sinyal<br />
yang dominan dari salah satu material. (Annan,<br />
A.P. 2001)<br />
.<br />
Analisa Citra Ground Penetrating Radar (GPR)<br />
Studi kasus pada line 17 lokasi ke dua, dari<br />
informasi yang diberikan warga sekitar, bahwa pada<br />
area sekitar daerah ini sering terasa getaran. Panjang<br />
line 17 adalah 20 meter, berada pada pertigaan jalan<br />
M. Sahar dan 320 meter dari titik 0 akuisisi.<br />
Gambar 7. Penampang 2D ,3D, prosentase materi<br />
pada line 1<br />
Gambar 7. merupakan keseluruhan informasi<br />
yang didapat dari output software OKM future 2005<br />
secara langsung dari line 17, penampang 2D dan 3D<br />
mempermudah melihat obyek dari sudut pandang<br />
yang beragam, dalam kasus ini adalah cavity. Jumlah<br />
prosentase dari tiap material yang terdeteksi telah<br />
dibagi dalam berbagai prosentase variasi warna.<br />
Pada setiap sisi dari penampang atau citra selalu<br />
terlihat komposisi gradasi warna merah dan kuning,<br />
itu menunjukkan sifat metal dari badan aspal dari<br />
warna jingga ke kuning adalah menunjukkan<br />
mineral dari batuan. Warna hijau adalah warna dari<br />
native soil atau tanah normal dan merupakan<br />
representasi grafis yang utama, dalam artian sebagai<br />
tolok ukur keberadaan cavity dan metal. Cavity<br />
ditunjukkan warna biru, menunjukkan adanya<br />
Urutan posisi ini tidak berubah, metal selalu diatas,<br />
setelah itu mineral, native soil dan cavity. Metal<br />
selalu berada diatas dikarenakan gelombang radar<br />
tidak dapat menembus kedalam material yang<br />
mempunyai konduktivitas tinggi.<br />
Tabel 1 Tabel kedalaman, posisi grid dan jarak cavity line 17<br />
line 4 Grid OKM (89:7) kedalaman mulai 2,7 meter<br />
Kedalaman Posisi dalam Jarak dari start<br />
kode<br />
(m)<br />
grid<br />
line (m)<br />
A 2-4,2 (64:0)-(89:7) 15-20<br />
Penampang 2D pada Gambar 8. memberikan<br />
gambaran penyebaran cavity yang menyebar di akhir<br />
scanning, besar luasan adalah 29 % dari luasan total,<br />
dari sini bisa ditentukan luasan dari cavity adalah<br />
±5,5 m 2 . Untuk perhitungan volume tidak dilakukan<br />
karena kesalahan error yang akan terjadi cukup<br />
besar selain error dari bentuk penampang yang tidak<br />
beraturan. Penampang grid dari impuls disimbolkan<br />
sebagai grid (y) yang memberikan informasi tentang<br />
sinyal-sinyal yang ditransmisikan dan diterima<br />
kembali oleh sensor receiver sebagai grid (x). Pada<br />
line 17 penggunaan impuls 110 dibatasi hingga<br />
impuls yang digunakan hanya 90 impuls dan tersisa<br />
20 impuls. Pada Tabel 1. disebutkan Cavity<br />
terdeteksi pada grid (64:0) hingga (89:7), jika<br />
dikonversikan dalam satuan panjang jaraknya adalah<br />
B52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
15-20 meter dari start line (0:0). Gambar 8(c)<br />
menunjukkan posisi pusat cavity dan dapat<br />
membantu atau mendapatkan posisi sebarannya<br />
dalam satu penampang<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 9. (a) penampang cavity, (b) penampang<br />
grid dari impuls cavity<br />
(a) (b) (c)<br />
Gambar 8. (a) Penampang 2D, (b) penampang<br />
grid dari impuls dan (c) penampang pencitraan<br />
tunggal<br />
Diketahui dari Gambar 8. dan Gambar 9. bahwa<br />
posisi terdalam dari line 17 adalah 4,2 m dari<br />
kedalaman mulai 2,7 meter, jadi didalam permukaan<br />
tanah ketinggian terowongan adalah 1,5 meter. Dari<br />
Gambar 9. diketahui grid titik terdalam adalah<br />
(75:0), 75 adalah hitungan impuls ke-76 yang<br />
diterima receiver,sedangkan 0 adalah posisi sensor<br />
yang terletak di bagian kiri probe dalam range<br />
jumlah 8 sensor khusus GPR OKM Future 2005.<br />
Hitungan impuls dan posisi sensor receiver dan titik<br />
start (0:0) merupakan spesifikasi penting dalam<br />
posisi relatif obyek.<br />
Untuk membedakan cavity yang disebabkan<br />
bekas galian dan gorong-gorong penambangan sirtu<br />
selain menggunakan ketinggian, gorong–gorong<br />
juga bisa dideteksi melalui perbandingan lebar<br />
cavity dengan probe.<br />
Seperti terlihat pada Gambar 10, pada cavity<br />
bekas galian Gambar 10(a), terdapat native soil<br />
diatas cavity, ini menunjukkan bahwa, pada satu<br />
scanning line atau satu impuls terdapat sebagian<br />
native soil sehingga posisi cavity tidak merata pada<br />
satu scanning line, sedangkan pada Gambar 10(b)<br />
tidak ada native soil yang menutupi cavity, sehingga<br />
penyebaran cavity merata diseluruh line.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 10. (a) cavity bekas galian atau tanah<br />
gembur (b) cavity gorong-gorong<br />
Lokasi pertama<br />
Pada lokasi pertama dengan jumlah 5 line<br />
dilakukan 2 kali scanning dengan arah berbalikan,<br />
dengan panjang scanning 8 m, dengan hasil citra<br />
yang ditampilkan pada Gambar 11. dan 12. Hasil<br />
yang didapat mempunyai kuantitas kedalaman cavity<br />
yang berbeda, pada Tabel 2. disebutkan data line<br />
awal 1 hingga 5 mempunyai kedalaman cavity mulai<br />
2,1 hingga 4,3 meter, sedangkan pada line balik 1<br />
hingga 5 kedalaman cavity sekitar 2,2 hingga 4,9<br />
meter dibawah permukaan tanah. Ketidaksesuaian<br />
kedalaman sekitar 0,5 hingga 2 meter,<br />
ketidaksesuaian profil terlihat pada penampang line<br />
B53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ke 1, dimana penyebaran cavity mempunyai<br />
perbedaan baik dalam kedalaman dan posisi cavity,<br />
Hal ini dimungkinkan karena error dari alat dan<br />
perbedaan impuls yang diberikan, namu trend dari<br />
penyebaran cavity dari line awal dan line balik<br />
adalah sama yaitu melebar kearah atas, jika<br />
dimasukkan dalam peta dan arah mata angin, arah<br />
penyebarannya adalah kearah timur dan selatan.<br />
Dilihat dari kedalamannya yang lebih dari 2 meter<br />
dan penyebarannya yang rata diseluruh permukaan<br />
scanning line serta bentukan cavity yang lebar,<br />
cavity tersebut di interpretasikan sebagai gorong–<br />
gorong bekas penambangan sirtu.<br />
kiri dan kanan badan jalan aspal. Panjang line tiap<br />
penampang dibuat sepanjang 20 meter untuk<br />
memudahkan pengolahan data, karena pembagian<br />
tersebut jumlah penampang line survei berjumlah 24<br />
line, dan penyebarannya bisa dilihat pada Gambar<br />
13. dibawah ini.<br />
Gambar 13. Line pengambilan data lokasi kedua<br />
Gambar 11. Penampang cavity pada line awal 1-5<br />
Gambar 12. Penampang cavity pada line balik 1-5<br />
Tabel 2. Kedalaman line 1-5 dan line balik 1-5<br />
No. line kedalaman line kedalaman<br />
1<br />
line<br />
awal 1 2,3 - 3,6 m<br />
line<br />
balik 1 2 - 4,5 m<br />
2<br />
line<br />
awal 2 2,8 - 4,3 m<br />
line<br />
balik 2 3,2 - 4,4 m<br />
3<br />
line<br />
awal 3 2,6 - 3,6 m<br />
line<br />
balik 3 3,2 - 4,7 m<br />
4<br />
line<br />
awal 4 2,1 - 2,7 m<br />
line<br />
balik 4 2,2 -3,5 m<br />
5<br />
line<br />
awal 5 2,3 – 2,9 m<br />
line<br />
balik 5 3,1 - 4,9 m<br />
Lokasi kedua<br />
Lokasi akuisisi kedua adalah di Jalan M. Sahar<br />
dengan panjang total line sekitar 0,5 km. Lokasi<br />
Akuisisi daerah penelitian adalah looping sisi luar<br />
Gambar 14. Penampang 2D dari 24 line lokasi kedua<br />
Pada daerah lokasi mulai titik 0 hingga titik 8<br />
didapatkan informasi awal adanya bekas galian pipa<br />
PDAM. hal tersebut juga diketahui dari bentuk<br />
cavity yang menpunyai posisi ditengah scanning line<br />
yang menunjukkan cavity akibat keberadaan pipa<br />
lebih kecil lebarnya dari lebar probe horizontal yang<br />
dipakai, selain itu galian pipa PDAM relatif dangkal<br />
1 hingga 2 meter, tanah bekas galian menimbulkan<br />
efek tanah yang tidak padat sehingga tanah terkesan<br />
gembur dan memberikan efek cavity pada data. Pada<br />
line 21 dan 22 merupakan bekas sumur yang telah<br />
diurug, terlihat dari bentuknya yang biru gelap.<br />
Cavity yang diinterpretasikan sebagai gorong–<br />
gorong bekas penambangan sirtu belum bisa<br />
ditentukan kedalamannya secara pasti karena<br />
kurangnya informasi dan berbagi kemungkinan yang<br />
bisa terjadi, seperti pertambangan mendekati<br />
permukaan tanah. Selain itu kondisi alat yang<br />
kurang presisi dalam kedalaman, dan dominasi<br />
material metal dan mineral dalam lokasi akuisisi<br />
akan sangat mempengaruhi selain faktor luar error<br />
alat.<br />
Interpretasi daerah sebaran cavity didasarkan<br />
pada lokasi-lokasi yang menjadi keluhan masyarakat<br />
disesuaikan dengan citra hasil GPR. Seperti pada<br />
Gambar 14. dimana terdapat cavity yang mempunyai<br />
kedalaman lebih dari 2 meter atau cavity tersebar di<br />
satu line impuls pada line ke 1 hingga line ke 25<br />
B54
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
seperti yang terlihat dalam batasan-batasan garis<br />
pada gambar, namun dengan adanya informasi awal<br />
bahwa daerah tersebut merupakan bekas galian pipa<br />
PDAM, serta panjang cavity yang cukup kecil,<br />
cavity tersebut diinterpretasikan sebagai tanah<br />
gembur efek dari bekas galian pipa PDAM.<br />
Gambar 14. pada lokasi pertigaan pada line 8,9<br />
dan 16,17,19 merupakan daerah yang menjadi<br />
keluhan masyarakat, sering terasa adanya getaran<br />
ketika dilewati kendaraan berat. Pada hasil citra line<br />
9 dan 17 terdapat gambaran cavity yang cukup jelas,<br />
dengan kedalaman 2,2 hingga 4,7. Kedua informasi<br />
ini mengarah pada kesimpulan adanya cavity<br />
gorong-gorong bekas penambangan sirtu.<br />
Informasi bahwa lebar gorong-gorong akibat<br />
penambangan sirtu pada daerah lokasi penelitian<br />
kedua didapatkan dari Gambar 13. adalah bervariasi<br />
dimulai dengan lebar sekitar 1 meter hingga 17<br />
meter. Kedalaman gorong-gorong akibat<br />
penambangan sirtu adalah sekitar 2 hingga 5 meter.<br />
Gambar 15. Penampang penyebaran gorong-gorong<br />
Tujuan dari pengambilan data dari dua lokasi<br />
yang berbeda, yaitu lokasi pertama dan kedua adalah<br />
bertujuan untuk mengetahui sebaran dari cavity,<br />
dengan alat GPR yang ada, yaitu dengan lebar probe<br />
96 cm, adalah tidak memungkinkan untuk men-scan<br />
seluruh luasan persegi dari daerah penelitian,<br />
sehingga pengambilan data di dua lokasi ini adalah<br />
untuk mewakili sebaran cavity.<br />
Dengan menggabungkan lokasi pertama<br />
dan kedua, penyebaran gorong–gorong seperti pada<br />
gambar 15. membentuk suatu kuba seperti pada guagua<br />
dengan percabangan. Percabangan seperti ini<br />
akan menjadi rawan dan sulit untuk diprediksi<br />
karena keberadaan posisi relatif dari cavity yang<br />
dianggap sebagi gorong-gorong bekas penambangan<br />
sirtu. Saluran gorong–gorong bekas penambangan<br />
sirtu di lokasi ini kemungkinan hanya sebagian<br />
saluran yang kecil saja, ada kemungkinan bentukan<br />
gorong-gorong yang lebih luas dan tinggi dari data<br />
lokasi penelitian ini, seperti pada bagian kiri dan<br />
tengah bawah, tidak dapat diberikan arah pasti dari<br />
sebarannya karena batasan lokasi penelitian.. Dari<br />
hasil pemetaan diatas dapat diketahui seberapa besar<br />
potensi ambles pada daerah penelitian, yaitu dengan<br />
melihat penyebaran dari gorong-gorong bekas sirtu<br />
tersebut dan menghubungkan dengan lokasi rumah<br />
atau bangunan terdekat.<br />
KESIMPULAN<br />
Kesimpulan dari penelitian ini adalah daerah<br />
keberadaan gorong-gorong bekas penambangan sirtu<br />
di lokasi pengambilan data yaitu terdapat pada<br />
Lokasi 1 dan lokasi 2 pada line 8,9, 15,16,17 dan 19<br />
dengan kedalaman mulai 2 hingga 4,7 meter. Posisi<br />
tersebut sesuai dengan lokasi keluhan masyarakat.<br />
Daerah gorong –gorong bekas penambangan sirtu<br />
berpotensi ambles jika mendapatkan tekanan atau<br />
beban dari atas atau adanya gerusan air.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdelhady,Yehia.2004. Combined Geophysical<br />
Techniques for Cavity Detection.<br />
http://www.egsegypt.org/demo2/Vol2/15.pdf.<br />
Diakses pada<br />
tanggal 9 april 2009<br />
Annan, A.P. 2001. Ground Penetrating Radar<br />
Workshop Notes. Sensors & Software Inc.<br />
Canada<br />
Hadiwidjoyo. 1992. Kamus Kebumian. Gramedia<br />
Jakarta<br />
M.Jol, Harry.2009. Ground Penetrating Radar :<br />
Theory and application. Elsevier. UK<br />
Reynolds, J. M., 1997. An Introduction to Applied<br />
and Environmental Geophysics, John Wiley<br />
and Sons : New York.<br />
________,2007. User’s Manual GPR Future 2005.<br />
http://www.okm-gmbh.dc<br />
http://wikimapia.org/#lat=-7.876911&lon<br />
=112,5246334&=0&m=a&v=2. Gambar area<br />
lokasi penelitian. Diakses pada tanggal 13<br />
April 2009<br />
B55
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Daya dan Waktu Paparan Laserpuntur<br />
Terhadap Perbaikan Sel Β Pankreas<br />
Welina R K , Trianggono Prijo , Ria Fajarrina<br />
Lab Biofisika <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Kampus C Mulyorejo , Surabaya 60115<br />
Email :<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi laserpuntur dengan menvariasi daya dan waktu paparan<br />
dengan energi yang sama Sebagai hewan coba digunakan mencit yang sel sel pankreasnya dikondisikan rusak<br />
dengan suntikan streptozotocin. Setelah itu pada titik phi shu mencit diapapari laserpuntur helium Neon.dengan<br />
variasi daya dan waktu paparan (5 m W; 200 detik), (2 mW, 500 detik), (10 mW. 100 detik) dengan perlakuan<br />
terapi 5 kali. Hasil penelitian menunjukan bahwa paparan laserpuntur dengan daya 2 mW, waktu paparan 500<br />
detik dan pengulangan terapi sebanyak lima kali dapat mengembalikan sel sel pancreas normal kembali. Hal ini<br />
ditunjang dengan uji statistik ANAVA satu arah.<br />
Kata kunci ; laser puntur He Ne , sel β<br />
I. Pendahuluan<br />
Diabetes mellitus adalah suatu kelainan<br />
metabolisme yang ditandai dengan kadar gula yang<br />
tinggi. Naiknya kadar gula ini disebabkan karena<br />
kurangnya pasokan insulin yang dihasilkan oleh sel<br />
sel beta pankreas.yang salah satu sebabnya karena<br />
banyak sel sel β(beta )pankreas yang rusak<br />
Sebagai upaya alternatif untuk membantu para<br />
penderita diabetes mellitus<br />
dilakukan terapi dengan metode akupuntur.<br />
Dalam penelitian ini sebagai gantinya jarum<br />
digunakan sinar laser Helium Neon untuk men<br />
stimulus energinya dan sebagai hewan cobanya<br />
digunakan mencit yang sudah dikondisikan dengan<br />
suntikan streptozotocin(stz) sehingga sel sel beta di<br />
pankreas rusak.Dengan memberi stimulus energi<br />
laser pada suatu titik akupuntur yang berkaitan<br />
dengan organ pankreas diharapkan mengembalikan<br />
kondisi organ yang rusak akibat streptozotosin.<br />
Berdasarkan penelitian yang terdahulu diperoleh<br />
dosis (energi) satu joule merupakan dosis yang<br />
optimal yang dapat dapat menurunkan kadar gula<br />
darah mencit Karena dosis yang diberikan<br />
dipengaruhi daya dan waktu maka fokus<br />
permasalahan dalam penelitian ini adalah : apakah<br />
dengan menvariasi daya,waktu dengan energi sama<br />
mempengaruhi perbaikan sel yang rusak dan<br />
berapa optimasi daya keluaran laser He Ne,waku<br />
dan pengulangan terapi dapat meningkatkan sel beta<br />
pankreas yang normal.<br />
II. Metode Penelitian<br />
Penelitian yang bersifat eksperimen dilakukan<br />
di laboratorium Biofisika dan Biologi reproduksi<br />
Fakaultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
selama 7 bulan.<br />
Sebagai hewan coba digunakan mencit betina<br />
berumur 3 bln dan beratnya rata rata 35g, yang<br />
terbagi 15 kelompok yang diberi perlakuan dan 2<br />
kelompok yakni kelompok control tanpa stz dan<br />
kelompok control dengan stz.<br />
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah<br />
variasi terapi yang terdiri dari daya keluaran<br />
laser,waktu yang terdiri dari 2mW.500s, 5mW.200s<br />
dan 10 mW.100s dengan masing masing lima kali<br />
pengulangan. Variabel terikatnya adalah jumlah sel<br />
normal, jumlah total dan jumlah masing masing tipe<br />
kematian sel pada pankreas . Variabel terkendalinya<br />
adalah dosis energi paparan 1 J dan penyinaran<br />
dilakukan di titik Pi Shu.<br />
Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian<br />
ini disusun dengan urutan langkah seperti diagram<br />
alir di bawah ini.<br />
III. Hasil dan Pembahasan<br />
3.1 Hasil penelitian<br />
Hasil pengamatan jumlah sel normal mencit<br />
setelah dipapari sinar laser dititik phi shu<br />
ditunjukkan pada tabel dibawah ini<br />
B56
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Grafik jumlah rata-rata sel karioreksis<br />
40<br />
jumlah ratarata<br />
sel<br />
karioreksis<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0 1 2 3 4 5<br />
kontrol sehat<br />
kontrol sakit<br />
10mW x 100s<br />
5mW x 200s<br />
2mW x 500s<br />
pengulangan terapi<br />
Gambar 3: diagram batang jumlah sel karioreksis terhadap<br />
pengulangan terapi<br />
Grafik jumlah rata-rata sel kariolisis<br />
40<br />
Ket (i) setelah dikondisikan sakit<br />
Tabel 1. nilai rata rata jmlah sel normal pancreas.<br />
Grafik jumlah rata-rata sel normal<br />
jumlah rata-rata<br />
sel kariolisis<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0 1 2 3 4 5<br />
pengulangan terapi<br />
kontrol sehat<br />
kontrol sakit<br />
10mW x 100s<br />
5mW x 200s<br />
2mW x 500s<br />
jumlah rata-rata<br />
sel normal<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0 1 2 3 4 5<br />
pengulangan terapi<br />
kontrol sehat<br />
kontrol sakit<br />
10mW x 100s<br />
5mW x 200s<br />
2mW x 500s<br />
Tabel 2 Analisis jumlah sel normal terhadap daya dan waktu<br />
paparan sinar laser<br />
Hasil pengamatan tipe kerusakan sel ditunjukkan oleh gambar<br />
2.3 dan 4<br />
jumlah ratarata<br />
sel<br />
kariopiknosis<br />
Grafik jumlah rata-rata sel kariopiknosis<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0 1 2 3 4 5<br />
pengulangan terapi<br />
kontrol sehat<br />
kontrol sakit<br />
10mW x 100s<br />
5mW x 200s<br />
2mW x 500s<br />
Gambar 2 : diagram batang jumlah sel kariopiknosis terhadap<br />
pengulagan terapi<br />
Gambar 4. diagram batang jumlah sel kariolisis terhadap<br />
pengulangan<br />
3.2 Pembahasan<br />
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan<br />
adanya pemberian streptozotocin (stz) pada mecit<br />
terjadi penurunan rata rata sel β normal di pancreas<br />
menjadi 0,67 dan jenis kematian sel rata rata jenis<br />
kariopiknosis 31,67,jenis karioreksis 33,67 dan<br />
karioleksis 31. Pada mencit yang tidak diberi stz<br />
jumlah sel normal beta di pankreas rata rata 97,76.<br />
Setelah dipapari sinar laser di titik pi shu<br />
dengan 3 variasi daya waktu dan 5 kali pengulangan<br />
memberikan perbaikan jumlah sel beta dipankreas.<br />
Hasil terbaik untuk menaikkan jumlah sel normal<br />
mencit yakni 2mw.500s dan 5 kali pengulangan<br />
yang menghasilkan sel beta normal rata rata 95,67<br />
mendekati sel beta normal mencit tanpa stz dan<br />
tanpa perlakuan.<br />
IV. Kesimpulan.<br />
Dari hasil penelitian yang bertujuan untuk<br />
mengetahui lebih dalam lagi efektifitas terapi untuk<br />
perbaikan sel beta dipankreas mencit diperoleh<br />
kesimpulan<br />
untuk daya waktu yang berbeda dengan energi<br />
yang sama memberikan efek perbaikan sel beta<br />
dipankreas yang berbeda.<br />
daya 2mw waktu 500 s dan 5 kali pengulangan<br />
memberikan perbaikkan sel beta di pankreas yang<br />
optimal.<br />
Saran<br />
Hasil penelitian ini dapat dipakai dasar untuk terapi<br />
penderita dibetes militus secara alternatip karena<br />
dengan metode akupuntur dengan laser disuatu titik<br />
B57
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
akpuntur dapat memperbaiki sel beta pankreas yang<br />
mana salah satu fungsinya menghasilkan insulin.<br />
V. Daftar pustaka<br />
Budisantosa (1987) , Diabetes mellitus tipe siroses<br />
hepatitis. UI Jakarta<br />
Filshie, J & White, A (1999), Medcal Acupunctur ,<br />
A Western Scientific Approach, Churchill<br />
Livingstonse , London.<br />
Welina,Trianggono,muzzaki, (2007),Aplikasi laser<br />
untuk mengendalikan kadar gula<br />
mencit.Artikel ilmiah FMIPA UNAIR<br />
Herri, (1996), Hubungan Peningkatan Kadar<br />
Glukosa darah dengan Jumlah Sel Pulau<br />
Langerhans Kelenjar Pankreas. Skripsi FKH<br />
UNAIR .<br />
Rubianto ,Agus (2007) Laser berdaya rendah Untuk<br />
akupuntur , Jurnal FMIPA ITS<br />
www.chemsources.com<br />
www.calbiochem.comp<br />
Suhariningsih,(2004), kajian Biofisika tentang<br />
Keamanan dan Efektifitas Terapi Akupuntur.<br />
Team Battra UNAIR.<br />
B58
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengurutan Kestabilan Relatif Kristal Na<br />
melalui Kriteria Koefisien Variasi<br />
Agus Rifani<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya<br />
Email : phiagus@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Perhitungan energi total suatu kristal melalui metode ab initio dilakukan dengan meningkatkan jumlah sampling<br />
vektor gelombang (η) hingga nilai energi total menjadi konvergen. Namun, peningkatan nilai η juga<br />
menyebabkan waktu perhitungan menjadi lebih lama. Skema cold smearing dapat memperkecil η dengan cara<br />
meningkatkan temperatur smearing (σ). Meskipun demikian peningkatan nilai σ memberikan efek penurunan<br />
energi total yang berbeda pada setiap struktur. Hal ini dapat berpengaruh terhadap urutan kestabilan fase kristal<br />
pada T=0 K, sehingga diperlukan metode pemilihan nilai σ dan η yang tepat. Nilai koefisen variasi energi total<br />
terhadap perubahan σ dan η dapat digunakan sebagai keriteria pemilihan nilai σ dan η. Pada kristal elemental Na,<br />
skema koefisien variasi dapat memberikan prediksi urutan kestabilan struktur (pada 0 K) yang sesuai dengan<br />
data eksperimen, yaitu HCP (Hexagonal closed packed) → BCC (Body Centered Cubic) → FCC (Face Centered<br />
Cubic).<br />
Kata kunci : ab initio, cold smearing, kestabilan fase kristal.<br />
PENDAHULUAN<br />
Perkembangan dalam bidang sintesis struktur<br />
nano telah menarik minat untuk memahami sifat<br />
elektronik bahan melalui simulasi dan permodelan<br />
(Yip, 2005). Pada skala tersebut, perilaku elektron<br />
dan atom dirumuskan melalui mekanika kuantum.<br />
Metode ab initio atau yang disebut sebagai prinsip<br />
pertama berusaha untuk menyelesaikan persamaan<br />
Schrődinger tanpa bergantung pada hasil<br />
eksperimen. Parameter yang harus diatur hanyalah<br />
parameter akurasi untuk mencapai self-consistent.<br />
Salah satu besaran yang didapat adalah energi<br />
total. Dengan mengetahui energi total dari fase<br />
bahan yang berbeda, kestabilan relatif struktur<br />
kristal dapat ditentukan. Yin dan Cohen (1982)<br />
melalui perhitungan potensial-semu plane-wave<br />
memprediksi bahwa struktur stabil dari kristal Si<br />
adalah Diamond, suatu prediksi yang sesuai dengan<br />
hasil eksperimen. Sayangnya metode tersebut saat<br />
diterapkan pada logam alkali memberikan hasil yang<br />
berbeda dengan eksperimen (Dagistanli dan Mutlu,<br />
2008). Hal ini disebabkan oleh perbedaan energi<br />
total yang sangat kecil antara fase berbeda. Kristal<br />
Na, sebagai satu contoh, memiliki perbedaan energi<br />
total antara struktur BCC (Body Centered Cubic),<br />
FCC (Face Centered Cubic), dan HCP (Hexagonal<br />
closed packed) sebesar 5 x 10 -6 Hartree/Atom<br />
(Katsnelson et al., 2000). Perbedaan energi total<br />
yang sangat kecil tersebut menyebabkan perhitungan<br />
kristal Na sensitif terhadap perubahan kuantitas yang<br />
dapat mempengaruhi nilai energi total, seperti<br />
temperatur smearing (σ). Dengan demikian<br />
diperlukan suatu kriteria konvergensi yang dapat<br />
memberikan efek temperatur smearing yang sama<br />
pada struktur yang berbeda.<br />
PERHITUNGAN SELF-CONSISTENT ENERGI<br />
TOTAL<br />
Prinsip dasar<br />
Energi total dihitung berdasarkan teori<br />
fungsional kerapatan (DFT, Density Functional<br />
Theory) (Hohenberg dan Kohn, 1964) dengan<br />
pendekatan kerapatan lokal yang diterapkan dalam<br />
kode ABINIT 5.4.4 (Gonze et al., 2002) Persamaan<br />
Schrődinger sistem banyak elektron yang saling<br />
berinteraksi diselesaikan melalui persamaan Kohn-<br />
Sham satu elektron berikut,<br />
⎡<br />
⎤<br />
⎢− ∇ + + + ⎥ =<br />
⎣ 2m<br />
⎦<br />
2<br />
h 2<br />
v () r ext<br />
vH () r vxc() r φn () r εnφn<br />
() r (1)<br />
operator Hamiltonian yang bekerja pada orbital<br />
Kohn-Sham satu elektron(φ n (r)), terdiri dari operator<br />
energi kinetik non-relativistik, potensial eksternal<br />
(V ext ), potensial Hartree (V H ) dan potensial exchange<br />
dan correlation (V XC ). Aproksimasi dalam<br />
menyelesaikan persamaan (1) terbagi dalam<br />
aproksimasi fisika dan numerik, yaitu:<br />
Aproksimasi fisika<br />
Dari sisi teori, sistem banyak elektron yang<br />
saling berinteraksi dipetakan ke dalam sistem satu<br />
elektron yang mengalami potensial efektif melalui<br />
pendekatan kerapatan lokal (LDA, Local Density<br />
Approximation) dalam kerangka DFT (Kohn dan<br />
Sham, 1965). Suku exchange dan correlation (XC)<br />
dalam persamaan (1) didapat dari parameterisasi<br />
C1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Teter Pade (Goedecker et al., 1996). Melalui<br />
aproksimasi Born-Oppenheimer perhitungan dibagi<br />
menjadi perhitungan interaksi elektronik dan atomik.<br />
Dalam perhitungan interaksi elektronik, efek<br />
elektron inti dimasukkan dalam potensial-semu<br />
melalui suku potensial eksternal dari persamaan (1),<br />
yaitu potensial-semu norm-conserving oleh<br />
Troullier-Martin (Troullier dan Martin, 1991)<br />
sehingga dapat digunakan plane wave sebagai basis<br />
set orbital Kohn-Sham.<br />
Aproksimasi numerik<br />
Perhitungan energi total diselesaikan secara<br />
self-consistent seperti pada skema dalam gambar 1.<br />
Kerapatan elektron (n(r)) didapat dari integrasi<br />
orbital Kohn-Sham yang terisi dalam ruang Brillouin<br />
Zone. Pada dasarnya untuk kristal dengan volume<br />
tak hingga terdapat jumlah vektor gelombang k yang<br />
tak hingga pula. Namun demikian dalam<br />
aproksimasi numerik digunakan jumlah vektor<br />
gelombang k yang terbatas. Pemilihan vektor<br />
gelombang khusus atau titik-k spesial dilakukan<br />
dengan memperhatikan simetri dari sistem yang<br />
dihitung, yaitu melalui skema Monkhorst-Pack<br />
grids. Banyaknya jumlah titik-k (η) dan jumlah basis<br />
set plane wave diatur melalui konvergensi energi<br />
total berdasarkan akurasi yang diperlukan. Keriteria<br />
penghentian alur iterasi pada setiap siklus selfconsistent<br />
adalah energi total, yaitu jika selisih<br />
energi total antara dua siklus self-consistent kurang<br />
dari 1.0 x 10 -10 Hartree (1 Ha = 27,211 eV).<br />
Gambar 1. Skema self consistent field untuk menghitung energi<br />
total (Payne et al., 1992).<br />
Analisis struktur<br />
Perhitungan self-consistent energi total melalui<br />
metode ab initio dapat digunakan untuk<br />
memprediksi kestabilan relatif antara struktur<br />
berbeda padatan elemental. Perhitungan dilakukan<br />
dengan mengubah konstanta kisi pada setiap struktur<br />
hingga didapat nilai energi total minimum. Struktur<br />
yang memberikan energi total paling kecil pada<br />
keadaan setimbang merupakan struktur yang paling<br />
stabil (Springborg, 2002). Hasil perhitungan seperti<br />
ini ditampilkan dalam grafik volume dan energi,<br />
misalnya hasil perhitungan kristal Si pada gambar 2.<br />
Gambar 2. Kestabilan relatif kristal Silikon, didapat melalui<br />
perhitungan potensial-semu plane wave oleh Yin dan Cohen<br />
(1982).<br />
KRITERIA KOEFISIEN VARIASI<br />
Energi total kristal Na dihitung pada empat<br />
struktur berbeda, yaitu BCC, FCC, Diamond, dan<br />
HCP. Pada setiap struktur dilakukan konvergensi<br />
energi total terhadap penambahan jumlah basis set,<br />
melalui nilai dalam variabel ‘ecut’ hingga dicapai<br />
akurasi energi total dalam orde 10 -3 Ha/Atom.<br />
Dengan asumsi bahwa sistem yang dihitung bersifat<br />
metalik, maka digunakan skema okupansi cold<br />
smearing. Dalam skema okupansi tersebut,<br />
temperatur sistem (T) dapat diatur pada 0 K,<br />
sementara distribusi elektron di sekitar energi fermi<br />
di smearing dengan meningkatkan temperatur<br />
smearing (σ). Dengan nilai σ yang cukup (sekitar<br />
0.04 Ha) diperoleh konvergensi terhadap jumlah<br />
titik-k, yaitu dalam nilai η, yang tidak terlalu besar<br />
(η = 12 untuk akurasi energi total 10 -4 ). Dengan<br />
demikian pada sistem metalik terdapat tiga variabel<br />
(σ, η, dan 'ecut') yang harus ditentukan nilainya<br />
berdasarkan akurasi yang diperlukan. Nilai ketiga<br />
variabel tersebut kemudian digunakan dalam<br />
perhitungan energi total untuk mendapatkan kurva<br />
Energi-Volume (E-V) seperti pada Gambar 2.<br />
Kurva E-V kristal Na diperlihatkan pada<br />
gambar 3, yang menunjukkan urutan kestabilan<br />
relatif dari FCC → HCP → Diamond → BCC.<br />
C2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Urutan tersebut berbeda dengan data eksperimen<br />
(Lide, 2005) yang menunjukkan bahwa pada T = 0<br />
K, Na memiliki struktur HCP. Perbedaan tersebut<br />
disebabkan oleh akurasi perhitungan (yaitu sebesar<br />
0.0001 Ha/atom) yang lebih besar dari perbedaan<br />
energi total antara struktur BCC, FCC, dan HCP.<br />
Telah diketahui bahwa perbedaan energi total Na di<br />
antara struktur tersebut sangat kecil, yaitu dalam<br />
orde 10 -06 Ha/atom (Katsenelson et al., 2000)<br />
sehingga seringkali menyebabkan hasil perhitungan<br />
struktur stabil menjadi berlawanan dengan data<br />
eksperimen (Dagistanli dan Mutlu, 2008).<br />
terhadap η dan σ pada gambar 4, struktur Na-FCC<br />
dapat dihitung dengan akurasi ~ 10 -07 menggunakan<br />
η = 10 dan σ = 0.032 (lihat tabel 1), sedangkan untuk<br />
struktur Na-BCC (gambar 5) akurasi tersebut<br />
didapat dengan η = 12 dan σ = 0.032. Namun<br />
perbandingan nilai energi total dari kedua grafik<br />
tersebut memperlihatkan bahwa energi total Na-FCC<br />
(~ -6.66476 Ha) lebih kecil dari energi total Na-BCC<br />
(~ -6.66474 Ha, lihat inset pada Gambar 5), yang<br />
menghasilkan kesimpulan bahwa struktur FCC lebih<br />
stabil dibandingkan struktur BCC seperti yang<br />
ditunjukkan pada gambar 3.<br />
Energi/Atom (eV)<br />
-175<br />
-176<br />
-177<br />
-178<br />
-179<br />
-180<br />
-181<br />
BCC<br />
Diamond<br />
HCP<br />
FCC<br />
TABEL I<br />
Hasil konvergensi energi total dengan keriteria akurasi dalam<br />
orde 10 -7 Ha/Atom pada kristal Na-BCC dan Na-FCC<br />
struktur η σ<br />
Energi total<br />
(Hartree)<br />
BCC 10 0.032 -6.66474<br />
FCC<br />
12 0.032 -6.66476<br />
-182<br />
0 1 2 3 4 5<br />
Volume Relatif (V/Vo)<br />
Gambar 3. Kurva energi-volume kristal Na untuk struktur BCC,<br />
FCC, Diamond, HCP. Warna kurva menunjukkan tingkat energi<br />
relatif pada konstanta kisi setimbang, yaitu berturut-turut dari<br />
kecil ke besar: merah → hijau → biru → ungu. Volume relativ<br />
(V/V o ) dihitung terhadap volume HCP dari data eksperimen (Lide,<br />
2005). Anak panah pada setiap struktur menunjukkan titik dimana<br />
nilai konstanta kisi setimbang berada.<br />
Na-cF4<br />
Energi Total /Atom (Ha)<br />
-6.6641<br />
-6.6642<br />
-6.6643<br />
-6.6644<br />
-6.6645<br />
-6.6646<br />
-6.66452<br />
-6.66454<br />
-6.66456<br />
-6.66458<br />
-6.66460<br />
-6.66462<br />
-6.66464<br />
-6.66466<br />
-6.66468<br />
-6.66470<br />
-6.66472<br />
-6.66474<br />
τ(Ha)<br />
0.001<br />
0.002<br />
0.004<br />
0.008<br />
0.016<br />
0.032<br />
10 12 14 16 18 20<br />
Energi Total/Atom (Ha)<br />
-6.66454<br />
-6.66456<br />
-6.66458<br />
-6.66460<br />
-6.66462<br />
-6.66464<br />
-6.66466<br />
-6.66468<br />
-6.66470<br />
-6.66472<br />
-6.66474<br />
-6.66476<br />
0,001<br />
0,002<br />
0,004<br />
0,008<br />
0,016<br />
0,032<br />
6 8 10 12 14 16 18 20<br />
Jumlah titik k<br />
Gambar 4. Konvergensi energi total kristal Na-FCC terhadap<br />
jumlah titik-k (η) untuk nilai temperatur σ yang berbeda.<br />
Meningkatkan akurasi dengan memperbanyak<br />
jumlah basis set plane wave berikut meningkatkan<br />
nilai σ dan η tidak memberikan perubahan pada<br />
urutan kestabilan relatif. Hal ini disebabkan karena<br />
dalam skema cold smearing, peningkatan nilai σ<br />
diikuti pula dengan menurunnya harga energi total<br />
seperti pada gambar 4 dan 5. Dengan demikian,<br />
membandingkan energi total diantara struktur<br />
berbeda tidak cukup hanya dengan menyamakan<br />
keriteria konvergensi.<br />
Misalnya pada Na struktur BCC dan FCC,<br />
dengan melihat grafik konvergensi energi total<br />
τ(Ha)<br />
-6.6647<br />
6 8 10 12 14 16 18 20<br />
Jumlah titik k<br />
Gambar 5. Konvergensi energi total kristal Na-BCC terhadap<br />
jumlah grid titik-k (η) untuk nilai temperatur smearing (σ) yang<br />
berbeda.<br />
Dengan demikian diperlukan suatu titik acuan<br />
dalam menentukan nilai σ dan η namun dengan tetap<br />
memperhatikan keriteria konvergensi yang<br />
sebelumnya telah diatur oleh variabel 'ecut'. Untuk<br />
mendapatkan titik acuan tersebut penulis<br />
menggunakan keriteria koefisien variasi dari<br />
perubahan energi total terhadap η untuk setiap nilai<br />
σ Nilai koefisien variasi dihitung dari persamaan<br />
berikut (Chapra et al., 2002):<br />
( y − y)<br />
i<br />
koefisien variasi (c.v.) = y<br />
i=<br />
1<br />
n − 1<br />
1<br />
n<br />
∑<br />
2<br />
(2)<br />
Pemilihan nilai koefisien variasi ditentukan<br />
oleh harga akurasi yang diperlukan. Untuk kristal<br />
Na, digunakan koefisien variasi sebesar dalam orde<br />
10 -7 . Nilai koefisien variasi energi total kristal Na-<br />
FCC dan Na-BCC ditunjukkan dalam Gambar 6 dan<br />
7.<br />
C3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Koefisien variasi pada grafik dalam Gambar 6,<br />
yang dihitung dari nilai energi total melalui<br />
persamaan (2), merupakan rasio standar deviasi<br />
energi total terhadap nilai rata-ratanya pada satu<br />
harga σ. Dengan demikian koefisien variasi dapat<br />
digunakan sebagai ukuran sebaran data. Kuncinya<br />
adalah dalam menentukan nilai σ, diperlukan titik<br />
acuan yang sama, karena pada struktur yang<br />
berbeda, fungsi energi terhadap σ berbeda pula. Sifat<br />
seperti ini dapat dilihat dengan membandingkan<br />
kedua grafik untuk struktur FCC dan BCC pada<br />
gambar 4 dan 5. Kedua grafik tersebut<br />
memperlihatkan perubahan energi total terhadap σ<br />
yang tidak sebanding. Sementara sifat yang sama<br />
adalah sebaran data yang semakin kecil seiring<br />
dengan meningkatnya harga η. Dengan demikian<br />
perlu dipilih nilai σ yang memberikan besarnya<br />
sebaran yang sama pada nilai η tertentu.<br />
Koefisien variasi energi total<br />
0<br />
-1e-06<br />
-2e-06<br />
-3e-06<br />
-4e-06<br />
-5e-06<br />
0<br />
-5e-07<br />
-1e-06<br />
τ(Ha)<br />
0,001<br />
0,002<br />
0,004<br />
0,008<br />
0,016<br />
0,032<br />
Na-Diamond. Hasil perhitungan energi total<br />
kemudian diplot sebagai fungsi volume relatif pada<br />
Gambar 6, yang menunjukkan kestabilan relatif pada<br />
T = 0 K berturut-turut adalah dari HCP → BCC →<br />
FCC → Diamond.<br />
Koefisien variasi energi total<br />
0<br />
-5e-06<br />
-1e-05<br />
-1.5e-05<br />
-2e-05<br />
-2.5e-05<br />
-3e-05<br />
1e-06<br />
0<br />
-1e-06<br />
-2e-06<br />
-3e-06<br />
-4e-06<br />
-5e-06<br />
Na-cI2<br />
10 12 14 16 18<br />
6 8 10 12 14 16 18<br />
Jumlah titik k<br />
τ(Ha)<br />
0,001<br />
0,002<br />
0,004<br />
0,008<br />
0,016<br />
0,032<br />
Gambar 7. Perubahan nilai koefisien variasi energi total kristal<br />
Na-BCC terhadap jumlah titik-k (η) dan temperatur smearing (σ)<br />
-6e-06<br />
12 13 14 15 16 17 18<br />
6 8 10 12 14 16 18<br />
Jumlah titik k<br />
Gambar 6. Perubahan nilai koefisien variasi energi total kristal<br />
Na-FCC terhadap jumlah titik-k dan temperatur smearing(σ)<br />
TABEL 4<br />
Hasil konvergensi energi total dengan keriteria koefisien variasi<br />
dalam orde 10 -7 Ha/Atom<br />
struktur n tsmear<br />
Energi total<br />
(Hartree)<br />
BCC 12 0.016 -6.66462<br />
FCC 12 0.004 -6.66461<br />
Pada kristal Na, dipilih harga η = 12. Dengan<br />
nilai η tersebut, nilai σ struktur BCC ditentukan pada<br />
σ yang pertama kali mencapai nilai koefisien variasi<br />
~10 -07 . Nilai σ tersebut kemudian diambil sebagai<br />
pasangan nilai η. Misalnya kristal Na-BCC memiliki<br />
nilai η = 12 dan σ = 0,016 Ha, sedangkan kristal Na-<br />
FCC nilai η dan σ berturut-turut adalah 12 dan 0,004<br />
Ha (tabel 4). Pada kristal Na-FCC tidak dipilih σ =<br />
0,002 Ha. Walaupun koefisien variasi ~10 -07 muncul<br />
pertama kali pada nilai tersebut namun masih<br />
berubah pada η=16 dan η=18. Dengan metode<br />
pemilihan nilai tersebut, energi total struktur Na-<br />
BCC lebih kecil dibandingkan struktur Na-FCC,<br />
seperti yang dituliskan dalam Tabel 4.<br />
Skema pemilihan η dan σ tersebut juga<br />
diterapkan pada perhitungan struktur Na-HCP dan<br />
Gambar 8. Kurva energi total terhadap volume pada kristal Na<br />
untuk empat struktur yang berbeda. Warna kurva menunjukkan<br />
urutan besar energi total dari yang terkecil hingga paling besar,<br />
yaitu: merah → hijau →biru → ungu.<br />
KESIMPULAN<br />
Selisih energi antara struktur BCC, FCC, HCP<br />
dan Diamond pada kristal Na dan perubahan energi<br />
total terhadap temperatur smearing berada dalam<br />
orde yang sama, yaitu 10 -6 Ha/Atom. Pemilihan nilai<br />
η dan σ dengan hanya berdasar pada konvergensi<br />
energi total dapat memberikan hubungan energi total<br />
antar struktur yang tidak nyata, sehingga perlu dicari<br />
keriteria pemilihan komposisi nilai η-σ yang sama<br />
untuk struktur yang berbeda. Menggunakan keriteria<br />
koefisien variasi dari perubahan energi total<br />
terhadap η, komposisi nilai η-σ yang seimbang<br />
antara struktur yang berbeda dapat ditentukan. Pada<br />
kristal Na metode tersebut memberikan urutan<br />
kestabilan relatif yang sesuai dengan data<br />
eksperimen, yaitu dari HCP → BCC → FCC.<br />
C4
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Chapra, Steven C. dan R. P. Canale (2002),<br />
Numerical Methods for Engineers. The<br />
McGraw-Hill Comp. Inc. New York<br />
Dagistanli, H., dan R. H. Mutlu (2008), Calculated<br />
Pressure Induced BCC-FCC Phase<br />
Transition in Alkali Metals, Turk. J. Phys.<br />
32:269-273.<br />
Goedecker, S., M. Teter, dan J. Huetter (1996),<br />
Separable dual-space Gaussian<br />
pseudopotentials, Phys. Rev. B 54:1703-<br />
1710.<br />
Hohenberg, P dan W. Kohn.1964. Inhomogeneous<br />
Electron Gas. Phys. Rev. 136, B864.<br />
Katsnelson, M. I., G. V. Sinko, N. A. Smirnov, A.<br />
V. Trefilov, dan K. Yu. Khromov (2000),<br />
Structure, Elastic Moduli and<br />
Thermodynamics of Sodium and Potassium at<br />
Ultra-High Pressures, arXiv:condmat/9912245v2.<br />
Kohn, W dan L. J. Sham (1965), Self-Consistent<br />
Equations Including Exchange and<br />
Correlation Effects, Phys. Rev. 140: A1133.<br />
Lide, D. R. (2005), CRC Handbook of Chemistry<br />
and Physics 85th Ed, CRC Press LLC. USA.<br />
Payne, M. C., M. P. Teter, D. C. Allan, T. A. Arias<br />
dan J. D. Joannopoulos (1992) Iterative<br />
Minimization Technique for Ab Initio Totalenergy<br />
Calculations: Molecular Dynamics<br />
and Conjugate Gradients, Rev. of Mod.<br />
Phys. Vol. 64:1045.<br />
Springborg, M. (2000), Methods of Electronic-<br />
Structure Calculation: From Molecule to<br />
Solids, John Wiley and Sons Ltd. England.<br />
Hal. 443.<br />
Troullier, N. dan Martins, J. L (1991), Efficient<br />
Pseudopotentials for Plane-wave<br />
Calculations. Phys. Rev. B 43:1993-2006.<br />
X. Gonze, J.-M. Beuken, R. Caracas, F. Detraux, M.<br />
Fuchs, G.-M. Rignanese, L. Sindic, M.<br />
Verstraete, G. Zerah, F. Jollet, M. Torrent, A.<br />
Roy, M. Mikami, Ph. Ghosez, J.-Y. Raty,<br />
D.C. Allan (2002), First-principles<br />
Computation of Material Properties : the<br />
ABINIT Software Project. Computational<br />
Materials Science 25:478-492.<br />
Yin, M. T. dan M. L. Cohen (1982), Theory of Static<br />
Structural Properties, Crystal Stability, and<br />
Phase Transformations: Application to Si and<br />
Ge, Phys. Rev. B 26: 5668-5687.<br />
Yip, Sidney (2005), Handbook of Materials<br />
Modeling, Springer, Netherland.<br />
C5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Studi Porositas dan Densitas Cic Akibat Proses Sintering<br />
Aminatun 1 , Siswanto 2 dan Ita Fauriya 3<br />
1,2,3 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : semnasfisika@unair.ac.id<br />
Abstrak<br />
Telah dipelajari pengaruh proses sintering (variasi suhu dan lama sintering) terhadap porositas dan densitas CIC<br />
(Cobalt Implant Composit) yang berpotensi sebagai bahan implan tulang. Sampel CIC disintesis dengan<br />
menggunakan teknik powder metallurgy. Pencampuran dilakukan secara wet milling dengan kecepatan 600 rpm<br />
selama 30 menit bersama dengan bola zirkonia. Perbandingan komposisi Co:Cr adalah 3:1 dengan penambahan<br />
HAP sebesar 5% dari berat total sampel. Variasi temperatur sintering 450 ºC, 900 ºC, dan 1000ºC dengan waktu<br />
tahan 2 jam. Sedangkan variasi waktu tahan sintering 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan temperatur konstan 900 ºC.<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur sintering (450 0 C-1000 0 C) semakin kecil ukuran<br />
pori yang terbentuk sehingga menyebabkan semakin besar nilai densitas CIC.Waktu tahan pada proses sintering<br />
(1jam, 2jam dan 3 jam) menghasilkan porositas sampel CIC yang bervariasi. Waktu tahan terbaik dicapai pada<br />
waktu 2 jam yang menghasilkan ukuran porositas terkecil dengan densitas terbesar. Ditinjau dari besarnya<br />
densitas yang dihasilkan (5,248 – 5,767 g/cm 3 ), maka sampel CIC yang disintesis dalam penelitian ini berpotensi<br />
sebagai bahan implan tulang.<br />
Kata kunci: cobalt implant composit/CIC, sintering, porositas dan densitas<br />
PENDAHULUAN<br />
Rekayasa biomaterial bisa berhasil jika<br />
pemilihan material, desain rekayasa dan proses<br />
sintesisnya tepat. Meski kesempurnaan desain dan<br />
sintesis penting, material yang dipilih tetap harus<br />
mampu memenuhi sifat yang disyaratkan dan juga<br />
harus biokompatibel, mengingat kombinasi<br />
pengaruh faktor mekanik dan kimia seringkali bisa<br />
berakibat serius, misalnya menimbulkan korosi,<br />
keausan dan perpatahan. Perlu disadari pula bahwa<br />
lingkungan biologis, kadar oksigen, kesediaan<br />
radikal bebas serta aktivitas seluler dalam tubuh<br />
berubah-ubah. Korosi dan pelapukan dapat<br />
menghilangkan integritas implan dan tentunya<br />
mengakibatkan ion lepas ke dalam tubuh sehingga<br />
seringkali menimbulkan alergi.<br />
Salah satu biomaterial yang sekarang banyak<br />
dikaji adalah CIC (Cobalt Implant Composit). CIC<br />
ini merupakan paduan dari logam cobalt (Co),<br />
chromium (Cr) dan hidroksiapatit (HAP). Paduan<br />
Co-Cr memiliki sifat mekanik (modulus Young,<br />
elongasi dan kekuatan lelah) yang lebih tinggi dan<br />
harganya lebih murah dibanding paduan berbahan<br />
dasar titanium. Tingkat korosinya menyamai tingkat<br />
korosi paduan titanium. Ditinjau dari masing-masing<br />
unsur, cobalt memiliki kekerasan dan kekuatan yang<br />
tinggi, sedangkan chromium bersifat tahan karat,<br />
sehingga perpaduan keduanya akan membentuk sifat<br />
mekanik dan kimia yang baik. HAP merupakan<br />
salah satu material biokompatibel yang paling<br />
efektif terhadap jaringan keras dan lunak serta<br />
memiliki kemiripan dengan komponen material<br />
tulang dan gigi. HAP tidak menimbulkan racun<br />
dalam tubuh, memiliki sifat biokompatibilitas yang<br />
sangat baik terhadap jaringan keras dan lunak, tahan<br />
korosi, tahan aus, kekuatan tekan tinggi, bersifat<br />
bioaktif (dapat terjadi pertautan atau ikatan yang<br />
kuat antara HAP dengan jaringan tulang penerima)<br />
dan tidak terdegradasi.<br />
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shamsul<br />
et.al.(2007) telah dibuat Cobalt Implant Composite<br />
(CIC) yaitu perpaduan antara paduan cobaltcrhomium<br />
dengan hidroksiapatit (0-20%). Sintesis<br />
dilakukan dengan teknik metalurgi serbuk pada<br />
suhu sintering 1000 0 C selama 3 jam. Penelitian<br />
tersebut melaporkan bahwa sifat mekanik CIC yang<br />
meliputi kekerasan, modulus young dan kekuatan<br />
tekan menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi<br />
hidroksiapatit. Shamsul et.al. (2007) menyimpulkan<br />
bahwa penambahan HAP 5% menghasilkan sifat<br />
mekanik yang sesuai untuk aplikasi medis.<br />
Penelitian Aminatun dkk, (2010) melaporkan<br />
bahwa sampel CIC (dengan komposisi HAP sebesar<br />
2.5% dan 5%) yang dibuat dengan teknik metalurgi<br />
serbuk memiliki potensi sebagai bahan implan<br />
tulang ditinjau dari sifat mekaniknya sedangkan<br />
untuk HAP 10% cocok untuk implan email gigi.<br />
Penelitian yang lain Aminatun dkk, (2010)<br />
melaporkan bahwa temperatur dan waktu sintering<br />
mempengaruhi sifat mekanik CIC. Sifat mekanik<br />
CIC (kuat tekan dan kekerasan) meningkat dengan<br />
semakin tingginya temperatur sintering. Sedangkan<br />
untuk variasi waktu sintering, didapatkan nilai kuat<br />
tekan dan kekerasan maksimal terjadi pada waktu<br />
sintering 2 jam. Nilai kuat tekan yang dihasilkan dari<br />
proses sintering pada temperatur 1000°C/2jam, dan<br />
900°C (1,2,dan 3 jam) termasuk dalam range nilai<br />
C6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
kuat tekan tulang kortikal, sehingga sampel CIC ini<br />
berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan implan<br />
Faktor yang berperan penting dalam<br />
pembentukan sifat mekanik biomaterial adalah<br />
porositas. Sifat mekanik yang dipengaruhinya antara<br />
lain tingkat kekerasan, kuat tekan, dan kuat impak<br />
(Vlack V., 2004). Porositas bergantung pada proses<br />
sintering yang salah satunya meliputi teknik<br />
fabrikasi yang digunakan, suhu, dan waktu sintering.<br />
Proses pemanasan yang tepat berpengaruh terhadap<br />
penataan atom-atom dalam membentuk struktur<br />
kristal CIC. Pada saat kita memberikan pemanasan,<br />
atom-atom dalam kristal diberi kesempatan untuk<br />
menata diri. Kemudian akan menghasilkan susunan<br />
atom tertentu, hal ini akan mempengaruhi porositas,<br />
densitas serta karakteristik CIC secara keseluruhan.<br />
Berdasarkan uraian di atas, maka kajian<br />
terhadap porositas dan densitas CIC perlu dilakukan<br />
karena keduanya terkait erat dengan sifat-sifat<br />
mekanik yang dihasilkan.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Bahan penelitian :<br />
Serbuk kobalt (Co), Serbuk kromium (Cr),<br />
Serbuk hidroksiapatit / HAP [Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 ],<br />
Etanol 96%, asam sulfat pekat (H 2 SO 4 )<br />
Prosedur Penelitian<br />
Persiapan<br />
Tahap persiapan yang harus dilakukan<br />
sebelum melaksanakan penelitian adalah :<br />
menyiapkan serbuk Co, serbuk Cr, dan serbuk HAP<br />
sebagai bahan dasar. Etanol 99% sebagai pelarut<br />
polar. Asam sulfat pekat sebagai pencuci tabung<br />
Teflon dan bola zirkonia.<br />
Pembuatan sampel<br />
Pembuatan sampel diawali dengan<br />
menimbang bahan sesuai komposisi. Perbandingan<br />
yang digunakan adalah dalam persen berat, yakni<br />
75% Co ditambah dengan 25 % Cr dan 5 % HAP<br />
dari total berat Co-Cr. Penambahan HAP<br />
dimaksudkan agar bahan bersifat getas pada<br />
komposit serta dihasilkan biomaterial berpori yang<br />
lebih biokompatibel. Komposisi bahan di buat<br />
konstan agar dapat diketahui pengaruh proses<br />
sintering (suhu dan waktu sintering).<br />
Setelah dilakukan penimbangan, selanjutnya<br />
serbuk Co-Cr-HAP dicampur dalam tabung teflon<br />
bersama dengan bola zirkonia dan etanol 99% dan<br />
diputar 600 rpm selama 30 menit di dalam mesin<br />
milling. Etanol 96% sebagai pelarut polar dan<br />
mudah menguap berfungsi mempercepat proses<br />
pencampuran bersama bola zirkonia. Untuk 10 gram<br />
bahan campuran digunakan 120 gram bola zirkonia<br />
(40 buah).<br />
Proses selanjutnya adalah pengeringan bahan<br />
dan ditimbang sesuai dengan keperluan. Kemudian<br />
dicetak dalam cetakan silinder diameter 1,4 cm<br />
menggunakan hidrolik press dengan kekuatan 5 ton<br />
atau ±357 MPa. Bahan yang telah dicetak<br />
selanjutnya disintering dengan suhu 450C, 900C,<br />
dan 1000C selama 2 jam. Untuk variasi lama<br />
waktu sintering, pemanasan dilanjutkan sampai<br />
temperatur 900C dengan waktu sintering 1jam, 2<br />
jam, dan 3jam. Kemudian sampel siap<br />
dikarakterisasi meliputi uji XRD, uji kuat tekan dan<br />
uji kekerasan.<br />
1000<br />
900C<br />
450C<br />
100C<br />
Suhu<br />
5 120 menit<br />
Gambar 1. Skema Proses Sintering<br />
waktu(menit)<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Analisis Hasil Mikroskop Optik<br />
Struktur mikro CIC diamati dengan<br />
menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran<br />
160x dilakukan secara acak pada permukaan sampel.<br />
Pengamatan meliputi keadaan poros, ukuran dan<br />
distribusinya. Pengamatan ini di lakukan untuk<br />
melihat seberapa jauh pengaruh proses sintering<br />
terhadap profil permukaan sampel. Hasil<br />
pengamatan hanya berupa keadaan permukaan CIC<br />
yang diharapkan dapat mewakili keadaan CIC secara<br />
keseluruhan untuk mendukung data analisis yang<br />
telah diperoleh pada uji densitas. Berikut ini<br />
disajikan hasil pemotretan citra CIC yang dibentuk.<br />
Gambar 2. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel A<br />
(450ºC/2jam)<br />
C7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 3. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel B<br />
(900ºC/1jam)<br />
Gambar 4. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel C<br />
(900ºC/2jam)<br />
Gambar 5. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel D<br />
(900ºC/3jam)<br />
Sampel E menunjukkan struktur metalografi yang<br />
paling halus dan padat diantara kelima sampel<br />
dengan ukuran pori kecil dan tersebar merata.<br />
Jumlah dan ukuran pori yang besar akan<br />
menurunkan nilai densitas CIC sehingga sifat<br />
mekanik akan menurun seiring dengan<br />
bertambahnya pori. Semakin tinggi temperatur<br />
sintering akan mengurangi pori yang tersbentuk<br />
sebab akan mempermudah proses pertumbuhan butir<br />
sehingga ruang antar atom dapat terisi. Hal ini dapat<br />
dilihat dengan membandingkan ukuran dan banyak<br />
pori pada sampel A, C, dan E. Dengan sedikitnya<br />
pori maka nilai kuat tekan CIC akan semakin tinggi.<br />
Sedangkan pemanasan yang terus berlangsung pada<br />
saat rekristalisasi telah terjadi atau dengan kata lain<br />
makin lama waktu sintering menyebabkan<br />
pengacakan kembali butir yang telah tertata<br />
sehingga mengakibatkan timbulnya pori. Selain<br />
temperatur dan waktu sintering, timbulnya pori juga<br />
disebabkan oleh proses sintering yang dilakukan<br />
pada ruang non-vakum sehingga lebih berpotensi<br />
menghasilkan pori akibat timbulnya lapisan oksida.<br />
Analisis Uji Densitas<br />
Pengukuran densitas/rapat massa CIC yang<br />
dibentuk dilakukan dengan membandingkan antara<br />
massa CIC dengan volume CIC yang terbentuk.<br />
Densitas bakalan terjadi karena adanya gaya adhesikohesi<br />
antar partikel (Interlocking), gaya van der<br />
walls, dan gaya elektrostatik. Tekanan sebesar 357<br />
MPa diharapkan dapat membentuk model ikatan<br />
bola bidang, sebab pada model ikatan ini porositas<br />
yang terbentuk semakin kecil.<br />
Sampel<br />
Tabel 1. Hasil Pengukuran Densitas CIC<br />
Sintering<br />
Densitas<br />
(g/cc)<br />
A 450°C/2jam 5,248 ± 0,055<br />
B 900°C/1jam 5,411 ± 0,057<br />
C 900°C/2jam 5,720 ± 0,059<br />
D 900°C/3jam 5,427 ± 0,056<br />
E 1000°C/2jam 5,767 ± 0,062<br />
Gambar 6. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel E<br />
(1000ºC/2jam)<br />
Gambar di atas memperlihatkan bahwa pada<br />
CIC yang disintering pada temperatur 450°/2jam<br />
(Gambar 2) memperlihatkan ukuran pori yang cukup<br />
besar dan merata dibanding sampel-sampel lain.<br />
Selain itu juga terlihat adanya butiran-butiran putih<br />
yang diduga sebagai HAP sebelum meleleh pada<br />
temperatur tersebut. Pola gelap diduga sebagai pori/<br />
ruang antar CIC yang belum terisi oleh atom-atom.<br />
Gambar 7. Grafik Pengaruh Temperatur Sintering terhadap Nilai<br />
Densitas CIC<br />
C8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 8. Grafik Pengaruh Waktu Sintering terhadap Nilai<br />
Densitas CIC<br />
Pembuatan komposit dengan metode serbuk<br />
sangat memungkinkan terjadinya porositas akibat<br />
mekanisme transport massa berjalan baik. Ukuran<br />
butir yang semakin kecil akan memampatkan CIC<br />
sehingga ruang antara atom pun menjadi berkurang<br />
dan terjadi kenaikan nilai densitas. Temperatur<br />
sintering yang makin meningkat menyebabkan<br />
semakin besarnya densitas. Hal ini terjadi karena<br />
keberhasilan proses pertumbuhan butir (grain<br />
growth) dan penyusutan pori (shrinkage). Penurunan<br />
densitas terjadi karena distribusi matriks terhadap<br />
serat tidak merata akibat terjadinya pengumpulan<br />
partikel matriks dalam satu tempat yang disebut<br />
alogmerat. Alogmerat disebabkan oleh proses<br />
pencampuran basah (Wet Milling) yang tidak merata<br />
dimana partikel-partikel yang memiliki muatan yang<br />
sama cenderung berkumpul menjadi satu.<br />
Variasi waktu sintering menunjukkan terjadi<br />
peningkatan densitas dari waktu tahan 1 jam hingga<br />
2 jam, kemudian pada waktu tahan 3 jam densitas<br />
CIC mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh<br />
hasil pemotretan pada pemeriksaan menggunakan<br />
mikrroskop optik yang memperlihatkan adanya pori<br />
yang lebih besar dan banyak pada sampel D<br />
dibanding sampel C. Hal ini disebabkan pemanasan<br />
yang lebih lama dari waktu terjadinya rekristalisasi<br />
akan mengakibatkan terjadinya pengacakan ulang<br />
sehingga terbentuk pori dan menurunkan nilai<br />
densitas CIC.<br />
SIMPULAN<br />
A. Semakin tinggi temperatur sintering (450 0 C-<br />
1000 0 C) semakin kecil ukuran pori yang<br />
terbentuk sehingga menyebabkan semakin besar<br />
nilai densitas CIC.<br />
B. Waktu tahan pada proses sintering (1jam, 2jam<br />
dan 3 jam) menghasilkan porositas sampel CIC<br />
yang bervariasi. Waktu tahan terbaik dicapai<br />
pada waktu 2 jam yang menghasilkan ukuran<br />
porositas terkecil dengan densitas terbesar.<br />
C. Ditinjau dari besarnya densitas yang dihasilkan<br />
(5,248 – 5,767 g/cm 3 ), maka sampel CIC yang<br />
disintesis dalam penelitian ini berpotensi sebagai<br />
bahan implan tulang.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Aminatun, Siswanto, Wheni Kusumawati, 2010,<br />
Sintesis dan Karakterisasi Sifat-Sifat Fisis<br />
CIC (Cobalt-Implant Composit) karena<br />
Variasi Variasi Konsentrasi Hidroksiapatit,<br />
Prosiding Seminar Nasional Sains 2010<br />
Pasca Sarjana Unesa Surabaya<br />
Aminatun, Siswanto, Ita Fauriya, 2010, Analisis<br />
Sifat Fisis Cobalt Implant Composit karena<br />
Pengaruh Proses Sintering, Prosiding<br />
Seminar Nasional Basic Science VII,<br />
Universitas Brawijaya<br />
Goenharto, Siniawati dan Achmad Syefei. Titanium<br />
Bracket. Bagian Ortodonsia Fakultas<br />
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga<br />
Surabaya-Indonesia. Akses:Juni2008.<br />
Http://www.geocities.com/drg_likatrimulya/k<br />
linik_gigi.htm.<br />
Nuriana, Wahidin. 2005. Sintesis Titanium-<br />
Hidroksiapatit: Suatu Upaya Peningkatan<br />
Kualitas Hidroksiapatit sebagai Tulang<br />
Sintesis. Disertasi Program Pascasarjana<br />
Universitas Airlangga.<br />
Park, Joon and R.S. Lakes. 2007. Biomaterials an<br />
Introduction Third Edition. Spinger Science +<br />
Business Media LLC.<br />
Shamsul,A.Z, Nur Hidayah, dan C.M.Ruzaldi. 2008.<br />
Fibrication and Propertis of Cobalt-<br />
Chromium HAP Composite. School of<br />
Materials Engineering. Universiti Malaysia<br />
Perlis. Internasional Jurnal Science ISSN<br />
09734589 Volume 3, Number 1(2008),pp 35-<br />
31©Research India Publication.<br />
Shamsul,A.Z, Nur Hidayah, dan C.M.Ruzaldi.2007.<br />
Characterization of Cobalt-Chromium-HAP<br />
Biomaterial for Biomedical Application.<br />
School of Materials Engineering. Universiti<br />
Malaysia Perlis. Jurnal of Apllied Science<br />
Research, 3 (11): 1544-<br />
1553,2007©2007,INSInet Publication.<br />
The European Powder Metallurgy Association.<br />
Powder Metallurgy-Sintering and Sintering<br />
Furnace. Akses : November 2008<br />
Vlack, Lawrence H. Van. 2004. Elemen-elemen<br />
ilmu dan rekayasa material. Edisi 6. Erlangga<br />
Jakarta<br />
C9
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Implantasi Ion Cerium (Ce) Terhadap Sifat Ketahanan Oksidasi<br />
Suhu Tinggi Material FeAl dan Karakterisasinya<br />
Anis Yuniati 1 , Sudjatmoko 2<br />
1 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga<br />
2 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta<br />
Email : anisyuniati@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan implantasi ion elemen reaktif cerium (Ce) pada material FeAl dengan tujuan untuk menyelidiki<br />
pengaruh terhadap sifat ketahanan oksidasinya pada suhu tinggi. Untuk maksud tersebut implantasi ion telah<br />
dilakukan pada energi 100 keV dan 3 (tiga) variasi dosis ion yaitu 2,981x10 15 ion/cm 2 ; 5,963x10 15 ion/cm 2 dan<br />
8,945x10 15 ion/cm 2 . Uji ketahanan oksidasi secara siklus termal selama 6 siklus pada suhu 850 0 C dalam media<br />
oksigen kering, waktu pemanasan 5 jam dan waktu pendinginan 17 jam. Perubahan sifat ketahanan oksidasi<br />
diamati dengan cara menimbang perubahan berat dari sampel untuk setiap siklus baik untuk material yang<br />
diimplantasi maupun yang tidak diimplantasi. Perubahan struktur mikro dan komposisi kimia menggunakan<br />
SEM-EDAX. Dari uji siklus termal diperoleh hasil bahwa dosis optimum implantasi ion cerium untuk<br />
meningkatkan ketahanan oksidasi material FeAl adalah sebesar 5,963 x 10 15 ion/cm 2 . Dari pengamatan struktur<br />
mikro diperoleh hasil bahwa selama oskidasi siklus termal ternyata terjadi perubahan butir-butir yaitu semakin<br />
membesar. Juga dari analisa menggunakan EDAX teramati senyawa oksida protektif CeO 2 yang menyebabkan<br />
sifat ketahanan oksidasinya meningkat. Dari pengamatan komposisi kimia teramati bahwa pada dosis optimum<br />
terbentuk lapisan oksida cerium sebesar 0,72 %massa.<br />
Kata kunci : implantasi ion, oksidasi suhu tinggi, cerium<br />
PENDAHULUAN<br />
Penggunaan bahan logam di dunia industri<br />
mempunyai peran yang sangat penting. Tetapi<br />
kebanyakan logam pada suhu tinggi sangat mudah<br />
rusak, aus, maupun terjadi korosi akibat oksidasi<br />
antara logam dengan udara bebas,terutama pada<br />
bagian permukaan logam. Saat ini telah banyak<br />
dikembangkan teknik pelapisan permukaan logam<br />
maupun paduan logam untuk mengubah sifat fisik<br />
maupun mekaniknya sehingga dihasilkan sifat logam<br />
yang lebih unggul, salah satunya adalah teknik<br />
implantasi ion. Pada teknik implantasi ion, ion<br />
dopan dipercepat dalam tabung akselerator<br />
kemudian diimplantasikan ke dalam permukaan<br />
material yang akan dilapisi permukaannya. Beberapa<br />
material atau paduan logam seperti FeAl, FeNiCr,<br />
FeCrAl dan FeNiAl banyak digunakan pada suhu<br />
tinggi dikarenakan selama beroperasi mampu<br />
membentuk lapisan oksida pelindung (protective<br />
oxide layer) seperti khrom oksida ( ) dan<br />
alumina oksida atau sering disebut alumina (<br />
) (W. J. Quaddakers et al., 1995)<br />
Lapisan proteksi yang telah terbentuk tersebut<br />
cenderung mengelupas (spallation) karena selama<br />
proses pertumbuhan oksida akan muncul stress atau<br />
adanya strain. Stress juga muncul pada siklus termal<br />
yang disebabkan karena adanya perbedaan koefisien<br />
pengembangan panas antara lapisan oksida dengan<br />
material induknya (J. Jedlinski., 1997). Beberapa<br />
unsur seperti yttrium(Y), cerium (Ce), titanium (Ti)<br />
dan hafnium (Hf) merupakan contoh jenis elemen<br />
reaktif yang biasanya ditambahkan pada material,<br />
karena elemen-elemen reaktif tersebut akan<br />
berfungsi sebagai penstabil dan menambah daya<br />
rekat (adherence) dari lapisan oksida protektif yang<br />
telah terbentuk sehingga menjadi lebih kuat<br />
meskipun terjadi siklus termal (B. A. Pin, et al)<br />
Pada makalah ini akan laporkan hasil<br />
penelitian dari pengaruh implantasi ion cerium<br />
terhadap sifat ketahanan oksidasi suhu tinggi paduan<br />
FeAl dengan melakukan uji siklus termal pada<br />
lingkungan gas oksigen pada suhu 850° serta hasil<br />
karakterisasi menggunakan SEM-EDAX<br />
METODE PENELITIAN<br />
Proses implantasi ion Cerium dilakukan<br />
dengan akselerator implantasi ion 200 keV/2mA<br />
buatan PTAPB BATAN. Prinsip kerja mesin<br />
implantasi ion adalah ketika ion dopan yang<br />
diproduksi dalam sumber ion dipercepat dalam<br />
tabung akselerator, berkas ion ini dilewatkan pada<br />
sebuah lensa kuadrupol agar dapat terfokus pada<br />
satu titik yang diinginkan. Untuk mendapatkan ion<br />
dopan yang benar-benar murni maka berkas ion<br />
dilewatkan ke magnet pemisah dan selanjutnya<br />
mengenai permukaan material sasaran. Dosis ion<br />
didefinisikan sebagai jumlah ion yang sampai pada<br />
permukaan sasaran persatuan luas. Besaran ini akan<br />
menentukan jumlah atau prosentase ion yang<br />
terimplantasi. Nilai dosis ion sebagai fungsi arus<br />
berkas ion dan lamanya proses implantasi akan<br />
mempengaruhi distribusi konsentrasi ion yang<br />
C10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
diimplantasikan. Sedangkan kedalaman penetrasi ion<br />
yang diimplantasikan dipengaruhi oleh besarnya<br />
energi implantasi, jenis ionnya dan jenis material<br />
yang diimplantasi.<br />
Dalam pelaksanaan implantasi ion, dosis ion<br />
akan divariasi dengan cara mengubah waktu<br />
lamanya proses implantasi (600, 1200, dan 1800)<br />
detik, sedangkan energi dan arus ion dibuat konstan<br />
masing-masing sebesar 100 keV dan 10 µA.<br />
Penimbangan berat dilakukan dalam dua tahap yaitu<br />
setelah sampel diimplantasi dan setelah uji oksidasi<br />
siklus termal. Hal ini untuk mengetahui perubahan<br />
berat material sebagai akibat siklus termal. Uji<br />
oksidasi dilakukan dalam media oksigen kering<br />
yaitu dengan mengalirkan oksigen dengan laju aliran<br />
4,17 cc/menit dan tekanan 1 bar ke dalam tabung<br />
selama 6 siklus termal, dimana setiap siklus termal<br />
adalah 5 jam pemanasan pada suhu 850°C dan<br />
pendinginan selama 17 jam pada suhu kamar 27°C.<br />
Untuk melihat morfologi permukaan sampel hasil<br />
implantasi dilakukan karakterisasi dengan SEM<br />
(Scanning Electron Microscope) yang dikopel<br />
dengan EDAX (Energy Dispersive Analysis X-Ray)<br />
untuk mengetahui prosentase dan komposisi kimia<br />
pada daerah kecil dari sampel<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Parameter kedalaman penetrasi ion Cerium<br />
pada material FeAl dengan energi sebesar 100 keV<br />
dapat dilihat pada Tabel I berikut<br />
dE/dx<br />
elektron<br />
(eV/Å)<br />
TABEL I<br />
dE/dx inti<br />
(eV/Å)<br />
Rp<br />
(Å)<br />
σ<br />
Rp<br />
(Å)<br />
2,600x10 2 3 212 72<br />
4,946 x10<br />
Distribusi konsentrasi ion Cerium pada<br />
material FeAl untuk masing-masing variasi dosis<br />
ditunjukkan oleh Tabel II<br />
No<br />
Waktu<br />
implantasi<br />
(s)<br />
TABEL II<br />
Dosis ion<br />
x10 15 ion/cm 2<br />
Prosentase<br />
ion dopan<br />
(%)<br />
Ce<br />
1. 600 2,981 1,43<br />
2. 1200 5,963 2,83<br />
3. 1800 8,945 4,18<br />
Penambahan elemen reaktif seperti cerium<br />
dengan metode implantasi ion biasanya akan efektif<br />
apabila jumlahnya antara 0,1%-2% berat serta<br />
terdistribusi merata pada kedalaman sekitar 500 Å.<br />
Elemen reaktif tersebut akan berperan sebagai<br />
penyetabil dan penambah daya lekat dari lapisan<br />
oksida protektif yang telah terbentuk sehingga<br />
menjadi kuat walaupun terjadi siklus termal.<br />
Pada pemanasan logam paduan di udara akan<br />
terjadi peristiwa yang berlainan, tergantung berapa<br />
persen komposisi masing-masing logam penyusun<br />
paduan. Paduan besi aluminium merupakan<br />
intermetallic alloys yang tahan terhadap oksidasi<br />
isotermal dan memiliki densitas yang lebih kecil<br />
daripada stainless steel atau paduan nikel. Selain itu<br />
paduan ini lebih menguntungkan karena lebih<br />
murah. Namun pada suhu di atas 600°C kekuatan<br />
paduan ini menurun sehingga banyak dilakukan<br />
penelitian dengan menambahkan elemen reaktif<br />
pada paduan FeAl untuk meningkatkan ketahanan<br />
oksidasinya. Dengan penambahan elemen reaktif<br />
tersebut diharapkan akan terbentuk lapisan-lapisan<br />
oksida yang bersifat protektif sehingga mampu<br />
melindungi material induk dari lingkungannya dan<br />
menghambat terjadinya reaksi oksidasi. Proses<br />
oksidasi pada material FeAl yang diimplantasi<br />
dengan elemen reaktif Ce terjadi karena adanya<br />
difusi antara oksigen dengan ion-ion Ce membentuk<br />
oksida cerium . Ketahanan oksidasi<br />
meningkat apabila laju oksidasinya rendah serta<br />
tidak terjadi pengelupasan (umur pemakaian lebih<br />
lama) dibandingkan dengan material FeAl yang<br />
tidak diimplantasi.<br />
Proses pembentukan oksida dimulai dari<br />
absorbsi oksigen ke permukaan FeAl melalui<br />
mekanisme difusi. Pada saat yang sama, atom Ce<br />
juga berdifusi keluar permukaan FeAl sehingga<br />
terjadi pertemuan antara atom Ce dengan oksigen<br />
yang selanjutnya terjadi reaksi kimia untuk<br />
membentuk lapisan oksida pada batas permukaan.<br />
Ion cerium mempunyai dua bilangan oksidasi yaitu<br />
+3 dan +4 yang masing-masing disebut dengan<br />
cerous dan ceric. Serbuk cerium (III) berwarna<br />
putih, sedangkan cerium (IV) berwarna merah<br />
oranye. Lapisan oksida yang terbentuk dari<br />
implantasi ion cerium (III) dan cerium (IV) masingmasing<br />
akan terbentuk lapisan oksida dan<br />
. Pada penelitian ini serbuk cerium yang<br />
digunakan adalah cerium (IV). Pembentukan lapisan<br />
oksida melibatkan 2 reaksi yaitu reaksi<br />
oksidasi dan reaksi reduksi. Pada reaksi oksidasi<br />
terjadi pembentukan ion logam Ce 4+<br />
disertai<br />
pelepasan elektron. Persamaan reaksi pembentukan<br />
ion logam Ce 4+<br />
dapat dituliskan :<br />
Ce → Ce 4 +<br />
+ 4 e<br />
sedangkan pada reaksi reduksi terjadi<br />
pembentukan ion oksigen disertai dengan<br />
penangkapan elektron. Persamaan reaksi<br />
pembentukan ion O 2−<br />
untuk ion cerium dapat<br />
dituliskan<br />
O 2 + 4 e → 2 O 2−<br />
Berdasarkan persamaan reaksi oksidasi dan<br />
reaksi reduksi di atas, ion-ion Ce yang membawa<br />
elektron bergerak mendekati oksigen dan<br />
C11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
melepaskan elektron. Di lain pihak, oksigen juga<br />
bergerak dengan arah yang berlawanan dengan ionion<br />
logam sambil menangkap elektron yang<br />
dilepaskan logam. Secara keseluruhan reaksi<br />
pembentukan lapisan oksida dapat<br />
dituliskan<br />
Ce +<br />
→<br />
Oksida yang stabil dan tidak mudah menguap<br />
diharapkan menempel pada permukaan sampel FeAl<br />
sehingga mampu melindungi paduan tersebut dari<br />
reaksi oksidasi. Oksida logam yang membentuk<br />
lapisan oksida mantap dan tidak mudah menguap<br />
akan berlangsung disertai penambahan berat yang<br />
bergantung pada waktu. Laju oksidasi dapat<br />
ditentukan dengan menimbang berat oksida yang<br />
terbentuk sebagai fungsi waktu. Berat lapisan yang<br />
terbentuk diukur dengan sebuah neraca analitis yang<br />
mempunyai ketelitian sampai 0,1mg. Melalui<br />
pengamatan perubahan berat terlihat adanya<br />
pertambahan berat sebagai akibat proses oksidasi<br />
yang disebabkan oleh adanya penangkapan atomatom<br />
oksigen melalui mekanisme difusi sehingga<br />
terbentuk lapisan oksida. Namun akibat adanya<br />
proses siklus termal maka terjadi pengelupasan pada<br />
lapisan oksida yang terbentuk, hal ini terlihat dengan<br />
terjadinya pengurangan berat.<br />
Perubahan Berat (gr/cm2)<br />
0.0008<br />
0.0006<br />
0.0004<br />
0.0002<br />
0<br />
-0.0002<br />
-0.0004<br />
-0.0006<br />
-0.0008<br />
-0.001<br />
-0.0012<br />
0 1 2 3 4 5 6 7<br />
Siklus Termal<br />
Non Implan D1 Ce D2 Ce D3 Ce<br />
Gambar 1. Pengaruh Implantasi Ion Cerium Terhadap Sifat<br />
Ketahanan Oksidasi FeAl<br />
Gambar 4.15 menunjukkan profil<br />
pertumbuhan lapisan oksida yang terbentuk pada<br />
dosis 5,963 x ion/cm 2 adalah fluktuatif. Namun<br />
penambahan pada dosis ini merupakan dosis yang<br />
paling optimum dibandingkan dosis<br />
2,981x10 15 ion/cm 2 dan 8,945<br />
x10 15 ion/cm 2 dimana pada kedua dosis tersebut<br />
oksida cerium yang terbentuk tidak stabil dan terjadi<br />
pengelupasan. Pada dosis 5,963<br />
x10 15 ion/cm 2 terlihat adanya pembentukan lapisan<br />
oksida cerium pada siklus termal ke 1, tetapi pada<br />
siklus termal ke 2 terjadi pengelupasan.<br />
Pembentukan lapisan oksida cerium kembali terjadi<br />
pada siklus ke 3 dan ke 5, tetapi pengelupasan<br />
kembali terjadi pada siklus ke 4 dan ke 6. Meskipun<br />
demikian, pengelupasan yang terjadi pada dosis<br />
5,963 x10 15 ion/cm 2 ini tidak sampai ke material<br />
induknya. Pengelupasan yang terjadi diikuti dengan<br />
terbentuknya lapisan oksida cerium yang baru. Hal<br />
ini disebabkan sifat dari ion cerium yang reaktif<br />
terhadap oksigen. Namun perbedaan ekspansi termal<br />
dengan material induk menyebabkan lapisan oksida<br />
mudah mengelupas.<br />
Pada penambahan cerium dengan dosis<br />
2,981x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan pada<br />
siklus pertama dan terbentuk lapisan oksida cerium<br />
kembali pada siklus termal ke 2. Pengelupasan<br />
kembali terjadi pada siklus termal ke 3 dan setelah<br />
pengelupasan tersebut terbentuk kembali lapisan<br />
oksida cerium. Pada penambahan cerium dengan<br />
dosis 8,945 x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan<br />
pada siklus termal ke 1 dan terbentuk lapisan oksida<br />
cerium kembali pada siklus termal ke 2. Pada siklus<br />
termal berikutnya kembali terjadi pengelupasan<br />
lapisan oksida. Keadaan pada kedua dosis ini dapat<br />
disebabkan oleh penambahan elemen reaktif yang<br />
terlalu sedikit atau terlalu banyak. Jika elemen<br />
reaktif yang ditambahkan kurang efektif maka hanya<br />
terbentuk lapisan yang sangat tipis sehingga mudah<br />
mengelupas. Sedangkan penambahan dosis ion<br />
dopan yang terlalu banyak juga tidak efektif karena<br />
menyebabkan pembentukan lapisan oksida yang<br />
semakin banyak. Pembentukan oksida yang terlalu<br />
cepat apabila tidak diimbangi dengan ekspansi<br />
material induk akan menyebabkan mengelupasnya<br />
lapisan oksida. Walaupun penambahan cerium pada<br />
material FeAl dengan dosis 2,981x10 15 ion/cm 2 dan<br />
8,945 x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan, namun<br />
ketahanan oksidasinya masih lebih baik<br />
dibandingkan dengan FeAl yang tanpa implantasi<br />
karena laju oksidasinya lebih rendah.<br />
Hasil karakterisasi menggunakan SEM<br />
memberikan morfologi permukaan material FeAl<br />
yan diimplantasi ion Cerium pada dosis 5,963<br />
x10 15 ion/cm 2 sebelum dan setelah mengalami 6<br />
siklus termal . Morfologi permukaan material FeAl<br />
yang diimplantasi dengan cerium setelah mengalami<br />
uji oksidasi siklus termal terlihat lebih kasar dan<br />
perubahan butir-butir yang semakin membesar. Pada<br />
permukaan material terbentuk lapisan oksida cerium<br />
yang mempunyai daya lekat kuat. Lapisan oksida ini<br />
dapat melindungi permukaan material pada oksidasi<br />
suhu tinggi, karena pada suhu tinggi, hampir semua<br />
logam atau paduan bereaksi dengan lingkungan<br />
sekitar dengan laju oksidasi tinggi. Laju oksidasi<br />
dari lapisan pelindung ini bisa berupa parabolik,<br />
logaritmik ataupun linear tergantung pada suhu dan<br />
jenis material. Penambahan elemen reaktif pada<br />
paduan bisa mengubah laju oksidasi sehingga dapat<br />
meningkatkan ketahanan terhadap oksidasi.<br />
C12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
TABEL III<br />
Komposisi unsur sebelum proses siklus termal<br />
Komposisi<br />
Unsur<br />
% massa<br />
Non<br />
Implantasi<br />
Variasi Dosis<br />
x10 15 ion/cm 2<br />
2,981 5,963 8,945<br />
O 29,79 29,46 29,46 29,54<br />
Al 16,05 15,37 15,41 15,58<br />
Fe 54,16 54,95 54,56 54,20<br />
Ce - 0,22 0,57 0,68<br />
Al 2 O 3<br />
30,32 29,04 29,11 29,44<br />
FeO 69,68 70,69 70,19 69,73<br />
CeO 2<br />
- 0,27 0,71 0,83<br />
TABEL IV<br />
Komposisi unsur setelah proses siklus termal<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 2. Morfologi permukaan material FeAl yang diimplantasi<br />
ion Cerium pada dosis 5,963 x10 15 ion/cm 2 dan kandungan<br />
unsur hasil EDAX (a) sebelum dan (b) setelah mengalami 6 siklus<br />
termal<br />
Kandungan unsur-unsur pada material dari<br />
karakterisasi EDAX hasilnya adalah sebagai berikut<br />
Komposisi<br />
Unsur<br />
% massa<br />
Non<br />
Implantasi<br />
Variasi Dosis<br />
x10 15 ion/cm 2<br />
2,981 5,963 8,945<br />
O 33,39 36,64 41,71 42,18<br />
Al 23,74 30,69 41,54 42,49<br />
Fe 42,87 32,41 16,17 15,21<br />
Ce - 0,26 0,59 0,13<br />
Al 2 O 3<br />
44,85 57,98 78,48 80,28<br />
FeO 55,15 41,70 20,80 19,56<br />
CeO 2<br />
- 0,32 0,72 0,16<br />
Untuk material FeAl yang diimplantasi<br />
dengan ion cerium terdapat unsur O, Al, Fe, Ce dan<br />
lapisan oksida Al 2 O 3<br />
, FeO dan CeO 2<br />
. Dari ketiga<br />
variasi dosis, lapisan oksida cerium yang paling<br />
banyak adalah pada dosis 5,963x10 15 ion/cm 2 . Hal<br />
ini menunjukkan bahwa implantasi ion cerium pada<br />
material FeAl pada dosis<br />
5,963x10 15 ion/cm 2 merupakan dosis paling<br />
optimum dibandingkan dosis yang lain. Pada dosis<br />
ini lapisan oksida cerium yang terbentuk mempunyai<br />
daya lekat yang kuat dan mampu melindungi<br />
material FeAl pada oksidasi siklus termal.<br />
Perbandingan prosentase komposisi unsur dari<br />
material FeAl yang tidak diimplantasi dan yang<br />
diimplantasi dengan ion cerium dengan tiga variasi<br />
dosis setelah melewati siklus termal disajikan pada<br />
tabel IV.<br />
C13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
KESIMPULAN<br />
1. Penambahan elemen reaktif cerium pada<br />
paduan FeAl dengan teknik implantasi ion dapat<br />
meningkatkan ketahanan oksidasinya pada suhu<br />
tinggi tergantung pada besarnya dosis ion yang<br />
digunakan.<br />
2. Dari ketiga variasi dosis yang digunakan,<br />
dosis yang paling optimum adalah 5,963<br />
x10 15 ion/cm 2 , dengan terbentuknya lapisan oksida<br />
cerium yang paling banyak yaitu sebesar 0,72%<br />
massa.<br />
Ucapan Terimakasih<br />
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan<br />
terimakasih kepada Prof. Drs. Sudjatmoko, SU;<br />
Prof.Dr. Kusminarto, dan Drs. B.A. Tjipto Sujitno,<br />
M.T, APU yang telah membimbing penulis dalam<br />
menyelesaikan penelitian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
B. A. Pin, K. L. More, P. F. Tortprelli, W. D. Porter<br />
and I. G. Wright, Optimizing the Imperfect<br />
Oxidation Performance of Iron Aluminides,<br />
Oak Ridge National Laboratory<br />
E. N’dah, A. Gallerie, Y. Wouters, D. Goossens, D.<br />
Naumenko, V. Kochubey, W. J. Quaddakers<br />
(2005), Metastable Alumina Formation<br />
During Oxidation of FeCrAl and Its<br />
Suppression by Surface Treatments, Materials<br />
and Corrosion, 843-847<br />
I. Gurrapa, S. Weinbruch, D. Naumenko and W. J.<br />
Quaddakers (2000), Factor Governing<br />
Breakaway Oxidation of FeCrAl Based<br />
Alloys, Materials and Corrosion, 224-235<br />
J. Jedlinski, (1997), The Oxidation Behavior of<br />
FeCrAl Aluminium Forming Alloys at High<br />
Temperature, Solid State Ionics, 101-103<br />
W. J. Quaddakers, I. Malkow and H. Nickel (1995),<br />
The Effect of Mayor and Minor Alloying<br />
Elements on the Oxidation Limited Life of<br />
FeCrAl Based Alloys, Proceedings of the<br />
International Conference on Heat<br />
Resistant, 91-96.<br />
C14
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Komparasi Karakteristik Plastik Layak Santap (Edible Plastic)<br />
Berbasis Pati<br />
Arie Chintya Martania, Siswanto, Aminatun<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : arie.chintya@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh variasi jenis pati terhadap karakteristik plastik layak santap<br />
(edible plastic). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis pati yang menghasilkan edible plastic dengan<br />
karakteristik terbaik. Penelitian dilakukan dengan pembuatan edible plastic dengan bahan baku pati yang<br />
bervariasi (pati beras, pati garut, pati jagung, pati kentang, pati ketan, dan pati sagu) yang dimodifikasi dengan<br />
cara hidrolisis dengan asam asetat (pH 6 dan 7) dengan perbandingan 50 gram pati dalam 50 ml pelarut asam<br />
asetat. Komposisi plastik layak santap adalah 7,5 gram hasil hidrolisis, 100 ml aquades, 45 ml ethanol 96% dan<br />
1.2 ml gliserol. Pengamatan yang dilakukan meliputi sifat mekanik dan toksisitas dengan uji BSLT (Brine<br />
Shrimp Lethality Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pati yang digunakan sebagai bahan baku<br />
pembuatan plastik layak santap mempengaruhi karakteristik plastik layak santap yang dihasilkan, yaitu<br />
ketebalan, kuat tarik, kemuluran dan toksisitasnya. Pati dengan kandungan amilopektin yang lebih besar akan<br />
menghasilkan karakteristik plastik layak santap yang lebih baik. Keseluruhan sampel hasil penelitian<br />
menunjukkan plastik layak santap memiliki karakteristik yang baik dan tidak bersifat toksik. Plastik layak santap<br />
terbaik ditunjukkan oleh pati kentang dengan pelarut asam asetat pH 7 dengan ketebalan 116,167 µm, nilai kuat<br />
tarik 20,918 MPa, kemuluran 31,325 % dan tidak bersifat toksik.<br />
Kata kunci: Plastik layak santap, pati, ketebalan, kuat tarik, kemuluran, toksik .<br />
PENDAHULUAN<br />
Penggunaan plastik sebagai material teknik<br />
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.<br />
Plastik memiliki kelebihan yang tidak dimiliki<br />
material lainnya, namun juga memiliki sisi destruktif<br />
yang mendorong dilakukannya berbagai usaha<br />
perbaikan. Daur ulang, teknologi pengolahan<br />
sampah plastik, penelitian dan pengembangan<br />
teknologi plastik yang dapat terdegradasi secara<br />
alami juga semakin marak. Usaha perbaikan dengan<br />
cara pembakaran dapat menimbulkan peningkatan<br />
kadar CO2 di udara sehingga meingkatkan<br />
pemanasan global, sedangkan daur ulang, hanya<br />
25% dari plastik semula yang dapat digunakan<br />
kembali (W. Pujiastuti et. al. , 2005), sehingga<br />
alternatif lain yang banyak digunakan adalah plastik<br />
biodegradabel.<br />
Plastik biodegradabel dibuat dari<br />
pencampuran polimer sintetik dengan polimer alam,<br />
sehingga saat dibuang ke lingkungan plastik<br />
terdegradasi oleh mikroorganisme, tetapi bagian<br />
yang terbuat dari polimer sintetik tidak dapat terurai.<br />
Solusi alternatif lainya adalah plastik layak santap<br />
(edible plastic).<br />
Plastik layak santap adalah plastik yang<br />
terbuat dari bahan alami salah satunya biopolimer<br />
yang memiliki keunggulan lebih cepat terurai (W.<br />
Pujiastuti et. al. , 2005), berasal dari bahan baku<br />
yang dapat diperbarui dan harganya murah (K.A.<br />
Purbaningrum, 2008).<br />
Pati merupakan bioplimer berbentuk<br />
karbohidrat kompleks yang larut dalam air berwujud<br />
bubuk atau butiran putih, tawar dan tidak berbau.<br />
Secara umum, terbentuk dari dua polimer molekul<br />
glukosa yaitu amilosa (amylose) dan amilopektin<br />
(amylopectin). Amilosa merupakan polimer glukosa<br />
rantai panjang yang tidak bercabang dan<br />
memberikan sifat keras (pera), amilopektin<br />
merupakan polimer glukosa dengan susunan yang<br />
bercabang–cabang dan menyebabkan sifat lengket<br />
pada pati. Komposisi kandungan amilosa dan<br />
amilopektin ini akan bervariasi dalam produk<br />
pangan (M.A. Irawan, 2007). Referensi (K.A.<br />
Purbaningrum, 2008) telah mempelajari<br />
kemungkinan pati sebagai bahan baku pembuatan<br />
plastik layak santap.<br />
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya<br />
(K.A. Purbaningrum, 2008), plastik layak santap<br />
dibuat dengan bahan alamiah dari tepung tapioka<br />
(pati ubi kayu). Hasil yang diperoleh masih terdapat<br />
kekurangan karena plastik layak santap tidak dapat<br />
digunakan pada produk yang memiliki jenis dan<br />
ketebalan plastik tertentu. Jika lembaran plastik<br />
terlalu tebal maka dapat menghalangi pertukaran gas<br />
sehingga menyebabkan menumpuknya etanol yang<br />
dapat merusak rasa produk. Penelitian itu pun (K.A.<br />
Purbaningrum, 2008) hanya dilakukan beberapa uji<br />
karakteristik. Sifat mekanik yang dihasilkan belum<br />
dapat dijadikan acuan dalam penggunaan plastik<br />
layak santap sebagai bahan pengemas.<br />
Makalah ini mengkaji tentang pengaruh<br />
penggunaan variasi pati terhadap karakteristik<br />
C15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
plastik layak santap yang dihasilkan. Variasi pati<br />
yang digunakan antara lain adalah penggunaan pati<br />
beras, pati garut, pati jagung, pati kentang, pati<br />
ketan, dan pati sagu. Sehingga plastik layak santap<br />
yang dihasilkan akan mempunyai karakteristik yang<br />
berbeda. Karakteristik yang berbeda karena<br />
dipengaruhi kandungan amilosa dan amilopektin<br />
yang berbeda-beda pada masing-masing pati.<br />
Karakteristik plastik layak santap yang dikaji<br />
adalah sifat mekanik (ketebalan, kuat tarik,<br />
kemuluran) dan toksisitasnya. Toksisitas pada<br />
plastik layak santap akan diuji dengan metode Brine<br />
Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunkan<br />
hewan uji larva udang Artemia salina. Metode BSLT<br />
sering digunakan untuk uji biologi karena<br />
prosedurnya mudah, cepat dan ekonomis, serta tidak<br />
membutuhkan laboratorium khusus, pemakaian<br />
sampel sedikit dan bersifat umum. Penggunaan<br />
metode BSLT tidak hanya terbatas sebagai uji<br />
pendahuluan farmakologi ekstrak tanaman (B.N<br />
Meyer et. al., 1982), tetapi juga dapat digunakan<br />
sebagai uji untuk logam berat, racun sianobakteri,<br />
pestisida dan kedokteran gigi (J.L. Carballo et. al.,<br />
2002).<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan<br />
Desember 2009 di Laboratorium <strong>Fisika</strong> Material<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi<br />
Universitas Airlangga Surabaya dan Laboratorium<br />
<strong>Fisika</strong> Material Jurusan <strong>Fisika</strong> Universitas Brawijaya<br />
Malang.<br />
Pembuatan Sampel<br />
Pembuatan plastik layak santap diawali<br />
dengan memodifikasi pati yang digunakan dengan<br />
cara hidrolisis dengan pelarut asam asetat (pH 6 dan<br />
7), yaitu dengan mencampurkan 50 gram pati<br />
dengan 50 ml pelarut sambil dipanaskan sampai<br />
40oC, kemudian dikeringkan dan dihaluskan.<br />
Komposisi plastik layak santap yang dibuat<br />
adalah 7,5 gram pati hasil modifikasi, 100 ml<br />
aquades, 45 ml etanol 96%, dan 1,2 ml gliserol.<br />
Pencampuran dilakukan dengan menggunakan<br />
heater dan magnetic stirrer dengan suhu 70oC dan<br />
kecepatan putaran 60 rpm sampai mengental.<br />
Campuran yang dihasilkan kemudian dicetak pada<br />
plexiglass dan didinginkan pada suhu ruang.<br />
Jumlah sampel yang dibuat sebanyak 12<br />
sampel. Setiap sampel akan dilakukan pengujian<br />
sifat mekanik (ketebalan, kuat tarik, kemuluran) dan<br />
sifat toksik dengan metode BSLT.<br />
Uji Sifat Mekanik<br />
Ketebalan: Ketebalan sampel diukur dengan<br />
menggunakan Coating Thickness Gauge tipe TT 210<br />
dengan satuan ketebalan mikrometer. Pengujian ini<br />
dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelarut pada<br />
ketebalan sampel .<br />
Kuat Tarik dan Kemuluran: Pengujian kuat<br />
tarik sampel dilakukan dengan menggunakan mesin<br />
Tensile merk IMADA tipe HV-1000N. Sampel yang<br />
akan diuji terlebih dahulu diatur dengan ukuran<br />
spesimen kemudian ditarik sampai terjadi<br />
perpatahan. Hasil yang dapat diperoleh dari<br />
pengujian ini adalah load atau gaya (F) dalam satuan<br />
Newton. Selain untuk mengetahui gaya tarik, juga<br />
dapat diperoleh data untuk uji kemuluran akibat<br />
pertambahan panjang sampel uji.<br />
Uji Toksisitas dengan Metode Brine Shrimp<br />
Lethality Test (BSLT)<br />
Penetasan Telur Artemia salina: Telur<br />
Artemia salina L. ditempatkan dalam wadah yang<br />
berisi air laut atau air laut buatan (3,69 garam/sea<br />
salt yang dilarutkan dengan 100 ml akuades). Telur<br />
ditempatkan pada suatu wadah yang terlindungi dari<br />
cahaya, sedangkan pada bagian lain wadah diberi<br />
cahaya. Artemia salina L. akan menetas membentuk<br />
naupli setelah 48 jam. Naupli ini selanjutnya<br />
digunakan untuk larutan uji setelah dipisahkan dari<br />
cangkang dan pengotor lainnya dengan<br />
menggunakan pipet (B.N Meyer et. al., 1982).<br />
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT: Uji<br />
BSLT ini dilakukan pada sampel murni hasil isolasi<br />
atau hasil pemisahan. Sampel ditimbang sebanyak<br />
10 mg, kemudian dilarutkan dalam 1 ml air. Setelah<br />
itu ditambahkan 99 ml air laut dan diaduk hingga<br />
homogen sehingga didapatkan larutan induk dengan<br />
konsentrasi 100 ppm, dari larutan induk 100 ppm ini<br />
dibuat larutan dengan konsentrasi 80,60,40,20 ppm<br />
masing-masing dibuat replika 3 kali (triplet).<br />
Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10-12<br />
ekor larva Artemia salina berumur 48 jam ke dalam<br />
larutan uji. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati<br />
dihitung (D.W. Khurniasari, 2004).<br />
HASIL DAN DISKUSI<br />
Sampel plastik layak santap dibuat dari<br />
pencampuran berbagai jenis pati (beras, garut,<br />
jagung, kentang, ketan dan sagu) yang termodifikasi<br />
secara hidrolisis dengan pelarut asetat. Dari<br />
pencampuran ini diperoleh 12 sampel dan<br />
karakterisasi sampel dilakukan dengan melakukan<br />
beberapa uji. Pengujian ketebalan, sifat mekanik<br />
(tarik dan kemuluran) dan uji toksisitas dengan<br />
metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)<br />
dilakukan untuk seluruh sampel.<br />
Hasil Uji Sifat Mekanik<br />
Sifat mekanik dipengaruhi oleh besarnya<br />
jumlah kandungan komponen-konponen penyusun<br />
plastik layak santap (Yusmarlela, 2009). Pati yang<br />
berfungsi sebagai hidrokoloid yang sangat baik<br />
untuk menghambat perpindahan oksigen,<br />
karbondioksida, serta memiliki karakteristik yang<br />
sangat baik, sehingga sangat baik digunakan untuk<br />
memperbaiki struktur plastik layak santap agar tidak<br />
C16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mudah hancur (J.M Krochta et. al., 1994). Sifat<br />
mekanik yang diuji dalam penelitian ini meliputi<br />
ketebalan, kekuatan tarik dan kemuluran. Analisa<br />
ketebalan, kekuatan tarik dan kemuluran plastik<br />
layak santap dengan variasi pati yang berbeda<br />
merupakan faktor penting untuk menentukan sifat<br />
mekanik bahan yang diinginkan.<br />
Ketebalan: Hasil pengukuran ketebalan pada sampel<br />
terlihat pada Tabel 1 dan disajikan pada Gambar 1:<br />
TABEL I Nilai Ketebalan Pada Sampel<br />
Jenis Sampel<br />
No<br />
Tebal (µm)<br />
Pati Pelarut pH<br />
1 6 93.367<br />
beras<br />
2<br />
7 142.667<br />
3 6 114.667<br />
garut<br />
4<br />
7 135.200<br />
5 6 86.667<br />
jagung<br />
6<br />
7 149.667<br />
asam asetat<br />
7 6 79.700<br />
kentang<br />
8<br />
7 116.167<br />
9 6 134.233<br />
ketan<br />
10<br />
7 166.500<br />
11 6 76.433<br />
sagu<br />
12<br />
7 87.367<br />
kemuluran. Pengolahan datanya dengan<br />
menggunakan rumus di bawah ini :<br />
Keterangan :<br />
Panjang spesimen setelah Uji Tarik (mm)<br />
Panjang spesimen awal (mm)<br />
Kemuluran(perpanjangan)<br />
Contoh :<br />
Sampel spsimen uji mempunyai panjang mula-mula,<br />
l0 = 8,15 mm dan l = 9,65 mm, maka nilai<br />
kemuluran untuk plastik layak santap dengan bahan<br />
baku pati jagung dan pelarut asam asetat pH 6<br />
adalah:<br />
Harga kekuatan tarik dihitung dengan rumus :<br />
Keterangan :<br />
kekuatan tarik bahan (N/m2)<br />
Gaya maksimum (N) = Load<br />
luas penampang bahan (m2)<br />
= Tebal spesimen (m) x Lebar spesimen (m)<br />
Contoh :<br />
Plastik layak santap yang terbuat dari pati beras dan<br />
pelarut asam asetat pH 6 mempunyai tebal =<br />
9,3367mm dan lebar = 0,5 cm, maka : A0=9,3367<br />
cm x 0,5 cm = 0,0046684 cm2= 4,6684.10-7, dan<br />
harga load = 2,16 N maka harga Kuat tarik diperoleh<br />
:<br />
Gbr. 1 Grafik Hubungan Ketebalan Edible Plastic terhadap<br />
Variasi Pati dan pH Pelarut<br />
Berdasarkan tabel dan diperjelas oleh Gbr 1<br />
tampak bahwa secara umum plastik yang dihasilkan<br />
bervariasi. Sampel paling tebal diberikan pati ketan<br />
dengan pelarut asam asetat pH 7, dan yang paling<br />
tipis diberikan oleh pati sagu dengan pelarut asam<br />
asetat pH 6. Variasi ketebalan pada sampel terjadi<br />
akibat titik didih pada pelarut dan pengaruh jenis<br />
pati. Proses penguapan akan semakin lambat pada<br />
pelarut bertitik didih tinggi, dan sebaliknya pelarut<br />
dengan titik didih rendah akan mengalami<br />
penguapan lebih cepat. Dimana tingkat keasaman<br />
larutan berbanding terbalik dengan kenaikan titik<br />
didihnya, hal ini sesuai dengan sifat koligatif larutan.<br />
Ini yang menjelaskan mengapa pelarut asam asetat<br />
pH 6 menghasilkan plastik layak santap yang ebih<br />
tipis dibandingkan dengan pelarut asam asetat pH 7.<br />
Kuat Tarik dan Kemuluran: Hasil pengujian<br />
didapat load dan stoke. Harga load dalam satuan N<br />
dan stoke dalam cm. Hasil pengujian ini diolah<br />
kembali untuk mendapatkan kekuatan tarik dan<br />
Perhitungan yang sama juga dilakukan untuk setiap<br />
sampel yang lain. Hasil selengkapnya dapat dilihat<br />
pada Tabel 2.<br />
TABEL 2 Hasil Uji Sifat Mekanik Plastik Layak Santap Pada<br />
Berbagai Jenis Pati<br />
Jenis Sampel Kuat Tarik<br />
No<br />
ε (%)<br />
Pati Pelarut pH (MPa)<br />
1 6 4,627 15,476<br />
beras<br />
2<br />
7 3,715 20,732<br />
3 6 5,349 11,250<br />
garut<br />
4<br />
7 6,066 13,916<br />
5 6 2,585 18,405<br />
jagung<br />
6<br />
asam 7 2,913 20,482<br />
7 asetat 6 19,222 27,273<br />
kentang<br />
8<br />
7 20,918 31,325<br />
9 6 2,224 1,291<br />
ketan<br />
10<br />
7 2,472 9,988<br />
11 6 3,306 5,480<br />
sagu<br />
12<br />
7 5.,473 28,750<br />
C17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Hasil uji sifat mekanik pada Tabel 2<br />
memperlihatkan bahwa nilai kuat tarik plastik layak<br />
santap berbeda untuk setiap sampel. Perbedaan nilai<br />
kuat tarik plastik layak santap disebabkan oleh<br />
perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin<br />
untuk setiap jenis pati.<br />
Pembuatan plastik layak santap berbasis pati<br />
pada dasarnya menggunakan prinsip gelatinisasi.<br />
Gelatinisasi terjadi karena adanya penambahan<br />
sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi.<br />
Gelatinisasi mengakibatkan ikatan amilosa akan<br />
cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan<br />
hidrogen. Proses pengeringan akan mengakibatkan<br />
penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,<br />
sehingga gel akan membentuk lapisan plastik yang<br />
stabil (J.M Krochta et. al., 1994).<br />
Amilosa mempunyai struktur rantai yang<br />
linier dan amilopektin mempunyai struktur rantai<br />
bercabang. Kelinieran struktur molekul amilosa<br />
berpengaruh terhadap dispersi energi saat dilakukan<br />
uji tarik, dimana energi yang diteruskan pada rantai<br />
linier jauh lebih besar dibanding pada rantai<br />
bercabang. Jadi secara umum, plastik layak santap<br />
dengan penyusun pati yang mengandung amilosa<br />
tinggi akan memiliki nilai kuat tarik yang tinggi pula<br />
Seiring dengan semakin besar kuat tarik yang<br />
diberikan, maka perpanjangan putus yang dihasilkan<br />
besar pula. Jika energi ikat sudah tidak mampu lagi<br />
mengimbangi energi eksternal akibat tarikan, maka<br />
perpatahan bahan tidak dapat terelakkan.<br />
Perbedaan nilai kuat tarik pada masingmasing<br />
sampel dapat kita lihat pada diagram berikut:<br />
Perbedaan kemuluran bahan pada masingmasing<br />
sampel terlihat pada diagram berikut:<br />
Gbr. 3 Grafik Hubungan Kemuluran Sampel Uji terhadap Jenis<br />
Sampel<br />
Hasil uji kemuluran menunjukkan<br />
penggunaan pati kentang dengan pelarut asam asetat<br />
pH 7 memberikan nilai kemuluran yang tertinggi<br />
yaitu 31,325%, sama halnya pada hasil uji kuat tarik.<br />
Begitupun untuk nilai kemuluran terkecil diberikan<br />
pada penggunaan pati ketan dengan pelarut asam<br />
asetat pH 6 yaitu 1,291%.<br />
Hasil Uji Toksisitas dengan Uji Brine Shrimp<br />
Lethality Test (BSLT):<br />
Hasil pengamatan kematian Artemia salina<br />
setelah 24 jam pada larutan uji terlihat pada Tabel 3.<br />
Gbr. 4. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />
salina pada Plastik Layak Santap Pati Beras<br />
Gbr. 2 Grafik Hubungan Kuat Tarik Sampel Uji terhadap Jenis<br />
Sampel<br />
Gbr. 2 menunjukkan penggunaan pati kentang<br />
dengan pelarut asam asetat pH 7 memberikan<br />
kekuatan tarik tertinggi dibanding dengan<br />
penggunaan pati jenis lainnya yaitu 213,306<br />
Kgf/cm2. Hal ini terjadi karena pada pati kentang<br />
memiliki kandungan amilosa tertinggi dibandingkan<br />
pati jenis lainnya yaitu sekitar 46 %. Kekuatan tarik<br />
terkecil diberikan oleh plastik layak santap berbahan<br />
baku pati ketan dengan pelarut asam asetat pH 6<br />
yaitu 22,68 Kgf/cm2, disebabkan kandungan<br />
amilosa pada pati ketan paling kecil dibandingkan<br />
pati yang lain yaitu sekitar 9%.<br />
Gbr. 5. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />
salina pada Plastik Layak Santap Pati Garut<br />
C18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
TABEL 4 Hasil Analisa Perhitungan Besar Lc50 Pada Plastik<br />
Layak Santap Dengan Variasi Jenis Pati Dan Ph Pelarut Asam<br />
Asetat<br />
No. Jenis Sampel LC50 Keterangan<br />
Gbr. 6. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />
salina pada Plastik Layak Santap Pati Jagung<br />
Gbr. 7. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />
salina pada Plastik Layak Santap Pati Kentang<br />
Gbr. 8. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />
salina pada Plastik Layak Santap Pati Ketan<br />
Gbr. 4 menunjukkan hubungan antara presentase<br />
kematian larva Artemia salina dengan log<br />
konsentrasi larutan uji plastik layak santap pati<br />
beras. Persamaan regresi linier pada gambar<br />
digunakan untuk menentukan besar LC50 dengan<br />
memasukkan angka 50% sebagai X, sehingga<br />
didapat nilai 1. Hasil analisa perhitungan besar<br />
LC50 pada plastik layak santap dengan variasi pati<br />
dan pH pelarut asam asetat dapat dilihat pada Tabel<br />
4.<br />
1 A1 1<br />
pati beras<br />
2<br />
A2 1<br />
3 B1 46,452<br />
pati garut<br />
4<br />
B2 1<br />
5 C1 43,053<br />
pati jagung<br />
6<br />
C2 46,452<br />
7 pati D1 316,228<br />
8 kentang D2 1<br />
9 E1 6,816<br />
pati ketan<br />
10<br />
E2 1<br />
11 F1 316,228<br />
pati sagu<br />
12<br />
F2 1<br />
tidak toksik<br />
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa plastik<br />
layak santap yang terbuat dari pati (berbagai jenis)<br />
tidak bersifat toksik, maka plastik layak santap ini<br />
dapat diaplikasikan sesuai karakteristik dan<br />
keunggulannya.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari serangkain pengukuran dan diskusi maka<br />
dapat disimpulkan Jenis pati yang digunakan sebagai<br />
bahan baku pembuatan plastik layak santap<br />
mempengaruhi karakteristik plastik layak santap<br />
yang dihasilkan, yaitu ketebalan, kuat tarik,<br />
kemuluran, dan toksisitasnya. Jenis pati dengan<br />
kandungan amilopektin yang lebih besar akan<br />
menghasilkan karakteristik plastik layak santap yang<br />
lebih baik. Keseluruhan sampel hasil penelitian<br />
menunjukkan plastik layak santap memiliki<br />
karakteristik yang baik dan tidak bersifat toksik.<br />
Karakteristik plastik layak santap yang terbaik<br />
diberikan oleh pati kentang dengan pelarut asam<br />
asetat pH 7, dimana nilai ketebalannya adalah<br />
116,167 µm, kuat tarik sebesar 20,918 MPa,<br />
kemuluran sebesar 31,325 % dan tidak bersifat<br />
toksik.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih disampaikan kepada seluruh pihak<br />
yang mendukung dan yang telah meluangkan waktu<br />
untuk membantu menyelesaikan makalah ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
B.N. Meyer, N.R. Ferregni, J.E. Putnam, L.B<br />
Jccobson, D.e. Nichols, .L. McLaughin,<br />
(1982), “Brine Shrimp: convenient general<br />
bioassay for active plant constituents”, Planta<br />
Medica, 45, p.31-34.<br />
D.W. Khurniasari, (2004), Potensi Antikanker<br />
Senyawa Bioaktif Ekstrak Kloroform dan<br />
Metanol Makroalgae Sargassum duplicatum<br />
J. Agardh, Skripsi-S1, Fakultas Biologi<br />
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.<br />
C19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
J.L. Carballo, Z.L. Hernadez, P. Perez, M.P. Garria,<br />
(2002), “A comparison between two brine<br />
shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in<br />
marine natural product”, BMC<br />
Biotechnology, 2:17.<br />
J.M. Krochta, E. A. Baldwin, dan M.O. Nisperos-<br />
Carriedo, (1994), Edible Coating and Film to<br />
Improve Food Quality, Technomic<br />
Publishing co., New York.<br />
K.A. Purbaningrum, (2008), Karakterisasi Plastik<br />
Layak Santap dari Bahan Pati Tapioka<br />
Sebagai Pengganti Kemasan Plastik, Skripsi-<br />
S1, Jurusan <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan<br />
Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.<br />
M.A. Irawan, (2007), “Karbohidrat”, Sport Science<br />
Brief Vol 01 No. 3, Polton Sport Science &<br />
Peformance Lab.<br />
W. Pujiastuti dan G. Supeni , (2005), Plastik Layak<br />
Santap (Edible Plastic) dari Tapioka<br />
Termodifikasi, Balai Besar Kimia dan<br />
Kemasan, Jakarta.<br />
Yusmarlela, (2009), Studi Pemanfaatan Plastisier<br />
Gliserol dalam Film Pati Ubi dengan Pengisi<br />
Serbuk Batang Kayu Ubi Kayu, Tesis-S2,<br />
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera<br />
Utara, Medan.<br />
Tabel III Presentase Kematian Larva Artemia Salina yang mati pada Larutan Uji<br />
C20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Radiasi Terhadap Kekuatan Tarik Polietilen<br />
D.Tamara Dirasutisna<br />
Dosen Jurusan Teknik Mesin FTI-Usakti<br />
Jalan Kyai Tapa no.1 Jakarta Barat<br />
Email: tamaradirasutisna@yahoo.com<br />
Abstract<br />
Strength of a substance generally hinges from tying of between its atom, more and more amount of tying of<br />
between its atoms, gain strength the substance. There are some way of to increase quality of strength a substance,<br />
among other things with process of forming fasten to traverse. process of Forming fasten to traverse for the<br />
substance polymer of liquid resin, can be done with mixture katalis, is polymer of solid type through radiation<br />
process . In this research is learned by change of interesting strength of substance of polymer of polietilen with<br />
closeness of low mass ( LDPE ) and substance of polymer of polietilen with closeness of high mass ( HDPE ).<br />
From result of perception obtained.<br />
I. For Polietilen with low mass closeness ( LDPE )<br />
D. Ductile Tension maximum reached at dose radiasi 80 Mrad, that is at price σ<br />
E. Broken Tension maximum reached at dose radiasi 40 Mrad, that is at price<br />
Newton<br />
M = 10.3815789<br />
2<br />
mm<br />
σ P =<br />
Newton<br />
6.55<br />
2<br />
mm<br />
F. Maximum Price elongasi reached at dose radiasi 50 Mrad, that is price e p = 926.19%<br />
.<br />
II. For Polietilen with high mass closeness ( HDPE )<br />
Newton<br />
• ductile Tension maximum reached at dose radiation 40 MRAD, that is at price σ M = 10.3815789<br />
2<br />
mm<br />
Newton<br />
• broken Tension maximum reached [at] dose radiation 40 Mrad, that is at price σ P = 10.3815789<br />
2<br />
mm<br />
• Maximum Price elongasi reached at dose radiasi 5 Mrad, that is at price e p = 1377.62%<br />
From research result seen, that polymer poletilen substance with high mass closeness ( HDPE ) compared to<br />
stronger of polymer polietilen with low mass closeness ( LDPE )<br />
Key word : Radiation, ductile Tension, broken Tension and elongasi<br />
PENDAHULUAN<br />
Kebutuhan bahan tambang untuk kehidupan<br />
sehari-hari semakin lama semakin meningkat.<br />
Misalkan untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah<br />
tangga, diantaranya panci, alat penggorengan dsb.<br />
Untukn skala yang lebih besar adalah pabrik<br />
kabel,pabrik mobil dsb.Akan tetapi, bahan-bahan<br />
yang disediakan alam sangat terbatas jumlahnya dan<br />
pada akhirnya akan habis sama sekali. Sebagai<br />
pengganti bahan tambang yang semakin menipis,<br />
orang harus mencari penggantinya.<br />
Bahan pengganti logam yang cukup baik<br />
adalah ”POLIMER” . Mengapa orang melirik pada<br />
bahan Polimer? Polimer termasuk bahan organik<br />
yang jumlahnya sangat melimpah dan mudah<br />
didapat. Dari hasil penelitian, polimer bisa menjadi<br />
bahan pengganti logam yang cukup baik, apakah<br />
untuk keperluan perindustrian atau keperluan seharihari.<br />
Dalam kehidupan sehari-hari, orang mengenal<br />
panci dari bahan jenis melamin. Melamin juga dapat<br />
digolongkan ke dalam jenis polimer.<br />
Penggunaan bahan polimer di bidang<br />
perindustrian, diantaranya :<br />
1. Penggunaan kayu untuk keontruksi bangunan,<br />
mebel<br />
2. Penggunaan gabus untuk isolasi atau sumbat<br />
3. Penggunaan Choloroform untuk bungkus<br />
bahan-bahan elektronik<br />
4. penggunaan karet untuk keperluan industri<br />
mobil<br />
Masih banyak lagi contoh lain penggunaan polimer<br />
untuk kehidupan sehari-hari.<br />
Salah satu jenis bahan yang dapat<br />
digolongkan ke dalam jenis ”polimer” adalah<br />
polietilen. Dalam bahasa komersil dikenal dengan<br />
nama plastik. Plastik dibuat dengan cara sintesis dan<br />
bersifat termoplastis. Plastik berarti bahan yang<br />
dapat diubah secara permenen. Plastik bisa juga<br />
berarti bahan yang dapat diubah secara deformasi<br />
plastik.<br />
C21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Polietilen sebagai bahan organik merupakan untaian<br />
rantai molekul methan(CH 2 ). Jenis polietilen ada<br />
dua, yaitu polietilen linier dan polietilan bercabang.<br />
Polietilen yang diperoleh dengan polimerisasi pada<br />
tekanan tinggi mempunayi kerapatan rendah dikenal<br />
dengan nama ”LOW-DENSITY<br />
POLYETHILENE”. Sedang polietilen yang<br />
diperoleh dengan polimerisasi pada tekanan rendah<br />
memiliki kerapatan tinggi atau dikenal dengan nama<br />
” HIGH-DENSITY POLYETHILENE”..<br />
Perbedaan tersebut akibat pembentukan yang terjadi<br />
selama polimeriusasi. Pada polimerisasi etilen<br />
dengan tekanan rendah, pembentukan polietilen<br />
susunan rantai linier rantai bercabang sangat sedikit,<br />
akibantnya rantai molekul menyusun sendiri lebih<br />
rapat antara satu dengan ayang lainnya. Sedang<br />
polimerisasi etilen pada tekanan tinggi lebih banyak<br />
membentuk cabang rantai, sehingga molekul yang<br />
tersusun tidak teratur dan tidak tertata, akibatnya<br />
memiliki kerapatan massa yang rendah.<br />
Pada tahun 1954, Miller dan kawan-kawan<br />
membuat suatu aturan secara empirik dalam<br />
pengionan untuk beberapa jenis polimer. Miller dan<br />
kawan-kawan dalam aturannya membagi polimer<br />
dalam dua kelompok yang ditunjukkann dalam<br />
struktur molekulnya. Diantaranya :<br />
Kelompok I dengan struktur<br />
Khususnya :<br />
CH − CH<br />
[ − 2 2 −] n<br />
Kelompok II dengan struktur :<br />
R 1 dan R 2 merupakan guugus cabang dan H<br />
bukan merupakan gugus cabang. Masing-masing<br />
kelompok memiliki sifat yang berbeda. Pada<br />
kelompok I, jika mengalami radiasi pengion akan<br />
mengalami pembentukan radikal bebas yang pada<br />
akhirnya terjadi pembentukan ikat silang. Sedang<br />
pada kelompok II, lebih cenderung mengalami<br />
degradasi atau pemutusan rantai molekul.<br />
Bahan polimer yang digunakan dalam<br />
penelitian ini adalah polietilen dalam kelompok I<br />
yang yang dicirikan dalam struktur :<br />
Sebagai cuplikan digunakan polimer<br />
polietilal dalam jenis LDPE dan HDPE . Dalam<br />
penelitian ini, radiasi yang digunakan adalah radiasi<br />
pengion yaitu sinar gamma jenis cobalt-60. Setiap<br />
cuplikan yang akan diradiasi di masukan kedalam<br />
tabung gelas hampa udara, agar pada saat radiasi<br />
terjadi tidak mengikat unsur lain. Setiap cuplikan<br />
diradiasi dengan dosis radiasi yang berbeda, mulai<br />
dari 0 Rad, 5 Rad, 10 Rad........90 Rad.<br />
Energi radiasi yang digunakan cukup tinggi,<br />
yaiyu sekitar 1.173 dan 1.332 Mrad, sehingga<br />
polietilan dengan molekul-molekulnya yang terdiri<br />
dari unsur-unsur bernomor atom rendah akan<br />
menyerap energi ( nomor atom C=6 dan H= 1).<br />
Akibat adanya penyerapan energi, polietilen akan<br />
mengalami perubahan secara kimiawi. Salah satunya<br />
adalah pembentukan ikat silang. Ikat silang yang<br />
terjadi merupakan ikatan kovalen antara atom-atom<br />
karbon C-C. Semakin tinggi dosis radiasi, maka<br />
akan semakin banyak terjadi proses pembentukan<br />
ikat silang. Akan tetapi, jika radiasi terus menerus<br />
dilakiukan, maka akan terjadi pemutusan rantai<br />
molekul.<br />
Sejalan dengan pembentukan ikat silang<br />
akibat adanya radiasi, beberapa informasi yang<br />
diperoleh dari perubahan sifat fisis, diantaranya<br />
perubahan kekuatan tarik dan elongasi dari bahan<br />
polimer polietilen. Gejala tersebut diketahui setelah<br />
dilakukan uji Tarik.<br />
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari<br />
perubahan perubahan sifat-sifat fisis dari polimer<br />
polietilen, diantarnya perubahan kekuatan tarik<br />
dan perubahan elongasi serta membandingkan<br />
perubahan sifat fisis polimer polietilen LDPE dan<br />
polimer polietilen HDPE akibat adanya radiasi.<br />
PENGARUH RADIASI TERHADAP POLIMER<br />
POLIETILEN<br />
Sudah dijelaskan bahwa polimer polietilan<br />
dengan molekul-molekulnya yang terdiri dari unsurunsur<br />
bernomor atom rendah akan menyerap energi (<br />
nomor atom C=6 dan H= 1). Akibat adanya<br />
penyerapan energi, polietilen akan mengalami<br />
perubahan secara kimiawi. Salah satunya adalah<br />
pembentukan ikat silang. Ikat silang yang terjadi<br />
merupakan ikatan kovalen antara atom-atom karbon<br />
C-C. Beberapa pengaruh radiasi terhadap polimer<br />
polietilen adalah :<br />
1. Perubahan hidrogen dan berat molekul secara<br />
perlahan-lahan<br />
2. Terjadi pembentukan ikatan antara C-C antara<br />
molekul-molekul polietilen<br />
3. Penambahan ketidak jenuhan<br />
4. Petrubahan kristalinitas<br />
5. Perubahan warna<br />
6. Terjadi reaksi oksidasi<br />
Perubahan warna pada pooletieln terliihat,<br />
yaitu pada suhu kamar polietilen berwarn putih susu.<br />
Setelaha mengalami peradiasian, polietilen warna<br />
akan mengalami perubahan warna. Semakin tinggi<br />
dosis radiasi akan terliahat terjadi perubahan warna.<br />
Warna semakin gelap kecoklat-coklatan pada dosisb<br />
C22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
radiasi yang semakin tinggi. Perubahan warna ini<br />
terlihat pada poletilen jenis HDPE, sedang pada<br />
polimer polietilen jenis LDPE tidak begitu jelas<br />
terlihat.<br />
Peranan radiasi yang lebih menonjol adalah<br />
terjadinya pembentukan radikal bebas yang pada<br />
akhirnya akan terjadi pembentukan ikat silang.<br />
Sedangkan pengaruh lainnya adalah perubahan<br />
kekuakatan tarik dan elongasinya.<br />
RADIKAL BEBAS<br />
Radikal bebas didefinisikan sebagai grup<br />
atoam atau molekul yang dalam keadaan tertentu<br />
kehilangan elektron. Elektron-elektron yang<br />
kehilangan pasangannya akan menempati orbital<br />
luarnya. Misalnya beberapa radikal atom<br />
hidrogen( H • ), hidroxyl ( HO • ) atau<br />
methyl( H 3<br />
C • ).<br />
Ada tahap jenis reaksi radikal dalam reaksi<br />
rantai :<br />
1. Tahap inisiasi<br />
Tahap inisiasi merupakan tahapan pembentukan<br />
radikal bebas<br />
2. Tahap propagasi<br />
Tahap ini merupakan tahap perpindahan reaksi.<br />
Dalam tahap ini terjadi perubahan letak radikal<br />
bebas. Tahap propagasi ada empat jenis, yaitu :<br />
• Rekasi perpindahan atom(”Atomic Transfer<br />
Reaction”)<br />
• Reaksi adisi (”Adition Reaction)<br />
Reaksi ini meliputi adisi radikal bebas<br />
terhadap ikatan ganda<br />
• Reaksi pemisahan (”Fragmentation Reaction”)<br />
Contoh reaksi ini adalah ”β-Scision”. Pada<br />
reaksi ini electron yang tidak berpasangan pada<br />
pemisahan ikatan radikal pada posisi β, hasil<br />
radikal yang diperoleh mengandung molekul<br />
berikatan ganda<br />
• Reaksi penyusunan (“Rerrangemen Reaction)<br />
Pada reaksi ini, perubahan posisi radikal bebas<br />
memberikan dua jenis reaksi terminasi.<br />
3. Reaksi Terminasi (”Termination Reaction”)<br />
Pada sistim ini terdapat dua radikal bebas. Ada<br />
dua jenis reaksi terminasi yang terjadi, yaitu :<br />
• Kombinasi dua radikal<br />
PENGARUH RADIASI TERHADAP<br />
PEMBENTUKAN RADIKAL BEBAS<br />
Jika suatu benda mengalami radiasi<br />
elektromagnit, misalnya polimer polietilen. Maka<br />
intensitas radiasi elektromagnit tersebut akan<br />
mengalami pengurangan intensitas. Pengurangan<br />
intensitas tersebut berasal dari hamburan dan<br />
penyerapan energi dengan beberapa irradiasi<br />
molekul.<br />
Penggunaan uiradiasi Kimia ada dua jenis<br />
irradiasi elektromagnit, yaitu :<br />
7. Irradiasi elektromagnit pada energi rendah<br />
photon. Misalnya radiasi ultraviolet<br />
8. Irradiasi elektromagnit pada energi tinggi<br />
photon. Misalnya radiasi sinar gamma dan<br />
sinar-x<br />
Polietilen termasuk jenis molekul yang<br />
memiliki unsur-unsur atom dengan nomor atom<br />
yang rendah ( nomor atom C=2 dan nomor atom<br />
H=2 ) Karena pada radiasi ini memiliki penyerapan<br />
photon yang cukup tinggi, maka energi salah satu<br />
atom hidrogen dapat terputus. Dengan terputusnya<br />
salah satu atom hidrogen, makromolekul tersebut<br />
akan kehilngan salah satu atom hidrogen, kemudian<br />
timbul beberapa elektron yang tidak berpasangan.<br />
Jumlah elektron yang tidak berpasangan, bergantung<br />
dari dosis radiasi. Semakin tinggi dosis radiasi,<br />
semakin banyak jumlah elektron yang tidak<br />
berpasangan. Akan tetpi, jika radiasi terlalu tinggi<br />
akan terjadi pemutusan rantai molekul dan lama<br />
kelamaan akan terjadi peng arangan.<br />
Pembentukan radikal bebas bisa terjadi, jika<br />
energi radiasinya lebih tinggi dibanding dengan<br />
energi ikat elektron. Jika energi radiasi lebih rendah<br />
dibanding dengan energi ikat elektron, maka radiasi<br />
yang dipancarkan tidak berpengaruh. Artinya radiasi<br />
ini tidak akan menghasilkan radikal bebas.<br />
PROSES PEMBENTUKKAN IKAT SILANG<br />
Proses pembentukkan ikat silang terjadi<br />
akibat hilangnya salah satu atom hidrogen dalam<br />
salah satu rantai molekul atau dikatakan atomatomnya<br />
telah kehilangan pasangannya. Atom-atom<br />
yang telah kehilangan pasangannya akan<br />
berangkulan dan membentuk suatu ikatan, yang<br />
dinamakan ikat silang. Ikat silang ini merupakan<br />
ikatan covalen C-C antara molekul polimer.<br />
Misalnya ikat silang dari polietilen :<br />
Dengan :<br />
• Ketidak seimbangan(”Disproportionation”)<br />
Persamaan (A) dan petrsamaan (B) menunjukkan<br />
persamaan reaksi terminasi dalam polimerisasi<br />
radikal.<br />
Pembentukan ikat silang melalui proses reaksi<br />
radikal ada beberapa tahapan, yaitu :<br />
9. Penyerangan radiasi<br />
C23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
10. Reaksi radikal dengan rantai lain<br />
11. Proses ikat silang melalui penggabungan<br />
radikal-radikal rantai yang berdekatan :<br />
Proses pembentukkan ikat silang lebih mudah<br />
terjadi pada bahan dalam bentuk amorf. Karena<br />
struktur amorf lebih banyak menyerap energi.<br />
Semakin banyak energi yang diserap, semakin<br />
banyak proses pembentukan ikat silang. Jumlah<br />
pembentukan ikat silang dapat ditunjukkan seperti<br />
persamaan di bawah ini :<br />
α =α 0 D+ β 0<br />
Dengan :<br />
α = Rapat ikat silang<br />
αo = Tetapan (Mrad -1 )<br />
D = Dosis radiasi (Mrad)<br />
β 0 = Tetapan rapat ikat silang<br />
Persamaan ini berlaku untuk radiasi yang<br />
memiliki energi cukup tinggi. Karena dengan energi<br />
yang tinggi dapat menciptakan radikal hidrogen.<br />
Untuk radiasi dengan photon jenis Co-60 memenuhi.<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Metodologi penelitian ini berdasarkan hasil<br />
pengujian kekuatan tarik untuk memperoleh harga<br />
Modulus Young. Jenis-jenis metoda tersebut adalah :<br />
12. 1.Metoda pembuatan bahan cuplikan<br />
13. 2.Metoda pengukuran dimensi luas,panjang ,<br />
tebal serta penimbangan bahan cuplikan.<br />
14. 3.Metoda laboratorium berupa : Uji Tarik<br />
Dalam melakukan pengujian ini dilakukan<br />
beberapa tahap, yaitu :<br />
15. Persiapan cuplikan(Sampel)<br />
Untuk membuat sampel penelitian ini digunakan dua<br />
jenis bahan yang berbeda , yaitu bahan berupa<br />
serbuk pelet polietilen dengan kerapatan massa<br />
rendah (LDPE) dan serbuk pelet polietilen dengan<br />
kerapatan tinggi (HDPE). Kedua serbuk itu dibuat<br />
dalam bentuk lempengan tipis, yaitu dengan cara<br />
pemanasan sampai titik cair pada tekanan tertentu<br />
serta dilakukan pada suhu kamar. Selanjutnya<br />
setelah melalui proses pendinginan, lempengan<br />
plastik dibentuk sesuai dengan bentuk yang<br />
diperlukan untuk pengujian. Kedua sampel yang<br />
sudah dibentuk tersebut dimasukkan ke dalam<br />
tabung gelas, selanjut udara dalam tabung gelas<br />
tersebut dikeluarkan sampai tekanan kira-kira<br />
mencapai + 10 -3 Tor.<br />
16. Penyinaran(RadiasiI<br />
Alat yang digunakan untuk radiasi ini adalah<br />
irradiator karet alam (IRKA) dari sumber radiasi<br />
gamma co-60. Irradiator karet alam memiliki dua<br />
rak, yatu rak sebelah timur dan rak sebelah barat.<br />
Tapi dalam penelitian ini mewmpergunakan rak<br />
sebelah timur dengan laju dosis radiasi 200 KRad<br />
dan 287 Krad. Sumber radiasi berada di tengahtengah<br />
antara rak sebelah barat dan timur.<br />
Jarak antara sumber sampai dengan rak 25 cm dan<br />
jarak masing-pmasing cuplikan 25 cm. Dengan<br />
mempergunakan dalil Phytagoras, maka jarak antara<br />
sumber terahadap masing-masing cuplikan dapat<br />
dicari.<br />
PENGUKURAN MODULUS YOUNG<br />
Kekuatan bahan umumnya bergantung<br />
konstanta tarikan, yang dikenal dengan nama<br />
modulus Young. Uji kekuatan bahan dalam<br />
penelitian ini, menggunakan mesin uji tarik dengan<br />
jenis Instron-500 .<br />
Sebelum dilakukan pengujian, dicari dahulu<br />
luas penampang serta pengukuran panjang awal<br />
cuplikan.<br />
PERALATAN UJI TARIK<br />
Peralatan uji tarik terdiri mesin penguji<br />
instron-500 ini mempunyai kelajuan yang bervariasi,<br />
yaitu antara 0.5 inci sampai 50 inci setiap menit<br />
yang terdirib dari beberapa bagian, yaitu :.<br />
Bagian mesin penguji instron-500 terdiri atas :<br />
a. Fixed Member<br />
Alat ini berguna untuk menjepit bahan, posisinya<br />
berada di atas. Pada saat melakukan penarikan,<br />
alat tsb. dalam keadaan statis.<br />
b. Movable Member<br />
C24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Alat penjepit posisinya berada di bawah serta<br />
dapat bergerak naik atau turun sesuai dengan<br />
beban maksimum yang diinginkan<br />
c. Grift<br />
Alat penjepit cuplikan, posisinya terletak pada<br />
fixed member dan movable member<br />
d. Alat Pengontrol<br />
Alat ini berfungsi sebagai pengontrol laju<br />
kecepatan, agar kecepatan dijaga konstans<br />
e. Alat penunjuk beban<br />
Alat ini berfungsi menunjukan besar gaya penarik<br />
cuplikan saat beban mulai naik sampai berhenti.<br />
Data hasil uji tarik adalah :<br />
1. Elongasi<br />
2. Gaya saat beban mulai bergerak<br />
3. Gaya saat beban putus<br />
Hal-hal yang perlu diperhatikan :<br />
1. Laju grafik konstan : 1 mm/menit<br />
2. Laju penarikan konstan : 1 mm/menit<br />
3. Beban maksimum : 100 gram<br />
PELAKSANAAN PENGUJIAN<br />
Salah satu ujung cuplikan dijepit pada jepitan<br />
yang dapat bergerak turun naik (movable member).<br />
Sedang ujung lainnya dijepit pada jepitan<br />
statis(fixed member). Saat mesin dioperasikan, besar<br />
gaya dapat dilihat pada alat pencatat gaya. Penarikan<br />
dilakukan sampai cuplikan putus, artinya gaya tarik<br />
sudah mencapai gaya maksimum. Cara pemasangan<br />
cuplikan disajikan pada Gambar 3.<br />
Dari pembacaan data, diperoleh perubahan<br />
sifat fisis dari sampel polietilen,yaitu :<br />
a.Harga tegangan<br />
b.Regangan<br />
c.Elongasi<br />
HASIL PEMBAHASAN<br />
Dari hasil pengujian uji tarik, diperoleh<br />
beberapa besaran fisis. Diantaranya :<br />
17. Modulus Elastisitas<br />
Modulus Elastisitas didefinisikan sebagai<br />
perbandingan antara tegangan dan regangan. Agar<br />
dalam perhitungan modulus elastisitas tidak<br />
memberikan hasil dengan kesalahan yang besar,<br />
maka didefinisikan bahwa modulus elastisitas<br />
dihitung sebagai modulus skans. Modulus sekans<br />
merupakan perbandingan antara tegangan dan<br />
regangan pada daerah tertentu. Agar liniernya dapat<br />
diabaikan, maka perhitungan modulus sekans<br />
dihitung pada regangan 5%.<br />
Untuk menghitung Modulus Sekans<br />
digunakan persamaan :<br />
F( 5% )<br />
E =<br />
wT .<br />
0<br />
Harga-harga E(5%) dan F(5%) merupakan harga<br />
modulus sekans dan regangan pada regangan 5%.<br />
18. Tegangan mulur<br />
Harga tegangan mulur dapat dicari dengan<br />
persamaan :<br />
F m<br />
σ m = w 0 .T 0<br />
Untuk melihat harga tegangan mulur, yaitu<br />
dengan melihat beban pada saat mulai turun. Dari<br />
hasil pengamatan, harga tegangan mulur hanya<br />
terdapat pada sampel polietilen yang memiliki<br />
kerapatan massa rendah (LDPE). Sedang pada<br />
sampel polietilen dengan kerapatan massa tinggi<br />
( HDPE ) harga tegangan mulur tidak terlihat.<br />
Sebagain contoh adalah harga tegangan mulur<br />
untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />
rendah.<br />
w0 = 10mm , T0 = 1. 4mm<br />
dan F m = 54. 6 Newton<br />
F m<br />
σ m = w 0 .T 0<br />
54.6Newton<br />
Newton<br />
σ m =<br />
= 3.9<br />
( 10mm)( . 1.4mm) 2<br />
mm<br />
Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />
19. Tegangan putus<br />
Harga tegangan putus dapat dicari dengan<br />
persamaan :<br />
σ F p<br />
p = w 0 .t 0<br />
Harga tegangan putus diperoleh pada saat<br />
harga bebabn yang menarik tidak berubah lagi<br />
(konstan) . Dalam penelitian, sampel yang ditarik<br />
tidak sampai putus. Pada saat beban tarikan sudah<br />
konstan, artinya harga tegangan putus dudah<br />
diperoleh.<br />
Untuk sampel polietilen dengan kerapatan<br />
massa tinggi ( HDPE ) ditarik sampai putus, karena<br />
pada sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />
tinggi tidak mengalami elongasi (mulur) akibatnya<br />
akan terjadi perubahan beban.<br />
Sebagain contoh adalah harga tegangan putus<br />
untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />
tinggi ( HDPE).<br />
w0 = 10mm , T0 = 1. 4mm<br />
dan F p = 54. 6 Newton<br />
σ P =<br />
F P<br />
w 0 .T 0<br />
C25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
54.6Newton<br />
Newton<br />
σ P =<br />
= 3.9<br />
( 10mm)( . 1.4mm) 2<br />
mm<br />
Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />
20. Reganga putus<br />
Untuk mencari harga regangan putus, dapat diceri<br />
dengan persamaan :<br />
( ΔL)<br />
p<br />
EP<br />
= x100%<br />
L<br />
0<br />
Harga (ΔL) P diperoleh dengan mengukur perubahan<br />
panjang cuplikan. Dari hasil yang diperoleh harga<br />
persentase perpanjangan yang diperoleh dari hasil<br />
pengujian.<br />
Sebagain contoh adalah harga regangan putus<br />
untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />
tinggi ( HDPE).<br />
Δ L P = 58. 80 dan L 4. 2mm<br />
( ) mm<br />
( ΔL)<br />
0 =<br />
p<br />
EP<br />
= x100%<br />
L0<br />
58.8mm<br />
Aruh E P = x100%<br />
= 1400%<br />
4.2mm<br />
Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil pengamatan, pengaruh radiasi<br />
sangat berperanan terhadap perubahan sifat Fisik<br />
polimer polietilen diantaranya adalah<br />
21. Perubahan gaya tarik, tegangan<br />
mulur,tegangan putus dan elongasi.<br />
Perubahan-perubahan tersebut bergantung<br />
dari dosis radiasi, semakin tinggi dosis radiasi<br />
semakin tinggi haraga gaya tarik, tegangan<br />
mulur, tegangan putus dan elongasinya.<br />
Sejalan dengan dosis radiasi, kenaikan<br />
tersebut akan mencapai harga maksimum.<br />
Semakin tinggi dosis radiasi, semakin banyak<br />
pembentukan radikal bebas, dan akan terjadi<br />
pembentukan ikat silang. Akan tetapi, jika<br />
radiasi terus menerus dinaikkan, maka akan<br />
terjadi degradasi (pemutusan rantai molekul) .<br />
Hasilnya terlihat bahwa :<br />
22. Untuk Polietilen dengan kerapatan massa<br />
rendah (LDPE )<br />
G. Tegangan mulur maksimum tercapai pada<br />
dosis radiasi 80 Mrad, yaitu padaharga<br />
Newton<br />
σ M = 4.43<br />
2<br />
mm<br />
H. Tegangan putus maksimum tercapai pada<br />
dosis radiasi 60 Mrad, yaitu padaharga<br />
Newton<br />
σ P = 6.55<br />
2<br />
mm<br />
I. Harga elongasi maksimum recapai pada<br />
dosis radiasi 50 Mrad, yaitu padaharga<br />
e = 926.19%<br />
p<br />
23. Untuk Polietilen dengan kerapatan massa<br />
tinggi ( HDPE )<br />
J. Tegangan mulur maksimum tercapai pada<br />
dosis radiasi 40<br />
K. MRad, yaitu pada harga<br />
2<br />
σ M = 10.3815789<br />
Newton mm<br />
L. Tegangan putus maksimum tercapai pada<br />
dosis radiasi 40 Mrad, yaitu padaharga<br />
Newton<br />
σ P = 10.3815789<br />
2<br />
mm<br />
M. Harga elongasi maksimum recapai pada<br />
dosis radiasi 5 Mrad, yaitu padaharga<br />
e p = 1377.62%<br />
24. Dari hasil penelitian terlihat, bahwa bahan<br />
polimer poletilen dengan kerapatan massa<br />
tinggi ( HDPE ) lebih kuat dibandingkan<br />
dengan polimer polietilen dengan kerapatan<br />
massa rendah ( LDPE ), tapi lebih getas.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ranby B Ranbek .,J.F<br />
Spektroscopy in Polimer Research. Spronger Verlag,<br />
New York 1977<br />
Charlesby A.<br />
Atomic Radiation and Polimers. Pergamon Press,<br />
New York 1960<br />
Lawren H Van Vlack 1980.<br />
Elemen of Material Science and Engineering<br />
Fortealcaltion . USA<br />
R.J Ceresa,B.Sc.,A.R.J.C A.P.I.A.I.R.I<br />
Block And Graft Copolymers , London Buterwoth<br />
1962<br />
Internet (2009)<br />
C26
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Lampiran<br />
Tabel.1.Hasil pengukuran dan perhitungan uji tarik<br />
Kde spl W 0 L 0 T 0 F M F P L ΔL σ Μ σ P e P<br />
(Mrad) mm mm mm Newton Newton mm mm N/mm 2 N/mm 2 x100%<br />
0 LD 10 4.2 1.42 50.46 71.16 52.86 48.66 3.553521127 5.011267606 11.585714<br />
5 LD 10 4.2 1.7 59.4 86.4 116 111.8 3.494117647 5.082352941 26.619048<br />
10 LD 10 4.2 1.4 54.6 87.4 84 79.8 3.9 6.242857143 19<br />
20 LD 10 4.2 1.6 57.2 99.8 64 59.8 3.575 6.2375 14.238095<br />
30 LD 10 4.2 1.6 64.2 112.8 56.7 52.5 4.0125 7.05 12.5<br />
40 LD 10 4.2 1.54 61.45 78.8 41.2 37 3.99025974 5.116883117 8.8095238<br />
50 LD 10 4.2 1.62 68.2 104.4 43.1 38.9 4.209876543 6.444444444 9.2619048<br />
60 LD 10 4.2 1.42 57.8 93 41.42 37.22 4.070422535 6.549295775 8.8619048<br />
70 LD 10 4.2 1.72 73.8 90.8 35.3 31.1 42.90697674 5.279069767 7.4047619<br />
80 LD 10 4.2 1.62 71.8 85.8 32.36 28.16 4.432098765 5.296296296 6.7047619<br />
90 LD 10 4.2 1.62 35.36 84 35.36 31.16 2.182716049 5.185185185 7.4190476<br />
Tabel.2.Hasil pengukuran dan perhitungan uji tarik<br />
Kde<br />
smpl W 0 L 0 T 0 F M F P L ΔL σ Μ σ P e P<br />
(Mrad) mm mm mm Newton Newton mm mm N/mm 2 N/mm 2 x100%<br />
0 HD 10 4.2 1.4 54.6 54.6 63 58.8 3.9 3.9 14<br />
5 HD 10 4.2 1.96 173.8 173.8 62.06 57.86 8.867346939 8.867346939 13.77619<br />
10 HD 10 4.2 2.18 175.8 175.8 57 52.8 8.064220183 8.064220183 12.571429<br />
20 HD 10 4.2 1.98 176 176 51.82 47.62 8.888888889 8.888888889 11.338095<br />
30 HD 10 4.2 2.2 197 197 10.72 6.52 8.954545455 8.954545455 1.552381<br />
40 HD 10 4.2 1.52 157.8 157.8 33.42 29.22 10.38157895 10.38157895 6.9571429<br />
50 HD 10 4.2 2 187.8 187.8 42.1 37.9 9.39 93.9 9.0238095<br />
60 HD 10 4.2 1.62 162.8 162.8 40.1 35.9 10.04938272 10.04938272 8.547619<br />
70 HD 10 4.2 1.92 192.2 192.2 19.94 15.74 10.01041667 10.01041667 3.747619<br />
80 HD 10 4.2 1.92 193.8 193.8 12.94 8.74 10.09375 10.09375 2.0809524<br />
90 HD 10 4.2 1.92 183.2 183.2 11.32 7.12 9.541666667 9.541666667 1.6952381<br />
Riwayat Hidup Penulis<br />
Penulis adalah seorang sarjana <strong>Fisika</strong> lulus pada tahun 1983 pada jurusan<br />
<strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitasa<br />
Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan studi<br />
program S-2 di jurusan <strong>Fisika</strong> Institut Teknologi Bandung dan meraih gelar<br />
master bidang <strong>Fisika</strong> Material .<br />
Tahun ajaran 1988 s/d tahun ajar 2005/2006 penulis menjadi Dosen tidak<br />
tetap Sekolah Tinggi Teknik Jakarta. Penulis pernah mengajar di beberapa<br />
perguruan tinggi swasta lainnya. Sejak tahun 1984 sampai dengan sekarang<br />
penulis adalah dosen tetap jurusan Teknik Mesin-Fakultas Teknologi Industri,<br />
Universitas Trisakti dan sejak tahun ajaran 1995/1996 penulis merupakan dosen yang diperbantukan<br />
pada jurusan Teknik Lingkungan-Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan,<br />
Universitas Trisakti dengan mata kuliah <strong>Fisika</strong> serta sebagai pembimbing tugas akhir bidang<br />
kebisingan.<br />
Beberapa makalah pernah disampaikan oleh penulis, baik dalam skala seminar Nasional<br />
maupun sadalam skala Internasional.<br />
Sampai sekarang penulis sedang memperdalam dunia Material.<br />
C27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Analisis Kegradualan Komposisi FGM α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 dengan Aditif<br />
Y 2 O 3 pada Suhu Sinter 1450°C<br />
Erni Junita Sinaga 1 , Suminar Pratapa 2<br />
1,2 Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.<br />
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111<br />
Email : erni_junit@physics.its.ac.id<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan sintesis functionally-graded materials (FGMs) α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif Y 2 O 3 dengan metode<br />
infiltrasi berulang, yaitu menggunakan serbuk α-Al 2 O 3 (korundum) sebagai prakeramik dan serbuk Y 2 O 3 sebagai<br />
aditif dengan komposisi berat 0%, 2% serta larutan TiCl 3 sebagai prekursor. Prakeramik dibuat dengan<br />
penekanan uniaksial dan prasinter pada suhu 1000 o C selama 1 jam. Infiltrasi prakeramik dilakukan dengan<br />
larutan TiCl 3 dengan pengulangan sebanyak tiga kali, disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam sehingga<br />
diperoleh FGM. Kegradualan komposisi fasa FGM berdasarkan kedalaman dianalisis secara kualitatif dari data<br />
difraksi sinar-x (XRD) dilanjutkan dengan analisis kuantitatif menggunakan metode Rietveld. Hasil identifikasi<br />
fasa sampel, bervariasi pada tiap kedalaman, seperti untuk FGM dengan 0% Y 2 O 3 , pada permukaan dan berbagai<br />
kedalaman diperoleh aluminium titanat (AT), korundum dan rutile, sedangkan untuk FGM dengan komposisi<br />
berat 2% Y 2 O 3 , pada permukaan dan berbagai kedalaman ditemukan AT, korundum dan yttrium titanat.<br />
Kandungan AT menurun secara gradual terhadap kedalaman, sebaliknya kandungan korundum meningkat.<br />
Secara umum dengan penambahan 2% Y 2 O 3, fasa rutile tidak ditemukan pada sampel karena rutile bereaksi<br />
dengan Y 2 O 3 membentuk formasi fasa yttrium titanat.<br />
Kata kunci : FGM, aluminium titanat, rutile, yttrium titanat.<br />
PENDAHULUAN<br />
FGMs adalah merupakan material komposit<br />
yang memiliki variasi komposisi dan struktur yang<br />
gradual sehingga mempunyai dua sifat berbeda pada<br />
masing-masing permukaan, perubahan kedua sifat<br />
tersebut secara kontinu dari satu permukaan ke<br />
permukaan lainnya (Shen, 2009). Keunggulan bahan<br />
FGMs yaitu memiliki sifat kegradualan menurut<br />
posisi yang bersifat “menjembatani”, metode<br />
pembuatannya relatif lebih sederhana, dan lebih<br />
menguntungkan dari komposit laminer karena<br />
delaminasi dapat direduksi secara signifikan<br />
(Pratapa, 1997). Ada beberapa metode FGMs, salah<br />
satunya adalah metode infiltrasi (Rabin et al., 1995).<br />
Metode infiltrasi ini memanfaatkan bahan prakeramik<br />
berporus yang dicelupkan ke dalam larutan<br />
yang mengandung prekursor. Kemudian bahan prakeramik<br />
yang mengandung prekursor tersebut<br />
disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru<br />
dan pemadatan bahan komposit. Dengan<br />
kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik<br />
yang berubah terhadap kedalaman, misalnya<br />
kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa et al., 1998).<br />
Umaroh (2009), dalam sintesis α-Al 2 O 3 -AT-<br />
MgO dilakukan infiltrasi dengan pencelupan<br />
berulang, yang meningkatkan kandungan AT pada<br />
α-Al 2 O 3 -AT-MgO dan diperoleh kegradualan<br />
komposisi yang landai. Dengan pendekatan Umaroh<br />
(2009), maka dilakukan penelitian dengan<br />
mensintesis FGM α-Al 2 O 3 -Al 2 TiO 5 yang<br />
menggunakan Y 2 O 3 sebagai aditif, dari hasil ini<br />
dapat diketahui pengaruh Y 2 O 3 dalam membentuk<br />
fasa Al 2 TiO 5 (AT). Untuk mengetahui kegradualan<br />
komposisi fasa yang terbentuk dapat dikarakterisasi<br />
dengan metode difraksi sinar-x serta sifat-sifat fisik<br />
(densitas, porositas, dan penyusutan volume).<br />
METODE EKSPERIMEN<br />
Material yang akan digunakan dalam<br />
penelitian ini untuk pembuatan keramik FGMs<br />
α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif Y 2 O 3 adalah serbuk α-Al 2 O 3<br />
(korundum) sebagai prakeramik dan serbuk Y 2 O 3<br />
sebagai aditif dengan komposisi berat 0% dan 2%<br />
serta larutan TiCl 3 20% sebagai infiltran.<br />
Bahan dipelet berbentuk silinder dengan<br />
diameter 12,9 mm, tebal 2,7 mm dan tekanan<br />
sebesar 37 MPa, dipra-sinter pada suhu 1000 ºC<br />
selama satu jam. Proses selanjutnya sampel<br />
diinfiltrasi ke dalam larutan TiCl 3 20% buatan<br />
sendiri (Herdiyanti, 2009) selama 30 menit,<br />
kemudian dikeringkan, setelah kering dinfiltrasi lagi<br />
secara berulang sebanyak tiga kali, dilanjutkan sinter<br />
pada suhu 1450 o C selama 3 jam.<br />
Untuk mengetahui sifat-sifat fisis dari sampel<br />
maka dilakukan uji densitas, porositas, serta<br />
penyusutan volume. Untuk mengetahui kegradualan<br />
komposisi, selanjutnya karakterisasi difraksi sinar-x<br />
dengan Tipe Philips X’Pert MPD (Multi Purpose<br />
C28
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Diffractometer) system terdapat di Laboratorium<br />
Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
1. Karakterisasi Sifat Fisis<br />
Karakterisasi untuk mengidentifikasi sifat fisik<br />
yaitu perubahan kenaikan masssa, densitas, porositas<br />
dan penyusutan volume FGM A/AT dengan aditif<br />
0% dan 2% Y 2 O 3 FGM yang disinter suhu 1450 o C<br />
selama 3 jam ditampilkan pada Tabel I.<br />
TABEL I<br />
Perubahan massa, densitas, porositas dan penyusutan volume<br />
2. Karakteristik Kegradualan Komposisi<br />
Pengukuran data difraksi sinar-x pada beberapa<br />
kedalaman (0,0-0,5 mm) untuk mengetahui fasa-fasa<br />
yang terbentuk. Pola difraksi sinar-x FGM A/AT<br />
dengan 0% Y 2 O 3 ditunjukkan pada gambar 1,<br />
terdapat fasa korundum, AT dan rutile.<br />
Sampel ∆M b<br />
(%)<br />
0 % Y 2 O 3 8,8<br />
(3)<br />
2% Y 2 O 3 9,1<br />
(1)<br />
∆M c<br />
(%)<br />
2,8<br />
(1)<br />
3,0<br />
(1)<br />
D i<br />
(gr/cm 3 )<br />
1,39<br />
(1)<br />
2,72<br />
(1)<br />
D f<br />
(gr/cm 3 )<br />
3,98<br />
(2)<br />
4,06<br />
(1)<br />
P i<br />
(%)<br />
30,7<br />
(2)<br />
48,7<br />
(2)<br />
P f<br />
(%)<br />
14,7<br />
(1)<br />
11,2<br />
(2)<br />
S<br />
(%)<br />
50,7<br />
(2)<br />
46,4<br />
(2)<br />
∆M b = Perubahan massa sebelum dan sesudah<br />
infiltrasi<br />
∆M c = Perubahan massa sebelum dan sesudah<br />
sintering<br />
D i dan P i = Densitas dan Porositas sebelum sintering<br />
D f danP f = Densitas dan Porositas setelah sintering<br />
S = Penyusutan volume sebelum dan sesudah<br />
sintering<br />
Tabel I menunjukkan adanya perubahan<br />
kenaikan massa sebelum dan sesudah infiltrasi,<br />
begitu juga sebelum dan sesudah sintering. Densitas<br />
setelah sinter lebih besar dari prasinter, sebaliknya<br />
porositas setelah sinter lebih kecil dibandingkan<br />
prasinter. Hal ini menandakan bahwa adanya<br />
infiltran TiCl 3 yang masuk ketika infiltrasi yang<br />
ditunjukkan dengan kandungan AT sebesar<br />
43,6(26)% pada FGM 0% Y 2 O 3 . Sedangkan untuk<br />
FGM 2% Y 2 O 3 densitas dan porositasnya sebelum<br />
dan sesudah sintering lebih besar dari FGM 0%<br />
Y 2 O 3 , hal ini menunjukkan bahwa jumlah infiltran<br />
TiCl 3 yang masuk lebih sedikit dibandingkan FGM<br />
0% Y 2 O 3 , dengan kandungan AT sebesar 39,1(32)%.<br />
Penyusutan volume yang terjadi akibat sinter sebesar<br />
50,7(2)% pada FGM 0% Y 2 O 3 dan 46,4(2)% pada<br />
FGM 2% Y 2 O 3 . Penyusutan volume terjadi pada saat<br />
sinter, yaitu adanya pemberian panas atau energi<br />
pada atom yang menyebabkan terjadinya difusi.<br />
Difusi menyebabkan terjadinya transportasi massa<br />
antar partikel penyusun bahan komposit tersebut dan<br />
mengakibatkan terjadinya necking pada daerah<br />
kontak antar partikel. Selanjutnya, ukuran necking<br />
semakin bertambah luas, sehingga porositas<br />
menurun. Penyusutan yang diakibatkan oleh<br />
pertumbuhan necking yang semakin luas dan<br />
necking tersebut menjadi perekat antar partikel dan<br />
pada akhirnya akan terbentuk fasa baru (Suasmoro,<br />
2000).<br />
Gambar. 1 Pola difraksi sinar-x dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3<br />
dengan komposisi berat 0% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />
Ket : x = AT, o = korundum, # = rutile.<br />
Kandungan fasa korundum lebih besar<br />
dibanding fasa AT, dengan puncak intensitas<br />
korundum lebih tinggi dibandingkan intensitas AT.<br />
Intensitas AT semakin menurun secara gradual<br />
sampai kedalaman 0,5 mm, sebaliknya intensitas<br />
korundum semakin meningkat seiring kedalaman<br />
sampel, ini mengindikasikan FGM memiliki<br />
kegradualan komposisi. Rutile terdapat pada<br />
permukaan FGM yang menandakan bahwa reaksi<br />
belum terjadi secara sempurna, korundum dengan<br />
rutile tidak membentuk AT secara keseluruhan.<br />
Intensitas rutile semakin meningkat terhadap<br />
kedalaman sampel. Fenomena ini seperti penelitian<br />
Umaroh (2009) dengan menggunakan difraksi sinarx<br />
untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa<br />
pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0%<br />
MgO terhadap kedalaman 0,0 hingga 0,5 mm. Fasa<br />
yang terbentuk pada permukaan (0,0 mm) yaitu AT<br />
dan korundum, sedangkan rutile tidak ditemukan,<br />
tetapi pada kedalaman 0,2-0,5 mm ditemukan rutile<br />
yang kandungannya meningkat terhadap kedalaman.<br />
Gambar. 2 Pola difraksi sinar-x dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3<br />
dengan komposisi berat 2% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />
Ket : x = AT, o = korundum, * = yttrium titanat.<br />
C29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2 menunjukkan FGM A/AT dengan<br />
2% Y 2 O 3 , dan fasa yang terbentuk adalah AT,<br />
korundum dan yttrium titanat. Intesitas AT menurun<br />
secara gradual pada permukaan sampel sampai<br />
kedalaman 0,5 mm, dan sebaliknya intensitas<br />
korundum meningkat terhadap kedalaman. Intensitas<br />
AT pada FGM ini lebih rendah dan intensitas<br />
korundum lebih tinggi jika dibandingkan dengan<br />
FGM 0% Y 2 O 3 . Adanya fenomena ini memberikan<br />
pemahaman bahwa dengan penambahan 2% Y 2 O 3<br />
pada FGM terjadinya pertumbuhan butir pada waktu<br />
prasinter, sehingga jumlah infiltran TiCl 3 yang<br />
masuk pada FGM mengalami penurunan<br />
dibandingkan pada FGM 0% Y 2 O 3 , dan dengan<br />
sedikitnya infiltran yang masuk pada FGM maka<br />
rutile yang terbentuk juga semakin sedikit, rutile<br />
akan bereaksi dengan korundum membentuk AT dan<br />
bereaksi dengan Y 2 O 3 membentuk yttrium titanat,<br />
sehingga fasa rutile tidak ditemukan pada FGM<br />
dalam berbagai kedalaman, hal ini menandakan<br />
rutile telah habis bereaksi membentuk AT dan<br />
yttrium titanat. Y 2 O 3 (yttria) akan bereaksi dengan<br />
rutile membentuk yttrium titanat (Ting-ting et al.,<br />
2009). Lebih lanjut, Ting-ting dalam penelitiannya<br />
menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui<br />
perubahan fasa yang terjadi dari Y 2 O 3 -TiO 2 disinter<br />
pada 1460 °C membentuk fasa yttrium titanat atau<br />
Y 2 Ti 2 O 7 .<br />
Berdasarkan analisis kualitatif kedua sampel<br />
diatas, fasa AT ditemukan pada semua kedalaman,<br />
fasa AT dapat dibuat dengan mereaksikan secara<br />
sintering melalui reaksi persamaan perbandingan<br />
molar dari alumina dan titania (rutile) di atas suhu<br />
1280 o C (Kato et al., 1980), yaitu jika oksidasi<br />
dengan udara akan menghasilkan:<br />
α-Al 2 O 3 + TiO 2 (rutile) β-Al 2 TiO 5<br />
Karakterisasi kegradualan komposisi fasa pada<br />
sampel perlu dianalisis lebih lanjut dengan<br />
menggunakan metode Rietveld.<br />
3. Analisis Kuantitatif dengan Metode Rietveld<br />
Analisis kuantitatif dengan metode Rietveld<br />
merupakan sebagai alat bantu karakterisasi material<br />
kristalin yang berfungsi untuk mengekstraksi<br />
berbagai informasi kimiawi maupun struktur mikro<br />
(Pratapa, 2004). Untuk penghaluan (refinement)<br />
menggunakan metode Rietveld dengan software<br />
Rietica (Hunter, 1998). Hasil keluaran penghalusan<br />
dapat ditunjukkan pada gambar 3.<br />
Gambar. 3 Pola hasil penghalusan yang diperoleh dari program<br />
Rietica untuk sampel FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi<br />
berat 2% Y 2 O 3 . Nilai GoF = 2,547.<br />
Hasil penghalusan dengan menggunakan<br />
metode Rietveld ditentukan oleh nilai figure of merit<br />
dan nilai GoF maksimal 4 % serta selisih fluktuasi<br />
yang relatif kecil (Kisi, 1994). Hasil penghalusan<br />
yang telah dilakukan untuk FGM A/AT dengan 2%<br />
Y 2 O 3 , nilai GoF sebesar 2,547 hal ini menandakan<br />
proses penghalusan selesai dan parameter-parameter<br />
keluaran yang dihasilkan dapat digunakan untuk<br />
analisis lebih lanjut.<br />
4. Komposisi Fasa<br />
Komposisi fasa yang terkandung dalam sampel<br />
FGM A/AT dengan 0% dan 2% Y 2 O 3 dapat<br />
diperoleh dari hasil keluaran penghalusan yang<br />
ditunjukkan oleh nilai persentase fraksi berat relatif.<br />
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam<br />
perhitungan fraksi berat relatif adalah faktor skala,<br />
seperti ditampilkan dalam tabel II dan III.<br />
Tabel II<br />
Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa rutile, AT dan<br />
korundum dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi berat<br />
0% Y 2 O 3 pada kedalaman<br />
0,0-0,5 mm.<br />
No<br />
Faktor skala (10 -5 )<br />
Kedalaman<br />
Rutile AT Korundum<br />
(mm)<br />
1 0,0 2,606(9) 8,494(4) 16,631(9)<br />
2 0,1 5,568(19) 3,380(3) 24,680(10)<br />
3 0,2 6,404(8) 2,664(2) 24,671(10)<br />
4 0,3 13,724(31) 2,829(3) 34,725(14)<br />
5 0,5 21,477(0) 1,836(3) 34,352(14)<br />
6 0,5 19,892(34) 1,292(14) 30,688(12)<br />
Tabel III<br />
Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa yttrium titanat,<br />
AT dan korundum dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi<br />
berat 2% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />
Faktor skala (10 -7 )<br />
No Kedalaman<br />
Yttrium AT Korundum<br />
(mm)<br />
Titanat<br />
1 0,0 5,91(3) 863,12(4) 1931,59(21)<br />
2 0,1 5,17(7) 262,68(3) 3569,83(14)<br />
3 0,2 3,68(2) 215,38(3) 4465,85(15)<br />
4 0,3 3,74(7) 190,87(3) 4399,42(17)<br />
5 0,5 3,18(5) 128,62(2) 4319,78(17)<br />
6 0,5 3,26(6) 87,85(2) 4586,35(18)<br />
Fraksi berat relatif untuk setiap fasa pada<br />
bahan FGM A/AT dengan 0% dan 2% Y 2 O 3<br />
ditunjukkan pada gambar 4 dan 5. Gambar 4<br />
C30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
menunjukkan pada permukaan kandungan AT<br />
sebesar 43,6(26)% dan menurun secara gradual<br />
17,1(18)% pada kedalaman 0,1 mm dan 5,8(7)%<br />
pada kedalaman 0,5 mm. Sebaliknya untuk<br />
korundum, fraksi berat relatifnya meningkat dari<br />
55,8(39)% pada permukaan menjadi 81,7(47)% pada<br />
kedalaman 0,1 mm dan 90,4(50)% pada kedalaman<br />
0,5 mm. Untuk rutile, fraksi berat relatifnya juga<br />
meningkat terhadap kedalaman walupun<br />
kenaikannya sangat kecil. Kandungan rutile pada<br />
permukaan hanya sebesar 0,6(2)%, hal ini<br />
menandakan bahwa tidak seluruhnya rutile bereaksi<br />
dengan korundum pada saat sintering, selanjutnya<br />
1,2(4)% dan 3,8(7)% pada kedalaman 0,2 mm dan<br />
0,5 mm.<br />
Fraksi berat relatif (%)<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5<br />
Kedalaman (mm)<br />
A<br />
AT<br />
R<br />
Gambar. 4 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT aditif<br />
Y 2 O 3 dengan komposisi berat 0% Y 2 O 3, kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />
Ket : A= korundum, AT=aluminium titanat, R= rutile<br />
Fraksi berat relatif (%)<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5<br />
Kedalaman (mm)<br />
A<br />
AT<br />
YT<br />
Gambar. 5 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT aditif<br />
Y 2 O 3 dengan komposisi berat 2% Y 2 O 3, kedalaman 0,0-0,5 mm<br />
Ket : A = korundum, AT = aluminium titanat, R= rutile<br />
Gambar 5 menunjukkan fraksi berat relatif<br />
FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi berat 2%<br />
Y 2 O 3 , terlihat kandungan AT pada permukaan<br />
sebesar 39,1(32)% dan menurun seiring kedalaman,<br />
selanjutnya 2,8(5)% pada kedalaman 0,5 mm.<br />
Besarnya Kandungan AT ini lebih rendah dibanding<br />
FGM A/AT dengan 0% Y 2 O 3 . Sifat yang sama juga<br />
terjadi pada fasa korundum dengan kecendrungan<br />
yang berlawanan, misalnya pada permukaan<br />
57,3(73)% dan meningkat pada kedalaman 0,5 mm<br />
sebesar 95,8(52)%. Sedangkan yttrium titanat<br />
ditemukan pada tiap kedalaman.<br />
Berdasarkan hasil analisis data difraksi<br />
menunjukkan kegradualan komposisi FGM dengan<br />
0% Y 2 O 3 , dibuktikan dengan adanya kandungan fasa<br />
AT menurun secara gradual dari kedalaman 0,0 –<br />
0,5 mm, sedangkan korundum meningkat seiring<br />
kedalaman. Fasa rutile terdapat pada semua<br />
kedalaman dalam jumlah kecil yang meningkat<br />
terhadap kedalaman, hal ini menandakan bahwa<br />
tidak semua rutile bereaksi dengan korundum<br />
membentuk AT. Skala dkk (2009) mensintesis<br />
Al 2 O 3 -TiO 2 yang disinter pada 1550 °C selama 4<br />
jam dan pengulangan sinter sebanyak 4 kali guna<br />
meningkatkan jumlah AT dan mengurangi jumlah<br />
korundum dan rutile, hasilnya menunjukkan<br />
konsentrasi AT yang tinggi sebesar 94%, korundum<br />
(5,2%) dan sisanya rutile (0,7%), korundum dan<br />
rutile masih ada disebabkan oleh dekomposisi<br />
spontan AT selama pendinginan.<br />
Untuk FGM 2% Y 2 O 3 menunjukkan<br />
fenomena yang sama dengan yang 0% Y 2 O 3 , yaitu<br />
kandungan AT menurun terhadap kedalaman dan<br />
sebaliknya korundum meningkat seiring kedalaman<br />
tetapi rutile tidak ditemukan pada semua kedalaman,<br />
karena rutile bereaksi dengan Y 2 O 3 membentuk<br />
yttrium titanat dan terdapat pada semua kedalaman.<br />
Dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah<br />
terbentuk bahan yang FGM, yaitu komposisi fasa<br />
yang terbentuk mengalami perubahan secara gradual<br />
terhadap kedalaman berdasarkan perubahan<br />
konsentrasi fasa (Hirai,1996).<br />
KESIMPULAN<br />
Hasil analisis komposisi FGM α-<br />
Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif 0% dan 2% Y 2 O 3 pada suhu<br />
sinter 1450 o C menunjukkan bahwa :<br />
Bahan yang gradual, yang mengalami<br />
perubahan konsentrasi fasa pada tiap kedalaman<br />
(0,0-0,5 mm) yang merupakan sifat bahan FGM.<br />
Terbentuknya fasa yttrium titanat<br />
Masih adanya residu rutile (TiO 2 ), dalam hal<br />
ini dipengaruhi oleh larutan TiCl 3 buatan sendiri.<br />
.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
EJS Mengucapkan terimakasih kepada DP2M Dikti<br />
HIBAH PASCA SARJANA ITS TA 2010/2011 atas<br />
nama SP yang memberikan bantuan finansial untuk<br />
membiayai penelitian ini.<br />
C31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Cullity, B.D. (1978), “Element of x-ray diffraction”,<br />
2nd edn. Addison-Wesley, publishing<br />
Company, Inc, Notre Dame.<br />
Hirai, T. (1996), “Functionally Gradient Materials,<br />
VCH Verlagsgesellschafft mbH, Weinheim,<br />
hal 259-341.<br />
Kato, E., Daimon, K. dan Takahashi, J. (1980),<br />
“Decomposition Temperatur of Al2TiO5”,<br />
Journal of the American Ceramic Society”,<br />
vol 63, hal 355-356.<br />
Koizumi, M., Niino, M. (1995), “Overview of<br />
FGM”, MRS Bulletin, vol 1, hal 19-21.<br />
Low, I.M. dan Oo, Z. (2008), “Reformation of phase<br />
composition in decomposed aluminium<br />
titanate”, Materials Chemistry and physics,<br />
vol 111, hal 9-12.<br />
Marple, B.R. dan Green, D.J. (1990), “Mullite<br />
Alumina Particulate Composites by<br />
infiltration: II, infiltration and<br />
Characterization”, J.Am. Ceram. Soc, 73<br />
[12], hal 3611-3616.<br />
Naderi, G., Rezaie, R.H. (2009), “The effect of talc<br />
on the reaction sintering, microstructure and<br />
physical properties of Al2TiO5 based<br />
ceramics”, Journal of Ceramic Processing<br />
Research. Vol. 10, No. 1, hal. 16-20<br />
Pratapa, S. (1997), “Syntesis and character of a<br />
functionally-graded<br />
aluminium<br />
titanate/ziconia alumina composite”, Thesis,<br />
Curtin University of technology, Australia .<br />
Pratapa, S., Low, I.M., O‟Connor, B.H. (1998),<br />
“Infiltration-Processed, Functionally Graded<br />
Aluminium Titanate/Zirkoniai-Alumina<br />
composite”, Jurnal of Material Science, vol<br />
33, hal 3037-3045.<br />
Rabin, B H., Shiota, I. (1995), “Overview of FGM”,<br />
MRS Bulletin, vol 1, hal 14-19.<br />
Rietveld, H.M. (1967), “Line Profiles of Neutron<br />
Powder Diffraction Peacks for Structure<br />
Refinement”, Acta Cryst, vol 22, hal 151-152.<br />
Shen, (2009), “Functionally Graded Materials :<br />
Nonlinear Analysis of Plates and Shells”,<br />
CRC Press is an imprint of the Taylor &<br />
Francis Group, an informa business.<br />
Suasmoro, (2000), “<strong>Fisika</strong> Keramik”, Jurusan<br />
FMIPA ITS, Surabaya.<br />
Ting-ting, T., Li-xi, W., Qi-tu, Z. (2009), “Study on<br />
composite and properties of Y 2 O 3 -TiO 2<br />
microwave dielectric ceramic”, Journal of<br />
Alloy and Coumpounds 486, hal 606-609.<br />
Umaroh, (2009), ‘Sintesis FGM α-Al 2 O 3 -AT-MgO<br />
Dengan Metode Infiltrasi Berulang, Tesis,<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya.<br />
C32
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Kekasaran Permukaan pada Sifat Magnetik dari Lapisan Tipis<br />
Rare Earth-Transition Metal (RE-TM)<br />
Erwin<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Riau<br />
Kampus Bina Widya Sp. Baru Pekanbaru 28293<br />
Email : erwin_amiruddin@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Lapisan Tipis Rare Earth - Transition Metal (RE-TM) dalam hal ini cobalt samarium (CoSm) dideposisikan<br />
diatas substrat silicon (100) dengan metode sputtering dengan memvariasikan waktu deposisi. Komposisi dari<br />
sampel adalah Co 80 Sm 20 Morphologi dan sifat magnetic dari sample diukur dengan menggunakan atomic force<br />
microscopy (AFM) dan alternating gradient force magnetometry (AGFM). Analisis dengan menggunakan AFM<br />
menunjukkan bahwa kekasaran permukaan dari sample bertambah dari 19 sampai 99 nm seiring bertambahnya<br />
ketebalan sample dari 20 nm ke 200 nm. Pengukuran sifat magnetic dari sampel dengan menggunakan AGFM<br />
melalui loop hysteresis in plane menunjukkkan ketergantungan dari loop hysteresis terhadap morphologi dari<br />
sample. Parameter magnetic seperti koercivitas, remanance magnetisasi dan loop squareness berubah terhadap<br />
perubahan kekasaran permukaan dari sample.<br />
Kata kunci: sifat magnetic, koercivitas, remanance magnetisasi dan loop squareness<br />
Pendahuluan<br />
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan<br />
ilmu pengetahuan serta teknologi informasi, sangat<br />
dibutuhkan suatu bahan yang dapat digunakan<br />
sebagai media untuk penyimpanan data. Dilihat dari<br />
sejarah perkembangannya kemampuan harddisk<br />
atau CD sebagai media penyimpan data masih<br />
memiliki keterbatasan dibandingkan thin film.<br />
Secara laboratorium, Toshiba telah mampu<br />
menghasilkan harddisk yang berkemampuan 200<br />
GB/Inch 2 dan Fujitsu 250 GB/Inch 2 untuk<br />
penyimpanan data. Namun untuk itu perlu usaha<br />
untuk meningkatkan kemampuan dari suatu harddisk<br />
untuk media penyimpanan data yang lebih besar.<br />
Salah satu bahan yang digunakan untuk media<br />
penyimpan data adalah berupa campuran logam<br />
cobalt dan Samarium dalam bentuk lapisan tipis<br />
(Velu et al. 1992). Campuran bahan ini memiliki<br />
potensi besar sebagai media penyimpan data<br />
berkapasitas tinggi karena bahan ini memiliki<br />
magnetocrystalline anisotropi magnetik dan<br />
coersivity yang tinggi serta memiliki butiran-butiran<br />
magnet kecil (1-10 nm), sehingga membuat<br />
campuran ini dapat digunakan sebagai bahan<br />
penyimpan data magnetik yang memiliki kapasitas<br />
tinggi (Charap, 1997). Lapisan tipis cobalt<br />
samarium (CoSm) dapat dibuat dengan<br />
menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah<br />
teknik sputtering (Robert, 1991). Usaha awal untuk<br />
membuat campuran cobalt samarium dalam bentuk<br />
lapisan tipis dilakukan oleh (Theuerer et al, 1969)<br />
dan (Gronou et al 1983). Mereka melaporkan bahwa<br />
lapisan tipis cobalt samarium memiliki koercivitas<br />
tinggi dapat diperoleh dengan menumbuhkan film<br />
tersebut dengan metode flash evaporation diatas<br />
substrate gelas.<br />
Menurut Erwin 2004, komposisi campuran<br />
CoSm dalam bentuk lapisan tipis yang memberikan<br />
nilai koercivitas yang tinggi yang merupakan salah<br />
satu syarat untuk dapat dijadikan media penyimpan<br />
data magnetic berkapasitas tinggi adalah dengan<br />
komposisi Co 80 Sm 20 . Namun lapisan tipis ini belum<br />
diketahui apakah memiliki butiran butiran magnetic<br />
yang kecil (
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
adalah 33 nm/s. Untuk mendapatkan sifat magnetic<br />
yang optimal dari campuran Co dan Sm, maka<br />
dalam penelitian ini ketebalan dari lapisan sampel<br />
divariasikan yaitu dari 100 - 1200 Å Untuk<br />
mengukur parameter magnetik dari sample<br />
digunakan alternating gradient force magnetometri<br />
(AGFM). Sedangkan sifat morphologi dari sampel<br />
dipelajari dengan menggunakan atomic force<br />
microscopy (AFM) Nanosurf Easyscan 2.<br />
4. Hasil dan Pembahasan<br />
4.1. Sifat Magnetik<br />
Hasil yang diperoleh dengan menggunakan<br />
AGFM berupa data magnetisasi (M) sebagai fungsi<br />
kuat medan (H) dari lapisan tipis campuran CoSm.<br />
Ketebalan dari sampel diatur dengan menentukan<br />
nilai deposisi (deposisi rate), saat pembuatan<br />
sampel. Nilai deposisi untuk CoSm pada saat<br />
pembuatannya adalah 0.33 Å/s, sehingga ketebalan<br />
sampel dapat diatur dengan mengatur waktu<br />
deposisi.<br />
Data yang didapat dari pengukuran dengan<br />
menggunakan AGFM berupa data magnetisasi (M)<br />
dengan medan magnet yang digunakan (H). Data ini<br />
selanjutnya di plot sehingga didapat kurva hysteresis<br />
untuk masing-masing ketebalan sampel. Berikut ini<br />
ditampilkan hyisteresis loop untuk masing-masing<br />
sampel berdasarkan ketebalan.<br />
Magnetisasi (arb unit)<br />
DE4D<br />
1.50E-02<br />
1.00E-02<br />
5.00E-03<br />
0.00E+00<br />
-4000 -2000 0 2000 4000<br />
-5.00E-03<br />
-1.00E-02<br />
-1.50E-02<br />
Kuat Medan (Oe)<br />
Magnetisasi (arb. Unit)<br />
DE4F<br />
0.015<br />
0.01<br />
0.005<br />
0<br />
-4000 -2000 0 2000 4000<br />
-0.005<br />
-0.01<br />
-0.015<br />
Kuat Medan H (Oe)<br />
terhadap sifat magnetik dari lapisan tipis campuran<br />
CoSm.<br />
4.1.1 Magnetisasi Saturasi (M s )<br />
Magnetisasi adalah jumlah momen dipole<br />
magnet persatuan volume. Dalam penelitian ini<br />
satuan dari magnetisasi dipilih (Arb. Unit). Dari<br />
hasil pengukuran AGFM di atas, maka nilai<br />
magnetisasi saturasi (Ms) dapat diplot sebagai fungsi<br />
ketebalan samplel seperti pada gambar 2 dibawah<br />
ini.<br />
Magnetisasi (arb unit)<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600<br />
Ketebalan (angstrom)<br />
Gambar 2. Magnetisasi saturasi (Ms) dari sampel sebagai fungsi<br />
ketebalan<br />
Dari gambar 2 maka dapat dilihat bahwa nilai<br />
magnetisasi saturasi (Ms) menurun secara<br />
exponensial dengan bertambahnya ketebalan dari<br />
sampel, penurunan dari nilai magnenitasi secara<br />
exponensial saturasi ini disebabkan oleh makin<br />
banyaknya atom non magnetik yang terdapat dalam<br />
campuran CoSm, sehingga CoSm tersebut memiliki<br />
sifat kemagnetan (magnetisasi) yang semakin kecil.<br />
Hal ini sebagaimana yang diharapkan yaitu<br />
samarium adalah elemen non magnetik. Dari grafik<br />
dapat dilihat bahwa penambahan ketebalan diatas<br />
500 Å menyebabkan nilai magnetisasi menurun<br />
secara perlahan / lambat, namun nilai tersebut akan<br />
menuju nol pada nilai ketebalan yang sangat tinggi.<br />
Magnetisasi (arb.Unit)<br />
DE14F<br />
4.00E-03<br />
3.00E-03<br />
2.00E-03<br />
1.00E-03<br />
0.00E+00<br />
-4000 -2000 -1.00E-03 0 2000 4000<br />
-2.00E-03<br />
-3.00E-03<br />
-4.00E-03<br />
Kuat Medan H (Oe)<br />
Mag netisasi ( arb unit)<br />
ESLO3E<br />
3.00E-03<br />
2.00E-03<br />
1.00E-03<br />
0.00E+00<br />
-4000 -3000 -2000 -1000 0 1000 2000 3000 4000<br />
-1.00E-03<br />
-2.00E-03<br />
-3.00E-03<br />
Kuat Medan H (Oe)<br />
4.1.2. Remanance (M r )<br />
Remanance adalah nilai magnetisasi yang<br />
tersisa dalam bahan magnetik apabila medan magnet<br />
yang digunakan dihilangkan atau sama dengan nol.<br />
12<br />
10<br />
Gambar 1. Kurva hysteresis dari campuran CoSm untuk sebagai<br />
fungsi ketebalan (a). 100 Å ,<br />
(b) 200 Å, (c) 500 Å dan d 1200 Å<br />
Dari data pengukuran dengan AGFM maka<br />
dapat ditentukan pengaruh ketebalan dari lapisan<br />
tipis campuran CoSm terhadap sifat magnetik. Sifat<br />
magnetik yang dipelajari dalam perhitungan adalah<br />
magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi remanance<br />
(Mr), coercivity (Hc), dan squareness (S). Berikut<br />
ini akan dijelaskan hubungan antara ketebalan<br />
Remanance (arb unit)<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600<br />
Ketebalan (Angstrom)<br />
Gambar 3. Magnetisasi remanance (Mr) dari sampel sebagai<br />
fungsi ketebalan<br />
Dari hasil pengukuran AGFM di atas, maka<br />
nilai magnetisasi remanance (Mr) dapat diplot<br />
C34
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sebagai fungsi ketebalan samplel seperti pada<br />
gambar 3. Dari gambar ini dapat dilihat bahwa nilai<br />
magnetisasi remanance menurun secara exponensial<br />
dengan bertambahnya ketebalan dari sampel.<br />
Penurunan dari nilai remanance disebabkan karena<br />
makin banyaknya atom-atom samarium dalam<br />
lapisan tipis tersebut yang merupakan elemen non<br />
magnetik. Atom Samarium menyebabkan<br />
terpisahnya atom-atom cobalt (magnetik), sehingga<br />
interaksi antara atom atom cobalt menjadi<br />
berkurang. Penambahan ketebalan yang makin besar<br />
tidak akan banyak mengurangi nilai magnetisasi<br />
remanance. Penurunan nilai remanance ini<br />
disebabkan juga oleh ketidak sejajaran dari momen<br />
magnet dalam sampel karena medan magnet yang<br />
membuat momen ini sejajar adalah nol.<br />
4.1.3. Coercivity (Hc)<br />
Coercivitas adalah besarnya kuat medan (H)<br />
yang diperlukan untuk membuat magnetisasi (M)<br />
menjadi nol. Dari hasil pengukuran AGFM di atas,<br />
maka nilai coercivitas (Hc) dapat diplot sebagai<br />
fungsi ketebalan samplel seperti pada gambar 4<br />
dibawah ini.<br />
Coersivity (Oe)<br />
1800<br />
1600<br />
1400<br />
1200<br />
1000<br />
800<br />
600<br />
400<br />
200<br />
0<br />
0 200 400 600 800 1000 1200 1400<br />
Ketebalan (Angstrom)<br />
Gambar 4. Coercivitas (Hc) dari sampel sebagai fungsi ketebalan<br />
Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai<br />
coersivitas dari sampel menurun dengan<br />
bertambahnya ketebalan. Penurunan nilai coercivity<br />
ini cenderung linear terhadap penambahan ketebalan<br />
dari sampel. Penurunan nilai Hc ini disebabkan oleh<br />
makin terpisahnya atom-atom cobalt. Atom-atom<br />
Samarium memiliki ukuran atom yang lebih besar<br />
dari atom cobalt dan merupakan elemen non<br />
magnetic Dengan keterpisahan ini maka interaksi<br />
antara atom-atom Co semakin berkurang, dan<br />
akibatnya diperlukan kuat medan magnet yang kecil<br />
untuk membawa magnetisasi dari lapisan tipis<br />
menjadi nol.<br />
Squareness (S)<br />
Squareness (S) merupakan perbandingan<br />
antara magnetisasi remanance (Mr) terhadap<br />
magnetisasi saturasi (Ms). Dari hasil pengukuran<br />
AGFM di atas, maka nilai coercivitas (Hc) dapat<br />
diplot sebagai fungsi ketebalan samplel seperti pada<br />
gambar 5 dibawah ini.<br />
squareness<br />
1.2<br />
1<br />
0.8<br />
0.6<br />
0.4<br />
0.2<br />
0<br />
0 200 400 600 800 1000 1200 1400<br />
Ketebalan (Angstrom)<br />
Gambar 5. Squareness (S) dari sampel sebagai fungsi ketebalan<br />
Gambar 5 menunjukkan hubungan antara<br />
squareness (S) sebagai fungsi ketebalan dari sampel.<br />
Dari gambar ini dapat dilihat bahwa nilai squareness<br />
(S) menurun dan semakin kecil dengan penambahan<br />
dari ketebalan sampel. Penurunan ini disebabkan<br />
oleh berkurangnya nilai remanance magnetisasi dari<br />
sampel, sehingga momen magnetik dari atom-atom<br />
cobalt untuk mempertahankan keadaan paralel<br />
semakin mengecil ( hilang). Lebih jauh lagi<br />
pengurangan nilai magnetisasi remance dikarenakan<br />
oleh ketidak mampuan momen magnet<br />
mempertahankan keadaan paralel karena medan<br />
magnet luar dihilangkan. Makin banyak atom<br />
samarium di dalam sampel, maka keterpisahan dari<br />
atom cobalt dengan atom cobalt lainnya semakin<br />
jauh. Maka interaksi antara atom atom cobalt<br />
menjadi kecil.<br />
4.2. Morhologi<br />
Morfology dari sampel diamati dengan<br />
menggunakan Atomic Force Microscopy (AFM).<br />
Berikut ini ditampilkan 2 buah hasil pengukuran<br />
dengan menggunakan AFM dalam 2 dan 3 dimensi<br />
yaitu untuk sampel dengan ketebalan 200 Å dan<br />
1000 Å.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 6. Morphologi dari sampel denganketebalan 200 Å(a)<br />
dalam 2 dimensi dan (b)dalam 3 dimensi<br />
Dari gambar 6 diatas maka kekasaran<br />
permukaan dari sample dengan ketebalan 200 Å<br />
dapat ditentukan. Hasil pengukuran dengan AFM ini<br />
memberikan dua warna yang kontras yaitu gelap dan<br />
terang. Daerah yang gelap menunjukkan daerah<br />
yang rendah sedangkan warna putih menunjukkan<br />
daerah atau permukaan sampel yang lebih tinggi.<br />
C35
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dari gambar 6a (dua dimensi) dapat dilihat bahwa<br />
warna gelap dan terang tersebar diseluruh<br />
permukaan sampel, dan begitu juga untuk gambar<br />
3D (gambar 6b). Pada ketebalan ini atom cobalt dan<br />
samarium hampir terdistribusi secara merata ini<br />
ditunjukkan dnegan nilai kekasaran yang kecil yaitu<br />
47 nm<br />
.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 7. Morphologi dari sampel denganketebalan 1000 Å (a)<br />
dalam 2 dimensi dan (b) dalam 3 dimensi<br />
Dari gambar 4.8 dapat di lihat bahwa<br />
permukaan lapisan tipis campuran CoSm untuk<br />
ketebalan 1000 Å lebih kasar, dibandingkaan dengan<br />
lapisan tipis untuk campuran CoSm dengan<br />
ketebalan 200 Å yaitu 84 nm. Ini disebabkan karena<br />
makin banyaknya umlah atom-atom samarium yang<br />
terdapat dalam campuran CoSm, karena atom<br />
samarium memiliki jari-jari atom yang lebih besar<br />
dibandingkan dengan atom cobalt dan merupakan<br />
elemen non magnetik. Dlihat dari gambar 4.8 (a)<br />
dalam bentuk dua dimensi, dapat dilihat bahwa<br />
daerah terang terlihat sangat jelas, begitu juga pada<br />
gambar 4.8.(b) dalam tiga dimensi, pada gambar ini<br />
terlihat jelas bahwa daerah terang banyak terdapat<br />
pada lapisan tipis campuran CoSm. Karena<br />
banyaknya atom samarium yang terdapat pada<br />
sampel maka kekasaran dari sampel bertambah. Hal<br />
ini sesuai yang diharapkan.<br />
Dari data yang telah diperoleh berdasarkan<br />
hasil pengamatan dengan menggunakan Atomic<br />
Force Microscopy (AFM), maka dapat ditentukan<br />
pengaruh ketebalan dari lapisan tipis campuran<br />
CoSm terhadap mikostruktur atau kekasaran dari<br />
permukaaan sampel. Dari gambar 4.7 diperoleh<br />
bahwa pada ketebalan 200 Å dari lapisan tipis<br />
campuran CoSm mikrostruktur atau kekasarannya<br />
kecil yaitu 47 nm.. Ini disebabkan oleh sedikitnya<br />
atom samarium yang terdapat dalam campuran<br />
CoSm. Hal ini sesuai dengan data magnetik yang<br />
memberikan nilai Coercivity yang tinggi untuk<br />
ketebalan 200 Å. Permukaan yang halus dan rata ini<br />
juga memberikan kontribusi pad peningkatan nilai<br />
Hc sesuai pada gambar 4.9. Pada gambar 4.7 (a) dan<br />
4.7 (b) dalam plot dua dan tiga dimensi yang<br />
dihasilkan dapat dilihat warna gelap lebih banyak<br />
pada warna terang. Dimana warna gelap<br />
menunjukan daerah rendah dengan kedalaman<br />
tertentu, pada sampel terlihat warna terang dan gelap<br />
tidak merata meskipun samariumnya jauh lebih<br />
besar. Dari hasil pengamatan ini dapat disimpulkan<br />
bahwa sampel yang digunkan memiliki samarium<br />
tidak merata dan bagian yang diamati ini samarium<br />
lebih kecil dari daerah lain.<br />
Sedangkan pada gambar 4.8 dapat dilihat<br />
warna yang terang menunjukkan puncak dari lapisan<br />
tipis yang lebih tinggi sedangkan warna yang gelap<br />
menunjukkan daerah rendah dengan kedalaman<br />
tertentu. Semakin banyak warna yang terang atau<br />
ada yang lebih terang akan menunjukkan kekasaran<br />
yang besar begitu juga sebaliknya semaikn banyak<br />
warna yang gelap atau ada yang lebih gelap akan<br />
menunjukan kekasaran yang lebih besar. Pada<br />
gambar 4.8 (a) dalam dua dimensi dan tiga dimensi<br />
pada gambar 4.8 (b) pada sampel terlihat warna<br />
terang lebih banyak dari warna gelap ini karena<br />
banyaknya atom-atom samarium yang terdapat pada<br />
campuran CoSm yang mana samarium merupakan<br />
non magnetik dan memiliki jari-jari atom yang besar<br />
dibandandingkan atom cobalt.<br />
5. Kesimpulan<br />
Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil<br />
beberapa kesimpulan antara lain:<br />
1. Pengamatan morphologi atau kekakasaran<br />
permukaan lapisan tipis dari campuran CoSm<br />
dengan menggunakan AFM melalui variasi<br />
ketebalan sampel menunjukkan bahwa nilai<br />
kekasaran bertambah dengan bertambahnya<br />
jumlah atom samarium. Hal ini disebabkan oleh<br />
penumpukan atom samarium yang ukurannya<br />
jauh lebih besar dibandingkan dengan atom<br />
cobalt.<br />
2. Nilai ketebalan dari sampel yang mukin dapat<br />
digunakan untuk penyimpanan data berdasarkan<br />
hasil penelitian ini adalah pada ketebalan 100 -<br />
200 Ǻ. Karena sampel ini memiliki sifat<br />
magnetisasi, khususnya coersivity (Hc) yang<br />
relatif besar yaitu 1459 dan 1574 Oe. Pada<br />
ketebalan ini sampel memiliki permukaan yang<br />
halus (47nm), sehingga kondisi sesuai dengan<br />
yang diharapkan yaitu dapat digunakan sebagai<br />
media penyimpanan data seperti Disk, disk<br />
dengan permukaan yang halus putaranya akan<br />
stabil.<br />
3. Magnetisasi saturasi dan remanance dari lapisan<br />
tipis CoSm nilainya menurun seiring dengan<br />
pertambahan jumlah atom samarium. Karena<br />
semakin banyak jumlah atom samarium dalam<br />
sampel interaksi antar partikel magnetik<br />
semakin kecil.<br />
4. Nilai magnetisasi dari lapisan tipis berkurang<br />
dengan cepat sampai ketebalan 500 Ǻ dan<br />
setelah itu penurunan nilai magnetisasi tidak<br />
terlalu tersenifikan atau berati. Sifat magnetik<br />
dari campuran tersebut semakin berkurang<br />
karena Samarium adalah non magnetik.<br />
C36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terimakasih disampaikan pada P.J.<br />
Grundy dan J.A Faunce dari Laboratorium Joule –<br />
Salford University England, UK atas kesempatan<br />
dan batuan yang diberikan selama penulis<br />
melakukan penelitian di laboratorium tersebut.<br />
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr.<br />
Adi Rahwanto, M.Eng dan Dr. Murshal atas izin<br />
yang diberikan sehingga penulis dapat memakai<br />
AFM pada laboratorium <strong>Fisika</strong> Material jurusan<br />
fisika FMIPA Unsyiah Banda Aceh.<br />
.<br />
6. Daftar Pustaka<br />
Moser. J. Phys D: Phys. 35(2002) R157-167)<br />
Brown, W. F., (1963), “Micromagnetics”. Wiley-<br />
International, New York, pp 68-64.<br />
Charap, S. H., P. L., Y., He., Y., (1997), IEEE<br />
Trans.<br />
Magn., 33,978.<br />
H.C. Theuerer, E.A. Nesbitt & D.D. Bacon. 1969.<br />
High Coercive Force Rare Earth Alloy Films<br />
by Getter Sputtering J. Appl. Phys., 40, 2994.<br />
M. Gronou, H. Goeke, D. Schuffler, S. Sprenger,<br />
IEEE Trans. Magn., 19, 1653, 1983.<br />
Doerner, M. F., Tang,, K., Arnoldussen, T., Zeng,<br />
H., Toneyand, M. F., Weller, D., (2000), IEEE<br />
Trans. Magn., 36.<br />
Erwin, A,. (2004), “Magnetic and Microstructural<br />
Properties of CoSm Alloy and Multilayer Thin<br />
Films”, PhD Thesis, University of Salford,<br />
UK.<br />
P. Robert, P 1991. Thin Film Process II, Edited by J.<br />
L. Vossen Sputtering and W. Kern, Academic Press.<br />
Inc, PP 177.<br />
No Name,. (2005), “Nanosurf easyScan 2 Manual<br />
Instruction.” Switzerland, PROD.: BT02088, V1.<br />
3R1.<br />
E.M.T. Velu & D.N. Lambeth. 1991. CoSm based<br />
high coercivity thin films for longitudinal recording.<br />
J.Appl. Phys 69, 5175.<br />
C37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Karakterisasi Mikrostruktur FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 Distabilisasi MgO<br />
Hasil Infiltrasi Berulang<br />
Eva Weddakarti 1 , Khusnul Umaroh 2 , Suminar Pratapa 3<br />
1,2,3 Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.<br />
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111<br />
Email : eva_wedda@physics.its.ac.id<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan karakterisasi struktur mikro functionally-graded materials (FGMs) α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO<br />
menggunakan SEM dan EDX. FGMs disintesis dari serbuk α-Al 2 O 3 sebagai prakeramik dengan MgO (0 wt%, 2<br />
wt%, 5 wt%) sebagai penstabil yang kemudian diprasinter pada suhu 1000°C selama 1 jam. Prakeramik yang<br />
telah diprasinter tersebut diinfiltrasi menggunakan larutan TiCl 3 (15%, komersial) dengan pengulangan sebanyak<br />
tiga kali. Prakeramik terinfiltrasi kemudian disinter pada suhu 1450°C selama 3 jam untuk membentuk fasa<br />
Al 2 TiO 5 dan pemadatan keramik. Analisis dari hasil foto SEM secara umum menunjukkan bahwa jumlah<br />
Al 2 TiO 5 menurun berdasarkan kedalaman dan mengandung intragranular microcracks pada butir-butirnya.<br />
Sedangkan hasil pengamatan dengan EDX menunjukkan bahwa jumlah Al meningkat berdasarkan kedalaman<br />
dan sebaliknya jumlah Ti menurun terhadap kedalaman. Hasil tersebut sesuai dengan analisis data difraksi sinar-<br />
X yang telah dilakukan sebelumnya.<br />
Kata kunci : mikrostruktur, SEM, EDX, FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO.<br />
PENDAHULUAN<br />
Keramik memiliki karakteristik kapasitas<br />
panas yang baik, konduktivitas panas yang rendah,<br />
tahan korosi. Sifat kelistrikan dari keramik adalah<br />
insulator, semikonduktor, konduktor bahkan<br />
superkonduktor. Sedangkan sifat mekaniknya dapat<br />
keras dan kuat, namun rapuh yang<br />
memungkinkannya digunakan untuk berbagai<br />
aplikasi (Ismunandar, 2009). Perkembangan keramik<br />
tidak berhenti, karena kebutuhan yang spesifik,<br />
seperti ketahanan panas, sifat mekanik yang lebih<br />
baik, sifat listrik yang spesifik (Suasmoro, 2000).<br />
Salah satu keramik yang memiliki sifat khas<br />
mulai dikembangkan oleh para ilmuwan Jepang<br />
pada tahun 1984 yakni FGMs (Functionally Graded<br />
Materials). FGMs adalah material rekayasa yang<br />
tidak homogen pada mikrostruktur dan sifat.<br />
Melainkan bahan komposit yang terdiri dari dua<br />
komponen komposit dan memiliki perubahan<br />
komposisi secara gradual dari satu komponen ke<br />
komponen yang lainnya (Ruys, 2002).<br />
Pengembangan ini memiliki tujuan untuk membuat<br />
bahan komposit keramik yang lebih aplikatif.<br />
Ada beberapa metode yang biasanya<br />
digunakan dalam pembuatan FGMs salah satunya<br />
adalah metode infiltrasi. Teknik infiltrasi ini<br />
bertujuan untuk memadatkan bahan keramik<br />
berporous dengan cara mengisi pori-pori bahan<br />
tersebut dengan prekursor cair melalui proses<br />
pencelupan. Fasa baru akan terbentuk apabila bahan<br />
keramik yang telah diinfiltrasi dengan prekursor<br />
tersebut dipanaskan pada suhu tinggi, dan akan<br />
menghasilkan material dengan perubahan sifat antar<br />
bagiannya terjadi secara gradual. Dengan<br />
kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik<br />
yang berubah terhadap kedalaman, misalnya<br />
kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low,<br />
1998).<br />
Aluminium titanat (Al 2 TiO 5 atau AT)<br />
memiliki sifat, ketahanan terhadap kejut termal yang<br />
baik dan koefisien termal yang rendah yang<br />
menyebabkan terjadinya solid solution dengan MgO,<br />
SiO 2 dan ZrO 3 pada kisi AT atau grain boundary<br />
solution setelah electrofusion. Tetapi, AT memiliki<br />
kekuatan mekanik yang rendah dikarenakan<br />
microcracks yang disebabkan tingginya anisotropi<br />
dari koefisien ekspansi termal yaitu,−3.0, +11.8 dan<br />
+21.8×10−6/K untuk ketiga sumbu kristalografinya<br />
(Shobhani, 2008 dan Kim, 2000 dan Buscaglia,<br />
1996).<br />
AT memiliki crack pada batas butir dan<br />
merupakan fenomena yang mudah dikenali dalam<br />
bahan polikristalin rapuh yang menunjukkan<br />
perilaku anisotropi ekspansi termal. Microcracks<br />
yang dimiliki AT dapat memberikan efek yang besar<br />
pada sifat dari AT berbasis keramik seperti modulus<br />
elastisitas, kekuatan mekanis, konduktivitas termal,<br />
ekspansi termal dan ketahanan kejut termal<br />
(Wohlfromm, 1991).<br />
Tulisan ini melaporkan hasil karakterisasi<br />
mikrostuktur dari FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO<br />
dengan konsentrasi MgO sebesar 0 wt%, 2 wt%<br />
dan5 wt% menggunakan SEM dan EDX.<br />
C38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
METODE PENELITIAN<br />
FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO telah disintesis<br />
oleh Umaroh (2009) dengan AT sebagai matrik dan<br />
MgO sebagai penstabil. Sintesis dilakukan dengan<br />
menggunakan serbuk korundum (α-Al 2 O 3 atau A)<br />
sebagai prakeramik dan serbuk MgO dengan<br />
komposisi berat 0%, 2% dan 5% serta larutan TiCl 3<br />
sebagai prekursor. Infiltrasi prakeramik dilakukan<br />
sebanyak tiga kali pengulangan, sebelum sinter<br />
pada suhu 1450 o C selama 3 jam. Penelitian tersebut<br />
menunjukkan secara umum bahwa kandungan AT<br />
menurun berdasarkan kedalaman, dan sebaliknya<br />
kandungan korundum meningkat. Secara umum<br />
dapat disimpulkan infiltrasi berulang dapat<br />
meningkatkan kandungan AT, dengan penambahan<br />
MgO dapat mengurangi pembentukan AT, dan<br />
dengan jumlah MgO yang banyak dapat<br />
menghasilkan kandungan spinel yang lebih banyak<br />
pula. Kemudian dari uji dekomposisi menunjukkan<br />
dengan penambahan MgO pada FGMs A/AT-MgO<br />
dengan komposisi berat 2% dan 5% membuktikan<br />
proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari<br />
hasil yang telah diperoleh penambahan 2% MgO<br />
lebih efesien dalam mereduksi dekomposisi termal<br />
dibandingkan dengan penambahan 5% MgO.<br />
Namun, karakter mikrostruktur dari material FGMs<br />
A/AT-MgO ini belum terungkap. Untuk itulah<br />
penelitian ini diusulkan, untuk mengungkap karakter<br />
mikrostruktur maka akan dilakukan uji SEM dan<br />
EDX.<br />
Uji mikrostruktur bertujuan untuk mengetahui<br />
struktur mikro bahan. Uji ini dilakukan<br />
menggunakan Scanning Electron Microscope tipe<br />
JSM-6360 LA di Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) Bandung.<br />
Pengambilan foto dan data EDX dilakukan pada<br />
kedalaman 0-0,5 mm, untuk masing-masing bahan.<br />
Foto yang didapat akan dianalisis untuk<br />
mendapatkan ungkapan mengenai struktur mikro<br />
dari bahan. Data EDX dianalisis untuk mendapatkan<br />
ungkapan mengenai komposisi atomik pada tiap<br />
kedalaman yang dikehendaki dari bahan. Daerah<br />
akusisi data EDX dilakukan pada kedalaman yang<br />
disesuaikan dengan pengukuran XRD.<br />
HASIL dan PEMBAHASAN<br />
Mikrostruktur dari FGMs A/AT-MgO<br />
dianalisis menggunakan SEM dan EDX. SEM dan<br />
EDX yang digunakan adalah Scanning Electron<br />
Microscope tipe JSM-6360 LA di Pusat Penelitian<br />
dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)<br />
Bandung. Foto SEM dan EDX diambil pada<br />
berbagai variasi kedalaman sampel (0,0-0,4 mm)<br />
guna mengetahui mikrosruktur pada berbagai variasi<br />
kedalaman.<br />
Gambar 1 menunjukkan hasil foto SEM pada<br />
berbagai variasi kedalaman dan variasi komposisi<br />
MgO. Foto SEM tersebut menunjukkan bahwa telah<br />
terbentuk strukur AT pada FGMs A/AT-MgO hasil<br />
sintesis dengan infiltrasi berulang. Gambar 1a adalah<br />
mikrosruktur dari FGMs A/AT-MgO 0% MgO pada<br />
kedalaman 0,0 mm yang mengandung A dan AT.<br />
Kandungan A dan AT juga terdapat pada FGMs<br />
A/AT-MgO 2% MgO, gambar 1b dan 1c yang<br />
merupakan mikrosruktur dari FGMs A/AT-MgO 2%<br />
MgO pada kedalaman 0,0 dan 0,1 mm yang<br />
mengandung A dan AT dan terdapat solid solution<br />
Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 . Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO<br />
5% MgO ditunjukkan oleh gambar 1.d yang terdapat<br />
kandungan A, AT dan juga terbetuknya spinel.<br />
Gambar 2 menjukkan fenomena intragranular<br />
mikrocracks. Intragranular mikrocracks adalah<br />
mikrocracks yang terbentuk di antara butir.<br />
Intragranular mikrocracks pada butir AT<br />
merupakan salah satu ciri mikrostruktur dari AT.<br />
(Wohlfromm, 1991).<br />
Gambar. 1 Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO<br />
a. MgO 0 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />
b. MgO 2 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />
c. MgO 2 wt% pada kedalaman 0,1 mm<br />
d. MgO 5 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />
a<br />
c<br />
Intragranular<br />
microcracks<br />
Gambar 2. Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO yang menunjukkan<br />
intragranular mickrocracks.<br />
Dari hasil EDX diperoleh kandungan FGMs<br />
A/AT-MgO pada berbagai konsentrasi MgO dan<br />
berbagai variasi kedalaman. Dan hasil EDX ini<br />
digunakan untuk menkonfirmasi fraksi berat relative<br />
hasil perhitungan yang memanfaatkan parameter<br />
keluaran dari analisis data XRD yang telah<br />
dilakukan sebelumnya.<br />
Gambar 3 menunjukkan grafik fraksi berat<br />
relatif (%) unsur-unsur pada FGMs A/AT-MgO<br />
dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman<br />
0,0-0,4 mm dari unsur Al dan Ti yang merupakan<br />
data dari hasil EDX. Kandungan Al pada permukaan<br />
b<br />
d<br />
C39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
adalah 40,2 % dan meningkat secara gradual<br />
menjadi 49,3% pada kedalaman 0,4 mm. sebaliknya<br />
kandungan Ti menurun secara gradual berdasarkan<br />
kedalaman dari 5,5% pada permukaan dan 2,6%<br />
pada kedalaman 0,4 mm. Gambar 4 merupakan<br />
grafik hasil EDX dari FGMs A/AT-MgO dengan<br />
komposisi berat 2% MgO yang menunjukkan bahwa<br />
kandungan Al pada permukaan adalah 33,5 % dan<br />
meningkat secara gradual menjadi 44,5% pada<br />
kedalaman 0,4 mm. Sebaliknya kandungan Ti<br />
menurun secara gradual berdasarkan kedalaman dari<br />
16,3% pada permukaan dan 5,3% pada kedalamn 0,4<br />
mm. Untuk kandungan Mg dari percampuran jumlah<br />
MgO 2 wt% nilainya tidak sama pada setiap<br />
kedalaman yakni berkisar antara 1,3 % pada<br />
permukaan sampai dengan 1,6% pada kedalaman 0,3<br />
mm, dengan kata lain terjadi percampuran yang<br />
tidak homogen. Gambar 5 merupakan grafik hasil<br />
EDX dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />
berat 5% MgO menunjukkan kandungan Al pada<br />
permukaan adalah 33,8% dan meningkat secara<br />
gradual menjadi 45,3% pada kedalaman 0,4 mm.<br />
Sebaliknya kandungan Ti menurun secara gradual<br />
berdasarkan kedalaman dari 10,7 % pada permukaan<br />
dan 4.4% pada kedalamn 0,4 mm. Untuk kandungan<br />
Mg dari percampuran jumlah MgO 5% nilainya<br />
tidak sama pada setiap kedalaman yakni berkisar<br />
antara 2,2% pada kedalaman 0,2 mm sampai<br />
dengan 2,5 % pada kedalaman 0,3 mm , dengan kata<br />
lain terjadi percampuran yang tidak homogen dan<br />
hilangnya kandungan MgO.<br />
Massa (%)<br />
45<br />
40<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
Grafik 2% MgO (EDX)<br />
0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />
Kedalaman<br />
Gambar 4. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />
kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />
berat 2% MgO.<br />
Massa (%)<br />
45<br />
40<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
Grafik 5% MgO (EDX)<br />
0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />
Kedalaman<br />
Gambar 5. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />
kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />
berat 5% MgO.<br />
Mg<br />
Al<br />
Ti<br />
Mg<br />
Al<br />
Ti<br />
Massa (%)<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
Grafik 0% MgO (EDX)<br />
0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />
Kedalaman<br />
Gambar 3. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />
kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />
berat 0% MgO.<br />
AL<br />
Ti<br />
Hasil analisis EDX yang diperoleh sesuai<br />
dengan perhitungan dari data XRD yang telah<br />
dilakukan sebelumnya oleh Umaroh (2009) , bahwa<br />
pada FGMs dengan komposisi MgO 0 wt%, 2 wt%,<br />
5wt% kandungan A meningkat secara gradual<br />
berdasarkan kedalaman, tetapi sebaliknya AT<br />
menurun. Selain itu pada komposisi MgO 2 wt% dan<br />
5 wt% ditemukan fasa spinel hasil reaksi antara A<br />
dan Mg dari MgO yang jumlahnya meningkat secara<br />
gradual berdasarkan kedalaman.<br />
Hasil pengamatan mikrostruktur<br />
menunjukkan AT telah terbentuk dengan suhu sinter<br />
1450°C sesuai dengan penelitian yang telah<br />
dilakukan Low dan Oo (2008). Hasil mikrostruktur<br />
FGMs A/AT-MgO juga menunjukkan kegradualan<br />
komposisi yang berubah berdasarkan kedalaman.<br />
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan<br />
Pratapa (1998), yang menggunakan korundum<br />
(90%wt), TiCl 4 (30%wt) sebagai cairan infiltrasi dan<br />
m-zirkonia sebagai penstabil AT. Dari hasil sintesis<br />
tersebut didapatkan bahwa kandungan AT menurun<br />
secara gradual terhadap kedalaman, sebaliknya A<br />
semakin meningkat berdasar kedalaman. Pada hasil<br />
mikrostuktur FGMs A/AT-MgO didapat foto SEM<br />
C40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
yang menunjukkan adanya intragranular<br />
mikrocracks yang terdapat pada AT, hal ini juga<br />
terlihat pada penelitian yang dilakukan Wohlfromm<br />
(1991). Menurut Kim (2000), microcracks<br />
disebabkan tingginya anisotropi dari koefisien<br />
ekspansi termal sepanjang sudut kristalografi.<br />
KESIMPULAN<br />
FGMs A/AT-MgO dengan variasi komposisi<br />
MgO 0, 2, 5 wt%, memiliki karakteristik<br />
mikrostruktur yang menunjukkan komposisi<br />
kegradualan dengan jumlah AT yang menurun<br />
secara gradual menurut kedalaman sedangkan<br />
jumlah A yang meningkat secara gradual menurut<br />
kedalaman, hal tersebut sesuai dengan analisis data<br />
XRD yang telah dilakukan sebelumnya.<br />
Intragranular mikrocracks pada AT juga terlihat<br />
dari hasil foto mikrostuktur yang menunjukkan<br />
tingginya anisotropi dari koefisien ekspansi termal<br />
sepanjang sudut kristalografi.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Kami mengucapkan terima kasih kepada<br />
DP2M Dikti yang memberikan bantuan financial<br />
melalui Hibah Pasca Sarjana 2009/2010 atas nama<br />
SP.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Buessem, W.R., Thielke, N.R. dan Sarakauskas, R.V<br />
(1952), Thermal Expansion Hysteresis of<br />
Aluminium Titanate, Ceramic Age Vol. 60,<br />
38.<br />
Buscaglia, V, G. Battilana, M. Leoni and P. Nanni<br />
(1996),J. Mater. Sci. 31. 5009-5016.<br />
Djambazov, S., Lepkova, D. dan Ivanov, I (1994), A<br />
Study of the Stabilization of Aluminum<br />
Titanate, Jurnal of Material Science, Vol 29,<br />
2521-2525.<br />
Gusmahansyah, R (2008), Sintesis Bahan Ubahan<br />
Gradual Spinel-MgO dan Spinel–α–Al 2 O 3<br />
dengan Metode Infiltrasi ,Tesis, Jurusan<br />
<strong>Fisika</strong> FMIPA ITS, Surabaya.<br />
Hirai, T (1996). Functional Gradient Materials.<br />
Processing of Ceramics, (part 2), (ed. Brook<br />
R.J). 293-341.<br />
Ishitsuka, M., Sato, T., Endo, T. dan Shimada, M<br />
(1987), Syntesis and Thermal Stability of<br />
Aluminium Titanate Solid Solutions, J. Am.<br />
Ceramic Soc, Vol 2, 69-71.<br />
Ismunandar (2008), Artikel-Artikel Populer<br />
Keramik. Kimia@net<br />
Kim. I J (2000), Thermal Shock Resistance and<br />
Thermal Expansion Behavior of Al 2 TiO 5<br />
Ceramics Prepared from Electrofused<br />
Powders. Journal of Ceramic Processing<br />
Research. Vol 1, No.1, 57-63.<br />
Li, ji Guang dan Sun Xudong (2000), Syntesis and<br />
Sintering Behavior of A Nanocrystalline α-<br />
Alumina Powder. Acta mater, 48.<br />
Low, I.M. (2008), Reformation of Phase<br />
Composition in Decomposed Aluminium<br />
Titanate, Materials Chemistry and physics,<br />
vol 111, l 9-12.<br />
Marple BR dan Green DJ. (1989), Mullite/Alumina<br />
Particulate Composites by Infiltration<br />
Processing, J.Am. Cera. Soc, 72, 2043-2048.<br />
Ohya, Y. dan Nakagama, Z (1987), Grain-Boundary<br />
Microcracking due to Thermal Expansion<br />
Anisotropy in Aluminum Titanate Ceramics,<br />
J. Am. Ceramic. Soc., Vol 70, C-184-C-186.<br />
Pratapa, S. (1997), Syntesis and character of a<br />
functionally-graded<br />
aluminium<br />
titanate/ziconia alumina composite, M.Sc.<br />
Thesis, Curtin University of Technology,<br />
Australia<br />
Pratapa, S., Low, I.M. dan O’Connor, B.H. (1998),<br />
Infiltration-Processed, Functionally Graded<br />
Aluminium Titanate/Zirkonia-Alumina<br />
composite, Journal of Material Science, Vol<br />
33, 3037-3045.<br />
Ruys, A dan Sun,D. (2008), Functionally Graded<br />
Materials(FGM) and their product<br />
methods.Azom.com.<br />
Shobani, M., Rezaie, H.R. dan Naghizadeh, R.<br />
(2008), Sol-gel Syntesis of Aluminium<br />
Titanate (Al 2 TiO 5 ) Nano-particles, Journal of<br />
Materials Processing Technology, vol.206,<br />
282-285.<br />
Smallman, R.E, R.J. Bishop. (1999), Metalurgi Fisik<br />
Modern dan Rekayasa Material. Erlangga,<br />
Jakarta.<br />
Suasmoro. (2000), <strong>Fisika</strong> Keramik. Jurusan <strong>Fisika</strong><br />
FMIPA ITS, Surabaya.<br />
Surdia, T, dkk. (1999), Pengetahuan Bahan Teknik.<br />
PT Pradnya Paramita. Jakarta.<br />
Tu.Wen Chiang dan Fred F L. (1995), Liquid<br />
Precursor Infiltration Processing of Powder<br />
Compacts: I Kinetic Studies and<br />
Microstucture Development. Journal of The<br />
American Ceramic Society. Vol 78. 12.<br />
Umaroh, K.(2009), In-depth Phase Composition<br />
Profile of Functionally Graded alpha--<br />
Al 2 O 3 /MgO-Al 2 TiO 5 , Journal International<br />
Conference on Materials and Metallurgical<br />
Technology (ICOMMET 2009), IM-9, 33.<br />
Umaroh, K.(2009), Sintesis FGMs α- Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5<br />
Distabilisasi MgO dengan Metode Infiltrasi<br />
Berulang, Tesis, Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA, ITS.<br />
Zaharaescu, M., Crisan, M., Preda, M., Fruth, V. dan<br />
Preda, V. (2003), Al 2 TiO 5 –Based Ceramic<br />
Obtained by Hydrothermal Process, Journal<br />
of Optoelectronics and Advanced Materials,<br />
Vol 5, 1411-1416.<br />
Wohlfromm,H, Thierry E, Pilar P, Jose S.M,dan<br />
Gareth T. (1991). Microstuctural<br />
Characterization of Aluminium Titanatebased<br />
Composite Materials. Journal of the<br />
European ceramic society, 385-396<br />
C41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Penentuan Energi Gap n-Germanium Intrinsik<br />
Hasil Pengukuran Tegangan Hall Terhadap Suhu<br />
Jan Ady<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />
Kampus C, Jl. Mulyorejo Surabaya (60115)<br />
Jan_ady@yahoo.com<br />
Abstract<br />
Conductivity of intrinsic semiconductor is strongly depending on the band gap. The only available carriers for<br />
conduction are the electrons which have enough thermal energy to be exited across the band gap. In this study,<br />
measure the Hall voltage U H as function of temperature T at uniform magnetic flux density B, and plot readings<br />
on a graph. Hall effect on rectangular specimen in dimension (20 mm x 10 mm x 1mm) and use constant electric<br />
current in 30 mA. Band gap of semiconductors tends to decrease with increasing temperature [1] . Temperature<br />
increases, the amplitude of atomic vibrations increase with leading to larger intra-atomic spacing and here, the<br />
result to band gap’s have been founded by fitted of data’s n- Germanium both of theory and attempts is about<br />
0.3963 eV and the reference are about 0.55 eV and 0.67 eV (especially to 300 K).<br />
Key Words; Hall Effect, n-germanium, intrinsic,band gap<br />
PENDAHULUAN<br />
Energi gap semikonduktor cenderung<br />
berkurang dengan meningkatnya temperature [1,2] .<br />
Ketika temperature meningkat, amplitude<br />
gelombang dari vibrasi atomiknya akan meningkat.<br />
Fenomena ini secara kuantitatif diperlihatkan oleh<br />
persamaan (1).<br />
E<br />
g<br />
= E<br />
g<br />
2<br />
αT<br />
0 −<br />
(1)<br />
T + β<br />
( )<br />
Dimana E g , α , dan β merupakan tetapan<br />
kualitatif semikonduktor. Hal lainnya, energi gap<br />
semikonduktor dapat pula ditentukan dari ratio<br />
dalam kaitannya dengan teori yang dikemukakan<br />
⎛ ΔE<br />
⎞<br />
oleh Boltzmann yaitu ∝exp ⎜ ⎟ [3] . Kondisi ini<br />
⎝ kT ⎠<br />
secara eksplisit dijabarkan dalam persamaan (2) dan<br />
direpresentasikan sebagai hubungan antara<br />
konduktivitas listrik σ dengan temperature absolut<br />
T.<br />
E g<br />
⎛ ⎞<br />
σ = σ 0<br />
exp<br />
⎜ −<br />
⎟<br />
(2)<br />
⎝ 2kT<br />
⎠<br />
Dengan k menyatakan tetapan boltzmann.<br />
Eksperimen untuk penentuan energi gap<br />
semikonduktor intrinsik tipe-n dilakukan menurut<br />
deskripsi yang diperlihatkan oleh Gambar 1 [3,4] .<br />
A<br />
d<br />
S<br />
+ -<br />
U<br />
B<br />
Gambar 1. Efek Hall pada plat konduktor. Polaritas tegangan Hall<br />
Diindikasi untuk pembawa muatan listrik negatif<br />
Penomena ini menjelaskan tentang gaya<br />
lorentz F yang dihasilkan oleh efek fluks magnetik B<br />
dari adanya laju electron v<br />
[3,5] . Sebagaimana<br />
dinyatakan dalam persamaan (3) di bawah ini.<br />
v v<br />
F = e<br />
(3)<br />
v<br />
( vxB)<br />
U H<br />
+<br />
-<br />
V<br />
e adalah muatan listrik elementer.<br />
Dalam hal ini, jikalau arah arus listrik dan<br />
fuks medan magnet diketahui maka tegangan Hall<br />
dapat memiliki nilai yang negatif atau positif. Oleh<br />
karena itu percobaan ini akan mengukur nilai<br />
tegangan Hall sebagai fungsi dari temperatur absolut<br />
yang akan di plot pada kurva. Adapun spesifikasi<br />
sampel dalam uji ini adalan semikonduktor n-<br />
germanium intrinsik yang memiliki dimensi volum<br />
20 mm x 10 mm x 1 mm dan diletakkan pada modul<br />
Hall tipe -11801 00 [6] dalam skema seperti Gambar<br />
1.<br />
C42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
METODE PENELITIAN<br />
Dalam uji ini sampel n-germanium intrinsic<br />
(20 mm x 10 mm x 1 mm )yang diset seperti pada<br />
Gambar 1. Kemudian pengukuran tegangan Hall<br />
dilakukan terhadap temperature sampel dengan<br />
variasi 27 0 C sampai dengan 160 0 C dan dilakukan<br />
pada keadaan fluks magnet B dan kuat arus listrik<br />
sampel I konstan; 300 mT dan 30 mA. Penelitian ini<br />
dilakukan di laboratorium fisika material Fakultas<br />
Sains dan Teknologi <strong>Unair</strong>. Data yang diperoleh<br />
berupa hubungan non linier di antara tegangan Hall<br />
dan temperatur sampel.<br />
HASIL DAN BAHASAN<br />
Hasil plot data dalam kuva seperti pada<br />
Gambar 2. adalah hasil eksperimen tegangan Hall<br />
terhadap temperatur sampel dalam kisaran 27 0 C<br />
sampai dengan 160 0 C. Sementara itu, Gambar 3.<br />
merepresentasikan data-data hasil pengukuran<br />
konduktivitas listrik sampel n-germanium dalam<br />
hubungan terhadapat reciprocal temperature sampel.<br />
UH(Volt)<br />
22<br />
20<br />
18<br />
16<br />
14<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
n-Germanium<br />
I=30 mA<br />
d=1 mm<br />
Eksp<br />
2<br />
300 320 340 360 380 400 420 440<br />
t (Celcius)<br />
Gambar 2. Data-data hasil pengukuran tegangan Hall<br />
terhadap temperature sampel T<br />
Kemudian hasil perhitngan dilakukan<br />
terhadap data-data dalam Gambar 3. dengan<br />
menggunakan rumusan (2). Hasil perhitungan telah<br />
dilakukan dan diperoleh hasil yang merefleksikan<br />
sifat fisis sampel n-germanium intrinsik yaitu pada<br />
nilai energi gap-nya. Energi gap dari hasil penelitian<br />
ini adalah 0.3963 eV dan nilai Eg menurut referensi<br />
[6] adalah 0.55 eV. Sedangkan pada temperatur 300<br />
K, energi gap sampel n-germanium intrinsik<br />
menurut referensi [7] adalah 0.67 eV. Plot kurva<br />
konduktivitas listrik terhadapa reciprokal<br />
temperature absolut sampel ini dinyatakan dalam<br />
Gambar 4.<br />
U H<br />
zigma(1/Ohm)<br />
zigma(1/Ohm.m)<br />
Eks<br />
4<br />
3.5<br />
3<br />
2.5<br />
n-Germanium<br />
I=30 mA<br />
d=1 mm<br />
2<br />
1.5<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4<br />
4.5 x 10-4 1/T(1/K)<br />
x 10 -3<br />
Gambar 3. Data-data hasil pengukuran konduktivitas<br />
listrikσ terhadap 1/ temperature sampel (1/K)<br />
Eksp<br />
4<br />
Teori<br />
3.5<br />
3<br />
2.5<br />
n-Germanium<br />
I=30 mA<br />
d=1 mm<br />
2<br />
1.5<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4<br />
4.5 x 10-4 1/T(1/K)<br />
x 10 -3<br />
Gambar 4. Data-data hasil eksperimen (eks) dan perhitungan (fitt)<br />
nilai konduktivitas listrikσ terhadap 1/ temperature sampel (1/K)<br />
KESIMPULAN<br />
Hasil perhitungan dan eksperimen penentuan<br />
energi gap Eg sampel n-germanium telah diperoleh<br />
dan memperlihatkan hasil yang sesuai yaitu 0,39 eV<br />
dengan hasil yang diperoleh oleh Ben G. et. al [7]<br />
yaitu 0,55 eV dan pada temperatur 300 K atau<br />
temperatu kamar adalah 0.67 eV. Hasil ini juga<br />
merefleksikan eksperimen yang sesuai dengan<br />
beberapa peneliti yang lain, seperti yang telah<br />
dilakukan oleh Ben G. et. al. Selain itu energi gap<br />
semikonduktor cenderung berkurang dengan<br />
meningkatnya temperature [1,2] .<br />
C43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
REFERENSI<br />
[1] Hilmi, Unlu. A. Thermodynamic Model for<br />
Determining Pressure and Temperatur Effects<br />
on the Band Gap Energies and other<br />
Properties of some Semiconductors. Solid<br />
State Electronics, Vol 35:9, 1343-1352.<br />
Pergamon Press Ltd, 1992.<br />
[2] Robert et. All 10 dalam Intrinsic Conductivity<br />
of Germanium Carrier Board; Phywe System<br />
GmbH & Co. KG (2008).<br />
[3] Marder, M.P, Condensed Matter<br />
Physics,(Corrected Pinting, pp. 413, John<br />
Willey and Son., Inc.USA 2000).<br />
[4] Linxia Ma, Qinli zhao, dan Chi Chen, dalam<br />
Hole in Hall Effect ; Lat. Am. J. Phys. Educ.<br />
1-3 (2009).<br />
[5] Kittel, C., Introduction to Solid State Physics,<br />
(7 th edition, John Willey and Son, Inc.,USA p.<br />
206, 1995).<br />
[6] J. Wu, W. Walukiewicz, H. Lu, W. Schaff, et.<br />
al.; Unusual Properties of the Fundamental<br />
Bandgap of InN; Appl. Phys. Lett., 80, 3967<br />
(2002).<br />
[7] Streetman, Ben G.; Sanjay Banerjee (2000).<br />
Solid State electronic Devices (5th edition<br />
ed.). New Jersey Prenties Hall pp. 524. ISBN<br />
0-13-025538-6.<br />
C44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Doping Proton Cu 2+ Dan Fe 3+ pada Sintesis Room Temperature<br />
Interface Polianilin dan Karakterisasi Dielektrisnya<br />
Markus Diantoro<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Negeri Malang<br />
Email: m_diantoro@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Teknologi rekayasa material yang berkembang pesat akhir-akhir ini telah menemukan berbagai material yang<br />
mempunyai keunggulan tertentu. Salah satunya dengan ditemukannya polimer konduktif , telah membuktikan<br />
bahwa polimer yang selama ini dikenal sebagai bahan isolator listrik sekarang mempunyai sifat baru yang<br />
mampu menghantarkan arus listrik. Hal ini tentunya memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan<br />
teknologi, paduan sifat yang dimiliki polianilin (PANI) antara konduktif dan anti korosi memberikan peluang<br />
aplikasi yang luas. Sintesis PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ dilakukan dengan metode polimerisasi antarmuka<br />
(interfacial polymerization) sistem dua fasa organic-air (aqueous) dari monomer anilin dengan oksidan<br />
ammonium peroxydisulfat (NH 4 ) 2 S 2 O 8 , CuCl 2 , FeCl 3 dan HCl sebagai sumber doping proton. CuCl 2 dan FeCl 3<br />
pada proses polimerisasi Dapat terpecah menjadi Cu 2+ + 2Cl - dan Fe 3+ + 3Cl - . Cu 2+ dan Fe 3+ ini akan berikatan<br />
pada rantai PANI untuk menyumbangkan proton sehingga dapat meningkatkan konduktivitas PANI. Beberapa<br />
peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian serupa, namun belum dipaparkan secara detail pengaruh<br />
komposisi dari senyawa yang ditambahkan seperti CuCl 2 , AgCl 2 , NiCl 2 . Salah satu hasil dari penelitian tersebut<br />
menunjukkan peningkatan konduktifitas pada PANI-Ni menjadi 0,22 S cm –1 dari 0,13 S cm –1 . Pada penelitian ini<br />
Dari hasil analisis data diperoleh konstanta dielektrik PANI 1,45.10 5 pada PANI-Cu dengan konsentrasi CuCl 2<br />
yang ditambahakan pada polianilin 1,25%, 2 % dan 2,75% berturut-turut memiliki konstanta dielektrik sebesar<br />
1,07.10 5 , 8,80.10 4 , dan 8,56.10 4 . Sedangkan konstanta dilektrik PANI-Fe berturut-turut dari pencampuran<br />
konsentrasi FeCl 3 1,25%, 2%, dan 2,75% adalah 1,19 10 5 , 9,07 10 4 dan 8,43 10 4 . Berdasarkan Hasil Difraksi<br />
sinar-X memperlihatkan adanya beberapa puncak yang tajam sehingga dapat disimpulkan bahwa PANI, PANi-<br />
Cu 2+ dan PANi-Fe 3+ bersifat kristal.<br />
Kata kunci: Polianilin, CuCl2, FeCl3, Polimer Konduktif, Polimerisasi Interface, Dielektrisitas, XRD.<br />
PENDAHULUAN<br />
Teknologi rekayasa material yang<br />
berkembang pesat akhir-akhir ini telah menemukan<br />
berbagai material yang mempunyai keunggulan<br />
tertentu. Salah satunya dengan ditemukannya<br />
polimer konduktif telah membuktikan bahwa<br />
Polimer yang selama ini dikenal sebagai bahan<br />
isolator listrik sekarang mempunyai sifat baru yang<br />
mampu menghantarkan arus listrik. Hantaran listrik<br />
terjadi karena ada elektron ikatan terdelokalisasi,<br />
yang mempunyai struktur pita seperti silikon.<br />
Polimer konduktif kebanyakan semikonduktor,<br />
karena struktur pita mirip silikon. Tapi ada beberapa<br />
polimer yang mempunyai gap pita kosong sehingga<br />
bersifat seperti logam yang mempunyai<br />
konduktifitas. Polimer konduktif tersebut salah<br />
satunya adalah polianilin (PANI). Santhala (2007)<br />
menegaskan bahwa sifat-sifat yang dimiliki<br />
polianilin diantaranya sifat kimia,listrik dan optik<br />
menjadikan polianilin masuk ke dalam kelas baru<br />
yang unik. Hal ini tentunya menjadikan polimer<br />
memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan<br />
konduktif sehingga memungkinkan aplikasi yang<br />
luas dalam pekembangan teknologi, seperti pada<br />
baterai, peralatan elektrokromik, diode emisi cahaya<br />
dan berbagai sensor (termasuk sensor kimia dan<br />
biosensor).<br />
Berdasarkan tingkat oksidasinya, polianilin<br />
dapat disintesis dalam beberapa bentuk isolatifnya<br />
yaitu leucomeraldine base (LB) yang tereduksi<br />
penuh, emeraldine base (EB) yang teroksidasi<br />
setengah dan pernigraniline base (PB) yang<br />
teroksidasi penuh. Dari tiga bentuk ini, EB yang<br />
paling stabil dan juga paling luas diteliti karena<br />
konduktivitasnya dapat diatur dari 10 -10 S/cm hingga<br />
100 S/cm melalui doping, sedangkan bentuk LB dan<br />
PB tidak dapat dibuat konduktif. Bentuk EB dapat<br />
dibuat konduktif dengan doping asam protonik<br />
seperti HCl, dimana proton-proton ditambahkan ke<br />
situs-situs –N=, sementara jumlah elektron pada<br />
rantai tetap. Bentuk konduktif dari EB disebut<br />
emeraldine salt (ES). Bentuk dasar EB berubah<br />
menjadi ES melalui reaksi oksidasi dengan asamasam<br />
protonik seperti HCl, sebaliknya bentuk ES<br />
dapat dikembalikan menjadi bentuk EB melalui<br />
reaksi reduksi dengan agen reduktan seperti NH 4 OH,<br />
seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Kedua proses<br />
ini disebut juga proses protonasi-deprotonasi atau<br />
doping-dedoping. Kedua bentuk emeraldine<br />
memiliki sifat listrik yang berkebalikan, EB yang<br />
isolatif dan ES yang konduktif atau semikonduktif.<br />
C45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sifat optiknya juga berbeda untuk kedua bentuk<br />
emeraldine, yaitu EB berwarna biru sedangkan ES<br />
berwarna hijau sehingga karakteristik absorpsi<br />
optiknya berbeda<br />
Gambar 1: Reaksi protonasi-deprotonasi PANI<br />
Akhir-akhir ini banyak dilakukan penelitian<br />
dengan mencampurkan senyawa logam seperti<br />
NiCl 2 , AgCl 2 dan CuCl 2 pada sintesis PANI, namun<br />
dalam laporan tersebut belum dilaporkan secara<br />
detail pengaruh dari komposisi senyawa logam<br />
terhadap perubahan sifat elektriknya. Salah satu<br />
diantaranya adalah Y. Tan (2009) melaporkan<br />
pencampuran senyawa logam NiCl 2 pada sintesis<br />
PANI berpengaruh pada nilai konduktifitasnya yaitu<br />
sebesar 0.22 S cm –1 dan PANI 0.13 S cm –1 .<br />
Berdasarkan penelitian tersebut dapat dibuktikan<br />
bahwa penambahan senyawa logam yang konduktif<br />
dapat berpengaruh pada peningkatan konduktifitasnya.<br />
Berdasarkan pada referensi tersebut, maka pada<br />
penelitian ini digunakan doping senyawa logam<br />
CuCl 2 dan FeCl 3 yang berperan sebagai doping<br />
proton Cu 2+ dan Fe 3+ dengan harapan mampu<br />
meningkatkan konduktifitas PANI.<br />
EKSPERIMEN<br />
Bahan-bahan<br />
Polimerisasi polianilin (PANI) dilakukan secara<br />
kimia. Bahan-bahan yang digunakan adalah<br />
Anilin (C 6 H 5 NH 2 ), Ammonium peroksidisulfat<br />
(NH 4 ) 2 S 2 O 8 , Asam klorida (HCl ) 0,2 M, Copper<br />
Chloride (CuCl 2 ), Iron Chloride (FeCl 3 ), aquades<br />
dan Aceton.<br />
Proses polimerisasi interface<br />
Sintesis PANI dilakukan dengan polimerisasi<br />
interface pada suhu kamar. Dengan mengacu metode<br />
yang telah dikembangkan oleh beberapa kelompok<br />
peneliti. Langkah- langkah yang dilakukan<br />
dijelaskan berikut ini. Pertama dibuat dua larutan<br />
secara terpisah yaitu larutan HCl 0,2M (50 ml)<br />
dengan anilin (1,82 ml) sebagai fasa organik dan<br />
larutan aquades (50 ml) dengan ammonium<br />
peroksidisulfat (5,7 gr) sebagai fasa aqueos. Untuk<br />
masing-masing doping yaitu CuCl 2 dan FeCl 3<br />
ditambahkan pada larutan HCl-Anilin dengan<br />
konsentrasi yang bervariasi. Setelah kedua larutan<br />
tersebut didiamkan selama 1 jam, kemudian<br />
dicampurkan kedalam wadah kimia tanpa diaduk.<br />
Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat<br />
polimerisasi mulai berlangsung pada batas<br />
(interface) fasa organik dan fasa air. Proses ini<br />
dibiarkan selama 24 jam untuk memberikan waktu<br />
terjadi polimerisasi lengkap. Produk berupa endapan<br />
PANI-CuCl 2 dan PANI-FeCl 3 dikumpulkan dan<br />
dimurnikan melalui filtrasi, kemudian dibilas dengan<br />
HCl untuk memastikan bahwa produk yang<br />
terpentuk adalah PANI(ES)-Cu dan PANI(ES)-Fe<br />
dan aceton untuk mencuci residu dari (NH 4 ) 2 S 2 O 8.<br />
Karakterisasi<br />
Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji<br />
difraksi dengan menggunakan XRD (X-ray<br />
Diffraction) untuk melihat kristalinitas dan<br />
karakterisasi konstanta dielektris dengan metode<br />
kapsitansi listrik. Konstanta dielektris ditentukan<br />
melalui persamaan sebagai berikut:<br />
.......................................(1)<br />
.......................................(2)<br />
ɛ o = Permitivitas ruang hampa 8,85 pF/m<br />
A = Luas permukaan bahan (m)<br />
K=Konstanta dielektrik<br />
= Permitivitas bahan dielektrik<br />
C = kapasitansi (Farad)<br />
d = tebal bahan(m)<br />
HASIL EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN<br />
Proses Polimerisasi<br />
Proses polimerisasi terbentuk pada batas<br />
antaramuka (interface) antara fasa organik yang<br />
mengandung anilin dan fasa air. Saat kedua larutan<br />
anilin -HCl- CuCl 2 /FeCl 3 dan (NH 4 ) 2 S 2 O 8 -Aquades<br />
dicampurkan ke dalam satu wadah gelas kimia,<br />
kedua larutan terpisah karena berbeda fasa, larutan<br />
anilin- HCl- CuCl 2 /FeCl 3 berada dibawah dan<br />
larutan (NH 4 ) 2 S 2 O 8 -Aquades berada di sebelah atas.<br />
Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat<br />
berlangsung polimerisasi anilin pada batas kedua<br />
fasa larutan. Proses ini dibiarkan sepanjang malam<br />
untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi<br />
lengkap. Produk berupa endapan PANI- CuCl 2 /<br />
FeCl 3 berwarna hijau gelap terkumpul pada bagian<br />
bawah wadah. Adanya residu yang tersisa sangat<br />
mempengaruhi kualitas PANI-CuCl 2 /FeCl 3 yang<br />
dihasilkan. Oleh karena itu spesies yang tidak<br />
bereaksi harus dihilangkan untuk meningkatkan<br />
kualitas PANI yang disintesis. PANI yang terbentuk<br />
disintesis dengan HCl pada endapan untuk<br />
menghilangkan residu (NH 4 ) 2 S 2 O 8 yang tidak<br />
bereaksi. Sedangkan pencucian dengan aceton<br />
bertujuan untuk menghilangkan residu anilin yang<br />
tidak bereaksi. CuCl 2 dan FeCl 3 pada proses<br />
polimerisasi Dapat terpecah menjadi Cu 2+ + 2Cl - dan<br />
Fe 3+ + 3Cl - . Cu dan Fe ini akan berikatan pada<br />
rantai PANI untuk menyumbangkan proton<br />
C46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sehingga dapat meningkatkan konduktivitas PANI<br />
dan akan terbentuk PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ .<br />
Kristalografi PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+<br />
XRD yang digunakan untuk uji analisis<br />
struktur sampel pada penelitian ini menggunakan<br />
sumber radiasi (target) Cu-K α dengan panjang<br />
gelombang 1,5406 amstrong. Karakterisasi ini<br />
dilakukan untuk mengetahui kristalinitas sampel<br />
PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ . Pola difraksi<br />
sampel PANI dan PANI Cu 2+ diperlihatkan pada<br />
gambar 3 dan 4 Dengan variasi konsentrasi doping<br />
CuCl 2 dan FeCl 3 yaitu 1,25%, 2% dan 2,75%.<br />
Prosentase CuCl 2 dan FeCl 3 diperoleh dari volume<br />
larutan Anilin-HCl (51,82 mL).<br />
Intencity<br />
Intencity<br />
Intencity<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
80000<br />
60000<br />
40000<br />
20000<br />
0<br />
8000<br />
7000<br />
6000<br />
5000<br />
4000<br />
3000<br />
2000<br />
1000<br />
0<br />
-1000<br />
0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />
2-tetha<br />
Gambar 2: Hasil XRD Polianilin<br />
polianilin<br />
0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />
2 Theta<br />
Gambar 3:Hasil XRD polianilin-Cu<br />
PANI-Cu 1,25%<br />
PANI-Cu 2%<br />
PANI-Cu 2,75%<br />
0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />
2 Theta<br />
Gambar 4: Hasil XRD Polianilin-Fe<br />
PANI Fe 1,25%<br />
PANI Fe 2%<br />
PANI Fe 2,75%<br />
Pada pola difraksi tersebut memperlihatkan<br />
puncak tajam PANI pada 2θ = 4,97 o , 20,57 o dan<br />
25,41 o . Dengan adanya beberapa puncak tersebut,<br />
hal ini mengidentifikasikan bahwa PANI yang<br />
dihasilkan bersifat kristalin. Pada literatur (Wibowo<br />
Arie,2007) puncak difraksi PANI terletak pada 2θ =<br />
15 o , 20 o dan 25 o . berdasarkan literatur tersebut,<br />
mengalami sedikit perbedaan posisi puncak yaitu<br />
pada puncak pertama dimana pada literatur 2θ = 15 o<br />
sedangkan pada PANI yang disintesis 2θ = 14,97 o<br />
hal ini sedikit perbedaan pada ukuran pola<br />
periodisitas kristalin.<br />
Untuk PANI dengan doping CuCl 2 (PANI-<br />
Cu) juga memperlihatkan beberapa puncak tajam hal<br />
ini juga mengindikasikan bahwa PANI-Cu juga<br />
bersifat kristalin. PANI-Cu 1,25% puncak tajam<br />
terdapat pada 2θ = 16,34 o , 21,50 o dan 23,81 o .<br />
Berdasarkan data acuan ICDD untuk CuCl 2 dan Cu,<br />
salah satu puncak CuCl 2 terletak pada 2θ = 16,40 o<br />
sedangkan untuk Cu baru memperlihatkan adanya<br />
puncak tajam pada 2θ diatas 43 o. Berdasarkan hal<br />
tersebut dapat diketahui PANI-Cu 1,25% pada 2θ =<br />
16,34 o adalah pucak dari CuCl 2 , 50.57 o merupakan<br />
puncak dari Cu dan puncak PANI-Cu1,25% pada 2θ<br />
= 21,50 o adalah puncak dari PANI. Untuk PANI-Cu<br />
2% puncak tajam terdapat pada 2θ = 11,56 o , 21,25 o ,<br />
23,69 o dan 26,16 o . beberapa puncak CuCl 2 juga<br />
terdapat pada 2θ=26,03 o dan 22,15 o sehingga dapat<br />
diidentifikasi bahwa puncak PANI-Cu 2% pada 2θ<br />
=23,69 o dan 26,16 o adalah puncak dari CuCl 2 yang<br />
sedikit bergeser, sedangkan Cu terdapat pada sudut<br />
difraksi 43.14 o dan 50.66 o . Dengan demikian<br />
PANI-Cu 2% pada 2θ = 21,25 o adalah puncak dari<br />
PANI yang bergeser kekanan. Pada PANI-Cu 2,75%<br />
puncak tajam terdapat pada 2θ = 21,21 o , 23,55 o ,<br />
25,25 o dan 31,38 o . Beberapa puncak dari CuCl 2<br />
tedapat pada 2θ = 22,15 o dan 30,80 o sehingga dapat<br />
diidentifikasikan bahwa puncak PANI-Cu 2,75%<br />
pada 2θ =23,55 o dan 31,38 o adalah puncak dari<br />
CuCl 2 yang sedikit bergeser dan untuk puncak<br />
PANI-Cu 2,75% pada 2θ = 21,21 o adalah puncak<br />
dari PANI yang bergeser kekanan, sedangkan<br />
puncak Cu terdapat pada sudut 51.02 o . Berdasarkan<br />
analisis pola difraksi sampel PANI-Cu tersebut,<br />
tidak terdapat puncak dari Cu itu sendiri sehingga<br />
dapat disimpulkan bahwa doping CuCl 2 disini, pada<br />
waktu polimerisasi berlangsung senyawa ini belum<br />
bisa terpecah secara sempurna menjadi Cu 2+ + 2Cl - .<br />
Sehingga masih terdapat puncak dari CuCl 2 dan Cu<br />
pada pola difraksi. Untuk puncak PANI-Cu yang<br />
tidak teridentifikasi berdasarkan data acuan dan<br />
literatur, hal ini bisa disimpulkan puncak dari sub<br />
komponen bahan lain yang terdapat pada bahan yang<br />
disintesis. Sehingga terdapat puncak lain pada pola<br />
difraksi.<br />
Hasil XRD polianillin-Fe pada gambar 4<br />
diatas menunjukkan bahwa bahan tersebut bersifat<br />
kristal. Pani dan pani-Fe memiliki puncak-puncak<br />
yang sama, namun terdapat beberapa pergeseran<br />
C47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sudut difraksi yang diakibatkan oleh adanya desakan<br />
dari ion lain yang masuk dalam rantai polianilin.<br />
Puncak-puncak pada polianilin-Fe menunjukkan<br />
sifat komposit seperti pada seluruh penelitian<br />
sebelumnya, karena terdapat beberapa puncak yang<br />
merupakan puncak dari Fe dan FeCl 3 , hal ini<br />
disebabkan pemecahan senyawa FeCl 3 tidak<br />
berlangsung sempurna selama proses polimerisasi<br />
yang seharusnya menjadi Fe 3+ dan 3Cl - . Puncakpuncak<br />
yang dihasilkan oleh polianilin yaitu pada<br />
sudut difraksi 12.82 , 16.52 , 18.41 ,<br />
20.94 ,22.11 , 24.41 , 25.58 , 27.43 ,<br />
29.77 , 31.85 . Analisis dari hasil XRD<br />
polianilin-Fe pada pencampuran FeCl 3 1,25%<br />
menunjukkan adanya puncak Fe dan FeCl 3, hasil ini<br />
mengacu pada data acuan tabel 2010 International<br />
Centre for Diffraction Data (ICDD) dari Fe dan<br />
FeCl 3 , yaitu pada sudut difraksi 44,18 menunjukan<br />
puncak yang dimiliki oleh Fe dan pada sudut<br />
difraksi 19,77 dan 26,53 menunjukkan puncak<br />
senyawa FeCl 3 . Analisis XRD Pani-Fe (FeCl 3 2 %)<br />
menunjukkan hasil yang serupa, yaitu masih terdapat<br />
puncak dari Fe dan FeCl 3 . Puncak pada sudut<br />
difraksi 44,18 dan 66,25 merupakan puncak dari<br />
Fe, sedangkan pada sudut difraksi 15,16 dan<br />
50,8 menunjukkan puncak FeCl 3 . Untuk<br />
pencampuran FeCl 3 2,75 % menunjukkan hasil yang<br />
sama dengan pani-fe yang lain, yakni puncak Fe<br />
terdapat pada sudut difraksi 44,18 dan puncak<br />
FeCl 3 pada 30.9 .<br />
Pada PANI-Fe dan PANI-Cu terjadi<br />
pergeseran sudut difraksi puncak ke arah kiri, hal ini<br />
disebabkan oleh pengaruh dari jari-jari Fe dan Cu<br />
yang lebih besar sehingga menyebabkan jarak antar<br />
atom menjadi semakin besar. Berdasarkan pada<br />
hukum Bragg 2d sin , sehingga sudut difraksi<br />
yang dihasilkan menjadi lebih kecil.<br />
Dielektrisitas PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+<br />
Karakterisasi kapasitansimeter untuk<br />
mengetahui kapasitansi bahan yang kemudian diolah<br />
dengan persamaan (1) dan (2) untuk memperoleh<br />
informasi konstanta dielektrisnya. Berdasarkan<br />
karakterisasi tersebut nilai konstanta dielektris untuk<br />
sampel PANI dengan variasi doping CuCl 2 dan<br />
FeCl 3 adalah menurun seiring dengan bertambahnya<br />
konsentrasi CuCl 2 dan FeCl 3 yang didopingkan.<br />
No. Komposisi Konstanta dielektris<br />
CuCl 2 dan FeCl 3 PANI-Cu PANI-Fe<br />
1 0 % 1,45.10 5 1,45.10 5<br />
2 1,25 % 1,07.10 5 1,19. 10 5<br />
3 2% 8,80.10 4 9,07.10 4<br />
4 2,75 % 8,56.10 4 8,43.10 4<br />
Tabel 1: Tabel komposisi doping dan konstanta dielektris<br />
Konstanta dielektrik menunjukkan ukuran<br />
kemampuan suatu bahan untuk menyimpan muatan.<br />
Sampel dalam eksperimen ini yang telah berbentuk<br />
pellet diuji dielektrisitasnya dengan menggunakan<br />
kapasitansi meter. Pembacaan alat yang diperoleh<br />
berupa data kapasitansi bahan yang kemudian<br />
dikonversi ke dalam nilai konstanta dielektriknya.<br />
Pencampuran CuCl 2 dan FeCl 3<br />
mengakibatkan penyumbangan proton Cu 2+ dan<br />
Fe 3+ sehingga berpengaruh pada peningkatan<br />
konduktifitas polianilin. Penelitian yang dilakukan<br />
peneliti lain, salah satunya oleh Y. Tan (2009)<br />
dengan mendoping NiCl 2 memaparkan hasil berupa<br />
peningkatan konduktifitas polianilin sebesar 0.22 S<br />
cm –1 dari 0.13 S cm –1 , namun tidak dipaparkan<br />
pengaruh variasi komposisi NiCl 2 yang dicampurkan<br />
pada sintesis polianilin. Pada penelitian ini<br />
dilakukan karakterisasi dielektrisitas yang memiliki<br />
hubungan berbanding terbalik dengan konduktifitas.<br />
Penambahan CuCl 2 dan FeCl 3 mengakibatkan<br />
pergeseran atom sehingga jarak antar atom yaitu<br />
semakin besar, karena jari-jari Cu dan Fe lebih<br />
besar, akibatnya dielektrisitas bahan menurun. Hasil<br />
karakterisasi konstanta dielektrik polianilin sebesar<br />
1,45 10 5 , sedangkan konstanta dilektrik pani-Fe<br />
berturut-turut dari pencampuran konsentrasi FeCl 3<br />
1,25%, 2%, dan 2,75% adalah 1,19 10 5 , 9,07 10 4 dan<br />
8,43 10 4 . Konstanta dielektrik pada Pani-Cu dengan<br />
konsentrasi CuCl 2 yang ditambahakan pada<br />
polianilin 1,25%, 2 % dan 2,75% berturut-turut<br />
memiliki konstanta dielektrik sebesar 1,07.10 5 ,<br />
8,80.10 4 , dan 8,56.10 4 . Hasil penelitian ini<br />
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi<br />
senyawa logam yang ditambahakan dalam penelitian<br />
ini yaitu CuCl 2 dan FeCl 3 memberikan pengaruh<br />
pada penurunan konstanta dielektriknya.<br />
KESIMPULAN<br />
Polimer konduktif polianilin-Cu dan<br />
polianilin Fe telah disintesis dengan menggunakan<br />
polimerisasi interface pada suhu ruang.<br />
Pencampuran senyawa CuCl 2 dan FeCl 3<br />
menyumbangkan proton Cu 2+ dan Fe 3+ yang<br />
berpengaruh pada penurunan konstanta dielektrisnya<br />
hal ini mengidentifikasikan bahwa konduktifitas<br />
bahan tersebut meningkat seiring bertambahnya<br />
konsentrasi doping CuCl 2 dan FeCl 3 . Berdasarkan<br />
hasil XRD menunjukkan PANI, PANI-Cu dan<br />
PANI-Fe bersifat kristalin, hal ini ditunjukkan<br />
dengan adanya beberapa puncak tertinggi yang<br />
muncul pada sudut difraksi yang terdapat pada<br />
rentang yang hampir sama.<br />
C48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
C.Valsangia &M. Sima.2004.A Microscopic Analyze<br />
of the Conductor Mechanism of Iron Doped<br />
Polyaniline Under UV Exposure. Romanian<br />
reports in Physic,Vol 56,No.4,P.645-650.<br />
Romania:University of Bucharest.<br />
Maddu, Akhiruddin dkk. 2008. Sintesis dan<br />
Nanoserat Polianilin. Jurnal Nanosains &<br />
Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Vol. 1 No.2.<br />
juli 2008<br />
Nugraha, Yudi.2007. Struktur Lapisan Tipis<br />
Sno2:Sb-Nio Dan Sifat Optik Poli Anilin.<br />
Tesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung.<br />
Razak Abdul ,Saiful Izwan. 2009.Polymerisation of<br />
Protonic Polyaniline/Multi-Walled Carbon<br />
Nanotubes Manganese Dioxide Nanocomposites.Journal<br />
of physical Science, vol<br />
20(1),27-34.Malaysia: University sains<br />
Malaysia<br />
Reza Nabid, Mohammad Golbabae, Maryam, 2008.<br />
Polyaniline/TiO2 Nanocomposite: Enzymatic<br />
Synthesis and Electrochemical<br />
Properties.Int.J.Electrochem.Sci.,3,1117-<br />
1126.Iran<br />
Patil, Shantala. D., Raghavendra, S.C.,<br />
Revvansiddappa,M.,Narsimha,P., and Prasad,<br />
M.V.N Ambika.2007. Synthesis ,transport<br />
and dielectric properties of<br />
polyaniline/Co3O 4 composite.<br />
Bull. Mater. Sci,Vol.30, NO.2,pp.89-92.Indian<br />
Academy of science.<br />
Setyawati, Ika. 2010. Pengaruh Variasi Suhu<br />
Sintering Terhadap Konduktivitas Senyawa<br />
Termistor Zn 0,95 Mn0,05 Fe 2 0 4 . Malang:<br />
Universitas Negeri Malang.<br />
Sri, dkk.1998.Analisis Konduktivitas Bahan<br />
Polianilin Sebagai Fungsi Konsentrasi<br />
Elektrolit. Laporan Penelitian.Bandung:<br />
Universitas Padjadjaran.<br />
Stafstrom,S., Bredas.1987.Polaron Lattice in High<br />
Conducting Polyanilin: Theoretical and<br />
optical studies. Physical review<br />
Letters,Vol.59,Number 13.Belgium.<br />
Stejskal,J. 2002. Polyaniline. Preparation of A<br />
Conducting Polymer. IUPAC Technical<br />
Report.Pure Appl. Chem.,Vol.74,No.5, pp.<br />
857-867.Australia:University Of Sydney.<br />
Taswa,dkk. 2006. Kamus Lengkap <strong>Fisika</strong>. Jakarta:<br />
Bumi Aksara<br />
Vaschettoa ,Mariana E., Monkman, Andrew<br />
P.,Springborg, Michael.1999. First-principles<br />
studies of some conducting polymers: PPP,<br />
PPy,PPV, PPyV, and PANI.Journal of<br />
Molecular Stucture (Theochem) 468,181-<br />
199.Germany<br />
Van Vlack, L.H. 2008. Elemen-Elemen Ilmu Dan<br />
Rekayasa Material Edisi Keenem. Jakarta:<br />
Erlangga.<br />
Wallace, G. Gordon, Spinks, M Geoffrey,Kane-<br />
Maguire, Teasdale, Peter.R.2009.<br />
Conductive Electroactive polymers<br />
(Intelligent Polymer System).Perancis:CRC<br />
Pres..<br />
Wibowo Arie. 2007. Sintesis dan Karakterisasi<br />
Polianilin Sebagai material Aktif Dalam<br />
Plastic solar Cells. Tesis. Bandung: ITB<br />
Wisnu, dkk. 2004.Faktor Koreksi Dimensi Sampel<br />
Pada Sifat Listrik Superkonduktor<br />
Yba2cu3o7-X Dengan Menggunakan<br />
Metode Four Point Probe.Bandung: BATAN.<br />
Yusi, dkk. 2007. Pengamatan Doping Secara In Situ<br />
Pada Poly(Heksa Trofen) Dengan<br />
Menggunakan Spektrometer UV-Vis,<br />
Majalah Polymer Indonesia, Vol 10, No.1<br />
C49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Aplikasi Material Piezoelektrik PVDF Film<br />
Mochammad Nasir 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Taufik Arif Setyanto 2<br />
1 Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya<br />
2 UPT Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika – BPPT<br />
Jl. Hidrodinamika Kompleks ITS Sukolilo Surabaya<br />
Email : nasir08.lhi@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Sejak ditemukannya efek piezoelektrik pada material Polyvinylidene Fluoride (PVDF) film, aplikasi material ini<br />
sebagai sensor maupun aktuator terus berkembang. Paper ini merupakan aplikasi material piezoelektrik jenis<br />
film PVDF sebagai sensor impact, yaitu sensor yang berfungsi untuk mengukur beban impact benturan benda<br />
yang mengenai sensor tersebut. Salah satu aplikasi sensor ini digunakan untuk mengetahui respon benturan pada<br />
proses mating pada pengujian bangunan lepas pantai. Dalam disain sensor tersebut lembaran material<br />
Piezoelektrik PVDF film sebagai sensing elemen dibentuk melingkar sesuai dengan dimensi permukaan struktur<br />
yang diukur. PVDF film tersebut dilapisi dengan material karet dan metal. Ketika sensor ini dikenai beban<br />
impact, maka element PVDF film mengeluarkan tegangan listrik yang proporsional dengan beban impact yang<br />
mengenainya, tegangan output ini diperkuat oleh rangkaian pengondisi sinyal yang selanjutnya direkam oleh<br />
sistem data akuisisi menggunakan program LabView. Untuk mengetahui karakteristik sensor dilakukan proses<br />
kalibrasi sensor tersebut baik secara statis maupun dinamis dengan menggunakan loadcell transducer sebagai<br />
referensi. Sensor PVDF film ini dapat juga diaplikasikan pada dunia kedokteran untuk mendeteksi tekanan nadi<br />
manusia.<br />
Kata kunci : Piezoelektrik, PVDF Film, Sensor Impact, Beban Impact.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Salah satu tahapan pengujian proses<br />
launching bangunan lepas pantai adalah pengukuran<br />
beban impact antara struktur yang saling<br />
berhubungan. Untuk maksud tersebut dibutuhkan<br />
sensor mekanis yang diharapkan bisa mengukur<br />
beban impact. Sensor mekanis berbasis strain gauge<br />
saat ini merupakan sensor mekanis yang paling<br />
popular untuk pengukuran beban impact yang relatif<br />
besar. Akan tetapi pada beberapa kasus, seperti<br />
halnya pengujian bangunan lepas pantai ini, sensor<br />
mekanis dengan menggunakan strain gauge<br />
mengalami beberapa kendala baik dari segi dimensi,<br />
berat dan fleksibilitasnya.<br />
Untuk tujuan pengujian tersebut maka<br />
dirancang sensor lain berbasis material piezoelectrik.<br />
Salah satu material piezoelectrik yang dipakai untuk<br />
sensor ini adalah polyvinylidene fluoride (PVDF)<br />
film. Berdasarkan sifat sifat material tersebut maka<br />
sensor mekanis berbasis material Piezoelectrik<br />
PVDF film ini sangat baik digunakan untuk<br />
pengukuran beban-beban dinamis (Taufiq AS, et al,<br />
2005) sehingga desain sensor jenis ini sangat baik<br />
untuk pengukuran beban impact pada proses<br />
pengujian bangunan kelautan.<br />
Untuk menentukan karakteristik dari sensor<br />
piezoelectrik PVDF film tersebut, maka perlu<br />
dilakukan proses kalibrasi sensor. Karena sensor<br />
piezoelectrik PVDF film ini bersifat kapasitif<br />
dengan impedansi output yang tinggi maka<br />
diperlukan sebuah rangkaian Charge amplifier<br />
sebagai rangkaian pengkondisi sinyal. Pada proses<br />
kalibrasi sensor tersebut menggunakan NI_USB<br />
DAQ 6008 dan program LABVIEW 2009 sebagai<br />
sistem data akuisisinya. Sedangkan beban yang<br />
diukur dibandingkan juga dengan sensor mekanis<br />
lainnya yaitu loadcell transducer sebagai alat ukur<br />
referensi.<br />
2. KAJIAN PUSTAKA<br />
Sejak ditemukannya efek-efek piezoelektrik<br />
pada bahan PVDF Film oleh Kawai (Kawai H.,<br />
1969), material ini telah banyak digunakan dalam<br />
bermacam-macam aplikasi, khususnya sebagai<br />
sensor dan aktuator (Boleslaw et al, 2001). Suatu<br />
bahan piezoelektrik dapat mengubah deformasi<br />
mekanik menjadi medan listrik yang setara dan<br />
sebaliknya dapat mengubah medan listrik yang<br />
dikenakan padanya menjadi deformasi mekanik<br />
yang setara (Gautschi, G., 2002). PVDF film<br />
mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, di<br />
antaranya adalah: fleksibel, ringan, mampu bekerja<br />
pada pita frekuensi yang sangat lebar, dan juga<br />
tersedia dalam berbagai bentuk ketebalan dan<br />
luasan. Di samping itu, film PVDF dapat<br />
ditempelkan secara langsung pada material lain<br />
(misalnya karet, baja) dengan menggunakan bahan<br />
perekat, tanpa mengakibatkan kerusakan pada<br />
material maupun PVDF filmnya.<br />
Apabila PVDF film terdeformasi secara<br />
mekanik, maka partikel penyusunnya menjadi<br />
terpolarisasi sehingga menimbulkan konsentrasi<br />
muatan listrik pada masing - masing permukaannya.<br />
C50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Besarnya konsentrasi muatan listrik yang terbentuk<br />
ini dapat dinyatakan dalam dua mode persamaan,<br />
yaitu charge mode dan voltage mode (Ehag, 1999).<br />
Untuk charge mode berlaku:<br />
Q = d 31 σ i A (i = 1,2, atau 3)<br />
Dimana<br />
Q : muatan listrik yang dihasilkan<br />
σ i : tekanan mekanik pada arah yang relevan<br />
d 31 : konstata piezoelektric (PVDF Film)<br />
A : area aktif dari PVDF film<br />
Sedangkan untuk voltage mode berlaku:<br />
Vo<br />
= g 31 σ i t<br />
Dimana :<br />
Vo : tegangan open loop<br />
σ i : tekanan mekanik pada arah yang relevan<br />
g 31 : konstata piezoelektric (film PVDF)<br />
t : tebal film PVDF<br />
Gambar dibawah ini menunjukkan sumbu-sumbu<br />
elemen piezoelektrik dan cara melekatkan elemen<br />
film PVDF pada sebuah struktur.<br />
Gambar 2 : Desain Sensor Impact PVDF Film<br />
3.2. Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />
Output dari sensor PVDF film adalah muatan<br />
listrik yang nilainya dalam orde pico coulomb. Nilai<br />
output terlalu kecil untuk umumnya piranti ukur<br />
seperti voltmeter atau osciloskop, Sehingga<br />
diperlukan suatu pengondisi sinyal yang berfungsi<br />
sebagai penguat tegangan pengukuran. Pada<br />
penelitian ini menggunakan charge mode amplifier<br />
dengan salah satu pertimbangan bahwa pada mode<br />
ini panjangnya kabel konduktor tidak akan<br />
berpengaruh pada sinyal output. Desain lengkap<br />
rangkaian pengkondisi sinyal diberikan pada gambar<br />
3. Rangkaian terdiri atas dua unit yaitu differential<br />
charge amplifier dan differential Amplifier (Zheng<br />
Chen et al, 2007). Differential charge amplifier<br />
sebagai pengubah besaran muatan listrik menjadi<br />
tegangan listrik setara, sedangkan differential<br />
amplifier sebagai rangkaian penguat tegangan listrik.<br />
Gambar 1 : PVDF dan klasifikasi sumbu yang bersesuaian<br />
3. DESAIN SISTEM<br />
3.1. Desain Mekanis Sistem Sensor<br />
Desain mekanis sistem sensor ini untuk<br />
mengukur beban benturan antara bagian struktur atas<br />
dengan struktur bawahnya bangunan lepas pantai<br />
dengan berbagai kondisi pengujian. Sensing element<br />
dari sensor ini terbuat dari material piezoelectric<br />
yaitu PVDF (polivinilydene fluoride) film dengan<br />
komposisi material lainnya yaitu sejenis karet dan<br />
metal. PVDF film sebagai sensing element dibentuk<br />
melingkar dengan diameter 50 mm sesuai dengan<br />
dimensi permukaan struktur yang diukur. Untuk<br />
mengirimkan signal listrik dari gaya yang terukur<br />
dari permukaan film ke alat ukurnya, maka dibuat<br />
terminal yang berasal dari metal tape dengan lem<br />
conductor yang disambung dengan kabel dengan<br />
proses solder. Gambar desain mekanis sistem sensor<br />
ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.<br />
Gambar 3 : Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />
Transfer Function dari Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />
diatas adalah :<br />
3.3. DATA AKUISISI<br />
Vo(<br />
s)<br />
2R1s<br />
R<br />
=<br />
Q(<br />
s)<br />
1+<br />
R C s R<br />
Untuk pengukuran dan penyimpanan data<br />
hasil uji coba sensor, digunakan DAQ Card NI_USB<br />
6008 sebagai ADC 12 bit dan Software LabView<br />
Versi 2009. Diagram Blok system pengukuran<br />
sensor PVDF tersebut dapat dilihat pada gambar 4.<br />
1<br />
1<br />
3<br />
2<br />
C51
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 4 : Blok Diagram Sistem Pengukuran<br />
4. KALIBRASI SENSOR<br />
Kalibrasi dari impact sensor ini dibutuhkan<br />
untuk mengetahui sensitifitas, linearitas, Hysterisis<br />
dan Repeatabilitas sensor terhadap beban yang<br />
diberikan, untuk mengetahui karakteristik sensor<br />
tersebut maka dilakukan kalibrasi sensor. Kalibrasi<br />
sensor impact PVDF Film ini dilakukan dengan dua<br />
cara, yaitu secara statis dan secara dinamis. Pada<br />
metode statis sensor impact diberikan beban statis<br />
dari beban nol sampai 25 Kg. Dari setiap<br />
pembebanan outputnya diukur dan direkam dengan<br />
komputer dan diambil nilai output maksimum pada<br />
setiap pembebanan. Hasil grafik antara input Vs.<br />
Output dapat dilihat pada gambar 5.<br />
OUTPUT [Volt]<br />
6<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
Grafik INPUT Vs. OUTPUT SENSOR IMPACT y = 0.2698x<br />
R 2 = 0.9955<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25<br />
INPUT [Kg]<br />
Sebelum dilakukan kalibrasi sensor Impact<br />
PVDF film maka load cell transducer sebagai sensor<br />
referensi terlebih dahulu harus dikalibrasi secara<br />
status dengan memberikan beban status pada sensor<br />
tersebut dan data output sensor diukur dan direkam<br />
dengan sistem data akuisisi selama 5 detik dengan<br />
frekuensi sampling 50 Hz. Hasil pengukuran yang<br />
diperoleh diolah dengan menggunakan analisa<br />
regresi sehingga didapatkan grafik Input Vs. Output<br />
seperti pada gambar 7.<br />
Output Load Cell [Volt]<br />
Grafik Input Vs Output Load Cell y = 0.058x<br />
R 2 = 0.9995<br />
3.5<br />
3.0<br />
2.5<br />
2.0<br />
1.5<br />
1.0<br />
0.5<br />
0.0<br />
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50<br />
Beban Input [Kg]<br />
Gambar 7 : Grafik Hasil Kalibrasi Load Cell<br />
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa load<br />
cell tersebut mempunyai linearitas yang cukup baik<br />
dengan sensitivitas sensor 58 mV/Kg.<br />
Hasil kalibrasi dinamis ini dapat dilihat Pada<br />
gambar 8, dimana semakin besar beban impact yang<br />
diberikan dengan cara memberikan pukulan di atas<br />
sensor yang dilekatkan pada load cell, maka semakin<br />
besar pula keluaran signal baik signal load cell<br />
maupun signal dari sensor. Sedangkan output dari<br />
loadcell dapat dilihat pada gambar 9.<br />
Gambar 5 : Grafik Hasil Kalibrasi Impact Sensor<br />
Metode kalibrasi kedua adalah dengan<br />
memberikan beban impact secara dinamis terhadap<br />
sensor dengan variasi beban yang beragam. Gambar<br />
6 menunjukkan pengaturan kalibrasi impact sensor.<br />
Untuk mengetahui besar beban impact yang<br />
diberikan terhadap sensor, diperlukan alat ukur<br />
beban lainnya sebagai referensi beban yaitu load<br />
cell. Impact sensor diletakkkan di atas load cell dan<br />
dilekatkan secara kuat. Untuk membuat permukaan<br />
bawah dan atas sensor menjadi benar benar datar,<br />
maka kedua permukaan atas dan bawah dipasang<br />
plat datar.<br />
Gambar 8 : Output sensor Impact dg beban semakin besar<br />
Gambar 6 : Set-Up Kalibrasi Sensor<br />
Gambar 9 : Output sensor Impact dg beban semakin besar<br />
Gambar 10 menunjukkan salah satu keluaran<br />
dari satu pukulan yang diambil dari rangkaian<br />
keluaran signal . Dari gambar tersebut secara jelas<br />
C52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ditunjukkan bahwa ada kesamaan dan<br />
kesebandingan antara keluaran dari impact sensor<br />
dengan load cell.<br />
Impact1<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
1 168 335 502 669 836 1003 1170 1337 1504 1671 1838 2005 2172 2339 2506 2673 2840<br />
-2<br />
Gambar 10 : Perbandingan Output Loadcell & Impact Sensor<br />
Karakteristik lainnya adalah linearitas antara<br />
besar beban impact yang diberikan dengan keluaran<br />
sensor. Gambar 11 menunjukkan hubungan antara<br />
besarnya keluaran sensor impact dengan besar beban<br />
impact yang diberikan. Dari gambar tersebut terlihat<br />
bahwa keluaran sensor impact linear sampai beban<br />
luar yang diberikan sekitar 200 Kg.<br />
Gambar 12 : Hasil Pengujian Sensor dg pembebanan berulang<br />
Pada grafik diatas dapat diketahui bahwa<br />
dengan pembebanan secara berulang sensor impact<br />
mempunyai respon amplitudo yang hampir sama. Ini<br />
berarti sensor impact tersebut mempunyai<br />
repeatibilitas yang cukup baik.<br />
Pengujian kedua dilakukan dengan<br />
memberikan beban yang sama, yaitu 1000 gram<br />
yang dijatuhkan tegak lurus pada dua ketinggian<br />
yang berbeda, yaitu 25 Cm dan 50 Cm. Hasil dari<br />
pengujian ini dapat dilihat pada gambar 13.<br />
Im p act Sensor O utp ut [ V ]<br />
7<br />
6<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
-1 1 17 33 49 65 81 97 113 129 145 161 177 193 209 225 241 257 273<br />
Time [s]<br />
h=25 Cm<br />
h=50 Cm<br />
Gambar 11 : Korelasi Output LoadCell & Impact Sensor<br />
5. PEMBAHASAN<br />
Untuk mengetahui karakteristik dan performa<br />
dari sensor PVDF film yang telah dibuat, disamping<br />
dilakukan kalibrasi secara statis dan dinamis untuk<br />
mengetahui hubungan gaya luar dengan keluaran<br />
sensor, dilakukan 2 jenis uji performa. Uji yang<br />
pertama untuk mengetahui kinerja dari sistem<br />
sensor yang telah dibuat dengan respon pembebanan<br />
yang berulang. Pengujian dilakukan dengan<br />
memberikan beban yang yang sama, yaitu 1500<br />
gram, beban tersebut dijatuhkan tegak lurus ke<br />
permukaan sensor secara bebas dengan ketinggian<br />
15 Cm sebanyak 3 kali. Output dari diukur dan<br />
direkam dengan menggunakan system data akuisisi<br />
dengan program LabView 2009. Hasil rekaman dari<br />
output sensor diperlihatkan pada gambar 12.<br />
Gambar 13 : Hasil Pengujian Sensor dg Variasi ketinggian<br />
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa<br />
semakin tinggi benda dijatuhkan maka gaya yang<br />
terjadi juga semakin besar, hal ini dapat dilihat pada<br />
amplitudo output sensor.<br />
6. APLIKASI SENSOR PVDF FILM<br />
Gambar 14 dibawah menunjukkan bagian<br />
kecil dari struktur bagian atas dan struktur bagian<br />
bawah bangunan lepas pantai yang sedang diuji di<br />
Laboratorium Hidrodinamika UPT- BPPH BPPT<br />
Surabaya. Salah satu tujuan pengujian tersebut<br />
adalah untuk mengetahui respon impact bagian atas<br />
dan bawah pada saat launching. Untuk maksud<br />
tersebut maka impact sensor di pasang pada salah<br />
satu bagian (bagian atas) kaki struktur tersebut,<br />
sehingga diharapkan segala beban yang terjadi yang<br />
diakibatkan oleh hubungan antara bagian atas dan<br />
bawah baik berupa impact dengan berbagai variasi<br />
frekuensi beban impact dan juga beban tekan<br />
dinamis yang mendekati statis juga bisa di rekam<br />
dengan baik. Aplikasi dilapangan pada saat<br />
pengujian dapat dilihat pada gambar 15.<br />
C53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 14 : Pemasangan Sensor pada struktur<br />
Sensor<br />
Sensor<br />
Gambar 15 : Aplikasi Sensor pada pengujian Mating<br />
Pada penelitian selanjutnya penulis akan<br />
mengaplikasi sensor impact ini untuk mengukur<br />
distribusi tekanan pada lambung model kapal<br />
bersayap WISE 8, dimana dengan disain yang lebih<br />
sensitif sensor ini bisa untuk mengukur beban dalam<br />
satuan gram sesuai dengan kebutuhan pengujian<br />
tersebut.<br />
7. KESIMPULAN<br />
Dari hasil Kalibrasi dan eksperimen sistem<br />
sensor, maka dapat dikatakan bahwa material<br />
piezoelectrik PVDF film sangat baik untuk<br />
pengukuran beban-beban dinamis sehingga sangat<br />
cocok digunakan untuk sensor impact yang<br />
dikususkan untuk mengetahui beban beban impact<br />
suatu bagian bangunan lepas pantai pada saat<br />
pengujian di Laboratorium Hidrodinamika UPT-<br />
BPPH BPPT Surabaya. Dari hasil eksperimen<br />
diketahui bahwa desain sensor impact layak<br />
digunakan untuk pengujian tersebut. Hal lain yang<br />
bisa menjamin bisa digunakannya sensor tersebut<br />
untuk pengujian bangunan lepas pantai adalah :<br />
N. Beban impact rencana yaitu sekitar 250 Kg bisa<br />
dipenuhi oleh desain sensor ini.<br />
O. Adanya kesamaan dan kesebandingan antara<br />
keluaran impact sensor dengan load cell sebagai<br />
referensi alat ukur.<br />
P. Demensi sensor dengan diameter 50 mm adalah<br />
sesuai dengan kebutuhan pengujian.<br />
Aplikasi lain dari sensor impact PVDF Film<br />
dengan modifikasi desain mekanis sensor bisa<br />
digunakan untuk pengukuran tekanan yang sangat<br />
kecil, bahkan bisa digunakan untuk mendeteksi<br />
denyut nadi manusia.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penulis mengucapkan terima kasih kepada<br />
rekan-rekan yang ada di Lab B 403 jurusan teknik<br />
elektro ITS yang telah banyak membantu dalam<br />
penyusunan paper ini. Dan tak lupa penulis<br />
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang<br />
ada di UPT BPPH yang telah banyak membantu<br />
dalam pembuatan dan uji coba sensor.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Taufiq Arif Setyanto, et al. (2005), Piezoelectric pad<br />
sensor for dynamic load measurement,<br />
Bulletin of the graduate school of<br />
engineering, Hiroshima University, Vol. 54,<br />
No. 1<br />
Kawai, H. (1969), The piezoelectricity of Poly<br />
(vinylidene Fluoride), J. Appl. Phys. 8 Japan,<br />
pp 975-976.<br />
Boleslaw, M., Tomasz J., Jacek C., (2001),<br />
Assesment of vehicle weight measurement<br />
method using PVDF transducers, Journal of<br />
Electrostatics, 51(52): 76-81.<br />
Gautschi, G., (2002), Piezoelectric sensoric,<br />
Springer, Germany.<br />
Ehag (1999), Piezofilm sensor technical manual,<br />
Measurement Specialist Inc., USA.<br />
Zheng Chen, Yantao Shen, Ning Xi, Xiaobo Tan,<br />
(2007), Integrated Sensing for ionic polymermetal<br />
composite actuators using PVDF thin<br />
films, Smart Material and Structures.<br />
C54
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sintesis Partikel Nano Spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1)<br />
dengan Metode Sonokimia dan Karakterisasi Struktur<br />
serta Dielektrisitasnya<br />
Nurul Hidayat 1 , Markus Diantoro, Ahmad Taufiq, Nasikhudin, Abdulloh Fuad<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPAUniversitas Negeri Malang<br />
1 Email : en_hidayat@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Partikel nano spinel hetaerolite (ZnMn 2 O 4 ) menjadi material yang menarik karena aplikasinya yang begitu<br />
penting dalam ranah nanoteknologi. Akan tetapi, sampai saat ini yang masih menjadi tantangan adalah metode<br />
sintesisnya. Penelitian ini menawarkan metode sintesis partikel nano dengan sonokimia yang dapat dilakukan<br />
pada suhu rendah (≤100 o C) dan waktu yang relatif cepat. Metode sonokimia memanfaatkan efek ultrasonik<br />
untuk mendapatkan aktivasi reaksi kimia. Konsekuensi kimia yang diakibatkan gelombang ultrasonik bukan<br />
hasil interaksi gelombang dalam medium dengan material terlarut pada tingkat molekular, melainkan disebabkan<br />
suatu entitas yang dikenal dengan accoustic cavitation. Pada penelitian ini, ZnMn 2 O 4 didoping dengan Co dalam<br />
bentuk Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1). Bahan dasar yang digunakan adalah ZnCl 2 (PA 99,9%), CoCl 2·6H 2 O (PA<br />
99,9%), MnCl 2·4H 2 O (PA 99,9%), NH 4 OH (PA 99,9%), dan etanol (PA 99,9%). Karakterisasi pembentukan fasa<br />
dan struktur kristal menggunakan XRD serta dielektrisitas menggunakan kapasitansimeter digital tipe AD 5822.<br />
Ukuran kristal juga dikonfirmasi menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
berhasil disintesis dalam fasa tunggal berukuran
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
oleh peralatan yang canggih dan tentunya<br />
memerlukan biaya yang tidak sedikit.<br />
Keseluruhan fakta tersebut di atas menuntut<br />
adanya metode sintesis baru yang jauh lebih<br />
sederhana dan dapat mereduksi ukuran, mengkontrol<br />
morfologi, dan tentu dengan kemurnian fasa serta<br />
kualitas kristal yang tinggi. Salah satu alternatif<br />
untuk mendapatkan material berukuran nanometer<br />
dengan karakteristik high surface area adalah<br />
dengan metode sonokimia (Gopalakrishnan et al,<br />
2005; Troia, 2009; Ohayon dan Gedanken, 2010).<br />
Metode sonokimia, yang memanfaatkan efek<br />
ultrasonik untuk mendapatkan aktivasi reaksi kimia<br />
melalui accoustic cavitation (Suslick dan Price,<br />
1999; Gedanken, 2004; Mason dan Lorimer, 2002),<br />
telah berhasil digunakan untuk mensintesis berbagai<br />
macam partikel nano, diantaranya, LaFeO 3<br />
(Shivakumar et al, 2003), Mn 3 O 4 (Gopalakrishnan et<br />
al, 2005; Askarinejad et al, 2009), Co 3 O 4<br />
(Askarinejad et al, 2009) dan ZnCo 2 O 4 (Diantoro et<br />
al, 2009).<br />
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian dalam<br />
rangka mengkaji pengaruh pendopingan ion lain<br />
secara spesifik untuk diinsedisubtitusikan pada<br />
bagian tetrahedral maupun oktahedral spinel<br />
ZnMn 2 O 4 terhadap struktur kristal maupun sifat-sifat<br />
fisis yang lain belum banyak dilakukan, terlebih<br />
dalam skala nano. Pendopingan merupakan hal<br />
penting karena dapat diperoleh suatu bahan baru<br />
dengan sifat yang lebih baik (Taufiq et al: 2008).<br />
Dalam paper ini dikaji pengaruh pendopingan Co<br />
pada Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dalam rangka dengan metode<br />
sonokimia juga perlu dikaji dengan harapan sifat<br />
fisis, terutama kelistrikannya menjadi lebih baik.<br />
TINJAUAN TEORITIS<br />
ZnMn 2 O 4 dan Struktur Spinel<br />
Berdasarkan ICSD kode koleksi 39196,<br />
ZnMn 2 O 4 mengkristal dengan struktur spinel<br />
tetragonal, grup ruang I 4 1 /a m d no 141, parameter<br />
kisi a = b = 5,7220 Å dan c = 9,240 Å (α = β = γ =<br />
90). Spinel normal ZnMn 2 O 4 ini mengalami distorsi<br />
tetragonal ke arah sumbu c sebesar c/a = 1,615.<br />
Sebagai perbandingan, Menaka et al (2009)<br />
melaporkan bahwa partikel ZnMn 2 O 4 berukuran 20-<br />
30 nm memiliki nilai parameter kisi a = b = 5,709(1)<br />
Å, c = 9,238(4) Å dengan rasio c/a = 1,618, nilai<br />
yang sangat dekat dengan rasio c/a untuk kristal<br />
tunggal yang pernah diteliti oleh Sorita dan Kawano<br />
(1996). Struktur kristal spinel ZnMn 2 O 4 ditunjukkan<br />
dalam Gambar 1.<br />
Pada dasarnya, susunan spinel terdiri atas dua<br />
jenis struktur, yakni tetrahedral (bagian A), karena<br />
kation berlokasi di tengah sebuah tetrahedron<br />
dengan sudut-sudutnya ditempati ion oksigen<br />
(Gambar 2a) dan yang lain disebut oktahedral<br />
(bagian B) karena ion-ion oksigen di sekitar kation<br />
menempati sudut-sudut sebuah oktahedron (Gambar<br />
2b). Selain itu sel satuan terbagi menjadi 8 oktan,<br />
masing-masing berisi a/2 (Gambar 2c), empat oktan<br />
yang berwarna memiliki volume yang sama begitu<br />
pula yang tidak berwarna (Gambar 2d).<br />
Gambar 1 Visualisasi model susunan atom-atom ZnMn 2 O 4<br />
Metode Sonokimia<br />
Gambar 2 Struktur spinel secara umum<br />
Sonokimia adalah aplikasi dari ultrasonik dalam<br />
proses reaksi kimia. Ultrasonik adalah bagian dari<br />
spektrum sonik yang berada dalam rentang 20kHz<br />
sampai 10 MHz. Diklasifikasikan menjadi tiga<br />
macam frekuensi, yaitu frekuensi rendah; high<br />
power ultrasound (20-100 kHz), frekuensi tinggi;<br />
medium power ultrasound (100 kHz-1 MHz), dan<br />
frekuensi tinggi, low power ultrasound (1-10 MHz).<br />
Frekuensi dalam rentang 20 kHz sampai sekitar 1<br />
MHz digunakan dalam metode sintesis sonokimia<br />
sedangkan frekuensi jauh lebih besar di atas 1 MHz<br />
digunakan untuk keperluan medis dan diagnosis<br />
berbasis ultrasonik.<br />
Dalam proses sonokimia muncul kekosongan<br />
akustik, pembentukan, pertumbuhan dan pecahnya<br />
gelembung kecil gas dalam suatu cairan yang<br />
dipecahkan oleh energi sonik, diilustrasikan pada<br />
Gambar 3. Ketidakstabilan gelembung ini<br />
menghasilkan pemanasan lokal yang intensif,<br />
C56
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
membentuk titik panas pada cairan dingin mencapai<br />
temperatur 5000 K, dan tekanan 1000 atm yang<br />
hanya memiliki waktu hidup sepersemilyar detik<br />
(Suslick, 1999).<br />
Untuk memahami bagaimana cara tumbukan<br />
kavitasi dapat mempegaruhi perubahan kimia, harus<br />
dipertimbangkan berbagai kemungkinan kibat dari<br />
tumbukan ini di dalam sistem yang berbeda.<br />
Pertama, rongga yang dibentuk tidak mungkin<br />
berupa suatu ruang hampa (dalam wujud rongga)<br />
pasti berisi uap air dari media cair atau bahan<br />
reaktan atau gass-gas yang mudah menguap. Selama<br />
tumbukan, uap ini akan diperlukan dalam kondisi<br />
yang ekstrim, yaitu pada suhu dan tekanan yang<br />
tinggi (seperti tampak pada Gambar 3),<br />
menyebabkan molekul-molekul pecah dan<br />
menghasilkan jenis radikal yang reaktif. Bagian<br />
radikal ini kemudian bereaksi di manapun di dalam<br />
gelembung yang pecah atau setelah migrasi ke<br />
dalam cairan luarnya. Kedua, tumbukan yang<br />
mendadak dari gelembung juga mengakibatkan satu<br />
aliran masuk dan tiba-tiba cairan itu mengisi<br />
kekosongan yang menghasilkan gaya geser di dalam<br />
melingkupi cairan ruah yang dapat memecahkan<br />
ikatan kimia dalam material dan akhirnya larut<br />
dalam cairan atau mengganggu cairan batas. Kondisi<br />
reaksi untuk suatu proses kavitasi harus<br />
mempertimbangkan pemilihan suhu operasi dari<br />
bahan pelarut karena setiap peningkatan tekanan uap<br />
pelarut akan menurunkan suhu dan tekanan<br />
maksimum untuk tumbukan gelembung.<br />
GaGambar 3 Ilustrasi pengaruh radiasi ultrasonik dalam proses<br />
sonokimia<br />
Pegaktifan kavitasi di dala sistem heterogen<br />
merupakan suatu konsekuensi dari efek mekanis<br />
pembentukan rongga. Dalam sistem heterogen,<br />
tumbukan dari gelembung berongga mengakibatkan<br />
cacat mekanis dan struktur. Tumbukan di daerah<br />
dekat permukaan akan menghailkan aliran masuk<br />
secara drastic dan asimetris dari cairan itu untuk<br />
mengisi kekosongan di daerah permukaan<br />
gelembung. Pengaruh ini setara dengan pancaran<br />
cairan bertekanan tinggi. Tumbukan pada<br />
permukaan, terutama sekali dari material serbuk<br />
akan menghasilkan energi yang cukup untuk<br />
menyebabkan material pecah menjadi kepingan yang<br />
sangat kecil, bahkan untuk penghalusan logam.<br />
Dengan demikian, ultrasonik dapat meningkatkan<br />
luas permukaan untuk suatu reaksi dan menyediakan<br />
energi pengaktifan tambahan melalui pencampuran<br />
yang efektif serta peningkatan transfer massa<br />
(Gogate, 2008). Akhirnya, partikel nano yang harus<br />
memiliki karakter high surface area sangat mungkin<br />
dipreparasi melalui metode sonokimia.<br />
EKSPERIMEN<br />
Partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤<br />
0,1) disintesis dengan metode sonokimia. Bahan<br />
dasar yang digunakan adalah ZnCl 2 (PA 99,9%),<br />
CoCl 2·6H 2 O (PA 99,9%) dan MnCl 2·4H 2 O (PA<br />
99,9%) dilarutkan dalam etanol (PA 99,9%) dan<br />
aquades, volume total etanol dan aquades dijaga<br />
tetap, yaitu 60 ml. Larutan disonikasi pada frekuensi<br />
40 kHz selama 30 menit pada suhu 30 o C, kemudian<br />
ditambahkan NH 4 OH (6,5 M, PA 99,9%) pada suhu<br />
± 70<br />
o C sampai didapatkan endapan. Tahap<br />
selanjutnya mencuci endapan dengan aquades dan<br />
disaring dengan kertas saring Whatmann ukuran 40.<br />
Bahan yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam<br />
tungku listrik pada sutemperatur 100 o C selama 1<br />
jam. Sampel yang sudah dikeringkan kemudian<br />
digerus dan dikarakterisasi dengan XRD untuk<br />
mengetahui pembentukan fasa dan struktur kristal<br />
serta SEM untuk mengetahui ukuran partikel.<br />
Sebagian sampel juga di-press sampai terbentuk<br />
tablet untuk keperluan karakterisasi dielektrisitas.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Pola Difraksi Hasil Uji XRD<br />
Pola difraksi hasil uji sampel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
dengan X Ray Diffraction ditunjukkan pada Gambar<br />
4. Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa pola<br />
difraksi masing-masing sampel semakin ke atas (x<br />
membesar) merupakan pola difraksi dengan<br />
komposisi Co semakin menurun, sedangkan<br />
komposisi Zn semakin meningkat. Nilai x = 0<br />
merupakan sampel ZnMn 2 O 4 (hetaerolite). Secara<br />
sepintas terdapat beberapa puncak yang semakin<br />
mengecil (bahkan menghilang) seiring dengan<br />
bertambahnya kompoisi dopan Co. Pola tersebut<br />
mengindikasikan bahwa ion Co 2+ telah berhasil<br />
disisipkan ke dalam bagian tetrahedral spinel<br />
ZnMn 2 O 4 , yaitu bagian yang ditempati oleh ion<br />
Zn 2+ . Sebagai tambahan, karena komposisi dopan<br />
cukup kecil (0,0 ≤ x ≤ 0,1), maka transisi fase tidak<br />
teramati. Analisis struktur kristal akan disajikan<br />
pada bagian berikutnya.<br />
Data hasil karakterisasi XRD dianalisis dengan<br />
menggunakan perangkat lunak Rietica dan Microcal<br />
Origin. Hasil analisis data X-RD berupa parameter<br />
kisi ditunjukkan dalam Gambar 5. Tampak bahwa<br />
ada kecenderungan nilai parameter kisi dan volume<br />
sel partikel nano Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 secara serempak.<br />
Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa Zn 1-<br />
xCo x Mn 2 O 4 mengkristal dengan struktur spinel yang<br />
terdistorsi pada arah sumbu c. Nilai parameter kisi a<br />
= b antara 5,722-5.770 Å dan c = 9.128-9.430 Å.<br />
Semua parameter kisi memendek dengan<br />
bertambahnya komposisi Co yang diinsersikan ke<br />
C57
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dalam hetaerolite Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 . Namun demikian,<br />
penurunan parameter kisi lebih terlihat pada arah<br />
sumbu c. Volume sel juga mengecil karena<br />
konstanta-konstanta kisi memendek.<br />
dimanifestasikan oleh besarnya rasio c/a dan derajat<br />
distorsi tetragonal (c-a)/a yang dapat dilihat pada<br />
Gambar 6.<br />
Gambar 6 Rasio c/a dan derajat distorsi (c-a)/a partikel nano<br />
spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
Dielektrisitas Partikel Nano Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
Gambar 4 Pola difraksi sampel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 Hasil sintesis<br />
dengan metode sonokimia<br />
Kita dapat melihat adanya konsekuensi logis<br />
penggantian Co 2+ pada Zn 2+ pada perubahan struktur<br />
kristal. Tampak bahwa apabila kation Co 2+<br />
didopingkan pada bagian tetrahedral spinel yang<br />
ditempati oleh kation Zn 2+ , maka sebagian kation<br />
Zn 2+ akan tergantikan oleh kation Co 2+ sesuai<br />
dengan komposisi doping. Karena jari-jari ion Co 2+<br />
lebih kecil daripada Zn 2+ (jari-jari ion Co 2+ = 0,82 Å,<br />
Zn 2+ = 0,83 Å), maka pendopingan Co dalam bentuk<br />
Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 akan memperkecil jari-jari agregat<br />
ion (Zn,Co). Dengan kata lain konstanta-konstanta<br />
kisi akan mengecil, demikian pula dengan volume<br />
sel kristal juga mengecil seperti yang telah<br />
disebutkan sebelumnya.<br />
Dielektrisitas partikel nano spinel Zn 1-<br />
xCo x Mn 2 O 4 ditampilkan dalam Gambar 7 dan<br />
Hubungan antara volume kristal dan konstanta<br />
dielektrik partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dapat<br />
dilihat dalam Gambar 8.<br />
Gambar 7 Pengaruh dopan Co terhadap konstanta dielektrik<br />
partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
Gambar 5. Parameter kisi dan volume sel partikel nano spinel<br />
Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
Penggantian Co 2+ pada senyawa ini<br />
mengakibatkan penurunan rasio c/a sedikit tidak<br />
monoton. Pada umumnya, distorsi tetragonal<br />
Gambar 8 Hubungan antara volume kristal dan konstanta<br />
dielektrik partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />
C58
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Berdasarkan Gambar 7 di atas, terlihat bahwa<br />
nilai konstanta dielektrik meningkat seiring dengan<br />
meningkatnya komposisi dopan Co dengan nilai<br />
maksimal 12.220. Performa fisis ini memiliki arti<br />
bahwa partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 mampu<br />
meningkatkan kapasitansi empat orde lebih besar<br />
dari nilai kapasitansi awal. Hal tersebut<br />
menunjukkan bahwa kontribusi ion kobal ke<br />
tetragonal spinel ZnMn 2 O 4 membentuk stoikiometri<br />
Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dapat meningkatkan karakteristik<br />
dielektrisitasnya.<br />
KESIPULAN<br />
Telah ditunjukkan bahwa metode sonokimia<br />
dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sintesis<br />
kristal berukuran nano sistem Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 .<br />
Selain itu, pendopingan ion kobal pada posisi ion Zn<br />
telah menurunkan volume agregat dibanding<br />
senyawa induk. Penurunan volume kisi kristal ini<br />
telah diprediksi sebelumnya mengingat jari-jari ion<br />
Co 2+ lebih kecil daripada Zn 2+ (jari-jari ion Co 2+ =<br />
0,82 Å, Zn 2+ = 0,83 Å). Karena jarak rata-rata<br />
elektron valensi terhadap inti mengecil,<br />
meningkatkan energi ikat sesuai dengan gaya<br />
Coulomb dan akibatnya meningkatan dielektrisitas<br />
bahan. Peningkatan konstanta dielektrik dicapai oleh<br />
nanokristal Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 .sebesar empat orde<br />
dibanding senyawa induk.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdullah, M. (2008), Pengantar Nanosains,<br />
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan<br />
Alam ITB, Bandung.<br />
Askarinejad A, Morsali A (2009), Direct ultrasonicassisted<br />
synthesis of sphere-like nanocrystals<br />
of spinel Co 3 O 4 and Mn 3 O 4 , Ultrasonics<br />
Sonochemistry, Volume 16, 124–131<br />
Bessekhaud Y, Robert D and Weber J.V (2005),<br />
Photocatalytic activity of Cu 2 O/TiO 2 ,<br />
Bi 2 O 3 /TiO 2 and ZnMn 2 O 4 /TiO 2<br />
heterojunctions, Catalis Today, Volume 101,<br />
315-321.<br />
Diantoro, M., Subakti, Nasikhudin (2009), Phase<br />
Formation of Nano Sized Material of<br />
ZnCo 2 O 4 Using Sonochemie Route for<br />
Supercapacitor Cell, International Meeting on<br />
Microscopy, Bali-Indonesia.<br />
Fernandez J.F, Caballero A.C, Villegas M, Khatib<br />
S.J, Banares M.A, Fierro J.L.G, Costa-<br />
Kramer J.L, Lopez-Ponce E, Martin-Gonzalez<br />
M.S, Briones F, Quesada A, Garcıa M,<br />
Hernando A (2006), Structure and magnetism<br />
in the Zn–Mn–O system: A candidate for<br />
room temperature ferromagnetic<br />
semiconductor, Journal of the European<br />
Ceramic Society, Volume 26, 3017–3025.<br />
Fritsch S.G, Chanel C, Sarrias J, Bayonne S, Rausset<br />
A, Alcobe X and Sarrio M.L.M (2000),<br />
Structure, thermal stability and electrical<br />
properties of zinc manganites, Solid State<br />
Ionics, Volume 128, 233-242.<br />
Gedanken A (2004), Using sonochemistry for the<br />
fabrication of nanomaterials, Ultrasonics<br />
Sonochemistry, Volume 11, 47–55.<br />
Gopalakrishnan I.K, Bagkar N, Ganguly R, and<br />
Kulshreshtha S.K (2005), Synthesis of<br />
superparamagnetic Mn3O4 nanocrystallites<br />
by ultrasonic irradiation, Journal of Crystal<br />
Growth, Volume 280, 436–441.<br />
Malavasi L, Tealdi C, Amboage M, Mozzat M.C,<br />
and Flor G (2005), High pressure X-ray<br />
Diffraction Study of MgMn 2 O 4 Tetragonal<br />
Spinel, Journal, Università di Pavia, Italy.<br />
Mason T.J and Lorimer J.P (2002), Applied<br />
Sonochemistry; The Uses of Power<br />
Ultrasound in Chemistry and<br />
Processing,Weinheim, Wiley VCH Verlag<br />
GmbH & Co.KgaA.<br />
Menaka, Qamar M, Lofland S.E, Ramanujachary<br />
K.V, and Ganguli A.K (2009), Magnetic and<br />
photocatalytic properties of nanocrystalline<br />
ZnMn 2 O 4 , Bull. Mater. Sci., Volume 32,<br />
231–237.<br />
Monros G, Carda J, Tena M A, Escribano P,<br />
Badenes J and Cordoncillo E (1995 ), Spinets<br />
from gelatine-protected gels, J. Mater. Chem,<br />
Volume 5, 85-90.<br />
Ohayon E and Gedanken A (2010), The application<br />
of ultrasound radiation to the synthesis of<br />
nanocrystalline metal oxide in a non-aqueous<br />
solvent, Ultrasonics Sonochemistry, Volume<br />
17, 173–178.<br />
Peiteado M (2010), Doping of ZnO with Mn or Co:<br />
Two different behaviours for the same<br />
synthesis approach, Bol. Soc. Esp. Ceram,<br />
Volume 49, 53-60.<br />
Peiteado M, Caballero A C and Makovec D (2007),<br />
Diffusion and reactivity of ZnO MnO x system,<br />
J. Solid State Chem. Volume180, 2459-2464.<br />
Peng, Haiyang Wu, and Tom (2009), Nonvolatile<br />
resistive switching in spinel ZnMn 2 O 4 and<br />
ilmenite ZnMnO 3 , Applied Physics Letters,<br />
Volume 95, 152106-152106-3.<br />
Praserthdam P, Silveston P.L, Mekasuwandumrong<br />
O, Pavarajarn V, Phungphadung J, and<br />
Somrang P (2004), A New Correlation for the<br />
Effects of the Crystallite Size and Calcination<br />
Temperature on the Single Metal Oxides and<br />
Spinel Oxides Nanocrystal, Crystal Growth &<br />
Design, Volume 4, No. 1, 39-43.<br />
Shoemaker D.P, Rodriguez E.E, and Seshadri R<br />
(2009), Intrinsic exchange bias in Zn x Mn 3-<br />
xO 4 , Cond-mat.matrl-sci, arXiv:0906.3534v2.<br />
Sivakumar M, Gedanken A, Zhong W, Jiang Y.H,<br />
Du Y.H,Brukental I, Bhattacharya<br />
D,Yeshurunc Y, and Nowikd I (2004),<br />
Sonochemical synthesis of nanocrystalline<br />
C59
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
LaFeO 3 , Journal of Mater Chemistry, Volume<br />
14, 764-769.<br />
Sorita R and Kawano T (1996), Sensor and<br />
Actuators, B 274, 35–36.<br />
Stojic, B.B, Milivojevic D, and Blanusa J (2009),<br />
Ferromagnetic behaviour of the Zn–Mn–O<br />
system, Journal of the Serbian Chemical<br />
Society, Volume 74 (1), 71–84.<br />
Suslick, K. S., Price, G. J (1999), Application of<br />
ultrasound to material chemistry, Annu. Rev.<br />
Mater. Sci, 295-326.<br />
Taufiq A, Triwikantoro, Pratapa S, dan Darminto<br />
(2008), Sintesis Partikel Nano Fe 3-x Mn x O 4<br />
Berbasis Pasir Besi dan Karakterisasi<br />
Struktur serta Kemagnetannya, Jurnal<br />
Nanosains & Nanoteknologi, Volume 1<br />
No.2, 67-73.<br />
Troia, A., Pavese, M., Geobaldo, F (2009),<br />
Sonochemical preparation of high surface<br />
area MgAl 2 O 4 spinel, Ultrasonics<br />
Sonochemistry, Volume 16, 136-140.<br />
Xiao L, Yang Y, Yin J, Qiao L, and Zhang L (2009),<br />
Low temperature synthesis of flower-like<br />
ZnMn 2 O 4 superstructures with enhanced<br />
electrochemical lithium storage, Journal of<br />
Power Sources, Volume 194, 1089-1093.<br />
Yang Y, Zhao Y, Xiao L and Zhang L (2008),<br />
Nanocrystalline ZnMn 2 O 4 as a novel lithiumstorage<br />
material, Electrochemistry<br />
Communications, Volume 10, 1117-1120.<br />
Zhang X.D, Wu Z.S, Zang J, Li D and Zhang Z.D<br />
(2007), Hydrothermal synthesis and<br />
characterization of nanocrystalline Zn–Mn<br />
spinel, J. Phys. Chem Solids, Volume 68,<br />
1583-1590.<br />
C60
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Aplikasi dan Karakterisasi Edible Plastik<br />
Pati - Tapioka Untuk Pengawetan Buah Jeruk (Citrus sp)<br />
Siswanto , Aminatun, dan Anjar Anggraeni<br />
Laboratorium <strong>Fisika</strong> Material<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : siswanto_fst@unair.ac.id<br />
Abstrak<br />
Jeruk merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek cerah untuk tujuan ekspor maupuan pasar dalam<br />
negeri. Tingginya permintaan pasar akan buah jeruk, memaksa para pelaku bisnis buah untuk lebih<br />
memperhatikan kualitas dalam proses pengemasan. Bahan pengemas dari plastik sintetik banyak digunakan<br />
dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan buah. Penggunaan<br />
material sintetik tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai<br />
bahan pengemas buah yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat diuraikan yaitu dengan<br />
menggunakan edible plastic berbahan dasar pati tapioka. Pembuatan edible plastic menggunakan cara hidrolisis<br />
dengan pelarut amonia dengan perbandingan 50 gram tapioka dalam 50 ml pelarut dan menggunakan variasi pH<br />
7,8,9. Komposisi edible plastic adalah 7,5 gram hasil hidrolisis, 100 ml aquades, 45 ml etanol 96% dan 1,2<br />
gliserol. Secara umum edible plastic yang dihasilkan cukup stabil dengan ketebalan antara 46-61 μm, nilai kuat<br />
tarik antara 38,3413 – 42,3182 kgf/cm 2 , dan elongasi antara 3,2 – 3,6 %. Dengan membandingkan penggunaan<br />
plastik sintetik (HDPE, LDPE) dan edible plastic sebagai pengemas buah jeruk (Citrus sp), maka di peroleh hasil<br />
pengurangan susut bobot buah jeruk yaitu 4,4428 – 5,2412 gram untuk edible plastic, 0,4163 gram untuk HDPE<br />
dan 0,2844 gram untuk LDPE. Untuk pengujian kadar air diperoleh pengurangan kadar air sekitar 4,41% - 14%<br />
pada hari ke-5 dan 3,24% -6,48 % pada hari ke- 10. Dengan menggunakan FT-IR dan GC-MS dapat diketahui<br />
bahwa terjadi pengurangan gugus -OH dan benzena dan prosentase kandungan lainnya juga mengalami<br />
penurunan.<br />
Key word : edible plastic, HDPE, LDPE, Citrus sp<br />
PENDAHULUAN<br />
Salah satu komoditi yang mempunyai prospek<br />
cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam<br />
negeri adalah jeruk. Tingginya permintaan pasar<br />
terhadap konsumsi buah jeruk, memaksa para pelaku<br />
bisnis buah untuk lebih memperhatikan kualitas<br />
dalam proses pengemasan. Proses pengemasan<br />
berpengaruh terhadap ketahanan buah tersebut<br />
ketika disimpan.<br />
Bahan pengemas yang sering digunakan yaitu<br />
plastik sintetik yang memiliki berbagai macam<br />
keunggulan. Keunggulan plastik sintetik tersebut<br />
yaitu fleksibel, mudah dibentuk, transparan, tidak<br />
mudah pecah dan harganya relatif murah (Surdia,<br />
2005). Walaupun demikian, plastik juga<br />
mempunyai kelemahan, yaitu sifatnya yang tidak<br />
tahan panas, mudah robek, dapat menyebabkan<br />
kontaminasi melalui transmisi monomernya ke<br />
bahan yang dikemas dan tidak dapat dihancurkan<br />
secara alami (non-biodegradable).(Elisa dan<br />
Mimi,2006). Seiring dengan masalah ini, maka<br />
dikembangkanlah jenis kemasan dari bahan organik.<br />
Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah<br />
lingkungan adalah kemasan edible (edible<br />
packaging). Keuntungan dari edible packaging<br />
adalah dapat melindungi produk pangan,<br />
penampakan asli produk dapat dipertahankan dan<br />
dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan<br />
(Kinzel, 1992).<br />
Salah satu jenis edible packaging adalah<br />
edible film (plastik layak santap). Plastik layak<br />
santap dapat dibuat dengan menggunakan bahan<br />
alamiah, contohnya adalah polisakarida-C 6 H 10 O 5<br />
(pati).(Surdia,2005). Pati yang berasal dari ubi kayu<br />
(tepung tapioka) lebih banyak dikembangkan. Hal<br />
ini dikarenakan jumlah tepung tapioka di Indonesia<br />
melimpah dan bukan merupakan bahan makanan<br />
pokok bagi masyarakat Indonesia (seperti padi).<br />
(Kusandini, 2008)<br />
Berdasarkan informasi tersebut, maka perlu<br />
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai<br />
karakterisasi dan aplikasi plastik layak santap yang<br />
berbahan dasar pati tapioka sebagai pengemas buah,<br />
khususnya pada buah jeruk. Edible plastic yang<br />
dibuat merupakan variasi campuran antara pati<br />
tapioka dan larutan asetat / larutan amonia. Dengan<br />
demikian, kualitas jeruk sebagai salah satu komoditi<br />
negara diharapkan dapat lebih baik dari sebelumnya.<br />
Selain itu, diharapkan pengaplikasian tersebut dapat<br />
mengurangi degradasi molekul dalam buah jeruk<br />
dan juga dapat mengurangi penumpukan sampah<br />
plastik yang telah terjadi akhir-akhir ini.<br />
C61
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
TUJUAN<br />
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh<br />
bahan pengemas yang dapat mengurangi terjadinya<br />
degradasi molekul pada buah jeruk yang bersifat<br />
ramah lingkungan dan mudah diuraikan.<br />
METODE<br />
Persiapan yang dilakukan sebelum melakukan<br />
penelitian ada beberapa tahapan. Tahap pertama<br />
adalah mempersiapkan buah jeruk yang memiliki<br />
umur panen dan bobot yang sama. Tahapan<br />
berikutnya mempersiapkan edible plastic pati<br />
tapioka dan plastik sintetik (LDPE dan HDPE).<br />
Bahan-bahan yang dipersiapkan untuk membuat<br />
edible plastic pati tapioka adalah pati tapioka (yang<br />
bisa diperoleh dipasaran), asam asetat (CH 3 COOH),<br />
natrium asetat (CH 3 COONa), Amonia (NH 4 OH),<br />
Amonium Klorida (NH 4 Cl), aquades, gliserol dan<br />
etanol 96% dapat diperoleh di Laboratorium Kimia<br />
FSAINTEK UNAIR. Sedangkan plastik sintetik<br />
HDPE dan LDPE dapat diperoleh di toko plastik.<br />
Penelitian ini diawali dengan pembuatan<br />
edible plastic pati tapioka yang menggunakan<br />
pelarut amonia (dengan pH 7,8,9). Langkah pertama<br />
adalah menguji komposisi tepung tapioka (kadar air<br />
dan kadar pati). Untuk menentukan kadar airnya<br />
dapat dilakukan dengan cara memanaskan pati.<br />
Sedangkan kadar pati merupakan hasil dari<br />
pengurangan tepung tapioka (100%) dengan<br />
persentase kandungan air, abu, serat dan kotoran.<br />
(Kusandini,2008).<br />
Penggunaan pelarut amonia dapat dilakukan<br />
bersamaan dengan penentuan kadar air dan kadar<br />
pati pada pati tapioka pada saat proses pemanasan.<br />
Pembuatan dilakukan secara manual didalam wadah<br />
(gelas beaker) dengan perbandingan 50 gram pati<br />
tapioka dan 50 ml pelarut. Selanjutnya<br />
pencampuran dilakukan dengan menggunakan<br />
heater yang dilengkapi stirrer dengan suhu 40 0 C<br />
dan kecepatan putaran 60 rpm sampai campuan<br />
mengental.<br />
Komposisi plastik layak santap yang dibuat<br />
adalah 7,5 gram hasil pemanasan, 100 ml aquades,<br />
45 ml etanol 96% dan 1,2 gliserol. Kemudian<br />
dilakukan pencampuran menggunakan heater dan<br />
magnetic stirrer dengan suhu kurang dari 70 0 C dan<br />
kecepatan putaran 60 rpm sampai campuran<br />
mengental. Campuran yang dihasilkan dicetak<br />
diatas plexiglass dan didinginkan pada suhu ruang,<br />
lalu dibentuk menjadi lembaran tipis.<br />
(Kusandini,2008)<br />
No.<br />
TABEL I Komposisi Edible Plastik<br />
Jenis Edible<br />
plastik<br />
Pelarut<br />
1. A Larutan amonia 7<br />
2. B Larutan amonia 8<br />
3. C Larutan amonia 9<br />
Pada penelitian ini sampel dibuat dengan<br />
larutan amonia dengan variasi nilai pH (lihat Tabel<br />
pH<br />
I). Dengan demikian terdapat 3 jenis sampel uji<br />
yang dihasilkan. Pada setiap sampel uji akan<br />
dilakukan 2 jenis pengujian ketebalan dan pengujian<br />
sifat mekanik. Pengujian sifat mekanik yang<br />
dilakukan meliputi pengujian kuat tarik dan<br />
pengujian elongasi.<br />
Lokasi Penelitian<br />
Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium<br />
<strong>Fisika</strong> Material F-SAINTEK Universitas Airlangga,<br />
Laboratorium Polimer Teknik Kimia Universitas<br />
Surabaya (UBAYA) Surabaya dan PT. Gelora Djaja<br />
(Wismilak) Surabaya.<br />
Instrument dan Bahan<br />
Instrumen yang dibutuhkan adalah Gelas<br />
ukur, Neraca digital dengan ketelitian 0,1 gram,<br />
Plexiglass, Heater dengan stirrer, Termometer,<br />
Blander, Cawan porselin, Alat uji ketebalan, Alat uji<br />
tarik dan elongasi, Spektrofotometer FT-IR (Fourier<br />
Transform Infra Red Spectrometer), GC-MS (Gas<br />
Chromatography-Mass Spectroscopy), alat pemanas<br />
(furnace/ oven). Sedangkan bahan yang dibutuhkan<br />
adalah buah jeruk.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil Uji Ketebalan<br />
Uji Ketebalan pada sampel uji dilakukan<br />
dengan menggunakan mesin Thickness dengan<br />
satuan ketebalan milimeter. Pengujian ini bertujuan<br />
untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap<br />
ketebalan sampel yang uji terdapat pada Tabel II<br />
TABEL II Data Hasil Uji Ketebalan<br />
No Jenis Sampel Tebal (mm)<br />
1 A 0,061<br />
2 B 0,052<br />
3 C 0,046<br />
Berdasarkan hasil di atas tampak bahwa data<br />
yang diperoleh semakin menurun. Jika ditinjau dari<br />
jenis pelarut yang digunakan terdapat perbedaan<br />
hasil uji ketebalan yang dihasilkan. Uji ketebalan<br />
pada sampel C menghasilkan ketebalan yang paling<br />
rendah. Sedangkan pada sampel A menghasilkan<br />
ketebalan paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa<br />
pada larutan amonia, edible plastic memiliki<br />
ketebalan rendah dengan menggunakan pelarut yang<br />
mengandung tingkat kebasaan yang tinggi.<br />
Hasil Uji Mekanik<br />
Sifat-sifat mekanik yang meliputi uji kuat<br />
tarik dan elongasi merupakan salah satu<br />
karakteristik mekanik dari sampel edible plastic<br />
sebagai ukuran kuantitatif baik tidaknya bahan hasil<br />
proses untuk diaplikasikan lebih lanjut. Hasil<br />
pengujian mekanis dari setiap sampel plastik layak<br />
santap dapat disajikan dalam Tabel III.<br />
C62
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
TABEL III Data Hasil Uji Mekanik Sampel<br />
No<br />
Jenis Kuat Tarik<br />
Sampel (kgf/cm 2 )<br />
ε (%)<br />
1 A 38,3413 3,6<br />
2 B 39,2590 3,5<br />
3 C 42,3182 3,2<br />
Berdasarkan data di atas tampak bahwa data<br />
yang diperoleh dari pengujian kuat tarik mengalami<br />
kenaikan pada edible plastic dengan pelarut amonia.<br />
Peningkatan nilai pH pada larutan amonia<br />
menyebabkan nilai kuat tarik edible plastic semakin<br />
meningkat. Untuk nilai kuat tarik tertinggi yaitu<br />
pada edible plastic dengan pelarut amonia pH 9.<br />
Prosentase elongasi akan meningkat jika larutan<br />
yang digunakan bersifat netral (pH 7). Sehingga<br />
dengan adanya penurunan pH pada larutan amonia<br />
menyebabkan prosentase elongasi edible plastic<br />
semakin meningkat.<br />
Hasil Uji Susut Bobot<br />
Perubahan massa jeruk sebelum dan sesudah<br />
diberi plastik tanpa diberi perlakuan juga perlu<br />
diperhatikan. Dengan menggunakan neraca digital<br />
dapat diketahui besarnya perubahan susut bobot<br />
yang dialami buah jeruk sebelum dan sesudah<br />
dikemas dalam plastik. Berikut merupakan tabel<br />
hasil dari pengemas edible plastic dengan variasi pH<br />
larutan amonia dan plastik sintetik (LDPE/HDPE)<br />
yang berfungsi sebagai pembanding.<br />
TABEL IV Data Hasil Uji Susut Bobot<br />
No. Jenis Sampel Hari ke-5<br />
(Δm 1 )<br />
Hari ke-10<br />
(Δm 2 )<br />
1 Amonia pH 5,2412gr 11,7464 gr<br />
7<br />
2 Amonia pH 5,488 gr 9,0968 gr<br />
8<br />
3 Amonia pH 4,4428 gr 8,5923 gr<br />
9<br />
4 HDPE 0,4163 gr 1,0664 gr<br />
5 LDPE 0,2844 gr 0,5955 gr<br />
Dari data hasil penelitian dapat terlihat bahwa<br />
penyusutan terbesar terjadi pada jeruk yang dikemas<br />
edible plastic, akan tetapi daging buah tetap segar<br />
dan rasa yang tetap terjaga meskipun kulit terluar<br />
terlihat secara fisik lebih mengkerut di bandingkan<br />
jeruk yang dikemas dengan plastik sintetik.<br />
Sedangkan jeruk yang dikemas plastik sintetik<br />
kondisi luar memang tetap terjaga, akan tetapi<br />
daging buah yang menjadi kurang berisi dari hari<br />
sebelumnya.<br />
Hasil Uji Kadar Air Jeruk<br />
Uji kadar air yang dilakukan pada jeruk saat<br />
diberi edible plastic dan plastik sintetik LDPE,<br />
HDPE ada beberapa tahapan. Pertama,<br />
menghilangkan air yang terkandung didalam buah<br />
jeruk dengan cara memeras buah tersebut. Lalu<br />
buah jeruk yang telah diperas, dikeringkan dibawah<br />
sinar matahari. Setelah itu jeruk yang telah kering<br />
dihaluskan dengan blender dan jeruk yang telah<br />
halus siap dimasukkan ke dalam furnace dengan<br />
suhu sekitar 100 0 C. Hal tersebut dilakukan agar air<br />
yang terkandung didalamnya benar-benar hilang,<br />
sehingga dapat diketahui besarnya kandungan kadar<br />
air yang ada didalam jeruk. Hasil pengujian<br />
dianalisis untuk mengetahui laju pengurangan kadar<br />
air yang terjadi pada buah jeruk yang menggunakan<br />
pengemas plastik yang berbeda-beda.<br />
TABEL V Data Hasil Uji Kadar Air Jeruk<br />
No. Jenis Sampel Hari ke-5<br />
(%)<br />
Hari ke-10<br />
(%)<br />
1 Amonia pH 7 9,84 6,48<br />
2 Amonia pH 8 11,33 6,44<br />
3 Amonia pH 9 16,18 4,97<br />
4 HDPE 14 3,24<br />
5 LDPE 4,41 3,61<br />
Gambar 1. Grafik hubungan antara perubahan kadar air pada<br />
jeruk dengan berbagai jenis pengemas plastik terhadap perubahan<br />
hari.<br />
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui<br />
bahwa plastik yang dapat menjaga dengan baik<br />
kadar air jeruk pada hari ke-5 yaitu edible plastic<br />
dengan pelarut amonia pH 7 dan plastik sintetik<br />
LDPE dengan pengurangan massa < 10 %.<br />
Sedangkan pada hari ke-10, hampir semua kemasan<br />
plastik dapat menjaga penurunan massa tidak lebih<br />
dari 10 %. Hal ini dapat menjadi pertimbangan<br />
mengenai penggunaan plastik sintetik yang dapat di<br />
gantikan dengan penggunaan edible plastic dimana<br />
plastik tersebut hampir memiliki fungsi yang sama<br />
dan tindakan tersebut dapat mengurangi penggunaan<br />
plastik sintetik.<br />
Hasil Uji FT-IR<br />
Hasil uji FT-IR berupa spektrum puncakpuncak<br />
serapan yang digunakan untuk mengetahui<br />
ada tidaknya gugus baru pada ekstrak jeruk yang<br />
sebelumnya telah diberi pengemas. Dengan<br />
menggunakan FT-IR dapat diketahui degradasi<br />
senyawa jeruk saat diberi pengemas.<br />
C63
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2. Grafik FT-IR<br />
Berdasarkan grafik hasil uji kimia fisik<br />
menggunakan spektrofotometer FT-IR ini<br />
menghasilkan spektrum pita absobsi gugus<br />
fungsional jeruk sebelum dan sesudah diberi<br />
pengemas plastik. Dari hasil uji tersebut, degradasi<br />
terbesar yang dapat terbaca yaitu gugus senyawa –<br />
OH dan benzena. Hal ini di sebabkan adanya proses<br />
penguapan yang terjadi pada jeruk saat di kemas<br />
plastik.<br />
Hasil Uji GC-MS<br />
Uji GC-MS berupa spektrum yang terdapat<br />
puncak-puncak serapan yang digunakan untuk<br />
mengetahui adanya susunan senyawa-senyawa<br />
tertentu dalam suatu bahan. Hasil uji identifikasi<br />
senyawa molekul yang dihasilkan lebih teliti,<br />
sehingga dapat diketahui senyawa apa saja yang<br />
terkandung dalam bahan tertentu.<br />
Gambar 3. Grafik GC-MS<br />
Berdasarkan hasil pengujian terjadi<br />
pengurangan prosentase kadar senyawa jeruk dalam<br />
pengemasan buah jeruk, selain itu terdapat senyawa<br />
tambahan saat jeruk di kemas menggunakan plastik.<br />
Pada pengemasan menggunakan edible plastic<br />
amonia, terlihat bahwa dengan menggunakan plastik<br />
pH 7 (netral) terjadi pengurangan kadar senyawa dan<br />
penambahan senyawa baru yang paling sedikit.<br />
Sedangkan penurunan kadar terbesar dan<br />
penambahan senyawa baru yang cukup banyak<br />
terjadi pada plastik sintetik LDPE. Hal ini sesuai<br />
dengan literatur bahwa plastik sintetik dapat<br />
menyebabkan kontaminasi melalui transmisi<br />
monomernya ke bahan yang dikemas. (Elisa dan<br />
Mimi,2006)<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada<br />
penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ketebalan<br />
dan sifat mekanik pada edible plastic dapat<br />
dipengaruhi oleh pH pelarut yang digunakan dalam<br />
proses hidrolisis pati. Secara umum edible plastic<br />
yang dihasilkan cukup stabil dengan ketebalan<br />
minimum 41 μm, nilai kuat tarik antara 39,8709 –<br />
42,3182 kgf/cm 2 , elongasi antara 3,2 – 4,5 %.<br />
Dengan membandingkan penggunaan plastik sintetik<br />
(HDPE, LDPE) dan edible plastic sebagai pengemas<br />
buah jeruk (Citrus sp), maka di peroleh hasil<br />
pengurangan susut bobot buah jeruk yaitu 4,4428 –<br />
5,2412 gram untuk edible plastic, 0,4163 gram<br />
untuk HDPE dan 0,2844 gram untuk LDPE. Untuk<br />
pengujian kadar air diperoleh pengurangan kadar air<br />
sekitar 4,41% - 14% pada hari ke-5 dan 3,24% -6,48<br />
% pada hari ke- 10. Dengan menggunakan FT-IR<br />
dan GC-MS dapat diketahui bahwa terjadi<br />
pengurangan gugus -OH dan benzena dan<br />
prosentase kandungan lainnya juga mengalami<br />
penurunan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Elisa dan Mimi (2006), Teknologi Pengemasan,<br />
USU, Sumatra Utara.<br />
Kinzel, B, 1992, Protein-rich edible coatings for<br />
foods, Agricultural research, May 1992.,<br />
:20-21.<br />
Krochta, J.M, 1992, Control of massa transfer in<br />
food with edible coatings and film. Di dalam<br />
:Coupler, Journal of Optoelectronics and<br />
Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3, 303 –<br />
308.<br />
Moon,Binary, 2008, Bahaya Mengintai dari<br />
KemasanPlastik.,http://dgaip5.wordpress.com<br />
Di akses 3 September 2009<br />
Purbaningrum, Kusandini, 2008, Pembuatan dan<br />
Karakterisasi Plastik Layak Santap (Edible<br />
Plastic) dari Pati Tapioka, Skripsi,<br />
Universitas Airlangga, Surabaya<br />
Surdia, N.M, 2005, Potensi Bahan Alam Sebagai<br />
Bahan Baku Polimer, <strong>Departemen</strong> Kimia,<br />
ITB,Bandung<br />
C64
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sintesis Partikel Nano ZnCo 2 O 4 dengan Metode Kopresipitasi dan<br />
Karakterisasi Struktur serta Magneto Dielektrisitasnya<br />
Sri Astutik Ningtiyas (1) , Markus Diantoro, Ahmad Taufiq<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang<br />
(1) Email: sriastutiktutik@ymail.com<br />
Abstrak<br />
Partikel nano ZnCo 2 O 4 merupakan suatu senyawa superkapasitor, karena memiliki nilai rate dan life cycle yang<br />
tinggi, pengisian dalam jangka waktu yang pendek dan penggosongan dalam jangka panjang serta penyimpanan<br />
energi yang besar. Partikel nano ZnCo 2 O 4 telah berhasil disintesis dalam bentuk serbuk dengan menggunakan<br />
metode kopresipitasi pada suhu rendah (≤ 100 0 C). Serbuk hasil pengendapan, selanjutnya diannealing pada<br />
temperatur 120 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C selama 2 jam. Karakterisasi dilakukan dengan<br />
menggunakan XRF dan XRD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, partikel nano ZnCo 2 O 4 memiliki fasa spinel<br />
kubik Fd3m dengan ukuran partikel berkisar antara 9-75 nm. Transisi struktur dari spinel normal ke spinel<br />
campuran pada T=300 0 C pertama kali berhasil teramati. Semakin besar temperatur annealing nilai konstanta<br />
dielektrik senyawa ZnCo 2 O 4 cenderung meningkat secara eksponensial sampai titik tertentu. Pada pengukuran<br />
temperatur 300 0 C terjadi transisi dari kenaikan konstanta dielektrik ke penurunan konstanta dielektrik. Hal ini<br />
disebabkan oleh adanya perubahan fasa yang terbentuk dari senyawa ZnCo 2 O 4 semakin meningkat sehingga<br />
membuat jari-jari atom semakin mendekat sehingga ikatan antar atom pada bahan menjadi lebih besar,<br />
sedangkan peningkatan konstanta dielektrik dikarenakan adanya interaksi muatan (gaya Coulomb) dan spin<br />
elektron. Pada pengukuran dalam medan magnet, konstanta dielektriknya memiliki pola yang serupa seperti<br />
tanpa medan magnet yaitu konstanta dielektriknya mengalami kenaikan secara eksponensial sampai temperature<br />
300 0 C, kemudian mengalami penurunan secara eksponensial seiring bertambahnya temperatur annealing. Akan<br />
tetapi pemberian medan magnet senyawa ZnCo 2 O 4 pada salah satu bahan yang diannealing dengan temperatur<br />
tertentu (misal bahan yang diannealing 300 0 C), memiliki nilai konstanta dielektrik yang mengalami peningkatan<br />
secara eksponensial seiring bertambahnya medan magnet yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh ion Cobalt<br />
yang bersifat ferromagnetik, sehingga senyawa ini mengalami magnetisasi yang mengakibatkan menurunnya<br />
medan listrik efektif diantara plat sehingga menaikkan kapasitansi dan konstanta dielektriknya. Temperatur<br />
annealing juga mempengaruhi struktur kristal, dimana nilai parameter kisi a, b dan c mengalami perubahan<br />
sehingga mengakibatkan volume dari kristal ikut berubah.<br />
Kata Kunci: ZnCo2O4, superkapasitor, partikel nano, kopresipitasi, temperatur annealing, struktur, konstanta<br />
dielektrik<br />
PENDAHULUAN<br />
Beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi<br />
kelangkaan energi terutama energi minyak bumi.<br />
Untuk itu, kita dituntut mencari solusi untuk<br />
mengatasi masalah tersebut (Huda., 2007) yaitu<br />
mencari alternatif sumber energi yang terbaru<br />
dengan sistem peralatan penyimpan energi, serta<br />
penyangga energi yang handal. Selama ini penelitian<br />
nanosains dan nanoteknologi di Indonesia masih<br />
mengalami kendala dalam aspek síntesis,<br />
karakterisasi, maupun aspek aplikasinya (Felix A et<br />
al.,2006). Untuk memenuhi sumber energi alternatif,<br />
kapasitor elektrokimia dengan densitas daya yang<br />
tinggi untuk baterai dan energi densitas untuk<br />
kapasitor dielektrik merupakan permintaan yang<br />
sangat besar (Hu Chi-Chang et al., 2007). Hal<br />
tersebut memiliki keuntungan yang sangat besar<br />
yaitu nilai rate dan life cycle yang tinggi, pengisian<br />
dalam jangka waktu yang pendek dan penggosongan<br />
dalam jangka panjang serta penyimpanan energi.<br />
Salah satu primodona adalah ZnCo 2 O 4 dalam<br />
matriks carbon nano foam (CNF) atau carbon<br />
nanotube (CNT) (Karthikeyan et al., 2009; Arulepp<br />
et al., 2006; Hu Chi-Chang et al., 2004)<br />
Bahan-bahan konvensional yang biasa<br />
digunakan sebagai superkapasitor antara lain seperti<br />
Karbon aerogel, CFN, CFT, RuO 2 dan IrO 2 telah<br />
mulai ditinggalkan karena biaya yang sangat tinggi.<br />
Sejauh ini telah dilaporkan dalam berbagai referensi,<br />
sintesis senyawa kompleks oksida dapat dilakukan<br />
melalui sol-gel atau kopresipitasi. Selain itu,<br />
senyawa yang sering digunakan untuk<br />
superkapasitor adalah ZnO (Karthikeyan et al.,<br />
2009). Lebih jauh, sel atau baterei yang sudah<br />
dikembangkan kebanyakan berbasis asimetri, yaitu<br />
sel yang memiliki keping atau lempeng dengan jenis<br />
berbeda.<br />
Faktor yang mempengaruhi nilai kapasitansi<br />
bahan nanomaterial adalah struktur kristal dan<br />
karakteristik morfologi permukaannya (Karthikeyan<br />
et al., 2009; Poizot et al., 2000; Sharma et al., 2007;<br />
Yang Yanyan et al., 2008). Telah dilaporkan<br />
nanomaterial ZnCo 2 O 4 dengan struktur kristal spinel<br />
kubik yang disintesis dengan menggunakan metode<br />
kopresipitasi memiliki nilai specific capacitance 77<br />
C65
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
F.g -1 dalam kapasitor berbasis ZnCo 2 O 4 /carbon<br />
nanofoam. Tetapi, analisis struktur kristal tidak<br />
diberikan secara detail sehingga sulit melihat<br />
hubungan antara struktur kristal dengan nilai specific<br />
capacitance yang dihasilkan (Karthikeyan et al.,<br />
2009). Hal ini disebabkan pada kandungan Zn, jika<br />
kandungan Zn dalam senyawa ZnCo 2 O 4 yang<br />
dilaporkan sangat sedikit, maka struktur kristal akan<br />
didominasi oleh senyawa Co 3 O 4 (Zhang Gaoke et al.,<br />
2006), yang juga luas dikaji dalam aplikasi baterai<br />
berbasis lithium, sensor gas dan aplikasi berbasis<br />
magnetik lainnya. Cobalt cobaltite Co 3 O 4 juga<br />
memiliki struktur kristal spinel kubik (Makhlouf A<br />
et al., 2002). Sehingga sangat penting mengetahui<br />
karakteristik struktur kristal senyawa yang<br />
dihasilkan sebelum karakterisasi bahan dilakukan.<br />
Dalam Perkembangannya, Superkapasitor<br />
disintesis dengan cara: metode dekomposisi, metode<br />
pengendapan hidroksida (Jolivet., 2004), metode<br />
sonokimia dan metode kopresipitasi. Dibandingkan<br />
dengan metode konvensional keramik, metode<br />
kopresipitasi mempunyai keunggulan, yaitu: tingkat<br />
kemurnian yang tinggi, proses pengendapannya<br />
sangat sederhana sehingga memudahkan dalam<br />
pemisahannya pada temperatur rendah, waktu yang<br />
dibutuhkan relatif cepat serta dengan peralatan yang<br />
sederhana. Kelarutan zat diharapkan dapat melewati<br />
masa larutan jenuh dimana konsentrasi zat terlarut<br />
lebih besar dibandingkan keadaan kesetimbangan<br />
sistem yang akan menghasilkan pembentuk inti<br />
kristal. Proses ini memungkinkan untuk<br />
menghasilkan serbuk dengan ukuran kristal < 100<br />
nm (Pudjatmaka., 1989; Van Vlack., 1964).<br />
Proses annealing akan berpengaruh cukup<br />
besar pada pembentukan fase kristal bahan. Fraksi<br />
fase yang terbentuk umumnya bergantung pada lama<br />
dan atau temperatur annealing. Semakin besar<br />
temperatur annealing dimungkinkan semakin cepat<br />
proses pembentukan kristal tersebut. Besar kecilnya<br />
temperatur juga berpengaruh pada bentuk serta<br />
ukuran celah dan juga berpengaruh pada struktur<br />
pertumbuhan Kristal (Van Vlack., 1964; Kittel,<br />
Charles. 2002)<br />
Berdasarkan manfaat dan keunggulan metode<br />
sintesis tersebut diatas, dalam penelitian ini akan<br />
disintesis partikel nano ZnCo 2 O 4 dengan metode<br />
kopresipitasi yang suhu annealing-nya divariasi<br />
pada suhu 120 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C,<br />
600 0 C, dan 800 0 C selama 2 jam dan karakterisasi<br />
struktur serta magneto dielektrisitasnya. Untuk<br />
mengetahui hubungan antara kondisi reaksi, struktur<br />
kristal, konstanta dielektrik, magneto dielektrisitas<br />
dan grain size terhadap metode kopresipitasi yang<br />
digunakan untuk menghasilkan partikel nano<br />
ZnCo 2 O 4 adalah masalah utama penelitian ini.<br />
TINJAUAN TEORITIS<br />
Superkapasitor<br />
Superkapasitor adalah alat yang digunakan<br />
untuk menyimpan energi, seperti halnya baterai<br />
namun bekerja dengan mekanisme yang berbeda.<br />
Karena alat ini dapat mengisi (charging) dan<br />
melepaskan energi (discharging) dengan sangat<br />
cepat (Poizot, P., Laruelle., 2000). Kata<br />
superkapasitor merujuk pada tingginya nilai rate dan<br />
life cycle yang dimiliki suatu kapasitor (Sharma<br />
Yogesh et al., 2007). Superkapasitor simetrik adalah<br />
kapasitor yang menggunakan material yang sama<br />
dengan potensial operasi yang sama sebagai<br />
material-material elektroda positif dan negatif.<br />
Sedangkan superkapasitor asimetrik adalah kapasitor<br />
yang menggunakan material yang berbeda dengan<br />
potensial operasi yang berbeda sebagai materialmaterial<br />
elektroda positif dan negative (Sharma<br />
Yogesh., 2007; Karthikeyan et al., 2009) Pada<br />
dasarnya prinsip kerja superkapasitor mirip dengan<br />
prinsip kerja kapasitor, akan tetapi perbedaan<br />
mendasar terletak pada kapasitasnya yang sangat<br />
besar.<br />
Metode Kopresipitasi<br />
Kopresipitasi adalah proses dimana suatu zat<br />
yang dapat larut, terbawa mengendap selama<br />
terjadinya proses pengendapan suatu senyawa.<br />
Pengendapan terjadi akibat pembentukan Kristal<br />
campuran atau oleh adsorbs ion-ion selama proses<br />
pengendapan. Setelah endapan kristalin terbentuk<br />
untuk meningkatkan kemurnian, maka endapan<br />
disaring, dilarutkan dan diendapkan berulang-ulang.<br />
Akibatnya ion pengotor yang muncul dalam<br />
konsentrasi kecil dan akhirnya kopresipitasi lebih<br />
sedikit (Y. ikedo et al., 2007)<br />
Pada temperatur tertentu, kelarutan zat dalam<br />
pelarut akan melewati masa larutan lewat jenuh<br />
dimana konsentrasi zat terlarut lebih besar<br />
dibandingkan keadaan kesetimbangan system yang<br />
akan menghasilkan pembentukan inti Kristal. Agar<br />
kesetimbangan system tetap terkendali, maka harus<br />
diperhatikan faktor keadaan optimum untuk<br />
pengendapan antara lain:<br />
4. Pengendapan harus dilakukan dalam larutan<br />
encer, yang bertujuan untuk memperkecil<br />
kesalahan akibat kopresipitasi<br />
5. Pereaksi dicampurkan perlahan-lahan dan<br />
teratur dengan pengadukan yang tetap, yang<br />
berguna untuk perumbuhan Kristal yang teratur.<br />
Untuk kesempurnaan reaksi, pereaksi harus<br />
berlebih serta urutan pencampuran harus teratur<br />
dan sama<br />
6. Pengendapan harus dilakukan pada larutan<br />
panas sebab kelarutan akan meningkatkan<br />
dengan bertambahnya temperature<br />
7. Endapan Kristal yang terbentuk dalam waktu<br />
yang lama<br />
C66
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
8.<br />
Endapan harus dicuci dengan larutan yang encer<br />
dan berulang-ulang agar pengotor betul-betul<br />
hilang (Y. ikedo et al., 2007)<br />
Secara matematika metode kopresipitasi<br />
merupakan metode yang sangat efektif untuk<br />
membuat suatu bahan. Hal ini disebabkan adanya<br />
pengembagan metode semi-quantitatif yang<br />
membantu dalam peningkatan efek pH dan kekuatan<br />
ion nanokristal yang dihasilkan (Pudjatmaka., 1989),<br />
serta menyebabkan proses pembuatan senyawa<br />
ZnCo 2 O 4 sangat efisien dan efektif<br />
Struktur Spinel<br />
Spinel merupakan struktur kristal yang<br />
tersusun dari dua sub struktur, yaitu struktur<br />
tetrahedral (bagian A) dan struktur oktahedral<br />
(bagian B). Pada bagian tetrahedral, ion-ion logam<br />
berlokasi di pusat sebuah tetrahedron dengan sudutsudutnya<br />
ditempati oleh ion-ion oksigen; sedangkan<br />
pada bagian oktahedal, ion-ion logam berlokasi di<br />
pusat oktahedron dengan sudut-sudutnya ditempati<br />
oleh ion-ion oksigen. Berdasarkan distribusi ion-ion<br />
logam pada bagian A dan B, struktur spinel dapat<br />
dibedakan menjadi spinel normal, spinel invers, dan<br />
spinel campuran atau mixed spinel. Spinel normal<br />
tebentuk apabila semua ion logam divalen<br />
menempati posisi A dan semua ion logam trivalen<br />
menempati posisi B. Spinel invers tebentuk apabila<br />
semua ion logam divalen menempati posisi B,<br />
sedangkan setengah ion-ion logam trivalen<br />
menempati posisi B dan setengah yang lain<br />
menempati posisi A. Spinel campuran merupakan<br />
spinel yang tidak mengikuti pola spinel normal dan<br />
spinel invers. Struktur Spinel Senyawa ZnCo 2 O 4<br />
pada penelitian ini adalah spinel normal. Gambar 1<br />
merupakan visualisasi model susunan atom-atom<br />
unsur Zn, Co dan O dalam struktur kristal spinel<br />
kubik Fd m yang akan disintesis. Kristal ZnCo 2 O 4<br />
memiliki parameter kisi pada suhu ruang sebesar<br />
a=b=c= 8,1052 Ǻ sudut-sudutnya (α = β = γ) adalah<br />
90 o . Dalam struktur kristal ini, cobalt memiliki dua<br />
kemungkinan keadaan oksidasi, yaitu Co 2+ dan Co 3+ ,<br />
yang masing-masing secara berurutan menempati<br />
site tetrahedral dan site oktahedral. Keadaankeadaan<br />
ion cobalt inilah yang diduga memberikan<br />
kontribusi di dalam proses elektrokimia. satuan<br />
struktur kristal ZnCo 2 O 4 ditampilkan pada Gambar<br />
1.<br />
Gambar 1. visualisasi model susunan atom-atom ZnCo 2 O 4 yang<br />
akan disintesis<br />
Bahan Dielektrik<br />
Bahan dielektrik adalah bahan yang<br />
memisahkan dua konduktor listrik tanpa ada aliran<br />
listrik. Sedangkan Konstanta Dielektrik adalah<br />
perbandingan antara kapasintansi kapasitor dengan<br />
bahan dielektrik dan kapasitansi kapasitor tanpa<br />
bahan dielektrik. Konstanta dielektrik dapat dipakai<br />
untuk menyatakan kekuatan baahn dielektrik dalam<br />
menyimpan muatan listrik (Van Vlack., 1964)<br />
Sifat-sifat bahan dielektrik sangat penting<br />
dalam elektronika atau listrik karena:<br />
1. Dapat menyimpan muatan listrik<br />
2. Dapat menahan arus searah<br />
3. Dapat melewatkan arus bolak-balik<br />
Ketika dua bahan yang terpisahkan oleh ruang<br />
hampa, kemudian diberi tegangan (beda potensial)<br />
sebesar V, maka pada rangkaian tersebut tidak akan<br />
terlihat adanya arus yang mengalir maka banyaknya<br />
muatan akan tersimpan pada rangkaian tersebut yang<br />
terisi pada kapasitor. Nilai atau besarnya muatan<br />
yang tersimpan dalam rangkaian ini disebut dengan<br />
kapasitas kapasitor (C), dan hubungannya dapat<br />
dinyatakan sebagai:<br />
Q = C V<br />
Dimana V menyatakan beda potensial antara<br />
dua penghantar dan Q adalah besarnya muatan yang<br />
tersimpan pada kapasitor.<br />
Satuan kapasitansi adalah Coulomb/Volt atau<br />
{C/V} atau Farad {F}. Satu farad adalah jumlah<br />
muatan listrik sebesar satu coulomb yang tersimpan<br />
di dalam elektrik {zat perantara} dengan beda<br />
potensial sebesar satu volt. Jadi kapasitansi suatu<br />
kapasitor adalah kemampuan dari kapasitor tersebut<br />
untuk menyimpan muatan listrik.<br />
Ketika suatu bahan dialektrik disisipkan<br />
menggantikan ruang hampa di antara dua plat<br />
penghantar mengakibatkan terjadinya mekanisme<br />
induksi listrik dalam bahan dielektrik yang<br />
berdampak bertambah besarnya muatan listrik yang<br />
tersimpan dalam kapasitor. Sumbangan dipol-dipol<br />
listrik akibat mekanisme polarisasi dan jumlah<br />
muatan yang tersimpan dalam kapasitor<br />
direfleksikan oleh besaran ε yang merupakan watak<br />
atau perilaku bahan dielektrik. Peristiwa ini<br />
ditunjukkan pada Gambar 2.<br />
C67
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2 (a) Bahan Dielektrik tanpa Medan Listrik, (b) dengan<br />
Medan Listrik<br />
Nilai kapasitas kapasitor bergantung pada<br />
jenis bahan yang ada diantara plat penghantar dalam<br />
kapasitor, ukuran dan bentuk geometri plat<br />
penghantar, dan jarak antara dua plat panghantar.<br />
Pada kapasitor yang berisi ruang hampa nilai<br />
kapasitas kapasitor dinyatakan dalam persamaan:<br />
Setelah bahan dielektrik disisipkan di antara plat<br />
kapasitor, kapasitansi dielektriknya dinyatakan<br />
dengan:<br />
dengan:<br />
C = kapasitansi kapasitor (F)<br />
ε 0 = permetivitas ruang hampa = 8,85 x 10 -12 F/m<br />
A = luas plat (m 2 )<br />
d = jarak antar plat (m)<br />
ε r = permitivitas bahan dieliktrik = κ e<br />
Persamaan diatas digunakan untuk<br />
menghitung nilai konstanta dielektrik dipakai untuk<br />
menyatakan kekuatan bahan dielektrik untuk<br />
menyimpan muatan listrik (Van Vlack., 2001).<br />
EKSPERIMEN<br />
Partikel nano ZnCo 2 O 4 disintesis dengan<br />
metode kopresipitasi. ZnCl 2 (PA 99,99%),<br />
CoCl 2 .6H 2 O (PA 99,99%) sebagai bahan dasar<br />
sintesis, bahan tersebut dilarutkan dalam 30 ml<br />
NH 4 OH (6,5 M, PA 99,99%) kemudian 5 ml<br />
NH 4 OH ditetesi 5 tetes tiap 10 menit, larutan<br />
tersebut diaduk dengan magnetk stirrer pada suhu<br />
80 0 C hingga terbentuk endapan. Setelah larutan<br />
terbentuk, dilakukan filtrasi dengan kertas saring<br />
yang dicuci dengan aquades murni dan Ethanol (PA<br />
99,99%). Bahan yang diperoleh selanjutnya<br />
dikeringkan dalam Furnace pada suhu 100 0 C sekitar<br />
1 jam, kemudian dipellet dan diannealing pada suhu<br />
120 o C , 250 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 o C, 600 o C,<br />
dan 800 o C selam 2 jam.<br />
Karakterisasi dengan XRF dan XRD untuk<br />
mengetahui komposisi dan struktur kristal dari<br />
senyawa ZnCo 2 O 4 yang terbentuk, kemudian data<br />
dianalisis dengan software RIETICA. Ukuran<br />
Kristal dihitung dengan menggunakan persamaan<br />
Scherrer (Pratapa., 2004) yaitu<br />
dengan λ panjang gelombang sinar-X, k<br />
konstanta=0,9, B lebar puncak pada setangah<br />
maksimum dan θ adalah sudut difraksi.<br />
HASIL dan DISKUSI<br />
Komposisi Bahan<br />
Perbandingan komposisi bahan yang<br />
digunakan dalam penelitian ini antara Zn:Co:O<br />
adalah 1:2:4 yang menjadi senyawa ZnCo 2 O 4 .<br />
Komposisi dari hasil sintesis kopresipitasi<br />
ditunjukkan pada table 1. tabel ini merupakan<br />
salinan dari print out asli keluaran minipal-4.<br />
Tabel 1. Data komposisi hasil XRF sampel ZnCo 2 O 4 kopresipitasi<br />
Senyawa Cl Co Zn<br />
Konsentrasi Unsur (%) 12,6 51,32 26,7<br />
Dari tabel tersebut terlihat bahwa komposisi<br />
Zn : Co mendekati 1 : 2. Sebernarnya terukur juga<br />
beberapa kation dengan jumlah sangat kecil yaitu<br />
kurang dari 0,5 % sehingga dapat diabaikan dalam<br />
perhitungan perbandingan. Dari tabel tersebut,<br />
terukur juga dua kation dalam jumlah cukup besar<br />
yaitu Clorida. Munculnya Cl diduga berasal dari<br />
senyawa mentah Zn-clorida dan penggunaan<br />
NH 4 OH selama proses kopresipitasi. Untuk<br />
mengatasi senyawa atau ion yang tidak diinginkan,<br />
dilakukan filtrasi ulang menggunakan aquades murni<br />
dan ethanol. Hasil presipitasi selanjutnya dipanaskan<br />
pada temperatur 100 0 C selama 1 jam secara<br />
perlahan. Hasil refiltrasi ini diuji lagi dengan<br />
menggunakan XRF, hasilnya ditampilkan pada<br />
Tabel 2.<br />
Tabel 2. Data komposisi hasil XRF sampel ZnCo 2 O 4 kopresipitasi<br />
Senyawa Cl Co Zn<br />
Konsentrasi Unsur (%) ~ 52,90 27,3<br />
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa<br />
komposisi unsur yang muncul Zn dan Co. Ion-ion<br />
atau oksida lain yang terukur dapat diabaikan.<br />
Unsure Cl yang sebelumnya muncul sudah tidak<br />
tampak pada pengukuran senyawa hasil refiltrasi.<br />
Namun kandungan oksigen tidak biasa dimunculkan<br />
karena tidak dapat diukur menggunakan XRF<br />
maupun EDAX. Dalam tabel 1 dan 2 hanya<br />
ditampilkan kationnya saja. Meskipun dapat<br />
ditampilkan dalam bentuk oksida meskipun begitu<br />
peneliti tidak menggunakan oksida, alih-alih<br />
kationnya. Alasannya,adalah Oksigen tidak dapat<br />
diukur dari peralatan XRF (terlalu ringan).<br />
C68
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pola Difraksi Sinar-X (XRD) dan Hasil<br />
Pengukuran Konstanta Dielektrik<br />
Pola Difraksi sampel dalam bentuk serbuk<br />
yang dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD)<br />
ditampilkan pada Gambar 2.3<br />
Intensitas<br />
950<br />
900<br />
850<br />
800<br />
750<br />
700<br />
650<br />
600<br />
550<br />
500<br />
450<br />
400<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90<br />
2 Theta<br />
120 0 C<br />
250 0 C<br />
300 0 C<br />
400 0 C<br />
500 0 C<br />
600 0 C<br />
800 0 C<br />
Gambar 3. Pola XRD ZnCo 2 O 4 dengan suhu annealing 120 0 C,<br />
250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C<br />
Berdasarkan Gbr.3. menunjukkan bahwa pada<br />
temperatur annealing 120 0 C, struktur kristal spinel<br />
belum terbentuk. Fasa spinel baru terbentuk pada<br />
temperatur annealing ≥ 250 0 C.<br />
Konstanta Dielektrik<br />
16000<br />
14000<br />
12000<br />
10000<br />
8000<br />
6000<br />
4000<br />
2000<br />
0<br />
100 200 300 400 500 600 700 800 900<br />
Temperatur Annealing ( o C)<br />
0 mT<br />
0,1 mT<br />
0,3 mT<br />
0,5 mT<br />
0,7 mT<br />
0,9 mT<br />
1,1 mT<br />
Gambar 4 Hubungan antara temperatur annealing dan konstanta<br />
dielektrik dengan dan tanpa medan magnet<br />
Berdasarkan Gbr.4. diketahui bahwa partikel<br />
nano ZnCo 2 O 4 mengalami transisi struktur pada<br />
temperatur annealing 300 0 C yaitu dari spinel normal<br />
ke spinel campuran. Peningkatan suhu annealing<br />
mengakibatkan perubahan pola parameter kisi a, b<br />
dan c dan volume. Hal ini dikarenakan ketika Zn<br />
berikatan terhadap Co 3 O 4 , ada atom Co 2+ yang<br />
tergantikan oleh atom Zn 2+ sehingga jari-jari<br />
atomnya mengkerut/mengecil, karena jari-jari ion<br />
Zn 2+ (0,74 Å) lebih kecil dari jari-jari ion Co 2+ (0,82<br />
Å). Hal ini ditandai dengan adanya perubahan posisi<br />
atom yang saling berdekatan, sehingga jarak antar<br />
atomnya semakin dekat dan terjadi perubahan<br />
terhadap sudut antar atom serta volume kristal yang<br />
menurun. Jika volume sel menurun, maka konstanta<br />
kisi, sudut atom, dan jarak antar atom juga<br />
mengalami perubahan.<br />
Berdasarkan hasil tersebut, variasi temperatur<br />
annealing berpengaruh besar pada struktur kristal<br />
ZnCo 2 O 4 . Sehingga semakin tinggi temperatur<br />
annealing maka semakin banyak atom Zn 2+ yang<br />
menggantikan atom Co 2+ . Jarak Co_O ini akan<br />
semakin dekat karena jari-jari Co 2+ 0,82 Å. Jarak<br />
antar atom yang semakin dekat menyebabkan<br />
penurunan terhadap volume Kristal. Hal ini<br />
menunjukkan jarak inti terhadap elektron juga dekat<br />
sehingga inti akan mengikat elektron lebih kuat.<br />
Karena elektron terikat kuat oleh inti maka elektron<br />
tidak mudah bergerak. Sehingga bahan semakin<br />
tidak konduktif karena elektron merupakan<br />
pembawa muatan dalam material padat. Dengan kata<br />
lain bahan dielektrik akibat adanya gaya ikat inti<br />
elektron yang semakin kuat dan tidak mudah lepas.<br />
Beberapa kemungkinan mekanisme fisis yang<br />
mempengaruhi konstanta dielektrik secara lengkap<br />
adalah: (1) Polarisasi elektronik (elektron valensinya<br />
mudah terlepas) yang dijelaskan sebelumnya, (2)<br />
polarisasi ionik (terjadinya pergeseran ion), (3)<br />
polarisasi dipolar (reorientasi molekul polar), (4)<br />
space charge (pengumpulan muatan 2+ ke tempat<br />
lain dalam satu kristal), (5) magnetik, dan (6)<br />
struktur kristal denga n fase yang berbeda.<br />
Parameter Kisi (A 0 )<br />
8.11<br />
8.10<br />
8.09<br />
8.08<br />
8.07<br />
8.06<br />
8.05<br />
8.04<br />
8.03<br />
Konstanta Kisi<br />
Volume KIsi<br />
200 300 400 500 600 700 800<br />
Temperatur Annealing ( 0 C)<br />
Gambar 5 Parameter kisi dan volume kisi partikel nano ZnCo 2 O 4<br />
yang disintesis dengan metode kopresipitasi<br />
Dari Gbr.5 terlihat bahwa fraksi volume tidak<br />
sejalan dengan suhu sintering. Secara umum fraksi<br />
volume mengalami peningkatan seiring dengan<br />
semakin tinggi temperatur annealing hal ini<br />
dimungkinkan karena semakin tinggi temperatur<br />
annealing maka ion Cobalt pada senyawa ZnCo 2 O 4<br />
dapat lebih bereksi.<br />
Pada temperatur annealing 250 0 C volumenya<br />
adalah sebesar 529,97 kemudian fraksi volume<br />
mengalami penurunan pada temperatur annealing<br />
400 0 C. Dari temperatur annealing 400 0 C sampai<br />
dengan 800 0 C fraksi volume mengalami<br />
peningkatan. Dengan demikian dapat diketahui<br />
bahwa dalam rentang temperatur annealing 120 0 C<br />
tingkat kemurnian fasa senyawa ZnCo 2 O 4 yang<br />
paling tinggi terjadi pada temperatur annealing<br />
800 0 C<br />
534<br />
532<br />
530<br />
528<br />
526<br />
524<br />
522<br />
520<br />
518<br />
Volume Kisi (A 0 )<br />
C69
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Konstanta Dielektrik<br />
16000<br />
14000<br />
12000<br />
10000<br />
8000<br />
6000<br />
4000<br />
2000<br />
0<br />
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />
Medan Magnet (mT)<br />
Gambar 6. Hubungan antara medan magnet dan konstanta<br />
dielektrik pada berbagai temperatur annealing<br />
C120<br />
C250<br />
C300<br />
C400<br />
C500<br />
C600<br />
C800<br />
Pengukuran konstanta dielektrik senyawa<br />
superkapasitor ZnCo 2 O 4 yang di-annealing pada<br />
suatu temperatur tertentu (120 0 C, 250 0 C, 300 0 C,<br />
400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C) nilai konstanta<br />
dielektrik semakin besar atau memiliki grafik yang<br />
cenderung naik secara eksponensial positif dengan<br />
pengaruh medan magnet. Pada pendopingan Co 3 O 4<br />
dengan bahan Co yang bersifat ferromagnet<br />
konstanta dielektrik mengalami peningkatan seiring<br />
bertambahnya medan magnet. Peningkatan<br />
konstanta dielektrik ini dikarenakan senyawa ini<br />
mengalami magnetisasi yang mengakibatkan<br />
menurunnya medan listrik efektif diantara plat<br />
sehingga menaikkan kapasitansi dan konstanta<br />
dielektriknya.<br />
Ukuran Kristal dan Partikel<br />
Hasil analisis refinement dengan software<br />
RIETICA menghasilkan ukuran kristal, akan tetapi<br />
ukuran tersebut belum menunjukkan nilai yang<br />
cukup akurat. Oleh sebab itu dilakukan kalkulasi<br />
ulang dengan memasukkan factor koreksi seperti<br />
pada persamaan schrrer.<br />
Ukuran Kristal (nm)<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
200 300 400 500 600 700 800<br />
Suhu Annealing ( 0 C)<br />
Ukuran<br />
Gambar 7. Grafik ukuran Kristal serbuk ZnCo 2 O 4 terhadap variasi<br />
temperature annealing<br />
Dari Gbr.4 terlihat bahwa sampel dengan<br />
struktur spinel kubik normal (120 0 C≤x≤300 0 C) yang<br />
memiliki ukuran Kristal terkecil adalah pada<br />
temperatur 300 0 C yaitu sekitar 9,6 nm sedangkan<br />
sampel dengan struktur spinel campuran<br />
(300 0 C≤x≤800 0 C) pada temperature annealing<br />
500 0 C yaitu sekitar 8,59 nm yang secara umum<br />
merupakan ukuran kristal terkecil dari seluruh<br />
sampel.<br />
KESIMPULAN<br />
Partikel nano ZnCo 2 O 4 fasa berhasil disintesis<br />
dengan metode kopresipitasi pada suhu rendah<br />
(≤100 o C). Transisi struktur partikel nano ZnCo 2 O 4<br />
dari spinel kubik normal ke spinel campuran terjadi<br />
pada T=300 0 C. Ukuran kristal terkecil dimiliki oleh<br />
T=500 0 C yaitu sekitar 8,59 nm dan terbesar oleh<br />
T=800 0 C yaitu sekitar 75,40 nm. Sifat konstanta<br />
dielektrik yang diberikan medan magnet terhadap<br />
temperatur anneling bergantung pada nilai konstanta<br />
dielektrik tanpa medan magnet, tetapi pada<br />
temperatur tertentu yang di induksikan dengan<br />
medan magnet nilai konstanta dielektriknya akan<br />
meningkat seiring dengan induksi medan magnet<br />
yang diberikan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Huda, M. 13 November, 2007. Menyiasati Krisis<br />
Listrik di Indonesia. Jawa Pos halaman 6.<br />
Felix A. Farret, M. Godoy Simo˜es, Integration of<br />
alternative sources of energy, John<br />
Wiley&Sons, NJ, 2006<br />
Hu, Chi-Chang, Liu, Ming-Jue, Chang, Kuo-Hsin,<br />
Anodic deposition of Hydrous ruthenium<br />
oxide for supercapacitors, Journal of Power<br />
Sources 163 (2007) 1126-1131<br />
Hu, Chi-Chang, Chen, Wei-Chun, Effects of<br />
Substrates on the capacitive performance of<br />
RuO x .nH 2 O and activated carbon-RuO x<br />
electrodes for supercapacitors,<br />
Electrochimica Acta 49 (2004) 3469-3477<br />
Arulepp, M., Leis., et al., The advance Carbidederived<br />
carbon based supercapacitor, Journal<br />
of Power Sources 162 (2006) 1460-1466<br />
Karthikeyan, K., Kalpana, D., Renganathan, N.G.,<br />
Synthesis and Characterization of ZnCo 2 O 4<br />
nanomaterial for symmetric supercapacitor<br />
applications, Ionics 15 (2009) 107-110.<br />
Poizot, P., Laruelle, Gruegon, S., Dupont, L.,<br />
Tarascon, JM., Nano-sized transition-metal<br />
oxides as negative-electrode materials for<br />
Lithium-ion batteries, Nature, Vol. 407,<br />
2000.<br />
Sharma, Yogesh, harma, N., et al., Nanophase<br />
ZnCo 2 O 4 as a High Performance Anode<br />
Material for Li-ion Batteries, Adv. Funct.<br />
Mater. 2007, 17, 2855-2861.<br />
Yang, Yanyan, Zhao, Yanqiang, Xiao, Lifen, Zhang,<br />
Lizhi, Nanocrystaline ZnMn 2 O 4 as a novel<br />
lithium-storage material, Electrochemistry<br />
Communications 10 (2008) 1117-1120.<br />
Zhang Gaoke, et al., Comparison of Synthesis<br />
methods, crystal structure and<br />
characterization of strontium cobaltite<br />
powders, Materials Chemistry and Phyisics<br />
99 (2006) 88-95.<br />
C70
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Makhlouf, A., Salah, Magnetic Properties of Co 3 O 4<br />
nanoparticles, J. Magnetism and Magnetic<br />
Materials 246 (2002) 184-190.<br />
Jolivet, J.P., (2004), Moleculer Cluster to extended<br />
Solid Network, Cambridge, 481-487<br />
Pudjatmaka.A.H., (1989), Analisis Kimia<br />
Kuantitatif, Erlangga. Jakarta<br />
Van Vlack, H. Lawrence.1964. Element of Materials<br />
Science, An Introduction Text for<br />
Engineering Student. London: Addison-<br />
Wesley Publishing Company, Inc.<br />
Van Vlack, H. Lawrence. 2001. Element of<br />
Materials Science, An Introduction Text for<br />
Engineering Student. London: Addison-<br />
Wesley Publishing Company, Inc.<br />
C71
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Ketebalan Elektroda Terhadap Nilai Kapasitansi Spesifik dan<br />
“Retained Ratio” Serbuk Gergaji Kayu Karet untuk Pembuatan<br />
Superkapasitor<br />
Yanuar, Iwantono, Erman Taer, Risa Andriani<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau<br />
Email : yanuar_unri@hotmail.com<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan penelitian mengenai efek ketebalan dan “retained ratio” pada elektroda karbon dari serbuk<br />
gergaji kayu karet. Elektroda karet dibuat dalam bentuk pelet melalui proses karbonisasi dan aktivasi fisika<br />
dengan gas CO 2 pada temperatur konstan yaitu 800 0 C, dimana sampel dari serbuk gergaji dilakukan dengan<br />
proses awal yaitu pra-karbonisasi pada temperatur 280 0 C. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pengukuran<br />
sifat fisik dan sifat elektrokimia. [i] pengukuran sifat fisik, meliputi: pengukuran persentase susut massa dari<br />
sampel pada tahap pra-karbonisasi yaitu sebesar 26,63%, densitas rata-rata pada proses karbonisasi dan aktivasi<br />
yaitu sebasar: 0,71 gr/cm 3 dan 0,68 gr/cm 3 dan luas permukaan BET yaitu sebesar: 390,79 cm 3 /gr. [ii]<br />
pengukuran sifat elektrokimia menggunakan metoda voltamogram siklis (CV), meliputi: pengukuran nilai<br />
kapasitansi spesifik tertinggi yaitu: 111,39 F/gr pada ketebalan 0,6 mm dan pengukuran nilai “retained ratio”<br />
tertinggi yaitu: 25,22% pada ketebalan 0,4 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa sebuk gergaji kayu karet (SGKK)<br />
merupakan bahan yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan dasar dalam pembuatan superkapasitor.<br />
Kata kunci : Serbuk gergaji kayu karet (SGKK), karbon aktif, Luas permukaan (BET), Kapasitansi spesifik dan<br />
Superkapasitor<br />
PENDAHULUAN<br />
Teknologi penyimpan energi listrik antara lain<br />
dapat dilakukan oleh: kapasitor, baterai, fuel cell dan<br />
superkapasitor. Dalam proses penyimpanan energi<br />
dan daya, masing-masing penyimpan tersebut<br />
memiliki perbedaan, dimana baterai memiliki<br />
kemampuan untuk menyimpan energi tinggi namun<br />
dayanya cukup kecil; fuel cell mampu menyimpan<br />
energi tinggi dari baterai namun dayanya kecil dari<br />
baterai; kapasitor memiliki energi yang sangat kecil<br />
namun dayanya sangat besar; superkapasitor<br />
memiliki energi besar dan daya yang tinggi (Arepalli<br />
et al., 2005). Berdasarkan perbedaan tersebut, dalam<br />
beberapa tahun terakhir yang menjadi kajian<br />
beberapa ahli adalah superkapasitor karena<br />
kemampuannya dalam menyimpan energi dan daya<br />
sangat besar (Namisnyk, 2003). Superkapasitor<br />
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan<br />
kapasitor konvensional, diantaranya adalah waktu<br />
hidup yang lebih lama, prinsip dan modelnya yang<br />
sederhana, waktu me-recharge yang pendek serta<br />
aman dalam penggunaannya (Kötz et al. 2002;<br />
Jayalakshmi et al., 2008).<br />
Superkapasitor terdiri dari elektroda, elektrolit,<br />
pemisah (separator) dan pengumpul arus. Bahan<br />
dasar utama yang digunakan sebagai elektroda<br />
karbon adalah material organik dengan kandungan<br />
karbon yang tinggi. Bahan yang memiliki<br />
kandungan karbon yang tinggi antara lain terdapat<br />
pada: kayu, bambu dan tempurung kelapa. Pada<br />
penelitian ini, bahan pembuatan elektroda karbon<br />
yang digunakan adalah serbuk gergaji kayu karet.<br />
Material elektroda karbon merupakan salah satu<br />
teknologi yang penting karena kemampuannya untuk<br />
bereaksi dengan gas dan cairan tidak hanya pada<br />
bagian permukaan saja tetapi pada seluruh bagian<br />
dari elektroda karbon tersebut (Handoko et al, 2008).<br />
Elektroda karbon memiliki bentuk pori yang<br />
berbeda-beda, dimana bentuk pori tersebut ada tiga<br />
macam, yaitu: pori yang berukuran di bawah 2 nm<br />
disebut dengan mikropori, pori berukuran 2 nm-50<br />
nm yang disebut dengan mesopori dan pori yang<br />
berukuran diatas 50 nm disebut struktur struktur<br />
makropori (Inagaki, 2009).<br />
Bentuk pori pada elektroda karbon sangat<br />
mempengaruhi proses difusi ion, dimana difusi<br />
merupakan proses penyerapan ion atau molekul dari<br />
konsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Pada<br />
struktur mikropori, diameter antar pori sangat kecil<br />
sehingga terjadi gaya tarik menarik antara dinding<br />
pembentuk pori tersebut. Gaya tarik-menarik ini<br />
akan menimbulkan energi potensial sehingga<br />
menghasilkan penyerapan yang kuat. Pada<br />
umumnya, struktur mikropori dapat menentukan<br />
besarnya daya serap ion atau molekul pada<br />
permukaan elektroda karbon. Semakin banyak<br />
struktur mikropori, maka penyerapan pada elektroda<br />
karbon tersebut semakin baik. Struktur mesopori<br />
berfungsi sebagai terowongan utama dalam<br />
penyerapan ion atau molekul dan pada struktur<br />
makropori terjadi difusi molekul ke dalam partikel<br />
pori (Gorka, J. et al, 2008).<br />
Perbedaan ketebalan elektroda karbon menjadi<br />
faktor penentu agar ion dapat berdifusi melalui<br />
C72
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
lubang-lubang pori, apabila ketebalan elektroda<br />
karbon semakin tipis, maka akan semakin<br />
memudahkan ion-ion untuk berdifusi. Variasi<br />
ketebalan pada elektroda karbon akan<br />
mempengaruhi nilai dari kapasitansi spesifik<br />
elektroda karbon dan nilai retained ratio. Retained<br />
ratio merupakan perbandingan nilai kapasitansi<br />
spesifik elektroda karbon pada laju scan tertentu<br />
terhadap nilai laju scan awal. Untuk semua sampel,<br />
nilai retained ratio akan menurun seiring dengan<br />
meningkatnya arus pada elektroda karbon (Burke,<br />
2000).<br />
Pada penelitian ini, pembuatan elektoda karbon<br />
dari serbuk gergaji kayu karet dapat dilakukan<br />
dengan proses karbonisasi dan dilanjutkan dengan<br />
proses aktivasi fisika menggunakan gas CO 2 pada<br />
temperatur 800 o C. Setelah terbentuk elektoda karbon<br />
maka nilai kapasitansi spesifik dapat diukur<br />
menggunakan voltammogram siklis (CV).<br />
Pengukuran nilai kapasitansi spesifik ini bergantung<br />
pada luas permukaan dari karbon. Berdasarkan teori,<br />
semakin luas permukaan pori maka nilai kapasitansi<br />
spesifiknya akan semakin tinggi (Xing et al., 2006).<br />
METODOLOGI<br />
Tahap awal yang perlu dilakukan dalam<br />
penelitian ini adalah pemilihan batang kayu karet<br />
(Havea brassiliensi muel arg), dimana kayu yang<br />
akan digunakan adalah kayu yang sudah tidak<br />
produktif lagi. Pemilihan kayu karet merupakan<br />
salah satu faktor penentu agar diperolehnya pelet<br />
atau elektroda karbon yang baik (Srinivasakannan et<br />
al., 2004). Pengolahan kayu karet dilakukan dengan<br />
menggunakan alat pemotong kayu untuk<br />
memperoleh serbuk gergaji kayu karet (SGKK).<br />
Kayu yang sudah menjadi serbuk dijemur agar tidak<br />
mengandung air lagi. Penjemuran ini dilakukan<br />
terus-menerus hingga massa dari serbuk tersebut<br />
menjadi konstan. Tahap pra-karbonisasi merupakan<br />
suatu tahap dimana serbuk gergaji dipanaskan pada<br />
temperatur 280 0 C selama ± 4 jam dalam keadaan<br />
vakum. Disini dapat dilihat perubahan dari fisik<br />
serbuk yang telah dipanaskan dengan sebelum<br />
dipanaskan. Pada temperatur (200-280) 0 C serbuk<br />
kayu secara perlahan akan menjadi karbon dan<br />
warna karbon tersebut akan menjadi coklat gelap<br />
serta mengandung ± 70% karbon swa-merekat.<br />
Proses pra-karbonisasi dilakukan dengan<br />
menggunakan furnace. Penggilingan dilakukan<br />
dengan tujuan untuk menghasilkan serbuk yang<br />
lebih halus dan diperoleh ukuran yang lebih kecil.<br />
Proses penghalusan serbuk dapat dilakukan dengan<br />
menggunakan ball milling, dimana waktu yang<br />
dibutuhkan pada proses ini adalah sekitar 36 jam<br />
dengan waktu istirahat sekali 1 jam.<br />
Tahap selanjutnya yaitu proses pengayakan<br />
dengan menggunakan ayakan yang berukuran 53<br />
μ m agar diperoleh butiran serbuk ≤ 53 μ m . Proses<br />
ini dilakukan agar diperoleh serbuk halus yang dapat<br />
digunakan untuk pembuatan pelet. Ukuran berat<br />
serbuk yang ideal untuk dijadikan pelet adalah 0,65<br />
gr sehingga pelet yang diinginkan tidak terlalu pipih<br />
dan tidak pula terlalu tebal. Langkah selanjutnya<br />
adalah mencetak serbuk menjadi bentuk kepingan<br />
lingkaran dengan menggunakan Hydraulic Press.<br />
dengan memberikan tekanan seberat 8 Ton untuk<br />
memampatkan serbuk di dalam cetakan agar<br />
menjadi padat. Setelah itu dilakukan tahap<br />
karbonisasi yang merupakan suatu proses<br />
pemanasan bahan baku tanpa adanya udara (keadaan<br />
vakum) pada temperatur yang tinggi. Proses<br />
karbonisasi dilakukan pada temperatur 800 0 C<br />
dengan menggunakan gas N 2 . Tujuan dari proses<br />
karbonisasi ini dilakukan adalah untuk<br />
menyingkirkan bahan yang bukan karbon serta<br />
menghindari pelet terurai menjadi abu, dimana<br />
proses ini dilakukan selama 8-9 jam. Setelah proses<br />
karbonisasi, selanjutnya dilakukan proses aktivasi<br />
fisika dengan menggunakan gas CO 2 dengan<br />
temperatur 800 0 C selama 1 jam yang bertujuan<br />
untuk meningkatkan luas permukaan dan<br />
memperbesar diameter pori (Guo et al., 2003).<br />
Dalam kajian ini, sampel yang telah<br />
dikarbonisasi dimasukkan ke dalam furnace dan gas<br />
CO 2 dialirkan masuk ke dalam furnace. Proses ini<br />
diawali pada temperatur bilik hingga mencapai<br />
temperatur 800 0 C dan ditahan selama 1 jam (Park et<br />
al., 2004). Proses pengeluaran sampel sama halnya<br />
dengan karbonisasi, dimana sampel dapat<br />
dikeluarkan jika temperaturnya sudah kembali<br />
menjadi temperatur kamar. Pemolesan dilakukan<br />
apabila proses aktivasi selesai dengan menggunakan<br />
kertas pasir Kovex P1200 dan cetakan untuk<br />
pengaturan ketebalan pelet yang berbentuk balok<br />
padat yang ditengahnya dibuat lubang dengan<br />
diameter sesuai dengan diameter pelet dan ke<br />
dalamannya sesuai dengan ketebalan pelet yang<br />
diinginkan. Pelet dipoleskan secara pelan-pelan<br />
dengan kertas pasir sampai permukaan pelet tersebut<br />
sama rata dengan permukaan balok cetakan. Ukuran<br />
ketebalan pelet dalam penelitian ini adalah 0.3mm,<br />
0.4mm, 0.5mm, 0.6mm, 0.75mm dan 1.0mm.<br />
Kemudian dilakukan tahap pencucian dimana,<br />
tujuan dari pencucian dengan air suling ini adalah<br />
untuk mendapatkan pH 7 atau keadaan yang netral<br />
dari pelet tersebut. Pencucian disini dilakukan<br />
dengan cara merendam pelet di dalam gelas vial<br />
dengan air suling hingga mencapai keadaan netral.<br />
Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan selama 24<br />
jam dalam furnace (oven) yang bertemperatur 110 0 C<br />
untuk mendapatkan elektroda yang kuat. Selanjutnya<br />
elektroda karbon dianalis untuk pengukuran<br />
kapasitansi dengan menggunakan metoda<br />
voltammogram siklis Solatron Interface 1286<br />
dengan menggunakan tiga elektroda yaitu: elektroda<br />
kerja, elektroda referensi dan elektroda counter<br />
dengan larutan elektrolit asam sulfat 1M.<br />
Voltammogram siklis diukur mulai dari potensial 0<br />
C73
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
hingga 1.0 V terhadap elektroda referensi dengan<br />
variasi laju scan (1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 dan<br />
80) mV/s yang dikontrol menggunakan Corrware.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Parameter-parameter yang mempengaruhi<br />
tentang pengaruh ketebalan elektroda karbon dari<br />
serbuk gergaji kayu karet untuk aplikasi pembuatan<br />
superkapasitor antara lain: (1) pengukuran sifat fisik,<br />
meliputi: pengukuran densitas pada saat sebelum<br />
karbonisasi, setelah karbonisasi dan setelah aktivasi<br />
serta pengukuran serapan adsorpsi/desorpsi gas N 2 .<br />
(2) pengukuran sifat elektrokimia, meliputi:<br />
pengukuran kapasitansi spesifik dan “retained ratio”.<br />
Berdasarkan gambar 4.1, dapat diketahui bahwa<br />
dengan melakukan proses pra-karbonisasi pada<br />
temperatur optimum 280 0 C dalam keadaan vakum,<br />
serbuk gergaji kayu karet mengalami perubahan<br />
warna menjadi warna coklat tua. Serbuk gergaji<br />
kayu karet akan mengeluarkan kotoran berupa kerak<br />
yang menempel pada bahagian furnace serta sampel<br />
tersebut juga mengeluarkan bau. Proses prakarbonisasi<br />
dilakukan sebanyak 5 kali, dimana setiap<br />
dilakukan proses pra-karbonisasi maka sampel akan<br />
mengalami susut massa sebesar rata-rata ± 26,63%.<br />
Sampel yang dihasilkan sudah memiliki sifat swamerekat,<br />
hal ini ditandai dengan sifat serbuk berubah<br />
menjadi rapuh dan mudah untuk dihaluskan.<br />
cenderung menurun drastis sebesar ± 28 %. Hal ini<br />
disebabkan bahwa pada saat dilakukan proses<br />
karbonisasi, bahan yang bukan karbon seperti<br />
oksigen dan hidrogen akan menguap dan didorong<br />
keluar sehingga menyebabkan massa, diameter dan<br />
tebal pelet semakin berkurang, data dapat dilihat<br />
pada lampiran pada tabel (4.2; 4.3; 4.4). Selanjutnya<br />
setelah dilakukan proses aktivasi dengan gas CO 2 ,<br />
densitas pelet pun menurun tidak terlalu besar yaitu<br />
sekitar ± 2,8 %. Keadaan ini disebabkan karena<br />
komposisi dari pelet karbon sudah cukup baik<br />
sehingga pada proses aktivasi ini hanya terjadi<br />
perbaikan struktur pori, dimana zat pengotor yang<br />
ada pada permukaan pori akan menguap serta poripori<br />
karbon akan terbuka. Hal ini ditandai dengan<br />
struktur pelet menjadi semakin padat (Leofanti,<br />
Padovan et al. 1998).<br />
Densitas (gr/cm 3 )<br />
1.05<br />
1.00<br />
0.95<br />
0.90<br />
0.85<br />
0.80<br />
0.75<br />
0.70<br />
0.65<br />
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />
Sebelum karbonisasi<br />
Setelah karbonisasi<br />
Setelah aktivasi<br />
Sampel<br />
Gambar 4.2. Grafik perbandingan densitas pelet berdasarkan<br />
perbedaan karakterisasi<br />
Gambar 4.1. Persentase susut massa sampel<br />
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang<br />
dilakukan oleh Deraman et al, 1998 bahwa apabila<br />
susut massa dari serbuk berkisar 20-40 % setelah<br />
proses pra-karbonisasi maka serbuk tersebut telah<br />
memiliki sifat swa-merekat (tanpa diberi perekat)<br />
dan warna dari serbuk pun akan mengalami<br />
perubahan menjadi lebih gelap.<br />
Perbandingan pengukuran densitas pelet<br />
karbon dari serbuk gergaji kayu karet hasil<br />
penelitian yang telah dilakukan terlihat pada gambar<br />
4.2, bahwa nilai densitas rata-rata pelet untuk<br />
berbagai karakterisasi sebelum karbonisasi, setelah<br />
karbonisasi dan setelah aktivasi pada temperatur<br />
konstan (800 0 C) adalah: 0,99 gr/cm 3 ; 0,71 gr/cm 3<br />
dan 0,68 gr/cm 3 . Perbandingan antara densitas<br />
sebelum karbonisasi dengan setelah karbonisasi<br />
Berdasarkan gambar 4.3., hubungan antara<br />
volume serapan terhadap tekanan relatif dari gas N 2<br />
menyatakan bahwa kurva cenderung mengikuti<br />
adsorpsi isoterm tipe I menurut klasifikasi Brunauer,<br />
deming, Deming dan Teller (B.D.DT), dimana<br />
adsorpsi isotherm tipe I memperlihatkan adsorpsi<br />
satu lapisan (monolayer) maupun adsorpsi beberapa<br />
lapisan (multilayer) merupakan karakteristik<br />
material mikropori yang menunjukkan dataran<br />
tingginya hampir sama rata dengan penyerapan N 2<br />
pada tekanan relatif (Leofanti, Padovan et al. 1998).<br />
Hasil juga menunjukkan bahwa sampel tidak banyak<br />
mengandung mesopori dan makropori. Berdasarkan<br />
hasil pengukuran adsorpsi dan desorpsi gas N 2 dapat<br />
ditentukan sifat fisis dari pelet karbon, dimana data<br />
lengkapnya dapat dilihat pada lampiran tabel 4.5.<br />
Biasanya sifat fisis ini ditunjukkan berdasarkan<br />
bentuk parameter pori, diantaranya: luas permukaan<br />
spesifik dengan metoda BET (S BET ), luas permukaan<br />
mesopori (S meso ) dan volume mikropori (V mikro ) yang<br />
dapat dihitung dengan menggunakan metoda t-plot<br />
pada tekanan relatif (p/p 0 ), serta diameter pori ratarata<br />
dapat diperoleh menggunakan metoda BJH<br />
(Barrett-Joiner-Halenda) dari titik akhir pada data<br />
desorpsi isoterm.<br />
C74
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
160<br />
140<br />
Volume serapapan (cm 3 /gr)<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
Adsorpsi<br />
Desorpsi<br />
20<br />
0<br />
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />
Tekan relatif (P/P 0 )<br />
Gambar 4.3. Kurva hubungan volume serapan adsorpsi/desorpsi<br />
gas N 2 terhadap tekanan relatif<br />
Terlihat dengan jelas pada gambar di atas<br />
bahwa volume serapan semakin meningkat terhadap<br />
tekanan relatif. Berdasarkan hasil pengukuran<br />
dengan N 2 dan aktivasi CO 2 pada temperatur 800 0 C<br />
diperoleh besarnya luas permukaan spesifik (S BET )<br />
(390,79 cm 3 /gr), luas Volume mesopori (0,047<br />
m 3 /gr), volume mikropori (0,168 cm 3 /gr) dan<br />
diameter rata-rata pori (2,210 nm). Semakin besar<br />
luas permukaan dari suatu pori maka akan<br />
menyebabkan adsorpsi dari gas N 2 juga akan<br />
semakin meningkat, dimana peningkatan luas<br />
permukaan yang besar disebabkan karena terjadinya<br />
pembukaan pori pada pelet karbon yang awalnya<br />
tertutupi oleh pengotor. Kemudian dengan adanya<br />
gas N 2 maka kotoran tersebut akan terdorong keluar,<br />
hal ini disebabkan oleh jumlah pori elektrodanya<br />
semakin banyak sehingga menyebabkan diameter<br />
pori semakin kecil atau biasa disebut mikropori<br />
(Zhao, Lai et al. 2007).<br />
Pengukuran sifat elektrokimia pada bahasan ini<br />
yaitu menggunakan metoda volatmmogram siklis<br />
atau biasa disingkat dengan CV, dimana pengukuran<br />
CV ini merupakan pengukuran nilai kapasitansi<br />
spesifik dari suatu elektroda karbon. Pengukuran CV<br />
dapat dilakukan menggunakan Solatron interface<br />
1286 dengan menggunakan tiga elektroda, yaitu:<br />
elektroda kerja, elektroda referensi dan elektroda<br />
counter (penghitung) dengan larutan elektrolit asam<br />
sulfat (H 2 SO 4 ) 1M.<br />
Pengukuran CV untuk sampel elektroda karbon<br />
dengan ketebalan yang berbeda-beda (0,3 mm; 0,4<br />
mm; 0,5 mm; 0,6 mm; 0,75 mm dan1,0 mm),<br />
dilakukan pada laju scan dari (1, 5, 10, 20, 30, 40,<br />
50, 60, 70 dan 80) mV/s. Pada gambar (4.4) di<br />
bawah ditunjukkan gambar voltammogram siklis<br />
untuk laju scan 5 mV/s pada setiap ketebalan<br />
elektroda.<br />
Gambar 4.4. Voltammogram siklis berdasarkan perbedaan<br />
ketebalan pada laju scan 5mV/s<br />
Berdasarkan gambar di atas, kurva pada<br />
pengukuran voltammoram siklis untuk scan rate 5<br />
mV/s luas daerah pemisahan charge dan discharge<br />
semakin membesar dengan perbedaan ketebalan. Hal<br />
ini wajar terjadi karena disebabkan semakin tebalnya<br />
elektroda karbon maka semakin banyak jumlah<br />
kandungan karbon dan tentunya jumlah pori pun<br />
semakin banyak sehingga jumlah ion dapat<br />
diakumulasi (Park, Lokhande et al. 2004). Kurva<br />
pada ketebalan 0,5 mm; 0,6 mm; 0,75 mm dan 1,0<br />
mm memiliki bentuk siklus yang hampir sama yaitu,<br />
bentuk segi empat yang sudah terganggu (kuasi<br />
rektangular) yang lebih jauh dari bentuk ideal<br />
superkapasitor (rektangular) (Jisha, Hwang et al.<br />
2009). Hal ini karena semakin tebal elektroda maka<br />
semakin besar pula nilai tahanan transfer arus pada<br />
bidang batas elektrolit dan elektroda (Burke 2000).<br />
Namun pada ketebalan 0,3 mm dan 0,4 mm bentuk<br />
kurva voltammogram yang dihasilkan sudah<br />
mendekati bentuk ideal superkapasitor. Hal ini<br />
disebabkan tahanan transfernya kecil sehingga arus<br />
pada saat charge cepat terisi begitupun pada saat<br />
discharge, arus yang keluar juga akan semakin cepat.<br />
Nilai kapasitansi spesifik berdasarkan<br />
perbedaan ketebalan penelitian yang dilakukan,<br />
pengukuran voltammogram siklis dengan variasi<br />
ketebalan dari 0,3 mm hingga 1,0 mm dengan laju<br />
scan 1 mV/s ditunjukkan pada gambar 4.5.<br />
C75
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
permukaan pori saja, alhasil nilai kapasitansi<br />
spesifiknya pun kecil.<br />
Pada gambar dibawah (4.6.) ditunjukkan<br />
bahwa nilai “retained ratio” pada nilai laju scan 80<br />
mV/s terhadap laju scan 1 mV/s berdasarkan nilai<br />
kapasitansi spesifik.<br />
Gambar 4.5. Diagram nilai kapasitansi spesifik berdasarkan<br />
perbedaan ketebalan pada laju scan 1 mV/s.<br />
Pengukuran Voltammogram siklis<br />
berdasarkan perbedaan ketebalan menunjukkan<br />
hubungan perubahan arus terhadap tegangan yang<br />
akan diasumsikan untuk menentukan besarnya nilai<br />
kapasitansi spesifik dari pelet karbon. Nilai<br />
kapasitansi spesifik dapat diperoleh berdasarkan<br />
(persamaan 2.12), dimana besar arus yang dihasilkan<br />
pada kurva voltammogram siklis dapat ditentukan<br />
dengan cara menentukan nilai tengah dari besar<br />
tegangan, dimana tegangan yang diambil adalah<br />
pada posisi 0,5V.<br />
Seperti yang terlihat dari hasil pengukuran<br />
pada lampiran tabel 4.6., bahwa nilai kapasitansi<br />
spesifik untuk ketebalan 0,3 mm; 0,4 mm; 0,5 mm;<br />
0,6 mm; 0,75 mm dan 1 mm untuk laju scan 1 mV/s<br />
adalah 24,62 F/gr; 24,78 F/gr; 97,00 F/gr; 111,39<br />
F/gr; 102,42 F/gr; 80,78 F/gr. Pada pengukuran ini,<br />
nilai kapasitansi spesifik terbesar adalah 111,39 F/gr<br />
pada ketebalan 0,6 mm dan nilai kapasitansi spesifik<br />
terendah adalah 24,62 F/gr pada ketebalan 0,3 mm.<br />
Hal ini berbeda dengan teori, bahwa semakin tipis<br />
elektroda suatu karbon maka nilai kapasitansi juga<br />
semakin besar (Wang, Chong et al. 2003).<br />
Pada ketebalan 0,6 mm merupakan ketebalan<br />
yang ideal untuk menghasilkan nilai kapasitansi<br />
spesifik, hal ini disebabkan oleh bentuk pori yang<br />
sudah terbuka. Sementara pada ketebalan 1,0 mm,<br />
bentuk pori yang terbuka sangat sedikit/berkurang,<br />
sehingga nilai kapasitansi spesifiknya semakin kecil<br />
begitu juga dengan elektroda yang tipis, pori yang<br />
dihasilkan sudah terbuka namum ion yang masuk<br />
sedikit, karena tinggi pori sudah berkurang. Hal ini<br />
akan menyebabkan nilai kapasitansi spesifik juga<br />
semakin kecil.<br />
Dari data nilai kapasitansi spesifik terlihat<br />
bahwa nilai kapasitansi spesifik semakin berkurang<br />
setiap penambahan laju scan, hal ini dapat dipahami<br />
dengan mudah bahwa pada laju scan rendah, ion<br />
akan berpindah dan berdifusi ke dalam pori dengan<br />
mudah sehingga menyebabkan kapasitansi<br />
spesifiknya menjadi besar. Namun pada laju scan<br />
yang besar, ion-ion sulit untuk berdifusi ke dalam<br />
pori yang mengakibatkan ion-ion hanya berada pada<br />
Gambar 4.6. Diagram hubungan nilai “retained ratio” terhadap<br />
perbedaan ketebalan<br />
“Retained ratio” merupakan perbandingan nilai<br />
kapasitansi spesifik dari laju scan akhir terhadap laju<br />
scan awal. Berdasarkan persamaan 2.13, nilai<br />
“retained ratio” untuk ketebalan 0,3; 0,4; 0,5; 0,6;<br />
0,75;, 1,0 yaitu: 23,20 %; 25,22%; 6,18%; 4,74%;,<br />
2,69%; 2,22%. Nilai “retained ratio” tertinggi yaitu<br />
pada ketebalan 0,4 mm sebesar 25,22% dan<br />
“retained ratio” terendah pada ketebalan 1,0 dengan<br />
nilai 2,22%. Dapat diketahui bahwa pada ketebalan<br />
0,4 mm memiliki nilai “retained ratio” yang paling<br />
besar. Hal ini disebabkan pada ketebalan 0,4 mm,<br />
ion dalam pori elektroda dapat masuk dengan mudah<br />
walaupun pada laju scan yang tinggi. Sebaliknya<br />
nilai “retained ratio” yang terendah yaitu pada<br />
ketebalan 1,0 mm, hal ini disebabkan karena ion<br />
yang masuk ke dalam pori elektroda pada scan rate<br />
tinggi sulit untuk masuk karena porinya tinggi dan<br />
kemungkinan sebagian ion tidak masuk ke dalam<br />
pori (Fuertes, Lota et al. 2005). Sehingga dapat<br />
disimpulkan, bahwa kapasitansi yang dihasilkan<br />
untuk ketebalan 0,4 mm tetap besar walaupun pada<br />
laju scan tinggi sehingga “retained ratio” yang<br />
dihasilkan paling besar.<br />
Pada gambar 4.7, dapat dilihat perbandingan<br />
nilai CV pada ketebalan 0,4mm dan 1,0 mm dengan<br />
laju scan rate yang berbeda(1, 5,10, 50, 80) mV/s.<br />
Dari gambar dapat diketahui bahwa, pada ketebalan<br />
pada 0,4 mm meskipun laju scannya diperbesar<br />
namun tetap menghasilkan luas daerah charge<br />
discharge yang semakin besar. Hal ini disebabkan<br />
oleh proses reaksi reduksi oksidasi dan difusi ion<br />
yang masuk ke dalam pori sangat cepat sehingga<br />
menghasilkan kapasitansi dan “retained ratio” yang<br />
semakin besar. Maupun sebaliknya, pada ketebalan<br />
1,0 mm terlihat bahwa meskipun laju scannya<br />
diperbesar namun tetap menghasilkan luas daerah<br />
charge discharge yang hampir sama besar. Hal ini<br />
disebabkan oleh ion tidak masuk sempurna ke dalam<br />
C76
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
pori sehingga menyebabkan nilai “retained ratio”nya<br />
sangat kecil (Park, Lokhande et al. 2004).<br />
Arus (A)<br />
Arus (A)<br />
0.04<br />
0.03<br />
0.02<br />
0.01<br />
0.00<br />
-0.01<br />
-0.02<br />
-0.03<br />
-0.04<br />
0.15<br />
0.10<br />
0.05<br />
0.00<br />
-0.05<br />
-0.10<br />
-0.15<br />
Ketebalan 0,4 mm<br />
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />
Potensial (V)<br />
Ketebalan 1,0 mm<br />
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />
Potensial (V)<br />
Laju scan 1 mV/s<br />
Laju scan 5 mV/s<br />
Laju scan 10 mV/s<br />
Laju scan 50 mV/s<br />
Laju scan 80 mV/s<br />
Laju scan 1 mV/s<br />
Laju scan 5 mV/s<br />
Laju scan 10 mV/s<br />
Laju scan 50 mV/s<br />
Laju scan 80 mV/s<br />
Gambar 4.7. Perbandingan CV pada ketebalan 0,4 mm dan 1,0 mm<br />
Apabila nilai kapasitansi spesifik elektroda<br />
karbon dari serbuk gergaji kayu karet (SGKK)<br />
dibandingkan dengan nilai kapasitansi spesifik<br />
elektroda karbon dari tempurung kelapa dengan<br />
menggunakan metode yang sama yaitu metode<br />
voltammogram siklis, dimana nilai kapasitansi<br />
spesifik pelet karbon dari serbuk gergaji kayu karet<br />
tertinggi adalah 111,39 F/gr dan nilai kapasitansi<br />
spesifik dari tempurung kelapa adalah 79 F/gr<br />
(Obreja 2008). Sementara itu, nilai kapasitansi<br />
spesifik terendah pada pelet karbon serbuk gergaji<br />
kayu karet adalah 24,62 F/gr dan nilai kapasitansi<br />
spesifik dari tempurung kelapa adalah 20,79 F/gr.<br />
Perbandingan ”retained ratio” untuk masing-masing<br />
bahan yaitu: 25,22% dengan ketebalan 0,4 mm pada<br />
elektroda serbuk gergaji kayu karet dan 22,04%<br />
dengan ketebalan 0,3 mm pada elektroda dari<br />
tempurung kelapa, hal ini menunjukkan bahwa<br />
perbedaan ketebalan untuk elektroda tersebut tidak<br />
jauh berbeda. Berdasarkan hasil perbandingan<br />
tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa nilai<br />
kapasitansi spesifik pada elektroda karbon serbuk<br />
gergaji kayu karet (SGKK) memiliki nilai yang lebih<br />
baik dan ”retained ratio” yang tidak jauh berbeda<br />
sehingga elektroda dari serbuk gergaji kayu karet<br />
dapat diaplikasikan untuk pembuatan superkapasitor.<br />
KESIMPULAN<br />
Kesimpulan dari peneltian ini menunjukkan<br />
bahwa persentase susut massa pada proses prakarbonisasi<br />
adalah sekitar 26,63%, hal ini<br />
disebabkan karena pada saat dilakukan proses prakarbonisasi<br />
pada suhu 280 0 C kandungan air dari<br />
serbuk telah menghilang. Nilai densitas rata-rata<br />
sebelum proses karbonisasi adalah: 0,99 gr/cm 3 ,<br />
setelah karbonisasi, nilai densitas rata-rata menurun<br />
drastisn yaitu sebesar: 0,71 gr/cm 3 dan setelah<br />
dilakukan proses aktivasi, nilai densitas rata-rata<br />
yaitu: 0,68 gr/cm 3 .Pengaktifan CO 2 pada proses<br />
aktivasi telah menunjukkan peningkatan luas<br />
permukaan karena pengaktifan CO 2 telah<br />
menghasilkan pori-pori yang baru. Nilai kapasitansi<br />
spesifik tertinggi pada laju scan 1 mV/s adalah pada<br />
ketebalan 0,6 mm yaitu: 111,39, dan nilai retained<br />
ratio yang tertinggi adalah pada ketebalan 0,4 mm<br />
yaitu: 25,22%. Hal ini dipengaruhi oleh proses<br />
difusi/peyerapan di dalam pori.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ahmadpour, A. and D. D. Do (1996). "The<br />
preparation of active carbons from coal by<br />
chemical and physical activation." Carbon<br />
34(4): 471-479.<br />
Arepalli, S., H. Fireman, C. Huffman, P. Moloney,<br />
P. Nikolaev, L. Yowell, C.D. Higgins, K.<br />
Kim, P. A. Kohl, S. P. Turano, and W.<br />
J.Ready (2005). "Carbon-nanotube-based<br />
electrochemical double-layer capacitor<br />
technologies for spaceflight applications."<br />
JOM Journal of the Minerals, Metals and<br />
Materials Society 57(12): 26-31.<br />
Burke, A. (2000). "Ultracapacitors: why, how, and<br />
where is the technology." Journal of Power<br />
Sources 91(1): 37-50.<br />
Deraman, M., R. Omar, A. G. Harun (1998).<br />
"Young's Modulus of Carbon from Selfadhesive<br />
Carbon Grain of Oil Palm<br />
Bunches." Journal of Materials Science<br />
Letters 17(24): 2059-2060.<br />
Fuertes, A. B., G. Lota, T. A. Centeno, E.<br />
Frackowiak (2005). "Templated mesoporous<br />
carbons for supercapacitor application."<br />
Electrochimica Acta 50(14): 2799-2805.<br />
Guo, J. and A. C. Lua (2000). "Effect of surface<br />
chemistry on gas-phase adsorption by<br />
activated carbon prepared from oil-palm<br />
stone with pre-impregnation." Separation and<br />
Purification Technology 18(1): 47-55.<br />
Guo, J. and A. C. Lua (2003). "Textural and<br />
chemical properties of adsorbent prepared<br />
from palm shell by phosphoric acid<br />
activation." Materials Chemistry and Physics<br />
80(1): 114-119.<br />
Jayalakshmi, M. and K. Balasubramanian (2008).<br />
"Simple Capacitors to Supercapacitors - An<br />
C77
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Overview." Int. J. Electrochem. Sci 3: 1196 -<br />
1217.<br />
Jisha, M. R., Y. J. Hwang, J. S. Shin, K. S. Nahm, T.<br />
Prem Kumar, K. Karthikeyan, N.<br />
Dhanikaivelu, D. Kalpana, N. G.<br />
Renganathan, A. Manuel Stephan (2009).<br />
"Electrochemical characterization of<br />
supercapacitors based on carbons derived<br />
from coffee shells." Materials Chemistry and<br />
Physics 115(1): 33-39.<br />
Kötz, R. and M. Carlen (2000). "Principles and<br />
applications of electrochemical capacitors."<br />
Electrochimica Acta 45(15-16): 2483-2498.<br />
Kötz, R., M. Bärtschi, et al. (2002). HY.POWER - A<br />
Fuel Cell Car Boosted with Supercapacitors.<br />
The 12th International Seminar on Double<br />
Layer Capacitors and Similar Energy Storage<br />
Devices. Deerfield Beach, USA.<br />
Leofanti, G., M. Padovan, G. Tozzola, B. Venturelli<br />
(1998). "Surface area and pore texture of<br />
catalysts." Catalysis Today 41(1-3): 207-219.<br />
Lewandowski, A. and M. Galinski (2007). "Practical<br />
and theoretical limits for electrochemical<br />
double-layer capacitors." Journal of Power<br />
Sources 173(2): 822-828.<br />
Namisnyk, A. M. (2003). A SURVEY OF<br />
ELECTROCHEMICAL<br />
SUPERCAPACITOR TECHNOLOGY.<br />
Faculty of Engineering, University of<br />
Technology, Sydney.<br />
Obreja, V. V. N. (2008). "On the performance of<br />
supercapacitors with electrodes based on<br />
carbon nanotubes and carbon activated<br />
material--A review." Physica E: Lowdimensional<br />
Systems and Nanostructures<br />
40(7): 2596-2605.<br />
Pandolfo, A. G. and A. F. Hollenkamp (2006).<br />
"Carbon properties and their role in<br />
supercapacitors." Journal of Power Sources<br />
157(1): 11-27.<br />
Park, B.-O., C. D. Lokhande, Hyung-Sang Park,<br />
Kwang-Deog Jung, Oh-Shim Joo (2004).<br />
"Performance of supercapacitor with<br />
electrodeposited ruthenium oxide film<br />
electrodes--effect of film thickness." Journal<br />
of Power Sources 134(1): 148-152.<br />
Prakash Kumar, B. G., K. Shivakamy, Lima Rose<br />
Miranda, M. Velan (2006). "Preparation of<br />
steam activated carbon from rubberwood<br />
sawdust (Hevea brasiliensis) and its<br />
adsorption kinetics." Journal of Hazardous<br />
Materials 136(3): 922-929.<br />
Srinivasakannan, C. and M. Zailani Abu Bakar<br />
(2004). "Production of activated carbon from<br />
rubber wood sawdust." Biomass and<br />
Bioenergy 27(1): 89-96.<br />
Wang, Y., N. Chong, Y. L. Cheng, H. L. W. Chan,<br />
C. L. Choy (2003). "Dependence of<br />
capacitance on electrode configuration for<br />
ferroelectric films with interdigital<br />
electrodes." Microelectronic Engineering<br />
66(1-4): 880-886.<br />
Xing, W., S. Z. Qiao, R. G. Ding, F. Li, G.Q. Lu,<br />
Z.F. Yan, H. M. Cheng (2006). "Superior<br />
electric double layer capacitors using ordered<br />
mesoporous carbons." Carbon 44(2): 216-<br />
224.<br />
Zhao, J., C. Lai, Yang Dai, Jinging Xie (2007).<br />
"Pore structure control of mesoporous carbon<br />
as supercapacitor material." Materials Letters<br />
61(23-24): 4639-4642.<br />
Zhu, Y., H. Hu, Wencui Li, Xiaoyong Zhang (2007).<br />
"Resorcinol-formaldehyde based porous<br />
carbon as an electrode material for<br />
supercapacitors." Carbon 45(1): 160-165.<br />
C78
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Prototipe Pengangkat Cincin Otomatis pada Alat Pengukur Tegangan<br />
Permukaan Zat Cair Berbasis PC<br />
Achmad Zulkarnain 1 , Frida U. Ermawati 2<br />
1,2 Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />
Email : zachmad10@yahoo.ac.id<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini melaporkan hasil penggunaan motor stepper hybrid 1,8˚ tipe unipolar pada prototipe pengangkat<br />
cincin otomatis sebagai sarana pendukung dalam menentukan nilai tegangan permukaan zat cair. Guna<br />
mengetahui hubungan antara jumlah sudut putar motor stepper terhadap posisi ketinggian cincin terhadap<br />
permukaan zat cair, maka dilakukan pengukuran dengan merancang susunan alat yang menggunakan PC sebagai<br />
pengendali sudut dan arah putar dari motor. Diharapkan nantinya rancangan motor stepper hybrid 1,8˚ tipe<br />
unipolar tersebut dapat menggantikan fungsi dongkrak manual yang selama ini telah dipergunakan untuk<br />
mengatur posisi ketinggian cincin terhadap permukaan zat cair. Mengingat perubahan sudut putar dan arah putar<br />
motor stepper terhadap posisi ketinggian cincin dapat dikendalikan secara otomatis, maka otomasi ini tentunya<br />
akan mempermudah peneliti untuk mengetahui nilai tegangan permukaan suatu zat cair. Kemudahan tersebut<br />
dimungkinkan karena data perubahan sudut putar terhadap posisi ketinggian cincin yang telah diperoleh dalam<br />
penelitian ini adalah linier. Perubahan posisi ketinggian cincin terhadap sudut putar motor adalah sebesar 0,4<br />
cm/1,8˚. Dengan kata lain, penggunaan motor stepper pada prototipe pengangkat cincin otomatis dapat<br />
digunakan sebagai pengganti fungsi dongkrak manual, sehingga harapan di atas dapat terwujud. Penelitian ini<br />
mencakup persiapan, perencanaan, dan perakitan alat sampai dengan pengujian (studi kelayakan) hasil<br />
rancangan dengan cara mengeset langsung pada alat eksperimen pengukur tegangan permukaan.<br />
Kata kunci : Tegangan Permukaan, Motor Stepper, PC.<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Tegangan permukaan merupakan sifat<br />
permukaan suatu zat cair yang berperilaku layaknya<br />
selapis kulit tipis yang kenyal atau lentur akibat<br />
pengaruh tegangan. Pengaruh tegangan ini<br />
disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik antar<br />
molekul di permukaan zat cair tersebut. Untuk<br />
mengetahui seberapa besar nilai tegangan<br />
permukaan suatu zat cair, maka cara sederhana yang<br />
dilakukan adalah dengan melakukan praktikum<br />
terhadap beberapa zat cair dengan menggunakan<br />
susunan alat seperti Gambar 1di bawah ini.<br />
cincin. Indarniati telah mencoba mengukur tegangan<br />
permukaan dengan cara memanfaatkan induksi<br />
elektromagnetik sebagai pengganti Newtonmeter,<br />
namun masih menggunakan dongkrak manual.<br />
Karena masih mengunakan dongkrak, maka posisi<br />
bejana masih sulit dikontrol terhadap posisi cincin,<br />
sehingga data tegangan permukaan yang diperoleh<br />
dari Newtonmeter masih belum linier. Oleh karena<br />
itu melalui paper kolokium ini, penulis berinisiatif<br />
untuk menggunakan motor stepper dan rangkaian<br />
driver sebagai penggerak otomatis cincin<br />
(menggantikan dongkrak) dengan harapan agar<br />
nantinya data tegangan permukaan menjadi linear.<br />
Jadi pada paper kolokium ini penulis hanya<br />
membahas prototipe pengangkat cincin otomatis<br />
(lihat Gambar 2), sedangkan uji linieritas data<br />
tegangan permukaan akan ditindaklanjuti pada<br />
penelitian skripsi.<br />
Gambar 1. Alat pengukur tegangan permukaan yang selama ini<br />
dipergunakan di Laboratorium Eksperimen <strong>Fisika</strong> FMIPA<br />
UNESA. Pada set alat tersebut naik turun bejana diatur oleh<br />
dongkrak manual.<br />
Pada Gambar 1, Newtonmeter difungsikan<br />
untuk mengukur nilai gaya tarik maksimum pada<br />
cincin saat pengambilan data, sedangkan dongkrak<br />
digunakan untuk mengatur posisi bejana terhadap<br />
Gambar 2. Rancang bangun pengatur posisi cincin pada alat<br />
pengukur tegangan permukaan sebagai pengganti dongkrak.<br />
D1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
B. DASAR TEORI<br />
1. Tegangan Permukaan<br />
Besarnya tegangan permukaan merupakan<br />
usaha yang diperlukan cincin untuk menciptakan<br />
suatu permukaan baru, sifat permukaan yang<br />
dimiliki oleh suatu zat cair yang berperilaku<br />
layaknya selapis kulit tipis yang kenyal atau lentur<br />
akibat pengaruh tegangan. Tegangan ini terjadi<br />
ketika molekul di permukaan suatu cairan saling<br />
tarik-menarik satu sama lain, sehingga menciptakan<br />
pembatas antara udara dengan cairan itu. Dalam<br />
praktikum, tegangan permukaan (α) didefinisikan<br />
sebagai usaha yang diperlukan cincin untuk<br />
menciptakan suatu permukaan baru, dirumuskan<br />
pada Persamaan 1.<br />
Dengan W = Usaha (F.s) dalam Nm<br />
A = Luas permukaan cincin dalam cm 2<br />
F = gaya tarik (Newton),<br />
l = panjang permukaan cairan yang menutupi<br />
cincin (meter).<br />
Cincin yang digunakan terbuat dari bahan<br />
alumunium dengan tinggi ± 2 cm, mempunyai dua<br />
permukaan sebelah luar dan dalam, sehingga<br />
panjang permukaan yang terkena gaya permukaan<br />
yang terkena gaya permukaan menjadi l = 2π d,<br />
dengan d adalah diameter cincin, sehingga<br />
Persamaan 1 menjadi Persamaan 2.<br />
2. Motor Stepper<br />
(1)<br />
(2)<br />
Motor stepper merupakan motor yang<br />
mengubah pulsa listrik yang diberikan kepadanya<br />
menjadi gerakan rotor yang diskrit disebut step.<br />
Misalnya jika satu derajat per langkah (step) maka<br />
motor tersebut memerlukan 360 pulsa untuk<br />
bergerak sebanyak satu putaran (pada intinya stepper<br />
motor mengubah pulsa listrik menjadi suatu<br />
perpindahan gerak yang tertentu secara rotasi).<br />
Ukuran kerja dari stepper biasanya diberikan dalam<br />
jumlah langkah per putaran per detik. Keunggulan<br />
motor stepper lainnya adalah frekuensi pulsa<br />
inputnya tidak tergantung pada beban. Perputaran<br />
motor stepper adalah perputaran yang diskrit dan<br />
arah perputarannya dapat searah ataupun berlawanan<br />
dengan arah jarum jam. Struktur sederhana (dalam<br />
penampang melintang) dari motor stepper tampak<br />
pada Gambar 3berikut ini.<br />
Gambar 3. Penampang melintang Motor Stepper.<br />
Jika dilihat dari prinsip kerjanya, ada tiga jenis<br />
motor stepper, yaitu Permanent Magnet (PM),<br />
Variable Reluctance (VR), dan Permanent Magnet-<br />
Hybrid (PM-H) dimana masing-masing jenis dari<br />
motor stepper tersebut memiliki karakteristik yang<br />
berbeda-beda.<br />
a. Permanent Magnet (PM)<br />
Motor stepper berjenis PM (lihat Gambar 4)<br />
adalah motor stepper yang rotornya merupakan<br />
magnet yang permanen, stator memperoleh medan<br />
magnet dari lilitan yang melingkari stator tersebut<br />
sehingga stator menghasilkan kutub-kutub magnet.<br />
Dengan adanya interaksi antara fluks rotor dengan<br />
gaya magnet stator maka motor stepper ini akan<br />
bergerak atau beroperasi. Terjadinya fluks<br />
dikarenakan pembiasan dari magnet rotor. Ciri-ciri<br />
dari motor stepper bejenis PM adalah pada saat<br />
keadaan tidak ada aliran arus (biasa disebut keadaan<br />
tanpa eksitasi) maka jika motor ini diputar terdapat<br />
torsi yang menahan atau melawan.<br />
Gambar 4. Konstruksi Motor Stepper Magnet Permanent.<br />
b. Variable Reluctance (VR)<br />
Motor stepper jenis ini (lihat Gambar 5)<br />
memiliki bentuk rotor yang unik yaitu berbentuk<br />
silinder dan pada semua unitnya memiliki gerigi<br />
yang memiliki hubungan dengan kutub-kutub stator.<br />
Rotor pada magnet tipe ini tidak menggunakan<br />
magnet permanen. Stator terlilit oleh lilitan sehingga<br />
pada saat dialiri arus, stator akan menghasilkan<br />
kutub magnet. Jumlah gerigi pada rotor akan<br />
menentukan langkah atau step motor. Perbedaan<br />
motor stepper berjenis PM dengan VR yaitu motor<br />
berjenis VR memiliki torsi yang relatif lebih kecil<br />
dibanding dengan motor stepper berjenis PM. Hal<br />
D2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
lain yang dapat dilihat adalah sisa kemagnetan VR<br />
sangat kecil, sehingga pada saat motor stepper ini<br />
tidak dialiri arus maka ketika diputar tidak ada torsi<br />
yang melawan. Sudut langkah motor stepper berjenis<br />
VR ini bervariasi yaitu sekitar 7,5 sampai dengan<br />
30 . Motor stepper berjenis VR ini memiliki torsi<br />
yang kecil. Sering ditemukan pada printer dan<br />
instrumen-instrumen pabrik yang ringan yang tidak<br />
membutuhkan torsi yang besar.<br />
Gambar 5. Konstruksi Motor Stepper Variable Reluctance.<br />
Penjelasan mengenai gambar sama seperti diberikan di atas.<br />
Seperti yang terlihat pada Gambar 5 motor ini<br />
mempunyai 3 pasang kutub stator (A, B, C) yang<br />
diset terpisah 15°. Arus dialirkan ke kutub A melalui<br />
lilitan motor yang menyebabkan tarikan magnetic<br />
yang menyejajarkan gigi rotor ke kutub A. Jika kita<br />
memberi energi ke kutub B maka stator akan<br />
menyebabkan rotor berputar 15 derajat sejajar kutub<br />
B. Proses ini akan berlanjut ke kutub C dan kembali<br />
ke kutub A, searah dengan putaran jarum jam.<br />
c. Permanent Magnet-Hybrid (PM-H)<br />
Permanent magnet hybrid (lihat Gambar 6)<br />
merupakan penyempurnaan dari kedua motor<br />
stepper sebelumnya, dimana motor stepper ini<br />
memiliki kecepatan 1000step/detik namun juga<br />
memiliki torsi yang cukup besar sehingga dapat<br />
dikatakan bahwa PM-H merupakan motor stepper<br />
kombinasi antara PM dan VR motor stepper. Motor<br />
hybrid mengkombinasikan karakteristik terbaik dari<br />
motor variabel reluktansi dan motor magnet<br />
permanen. Motor ini dibangun dengan kutub stator<br />
yang banyak-gigi dan rotor magnet permanen. Motor<br />
hybrid standar mempunyai 200 gigi rotor dan<br />
berputar pada 1,8 derajat sudut step. Karena<br />
memperlihatkan torsi tinggi dan dinamis serta<br />
berputar dengan kecepatan yang tinggi maka motor<br />
ini digunakan pada aplikasi yang sangat luas.<br />
Sedangkan jika dilihat dari jenis lilitan yang<br />
ada di dalamnya, motor stepper dapat dibagi menjadi<br />
2 jenis yaitu:<br />
a. Motor Stepper Unipolar<br />
Motor stepper unipolar terdiri dari dua lilitan<br />
yang memiliki center tap. Center tap dari masingmasing<br />
lilitannya ada yang berupa kabel terpisah,<br />
ada juga yang sudah terhubung di dalamnya<br />
sehingga center tap yang keluar hanya satu kabel.<br />
Untuk motor stepper yang center tapnya ada pada<br />
masing-masing lilitan, kabel inputannya ada 6 buah.<br />
Namun jika center tapnya sudah terhubung pada<br />
statornya, maka kabel inputannya hanya 5 kabel.<br />
Center tap dari motor stepper dapat dihubungkan ke<br />
pentanahan atau ada juga yang dihubungkan +VCC.<br />
Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis driver yang<br />
digunakan. Sebagai Gambaran dapat dilihat<br />
konstruksi motor stepper unipolar pada Gambar 7 di<br />
bawah ini.<br />
Gambar 7. Konstruksi Motor Stepper Unipolar.<br />
Bentuk asli dari susunan motor stepper tipe unipolar<br />
ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.<br />
Gambar 8. Bentuk motor stepper unipolar<br />
Gambar 6. Konstruksi Motor Stepper Jenis PM-hybrid<br />
Gambar 9. Bagian-bagian motor stepper tipe unipolar. Penjelasan<br />
mengenai gambar diberikan di teks bawah.<br />
Dari Gambar 9 dapat dilihat bagian-bagian dari<br />
motor stepper tipe unipolar yaitu tersusun atas rotor,<br />
stator, bearing, casing dan sumbu. Sumbu<br />
merupakan pegangan dari rotor dimana sumbu<br />
merupakan bagian tengah dari rotor, sehingga ketika<br />
rotor berputar, maka sumbu ikut berputar. Stator<br />
memiliki dua bagian yaitu pelat inti dan lilitan. Plat<br />
D3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
inti dari motor stepper ini biasanya menyatu dengan<br />
casing. Casing motor stepper terbuat dari aluminium<br />
dan ini berfungsi sebagai dudukan bearing,<br />
sedangkan pemegang stator berupa baut sebanyak<br />
empat buah. Di dalam motor stapper terdapat dua<br />
buah bearing, yaitu bearing bagian atas dan bearing<br />
bagian bawah.<br />
Gambar 13. Pulsa Driver Bipolar mode Full Step. Penjelasan<br />
mengenai gambar diberikan di teks bawah.<br />
Gambar 10. Bagian Stator Motor stepper tipe unipolar.<br />
Gambar 11. Bagian Rotor Motor stepper tipe unipolar.<br />
b. Motor Stepper Bipolar<br />
Motor stepper bipolar memiliki dua buah lilitan.<br />
Perbedaan motor stepper ini dari tipe unipolar adalah<br />
bahwa pada tipe bipolar lilitannya tidak memiliki<br />
center tap. Keunggulan tipe bipolar yaitu memiliki<br />
torsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan tipe<br />
unipolar untuk ukuran yang sama. Pada motor<br />
stepper tipe ini hanya memiliki empat kabel<br />
masukan. Namun untuk menggerakan motor stepper<br />
tipe ini lebih rumit jika dibandingkan dengan<br />
menggerakan motor stepper tipe unipolar. Sebagai<br />
Gambaran dapat dilihat konstruksi motor stepper<br />
bipolar pada Gambar 12 di bawah ini.<br />
3. Driver<br />
Gambar 12. Konstruksi Motor Stepper Bipolar.<br />
Untuk menggerakan motor stepper berbeda jika<br />
dibandingkan dengan menggerakan motor dc,<br />
dimana untuk menggerakan motor stepper<br />
diperlukan rangkaian driver yang fungsinya untuk<br />
memberikan catu ke motor stepper. Driver tidak<br />
hanya mengeluarkan tegangan, namun tegangan<br />
yang dikeluarkan juga harus dalam bentuk pulsa.<br />
Karena motor stepper bergerak step by step sesuai<br />
dengan pulsa. Bentuk pulsa yang dikeluarkan oleh<br />
driver dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.<br />
Gambar 14. Pulsa Driver Unipolar mode Full Step. Penjelasan<br />
mengenai gambar juga diberikan di teks bawah.<br />
Bentuk pulsa seperti Gambar 13 dan 14<br />
dikeluarkan oleh driver sebagai syarat untuk dapat<br />
menggerakan motor stepper. Tinggi pulsa yang<br />
dikeluarkan juga harus sesuai dengan spesifikasi<br />
tegangan motor stepper yaitu kisaran 5 sampai 36<br />
volt. Pada Gambar 13 dan 14 sebenarnya tinggi<br />
pulsa memiliki bentuk yang sama hanya saja<br />
susunannya berbeda. Gambar 13 adalah susunan<br />
pulsa untuk menggerakan motor stepper tipe bipolar,<br />
sedangkan Gambar 14 menunjukkan susunan pulsa<br />
untuk menggerakan motor stepper tipe unipolar.<br />
Driver untuk motor stepper unipolar lebih<br />
sederhana dari driver tipe bipolar karena driver<br />
untuk motor stepper tipe unipolar cukup dengan<br />
dilalui arus satu arah saja sedangkan untuk tipe<br />
bipolar, drivernya harus dapat dilalui oleh arus<br />
dengan dua arah. Beranjak dari alasan ini maka<br />
motor stepper tipe unipolar lebih banyak digunakan<br />
karena lebih sederhana untuk menggerakannya.<br />
Driver untuk motor stepper tipe unipolar<br />
menggunakan IC ULN2003, ULN2004 atau dapat<br />
juga dengan menggunakan transistor. Jika<br />
menggunakan transistor, maka transistor difungsikan<br />
sebagai saklar untuk menghubungkan motor stepper<br />
ke Vcc atau ke ground tergantung dari hubungan<br />
common motor stepper. Untuk menggerakan motor<br />
stepper tipe bipolar dapat menggunakan IC L293,<br />
L298 atau menggunakan transistor yang dirangkai<br />
secara Darlington.<br />
Driver dapat menggunakan empat masukan<br />
langsung atau hanya dengan dua masukan saja. Jika<br />
menggunakan empat masukan secara langsung maka<br />
driver berfungsi untuk menguatkan sinyal tersebut.<br />
Namun jika menggunakan dua masukan saja maka<br />
masih diperlukan Translator (penerjemah).<br />
4. Catu Daya<br />
Catu daya merupakan bagian yang penting<br />
dalam sebuah sistem karena tanpa catu daya sistem<br />
tidak akan bekerja. Dalam sistem pengatur motor<br />
stepper ini catu daya yang digunakan memiliki dua<br />
buah tegangan keluaran yaitu: +5Volt dan<br />
D4
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
+2.46Volt. +5Volt digunakan untuk mencatu board<br />
dari driver, sedangkan +2.46Volt digunakan untuk<br />
mencatu motor stepper.<br />
5. PC<br />
PC merupakan basis pengontrol pada motor<br />
stepper dengan menggunakan progaram Borland<br />
Delphi 7.0 sebagai pemberi perintah untuk mengatur<br />
kecepatan dan mode gerak dari motor stepper [3] .<br />
Diagram alir pada Gambar 15 menunjukkan mode<br />
gerak trapesium.<br />
(on) dan daerah mati (cut off) sebagai saklar terbuka<br />
(off). TIP 3055 mempunyai hfe antara 20 sampai 70,<br />
tegangan basis dan kolektor sebesar 100 Volt, arus<br />
kolektor maksimal 15 Ampere, dan daya 90 Watt.<br />
Dalam hal ini TIP 3055 berfungsi sebagai saklar dan<br />
penguat. Sedangkan TIP 31A merupakan transistor<br />
linear daya menengah untuk aplikasi pensaklaran.<br />
Transistor ini mempunyai hfe antara 10 sampai 50<br />
dan arus kolektor 3 Ampere. Rangkaian driver ini<br />
membutuhkan dioda 1N 4002 dan tahanan 220 Ω<br />
masing-masing 4 buah. Skema rangkaian dapat<br />
dilihat pada gambar di bawah ini:<br />
Gambar 15: Diagram Mode Gerak Motor Stepper<br />
C. DIAGRAM ALIR PENELITIAN<br />
Pengukuran Tegangan<br />
Permukaan<br />
HENDAK DIRANCANG PROTOTIPE PENGANGKAT CINCIN<br />
OTOMATIS BERBASIS PC<br />
Gambar 17. Skema rangkaian driver dengan menggunakan<br />
transistor.<br />
2. Catu daya keluaran 3 Volt<br />
Adapun skema mengenai catu daya adalah seperti<br />
gambar di bawah ini:<br />
Komponen Rangkaian<br />
Komponen terdiri dari:<br />
a. AVO meter<br />
b. Dongkrak<br />
manual<br />
c. Cincin<br />
Alumunium<br />
d. Jangka Sorong<br />
e. Catu daya<br />
keluaran 3<br />
volt dengan arus<br />
2 A.<br />
f. Driver motor<br />
stepper.<br />
g. Motor stepper<br />
PM-H 1,8 tipe<br />
unipolar<br />
Perancangan<br />
Komponen<br />
Catu Daya 3 V<br />
Driver Motor<br />
Interface PC<br />
Penggambaran<br />
Rangkaian<br />
1. Catu Daya<br />
keluaran 3 volt.<br />
(Lihat Gambar 18<br />
dan 19).<br />
2. Driver Motor<br />
Stepper (Lihat<br />
Gambar 17 dan 19).<br />
3. Interface PC<br />
(Lihat Gambar 19).<br />
4. Motor Stepper<br />
Hybrid 1,8 tipe<br />
unipolar (Lihat<br />
Gambar 19).<br />
Variabel-Variabel<br />
Penelitian<br />
1. Variabel Kontrol:<br />
sudut putar motor<br />
stepper<br />
dan<br />
kecepatannya.<br />
2. Variabel Bebas:<br />
arah sudut putar motor<br />
stepper dan waktu<br />
putarnya.<br />
3. Variabel Terikat:<br />
jarak tempuh cincin<br />
terhadap sudut putar<br />
motor dan percepatan<br />
yang terjadi pada saat<br />
naik turunnya cincin.<br />
Motor Stepper<br />
Pengambilan Data<br />
- Jarak tempuh cincin<br />
- Sudut Putar motor<br />
Gambar 18. Skema rangkaian catu daya keluaran 3 Volt.<br />
3. PC Interface<br />
PC interface ini memanfaatkan kabel parallel port<br />
DB-25.<br />
Interpretasi Hasil<br />
Pelaporan<br />
Gambar 16. Diagram alir penelitian<br />
Berikut diberikan skema rangkaian dan gambar<br />
untuk komponen alat-alat yang digunakan pada<br />
penelitian ini meliputi:<br />
1. Rangkaian driver dengan menggunakan<br />
transistor<br />
Rangkaian driver ini menggunakan 8 buah<br />
transistor dengan 2 tipe berbeda yaitu, TIP 31A dan<br />
TIP 3055 yang dirangkai secara Darlington. Hal ini<br />
dimaksudkan agar transistor tersebut dapat bekerja<br />
pada daerah jenuh (saturasi) sebagai saklar tertutup<br />
Gambar 19. Bentuk fisik seperangkat alat pengangkat cincin<br />
otomatis.<br />
D5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 20. Program pengendali motor stepper mengggunakan<br />
bahasa pemograman Borland Delphi.<br />
4. Hasil dan Pembahasan<br />
Tabel 1 di bawah ini memberikan data jarak<br />
tempuh cincin baik pada saat naik maupun turun<br />
terhadap sudut putar motor stepper. Linearitas jarak<br />
tempuh cincin terhadap sudut putar motor tersebut<br />
diberikan Gambar 21.<br />
Tabel 1. Jarak tempuh cincin baik pada saat turun maupun naik<br />
terhadap sudut putar motor.<br />
Dari data diatas dapat dibuat grafik hubungan seperti<br />
Gambar 21 di bawah ini:<br />
Gambar 21. Hubungan linearitas jarak tempuh cincin terhadap<br />
sudut putar.<br />
Pada data tersebut diperoleh hubungan untuk<br />
keduanya adalah berbanding lurus. Meskipun data<br />
yang diperoleh pada saat adanya kebalikan arah<br />
putar dari motor stepper terdapat perbedaan awal<br />
jarak tempuh posisi cincin, yaitu baik jarak tempuh<br />
cincin pada saat turun maupun naik berselisih 0,1 cm<br />
(0,4 cm menjadi 0,5 cm). Perbedaan tersebut<br />
disebabkan karena jenis motor yang digunakan<br />
merupakan tipe unipolar. Sebagaimana kita ketahui<br />
sebelumnya, motor stepper unipolar memiliki torsi<br />
yang lebih kecil daripada motor stepper tipe bipolar.<br />
Namun ini masih masuk pada batas toleransi,<br />
mengingat pada alat pengukur tegangan permukaan<br />
yang ditekankan yaitu aktivitas cincin ketika<br />
melakukan usaha terhadap permukaan zat cair yang<br />
semula dalam keadaan normal (tidak adanya F tarik,<br />
F = 0) akan mengalami gaya permukaan sampai<br />
akhirnya menegang karena gaya tarik maksimum.<br />
sehingga cincin terlepas dari permukaan zat cair<br />
(pada cincin terbentuk permukaan baru). Dalam hal<br />
ini, motor stepper tersebut berhasil dimanfaatkan<br />
sebagai prototipe pengangkat cincin otomatis yang<br />
digunakan dalam proses pengukuran tegangan<br />
permukaan dengan menggunakan Newtonmeter.<br />
5. Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat<br />
disimpulkan bahwa prototipe pengangkat cincin<br />
otomatis dengan memanfaatkan motor stepper<br />
seperti Gambar 2 ternyata diperoleh hubungan<br />
bahwa antara sudut putar dengan jarak tempuh<br />
cincin dan percepatan jatuhnya cincin, keduanya<br />
berbanding lurus dan menunjukkan hasil yang linier.<br />
Kelinieran ini diharapkan nantinya motor stepper<br />
hybrid 1,8 dengan tipe unipolar dapat<br />
dimanfaatkan sebagai pengangkat cincin otomatis<br />
pada pengukuran tegangan permukaan zat cair.<br />
Daftar Pustaka<br />
Indarniati, Pengukuran Tegangan Permukaan<br />
Dengan Menggunakan Induksi<br />
Elektromagnet, (Skripsi S1 Jurusan <strong>Fisika</strong><br />
FMIPA UNESA, Tidak Dipublikasikan,<br />
2006).<br />
Sears, Zemanzky, <strong>Fisika</strong> untuk Uneversitas I,<br />
Mekanika Panas Bunyi, (Bina Cipta,<br />
Bandung, 1985).<br />
P.C., Sen, Principles of Electric Machines and<br />
Power Electronics, (Second Edition, John<br />
Wiley & Sons, USA, 1997).<br />
Sudono, Agus, Memamfaatkan Port Printer<br />
Komputer Menggunakan Delphi, (Smart<br />
Books, Semarang, 2004).<br />
Martina, Inge, 36 Jam Belajar Delphi 7, (PT. Alex<br />
Media Komputindo, Jakarta, 1999).<br />
Link, Wolfgang, Pengukuran, Pengendalian,<br />
Pengaturan dengan PC, (PT. Alex Media<br />
Komputindo, Jakarta, 1993).<br />
D6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perancangan Sistem Kendali Pid Kecepatan Putar Turbin Miniatur PLTA<br />
Akif Rahmatillah<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : akif.biomed.eng@unair.ac.id<br />
Abstrak<br />
Kebutuhan energi listrik saat ini makin mendesak seiring naiknya kebutuhan energi. Pembangkit Listrik Tenaga<br />
Air merupakan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan. Dengan demikian dibuatlah<br />
sebuah miniatur plant PLTA yang dapat dipergunakan sebagai model pembelajaran bagi para mahasiswa untuk<br />
mempelajari perilaku dari suatu Pembangkit Listrik Tenaga Air. Kenaikan dan penurunan beban listrik pada<br />
PLTA terlihat dari kecepatan putar turbinnya yang tersambung pada generator. Maka dibutuhkan suatu<br />
pengendali kecepatan putar turbin agar sesuai dengan beban yang diampunya. Sistem kendali PID digunakan<br />
untuk mengendalikan kecepatan putar turbin dengan mengatur bukaan valve. Pengukuran kecepatan putar turbin<br />
dilakukan oleh mikrokontroler dengan melakukan pencacahan gelap terang dari piringan bercelah yang<br />
dipasangkan pada turbin yang di bantu oleh optocoupler. Kemudian perubahan valve dilakukan dengan memutar<br />
valve oleh motor dc gear box yang dikendalikan oleh mikrokontroler. Pengukuran dan pemutaran valve<br />
berdasarkan atas perintah user melalui komputer pribadi yang telah dilengkapi dengan Graphic User Interface.<br />
Perangkat keras diatas di gunakan untuk melakukan uji undak sebagai metode mendapatkan pola respon untuk<br />
menetapkan model matematis dari sistem miniatur PLTA.Perancangan pengendali PID dilakukan dengan<br />
menentukan parameter Kp, Ki dan Kd dari pengendali PID berdasarkan berbagai metode tuning IMC dan<br />
metode Root Locus. Hasil dari tuning kemudian dilakukan simulasi dan di uji unjuk kerjanya dengan<br />
pembebanan. Unjuk kerja dinilai dari persyaratan kendali sesuai Kep Men ESDM Nomor : 3 Tahun 2007.<br />
Kemudian jika telah memenuhi persyaratan diantaranya yang mampu memberikan respon yang lebih cepat dan<br />
%Over Shoot yang paling kecil. Dari penelitian di dapatkan bahwa harga yang terbaik menggunakan metode<br />
tuning IMC Mc Claurin dengan optimasi harga τc max (0,25 ; 0,2τ).<br />
Kata kunci : Letakkan kata kunci Anda di sini, kata kunci dipisahkan dengan koma.<br />
PENDAHULUAN<br />
Kebutuhan akan energi listrik saat ini makin<br />
meningkat seiring meningkaatnya penggunaan<br />
peralatan berteknologi tinggi baik pada skala rumah<br />
tangga, maupun skala industri. Energi listrik yang<br />
merupakan energi sekunder dipengaruhi oleh<br />
ketersediaan energi primernya sebagai sumber<br />
energi, seiring dengan mahalnya sumber energi<br />
mineral energi alternatif seperti energi air yang<br />
menjadi PLTA ( Pembangkit Listrik Energi Air ),<br />
menjadi plihan utama di beragai tempat.<br />
Dalam pengadaan sistem energi listrik, dapat di<br />
bagi menjadi beberapa subsistem antara lain, pusat<br />
pembangkitan yang menghasilkan daya listrik,<br />
transmisi yang mengalisrkan listrik dari pembangkit<br />
ke jaringan distribusi, serta sistem distribusi yang<br />
mengalirkan listrik ke konsumen. Pada sistem<br />
transmisi maka daya listrik yang dihasilkan haruslah<br />
memenuhi kriteria jaringan listrik agar mampu di<br />
alirkan dalam jaringan tersebut. Kriteria ini terutama<br />
pada frekuensi listrik yang dihasilkan karena<br />
perubahan beban akan mempengaruhi frekuensi<br />
listrik yang ada (Kadir, 1996). Dengan Menteri<br />
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 3 Tahun<br />
2007, yang berkenaan dengan sistem pendukung<br />
pembagkit di Jawa, Madura dan Bali , maka telah di<br />
buat aturan bagaimana perubahan beban harus<br />
ditangani dengan memepertahankan frekuensi pada<br />
keadaan tertentu. Dengan demikian dibutuhkan<br />
sebuah sistem kendali pada suatu pembangkit agar<br />
daya listrik yang dihasilkan mampu memenuhi<br />
syarat tersebut dan dapat menyuplai listrik ke sistem<br />
jaringan. Frekuensi listrik erat sekali kaitannya<br />
dengan kecepatan putar turbin yang memutar<br />
generatornya, karena keduanya berbanding lurus.<br />
Dengan demikian maka pengendalian kecepatan<br />
putar turbin adalah salah satu metode untuk<br />
mengendalikan frekuensi daya listrik yang<br />
dihasilkan (Kadir, 1996)<br />
Pada laboratorium energi jurusan Teknik <strong>Fisika</strong><br />
UGM, terdapat sebuah model PLTA (Gambar 1).<br />
Pada turbin nya di tempatkan sebuah priningan<br />
bercelahdan sensor optocoupler yang digunkan<br />
sebagai pengukur kecepatan putar turbin, kemudian<br />
kecepatan putar trubin pada miniatur ini ditentukan<br />
oleh bukaan pada kran 2 dan kran 1 sebagai<br />
pengaman. Pada kran 2 dipasangi sebuah motor DC<br />
GearBox yang diharapkan dapat diputar secara<br />
otomatis melalu pengendali pada driver-nya<br />
D7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
penyimpangan pada set point dan mempercepat<br />
respon transient. Dimana dapat dituliskan dengan<br />
⎧ KC<br />
⎫<br />
M(<br />
s)<br />
= KC<br />
⎨1<br />
+ + KCτ<br />
d<br />
s⎬E(<br />
s)<br />
⎩ τ1s<br />
⎭<br />
(1)<br />
Gambar 1. Skema plant miniatur PLTA<br />
Metode pengendalian kecepatan putar turbin<br />
telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, seperti<br />
menggunakan logika fuzzy (Gonzales dkk, 2004).<br />
Namun dalam makalah ini akan di coba penggunaan<br />
logika PID ( Proporsional Integral Derivatif )<br />
sebagai salah satu moda pengendalian yang cukup<br />
populer. Dalam desain kontroler PID, hal yang<br />
krusial ialah penentuan parameter – parameter dari<br />
kontroler PID atau disebut dengan tuning kontroler.<br />
Dewasa ini, semakin banyak metode tuning yang<br />
dikembangkan sehingga perlu dipilih metode terbaik<br />
yang memenuhi kriteria performansi yang<br />
diinginkan dan masih berada dalam jangkauan<br />
keterbatasan plant nyata (Wicaksono dan<br />
Pramidjoanto, 2004).<br />
Rancangan hard ware sebagai kelengkapan<br />
miniatiur PLTA adalah pengukuran kecepatan putar<br />
dengan menggunakan sensor optocoupler telah<br />
banyak digunakan untuk mengetahui kecepatan<br />
putaran suatu benda seperti motor dc, yang mana<br />
hasil kecepataanya akan di tampilkan pada komputer<br />
pribadi. Kemudian besarnya putaran valve ( kran 2 ),<br />
dimasukkan melalui komputer dan komputerlah<br />
yang akan mengatur pembukaan valve keduanya<br />
melalui komunikasi paralel yang ditunjukkan pada<br />
Gambar 2.<br />
Gambar 2. Skema hardware<br />
Dasar Teori Pengendalian PID<br />
Kendali PID merupakan kendali konvensional<br />
yang populer dan banyak diterapkan diberbagai<br />
industri. Kendali ini bekerja berdasarkan nilai error,<br />
yaitu selisish dari nilai set point dan variabel<br />
terkendali. Kendali ini terdiri dari bagian<br />
proporsional untuk memberikan sinyal kendali<br />
sebanyak jumlah error yang terjadi, untuk<br />
mengakumulasi nilai error terdahulu sampai error<br />
saat ini, untuk mencegah terjadinya osilasi atau<br />
Selain bentuk diatas kendali PID juga<br />
mempunyai bentuk dengan menambahkan filter low<br />
pass orde 1. Penambahan filter ini dimaksudkan jika<br />
pengendali berbasis PID tidak hanya di masuki nilai<br />
error namun juga dimasuki oleh gangguan noise dari<br />
lingkungan, maka noise tersebut akan direfleksikan<br />
dan di amplifikasi oleh aksi kendali derivatif<br />
sehingga noise akan mengganggu aksi kendali yang<br />
tidak mulus. Hal ini akan lebih terasa pada<br />
pengendali yang diskrit ( Cooper, 2004 ).<br />
⎧ KC<br />
⎫⎧<br />
1 ⎫<br />
M(<br />
s)<br />
= KC<br />
⎨1<br />
+ + KCτ<br />
ds⎬⎨<br />
⎬E(<br />
s)<br />
⎩ τ1s<br />
⎭⎩ατd<br />
s+<br />
1⎭<br />
(2)<br />
Untuk penentuan parameter PID atau lebih<br />
dikenal dengan istilah tuning PID digunakan<br />
berbagai metode.<br />
Metode Internal Model Control merupakan<br />
metode perkiraan dimana di asumsikan bahwa<br />
model dari sistem yang akan dikendalikan teah<br />
diperhitungkan di dalam pengendali PID atau<br />
dengan kata lain bahwa parameter dalam kendali<br />
PID diperkirakan atau di hitung dari besaran besaran<br />
pada model matetamis sistem yang akan<br />
dikendalikan. Karena pengendali disumsikan telah<br />
mempunyai pengetahuan akan sistem yang akan di<br />
kendalikan inilah maka metode ini disebut sebagai<br />
Internal Model Control (Chien dan Fruehauf, 1990).<br />
Pada tuning jenis ini digunakan filter lowpass orde 1<br />
dengan konstanta waktu berbeda – beda.<br />
Kemudian dilakukan penyempurnaan dari<br />
metode IMC dengan menggunkan deret Mclaurin.<br />
Metode ini sebenranya mempunyai logika yang<br />
sama dengan metode IMC seperti yang telah<br />
dijelasakan sebelumnya. Kunci perbedaan antara<br />
metode ini dengan metode IMC ada pada persamaan<br />
pengendali G c yang dapat dituliskan dengan<br />
*<br />
( G ( s))<br />
G ( s)<br />
= p−<br />
c<br />
*<br />
( τ r<br />
s+<br />
1) −G<br />
( s)<br />
(3)<br />
c<br />
f ( s)<br />
G c<br />
( s)<br />
=<br />
s<br />
(4)<br />
Pada metode IMC bagian filter dari penegndali IMC<br />
hanya berorde satu ditandai dengan harga r = 1.<br />
Berbeda dengannya IMC-Mclaurin justru tidak<br />
menentukan harga pada r sehingga bisa saja filter<br />
yang ada berorde tinggi seperti pada persamaan (6)<br />
p+<br />
D8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
''<br />
1⎧<br />
' f (0) 2<br />
⎫<br />
( s)<br />
= ⎨f(0)<br />
+ f (0) s+<br />
s + ... ⎬<br />
s⎩<br />
2 ⎭<br />
G c (5)<br />
Dari deret diatas diambil tiga suku pertama<br />
kemudian dibandingkan dengan persamaan PID<br />
maka didapatkan<br />
parameter<br />
τ<br />
i<br />
Kc<br />
=<br />
K (2τ<br />
+ θ)<br />
p<br />
c<br />
2<br />
τ<br />
c<br />
2<br />
2 −θ<br />
τ<br />
i<br />
= 2ξτ<br />
−<br />
2(2τ<br />
c<br />
+ θ)<br />
3<br />
2 θ<br />
τ −<br />
6(2τ<br />
c<br />
+ θ)<br />
τ<br />
c<br />
= τ<br />
i<br />
− 2ξτ<br />
+<br />
τ<br />
i<br />
dimana :<br />
θ = Dead Time ( sekon )<br />
ξ = Rasio Redaman<br />
τ = konstanta waktu sistem orde 2 ( 1/ω )<br />
τ c = konstanta waktu lowpass filter ( sekon )<br />
(6)<br />
Penentuan parameter τ c , ada empat buah<br />
pendekatan untuk mendapatkan harga τ c yaitu max<br />
(0,8θ : 0,1 τ) (Rivera dkk, 1986), τ < τ c
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Mulai<br />
Baca<br />
Sensor<br />
Hitung PID<br />
Kirim ke<br />
Aktuator<br />
Gambar 6. Algoritma program mikrokontroler aktuator<br />
Gambar 8. Algoritma program PID<br />
Kemudian pengujian dilakukan dengam<br />
mengganggu putaran turbin. Dalam penelitian ini<br />
turbin dianggap steady dalam keadaan kecepatan<br />
1000 rpm kemudian diberi gangguan yaitu turbin<br />
dibebani sehingga turbin seperti diberi torsi yang<br />
berlawanan sehingga kecepatannya berkurang.<br />
Kemudian pengendali harus mampu membuka valve<br />
untuk menambah suplai air sehingga kecepatan<br />
turbin kembali seperti semula. Digunakan beberapa<br />
beban yang akan di gunakan dan akan dilihat<br />
pengendali yang memberikan respon yang tercepat<br />
(TS terkecil) dan memberikan %OS yang terkecil<br />
Pembahasan<br />
Dari hasil pengujian undak maka didapatkan<br />
respon dari sistem dengan tampilan pada Gambar 9.<br />
UJI STEP<br />
Gambar 7. Algoritma program identifikasi sistem<br />
1200.000<br />
1000.000<br />
800.000<br />
600.000<br />
400.000<br />
200.000<br />
0.000<br />
30<br />
38<br />
46<br />
54<br />
62<br />
70<br />
78<br />
86<br />
94<br />
RPM<br />
Putaran Poros Turbin<br />
(RPM)<br />
waktu(s)<br />
Gambar 9. Hasil Uji Step<br />
Dengan memperhatikan gambar di atas maka<br />
dilakukan analisis respon sistem dimana dari gambar<br />
menunjukkan bahwa sisitem orde 2 dengan<br />
persamaan<br />
− s<br />
12,68e<br />
G<br />
p<br />
=<br />
2<br />
(10)<br />
2,73s<br />
+ 1,92s<br />
+ 1<br />
D10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dengan menggunakan model matematis sistem<br />
diatas maka dilakukanlah pengujian terhadap respon<br />
sistem kendali dengan menggunakan tuning pada<br />
tabel parameter kendali PID. Untuk pengujian<br />
terhadap setpoint 1000 rpm maka dapat dilihat<br />
unjuk kerja respon pada tabel I.<br />
TABEL I<br />
Respon Sistem 1000 RPM<br />
Jenis tuning Ts (s) %OS<br />
imc mclaurin rivera 25.183 23.38%<br />
imc mclaurin chien 15.813 6.78%<br />
imc mclaurin panda 19.82 10.64%<br />
imc malaurin skogestad 20.715 21.10%<br />
Kedua adalah pengujian berapa beban<br />
maksimum yang dapat di ampu, Definisi yang dapat<br />
diampu adalah jika sistem diganggu dengan diberi<br />
beban maka berpa maksimal yang bisa di ampu oleh<br />
sisem agar mampu kembali ke kisaran setpoint<br />
seperti dalam persyaratan kendali dalam waktu 30<br />
sekon, kemudian pada pengujian ini untuk<br />
mrnghindari adanya reset wind up pada sistem<br />
kendali PID maka beban maksium yang di cobakan<br />
adalah 4,08 N. Kemudian dapat dilihat di tabel II.<br />
Jenis tuning<br />
Tabel II<br />
Beban Maksimum<br />
Beban Maksimum<br />
(N cm)<br />
imc mclaurin rivera 1.52<br />
imc mclaurin chien 1.52<br />
imc mclaurin panda 1.52<br />
imc malaurin<br />
skogestad 1.52<br />
Untuk melihat tuning yang paling cocok maka<br />
dapat dilihat dengan tabel III. Pada pengujian ini<br />
dibandingkan berbagai variasi beban<br />
Beban<br />
(N cm) Hasil Respon<br />
0,68 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />
imc mclaurin<br />
rivera 15.113 2.58%<br />
imc mclaurin<br />
chien 16.109 0.66%<br />
imc mclaurin<br />
panda 14.820 0.70%<br />
imc malaurin<br />
skogestad 14.660 2.56%<br />
1,36 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />
imc mclaurin<br />
rivera 17.015 5.25%<br />
imc mclaurin<br />
chien 19.236 1.16%<br />
imc mclaurin<br />
panda 17.125 1.17%<br />
imc malaurin<br />
skogestad 20.839 3.74%<br />
2,04 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />
imc mclaurin<br />
rivera 24.197 6.86%<br />
imc mclaurin<br />
chien 18.169 1.15%<br />
imc mclaurin<br />
panda 16.188 0.68%<br />
imc malaurin<br />
skogestad 20.368 5.14%<br />
2,72 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />
imc mclaurin<br />
rivera 22.294 6.73%<br />
imc mclaurin<br />
chien 18.992 1.65%<br />
imc mclaurin<br />
panda 16.131 0.62%<br />
imc malaurin<br />
skogestad 19.859 1.55%<br />
Untuk bagian pertama dimana terlihat respon<br />
sistem kendali dalam mengejar set point terlihat<br />
bahwa yang tercepat adalah tuning menggunakan<br />
metode IMC McLaurin dengan pemilihan τ c dari<br />
Panda. Hal ini membuktikan bahwa untuk sistem ini<br />
metode yang di usulkan oleh Panda cukup bagus<br />
dalam mepercepat respon dari sistem. Dalam<br />
makalah nya, Panda memang mengkhususkan<br />
pemilihan harga τ c bagi sistem orde 2, yaitu dia<br />
menemukan metode itu merupakan yang paling<br />
maksimal dalam pengalamannya melakukan<br />
pengndalian sistem orde 2 ( Panda, 2004 ).<br />
Kelebihan pada metode IMC Mclaurin<br />
yaitu pada saat menentukan orde filter yang mereka<br />
gunakan. IMC Mclaurin menggunkan deret<br />
Mclaurin untuk menurunkan parameter kendali yang<br />
didalam nya ada filter yang dibiarkan berorde r,<br />
sehingga menghilangkan ossilasi yang cukup besar (<br />
Seborg,2004 ) menjadi lebih maksimal pada metode<br />
IMC Mclaurin sehingga mampu mempunyai respon<br />
yang baik. Sedangkan metode penentuan τ c yang<br />
terbaik dalam pembebanan adalah metode Panda.<br />
Sekali lagi metode yang dikembangkan Panda<br />
adalah metode yang memang diperuntukkan untuk<br />
sistem orde 2.<br />
Kesimpulan<br />
1. Metode penentuan parameter PID Internal<br />
Model Control McLaurin mempunyai<br />
respon yang lebih baik dari metode yang<br />
lain karena metode ini dikembangkan<br />
dengan memberikan parameter model<br />
matematis dari sistem yang dikendalikan<br />
sehingga pengendali dapat memprediksi<br />
keadaan dari sistem kemudian ditambah<br />
dengan penggunaan deret Mclaurin untuk<br />
menurunkan parameter kendali yang<br />
didalam nya ada filter yang dibiarkan<br />
D11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
berorde r, sehingga mampu mempunyai<br />
respon yang baik.<br />
2. Respon terbaik adalah dengan<br />
menggunakan metode IMC McLaurin<br />
dengan optimasi harga τ c dari Panda.<br />
Daftar Pustaka<br />
Chien, I.L., Freuhauf, P.S., 1990, Consider IMC<br />
Tuning to Improve Controler Performance ,<br />
pp. 33-43, ed.86, Chemical Engineering<br />
Progress Journal.<br />
Cooper, Douglas, J., 2004, Practical Process<br />
Control using Control Station 3. 7 , Control<br />
Station LLC, USA.<br />
Corripio, Armando B, 1996, Tuning of Industrial<br />
Control System, Instrument Society of<br />
America , North Carolina, USA.<br />
Gunterus, F., 1994, Falsafah Dasar Sistem<br />
Pengendalian Proses , Elex Media<br />
Komputindo, Jakarta.<br />
Gonzales, E.A., Tio, J., Caluyo, F.S., 2004 ,<br />
Conceptual Design of A Rule Base for A<br />
Micro Hydro Power Plant Feed Back<br />
Control System, ECE Technical Support, De<br />
La Salle University, Manila, Philipines.<br />
Panda, R.C., Yu, C.C., Huang, H.P., 2004, PID<br />
Tuning Rules for SOPDT sytems: Review and<br />
Some New Result , pp. 283 – 295, ed.43,<br />
Instrumentation System and Automation<br />
Transaction Journal.<br />
Pramudjianto, J dan Wicaksosno, H.,<br />
2003,Implementasi Kontrol PID pada PLC<br />
untuk Pengaturan Kecepatan Motor DC,<br />
Prosiding SITIA ITS 2003, Surabaya.<br />
Rivera, D.E., Morrari, M., Skogestad S., 1986,<br />
Internal Model Control for PID Controler<br />
Design , pp. 252 – 264, ed.25, Indusrial<br />
Engineering Process Design Dev.<br />
Seborg, E., Edgar, F., Mellichamp, A.,2004. Process<br />
Dynamic Control System., 2 nd ed., Jhon<br />
Wiley and Sons Inc., Singapore.<br />
Skogestad, S., 2003, Simple Analitic Rules for Model<br />
Prediction and PID Controler Tuning, pp.<br />
291 – 300, ed.13, Journal of Process Control.<br />
www.esdm.go.id/permen/2007/03/Aturan_Jaringan_<br />
2007.pdf ( di download tanggal 22 September<br />
2007 ).<br />
Kadir , A., 1994, Pembangkit Tenaga Listrik, UI<br />
Press., Jakarta<br />
Lee, Y.H., Park, S.W., Lee, M.Y., 1998, PID<br />
Controler Tuning for Desired Closed-Loop<br />
Responses for SI/SO System , pp.106 – 115,<br />
ed.44, AiChE Journal.<br />
Mikles, J., Fikar, M., 2007, Prosess Modelling<br />
Identification and Control, Spinger - Verlag,<br />
Berlin, Germany.<br />
D12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The Increase of Flaring Activity In NOAA 9026 Due to A Coronal Mass<br />
Ejection<br />
Bachtiar Anwar<br />
Division of Solar Physics and Space Environment<br />
Center for Utilization of Space Science<br />
National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />
Jl. DR. Djundjunan 133, Bandung 40173<br />
E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />
Abstract<br />
A large coronal mass ejection (CME) was occurred at the north solar pole on June 6, 2000 that started at<br />
05:06UT. The ejection was related to a helmet streamer structure of corona as seen in the Large Angle and<br />
Spectrometric Coronagraph (LASCO) aboard Solar and Heliospheric Observatory (SOHO). A careful inspection<br />
of images taken by the Extreme-ultraviolet Telescope (EIT) resulted in an evident that CME event was due to<br />
eruption of dark filament close to the North solar pole. There was another CME following this event which<br />
related to flare that occurred in active region NOAA 9026. In this work, two CME events were studied to find<br />
relationship between them, whether the first CME triggered the occurrence of the second CME. Careful study on<br />
the flaring activity in active region NOAA 9026 after the first CME resulted in a conclusion that an increase of<br />
flaring activity in the region was caused by CME initiated by dark filament eruption. This study provides<br />
observational facts that the explosion of CME propagates to the surrounding corona as coronal waves that<br />
triggered flaring activity in active region.<br />
Key words: coronal mass ejection, flares, dark filament, coronal wave.<br />
INTRODUCTION<br />
Solar corona is very dynamics in nature as it<br />
consists of plasma with high temperature in order of<br />
millions degree. Based on the observations from<br />
spacecrafts such as SOHO and TRACE, one<br />
explosion (flare or CME) may trigger other<br />
explosions that occur in sequence. The interval time<br />
between an explosion to another may occur one hour<br />
or less. An intense explosion usually generates a<br />
shock wave that propagates to the surrounding<br />
corona and interacts with other magnetic loops<br />
system to initiate coronal plasma ejection (CME)<br />
and magnetic energy release (flare) (Anwar, 2009a;<br />
Anwar, 2009b; Anwar, 2010a).<br />
Dark filament may appear close to or far from<br />
sunspot group. Due to shear motions or magnetic<br />
flux emergence in the photosphere, dark filament<br />
may become unstable in one of footpoint or both.<br />
The unstable dark filament then erupts and pushes<br />
the coronal plasma above to cause an ejection of<br />
coronal plasma or CME (Anwar, 2009c). The<br />
triggering mechanism of dark filament eruption may<br />
caused by instability of coronal loop located above<br />
dark filament.<br />
On June 6, 2000, there were two CMEs<br />
occurred at or close to the North pole. Based on the<br />
SOHO data, these two CMEs may have relationship<br />
as the interval time between two CMEs was<br />
relatively short. In other words, the first CME may<br />
trigger the second CME by activating sunspot group<br />
(NOAA 9026) with several flares that triggers each<br />
other in sequence. This work will explore such<br />
possibility by using SOHO and ground-based<br />
observations. It is expected that this work will lead<br />
to a comprehensive understanding to support space<br />
weather program at LAPAN (Setiahadi, 2005:<br />
Setiahadi et al., 2006; Anwar, 2010a; Anwar,<br />
2010b). An intense flare or large CME may disturb<br />
space environment around the Earth as well as may<br />
damage space-based and ground-based technologies<br />
(Bothmer, Daglis, 2007; Lanzerotti, 2001).<br />
Section 2 gives the observation data used in this<br />
work. Methods and data analysis are presented in<br />
section 3, while the results and discussions are given<br />
in section 4. Finally, concluding remarks of this<br />
work is described in section 5.<br />
OBSERVATION DATA<br />
In this work, the data taken by Solar and<br />
Heliospheric Observatory (SOHO) are used to study<br />
the evolution of solar corona. Flares will be studied<br />
using the Extreme-ultraviolet Imaging Telescope<br />
(EIT) image and Large Angle and Spectrometric<br />
Coronagraph (LASCO) is used to find plasma<br />
ejection far from the solar surface, as well as the<br />
Michelson Doppler Imager (MDI) to sense the<br />
photosphere. An example of CME is given in Figure<br />
1. The images were taken by SOHO/LASCO-C2 on<br />
June 6, 2000, which showed condition before<br />
eruption at 04:06UT (left) and the on-going eruption<br />
D13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
of CME at 08:06UT (right). The effect of this blast<br />
of CME to the surrounding corona will be studied.<br />
Solar Region Summary from USAF/NOAA is<br />
used to locate the active regions, as shown in Figure<br />
2. Active region NOAA 9026 was located at the<br />
Eastern hemisphere on Jun 3, 2000. The<br />
corresponding images taken by the EIT on June 03<br />
and 04, 2000, are given in Figure 3. The active<br />
region NOAA 9026 is marked by a box. It is obvious<br />
that the active region has already had a large in size.<br />
It seems that NOAA 9026 was born in the unseen<br />
solar hemisphere. The flare database is constructed<br />
based on flares list compiled by NOAA (Anwar,<br />
2008). The flare occurrences in active region NOAA<br />
9026 are compared with the CME event to find a<br />
possible relationship.<br />
Figure 1. Coronal mass ejection (CME) occurred at the North<br />
pole: before eruption at 04:06UT (left) and on-going eruption at<br />
08:06UT (right). CME has loop structure at the leading edge,<br />
followed by low density plasma (dark pattern) and bright plasma<br />
at the center of loop structure.<br />
Figure 2. The active region map created by Mess Solar<br />
Observatory on June 3, 2000, based on Join USAF/NOAA Solar<br />
Region Summary<br />
Figure 3. Images taken by SOHO/EIT195Å on June 03 and 04,<br />
2000. Active region NOAA 9026 is shown by box.<br />
METHODS AND DATA ANALYSIS<br />
In order to study the relationship between CME<br />
event and its possible role to trigger sunspot activity<br />
in NOAA 9026, the following steps have been<br />
performed:<br />
1. Compile the SOHO data (LASCO, EIT, MDI)<br />
and USAF/NOAA Solar Region Summary<br />
(SRS).<br />
2. Inspect the LASCO data to find coronal mass<br />
ejection (CME).<br />
3. Find the source region of CME (dark filament<br />
or flare in sunspot).<br />
4. Perform query to find the properties of active<br />
region NOAA 9026 from SRS database.<br />
5. Plot the properties of NOAA 9026 to see the<br />
morphological evolution.<br />
6. Perform query to find flares that occurred in<br />
NOAA 9026.<br />
7. Compare the start-end time of the first CME and<br />
a flare in NOAA 9026 accompanied with a<br />
CME.<br />
8. Conclude the relationship between CME and the<br />
flaring activity in NOAA 9026.<br />
The evolution of CME can be tracked by<br />
displaying the sequence images as shown in Figure<br />
4. Careful identification gives a start time of coronal<br />
flow at 04:30UT on June 6, 2000, at a helmet<br />
streamer at the North pole. The coronal mass<br />
ejection becomes obvious in the following images<br />
which formed a loop structure with a sharp leading<br />
edge moving away from the center of the solar disk.<br />
There was a dark pattern parallel to the outer edge<br />
inside the loop which can be interpreted as a less<br />
dense of coronal plasma. The dark pattern was<br />
followed by a bright structure which represents an<br />
ejection of coronal plasma.<br />
These properties of CME combined with the<br />
fact that the central position angle of CME close to<br />
the North pole, suggest that the source region of<br />
CME at solar surface seems to be related to a dark<br />
filament located near to the North pole. This should<br />
be further analyzed by using the images taken by<br />
EIT and MDI. An image of EIT304Å taken by EIT<br />
on June 6 prior to the appearance of CME at<br />
04:30UT is given in Figure 5. Figure 5 (left) shows<br />
a filamentary structure perpendicular to solar limb at<br />
01:19UT on June 6, 2000, close to the North pole.<br />
The structure was gone in the image taken on June 6,<br />
2000 at 07:19UT (right). Unfortunately, SOHO/EIT<br />
takes solar images at 304Å less frequent than images<br />
at 304Å. Thus, the eruption of dark filament cannot<br />
be tracked in detailed. Active region NOAA 9026 is<br />
indicated by a box at the solar disk showed a bright<br />
filamentary. Whether CME may trigger the activity<br />
in NOAA 9026 or not will be discussed in the<br />
following section<br />
D14
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 4. A sequence images of coronal mass ejection (CME) that<br />
occurred close to the North pole on June 6, 2000, taken by<br />
SOHO/LASCO-C2<br />
Figure 5. The image of EIT304Å that showed filamentary<br />
structure at 01:19UT on June 6, 2000, close to the North pole<br />
(left) and the structure was gone in the image taken on June 6,<br />
2000 at 07:19UT (right). Active region NOAA 9026 is indicated<br />
by a box at the solar disk which showed a bright filamentary<br />
the solar disk (June 2-15, 2000). The morphological<br />
evolution of this active region is given in Figure 7.<br />
The area evolution of the active region was fast in<br />
the beginning and reached a peak of about 900<br />
(MSH), and then decrease gradually. The length in<br />
longitude changed from 7 o in June 2 extended up to<br />
15 o in the following day (June 3), and was not<br />
changed much until June 11 where the length of<br />
sunspot dropped to 12 o for three days and to 2 o on<br />
June 14 – 15, 2000. Meanwhile, the number of spots<br />
was also varied during interval June 2-15, 2000,<br />
From June 2 to June 5, there was a significant<br />
increase from 3 to 28 meaning that magnetic flux<br />
emergence was intense. Due to this condition, the<br />
number of flares during this period increased. There<br />
were 15 C and 3 M-class flares in three days (June<br />
2-4).<br />
The magnetic activity changed from Beta in<br />
June 2 to Beta-Gamma in June 4. On June 5, the<br />
region evolved to magnetic type Beta-Gamma-Delta.<br />
The Delta type is a critical condition where two<br />
opposite polarities surrounded by the same<br />
penumbra. Small perturbation by shear motions in<br />
photosphere or a shock wave interaction with<br />
magnetic loop of Delta spots may trigger instability<br />
toward a flare or ejection of coronal plasma. It is<br />
surprisingly that only one flare of C-class was<br />
occurred in June 5. In the next day (June 6) there<br />
were four M and two X-class flares, when the area,<br />
length and number of spots decreased (Figure 9).<br />
There are two explanations: (1) the decrease in area,<br />
length and number of spots was evident of the<br />
release of magnetic energy in the form of four M<br />
and two X-class flares; (2) The triggering for this<br />
activity (flare of M-class that occurred at 13:10UT<br />
of June 6) was dark filament related CME that<br />
occurred in June 6 at 04:30UT – 10:54UT close to<br />
the North pole.<br />
Figure 6. The sequence images taken by SOHO/LASCO-C2 as<br />
continuation of images in Figure 4. A CME is identified at about<br />
15:30UT on June 6, 2000. The interval time between the end time<br />
of the first CME with the start time of the second CME was about<br />
5 hours<br />
RESULTS AND DISCUSSIONS<br />
In this section, we provide the results and<br />
discussions. Other dataset that have been processed<br />
in Join USAF/NOAA Solar Region Summary. In<br />
order to find any influence of CME that occurred at<br />
04:30UT, the properties of active region NOAA<br />
9026 is extracted for a period during its passage in<br />
Figure 7. The evolution of NOAA 9026 in June 1 – 15, 2000.<br />
There was decrease in area, length, and number of spots in June 6,<br />
2000 when four M and two X-class flares occurred. The<br />
complexity of the magnetic configuration was evident as the<br />
magnetic type was Beta-Gamma-Delta.<br />
D15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 8. Flaring activity of C, M and X class in active region<br />
NOAA 9026 during June 1-9, 2000<br />
Figure 9. The occurrence of flares in June 5 – 6, 2000 in NOAA<br />
9026<br />
CONCLUDING REMARKS<br />
We have described the methods and data<br />
analysis related to an increase of flaring activity in<br />
sunspot group due to a dark filament-related coronal<br />
mass ejection that occurred in June 6, 2000 at 04:30<br />
UT to cause M-class flare starting at 13:10UT. As<br />
the magnetic configuration was Beta-Gamma-Delta<br />
(critical condition), this M flare initiated other<br />
instability in sunspot group to cause X-class flare at<br />
13:39UT (peak). Sequentially, X-class flare<br />
triggered M-class flare at 14:01UT (peak) and M-<br />
flare trigger X-class flare at 15:25UT (peak)<br />
accompanied with CME as seen in LASCO-C2 at<br />
15:30UT. It is concluded that a CME at one location<br />
in solar surface can trigger a flare in other active<br />
region (in this case NOAA 9026). This flare<br />
sequentially can trigger another flare at active region<br />
with magnetic type Beta-Gamma-Delta.<br />
Acknowledgements<br />
The use of SOHO data and USAF/NOAA Solar<br />
Region Summary is acknowledged. SOHO is an<br />
international project between ESA and NASA. This<br />
work is part of series research to support space<br />
weather program at LAPAN.<br />
REFERENCES<br />
Anwar, B. (2010b) Study On The Relationship<br />
Between Sunspot Area And Flare<br />
Occurrences To Support Flare Prediction, in<br />
Proc. National Seminar in Applied Physics II,<br />
Airlangga University, July 17, 2010,<br />
Surabaya.<br />
Anwar, B. (2010a) The Geoeffectiveness of Coronal<br />
Mass Ejections Related to M-Class Flare, in<br />
Proc. National Seminar in Mathematic<br />
Education, Sebelas Maret University, May 5,<br />
2010, Solo.<br />
Anwar, B. (2009c) Identifying the Source Region of<br />
Coronal Mass Ejection, Proc. National<br />
Seminar in Mathematics and Natural<br />
Sciences, Faculty of Mathematics and<br />
Natural Sciences, Satyawacana Christian<br />
University (UKSW), June 13, 2009, Salatiga.<br />
Anwar, B. (2009b) Automatic Detection of Coronal<br />
Mass Ejection, Proc. National Seminar in<br />
Mathematics and Natural Sciences, Faculty<br />
of Mathematics and Natural Sciences, 16<br />
May 2009, Yogyakarta State University,<br />
Yogyakarta.<br />
Anwar, B. (2009a) Monitoring the Sun for Space<br />
Weather, Proc. National Seminar in<br />
Education Mathematics (LSM XVII), 4 April<br />
2009, Faculty of Mathematics and Natural<br />
Sciences, Yogyakarta State University.<br />
Anwar, B. (2008) Development of Database System<br />
for Space Early Warning, Proc. National<br />
Seminar in Science and Technology II, 17-18<br />
November 2008, Lampung University, p.18.<br />
Bothmer, V. and Daglis, I.A. (2007) “Space<br />
Weather, Physics and Effects”, Springer-<br />
Praxis Publishing.<br />
Lanzerotti, L.J. (2001) Space Weather Effects on<br />
Technologies, in “Space Weather”, Song, P.,<br />
Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds),<br />
Geophysical monograph, 125, p.11.<br />
Setiahadi, B. (2005) Problems of Equilibria and<br />
Instabilities on Solar Coronal Magnetic<br />
Fields and Its Evolution Towards Energetic<br />
Energy Liberation: Effect to Interplanetary<br />
Space, Proc. National Seminar in<br />
Mathematics, FMIPA UNDIP, E1., p.1.<br />
Setiahadi, B., Sakurai, T., Miyazaki, H., and Hiei, E.<br />
(2006) Research on Magnetohydrodynamic<br />
Transport Phenomena in Solar-Terrestrial<br />
Space at LAPAN Watukosek 2006, Proc.<br />
National Seminar in Space Science III, p. 17.<br />
D16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Rancang Bangun Sumber Arus DC Konstan<br />
Menggunakan Mikrokontroler 8951<br />
Bambang Suprijanto<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : bambangsuprijanto@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Pada kebanyakan penelitian fisika diperlukan sumber arus DC konstan dalam orde hingga puluhan ampere.<br />
Telah dilakukan rancang bangun sumber arus DC konstan dimana aliran arus dikontrol oleh mikrokontroler<br />
8951. Sistem aliran arus menghindari adanya aliran arus dadakan yang dapat merusak sistem. Arus dialirkan<br />
sedikit demi sedikit hingga tercapai nilai arus yang diinginkan. Sistem melakukan konversi nilai arus yang<br />
diinginkan menjadi data step DAC yang mampu menghasilkan arus sebesar 2,5 miliampere setiap step DAC.<br />
Besarnya arus yang dihasilkan setiap step DAC dapat diatur dalam pemrograman mikrokontroler 8951.<br />
Kemampuan konversi Sistem ini menggunakan DAC 1222 yang mempunyai jumlah step DAC sebanyak 4096<br />
step DAC. Hasil penelitian menunjukkan arus yang dihasilkan bersifat linear terhadap jumlah step DAC. Analisa<br />
statistik menggunakan regresi linear menghasilkan persamaan Y = 0.00256 X + 0.028679, dengan R = 0.999923<br />
Kata Kunci : Sumber arus DC konstan, mikrokontroler, DAC.<br />
PENDAHULUAN<br />
Banyak peralatan fisika yang membutuhkan<br />
arus DC konstan. Banyak macam sumber arus DC<br />
konstan yang mempunyai perilaku tertentu, seperti<br />
besarnya arus konstan yang dihasilkan, lebar<br />
fluktuasi arus yang masih diperbolehkan, kestabilan<br />
arus konstan, sistem berbentuk manual atau semi<br />
automatik, atau programmable berbasis<br />
mikrokontroler.<br />
Untuk menghasilkan medan magnet konstan<br />
yang stabil diperlukan sumber arus konstan hingga<br />
10 ampere, stabil, dengan fluktuasi arus berorde mili<br />
ampere. Disamping itu arus konstan yang digunakan<br />
harus mempunyai perilaku membesar secara linier<br />
dalam selang waktu tertentu dari arus nol hingga<br />
dicapai besar arus yang diinginkan, dan menurun<br />
secara linier dalam selang waktu tertentu hingga arus<br />
nol dan sistem dimatikan. Hal ini dimaksudkan<br />
untuk menghindari adanya arus balik imbas karena<br />
hadirnya medan magnet tersebut.<br />
Sumber arus yang mempunyai perilaku seperti<br />
ini tidak tersedia di pasaran bebas sehingga perlu<br />
dirancang sumber arus konstan dalam bentuk sistem<br />
yang berbasis mikrokontroler 8951, programmable,<br />
dan menggunakan bahan baku lokal yang tersedia di<br />
pasaran bebas.<br />
METODE PENELITIAN<br />
PERANCANGAN<br />
Sistem dirancang menggunakan mikrokontroler<br />
8951 yang dilengkapi keypad berukuran 4x4 sebagai<br />
sarana untuk melakukan pengontrolan sistem dan<br />
arus yang dihasilkan. Digunakan komponen DAC<br />
1222 yang dilengkapi buffer data 12 bit untuk<br />
menghasilkan 4096 step DAC untuk menghasilkan<br />
tegangan referens yang selanjutnya dikonversi ke<br />
arus oleh rangkaian konverter V to I. Agar arus<br />
mengalir ke beban (load) digunakan hambatan<br />
referens dan arus diukur menggunakan voltmeter<br />
digital seperti pada gambar 1.<br />
KEYPAD<br />
Gambar 1. Skema perancangan sistem sumber arus<br />
Sumber arus konstan menggunakan<br />
mikrokontroler 8951 dilengkapi keypad untuk<br />
melakukan beberapa pengendalian seperti memulai<br />
kerja sistem, memasukkan data arus, menghentikan<br />
kenaikan arus, menambah atau mengurangi arus,<br />
mengakhiri kerja sistem. Keypad dirancang<br />
menggunakan sistem interupsi melalui pada<br />
mikrokontroler 8951. Sistem dimulai bekerja dengan<br />
menekan tombol reset. Data besarnya arus yang<br />
diinginkan dapat dimasukkan melalui keypad<br />
numerik yang akan dilayani oleh Port 2 yang<br />
disusun berupa pasangan port P2.0 – P2.3 dengan<br />
P2.4 – P2.7 dengan sistem interupsi seperti<br />
pada gambar 2.<br />
D17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
BC-639 dan MPSW-42 membentuk hubungan<br />
Darlington, dan transistor penghasil arus tipe MJ-<br />
802.<br />
Gambar 2. Skema perancangan sistem interupsi keypad<br />
Tombol S untuk Start, tombol E untuk End, tombol<br />
R untuk Rest, tombol I untuk input arus, tombol +<br />
untuk menambah arus, tombol - untuk mengurangi<br />
arus, dan tombol numerik untuk memasukkan nilai<br />
arus. Setiap keypad ditekan akan melakukan<br />
interupsi ke dan mikrokontroler akan melayani<br />
pemakaian keypad sesuai dengan fungsi nasingmasing<br />
tombol pada keypad.<br />
DAC 1222<br />
Mikrokontroler 8951 mengendalikan DAC 1222<br />
melalui 12 bit port yang disusun oleh pasangan port<br />
P0.0 – P0.7 dan port P1.0 – P1.3. Agar ADC 1222<br />
dapat bekerja dengan sempurna maka data masukan<br />
harus dikumpulkan terlebih dahulu dalam rangkaian<br />
Latch, dan setelah terkumpul lengkap 12 bit data<br />
maka Latch diaktifkan melalui port P1.4 dan DAC<br />
akan mulai melakukan konversi data yang baru.<br />
Keluaran DAC dilengkapi dengan konverter arus ke<br />
tegangan (IVC) menggunakan op amp tipe JFET seri<br />
LF-356 dengan offset null pada data nol seperti pada<br />
gambar 3.<br />
Gambar 3. Rangkaian sistem DAC dan buffer data<br />
Konverter Tegangan ke Arus<br />
Tegangan keluaran sistem DAC diubah ke<br />
bentuk arus menggunakan rangkaian konverter<br />
tegangan ke arus yang disusun oleh buffer tegangan,<br />
penguat arus, dan hambatan referens seperti gambar<br />
4. Buffer tegangan menggunakan op amp tipe JFET<br />
seri LF-356 dengan offset null untuk arus nol pada<br />
tegangan nol. Penguat arus tesusun oleh pasangan<br />
Gambar 4. Rangkaian konverter tegangan ke arus<br />
Op amp bersama dengan beberapa transistor, resistor<br />
dan diode membentuk rangkaian non inverting<br />
amplifier dengan penguatan sebesar :<br />
(1)<br />
Keluaran rangkaian non inverting amplifier berupa<br />
tegangan sense yang akan diubah menjadi arus oleh<br />
hambatan referens (RREV) dengan persamaan :<br />
(2)<br />
Rangkaian ini menggunakan dua buah supply yang<br />
berbeda yaitu pasangan +15V, 0V, -15V dengan<br />
kemampuan 1 ampare, dan power supply 0(Gnd),<br />
32V dengan kemampuan 30 ampere. Beban berada<br />
diantara kedua titik nol power supply. Hal ini<br />
dimaksudkan agar arus mengalir konstan dan stabil.<br />
PEMROGRAMAN ALAT<br />
Mikrokontroler 8951 diprogram untuk meminta<br />
masukan nilai arus yang diinginkan. Data arus<br />
dikonversikan ke dalam system heksa decimal<br />
berbentuk jumlah step DAC. Setiap step DAC<br />
dikirimkan ke piranti DAC dengan selang waktu<br />
satu detik. Pengiriman data dilakukan dengan jalan<br />
mengaktifkan P1.4 disertai delay dan dinonaktifkan<br />
kembali. Setelah seluruh data step DAC terkirim,<br />
pemakai dilayani menambah atau mengurangi<br />
jumlah step DAC agar arus yang dihasilkan sesuai<br />
dengan arus yang terukur. Program diakhiri dengan<br />
stop, arus diturunkan step demi step hingga arus<br />
sama dengan nol. Pemrograman mikrokontroler<br />
8951 dirangkum dalam sebuah diagram alir seperti<br />
gambar 5.<br />
D18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
START<br />
DATA DAC = 0<br />
INPUT NILAI ARUS<br />
KONVERSI KE HEKSA DESIMAL<br />
STEP - 1<br />
KIRIM STEP DAC<br />
STEP=N<br />
+/-<br />
YA<br />
KIRIM STEP DAC<br />
STEP DAC -1<br />
STEP=0<br />
SELESAI<br />
YA<br />
Gambar 5. Diagram alir pemrograman mikrokontroler 8951<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
TIDAK<br />
TIDAK<br />
STEP + 1<br />
Arus yang dihasilkan sesuai dengan jumlah step<br />
data DAC seperti pada gambar 6 dan arus stabil pada<br />
nila 10 ampere seperti pada gambar 7.<br />
Gambar 7. Hubungan arus dan waktu<br />
Dari hubungan regresi linear dari gambar 5<br />
didapat persamaan garis lurus Y = 0.00256 X + 0<br />
dengan R = 0.999923. Pada gambar 6 dapat dilihat<br />
fluktuasi arus kurang dari 10 mili ampere dan arus<br />
berfluktuasi (berubah) dalam selang waktu yang<br />
cukup panjang. Hal ini menunjukkan kestabilan arus<br />
konstan yang hanya berubah kurang dari 10 mili<br />
ampere dalam selang waktu 10 menit.<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
Dapat disimpulkan bahwa sumber arus yang<br />
dibuat dapat menghasilkan arus konstan DC hingga<br />
10 ampere, dan kecepatan arus naik linier 2,5<br />
miliampere per detik dengan tingkat kepercayaan R<br />
= 0.999923. Arus yang dihasilkan stabil. dengan<br />
lebar fluktuasi 10 mili ampere dengan perioda 10<br />
menit<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Mackenzie, L.Scott, 1995, The 8051<br />
microcontroller, University of Guelph,<br />
prentice hall, Ontario<br />
Yeralan, Sencer, Ashutosh Ahluwalia, 1995,<br />
Programing and Interfacing the 8051<br />
Microcontroler, Addison-Wesley Publishing<br />
Company<br />
Sutrisno, 1998, Perancangan Sistem Mikroprosesor,<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> ITB, Bandung<br />
Barden,W, 1978, The Z-80 Microcomputer<br />
Handbook, Howard W.Sam & Co., Inc<br />
Schultz, 2007, Grob’s Basic Electronics, Mc. Graw-<br />
Hill, New York<br />
Gambar 6. Hubungan arus dan data DAC<br />
D19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Analisa Ketidakpastian<br />
Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal<br />
Berthy Pelasula, Prof,DR-Ing,Ir. I Made Londen Batan M-Eng<br />
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />
Email : (bertop31@gmail.com)<br />
ABSTRAK<br />
Perancangan dan pembuatan alat uji impak helm tipe horizontal telah dilaksanakan di Jurusan Teknik Mesin<br />
ITS. Menurut ISO 9001 bahwa setiap alat ukur yang telah dibuat harus diketahui nilai ketidakpastiannya<br />
sebelum digunakan. Sesuai dengan petunjuk guide to the expression of uncertainty in measurement bahwa untuk<br />
menganalisa suatu alat uji perlu diketahui sebelumnya, faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakpastian.<br />
Langkah-langkah untuk menganalisa ketidakpastian alat uji impak untuk helm adalah berturut-turut sebagai<br />
berikut: menganalisis faktor-faktor penyebab kesalahan, membuat model persamaan kesalahan, mengukur<br />
kesalahan yang terjadi dan menganalisa besarnya nilai ketidakpastin alat uji impak helm.<br />
Dari analisa kesalahan pada alat uji impak helm ternyata faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan adalah<br />
defleksi pegas, backlesh poros pengunci, defleksi dinding pelontar, perbedaan pengukuran oleh operator dan<br />
perbedaan diameter pipa pengarah dengan diameter penumbuk. Berdasarkan perhitungan nilai ketidakpastian<br />
random dan sistematik maka didapat nilai ketidakpastian bentangan dari alat uji impak helm adalah 47,639270<br />
dan nilai tersebut dikonversikan ke standard ASTM sehingga diperoleh nilai ketidakpastian dari alat uji impak<br />
helm adalah ±4,856195G, dengan nilai toleransinya lebih kecil dari batas yang diijinkan adalah 0,016167 mm,<br />
sehingga alat tersebut dapat digunakan dalam pengujian impak helm standar.<br />
Kata kunci :<br />
PENDAHULUAN<br />
Mohamad Daud Pinem 2009, merancang dan<br />
membuat alat uji impak helm tipe horisontal yang<br />
memanfaatkan pegas sebagai mekanisme penggerak<br />
untuk menghasilkan kecepatan penumbuk<br />
permukaan helm.<br />
Gambar 1. Alat uji impak type horizontal, (Daud Pinem,2009)<br />
kemudian pada lintasan penumbuk ditempatkan dua<br />
buah sensor kecepatan untuk mendeteksi kecepatan<br />
penumbuk saat menumbuk permukaan helm, pada<br />
kepala uji diletakan accelerator untuk membaca<br />
seberapa besar percepatan tumbukan yang terjadi.<br />
Menurut ISO 9001, bahwa alat ukur/alat uji<br />
harus diketahui nilai ketidakpastiannya sebelum<br />
digunakan sebagai alat ukur/alat uji. Sedangkan alat<br />
uji impak ini belum disertai analisa ketidakpastian..<br />
Sesuai dengan petunjuk (Guide to the<br />
Expression of Uncertainty in Measurement), untuk<br />
menganalisa ketidakpastian suatu alat ukur/uji, perlu<br />
diketahui sebelumnya faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi terjadinya ketidakpastian pada alat<br />
ukur/uji. Faktor-faktor tersebut adalah penyebab<br />
yang memungkinkan adanya kesalahan.<br />
Rumusan Masalah<br />
Dari uraian diatas, maka dapat disusun<br />
permasalahaan sebagai berikut:<br />
1. Bagaimana menentukan faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi ketidakpastian alat uji impak<br />
helm.<br />
2. Bagaimanamenentukan nilai ketidakpastian dari<br />
alat uji impak helm.<br />
Batasan Masalah<br />
Agar penelitian terfokus pada permasalahan, maka<br />
dibuat rumusan batasan sebagai berikut:<br />
• Rancang bangun alat uji impak tidak dibahas<br />
secara detail.<br />
• Untuk menganalisa uji ketidakpastian<br />
menggunakan data eksperimen<br />
• Tidak membahas sensor alat ukur.<br />
Tujuan dan Manfaat<br />
Tujuan penelitian adalah :<br />
• Mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi ketidakpastian.<br />
D20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
• Menghitung nilai ketidakpastian dari alat uji<br />
impak helm.<br />
Manfaat penelitian adalah :<br />
Apabila nilai ketidakpastian dari alat uji impak helm<br />
telah diketahui, maka dapat digunakan sebagai alat<br />
uji impak helm standar.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Pada metodologi penelitian ini akan ditentukan<br />
tahapan-tahapan dalam melakukan analisa<br />
ketidakpastian alat uji impak helm:<br />
• Dilakukan studi literatur<br />
Menyiapkan referensi yang berhubungan dengan<br />
ketidakpastian pada alat uji impak helm.<br />
• Analisa Kesalahan<br />
Melakukan analisa terhadap faktor penyebab<br />
kesalahan.<br />
• Identifikasi variabel –variabel yang<br />
mempengaruhi ketidakpastian alat uji.<br />
Model persamaan kesalahan .<br />
• Menentukan model persamaan error<br />
• Persamaan ketidakpastian.<br />
• Menentukan persamaan ketidakpastian<br />
• Pengambilan data.<br />
• Melakukan pengambilan data, dari setiap faktor<br />
penyebab error.<br />
• Perhitungan ketidakpastian bentangan<br />
• Melakukan perihitungan ketidakpastian<br />
sistematik dan ketidakpastian random dari alat<br />
uji tersebut kemudian dicari ketidakpastian<br />
bentangan<br />
• Kesimpulan<br />
• Setelah diperoleh nilai ketidapastian maka<br />
• dapat buat keimpulan.<br />
ANALISA KESALAHAN PADA ALAT UJI<br />
IMPAK HELM<br />
Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal telah dibuat<br />
oleh Mohamad Daud Pinem pada tahun 2009, dapat<br />
dilihat pada gamabar 4.1.<br />
Keterangan:<br />
Gbr 2. Alat Uji impak dan nama bagian<br />
1. Kepala uji<br />
2. Sensor accelorometer<br />
3. Pipa pengarah<br />
4. Sensor waktu<br />
5. Poros berulir<br />
6. Baut pendorong<br />
Dinding pelontar<br />
7. Pegas tarik<br />
8. Batang penumbuk<br />
9. Dinding pelontar<br />
10. Poros dinding pelontar<br />
11. Plat penahan dinding<br />
pelontar<br />
12. Bush alur penahan<br />
13. Display<br />
14. Power supply<br />
Prinsip Kerja Alat Uji Impak Helm.<br />
Setelah alat sensor accelerometer(10) terpasang<br />
pada bagian dalam kepala uji(1) dan dihubungkan<br />
dengan power supply(14) dan display(13), kemudian<br />
pasang helm pada kepala uji serta semua komponen<br />
lain telah terpasang dengan benar maka baut<br />
transfortir(6) yang berjumlah dua buah<br />
digerakan secara manual dengan<br />
menggunakan kunci pas untuk memindahkan<br />
dinding pelontar(9) pada jarak yang telah ditentukan,<br />
kemudian plat penahan(11) dinding pelontar<br />
dikaitkan pada alur poros pengunci(12) dengan<br />
maksud untuk menahan dinding pelontar, setelah itu<br />
baut pendorong digerakan mundur menjauhi dinding<br />
pelontar atau berada pada posisi bebas jika dinding<br />
pelontar dilepaskan, kemudian plat penahan dinding<br />
pelontar dilepaskan sehingga dinding pelontar<br />
bergerak sesaat mendorong batang penumbuk dan<br />
batang penumbuk bergerak menumbuk permukaan<br />
helm sehingga getaran.<br />
yang dihasilkan akan terbaca oleh accelerometer<br />
kemudian nilai yang dihasilkan akan ditampilkan<br />
pada alat display.<br />
D21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Fakator-Faktor Penyebab Kesalahan Pada<br />
Komponen Alat Uji<br />
• Kesalahan karena pegas yang terpasang pada<br />
dinding penahan kedudukannya tidak<br />
paralel.<br />
Perhitungan pegas A (pegas miring)<br />
Dimana:<br />
Cos α = Sudut kemeringan pegas yang<br />
berdampak pada dinding pelontar<br />
x 2 = pegas sebelum ditarik (pegas lurus)<br />
x 3 = pegas setelah ditarik<br />
Gbr. 4. Perbedaan pengamatan operator<br />
Dari pengamatan operator A tepat pada bidang x,<br />
dan operator B tidak, hal ini menyebabkan terjadi<br />
perbedaan pengukuran, jika diasumsikan ketelitian<br />
baca manusia adalah ±1-2 mm, maka persamaanya :<br />
Operator kiri = ( k1 + k2 + k3 ).A kondisi pegas<br />
tertarik sepanjang A<br />
Operator B = ( k4 + k5 + k6 ) . (A-1) atau (A-2)<br />
• Kesalahan karena perbedaan<br />
diameter penumbuk dan diameter pipa<br />
pengarah.<br />
Pipa pengarah sebagai alur lintasan batang<br />
penumbuk, jika terdapat perbedaan diameter yang<br />
relatif besar maka hal ini dapat menghasilkan<br />
celah/suaian, akibatnya terjadi penyimpangan<br />
membentuk sudut dan bervarisai disekitar senter<br />
accelerometer. Pengujian menggunakan batang<br />
penetrasi.<br />
φPp−φBp<br />
α = (°)<br />
Lp<br />
dimana :<br />
φ Pp = Diameter pipa pengarah<br />
φ Bp = Diameter batang penumbuk<br />
• Kesalahan karena backlesh pada poros<br />
pengunci dan bush.<br />
Untuk mengatur kecepatan penumbuk dilakukan<br />
dengan menggerakan dinding pelontar sejauh(x): 30<br />
mm, 35 mm dan 40 mm, yang dilakukan secara<br />
manual oleh dua orang operator. Setelah dinding<br />
pelontar disetting dan digerakan dengan pegas<br />
kemudian ditahan oleh plat pengunci, dan baut<br />
dikendorkan maka dinding pelontar mengalami<br />
pergeseran mundur sejauh(x).<br />
Gbr. 5 Mekanisme poros pengunci<br />
Backless ini dapat menghasilkan jarak yang lebih<br />
pendek dari yang telah ditetapkan sehingga<br />
mengurangi kecepatan penumbuk(v). Untuk<br />
menghitung besar backless yang terjadi dengan<br />
persamaan sebagai berikut:<br />
F = k.<br />
x<br />
= m . a = k.<br />
x<br />
• Kesalahan karena defleksi pada dinding<br />
pelontar<br />
Apabila pada dinding pelontar terjadi<br />
defleksi maka akan mengakibatkan displacement<br />
pegas yang diberikan menjadi lebih kecil. Ketika<br />
displacement pegas menjadi kecil, maka akan<br />
mengakibatkan percepatan yang diberikan pada<br />
batang penumbuk menjadi berkurang pula, pada<br />
akhirnya energi impak sebelum tumbukan juga dapat<br />
berkurang.<br />
Gbr 6. Defleksi dinding pelontar<br />
Berdasarkan kesalahan-kesalahan (E) tersebut yang<br />
merupakan penyebab terjadinya ketidakpastian,<br />
maka dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />
E = G + F + P + H + S + X +<br />
Dimana:<br />
G = Kesalahan akibat dari defleksi pegas<br />
F = Kesalahan akibat perbedaan pengamata<br />
Operator.<br />
H= Kesalahan karena backlesh pada<br />
poros pengunci dan bush<br />
X= Kesalahan karena defleksi pada dinding pelontar<br />
P = Kesalahan karena perbedaan diameter batan<br />
penumbuk dan diameter pipa pengarah.<br />
Persamaan Ketidakpastian Alat<br />
Uji Impak Helm.<br />
• Ketidakpastian Random<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2 2<br />
⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ ⎛ E δ ⎞ 2<br />
PE<br />
= ⎜ ⎟ PG+<br />
⎜ ⎟ PF+<br />
⎜ ⎟ P H+<br />
⎜ ⎟ PX<br />
+ ⎜ ⎟ P<br />
⎝ G δ ⎠ ⎝ F δ ⎠ ⎝ H δ ⎠ ⎝ X δ ⎠ ⎝ P δ ⎠<br />
Dimana:<br />
δE<br />
δE<br />
δE<br />
δE<br />
δE<br />
= 1 : = 1 : = 1 : = 1 = 1<br />
δG<br />
δF<br />
δH<br />
δX<br />
δP<br />
P<br />
D22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sehingga dperoleh persamaan random:<br />
2 2 2 2 2<br />
P E = P F + P P = P H + P S + P<br />
• Ketidakpastian Sistematik<br />
B<br />
2<br />
E<br />
⎛δE<br />
⎞<br />
= ⎜ ⎟<br />
⎝ δA<br />
⎠<br />
2<br />
B<br />
2<br />
A<br />
⎛δE<br />
⎞<br />
+ ⎜ ⎟<br />
⎝δB<br />
⎠<br />
2<br />
B<br />
2<br />
B<br />
2<br />
X<br />
⎛ δE<br />
⎞<br />
+ ⎜ ⎟<br />
⎝δC<br />
⎠<br />
2<br />
B<br />
2<br />
C<br />
Dari persamaan random dan sistematik, maka<br />
persamaan ketidakpastian dengan tingkat<br />
kepercayaan 95% atau ketidakpastian bentangan :<br />
1<br />
2 2<br />
( B i P ) 2<br />
U = +<br />
95 i<br />
Dimana:<br />
δE<br />
δE<br />
δE<br />
= 1 : = 1 : = 1<br />
δA<br />
δB<br />
δC<br />
Sehingga diperoleh persamaan sistimatk<br />
2<br />
B E<br />
2<br />
= B A<br />
2<br />
+ B B<br />
2<br />
+ B C<br />
DATA DAN PERHITUNGAN KETIDAKPASTIAN<br />
Tabel 1. Data defleksi pegas<br />
Group A<br />
Group B<br />
Replikasi<br />
Displacement (mm)<br />
25 30 35 25 30 35<br />
1 15.72 20.52 24.82 19.82 24.18 29.14<br />
2 16.72 20.62 24.10 19.78 23.90 29.70<br />
3 16.12 20.34 24.82 19.88 24.06 29.44<br />
4 16.00 20.46 25.00 20.38 24.92 28.80<br />
5 16.06 20.50 25.12 19.08 24.78 28.80<br />
6 16.08 20.40 25.04 19.28 24.52 29.82<br />
7 15.96 20.44 24.95 19.62 21.18 29.75<br />
8 15.94 20.52 25.10 19.67 23.89 29.56<br />
9 16.02 20.38 25.12 19.62 24.14 29.86<br />
10 15.94 20.60 24.78 19.55 24.32 29.83<br />
Tabel 2.Perbedaan pengukuran operator<br />
Displacement pegas (mm)<br />
25 30 35<br />
No.<br />
operator<br />
A B A B A B<br />
Pegas<br />
A B A B A B A B A B A B<br />
1 0.38 0.33 0.26 0.27 0.29 0.29 0.26 0.29 0.23 0.21 0.23 0.21<br />
2 0.30 0.37 0.27 0.22 0.24 0.27 0.23 0.31 0.27 0.24 0.27 0.24<br />
3 0.34 0.35 0.17 0.20 0.23 0.31 0.24 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28<br />
4 0.33 0.37 0.32 0.29 0.27 0.31 0.27 0.30 0.25 0.26 0.25 0.26<br />
5 0.29 0.42 0.28 0.31 0.30 0.32 0.25 0.33 0.26 0.25 0.26 0.25<br />
6 0.27 0.39 0.14 0.17 0.25 0.29 0.27 0.29 0.25 0.28 0.25 0.28<br />
7 0.36 0.37 0.19 0.21 0.25 0.28 0.30 0.27 0.24 0.27 0.24 0.27<br />
8 0.34 0.29 0.23 0.24 0.21 0.33 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28<br />
9 0.38 0.38 0.12 0.1 8 0.28 0.25 0.24 0.30 0.29 0.24 0.29 0.24<br />
10 0.36 0.35 0.26 0.28 0.24 0.26 0.26 0.28 0.28 0.25 0.28 0.25<br />
Tabel 3 Pengukuran Backlesh<br />
Ref.<br />
Displacement (mm)<br />
25 30 35<br />
Pegas A B A B A B<br />
1 3.03 1.84 1.2 0.81 1.06 1.01<br />
2 3.62 1.34 1.3 0.90 1.05 1.02<br />
3 3.86 1.90 1.6 0.84 1.03 1,01<br />
4 3.18 1.42 1.0 0.88 1.07 0.99<br />
5 3.58 1.60 1.5 0.86 1.04 1.02<br />
6 3.24 1.45 1.3 0.89 1.06 1.05<br />
7 3,37 1.76 1.6 0.89 1.03 1.03<br />
8 3.43 1.31 1.3 0.91 1.05 1.01<br />
9 3.72 1.68 1.1 0.87 1.07 0.98<br />
10 3.63 1.87 1.5 0.88 1.04 1.02<br />
D23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ref.<br />
Tabel 4. Pengukuran defleksi dinding pelontar<br />
Displacement pegas (mm)<br />
25 30 35<br />
1 0.90 1.02 1.08<br />
2 0.98 1.02 1.08<br />
3 0.88 1.04 1.10<br />
4 0.82 1.04 1.10<br />
5 0.87 1.04 1.12<br />
6 0.80 1.03 1.11<br />
7 0.88 1.04 1.10<br />
8 0.89 1.04 1.11<br />
9 0.81 1.04 1.12<br />
10 0.90 1.04 1.15<br />
Perhitungan Ketidakpastian Random.<br />
Dari table diatas, dapat dihitung rata-rata, gaya, dan<br />
percepatan, kemudian disubtitusi ke persamaan<br />
error untuk perhitungan ketidakpastian random<br />
sebagai berikut:<br />
2 2 2 2 2 2<br />
P E = P G + P F + P H + P X + P p<br />
P 2 E = 134,94 + 353,67 + 66,85 + 31,33 + 0<br />
= 586,8 m/s 2<br />
Pehitungan Ketidakpastian Sistimatik.<br />
Tabel 5. Kalibrasi mistar ingsut 45 mm<br />
No. Xi Xi- X ( Xi- X ) 2<br />
1 45 0,06 0,0036<br />
2 45,05 0,01 0,0001<br />
3 45,10 0,04 0,0016<br />
4 45,05 0,01 0,0001<br />
5 45,05 0,01 0,0001<br />
6 45,05 0,01 0,0001<br />
7 45,10 0,04 0,0016<br />
8 45,10 0,04 0,0016<br />
9 45,05 0,01 0,0001<br />
10 45,05 0,01 0,0001<br />
Tabel 6. Kalibrasi mistar ingsut 100mm<br />
No. Xi Xi -<br />
X<br />
( Xi- X ) 2<br />
1 100 0,01 0,0001<br />
2 100,05 0,04 0,0016<br />
3 100 0,01 0,0001<br />
4 100 0,01 0,0001<br />
5 100,05 0,04 0,0016<br />
6 100 0,01 0,0001<br />
7 100 0,01 0,0001<br />
8 100,05 0,04 0,0016<br />
9 100 0,01 0,0001<br />
10 100 0,01 0,0001<br />
Tabel 7. Kalibrasi mistar ingsut 150mm<br />
Xi<br />
No.<br />
Xi- X ( Xi- X ) 2<br />
1 150 0,02 0,0004<br />
2 150 0,02 0,0004<br />
3 150 0,02 0,0004<br />
4 150,05 0,03 0,0009<br />
5 150,05 0,03 0,0009<br />
6 150 0,02 0,0004<br />
7 150,05 0,03 0,0009<br />
8 150,05 0,03 0,0009<br />
9 150 0,02 0,0004<br />
10 150 0,02 0,0004<br />
Dari perhitungan simpangan yang terjadi pada gauge<br />
block 45, 100 150 mm diperoleh data sebesar =,<br />
1,290323, 0,157313 dan 1,161890 jika di<br />
bandingkan dengan data simpangan standard<br />
distribusi t adalah = 2,262, artinya tidak terjadi<br />
penyimpangan dari batas tingkat keyakinan 95%.<br />
• Perhitungan Ketidakpastian Sistematik.<br />
Kesalahan-kesalahan pada mistar ingsut<br />
menimbulkan ketidakpastian, dapat dihitung sebagai<br />
berikut:<br />
ERROR(E) = A + B + C<br />
Dimana:<br />
A = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />
ukuran 45 mm<br />
B = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />
ukuran 100 mm<br />
C = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />
ukuran 100 mm<br />
E = 1,290323 + 0,024721 + 1,161890<br />
= 2,609526 mm<br />
Perhitungan Ketdakpastian Sistematik<br />
Kesalahan pada mistar ingsut terhadap percepatan<br />
.dapat dihitung sebagai berikut:<br />
dv 6,63<br />
2<br />
a = = = 1682,7 m/<br />
s<br />
dt 0,000395<br />
Dari perhitungan percepatan pada alat uji impak<br />
helm sesuai data kalibrasi mistar ingsut sorong<br />
makadiperoleh nilai ketidakpastian sistematik<br />
sebagai berikut:<br />
2<br />
B E = 1682,7<br />
D24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ketidakpastian Bentangan<br />
Perhitungan ketidakpastian bentangan adalah<br />
sebagai berikut:<br />
U95% = ( B2i + P2i)½<br />
= ( 1682,7 + 24,223955)<br />
2269,5<br />
=<br />
= 47,639270<br />
konversikan nilai ketidakpastian bentangan ke<br />
standard American Society for Testing and<br />
Materials.<br />
U B x =<br />
G 9,81<br />
dimana : G = 9,81 m/s2<br />
UB = K<br />
x = U95%<br />
Dari data-data sebelumnya, UB<br />
47,639270<br />
= 4,856195G<br />
9,81<br />
Perhitungan ketidakpastian bentangan (UB) yang<br />
diperoleh sebesar ±4,856195G. Batas toleransi yang<br />
diijinkan (TB), :UB ≤ (0,1 s/d 0,2)TB<br />
Ketidakpastian bentangan diperoleh dari<br />
perbandingan antara U B dengan T B dapat dihitung<br />
sebagai berikut:<br />
U B 4,85G<br />
4,85<br />
= =<br />
TB<br />
300G<br />
300<br />
= 0,016<br />
Hasil perbandingan diatas, terlihat jelas U B lebih<br />
kecil dari pada 0,1T B, (U B < 0,1T B ). Hasil<br />
perhitungan menunjukan bahwa alat uji impak helm<br />
tipe horizontal dapat digunakan sebagai alat uji<br />
standar.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Becker, Edward B., et al., (2000), 2000 Standard for<br />
Protective Headgear, Snell Memorial<br />
Foundation Inc., North Highlands, CA.<br />
ISO (1993) Guide to the Expression of Uncertainty<br />
in Measurement, International Organization<br />
for Standarization (ISO), Geneva,<br />
Switzerland<br />
Kirkup, Les (2007) Calculating and Expressing<br />
Uncertainty in Measurement, University of<br />
Technology, Sydney,Australia.<br />
Leland Blank (1980) Statistical Procedures for<br />
Engineering, Management and Science,<br />
St Lois San Fransisco.<br />
Pinem Mohamad Daud (2009) Studi Kekuatan Helm<br />
Komonikatif Terhadap Beban Impak<br />
Secara Eksperimen dengan Alat Uji Impak<br />
Tipe Horisontal dan Modeling. Tesis<br />
Master, Institut Teknologi Sepuluh<br />
Nopember Surabaya.<br />
UKAS publication M 3003 The Expression of<br />
Uncertainty and Confidence in<br />
Measurement Edition 1, December 1997.<br />
Perhitungan Prosentase Kesalahan Pada Alat Uji<br />
Impak Helm<br />
Prosentase kesalahan pada alat uji dapat dihitung<br />
sebagai berikut:<br />
JK<br />
Prosentase kesalahan = x100 %<br />
DP<br />
Konstribusi kesalahan pada lat uji impak helm<br />
terbesar adalah kesalahan akibat defleksii<br />
pegas,yaitu sebesar 35,39%, Konstribusi kesalahan<br />
pada lat uji impak helm terbesar adalah kesalahan<br />
akibat defleksi pegas,sebesar 35,39%,<br />
KESIMPULAN<br />
• prosentase kesalahan terbesar yaitu pada<br />
kesalahan akibat defleksi pegas yaitu : 35,39%.<br />
• Ketidakpastian alat uji impak helm tipe<br />
horizontal adalah 0,016 , dan dapat digunakan<br />
sebagai alat uji standar.<br />
D25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Rancang Bangun Eksperimen Hidrostatika<br />
untuk Aplikasi Remote Laboratory<br />
Cuk Imawan 1 , Adhi Harmoko 1 , Supriyanto 2 , Fauziyyah 2<br />
1 Smart Systems Technology (SST), <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Indonesia<br />
2 Unit Pelaksana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Dasar (UPPIPD), Universitas Indonesia<br />
Email : cuk.imawan@ui.ac.id<br />
Abstrak<br />
Eksperimen hidrostatika yang mempelajari hubungan antara tekanan air sebagai fungsi dari kedalaman dibangun<br />
untuk aplikasi remote laboratory. Instrumentasi alat ini dirancang dengan antar muka PC dan dikomunikasikan<br />
dengan PC server sehingga dapat dikendalikan melalui internet. Instruksi operasi alat yang diperintahkan oleh<br />
user lewat internet, dilakukan melalui GUI. Lewat GUI ini, user dapat memerintahkan perubahan tinggi<br />
permukaan air dan sensor tekanan untuk mengukur tekanan di dasar tabung air. Variasi tinggi permukaan air<br />
diatur oleh benda yang dicelupkan di air. Benda tersebut terhubung dengan katrol dan dapat digerakkan naik<br />
turun oleh motor steper. Data hasil eksperimen disimpan oleh PC server dan dapat diunduh oleh user setiap saat.<br />
Saat bereksperimen user dapat melihat langsung kerja alat melalui kamera. GUI memberikan pilihan kepada user<br />
untuk menampilkan video streaming kerja alat, data hasil eksperimen, dan grafik dari data tersebut secara real<br />
time melalui internet. Eksperimen ini telah diuji coba dan digunakan untuk praktikum <strong>Fisika</strong> Dasar di UPP-IPD<br />
oleh mahasiswa UI. Terbangunnya modul eksperimen ini telah memberikan sumbangan besar bagi pelaksanaan<br />
praktikum, sebab dapat menyelesaikan kekurangan sarana peralatan dan fasilitas ruang laboratorium. Mahasiswa<br />
dapat melakukan praktikum setiap saat dan dimanapun, sehingga jumlah mahasiswa yang selalu bertambah tetap<br />
dapat dilayani oleh praktikum remote laboratory ini, tanpa harus menambah fasilitas laboratorium.<br />
Kata kunci : remote laboratory, hidrostatika, interfacing, PC, sensor tekanan.<br />
PENDAHULUAN<br />
Kemajuan IT telah merambah di dunia<br />
pendidikan sejak dua dekade ini. Pengaruh<br />
langsungnya adalah terbangunnya beberapa LMS<br />
untuk aplikasi e-learning. Pengunaan e-learning ini<br />
telah menyelesaikan banyak hal di ranah pendidikan,<br />
mulai dari kemudahan mengakses informasi,<br />
peningkatan efektifitas dan efisiensi pengajaran,<br />
sampai ke intensitas interaksi antara dosen dan<br />
mahasiswa yang sebakin baik (Junzhou et al, 2006).<br />
Pada awal dekade ini telah berkembang e-<br />
learning untuk aplikasi eksperimen, yang kemudian<br />
dikenal dengan remote laboratory (rLab). RLab<br />
dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan<br />
laboratorium yang pada umumnya beroperasi<br />
dengan biaya mahal tetapi pemanfaatannya terus<br />
meningkat tanpa disertai dengan peningkatan<br />
sumberdayanya secara memadai (Ranaldo et al,<br />
2007). Saat ini rLab telah dikembangkan oleh<br />
banyak institusi dari yang berbasis LabView<br />
(Sainchez et al, 2007), Simulink (Junge et al, 2000),<br />
maupun Java (Hahn et al, 2000; Ferrero et al, 2003).<br />
Terbangunnya rLab di suatu Institusi akan<br />
memberikan banyak manfaat antara lain:<br />
Satu eksperimen dapat diakses oleh banyak user<br />
bahkan oleh user dari berbagai institusi yang<br />
berbeda.<br />
Waktu penggunaan laboratorium menjadi<br />
fleksibel, karena dapat diakses 24 jam per hari.<br />
Menghemat waktu dan biaya, sebab<br />
laboratorium dapat diakses dari mana saja asal ada<br />
jaringan internet. User tidak perlu datang ke<br />
laboratorium.<br />
Menghemat sumber daya manusia. Satu asisten<br />
atau dosen dapat menangani banyak user.<br />
Menghemat biaya operasional dan perawatan<br />
laboratorium.<br />
Pada penelitian ini, telah dirancang dan<br />
dibangun suatu eksperimen rLab tentang hidrostatika<br />
berbasis Java. Di sini akan dijelaskan tentang<br />
struktur perangkat keras dan lunak yang telah<br />
dikembangkan. Sistem ini telah berhasil diuji coba<br />
dan saat ini digunakan sebagai salah satu modul<br />
praktikum <strong>Fisika</strong> dasar untuk mahasiswa Universitas<br />
Indonesia.<br />
RANCANG BANGUN REMOTE LABORATORY<br />
Rancang bangun suatu remote laboratory selalu<br />
dimulai dengan cara berfikir tentang bagaimana<br />
dapat merancang suatu sistem instrumentasi yang<br />
sederhana dan ringkas baik dari segi perangkat keras<br />
maupun perangkat lunaknya. Hal ini dilakukan agar<br />
saat perawatan atau terjadi kerusakan, sistem<br />
tersebut dapat diperbaiki dengan cepat, sehingga<br />
tidak mengganggu pelayanannya yang 24 jam per<br />
hari. Struktur perangkat keras dan lunak dari sistem<br />
yang telah dirancang ditunjukkan di gambar 1.<br />
D26
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Adapaun komponen-komponen utamanya dapat<br />
dijabarkan sebagai berikut:<br />
Peralatan Eksperimen dan Kamera Video<br />
Peralatan eksperimen hidrostatika diakuisisi<br />
melalui intefacing menggunakan I/O dari<br />
mikrokontroler yang dikendalikan lewat PC rLab. Di<br />
PC rLab ini terinstall Apache HTTP server yang<br />
dapat mengek-sekusi script–script jsp yang<br />
diperintahkan oleh user dan kemudian mengirimkan<br />
kembali hasil eksekusinya ke PC rLab. Perangkat<br />
lunak yang digunakan pada interfacing dibuat<br />
dengan java library. Perangkat lunak ini menjadi<br />
jembatan komunikasi data baik itu perintah ke<br />
peralatan maupun transfer data ke database.<br />
Kamera web 1.3 Mpixel digunakan untuk<br />
mendukung fasilitas video streaming. Kamera ini<br />
dikoneksikan dengan rLab PC melalui USB,<br />
sehingga semua kejadian pada eksperimen dapat<br />
diamati secara real time oleh user.<br />
Gambar. 1 Diagram skematik struktur remote laboratory yang<br />
dikembangkan.<br />
PC rLab dan Interfacing<br />
PC rLab terhubung dengan peralatan<br />
eksperimen melalui interfacing. PC ini<br />
mengendalikan steper motor dan mengakuisisi data<br />
sensor tekanan. Perintah user untuk mengontrol alat<br />
diterjemahkan dan dikerjakan oleh PC rLab,<br />
kemudian data pengukurannya ditransmisikan dan<br />
disimpan di PC server<br />
Web Portal .<br />
Pintu gerbang yang menghubungkan user dengan<br />
peralatan eksperimen adalah portal web yang<br />
diletakkan di PC server. Portal web meneruskan<br />
instruksi user ke PC rLab, sehingga user dapat<br />
melakukan eksperimen. Apabila eksperimen sedang<br />
digunakan oleh seorang user, maka user lainnya<br />
tidak dapat melakukan eksperimen, jadi harus<br />
menunggu sampai eksperimen telah selesai<br />
dilakukan.<br />
Di PC ini diletakkan pula file dan database yang<br />
terkait dengan eksperimen. Databese yang<br />
dikembangkan menggunakan MySQL. Database ini<br />
berisikan data-data: user ID, password, biodata user,<br />
informasi eksperimen, variabel eksperimen, dan data<br />
pengukuran.<br />
User<br />
User adalah orang yang melakukan eksperimen<br />
menggunakan fasilitas remote laboratory. Agar<br />
dapat tersambung dengan fasilitas rLab, user harus<br />
menggunakan web browser, kemudian mengakses<br />
alamat URL rLab. Setelah masuk di halaman HTML<br />
rLab, user dihadapkan dengan GUI seperti yang<br />
ditunjukkan pada gambar 2.<br />
GUI yang dirancang mempunyai lima bagian<br />
utama, yaitu: Interactive user interface, Real time<br />
connection, Schematic experiment setup, User<br />
control panel, dan Time elapse. Interactive user<br />
interface memberikan pilihan pada user untuk dapat<br />
berinteraksi dengan video streaming yang<br />
menampilkan gambar peralatan secara real time<br />
(ditampilkan pada tempat real time connection di<br />
GUI), sehingga user merasakan sensasi<br />
bereksperimen langsung di depan peralatannya.<br />
Pilihan lainnya adalah menampilkan grafik data<br />
hasil eksperimen dan juga data pengukuran yang<br />
dapat diunduh dalam format Excel. Schematic<br />
experiment setup memberikan gambar skematik dari<br />
peralatan eksperimen, sehingga user terbantu dalam<br />
memahami rancangan peralatan yang sedang<br />
digunakan. User control panel adalah panel-panel<br />
yang digunakan untuk mengontrol eksperimen. Di<br />
percobaan ini, gerakan bandul dapat diseting,<br />
kemudian motor steper diaktifkan. Setelah itu user<br />
memerintahkan sensor tekanan untuk mengambil<br />
data tekanan air di dasar tabung.<br />
DISAIN EKSPERIMEN HIDROSTATIKA<br />
Pada eksperimen hidrostatika ini diteliti<br />
perubahan tekanan cairan di dasar tabung terhadap<br />
tinggi permukaan cairannya. Penyelesaian yang<br />
dipilih untuk mengatur atau memvariasikan<br />
perubahan tinggi permukaan cairan di dalam tabung<br />
adalah dengan mencelupkan bandul di dalam cairan.<br />
Semakin banyak volume bandul yang tercelup di<br />
cairan menyebabkan semakin tinggi kenaikan<br />
permukaannya.<br />
D27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar. 2 Screen shot menu utama web rLab yang dilihat oleh client. Tambahan gambar di luar screen shot adalah tampilan web yang dapat<br />
dipilih oleh client saat berinteraksi atau bereksperimen dengan rLab.<br />
D28
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Hasil rancangan peralatan hidrostatika<br />
ditunjukkan di gambar 3. Seting peralatan terdiri<br />
dari empat komponen, yaitu: motor steper, sistem<br />
katrol dan bandul, tabung berisi cairan, dan sensor<br />
tekanan. Motor steper dihubungkan dengan interface<br />
ke PC rLab, sehingga perintah user yang diberikan<br />
lewat User control panel di GUI dapat diterjemahkan<br />
dan dikerjakan oleh motor steper. Motor ini dapat<br />
digerakkan searah jarum jam atau berlawanan,<br />
sesuai dengan perintah yang diberikan user untuk<br />
mengatur ketinggian bandul. Sistem katrol<br />
menghubungkan bandul dan motor lewat tali,<br />
sehingga gerak naik atau turun bandul dapat<br />
dikontrol. Bandul dapat bergerak naik atau turun,<br />
dengan sebagian badannya tercelup di cairan,<br />
sehingga mengakibatkan permukaan cairan berubah<br />
ketinggiannya. Sebagai hasilnya, ketinggian air di<br />
dalam tabung berubah. Perubahan ketinggian air ini<br />
mengakibatkan perubahan tekanan pada dasar<br />
tabung. Perubahan tekanan pada dasar tabung diukur<br />
dengan sensor tekanan yang dihubungkan oleh<br />
interface ke PC rLab dan dapat diperintah oleh user<br />
melalui User control panel.<br />
badan bandul sudah meyentuh permukaan cairan dan<br />
semakin tenggelam dalam cairan, sehingga semakin<br />
membuat permukaan cairan meninggi. Sebagai hasil<br />
dari perlakuan ini tekanan di dasar tabung semakin<br />
membesar. Data grafik menunjukkan hubungan<br />
tekanan cairan dan tinggi permukaannya linier.<br />
Eksperimen remote laboratory ini telah<br />
digunakan sebagai salah satu percobaan pada<br />
praktikum <strong>Fisika</strong> Dasar di Universitas Indonesia<br />
untuk mahasiswa MIPA dan Teknik. Eksperimen ini<br />
dikelola oleh Unit Pelaksana Pendidikan Ilmu<br />
Pengetahuan Dasar (UPP-IPD) Universitas<br />
Indonesia. Terbangunnya modul eksperimen ini<br />
telah memberikan sumbangan besar bagi<br />
pelaksanaan praktikum. Mahasiswa dapat<br />
melakukan praktikum setiap saat dan dimanapun dia<br />
berada. Kendala jumlah mahasiswa yang semakin<br />
bertambah, yang tidak disertai dengan penambahan<br />
fasilitas dan sarana laboratorium serta sumber daya<br />
manusianya telah dapat diatasi. Dengan tersedianya<br />
fasilitas ini, jumlah mahasiswa yang selalu<br />
bertambah tetap dapat dilayani oleh praktikum<br />
remote laboratory ini, tanpa harus menambah<br />
sumber daya laboratorium.<br />
Gambar. 3 Diagram skematik seting alat eksperimen hidrostatika.<br />
Hasil uji coba eksperimen ini secara grafik<br />
seperti ditunjukkan pada gambar 2. Sumbu<br />
horisontal adalah skala penurunan bandul dalam cm<br />
dan sumbu vertikal adalah tekanan cairan di dasar<br />
tabung dalam skala kPa. Pada penurunan bandul di<br />
daerah sekitar 0-4 cm, tekanan cairan masih konstan,<br />
artinya ujung bawah bandul belum menyentuh<br />
permukaan cairan sehingga tinggi cairan dalam<br />
tabung masih tetap sama. Setelah lewat 4 cm<br />
penurunan selanjutnya dari bandul mengakibatkan<br />
kenaikan tekanan di dasar cairan. Hal ini berarti,<br />
KESIMPULAN<br />
Rancang bangun remote laboratory untuk<br />
praktikum <strong>Fisika</strong> dasar sangat diperlukan ketika<br />
jumlah mahasiswa yang semakin bertambah tidak<br />
disertai dengan penambahan sumber daya<br />
laboratorium yang memadai. Eksperimen<br />
hidrostatika yang dapat dilakukan melalui internet<br />
telah berhasil dirancang dan dikembangkan untuk<br />
membantu penyelesaian masalah tersebut.<br />
Eksperimen ini terdiri dari empat bagian utama yaitu<br />
User, PC server/Web portal, PC rLab berserta<br />
Interfacingnya, dan peralatan eksperimen<br />
hidrostatika. Perancangan GUI untuk menjebatani<br />
interaksi user dengan peralatan lewat internet<br />
dikembangkan dengan filosofi user dapat<br />
berinteraksi dengan peralatan seakan-akan langsung<br />
berhadapan dengannya. Oleh sebab itu semua panel<br />
user dan interaksi dengan peralatan dibuat secara<br />
real time dan dapat dimonitor dengan video kamera.<br />
Peralatan rLab ini telah berhasil diuji coba dan saat<br />
ini digunakan sebagai salah satu modul praktikum<br />
<strong>Fisika</strong> dasar untuk mahasiswa Universitas Indonesia.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Junzhou Luo, Wei Li, Jiuxin Cao, Liang Ge (2006),<br />
Integrating Heterogeneous E-learning<br />
Systems, Proceedings of AICT/ICIW, IEEE.<br />
Nadia Ranaldo, Sergio Rapuano, Maria Riccio, and<br />
Francesco Zoino (2007), Remote Control and<br />
Video Capturing of Electronic Instrumentation<br />
for Distance Learning, IEEE Transa-<br />
D29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ctions on Instrumentation and Measurement,<br />
Vol. 56, No. 4, 1419-1428.<br />
Benjamin Sainchez and Ramon Bragos (2007),<br />
Modular Workbench for In-Situ and Remote<br />
Laboratories, Instrumentation and Measurement<br />
Technology Conference- IMTC 2007,<br />
Warsaw, Poland,1-4.<br />
T. F. Junge, C. Schmid (2000),Web-based remote<br />
experimentation using a laboratory-scale<br />
optical tracker, Proceedings of the American<br />
Control Conference, Chicago, Illinois, 2951-<br />
2954.<br />
Henry H. Hahn and Mark W. Spong (2000),Remote<br />
Laboratories for Control Education,<br />
Proceedings of the 39" IEEE, Conference an<br />
Decision and Control, Sydney, Australia, 895-<br />
900.<br />
Alessandro Ferrero, Simona Salicone, Claudio<br />
Bonora, and Marco Parmigiani (2003),<br />
ReMLab: A Java-Based Remote, Didactic<br />
Measurement Laboratory, IEEE Transactions<br />
on Instrumentation and Measurement, Vol.<br />
52, No. 3, 710-715.<br />
D30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Aplikasi Interdigital Capacitor (IDC) sebagai Elemen Sensing<br />
untuk Pengukuran Konsentrasi Larutan Gula dalam Air:<br />
Studi Eksperimen<br />
Didik R. Santoso<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Brawijaya Malang<br />
Email: dieks@ub.ac.id<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini mencoba mengembangkan suatu metode baru dalam pengukuran konsentrasi larutan gula dalam air<br />
dengan menggunakan elemen sensing berupa interdigital capacitor (IDC). IDC difungsikan sebagai sensor<br />
kapasitif yang peka terhadap permitivitas dan konduktivitas larutan. Sebuah pengkondisi sinyal berupa charge<br />
amplifier diperlukan guna mengubah besarnya muatan listrik keluaran IDC menjadi tegangan listrik yang<br />
proporsianal dengannya. Pengukuran konsentrasi larutan gula dilakukan dengan membandingkan tegangan<br />
keluaran charge amplifier terhadap konsentrasi larutan gula.<br />
Untuk memferifikasi piranti dan metode yang dikembangkan, telah dilakukan uji laboratorium dengan<br />
menggunakan berbagai larutan gula yang telah diketahui konsentrasinya. Piranti IDC yang digunakan dalam<br />
eksperimen ini mempunyai ukuran finger dan gap antar finger sebesar 1 mm, 2 mm, dan 3 mm. Frekuensi uji<br />
yang digunakan adalah 1 Hz, 10 Hz, 100 Hz, 1 kHz, 10 kHz, 50 kHz, dan 100 kHz. Hasil-hasil eksperimen<br />
menunjukkan bahwa piranti yang dikembangkan telah dapat bekerja dengan baik dan dapat digunakan untuk<br />
mengukur konsentrasi larutan gula dalam air, khususnya untuk konsentrasi-konsentrasi rendah. Dari tiga jenis<br />
IDC yang digunakan, yang mempunyai kepekaan tertinggi adalah IDC 1 mm. Sedangkan piranti bekerja dengan<br />
optimal pada jangkaun frekuensi 1-10 kHz. Pada pengukuran konsentrasi persen berat 1-10 % diperoleh<br />
persamaan yang cukup linear Y = 0,22X + 0,44; dengan R 2 = 0,98 dan error = 1,6%.<br />
Kata kunci: pengukuran, konsentrasi larutan gula, IDC<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Pengukuran konsentrasi larutan gula umumnya<br />
dilakukan dengan menggunakan metode optik, yaitu<br />
dengan menerapkan prinsip-prinsip refleksi, refraksi,<br />
dan polarisasi cahaya dalam suatu medium<br />
transparan. Pada metode ini, nilai konsentrasi suatu<br />
larutan ditentukan sebagai fungsi indeks biasnya.<br />
Semakin besar konsentrasi suatu larutan, indeks<br />
biasnya akan semakin besar, dan sebaliknya [1].<br />
Dalam paper ini, dilakukan ujicoba secara<br />
eksperimen metode lain untuk menentukan<br />
konsentrasi larutan gula dalam air dengan cara<br />
membandingkan dengan nilai permitivitasnya (ε r ).<br />
Besar kecilnya pengaruh, serta hubungan antara<br />
konsentrasi larutan gula dengan permitivitasnya<br />
akan dibahas dalam paper ini.<br />
Salah satu cara untuk menentukan nilai<br />
permitivitas suatu bahan adalah dengan menggunakan<br />
prinsip kapasitor plat sejajar [2], yang mana<br />
hubungan antara permitivitas bahan dan besarnya<br />
kapasitansi C sebuah kapasitor plat sejajar (Gb.1),<br />
dinyatakan sebagai:<br />
C<br />
= ε 0<br />
ε<br />
r<br />
A<br />
d<br />
dimana:<br />
ε 0 : permitivitas hampa udara (8,85 x 10 -12<br />
C 2 /N.m 2 )<br />
(1)<br />
ε r<br />
A<br />
d<br />
: permitivitas bahan<br />
: luas plat sejajar (overlap)<br />
: jarak antar plat sejajar<br />
Gambar1. Kapasitor plat sejajar<br />
Dari persamaan (1), jika besarnya kapasitansi C<br />
dapat diukur, maka nilai permitivitas bahan<br />
dielektriknya dapat ditentukan.<br />
Dalam beberapa aplikasi, menjaga jarak (d)<br />
diantara dua plat sejajar agar tetap dalam kondisi<br />
konstan bukanlah bekerjaan yang mudah. Padahal<br />
variabel ini mempunyai pengaruh sangat besar<br />
terhadap hasil pengukuran kapasitansi. Untuk itu<br />
dalam penelitian ini tidak digunakan kapasitor plat<br />
sejajar, namun digunakan kapasitor jenis lain yaitu<br />
inter digital capacitor.<br />
D31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2. INTERDIGITAL CAPACITOR<br />
Interdigital Capacitor (IDC) atau sering juga<br />
disebut Interdigitated Capacitor adalah sebuah<br />
kapasitor jenis planar (planar capacitor). Bentuk<br />
umum dari IDC diberikan pada gambar 2. Kapasitor<br />
jenis ini tersusun atas dua buah sisir logam (comb)<br />
yang diletakkan secara mendatar (flat) dengan jarak<br />
tertentu. Kutub-kutub pengukuran (elektroda A,B)<br />
diambil dari sisir bagian bawah dan sisir bagian atas<br />
(lihat Gb.2).<br />
beberapa modifikasi dalam penelitian, misalnya<br />
penguatan dan pemfilteran sinyal.<br />
Rangkaian pengkondisi sinyal yang umumnya<br />
digunakan untuk sensor jenis kapasitif adalah charge<br />
amplifier (CA). Rangkaian dasar CA diberikan pada<br />
gambar 3.<br />
Gambar 2. Bentuk dan susunan IDC standar<br />
Besarnya kapasitansi sebuah IDC tergantung<br />
susunannya, dan umumnya sangat kompleks [3].<br />
Secara sederhana, besarnya kapasitansi dari IDC<br />
dapat dinyatakan sebagai:<br />
C = ε 0 ε K<br />
(2)<br />
r<br />
dimana K adalah harga geometri sensor<br />
(ekivalen dengan A/d untuk kapasitor plat sejajar).<br />
Penurunan rumus secara detail untuk nilai<br />
kapasitansi C dari IDT dapat dilihat di [4] dan [5].<br />
Jika elemen-elemen sisir logam dalam IDC<br />
dibuat tetap, maka harga kapasitansinya hanya<br />
tergantung pada tetapan permitivitas bahan<br />
dielektriknya, yang mana hal ini berlaku juga untuk<br />
kapasitor plat sejajar. Salah satu keuntungan<br />
pemakaian IDC dibandingkan dengan kapasitor plat<br />
sejajar adalah kestabilan faktor geometrinya. Dalam<br />
kapasitor plat sejajar, menjaga jarak antar plat (d)<br />
merupakan pekerjaan yang sulit, sedangkan dalam<br />
IDC ukuran finger dan gab antar finger tidak<br />
mungkin berubah karena elemen ini umumnya<br />
langsung dilekatkan dalam suatu substrat/media<br />
(misalkan printed circuit board, PCB).<br />
Aplikasi elemen IDC dalam beberapa bidang<br />
terapan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan<br />
dapat dilihat di [6-8].<br />
3. RANGKAIAN PENGKONDISI SINYAL<br />
Dalam penelitian ini, nilai permitivitas larutan<br />
(yang diwakili oleh nilai kapasitansinya), tidak<br />
langsung diukur dengan kapasitansi meter,<br />
melainkan dengan menggunakan sebuah rangkaian<br />
pengkondisi sinyal. Hal ini untuk melakukan<br />
Gambar 3. Rangkaian Charge Amplifier.<br />
Besarnya tegangan keluaran (V out ) dari<br />
rangkaian tersebut dapat diturunkan dari prinsip<br />
rangkaian inverting amplifier, yaitu:<br />
Vout<br />
Z R = −<br />
(3)<br />
V Z<br />
L<br />
L<br />
Dimana Z R adalah impedansi (R R //C R ) dan Z L adalah<br />
impedansi C L , sehingga<br />
Vout<br />
VL<br />
Vout<br />
VL<br />
= −<br />
jωCL<br />
1<br />
( + jωCR<br />
)<br />
RR<br />
⎛ C ⎞<br />
= −⎜<br />
L 1<br />
⎟<br />
⎝ CR<br />
⎠ ⎛ 1 ⎞<br />
⎜ + 1<br />
⎟<br />
⎝ jωCRRR<br />
⎠<br />
(4)<br />
1<br />
untuk ω<br />
0<br />
= , maka persamaan persamaan<br />
C R<br />
R R<br />
(4) diatas mempunyai nilai sebagai berikut:<br />
V<br />
V<br />
out<br />
L<br />
V<br />
V<br />
out<br />
L<br />
⎛ C<br />
= −⎜<br />
⎝ C<br />
L<br />
R<br />
⎞<br />
⎟<br />
, untuk ( ω >> ω0)<br />
, (5)<br />
⎠<br />
= 0 , untuk ω
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mm, untuk tiga jenis IDC yang berbeda. Untuk<br />
koneksi dengan rangkaian pengkondisi sinyal<br />
digunakan kabel koaksial dengan panjang 50 cm.<br />
Titik solderan ditutup dengan glue-gel untuk<br />
menghindari terjadinya arus pendek saat IDC<br />
dimasukkan pada larutan gula.<br />
Gambar 7-9 adalah grafik hasil pengukuran<br />
tegangan sebagai fungsi dari konsentrasi larutan<br />
gula, yang diamati di osiloskop. Gambar 10 adalah<br />
grafik hasil pengukuran tegangan pada frekuensi 5<br />
KHz untuk ketiga jenis IDC, dan gambar 11 adalah<br />
hasil pengukuran tegangan untuk konsentrasi rendah<br />
larutan gula yang dinyatakan dalam persen berat.<br />
Gambar 4. Elemen IDC<br />
Sedangkan rangkain CA diset dengan nilai<br />
komponen R R =100 MΩ dengan maksud agar<br />
frekuensi cut-off-nya dapat dibuat serendah<br />
mungkin. Gambar 5 menunjukkan hasil simulasi<br />
penentuan frekuensi cut-off rangkaian CA (Gb.3)<br />
untuk nilai R R =100 MΩ, dan nilai C R : 1 nF, 100 pF<br />
dan 10 pF. Simulasi ini hanya untuk memberikan<br />
gambaran rentang frekuensi kerja dari rangkaian<br />
pengkondisi sinyal yang dirancang.<br />
Gambar 7. Hasil pengukuran V out untuk IDC=1mm<br />
Gambar 5. Hasil simulasi rangkaian CA<br />
Selanjutnya eksperimen dilakukan dengan<br />
setup peralatan seperti pada gambar 6. Eksperimen<br />
dilakukan dengan menggunakan dua elemen IDC.<br />
Elemen IDC pertama dicelupkan secara keseluruhan<br />
ke dalam larutan gula yang telah diketahui<br />
konsentrasinya. Dan elemen IDC kedua difungsikan<br />
sebagai C R (C referensi) dan diletakkan seperti pada<br />
gambar 6. Tegangan output rangkaian diukur dan<br />
dicatat besarnnya dengan menggunakan osiloskop.<br />
Gambar 8 Hasil pengukuran V out untuk IDC=2mm<br />
IDC +CA<br />
AMP +<br />
BUFFER<br />
R R<br />
Gambar 9. Hasil pengukuran V out untuk IDC=3mm<br />
IDC<br />
IDC<br />
Larutan gula<br />
V L<br />
Signal<br />
Gen<br />
Charge<br />
Amplifier<br />
V out<br />
Gambar 6. Setup eksperimen<br />
D33
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 10. Hubungan V out dengan konsentrasi (Molar) pada<br />
frekuensi 5 KHz<br />
Gambar 11. Hubungan V out dengan konsentrasi (persen berat)<br />
pada frekuensi 5 KHz<br />
5. PEMBAHASAN<br />
Dari grafik pada gambar 7-9 dapat diamati<br />
bahwa hasil pengukuran konsentrasi larutan gula<br />
dengan elemen IDT memberikan hasil terbaik pada<br />
frekuensi 1 KHz dan 10 KHz. Pada frekuensi ini<br />
diperoleh pengukuran dengan nilai perubahan<br />
tegangan keluaran yang lebih stabil dibandingkan<br />
pengukuran pada frekuensi lainnya. Hal ini karena<br />
respon rangkaian pengkondisi sinyal akan<br />
berperilaku sebagai filter lolos atas (high pass filter),<br />
sesuai dengan analisis dan simulasi rangkaian yang<br />
telah dilakukan (Gb.5). Sehingga untuk frekuensi (<<br />
1 KHz) sinyal akan difilter. Dan semakin rendah<br />
frekuensinya, semakin kuat faktor pemfilterannya.<br />
Akibatnya output sinyal akan semakin kecil. Hal ini<br />
berlaku baik pada elemen IDC 1 mm, 2 mm maupun<br />
3 mm.<br />
Namun tampak pada gambar tersebut bahwa<br />
utuk frekuensi 50 KHz dan 100KHz, semua nilai<br />
pengukuran berharga sama yaitu sekitar 0,4 volt<br />
untuk 50 KHz, dan 0,2 volt untuk 100KHz. Hal ini<br />
karena komponen penguat operasional (IC Opamp)<br />
yag digunakan tidak dapat bekerja pada frekuensi<br />
tinggi, seperti dinyatakan daam data sheetnya (lihat<br />
gambar 12).<br />
Gambar 12. Respon Frekuensi Opamp uA741 [9]<br />
Gambar 10 merupakan grafik hubungan antara<br />
tegangan keluaran yang dihasilkan sensor IDT lebar<br />
1 mm, 2 mm, dan 3 mm terhadap perubahan<br />
konsentrasi larutan gula, pada frekuensi 5 KHz.<br />
Pemilihan frekuensi 5 KHz ini berkenaan frekuensi<br />
optimum dari rangkaian pengkondisi sinyal yang<br />
telah dibuat, berdasarkan eksperimen-eksperimen<br />
sebeumnya. Tampak pada gambar tersebut, bahwa<br />
semakin kecil ukuran finger dan gap antar finger<br />
maka semakin besar tegangan output yang<br />
dihasilkan. Dalam hal ini IDT dengan ukuran finger<br />
1 mm mempunyai tegangan output terbesar, untuk<br />
semua jangkaun frekuensi percobaan. Hal ini dapat<br />
dimengerti karena semakin kecil ukuran finger dan<br />
gap antar finger maka semakin besar konstanta<br />
geometrinya, dan sebagai akibatnya kapasitansi IDT<br />
juga semakin besar. Sesuai dengan persamaan (5),<br />
maka tegangan output juga akan semakin besar.<br />
Selajutnya gambar 11 merupakan grafik<br />
hubungan antara tegangan keluaran yang dihasilkan<br />
sensor IDT lebar 1 mm terhadap perubahan<br />
konsentrasi larutan gula dalam persen berat 1-10<br />
%, pada frekuensi 5 KHz. Di pilih frekuensi 5 KHz<br />
dengan alasan seperti yag telah dikemukakan di atas.<br />
Dari grafik pada gambar ini didapatkan bahwa<br />
hubungan antara tegangan keluaran dan perubahan<br />
persen berat nampak merupakan fungsi linier. Nilai<br />
tegangan naik seiring dengan kenaikan konsentrasi.<br />
Pendekatan linear untuk grafik tersebut memberikan<br />
persamaan: Y = 0,23x + 0,43; degan R 2 = 0,98 dan<br />
error = 1,6%. Namun demikian, hubungan<br />
linearitas antara konsentrasi larutan gula dan<br />
tegangan ini masih perlu untuk dianalisa lebih lanjut.<br />
6. KESIMPULAN<br />
Dari hasil eksperimen yang telah dilakukan<br />
dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya elemen IDC<br />
dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi<br />
larutan gula khususnya pada konsentrasi-konsentrasi<br />
rendah (< 10%). Pemakaian elemen IDC dengan<br />
ukuran finger dan gap antar finger 1 mm<br />
memberikan hasil pengukuran yang lebih sensitif<br />
jika dibandingkan dengan elemen IDC yang<br />
D34
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mempunyai ukuran finger lebih besar (2 mm dan 3<br />
mm). Untuk hasil eksperimen yang lebih baik<br />
disarankan menggunakan jenis Opamp yang<br />
mempunyai jangkauan kerja lebih lebar, khususnya<br />
pada frekuensi tinggi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonimous (2006), Petunjuk Praktikum <strong>Fisika</strong><br />
Dasar, Penerbit Akademik Jurusan <strong>Fisika</strong><br />
Universitas Brawijaya, Malang.<br />
Giancoli, D.C. (1998), Physics, Prentice-Hall.<br />
Anonimous (2008), Overview of Inter Digital<br />
Capacitor, Agilent Technologies, USA.<br />
Ajavan K.R., Vinoy K.J., Planar Inter Digital<br />
Capacitors on Printed Circuit Board, Indian<br />
Institute of Science, Bungalore, India.<br />
Abu-Abed A.S. and Lindquist R.G. (2008),<br />
Capacitive Interdigital Sensor with<br />
Inhomogeneus Nematic Liquid Crystal Film,<br />
Progress In Electromagnetics Research B,<br />
Vol. 7, 75–87.<br />
Syaifudin A.R., Jayasundra, Mukhopadhyay S.C.<br />
(2008), Initial Investigation of Using Planar<br />
Interdigital Sensors for Assessment of Quality<br />
in Seafood, Journal of Sensors (Hindawi<br />
Publishing<br />
Corporation):<br />
10.1155/2008/150874.<br />
Lucas G., Ricardo C. (2006), Interdigitated Type<br />
Microsensor to Measure Solution<br />
Concentration, ABCM Symposium Series in<br />
Mechatronics - Vol. 2 - pp.465-468<br />
Rajendran A. dan Neelamegam P. (2004),<br />
Microcontroller Based Dielectric Constant<br />
Measurement, Sensors & Transducers<br />
Magazine, Vol.41, Issue 3, 181 – 190<br />
Anonimous (2000), General Purposes Operational<br />
Amplifier uA741, Texas Instrumen, Dallas-<br />
Texas.<br />
D35
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengenalan Uap Menggunakan Sensor Resonator Kuarsa<br />
yang Diimplementasikan pada FPGA dengan Metode Analisa Data PCA<br />
dan SOM Kohonen Neural Network<br />
Hari Agus Sujono 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Taripan1<br />
1 Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITS<br />
2 Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITATS<br />
Email : hari911092@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Sensor resonator kuarsa saat ini digunakan sebagai sensor gas. Sensor ini akan memberikan perubahan frekuensi<br />
resonansi ketika permukaannya terasorbsi molekul uap. Untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitasnya<br />
maka diberikan bahan polimer yang dilapiskan di permukaan. Deret sensor yang terdiri dari beberapa sensor<br />
yang dilapisi bahan polimer yang berbeda memberikan pola spesifik terhadap uap. Perubahan frekuensi<br />
didasarkan pada rangkaian pencacah dengan basis waktu 1 (satu) detik. Pada penelitian ini digunakan Field<br />
Programmable Gate Array (FPGA) yang difungsikan sebagai rangkaian pencacah frekuensi, multiplekser dan<br />
komunikasi serial untuk menghubungkan FPGA dengan komputer. Tipe FPGA yang digunakan adalah Spartan<br />
3E seri XC3S500E dengan bahasa pemrograman VHDL Xilink ISE 9.2i. Analisa sinyal menggunakan gabungan<br />
Principle Component Analysis (PCA) dan SOM Kohonen Neural Network (NN). PCA berfungsi untuk reduksi<br />
dimensi dan NN berfungsi untuk pengenalan pola. Pada penelitian ini digunakan 4 sensor berderet yang masingmasing<br />
dilapisi bahan polimer PEG20M, PEG4000, OV1701 dan OV101. Uap-uap yang digunakan adalah dari<br />
alkohol, bensin minyaktanah dan spiritus. Data perubahan frekuensi diambil pada detik ke 90 – 110 selebar<br />
injeksi uap. Pembersihan dilakukan dengan mengalirkan gas N 2 . Untuk satu sampel uap dilakukan 8 kali<br />
pengambilan data.Terhadap semua data yang terambil dilakukan proses PCA setelah dinormalisasi. Pelatihan NN<br />
dilakukan dengan maksimum epoch 2000 dan dari pengujian menunjukkan NN dapat mendeteksi gas dengan<br />
tingkat keberhasilan 100 persen. Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit paru<br />
dengan cara menganalisa gas-gas yang dikeluarkan bersama udara pernafasan.<br />
Kata kunci: Deret sensor resonator kuarsa, Field Programmable Gate Array, Principle Component Analysis,<br />
SOM Kohonen Neural Network.<br />
PENDAHULUAN<br />
Resonator kuarsa merupakan salah satu teknik<br />
memakai gelombang akustik yang dapat<br />
diaplikasikan untuk mendeteksi partikel dengan<br />
massa kecil, sehingga dalam bidang proses kimia<br />
digunakan sebagai vapordeposition probe dan<br />
chemical mikrosensor [C. Zhang et al, 2003]. Setiap<br />
jenis uap dapat memberikan gambaran khas berupa<br />
pola perubahan frekuensi resonansi ternormalisasi<br />
yang dikarenakan koefisien partisinya yang berbeda<br />
terhadap masing-masing polimer. Selama dua bulan<br />
pengukuran, pola perubahan frekuensi ternormalisasi<br />
kristal SiO2 terlapis polimer pada paparan semua<br />
jenis uap yang diujikan mempunyai rerata taraf<br />
reliabilitas 0,99 [Muhammad Rivai dkk, 2006]<br />
Pada modul FPGA SPARTAN-3E telah dimplementasikan<br />
rangkaian paralel frequency counter yang<br />
diantarmukakan ke komputer melalui komunikasi<br />
serial. Desain ini digunakan pada modul sensor gas<br />
resonator kuarsa untuk mendeteksi pola frekuensi yang<br />
dihasilkan oleh uap yang dilewatkan pada deret sensor<br />
yang telah dilapisi bahan polimer berbeda. Dalam<br />
pengujian error interferensi rata-rata adalah sebesar<br />
0.029% pada masing-masing kanal<br />
pengukuran.[Misbah dkk, 2008]<br />
Pada makalah penelitian ini dilakukan studi<br />
pengkajian guna mengetahui kemampuan sensor<br />
waktu memberikan gambaran khas berupa pola<br />
perubahan frekuensi resonansi ternormalisasi untuk<br />
setiap jenis uap dan kemudian menganalisa data<br />
yang didapat menggunakan PCA dan SOM Kohonen<br />
Neural Network. Pada proses pengambilan data dan<br />
analisa data melibatkan penggunaan FPGA dan<br />
sebuah komputer.<br />
TEORI<br />
Sensor Resonator Kuarsa<br />
Pertama kali resonator kuarsa di perkenalkan oleh<br />
Sauerbrey yang mempunyai sensitivitas pada gas-gas<br />
yang melalui elektrode-elektrode resonator kuarsa<br />
dimana didalamnya terdapat pizoelektrik yang akan<br />
mengubah frekuensi osilasi dari resonator kuarsa,<br />
sehingga Sauerbrey merumuskan bahwa :<br />
⎛<br />
2<br />
f ⎞<br />
f ⎜<br />
2<br />
Δ = − ⎟Δm<br />
SiO<br />
vA<br />
⎝ ρ<br />
2 ⎠<br />
(1)<br />
Keterangan :<br />
D36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
∆f = adalah perubahan frekuensi yang diamati (Hz)<br />
∆m = adalah perubahan massa per unit area (g/cm 2 )<br />
ρ = adalah kerapatan kristal<br />
v = adalah kecepatan propagasi akustik kristal.<br />
A = adalah luas elektroda.<br />
Sensitivitas frekuensi osilasi kristal pada suhu,<br />
kelembaban, tekanan, kecepatan dan getaran tertentu,<br />
akan membuat osilator piezoelektrik ini digunakan<br />
sebagai sensor yang mempunyai tingkat akurasi yang<br />
tinggi (F.L. Walls dan J.J. Gagnepain, 1992). Frekuensi<br />
osilasi pada kristal tergantung ukuran fisik dan<br />
ketebalan dari kristalnya, bila dilapisi dengan sebuah<br />
polimer yang dapat menyerap massa molekul gas, maka<br />
didapat respon yang dinamis dari sensor sehingga<br />
membentuk suatu pola tertentu untuk mengklasifikasi<br />
gas (M. Nakamura et al, 1999). Dalam memilih jenis<br />
resonator kuarsa yang digunakan sebaiknya<br />
diperhatikan bentuk elektrode pada kristal, yaitu<br />
persegi panjang, lingkaran kecil dan lingkaran besar,<br />
seperti terlihat pada gambar 1. Bila sensor digunakan<br />
dalam media cairan, sebaiknya menggunakan yang<br />
persegi panjang dan bila digunakan dalam media udara<br />
sebaiknya menggunakan yang lingkaran kecil (Hendrik<br />
Anderson et al, 2006).<br />
sekelilingnya. L m (induktor) mewakili komponen<br />
inersia saat osilasi yang terkait dengan pergerakan<br />
massa selama bergetar. Untuk diameter 1 inchi, 5 MHz<br />
kristal, menggunakan nilai C m =33pF, L m =30mH dan<br />
R m =10 Ohm (kristal kering), R m =400 Ohm (kristal<br />
dengan sebagian di air) atau R m =3500 Ohm (kristal<br />
dengan bagian 88% di gliserol). Motional arm di shunt<br />
dengan kapasitor parasitik (Co) yang mana merupakan<br />
jumlah dari kapasitansi statis pada elektrode-elektrode<br />
kristal, penjepit dan konektor kapasitor. Harga Co<br />
sekitar 20 pF.<br />
Bila sensor gas yang digunakan adalah jenis kristal,<br />
maka dibutuhkan rangkaian osilator untuk menjamin<br />
sinyal yang dihasilkan resonator kristal adalah sinyal<br />
pulsa. Rangkaian osilator yang banyak digunakan dalam<br />
aplikasi-aplikasi digital, adalah jenis osilator pierce<br />
seperti terlihat pada gambar 3.<br />
Gambar 1 Bentuk-bentuk elektrode sensor resonator kuarsa.<br />
Resonator Kuarsa Osilator<br />
Osilator yang diaplikasikan dalam resonator<br />
kuarsa adalah model Butterworth van Dyke (BVD),<br />
model ini sering digunakan untuk menghadirkan<br />
electrical behavior dari sebuah kristal resonator. Model<br />
ini juga baik untuk memprediksi pergeseran frekuensi<br />
dan rugi-rugi pada AT-cut quartz crystal yang<br />
teraplikasi dalam resonator kuarsa. Model osilator<br />
Butterworth van Dyke seperti terlihat pada gambar 2.<br />
Gambar 2 Model rangkaian osilator Butterworth Van<br />
Dyke (BVD).<br />
Model BVD terdiri dari dua lengan : Motion arm<br />
mempunyai tiga komponen seri yang termodifikasi dari<br />
massa dan viscous loading kristal : (1) R m (resistor)<br />
mewakili disipasi energi osilasi dari mounting struktur<br />
dan dari medium yang terhubung dengan kristal. C m<br />
(kapasitor) mewakili energi osilasi yang tersimpan dan<br />
terkait dengan elastisitas quartz dan medium<br />
Gambar 3 Rangkaian osilator Pierce (Aplication Note : Crystal<br />
Oscillator, Chrontel Inc).<br />
Keterangan: Co adalah kapasitansi yang nilainya<br />
dihubungkan dengan elektroda kristal dan tempat<br />
kristal itu sendiri. Rs adalah motion resistance, nilainya<br />
telah dicantumkan dari pabrik pembuatnya. Cs adalah<br />
motion capasitance dan Ls adalah motion inductance.<br />
Rbias adalah resistor umpan balik yang memberikan<br />
tegangan DC pada inverting amplifier. C1 dan C2<br />
adalah total kapasitansi yang ter-ground pada masukan<br />
dan keluaran dari amplifier. Jika kapasitor eksternal<br />
tidak ditambahkan, maka nilai dari internal C1 dan C2<br />
termasuk kapasitor parasitik dari pin adalah masingmasing<br />
antara 15 pF sampai 20 pF.<br />
Rangkaian kristal dapat bekerja pada resonansi seri<br />
maupun resonansi paralel. Frekuensi osilasi pada<br />
kristal biasanya telah diberikan oleh pabrik pembuat.<br />
Jika kristal dijadikan mode resonansi seri maka yang<br />
bekerja adalah komponen Ls dan Cs dengan frekuensi<br />
resonan sebesar :<br />
1<br />
fseri = L C (2)<br />
2π<br />
s.<br />
s<br />
Bila dibuat dalam mode resonansi paralel maka<br />
frekuensi resonansinya lebih tinggi dari f seri , sehingga<br />
dapat dituliskan :<br />
⎛ Cs ⎞<br />
fparalel = fseri⎜1 + ⎟<br />
(3)<br />
⎝ 2. Ceq ⎠<br />
D37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
⎛ C2<br />
⎞<br />
= Co + C1⎜<br />
⎟<br />
⎝ C1+<br />
C2<br />
⎠<br />
Ceq (4)<br />
Saat resonansi paralel, kristal akan menjadi induktif<br />
dan beresonansi dengan kapasitor shunt yang terhubung<br />
dengan kaki-kaki kristal. Disipasi daya pada kristal<br />
adalah sangat penting, karena akan berpengaruh pada<br />
kinerja dan keandalan dari kristal itu sendiri. Jika<br />
disipasi daya kristal berlebihan maka akan<br />
menyebabkan kristal rusak. Disipasi daya kristal<br />
didapat dari persamaan :<br />
P ≈<br />
1 π<br />
×<br />
2<br />
2<br />
( 2 × fparalel × Ceq × V ) Rs<br />
Fielld Programmable Gate Array (FPGA)<br />
Pada dasarnya FPGA terdiri atas sel logika (<br />
logic block ), interkoneksi, serta blok input/output.<br />
Semua blok tersebut dapat diprogram sampai pada<br />
skala tertentu. Untuk FPGA generasi baru, beberapa<br />
tambahan fitur yang lain seperti memori, prosesor,<br />
blok DSP, dan sebagainya.<br />
Secara umum arsitektur keluarga Spartan-III<br />
ditunjukkan oleh gambar 1, terdiri dari atas 5<br />
komponen utama, Configurable Logic Block (CLB),<br />
Input/Output Block (IOB), Multiplier Block, Block<br />
RAM (BR), Digital Clock Manager(DCM). Spartan<br />
III juga menawarkan kemampuan yang tinggi dalam<br />
proses logika dengan konfigurasi sampai 300 MHz.<br />
Kemampuan ini lebih cepat dibanding dengan<br />
memakai mikrokontroler yang hanya sampai 24<br />
MHz. Dengan kecepatan tersebut dan sistem gates<br />
yang besar dimungkinkan dalam perancangan sistem<br />
yang lebih kompleks seperti, pengolahan citra,<br />
digital signal processing, pengukuran frekuensi<br />
tinggi, dan sistem mikroprosesor.<br />
Pada mata kita proses tersebut adalab realisasi<br />
pemetaan (mapping) dari retina menuju cortex. oleh<br />
karenanya aplikasi model Neural Network (NN) ini<br />
banyak digunakan pada pengenalan obyek / citra<br />
visual (visual image).<br />
Proses pemetaan terjadi bila sebuah pola<br />
berdimensi bebas diproyeksikan dari ruang masukan<br />
ke posisi pada array berdimensi satu yang terbentuk<br />
oleh lokasi unit-unit luasan pola. pola yang dikenali<br />
hanya pola yang batasan unit lokasinya jelas<br />
berbeda, biasanya observasi hanya dapat dilakukan<br />
bila lokasi pola tersebut mendapat<br />
iluminasi/pencahayaan yang cukup/normal.<br />
Meskipun SOM adalah proses klasifikasi,<br />
namun tidak seperti teknik klasifikasi atau<br />
pengelompokan yang umum digunakan, yang hanya<br />
menyediakan penataan kelas-kelas berdasarkan<br />
topologinya. Kemiripan pada pola masukan<br />
dipertahankan agar tidak berubah sampai pada<br />
keluaran proses. Topologi untuk mempertahankan<br />
pola kemiripan pada proses SOM membuataya<br />
berguna sekali, khususnya pada klasifikasi data yang<br />
memiliki jumlah kelas yang besar.<br />
Pada NN ini lapisan masukan (pertama)<br />
terhubung secara penuh dengan lapisan kompetitif<br />
(kedua). Jadi setiap unit masukan terhubung ke<br />
semua unit keluaran dan pada hubungan tersebut<br />
terdapat nilai penimbang (weight) tertentu.<br />
Gambar 4. Arsitektur dasar FPGA Spartan-III<br />
SOM Kohonen Neural Network<br />
Teknik self-organizing map (SOM) dikenalkan<br />
pertama kali oleh Teuvo Kohonen, merupakan<br />
proses unsupervised learning yang mempelajari<br />
distribusi himpunan pola-pola tanpa informasi kelas.<br />
Ide dasar teknik ini diilhami dari bagaimana<br />
proses otak manusia menyimpan gambar/pola yang<br />
telah dikenalinya melalui mata, kemudian mampu<br />
mengungkapkan kembali gambar / pola tersebut.<br />
Gambar 5. Struktur Dasar Pelatihan Mandiri Kohonen<br />
Algoritma Pelatihan Mandiri (SOM)<br />
Berikut ini adalah tahapan/algoritma dalam pelatihan<br />
mandiri kohonen:<br />
• Inisialisasi vektor weight<br />
• Tetapkan vektor input<br />
• Hitung jarak d j antara vector input dan masingmasing<br />
vektor weight.<br />
• Neuron pemenang atau Processing Element (PE)<br />
dalam lapisan competitive akan mempunyai jarak<br />
d j terkecil :<br />
• Sesuaikan weight dari neuron pada neighborhood<br />
Nc :<br />
D38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan e adalah learning rate dan N c adalah<br />
neighborhood disekeliling neuron pemenang<br />
• Bobot neuron yang lain (diluar NBc) tidak<br />
diubah:<br />
Ulangi langkah 2 sampai dengan 6 dari algoritma<br />
training untuk semua training vector sampai<br />
n = N maks epoch atau<br />
Gambar 6. Tetangga di sekitar pemenang<br />
Blok diagram sstem yang digunakan ditunjukkan<br />
pada gambar 7, terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor<br />
dan rangkaian sensor, blok FPGA dan sebuah<br />
komputer.<br />
METODOLOGI<br />
Gambar 7. Blok diagram sistem<br />
Sensor yang digunakan adalah Quartz Crystal<br />
Microbalance (QCM). Terbuat dari kristal yang<br />
mempunyai frekuensi resonansi dasar 20 MHz.<br />
Terdiri dari lapisan SiO 2 yang diapit dua elektrode<br />
di bagian depan dan belakang. Penambahan massa<br />
pada permukaannya dapat mengubah frekuensi<br />
resonansinya. Perubahan frekuensi tersebut<br />
sebanding dengan kuadrat frekuensi resonansi dan<br />
massa perluasan permukaan kristal sesuai dengan<br />
persamaan (1) Sauerbrey<br />
Material seperti kristal kuarsa ini mempunyai<br />
sifat piezoelektrik yaitu mampu menghasilkan<br />
tegangan listrik ketika diberi tekanan mekanikal dan<br />
juga sebaliknya, berubah bentuk mekanikalnya<br />
ketika diberi tegangan listrik. Sensitivitas frekuensi<br />
osilasi kristal pada suhu, kelembaban, tekanan,<br />
kecepatan dan getaran tertentu, akan membuat<br />
osilator piezoelektrik ini digunakan sebagai sensor<br />
yang mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Tiap<br />
sensor QCM diberi zat polimer yang berbeda-beda<br />
pada permukaannya sehingga membentuk pola<br />
tertentu terhadap uap. Rangkaian osilator yang<br />
digunakan adalah model osilator Pierce :<br />
Gambar 8. Rangkaian osilator model Pierce<br />
Osilator dihubungkan dengan sensor QCM<br />
untuk menghasilkan gelombang dengan frekuensi 20<br />
Mhz. Penggunaan sensor dengan frekuensi dasar 20<br />
Mhz menyebabkan interferensi antar kanal sehingga<br />
frekuensi output dari osilator harus diturunkan.<br />
Digunakan rangkaian mixer yang menghasilkan<br />
output yang merupakan selisih antara dua frekuensi<br />
yang diinputkan pada rangkaian. Untuk itu<br />
digunakan 2 buah osilator dimana osilator yang satu<br />
untuk sensor QCM yang berubah-ubah sedangkan<br />
osilator yang lain sebagai frekuensi referensi yang<br />
nilainya tetap. Rangkaian mixer menggunakan<br />
rangkaian D Flip-flop yaitu dengan IC 74HC74<br />
dengan output dari sensor diinputkan dari pin clock<br />
dan output dari kristal masuk pada pin data. Pada<br />
output ditambahkan komponen R dan C sebagai low<br />
pass filter.<br />
FPGA yang digunakan ialah modul spartan 3E<br />
starter kit dengan FPGA dari xilinx yaitu<br />
XC3S500E. Software yang digunakan untuk<br />
memprogram FPGA ialah Xilinx ISE Webpack 9.2i<br />
dan bahasa pemrogramannya VHSIC Hardware<br />
Description Languange (VHDL)<br />
Gambar 9. Modul FPGA XC3S500E<br />
Frequensi counter umumnya dibangun dari<br />
beberapa rangkaian flip-flop. Desain frequency<br />
counter menggunakan kode VHDL lebih sederhana<br />
karena menggunakan arsitektur behavioral dimana<br />
dalam membangun suatu komponen hanya perlu<br />
mendeskripsikan sifat-sifat input dan outputnya<br />
tanpa perlu mengetahui struktur didalamnya secara<br />
detail. Pada disain frequency counter ini, ada 2<br />
komponen utama yaitu blok basis waktu 1 detik dan<br />
blok penghitung. Untuk mendapatkan basis waktu 1<br />
detik diperoleh dari proses penundaan selama<br />
50.000.000 kali dari frekuensi clock sebesar 50<br />
MHz. Dengan waktu sebesar satu detik, maka dapat<br />
dicuplik data frekuensi masing-masing kanal dengan<br />
D39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
resolusi 1 Hz.. Karena dalam hal ini terdapat 4<br />
sensor sehingga perlu menggunakan multiplexer.<br />
Dari multiplexer, perubahan frekuensi dari masingmasing<br />
sensor ditransfer ke komputer melalui<br />
komunikasi serial.<br />
Komputer digunakan untuk analisa data<br />
menggunakan Principle Component Analysis (PCA)<br />
yang berfungsi untuk reduksi dimensi tanpa<br />
mengurangi karakteristik data asal. Data 2 dimensi<br />
dari proses PCA ditampilkan dalam grafik 2 dimensi<br />
dan data ini digunakan sebagai data input pada<br />
proses pengenalan pola menggunakan SOM<br />
Kohonen Neural Netowrk.<br />
Pada penelitian ini digunakan 4 sensor berderet<br />
yang masing-masing dilapisi bahan polimer<br />
PEG20M, PEG4000, OV1701 dan OV101. Uap-uap<br />
yang digunakan adalah dari alkohol, bensin<br />
minyaktanah dan spiritus. Data-data yang didapat<br />
akan diproses menggunakan PCA setelah<br />
dinormalisasi. Data keluaran dari PCA akan<br />
digunakan sebagai data input NN menggunakan<br />
metode SOM Kohonen. Proses pengambilan data<br />
dilakukan selama 200 detik. Pertama kali dialirkan<br />
gas N2 untuk pembersihan sehingga perubahan<br />
frekuensi 0, kemudian uap dari bahan yang diuji<br />
dialirkan sehingga menunukkan perubahan frekuensi<br />
dan sekitar deteik ke 150 aliran uap dihentikan dan<br />
kembali dialirkan gas N2.<br />
PENGUJIAN<br />
Data yang diambil untuk analisa merupakan<br />
data perubahan frekuensi pada detik ke 90 – 110<br />
selebar injeksi uap. Untuk satu sampel uap<br />
dilakukan 8 kali pengambilan data. Setelah<br />
dilakukan normalisasi maka pola perubahan<br />
frekuensi untuk uap dari alkohol, bensin<br />
minyaktanah dan spiritus dengan 4 sensor berderet<br />
dilapisi polimer PEG20M, PEG4000, OV1701 dan<br />
OV101 ditunjukkan pada gambar 10.<br />
Dari gambar 11 menunjukkan bahwa output<br />
proses PCA menggambarkan pengelompokan data<br />
pada data uap yang sama. Untuk Alkohol dan<br />
Spiritus yang memiliki unsure gas yang sama, terjadi<br />
penumpukan data. Untuk proses pengenalan pola<br />
menggunakan NN, maka hanya data uap alcohol,<br />
bensin dan minyaktanah saja yang diproses.<br />
(a). Pola uap alcohol<br />
(b). Pola uap bensin<br />
(c). Pola uap minyaktanah<br />
(d). Pola uap spiritus<br />
Gambar 10. Pola perubahan frekuensi<br />
Gambar 11. Grafik output proses PCA<br />
(A=alcohol,B=bensin,M=minyaktanah dan S=spiritus)<br />
Dari proses pembelajaran menggunakan SOM<br />
Kohonen NN menunjukkan bahwa pada akhir<br />
maksimum epoch 4000 dan learning rate 0,005 maka<br />
kelompok data uap yang sama telah teridentifikasi<br />
pada cluster yang sama secara benar, ditunjukkan<br />
pada tabel 1. (Uap Alkohol teridentifikasi pada<br />
cluster 2, uap bensin pada cluster 3 dan uap<br />
minyaktanah pada cluster 1)<br />
D40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Uap<br />
Alkohol<br />
Bensin<br />
Minyak<br />
tanah<br />
Tabel 1. Hasil proses pembelajaran<br />
Distance<br />
D1 D2 D3<br />
Clus<br />
2,67242 0,39196 3,10354 2<br />
2,59682 0,32625 2,99874 2<br />
2,57240 0,28656 3,01361 2<br />
2,45907 0,18021 2,84917 2<br />
2,54066 2,95448 0,15441 3<br />
2,46904 2,38599 0,52651 3<br />
2,81696 3,06836 0,38081 3<br />
2,67653 3,26016 0,46871 3<br />
0,74582 1,57502 2,52954 1<br />
0,26886 2,02018 2,36290 1<br />
0,246226 2,47478 2,67525 1<br />
0,316741 2,56118 2,64466 1<br />
Dari hasil pengujian untuk 12 data, masingmasing<br />
terdiri dari 4 data uap alcohol, bensin dan<br />
minyaktanah secara acak menunjukkan hasil 100%<br />
benar ditunjukkan pada tabel 2.<br />
Tabel 2. Hasil proses pengujian<br />
Uap<br />
Distance<br />
Clus<br />
D1 D2 D3<br />
Alkohol 2,37210 0,08544 2,83583 2<br />
Mtanah 0,95369 3,23599 2,80067 1<br />
Alkohol 2,06730 0,20526 2,68232 2<br />
Alkohol 2,09649 0,19377 2,74161 2<br />
Bensin 3,01801 3,37433 0,62173 3<br />
Mtanah 0,55678 2,71686 2,25596 1<br />
Bensin 2,68192 3,51188 0,79690 3<br />
Bensin 3,43896 4,29229 1,50887 3<br />
Mtanah 0,57815 2,66652 2,16390 1<br />
Alkohol 2,23898 0,04983 2,77995 2<br />
Bensin 3,01299 3,37778 0,61457 3<br />
Mtanah 2,00664 4,29654 3,47896 1<br />
Keterangan: Mtanah = Minyaktanah<br />
KESIMPULAN<br />
Telah dilakukan penelitian pengenalan uap<br />
menggunakan sensor resonator kuarsa dengan hasil<br />
yang baik. Sensor dan rangkaian senor telah<br />
menunjukkan respon yang peka terhadap perubahan<br />
muatan uap yang dialirkan dan respon perubahan<br />
frekuensi dapat diterima dengan baik pada modul<br />
FPGA sehingga data yang diterima komputer adalah<br />
benar menunjukkan pola yang diininginkan.<br />
Penggunaan PCA selain berfungsi untuk<br />
memvisualisasikan data dalam dimensi dua, juga<br />
menyederhanakan algoritma pembelajaran SOM<br />
Kohonen NN karena data input yang digunakan<br />
memiliki dua dimensi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anderson Hendrik, et al, (2006), ”Quartz crystal<br />
microbalance sensor design I. Experimental<br />
study of sensor response and performance”,<br />
Sensors and Actuators Elsevier B. Vol.<br />
123. issue 1. p.21-26.<br />
C. Zhang, B.P. Cappleman, M.Defibaugh-Chavez,<br />
D.H. Weinkauf, “Glassy polymersorption<br />
phenomena measured with a quartz crystal<br />
microbalance technique”, J.Polym. Science,<br />
Part B:Polym. Phys., Vol.41, 2003, pp.2109-<br />
2118.<br />
Misbah, Muhammad Rivai, Totok Mujiono, “Desain<br />
Parallel Frequency Counter yang Diimplementasikan<br />
pada Modul FPGA SPARTAN-<br />
3E”, Seminar on Intelligent Technology and<br />
Its Applications 2008, ISBN 978-979-8897-<br />
24-5<br />
Muhammad Rivai, Ami Suwandi JS, Mauridhi Hery<br />
Purnomo, ”Deret Resonator Kristal SiO2<br />
terlapis Polimer sebagai Pengenal Jenis Uap<br />
Pelarut”, Akta Kimia-The Official Journal of<br />
The Indonesian Chemical Society, Vol.1<br />
No.1, 2006, hal : 49-54.<br />
Nakamura M. and Sugimoto Iwao, (1999), ”A<br />
Neural Network Model for an Electronic<br />
Nose Based on Quartz-Crystal Microbalance<br />
Sensors”, IEEE Proceeding on Artificial<br />
Neural Network. No. 470.<br />
-----, http://www.xilinx.com/bvdocs/publications<br />
D41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Klasifikasi Odor pada Ruang Rerbuka dengan Menggunakan<br />
Short Time Fourier Transform dan Neural Learning Vector Quantization<br />
Hendrick 1 , Muhammad Rivai 2 , Tasripan 3<br />
1,2,3 Jurusan Tehnik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institute Teknologi Sepuluh Nopember<br />
Email : hendrick_polinpdg@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Pembacaan odor pada udara terbuka menyebabkan data sensor bersifat fluktuatif. Hal ini disebabkan karena odor<br />
tersebut dipengaruhi oleh udara sekitar sensor tersebut. Udara bebas ini juga akan mempengaruhi kosentrasi odor<br />
yang akan dibaca sensor sehingga mengakibatkan terjadi kesalahan dalam identifikasi. Pada penelitian ini<br />
digunakan deret sensor gas semikonduktor. Respon sensor dalam domain waktu dirubah ke domain frekuensi<br />
dengan menggunakan Short Time Fourier Transorm untuk mendapatkan karakteristik frekuensi dari odor<br />
tersebut. Beberapa komponen frekuensi yang dipilih kemudian di klasifikasikan dengan menggunakan Neural<br />
Learning Vector Quantization. Jaringan Learning Vector Quantization dapat dilatih untuk mengenali jenis gas<br />
yang diujikan dengan taraf keberhasilan 89.2%.<br />
Kata kunci : odor, STFT, LVQ, semikonduktor, respon frekuensi, neural network.<br />
Pendahuluan<br />
Respon sensor pada ruang terbuka<br />
menyebabkan data bersifat fluktuatif dan<br />
memerlukan waktu yang cukup lama agar sensor<br />
mampu merespon odor dengan baik. Hal ini juga<br />
dijumpai pada robot pencari lokasi gas dengan<br />
prinsip stereo nose.(Faisal 2008).<br />
Pada penelitian ini, metode yang digunakan<br />
untuk mendapatkan karakteristik frekuensi odor<br />
adalah dengan Short Time Fourier Transform<br />
(STFT). Metode ini menghasilkan komponen<br />
frekuensi yang mampu mewakili suatu odor,<br />
sehingga dapat membedakan jenis odor secara benar.<br />
Sedangkan metode klasifikasi yang digunakan<br />
adalah jaringan Learning Vector Quantization<br />
(LVQ). Proses pembelajaran pada metode ini<br />
merupakan supervised learning, sehingga odor<br />
dikelaskan berdasarkan jarak terpendeknya.<br />
Tinjauan Pustaka<br />
Sensor Gas<br />
Bahan detektor gas dari sensor gas<br />
semikonduktor adalah metal oksida, khususnya<br />
senyawa SnO2. Struktur sensor ini dapat dilihat pada<br />
Gambar.1. Ketika kristal metal oksida (SnO2)<br />
dihangatkan pada temperatur tertentu, oksigen akan<br />
diserap pada permukaan kristal dan oksigen di udara<br />
akan terionisasi dan terikat pada SnO2 dalam bentuk<br />
ion-ion negatif. Elektron-elektron donor pada<br />
permukaan kristal SnO2 akan ditransferkan untuk<br />
mengikat ion-ion oksigen ini. Hasil peristiwa ini<br />
meninggalkan ion-in positif dalam lapisan<br />
pertemuan (Space Charge Layer) yang terdapat pada<br />
permukaan. Tegangan permukaan yang terbentuk<br />
akan menghambat laju aliran elektron pada kristal<br />
sebagai tegangan barrier /tegangan penghambat<br />
(Figaro,2004).<br />
Gambar. 1 Struktur sensor gas semikonduktor<br />
Didalam sensor arus elektrik mengalir melewati<br />
daerah sambungan (grain boundary) dari kristal<br />
SnO2. Pada daerah sambungan penyerapan oksigen<br />
mencegah muatan untuk bergerak bebas. Jika ada<br />
gas pereduksi, proses deoksidasi akan terjadi, rapat<br />
permukaan dari muatan negatif oksigen akan<br />
berkurang dan mengakibatkan menurunnya<br />
ketinggian penghalang dari daerah sambungan. Hal<br />
ini dapat dilihat pada Gambar.2. Dengan<br />
menurunnya penghalang maka resistansi sensor akan<br />
juga ikut menurun.<br />
Gambar.2 Pembentukan tegangan barrier saat tanpa gas<br />
pereduktif(a), dan pengurangan tegangan barrier saat adanya gas<br />
pereduksi(b) (Figaro,2004)<br />
D42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Berikut adalah deret sensor gas yang digunakan pada<br />
sistem ini.<br />
TABEL I<br />
Sensor gas semikonduktor<br />
No Tipe Sensor Fungsi<br />
1 TGS2602 Voc(volatile organic compound)<br />
2 TGS2611 Methane<br />
3 TGS2620 Alkohol<br />
Gambar.3 memperlihatkan bentuk rangkaian<br />
dasar pengukuran dengan sensor gas Figaro. Rs<br />
adalah tahanan pada sensor gas tersebut, yang nilai<br />
nya akan berubah jika mendeteksi adanya gas di<br />
sensor tersebut. Tegangan output sensor nantinya<br />
adalah sebagai pembagi tegangan antara Rs dan RL<br />
pada rangkaian tersebut.<br />
Gambar. 3 Rangkaian dasar sensor gas<br />
Short Time Fourier Transform<br />
STFT adalah suatu metode yang digunakan<br />
untuk mendapatkan kharakteristik frekuensi dari<br />
suatu sinyal. Sinyal input dikalikan dengan window<br />
sinus dan selanjutnya di diproses dengan<br />
menggunakan transformasi fourier. Secara<br />
matematis STFT dirumuskan seperti berikut ini :<br />
(1)<br />
notasi w(n) pada persamaan diatas adalah sebagai<br />
fungsi windownya. Pada penelitian ini menggunakan<br />
Hann window. Persamaan untuk fungsi window<br />
hann adalah<br />
(2)<br />
N adalah sebagai lebar window yang<br />
digunakan.(Nimsuk,2007).<br />
Learning Vector Quantization<br />
LVQ adalah suatu metoda klasifikasi pola yang<br />
masing-masing unit output mewakili kategori atau<br />
kelas tertentu. Arsitektur dari suatu jaringan LVQ<br />
dapat terlihat serperti pada gambar.4.<br />
(Laurene,1992).<br />
Gambar.4 Arsitektur Jaringan LVQ<br />
Tujuan menggunakan jaringan LVQ adalah untuk<br />
mendapatkan unit output yang terdekat dengan<br />
vector input. Notasi yang digunakan pada algoritma<br />
ini adalah :<br />
x vektor pelatihan(x 1 ,…,x i ,…,x n ).<br />
T kategori atau kelas yang benar untuk vektor<br />
pelatihan.<br />
W j vektor bobot untuk unit output<br />
(w 1j ,…,w ij ,…,w nj ).<br />
C j kategori atau kelas yang direpresentasikan<br />
oleh unit output<br />
jarak Euclidean antara vektor input (vektor<br />
bobot) dan unit output j.<br />
Pada proses pembelajaran, nilai bobot akan<br />
terus diperbaharui secara terus-menerus dan akan<br />
berakhir, jika x dan w c berada pada kelas yang sama,<br />
maka bobot dipindahkan ke vektor input yang baru<br />
dan jika x dan w c berada pada kelas yang berbeda,<br />
maka bobot akan dipindahkan dari vektor input.<br />
Algoritma LVQ adalah :<br />
1. Inisialisi vector referensi dan<br />
learning rate,α(0).<br />
2. Selama kondisi berhenti bernilai<br />
salah,lakukan point 3 sampai 7.<br />
3. Untuk setiap vector input x, lakukan<br />
tahap 4 sampai 5.<br />
4. Temukan J sehingga bernilai<br />
minimum.<br />
5. Update nilai w j ,<br />
Jika T = C j , maka<br />
w j (baru)=w j (lama)+ α[x-w j (lama)]<br />
Jika T ≠ C j , maka<br />
w j (baru)=w j (lama)- α[x-w j (lama)]<br />
6. Kurangi nilai learning rate.<br />
7. Test kondisi berhenti<br />
Metode Penelitian<br />
Secara garis besar metode penelitian pada alat<br />
klasifikasi odor ini adalah seperti terlihat pada<br />
gambar.5.<br />
D43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar.5 Sistem alat klasifikasi odor<br />
Sensor gas yang digunakan adalah TGS2602,<br />
TGS2611 dan TGS2620 yang ditempatkan didalam<br />
ruang sensor. Respon masing-masing sensor<br />
terhadap gas kemudian dibaca dengan menggunakan<br />
mikrokontroller Atmega16, dengan memanfaatkan<br />
internal analog to digital converter (ADC)<br />
mikrokontroller tersebut. Data sensor kemudian<br />
dikirimkan ke PC dengan menggunakan komunikasi<br />
serial. Pada PC, data diproses dengan STFT untuk<br />
mendapatkan karakteristik frekuensi masing-masing<br />
odor. Selanjutnya, dilakukan pembelajaran pada<br />
jaringan LVQ hingga dihasilkan bobot akhir yang<br />
sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Sehingga<br />
dibisa dikelaskan odor tersebut menjadi bensin,<br />
alkohol dan minyak tanah.<br />
Selanjutnya, masing – masing sensor dipilih 4<br />
komponen frekuensi yang telah di absolute kan.<br />
Output dari proses STFT ini menghasilkan 12<br />
komponen frekuensi yang selanjutnya akan<br />
digunakan sebagai input pada proses LVQ. Bentuk<br />
arsitektur yang digunakan untuk proses<br />
pembelajaran pada jaringan LVQ seperti pada<br />
gambar.8.<br />
Gambar.8 Perancangan jaringan LVQ<br />
Gambar.6 Pengujian system alat klasifikasi odor<br />
Pengujian sistem dilakukan seperti yang terlihat<br />
pada gambar.6. Odor ditempatkan pada jarak 10 cm<br />
dari sensor gas semikonduktor. Selanjutnya PC akan<br />
memberikan instruksi untuk mulai melakukan<br />
konversi data pada ADC setiap satu detik.<br />
Pada pengujian ini, data yang di ambil sebanyak<br />
100 data. Setelah itu, odor dijauhkan dari sensor dan<br />
pengambilan data dilanjutkan hingga mencapai 150<br />
data. Selanjutnya data tersebut dianalisa dengan<br />
STFT menggunakan software matlab. Parameter<br />
yang digunakan pada proses ini seperti yang terlihat<br />
pada gambar.7.<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Pengujian ini menggunakan 3 jenis odor, yaitu<br />
bensin, alkohol dan minyak tanah. Gambar.9<br />
memperlihatkan respon sensor terhadap alkohol.<br />
Dari grafik didapatkan bahwa TGS2602 selalu<br />
bernilai lebih tinggi dari sensor yang lainnya.<br />
Sedangkan untuk respon saat diujikan terhadap<br />
bensin seperti terihat pada gambar.10 dan minyak<br />
tanah pada gambar.11.<br />
Gambar.9 Respon alkohol<br />
Gambar.7 Parameter STFT<br />
D44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar.13 Komponen frekuensi alkohol<br />
Gambar.10 Respon bensin<br />
Gambar.14 Komponen frekuensi minyak tanah<br />
Selanjutnya data tersebut dinormalisai dengan nilai<br />
frekuensi dc nya untuk menghindari variasi pola<br />
pada proses LVQ. Hasil normalisasi masing-masing<br />
odor diperlihatkan pada gambar.15, gambar.16 dan<br />
gambar.17.<br />
Gambar.11 Respon minyak tanah<br />
Kemiripan pola dari 3 grafik diatas adalah<br />
TGS2602 selalu memiliki nilai tertinggi dan 2 sensor<br />
berikut nya selalu lebih rendah. Hal yang<br />
membedakan juga dijumpai saat merespon minyak<br />
tanah, nilai sensor TGS2611 dan TGS2620 jauh<br />
lebih rendah dibandingkan saat pengukuran bensin<br />
dan alkohol.<br />
Untuk mendapatkan respon frekuensinya, maka<br />
selanjutnya data diproses dengan STFT dengan<br />
menggunakan parameter seperti pada gambar.7.<br />
Untuk mempersempit variabel input LVQ, setiap<br />
sensor hanya digunakan 4 komponen frekuensi saja<br />
untuk mewakili setiap jenis odor. Bentuk grafik nya<br />
seperti terlihat pada gambar.12, gambar.13 dan<br />
gambar.13.<br />
Gambar.15 Hasil normalisasi bensin<br />
Gambar.16 Hasil normalisasi alkohol<br />
Gambar.12 Komponen frekuensi bensin<br />
Gambar.17 Hasil normalisasi minyak tanah<br />
D45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
TABEL III<br />
Data input LVQ<br />
TABEL IIIII<br />
Bobot hasil pembelajaran<br />
TABEL IV<br />
Hasil uji bensin pada jaringan LVQ<br />
Setelah proses normalisasi, tahap selanjutnya 12<br />
data input tersebut diproses dengan jaringan LVQ.<br />
Tabel 2 memperlihatkan data yang di inputkan pada<br />
jaringan LVQ. Data yang diinputkan adalah 3 jenis<br />
data bensin, 2 jenis data alkohol dan 2 jenis data<br />
minyak tanah. Dari data tersebut, maka bensin di<br />
kelompokkan sebagai kelas 1, alkohol sebagai kelas<br />
2 dan minyak tanah sebagai kelas 3.<br />
Tabel II merupakan data input jaringan LVQ<br />
yang didapatkan dari proses STFT. Telah<br />
dikelompokkan berdasarkan kelasnya. Setelah<br />
proses pembelajaran dengan parameter yang<br />
ditentukan maka didapatkan bobot masing-masing<br />
kelas. Bobot masing-masing kelas tersebut seperti<br />
terlihat pada Tabel III. Bobot hasil pembelajaran<br />
tersebut terdiri dari w1, w2 dan w3, masing-masing<br />
bobot tersebut mewakili kelasnya. Contohnya, w1<br />
mewakili untuk kelas 1 sebagai bensin.<br />
Proses pembelajaran ini dilakukan mulai dari<br />
window 1 sampai ke 32. Setelah 32 kali<br />
pembelajaran tersebut, didapatkan bahwa epoch<br />
terkecil di hasilkan pada saat window ke 27 sampai<br />
dengan window ke 32 dengan nilai dibawah 100<br />
epoch. Berdasarkan nilai epoch yang terkecil<br />
tersebut, maka ditetapkan pemakaian window ke 27<br />
untuk proses STFT ini. Tabel IV memperlihat hasil<br />
pengujian di window ke 27 untuk jenis gas bensin.<br />
Kolom w1,w2 dan w3 adalah data bobot hasil<br />
pembelajaran jaringan LVQ. Sedangkan data kolom<br />
D46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
test adalah data yang akan diujikan pada jaringan<br />
tersebut. Kemudian nilai-nilai diatas diinputkan pada<br />
persamaan eucludian, hingga didapatkan nilai y1<br />
0.0571, y2 0.17472 dan y3 0.166724. Jarak terdekat<br />
diberikan oleh y1, maka odor yang diuji<br />
diklasifikasikan sebagai bensin. Pengujian<br />
selanjutnya dilakukan pada 28 jenis data odor dan<br />
hanya 1 data yang gagal teridentifikasikan.<br />
Kesimpulan<br />
Alat klasifikasi odor pada ruang terbuka ini<br />
dibuat untuk dapat membedakan beberapa jenis odor<br />
yang diujikan. Metode yang digunakan adalah<br />
dengan menggunakan 3 jenis sensor gas yang<br />
berbeda. Short Ttime Fourier Transform digunakan<br />
untuk mendapatkan karakteristik dari respon sensor<br />
gas tersebut. Jaringan Learning Vector Quantization<br />
digunakan untuk membedakan jenis gas ke dalam<br />
beberapa kelas. Jaringan LVQ ini memiliki tingkat<br />
keberhasilan sebesar 89,2% dalam identifikasi suatu<br />
gas.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terimakasih kepada bapak Muhammad<br />
Rivai yang telah meluangkan waktu dan<br />
membimbing hingga penelitian ini selesai<br />
dikerjakan.<br />
Daftar Pustaka<br />
Faisal. Hadi (2008), Rancang bangun robot pencari<br />
lokasi gas menggunakan prinsip stereo nose.<br />
Figaro (2004), General Information for TGS Sensor,<br />
http://www.figarosensor.com/products/com<br />
mon(1104).pdf.<br />
Nimsuk, M. T.Nakamoto(2007). Improvement of<br />
capability for classifiying odors in<br />
dynamically changing concentration using<br />
QCM sensor array and short time fourier<br />
transform. Sensor and Actuator B 127 (491-<br />
496).<br />
Laurene, Fauset. (1992). Fundamentals of Neural<br />
Network. Mc-Graw Hill 187 – 190.<br />
D47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengukuran Tingkat Gas Polutan pada Udara<br />
Menggunakan Tabung Detektor Gas dengan Bantuan Kamera<br />
Ilmawan Mustaqim 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Djoko Purwanto 1 , Tasripan 1<br />
1 Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Elektro FTI ITS Surabaya<br />
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111<br />
2 Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, FT Universitas Negeri Yogyakarta<br />
Kampus Karangmalang, Yogyakarta 55281<br />
Email : ilmawan@elect-eng.its.ac.id<br />
Abstrak<br />
Pengukuran tingkat gas polutan di udara dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara salah satu<br />
diantaranya dengan menggunakan tabung detektor gas. Pembacaan nilai yang terukur pada tabung detektor gas<br />
biasa dilakukan menggunakan pembacaan secara langsung melalui indera penglihatan manusia. Keterbatasan<br />
indera manusia dalam ketelitian pembacaan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keakuratan<br />
pembacaan hasil suatu pengukuran. Paper penelitian ini membahas tentang penggunaan kamera dalam<br />
membantu mengidentifikasi hasil pengukuran tingkat kandungan gas NH 3 di udara yang terbaca pada tabung<br />
detektor.<br />
Pengukuran gas NH 3 menggunakan tabung detektor gas yang dialiri udara melalui suatu pompa. Tabung detektor<br />
gas akan menghasilkan suatu warna yang menunjukkan nilai kandungan gas NH 3 dalam satuan ppm. Perubahan<br />
warna pada tabung ditangkap oleh kamera dan kemudian diolah melalui perangkat lunak untuk dibaca hasil<br />
pengukurannya. Pengolahan tampilan kamera di aplikasikan menggunakan bahasa pemrograman C++ dengan<br />
bantuan perangkat lunak Microsoft Visual Studio dan OpenCV.<br />
Hasil pembacaan kamera menunjukkan bahwa warna dalam pengukuran dapat diidentifikasi sehingga hasil<br />
penunjukkan nilai tertentu pada tabung detektor gas dapat ditampilkan melalui program. Perubahan warna pada<br />
tabung gas menunjukkan suatu jarak tertentu yang dapat diukur melalui program komputer dengan<br />
mengaplikasikan metode segmentasi warna sehingga diperoleh keakuratan pembacaan tingkat gas polutan pada<br />
tabung detektor gas.<br />
Kata kunci : Gas Polutan, Tabung Detektor Gas, Segmentasi Warna.<br />
PENDAHULUAN<br />
Pengukuran tingkat kandungan gas tertentu<br />
dalam udara dapat dilakukan dengan menggunakan<br />
berbagai pilihan peralatan. Metode gas<br />
chromatography/mass spectrometry (GC/MS),<br />
mengadopsi dari odor regulation, sering digunakan<br />
untuk menganalisa suatu gas. Dalam penerapannya,<br />
GC/MS memerlukan biaya yang tinggi,<br />
membutuhkan waktu lama, dan tidak mudah dibawabawa.<br />
Sensor gas teknologi semiconductor dan<br />
electrochemical dapat digunakan juga, namun<br />
memiliki selektivitas yang rendah.<br />
Perkembangan teknologi image processing<br />
mengalami kemajuan yang pesat. Penerapan<br />
teknologi tersebut merambah berbagai bidang.<br />
Berbagai aplikasi menggunakan image processing<br />
banyak diterapkan dalam bidang pertahanan<br />
keamanan, lingkungan, kedokteran dan lain-lain.<br />
Penggunaan kamera yang terintegrasi dengan<br />
komputer dapat melakukan berbagai aktifitas<br />
diantaranya digunakan sebagai pendeteksian tepi<br />
suatu bidang, pemisahan warna, pengukuran jarak<br />
dan luas bidang, pendeteksian objek dan lain-lain.<br />
Kamera digunakan untuk menangkap suatu<br />
gambar atau suatu kejadian. Gambar atau kejadian<br />
yang telah ditangkap oleh kamera memiliki<br />
informasi. Informasi tersebut kemudian diolah<br />
melalui media computer dengan bantuan perangkat<br />
lunak sehingga dapat digunakan untuk membantu<br />
manusia melakukan kegiatan yang spesifik misalnya<br />
pengukuran, pendeteksian dan lain-lain. Dalam<br />
aktivitas pengukuran, kamera dapat digunakan untuk<br />
membantu membaca suatu parameter pengukuran.<br />
Pembacaan melalui kamera tersebut digunakan<br />
untuk membantu manusia memperoleh keakuratan<br />
dalam hasil pembacaan mengingat keterbatasan mata<br />
manusia dalam pembacaan secara langsung.<br />
Dalam penelitian ini memfokuskan pada<br />
penggunaan tabung detektor gas dimana merupakan<br />
metode yang sederhana untuk pendeteksian gas.<br />
Secara umum pembacaan hasil pengukuran pada<br />
tabung detektor gas dilakukan secara manual dengan<br />
cara membaca panjang dari perubahan warna<br />
lapisan. Melalui penelitian ini pembacaan hasil<br />
deteksi dikehendaki dapat dilakukan secara otomatis<br />
dan kontinyu menggunakan bantuan kamera melalui<br />
image processing.<br />
D48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
KAJIAN PUSTAKA<br />
Polusi udara merupakan masalah global yang<br />
akhir-akhir ini menjadi sorotan di berbagai negara di<br />
dunia. Beberapa peneliti mengembangkan penelitian<br />
yang berkaitan dengan polusi udara, baik sistem<br />
monitoring polusi udara dan sistem<br />
penanggulangannya, dampak polusi udara dan<br />
perubahan iklim terhadap ekosistem hutan. (Paoletti,<br />
2007). Pencemaran udara adalah masuknya atau<br />
dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain<br />
ke dalam udara ambien oleh kegitan manusia,<br />
sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat<br />
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak<br />
dapat memenuhi fungsinya. (Peraturan Gubernur<br />
Jawa Timur Nomor 39 tahun 2008)<br />
Melihat dampak polusi udara terhadap makhluk<br />
hidup dan lingkungan, pemerintah daerah<br />
menetapkan peraturan tentang baku mutu udara<br />
ambien dan emisi sumber tidak bergerak. Baku mutu<br />
udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat,<br />
energi dan/atau komponen yang ada atau seharusnya<br />
ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang<br />
keberadaannya dalam udara ambient. Baku mutu<br />
emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar<br />
maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang<br />
diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam<br />
udara ambient. Pemerintah Daerah Wilayah Jawa<br />
Timur menuangkan aturan tersebut pada Peraturan<br />
Gubernur Nomor 39 tahun 2008.<br />
Batasan gas amoniak atau NH 3 di udara ambient<br />
yang diijinkan sesuai dengan peraturan tersebut<br />
adalah sebesar maksimum 2 ppm atau 1360µg/m 3<br />
dengan pengambilan sampel tiap 1 jam selama 24<br />
jam.<br />
Tabung Detektor Gas<br />
Pengukuran gas dapat dilakukan dengan<br />
berbagai cara, salah satu diantaranya dengan<br />
menggunakan tabung detektor gas. Sistem tabung<br />
detektor gas adalah suatu pengambilan sampel yang<br />
dilengkapi sistem pembacaan terukur untuk<br />
menentukan seberapa kadar konsentrasi gas dan uap<br />
air dengan cepat dan mudah. Pada sistem tabung<br />
detektor gas secara umum terdiri dari sebuah pompa<br />
udara pengambil sampel udara dan tabung detektor<br />
gas yang presisi.<br />
Setiap tabung detektor diformulasikan dengan<br />
bahan reaksi yang memiliki tingkat kemurnian yang<br />
tinggi, yang menyerap dan bereaksi dengan target<br />
gas atau uap air yang diukur. Berkas colorimetric<br />
yang muncul dibuat proporsional panjang dengan<br />
konsentrasi. Bagi kebanyakan tabung, konsentrasi<br />
dibaca langsung pada skala pengukuran pada<br />
masing-masing tabung.<br />
Tabung detektor gas digunakan dengan cara<br />
mengalirkan gas yang akan dideteksi melalui ujung<br />
yang satu ke ujung lainnya. Hasil pengukuran dibaca<br />
dengan cara melihat panjang warna yang muncul<br />
pada permukaan indikator. Satu buah tabung<br />
dikhususkan untuk satu jenis gas tertentu sehingga<br />
untuk mendeteksi beberapa zat yang terkandung<br />
dalam udara diperlukan beberapa buah tabung.<br />
Gambar 1. Indikator Pengukuran dalam Tabung Detektor Gas<br />
Sumber: http://www.envisupply.com<br />
Tabung detektor gas merupakan tabung kaca<br />
tipis yang berisi deteksi reagent. Reagent adalah<br />
suatu zat kimia yang digunakan dalam reaksi untuk<br />
mendeteksi, mengukur, meneliti, atau memproduksi<br />
bahan lainnya. Reagent menghasilkan perubahan<br />
warna yang berbeda pada lapisan dalam tabung<br />
ketika bertemu dengan zat tertentu. Prinsip reaksi<br />
pada tabung detektor gas amoniak atau NH 3 adalah:<br />
gas amoniak atau NH 3 dinetralisir oleh asam sulfur<br />
untuk dapat berubah warna pada indikator pH<br />
menjadi kuning. Reaksi kimia yang terjadi:<br />
2NH 3 + H 2 SO 4 → (NH 4 ) 2 SO 4<br />
Skala kalibrasi tercetak pada tabung dimana<br />
menunjukkan konsentrasi dari substansi yang<br />
diukur. Ratusan variasi detektor tabung tersedia saat<br />
ini untuk mengukur berbagai senyawa kimia.<br />
Terdapat beberapa tabung dengan berbagai variasi<br />
batasan konsentrasi. Batasan konsentrasi tersebut<br />
dinyatakan dalam ukuran part-per-million (ppm)<br />
atau beberapa tabung dengan ukuran persen (%).<br />
Sistem Kamera dan Segmentasi Warna<br />
Penggunaan sistem kamera dalam pengukuran<br />
dapat membantu manusia dalam pembacaan nilai<br />
yang terukur. Selain dari tingkat ketelitian, kamera<br />
dapat membantu juga dalam hal monitoring suatu<br />
sistem yang dilakukan secara terus menerus.<br />
Dalam komputer, color pixel biasanya memiliki<br />
nilai warna merah, hijau dan biru yang masingmasing<br />
diukur dalam 8 bit. Secara khusus warna<br />
objek segmentasi akan melibatkan konversi dari<br />
nilai-nilai tersebut ke beberapa parameter model<br />
warna, kemudian perbandingan parameter-parameter<br />
ke objek diasumsikan invarian. Model warna yang<br />
paling popular digunakan untuk gambar segmentasi<br />
adalah RGB, HSV, HLS, HIS dan NCC.<br />
(V.Kravtchenko, 1999).<br />
Komponen merah, hijau, dan biru dapat diwakili<br />
oleh nilai kecerahan suatu gambar yang diperoleh<br />
melalui tiga filter yang terpisah (filter merah, hijau,<br />
dan biru) berdasarkan rumus sebagai berikut:<br />
D49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan:<br />
SR, SG, SB = filter warna pada cahaya yang masuk<br />
E(λ) = cahaya atau sinar<br />
λ = panjang gelombang cahaya<br />
RGB cocok untuk menampilkan warna, tetapi<br />
tidak baik untuk warna gambar segmentasi dan<br />
analisis karena tingginya korelasi antara komponen<br />
R, G, dan B. Korelasi tinggi berarti jika intensitas<br />
berubah maka semua tiga komponen akan berubah<br />
juga. Selain itu, pengukuran warna dalam ruang<br />
RGB tidak mewakili perbedaan warna dalam skala<br />
yang seragam, maka tidak memungkinkan untuk<br />
mengevaluasi kesamaan dua warna dari jaraknya<br />
dalam space RGB.<br />
Konversi RGB ke Hue<br />
Segmentasi RGB sangat terpengaruh adanya<br />
perubahan iluminasi warna, intensitas iluminasi dan<br />
cahaya, hal tersebut tidak terjadi pada Hue.<br />
Taksonomi dari model invarian warna diperlihatkan<br />
dalam tabel 1 dimana masing-masing ruang warna<br />
dapat terpengaruh oleh properti tertentu.<br />
Perubahan nilai RGB menjadi nilai Hue<br />
dirumuskan sebagai berikut:<br />
TABEL I Invarian untuk Ruang Warna yang Berbeda-beda<br />
padaVariasi Properti Gambar.<br />
maksimum piksel yang telah diperoleh. Hal ini<br />
menyebabkan daerah terang dalam gambar<br />
berkembang seperti ditunjukkan dalam gambar 2.<br />
Perkembangan gambar tersebut dikenal dengan<br />
istilah operasi dilasi.<br />
Gambar 2. Morfologi Dilasi: mengambil nilai maksimum piksel<br />
yang dilalui kernel B. Sumber: (G. Bradski, et al, 2009)<br />
Erosi adalah kebalikan dari dilasi. Hasil dari<br />
operasi erosi adalah sama dengan komputasi lokal<br />
minimum di daerah kernel. Erosi menghasilkan<br />
gambar baru dari gambar aslinya dengan<br />
menggunakan algoritma berikut: kernel B dipindai<br />
diatas gambar A kemudian dihitung nilai minimum<br />
piksel yang dilalui piksel B untuk selanjutnya piksel<br />
gambar A dibawah titik point digantikan dengan<br />
nilai maksimum piksel yang telah diperoleh. Secara<br />
umum, operasi dilasi memperluas wilayah A<br />
sedangkan operasi erosi mengurangi wilayah A. (G.<br />
Bradski, et al, 2009)<br />
Sistem<br />
Viewpoint<br />
Geometry<br />
Illumination<br />
Color<br />
Illumination<br />
Intensity<br />
Highlights<br />
RGB - - - - -<br />
rgb + + - + -<br />
Hue + + - + +<br />
S + + - + -<br />
I - - - - -<br />
c 1 c 2 c 3 + + - + -<br />
Keterangan:<br />
Tanda “+” berarti bahwa ruang warna tersebut tidak sensitif<br />
terhadap properti, berlaku sebaliknya untuk tanda “–”.<br />
Sumber: R. Lukac (2007)<br />
Dilasi dan Erosi<br />
Dilasi/pelebaran adalah konvolusi dari beberapa<br />
gambar (atau wilayah dari suatu gambar) misal<br />
gambar A dengan beberapa kernel misal kernel B.<br />
Kernel dapat berupa bentuk atau ukuran yang telah<br />
ditetapkan titik pointnya. Kernel yang paling sering<br />
digunakan berupa titik kecil bujursangkar atau<br />
lingkaran dengan titik point ditengahnya. Kernel<br />
dapat dianggap sebagai template atau mask, dan<br />
memberikan pengaruh pada dilasi saat operasi lokal<br />
secara maksimum. Kernel B dipindai diatas gambar<br />
A kemudian dihitung nilai maksimum piksel yang<br />
dilalui kernel B untuk selanjutnya piksel gambar A<br />
dibawah titik point digantikan dengan nilai<br />
Gambar 3. Morfologi Erosi: mengambil nilai minimum piksel<br />
yang dilalui kernel B. Sumber: (G. Bradski, et al, 2009)<br />
METODE PENELITIAN<br />
Pengujian pada penelitian ini menggunakan<br />
tabung detektor gas untuk jenis gas NH 3 . Kenaikan<br />
tingkat ppm gas NH 3 yang ditunjukkan dalam<br />
perubahan warna pada tabung gas diambil secara<br />
berkala sebagai sampel perubahan warna.<br />
Eksperimen yang dilakukan meliputi<br />
perhitungan secara manual dan perhitungan secara<br />
otomatis. Perhitungan secara manual dilakukan<br />
dengan cara menentukan titik point awal dan titik<br />
point akhir. Pemilihan titik yang mewakili titik awal<br />
dan akhir dilakukan dengan cara melakukan<br />
penekanan tombol mouse pada titik pointer di atas<br />
D50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
gambar referensi. Titik awal merupakan daerah<br />
munculnya warna kuning pada tabung, sedangkan<br />
titik akhir adalah daerah terakhir munculnya warna<br />
kuning pada tabung. Langkah selanjutnya adalah<br />
melakukan perhitungan jarak terhadap kedua titik<br />
tersebut menggunakan persamaan:<br />
(e)<br />
Gambar 5. Penentuan titik awal dan akhir secara otomatis melalui<br />
proses: konversi RGB ke Hue (a), threshold nilai Hue (b), Dilasi<br />
(c), Erosi (d), tampilan hasil melalui bounding box (e).<br />
Gambar 4. Penentuan titik awal dan akhir secara manual.<br />
Perhitungan manual digunakan sebagai<br />
pembanding hasil pembacaan selain pembacaan nilai<br />
melalui pandangan mata biasa.<br />
Pengujian yang dilakukan terdiri dari tahapan<br />
proses sebagai berikut: konversi warna RGB ke Hue,<br />
threshold nilai Hue, proses dilasi, proses erosi,<br />
pengukuran jarak piksel, konversi jarak piksel ke<br />
ppm. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan untuk<br />
memperoleh pembacaan nilai yang terukur pada<br />
tabung detektor gas NH3 secara otomatis.<br />
(a)<br />
(b)<br />
(c)<br />
(d)<br />
Gambar 6. Tampilan Program.<br />
HASIL dan PEMBAHASAN<br />
Pengujian dilakukan terhadap gambar yang<br />
ditangkap oleh kamera dalam pengukuran tingkat<br />
gas NH3 pada saat nilai pembacaan mata biasa<br />
sebesar 24, 25, 27, 30, 31, 32 ppm.<br />
Hasil pengujian yang telah dilakukan dapat<br />
dilihat dalam tabel 2.<br />
TABEL II Hasil Pengukuran Manual dan Otomatis.<br />
Pengukura<br />
n Manual<br />
Pengukura<br />
n Otomatis<br />
Nilai<br />
Pembacaan<br />
Batas<br />
Kiri<br />
Batas<br />
Kanan<br />
Nilai<br />
(ppm)<br />
Batas<br />
Kiri<br />
Batas<br />
Kanan<br />
Nilai<br />
(ppm)<br />
4 26 11<br />
5 27 32<br />
7 26 47<br />
0 25 76<br />
1 14 73<br />
2 14 85<br />
4,2<br />
9<br />
2<br />
40 09<br />
2<br />
6 30 72<br />
7,3<br />
6<br />
9,9<br />
2<br />
0,6<br />
1<br />
1,6<br />
3<br />
2<br />
29 40<br />
2<br />
29 74<br />
3<br />
18 69<br />
3<br />
18 83<br />
3,3<br />
9<br />
5,8<br />
2<br />
7,0<br />
4<br />
0<br />
0,5<br />
2<br />
1,7<br />
3<br />
2<br />
2<br />
Threshold<br />
x = nilai Hue<br />
2<br />
2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perbandingan selisih antara hasil pembacaan<br />
melalui pandangan mata sdengan hasil pengukuran<br />
manual dapat dilihat dalam tabel 3.<br />
TABEL III Perbandingan selisih hasil pembacaan pandangan<br />
mata dengan pengukuran manual.<br />
Nilai Nilai<br />
Selisih<br />
Pembacaan Pengukuran Manual<br />
24 24,29 0,29<br />
25 26 1<br />
27 27,36 0,36<br />
30 29,92 0,08<br />
31 30,61 0,39<br />
32 31,63 0,37<br />
X x Rata-rata Selisih 0,415<br />
Pengukuran<br />
Perbandingan selisih antara hasil pembacaan<br />
melalui pandangan mata dengan hasil pengukuran<br />
otomatis dapat dilihat dalam tabel 4.<br />
TABEL IV<br />
Perbandingan selisih hasil pembacaan<br />
pandangan mata dengan pengukuran otomatis.<br />
Nilai Nilai<br />
Selisih<br />
Pembacaan Pengukuran otomatis<br />
24 23,39 0,61<br />
25 25,82 0,82<br />
27 27,04 0,04<br />
30 30 0<br />
31 30,52 0,48<br />
32 31,73 0,27<br />
Rata-rata Selisih Pengukuran 0,37<br />
Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa nilai<br />
pembacaan secara otomatis memiliki rata-rata<br />
kesalahan pengukuran sebesar 0,37 sedangkan<br />
pembacaan secara manual memiliki rata rata<br />
kesalahan pengukuran sebesar 0,415.<br />
Pada pembacaan otomatis diatas dilakukan<br />
perubahan threshold untuk masing masing nilai<br />
pembacaan. Hal ini disebabkan karena data yang<br />
diambil berada pada kondisi tabung yang berubah<br />
posisi maupun pencahayaan yang berubah pula<br />
sehingga warna acuan yang diambil dapat berubah.<br />
Threshold yang ditentukan sangat mempengaruhi<br />
segmentasi warna yang diukur, sehingga dapat<br />
dipisahkan antara warna sekitar dengan warna yang<br />
dikehendaki untuk diukur.<br />
mouse. Titik tersebut apakah mewakili nilai yang<br />
tertera pada skala atau tidak bergantung pada<br />
kalibrasi nilai pembagi yang digunakan. Diperlukan<br />
perhitungan kalibrasi skala yang tepat agar diperoleh<br />
nilai yang sesuai pada masing masing skala.<br />
Pada pengukuran otomatis, ketelitian hasil<br />
pembacaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu<br />
nilai threshold dinamis yang mampu menyesuaikan<br />
dengan warna yang akan disegmentasi, kontras<br />
perubahan warna pada tabung dengan warna<br />
sekitarnya, kestabilan pencahayaan. Kestabilan<br />
posisi tabung. Faktor-faktor tersebut dapat<br />
memberikan kemudahan dan hasil yang lebih baik<br />
dalam melakukan segmentasi warna sebagai media<br />
pengukuran.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terima kasih kepada Mr. Takamichi<br />
Nakamoto dari Physical Electronics Department,<br />
Tokyo Institute of Technology atas pemberian<br />
tabung detektor gas dan meluangkan waktunya<br />
untuk berdiskusi tentang sensor detektor gas.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
E. Paoletti, A. Bytnerowicz, C. Andersen, A.<br />
Augustaitis, M. Ferrett, N. Grulke, M.S.<br />
Goerg, J. Innes, D. Johnson, D. Karnosky, J.<br />
Luangjame, R. Matyssek, S. McNulty, G.M.<br />
Starck, R. Musselman, K. Percy (2007),<br />
Impacts of Air Pollution and Climate Change<br />
on Forest Ecosystems-Emerging Research<br />
Needs, Short Communication Proceedings,<br />
The Scientific World JOURNAL 7 (S1), 1–8<br />
G. Bradski, A. Kaehler (2009), Learning OpenCV,<br />
O’Reilly Media, Inc.<br />
R. Lucac, K.N. Plataniotis (2007), Color Image<br />
Processing: Methods and Applications,<br />
Taylor and Francis Group.<br />
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 39 tahun<br />
2008.<br />
V. Kravtchenko, James J Little (1999), Efficient<br />
Color Object Segmentation Using the<br />
Dichromatic Reflection Model, IEEE Pacific<br />
Rim Conference on Communications.<br />
ieeexplore.ieee.org<br />
KESIMPULAN<br />
Tabung Detektor Gas dapat digunakan untuk<br />
mendeteksi Gas NH 3 dengan perubahan warna yang<br />
mencolok antara warna merah muda menuju ke<br />
kuning. Warna tersebut dapat ditangkap oleh kamera<br />
kemudian diolah sebagai parameter perhitungan<br />
pembacaan hasil deteksi tabung gas.<br />
Pergeseran nilai yang terukur secara manual<br />
dipengaruhi oleh posisi titik yang ditentukan dengan<br />
D52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Desain dan Karakterisasi Load Cell Tipe Czl601 sebagai Sensor Massa<br />
untuk Mengukur Derajat Layu pada Pengolahan Teh Hitam<br />
Iwan Sugriwan 1 , Melania Suweni Muntini 1 , Yono Hadi Pramono 2<br />
1 Laboratorium Elektonika-Instrumentasi Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya<br />
2 Laboratorium Optoelektronika dan Microwave Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya<br />
Email: iwan_unlam@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Proses pelayuan pada pengolahan teh hitam dicirikan oleh dua macam pelayuan, yaitu pelayuan kimia dan<br />
pelayuan fisis. Ciri utama dari pelayuan fisis adalah melemasnya daun teh karena kehilangan sekitar 47% kadar<br />
air. Kehilangan massa karena kehilangan kadar air ini diindera oleh load cell tipe CZL601 sebagai sensor massa.<br />
Load cell dikalibrasi menggunakan pembeban (anak timbangan, timbal) yang telah diukur nilai benarnya di<br />
Laboratorium Gaya dan Massa Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya. Sinyal keluaran dari<br />
load cell, berupa tegangan, dihubungkan dengan penguat operasional yang dikonfigurasi sebagai penguat<br />
instrumentasi. Keluaran dari penguat instrumentasi selanjutnya menjadi data proses untuk rangkaian<br />
mikrokontroler Atmega8 dan diantarmuka pada Liquid Chrystall Display (LCD) dan komputer pribadi. Rancang<br />
bangun load cell dan rangkaian elektronisnya didesain khusus untuk dapat digunakan sebagai instrumen<br />
pengukur derajat layu yang akan ditempatkan di atas mesin palung pelayuan (withering trough), di mana derajat<br />
layu adalah kuantitas yang menunjukkan perbandingan berat daun teh kering dengan daun teh layu. Persamaan<br />
karakteristik load cell yang menyatakan hubungan antara tegangan dalam volt, V, dan massa dalam gram, m,<br />
adalah V = 0.0001m + 0.2014. Dari hasil karakterisasi, load cell tipe CZL601 dapat mengukur beban sampai<br />
dengan 20 kilogram dengan sensitivitas 0,02 kg. Load cell menunjukkan performa tinggi yaitu dengan linieritas<br />
tinggi dan tanpa hysteresis.<br />
Kata kunci: derajat layu, load cell, pelayuan, penguat instrumentasi, teh hitam<br />
PENDAHULUAN<br />
Load cell adalah sebuah sensor gaya yang<br />
banyak digunakan dalam industri yang memerlukan<br />
peralatan untuk mengukur berat (Piskorowski et.al.,<br />
2008). Secara umum, load cell dan sensor gaya<br />
berisi pegas (spring) logam mekanik dengan<br />
mengaplikasikan beberapa foil metal strain gauges<br />
(SG). Strain dari pegas mekanik muncul sebagai<br />
pengaruh dari pembebanan yang kemudian<br />
ditransmisikan pada strain gauges. Pengukuran<br />
sinyal yang dihasilkan dari load cell adalah dari<br />
perubahan resistansi strain gauge yang linier dengan<br />
gaya yang diaplikasikan (Mauselein et.al., 2009).<br />
Kalibrasi dan karakterisasi load cell dapat<br />
dilakukan baik secara analog maupun digital.<br />
Kalibrasi secara analog merujuk pada sinyal<br />
keluaran, yang umumnya berupa tegangan, diukur<br />
langsung dengan peralatan dalam format analog.<br />
Pada proses kalibrasi digital sinyal keluaran diukur<br />
dengan instrumen yang telah mengintegrasikan<br />
peralatan digital. Menggunakan load cell dengan<br />
keluaran digital yang terintegrasi dengan<br />
pemrosesan sinyal memungkinkan penyesuaian gain<br />
menjadi sebuah penguatan sederhana dari keluaran<br />
load cell dengan sebuah persamaan karakteristik.<br />
Dalam kasus ini, proses kalibrasi berarti menghitung<br />
koefisien penguatan, yang diberikan dengan solusi<br />
dari persamaan karakteristik yang dihasilkan dari<br />
performa general purpose microcomputer yang lebih<br />
umum disebut mikrokontroler. Namun demikian,<br />
pada kalibrasi digital diperlukan rangkaian pemroses<br />
sinyal yang menyertakan penguat operational,<br />
pengonversi analog ke digital dan unit pengolah<br />
yang telah terintegrasi dalam mikrokontroler (Rocha<br />
et.al., 2000).<br />
Kalibrasi dan karakterisasi load cell ini akan<br />
digunakan untuk mengukur derajat layu pada proses<br />
pelayuan (withering) pengolahan teh hitam. Pada<br />
proses pelayuan, daun teh kehilangan kadar air<br />
sebanyak 47 %. Kehilangan masa yang disebabkan<br />
oleh kehilangan kadar air ini dapat digunakan untuk<br />
menentukan kelayuan daun teh. Secara kuantitatif<br />
kelayuan tersebut dinyatakan dalam persentase layu<br />
dan derajat layu. Persentase layu didefinisikan<br />
sebagai perbandingan antara bobot pucuk teh segar<br />
dengan bobot pucuk layu. Derajat layu didefinisikan<br />
sebagai perbandingan berat hasil teh kering dengan<br />
pucuk layu (Santoso dkk., 2008).<br />
Proses pelayuan pengolahan teh hitam di Pusat<br />
Penelitian Teh Kina (PPTK) Gambung, Bandung,<br />
dilakukan dengan menggunakan withering trough<br />
sebagai tempat daun teh dihamparkan. Daun teh<br />
segar dihamparkan pada mesin withering trough<br />
dengan ketebalan 30 cm untuk dilayukan oleh udara<br />
kering atau dengan aliran udara panas selama sekitar<br />
20 jam. Untuk menentukan apakah daun teh telah<br />
cukup layu, diperiksa oleh para pekerja teknis di<br />
pelayuan dengan cara meraba. Segenggam daun teh<br />
dikepal sambil digulung lalu dilemparkan, dan jika<br />
D53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
kepalan tidak terhambur maka daun teh dianggap<br />
telah layu. Masalahnya penentuan kelayuan teh<br />
dengan menggunakan peraba berpotensi untuk tidak<br />
konsisten dan bersifat subyektif yang berakibat pada<br />
ketidakkonsistenan terhadap mutu teh hitam.<br />
Pada makalah ini disampaikan hasil penelitian<br />
untuk mengurangi subjektivitas dengan cara<br />
mengkuantisasi ukuran kelayuan daun teh. Salah<br />
satu caranya adalah dengan menggunakan sensor<br />
massa. Kehilangan massa pada proses pelayuan akan<br />
diindera dengan sensor massa menggunakan load<br />
cell jenis single point model CZL601yang mampu<br />
mengukur beban sampai dengan 20 kg. Rangkaian<br />
sensor massa berikutnya akan dihubungkan dengan<br />
pengkondisi sinyal dengan mengaplikasikan penguat<br />
instrumentasi sebagai data proses untuk blok<br />
rangkaian berikutnya yaitu mikrokontroler AVR<br />
ATmega8 yang berikutnya diantarmuka pada<br />
komputer pribadi.<br />
DASAR TEORI<br />
Load cell sebagai Sensor Massa<br />
Transduksi massa dapat bervariasi<br />
bergantung pada perubahan parameter fisis yang<br />
digunakan. Sensor massa juga dapat menggunakan<br />
divais berbasis piezoresistif, kapasitif, mekanis dan<br />
lain-lain. Piezoresistif yang popular adalah strain<br />
gage yang memanfaatkan perubahan resistansi strain<br />
gage setiap mendapat deformasi dari posisi<br />
setimbang sebagai akibat pembebanan massa<br />
tertentu. Strain adalah sejumlah deformasi pada<br />
material sebagai pengaruh dari aplikasi gaya. Lebih<br />
spesifik, strain (ε) didefinisikan sebagai<br />
perbandingan perubahan panjangnya, sebagaimana<br />
ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini (National<br />
Instrument, 1998):<br />
Gambar 2. Pola garis metallic strain gauge<br />
Parameter fundamental dari strain gauge adalah<br />
sensitivitas dari strain, diekspresikan secara<br />
kuantitatif sebagai gauge factor (GF). Gauge factor<br />
didefinisikan sebagai rasio dari pembagian<br />
perubahan dalam resistansi dengan pembagian<br />
perubahan dari panjangnya (strain):<br />
Gauge factor untuk metallic strain gauges<br />
secara tipikal adalah di sekitar 2. Idealnya, resistansi<br />
dari strain gauge berubah hanya terhadap respon<br />
yang diaplikasikan pada strain gauge material,<br />
sebagaimana spesimen material di mana gauge<br />
diaplikasikan, juga akan merespon terhadap<br />
perubahan temperatur.<br />
Divais yang menggunakan prinsip strain gauge<br />
secara internal yang sering digunakan untuk<br />
pengukuran massa adalah load cell. Load cell<br />
merupakan divais yang menggunakan efek<br />
piezoresistif dengan bentuk fisik ditunjukkan pada<br />
Gambar 3. Pada penelitian ini akan digunakan load<br />
cell dengan rentang massa maksimum adalah 20 kg.<br />
Gambar 1. Definisi strain<br />
Terdapat beberapa metode untuk mengukur<br />
strain, yang berikut ini adalah dengan strain gauge,<br />
sebuah device dengan beberapa resistansi bervariasi<br />
dan proporsional dengan sejumlah strain dalam<br />
divais. Sebagai contoh, piezoresistive strain gauge<br />
yang merupakan semiconductor device di mana<br />
resistansi berubah taklinier dengan strain. Gauge,<br />
yang paling luas digunakan adalah bonded metallic<br />
strain gauge, berisi beberapa fine wire atau metallic<br />
foil yang disusun dalam pola garis (grid) seperti<br />
yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pola garis<br />
dimaksimasi dengan sejumlah kawat metalik dalam<br />
arah paralel.<br />
Akuisisi Data<br />
Gambar 3. Load cell single point model CZL601<br />
Keluaran dari sensor massa, load cell,<br />
adalah tegangan dan berikutnya dihubungkan<br />
dengan Penguat instrumentasi (instrumentation<br />
amplifier, IA). Selanjutnya penguat instrumentasi<br />
adalah pengembangan dari penguat diferensial<br />
(selisih tegangan) yang mengakomodasi masukan<br />
selisih tegangan secara klasik ditunjukkan pada<br />
Gambar 4 di bawah ini:<br />
D54
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 4. Skema Penguat Instrumentasi Klasik (Fraden, 2003)<br />
Penguat instrumentasi dibangun oleh tiga buah<br />
op-amp. Op-amp 1 dan 2 (U1 dan U2) dikonfigurasi<br />
sebagai penguat selisih tegangan, sedangkan op-amp<br />
ketiga dikonfigurasi sebagai penguat non-inverting.<br />
Penguat instrumentasi didesain dan harus memenuhi<br />
tegangan offset minimum, penguatan stabil,<br />
ketaklinieran rendah, input impedansi sangat tinggi,<br />
output impedansi sangat rendah, serta rasio<br />
penolakan modus bersama (common mode rejection<br />
ratio, CMMR) sangat tinggi (Terrel, 1996).<br />
Tegangan keluaran yang dihasilkan dari<br />
rangkaian Gambar 2.4 adalah bergantung pada nilainilai<br />
resistor dan selisih tegangan masukan yang<br />
diterapkan pada differential voltage, V 1 dan V 2 ,<br />
menurut persamaan (Tompkin, 1988):<br />
(2)<br />
sedangkan besar penguatannya (gain, A)<br />
dirumuskan sebagai:<br />
Selanjutnya tegangan keluaran dari penguat<br />
instrumentasi selanjutnya dihubungkan dengan<br />
mikrokontroler yang mengaplikasikan AVR<br />
Atmega8. ATmega8 adalah mikrokontroler 8 bit<br />
berdaya rendah dengan arsitektur RISC (reduce<br />
Instruction Set Computer) dan menggunakan<br />
arsitektur harvard (dengan memori dan bus yang<br />
terpisah untuk program dan data). Perintah dapat<br />
dieksekusi dalam satu periode clock untuk setiap<br />
instruksi dan instruksi dalam program memori<br />
dijalankan dengan single level pipelining, ketika satu<br />
instruksi dijalankan, instruksi selanjutnya telah siap<br />
diambil dari program memori. Gambar 5 adalah<br />
konfigurasi kaki ATmega8 dalam kemasan DIP<br />
(dual in line package) (Kurniawan, 2009).<br />
Gambar 5. Diagram Pin Mikrokontroler AVR ATMEGA8-P<br />
Secara internal, ATmega8 terdiri dari blok-blok<br />
diagram seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.<br />
Masing-masing blok tersebut antara lain program<br />
counter yaitu register yang berfungsi sebagai<br />
penghitung eksekusi program yang dilakukan<br />
mikrokontroler. Arithmatic Logic Unit (ALU, unit<br />
logika aritmatik) berfungsi melakukan proses<br />
aritmatika (+,-,*,/) dan logika (And, Or, Not).<br />
Random Access Memory (RAM, memori akses acak)<br />
adalah berupa memori volatile (data tak terhapus<br />
jika catudaya dimatikan) yang isinya dapat dibaca<br />
dan dihapus, digunakan menyimpan variabel. Flash<br />
Program Erasabel Read Only Memory (Flash<br />
PEROM, memori hanya baca dapat dihapus dengan<br />
program) merupakan memori hanya dapat dibaca,<br />
digunakan untuk menyimpan program. Electrical<br />
Erasable Proram Read Only Memory (EEPROM)<br />
yaitu memori nonvolatile, dapat dibaca dan ditulis<br />
(dengan kemampuan terbatas), digunakan<br />
menyimpan konstanta, setting dan lain-lain. Register<br />
adalah tempat untuk menyimpan data sementara.<br />
Accumulator (akumulator) merupakan register<br />
penampung proses aritmatik. Stack Pointer (SP)<br />
adalah register penampung data dengan metode<br />
LIFO (last in first out). Blok terakhir adalah<br />
Input/Output port (I/O port, terminal<br />
masukan/keluaran) yakni register sebagai sarana<br />
komunikasi dengan periferal (peralatan di luar<br />
mikrokontroler).<br />
Gambar 6. Diagram Blok Mikrokontroller AVR ATM8-P<br />
DESAIN DAN METODE<br />
Desain sistem instrumentasi untuk pengukuran<br />
derajat layu pada pengolahan teh hitam terdiri dari<br />
blok sensor massa yang menggunakan load cell tipe<br />
CZL601, blok catu daya (power supply), blok<br />
penguat instrumentasi, blok mikrokontroler dan<br />
D55
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
peraga (display). load cell dirancang untuk<br />
ditempatkan pada mesin palung pelayuan. Load cell<br />
ditempatkan pada rangka mekanis yang dibuat statis<br />
pada salah satu ujungnya, seperti yang ditunjukkan<br />
pada Gambar 7.<br />
Gambar 7. Load Cell dan keranjang pada rangka Statis<br />
Pada ujung yang lain digantungkan sebuah<br />
rangka besi segi empat sebagai keranjang tempat<br />
menyimpan objek yang akan diukur massanya.<br />
Untuk mendapatkan hubungan antara massa dengan<br />
tegangan pada load cell dilakukan proses kalibrasi<br />
menggunakan anak timbangan (timbal). Timbal ini<br />
dibuat di bengkel logam Laboratorium <strong>Fisika</strong> Dasar<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Institut Teknologi Sepuluh<br />
Nopember Surabaya.<br />
Sinyal keluaran dari load cell dihubungkan<br />
dengan rangkaian penguat instrumentasi yang<br />
ditempatkan dalam sebuah casing box bersama<br />
dengan rangkaian catu daya dan mikrokontroler.<br />
Keseluruhan perangkat keras ditempatkan di atas<br />
mesin palung pelayuan seperti ditunjukkan pada<br />
Gambar 8.<br />
bersertifikat yaitu merk sartorius, model/tipe YCW<br />
553-00, nomor seri 15929662, kelas F1 dengan<br />
nominal 500 gram. Massa konvensional anak<br />
timbangan standar adalah 499,9996 gram dengan<br />
ketidakpastian 0,63 gram. Pada waktu dilakukan<br />
kalibrasi, terdokumentasi densitas udara 7390<br />
Kg/m 3 . Timbangan yang digunakan untuk<br />
mengkalibrasi timbal yaitu merk sartorius,<br />
model/tipe CP12001S, nomor seri 161108413,<br />
kapasitas 12,1 kilogram dengan resolusi 0,1 gram.<br />
Metode kerja mengacu ke OIML R111-1 Part-1 &<br />
Part-2 Edition 2004 (E).<br />
Hasil kalibrasi terhadap delapan timbal<br />
ditunjukkan pada tabel 1. Kondisi ruang ketika<br />
diambil pengukuran, suhu 23,2 ± 0,07<br />
0 C,<br />
kelembaban relatif 50,2 %RH, dan tekanan 1009,5<br />
hPa.<br />
Tabel 1. Data hasil kalibrasi timbal<br />
Nilai<br />
(g)<br />
Nomor<br />
Timbal<br />
500 1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
Massa<br />
Konvensional<br />
(g)<br />
499,9982<br />
499,9978<br />
500,0015<br />
499,9995<br />
499,9940<br />
499,9993<br />
499,9983<br />
499,9960<br />
Ketidakpastian<br />
Pengukuran<br />
(g)<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
0,21<br />
Timbal yang telah diketahui massa<br />
konvensionalnya digunakan sebagai data kalibrasi<br />
load cell untuk mendapatkan hubungan karakteristik<br />
antara massa, m, dengan tegangan, V. Variasi massa<br />
diperoleh dengan menambahkan timbal ke dalam<br />
keranjang, Gambar 7, yang menyebabkan perubahan<br />
tegangan yang diukur dengan multitester digital.<br />
Hasil kalibrasi load cell dengan timbal ditunjukkan<br />
pada tabel 2 yang berpadanan dengan grafik<br />
karakteristik yang ditunjukkan pada Gambar 9. Pada<br />
kalibrasi load cell ini dilakukan dengan cara<br />
menambahkan timbal satu per satu sampai dengan<br />
beban total sekitar 4 kilogram timbal yang<br />
selanjutnya respon tegangannya dicatat (pengukuran<br />
naik).<br />
Gambar 8. Perangkat keras akuisisi pada palung pelayuan<br />
HASIL DAN DISKUSI<br />
Sebelum diimplementasikan di industri<br />
pengolahan teh hitam, terlebih dahulu load cell<br />
harus dikalibrasi. Kalibrasi dilakukan dengan nonzero<br />
calibration pada tegangan, di mana tegangan<br />
keluaran tidak menunjukkan nol ketika belum diberi<br />
anak timbangan sebagai pembeban (tanpa<br />
pengaturan ofset nol). Timbal sebagai pembeban<br />
dikalibrasi di Laboratorium Gaya dan Massa Balai<br />
Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya<br />
pada tanggal 7 April 2010. Anak timbangan<br />
No.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
Tabel 2. Kalibrasi Load cell dengan timbal<br />
Massa Timbal<br />
(g)<br />
-<br />
499.9982<br />
999.9960<br />
1,499.9975<br />
1,999.9970<br />
2,499.9910<br />
2,999.9903<br />
3,499.9886<br />
3,999.9846<br />
Tegangan<br />
(V)<br />
0.2033<br />
0.2541<br />
0.3079<br />
0.3607<br />
0.4144<br />
0.4682<br />
0.5219<br />
0.5757<br />
0.6295<br />
Kalibrasi load cell juga dilakukan dengan cara<br />
pengukuran turun. Delapan timbal dengan berat<br />
D56
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sekitar 4 kilogram dimasukkan ke dalam keranjang<br />
pembeban. Timbal diambil satu persatu dan respon<br />
tegangan yang keluar dari load cell dicatat. Hasil<br />
yang diperoleh untuk pengukuran naik dan turun<br />
memberikan respon tegangan yang sama. Grafik<br />
karakteristik untuk pengukuran naik dan turun<br />
seperti pada Gambar 9 di bawah ini:<br />
Gambar 9. Grafik karakteristik kalibrasi load cell<br />
Penempatan timbal dalam keranjang diatur<br />
sedemikian sehinggga load cell tersebar merata<br />
secara merata (setimbang). Dalam karaktererisasi<br />
load cell, telah dilakukan penempatan timbal pada<br />
masing-masing keempat sudutnya. Selanjutnya<br />
dilakukan pengukuran naik dan turun seperti semula<br />
dan respon tegangan diukur. Hasil pengukuran<br />
dengan penempatan timbal berkelompok di masingmasing<br />
sudutnya memberikan respon tegangan yang<br />
sama dengan respon tegangan ketika penempatan<br />
timbal menyebar. Hal ini terjadi karena pembebanan<br />
menekan salah satu ujung load cell pada satu titik.<br />
Dari hasil karakterisasi pada load cell,<br />
diperoleh persamaan karakteristik V = 0.0001m +<br />
0.2014. Persamaan karakteristik ini menyatakan<br />
hubungan antara tegangan dan massa yang<br />
selanjutnya akan digunakan untuk antarmuka pada<br />
LCD. Dari grafik karakteristik Gambar 9 juga<br />
diketahui bahwa load cell telah berunjuk kerja<br />
dengan linieritas tinggi dan error histeresis yang<br />
sangat rendah. Karakteristik load cell ini dapat<br />
digunakan untuk mengukur derajat layu pada<br />
pengolahan teh hitam dengan memanfaatkan<br />
kehilangan kadar air pada daun teh.<br />
Secara keseluruhan sistem instrumentasi,<br />
blok-blok rangkaian elektronis yang terdiri dari blok<br />
sensor, power supply, penguat instrumentasi,<br />
mikrokontroler dan display telah menunjukkan<br />
performa yang baik. Rangkaian catu daya didesain<br />
untuk menghasilkan tegangan +5V, +10 V, -10 V<br />
dan ground. Penguat instrumentasi klasik dengan<br />
menempatkan R1, R2, R3 dan R4 = 10 kΩ, Rg = 1<br />
kΩ, R5 dan R6 = 100 kΩ, mengkonfigurasi besarnya<br />
penguatan sekitar 40 kali. Rangkaian mikrokontroler<br />
yang mengaplikasikan ATMega8 digunakan untuk<br />
mengubah tegangan analog ke digital dan antarmuka<br />
pada LCD dan personal komputer.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil karakteristik dan kalibrasi terhadap<br />
sensor massa, load cell tipe CZL601, dapat<br />
disimpulkan bahwa:<br />
1. Rangka mekanis dari bahan logam dibuat khas<br />
untuk dapat ditempatkan di atas palung<br />
pelayuan, pada mana salah satu ujung load cell<br />
dibuat dibuat statis dan ujung lainnya<br />
digantungkan sebuah keranjang sebagai<br />
pembeban.<br />
2. Delapan anak timbangan (timbel), sebagai<br />
pembeban kalibrator untuk load cell, dengan<br />
berat nominal masing-masing sekitar 500 gram<br />
telah dikalibrasi di Laboratorium Massa dan<br />
Gaya BPFK Depkes Surabaya untuk<br />
mengetahui nilai benarnya di mana kalibrator<br />
timbangan dan anak timbangan bersertifikat<br />
dan tertelusur.<br />
3. Load cell sebagai sensor massa, penguat<br />
instrumentasi, dan perangkat akuisisi bekerja<br />
sebagai sebuah sistem instrumentasi<br />
pengukuran derajat layu pada pengolahan teh<br />
hitam.<br />
4. Load cell dengan desain untuk digunakan<br />
sebagai pengukur derajat layu pengolahan teh<br />
hitam menunjukkan persamaan karakteristik V<br />
= 0.0001m + 0.2014. Unjuk kerja dari load cell<br />
sangat baik yang ditandai oleh linieritas yang<br />
sangat tinggi dan error histeresis yang sangat<br />
rendah.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih kepada Saudara Moch. Adi<br />
Wardhana yang telah membantu dalam menyiapkan<br />
kelengkapan instrumen dan kepada Ibu Betty<br />
Rahayu dan Ibu Rikyan di BPFK Surabaya yang<br />
menyediakan fasilitas kalibrasi<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Fraden, Jacob. 2003. Handbook Of Modern<br />
Sensors: Physics, Designs, and Applications.<br />
AIP Press. San Diego.<br />
J.G. Rocha, C. Couto, J.H. Correia. 2000. Smart<br />
load cells: an industrial application. Sensor<br />
and Actuator, ScienceDirect Journal,<br />
Elsevier.<br />
Jacek Piskorowski, Tomasz Barcinski. 2008.<br />
Dynamic compensation of load cell<br />
response: A time-varying approach.<br />
Mechanical Systems and Signal Processing.<br />
ScienceDirect Journal, Elsevier.<br />
Kurniawan, Dayat. 2009. ATMega 8 dan<br />
Aplikasinya. PT Elex Media Komputindo.<br />
Jakarta.<br />
Santoso, Joko., Suprihatini, Rohayati., Abas<br />
Tadjudin., Rohdiana, Dadan., Shabri. 2008.<br />
Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Pusat<br />
Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung.<br />
Bandung.<br />
D57
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sascha Mäuselein, Oliver Mack, Roman Schwartz.<br />
2009. Investigations into the use of singlecrystalline<br />
silicon as mechanical spring in<br />
load cells. Measurement, ScienceDirect<br />
Journal, Elsevier.<br />
Terrel, David L. 1996. Op-Amps: Design,<br />
Application, and Troubleshooting. Elsevier<br />
Science and Technology. Oxford UK.<br />
Tompkins, W.J., Webster, J.G. 1988. Interfacing<br />
Sensor To The IBM PC. Printice Hall.<br />
Englewood Cliffs USA.<br />
D58
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perbandingan Metode Neural Network Backpropagation dengan Regresi<br />
Non Linier Levenberg-Marquardt pada Analisa Uji Rhodamin<br />
Menggunakan Instrument Kolorimeter Berbasis Kamera.<br />
Joko Catur Condro Cahyono<br />
Jurusan Teknik Elektro FT-Unesa<br />
Kampus Unesa Ketintang Surabaya<br />
Email : caturcondro@gmail.com<br />
ABstrak<br />
Metode untuk menentukan kadar suatu zat telah banyak dikembangkan. Salah satu alat untuk menentukan kadar<br />
suatu zat adalah kolorimeter. Penggunaan metode perbedaan warna pada kolorimeter ini masih belum banyak<br />
berkembang, umumnya instrumen yang dibuat memakai sistem intensitas cahaya. Berdasarkan latar belakang<br />
tersebut, maka dibuat kolorimeter menggunakan kolorimeter menggunakan sensor kamera digital Canon<br />
Powershot A400. Metode untuk mencari persamaan hubungan antara kadar zat dan perubahan warna adalah<br />
Regresi Non Linier Metode Levenberg-Marquardt. Hasil dari pengukuran menggunakan sensor kamera digital<br />
ini dibandingkan dengan alat acuan Spektrometer Lambda EZ 201. Pengujian meliputi uji presisi alat, akurasi<br />
alat, dan uji reproducibility (keterulangan). Hasil penelitian didapatkan hasil bahwa Ketepatan pengukuran<br />
(accuracy) menggunakan metode NN Backpropagation adalah 79.536 % atau selisih 20,464 % dari alat<br />
pembanding Spectrometer Lambda EZ 201 dan metode ini lebih bagus dibandingkan dengan metode Regresi<br />
Non Linier Levenberg-Marquardt yang mempunyai ketepatan pengukuran (accuracy) sebesar 52.158 %.<br />
Ketelitian instrumen kolorimeter menggunakan kamera digital Canon Powershot A400 dengan metode<br />
perhitungan menggunakan metode Neural Network Backpropagation mempunyai ketelitian sebesar ± 8,158 lebih<br />
baik dibandingkan menggunakan metode Regresi Non Linier Levenberg-marquardt yang sebesar ± 32,083.<br />
Metode Neural Network dan Regresi Non Linier Levenberg-Marquardt yang digunakan pada instumen<br />
kolorimeter berbasis sensor kamera Canon Powershot A400 adalah realibel dan dapat digunakan untuk<br />
pengukuran selanjutnya di masyarakat. Pada penelitian selanjutnya diharapkan kamera yang digunakan<br />
menggunakan kamera yang lebih bagus.<br />
Keyword : Kolorimeter, Sensor kamera Canon Powershot A400, Neural Network Backpropagation, Regresi<br />
Non Linier Levenberg-Marquardt<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam ilmu kimia analisis banyak sekali<br />
digunakan penetapan konsentrasi suatu zat. Salah<br />
satu metode yang digunakan adalah perbandingan<br />
warna. Instrumen yang menerapkan metode<br />
perbedaan warna ini disebut kolorimeter. Pembuatan<br />
kolorimeter diharapkan dapat mengatasi kondisi<br />
hasil pengukuran yang memenuhi kriteria ketelitian<br />
(precision), ketepatan (accuracy), dan keterulangan<br />
(reproducibility) yang lebih baik.<br />
TEORI<br />
Light<br />
Source<br />
Optical<br />
Lensa<br />
I0<br />
Medium I<br />
L<br />
Medium II<br />
Gambar Basic Colorymetry<br />
I1<br />
Pada skema kolorimeter diatas cahaya pertama<br />
melalui filter optic yang difokuskan oleh lensa yang<br />
digunakan sebagai lensa untuk zat referensi dan<br />
lensa untuk sample. Dan diterima oleh photodetector<br />
L<br />
I2<br />
Transmitted<br />
Light Intensity<br />
zat acuan. Perbedaan tegangan antara 2 detector<br />
bertambah dengan bertambahnya tegangan dc<br />
amplifier dan diukur lewat computer.<br />
Transmisi cahaya pada Ruang 2 (Intensitas cahaya<br />
yang diterima pada Ruang 2) adalah :<br />
T = ( I 1 / I 0 ) x 100 %<br />
I 1 = T.I 0<br />
Transmisi cahaya pada Ruang 3 (Intensitas cahaya<br />
yang diterima pada Ruang 3) adalah :<br />
T = ( I 2 / I 1 ) x 100 %<br />
I 2 = T.I 1<br />
Sehingga didapatkan<br />
I 2 = T 2 .I 0<br />
Dimana :<br />
I 0 = intensitas cahaya setelah melewati lensa<br />
I 0 = intensitas cahaya setelah melewati permukaan<br />
tabung I<br />
I 0 = Intensitas cahaya setelah melewati permukaan<br />
tabung II<br />
T = transmisi dalam persen<br />
Penyerapan (absorbsi) lensa dapat didefinisikan :<br />
D59
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
I<br />
A = log<br />
I<br />
0<br />
=<br />
1<br />
1<br />
log<br />
T<br />
dimana :<br />
A adalah absorbsi<br />
Dari perumusan diatas didapatkan bahwa jika<br />
panjang gelombang atau konsentrasi bertmbah,maka<br />
transmisi berkurang dan penyerapan bertambah.<br />
Hubungan ini dapat diterangkan dengan hukum<br />
Beer’s<br />
A = αCL<br />
Dimana :<br />
A = absorbsi<br />
L = panjang gelombang dalam wadah tabung<br />
C<br />
α<br />
= konsentrasi dari substansi penyerapan<br />
= absorbsi yang relative terhadap penyerapan<br />
substansi dan panjang gelombang optic (telah<br />
diketahui untuk larutan standard).<br />
sehingga konsentrasi untuk substansi yang tidak<br />
diketahui adalah :<br />
C<br />
μ<br />
=<br />
C<br />
s<br />
A<br />
A<br />
μ<br />
s<br />
Dimana :<br />
C μ = konsentrasi yang belum diketahui<br />
C s = konsentrasi zat standard yang digunakan<br />
sebagai kalibrator<br />
A μ = absorban yang belum diketahui<br />
A s = standard absorbans<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka<br />
dilakukan beberapa langkah pengerjaan antara lain:<br />
mewujudkan instrumen kolorimeter berbasis kamera<br />
Canon Powershot A400, menguji alat, dan<br />
membandingkan hasil uji dengan kriteria<br />
perbandingan yaitu ketelitan (precision), ketepatan<br />
(accuracy), dan keterulangan (reproducity) kedua<br />
alat tersebut dengan alat acuan spektrophotometer<br />
Spectrometer Lambda EZ 201.<br />
Mewujudkan instrumen kolorimeter berbasis<br />
sensor kamera Canon Powershot A400<br />
Light Source<br />
Medium I<br />
Medium II<br />
dengan konsentrasi zat (x 2 ) yang berbeda. Image<br />
tersebut ditentukan juga nilai RGBnya. Pengulangan<br />
dilakukan untuk beberapa macam konsentrasi yang<br />
berbeda-beda. Nilai rata-rata RGB image ukuran 320<br />
x 240 pixel dengan n konsentrasi menghasilkan<br />
persamaan regresi sbb :<br />
⎡ x ⎤<br />
⎡ x ⎤<br />
⎡ x ⎤<br />
y =<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
+<br />
⎢⎣<br />
x ⎥<br />
3 ⎦<br />
⎢⎣<br />
x ⎥<br />
3 ⎦<br />
⎢⎣<br />
x ⎥<br />
3 ⎦<br />
1<br />
1<br />
1<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥<br />
1 2 3 2 1 2 3 2 1 2 3 2 1 2<br />
c3<br />
[ m m m ] x + [ m m m ] x + [ m m m ] x [ c c ][ 1]<br />
Bahan Penelitian<br />
Bahan penelitian yang digunakan adalah zat<br />
pewarna : Rhodamin. Pewarna ini digunakan karena<br />
perwarna jenis ini sering digunakan untuk pewarna<br />
makanan. Sebenarnya pewarna Rhodamin digunakan<br />
untuk pewarna pakaian.<br />
Menguji Alat<br />
Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk<br />
mendapatkan instrumen yang memenuhi kriteria<br />
ketelitian, ketepatan dan keterulangan yang lebih<br />
baik.<br />
Membandingkan hasil uji kedua alat tersebut<br />
dengan Spektrophotometer (Spectrometer<br />
Lambda EZ 201).<br />
Untuk menguji instrumen kolorimeter berbasis<br />
kamera Canon Powershot A400 dengan kriteria<br />
ketelitian (precision), ketepatan (accuracy), dan<br />
keterulangan (reproducity), maka pengujian zat<br />
sample juga dilakukan dengan alat pembanding lain<br />
yaitu spectrophotometer. Jenis spectrophotometer<br />
yang digunakan adalah spectrophotometer<br />
Spectrometer Lambda EZ 201.<br />
HASIL DAN DISKUSI<br />
Uji ketepatan (accuracy)<br />
Uji ketepatan pengukuran dilakukan untuk<br />
menentukan berapa besar rata-rata ketepatan<br />
pengukuran menggunakan alat kolorimeter berbasis<br />
kamera Canon Powershot A400. Untuk<br />
mendapatkan nilai bobot pada rumus Neural<br />
Network Backpropagation maka diberikan pelatihan<br />
untuk kadar Rhodamin sebesar 2,5; 5,0 dan 7,5 ppm.<br />
Tabel Hasil perhitungan uji ketepatan<br />
PC<br />
Permukaan Putih<br />
Tabung Reaksi<br />
Kamera<br />
Gambar Blok Diagram Kolorimeter menggunakan sensor kamera<br />
Kamera digital menangkap image tabung yang berisi<br />
bahan kimia. Image ini ditangkap dalam ukuran 320<br />
x 240 pixels. Image yang ditangkap diberikan<br />
identitas konsentrasi sebesar x 1 pada komputer. Tiap<br />
pixel image ditentukan nilai RGBnya. Kemudian<br />
kamera menangkap image untuk tabung yang kedua<br />
Kolom pembanding menunjukkan bahwa zat<br />
Rhodamin diukur menggunakan alat pembanding.<br />
NN BP menunjukkan zat diukur menggunakan<br />
kolorimeter sensor kamera dengan metode<br />
perhitungan Neural Network Backpropagation. RNL<br />
D60
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
LM menunjukkan zat Rhodamin diukur<br />
menggunakan kolorimeter sensor kamera dengan<br />
metode perhitungan Regresi Non Linier Levenbergmarquardt.<br />
Rata-rata ketepatan pengukuran<br />
(accuracy) menggunakan metode NN<br />
Backpropagation adalah 79.536 %. Rata-rata<br />
ketepatan pengukuran (accuracy) menggunakan<br />
metode Regresi Non Linier Levenberg-Marquardt<br />
adalah 52.158 %<br />
Uji ketelitian (precission)<br />
Uji ini dilakukan untuk mengetahui ketelitian alat.<br />
Hasil uji terlihat dibawah ini<br />
Tabel Hasil perhitungan uji ketelitian<br />
Uji ketelitian ini ditujukan untuk mengetahui<br />
error pengukuran pada tiap pengambilan data.<br />
Ketelitian alat Kolorimeter menggunakan sensor<br />
kamera Canon Powershot A400 dengan metode<br />
Neural Network mempunyai ketelitian ± 8,158.<br />
Sedangkan ketelitian alat menggunakan metode<br />
Regresi Non Linier adalah ± 32,083<br />
Uji keterulangan (reproducibility)<br />
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada<br />
perbedaan hasil jika alat digunakan untuk mengukur<br />
secara berulang-ulang. Hasil uji ini adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Tabel Uji keterulangan pada instrumen kolorimeter sensor kamera<br />
dengan metode NN Backpropagation<br />
Tabel Uji keterulangan pada Instrumen kelorimeter sensor<br />
kamera dengan metode Regresi Non Linier Levenberg Marquardt<br />
SIMPULAN<br />
Ketepatan pengukuran (accuracy) menggunakan<br />
metode NN Backpropagation adalah 79.536 % atau<br />
selisih 20,464 % dari alat pembanding Spectrometer<br />
Lambda EZ 201 dan metode ini lebih bagus<br />
dibandingkan dengan metode Regresi Non Linier<br />
Levenberg-Marquardt yang mempunyai ketepatan<br />
pengukuran (accuracy) sebesar 52.158 %.<br />
Ketelitian instrumen kolorimeter menggunakan<br />
kamera digital Canon Powershot A400 dengan<br />
metode perhitungan menggunakan metode Neural<br />
Network Backpropagation mempunyai ketelitian<br />
sebesar ± 8,158 lebih baik dibandingkan<br />
menggunakan metode Regresi Non Linier<br />
Levenberg-marquardt yang sebesar ± 32,083.<br />
Metode Neural Network dan Regresi Non Linier<br />
Levenberg-Marquardt yang digunakan pada<br />
instumen kolorimeter berbasis sensor kamera Canon<br />
Powershot A400 adalah realibel dan dapat<br />
digunakan untuk pengukuran selanjutnya di<br />
masyarakat.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terimakasih disampaikan kepada, Prof. Dr.<br />
Siswandono., Apt. Prof. Dr. Mauridhi Hery P., atas<br />
peran bimingannya dalam penelitian ini.<br />
DAFTAR ACUAN<br />
Xu, Bugao., Lin, Sheng., (2002), Automatic Color<br />
Identification in Printed Fabric Images By A<br />
Fuzzy-Neural Network, AATCC Review.<br />
Susuki, Yasutada., Kawakubo, Susumu., Aruga,<br />
Terutomi., Kuwahara, Hiroyuki., Kitamura,<br />
Miki., Kuwabara, Tetsuo., Iwatsuki,<br />
Masaaki., (2004), ‘A Simple and Portable<br />
Colorimeter Using a Red-Green-Blue Light-<br />
Emitting Diode and Its Application to the On-<br />
Site Determination of Nitrite and Iron in<br />
River-water’, Analytical Sciences, Vol 20.<br />
The Japan Society for Analytical Chemistry.<br />
Tharom, Tabratas; Purbo, Ono W., (2000),<br />
Pengolahan citra pada mobil robot. Penerbit<br />
ITB Bandung.<br />
Kusumadewi, Sri., (2003), Artificial Intelligence,<br />
Graha Ilmu,<br />
Carr, Joseph J.; Brown, John M., (2001),<br />
Introduction To Biomedical Equipment<br />
Technology, 4th ed, Prentice Hall, New<br />
York, 432-434.<br />
Uji ini dilakukan dengan prosedur pengulangan<br />
pengukuran dalam selang waktu tertentu. Dari uji<br />
yang dilakukan ternyata alat menunjukkan kesalahan<br />
pengukuran yang masih dalam range ketelitan<br />
pengukuran, sehingga alat kolorimeter ini dikatakan<br />
realibel atau dapat digunakan untuk pengukuran<br />
selanjutnya di masyarakat.<br />
D61
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
An Autonomous Wireless Modul for<br />
Early Warning System of Forest-Fire Based on NTC Sensor<br />
Lazuardi Umar 1 , Erwin 2<br />
1,2 Physics Dept, FMIPA University of Riau<br />
Jl. Prof. Dr. Muchtar Lutfi Kampus Bina Widya Pekanbaru 28293<br />
Email: lazuardi@unri.ac.id<br />
Abstract<br />
We have developed a sensor for fire detection in the forest (fire-sensor), which will be applied in rain forest of<br />
Sumatra. A prototype of the forest-fire sensor consisted of transmitter and receiver module of STM110 EnOcean<br />
Firma of 433MHz ISM Band has been constructed. The fire-sensor module detects the presence of fire in the<br />
vicinity using a temperature sensor of the NTC (negative temperature coefficient). The NTC sensor is thermally<br />
sensitive resistors (resistance decrease with increasing temperature and made of metal oxides and coated with<br />
epoxy or glass with resistance of 470K Ω. The thermistor is mounted on the exterior of the prototype (casing)<br />
and its switch-temperature is adjusted between 50°C and 90°C. A rapid rise in the temperature above the setting<br />
point indicates the presence of a nearby fire changes the sensor resistance rapidly and therefore, the sensor would<br />
send a telegram to the central station (receiver module).<br />
Keywords: forest-fire sensor, transmitter and receiver module, NTC-Sensor, telegram<br />
1. INTRODUCTION<br />
One of the main problems in combating<br />
wildland fires is monitoring the time history of the<br />
fire (Chandler 1983). Understanding the size,<br />
location and speed of advance of the fire front is<br />
critical to optimal allocation of fire fighting<br />
resources and maintaining safety of the fire crew.<br />
Investigation of major wildland fire accidents<br />
involving loss of life often indicates that the crews<br />
became imperiled because of insufficient or<br />
untimely information about the location and speed of<br />
advance of the fire (Rothermel 1993).<br />
In the dry season fires often occur in the region,<br />
especially Sumatra Riau Province where the<br />
majority of the land area consists of swamp peat<br />
moss. Land peat swamp forests, has economic value<br />
to the community in the surrounding forest provides<br />
results such as wood, resin, rattan and wood<br />
products, and act also as water resources, control<br />
floods, store a variety of unique biodiversity and the<br />
diversity of functions as the world's carbon absorber.<br />
Data and new research shows that 60% of the smoke<br />
pollution in Indonesia, including carbon emissions,<br />
originating from fires in the peat swamp forest lands<br />
that cover only 10-14% of mainland Indonesia.<br />
Therefore a system is needed to be able to detect<br />
forest fires in the surrounding area so that preventive<br />
action can be done immediately.<br />
Much effort has been expended in modeling the<br />
movement of fires in wildland settings (Andrews<br />
1986, Finney 1994) but these models are only as<br />
good as the detailed weather, terrain and fuel load<br />
information. Lacking precise information of the fire<br />
site, these complex fire models can predict fire<br />
behavior for short time periods, but then must be<br />
'tuned' with actual data to obtain long-term accuracy.<br />
These fire models are similar to modern weather<br />
simulations that are similarly adjusted periodically<br />
with weather data to provide long-term modeling.<br />
The use of satellites to obtain fire data for<br />
model tuning is possible, but there are complications<br />
imposed by limited satellite spatial resolution,<br />
complicated ground link equipment and short<br />
satellite loiter time over the target area. Real time<br />
data can be obtained using unmanned or remotely<br />
controlled unmanned flying vehicles (UFVs) flying<br />
over the fire site. This solution is both complex and<br />
difficult to support in the field and would require<br />
additional worker training to operate and maintain<br />
the UFV. A small number of modul that are located<br />
in the forest could provide this data at low cost and<br />
with little additional effort in training or support.<br />
We present both an advanced and a simple wireless<br />
modul concept and show the initial design of a<br />
prototype.<br />
Wireless sensor have been widely used from the<br />
field of defense and security, survey, health, even in<br />
the smart home. In the application in the field<br />
survey, a large number of sensors installed in the<br />
area to be monitored. Scenarios through detection of<br />
forest fire, a fire point detected by one or more<br />
sensors, an alarm is generated will be sent to the<br />
control center that will collect all the messages so<br />
that the alarm that appropriate action can be done.<br />
At this paper, an early warning system for fire<br />
detection with NTC termistor sensor is presented.<br />
The modul observed changes in environmental<br />
temperature above a certain temperature threshold<br />
and the reported data to a monitoring station for<br />
D62
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
analysis so that the status of the sensor that can be<br />
reported.<br />
In compare to the use of satellites and<br />
unmanned aircraft, the modul price is relatively<br />
cheap and can report the conditions around the<br />
sensor in real time. Because of topographical and<br />
geographical of the observed rain forests, the system<br />
will allow this data to transmitt using radio signal<br />
and the use of solar cells as a source of energy so<br />
that the sensor system is a standalone system<br />
(autonomous) that does not require maintenance and<br />
can work to monitor the fire in the vicinity.<br />
2. CONCEPT OF FOREST-FIRE DETECTION<br />
2.1. Forest-Fire Scenario<br />
In practice, the sensor modul would be dropped<br />
from a spotter plane or placed manually by fire<br />
crews over an area where a fire had previously been<br />
detected. The mechanical package of the modul can<br />
be designed to be canopy penetrating (to descend to<br />
the forest floor) or canopy snagging (hangs in the<br />
upper branches of the canopy). The devices would<br />
periodically report their position and fire status to a<br />
central receiver.<br />
After they are deposited in the fire area, modul<br />
detector will locate them selves and report their<br />
position and fire alarm status. Communication will<br />
be provided by a low power radio transceiver which<br />
allows modul to-base unit communication. A<br />
diagram of the communication links among the<br />
various units is shown in Figure 1. Periodically, the<br />
modul will report their status to a central control<br />
unit. On detection of a fire, the reporting modul will<br />
transmit an alarm to the central transceiver. Crews<br />
in the area can be alerted either directly from the<br />
reporting modul, or through alarm messages that are<br />
relayed from the control station. In the future of our<br />
research, the control transceiver can have the<br />
capability of overlaying geographical information<br />
system (GIS) maps with the location and alarm state<br />
of the modul, and presenting this data to the incident<br />
commander or other personnel at the fire site.<br />
There are many simpler operational modes of<br />
the forest-fire modul detector system, one of which<br />
is depicted in Figure 1. In this mode, the sensor<br />
operate independently of each other, and transmit<br />
alarm message consist of ID number of the modul,<br />
its position, and the alarm state of the device. This<br />
mode of operation is most suitable when a few (~10)<br />
moduls are used on geographically small fires.<br />
Several fire sensors may be used in an<br />
autonomous modul, such as be smoke detectors<br />
(photoelectric or ionization), gas detectors<br />
(combustion precursor gases, carbon monoxide,<br />
etc.), thermal (temperature), passive microwave or<br />
optical radiation detectors. The modul circuit<br />
internally measures the strength of signals from the<br />
sensors and makes decisions as to the whether or not<br />
to issue an alarm. The use of more than one<br />
inexpensive detector can reduce the probability of<br />
false alarms greatly while not increasing the cost<br />
significantly. In this research, the modul has an<br />
internal program that observe and report sensor input<br />
periodically and to 'sleep' in the interim to conserve<br />
battery energy.<br />
Fire sensor<br />
Fire sensor<br />
Fire sensor<br />
Fire sensor<br />
Radio Link<br />
Figure 1. Simple operation of an autonomous forest fire detector<br />
for early warning system<br />
2.2. NTC Thermistor Sensor<br />
A thermistor is a piece of semiconductor made<br />
from metal oxides, pressed into a small bead, disk,<br />
wafer, or other shape, sintered at high temperatures,<br />
and finally coated with epoxy or glass. The resulting<br />
device exhibits an electrical resistance that varies<br />
with temperature. There are two types of thermistors<br />
– negative temperature coefficient (NTC)<br />
thermistors, whose resistance decreases with<br />
increasing temperature, and positive temperature<br />
coefficient (PTC) thermistors, whose resistance<br />
increases with increasing temperature. NTC<br />
thermistors are much more commonly used than<br />
PTC thermistors, especially for temperature<br />
measurement applications [Portland, 2003].<br />
A current flowing through a thermistor may<br />
cause sufficient heating to raise the thermistor's<br />
temperature above the ambient. As the effects of<br />
self-heating are not always negligible (or may even<br />
be intended), a distinction has to be made between<br />
the characteristics of an electrically loaded<br />
thermistor and those of an unloaded thermistor. The<br />
properties of an unloaded thermistor are also termed<br />
"zero-power characteristics". The dependence of the<br />
resistance on temperature can be approximated by<br />
the following equation:<br />
⎛ ⎛ ⎞<br />
⎜<br />
1 1 ⎞<br />
R = R ⋅<br />
⎟<br />
⋅<br />
⎜ −<br />
⎟<br />
0<br />
exp β (1)<br />
⎝ ⎝ T T0<br />
⎠⎠<br />
Where R 0 is NTC resistance in Ω at rated<br />
temperature T in K, T Temperature in K and β<br />
value, material-specific constant of the NTC<br />
thermistor. A main advantage of thermistors for<br />
Base Unit<br />
D63
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
temperature measurement is their extremely high<br />
sensitivity. Higher resistance thermistors can exhibit<br />
temperature coefficients in comparison to the<br />
platinum RTD. The physically small size of the<br />
thermistor bead also yields a very fast response to<br />
temperature changes.<br />
The resistance-temperature behavior of<br />
thermistors is highly dependent upon the<br />
manufacturing process. Therefore, thermistor<br />
manufacturers have not standardized thermistor<br />
curves to the extent that thermocouple or RTD<br />
curves have been standardized. Typically, thermistor<br />
manufacturers supply the resistance-versus<br />
temperature curves or tables for their particular<br />
devices. The thermistor curve, however, can be<br />
approximated relatively accurately with the<br />
Steinhart-Hart equation:<br />
T<br />
( K )<br />
1<br />
= (2)<br />
a<br />
( R ) + a [ ( )] 3<br />
0<br />
+ a1<br />
ln<br />
T 2<br />
ln R T<br />
Where T(°K) is the temperature in degrees<br />
Kelvin, equal to T(°C) + 273.15, and RT is the<br />
resistance of the thermistor. The coefficients a0, a1,<br />
and a2 can be provided by the thermistor<br />
manufacturer, or calculated from the resistanceversus-temperature<br />
curve.<br />
2.3. Wireless Data Transmission<br />
The sensor modul will be installed mainly in<br />
endemic areas of the regional fire monitoring. In<br />
order to supply energy during operation, the module<br />
has been equipped with mini solar cell that can<br />
supply the energy needs for the operation of the<br />
sensor. Due to distance between measurement and<br />
display, the system use an installation that allows to<br />
transmit data measurements. This situation is<br />
achievable if the forest fire monitoring station<br />
located at the spot in the fores [Jones et al, 1973]. In<br />
this research, we have used a wireless modul work<br />
at the frequency of radio waves in the ISM 315-<br />
916MHz.<br />
3. PROTOTYPE DESIGN<br />
3.1. Transmitter-Receiver Modul<br />
In this research, we have constructed a<br />
prototype an autonomous forest-fire sensor consist<br />
of transmitter and receiver station, were obtained<br />
from the Enocean Firma. Any design must be<br />
sensitive to the multiple design constraints of low<br />
cost, ruggedness, low power consumption and<br />
transmitting range. The prototype is a transmit-only<br />
device and uses a simple messaging system to report<br />
the unit ID number and alarm. The units use ISM<br />
Band 868.3 MHz with 10 mW transmission power to<br />
transmit digital information at 9600 bits per second.<br />
The entire transmission lasts under a second,<br />
conserving battery power. A radio receiverdemodulator<br />
attached via a serial link to a laptop<br />
computer receives the data stream and displays the<br />
messages. A photograph of the circuit boards of<br />
transmitter Enocean STM110 and receiver RCM120<br />
are shown in Figure 2.<br />
Figure 2a Modul of Enocean Fa with mini solar cell<br />
Figure 2b. Receiver modul of Enocean<br />
The transmitter modul consist of three 8-bit A/D<br />
converter inputs and 4 digital inputs facilitate<br />
multifunctional detector systems, based on passive<br />
sensing components. This allows easy and<br />
convenient monitoring of temperature, illumination,<br />
or controlling window and door states – or<br />
supervising input voltages or input currents<br />
respectively. The STM 110 module serves the 868<br />
MHz air interface protocol of EnOcean.<br />
3.2. Sensor Circuit<br />
In this section, NTC temperature sensor is<br />
positioned in a negative feedback of IC1 so that<br />
changes due to increasing of NTC temperature will<br />
affect the feedback IC1 and amplication factors. The<br />
input difference is determined through voltage<br />
divider R1 and R2 and R3 provided by the reference<br />
voltage obtained from the transmitter module. While<br />
energy for operation of the module is limited, the<br />
using signal processing components special types of<br />
SMD which requires 1-10mA current to the series of<br />
transmission is a critical factor for the circuit.<br />
D64
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 3. Circuit for forest fire detection<br />
On this module, there was a NTC sensor placed<br />
outside. The Sensor will be active on the threshold<br />
temperature. It was set at a temperature of<br />
approximately 95 o C, see Figure 4. A rapid<br />
temperature change above the setting temperature<br />
indicates a fire in the vicinity and it will promptly<br />
change the sensor resistivity so that the sensor<br />
module will send a telegram to the main station.<br />
Figure 5b. Receiver sensor module equipped with serial data<br />
to computer.<br />
Due to the rapid change in temperature around the<br />
module because of fire, module transmitter sent the<br />
data to the receiver and data was then processed to<br />
display. On this research, a Delphi based software<br />
has been developed to demonstrate ("fire") or (“no<br />
fire") sign as shown in the Figure 6, below.<br />
Figure 4. Setting temperature of NTC sensor<br />
4. RESULTS AND DISCUSSION<br />
After detector circuit was fabricated using NTC<br />
thermistor sensor, and transmitter circuit using<br />
EnOcean STM module 110xx module and receiver<br />
RCM110 module, the system were tested using<br />
artificial fire. Both modules are shown in the Figure<br />
5 below. The results from this experiment are<br />
expected to be the information obtained from a<br />
series of recipient and displayed on the screen in the<br />
condition on fire or not.<br />
Figure 5a. Autonomous sensor module packed in fire-resistant<br />
plastic box transmitter<br />
Figure 5a show autonomous sensor module packed<br />
in fire-resistant plastic box (a) transmitter and (b)<br />
receiver equipped with serial data to PC.<br />
Figure 6. Simple display show the sensor status in operationi<br />
After the experiment, it is found that the threshold<br />
temperature sensor was relatively high so that it took<br />
a long time until the fire detected. Overall, the<br />
sensor worked properly. Therefore, for the next<br />
research, the temperature threshold has to be lower<br />
than 90˚ C. However, the detector system that has<br />
been developed still has limited power. It is scattered<br />
in the 300m free space, so that there is still a<br />
challenge for further development the sensor using<br />
network system to overcome the signal coverage<br />
limitations and any difficulties due to the forest<br />
topography being monitored.<br />
On the realization, the transmitter module will be<br />
placed in the endemic fire areas. It is probably burnt<br />
out by fire itself. In this research, the transmitter<br />
module was placed in a particular hard plastic<br />
waterproof by considering the humidity factor of<br />
tropical forest that may disrupt the system of<br />
electronic transmitter. For transmitter module can<br />
still send out the telegram signal before burnt out,<br />
the series of the electronic transmitter was coated<br />
with epoxy glue and the overall coated with fireresistant<br />
gypsum. Therefore, modules and receiver<br />
series were expected to be as small as possible, so<br />
that the cost of the fire monitoring can be<br />
minimized. Level of installation is needed to be<br />
D65
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
considered in fire endemic area. Figure 7 shows<br />
module installation at a tree limb.<br />
In this research, module was attached by using<br />
special glue, by considering the suitable location of<br />
NTC to be placed to detect temperature changes.<br />
NTC sensors were remaining below, while the solar<br />
cells as energy support system facing outward to<br />
absorb energy.<br />
Figure 7. Sensor mounting above the trees<br />
However, wild animals and humans need to be<br />
considered for the security reason. This kind of<br />
interference would be critical to avoid any<br />
disturbance if a fire occurs in the base of forest.<br />
From the whole experiment, the system was working<br />
well but still need to consider the limited distance<br />
dispersed from the module to module. It can be<br />
solved using networking system. These sensors are<br />
placed in a matrix and each sensor will communicate<br />
each other to report the position of fire. It was<br />
already found out that the trigger temperature of 95 °<br />
C were too high. The sensor has been damaged<br />
before the data sent. So, it is need to study the<br />
appropriate temperature threshold to send data fire.<br />
4. SUMMARY<br />
From this preliminary research, a series of<br />
simple prototype has successfully developed to<br />
detect forest fire. Thermistor NTC has been used as<br />
temperature sensor to detect temperature changes in<br />
the surrounding air. There are several things need to<br />
be considered for the development of future<br />
research. First, it is related to the capability of<br />
transmission modules in the sense of coverage. It<br />
can be solved by using networking system where the<br />
sensor is arranged in the form of a matrix. It can also<br />
communicate each other to report the fire position<br />
(which sensor is active). Second, it is related to<br />
harmful things happen due to natural condition, such<br />
as as rainfall, humidity and the security of wild<br />
animals or humans. It can be solved by utilizing high<br />
resistant apparatus to such natural condition. Simple<br />
system as a whole has been able to detect a fire and<br />
is expected to be developed further.<br />
REFERENCES<br />
1. Andrews PL (1986) BEHAVE: fire behavior<br />
prediction and fuel modeling system - BURN,<br />
subsystem, Part I. United States Department of<br />
Agriculture, Forest Service, Intermountain<br />
Research Station General Technical Report,<br />
INT-194, Ogden, Utah. 130 pages.<br />
2. Andrews PL, Bevins CD (1998) Update and<br />
expansion of the BEHAVE fire behavior<br />
prediction system. 3rd International Conference<br />
on Forest Fire Research; 14th Conference on<br />
Fire and Forest Meterology, 21 - 22 November<br />
1998, Luco-Coimbra, Portugal, Vol. I, pp. 733-<br />
740.<br />
3. Chandler C, Cheney P, Thomas P, Traubaud L,<br />
Williams D (1983) Fire in forestry, Vol. II,<br />
(John Wiley and Sons: New York, USA)<br />
4. Finney MA (1994) FARSITE: a fire area<br />
simulator for fire managers. The Biswell<br />
Symposium, February 15-17, 1994. Walnut<br />
Creek, California.<br />
5. Portland State Aerospace, Negative<br />
Temperature Coefficient for Temperature<br />
Measurement, Internal Report, 2003<br />
6. Rothermel RC (1993) Mann gulch fire: a race<br />
that couldn't be won. United States Department<br />
of Agriculture, Forest Service, Intermountain.<br />
Research Station General Technical Report,<br />
INT-299, 346, Ogden, Utah<br />
7. R.V. Jones and J.C.S. Richards. 1973. The<br />
design and some applications of sensitive<br />
capacitance micrometers. J. Phys. E: Sci..<br />
Instrument 6, 589-600<br />
D66
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Koordinasi Pengaman Arus Lebih Berbasis Relai MIF II<br />
pada Jaringan Listrik sebagai Proteksi Transformator<br />
pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB Paiton<br />
Mochamad Arief Iskandar 1 , Teguh Yuliatmoko 2 , Frida U. Ermawati 3<br />
1 , 3 Jurs. <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />
2 PT. PJB UP Paiton<br />
Email: arifiscandar@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini memaparkan tentang upaya awal penerapan sistem koordinasi antar relai sebagai protektor trafo<br />
pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB UP Paiton. Upaya awal tersebut berupa penentuan time dial dari<br />
salah satu relai yaitu relai overcurrent MIF II. Time dial dari relai tersebut diuji dengan menggunakan Data<br />
Relay and Tracking System (DRTS) 6 yang mampu memberikan arus masukan yang bisa diatur sebagai arus<br />
gangguan pada relai, dan merekam respon relai terhadap gangguan tersebut. Dari data yang terekam tersebut<br />
maka bisa diketahui dan diatur berapa waktu (time operation) relai dalam merespon gangguan sesuai yang<br />
diinginkan user. Dari hasil pengujian awal (individual test) yang telah dilakukan tampak bahwa relai MIF II<br />
mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan berdasarkan standar kurva IEC/BS142 (kurva inverse) yang<br />
merupakan acuan kinerja relai overcurrent. Kemudian untuk mencapai tingkat proteksi terbaik, sebagai tindak<br />
lanjut dari kerja ini, maka sistem proteksi MIF II tersebut nantinya akan dikoordinasikan dengan relai di atasnya<br />
yaitu relai Basler tipe BE 51 yang berada pada jalur bus 10 kV agar trafo pada SU Unit 2 di PT PJB UP Paiton<br />
tersebut terproteksi lebih optimal.<br />
Kata kunci: Sistem koordinasi, sistem proteksi, time dial, relai overcurrent MIF II, relai time overcurrent Basler<br />
BE 51<br />
PENDAHULUAN<br />
Sejak Tahun 2008 sampai sekarang kondisi<br />
kelistrikan di koneksi Jawa-Bali mengalami krisis, di<br />
mana kapasitas beban melebihi kapasitas listrik yang<br />
dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan<br />
pemadaman listrik secara bergilir untuk mengatasi<br />
sementara permasalahan tersebut. Namun hal<br />
tersebut berdampak buruk bagi kalangan industri di<br />
kawasan Jawa Bali. Akhirnya, pada Tahun 2009<br />
pemerintah, melalui PLN, mencanangkan mega<br />
proyek pembangunan pembangkit baru berkapasitas<br />
10.000 MW yang tersebar di beberapa lokasi, di<br />
antaranya di Paiton, Suralaya, Cirata dan Gresik.<br />
Namun demikian, keberhasilan PLN untuk<br />
memenuhi kebutuhan listrik harus tetap didukung<br />
oleh unit-unit pembangkit yang telah beroperasi<br />
terlebih dahulu. PT Pembangkitan Jawa Bali Unit<br />
Pembangkitan Paiton (PJB UP Paiton) sebagai salah<br />
satu anak perusahaan PLN berkewajiban<br />
memberikan pelayanan yang terbaik kepada<br />
masyarakat yang berada pada area pelayanan<br />
Koneksi Jawa-Bali dengan memproduksi listrik dan<br />
menjaga keandalan serta kualitasnya.<br />
Dalam rangka memenuhi standar pelayanan<br />
yang bermutu tersebut, maka PJB selaku produsen<br />
listrik bertanggung jawab menjaga agar tidak terjadi<br />
gangguan pada koneksi Jawa-Bali. Gangguan<br />
tersebut bisa berupa gangguan tegangan, arus<br />
maupun beban. Untuk mengantisipasi gangguangangguan<br />
yang mungkin terjadi tersebut, semua<br />
komponen vital seperti turbin, generator dan main<br />
transformator maupun komponen pendukung yang<br />
terlibat dalam proses produksi listrik harus<br />
mendapatkan proteksi yang memadai agar terhindar<br />
dari kerusakan fatal apabila terjadi gangguan listrik.<br />
Selain itu ada juga beberapa komponen pendukung<br />
yang sangat penting yakni transformator pada Ship<br />
Unloader (SU) pada unit coal handling di PT PJB<br />
UP Paiton. Gangguan yang sering terjadi pada<br />
transformator adalah adanya arus berlebih (over<br />
current) akibat adanya gangguan internal (short<br />
circuit, penurunan isolasi) maupun eksternal (petir,<br />
beban berlebih).<br />
Over current dapat menyebabkan kerusakan<br />
pada transformator yang tidak terproteksi.<br />
Mengingat harga trafo yang cukup mahal dan efek<br />
negatif yang ditimbulkan akibat kerusakan trafo<br />
pada pola produksi di PT PJB cukup besar, maka<br />
pada trafo perlu diterapkan sistem proteksi yang<br />
memadai dan berfungsi efektif terutama saat terjadi<br />
gangguan sewaktu-waktu. Sistem proteksi itu sendiri<br />
menurut Hanif Guntoro (http://dunialistrik.blogspot.com/2008/11/dasar-dasar-sistemproteksi.html)<br />
[1] merupakan koordinasi antara<br />
Circuit Breaker (CB) dan relai dalam mengamati<br />
dan memutuskan gangguan. Jadi, peranan relai<br />
sebagai kontrol koordinasi kerja CB atau sakelar<br />
pemutus sangat diperlukan dalam ruang lingkup<br />
proteksi ini.<br />
Apabila pada suatu rangkaian terdiri dari<br />
beberapa relai, maka diperlukan lagi sistem<br />
komunikasi yang tepat antar relai agar relai-relai<br />
D67
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
tersebut bekerja sesuai dengan fungsi yang<br />
diharapkan oleh user. Koordinasi beberapa relai<br />
dengan beberapa CB memerlukan sistem<br />
komunikasi yang tepat dan efektif, sehingga sistem<br />
proteksi yang ada mampu melokalisir semua<br />
gangguan, namun pada saat yang bersamaan tidak<br />
mengganggu aktivitas jaringan yang lain.<br />
Sistem proteksi transformator pada SU Unit 1<br />
dan 2 di PT PJB Paiton selama ini menggunakan<br />
koordinasi relai berbasis Lodtrak yang biasa<br />
digunakan untuk proteksi pada motor. Proteksi<br />
menggunakan Lodtrak memiliki tingkat keakuratan<br />
yang belum optimal, terbukti dengan terbakarnya<br />
transformator pada SU Unit 2 PT PJB akibat adanya<br />
short circuit. Ini menunjukkan bahwa proteksi tidak<br />
berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Oleh<br />
karena itu, untuk mendekati kondisi sistem proteksi<br />
yang ideal, maka perlu diadakan pengkajian tentang<br />
koordinasi arus lebih berbasis Relai MIF II pada<br />
jaringan listrik sebagai proteksi transformator pada<br />
ship unloader (SU) Unit 2di PT PJB Paiton.<br />
Maka melalui penelitian ini penulis bermaksud<br />
memberikan sumbangan pemikiran untuk<br />
menentukan setting point yang tepat untuk<br />
mengkoordinasikan relai-relai yang berbasiskan<br />
MIF II guna memproteksi transformator pada SU<br />
Unit 2 PT PJB, sekaligus memberikan sumbangan<br />
tenaga dalam pengujian setting point yang telah<br />
ditentukan tersebut. Pada makalah ini penulis hanya<br />
membahas tentang penentuan setting point untuk<br />
time dial pada salah satu relai saja, yang merupakan<br />
bekal awal untuk bisa mengoordinasikan relai-relai<br />
yang lain, sekaligus menunjukkan keunggulan relai<br />
MIF II. Jadi pembahasan dalam makalah ini terbatas<br />
pada proteksi arus lebih pada transformator ship<br />
unloader dengan menggunakan relai MIF II di PT<br />
Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Paiton.<br />
KAJIAN PUSTAKA<br />
1. Transformator<br />
Transformator merupakan alat penaik atau<br />
penurun tegangan bolak-balik tanpa mengubah jenis<br />
tegangan. Transformator (trafo) memiliki komponen<br />
utama berupa inti (core) besi dan lilitan (winding)<br />
berlapis isolator. Cara kerja transformator<br />
memanfaatkan prinsip induksi elektromagnetik yang<br />
terjadi pada lilitan yang disisipi inti besi. Untuk<br />
lebih jelasnya, bisa diamati pada Gambar 1 dan 2<br />
berikut ini.<br />
Gambar 1. a) Transformator pada umumnya. b) Skema dalam<br />
sebuah transformator yang terdiri dari lilitan primer, lilitan<br />
sekunder dan inti besi. Penjelasan lebih lengkap tentang cara kerja<br />
trafo diberikan pada teks di bawah. (wikipedia.com/free<br />
encyclopedia/transformator) [2<br />
Lilitan primer pada Gambar 1b ketika dialiri<br />
arus bolak-balik (AC) akan menghasilkan medan<br />
magnet induksi sehingga timbul fluks magnetik pada<br />
sisi primer yang terhubung dengan lilitan sekunder.<br />
Apabila trafo tersebut merupakan trafo ideal maka<br />
akan terjadi pelimpahan daya pada lilitan sekunder<br />
yang sama besar dengan daya yang ada pada lilitan<br />
primer. Perbandingan antara tegangan (V) dengan<br />
jumlah lilitan (N) dinyatakan dengan hubungan :<br />
Vs : Vp = Ns : Np (1)<br />
Trafo sendiri menurut Supriyadi [3] dibedakan<br />
sebagai berikut:<br />
Gambar 2. Pembagian macam-macam trafo<br />
Trafo ukur merupakan trafo yang digunakan<br />
dalam pengukuran dan proteksi yang penerapannya<br />
banyak digunakan dalam bidang industri. Trafo ukur<br />
terdiri dari trafo arus dan trafo tegangan. Trafo arus<br />
merupakan trafo yang mentransformasikan<br />
(mengubah) arus yang besar ke nilai arus yang lebih<br />
kecil atau sebaliknya. Sedangkan trafo tegangan<br />
merupakan trafo yang mengubah nilai tegangan<br />
besar menjadi kecil (trafo step down) atau<br />
sebaliknya mengubah tegangan kecil menjadi besar<br />
(trafo step up). Simbol untuk trafo step up dan step<br />
down dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:<br />
Gambar 3. Simbol transformator: a) transformator step down;<br />
b)transformator step up (Sumber: wikipedia.com/free<br />
encyclopedia/transformator) [2]<br />
D68
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sedangkan jika dibedakan berdasarkan jenis<br />
dayanya, maka trafo terbagi menjadi trafo daya<br />
saluran distribusi dan trafo daya saluran transmisi.<br />
Trafo daya saluran distribusi biasanya memiliki<br />
tegangan sekunder 10-20kV, sedangkan trafo daya<br />
saluran transmisi memiliki tegangan sekunder<br />
150kV.<br />
Menurut sistem pendinginnya, trafo dibedakan<br />
menjadi dry transformer dan wet transformer. Dry<br />
transformer merupakan trafo yang menggunakan<br />
pendingin udara sedangkan wet transformer<br />
menggunakan pendingin berupa minyak pelumas.<br />
Sedangkan menurut fasenya, trafo dibedakan<br />
menjadi trafo 1 fase, 2 fase dan 3 fase. Perbedaan<br />
yang mendasar diantara ketiga trafo tersebut adalah<br />
jumlah pasangan lilitan primer-sekundernya. Pada<br />
trafo 1 fase, hanya terdapat 1 pasangan lilitan<br />
primer-sekunder dan 1 inti besi, pada trafo 2 fase<br />
memiliki 2 pasangan lilitan primer-sekunder dan 2<br />
inti besi, sedangkan trafo 3 fase memiliki 3<br />
pasangan lilitan primer-sekunder, 3 inti besi dan 1<br />
saluran ground. Mengenai skema trafo 3 fase bisa<br />
dilihat pada Gambar 4.<br />
Gambar 4. Skema Trafo 3 fase. Dalam sebuah trafo 3 fase<br />
terdapat 3 inti (core), 3 lilitan primer (primary winding), dan 3<br />
lilitan sekunder (secondary winding) yang melilit pada setiap inti.<br />
Simbol P1,P2,P3 menyatakan lilitan primer dan S1,S2,S3<br />
menyatakan lilitan sekunder. (http/3phasetransformer.com) [4]<br />
Spesifikasi dry transformer di SU Unit 2 PT PJB UP<br />
Paiton adalah seperti diberikan pada Tabel I dan II.<br />
Tabel I. Spesifikasi Trafo Lama pada SU Unit 2 PT PJB UP<br />
Paiton [5]<br />
Tabel II.Spesifikasi Trafo Baru pada SU Unit 2 PT PJB UP<br />
Paiton [6]<br />
2. Circuit Breaker<br />
Circuit Breaker (CB) merupakan alat untuk<br />
memutuskan rangkaian listrik. CB biasa digunakan<br />
untuk melakukan pemutusan rangkaian secara cepat<br />
saat terjadi gangguan yang sering berupa<br />
overcurrent<br />
3. Relai<br />
Relai merupakan alat elektronik yang<br />
memanfaatkan prinsip induksi elektromagnetik<br />
dalam melaksanakan fungsinya. Secara umum, relai<br />
berfungsi seperti switch yang dikendalikan secara<br />
elektrik. Dalam sebuah relai terdapat inti besi, coil<br />
yang terpasang melingkari inti besi, 1 set atau lebih<br />
kontaktor dan penyambung fleksibel yang terbuat<br />
dari konduktor yang digerakkan oleh pegas. Untuk<br />
lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 5.<br />
Gambar 5. Komponen sederhana sebuah relai. Pada sebuah relai<br />
terdapat armature (lengan kontak) dan contacts yang akan<br />
menyebabkan arus mengalir jika keduanya bersinggungan. Spring<br />
berguna sebagai penahan fleksibel. Terdapat juga coil dan yoke<br />
sebagai komponen penghasil medan elektromagnet.<br />
(www.wikipedia.com/the freeencyclopedia/relai) [5]<br />
Prinsip kerja sebuah relai adalah ketika ada<br />
tegangan mengalir, maka pegas akan memisahkan<br />
sirkuit magnetik, sehingga terdapat celah udara yang<br />
memisahkan salah satu kontaktor dengan<br />
penghubung fleksibel, namun penghubung fleksibel<br />
yang lain akan tetap terhubung dengan kontaktor<br />
yang lain.<br />
Ada beberapa jenis relai yang biasa digunakan,<br />
antara lain: mercury-wetted relai, reed relai,<br />
contactor relai, overload protection relai,<br />
overcurrent relai dan lain-lain. Namun pembahasan<br />
pada makalah ini hanya dibatasi untuk relai tipe<br />
overcurrent saja.<br />
Overcurrent relay merupakan salah satu jenis<br />
relai yang biasa difungsikan sebagai pelindung<br />
rangkaian jika terjadi kenaikan arus melebihi nilai<br />
yang ditentukan. Pada overcurrent relai, terdapat<br />
istilah Instantaneous Over Current (IOC) yang<br />
memiliki kode 50 menurut ANSI [7] (American<br />
National Standards Institute), sedangkan Time Over<br />
Current (TOC) memiliki Kode 51.<br />
IOC merupakan relai yang berfungsi secara<br />
langsung ketika terjadi peningkatan nilai arus sangat<br />
besar. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada<br />
alat yang diproteksi. Sedangkan TOC merupakan<br />
relai yang memiliki karakteristik waktu yang<br />
berfungsi ketika terjadi arus melebihi nilai yang<br />
ditentukan.<br />
Aplikasi relai di kehidupan sehari-hari secara<br />
umum adalah sebagai:<br />
• Pengontrol tegangan tinggi pada rangkaian<br />
dengan sinyal berupa tegangan rendah, seperti<br />
pada audio amplifier.<br />
• Pengontrol arus kuat pada rangkaian dengan<br />
sinyal berupa arus lemah, seperti starter<br />
solenoid pada mobil.<br />
D69
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
• Pendeteksi dan pengisolasi kegagalan pada<br />
saluran transmisi dan distribusi dengan<br />
membuka atau menutup circuit breaker (CB).<br />
Relai yang memiliki fungsi time delay dapat<br />
diatur waktu penundaan operasi membuka atau<br />
menutupnya CB pada saat terjadi gangguan listrik.<br />
a<br />
Gambar 6. Relay yang terdapat pada unit SU PT PJB Paiton Unit<br />
2. a) relay Lodtrak IV, merupakan relay pengaman motor yang<br />
selama ini digunakan sebagai pengaman trafo SU sebelum<br />
penggunaan relai MIF II. b) Relay MIF II pengganti relay Lodtrak<br />
IV pada SU PT PJB Paiton Unit 2, yang dibahas dalam makalah<br />
kolokium ini.<br />
Relai Lodtrak maupun MIF II merupakan relai<br />
over current tipe statik yang merupakan produk<br />
General Electric (GE) Multilin. Relai Lodtrak IV<br />
memiliki kelemahan dalam pengaturan time delay,<br />
yakni masih menggunakan sistem analog dan<br />
komponennya sudah obsolete (kadaluarsa) di<br />
pasaran. Gagalnya Lodtrak IV memroteksi trafo dari<br />
gangguan arus lebih yang mengakibatkan trafo SU<br />
unit 2 rusak, merupakan fakta bahwa relai ini belum<br />
berfungsi optimal sebagai relai proteksi arus lebih<br />
pada jaringan tersebut. Relai MIF II sendiri bisa<br />
difungsikan sebagai sistem proteksi, sistem kontrol,<br />
sistem pengukuran dan sistem analisis yang telah<br />
dilengkapi dengan saluran komunikasi modbus yang<br />
memungkinkan untuk melakukan komunikasi<br />
dengan alat elektronik yang lain. Disamping itu relai<br />
MIF II juga memiliki layar LCD yang menampilkan<br />
menu-menu pengaturan secara digital sehingga<br />
mempermudah user untuk mengaplikasikannya.<br />
Penentuan setting time delay pada relai over current<br />
mengacu pada standar kurva IEC/BS 142 seperti<br />
yang tertera pada Tabel III sedangkan kurva dari<br />
Tabel 3 tersebut ditampilkan pada Gambar 14 (pada<br />
lampiran).<br />
3. DRTS 6<br />
Data Relay and Tracking System (DRTS 6)<br />
merupakan sebuah set alat penguji dan pengukur<br />
semua relai proteksi dengan 9 output arus dan 6<br />
output tegangan. DRTS 6 ini merupakan produk<br />
pabrikan Isa dari Italia, supaya lebih jelas bisa<br />
dilihat pada Gambar 17 pada lampiran<br />
Pada percobaan akan diperoleh grafik seperti<br />
yang terlihat pada Gambar 6. Grafik tersebut disebut<br />
kurva inverse IEC/BS 142 yang diperoleh dengan<br />
menghubungkan nilai Multiple Plug Setting (MPS)<br />
Inverse pada Tabel III dengan waktu trip/time<br />
b<br />
operation inverse, juga dari Tabel III. Dalam hal ini<br />
MPS berfungsi sebagai variabel manipulasi (sumbu<br />
x) dan waktu trip sebagai variabel respon (sumbu y).<br />
Jadi pada Gambar 6 terdapat beberapa kurva yang<br />
menunjukkan masing-masing hubungan MPS<br />
dengan waktu trip untuk Time Delay yang berbeda.<br />
Nilai waktu trip itu sendiri diperoleh dari Persamaan<br />
2 dan 3 dengan ketentuan:<br />
untuk 1< V < 1.05, unit akan menunjukkan sinyal<br />
relai aktif (pickup signal) dan tidak mengakibatkan<br />
trip. Sedangkan untuk 1.05 ≤ V < 20.00, unit akan<br />
trip dalam waktu :<br />
A* D<br />
(2)<br />
T = + B*<br />
D+<br />
K<br />
p<br />
V −Q<br />
Untuk V ≥ 20.00, waktu trip unit akan 20 kali lipat<br />
waktu setting :<br />
A* D<br />
(3)<br />
T = + B*<br />
D+<br />
K<br />
p<br />
20 −Q<br />
Dimana A, Q, B, K dan P masing-masing<br />
merupakan konstanta kurva waktu untuk Relai Arus<br />
Lebih GE IEC/BS 142 seperti pada Tabel IV. D<br />
merupakan time dial yang dipilih, dan V merupakan<br />
nilai MPS.<br />
Tabel IV.Konstanta Kurva Time Inverse GE IEC/BS 142<br />
Sumber : Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System<br />
PT PJB UPP Unit 2 Appendix B [8]<br />
Nilai MPS sendiri merupakan kelipatan arus<br />
gangguan yang dialami oleh relai arus lebih akibat<br />
adanya gangguan. Secara matematis, MPS diperoleh<br />
dari Persamaan 4 :<br />
I hs MPS = (4)<br />
I<br />
s<br />
dengan I hs merupakan arus hubung singkat (arus<br />
yang masuk ke relai) (dalam ampere) dan I s<br />
merupakan arus yang telah disetting pada relai<br />
(dalam ampere)<br />
Data pada Tabel 3 merupakan data teoritis yang<br />
menjadi acuan dalam melakukan pengujian<br />
keandalan relai arus lebih sebagai pengaman pada<br />
transformator unit SU Unit 2 di PT PJB UP. Jika<br />
dalam pengujian nanti Relai MIF II memiliki waktu<br />
trip yang mendekati data pada Tabel 3, maka relai<br />
MIF II dikatakan bekerja dengan baik dan oleh<br />
karenanya layak digunakan sebagai protektor arus<br />
lebih pada tansformator.<br />
Demikian juga sebaliknya, jika Relai MIF II<br />
menunjukkan waktu trip yang jauh lebih cepat atau<br />
lebih lambat dari Tabel 3, maka Relai MIF II<br />
dikatakan tidak bekerja secara optimal.<br />
D70
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
5. Sistem Proteksi<br />
Sistem proteksi merupakan kombinasi atau<br />
susunan yang dirancang untuk melindungi suatu<br />
komponen atau alat tertentu dari bermacam-macam<br />
gangguan. Kombinasi sistem proteksi biasanya<br />
terdiri dari relai dan circuit breaker. Macam-macam<br />
gangguan yang biasa terjadi diantaranya diakibatkan<br />
oleh arus lebih (over current). Sistem proteksi<br />
dalam jaringan berfungsi sebagai:<br />
• Mencegah atau membatasi kerusakan pada<br />
jaringan beserta peralatannya<br />
• Menjaga keselamatan umum<br />
• Meningkatkan kontinuitas pelayanan<br />
6. Koordinasi Relai Arus Lebih<br />
Koordinasi relai pengaman arus lebih<br />
merupakan sebuah konsep pengaturan/<br />
pengkondisian beberapa relai pengaman untuk<br />
mengamankan suatu daerah dalam jaringan listrik.<br />
Adapun cara bekerjanya adalah relai yang lebih<br />
dekat dengan daerah gangguan diatur untuk bekerja<br />
terlebih dahulu dibandingkan dengan relai pengaman<br />
yang lebih jauh dari daerah gangguan. Pengaturan<br />
relai pengaman tersebut dilakukan dengan<br />
memanfaatkan fitur penunda waktu kerja yang sudah<br />
ada pada relai itu sendiri. Pengaturan time operation<br />
relai bisa secara tunda waktu tertentu, waktu instan<br />
dan waktu terbalik.<br />
7. Uji Validitas Data<br />
Validitas data sebuah percobaan dapat diketahui<br />
melalui pengujian secara statistik. Uji validitas data<br />
tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Chi<br />
kuadrat (χ 2 ) atau disebut juga dengan uji kecocokan<br />
(goodness of fit). Uji kecocokan ini mengacu pada<br />
Persamaan 5 [9] berikut:<br />
( O E )<br />
2<br />
2 i − j<br />
= Σ<br />
E j<br />
χ (5)<br />
Dimana:<br />
χ 2 = nilai hasil uji kecocokan<br />
O i = data eksperimental<br />
= data yang diharapkan (teoritis)<br />
E j<br />
METODE EKSPERIMEN<br />
Adapun tahapan-tahapan untuk menentukan<br />
setting point (time delay) pada relai MIF II adalah<br />
sebagai berikut:<br />
Gambar 7. Diagram alir pengaturan setting time dial pada relai<br />
MIF II<br />
Pada diagram alur di atas, langkah pertama yang<br />
dilakukan yaitu menentukan karakteristik beban<br />
listrik yang ada pada jaringan tersebut. Hal ini<br />
dilakukan dengan menghitung banyak peralatan<br />
yang ada (jumlah motor) beserta karakteristiknya<br />
(konsumsi daya setiap motor). Hal tersebut<br />
diperlukan untuk menentukan tipe dan spesifikasi<br />
relai yang harus digunakan. Pada langkah kedua,<br />
pengaturan time dial dapat dikatakan tepat jika<br />
dengan time dial relai tersebut mampu bereaksi<br />
dalam rentang waktu yang telah dibakukan dalam<br />
Tabel III. Kemudian dilakukan pengaturan lagi<br />
terhadap relai yang sama namun dengan<br />
menggunakan fase trafo yang berbeda (Fase A, B, C,<br />
ground). Langkah-langkah ini masih merupakan<br />
langkah untuk menentukan setting time dial pada<br />
relai MIF II. Agar dicapai koordinasi antar relai,<br />
maka langkah-langkah ini diterapkan untuk<br />
menentukan setting time dial pada relai MIF II<br />
kedua dan relai Basler. Adapun wiring diagram relai<br />
MIF II dalam jaringan dapat dilihat pada Gambar 14<br />
(pada lampiran), sedangkan skema secara makro<br />
pada Gambar 15 (juga pada lampiran).<br />
DATA, ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil Pengujian Relai MIF II<br />
Selama proses penelitian di Pembangkit Unit 2<br />
PT PJB UP Paiton, penulis telah melaksanakan uji<br />
Relai MIF II pada sisi primer dan sekunder trafo<br />
10KV/550V pada Unit Ship Unloader. Relai MIF II<br />
pada sisi primer trafo identik dengan Relai MIF II<br />
sisi sekunder trafo. Berikut adalah data hasil<br />
pengujian Relai MIF II tersebut:<br />
D71
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel V. Data Hasil Pengujian Relai MIF II pada Pengaman Sisi<br />
Primer Trafo 550V di SU Unit 2 PT PJBUP Paiton<br />
Gambar 8. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF<br />
II untuk Phase A dari data pada Tabel 4. Sumbu horizontal<br />
menunjukkan kelipatan arus gangguan (Multiple Plug Setting),<br />
kelipatan arus gangguan disini merupakan kelipatan dari arus<br />
pickup relai MIF II. Time operation menunjukkan waktu yang<br />
diperlukan relai MIF II untuk bekerja dalam menanggapi<br />
gangguan yang ada. Kurva warna merah menunjukkan data<br />
pengujian, sedangkan kurva warna biru menunjukkan nilai teoritis<br />
(expected time).<br />
Gambar 9. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF<br />
II untuk Phase B dari data pada Tabel 4. Pembacaan kurva ini<br />
sama dengan pembacaan kurva pada Gambar 8<br />
Gambar 10. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai<br />
MIF II untuk Phase C dari data pada Tabel V. Pembacaan kurva<br />
ini sama dengan pembacaan kurva pada Gambar 8<br />
Kurva pada Gambar 8-10 di atas diperoleh dari<br />
pengolahan data Tabel V dengan menggunakan<br />
program Excel dan pilihan kurva power. Dapat<br />
dilihat bahwa ketiga kurva tersebut memiliki<br />
persamaan kurva yang sama yakni .<br />
Persamaan ini bermakna bahwa semakin besar nilai<br />
x (MPS) maka akan semakin kecil nilai y (time<br />
operation). Ini merepresentasikan bahwa semakin<br />
besar nilai kelipatan gangguan (MPS) maka semakin<br />
kecil nilai time operation relai.<br />
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel V. bahwa<br />
Relai MIF II yang dipasang pada sisi primer trafo<br />
550V di SU Unit 2 mampu menunjukkan kinerja<br />
yang memuaskan saat dilakukan pengujian.<br />
Parameter kinerja yang memuaskan itu ditunjukkan<br />
dengan tipisnya selisih antara nilai time operation<br />
relai pada tiap fase (A, B, C) terhadap expected time<br />
yang ditentukan oleh Tabel 3 pada time dial 0,7.<br />
Time dial 0,7 dipilih dengan pertimbangan<br />
kesesuaian karakteristik waktu kerja relai dengan<br />
karakteristik ketahanan trafo terhadap gangguan arus<br />
lebih. Sedangkan di sisi lain, secara grafik juga<br />
dapat diamati bahwa time operation relai tersebut<br />
(lihat kurva eksperimen berwarna merah pada<br />
Gambar 8, 9 dan 10) overlap dengan Curve Normal<br />
Inverse teoritis (lihat kurva berwarna biru pada<br />
gambar-gambar yang sama). Ini berarti relai telah<br />
bekerja mendekati taraf ideal.<br />
Dalam pengujian Relai MIF II sisi primer<br />
memang hanya dipilih nilai kelipatan uji gangguan<br />
(MPS) dalam range 1,5-4 kali I setting dengan 4 titik<br />
saja yang digunakan sebagai sampel uji, sedangkan.<br />
Range gangguan 1,5-4 juga diambil karena prediksi<br />
kelipatan gangguan di unit SU sebesar itu dan belum<br />
pernah terjadi gangguan lebih besar dari itu. Begitu<br />
juga dengan pengambilan 4 titik sampel uji ini<br />
dikarenakan MIF II merupakan alat baru yang<br />
tingkat performansinya diyakini masih optimum,<br />
sehingga pengujian pada 4 titik sampel sudah<br />
mewakili kinerja keseluruhan Relai MIF II yang<br />
terbukti sesuai dengan waktu ekspektasi. Untuk<br />
menguji validitas data tersebut, dapat juga melalui<br />
pengkajiaan dari sudut pandang ilmu statistik. Uji<br />
validitas data pada Tabel 4 tersebut dilakukan<br />
dengan menggunakan metode Chi kuadrat (<br />
2 ) atau<br />
disebut juga dengan uji kecocokan (goodness of fit).<br />
Uji kecocokan ini mengacu pada Persamaan 4 [15] dan<br />
nilai χ 2 yang dihasilkan adalah 0,025728167. Di<br />
sisi lain peneliti ingin menguji apakah validitas data<br />
penelitian ini mencapai 95% dengan banyak sampel<br />
sejumlah 4 maka nilai χ 2 (1-α, k-1) atau χ 2 (1-0,95, 4-1)<br />
menurut Tabel pada Gambar 18 bernilai 0,352. Ini<br />
merupakan batasan sebuah hipotesis diterima jika<br />
memiliki χ 2 dalam range 0 - 0,352. Sedangkan di atas<br />
telah disampaikan bahwa hasil perhitungan Pers.5<br />
menunjukkan nilai χ 2 = 0,025728167. Maka,<br />
berdasar pengujian ini validitas data hasil penelitian<br />
memasuki kriteria statistik.<br />
Sedangkan untuk pengujian Relai MIF II pada<br />
trafo 550V sisi sekunder juga telah dilakukan dan<br />
diperoleh data seperti pada Tabel VI berikut:<br />
Tabel VI.Data Hasil Pengujian Relai MIF II pada Pengaman Sisi<br />
Sekunder Trafo 550V di SU Unit 2 PT PJB UP Paiton<br />
D72
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 11. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />
untuk Phase A dari data pada Tabel 5<br />
Gambar 12. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />
untuk Phase B dari data pada Tabel 5.<br />
Gambar 13. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />
untuk Phase C dari data pada Tabel 5<br />
Kurva pada Gambar 11-13 di atas diperoleh dari<br />
pengolahan data Tabel VI dengan menggunakan<br />
program Excel dan pilihan kurva power seperti<br />
pembahasan pada data pengujian Relai MIF II pada<br />
sisi primer di atas. Dapat dilihat bahwa ketiga kurva<br />
tersebut memiliki persamaan kurva yang sama yakni<br />
. Persamaan ini bermakna bahwa<br />
semakin besar nilai x maka akan semakin kecil nilai<br />
y. Ini merepresentasikan bahwa semakin besar nilai<br />
kelipatan gangguan (MPS) maka semakin kecil nilai<br />
time operation relai.<br />
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel VI bahwa<br />
Relai MIF II yang dipasang pada sisi sekunder trafo<br />
550V di SU Unit 2 mampu menunjukkan kinerja<br />
yang memuaskan saat dilakukan pengujian. Secara<br />
grafik juga dapat diamati bahwa time operation relai<br />
tersebut (lihat grafik warna merah pada Gambar 11,<br />
12 dan 13) hampir tidak mamiliki perbedaan dengan<br />
Grafik Curve Inverse IEC BS 142 (lihat kurva warna<br />
biru pada Gambar 11, 12 dan 13), ini berarti relai<br />
bekerja mendekati taraf ideal.<br />
Seperti pada pengujian Relai MIF II pada sisi<br />
primer, maka pada pengujian Relai MIF II sisi<br />
sekunder juga hanya menggunakan 4 titik saja<br />
sebagai sampel uji dan nilai kelipatan uji gangguan<br />
diambil dalam range 1,5-4 dengan pertimbangan<br />
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Uji<br />
statistik dengan metode Chi kuadrat menunjukkan<br />
bahwa data pada Tabel VI memiliki nilai χ 2 =<br />
0,064266108 dan tergolong memenuhi kriteria<br />
validitas dengan taraf ketelitian 95%.<br />
SIMPULAN<br />
Sampai pada akhir penulisan kolokium ini,<br />
dapat penulis simpulkan bahwa pertama, pada<br />
jaringan SU Unit 2 di PT PJB UP Paiton dibutuhkan<br />
sistem proteksi yang mapan untuk menghindari<br />
terulangnya terjadi gangguan pada kegiatan<br />
operasional perusahaan. Kedua, sistem proteksi ini<br />
melibatkan relai arus lebih dan sakelar pemutus<br />
(circuit breaker). Ketiga, relai MIF II menunjukkan<br />
kinerja yang tidak megecewakan dengan time dial<br />
0.7 berdasarkan pengujian awal untuk menggantikan<br />
peranan Relai Lodtrak IV yang telah gagal<br />
memproteksi trafo SU unit 2 PT PJB UP Paiton.<br />
Keempat, penulis menyakini bahwa pada sistem<br />
proteksi trafo SU unit 2 PT PJB UP Paiton tersebut<br />
juga perlu diterapkan sistem koordinasi antar relai<br />
yang melibatkan relai Basler (yang berada pada<br />
jaringan di atas SU).<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
http://dunia-listrik.blogspot.com/2008/11/dasardasar-sistem-proteksi.html.<br />
(Tgl. akses<br />
25/12/09)<br />
wikipedia.com/free encyclopedia/transformator (Tgl.<br />
akses 12/10/2009).<br />
Supriyadi, A. 1999. Sistem Pengaman Tenaga<br />
Listrik. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.<br />
www.wikipedia.com/the freeencyclopedia/relai.<br />
(Tgl. akses 25/10/2009)<br />
--- 2008. Laporan Riwayat Kerusakan Trafo Ship<br />
Unloader Unit 2. No. Dokumen: FI-TPM-02.<br />
PJB UP Paiton Unit 2.<br />
O. Heltegag. 2007. ABB Test Certificate of Cast<br />
Resin Transformer. Paiton Steam Power<br />
Plant. http/3phasetransformer.com (Tgl.<br />
akses 13/10/2009).<br />
---- 2002. ANSI Standard Device Designation<br />
Numbers. Kilowatt Classroom, LLC.<br />
Asyar. 2009. Commissioning MIF II Relay Feeder<br />
Protection System. PT PJB UP Paiton. ----<br />
Diktat<br />
Sudjana. 1989. Metoda Statistika Edisi Kelima.<br />
Bandung :Tarsito.<br />
Rosenberg, J.M. 1992. Dictionary of Information<br />
Technology and Computer Acronyms, Initial<br />
and Abbreviation. Mc Graw Hil<br />
D73
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel III. Waktu Trip/Time Operation (dalam detik) untuk Kurva<br />
IEC/BS 142<br />
Time Dial<br />
MPS 0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />
Inverse BS 142<br />
1.05 7.17 14.34 28.68 43.02 57.36 71.70 86.04 100.38 114.72 129.06 143.40 172.08 200.76 229.44 258.12 286.80<br />
1.5 1.72 1.72 3.44 5.16 6.88 8.60 10.32 12.04 13.76 15.47 17.19 20.63 24.07 27.51 30.95 34.39<br />
2 1.00 1.00 2.01 3.01 4.01 5.01 6.02 7.02 8.02 9.03 10.03 12.03 14.04 16.05 18.05 20.06<br />
3 0.63 0.63 1.26 1.89 2.52 3.15 3.78 4.41 5.04 5.67 6.30 7.56 8.82 10.08 11.34 12.60<br />
4 0.50 0.50 1.00 1.49 1.99 2.49 2.99 3.49 3.98 4.48 4.98 5.98 6.97 7.97 8.96 9.96<br />
5 0.43 0.43 0.86 1.28 1.71 2.14 2.57 3.00 3.42 3.85 4.28 5.14 5.99 6.85 7.70 8.56<br />
6 0.38 0.38 0.77 1.15 1.53 1.92 2.30 2.69 3.07 3.45 3.84 4.60 5.37 6.14 6.91 7.67<br />
7 0.35 0.35 0.71 1.06 1.41 1.76 2.12 2.47 2.82 3.17 3.53 4.23 4.94 5.64 6.35 7.06<br />
8 0.33 0.33 0.66 0.99 1.32 1.65 1.98 2.31 2.64 2.97 3.30 3.96 4.62 5.27 5.93 6.59<br />
9 0.31 0.31 0.62 0.93 1.25 1.56 1.87 2.18 2.49 2.80 3.12 3.74 4.36 4.99 5.61 6.23<br />
10 0.30 0.30 0.59 0.89 1.19 1.49 1.78 2.08 2.38 2.67 2.97 3.56 4.16 4.75 5.35 5.94<br />
Very Inverse BS 142<br />
0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />
1.05 13.50 27.00 54.00 81.00 108.00 135.00 162.00 189.00 216.00 243.00 270.00 324.00 378.00 432.00 486.00 540.00<br />
1.5 1.35 2.70 5.40 8.10 10.80 13.50 16.20 18.90 21.60 24.30 27.00 32.40 37.80 43.20 48.60 54.00<br />
2 0.68 1.35 2.70 4.05 5.40 6.75 8.10 9.45 10.80 12.15 13.50 16.20 18.90 21.60 24.30 27.00<br />
3 0.34 0.68 1.35 2.03 2.70 3.38 4.05 4.73 5.40 6.08 6.75 8.10 9.45 10.80 12.15 13.50<br />
4 0.23 0.45 0.90 1.35 1.80 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05 4.50 5.40 6.30 7.20 8.10 9.00<br />
5 0.17 0.34 0.68 1.01 1.35 1.69 2.03 2.36 2.70 3.04 3.38 4.05 4.73 5.40 6.08 6.75<br />
6 0.14 0.27 0.54 0.81 1.08 1.35 1.62 1.89 2.16 2.43 2.70 3.24 3.78 4.32 4.86 5.40<br />
7 0.11 0.23 0.45 0.68 0.90 1.13 1.35 1.58 1.80 2.03 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05 4.50<br />
8 0.10 0.19 0.39 0.58 0.77 0.96 1.16 1.35 1.54 1.74 1.93 2.31 2.70 3.09 3.47 3.86<br />
9 0.08 0.17 0.34 0.51 0.68 0.84 1.01 1.18 1.35 1.52 1.69 2.03 2.36 2.70 3.04 3.38<br />
10 0.08 0.15 0.30 0.45 0.60 0.75 0.90 1.05 1.20 1.35 1.50 1.80 2.10 2.40 2.70 3.00<br />
Ext Inverse BS 142<br />
0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />
1.05 39.02 78.05 156.10 234.15 312.20 312.20 468.29 546.34 624.39 702.44 780.49 936.59 1092.68 1248.78 1404.88 1560.98<br />
1.5 3.20 6.40 12.80 19.20 25.60 25.60 38.40 44.80 51.20 57.60 64.00 76.80 89.60 102.40 115.20 128.00<br />
2 1.33 2.67 5.33 8.00 10.67 10.67 16.00 18.67 21.33 24.00 26.67 32.00 37.33 42.67 48.00 53.33<br />
3 0.50 1.00 2.00 3.00 4.00 4.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00<br />
4 0.27 0.53 1.07 1.60 2.13 2.13 3.20 3.73 4.27 4.80 5.33 6.40 7.47 8.53 9.60 10.67<br />
5 0.17 0.33 0.67 1.00 1.33 1.33 2.00 2.33 2.67 3.00 3.33 4.00 4.67 5.33 6.00 6.67<br />
6 0.11 0.23 0.46 0.69 0.91 0.91 1.37 1.60 1.83 2.06 2.29 2.74 3.20 3.66 4.11 4.57<br />
7 0.08 0.17 0.33 0.50 0.67 0.67 1.00 1.17 1.33 1.50 1.67 2.00 2.33 2.67 3.00 3.33<br />
8 0.06 0.13 0.25 0.38 0.51 0.51 0.76 0.89 1.02 1.14 1.27 1.52 1.78 2.03 2.29 2.54<br />
9 0.05 0.10 0.20 0.30 0.40 0.40 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00<br />
10 0.04 0.08 0.16 0.24 0.32 0.32 0.48 0.57 0.65 0.73 0.81 0.97 1.13 1.29 1.45 1.62<br />
Sumber: Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System PT PJB UPP Unit 2 Appendix B. [8]<br />
D74
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
LAMPIRAN<br />
Gambar 14: Kurva Inverse IEC/BS 142. Kurva ini merupakan kurva standar. Guna memahami grafik tersebut, silahkan melihat pembahasan<br />
pada teks di Halaman 6 dari makalah ini. Sumber: Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System PT PJB UPP Unit 2 Appendix B<br />
[7]<br />
D75
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 15. Typical Wire Diagram. Tampak skema pin-pin relai MIF II yang harus dihubungkan dengan kabel jaringan listrik [7] .<br />
D76
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 16. Cubicle Ship Unloader. Tampak trafo bertegangan 380V dan 500V yang akan dihubungkan dengan Relai MIF II. [7]<br />
Gambar 17. DRTS 6 sebagai sebuah set alat yang sering digunakan dalam pengujian segala macam relai proteksi.<br />
D77
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2<br />
1<br />
0,352<br />
χ 2 0,05<br />
3<br />
Gambar 18. Tabel pembanding uji kecocokan yang digunakan untuk membandingkan nilai chi kuadrat (χ 2 ) sebuah percobaan dengan nilai<br />
χ 2 yang diharapkan (teori). Kolom pada tabel di atas (lingkaran merah bernomor 1) = nilai akurasi χ 2 dalam persen (%).Sedangkan baris pada<br />
lingkaran merah bernomor 2 = jumlah data percobaan dikurangi 1. Sedangkan lingkaran merah bernomor 3 = nilai χ 2 itu sendiri<br />
Sumber: Sudjana. 1989. Metoda Statistika Edisi Kelima. Bandung :Tarsito.<br />
Keterangan: Adapun cara membaca tabel tersebut seperti dicontohkan berikut ini. Misal, pada perhitungan chi kuadrat diperoleh nilai χ 2 =<br />
0,3 dengan banyak data sejumlah 4 dan diharapkan nilai akurasi data 95 %, maka nilai χ 2 teoritis harus diperoleh dari pertemuan kolom yang<br />
tertulis χ 2 0,05 (100%-0,05=95%) dan baris bernomor 3 (= 4-1) dan diperoleh nilai χ 2 0,05 = 0,352. Dari sini terlihat bahwa nilai 0,3 terletak pada<br />
range 0-0,352. Ini berarti bahwa data perhitungan χ 2 hasil eksperimen tersebut valid dengan ketelitian 95%.<br />
D78
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Presisi Pengukuran Interfacial Angle pada Pemutar Goniometer Optik<br />
Berbasis Mikrokontroler<br />
Moch. Sholikhudin 1 , Frida U. Ermawati 2<br />
Jurs. <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />
Email : udinrembang@gmail.ac.id dan frida_dua@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Makalah kolokium ini melaporkan hasil kerja peneliti untuk mengukur sudut antar bidang kistal (α, β, γ) atau<br />
interfacial angle dengan memanfaatkan motor stepper yang dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan<br />
sudut putar yang seminimal mungkin dengan presisi tinggi. Nantinya, alat pemutar tersebut hendak digunakan<br />
pada alat goniometer optik berbasis mikrokontroler. Untuk keperluan tersebut maka konstruksi seperti pada<br />
Gambar 8 Halaman 6 dari makalah ini dibuat. Diperoleh: (i) skala pemutar sebesar 0,0548°. (ii) Grafik hasil<br />
pengukuran dan perhitungan sudut, keduanya berhimpit. Hal ini terjadi karena kedua persamaan garis tersebut<br />
mempunyai gradien yang hampir sama, yaitu 0,0554 untuk grafik pengukuran dan 0.0548 untuk grafik<br />
perhitungan dengan eror sebesar 1.095%. (iii) Didapat juga R 2 (linieritas grafik) untuk persamaan pengukuran<br />
pada pemutar goniometer sebesar 0,9962, artinya data yang didapat tersebut linier, memiliki presisi atau<br />
validitas yang tinggi. Dengan kata lain, rancangan alat pada Gambar 9 tersebut layak untuk nantinya digunakan<br />
sebagai pemutar goniometer. Sebagai tindak lanjut dari hasil kerja ini, selain menggunakan alat pemutar ini,<br />
peneliti juga berkeinginan untuk menambahkan sensor cahaya pada goniometer optik sebagai pengganti teleskop<br />
dan LCD sebagai tapilan nilai yang terukur.<br />
Kata kunci: interfacial angle, motor stepper, alat pemutar, mikrokontroler.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kristal merupakan hamparan titik lattice yang<br />
tersusun periodik dan tak hingga banyaknya di<br />
ruang, dimana setiap titik lattice diisi oleh basis.<br />
Satu basis dapat diisi satu atau lebih atom, molekul<br />
atau ion. Antara titik lattice yang berdekatan<br />
dihubungkan oleh unit vector dimana perpotongan<br />
dari vektor-vektor tersebut akan membentuk unit<br />
cell (sel satuan).<br />
Unit cell yang satu dengan yang lain dibedakan<br />
oleh 3 konstanta lattice (a, b, c) dan 3 sudut antar<br />
bidang kristal (interfacial angle: α,β,γ). Konstanta<br />
lattice menunjukkan panjang vektor satuan yang<br />
membentuk unit cell, sedangkan interfacial angles<br />
adalah sudut-sudut yang terbentuk antara bidangbidang<br />
kristal. Gambar 1 memberikan ilustrasi<br />
tersebut.<br />
kubus, tetragonal, orthorhombic, rhombohedral,<br />
hexagonal, monoclinic dan triclinic (lihat Tabel 1).<br />
Tabel 1: 7 Macam sistem kristal<br />
Gambar.1 Unit cell dan parameter lattice suatu kristal, terdiri dari<br />
3 konstanta lattice a, b dan c dan 3 sudut antar bidang α, β dan γ<br />
Berdasarkan parameter lattice suatu unit cell,<br />
kristal dibedakan menjadi 7 sistem kristal yaitu<br />
Struktur suatu kristal dapat ditentukan melalui<br />
eksperimen defraksi sinar x. Adapun salah satu<br />
metode penentuan struktur kristal tersebut adalah<br />
metode kualitatif. Yang dimaksud dengan metode<br />
kualitatif adalah metode yang dilakukan dengan cara<br />
mencocokkan/membandingkan pola difraksi suatu<br />
bahan yang belum diketahui struktur kristalnya<br />
D79
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan pola defraksi dari bahan tertentu yang ada<br />
pada basis data (misalnya powder defraction<br />
file/PDF). Data-data kristalografi dari bahan PDF<br />
tersebut selanjutnya diadopsi sebagai data<br />
kristalografi dari bahan yang dimaksud. Dengan kata<br />
lain penentuan struktur dari suatu kristal masih<br />
membutuhkan data dari kristal lain. Adapun metode<br />
atau suatu cara penentuan struktur kristal secara<br />
langsung haruslah membutuhkan instrument/alat<br />
ukur, untuk pengukur sudut antar idang kristal, alat<br />
yang digunakan adalah goniometer optik (lihat<br />
gambar 3). Seiring berkembangnya ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi, akan sangat<br />
dimungkiankan pembutan alat yang bersifat<br />
otomatis dan praktis yang nantinya akan<br />
mempermudah proses pengukuran.<br />
2. TINJAUAN PUSTAKA :<br />
a. Sudut Antar Bidang Kristal<br />
Sudut antar bidang kristal (interfacial angles) α<br />
adalah sudut yang dibentuk antara bidang-bidang<br />
yang menutupi seluruh permukaan kristal yang<br />
diukur dengan menggunakan goniometer optuk,<br />
sebagai penjelasan tentang pengukuran sudut antar<br />
bidang α (lihat gambar-1). sudut antar dua bidang<br />
kristal dapat diukur dengan menarik garis normal<br />
yang tegak lurus terhadap dua bidang kristal yang<br />
dimaksud.<br />
Jadi goniometer optik adalah alat yang<br />
digunakan untuk menentukan sudut pada permukaan<br />
kristal dengan pemantulan cahaya tampak pada<br />
suatu bidang kristal melalui teleskop. Apabila arah<br />
cahaya yang datang tegak lurus terhadap bidang<br />
yang dimaksud terlihat melalui teleskop, maka akan<br />
terjadi pemantulan cahaya oleh bidang kristal<br />
tersebut. Apabila hasil pemantulan cahaya semakin<br />
menyilaukan, maka semakin luas permukaan suatu<br />
bidang kristal tersebut. Dan semakin kecil hasil<br />
pemantulan cahaya, berarti permukaan bidang kristal<br />
yang dikenai oleh cahaya semakin sempit.<br />
Agar arah cahaya datang benar-benar tegak<br />
lurus terhadap dibang kristal tersebut, maka kristal<br />
harus diputar kearah bidang ekuator sebesar 360°<br />
dan diputar dari ah kutub utara bumi kearah kutub<br />
selatan bumi sebesar 180°. dengan menggunakan<br />
goniometer. Goniometer dapat memutar kristal<br />
dengan 2 macam derajat kebebasan, yaitu sudut<br />
polar θ sebesar 180° dan sudut azimuth ф 360°).<br />
Gambar 3. Alat goniometer optik dari referensi dan bagianbagiannya:<br />
A (ditunjukkan dengan tanda panah merah) Tempat<br />
meletakkan sampel kristal. Sampel dapat diputar dengan dua<br />
derajat kebebasan, yaitu sudut polar (θ) dan sudut azimuthal (ф).<br />
B Sumber cahaya tampak yang digunakan untuk menyinari<br />
bidang kristal sehingga berkas pantulan cahaya tersebut akan<br />
dipantulkan secara tegak lurus terhadap bidang kristal., dan C<br />
Teleskop, untuk mengamati terjadinya pemantulan cahaya oleh<br />
bidang kristal.<br />
Gambar 2.Ilustrasi yang menunjukkan pengukuran sudut antar<br />
bidang kristal (α) antara bidang B dan bidang C yang diukur dari<br />
garis normal antar dua bidang kristal yang dimaksud.<br />
b. Goniometer Optik<br />
Goniometer optik (lihat gambar 5) dari kata<br />
”goniometer” dan ”optik”. Goniometer berarti suatu<br />
alat yang digunakan untuk menentukan sudut pada<br />
permukaan kristal, yang relatif terhadap acuan<br />
tertentu, Sedangkan optik berarti cahaya, yaitu<br />
cahaya tampak yang dipergunakan untuk menerangi<br />
permukaan kristal, untuk kemudian dilihat<br />
pemantulannya dari suatu bidang kristal.<br />
D80
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 4. Pengukuran sudut polar dan sudut azimuthal pada<br />
sebuah bidang kristal dengan menggunakan goniometer optik. θ<br />
Sudut polar diukur dari arah utara kutub bumi menuju ke arah<br />
kutub selatan bumi. Sudut polar mempunyai rentang 0°-180°. Φ<br />
Sudut azimuth diukur dari arah bidang ekuator bumi dari 0°-360°<br />
d. Atemega16<br />
AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS 8-<br />
bit buatan Atmel, berbasis arsitektur RISC (Reduced<br />
Instruction Set Computer). Hampir semua instruksi<br />
dieksekusi dalam satu siklus clock. AVR<br />
mempunyai 32 register general-purpose,<br />
timer/counter fleksibel dengan mode compare,<br />
interrupt internal dan eksternal, serial UART,<br />
programmable Watchdog Timer, dan mode power<br />
saving, ADC dan PWM internal. AVR juga<br />
mempunyai In-System Programmable Flash on-chip<br />
yang mengijinkan memori program untuk diprogram<br />
ulang dalam system menggunakan hubungan serial<br />
SPI. ATMega16. ATMega16 mempunyai<br />
throughput mendekati 1 MIPS per MHz membuat<br />
disainer sistem untuk mengoptimasi konsumsi daya<br />
versus kecepatan proses. [2]<br />
Setiap motor stepper mampu berputar untuk setiap<br />
stepnya dalam satuan sudut (0.75, 0.9, 1.8), makin<br />
keil sudut per step-nya maka gerakan per step-nya<br />
motor stepper tersebut makin presisi.<br />
Motor stepper banyak digunakan untuk aplikasiaplikasi<br />
yang biasanya cukup menggunakan torsi<br />
yang kecil, seperti untuk penggerak piringan disket<br />
atau piringan CD. Dalam hal kecepatan, kecepatan<br />
motor stepper cukup cepat jika dibandingkan dengan<br />
motor DC. Motor stepper merupakan motor DC<br />
yang tidak memiliki komutator. Pada umumnya<br />
motor stepper hanya mempunyai kumparan pada<br />
statornya sedangkan pada bagian rotornya<br />
merupakan magnet permanent. Dengan model motor<br />
seperti ini maka motor stepper dapat diatur posisinya<br />
pada posisi tertentu dan/atau berputar ke arah yang<br />
diinginkan, searah jarum jam atau sebaliknya.<br />
Kecepatan motor stepper pada dasarnya<br />
ditentukan oleh kecepatan pemberian data pada<br />
komutatornya. Semakin cepat data yang diberikan<br />
maka motor stepper akan semakin cepat pula<br />
berputarnya. Pada kebanyakan motor stepper<br />
kecepatannya dapat diatur dalam daerah frekuensi<br />
audio dan akan menghasilkan putaran yang cukup<br />
cepat. Untuk mengatur gerakan motor per step-nya<br />
dapat dilakukan dengan 2 cara berdasarkan<br />
simpangan sudut gerakannya yaitu full step dan half<br />
step.<br />
Tabel 1. Motor Stepper dengan Gerakan Full step<br />
Step 1 2 3 4 1<br />
S3 0 0 0 1 0<br />
S2 0 0 1 0 0<br />
S1 0 1 0 0 0<br />
S0 1 0 0 0 1<br />
Gambar 4. konfigurasi PIN dari ATMega16<br />
e. Motor Stepper<br />
Motor Stepper adalah motor DC yang<br />
gerakannya bertahap (step per step) dan memiliki<br />
akurasi yang tinggi tergantung pada spesifikasinya.<br />
D81
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 5. Kontruksi Motor Stepper dalam Satu Kali Putaran<br />
dengan gerakkan FullStep (dari kiri ke kanan)<br />
Tabel 2. Motor Stepper dengan Gerakan Half Step<br />
Gambar 6. Kontruksi Motor Stepper dalam Gerakkan Half Step<br />
f. LCD<br />
LCD adalah suatu display dari bahan cairan<br />
kristal yang pengoprasiannya mengunakansistem dot<br />
matiks. LCD banyak digunakan sebagai display dari<br />
alat-alat elektronika sepeti kalkulator, multi tester<br />
digial, jam digital dan sebagainya.<br />
Step 1 2 3 4 5 6 7 8 1<br />
S3 0 0 0 0 0 1 1 1 0<br />
S2 0 0 1 1 1 1 0 0 0<br />
S1 0 1 0 1 0 0 0 0 0<br />
S0 1 1 0 0 0 0 0 1 1<br />
Gambar .7 lcd 2×16 karater<br />
LCD dapat dengan mudah dihubungkan<br />
dengan mikrokonyroler AVR ATmega16. LCD yang<br />
digunakan dalam pembutan alat ini adalah LCD<br />
2×16, lebar dislay 2 bars 16 kolom, yang mempnyai<br />
16 konektor, yang didefonisikan sebagai berikut;<br />
Gambar.8 konfigurasi pin pada LCD<br />
Tabel 1. pin LCD dan fungsinya.<br />
D82
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 9. Detail skematika IC ULN2803.<br />
Tiap pin input dari motor akan dihubungkan<br />
dengan pin keluaran dari driver, dimana pulsa<br />
keluaran dari driver yang akan diberikan pada motor<br />
yang nantinya diatur oleh mikrokontroler sesuai<br />
dengan program yang di isi ke dalam mikrokontroler<br />
g. Codevisin AVR<br />
CodeVisionAVR adalah salah satu alat bantu<br />
pemrograman (programing tool) yang bekerja dalam<br />
lingkungan pengembnagan perangkat lunak yang<br />
terinegrasi (Intergrated development environtment<br />
Ide). Seperti aplikasi ide lainnya .Code vision AVR<br />
merupakan software untuk membuat code program<br />
microcontroller AVR. kebanyakan programmer<br />
memakai software ini karena fasilitas-fasilitas yang<br />
disediakan CodeVision AVR memudahkan<br />
programmer dalam membuat code. CodeVisionAVR<br />
dilengkapi dengan source code editor, compiler,<br />
linker, dan dapat memenggil atmel AVR studio<br />
untuk untuk debuggernya.<br />
g. Driver Motor Stepper<br />
Isyarat yang dimasukkan ke mikrokontroler<br />
untuk kemudian diolah, outputnya, kemudian<br />
digunakan untuk menentukan langkah (step) dari<br />
motor stepper. driver motor stepper berfungsi untuk<br />
mengatur pulsa-pulsa listrik dengan nilai tertentu<br />
sehingga dapat menggerakkan motor stepper.<br />
Driver yang digunakan untuk memberikan isarat<br />
ke motor stepper ini adalah IC ULN2803 yang<br />
tersusun dari rangkaian transistor yang dihubung<br />
secara Darlington dalam satu kemasan. Gambar<br />
rangkaian utama IC ULN2803 dapat dilihat pada<br />
gambar di bawah ini.<br />
3. METODE PENELITIAN<br />
1. Variabel<br />
a. Variable Manipulasi<br />
Sinyal input (push botton)<br />
b. Variable Respon<br />
Sudut putar goniometer<br />
c. Variable Kontrol<br />
Ratio gear<br />
2. Rancangan Alat<br />
Gambar 10. Skematik pengukuran besar sudut putar goniometer<br />
3. Alat dan Bahan<br />
a. Minimun system ATmega!6<br />
b. Motor stepper (hybrid unipolar)<br />
c. Driver motor stepper<br />
d. Tombol input (push botton)<br />
e. Gerbok 1:19,7 ratio<br />
f. Gear1 dan 2<br />
g. Busur lingkaran<br />
h. Catu daya<br />
i. Konektor<br />
D83
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
4. Langkah Pengambilan data<br />
a) Mernagkai alat seperti gambar 1<br />
b) Meneka tombol input secara urut dan<br />
bergantian<br />
c) Mencatan besar perubahan sudut pada<br />
busur lingkaran tiap input tombol<br />
4. DATA DAN ANALISA<br />
a) Data<br />
Data optimalisasi presisi sudut antar bidang<br />
kristal pada pemutar Goniometer optic berbasis<br />
mikrokontroler di berikan pada Tabel 1 di Lampiran<br />
1.<br />
b) ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />
Be sarsudut<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
Perbandingan Pengukuran dan Prhiungan Presisi<br />
Sudut Pemutar Goniometer<br />
0<br />
0<br />
-5<br />
50 100 150<br />
4 STEP ke<br />
y = 0.2215x<br />
R 2 = 0.9962<br />
secara pengukuran<br />
secara perhitungan<br />
Linear (secara<br />
pengukuran)<br />
5. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan data, grafik dan analisis dari<br />
percobaan presisi pengukuran interfacial angle pada<br />
pemutar goniometer optik. maka dapat dikatakan<br />
pemutar yang nantinya digunakan sebagai alat<br />
pemutar untuk goniometer optik dapat dikatakan<br />
layak.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Marikani, A. Dan Rajendran, V. 2004. ‘Material<br />
Science’. Tata McGraw-Hill, New Delhi.<br />
Andrianto, Henry. 2008.”Penrograman<br />
Mikrokontroler AVR ATMEGA16<br />
menggunakan Bahasa C (CodeVision AVR)”.<br />
Bandung: INFORMATIKA.<br />
bejo,agus.2008.”c dan avr rahasia kemudahan<br />
bahasa c dalam mikrokontroler<br />
ATMega8535”.yogyakarta :graham ilmu<br />
http://en.wikipedia.org/wiki/Goniometer<br />
http://elektronika-elektronika.<br />
blogspot.com/2007/04/motor-stepper.html<br />
http://www.gemmary.com/instcat/07/07-001.html<br />
http://www.solarbotics.net/library/pdflib/pdf/motorb<br />
as.pdf11042009<br />
Berdasarkan grafik yang diperoleh dari<br />
percobaan Presisi pengukuran interfacial angle pada<br />
pemutar Goniometer optic berbasis mikrokontroler<br />
terlihat bahwa grafik yang didapat antara keduanya<br />
berhimpit satu sama lain, dan nilai R(kelinieritas<br />
grafik) untuk pengukuran interfacial angle pada<br />
pemutar gonio meter adalah sebesar 0,9962. Yang<br />
berarti data yang di dapat oleh alat tersebut dapat<br />
dikatakan sesuai dengan nilai secara perhitungan<br />
yang ada<br />
D84
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Lampiran<br />
step besar sudut<br />
ke pengukuran perhitungan<br />
4 0 0,21928934<br />
8 0 0,43857868<br />
12 0 0,65786802<br />
16 0 0,87715736<br />
20 1 1,096446701<br />
24 1 1,315736041<br />
28 1 1,535025381<br />
32 1 1,754314721<br />
36 2 1,973604061<br />
40 2 2,192893401<br />
44 2 2,412182741<br />
48 2 2,631472081<br />
52 2 2,850761421<br />
56 3 3,070050761<br />
60 3 3,289340102<br />
64 3 3,508629442<br />
68 3 3,727918782<br />
72 4 3,947208122<br />
76 4 4,166497462<br />
80 4 4,385786802<br />
84 4 4,605076142<br />
88 4 4,824365482<br />
92 5 5,043654822<br />
96 5 5,262944162<br />
100 5 5,482233503<br />
104 5 5,701522843<br />
108 6 5,920812183<br />
112 6 6,140101523<br />
116 6 6,359390863<br />
120 6 6,578680203<br />
124 7 6,797969543<br />
128 7 7,017258883<br />
132 7 7,236548223<br />
136 7 7,455837563<br />
140 8 7,675126904<br />
144 8 7,894416244<br />
148 8 8,113705584<br />
152 8 8,332994924<br />
156 8 8,552284264<br />
160 9 8,771573604<br />
164 9 8,990862944<br />
168 9 9,210152284<br />
172 9 9,429441624<br />
176 10 9,648730964<br />
180 10 9,868020305<br />
184 10 10,08730964<br />
188 10 10,30659898<br />
192 10 10,52588832<br />
196 11 10,74517766<br />
200 11 10,96446701<br />
204 11 11,18375635<br />
208 11 11,40304569<br />
212 12 11,62233503<br />
216 12 11,84162437<br />
220 12 12,06091371<br />
224 12 12,28020305<br />
228 13 12,49949239<br />
232 13 12,71878173<br />
236 13 12,93807107<br />
240 13 13,15736041<br />
244 13 13,37664975<br />
248 14 13,59593909<br />
252 14 13,81522843<br />
256 14 14,03451777<br />
260 14 14,25380711<br />
264 15 14,47309645<br />
268 15 14,69238579<br />
272 15 14,91167513<br />
276 15 15,13096447<br />
280 16 15,35025381<br />
284 16 15,56954315<br />
288 16 15,78883249<br />
292 16 16,00812183<br />
296 16 16,22741117<br />
300 17 16,44670051<br />
304 17 16,66598985<br />
308 17 16,88527919<br />
312 17 17,10456853<br />
316 18 17,32385787<br />
320 18 17,54314721<br />
324 18 17,76243655<br />
328 18 17,98172589<br />
332 19 18,20101523<br />
336 19 18,42030457<br />
340 19 18,63959391<br />
344 19 18,85888325<br />
348 20 19,07817259<br />
352 20 19,29746193<br />
356 20 19,51675127<br />
360 20 19,73604061<br />
364 20 19,95532995<br />
368 21 20,17461929<br />
372 21 20,39390863<br />
376 21 20,61319797<br />
380 21 20,83248731<br />
384 21 21,05177665<br />
388 22 21,27106599<br />
D85
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Development of Screen Printed Glucose Biosensor with Direct<br />
Immobilization Technique<br />
Pratondo Busono, Nur Hajiyah and Subintoro<br />
Technology Division for Biomedical Engineering, Center for Pharmaceutical and Medical Technology<br />
Gedung II BPPT Lt.15, Jl. MH Thamrin No.8, Jakarta, Indonesia<br />
Tel. +62-21-316 9542<br />
Email : prabusono@yahoo.com<br />
Abstract<br />
The development of analytical methods that response to the growing need to perform the rapid in situ<br />
measurements show that the screen printed electrode as an alternative to the conventional electrode. Currently,<br />
most disposable glucose biosensors available in the market were fabricated using screen printing method.<br />
Fabrication of electrode was conducted by printing the conductive inks such as carbon, silver, silver chloride ink<br />
on the surface of PVC or ceramic sheet. Enzyme immobilizations (glucose oxidase) were conducted by<br />
electropolymerization of pyrrol (Aldrich). In order to enhance the GOD activity, the GOD was modified with<br />
ferrocene derivatives. The qualitative information about the electrochemical reactions on the biosensor were<br />
determined by cyclic voltammetry.<br />
Keywords : biosensor, screen printed electrode, glucose oxidase, glucose.<br />
Introduction<br />
The challenge faced by the clinical chemist is<br />
the development of techniques that respond the<br />
growing need to perform rapid in situ analyses.<br />
These methods must be sensitive, accurate and able<br />
to determine the various substance with different<br />
properties in real life sample (G.G. Gilbaut, 1991)<br />
Biosensors are currently received great interest,<br />
because of the possibilities they offer an accurate<br />
measurements of wide variety of analytes such as<br />
glucose, urea, uric acid etc.<br />
Disposable biosensor is a device suitable to<br />
respond such challenges. In this biosensor, the<br />
substrate active enzyme layer is placed directly on<br />
the surface of transducer which measures of the<br />
concentration of the product formed in the<br />
enzymatic reactions. Starting from the publication of<br />
Clark and Lyons (Jie Liu, 2001), the first type of<br />
biosensor is amperometric biosensors. The<br />
amperometric biosensors measure the changes of the<br />
current of indicator electrode by direct<br />
electrochemical oxidation or reduction of the<br />
products of the biochemical reactions (IP.R.Coulet<br />
et al, 1991). In amperometric biosensors, the<br />
potential at the electrode is held constant, while the<br />
current is measured.<br />
The important process in the fabrication of<br />
disposable biosensor is the manufacturing of<br />
electrode and enzymatic immobilization to the<br />
transducer. Electrode fabrication was performed<br />
using screen printing technique in which the<br />
conductive inks (carbon, silver, silver chloride and<br />
insulator) were deposited onto the polyester<br />
substrate in a film of controlled pattern and<br />
thickness to obtain overlapping layers. The<br />
enzymatic immobilization is performed by<br />
electropolymerization of pyrrol in a controllable<br />
voltage and time. This method allows an easy and<br />
cheap manufacture without a great lost of enzymatic<br />
activity.<br />
The performance of the proposed biosensors<br />
has been checked for its capability of detection and<br />
its activity.<br />
Experiment<br />
Screen printed electrode preparation<br />
Manual screen printing system was used to<br />
fabricate the electrode. Twenty screen printed cell<br />
with three electrodes each one were printed per<br />
sheet.. The inks were deposited onto the polyester<br />
substrate in a film of controlled pattern and<br />
thickness to obtain overlapping layers. At first the<br />
silver tracks were printed, then the graphite pad was<br />
positioned over part of the silver track, to obtain the<br />
working and the counter electrodes. Finally, the<br />
insulating layer with openings that allow the<br />
electrical contact with the circuit at one end and the<br />
analyte solution at the other end, was deposited. In<br />
addition, the silver electrical contacts were covered<br />
by a graphite layer in order to prevent the oxidation<br />
phenomena. It is important to note that the silver<br />
pseudo-reference electrode is more stable when<br />
chlorides are present in solution. Thus the use of at<br />
least 10 mM of chlorides is suggested.<br />
D86
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Enzyme Immobilization<br />
1. PPy/GOx biosensor was prepared by<br />
polarising the electrode at 0.85 V in aquaous<br />
0.05 mol/L pyrol + 0.1 mol/L KCl + 5 mg<br />
GOx solution. Electrochemical<br />
polymerization was carried out.<br />
2. PPy/GOx/ferrocene biosensor was prepared<br />
by polarizing the electrode at 0.85 V in waterethhanol<br />
(1:1 v/v) suspension containing<br />
ferrocene (Aldrich), the monomer and the<br />
GOx enzyme<br />
Instrumentation<br />
The electrochemical properties of the biosensor<br />
were determined by cyclic voltammetry and constant<br />
potential technique. The potentiostat was Uniscan<br />
PG-50 which is connected to the computer. The<br />
electrochemical experiments were carried out using<br />
a blank screen printed electrode.<br />
Results<br />
Figure 1 shows the SEM photograph of<br />
working electrode surface fabricated from carbon<br />
ink (Electrodag ) mixed with with carbon powder.<br />
Figure 1. SEM photograph of working electrode.<br />
The responses of screen printed electrodes were<br />
evaluated by cyclic voltammetric measurements.<br />
The response time, detection limit, linearity range,<br />
sensitivity and electrode reproducibility was studied.<br />
Figure 2 shows the electrochemical screenprinted<br />
electrode produced at the Center for<br />
Pharmaceutical and Medical Technology (PTFM),<br />
BPPT. These planar electrochemical electrodes can<br />
be used as “drop-on sensors” and only 50 microliters<br />
of sample solution is required to perform the<br />
measurements.<br />
Electrochemical properties of the biosensor was<br />
measured using cyclic voltammetry technique. A<br />
current increase was observed when glucose was<br />
added on the surface of electrode.<br />
Figure 3. Cyclic voltammogram of glucose biosensor for glucose<br />
concentration of 1 mmol/L.<br />
Figure 3 illustrates the expected response of a<br />
reversible redox couple during single potential cycle<br />
for biosensor containing glucose oxidase. It shown<br />
that for the redox process , the cathodic current<br />
begins to increase, until peak is reached. The<br />
characteristic peak might be caused by the formation<br />
of the diffusion layer on the surface of the electrode.<br />
In the measurement the value of the equivalent<br />
current in nanoampere should be divided by 100.<br />
Figure 4 shows the calibration curve of the<br />
disposable biosensor. From the measurements it was<br />
observed that glucose biosensor has working range<br />
from 4 to 10 mM/L. The response time needed to<br />
reach the 90 % steady state response was 15 s.<br />
Current [nA]<br />
12.00<br />
11.00<br />
10.00<br />
Y = 0.6875 * X + 4.75<br />
9.00<br />
8.00<br />
4.00 6.00 8.00 10.00<br />
Glucose [mmol/L]<br />
Figure 4. Calibration curve for glucose biosensor<br />
Figure 2. Screen printed electrode based disposable biosensor<br />
D87
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Specific Activity [Percentage]<br />
100.00<br />
90.00<br />
80.00<br />
70.00<br />
60.00<br />
0.00 1.00 2.00 3.00<br />
Time [days]<br />
Figure 5. Biosensor activity as a function of time<br />
Figure 5 shows the biosensor activity as a<br />
function time. It is shown the during the first day of<br />
operation, the sensitivity decrease almost 25 % from<br />
the initial activity. It remains stable after 1 day<br />
operation.<br />
Conclusion<br />
The following concluding remarks have been drawn<br />
from the study:<br />
3. Screen printed graphite electrode for disposable<br />
glucose biosensor has been fabricated.<br />
4. Electro polymerization technique of pyroll has<br />
been used to immobilized enzyme on the<br />
electrode surface. A mediator has been used to<br />
enhance the electron transfer in the enzymatic<br />
reaction.<br />
5. Cyclic voltammetry measurement had been<br />
performed to obtain the quantitative information<br />
about the electrochemical reaction on the<br />
biosensor electrodes.<br />
6. A calibration curve for various glucose<br />
concentration has been made in the study .<br />
7. Biosensor activity as a function of time has also<br />
been investigated in this study.<br />
References<br />
G.G. Gilbaut, A.A. Suleiman, O.Fatibello-<br />
Filho,M.A. Nabirahni, “ Immobilized<br />
Bioelectrochemical Sensor “, in<br />
Bioinstrumentation and Biosensor ( editor<br />
Donald E.Wise), Marcel Dekker Inc, New<br />
York, 1991.<br />
M. Mascini, I. Palchetti, “Electrochemical biosensor<br />
for evaluation of contaminants in food for<br />
quality improvement”, Archives of industrial<br />
Hygiene and Toxicology, n. 1, vol. 52, 2001,<br />
49-59.<br />
A. Cagnini, I. Palchetti, I. Lionti, M. Mascini, A.P.F.<br />
Turner, “Disposable ruthenized screenprinted<br />
biosensors for pesticides monitoring”,<br />
Sensors and actuators B 24-25, (1995), 85-<br />
89.<br />
IP.R.Coulet, G.Bardeletti, and F.Sechaud, “<br />
Amperometric Enzyme Membran<br />
Electrodes”, In Bioinstrumentation and<br />
Biosensors (editor Donald E.Wise), Marcel<br />
Dekker Inc, New york, 229-249,1991.<br />
Jie Liu and Joseph Wang, “ A Novel Improved<br />
Design for the First Generation Glucose<br />
Biosensor”, Food Technol. Biotechnol,39 (1)<br />
55-58, 2001.<br />
Acknowledgments<br />
This work was funded Ministry of Research and<br />
Technology under Grant of Riset Insentif 2008-<br />
2010.<br />
D88
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Hasil Pengukuran Fungsi Arus Tegangan pada Sel Surya Silikon<br />
Satwiko Sidopekso<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />
Universitas Negeri Jakarta (UNJ)<br />
Jl. Pemuda No. 10, Rawamangun, Jakarta 13220<br />
E-mail: sidopekso61@yahoo.com.au<br />
Abstrak<br />
Salah satu upaya mengoptimalkan daya keluaran listrik pada modul surya dengan cara memaksimalkan intensitas<br />
sinar yang jatuh ke permukaan modul surya yaitu menggunakan cermin datar (ruang cermin). Hasil yang<br />
diperoleh menunjukan terdapat peningkatkan output dari modul surya. Nilai Isc, Voc dan P out tertinggi berturut<br />
yaitu sebesar 2.13 ampere; 20,483 volt dan 35,34 watt. Sedangkan nilai Isc, Voc dan P out tertinggi tanpa ruang<br />
cermin berturut yaitu sebesar 0,78 ampere; 19,24 volt dan 12 watt. Prosentase kenaikan daya output pada modul<br />
surya dapat mencapai 64,22% , efisiensi tertinggi modul surya pada ruang cermin sebesar 13,47 % dengan<br />
menggunakan daya lampu terendah. Pendekatan secara matematik dilakukan guna mendapatkan hasil yang<br />
berkesesuaian antara teori dasar hubungan rangkaian diode dengan hasil eksperimen lapangan.<br />
Kata Kunci : Modul Surya, Mengoptimalkan Output listrik, dan rangkaian diode<br />
PENDAHULUAN<br />
Potensi energi cahaya matahari sebagai sumber<br />
energi terbarukan banyak tersedia di alam. Listrik<br />
tenaga matahari dibangkitkan oleh komponen yang<br />
disebut solar cell. Komponen ini mengkonversi<br />
energi dari cahaya matahari menjadi energi listrik.<br />
Sebagai salah satu ukuran performansi sel surya<br />
adalah efisiensi. Tetapi pada kenyataannya,<br />
effisiensi dari sel surya yang ada saat ini masih<br />
rendah. Antara lain sel surya jenis monocrystalline<br />
silicon efisiensinya 12-15 %, jenis multiycrystalline<br />
silicon 10-13 %, amorphous silicon 6-9 %. [1].<br />
Untuk itu perlu upaya untuk mengoptimalkan output<br />
daya listrik pada modul sel surya, salah satunya<br />
dengan cara memaksimalkan intensitas sinar yang<br />
jatuh ke permukaan modul surya dengan<br />
menggunakan cermin datar.<br />
Dalam mengembangkan sel surya perlu<br />
diketahui karakteristik elektrik sel surya bagaimana<br />
arus akan berubah dengan berubahnya tegangan<br />
keluaran. Karakteristik ini digambarkan oleh kurva<br />
arus-tegangan terminalnya (kurva I-V).<br />
Berdasarkan uraian di atas, maka pada<br />
penelitian ini akan diamati karakteristik listrik sel<br />
surya silikon menggunakan cermin datar yang<br />
ditampilkan dalam kurva I-V sehingga dapat<br />
diketahui parameter-parameter keluarannya.<br />
DASAR TEORI<br />
Sel fotovoltaik dapat dimodelkan sebagai<br />
sumber arus yang diparalelkan dengan diode.<br />
Ketika tidak ada cahaya untuk membangkitkan arus<br />
listrik, maka sel fotovoltaik berjalan seperti diode.<br />
Ketika intensitas cahaya meningkat maka arus dapat<br />
dibangkitkan oleh sel fotovoltaik tersebut. Hal ini<br />
dapat dijelaskan oleh gambar berikut.<br />
Gambar 1. a) Kurva arus-tegangan pada sel fotovoltaik dan b)<br />
diagram elektrik.<br />
Persamaan dasar dari teori semikonduktor yang<br />
dapat menjelaskan karakteristik arus-tegangan<br />
secara matematik pada sel fotovoltaik ideal adalah<br />
sebagai berikut:<br />
....... 1)<br />
dimana :<br />
IL = arus yang timbul akibat sel fotovoltaik<br />
disinari<br />
I0 = arus saturasi dioda (ampere)<br />
q = muatan elektron, 1.602 x 10-19C<br />
V = tegangan yang didapat (volt)<br />
I = arus keluarannya (ampere)<br />
k = konstanta Boltzman, 1.38 x 10-23 J/K<br />
T = temperatur sel (Kelvin)<br />
Secara ideal, IL sama dengan arus short circuit<br />
dan dengan membuat I = 0 memberikan harga<br />
tegangan open circuit yang ideal, yaitu :<br />
…… 2)<br />
D89
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dimana sel surya dapat dimodelkan dengan<br />
rangkaian pengganti satu diode seperi pada gambar 2<br />
berikut:<br />
Gambar 2. Model untuk single solar<br />
Pada persamaan 2.2 banyak terdapat parameter<br />
yang mempengaruhi kurva karakteristik arustegangan,<br />
diantaranya yaitu : temperature<br />
mempengaruhi arus fotolistrik.<br />
Tegangan yang dihasilkan dari sel surya<br />
bergantung dari temperatur sel surya, makin besar<br />
temperatur tegangan berkurang sekitar 0.0023<br />
volt/oc untuk crystalline silicon atau sekitar 0.0028<br />
volt/ oc untuk teknologi thin film. Daya listrik juga<br />
mengalami penurunan sampai 0.5%/ oc untuk<br />
crystalline silicon atau sekitar 3%/ oc untuk thin film<br />
[3].<br />
Daya sesaat adalah perkalian antara intensitas<br />
radiasi matahari yang diterima dengan luas PV<br />
modul dengan persamaan :<br />
Pin = Ir x A .......................... (3)<br />
dimana :<br />
Pin = Daya Input akibat irradiance matahari (Watt)<br />
Ir<br />
A<br />
= Intensitas radiasi matahari (Watt/m2)<br />
= Luas area permukaan photovoltaic modul<br />
(m2)<br />
Sedangkan untuk besarnya daya solar cell<br />
(Pout) yaitu :<br />
Pout = Voc x Isc x FF .…….(4)<br />
dimana :<br />
Pout = Daya yang dibangkitkan oleh sel surya<br />
(Watt)<br />
Voc = Tegangan rangkaian terbuka pada sel surya<br />
(Volt)<br />
Isc = Arus hubungan singkat pada sel surya<br />
(Ampere)<br />
FF = Fill Factor<br />
Persamaan fill factor ini untuk mengukur<br />
bagaimana luasan persegi pada karakteristik I-V<br />
suatu sel surya. Harga fill factor ini biasanya sekitar<br />
0.7 sampai 0.85 [4] Harga fill factor dapat<br />
merupakan fungsi Voc. Secara empiris hubungan<br />
antara fill factor dengan Voc adalah :<br />
Voc − ln( Voc + 0.72)<br />
FF =<br />
.....(5)<br />
Voc + 1<br />
dengan menggunakan fill factor juga dapat<br />
diperoleh efisiensi dari energi sel surya.<br />
Vmp.Im<br />
p<br />
η =<br />
Pin<br />
Voc.<br />
Isc.<br />
FF<br />
η =<br />
.............. (6)<br />
Pin<br />
Pout<br />
η = × 100%<br />
Pin<br />
EXPERIMENT<br />
Pada penelitian ini digunakan modul surya yang<br />
terdiri dari 36 sel (9 sel disusun seri dan 4 sel<br />
paralel) dimana setiap sel berukuran (10x10) cm2.<br />
Mengukur tegangan keluaran modul melalui<br />
microcontroler yang hasilnya dapat dibaca langsung<br />
melalui PC tanpa dihubungkan dengan beban<br />
sehingga didapatkan nilai Voc.<br />
Serta mengukur arus keluaran modul didapatkan<br />
nilai Isc. Dengan mengubah-ngubah hambatan<br />
beban dari hambatan kecil hingga besar diperoleh<br />
nilai V dan I<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Intensitas cahaya secara proposional akan<br />
menghasilkan arus yang berubah. Seperti gambar<br />
berikut, bermacam-macam intensitas cahaya.<br />
Gambar 4.1. kurva karakteristik I-V dengan intensitas 256,26<br />
watt/m2 ; 325,24 watt/m2 dan 669,3 watt/m2 pada jarak 87 cm<br />
dalam ruang kaca<br />
Hubungan arus (I) dan tegangan keluaran (V)<br />
dari sebuah sel surya dalam modul diperoleh dengan<br />
mengubah resistansi beban yang mencakup<br />
jangkauan luas tertentu, dan dengan memperhatikan<br />
jumlah cahaya yang mengenai permukaan sel<br />
tersebut.<br />
Karaktersistik I-V yang ditunjukkan pada kurva<br />
4.1 diamati saat modul disinari oleh sumber lampu<br />
Halogen yang diletakkan tegak lurus terhadap<br />
permukaan modul pada jarak 87 cm.<br />
4.1 Efisiensi Modul Surya<br />
Seberapa besar energi cahaya dari lampu<br />
halogen yang dapat diubah menjadi energi listrik<br />
dapat diketahui dari efisiensi konversi sel tersebut.<br />
Dari rumus, efisiensi modul surya adalah :<br />
D90
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
8. 256,26 watt/m2: = 13,47 %<br />
9. 325,24 watt/m2: = 12,08 %<br />
10. 669,3 watt/m2: = 11,35 %<br />
Dari data di atas kita dapat melihat bahwa<br />
efisiensi modul surya semakin berkurang dengan<br />
bertambahnya intensitas cahaya yang digunakan, itu<br />
disebabkan karena semakin panasnya ruang kaca<br />
dan modul surya akibat penggunaan intensitas yang<br />
semakin besar. Lampu halogen yang digunakan<br />
memiliki suhu<br />
yang tinggi sehingga semakin besar intensitas<br />
yang digunakan semakin tinggi pula suhunya dan itu<br />
menyebabkan modul surya menjadi panas sehingga<br />
menurunkan kinerjanya.<br />
4.2 Perbandingan Hasil Pengukuran Output<br />
Modul Surya<br />
Output modul surya yang disinari menggunakan<br />
lampu berdaya 2000 watt pada jarak 87 cm , 75 cm<br />
dan 63 cm dengan menggunakan cermin datar<br />
(ruang cermin) sebagai pemantul cahaya dan yang<br />
tanpa menggunakan cermin datar.<br />
40<br />
30<br />
Daya output 20<br />
10<br />
0<br />
87 cm 75 cm 63 cm<br />
Manggunakan ruang 18.27 23.28 33.54<br />
cermin<br />
Tanpa ruang cermin 8.99 10.66 12<br />
Jarak lampu<br />
Gambar 4.4. diagram perbandingan daya output modul surya<br />
Dari diagram di atas dapat dilihat kenaikan daya<br />
output yang dihasilkan. Daya output modul surya<br />
yang menggunakan ruang cermin sebagai media<br />
peningkat intensitas yang masuk ke modul jauh lebih<br />
tinggi dibandingkan dengan daya output yang tanpa<br />
menggunakan ruang cermin.<br />
Persentase kenaikan daya output modul surya dapat<br />
dilihat pada diagram dibawah ini.<br />
80.00%<br />
60.00%<br />
kenaikan<br />
40.00%<br />
daya ouput<br />
20.00%<br />
0.00%<br />
87 cm 75 cm 63 cm<br />
Persentase kenaikan 50.79% 54.21% 64.22%<br />
jarak lampu<br />
Gambar 4.2. kurva karakteristik I-V pada ruang cermin<br />
Gambar 4.3. kurva karakteristik I-V tanpa ruang cermin.<br />
Dari kurva di atas terlihat perbedaan output modul<br />
surya yang dihasilkan, pada kurva 4.2 Voc dan Isc<br />
jauh meningkat dibandingkan pada kurva 4.3 dengan<br />
meningkatnya Voc dan Isc tentu akan meningkat<br />
pula P output yang dihasilkan.<br />
Gambar 4.5. diagram persentase kenaikan daya output modul<br />
surya<br />
Cermin datar berfungsi untuk meningkatkan<br />
intensitas cahaya yang jatuh ke modul surya.<br />
Dengan menggunakan ruang cermin kita bisa<br />
meminimalisir cahaya yang lolos sehingga dapat<br />
meningkatkan output pada modul surya.<br />
4.3 Perbandingan antara hasil pengukuran dengan<br />
perhitungan.<br />
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan<br />
persamaan1 di bandingkan dengan hasil percobaan<br />
pada intensitas lampu halogen 2500 watt diperoleh<br />
kesamaan dengan grafik 4.1 hal ini menunjukan<br />
hasil percobaan dapat didekati secara teori.<br />
KESIMPULAN<br />
Secara umum dapat disimpulkan bahwa output<br />
modul surya yang menggunakan ruang cermin lebih<br />
tinggi dibandingkan tanpa ruang cermin meskipun<br />
lampu yang digunakan adalah lampu monokromatik<br />
(lampu halogen) yaitu lampu yang memiliki sinar<br />
yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi komponen<br />
warna seperti cahaya matahari, dan output yang<br />
dihasilkan pun hampir mendekati spesifikasi yang<br />
terdapat pada panel.<br />
D91
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Arianti, Erna, 2000. Studi Eksperimen Karakteristik<br />
Arus-Tegangan Sel Surya Silikon, Skripsi.<br />
Jakarta: Jurusan Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas<br />
Matematika dan Ilmnu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Negeri Jakarta.<br />
Halim, Abdul, Dr 2001. photovoltaic power system :<br />
Harapan dan Kenyataan Dimensi Waktu<br />
Sains Dan Teknologi. ISEECS<br />
Sungkono, Wijoyo. 2000. Upaya peningkatan<br />
kapasitas daya output photovoltaic melalui<br />
proses pendinginan, Surabaya: Universitas<br />
Kristen Petra.<br />
Wibowo, Hariyanto, 2009. Studi penggunaan solar<br />
reflector untuk optimalisasi output daya pada<br />
photovoltaic (pv). Surabaya : Universitas<br />
Kristen Petra.<br />
D92
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengukur Viskositas dengan Metode Rotasi Silinder Pejal<br />
Setyawan P. Sakti, H.A. Dharmawan, A. H. Pudyasmara<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> – FMIPA Universitas Brawijaya<br />
Jl Veteran Malang 65145 INDONESIA<br />
Email : SetyawanSakti@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Kekentalan (viskositas) bahan cair merupakan salah satu nilai besaran yang cukup penting untuk diketahui.<br />
Berbagai cara pengukuran viskositas telah banyak dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Dari berbagai<br />
cara pengukuran viskositas, salah satu yang mungkin dilakukan proses miniaturisasi adalah viskositimeter<br />
dengan metoda rotasi. Salah satu keuntungan dari metode ini adalah dapat dilakukannya pengukruan viskositas<br />
secara kontinyu. Pada umumnya pengukuran dengan cara ini menggunakan tabung silinder. Pada tulisan ini<br />
dilakukan rancangan dan percobaan dengan melakukan miniaturisasi ukuran silinder. Silinder yang<br />
dipergunakan adalah silinder pejal dengan diameter berukuran 3mm, 4mm dan 5mm. Motor DC dipergunakan<br />
sebagai pemutar silinder yang dicelupkan pada fluida yang diukur viskositasnya. Dari percobaan yang dilakukan<br />
diperoleh hubungan linier antara fungsi daya motor dan kecepatan putar (P/ω) terhadap kekentalan fluida (η).<br />
Dari ketiga ukuran silinder yang dipakai diperoleh hubungan linier yang memiliki factor korelasi hampir sama.<br />
Namun penggunaan silinder dengan diameter 4mm menunjukkan hubungan terbaik dibandingkan silinder<br />
dengan diameter 3mm dan 5mm. Pada percobaan dengan menggunakan oli sebagai cairan yang diukur, korelasi<br />
linier hubungan antara P/ω dan η diperoleh sebesar 0.93. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan<br />
metode rotasi silinder dengan ukuran kecil untuk mengukur viskositas dapat dilakukan sehingga memungkinkan<br />
dikembangkannya alat ukur viskositas kontinyu dengan ukuran kecil.<br />
Keywords : viskositas, metode rotasi, silinder pejal.<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Viskositas merupakan sifat dasar dari fluida<br />
yang menunjukkan nilai keengganan (resistansi)<br />
fluida untuk mengalir. Seluruh benda cair memiliki<br />
viskositas. Viskositas merupakan salah satu nilai<br />
besaran fisis yang banyak memegang peran dalam<br />
berbagai proses fisis maupun kimiawi. Viskositas<br />
suatu zat cair memiliki pengaruh terhadap berbagai<br />
mekanisme kerja pada mesin, pada proses produksi,<br />
pada sirkulasi darah manusia, dan lain-lain.<br />
Pada proses produksi viskositas memegang<br />
peran pada hasil produk. Pada reaksi kimia maka<br />
nilai viskositas akan berperan dalam menentukan<br />
kondisi-kondisi optimum dari suatu proses reaksi.<br />
Berbagai disain peralatan pencetakan, permesinan<br />
(pelumas), disain pompa, system injeksi dll<br />
memerlukan penentuan nilai viskositas untuk dapat<br />
menghasilkan kondisi kerja optimum karena<br />
melibatkan fluida.<br />
Karakterisik aliran fluida yang berhubungan<br />
dengan viskositas dikelompokkan dalam dua<br />
kelompok besar, yaitu Newtonian dan non<br />
Newtonian [1]. Pada fluida Newtonian nilai<br />
viskositas tidak tergantung pada gaya geser terhadap<br />
fluida, sedangkan pada fluida non Newtonian<br />
viskositas tergantung pada gaya geser pada fluida.<br />
Viskositas fluida dipengaruhi oleh suhu dan<br />
tekanan. Sehingga dalam berbagai proses (misalnya<br />
pelumas pada mesin) nilai viskositas akan berubah<br />
seiring dengan kenaikan suhu fluida (oli). Viskositas<br />
fluida juga akan berubah karena adanya perubahanperubahan<br />
internal dari fluida akibat keausan selama<br />
dipergunakan. Sebagai contoh adalah oli yang<br />
semakin encer ketika lama dipergunakan. Polimer<br />
dengan rantai yang panjang diketahui pada<br />
umumnya memiliki viskositas yang besar dan ketika<br />
rantai polimer putus semakin pendek viskositas<br />
menjadi turun.<br />
Pengetahuan tentang nilai viskositas zata cair<br />
yang dipergunkan dapat memiliki dampak ekonomi<br />
dan lingkungan yang besar. Sebagai conoh adalah<br />
oli pelumas. Penggunaan oli pelumas di Indonesia<br />
pada tahun 2008 adalah sejumlah 650 juta liter<br />
dengan sektor otomotive menggunakan sejumlah<br />
60% nya [2]. Pertumbuhan penggunaan diperkirakan<br />
mencapai 10% per tahun. Dalam penggunaan oli<br />
untuk pelumas, pengguna biasanya akan mengganti<br />
oli pelumas berdasarkan jarak tempuh kendaraan<br />
bermotor. Pada umumnya penggantian dilakukan<br />
pada jarak tempuh antara 2500KM sampai dengan<br />
5000KM tergantung pada jenis pelumas yang<br />
dipergunakan. Penggantian dilakukan tanpa perlu<br />
mengetahui apakah viskositas pelumas masih layak<br />
dipergunakan atau sudah waktunya untuk diganti.<br />
Pada mesin industry penggantian pelumas dilakukan<br />
secara periodic berdasarkan waktu kerja mesin.<br />
Dalam hal pergantian pelumas, penggantian<br />
terlalu awal, yang umumnya dipilih oleh pengguna<br />
karena tidak mau mengambil resiko kerusakan<br />
mesin, merupakan suatu pemborosan sumber daya,<br />
sedangkan keterlambatan penggantian akan<br />
D93
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
berakibat pada laju kerusakan mesin yang lebih<br />
cepat. Dengan demikian pengukuran nilai viskositas<br />
penting untuk memperoleh kondisi optimum<br />
penggunaan oli. Dengan demikian maka pengukuran<br />
nilai viskositas secara langsung (online atau offline)<br />
dengan sampel sedikit dan praktis dipergunakan<br />
dapat membantu dalam menentukan kelayakan<br />
penggunaan pelumas secara parktis.<br />
Pada dasarnya viskositas dapat diukur dengan<br />
menggunakan banyak metode. Dari berbagai<br />
metode yang ada antara lain adalah dengan metode<br />
kapiler, bola jatuh, rotasi benda dalam fluida,<br />
ultrasonic [3] atau vibrasi [4]. Dari beragai metode<br />
yang ada, yang mungkin dikembangkan untuk suatu<br />
system pengukuran online adalah metode dengan<br />
vibrasi, ultrasonic atau rotasi benda.<br />
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan<br />
teknik pengukuran viskositas dengan metode rotasi<br />
benda dengan menggunakan batang pejal dan motor<br />
DC. Penggunaan silinder pejal dengan diameter<br />
kecil dipilih dengan pertimbangan untuk dapat<br />
dipergunakan dalam pengukuran sampel dengan<br />
volume sedikit.<br />
II. TEORI DAN EKSPERIMEN<br />
A. Pendekatan Teori<br />
Dalam disain viscometer rotasi pada dasarnya<br />
adalah menggunakan metode yang dikembangkan<br />
oleh Mac Michael dan Stormer. Pada teknik ini<br />
dipergunakan tabung silinder besar dan tabung luar<br />
dengan fluida berada diantaranya. Prinsip dasar dari<br />
metode ini adalah adanya gaya geser fluida pada<br />
dinding silinder seperti tampak apada gambar 1.<br />
Secara digaramatis maka akibat adanya gaya putar<br />
pada salah satu silinder, maka luida akan<br />
meneruskan gaya geser ke silinder lain yang<br />
selanjutnya dapat diukur torsinya.<br />
Gbr. 1 Viscometer dua silinder<br />
Pada system seperti gambar 1, maka persamaan<br />
viskositas [5] dapat dinyatakan seperti pada<br />
persamaan (1).<br />
= T ⎡ 1 1 ⎤<br />
η − ⎢ −<br />
(1)<br />
2 ⎥<br />
4 π ω L ⎣r<br />
2<br />
2<br />
r1<br />
⎦<br />
T = Torsi (N.m)<br />
η = Koefisien viskositas (N.s/m 2 )<br />
r 1 = jari-jari silinder dalam (m)<br />
r 2 = ari-jari silinder luar (m)<br />
L = Panjang silinder (m)<br />
ω = Kecepatan putar (rps)<br />
Dengan membuat silinder dalam r 1 jauh lebih<br />
kecil dari silinder luar r 2 , maka kita dapat<br />
memperoleh persamaan menjadi:<br />
T 1<br />
η =<br />
(2)<br />
2<br />
4 π ω L r 1<br />
Sehingga untuk panjang silinder tetap dan diameter<br />
tetap maka viskositas merupakan hubungan<br />
langsung dengan Torsi dan kecepatan putar silinder.<br />
Dengan motor DC untuk memutar silinder,<br />
maka kendali dapat dilakukan melalui dua cara yaitu<br />
dengan menjaga kecepatan putar tetap atau menjaga<br />
torsi yang dikeluarkan tetap. Kecepatan putar motor<br />
DC dapat dibuat tetap dengan system umpan balik<br />
dengan melakukan perubahan pada arus dan atau<br />
tegangan. Sedangkan pada kondisi dimana tegangan<br />
dan arus dibuat konstan, maka daya yang dihasilkan<br />
oleh motor akan tetap sehingga perputaran silinder<br />
(motor DC) akan berubah akibat adanya viskositas<br />
dari fluida. Alternatif lain yang dapat dilakukan<br />
adalah dengan sekaligus mengukur daya pada motor<br />
dan kecepatan putar motor. Dengan asumsi bahwa<br />
torsi yang dihasikan oleh motor adalah linier dengan<br />
daya pada motor (P), maka persamaan 2 dapat<br />
didekati dengan suatu model pada persamaan 3.<br />
P<br />
η = k<br />
(3)<br />
ω<br />
dengan k adalah suatu konstanta yang ditentukan<br />
dari percobaan yang disebabkan oleh: karakteristik<br />
daya motor, diameter silinder dan kedalaman<br />
silinder yang tercelup ke dalam fluida. Dengan<br />
mengukur daya dan kecepatan putar maka secara<br />
teoritis diharapkan akan diperoleh hasil linier antara<br />
P/ω terhadap η.<br />
B. Disain system dan bahan<br />
Pada percobaan ini maka dipergunakan<br />
konstruksi system seperti pada gambar 2. Pada<br />
gambar 2 arus dan tegangan yang diberikan ke<br />
motor DC diukur secara langsung dengan<br />
menggunakan voltmeter dan ampermeter. Hal ini<br />
dilakukan untuk mengetahui yang masuk ke motor<br />
DC karena diperkirakan tegangan dan arus yang<br />
masuk ke motor akan dipengaruhi oleh beban yang<br />
dikenakan pada motor.<br />
-<br />
Voltmeter<br />
00.0<br />
+<br />
R<br />
Amperemeter<br />
00.0<br />
Opto coupler<br />
LCD<br />
PengaturMotor DC<br />
Gbr. 2 Konfigurasi system pengukuran<br />
Pencacah<br />
Frekuensi<br />
D94
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pada percobaan dipergunakan 3 macam silinder<br />
pecal dengan diameter 3mm, 4mm dan 5mm dengan<br />
panjang silinder yang tercelup ke dalam fluida<br />
sedalam 4cm. Silinder pejal yang dipergunakan<br />
adalah silinder baja (stainless steel). Motor DC yang<br />
dipergunakan adalah motor DC 12V tipe EG-<br />
530AD-2B. Motor ini dapat bekerja pada rentang<br />
tegangan 8.4 s/d 15 volt dengan torsi tanpa beban<br />
sebesar 8 gram cm. Motor DC dikendallikan dengan<br />
memberikan tegangan masukan sebesar 12V DC.<br />
Kecepatan putar diukur dengan menggunakan<br />
optocoupler yang dihubungkan ke pencacah<br />
frekuensi. Untuk mengukur frekuensi digunakan<br />
frekuensi counter Hameg HM-11.<br />
Pengukuran dilakukan dengan melakukan<br />
pencatatan arus, tegangan dan kecepatan putar pada<br />
saat silinder putar dicelupkan ke dalam oli sedalam<br />
4cm. Pengukuran dilakukan pada berbagai macam<br />
oli. Masing-masing pengukruan dilakukan sebanyak<br />
5 kali.<br />
Bahan fluida yang dipergunakan adalah oli<br />
bekas dan oli baru dengan berbagai jenis viskositas.<br />
Pemilihan oli baru dan oli bekas dipilih dengan<br />
pertimbangan ketersediaan ragam viskositas. Untuk<br />
penentuan viskositas oli sebagai acuan awal<br />
dipergunakan metode bola jatuh pada kolom fluida<br />
dengan menggunakan hokum Stokes.<br />
III. HASIL PERCOBAAN & ANALISIS<br />
Pada percobaan pengukuran viskositas oli yang<br />
dipergunakan diperoleh sebaran viskositas oli yang<br />
beragam seperti pada Tabel 1. Dari table dapat<br />
dilihat bahwa sebaran viskositas fluida yang<br />
dipergunakan cukup memadai untuk dipergunakan<br />
karena memberikian nilai-nilai viskositas yang<br />
tersebar. Pada setiap oli bekas yang dipergunakan<br />
kekentalannya lebih rendah dari oli yang belum<br />
dipergunakan. Campuran antar oli tidak dilakukan<br />
agar homogenitas fluida dapat terjamin dengan baik.<br />
Hasl ini disebabkan pencampuran antar fluida yang<br />
tidak homogen diperkirakan akan mempengaruhi<br />
hasil pengukuran karena akan terjadi fluktuasi<br />
viskositas pada masing-masing fraksi fluida.<br />
Gbr. 3 Hubungan antara daya per kecepatan putar terhadap<br />
viskositas oli<br />
TABEL IV Viskositas Beberapa Oli<br />
Hasil pengukuran pada tegangan, arus dan<br />
kecepatan putar setelah dirata-rata disajikan pada<br />
gambar 3. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara<br />
daya per kecepatan putar (P/ω) terhadap viskositas<br />
fluida (η). Dari gambar 3 dapat dilihat adanya<br />
kecenderungan hubungan linier antara P/ω dan η.<br />
Semakin besar nilai viskositas maka nilai P/ω<br />
semakin besar. Hal ini disebabkan oleh semakin<br />
kecilnya kecepatan putar motor akibat gaya gesek<br />
yang ditimbulkan antara silinder dan fluida. Semakin<br />
kental fluida, maka gaya gesek yang ditimbulkan<br />
semakin besar sehingga mengurangi kecepatan putar<br />
motor.<br />
Dari grafik dapat dilihat bahwa factor diameter<br />
sebagai salah satu parameter fisis yang diubah pada<br />
struktur system ukur memberikan kontribusi pada<br />
kemiringan grafik. Semakin besar diameter, yang<br />
berarti juga semakin luas kontak permukaan silinder<br />
dengan fluida menyebabkan gaya gesek semakin<br />
besar. Hal ini berakibat pada penurunan kecepatan<br />
putar motor sehingga nilai P/ω semakin besar.<br />
Dengan demikian semakin besar diameter maka<br />
sensitivitas system terhadap perubahan nilai<br />
viskositas akan semakin baik. Namun demikian<br />
nampaknya beban yang semakin besar pada motor<br />
juga memberi dampak negatif, sehingga kinerjanya<br />
menjadi kurang baik dan berdampak pada faktor<br />
korelasi yang rendah. Pencarian untuk mendapatkan<br />
ukuran dimater silinder yang optimum perlu<br />
dilakukan.<br />
Hasil ini menunjukkan pendekatan yang diambil<br />
dengan menggunakan inverse dari persamaan (3)<br />
cukup terpenuhi. Namun factor korelasi dari hasil<br />
pengukuran masih kurang baik. Faktor korelasi<br />
terbaik diperoleh pada silinder dengan diameter<br />
4mm dengan nilai 0.93. Namun demikian dari grafik<br />
dapat dilihat bahwa garis tidak memotong sumbu<br />
(0,0). Didapatkan fakta adanya nilai konstanta yang<br />
menyertai persamaan, sehingga persamaan (3)<br />
menjadi:<br />
P<br />
η = k + C<br />
(4)<br />
ω<br />
D95
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan nilai C suatu tetapan yang dari hasil<br />
eskperimen. Nilai C bisa jadi muncul karena disain<br />
system yang tidak sepenuhnya mengikuti model<br />
pada system persamaan (1) yang mengukur torsi<br />
yang ditransmisikan oleh fluida, tetapi pada system<br />
ini mengukur kehilangan torsi akibat gesekan.<br />
Meskipun ada perbedaan dalam disain rancanga<br />
system, namun secara konseptual metode<br />
pengukuran ini memenuhi kaidah dasar bahwa<br />
viskositas adalah merupakan ukuran dara gaya geser<br />
fluida. Sehingga semakin besar viskositasnya gaya<br />
geser untuk menggerakkan fluida semakin besar,<br />
yang berarti pula gaya gesek fluida dengan silinder<br />
semakin besar.<br />
Untuk disain suatu sistem pengukuran dengan<br />
viskositas fluida yang tidak diketahui, maka<br />
persamaan (4) untuk masing-masing silinder pejal<br />
adalah:<br />
P<br />
η =141.4<br />
− 6.33 untuk silinder 3mm,<br />
ω<br />
P<br />
η = 81.1<br />
− 3.68untuk silinder 4mm dan<br />
ω<br />
P<br />
η = 39.6<br />
−1.62<br />
untuk silinder 5mm.<br />
ω<br />
Dari hasil-hasil yang diperoleh didapat suat<br />
kecenderungan semakin besar diameter silinder,<br />
maka konstanta pada persamaan semakin kecil dan<br />
mendekati nol. Hal ini dapat berarti bahwa untuk<br />
ukuran diameter tertentu yang semakin besar, akan<br />
mungkin diperoleh nilai konstanta C persamaan (4)<br />
sama dengan nol, sehingga akan diperoleh<br />
persamaan linier seperti pada persamaan 3. Dengan<br />
menggunakan nilai-nilai pada persamaan di atas,<br />
maka suatu system pengukuran viskositas dengan<br />
silinder pejal dan motor dapat disusun dengan<br />
memasukkan persamaan dalam mikrokontroller.<br />
IV. KESIMPULAN<br />
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa<br />
system pengukuran viskositas dengan menggunakan<br />
silinder pejal tunggal dapat bekerja dengan baik<br />
dengan nilai korelasi terbaik antara varaiable terukur<br />
(daya listrik dan kecepatan putar) terhadap<br />
viskositas sebesar 0.93. Perubahan diameter silinder<br />
menyebabkan laju perputaran silinder menurun<br />
sehingga mempengaruhi nilai koefisien persamaan<br />
linear antara P/ω terhadap η.<br />
Referensi<br />
D.S. Viswanath, T.K. Ghosh, D.H.L. Prasad N.V.K.<br />
Dutt and K.Y. Rani, Viscosity of Liquids,<br />
Netherland, Springer, 2007.<br />
Anonympus, “Cut throat competition feared in<br />
lubricant oil market”, Indonesian<br />
Commercial Newsletter, 2009, July.<br />
S.H. Sheen, H.T. Chien and A.C. Raptis, “An in-line<br />
ultrasonic viscometer”, 21st Annual Review<br />
of Progress in Quantitative Nondestructive<br />
Evaluation Conference, Snowmass, 1994.<br />
O.N. Ashour, Z.A. Chaudry and C.A. Rogers,<br />
“Liquid viscosity measurement using a<br />
longitudinally vibrating PZT ceramic and<br />
electric impedance measurements”, Smart<br />
Structures and Materials 1996: Smart<br />
Sensing, Processing, and Instrumentation,<br />
1996<br />
R.L. Street, G.Z. Watters and J.K. Vennard,<br />
Elementary Fluid Mechanics, Wiley, 1995.<br />
D96
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Analisa Pengaruh Tebal dan Kuat Arus Terhadap Distorsi pada<br />
Pengelasan Multilayer Pelat Datar dengan Menggunakan GMAW Type<br />
Pulsa<br />
Sukendro. Bs, ST 1 , Ir. Mochtar Karokaro, Msc 2 , Ir. Hari Subiyanto, Msc 3 .<br />
Program studi PPs Prodi Sistem Manufaktur FTI ITS<br />
Kampus Jurusan Teknik Mesin ITS Surabaya.<br />
Indonesia<br />
Email : -<br />
Abstrak<br />
Intisari- AISI 1045 termasuk kategori baja heat treatable dan sering digunakan sebagai komponen mesin.. baja<br />
kelompok heat treatable memiliki keunggulan yaitu pada sifat mekanik baja yang dapat dimodifikasi dengan<br />
memberikan heat treatment. Proses perbaikan komponen mesin sering dilakukan dengan pengelasan. Pada<br />
pengelasan sering muncul adanya distorsi sudut. Distorsi sudut muncul akibat masukan panas (H nett ) dan<br />
kecepatan pendinginan yang terjadi pada benda kerja. Perlu dilakukan penelitian hubungan antara tebal pelat dan<br />
arus pengelasan terhadap distorsi sudut. Pada penelitian ini digunakan variabel-variabel proses dengan respon<br />
distorsi sudut. Variable proses yang digunakan adalah tebal pelat dan arus pengelasan. Tebal menggunakan level<br />
8mm, 13mm dan 20mm. Dan pada arus pengelasan menggunakan level 125A, 150A dan 175A. Kemudian<br />
dengan software minitab R14 dapat diketahui model matematis hubungan antara variable-variabel proses<br />
terhadap rerspon. Pada hasil pengukuran dilakukan analisa statistic dengan minitab R14. Dari analisa didapat<br />
persamaan matematik. Dari persamaan matematik menunjukkan bahwa tebal memberikan kontribusi positif<br />
terhadap distorsi dan arus memberikan kontribusi negative. Sehingga semakin besar tebal pelat yang akan dilas<br />
dapat meningkatkan terjadinya distorsi sudut pada hasil lasan. Dan semakin tinggi arus pengelasan yang<br />
digunakan didalam pengelasan dapat mengurangi terjadinya distorsi sudut pada hasil lasan<br />
Keywords : Parameter las, distorsi sudut, analisa statistik.<br />
Pendahuluan<br />
AISI 1045 AISI 1045 termasuk kategori baja<br />
heat treatable dan sering kali digunakan sebagai<br />
komponen –komponen mesin. Baja kelompok heat<br />
treatable memiliki keuntungan, yaitu sifat mekanik<br />
baja yang dapat dimodifikasi dengan memberikan<br />
heat treatment. Proses perbaikan mesin sering<br />
dilakukan dengan pengelasan. Proses pengelasan<br />
sering digunakan las listrik SMAW meskipun pada<br />
alat tersebut memiliki kekurangan-kekurangan. Alat<br />
las GMAW sering digunakan sebagai teknologi baru<br />
yang dapat menutupi kekurangan didalam las listrik<br />
SMAW, misalnya elektroda yang tidak terbatas.<br />
Sehingga dapat digunakan untuk pengelasan<br />
multilayer yang luas.<br />
Didalam proses pengelasan sering muncul adanya<br />
distorsi pada hasil lasan. Distorsi disebabkan oleh<br />
masukan panas dan kecepatan pendinginan yang<br />
tidak seimbang. Distorsi tidak diharapkan terjadi<br />
setelah proses repairing komponen mesin selesai.<br />
Distosi dapat berupa penyusutan kearah<br />
longitudinal, transversal dan kearah sudut. Distorsi<br />
pada komponen mesin dapat menyebabkan noise<br />
yang berakibat kerusakan fatal pada mesin. Untuk<br />
mengetahui pemicu terjadinya distorsi, maka perlu<br />
dilakukan penelitian lanjut mengenai distorsi.<br />
Penelitian ini menggunakan 2 variabel proses<br />
yang dicurigai sebagai pemicu terjadinya distorsi<br />
sudut. Variabel proses pada penelitian ini digunakan<br />
tebal pelat dan arus pengelasan. Data yang didapat<br />
dari pengukuran distorsi sudut, perlu dilakukan<br />
pengujian secara statistik. Kemudian dengan<br />
software minitab R14 didapat model matematik dari<br />
proses. Dari model dapat diketahui sejauh mana<br />
pengaruh tebal pelat dan arus pengelasan<br />
mempengaruhi distorsi sudut.<br />
Dasar Teori<br />
Peneliti-peneliti terdahulu telah meneliti<br />
mengenai pengaruh tebal pelat dan arus pengelasan<br />
terhadap distorsi sudut dengan alat las yang berbedabeda.<br />
Pada penelitian dengan las SMAW (shielded<br />
metal arc welding), menunjukkan bahwa ketebalan<br />
pelat memberikan pengaruh yang signifikan [1].<br />
Kemudian pada penelitian mengenai penggelasan<br />
baja lunak dengan menggunakan SAW (submerged<br />
arc welding), efek kuat arus memberikan pengaruh<br />
yang signifikan terhadap distorsi [10]. Dimana arus<br />
yang digunakan dalam proses pengelasan akan<br />
berbanding lurus dengan laju distorsi. Pada<br />
penelitian mengenai pengaruh parameter las dengan<br />
menggunakan alat las GMAW (gas metal arc<br />
welding) terhadap distorsi, menunjukkan bahwa<br />
tegangan, kuat arus, kecepatan pengelasan dan<br />
D97
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
panjang pengelasan memberikan pengaruh yang<br />
signifikan terhadap laju distorsi sudut [9]. Demikian<br />
juga pada penelitian mengenai pengelasan dua<br />
material yang tidak sejenis, dengan melakukan<br />
pengaturan masukan panas guna mengurangi distorsi<br />
bowing dengan menggunakan GMAW,<br />
menunjukkan bahwa ketahan baja tahan karat<br />
terhadap distorsi bowing kecil meskipun disertasi<br />
dengan perlakukan panas dan pemanasan pada jarak<br />
yang lebar dari garis las dan dapat meningkatkan<br />
distorsi bowing pada baja karbon maupun baja tahan<br />
karat [13]. Pada penelitian mengenai pengaruh tebal<br />
pelat dalam pengelasan dengan SAW (submerged<br />
arc welding), menunjukkan bahwa dengan<br />
kedalaman penetrasi dan pemilihan parameter las<br />
yang tepat dapat meminimalkan terjadinya distorsi<br />
sudut pada pengelasan sambungan T [14]. Pada<br />
pengelasan baja lunak menggunakan GMAW<br />
dengan metal transfer type spray menunjukkan<br />
bahwa arus dan tebal dapat memberikan pengaruh<br />
yang signifikan terhadap distorsi sudut, disamping<br />
itu arus dan tebal memberikan pengaruh yang<br />
signifikan terhadap perubahan struktur mikro dan<br />
kekerasan pada daerah las, khususnya daerah HAZ<br />
[2].<br />
Alat las GMAW secara garis besar adalah las<br />
listrik dengan pelindung nyala api berupa gas. Gas<br />
pelindung dapat berupa inert gas (He dan Ar) dan<br />
actif gas (CO 2 dan O 2 ) ([4], [6]). Nyala busur listrik<br />
saat proses pengelasan akan terselubungi gas<br />
pelindung. Gas pelindung berfungsi melindungi<br />
logam las saat mencair dari udara atmoser dan<br />
menaikkan heat transfer saat gas pelindung<br />
menggunakan actif gas. Elektroda yang digunakan<br />
didalam las GMAW tidak memiliki panjang yang<br />
terbatas. Alat las GMAW semiotomatis ditunjukkan<br />
pada gambar 2.1.<br />
2. metal transfer globular,<br />
3. metal transfer pulsa dan<br />
4. metal transfer spray<br />
Metal transfer yang terjadi dibedakan berdasarkan<br />
penggunaan arus pengelasan. Penggunaan arus<br />
ditunjukkan pada gambar 2.2.<br />
GAMBAR 2.2. PULSA ARUS SEBAGAI REFERENSI YANG<br />
MEMBEDAKAN METAL TRANSFER DIDALAM LAS GMAW [6].<br />
Arus transisi digunakan ketika metal transfer type<br />
pulsa digunakan. Pada diameter elektroda 1mm, arus<br />
pengelasan digunakan 150A [3].<br />
Pemilihan parameter las yang tepat akan<br />
menentukan kualitas hasil las. Salah satu parameter<br />
las adalah arus pengelasan. Arus pengelasan yang<br />
tinggi menyebabkan elektroda akan cepat meleleh,<br />
sehingga juru las cenderung mempercepat kecepatan<br />
pengelasan. Saat arus pengelasan rendah<br />
menyebabkan elektroda sulit meleleh, sehingga juru<br />
las cenderung memperlambat kecepatan pengelasan.<br />
Arus pengelasan berbanding lurus dengan H nett . H nett<br />
merupakan bentuk energi input didalam pengelasan.<br />
Besar energi input dapat mempengaruhi kecepatan<br />
pendinginan. Kecepatan pendinginan juga<br />
dipengaruhi oleh luas permukaan benda kerja yang<br />
terekspos ke udara bebas, yang memungkinkan<br />
terjadinya laju perpindahan panas secara konveksi<br />
[4]. Kecepatan pendinginan menentukan distorsi<br />
sudut pada hasil pengelasan [3].<br />
Distorsi sudut merupakan bentuk penyimpangan<br />
geometri dari hasil pengelasan. Distorsi muncul<br />
sebagai akibat pemuaian saat pemanasan yang tidak<br />
seimbang dengan penyusutan saat fase pendinginan<br />
terjadi. Kontraksi termal saat terjadinya pemanasan<br />
dan ketika berlangsungnya fase pendinginan benda<br />
kerja dapat melampui deformasi plastik [4]. Distorsi<br />
sudut dipengaruhi oleh ketebalan pelat yang<br />
ditunjukkan pada gambar 2.3.<br />
GAMBAR 2.1. A. ALAT LAS GMAW SEMI OTOMATIK. B. PROSES<br />
PENGELASAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT LAS GMAW [4].<br />
Didalam las GMAW dikenal 4 macam metal<br />
transfer, yaitu:<br />
1. metal transfer short circuit,<br />
D98
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Table 3.2. Design eksperimen berdasarkan formasi CCD [7].<br />
GAMBAR 2.3. PENGARUH TEBAL PELAT TERHADAP DISTORSI<br />
SUDUT PADA PENGELASAN ALUMINIUM SERI 5083 [6].<br />
Metode Penelitian<br />
Eksperimen ini merupakan model system<br />
pengelasan pelat datar dengan las GMAW yang<br />
ditunjukkan pada gambar 3.1. Eksperimen ini<br />
diawali dengan penetapan level pada tebal dan<br />
arus pengelasan. Level tebal dan arus pengelasan<br />
ditunjukkan pada tabel 3.1. Eksperimen ini<br />
dibuat dengan<br />
No<br />
Gambar 3.1. Model system.<br />
Table 3.1. Level tebal dan arus pengelasan<br />
Parameter Bebas<br />
Level<br />
-1 0 1<br />
1 X 1 = Tebal Pelat (mm) 8 13 20<br />
2 X 2 = Arus Pengelasan(ampere) 125 150 175<br />
formasi Central Composite Design (CCD). Formasi<br />
CCD didapat dari software minitab R14. Sebagai<br />
inputan yang dimasukkan kedalam software minitab<br />
ditunjukkan pada gambar 3.2. Formasi CCD<br />
ditunjukkan pada table 3.2.<br />
No<br />
test<br />
X 1 X 2 Tebal (mm)<br />
Kuat arus<br />
(ampere)<br />
1 0 -1 13 125<br />
2 0 0 13 150<br />
3 0 0 13 150<br />
4 0 0 13 150<br />
5 -1 1 8 175<br />
6 -1 0 8 150<br />
7 -1 -1 8 125<br />
8 0 0 13 150<br />
9 0 1 13 175<br />
10 1 -1 20 125<br />
11 1 0 20 150<br />
12 1 1 20 175<br />
13 0 0 13 150<br />
Specimen benda kerja digunakan AISI 1045 yang<br />
sering digunakan sebagai bahan pembuatan<br />
komponen mesin. Komposisi kimia dari specimen<br />
benda kerja ditunjukkan pada tabel 3.3.<br />
Table 3.3. Komposisi kimia baja AISI 1045.<br />
Unsur kimia %<br />
Cuprum (Cu) -<br />
Mangan (Mn) 60<br />
Phosfor (P) 1<br />
Sulfur (S) 2<br />
Silikon (Si) 20<br />
Carbon (C) 48<br />
Pelaksanaan pengelasan dilakukan didalam<br />
laboratorium. Pengelasan dilakukan pada posisi 1G.<br />
Layer yang digunakan didalam pengelasan sebanyak<br />
4 layer. Debit gas pelindung CO 2 15 lt/min.<br />
Pengelasan dilakukan secara manual dan dikerjakan<br />
oleh juru las yang bersertifikat juru las. Kecepatan<br />
filler disesuaikan dengan arus pengelasan.<br />
Kecepatan filler 13m/min digunakan pada arus<br />
125A. Kecepatan filler 18m/min digunakan pada<br />
arus 150A. Kecepatan filler 16m/min digunakan<br />
pada arus 175A. Pengukuran distorsi hasil<br />
pengelasan dilakukan dengan menggunakan dial<br />
indicator. Posisi pengukuran ditunjukkan pada<br />
gambar 3.3.<br />
Gambar 3.2. Inputan awal untuk mendapatkan desain CCD.<br />
(A)<br />
D99
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
(B)<br />
GAMBAR 3.3. A. KOORDINAT PENGUKURAN DENGAN DIAL<br />
INDICATOR . B. PENEMPATAN BENDA KERJA SAAT DILAKUKAN<br />
PENGUKURAN DENGAN DIAL INDICATOR [12].<br />
Hasil Penelitian<br />
Hasil eksperimen dalam formasi CCD<br />
ditunjukkan pada tabel 4.1. Data yang ditabelkan<br />
merupakan nilai distorsi maksimum yang terjadi<br />
didalam setiap specimen benda kerja. Data hasil<br />
eksperimen perlu dilakukan pengujian secara<br />
statistic. Pengujian statistic diperlukan sebagai<br />
syarat validitas data secara statistik, yaitu error yang<br />
terjadi identic, error yang terjadi berdistribusi<br />
normal dan independent ([5], [7]). Hasil pengujian<br />
dengan software minitab R14 ditunjukkan pada<br />
gambar 4.1. Hasil analisa variansi data hasil<br />
eksperimen<br />
Table 4.1. Data hasil pengukuran dalam formasi CCD.<br />
Arus Distorsi<br />
No X 1 X 2 Tebal (mm)<br />
(ampere) (°)<br />
1 0 -1 13 125 0.074860<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
0 0 13 150<br />
0 0 13 150<br />
0 0 13 150<br />
-1 1 8 175<br />
-1 0 8 150<br />
-1 -1 8 125<br />
0 0 13 150<br />
0 1 13 175<br />
1 -1 20 125<br />
1 0 20 150<br />
1 1 20 175<br />
0 0 13 150<br />
0.053580<br />
0.049682<br />
0.050342<br />
0.046092<br />
0.046016<br />
0.067149<br />
0.050231<br />
0.045968<br />
0.107000<br />
0.069000<br />
0.059928<br />
0.055400<br />
Gambar 4.1. Hasil analisa dengan menggunakan software minitab<br />
R14.<br />
menunjukkan bahwa tebal pelat memberikan<br />
kontribusi positif terhadap distorsi sudut dan arus<br />
pengelasan memberikan kontribusi negative<br />
terhadap distorsi sudut. Hasil analisa didapat<br />
persamaan matematik yang menggambarkan proses.<br />
Model matematis adalah sebagai berikut,<br />
Ў = 0.0513+0.012779X 1 -<br />
0.016170X 2 +0.007576X 1 2 +0.010482X 2 2 –<br />
0.006504X 12<br />
(3.1)<br />
Pengujian hipotesa variabel-variabel menggunakan<br />
α=0.05. Hasil pengujian variable-variabel didalam<br />
model menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang<br />
signifikan dari variabel-variabel proses terhadap<br />
distorsi sudut. Pengujian error dengan normality test<br />
didapat hasil bahwa error berdistribusi normal<br />
dengan P-value=0.102. Sebaran data pada<br />
autocorrelation menunjukkan bahwa error<br />
independent. Sebaran data didalam plotting diagram<br />
menunjukkan bahwa error identic satu dengan yang<br />
lain. Harga R 2 =98.6% mengindikasikan bahwa<br />
model dapat menggambarkan proses dengan sangat<br />
baik<br />
Model matematis menunjukkan kontribusi<br />
pengaruh tebal pelat dan kuat arus pengelasan<br />
terhadap distorsi sudut. Pengaruh terbesar diberikan<br />
oleh arus pengelasan. Pengaruh terkecil diberikan<br />
oleh tebal pelat. Pengaruh arus memberikan efek<br />
negative pada distorsi sudut. Semakin tinggi arus<br />
pengelasan yang digunakan dapat mengurangi<br />
terjadinya distorsi sudut. Pengaruh tebal<br />
memberikan efek positive pada distorsi sudut.<br />
Semakin tebal pelat yang akan dilas peluang<br />
terjadinya distorsi sudut akan semakin besar. Model<br />
juga menggambarkan proses secara nyata. Model<br />
menggambarkan hubungan tebal dan arus<br />
pengelasan dengan distorsi sudut bukan sebagai<br />
fungsi linier, melainkan fungsi kuadratik yang<br />
ditunjukkan dengan kurva pada grafik yang<br />
berbentuk parabolik. Hubungan tebal dan arus<br />
pengelasan dengan distorsi sudut ditunjukkan pada<br />
gambar 4.2. Kurva grafik<br />
D100
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
δ<br />
0.12<br />
0.1<br />
0.08<br />
0.06<br />
0.04<br />
0.02<br />
0<br />
Pengaruh tebal dan arus terhadap distorsi sudut<br />
0.107<br />
0.07486<br />
0.067149<br />
0.06918<br />
0.059928<br />
0.051848<br />
0.046016 0.046092 0.045968<br />
125 150 175<br />
ampere<br />
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara tebal dan arus<br />
pengelasan dengan distorsi sudut.<br />
tebal8<br />
tebal13<br />
tebal20<br />
menunjukkan bahwa distorsi dipengaruhi oleh tebal<br />
pelat dan arus pengelasan. Ketika tebal pelat yang<br />
dilas semakin tebal dapat menaikkan luasan<br />
permukaan yang terekspos ke udara bebas. Luas<br />
permukaan yang terekspos udara bebas yang<br />
semakin luas dapat menaikkan laju perpindahan<br />
panas secara konveksi. Ketika laju perpindahan<br />
panas naik, maka kecepatan pendinginan pada benda<br />
kerja akan naik. Kecepatan pendinginan yang tinggi<br />
dapat menghambat upaya logam berkontraksi<br />
menuju kekondisi awal. Akibatnya distorsi yang<br />
ditimbulkan pelat dengan tebal 20mm terbesar, jika<br />
dibandingkan dengan yang lain.<br />
Efek yang ditimbulkan tebal pelat datar<br />
berbanding terbalik dengan efek yang ditimbulkan<br />
arus pengelasan terhadap distorsi sudut dan<br />
ditunjukkan dengan penurunan trend pada grafik.<br />
Arus pengelasan adalah factor yang dapat<br />
menaikkan harga H nett . H nett merupakan bentuk<br />
masukan panas yang terjadi pada proses pengelasan.<br />
Ketika H nett mengalami kenaikan akan<br />
memperlambat laju pendinginan pada hasil lasan.<br />
Laju pendinginan yang lambat dapat memperluas<br />
gerakan benda kerja untuk berkontraksi<br />
kekondisi awal. Akibatnya distorsi yang terjadi<br />
menjadi kecil. Peristiwa tersebut dijelaskan dengan<br />
penurunan distorsi sudut, ketika arus pengelasan<br />
dinaikkan. Bentuk distorsi sudut yang terjadi linier<br />
pada sumbu Z maupun sumbu X dan ditunjukkan<br />
pada gambar 4.3<br />
posisi keδ<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
titik ke-<br />
(Sb z)<br />
δ<br />
0.07<br />
0.06<br />
0.05<br />
0.04<br />
0.03<br />
0.02<br />
0.01<br />
0.07<br />
0.06<br />
0.05<br />
0.04<br />
0.03<br />
0.02<br />
0.01<br />
0<br />
0<br />
Pengaruh tebal pada arus pengelasan 125A<br />
0.052524147<br />
0.034006554<br />
0.02800366<br />
0.056780505<br />
0.036758277<br />
0.032755857<br />
0.061204872 0.064043771<br />
0.046016238<br />
0.041762138<br />
0.039343483<br />
0.035841006<br />
1 2 3 4<br />
arah transversal<br />
tebal8<br />
tebal13<br />
tebal20<br />
Pengaruh tebal pada arus pengelasan 125A<br />
tebal8<br />
tebal13<br />
tebal20<br />
b. arah longitudinal<br />
Gambar 4.3. Distorsi sudut yang tejadi akibat perubahan tebal<br />
pada pengelasan dengan arus 125A.<br />
kesimpulan<br />
(Sb x)<br />
Dari analisa hasil penelitian dapat ditarik<br />
kesimpulan sebagai berikut,<br />
1. Semakin besar luas permukaan benda kerja<br />
yang terekspos ke udara bebas, akan menaikkan<br />
harga distorsi sudut didalam pengelasan pelat<br />
datar menggunakan las GMAW.<br />
2. Semakin tinggi arus pengelasan yang digunakan<br />
dapat menurunkan terjadinya distorsi sudut pada<br />
pengelasan pelat datar menggunakan las<br />
GMAW.<br />
3. Arus pengelasan sebagai parameter las dapat<br />
digunakan untuk mengurangi pengaruh tebal<br />
pelat terhadap respon distorsi sudut.<br />
D101
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Penulisan jurnal ini tidak akan dapat selesai tanpa<br />
bantuan<br />
dari pihak-pihak terkait. Untuk itu kami berikan<br />
ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada bpk.<br />
Ir. Mocthar Karo-karo Msc. sebagai pembimbing<br />
pertama, bpk. Ir. Hari Subiyanto, Msc. sebagai copembimbing,<br />
pak Zajuli sebagai instruktur las BLK,<br />
pak Roni instruktur lab metrology manufactur dan<br />
teman-teman di PPs Simanu ITS yang telah<br />
memberikan bantuan demi selesainya penulisan<br />
jurnal ini.<br />
Referensi<br />
Anggono, Juliana, dkk, Pengaruh Besar Input Panas<br />
Pengelasan SMAW terhadap Distorsi Angular<br />
Sambungan T Baja Lunak SS400, Vol 1, No 1, Jurnal<br />
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri,<br />
Universitas Kristen Petra, Surabaya,<br />
http://www.t.petra.ac.id/~puslit/journals/,1999.<br />
Awia Konang, Pengaruh variasi tebal pelat dan<br />
besar arus listrik terhadap distorsi pada<br />
pengelasan multilayer proses GMAW dengan<br />
menggunakan transfer spray. Proceding Seminar<br />
Pascasarjana, PPs, ITS, Surabaya. 2009.<br />
AWS D1.1/D1.1 M – Struktur Welding Code – Steel,<br />
American Welding Society, An American National<br />
Standart. 2002,<br />
Gourd L.M., Principles of Welding Technology, Third<br />
Edition, Edward Arnold, A Division of Holder<br />
Headline PLC, 338 Euston Road, London. 1995.<br />
Iriawan, Nur, Ph.D., Septin Pudji Astuti, S.Si., MT,<br />
Mengolah Data Statistik Dengan Mudah<br />
Menggunakan Minitab 14, Andi, Yogyakarta. 2006.<br />
Kou, Sindo, Welding Metallurgy, 2 th Edition, John<br />
Wiley and Sons, Canada. 2003.<br />
Montgomery, D.C., Design and Analysis of Experiment,<br />
John Wiley and Sons, Canada. 1991.<br />
Myer, R.H., and Montgomery, D.C., Respon Surface<br />
Methodology Process and Production<br />
Optimazation Using Design Experiment. John<br />
Wiley and Sons, Canada. 2002.<br />
Rusdianto, Jaka, Analisa Pengaruh Parameter Pengelasan<br />
GMAW terhadap Distorsi yang Terjadi Pada<br />
Pengelasan Baja SS400 Ketebalan 12mm. Tugas<br />
Akhir yang tidak dipublikasikan, ITS, Surabaya.<br />
1999.<br />
Suwanda, Totok, Minimalisasi Distorsi Pada Pengelasan<br />
Plat Baja Lunak dengan Submerged Arc Welding<br />
Pada lebar Pelat Dan Kedalaman Penetrasi yang<br />
berbeda, Proceding Seminar Pascasarjana, PPs, ITS,<br />
Surabaya. 2001.<br />
Wiryosumarto, Harsono, Prof., Dr., Ir., dan Toshie<br />
Okumura, Prof., Dr., Teknologi Pengelasan Logam, ,<br />
PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 2004.<br />
Yoshiki, Mikami, dkk, Measurement and Numerical<br />
Simulation of Angular Distortion of Fillet Welded T-<br />
joint, Vol.24, No. 4(20061105) pp.312-323. Japan<br />
Welding Society. 2006.<br />
Triyono, Drs, Pengaruh Manajemen Termal terhadap<br />
Distorsi Bowing Sambungan Las Logam tak Sejenis<br />
antara Baja Karbon dan Baja Tahan Karat. Unesa.<br />
2006.<br />
Pranowo Sidi, Minimalisasi Distorsi Sudut dengan<br />
Kedalaman Penetrasi sebagai Kendala pada Proses<br />
Pengelasan Busur Rendam Sambungan-T. Proceding<br />
Seminar Pascasarjana, PPs, ITS, Surabaya. 2008.<br />
D102
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sensor Kadar Hemoglobin dalam Darah Tanpa Melukai (Non-Invasive)<br />
Berbasis Komputer dengan Metode Pengenalan Pola<br />
(Sensor Of Hemoglobin Meter Non-Invasive Pattern Recognize Methode)<br />
Sutrisno,. Yoyok Adisetio Laksono<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Malang, 65145 Malang, Jawa Timur, Indonesia<br />
Email :<br />
Intisari<br />
Hemoglobin adalah molekul utama dalam sel darah yang berfungsi mengikat oksigen untuk diedarkan keseluruh<br />
jaringan tubuh. Pengukuran kadar hemoglobin dalam darah berguna untuk mengetahui kondisi fisik tubuh sehat<br />
atau sakit. Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan di laboratorium Patologi Klinis dengan cara mengambil<br />
darah pasien kemudian di campur dengan larutan anti koagulan dan pelarut kimia kemudian di hitung kadar<br />
hemoglobinnya dengan Hb meter. Proses mulai dari mengambil darah sampai keluar hasil perhitungan kadar Hb<br />
seseorang pasien sesungguhnya hanya membutuhkan waktu ±10 menit.Pengukuran kadar Hb dengan cara<br />
tersebut menimbulkan rasa sakit (invasif) pada saat pengambilan darah dan juga membutuhkan waktu yang<br />
cukup lama untuk mendapatkan hasilnya. Untuk menghindari hal tersebut dibuat pengukur kadar Hb tanpa<br />
menyakiti pasien (non-invasif).<br />
Telah dibuat rancang bangun sensor kadar hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non-invasive) berbasis<br />
komputer dengan metode pengenalan pola, diperoleh kesimpulan bahwa 1) Rancang bangun sistem sensor kadar<br />
Hemoglobin tanpa melukai berbasis komputer dapat digunakan sumber cahaya dari LED dengan warna yang<br />
berbeda dan photo dioda sebagai sensor cahaya yang berjumlah tiga buah dan keluarannya diubah dalam bentuk<br />
sinyal digital oleh ADC, ketiga Keluaran dari ADC ini membentuk pola kadar hemoglobin. 2) Hasil pengukuran<br />
kadar Hb dari telinga manusia diperoleh keluaran ketiga sensor yang membentuk pola.<br />
Keywords- Sensor kadar Hb tanpa melukai, metode pengenalan pola<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Hemoglobin adalah molekul utama dalam sel<br />
darah yang berfungsi mengikat oksigen untuk<br />
diedarkan keseluruh jaringan tubuh. Pengukuran<br />
kadar hemoglobin dalam darah berguna untuk<br />
mengetahui kondisi fisik tubuh sehat atau sakit.<br />
Kadar hemoglobin wanita biasanya mempunyai<br />
jumlah hemoglobin yang lebih sedikit daripada<br />
pria. Jumlah hemoglobin pria dewasa normal<br />
berkisar antara 14,0 s/d 18,0 gr/dL sedangakan<br />
untuk wanita dewasa normal berkisar antara 12,0<br />
s/d 16,0 gr/dL (Smith, F. Joshep. 2005).<br />
Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan di<br />
laboratorium Patologi Klinis dengan cara<br />
mengambil darah pasien kemudian di campur<br />
dengan larutan anti koagulan dan pelarut kimia<br />
kemudian di hitung kadar hemoglobinnya dengan<br />
Hb meter. Proses mulai dari mengambil darah<br />
sampai keluar hasil perhitungan kadar Hb<br />
seseorang pasien sesungguhnya hanya<br />
membutuhkan waktu +/- 10 menit. Namun dalam<br />
pratek proses tersebut berlangsung lebih lama, hal<br />
ini karena pengambilan darah pasien dan alat<br />
pengukur kadar Hb tidak berada di ruang yang<br />
sama.<br />
Pengambilan sampel darah dilakukan sampai<br />
terkumpul sejumlah tertentu sampel darah pasien,<br />
kemudian sampel - sampel yang terkupul tersebut<br />
dikirim ke tempat pengukur Hb. Selama menunggu<br />
sampai jumlah tertentu sampel, kadang kala terjadi<br />
pembekuan darah sampel. Jika hal ini terjadi maka<br />
perlu dilakukan pengambilan ulang darah pasien yang<br />
sampelnya membeku. Pengukuran kadar Hb dengan<br />
cara tersebut menimbulkan rasa sakit (invasif) pada<br />
saat pengambilan darah dan juga membutuhkan<br />
waktu ysng cukup lama untuk mendapatkan hasilnya<br />
. Untuk menghindari hal tersebut dibuat pengukur<br />
kadar Hb tanpa menyakiti pasien (non-invasif).<br />
Dengan alat ini tidak dilakukan lagi pengambilan<br />
darah untuk sampel. Pengukuran kadar Hb langsung<br />
di lakukan dengan cara mengukur besarnya intensitas<br />
sinar yang di serap oleh Hb dalam tubuh pasien,<br />
dengan mengetahui besarnya intensitas sinar yang<br />
diserap oleh Hb maka dapat diketahui kadar Hb<br />
dalam darah .<br />
Pengukuran intensitas cahaya yang di serap oleh<br />
larutan untuk menentukan konsentrasi larutan<br />
tersebut berlandaskan pada hukum Beer-Lambert<br />
yang menyatakan adanya hubungan linier antara<br />
konsentrasi larutan dengan besar intensitas sinar yang<br />
diserap oleh larutan tersebut<br />
Dalam penelitian ini pertama adalah sembuat<br />
sensor kadar hemoglobin dengan keluaran sinyal<br />
dalam bentuk digital sehingga data yang diperoleh<br />
bisa dianalisa oleh komputer. Oleh sebab itu rumusan<br />
masalahnya adalah:<br />
D103
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Bagaimana rancang bangun sensor kadar<br />
hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non<br />
invasive) dengan keluaran berbentuk pola ?<br />
Bagaimana kestabilan pola keluaran sensor kadar<br />
hemoglobin dalam darah tanpa melukai ini ?<br />
Adapun tujuan penelitian ini adalah<br />
Mengetahui rancang bangun sensor kadar<br />
hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non<br />
invasive) dengan keluaran berbentuk pola ?<br />
Mengetahui kestabilan pola keluaran sensor kadar<br />
hemoglobin dalam darah tanpa melukai ini ?<br />
II. TINJAUAN PUSTAKA<br />
A. Hemoglobin (Hb)<br />
Darah manusia terdiri dari 2 (dua) komponen,<br />
yaitu:<br />
Cairan darah atau plasma darah yang terdiri atas air<br />
dan sari makanan, zat-zat sisa, enzim, hormon,<br />
mineral, dan vitamin yang larut.<br />
Sel-sel darah yang terdiri dari sel darah pembeku<br />
(trombosit), sel darah putih (leukosit) dan sel<br />
darah merah (eritrosit) yang merupakan bagian<br />
utama sel-sel darah.<br />
Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein<br />
konjugat di dalam sel darah yang bersifat mengikat<br />
oksigen untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh<br />
(Smith, F. Joshep. 2005). Pengukuran jumlah<br />
Hemoglobin berguna untuk mengetahui kondisi<br />
fisik tubuh seseorang, sehat atau sakit. Kondisi<br />
tubuh yang sehat memerlukan jumlah hemoglobin<br />
yang cukup. Jumlah oksigen dalam jaringan tubuh<br />
bergantung dari banyaknya hemoglobin dalam<br />
darah. Jumlah hemoglobin normal berbeda-beda<br />
bergantung pada jenis kelamin dan umur. Wanita<br />
biasanya mempunyai jumlah hemoglobin yang<br />
lebih sedikit daripada pria. Jumlah hemoglobin pria<br />
dewasa normal berkisar antara 14,0 s/d 18,0 gr/dL<br />
sedangakan untuk wanita dewasa normal berkisar<br />
antara 12,0 s/d 16,0 gr/dL (Smith, F. Joshep. 2005).<br />
Apabila seseorang mempunyai jumlah hemoglobin<br />
kurang dari batasan tersebut atau bahkan lebih<br />
besar dari jumlah normal maka dapat diindikasikan<br />
orang tersebut tidak sehat atau sakit.<br />
Sifat hemoglobin yang khas adalah mempunyai<br />
kemampuan mengangkut oksigen membentuk<br />
oksihemoglobin. Pada orang normal sekitar 97-98%<br />
dari oksigen diangkut dari paru-paru ke jaringan<br />
tubuh dalam gabungan yang reversible dengan<br />
molekul hemoglobin (Smith, F. Joshep. 2005). Hal<br />
ini dapat dinyatakan dengan sederhana oleh<br />
persamaan berikut:<br />
Hb + O 2<br />
↔ HbO 2<br />
Keterangan<br />
Hb : Hemoglobin tanpa oksigen<br />
HbO 2 : Oksihemoglobin<br />
Selama ini pengukuran hemoglobin dilakukan diluar<br />
tubuh (exvivo). Ada dua metode yang lazim<br />
dilakukan untuk mengukur hemoglobin, yaitu metode<br />
Sahli dan metode Spektrofotometri.<br />
B. Metode Sahli<br />
Pada umumnya metode pengukuran jumlah Hb<br />
adalah sama yaitu dengan mengambil sejumlah darah<br />
untuk dijadikan sampel dan dilakukan pengujian di<br />
laboratorium. Metode sahli juga menggunakan darah<br />
sebagai sampel darah yang diambil dari pembuluh<br />
nadi (arteri), kemudian darah tersebut diberi<br />
koagulan lalu dicampur dengan suatu pereaksi.<br />
Larutan tersebut diteteskan pada kertas khusus untuk<br />
pengukuran hemoglobin. Dari perubahan warna yang<br />
timbul pada kertas tersebut akan dicocokkan dengan<br />
warna standar yang sudah ada (Kleiner I.S, Dotti<br />
L.B., 1984 ). Dari warna standar yang sama dengan<br />
warna kertas yang sudah ditetesi sample darah dapat<br />
diketahui konsentasi Hb pada darah tersebut. Setiap<br />
warna yang timbul mempunyai ukuran konsentrasi<br />
berdeda-beda<br />
C. Hukum Beer-Lambert<br />
Apabila cahaya melewati suatu larutan yang<br />
dapat menyerap cahaya maka sebagian dari cahaya<br />
akan diserap dan sebagiannya lagi akan diteruskan<br />
oleh larutan tersebut (Gambar.1). Intensitas cahaya<br />
yang diserap mengikuti hukum-hukum <strong>Fisika</strong>,<br />
misalnya intensitas pancaran sinar monokromatis<br />
yang jatuh pada larutan adalah I 0 maka intensitas<br />
sinar yang lolos adalah I 1 .<br />
mbar 1. Penyerapan Sinar Monokromatis Oleh Larutan<br />
Hubungan antara intensitas sinar monokromatis<br />
yang lolos dan yang sampai pada larutan menurut<br />
Hukum Beer-Lambert adalah sebagai berikut:<br />
abc<br />
I0 = I110<br />
(1)<br />
Keterangan :<br />
a : Koefsien penyerapan larutan<br />
b : Panjang jalur optis yang dilalui cahaya<br />
c : Konsentrasi larutan<br />
Perbandingan I 1 terhadap I 0 disebut transmitansi (T)<br />
dinyatakan sebagai<br />
I1<br />
T = (2)<br />
I<br />
0<br />
Penyerapan (absorbance : A) memiliki hubungan<br />
yang logaritmis dengan transmitansi, secara<br />
matematis dapat dinyatakan<br />
Ga<br />
D104
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
A<br />
1<br />
log<br />
T<br />
= (3)<br />
Dari persamaan (1), (2) dan (3) diperoleh hubungan<br />
antara penyerapan dengan konsentrasi larutan jika<br />
panjang jalur optis dan panjang gelombang cahaya<br />
tetap konstan.<br />
1<br />
A = log<br />
T<br />
I0<br />
= log<br />
I1<br />
abc<br />
( I110<br />
)<br />
A = log<br />
I1<br />
abc<br />
= log10<br />
A = abc<br />
(4)<br />
Dengan mengukur I 0 dan I 1 dapat diketahui<br />
penyerapan A dan dari penyerapan ini dapat diukur<br />
variabel c yaitu konsentrasi larutan (Blauch, David<br />
N.,2007). Menghitung konsentrasi larutan dengan<br />
metode ini dapat dilakukan dengan memakai alat<br />
Spektrometer.<br />
D. Analog Digital to Converter<br />
Akuisisi data merupakan proses pengukuran<br />
dan kuantisasi sinyal untuk analisa dan proses<br />
digital. Jadi card akuisisi merupakan interface<br />
dari sinyal analog dengan sinyal-sinyal dijital.<br />
Card akuisisi ini dapat dipakai untuk keperluan<br />
data logger. Data logger merupakan sistem untuk<br />
mengukur sejumlah variabel dan ditulis secara<br />
tabulasi atau disimpan untuk input<br />
komputer.Untuk mengakusisi data yang dalam<br />
bentuk analog kemudian supaya bisa diolah dalam<br />
komputer , maka diperlukan rangkaian perantara<br />
(card). Adapun rangkaian perantara adalah<br />
media komunikasi antara komputer dengan<br />
peralatan sebelumnya. Tegangan keluaran dari<br />
penguat sebelumnya yang masih dalam bentuk<br />
analog dikonversikan dalam bentuk digital, supaya<br />
bisa dimengerti oleh komputer. Konversi ini<br />
dilakukan dengan menggunakan ADC (Analog<br />
to Digital Converter). Blok diagram gambar<br />
.5.“ADC ini bekerja secara integrasi lereng ganda<br />
(integrating dual slope). dengan prinsip kenaikan<br />
penyeimbang muatan. Tegangan masukan analog<br />
Iin memuati kapasitor yang terletak pada jalur<br />
umpan balik Op-Amp yang bertindak sebagai<br />
integrator. Keluaran dari integrator ini<br />
selanjutnya dibandingkan oleh komparator, ketika<br />
keluaran komparator menuju nol, saklar yang<br />
menghubungkan generator arus referensi (Iref)<br />
terhubung menuju kapasitor pengintegrasi (Cin),<br />
akibatnya kapasitor pengintegrasi akan<br />
dikosongkan (diseimbangkan). Jumlah pulsa yang<br />
diperlukan selama proses pengosongan akan<br />
dicacah menjadi suatu bilangan dalam kode biner.<br />
Bilangan ini merupakan hasil akhir konversi<br />
(Samuel H. Tirtamihardja, 1996).<br />
AD<br />
572<br />
12<br />
BIT<br />
SN74LS395<br />
4 BIT S.R.W<br />
3 STATE OUT<br />
12 BIT DATA BUSS<br />
B12(LSB) B9 B5<br />
+5V<br />
+5V<br />
F. Pengenalan Pola<br />
+5V<br />
SN74LS395<br />
4 BIT S.R.W<br />
3 STATE OUT<br />
parallel output enable<br />
Gambar .5. Blok diagram HADC-572<br />
+5V<br />
B1(MSB)<br />
SN74LS395<br />
4 BIT S.R.W<br />
3 STATE OUT<br />
ground<br />
Dalam <strong>Fisika</strong> besaran dibedakan menjadi dua,<br />
yaitu besaran pokok dan besaran pokok tambahan.<br />
Adapun besaran pokok ada 7, diantaranya adalah<br />
panjang, masa, waktu, arus listrik, suhu, banyaknya<br />
zat, intensitas cahaya dan besaran pokok tambahan<br />
ada 2, diantaranya sudut datar dan sudut ruang.<br />
Disamping itu ada besaran turunan, yaitu besaran<br />
yang diturunkan dari besaran pokok. Seperti<br />
kecepatan diturunkan dari besaran pokok yaitu<br />
panjang dibagi waktu.<br />
Besaran-besaran tersebut semuanya merupakan<br />
besaran yang dapat diukur langsung sekalipun untuk<br />
besaran turunan dilakukan pengukuran tidak<br />
langsung. Ada beberapa besaran yang belum dapat<br />
diukur secara langsung maupun tidak langsung. Oleh<br />
sebab itu untuk melakukan pengukuran besaranbesaran<br />
yang yang belum jelas perlu dilakukan<br />
pengukuran dengan metode lain. Metode yang sudah<br />
dikembangkan adalah metode pengenalan pola (<br />
pattern recognize ) (.Valluru B.Rao & Hayagriva V.<br />
Rao, 1993)<br />
Untuk menangkap pola ini sudah barang tentu<br />
sensor yang digunakan tidak hanya satu sensor<br />
dengan satu keluaran, akan tetapi digunakan lebih<br />
dari satu sensor dengan lebih dari satu keluaran.<br />
Sensor ini mengukur sesuai dengan besaran pokok<br />
seperti disebutkan diatas.<br />
Sensor lebih dari satu dan dengan keluaran yang<br />
lebih dari satu akan membentuk kombinasi atau<br />
variasi pasangan yang merupakan pola dari ukuran<br />
besaran zat yang diukur. Bentuk pola keluaran sensor<br />
dapat digambrkan seperti pada gambar 6.<br />
Keluaran<br />
sen3<br />
sen1<br />
sen2<br />
Gambar 6. Keluaran dari sistem sensor merupakan pola<br />
D105
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
III. DESAIN DAN METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini merupakan penelitian diskripsi<br />
ekperiment yaitu penelitian yang menggambarkan<br />
pembuatan alat dengan memberi perlakuan<br />
(menyinari cahaya) pada sampel untuk<br />
mendapatkan data sebagai identifikasi kadar Hb<br />
dalam darah pasien. Oleh sebab itu supaya<br />
didapatkan hasil yang baik serta spesifik disusunlah<br />
metodologi penelitiannya untuk tahap pertama ini<br />
meliputi: (A) Rancang bangun sistem alat<br />
identifikasi kadar Hb dalam darah non-invasive. (B)<br />
Rancang bangun sensor kadar Hb dalam darah<br />
tanpa melukai dengan metode pengenalan pola. (C)<br />
Rancang bangun ADC. (D) Program driver sebagai<br />
pendukung pembacaan data keluaran sensor dalam<br />
bentuk digital. (E). Analisis data.<br />
A. Rancang Bangun Sistem Alat Identifikasi<br />
Kadar Hemoglobin non-invasif<br />
Sistem alat pengukur kadar hemoglobin dalam<br />
darah tanpa melukai (non-invasive) terdiri dari lima<br />
unit fungsional yaitu, sumber cahaya, sensor<br />
cahaya, penguat sinyal, pengubah sinyal analog<br />
menjadi digital dan pengolah data atau unit<br />
komputer. Dimana unit pertama sumber cahaya<br />
yang merupakan sensor hemoglobin dalam darah,<br />
hal ini didasarkan pada hukum Beer-Lambert, yaitu<br />
intensitas cahaya yang dilewatkan pada darah akan<br />
mengalami penyerapan. Konstanta penyerapan<br />
intensitas cahaya tersebut akan berbanding lurus<br />
dengan kadar hemoglobin. Unit kedua adalah<br />
sensor cahaya, dimana bagian ini merupakan alat<br />
ukur elektronik yang mampu mengubah suatu<br />
bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Jenis<br />
sensor yang digunakan pada pengukur kadar Hb<br />
adalah sensor yang mampu mengubah energi<br />
cahaya (intensitas cahaya diserap Hb) menjadi<br />
energi listrik dalam bentuk arus listrik. Arus listrik<br />
keluaran sensor pada umumnya sangat kecil (nA)<br />
maka dibutuhkan penguat sinyal sebagai unit<br />
ketiga, Penguatan sinyal ini dilakukan supaya dapat<br />
dideteksi oleh meter yang dipergunakan. Unit<br />
keempat adalah pengubah sinyal analog menjadi<br />
sinyal digital atau ADC (Analog Digital Converter).<br />
Hal ini perlu dilakukan karena sinyal dari sensor<br />
cahaya setelah mengalami penguatan masih dalam<br />
bentuk sinyal analog, oleh sebab itu supaya sinyal<br />
ini dapat diolah oleh unit komputer diubah terlebih<br />
dahulu dalam bentuk sinyal digital. Bagian<br />
pengolah data merupakan unit kelima dimana<br />
bagian ini yang mengolah data selanjutnya hasilnya<br />
disimpan pada memori serta hasil tersebut dapat<br />
ditampilkan pada monitor dan dapat dicetak pada<br />
mesin pencetak. Secara lengkap bagan skema<br />
sistem alat pengukur hemoglobin tanpa melukai<br />
(non-invasif) dapat dilihat pada gambar 7.<br />
Gambar 7. Sistem alat pengukur kadar hemoglobin tanpa melukai<br />
B. Rancang bangun Sensor Kadar Hb Dalam<br />
Darah Tanpa Melukai Dengan Metode Pengenalan<br />
Pola<br />
Pengukur kadar Hb non-invasif dirancang untuk<br />
mengukur kadar Hb darah yang beredar dalam tubuh.<br />
Sensor dipasang di daun telinga yang merupakan<br />
bagian tubuh yang mengandung jaringan darah dan<br />
mudah untuk ditembus cahaya. Sensor fotodioda<br />
dipasang pada salah satu sisi daun telingan sedang<br />
sisi lainnya dipasang sumber cahaya seperti nampak<br />
pada gambar 7. Sumber cahaya yang digunakan<br />
adalah cahaya monokromatis yang mempunyai<br />
intensitas cahaya cukup tinggi dan ukuran fisik<br />
sumber cahaya cukup kecil mengingat alat tersebut<br />
diletakan pada daun telinga. Dari pertimbangan<br />
tersebut sumber cahaya yang memenuhi syarat adalah<br />
LED komunikasi (Sutrisno,2000).<br />
Berdasarkan oksihemoglobin atau darah arteri<br />
yang encer menunjukan 3 pita absorpsi pada daerah<br />
panjang gelombang tertentu, oleh sebab itu dalam<br />
penggunaan sumber cahaya digunakan 3 sumber<br />
cahaya monokromatis dengan panjang gelombang<br />
yang sesuai dengan daerah panjang gelombang pita<br />
absorpsi<br />
Io<br />
Sumber cahaya Daun Telinga Sensor cahaya<br />
Gambar 8. Letak sumber cahaya dan sensor cahaya pada daun<br />
telinga<br />
Demikian juga sensor cahaya untuk menangkap<br />
cahaya setelah melewati darah dalam tubuh pasien.<br />
Untuk menghilangkan pengaruh warna kulit dari<br />
tubuh pasien ini, maka pengolahan data dari sensor<br />
hemoglobin dilakukan dengan metode sitem pakar<br />
(expert system). Tiga masukan dari sensor<br />
hemoglobin ini nanti akan di kopling oleh ADC<br />
selanjutnya hasil masukan data tersebut sebagai<br />
masukan program sistem pakar yang digunakan untuk<br />
pengolahan data. Sekalipun intensitas cahaya yang<br />
melalui kulit pasien berwarna (kuning, sawo matang,<br />
hitam dan lain-lain ) dengan menggunakan program<br />
I<br />
D106
2<br />
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
sistem pakar akan diperoleh data pola kadar Hb<br />
bedasarkan warna kulit pasien.<br />
Delphi/pascal supaya data tersebut bisa ditampilkan<br />
dalam monitor. Adapun diagram alir untuk<br />
pengenalan pola kadar Hb dalam darah adalah<br />
sebagai berikut:<br />
Start<br />
-Baca ketiga<br />
pasang<br />
sensor.<br />
Menampilkan keluaran<br />
ketiga sensor<br />
Gambar. 9 Skema sensor pola kadar Hb dalam darah<br />
dengan penguat sinyal<br />
Adapun rangkaian sensor kadar Hb dalam<br />
darah dengan metode pengenalan pola dapat dilihat<br />
pada gambar.9. Sensor 1 dengan sumber cahaya<br />
warna merah, sensor 2 dengan sumber cahaya<br />
warna kuning, sensor 3 dengan sumber cahaya<br />
warna hijau, Keluaran dari sensor ini berupa sinyal<br />
analog yang membentuk pola yaitu keluaran V o1 ,<br />
V o2 , dan V o3 . dikopling ke ADC untuk diubah<br />
dalam bentuk digital dengan keluaran dalam binary,<br />
supaya datanya dapat ditampilkan dalam komputer<br />
serta diolah menggunakan program sistem pakar.<br />
C. Rancang bangun ADC<br />
Rancang bangun ADC menggunakan<br />
mikrokontroler AD 0804. Adapun skemanya seperti<br />
gambar berikut:<br />
+12V<br />
1<br />
C1<br />
10uF<br />
In-put<br />
C4<br />
10nF<br />
LM<br />
LM7805CT<br />
Vin<br />
GND<br />
R2<br />
4K7<br />
R3<br />
10K<br />
+5V<br />
R1<br />
1K2<br />
3<br />
+5V<br />
C2<br />
10uF<br />
7<br />
6<br />
8<br />
9<br />
19<br />
4<br />
Vin(-)<br />
Vin(+)<br />
A-GND<br />
Vref/2<br />
CLK-R<br />
CLK-IN<br />
ADC<br />
ADC0804<br />
VccREF 20<br />
C3<br />
10uF<br />
lsbDB0<br />
DB1<br />
DB2<br />
DB3<br />
DB4<br />
DB5<br />
DB6<br />
msbDB7<br />
INTR<br />
CS<br />
RD<br />
WR<br />
18<br />
17<br />
16<br />
15<br />
14<br />
13<br />
12<br />
11<br />
5<br />
1<br />
2<br />
3<br />
Gambar 10 . Skema ADC dengan mikrokontroler 0804<br />
Keluaran ADC ini nantinya dihubungkan dengan<br />
komputer supaya data yang diperoleh dapat<br />
ditampilkan oleh monitor maupun dicetak.<br />
D. Program Driver Sebagai Pendukung<br />
Pembacaan Data Keluaran Sensor Dalam Bentuk<br />
Digital.<br />
Untuk dapat membaca tegangan keluaran dari<br />
sensor perlu program baca data sinyal dalam bentuk<br />
digital dibuat program menggunakan bahasa<br />
2<br />
3<br />
5<br />
6<br />
11<br />
10<br />
14<br />
13<br />
1<br />
15<br />
MUX<br />
1A<br />
1B<br />
2A<br />
2B<br />
3A<br />
3B<br />
4A<br />
4B<br />
A/B<br />
G<br />
74LS157<br />
1Y<br />
2Y<br />
3Y<br />
4Y<br />
4<br />
7<br />
9<br />
12<br />
1<br />
14<br />
2<br />
15<br />
3<br />
16<br />
4<br />
17<br />
5<br />
18<br />
6<br />
19<br />
7<br />
20<br />
8<br />
21<br />
9<br />
22<br />
10<br />
23<br />
11<br />
24<br />
12<br />
25<br />
13<br />
DB<br />
DB25<br />
Rekam pola<br />
keluaran dalam<br />
file dat.<br />
End<br />
Gambar 11. Diagram alir proses program pembacaan keluaran<br />
dalam bentuk digital sebagai pengenalan pola kadar Hb<br />
E. Analisa Data<br />
Sesuai dengan tujuan penelitian menguji alat<br />
yang telah dirancang bangun, maka selajutnya adalah<br />
menguji alat tersebut. Dalam pengujian ini meliputi<br />
1). Kestabilan keluaran ADC, 2) Kestabilan pola<br />
keluaran sensor dalam bentuk digital 3) Analisa<br />
keluaran sensor hemoglobin dalam bentuk pola layak<br />
digunakan untuk pengenalan pola.<br />
Untuk menguji kestabilan ADC dilakukan<br />
dengan memberikan masukan pada ADC<br />
mengggunakan sumber tegangan untuk sensor 1,<br />
sensor 2, dan sensor 3. kemudian mencatat keluaran<br />
dari ADC dalam bentuk binary dalam waktu yang<br />
lama. Sedangkan untuk menguji pola keluaran dari<br />
sensor kadar hemoglobin dilakukan pengukuran pada<br />
telinga manusia, dan keluarannya dicatat untuk waktu<br />
yang lama. Untuk menganalisa data diperoleh<br />
digambarkan dalam grafik hubungan antara data<br />
keluaran ketiga sensor dengan waktu sehinga terlihat<br />
karakteristik alat.<br />
D107
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
IV.DATA DAN ANALISA DATA<br />
Data kestabilan ADC dapat dilihat pada<br />
lampiran dari data tersebut digambarkan dalam<br />
grafik hubungan keluaran ADC terhadap waktu.<br />
Grafiknya dapat dilihat pada gambar 12. sebagai<br />
berikut,<br />
Gambar 12.Grafik hubungan antara keluaran ADC dan<br />
waktu dalam detik<br />
Dari ketiga keluaran ADC dari grafik terlihat<br />
bahwa untuk keluaran 1 terjadi fluktuasi dengan<br />
rerata 173,60 ± 0,49, akan tetapi fluktuasinya<br />
kurang dari 1 % sehingga ADC ini memiliki<br />
kestabilan yang cukup baik. Artinya ADC ini layak<br />
digunakan sebagai pengubah sinyal analog dari<br />
sensor HB ke digital.<br />
Untuk menguji sensor HB dilakukan<br />
pengukuran pada telinga orang diperoleh keluaran<br />
sensor dihubungkan ke ADC digunakan untuk<br />
melihat pola keluaran sensor terhadap waktu<br />
diperoleh data yang dapat dilihat pada lampiran.<br />
Adapun grafik hubungan keluaran ketiga sensor<br />
terhadap waktu sebagai berikut:<br />
Gambar 12.Grafik hubungan antara keluaran sensor terhadap<br />
waktu<br />
Dari grafik gambar 12 untuk keluaran sensor 1<br />
selama waktu 273 detik diperoleh rerata keluaran<br />
dalam binary 116,95 ± 10,99 fluktuasinya sekitar<br />
9,39 %, keluaran sensor 2 rerata keluaran dalam<br />
binary 63,37 ± 1,31 dengan fluktuasi 2%, keluaran<br />
sensor 3 rerata keluaran dalam binary 34,25± 3,79<br />
dengan fluktuasi 11%. Berdasarkan hasil ini dari<br />
ketiga keluaran sensor ini keluaran sensor 2 yang<br />
stabil untuk keluaran sensor 1 dan keluaran sensor<br />
3 kurang stabil sehingga sensor 1 dan 3 perlu<br />
dilakukan perbaikan atau mengurangi noise yang<br />
muncul pada sensor tersebut.<br />
V. PENUTUP<br />
A.Kesimpulan<br />
Berdasarkan data dan hasil pembahasan dapat<br />
disimpulkan sebagai berikut:<br />
1. Rancang bangun sistem sensor kadar<br />
Hemoglobin tanpa melukai berbasis komputer<br />
dapat digunakan sumber cahaya dari LED<br />
dengan warna yang berbeda dan photo dioda<br />
sebagai sensor cahaya yang berjumlah tiga<br />
buah dan keluarannya diubah dalam bentuk<br />
sinyal digital oleh ADC, ketiga Keluaran dari<br />
ADC ini membentuk pola kadar hemoglobin.<br />
2. Hasil pengukuran kadar Hb dari telinga<br />
manusia diperoleh keluaran ketiga sensor yang<br />
membentuk pola.<br />
B.Saran<br />
Berdasarkan kesimpulan Rancang bangun sensor<br />
Kadar Hb tanpa melukai disarankan :<br />
1. Untuk sensor 1 dan 3 perlu dilakukan perbaikan<br />
yaitu mengurangi noise dari alat tersebut , supaya<br />
keluaran ketiga sensor yang membentuk pola bisa<br />
stabil.<br />
2.Untuk selanjutnya dilakukan penelitian berikutnya<br />
dalam program untuk mengolah data pola kadar Hb<br />
dalam darah<br />
REFERENSI<br />
Smith, F. Joshep. 2005. Blood Count. (online),<br />
(http://www.chclibrary.org/medicallibrary/blo<br />
odcount. html, diakses 20 Mei 2005)<br />
Blauch, David N.,2007, Spectrophotometry: Beer's<br />
Law.<br />
(online),<br />
(http://www.chclibrary.org/spectrophotometry<br />
/beer’slaw. html, diakses Juni 2007)<br />
Kleiner I.S, Dotti L.B., 1984 “ Laboratory<br />
Instructions in Biochemystry”, Mosby<br />
Company<br />
Samuel H. Tirtamihardja, 1996, Elektronika digital,<br />
Yogyakarta: Penerbit Andi Offset<br />
Valluru B.Rao & Hayagriva V. Rao, 1993. C + +<br />
Neural network and fuzzy logic. NewYork:<br />
MIS Press.<br />
D108
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perancangan Instrument<br />
Pengukur Suhu Badan Pasien<br />
Menggunakan Sensor ECC Sistem Logger.<br />
Toni Subiakto 1 , Lalu Husnan Wijaya 2<br />
1, 2. Peneliti SPD – LAPAN Watukosek<br />
e-mail: toni_wako@yahoo.com<br />
ABSTRAK<br />
Sensor suhu dari ECC merupakan trnsduser yang memiliki sensitivitas tinggi, bentuk fisik nya sangat kecil<br />
sehingga lebih mudah untuk digunakan sebagai pengukur suhu pada seluruh bagian badan pasien. Rangkaian<br />
pengkondisi sinyal (PS) dan operational amplifier (Op-Amp) terpasang pada output sensor, yang berfungsi<br />
untuk merubah nilai resistansi menjadi tegangan. Hasil keluaran sinyal analog dikonversi menjadi digital oleh<br />
unit ADC yang dapat ditampilkan pada monitor komputer berupa grafik dan numerik.<br />
Data pengukuran suhu badan pasien dapat disimpan pada direktori tertentu dengan nama file identitas nama<br />
pasien dan waktu pemeriksaan dilakukan. Sistem logger yang digunakan sebagai media konversi dari sinyal<br />
analog ke digital, menggunakan ADC 12 bit dengan 3 channel. Dari hasil uji kelayakan instrument alat desain<br />
(AD) terhadap alat referensi berupa thermometer (AR) pada perubahan suhu, maka respon (AD) lebih sensitip<br />
tingkat perubahannya dibandingkan alat thermometer (AR).<br />
Keywords : Sensor ECC, Transduser, Op-Amp, Analog, Digital.<br />
I. PENDAHULUAN<br />
1. 1. Latar Belakang.<br />
Dengan semakin meningkatnya kemajuan<br />
teknologi, terutama berkaitan dengan peralatan<br />
medis, maka perlu melakukan perancangan suatu<br />
alat (instrument) yang dapat digunakan untuk<br />
mengukur seluruh suhu badan pasien. Selain lebih<br />
praktis dalam menggunakan alat ini, informasi data<br />
suhu pasien dapat disimpan pada suatu folder<br />
(direktori) yang sesuai dengan kemauan kita,<br />
sekaligus nama pasien dan tanggal pengukuran dapat<br />
menjadi nama file penyimpanan.<br />
Sistem logger yang digunakan sebagai media<br />
konversi dari sinyal analog ke digital, menggunakan<br />
ADC 12 bit dengan 3 channel, sehingga masih<br />
menyisakan 2 channel masukan yang dapat<br />
dimanfaatkan untuk keperluan lain.<br />
1. 2. Kondisi Instrument Di Lapangan<br />
Dalam penggunaan dilapangan, peralatan ini<br />
terbagi menjadi 3 unit yaitu : unit sensor, unit bok<br />
instrument utama dan unit komputer (laptop), secara<br />
fisik instrument ini tidak terlalu berat dan dalam<br />
kemasan relatip kecil, maka sangat cocok bila<br />
digunakan oleh para perawat dalam pemeriksaan<br />
rutin kesehatan seluruh pasien di rumah sakit, atau<br />
ditempatkan pada ruang dokter untuk sarana<br />
pemeriksaan bagi pasien.<br />
II. PEMBAHASAN RANGKAIAN<br />
INSTRUMENT<br />
2. 1. Blok Diagram Sistem<br />
Secara sistematis rangkaian elektronika,<br />
instrument tersebut dapat dibagi menjadi beberapa<br />
blok sistem, yang disesuaikan dengan alur<br />
penerimaan signal (kondisi yang diukur) seperti<br />
ditunjukkan pada gambar blok diagram dibawah :<br />
SENSOR ECC<br />
Pengkondisi<br />
Sinyal<br />
Op-Amp<br />
Regulator Power Supply<br />
+12V, +5V, -12V<br />
ADC<br />
Gambar 1 : Blok Diagram Sistem Instrument<br />
Komputer<br />
(Laptop)<br />
2. 2. Karakteristik Sensor<br />
Sensor ECC bentuknya sangat kecil dan<br />
memiliki sensitivitas tinggi, sensor tersebut biasa<br />
ditempatkan pada ECC Ozonesonde, untuk<br />
digunakan pengukur suhu pompa. Dengan kepekaan<br />
yang sangat tinggi sensor suhu ECC ini dapat<br />
mendeteksi perubahan suhu pada teflon dengan<br />
ketebalan sekitar 5 mm. type sensor NTC (negative<br />
temperature coeffisient) dimana pada saat sensor<br />
mendeteksi perubahan kenaikan suhu akan<br />
D109
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mengakibatkan perubahan penurunan nilai<br />
resistansinya. Dalam melakukan pengukuran untuk<br />
mencari karakteristik sensor ini menggunakan alat<br />
bantu : Volt meter dan thermometer.<br />
Hasil pengukuran karakteristik sensor adalah sebagai<br />
berikut :<br />
TABEL 1<br />
Karakteristik sensor ECC<br />
Suhu (˚ C)<br />
23<br />
24<br />
25<br />
26<br />
27<br />
28<br />
29<br />
30<br />
31<br />
32<br />
33<br />
34<br />
35<br />
36<br />
37<br />
38<br />
Resistansi (KΩ)<br />
22,8<br />
22,1<br />
21,5<br />
20,3<br />
19,8<br />
19,3<br />
18,7<br />
18,1<br />
17,6<br />
16,9<br />
`16,2<br />
15,4<br />
14,7<br />
14,1<br />
13,4<br />
12,8<br />
Gambar 3 : Bentuk fisik sensor suhu ECC<br />
2. 3. Pengkondisi Sinyal<br />
Pengkondisi Sinyal (PS) yang di gunakan<br />
pada instrument ini adalah sistem jembatan<br />
wheatstone yang menggunakan 3 resistor sebagai<br />
penyeimbang sensor ECC, dengan konfigurasi<br />
rangkaian sebagai berikut<br />
R1<br />
:<br />
Vcc<br />
R2<br />
Dari tabel karakteristik sensor pada perubahan<br />
suhu terhadap perubahan resistansi ditunjukkan pada<br />
grafik dibawah :<br />
V1<br />
Rs<br />
R3<br />
V2<br />
Resistansi<br />
(K Ohm )<br />
23<br />
22.5<br />
22<br />
21.5<br />
21<br />
20.5<br />
20<br />
Grafik karakteristik sensor ECC<br />
Suhu vs Resistansi<br />
23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 27<br />
Suhu (C)<br />
Gambar 2 : Grafik karakteristik sensor ECC<br />
Sesuai grafik karakteristik sesnsor ECC, respon<br />
resistansi terhadap perubahan suhu mendekati linear,<br />
dengan jangkauan (range) sangat lebar. Sensor ini<br />
sangat sensitip terhadap perubahan suhu udara,<br />
gambar fisik sensor ECC ditunjukkan seperti<br />
gambar dibawah :<br />
Rs : Resistansi Sensor<br />
GND<br />
Gambar 4 : Pengkondisi Sinyal Jembatan Wheatstone<br />
Pembahasan :<br />
R1 = R2 = R3 = 25 KΩ dan Vcc = 5 Volt<br />
Rs Suhu.: 23˚C = 22,8 KΩ, dan Suhu.: 38˚C =<br />
12,8 KΩ<br />
Rs<br />
R3<br />
V1 = Vcc x (---------) dan V2 = Vcc x (----------)<br />
Rs + R1<br />
R3 + R2<br />
Suhu (T) : 23˚C<br />
22,8<br />
V1 = 5 V x (-----------) = 2,384 V, V2 = ½ x Vcc<br />
= 2,5 V<br />
22,8 + 25<br />
Vo = V2 – V1 2,5 V – 2,384 V = 0,116 V =<br />
116 mV<br />
D110
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Suhu (T) : 38˚C<br />
12,8<br />
V1 = 5 V x (------------) = 0,338 V, V2 = ½ x Vcc<br />
= 2,5 V<br />
12,8 + 25<br />
Vo = V2 – V1 2,5 V – 0,338 V = 2,162 V =<br />
2162 mV<br />
Pengukuran suhu 23˚C s/d 38˚C menghasilkan<br />
jangkauan tegangan<br />
Vo(38˚C)–Vo(23˚C) 2162 mV – 116 mV<br />
----------------------- = ----------------------- = 136,4<br />
mV/1˚C<br />
T 38˚C – T 23˚C<br />
15 ˚C<br />
2. 5. Analog to Digital Converter (ADC)<br />
Sistem konversi sinyal analog ke digital pada<br />
instrument ini menggunakan ADC 12 bit 3 channel<br />
dari IC AD574AKD, dengan software delphi. Hasil<br />
keluaran sinyal Op-Amp masih berupa tegangan<br />
analog, selanjutnya di konversi menjadi sinyal<br />
digital pada rangkaian ADC. Dengan memanfaatkan<br />
salah satu channel dari 3 input. Perancangan sistem<br />
ADC 12 bit dengan 3 channel dalam rangkaian<br />
elektronik ditunjukkan pada gambar dibawah :<br />
Perubahan suhu :1˚C, Pengkondisi Sinyal<br />
mengalami perubahan tegangan sebesar : 136,4<br />
mVolt<br />
2. 4. Operational Amplifier<br />
Penguat yang dipergunakan pada instrument<br />
ini adalah operational amplifier 2 tingkat sistem<br />
proportional, yang memanfaatkan input diferensiator<br />
dengan dominasi tegangan pada input inverting (V2<br />
pada inverting dan V1 pada non-inverting)<br />
rangakaian Op-Amp tersebut ditampilkan sebagai<br />
berikut :<br />
Gambar 6 : Rangkaian elektronik ADC 12 bit 3 Ch<br />
III. REALISASI INSTRUMENT<br />
3. 1. Visualisasi Fisik Instrument<br />
Perancangan instrument pendeteksi suhu<br />
badan pasien yang telah direalisasikan secara fisik<br />
dapat ditunjukkan seperti pada gambar dibawah :<br />
Rf<br />
V2<br />
V1<br />
R1<br />
R2<br />
+Vcc<br />
-<br />
741<br />
+<br />
-Vee<br />
Vout1<br />
R3<br />
R4<br />
R5<br />
+Vcc<br />
-<br />
741<br />
+<br />
Vout2<br />
-Vee<br />
GND<br />
mbar 5 : Rangkaian Op-Amp 2 Tk. Proportional<br />
Ga<br />
Gambar 7 : Realisasi rangkaian instrument<br />
Pembahasan :<br />
Nilai resistansi : R1 = R2 = R3 = R4 = R5 = 10 KΩ<br />
Dan Rf = 100 KΩ<br />
Vout 1 = ((V2 – V1) x (-Rf/R1))<br />
......................................(1)<br />
Vout 2 = (( Vout1) x (-R5/R3))<br />
........................................(2)<br />
Dari persamaan (1) dan (2) maka :<br />
Vout 2 = ((V2 – V1) x ((-Rf/R1) x (-R5/R3)))<br />
Untuk Op-Amp 2 dimana R3 = R4 = R5, maka<br />
penguatan (Av) = 1 dan berfungsi sebagai inverting<br />
(pembalik polaritas)<br />
Penempatan unit konversi sinyal analog untuk<br />
logger berada pada blok PCB terpisah terhadap blok<br />
PCB regulator power supply.<br />
3. 2. Tampilan Respon Suhu Pada Display<br />
Informasi hasil pengukuran suhu pasien dapat<br />
ditampilkan secara grafik pada layar monitor PC<br />
seperti pada gambar dibawah :<br />
D111
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Delay waktu yang diperlukan alat desain (AD)<br />
dan alat referensi (AR) terhadap perubahan<br />
kenaikan suhu sebesar 1˚C, dimana pengujian ini<br />
dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa<br />
stop watch data waktu ditunjukkan pada tabel<br />
dibawah ini :<br />
Gambar 8 : Tampilan suhu pasien pada PC<br />
3. 3. Tampilan Data Numerik<br />
Selain menampilkan grafik pengukuran suhu<br />
badan pasien, data numerik hasil pengukuran dapat<br />
disimpan pada direktori sesuai yang kita inginkan.<br />
Dengan nama file : tahun, bulan, tanggal, jam dan<br />
menit, display akan menampilkan data dari ke 3<br />
channel seperti pada gambar dibawah :<br />
TABEL III<br />
Waktu respon AD dan AR<br />
Perubahan<br />
1˚C<br />
25 – 26<br />
26 – 27<br />
27 – 28<br />
28 – 29<br />
29 – 30<br />
30 – 31<br />
31 – 32<br />
32 – 33<br />
33 – 34<br />
34 – 35<br />
35 – 36<br />
36 - 37<br />
Waktu<br />
AD (s)<br />
0,6<br />
0,5<br />
0,5<br />
0,6<br />
0,6<br />
0,5<br />
0,5<br />
0,5<br />
0,6<br />
0,5<br />
0,5<br />
0,6<br />
Waktu<br />
AR (s)<br />
4,5<br />
4,6<br />
4,4<br />
4,4<br />
4,5<br />
4,5<br />
4,6<br />
4,6<br />
4,5<br />
4,6<br />
4,5<br />
4,5<br />
Gambar 9 : Tampilan data numerik 3 channel<br />
IV. HASIL PENGUKURAN<br />
4. 1. Perbandingan Pengukuran Suhu AR & AD<br />
Pengukuran dilakukan pada obyek dan waktu<br />
yang sama antara alat yang dipergunakan untuk<br />
referensi (AR) dengan alat yang di desain (AD)<br />
dengan hasil perbandingan pada tabel :<br />
TABEL II<br />
Hasil pengukuran suhu AR & AD<br />
AR (˚C)<br />
25,0<br />
25,5<br />
26,0<br />
26,5<br />
27,0<br />
27,5<br />
28.0<br />
28,5<br />
29,0<br />
29,5<br />
30,0<br />
30,5<br />
31,0<br />
31,5<br />
32,0<br />
32,5<br />
33,0<br />
33,5<br />
34,0<br />
34,5<br />
35,0<br />
AD (˚C)<br />
25,1<br />
25,5<br />
26,0<br />
26,6<br />
27,2<br />
27,5<br />
28,0<br />
28,6<br />
29,1<br />
29,5<br />
30,0<br />
30,4<br />
31,0<br />
31,6<br />
32,0<br />
32,6<br />
33,1<br />
33,5<br />
34,1<br />
34,6<br />
35,0<br />
V. ANALISA & KESIMPULAN<br />
5. 1. Analisa<br />
Dari hasil uji coba di lapangan sesuai data<br />
pengukuran diatas maka melakukan desain<br />
instrument untuk mengukur suhu badan pasien<br />
dengan menggunakan sensor ECC akan lebih<br />
menguntungkan bila dibandingkan dengan<br />
menggunakan peralatan manual (thermometer air<br />
raksa) ditinjau dari segi manfaat, waktu respon dan<br />
sistem penyimpanan data suhu pasien.<br />
Perbandingan respon AD dan AR pada<br />
perubahan suhu masih ada (sangat kecil) tetapi<br />
dalam toleransi wajar besarnya :<br />
Pada AR : ∑ data = 630, dan rerata =<br />
30,00<br />
Pada AD : ∑ data = 631, dan rerata =<br />
30,05<br />
Kecepatan dalam merespon perubahan suhu<br />
setiap kenaikan 1˚C dari kedua alat adalah :<br />
Pada AR : ∑ time = 54,2 s, dan rerata =<br />
4,516 s<br />
Pada AD : ∑ time = 6,5 s, dan rerata =<br />
0,541 s<br />
Resolusi :<br />
D112
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Resolusi didapatkan dari hasil respon AD<br />
terhadap AR berdasarkan periode jumlah data yang<br />
diambil secara bersamaan<br />
Selisih (SL) AD – AR = 1<br />
Toleransi AD & AR : ((SL) / ∑AD) x 100% =<br />
0,158 %<br />
Resolusi : (∑AR / ∑AD) x 100% = 99,8 %<br />
Arus Instrumen (I) : 1 Amperre<br />
Tegangan DC (V) : 12 V<br />
Disipasi daya : (V x I) = 12 W<br />
Penggunaan daya sebesar 12 W relatip kecil<br />
untuk suatu peralatan elektronik dan kurang dapat<br />
menimbulkan kerusakan akibat dari panas yang<br />
disebabkan dari penggunaan daya listrik<br />
5. 2. Kesimpulan<br />
Hasil perancangan instrumen pengukur suhu<br />
badan pasien merupakan terobosan baru yang perlu<br />
dikembangkan terutama bukan hanya pada suhu<br />
badan saja tetapi dapt dimanfaatkan untuk<br />
pengukuran kondisi pasien lainnya karena<br />
menggunakan sistem logger dengan 3 channel, yang<br />
mempermudah dalam melakukan sistem<br />
penyimpanan data pengukuran pasien.<br />
Perbandingan antara alat desain (AD) terhadap<br />
alat referensi (AR) dengan menggunakan<br />
thermometer sangat kecil, sehingga masih pada<br />
batas toleransi validasi. respon perubahan alat<br />
desain (AD) lebih cepat bila dibandingkan alat<br />
referensi (AR) hal ini terjadi karena pergerakan air<br />
raksa dalam menyesuaikan suhu diluar<br />
menggunakan sistem perambatan logm pengindera<br />
(terletak pada ujung thermometer) sedangkan pada<br />
AD selain sensor ECC memiliki sensitifitas tinggi<br />
sistem digital akan lebih cepat dalam melakukan<br />
konversi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Couglin F. Robert dan Driscoll F. Frederick (1992),<br />
Penguat Operational dan Rangkaian Terpadu<br />
Linear. Cetakan kedua Penerjemah :Soemitro,<br />
Herman Widodo. Jakarta : Erlangga<br />
Mac Kenzie, L. Scott, (1995) The 8051<br />
Microcontroller, 2 nd edition, Prentice Hall,<br />
Inc., USA<br />
Malvino (1996) Prinsip – prinsip Elektronika,<br />
Jakarta - Erlangga<br />
Toni Subiakto (2008) Desain & Rancang Bangun<br />
Instrument Pendeteksi Ozon Permukaan Sistem<br />
Logger dari Sensor ECC Ozonesonde, dari<br />
Prosiding Seminar Instrumentasi Berbasis<br />
<strong>Fisika</strong> 2008 Gedung <strong>Fisika</strong> ITB, 28 Agustus<br />
2008 Editor : Mitra Djamal, Suparno Satira,<br />
ISBN 978-979-96520-4-1 Hal : 145 – 149<br />
Agfianto Eko Putra (2004) Belajar Mikrokontroler<br />
AT89C51/52/55 (Teori dan Aplikasi), Penerbit<br />
Gava Media<br />
D113
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sistem Monitoring Kecelakaan Pengendara Sepeda Motor dengan<br />
Menggunakan Accelerometer<br />
sebagai Pengidentifikasi Benturan<br />
Yusuf Wibisono S 1 , Djoko Purwanto 2 , Agus Sigit Pramono 3<br />
1,2 Program Studi Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />
3 Program Studi Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />
Email : yusuf_ws@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Keterlambatan petugas kepolisian dalam menangani kecelakaan disebabkan oleh luasnya daerah yang harus<br />
dipantau, akibatnya kematian pada korban kecelakaan tidak terhindarkan dikarenakan penanganan medis yang<br />
terlambat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat untuk membantu petugas kepolisian dalam memantau dan<br />
memonitor kecelakaan di jalan raya sehingga diharapkan petugas dapat lebih cepat dalam menangani kecelakaan<br />
tersebut. Pada penelitian ini dirancang sistem monitoring kecelakaan pengendara sepeda motor yang terdiri dari<br />
dua bagian yaitu Bagian Mobile yang terletak pada helm dan sepeda motor pengendara, dan Bagian Pengawas<br />
yang terletak di pos polisi. Bagian Mobile dilengkapi dengan sensor tekan, accelerometer, mikrokontroler, TRW<br />
2.4G, GPS dan GSM modem. Sensor tekan dan accelerometer yang terletak pada helm pengendara berfungsi<br />
sebagai pengidentifikasi terjadinya kecelakaan dengan mengukur gaya impak yang diserap oleh kepala<br />
pengendara saat helm berbenturan dengan aspal atau kendaraan lain. Gaya impak sebesar 300 g atau lebih dapat<br />
mengakibatkan gegar otak serius dan cedera permanen pada kepala sehingga sensor akan memberikan informasi<br />
kecelakaan. Informasi kecelakaan pada helm akan dikirimkan oleh TRW 2.4G ke sepeda motor pengendara<br />
secara wireless. Mikrokontroler akan mengolah informasi kecelakaan tersebut dan mengambil data posisi dari<br />
GPS, kemudian dikirimkan ke Bagian Pengawas melalui GSM modem dengan format SMS. Bagian Pengawas<br />
terdiri dari GSM modem dan komputer yang dilengkapi dengan peta digital kota Surabaya. GSM modem<br />
berfungsi untuk menerima SMS dari Bagian Mobile yang berisi informasi identitas pengendara dan posisi<br />
kecelakaan, kemudian informasi tersebut dikirimkan ke komputer. Komputer akan mengolah informasi posisi<br />
kecelakaan dalam bentuk lintang dan bujur kemudian ditampilkan secara visual pada peta digital yang<br />
bersesuaian dengan posisi kecelakaan sebenarnya, dan informasi identitas pengendara akan ditampilkan sesuai<br />
dengan data yang tersimpan di database. Dengan demikian petugas kepolisian dapat memonitor di daerah mana<br />
saja terjadinya kecelakaan. Sistem telah diuji untuk monitoring kecelakaan pada lokasi kota Surabaya.<br />
Kata kunci: accelerometer, GPS, GSM modem, sistem monitoring kecelakaan.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Terjadinya kecelakaan sepeda motor di jalan<br />
raya sangat beragam jenisnya jika dilihat dari sisi<br />
sebab kecelakaan, arah tabrakan dan arah jatuhnya.<br />
Hal yang paling sering terjadi saat kecelakaan<br />
sepeda motor adalah pengendara terlempar dan<br />
berbenturan dengan aspal/tanah atau berbenturan<br />
dengan kendaraan lain. Bagian tubuh pada manusia<br />
yang paling vital saat terjadi benturan adalah kepala.<br />
Standar pengujian helm di wilayah Amerika Serikat<br />
dan Kanada yaitu DOT (<strong>Departemen</strong>t of<br />
Transportation) dan Snell Memorial Foundation<br />
menentukan bahwa gaya impak yang diserap kepala<br />
sebesar 300 g atau lebih dapat mengakibatkan gegar<br />
otak serius dan cedera kepala permanen. Dimana<br />
konversi 9810 m/s 2 setara dengan 1000 g. Jika<br />
kecelakaan terjadi di tempat yang sepi dan<br />
pengendara dalam keadaan pingsan dikarenakan<br />
benturan yang keras pada kepala, maka kematian<br />
tidak akan terhindarkan. Sehingga pada penelitian<br />
ini, identifikasi kecelakaan dilakukan pada helm<br />
pengendara.<br />
TABEL V Kriteria Impak Pada Helm<br />
Impact Criteria DOT FMVSS 218 SNELL M2000<br />
Allowed Peak<br />
Acceleration<br />
Allowed Duration<br />
Requirement<br />
2. DESKRIPSI SISTEM<br />
400 G 300 G<br />
2 ms over 200 G<br />
4 ms over 150 G<br />
Rancang bangun sistem monitoring kecelakaan<br />
pada pengendara sepeda motor terdiri dari dua<br />
bagian, yaitu Bagian Mobile yang terletak pada<br />
sepeda motor dan helm pengendara, sedangkan<br />
Bagian Pengawas yang bertempat di pos polisi.<br />
-<br />
D114
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar. 1 Diagram Blok Perancangan Sistem.<br />
Interkoneksi Hardware pada Bagian Mobile<br />
terdapat di dua tempat yaitu di helm pengendara dan<br />
di sepeda motor dengan pertimbangan terbatasnya<br />
ruang pada helm dan konsumsi power yang besar<br />
pada GPS dan GSM modem, sehingga sumber<br />
tegangan dapat memanfaatkan aki pada sepeda<br />
motor.<br />
Helm pengendara dilengkapi dengan sensor<br />
tekan, accelerometer, mikrokontroler dan TRW<br />
2.4G. Sedangkan pada sepeda motor dilengkapi<br />
dengan mikrokontroler, TRW 2.4G, GPS dan GSM<br />
modem. Sensor tekan dan accelerometer berfungsi<br />
sebagai input untuk pengidentifikasi terjadinya<br />
kecelakaan dengan cara mengukur gaya impak atau<br />
benturan yang terjadi pada helm pengendara.<br />
Mikrokontroler pada helm akan mengirimkan<br />
informasi kecelakaan ke bagian sepeda motor secara<br />
wireless dengan menggunakan TRW 2.4G. Jika<br />
terjadi kecelakaan, mikrokontroler pada sepeda<br />
motor akan mengambil input posisi berupa Lintang<br />
dan Bujur dari GPS receiver kemudian<br />
menginstruksikan GSM modem untuk mengirimkan<br />
informasi posisi dan kecelakaan dengan<br />
menggunakan instruksi tipe ATCommand. GSM<br />
modem akan mengirimkan informasi ke Bagian<br />
Pengawas dengan metode Short Messages Service<br />
(SMS). GSM modem digunakan untuk pengiriman<br />
data karena memanfaatkan operator seluler GSM<br />
sehingga jangakauan sangat luas selama pemenuhan<br />
sinyal GSM tersedia.<br />
Bagian Pengawas terdiri dari dua komponen<br />
yaitu GSM modem dan komputer, kedua komponen<br />
tersebut terletak di kantor polisi untuk memonitor<br />
terjadinya kecelakaan di kota Surabaya. GSM<br />
modem berfungsi sebagai penerima informasi<br />
kecelakaan dari Bagian Mobile dalam format SMS.<br />
Hasil informasi tersebut dikirimkan ke komputer<br />
untuk diproses lebih lanjut. Komputer dilengkapi<br />
dengan peta kota Surabaya dan database identitas<br />
pengendara sepeda motor di Surabaya. Informasi<br />
yang diterima adalah nomor polisi sepeda motor<br />
pengendara dan posisi terjadinya kecelakaan. Posisi<br />
kecelakaan berupa Lintang dan Bujur akan<br />
divisualisasikan dalam bentuk titik warna merah<br />
pada peta yang akan bersesuaian dengan posisi<br />
sebenarnya. Sedangkan nomor polisi pengendara<br />
akan dicocokan dengan daftar yang ada di database<br />
kemudian identitas pengendara akan ditampilkan.<br />
2.1 Accelerometer ACC301<br />
Pada penelitian ini accelerometer berfungsi<br />
sebagai pengidentifikasi terjadinya kecelakaan<br />
dengan mengukur gaya impak yang diserap oleh<br />
kepala pengendara saat helm berbenturan dengan<br />
aspal/tanah atau kendaraan lain. Accelerometer yang<br />
digunakan adalah ACC 301 yang terdiri dari 3 axis<br />
dan dapat mengukur percepatan hingga 500g.<br />
Spesifikasi accelerometer ACC301, yaitu:<br />
• Arus pengaktif sensor 2mA constant current<br />
(per axis).<br />
• Tegangan pengaktif sensor 15-30Vdc (per axis).<br />
• Output 10 mV/g (per axis).<br />
• Frekuensi output 100 Hz (per axis).<br />
Berdasarkan karakteristik dari ACC301 tersebut<br />
maka dibutuhkan rangkaian pendukung untuk<br />
mengaktifkan sensor dan rangkaian pengkondisi<br />
sinyal output, sehingga output dari sensor sesuai<br />
dengan karakteristik dari ADC internal ATMega<br />
8535.<br />
Gambar. 2 Diagram Blok Rangkaian Pendukung Accelerometer<br />
ACC301.<br />
Accelerometer ACC301 memiliki 3 axis<br />
dalam mendeteksi arah vibrasi yaitu terhadap sumbu<br />
X, sumbu Y dan sumbu Z. Sehingga pada ADC<br />
digunakan 3 input channel untuk masing-masing<br />
axis. Hasil pengukuran dari masing-masing sumbu<br />
dihitung resultannya hingga didapatkan besar XYZ.<br />
Besar XYZ inilah yang nantinya diidentifikasi untuk<br />
memenuhi standart kecelakaan yaitu lebih dari 300g,<br />
lebih dari 200g selama 2mS dan lebih dari 150g<br />
selama 4mS. Perhitungannya adalah sebagai berikut:<br />
2 2<br />
XY = ( X + Y )<br />
(1)<br />
2 2<br />
XYZ = XY + Z<br />
(2)<br />
( )<br />
Gambar. 3 Ilustrasi Resultan Sumbu XYZ.<br />
Sensor accelerometer diletakkan pada bagian<br />
head foam helm agar gaya impak yang dirasakan<br />
oleh sensor sama denga gaya impak yang dirasakan<br />
oleh kepala setelah diredam oleh head foam. Sisi<br />
D115
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
atas permukaan helm merupakan sumbu X sensor,<br />
sisi depan dan belakang permukaan helm merupakan<br />
sumbu Y sensor dan sisi samping kanan-kiri<br />
permukaan helm merupakan sumbu Z sensor.<br />
Gambar. 4 Peletakan Sensor Accelerometer ACC301 Pada Helm<br />
2.2 GSM Modem<br />
GSM Modem digunakan sebagai media<br />
komunikasi antara sepeda motor dengan komputer<br />
yang memanfaatkan operator GSM. Ketika terjadi<br />
kecelakaan, informasi kecelakaan pada sepeda motor<br />
akan dikirimkan ke komputer pengawas dengan<br />
format SMS. Keuntungan menggunakan GSM<br />
Modem adalah area jangkau yang luas selama sinyal<br />
GSM tersedia. Format SMS yang dikirim<br />
ditunjukkan pada Tabel II.<br />
TABEL VII Format SMS<br />
Fungsi dari Password adalah untuk memfilter<br />
SMS yang masuk pada Bagian Pengawas, sehingga<br />
jika Password tidak cocok maka SMS akan<br />
diabaikan. Password yang digunakan adalah kalimat<br />
”ACCIDENT”. Nomer Polisi berisi nomer polisi<br />
sepeda motor pengendara. Nomer Polisi berfungsi<br />
sebagai pengenal identitas pengendara (Bagian<br />
Mobile) yang mengalami kecelakaan, sehingga<br />
petugas diharapkan dapat lebih cepat dalam<br />
menolong pengendara. Derajat Lintang, Menit<br />
Lintang, Derajat Bujur, dan Menit Bujur berisi<br />
informasi yang diambil dari GPS berupa posisi<br />
koordinat terjadinya kecelakaan. Contoh:<br />
ACCIDENT L1234X 07 19.644 112 44.144<br />
artinya adalah Bagian Mobile dengan nomer polisi<br />
kendaraan L1234X mengalami kecelakaan, dimana<br />
posisi terjadinya kecelakaan adalah 07˚ 19.644’ LS<br />
dan 112˚ 44.144’ BT.<br />
2.3 Peta Surabaya<br />
Pada penelitian ini desain peta Surabaya diambil<br />
dari peta google earth. Peta google earth yang<br />
digunakan merupakan foto udara yang diambil dari<br />
satelit pada tanggal 2 September 2007. Beberapa<br />
pertimbangan menggunakan google earth dalam<br />
mendesain peta adalah:<br />
Gambar jelas dan seperti aslinya.<br />
Dapat di-zoom sesuai dengan ketinggian yang<br />
diinginkan.<br />
Dilengkapi garis-garis jalan dan keterangan nama<br />
jalan.<br />
Pada setiap titik dapat diketahui koordinat Lintang<br />
dan Bujur.<br />
Langkah yang harus dilakukan untuk dapat<br />
mengambil gambar dari google earth adalah dengan<br />
meng-instal dan menjalankan software google earth<br />
yang terhubung dengan internet. Gambar peta dapat<br />
di-capture pada posisi, ketinggian dan batas<br />
Lintang-Bujur yang diinginkan.<br />
Gambar. 5 Batasan Lintang dan Bujur Pada Peta.<br />
Informasi koordinat Lintang dan Bujur dari<br />
posisi terjadinya kecelakaan tidak dapat langsung<br />
ditampilkan secara visual pada peta Surabaya, hal ini<br />
dikarenakan koordinat peta pada Visual Basic<br />
ditentukan terhadap pixel. Pada komputer, gambar<br />
dari setiap peta akan ditampilkan dengan resolusi<br />
929 pixel x 681 pixel. Untuk itu dilakukan<br />
perhitungan dengan membandingkan koordinat<br />
Lintang dan Bujur posisi sebenarnya dengan<br />
koordinat horizontal dan vertikal pixel pada peta.<br />
Gambar. 6 Peta Pada Ketinggian 762 m Dari Tanah.<br />
Perhitungannya adalah sebagai berikut:<br />
Lon<br />
= Data Bujur posisi kecelakaan<br />
Lat<br />
= Data Lintang posisi kecelakaan<br />
Bujur Kanan = 112˚ 44.795’<br />
Bujur Kiri = 112˚ 45.272’<br />
Horisontal Pixel = 929<br />
⎛ (Lon - Bujur Kiri ) ⎞<br />
X = ⎜<br />
⎟ × Horisontal Pixel<br />
⎝ (Bujur Kanan - Bujur Kiri) ⎠<br />
Lintang Atas = 7˚ 16.392’<br />
Lintang Bawah = 7˚ 16.735’<br />
Vertikal Pixel = 681<br />
(3.18)<br />
D116
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
⎛ (Lat - Lintang Atas ) ⎞<br />
3. PENGUJIAN SISTEM<br />
Y = ⎜<br />
⎟ × Vertikal Pixel<br />
(3.19)<br />
⎝ (Lintang Bawah - Lintang Atas ) ⎠<br />
Setelah melalui tahap pembuatan sistem<br />
Pixel = (X,Y)<br />
monitoring kecelakaan pada pengendara sepeda<br />
Setelah didapatkan koordinat pixel terjadinya motor baik pada bagian hardware maupun software,<br />
kecelakan, selanjutnya divisualisasikan dalam maka tahap selanjutnya dilakukan pengujian dan<br />
bentuk titik merah pada peta. Contoh tampilan posisi pengukuran pada tiap-tiap bagian. Tujuan dilakukan<br />
terjadinya kecelakaan pada tiga ketinggian yang pengujian dan pengukuran adalah untuk mengetahui<br />
berbeda ditunjukkan pada Gambar 7<br />
hasil dari penelitian yang telah dilakukan, baik dari<br />
kebenaran data maupun kemampuan atau performa<br />
alat secara keseluruhan.<br />
3.1Pengujian dan Pengukuran Sensor<br />
Accelerometer ACC301<br />
Gambar. 7 Peta Pada Ketinggian 762 m Dari Tanah.<br />
2.4 Database Identitas Pengendara dan Daftar<br />
Kecelakaan<br />
Monitoring kecelakaan pada komputer juga<br />
dilengkapi dengan database identitas pengemudi<br />
sepeda motor dan database daftar kecelakaan.<br />
Sehingga saat terjadi kecelakaan, petugas dapat<br />
dengan cepat memperoleh informasi data diri<br />
pengemudi dan alamat yang bisa dihubungi. Hal ini<br />
dapat lebih mempercepat proses penyelamatan<br />
nyawa korban kecelakaan, sehingga tingkat<br />
kematian kecelakaan dapat lebih ditekan<br />
Database identitas pengemudi dan database<br />
daftar kecelakaan disimpan pada Microsoft Office<br />
Access, sedangkan software monitoring fungsinya<br />
untuk menampilkan data tersebut dan diijinkan pula<br />
untuk merubah dan memperbarui data. Koneksi yang<br />
menghubungkan antara software dan Microsoft<br />
Office Access digunakan koneksi ODBC.<br />
Pengujian dan pengukuran pada sensor<br />
accelerometer ACC301 bertujuan untuk mengetahui<br />
respon output dari sensor terhadap benturan yang<br />
terjadi pada helm pengendara dari tiap-tiap sisi. Sisi<br />
permukaan pada helm sangat luas sehingga pada<br />
pengujian ini dipilih pada tiga sisi yang berbeda<br />
yaitu sisi atas, sisi belakang dan sisi samping.<br />
Masing-masing sisi mewakili tiga sumbu atau axis<br />
yang berbeda dari sensor accelerometer ACC301,<br />
yaitu sisi atas untuk sumbu X, sisi belakang untuk<br />
sumbu Y dan sisi samping untuk sumbu Z.<br />
(a)<br />
(b)<br />
(a)<br />
(c)<br />
(b)<br />
Gambar. 8 (a)Diagram Blok Koneksi Database Identitas<br />
Pengendara; (b)Diagram Blok Koneksi Database Daftar<br />
Kecelakaan.<br />
Gambar. 9 (a) Hasil Pengukuran Sensor Accelerometer ACC301<br />
Terhadap Benturan Pada Sisi Atas Helm (Sumbu X); (b) Hasil<br />
Pengukuran Sensor Accelerometer ACC301 Terhadap Benturan<br />
Pada Sisi Belakang Helm (Sumbu Y); (c) Hasil Pengukuran<br />
Sensor Accelerometer ACC301 Terhadap Benturan Pada Sisi<br />
Samping Helm (Sumbu Z).<br />
D117
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengujian dan pengukuran dalam menjatuhkan<br />
helm, dilakukan pada tiga ketinggian yang berbeda<br />
yaitu 0.5 meter, 1.5 meter dan 1 meter. Dimana pada<br />
sisi atas permukaan helm, sisi belakang permukaan<br />
helm dan sisi samping permukaan helm, dijatuhkan<br />
tegak lurus sebanyak lima kali pada masing-masing<br />
ketinggian.<br />
TABEL VIIII<br />
Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Atas Helm<br />
(Sumbu X).<br />
TABEL IV<br />
Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Belakang Helm<br />
(Sumbu Y).<br />
TABEL V<br />
Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Samping Helm<br />
(Sumbu Z).<br />
pada masing-masing sumbu X, Y dan Z memiliki<br />
kesamaan.<br />
3. 2 Pengujian Peta Surabaya Pada Komputer<br />
Pengujian peta Surabaya pada Bagian Pengawas<br />
bertujuan untuk memastikan kebenaran posisi<br />
kecelakaan yang ditunjukkan pada peta bila<br />
dibandingkan dengan posisi kecelakaan sebenarnya.<br />
Pengujian dilakukan pada lima tempat yang berbeda<br />
pada area kota Surabaya, dimana lima tempat<br />
tersebut adalah ruangan terbuka agar GPS menerima<br />
data valid dari satelit. Pengujian dilakukan dengan<br />
cara mengambil data Lintang dan Bujur dari GPS<br />
pada tempat tersebut, kemudian data tersebut<br />
dikirimkan ke komputer dengan format SMS. Data<br />
Lintang dan Bujur yang diterima kemudian<br />
ditampilkan berupa titik warna merah pada peta.<br />
Pengujian dilakukan pada lima tempat yang<br />
berbeda. Pengambilan data yang pertama di jalan<br />
Dharma Husada depan Galaxy Mall ditunjukkan<br />
pada Gambar 4.8, halaman 77. Pengambilan data<br />
yang kedua di jalan Ahmad Yani depan Giant<br />
ditunjukkan pada Gambar 4.9, halaman 77.<br />
Pengambilan data yang ketiga di jalan Mayjend.<br />
Soengkono depan Hotel Sangrila ditunjukkan pada<br />
Gambar 4.10, halaman 77. Pengambilan data yang<br />
keempat di jalan Raya Darmo depan BCA<br />
ditunjukkan pada Gambar 4.11, halaman 78.<br />
Pengambilan data yang kelima di jalan Basuki<br />
Rahmad depan Gramedia Expo ditunjukkan pada<br />
Gambar 4.12, halaman 78.<br />
Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa posisi<br />
yang ditampilkan pada peta Surabaya menunjukkan<br />
titik merah pada tepi jalan raya, hal ini dikarenakan<br />
pengambilan data dilakukan di tepi jalan raya.<br />
Sehingga dari pengujian peta Surabaya dapat<br />
disimpulkan bahwa tampilan pada peta Surabaya<br />
mendekati posisi sebenarnya.<br />
Dari hasil pengujian Accelerometer ACC301<br />
terhadap sumbu X, Y dan Z ditunjukkan bahwa saat<br />
helm jatuh tegak lurus terhadap sumbu X maka<br />
besar percepatan tertinggi terukur pada sumbu X,<br />
sedangkan jika dijatuhkan tegak lurus terhadap<br />
sumbu Y maka besar percepatan tertinggi terukur<br />
pada sumbu Y, begitu pula terhadap sumbu Z.<br />
Sedangkan resultan percepatan jika dijatuhkan tegak<br />
lurus terhadap sumbu X, Y, Z pada ketinggian 0.5<br />
m, menunjukkan bahwa rata-rata besar resultan<br />
percepatan yang terukur berada pada range yang<br />
hampir sama yaitu 63-71g. Sedangkan pada<br />
ketinggian 1 m juga menunjukkan rata-rata resultan<br />
percepatan yang terukur berada pada range yang<br />
hampir sama yaitu 106-112g, begitu pula pada<br />
ketinggian 1.5 m yaitu pada range 170-182g. Dari<br />
hasil pengujian dan pengukuran ini menunjukkan<br />
bahwa respon output sensor accelerometer ACC301<br />
(a)<br />
D118
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
(b)<br />
(c)<br />
3.3Pengujian dan Pengukuran Sistem Monitoring<br />
Secara Keseluruhan<br />
Sistem monitoring kecelakaan secara<br />
keseluruhan meliputi komunikasi antara Bagian<br />
Mobile dengan Bagian Pengawas mulai dari<br />
terjadinya kecelakaan pada helm hingga<br />
ditampilkannya posisi kecelakaan pada peta<br />
Surabaya.<br />
Pengujian dan pengukuran sistem monitoring<br />
secara keseluruhan bertujuan untuk mengetahui<br />
kemampuan dari sistem ketika dijalankan secara<br />
bersamaan, baik dari keberhasilan sistem secara<br />
keseluruhan, kebenaran posisi kecelakaan yang<br />
ditampilkan, maupun lama kerja dari sistem mulai<br />
terjadinya kecelakaan pada Bagian Mobile hingga<br />
ditampilkannya posisi kecelakaan pada Bagian<br />
Pengawas. Pengujian dan pengukuran dilakukan di<br />
dua ruangan berbeda, dimana Bagian Mobile<br />
bertempat di ruangan terbuka sedangkan Bagian<br />
Pegawas bertempat di ruangan tertutup. Pengukuran<br />
lama kerja dari sistem dilakukan menggunakan<br />
stopwatch.<br />
Pada pengujian dan pengukuran sistem<br />
monitoring secara keseluruhan dilakukan sepuluh<br />
kali percobaan, seperti ditunjukkan pada Tabel VI.<br />
Dari sepuluh percobaan terjadi sekali kegagalan, hal<br />
ini dikarenakan SMS yang dikirim dari Bagian<br />
Mobile tidak kunjung diterima oleh Bagian<br />
Pengawas. Posisi terjadinya kecelakaan yang<br />
ditampilkan pada peta Surabaya sesuai dengan posisi<br />
sebenarnya. Waktu yang dibutuhkan sistem dalam<br />
bekerja rata-rata selama 45.56 detik. Dari pengujian<br />
ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan kerja<br />
sistem monitoring sebesar 90%.<br />
TABEL VI<br />
Pengujian Sistem Monitoring Secara Keseluruhan<br />
(d)<br />
(e)<br />
Gambar. 10 (a) Pengambilan Data Di Jalan Dharma Husada<br />
Depan Galaxy Mall; (b) Pengambilan Data Di Jalan Ahmad Yani<br />
Depan Giant; (c) Pengambilan Data Di Jalan Mayjend.<br />
Soengkono Depan Sangrila; (d) Pengambilan Data Di Jalan Raya<br />
Darmo Depan BCA; (e) Pengambilan Data Di Jalan Basuki<br />
Rahmad Depan Gramedia Expo.<br />
4. KESIMPULAN<br />
Beberapa kesimpulan yang didapatkan setelah<br />
melalui tahapan-tahapan penelitian adalah:<br />
Sensor yang dipasang pada helm pengendara,<br />
menghasilkan gaya impak yang cenderung sama<br />
ketika helm dijatuhkan tegak lurus dari sisi<br />
permukaan yang berbeda dengan ketinggian yang<br />
yang sama.<br />
D119
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tampilan posisi kecelakaan pada peta Surabaya<br />
mendekati posisi sebenarnya.<br />
Sistem monitoring kecelakaan secara keseluruhan<br />
dapat bekerja dengan kemampuan 90%. Waktu yang<br />
dibutuhkan sistem dalam bekerja mulai dari<br />
terjadinya kecelakaan hingga ditampilkan di peta<br />
Surabaya, rata-rata selama 45.56 detik.<br />
5. DAFTAR PUSTAKA<br />
Afshari, A., Rajaai, S.M. (2008), “Finite Element<br />
Simulations Investigating The Role Of The<br />
Helmet In Reducing Head Injuries”,<br />
International Journal Simul Model VII, Vol.<br />
1, pp. 42-51.<br />
Chang, L.T., Chang, G.L., Huang, J.Z., Huang, S.C,<br />
Liu, D.S, Chang, C.H. (2003), ” Finite<br />
Element Analysis Of The Effect Of<br />
Motorcycle Helmet Materials Againts Impact<br />
Velocity”, Journal of the Chinese Institute of<br />
Engineers, Vol. 26, No. 6, pp. 835-843.<br />
Ibnkahla, M. (2004), “Signal Procecessing for<br />
Mobile Communications Hand book”, CRC<br />
Press, pp.1-1 to 1-3.<br />
Price, D.C., Hancock, G.M. (2005), “Modernizing<br />
Accident Investigation using GPS”,<br />
Conference and Technology Exhibition,<br />
March 18-23, 2005, Las Vegas, Nevada,<br />
USA<br />
Sarma, A.D., Rafikanth, P.S., Reddy, D.K. (2005),<br />
“Integration of GPS and GSM for<br />
Determination of Cellular Coverage Area”,<br />
International Union of Radio Science,<br />
XXVIII th General Assembly, 23-29 October<br />
2005, New Delhi.<br />
SIMCOM (2005), “SIM300EVB User Guide”, Ver<br />
1.03, Release Dec 8, 2005.<br />
SIMCOM (2006), “SIM508EVB User Guide”, Ver<br />
1.01, Release Apr 21, 2006.<br />
Snell Memorial Foundation (2000), 2000<br />
STANDARD FOR PROTECTIVE<br />
HEADGEAR, Release November 5, 2002.<br />
Snell Memorial Foundation (2000), Implications of<br />
Snell M2000 Testing Policy, Release<br />
November 5, 2002.<br />
Wavecom. (2001), “AT Commands Interface<br />
Guide”, Version.001/9.1, pp.127-128.<br />
D120
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Stability Of Gratings Written In A Telecommunication Fiber<br />
Using Light at 193 nm<br />
Arif Hidayat<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>- FMIPA - Universitas Negeri Malang<br />
Arif_fisum@yahoo.co.id<br />
ABSTRACT<br />
Bragg gratings have been written in a non-hydrogenated Corning SMF28 telecommunication fiber using UV<br />
pulses at a high power density from an ArF laser. Some of these gratings were uniformly exposed with light at<br />
193 nm. The isothermal accelerated aging method was used to characterize the thermal decays of both pristine<br />
and post-exposed grating spectral characteristics. UV post-processing led to an increase in the stability of the<br />
Bragg grating reflectivity meanwhile the shifts in the Bragg wavelengths of the post-exposed gratings proved to<br />
be higher than those of untreated gratings. It is shown that the isothermal decays of the refractive index<br />
modulation cannot be used to predict the annealing induced irreversible shifts in the Bragg wavelengths. Our<br />
observations are discussed within the frame of the current theoretical descriptions of the links that may exist<br />
between the writing and the thermal stability of Bragg gratings.<br />
Keywords: Bragg gratings, fiber gratings, decay analysis of gratings, thermal Stability, optical communication<br />
I – INTRODUCTION<br />
Fiber Bragg gratings are currently used for<br />
numerous applications such as spectral filtering,<br />
fabrication of fiber lasers or hybrid semiconductorfiber<br />
lasers, fiber amplifier gain flattening,<br />
compensation of group velocity dispersion or<br />
fabrication of fiber sensors. The many applications<br />
of fiber grating technology are reviewed in recent<br />
papers or books [1][2][3][4]. Most applications<br />
require a long grating lifetime. For example, in<br />
dense wavelength division multiplexing optical<br />
communication systems, the grating spectral<br />
characteristics should be kept working to agreed<br />
specifications for 25 years in the temperature range<br />
–40°C < θ < 80°C. Accordingly, the thermal<br />
stability of germano-silicate fiber grating reflectivity<br />
has been extensively studied through isothermal or<br />
isochronal annealing experiments ([5] – [15]).<br />
Recently, E. Salik et al. have proposed an alternative<br />
method for stabilizing the strength of fiber grating<br />
without temperature annealing [17]. Briefly, the<br />
method consists in exposing the fiber to uniform<br />
light either before, during or after the grating<br />
inscription. E. Salik et al. have demonstrated the<br />
efficiency of the method for gratings fabricated in<br />
non-hydrogenated germano-silicate fibers by means<br />
of near UV light at 334 nm (or at 244 nm) [17].<br />
Photosensitivity at 330 nm is triggered off by the<br />
excitation of the GODC triplet state through a onephoton<br />
absorption from the ground state [18]. E.<br />
Salik et al could observe a strong enhancement in<br />
the thermal stability of the treated grating refractive<br />
index modulation when compared to that of pristine<br />
gratings. These authors have explained this<br />
observation by assuming that there exists a link<br />
between the writing conditions (namely the rate of<br />
transformation of the defects being responsible for<br />
the photosensitivity) and the thermal stability of the<br />
resulting fiber grating : the longer the exposure time<br />
; the higher the stability of the change in the<br />
refractive index. The objective of the present paper<br />
is to show that the above-mentioned stabilization<br />
method is also efficient for gratings written in a<br />
standard fiber using pulsed exposure at 193 nm i.e. :<br />
a photosensitive process which involves a twophoton<br />
absorption [19].<br />
II – EXPERIMENTAL DETAILS<br />
Firstly, a series of nearly identical 20 mm long<br />
gratings has been fabricated within samples of a<br />
standard fiber (Corning SMF28 fiber). To this end,<br />
the fibers were exposed through a phase-mask to<br />
light at 193 nm from a pulsed ArF laser<br />
(characteristics of the mask purchased from QPS SA<br />
: pitch = 1061 nm, diffraction efficiency < 2 % in the<br />
zero order, > 38 % in the +1 and –1 order). The<br />
mean UV fluence per pulse at the fiber core was 120<br />
mJ/cm 2 with a frequency rate of 10 Hz. The growth<br />
of the gratings was stopped after ≅ 13 000 pulses at a<br />
time when the reflectivity was R ≅ 0.8. Then, some<br />
of the gratings were uniformly exposed with light<br />
from the ArF laser using the same frequency rate<br />
and power density as those used for the grating<br />
inscription. Due to the unavailability of the ovens<br />
devoted to annealing experiments just after the<br />
grating inscriptions. The gratings were then stored at<br />
room temperature and pressure for 1 month. Finally,<br />
each grating was heated in a tubular furnace at a<br />
constant temperature (T = 383 ± 1 K, or 453 ± 1 K<br />
or 523 ± 1 K) for a period of ≅ 350 h. To this end,<br />
the portion of the fiber within which the grating had<br />
been written was quickly translated up to the<br />
furnace. The origin of annealing time was arbitrarily<br />
taken at the moment when the grating was put at the<br />
E1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
center of the furnace. During annealing, the fibers<br />
were kept straight<br />
Type of annealed<br />
gratings<br />
annealing temperature<br />
Shifts in the<br />
B.W. (nm)<br />
calculated from<br />
the pristine<br />
grating ICC at<br />
the end of the<br />
annealing<br />
Shifts in the<br />
B.W. (nm)<br />
calculated from<br />
the post-exposed<br />
grating ICC at<br />
the end of the<br />
annealing<br />
Experimental<br />
B.W. shifts at<br />
the end of the<br />
annealing<br />
experiments<br />
(nm)<br />
Pristine gratings UVinduced<br />
B.W. shift<br />
Δλ Bragg (0,296K) = 0.063 nm<br />
383 K ± 1 K - 0.005 - 0.001 - 0.012 ± 0.005<br />
453 K ± 1 K - 0.009 - 0.003 - 0.004 ± 0.005<br />
523 K ±1 K - 0.015 - 0.004 - 0.007 ± 0.005<br />
Post-exposed gratings UVinduced<br />
B.W. shift<br />
Δλ Bragg (0,296K) = 0.28 nm<br />
383 K ± 1 K - 0.022 - 0.005 - 0.020 ± 0.005<br />
453 K ± 1 K - 0.040 - 0.012 - 0.030 ± 0.005<br />
523 K ±1 K - 0.066 - 0.018 - 0.050 ± 0.005<br />
Figure 1: Growth of the grating reflectivity and shift in the Bragg<br />
wavelength in the course of the exposure of the SMF 28 fiber to<br />
light at 193 nm. Empty symbols are for the reflectivity and full<br />
symbols are for the Bragg wavelength (nm)<br />
RESULTS AND DISCUSSION<br />
Figure 2: Isothermal decays of the normalized integrated coupling<br />
constant (η) as a function of annealing time (hours). Full symbols<br />
are for post-exposed gratings and empty symbols are for untreated<br />
gratings. Squares ,circles and triangles correspond to temperatures<br />
at 523 K, 453 K, 383 K, respectively.<br />
Figure 3: Isothermal decays of the Bragg wavelength shifts as a<br />
function of annealing time (hours). Full symbols are for postexposed<br />
gratings and empty symbols are for untreated gratings.<br />
Squares ,circles and triangles correspond to temperatures at 523<br />
K, 453 K, 383 K, respectively.<br />
Table 1 :Comparison of the annealing-induced experimental B.W.<br />
shifts to those calculated using the data in Figs 1 and 2 (i.e. : the<br />
total shifts experienced by the grating B.W. in the course of the<br />
inscription( Fig. 1) and the isothermal decays of ICC in Fig. 2).<br />
and still in order to reduce possible Bragg<br />
wavelength shift due to changes in fiber stress or<br />
position within the oven. In the course of writing,<br />
post-exposing or annealing the gratings,<br />
transmission (and) reflection grating first-order<br />
spectra were periodically recorded by means of a<br />
mono-frequency tunable infrared laser (TUNICS<br />
from Photonetics SA) and an optical power-meter<br />
(RIFOCS corporation 575L). To improve the<br />
accuracy of the Bragg wavelength (BW)<br />
measurement, the wavelength of the monofrequency<br />
tunable laser was periodically calibrated<br />
to within an accuracy better than 1 pm with the help<br />
of a wave-meter (WA 1500 from Burleigh inc.). The<br />
data were computerized and stored in a PC. The<br />
experiments were carried out twice to check the<br />
reproducibility of the measurement. The accuracy of<br />
the reflectivity (R) determination is estimated to be<br />
better than 0.01. The UV-induced B.W. shifts were<br />
obtained as the differences between the B.W. after N<br />
pulses of UV light and those at the early times of the<br />
inscriptions (ie: after ≅ 1300 pulses of light from the<br />
fringe pattern when R ≅ 0.03). To separate the<br />
temperature-induced reversible shifts in the B.W.<br />
from the annealing-induced irreversible ones, we<br />
proceeded as follows. Firstly, immediately before<br />
annealing, grating spectra were recorded at 23°C to<br />
determine reference B.W. (λ ref ). Right at the end of<br />
the annealing, the B.W. (λ end ) of the grating were<br />
measured. Then, the temperature of the oven was<br />
reduced down to room temperature (23°C) and, at<br />
this time, the new B.W. (λ annealing ) were measured.<br />
The difference (λ end - λ annealing ) corresponds to the<br />
temperature-induced reversible shift, whereas<br />
(λ annealing - λ ref ) is the annealing irreversible total<br />
shift. Thus, we were in position to correct the B.W.<br />
measured during annealing from the temperatureinduced<br />
reversible shift. The absolute accuracy of<br />
the B.W. measurement is estimated to be better than<br />
0.005 nm. Fig. 1 shows typical evolutions of the<br />
grating reflectivity and B.W. as a function of the<br />
number of UV pulses. It shows that the uniform<br />
post-exposure led to a significant decrease in the<br />
grating reflectivity and to a further increase in the<br />
B.W. shift (the shift at the end of the exposure with<br />
E2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
the fringe pattern = 0.063 nm ; the shift after<br />
blanket exposure = 0.272 nm). It is noteworthy that<br />
the FWHM line-widths of the gratings before and<br />
after post-exposure were 0.060 nm and 0.061 nm<br />
(theoretical line-widths = 0.06 nm). Figs 2 and 3,<br />
respectively, show the evolutions of the normalized<br />
integrated coupling constants<br />
−1<br />
tanh ( R(<br />
t,<br />
T ))<br />
η ( η =<br />
= ICC)<br />
; where R(0,296 K)<br />
−1<br />
tanh ( R(0,296K))<br />
and R(t,T) are respectively the initial grating<br />
reflectivity and that after annealing at T for a time t)<br />
and those of the B.W. shifts. The empty and full<br />
symbols are for post-exposed and pristine gratings<br />
respectively. Annealing the gratings at 250°C for<br />
350 h led to a reduction of the grating line-widths by<br />
a quantity < 0.01 nm. Comparing the curves in<br />
empty and full symbols in Fig. 2, one can see, that,<br />
as in the case of CW exposure [17], uniform pulsed<br />
post-exposure significantly increases the stability of<br />
the grating reflectivity. In contrast, the annealinginduced<br />
shifts in the B.W. of the post-exposed<br />
gratings are higher than those of the pristine<br />
gratings. This result indicates that the improvement<br />
in the thermal stability of the grating reflectivity is<br />
made at the expense of that of the B.W.<br />
IV – CONCLUSION<br />
In conclusion, we have shown that UV postexposure<br />
of a grating to uniform light at 193 nm<br />
with a high power density leads to an increase in the<br />
thermal stability of the refractive index modulation.<br />
Uniform post-exposure induces a strong rise in the<br />
fiber core mean refractive index at the grating place.<br />
Consequently, the annealing-induced shift<br />
experienced by the post-exposed grating B.W.<br />
proves to be larger than that for an untreated grating.<br />
The rate of annealing-induced decrease in the mean<br />
refractive index looks larger than that of the index<br />
modulation. Consequently, long-term decay of the<br />
grating B.W. cannot be predicted through a master<br />
aging curve approach using ICC data but in contrast<br />
one has to build a master curve from annealinginduced<br />
decays of B.W. This difference between the<br />
rates of decay can be explained by assuming either<br />
that the annealing increases the contrast of the<br />
modulation or(and) that different defect distributions<br />
are responsible for the mean refractive index change<br />
and the modulation. A coherent rationale of the first<br />
hypothesis is formulated in the VAREPA approach<br />
[16], whereas the mean refractive index change<br />
ascribed to the UV-induced formation of Ge(1) and<br />
Ge(2) defects seems too low to account for our<br />
measurements.<br />
REFERENCES<br />
[1] Special issue of the Journal of Lightwave<br />
Technology on fiber gratings,<br />
photosensitivity and poling J. Light. Techn.<br />
15, 8, pp. 1261-1503, 1997.<br />
[2] I. Bennion, J.A.R. Williams, L. Zhang, K.<br />
Sugden and N.J. Doran “UV-written in-fibre<br />
Bragg gratings” Opt. And Quantum Electron.<br />
28, pp. 93-135, 1996.<br />
[3] A. Othanos “Fiber Bragg gratings” Rev. Sci.<br />
Instrum. 68, pp. 409-4341, 1997.<br />
[4] R. Kashyap “Fiber Bragg gratings” Optics and<br />
Photonics series edited by P.L. Kelly, I.<br />
Kaminov, G. Agrawal, Academic Press<br />
1999.<br />
[5] T. Erdogan, V. Mizrahi, P.J. Lemaire and D.<br />
Monroe “Decay of ultraviolet-induced fiber<br />
Bragg gratings” J. Appl. Phys. 76, pp. 73-80,<br />
1994.<br />
[6] H. Patrick, S.L. Gilbert, A. Lidgard and M.D.<br />
Gallagher “Annealing of Bragg gratings in<br />
hydrogen-loaded optical fiber” J. Appl. Phys.<br />
78, pp. 2940-2945, 1995.<br />
[7] D.L. Williams and R.P. Smith “Accelerated<br />
lifetime tests on UV written intra-core<br />
gratings in boron germania codoped fibre”<br />
Electron. Lett. 31, pp. 2120-2121, 1995.<br />
[8] I. Riant, S. Borne and P. Sansonetti “Dependence<br />
of fiber Bragg grating thermal stability on<br />
grating fabrication process” in Tech. Dig.<br />
OFC’96, paper TU05, pp. 86-87, 1996.<br />
[9] R.J. Egan, H.G. Inglis, P. Hill, P.A. Krug and F.<br />
Ouellette “Effects of hydrogen loading and<br />
grating strength on the thermal stability of<br />
fiber Bragg gratings” in Tech. Dig. OFC’96,<br />
paper TU03, pp. 83-84, 1996.<br />
[10] S. Kannan, J.Z.Y. Gus and P.J. Lemaire<br />
“Thermal reliability of strong Bragg gratings<br />
written in hydrogen sensitized fibers” in<br />
Tech. Dig. OFC’96, paper TU04, pp. 84-85,<br />
1996.<br />
[11] G. Robert and I. Riant “Demonstration of two<br />
distributions of defect centers in hydrogenloaded<br />
high germanium content fibers” in<br />
Tech. Dig. OFC’97, paper WL18, pp. 180-<br />
181, 1997.<br />
[12] S. Kannan, J.Z. Y. Gus and P.J. Lemaire<br />
“Thermal stability analysis of UV-induced<br />
fiber Bragg gratings” J. Light. Techn. 15, pp.<br />
1478-1483, 1997.<br />
[13] S.R. Baker, H.N. Rourke, V. Baker and D.<br />
Goodchild “Thermal decay of fiber Bragg<br />
gratings written in boron and germanium codoped<br />
silica fiber” J. Light. Techn. 15, pp.<br />
1470-1477, 1997.<br />
[14] I. Riant and B. Poumellec “Thermal decay of<br />
gratings written in hydrogen-loaded<br />
germano-silicate fibres” Electron. Lett. 34,<br />
pp. 1603-1604, 1998.<br />
[15] S. Ishikawa, A. Inoue and M. Harumoto<br />
“Adequate aging condition for fiber Bragg<br />
grating based on simple power law model” in<br />
E3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tech. Dig. OFC’98, paper WH6, pp. 183-<br />
184, 1998.<br />
[16] B. Poumellec “Links between writing and<br />
erasure (stability) of Bragg gratings in<br />
disorder media” J. of Non-Cryst. Sol. 239,<br />
pp. 108-115, 1998.<br />
[17] E. Salik, D.S. Staradubov, V. Grubsky and J.<br />
Feinberg “Thermally stable gratings in<br />
optical fibers without temperature annealing”<br />
in Tech. Dig. OFC’99, paper TH03-1, pp. 56-<br />
58, 1999.<br />
[18] D.S. Staradubov, V. Grubsky, J. Feinberg, B.<br />
Kobrin and S. Juma “Bragg grating<br />
[20] T.E. Tsai, G. Williams and E.J. Friebele<br />
“Uniform component of index structure<br />
induced in Ge-SiO2 fibers by spatially<br />
modulated ultraviolet light” Appl. Phys. Lett.<br />
72, pp. 3242-3245, 1998.<br />
[21] B. Leconte “Contribution à l’étude de la<br />
photosensibilité des fibres en silice sous<br />
l’effet d’une insolation par un laser à ArF”<br />
Thesis University of Lille 1, 1998.<br />
fabrication in germano-silicate fibers by use<br />
of near UV light : a new pathway for<br />
refractive-index changes” Opt. Lett. 22, pp.<br />
1086-1088, 1997.<br />
[19] J. Albert, B. Malo, K.O. Hill, F. Bilodeau, D.C.<br />
Johnson and S. Thériault “Comparison of<br />
one-photon and two-photon effects in the<br />
photo- sensitivity of germanium-doped silica<br />
optical fibers exposed to intense ArF<br />
excimer laser pulses” Appl. Phys. Lett. 67,<br />
pp. 3529-3531, 1995.<br />
[22] T. Tsai and E.J. Friebele “Kinetics of defect<br />
center formation and photosensitivity in Ge-<br />
SiO 2 fibers of various compositions” in OSA<br />
Techn. Dig. of the Williamsburg meeting on<br />
Bragg gratings photosensitivity and poling in<br />
glass fibers and wave-guides :<br />
Applications and fundamentals, volume 17, paper<br />
JMA4, pp. 101-103, 1997. [23] T.E. Tsai,<br />
E.J. Friebele and D.L. Griscom “Thermal<br />
stability of self-organized gratings and<br />
defects in Ge- and Ge-P-doped silica core<br />
fibers” in Proc. SPIE vol. 2044<br />
“Photosensitivity and self-organization in<br />
optical fibers and waveguides”, Quebec, pp.<br />
121-132, 1993.<br />
E4
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Rancang Bangun Modulator Optik Berbasis Efek Pockel Dalam Sistem<br />
Komunikasi Serat Optik<br />
Arif Hidayat 1 , Septianingsih, S 1 ., Moh Yasin 2* dan Bambang Widyatmoko 3<br />
1 Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang<br />
2 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, F. Saintek Universitas Airlangga.<br />
3 Pusat Penelitian <strong>Fisika</strong>, LIPI Serpong, Tangerang.<br />
*Email korespondensi: yasin@unair.ac.id<br />
ABSTRAK<br />
Perkembangan teknologi komunikasi samakin pesat seiring dengan digunakan internet yang membutuhkan jalur<br />
komunikasi yang sangat cepat dan tinggi. Penggunaan serat optik untuk sistem komunikasi memiliki kapasitas<br />
transmisi ribuan kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas transmisi gelombang mikro. Perkembangan<br />
kapasitas transmisi pemandu gelombang serat optik harus diikuti oleh perkembangan laju modulasi yang tinggi.<br />
Laju modulasi yang tinggi dapat diperoleh pada sistem modulator dengan bahan kristal lithium niobate yang<br />
memiliki koefisien elektro-optik linear (koefisien Pockel) tinggi (r 33 = 30,8 pm/V dan r 13 = 8,6 pm/V), jangkauan<br />
transparansi dan panjang gelombang transmisi yang lebar.<br />
Penelitian awal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa bahan kristal lithium niobate dapat digunakan sebagai<br />
komponen modulator dalam sistem komunikasi serat optik berbasis efek Pockel (elektro-optik linear) dengan<br />
kinerja yang baik. Dalam eksperimen rancang bangun modulator optik ini digunakan bahan kristal tungal lithium<br />
niobate (LiNbO 3 ) sebagai komponen modulator optik, sumber cahaya laser dioda dan serat optik singlemode.<br />
Sumber cahaya laser dilewatkan ke dalam bahan Lithium niobate. Sinyal luaran dilewatkan ke serat optik<br />
singlemode kemudian diterima oleh detektor optik dan diproses oleh demodulator. Bentuk sinyal masukan dan<br />
sinyal keluaran ditampilkan di osiloskop sedangkan nilai frekuensinya dicatat oleh frekuensi-meter. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara frekuensi sinyal masukan dengan sinyal modulasi<br />
luaran. Nilai frekuensi sinyal masukan yang dapat dimodulasikan dapat mencapai 65 kHz.<br />
Kata kunci: Modulator optik, efek Pockel, lithium niobate, dan komunikasi serat optik.<br />
PENDAHULUAN<br />
Kemajuan teknologi komunikasi semakin<br />
berkembang pesat sejak digunakannya internet.<br />
Dengan demikian kebutuhan akan jalur komunikasi<br />
yang cepat dan tinggi sangat diperlukan. Untuk<br />
mengatasi hal ini komunikasi serat optik merupakan<br />
pilihan yang sangat tepat, mengingat kapasitasnya<br />
ribuan kali lebih besar dibandingkan dengan<br />
pemakaian gelombang mikro. Sistem komunikasi<br />
yang dikembangkan oleh beberapa peneliti dalam<br />
komunikasi serat optik adalah sistem komunikasi<br />
berbasis Wavelenght Division Multiplexing (WDM)<br />
dimana dalam satu serat ditransmisikan ratusan<br />
panjang gelombang yang mempunyai kapasitas<br />
transmisi ribuan kali lebih besar dari kapasitas<br />
gelombang mikro (Keiser, 1983). Beberapa<br />
penelitian tentang modulasi optik dan pemanfaatan<br />
serat optik untuk sistem komunikasi telah dilakukan<br />
dan dilaporkan (Rabiei and Gunter, 2005; Samian<br />
dan Yasin, 2001; Suheri dan Agus, 2004 dan Yasin,<br />
2002).<br />
Perkembangan kapasitas transmisi pemandu<br />
gelombang serat optik harus diikuti oleh<br />
perkembangan laju modulasi yang tinggi. Laju<br />
modulasi yang tinggi hanya dapat diperoleh dengan<br />
membuat suatu sistem modulator. Sistem<br />
modulator dapat dibuat dengan berbagai macam<br />
antara lain: modulator berbasis efek elektro-optik,<br />
modulator berbasis magnetooptik atau efek faraday,<br />
dan modulator berbasis akustooptik dan fotoelastik.<br />
Penyinergian antara sumber cahaya (fiber laser) dan<br />
serat optik (bahan silica) telah menghasilkan<br />
pemanduan gelombang yang sangat efisien dengan<br />
rugi daya yang sangat rendah yaitu sekitar 0,22<br />
dB/km (Agrawal, 2001). Bahan kristal lithium<br />
niobate memiliki potensi untuk memodulasi sinyal<br />
sangat cepat karena memiliki koefisien elektrooptik<br />
yang besar ( r 33 = 30,8 pm/V, r 13 = 8,6 pm/V), jarak<br />
transparansi yang besar (0,4 -5 μ m) dan bandwith<br />
internal yang besar (Yariv and Yeh, 1984). Di<br />
dalam eksperimen ini, akan dibahas tentang<br />
jangkauan frekuensi sistem modulator optik berbasis<br />
efek elektro-optik linear (efek Pockel) dengan bahan<br />
kristal lithium niobate (LiNBO3).<br />
DASAR TEORI<br />
Serat optik adalah saluran transmisi cahaya<br />
yang terbuat dari bahan kaca atau plastik yang<br />
digunakan untuk mentransmisikan gelombang<br />
cahaya dari suatu tempat ke tempat lain. Perambatan<br />
cahaya dalam serat optik mematuhi konsep<br />
pemantulan dan pembiasan yaitu bila seberkas<br />
cahaya mengenai perbatasan yang memisahkan dua<br />
medium yang berbeda (core-cladding), sebagian<br />
berkas dipantulkan kembali ke medium pertama dan<br />
sebagian berkas lainnya dibiaskan ke medium kedua.<br />
Penggunaan cahaya di dalam sistem komunikasi<br />
E5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
serat optik adalah yaitu semakin tinggi frekuensi dari<br />
suatu gelombang pembawa (carrier), maka<br />
bandwidth atau kapasitas transmisinya pun akan<br />
semakin besar pula<br />
Modulasi adalah suatu proses penumpangan<br />
sinyal-sinyal informasi ke dalam sinyal pembawa<br />
(carrier) sehingga dapat ditransmisikan ke tujuan.<br />
Modulasi optik atau modulasi cahaya adalah teknik<br />
modulasi yang menggunakan berkas cahaya berupa<br />
pulsa pulsa cahaya sebagai sinyal pembawa<br />
informasi. Sumber cahaya yang umum digunakan<br />
adalah berkas cahaya yang dihasilkan oleh suatu<br />
sumber cahaya laser atau LED (Etten and Plaats,<br />
1991). Bila dibandingkan dengan modulasi<br />
konvensional, modulasi optik memiliki keunggulan<br />
dalam hal ketahanan terhadap derau (noise) yang<br />
sangat tinggi hal ini disebabkan oleh sinyal cahaya<br />
tidak dipengaruhi medan elektromagnetik.<br />
Efek elektro-optik merupakan perubahan indeks<br />
bias dari suatu bahan yang dipengaruhi oleh<br />
penggunaan medan eksternal. Medan eksternal pada<br />
efek elektro-optik bisa diterapkan dengan<br />
menempatkan suatu elektroda yang berlawanan<br />
dengan kristal dan kemudian dihubungkan dengan<br />
suatu tegangan. Kehadiran medan distorsi gerak<br />
elektron dalam atom atau molekul dari suatu bahan<br />
kristal terdistorsi menghasilkan perubahan sifat<br />
optik. Contohnya adalah penggunaan medan<br />
eksternal bisa menyebabkan kristal yang isotropis<br />
menjadi bahan anisotropis atau birefringence. Dalam<br />
hal ini medan tersebut menyebabkan sumbu-sumbu<br />
prinsipal dan sumbu-sumbu optik yang<br />
menyebabkan perubahan indeks bias lebih kecil dari<br />
sebelumnya. Jika indeks bias n sebagai fungsi dari<br />
pengaruh medan listrik E yaitu n = n(E), hal ini bisa<br />
diperluas dengan menggunakan deret tailor dalam E<br />
yaitu (Guenther, 1990):<br />
,<br />
2<br />
n = n + a E + a E + ..... (1)<br />
1<br />
2<br />
Dengan a<br />
1<br />
adalah koefisien efek elektro-optik<br />
linear (orde-1) dan a 2<br />
adalah koefisien efek elektrooptik<br />
non-lienar (orde-2). Secara matematis dapat<br />
ditulis:<br />
Δ<br />
n<br />
1<br />
= a E<br />
(efek Pockel) (2)<br />
2<br />
Δ n = a 2<br />
E (efek Kerr) (3)<br />
Efek elektro-optik hanya terjadi dalam medium<br />
anisotropis seperti bahan yang hanya menunjukkan<br />
efek Kerr, misalnya adalah nitrobenzena dan<br />
nitrotoluena sedangkan pada efek pockel contohnya<br />
adalah lithium niobate, galium arsenide, lithium<br />
tantalate, dan beberapa komponen semikonduktor.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini merupakan penelitian<br />
eksperimental di laboratorium, bahan modulator<br />
yang digunakan adalah kristal lithium niobate.<br />
Sumber cahaya yang dignakan adalah laser dioda,<br />
serat optik singlemode dan detektor optik (OPT-<br />
10C). Cahaya laser dilewatkan ke dalam plat yang<br />
dilapisi bahan lithium niobate. Sinyal luaran yang<br />
dihasilkan dilewatkan ke serat optik singlemode dan<br />
selanjutnya diterima oleh detektor optik dan diproses<br />
oleh demodulator. Bentuk sinyal masukan dan sinyal<br />
luaran dapat dilihat pada osiloskop sedangkan nilai<br />
frekuensinya dicatat pada frekuensi-meter. Tegangan<br />
yang dialirkan ke dalam plat lithium niobate dilihat<br />
di osiloskop. Blok diagram setup eksperimen dan<br />
foto setup eksperimen modulator optik ditunjukkan<br />
berturut-turut oleh Gambar 1 dan Gambar 2.<br />
Hasil yang diperoleh di dalam penelitian ini<br />
berupa frekuensi sinyal masukan yang akan<br />
dibandingkan dengan frekuensi sinyal luaran,<br />
kemudian data frekuensi ini dianalisis dengan<br />
menggunakan uji regresi linear, bila nilai frekuensi<br />
sinyal luaran merupakan fungsi linear frekuensi<br />
sinyal masukan, maka sistem modulator yang dibuat<br />
dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai piranti<br />
modulasi dalam sistem komunikasi serat optik.<br />
Gambar 1. Blok diagram setup eksperimen sistem modulator<br />
lithium niobate berbasis efek Pockel.<br />
Gambar 2. Foto setup eksperimen sistem modulator optik (kristal<br />
lithium niobate) dalam sistem komunikasi serat optik.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil eksperimen berupa hubungan antara<br />
frekuensi luaran dan frekuensi masukan modulator<br />
ditunjukkan oleh Gambar 3, sedangkan tampilan<br />
sinyal masukan dan luaran untuk frekuensi rendah<br />
(100 Hz) dan frekuensi tinggi (65kHz) masingmasing<br />
ditunjukkan oleh Gambar 4 (a) dan (b).<br />
E6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 3. Hubungan antara frekuensi masukan dan luaran<br />
modulator optic dalam sistem komunikasi serat optik.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 4. Hasil eksperimen sinyal modulasi dengan<br />
menggunakan LiNbO 3 pada frekuensi (a) 100 Hz dan (b) 65 kHz.<br />
Berdasarkan hasil eksperimen pada Gambar 3<br />
dan 4, hasil rekaman sinyal modulasi pada terdapat<br />
kesesuaian antara sinyal modulasi masukan dengan<br />
sinyal modulasi keluaran. Namun pada frekuensi<br />
tinggi sinyal masukan cenderung lebih besar dari<br />
pada sinyal keluaran, hal ini kemungkinan<br />
disebabkan oleh penentuan tegangan operasi bahan<br />
kistal lithium niobate sebagai komponen modulator<br />
masih kurang tepat. Pada Gambar 4a dan 4b terlihat<br />
bahwa amplitudo tegangan sinyal masukan lebih<br />
besar dari pada sinyal luaran, hal ini disebabkan oleh<br />
adanya pelemahan (attenuasi) yang terjadi di dalam<br />
pemandu gelombang serat optik dan kemampuan<br />
respon detektor optik dalam menangkap sinyal<br />
modulasi semakin berkurang.<br />
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa frekuensi<br />
sinyal masukan yang bisa dimodulasikan antara 100<br />
Hz sampai dengan 65 kHz. Dari hasil eksperimen<br />
tersebut telah menunjukkan bahwa sistem modulator<br />
ini yang telah dibuat sudah cukup baik untuk<br />
dijadikan modulator dalam komunikasi serat optik<br />
pada jangkauan frekuensi yang cukup lebar yaitu<br />
dari frekuensi rendah (orde 100 Hz) sampai<br />
frekuensi tinggi (orde 10-65 kHz). Sistem modulator<br />
berbasis efek Pockel yang telah dibuat sebenarnya<br />
sudah cukup baik untuk digunakan sebagai piranti<br />
modulator optik di dalam sistem komunikasi serat<br />
optik pada frekuensi yang lebih tinggi (lebih dari 65<br />
kHz). Namun kendala yang dihadapi adalah<br />
kemampuan respon detektor dalam menangkap<br />
sinyal frekuensi tinggi menjadi berkurang sehingga<br />
sinyal luaran yang dihasilkan kurang baik. Namun<br />
demikian, keunggulan penggunaan bahan kristal<br />
LiNbO3 ini adalah pengoperasiam tegangan yang<br />
dikenakan pada bahan ini adalah tidak besar (orde<br />
34-196 mV) sementara tegangan operasi untuk<br />
bahan nitrobenzena yang telah dilakukan pada<br />
penelitian sebelumnya telah digunakan tegangan<br />
dengan orde kV (Samian and Yasin, 2001).<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil pembahasan dalam peneltian<br />
ini, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut,<br />
A. Kristal LiNbO 3 memenuhi kriteria yang cukup<br />
baik untuk digunakan sebagai piranti modulator<br />
dalam sistem komunikasi serat optik,<br />
B. Jangkauan frekuensi sistem modulator berbasis<br />
efek pockel ini cukup lebar dan memiliki<br />
kesesuaian bentuk dan frekuensi antara sinyal<br />
modulasi masukan dan sinyal luaran antara 100<br />
Hz sampai 65 kHz.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Agrawal G.P., 2001., “Applications of Nonlinear<br />
Fiber Optics”, Academic Press, New York.<br />
Etten W.V. and Plaats J.V.D., 1991, “Fundamentals<br />
of Optical Fiber Communications”, Prentice<br />
Hall, New York.<br />
Guether R.D., 1990., “Modern Optics”, John Wiley<br />
and Sons, New York.<br />
Keiser G., 1983, “Optical Fiber Communications”,<br />
Mc-Graw Hill, London.<br />
Samian dan M. Yasin, 2001, “Perancangan Sistem<br />
Modulator Optik Berdasarkan Efek<br />
Elektrooptik Pada Sel Kerr Dengan Medium<br />
CCl 4 ”, LPPM Universitas Airlangga.<br />
E7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Rabiei P. and Gunter P, 2005, “Sub-micron thin<br />
films of lithium niobate single crystals<br />
prepared by crystal ion slicing and wafer<br />
bonding”, Conference on Lasers & Electro-<br />
Optics (CLEO).<br />
Suheri dan Agus, 2004, “Penggunaan Serat Optik<br />
Untuk Transmisi Data Pengukuran”, Tugas<br />
Akhir, Universitas Nasional, Jakarta.<br />
Yariv A. and Yeh P., 1984., “Optical waves in<br />
crystals”, John Wiley & Sons, New York.<br />
Yasin, M., 2002, “Pemanfaatan Laser Pointer<br />
Sebagai Modulator Berbasis Efek Faraday<br />
Pada Sistem Komunikasi Serat Optik”,<br />
LPPM Universitas Airlangga.<br />
E8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Measurements of CO 2 Emissions Emitted from Burning of<br />
Queensland Trees<br />
Arinto Y. P. Wardoyo<br />
Physics Department, Brawijaya University<br />
Jl. Veteran, Malang, Indonesia, 65145<br />
Email: a.wardoyo@brawijaya.ac.id<br />
Abstract<br />
Carbon dioxide (CO 2 ) as a primary product of combustion has been known a factor affecting climate change and<br />
global warming. Biomass burning CO 2 emission contributes a significant large portion of the total carbon in the<br />
atmosphere. State of Queensland, Australia experiencing biomass burning every year has been recognized a<br />
contributor of the CO 2 emission. Quantification of the CO 2 emission factor emitted from biomass burning is<br />
very important to estimate the magnitude and the impacts. This paper presents the quantification of CO 2<br />
emission factors for five common tree species found in South East Queensland forests under controlled<br />
laboratory conditions called fast burning and slow burning. The results show that the CO 2 emission factors<br />
depending on type of vegetation and burning conditions. The CO 2 emission factor resulted in fast burning is of<br />
(2574 ± 254) g/kg for wood. For slow burning condition, the CO 2 emission factors are of (218 ± 20) g/kg for<br />
wood.<br />
Keywords: CO 2 , Emission factors, trees burning, Australia.<br />
INTRODUCTION<br />
Biomass burning including vegetation<br />
(savannah, forest, and agricultural residues) fires and<br />
burning for cooking and heating has been identified<br />
as important source of atmospheric particles and<br />
gases (Cheng et al. 2009; Fearnside et al. 2009;<br />
Glasius et al. 2008; Wardoyo et al. 2006; Wardoyo<br />
et al. 2007). Their emissions have played a<br />
significant role on air pollution and climate<br />
(Langmann et al. 2009) due to their acidification of<br />
clouds, rain, and fog (Nichol 1997); their lightscattering<br />
and absorption effects (Hobbs et al. 1997),<br />
their influence on cloud formation (Feingold et al.<br />
2005) and on cloud microphysical processes<br />
(Andreae et al. 2004 ).<br />
Biomass burning in Australia burns 40-130<br />
million hectares of land annually (WHO, 2000), and<br />
the fires of 1998-1999 and 1999-2000 consumed<br />
areas of 31 and 71 million hectares respectively (Gill<br />
and Moore 2005). The Western Australian<br />
Department of Land Information reported that<br />
biomass burning across Australia, from 1997 to<br />
2003, destroyed an area of approximately 26 to 80<br />
million hectares. The greatest extent of biomass<br />
burning was reported in the savannas of the<br />
Northern Territory of Australia. The Australian<br />
Bureau of Statistics (ABS) reported that, from July<br />
2002 to February 2003, there were 5,999 forest fires<br />
burning an area of 21 million hectares across<br />
Australia, with the majority located in the Northern<br />
Territory of Australia, in an area of 15 million<br />
hectares (ABS 2004). Biomass burning in the<br />
savannas of the Northern Territory of Australia<br />
during the period of 1997-1999 was estimated to<br />
affect an area of 30 million hectares (Russell-Smith<br />
et al. 2003a; b) and during 1997-2001, an average of<br />
30 million hectares of savannas in the Northern<br />
Territory were affected by fires, with the greatest<br />
area damaged in 1999 when 4 million hectares were<br />
burned (Russell-Smith et al. 2003b). The data<br />
showed that from 1980 to 1995, more than 1 million<br />
hectares of the Kakadu National Park in the<br />
Northern Territory of Australia were destroyed by<br />
fires (Gill et al. 2000). The state of Queensland<br />
experiences biomass burning every year and it was<br />
recorded that Queensland fires in 1991 consumed<br />
37,000 hectares of forest (Hamwood 1992). From<br />
July 2002 until June 2003, there were 2,618 fires<br />
destroying 1 million hectares of forest in this state<br />
(ABS 2004).<br />
Among the gas emissions, carbon dioxide (CO 2 )<br />
with other greenhouse gasses have been considered<br />
as an important factor causing global warming due<br />
to its large released quantity in the atmosphere<br />
(Andreae and Merlet 2001). Quantification of<br />
emission factor is important to estimate a quantity of<br />
emission released from vegetation burning. The CO 2<br />
emission factors from biomass burning from<br />
different regions in the world have been reported in<br />
previous studies (Neto et al. 2009; Sahai et al. 2007;<br />
Kannan et al. 2005). The CO 2 emission factor from<br />
biomass burning in Australia has not been quantified<br />
yet in previous studies. This study was aimed at<br />
quantifying the CO 2 emission factors from burning<br />
vegetation typically found growing in South East<br />
Queensland open forests and Savannah Northern<br />
Territory of Australia where the states experiences<br />
fires consuming a large area every year (ABS 2004;<br />
Russell-Smith et al. 2003b).<br />
E9
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
METHODOLOGY<br />
The CO 2 measurement system was a part of the<br />
designed system to study of the characteristics and<br />
quantification of emission factors of biomass<br />
burning emissions (particles and gasses) under<br />
controlled laboratory conditions.<br />
Particle Measurement<br />
Gas Measurement<br />
Figure 1. Experimental setup consisting of the burning system<br />
(modified stove), a dilution and sampling system, a particle<br />
measurement system, and a gas measurement system (Wardoyo et<br />
al. 2006; Wardoyo et al. 2007).<br />
The experimental setup consisted of a burning<br />
system (modified stove), a dilution and sampling<br />
system, and a particle measurement system<br />
(Wardoyo et al. 2006; Wardoyo et al. 2007). A<br />
modified commercial stove (66 x 74.5 x 55cm 3 ),<br />
fitted with a ventilation system to enable the<br />
introduction of a controlled amount of air into the<br />
stove, was used to simulate different burning rates.<br />
In order to obtain a homogeneous rate of air flow,<br />
the outlet of the ventilation system was connected to<br />
a rectangular hood, which was connected to a blower<br />
with a maximum capacity of 14 L/s, by a pipe 30<br />
mm in diameter. The flow rate of the air was<br />
adjusted by a valve located at this connection.<br />
CO 2 Measurements<br />
The CO 2 measurements were carried out by<br />
using a Andros Gas Bench gas analyzer. The smoke<br />
samples were taken from the flue through a<br />
conducted tube 0.1cm in diameter placed 40 cm<br />
above the stove. Then the samples were introduced<br />
into the gas analyzer. The CO 2 concentrations during<br />
the burning process were measured continuously<br />
with the sampling interval of 20 s.<br />
Sample Material and Preparation<br />
The samples consisted of the wood sampled<br />
collected from the trees growing in open forests at<br />
Mount Samson, located about 40 km west from the<br />
city of Brisbane Queensland Australia. Five species<br />
of Eucalyptus were selected as samples according to<br />
their prevalence in the forest. These were: Spotted<br />
Gum (Eucalyptus citriodora), Blue Gum (Eucalyptus<br />
tereticornis), Bloodwood (Eucalyptus intermedia),<br />
Iron Bark (Eucalyptus crebra), and Stringybark<br />
(Eucalyptus umbra). All five species are known as<br />
hard woods. The logs of wood were placed in an<br />
open area of the laboratory for several months to<br />
obtain homogeneous moisture contents within the<br />
optimum range for burning of 20 - 30 % (Core et al.<br />
1984). The wood pieces used for burning were<br />
sections of a large block of the trunk. The moisture<br />
was not measured directly from the trunk because<br />
the sharp part of the moisture meter using to<br />
measure a resistance of the wood is only one<br />
centimetre in length. In order to measure the<br />
moisture of all pieces of the wood, the logs were cut<br />
into pieces of 15 - 25 cm in length with diameters of<br />
5 - 12 cm. The measurements of wood moisture<br />
were conducted by measuring the dry part (outer<br />
part) and wet part (inner part) of the wood several<br />
times. For example: the moisture content of 15 % to<br />
26 % for blue gum means 15 % is the measured<br />
moisture of the outer part of the wood and 26 % is<br />
the measured moisture of the inner part of the wood.<br />
The measured moisture content of the samples<br />
varied from 18-26 % for Spotted Gum, 15-26 % for<br />
Blue Gum, 14-24 % for Bloodwood, and 17-25 %<br />
for Iron Bark. The moisture contents of the branches<br />
were 16 - 18 % for Spotted Gum, 18 - 22 % for Iron<br />
Bark, and 18 - 20 % for Stringybark.<br />
Burning Conditions<br />
The samples were burned in the stove under<br />
‘fast burning’ and ‘slow burning’ conditions. During<br />
fast burning, the stove was connected to a blower<br />
that introduced fresh air with maximum velocity 14<br />
L/s. Under slow burning conditions, the blower was<br />
not connected to the ventilation system during the<br />
burning process. Burning of the samples was<br />
repeated three times, for each of the burning<br />
conditions.<br />
The air velocity at the base of the stove for the<br />
fast burning condition was measured at several<br />
points using an air velocity meter while the door of<br />
the stove was closed. The air velocity across<br />
horizontal cross section was relatively homogeneous<br />
in the region of 15 cm from the middle of the stove<br />
base with a speed of 1.8 to 2.0 m/s. Based on this,<br />
the samples for emission characterisation during<br />
burning were placed in the centre of the stove’s<br />
base.<br />
Burning of the wood samples was repeated in<br />
sequences 5 times for fast burning and 3 times for<br />
slow burning conditions. Some of the sequences<br />
were repeated several times. This was done in order<br />
to confirm the reproducibility of the results for the<br />
same wood species. Initially two experiments were<br />
conducted on different days to check the<br />
repeatability of the results. These results showed that<br />
the measurements conducted on different days gave<br />
consistent results. However, since ambient<br />
conditions vary between different days, it was<br />
decided to conduct a sequence of experiments to<br />
derive the emission factors for each of the samples<br />
during one day, rather then during measurements<br />
conducted on different days. To start the burning,<br />
E10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
newspaper and small pieces of the same wood types<br />
were used as a starter and kindling for the burning of<br />
the first sample. Pieces of the same wood were used<br />
as a starter and kindling for burning the following<br />
samples (Wardoyo et al. 2007).<br />
Emission Factor Calculation<br />
Emission factors of gaseous species were calculated<br />
as the following equation and it was similar to that<br />
described by (Jenkins et al. 1996)<br />
−<br />
t<br />
f<br />
10 3 wi<br />
Ei<br />
= AsvCi<br />
dt<br />
m ∫<br />
(1)<br />
22.4<br />
fd<br />
t<br />
o<br />
where, E i is the emission factor of species i, m fd is<br />
the mass of vegetation consumed during burning, t 0<br />
is the starting time of each test, t f is the finishing<br />
time, A s is the stack area (0.03 m 2 ), v is the average<br />
stack gas velocity (20 m/s for fast burning and 2 m/s<br />
for slow burning), C i is the sampling concentration<br />
of species i, and W i is the molecular weight of<br />
species i.<br />
RESULTS AND DISCUSSION<br />
CO 2 Concentration<br />
higher average CO 2 concentrations than slow<br />
burning. For fast burning, spotted gum produced the<br />
highest CO 2 concentrations of (35904 ± 5298) ppm.<br />
Bloodwood, stringybark, and bluegum, having<br />
relatively the same hardness generated CO 2 with the<br />
concentrations of (29960 ± 2380) ppm and (29390 ±<br />
1190) ppm, and (23525 ± 5660) ppm respectively.<br />
Among the samples, stringybark released the lowest<br />
concentrations of (20730 ± 570) ppm. On the other<br />
hand, Stringy bark produced the highest CO 2<br />
concentration of (6280 ± 547) ppm during slow<br />
burning. Spottengum, Bloodwood, Bluegum, and<br />
Ironbark produced CO 2 with the concentrations of<br />
(5407 ± 299) ppm, (4938 ± 347) ppm, (4496 ± 345)<br />
ppm, and (4495 ± 525) ppm respectively.<br />
CO 2 Emission Factor<br />
(a)<br />
CO2 Concentration (ppm)<br />
14000<br />
12000<br />
10000<br />
8000<br />
6000<br />
4000<br />
2000<br />
0<br />
Slow Burning of Woods<br />
0 5000 10000 15000 20000<br />
Time (seconds)<br />
Figure 2. CO 2 concentrations measured during fast burning (2a)<br />
and slow burning (2b) of woods<br />
Figure 2a shows time series of CO 2 concentration<br />
emitted during fast burning of the wood samples,<br />
and Figure 2b presents an example of the change in<br />
CO 2 concentration for slow burning of the samples.<br />
In general the CO 2 concentration produced for<br />
several repeated runs during both type of burning is<br />
obtained in a consistency of the change. For fast<br />
burning, it can be seen that the CO 2 concentration<br />
produced every run of burning shows a smooth<br />
trend. The trend shows a repeated similar pattern for<br />
every burning of the samples. Meanwhile a small<br />
fluctuated CO 2 concentration is obtained during each<br />
sequence of slow burning. For fast and slow burning<br />
of branches and leaves taken the trees, result in a<br />
similar pattern of the CO 2 concentrations. The same<br />
pattern of the CO 2 concentration was obtained for<br />
fast and slow burning of grass.<br />
The average particle concentration was<br />
calculated by integrating the total concentration<br />
during one run and dividing by the burning time.<br />
The standard deviation was derived from 5 repeated<br />
runs for fast burning and 5 repeated runs for slow<br />
burning. The result shows that fast burning generates<br />
(b)<br />
Bloodwood<br />
Ironbark<br />
Bluegum<br />
stringybark<br />
Figure 3. Emission factors of burning of woods.<br />
Figure 3 presents the average particle number<br />
emission factors and the standard deviations for fast<br />
burning and slow burning of the different species of<br />
wood. In general, fast burning produces<br />
significantly more CO 2 with the emission factors<br />
about 20 times more. The CO 2 emission factor for<br />
fast burning of woods is of (953 ± 39) g/kg for<br />
Spottedgum, (919 ± 39) g/kg for Bluegum, (989 ±<br />
67) g/kg for Bloodwood, (945 ± 93) g/kg for<br />
Ironbark, and (747 ± 120) g/kg Stringybark<br />
respectively. Bluegum and Stringybark produce the<br />
highest and lowest CO 2 emission factor. However<br />
the CO 2 emission factors resulted in fast burning<br />
generally show no a statistical significant difference.<br />
The average and deviation standard calculated from<br />
the CO 2 emission factors are (911 ± 34) g/kg.<br />
Under slow burning condition, the CO 2<br />
emission factors emitted by Spottedgum, Bluegum,<br />
Bloodwood, Ironbark, Stringybark are (29 ± 4) g/kg,<br />
(36 ± 1) g/kg, (40 ± 1) g/kg, (35 ± 7) g/kg, (32 ± 1)<br />
g/kg respectively. There is also no statistical<br />
significant difference of the CO 2 emission factor<br />
obtained from slow burning the samples. The<br />
average and deviation standard calculated from the<br />
emission factors are (34 ± 3) g/kg.<br />
CONCLUSION<br />
In summary, it has been found the CO 2<br />
emissions resulted from controlled burnings of<br />
different varieties of vegetation growing on the<br />
region of the State of Queensland Australia that<br />
E11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
experience fires every year. Type of wood and<br />
burning conditions significantly affect the CO 2<br />
emissions. Fast burning resulted in relatively high<br />
the CO 2 emission factor when compared to slow<br />
burning.<br />
REFERENCES:<br />
ABS (2004). Environment bushfires, Australian<br />
Bureau of Statistics,<br />
http://www.abs.gov.au/ausstats, accessed<br />
March 2005.<br />
Andreae, M. O. and Merlet, P. (2001). Emission of<br />
trace gases and aerosols from biomass<br />
burning. Global Biogeochem. Cycles 15:955-966.<br />
Andreae, M. O., Rosenfeld, D., Artaxo, P., Costa, A.<br />
A., Frank, G. P., Longo, K. M. and Silva-<br />
Dias, M. A. F. (2004). Smoking rain clouds<br />
over the Amazon. . Science 303 1337-1342.<br />
Cheng, M.-T., Horng, C.-L., Su, Y.-R., Lin, L.-K.,<br />
Lin, Y.-C. and Chou, C. C. K. (2009).<br />
Particulate matter characteristics during<br />
agricultural waste burning in Taichung City,<br />
Taiwan. Journal of Hazardous Materials<br />
165:187-192.<br />
Core, J. E., Cooper, J. A. and Neulicht, R. M.<br />
(1984). Current and projected impacts of<br />
residential wood combustion on Pacific<br />
Northwest air quality. Journal Air Pollution<br />
Control Association 34:138 - 143.<br />
Fearnside, P. M., Righi, C. A., Graça, P. M. L. d. A.,<br />
Keizer, E. W. H., Cerri, C. C., Nogueira, E.<br />
M. and Barbosa, R. I. (2009). Biomass and<br />
greenhouse-gas emissions from land-use<br />
change in Brazil's Amazonian "arc of<br />
deforestation": The states of Mato Grosso and<br />
Rondônia. Forest Ecology and Management<br />
258:1968-1978.<br />
Feingold, G., Jiang, H. and Harrington, J. Y. (2005).<br />
On smoke suppression of clouds in<br />
Amazonia. . Geophys. Res. Lett. 32 L02804.<br />
doi:02810.01029/02004GL021369.<br />
Glasius, M., Ketzel, M., Wåhlin, P., Bossi, R.,<br />
Stubkjær, J., Hertel, O. and Palmgren, F.<br />
(2008). Characterization of particles from<br />
residential wood combustion and modelling<br />
of spatial variation in a low-strength emission<br />
area. Atmospheric Environment 42:8686-<br />
8697.<br />
Gill, A. M., Ryan, P. G., Moore, P. H. R. and<br />
Gibson, M. (2000). Fire regimes of world<br />
heritage Kakadu National Park Australia.<br />
Australia Ecology 25:616-625.<br />
Gill, M. and Moore, P. H. R. (2005). Fire Situation<br />
in Australia, http://www.fao.org/docrep,<br />
accessed March 2005.<br />
Hamwood, K. R. (1992). Large forest plantation fire<br />
in Queensland. IFFN 7:2-3.<br />
Hobbs, P. V., Reid, J. S., Kotchenruther, R. A.,<br />
Ferek, R. J. and Weiss, R. (1997). Direct<br />
radiative forcing by smoke from biomass<br />
burning. Science of The Total Environment<br />
275:1776-1778.<br />
Kannan, G. K., Gupta, M. and Chandra Kapoor, J.<br />
(2005). Estimation of gaseous products and<br />
particulate matter emission from garden<br />
biomass combustion in a simulation fire test<br />
chamber. Atmospheric Environment 39:563-<br />
573.<br />
Nichol, J. (1997). Bioclimatic impacts of the 1994<br />
smoke haze event in southeast Asia.<br />
Atmospheric Environment 31:1209-1219.<br />
Neto, T. G. S., Carvalho, J., .A. .,, Veras, C. A. G.,<br />
Alvarado, E. C., Gielowe, R., Lincoln, E. N.,<br />
Christian, T. J., Yokelson, R. J. and Santos, J.<br />
C. (2009). Biomass consumption and CO2,<br />
CO and main hydrocarbon gas emissions in<br />
an Amazonian forest clearing fire.<br />
Atmospheric Environment 43 43:438-446.<br />
Russell-Smith, J., Edwards, A. C. and Cook, G. D.<br />
(2003a). Reability of biomass burning<br />
estimates from savannas fires: Biomass<br />
burning in northern Australia during the 1999<br />
biomass burning and lighting experiment B<br />
field campaign. Journal of Geophysical<br />
Research 108:8405,<br />
doi:8410.1029/2001JD000787.<br />
Russell-Smith, J., Yates, C., Edwards, A., Allan, G.<br />
E., Cook, G. D., Cooke, P., Craig, R., Health,<br />
B. and Smith, R. (2003b). Contemporary fire<br />
regimes of northern Australia, 1997-2001:<br />
change since Aboriginal occupacy, callenges<br />
for sustainable management. International<br />
Journal of Wildland Fire 12:283-297.<br />
Sahai, S., Sharma, C., Singh, D. P., Dixit, C. K.,<br />
Singh, N., Sharma, P., Singh, K., Bhatt, S.,<br />
Ghude, S., Gupta, V., Gupta, R. K., Tiwari,<br />
M. K., Garg, S. C., Mitra, A. P. and Gupta, P.<br />
K. (2007). A study for development of<br />
emission factors for trace gases and<br />
carbonaceous particulate species from in situ<br />
burning of wheat straw in agricultural fields<br />
in india. Atmospheric Environment 41:9173-<br />
9186.<br />
Wardoyo, A. Y. P., Morawska, L., Ristovski, Z. and<br />
Marsh, J. (2006). Quantification particle<br />
number and mass emission factors from<br />
combustion Queensland trees. Environmental<br />
Science and Technology 40:5696-5703.<br />
Wardoyo, A. Y. P., Morawska, L., Ristovski, Z. D.,<br />
Jamriska, M., Carr, S. and Johnson, G.<br />
(2007). Size distribution of particles emitted<br />
from grass fires in the Northern Territory,<br />
Australia. Atmospheric Environment<br />
41:8609-8619.<br />
E12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengujian Stabilitas Laser sebagai Penelitian Awal dalam Perancangan<br />
Sensor Strain Tanah Berbasis FBG Dengan Teknik Sweeping Laser Dioda<br />
Asnawi 1 , Moh. Ridha 1 , Bambang Widiyatmoko 2<br />
1 Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Unesa, Kampus Ketintang Surabaya 60231,Telp.(031)-8289070<br />
2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kawasan Puspitek Serpong 15431 Tangerang<br />
e-mail: asnawi_unesa@yahoo.co.id<br />
ABSTRAK<br />
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas laser dioda dan hubungan antara suhu laser dengan panjang<br />
gelombang laser. Pengujian dilakukan dengan merubah suhu laser dengan interval suhu dari 38.0 o C -20.0 o C dan<br />
mencermati power optik serta panjang gelombang laser. Nilai power optik diukur dengan Powermeter dan<br />
Optical Spectrum Analyzer (OSA) sedangkan panjang gelombang laser hanya diukur dengan OSA. Dari<br />
penelitian ini diperoleh nilai power optik semakin menurun tiap menurunkan suhu laser. Hasil pengukuran OSA<br />
menunjukkan bahwa penurunan suhu laser dari 38.0 o C -20.0 o C menghasilkan P rata-rata = (-8.15±0.08) dBm<br />
dengan beda power optik pada saat T=38.0 o C dan T=20.1 o C adalah sebesar -1.53 dBm. Adapun pengukuran<br />
powermeter menghasilkan P rata-rata = (-7.77±0.06) dBm dengan beda power optik pada saat T=38.0 o C dan T=20.0<br />
o C adalah sebesar -1.22 dBm. Beda nilai power optik laser yang dihasilkan tersebut masih dalam batas toleransi<br />
untuk digunakan untuk menguji performa panjang gelombang Bragg berbasis FBG yang akan dipakai sebagai<br />
sensor strain tanah. Dari hasil pengukuran ini juga menunjukkan bahwa suhu laser berbanding terbalik (linier<br />
negatif) dengan panjang gelombang laser, yakni semakin kecil suhu laser nilai panjang gelombang laser semakin<br />
besar. Hasil penelitian ini menjadi acuan (referensi) untuk merancang evaluator Fiber Bragg Grating sebagai<br />
sensor strain tanah dengan teknik sweeping laser dioda.<br />
Kata kunci : Stabilitas laser, Panjang gelombang Bragg, evaluator Fiber Bragg Grating<br />
Pendahuluan<br />
Dalam merancang alat-alat berbasis optik,<br />
stabilitas power optik dari sumber optik merupakan<br />
variabel yang sangat penting. Hal ini berkaitan erat<br />
dengan keandalan alat yang akan dibuat. Oleh<br />
karena itu, penelitian ini mencermati tentang<br />
kestabilan laser dioda yang menjadi sumber optik<br />
dalam merancang sensor strain tanah dengan Fiber<br />
Bragg Grating (FBG). Pengujian kestabilan laser<br />
dioda ini dicermati tiap merubah suhu laser. Fokus<br />
perhatian berikutnya adalah mencermati hubungan<br />
antara suhu laser dengan panjang gelombang laser.<br />
Hasil dari penelitian ini akan menjadi referensi<br />
dalam merancang evaluator fiber bragg grating<br />
dengan teknik sweeping laser dioda untuk sensor<br />
strain tanah.<br />
Kajian Pustaka<br />
Optical Feedback Laser Dioda<br />
Laser dioda merupakan laser semikonduktor pnjunction<br />
yang diberikan tegangan bias maju<br />
(forward-biased). Konstruksi seperti ini sama<br />
dengan konstruksi LED (Light Emiting Diode) yang<br />
merupakan sumber cahaya laser dalam bentuk emisi<br />
spontan (spontaneous emission). Hanya saja pada<br />
laser dioda terdapat penambahan konstruksi LED<br />
berupa umpan balik optik (optical feedback).<br />
Umpan balik optik (optical feedback) dapat<br />
diilustrasikan seperti gambar 1, dimana di dalam<br />
laser dioda terdapat rongga optik (optical cavity)<br />
sepanjang material semikonduktor (L) dan pada<br />
rongga optik ini terdapat reflektor cahaya. Reflektor<br />
cahaya ini akan memantulkan cahaya dalam laser<br />
dioda secara terus-menerus selama arus listrik<br />
mengalir dalam laser.<br />
Gambar. 1 Rongga laser dengan reflektivitas R 1 dan R 2 , gain optik<br />
(g), loss optik (α), dan indeks bias (n).<br />
Tiap kali terjadi pembelokan cahaya dalam rongga,<br />
cahaya mengalami perubahan medan optik sebesar<br />
Ei<br />
+ 1 ( ΔG+<br />
jΔΦ<br />
= R1<br />
R2<br />
e<br />
)<br />
(1)<br />
E<br />
i<br />
dengan total pergeseran fase medan optik adalah<br />
2 π 4 π nL<br />
Φ = 2 nL =<br />
λ<br />
λ<br />
dimana n adalah indeks bias rongga.<br />
Dalam rongga optik dengan indeks bias bahan<br />
(n), foton-foton yang memiliki frekuensi sama jika<br />
terpantul secara terus-menerus selama arus listrik<br />
dialirkan pada laser akan beresonansi sehingga<br />
terjadi penguatan optik. Jika penguatan (gain) optik<br />
adalah g, dan loss optik dalam rongga optik adalah<br />
α, maka koefisien gain optik dari medan optik<br />
adalah<br />
E13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Δ G = ( Γ g − α ) 2 L<br />
(2)<br />
dimana Γ adalah faktor pembatas (confinement<br />
factor) dengan range 0
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Stabilitas laser dioda<br />
Pengukuran nilai power optik laser dilakukan<br />
sebanyak 181 kali, yakni tiap merubah suhu laser<br />
sebesar suhu 38.0 o C -20.0 o C. Pada kegiatan ini,<br />
performa gelombang optik yang tampak pada layar<br />
display OSA seperti gambar 6.<br />
dapat digunakan. Grafik tersebut juga menunjukkan<br />
bahwa hasil pengukuran Powermeter lebih baik<br />
dibandingkan OSA sehingga pada pengukuran<br />
berikutnya akan digu-nakan Powermeter.<br />
Hubungan suhu laser dengan panjang gelombang<br />
laser<br />
Nilai panjang gelombang tiap kali perubahan<br />
suhu yang didapatkan dari penelitian ini dapat dilihat<br />
pada gambar 8 berikut ini<br />
Gambar . 6 Performa gelombang optik pada layar display OSA<br />
Data-data nilai panjang gelombang dan power<br />
optik hasil pengukuran diperoleh grafik hubungan<br />
panjang gelombang dengan intensitas optik sebagai<br />
berikut.<br />
Gambar .7 Grafik hubungan antara panjang gelombang laser<br />
dengan power optik keluaran dengan merubah suhu laser.<br />
Dari gambar 7 tersebut terlihat bahwa power optik<br />
laser semakin mengecil pada saat panjang<br />
gelombang laser semakin besar (suhu laser semakin<br />
kecil). Hasil pengukuran OSA diperoleh nilai power<br />
optik rata-rata sebesar (-8.15±0.08) dBm dengan<br />
power optik maksimum sebesar -7.61 dBm pada saat<br />
T=38.0 o C dan power optik minimum sebesar -9.14<br />
dBm pada saat T=20.1 o C. Dengan demikian hasil<br />
pengukuran OSA memiliki selisih power optik<br />
sebesar -1.53 dBm. Dari pengukuran powermeter<br />
didapatkan nilai power optik rata-rata sebesar (-<br />
7.77±0.06) dBm dengan power optik maksimum<br />
sebesar -7.27 dBm pada saat T=38.0 o C dan power<br />
optik minimum sebesar -8.49 dBm pada saat T=20.0<br />
o C sehingga ada selisih nilai power optik sebesar -<br />
1.22 dBm. Selisih nilai power optik tersebut baik<br />
hasil pengukuran OSA dan powermeter untuk<br />
interval suhu laser dari 38.0 o C – 20.0 o C tidak akan<br />
berdampak besar terhadap pengujian keandalan FBG<br />
sebagai sensor (laser masih stabil) sehingga laser<br />
Gambar .8 Grafik hubungan antara suhu laser linier dengan<br />
panjang gelombang laser<br />
Grafik dari gambar 8 menunjukkan bahwa suhu<br />
laser linier dengan panjang gelombang laser, dimana<br />
hal ini didukung oleh nilai keteraturan sebaran data<br />
pada grafik yang mendekati 1, yakni R 2 = 0.991.<br />
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan<br />
suhu laser identik dengan perubahan panjang<br />
gelombang laser, dimana semakin kecil suhu laser<br />
maka semakin besar panjang gelombang laser. Hasil<br />
ini akan mejadi acuan untuk mencermati performa<br />
panjang gelombang Bragg Fiber Bragg Grating<br />
yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian<br />
ini, yakni FBG akan di-sweep dengan laser untuk<br />
interval suhu dari 38.0 o C sampai 20.0 o C.<br />
Kesimpulan<br />
Dari penelitian ini diperoleh nilai power optik<br />
rata-rata dari laser dioda hasil pengukuran OSA<br />
sebesar (-8.15±0.08) dBm demikian halnya dengan<br />
hasil pengukuran powermeter sebesar (-7.77±0.06)<br />
dBm. Hasil pengukuran menunjukkan nilai power<br />
optik semakin menurun untuk interval suhu dari<br />
38.0 o C-20.0 o C. Akan tetapi penurunan power optik<br />
laser tersebut masih dalam batas kestabilan untuk<br />
menguji keandalan FBG. Suhu laser berbanding<br />
terbalik dengan panjang gelombang laser (linier<br />
negatif), yakni semakin kecil suhu laser, panjang<br />
gelombang laser semakin besar. Dengan demikian<br />
penurunan power optik laser dan perubahan suhu<br />
laser tersebut masih dalam batas kestabilan untuk<br />
menguji keandalan Fiber Bragg Grating sebagai<br />
sensor strain tanah.<br />
E15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Daftar Pustaka<br />
Bailey, D dan Wright, E. (2003). “Practical Fiber<br />
Optic.”<br />
Chrisp, J. (2001). “Introduction To Fiber Optic”.<br />
London: British Library Catalouging In<br />
Pulication Data.<br />
Hui, R dan O’Sullivan, M. (2009). “Fiber Optic<br />
Measurement Technique”. Elsevier<br />
Academic Press.<br />
Quimby, R. S. (2005). “Photonics and Lasers an<br />
Introduction”. New Jersey: Jhon<br />
Wiley&Sons, Inc<br />
Tricker, R. (2002). “Optoelektronic And Fiber Optic<br />
Technology”. British Library Cataloguing.<br />
E16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik untuk Pengukuran Koefisien<br />
Ekspansi Linier Logam Stainless Steel Austenitik 316L<br />
Bayu Buwana Bakti, Samian, Siswanto<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : samian.unair@gmail.com<br />
ABSTRAK<br />
Penelitian ini pada dasarnya adalah penerapan directional coupler serat optik sebagai sensor pergeseran untuk<br />
menentukan perubahan panjang serta koefisien ekspansi linier logam Stainless steel austenitic 316L. Dari grafik<br />
hubungan linier antara perubahan panjang logam terhadap perubahan suhu logam stainless steel austenitic 316L,<br />
akan didapatkan nilai Koefisien ekspansi linear α dengan L 0 atau panjang mula-mula logam sebagai factor<br />
pembagi. Nilai α Stainless steel austenitic 316L pada literature adalah α = 1.82 .10 - 5 (°C) -1 , sedangkan dari<br />
penelitian ini yaitu α=13,855x10 -5 (°C) -1 . Perbedaan ini disebabkan karena tingkat kemurnian sampel logam<br />
Stainless steel austenitik 316L yang digunakan pada masing-masing eksperimen berbeda. Hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa pemanfaatan multimode fiber coupler bisa digunakan untuk mendeteksi perubahan panjang<br />
dan koefisien ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L.<br />
Kata kunci : directional coupler, koefisien ekspansi linier, Stainless steel austenitic 316L.<br />
PENDAHULUAN<br />
Hip joint adalah persambungan dari tulang yang<br />
menjadi tumpuan berat badan (weigh bearing). Alat<br />
ini berfungsi sebagai penyambung pangkal paha<br />
dengan pelvis. Jika seseorang menderita penyakit<br />
arthritis (radang sendi) parah, maka jalan terbaik<br />
adalah dengan melakukan hip joint implant yaitu<br />
proses penggantian persambungan tulang pinggul<br />
dengan tulang tungkai menggunakan tulang buatan<br />
(hip prosthesis) yang berisi ball head, cone, dan<br />
stem. Material-material penyusun hip joint implant<br />
(ball head, cone, dan steam) sebagai material<br />
biokompatibel penting sekali diperhatikan masalah<br />
density, modulus elastisitas, konduktivitas termal,<br />
koefisien gesek serta koefisien ekspansi liniernya.<br />
Koefisien ekspansi linear (Coefficient of linear<br />
expansion) merupakan suatu sifat fisis yang sangat<br />
mendasar karena menjelaskan sifat ekspansi termal<br />
dari bahan tertentu yang perlu yang dan lesulitan<br />
dalam pembacaan hasil interferensi yang terbentuk.<br />
Koefisien Ekspansi Linear Logam Aluminium<br />
(Sholikhan,2009) bisa digunakan untuk mengukur<br />
koefisien ekspansi linier logam aluminium dengan<br />
lebih mudah dan memiliki keakuratan yang lebih<br />
tinggi daripada metode-metode sebelumnya.<br />
Sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan<br />
metode yang sama, dengan memanfaatkan serat<br />
optik sebagai sensor pergeseran untuk<br />
mengukurkoefisien ekspansi linier stainless steel<br />
austenitik 316L yang banyak dimanfaatkan dalam<br />
industri dan medis sebagai bahan implan.<br />
METODE PENELITIAN<br />
A.Karakterisasi Tegangan Keluaran Yang<br />
Diterima Detektor Terhadap Pergeseran Cermin<br />
Gambar 1. Rancangan perangkat karakterisasi tegangan keluaran<br />
detektor terhadap pergeseran cermin. (pemanas (blower) harus<br />
dalam keadaan mati)<br />
Tujuan dari karakterisasi tegangan keluaran<br />
yang diterima detektor terhadap pergeseran cermin<br />
adalah:<br />
1. Mencari daerah linier tegangan keluar detektor<br />
terhadap pergeseran cermin<br />
2. Menentukan faktor konversi tegangan keluaran<br />
detektor ke pergeseran cermin.persamaan V =<br />
ar + b dengan V, a, r berturut turut adalah<br />
tegangan keluran detektor, faktor konversi<br />
tegangan ke pergeseran, pergeseran cermin dan<br />
b adalah konstanta.<br />
E17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2. Grafik karakterisasi tegangan keluaran detektor<br />
terhadap pergeseran cermin.<br />
Gambar 3 Grafik tegangan keluaran detektor terhadap perubahan<br />
temperatur logamStainlessSteel austenitik316L<br />
Hasil dari pengolahan data karakterisasi tegangan<br />
keluaran detektor terhadap pergeseran cermin<br />
diperoleh daerah linier tegangan keluaran detektor<br />
terhadap pergeseran cermin.<br />
Gambar 4. Grafik daerah linier tegangan keluaran detektor<br />
terhadap pergeseran cermin.<br />
Pada plot grafik daerah linier tegangan keluaran<br />
detektor terhadap pergeseran cermin, diperoleh<br />
hubungan antara tegangan keluaran detektor<br />
terhadap pergeseran cermin linier., dipertimbangkan<br />
di dalam mekanik dan aplikasi desain struktural<br />
suatu material. Nilai koefisien ekspansi linier dari<br />
tiap benda bergantung pada karakteristik dari benda<br />
tersebut.<br />
Material bagian hip joint implant yaitu<br />
acetabular cup (cone), terbuat dari logam stainless<br />
steel austenitik 316L. Jenis baja ini memiliki<br />
konduktivitas termal 16,2 (W/m-K) dan nilai<br />
koefisien ekspansi linearnya adalah ( 1.82 x 10 -5 )<br />
0 C -1 (Brown Metal Company,2010).<br />
Terdapat beberapa metode yang telah<br />
diterapkan untuk pengukuran koefisien ekspansi<br />
linier. Yaitu metode konvensional, metode<br />
interferometer Michelshon, metode interferometri<br />
holografi dan komputerisasi metode interferometri<br />
holografi. Namun masih terdapat kekurangan dalam<br />
hal akurasi<br />
B.Pengukuran Koefisien Ekspansi Linear Logam<br />
Stainless Steel 316L<br />
Set-up pengukuran koefisien ekspansi linier<br />
logam stainless steel austenitik 316L diperlihatkan<br />
pada Gambar 1. Pengukuran nilai koefisien expansi<br />
linear logam stainless steel 316L dengan langkah<br />
sebagai berikut: Pemanas (blower) dan termometer<br />
digital dinyalakan suhu hingga maksimum pada<br />
450 o C. setelah yakin pertambahan panjang logam<br />
stainless steel maksimal, lalu memutar mikrometer<br />
hingga posisi cermin menempel dengan port sensing,<br />
lalu mematikan blowernya. Menunggu hingga suhu<br />
pada logam benar-benar dingin yaitu pada saat<br />
panjang logam kembali pada panjang mula-mula.<br />
Mencatat suhu kamar atau suhu mula-mula yang<br />
terbaca pada termometer digital, dan mencatat juga<br />
tegangan yang terbaca pada mikrovoltmeter pada<br />
saat suhu awal. Meyalakan blower dan mengeset<br />
posisi tombol pengatur suhu pada 100<br />
o C.<br />
Mengamati dan mencatat suhu yang terbaca pada<br />
termometer digital Mengatur kenaikan suhu setiap 2<br />
- 3 o C, mengamati dan mencatat tegangan pada<br />
mikrovoltmeter catat juga suhu yang terbaca pada<br />
termometer digital. Melakukan langkah tersebut<br />
hingga tombol pengatur suhu pada blower menunjuk<br />
suhu 450 o C<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil penelitian dari pemanfaatan Fiber<br />
coupler serat optik untuk pengukuran koefisien<br />
ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L,<br />
berupa data karakterisasi tegangan keluaran detektor<br />
terhadap pergeseran cermin dan data tegangan<br />
keluaran detektor terhadap perubahan temperatur<br />
logam Stainless steel austenitik 316L.<br />
persamaan regresi linier y = -0.00004x + 0.118 dan<br />
R 2 = 0.983. Hasil regresi linier pada Gambar 4.<br />
menunjukkan nilai koefisien korelasi (R 2 )<br />
mendekati 1, artinya Nilai kemiringan (slop) grafik<br />
sebesar 0,00004 µm/mV adalah faktor konversi<br />
tegangan keluaran detektor ke pergeseran.<br />
Dari data tegangan keluaran detektor terhadap<br />
perubahan temperatur logam Stainless steel<br />
austenitik 316L, tegangan keluaran detektor tersebut<br />
dikonversi menjadi pergeseran cermin dengan<br />
persamaan<br />
L = (V-b) / a<br />
E18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pergeseran cermin diakibatkan oleh perubahan<br />
temperatur di dalam rongga logam Stainless steel<br />
austenitik 316L. Pergeseran cermin tersebut tidak<br />
lain adalah pertambahan panjang logam Stainless<br />
steel austenitik 316L atau ΔL yang diakibatkan oleh<br />
perubahan temperatur di dalam rongga logam<br />
Stainless steel 316L<br />
Langkah berikutnya adalah mencari hubungan<br />
ΔL (perubahan panjang logam Stainless steel<br />
austenitik 316L) terhadap ΔT (selisih perubahan<br />
temperatur pada rongga Stainless steel austenitik<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Allen, Edward.2005. Dasar-dasar Konstruksi<br />
Bangunan Bahan-bahan Dan<br />
Metodenya.Edisi Ke 3.Jilid<br />
1.Erlangga:Jakarta.<br />
Fuhaid, N, 2004, Pemanfaatan Perangkat Komputer<br />
Untuk Menentukan Koefisien Muai Panjang<br />
Benda Menggunakan Interferometer<br />
Michelson, Skripsi S-1, Universitas<br />
Airlangga, Surabaya.<br />
316L). Krohn, D.A , 2000, Fiber Optik Sensor,<br />
Fundamental and Application, 3 rd , ISA, New<br />
York.Keiser, G, 1984, Optical Fiber ,<br />
Communication, Mc Graw Hill Book Co.<br />
Meiners, H.F, 1986. Linear Expansion Laboratory<br />
Physics, Second Edition, Troy, New York.<br />
Priyotomo, Gadang. 2007, Baja<br />
stainless.http://lipi.go.id.\<br />
Santoso,Fajar.2009.Variasi Material Penyusun Ball<br />
Head Hip Joint Prosthesis Pada Kondisi<br />
Berjalan Normal Dengan Analisis Distribusi<br />
Tegangan Dan Regangan Menggunakan<br />
Software Abaqus 6.5-1. Skripsi S-1<br />
Universitas Muhammadiyah,Surakarta<br />
Gambar 5. Grafik pertambahan panjang logamStainless steel<br />
austenitik 316L terhadap selisih perubahan temperatur logam<br />
Stainless steel austenitik 316L.<br />
Pada plot grafik pertambahan panjang logam<br />
Stainless steel austenitik 316L terhadap selisih<br />
perubahan temperatur logam Stainless steel<br />
austenitik 316L, diperoleh persamaan regresi linier<br />
L = 4.1227 T – 181.4,<br />
sedangkan di dalam perumusan yang terdapat pada<br />
teori ekspansi linier logam yaitu ΔL = L0 α ΔT. Hal<br />
ini berarti nilai ΔL /ΔT = c = 4.1227. Dengan L0=<br />
-5<br />
29750 µm, maka diperoleh nilai α=13.8578 x 10<br />
(°C -1 ).<br />
Koefisien ekspansi linier logam Stainless steel<br />
austenitik 316L pada eksperimen pemanfaatan<br />
directional coupler serat optik sebesar<br />
-5 0 −1<br />
α = 13.8578 x 10 ( C<br />
dan yang terdapat<br />
didalam literatur α = 1.82 x 10 -5 ( 0 C -1 ) (Brown<br />
Metal Company,2010). Perbedaan nilai koefisien<br />
ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L<br />
yang didapat dari eksperimen dengan yang terdapat<br />
pada literatur bisa disebabkan karena tingkat<br />
kemurnian sampel logam Stainless steel austenitik<br />
316L yang digunakan pada masing-masing<br />
eksperimen berbeda.<br />
)<br />
Samian, 2008, Directional Coupler sebagai Sensor<br />
Pergeseran Mikro, Tesis S-2 Institut<br />
Teknologi Sepuluh Nopember.<br />
Sucipto, A,1998, Pengukuran Koefisien Muai<br />
Panjang dengan Metode Interferometer<br />
Michelson, Skripsi S-1, Universitas<br />
Airlangga.<br />
Wulansari, R.,2002. Pengukuran Koefisien Muai<br />
Panjang Logam dengan Metode<br />
Interferometri Holografi Penyinaran Ganda,<br />
Skripsi S-1, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />
Zamil,Farid M,2009.Stainless Steel Dan Sifat<br />
Weldability. Surabaya.DEN.Migas Indonesia<br />
E19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Forward Model for Depth Measurement of a Fluorophore in a Tissue<br />
D. Ardiansyah<br />
Photonics Engineering Laboratory, Department of Engineering Physics,<br />
Faculty of Industrial Technology, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),<br />
Surabaya, Indonesia 60111<br />
Email: dedard@ep.its.ac.id<br />
Abstract<br />
The clinical challenge in medical diagnostic is to classify benign conditions: inflammation and early noninvasive<br />
carcinoma or pre-cancer. In fluorescence measurements, the fluorescence signal is detected on the<br />
surface can be used for tissue diagnostics. The fluorescence emission spectrum will be altered in a way by the<br />
tissue optical properties, the depth of the fluorophore, the geometry of the light irradiation and the detection<br />
system. A forward model of finding the fluorophore varying position in the tissue is presented. The method is<br />
based on the spectral fluorescent emission of two wavelengths as a function of scattering and absorption<br />
properties. It was recognized that the shape of the fluorescence spectrum is influenced by the depth of<br />
fluorophore position. Thus the changes in the fluorescence spectra can be used as a potential method to estimate<br />
the depth, d, of a fluorophore in a tissue.<br />
Keywords: medical diagnostic, fluororescence, forward model, depth resolved.<br />
INTRODUCTTION<br />
The main clinical challenge in medical<br />
diagnostic is to classified benign conditions:<br />
inflammation and early non-invasive carcinoma or<br />
pre-cancer. Many times, a pre-cancer or a cancer is<br />
also associated with inflammation (or might indicate<br />
ulcer as well as inflammation). Early diagnosis of<br />
malignancies is the most important factor in cancer<br />
treatment because in some cases it may overlook as<br />
diseased tissue, irritation or inflammation. The<br />
diagnostic procedure must be evaluated and<br />
compared with the gold standard for tissue<br />
characterization i.e. histopathology. There are many<br />
diagnostic procedures to be utilized for localizing<br />
malignancies e.g. biopsy and endoscopic,<br />
conventional X-ray, X-ray tomography, magnetic<br />
resonance imaging and ultrasound, single-photon<br />
emission computed tomography (SPECT) and<br />
positron emission tomography (PET), and direct<br />
visual inspection based on what the reflected light<br />
reveals (Stefan, et.al, 2009).<br />
Optical techniques, e.g. fluorescence imaging,<br />
are particular interest for surface visualization (e.g.<br />
skin or tissue) but it is poor penetration and multiple<br />
scattering of light in tissue, so it is more difficult to<br />
locate lesions in the deeper tissue. Optical detections<br />
have an important affect and specific characteristics.<br />
It will be very useful on many clinical situations<br />
such as non-invasiveness, real-time capability,<br />
endoscopic compatibility, monitoring and imaging<br />
implementation. Fluorescence imaging, which is<br />
built based on investigations of tissue, can be found<br />
on the natural emission (autofluorescence), artificial<br />
fluorescent (fluorescent markers), and photosensitizers<br />
in PDT procedures (Stefan, et.al, 2009).<br />
In fluorescence measurements, the fluorescence<br />
signal is detected on the surface contains<br />
information about the fluorophore can be used for<br />
tissue diagnostics. The fluorescence emission<br />
spectrum will be altered in a way determined by the<br />
tissue optical properties, by the depth of the<br />
fluorophore, and also by the geometry of the light<br />
irradiation and the detection system (Johan, et.al,<br />
2007). This type of measurement has the potential to<br />
characterize of normal and precancerous of tissue<br />
(Yicong, et.al, 2004), discriminate diseased regions<br />
inside the tissue (e.g., tumors), optimizing treatment<br />
parameters in PDT, revealing the fine structure and<br />
biochemistry of epithelial tissue (Yicong, et.al,<br />
2004), and monitoring (Johan, et.al, 2007).<br />
In this paper a forward model of finding the<br />
fluorophore varying position in the tissue is<br />
presented. A Comsol simulation is used to compute<br />
fluorescence spectra from a tissue model and the<br />
diffusion equation is applied for spatially resolved<br />
measurements (e.g. determination of depth). The<br />
shape of two emission wavelengths are related to the<br />
scattering and absorption properties; and can be used<br />
to estimate the depth, d, of an object.<br />
THEORY<br />
Fluorescence Imaging Systems<br />
The phenomenon of fluorescence is discovered<br />
by Stokes, and then it is followed by technology<br />
development in photodynamic therapy (PDT),<br />
hematoporphyrin derivative (HpD), fluorescent<br />
tumor marker and photosensitizer for PDT,<br />
autofluorescence and prototypes of fluorescence<br />
imaging systems for specific indications.<br />
Fluorescence spectral data are generally presented as<br />
E20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 1. Fluorescence curves of compounds in human tissue for<br />
excitation wavelength 337 nm.<br />
emission spectra and it is plotted as the fluorescence<br />
intensity versus wavelength (nanometers) or<br />
wavenumber (cm –1 ). Emission spectra vary due to<br />
the chemical structure of the fluorophore, the<br />
individual vibrational energy levels of the ground<br />
and excited states, and the solvent in which it is<br />
dissolved. Some fluorescence curves as function of<br />
wavelength can be seen in figure 1.<br />
Fluorescence Imaging could be introduced as a<br />
complementary technique for imaging system, and<br />
can be used to identify early malignant lesions,<br />
tumor extent and spread prediction and as a guide to<br />
optimize localized treatments of solid tumors. This<br />
technique can be performed with systems with<br />
different complex systems for the specific<br />
diagnostic; but the system is designed with criteria<br />
small, compact, simple systems, low cost and easy to<br />
operate. Basically, fluorescence imaging can be<br />
operated in spectrally resolved data (multispectral<br />
imaging), temporally resolved data (multitemporal<br />
imaging), and hybrid concepts of spectral and<br />
temporal resolution.<br />
There are two approaches of fluorescence<br />
imaging, for various clinical indications, are in terms<br />
of excitation source and detection schemes. The<br />
excitation source determines which wavelength can<br />
be used, power available, and minimize background<br />
light. It is required good identification to select the<br />
best source (e.g. laser, lamp, light-emitting diode<br />
(LED) or matrix of LEDs), the price and complexity<br />
of the system. With regard to the detection scheme<br />
(or existing prototype systems), the systems can be<br />
classified according to the modes A-F. The detection<br />
scheme which is quite related to the recording<br />
system, then the imaging modes can be classified<br />
based on recording system: stationary object or<br />
movements object and sequentially mode (pointscanning<br />
or whisk broom) or simultaneously mode<br />
(line scanning or push broom) (Stefan, et.al, 2009).<br />
Collecting data from fluorescence imaging in<br />
more than one spectral or temporal band is desired<br />
some dimensionless quantity which is resulted in the<br />
simplest way from ratio between the measured<br />
bands, e.g. the ratio of the intensities I(λ 1 ) and I(λ 2 )<br />
recorded in spectral bands centered around λ 1 and λ 2 .<br />
The dimensionless quantities are related to the fact<br />
that they are immune to distance changes between<br />
tissue and measurement equipment, variations in<br />
angle of incidence of radiation on tissue, fluctuations<br />
in illumination source and detection system<br />
efficiency. Also, there are several aspects that have<br />
to be considered in recorded image are such as the<br />
object condition (stationary or moving), the received<br />
signal, time consuming, signal-to-noise ratio and the<br />
related background. Finally, a statistical analysis<br />
required to evaluate the ability of the diagnostic<br />
technique to detect disease correctly.<br />
Light Propagation in Tissue<br />
In this model, a source light is positioned in the<br />
bottom of the tissue and the light propagates through<br />
the tissue to fluorophore. Some of the light is<br />
scattered and absorbed by the tissue before it reaches<br />
the fluorophore. The fluorophore will absorb energy<br />
and then fluorescent light will be emitted. The<br />
emitted fluorescence then propagates through the<br />
tissue and it is collected by a detector at the surface.<br />
The strength of the emitted fluorescence is<br />
dependent on the optical properties and the<br />
fluorescent yield of the fluorophore. The energy<br />
conversion of the fluorescence is shown in figure 2.<br />
The steady-state diffusion approximation is<br />
used to describe the light propagation in tissue,<br />
which the light source is modeled as a point source.<br />
The mathematical formulation explains the<br />
excitation source, relation between the excitation<br />
light and the emitted fluorescent light, the<br />
fluorescence fluence rate at a detector position. The<br />
intensity ratio of the fluorescence emission at two<br />
wavelengths, from a fluorophore detected at the<br />
boundary of the tissue, is dependent on the depth of<br />
the fluorophore. Due to the propagation distance<br />
from the fluorophore to the detector, the measured<br />
intensity ratio will be different i.e. long distance will<br />
yield a small intensity ratio and short distance will<br />
detect a large ratio.<br />
Figure 2. Energy transformation of fluorescence.<br />
E21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 3: Simulation Model of depth resolved spectroscopy<br />
The spectral intensity is proportional to different<br />
wavelength bands of the fluorescence light<br />
propagation from the fluorophore to the surface of<br />
tissue. The changes of the spectral intensity due to<br />
the optical properties can be used to measure the<br />
depth of the fluorophore. A simple approach is to<br />
form the ratio between the measured fluorescence<br />
signals at two wavelengths, λ 1 and λ 2 . An advantage<br />
of this approach is that by forming a ratio there is no<br />
need for absolute measurements of the fluorescence<br />
light, and some uncontrolled parameters cancel out<br />
(Johannes, et.al, 2005).<br />
SIMULATION MODEL<br />
In this simulation, the system model was<br />
performed by Comsol MultiPhysics software, as<br />
shown in figure 3, since it can be used to solve<br />
partial differential equations numerically. The<br />
principle of the Comsol MultiPhysics is Finite<br />
Element Method (FEM). Many physical phenomena<br />
can be modeled by the Comsol MultiPhysics which<br />
is accompanied by many mathematical models<br />
appropriately. In Comsol MultiPhysics, the<br />
fluorescence imaging can be used to assess<br />
concentrations and spatial locations of exogenous<br />
fluorescent markers (i.e. fluorophores).<br />
Figure 4: Absorption spectra of rhodamine 6G.<br />
For fluorescence phenomenon, the Comsol<br />
MultiPhysics provide diffusion equation (e.g.<br />
represented by a Helmholtz equation) in steady state<br />
for source term in excitation light, the fluorescence<br />
light distribution, the fluence rate, and a set of<br />
optical properties. In this model, the diffusion<br />
equation is valid when the scattering is large<br />
compared to the absorption and when studying<br />
diffuse light propagation, i.e. at sufficient distances<br />
from any light sources. The equations are used as<br />
follows:<br />
1 ∂<br />
φ ( r,<br />
t)<br />
− D∇<br />
2<br />
φ(<br />
r,<br />
t)<br />
+ μ<br />
a<br />
φ(<br />
r,<br />
t)<br />
= S(<br />
r,<br />
t)<br />
(1)<br />
C ∂t<br />
∇( −D∇ϕ exc<br />
) + μ<br />
aϕ<br />
exc<br />
= S<br />
(2)<br />
i<br />
i<br />
∇ ( −D<br />
∇ϕ ) + μ ϕ = μ Y ϕ<br />
(3)<br />
em<br />
i<br />
a<br />
i<br />
em<br />
i<br />
a<br />
ex exc<br />
In this simulation, the the model consists of a<br />
point source, medium (similar to intralipid<br />
phantom), fluorophore (i.e. rhodamine 6G) and<br />
detector. The fluorophore has excitation wavelength<br />
at 532 nm and emission wavelengths at 600 nm and<br />
620 nm. The absorption and emission spectra of<br />
rhodamine 6G are shown in figure 4 and 5. Making<br />
identification of the parameters in the equations,<br />
then the appropriate parameters can be chosen from<br />
the database as listed in table 1.<br />
Figure 5: Emission spectra of rhodamine 6G.<br />
Table 1. List of parameters in simulation.<br />
Name Value Quantity<br />
Power 0.1 Watt<br />
Absorption Coefficient (Excitation) 314.7 m -1<br />
Scattering Coefficient (Excitation) 1050 m -1<br />
Absorption Coefficient (Emission1) 149.1 m -1<br />
Scattering Coefficient (Emission1) 970 m -1<br />
Absorption Coefficient (Emission2) 109 m -1<br />
Scattering Coefficient (Emission2) 950 m -1<br />
Yield (Emission1) 1 ---<br />
Yield (Emission2) 0.7 ---<br />
Fluorophore Concentration 10 -5 M<br />
Fluorophore Extinction 2.5x10 -7 m -1 M -1<br />
RESULT AND DISCUSSION<br />
In this chapter, the Comsol simulation for<br />
different depths of fluorophore position is modeled.<br />
The simulations were extracted with the source and<br />
the detector positions are fixed. The fluorophore<br />
with circular shape (with volume= 5.59049 e-7 m 3<br />
and surface area= 7.65807 e-4 m 2 ) was placed in<br />
tissue (with volume= 1.28 e-4 m 3 and surface area=<br />
0.0192 m 2 ) yields the cross-sectional images at x-<br />
axis shown in Fig. 6 and 7.<br />
For two different wavelengths, the different<br />
intensities distribution is affected by absorption and<br />
scattering coefficient. Emission wavelength2 (u3)<br />
has higher intensity than emission wavelength1 (u2)<br />
E22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
since u3 has lower absorption coefficient than u2, so<br />
only smaller fraction of the fluorescence is absorbed<br />
by the medium.<br />
When the depth is changing by factor 1 mm, the<br />
higher intensity distribution belongs to the deepest<br />
position since the fluorophore absorbs more light<br />
when its position nears the source then it releases the<br />
higher intensity. Although in more fluorophore, light<br />
will be absorbed and scattered.<br />
The excitation wavelength is also affected by<br />
absorption and scattering coefficient, but for depth<br />
resolved it is not used in the calculation. Using the<br />
optimal wavelength for certain fluorophore will give<br />
the optimal intensity distribution of the fluorescence.<br />
fluorophore, indicated in figure 8. It was found that<br />
the relation between the ratio of λ1/λ2 and depth d to<br />
be close to linear in all the cases. It means that the<br />
ratio value can be used to estimate the depth of a<br />
fluorophore for any simulations.<br />
Resolution is important information that should<br />
be considered in the real measurement, since it is<br />
quite difficult to resolve the depth less than 1 mm<br />
resolution.<br />
0.75<br />
0.7<br />
ratio 600 nm/620 nm as function of depth<br />
0.06<br />
0.05<br />
Emission wavelength (u2) at different fluorophore depth<br />
depth 7 mm<br />
depth 8 mm<br />
depth 9 mm<br />
depth 10 mm<br />
ratio<br />
0.65<br />
0.6<br />
0.04<br />
0.55<br />
intensity<br />
0.03<br />
0.02<br />
0.5<br />
7 7.5 8 8.5 9 9.5 10<br />
depth (mm)<br />
0.01<br />
0<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08<br />
position (mm)<br />
Figure 6: intensity distribution of emission wavelength1 (u2) at<br />
different depths.<br />
intensity<br />
0.07<br />
0.06<br />
0.05<br />
0.04<br />
0.03<br />
0.02<br />
0.01<br />
Emission wavelength (u3) at different fluorophore depth<br />
depth 7 mm<br />
depth 8 mm<br />
depth 9 mm<br />
depth 10 mm<br />
0<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08<br />
position (mm)<br />
Figure 7: intensity distribution of emission wavelength2 (u3) at<br />
different depths.<br />
Figure 8 shows that the resulting intensity<br />
distribution is influenced by the distance between<br />
the fluorophore and the detector. If the distance is<br />
close, then the intensity distribution is centered<br />
around the detector (slightly more narrow intensity);<br />
and if the position are moved away, then the<br />
intensity distribution is spread along the axis.<br />
The minimum ratio value is resulted when the<br />
fluorophope is placed deeper in the tissue since a<br />
longer propagation distance yields a smaller<br />
intensity ratio; hence the arc is placed further away<br />
from the detector.<br />
The results from the simulations show that the<br />
ratio of λ1/λ2 is a useful indicator of the depth of a<br />
Figure 8: Ratio of emission spectra of two wavelengths as a<br />
function of depth.<br />
RESULT AND DISCUSSION<br />
A simple simulation about a forward model of<br />
finding the fluorophore varying position in the tissue<br />
has been presented. The method is based on the<br />
spectral fluorescent emission of two wavelengths as<br />
a function of scattering and absorption properties.<br />
The fluorescence emission spectrum will be altered<br />
in a way by the tissue optical properties, the depth of<br />
the fluorophore, the geometry of the light irradiation<br />
and the detection system. It was recognized that the<br />
shape of the fluorescence spectrum is influenced by<br />
the depth of fluorophore position. Thus the changes<br />
in the fluorescence spectra can be used as a potential<br />
method to estimate the depth, d, of a fluorophore in<br />
a tissue. The linearity properties of the simulations<br />
provide opportunity for estimating the depth of a<br />
fluorophore for any simulations. It is also necessary<br />
to put the correct value of the parameters to perform<br />
the reasonable result of the simulation.<br />
REFERENCES<br />
Ashley J. Welch and Martin J.C. van Gemert,<br />
Optical-Thermal Response of Laser-<br />
Irradiated, Tissue, Plenum Press, New York,<br />
1995.<br />
Dept. of Physics - Lund University, FEM computer<br />
exercise in Comsol MultiPhysics, Computer<br />
Exercise Manual, 2010.<br />
Johan Axelsson, Jenny Svensson and Stefan<br />
Andersson-Engels, Spatially Varying<br />
Regularization Based on Spectrally Resolved<br />
Fluorescence Emission in Fluorescence<br />
E23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Molecular Tomography, OPTICS EXPRESS<br />
15(21), 13574- 13584 (2007).<br />
Johannes Swartling, Jenny Svensson, Daniel<br />
Bengtsson, Khaled Terike, and Stefan<br />
Andersson-Engels, Fluorescence Spectra<br />
Provide Information on The Depth of<br />
Fluorescent Lesions in Tissue, APPLIED<br />
OPTICS 44(10), 1934-1941 (2005).<br />
Stefan Andersson-Engels, Katarina Svanberg, and<br />
Sune Svanberg, Fluorescence Imaging in<br />
Medical Diagnostics. In Biomedical Optical<br />
Imaging, James G. Fujimoto and Daniel L.<br />
Farkas, pp. 265-305 (Oxford University<br />
Press, Inc., New York, 2009).<br />
Yicong Wu, Peng Xi, Jianan Y. Qu, Tak-Hong<br />
Cheung and Mei-Yung Yu, Depth-Resolved<br />
Fluorescence Spectroscopy of Normal and<br />
Dysplastic Cervical Tissue, OPTICS<br />
EXPRESS 13(2), 382-388 (2005).<br />
Yicong Wu, Peng Xi, Jianan Y. Qu, Tak-Hong<br />
Cheung and Mei-Yung Yu, Depth-Resolved<br />
Fluorescence Spectroscopy Reveals Layered<br />
Structure of Tissue, OPTICS EXPRESS<br />
12(14), 3218-3223 (2004).<br />
E24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Kajian Teoretik dan Numerik Distribusi Daya pada Step Index Fiber Taper<br />
Lilin Lalita, Samian, Andi Hamim Zaidan<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email :<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan penelitian tentang fiber taper yang dikaji secara teoretik dan numerik. Jenis serat optik yang<br />
digunakan adalah serat optik multimode step index, berbahan silika dan profil taper yang dipilih yaitu linearly<br />
fiber taper. Kajian yang dilakukan hanya hanya pada TE dengan sepuluh moda. Gambaran umum tentang<br />
distribusi daya pada core dan cladding dapat diketahui dengan pendekatan secara analitik. Panjang taper yang<br />
digunakan adalah Hasilnya, distribusi daya pada core menurun dengan bertambahnya panjang taper.<br />
Sedangkan pada cladding, daya meningkat dengan bertambahnya panjang taper.<br />
Kata kunci: fiber taper, step index ,distribusi daya<br />
Pendahuluan<br />
Pada awal penemuannya, serat optik digunakan<br />
sebagai sarana transmisi data sederhana, tetapi<br />
dalam perkembangannya diketahui bahwa serat<br />
optik baik singlemode maupun multimode,<br />
mempunyai banyak keunggulan, sehingga<br />
pemanfaatan serat optik menjadi semakin luas.<br />
Bahkan hadiah nobel fisika 2009 diberikan kepada<br />
ilmuwan fisika Charles K.Kao yang berasal dari<br />
Standard Telecommunication Laboratories, Harlow,<br />
Inggris dan Universitas Hongkong karena telah<br />
berhasil mengembangkan transmisi cahaya melaui<br />
serat optik untuk kepentingan komunikasi.<br />
Perkembangan terbaru dari serat optik yaitu fiber<br />
taper. Fiber taper merupakan serat optik yang<br />
sebagian diameter mantel (cladding) dan corenya<br />
diperkecil. Fiber taper mempunyai banyak aplikasi<br />
dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang medis<br />
dan telekomunikasi. Dalam bidang medis, fiber<br />
taper dapat digunakan sebagai biosensor yang<br />
fungsinya dapat mendeteksi model protein dalam<br />
antibody [9] , untuk meningkatkan sinyal akustik<br />
[8], dan mendeteksi anti – gladin dalam tubuh [6].<br />
Selain itu, fiber taper juga dapat difungsikan sebagai<br />
sensor kelembaban untuk mengembangkan<br />
sensitivitas material nanostruktur [6], sensor gas<br />
[10] , dsb. Aplikasi lain dari fiber taper adalah dapat<br />
digunakan sebagai splitter [7], directional coupler,<br />
switching dan optical device lainnya .<br />
Mengingat pentingnya fiber taper dalam<br />
berbagai bidang, maka perlu adanya teori pendukung<br />
tentang parameter-parameter yang digunakan untuk<br />
mempermudah pembuatan fiber taper. Selama ini,<br />
hanya ada sedikit teori yang membahas tentang<br />
perambatan berkas dalam fiber taper.<br />
Dalam penelitian ini, perumusan konstanta<br />
perambatan dan distribusi daya berkas cahaya moda<br />
rendah pada fiber taper akan ditinjau secara teoretik<br />
dan numerik. Dengan tinjauan teoretik akan<br />
didapatkan gambaran lebih umum tentang perilaku<br />
perambatan cahaya dalam fiber taper dan rugi daya<br />
(losses) yang terjadi. Tidak hanya untuk satu jenis<br />
serat optik atau satu jenis profil dari fiber taper,<br />
tetapi dapat diaplikasikan untuk semua jenis fiber<br />
taper. Selain itu, tinjauan teoretik akan memberikan<br />
kemungkinan eksplorasi sifat fiber taper yang lebih<br />
luas sehingga dapat peluang dalam hal aplikasi akan<br />
semakin terbuka lebar.<br />
Teori<br />
Gambar longitudinal dari core fiber taper step<br />
index ditunjukkan pada gambar (1) dengan core<br />
dianggap terbuat dari bahan silica ( )<br />
dan cladding terbuat dari methyl methacrylate<br />
. Serat optik tersebut terbuat dari<br />
bahan-bahan yang berbiaya rendah. Untuk<br />
mempermudah, bagian cladding dianggap sangat<br />
luas. Sistem koordinat yang digunakan adalah<br />
koordinat silinder dengan -axis sebagai<br />
arah perambatan. Serat optik tersebut dianggap<br />
mempunyai profil linearly tapered core, yang<br />
dan mewakili radius dari ujung<br />
input dan output dari fiber taper tersebut. Hasilnya,<br />
profil radial dari linearly tapered fiber ditunjukkan<br />
sebagai berikut :<br />
Gambar 1. Fiber Taper<br />
E25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan l adalah panjang taper. Diasumsikan bahwa<br />
daerah terpandu dan tidak terpandu terbuat dari<br />
material linier dan isotropik yang bersifat nonmagnetik.<br />
dan merupakan permitivitas dari<br />
core dan cladding. Time harmonic dan axis -<br />
harmonic medan listrik dan medan magnet<br />
mempunyai ketergantungan sebagai berikut :<br />
(2.a)<br />
(2.b)<br />
dengan adalah frekuensi angular, adalah<br />
konstanta propagasi ,dan mewakili periodisitas<br />
azimutal. Dalam kasus ini, tidak lagi konstan<br />
karena adanya variasi cross sectional dengan jarak<br />
. Titik awal yang dipilih dari sistem adalah<br />
koordinat ketika , radius dari cross section<br />
adalah dan pada = l, radius cross section adalah<br />
. Variasi radius core dianggap kecil, sehingga kita<br />
dapat menggunakan ekspansi deret Taylor untuk :<br />
(2.36)<br />
merupakan komponen axial vektor perambatan<br />
pada Dari persamaan (3) dapat ditunjukkan<br />
bahwa menggunakan komponen medan tranversal,<br />
persamaan (2) dapat diturunkan menjadi :<br />
(2.37)<br />
dengan mewakili atau , sedangkan<br />
, dan merupakan permitivitas<br />
dan permeabilitas dari medium. Medium<br />
diasumsikan bersifat non magnetik sehingga =<br />
= permeabilitas ruang hampa. Dengan<br />
metode separasi variabel, dapat diketahui bahwa<br />
persamaan (4) mempunyai solusi fungsi Bessel. [5].<br />
Secara umum medan listrik dan medan magnet<br />
gelombang cahaya yang merambat melewati pandu<br />
gelombang silinder didapat dengan menyelesaikan<br />
persamaan Helmholtz dan memenuhi persamaan<br />
berikut:.<br />
• untuk ( core )<br />
• untuk (cladding )<br />
(5.a)<br />
(5.b)<br />
(5.c)<br />
(5.d)<br />
dengan A, B, C, dan D merupakan konstanta.<br />
Konstanta perambatan dan koefisien<br />
amplitudo dan pada persamaan (5)<br />
ditentukan dengan menggunakan syarat batas. Pada<br />
, empat komponen tangensial dan<br />
kontinu pada batas antara core dan cladding.<br />
(6.a)<br />
(6.b)<br />
(6.c)<br />
(6.d)<br />
Pada persamaan tersebut, indeks 1 dan 2 mewakili<br />
core dan cladding. Dari persamaan (6) akan<br />
didapatkan pula persamaan karakteristik yang<br />
digunakan untuk menentukan konstanta perambatan<br />
secara numerik.<br />
(7)<br />
Konstanta B,C, dan D jika dinyatakan dalam A<br />
adalah:<br />
8.a)<br />
(8.b)<br />
(8.c)<br />
Konstanta A ditentukan dengan normalisasi .<br />
Distribusi daya pada yang ditransmisikan<br />
melalui core dan cladding memenuhi persamaan<br />
berikut:<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
(9.a)<br />
(9.b)<br />
Konstanta perambatan pada serat optik biasa<br />
adalah konstan. Tetapi pada fiber taper, konstanta<br />
perambatan tersebut berubah akibat adanya<br />
perubahan diameter serat optik. Pada bagian ini akan<br />
dibahas tentang perubahan konstanta perambatan<br />
pada fiber taper dengan menentukan persamaan<br />
yang akan digunakan pada perhitungan secara<br />
E26
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
numerik. Langkah awal yang digunakan adalah<br />
sebagai berikut:<br />
(10)<br />
Kemudian persamaan (3) disubstitusikan ke<br />
persamaan (10)<br />
Dengan<br />
, maka<br />
(11)<br />
Persamaan (11) merupakan persamaan kuadrat<br />
dalam bentuk . Persamaan tersebut yang akan<br />
digunakan dalam listing dengan Mathematica untuk<br />
menentukan perubahan konstanta perambatan.<br />
titik perpotongan antara fungsi Bessel J dan fungsi<br />
Bessel K. Pada gambar (3) terlihat ada 10 titik<br />
perpotongan jadi ada sepuluh moda TE yang dapat<br />
melewati serat optik. Setiap moda mempunyai besar<br />
konstanta perambatan yang berbeda-beda. Semakin<br />
kecil diameter yang dilewati, maka jumlah moda<br />
yang terpandu akan berkurang dan nilai konstanta<br />
perambatan juga akan berkurang,<br />
Pembahasan selanjutnya adalah tentang<br />
distribusi daya pada fiber taper. Distribusi daya pada<br />
fiber taper akan dibedakan menjadi dua bagian yaitu<br />
daya yang dapat dipandu dalam core, dan daya yang<br />
terpandu pada cladding. Dalam perhitungan dengan<br />
Mathematica diambil variasi panjang taper sebanyak<br />
lima buah, yaitu . Hasilnya akan<br />
dijelaskan melalui grafik berikut:<br />
Gambar.2. Perubahan konstanta perambatan<br />
Grafik pada gambar 2 menunjukkan dengan<br />
menurunnya jarak rambatan taper , maka nilai<br />
konstanta perambatan juga akan menurun. Hal<br />
tersebut mengindikasikan bahwa bernilai<br />
negatif. Pada awal jarak rambatan taper,<br />
meningkat secara cepat dan besar peningkatan<br />
tersebut cukup signifikan. Tetapi memasuki<br />
, perubahan yang terjadi sangat kecil.<br />
Gambaran yang sama juga terjadi pada 9 moda TE<br />
yang lain. Sehingga dapat dikatakan pada moda TE<br />
perubahan konstanta perambatan berubah secara<br />
drastis pada jarak rambatan awal dan mulai stabil<br />
pada<br />
Gambar. 3. Distribusi daya pada core<br />
Dari gambar 3. terlihat bahwa dengan<br />
bertambahnya panjang taper maka daya yang<br />
terpandu dalam core mengalami penurunan.<br />
Penurunan daya terjadi secara linear ( yang<br />
persamaan garisnya adalah .<br />
Artinya, semakin besar panjang taper maka semakin<br />
besar pula losses yang terjadi. Pada pembahasan ini,<br />
cahaya dipandu dari taper yang berdiameter lebih<br />
besar ke diameter yang lebih kecil. Dalam<br />
penjelasan sebelumnya, konstanta perambatan<br />
mengalami penurunan dengan mengecilnya<br />
diameter, begitu juga yang terjadi dengan jumlah<br />
moda yang terpandu. Hal tersebut sesuai dengan<br />
hasil di atas karena dengan semakin panjang taper<br />
maka diameter yang mengecil akan semakin panjang<br />
pula. Akibatnya akan banyak cahaya yang tidak<br />
dapat dipandu dalam core.<br />
Gambar.3. Jumlah moda pada diameter<br />
Cahaya memasuki pandu gelombang yang<br />
berdiameter . Moda TE yang terpandu adalah<br />
E27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 4. Distribusi daya pada cladding<br />
Berbeda dengan core, daya yang terpandu dalam<br />
cladding akan semakin besar dengan bertambahnya<br />
panjang taper. Peningkatan daya yang dipandu pada<br />
cladding terjadi secara linier dengan<br />
persamaan garisnya adalah<br />
Cahaya yang tidak dapat dipandu dalam core akan<br />
dipandu dalam cladding sehingga akan memperbesar<br />
daya pada cladding. Peningkatan daya tersebut<br />
ditunjukkan pada gambar 4.<br />
Pada fiber taper, losses yang terjadi adalah daya<br />
yang tidak dapat terpandu dalam core. Sehingga<br />
lossesnya adalah daya yang terpandu pada cladding.<br />
Kesimpulan<br />
Dari perhitungan secara analitik dan numerik<br />
diketahui bahwa untuk fiber taper dengan moda TE,<br />
distribusi daya pada core berkurang secara linear<br />
dengan bertambahnya panjang taper. Pada cladding,<br />
daya bertambah secara linier dengan bertambahnya<br />
panjang taper. Sedangkan untuk konstanta<br />
perambatan, nilainya menurun dengan<br />
berkurangnya diameter, begitu juga dengan jumlah<br />
moda yang terpandu. Semakin kecil diameternya<br />
maka semakin sedikit pula jumlah moda yang<br />
terpandu. Losses pada fiber taper adalah daya yang<br />
tidak mampu dipandu dalam core. Hal tersebut<br />
berarti losses pada fiber taper adalah daya yang<br />
terpandu pada cladding.<br />
Daftar Pustaka<br />
[1] B.E.A. Saleh,1991, Fundamental of<br />
Photonics, John Wiley and Sons, New York<br />
[2] Jd Jackson,1998, Classical<br />
Electrodynamics,3 rd , John Wiley and Sons,<br />
New York<br />
[3] Gerd Keiser,2000, Optical Fiber<br />
Communication, 3 rd , McGraw-Hill College<br />
[4] Crisp John, Barry Elliot,2006, Serat Optik:<br />
Sebuah Pengantar,Penerbit Erlangga, Jakarta<br />
[5] S.C.Yeouw,M.H.Lim, P.K.Choudhury,2005,<br />
A rigorous analysis of the distribution of<br />
power in plastics clad linear tapered fibers<br />
[6] J.M. Cores, I.R. Matias, J.Bravo,2008,<br />
Tapered optical fiber biosensors for detection<br />
of anti-gladin antibodies<br />
[7] Yoonseob Jeong,2009, All fiber NxN fused<br />
tapered plastic optical fiber (POF) power<br />
splitters for photodynamic therapy<br />
application<br />
[8] George P.Anderson, Joel P.Golden, Framces<br />
s.Ligher,1992, A fiber optic biosensor:<br />
combination tapered fiber design for<br />
improved signal acquisition<br />
[9] Leung Angela,2007, Model protein detection<br />
using antibody-immobilized tapered fiber<br />
optic biosensor (TFOBS) in a flow cell at<br />
1330 nm and 1550 nm<br />
E28
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
A Simple Fiber-Optic Micro-Displacement Sensor Using A Green Laser<br />
M. Yasin 1 , S. W. Harun 2 , Kusminarto 3 , Karyono 3 , and H. Ahmad 4<br />
1<br />
Department of Physics, Faculty of Science and Technology, Airlangga University,<br />
Surabaya 60115, Indonesia.<br />
2 Department of Electrical Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya<br />
50603 Kuala Lumpur, Malaysia.<br />
3<br />
Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science,<br />
Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281, Indonesia<br />
4 Photonics Laboratory, Department of Physics, University of Malaya,<br />
50603 Kuala Lumpur, Malaysia.<br />
E-mail: yasin@unair.ac.id<br />
Abstract<br />
A simple micro-displacement sensor is demonstrated using a green laser, a probe, and a silicon detector. The<br />
sensor probe consists of transmitting and receiving fibers, which are bundled together. In this paper, two types of<br />
probe are compared that are a pair and a concentric type. This sensor adopts an intensity modulation technique<br />
with a flat mirror as a reflecting target. The light from the green laser travels to the target surface and part of it is<br />
reflected back to the probe. A portion of the reflected light is caught by the receiving fibers and transmitted to<br />
the photo detector where its intensity is measured. The concentric type sensor shows the sensitivity of<br />
0.231mV/μm within 200 to 500μm range (front slope) and 0.037mV/μm within 1200 to 2900μm range (back<br />
slope). The pair has a sensitivity of 0.054 mV/μm within 200 to 950μm (front slope) and 0.013 mV/μm within<br />
2000 to 4000μm range (back slope). This sensor is suitable for applications in industries as position control and<br />
micro-displacement measurement in the hazardous region.<br />
Keywords: fiber-optic, micro-displacement, bundled fiber.<br />
Introduction :<br />
Need for higher resolution, longer range, better<br />
linearity, simpler construction, and lower cost for<br />
displacement sensors is highly emphasized by the<br />
current requirements of industrial, military and<br />
medical applications [1]. Recently, a variety of fiber<br />
optic sensors have been reported for displacement<br />
measurement [2-4]. These sensors have gain a<br />
tremendous interest due to their inherent simplicity,<br />
small size, mobility, extremely low displacement<br />
detection limit and ability to perform non-contacting<br />
measurement. These properties have led to a variety<br />
of mechanical and biological measurement<br />
applications.<br />
Multimode plastic fibers are in a great demand<br />
for the transmission and processing of optical signals<br />
in optical fiber communication system. They are<br />
also widely used in sensing applications because of<br />
their better signal coupling, large core radius, and<br />
high numerical aperture as well as able to receive the<br />
maximum reflected light from the target [5-6]. Some<br />
of the earliest absolute methods for displacement<br />
measurements are based on interferometric<br />
techniques [7-8]. In this paper a simple fiber-optic<br />
displacement sensor is proposed using a multimode<br />
plastic fiber as probe and a green laser as<br />
transmitter. This sensor is based on intensity<br />
modulation technique, in which the reflected light<br />
from a reflecting surface or target is coupled back<br />
into a probe and the intensity of the reflected light is<br />
used to determine the distance between the target<br />
and probe.<br />
Experimental Setup:<br />
The schematic diagram of the experimental setup<br />
is shown in Fig. 1. The sensor consists of a light<br />
source (green laser), a fiber-optic probe and a silicon<br />
photo-detector. The probe is a 2m long bundled<br />
plastic fiber, which consists of one transmitting core<br />
and several receiving cores. In this displacement<br />
sensor, the intensity modulation technique is adopted<br />
and a flat mirror is used as a reflecting target. The<br />
light from a light source enters a transmitting core<br />
and then radiates to the mirror, and the light<br />
reflected from mirror surface is transmitted through<br />
the receiving core to a photo-detector. The<br />
displacement of mirror causes a change in the<br />
received light intensity, which is a function of<br />
displacement between the probe and reflecting<br />
surface. The bending losses are minimized by<br />
putting both transmitting and receiving fibers in<br />
close contact to form a curvature of equal radius.<br />
The experiment is carried out for three types of<br />
bundled fibers as summarized in Table 1. The<br />
transmitting and receiving cores in the bundled<br />
E29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
front-end are arranged in a pair in the bundled fiber<br />
type C and concentrically in both types A and B.<br />
The transmitting and receiving cores are placed side<br />
by side in the pair arrangement. In the concentric<br />
arrangement, the transmitting core is surrounded by<br />
the receiving cores.<br />
Figure 1: Schematic diagram of bundled fiber displacement<br />
sensor using a green laser.<br />
displacement distance. The rising part of the curve<br />
(front slope) is sharper than the signal decay of the<br />
second-part (back slope).<br />
The signal is minimal at zero distance because<br />
the light cone does not reach the receiving cores.<br />
When the displacement is increased, the size of the<br />
reflected cone of light at the plane of fiber increases<br />
and starts overlapping with the receiving cores<br />
leading to a small output voltage. Further increase in<br />
the displacement leads to large overlapping which<br />
results in increase in output voltage. However, after<br />
reaching the maximum value, the output voltage<br />
starts decreasing as the displacement increases. This<br />
is due to the large increase in the size of the light<br />
cone and the power density decreases with the<br />
increase in the size of the cone of light. The<br />
maximum output voltage obtained are 128.3mV,<br />
92.4mV and 61.8 mV for sensors type A, B and C,<br />
respectively. The peak voltages are obtained at a<br />
distance of 750μm for both type A and B and at a<br />
distance of 1800μm for type C.<br />
140.0<br />
type B<br />
type C<br />
type A<br />
Table 1: Fiber bundled used in the experiment<br />
Output voltage (mV)<br />
120.0<br />
100.0<br />
80.0<br />
60.0<br />
40.0<br />
20.0<br />
The static displacement of the mirror is<br />
achieved by mounting it on a translation stage. The<br />
distance between the fiber optic probe and the mirror<br />
can be varied in successive steps of 50 μm. The light<br />
from a 543nm He-Ne laser is launched into the<br />
transmitting core and the reflected light intensity is<br />
measured by a silicon detector. The signal from the<br />
detector is converted into a voltage and is measured<br />
using a digital voltmeter. The voltage is measured<br />
against the corresponding change in micrometer<br />
translation stage. The maximum laser power for the<br />
green laser is measured using the silicon detector in<br />
conjunction with a voltmeter and the output voltages<br />
are obtained at approximately 229mV.<br />
Results and Discussion:<br />
Fig. 2 shows the variation of the output voltage<br />
against the displacement of the mirror from the<br />
fiber-optic probe using different bundled fibers<br />
types. As shown in the figure, the voltage output<br />
from a receiving fiber is related to distance to a<br />
target surface. The voltage for all the fiber types<br />
increases as the mirror is moved away from the<br />
transmitting fiber until maximum output voltage<br />
level is observed. Further movements of the mirror<br />
away from the transmitting fiber tip have resulted in<br />
reduced output voltage in an almost inverse square<br />
law relationship for the output power against a<br />
0.0<br />
0 2000 4000 6000<br />
Displacement (micrometer)<br />
Fig. 2: Variation of the output voltage with the displacement of<br />
the mirror from the fiber-optic probe.<br />
Both front and back slopes show a good<br />
linearity as shown in Fig. 2 with a certain regions<br />
exhibits linearity of more than 99%. For the front<br />
slopes, the high linearity ranges are obtained at 200-<br />
500μm, 50-500μm, and 200-950μm for type A, B<br />
and C respectively. On the other hand, the back<br />
slopes show a high linearity in the range of 1200-<br />
2900μm, 1000-2900μm, and 2000-4000μm for type<br />
A, B and C, respectively. The sensitivity and<br />
linearity of both front and back slopes of Fig. 2 are<br />
summarized in table 2. The sensor type C shows the<br />
longest linear range of 750μm and 2000μm for both<br />
the front and back slopes respectively, however it<br />
has the lowest sensitivity among the sensors. The<br />
highest sensitivity of front and back slopes is<br />
obtained at 0.231mV/μm and 0.037mV/μm<br />
respectively with the sensor type A. Sensor type C<br />
shows the highest linearity range because it has the<br />
largest receiving core diameter and is able to collect<br />
more reflected light compared to other types of<br />
sensors. The increase in the number of receiving<br />
E30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
cores as in type A increases the sensitivity of the<br />
sensor.<br />
Table 2: Performance of the sensor at different type of fiber<br />
bundle<br />
Conclusion:<br />
A simple and effective fiber-optic micro<br />
displacement sensor is demonstrated based on the<br />
intensity modulation technique. The sensor uses a<br />
bundled multimode fiber with different<br />
configurations designated as types A, B and C as a<br />
fiber-optic probe and a green He-Ne laser with peak<br />
wavelengths 543nm as a light source. The concentric<br />
sensor type A shows the sensitivity of 0.231mV/μm<br />
within 200 to 500μm range (front slope) and<br />
0.037mV/μm within 1200 to 2900μm range (back<br />
slope). The pair sensor type C has a sensitivity of<br />
0.054 mV/μm within 200 to 950μm (front slope) and<br />
0.013 mV/μm within 2000 to 4000μm range (back<br />
slope). The sensor type A has the highest sensitivity<br />
because it has the highest number of receiving cores.<br />
Type C has the highest linearity range because it has<br />
the largest receiving core diameter. The sensor is<br />
highly sensitive at the front slope, which is very<br />
useful for close distance targets. This sensor is<br />
suitable for applications in industries as position<br />
control and micro-displacement measurement in the<br />
hazardous region.<br />
References:<br />
R. C. Spooncer, C. Butler, B. E. Jones, 1992,<br />
“Optical fibre displacement sensors for<br />
process and manufacturing applications,” Opt<br />
Eng, Vol. 31, pp. 1632-1637.<br />
M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono and<br />
H. Ahmad, 2008, “Fiber-optic sensor using a<br />
multimode bundle fiber”, Microwave and<br />
Optical Technology Letters, Vol. 50, No. 3,<br />
pp. 661-663.<br />
M. Yasin, S. W. Harun, H. A. Abdul-Rashid,<br />
Kusminarto, Karyono and H. Ahmad, 2008,<br />
“The performance of a fiber optic<br />
displacement for different types of probes<br />
and targets”, Laser Physics Letters, Vol. 5,<br />
No. 1, pp. 55-58.<br />
M. Yasin, S. W. Harun, H. A. Abdul-Rashid,<br />
Kusminarto, Karyono, A.H. Zaidan and H.<br />
Ahmad, 2007, “Performance of optical<br />
displacement sensor using a pair type<br />
bundled fiber from a theoretical perspective”,<br />
Journal of Optoelectronics and Advanced<br />
Materials-Rapid Communications, Vol. 1,<br />
No.11, pp. 549-553.<br />
S. Nalwa, 2004, “Polymer optical fibres”, California<br />
American Scientific Publishers.<br />
V. K. Kulkarini, A. S. Lalasangi, I. I. Pattanashetti<br />
and U.S. Raikar, 2006 ”Fiber-optic microdisplacement<br />
sensor using coupler”, Journal<br />
of Optoelectronics and Advanced Materials,<br />
Vol. 8, pp. 1610-1612.<br />
A. M. Murphy, M. F. Gunther, A. M. Vengsarkar, O.<br />
R. Claus, 1991, “Quadrature phase-shifted<br />
extrinsic Fabry-Perot optical fiber sensor,”<br />
Optic Letters, Vol. 16, pp. 273.<br />
A. Bergamin, G. Cavagnero, G. Mana, 1993, “A<br />
displacement and angle interferometer with<br />
subatomic resolution,” Rev. Sci. Instrum.,<br />
Vol. 64, pp. 3076-3081.<br />
E31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sinkronisasi Pemanfaatan Osiloskop Digital Dan Perangkat Komputer<br />
Dalam Sistem Fotoakustik<br />
Pujiyanto 1 , A Lukman Hakim 2 ,<br />
1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />
2 Program Studi Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />
ABSTRAK<br />
Telah dilakukan upaya sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat komputer dalam sistem<br />
fotoakustik untuk analisa kimia suatu bahan. Sistem fotoakustik yang didasarkan metode fotoakustik untuk suatu<br />
sampel bahan cairan memberikan peluang untuk untuk kegunaan yang lebih luas.Disini dicoba diungkapkan<br />
bahwa pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat komputer secara serentak akan memudahkan analisis sinyal<br />
yang dihasilkan dalam sistem fotoakustik. Upaya yang dilakukan mencoba menggunakan program aplikasi<br />
LabVIEW 2.5 (versi Trial) untuk memadukan Osiloskop Digital dan perangkat komputer. Sinyal fotoakustik<br />
yang akan dideteksi dibuat secara simulasi. Berdasarkan hasil eksperimen dapat disimpulkan antara lain : 1)<br />
Fasilitas fungsi pada program aplikasi LabVIEW 2.5 yang dapat digunakan pada analisis sinyal fotoakustik<br />
adalah fungsi aritmatika Fast Fourier Transform, 2) Sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat<br />
komputer dapat meningkatkan performance dalam analisis sinyal fotoakustik.<br />
Kata Kunci : fotoakustik, Osiloskop Digital, LabVIEW 2.5, Fast Fourier Transform<br />
PENDAHULUAN<br />
Sistem fotoakustik merupakan perangkat utama<br />
untuk pelacakan sejumlah senyawa organik. Dalam<br />
sistem fotoakustik, sinyal fotoakustik dapat<br />
dibangkitkan dengan cara memodulasi sumber<br />
radiasi pada frekuensi akustik, yang menyebabkan<br />
terjadinya kenaikan dan penurunan suhu secara<br />
periodik, sehingga diperoleh kenaikan dan<br />
penurunan tekanan secara periodik pula.<br />
Fluktuasi tekanan pada bahan dalam sel<br />
tertutup menghasilkan gelombang akustik dengan<br />
frekuensi yang sama dengan frekuensi modulasi.<br />
Penggunaan Spektroskopi fotoakustik diberbagai<br />
bidang terus berkembang. Penggunaan yang telah<br />
dilakukan antara lain : untuk mendeteksi kandungan<br />
H 2 O dalam oli dengan konsentrasi 50 ppm (Foster,<br />
2-<br />
2000), penentuan kandungan kimia ion CrO 4<br />
memakai panjang gelombang sumber radiasi 355<br />
nm, penentuan kandungan kimia ion CO 2+ memakai<br />
panjang gelombang 532 nm ( Autrey, et al., 2001),<br />
penentuan konstanta henry senyawa ethanol<br />
menggunakan lampu infra merah yang difilter pada<br />
panjang gelombang 9,4 μm ( Ueberfeld, et al.,<br />
2001), studi tentang koefisien absorbsi glucosa<br />
dalam larutan dengan menggunakan sumber cahaya<br />
laser pulsa tertala yang dipilih pada panjang<br />
gelombang 1450 nm (Shen, et al., 2001), pelacakan<br />
gas ethana menggunakan sumber cahaya Nd-YAG<br />
pada panjang gelombang 1064 μm dengan batas<br />
deteksi 110 ppt (Muller, et al., 2003) dan<br />
pendeteksian gas ammonia dengan menggunakan<br />
sumber cahaya laser diode telekomunikasi - IR dekat<br />
(Anatoly, et al., 2004).<br />
Pengembangan spektroskopi Fotoakustik untuk<br />
sampel cairan, telah dilakukan melalui beberapa<br />
eksperimen antara lain : pembangkitkan sinyal<br />
fotoakustik pada cairan Al(OH) 3 menggunakan<br />
hollow wave guide Ag/Si/Glass (Pujiyanto,2003),<br />
pembangkitan keluaran sinyal fotoakustik pada<br />
cairan aluminium hidroksida menggunakan Laser<br />
Nd-YAG (Pujiyanto, 2004), membangkitkan sinyal<br />
fotoakustik untuk sampel air dengan menerapkan<br />
hollow fiber COP/Ag/SiO2 sebagai komponen<br />
pemandu gelombang (Pujiyanto, 2007). Pada<br />
eksperimen tersebut berkas laser terpulsa dikirimkan<br />
pada cairan yang kemampuan penyerapannya lemah<br />
sehingga menyebabkan penyinaran terhadap kolom<br />
untuk menaikkan panas dan berekspansi,<br />
membangkitkan pulsa akustik silindris dengan<br />
amplitudo sebanding dengan koefisien serapan α.<br />
Hal ini merupakan dasar dari teknik fotoakustik<br />
terpulsa yang akhir-akhir ini dikembangkan untuk<br />
pengukuran koefisien serapan optik lemah dalam<br />
cairan. Ada dua hal penting dalam eksperimen :<br />
panjang dari pulsa laser τ p dan waktu penjalaran<br />
akustik τ a =R/v a melintasi jari-jari berkas R ( v a<br />
adalah kecepatan gelombang akustik).<br />
Untuk berkas laser dengan profil radial<br />
gaussian, rumusan fungsi gelombang akustik yang<br />
terbangkit dalam sampel cairan berbentuk sebagai<br />
berikut (Lai and Young, 1982).<br />
1 / 2<br />
Φ = K τ<br />
e<br />
Φ<br />
o<br />
( t / τ<br />
e<br />
)<br />
Dengan ketentuan :<br />
E32
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2 2 2<br />
e<br />
= τ<br />
p<br />
τ<br />
a ,<br />
τ +<br />
− 1<br />
( 2π<br />
2 ) ε ( v / r ) 1 / 2<br />
a<br />
K = , dan o<br />
adalah fungsi tak berdimensi yang berbentuk :<br />
⎛ 1 ⎞<br />
−1/<br />
2<br />
2<br />
Φo<br />
(( t / τ<br />
e<br />
)) ≅<br />
⎜<br />
⎟ ( t / τ<br />
e<br />
) exp{ −(<br />
t / τ<br />
e)<br />
/ 2}<br />
⎝ 2 ⎠<br />
Gelombang sebagai hasil efek fotoakustik dideteksi<br />
menggunakan sensor piezoelektrik.<br />
Sensor Piezoelektrik bekerja berdasarkan efek<br />
Piezoelektrik. Efek Piezoelektrik adalah efek<br />
konversi energi mekanik menjadi energi listrik atau<br />
sebaliknya. Apabila bahan Piezoelektrik<br />
mengalami perubahan bentuk, maka dalam proses<br />
perubahan bentuk tersebut akan timbul perubahan<br />
listrik.<br />
Bahan Piezoelektrik merupakan bahan isolator,<br />
sehingga elektroda logam yang berbentuk<br />
permukaan datar dimana kawat penghubung<br />
langsung tertempel diatasnya, akan membentuk<br />
suatu lempengan-lempengan kapasitor.<br />
Bahan Piezoelektrik yang bertindak sebagai<br />
dielektrik kapasitor, bila mengalami perubahan<br />
bentuk, akan bekerja sebagai pembangkit muatan<br />
listrik dalam kapasitor. Perubahan bentuk mekanis<br />
akan menimbulkan muatan listrik, kemudian muatan<br />
ini menghasilkan tegangan tertentu yang timbul<br />
diantara elektroda-elektroda sesuai dengan hukum<br />
yang umum berlaku bagi kapasitor.<br />
Deteksi dan pengolahan sinyal fotoakustik<br />
merupakan basis beroperasinya sistem fotoakustik.<br />
Pengolahan sinyal fotoakustik yang berdomain real<br />
time sebagaimana pada gambar-1 sulit dilakukan<br />
dan memberikan hasil yang tidak akurat.<br />
Φ<br />
(ADC) sudah terfasilitasi di dalam perangkat<br />
Osiloskop Digital. Komputasi fourier transform<br />
dapat dilakukan dengan memanfaatkan program<br />
labVIEW Signal Express produk dari National<br />
Instrument. LabVIEW Signal Express diproduksi<br />
untuk keperluan pengukuran dan otomatisasi secara<br />
interaktif. Tahapan sinkronisasi pemanfaatan<br />
Osiloskop digital dan perangkat komputer dalam<br />
sistem fotoakustik antara lain : 1) pembangkitan<br />
sinyal di dalam sel fotoakustik 2) merekam sinyal<br />
dan menampilkannya pada osiloskop digital, 3)<br />
pengolahan sinyal di dalam komputer dan<br />
menampilkannya pada monitor komputer.<br />
Untuk ujicoba sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop<br />
digital dan perangkat komputer dalam sistem<br />
fotoakustik akan dicobakan untuk sinyal simulasi<br />
yang mirip dengan sinyal fotoakustik.<br />
METODE EKSPERIMEN<br />
Eksperimen yang dilakukan melibatkan<br />
penggunaan : Osiloskop Digital, Seperangkat<br />
komputer, Audio Generator, Loudspeaker kecil dan<br />
perangkat lunak LabVIEW 2.5 (versi Trial).<br />
Peralatan-peralatan tersebut disusun seperti<br />
pasangan (set-up) gambar-1<br />
Berikut adalah penjelasan prosedur eksperimen.<br />
Langkah pertama dilakukan pengiinstallan program<br />
LabVIEW 2.5 (versi Trial) pada perangkat<br />
komputer yang digunakan. Sinyal keluaran Audio<br />
Generator diumpankan pada bagian masukan<br />
”Simulator Pembangkit Sinyal Fotoakustik”. Sinyal<br />
keluaran ”Simulator Pembangkit Sinyal<br />
Fotoakustik” diumpankan pada bagian masukan<br />
Osiloskop Digital yang telah dihubungkan dengan<br />
perangkat komputer. Kedua tampilan pada layar<br />
Osiliskop Digital dan layar monitor diolah<br />
menggunakan program LabVIEW 2.5. Dalam<br />
mengolah sinyal tersebut perlu mengubah sinyal dari<br />
domain waktu manjadi domain frekuensi<br />
menggunakan fasilitas fungsi aritmatika Fast Fourier<br />
Transform. Tahapan langkah-langkah tersebut<br />
diulang-ulang untuk lima nilai frekuensi keluaran<br />
Audio Generator yang berbeda-beda, yaitu : 800 Hz,<br />
1.500 Hz, 1.800 Hz, 2.000 Hz dan 2.400 Hz.<br />
Audio<br />
Frekuensi<br />
Gambar-1. Sinyal fotoakustik dalam domain<br />
waktu<br />
Pengolahan sinyal yang berdomain frekuensi secara<br />
transformasi fourier dengan menggunakan perangkat<br />
komputer akan dapat meningkatkan performance<br />
hasilnya. Komputer dapat melakukan komputasi<br />
transformasi fourier setelah sinyal fotoakustik yang<br />
berupa sinyal analog diubah menjadi sinyal digital<br />
Oleh ADC. Perangkat Analog to Digital Convertion<br />
Generator<br />
Simulator<br />
Pembangkit<br />
Sinyal<br />
Fotoakustik<br />
Osiloskop<br />
Digital<br />
Komputer<br />
terlengkap<br />
i software<br />
’<br />
LabVIEW<br />
2.5 (versi<br />
Trial)”<br />
E33
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
HASIL<br />
Hasil pengujian terhadap perangkat lunak<br />
LabVIEW 2.5 (versi Trial) diperoleh berbagai<br />
bentuk rekaman sinyal yang tampil pada layar<br />
komputer dan layar monitor Osiloskop Digital.<br />
Contoh hasil rekaman yang diperoleh diperlihatkan<br />
pada tabel-1. Rekaman sinyal dari keluaran<br />
Simulator Pembangkit sinyal Fotoakustik diperoleh<br />
untuk 800 Hz, 1.500 Hz, 1.800 Hz, 2.000 Hz dan<br />
2.400 Hz. Data pengukuran frekuensi sinyal ragam<br />
domain waktu rekaman sinyal domain waktu dengan<br />
sinyal ragam FFT disajikan pada gambar-2.<br />
f (frekuensi untuk ragam FFT)<br />
3000<br />
2500<br />
2000<br />
1500<br />
1000<br />
500<br />
0<br />
0 1000 2000 3000<br />
f (frekuensi untuk ragam domain<br />
waktu)<br />
Gambar 2. Grafik hubungan antara frekuensi yang terbaca pada<br />
ragam domain waktudan ragam sinyal FFT<br />
PEMBAHASAN<br />
Penggunaan perangkat lunak LabVIEW 2.5<br />
memberikan kemudahan didalam perekaman sinyal<br />
fotoakustik, karena pemilihan menu FFT selain<br />
dapat memberikan nilai amplitudo ternormalisasi<br />
juga dapat memberikan indikasi kesahihan bahwa<br />
sinyal yang terdeteksi adalah sinyal fotoakustik.<br />
Penggambaran grafik hubungan antara frekuensi<br />
yang terbaca pada sinyal ragam sinus dan pada<br />
sinyal ragam FFT memberikan kurva grafik yang<br />
bersifat linier dengan kemiringan (slope) 45 0 . Hal ini<br />
berarti bahwa kedua jenis pembacaan tersebut<br />
memberikan hasil yang sesuai.<br />
KESIMPULAN<br />
Kesimpulan yang dapat diambil dari<br />
eksperimen yang telah dilakukan antara lain sebagai<br />
berikut.<br />
1. Fasilitas fungsi pada program aplikasi<br />
LabVIEW 2.5 yang dapat digunakan pada<br />
analisis sinyal fotoakustik adalah fungsi<br />
aritmatika Fast Fourier Transform<br />
2. Sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan<br />
perangkat komputer dapat meningkatkan<br />
performance dalam analisis sinyal fotoakustik.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anatoly, A.K., and Tittel, F.K., 2004, Ammonia<br />
Detection Using Quartz-enhanced<br />
Photoacoustic Spectroscopy with a near-IR<br />
telecommunication diode laser, Rice<br />
Quantum Institute, Rice University, Houston.<br />
Autrey, T., Foster, N., Howkins, D., and Price, J.,<br />
2001, Tunable Ultraviolet Visible<br />
Photoacoustic Detection Analysis of the<br />
Sensitivity and Selectivity Provided by a<br />
Xenon Flash Lamp, Analytica Chimica Acta,<br />
Vol. 434.<br />
Foster, N.S, Amonette, T., Autrey, J.T., 2000,<br />
Detection of Trace Levels Water in Oil by<br />
Photoacoustic Spectroscopy, Elsheiver<br />
Science, Pasific Northwest National<br />
Laboratory, USA.<br />
Lai, H.M and Youn, K., 1982, Theory of the pulsed<br />
optoacoustic technique, Journal Acoustic<br />
Society American, Desember, Vol. 72, No. 6.<br />
Muller, F., Popp, A. and Kuhnemann, F.,<br />
Transportable, 2003, Highly Sensitive<br />
Photoacoustic Spectrometer based on<br />
Continous-Wave Dual-Cavity Optical<br />
Parametric Oscillator, Optics Express,<br />
November, Vol. 11, No.22.<br />
Pujiyanto, 2007, On possibility of using the<br />
COP/Ag/SiO2 hollow fibers, as a component<br />
of the photoacoustic spectroscopy, Paper<br />
presented on International Conference and<br />
workshop on basic and applied sciences,<br />
Airlangga University<br />
Pujiyanto, 2003, Create Photoacoustics Signal on<br />
Alumunium Hydroxide Solution Using<br />
Hollow wave Guide Ag/Si/Glass, Paper in<br />
Miyagi Laboratory Seminar<br />
Pujiyanto, 2004, Pembangkitan Sinyal Fotoakustik<br />
Pada Bahan Cairan menggunakan Laser Nd-<br />
YAG, Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional<br />
Basic Science I, Unibraw, Malang.<br />
Shen, Y., Spiers, S., and Mac Kenzie, H.A., 2001,<br />
Time Resolved Aspect of Pulsed<br />
Photoacoustic Spectroscopy, analytical<br />
Science, April, Vol.!7.<br />
Ueberfeld, J., Zbinden H., Gisin, N., Pellaux, J.P.,<br />
2001, Determination of Henry’s Constant<br />
using Photoacoustic Sensor, Journal<br />
Chemical Thermodynamics, Vol. 33.<br />
E34
Penentuan Kualitas Enamel Gigi Dari Image Sistem Laser Speckle Imaging (LSI)<br />
Berbasis Logika Fuzzy<br />
Retna Apsari 1 , Yhosep Gita Y 1 , Aji Brahma Nugraha 1<br />
1 Program Studi S1 <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : apsari_unair@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini dilakukan untuk pengelompokan kualitas enamel gigi setelah terpapar laser Nd:YAG<br />
menggunakan Q-Switch dan tanpa Q-Switch pada tegangan pumping 580, 600, 620, 640, 660, 700, 720, 740, dan<br />
760V. Bahan penelitian yang digunakan adalah citra enamel gigi hasil sistem Laser Speckle Imaging (LSI) yang<br />
berukuran 640x480 pixel.<br />
Parameter kerusakan enamel gigi ditunjukkan dengan munculnya produksi plasma pada citra. Hal ini terjadi pada<br />
pemaparan sampel gigi dengan laser Nd:YAG menggunakan Q-Switch. Input yang digunakan pada sistem fuzzy<br />
yaitu tegangan pumping, rerata frekuensi intensitas enamel, luas plasma dan kedalaman plasma dengan output<br />
berupa kualitas enamel gigi manusia akibat variasi tegangan pumping pada enamel gigi. Kriteria pengelompokan<br />
kualitas enamel gigi ditentukan dari nilai defuzzifikasi sistem fuzzy yaitu jika nilai defuzzifikasi berkisar antara :<br />
0-0.24 maka kualitas enamel gigi baik, 0.25-0.54 kualitas enamel gigi agak rusak, 0.55-0.84 kualitas enamel gigi<br />
rusak, dan 0.85-1 kualitas enamel gigi rusak sekali. Sistem fuzzy di desain dan di ujicoba untuk fungsi<br />
keanggotaan segitiga, trapesium dan gaussian.<br />
Hasil uji coba dengan input nilai normal diperoleh nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan<br />
segitiga sebesar 0.5 maka kualitas enamel gigi di kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Sistem fuzzy dengan<br />
fungsi keanggotaan trapesium diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.5 maka kualitas enamel gigi di<br />
kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai<br />
defuzzifikasi sebesar 0.31 maka kualitas enamel di kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Uji coba sistem<br />
fuzzy dengan input maksimum diperoleh nilai defuzzifikasi untuk fungsi keanggotaan segitiga sebesar 0.92<br />
sehingga kualitas enamel gigi dikelompokkan pada kualitas ’rusak sekali’. Untuk fungsi keanggotaan trapesium<br />
diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.9 sehingga kualitas enamel gigi dikelompokkan pada kualitas ’rusak<br />
sekali’. Untuk fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.81 sehingga kualitas enamel di<br />
kelompokkan pada kualitas ’rusak’. Uji coba sistem fuzzy dengan input minimum diperoleh nilai defuzzifikasi<br />
untuk fungsi keanggotaan segitiga sebesar 0.084 sehingga kualitas enamel gigi di kelompokkan pada kualitas<br />
’baik’. Untuk fungsi keanggotaan trapesium diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.1 sehingga kualitas enamel di<br />
kelompokkan pada kualitas ’baik’. Untuk fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar<br />
0.258 sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada kualitas ’agak rusak’. Berdasarkan perbandingan nilai<br />
defuzzifikasi dengan input nilai maksimum dan nilai minimum tersebut disimpulkan bahwa sistem fuzzy dengan<br />
fungsi keanggotaan gaussian mampu menganalisa surface viewer cukup ideal untuk semua input.<br />
Kata kunci : fuzzy, citra, enamel gigi, plasma, laser Nd:YAG<br />
PENDAHULUAN<br />
Radiografi digital maupun konvensional,<br />
merupakan alat penunjang diagnosis yang sangat<br />
penting bagi dokter gigi, dan berfungsi sebagai mata<br />
kedua, walaupun ada efek samping yang<br />
ditimbulkan seperti diketahui dapat memberikan<br />
resiko stroke (Wysong, 1997), terjadinya kerusakan<br />
morfologi inti sel seiring dengan meningkatnya<br />
dosis radiasi yang diberikan. Bagian tertentu dari<br />
anatomi gigi yang memerlukan perawatan gigi tidak<br />
dapat dilihat dengan kasat mata, oleh karena itu<br />
radiografi diragukan keandalannya dari sudut<br />
pandang keamanan pemakaian radiasi sinar-X dan<br />
waktu yang diperlukan untuk membuat dan<br />
memproses radiografi individual (Walton dan<br />
Torabinejad, 1997). Oleh karena itu, perlu<br />
dilakukan terobosan baru dalam mencari sistem<br />
alternatif untuk diagnosis penunjang dan<br />
dokumentasi gigi yang akurat, memiliki ketelitian<br />
tinggi, dan minim efek samping (non invasive, non<br />
destructive, non ionisasi) serta mampu mendeteksi<br />
kualitas enamel gigi secara otomatis.<br />
Sistem digital berbasis logika fuzzy merupakan<br />
diagnosis penunjang yang ditawarkan pada<br />
penelitian ini. Dengan ketelitian dan ketepatan sitem<br />
digital yang memadai, efek samping minim, dan<br />
harga yang terjangkau maka pendokumentasian dan<br />
diagnosis gigi secara digital dapat dilakukan di<br />
tingkat Puskesmas, sehingga upaya untuk<br />
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dapat<br />
dicapai.<br />
Langkah konkrit yang dilakukan adalah<br />
merancang sistem digital berbasis logika fuzzy untuk
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
mendeteksi kualitas enamel gigi akibat paparan laser<br />
Nd:YAG dari analisis intensitas image berbasis gray<br />
level yang terbentuk menggunakan sistem laser<br />
Speckle Imaging (LSI).<br />
Sistem LSI merupakan salah satu sistem<br />
penghasil digital optical imaging. Sistem ini<br />
mendeteksi perubahan intensitas speckle laser yang<br />
didifraksikan sampel gigi manusia dengan analisis<br />
kontras, yang disebut dengan Laser Speckle Contras<br />
Analysis (LASCA) (Tamaki,1994; Vo Dinh, 2003;<br />
Li Nan, 2005).<br />
LSI adalah salah satu sistem digital optical<br />
imaging, yang tersusun dari piranti laser, sensor<br />
Charge Coupled Devices (CCD) yang terhubung<br />
dengan PC menggunakan frame grabber (Vo Dinh,<br />
2003; Li Nan, 2005). Image terbentuk sebagai<br />
kumpulan speckle yang ditangkap oleh sensor CCD<br />
dengan pengaturan waktu perekaman yang sesuai<br />
(Li Nan, 2005).<br />
Sistem LSI dipilih karena kesederhanaan<br />
pengesetan sistem dibandingkan dengan sistem optik<br />
lain yang berbasis sistem modulasi panjang<br />
gelombang (Vest, 1979; Marshall, 2004; Schnars<br />
dan Jueptner, 2005). Menurut Vo Dinh (2003)<br />
sistem LSI dapat digunakan sebagai piranti<br />
diagnosis medis, oleh karena itu pada penelitian ini<br />
digunakan sistem LSI dengan analisis intensitas gray<br />
level berbasis sistem fuzzy.<br />
Sistem fuzzy mulai diperkenalkan pada tahun<br />
1965 oleh Profesor Lotfi Zadeh dari University of<br />
California (Kusumadewi, 2002). Zadeh<br />
memodifikasi teori himpunan yang setiap<br />
anggotanya memiliki derajat keanggotaan bernilai<br />
kontinu antara 0 sampai 1. Himpunan ini disebut<br />
dengan himpunan kabur (fuzzy set).<br />
Selama beberapa dekade yang lalu, himpunan<br />
fuzzy dan hubungannya dengan logika fuzzy telah<br />
digunakan pada lingkup domain permasalahan yang<br />
cukup luas, yaitu kendali proses, klasifikasi dan<br />
pencocokan pola, manajemen dan pengambilan<br />
keputusan, riset operasi, dan ekonomi. Sejak tahun<br />
1985, terjadi perkembangan yang sangat pesat pada<br />
logika fuzzy, terutama dalam hubungannya dengan<br />
penyelesaian masalah kendali terutama yang bersifat<br />
non liner dan situasi yang sangat kompleks<br />
(Kusumadewi, 2002)<br />
Keunggulan dipakainya logika fuzzy adalah :<br />
mudah dimengerti, sangat fleksibel, memiliki<br />
toleransi terhadap data yang tidak tepat, mampu<br />
memodelkan fungsi nonlinier yang sangat kompleks,<br />
mampu membangun dan mengaplikasikan<br />
pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus<br />
melalui proses pelatihan, dapat bekerjasama dengan<br />
teknik kendali secara konvensional (Kusumadewi,<br />
2002). Karena pengembangan penelitian di masa<br />
yang akan datang adalah rancang bangun piranti<br />
diagnosis alternatif yang mampu bersifat realtime<br />
dan berbasis digital, maka alasan pemilihan sistem<br />
ini adalah tepat.<br />
Penelitian yang memanfaatkan sistem fuzzy<br />
telah dilakukan oleh Haeruddin (2002) dan Hartati<br />
(2005). Kedua penelitian tersebut melakukan<br />
perbaikan kualitas citra radiografi sinar-X berbasis<br />
logika fuzzy untuk pendeteksian kelainan citra<br />
radiografi dengan metode pencocokan template<br />
berbasis operator hedges. Kedua penelitian tersebut<br />
mengolah citra radiografi konvensional menjadi<br />
digital, dan kelainan yang dimaksud pada penelitian<br />
tersebut merupakan penyakit yang disimulasikan<br />
berupa noise.<br />
Hasil penelitian Apsari (2008) menunjukkan<br />
bahwa penyinaran laser Nd:YAG panjang<br />
gelombang 1064 nm dengan Q-Switch pada sampel<br />
gigi tiruan menimbulkan efek merusak. Untuk<br />
pendeteksi kerusakan, penyinaran pada gigi tiruan<br />
dapat dilakukan tanpa Q-Switch dengan energi<br />
pumping tidak melebihi 680 V.<br />
Pada penelitian ini akan digunakan laser<br />
Nd:YAG menggunakan Q-Switch dengan sampel<br />
gigi manusia khususnya enamel gigi. Sistem Fuzzy<br />
yang dikembangkan pada penelitian ini digunakan<br />
untuk menganalisis intensitas dari image digital<br />
yang dihasilkan sistem LSI untuk mendeteksi<br />
kualitas enamel gigi akibat interaksi energi luaran<br />
laser Nd:YAG pada beberapa variasi tegangan<br />
pumping yaitu 560, 580, 600, 620, 640, 660, 680,<br />
700, 720, 740 dan 760 V. Pemilihan rentang energi<br />
pumping yang lebih banyak bertujuan untuk<br />
memperoleh rentang data pengamatan yang lebih<br />
luas sebagai acuan utama dalam pengelompokan<br />
kualitas enamel gigi pada sistem fuzzy. Sebagai<br />
justifikator utama dalam pengelompokan sistem<br />
fuzzy adalah analisis secara mikrostruktrur yang<br />
meliputi analisis morfologi permukaan enamel gigi<br />
hasil interaksi dengan laser Nd:YAG pada sistem<br />
Laser Specle Imaging (LSI), seperti telah dilaporkan<br />
oleh Apsari et. al.(2009).<br />
Kajian keseluruhan sistem pada penelitian ini<br />
diharapkan dapat menunjang bidang kedokteran gigi<br />
khususnya sebagai diagnosis penunjang pada<br />
jaringan keras gigi di masa yang akan datang<br />
berbasis dental laser.<br />
DASAR TEORI<br />
Efek interaksi terpenting akibat paparan laser<br />
Nd:YAG terhadap jaringan dibagi menjadi 5, yaitu :<br />
interaksi fotokimia (photochemical), interaksi<br />
fototermal(photothermal),<br />
fotoablasi<br />
(photoablation), interaksi produksi plasma (plasmainduced<br />
ablation), dan fotoakustik (photodisruption)<br />
berupa produksi shock wave. Adapun gambaran<br />
interaksi dasar laser terhadap jaringan disajikan pada<br />
Gambar 1.<br />
E36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
b. Fungsi Keanggotaan Trapesium (Tr-function)<br />
Fungsi keanggotaan bentuk trapesium (Tr-function)<br />
seperti Gambar 3.<br />
Gambar 1. Gambaran interaksi mendasar laser terhadap jaringan<br />
(Neimz, 2007 hal. 46)<br />
Adapun interkasi yang di teliti pada penelitian ini<br />
adalah interkasi yang terjadi karena produksi plasma<br />
akibat paparan laser Nd:YAG dengan Q-Switch.<br />
Produksi image dari sistem LSI, akan dianalisis nilai<br />
intensitasnya dengan menggunakan logika fuzzy<br />
untuk mengetahui rusak dan tidaknya enamel gigi<br />
akibat paparan laser Nd:YAG.<br />
Tipe fungsi keanggotaan fuzzy berdasarkan<br />
pendifinisian bentuk fungsi adalah fungsi segitiga,<br />
trapesium, dan Gaussian.<br />
a. Fungsi Keanggotaan Segitiga (T-function)<br />
Fungsi keanggotaan berbentuk segitiga atau<br />
Triangular function (T-function) paling banyak<br />
digunakan dalam proses fuzzifikasi, terutama dalam<br />
penerapan teori fuzzy pada sistem pengaturan<br />
maupun pada pengenalan pola. Penggunaan fungsi<br />
keanggotaan dengan distribusi segitiga ini sangat<br />
beralasan karena disamping lebih sederhana bentuk<br />
formulasinya, lebih mudah pula dalam analisis<br />
perhitungan untuk menentukan algoritmanya,<br />
sehingga tidak banyak menyita waktu dalam<br />
melakukan proses perhitungannya. Fungsi<br />
keanggotaan distribusi bentuk segitiga (triangular)<br />
seperti Gambar 2. Persamaan secara matematik<br />
fungsi keanggotaan bentuk segitiga (triangular)<br />
adalah :<br />
(1)<br />
Gambar 1. Fungsi keanggotaan bentuk segitiga (triangular)<br />
Gambar 3. Fungsi keanggotaan bentuk trapesium<br />
Persamaan secara matematik fungsi keanggotaan<br />
bentuk trapesium (trapezoid) disajikan pada<br />
persamaan (2).<br />
c. Fungsi Keanggotaan Gaussian<br />
(2)<br />
Fungsi keanggotaan Gaussian seperti Gambar 4.<br />
Persamaan secara matematik fungsi keanggotaan<br />
gaussian adalah<br />
⎡<br />
−<br />
2<br />
⎛ ⎞ ⎤<br />
⎢ 1 ⎜ x − x ⎟<br />
μ<br />
⎥<br />
A<br />
( x)<br />
= exp<br />
⎢<br />
−<br />
2 ⎜ σ ⎟ ⎥<br />
⎢⎣<br />
⎝ ⎠ ⎥⎦<br />
Gambar 4. Fungsi keanggotaan bentuk gaussian<br />
METODE PENELITIAN<br />
(3)<br />
Gigi untuk sampel enamel dikumpulkan dari<br />
Klinik Bedah Mulut dan Maksilofaksial Rumah<br />
Sakit Gigi dan Mulut FKG Universitas Airlangga<br />
(ujian etika di FKG Universitas Airlangga pada<br />
tanggal 24 Juni 2008, di dapatkan keterangan<br />
kelaikan etik/Ethical Clearance). Spesimen enamel<br />
diperoleh dari gigi premolar pertama rahang atas<br />
anak umur 15 – 19 tahun, yang akan melakukan<br />
perawatan orto, dan tidak ada karies. Setelah<br />
pencabutan, spesimen gigi yang telah dicuci dengan<br />
aquabides dan dibersihkan, disimpan dalam larutan<br />
aqua bidestilata steril dan disimpan dalam lemari<br />
pendingin bersuhu 4 0 C–6 0 C untuk mencegah<br />
kerusakan sampai dengan pemakaiannya pada suhu<br />
E37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
kamar. Penyimpanan di lakukan di Lab. <strong>Fisika</strong><br />
Optika dan Laser F. Sains dan Teknologi <strong>Unair</strong>.<br />
Pembuatan lempeng enamel dilakukan dengan<br />
memotong permukaan oklusal gigi menggunakan<br />
mesin trimmer di bawah aliran air. Proses ini<br />
dilakukan di Bengkel Mekanik dan Gelas, Fakultas<br />
Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.<br />
Selanjutnya enamel dipotong dengan ketebalan 1,5-<br />
2 mm dan diameter 0,5-1 cm tegak lurus aksis gigi.<br />
Permukaan enamel selanjutnya dipoles dengan<br />
menggunakan kertas abrasif dari yang kasar hingga<br />
halus no. 2000. Setelah permukaan halus, sampel<br />
dicuci dengan ultrasound cleaner merk Branson<br />
3520. Setelah dilakukan pencucian tersebut, sampel<br />
direndam dalam larutan aqua bidestilata steril pada<br />
lemari pendingin suhu 4 0 C – 6 0 C sampai dilakukan<br />
pengambilan image pada suhu kamar. Setelah selesai<br />
preparasi, sampel enamel siap untuk disinari laser<br />
Nd:YAG dalam sistem LSI dengan variasi tegangan<br />
pumping : 560, 580, 600, 620, 640, 660, 680, 700,<br />
720, 740 dan 760 V. Adapun prosedur penelitian<br />
disajikan pada Gambar 5. Desain rule base yang<br />
digunakan pada penelitian disajikan pada Gambar 6.<br />
Gambar 5. Prosedur penelitian (Apsari, 2009)<br />
Proses fuzzifikasi dengan membagi input sistem<br />
fuzzy menjadi kelompok linguistik di sajikan pada<br />
Tabel 1, dan desain rule base disajikan pada Tabel 2.<br />
Adapun input sistem fuzzy adalah : tegangan<br />
pumping, nilai rerata frekuensi intensitas, rerata luas<br />
plasma, dan kedalaman plasma. Sedangkan output<br />
sistem fuzzy adalah : kerusakan enamel gigi akibat<br />
paparan laser Nd:YAG dengan variasi tegangan<br />
pumping yang telah dijelaskan.<br />
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />
Tahap defuzzifikasi dilakukan secara otomatis<br />
oleh sistem fuzzy meggunakan metode COG (Center<br />
Of Gravity). Hasil defuzzifikasi dengan dengan salah<br />
satu input variabel maksimum atau minimum untuk<br />
fungsi keanggotaan segitiga, trapesium atau<br />
gaussian ditampilkan pada Gambar 6. Hasil dari<br />
pengamatan nilai maksimum dan minimum untuk<br />
setiap fungsi keanggotaan sistem fuzzy ditampilkan<br />
pada Tabel 3.<br />
Berdasarkan data pengamatan nilai input<br />
maksimum dan minimum sistem fuzzy untuk<br />
masing-masing fungsi keanggotaan di ketahui bahwa<br />
sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga dan<br />
trapesium memiliki kelebihan dalam hal jangkauan<br />
deteksi kualitas enamel tapi memiliki tingkat<br />
ketelitian yang lebih rendah. Hal ini didasarkan pada<br />
citra yang digunakan pada penelitian ini difokuskan<br />
pada pola citra yang berplasma dengan asumsi<br />
munculnya plasma merupakan parameter yang<br />
menunjukkan bahwa gigi telah rusak sehingga<br />
jangkauan ideal yang diharapkan berkisar antara<br />
0.25-1 (kualitas enamel agak rusak – rusak sekali)<br />
dan jangkauan deteksi ini dipenuhi oleh sistem fuzzy<br />
dengan fungsi keanggotaan gaussian.<br />
E38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 3. Hasil pengamatan nilai fuzzy maksimum dan minimum<br />
sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga, trapesium dan<br />
gaussian (Apsari, 2009)<br />
beberapa kombinasi gambar surface viewer adalah<br />
surface viewer sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian (Gambar 7).<br />
Gambar 6. Hasil defuzzifikasi dengan dengan salah satu input<br />
fuzzy maksimum atau minimum untuk fungsi keanggotaan<br />
gaussian<br />
Berdasarkan data pengamatan nilai input<br />
maksimum dan minimum sistem fuzzy untuk<br />
masing-masing fungsi keanggotaan di ketahui bahwa<br />
sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga dan<br />
trapesium memiliki kelebihan dalam hal jangkauan<br />
deteksi kualitas enamel tapi memiliki tingkat<br />
ketelitian yang lebih rendah hal ini didasarkan pada<br />
citra yang digunakan pada penelitian ini difokuskan<br />
pada pola citra yang berplasma dengan asumsi<br />
munculnya plasma merupakan parameter yang<br />
menunjukkan bahwa gigi telah rusak sehingga<br />
jangkauan ideal yang diharapkan berkisar antara<br />
0.25-1 (kualitas enamel agak rusak – rusak sekali)<br />
dan jangkauan deteksi ini dipenuhi oleh sistem fuzzy<br />
dengan fungsi keanggotaan gaussian.<br />
Pengamatan selanjutnya dilakukan pada surface<br />
viewer yang dihasilkan sistem fuzzy untuk masingmasing<br />
fungsi keanggotaan. Surface viewer<br />
merupakan gambar tiga dimensi yang menunjukkan<br />
hubungan antara dua input dan satu output yang ada.<br />
Karena jumlah input yang dipergunakan empat<br />
variabel dan memiliki satu output maka terdapat<br />
Gambar 7. Surface viewer sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian<br />
Untuk mempermudah dalam melakukan analisa<br />
maka tampilan dari surface viewer yang masih<br />
berupa gambar tiga dimensi diubah kebentuk dua<br />
dimensi yang dikenal dengan Pseudo color. Adapun<br />
bentuk pseudo color dari surface viewer input<br />
tegangan pumping dan rerata luas plasma terhadap<br />
output kualitas enamel gigi pada sistem fuzzy dengan<br />
fungsi keanggotaan gaussian ditampilkan pada<br />
Gambar 8.<br />
Gambar 8. Pseudo color dari Surface viewer input tegangan<br />
pumping dan rerata luas plasma terhadap output kualitas enamel<br />
gigi pada sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan gaussian<br />
Desain sistem fuzzy dengan menggunakan<br />
fungsi keanggotaan segitiga, trapesium dan<br />
gaussian, diperoleh nilai defuzzifikasi dengan input<br />
E39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
nilai normal (tegangan pumping 660V, frekuensi<br />
intensitas plasma 1800 pixel, rerata luas plasma 215<br />
pixel, rerata kedalaman plasma 12.3 pixel) adalah<br />
sebagai berikut:<br />
1. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.5 sehingga<br />
kualitas enamel dikelompokkan pada kualitas<br />
‘agak rusak’<br />
2. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.5<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />
kualitas ‘agak rusak’<br />
3. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.31<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />
kualitas ‘agak rusak’<br />
Adapun hasil defuzzifikasi dengan input nilai<br />
maksimum (tegangan pumping 760V, rerata<br />
frekuensi 3000 pixel, luas plasma 360 pixel,<br />
kedalaman plasma 20 pixel) adalah sebagai berikut :<br />
1. Nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.92<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />
kualitas ‘rusak sekali’<br />
2. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.9<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />
kualitas ‘rusak sekali’<br />
3. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.81<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />
kualitas ‘rusak’<br />
Adapun hasil defuzzifikasi dengan input nilai<br />
minimum (tegangan pumping 560V, rerata frekuensi<br />
600 pixel, luas plasma 70 pixel, kedalaman plasma 5<br />
pixel) adalah sebagai berikut :<br />
3. Nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.084<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />
pada kualitas ‘baik’<br />
4. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.1<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />
pada kualitas ‘baik’<br />
5. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.258<br />
sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />
pada kualitas ‘agak rusak’<br />
KESIMPULAN<br />
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat<br />
disimpulkan bahwa: berdasar perbandingan nilai<br />
defuzzifikasi sistem fuzzy dengan input nilai normal,<br />
maksimum dan minimum diperoleh hasil bahwa<br />
fungsi keanggotaan gaussian memiliki ketelitian<br />
lebih tinggi dibandingkan sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan yang lain. Sistem fuzzy dengan fungsi<br />
keanggotaan gaussian memiliki kinerja yang baik,<br />
hal ini ditunjukkan dengan jangkauan deteksi<br />
kualitas enamel yang cukup ideal untuk semua input.<br />
Perlu kolaborasi riset antar bidang keilmuan<br />
yaitu kedokteran gigi, soft computing, biomaterial,<br />
teknologi nano, serta biooptika dan serat untuk<br />
mewujudkan sistem diagnosis on line yang<br />
terintegrasi dengan sistem terapi sebagai panduan<br />
Dokter Gigi dalam melakukan terapi berbasis laser<br />
Nd:YAG.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Ucapan terima kasih disampaikan pertama : kepada<br />
Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Dikti atas<br />
pendanaan penelitian dengan dana Hibah Program<br />
Doktor, kedua : kepada Prof. Dr. Suhariningsih;<br />
Prof. Dr. Noriah Bidin; Prof. Dr. Anita Yuliati, drg;<br />
Dra. Sri Harati, M.Sc, Ph,D atas bimbingan dan<br />
diskusinya pada hasil penelitian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Apsari, R, Bidin, Suhariningsih. 2008. Karakterisasi<br />
Output Laser Nd:YAG Dengan Q-Switch dan<br />
tanpa Q-Switch Untuk Aplikasi Diagnosis<br />
Pada Bidang Kedokteran Gigi. Prosiding<br />
Seminar Nasional IV.Universitas Teknologi<br />
Yogyakarta, tanggal 5 April 2008.<br />
Apsari, Bidin, Aminatun, Suhariningsih, Yuliati.<br />
2009. In Vitro Effect of Q-Switch and Without<br />
Q-Switch Nd:YAG Laser Exposure on<br />
Hidroxyapatite Composition and<br />
Microhardness Properties of Human Enamel.<br />
Proceeding Join International Conference<br />
and Workshop On Basic and Applied<br />
Sciences <strong>Unair</strong>-UTM di Universiti<br />
Teknologi Malaysia tanggal 2-4 Juni 2009.<br />
Apsari. 2009. Deteksi Kualitas Enamel Gigi Akibat<br />
Paparan Laser Nd:YAG Menggunakan<br />
Logika Fuzzy Berbasis Laser Speckel<br />
Imaging Disertasi. Program Pasca Sarjana.<br />
Universitas Airlangga. Surabaya.<br />
Hartati, 2005. Perbaikan Kualitas Citra Berbasis<br />
Fuzzy Histogram Hyperbolation untuk<br />
Pendeteksian Kelainan Citra Radiograf.<br />
Proceeding International Conference on<br />
Statistics and Mathematics in Development<br />
of Science and Technology. Bandung Islamic<br />
University. Bandung. Indonesia.<br />
Haeruddin. 2002. Perbaikan Kualitas Citra<br />
Radiograf Berbasis Logika Samar Untuk<br />
Mendeteksi Kelainan. Tesis Program Studi<br />
Ilmu <strong>Fisika</strong>. Program Pasca Sarjana.<br />
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />
Li Nan, Tong S, Ye D, Shun, Thakor. 2005. Cortical<br />
Vascular Blood Flow Pattern by Laser<br />
Speckle Imaging. Biomedical Engineering<br />
Department, Johns Hopkins School Of<br />
Medicine, Baltimore, USA.<br />
E40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Kusumadewi. 2002. Analisis dan Desain Sistem<br />
Fuzzy Menggunakan Tool Box Matlab.<br />
Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.<br />
Schnars dan Jueptner. 2005. Digital Holography.<br />
Springer. Jerman.<br />
Tamaki, Araie, Kawamoto, Eguchi, Fujii. 1994.<br />
Marshall. 2004. Handbook of Optical and Laser<br />
Scanning. Marcel Dekker, Inc. New York.<br />
Non-contact, Two Dimensional Measurement<br />
of Retinal Microsirculation using Laser<br />
Neimz. 2007. Laser-Tissue Interactions,<br />
speckle Phenomenon. Invest. Ophthalmol.<br />
Fundamental and Applications, Third<br />
Vis. Sci. 35: 3825-3834.<br />
Edition, Springer, Jerman.<br />
Rabia, 2008, Interaction Of Q-switched Nd:YAG<br />
Laser With Different Target Material.<br />
Disertation. UTM Malaysia.<br />
Vo Dinh. 2003. Biomedical Photonics Handbook.<br />
CRC Press. New York.<br />
Wysong, Pippa, 1997. Dental x-ray Can Give Clues<br />
to Stroke Risk. Medical Post. May, Vol 33,<br />
Iss 17: 42, Toranto.<br />
E41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor Pergeseran<br />
Menggunakan Sumber LED<br />
Samian, Herri Trilaksana<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : samian_fst@unair.ac.id<br />
Abstrak<br />
Perkembangan tekonologi sensor dengan tingkat akurasi yang tinggi serta biaya murah mendasari penelitian<br />
penggunaan LED sebagai sumber cahaya pada penerapan multimode fiber coupler sebagai sensor pergeseran.<br />
LED warna merah, kuning dan biru digunakan sebagai sumber dan OPT 101 sebagai detektor untuk mendeteksi<br />
perubahan daya optis. Karakterisasi sensor menghasilkan kinerja terbaik dihasilkan oleh LED merah dan kuning<br />
dengan dengan resolusi pergeseran 10 μm, jangkauan rata-rata 5,870 mm, daerah linier 920 μm dan sensitivitas<br />
0,0021 V/µm<br />
Kata Kunci : fiber coupler, sensor pergeseran, LED<br />
PENDAHULUAN<br />
Aplikasi serat optik sebagai sensor dibidang<br />
industri, medis dan militer telah berkembang sangat<br />
pesat seiring dengan kebutuhan pengukuran dengan<br />
tingkat akurasi dan resolusi yang tinggi, teknik<br />
pengoperasian yang mudah serta biaya yang murah.<br />
Salah satu yang telah dikembangkan adalah aplikasi<br />
serat optik sebagai sensor pergeseran dengan<br />
berbagai teknik dan konfigurasi. Teknik transmisi<br />
digunakan untuk mendeteksi rugi kopling daya optis<br />
pada dua ujung serat optik yang bergeser (Svyryd et<br />
al., 2006), sedangkan teknik refleksi digunakan<br />
untuk mendeteksi rugi kopling daya optis pada serat<br />
optik akibat pantulan dari obyek yeng bergeser.<br />
Konfigurasi serat optik sebagai sensor yang<br />
digunakan pada teknik refleksi antara lain a pair<br />
multimode bundled fiber (M. Yasin et al., 2007),<br />
singlemode concentric bundled fiber (A. Rostami et<br />
al., 2007) dan multimode fiber coupler (Samian et al,<br />
2009).<br />
Aplikasi multimode fiber coupler sebagai sensor<br />
pergeseran yang telah dikembangkan menggunakan<br />
laser He-Ne sebagai sumber. Karakteristik sensor<br />
yang dihasilkan adalah resolusi 5 μm, jangkauan<br />
sensor sebesar 4 mm dengan rentang daerah linier<br />
sebesar 1 mm serta sensitivitas sebesar 55.4<br />
μW/mm. Kinerja sensor tergolong sangat baik, tetapi<br />
dimensi sumber (laser He-Ne) yang besar dan<br />
berharga mahal menjadi kurang praktis. Dengan<br />
pertimbangan tersebut, dalam makalah ini akan<br />
dipaparkan hasil penelitian lanjutan yang<br />
memanfaatkan LED sebagai sumber pada aplikasi<br />
multimode fiber coupler sebagai sensor pergeseran.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Desain sensor<br />
Desain multimode fiber coupler sebagai sensor<br />
pergeseran menggunakan LED sebagai sumber<br />
cahaya diperlihatkan pada Gambar 1.<br />
LED<br />
Detektor<br />
kanal<br />
masuka<br />
kanal<br />
deteksi<br />
Coupler<br />
kanal<br />
sensing<br />
cermin<br />
Gambar 1. Desain multimode fiber coupler sebagai sensor<br />
pergeseran<br />
Prinsip kerja sensor adalah mendeteksi perubahan<br />
daya optis cahaya pantulan dari cermin yang<br />
terkopel kembali ke kanal sensing. Perubahan daya<br />
optis tersebut akan terdeteksi oleh detektor optis<br />
melalui kanal deteksi. Berdasarkan skema pada<br />
Gambar 2 serta asumsi bahwa berkas cahaya yang<br />
keluar dari kanal sensing adalah homogen, maka<br />
hubungan daya optis cahaya yang terkopel kembali<br />
ke kanal sensing (P i ) terhadap pergeseran cermin (z)<br />
adalah sebagai berikut :<br />
P0<br />
P i<br />
( z)<br />
= (1)<br />
( cz +1) 2<br />
dengan c = (2/a) tg (arcsin NA), a dan NA masingmasing<br />
adalah jari-jari dan tingkap numerik serat<br />
optik, sedangkan P 0 adalah daya optis cahaya<br />
keluaran dari kanal sensing.<br />
z<br />
E42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2a<br />
θ<br />
kanal sensing<br />
Gambar 2. Skema perhitungan perubahan daya optis cahaya<br />
terhadap perubahan posisi cermin<br />
Eksperimen<br />
Set-up eksperimen multimode fiber coupler<br />
sebagai sensor pergeseran menggunakan LED<br />
sebagai sumber diperlihatkan pada Gambar 3. Set-up<br />
eksperimen terdiri dari LED warna merah, kuning<br />
dan biru, multimode fiber coupler (coupling ratio<br />
0.25, toleransi coupling ratio 7 %, excess loss 1.37<br />
dB dan directivity 25 dB), cermin datar (front<br />
silvered, 46320, Leybold), mikrometer posisi dengan<br />
resolusi 10 μm (Uniphase), detektor OPT 101 (Burr<br />
Brown) serta mikrovoltmeter (Leybold).<br />
Eksperimen dilakukan dengan mencatat<br />
tegangan keluaran detektor yang terbaca pada<br />
mikrovoltmeter setiap cermin digeser sebesar 10 μm<br />
menjauhi kanal sensing. Pencatatan dilakukan<br />
sampai pergeseran cermin tidak menghasilkan<br />
perubahan daya optik yang signifikan. Prosedur<br />
tersebut masing-masing dilakukan untuk LED<br />
merah, kuning dan biru.<br />
LED<br />
detektor<br />
kanal<br />
masukan<br />
cermin<br />
Gambar 3. Set-up eksperimen multimode fiber coupler sebagai<br />
sensor pergeseran<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
θ<br />
z<br />
coupler<br />
kanal deteksi<br />
r(z) - a<br />
bayangan<br />
port sensing<br />
Grafik plot tegangan keluaran detektor terhadap<br />
pergeseran cermin untuk LED warna merah, kuning<br />
dan biru diperlihatkan pada Gambar 4. Grafik LED<br />
merah dan kuning hampir berhimpit, tetapi<br />
jangkauan untuk LED merah sedikit lebih besar.<br />
Untuk LED biru, baik tegangan maksimum maupun<br />
jangkauannya lebih kecil dari LED merah dan<br />
kuning. Hal tersebut berkaitan dengan sensitivitas<br />
detektor optik yang digunakan (OPT 101). Detektor<br />
jenis OPT 101 mempunyai sensitivitas terbaik pada<br />
panjang gelombang infra merah (860 nm) dan<br />
z<br />
kanal<br />
sensing<br />
Microvoltmeter<br />
r(z)<br />
cermin<br />
mikrometer<br />
posisi<br />
semakin menurun dengan berkurangnya panjang<br />
gelombang.<br />
Fitting data LED merah, kuning dan biru<br />
menggunakan fungsi fitting persamaan (1) hasilnya<br />
diperlihatkan pada Gambar 5. Hasil fitting<br />
memperlihatkan kesesuaian karakteristik antara data<br />
eksperimen dengan fungsi fitting. Daerah linier atau<br />
daerah kerja sensor diperlihatkan pada Gambar 6..<br />
Slope grafik linier merupakan sensitivitas sensor.<br />
Karakteristik multimode fiber coupler sebagai sensor<br />
pergeseran menggunakan LED merah, kuning dan<br />
biru sebagai sumber diperlihatkan pada Tabel 1.<br />
Sensor dengan sumber LED merah dan kuning<br />
menunjukkan kinerja yang paling baik dengan<br />
jangkauan rata-rata 5,870 mm, daerah linier 920 μm<br />
dan sensitivitas 0,0021 V/µm.<br />
Gambar 4. Grafik tegangan keluaran detektor terhadap pergeseran<br />
cermin<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
3.5<br />
3.0<br />
2.5<br />
2.0<br />
1.5<br />
1.0<br />
0.5<br />
0.0<br />
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000<br />
Pergeseran (μm)<br />
(a)<br />
Pergeseran (μm)<br />
(b)<br />
Pergeseran (μm)<br />
LED merah<br />
LED kuning<br />
LED biru<br />
data<br />
kurva fitting<br />
data<br />
kurva fitting<br />
E43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
Gambar 5. Grafik hasil fitting (a) LED merah, (b) LED kuning<br />
dan (c) LED biru<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
Tegangan keluaran detektor (V)<br />
data<br />
linear<br />
(a)<br />
V = 3.09668 0.00212089 z<br />
data<br />
linear<br />
Pergeseran (μm)<br />
(b)<br />
V = 2.95575 0.00210577 z<br />
data<br />
linear<br />
(c)<br />
Pergeseran (μm)<br />
Pergeseran (μm)<br />
(c)<br />
V = 2.56031 0.00143151 z<br />
data<br />
kurva fitting<br />
Tabel 1. Karakteristik multimode fiber coupler sebagai sensor<br />
pergeseran menggunakan LED merah, kuning dan biru sebagai<br />
sumber<br />
LED<br />
Resolusi<br />
(µm)<br />
Jangkauan<br />
(µm)<br />
Daerah<br />
Linier<br />
(µm)<br />
Sensitivitas<br />
(V/µm)<br />
Merah 10 6170 0 - 920 0,0021<br />
Kuning 10 5570 0 - 920 0,0021<br />
Biru 10 4270 210 - 1140 0,0014<br />
KESIMPULAN<br />
Eksperimen multimode fiber coupler sebagai<br />
sensor pergeseran menggunakan LED merah, kuning<br />
dan biru sebagai sumber menghasilkan kinerja<br />
sensor yang paling baik diberikan oleh LED merah<br />
dan kuning dengan jangkauan rata-rata 5,870 mm,<br />
daerah linier 920 μm dan sensitivitas 0,0021 V/µm.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
A. Rostami, M. Noshad, H. Hedayati, A. Ghanbari<br />
dan F. Janabi (2007), A Novel nad High<br />
Precision Optical Displacement Sensor,<br />
IJCSNS 7, 311 – 316<br />
M. Yasin, W.S. Harun, , H.A. Abdul Rasyid, ,<br />
Kusminarto, Karyono, A. H. Zaidan, H.<br />
Ahmad (2007), Performansi of Optical<br />
Displacement Sensor Using A Pair Type<br />
Bundled Fiber From A Theoretical and<br />
Experimental Perspective, J. Optoelectron.<br />
Adv. Mater., Vol. 1, 549 – 553.<br />
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi,<br />
Febdian Rusydi, A.H. Zaidan (2009),<br />
Theoretical and Experimental Study of Fiber-<br />
Optic Displacement Sensor Using Multimode<br />
Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics<br />
and Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3,<br />
303 – 308.<br />
Svyryd, N.N, Osorno, S., Salazar, M.E.E. (2006), An<br />
analysis of a displacement sensor based on<br />
optical fibers, Revista Mexicana de Fisica S<br />
Vol. 52, 61 - 63.<br />
Pergeseran (μm)<br />
Gambar 6. Grafik linier (a) LED merah, (b) LED kuning dan (c)<br />
LED biru<br />
E44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Photodinamik Inaktivasi Bakteri Gram Positive Staphylococci<br />
dengan Endogen Photosensitizer pada Penyinaran<br />
Light Emitting Diode (LED) Biru (429,8 ± 3,7) Nm<br />
Suryani Dyah Astuti, Endah Robiyati, Agus Supriyanto<br />
Universitas Airlangga<br />
Email :<br />
ABSTRAK<br />
Photodinamik inaktivasi (PDI) adalah metode inaktivasi bakteri dengan memanfaatkan cahaya dan<br />
photosensitizer (zat pengabsorpsi cahaya) pada bakteri. Strain bakteri gram positive Staphylococci telah<br />
diketahui mengakumulasi endogen porphyrin type photosensitizer coproporphyrin III (Nitzan, 2004). Kombinasi<br />
cahaya dan photosensitizer dengan spektrum yang sesuai memicu proses photosensitisasi dan menyebabkan<br />
photodamage bakteri. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris, bertujuan menguji potensi<br />
photodamage strain bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis dengan endogen<br />
photosensitizer pada penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm pada daya PWM 75% dan waktu 30 menit. Jumlah<br />
koloni bakteri yang tumbuh dihitung setelah 48 jam inkubasi pada suhu 37 o C dengan metode Total Plate Count<br />
(TPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm daya PWM 75%<br />
dan waktu 30 menit berpotensi menurunkan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus sebesar 68,6% dan<br />
bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar 70,57%.<br />
Key-word: PDI, S. aureus, S. epidermidis, endogen photosensitizer, LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />
PENDAHULUAN<br />
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />
epidermidis adalah bakteri gram positif, berbentuk<br />
bola dengan garis tengah sekitar 1µm, tersusun<br />
dalam kelompok tak beraturan yang nampak seperti<br />
sekumpulan anggur jika dilihat dengan mikroskop,<br />
tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan<br />
dinding selnya mengandung dua komponen utama<br />
yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat. Bakteri<br />
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />
epidermidis telah diketahui memiliki peran yang<br />
penting sebagai penyebab infeksi kulit [1] .<br />
Secara alamiah, beberapa bakteri menghasilkan<br />
porphyrin yaitu molekul pengabsorpsi cahaya yang<br />
bersifat photosensitizer (peka terhadap cahaya) [2] .<br />
Bakteri Staphylococcus aureus telah diketahui<br />
mengakumulasi endogen porphyrin (photosensitizer)<br />
coproporphyrin III sebesar 68.3% dan bakteri<br />
Staphylococcus epidermidis sebesar 74.6% [6] . Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa penyinaran cahaya<br />
yang memiliki lebar pita spektrum panjang<br />
gelombang yang sesuai dengan lebar pita spektrum<br />
absorpsi photosensitizer dapat menimbulkan<br />
photodamage [3] , berupa kebocoran isi sel dan<br />
inaktivasi sistem transport membran dan enzim pada<br />
sel bakteri tersebut [4] . Mekanisme photodamage<br />
pada bakteri melibatkan proses photosensitisasi,<br />
yaitu proses penyerapan cahaya oleh porphyrin yang<br />
selanjutnya mengaktivasi reaksi dalam suatu substrat<br />
[5] . Photosensitisasi bergantung pada jenis dan<br />
kuantitas dari porphyrin [6] dan kesesuaian lebar pita<br />
spektrum cahaya dengan lebar pita spektrum<br />
absorpsi photosensitizer<br />
[3] . Untuk kebanyakan<br />
porphyrin, absorpsi terjadi pada daerah cahaya<br />
tampak dengan panjang gelombang 400-750 nm [7] .<br />
Salah satu sumber cahaya yang berada pada<br />
rentang spektrum serap porphyrin photosensitizer<br />
adalah Light Emitting Diode (LED), piranti<br />
semikonduktor yang efektif mengkonversi energi<br />
listrik menjadi cahaya. LED menghasilkan cahaya<br />
dengan berbagai warna. Warna cahaya yang<br />
diemisikan oleh LED bergantung pada komposisi<br />
dan kondisi material semikonduktor yang<br />
digunakan, baik infra merah, cahaya tampak maupun<br />
ultraviolet [8] . Hasil penelitian Johansen [9] dan<br />
[10]<br />
Ramberg<br />
menunjukkan keberhasilan<br />
photosensitisasi dengan LED biru dan merah pada<br />
bakteri Propionibacterium acnes ATCC 6919 yang<br />
diinkubasi dengan 5-ALA.<br />
Hasil penelitian sebelumnya telah terwujud<br />
instrumen LED biru untuk inaktivasi bakteri secara<br />
in vitro yang memiliki ketepatan alat pengukur<br />
temperatur (nilai R 2 = 0.9995) dan lama waktu<br />
penyinaran (nilai R 2 =1) jika dibandingkan dengan<br />
kalibrator. Penelitian ini bertujuan untuk menguji<br />
potensi photodamage bakteri Staphylococcus aureus<br />
dan Staphylococcus epidermidis dengan endogen<br />
photosensitizer pada penyinaran LED biru (429,8 ±<br />
3,7) nm pada daya PWM 75% dan waktu 30 menit.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Waktu, tempat, bahan dan alat Penelitian.<br />
Penelitian dilakukan di laboratorium Biofisika<br />
Fsaintek <strong>Unair</strong> dan Laboratorium Mikrobiologi<br />
FMIPA Universitas Brawijaya selama bulan Juni-<br />
September 2009.<br />
E45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengkulturan bakteri.<br />
Pembuatan kultur. Bahan penelitian adalah kultur<br />
murni bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923.<br />
A. Menyiapkan 50 ml media nutrient broth (NB)<br />
dan 5 tabung yang berisi 18 ml garam fisiologis<br />
dan disterilkan dalam otoklaf.<br />
B. Mengambil 1 ose isolat bakteri dari agar miring,<br />
dimasukkan pada media NB dan di inkubasi<br />
pada suhu kamar selama 24 jam.<br />
C. Mengambil 2 ml kultur untuk dimasukkan ke<br />
dalam 18 ml larutan garam fisiologis steril<br />
(pengenceran 10 kali). Demikian seterusnya<br />
sampai pengenceran ke 50. Setiap pengenceran<br />
dilakukan penggoyangan dengan vortek sekitar<br />
2 menit agar larutan tercampur homogen. Pada<br />
pengenceran 50 kali dilakukan pengukuran nilai<br />
absorbansi (OD) larutan.<br />
D. Kultur yang telah diencerkan dimasukkan pada<br />
cawan petri, masing-masing 0.1 ml untuk tiap<br />
cawan petri. Sampel siap disinari.<br />
Peralatan Penyinaran<br />
Alat penelitian adalah seperangkat instrumen sumber<br />
cahaya LED biru (429,8 ± 3,7) nm untuk penyinaran<br />
bakteri yang terdiri dari:<br />
1. Tempat sampel berupa kotak akrilik<br />
berdimensi 14x14 cm yang dilengkapi<br />
rangkaian lampu LED biru (429,8 ± 3,7 nm),<br />
motor servo merk Paralax Continous untuk<br />
memutar holder cawan petri dan sensor<br />
temperatur tipe LM 35 untuk memantau<br />
temperatur ruang, kipas mengendalikan<br />
temperatur ruang tetap konstan, dan peredam<br />
untuk meminimalisasi getarannya<br />
2. b) Driver instrumen berupa mikrokontroler<br />
tipe AVR 8535 untuk mengatur switching<br />
lampu LED, mengukur temperatur,<br />
mengendalikan kipas, motor servo, timer dan<br />
daya penyinaran sesuai input dengan input<br />
keypad display LCD untuk input daya PWM<br />
(Pulse with Modulation) penyinaran yang<br />
diberikan, timer yang sedang berjalan sesuai<br />
dengan input lama waktu yang diberikan, dan<br />
suhu ruangan yang dideteksi oleh sensor suhu.<br />
Penyinaran Bakteri dengan LED.<br />
1. Cawan petri yang berisi bakteri diletakkan<br />
pada holder di dalam kotak acrylic diatas<br />
platform motor servo<br />
2. Jarak antara LED dengan cawan dibuat tetap,<br />
yaitu 2 cm.<br />
3. Penyinaran dilakukan dengan LED biru<br />
(429,8 ± 3,7) nm pada daya penyinaran 75%<br />
dan lama waktu 30 menit. Selanjutnya<br />
bakteri ditumbuhkan pada media steril<br />
Staphylococcus agar, diinkubasi dalam<br />
inkubator suhu 37 o C selama 2 x 24 jam<br />
4. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung<br />
dengan metode pencawanan Total Plate Count<br />
(TPC) menggunakan Quebec Colony Counter.<br />
Penghitungan jumlah koloni bakteri yang<br />
tumbuh<br />
1. Sampel dikeluarkan dari inkubator dan<br />
dihitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh<br />
dengan metode pencawanan Total Plate count<br />
(TPC) menggunakan Quebec Colony Counter.<br />
2. Bedasarkan jumlah koloni bakteri yang<br />
tumbuh pada kelompok kontrol maupun<br />
perlakuan diperoleh informasi mengenai<br />
potensi photodamage bakteri terhadap<br />
penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil Uji Potensi Photodamage bakteri pada<br />
Penyinaran LED biru 429,8 ± 3,7 nm<br />
Data jumlah koloni bakteri yang tumbuh baik<br />
untuk kelompok kontrol tanpa penyinaran LED dan<br />
kelompok perlakuan penyinaran LED biru pada daya<br />
penyinaran 75% dan lama waktu penyinaran 30<br />
menit ditunjukkan tabel 1 berikut.<br />
Tabel 1. Data jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada<br />
penyinaran LED biru daya PWM 75%, waktu 30 menit<br />
Tabel 2. Data jumlah koloni bakteri Staphylococcus epidermidis<br />
pada penyinaran LED biru daya PWM 75%, waktu 30 menit<br />
Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah<br />
prosentase penurunan jumlah koloni bakteri yang<br />
tumbuh pada tiap perlakuan dengan menggunakan<br />
persamaan:<br />
E46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
|(Σ koloni perlakuan - Σ koloni kontrol)/ Σ<br />
koloni kontrol | x 100%<br />
Diagram kolom prosentase penurunan jumlah<br />
koloni bakteri yang tumbuh pada penyinaran LED<br />
biru (429,8 ± 3,7) nm dengan daya 75% waktu<br />
penyinaran 30 menit ditunjukkan pada gambar 1.<br />
Gambar 1. Diagram prosentase penurunan jumlah koloni bakteri<br />
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang<br />
tumbuh pada penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />
Gambar 1 menunjukkan bahwa penyinaran dengan<br />
LED biru mengakibatkan penurunan jumlah koloni<br />
bakteri Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar<br />
68,60% dan penurunan jumlah koloni bakteri<br />
Staphylococcus epidermidis sebesar 70,57%.<br />
Pembahasan<br />
Hasil pengukuran performansi instrumen<br />
sumber cahaya LED biru (429,8 ± 3,7 nm) dan<br />
merah yang meliputi uji ketepatan dan ketelitian alat<br />
pengukur temperatur dan lama waktu penyinaran<br />
pada instrumen LED diperoleh nilai R 2 =1 untuk<br />
lama waktu penyinaran dan R 2 = 0.9995 untuk<br />
pengukur temperatur, yang berarti bahwa alat<br />
pengukur temperatur dan lama waktu penyinaran<br />
pada instrumen LED yang dirancang memiliki<br />
ketepatan dengan kalibrator. Pengukuran intensitas<br />
daya penyinaran LED menghasilkan daya<br />
penyinaran yang yang berada pada rentang mW.<br />
Interaksi photokimia (PDT) terjadi pada durasi<br />
waktu pemaparan > 1 s dengan rapat daya berada<br />
pada rentang mW [11] . Sehingga instrumen LED<br />
yang dirancang telah memenuhi persyaratan untuk<br />
terjadinya mekanisme photodinamik pada bakteri.<br />
Hasil uji potensi menunjukkan bahwa<br />
penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />
menghasilkan penurunan jumlah koloni bakteri<br />
Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar 68,6%<br />
dan bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar<br />
70,57%. Sehingga dapat dikatakan bahwa<br />
penyinaran LED biru berpotensi photodamage untuk<br />
bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />
epidermidis. Hal ini sesuai dengan penelitian<br />
Nitzan [6] bahwa akteri Staphylococcus aureus<br />
mengakumulasi endogen porphyrin coproporphyrin<br />
III sebesar 68.3% dan bakteri Staphylococcus<br />
epidermidis sebesar 74.6%. Papageorgio [3] dan<br />
Bonaficio [12] juga menunjukkan bahwa Pita Soret,<br />
pita absorbsi yang intens untuk porphyrin berada<br />
pada range 390 – 430 nm yaitu cahaya biru.<br />
Mekanisme photodamage pada bakteri pada<br />
photodinamik inaktivasi bakteri (PDI) melibatkan<br />
proses photosensitisasi, yaitu proses penyerapan<br />
cahaya oleh porphyrin yang selanjutnya<br />
mengaktivasi reaksi dalam suatu substrat<br />
[13] .<br />
Photosensitisasi bergantung pada jenis dan kuantitas<br />
dari porphyrin yang berperan sebagai molekul<br />
penyerap cahaya [6] dan kesesuaian spektrum cahaya<br />
dengan spektrum serap photosensitizer [3] . Bakteri<br />
Staphylococcus aureus telah diketahui<br />
mengakumulasi endogen porphyrin (photosensitizer)<br />
coproporphyrin III [6] .<br />
Saat penyinaran cahaya, peristiwa yang<br />
berlangsung pertama kali adalah absorpsi foton<br />
cahaya oleh molekul porphyrin<br />
[5] . Peristiwa<br />
absorpsi primer berlangsung sangat cepat<br />
(berlangsung sekitar 10 -15 s) diikuti dengan eksitasi<br />
molekul dari level vibrasional dalam keadaan dasar<br />
singlet elektronik S 0 ke salah satu level vibrasional<br />
dalam keadaan eksitasi elektronik. Eksitasi molekul<br />
menuju keadaan energi yang lebih tinggi ini tidak<br />
stabil sehingga akan kembali ke keadaan dasar, baik<br />
secara langsung maupun melibatkan terjadinya<br />
reaksi kimia (photokimia). Photokimia merupakan<br />
perubahan kimia yang disebabkan oleh cahaya dan<br />
hanya terjadi jika cahaya diarbsorpsi oleh sistem [14] .<br />
Perubahan kimia merupakan peristiwa yang muncul<br />
pada tingkatan molekuler akibat absorpsi oleh foton.<br />
Proses photokimia memiliki kaitan erat dengan<br />
proses photofisika, yang berperan dalam perubahan<br />
energi dan struktur elektronik akibat eksitasi<br />
molekul setelah peristiwa absorbsi. Reaksi<br />
photokimia yang dimediasi oleh porphyrin paling<br />
banyak terjadi dari keadaan triplet tereksitasi.<br />
Mekanisme reaksi photokimia adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Gambar 5.4. Reaksi photokimia selama PDI<br />
PS adalah photosensitizer, H 2 O 2 hidrogen peroksida,<br />
O 2 ( 1 Δ g ) singlet oksigen, O 2 ∑ − (3 ) triplet oksigen,<br />
g<br />
−*<br />
O2<br />
superoksida anion, OH<br />
- * hidroksil radikal, SOD<br />
superoksida dismutase, X -/+ anion/kation spesies, X*<br />
radikal spesies [15]<br />
E47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tipe 1, molekul photosensitif yang tereksitasi<br />
secara optis bereaksi secara langsung dengan<br />
substrat seperti membran sel atau molekul, dan<br />
mentransfer sebuah proton atau elektron untuk<br />
membentuk anion atau kation radikal. Radikal ini<br />
selanjutnya akan bereaksi dengan oksigen<br />
menghasilkan jenis oksigen reaktif (ROS).<br />
Superoksida anion yang terbentuk akan bereaksi<br />
dengan substrat menghasilkan hidrogen peroksida<br />
(H 2 O 2 ). Pada konsentrasi tinggi hidrogen peroksida<br />
bereaksi dengan superoksida anion membentuk<br />
hidroksil radikal (reaksi Haber Weiss) yang juga<br />
dihasilkan dari ion logam seperti besi dan tembaga<br />
melalui reaksi Fenton. Hidroksil radikal dengan<br />
mudah berdifusi melalui membran dan merusak sel<br />
[15] .<br />
Tipe 2, photosensitizer triplet dapat<br />
mentransfer energinya secara langsung pada molekul<br />
oksigen untuk membentuk oksigen singlet ( 1 O 2 )<br />
tereksitasi. Singlet oksigen<br />
1 O 2 teridentifikasi<br />
berpengaruh pada membran sitoplasma dan<br />
membran intraselular, terutama pada phospolipid,<br />
kolesterol dan membran protein [5] . Kerusakan pada<br />
membran sitoplasma mengakibatkan kebocoran isi<br />
dan kandungan pada sel atau bisa juga<br />
menginaktivasi sistem transport membran dan<br />
enzim-enzim [16] [17] , menyebabkan gangguan sintesis<br />
dinding sel dan munculnya struktur multilamelar<br />
disisi sekat sel-sel yang membelah seiring dengan<br />
bocornya ion-ion potasium dari dalam sel [18] .<br />
Oksigen singlet dan radikal hidroksil memiliki<br />
reaktivitas tinggi dan life-time pendek, sehingga<br />
hanya molekul dan substrat yang berada pada area<br />
photosensitizer yang secara langsung dipengaruhi<br />
oleh PDI. Life time oksigen singlet pada molekul<br />
biologi adalah < 40 ns, dan radius aktivasi singlet<br />
oksigen sekitar 20 nm [19] .<br />
KESIMPULAN<br />
Penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />
berpotensi photodamage menurunkan jumlah koloni<br />
bakteri Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar<br />
68,6% dan bakteri Staphylococcus epidermidis<br />
sebesar 70,57%.<br />
Saran<br />
3. Karakterisasi photodamage bakteri<br />
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />
epidermidis baik dengan uji fisis dengan SEM<br />
maupun uji kimiawi dengan uji lipid dan<br />
profil pita protein membran<br />
E. Optimasi sensitivitas photodamage bakteri<br />
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />
epidermidis dengan pemberian eksogen<br />
photosensitizer aminolevulinic acid (ALA) atau<br />
eksogen photosensitizer yang lain.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
[1] Jawetz, 1996, Medical Microbiology, McGraw-<br />
Hill Companies Inc. 22 nd edition, 235-23<br />
[2] Cornelius, CE and Ludwi, GD, 1967, Red<br />
fluorescence of comedones: production of<br />
porphyrins by Cornynebacterium acnes, J Inv<br />
Dermatol, vol.49 (4), 368-370<br />
[3] Papageorgiu, P. et al. 2000. Phototherapy with<br />
Blue (415nm) and Red (660nm) Light in The<br />
Treatment of Acne Vulgaris, British Journal<br />
of Dermatology<br />
[4] Hamblin, M.R., Hasan, T., 2004, Photodynamic<br />
therapy: a new antimicrobial approach to<br />
infectious disease?, Journal of<br />
Photochemistry and Photobiology B:<br />
Biology, Science, 3,436-450<br />
[5] Grossweiner, L.I. 2005, The Science of<br />
Phototherapy: An Introduction. Springer:<br />
USA<br />
[6] Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z.,<br />
2004, ALA Induced Photodynamic Effect on<br />
Gram Positive and Negative bacteria, Journal<br />
of Photochemistry and Photobiology P:<br />
Physics., vol 3, pp. 430-435<br />
[7] Juzenas P., 2002, Investigation of Endogenous<br />
Photosensitizer Protoporphyrin IX in<br />
Hairless Mouse Skin by Means of<br />
Fluoresence Spectroscopy, Group of<br />
Photodynamic Therapy <strong>Departemen</strong>t of<br />
Biophysics, Institute for Cancer Research<br />
The Norwegian Radium Hospital<br />
[8] Schubert E.F., 2006, Light Emitting Diodes, 2 nd<br />
ed., Cambridge University Press, USA<br />
[9] Johansen Y, Widerøe H.C, Krane J, Johnsson A.,<br />
2003, Proton magic angle spinning NMR<br />
reveals new features in photodinamically<br />
treated bacteria, Z. Naturforsch, 58c, 401-407<br />
[10] Ramberg K., MelǾ T.B., Johnsson A., 2004, In<br />
Situ Assesment of Porphyrin Photosensitizer<br />
in P.acnes, Z.Naturforsch, 59C,93-98<br />
[11]Niemz M.H., 2007, Laser-Tissue Interaction,<br />
Fundamentals and Applications, Third<br />
enlarged edition, Springer-Verlag Berlin<br />
[12] Bonaficio, A., 2006, Resonance Raman<br />
spectroscopy of human cytochrome P450<br />
2D6: in solution and on nanostructured<br />
biocompatible metal surfaces. Vrije<br />
Universiteit Thesis<br />
[13] Astuti SD., Puspitasari AT., Supriyanto A.,<br />
Suhariningsih, 2009, The Optimal Lethal<br />
Dose of Blue Light (454 nm) Exposure with<br />
Light Emitting Diodes (LED) Device in<br />
Staphylococcus Aureus Bacteria,<br />
Proceedings of ICORAFFS, UTM Malaysia<br />
[14] Coyle, John D. 1991. Introduction to Organic<br />
Photochemistry. John Willey Sons: London<br />
[15] Plaetzer K., Krammer B., Berlanda J., Berr F.,<br />
2009, Photophysics and Photochemistry of<br />
E48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Photodynamic Therapy: Fundamental<br />
Aspects, Journal of Laser Medical Sciences,<br />
24: 259-2<br />
[16] Valduga G, Breda B, Giacometri G.M, Jori G,<br />
Reddi E, 1999, Photosensitization of wild and<br />
mutant strains of E.coli by meso-tetra (Nmethyl-4-pyridyl)<br />
porphine,<br />
Biochem.Biophys. Res. Commun., 256, p.84-<br />
88<br />
[17] Bertoloni G, Rossi F, Valduga G, Jori G, van<br />
Lier J, 1990, Photosensitizing activity of<br />
water and lipid soluble phthalocyanines on<br />
E.coli, FEMS Microbiol. Lett. 59, 149-155<br />
[18] Demidova, T.N., Hamblin, M.R., 2005, Effect<br />
of cell-Photosensitizer Binding cell Density<br />
on Microbial Photoinactivation,<br />
Antimicrobial Agents and Chemotherapy,<br />
vol.49 no.6, p.2329-2335<br />
[19] Moan J., Berg K., 1991, The Photodegradation<br />
of Porphyrin in cells can be used to estimate<br />
the lifetime of singlet oxygen, Journal of<br />
Photochemistry and Photobiology P: Physics,<br />
Elsevier, 53 (1991) 549-553<br />
E49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pembuatan Fiber Taper dari Bahan Serat Optik Plastik Multimode<br />
Yudiawan F K, Samian dan Andi Hamim Zaidan<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan Teknologi<br />
Universitas Airlangga Surabaya<br />
email : yudiawank@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi fiber taper dari bahan serat optik plastic step index multimode tipe<br />
FD-620-10 (serat optik dengan diameter core besar) dengan metode pemanasan dan peregangan. Sembilan buah<br />
fiber taper dibuat dengan panjang peregangan 5 mm, 7 mm, 9 mm, 11 mm, 13 mm, 15 mm, 17 mm, 19 mm dan<br />
21 mm. Karakterisasi dilakukan pada masing-masing panjang peregangan untuk mendapatkan hubungan antara<br />
panjang peregangan terhadap rugi daya optis. Hasilnya adalah fiber taper yang memiliki rugi daya optis paling<br />
tinggi adalah peregangan 21 mm dan yang paling rendah adalah peregangan 5 mm. Hasil tersebut<br />
memperlihatkan karakteritik dari fiber taper yaitu rugi daya optis, semakin panjang taper maka semakin besar<br />
rugi daya optisnya dan sebaliknya.<br />
Kata kunci: serat optik, fiber taper, daya optis<br />
PENDAHULUAN<br />
Kebutuhan akan sensor sebagai piranti ukur<br />
sudah merambah di hampir semua bidang. Di bidang<br />
medis, sensor digunakan untuk mendeteksi atau<br />
mendiagnosa suatu penyakit (biosensor). Di bidang<br />
industri, sensor merupakan bagian yang sangat<br />
penting dalam proses produksi dan sistem<br />
monitoring. Di bidang lingkungan, sensor digunakan<br />
untuk mendeteksi keberadaan limbah, mengukur<br />
kadar limbah serta sistem control pengendalian<br />
limbah. Di bidang pertahanan, sensor digunakan<br />
sebagai piranti pembidik serta penangkal senjata<br />
(Samian, 2008). Sudah banyak penelitian-penelitian<br />
tentang sensor yang telah dilakukan untuk<br />
mengeksplorasi potensi material-material baru<br />
seperti polimer, piezoelektrik, dan serat optik, serta<br />
metode-metode pendeteksian yang lain seperti<br />
gelombang akustik, kromatografi, konduktivitas<br />
thermal, dan sebagainya . Semua itu dilakukan untuk<br />
meningkatkan kinerja sensor yang ada saat ini dalam<br />
hal sensitifitas, kecepatan response, konsumsi daya,<br />
serta biaya produksinya (Rambe dkk, 2003). Salah<br />
satu cara untuk membuat suatu sensor adalah dari<br />
bahan serat optik. Hal ini dikarenakan serat optik<br />
mempunyai harga yang murah dan keakuratan yang<br />
cukup tinggi.<br />
Mengingat kebutuhan sensor dari bahan serat<br />
optik sangat tinggi, maka diperlukan suatu penelitian<br />
untuk membuatnya. Salah satu caranya adalah<br />
dengan merubah diameter serat optik. Perubahan<br />
diameter tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />
sensor serat optik yang disebut fiber taper. Fiber<br />
taper merupakan serat optik yang diameternya<br />
mengecil. Fiber taper dapat diaplikasikan sebagai<br />
sensor gas, sensor temperatur, sensor kelembaban<br />
dan lain-lain. Selain itu dapat digunakan sebagai<br />
bahan pembuatan directional coupler. Dalam<br />
penelitian ini diameter serat optik diperkecil dengan<br />
metode pemanasan dan peregangan<br />
METODE PENELITIAN<br />
● Desain Fiber Taper<br />
Desain fiber taper yang dibuat diperlihatkan<br />
pada Gambar 1 dengan L, dan (z) masingmasing<br />
adalah panjang taper, diameter serat optik<br />
dan diameter serat optik di daerah taper.<br />
Gambar 1. Desain fiber taper (Arruel dkk, 2008).<br />
Mengecilnya diameter serat optik pada daerah<br />
taper akan menyebabkan hilangnya moda-moda<br />
orde tinggi gelombang elektromagnetik (cahaya)<br />
yang terpandu di daerah taper. Akibatnya adalah<br />
terjadi rugi daya optis cahaya yang terpandu di<br />
dalam serat optik.<br />
● Pembuatan Fiber Taper<br />
Pembuatan fiber taper dilakukan dengan cara<br />
pemanasan serat optik (core dan cladding) pada<br />
daerah tertentu. Kemudian dilakukan peregangan<br />
dengan panjang yang ditentukan, fiber optic yang<br />
digunakan sebagai bahan pembuatan taper adalah<br />
E50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
fiber optic multimode berdiameter 1 mm dari bahan<br />
plastik dengan titik lebur 55 . Gambar 2<br />
memperlihatkan perangkat pembuat fiber taper yang<br />
terdiri dari pemanas, micrometer posisi, statif dan<br />
penjepit.<br />
penjepit<br />
jaket<br />
logam<br />
statif<br />
Kawat nikelin<br />
pegas<br />
papan<br />
landasan<br />
Gambar 2. Perangkat pembuat fiber taper.<br />
Pemanas berfungsi untuk memanaskan fiber<br />
taper sampai serat optik melunak (tidak sampai<br />
melebur). Pada mikrometer posisi terdapat pegas<br />
yang akan meregangkan serat optik. Saat serat optik<br />
mulai melunak panjang peregangan diatur dengan<br />
menggeser penahan dengan cara memutar<br />
mikrometer sehingga panjang peregangan dapat<br />
dikendalikan. Panjang peregangan tersebut terkait<br />
dengan panjang taper yang dihasilkan.<br />
● Karakterisasi Fiber Taper<br />
penahan<br />
Micrometer<br />
skrup<br />
Fiber taper yang dihasilkan mempunyai bentuk<br />
seperti Gambar 3.<br />
Sinar yang dikeluarkan oleh serat optik akan<br />
ditangkap oleh detektor OPT 101 yang dihubungkan<br />
ke mikrovoltmeter. Pada saat pengambilan data,<br />
keadaan awal sudut polarisator dalam posisi<br />
yang kemudian untuk pengambilan data selanjutnya<br />
dilakukan pergeseran sejauh sampai sudut<br />
polarisator pada posisi . Nilai konversi tegangan<br />
keluaran detektor terhadap daya serat optik keluaran<br />
diperoleh dari nilai gradien grafik hubungan linear<br />
antara tegangan keluaran detektor terhadap daya<br />
serat optik keluaran. Jika nilai koefisien relasi ( )<br />
bernilai 1 mempunyai arti bahwa hubungan antara<br />
tegangan keluaran detektor terhadap daya optik<br />
keluaran linier.<br />
Gambar 4. setup konversi tegangan keluaran daya optik<br />
Setelah dilakukan konversi tegangan keluaran<br />
detektor terhadap daya optis, maka selanjutnya<br />
mencari rugi daya optis masing-masing fiber taper.<br />
Setupnya seperti terlihat pada Gambar 5.<br />
Gambar 3. Bentuk fiber taper ((Lidiya A. Mishchenko, 2008).<br />
Karakterisasi pada fiber taper menggunakan sumber<br />
cahaya laser HeNe dengan panjang gelombang 632,8<br />
nm dan detektor cahaya OPT 101. Langkah awal<br />
untuk karakterisasi adalah dengan meletakkan serat<br />
optik tanpa ditaper didepan laser HeNe. Kemudian<br />
menyalakan laser tersebut, berkas laser akan<br />
diteruskan melalui serat optik yang kemudian berkas<br />
tersebut akan ditangkap oleh detektor cahaya.<br />
Setelah itu, melakukan hal yang sama tetapi<br />
menggunakan fiber taper dengan panjang<br />
peregangan 5 mm, 7 mm, 9 mm, 11 mm, 13 mm, 15<br />
mm, 17 mm, 19 mm, dan 21 mm yang diletakkan di<br />
depan laser yang akhirnya berkasnya akan ditangkap<br />
oleh detektor cahaya. Kemudian membandingkan<br />
hasil antara serat optik sebelum ditaper dengan<br />
masing-masing fiber taper.<br />
● Konversi Tegangan Keluaran Detektor<br />
Terhadap Daya Optis<br />
Konversi dilakukan dengan cara meletakkan<br />
polarisator di depan laser yang kemudian<br />
meletakkan serat optik plastik multimode dengan<br />
panjang tertentu (seperti terlihat pada Gambar 4).<br />
Gambar 5. Setup konversi tegangan keluaran daya optik dengan<br />
fiber taper.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi<br />
dengan masing-masing panjang peregangan yang<br />
berbeda-beda diperlihatkan pada Gambar 6 berikut<br />
ini.<br />
Gambar 6. Fiber taper hasil karakterisasi<br />
E51
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Fiber taper 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 masingmasing<br />
memiliki panjang peregangan 5 mm, 7 mm,<br />
9 mm, 11 mm, 13 mm, 15 mm, 17 mm, 19 mm, dan<br />
21 mm dengan serat optik yang digunakan sama dan<br />
cara pembuatan juga sama.<br />
Sebelum dilakukan karakterisasi fiber taper<br />
hasil fabrikasi, maka akan dilakukan konversi nilai<br />
tegangan keluaran detektor terhadap daya optik.<br />
Konversi dilakukan untuk mengetahui nilai konversi<br />
tegangan keluaran yang terbaca pada mikrovoltmeter<br />
terhadap daya keluaran serat optik serta untuk<br />
mengetahui daya keluaran maksimal dari serat optik<br />
yang terdeteksi seperti Gambar 5.<br />
Data tegangan keluaran yang terbaca pada<br />
mikrovoltmeter merupakan perubahan daya keluaran<br />
serat optik dengan variasi sudut polarisator. Data<br />
tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daya<br />
maksimal yang dideteksi oleh detektor optik. Grafik<br />
hubungan linier antara tegangan keluaran detektor<br />
terhadap daya optik seperti terlihat pada Gambar 7.<br />
Gambar 7. Grafik hubungan linear antara tegangan keluaran<br />
terhadap daya.<br />
Dari Gambar 8 didapatkan persamaan regresi<br />
linear adalah V = 19.629 P + 1.0073 dengan<br />
koefisien korelasi ( ) yaitu 0.9905. Pada Gambar<br />
4.7 koefisien korelasinya mendekati 1 yang artinya<br />
hubungan antara daya optik terhadap tegangan<br />
keluaran yang ditangkap detektor adalah linier.<br />
Faktor konversi tegangan keluaran detektor terhadap<br />
daya optik sebesar 19.629 V/mW yang mempunyai<br />
arti bahwa dalam 1 mW mempunyai tegangan<br />
sebesar 19,629 V. Hasil perhitungan yang berupa<br />
nilai rata-rata untuk masing-masing fiber taper<br />
diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.<br />
Tabel 1 Nilai rata-rata daya keluaran untuk masing-masing fiber<br />
taper.<br />
Panjang<br />
Peregangan<br />
(mm)<br />
Panjang<br />
taper (mm)<br />
Rugi Daya<br />
Fiber Taper (dB)<br />
5 1.005 107.1575<br />
7 2.983 110.2044<br />
9 4.022 112.9435<br />
11 10.004 113.1054<br />
13 11.250 113.6360<br />
15 12.970 116.6277<br />
17 13.942 116.8283<br />
19 14.947 116.8435<br />
21 18.961 117.2028<br />
Karena adanya panjang peregangan maka<br />
diameter yang dihasilkan juga akan berbeda-beda.<br />
Selain itu juga panjang taper yang dihasilkan juga<br />
akan berbeda untuk masing-masing variasi<br />
peregangan. Data tersebut dapat menunjukkan<br />
bahwa jika panjang taper berubah maka diameter<br />
taper pun juga berubah seperti terlihat pada Tabel 2.<br />
Tabel 2 Persamaan linearitas untuk masing-masing variasi<br />
peregangan<br />
Panjang<br />
peregangan<br />
(mm)<br />
Persamaan linearitas<br />
Koefisien<br />
relasi (R²)<br />
5 y = 0.0168x + 3.992 1<br />
7 y = 0.0614x + 0.3304 0.9756<br />
9 y = 0.0397x + 0.0387 0.9727<br />
11 y = 0.0213x + 0.1503 1<br />
13 y = 0.0255x + 0.2945 0.994<br />
15 y = 0.0246x + 0.2205 0.9911<br />
17 y = 0.0303x + 0.1741 0.9956<br />
19 y = 0.0306x + 0.1486 0.9956<br />
21 y = 0.0246x + 0.0654 0.9937<br />
Karakterisasi pada penelitian ini dilakukan<br />
untuk mencari parameter-parameter pada fiber taper.<br />
Parameter hasil fabrikasi fiber taper akan<br />
dibandingkan dengan parameter standart serat optik<br />
tanpa ditaper. Parameter-parameter yang<br />
diperhatikan adalah panjang taper yang dihasilkan,<br />
diameter akhir akibat ditaper dan perubahan daya<br />
yang terjadi pada fiber taper. Nilai rata-rata<br />
parameter sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi<br />
ditampilkan dalam Tabel 4.3 berikut.<br />
Tabel 3 Nilai rata-rata parameter fiber taper hasil fabrikasi.<br />
Panjang<br />
Rugi Daya<br />
Panjang<br />
Peregangan<br />
Serat Optik<br />
taper (mm)<br />
Fiber Taper (dB)<br />
(mm)<br />
(dB)<br />
5 1.005 117.2099 107.1575<br />
7 2.983 117.2099 110.2044<br />
9 4.022 117.2099 112.9435<br />
11 10.004 117.2099 113.1054<br />
13 11.250 117.2099 113.6360<br />
15 12.970 117.2099 116.6277<br />
17 13.942 117.2099 116.8283<br />
19 14.947 117.2099 116.8435<br />
21 18.961 117.2099 117.2028<br />
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai daya keluaran<br />
pada fiber taper semakin kecil dibandingkan dengan<br />
daya keluaran pada serat optik biasa. Hal tersebut<br />
disebabkan karena semakin kecil diameter maka<br />
semakin kecil pula daya keluaran yang dihasilkan.<br />
Selain perubahan diameter, yang menyebabkan<br />
terjadinya penurunan pada daya keluaran adalah<br />
panjang taper. Hal tersebut sesuai dengan teori yang<br />
ada, jika perubahan daya keluaran diakibatkan oleh<br />
perubahan diameter serat optik dan panjang taper.<br />
Grafik hubungan linear antara panjang taper dengan<br />
daya keluaran terlihat pada Gambar 8.<br />
E52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 8. Grafik hubungan linear antara panjang taper dengan<br />
daya keluaran.<br />
KESIMPULAN<br />
Sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi dari bahan<br />
serat optik plastik step index multimode tipe FD<br />
620-10 hasil fabrikasi dibuat dengan metode<br />
pemanasan dan peregangan . Sembilan buah fiber<br />
taper ini dapat digunakan sebagai bahan pembuatan<br />
directional coupler dan pembuatan sensor.<br />
Perubahan daya keluaran dipengaruhi oleh panjang<br />
taper. Semakin panjang taper yang terbentuk maka<br />
semakin kecil daya yang dikeluarkan. Dari hasil<br />
penelitian dan perhitungan hubungan antara<br />
perubahan daya keluaran terhadap panjang taper<br />
adalah linier.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Partama, I.P.S. 2009. Perencanaan Link Optik<br />
Denpasar-Amlapura Untuk Memenuhi<br />
Kebutuhan Trafik Di Daerah Bali Timur<br />
Hingga Tahun 2015. Denpasar: IT TELKOM.<br />
Reynaldo, M. Fafat. 2001. LASER, Gelombang Dan<br />
Optik. Bandung: ITB.<br />
Mishchenko, Lidiya A. 2008. Production of Tapered<br />
Optikal Fibers. UMBC Physics Department.<br />
Rambe, Drs. Ahmad Mulia. 2003. Penggunaan<br />
Serat Optik Plastik Sebagai Media Transmisi<br />
Untuk Alat ukur Temperatur jarak Jauh. USU<br />
digital library. Sumatra Utara.<br />
Club Fibers Optiques Plastiques, France. 1997.<br />
Plastic Optikal Fiber. John Welly & Sons, Inc.:<br />
Chichester, New York, Weinheim, Brisbane,<br />
Toronto, Singapore.<br />
Arruel, J, F. Jiménez, G. Aldabaldetreku, G. Durana,<br />
J. Zubia, M. Lomer and J. Mateo. 2008.<br />
Analysis of The Use of Tapered Graded-Index<br />
Polymer Optikal Fibers For Refractive- Index<br />
Sensors. Optiks Express: Spain.<br />
Keiser, G., (1984), Optikal Fiber Communication,<br />
Mc Graw Hill, New York.<br />
E53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pendugaan Statistik Inti dari Molekul Melalui Pecobaan Pulsa Ganda<br />
Abdurrouf<br />
Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Brawijaya<br />
Email : a.abdurrouf@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Paper ini mengusulkan cara penentuan statistik inti dari molekul, yaitu rasio antara jumlah momentum total J<br />
genap dan J ganjil, dengan menggunakan percobaan pulsa ganda. Pada percobaan tersebut, sampel molekul<br />
dalam fase gas disinari dengan pulsa pertama (yang dikenal sebagai pulsa pembangkit) untuk mendapatkan<br />
distribusi molekul yang besifat dinamik. Selanjutnya sampel disinari dengan pulsa kedua (pulsa pendeteksi),<br />
untuk mengetahui dinamika distribusi molekul dan besaran fisik lain terkait, sebagai fungsi waktu tunda antara<br />
dua pulsa. Signal dinamik yang diperoleh bersifat periodik dengan periode T rev , di mana informasi tentang<br />
statistik inti diperoleh pada t=T rev /4. Statistik inti molekul juga dapat diperoleh dengan menganalisis signal<br />
pada domain frekuensi, yang diperoleh dengan mentransformasi Fourier signal dinamik. Pada paper ini dipakai<br />
tiga molekul dengan karakteristik statistik inti yang berbeda, yaitu N2, O2, dan CO2, sebagai contoh. Hasil<br />
perhitungan teori kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen yang ada.<br />
Kata kunci : percobaan pulsa ganda, distribusi molekul, statistik inti, signal dinamik, transformasi Fourier<br />
PENDAHULUAN<br />
Perkembangan yang pesat dari teknologi<br />
laser, khususnya kemampuannya untuk<br />
menghasilkan pulsa dengan intensitas yang tinggi<br />
dengan durasi yang pendek, memungkinkan kita<br />
untuk mendeteksi perilaku dinamik molekul, dalam<br />
suatu percobaan yang dikenal sebagai percobaan<br />
pulsa ganda (A. H. Zewail, 2000). Pada percobaan<br />
ini, sampel molekul dalam fase gas disinari dengan<br />
dua pulsa. Pulsa pertama dipakai untuk mengatur<br />
fungsi gelombang terkait dengan gerakan molekul,<br />
dalam konteks alignmen molekul (molecular<br />
alignment) (H. Stapelfeldt dan T. Seideman, 2003).<br />
Pada selang waktu tertentu setelah pulsa pertama,<br />
pulsa kedua diberikan. Pulsa tersebut akan<br />
membangkitkan reaksi tertentu, seperti ionisasi,<br />
disosiasi, efek Kerr, ataupun pembangkitan<br />
harmonik tinggi (high harmonic generation, HHG)<br />
yang dapat dideteksi secara langsung (A. Abdurrouf<br />
dan F.H.M. Faisal, 2009). Dengan memplot sinar<br />
yang ditimbulkan oleh pulsa kedua sebagai fungsi<br />
waktu tunda antara kedua pulsa, akan didapatkan<br />
signal dinamik yang menggambarkan perilaku<br />
molekul akibat interaksinya dengan sinar pertama.<br />
Salah satu sisi menarik dari percobaan<br />
pulsa ganda adalah kemungkinan pemanfaatannya<br />
untuk pengontrolan reaksi kimia (H. Stapelfeldt,<br />
2004) pembangkitan pulsa durasi pendek (Wabnitz<br />
et al., 2006), penentuan kelimpahan isotop (F.<br />
Fleischer, 2006), pencitraan molekul atau pendugaan<br />
fungsi gelombangnya (J. Itatani et al., 2004),<br />
kompresi pulsa (R.A. Bartels et al., 2002),<br />
perencanaan skala nano (R.J. Gordon, 2003), serta<br />
pemrosesasn informasi kuantum (K.F. Lee, 2004).<br />
Dalam tulisan ini, dibahas pemanfaatan percobaan<br />
pulsa ganda untuk menentukan rasio antara<br />
momentum total J genap dan J ganjil pada suatu<br />
molekul. Informasi tentang rasio J dapat diperoleh<br />
baik melalui signal dinamik maupun signal dalam<br />
domain frekuensi yang diperoleh dengan melakukan<br />
transformasi Fourier atas signal dinamiknya.<br />
DASAR TEORI<br />
Persamaan Schrödinger untuk molekul<br />
yang dikenai pulsa laser dengan intensitas tinggi<br />
dapat dapat dituliskan sebagai (A.Abdurrouf dan<br />
F.H.M. Faisal, 2009)<br />
∂<br />
0<br />
ih Φ JM () t = ( H N + VN<br />
−L<br />
) Φ JM () t , (1)<br />
∂t<br />
0<br />
di mana H N adalah Hamiltonian molekul dalam<br />
kedaan tanpa gangguan. VN<br />
− L adalah Hamiltonian<br />
akibat interaksi inti molekul dengan pulsa laser, dan<br />
dapat dituliskan sebagai<br />
2 4π<br />
VN<br />
−L<br />
() t = −( Δα<br />
cos θ + α perp ) Ig()<br />
t . (2)<br />
c<br />
Pada persamaan di atas, Δ α adalah selisih antara<br />
polarisabilitas molekul dalam arah tegak lurus<br />
α terhadap besaran yang sama dalam arah<br />
perp<br />
sejajar α par , c adalah kecepatan cahaya di ruang<br />
hampa, I adalah intensitas pulsa laser, sedangkan<br />
g(t) adalah profil laser pulsanya. Jika molekul<br />
dianggap sebagai benda pejal (rigid rotor) dengan<br />
2<br />
energi B Ĵ (di mana B adalah tetapan rotasi molekul<br />
dan J adalah momentum sudut), maka Hamiltonian<br />
total dapat dituliskan sebagai<br />
2<br />
2<br />
H t = B Jˆ<br />
− ω perp t − Δω<br />
t cos θ , (3)<br />
[( ) () ]<br />
( ) ( )<br />
F1
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
di mana ω perp ( t) = ( π / c) Ig( t) α perp<br />
() = ( 4π<br />
/ c) Ig() t Δα<br />
4 dan<br />
Δω<br />
t adalah kuantitas yang<br />
mendeskripsikan perilaku molekul dan harganya<br />
dapat diperoleh pada reference (G. Herzberg, 1950).<br />
Selanjutnya persamaan Schrödinger (pers. 1) dapat<br />
ditulis sebagai<br />
h ∂Φ() t H () t<br />
i = Φ()<br />
t , (4)<br />
∂t<br />
B B<br />
di mana h / B memainkan peran sebagai waktu<br />
tereduksi.<br />
Dalam penelitian ini, Pers. (4) dipecahkan<br />
untuk berbagai nilai awal JM dengan menggunakan<br />
metode Runge-Kutta, sehingga didapatkan Φ JM ( t)<br />
.<br />
Distribusi molekul pada setiap waktu t akan<br />
diperikan oleh<br />
2 −BJ<br />
()<br />
( J + 1)<br />
/ kT<br />
∑ Φ JM t e<br />
JM<br />
Dist .mol. =<br />
−BJ<br />
( J + 1)<br />
. (5)<br />
/ kT<br />
e<br />
∑<br />
JM<br />
Di mana T adalah temperature molekul gas<br />
sebelum dikenai pulsa laser. Biasanya distribusi<br />
molekul tersebut dinyatakan dalam derajat alignmen<br />
(alignment degree) cos 2 θ () t dengan θ<br />
menyatakan sudut antara sumbu molekul dan<br />
polarisasi laser. Derajat alignmen pada waktu t dapat<br />
dinyatakan sebagai<br />
2<br />
−BJ<br />
()<br />
( J + 1)<br />
/ kT<br />
∑ cos θ t e<br />
JM<br />
2<br />
JM<br />
cos θ () t =<br />
−BJ<br />
( J + 1)<br />
.(6)<br />
/ kT<br />
e<br />
∑<br />
JM<br />
Perilaku dinamik dari distribusi molekul dan<br />
derajat alignmen bersifat periodik dengan periode<br />
T 1<br />
2Bc<br />
(7)<br />
Sekarang kita coba melihat permasalahan<br />
alignmen molekul, khususnya derajat alignmen,<br />
secara lebih detail. Nilai fase dari derajat alignmen<br />
dari suatu keadaan awal JM,<br />
2<br />
cos θ , pada<br />
setiap waktu t adalah (A.Abdurrouf dan F.H.M.<br />
Faisal, 2009)<br />
JM t<br />
φ () t = 2 π ( 2J<br />
+ 3)<br />
. (8)<br />
T<br />
Dari pers. (8), dapat dihitung beda fase antara<br />
2<br />
2<br />
cos θ dan cos θ pada saat t=T<br />
J + 1,M<br />
sebagai berikut<br />
J<br />
Δφ + 1, M ; JM<br />
( T ) = 4π<br />
. (9)<br />
2<br />
Ini berarti bahwa pada t=T, dinamika cos θ<br />
dari J genap dan J ganjil berada pada fase yang<br />
sama. Situasi yang sama terjadi pada t=T/2 di mana<br />
J<br />
φ + 1, M ; JM<br />
Δ ( T / 2) = 2π<br />
(10)<br />
yang menunjukkan bahwa keduanya sefase.<br />
Sebaliknya pada t=T/4, didapatkan<br />
J<br />
φ + 1, M ; JM<br />
Δ ( T / 4) = π (11)<br />
2<br />
cos θ<br />
yang menunjukkan bahwa dinamika<br />
J<br />
dari J genap dan J ganjil berada pada fase yang<br />
berlawanan pada t=T/4. Pers. (11) memberi kita cara<br />
untuk membedakan kontribusi J genap dan J ganjil,<br />
dan rasio keduanya.<br />
JM<br />
JM<br />
J<br />
Gambar 1: Distribusi molekul N 2 setelah berinteraksi dengan pulsa laser dengan intensitas 0,8x10 14 W/cm 2 , di mana pulsa berbentuk gaussian<br />
dengan durasi 40 fs. Temperatur awal gas adalah 300 K.<br />
F2
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dalam penelitian ini, dipakai tiga molekul,<br />
yaitu N 2 , O 2 , dan CO 2 , karena ketiganya memiliki<br />
rasio J yang berbeda satu sama lain. Data terkait<br />
ketiga molekul tersebut diberikan pada Tabel 1.<br />
Molekul<br />
TABEL I<br />
Properti molekul N 2 , O 2 , dan CO 2<br />
B<br />
(cm -1 )<br />
Properti<br />
α perp<br />
(angstrom)<br />
α par<br />
(angstrom)<br />
N 2 1,9896 2,38 1,45<br />
O 2 1,4297 2,35 1,21<br />
CO 2 0,3902 4,01 – 4,11 1,97-1,93<br />
seperti yang diamati pada eksperimen (K. Miyazaki<br />
et al., 2005). Secara umum, ketiga melekul<br />
memiliki dinamika yang sama, kecuali pada t=T/4<br />
dan t=3T/4, seperti yang ditandai dengan elips<br />
putus-putus. Pada t=T/4, didapatkan lembah pada N 2<br />
dan CO 2 , serta puncak pada O 2 . Pada N 2 , kedalaman<br />
lembahnya pada t=T/4 adalah setengah dari<br />
kedalaman lembah pada t=T/2. Di sisi lain, tinggi<br />
puncak untuk O 2 dan lembah untuk CO 2 pada t=T/4<br />
sama dengan tinggi puncak/lembah pada t=T/2.<br />
0.8<br />
0.6<br />
0.4<br />
(a)<br />
Distribusi molekul N 2 akibat interaksinya<br />
dengan pulsa laser ditunjukkan pada gambar 1.<br />
Terlihat bahwa distribusinya bersifat periodik<br />
dengan T = 8,4 ps, yang memenuhi pers. (7). Juga<br />
terlihat bahwa dinamika distribusi pada θ=0 o sama<br />
dengan distribusi pada θ=180 o , dengan sumbu<br />
simetri pada distribusi pada θ=90 o . Perilaku yang<br />
sama juga berlaku untuk O 2 dan CO 2 . Derajat<br />
alignmen untuk ketiga molekul tersebut ditunjukkan<br />
pada gambar 2.<br />
0.2<br />
0.8<br />
0.6<br />
0.4<br />
0.2<br />
0.5<br />
0.4<br />
0.3<br />
(b)<br />
(c)<br />
0.2<br />
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
Waktu tunda (ps)<br />
2<br />
cos θ<br />
Gambar 3: Dinamika<br />
dari N2, dengan parameters<br />
yang sama dengan gambar 1. Panel (a): Dinamika alignment<br />
() t<br />
() t<br />
50<br />
2<br />
cos θ<br />
untuk keadaan awal J,M=5,0 atau<br />
(biru) serta<br />
2<br />
cos θ () t<br />
J ganjil<br />
(merah). Panel (b): Dinamika alignment<br />
2<br />
2<br />
cos θ () t<br />
cos θ () t<br />
untuk 60<br />
J genap<br />
(biru) serta<br />
(merah).<br />
Panel (c): Dinamika alignmen untuk semua J dengan Jmax=20.<br />
Gambar 2: Derajat alignmen dari molekul N 2 (panel atas), O 2<br />
(panel tengah), dan CO 2 (panel bawah), setelah berinteraksi<br />
dengan pulsa laser dengan intensitas 0,8x10 14 W/cm 2 , (untuk N 2 )<br />
dan 0,5x10 14 W/cm 2 , (untuk O 2 dan CO 2 ), di mana pulsa<br />
berbentuk gaussian dengan durasi 40 fs. Temperatur awal gas<br />
adalah 300 K<br />
Dari gambar 3, terlihat bahwa derajat<br />
aligment cos 2 θ () t bersifat periodik dengan<br />
periode 8,4 ps (N 2 ), 11,6 ps (O 2 ), dan 42,7 ps (CO 2 ),<br />
Untuk memahami hal tersebut, kita lihat dinamika<br />
2<br />
cos θ untuk J genap dan J ganjil secara terpisah,<br />
seperti ditunjukkan pada gambar 3. Terlihat dari<br />
2<br />
cos θ t<br />
gambar bahwa pada t=T/4, dinamika ( )<br />
membentuk puncak untuk J ganjil dan membentuk<br />
lembah untuk J genap. Jika molekul hanya memiliki<br />
2<br />
J genap, maka dinamika cos θ () t -nya<br />
membentuk lembah pada t=T/4, seperti pada kasus<br />
CO 2 (gambar 2 panel bawah). Sebaliknya, molekul<br />
yang hanya memiliki J ganjil maka dinamika<br />
JM<br />
F3
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2<br />
cos<br />
θ<br />
() t<br />
-nya membentuk puncak pada t=T/4,<br />
seperti pada kasus O 2 (gambar 2 panel tengah). Pada<br />
kedua kasus, tinggi puncak / lembah pada t=T/4<br />
sama dengan tingginya pada t=T/2.<br />
Untuk molekul yang memiliki baik J genap<br />
2<br />
maupun ganjil, maka bentuk cos θ () t pada<br />
t=T/4 dipengaruhi rasio keduanya. Dia akan<br />
membentuk lembah jika J genap >J ganjil , dan membentuk<br />
puncak jika J genap
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
A. Abdurrouf dan F.H.M. Faisal (2009), Theory of<br />
intense-field dynamic alignment and highorder<br />
harmonic generation from coherently<br />
rotating molecules and interpretation of<br />
intense-field ultrafast pump-probe<br />
experiment, Phys. Rev. A, Vol. 79 Issue 2,<br />
023405(1) - 023405(28).<br />
Bartels, R.A. et al. (2002), Phase modulation of<br />
ultrashort light pulses using molecular<br />
rotational wavepackets, Phys. Rev. Lett. Vol.<br />
88, Issue 1, 013903.<br />
Dooley, P.W., et al. (2003), Direct imaging of<br />
rotational wavepacket dynamics of diatomic<br />
molecules, Phys. Rev. A Vol. 68, Issue 2,<br />
023406.<br />
F.H.M. Faisal, A.Abdurrouf, G. Miyaji, dan K.<br />
Miyazaki (2007), Origin of anomalous<br />
spectra of dynamic alignments observed in<br />
N 2 and O 2 , Phys. Rev. Lett. Vol 98, Issue 4,<br />
143001.<br />
Fleischer, S, I. Sh. Averbukh, dan Y. Prior (2006),<br />
Isotop-selective laser molecular alignment,<br />
Phys. Rev. A, Vol. 74, Issue 4, 041403.<br />
Gordon, R.J. et al. (2003), Nanolithography using<br />
molecular optics, J. Appl. Phys. Vol. 94,<br />
Issue 1, 669-676.<br />
Herzberg, G (1950), Molecular Spectra and<br />
Molecular Structure, Vol. I. chap. III, Van<br />
Nostard Reinhold, New York.<br />
Itatani, J, et al. (2004), Tomographic imaging of<br />
molecular orbitals, Nature Vol. 432, Issue<br />
7019, 867-871.<br />
Lee, K.F. et al. (2004), Phase control of rotational<br />
wavepackets and quantum information, Phys.<br />
Rev. Lett. Vol. 93, Issue 23, 233601.<br />
Miyazaki, K, private communication.<br />
Miyazaki, K, M. Kaku, G. Miyaji, A. Abdurrouf,<br />
dan F.H.M. Faisal (2005), Field-free<br />
alignment of molecules observed with highorder<br />
harmonic generation, Phys. Rev. Lett.<br />
Vol 95, Issue 6, 243903.<br />
Stapelfeldt, H (2004), Laser aligned molecules:<br />
Application in physics and chemistry, Phys.<br />
Scr. Vol T110, Issue 132, 132-136.<br />
Stapelfeldt, H dan T. Seideman (2003), Colloqium:<br />
Aligning molecules with strong lases pulses,<br />
Rev. Mod. Phys. Vol. 75, Issue 2, 543-557.<br />
H. Wabnitz, et al.(2006), Generation of attosecond<br />
pulses in molecular nitrogen, Eur. Phys. J. D<br />
Vol. 40, Issue 2, 305-311.<br />
F5
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sistem Monitoring Jarak Jauh Simulasi Sistem Pengendali dengan<br />
Menggunakan Fasilitas GPRS dan Java pada Telepon Selular<br />
Aditya Tri Laksmana 1 , Arief Sudarmaji 2 , Djati Handoko 3<br />
1,2,3 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Indonesia<br />
Email : Atlaxx@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Telepon selular yang memiliki fasilitas GPRS bila digabungkan dengan bahasa pemrograman Java, dapat<br />
digunakan untuk membuat sistem yang dapat memonitor dari jauh sebuah simulasi proses produksi berbasis<br />
LabVIEW yang dihubungkan dengan internet melalui socket TCP/IP. Sistem yang telah dibuat menggunakan<br />
metode pengiriman data satu persatu dari masing-masing port dari LabVIEW menuju ke program Local Server<br />
dan program Remote Server sehingga dapat diakses dari handphone secara akurat, realtime, dan murah.<br />
Kata kunci : GPRS, LabVIEW, Java, Server, Socket, Port.<br />
1. Pendahuluan<br />
Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang<br />
terjadi dewasa ini telah merambah ke berbagai<br />
bidang lain seperti budaya, ekonomi, pertahanan dan<br />
keamanan, serta industri. Dalam bidang industri,<br />
setiap proses produksi umumnya telah dihubungkan<br />
dengan suatu sistem pengendali, yang<br />
mengendalikan keseluruhan jalannya proses<br />
tersebut. Namun dalam menghadapi persaingan yang<br />
semakin ketat antar kompetitor, dibutuhkan akses<br />
yang cepat , tepat, akurat, mobile, serta ekonomis<br />
oleh pihak yang berkepentingan, untuk dapat<br />
mengakses setiap kejadian yang terjadi selama<br />
berlangsungnya proses produksi, sehingga dapat<br />
memberikan pengaturan serta tanggapan yang cepat<br />
bila terjadi suatu kejadian yang tidak sesuai dengan<br />
pengaturan yang telah ditentukan.<br />
Saat ini, dalam bidang industri sebenarnya sudah<br />
terdapat sistem monitoring seperti yang telah<br />
disebutkan diatas, yang dikenal dengan nama<br />
SCADA (Supervisory Control And Data<br />
Acquisition). Namun mahalnya biaya<br />
pengimplemantasian sistem ini pada suatu sistem<br />
pengendali, telah membuat para pengusaha yang<br />
memiliki dana terbatas untuk mengurungkan<br />
niatnya.<br />
Merunut kepada permasalahan tersebut, maka<br />
penulis mencoba memberikan sebuah solusi<br />
alternatif dalam menciptakan suatu sistem yang<br />
dapat memonitor dan mengontrol suatu sistem<br />
pengendali, dengan memanfaatkan fasilitas GPRS<br />
dan bahasa pemrograman Java pada telepon selular.<br />
Pada penulisan skripsi ini sistem pengendali yang<br />
dimonitor, digantikan dengan sebuah program<br />
simulasi proses produksi dan sistem pengendalinya<br />
dengan menggunakan LabVIEW.<br />
2. Perancangan Sistem<br />
Sistem ini dirancang untuk memonitor sebuah<br />
proses produksi yang direpresentasikan oleh<br />
simulasi LabVIEW, dari jarak jauh dengan<br />
menggunakan handhone. Secara garis besar sistem<br />
yang penulis buat ini terdiri dari 4 bagian seperti<br />
yang digambarkan oleh blok diagram sistem berikut<br />
ini.<br />
Gambar 2.1. Blok diagram sistem<br />
Bagian pertama dari blok diagram sistem diatas<br />
adalah program LabVIEW yang mensimulasikan<br />
suatu proses produksi di sebuah pabrik pembuat<br />
pakan ternak. Bagian kedua adalah Local Server dan<br />
database MySQL yang berada pada komputer yang<br />
sama dimana simulasi LabVIEW tadi dijalankan.<br />
Bagian ketiga adalah blok Remote Server yang akan<br />
dihubungkan dengan local server dan handphone<br />
dengan menggunakan internet. Sedangkan bagian<br />
terakhir adalah handphone yang digunakan untuk<br />
memonitor simulasi proses produksi dari jarak jauh.<br />
Berikut ini adalah uraian lengkap masing-masing<br />
bagian tersebut.<br />
F6
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2.1. Simulasi LabVIEW<br />
Pada bagian pertama ini, penulis menggunakan<br />
bahasa pemrograman LabVIEW untuk membuat<br />
sebuah program simulasi sederhana tentang proses<br />
produksi pakan ternak yang kemudian data-data dari<br />
proses produksi tersebut dikirimkan keluar melalui<br />
port TCP/IP. Program ini terdiri dari 2 buah subprogram,<br />
yaitu sub program simulasi proses<br />
produksi dan sub program pengiriman data melalui<br />
TCP/IP.<br />
Berikut ini adalah flowchart untuk sub program<br />
pertama, yaitu simulasi proses produksi.<br />
Gambar.2.2 Flowchart sub program simulasi LabVIEW<br />
Cara kerja dari subprogram simulasi ini adalah<br />
sesuai dengan flowchart diatas, yaitu pertama-tama<br />
Shift Register(SR) akan di set menjadi 0. Setelah itu<br />
program akan wait selama 1 detik baru kemudian<br />
mengecek apakan tombol start pada front panel<br />
dalam kondisi On atau Off. Jika Off program akan<br />
berhenti. Namun jika On maka program akan<br />
mengecek kembali nilai dari SR.<br />
Jika SR masih 0 maka nilai SR itu akan diubah<br />
menjadi 1 kemudian akan di loopback ke awal<br />
program. Namun jika SR tidak sama dengan 0, maka<br />
program akan mengirim data pada masing-masing<br />
tanki dan tombol kepada sub VI pengolahan data<br />
pada program ini. Setelah data terkirim, kemudian<br />
nilai SR kembali dicek, Untuk masing-masing nilai<br />
SR dari 0 hingga 16 telah ditentukan proses<br />
selanjutnya pada blok kondisi 0 hingga 16 pada<br />
flowchart diatas. Setelah masing-masing proses itu<br />
selesai dilakukan, program akan mengambil kembali<br />
data dari sub VI pengolahan data tadi untuk<br />
kemudian melakukan loopback ke awal program<br />
untuk melakukan siklus selanjutnya.<br />
Sebelum melakukan siklus yang selanjutnya,<br />
program akan kembali menjalankan wait selama 1<br />
detik. Nilai wait selama 1 detik inilah yang menjadi<br />
waktu sampling dari subprogram ini.<br />
Selanjutnya untuk sub program kedua adalah sub<br />
program pengiriman data melalui port TCP/IP pada<br />
LabVIEW. Sub program ini berfungsi untuk<br />
mengirimkan data yang ditampilkan pada chart pada<br />
pada subprogram simulasi diatas menuju program<br />
Local server melalui port 2055 sampai 2060 dari<br />
program LabVIEW ini. Cara kerja dari sub program<br />
ini sesuai dengan flowchart dibawah yaitu sub VI<br />
TCP listen akan menunggu jika ada koneksi yang<br />
masuk pada port 2055-2060. Jika selama 5 detik<br />
tidak ada koneksi, program akan menghasilkan error<br />
message nomor 56 yaitu “Connection Time Out”<br />
namun jika ada koneksi dalam 5 detik, program<br />
kemudian akan mengecek kembali apakan koneksi<br />
itu putus kembali atau tidak. Jika terputus, program<br />
akan memberikan error message nomor 62, yaitu<br />
“Connection Aborted”.<br />
Jika tidak ada masalah pada koneksi, maka<br />
program akan menjalankan perintah selanjutnya,<br />
yaitu mengirim data pada chart menggunakan sub VI<br />
TCP Write. Namun sebelumnya bentuk data dari<br />
chart tersebut diubah terlebih dahulu menjadi bentuk<br />
string dengan menggunakan sub VI Type Cast.<br />
Pengubahan menjadi bentuk string ini karena<br />
LabVIEW selalu menggunakan tipe data String<br />
untuk berkomunikasi dengan program lainnya.<br />
Setelah data tersebut terkirim, program akan<br />
melakukan wait selama 1 detik untuk menyesuaikan<br />
dengan siklus dari sub program simulasi diatas, baru<br />
kemudian melakukan loopback ke awal program<br />
untuk menjalankan siklus selanjutnya.<br />
Metode pengiriman data yang digunakan dari<br />
LabVIEW kepada program local server adalah setiap<br />
ada data dari masing-masing port kemudian akan<br />
dikirim. Meskipun lebih banyak menggunakan<br />
resource dibandingkan dengan menggunakan buffer,<br />
metode ini penulis pilih karena penulis berasumsi<br />
bahwa data yang dikirim satu per satu akan lebih<br />
mudah dibaca oleh program local server dan remote<br />
server. Meskipun demikian jika ingin lebih<br />
menghemat resource dan biaya pengiriman data,<br />
dapat digunakan metode buffer untuk keenam port<br />
yang ada, baru kemudian dikirim secara bersamasama.<br />
Berikut ini adalah flowchart untuk sub<br />
program pengiriman data melalui port TCP/IP pada<br />
LabVIEW.<br />
Gambar.2.3 Flowchart sub program pengiriman data melalui<br />
TCP/IP<br />
F7
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2.2. Program Local Server dan database MySQL<br />
Program Local Server ini diperlukan agar<br />
LabVIEW dapat terkoneksi dengan program Remote<br />
Server yang terdapat pada komputer server yang<br />
memiliki alamat IP publik. Hal ini dikarenakan<br />
komputer dimana program LabVIEW tadi dijalankan<br />
tidak memiliki alamat IP publik sehingga tidak dapat<br />
diakses dari internet oleh handphone.<br />
Cara kerja dari program Local Server ini pertamatama<br />
program akan mengecek apakah program<br />
tersebut menggunaka database atau tidak?<br />
Penggunaan database ini dapat kita atur pada list<br />
program. Setelah itu program berturut-turut program<br />
akan menjalankan method getConn() untuk<br />
membuka komunikasi dengan database MySQL,<br />
method init() untuk berkomunikasi dengan<br />
LabVIEW, dan method connectRemoteServer( )<br />
untuk berkomunikasi dengan program Remote<br />
Server pada alamat IP 87.106.176.109.<br />
Setelah semua koneksi ini tersedia, baru<br />
kemudian program akan menjalankan method Run( )<br />
yang merupakan inti dari program Local Server ini.<br />
Didalam method Run() inilah akan dijalankan<br />
perintah untuk membaca data yang dikirimkan oleh<br />
LabVIEW pada port 2055-2060, menyimpan data<br />
tersebut pada database MySQL, kemudian<br />
mengirimkan data tersebut kepada program Remote<br />
Server melalui port 3055-3060. Berikut ini adalah<br />
flowchart dari program Local Server.<br />
Fungsi dari remote server ini , selain untuk<br />
menerima data yang dikirim oleh local server, juga<br />
untuk melakukan pengiriman data setiap ada<br />
permintaan dari handphone. Cara kerja dari remote<br />
server ini mirip dengan bagian sebelumnya, dimana<br />
sebuah thread program bertugas untuk menerima<br />
data yang dikirimkan oleh local server, sedangkan<br />
thread yang lainnya bertugas untuk mendengarkan<br />
bila ada request permintaan data dari handphone.<br />
2.4. Aplikasi SkripsiMidlet Pada Handphone<br />
Bagian terakhir dari sistem ini adalah pembuatan<br />
aplikasi SkripsiMidlet pada handphone. Handphone<br />
yang digunakan pada penelitian ini adalah merek<br />
Sony Erricsson tipe K608i, yang memiliki fasilitas<br />
GPRS dan MIDP. MIDP ini merupakan virtual<br />
machine yang akan menjalankan program Java pada<br />
telepon ini. Handphone pada sistem ini berfungsi<br />
untuk memonitor ketinggian level dari masingmasing<br />
tanki bahan, level campuran bahan makanan<br />
dan temperaturnya pada tanki pengaduk, serta<br />
persediaan bahan makanan yang sudah jadi pada<br />
tanki produk, dari jarak jauh dengan menggunakan<br />
fasilitas GPRS yang tersedia pada handphone<br />
ini..Pemrograman pada telepon selular ini juga<br />
menggunakan bahasa pemrograman Java, namun<br />
memiliki teknologi yang berbeda dengan yang<br />
digunakan pada server, yaitu J2ME yang memang<br />
dirancang untuk sistem yang memiliki sumberdaya<br />
terbatas seperti handphone ini.<br />
3. Hasil dan Diskusi<br />
Data eksperimen yang didapat pada penelitian ini<br />
berupa data pada MySQL, data tampilan pada<br />
LabVIEW dan pada handphone, serta data biaya<br />
transfer data menggunakan GPRS untuk memonitor<br />
tampilan dari LabVIEW selama 60 detik.<br />
3.1. Data pada MySQL<br />
Berikut ini adalah tampilan data pada MySQL query<br />
Browser untuk pengambilan data selama 60 detik.<br />
Gambar.2.4 Flowchart program Local Server<br />
2.3. Program Remote Server<br />
Bagian ketiga dari sistem ini adalah Remote<br />
Server. Pada penelitian ini, penulis menggunakan<br />
server dengan alamat 87.106.176.109. Program Java<br />
yang telah dibuat menjadi bentuk JAR(Java<br />
Archive) yang merupakan bentuk executable dari<br />
bahasa pemrograman Java, dijalankan pada remote<br />
server ini.<br />
Gambar.3.1 Flowchart sub program simulasi LabVIEW<br />
F8
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Data pada MySQL Query Browser diatas<br />
merupakan satu dari 10 kali pengambilan data yang<br />
penulis lakukan. Sengaja penulis menampilkan data<br />
diatas untuk menunjukkan adanya data yang tidak<br />
masuk kedalam tabel pada port 2059(Temperatur<br />
mixer). Pada beberapa pengambilan data lainnya<br />
yang penulis lakukan, ada 4 kali pengambilan data<br />
dimana semua data masuk kedalam tabel, dan ada 6<br />
kali yang tidak semua data masuk kedalam tabel,<br />
atau ada data yang hilang selama dalam proses.<br />
Menurut analisa penulis, hilangnya data ini<br />
dikarenakan oleh kinerja program local server pada<br />
sistem ini terlalu berat, karena harus menerima data<br />
dari LabVIEW, memasukkan data tersebut kedalam<br />
database, juga mengirim data tersebut ke remote<br />
server. Hal ini menyebabkan waktu looping antara<br />
program local server dengan LabVIEW menjadi<br />
tidak sinkron. Sehingga sub program pengiriman<br />
data dengan TCP/IP pada LabVIEW akan mengira<br />
bahwa pada siklus itu tidak ada permintaan data dari<br />
local server pada port 2059.<br />
3.2. Perbandingan Tampilan Pada LabVIEW<br />
Dengan Handphone<br />
Pada bagian ini ditampilkan perbandingan dari<br />
tampilan pada LabVIEW serta tampilan pada<br />
handphone. Untuk masing-masing chart pada<br />
LabVIEW, ditampilkan grafik perbandingan volume<br />
bahan terhadap waktu. Dapat dilihat sumbu Y dari<br />
grafik tersebut adalah volume cairan dalam Liter,<br />
dan sumbu X adalah waktu dalam detik. Waktu<br />
disini bukanlah waktu yang sebenarnya, melainkan<br />
nilai increment dari sebuah variabel dalam satu kali<br />
siklus program. Karena waktu looping dari program<br />
ini adalah 1 detik, maka variabel tersebut akan<br />
dincrement setiap 1 detik. Nilai increment tiap 1<br />
detik inilah yang penulis jadikan tampilan waktu<br />
dari grafik volume terhadap waktu ini. Untuk<br />
tampilan waktu pada chart handphone pun penulis<br />
menggunakan metode yang sama dengan yang<br />
digunakan pada chart LabVIEW, yaitu nilai<br />
increment tiap 1 detik dari program yang dijalankan.<br />
Nilai pada sumbu Y dimulai dari 0 hingga nilai<br />
maksimal adalah 1500. Hal ini disesuaikan dengan<br />
program yang telah dibuat pada blok diagram.<br />
Sedangkan tampilan untuk data waktu dibatasi<br />
maksimal 10 data yang ditampilkan. Jadi jika ada<br />
data ke 11 data yang pertama akan digeser agar data<br />
ke 11 tersebut dapat masuk kedalam chart. Berikut<br />
ini adalah gambar tampilan chart pada LabVIEW.<br />
.<br />
Gambar.3.2. Tampilan chart pada front panel LabVIEW<br />
Untuk tampilan pada handphone, Data pada<br />
sumbu Y dimulai dari 0 hingga 15.<br />
Penyingkatan ini bertujuan untuk<br />
menghemat ruang pada tampilan layar<br />
handphone. Layar yang digunakan pada<br />
handphone Sony Ericcsson K608i yang<br />
digunakan pada penelitian ini berukuran<br />
176 x 220 pixel.<br />
Gambar.3.3. Tampilan untuk masing-masing chart pada<br />
handphone, dimulai dari kiri atas searah jarum jam adalah Bahan<br />
A, Bahan B, Bahan C, Produk, Temperatur Mixer, dan Level<br />
Mixer.<br />
Sedangkan jumlah maksimal data yang<br />
ditampilkan pada layar sama dengan sumbu X pada<br />
LabVIEW, yakni 10 data. Jadi jikadata yang<br />
ditampilkan telah mencapai 10 data, dan ada data<br />
yang ke 11 hendak ditampilkan, maka data yang<br />
paling kiri(paling awal) akan digeser ke kiri. Jadi<br />
data yang berikutnya dapat masuk<br />
F9
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
4. Kesimpulan<br />
1. Sistem yang penulis buat masih belum stabil,<br />
hal ini ditandai dengan adanya data yang hilang<br />
selama pengambilan data.<br />
2. Sistem yang dibuat hanya bersifat monitoring<br />
saja, belum bersifat kontrol.<br />
3. Tidak murni bersifat real time seperti yang<br />
diharapkan, karena terdapat perbedaan siklus<br />
waktu pada saat penampilan data antara chart<br />
LabVIEW, Emulator handphone, dan tampilan<br />
sebenarnya pada handphone.<br />
4. Database MySQL pada sistem ini hanya bersifat<br />
pasif, artinya hanya dapat menerima data saja,<br />
tanpa bisa diakses kembali oleh program Java.<br />
5. Pengiriman data dari LabVIEW kepada<br />
program local server dilakukan satu persatu<br />
untuk masing-masing port melalui alamat<br />
localhost.<br />
6. Program local server dan remote server<br />
digunakan karena komputer tempat simulasi<br />
LabVIEW dijalankan tidak memiliki alamat IP<br />
publik, sehingga harus dihubungkan dengan<br />
remote server yang memiliki alamat IP publik<br />
agar dapat diakses oleh handphone melalui<br />
internet.<br />
7. Remote server bersifat multiclient, yang artinya<br />
dapat melayani pengiriman data kepada lebih<br />
dari satu handphone pada saat yang bersamaan.<br />
Daftar Pustaka<br />
Lisa K, Wells and Jeffrey Travis, LabVIEW for<br />
Everyone, Graphical Programming Made<br />
Even Easier, Prentice-Hall, 1997.<br />
Rijalul Fikri, Ipam Fuadina Ahmad, Imam Prakoso,<br />
Pemrograman Java, Penerbit Andi, 2005.<br />
Budi Raharjo, Imam Heryanto, Tuntunan<br />
Pemrograman Java Pada Handphone, 2007.<br />
David Arnow, Gerald Weiss, Introduction to<br />
Programming Using Java An Object Oriented<br />
Approach, Addison-Wesley, 1998.<br />
F10
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Reduksi Dimensi dengan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) pada Data<br />
Persen Transmitan Kurkumin Menggunakan Open Source Software-R<br />
(OSS-R)<br />
Aniq Atiqi Rohmawati, Yanti Lina Mayasari, Elly Ana, Nur Chamidah<br />
Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : yanti_lina88@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan sebagai<br />
bahan baku dalam industri jamu dan farmasi yang mengandung senyawa kurkumin. Penentuan konsentrasi<br />
senyawa kurkumin dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) cenderung mahal jika<br />
dibandingkan dengan pengukuran menggunakan metode Fourier Trasform Infrared (FTIR). Sehingga diperlukan<br />
suatu model yang menyatakan hubungan antara konsentrasi senyawa aktif hasil pengukuran HPLC dengan<br />
persen transmitan (absorban) yang diukur dengan menggunakan FTIR. Beberapa permasalahan yang muncul<br />
dalam pembuatan model adalah ketika banyaknya pengamatan (n) jauh lebih kecil dari banyaknya peubah (p)<br />
dan antar peubah saling berkolerasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan reduksi dimensi data FTIR<br />
menggunakan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) dengan Open Source Software-R (OSS-R). Jenis wavelet<br />
yang digunakan adalah wavelet Haar, dengan nilai mother wavelet ψ(x) bernilai 1 dan -1 pada interval [0,1/2)<br />
dan [1/2,1). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa level resolusi yang terpilih adalah nilai R 2 tertinggi yaitu<br />
100% pada level 1 dan 4 dengan jumlah koefisien 18 serta 1 koefisien pemulusan. Jadi, diperoleh dimensi baru<br />
dari variabel prediktor sehingga n > p.<br />
Kata kunci : TWD, wavelet Haar, kurkumin, OSS-R, reduksi dimensi.<br />
PENDAHULUAN<br />
Di Indonesia tanaman obat telah lama digunakan<br />
oleh masyarakat dan industri untuk pembuatan jamu.<br />
Penggunaan tanaman obat yang semakin meluas<br />
sudah selayaknya diikuti dengan usaha untuk<br />
menjamin kualitas tanaman obat tersebut.<br />
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)<br />
merupakan salah satu tanaman obat yang banyak<br />
digunakan sebagai bahan baku dalam industri jamu<br />
dan farmasi. Hal ini untuk menjamin agar<br />
produksinya dapat bersaing dan diterima oleh<br />
masyarakat. Salah satu indikator kualitas tanaman<br />
obat adalah konsentrasi senyawa aktifnya (Mukid,<br />
2009).<br />
Proses penentuan konsentrasi senyawa aktif yang<br />
dikandung oleh suatu tanaman obat perlu dilakukan<br />
secara cepat dan akurat. Secara kuantitatif dan<br />
kualitatif suatu senyawa aktif dapat diketahui antara<br />
lain melalui metode High Performance Liquid<br />
Chromatograph (HPLC) dan Fourier Trasform<br />
Infrared (FTIR). Proses penentuan konsentrasi<br />
senyawa aktif dengan HPLC memerlukan waktu dan<br />
biaya yang relatif mahal dibandingkan dengan FTIR.<br />
Untuk itu diperlukan metode yang handal tetapi<br />
relatif mudah untuk digunakan. Salah satu<br />
metodenya adalah dengan membuat sebuah model<br />
yang menyatakan hubungan antara konsentrasi<br />
senyawa aktif hasil pengukuran HPLC dengan<br />
persen transmitan (absorban) yang diukur dengan<br />
menggunakan FTIR (Erfiani, 2005).<br />
Beberapa permasalahan yang muncul<br />
dalam pembuatan model adalah ketika<br />
banyaknya pengamatan (n) jauh lebih kecil<br />
dari banyaknya peubah (p) dan antar peubah<br />
saling berkolerasi. Kasus-kasus ini<br />
membawa permasalahan pendugaan<br />
parameter model. Metode untuk mengatasi<br />
hal ini adalah dengan melakukan reduksi<br />
dimensi sehingga diperoleh peubah baru<br />
yang dimensinya lebih kecil dari p dan antar<br />
baru peubah tidak saling berkolerasi.<br />
Dalam penelitian ini metode yang digunakan<br />
untuk mereduksi dimensi adalah Transformasi<br />
Wavelet Diskret (TWD).<br />
M<br />
∑ − 12<br />
j<br />
= + ∑ − 1<br />
f(t) c<br />
0,0<br />
φ(t)<br />
d ψ (t)<br />
j=<br />
0 k=<br />
0<br />
j,k j,k<br />
Jenis wavelet yang digunakan adalah wavelet<br />
yang paling tua dan sederhana, wavelet Haar, dengan<br />
nilai mother wavelet ψ(x) bernilai 1 dan -1 pada<br />
interval [0,1/2) dan [1/2,1).<br />
Metode ini secara komputasi mudah dan<br />
sederhana dalam penerapannya serta mampu<br />
mengatasi data yang memiliki dimensi yang tinggi<br />
(Yinsheng Qu et al, 2003). Selain itu metode ini<br />
dianggap paling mudah dalam implementasinya<br />
dibandingkan dengan yang lain<br />
(www.wikipedia.org). Penelitian sebelumnya<br />
tentang transformasi wavelet dilakukan oleh Sony<br />
F11
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dan Notodiputro (2004); Sunaryo (2005); Da Chen<br />
et al (2004) menggunakan TWD dengan mother<br />
wavelet yang digunakan adalah wavelet Haar.<br />
Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah dlam<br />
penelitian ini adalah bagaimana melakukan reduksi<br />
dimensi dengan TWD pada data persen transmitan<br />
kurkumin menggunakan OSS-R. Hasil penelitian ini<br />
diharapkan dapat memberikan metode alternatif<br />
penanganan pemodelan regresi pada data berdimensi<br />
tinggi dengan kasus multikolinearitas dan<br />
mengetahui penerapan TWD pada program OSS-R.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />
data sekunder yang merupakan bagian dari data<br />
penelitian Hibah Pascasarjana tahun 2003-2005 hasil<br />
kerjasama antara <strong>Departemen</strong> Statistika IPB dengan<br />
Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Data yang<br />
digunakan adalah persen transmitan kurkumin dari<br />
serbuk temulawak hasil pengukuran spektrometer<br />
FTIR dan data konsentrasi senyawa aktif kurkumin<br />
yang diukur dengan menggunakan HPLC.<br />
Temulawak yang dijadikan contoh diambil dari<br />
beberapa daerah sentra tanaman obat, yaitu Bogor,<br />
Sukabumi, Kulon Progo, Karanganyar, dan Cianjur<br />
dan Balitro. Data-data tersebut diperoleh dari Pusat<br />
Studi Biofarmaka Institut pertanian Bogor. Data<br />
tersebut diperoleh peneliti sebagai bagian dari Hibah<br />
Pekerti 2010 antara <strong>Unair</strong> selaku TPP dan IPB<br />
sebagai TPM.<br />
Variabel Penelitian<br />
Variabel prediktor yang digunakan pada<br />
penelitian ini adalah data persen transmitan FTIR<br />
serbuk kurkumin yang diperoleh dari 1866 panjang<br />
gelombang pada 20 daerah pengamatan yang<br />
berbeda. Sedangkan variabel respon pada penelitian<br />
ini adalah konsentrasi HPLC dari 20 daerah<br />
pengamatan seperti yang terlihat pada Tabel 1.<br />
TABEL 1 Data Konsentrasi HPLC pada 20 Daerah Sentra<br />
Tanaman Obat<br />
No Sampel Konsentrasi HPLC<br />
1 Kulon Progo 1 0.65<br />
2 Kulon Progo 2 0.63<br />
3 Kulon Progo 3 0.92<br />
4 Kulon Progo 4 0.9<br />
5 Karanganyar 1 1.61<br />
6 Karanganyar 2 1.66<br />
7 Kulon Progo 5 1.01<br />
8 Kulon Progo 6 1.13<br />
9 Karanganyar 3 0.47<br />
10 Karanganyar 4 0.5<br />
11 Balitro 1 1.38<br />
12 Balitro 2 1.57<br />
13 Cianjur 1 1.57<br />
14 Cianjur 2 1.74<br />
15 Bogor 1 0.13<br />
16 Bogor 2 0.12<br />
17 Kuningan 1 1.11<br />
18 Kuningan 2 0.97<br />
19 Sukabumi 1 1.3<br />
20 Sukabumi 2 1.24<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Reduksi dimensi merupakan tahap prapemprosesan<br />
yang bertujuan untuk mengatasi<br />
permasalahan yang ada pada data persen transmitan<br />
kurkumin, yaitu memiliki dimensi yang sangat tinggi<br />
berukuran 20x1866.<br />
Pada metode wavelet mensyaratkan jumlah titik<br />
yang akan direduksi harus 2 N , sedangkan pada<br />
variabel prediktor ada 1866 sehingg$a tidak<br />
memenuhui syarat tersebut. Variabel-variabel<br />
tersebut dimampatkan menjadi 1024 atau 2 10 dengan<br />
memperhatikan plot spektra dari masing-masing<br />
panjang gelombang seperti yang terlihat pada<br />
Gambar 1.<br />
Gambar 1 Plot spektra persen transmitan kurkumin pada 1024<br />
panjang gelombang<br />
Kemudian memilih koefisien-koefisien pada level<br />
resolusi tertentu sehingga n < p. Pemilihan koefisien<br />
pada level resolusi dilakukan dengan metode cobacoba<br />
(trial and error), yaitu dengan<br />
mengkombinasikan level resolusi 0, 1, 2, 3 dan 4.<br />
Kombinasi level resolusi yang memiliki nilai R 2<br />
tertinggi digunakan untuk memilih koefisienkoefisen<br />
wavelet.<br />
TABEL 2 Nilai R 2 dan Kombinasi Level Resolusi Koefisien<br />
Wavelet<br />
No Level Resolusi R 2<br />
1 C 0,0 dan 0 20,18%<br />
2 C 0,0 dan 1 13,97%<br />
3 C 0,0 dan 2 24,59%<br />
4 C 0,0 dan 3 62,18%<br />
5 C 0,0 dan 4 96,92%<br />
6 C 0,0 , 0 dan 1 29,85%<br />
7 C 0,0 , 0 dan 2 42,69%<br />
8 C 0,0 , 0 dan 3 72,39<br />
9 C 0,0 , 0 dan 4 99,91%<br />
10 C 0,0 , 1 dan 2 47,26%<br />
F12
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
11 C 0,0 , 1 dan 3 68,97%<br />
12 C 0,0 , 1 dan 4 100%<br />
13 C 0,0 , 2 dan 3 81,78%<br />
14 C 0,0 , 0, 1 dan 2 47,26%<br />
15 C 0,0 , 0, 1 dan 3 73,08%<br />
16 C 0,0 , 0, 2 dan 3 83,21%<br />
17 C 0,0 , 1 2 dan 3 85,85%<br />
18 C 0,0 , 0, 1, 2 dan 3 81,86%<br />
Berdasarkan Tabel 2, level resolusi yang terpilih<br />
adalah nilai R 2 tertinggi yaitu 100% pada level 1<br />
dan 4 dengan jumlah koefisien wavelet 18 serta 1<br />
koefisien pemulusan. Jadi, diperoleh dimensi baru<br />
dari variabel prediktor sehingga n > p.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih disampaikan kepada Direktorat<br />
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyrakat Dirjen<br />
Dikti, LPPM <strong>Unair</strong> yang telah membiayai penelitian<br />
ini, <strong>Departemen</strong> Statistika IPB, Dr. Sony Sunaryo,<br />
dan Anggreini Suprapti serta seluruh pihak yang<br />
telah meluangkan waktu dalam penyelesaian<br />
penelitian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Antoniadis, A, 2003. An Introduction to Wavelets<br />
and some Applications. Prancis, University<br />
Joseph Fourier, Laboratoire IMAG-LMC.<br />
Chen, D., Hu B., X., Shao., & Qingde, S. 2004,<br />
Variable Selection by Modified IPW<br />
(Iterative Predictor Weighting)-KTP (Partial<br />
Least Squares) in Continuos Wavelet<br />
Regression Models, www.-rsc.org/analyst.<br />
Chui, C. K, 1992. An Introduction to Wavelets.<br />
Academic Press.<br />
Draper, N.R & Smith, H., 1992. Analisis Regresi<br />
Terapan. Edisi Kedua. Jakarta: PT.<br />
GramediaPustaka Utama.<br />
Erfiani. 2005. Pengembangan Model Kalibrasi<br />
dengan Pendekatan Bayes (Kasus<br />
Tanaman Obat [Disertasi]. Bogor: Program<br />
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.<br />
Fitriani, A, 2010. Metode Regresi Kuadrat Terkecil<br />
Parsial Untuk Pra-Pemrosesan Data Luaran<br />
GCM CSIRO Mk-3 [Tugas Akhir]. Surabaya,<br />
Institut Teknologi Sepuluh November.<br />
Nason G. P, 2010. Wavelet Methods in Statistics<br />
with R. New York. Springer.<br />
Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Spektroskopi<br />
dalam Analisis Biologi. Bogor:<br />
Pusat Antar Univrsitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian<br />
Bogor.<br />
Matthias, O. 1999. Chemometrics: Statistics and<br />
Computer Apllication in Analytical<br />
Chemistry. New York: Wiley-VCH ISBN 3-<br />
527-29628-X.<br />
Mukid, A, 2009. Regresi Proses Gaussian untuk<br />
Pemodelan Kalibrasi [disertasi]. Bogor :<br />
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian<br />
Bogor.<br />
Mevik, B. & Ron W. 2007. Principal Component<br />
and Partial Least Squares Regression in R.<br />
Jurnal Software Statistik, www.jstatsoft.org.<br />
Qu Yinsheng, et al. 2003, Data Reduction Using a<br />
Discrete Wavelet Transform in Discriminant<br />
Analysis of Very High Dimensionality Data,<br />
Biometrics, Vol. 59, No. 1<br />
(Maret,2003),pp.143-151.<br />
Sinambela JM. 1985. Fitostandar dan Temulawak.<br />
Prosiding Simposium Nasional Temulawak.<br />
Bandung, 17 sepetember 1985. Lembaga<br />
Penelitian Universitas Padjajaran.<br />
Socrates G. 1994. Infared Characteristic Group<br />
Frequencies Tables and Charts. Edisi Ke-2.<br />
England : John Wiley and Sons.<br />
Sunaryo S. 2005. Model Kalibrasi dengan<br />
Transformasi Wavelet sebagai Metode Prapemrosesan<br />
[disertasi]. Bogor : Sekolah<br />
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.<br />
Suprapti, A, 2009. Pra-Pemrosesan Data Luaran<br />
GCM CSIRO-Mk3 dengan Metode<br />
Transformasi Wavelet Diskret [Tugas Akhir].<br />
Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh<br />
November.<br />
Walpole, E.R. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika<br />
untuk Insinyur dan Ilmuan, Edisi Keempat.<br />
Bandung: Penerbit ITB.<br />
Wigena, A.H. & Aunuddin. 1997. Metode PLS<br />
untuk Mengatasi Kolinearitas dalam<br />
Kalibrasi Ganda. Bogor, Institut Pertanian<br />
Bogor.<br />
Vidacovic B, Meuller P. 1991. Wavelets for Kids. A<br />
Tutorial Introduction. AMS Subject<br />
Classification, Duke University.<br />
F13
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Keterkaitan Antara Angin Surya dengan Kejadian Badai Geomagnet<br />
Anwar Santoso<br />
Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa – Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />
Jln. DR. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 INDONESIA<br />
Email : anwar@bdg.lapan.go.id, war92_2000@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Perilaku komponen-komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw) dan IMF sebelum dan saat badai geomagnet<br />
menentukan terbentuknya badai geomagnet. Perkembangan badai geomagnet proporsional dengan pertumbuhan<br />
arus cincin yang dilambangkan oleh parameter VBz sehingga komponen kecepatan angin surya (Vsw) sangat<br />
diperhitungkan dalam setiap kegiatan prediksi badai geomagnet. Namun kenyataanya tidak demikian,<br />
adakalanya badai geomagnet terjadi ketika Nsw tinggi dan Vsw normal (rendah). Untuk mendapatkan gambaran<br />
bagaimana kaitan antara komponen-komponen angin surya dengan badai geomagnet maka penelitian ini<br />
menggunakan data angin surya (Nsw, Vsw dan Psw), IMF Bz(-) dan indeks Dst tahun 1996-2001 dengan metode<br />
analisis korelasi. Hasilnya adalah bahwa telah terjadi 44 kejadian badai geomagnet kuat (Dst < -100 nT) di<br />
sepanjang tahun 1996-2001. Hasil analisis lebih lanjut diperoleh bahwa dari 44 kejadian badai geomagnet<br />
tersebut, 9 kejadian diantaranya dipengaruhi dominan oleh komponen densitas angin surya (Nsw), 8 kejadian<br />
dipengaruhi dominan oleh kekuatan yang sama ketiga komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw), 1 kejadian<br />
dipengaruhi dominan oleh komponen tekanan angin surya (Psw) yaitu kejadian badai geomagnet tanggal 20 Juli<br />
2000 (Dst = -100 nT) dan sisanya 26 kejadian dipengaruhi dominan oleh komponen kecepatan angin surya<br />
(Vsw). Hal ini berarti bahwa komponen densitas (Nsw) dan tekanan (Psw) angin surya (terutama Nsw) patut<br />
untuk dipertimbangkan dalam kegiatan pemodelan maupun prediksi badai geomagnet, selain komponen<br />
kecepatan angin surya (Vsw) bersamaan dengan arah selatan medan magnet antar planet (IMF Bz(-)) sehingga<br />
akan didapatkan hasil yang sempurna.<br />
Kata Kunci : Badai geomagnet, geoeffectiveness, angin surya, Medan Magnet antar planet (IMF).<br />
PENDAHULUAN<br />
Badai geomagnet merupakan gangguan<br />
geomagnet yang terjadi di daerah lintang rendah dan<br />
sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang terjadi di<br />
permukaan matahari. Umumnya, tingkat gangguan<br />
geomagnet di daerah lintang rendah digunakan<br />
indeks Dst yaitu indeks yang menyatakan kuat arus<br />
di daerah ring current dan diperoleh dari rata-rata<br />
komponen H di stasiun Hermanus, Kakioka,<br />
Honolulu dan San Juan. Terjadinya gangguan<br />
geomagnet diawali oleh peristiwa di permukaan<br />
matahari yang dinamakan coronal mass ejection<br />
(CME) dan coronal holes.<br />
Ketika CME terjadi, energi dan partikel-partikel<br />
bermuatan terbawa serta oleh angin surya (solar<br />
wind) menjelajah ke seluruh ruang antar planet di<br />
jagad raya dalam 3 komponen yaitu komponen<br />
kecepatan angin surya (Vsw), komponen densitas<br />
angin surya (Nsw) dan komponen tekanan angin<br />
surya (Psw). Pada saat bertemu dengan magnetosfer<br />
bumi maka akan terjadi transfer energi dan<br />
momentum ke dalam magnetosfer melalui<br />
mekanisme rekoneksi yang selanjutnya memicu<br />
timbulnya perubahan sistem arus listrik di dalam<br />
magnetosfer dan juga ionosfer. Perubahan arus<br />
tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas<br />
magnetik di seluruh permukaan bumi yang<br />
dinamakan badai geomagnet. Dengan demikian,<br />
gangguan geomagnet yang dinamakan badai<br />
geomagnet sangat dikendalikan oleh perilaku<br />
kopling angin surya-magnetosfer bumi pada sebelum<br />
dan saat badai geomagnet berlangsung. Gangguan<br />
geomagnet akan semakin intens bersamaan dengan<br />
kondisi medan magnet antar planet (IMF Bz(-)) yang<br />
cenderung mengarah ke selatan (Burton et al., 1975;<br />
Gonzales et al., 1994; Nagatsuma, 2002; Ballatore<br />
and Gonzales, 2003; Maltsev, 2003).<br />
Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan<br />
masing-masing komponen angin surya dalam setiap<br />
kejadian badai geomagnet maka dalam makalah ini<br />
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk<br />
mengetahui jawaban atau gambarannya dengan<br />
menggunakan data indeks Dst, komponenkomponen<br />
angin surya dan interplanetary magnetis<br />
field (IMF) terutama arah selatan (Bz (-)) tahun<br />
1996-2001 yang dianalisis melalui metode analisis<br />
korelasi.<br />
DATA DAN METODA<br />
Untuk menyelesaikan permasalahan maka<br />
dibutuhkan data-data tahun 1996-2001 yang<br />
berkondisi baik dan dianalisis dengan metode<br />
statistik yaitu analisis korelasi.<br />
Data<br />
F14
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
* Indek Dst, untuk identifikasi kejadian badai<br />
geomagnet kuat (Dst < -100 nT).<br />
* Komponen kecepatan, densitas dan tekanan<br />
angin surya (Vsw, Nsw dan Psw) untuk bahan<br />
studi dan analisis keterkaitan<br />
* Komponen Bz(-) IMF untuk bahan studi dan<br />
analisis keterkaitan.<br />
B. Metodologi<br />
Langkah awal adalah identifikasi badai<br />
geomagnet menggunakan indeks Dst. Selanjutnya,<br />
dilakukan pengolahan data angin surya dan IMF Bz<br />
pada masing kejadian badai geomagnet untuk<br />
mendapatkan harga korelasinya. Kemudian<br />
dilakukan analisis dan pembahasan untuk<br />
menyelsaikan masalah.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
A. Hasil<br />
Hasil identifikasi badai geomagnet dengan indeks<br />
Dst dan juga hasil analisis korelasi antara<br />
komponen-komponen angin surya, medan magnet<br />
antar planet arah selatan dan kejadian badai<br />
geomagnet (diwakili oleh indeks Dst), ditunjukkan<br />
pada Tabel 1A dan Tabel 1B.<br />
TABEL IA Hasil Identifikasi Badai Geomagnet Dan Harga<br />
Korelasi Antara Komponen-Komponen Angin Surya, IMF Bz(-)<br />
Dengan Kejadian Badai Geomagnet (Indeks Dst) Tahun 1996-<br />
2001<br />
Waktu Dst<br />
Korelasi<br />
No Badai (nT) Vsw-Bz Vsw-<br />
Dst<br />
Nsw-Bz Nsw-Dst Psw-Bz Psw-<br />
Dst<br />
1 23 Okt 96 -101 0.15 -0.50 -0.66 -0.53 -0.599 -0.69<br />
2 21 Apr 97 -105 -0.89 -0.67 -0.12 0.30 -0.241 0.18<br />
3 6 Agt 98 -154 -0.76 -0.23 -0.13 -0.71 -0.262 -0.68<br />
4 9 Nop 98 -167 0.07 -0.48 0.86 0.79 0.866 0.63<br />
5 13 Nop 98 -169 0.19 0.52 0.74 0.64 0.742 0.69<br />
6 22 Sep 99 -198 -0.15 -0.31 0.25 0.36 0.0356 0.09<br />
7 22 Okt 99 -255 -0.16 -0.69 0.07 0.19 -0.047 -0.15<br />
8 5 Okt 00 -187 0.24 -0.52 -0.19 -0.52 -0.139 -0.61<br />
9 3 Okt 01 -167 0.06 0.79 -0.67 -0.59 -0.639 -0.34<br />
10 28 Okt 01 -172 -0.62 -0.87 -0.63 -0.91 -0.702 -0.89<br />
11 21 Okt 01 -198 -0.34 -0.92 -0.14 -0.54 -0.208 -0.72<br />
12 6 Nop 01 -292 0.65 -0.99 -0.74 0.99 -0.789 0.97<br />
13 24 Nop 01 -234 0.04 -0.69 -0.24 0.14 -0.237 0.08<br />
14 23 Jan 00 -102 -0.01 -0.12 0.22 0.22 0.196 0.24<br />
15 11 Jan 00 -100 -0.69 -0.84 0.26 0.66 0.021 0.39<br />
16 29 Nop 00 -117 -0.81 -0.20 -0.71 -0.38 -0.69 -0.32<br />
17 6 Nop 00 -168 -0.06 -0.31 -0.04 -0.61 -0.06 -0.59<br />
18 28 Okt 00 -145 -0.91 -0.87 0.08 0.24 -0.16 0.02<br />
19 17 Sep 00 -212 0.62 -0.71 -0.47 0.34 -0.04 -0.21<br />
20 12 Agt 00 -252 -0.08 -0.56 0.24 0.02 0.10 -0.32<br />
21 8 Jun 00 -100 -0.35 -0.54 -0.05 0.39 -0.13 0.167<br />
22 17 Mei 00 -101 -0.67 0.23 -0.38 -0.59 -0.49 -0.51<br />
23 6 Apr 00 -291 -0.96 -0.76 -0.86 -0.83 -0.91 -0.84<br />
TABEL IB Sambungan Tabel 1A<br />
No Waktu Dst<br />
Korelasi<br />
Badai (nT) Vsw-Bz Vsw-<br />
Dst<br />
Nsw-Bz Nsw-Dst Psw-Bz Psw-<br />
Dst<br />
24 25 sep 98 -265 -0.78 -0.82 0.29 0.64 0.09 0.42<br />
25 4 Mei 98 -208 -0.26 -0.79 -0.08 -0.59 -0.07 -0.66<br />
26 26 Jun 98 -109 -0.44 -0.59 0.19 0.42 0.22 0.39<br />
27 15 Mei 97 -145 -0.22 -0.81 0.05 0.54 -0.12 0.02<br />
28 3 Sep 97 -115 -0.09 -0.79 0.26 -0.06 0.11 -0.49<br />
29 23 Nop 97 -112 -0.23 0.49 -0.76 -0.40 -0.77 -0.27<br />
30 26 Sep 01 -106 -0.29 -0.83 -0.19 -0.06 -0.28 -0.27<br />
31 17 Agt 01 -104 -0.11 -0.45 0.03 -0.44 0.01 -0.46<br />
32 18 Apr 01 -109 -0.01 -0.60 -0.15 -0.28 -0.13 -0.34<br />
33 11 Apr 01 -289 -0.85 -0.79 -0.65 -0.58 -0.67 -0.63<br />
34 31 Mar 01 -398 -0.28 -0.70 0.07 -0.13 -0.06 -0.33<br />
35 20 Mar 01 -151 -0.83 -0.63 -0.51 -0.48 -0.69 -0.58<br />
36 12 Peb 00 -143 -0.14 0.32 -0.39 0.07 -0.39 0.053<br />
37 29 Okt 00 -145 -0.91 -0.87 0.08 0.24 -0.16 0.02<br />
38 14 Okt 00 -115 0.87 0.85 0.05 -0.35 0.42 0.02<br />
39 20 Jul 00 -100 -0.64 -0.36 0.15 -0.43 -0.10 -0.57<br />
40 15 Jul 00 -301 -0.55 -0.70 0.01 0.11 -0.23 -0.19<br />
41 24 Mei 00 -165 0.02 -0.13 -0.13 0.46 -0.15 0.45<br />
42 13 Jan 99 -170 -0.19 -0.79 -0.29 -0.79 -0.28 -0.83<br />
43 21 Mar 98 -106 0.34 -0.44 -0.26 0.47 -0.10 -0.05<br />
44 11 Okt 97 -123 -0.89 -0.85 -0.65 -0.55 -0.79 -0.69<br />
Keterangan warna :<br />
Merah : Korelasi terbesar terjadi antara komponen densitas dan tekanan<br />
angin surya (Nsw dan Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />
Biru<br />
: Korelasi hampir merata diantara ketiga komponen angin surya<br />
(Vsw, Nsw dan Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />
Hijau : Korelasi terbesar terjadi antara komponen tekanan angin surya<br />
(Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />
Hitam : Korelasi terbesar terjadi antara komponen kecepatan angin surya<br />
dengan Bz dan badai geomagnet<br />
Untuk memperlengkapi analisis (pembahasan)<br />
maka diberikan plot jam-an komponen-komponen<br />
angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada 9 kejadian<br />
badai geomagnet yang terjadi oleh dominasi<br />
pengaruh densitas dan tekanan angin surya (Nsw dan<br />
Psw), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.<br />
23 Okt<br />
5Okt00<br />
29 Nop<br />
17 Mei<br />
6Agt98<br />
6Nop<br />
3 Okt 01<br />
23 Nop<br />
12 Peb 14 Okt<br />
Gambar 1. Pola perilaku komponen angin surya, IMF Bz dan<br />
indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan setelah badai geomagnet yang<br />
terjadi oleh dominasi pengaruh densitas dan tekanan angin surya<br />
pada kekuatan yang sama.<br />
Selain itu juga diberikan plot jam-an komponenkomponen<br />
angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada<br />
8 kejadian badai geomagnet yang terjadi oleh<br />
pengaruh ketiga komponen angin surya (Vsw, Nsw<br />
dan Psw) pada kekuatan yang hampir sama, seperti<br />
ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.<br />
F15
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
11 Apr<br />
01<br />
22 Okt<br />
99<br />
6 Apr 00<br />
13 Jan 99<br />
28 Okt<br />
00<br />
20 Mar<br />
01<br />
4 Mei 98<br />
11 Okt<br />
97<br />
Gambar 2. Pola perilaku komponen-komponen angin surya, IMF<br />
Bz dan indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan setelah badai<br />
geomagnet yang terjadi oleh pengaruh yang hampir sama dari<br />
ketiga komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw).<br />
Sedangkan plot jam-an komponen-komponen<br />
angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada waktu<br />
badai geomagnet yang terjadi oleh dominasi<br />
pengaruh komponen tekanan angin surya (Psw),<br />
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.<br />
Sedangkan, plot jam-an komponen-komponen<br />
angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada 26<br />
kejadian badai geomagnet yang terjadi oleh<br />
dominasi pengaruh komponen kecepatan angin surya<br />
(Nsw) tidak ditunjukkan dalam makalah ini dengan<br />
alasan efisiensi.<br />
B. Pembahasan<br />
Dari Tabel 1, ditunjukkan bahwa sepanjang<br />
tahun 1996-2001 telah diperoleh 44 kejadian badai<br />
geomagnet yang digunakan sebagai studi dan bahan<br />
analisis. Dari 44 kejadian badai geomagnet tersebut,<br />
26 kejadian terkait dengan dominasi komponen<br />
kecepatan angin surya (Vsw), 9 kejadian terkait<br />
dengan dominasi komponen kerapatan angin surya<br />
(Nsw dan Psw), 8 kejadian terkait dengan pengaruh<br />
yang sama di antara ketiga komponen angin surya<br />
(Vsw, Nsw, Psw) dan 1 kejadian terkait dengan<br />
dominasi hanya oleh komponen tekanan angin surya<br />
(Psw). Pemberian istilah dominasi dilakukan<br />
berdasarkan pada besarnya harga korelasi salah satu<br />
komponen angin surya dibandingkan komponen<br />
angin surya lainnya.<br />
Selain itu, pemberian istilah dominasi juga<br />
dilakukan berdasarkan analisis visual (penampakan)<br />
plot grafik pola perilaku variasi komponenkomponen<br />
angin surya, IMF Bz(-) dan indeks Dst<br />
pada sebelum, saat dan setelah badai geomagnet<br />
berlangsung. Keterkaitan atau dominasi masingmasing<br />
komponen angin surya dalam bentuk visual<br />
plot grafik, dapat dilihat pada :<br />
* Gambar 1 untuk kejadian badai geomagnet yang<br />
terkait dengan dominasi 2 komponen angin surya<br />
yang hampir sama kuatnya yaitu antara komponen<br />
densitas dan tekanan angin surya (Nsw dan Psw),<br />
dibandingkan dengan komponen kecepatan angin<br />
surya (Vsw),<br />
* Gambar 2 untuk kejadian badai geomagnet yang<br />
terkait dengan dominasi yang hampir sama<br />
kuatnya dari ketiga komponen angin surya (Vsw,<br />
Nsw dan Psw),<br />
* Gambar 3 untuk satu satunya kejadian badai<br />
geomagnet yang terkait dengan dominasi hanya<br />
oleh komponen tekanan angin surya (Psw).<br />
Untuk lebih jelasnya, pada masing-masing<br />
kondisi diambil satu kasus kejadian badai<br />
geomagnet dan dianalisis lebih detail berikut ini.<br />
20 Jul 00<br />
Gambar 3. Pola perilaku komponen-komponen angin surya, IMF<br />
Bz dan indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan 2 hari setelah badai<br />
geomagnet yang terjadi oleh dominasi pengaruh komponen<br />
tekanan angin surya.<br />
F16
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
B1. Badai Geomagnet tanggal 3 Oktober 2001<br />
Badai geomagnet tanggal 3 Oktober 2001<br />
terjadi dengan kategori intensitas kuat (Dst = -167<br />
nT).<br />
signifikan bersamaan dengan arah ke selatan IMF.<br />
Kenaikan komponen kerapatan, kecepatan dan<br />
tekanan angin surya dengan dominasi yang hampir<br />
berbarengan waktu diduga kuat merupakan pemicu<br />
timbulnya kejadian badai geomagnet tanggal 6 April<br />
2000. Hal ini diperkuat dengan harga korelasi antara<br />
Vsw-Bz, Vsw-Dst, Nsw-Bz, Psw-Bz, Nsw-Dst dan<br />
Psw-Dst yang relatif besar rata-rata di atas -0.8.<br />
B3. Badai Geomagnet tanggal 20 Juli 2000<br />
Badai geomagnet tanggal 20 Juli 2000<br />
merupakan badai geomagnet kategori kuat dengan<br />
intensitas Dst = -100 nT.<br />
Gbr. 4-1. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />
dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 3 Oktober 2001<br />
Dari Gambar 4-1 pada daerah arsiran merah,<br />
tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />
(penurunan), komponen kerapatan dan tekanan<br />
angin surya mengalami kenaikan secara signifikan<br />
bersamaan dengan arah ke selatan IMF. Kondisikondisi<br />
angin surya dan IMF Bz diatas merupakan<br />
kondisi yang paling ideal untuk terbentuknya badai<br />
geomagnet dan pola Dst yang menurun merupakan<br />
indikasi adanya badai geomagnet. Dari Gambar 4-1<br />
juga tampak jelas bahwa komponen kecepatan angin<br />
surya pada waktu itu tidak mengalami kenaikan,<br />
sehingga diduga kuat bahwa kejadian badai<br />
geomagnet tanggal 3 Oktober 2001 dipengaruhi oleh<br />
kenaikan komponen kerapatan dan tekanan angin<br />
surya bersamaan dengan arah selatan IMF. Hal ini<br />
diperkuat dengan harga korelasi antara Nsw-Bz,<br />
Psw-Bz, Nsw-Dst dan Psw-Dst yang relatif cukup<br />
besar dan negatif (artinya Bz dan komponen angin<br />
surya yang normal harus berlawanan) masingmasing<br />
adalah -0.7, -0.6, -0,6 dan -0.4.<br />
B2. Badai Geomagnet tanggal 6 April 2000<br />
Badai geomagnet tanggal 6 April 2000<br />
merupakan badai geomagnet kategori kuat sebesar<br />
Dst = -291 nT.<br />
Gbr. 4-2. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />
dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 6 April 2000<br />
Dari Gambar 4-2 pada daerah arsiran biru,<br />
tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />
(penurunan), komponen kerapatan, kecepatan dan<br />
tekanan angin surya mengalami kenaikan secara<br />
Gbr. 4-3. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />
dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 20 Juli 2000<br />
Dari Gambar 4-3 pada daerah arsiran hijau,<br />
tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />
(penurunan), komponen tekanan angin surya<br />
mengalami kenaikan bersamaan dengan arah ke<br />
selatan IMF hanya sebesar -0.1. Walaupun<br />
demikian, korelasinya dengan penurunan Dst (Psw-<br />
Dst) adalah yang paling besar yaitu sebesar -0.6.<br />
Secara visual fenomena ini terlihat secara jelas.<br />
Penetapan bahwa kejadian badai geomagnet tanggal<br />
20 Juli 2000 dominan dipengaruhi oleh Psw<br />
didasarkan pada kenyataan bahwa Vsw-Bz dan<br />
Nsw-Bz berkorelasi kuat tetapi tidak efektif<br />
menyebabkan depresi terhadap penurunan Dst,<br />
terbukti dengan harga korelasi Vsw-Dst dan Nsw-<br />
Dst relatif kecil.<br />
KESIMPULAN<br />
Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini<br />
adalah bahwa dominasi pengaruh kecepatan angin<br />
surya bersamaan dengan arah selatan IMF sebagai<br />
pembentuk badai geomagnet tidak mutlak. Ada<br />
kalanya badai geomagnet terjadi ketika komponen<br />
kecepatan angin surya (Vsw) relatif lemah dan<br />
komponen kerapatan serta tekanan angin surya (Nsw<br />
dan Psw) relatif kuat bersamaan dengan arah selatan<br />
IMF. Untuk itu maka komponen densitas (Nsw) dan<br />
tekanan (Psw) angin surya (terutama Nsw) patut<br />
dipertimbangkan dalam kegiatan pemodelan maupun<br />
prediksi badai geomagnet bersamaan dengan arah<br />
selatan medan magnet antar planet (IMF Bz(-))<br />
sehingga akan didapatkan hasil yang lebih baik.<br />
F17
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya<br />
disampaikan kepada Kepala Bidang dan seluruh staf<br />
peneliti bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet<br />
Antariksa, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,<br />
LAPAN yang telah membantu baik langsung<br />
maupun tidak langsung tercapainya tujuan penelitian<br />
ini. Selain itu, ucapan terima kasih juga disampaikan<br />
kepada panitia Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> Terapan II<br />
2010, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Saintek<br />
Universitas Airlangga<br />
Referensi<br />
Burton, R. K., R.L. McPherron, and C.T. Russel,<br />
“An empirical relationship between<br />
interplanetary conditions and Dst”, 1975,<br />
Journal of Geophysical Research, 80, pp.<br />
4204-4214.<br />
Gozales, W.D., J.A. Joselyn, Y. Kamide, H.W.<br />
Kroehl, G. Rostoker, B.T. Tsurutani, and<br />
V.M. Vasyliunas, “What is a geomagnetic<br />
storm?“, Journal of Geophysical Research,<br />
1994, 99, pp. 5771-5792.<br />
Nagatsuma T., “Geomagnetic storm”, 2002, Journal<br />
of the communications research laboratory,<br />
49, No. 3.<br />
Ballatore, P., and Gonzales W.D., “On the estimates<br />
of the ring current injection and decay”,<br />
2003, Earth planets space, 55, pp. 427-435.<br />
Maltsev, Y.P., “The points of controversy in<br />
magnetic storm study (Review)”, 2003,<br />
Physics of Auroral Phenomena, Proc. XXVI<br />
Annual Seminar, Apatity, pp33-40.<br />
F18
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Penerapan Jaringan Syaraf Learning Vector Quantization Pada<br />
Pendeteksian Kelainan Otak Ischemic Cerebral Infarction Dari Hasil<br />
Rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI)<br />
Auli Damayanti,S.Si.,M.Si 1 , Hellena Adhelya Mayangsari 2<br />
1,2 Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : aulid_fst_unair@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Stroke iskemik atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction merupakan salah satu jenis penyakit stroke yaitu<br />
penyakit gangguan peredaran darah pada otak yang utamanya menyerang manusia usia madya dan usia tua. Pada<br />
Stroke iskemik atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction terjadi iskemia atau berkurangnya aliran darah ke<br />
bagian tertentu dari otak yang pada akhirnya mengakibatkan kematian sel otak. Magnetic Resonance Imaging<br />
(MRI) merupakan salah satu peralatan radiologi yang dapat mendeteksi kelainan otak dan hasilnya berupa suatu<br />
citra (image). Pada penelitian ini, digunakan metode unsupervised neural network dengan arsitektur competitive<br />
layer neural network dan algoritma pembelajarannya adalah Learning Vector Quantization (LVQ), sebagai salah<br />
satu metode diagnosis kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction dari hasil Magnetic Resonance Imaging. Pada<br />
hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra yaitu grayscale,<br />
histogram equalization, dan segmentasi. Prosentase tingkat keberhasilan LVQ dalam mendeteksi kelainan otak<br />
Ischemic Cerebral Infarction pada proses uji validasi sebesar 95% dari 40 citra otak.iri.<br />
Kata kunci : kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction, jaringan saraf learning vector quantization,<br />
Magnetic Resonance Imaging (MRI).<br />
PENDAHULUAN<br />
Di negara-negara industri, penyakit stroke<br />
menduduki peringkat ketiga penyebab kematian<br />
setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke<br />
merupakan penyakit gangguan peredaran darah pada<br />
otak yang utamanya menyerang manusia usia madya<br />
dan usia tua. Stroke dapat digolongkan menjadi dua<br />
golongan besar yaitu stroke iskemik (infark) dan<br />
stroke perdarahan (hemoragik). Pada stroke iskemik<br />
atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction,<br />
peristiwa yang terjadi adalah terjadinya iskemia atau<br />
berkurangnya aliran darah ke bagian tertentu dari<br />
otak yang pada akhirnya mengakibatkan kematian<br />
sel otak.<br />
Pendeteksian dan pendiagnosaan kelainan pada<br />
otak dilakukan oleh para radiolog dan dokter ahli.<br />
Peralatan radiologi yang berfungsi untuk mendeteksi<br />
penyakit otak salah satunya adalah Magnetic<br />
Resonance Imaging (MRI). Dengan menggunakan<br />
prinsip elektromagnetik, MRI ini akan menghasilkan<br />
image tubuh manusia. MRI berkaitan dengan radio<br />
frekuensi dan medan magnet yang dapat<br />
menghasilkan suatu citra (image) tanpa memakai<br />
radiasi ionisasi.<br />
Pemeriksaan citra (image) kelainan otak hasil<br />
rekaman MRI ini memerlukan ketelitian dan<br />
ketepatan tinggi. Otak merupakan organ tubuh yang<br />
letaknya tersembunyi sehingga sulit dideteksi<br />
dengan mata telanjang. Pada proses pendiagnosaan<br />
penyakit stroke iskemik (infark) dari gambar MRI,<br />
maka dalam penelitian ini dikembangkan suatu<br />
metode jaringan syaraf untuk mendeteksi kelainan<br />
otak ini.<br />
Jaringan syaraf merupakan suatu model<br />
komputasi yang bekerja meniru jaringan syaraf<br />
manusia. Jaringan syaraf ini akan menerima<br />
masukan berupa data numerik dari struktur objek<br />
yang mengalami pra proses data yaitu pengaturan<br />
dan perbaikan citra hasil rekaman MRI. Pra proses<br />
data tersebut meliputi proses grayscale, histogram<br />
equalization, segmentasi, normalisasi tingkat<br />
grayscale dari tiap segmen. Metode pembelajaran<br />
jaringan syaraf yang digunakan adalah Learning<br />
Vector Quantization (LVQ). Metode Learning<br />
Vector Quantization (LVQ) dipilih karena metode<br />
ini cukup mudah dan simpel serta tingkat<br />
keakuratannya tinggi. Dengan arsitektur jaringan<br />
syaraf ini diharapkan dapat bekerja cepat dan tepat<br />
dalam mendeteksi kelainan otak Ischemic Cerebral<br />
Infarction atau stroke iskemik (infark).<br />
LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ)<br />
Learning Vector Quantization (LVQ) adalah<br />
suatu metode untuk melakukan pembelajaran pada<br />
lapisan kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan<br />
kompetitif akan secara otomatis belajar untuk<br />
mengklasifikasikan vektor – vektor input. Kelaskelas<br />
yang didapatkan sebagai hasil dari lapisan<br />
kompetitif ini hanya tergantung pada jarak antara<br />
vektor-vektor input. Jika dua vektor input mendekati<br />
sama, maka lapisan kompetitif akan meletakkan<br />
kedua vektor input ke dalam kelas yang sama.<br />
(Kusumadewi, 2003)<br />
F19
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Algoritma Learning Vector Quantization adalah<br />
sebagai berikut<br />
1. Tetapkan bobot (W), maksimum epoh<br />
(MaxEpoh), Learning Rate (α), error minimum<br />
yang diharapkan (Eps)<br />
2. Masukkan :<br />
• Input : x(m,n)<br />
• Target : T(1,n)<br />
3. Tetapkan kondisi awal :<br />
• Epoh = 0<br />
• Pengurangan α sebesar 0,01* α<br />
4. Jika (epoh < MaxEpoh) atau (α > Eps),<br />
maka lakukan :<br />
i. Epoh = Epoh +1<br />
ii. Kerjakan untuk i = 1 sampai n<br />
1. Tentukan J sedemikian hingga ||x-w j ||<br />
minimum (sebut sebagai C j )<br />
2. Perbaiki w j dengan ketentuan :<br />
a. Jika T = Cj maka :<br />
w j (baru)= w j (lama)+α (x- w j (lama))<br />
b. Jika T ≠ Cj maka :<br />
w j (baru)= w j (lama)-α (x- w j (lama))<br />
iii. Kurangi nilai α = α - 0,01* α<br />
Gambar 2 Hasil citra sebelum dan sesudah greyscale.<br />
Gambar 3 Hasil histogram equalization dari citra greyscale<br />
Gambar 1 Arsitektur Jaringan Learning Vector Quantization<br />
Hasil Ujicoba dan Pembahasan<br />
Pada proses training, data yang digunakan<br />
sebanyak 12 citra otak hasil rekaman MRI.<br />
Sedangkan pada proses uji validasi, data yang<br />
digunakan sebanyak 40 citra otak hasil rekaman<br />
MRI yang berukuran 185 x 185 piksel. Data dari 12<br />
citra otak hasil rekaman MRI yang berukuran 185 x<br />
185 piksel akan diolah terlebih dahulu dengan<br />
prosedur pengolahan citra. Prosedur tersebut<br />
meliputi prosedur greyscale, prosedur histogram<br />
equalization, dan prosedur segmentasi. Hasil output<br />
dari prosedur pengolahan citra secara keseluruhan<br />
untuk 1 citra dapat dilihat pada gambar berikut.<br />
Gambar 4 Hasil segmentasi dari citra histogram equalization<br />
Hasil citra dari proses segmentasi dengan<br />
menggunakan bilangan segmen 5 piksel, diperoleh<br />
matriks segmentasi berukuran 37 x 37 piksel.<br />
Normalisasi dilakukan untuk membentuk matriks<br />
menjadi 1 kolom yaitu berukuran 1369 x 1 dan data<br />
tersebut akan digunakan pada proses pelatihan<br />
(training).<br />
F20
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
0.1 0.05 0.00001 45 70%<br />
0.1 0.05 0.00001 50 70%<br />
0.1 0.05 0.00001 60 60%<br />
Hasil terbaik diperoleh pada saat nilai<br />
maksimum epoh= 40, alpha=0.1, min alpha =<br />
0.00001 , dan dec alpha = 0.05 dengan bobot akhir<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Gambar 5. Matriks hasil segmentasi berukuran 37 x 37 dan matrik<br />
normalisasi berukuran 1369 x 1 untuk 1 citra<br />
Langkah pertama pada proses training adalah<br />
penentuan bobot awal. Bobot awal ini dipilih secara<br />
acak dari 12 data citra otak yang telah diproses pada<br />
prosedur pengolahan citra. Bobot awal ini terdiri<br />
dari 1 data citra normal dan 1 data citra citra infark.<br />
Data yang telah digunakan sebagai bobot awal tidak<br />
digunakan lagi sebagai inputan proses training<br />
jaringan syaraf LVQ. Data yang digunakan sebagai<br />
inputan proses training sebanyak 10 data citra otak<br />
yang terdiri dari 5 citra normal dan 5 citra infark.<br />
Tujuan dari proses training adalah untuk<br />
mendapatkan bobot optimal. Bobot optimal<br />
ini diperoleh setelah serangkaian percobaan<br />
dengan mengubah-ubah nilai parameter<br />
awal yaitu maksimum epoh, learning rate<br />
(alpha), min alpha, dan dec alpha.<br />
Percobaan dengan beberapa kombinasi<br />
nilai-nilai parameter awal dan prosentase<br />
kebenarannya dapat dilihat sebagai berikut<br />
Tabel 1<br />
Kombinasi parameter awal dan prosentase kebenaran<br />
Alpha<br />
Dec Min<br />
Prosentase<br />
Max.epoh<br />
alpha alpha<br />
Kebenaran<br />
0.1 0.02 0.00001 20 60%<br />
0.2 0.02 0.00001 20 50%<br />
0.3 0.02 0.00001 20 50%<br />
0.4 0.02 0.00001 20 50%<br />
0.5 0.02 0.00001 20 40%<br />
0.6 0.02 0.00001 20 50%<br />
0.7 0.02 0.00001 20 40%<br />
0.8 0.02 0.00001 20 30%<br />
0.9 0.02 0.00001 20 30%<br />
0.1 0.01 0.00001 20 80%<br />
0.1 0.002 0.00001 20 70%<br />
0.1 0.005 0.00001 20 50%<br />
0.1 0.03 0.00001 20 60%<br />
0.1 0.05 0.00001 20 90%<br />
0.1 0.07 0.00001 20 60%<br />
0.1 0.1 0.00001 20 40%<br />
0.1 0.5 0.00001 20 40%<br />
0.1 0.9 0.00001 20 30%<br />
0.1 0.05 0.00001 20 40%<br />
0.1 0.05 0.00001 30 70%<br />
0.1 0.05 0.00001 35 70%<br />
0.1 0.05 0.00001 40 100%<br />
Gambar 6 Matriks bobot akhir<br />
Berdasarkan bobot-bobot akhir tersebut,<br />
selanjutnya akan dilakukan pengujian menggunakan<br />
prosedur testing. Hasil output dari prosedur testing<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Gambar 7 Hasil proses testing<br />
Dari hasil output pada gambar 7, diperoleh<br />
kesimpulan bahwa bobot yang diperoleh merupakan<br />
bobot yang sudah optimal, karena mampu<br />
menghasilkan 100% kebenaran, dengan kata lain<br />
hasil output jaringan sesuai dengan target yang<br />
diharapkan. Langkah berikutnya adalah melakukan<br />
uji validasi program dan data yang digunakan untuk<br />
uji validasi program adalah data diluar data training.<br />
Proses pada uji validasi ini serupa dengan proses<br />
pada prosedur training, terlebih dahulu gambar akan<br />
diolah menggunakan pengolahan citra hingga<br />
diperoleh matrik image, kemudian dengan<br />
menggunakan bobot akhir (optimal) yang sudah<br />
diperoleh, akan dihitung hasil output program yang<br />
nantinya akan dicocokkan dengan diagnosa dokter.<br />
Pada penelitian ini dilakukan uji validasi terhadap 40<br />
citra otak yang terdiri dari 19 citra normal dan 21<br />
citra infark. Hasil uji validasi terlihat dalam tabel<br />
berikut:<br />
F21
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Table 2Hasil uji validasi 40 citra otak<br />
No. Nama Diagnosa Diagnosa Hasil<br />
Citra Dokter LVQ<br />
1 Normal1 Normal Normal Benar<br />
2 Normal2 Normal Normal Benar<br />
3 Normal3 Normal Normal Benar<br />
4 Normal4 Normal Normal Benar<br />
5 Normal5 Normal Normal Benar<br />
6 Normal6 Normal Normal Benar<br />
7 Normal7 Normal Normal Benar<br />
8 Normal8 Normal Normal Benar<br />
9 Normal9 Normal Normal Benar<br />
Dari hasil uji validasi diperoleh bahwa hasil<br />
identifikasi dari 2 citra tidak sesuai dengan hasil<br />
diagnosa dokter. Berdasarkan hasil tersebut<br />
maka prosentase validasi adalah sebesar 95%.<br />
Berikut akan diperlihatkan tampilan dari uji<br />
validasi programnya.<br />
10 Normal10 Normal Normal Benar<br />
11 Normal11 Normal Normal Benar<br />
12 Normal12 Normal Normal Benar<br />
13 Normal13 Normal Normal Benar<br />
14 Normal14 Normal Normal Benar<br />
15 Normal15 Normal Normal Benar<br />
16 Normal16 Normal Normal Benar<br />
17 Normal17 Normal Normal Benar<br />
18 Normal18 Normal Infark Salah<br />
19 Normal19 Normal Infark Salah<br />
20 Stroke1 Infark Infark Benar<br />
21 Stroke2 Infark Infark Benar<br />
22 Stroke3 Infark Infark Benar<br />
23 Stroke4 Infark Infark Benar<br />
24 Stroke5 Infark Infark Benar<br />
25 Stroke6 Infark Infark Benar<br />
26 Stroke7 Infark Infark Benar<br />
Gambar 8 Tampilan pada proses uji validasi<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Basuki, Ahmad., Jozua F. Palandi, Fatchurrochman,<br />
2005, Pengolahan Citra Digital<br />
menggunakan Visual Basic, Penerbit Graha<br />
Ilmu, Yogyakarta<br />
Desiani, Anita, Muhammad Arhami, 2006, Konsep<br />
Kecerdasan Buatan, Penerbit Andi,<br />
Yogyakarta.<br />
Hermawan, Arief, 2006, Jaringan Syaraf Tiruan<br />
Teori dan Aplikasi, Penerbit Andi,<br />
Yogyakarta<br />
Hestiningsih, Idha, Pengolahan Citra,<br />
http://idhaclassroom.com, 1 Juli 2009<br />
Kusumadewi, Sri, 2003, Artificial Intelligence<br />
(Teknik dan Aplikasinya), Penerbit Graha<br />
Ilmu, Yogyakarta<br />
27 Stroke8 Infark Infark Benar<br />
28 Stroke9 Infark Infark Benar<br />
29 Stroke10 Infark Infark Benar<br />
30 Stroke11 Infark Infark Benar<br />
31 Stroke12 Infark Infark Benar<br />
32 Stroke13 Infark Infark Benar<br />
33 Stroke14 Infark Infark Benar<br />
34 Stroke15 Infark Infark Benar<br />
35 Stroke16 Infark Infark Benar<br />
36 Stroke17 Infark Infark Benar<br />
37 Stroke18 Infark Infark Benar<br />
38 Stroke19 Infark Infark Benar<br />
39 Stroke20 Infark Infark Benar<br />
40 Stroke21 Infark Infark Benar<br />
F22
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengembangan Gold nanoparticles sebagai Agen Fototerapi untuk<br />
Terapi Kanker: Sintesis dan Analisis Spektrum Serapan<br />
Biantoro, Adri Supardi , Andi H Zaidan, Herri Trilaksana, Febdian Rusydi<br />
Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : biantoro.fisika06@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa gold nanoparticles dapat berperan sebagai photosensitizer dalam terapi<br />
fototermal. Salah satu cara membuat gold nanoparticles adalah dengan metode Turkevich. Karya tulis ini<br />
memaparkan variasi volume dan konsentrasi garam trisodium sitrat yang dapat memberikan tingkat keberhasilan<br />
sintesis gold nanoparticles terhadap perbedaan volume dan penambahan trisodium sitrat. Diperolehnya informasi<br />
berupa jumlah volume larutan dan diameter gold nanoparticles yang memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi<br />
nantinya digunakan sebagai acuan sintesis gold nanoparticles yang lebih efektif. Metode ini dilakukan dengan<br />
pemberian variasi volume dengan konsentrasi yang sama yang dibutuhkan untuk sintesis sehingga diperoleh<br />
hubungan antara tingkat keberhasilan sintesis terhadap variasi volume. Selain itu tingkat pemberian garam<br />
trisodium sitrat mempengaruhi besar diameter (radius) dari partikel yang dihasilkan. Dari hasil ini diperoleh nilai<br />
volume serta ukuran yang paling berhasil untuk sintesis gold nano particles.<br />
Kata kunci : Gold nanoparticles, SPR.<br />
PENDAHULUAN<br />
Gold nanoparticles memiliki potensi aplikasi<br />
dibidang kesehatan yaitu sebagai agen fototerapi<br />
kanker, biosensor dan lain-lain (Xiaohua et,al,<br />
2008). Gold nanoparticles memiliki panjang<br />
gelombang absorpsi dari gelombang<br />
elektromagnetik pada daerah cahaya tampak dan<br />
NIR (infra merah dekat), hal ini disebabkan oleh<br />
fenomena Surface Plasmonic Resonance (SPR)<br />
(S.Link, et.al 1999). Fenomena SPR menyebabkan<br />
osilasi kolektif dari elektron konduksi pada gold<br />
nanoparticles (ukuran partikel dalam orde 1/10<br />
panjang gelombang yang diberikan) setelah disinari<br />
dengan cahaya tampak. Panjang gelombang absorpsi<br />
puncak bergantung pada beberapa faktor seperti<br />
ukuran partikel dan bentuk partikel (S. Link,et al.<br />
2003).<br />
Salah satu aplikasi gold nanoparticles adalah<br />
sebagai agen fototerapi. Pada terapi fototermal agen<br />
bekerja secara efektif dan selektif memanaskan sel<br />
secara lokal, tanpa merusak sel di sekitarnya. Saat<br />
agen terapi fototermal (photosensitizer) menyerap<br />
cahaya, elektron mengalami resonansi plasmonik<br />
yang meningkatkan energi kinetik sehingga<br />
menghasilkan kalor yang menyebabkan kelebihan<br />
panas disekeliling atom tersebut. Panas yang<br />
dihasilkan digunakan untuk menghancurkan sel<br />
secara lokal (G. Jori et.al 1990).<br />
Karya tulis ini memaparkan bagaimana cara<br />
menyintesis gold nanoparticle dengan tingkat<br />
keberhasilan paling tinggi berdasarkan variasi<br />
volume dan konsentrasi trisodium sitrat.Metode<br />
sintesis merujuk pada metode Turkevich.<br />
METODE EKSPERIMEN<br />
Sintesis Gold Nanoparticles<br />
Dalam sintesis gold nanoparticles yang<br />
digunakan disini adalah metode Turkevich, hal ini<br />
dikarenakan memiliki metode yang sederhana jika<br />
dibandingkan dengan metode-metode yang lainnya<br />
(M. C Daniel, et.al 2004). Berikut ini adalah<br />
prosedur eksperimen yang dilakukan untuk<br />
menghasilkan koloid gold nanoparticles dalam air.<br />
Langkah awal yaitu dengan mengambil 0.01 persen<br />
dari (H[ ]) larutkan kedalam 50 ml air<br />
bidebilata (deioniozed water), hasilnya seharusnya<br />
larutan yang bewarna agak kekuning-kuningan,catat<br />
temperaturnya. Untuk selanjutnya memanaskan<br />
larutan ini sampai mendidih (1000C), catat waktu<br />
yang dibutuhkan. Melanjutkan pemanasan dan,<br />
sambil diaduk-aduk, menambahkan 380 µl 1 persen<br />
larutan trisodium sitrat, terus diaduk sampai terjadi<br />
perubahan warna. Warna larutan akan berangsurangsur<br />
berubah dari dari redup kekuning-kuningan<br />
kemudian berubah keabu abuan, kemudian keunguunguan<br />
ke ungu tua sampai menetap ke warna merah<br />
anggur, catat waktu yang dibutuhkan dari awal<br />
pemanasan. Kemudian menambahkan kembali air ke<br />
larutan yang berfungsi untuk mengembalikan<br />
volumenya 50 ml (menuju ke konsentrasi awal).<br />
Mengulang prosedur 1 sampai 5 dengan variasi<br />
penambahan trisodium sitrat yaitu dengan<br />
penambahan masing-masing 0.35 ml, 0.33 ml, 0.26<br />
ml, dan 0.23 ml untuk menghasilkan ukuran gold<br />
nanoparticles dengan diameter berbeda.Terakhir,<br />
Mengulang prosedur dengan variasi volume dengan<br />
konsetrasi (H[AuCl4]) dan trisodium sitrat yang<br />
sama.Penambahan ini mengikuti Tabel 1.<br />
F23
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 1. Penambahan trisodium sitrat untuk berbagai ukuran<br />
partikel (A.Sugunan et.al 2004)<br />
Pengukuran SPR<br />
Setelah diperoleh larutan koloidal gold<br />
nanoparticles, hasil sintesis ini selanjutnya<br />
dikarakterisasi menggunakan UV-VIS<br />
Spektrofotometer. Hasil dari karakterisasi ini berupa<br />
grafik hubungan antara absorpsi terhadap spektrum<br />
panjang gelombang seperti pada Gambar 1. Nilai<br />
dari SPR merupakan puncak panjang gelombang<br />
absorpsi dari gold nanoparticles.<br />
Gambar 1: Contoh grafik pengukuran spectrum absorbs(Bohren<br />
dan Huffman 2003 ).<br />
Penghitungan Diameter Partikel dari SPR<br />
Dua persamaan telah dikembangkan dari literatur<br />
untuk menentukan diameter dari gold nanoparticles.<br />
Satu persamaan diaplikasikan untuk nanopartikel<br />
yang memiliki diameter lebih besar dari 35 nm dan<br />
persamaan lainnya digunakan untuk gold<br />
nanoparticles yang memiliki diameter antara 5<br />
sampai 30 nm perbedaan persamaan untuk ukuran<br />
partikel gold nanoparticles yang lebih kecil bisa<br />
dikaitkan dengan bertambahnya rasio dari<br />
permukaan atom yang ukurannya nanometer<br />
terhadap atom dengan ukuran yang lebih besar(Jain<br />
et al 2006). Dari publikasi Haiss, untuk gold<br />
nanoparticles dengan diameter 35 sampai 100 nm,<br />
digunakan persamaan<br />
(1)<br />
dengan D adalah diameter dari gold nanopar ticles,<br />
adalah panjang gelombang puncak dari SPR, ,<br />
= 512, , = 6,53, dan, = 0,0216. Sedangkan<br />
untuk menghitung diameter gold nanoparticles<br />
dengan ukuran 5 sampai 30 nm, kita menggunakan<br />
persamaan Haiss yang lain yaitu<br />
(2)<br />
dengan adalah absorpsi unit (AU) saat<br />
panjang gelombang puncak SPR,<br />
(Mol/L) adalah jumlah emas yang<br />
digunakan untuk sintesis, =-4.75 , dan<br />
= 0.314 Kemudian data ini bisa<br />
ditampilkan ke dalam bentuk tabel seperti<br />
pada Tabel 2.<br />
ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />
P roses Pembentukan Gold nanoparticles<br />
Pembentukan gold nanoparticles pada skripsi ini<br />
dilakukan dengan reduksi ion emas. Dalam larutan<br />
asam tetracloroauric (<br />
), ditambahkan<br />
agen pereduksi berupa trisodium sitrat<br />
( ). Ion emas mengadsorbsi<br />
elektron dari agen pereduksi dan menjadi atom emas<br />
seperti yang dijelaskan pada reaksi dibawah ini<br />
+ + + (3)<br />
dengan inti dari berkumpul saat agen<br />
pereduksi menyedaiakan . Beberapa<br />
atom teragregasi membentuk partikel yang<br />
lebih besar dengan struktur sferis dengan<br />
diameter beberapa nanometer. Partikelpartikel<br />
ini kemudian menjadi koloid emas,<br />
proses pembentukan ini seperti pada<br />
Gambar 2 Karena adanya pelindung<br />
elektronik pada permukaan dalam proses<br />
pembentukan partikel koloid, reaksi ini<br />
kemudian bisa diselesaikan dalam ligans<br />
seperti sitrat. Sitrat ini menjebak ion emas<br />
pada awal proses dan mencegah gold<br />
nanoparticles dari aglomerasi 1diakhir proses.<br />
trisodium sitrat ini menyebabkan ion emas<br />
tidak bisa bebas (immobilizes) untuk<br />
bereaksi kimia dan mencegah setiap<br />
partikel tunggal untuk tumbuh dengan gaya<br />
repulsif elektrostatik. Sitrat ini terpasang<br />
pada gold nanoparticles dengan melakukan<br />
perlindungan satu lapis terhadap inti emas.<br />
Lapisan ini bertindak sebagai Monolayer<br />
Protected Clusters (MPCs) atau Pelindung<br />
bahan satu lapisan. Di sisi lain sitrat ini<br />
berfungsi untuk mensintesis gold<br />
nanoparticles dengan komponen lain.<br />
F24
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2: Nukleisasi gold nanoparticles.<br />
Pengaruh Konsentrasi Agen Pereduksi dalam<br />
Proses Pembentukan Gold nanoparticles<br />
Reaksi kimia yang diberikan oleh Persamaan (3)<br />
memiliki bentuk lengkap seperti di bawah ini,<br />
+<br />
+ (4)<br />
+ 8Cl+ + 3H<br />
Bentuk ini mempengaruhi rasio konsenrasi bahan<br />
yang bereaksi. Untuk alasan ini parameter<br />
konsentrasi diselidiki lebih terperinci. Karena<br />
konsentrasi ini sebagai salah satu penyebab<br />
kegagalan dalam proses sintesis gold nanopartikel.<br />
Dalam reaksi reduksi menghasilkan gold<br />
nanopartikel ini reaktan akan bereaksi<br />
sempurna(tidak ada yang tersisa) jika rasio massa<br />
asam tetracloroauric: trisodium sitrat adalah 1 : 1.31<br />
dan rasio molar adalah 2 : 3. Kemudian akan<br />
diketahui bahwa perbandingan massa atau rasio<br />
stoikiometri tidak menghabiskan reaktan. Hanya<br />
pada sampel D nilai rasio stoikiometrinya yang<br />
hampir mendekati reaksi sempurna. Sedangkan<br />
untuk volume sintesis yang lainnya memiliki rasio<br />
volume dan rasio stoikiometri yang sama.<br />
Sifat dari Reaktan<br />
Dalam sintesis gold nanopartikel terdiri dari dua<br />
senyawa yang bereaksi yaitu asam tetracloroauric<br />
dan trisodium sitrat. Masing masing bahan memiliki<br />
sifat yang berbeda baik pada titik leburnya, berat<br />
molekul serta kerapatannya. Untuk asam<br />
tetracloroauric penyusun utamanya adalah emas.<br />
Asam ini memiliki titik lebur C dengan<br />
kerapatan massa 3.9 gram/ pada temperatur<br />
C. Asam ini merupakan asam yang sangat<br />
kuat dan dapat diisolasi dengan penguapan larutan.<br />
Asam emas diketahui sebagai Emas(III) kompleks<br />
bersifat diamagnetik dengan konfigurasi elektron<br />
spin rendah 5d8 dan sebagian besar senyawa ini<br />
memiliki koordinat storeokimia persegi empat<br />
planar.<br />
Bahan reaktan yang lainnya adalah trisodiumsitrat<br />
yang bertindak sebagai reduktor. Trisodium sitrat ini<br />
memiliki titik lebur pada temperatur lebih besar dari<br />
C dengan kerapatan massa 1.7 gram/ pada<br />
temperatur 250 C. Massa molarnya adalah 258.069<br />
gram/mol.Ketika larut dalam air tetracloroauric<br />
menjadi dan trisodium sitrat menjadi<br />
. Oleh sebab itu reaksi<br />
seperti Persamaan (4) bisa terjadi. beberapa sifat<br />
fisis kedua reaktan ini memungkinkan terjadi reaksi<br />
pada temperatur C.<br />
Hasil Sintesis Gold nanoparticles<br />
Dalam penelitian ini diperoleh hasil berupa koloid<br />
emas dengan berbagai ukuran. dan untuk<br />
mengetahui tingkat keberhasilan bisa dilihat dari<br />
grafik absorbsi untuk masing-masing sampel. Kalau<br />
mengacu dengan grafik absorbsinya maka hasil yang<br />
hampir memenuhi grafik spektrum serapan hanya<br />
pada sampel F1,F2,F3 dan F4 yaitu pada rasio 2.50<br />
untuk karena memiliki kecenderungan yang<br />
sama dengan teori. Selain dengan metode spektrum<br />
serapan, bisa dilihat bahwa sintesis yang bisa<br />
digunakan acuan yaitu nilai radius yang nilai<br />
ketidakpastiannya paling kecil,kalau dari hasil ini<br />
maka rasio 1.14 yang paling baik. Hasil ini<br />
menunjukkan hubungan rasio emas terhadap sitrat.<br />
Gambar 3: Garfik hubungan antara ukuran partikel terhadap rasio<br />
l /trisodium sitrat.<br />
Dengan hasil penelitian ini, yang sesuai dengan<br />
Gambar 3 masih belum bisa diambil sebuah<br />
hubungan rasio HAuCl4/sitrat terhadap ukuran<br />
partikel secara pasti atau dituangkan dalam bentuk<br />
sebuah hubungan persamaan. Hal ini disebabkan<br />
oleh penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan<br />
harapan. selain itu, banyaknya faktor yang tidak<br />
dapat dikontrol dalam penelitian ini turut serta<br />
mempengaruhi hasil.<br />
Stabilitas Koloid<br />
Koloid emas yang sedang kita pelajari ini<br />
merupakan tipe dari contoh koloid liofob2 seperti<br />
protein, yang secara termodinamika sudah stabil.<br />
Energi bebas Gibbs dari sistem koloid liofob bernilai<br />
minimum saat partikel berkondensasi dengan kristal<br />
yang lebih besar sehingga tidak stabil secara<br />
elektrostatik. Koloid yang stabil secara kinetik yaitu<br />
dengan adanya energi penghalang berupa energi<br />
tolak (energi repulsif) mencegah partikel saling<br />
bertumbukan atau mencegah terjadinya kontak.<br />
F25
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Secara umum ada dua mekanisme sehingga agregasi<br />
(penggumpalan) dapat dihindari:<br />
1. Baik muatanpositif maupun negatif bisa<br />
diberikan dalam partikel jika partikel<br />
memiliki muatan yang sama, sehingga akan<br />
tolak-menolak ketika saling berdekatan.<br />
2. Partikel bisa dilapisi dengan lapisan<br />
teradsopsi yang mencegah partikel untuk saling<br />
mendekat.<br />
Mekanisme pertama disebut dengan stabilisasi<br />
elektrostatik dan yang kedua sebagai stabilisasi<br />
sterik3. Sistem koloid tidak stabil jika tumbukan<br />
terjadi antar partikelnya sehingga membentuk<br />
agregat yang disebut dengan koagulasi.<br />
Kegagalan Proses Sintesis<br />
Dari ulasan subbab-subbab sebelumnya dapat<br />
diambil beberapa alasan yang kuat mengapa dalam<br />
proses sintesis gold nanoparticles pada tugas akhir<br />
ini tidak sesuai dengan harapan. Penyebab kegagalan<br />
pertama yaitu perbandingan molar reaksi pada<br />
reaktan yang tidak bereaksi habis. Bisa diketahui<br />
bahwa perbandingan molar yang sesuai adalah 2:3<br />
dan perbandingan massanya adalah 1:1.31 untuk<br />
asam tetracloroauric terhadap trisodium sitrat.<br />
Sedangkan pada tugas akhir ini perbandingan<br />
massanya adalah sesuai dengan Tabel 1. Dengan<br />
perbandingan seperti ini ada sisa dari reaktan yang<br />
secara langsung mempengaruhi hasil reaksi(gold<br />
nanoparticles), karena proses pemisahan sisa<br />
reaktan dan hasil reaksi tidak bisa dipisahkan dalam<br />
tugas akhir ini. Penyebab selanjutnya adalah gold<br />
nanopartikel yang dihasilkan tidak stabil, karena<br />
proses penstabilan dengan metode elektostatik, yang<br />
diketahui tidak terlaalu baik. Ditambah lagi sisa sisa<br />
reaksi tentunya mempengaruhi proses penstabilan.<br />
Selain itu adanya partikel dari luar seperti debu yang<br />
masuk kedalam larutan tidak dapat dihindarkan<br />
selama proses reaksi karena tidak bisa terkontrol.<br />
Dari dua sebab ini bisa diketahui bahwa ini cukup<br />
untuk menjelaskan ketidaksesuaian proses sintesi<br />
gold nanoparticles.<br />
Kesimpulan<br />
Diperolehnya informasi berupa jumlah volume<br />
larutan dan diameter gold nanoparticles yang<br />
memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi nantinya<br />
digunakan sebagai acuan sintesis gold nanoparticles<br />
untuk kedepannya. Selain itu dengan data ini<br />
menambah wawasan tentang pengaruh volume serta<br />
penambahan trisodium sitrat terhadap ukuran<br />
partikel dalam sintesis gold nanoparticles.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
H. Xiaohua, K.J. Prashat, and H.E. Ivan. (2008).<br />
Plasmonic Photothermal Therapy (PPTT)<br />
using Gold nanoparticles. Laser Med. Sci.<br />
S. Link and M. A. El-Sayed, 1999), Size and<br />
Temperature Dependence of the Plasmon<br />
Absorption of Colloidal Gold nanoparticles,<br />
J.Phys. Chem. B .103, 4212-4217.<br />
S. Link and M. A. El-Sayed, (2003). Ann. Rev.<br />
Phys.Chem., Vol. 54. 331-366.<br />
G. Jori and J. D. Spikes. (1990). Photothermal<br />
Sensitizers: Possible Use in Tumor Therapy.<br />
J. Photochem Photobiol B. Biol,<br />
M.C Daniel and D. Astruc, , (2004) .Chem. Rev.,<br />
Vol 40293-346.<br />
C. F. Bohren and D. R. Hufman, (2003)..<br />
Absorptionand Scattering of Light by Small<br />
Particles.Wiley-VCH.<br />
A.Sugunan, C. Thanachayanont, J. Dutta, P. Julland,<br />
and J.G. Hillborn. (2004) Synthesis of Bio-<br />
Compatible Gold nanoparticles. J. Appl Phys.<br />
Jain, Lee, El-Sayed, and M.A. El-Sayed. 2006),<br />
Calculated Absorption and Scattering<br />
Properties of Gold nanoparticles of Di_erent<br />
Size,Shape, and Composition: Applications<br />
in Biological Imaging and Biomedicine, J.<br />
Phys.Chem. B (110, 7238-7248.<br />
F26
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sistem Peringatan Dini (EWS) berbasis SMS yang terintegrasi dengan<br />
Badan Meteorologi dan Geofisika<br />
Farid Andriansyah Zakaria<br />
Email: farid@fsaintek.unair.ac.id<br />
Abstrak<br />
Early Warning System adalah suatu software yang memberikan peringatan dini akan terjadinya gempa / tsunami.<br />
Software ini menggunakan informasi gempa dalam format XML yang ada pada situs BMKG<br />
(http://bmkg.go.id/dataXML/) selanjutnya informasi tersebut akan dikirimkan melalui sms ke pihak yang<br />
berkepentingan misal : Satkorlak Bencana Alam, POLRI, maupun warga masyarakat yang berada pada daerah<br />
gempa untuk mempersiapkan diri akan terjadinya gempa. Selain dari itu, EWS juga akan menyimpan laporan<br />
pasca kejadian gempa, misal: Lokasi Kejadian, Tanggal dan Waktu, Jumlah Korban Jiwa, Jumlah Kerugian<br />
Material, maupun kronologis kejadian gempa.<br />
Kata Kunci: SMS, XML, Laporan Pasca Gempa.<br />
PENDAHULUAN.<br />
Kejadian gempa ditanah air akhir-akhir ini sering<br />
terjadi, Hal ini karena letak geografis Negara<br />
Indonesia berada pada rantai gunung berapi Pasifik<br />
dan rantai gunung berapi Asiatis. Pasca gempa<br />
tsunami diaceh yang berkekuatan 9,5 SR yang<br />
menyebabkan sekitar 5000 korban jiwa dan Milyaran<br />
kerugian material membuat pemerintah memperbaiki<br />
Sistem Peringatan Dini Gempa dengan meletakkan<br />
sensor gempa di sekitar samudra hindia dan samudra<br />
Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Badan<br />
Meteorologi dan Geofisika juga memberikan informasi<br />
kejadian gempa/tsunami melalui website BMKG<br />
(http://www.bmkg.go.id/dataXML/), meskipun selisih<br />
waktu antara akan datangnya gempa dan tsunami<br />
sangat singkat namun hal ini dapat mempersiapkan<br />
warga masyarakat yang ada didaerah gempa untuk<br />
mempersiapkan diri menghadapi gempa. Seiring<br />
dengan usaha pemerintah untuk memperkecil korban<br />
jiwa / material, penelitian ini untuk memberikan<br />
sumbangan pemikiran untuk memperkecil jumlah<br />
korban jiwa dengan jalan membuat software system<br />
peringatan dini berbasis sms.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 di<br />
Laboratorium <strong>Fisika</strong> Komputasi <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.<br />
Alur dari Software Sistem Peringatan Dini Gempa<br />
adalah sebagai berikut :<br />
START<br />
//membaca info gempa BMKG<br />
XMLDocument1.FileName:=databmkg+'autogempa.xml';<br />
Child:=XMLDocument1.DocumentElement.DOMNode.firstChild;<br />
nilaibaris:= Child.childNodes.Item[j].firstChild.nodeValue;<br />
SQL.Add('insert into AUTOGEMPA()values(' + nilaibaris + ')');<br />
pkedalaman[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[5].Value;<br />
pwilayah[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[7].Value+',<br />
potensi[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[12].Value;<br />
//cek potensi tsunami/tdk<br />
Pos('tidak',potensi[g]) > 0<br />
yes<br />
//kirim sms tsunami ke no.hp daerah kejadian<br />
pjenis[g]:=’TSUNAMI’;<br />
pesan[g]:='Peringatan Gempa. Tanggal: '+ptgl[g]+',<br />
Koordinat:'+pco[g]+', Lintang:'+plintang[g]+',<br />
Bujur:'+pbujur[g]+', Kekuatan:'+pmagnitude[g]+',<br />
Dikedalaman:'+pkedalaman[g]+',<br />
Wilayah:'+pwilayah[g];<br />
END<br />
Gambar 1. Alur Proses Sensor EWS<br />
EWS memiliki dua software utama, software<br />
pertama adalah software sensor ews yang berupa<br />
aplikasi desktop berguna untuk pembacaan data XML<br />
dari bmkg, mengirim sms melalui sms gateway ke<br />
nomor hp pihak yang berkepentingan di daerah sekitar<br />
kejadian. Software yang kedua adalah software<br />
website ews yang berupa aplikasi web menggunakan<br />
bahasa pemrograman PHP untuk menginput nomor hp<br />
pihak yang berkepentingan dan memasukkan laporan<br />
pasca gempa/tsunami.<br />
Software sensor EWS memiliki alur proses sebagai<br />
berikut :<br />
3. Membaca data dari BMKG berupa XML yang<br />
selanjutnya diterjemahkan oleh program sensor<br />
EWS<br />
4. Mengirimkan pesan sms ke no. hp yang sudah<br />
terdaftar dalam program sensor EWS<br />
5. Selesai<br />
no<br />
//kirim sms gempa ke no.hp daerah kejadian<br />
pjenis[g]:='GEMPA';<br />
pesan[g]:='Peringatan Gempa. Tanggal: '+ptgl[g]+',<br />
Koordinat:'+pco[g]+', Lintang:'+plintang[g]+',<br />
Bujur:'+pbujur[g]+', Kekuatan:'+pmagnitude[g]+',<br />
Dikedalaman:'+pkedalaman[g]+',<br />
Wilayah:'+pwilayah[g];<br />
F27
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Software website EWS memiliki alur proses sebagai<br />
berikut :<br />
1. Mendata no.hp pihak yang terkait<br />
2. Mendata data pasca gempa/tsunami jika terjadi<br />
gempa<br />
3. Melaporkan kejadian pasca gempa/tsunami<br />
4. Selesai<br />
Informasi tersebut dicek dahulu kedatabase sensor<br />
EWS jika kejadian gempa tidak pernah terjadi maka<br />
dikirimkan SMS ke pihak yang berkepentingan yang<br />
sudah didaftar dalam website EWS jika data tersebut<br />
sudah pernah terjadi maka tidak perlu dikirimkan<br />
SMS. Tampilan dari SMS peringatan gempa/tsunami<br />
seperti gambar dibawah ini<br />
START<br />
Input no.hp<br />
Query.Add:=insert into hp()values<br />
(‘nohp’,alt,long,’idprov’,’idkota’);<br />
If gempa=1<br />
//sirine gempa dijalankan<br />
media.play:=sirine.wav<br />
Input Data Pasca Gempa<br />
K_Materi:=Materi.txt<br />
K_Jiwa:=Jiwa.txt<br />
Kronologis:=kronolog.txt<br />
Gambar 3. Tampilan SMS dari Sensor EWS<br />
Berikut dibawah ini adalah program sensor EWS<br />
menggunakan bahasa pemrograman Delphi.<br />
END<br />
Gambar 2. Alur Proses Website EWS<br />
HASIL UJICOBA DAN PEMBAHASAN<br />
Pada proses pembacaan data autogempa.xml yang<br />
merupakan acuan bencana gempa/tsunami dari situs<br />
bmkg:<br />
<br />
<br />
<br />
20-Nov-08<br />
04:16:04 WIB<br />
124.46,4.37<br />
<br />
98.00 BT<br />
6.17 LS<br />
5.4 SR<br />
70 Km<br />
imagesSWF/m3b.swf<br />
193 km BaratLaut JAKARTA<br />
PUSAT<br />
berpotensi TSUNAMI<br />
<br />
<br />
Setelah diparsing menggunakan program sensor EWS<br />
didapatkan informasi sebagai berikut:<br />
5. Tanggal Kejadian<br />
6. Jam Kejadian<br />
7. Koordinat Gempa<br />
8. Lintang<br />
9. Bujur<br />
10. Kekuatan Gempa<br />
11. Kedalaman Pusat Gempa<br />
12. Wilayah Gempa<br />
Gambar 4. Tampilan Program Sensor EWS<br />
Gambar 5. Tampilan Website EWS<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Dari hasil uji coba program EWS dapat<br />
disimpulkan bahwa program Sensor EWS dapat<br />
berjalan normal jika format data yang diterima dari<br />
website BMKG konsisten baik dari format tanggal,<br />
format jam dan field-field dari data XML yang tetap.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Aziz, M. Farid., 2001, Belajar Sendiri Pemrograman<br />
PHP, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta<br />
Website BMG,http://bmkg.go.id/dataXML/<br />
Kusnassryanto, Saiful,2007, Pemrograman Delphi,<br />
Penerbit Informatika, Bandung<br />
F28
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Study Karakteristik Levitasi Magnet Pada Dua Rol Tembaga yang Berputar<br />
Dengan Model Kereta Maglev Sebagai Pengembangan Industri<br />
Transportasi Masa Depan<br />
Galih STA Bangga 1 , Hendro Nurhadi 2<br />
1,2 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS<br />
Email : probability.schrodinger@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Pada makalah ini akan dibahas mengenai study karakteristik levitasi magnet pada dua rol tembaga yang<br />
berputar sebagai pemodelan kereta maglev dengan metode numerik. Disini akan dibahas mengenai<br />
bagaimanakah pengaruh kecepatan putaran motor, massa model kereta maglev, gap antara dua rol tembaga yang<br />
digunakan serta diameter roll tembaga itu sendiri sebagai variabel bebas. Dengan metode numerik dilakukan<br />
analisa agar didapatkan parameter yang optimal pada model kereta maglev ini. Didapatkan perbandingan antara<br />
kecepatan putaran, massa beban, gap serta diameter rol yang disajikan dalam secara grafik dan dapat digunakan<br />
sebagai referensi pemodelan kereta maglev. Dengan diketahuinya parameter yang sesuai, maka dapat digunakan<br />
sebagai dasar dalam desain kereta maglev sebagai industri yang potensial pada sistem transportasi masa depan.<br />
1. Pendahuluan<br />
Di Indonesia, pertambahan jumlah kendaraan<br />
berkisar antara 8 - 12% per-tahun, sedangkan<br />
pertambahan panjang jalan berkisar antara 2 - 5%<br />
per-tahun dengan rata-rata jaringan jalan di<br />
Indonesia kurang dari 4% dari total luas wilayah<br />
kota (Dirjen Perhubungan Darat, 1998). Hal ini<br />
menimbulkan masalah tersendiri di bidang<br />
transportasi dan lalu lintas, yaitu kemacetan. Oleh<br />
karena itu, pemerintah dipacu untuk melakukan<br />
perubahan sistem dan inovasi di bidang transportasi<br />
darat seperti perubahan penggunaan kereta listrik<br />
diganti menjadi penggunaan kereta cepat yang<br />
menggunakan prinsisp levitasi magnet yang biasa<br />
disebut kereta maglev.<br />
Salah satu faktor yang penting dalam<br />
merancang sistem transportasi ini adalah harus<br />
memperhatikan kestabilan dari levitasi magnet itu<br />
sendiri, karena tidak mungkin membuat suatu<br />
levitasi magnet stabil hanya dengan menggunakan<br />
magnet permanen saja sesuai dengan teori Earnshaw<br />
yang menyatakan bahwa setidaknya ada satu arah<br />
yang harus secara aktif stabil.<br />
Berdasarkan Braunbeck levitasi yang stabil<br />
dimungkinkan apabila material diamagnetik ada<br />
pada sistem. Pada 1939 eksperimen yang dilakukan<br />
berhasil membuat levitasi magnet stabil dengan<br />
menggunakan material diamagnetik bismuth dan<br />
karbon pirolitik. Kendall memperagakan eksperimen<br />
pembanding dan mengajukan beberapa aplikasi<br />
praktis yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah<br />
untuk melevitasikan material diamagnetik organik<br />
pada medan magnet yang besar. Pada 2004<br />
Lyuksyutov mempublikasikan hasil eksperimen dan<br />
posisi pico- atau femto-droplets dan partikel dan tiga<br />
tahun kemudian Chetouani mempublikasikan<br />
levitasi diamagnetik pada sel hidup. Semua hal<br />
tersebut dilakukan dengan melevitasikan material<br />
diamagnetik di atas magnet permanet maupun<br />
elektromagnet. Namun, sedikit yang dilakukan<br />
penelitian mengenai levitasi magnet permanen di<br />
atas material diamagnetik (Kee-Bong Choi, 2003) .<br />
Kasus dimana magnet dilevitasikan oleh bahan<br />
diamagnetik dapat dibedakan menjadi dua situasi :<br />
1. Situasi klasik, dimana magnet dilevitasikan<br />
oleh susunan magnet yang fixed, namun<br />
levitasi ini tidaklah stabil sehingga harus<br />
diberikan bahan diamagnetik untuk<br />
kestabilan.<br />
2. Situasi kedua, dimana magnet permanen<br />
dilevitasikan di atas material diamagnetik<br />
menggunakan magnetisasi khusus dari<br />
material diamagnetik itu sendiri.<br />
Levitasi magnet di atas material diamagnetik<br />
jenis kedua dapat terjadi karena material<br />
diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnet yang<br />
negatif sehingga material mengalami tolakan oleh<br />
sumber magnet itu sendiri. Efek ini dikarenakan<br />
elektron merubah orbitnya untuk malawan medan<br />
magnet yang diberikan. Fenomena ini adalah bentuk<br />
dari hukum Lenz dalam skala atomik. Gaya<br />
diamagnetik yang timbul dapat diekspresikan secara<br />
matematis sebagai :<br />
(1)<br />
dimana adalah medan magnet pada bahan, V<br />
adalah volume obyek diamagnetik,<br />
permeabilitas ruang hampa serta adalah<br />
suseptibilitas magnet dalam bentuk matriks ordo<br />
3x3, dimana suseptibilitas magnet pada dan<br />
F29
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
diluar bidang serta yang tidak lain ada<br />
pada diagonal.<br />
Gambar 1 : Hasil eksperimen semi analitis dimensi model kereta maglev<br />
Gambar 1 menjelaskan mengenai hasil<br />
eksperimen semi analitis yang dilakukan mengenai<br />
ketinggian levitasi magnet terhadap dimensi dari<br />
model kereta berdasarkan untuk magnetisasi magnet<br />
yang seragam (garis kontinu) yang biasa disebut<br />
dipolar dan magnetisasi magnet multipolar (garis<br />
putus-putus). Dari penelitian Profijt didaapatkan<br />
perbandingan optimum antara diameter dengan<br />
ketebalan magnet yang optimum untuk dilevitasikan<br />
di atas Highly Oriented Pyrolytic Graphite (H.B.<br />
Profijt et al., 2009).<br />
Paper ini membahas bagaimana magnet yang<br />
melayang di atas dua roll tembaga yang berputar,<br />
prinsip kerja dari penelitian ini mirip seperti cara<br />
kerja mainan anak-anak yg disebut levitron. Prinsip<br />
utama yang digunakan untuk levitasi ini disebut<br />
“Adiabatic approximation” (S. Gov et al., 1999).<br />
Pada saat benda dilevitasikan, titik momen magnetk<br />
yang ada akan antiparalel dengan magnetisasi dari<br />
landasan untuk mensuplai gaya tolak magnet yang<br />
akan melawan gaya gravitasi.<br />
Saat berlevitasi, levitron mengalami osilasi lateral<br />
yang pelan ( ) dibandingkan<br />
persesinya (<br />
). Kemudian, itupun<br />
lebih kecil dibandingkan spin nya ( ).<br />
Berdasarkan keaadaan ini, spin terjadi di daerah<br />
sekitar medan magnet lokal H (Adiabatic<br />
approximation). Secara rata-rata momen titik<br />
magnetik µ antiparalel dengan garis medan magnet<br />
lokal. Dimana energi efektif dari sistem dapat<br />
dirumuskan :<br />
(2)<br />
dimana m adalah massa levitron, g adalah<br />
pecepatan gravitasi serta z adalah ketinggian levitasi.<br />
Gambar 2 : levitasi magnet pada levitron di dekat titik<br />
keseimbangan<br />
F30
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
2. Levitasi Model Kereta Maglev<br />
Pada paper ini, model penelitian yang dilakukan mirip dengan cara kerja levitron. Hanya saja pada penelitian<br />
ini, bukan benda yang melayang yang berputar, melainkan lintasan atau landasan yang berupa roll yang terbuat<br />
dari tembaga.<br />
Karena kemiripannya, maka persamaan yang dikembangkan untuk menganalisa sistem ini dapat<br />
menggunakan pendekatan seperti levitron. Ditentukan bahwa titik keseimbangan ada pada sumbu simetri,<br />
dimana H sejajar g .<br />
Gambar 3 : Pemodelan vektor pada sistem levitasi magnet permanen di atas dua roll tembaga yang berputar<br />
Berdasarkan pendekatan menurut levitron, maka dapat digunakan pemodelan matematika sebagai berikut,<br />
dimana medan magnet pada bahan H diuraikan dalam fungsi ρ dan z<br />
(3)<br />
dimana , dan adalah medan magnet vertikal yang merupakan turunan pertama dan kedua<br />
sepanjang arah sumbu z secara berturut-turut pada posisi seimbang dimana H akan sejajar percepatan gravitasi g<br />
.<br />
Energi potensial pada magnet yang melayang sebagai model kereta maglev ini adalah penjumlahan dari energi<br />
interaksi antara dipol magnet dengan medan magnet itu sendiri ditambah dengan energi potensial gravitasi yang<br />
dipengaruhi oleh gaya berat dari model kereta maglev ini.<br />
(4)<br />
dimana pada energi potensial akibat interaksi momen dipol magnet dengan medan magnet pada persamaan di<br />
atas muncul angka 2, hal ini dikarenakan ada dua roll tembaga, sehingga akan ada dua potensial magnetik akibat<br />
dua rol tersebut.<br />
Persamaan gerak untuk sistem tersebut sebagai berikut dimana<br />
adalah<br />
(5)<br />
F31
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
3. Keadaan Stasioner<br />
Pada keadaan stasioner, model akan berada pada<br />
titik simetri, dimana jarak r antara magnet dengan<br />
pusat rol 1 dengan rol 2 akan sama sehingga<br />
mensyaratkan dan konstan. Dengan<br />
mensubtitusikan syarat ini pada persamaan 5<br />
menghasilkan<br />
(6)<br />
dan 5. Dimana pada keadaan stasioner<br />
persamaan 6 juga akan valid, sehingga massa<br />
magnet akan berbanding terbalik dengan<br />
ketinggian levitasi. Hal ini sudah jelas terlihat,<br />
karena dengan bertambahnya massa magnet<br />
yang dilevitasikan, gaya berat yang harus<br />
dilawan oleh gaya diamagnetik magnet akan<br />
semakin besar sehingga ketinggian levitasi pun<br />
akan berkurang.<br />
4. Pemodelan Matematika Performance Indicator<br />
pada keadaan stasioiner<br />
Pada paper ini, yang dimaksudkan sebagai<br />
performance indikator adalah ketingian dari levitasi<br />
itu sendiri. Ketinggian dari levitasi ini merupakan<br />
fungsi dari kecepatan putaran roll tembaga, gap<br />
antara dua roll, massa magnet yang dilevitasikan.<br />
Dimana dengan semakin besarnya rol, gaya<br />
diamagnetik yang terjadi akan semakin besar. Hal<br />
sebaliknya terjadi pada pengaruh besarnya gap. Rol<br />
yang semakin besar akan menghasilkan luasan<br />
permukaan yang lebih besar, sesuai dengan<br />
pesamaan 1 maka dengan panjang rol konstan, akan<br />
dihasilkan volume yang lebih besar sehingga gaya<br />
diamagnet juga akan lebih besar pula.<br />
Dengan membuat perbandingan dimensi antara<br />
diameter roll dengan gap konstan yang dapat<br />
diformulasikan :<br />
(7)<br />
maka akan didapat besaran tanpa dimensi yang<br />
dapat digunakan dalam menentukan perbandingan<br />
ideal diameter dengan gap terhadap levitasi magnet<br />
yang optimum. Dimana berdasarkan pendekatan<br />
semi analitis didapatkan bahwa rasio gap dengan<br />
diameter terdadap ketinggian levitasi menunjukan<br />
kecenderungan yang mendekati linier hingga pada<br />
akhirnya ketinggian levitasi yang diperoleh akan<br />
bernilai konstan seterlah frekuensi natural<br />
tercapai untuk besar medan magnet yang konstan.<br />
Gambar 5 : Grafik kecenderungan pengaruh massa magnet<br />
terhadap ketinggian levitasi<br />
Sedangkan untuk pemodelan matematika<br />
berdasarkan kecepatan putaran rol tembaga<br />
pada titik stasioner dapat menggunakan<br />
pendekatan sebagai berikut:<br />
(8)<br />
(9)<br />
dimana L adalah momentum sudut dan I adalah<br />
momen inersia rol tembaga yang berbentuk<br />
silinder. Dengan mensubtitusikan persamaan 9<br />
ke persamaan 8 maka didapatkan hubungan :<br />
(10)<br />
dengan ω adalahkecepatan putaran rol tembaga.<br />
Sehingga dapat dibuat bentuk hubungan dalam<br />
persamaan integral<br />
(11)<br />
Dengan dimensi dan massa konstan, maka ruas<br />
kiri persamaan 11 dapat dengan mudah<br />
diselesaikan. Bahan yang digunakan juga sama,<br />
karena itu ruas kanan persamaan 11 juga<br />
bernilai konstan, sehingga<br />
Gambar 4 : Grafik kecenderungan pengaruh perbandingan<br />
diameter rol dengan gap terhadap ketinggian levitasi<br />
Pada analisa mengenai massa magnet yang<br />
dilevitasikan daat menggunakan persamaan 4<br />
untuk , persamaan 11 dapat dituliskan menjadi :<br />
(12)<br />
F32
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Konstanta C disini akan secara langsung<br />
mempengaruhi ketinggian levitasi karena<br />
berdasarkan persamaan 4 levitasi akan sangat<br />
dipengaruhi oleh Hdan μ.<br />
Gambar 6 : Grafik kecenderungan pengaruh kecepatan putaran rol<br />
tembaga terhadap ketinggian levitasi<br />
Daftar Pustaka<br />
S. Earnshaw. (1842). Trans. Cambridge Philos. Soc.,<br />
7, 97.<br />
Kee-Bong Choi. (2003), Stabilization of one<br />
degree-of-freedom control type levitation<br />
table with permanent magnet repulsive<br />
forces, Mechatronics, 13, 587–603.<br />
W. Braunbek. (1939) , Z. Phys, 112 753.<br />
B.R.F. Kendall, M.F. Vollero, L.D. Hinkle, J. Vac.<br />
Sci. (1987) , Technol. A, 5, 2458.<br />
I.F. Lyuksyutov, D.G. Naugle, K.D.D. Rathnayaka.<br />
(2004) , A.P.L., 85, 1817.<br />
H. Chetouani, V. Haguet, C. Jeandey, C. Pigot, A.<br />
Walther, N.M. Dempsey, F. Chatelain, B.<br />
Delinchant, G. Reyne. (2007), IEEE<br />
Transducers Eurosensors, 715.<br />
H.B. Profijt, C.Pigot, G.Reyne, R.M.Grechishkin,<br />
O.Cugat. (2009), Stable diamagnetic selflevitation<br />
of a micro-magnet by improvement<br />
of its magnetic gradients, Journal of<br />
Magnetism and Magnetic Materials, 321,<br />
259–262.<br />
R. Pelrine, Am. Sci. (2004), 92, 428.<br />
S. Gov, S. Shtrikman, H. Thomas. (1999), On the<br />
dynamical stability of the hovering magnetic<br />
top, Physica D, 126, 214–224.<br />
4. Kesimpulan<br />
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan<br />
bahawa besarnya perbandingan antara diameter rol<br />
tembaga dengan gap dan kecepatan putaran rol<br />
tembaga akan sebanding dengan ketinggian levitasi<br />
sampai pada frekuensi natural ketinggian levitasi<br />
akan cenderung konstan. Hal sebaliknya terjadi pada<br />
parameter massa magnet yang dilevitasikan, dengan<br />
bertambahnya massa magnet, ketinggian levitasi<br />
akan semakin kecil dengan medan magnet yang<br />
sama.<br />
F33
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Telaah Perubahan Variasi Harian Komponen H Geomagnet Menggunakan<br />
Metode Analisis Harmonik<br />
Habirun<br />
Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />
Jln. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 INDONESIA<br />
Email :<br />
Abstrak<br />
Pada telaah perubahan pola karakteristik variasi harian komponen H geomagnet menggunakan metode analisis<br />
Harmonik dan dikaitkan terhadap periode dampak radiasi matahari. Selain itu diperhitungkan pula dampak<br />
periode gaya tarik bulan terhadap bumi dan dampak periode dari antar planet. Analisis perubahan variasi harian<br />
komponen H geomagnet difokuskan pada dampak radiasi matahari berperiode 24 jam, bulan 12 jam dan<br />
planetari periode 6 jam. Dengan menggunakan data variasi harian komponen H geomagnet yang diamati dari<br />
stasiun pengamat geomagnet Tangerang tahun 1996 sampai dengan tahun 2004. Hasil analisis perubahan variasi<br />
harian komponen H yang diperoleh dibagi dalam dua bagian yakni berfluktuasi maksimum dan minimum. (i)<br />
Galat model berfluktuasi maksimum tertinggi 33,79 nT dan terendah -108,86 nT dengan perubahan data variasi<br />
harian komponen H sebesar 1261 nT dan terkecil 942 nT, berdasarkan perubahan data variasi harian komponen<br />
H tahun 1999. (ii) Sedangkan galat model berfluktuasi minimum tertinggi 14,67 nT sedangkan terkecil -16,62 nT<br />
dengan perubahan data variasi harian komponen H terbesar 1139 nT dan terkecil 756 nT, sesuai perubahan data<br />
variasi harian komponen H tahun 1996 dan 1997. Kemudian pola tahunan variasi harian komponen H geomagnet<br />
dengan menggunakan model polinom mempunyai pola yang bervariasi<br />
Keywords Komponen medan Geomagnet, Analisis Harmonik.<br />
PENDAHULUAN<br />
Karakteristik variasi harian komponen H<br />
geomagnet sangat kompleks, berfluktuasi dan<br />
dinamis akibat dipengaruhi berbagai aktivitas<br />
gangguan antara lain dari aktivitas matahari bersifat<br />
jangka panjang dan jangka pendek. Gangguan<br />
jangka panjang diakibatkan aktivitas matahari sesuai<br />
siklus bilangan sunspot berperiode sekitar 11 tahun.<br />
Demikian pula gangguan aktivitas matahari jangka<br />
pendek yang bersifat temporal seperti dampak<br />
aktivitas flare, CME (Coronal Mass Ejection) dan<br />
coronal hole mempengaruhi variasi harian<br />
komponen H geomagnet dengan durasi sekitar jam<br />
hingga hari. Indikasi gangguan masing-masing area<br />
akibat matahari maupun dari permukaan bumi secara<br />
umum telah diketahui dengan baik. Oleh karena itu<br />
indikasi dampak gangguan yang berpengaruh pada<br />
medan magnet bumi (geomagnet) sejak dulu hingga<br />
sekarang telah diketahui dari masing-masing tempat<br />
seperti indeks K menyatakan tingkat gangguan<br />
geomagnet lokal, indeks Dst untuk daerah ekuator<br />
dan seterusnya.<br />
Berkaitan dengan itu pada uraian ini dibahas<br />
telaah variasi harian komponen H menggunakan<br />
metode analisis Harmonik yang difokuskan pada<br />
variasi harian komponen H. Menggunakan data<br />
variasi harian komponen H dari stasiun pengamat<br />
geomagnet Tangerang. Dengan tujuan yang ingin<br />
dicapai adalah tingkat fluktuasi perubahan variasi<br />
harian komponen H pada aktivitas matahari<br />
minimum hingga maksimum, aktivitas minimum<br />
tahun 1996 dan maksimum sekitar tahun 1999-2000<br />
serta tahun 2004 kembali menuju minimum. Selain<br />
itu model variasi harian komponen H tersebut dapat<br />
pula digunakan sebagai sarana untuk mendeteksi<br />
dampak aktivitas gangguan dari matahari dan<br />
permukaan bumi. Indikasi aktivitas matahari<br />
khususnya dianalisis menggunakan variasi harian<br />
komponen H. Sedikit kajian untuk informasi yang<br />
diperoleh ini diberikan hasil analisis sebagai contoh,<br />
tetapi pada topik pembahasan dalam uraian ini hanya<br />
difokuskan pada telaah model variasi harian<br />
komponen H saat aktivitas matahari minimum<br />
hingga maksimum.<br />
Sedangkan analisis penentuan model variasi<br />
harian komponen H akibat dampak gangguan jangka<br />
pendek yang menyebabkan badai magnet merupakan<br />
sebuah fenomena multi bentuk yang memperlihatkan<br />
proses-proses fisik transfer energi dari solar wind ke<br />
magnetosfer bumi yang terdistribusi dalam sistem<br />
kopling magnetosfer-ionosfer dalam bentuk arus<br />
listrik. Ada dua katagori berkenaan dengan badai<br />
magnet X.-Y [4] : (i) recurrent storms yang berkaitan<br />
dengan periode 27 harian rotasi matahari dan (ii)<br />
nonrecurent storms. Recurent storms berkaitan<br />
dengan badai sedang dan umumnya tidak berkorelasi<br />
dengan bilangan sunspot (bintik matahari).<br />
Nonrecurrent storms berkaitan dengan badai kuat<br />
yang disebut badai magnet SSC(Storms Sudden<br />
Commencemment) dan terjadi disekitar matahari<br />
maksimum [1] . Pada pembahasan ini karakteristik<br />
F34
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
variasi harian komponen H geomagnet jangka<br />
pendek saat terjadi badai magnet seperti tersebut di<br />
atas tidak dibahas. Karena telaah model ini hanya<br />
berdasarkan dampak gangguan-gangguan yang<br />
sifatnya reguler.<br />
DATA DAN METODE<br />
Data<br />
Dalam analisis telaah variasi harian komponen H<br />
geomagnet pada uraian ini digunakan data variasi<br />
harian komponen H geomagnet dari stasiun<br />
pengamat geomagnet BMG Tangerang tahun 1996<br />
sampai dengan tahun 2004. Masing-masing data<br />
variasi harian komponen H geomagnet diamati<br />
dalam interval detik, kemudian diubah kedalam<br />
menit dan menit dalam jaman. Perubahan data<br />
variasi harian komponen H dari detik hingga kejaman<br />
dilakukan perata-rataan setiap jam pada bulan<br />
tertentu. Dengan pengolahan data menggunakan<br />
rata-rata ini tidak lain untuk mengeliminasi titik-titik<br />
data variasi harian komponen H yang ekstrim dan<br />
pengaruh gangguan yang tidak diketahui sumbernya<br />
(acak). Setelah data variasi harian komponen H<br />
geomagnet terbebas dari titik-titik yang ekstrim dan<br />
pengaruh gangguan-gangguan acak, kemudian<br />
dilakukan analisis telaah karakteristik variasi harian<br />
komponen H sesuai metode yang terurai pada pasal<br />
2.2.<br />
Metode<br />
Analisis telaah variasi harian komponen H<br />
geomagnet menggunakan metode deret Fourier dan<br />
Harmonik analisis ([2], [3]) , dengan dikaitkan terhadap<br />
dampak periode dominan variasi harian yang<br />
berperiode 24 jam, 12 jam dan 6 jam. Sedangkan<br />
fluktuasi variasi harian komponen geomagnet yang<br />
tidak normal atau pada saat terjadi badai magnet<br />
dalam analisis ini tidak diperhitungkan. Karena<br />
fluktuasi variasi harian komponen H geomagnet<br />
pada saat badai magnet kadang-kadang mempunyai<br />
multi pola maka dari itu model variasi harian<br />
komponen H geomagnet pada saat badai mempunyai<br />
akurasi lebih rendah. Oleh karena itu telaah variasi<br />
harian komponen H dari masing-masing aktivitas<br />
matahari dari maksimum hingga minimum tidak<br />
akan memberikan akurasi model yang lebih tinggi.<br />
Sesuai uraian sebelumnya model variasi<br />
harian komponen H geomagnet secara<br />
matematis dirumuskan [5] sebagai berikut :<br />
X<br />
t<br />
= μ + RCos ( ω<br />
t<br />
+ φ ) + ε<br />
…. (2.1)<br />
kemudian persamaan (2.1) disederhanakan dan dapat<br />
pula ditulis dalam persamaan (2.2)<br />
t<br />
X<br />
t<br />
= X + ACos ω<br />
t<br />
+ BSin ω<br />
t<br />
+ ε<br />
t<br />
…. (2.2)<br />
dengan Xt fungsi variasi harian komponen<br />
H medan magnet bumi yang ke-t dan<br />
konstanta-konstanta model persamaan (2.2)<br />
dihitung menggunakan metode kuadrat<br />
terkecil. Berarti minimumkan galat model<br />
εt. dan didefinisikan fungsi F( X ,R,φ) =<br />
F(μ,R,φ,ω) adalah<br />
N<br />
N<br />
2<br />
∑ ε<br />
t<br />
= F μ , R , φ , ω ) = ∑<br />
t = 1 t = 1<br />
( ( X − μ − ACos ω − BSin ω )<br />
Fungsi F( X ,R, φ) masing-masing<br />
diminimumkan terhadap X , A dan B<br />
kemudian samakan dengan nol yang<br />
dinyatakan oleh,<br />
∂ ε ( X , R , φ ) , ∂ ε ( X , R , φ )<br />
= 0<br />
= 0<br />
,<br />
∂ X<br />
∂ A<br />
∂ ε ( X , R , φ )<br />
= 0<br />
∂ B<br />
konstanta, amplitudo dan sudut fasa model dapat<br />
dihitung sebagi berikut ;<br />
N<br />
1<br />
X = ∑ X<br />
t<br />
N t = i<br />
N<br />
2<br />
A<br />
m<br />
= ∑ ( X<br />
t<br />
− X ) Cos ω<br />
t<br />
N t = 1<br />
N<br />
2<br />
.(2.3)<br />
B<br />
m<br />
= ∑ ( X<br />
t<br />
− X ) Sin ω<br />
t<br />
N t = 1<br />
2 2<br />
Amplitudo R<br />
m<br />
= A<br />
m<br />
+ B<br />
m<br />
Sudut fasa − B<br />
m<br />
φ<br />
m<br />
= arctan( ) , Am > 0<br />
A<br />
m<br />
Galat model ditentukan berdasarkan selisih<br />
antara data pengamatan terhadap model, dengan<br />
dinyatakan oleh<br />
X t(data) – X t(model) = ε t (2.4)<br />
Barisan galat yang diperoleh dari persamaan (2.4),<br />
galat model dapat dihitung dengan persamaan (2.5)<br />
adalah<br />
N<br />
2<br />
Sgalat = ∑ ( ε<br />
t<br />
− ε )<br />
(2.5)<br />
t = 1<br />
N<br />
Nilai batas X t perubahan variasi harian komponen<br />
H medan magnet bumi, fluktuasi komponen H yang<br />
diijinkan oleh model sekitar<br />
X t = X (model) ± z α S gala …. (2.6)<br />
α suatu toleransi perubahan model komponen H dan<br />
harga z α diperoleh dari kurva distribusi Gauss pada<br />
α diambil 5 % sehingga diperoleh harga z α = 1,96.<br />
Dengan demikian persamaan (2.6) dapat dinyatakan<br />
sebagai;<br />
t<br />
t<br />
t<br />
2<br />
F35
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Xt = X(model) ± 1,96 Sgalat …. (2.7)<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Visualisasi hasil analisis telaah karakteristik<br />
perubahan variasi harian komponen H geomagnet<br />
dari aktivitas matahari minimum sampai dengan<br />
aktivitas matahari maksimum pada bagian ini<br />
diuraikan dalam dua bentuk yakni secara kualitatif<br />
dilukiskan berupa gambar-gambar. Sedangkan hasil<br />
analisis variasi harian komponen H secara kuantitatif<br />
dilukiskan berupa angka-angka dan disajikan dalam<br />
bentuk tabel. Dalam analisis variasi harian<br />
komponen H pola tahunan diidentifikasi<br />
menggunakan model polinom orde 4. Hasil analisis<br />
data variasi harian komponen H secara kuantitatif<br />
sesuai kondisi akurasi model dari tahun 1996 sampai<br />
dengan tahun 2004 dilihat tabel 1<br />
Tahu<br />
n<br />
TABEL 1<br />
PERUBAHAN DATA DAN MODEL VARIASI HARIAN<br />
KOMPONEN H GEOMAGNET TAHUNAN TAHUN 1996 -<br />
2004 BERDASARKAN NILAI GALAT, RATA-RATA,<br />
MINIMUM DAN MAKSIMUM DARI STASIUN PENGAMAT<br />
GEOMAGNET BMG TANGERANG<br />
Galat<br />
Maks.<br />
Galat Rata-rata Minimum Naksimum<br />
Min. model data model data model data<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
1996 14.67 -18.11 941.60 941.60 850.10 854 984.43 990<br />
1997 28.29 -16.62 939.84 939.84 756.39 756 1128.40 1139<br />
1998 20.48 -48.91 1032.05 1032.05 935.89 933 1094.77 1111<br />
1999 33.79 -108.86 1110.55 1110.56 977.36 942 1246.81 1261<br />
2000 20.21 -18.56 112.63 112.64 62.17 64 186.78 199<br />
2001 19.36 -17.77 160.99 160.99 130.17 135 198.54 217<br />
2002 28.89 -29.44 142.74 142.75 68.14 75 237.11 258<br />
2003 22.76 -32.84 184.34 184.34 125.03 110 232.54 247<br />
2004 18.56 -19.51 191.61 191.62 105.18 111 287.81 297<br />
Sesuai hasil analisis telaah dengan menggunakan<br />
metode analisis Harmonik dan deret Fourier yang<br />
diuraikan pada pasal dua di atas maka tingkat<br />
perubahan variasi harian komponen H setiap tahun<br />
dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2004 dapat<br />
dilihat pada tabel 1. Dengan galat model berfluktuasi<br />
maksimum atau terbesar dinyatakan variasi harian<br />
komponen H tahun 1999 pada kolom 2 sebesar<br />
33,79 nT serta galat model terkecil pada kolom 3<br />
sebesar -108,86 nT, dengan data perubahan terbesar<br />
1261 nT dan terkecil 942 nT kolom 9 dan 8.<br />
Demikian pula galat model berflukutuasi minimum<br />
variasi harian komponen H terbesar 14,67 nT pada<br />
kolom 2 sedangkan terkecil -16,62 nT kolom 3 dan<br />
perubahan data variasi harian komponen H terbesar<br />
1139 nT dan terkecl 756 nT, sesuai perubahan data<br />
variasi harian komponen H tahun 1996 dan 1997.<br />
Berkaitan hasil analisis telaah yang diungkapkan<br />
di atas berdasarkan data variasi harian komponen H<br />
tahunan dari 1996-2004 dapat dilihat pada gambar 1.<br />
Pada gambar 1 terlihat data variasi harian komponen<br />
H maksimum dan minimum dari seluruh tahun, yang<br />
sangat berfluktuasi 1261 nT tahun 1999 turun hingga<br />
199 nT tahun 2000. Sedangkan pada gambar 2<br />
menyatakan perubahan galat model variasi harian<br />
komponen H geomagnet tahunan dari 1996-2004<br />
dan pola fluktuasinya tidak mengikuti pola data<br />
variasi harian komponen H dan mempunyai pola<br />
tersentu pula. Dengan berubahan galat model variasi<br />
harian komponen H yang lebih menonjol hanya<br />
terlihat pada tahun 1999, karena pada saat itu<br />
aktivitas matahari sekitar maksimum sehingga<br />
dampaknya pada medan magnet bumi (geomagnet)<br />
terutama variasi harian komponen H cukup<br />
berfluktuasi. Kemudian data variasi harian<br />
komponen H gambar 1 dilakukan analisis<br />
menggunakan metode Harmonik analisis sehingga<br />
hasilnya dapat dilihat pada gambar 3, sedangkan<br />
polanya sama dan mengikuti pola yang terlihat pada<br />
Gambar 1.<br />
H(nT)<br />
1400<br />
1200<br />
1000<br />
800<br />
600<br />
400<br />
200<br />
0<br />
Perubahan data variasi harian komponen H dari tahun 1996 - 2004<br />
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />
Tahun<br />
Minimum<br />
Maksimum<br />
Gbr. 1. Perubahan karakteristik data variasi harian komponen<br />
H geomagnet tahun dari tahun 1996-2004 stasiun pengamat<br />
geomagnet BMG Tangerang<br />
H(nT)<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
-20<br />
-40<br />
-60<br />
-80<br />
-100<br />
-120<br />
Perubahan galat maksimum dan minimum dari tahun 1996 - 2004<br />
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />
Tahun<br />
galat maks<br />
galat min.<br />
Gbr. 2. Perubahan karakteristik galat model variasi harian<br />
komponen H geomagnet maksimum dan minimum tahunan dari<br />
tahun 1996-2004 stasiun pengamat geomagnet BMG Tangerang.<br />
H(nT)<br />
1400<br />
1200<br />
1000<br />
800<br />
600<br />
400<br />
200<br />
0<br />
Perubahan data dan model variasi harian komponen H dari tahun 1996-2004<br />
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />
Tahun<br />
model Minimum<br />
data minimum<br />
model maksimum<br />
data maksimum<br />
Gbr.3. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />
komponen H geomagnet maksimum hingga minimum tahunan<br />
dari tahun 1996-2004 stasiun pengamat geomagnet BMG<br />
Tangerang<br />
Selanjutnya, analisis data dan model variasi<br />
harian komponen H geomagnet yang diungkapkan di<br />
atas masih dalam bentuk umum, karena setiap titik<br />
perubahan dipandang dalam jangka waktu tahunan.<br />
Untuk lebih jelasnya kondisi karakteristik variasi<br />
harian komponen H geomagnet itu dikaji lebih<br />
dalam berdasarkan kondisi pola bulanan yang<br />
dinyatakan pola harian. Artinya pola variasi harian<br />
komponen H selama satu bulan dilakukan peratarataan<br />
sehingga diperoleh variasi harian komponen<br />
H bulanan. Dengan hasil analisis terlihat pola variasi<br />
harian komponen H bulanan menggunakan metode<br />
analisis Harmonik dan pola tahunan menggunakan<br />
model polinom orde 4. Hasil analisis data variasi<br />
F36
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
harian komponen H masing-masing tahun<br />
dinyatakan gambar 4a dan 4b.<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 1996<br />
1050<br />
1000<br />
950<br />
900<br />
850<br />
model<br />
800<br />
Komp.H<br />
Poly. (Komp.H)<br />
750<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
-5<br />
-10<br />
-15<br />
-20<br />
1200<br />
1150<br />
1100<br />
1050<br />
1000<br />
950<br />
900<br />
850<br />
800<br />
750<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
Perubahan Galat Model tahun 1996<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 1997<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
model<br />
Komp.H<br />
Poly. (Komp.H)<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2000<br />
210<br />
190<br />
170<br />
150<br />
130<br />
110<br />
model<br />
90<br />
Komp.H<br />
70<br />
50<br />
Poly. (Komp.H)<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
Perubahan galat model tahun 2000<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2001<br />
240<br />
220<br />
200<br />
180<br />
160<br />
140<br />
model<br />
120<br />
Komp.H<br />
100<br />
Poly. (Komp.H)<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
Perubahan galat model tahun 2001<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
H(nT)<br />
Perubahan galat model tahun 1997<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
-5<br />
-10<br />
-15<br />
-20<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
H(nT)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2002<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
model<br />
100<br />
Komp.H<br />
50<br />
Poly. (Komp.H)<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
H(nT)<br />
Data terhadap variasi harian komponen H tahun1998<br />
1150<br />
1100<br />
1050<br />
1000<br />
950<br />
900<br />
model<br />
850<br />
Komp.H<br />
800<br />
Poly. (Komp.H)<br />
750<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
H(nT)<br />
Perubahan galat model tahun 2992<br />
40<br />
20<br />
0<br />
-20<br />
-40<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
H(nT)<br />
Perubahan Galat model tahun 1998<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
-40<br />
-50<br />
-60<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Dat a t erhadap model variasi harian komponen H t ahun 1999<br />
H(nT)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2003<br />
260<br />
240<br />
220<br />
200<br />
180<br />
160<br />
model<br />
140<br />
Komp.H<br />
120<br />
Poly. (Komp.H)<br />
100<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
(HnT)<br />
1350<br />
1250<br />
1150<br />
1050<br />
60<br />
40<br />
20<br />
-20<br />
-40<br />
-60<br />
-80<br />
-100<br />
-120<br />
950<br />
850<br />
750<br />
0<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
Perubahan galat model t ahun 1999<br />
mo del<br />
Komp.H<br />
Poly. (Komp.H)<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Gbr. 4a. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />
komponen H geomagnet (kiri) dan galat model (kanan) fluktuasi<br />
minimum hingga maksimum, dari tahun 1996-1999 stasiun<br />
pengamat geomagnet BMG Tangerang<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
H(nT)<br />
Perubahan galat model tahun 2003<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
-40<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2004<br />
350<br />
model<br />
300<br />
Komp.H<br />
250<br />
Poly. (Komp.H)<br />
200<br />
150<br />
100<br />
1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />
Skala (Hari)<br />
Perubahan galat model tahun 2004<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
0 50 100 150 200 250 300<br />
Skala (Hari)<br />
Gbr. 4.b. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />
komponen H geomagnet (kiri) dan galat model (kanan) fluktuasi<br />
maksimum hingga menuju minimum dari tahun 2000-2004<br />
stasiun pengamat geomagnet BMG Tangerang<br />
F37
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pada gambar 4a menunjukan bahwa pola variasi<br />
harian komponen H geomagnet tahunan yang<br />
dinyatakan model polinom garis mulus terlihat<br />
dengan jelas bahwa dari tahun 1996-1999 tidak<br />
mempunyai pola yang sama. Demikian pula pola<br />
variasi harian komponen H bulanan yang dinyatakan<br />
rata-rata variasi harian menunjukan indikasi yang<br />
hampir sama. Variasi harian komponen H<br />
geomagnet masih tergantung pada dampak aktivitas<br />
matahari dengan dinyatakan pola variasi harian<br />
komponen H pada tahun 1996 tidak menunjukan<br />
variasi yang sama terhadap tahun 1997 hingga tahun<br />
1999. Lebih lanjut dibahas pula pola karakteristik<br />
variasi harian komponen H dari aktivitas matahari<br />
maksimum hingga minimum dari tahun 2000-2004<br />
dapat dilihat pada gambar 4b. Pola karakteristik<br />
variasi harian komponen H pada interval waktu<br />
tersebut terlihat cukup bervariasi dan tidak<br />
menunjukan pola yang sama antara aktivitas<br />
matahari minimum hingga maksimum maupun<br />
aktivitas matahari maksimum hingga menuju<br />
minimum.<br />
Selanjutnya, realitas perubahan rata-rata variasi<br />
harian komponen H yang dinyatakan pada tabel 1<br />
melukiskan kondisi secara umum. Sejalan dengan itu<br />
ditinjau pula interval fluktuasi variasi harian<br />
komponen H geomagnet pada kondisi saat matahari<br />
maksimum dan minimum dengan tingkat toleransi<br />
yang diambil 5 % dan hasilnya dapat dilihat pada<br />
tabel 2<br />
TABEL 2<br />
INTERVAL PERUBAHAN DATA VARIASI HARIAN<br />
KOMPONEN H GEOMAGNET TAHUN 1996 -2004<br />
BERDASARKAN NILAI GALAT MODEL, SESUAI RATA-<br />
RATA MINIMUM DAN MAKSIMUM DARI DATA STASIUN<br />
PENGAMAT GEOMAGNET BMG TANGERANG<br />
Galat Fluktuasi Fluktuasi Minimum<br />
Tahun<br />
Maksimum<br />
Maks Min. Maks. Min. Maks. Min.<br />
.<br />
1 2 3 4 5 6 7<br />
1996 14.67 -18.11 1018.75 954.53 882.75 818.53<br />
1997 28.29 -16.62 1194.44 1106.42 811.44 723.42<br />
1998 20.48 -48.91 1151.14 1015.16 973.14 837.16<br />
1999 33.79 -108.86 1327.23 1047.64 1008.23 728.64<br />
2000 20.21 -18.56 238.60 162.63 103.60 27.63<br />
2001 19.36 -17.77 254.95 182.16 172.95 100.16<br />
2002 28.89 -29.44 314.63 200.30 131.63 17.30<br />
2003 22.76 -32.84 291.6 182.64 154.61 45.64<br />
2004 18.56 -19.51 333.37 258.76 147.37 72.76<br />
Berdasarkan hasil analisis perubahan variasi<br />
harian komponen H rata-rata maksimum tahunan<br />
yang dinyatakan tabel 2 kolom 4 dan 5 diambil<br />
sebagai contoh dengan fluktuasi tertinggi 1018,75<br />
nT dan terendah 954,75 nT sesuai data tahun 1999.<br />
Demikian pula untuk fluktuasi minimum perubahan<br />
variasi harian komponen H tertinggi 882,53 nT dan<br />
terendah 818,53 nT lihat tabel 2 kolom 6 dan 7.<br />
Sesuai hasil analisis perubahan variasi harian<br />
komponen H geomagnet yang dinyatakan pada tabel<br />
2 menunjukan bahwa model variasi harian<br />
komponen H yang dapat digunakan harus terletak<br />
dalam interval fluktuasi maksimum dan minimum.<br />
Apabila model variasi harian komponen H yang<br />
diperoleh keluar dari interval fluktuasi maksimum<br />
dan minimum maka model tersebut tidak dapat<br />
mewakili penyebaran data variasi harian komponen<br />
H. Berarti keluaran model variasi harian komponen<br />
H yang diperoleh itu tidak bisa digunakan sebagai<br />
informasi dan model itu perlu dilakukan verifikasi<br />
lebih lanjut.<br />
PENUTUP<br />
Berdasarkan galat model variasi harian komponen H<br />
yang diperoleh dalam dua bagian yakni fluktuasi<br />
maksimum dan minimum. Pada fluktuasi maksimum<br />
variasi harian komponen H tertinggi sekitar 33,79<br />
nT dan terendah -108,86 nT serta perubahan data<br />
variasi harian komponen H tertinggi 1261 nT dan<br />
terendah 942 nT, kondisi itu dinyatakan perubahan<br />
data variasi harian komponen H tahun 1999. Dengan<br />
variasi harian komponen H yang diperoleh dari<br />
model tidak boleh keluar dalam inerval 1018,75 nT<br />
hingga 954,75 nT. Sedangkan fluktuasi variasi<br />
harian komponen H minimum dengan galat model<br />
variasi harian komponen H terbesar 14,67 nT dan<br />
terendah -16,62 nT sedangakan perubahan data<br />
variasi harian komponen H tertinggi 1139 nT dan<br />
terendah 756 nT, perubahan variasi harian<br />
komponen H itu berdasarkan data tahun 1996 dan<br />
1997. Demikian pula fluktuasi variasi harian<br />
komponen H minimum tidak boleh keluar dari<br />
interval 882,53 nT hingga 818,53 nT. Apabila model<br />
variasi harian komponen H yang diperoleh keluar<br />
dari interval fluktuasi maksimum dan minimum<br />
maka model tersebut tidak dapat mewakili<br />
penyebaran data variasi harian komponen H. Berarti<br />
keluaran model variasi harian komponen H yang<br />
diperoleh tersebut tidak bisa digunakan sebagai<br />
informasi variasi harian komponen H. Kemudian pola<br />
tahunan variasi harian komponen H geomagnet dengan<br />
menggunakan model polinom mempunyai pola yang<br />
bervariasi<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Rasa terima kasih, saya sampaikan kepada temanteman<br />
bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet<br />
Antariksa terutama bapak Anwar Santoso M.Si.,<br />
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN<br />
Bandung atas segala bantuan baik moril maupun<br />
materiil.<br />
F38
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
REFERENSI<br />
Meloni A., De Michelis P., and Tozzi R., (2005),<br />
Geomagnetic storms, dependence on solar<br />
and interplanetary phenomena : a review,<br />
Mem., S. A., Lt., Vol. 76, 882 © Salt 2005<br />
Habirun, (2003), Model Variasi H Medan Magnet<br />
Bumi Menggunakan Analisis Deret Fouirier,<br />
Proceedings Forum Teori dan Aplikasi<br />
Statistika, Jurrusan Statistika FMIPA<br />
UNISBA, Vol 3<br />
Habirun, 2004. Analisis dampak aktivitas matahari<br />
pada variasi harian komponen H geomagnet,<br />
Prosiding Seminar Nasional Antariksa II.<br />
Hal. 152-163 LAPAN Bandung<br />
Zhou X. Y and Wei F. S., 1998. Prediction of<br />
recurrent geomagnetic distrurbance by using<br />
adaptive filtering. Earth Planets Space 50,<br />
839 – 845 Japan<br />
Habirun, Koeswadi., 1992. Estimasi Model MUF<br />
Dan LUF Lapisan Ionosfer Pada Sunspot<br />
Minimum, Proceedings Seminar Astronomi<br />
Sehari, 14 Desember Planetarium Dan<br />
Observatorium Jakarta, hal. 137-148<br />
F39
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Machine Vision untuk Instrumentasi Peralatan Biomedis<br />
Hendro Nurhadi<br />
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)<br />
Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya 60111, INDONESIA<br />
Tel. +62-31-5946230 Fax. +62-31-5922941<br />
Email : hdnurhadi@me.its.ac.id<br />
Abstract<br />
Perkembangan tekonologi image processing dalam dekade terakhir sangatlah pesat hingga merambah ke aplikasi<br />
instrumentasi peralatan biomedis. Di dalam makalah ini akan dibahas esensi dari penggunaan mesin visualiasi<br />
(machine vision) untuk aplikasi peralatan biomedis yang pada umumnya lebih dikenal dengan nama AOI<br />
(Automated Optical Inspection) sebagai perwujudan kombinasi image processing dan teknologi optik. Aplikasi<br />
dari ilmu fisika pada penelitian ini adalah tekonlogi optik terapan yang dikombinasikan dengan teknologi<br />
komputasi numerik pada image processing. Disini akan dibahas sejauh mana pentingnya mesin visualisasi<br />
tersebut untuk peralatan biomedis, dan sudah sejauh manakah perkembangan teknologi mesin visualisasi terkini.<br />
Dengan dikembangkannya machine vision ini untuk peralatan biomedis, maka pekerjaan inspeksi dan<br />
pengukuran menjadi lebih mudah dan lebih akurat serta lebih presisi. Hasil dari studi pada makalah ini adalah<br />
rekomendasi berupa peralatan biomedis untuk industri dan kedokteran sebagai aplikasi teknologi optik dari<br />
beberapa penelitian yang pernah dilakukan.<br />
Keywords : machine vision, image, biomedical instrumentation, AOI.<br />
Introduction<br />
The purpose of this paper is to introduce the topic of<br />
automated optical inspection, AOI. The authors have<br />
been working in the area of applying machine vision<br />
to the inspection process for several years. Rather,<br />
the authors were forced to scan literature in the<br />
fields of robotics, electrical engineering, medical<br />
and biomedical science, applied physics, computer<br />
science, etc. The inconvenience of having to<br />
research so many sources is magnified by the<br />
differences in style, notation, reader background and<br />
interest. It is the authors opinion that the technical<br />
literature discussing image capture, image<br />
enhancement, image processing and decision as<br />
related to the inspection task should be<br />
conglomerated in a single source and moreover that<br />
that source should reside within Industrial<br />
Engineering. Hence, it is hoped that this tutorial will<br />
initiate the process. Machine vision may be<br />
described as the acquisition and analysis of visual<br />
information.<br />
The applications of machine vision are vast, ranging<br />
from medical diagnosis and micro-surgery to image<br />
feature extraction for satellite surveillance. The<br />
application of this developing technology to the<br />
inspection task is known as automated optical<br />
inspection, AOI.<br />
Product inspection, particularly visual inspection, is<br />
one of the most difficult and time consuming steps<br />
in the manufacturing process. The importance of the<br />
inspection process has been magnified by the<br />
requirements of the modern manufacturing<br />
environment.<br />
These include:<br />
1. Quality levels so high that sampling inspection<br />
is not applicable.<br />
2. Production rates so high that manual inspection<br />
is not feasible.<br />
3. Tolerances so tight that manual visual<br />
inspection is inadequate.<br />
4. Configuration management and defect tracing<br />
which requires computer assistance.<br />
These are but a few of the reasons AOI will<br />
dominate quality control in the future manufacturing<br />
arena and why a forum is needed for this developing<br />
technology. Complexity of vision tasks is illustrated<br />
in Fig.1 and a short overview of spectrum of<br />
industrial inspection applications in Fig. 2<br />
F40
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 1. Complexity of vision tasks, Jain et al. (1997)<br />
Figure 2. Spectrum of industrial inspection applications, Jain et al. (1997)<br />
Image analysis and computer vision in medicine<br />
Pun et al. (1994), there are various motivations for<br />
using digital image processing methods in medicine:<br />
• new modalities and multimodal analysis:<br />
foremost comes certainly the possibility of<br />
exploring new imaging modalities, leading to<br />
new anatomical or functional insights; further,<br />
image analysis will support the combined<br />
evaluation of data from different modalities;<br />
• morphometry: the use of computerized<br />
techniques allows better precision and<br />
repeatability, with, as a consequence, improved<br />
objectivity of measurement of morphometric<br />
parameters like size, area, volume,<br />
circumference, etc.;<br />
• improved interpretation: the sensitiveness of<br />
those new imaging modalities, coupled with the<br />
power of recent visualization techniques, enable<br />
more refined diagnosis than using conventional<br />
exploratory methods;<br />
• more accurate prediction: a consequence is the<br />
ability of providing more finely tuned medical<br />
treatment; for example, lower doses in radiation<br />
therapy or more accurate positioning in head<br />
surgery;<br />
• process automation: many medical operations<br />
can benefit from the reliability provided by<br />
automatic processing, from the screening of<br />
biological specimen to vision guided surgery;<br />
and<br />
• understanding of volume data: recognition of<br />
structures from volume data is not a<br />
spontaneous visual task and will benefit from<br />
computerized processing and visualization.<br />
Medical applications of image synthesis techniques<br />
are mostly for 2D and 3D visualization purposes.<br />
Typical examples are in diagnosis or planning, for<br />
example, for surgery or radiotherapy. Graphical<br />
methods can also be employed for simulation,<br />
typically by means of computer animation<br />
techniques. It is worth noting that other theoretical<br />
concepts that are usually perceived as pertaining to<br />
computer graphics play an important role in<br />
computer vision; this is discussed in “Relationships<br />
with image synthesis.” The links between these two<br />
kindred fields are numerous; it is hard to conceive a<br />
physician’s workstation without methods originating<br />
from both. A typical image interpretation system is<br />
shown in Fig.3; and steps in developing a machine<br />
vision system in Fig. 4.<br />
F41
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 3. A typical image interpretation system, Jain et al. (1997)<br />
different processes. The big rectangles show the subsystems<br />
while the parts for gathering information are<br />
presented as small rectangles in Fig. 5. As can be<br />
seen in Fig. 5, the light from a source illuminates the<br />
scene (it can be an industrial environment), and an<br />
optical image is generated by image sensors. Image<br />
arrays, digital camera, or other means are used to<br />
convert optical image into an electrical signal that<br />
can be converted to an ultimate digital image.<br />
Typically, cameras incorporating either the line scan<br />
or area scan elements are used, which offer<br />
significant advantages. The camera system may use<br />
either charge coupled device (CCD) sensor or<br />
vidicon for the light detection. The preprocessing,<br />
segmentation, feature extraction and other tasks can<br />
be performed utilizing this digitized image.<br />
Classification and interpretation of image can be<br />
done at this stage and considering the scene<br />
description, the actuation operation can be<br />
performed in order to interact with the scene. The<br />
actuation sub-system, therefore provides an<br />
interaction loop with the original scene in order to<br />
adjust or modify any given condition for a better<br />
image taking.<br />
Figure 4. Steps in developing a machine vision system, Jain et al.<br />
(1997)<br />
Machine vision design<br />
Golnabi et al. (2007), the main components of a<br />
typical vision system have been described in lot of<br />
references, such as in Gonzalez et al. (2004, 2008),<br />
Foster et al. (1990), and Thacker et al. (2008).<br />
Several tasks such as the image acquisition,<br />
processing, segmentation, and pattern recognition<br />
are conceivable. The role of image-acquisition subsystem<br />
in a vision system is to transform the optical<br />
image data into an array of numerical data, which<br />
may be manipulated by a computer. Fig. 5 shows a<br />
simple block diagram for such a machine vision<br />
system. It includes systems and sub-systems for<br />
Operation of a machine vision system<br />
A visual system can perform the following<br />
functions: the image acquisition and analysis, the<br />
recognition of an object or objects within an object<br />
groups. As can be seen in Fig. 5, the light from a<br />
source illuminates the scene and an optical image is<br />
generated by image sensors. Image acquisition is a<br />
process whereby a photo-detector is used to generate<br />
and optical image that can be converted into a digital<br />
image.<br />
This process involves the image sensing,<br />
representation of image data, and digitization. Image<br />
processing is a process to modify and prepare the<br />
pixel values of a digital image to produce a more<br />
suitable form for subsequent operations.<br />
The main operations performed in the image<br />
processing are outlined in Table 1. Segmentation<br />
seeks to partition an image into meaningful regions<br />
that corresponds to part or whole objects within the<br />
scene. Feature extraction in general seeks to identify<br />
the inherent characteristics, or features, of objects<br />
found within an object. Pattern classification refers<br />
to the process in which an unknown object within an<br />
image is identified as being part of one particular<br />
group among a number of possible object groups.<br />
F42
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 5. A simple block diagram for a typical vision system operation, Awcock et al. (1995).<br />
Key points in design and applications<br />
Different aspects of a machine vision system are<br />
shown in Fig. 6. As can be noticed in Fig. 6, it<br />
includes the scene consideration, image acquisition,<br />
image pre-processing and post processing. In any<br />
optimal design, one must consider the systematic<br />
consideration and machine vision justification for<br />
any application. Image acquisition is one of the most<br />
important processes for the performance of a<br />
machine vision system, because with a high-quality<br />
image in hand the following processing and analysis<br />
of the image would be easily feasible. Both the<br />
hardware and software are involved in this process<br />
and the selection of proper components is crucial to<br />
image acquisition process. In general, two method of<br />
active and passive can be used to record an image. In<br />
the first method, a light source is used for the object<br />
illumination while in the later one; the sunlight is<br />
used for the illumination purpose. For the production<br />
lines and the industrial applications, the active<br />
method is more suitable and therefore the choice of<br />
the light source is an important factor. Depending on<br />
the type of the applications lamps, LED, and laser<br />
sources can be employed.<br />
TABEL II<br />
General operations performed in the image processing<br />
Point operation Global operation Neighborhood operation Geomteric operation Temporal operation<br />
Brightness modification Histogram equalization Image smoothing Display adjusment Fame-based operation<br />
Contrast enhancement - Image sharpening Image wrapping -<br />
Negation and<br />
thresholding<br />
- - Magnification and<br />
rotaion<br />
-<br />
The wavelength of the electromagnetic wave is also<br />
important in the image recoding and the visible, IR,<br />
or X-ray region of the spectrum can be used for the<br />
scene illumination. Incoherent light sources are less<br />
expensive while the coherent laser light sources are<br />
more expensive and considered as specialized light<br />
sources for the specific imaging consideration.<br />
Image capturing method is another point of<br />
consideration and the single, stereo, and multiple<br />
cameras can be utilized for image taking. The<br />
specification of the light illumination is also<br />
important in lighting condition. For example, the<br />
shadow, diffuse or other methods can be used for<br />
object illumination by using the point, or strip light<br />
arrangements. To record the image, a sensitive photo<br />
detector is required in order to obtain the optical<br />
image.<br />
The optical signal is converted by such a detector<br />
into an electrical signal. The type and characteristics<br />
of the photo-detector is really important in the<br />
quality of the captured image. The single-photo<br />
diode, by-cell, diode-array, CMOS detector, and<br />
vidicon can be used for light detection. Capture and<br />
representation of data are important in image<br />
acquisition. Digitization and display of the image are<br />
other factors that must be considered in the selection<br />
of the components, methods, and software. With the<br />
importance of the digital signal processing,<br />
digitization is an important factor.<br />
F43
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The key points in a machine vision design can be<br />
generally classified into the six different categories<br />
such as: the scene constraints, image acquisition,<br />
image pre-processing, image processing, machine<br />
vision justification, and finally systematic<br />
considerations. A scene for example can be an<br />
industrial site in which a production line, process or<br />
machine specifications can be imaged. Thus the<br />
scene specifications, environment, and all the<br />
constraints must be considered in the design. The<br />
assembly line, size and type of imaging objects or<br />
object groups must be considered in the machine<br />
vision design and operation. The crucial point is that<br />
the machine vision system should be able to operate<br />
efficiently even for the case of the randomlyoriented<br />
object scene and be able to produce a clear<br />
image of the small objects occluded among an object<br />
group. Types of materials, limitations in the range<br />
and positions of the objects are important in this<br />
respect. Imposition of such constraints in the design<br />
and operation of a machine vision system is also<br />
important factors. According to the given conditions<br />
for any scene, the control of object feature, position<br />
of the object, and the lighting condition must be<br />
selected properly.<br />
Figure 6. Key points in design and application of a machine vision system, Golnabi et al. (2007)<br />
Trends and Future Prognoses<br />
Medical image analysis and computer vision<br />
Many of the techniques described in this paper are<br />
now routinely used in biomedical laboratories.<br />
Relying on these rather classical methods, various<br />
trends are emerging. New detectors are being<br />
developed, which should lead to less invasive and<br />
more precise imaging modalities. Functional and<br />
multimodal imaging is becoming commonly used,<br />
for discovering and understanding functional<br />
structures. It is possible to further combine data to<br />
incorporate medical knowledge, either from a patient<br />
file or from a medical atlas.<br />
A lot of effort is put into the realization of integrated<br />
hospital information systems (HIS), and more<br />
particularly related to medical imaging, into PACS<br />
development. Although at first glance one might feel<br />
that the issue is essentially technological, there still<br />
are many theoretical problems to solve: image<br />
F44
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
coding for storage and transmission (for example,<br />
using wavelets), software development, design of<br />
common standards for storing and displaying data,<br />
and artificial intelligence techniques for “intelligent”<br />
images data bases creation.<br />
Feature-based indexing techniques are being<br />
developed, that will be essential for retrieval in<br />
image data bases. Such data bases should allow<br />
information access by semantic content, and<br />
therefore make possible queries such as “find all<br />
radiographs showing a broken arm.” A related<br />
challenge is knowledge acquisition.<br />
Although various methods exist for supervised<br />
learning, as exposed above, unsupervised extraction<br />
of the key characteristics that will enable subsequent<br />
recognition is a problem far from being solved.<br />
New surgical techniques are characterised by the<br />
trend toward minimally invasive therapy using new<br />
and more precise tools (e.g., endoscopic<br />
interventions, laser surgery). A patient will benefit<br />
from this development by less risk, reduced pain,<br />
shorter hospitalization, and faster recovery. These<br />
new techniques can be decisively supported by<br />
detailed preoperative planning and by precise<br />
feedback information based on image analysis.<br />
Further, sophisticated robotic vision methods will<br />
permit the advent of medical robotics that is the<br />
design of robots able to perform complex surgical<br />
interventions in an automated manner. All these<br />
developments require more sophisticated computer<br />
vision techniques. Amongst the future developments<br />
will certainly come an increase in the use of topdown<br />
information, at least to circumvent the limits<br />
reached by the current segmentation methods. An<br />
initial segmentation of the 3D image will be<br />
performed; the result will then be compared with<br />
symbolic medical knowledge either from an atlas or<br />
from the patient’s file. This will allow, through a<br />
feedback loop, better initial anatomical segmentation<br />
and finally label the organs.<br />
Other progresses stemming from computer vision<br />
will certainly be used in medical imaging. One of<br />
the major problems in scene analysis is<br />
computational complexity; there is infinity of<br />
possible mappings from object models to the<br />
digitized scene. Various approaches have as a<br />
primary objective to decrease the size of the solution<br />
space, for example by using aspect graphs, active<br />
vision, or perception-based approaches such as focus<br />
of attention. There is also a trend toward reduction<br />
of the amount of data acquired by using non-regular<br />
grids, such as polar lattices that mimic a human<br />
retina by providing high-resolution only near the<br />
centre.<br />
The medical imaging workstation of the (near)<br />
future<br />
The physician’s workstation of the (near) future will<br />
have three main characteristics: it will be reasonably<br />
“intelligent,” extensively connected, and highly<br />
interactive.<br />
Reasonable intelligence will be provided by<br />
computer vision and “artificial intelligence”<br />
techniques.<br />
However, progress is not as fast as practitioners<br />
would hope. Despite some attempts at providing<br />
guidance using expert systems it seems highly<br />
unlikely that users’ experience will soon be totally<br />
replaced by artificial means. As a consequence,<br />
interaction (and “real intelligence”) will remain<br />
necessary. In a first stage, machine intelligence will<br />
mostly be used to assist users in image segmentation<br />
and feature extraction. Rule-based algorithms for<br />
image interpretation can further help in efficient<br />
image analysis.<br />
Connectivity, both physical (networking) and in<br />
spirit, will be required for integration. It will also<br />
allow more even distribution of (financial)<br />
resources: a low cost workstation will be used for<br />
the interaction with the physician while at the same<br />
time the CPU intensive image analysis, with all<br />
computations and interaction control, will be done<br />
on another, more powerful computer. It will also put<br />
into practice the recent workplace concepts<br />
revolving around groupware environments, which<br />
aim at verifying the Gestalt law “the sum is more<br />
than the parts.”<br />
Interaction will allow the user to perform<br />
sophisticated processing while still retaining a<br />
control over the results, and also to inspect in three<br />
dimensions the results of the analysis. The<br />
interaction will be performed less and less using<br />
keyboard and mouse, and more and more using<br />
virtual reality devices. Depth images will be<br />
recreated by means of stereoscopic imaging, using<br />
shutter glasses or helmets with miniaturized video<br />
screens. It will be possible to mix images with<br />
sounds, using multimedia techniques (see other<br />
articles in this special issue). All this will allow<br />
physicians to interactively explore the body (and<br />
even the soul!) of their patient.<br />
The European COVIRA project<br />
This section discusses a large project that<br />
incorporates some of the main premises recognized<br />
as important issues for future research in medical<br />
image analysis, namely interdisciplinary<br />
collaboration, clinical tests, and validation. As a<br />
further requirement, standardization of software<br />
tools has to ensure interchangeability and<br />
transportability.<br />
A European Community research project within the<br />
Advanced Informatics in Medicine (AIM) program<br />
is titled COVIRA (Computer Vision in RAdiology).<br />
The objective of COVIRA is to realize a large<br />
software system providing efficient computer<br />
assistance in neuroradiological diagnosis,<br />
F45
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
stereotactic and open neurosurgical planning, and<br />
radiation therapy planning.<br />
The project started in January 1992 and will run over<br />
3 years.<br />
COVIRA is a cooperative effort of three leading<br />
industrial partners (IBM, Philips, and Siemens),<br />
eight academic research groups, and six clinical<br />
institutions in Belgium, Germany, Italy, the<br />
Netherlands, Spain, U.K., Crete, and Switzerland<br />
(ETH-Zurich, G.G.).<br />
The software system will be based on rigorously<br />
specified standards incorporating object oriented<br />
programming.<br />
All algorithms will be implemented in a portable<br />
manner following the upcoming International<br />
Standardization Organization (ISO) standard on<br />
Image Processing and Interchange (IPI) and will<br />
enter a common pool of computer algorithms for<br />
medical multimodality 2D and 3D image analysis.<br />
The main functional capabilities of the system will<br />
be:<br />
• 2D and 3D image visualization;<br />
• 2D and 3D image segmentation combining<br />
automatic segmentation algorithms with<br />
interactive image editing capabilities;<br />
• reconstruction of cerebral vascular system<br />
based on the combination of 3D MR<br />
Angiography (MRA) Gestalt law “the sum<br />
is more than the parts.” and 2D Digital<br />
Subtraction Angiography data (DSA);<br />
• multimodality image registration: and<br />
• digital and annotated anatomical atlas of<br />
the human head.<br />
The unifying objective of the project is to provide<br />
and clinically test pilot application systems for<br />
multimodality image analysis for diagnosis and<br />
therapy management, based on commercially<br />
available workstations and accelerator hardware<br />
with standard software tools. The system will be<br />
tested and validated by the clinical partners of the<br />
COVIRA consortium.<br />
The collaboration between academic, industrial, and<br />
clinical partners provides a unique combination of<br />
strengths and combines expertise in the fields of<br />
image analysis research, software engineering,<br />
manufacturing of medical equipment and, last but<br />
not least, diagnosis and therapy. It is the hope of the<br />
consortium that the project will finally prove clinical<br />
usefulness and cost effectiveness of computer<br />
assistance in various application fields.<br />
References<br />
Anil K. Jain, Chitra Dorai, Practicing Vision:<br />
Integration, Evaluation and Applications,<br />
Pattern Recognition, Vol. 30, No. 2, pp.183-<br />
196, 1997.<br />
H. Golnabi, A. Asadpour, Design and application of<br />
industrial machine vision systems, Robotics<br />
and Computer-Integrated Manufacturing 23,<br />
pp.630–637, 2007.<br />
Joseph W. Foster III, Paul M. Griffin, Sherri L.<br />
Messimer and J. Rene Villalobos, Automated<br />
Visual Inspection: A Tutorial, Computers<br />
Industrial Engineering, Vol. 18, No.4,<br />
pp.493-504, 1990.<br />
Mehmet Engin, Alparslan Demirel, Erkan Zeki<br />
Engin, Musa Fedakar, Recent developments<br />
and trends in biomedical sensors,<br />
Measurement 37, pp.173-188, 2005.<br />
Neil A. Thacker, Adrian F. Clark, John L. Barron, J.<br />
Ross Beveridge, Patrick Courtney, William<br />
R. Crum, Visvanathan Ramesh, Christine<br />
Clark, Performance characterization in<br />
computer vision: A guide to best practices,<br />
Computer Vision and Image Understanding<br />
109, pp.305-334, 2008.<br />
Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods, Steven L.<br />
Eddins, Digital Image Processing using<br />
Matlab, Pearson Prentice Hall, New Jersey,<br />
2004.<br />
Rafael C. Gonzalez and Richard E. Woods, Digital<br />
Image Processing, 3rd Ed., Pearson Prentice<br />
Hall, New Jersey, 2008.<br />
Thierry Pun, Guido Gerig, and Osman Ratib, Image<br />
Analysis and Computer Vision in Medicine,<br />
Computerized Medical Imaging and<br />
Graphics, Vol. 18, No. 2, pp. 85-96, 1994.<br />
Yung-Nien Sun, Ching-Tsorng Tsai, A New Modelbased<br />
Approach for Industrial Visual<br />
Inspecion, Pattern Recognition, Vol. 25, No.<br />
11, pp. 1327-1336, 1992.<br />
F46
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Determination Of Endothelial Cell Density Of Corneal Transplant<br />
by Digital Image Processing Method<br />
Johanes Kristianto and Pratondo Busono<br />
Department of Biomedical Engineering, Swiss German University<br />
BSD City, Tangerang Selatan<br />
Biomedical Engineering Technology Dision,<br />
Center for Pharmaceutical and Medical Technology BPPT<br />
Jl. MH Thamrin No.8, Jakarta<br />
E-mail: prabusono@yahoo.com<br />
ABSTRACT<br />
The cornea is the transparent front part of the eye which provides most of an eye’s optical power. Several<br />
indications caused the cornea to be replaced by transplantation penetrating keratoplasty have so far been the<br />
most successful of all human organs transplantation. However, endothelial density level of 2,300-3,300<br />
cells/mm 2 is a compulsory condition to ensure a successful transplantation. This thesis aims too develop simple<br />
software which is able to determine the overall endothelial cell density of a corneal transplant as an alternative<br />
aid for ophthalmologists. Digital cell image is acquired from a specular microscope from Indonesian Eye Bank.<br />
Basic algorithm of digital image processing such as thresholding, histogram equalization, erosion, opening and<br />
labeling are used in Visual C++. Close agreement in cell density calculation is observed between the present<br />
work and the commercial results.<br />
Kata Kunci: endothelial cell density, image processing<br />
INTRODUCTION<br />
density is very important in cornea transplantation.<br />
The cornea is the transparent front part of the eye<br />
that covers the iris, pupil and anterior chamber,<br />
providing most of an eye’s optical power. Together<br />
with the lens, the cornea refracts light, and as a<br />
result help the eye to focus, accounting for<br />
approximately 80% of its production to 20% of the<br />
lens focusing power. The cornea has nerve endings<br />
sensitive to touch, temperature and chemicals.<br />
Transparency, and immunologic privilege make the<br />
cornea a very special tissue (.Asbury T et.al., 2008)<br />
Corneal transplantation , also known as corneal<br />
grafting or penetrating keratoplasty (PK), is a<br />
surgical procedure where a damaged or diseased<br />
cornea is replaced by donated corneal tissue which<br />
has been removed from a recently deceased<br />
individual having unknown diseases which might<br />
affect the viability of the donated tissue. The<br />
surgical procedure is performed by<br />
ophthalmologists, medical doctors who specialized<br />
in eyes, and are often done on an outpatient basic.<br />
Corneal transplant is useful for several indications,<br />
such as optical (improving visual acuity),<br />
reconstructive, therapeutic (removing inflamed<br />
tissue) and cosmetic.<br />
Endothelial cell density is an important quality<br />
characteristic of corneal transplants. Endothelial<br />
cells do not regenerate well. Loss of cells as a<br />
consequence of injury or metabolic disease for<br />
example, is compensated by a spatial expansion of<br />
the surrounding cells. Corneas with low endothelial<br />
cell density are thus unsuited for transplantation.<br />
Therefore, the determination of the endothelial cell<br />
The conventional way of endothelial density<br />
determination is done by counting manually.<br />
However, the whole procedure is time consuming,<br />
and the results are rather subjective since cells<br />
within large areas of the endothelial cell layer are<br />
not exactly perceptible and thus hardly to be<br />
distinguished from necrotic (diseased) regions.<br />
Moreover, accuracy is questionable with respect to<br />
human error (observer’s visionary problem or<br />
fatigue). Therefore, the study it self is focused and<br />
intended to create simple alternative technique<br />
which can assist ophthalmologists in finding suitable<br />
cornealcells which meet the standards for<br />
transplantation (in compliance with certain cell<br />
density)<br />
The aim of the study is to develop simple<br />
computer software which is able to process the<br />
acquired corneal endothelial cell image to determine<br />
the overall endothelial cell density. The software is<br />
aimed to save time, provide more accurate<br />
perception on the cell density and as an alternative<br />
choice apart from expensive commercial software.<br />
ANATOMY OF THE COREA<br />
Until recent times the cornea was thought to be<br />
composed of only five layers: the epithelium,<br />
Bowman’s layer of membrane, substantia<br />
propria/stroma, descement’s membrane, and<br />
endothelium. It is now recognized that a thin<br />
basement membrane lies beneath the epithelium.<br />
Bowman’s membrane, distinct in light microscopy,<br />
loses its identity in the electron micrograph.<br />
F47
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The epithelium<br />
The epithelium consists of five or six layers of<br />
cells. The most superficial cells are flat overlapping<br />
squamous cells,similar to the epithelial cells of the<br />
skin. However, normal corneal epithelium is not<br />
keratinized. The middle layers consist of cells that<br />
become more columnar as the deeper layers are<br />
approached. The innermost (basal) layer is made up<br />
of columnar cells packed closely together. All of the<br />
cells are held together by a cement substance. Also,<br />
the surfaces of the cells form processes that are fitted<br />
into corresponding indentations of adjacent cells and<br />
connected in places by desmosomes (Jakus, 1961).<br />
Between the columnar epithelial cells and<br />
bowman’s membrane is a basement membrane from<br />
10 to 30 mm thick. The epithelial cells form a layer<br />
of uniform and smooth that, when covered with<br />
tears, a convex mirror is produced. The stability of<br />
the tear film results from its protein and lipid content<br />
(Mishima, et al., 1961).<br />
Bowman’s layer<br />
It is a sheet of transparent tissue about 12 µ thick,<br />
without structure as seen by light microscopy. Under<br />
electron microscopy it appears to be made up of<br />
uniform fibrils of collagenous material, running<br />
parallel to the surface. Bowman’s layer is acellular;<br />
it is a modified superficial stromal layer found only<br />
in primates. Its absence in lower animals is<br />
associated with a plasticity of the corneal strome.<br />
Once injured, Bowman’s layer can form a scar as it<br />
heals<br />
The substantia proparia<br />
It is composed of layers of lamellae, each of<br />
which runs the full length of the cornea; although the<br />
bundles interface with one another, they are nearly<br />
parallel to the surface. The lamellae are only loosly<br />
adherent to each other. Therefore, the layered<br />
structure of the stroma makes corneal splitting, as in<br />
superficial keratectomy, technically easy. The cell<br />
bodies, called corneal corpuscles or keratocytes, are<br />
flattened so that they too lie parallel to the surface,<br />
and their cell processes interlace with one another.<br />
This arrangement of the fibers gives optical<br />
uniformity to the cornea. The stroma comprises<br />
approximately 90% of the whole cornea. The<br />
lamellae are made up of bundles of collagen fibrils<br />
(64 nm banding) 2 separated from each other by a<br />
ground substance (Jakus, 1961).<br />
Descemet’s Membrane<br />
Considered to be the product of secretion of the<br />
endothelial cxells, Descemet’s membrane is a<br />
structureless membrane bounding the inner surface<br />
of the stroma about 10 µ thick. It is a thin but strong<br />
and highly elastic sheet of tissue that serves as a<br />
protective barrier against infection and injuries.<br />
Descemet’s membrane is composed of collagen<br />
fibers (different from those of the stroma).<br />
Descemet’s membrane is regenerated readily after<br />
injury (Jakus, 1961).<br />
Endothelium<br />
The endothelium is the extremely thin, innermost<br />
layer of the cornea. Endothelial cells are essential in<br />
keeping the cornea clear. Normally, fluid leaks<br />
slowly from inside the eye into the middle corneal<br />
layer (stroma). The endothelium’s primary task is to<br />
pump this excess fluid out of the stroma. Without<br />
this pumping action, the stroma would swell with<br />
water, become hazy, and ultimately opaque. In a<br />
healthy eye, a perfect balance is maintained between<br />
the fluid moving into the cornea and fluid being<br />
pumped out of the cornea. Once endothelium cells as<br />
destroyed by disease or trauma, they are lost forever.<br />
If to many endothelial cells are destroyed, corneal<br />
edema and blindness ensue, with corneal<br />
transplantation the only available therapy.<br />
METHODS<br />
This part of the study will cover about the<br />
working methodology as well as the algorithm<br />
design and function which are used to process the<br />
digital image. Several stages of processing are done<br />
before reaching the final goal of counting the<br />
endothelial cell density. The stages can be seen on<br />
the following block diagram.<br />
Figure 3.1 – Block Diagram of Corneal Endothelial Cell Image<br />
Processing<br />
Image Acquisition<br />
The images of corneal endothelial cell is obtained<br />
using a specific apparatus, called specular<br />
microscope. A specular microscope has the similar<br />
characteristic as a microscope, differs only in the<br />
mechanism of capturing corneal endothelial cell<br />
which would not be visible under ordinary<br />
microscope.<br />
F48
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 1. System for image acqusition<br />
Procedure of using the specular microscope is by<br />
just simply placing the sample canister above the<br />
designated holding slot which allowed the focusing<br />
light to be emitted from below. The sample canister<br />
is a clear, glass tube countaining the donor cornea<br />
bathed in optisol GS solution acting as preservative.<br />
The microscope viewing is directly (real-time)<br />
syncrhronized with an LCD monitor connected to<br />
the desktop computer. Adjustments on the<br />
microscope are compulsory to provide the best<br />
viewable image. When the sample was obtained at<br />
the Indonesian Eye Bank, Cipto Mangunkusumo<br />
Hospital Jakarta, the HAI EB-3000-XYZ specular<br />
microscope from Hailabs Inc. is used.<br />
Image Preprocessing<br />
For processing convenience , the saved corneal<br />
endothelial cell digital image is renamed into<br />
specular.bmp. The image is then converted to<br />
grayscale for later accommodating histogram<br />
modification in order to enhance the image clarity.<br />
Median filtering is used for removing the image<br />
noise.<br />
Intensity Transformation<br />
Intensity (or gray-level) Transformation is one of<br />
the important categories of spatial domain<br />
processing. The term spatial domain refers to the<br />
image plane it self, and methods in this category are<br />
based on direct manipulation of pixels on an image.<br />
Intensity transformation function based on<br />
information extracted from image intensity<br />
histograms play a basic role in image processing.<br />
The focus is on obtaining, plotting and using<br />
histograms for image enhancement.<br />
Due to interfering factors, it is often thet the<br />
digital image capture provides poor visualized image<br />
and this will affect the gray level composition of the<br />
image. One means to improving the quality of the<br />
original image is by conducting histogram flattening<br />
or equalization. The contrast and illumination of the<br />
output image will be significantly improved.<br />
In the work, the CLAHE (Contrast Limited<br />
Adaptive Histogram Equalization) is used to provide<br />
enhanced image from the original. CLAHE operates<br />
in small regions in the image, called tiles, Rather<br />
than the entire image. Each tile’s contrast is<br />
enhanced, so that the histogram of the output region<br />
approximately matches the histogram specified by<br />
the ‘Distribution’ parameter. The neighboring tiles<br />
are then combined using bilinear interpolation to<br />
eliminate artificially induced boundaries. The<br />
contrast, especially in homogeneous areas, can be<br />
limited to avoid amplifying any noise that might be<br />
present in the image.<br />
The input gray scale format of the corneal<br />
endothelial cell image is converted into a binary<br />
image before segmentation process is conducted. It<br />
uses Otsu’s method, which chooses the threshold to<br />
minimize the weighted within-class variance of the<br />
black and white pixels.<br />
Morphological Processing<br />
The word morphology commonly denotes a<br />
branch ofg biology that deals with the form or<br />
structure (.Gonzalez et.al.2002). In this work, the<br />
same word is in context of mathematical<br />
morphology as a tool for extracting image<br />
components that are useful in the representation and<br />
description of region shape. Erosion and opening<br />
operation are used in this work.<br />
Erosion is done to ‘shrink’ the individual corneal<br />
cells so they are more distinguishable from the<br />
background. Referring to the erosion theory, the<br />
foreground objects (the cells) have the intensity<br />
value of 1, thus the erode filter shrinks them. 1-<br />
valued objects of too-small size as well as toonarrow<br />
width are removed. For optimum erosion<br />
area, the ‘disk’ parameter is chosen. The result is a<br />
‘smoothed’ boundary of objects on the image.<br />
Opening on image is used to remove small<br />
objects or spots. However, the size of the image is<br />
not altered as compared to erosion or dilation. As<br />
seen on the processed image, several tiny spots<br />
scattered on the previous image is omitted or<br />
reduced into more recognizable parts.<br />
Particle Counting<br />
The final step in this work is to determine the<br />
numbers of particles (cells) in the binary image. This<br />
can be conveniently done by applying a simple<br />
command which can be ‘label’ and ‘count’ the<br />
connected components inside a binary image<br />
The accuracy of the results depends on a number<br />
of factors, including (.Gonzalez et.al.2002).<br />
13. The size of the objects<br />
14. Whether or not any objects are touching (in<br />
which case they might be labeled as one object)<br />
15. The accuracy of the approximated<br />
background<br />
16. The connectivity selected.<br />
RESULTS AND DISCUSSIONS<br />
F49
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The testing of the processed image results need to<br />
be conducted in order to assess the credibility of the<br />
implemented algorithm. The purpose of testing is to<br />
find out the functionality of the implemented<br />
algorithm, computation time and also the accuracy<br />
rate and effectiveness of the method. Accuracy rate<br />
defines how accurate the implemented algorithm in<br />
calculating the corneal endothelial cell density<br />
compared to commercial software in the market.<br />
This work is almost entirely done by using open<br />
source software (Qt). The image processing software<br />
was then developed.. The operating system is<br />
WindowsXP®. Other software used is Microsoft<br />
Paint application for manual marking of the<br />
endothelial cells.<br />
Corneal endothelial cell image is captured using<br />
HAI EB-3000-XYZ specular microscope from<br />
Hailabs Inc. The resulting image is a color (RGB)<br />
image in .bmp format with a resolution of 640x480<br />
pixels produced by a CCD camera sensor attached to<br />
the microscope.<br />
For the processing requirements, a laptop<br />
computer with an Intel Centrino 1.8 GHz processor,<br />
2 GB of RAM, and VGA memory of 128 MB is<br />
used., LCD monitor is set to display 32-bit (true<br />
color) to ensure no degradation or false coloring on<br />
the processed image. Resolution of screen is<br />
1280x1024 pixels.<br />
For every processing step, different outcome is<br />
yielded. This part will compare and contrast the<br />
effect of each distinct algorithm to the output image.<br />
This is the original captured image<br />
from the specular microscope. It is a RGB<br />
image in .bmp format of 640x480 pixels<br />
which hold data of 640x480x24 bit. After<br />
grayscale conversion, it becomes<br />
640x480x8 bit. This significant reduction in<br />
data size will also reduce the complexity<br />
and computational time on image<br />
processing.<br />
The original image is shown in Figure 2. It shows<br />
that there are concentrated distribution of graylevels.<br />
This explains why the contrast of the image is<br />
‘weak’. The distribution of the graylevels is not<br />
even, causing the visualization of the image to be<br />
invivid, dominated by dull gray color.<br />
Figure 2 Original image<br />
A simple image enhancement operation is done<br />
on the image. The main purpose is to equalize or<br />
flatten the histogram, so the graylevels will be<br />
evenly distributed through the whole intensity levels.<br />
Even though the visualization of the image seems<br />
to be corrected a lot, the image histogram shows an<br />
irregular pattern. The distribution of the graylevels is<br />
too wide, filling almost every slot on the histogram.<br />
Later, in binarization, such histogram will provide<br />
low quality output. From trial and error, it proved<br />
that too much similar distribution of the graylevels<br />
will provide uncertain threshold level for the<br />
binarization process. Figure 3 shows the equalized<br />
image.<br />
Figure 3. Equalized image<br />
An alternate method of image enhancement<br />
method is by doing the histogram equalization The<br />
purpose is still the same as before that is to distribute<br />
the graylevels evenly within the entire intensity<br />
range. However, the output contrast composition<br />
looks more reasonable. Sharp differences between<br />
low and high intensity are avoided. But overall, the<br />
image visibility is far better and the cells are now<br />
more distinguishable as individual objects.<br />
The binary image is obtained from the histogramequalized<br />
grayscale image. Binary image is<br />
produced by setting up threshold level which will<br />
convert the 255-graylevels intensity into only two<br />
levels of intensity of 0 (black) and 1 (white). Figure<br />
4 shows the binarized image obtained in this work.<br />
F50
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 4. Binarized image<br />
Morfological processing of the binarized images<br />
is conducted by either erosion or opening.. Erosion<br />
is done to ‘shrink’ the individual corneal cells so<br />
they are more distinguishable from the background.<br />
Referring to the erosion theory, the foreground<br />
objects (the cells) have the intensity value of 1, thus<br />
the erode filter shrinks them. 1-valued objects of<br />
too-small size as well as too-narrow width are<br />
removed (.Gonzalez et.al.2002). For optimum<br />
erosion area, the ‘disk’ parameter is chosen. The<br />
result is a ‘smoothed’ boundary of objects on the<br />
image.<br />
Figure 6. Manual Counting<br />
Now that the image finalized for counting, the<br />
command labeling process is used for determining<br />
the number of cells on the image. The principal of<br />
cell counting here is by counting the labels for the<br />
connected components here are the 1-valued binary<br />
elements (the cells). Two objects of endothelial<br />
images are calculated their densities. Each object is<br />
computed 20 times manually and automatically.<br />
Table 1 shows the results of the endothelial density<br />
for each object. Close agreement is shown between<br />
the present work and manual counting.<br />
Manual<br />
(cell/mm 2 )<br />
Tabel 1. Cell density<br />
Present<br />
Work<br />
(cell/mm 2 )<br />
Commersial<br />
(cell/mm 2 )<br />
Obj-1 2167+3% 2287+2% 2388 +2%<br />
Obj-2 2268+3% 2346_2% 2386+2%<br />
Figure 5. Opened image<br />
Opening on image is used to remove small<br />
objects or spots. However, the size of the image is<br />
not altered as compared to erosion or ilation. As<br />
seen on the processed image, several tiny spots<br />
scattered on the previous image is omitted or<br />
reduced into more recognizable parts. Figure 5<br />
shows the opened image.<br />
As finalization is done to ensure a cleaner image,<br />
free from small negligible objects. All connected<br />
foreground objects, which have smaller than the<br />
parameter pixels is removed<br />
CONCLUSION<br />
Digital image processing was developed as an<br />
alternative choice in determining corneal endothelial<br />
cell density which can assist ophthalmologists in<br />
conducting penetrating keratoplasty surgery.<br />
Acquisition of image from specular microscope,<br />
image preprocessing, and further classifications as<br />
well as morphological operations will greatly<br />
determine the output result.<br />
Parameter selection determines the end result of<br />
the processing, especially those which are involved<br />
in morphological processing of the image for<br />
instance opening and erosion. Simple trial and error<br />
analysis will lead to optimal result.<br />
The algorithms which used in the work<br />
are basic and simple, the final aim, which is<br />
to determine the cell density, is practically<br />
completed.<br />
F51
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
ACKNOWLEDMENTS<br />
The author thanks to Dr. Maruli Panjaitan ( Dean of<br />
Life Science- Swiss German University) for his<br />
guidance during the completion of the thesis.<br />
REFERENCES<br />
Asbury, T., Paul Riordan-Eva, Daniel Vaughan,<br />
Jhon Witcher. Vaughan & Asbury’s General<br />
Ophthalmology. 17th edition. New York :<br />
Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical,<br />
2008.<br />
Bovik, Al,ed. Handbook of image and Video<br />
Processing. San Diego, CA : Academic Press,<br />
2000.<br />
Gonzalez, Rafael C. & Woods, Richard E. 2002,<br />
Digital Image Processing, Pearson Education,<br />
Inc, New Jersey.<br />
Jakus, M. “The fine Structure of the human<br />
Cornea”. The Structure of The Eye. (1961):<br />
344<br />
Kanski, Jack J. Clinical Ophtamology: A Systematic<br />
Approach 4th edition. Oxford: Butterworth-<br />
Heibenabb, 2000.<br />
Mishima, S., D. Maurice. “The effect of normal<br />
evaporation on the eye”. Exp. Eye Res.<br />
(1961): 1.<br />
F52
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Perbandingan Metode Rekonstruksi Proyeksi Balik dan Iterasi untuk<br />
Sistem Tomografi Komputer dengan Berkas Cahaya Tampak<br />
Khusnul Ain, Nuril Ukhrowiyah<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fsaintek, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia<br />
Email : khusnulainunair@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis akurasi di antara dua program rekonstruksi dalam<br />
menyelesaikan data sinogram yang dihasilkan dari sistem tomografi komputer generasi keempat dengan sumber<br />
berkas cahaya tampak. Metode penelitian ini dilakukan secara simulasi dengan cara memperoleh data simulasi<br />
terlebih dahulu. Kemudian data tersebut direkonstruksi dengan metode rekonstruksi iterasi aljabar (ART) yang<br />
dianalisis dengan cara membandingkan hasilnya dengan metode rekonstruksi proyeksi balik (FBP). Analisis<br />
dilakukan dengan cara membandingkan secara visual maupun numerik citra rekonstruksi terhadap citra referensi.<br />
Pembedaan secara visual dilakukan dengan cara membedakan profil garis horisontalnya, sedang pembedaan<br />
secara numeric dilakukan dengan menghitung nilai rmsd. Hasil pembedaan secara visual dan numerik<br />
menunjukkan bahwa kualitas citra hasil rekonsturksi dengan metode iterasi lebih baik dibandingkan dengan<br />
metode proyeksi balik.<br />
Kata kunci : Tomografi komputer, rekonstruksi iterasi, rekonstruksi proyeksi balik, berkas cahaya tampak<br />
Pendahuluan<br />
Penggunaan sinar optis dalam tomografi medis<br />
belum lama ini dikerjakan oleh Matt Everett dengan<br />
objek studi gigi manusia. Prinsipnya adalah<br />
merekonstruksi citra gigi melalui sinar yang<br />
dipantulkannya [1]. Pada tahun 2003 telah<br />
dilaporkan bahwa tomografi optik sudah dapat<br />
digunakan untuk memetakan pantom jaringan yang<br />
menyerupai otak bayi yang baru lahir [2]. Dalam<br />
bidang industri, sistem tomografi optik dapat<br />
digunakan untuk mencitrakan aliran campuran airgas<br />
dalam fraksi gas rendah, dengan teknik ini<br />
memungkinkan membangkitkan citra tampang<br />
lintang distribusi gas real time dalam pipa [3].<br />
Tampak bahwa kajian tentang tomografi optik<br />
memiliki prospek pemanfaatan yang cukup<br />
signifikan. Metode rekonstruksi proyeksi balik telah<br />
digunakan untuk memperoleh citra rekonstruksi dari<br />
data simulasi ini, namun hasil yang diperoleh kurang<br />
memuaskan [4]. Oleh karena itu perlu dicari<br />
alternatif metode rekonstruksi yang tepat untuk<br />
model data yang diperoleh dari sistem yang telah<br />
dikembangkan ini, dalam penelitian ini akan<br />
digunakan metode rekonstruksi iterasi.<br />
Metode Penelitian<br />
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />
objek sintetik berupa data numerik. Dalam penelitian<br />
ini digunakan 3 objek sintetik dengan ukuran 31x31<br />
piksel, 63x63 piksel dan 127x127 piksel. Ketiga<br />
objek numerik tersebut diperlihatkan pada Gambar<br />
1.<br />
(a) (b) (c)<br />
Gambar 1. Objek Numerik Segitiga dengan ukuran (a)031 x 31<br />
piksel, (b) 63 x 63 piksel, (c) 127 x 127 piksel<br />
Pemodelan tomografi komputer fan-beam<br />
dilakukan dengan mengambil asumsi bahwa<br />
diameter objek adalah 31 piksel, 63 piksel dan 127<br />
piksel, yang terdiri dari 49, 99 dan 199 LED serta<br />
49, 99 dan 199 fotodiode dengan skema proses<br />
scanning ditunjukkan pada Gambar 2.<br />
Gambar 2. Model skema proses scanning tomografi komputer<br />
fan-beam<br />
Parameter-parameter yang digunakan selama proses<br />
scanning adalah sebagai berikut:<br />
17. Diameter objek d setara dengan N satuan,<br />
yang menunjukkan ukuran objek dengan<br />
ukuran N x N piksel.<br />
18. Banyaknya M, menyatakan banyaknya LED<br />
atau banyaknya fotodiode yang digunakan<br />
pada simulator.<br />
F53
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
19. Banyaknya N, menyatakan banyaknya<br />
fotodiode yang menerima cahaya LED.<br />
20. Sudut β , menyatakan sudut antara berkas<br />
sinar pusat dengan berkas sinar pusat awal.<br />
Sudut , menyatakan sudut antara LED<br />
Δ β<br />
360<br />
dengan LED berikutnya, yaitu Δ β = .<br />
M<br />
21. Sudut γ , menyatakan sudut antara berkas<br />
sinar dengan berkas sinar pusat. Sudut γ m ,<br />
menyatakan sudut maksimum berkas sinar.<br />
Fotodiode yang terletak pada posisi sudut<br />
− γ m dan γ m adalah fotodiode terdekat yang<br />
dapat menerima cahaya LED. Sudut Δ γ<br />
sudut antara fotodiode dengan fotodiode<br />
berikutnya. Sudut Δ γ = Δβ<br />
.<br />
22. Jarak lintasan r, menyatakan jarak antara LED<br />
dengan fotodiode penerima intensitas cahaya<br />
LED.<br />
23. Intensitas cahaya dalam penelitian ini<br />
merupakan besar intensitas cahaya dalam watt<br />
tiap m 2 tanpa bergantung waktu.<br />
24. Semua LED yang digunakan mempunyai<br />
besar intensitas yang sama, tetapi berubah<br />
terhadap jarak, dengan persamaan:<br />
I<br />
d<br />
I<br />
r<br />
= , dengan I<br />
2 2<br />
d<br />
adalah intensitas<br />
d r<br />
LED pada jarak terjauh, yaitu pada jarak<br />
diameter objek, I r<br />
adalah intensitas LED<br />
pada jarak r, d adalah diameter objek dan r<br />
adalah jarak lintasan.<br />
25. Lebar LED dan fotodiode sebesar 1 satuan<br />
piksel, sehingga berkas sinar terkolimasi<br />
dengan lebar w = satu satuan piksel.<br />
Pada pemodelan ini intensitas sumber datang<br />
yang digunakan adalah konstan, hal ini didasarkan<br />
pada sifat intensitas cahaya yang besarnya selalu<br />
konstan. Intensitas yang diteruskan ( I t ) dapat<br />
dihitung dengan persamaan:<br />
I<br />
t<br />
⎛<br />
( )<br />
⎟ ⎟ ⎞<br />
⎜<br />
N N<br />
Ir. exp μ i,<br />
j . w<br />
⎜<br />
ij,<br />
βγ<br />
(1)<br />
⎝ k l<br />
⎠<br />
= ∑∑<br />
Dengan, I t adalah nilai intensitas yang ditangkap<br />
oleh detektor. I r adalah nilai intensitas yang<br />
dipancarkan sumber cahaya yang bergantung pada<br />
jarak r sebelum mengenai objek. μ ( i, j)<br />
adalah<br />
koefisien absorpsi objek pada posisi piksel (i, j).<br />
w ij,βγ adalah faktor bobot luasan piksel (i, j) yang<br />
dilewati berkas cahaya dengan sudut β terhadap<br />
sumbu awal dan sudut berkas γ . Nilai w ij, βγ<br />
adalah 0 ≤ wij, βγ ≤ 1.<br />
Dari pemodelan sistem tomografi fan-beam ini<br />
diperoleh data sinogram yang ditampilkan pada<br />
gambar 3. Data tersebut kemudian direkonstruksi<br />
dengan dua metode rekonstruksi, yaitu metode FBP<br />
dan ART, yang masing-masing persamaannya dapat<br />
dituliskan dalam persamaan,<br />
Analisis proses rekonstruksi FBP secara diskrit<br />
dapat dituliskan sebagai :<br />
m<br />
∑ − M − 1<br />
m=<br />
0<br />
[ i,<br />
j] = Δφ<br />
p'<br />
[ icos( mΔφ<br />
) + jsin( mΔφ<br />
),<br />
m]<br />
μ (2)<br />
n'<br />
∑ = + N<br />
r<br />
n'<br />
= −N<br />
[ n,<br />
m] = Δx<br />
p[ n',<br />
m] h[ n − n'<br />
]<br />
p' (3)<br />
dimana indeks piksel [i,j] menunjukkan posisi piksel<br />
pada daerah citra rekonstruksi dengan variasi -1/2 <<br />
i,j < +1/2. Indeks raysum (n,m) menunjukkan indeks<br />
raysum ke-n dan proyeksi ke-m.<br />
sedangkan metode rekonstruksi ART dapat<br />
dituliskan dengan persamaan:<br />
k + 1 k<br />
wij<br />
fi<br />
= fi<br />
+ γ ( p j − q j )<br />
(4)<br />
2<br />
w<br />
∑<br />
dengan :<br />
f = citra setelah iterasi ke- k+1<br />
k +1<br />
i<br />
ij<br />
k<br />
f<br />
i<br />
= citra sebelumnya (iterasi ke- k)<br />
w<br />
ij<br />
= bobot yang menunjukkan luasan piksel<br />
tertentu yang terlewati berkas (nilai antara 0<br />
hingga 1).factor damping yang nilainya antara<br />
0 hingga 1<br />
p<br />
j<br />
= ray-sum terukur yang diperoleh dari simulasi<br />
q<br />
j<br />
= ray-sum semu<br />
Citra rekonstruksi yang dihasilkan kemudian<br />
dianalisis kualitasnya. Analisis kualitas citra<br />
dilakukan dengan cara membedakan citra hasil<br />
rekonstruksi dari metode FBP terhadap metode<br />
ART.<br />
Pembedaan citra-citra hasil rekonstruksi dengan<br />
metode FBP dan ART dilakukan secara visual dan<br />
secara numerik. Pembedaan secara visual dilakukan<br />
dengan membedakan citra hasil rekonstruksi dan<br />
profil garis horisontalnya. Sedangkan pembedaan<br />
secara numerik dilakukan dengan menghitung root<br />
mean square difference (rmsd) yang mengukur<br />
kesamaan distribusi antar citra Perumusan rmsd<br />
secara matematis dinyatakan persamaan,<br />
⎡<br />
2 ⎤<br />
( [ i,<br />
j] − [ i,<br />
j]<br />
)<br />
⎢<br />
1 ⎢<br />
rsmd =<br />
μ ⎢<br />
max ⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
∑∑<br />
dengan cit [ i,<br />
j]<br />
[i, j] dan [ i j]<br />
i<br />
j<br />
μ cit μ ref<br />
N'<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥.100%<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
(5)<br />
μ adalah pixel citra pada koordinat<br />
μ adalah objek referensi pada<br />
ref ,<br />
F54
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
N '<br />
koordinat [i, j] dan koordinat dibatasi sampai<br />
pixel yang terletak di dalam objek atau lingkaran<br />
citra.<br />
Hasil dan Diskusi<br />
Objek sintetik yang digunakan pada penelitian ini<br />
tersebut di-scan menggunakan simulator tomografi<br />
computer fan-beam [4]. Hasil proses scanning<br />
tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.<br />
(a) (b) (c)<br />
Gambar 3. Sinogram hasil proses scanning dari objek segitiga: (a)<br />
31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127 piksel<br />
Sinogram-sinogram hasil proses scanning sistem<br />
tomografi fan-beam kemudian direkonstruksi<br />
dengan metode rekonstruksi FBP (persamaan 2) dan<br />
ART (persamaan 4), sehingga diperoleh citra-citra<br />
hasil rekonstruksi. Sinogram system tomografi fanbeam<br />
yang telah dilakukan proses rebinning<br />
kemudian direkonstruksi dengan metode FBP,<br />
dengan hasil ditunjukkan pada Gambar 4.<br />
Citra-citra tersebut tampak adanya lingkaranlingkaran.<br />
Lingkaran-lingkaran ini disebut circular<br />
ring artifact. Lingkaran ini terjadi karena adanya<br />
error pada proses interpolasi data dalam proses<br />
rebinning. Semakin banyak detektor atau semakin<br />
tinggi resolusi yang digunakan maka error yang<br />
terjadi semakin besar.<br />
Pengamatan pada gambar secara langsung pada<br />
citra-citra hasil rekonstruksi sinogram hasil proses<br />
scanning fan-beam, terlihat bahwa citra rekonstruksi<br />
yang dihasilkan dari metode ART (gambar 5) lebih<br />
mendekati objek referensi (gambar 1) jika<br />
dibandingkan dengan citra rekonstruksi yang<br />
dihasilkan dari metode FBP (gambar 4). Hal ini<br />
wajar, karena metode rekonstruksi FBP tidak dapat<br />
menggunakan data secara langsung, namun sebelum<br />
dilakukan proses rekonstruksi harus dilakukan<br />
proses interpolasi dan rebinning data terlebih dahulu.<br />
Hal ini sangat berbeda dengan metode ART yang<br />
dapat menggunakan data secara langsung tanpa<br />
harus melakukan proses interpolasi data.<br />
Analisis visual yang kedua adalah pengamatan<br />
profil garis horisontal untuk tiap-tiap objek. Profil<br />
garis horisontal tersebut ditunjukkan pada Gambar 6,<br />
7 dan Gambar 8.<br />
Gambar 6. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />
dengan ukuran 31x31 piksel<br />
(a) (b) (c)<br />
Gambar 4. Citra-citra hasil rekonstruksi sinogram-sinogram fanbeam<br />
setelah direkonstruksi dengan metode FBP objek segitiga<br />
dengan ukuran (a) 31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127<br />
piksel<br />
Sedang citra-citra hasil rekonstruksi sinogram<br />
system tomografi fan-beam dengan metode ART<br />
ditunjukkan pada Gambar 5.<br />
Gambar 7. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />
dengan ukuran 63x63 piksel<br />
(a) (b) (c)<br />
Gambar 5. Citra-citra hasil rekonstruksi sinogram-sinogram fanbeam<br />
setelah direkonstruksi dengan metode ART objek segitiga<br />
dengan ukuran (a) 31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127<br />
piksel<br />
Gambar 4 menunjukkan citra-citra hasil<br />
rekonstruksi sinogram hasil proses scanning fanbeam<br />
dengan metode FBP melalui proses rebinning.<br />
Gambar 8. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />
dengan ukuran 127x127 piksel<br />
Berdasarkan Gambar 8, gambar 9 dan Gambar 10<br />
dapat dilihat bahwa profil garis horisontal citra hasil<br />
rekonstruksi metode ART lebih dekat dan berhimpit<br />
dengan profil garis horisontal objek sintetik<br />
F55
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dibanding profil garis horisontal citra rekonstruksi<br />
yang dihasilkan dari metode FBP.<br />
Analisis secara numerik dilakukan dengan<br />
menghitung root mean square difference (rmsd)<br />
yang mengukur kesamaan distribusi antar citra.<br />
Semakin kecil nilai dari rmsd maka semakin baik<br />
pula kualitas citra yang dihasilkan. Nilai-nilai rmsd<br />
dari citra-citra hasil rekonstruksi terhadap objek<br />
sintetik diperoleh dari persamaan (11). Nilai-nilai<br />
rmsd tersebut ditampilkan pada Tabel 1.<br />
Tabel 1. Perbandingan nilai rmsd antara metode rekontruksi ART<br />
dan FBP<br />
% rmsd<br />
Objek sintetik<br />
Metode Metode<br />
segitiga<br />
ART FBP<br />
31 x 31 piksel 3,164 12,698<br />
63 x 63 piksel 3,504 18,461<br />
127 x 127<br />
piksel<br />
5,555 30,220<br />
Berdasarkan pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa<br />
semakin kecil resolusi objek, nilai rmsd citra yang<br />
dihasilkan akan semakin kecil. Metode rekonstruksi<br />
ART dapat menghasilkan citra rekonstruksi yang<br />
lebih akurat jika dibandingkan dengan metode FBP,<br />
hal ini ditandai dengan kecilnya nilai rmsd.<br />
Akuratnya metode rekonstruksi ART dikarenakan<br />
selama proses rekonstruksi tidak diperlukan proses<br />
intepolasi atau rebinning data seperti yang harus<br />
dilakukan pada metode rekonstruksi FBP .<br />
Kesimpulan<br />
26. Semakin kecil resolusi objek, nilai rmsd citra<br />
yang dihasilkan akan semakin kecil.<br />
27. Metode rekonstruksi ART dapat<br />
menghasilkan citra rekonstruksi yang lebih<br />
akurat jika dibandingkan dengan metode FBP.<br />
Saran<br />
Perlu kajian rumusan metode ART agar diperoleh<br />
metode rekonstruksi yang lebih baik sebelum masuk<br />
ke tahap eksperimen.<br />
Daftar Pustaka<br />
Everett, M. (2000), Optical Coherence Tomography<br />
for Dental Applications, MTP.<br />
Adam Gibson, et. all. (2003), Optical tomography of<br />
a realistic neonatal head phantom, Vol. 42,<br />
No. 16 _ APPLIED OPTICS.<br />
Hampel, U., et. all. (1999), Optische Tomographie<br />
für die Diagnostik von<br />
Zweiphasenströmungen", Tagungsband zum<br />
3. Workshop Meßtechnik für stationäre und<br />
transiente Mehrphasenströmungen, FZ<br />
Rossendorf.<br />
Ain, K. dan Ukhrowiyah, N. (2010), Pemodelan<br />
Sistem Tomografi Komputer Fan-Beam<br />
untuk Pencitraan Objek Transparan dengan<br />
Sumber Cahaya Tampak, prosiding 7 th Basic<br />
Science Nasional Seminar, Malang.<br />
F56
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sistem Tomografi Komputer Translasi Rotasi dengan Proses Scanning<br />
Berbasis Intensitas<br />
Nuril Ukhrowiyah, Khusnul Ain<br />
Program Studi S-1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> FSAINTEK UNAIR<br />
Kampus C <strong>Unair</strong> Jln. Mulyorejo Surabaya 60115 INDONESIA<br />
Abstrak<br />
Pemodifikasian sistem tomografi komputer translasi-rotasi dengan proses scanning berbasis waktu menjadi<br />
proses scanning berbasis intensitas telah berhasil dilakukan. Proses scanning berbasis intensitas adalah proses<br />
scanning yang perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun rotasi dilakukan setelah intensitas yang<br />
tercacah oleh detektor menunjukkan nilai yang telah ditentukan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai<br />
tersebut dicatat. Sistem yang sudah dimodifikasi tersebut diuji unjuk kerjanya dengan melihat kualitas citra yang<br />
dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan membedakan kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses scanning<br />
berbasis intensitas terhadap kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses scanning berbasis waktu. Obyek yang<br />
digunakan adalah tulang yang sudah direndam dalam HNO3 dan tidak direndam. Perendaman dimaksudkan<br />
untuk mendapatkan tulang yang keropos. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa kualitas citra hasil<br />
rekonstruksi dari proses scanning berbasis intensitas relatif sama dibandingkan dengan kualitas citra hasil<br />
rekonstruksi dari proses scanning berbasis waktu. Sistem tomografi komputer translasi-rotasi dengan proses<br />
scanning berbasis intensitas dapat digunakan untuk pendeteksian tulang keropos<br />
Keywords— Tomografi Komputer, tulang keropos, kualitas citra.<br />
Pendahuluan<br />
Tomografi komputer merupakan suatu teknik<br />
pencitraan yang memungkinkan struktur internal<br />
obyek dapat dicitrakan tanpa merusak atau<br />
membelah obyek secara fisik. Dengan tomografi<br />
komputer dapat dihasilkan citra (image) tampang<br />
lintang obyek tanpa harus memotong obyek tersebut,<br />
sehingga nilai besaran fisika dan distribusinya dalam<br />
ruang dapat diidentifikasi. Citra yang dihasilkan<br />
dengan teknik tomografi tidak mengandung<br />
informasi yang tumpang tindih pada arah lintasan<br />
sumber dan detektor sebagaimana yang terjadi pada<br />
teknik radiografi, sehingga citra struktur internal<br />
obyek dapat digambarkan secara lebih jelas, baik<br />
posisi maupun karekteristiknya.<br />
Di laboratium radiasi jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA<br />
<strong>Unair</strong> telah berhasil dibangun sistem tomografi<br />
komputer generasi pertama atau sistem tomografi<br />
komputer translasi rotasi sebagai sarana penelitian<br />
[1]. Sistem ini menggunakan sumber radiasi Cs yang<br />
memancarkan sinar-γ dengan energi sebesar 661,638<br />
keV [2]. Dengan tingginya energi yang digunakan<br />
ini, maka obyek yang dapat discan adalah obyekobyek<br />
yang keras. Dalam penelitian tersebut<br />
digunakan obyek yang terbuat dari kuningan. Untuk<br />
itu perlu dicari sumber radiasi lain yang berenergi<br />
rendah, sehingga dapat digunakan untuk menscan<br />
obyek-obyek yang lunak seperti tulang. Dalam<br />
penelitian ini digunakan sumber radiasi yodium 131.<br />
Digunakannya yodium 131 sebagai sumber<br />
radiasi karena bahan ini merupakan salah satu<br />
sumber radiasi yang berenergi rendah dan relative<br />
mudah diperoleh. Namun yodium 131 ini<br />
mempunyai waktu paro yang pendek yaitu kurang<br />
lebih 8 hari. Dengan waktu paro yang pendek ini,<br />
intensitas sumber radiasi sebelum melewati obyek<br />
berkurang dengan bertambahnya waktu, yang<br />
selama ini intensitas tersebut dianggap konstan<br />
karena waktu paro sumber radiasi yang digunakan<br />
panjang.<br />
Berkurangnya intensitas sumber radiasi terhadap<br />
pertambahan waktu menyebabkan ralatnya<br />
membesar [2]. Untuk itu pada penelitian ini<br />
dilakukan perbaikan dengan menyamakan intensitas<br />
yang diterima setelah melewati obyek melalui proses<br />
scanning berbasis intensitas. Proses scanning<br />
berbasis intensitas adalah proses scanning yang<br />
perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun<br />
rotasi dilakukan setelah intensitas yang tercacah oleh<br />
detektor menunjukkan nilai yang telah ditentukan<br />
dan waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai<br />
tersebut dicatat. Proses ini berbeda dengan proses<br />
scanning yang selama ini digunakan yaitu<br />
perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun<br />
rotasi pada saat proses scanning dilakukan setelah<br />
selang waktu tertentu, tanpa memperhatikan<br />
berapapun besarnya intentensitas yang tercacah oleh<br />
detector selama selang waktu tersebut<br />
Metode Penelitian<br />
Secara garis besar prosedur penelitian ini<br />
ditunjukkan pada Gambar 1. Sedangkan obyek yang<br />
digunakan dalam penelitian ini adalah tulang normal<br />
dan tulang keropos sebagaimana ditunjukkan pada<br />
Gambar 2. Tulang yang digunakan adalah tulang<br />
kaki kambing yang berdiameter sekitar 2 cm dan<br />
dipotong dengan panjang sekitar 2 cm. Tulang<br />
keropos diperoleh dengan cara tulang normal<br />
direndam dalam HNO3 dengan konsentrasi 10% dan<br />
waktu peredaman 6 jam, 12 jam dan 18 jam [3].<br />
Obyek discan dengan sistem tomografi komputer<br />
taranslasi rotasi [1] yang pada penelitian ini,<br />
F57
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
software antarmuka pada sistem pencacahnya<br />
dimodifikasi yaitu dari proses scanning berbasis<br />
waktu menjadi intensitas. Prinsip kerja simulator ini<br />
mengikuti persamaan 1 untuk mendapatkan<br />
intensitas setelah melewat obyek dengan ketebalan<br />
tertentu.<br />
−μx<br />
I = I 0 e<br />
(1)<br />
I = intensitas setelah melewati obyek<br />
I 0 = intensitas sebelum melewati obyek<br />
µ = Koefisien atenuasi linier<br />
x = tebal obyek<br />
Tidak<br />
Sinogram tanpa<br />
koreksi<br />
Direkontruksi<br />
Dihasilkan Citra<br />
Pembuatan obyek<br />
Obyek discan<br />
Dihasilkan<br />
sinogram<br />
Koreks<br />
i<br />
Pembedaan Citra A<br />
terhadap B<br />
Analisis Hasil<br />
Ya<br />
Sinogram<br />
terkoreksi<br />
Direkontruksi<br />
Dihasilkan Citra B<br />
Pemodifikasia<br />
n software<br />
berba-sis<br />
waktu<br />
Gambar 1 Blok diagram prosedur penelitian<br />
[4]sehingga dihasilkan sinogram terkoreksi.<br />
Sinogram perlu dikoreksi karena intensitas sumber<br />
radiasi sebelum melewati obyek berkurang dengan<br />
bertambahnya waktu. Untuk melihat pengaruh<br />
tersebut maka sinogram yang tidak terkoreksi juga<br />
direkonstruksi sehingga dihasilkan citra A.<br />
Sinogram-sinogram tersebut direkonstruksi<br />
dengan metode rekonstruksi SCFBP (Summation<br />
Convolution Filtred Back Proyection),berdasarkan<br />
persamaan 5 [6].<br />
( x y) p'<br />
( φ,<br />
)<br />
μ , = π ∫ x r dφ<br />
0<br />
dengan<br />
p '<br />
+∞<br />
∫<br />
− ∞<br />
(3)<br />
( x , φ ) = p( x'<br />
, φ) h( x − x'<br />
) dx'<br />
= p( x'<br />
, φ) * h( x − x'<br />
)<br />
r<br />
r<br />
r<br />
r<br />
r<br />
r<br />
(4)<br />
dengan h(xr) adalah filter pengkonvolusi.<br />
Citra-citra hasil rekonstruksi dianalisis<br />
kualitasnya. Analisis citra dilakukan dengan cara<br />
membedakan kualitas citra hasil rekonstruksi<br />
sinogram yang terkoreksi dengan yang tidak<br />
terkoreksi untuk tulang normal dengan keropos.<br />
Pembedaan dilakukan secara visual dilihat dengan<br />
memperhatikan citra-citra hasil rekonstruksi secara<br />
langsung dan profil garis horisontalnya.<br />
r<br />
r<br />
(1) (2) (3) (4)<br />
Gambar 2 Foto (1) Tulang Normal ; (2) Tulang Rendaman<br />
HNO3 6 Jam ; (3)Tulang Rendaman HNO3 12 Jam ; (4)Tulang<br />
Rendaman HNO3 18 Jam<br />
Adapun Flow chart proses scanning berbasis<br />
intensitas diperlihatkan pada Gambar 3<br />
Hasil dari proses scanning adalah data<br />
berupa sinogram yang merupakan<br />
kumpulan dari raysum. Sebuah raysum<br />
didefinisikan sebagai Pφ(xr) (Wells, 1994)<br />
⎛ I ⎞ + R<br />
P ( ) =<br />
⎜ 0 ⎟<br />
φ<br />
xr ln⎜<br />
⎟<br />
= ∫ μ( x r , yr ) dyr<br />
I<br />
⎝ ⎠ −R<br />
(2)<br />
dengan<br />
I 0 = Intensitas sumber radiasi yang ditangkap<br />
detektor tanpa objek<br />
I = Intensitas yang ditangkap detektor setelah<br />
melewati objek<br />
xr = Jarak tegak lurus antara berkas dengan posisi<br />
awal<br />
Sinogram ini kemudian direkonstruksi untuk<br />
menghasilkan citra. Namun, Sinogram ini terlebih<br />
dahulu dikoreksi dengan program koreksi sinogram<br />
Gambar 3. Flow chart proses scanning berbasis intensitas<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Pada proses scanning berbasis waktu, yang<br />
pertama kali dilakukan adalah menentukan waktu<br />
(t0) untuk proses translasi dan rotasi dan kemudian<br />
jika t = t0 maka intensitasnya akan dihitung selama<br />
selang waktu tersebut hingga akhirnya dihasilkan<br />
data sinogram. Pada proses scanning berbasis<br />
F58
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
intensitas, yang pertama kali dilakukan adalah<br />
menentukan intensitas (It) untuk proses translasi dan<br />
rotasi dan kemudian jika I= It maka waktunya akan<br />
dihitung hingga akhirnya dihasilkan data sinogram.<br />
Tampilan software proses scanning berbasis<br />
intensitas ditunjukkan pada Gambar 4<br />
scanning berbasis waktu dengan proses scanning<br />
berbasis intensitas.<br />
Proses scanning berbasis intensitas ini digunakan<br />
menscan tulang normal dan tulang keropos.<br />
Sinogram tanpa koreksi dan dengan koreksi<br />
ditunjukkan pada Gambar4. Citra-citra hasil<br />
rekonstruksi dari sinogram tersebut ditunjukkan<br />
pada Gambar 5<br />
Gambar 4. Tampilan software proses scanning berbasis intensitas<br />
Untuk membandingkan hasil pemodifikasian dari<br />
software proses scanning berbasis waktu dengan<br />
software proses scanning berbasis intensitas dengan<br />
menggunakan sumber radiasi gamma I-131, telah<br />
dilakukan percobaan dengan menggunakan bahan<br />
segitiga kuningan. Waktu yang digu-nakan untuk<br />
proses scaning berbasis waktu [1] adalah 3000 ms<br />
dan jumlah cacahan yang digunakan untuk proses<br />
scanning berbasis intensitas ini adalah 8000 cacahan.<br />
Sinogram-sinogram dan citra hasil rekontruksi dari<br />
sinogram-sinogram tersebut dapat ditunjukkan pada<br />
Gambar 5 dan 6<br />
Gambar 7.Sinogram-sinogram pada tulang normal dan variasi<br />
rendamannya serta hasil koreksinya<br />
(a) (b) (a) (b)<br />
(1) (2)<br />
Gambar 5. Sinogram hasil scanning untuk segitiga kuningan : (1a)<br />
scanning berbasis waktu resolusi low; (1b) scanning berbasis<br />
waktu resolusi medium ; (2a) scanning berbasis intensitas resolusi<br />
low; (2b) scanning berbasis intensitas resolusi medium.<br />
Gambar 8 Citra-Citra hasil rekontruksi pada sinogram-sinogram<br />
pada tulang normal dan variasi rendamannya serta koreksinya<br />
Berdasarkan hasil pembedaan secara visual<br />
dilihat dengan memperhatikan citra-citra hasil<br />
rekonstruksi dan profil garis horisontalnya, maka<br />
dapat dilihat bahwa. citra-citra hasil rekonstruksi<br />
antara tulang normal dan tulang rendaman (gambar<br />
8) semakin mengecil dan pada profil garis<br />
horisontalnya yang ditunjukkan pada Gambar 9,<br />
Gambar 10, Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai<br />
μ -nya menurun.<br />
(a) (b) (a) (b)<br />
(1) (2)<br />
Gambar 6 Citra hasil rekonstruksi untuk segitiga kuningan: (1a)<br />
scanning berbasis waktu resolusi low ; (1b) scanning berbasis<br />
waktu resolusi medium ; (2a) scanning berbasis intensitas resolusi<br />
low; (2b) scanning berbasis intensitas resolusi medium.<br />
Dari hasil pembandingan citra hasil rekonsrtuksi<br />
dengan menggunakan objek segitiga kuningan<br />
tersebut, maka kinerja program software scanning<br />
berbasis intensitas sudah cukup baik karena sudah<br />
dihasilkan citra yang sama antara citra proses<br />
Koefisien Atenuasi Linier<br />
0.35<br />
0.3<br />
0.25<br />
0.2<br />
0.15<br />
0.1<br />
0.05<br />
0<br />
0 20 40 60 80<br />
Posisi Pixel<br />
Tulang1 Normal<br />
Tulang1 Rendaman 6 Jam<br />
Tulang1 Normal Koreksi<br />
Tulang1 Rendaman 6 Jam Koreksi<br />
F59
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 9 Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi tulang1<br />
resolusi medium<br />
Koefisien Atenuasi Linier<br />
0.35<br />
0.3<br />
0.25<br />
0.2<br />
0.15<br />
0.1<br />
0.05<br />
0<br />
0 20 40 60 80<br />
Tulang2 Normal<br />
Tulang2 Rendaman 12 Jam<br />
Posisi Pixel<br />
Tulang2 Normal Koreksi<br />
Tulang2 Rendaman 12 Jam Koreksi<br />
Gambar 10. Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi<br />
tulang2 resolusi medium<br />
Koefisien Atenuasi<br />
Linier<br />
0.25<br />
0.2<br />
0.15<br />
0.1<br />
0.05<br />
0<br />
0 20 40 60 80<br />
Tulang3 Normal<br />
Tulang3 Rendaman 18 Jam<br />
Posisi Pixel<br />
Tulang3 Normal Koreksi<br />
Tulang3 Rendaman 18 Jam Koreksi<br />
Gambar 11 Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi tulang3<br />
resolusi medium<br />
Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11<br />
menunjukkan profil garis horisontal citra hasil<br />
rekonstruksi tulang normal dan rendaman yang<br />
terkoreksi berhimpit dengan profil garis horisontal<br />
citra hasil rekonstruksi tulang normal dan rendaman<br />
yang tidak terkoreksi. Hal ini menunjukka bahwa<br />
tidak ada perubahan antara yang terkoreksi dengan<br />
yang tidak terkoreksi. Hal ini dikarenakan waktu<br />
yang digunakan untuk scanning ordenya masih kecil<br />
yakni 2-13 jam dibandingkan dengan waktu paronya<br />
sumber radiasi I-131 yakni sekitar 8 hari.<br />
Penutup<br />
Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada<br />
penelitian ini dapat diambil kesimpulan, bahwa :<br />
28. Kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses<br />
scanning berbasis intensitas relative sama<br />
diabndingkan dngan kualitas citra hasil<br />
rekonstruksi dari proses scanning berbasis<br />
waktu<br />
29. Citra-citra hasil rekonstruksi dari data<br />
sinogram terkoreksi dan yang tidak terkoreksi<br />
tidak ada perbedaan<br />
30. Sistem tomografi komputer translasi-rotasi<br />
dengan proses scanning berbasis intensitas dapat<br />
digunakan untuk pendeteksian tulang keropos<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih saya ucapkan kepada Program Studi<br />
<strong>Fisika</strong> FSaintek Universitas Airlangga yang telah<br />
membiayai penelitian ini melalui proyek PHK A2<br />
dan M. Jainul Arifin mahasiswa fisika Fsaintek<br />
Universitas Airlangga yang telah membantu dalam<br />
penyelesaian penelitian ini..<br />
Referensi<br />
Ukhrowiyah, N. dan K. Ain, 2006, Rancang Bangun<br />
Tomografi Komputer Translasi –Rotasi<br />
dengan memanfaatkan Peralatan<br />
Laboratorium, Prosiding Seminar Nasional<br />
SPMIPA 2006, Badan Penerbit Universitas<br />
Diponegoro Semarang, 320-325.<br />
Tsoulfanidis N, 1983. Measurement and Detection<br />
of Radiation, Hemisphere Publishing<br />
Corporation, United Stated of America.<br />
Ukhrowiyah, N., K. Ain dan I. Sapuan, 2008,<br />
Optimasi Sistem Tomografi Komputer<br />
Translasi-Rotasi dengan Sumber Radiasi<br />
Berenergi Rendah, Laporan Penelitian Hibah<br />
Penelitian Program A2 BATCH III, Program<br />
Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Airlangga,<br />
Surabaya.<br />
Ukhrowiyah, N. dan K. Ain, 2010, Simulasi Sistem<br />
Tomografi Komputer dengan Sumber Radiasi<br />
Berumur Paro Pendek, Prosiding Seminar<br />
Nasional Basic Science VII, FMIPA<br />
Universitas Brawijaya, Malang<br />
Wells, P., J. Davis and M. Morgan 1994, Computed<br />
Tomography, Material Forum. Vol. 18, pp.<br />
111-113.<br />
Suparta, G.B., 1999, Focussing Computed<br />
Tomography Scanner, Thesis Submitted for<br />
The Degree of Doctor of Philosophy,<br />
Department of Physics Monash University,<br />
Australia<br />
F60
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Simulasi Konfigurasi Perisai sebagai Penyerap Intensitas Radiasi Gamma<br />
pada “Beam Port Radial” Reaktor Kartini dengan Menggunakan Metode<br />
Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />
Retno Rahmawati 1) , Triwulan Tjiptono 2)<br />
1) Prodi <strong>Fisika</strong> FSAINTEK UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA,<br />
2) PTAPB-BATAN YOGYAKARTA<br />
Email : enorahma1982@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Reaktor nuklir adalah tempat terjadinya reaksi fisi, yang akan menghasilkan produk fisi. Salah satu dari produk<br />
fisi adalah partikel gamma yang mempunyai daya tembus tinggi, untuk itu diperlukan perisai yang mampu<br />
memperkecil bahaya eksternal radiasi gamma. Reaktor Kartini merupakan jenis reaktor riset yang dapat<br />
menghasilkan radiasi gamma. Besarnya intensitas radiasi gamma tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />
metode statistik biasa karena distribusinya yang bersifat random. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk<br />
penentuan distribusi partikel gamma adalah Monte Carlo N-Particle (MCNP). Tujuan dari penelitian ini adalah<br />
menentukan konfigurasi yang tepat dari perisai radiasi gamma pada “Beam Port Radial” Reaktor Kartini dengan<br />
menggunakan program Monte Carlo N-Particle (MCNP). Hasil simulasi menunjukkan bahwa susunan tiga<br />
perisai dengan urutan material Plumbum+Bismut+Silikon dengan tebal 15 cm adalah konfigurasi yang paling<br />
baik dalam memerisai radiasi gamma yaitu: dari 1,0x106 partikel/cm2.s datang, setelah melewati susunan perisai<br />
Plumbum+Bismut+Silikon menjadi 1,6x10-4 partikel/cm2.s. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar pemilihan<br />
material sebagai perisai radiasi gamma pada design reaktor nuklir.<br />
Kata kunci : Intensitas, radiasi gamma, perisai, MCNP.<br />
PENDAHULUAN<br />
Teknologi nuklir merupakan salah satu bentuk<br />
teknologi maju pada saat ini dan pemanfaatannya<br />
telah diterapkan pada berbagai bidang. Pemanfaatan<br />
teknologi nuklir untuk kesejahteraan umat manusia<br />
haruslah memikirkan masalah keselamatan terhadap<br />
manusia dan lingkungan. Tujuan umum dari<br />
keselamatan radiasi adalah membatasi peluang<br />
terjadinya akibat bahaya stokastik atau resiko akibat<br />
pemakaian radiasi yang dapat diterima oleh<br />
masyarakat danmencegah bahaya nonstokastik dari<br />
radiasi yang membahayakan seseorang<br />
(Suratman:2000).<br />
Salah satu dampak negatif teknologi nuklir adalah<br />
pancaran radiasi yang dipancarkan oleh energi<br />
nuklir. Beberapa jenis radiasi yang dihasilkan<br />
diantaranya adalah radiasi sinar α, sinar β, radiasi<br />
elektromagnetik dan radiasi netron. Dari keempat<br />
jenis radiasi diatas yang memiliki potensi bahaya<br />
eksternal bagi manusia dan perlu mendapat<br />
perhatian khusus adalah radiasi elektromagnetik dan<br />
radiasi netron. Salah satu dari radiasi<br />
elektromagnetik adalah radiasi gamma yang<br />
diemisikan oleh reaktor nuklir perlu penanganan<br />
khusus, mengingat sifat-sifat gamma yang<br />
berbahaya.<br />
Reaktor Kartini sebagai reaktor penelitian jenis<br />
TRIGA (Training, Research and Isotop Production<br />
by General Atomic) mempunyai fasilitas irradiasi<br />
(penyinaran) dengan metode radiografi netron pada<br />
bagian “Beam Port Radial” yang nantinya juga akan<br />
menghasilkan radiasi gamma sebagai efek samping<br />
proses radioaktif. Pengetahuan tentang sifat dan<br />
karakteristik sinar gamma yaitu: pengetahuan<br />
dosimetri, penilaian radiasi sinar gamma dan<br />
perhitungan tentang perisai radiasi perlu dilakukan<br />
untuk mencegah bahaya radiasi eksternal sinar<br />
gamma.<br />
Secara kuantitatif intensitas radiasi gamma perlu<br />
diketahui walaupun sudah dilewatkan pada perisai,<br />
agar dapat memenuhi kelayakan dosis dari radiasi<br />
gamma. Perhitungan transport foton tidak bisa<br />
dilakukan dengan metode statistik biasa karena<br />
sifatnya yang random, salah satu metode yang bisa<br />
digunakan adalah Monte Carlo N-Particle (MCNP).<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan<br />
konfigurasi material yang tepat sebagai perisai<br />
radiasi gamma pada “Beam Port Radial” reaktor<br />
Kartini melalui simulasi dengan menggunakan<br />
metode Monte Carlo N-Particle (MCNP) sehingga<br />
dapat memperkecil bahaya radiasi eksternal radiasi<br />
gamma.<br />
KAJIAN TEORI<br />
Radiasi Gamma<br />
Radiasi adalah hasil energi yang berasal dari atom<br />
atau inti tidak stabil yang dipancarkan dalam rangka<br />
untuk mencapai keadaan stabil (Meger:1987).<br />
Radiasi merupakan bentuk radiasi elektromagnetik<br />
F61
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
berpanjang gelombang pendek, energi fotonnya<br />
lebih besar dari 100 keV, merambat dengan<br />
kecepatan cahaya, tidak dapat dibelokkan oleh<br />
medan magnet maupun medan listrik (Wilis:1989).<br />
Radiasi gamma yang diemisikan oleh reaktor<br />
nuklir berasal dari reaksi fisi, reaksi peluruhan<br />
produk fisi, reaksi tangkapan dan reaksi aktivasi.<br />
Sinar gamma yang dipancarkan oleh inti atom yang<br />
teraksitasi dan mengikuti proses peluruhan radioaktif<br />
merupakan salah stu usaha dari atom yang tereksitasi<br />
tersebut menuju tingkat dasar.<br />
Deskripsi Reaktor Kartini<br />
Reaktor Kartini merupakan reaktor penelitian<br />
jenis TRIGA (Training, Research and Isotop<br />
Production by General Atomic) MARK II yang ada<br />
di Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-<br />
Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTAPB-BATAN)<br />
Yogyakarta. Sebagaimana reaktor jenis TRIGA,<br />
reaktor Kartini dilengkapi dengan beberapa fasilitas<br />
irradiasi diantaranya :<br />
1. Kolom termal (thermal coloumn) untuk<br />
penyinaran cuplikan dalam ukuran agak besar,<br />
2. Specimen Rack yang dapat berputar yang<br />
memungkinkan produksi isotop, penyinaran dan<br />
pengaktifan cuplikan.<br />
3. Central Thimble merupakan fasilitas bagi<br />
penyinaran yang memerlukan netron termal atau<br />
netron cepat dengan fluks tinggi.<br />
4. Tabung pneumatik untuk penyinaran cepat<br />
5. Beam Port Radial yang menyediakan berkas<br />
netron dan gamma untuk keperluan eksperimen serta<br />
fasilitas irradiasi sampel dengan diameter ±15,2 m.<br />
Perisai Radiasi Gamma<br />
Tiga proses utama yang terjadi dalam interaksi<br />
antara radiasi elektromagnetik dengan bahan yaitu :<br />
efek fotolistrik, efek compton, dan produksi<br />
pasangan. Ketiga proses tersebut menghasilkan<br />
elektron yang dalam perjalannya akan mengionisasi<br />
bahan perisai. Bahan dengan tingkat kerapatan tinggi<br />
yaitu atom-atom berat dengan nomor atom dan<br />
nomor massa tinggi jangkauan elektron tersebut<br />
akan sangat pendek, oleh sebab itu bahan dengan<br />
nomor atom tinggi sangat baik digunakan sebagai<br />
perisai radiasi gamma.<br />
Apabila radiasi elektromagnetik masuk ke dalam<br />
bahan perisai, maka sebagian radiasi tersebut akan<br />
terserap oleh bahan. Sebagai akibatnya intensitas<br />
radiasi setelah memasuki bahan penyerap akan lebih<br />
kecil dari intensitas semula. Secara matematis<br />
dituliskan sebagai berikut :<br />
Dimana :<br />
I = Intensitas radiasi setelah melewati perisai<br />
I 0 = Intensitas sebelum melewati perisai<br />
μ = koefisien serapan linier bahan perisai (m -1 )<br />
x = tebal perisai (m)<br />
(1)<br />
μ (koefisien atenuasi linier) adalah kebolehjadian<br />
foton berinteraksi dengan medium perunit jejak<br />
(Suprawardana :1982) yang secara matematis<br />
dituliskan sebagai berikut :<br />
Dimana :<br />
μ = koefisien atenuasi linier<br />
τ = koefisien fotoelektrik<br />
σ = koefisien compton<br />
κ = koefisien produksi pasangan<br />
(2)<br />
Metode Monte Carlo<br />
Istilah Monte Carlo pertama kali diperkenalkan<br />
oleh Von Neuman dan Ulam pada jaman perang<br />
dunia II sebagai kode dari pekerjaan rahasia di Los<br />
Alamos yang berkaitan dengan pembuatan bom<br />
atom. Metode Monte Carlo dalam dunia fisika<br />
digunakan untuk mengevaluasi integral multi<br />
dimensi dan persamaan integral yang tidak bisa<br />
diselesaikan secara analitik. Enrico Fermi<br />
menggunakan metode Monte Carlo untk<br />
mensimulasikan kelakuan difusi netron yang bersifat<br />
acak dalam medium.<br />
Simulasi stokastik yang sampelnya berasal dari<br />
suatu distribusi tertentu yang mengandung bilangan<br />
acak dari komputer pada interval 0 sampai 1<br />
(distribusi kanonik) disebut simulasi Monte Carlo<br />
(Ishak:1998). Secara lebih rinci metode Monte Carlo<br />
didefinisikan sebagai berikut :<br />
1. Suatu metode perhitungan yang menirukan<br />
secara teoritis suatu proses statistik (acak).<br />
2. Digunakan untuk menyelesaikan masalah yang<br />
tidak bisa diselesaikan dengan metode deterministik.<br />
3. Mensimulasikan setiap peristiwa probabilistik<br />
tunggal yang terjadi dalam suatu proses satupersatu<br />
secara berurutan.<br />
4. Sebaran kemungkinan yang berlaku di dalam<br />
setiap peristiwa di cacah secara acak sesuai dengan<br />
hukum alam yang berlaku padanya.<br />
5. Diperlukan pengulangan yang banyak agar<br />
seluruh fenomena yang disimulasi dapat tergambar<br />
dengan utuh dan realistik.<br />
Metode Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />
MCNP merupakan sebuah program yang<br />
digunakan untuk transport netron, foton, elektron,<br />
kombinasi transport netron/foton dimana foton<br />
diproduksi oleh interaksi netron maupun kombinasi<br />
netron/foton/elektron. Energi netron dari 10 MeV<br />
sampai 20 MeV, energi foton serta elektron dari 1<br />
keV sampai 1000 MeV dan kemampuannya<br />
menghitung nilai eigen dari sistem fisi (Judith :<br />
1997).<br />
Dalam penelitian ini digunakan program MCNP<br />
versi 4B dengan ciri-ciri sebagai berikut :<br />
1. Masalah transport : netron, foton, elektron.<br />
2. Sifat bahan dinyatakan sebagai fungsi energi<br />
kontinu<br />
F62
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
3. Geometri tiga dimensi sembarang bentuk,<br />
didasarkan sepenuhnya pada bidang permukaan<br />
yang membatasinya.<br />
4. Statik dan dinamik.<br />
Keistimewaan program MCNP diantaranya :<br />
memiliki data nuklir dan reaksi, memberikan<br />
spesifikasi sumber, terdapat talli dan keluaran<br />
program yang sesuai, menyertakan error dan reduksi<br />
varians dalam setiap keluarannya.<br />
Untuk sebuah program MCNP harus memenuhi<br />
syarat masukan (input) :<br />
1. Title Card : Merupakan bagian awal dari<br />
masukan program.<br />
2. Cell Card : Mendefinisikan kedudukan cell<br />
pada geometri sistem.<br />
3. Surface Card : Mendefinisikan permukaanpermukaan<br />
yang membatasi cell.<br />
4. Data Card : Memberikan penjelasan tentang<br />
sumber<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Alat dan Bahan Penelitian<br />
Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah :<br />
1. Dokumen data Beam Port Radial Reaktor<br />
Kartini.<br />
2. Data bahan perisai, dalam penelitian ini<br />
digunakan tiga material yaitu : silikon, Plumbum<br />
dan Bismut.<br />
3. Perangkat lunak Monte Carlo N-Particle<br />
(MCNP) versi 4B.<br />
4. Seperangkat komputer dengan processor intel<br />
pentium IV.<br />
Prosedur Penelitian<br />
Untuk mendapatkan keluaran (output) berupa<br />
intensitas partikel gamma dan lay out geometri<br />
Beam Port Radial Reaktor Kartini harus dilakukan<br />
langkah-langkah sebagai berikut :<br />
Gambar 1. Diagram alir Program MCNP versi 4B<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dari hasil analisis file masukan menggunakan<br />
paket program Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />
versi 4B diperoleh geometri Beam Port Radial<br />
Kartini dengan konfigurasi tiga perisai yang<br />
disajikan pada gambar 2 di bawah ini :<br />
Gambar 2. Lay out Beam Port Radial Kartini dengan<br />
konfigurasi tiga perisai terhadap sumbu z.<br />
Hasil lay out pada gambar 2 diatas disesuaikan<br />
dengan ukuran geometri Beam Port Radial Reaktor<br />
Kartini dalam ukuran yang sebenarnya, hal ini<br />
dilakukan agar simulasi mendapatkan hasil keluaran<br />
yang sesuai dengan kondisi riil Reaktor Kartini.<br />
Hasil perhitungan intensitas partikel gamma<br />
dengan menggunakan program Monte Carlo N-<br />
Particle (MCNP) versi 4B setelah melewati<br />
beberapa alternatif konfigurasi tiga perisai disajikan<br />
pada tabel 1 dibawah ini :<br />
No<br />
TABEL 1<br />
Besarnya Intensitas Radiasi gamma<br />
Konfigurasi<br />
Perisai<br />
Tebal<br />
Perisai<br />
(cm)<br />
Intensitas<br />
gamma setelah<br />
dinormalisasi<br />
perpartikel<br />
sumber<br />
(partikel/cm 2 .s)<br />
1 Si+Pb+Bi 15 1,6 x 10 -4<br />
2 Si+Bi+Pb 15 1,6 x 10 -4<br />
3 Bi+Si+Pb 15 2,0 x 10 -4<br />
4 Bi+Pb+Si 15 1,7 x 10 -4<br />
5 Pb+Si+Bi 15 2,0 x 10 -4<br />
6 Pb+Bi+Si 15 1,6 x 10 -4<br />
Keterangan :<br />
Si = Silikon, Pb = Plumbum, Bi = Bismut.<br />
Hasil perhitungan pada tabel 1 diatas dilakukan<br />
dengan mensimulasi 10 6 partikel gamma dengan<br />
energi 2 MeV sebelum melewati perisai radiasi,<br />
tampak bahwa terdapat tiga nilai yang sama pada<br />
hasil perhitungan. Dari ketiga nilai yang sama<br />
terdapat perbedaan pada error program, hal ini<br />
menjadi dasar pemilihan konfigurasi tiga perisai<br />
F63
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
yang paling baik menyerap radiasi gamma. Dari<br />
hasil keluaran program MCNP versi 4B<br />
menunjukkan bahwa error yang paling kecil<br />
diperoleh dari konfigurasi Plumbum + Bismut +<br />
silikon dengan nilai error sebesar 1 % dalam setiap<br />
eksekusinya.<br />
Material Silikon mengatenuasi radiasi gamma<br />
paling kecil dibandingkan Plumbum dan Bismut<br />
karena μ silikon < μ Bismut < μ Plumbum , sehingga ketika<br />
radiasi partikel gamma melewati konfigurasi tiga<br />
perisai material Plumbum sudah berperan aktif<br />
memerisai dan diikuti oleh Bismut dan Silikon.<br />
Plumbum dan Bismut juga merupakan material<br />
dengan densitas cukup besar sehingga mampu<br />
memerisai partikel gamma dengan baik.<br />
Kreasi foton menghasilkan Bremstahlung, P-<br />
annihilasi dan flouresensi sedangkan foton yang<br />
hilang diakibatkan peristiwa tangkapan, hamburan<br />
Compton, foton yang lolos dan produksi pasangan.<br />
Dari hasil keluaran program MCNP Versi 4B<br />
didapatkan data bahwa selama proses berlangsung<br />
terjadi 9255064 kali tumbukan dan reaksi<br />
Bremstahlung paling dominan dalam kreasi foton.<br />
Dengan susunan tiga perisai, partikel gamma dapat<br />
teratenuasi mendekati 10 10 kali partikel awal.<br />
Berdasarkan konsep statistik maka perhitungan<br />
yang diberikan metode Monte Carlo tidak unik<br />
sebab hal ini bergantung pada perkiraan yang<br />
ditetapkan. Hal ini merupakan kelemahan metode<br />
Monte Carlo karena untuk memperbaiki keakuratan<br />
dari perhitungan yang dihasilkan harus dilakukan<br />
pengulangan perhitungan yang sangat banyak,<br />
sehingga membutuhkan waktu komputasi yang<br />
cukup lama.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil simulasi menggunakan program Monte<br />
Carlo N-Particle (MCNP) versi 4B dapat<br />
disimpulkan bahwa konfigurasi tiga perisai yang<br />
paling baik memerisai radiasi gamma adalah<br />
susunan Plumbum+Bismut+Silokon dengan tebal 15<br />
cm, dimana dari 10 6 partikel/cm 2 .s yang datang<br />
setelah melewati susunan tiga perisai tersebut<br />
intensitasnya turun menjadi 1,6 x 10 -4 partikel/cm 2 .s.<br />
Hasil perhitungan dengan menggunakan program<br />
MCNP versi 4B merupakan hasil pendekatan bukan<br />
ketepatan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Akhadi Mukhlis (2000), Dasar-Dasar Proteksi<br />
Radiasi, Jakarta, Rineka Cipta.<br />
Gibbs R William (1999), Computation In Modern<br />
Physics, Mexico, New Mexico University.<br />
Judith F Briesmeister (1997), MCNP A General<br />
Monte Carlo N-Particle Transport Code<br />
Version 4B, California, University of<br />
California.<br />
M.Salman Suprawardana (1982), Pengenalan<br />
Komponen Reaktor, Yogyakarta, BATAN.<br />
Ratna Wilis (1989), Pengantar <strong>Fisika</strong> Inti, Jakarta,<br />
DEPDIKBUD.<br />
Tri Priambudi (2003), Analisis Kualitas Bahan<br />
Sebagai Perisai Radiasi Netron Termal,<br />
Yogyakarta, <strong>Fisika</strong> UNY.<br />
Triwulan Tjiptono, Widarto (2002), Pengembangan<br />
Fasilitas Uji Tak Merusak Dengan Netron<br />
Radiografi Pada Reaktor Kartini, Yogyakarta,<br />
BATAN.<br />
Yesaya Ishak (1998), Simulasi Parameter Transpor<br />
GaAs dengan Metode Monte Carlo, Bandung,<br />
ITB.<br />
F64
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengenalan Pola Tumor Otak Hasil Deteksi Tepi<br />
dengan Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan<br />
Riries Rulaningtyas 1 , Khusnul Ain 2 , Nur Laelatus 3<br />
1,2,3 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : riries_tyas@yahoo.co.id<br />
Abstrak<br />
Saat ini, dokter-dokter di Rumah Sakit dalam mengidentifikasi tumor otak dengan cara melihat pola gambar<br />
jaringan otak hasil dari MRI (Magnetic Resonance Imaging) secara manual. Jaringan syaraf tiruan dapat<br />
digunakan untuk mengidentifikasi tumor otak melalui citra dari data MRI. Algoritma yang digunakan adalah<br />
Propagasi Balik (Backpropagation) yang merupakan metode pembelajaran pada jaringan syaraf tiruan yang<br />
dapat digunakan untuk pengenalan pola kerena jika output memberikan hasil yang salah maka pembobot<br />
dikoreksi supaya error diperkecil. Dengan proses training didapatkan bobot terbaik yaitu pada node hidden 3,<br />
learning rate 0,5 dan momentum 0,9 yang akan digunakan untuk menguji 8 citra normal dan 8 citra tumor untuk<br />
data testing. Hasil pengujian menunjukkan bahwa telah dapat melakukan identifikasi tumor otak. Prosentasi<br />
keberhasilan identifikasi sebesar 93,75%.<br />
Kata kunci : jaringan syaraf tiruan, tumor otak.<br />
PENDAHULUAN<br />
Salah satu cara yang sering dilakukan untuk<br />
mengetahui seseorang penderita apakah mengidap<br />
tumor otak atau tidak adalah dengan menggunakan<br />
MRI. Hasil keluaran MRI berupa gambar pola<br />
jaringan-jaringan di dalam otak. Selama ini, dalam<br />
melakukan identifikasi tumor otak berdasarkan hasil<br />
keluaran dari MRI dilakukan oleh radiolog dan<br />
dokter ahli yang berpengalaman menggunakan MRI.<br />
Untuk membantu dokter dalam mendiagnosa tumor<br />
otak, maka penelitian ini perlu dilakukan dengan<br />
dibuat suatu computer aided diagnose menggunakan<br />
metode jaringan syaraf tiruan.<br />
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan<br />
yang berkaitan dengan pengenalan pola adalah<br />
Pengaplikasian Optimasi Jaringan syaraf tiruan oleh<br />
Algoritma Genetika pada Pendeteksian Kelainan<br />
Otak Stroke Iskemik sebagai Media Pembelajaran<br />
Dokter Muda (Rulaningtyas, 2006) dan<br />
Unsupervised Brain Tumor Segmentation Using<br />
Knowledge Based Fuzzy Technique. (Clark, 2002)<br />
Sebelum diolah oleh jaringan syaraf tiruan, hasil<br />
rekaman MRI dilakukan pengolahan citra terlebih<br />
dahulu yang meliputi proses mengubah data analog<br />
MRI menjadi data digital, grayscale (skala<br />
keabuan), histogram equalisasi untuk memperbaiki<br />
kualitas citra yang dikarenakan adanya noise pada<br />
citra. Kemudian dilakukan pengolahan citra deteksi<br />
tepi (edge detection) agar diperoleh pola tepi gambar<br />
jaringan otak dan tepi tumor otak, hal ini dilakukan<br />
oleh peneliti pertama. Dalam penelitian ini,<br />
melanjutkan proses dari hasil peneliti pertama.<br />
Proses yang dilakukan adalah filter latar<br />
(background) dari data citra negatif untuk<br />
menghilangkan informasi latar yang tidak<br />
diperlukan. Kemudian dilakukan proses segmentasi<br />
yang bertujuan untuk mengaburkan jaringan otak<br />
yang bukan tumor, sehingga yang terlihat jelas<br />
adalah pola tumor. Pada proses segmentasi ini<br />
dilakukan pengelompokan piksel ke dalam daerah<br />
menggunakan kriteria berdasarkan kemiripan nilai<br />
intensitas dan kedekatan posisi piksel yang<br />
membedakan dengan bagian citra yang lain. Karena<br />
dari hasil segmentasi citra yang masih terlihat<br />
jaringan otak non tumor, maka digunakan sistem<br />
jaringan syaraf tiruan untuk mengenali pola tumor<br />
otak. Metode pembelajaran yang digunakan pada<br />
jaringan syaraf tiruan ini adalah backpropagation<br />
(propagasi balik) yang prosedur pembelajarannya<br />
didasarkan pada hubungan yang sederhana, jika<br />
output memberikan hasil yang salah, maka<br />
pembobot dikoreksi supaya error dapat diperkecil.<br />
Dengan dikembangkannya software berbasis<br />
jaringan syaraf tiruan untuk identifikasi tumor otak<br />
ini, diharapkan dapat dengan tepat membantu dokter<br />
dalam proses diagnosa.<br />
Pengumpulan data hasil diagnosa dari dokter<br />
spesialis akan dilakukan sebanyak mungkin. Data –<br />
data tersebut digunakan oleh jaringan syaraf tiruan<br />
untuk melakukan proses pembelajaran (learning).<br />
Semakin banyak jaringan syaraf tiruan melakukan<br />
proses pembelajaran, maka akan semakin pandai<br />
mengenali pola dari penyakit stroke iskemik hasil<br />
citra otak dari MRI. Jaringan syaraf tiruan ini akan<br />
menerima masukan berupa data numerik dari<br />
struktur obyek yang mengalami proses awal dari<br />
data yaitu pengaturan dan perbaikan citra hasil dari<br />
MRI. Proses awal dari data tersebut meliputi proses<br />
scaning, proses grayscale, filter, segmentasi, dan<br />
normalisasi tingkat grayscale dari tiap segmen.<br />
Metode pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang<br />
digunakan adalah backpropagation karena metode<br />
ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang untuk<br />
F65
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
melakukan pengenalan pola (pattern recognition),<br />
klasifikasi citra, dan penerapannya di bidang<br />
diagnosa medik. Pada pengoperasian jaringan syaraf<br />
tiruan terdapat dua tahap operasi yang terpisah yaitu<br />
tahap belajar (learning) dan tahap pemakaian<br />
(mapping). Tahap belajar merupakan proses untuk<br />
mendapatkan bobot koneksi yang sesuai.<br />
Penyesuaian bobot dimaksudkan agar setiap<br />
pemberian input ke neural menghasilkan output<br />
yang dinginkan. Adapun algoritma backpropagation<br />
dapat diketahui dari serangakaian perhitungan.<br />
Dengan berdasarkan pada gambar 1 dapat diketahui<br />
bahwa masing – masing sinyal input x i akan<br />
meneruskan sinyal inputan ke semua lapisan<br />
diatasnya. Tiap hidden unit (Z j , j = 1,…,p) akan<br />
menjumlahkan bobot sinyal input.<br />
n<br />
z _ in j = voj<br />
+ ∑ xiv<br />
(3)<br />
ij<br />
i−1<br />
Output sinyal dapat diperoleh dengan<br />
menerapkan fungsi aktivasi.<br />
z = f _( z _ in )<br />
(4)<br />
j<br />
j<br />
mundur (backpropagation) perlu perhitungan<br />
kesalahan outputnya. Apabila output yang<br />
dihasilkan belum sesuai dengan apa yang<br />
diinginkan (target) maka jaringan akan<br />
menghitung error output (persamaan 7).<br />
δ = t − y ) f '( y _ in ) (7)<br />
k<br />
( k k<br />
k<br />
Kemudian dilakukan update bobot (persamaan<br />
8) dan update bias (persamaan 9).<br />
Δ w jk = αδ k z j (8)<br />
Δ wok<br />
= αδ k (9)<br />
Tiap – tiap hidden akan menjumlahkan delta<br />
input dari lapisan di atasnya.<br />
m<br />
δ _ in j = ∑δ<br />
k w jk<br />
(10)<br />
k = 1<br />
Perhitungan informasi error dengan<br />
menggunakan derivatif dari fungsi aktivasi.<br />
δ = δ _ in f '( z _ in ) (11)<br />
j<br />
j<br />
f<br />
Pengkoreksian bobot dan bias pada persamaan<br />
12 dan 13.<br />
Δ vij<br />
= αδ j xi<br />
(12)<br />
Δ w jk = αδ k z j<br />
(13)<br />
Sehingga bobot baru pada masing – masing unit<br />
output pada persamaan 14.<br />
w jk ( new)<br />
= w jk ( old)<br />
+ Δw<br />
jk (14)<br />
Gambar 1. Jaringan Backpropagation (Fauset, 1994)<br />
Unit hidden ini akan mengirimkan sinyal ke seluruh<br />
lapisan atasnya yaitu lapisan output. Tiap unit output<br />
akan menjumlahkan bobot sinyal input.<br />
p<br />
y _ ink<br />
= wok<br />
+ ∑ z jw<br />
jk<br />
(5)<br />
j = 1<br />
Dengan menerapkan fungsi aktivasi seperti pada<br />
persamaan 6.<br />
y = f y _ in )<br />
(6)<br />
k<br />
( k<br />
Tahap ini disebut tahap propagasi maju.<br />
Sedangkan proses perhitungan propagasi<br />
Bobot baru pada unit hidden pada persamaan 15.<br />
v<br />
ij ( new)<br />
= vij<br />
( old)<br />
+ Δvij<br />
(15)<br />
Proses akan diakhiri dengan menghitung<br />
kesalahan total.<br />
1<br />
E = [ ] 2<br />
2 ∑ t k − y k<br />
(16)<br />
k<br />
Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi<br />
aktivasi sigmoid biner.<br />
1<br />
f ( x)<br />
= (17)<br />
1+<br />
exp( −x)<br />
f '(<br />
x)<br />
= f ( x)[1<br />
− f ( x)]<br />
(18)<br />
F66
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
METODE PENELITIAN<br />
Dalam penelitian ini digunakan scanner untuk<br />
scanning data citra MRI yang berupa film negative.<br />
Komputer yang digunakan adalah Pentium 4 dual<br />
core dengan RAM 1 GB, sistem operasi yang<br />
digunakan Windows XP Professional. Program<br />
dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman<br />
Borland Delphi 7. Dalam bahasa pemrograman ini<br />
dapat ditampilkan beberapa form sekaligus sehingga<br />
pengguna memiliki kemudahan dalam membaca<br />
tampilan. Data diperoleh dari RSUD Dr Soetomo,<br />
yaitu berupa film negatif hasil MRI. Terdiri dari 16<br />
citra, 8 citra normal kondisi T1 (longitudinal<br />
relaxation time) dan T2 (transversal relaxation time)<br />
dan 8 citra tumor kondisi T1 dan T2 pula. Untuk<br />
kebutuhan training jaringan syaraf tiruan digunakan<br />
54 citra yang terdiri dari 24 citra normal kondisi T1<br />
(longitudinal relaxation time) dan T2 (transversal<br />
relaxation time) dan 30 citra tumor kondisi T1 dan<br />
T2 pula.<br />
Prosedur penelitian antara lain mengolah citra<br />
hasil rekaman MRI terlebih dahulu yang meliputi<br />
proses mengubah data analog MRI menjadi data<br />
digital, konversi tiga warna menjadi satu warna<br />
(grayscale), perbaikan kualitas citra melalui<br />
histogram equalisasi untuk memperbaiki kualitas<br />
citra yang dikarenakan adanya noise pada citra.<br />
Kemudian dilakukan pengolahan citra deteksi tepi<br />
(edge detection) agar diperoleh tepi gambar (frame)<br />
jaringan otak dan pola tumor. Setelah dari hasil<br />
deteksi tepi (edge detection) citra berupa tepi<br />
gambar (frame) jaringan otak beserta tumornya<br />
dilakukan pengolahan filter latar (background). Dari<br />
hasil proses filterisasi dilakukan proses segmentasi<br />
yaitu pengelompokan piksel ke dalam daerah<br />
menggunakan kriteria berdasarkan kemiripan nilai<br />
intensitas dan kedekatan posisi piksel yang<br />
membedakan dengan bagian citra yang lain. Hasil<br />
proses segmentasi ini yang digunakan sebagai input<br />
ke jaringan syaraf tiruan untuk mengetahui image<br />
yang termasuk otak normal atau otak sakit.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Jumlah data yang digunakan adalah 16 image<br />
MRI (Magnetic Resonance Imaging) hasil deteksi<br />
tepi, yang terdiri atas delapan image pasien dan<br />
delapan image normal. Lebih jelasnya lihat lampiran<br />
1, dengan menggunakan bahasa Delphi 6 yang<br />
terlebih dahulu dilakukan pengolahan image<br />
kemudian diproses dengan Jaringan Syaraf Tiruan,<br />
dengan parameter-parameter sebagai berikut :<br />
1. Parameter-parameter yang digunakan pada<br />
tahap training :<br />
Error maksimal : 1<br />
Iterasi maksimal : 10000<br />
Learning rate : 0,5<br />
Momentum : 0,9<br />
2. Parameter-parameter yang digunakan pada<br />
tahap testing :<br />
Target : 1<br />
Learning rate : 0,5<br />
Momentum : 0,9<br />
Tabel I. Rekapitulasi hasil dengan hidden satu<br />
Jumla<br />
h<br />
8<br />
Pasien<br />
4<br />
Normal<br />
Terdetek<br />
si benar<br />
Terdetek<br />
si salah<br />
0 8<br />
2 6<br />
2 14<br />
Total<br />
Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />
dengan menggunakan jumlah hidden satu adalah<br />
:<br />
%identifikasi =<br />
Σcitrateridentifikasi<br />
x100%<br />
Σcitrayangdiuji<br />
= 2/16 x 100%<br />
= 12,5%<br />
Tabel II. Rekapitulasi hasil dengan hidden dua<br />
Jumla<br />
h<br />
Terdetek<br />
si benar<br />
Terdetek<br />
si salah<br />
8<br />
Pasien<br />
7 1<br />
4<br />
Normal<br />
4 4<br />
Total 11 5<br />
Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />
dengan menggunakan jumlah hidden dua adalah<br />
:<br />
%identifikasi =<br />
Σcitrateridentifikasi<br />
x100%<br />
Σcitrayangdiuji<br />
= 11/16 x 100%<br />
= 68,75%<br />
Tabel III. Rekapitulasi hasil dengan hidden tiga<br />
Jumla<br />
h<br />
Terdetek<br />
si benar<br />
Terdetek<br />
si salah<br />
8<br />
Pasien<br />
7 1<br />
8<br />
Normal<br />
8 0<br />
Total 15 1<br />
F67
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />
dengan menggunakan jumlah hidden tiga adalah<br />
:<br />
% identifikasi =<br />
Σcitrateridentifikasi<br />
x100%<br />
Σcitrayangdiuji<br />
= 15/16 x 100%<br />
= 93,75%<br />
Berdasarkan training yang dilakukan pada Jaringan<br />
Syaraf Tiruan dengan variasi jumlah hidden dari satu<br />
sampai tiga diperoleh hubungan seperti pada<br />
Gambar 2.<br />
Grafik hubungan antara jumlah iterasi<br />
terhadap jumlah hidden<br />
kinerja dari Jaringan Syaraf Tiruan sudah optimum.<br />
Kinerja Jaringan Syaaf Tiruan optimum apabila<br />
error yang dihasilkan semakin mengecil, begitu juga<br />
sebaliknya kenerja Jaringan Syaraf Tiruan kurang<br />
optimum atau bahkan tidak optimum apabila error<br />
yang dihasilkan semakin bertambah. Dengan<br />
demikian kinerja Jaringan Syaraf Tiruan yang<br />
optimum pada penelitian ini adalah Jaringan Syaraf<br />
Tiruan dengan jumlah hidden tiga.<br />
Pasien<br />
Tabel V. Hasil normal dengan jumlah hidden tiga<br />
Jumlah Iterasi<br />
Error<br />
Training Testing Training Testing<br />
Jumlah iterasi<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
y<br />
1 7 1 0,000905652 0,000905652<br />
2 7 1 0,000857331 0,000857331<br />
0<br />
0 1 2 3 4<br />
Jumlah hidden<br />
3 7 1 0,000884686 0,000884686<br />
Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah iterasi terhadap jumlah<br />
hidden<br />
Dengan melihat grafik pada Gambar 2, maka<br />
dapat diketahui bahwa jumlah hidden tiga<br />
merupakan jumlah hidden yang optimum pada<br />
penelitian ini, karena jumlah iterasinya paling<br />
sedikit dibandingkan dengan yang lain.<br />
4 7 1 0,000910583 0,000910583<br />
5 7 1 0,000925178 0,000925178<br />
6 7 1 0,000934593 0,000934593<br />
7 7 1 0,000940655 0,000940655<br />
8 7 1 0,000863145 0,000863145<br />
Pasien<br />
Tabel IV. Hasil pasien dengan jumlah hidden tiga<br />
Jumlah Iterasi<br />
Error<br />
Training Testing Training Testing<br />
Hasil tampilan jaringan syaraf tiruan yang telah<br />
dibuat seperti pada Gambar 3 dan 4.<br />
1 7 1 0,000995066 0,000995066<br />
2 7 1 0,000999989 0,000999989<br />
3 7 1 0,000970478 0,000970478<br />
4 8 1 0,000654074 0,000654074<br />
Gambar 3. Form penampil proses segmentasi<br />
5 7 1 0,000999529 0,000999529<br />
6 8 1 0,000654054 0,000654054<br />
7 7 1 0,000968725 0,000968725<br />
8 7 1 0,000963328 0,000963328<br />
Pada Tabel IV dan V dapat diketahui bahwa error<br />
jaringan syaraf tiruan pada proses training maupun<br />
testing untuk jumlah hidden tiga memiliki error yang<br />
kecil. Kinerja Jaringan Syaraf Tiruan selain dapat<br />
dilihat dari jumlah iterasinya, bisa juga dilihat dari<br />
besarnya error yang dihasilkan. error dari<br />
banyaknya training yang dilatihkan ke Jaringan<br />
Syaraf Tiruan semakin mengecil, hal ini berarti<br />
Gambar 4. Form penampil tahap pembelajaran<br />
F68
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan<br />
sebagai berikut :<br />
1. Tingkat keberhasilan Jaringan<br />
Syaraf Tiruan dalam mengenali pola<br />
tumor atau bukan dari citra otak<br />
hasil deteksi tepi untuk jumlah data<br />
16 image adalah 93,75%.<br />
2. Konfigurasi Jaringan Syaraf Tiruan<br />
yang optimal pada penelitian ini<br />
adalah dengan menggunakan jumlah<br />
hidden tiga, dengan performansi error<br />
sebesar 0,000905652 dan<br />
konvergensi iterasi yang cepat pada<br />
saat mengenali pola tumor otak.<br />
Dengan mengetahui hasil pada<br />
penelitian ini, maka hendaknya program<br />
jaringan syaraf tiruan ini perlu dilengkapi<br />
adanya teknik otomatisasi konfigurasi<br />
Jaringan Syaraf Tiruan yang optimal secara<br />
otomatis. Disampin itu menggunakan data<br />
MRI yang lebih tinggi medan magnetnya<br />
dengan teknologi MRI yang lebih canggih<br />
sehingga bisa diperoleh data spektroskopi<br />
image yang akan menghasilkan hasil<br />
diagnosis lebih tinggi dan untuk<br />
meningkatkan kinerja jaringan syaraf tiruan<br />
menjadi 100% perlu digunakan<br />
penambahan banyak data.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih kami ucapkan kepada pihak<br />
RSUD Dr Soetomo atas kerja samanya sehingga<br />
terselesaikan penelitian ini, program PHK A2 <strong>Fisika</strong><br />
yang telah mensuport dana penelitian, serta partner<br />
penelitian Khusnul Ain dan Nurlaelatus.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ahmad, U, 2005, “Pengolahan Citra Digital, Graha<br />
Ilmu, Yogyakarta.<br />
Ain, K., Rulaningtyas, R.., 2007,<br />
“Pemanfaatan Jaringan Syaraf Tiruan<br />
untuk Pendeteksian Tingkat Stadium Tumor<br />
Otak Hasil Rekaman MRI”, Program<br />
Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA UNAIR,<br />
Surabaya.<br />
Chioruddin, I., 2002, “Deteksi Lesi pada<br />
Myelum dari Hasil Gambaran MRI dengan<br />
Jaringan Syaraf Tiruan”, Tugas Akhir,<br />
Jurusan Teknik <strong>Fisika</strong>, Fakultas<br />
Teknik Industri, ITS, Surabaya.<br />
Http://www.medicastore.com/tumorotak/med/detail_<br />
pyk.php, 25 januari 2008.<br />
Kusuma, S, D., 2004, “Membangun Jaringan<br />
Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan<br />
Excellink”, Edisi Pertama,<br />
Yogyakarta.<br />
Rasad, S., 2005, “Radiologi Diagnostik Fakultas<br />
Kedokteran Universitas Indonesia”, Edisi<br />
Kedua, Jakarta.<br />
Rulaningtyas, R., 2006, ”Penerapan Neural Network<br />
Untuk Pendeteksian Kelainan Otak Stroke<br />
Iskemik sebagai Media Pembelajaran Dokter<br />
Muda”, Riset DIPA <strong>Unair</strong>.<br />
F69
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengaruh Fungsi Kernel terhadap Stabilitas dan Akurasi Simulasi<br />
Dinamika Fluida Menggunakan Metode Smoothed Particle Hydrodynamics<br />
(SPH)<br />
Rizal Arifin 1 , Agus Naba 2 , Abdurrouf 3<br />
1,2,3 Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang<br />
Email : Rizal.Arifin@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Simulasi dinamika Fluida menggunakan metode Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH) cocok digunakan<br />
untuk kasus aliran permukaan bebas karena tidak dibatasi oleh peggunaan mesh. Ada beberapa hal yang menjadi<br />
perhatian untuk diteliti dalam penggunaan metode SPH untuk simulasi dinamika fluida, yaitu stabilitas, akurasi,<br />
dan kecepatan simulasi. Paper ini secara khusus membahas fungsi kernel dalam simulasi yang mempengaruhi<br />
stabilitas dan akurasi simulasi yang didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan. Beberapa fungsi kernel<br />
diujicobakan dalam suatu perangkat simulasi dan hasilnya dibandingkan secara kulitatif terhadap hasil simulasi<br />
lain yang dianggap sebagai suatu standar. Dari hasil penelitian, didapatkan kernel yang paling sesuai adalah<br />
kernel Quartic dengan Laplacian menggunakan kernel Viscosity.<br />
Kata kunci : simulasi, dinamika fluida, smoothed particle hydrodynamics, fungsi kernel, stabilitas,<br />
akurasi.<br />
Pendahuluan<br />
Sistem aliran fluida telah dikembangkan oleh<br />
Euler, Navier, dan Stokes yang menghasilkan<br />
persamaan Navier-Stokes. Persamaan Navier-Stokes<br />
dapat diselesaikan secara analitis untuk kasus<br />
sederhana. Namun untuk kasus yang rumit dan<br />
besar, penyelesaiannya harus menggunakan<br />
pendekatan numerik dengan bantuan komputer<br />
(Stam, 2003).<br />
Metode yang umum digunakan untuk simulasi<br />
dinamika fluida adalah metode berbasis mesh.<br />
Kelemahan dari metode berbasis mesh adalah sulit<br />
digunakan untuk kasus distorsi yang besar, material<br />
bergerak yang saling berinteraksi, batas simulasi<br />
yang berubah, dan kasus permukaan bebas (free<br />
surface) (Liu, 2003).<br />
Metode Smoothed Particle Hydrodynamics<br />
(SPH), yang merupakan salah satu metode simulasi<br />
dinamika fluida berbasis partikel, secara luas<br />
digunakan untuk simulasi permukaan bebas. Metode<br />
SPH mempunyai kelebihan berupa adanya interaksi<br />
antar sesama partikel dan antar partikel dengan<br />
bidang batas (boundary) (Hamdi, 2008).<br />
Salah satu faktor paling penting yang<br />
mempengaruhi stabilitas dan akurasi simulasi adalah<br />
penggunaan fungsi kernel yang tepat. Ada beberapa<br />
karakter penting dari fungsi kernel yang menentukan<br />
sifat fisis dari interaksi antar partikel dalam simulasi<br />
SPH (Liu dan Liu, 2003).<br />
Pada paper ini akan dibahas karakteristik<br />
beberapa fungsi kernel dengan interpretasi fisis dan<br />
ditunjukkan hasil penelitian dari penggunaan<br />
beberapa fungsi kernel dalam simulasi dinamika<br />
fluida untuk kasus breaking dam.<br />
Tujuan<br />
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk<br />
menganalisa pengaruh dari penggunaan berbagai<br />
fungsi kernel dalam simulasi dinamika fluida.<br />
Manfaat<br />
Diharapkan paper ini dapat memberikan<br />
gambaran mengenai pentingnya pemilihan fungsi<br />
kernel yang tepat untuk simulasi dinamika fluida<br />
dengan metode SPH dan hasil penelitian dapat<br />
digunakan sebagai landasan penelitian yang lebih<br />
lanjut.<br />
Dinamika Fluida<br />
Untuk analisa gerak fluida umunya digunakan<br />
persamaan Navier-Stokes (NS) yang<br />
memperhitungkan gaya-gaya dalam suatu elemen<br />
kecil fluida, seperti tegangan geser yang timbul<br />
akibat gerakan dan viskositas fluida. Secara<br />
matematis persamaan NS dituliskan sebagai berikut:<br />
dimana v, ρ, p, g, dan secara berturut-turut<br />
adalah kecepatan, kerapatan, tekanan,<br />
percepatan gravitasi, dan koefisien viskositas<br />
fluida.<br />
Persamaan 1 masih bersifat kontinyu, sehingga<br />
untuk proses komputasi perlu dilakukan diskritisasi.<br />
Motode diskritisasi dilakukan dengan memisahkan<br />
setiap suku persamaan di ruas kanan dan masing-<br />
F70
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
masing suku tersebut dimasukkan ke dalam<br />
algorithma SPH (Muller et. al., 2003).<br />
Metode SPH<br />
Metoda Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH)<br />
dikembangkan oleh Lucy dan Gingold serta oleh<br />
Monaghan untuk mensimulasikan permasalahanpermasalahan<br />
astrofisika. Meskipun demikian,<br />
metoda SPH dapat juga digunakan untuk<br />
mensimulasikan fluida. Yang menjadi daya tarik<br />
metoda SPH adalah dihilangkannya komputasi grid<br />
ketika menghitung turunan ruang (Roger, et. al.,<br />
2003).<br />
SPH merupakan suatu metoda interpolasi untuk<br />
sistem partikel. Dengan SPH, kuantitas partikel<br />
hanya didefinisikan pada posisi partikel yang dapat<br />
dievaluasi pada sebarang ruang (Müller et al., 2003).<br />
Konsep representasi integral dari fungsi f (r) yang<br />
digunakan dalam SPH dimulai dari persamaan<br />
berikut:<br />
Kondisi kedua merupakan sifat fungsi delta yang<br />
terjadi jika fungsi kernel mendekati nol yaitu:<br />
Kondisi ketiga merupakan kondisi padat:<br />
dimana merupakan sebuah konstanta yang<br />
berhubungan dengan fungsi kernel pada titik r<br />
dan memberikan definisi area efektif (tidak nol)<br />
dari fungsi kernel. Area efektif ini disebut<br />
dengan support domain untuk fungsi kernel pada<br />
titik r (Liu dan Liu, 2003).<br />
Pada tahun 1977 Lucy menggunakan fungsi<br />
kernel yang berbentuk bel, seperti ditunjukkan<br />
dalam Gambar 1<br />
di mana f merupakan fungsi dari vektor posisi r,<br />
dan δ(r – r’) adalah fungsi delta Dirac yang<br />
mempunyai definisi:<br />
Gambar 1 Kernel Quartic (Liu, 2003)<br />
Pada persaman 2, Ω merupakan batas volume dari<br />
daerah yang diliputi oleh r. Karena menggunakan<br />
fungsi delta Dirac, persamaan SPH di atas bernilai<br />
eksak, selama f(r) terdefinisi dan kontinyu dalam Ω.<br />
Fungsi Kernel<br />
Jika fungsi delta Dirac digantikan<br />
dengan fungsi kernel W(r – r’ , h) dengan<br />
h adalah radius kernel, persamaan SPH<br />
akan menjadi:<br />
Adapun persamaan matematis kernel Quartic<br />
adalah (Liu, 2003):<br />
Gradien kernel ini adalah:<br />
sedang Laplacian kernel Quartic adalah:<br />
Dalam SPH, operator aproksimasi kernel<br />
dituliskan dengan kurung lancip < >, sehingga<br />
persamaan SPH dapat dituliskan:<br />
Fungsi kernel yang digunakan biasanya<br />
merupakan fungsi genap, di mana fungsi kernel<br />
harus memenuhi beberapa kondisi. Kondisi pertama<br />
normalisasi dari fungsi kernel adalah:<br />
Monaghan pada tahun 1992 menyatakan (dalam<br />
Liu, 2003) bahwa untuk mendapatkan interpretasi<br />
fisis dari persamaan SPH, yang paling baik adalah<br />
mengasumsikan fungsi kernel sebagai Gaussian.<br />
Gingold dan Monaghan pada tahun 1977 memilih<br />
kernel Gaussian dalam Gambar 2 untuk<br />
mensimulasikan bintang yang tidak bulat.<br />
F71
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 2 Kernel Gaussian (Liu, 2003)<br />
Fungsi kernel Quartic dan Gaussian merupakan<br />
fungsi kernel yang biasa digunakan dalam simulasi<br />
dinamika fluida dengan metode SPH (Liu, 2003).<br />
Selain itu laplacian fungsi kernel juga memegang<br />
peranan penting dalam simulasi, fungsi kernel yang<br />
umum digunakan mempunyai nilai laplacian negatif<br />
yang dapat mengganggu kestabilan hasil. Untuk<br />
mengatasinya telah didesain kernel viscosity yang<br />
laplaciannya bernilai positif<br />
Gambar 3. Kernel Viscosity (Muller et. al., 2003)<br />
Metode Komputasi<br />
Metode komputasi yang digunakan merupakan<br />
metode standar yang diusulkan oleh Muller et. al.<br />
dengan modifikasi pada fungsi kernel. Adapun<br />
diagram alir dari metode komputasi yang<br />
diimplementasikan pada penelitian ini adalah<br />
Inisialisasi<br />
Parameter<br />
Simulasi<br />
Output<br />
(Animasi 3D)<br />
Menghitung<br />
Densitas<br />
dan Tekanan<br />
Menghitung<br />
Gaya<br />
Internal<br />
Render<br />
Partikel<br />
Menghitung<br />
Gaya<br />
Eksternal<br />
Integrasi<br />
Waktu<br />
Gambar 4. Diagram Alir Proses Komputasi (Arifin, 2010)<br />
Keluaran dari proses simulasi adalah berupa<br />
output animasi 3 dimensi, selanjutnya dalam selang<br />
waktu tertentu akan diambil screenshoot dari<br />
animasi tersebut dan dibandingkan dengan hasil dari<br />
Abdolmaleki et. al. yang menggunakan perangkat<br />
lunak standar Fluent sebagai standar.<br />
Dengan mensubtitusikan bagian tekanan dari<br />
persamaan Navier-Stokes ke dalam persamaan SPH<br />
maka didapatkan persamaan gaya akibat tekanan:<br />
dengan p merupakan tekanan dari partikel.<br />
Dengan cara yang sama diperoleh persamaan<br />
gaya akibat viskositas:<br />
dimana v i merupakan kecepatan partikel dan<br />
adalah koefisien viskositas fluida. Tekanan P i<br />
dihitung dengan persamaan:<br />
dimana C merupakan konstanta kekakuan fluida dan<br />
adalah kerapatan fluida saat diam.<br />
Percepatan fluida diberikan oleh persamaan<br />
yang merupakan gabungan dari persamaan gayagaya<br />
yang terjadi pada fluida:<br />
Gambar 5 Hasil simulasi dam jebol dengan NS Solver dengan<br />
waktu a: τ = 0; b: τ = 2,02; c: τ = 4,04; d: τ = 5,46<br />
(Abdolmaleki, et. al., 2004)<br />
Gambar 5 menunjukkan hasil dari Abdolmaleki<br />
dengan menggunakan perangkat lunak berbayar NS<br />
Solver yang berbasis meshgrid.<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Persamaan 12 mensyaratkan adanya tumbukan<br />
partikel dalam suatu kerapatan partikel yang<br />
besarnya diatur oleh gradien dari fungsi kernel W.<br />
Syarat ini memberikan konsekwensi bahwa, jika<br />
partikel berada dalam kondisi sangat rapat maka<br />
tumbukan yang terjadi akan semakin besar, namun<br />
besarnya gaya reaksi partikel akan sangat<br />
bergantung kepada kondisi gradien W pada<br />
saat kerapatan tersebut.<br />
Hasil simulasi dengan menggunakan kernel<br />
Gaussian ditunjukkan pada gambar 6.<br />
di mana gaya eksternal merupakan gaya dari luar<br />
fluida seperti gaya gravitasi dan volum fluida<br />
dianggap konstan (Müller et. al., 2005).<br />
F72
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
,<br />
Gambar 6. Hasil Simulasi dengan Menggunakan Kernel Gaussian<br />
Dari grafik kernel Gaussian pada gambar 1 dapat<br />
dilihat bahwa semakin besar kerapatan partikel<br />
berarti semakin berdekatan jarak antar partikel.<br />
Kondisi real simulasi mensyaratkan adanya<br />
peningkatan gaya reaksi yang berupa gaya tolak<br />
antar partikel seiring dengan bertambahnya<br />
kerapatan partikel.<br />
Nilai gradien fungsi kernel Gaussian pada saat<br />
nilai kerapatan rendah bernilai sangat kecil (menuju<br />
nol) yang memberikan makna tidak adanya<br />
interaksi antar partikel pada kerapatan yang<br />
rendah. Akan tetapi kondisi tersebut tidak selamanya<br />
baik, karena untuk fluida yang bukan berupa gas<br />
ideal membutuhkan suatu syarat yang membuat<br />
fluida tidak menyebar, dan untuk memenuhi<br />
syarat tersebut digunakan potensial Lennard-Jones.<br />
Nilai gradien fungsi kernel naik seiring<br />
bertambahnya kerapatan, namun ternyata nilainya<br />
turun secara cepat pada saat kerapatan sangat<br />
tinggi bahkan menjadi nol ketika kerapatannya<br />
massif, hal inilah yang membuat terganggunya<br />
kestabilan simulasi berupa tidak adanya interaksi<br />
ketika partikel sangat rapat sehingga partikel akan<br />
saling menempel satu sama lain yang dapat dilihat<br />
pada gambar 4 sebagai hasil simulasi dengan fungsi<br />
kernel Gaussian.<br />
Laplacian dari fungsi kernel diperlukan untuk<br />
menangani gaya akibat viskositas yang merupakan<br />
hasil dari kecepatan relatif antara partikel. Laplacian<br />
dari kernel yang biasa digunakan umumnya bernilai<br />
negatif negatif yang sebenarnya merupakan murni<br />
hasil perhitungan matematis. Namun demikian,<br />
keadaan ini dapat mengganggu hasil simulasi<br />
karena nilai negatif akan membuat arah gaya<br />
berlawanan dengan arah gaya yang lain dan dapat<br />
mengurangi resultan gaya yang bekerja pada<br />
masing-masing partikel, sehingga gerak partikel<br />
menjadi lebih lambat. Gambar 7 merupakan hasil<br />
simulasi dengan menggunakan kernel Quartic tanpa<br />
modifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan<br />
hasil simulasi dengan kernel Gaussian<br />
Gambar 7. Hasil Simulasi dengan Menggunakan<br />
Kernel Quartic<br />
Dari gambar 7 dapat dilihat bahwa tidak ada riak<br />
seperti pada hasil dari Abdolmaleki, et. al., yang<br />
dimungkinkan terjadi karena gaya yang berkerja<br />
pada partikel-partikel simulasi kurang besar.<br />
Sehingga untuk mengatasinya, digunakan kernel<br />
Viscosity sebagai laplacian. Gambar 8 menunjukkan<br />
hasil modifikasi dari kernel Quartic sebagai kernel<br />
utama dan kernel Viscosity sebagai laplacian,<br />
Gambar 8. Hasil simulasi dengan menggunakan<br />
kernel Quartic sebagai kernel utama dan kernel<br />
viscosity sebagai laplacian<br />
Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa partikelpartikel<br />
lebih beriak yang mengindikasikan bahwa<br />
gaya antar partikel lebih besar daripada gaya pada<br />
kernel Quartic murni dan hasil tersebut<br />
menunjukkan kesesuaian dengan hasil Abdolmaleki<br />
et. al..<br />
Kesimpulan<br />
Fungsi kernel sangat mempengaruhi kestabilan<br />
hasil simulasi dinamika fluida dengan metode SPH<br />
yang mana dengan memodifikasi fungsi kernel<br />
utama dan laplacian menggunakan kernel Quartic<br />
dan Viscosity didapatkan hasil simulasi yang<br />
bersesuaian dengan pembanding.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Sugeng<br />
Rianto atas idenya mengenai simulasi dinamika<br />
fluida.<br />
F73
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Daftar Pustaka<br />
Abdolmaleki K., Thiagarajan K. P., dan Morris-<br />
Thomas M. T. (2004), Simulation of The<br />
Dam Break Problem and Impact Flows Using<br />
a Navier-Stokes Solver, 15 th Australasian<br />
Fluids Mechanics Conference. Sydney,<br />
Australia<br />
Arifin, Rizal, Agus Naba, dan Abdurrouf (2010),<br />
Simulasi Dinamika Fluida Menggunakan<br />
Metoda Smoothed Particle Hydrodynamics<br />
(SPH), Paper pada Proceeding Seminar<br />
Nasional Basic Science Universitas<br />
Brawijaya Malang 2010, LB-02.<br />
Hamdi, Khairul (2008), Implementasi Sistem<br />
Partikel Menggunakan Metoda Smoothed<br />
Paticle Hydrodynamics (SPH) untuk Simulasi<br />
Aliran Lava, Tesis Master Fakultas Teknik<br />
Institut Teknologi Bandung.<br />
Liu, G. R. (2003), Meshfree Methods: Moving<br />
beyond the Finite Element Method, CRC<br />
Press. USA.<br />
Liu, G. R. dan M. B. Liu (2003), Smoothed Particle<br />
Hydrodynamics: a Meshfree Particle Method,<br />
World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.<br />
Singapore.<br />
Müller, Mattias, David Charypar, dan Markus Gross<br />
(2003), Particle-Based Fluid Simulation for<br />
Interactive Applications, Jurnal pada<br />
Eurographics/SIGGRAPH Symposium on<br />
Computer Animation (2003).<br />
Stam, Jos. (2003). Real-Time Fluid Dynamics for<br />
Games. Paper. Canada.<br />
F74
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Kajian Teoretik dan Pemodelan Matematis Dark Energy Berdasarkan<br />
Persamaan Friedmann<br />
Satriyaji Wibisono 1 , Adri Supardi 2 , Febdian Rusydi 3<br />
1,2,3 Grup <strong>Fisika</strong> Teoretik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : satriyaji@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Ditinjau dari hasil pengamatan Supernova tipe Ia (1998) menggunakan Hubble Space Telescope (HST) yang<br />
dilakukkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan bahwa Alam Semesta<br />
mengalami ekspansi berakselersi positif. Akselerasi positif ini diduga disebabkan oleh keberadaan dark energy<br />
yang mendominasi komposisi Alam Semesta saat ini. Dugaan ini diperkuat oleh hasil pengamatan satelit<br />
Wilkinson Microwave Anisotropic Probe (WMAP) yang menunjukkan 74 % komposisi Alam Semesta berupa<br />
dark energy, 22 % berupa dark matter dan 4 % berupa materi yang tersusun oleh atom - atom yang kita kenal.<br />
Tujuan penelitian ini adalah memodelkan dark energy secara matematis sebagai konstanta kosmologi<br />
menggunakan persamaan Friedmann dengan potensial antigravitasi. Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan<br />
bahwa potensial antigravitasi dapat digunakan sebagai model sederhana dari dark energy.<br />
Kata kunci : dark energy, akselerasi positif, WMAP, supernova.<br />
P<br />
ENDAHULUAN<br />
Alam Semesta kita mengalami ekspansi. Seperti<br />
dua buah titik yang berada di permukaan kulit balon,<br />
ketika balon ditiup maka dua buah titik tadi saling<br />
menjauh. Informasi yang dikirim oleh titik pertama<br />
mengalami perubahan posisi karena efek Doppler --<br />
yang dalam astronomi disebut Redshift. Publikasi<br />
observasi Edwin Hubble pada tahun 1929 terhadap<br />
sejumlah galaksi-galaksi tetangga Bima Sakti<br />
menunjukkan bahwa galaksi-galaksi tersebut benarbenar<br />
menjauhi kita [Ryden, 2003 dan Gupen,<br />
2005].<br />
Ekspansi tersebut sudah diduga oleh Einstein<br />
jauh sebelum Hubble menyaksikannya. Einstein<br />
menyadari, baik teori Relativitas Umumnya maupun<br />
mekanika Newtonian menyepakati Alam Semesta<br />
yang didominasi oleh materi nonrelativistik akan<br />
mengalami ekspansi atau konstraksi, ber-gantung<br />
pada bagaimana permulaan dari Alam Semesta ini.<br />
Lebih jauh, kedua teori ini memberikan bukti<br />
matematis bahwa Alam Semesta tidak hanya sekedar<br />
mengalami ekspansi, tapi juga aselerasi. Dengan<br />
kata lain, versi mekanika Newtonian ataupun versi<br />
Relativitas Umum, sama-sama sepakat bahwa kita<br />
hidup dalam Alam Semesta yang dinamis.<br />
Einstein meyakini Alam Semesta yang statik;<br />
untuk itu, dia merevisi teori medan gravitasinya<br />
pada tahun 1917 (dua tahun setelah teori medan<br />
gravitasi pertama dipublikasi) dengan penambahan<br />
sebuah suku yang bertugas mengkompensasi<br />
kedinamisan tersebut: lambda, atau konstanta<br />
kosmologi. Hanya saja, suku lambda ini justru<br />
semakin menguatkan bukti bahwa ada komponen<br />
lain di Alam Semesta yang berperilaku sebagai<br />
antigravitasi dan mengakibatkan ekspansi<br />
beraselerasi positif. Setelah publikasi Hubble tahun<br />
1929 tersebut, Einstein menghilangkan lambda<br />
dalam persamaan medannya.<br />
Tahun 1998, National Aeronautics and Space<br />
Administration (NASA) melaporkan hasil<br />
pengamatan Supernova tipe Ia oleh Space Hubble<br />
Telescope bahwa memang benar Alam Semesta kita<br />
sekarang mengalami ekspansi berakselerasi positif<br />
[Riess, 1988 dan Perlmutter, 1999]. Konstanta<br />
kosmologi kembali menjadi isu hangat karena secara<br />
teoretik kontanta kosmologi ini sangat masuk akal<br />
untuk menjelaskan perilaku akselerasi ini. Konstanta<br />
kosmologi berlahan-lahan mengisi dan mendominasi<br />
dimensi ruang-waktu Alam Semesta kita, melawan<br />
kekuatan gravitasi yang bersumber dari total materi<br />
di Alam Semesta. Kekuatan " negatif " ini kemudian<br />
disebut sebagai dark energy.<br />
Tahun 2003, satelit Wilkinson Microwave<br />
Anisotropic Probe (WMAP) melaporkan hasil<br />
observasinya terhadap ketidakseragaman temperatur<br />
pada latar gelombang radio kosmik (cosmic<br />
microwave background) [Bennett, 2003]. Satelit<br />
yang meneruskan misi satelit Cosmic Bacground<br />
Explorer (COBE) ini memaparkan komposisi Alam<br />
Semesta: Alam Semesta terdiri dari 74% dark<br />
energy, 22 % dark matter, dan sisanya 4 % materi<br />
yang tersusun oleh atom-atom yang kita kenal.<br />
Bersama dark matter, dark energy menjadi isu panas<br />
dalam perkembangan sains modern. Apa sebenarnya<br />
dark energy, bagaimana sifat-sifatnya, apa<br />
wujudnya, berapa sesungguhnya kekuatannya,<br />
F75
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
hingga bagaimana cara mendeteksinya adalah<br />
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi motivasi<br />
banyak riset-riset kelas dunia<br />
Paper ini mengulas secara teoretik keberadaan<br />
dark energy yang berasal dari konstanta kosmologi.<br />
Untuk itu dalam peper ini akan membahas tentang<br />
Teori Relativitas Umum Einstein yang dilengkapi<br />
suku lambda dan solusinya yang dilakukan oleh<br />
Alexander Fiedmann pada tahun 1929.<br />
Relativitas Umum<br />
Prinsip kosmologi modern yang dipakai saat ini<br />
berdasarkan pada teori relativitas umum (General<br />
relativity), yang dipublikasikan oleh Albert Einstein<br />
tahun 1915. Relativitas umum menjelaskan<br />
bagaimana mekanisme medan gravitasi bekerja.<br />
Untuk menjelaskan mekanisme ini, Einstein<br />
mengasumsikan bahwa alam semesta bersifat statis<br />
dan tidak bergantung waktu [Ryden, 2003]. Akan<br />
tetapi, asumsi ini tidak sesuai dengan persamaan<br />
medan gravitasi. Oleh karena itu, Einstein<br />
menambahkan suku konstanta kosmologi pada<br />
persamaan medan gravitasinya sehingga hasil<br />
modifikasi persamaan medan gravitasi [Misner and<br />
et al., 1972] adalah<br />
(1)<br />
Suku adalah tensor Einstein (dengan dimensi<br />
) , adalah tensor stress-energi (dengan<br />
dimensi ) dan adalah konstanta kosmologi<br />
(dengan dimensi ). Indeks dan<br />
menunjukkan system koordinat waktu – ruang yang<br />
berjalan dari 0,1,2,3. Indeks “0” menunjukkan<br />
koordinat waktu sedangkan “1,2,3” menunjukkan<br />
koordinat ruang.<br />
Persamaan (1) tersusun atas dua buah komponen<br />
yaitu, komponen pertama yaitu kerapatan massa<br />
yang dideskripsikan oleh tensor stress – energy.<br />
Tensor ini diberikan oleh matrik kerapatan<br />
energy dan didefinisikan [Dalarrson, 2005]<br />
sebagai,<br />
(2)<br />
Dalam kerangka yang bergerak, fluida kosmik<br />
yang diam mempunyai dan<br />
. Karena berdasarkan hasil<br />
pengamatan bahwa p
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
(8)<br />
variabel R adalah parameter ekspansi Alam<br />
Semesta, adalah kelajuan ekspansi Alam Semesta,<br />
G adalah konstanta universal gravitasi<br />
Newton(berdimensi N ), adalah<br />
kerapatan total Alam Semesta (berdimensi kg )<br />
dan adalah konstanta kosmologi (berdimensi<br />
).<br />
Persamaan (7) dan (8) ini dikenal sebagai<br />
persamaan Friedmann. Persamaan Friedmann ini<br />
merupakan solusi persamaan medan gravitasi<br />
Einstein yang dapat menjelaskan fenomena fisis dari<br />
dinamika Alam Semesta. Saat ini untuk masa<br />
kosmologi yang memiliki sifat homogen dan<br />
isotropis maka kerapatan total Alam Semesta<br />
dengan gaya gravitasi. Potensial antigravitasi ini<br />
adalah,<br />
(10)<br />
Kerena secara sederhana Alam Semesta ini<br />
digambarkan seperti sebuah bola bermassa M<br />
dan pada permukaan bola berjarak r dari titik<br />
pusat bermassa m, seperti gambar 2. Maka<br />
massa yang diliputi bola berjejari r adalah M =<br />
dan r = R. sehingga bentuk<br />
potensial antigravitasi dalam suku menjadi,<br />
(11)<br />
tersusun atas materi<br />
dan radiasi<br />
sehingga persamaan (7) menjadi,<br />
Persamaan (9).<br />
Persamaan (9) inilah yang dikenal sebagai<br />
pesamaan Friedmann Umum [Misner and et<br />
al.,1972]. Persamaan Friedmann umum ini<br />
terdiri atas suku energi kinetik, energi potensial<br />
dan energi total. Menurut Einstein penambahan<br />
suku yang ada pada energi potensial<br />
bertujuan untuk membuat persamaan medan<br />
gravitasi tidak memberikan solusi yang dinamis<br />
pada Alam Semesta, akan tetapi pada<br />
kenyataannya penambahan suku ini justru<br />
mempercepat ekspansi Alam Semesta. Suku<br />
inilah yang diyakini oleh fisikawan di dunia<br />
merupakan kandidat dari dark energy.<br />
Pemodelan Dark Energy<br />
Dark energy merupakan suatu fenomena Alam<br />
Semesta yang menakjubkan. Kehadiran dark energy<br />
telah menyebabkan Alam Semesta yang sebelumnya<br />
diperkirakan akan mengalami deakselerasi akibat<br />
pengaruh gaya gravitasi dari materi, ternyata<br />
menyebabkan ekspansi Alam Semesta semakin<br />
mengalami akselerasi. Berdasarkan bukti teoretik,<br />
dark energy ini diperkirakan mempunyai sifat<br />
bertekanan negatif dan melawan gaya gravitasi<br />
[Ryden, 2003]. Dari perkiraan tersebut kemudian<br />
kami mencoba memodelkan secara sederhana dark<br />
energy tersebut menggunakan potensial dari gaya<br />
antigravitasi. Hal ini dikarenakan potensial<br />
antigravitasi mempunyai sifat yang sama dengan<br />
dark energy yaitu bertekanan negatif dan berlawanan<br />
Gambar 2. Grafik distribusi massa<br />
Kemudian memasukkan potensial antigravitasi<br />
ini pada suku kedua dari energi potensial pada<br />
persamaan (9) sehingga menjadi,<br />
(12)<br />
Karena fenomena dark energy muncul ketika<br />
Alam Semesta mulai didominasi oleh materi, yang<br />
mana berdasarkan hasil pengamatan yang<br />
dilakukkan oleh NASA menunjukkan bahwa<br />
>>> maka kerapatan massa pada<br />
persamaan (11) menjadi<br />
dan<br />
kita bisa mengabaikan suku kerapatan radiasi. Oleh<br />
karena itu , persamaan (12) menjadi,<br />
(13)<br />
Untuk membuktikan bahwa potensial gravitasi<br />
dapat dijadikan model sederhana dari dark energy<br />
maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan<br />
adalah mencari solusi dari persamaan (13) ini untuk<br />
nilai kurvatur Alam Semesta k=1, k=-1 dan k=0. Hal<br />
ini dikarenakan nilai-nilai kurvatur ini telah diyakini<br />
dapat menggambarkan berbagai model untuk Alam<br />
Semesta dari persamaan friedmann tanpa pengaruh<br />
dari adanya konstanta kosmologi.<br />
Untuk k = 1<br />
Persamaan (13) menjadi,<br />
F77
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Setelah mendapatkan persamaan (14), kemudian<br />
masing - masing ruas diintegralkan menjadi,<br />
(15)<br />
Untuk menyelesaikan persamaan (15) maka<br />
ditulis dalam suku conformal time yakni,<br />
(19)<br />
Persamaan (18) mendefinisikan faktor ekspansi<br />
(R) dengan parameter . Jika kita korelasikan<br />
antara factor ekspansi terhadap waktu kosmik dalam<br />
sebuah grafik maka akan didapatkan sebuah fungsi<br />
yang cyclic,seperti gambar 3. Persamaan (18) dan<br />
(19) serta gambar 3 secara fisis mempunyai arti<br />
bahwa ekspansi Alam Semesta dimulai pada waktu<br />
kosmik t = 0 ( ) dengan radius R = 0 dan<br />
ekspansi Alam Semesta akan mencapai titik<br />
maksimum pada t = ( ). Setelah<br />
mencapai titik maksimum maka kecepatan ekspansi<br />
Alam Semesta akan mengalami deakselerasi yang<br />
menyebabkan Alam Semesta mengalami kontraksi<br />
sehingga radiusnya menjadi nol pada t =<br />
( ).<br />
adalah usia maksimum dari Alam Semesta<br />
yang dapat diprediksi dari persamaan (19) yaitu,<br />
sehingga persamaan (15) menjadi,<br />
dengan<br />
(16)<br />
dan A didefinisikan sebagai,<br />
(17)<br />
Sehingga persamaan (16) menghasilkan,<br />
Gambar 3. Ilustrasi model Alam Semesta<br />
untuk k = 1<br />
Untuk k = -1<br />
Persamaan (13) menjadi,<br />
(18)<br />
Sedangkan dari definisi conformal time akan<br />
diperoleh waktu kosmik,<br />
F78
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Setelah mendapatkan persamaan (20), kemudian<br />
masing - masing ruas diintegralkan menjadi,<br />
(25)<br />
Persamaan (24) mendefinisikan faktor ekspansi<br />
(R) dengan parameter . Jika kita korelasikan<br />
antara factor ekspansi terhadap waktu kosmik dalam<br />
sebuah grafik maka akan didapatkan hasil seperti<br />
gambar 4.<br />
(21)<br />
Untuk menyelesaikan persamaan (21) maka<br />
ditulis dalam suku conformal time yakni,<br />
dengan<br />
sehingga persamaan (21) menjadi,<br />
(22)<br />
dan B didefinisikan sebagai,<br />
(23)<br />
Gambar 4. Ilustrasi model Alam Semesta<br />
untuk k = 1<br />
Persamaan (24) dan (25) serta gambar 4<br />
mempunyai arti bahwa ketika t = 0( = 0) maka<br />
R=0, ini berarti bahwa secara fisis model ini<br />
menggambarkan Alam Semesta mulai mengalami<br />
ekspansi. Sedangkan ketika t ( ) maka<br />
. Ini secara fisis mempunyai arti bahwa<br />
Alam Semesta akan selalu mengalami ekspansi<br />
secara terus menerus.<br />
Untuk k = 0<br />
Persamaan (13) menjadi,<br />
Sehingga persamaan (22) menghasilkan,<br />
(26)<br />
dengan<br />
dan x didefinisikan sebagai,<br />
(24)<br />
Sedangkan dari definisi conformal time akan<br />
diperoleh waktu kosmik,<br />
(27)<br />
Sehingga persamaan (26) menghasilkan,<br />
F79
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
(28)<br />
Dari persamaan (28) dapat diketahui bahwa<br />
. Ini berarti secara matematik mempunyai<br />
arti bahwa ketika nilai t = 0 maka nilai R = 0.<br />
Sedangkan ketika nilai maka nilai R .<br />
Jika kita korelasikan antara factor ekspansi terhadap<br />
waktu kosmik dalam sebuah grafik maka akan<br />
didapatkan hasil seperti gambar 5.<br />
Gambar 5. Ilustrasi model Alam Semesta<br />
untuk k = 0<br />
Persamaan (28) dan gambar 5 jika kita kaitkan<br />
dengan fenomena Alam Semesta maka secara fisis<br />
persamaan (28) dan gambar 5 ini dapat menjelaskan<br />
bahwa Alam Semesta selalu mengalami ekspansi<br />
secara terus menerus.<br />
Untuk ketiga solusi diatas jika kita bandingkan<br />
dengan solusi persamaan Friedmann biasa<br />
[Terzi ,B., 2008] yakni,<br />
Untuk k =1<br />
dan,<br />
dimana<br />
Untuk k = -1<br />
dan,<br />
dimana<br />
Untuk k = 0<br />
dimana<br />
maka jika kita perhatikan secara seksama nilai<br />
, dengan nilai A, B dan x dari solusi<br />
persamaan (18), (19), (24), (25) dan (28) maka nilai<br />
A, B dan x bernilai 2 kali lipat lebih besar. Nilai A,<br />
B dan x lebih besar berarti secara matematis nilai<br />
gradiennya akan lebih besar. Nilai gradien dari<br />
korelasi antara factor ekspansi terhadap waktu<br />
kosmik secara fisis menggambarkan kecepatan. Dan<br />
jika gradiennya semakin besar maka kecepatannya<br />
akan menjadi lebih besar. Ini berarti adanya<br />
pengaruh dark energy menyebabkan kecepatan<br />
ekspansi Alam Semesta semakin cepat dengan<br />
akselerasi positif. Sehingga dari ketiga hasil solusi<br />
diatas menguatkan dugaan bahwa potensial<br />
antigravitasi dapat dijadikan model sederhana dari<br />
dark energy.<br />
Kesimpulan<br />
Potensial antigravitasi dapat dijadikan sebagai<br />
model sederhana dari dark energy. Hal ini<br />
dikarenakan adanya pengaruh potensial antigravitasi<br />
menyebabkan laju ekspansi Alam Semesta<br />
mengalami akselerasi positif, seperti yang tergambar<br />
pada gambar 3, 4 dan 5. Selain itu potensial<br />
antigravitasi mempunyai sifat bertekanan negatif dan<br />
berlawanan dengan gaya gravitasi sesuai dengan<br />
dugaan sifat dari dark energy.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada<br />
Bapak Febdian Rusydi dan Bapak Adri Supardi yang<br />
telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam<br />
membantu penulis menyelesaikan paper ini. Tak<br />
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada<br />
teman – teman grup fisika teoretik PHOTON atas<br />
dukungannya selama ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
A. Purwanto. (2009), Pengantar kosmologi, ITS<br />
Press, Surabaya.<br />
A. Riess and et al.(1988), Astronomical Journal,<br />
116.<br />
B. Ryden. (2003), Introduction to Cosmology,<br />
AddisonWesley.<br />
B. Terzi .(2008), PHYS 652 – Astrophysics.<br />
C. Bennett and et al.(2003), First Year Wilkinson<br />
Microwave Anisotropic Probe (WMAP)<br />
observation: Preliminary maps and basic<br />
results. arXiv:astroph/0302207v3.<br />
C. Misner and et al. (1972), Gravitation. W.H.<br />
Freeman and Company, San Francisco.<br />
D. Mc Mahon. (2006), Relativity Demystified.<br />
McGraw - Hill.<br />
M. Dalarrson and N. Dalarrson. 2005, Tensor<br />
Calculus, Relativity, and Cosmology.<br />
Elsevier Academic Press.<br />
S. Perlmutter and et al. 1999, Astrophysical<br />
Journal, 517.<br />
F80
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Frekuensi Kemunculan Badai Geomagnet<br />
Saat Matahari Aktif<br />
Sity Rachyany 1<br />
1 Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa<br />
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN-Bandung<br />
Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung - 40173<br />
e-mail: rachyan_mei@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Gangguan geomagnet atau badai geomagnet merupakan fenomena alam yang terjadi karena dipicu oleh aktivitas<br />
matahari, seperti CME (Coronal Mass Ejection), CH (Coronal Holes) atau Flare, ledakan matahari. Terjadinya<br />
badai geomagnet ditunjukkan dengan adanya penurunan intensitas indeks Dst (Disturbanced storm time) sebagai<br />
indikator badai geomagnet. Indeks Dst adalah suatu ukuran magnet global yang menunjukkan ada tidaknya<br />
gangguan di daerah lintang rendah atau ekuator. Dalam makalah ini akan dibahas distribusi terjadinya badai<br />
geomagnet dengan menggunakan indeks Dst dengan intensitas < -100 nanoTesla. Dengan mengolah dan<br />
menganalisis data indeks Dst pada tahun 2000 hingga 2001 saat matahari aktif, menggunakan metoda distribusi<br />
Poisson dan Chi-kuadrat. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi terjadinya badai geomagnet mengikuti<br />
distribusi Poisson.<br />
Keywords— Badai geomagnet, indeks Dst dan distribusi Poisson<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Gangguan geomagnet atau yang dikenal dengan<br />
badai geomagnet merupakan fenomena alam yang<br />
terjadi karena adanya interaksi antara angin matahari<br />
dengan kecepatan tinggi dengan magnetosfer<br />
bersamaan dengan medan magnet antar planet arah<br />
selatan. Hal ini terjadi karena dipicu oleh aktivitas<br />
matahari, seperti CME (Coronal Mass Ejection), CH<br />
(Coronal Holes) atau Flare, ledakan matahari.<br />
Matahari merupakan sumber energi namun juga<br />
menjadi sumber gangguan bagi bumi dan<br />
lingkungan antariksa di sekitarnya. Aktivitas<br />
matahari ditandai dengan adanya suspot. Apabila<br />
jumlah sunspot dipermukaan matahari banyak<br />
berarti aktivitas matahari tinggi, begitu pula<br />
sebaliknya. Aktivitas matahari mempunyai siklus 11<br />
tahun, seperti yang terlihat pada Gambar 1 berikut:<br />
Bil. Sunspot<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
1951 54<br />
57<br />
Siklus Matahari 1951-2008<br />
64<br />
68<br />
79<br />
76<br />
86<br />
Waktu (Tahun)<br />
89<br />
96<br />
2000<br />
Gbr 1. Siklus matahari tahun 1951 hingga 2008<br />
Gambar 1. menunjukkan siklus matahari yang ditunjukkan<br />
dengan jumlah bilangan sunspot bulanan mulai dari tahun 1951<br />
hingga 2008 yang di awali dengan siklus 19, 20,21, 22 dan siklus<br />
23. Dari setiap siklus dapat dibedakan menjadi aktivitas matahari<br />
tenang dan aktivitas matahari aktif.<br />
2008<br />
Indeks Disturbanced storm time atau disingkat<br />
dengan Dst merupakan indeks magnet global yang<br />
menggambarkan respons aktivitas matahari dalam<br />
kondsi tenang maupun terganggu. Indeks Dst ini<br />
diperoleh dari hasil perhitungan gabungan dari<br />
beberapa tempat di lintang rendah, seperti Indonesia.<br />
Indeks magnet global Dst adalah indikator dari<br />
gangguan geomagnet atau yang dikenal dengan<br />
badai geomagnet.<br />
Dari hasil monitoring indeks Dst geomagnet pada<br />
saat aktivitas matahari tenang sering sekali terjadi<br />
perubahan intensitas di sekitar -30 hingga 50 nT,<br />
kadang-kadang sekitar 70 nT atau di atas -100 nT,<br />
yaitu termasuk badai geomagnet lemah dan sedang.<br />
Berdasarkan intensitas indeks Dst dapat di bedakan<br />
dalam 4 kelas, yaitu kelas 1 disebut badai geomagnet<br />
lemah dengan intensitas -50 nT < Dst < -30 nT,<br />
kelas 2 disebut badai geomagnet sedang dengan<br />
intensitas -100 nT < Dst < -50 nT, kelas 3 disebut<br />
badai geomagnet kuat dengan intensitas -200 nT <<br />
Dst < -100 nT, dan yang terakhir, kelas 4 disebut<br />
badai geomagnet sangat kuat dengan intensitas Dst <<br />
-200 nT [1]. Untuk itu, pada tulisan ini akan dikaji<br />
kejadian badai yang sangat besar dan jarang terjadi<br />
dengan menggunakan model distribusi Poisson.<br />
II. DATA DAN METODA<br />
Data yang digunakan untuk keperluan penelitian<br />
ini adalah data indeks Dst dengan intensitas lebih<br />
kecil dari -100 nanoTesla yang diperoleh dari [3]<br />
dan [4] situs internet dengan alamat<br />
http://www.swdcdb.kugi.kyoto-u.ac.jp pada tahun<br />
2000 hingga 2001 saat matahari aktif.<br />
F81
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Metoda yang digunakan adalah metoda statistik,<br />
distribusi Poisson dan Chi-kuadrat. Secara statistik<br />
suatu keadaan atau peristiwa yang tidak kontinu atau<br />
peristiwa diskrit dan jarang terjadi biasanya<br />
digunakan model distribusi Poisson [2] yang<br />
diformulasikan sebagai:<br />
−λ x<br />
e λ<br />
p(<br />
x)<br />
=<br />
x!<br />
(II-1)<br />
dengan<br />
x = 0, 1, 2, … ,<br />
e = 2,71828<br />
λ = rata − rata > 0<br />
E(<br />
x)<br />
=<br />
−λ<br />
x<br />
e λ<br />
x<br />
x<br />
(II-2)<br />
=<br />
=<br />
∑ ∞<br />
x=<br />
0 !<br />
e<br />
λ<br />
λ<br />
∞ −λ<br />
x<br />
∞ x<br />
−λ<br />
∑ = e ∑<br />
x=<br />
1 ( x −1)!<br />
x=<br />
1 ( x −1)!<br />
∑ ∞ x−1<br />
−λ<br />
λ<br />
e . λ<br />
x=<br />
1 ( x −1)!<br />
2 3<br />
⎛<br />
⎞<br />
= − λ λ λ λ<br />
e . λ<br />
⎜1+<br />
+ + + ...<br />
⎟<br />
⎝ 1! 2! 3! ⎠<br />
= e −λ . λ.<br />
e<br />
λ = λ<br />
E(x)<br />
= λ atau : Rata-rata = λ (II-3)<br />
E{<br />
x(<br />
x −1)}<br />
=<br />
Maka:<br />
= e<br />
= e<br />
E (x 2 ) = λ 2 + λ<br />
Sehingga:<br />
e<br />
λ<br />
∑ ∞ −λ<br />
x<br />
x(<br />
x −1)<br />
x=<br />
1 λ!<br />
−λ<br />
∑ ∞<br />
x=<br />
−λ<br />
. λ<br />
x<br />
λ<br />
2 ( x − 2)!<br />
2<br />
∑ ∞<br />
x=<br />
2<br />
= e<br />
− e<br />
x−2<br />
λ<br />
( x − 2)!<br />
λ 2 2<br />
. λ .<br />
λ = λ<br />
(II-4)<br />
2 2<br />
2<br />
σ = E( x ) − [ E(<br />
x)]<br />
(II-5)<br />
Jadi:<br />
2<br />
2<br />
= λ + λ − λ = λ<br />
2<br />
σ = E ( x)<br />
= λ<br />
(II-6)<br />
Untuk menguji suatu distribusi, dilakukan<br />
perhitungan dengan menggunakan formulasi Chikuadrat<br />
yang ditunjukkan [2] sebagai:<br />
k<br />
2<br />
2 ( Oi<br />
− Ei<br />
)<br />
χ = ∑<br />
(II-7)<br />
E<br />
Dengan<br />
i=<br />
1<br />
i<br />
k = banyaknya katagori<br />
O i = frekuensi pengamatan<br />
E i = frekuensi badai yang diharapkan/hasil<br />
perhitungan<br />
Dengan kriteria pengujian:<br />
Tolak Ho (hipotesa) apabila<br />
2<br />
χ<br />
2<br />
≥ χ (1−α<br />
)( k −1)<br />
dengan :<br />
2<br />
χ<br />
= dari hasil perhitungan<br />
χ<br />
=<br />
2<br />
(1−α<br />
)( k −1)<br />
= dari tabel chi-kuadrat<br />
α 5%,<br />
dk = derajat kebebasan (k-1).<br />
Dalam hal lainnya, Ho diterima.<br />
III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Sebagai gambaran terjadinya badai geomagnet<br />
ditunjukkan dengsn adanya penurunan intensitas<br />
indeks Dst seperti yang terlihat pada Gambar<br />
berikut:<br />
Gbr 2. Pergerakan intensitas indeks global Dst saat aktivitas<br />
geomagnet tenang pada bulan Agustus 2007<br />
Gbr 3. Pergerakan intensitas indeks global Dst saat aktivitas<br />
geomagnet terganggu pada bulan Maret 1989<br />
Gambar 2 memperlihatkan pergerakan intensitas<br />
indeks Dst pada bulan Agustus 2007 aktivitas<br />
geomagnet dalam keadaan tenang, tidak ada<br />
gangguan atau tidak terjadi penurunan intensitas<br />
karena memang aktivitas matahari pada tahun<br />
tersebut dalam kedaan tenang. Gambar 3<br />
menunjukkan adanya gangguan geomagnet yang<br />
besar yang terjadi pada tanggal 13 Maret 1989<br />
sehingga terjadi penurunan intensitas yang sangat<br />
ekstrim hingga mencapai sekitar 600 nT. Menurut<br />
[1] keadaan ini yang menyebabkan kerusakan trafo<br />
di Lethabo dan Matimba, Afrika Selatan.<br />
Dari hasil pengamatan badai geomagnet yang<br />
ditunjukkan dengan penurunan intensitas indeks Dst<br />
dengan intensitas < -100 nT, diperoleh frekuensi<br />
kemunculan badai geomagnet sebagai:<br />
F82
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Frekuensi Kejadian Badai<br />
(satuan)<br />
3.5<br />
3<br />
2.5<br />
2<br />
1.5<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
Thn 2000-2001<br />
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23<br />
Waktu (bulan)<br />
Gbr 4. Frekuensi kemunculan badai geomagnet yang ditunjukkan<br />
oleh indeks Dst tahun 2000-2001<br />
Dari Gambar 4 terlihat bahwa terjadinya badai<br />
geomagnet pada saat matahari aktif tahun 2000<br />
hingga 2001 tidak setiap saat terjadinya badai. Dari<br />
tahun 2000 hingga 2001 tidak setiap bulan terjadinya<br />
badai. Apabila terjadi badai pada bulan-bulan<br />
tertentu ada satu kali, dua kali atau tiga kali. Untuk<br />
lebih jelasnya, seperti yang terlihat pada Tabel<br />
berikut:<br />
TABEL III FREKUENSI TERJADINYA BADAI<br />
GEOMAGNET TAHUN 2000 -2001 (Januari 2000 hingga<br />
Desember 2001)<br />
Banyaknya badai geomagnet<br />
setiap bulannya<br />
0 1 2 3<br />
Banyaknya bulan 10 7 3 4<br />
Dari Tabel I terlihat bahwa kolom (1) baris (1)<br />
menunjukkan banyaknya badai geomagnet setiap<br />
bulannya. Kolom (2) menunjukkan tidak terjadi<br />
badai, kolom (3) menunjukkan terjadi badai 1 (satu<br />
kali), kolom (4) terjadi badai 2 kali dan kolom (5)<br />
terjadi badai 3 kali selama tahun 2000 hingga 2001.<br />
Oleh karena kejadian badai geomagnet tidak<br />
sering terjaditerutama badai besar (< -100 nT)/<br />
sangat besar maka peristiwa kejadian badai<br />
geomagnet diduga mengikuti distribusi Poisson.<br />
Untuk itu diperlu dilakukan hipotesa sebagai:<br />
Hipotesa (Ho) : frekuensi terjadi badai geomagnet<br />
= distribusi Poisson<br />
Alternatif (Al) : frekuensi terjadi badai<br />
geomagnet ≠ distribusi Poisson<br />
Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (II-1),<br />
diperoleh rata-rata banyaknya badai setiap bulannya<br />
adalah:<br />
10(0) + 7(1) + 3(2) + 4(3)<br />
= 1.04<br />
24<br />
Sehingga persamaan distribusi Poisson diduga<br />
berbentuk:<br />
−1.04<br />
x<br />
e (1.04)<br />
p(<br />
x)<br />
=<br />
x!<br />
Dengan x = 0, 1, 2, ..., menunjukkan banyaknya<br />
badai setiap bulannya. Dari persamaan di atas,<br />
diperoleh:<br />
Dengan menggunakan persamaan (II-1), maka<br />
diperoleh:<br />
p (0) = 0.3535, maka nilai yang diharapkan =<br />
8.4840 tidak ada badai<br />
p (1) = 0.3674, maka nilai yang diharapkan =<br />
8.8234 badai satu kali<br />
p (2) = 0.1911, maka nilai yang diharapkan =<br />
4.5881 badai 2 (dua) kali<br />
p (3) = 0.5624, maka nilai yang diharapkan =<br />
1.5906 badai 3 (tiga) kali<br />
Sehingga frekuensi terjadinya badai geomagnet dari<br />
hasil pengamatan dan yang diharapkan dapat dilihat<br />
dalam Tabel II berikut:<br />
TABEL IVFREKUENSI TERJADINYA BADAI GEOMAGNET<br />
TAHUN 2000-2001<br />
Frekuensi Terjadinya<br />
Badai Geomagnet<br />
Hasil<br />
Pengamatan(O i )<br />
Hasil<br />
Hitung (E i )<br />
(1) (2) (3)<br />
1. Tidak terjadi badai<br />
2. Terjadi badai 1 kali<br />
3. Terjadi badai 2 kali<br />
4. Terjadi badai 3 kali<br />
10<br />
7<br />
3<br />
4<br />
8.5<br />
8.8<br />
4.6<br />
1.6<br />
TABEL IVFREKUENSI TERJADINYA BADAI GEOMAGNET<br />
TAHUN 2000-2001<br />
Frekuensi Terjadi<br />
BadaiGeomagnet<br />
Hasil Pengamatan<br />
(O i )<br />
Hasil<br />
Hitung (E i )<br />
(1) (2) (3)<br />
Tidak terjadi badai<br />
Terjadi badai 1 kali<br />
Terjadi badai 2 &3 kali<br />
10<br />
7<br />
7<br />
8.5<br />
8.8<br />
6.2<br />
Dari Tabel II terlihat bahwa pada kolom (2) atau<br />
hasil pengamatan (O i ), pada baris ke 3 dan ke 4<br />
frekuensi kejadian badai geomagnet hanya terjadi 3<br />
dan 4 kali, maka hasil pengamatan ke dua kejadian<br />
tersebut digabungkan/ dijumlahkan menjadi 7 kali.<br />
Demikian juga dengan hasil perhitungannya<br />
sehingga diperoleh (4.6 + 1.6) = 6.2). Hal ini<br />
dilakukan karena hasil pengamatan (O i ) minimal<br />
harus 5 kali. Untuk lebih jelasnya, Tabel II berubah<br />
menjadi Tabel III.<br />
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (II-<br />
7), diperoleh:<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2 (10 − 8.5) (7 − 8.8) (7 − 6.2)<br />
χ = + +<br />
8.5 8.8 6.2)<br />
2 = 0.75 χ<br />
Dengan α = 5%<br />
dan derajat kebebasan (dk<br />
= k-1) = 1 dengan menggunakan tabel chikuadrat<br />
( χ ) yang telah tersedia dalam<br />
2<br />
lampiran [4], maka diperoleh χ 2<br />
0.95(1)<br />
= 3.84<br />
Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan<br />
bahwa chi kuadrat hasil perhitungan lebih kecil dari<br />
chi kuadrat yang diperoleh dari Tabel Chi kuadrat<br />
2<br />
2<br />
atau χ hitung < χ tabel , maka berdasarkan<br />
kriteria pengujian, hipotesanya (Ho) diterima.<br />
F83
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Artinya, bahwa frekuensi terjadinya badai<br />
geomagnet mengikuti distribusi Poisson.<br />
IV KESIMPULAN<br />
Berdasarkan perhitungan dan analisis data indeks<br />
global Disturbanced storm time atau Dst dengan<br />
intensitas < -100 nT pada tahun 2000 hingga 2001<br />
saat matahari aktif dengan menggunakan metoda<br />
statistik dapat disimpulkan bahwa gangguan<br />
geomagnet atau badai geomagnet dapat dibagi dalan<br />
3 (tiga) katagori, yaitu tidak terjadi badai atau 0<br />
(nol) kali, terjadi 1 (satu) kali badai dan gabungan<br />
antara 2 (dua) dan 3 (tiga) kali badai. Dari ke 3<br />
katagori tersebut dengan menggunakan uji Chikuadrat<br />
dapat dinyatakan bahwa frekuensi terjadinya<br />
badai geomagnet yang ditunjukkan dengan indeks<br />
Dst dapat didekati dengan distribusi Poisson<br />
Referensi<br />
Gaunt dan Coetzee, Geomagnetically induced<br />
currents at mid-latitudes, Annales<br />
Geophysicae, 2002.<br />
Loewe C. A . dan Prolss G. W., Classification and<br />
mean behaviour of magnetic storms, J.<br />
Geophys. Res. A 102, 14209-14213, 1997<br />
Sudjana, Metoda Statistika Untuk Bidang: Biologi,<br />
Farmasi, Geologi, Industri, Kedokteran,<br />
Pendidikan, Psikologi, Sosiologi, Teknik Dll,<br />
Tarsito, Bandung, 1982.<br />
Thompson, C. M, Table of Percentage of the X^2<br />
Distribution, Biometrica, 1941, Vol.32<br />
Watari S., Vandas M, and Watanabe T., Formation<br />
of a<br />
strong southward IMF near the solar maximum of<br />
cycle 23, Annales Geophysicae 22; 673-687,<br />
European Geosciences Union, 2004.<br />
LAMPIRAN TABEL DISTRIBUSI CHI-KUADRAT<br />
Keterangan (Sumber [4]:<br />
= derajat kebebasan<br />
ν<br />
P = probabilitas<br />
2<br />
χ<br />
F84
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
HFCM (Histogram Fuzzy C- Means) sebagai Koreksi Kecepatan<br />
MsFCM (Multiscale Fuzzy C-Means)<br />
Soegianto Soelistiono 1 , Fitri Primayunita 2<br />
1 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
2 Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />
Email : soegianto@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Untuk melakukan pengklasteran gambar sering kali digunakan Fuzzy C-Means (FCM), metode ini cukup<br />
berhasil dalam melakukan klaster gambar. Beberapa gambar yang sering diklaster untuk mendapatkan gambaran<br />
obyek yang ada pada gambar tersebut adalah Magnetic Resonance Images (MRI) meskipun gambar yang bukan<br />
MRI juga bisa digunakan teknik FCM. Dengan FCM diharapkan bisa didapat obyek yang ada pada gambar<br />
tersebut, meskipun gambarnya dalam bentuk grayscale.<br />
Hasil FCM sering kali kurang bagus dikarenakan hasilnya masih berbintik-bintik, untuk masalah tersebut<br />
dikolaborasikan dengan motode lain. Pendekatan yang telah dikembangkan untuk mengatasi tantangan ini adalah<br />
menggabungkan Matrix Faktorisasi (MF) dan Fuzzy C-means (FCM). Model ini dinamakan Modifikasi Fuzzy<br />
C-means (MFCM). MFCM telah interpretability lebih baik dari MF, dan akurasi yang lebih baik dari FCM.<br />
Dalam perkembangannya FCM terus dikembangkan, perkembangan terakhir adalah multiscale fuzzy C-means<br />
(MsFCM), sistem ini membuat koreksi ke FCM dan MFCM dari proses iterasi pembentukan gambarnya. Hasil<br />
yang ditampilkan oleh MsFCM terlihat lebih bagus.<br />
Dalam pemrograman FCM sampai MsFCM diperlukan kemampuan CPU dan memory yang relatif besar, kerja<br />
sistem sangat berat dan lama. Sebagai gambaran untuk sampai pada iterasi dengan error maksimal 0.000001,<br />
yaitu sekitar 50an iterasi dibutuhkan waktu 5 jam dengan laptop berprocecor T9300 untuk ukuran gambar<br />
175x316 pixels, jumlah klaster 15. Dalam makalah ini coba dilakukan kreasi untuk melakukan percepatan proses<br />
sehingga bisa dilakukan untuk keadaan yang membutuhkan proses lebih cepat. Karena sistem ini menggunakan<br />
konsep Histogram sebagai short cut dari FCM sampai MsFCM maka kami beri nama HFCM (Histogram Fuzzy<br />
C-Means).<br />
Kata kunci : fuzzy, citra.<br />
PENDAHULUAN<br />
Data analisa tentunya tidak hanya dalam bentuk<br />
teks, tetapi juga dalam bentuk gambar. Untuk<br />
gambar yang mengandung banyak informasi sering<br />
diistilahkan dengan citra. Segmentasi dari citra MRI<br />
(Magnetic Resonance Imaging) memberikan<br />
informasi fisiologi yang berguna dalam diagnosis<br />
patologi demikian juga untuk konstruksi model<br />
geometri organ dalam tiga dimensi. Kualitas hasil<br />
citra tergantung pada rendahnya resolusi spasial,<br />
tidak meratanya iluminasi dan adanya noise.<br />
Keadaan ini tentunya mengganggu proses<br />
pengenalan pola yang didapat.<br />
Analisa citra dengan menggunakan metode<br />
klastering sudah banyak dilakukan. Salah satu<br />
metode yang berbasis logika fuzzy dengan<br />
segmentasi adaptif adalah Fuzzy c-Means (FCM).<br />
Logika fuzzy diterapkan dalam pengenalan pola<br />
untuk melakukan penyempurnaan dari metode<br />
manual yang menggunakan sistem range warna.<br />
Klasifikasi pola ini dapat diselesaikan dengan<br />
sebuah metoda analisis data yang disebut klaster .<br />
Sistem fungsi keanggotaan fuzzy mengukur berapa<br />
dekat atau akuratnya sebuah warna pixel (intensitas<br />
yang berada pada titik tersebut) dengan nilai pusat<br />
klaster. Tujuan dari analisis klaster adalah<br />
mengumpulkan pixel-pixel yang nilai intensitasnya<br />
mendekati nilai pusat klaster. Teknik klaster dengan<br />
teori himpunan fuzzy memberikan pendekatan baru<br />
yang lebih baik dari pada teknik klaster<br />
konvensional.<br />
Dalam makalah ini akan dilakukan analisa<br />
terhadap FCM dan MsFCM, untuk selanjutnya akan<br />
dibuat metode baru HFCM, metode ini merupakan<br />
pengembangan dari MsFCM dengan tujuan untuk<br />
melakukan percepatan mendapatkan hasil.<br />
DATA CITRA<br />
Untuk melakukan analisa data yang dalam bentuk<br />
gambar, maka gambar harus diproses menjadi dalam<br />
bentuk bitmap, gambar yang akan dipetakan harus<br />
diubah menjadi bitmap ( BMP ), sebaiknya gambar<br />
sejak awal sudah dalam bentuk bmp atau tiff. Citra<br />
selanjutnya diproses untuk menjadi gambar dengan<br />
kedalman warna 24 bit. Perubahan ke 24 bit ini<br />
F85
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
tujuannya untuk mempermudah proses analisa<br />
selanjutnya, karena dengan 24 bit maka nilai Red<br />
(merah) menjadi 8 bit ( 256 varian), begitu juga<br />
dengan Green (hijau) dan Blue (biru). Proses<br />
selanjutnya citra akan diubah dalam bentuk<br />
grayscale ( metode dalam makalah ini digunakan<br />
sistem grayscale, untuk kasus yang lain<br />
dimungkinkan untuk tidak menggunakan sistem<br />
grayscale ),<br />
Persamaan J ini adalah persamaan error kuadrat<br />
dari selisih nilai grayscale tiap pixel dibandingkan<br />
dengan nilai pusat klaster.<br />
Jika dilakukan = 0 untuk mendapatkan nilai<br />
kritis dari J maka akan di dapat :<br />
(3)<br />
(4)<br />
Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Grayscale<br />
Gambar 1: proses perubahan citra warna menjadi grayscale<br />
Persamaan nilai grayscale :<br />
grayscale (x) = (11*R + 16*G + 5*B) /32 (1)<br />
Dengan citra yang telah berubah menjadi<br />
grayscale maka setiap pixel dari gambar hanya<br />
mempunyai 3 variabel bebas, secara fungsi dapat<br />
dituliskan sebagai f(i,j,x) dengan i dan j adalah<br />
koordinat posisi pixel dan x adalah nilai grayscale<br />
dari pixel tersebut.<br />
Jumlah data (N) adalah jumlah semua pixel yang<br />
ada pada citra yang sedang dianalisa, jika ukuran<br />
gambar 100x100 pixel maka jumlah data yang ada<br />
N= 100x100 = 10.000 data<br />
ANALISA FCM FUZZY C-MEANS BESERTA<br />
PERKEMBANGANNYA<br />
Analisa FCM ini dimulai dengan melakukan<br />
pengamatan terhadap persamaan error berikut :<br />
Dengan :<br />
(2)<br />
Dalam aplikasi, nilai v dan diupdate secara iterasi<br />
dengan menggunakan persamaan 3 dan 4, iterasi<br />
diberhentikan sampai didapatkan nilai yang tetap<br />
( nilai delta sangat kecil ). Waktu<br />
yang diperlukan untuk mencapai nilai stabil<br />
sangat bergantung dari lebar gambar yang dianalisa,<br />
meskipun demikian iterasi dari persamaan 3 dan 4<br />
tidak bisa digunakan untuk keadaan analisa secara<br />
real time, karena waktunya untuk sampai stabil<br />
dalam rentang satuan menit.<br />
Dalam perkembangannya FCM pada tahun 2002<br />
dikoreksi oleh Ahmad dkk menjadi MFCM,<br />
persamaannya adalah sebagai berikut :<br />
Dengan :<br />
(5)<br />
Persamaan (5) merupakan koreksi dari persamaan<br />
(2) dengan penambahan suku untuk melakukan<br />
smooting berdasarkan noise sekeliling , suku ini<br />
sangat berguna untuk kondisi gambar yang<br />
mempunyai noise cukup tinggi, MFCM ini seperti<br />
proses bluring untuk area yang nilai noise nya tinggi.<br />
MFCM memperbaiki FCM dengan menjadikan<br />
hasil nilai yang stabil tidak berbintik-bintik.<br />
Perbaikan FCM ini dilakukan lagi oleh Hesheng dkk<br />
pada tahun 2008 menjadi MsFCM ( Multiscale<br />
Fuzzy C-Means).<br />
MsFCM mengubah persamaan (5) menjadi :<br />
c : jumlah klaster yang diinginkan<br />
N : Jumlah data ( jumlah semua pixel dari citra )<br />
p : pangkat probabilitas, biasanya untuk citra 2D<br />
dibuat bernilai 2<br />
Dengan<br />
(6)<br />
F86
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Koreksi yang dilakukan oleh MsFCM dengan<br />
melakukan perbandingan antara μ iterasi baru<br />
dengan iterasi lama, koreksi dari MsFCM<br />
mengakibatkan nilai v bergeser makin ke nilai yang<br />
lebih halus.<br />
Jika dilakukan = 0 untuk persamaan (6) ,<br />
mengakibatkan persamaan update untuk v dan<br />
menjadi sebagai berikut:<br />
(7)<br />
Gambar 3 : Aplikasi untuk analisa FCM 5 klaster<br />
Dengan FCM dengan jumlah klaster 5 didapatkan<br />
perubahan nilai sebagai berikut :<br />
(8)<br />
a b c<br />
(9)<br />
Dengan syarat batas (10)<br />
ANALISA HASIL FCM (FUZZY C-MEANS)<br />
DAN PERKEMBANGANNYA<br />
Data Citra yang diamati adalah sebagai berikut :<br />
e<br />
f<br />
Gambar 2 : gambar MRI gigi (ukuran gambar 175x316 pixels)<br />
Dengan menggunakan FCM untuk jumlah klaster<br />
5 didapatkan data berikut :<br />
Gambar 4 : pola yang terbentuk dari FCM untuk iterasi tertentu.<br />
a.Itersi ke 1, b. iterasi ke 2 c. itersi ke 3, d. itersi ke 56, e. Iterasi<br />
ke 57<br />
Nilai pusat klaster yang didapat adalah : 8.79 ;<br />
49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95 . Waktu yang<br />
dibutuhkan untuk sampai ke iterasi 57 sekitar 15<br />
menit<br />
Analisa dilanjutkan dengan menggunakan<br />
MsFCM, untuk jumlah klaster 5, didapatkan<br />
perubahan nilai sebagai berikut :<br />
F87
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
a<br />
b<br />
e<br />
d<br />
Gambar 6 : pola yang terbentuk dari MsFCM untuk iterasi<br />
tertentu. a.Itersi ke 1,b. iterasi ke 2, c. itersi ke 99, d. itersi ke<br />
100<br />
Nilai pusat klaster yang didapat : 15.04 ; 60.29 ;<br />
101.87 ; 149.51 dan 220.96. Waktu yang dibutuhkan<br />
untuk sampai ke iterasi 100 sekitar 1 jam<br />
Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />
hasil FCM dan MsFCM untuk 5 klaster :<br />
FCM : 8.79 ; 49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95<br />
MsFCM : 15.04 ; 60.29 ; 101.87 ; 149.51 dan 220.96<br />
Dari nilai v ( pusat nilai klaster ) yang didapat<br />
antara FCM dan MsFCM yang sangat mirip hanya<br />
sebuah data ( 220.95 dan 220.96 ) . sedangkan data<br />
yang lain mirip dengan selisih yang lebih besar<br />
(sekitar 10).<br />
Untuk lebih tajam dalam melakukan analisa akan<br />
dilakukan untuk jumlah klaster yang lebih banyak,<br />
dalam hal ini digunakan 15 klaster. Tampilan<br />
aplikasi FCM dan MsFCM untuk 15 klaster adalah<br />
sebagai berikut :<br />
Gambar 8 : Aplikasi untuk analisa MsFCM 15 klaster<br />
Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />
hasil FCM dan MsFCM untuk 15 klaster :<br />
FCM : 0.00 ;17.00 ;34.00 ;51.00 ;68.00 ;85.00<br />
;102.00 ;119.00 ;136.00 ;153.00 ;170.02<br />
;187.03;204.04 ;221.17 ;239.28<br />
MsFCM : 5.03 ;16.23 ;34.57 ;51.94 ;65.59 ;85.16<br />
;86.09 ;103.56 ;119.09 ;135.64 ;155.04<br />
;182.39;205.85 ;221.32 ;236.23<br />
Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />
hasil FCM dan MsFCM untuk 5 klaster :<br />
FCM : 8.79 ; 49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95<br />
MsFCM : 15.04 ; 60.29 ; 101.87 ; 149.51 dan 220.96<br />
Dari perbandingan keempat kumpulan data<br />
tersebut bisa disimpulkan bahwa terdapat<br />
15 nilai v yang menjadi nilai tujuan<br />
pergeseran ( analisa fisis gambar ), yaitu : 0<br />
; 17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ;<br />
153 ; 170 ; 187 ; 204 ; 221 ; 238<br />
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan<br />
bahwa nilai v akan digeser-geser selama update<br />
untuk menuju nilai yang sebenarnya bisa diambil<br />
secara fisis ( kasat mata ) dari posisi beberapa pixel<br />
dari gambar.<br />
Perbandingan profil gambar untuk FCM dan<br />
MsFCM pada klaster 5 dan 15 untuk iterasi terakhir :<br />
a. b c d. e<br />
Gambar 7 : Aplikasi untuk analisa FCM 15 klaster<br />
Gambar 9 : pola yang terbentuk dari MsFCM untuk iterasi<br />
tertentu a.FCM 5 klaster b. MsFCM 5 klasterc. FCM 15 klaster<br />
d. MsFCM 15 klaster e. Citra asal<br />
dari gambar 9 terlihat bahwa jumlah cluster makn<br />
banyak akan makin membuat pola yang dihasilkan<br />
makin detil, dari eksperimen yang dilakukan<br />
ternyata jika jumlah klaster melebihi jumlah variasi<br />
warna akan mebuat aplikasi susah mendapatkan nilai<br />
stabil dari . Misal untuk jumlah varian warna yang<br />
ada pada gambar berjumlah 15 dan diaplikasi<br />
F88
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
diinputkan jumlah klaster 25, maka apliaksi akan<br />
sesah mendapatkan nilai stabil dari . apabila<br />
keempat gambar tersebut di satukan dan dicari nilai<br />
grayscale dari warna Citra asal yang dimunculkan<br />
Gambar 10 : pola yang disatukan untuk mengamati varian<br />
warna<br />
Dengan menggunakan penglihatan untuk<br />
perbandingan pixel dari lima gambar yang<br />
dihasilkan, diperoleh varian warna berjumlah 16,<br />
yaitu : 0 ; 17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ;<br />
153 ; 170 ; 187 ; 204 ; 221 ; 238 ; 255. Hal ini sesuai<br />
dengan pengamatan sebelumnya.<br />
Pembuatan konsep HFCM<br />
Konsep HFCM ini adalah konsep yang dibangun<br />
dengan melihat hasil penelitian yang dilakukan pada<br />
FCM dan MsFCM, secara umum teknik FCM dan<br />
MsFCM cukup unggul dalam melakukan analisa<br />
object dalam sebuah gambar berdasarkan nilai<br />
klasternya. Beberapa kekurangan sistem FCM dan<br />
MsFCM adalah :<br />
Gambar 11 : Pengambilan data histogram dari citra asal<br />
Dari pengambilan data histogram diperoleh 15 nilai<br />
puncak, nilai axis dari puncak tersebut adalah : 0 ;<br />
17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ; 153 ; 170 ;<br />
187 ; 204 ; 221 ; 238<br />
Dari data puncak yang dimunculkan histogram<br />
terlihat sama persis dengan data analisa FCM dan<br />
MsFCM, Hal ini membuktikan bahwa analisa fisis<br />
bahwa klaster adalah varian warna menjadi terbukti,<br />
untuk itu dalam HFCM nilai dapat diperoleh<br />
dengan menggunakan histogram, kecepatan proses<br />
di histogram kurang dari 100 mili detik.<br />
Jumlah puncak pada gambar 11 adalah 15, hal ini<br />
menunjukkan varian warna yang ada, sehingga<br />
dengan menggunkan histogram ini jumlah klaster<br />
bisa ditentukan dengan tepat ( tentunya nilai<br />
maksimal klaster 255 sesuai dengan nilai bit dari<br />
grayscale).<br />
Untuk HFCM, prosesnya sama dengan yang<br />
dilakukan oleh MsFCM hanya saja nilai tidak<br />
perlu diupdate.<br />
Perbandingan hasil yang diperoleh dengan<br />
menggunakan HFCM dan FCM serta MsFCM:<br />
Proses FCM 5 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />
gambar stabil<br />
• Jumlah klaster yang tidak bisa diperkirakan.<br />
• Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan data<br />
stabil sangat lama.<br />
Untuk itu di bagian makalah ini dicoba untuk<br />
melakukan perbaikan dari 2 masalah tersebut.<br />
Untuk jumlah klaster, secara fisis ini bisa<br />
diterjemahkan dengan varian warna, jadi jumlah<br />
klaster harusnya merupakan jumlah varian warna<br />
yang ada, untuk gambar yang sangat halus<br />
perbedaan warnanya tentu akan memiliki jumlah<br />
klaster yang besar, meskipun pada kenyataannya<br />
beberapa klaster yang berdekatan bisa digabungkan.<br />
Untuk mendapatkan nilai klaster (varian warna)<br />
dalam hal ini digunakan histogram. Aplikasi<br />
histogram bisa dilihat dibawah ini.<br />
a b c d e<br />
Gambar 12 : Analisa representasi perbandingan nilai<br />
FCM dengan jumlah klaster 5<br />
dalam<br />
Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c. iterasi ke 3 d. iterasi<br />
ke 12 e. Iterasi ke 57<br />
Dari gambar 12 terlihat mulai iterasi ke 12<br />
gambar mulai stabil, meskipun proses<br />
perubahan nilai masih berjalan.<br />
Proses MsFCM 5 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />
gambar stabil<br />
a b c d e<br />
Gambar 13 : Analisa representasi perbandingan nilai<br />
MsFCM dengan jumlah klaster 5<br />
dalam<br />
Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c. iterasi ke 3 d. iterasi<br />
ke 12 e. Iterasi ke 100<br />
F89
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dari gambar 12 terlihat mulai iterasi ke 12<br />
gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />
nilai masih berjalan.<br />
Proses FCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />
gambar stabil<br />
a b c<br />
a b c d e<br />
Gambar 14 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />
FCM dengan jumlah klaster 15 a.Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />
iterasi ke 3 d. iterasi ke 10 e. Iterasi ke 27<br />
Dari gambar 14 terlihat mulai iterasi ke 10<br />
gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />
nilai masih berjalan.<br />
Proses MsFCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />
gambar stabil<br />
a b c d e<br />
Gambar 15 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />
MsFCM dengan jumlah klaster 15 aIterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />
iterasi ke 3 d. iterasi ke 22 e. Iterasi ke 100<br />
Dari gambar 15 terlihat mulai iterasi ke 22<br />
gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />
nilai masih berjalan.<br />
Untuk selanjutnya akan dianalisa dengan<br />
menggunakan HFCM<br />
Gambar 16 : Aplikasi HFCM<br />
Proses HFCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />
gambar stabil<br />
Gambar 17 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />
MsFCM dengan jumlah klaster 15 Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />
iterasi ke 17<br />
Dari gambar 17 terlihat mulai iterasi ke 2<br />
gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />
nilai masih berjalan. Iterasi berhenti di 17<br />
dengan nilai sudah tidak berubah lagi.<br />
Dari analisa ini terlihat bahwa HFCM sangat<br />
mempercepat proses untuk mendapatkan gambar<br />
dari obyek dengan menggunkan logika fuzzy.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari analisa yang telah dilakukan terdapat beberapa<br />
kesimpulan yang berarti :<br />
• Proses iterasi untuk pergeseran nilai klaster<br />
bisa dipercepat dengan menggunakan nilai<br />
puncak histogram.<br />
• Secara fisis dapat dianalisa bahwa jika nilai<br />
intensitas puncak histogram pendek, dapat<br />
diperkirakan bahwa klaster tersebut adalah<br />
noise.<br />
• Proses MsFCM jika dibuat dengan memasukkan<br />
nilai yang konstan akan mempercepat proses<br />
stabilitas nilai .<br />
• HFCM terbukti sangat mempercepat proses<br />
MsFCM<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ahmed, M.N., Yamany, S.M., Mohamed, N., Farag,<br />
A.A., Moriarty, T., 2002. A modified fuzzy<br />
C-means algorithm for bias field estimation<br />
and segmentation of MRI data. IEEE Trans.<br />
Med. Imag. 21 (3), 193–199.<br />
Aubert-Broche, B., Evans, A.C., Collins, L., 2006. A<br />
new improved version of the realistic digital<br />
brain phantom. Neuroimage 32 (1), 138–145.<br />
Bezdek, J., 1980. A convergence theorem for the<br />
fuzzy ISODATA clustering algorithms. IEEE<br />
Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. (2), 1–8.<br />
Canny, J., 1986. A computational approach to edge<br />
detection. IEEE Trans. Pattern Anal. Mach.<br />
Intell. 8, 679–698<br />
Carano, R.A., Ross, A.L., Ross, J., Williams, S.P.,<br />
Koeppen, H., Schwall, R.H., Van Bruggen,<br />
F90
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
N., 2004. Quantification of tumor tissue<br />
populations by multispectral analysis. Magn.<br />
Reson. Med. 51 (3), 542–551.<br />
Chen, S., Zhang, D., 2004. Robust image<br />
segmentation using FCM with spatial<br />
constraints based on new kernel-induced<br />
distance measure. IEEE Trans. Syst. Man<br />
Cybern. B 34 (4), 1907–1916.<br />
Choi, H.S., Haynor, D.R., Kim, Y., 1991. Partial<br />
volume tissue classification of multichannel<br />
magnetic resonance images – a mixel model.<br />
IEEE Trans. Med. Imaging 10 (3), 395–407<br />
Cocosco, C.A., Zijdenbos, A.P., Evans, A.C., 2003.<br />
A fully automatic and robust brain MRI<br />
tissue classification method. Med. Image<br />
Anal. 7 (4), 513–527.<br />
Cuadra, M.B., Cammoun, L., Butz, T., Cuisenaire,<br />
O., Thiran, J.P., 2005. Comparison and<br />
validation of tissue modelization and<br />
statistical classification methods in T1-<br />
weighted MR brain images. IEEE Trans.<br />
Med. Imaging 24 (12), 1548–1565.<br />
Held, K., Rota, K.E., Krause, B.J., Wells III, W.M.,<br />
Kikinis, R., Muller-Gartner, H.W., 1997.<br />
Markov random field segmentation of brain<br />
MR images. IEEE Trans. Med. Imaging 16<br />
(6), 878–886.<br />
Jacobs, M.A., Zhang, Z.G., Knight, R.A., Soltanian-<br />
Zadeh, H., Goussev, A.V., Peck, D.J., Chopp,<br />
M., 2001. A model for multiparametric MRI<br />
tissue characterization in experimental<br />
cerebral ischemia with histological validation<br />
in rat: Part 1. Stroke 32 (4), 943–949.<br />
Jaeschke, R., Guyatt, G., Lijmer, J., 2002.<br />
Diagnostic tests. In: Guyatt, G., Rennie, D.<br />
(Eds.), Users’ Guides to the Medical<br />
Literature. AMA Press, Chicago.<br />
James, M., 1985. Classification Algorithms. John<br />
Wiley, New York. Kwan, R.K., Evans, A.C.,<br />
Pike, G.B., 1996. An extensible MRI<br />
simulator for postprocessing evaluation,<br />
visualization in biomedical computing<br />
(VBC’96). Lecture Notes in Computer<br />
Science, vol. 1131. Springer-Verlag, pp. 135–<br />
140. Kwan, R.K., Evans, A.C., Pike, G.B.,<br />
1999. MRI simulation-based evaluation of<br />
imageprocessing and classification methods.<br />
IEEE Trans. Med. Imaging 18 (11), 1085–<br />
1097.<br />
Li, L., Jiang, Q., Ding, G., Zhang, L., Zhang, Z.G.,<br />
Ewing, J.R., Knight, R.A., Kapke,<br />
A.,Soltanian-Zadeh, H., Chopp, M., 2005.<br />
Map-ISODATA demarcates regional<br />
response to combination rt-PA and 7E3<br />
F(ab’)2 treatment of embolic stroke in the rat.<br />
J. Magn. Reson. Imaging 21 (6), 726–734.<br />
Liew, A.W., Yan, H., 2003. An adaptive spatial<br />
fuzzy clustering algorithm for 3-D MR image<br />
segmentation. IEEE Trans. Med. Imaging 22<br />
(9), 1063–1075.<br />
Lu, D., Weng, Q., 2007. A survey of image<br />
classification methods and techniques for<br />
improving classification performance. Int. J.<br />
Rem. Sens. 28 (5), 823–870.<br />
Marroquin, J.L., Vemuri, B.C., Botello, S.,<br />
Calderon, F., Fernandez-Bouzas, A., 2002.<br />
An accurate and efficient Bayesian method<br />
for automatic segmentation of brain MRI.<br />
IEEE Trans. Med. Imaging 21 (8), 934–945.<br />
Noordam, J.C., Van den broek, W.H.A.M., Buydens,<br />
L.M.C., 2000. Geometrically guidedd fuzzy<br />
C-means clustering for multivariate image<br />
segmentation. In: Proceedings of the<br />
International Conference on Pattern<br />
Recognition, vol. 1, pp. 462–465.<br />
Perona, P., Malik, J., 1990. Scale-space and edge<br />
detections using anistropic diffusion. IEEE<br />
Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. 12 (7),<br />
629–639.<br />
Pham, D.L., Prince, J.L., 1999. Adaptive fuzzy<br />
segmentation of magnetic resonance images.<br />
IEEE Trans. Med. Imaging 18 (9), 737–752.<br />
Salvado, O., Hillenbrand, C., Zhang, S., Wilson,<br />
D.L., 2006. Method to correct intensity<br />
inhomogeneity in MR images for<br />
atherosclerosis characterization. IEEE Trans.<br />
Med. Imaging 25 (5), 539–552. Tolias, Y.A.,<br />
Panas, S.M., 1998. On applying spatial<br />
constraints in fuzzy image clustering using a<br />
fuzzy rule-based system. IEEE Signal<br />
Process. Lett. 5, 245– 247.<br />
Van Leemput, K., Maes, F., Vandermeulen, D.,<br />
Suetens, P., 1999. Automated modelbased<br />
tissue classification of MR images of the<br />
brain. IEEE Trans. Med. Imaging 18 (10),<br />
897–908.<br />
Young, T.Y., Fu, K.-S. (Eds.), 1986. Handbook of<br />
Pattern Recognition and Image Processing.<br />
Academic Press.<br />
Zhang, Y., Brady, M., Smith, S., 2001.<br />
Segmentation of brain MR images through a<br />
hidden Markov random field model and the<br />
expectation-maximization algorithm. IEEE<br />
Trans. Med. Imaging 20 (1), 45–57.<br />
F91
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
A Volume Rendering for Haptic Interaction on a Human Head<br />
Sugeng Rianto 1<br />
<strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Brawijaya<br />
Email : priantos@brawijaya.ac.id<br />
Abstrak<br />
This paper describes a new approach which supports volume visualization with real-time interaction through<br />
haptic force feedback in virtual environment. This approach effectively approximates the force models using<br />
offset boundary surfaces and force field approximation between two consecutive layers. The generated force<br />
models can represent a bounding surface, viscosity, gradient, and friction. The volume visualisation itself, on the<br />
other hand, is generated through a combination of direct volume rendering and opacity peeling. Experimental<br />
results utilising PC in combination with commodity 3D graphics hardware show high quality volume<br />
visualisations. The volume date set of 512 x512 x 220 can be visualised in reasonable frame rate be interactively<br />
manipulated in an intuitive manner through haptic. Several material properties sensations that resemble skin<br />
surface, adipose tissue or fat, and bone can be delivered to the user felling through haptic tip<br />
Kata kunci :<br />
INTRODUCTION<br />
Currently, advances in computer hardware in<br />
combination with consumable 3D graphic hardware<br />
have made it possible to offers real-time interaction<br />
with volume data set. A volume rendering, on the<br />
other hand, has been used as an effective method to<br />
visualize medical and scientific datasets. Although,<br />
more advancement of medical image visualizations<br />
has also been explored by many researchers, there is<br />
only little concern for immersed volume interactions<br />
and volume haptic. The combination of real-time<br />
interaction and volume visualization will extract the<br />
important hidden information, increase human<br />
sensations in an intuitive manner, and add accuracy<br />
analysis within the volume data.<br />
This paper describes an approach in generating<br />
force field compositions for volume visualization<br />
with a tactile device. Scalar values and force<br />
interactions are approximated by a combination of<br />
boundary detection thresholds (Sereda, Bartroli et al.<br />
2006) and opacity peelings (Rezk-Salama and Kolb<br />
2006; Malik, Moller et al. 2007). The force vector<br />
field solvers between boundaries are estimated using<br />
the cubic-interpolated pseudo particle, while the<br />
volume visualization utilizes parallel streaming<br />
processors of inexpensive commodity graphics<br />
hardware.<br />
Beside the presentation of transparent supports<br />
and color information for non-orthogonal constraints<br />
and boundaries, inertial force and inertial torque<br />
feedbacks of the haptic device are simulated when<br />
entering a volume object. The implementation of<br />
collision and force computations rely on field offset<br />
boundary surfaces rather than implicit surfaces to<br />
provide consistent contact sensation in both visual<br />
presentations and tactile haptic.<br />
RELATED WORK<br />
Several techniques to approximate the<br />
formulation of constrain forces in the volume<br />
visualization with haptic interaction have been<br />
developed. In general, the related developed<br />
techniques can be categorized into the field of<br />
surface, volume, and proxy-based volume haptics.<br />
The surface haptics calculate the process of<br />
feeling virtual objects based on an explicit surface<br />
that represent isovalue of the scalar data. The<br />
explicit surface can be polygons that constrain the<br />
haptic tip to penetrate into the object. The<br />
constrained forces will return force feedback into the<br />
user hand and push the tip away from the object<br />
surface. Although some studies have developed<br />
algorithm surface haptic for sculpturing application<br />
and surface exploration (Thompson II, Johnson et al.<br />
1997; West and Cutkosky 1997), surface-based<br />
models suffer problems in representing and<br />
modeling interior.<br />
Volume-based haptic rendering, on the other<br />
hand, has no surface representation, thus the<br />
implementation of standard proxy-based method<br />
cannot be done. The common approximation for<br />
this purpose is employing local or global surface<br />
(Kim, Otaduy et al. 2002) to compute proxy-based<br />
surface haptic. Moreover, to get haptic interaction<br />
with volume data, a direct volume haptic has to be<br />
generated (Lundin, Ynnerman et al. 2002).<br />
The current procedures to create the direct<br />
volume haptic have been explained in (Avila and<br />
Sobierajski 1996; Gibson, Samosky et al. 1997).<br />
These methods propose a haptic feedback as a<br />
computation of vector valued function. The<br />
computation is formulated by using the scalar data<br />
around the tip and the current tip velocity. Forces to<br />
fell implicitly of surfaces are obtained by the<br />
gradient vector representing the variation of the<br />
F92
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
orientation and the magnitude in the scalar data.<br />
Thus the implicit surface can be sensed as a negative<br />
value of these forces as follow:<br />
f = −( K ∇V<br />
( xtip<br />
) + K2v<br />
1 tip<br />
)<br />
(1)<br />
This force can be considered as a static force field<br />
that works well with fluid content. However, when<br />
this approach is applied to other types of content<br />
such as solid data, the haptic feedback lacks a<br />
natural connection to the data. The static force field<br />
gives haptic force response to volume data and not<br />
to user activity (Lundin, Ynnerman et al. 2002).<br />
Therefore the haptic algorithm adds energy to the<br />
system that makes little or no sense to solid objects.<br />
Figure 1. The description of force reaction (black arrows) of user<br />
pressure (blue errow) through a haptic stylus to the surface.<br />
FORCE MODEL DESIGN<br />
A force model determines the constraints or the<br />
reaction forces that are sensed by the user. Force<br />
models for volume haptic usually are approximated<br />
from a proxy point data that are executed at every<br />
scene graph loop in the servo motor. The dataset are<br />
measured based on the gradient or curvature<br />
information from scalar values of a volume object.<br />
The force models proposed here represent forces of<br />
a field offset boundary (surface), gradient and<br />
magnitude vectors, friction, stiffness, viscosity, or<br />
penetrability.<br />
The force model is representation of forces of the<br />
proxy being generated from the surface as a reaction<br />
force of a user pressure or a user movement over the<br />
surface or inside the volume object. Proxy and probe<br />
have same position when there is no surface of<br />
volume being touch. The proxy and probe show a<br />
different position when the proxy collides with any<br />
object. The distance between proxy and probe are<br />
controlled by the strength of the surface rougness or<br />
the force field (viscosity for fluid or volume object)<br />
divided by the stiffness of the surface or force field<br />
(Figure 2).<br />
A simple representation of force model for skin<br />
can be drawn as a surface with forces interactions as<br />
shown in Figure 1. In this figure the force feedback<br />
is simulated as a collection of forces from various<br />
directions, either from sides or bottom as reaction<br />
forces from the user presure through the haptic tip<br />
from the user.<br />
Figure 2. Proxy movement over the surface with difference<br />
roughnesses; the distances between proxy (blue) and probe (red)<br />
are controlled by the primitive strength of the surface roughness<br />
with the surface stiffness.<br />
The total for reactions felled by the user are<br />
called as residual force, f r , and is formulated as in<br />
Equation 2. This force is collection of forces of<br />
spring mass combination, directed forces, point<br />
forces, line forces, and plane forces. X is<br />
r r<br />
f = −k(<br />
x − x ) + s qˆ<br />
+ s X<br />
r<br />
+<br />
∑<br />
i∈Α<br />
Line<br />
proxy<br />
probe<br />
∑<br />
i<br />
i∈Α<br />
directed<br />
i<br />
∑<br />
i<br />
i∈Α<br />
point<br />
si<br />
M + ∑ siqˆ (2)<br />
i<br />
i∈ΑPlane<br />
The offset surface is generated from the<br />
maximum scalar isovalues of any structure being felt<br />
(skin, bone, muscle) through the haptic tip (Figure<br />
3). This surface will constrain the movement of the<br />
proxy when the gradient vector perpendicular to the<br />
proxy position. The proxy is bounded to follow the<br />
surface on which it lays. If the pressure applied is<br />
greater than the stiffness threshold, the proxy will<br />
penetrate through the surface; then friction force<br />
and/or viscous force are added. The viscous force,<br />
on the other hand, is the force fields between two<br />
consecutive implicit surfaces or force representing<br />
an adipose tissue in contact with a finger from tissue<br />
layer array.<br />
The force reaction models are derived for volume<br />
haptics as described in (Lundin, Gudmundsson et al.<br />
2005) and it is formulated as follow:<br />
n<br />
F = F ( z,<br />
t)<br />
(2)<br />
F<br />
∑ i = 1 i<br />
i( z,<br />
t)<br />
= −Kn[(<br />
Pfinger( t)<br />
− Pfinger(0)<br />
) Sz(<br />
t)<br />
] Sz(<br />
t)<br />
where K n is a material parameter deriving from the<br />
desired structure properties of the scalar values and<br />
the user-defined transfer function to specify the<br />
friction, viscosity, and surface stiffness; P fing(0) is the<br />
scalar value at the haptic tip position at the implicit<br />
surface or at t 0 ; P fing(t) is the scalar value at the haptic<br />
tip when it is pressed until t t ; and S n(t) is the normal<br />
vector at time t, respectively.<br />
F93
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
value. The f d and its derivative satisfy the master<br />
advection equation.<br />
Figure 3. The various scalar values control the repelling forces<br />
(F) representing properties (bone, skin, viscous, air) of the object.<br />
Figure 4. Seven different boundaries correspond to each arch on<br />
the color transfer function.<br />
The original images slices that are coded based on<br />
gray scale. The gray scale also associated with the<br />
HU or CT Number. These colors are then coded<br />
based on the designed color transfer to resemble the<br />
original object (Figure 4). The colors are sources for<br />
scalar values to feed haptic as a difference senses of<br />
touch forces felled by the user according to the<br />
designed force model (Eq. 2). This paper used two<br />
or more colors and two transfer functions to segment<br />
the objects of interest.<br />
To avoid occasional jerkiness and vibration, the<br />
unit vector or normal vector is averaged and the<br />
damping force is added into the system (Bhasin, Liu<br />
et al. 2005) as follow:<br />
Fd<br />
( t )<br />
= −K<br />
dv(<br />
t )<br />
The force here is proportional to the velocity v of<br />
the finger movement and damping force K. Note that<br />
the proxy is considered to be the origin of a finger at<br />
a surface contact point and the finger move to reach<br />
the goal destination in the normal vector of the<br />
contact surface (Anonimous 2005).<br />
The scalar value on f d is calculated by hermite<br />
interpolation constructed locally within the<br />
calculation. The estimated value is directly advected<br />
toward the calculation grid point as a next time step<br />
Figure 5. Estimation of the force value on the departure point of<br />
the arbitrary scalar value.<br />
IMPLEMENTATION AND RESULTS<br />
The visual appearance of the volume object being<br />
simulated in volume haptic is generated using direct<br />
volume rendering technique with opacity peeling as<br />
suggested in (Rezk-Salama and Kolb 2006; Malik,<br />
Moller et al. 2007). This approach can occlude and<br />
show the object of interest better and faster than that<br />
in segmentation techniques.<br />
The experiments are implemented using the<br />
system with Phantom Omny from SensAble with six<br />
degrees of freedom (DOF), an NVDIA Quadro<br />
GTX8800/512Mb GPU and Reachin display running<br />
on a PC. The volume data set is from the visible<br />
human (Anonimous 2003) female CT scan images.<br />
All the works are developed using Reachin API in<br />
combination with C++ and python.<br />
The volume rendering demonstration was<br />
generated through a combination of direct volume<br />
rendering and opacity peeling to show force models<br />
felling a bounding surface, viscosity, gradient, and<br />
friction. The experimental results utilised PC in<br />
combination with commodity 3D graphics hardware<br />
(Note: the common streaming graphics processor is<br />
called as Graphics Processor Unit or GPU) as<br />
specified above show high quality volume<br />
visualisations as shown in table 1. The table shows<br />
the average frame rates data of visuals rendering,<br />
haptics rendering, and the comparison of frame rate<br />
between rendering with and without using the GPU<br />
for the volume date set of 512 x512 x 220 of human<br />
head.<br />
The data reveal that there is significant<br />
acceleration when the GPU is employed. The force<br />
field interaction has the highest acceleration of about<br />
7.3 frames per second (fps); it is then followed by<br />
surface pealing, volume deformation, and volume<br />
cutting of 6.25, 5.6, and 5.0 respectively. Although,<br />
the haptic interaction with the volume data can be<br />
done at 3 fps; the experiment demonstrate that the<br />
volume data of the head can be manipulated in<br />
interactive manner when the fame rate of visual<br />
rendering greater than 15 frames rate per seconds.<br />
F94
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
The visual frame rate lower than 15 fps not just<br />
lead to haptic jerking and visual lagging, but also<br />
reduce the felling interactions of material properties<br />
of the surface, adipose tissue, fat and bone. This<br />
means that there is a delay between a force<br />
computation and force feedback delivering to haptic<br />
tip to user hand.<br />
Table 1. The frame rate comparison for volume rendering<br />
between visual, haptic, and the frame rate between with and<br />
without GPU.<br />
Type of<br />
Interacti<br />
on<br />
Volume<br />
deformatio<br />
n<br />
Volume<br />
cutting<br />
Surface<br />
pealing<br />
Force field<br />
interaction<br />
Visual<br />
Visual Haptic<br />
Haptic<br />
frame<br />
frame frame<br />
frame<br />
rate<br />
rate rate<br />
rate<br />
with<br />
CPU(fp CPU(fp<br />
GPU(fp<br />
GPU(fp<br />
s) s)<br />
s)<br />
s)<br />
5 900 28 1000<br />
5 855 25 995<br />
4 840 25 995<br />
3 830 22 994<br />
a<br />
Several examples of volume haptic are shown in<br />
Figure 6 and volume with haptic interactions in<br />
Figure 7. For haptic interaction with force feedback,<br />
the skin may be penetrated and deformed by tip<br />
when a user applies a force greater than the<br />
boundary stiffness offset of the skin. However, a<br />
bone cannot be penetrated unless the boundary<br />
surface is occluded. Other materials may be<br />
penetrated easily and constrained by friction or<br />
viscous forces for fluidies material such as fat and<br />
blood. The boundary surface occlusion can be done<br />
by pressing the haptic button and push the stylus in<br />
the perpendicular direction.<br />
b<br />
Figure 6. A volume rendering for head with transparent skin<br />
(Top). Clippings several parts of the head to show the interior of<br />
the object (bottom).<br />
F95
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Figure 7. Four examples of haptic interactions on volume<br />
visualisation. From left to right: skin deformation before<br />
penetration (1); tip penetrate the skin (2); skin pealing (3); the<br />
force greater than boundary constrain with no penetration (stylus<br />
disappear from screen)(4)<br />
CONCLUSION<br />
A method to effectively approximate the force<br />
models for interactive volume rendering for head<br />
with haptic interaction in immersive virtual<br />
environment is developed. Overall, this study has<br />
achieved high quality visualizations and force<br />
feedbacks for haptic on a reasonable frame rate. The<br />
volume size of 512 x 512 x 220 can be visualized at<br />
about 20 fps without haptic jerking. The speed slows<br />
down at about 5 fps during large deformations and<br />
generally will drop to below 10 fps when the<br />
pressure force applied over the boundary surface for<br />
un-penetrated object (bone). The visualization<br />
provides good interaction between haptic and<br />
volume objects when the frame rate is greater than<br />
15 fps. This speed was only achievable when the<br />
system was supported with GPU as a coprocessor in<br />
augmenting CPU during computations and texture<br />
processing.<br />
The intensive study for more detail interactions<br />
between haptic and volume object will be explored<br />
in the future study.<br />
REFERENCES<br />
Anonimous (2003). The Visible Human Project. U.<br />
S. N. L. o. Medicine,<br />
http://www.nlm.nih.gov/research/visible/visib<br />
le_human.html.<br />
Anonimous (2005). ReachinAPI 4 Programmer's<br />
Guide, Reachin Technology AB.<br />
Avila, R. S. and L. M. Sobierajski (1996). "A Haptic<br />
Interaction Method for Volume<br />
Visualization." Proc. IEEE Visualization.<br />
Bhasin, Y., A. Liu, et al. (2005). "Simulating<br />
Surgical Incisions Without Polygon<br />
Subdivision." IOS Press 111: 43-49.<br />
Gibson, S., J. Samosky, et al. (1997). Simulating<br />
Arthroscopic Knee Surgery using Volumetric<br />
Object Representations, Real-Time Volume<br />
Rendering and Haptic Feedback. Lecture<br />
Notes in Computer Science, Springer, Berlin:<br />
369-378.<br />
Kim, Y. J., M. A. Otaduy, et al. (2002). "Six-<br />
Degree-of-Freedom Haptic Display Using<br />
Localized Contact Computations."<br />
Lundin, K., B. Gudmundsson, et al. (2005). General<br />
proxy-based haptics for volume visualization.<br />
First Joint Eurohaptics Conference and<br />
Symposium on Haptic Interfaces for Virtual<br />
Environment and Teleoperator Systems<br />
(WHC).<br />
Lundin, K., A. Ynnerman, et al. (2002). Proxy-based<br />
Haptic Feedback from Volumetric Density<br />
Data. Proceedings of Eurohaptics 2002,<br />
University of Edinburgh, United Kingdom.<br />
Malik, M. M., T. Moller, et al. (2007). Feature<br />
peeling, Institute of Computer Graphics and<br />
Algorithms Vienna University of<br />
Technology: 12.<br />
Rezk-Salama, C. and A. Kolb (2006). "Opacity<br />
Peeling for Direct Volume Rendering."<br />
EUROGRAPHICS 2006 25(3).<br />
Sereda, P., A. V. Bartroli, et al. (2006).<br />
"Visualization of Boundaries in Volumetric<br />
Data Sets Using LH Histograms."<br />
Visualization and Computer Graphics, IEEE<br />
Transactions on 12(2): 208-218.<br />
Thompson II, T. V., D. E. Johnson, et al. (1997).<br />
Direct Haptic Rendering Of Sculptured<br />
Models. Proceedings Symposium on<br />
Interactive 3D Graphics, Providence.<br />
West, A. M. and M. R. Cutkosky (1997). "Detection<br />
of real and virtual fine surface features with a<br />
haptic interface and stylus." Proceedings of<br />
ASME Dynamic Systems and Control<br />
Division(61): 159--165.<br />
F96
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Studi Energi Adsorbsi O2 dan OH pada Paduan Pd-Cu Sebagai Katalis<br />
Fuel Cell Hidrogen dengan Metode Ab-Initio<br />
Wahyu Aji Eko Prabowo 1 ,Adri Supardi 2 , Febdian Rusydi 3 ,<br />
1,2,3 Grup <strong>Fisika</strong> Teoretik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
Email : kuro100588@gmail.com<br />
Abstrak<br />
Fuel cell adalah teknologi konversi energi elektrokimia yang menggabungkan hidrogen dan oksigen dengan<br />
melepaskan energi berupa listrik dan panas dalam prosesnya. Salah satu bagian penting dalam fuel cell adalah<br />
katalis. Pada tahap komersialisasi di pasar, katalis yang umum digunakan adalah katalis berbahan dasar platina.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerja katalis berbahan dasar paduan Pd-Cu. Penentuan dari kerja<br />
katalis dapat diketahui dari energi adsorbsinya. Metode yang digunakan dalam penentuan energi adsorbsi ini<br />
adalah dengan metode Ab-Initio. Dalam perhitungan energi adsorbsi ini, digunakan perhitungan secara<br />
komputasi dengan menggunakan program ABINIT. Hasil dari perhitungan dengan menggunakan ABINIT<br />
adalah berupa energi total dari sistem. Energi total tersebut menjadi masukan untuk menghitung energi adsorbsi,<br />
dan kemudian dapat kita analisis performa dari katalis berbahan dasar paduan Pd-Cu.<br />
Kata kunci : Fuel cell, Ab-Initio, Energi Adsorbsi, Paduan Pd-Cu, ABINIT.<br />
PENDAHULUAN<br />
Meningkatnya pemakaian ruang, waktu dan<br />
materi menuntut semakin besarnya sumber energi<br />
yang diperlukan. Seperti misalnya alat transportasi,<br />
alat komunikasi, perlengkapan rumah tangga dan<br />
perlengkapan lainnya. Semuanya memerlukan<br />
energi. Tanpa pasokan energi, semua teknologi<br />
diatas tidak akan berfungsi.<br />
Teknologi konvensional menggunakan minyak<br />
bumi sebagai sumber energi dipandang kurang<br />
efisien serta menimbulkan efek samping, yakni<br />
polusi udara. Pembakaran minyak bumi<br />
menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbon<br />
dioksida (CO2) yang berbahaya. Untuk itu, sumbersumber<br />
energi alternatif lainnya harus segera dicari<br />
dan diaplikasikan, sehingga dapat mengurangi<br />
penggunaan energi konvensional.<br />
Salah satu sumber energi alternatif yang telah<br />
dikembangkan adalah fuel cell. Fuel cell secara<br />
serius telah dikembangkan dan diaplikasikan di<br />
beberapa negara maju seperti Jepang, Jerman, dan<br />
Amerika Serikat. Sejauh ini fuel cell secara prinsip<br />
sangat menjanjikan karena tidak menimbulkan<br />
polusi dan dapat diperbaruhi. Sumber energinya juga<br />
sangat banyak tersedia di alam, yaitu molekul udara<br />
H2O, dan keluarannya adalah air yang jernih dan<br />
layak minum. Fuel cell sangat menjanjikan,<br />
meskipun sebagian orang berpendapat "it is good too<br />
be true."<br />
Fuel cell adalah teknologi konversi energi secara<br />
elektrokimia yang menggabungkan hidrogen dan<br />
oksigen dengan melepaskan energi berupa listrik dan<br />
panas dalam prosesnya. Fuel cell kemudian dapat<br />
berfungsi sebagai baterai, hanya saja bahan bakarnya<br />
diperbarui terus pada saat dia sedang beroperasi.<br />
Pengembangan fuel cell bukan tanpa masalah.<br />
Penggunaan katalis berbahan dasar platina sebagai<br />
elektroda pada fuel cell adalah salah satu hambatan<br />
untuk sampai pada tahap komersialisasi di dunia<br />
pasar, mengingat tingginya harga platina. Selain itu<br />
platina memiliki beberapa kekurangan yang<br />
akhirnya menjadi pertimbangan penting, yakni<br />
lambatnya reaksi reduksi yang terjadi pada katoda<br />
berbahan katalis platina. Para peneliti terus<br />
mengembangkan teknologi fuel cell agar lebih<br />
efisien, tidak mahal dan mudah digunakan.<br />
Sistem fuel cell banyak mengalami<br />
perkembangan pada jenis elektrolitnya. Adanya<br />
perubahan jenis elektrolit juga merekayasa jenis<br />
material dan sistem elektrolitnya. Beberapa jenis<br />
elektrolit yang telah dikembangkan para penemu<br />
antara lain cairan alkali (Alkali Fuel Cell), asam<br />
fosfat (Phosphoric Acid Fuel Cell / PAFC),<br />
membran pertukaran proton (Proton Exchange<br />
Membrane Fuel Cell / PEMFC), serta oksida padat<br />
(Solid Oxide Fuell Cell / SOFC)<br />
Adanya perubahan jenis elektroda yang<br />
menggunakan rekayasa jenis material dan sistem<br />
elektroda membuat perkembangan teknologi<br />
khususnya di bidang dinamika molekuler menjadi<br />
lebih pesat. Perkembangan teknologi di dalam<br />
dinamika molekuler saat ini berfokus pada penelitian<br />
penggunaan bahan komposit nano untuk<br />
menggantikan platina sebagai katalis elektroda pada<br />
fuel cell. Bahan komposit tersebut dapat berupa<br />
polimer yang dipadukan dengan logam yang<br />
segolongan dengan platina. Los Alamos National<br />
Laboratory berhasil mensintesa Kobalt-Polipirol<br />
sebagai katalis baru fuel cell hidrogen yang mampu<br />
menggantikan logam murni platina.<br />
F97
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Berangkat dari pengembangan penggunaan<br />
kobalt-polipirol tersebut, dalam penelitian ini akan<br />
dihitung kemampuan adsorbsi O2 dan OH dengan<br />
paduan Pd-Cu sebagai katalis fuel cell. Pemilihan<br />
Paduan Pd-Cu sebagai katalis dilatar belakangi oleh<br />
tiga hal. Pertama, karena Cu merupakan logam<br />
transisi dengan potensial yang baik dan relatif stabil<br />
pada media asam. Kedua, karena Cu yang dipadukan<br />
dengan Pd sebagai padatan yang dapat menjauhkan<br />
formulasi dari multiphase yang membuat dimensi<br />
material ini lebih stabil. Dan yang ketiga, karena Cu<br />
adalah logam yang memiliki kemampuan untuk<br />
membelah ikatan oksigen dengan baik.[ Savadogo<br />
2008]<br />
REAKSI REDUKSI OKSIGEN PADA FUEL<br />
CELL<br />
Oksigen merupakan elemen yang banyak terdapat<br />
di bumi secara berlimpah. Reaksi reduksi oksigen<br />
merupakan reaksi yang sangat penting dalam proses<br />
kehidupan, misalnya pada sistem konversi energi<br />
seperti pada fuel cell. [Xiao-Zi]<br />
yang memiliki performansi dan stabilitas yang<br />
optimal.[EG & G 2000]<br />
METODE AB-INITIO<br />
Persamaan Schrödinger [Griffiths 2005]<br />
merupakan persamaan yang fundamental dalam<br />
fisika kuantum. Persamaan ini mampu menjelaskan<br />
perilaku dari suatu partikel yang bergerak pada suatu<br />
model potensial eksternal yang terdefinisi.<br />
Persamaan ini didefinisikan sebagai berikut,<br />
(2)<br />
Dengan merupakan fungsi gelombang<br />
partikel, E merupakan solusi energi dari partikel,<br />
dan H merupakan operator Hamiltonian.<br />
Operator Hamiltonian merupakan penjumlahan<br />
operator-operator energi kinetik dan energi<br />
potensial dari partikel. Pada kasus dimana hanya<br />
ada satu partikel,<br />
dan potensial eksternal tidak bergantung pada<br />
variabel waktu, maka operator Hamiltonian dapat<br />
dituliskan sebagai,<br />
(3)<br />
Gambar 1: Reaksi pada Fuel Cell<br />
Fuel cell saat ini umumnya menggunakan platina<br />
sebagai bahan dasar katalis. Pada anode, katalis<br />
platina berfungsi untuk memisahkan gas hidrogen<br />
menjadi elektron dan proton. Pada Gambar1 dapat<br />
dilihat hanya proton H + yang dapat melewati PEM<br />
(Polymer electrolyte membrane), sedangkan elektron<br />
dipaksa untuk keluar sirkuit untuk kemudian<br />
dihubungkan dengan hambatan. Elektron akan<br />
mengalir secara siklik dari hambatan menuju katode.<br />
Pada bagian katode inilah terjadi reaksi reduksi.<br />
Elektron e - dan proton H + bergabung dengan<br />
molekul O2 yang dialirkan pada sisi katode sehingga<br />
menghasilkan air (H2O) sebagai buangannya dengan<br />
kesetimbangan reaksi :<br />
4H+ + 4e - + O2 H2O<br />
(1)<br />
Pada kenyataanya, reaksi reduksi yang terjadi<br />
pada katalis katode berbahan dasar platina sangat<br />
lambat jika dibandingkan dengan reaksi oksidasi<br />
yang terjadi pada anode. Sehingga untuk menjadikan<br />
fuel cell sebagai perangkat konservasi energi<br />
alternatif, dibutuhkan pengembangan bahan katalis<br />
Dimana merupakan operator energi kinetik,<br />
dan merupakan operator energi potensial.<br />
Secara umum, persamaan Schrödinger hanya<br />
bisa dipecahkan secara analitik pada kasus<br />
dengan bentuk potensial yang sederhana saja<br />
(seperti osilator harmonik dan atom hidrogen).<br />
Untuk kasus sistem dengan potensial yang rumit,<br />
seperti kasus sistem dengan elektron banyak,<br />
sangatlah sulit untuk memecahkan persamaan<br />
Schrödinger secara analitik. Karena itu berbagai<br />
pendekatan dibuat untuk memecahkan persoalan<br />
ini, seperti metoda perturbasi, perdekatan Born-<br />
Oppenheimer atau melalui model numerik.<br />
Energi Total<br />
Pada Gambar 2.5 ditunjukkan salah satu contoh<br />
model sistem material zat padat yang terdiri dari inti<br />
atom dan awan elektron. Elektron memiliki massa<br />
yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan inti<br />
atom. Sehingga inti atom dapat dianggap tidak<br />
bergerak dibandingkan dengan elektron. Dari<br />
pendekatan ini, maka energi total E(X1,X2,X3)<br />
untuk setiap susunan inti atom, dapat dihitung.<br />
Energi total merupakan suatu besaran yang dapat<br />
memberikan informasi yang luar biasa pentingnya<br />
mengenai sistem. Harga minimum dari energi pada<br />
setiap kemungkinan posisi inti atom<br />
memberikan informasi energi ikatan sistem. Susunan<br />
dari inti atom pada saat energi mencapai minimum<br />
memberikan struktur stabil dari sistem (equilibrium<br />
structure), termasuk seluruh panjang ikatan antar<br />
F98
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
atom, sudut ikatan dan parameter kisi (lattice<br />
parameters) pada padatan. Turunan dari energi<br />
terhadap koordinat inti atom, memberikan gaya<br />
pada inti atom yang menentukan<br />
dinamika dari sistem. Dari informasi gaya ini, maka<br />
frekuensi vibrasi dan bahkan titik leleh dari sistem<br />
dapat dicari.<br />
Teori fungsional kerapatan (DFT : Density<br />
Functional Theory) memberikan formulasi yang<br />
sederhana untuk energi total sistem yang terdiri dari<br />
inti atom dan elektron-elektron, di mana secara<br />
umum terdapat dua tipe dasar energi, yaitu energi<br />
potensial dan energi kinetik elektron.[hohenberg<br />
1964]<br />
Gambar 2. Contoh model sistem zat padat, titik hitam<br />
menggambarkan inti atom, dan daerah abu-abu menggambarkan<br />
awan elektron<br />
Teori Fungsional Kerapatan<br />
Teori fungsional kerapatan (DFT) menggunakan<br />
kerapatan elektron sebagai peubah utama dalam<br />
suatu sistem partikel. Hal ini berlainan dengan teori<br />
Hartree-Fock yang menggunakan fungsi gelombang<br />
elektron sebagai peubah utamanya. DFT<br />
menyatakan bahwa fungsi gelombang elektronik<br />
pada keadaan dasar merupakan fungsi unik dari<br />
kerapatan elektron.<br />
Pada DFT, energi total sistem dinyatakan pada :<br />
(4)<br />
Dimana kerapatan elektron n(x),dirumuskan sebagai,<br />
(5)<br />
Suku pertama Persamaan (4) merupakan energi<br />
kinetik total dari sistem. Suku kedua merupakan<br />
energi potensial total dari interaksi elektron dengan<br />
inti atom. Suku ketiga merupakan energi potensial<br />
total dari interaksi antar elektron. Suku kelima<br />
merupakan energi potensial total dari interaksi antar<br />
inti. Sedangkan suku keempat merupakan energi<br />
potensial pertukaran korelasi (exchangecorrelation).<br />
Karena persamaan energi merupakan<br />
fungsi dari suatu fungsi (fungsi gelombang), maka<br />
persamaan ini disebut sebagai fungsional.<br />
Rapat muatan elektron pada Persamaan (5), hanya<br />
merupakan harga rata-rata, karena rapat elektron<br />
yang sebenarnya selalu berfluktuasi. Hal ini<br />
disebabkan karena elektron-elektron tersebut<br />
bergerak dan saling berinteraksi satu dengan yang<br />
lain. Fluktuasi rapat elektron ini menimbulkan<br />
kesalahan yang relatif kecil tapi sangat berpengaruh<br />
pada perhitungan di persamaan energi kinetik total<br />
sistem terkait dengan korelasi dengan fluktuasi<br />
tersebut. Karena hal inilah muncul fungsional<br />
pertukaran korelasi (dalam berbagai model), untuk<br />
meningkatkan akurasi perhitungan karena pengaruh<br />
dari rapat muatan rata-rata ini.<br />
Untuk mendapatkan energi minimum dari<br />
Persamaan (4), maka harus didapatkan suatu set<br />
fungsi gelombang elektronik yang tepat, yang<br />
membuat energi sistem menjadi minimum. Tidaklah<br />
mudah untuk mencari turunan pertama dari<br />
Persamaan (5) secara langsung. Hal ini disebabkan<br />
karena persamaan energi total ini memiliki suatu<br />
kendala (constrain), yaitu fungsi gelombang sistem<br />
harus ortonormal. Untuk mencari fungsi gelombang<br />
ini digunakan persamaan Kohn-Sham.<br />
Fungsional Pertukaran Korelasi<br />
Energi kinetik pada persamaan Kohn-Sham<br />
bukanlah energi kinetik sebenarnya, karena<br />
digunakannya rapat muatan rata-rata dari elektron.<br />
Fungsi EXC pada Persamaan (4) tidak mempuyai<br />
bentuk yang pasti. Karena itu perlu dibuat suatu<br />
pendekatan berbasis fungsional terhadap rapat<br />
muatan elektron untuk memodelkan fungsi ini.<br />
Dua pendekatan yang sering digunakan dalam<br />
DFT adalah pendekatan kerapatan lokal (local<br />
density approximation - LDA) dan pendekatan<br />
gradien tergeneralisasi (generalized gradient<br />
approximation - GGA). LDA mengasumsikan<br />
energi korelasi pertukaran pada titik r sama dengan<br />
energi korelasi pertukaran dari gas elektron yang<br />
seragam pada titik r.<br />
Maka energi ini dapat dinyatakan sebagai,<br />
(6)<br />
Sehingga pertukaran korelasi dapat diruliskan:<br />
F99
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dengan<br />
dimana persamaan terakhir diasumsikan<br />
bahwa energi korelasi pertukaran<br />
sepenuhnya lokal. Parametrisasi yang<br />
umum digunakan untuk adalah<br />
model Perdew and Zunger, yang<br />
berdasarkan pada perhitungan Monte Carlo<br />
kuantum dari Ceperley dan Alder pada gas<br />
elektron homogen untuk berbagai<br />
kerapatan.<br />
Untuk sistem dimana variasi dari kerapatan<br />
elektron terhadap posisi tidak bisa diabaikan,<br />
fungsional gradien dapat digunakan.<br />
METODE KOMPUTASI<br />
Pada penelitian kali ini, perhitungan<br />
dilakukan dengan menggunakan program<br />
simulasi ABINIT. Simulasi perhitungan<br />
dengan ABINIT, memberikan solusi<br />
persamaan Kohn-Sham untuk sistem<br />
dengan syarat batas menggunakan plane wave<br />
basis set. Untuk merepresentasikan<br />
interaksi antara inti dan elektron, ABINIT<br />
menggunakan pendekatan Projector Augmened<br />
Wave (PAW). Potensial perubahan korelasi<br />
dideskripsikan oleh General Gradient<br />
Approximation (GGA) dari Perdew et al, yang<br />
dikenal dengan PW91. Pada semua kasus,<br />
ekspansi dari plane wave terbatas pada energi<br />
cutoff sebesar 400 eV untuk mendapatkan<br />
konvergensi yang sesuai. Monkorst-Pack k-<br />
point digunakan untuk penentuan Brillouin<br />
zone. [xavier 2004]<br />
Karena pada perhitungan dengan menmggunakan<br />
program ABINIT, luaran berupa energi total dari<br />
sistem, maka digunakan persamaan :<br />
Gambar 3. Ilustrasi proses adsorbsi pada permukaan<br />
HASIL DAN DISKUSI<br />
Dari hail perhitungan energi adsorbsi pada<br />
beberapa variasi paduan logam Pd-Cu, didapatkan<br />
hasil sebagai berikut :<br />
TABEL I<br />
Perhitungan energi adsorbsi O2 (VSAP vs ABINIT)<br />
konsentrasi Cu (%) VSAP ABINIT<br />
0 ‐0,93 eV ‐0,95 eV<br />
30 ‐1,36 eV ‐1,33 eV<br />
50 ‐1,16 eV ‐1,16 eV<br />
75 ‐0,91 eV ‐0,87 eV<br />
TABEL II<br />
Perhitungan energi adsorbsi OH (VSAP vs ABINIT)<br />
konsentrasi Cu (%) VSAP ABINIT<br />
0 ‐3,10 eV ‐3,18 eV<br />
30 ‐2,70 eV ‐2,72 eV<br />
50 ‐2,95 eV ‐2,99 eV<br />
75 ‐3,28 eV ‐3,28 eV<br />
Gambar 4. Grafik energi adsorbsi O2 terhadap perubahan<br />
konsentrasi Cu<br />
Dengan a,b adalah paduan logam, dan c adalah<br />
unsur atau senyawa yang akan diadsorbsi.<br />
Gambar 5. Grafik energi adsorbsi OH terhadap perubahan<br />
konsentrasi Cu<br />
F100
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Dari data dan grafik diatas, didapatkan hasil yang<br />
bersesuaian antara perhitungan dengan<br />
menggunakan Vienna ab initio Simulation Program<br />
(VSAP) dan perhitungan dengan menggunakan<br />
ABINIT.<br />
Energi Adsorbsi O2 dan OH<br />
Pada data hasil energi adsorbsi O2, logam Pd<br />
dengan penambahan Cu sebesar 30 % (Pd3Cu)<br />
menghasilkan energi adsorbsi yang lebih besar<br />
dibandingkan dengan energi adsorbsi pada<br />
komposisi yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh nilai<br />
dari energi adsorbsi sebesar -1,333 eV. Energi<br />
adsorbsi ini paling stabil diantara paduan yang lain.<br />
Notasi negatif (-) disini mempunyai arti fisis bahwa<br />
katalis memerlukan energi untuk menjerap proton<br />
dan memisahkan elektron sebesar 1,333 eV atau<br />
dapat dikatakan energi yang dibutuhkan untuk<br />
mengikat proton sebesar 1,333 eV.<br />
Sedangkan pada adsorbsi OH, energi adsorbsi<br />
tertinggi terdapat pada logam Pd dengan<br />
penambahan Cu sebesar 30 % (Pd3Cu). Energi<br />
adsorbsi OH yang tinggi ini mengindikasikan bahwa<br />
adsorbsi OH tidak secara termodinamik menyokong<br />
dalam perbandingan dengan paduan Pd, Cu atau<br />
paduan Pd-Cu lainnya. Hal ini dipercaya bahwa<br />
perpaduan di sekitar 30 % mungkin secara signifikan<br />
dapat mereduksi formasi OH pada permukaan Pd<br />
sehingga dapat berperan pada reduksi O2.<br />
KESIMPULAN<br />
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian<br />
ini adalah energi adsorbsi pada suatu permukaan<br />
(surface) katalis fuel cell dapat kita artikan juga<br />
sebagai energi ikat dari permukaan suatu material<br />
terhadap suatu bahan pada katalis fuel cell. Semakin<br />
besar energi adsorbsi suatu material, maka semakin<br />
besar juga energi yang dibutuhkan oleh permukaan<br />
untuk mengikat proton dan memisahkan elektron.<br />
Pada penelitian kali ini, paduan logam yang sesuai<br />
untuk katalis fuel cell adalah paduan Pd3Cu.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
O. Savadogo. (2008), Study ofO2 andOHAdsorption<br />
Energies on Pd Cu Alloys surface with a<br />
Quantum Chemistry Approach, Canada.<br />
EG and G Servies. 2000 Fuel Cell Handbook.<br />
U.S.Department of Energy<br />
Xiao-Zi Yuan and Haijiang Wang. PEM Fuel Cell<br />
Fundamentals. IOP.<br />
D. J. Griffiths (2005) Introduction to Quantum<br />
Mechanics. Pearson Education, Inc., Upper<br />
Saddle River.<br />
W. Kohn dan L. J. Sham .(1965) Self-consistent<br />
Equation Including Exchange and Correlation<br />
E_ects. Phys. Rev.140, A1133.<br />
P. Hohenberg dan W. Kohn. (1964) Inhomogeneous<br />
Electron Gas. Phys.Rev.136,B864.<br />
G.Xavier B. (2004) ABINIT: First Principles<br />
approch to material and nanosystem<br />
properties.<br />
F101
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Penggunaan CCD Garis dan Sumber Cahaya Polikromatis Untuk<br />
Pendeteksian Perubahan Warna Pada Bahan Tumpatan Gigi Dengan<br />
Metode Pengolahan Citra<br />
Yhosep Gita Yhun Y 1 , Samian 1 , Endah Srimulyani 2<br />
1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />
2 Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Fakultas Kedokterran Gigi Universitas Airlangga<br />
Email : yoseph@unair.ac.id<br />
ABSTRAK<br />
Pemaparan disclosing agent yang mengandung warna fluoresensi pada bahan restorasi gigi akan memberikan<br />
perubahan warna pada bahan tumpatan tersebut. Perubahan warna yang terjadi akan membatu dalam proses<br />
diagnosis dibidang kedokteran gigi. Dalam penelitian ini, dilakukan pendeteksian perubahan warna bahan<br />
restorasi gigi jenis kompomer akibat pemaparan disclosing agent menggunakan sensor CCD garis dan cahaya<br />
putih dengan cara memindai bahan restorasi gigi sebelum dan sesudah dipapari dan dibilas menggunakan<br />
aquades untuk sekali dan dua kali bilas. Penghitungan perubahan warna dalam tiga warna yaitu merah, hijau dan<br />
biru (RGB) dilakukan dengan metode pengolahan citra menggunakan program Matlab. Perubahan warna<br />
dihitung dalam format RGB (0 – 255 level) dengan cara menghitung rata-rata selisih nilai RGB tiap pixel image<br />
bahan sebelum dan sesudah pemaparan. Dari sepuluh sampel bahan yang diuji, nilai rata-rata beda R, G, dan B<br />
masing-masing sebesar 6, 16 dan 33 level untuk sekali bilas dan 4, 10 dan 29 level untuk dua kali bilas. Dipihak<br />
lain, standart error sistem pemindaian menghasilkan nilai R, G, dan B maing-masing sebesar 1 yang merupakan<br />
nilai batas terjadinya perubahan warna R, G, dan B. Karena nilai rata beda R, G, dan B lebih besar dari 1, maka<br />
dapat dikatakan terjadi perubahan warna baik untuk perlakuan sekali maupun dua kali bilas.<br />
Kata Kunci : Bahan tumpatan, disclosing agent dan pengolahan citra.<br />
PENDAHULUAN<br />
Perubahan warna pada gigi dapat diklasifikasikan<br />
dalam dua katagori, yaitu perubahan warna<br />
ekstrinsik dan intrinsik. Perubahan warna ekstrinsik<br />
umumnya disebabkan oleh makanan, minuman,<br />
noda tembakau maupun noda logam nitrat perak.<br />
Sedangkan Perubahan warna intrinsik diakibatkan<br />
oleh noda yang terdapat di dalam email dan dentin<br />
(Grossman, 1998). Perubahan warna pada gigi<br />
terjadi akibat noda alamiah maupun pewarnaan<br />
iatrogenik (Walton and Torabinejab, 1996). Noda<br />
alamiah berada permukaan gigi atau berikatan<br />
didalam struktur gigi, sedangkan pewarnaan<br />
iatrogenik disebabkan oleh bahan kimia yang<br />
sengaja dipaparkan untuk tindakan klinis di bidang<br />
kedokteran gigi.<br />
Pendeteksian perubahan warna pada gigi maupun<br />
pengukuran warna gigi telah dilakukan<br />
menggunakan spektroradiometri dengan bantuan<br />
kamera digital dengan dua penyinaran dan dua filter<br />
yang berbeda (DuYong Ng and Jan P. Allebach,<br />
2003). Spektroradiometri juga digunakan dalam<br />
pengukuran warna gigi untuk mengestimasi usia<br />
pemilik gigi (Stella Martin et al, 2003). Kedua<br />
metode menghasilkan kurva intensitas cahaya<br />
pantulan dari gigi sebagai fungsi panjang<br />
gelombang. Seperti telah diketahui bahwa<br />
interpretasi warna secara fisis dilakukan melalui<br />
panjang gelombang cahaya pantulan dari<br />
benda.(spektrum cahaya tampak). Jadi apapun<br />
metode yang digunakan dalam pengukuran warna<br />
harus berbasis pada panjang gelombang cahaya<br />
pantulan dari benda.<br />
Dalam Perkembangan selanjutnya diketahui<br />
bahwa retina manusia mempunyai tiga jenis sel yang<br />
disebut cone. Ketiga sel tersebut peka terhadap<br />
warna merah, hijau, dan biru atau disingkat RGB<br />
(Johnson, P., 1992). Kombinasi RGB tersebut<br />
akhirnya diterjemahkan oleh otak manusia sebagai<br />
warna. Format dalam RGB mempunyai nilai 0 –<br />
255. Pada layar komputer, penampilan warna<br />
dilakukan dalam format RGB. Transformasi nilai<br />
panjang gelombang cahaya tampak ke format RGB<br />
telah dilakukan untuk proses komputasi (Dan<br />
Bruton, 1996).<br />
Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran<br />
perubahan warna bahan tumpatan gigi akibat<br />
pemaparan disclosing agent dalam format RGB<br />
menggunakan sensor CCD garis dan cahaya putih<br />
yang terdapat pada pemindai dengan metode<br />
pengolahan citra memanfaatkan program Matlab.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Pembuatan Program Pengolahan Citra<br />
Program penghitungan nilai beda RGB dilakukan<br />
per pixel dari citra hasil pemindaian. Metode<br />
pengolahan citra memanfaatkan image processing<br />
toolboxes pada program Matlab 7.9.0 (R2009B).<br />
F102
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Diagam alir program pengolahan citra diperlihatkan<br />
pada Gambar 1.<br />
START<br />
Memisah citra, menjadi komponen<br />
R,G,B (baik sebelum sesudah<br />
pemaparan)<br />
Melakukan operasi pengurangan<br />
untuk masing komponen R,G,B<br />
(sesudah – sebelum)<br />
Menghitung nilai rata-rata untuk<br />
setiap nilai beda hasil pengurangan<br />
masing komponen R,G,B<br />
Menampilkan hasil untuk masing –<br />
masing komponen R,G,B dalam<br />
bentuk grafik dan chart<br />
Menyimpan hasil.<br />
END<br />
Gambar 1. Diagram alir program pengolahan citra<br />
Keterangan program :<br />
Memisahkan komponen citra menjadi komponen R,<br />
komponen G, dan komponen B, untuk masingmasing<br />
citra sebelum dan sesudah perlakuan<br />
(pemaparan disclosing agent). sekaligus<br />
memberikan penamaan untuk tiap R, G, dan B<br />
dari citra sampel sebelum dan sesudah.<br />
Melakukan operasi aritmatik untuk memperoleh<br />
beda nilai R, G, dan B setiap piksel citra pada<br />
komponen matrik yang sama. Secara matematis<br />
operasi tersebut dapat ditulis :<br />
Nilai beda = |Rsesudah - Rsebelum| (1)<br />
Persamaan (1) berlaku untuk nilai beda G dan B.<br />
Menghitung nilai rata-rata untuk setiap nilai beda<br />
masing-masing komponen R,G,B.<br />
Menampilkan hasil untuk masing –masing<br />
komponen R,G,B.dalam bentuk grafik dan chart<br />
Menyimpan hasil perhitungan dalam bentuk grafik<br />
dan dalam format excel.<br />
Program diuji dengan menghitung nilai beda R,<br />
G, dan B dari file yang sama. Bila nilai beda R, G,<br />
dan B yang diperoleh nol, maka program berfungsi<br />
dengan baik.<br />
Menentukan Standart Error Sistem Pengukuran<br />
Sistem pengukuran terdiri dari pemindaian dan<br />
pemilihan luas serta koordinat piksel dari citra<br />
sampel yang dilakukan secara manual dalam bentuk<br />
matrik. Standart error sistem pengukuran diperlukan<br />
untuk menentukan terjadinya perubahan warna<br />
(RGB) pada citra sampel sebelum dan sesudah<br />
perlakuan. Penentuan standart error sistem<br />
dilakukan dengan memindai sampel yang sama<br />
sebanyak 30 kali, kemudian dilakukan pemilihan<br />
luas dan koordinat piksel dari tiap citra sampel hasil<br />
pemindaian. Dari hasil pemilihan luas citra<br />
kemudian dipisahkan komponen R, G, dan B dan<br />
dihitung standart error untuk masing-masing nilai<br />
R, G, dan B berdasarkan persamaan berikut :<br />
( n − n )<br />
∑ σ = ..................... (2)<br />
N −1<br />
Dengan n, n dan N masing-masing menyatakan<br />
nilai hasil pengukuran, nilai rata-rata hasil<br />
pengukuran dan jumlah pengukuran.<br />
Menentukan perubahan warna sampel akibat<br />
perlakuan<br />
Sampel berupa 10 buah tumpatan gigi dari bahan<br />
komponer dipindai sebelum perlakuan untuk diambil<br />
citranya. Perlakuan diberikan dengan memaparkan<br />
disclosing agent yang mengandung fluorescent pada<br />
sampel. Setelah kering, sampel dibilas dengan<br />
aquades kemudian dipindai setelah keadaannya<br />
kering. Pembilasan dilakukan sekali lagi kemudian<br />
dipindai lagi untuk diambil citranya.<br />
Hasil pemindaian citra sampel sebelum dan<br />
sesudah perlakuan (sekali dan dua kali bilas)<br />
kemudian dipilih luasannya dan dipisahkan<br />
berdasarkan komponen R, G, dan B. Pemilihan<br />
luasan sampel sebelum dan sesudah perlakuan, luas<br />
serta koordinat dari piksel yang dipilih harus sama<br />
agar operasi pengurang nilai R, G, dan B dilakukan<br />
pada piksel yang sama. Setelah melakukan operasi<br />
penghitungan berdasarkan Persamaan (1), program<br />
kemudian menyimpan hasilnya dalam bentuk nilai<br />
beda rata-rata R, G, dan B per piksel dalam luasan<br />
citra sekaligus histogram beda nilai tiap piksel.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil uji program penghitungan nilai beda R, G,<br />
dan B dari file yang sama menghasilkan nilai beda<br />
untuk R, G, dan B masing-masing bernilai nol,<br />
artinya program penghitungan sudah bekerja dengan<br />
baik karena program mengurangkan nilai yang sama.<br />
Sedangkan hasil uji standart error sistem<br />
pengukuran diperlihatkan pada Tabel 1.<br />
F103
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 1. Hasil penghitungan nila R, G, dan B untuk 30 hasil<br />
pemindaian dan pemilihan luas sampel<br />
Pindai<br />
ke<br />
nilai rata-rata luasan<br />
(level)<br />
R G B<br />
1 213 173 73<br />
2 213 173 76<br />
3 213 173 75<br />
4 213 173 76<br />
5 213 173 76<br />
6 213 173 75<br />
7 213 172 74<br />
8 213 173 76<br />
9 213 173 78<br />
10 213 173 76<br />
11 213 173 76<br />
12 212 172 75<br />
13 212 172 74<br />
14 212 172 76<br />
15 212 172 77<br />
16 213 172 77<br />
17 212 172 74<br />
18 212 172 75<br />
19 212 172 76<br />
20 212 172 75<br />
21 212 172 74<br />
22 212 172 75<br />
23 212 172 77<br />
24 212 172 76<br />
25 213 172 77<br />
26 212 172 77<br />
27 212 172 75<br />
28 212 172 76<br />
29 212 172 75<br />
30 212 172 77<br />
sebelum<br />
Gambar 2. Citra hasil pemidaian sampel sebelum dan sesudah<br />
perlakuan.<br />
sebelum<br />
Gambar 3. Hasil pemilihan luasan citra sampel sebelum dan<br />
sesudah perlakuan<br />
R G B<br />
sebelum<br />
sesudah<br />
sesudah<br />
R G B<br />
sesudah<br />
Gambar 3. Hasil pemisahan komponen R, G, dan B luasan citra<br />
sampel sebelum dan sesudah perlakuan<br />
Contoh hasil olah program terhadap<br />
penghitungan nilai beda R, G, dan B sampel pada<br />
Gambar 3 serta histogramnya masing-masing<br />
diperlihatkan pada Gambar 4, Gambar 5, dan<br />
Gambar 6.<br />
Berdasar persamaan (2), diperoleh standart error<br />
sistem pengukuran untuk R, G, dan masing-masing<br />
sebesar 1. Artinya jika hasil pengukuran sampel<br />
untuk tiap komponen R, G, maupun B menghasilkan<br />
nilai beda lebih besar dari 1, dapat dikatakan sampel<br />
telah mengalami perubahan warna untuk tiap<br />
komponennya.<br />
Salah satu hasil pemidaian citra sampel sebelum<br />
dan sesudah perlakuan (pembilasan pertama)<br />
diperlihatkan pada Gambar 2. Luasan citra terpilih<br />
serta pemisahan komponen R, G, dan B masingmasing<br />
diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.<br />
Gambar 4. Hasil penghitungan nilai beda R serta histogramnya<br />
F104
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Tabel 2. Hasil penghitungan nilai beda R, G, dan B dengan<br />
perlakuan sekali dan dua kali bilas.<br />
Sampel<br />
nilai beda rata-rata per piksel<br />
1 x bilas (a) 2 x bilas (b)<br />
R G B R G B<br />
1 4 18 35 2 8 35<br />
2 2 11 22 2 9 32<br />
3 11 21 39 2 3 6<br />
4 9 22 50 8 18 51<br />
5 6 12 17 5 9 16<br />
6 3 18 34 4 4 9<br />
7 7 16 24 5 10 30<br />
8 10 20 58 10 20 59<br />
9 4 19 27 5 19 42<br />
10 4 3 20 6 3 13<br />
Gambar 5. Hasil penghitungan nilai beda G serta histogramnya<br />
Gambar 6. Hasil penghitungan nilai beda B serta histogramnya<br />
Hasil penghitungan nilai beda R, G, dan B untuk<br />
10 buah sampel dengan perlakuan sekali dan dua<br />
kali bilas diperlihatkan pada Tabel 2.<br />
Nilai beda rata-rata per piksel untuk 10 buah<br />
sampel dengan perlakuan satu kali bilas hasilnya<br />
adalah nilai beda R = 6 , G = 16 , dan B = 33 .<br />
Untuk perlakuan dua kali bilas menghasilkan nilai<br />
beda R = 5 , G = 10 , dan B = 29 . Berdasarkan<br />
standart error sistem pengukuran (R = 1, G = 1, dan<br />
B = 1), pemaparan disclosing agent disertai<br />
pembilasan menggunakan aquades baik sekali bilas<br />
maupun dua kali bilas menghasilkan perubahan<br />
warna karena nilai R , G , dan B lebih besar dari<br />
satu. Perubahan terbesar terjadi pada warna biru<br />
sebesar 33 level untuk pembilasan pertama dan 29<br />
level untuk pembalasan kedua. Untuk keadaan dari<br />
pembilasan pertama ke pembilasan kedua terjadi<br />
perubahan pada warna hijau (6 level) dan biru (4<br />
level). Untuk warna merah tidak mengalami<br />
perubahan warna karena nilai perubahannya tidak<br />
lebih besar dari satu.<br />
Hasil penghitungan nilai perubahan warna pada<br />
bahan tumpatan dapat dikatakan sangat akurat<br />
karena nilai perubahan warna dihitung per piksel.<br />
Sementara itu, pemindaian dilakukan dengan<br />
resolusi 150 dpi (dot per inch), maka tiap piksel<br />
yang dihitung mempunyai luas 0,26 mm 2 . Dipihak<br />
lain, luas sampel yang dihitung rata-rata sebesar 31,4<br />
mm 2 .<br />
KESIMPULAN<br />
Penggunaan CCD garis dan cahaya putih yang<br />
ada dalam alat pemindai dengan bantuan program<br />
pengolahan citra dapat mendeteksian perubahan<br />
warna pada restorasi gigi dari bahan kompomer<br />
akibat pemaparan bahan disclosing agent disertai<br />
pembilasan menggunakan aquades. Metode yang<br />
sama juga dapat digunakan untuk mendeteksi<br />
perubahan warna pada bahan restorasi gigi jenis<br />
yang lain dan akibat pemaparan bahan yang lain<br />
sepanjang sampel bahan restorasi gigi tersebut dapat<br />
dipindai dengan alat pemindai<br />
F105
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Dubois, Eric., 2009, The Structure and Properties of<br />
Color Spaces and the Representation of Color<br />
Images, Morgan & Claypool Publishers,<br />
Ottawa.<br />
DuYong Ng and Jan P. Allebach, 2003, Non Contact<br />
Imaging Colorometer for Human Tooth Color<br />
Assessment Using Digital Camera, Journal of<br />
Imaging Science and Technology, Vol. 47,<br />
No. 6, 531 – 538.<br />
Gonzales, R,C., Wood R, E., and Eddin S, L., 2003,<br />
Digital Image Processing Using MATLAB,<br />
Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.<br />
Grossman, L. I., 1998, Endodontic Practice,<br />
Eleventh Edition, Lea & Febiger,<br />
Pensylvania.<br />
http://www.physics.sfasu.edu/astro/color.html.<br />
Tanggal akses 1 Juni 2010 (Dan Burton,<br />
1996)<br />
Johnson, P., 1992, Human – Computer Interaction.<br />
Psychoogy, Task Analysis and Software<br />
Engineering, Mc Graw Hill, London.<br />
Stella Martin, Aurora Valenzuala, Renzo Bellini,<br />
Carlos Salas, Manuel Rubino, Jose Antonio<br />
Garcia, 2003, Objective Measurement of<br />
Dental Color for Age Estimation by<br />
Spectroradimetry, Forensic Science<br />
International, 132, 57 – 62.<br />
Walton, R. and Torabinejab, M., 1996, Principle and<br />
Practice of Endodontic, Second Edition, W.<br />
B. Saunder Co, Philadelphia.<br />
F106
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sistem Pengenalan Wicara Otomatis Menggunakan<br />
Discrete Wavelet Neural Network (DWNN)<br />
Yunus Wicaksono S 1 , Djoko Purwanto 2 , Agus Sigit Pramono 3<br />
1,2 Program Studi Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />
3 Program Studi Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />
Email : yunus_ws@yahoo.com<br />
Abstrak<br />
Pengenalan wicara merupakan teknologi terapan dari pemrosesan sinyal digital yang telah banyak digunakan dan<br />
diterapkan pada berbagai bidang. Teknik ini memungkinkan seseorang dapat mengaktifkan suatu peralatan<br />
elektronik hanya dengan memberikan sebuah perintah suara. Metode Discrete Wavelet Neural Network<br />
(DWNN) diterapkan pada sistem pengenalan wicara otomatis yang merupakan kombinasi dari Discrete Wavelet<br />
dan Multi-Layer Perceptron. Discrete Wavelet digunakan untuk ektraksi ciri (feature extraction) dalam domain<br />
frekwensi-waktu, yang terdiri atas Discrete Wavelet Transform (DWT) dan wavelet entropy. Sedangkan Multi-<br />
Layer Perceptron digunakan untuk klasifikasi dengan feed-forward neural network. Performa dari sistem<br />
dievaluasi dengan menggunakan perintah suara pada lingkungan ber-noise. Hasil test menunjukkan efektivitas<br />
dari sistim pengenalan wicara otomatis menggunakan DWNN. Keberhasilan tingkat pengenalan hingga<br />
mencapai 90% untuk beberapa sample perintah suara.<br />
Kata kunci : Discrete Wavelet Neural Network, feature extraction, Multi-Layer Perceptron, pengenalan<br />
wicara otomatis, wavelet entropy<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Sistem pengenalan wicara umumnya<br />
menggolongkan/mengklasifikasi sinyal wicara<br />
berdasarkan pada ciri dari sinyal wicara, yang<br />
umumnya diperoleh menggunakan Fast Fourier<br />
Transforms ( FFT), Short Time Fourier Transforms<br />
(STFT), atau teknik Linear Predictive Coding<br />
(LPC). Pada metode ini terdapat beberapa<br />
kekurangan. Metoda ini menerima sinyal stasioner<br />
dalam batasan waktu yang telah ditentukan,<br />
sehingga kurang mampu meneliti peristiwa yang<br />
dilokalisir dengan tepat. Lebih dari itu, metoda LPC<br />
hanya menerima model linier tertentu dari sinyal<br />
wicara. Untuk mengatasi hal ini digunakan<br />
transformasi wavelet. Transformasi wavelet adalah<br />
sebuah teknik penjendelaan variabel (variable<br />
windowing technique) yang mengijinkan interval<br />
waktu yang lebih teliti pada komponen frekuensi<br />
rendah dan interval waktu yang lebih lebar pada<br />
komponen frekuensi yang lebih tinggi. Sehingga<br />
transformasi wavelet mampu meneliti peristiwa yang<br />
dilokalisir dengan tepat.<br />
Artificial Neural Networks (ANN) terdiri atas<br />
unsur-unsur yang tidak linier, beroperasi secara<br />
paralel pada pola yang serupa dengan jaringan<br />
neural makhluk hidup. Keuntungan utama<br />
penggunaan ANN pada pengenalan wicara ini<br />
adalah untuk memecahkan permasalahan tentang<br />
kesalahan toleransi yang tidak linier. Pada penelitian<br />
ini metode Discrete Wavelet Neural Network<br />
(DWNN) diterapkan pada sistem pengenalan wicara<br />
otomatis yang merupakan kombinasi dari Discrete<br />
Wavelet dan Multi-Layer Perceptron. Discrete<br />
Wavelet digunakan untuk ektraksi ciri (feature<br />
extraction) dalam domain frekwensi-waktu, yang<br />
terdiri atas Discrete Wavelet Transform (DWT) dan<br />
wavelet entropy. Sedangkan Multi-Layer Perceptron<br />
digunakan untuk klasifikasi dengan menggunakan<br />
teknik pelatihan Backpropagation.<br />
2. PRINSIP KERJA SISTEM PENGENALAN<br />
WICARA<br />
Pengenalan wicara ini dilakukan secara otomatis<br />
untuk mengklasifikasi suara ucapan “alfa”, “beta”,<br />
dan “gama”. Sistem pengenalan wicara ini<br />
menggunakan metode Discrete Wavelet Neural<br />
Network (DWNN). Secara umum, prinsip kerja<br />
sistem pengenalan wicara ini terdiri atas 2 fase, yaitu<br />
fase training dan fase testing. Pada fase training<br />
melibatkan proses perekaman data suara. Data suara<br />
direkam secara langsung dari mikrofon untuk<br />
dijadikan data referensi. Kemudian, data referensi<br />
tersebut (alfa, beta, dan gama) dilatihkan<br />
menggunakan metode Discrete Wavelet Neural<br />
Network, sehingga didapatkan nilai bobot (weight)<br />
yang optimal. Setelah mendapatkan nilai bobot yang<br />
optimal, dilakukan proses testing. Pada fase testing,<br />
data suara yang diterima oleh mikrofon akan<br />
diklasifikasikan berdasarkan data referensi yang<br />
dimasukkan (alfa, beta, dan gama). Gambar 2.1 dan<br />
Gambar 2.2 menunjukkan diagram blok fase<br />
training dan fase testing pengenalan wicara<br />
otomatis.<br />
F107
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Sample training<br />
(alfa, beta, gama)<br />
PRE<br />
PROCESSING<br />
Gambar 2.1 Diagram Blok Fase Training Pengenalan Wicara<br />
Sample testing<br />
PRE<br />
PROCESSING<br />
FEATURE<br />
EXTRACTION<br />
FEATURE<br />
EXTRACTION<br />
Alfa, Beta, Gama<br />
Backpropagation<br />
(Forward-backward)<br />
Selection speech<br />
recognition<br />
Backpropagation<br />
(Forward)<br />
Gambar 2.2 Diagram Blok Fase Testing Pengenalan Wicara<br />
3. ALGORITMA SISTEM PENGENALAN<br />
WICARA OTOMATIS<br />
Pengenalan wicara adalah suatu penggolongan<br />
pola, dimana suatu pola masukan digolongkan<br />
berdasarkan urutan pola yang disimpan yang sudah<br />
dilatihkan sebelumnya. Umumnya proses ini dibagi<br />
menjadi dua langkah, yaitu:<br />
1. Feature Extraction.<br />
2. pattern classification.<br />
Feature extraction merupakan proses<br />
mengekstraksi data hasil akuisisi sinyal wicara<br />
sehingga dihasilkan data yang berdimensi lebih<br />
kecil, yang digunakan untuk merepresentasikan<br />
masing-masing wicara yang diucapkan. Pattern<br />
classification menyangkut prosedur aktual untuk<br />
mengklasifikasi wicara yang diucapkan dengan<br />
membandingkan fitur ekstraksi suara yang belum<br />
dikenali dengan himpunan wicara yang telah<br />
dikenal. Proses pattern classification sinyal wicara<br />
menyajikan dua sesi yang berbeda, yang pertama<br />
adalah sesi pendaftaran (enrollment sessions) atau<br />
fase training, sedangkan yang kedua adalah sesi<br />
operasi atau fase testing. Di dalam fase training,<br />
dimasukkan sample sinyal wicara sehingga sistem<br />
dapat mulai dilatih berdasarkan reference model<br />
sinyal wicara tersebut.<br />
Pada penelitian ini algoritma pengenalan wicara<br />
diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1, terdiri atas 2<br />
bagian besar yaitu: (a) akuisisi data dan pre<br />
processing, (b) ekstraksi ciri (feature extraction) dan<br />
classification. Proses pertama adalah Akuisisi data,<br />
yaitu mengakuisisi ucapan pembicara (dalam sinyal<br />
analog) dan mengubahnya menjadi sinyal digital.<br />
Kemudian sinyal tersebut dilewatkan pada proses<br />
pre-processing yang meliputi: front-end point<br />
detection, normalisasi dan denoising. Front-end<br />
point detection digunakan untuk memisahkan antara<br />
sinyal wicara (voice) dengan bukan sinyal wicara<br />
(unvoice). Sedangkan de-noising digunakan untuk<br />
menghasilkan sinyal wicara yang lebih bersih.<br />
Ekstraksi ciri (feature extraction), yaitu mengekstrak<br />
data hasil akuisisi sehingga dihasilkan data yang<br />
berdimensi lebih kecil tanpa merubah karakteristik<br />
sinyal wicara tersebut. Proses terakhir adalah<br />
Classification, yaitu tahapan pembelajaran untuk<br />
membentuk suatu model referensi sehingga dapat<br />
dilakukan proses pengenalan wicara. Model<br />
referensi yang terbentuk akan digunakan dalam<br />
pencocokan pola.<br />
Sample wicara<br />
PRE -<br />
PROCESSING<br />
Alfa<br />
Beta<br />
Gama<br />
• Front-end<br />
detection<br />
• Normalisa<br />
si<br />
CLASSIFICA-<br />
TION<br />
Neural<br />
Network<br />
Memenuhi<br />
kriteria<br />
Gambar 3.1 Algoritma Sistem Pengenalan Wicara.<br />
4. PEREKAMAN SINYAL WICARA<br />
Perekaman sinyal wicara dilakukan untuk<br />
mendapatkan sample data training. Sample tersebut<br />
direkam dengan frekuensi sampling sebesar 10kHz<br />
dan diubah dalam bentuk format file ”.DAT”.<br />
Perekaman satu sample sinyal wicara membutuhkan<br />
waktu selama 1,5 detik, sehingga dengan frekuensi<br />
sampling sebesar 10kHz didapatkan 15000 data.<br />
Pada penelitian ini dilakukan perekaman terhadap 45<br />
sample sinyal wicara (15 sample sinyal wicara<br />
“alfa”, 15 sample sinyal wicara “beta”, 15 sample<br />
sinyal wicara “gama”), dimana 15 sample dari<br />
masing-masing sinyal wicara tersebut<br />
(“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan untuk sample<br />
training. Gambar 4.1 menunjukkan hasil perekaman<br />
sample sinyal alfa, beta, dan gama.<br />
(a)<br />
(b)<br />
FEATURE<br />
EXTRACTION<br />
Tidak memenuhi<br />
kriteria<br />
Discrete<br />
Wavelete<br />
Transform<br />
(DWT)<br />
Seleksi<br />
pengenalan wicara<br />
1. Durasi waktu<br />
2. Energi tiap level<br />
3. Energi Total<br />
Selain Alfa, Beta, Gama<br />
F108
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
(c)<br />
Gambar 4.1 Hasil Perekaman Sample Sinyal (a) Alfa, (b) Beta,<br />
dan (c) Gama.<br />
5. PRE PROCESSING SINYAL WICARA<br />
Setelah dilakukan proses perekaman sinyal<br />
wicara, selanjutnya dilakukan proses pre processing.<br />
Pada proses ini meliputi:<br />
1. front end point detection<br />
2. normalisasi<br />
3. dan denoising<br />
Front end point detection digunakan untuk<br />
memisahkan antara sinyal wicara (voice) dengan<br />
bukan sinyal wicara (unvoice). Normalisasi<br />
dilakukan untuk mengatasi besar kecilnya sinyal<br />
wicara yang diucapkan. Sedangkan denoising<br />
digunakan untuk menghasilkan sinyal wicara yang<br />
lebih bersih dari noise.<br />
5.1 Front End Point Detection<br />
Front–end point detection digunakan untuk<br />
memisahkan antara sinyal wicara (voice) dan bukan<br />
sinyal wicara (unvoice) dengan menentukan posisi<br />
awal dan akhir dari sinyal wicara. Proses ini<br />
menggunakan transformasi wavelet dengan tiga<br />
tingkat dekomposisi, pada frekuensi sampling<br />
10kHz. Analisa filter bank dari dekomposisi wavelet<br />
diberikan pada persamaan (5.1) dan (5.2). Di mana<br />
Wj(n) adalah koefisien perkiraan dan Sj(n) adalah<br />
koefisien detil dari wavelet, j menunjukkan level<br />
dari dekomposisi dan m menunjukkan jumlah level<br />
dari dekomposisi. Koefisien perkiraan pada<br />
dekomposisi tingkat ketiga (0-625Hz) dipilih<br />
berdasarkan kebanyakan frekuensi dari suara<br />
manusia berada dibawah 1kHz.<br />
dimodifikasi diperoleh dari persamaan (5.3). Dimana<br />
i menunjukkan nomor frame dan j merupakan<br />
sample dalam setiap frame, dalam hal ini digunakan<br />
220 samples/frame. Wi(j) menunjukkan energi<br />
wavelet dari j sample dalam i frame. K adalah<br />
konstanta positif yang ditambahkan dengan energi<br />
wavelet untuk tujuan memberi nilai penting pada<br />
fungsi probability density. Nilai K dipilih didasarkan<br />
pada SNR dari suara dan noise, untuk penelitian ini<br />
digunakan nilai K = 0.5.<br />
Negative wavelet entropy diperoleh dari<br />
persamaan (5.4). Koefisien perkiraan ditingkat<br />
ketiga dari dekomposisi wavelet dipilih untuk<br />
menghitung negative wavelet entropy, sebab dapat<br />
menyediakan lebih banyak immunisasi melawan<br />
terhadap noise. Hal ini mempertimbangkan fakta<br />
bahwa energi noise berada pada frekuensi tinggi.<br />
wavelet entropy dengan jelas menetapkan suara<br />
gaduh (noise) ke transisi suara (wicara) sebagai start<br />
point suara (wicara) dan transisi dari suara (wicara)<br />
ke suara gaduh (noise) sebagai bagian akhir (end<br />
point ) dari suara(wicara). Untuk lebih jelasnya<br />
dapat dilihat pada Gambar 5.1 Untuk menentukan<br />
titik-awal dan titik-akhir dari kurva ini adalah<br />
sebagai berikut:<br />
1. Menghitung nilai threshold: nilai<br />
threshold didapatkan dari Rata-Rata<br />
nilai-nilai wavelet entropy.<br />
Membandingkan nilai-nilai wavelet entropy<br />
dengan threshold: untuk menentukan start point,<br />
Jika nilai entropy dari dua frame pertama adalah<br />
kurang dari nilai threshold dan nilai entropy dari<br />
frame yang ketiga adalah lebih besar dari threshold,<br />
maka frame yang pertama dipilih sebagai start point.<br />
untuk menentukan end point, jika nilai entropy<br />
pertama dari suatu frame adalah lebih besar dari<br />
nilai threshold, kemudian secara berurutan nilai<br />
entropy dari frame kedua lebih besar dari nilai<br />
threshold maka, frame kedua dipilih sebagai end<br />
point.<br />
∑ ∞ j<br />
( n)<br />
= S<br />
j−1<br />
k = −∞<br />
w ( k)<br />
h(2n<br />
− k)<br />
(5.1)<br />
∑ ∞ j<br />
( n)<br />
= S<br />
j−1<br />
k = −∞<br />
s ( k)<br />
g(2n<br />
− k)<br />
( w ( j)<br />
+ K)<br />
P ( ) = i<br />
i<br />
j<br />
N<br />
∑ ( w<br />
i<br />
( j)<br />
+ K )<br />
j = 1<br />
(5.2)<br />
(5.3)<br />
(a)<br />
ddsdf<br />
N<br />
WE ( i)<br />
= P ( j)<br />
× log( P ( j))<br />
(5.4)<br />
∑<br />
i<br />
j=<br />
1<br />
i<br />
Koefisien perkiraan Wj(n) pada dekomposisi<br />
tingkat ketiga digunakan untuk menentukan energi<br />
wavelet. Fungsi probability density yang<br />
(b)<br />
F109
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Gambar 5.1 (a) Sinyal Wicara dan Tanda Start Point dan End<br />
Point untuk Suara “Gama”, (b) Wavelet Entropy untuk Suara<br />
“Gama”.<br />
5.2 Denoising Sinyal Wicara<br />
Step kedua dari proses pre processing adalah<br />
denoising. Denoising digunakan untuk mereduksi<br />
noise pada sinyal wicara. Proses denoising<br />
menggunakan trasformasi wavelet diskrit. Prosedur<br />
denoising terdiri dari 3 tahap:<br />
1. Melakukan dekomposisi wavelet pada sinyal<br />
wicara hingga level 7 menggunakan db10.<br />
Dekomposisi ini menghasilkan 7 detail<br />
coefficient (cD1, cD2, cD3, cD4, cD5, cD6,<br />
cD7), seperti yang terlihat pada Gambar 3.10.<br />
Rumus matematis untuk dekomposisi dapat<br />
dilihat pada persamaan (5.1) dan persamaan<br />
(5.2)<br />
2. Memberikan soft threshold pada setiap detail<br />
coefficient dari level1 hingga level 7, sesuai<br />
dengan persamaan (5.5), (5.6), dan (5.7). λ<br />
adalah besar threshold, sedangkan σ adalah<br />
perkiraan standard deviation noise. MAD<br />
merupakan Median Absolute Difference, N<br />
adalah jumlah sample detail coefficient, dan x<br />
merupakan detail coefficient sinyal wicara.<br />
3. Melakukan rekontruksi pada pada setiap<br />
detail coefficient dari level1 hingga level 7<br />
setelah melalui proses soft threshold,<br />
mengikuti persamaan (5.8). Hasil dari proses<br />
rekontruksi sinyal wicara, sekaligus<br />
merupakan proses terakhir dari denoising.<br />
⎪⎧<br />
sign(<br />
x)(<br />
x−λ)<br />
if x > λ (5.5)<br />
THR soft<br />
= ⎨<br />
⎪⎩ 0<br />
if x > λ<br />
λ = σˆ 2log( N)<br />
(5.6).<br />
ˆ σ = MAD 0.6745<br />
(5.7)<br />
∑{ yhigh[ k] . g[ 2k<br />
− n] + ylow[ k] . h[ 2k<br />
− ]}<br />
x[ n]<br />
= n (5.8)<br />
5.3 Normalisasi<br />
Seringkali saat memasukkan suara pada<br />
mikrofon, jarak antara mikrofon dan pembicara<br />
berubah-ubah (bervariasi), sehingga mengakibatkan<br />
perbedaan amplitudo sinyal wicara, meskipun<br />
ucapan yang dimasukkan sama. Hal ini dikarenakan<br />
semakin jauh jarak antara pembicara dan mikrofon,<br />
maka amplitudo sinyal wicara yang ditangkap<br />
semakin kecil. Untuk mengatasi hal ini dilakukan<br />
normalisasi sinyal wicara yang diucapkan. Pada<br />
penelitian ini proses normalisasi dilakukan dengan<br />
membagi setiap sample sinyal wicara x(n) dengan<br />
nilai tertinggi dari sinyal wicara tersebut mx, seperti<br />
pada persamaan (5.9).<br />
x(<br />
n)<br />
xˆ ( n)<br />
= (5.9)<br />
mx<br />
6. FEATURE EXTRACTION DENGAN DWT<br />
Pada penelitian ini digunakan feature extraction<br />
menggunakan DWT dengan struktur dekomposisi<br />
hingga level 7, sehingga diperoleh delapan<br />
koefisien, satu approximation coefficient(cA) dan<br />
tujuh detail coefficient (cD), seperti yang<br />
ditunjukkan pada Gambar 6.1. DWT diaplikasikan<br />
pada sinyal wicara menggunakan Daubechies10<br />
(db10), Rumus matematis untuk dekomposisi dapat<br />
dilihat pada persamaan (6.1) dan persamaan (6.2).<br />
Dengan y low<br />
[k]<br />
adalah approximation coefficient<br />
dari transformasi wavelet pada dekomposisi level k,<br />
y high<br />
[ k]<br />
adalah detail coefficient dari transformasi<br />
wavelet pada dekomposisi level k. x[n] adalah sinyal<br />
input, h[n] adalah koefisien lowpass filter dari<br />
wavelet yang digunakan dan g[n] adalah koefisien<br />
dari highpass filter dari wavelet yang digunakan.<br />
y k = ∑ x n . g 2k<br />
− n<br />
(6.1)<br />
y<br />
g<br />
high<br />
low<br />
[ ] [ ] [ ]<br />
n<br />
[ n] . h[ k − n]<br />
[ k]<br />
= ∑ x 2<br />
(6.2)<br />
n<br />
[ L 1−<br />
n] = ( −1) n . h[ n]<br />
− (6.3)<br />
Untuk mendapatkan koefisien lowpass filter h[n],<br />
digunakan bantuan dari matlab, Gambar 3.11<br />
merupakan listing program untuk mendapatkan<br />
koefisien lowpass filter h[n], dimana secara<br />
berurutan nilai pada kolom 1 sampai dengan kolom<br />
20 menunjukkan nilai dari h[0] sampai dengan<br />
h[19]. koefisien h[n] yang didapatkan digunakan<br />
untuk mendapatkan koefisien filter highpass dengan<br />
menggunakan persamaan (6.3).<br />
Gambar 6.1 Struktur Dekomposisi pada Level 7.<br />
Setelah didapatkan koefisien-koefien wavelet dari<br />
proses dekomposisi level 7 (cD 1 , cD 2 , cD 3 , cD 4 , cD 5 ,<br />
cD 6 , cD 7 , cA 7 ), selanjutnya dilakukan proses wavelet<br />
entropy. Wavelet entropy menguraikan penyajian<br />
informasi yang akurat dari sinyal wicara. Persamaan<br />
wavelet entropy diberikan pada persamaan (3.13),<br />
dimana E adalah wavelet entropy , dan s adalah<br />
koefisien-koefisien wavelet hasil dekomposisi.<br />
Sedangkan (S i ) adalah data sinyal wicara dari setiap<br />
koefisien-koefisien wavelet dengan sample number<br />
i. Kemudian P adalah power, harus diisi dengan nilai<br />
1≤ P
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
dinormalisir dengan N=50. Dari hasil perhitungan<br />
pada persamaan (3.13) didapatkan 8 wavelet entropy<br />
(E (cD1) , E (cD2) , E (cD3) , E (cD4) , E (cD5) , E (cD6) , E (cD7) ,<br />
E (cA7) ). Kemudian 8 wavelet entropy ini digunakan<br />
sebagai inputan pada neural network.<br />
E(<br />
s)<br />
=<br />
∑<br />
S<br />
i i<br />
N<br />
P<br />
7. CLASSIFICATION DENGAN NEURAL<br />
NETWORK<br />
(6.4)<br />
Pada proses klasifikasi, koefisien-koefisien<br />
wavelet entropy sinyal wicara digunakan sebagai<br />
inputan pada Multi Layer Perceptron (MLP) Neural<br />
Network. Arsitektur dari MLP ditunjukkan seperti<br />
pada Table 7.1. Sedangkan Gambar 7.1<br />
menunjukkan struktur training dari<br />
Backpropagation. Jumlah node pada input layer<br />
berasal dari jumlah wavelet entropy (E (cD1) , E (cD2) ,<br />
E (cD3) , E (cD4) , E (cD5) , E (cD6) , E (cD7) , E (cA7) ) sebanyak 8<br />
node yang didapatkan dari persamaan (6.4).<br />
Sedangkan Jumlah lapisan tersembunyi (hidden<br />
layer) didapatkan melalui trial and error sehingga<br />
dihasilkan nilai error total yang kecil pada output.<br />
(20 sample sinyal wicara “alfa”, 20 sample sinyal<br />
wicara “beta”, dan 20 sample sinyal wicara “gama”).<br />
10 sample dari masing-masing sinyal wicara<br />
(“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan sebagai sample<br />
training, dan 10 sample lainya dari masing-masing<br />
sinyal wicara (“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan<br />
sebagai sample testing.<br />
Pengujian dilakukan menggunakan wavelet<br />
Daubechies10 (db10) pada dekomposisi level 7,<br />
proses training dilakukan dengan merubah variable<br />
jumlah hidden layer, dan banyaknya iterasi.<br />
Pengujian ini dibandingkan terhadap tingkat<br />
persentase keberhasilan pengenalan wicara, seperti<br />
yang ditunjukkan pada Tabel 8.1, 8.2, dan 8.3.<br />
Weight<br />
matrix<br />
(W (1) )<br />
Weight<br />
matrix<br />
(W (2) )<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
Input<br />
layer<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
30<br />
Hidden<br />
layer<br />
1 Alfa<br />
2 Beta<br />
3 Gama<br />
Output layer<br />
Gambar 7.1 Struktur Backpropagation<br />
Tabel 7.1 Arsitektur Multi Layer Perceptron (MLP).<br />
8. PENGUJIAN PENGENALAN WICARA<br />
OTOMATIS<br />
Pengujian pertama dilakukan terhadap 60 sample<br />
sinyal wicara hasil perekaman dari mikrofon dalam<br />
bentuk file .DAT tanpa melalui proses normalisasi<br />
F111
Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />
Surabaya, 17 Juli 2010<br />
ISBN : 978-979-17494-1-1<br />
Pengujian kedua dilakukan secara on line, dimana<br />
user/pengguna melakukan pengenalan wicara secara<br />
langsung dari microphone. Sample training berasal<br />
dari file.DAT hasil perekaman, sedangkan sample<br />
testing berasal dari mikrofon. Pada pengujian ini<br />
digunakan 45 sample training (15 sample training<br />
“alfa”, 15 sample training”beta”, 15 sample<br />
training”gama”) dan 93 sample uji yang sudah<br />
mengalami normalisasi. Pada pengujian kedua ini<br />
wavelet yang digunakan adalah Daubechies10<br />
(db10) pada dekomposisi level 7. Gambar 3.26<br />
menunjukkan hasil pelatihan Backpropagation<br />
dengan jumlah node hidden layer sebanyak 25 dan<br />
iterasi sebanyak 10000, dan dihasilkan error total<br />
sebesar 0.000522.<br />
9. KESISMPULAN<br />
Dari pengujian pertama didapatkan kesimpulan:<br />
Peningkatan jumlah node hidden dari 12 ke 35,<br />
dengan jumlah iterasi yang sama, menghasilkan<br />
error total yang semakin kecil.<br />
Peningkatan jumlah iterasi dari 5000 ke 40000,<br />
dengan jumlah hidden yang sama, menghasilkan<br />
error total yang semakin kecil pula.<br />
Error total yang semakin kecil, tidak<br />
menghasilkan perubahan persentase pengenalan<br />
wicara yang signifikan.<br />
Persentase pengenalan wicara tertinggi dari hasil<br />
pengujian pertama yaitu, pada jumlah hidden 25<br />
dan jumlah iterasi sebesar 40000, dengan error<br />
total 0.001933 dan nilai persentase rata-rata<br />
sebesar 76%<br />
Dari hasil pengujian kedua ini didapatkan<br />
kesimpulan:<br />
Setelah sinyal wicara dinormalisasi, didapatkan<br />
jumlah error total yang lebih kecil dibandingkan<br />
dengan sinyal wicara yang belum dinormalisasi<br />
seperti pada pengujian pertama.<br />
Semakin banyak sample training yang<br />
dilatihkan, semakin tinggi persentase<br />
keberhasilan dalam pengenalan wicara.<br />
Persentase keberhasilan pengenalan wicara<br />
setelah dinormalisasi lebih tinggi dibandingkan<br />
dengan sebelum dinormalisasi.<br />
10. DAFTAR PUSTAKA<br />
Antanas L, Joana L.E, Laimutis T. (2002).<br />
“Development of Isolated Word Speech<br />
Recognition System”, Institute of<br />
Mathematics and Informatics, Vilnius, Vol.<br />
13, No. 1, 37–46 37.<br />
Bartek P, Mark K. (2003). “Digitizing Speech<br />
Recordings for Archival Purposes”.<br />
Proceedings of The IEEE, Vol. 32, No 4, pp.<br />
167 - 176.<br />
Nalini V, Anushruthi R, Arjun Jain. (2004). “A<br />
Connectionist Framework For Feature Based<br />
Speech Recognition System Using Artificial<br />
Neural Networks”<br />
Rabiner, Juang. (1993). “An Introduction to Speech<br />
Recognition”, Prentice Hall, USA..<br />
F112