07.11.2014 Views

Download - Departemen Fisika - Unair

Download - Departemen Fisika - Unair

Download - Departemen Fisika - Unair

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

PROSIDING<br />

SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />

2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

“ Peran <strong>Fisika</strong> dan Terapannya<br />

Sebagai Modal Pengembangan Kemandirian Bangsa<br />

Di Bidang Industri dan Kedokteran ”<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

Tim Editor :<br />

Samian<br />

Yhosep Gita Y.Y.<br />

Prodi S1 <strong>Fisika</strong><br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />

Fakultas Sains dan Teknologi<br />

Universitas Airlangga


SAMBUTAN KETUA PRODI S1 FISIKA<br />

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI, UNIVERSITAS AIRLANGGA<br />

Assalamualaikum Wr. Wb.<br />

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberikan rahmat dan<br />

hidayahNya sehingga pada hari ini “Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II “ dapat terlaksana dengan baik<br />

dan lancar.<br />

Perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan dari kemajuan ilmu fisika. Dengan<br />

ilmu fisika manusia dapat menjawab berbagai tantangan kehidupan diberbagai bidang, dan<br />

menjadikan manusia lebih bermartabat dan memiliki daya saing. Selain mengungkap sejumlah<br />

fakta-fakta yang terjadi di alam, fisika diupayakan dapat diterapkan dalam kehidupan manusia<br />

dan memberikan arti, makna dan manfaat bagi kelangsungan umat manusia. Oleh sebab itu,<br />

prodi fisika ikut memberi kontribusinya dengan mengadakan seminar nasional fisika. Kegiatan<br />

ini merupakan salah satu dari delapan kegiatan RKAT Pengembangan pada Prodi <strong>Fisika</strong> <strong>Unair</strong><br />

yang disetujui oleh Fakutas Sanis dan Teknologi dan Universitas Airlangga. Tujuan dari<br />

diselenggarakannya seminar ini antara lain ; meningkatkan jumlah publikasi bagi dosen fisika,<br />

menjadi media komunikasi tentang penelitian dan peralatan yang sedang dikerjakan dan<br />

dimiliki antar perguruan tinggi dan instansi lain. Selain itu, melalui seminar ini diharapkan<br />

dapat meningkatkan image building prodi fisika, sehingga ilmu ini tidak lagi bersifat eksklusif<br />

untuk komunitas tertentu, tetapi dapat bermanfaat untuk berbagai jenis kalangan pengguna.<br />

Dengan demikian, prodi fisika bukan lagi menjadi pilihan kedua atau ketiga, tetapi merupakan<br />

prodi pilihan utama bagi calon mahasiswa baru.<br />

Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Rektor <strong>Unair</strong> dan Dekan Fakultas Sains dan<br />

Teknologi atas disetujuinya RKAT Pengembangan Prodi <strong>Fisika</strong> ini. Terima kasih juga saya<br />

sampaikan kepada ketua panitia seminar Dr. Retna Apsari, M.Si dan anggotanya atas kerja<br />

kerasnya, sehingga kegiatan ini bisa terlaksana . Semoga kegiatan ini dapat berlangsung secara<br />

rutin dan memberi kontribusi bagi perkembangan fisika di Indonesia. Selamat melaksanakan<br />

seminar ini.<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

Ketua Prodi S1 <strong>Fisika</strong>,<br />

Drs.Siswanto,M.Si<br />

i


KATA PENGANTAR KETUA SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />

Assalamualaikum Wr. Wb.<br />

Peserta seminar yang saya hormati,<br />

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan<br />

seluruh tahapan pelaksanaan Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II dengan tema Peran <strong>Fisika</strong> Dan<br />

Terapannya Sebagai Modal Pengembangan Kemandirian Bangsa Di Bidang Industri Dan<br />

Kedokteran. Kegiatan seminar yang diadakan oleh Program Studi S1 <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong><br />

<strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga ini bertujuan untuk menyuarakan<br />

peranan ilmu fisika dalam upaya peningkatan pengembangan kemandirian bangsa di bidang<br />

industri dan kedokteran. Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II mengkaji topik-topik dasar sampai dengan<br />

kontemporer dalam bidang Pendidikan <strong>Fisika</strong>, Biofisika dan Medis, <strong>Fisika</strong> Material dan<br />

Nanoteknologi, Optika dan Laser, <strong>Fisika</strong> Teori dan Komputasi, serta <strong>Fisika</strong> Instrumentasi dan<br />

Kontrol. Bagaimanapun, kemajuan dan sumbangsih para fisikawan, praktisi dan peneliti di<br />

seluruh Indonesia terhadap kemandirian bangsa Indonesia ditentukan salah satunya oleh<br />

gagasan para fisikawan dalam bentuk publikasi, khususnya publikasi hasil penelitian yang<br />

dipresentasikan dalam seminar ini, dan dibukukan dalam prosiding kami.<br />

Harapan kami Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II merupakan tonggak awal silaturahmi,<br />

diskusi dan kolaborasi seluruh fisikawan, peneliti dan praktisi yang terkait dengan fisika di<br />

seluruh nusantara untuk membangun sinergi dan solusi dalam menunjang kemajuan dan<br />

kemandirian bangsa Indonesia. Dengan sinergi dan solusi tersebut, serta ditunjang dengan<br />

motto Excellence With Morality maka kontribusi fisika dan terapannya termasuk pendidikan<br />

fisika, akan semakin nyata untuk negeri tercinta ini.<br />

Terima kasih kami haturkan kepada keynote speaker Bapak Prof. Dr. Moh. Nuh, DEA<br />

selaku menteri Pendidikan Nasional Indonesia, dan ketiga inivited speaker : Prof. Dr. Noriah<br />

Bidin (Universiti Teknologi Malaysia), Dr. Taufiqurohman (LIPI Jakarta), Prof. Dr.<br />

Suhariningsih (Universitas Airlangga) yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan<br />

pencerahan dan berbagi pengalaman dengan kami.<br />

Terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada seluruh jajaran panitia termasuk<br />

didalamnya dosen, karyawan, dan mahasiswa atas kerjasama dan perjuangannya selama ini<br />

mulai dari tahapan awal sampai akhir pelaksanaan seminar. Semoga kebersamaan ini senantiasa<br />

terjaga demi kemajuan Prodi S1 <strong>Fisika</strong> di masa yang akan datang.<br />

Terima kasih kami sampaikan kepada para sponsor yang telah berkenan memberikan<br />

kontribusi pada seminar kami. Semoga kerjasama ini senantiasa terbina. Ucapan terima kasih<br />

juga kami sampaikan kepada Bapak/Ibu/Undangan dan peserta Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II atas<br />

ii


kehadiran dan partisipasinya pada Seminar kami. Atas nama panitia kami menghaturkan beribu<br />

maaf, jika ada yang kurang berkenan di hati seluruh peserta mulai dari awal sampai akhir<br />

pelaksanaan Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II, termasuk dalam penerbitan prosiding seminar. Semoga<br />

prosiding yang kami terbitkan bermanfaat untuk kita semua.<br />

Selamat berseminar, semoga Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II ini memberikan kontribusi<br />

positif pada seluruh peserta. Sampai jumpa pada Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> III. Semoga Allah<br />

Swt senantiasa membimbing kita untuk berbuat maksimal di setiap langkah kita. Sukses selalu.<br />

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

Ketua Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II,<br />

Dr. Retna Apsari, M.Si<br />

iii


SUSUNAN PANITIA<br />

SEMINAR NASIONAL FISIKA II<br />

2010<br />

Steering Commitee :<br />

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi<br />

Wakil Dekan I<br />

Wakil Dekan II<br />

Ketua <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />

Kaprodi S1 <strong>Fisika</strong><br />

Organizing Committee :<br />

Ketua<br />

Sekretaris<br />

Bendahara<br />

Sie Tim Naskah<br />

Sie Prosiding (ISBN)<br />

Sie Dana<br />

Sie Acara<br />

Sie Promosi, Akomodasi dan Gedung<br />

Sie Website dan Pendaftaran<br />

: Drs. Salamun, M.Kes<br />

: Prof. Win Darmanto, Ph.D<br />

: Drs. Pujiyanto, M.S<br />

: Drs.R. Arif Wibowo, M.Si<br />

: Drs. Siswanto, M.Si<br />

: Dr. Retna Apsari, M.Si<br />

: Nuril Ukhrowiyah,S.Si,MSi<br />

: Ir. Aminatun, M.Si<br />

: Prof. Dr. Suhariningsih<br />

Dr. Soegianto S, M.Si<br />

Dr. Moh. Yasin, M.Si<br />

Dr. Retna Apsari, M.Si<br />

Drs. Siswanto, M.Si<br />

Drs.R Arif Wibowo,MSi<br />

Drs. Bambang S.,M.Si<br />

: Samian, S.Si,M.Si<br />

Yoseph Ghita Y, S.Si<br />

: Drs. Pujiyanto, MS<br />

Dr.Prihartini W,drg.M.Kes<br />

Mahniza, SH<br />

Fadli Ama,ST,MT<br />

: Riris Rulaningtyas,ST,MT<br />

Dyah Hikmawati,SSi,MSi<br />

Imam Sapuan,S.Si,M.Si<br />

Franky Candra SA,ST,MT<br />

Supadi,S.Si,M.Si<br />

Akif Rahmatilah, ST<br />

Winarno, S.Si<br />

: Drs.Adri Supardi,MS<br />

Andi Hamim Z,S.Si,M.Si<br />

Jan Ady, S.Si,M.Si<br />

Heri Trilaksana,S.Si,M.Si<br />

Imam Soegiarto<br />

Suwadi<br />

I Made Artania<br />

Denny Fikasah<br />

: Febdian Rusydi, ST, M.Sc<br />

Farid Ardiansyah, S.Kom<br />

Yoseph Ghita Y, S.Si<br />

iv


Sie Konsumsi<br />

Sie Kesekretariatan<br />

Sie Dokumentasi<br />

Sie Perlengkapan<br />

: Lis Wismaningtias, S.Sos<br />

Jemawan<br />

: Endang, S,Sos<br />

Dwi Hastuti, ST<br />

Mashuri<br />

: Drs. Djoni Izak R, Drs, M.Si<br />

Fajar Shodiq, ST<br />

: Khusnul Ain, ST, MT<br />

Siman<br />

Abd. Rozak<br />

Salam<br />

v


DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

Sambutan Kaprodi S1 <strong>Fisika</strong> …………………………………………………………………<br />

Kata Pengantar Ketua Panitia ……………………………………………………………….<br />

Susunan Panitia ……………………………………………………………………………...<br />

Daftar Isi …………………………………………………………………………………......<br />

i<br />

ii<br />

iv<br />

vi<br />

A . B I D A N G K A J I A N P E N D I D I K A N F I S I K A<br />

Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda dalam Pelajaran Sains<br />

Aulia Tittin R, Frida U. Ermawati ..........................................................................................<br />

Karakteristik Aktivitas Belajar Mahasiswa Terhadap Modul e-Learning: Studi Kasus<br />

Kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />

Cuk Imawan, Efta Yudiarsah ………………………………………………………………...<br />

Penerapan Soft Skill Dalam Kegiatan Program Pengalaman Lapangan Sebagai Upaya<br />

Mempersiapkan Mahasiswa Menjadi Guru Profesional<br />

Eko Hariyono ………………………………………………………………………………...<br />

Student Group Works Skill Test in 2rd Year of State Junior High School of Satu Atap<br />

Bobol, Sekar District, Bojonegoro Regency for Lever Subject<br />

Lusi Kusuma W, Firda U. Ermawati …………………………………………………………<br />

The Ability of Student at State Elementary School Tanjungsari II in Drawing Concepts<br />

Map in the Chapter Changes of Substances Form<br />

Martha Prasetianingrum, Frida U Ermawati ………………………………………….…….<br />

Kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri II Ngrimbi Jombang dalam Melakukan<br />

Penyelidikan Melalui Tahapan Metode Ilmiah pada Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda<br />

Mukhammad Arif Eka Permana, Frida U. Ermawati ………………………………….…….<br />

The Ability of Student Year 5 of State Elementary School TANJUNGSARI II in Designing<br />

an Experiment<br />

Rohma Wati, Frida U Ermawati ………………………………………………………….….<br />

Bravery and Skill in Asking Questions of Students Grade IV of The Elementary School<br />

Wonokromo III in the Changes of Substance Form Unit (Pokok Bahasan Perubahan Wujud<br />

Zat)<br />

Siti Nur Hidayah, Frida U Ermawati ………………………………………………….……..<br />

Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Komputer pada Pokok Bahasan Kapasitor untuk<br />

SMA<br />

Surya Arif Kartono, Herwinarso, I Nyoman Arcana ...............................................................<br />

A1<br />

A9<br />

A14<br />

A18<br />

A25<br />

A31<br />

A37<br />

A42<br />

A48<br />

B. BIDANG KAJIAN BIOFISIKA DAN MEDIS<br />

Studi Implamantasi Ion Radioaktif Iridium-192 dan Renium-188 dalam Pemanfaatannya<br />

untuk Intravascular Brachytherapy<br />

Angga Setiyo Prayogo, Johan A E Noor ……………………………………………….…….<br />

B1<br />

vi


Study On The Relationship Between Sunspot Area and Flare Occurrences to Support Flare<br />

Prediction<br />

Bachtiar Anwar ……………………………………………………………………….……...<br />

Dosis Kulit pada Simulasi Penyinaran Radioterapi Pasien Karsinoma Nasofaring<br />

Menggunakan Radiasi Gamma Cobalt-60<br />

Dwi Seno K. Sihono, Imanuddin Rahman, Djawani S. Soejoko ..............................................<br />

Use Of Sugar In EPR Emergency Personal Dosimetry<br />

Frida U Ermawati …………………………………………………………………………....<br />

Efek Medan Listrik pada Kadar Gula Darah Tikus Diabetes Melitus<br />

Ibrahim bin Sa`id, Dwi Winarni, Suhariningsih ………………………………………..……<br />

Bioremediasi Pb(II) dalam Limbah Cair oleh Activated Eichhornia Carbon (AEC): Studi<br />

Penyerapan dengan Metode Potensiometri<br />

Johan A.E. Noor, Nilawati K. Anthony, dan Unggul P. Juswono ……………………….…...<br />

Pengaruh Posisi Matahari Terhadap Intensitas Radiasi Ultraviolet-B dan Efeknya<br />

Terhadap Kesehatan Dilihat dari Data SPD LAPAN Watukosek Tahun 2008<br />

Lalu Husnan Wijaya, Hari Susanto ……………………………………………………….…<br />

Pemanfaatan Radiasi dalam Terapi Dupuytren Disease (Morbus Dupuytren )<br />

Novita Rosyida, Johan A.E. Noor ……………………………………………………….…...<br />

Dampak Badai Geomagnet di Daerah Anomali Ekuator<br />

Sarmoko Saroso ………………………………………………………………………….…..<br />

Efek Gelombang Ultrasonik Terhadap Jaringan Tubuh dan Proteksinya<br />

Silvia Nike Saputri, Johan A.E.Noor …………………………………………………….…...<br />

Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) untuk Pemetaan Daerah Rawan Ambles di<br />

Daerah Sisir, Batu, Jawa Timur<br />

Sukir Maryanto, Husnul Khotimah, Adi Susilo …………………………………………..….<br />

Pengaruh Daya dan Waktu Paparan Laserpuntur<br />

Wellina Ratnayanti ………………………………………………………………………..…<br />

B5<br />

B10<br />

B15<br />

B18<br />

B25<br />

B32<br />

B37<br />

B41<br />

B45<br />

B48<br />

B56<br />

C. BIDANG KAJIAN FISIKA MATERIAL DAN NANOTEKNOLOGI<br />

Pengurutan Kestabilan Relatif Kristal Na Melalui Keriteria Koefisien Variasi<br />

Agus Rifani ………………………………………………………………………………...…<br />

Analisis Porositas dan Densitas Cic Akibat Proses Sintering<br />

Aminatun, Siswanto, Ita Fauriya ………………………………………………………….....<br />

Pengaruh Implantasi Ion Cerium (Ce) Terhadap Sifat Ketahanan Oksidasi Suhu Tinggi<br />

Material Feal dan Karakterisasinya.<br />

Anis Yuniati, Sudjatmoko .........................................................................................................<br />

Komparasi Karakteristik Plastik Layak Santap (Edible Plastic) Berbasis Pati<br />

Arie Chintya Martania, Siswanto, Aminatun ……………………………………………...…<br />

C1<br />

C6<br />

C10<br />

C15<br />

vii


Pengaruh Radiasi Terhadap Kekuatan Tarik Polietilen<br />

D. Tamara Dirasutisna ............................................................................................................ C21<br />

Sintesis dan Analisis Kegradualan Komposisi FGM α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 dengan Aditif Y 2 O 3<br />

pada Suhu Sinter 1450°C<br />

Erni Junita Sinaga, Suminar Pratapa ......................................................................................<br />

Pengaruh Kekasaran Permukaan pada Sifat Magnetik dari Lapisan Tipis Rare Earth-<br />

Transition Metal (RE-TM)<br />

Erwin …………………………………………………………………………………...…….<br />

Karakterisasi Mikrostruktur FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 Distabilisasi MgO Hasil Infiltrasi<br />

Berulang<br />

Eva Weddakarti, Khusnul Umaroh, Suminar Pratapa ………………………………..……..<br />

Penentuan Gap Elektronik N-Germanium Intrinsik Hasil Pengukuran Tegangan Hall<br />

Terhadap Suhu<br />

Jan Ady ……………………………………………………………………………..………..<br />

Doping Proton Cu2+ Dan Fe3+ pada Sintesis Room Temperature Interface Polianilin dan<br />

Karakterisasi Dielektrisnya<br />

Markus Diantoro …………………………………………………………………...………...<br />

Aplikasi Material Piezoelektrik PVDF Film<br />

Mochammad Nasir, Muhammad Rivai, Taufik Arif Setyanto ..................................................<br />

Sintesis Partikel Nano Spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1) dengan Metode Sonokimia dan<br />

Karakterisasi Struktur serta Dielektrisitasnya<br />

Nurul Hidayat, Markus Diantoro, Ahmad Taufiq, Nasikhudin, Abdulloh Fuad .....................<br />

Aplikasi dan Karakterisasi Edible Plastik Pati - Tapioka untuk Pengawetan Buah Jeruk<br />

(Citrus sp)<br />

Siswanto , Aminatun, dan Anjar Anggraeni …………………………………………..……..<br />

Sintesis Partikel Nano ZnCo 2 O 4 dengan Metode Kopresipitasi dan Karakterisasi Struktur<br />

serta Magneto Dielektrisitasnya<br />

Sri Astutik Ningtiyas, Markus Diantoro, Ahmad Taufiq …………..………………………...<br />

Pengaruh Ketebalan Elektroda Terhadap Nilai Kapasitansi Spesifik dan Retained Ratio<br />

Serbuk Gergaji Kayu Karet untuk Pembuatan Superkapasitor<br />

Yanuar, Iwantono, Erman Taer, Risa Andriani ………………………………………...……<br />

C28<br />

C33<br />

C38<br />

C42<br />

C45<br />

C50<br />

C55<br />

C61<br />

C65<br />

C72<br />

D. BIDANG KAJIAN FISIKA INSTRUMENTASI DAN KONTROL<br />

Prototipe Pengangkat Cincin Otomatis pada Alat Pengukur Tegangan Permukaan Zat Cair<br />

Berbasis PC<br />

Achmad Zulkarnain, Frida U. Ermawati …………………………………………………..<br />

Perancangan Sistem Kendali Pid Kecepatan Putar Turbin Miniatur PLTA<br />

Akif Rahmatillah ………………………………………………………………………..……<br />

The Increase Of Flaring Activity In Noaa 9026 Due To A Coronal Mass Ejection<br />

Bachtiar Anwar …………………………………………………………………………...….<br />

D1<br />

D7<br />

D13<br />

viii


Rancang Bangun Sumber Arus DC Konstan Menggunakan Mikrokontroler 8951<br />

Bambang Suprijanto …………………………………………………………………..……..<br />

Analisa Ketidakpastian Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal<br />

Berthy Pelasula, I Made Londen Batan ………………………………………………...…...<br />

Rancang Bangun Eksperimen Hidrostatika untuk Aplikasi Remote Laboratory<br />

Cuk Imawan, Adhi Harmoko, Supriyanto, Fauziyyah ……………………………..………...<br />

Aplikasi Interdigital Capacitor (IDC) sebagai Elemen Sensing untuk Pengukuran<br />

Konsentrasi Larutan Gula dalam Air: Studi Eksperimen<br />

Didik R.. Santoso …………………………………………………………………..………...<br />

Pengenalan Uap Menggunakan Sensor Resonator Kuarsa yang Diimplementasikan pada<br />

FPGA dengan Metode Analisa Data PCA Dan SOM Kohonen Neural Network<br />

Hari Agus Sujono, Muhammad Rivai, Taripan ………………..…………………………….<br />

Klasifikasi Odor pada Ruang Terbuka dengan Menggunakan Short Time Fourier<br />

Transform dan Neural Learning Vector Quantization<br />

Hendrick, Muhammad Rivai, Tasripan …………………………………………...………….<br />

Pengukuran Tingkat Gas Polutan pada Udara Menggunakan Tabung Detektor Gas dengan<br />

Bantuan Kamera<br />

Ilmawan Mustaqim, Muhammad Rivai, Djoko Purwanto, Tasripan ……………...…………<br />

Desain Dan Karakterisasi Load Cell Tipe Czl601 Sebagai Sensor Massa Untuk Mengukur<br />

Derajat Layu Pada Pengolahan Teh Hitam<br />

Iwan Sugriwan, Melania Suweni Muntini, Yono Hadi Pramono ……………………..……..<br />

Perbandingan Metode Neural Network Backpropagation Dengan Regresi Non Linier<br />

Levenberg-Marquardt pada Analisa Uji Rhodamin Menggunakan Instrument Kolorimeter<br />

Berbasis Kamera<br />

Joko Catur Condro Cahyono ..................................................................................................<br />

An Autonomous Wireless Modul for Early Warning System of Forest-Fire Based on NTC<br />

Sensor<br />

Lazuardi Umar, Erwin ……………………………..…………………………………….…..<br />

Koordinasi Pengaman Arus Lebih Berbasis Relai MIF II Pada Jaringan Listrik sebagai<br />

Proteksi Transformator pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB Paiton<br />

Mochamad Arief Iskandar, Teguh Yuliatmoko, Frida U. Ermawati .......................................<br />

Presisi Pengukuran Interfacial Angles pada Pemutar Goniometer Optic Berbasis<br />

Mikrokontroler<br />

Moch. Sholikhudin, Frida U. Ermawati ...................................................................................<br />

Development of Screen Printed Glucose Biosensor with Direct Immobilization Technique<br />

Pratondo Busono, Nur Hajiyah and Subintoro …………………………………………...….<br />

Hasil Pengukuran Fungsi Arus Tegangan pada Sel Surya Silikon<br />

Satwiko Sidopekso ……………………………………………………………………...…….<br />

D17<br />

D20<br />

D26<br />

D31<br />

D36<br />

D42<br />

D48<br />

D53<br />

D59<br />

D62<br />

D67<br />

D79<br />

D86<br />

D89<br />

ix


Pengukur Viskositas dengan Metode Rotasi Silinder Pejal<br />

Setyawan P. Sakti, H.A. Dharmawan, A. H. Pudyasmara ……………………………...……<br />

Analisa Pengaruh Tebal dan Kuat Arus Terhadap Distorsi Pada Pengelasan Multilayer Pelat<br />

Datar dengan Menggunakan GMAW Type Pulsa<br />

Sukendro. Bs, Mochtar Karokaro, Hari Subiyanto ………………………...………………...<br />

D93<br />

D97<br />

Sensor Kadar Hemoglobin dalam Darah Tanpa Melukai (Non-Invasive) Berbasis Komputer<br />

dengan Metode Pengenalan Pola<br />

Sutrisno,. Yoyok Adisetio Laksono ……………………………………………...…………… D103<br />

Perancangan Instrument Pengukur Suhu Badan Pasien Menggunakan Sensor ECC Sistem<br />

Logger<br />

Toni Subiakto, Lalu Husnan Wijaya …………………………………………...……………. D109<br />

Sistem Monitoring Kecelakaan Pengendara Sepeda Motor dengan Menggunakan<br />

Accelerometer sebagai Pengidentifikasi Benturan<br />

Yusuf Wibisono S., Djoko Purwanto, Agus Sigit Pramono ………………...………………... D114<br />

E . B I D A N G K A J I A N O P T I K A D A N L A S E R<br />

Stability Of Gratings Written In A Telecommunication Fiber Using Light at 193 nm<br />

Arif Hidayat ……………………………………………………………..…………………...<br />

Rancang Bangun Modulator Optik Berbasis Efek Pockel dalam Sistem Komunikasi Serat<br />

Optik<br />

Arif Hidayat, Septianingsih., Moh Yasin, Bambang Widyatmoko ..........................................<br />

Measurements of CO 2 Emissions Emitted from Burning of Queensland Trees<br />

Arinto Y. P. Wardoyo ……………………………………………………………...…………<br />

Pengujian Stabilitas Laser sebagai Penelitian Awal dalam Perancangan Sensor Strain Tanah<br />

Berbasis FBG dengan Teknik Sweeping Laser Dioda<br />

Asnawi, Moh. Ridha, Bambang Widiyatmoko ……………………………………...………...<br />

Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik untuk Pengukuran Koefisien Ekspansi Linier<br />

Logam Stainless Steel Austenitik 316L<br />

Bayu Buwana Bakti, Samian, Siswanto …………………………………………………..….<br />

Forward Model For Depth Measurement Of A Fluorophore In A Tissue<br />

Deddy Ardiansyah ………………………………………………………………………...….<br />

Kajian Teoretik dan Numerik Distribusi Daya pada Step Index Fiber Taper<br />

Lilin Lalita., Samian, Andi Hamim Zaidan ……………………………………………...…...<br />

E1<br />

E5<br />

E9<br />

E13<br />

E17<br />

E20<br />

E25<br />

A Simple Bundled Fiber Optic Microdisplacement Sensor Using A 543nm Green Laser<br />

M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono, and H. Ahmad ……………………….……... E29<br />

Sinkronisasi Pemanfaatan Osiloskop Digital dan Perangkat Komputer dalam Sistem<br />

Fotoakustik<br />

Pujiyanto .....................................................................................................................<br />

E32<br />

x


Penentuan Kualitas Enamel Gigi dari Image Sistem Laser Speckle Imaging (LSI) Berbasis<br />

Logika Fuzzy<br />

Retna Apsari, Yhosep Gita Y, Aji Brahma Nugraha …………………………………...…...<br />

Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor Pergeseran Menggunakan Sumber LED<br />

Samian, Herri Trilaksana …………………………………………………………………….<br />

Potensi Photodinamik Inaktivasi Bakteri Gram Positive Staphylococci dengan Endogen<br />

Photosensitizer pada Penyinaran Light Emitting Diode (Led) Biru (429,8 ± 3,7)Nm<br />

Suryani Dyah Astuti, Endah Robiyati, Agus Supriyanto .........................................................<br />

Pembuatan Fiber Taper dari Bahan Serat Optik Plastik Multimode<br />

Yudiawan F., Samian, Andi Hamim Zaidan ……………………………………………..…..<br />

E35<br />

E42<br />

E45<br />

E50<br />

F. BIDANG KAJIAN FISIKA TEORI DAN KOMPUTASI<br />

Pendugaan Statistik Inti dari Molekul Melalui Pecobaan Pulsa Ganda<br />

Abdurrouf .................................................................................................................................<br />

Sistem Monitoring Jarak Jauh Simulasi Sistem Pengendali dengan Menggunakan Fasilitas<br />

GPRS dan Java pada Telepon Selular<br />

Aditya Tri Laksmana, Arief Sudarmaji, Djati Handoko ..........................................................<br />

Reduksi Dimensi dengan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) pada Data Persen<br />

Transmitan Kurkumin Menggunakan Open Source Software-R (OSS-R)<br />

Aniq Atiqi Rohmawati, Yanti Lina Mayasari, Elly Ana, Nur Chamidah .................................<br />

Keterkaitan Antara Angin Surya Dengan Kejadian Badai Geomagnet<br />

Anwar Santoso ……………………………………………………………………………….<br />

Penerapan Jaringan Syaraf Learning Vector Quantization pada Pendeteksian Kelainan Otak<br />

Ischemic Cerebral Infarction dari Hasil Rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI)<br />

Auli Damayanti, Hellena Adhelya Mayangsari ……………………………………...………<br />

Pengembangan Gold nanoparticles sebagai Agen Fototerapi untuk Terapi Kanker: Sintesis<br />

dan Analisis Spektrum Serapan<br />

Biantoro, Adri Supardi , Andi H Zaidan, Herri Trilaksana, Febdian Rusydi …………..…...<br />

Sistem Peringatan Dini (EWS) berbasis SMS yang terintegrasi dengan Badan Meteorologi<br />

dan Geofisika<br />

Farid Andriansyah Zakaria …………………………………………………………..……...<br />

Study Karakteristik Levitasi Magnet Pada Dua Rol Tembaga yang Berputar dengan Model<br />

Kereta Maglev sebagai Pengembangan Industri Transportasi Masa Depan<br />

Galih STA Bangga, Hendro Nurhadi …………………………………………………...……<br />

Telaah Perubahan Variasi Harian Komponen H Geomagnet Menggunakan Metode Analisis<br />

Harmonik<br />

Habirun …………………………………………………………………...………………….<br />

Machine Vision untuk Instrumentasi Peralatan Biomedis<br />

Hendro Nurhadi …………………………………………………………………...…………<br />

F1<br />

F6<br />

F11<br />

F14<br />

F19<br />

F23<br />

F27<br />

F29<br />

F34<br />

F40<br />

xi


Determination Of Endothelial Cell Density Of Corneal Transplant by Digital Image<br />

Processing Method<br />

Johanes Kristianto and Pratondo Busono ………………………………………...…………<br />

Perbandingan Metode Rekonstruksi Proyeksi Balik dan Iterasi untuk Sistem Tomografi<br />

Komputer dengan Berkas Cahaya Tampak<br />

Khusnul Ain, Nuril Ukhrowiyah …………………………………………………..…………<br />

Sistem Tomografi Komputer Translasi Rotasi dengan Proses Scanning Berbasis Intensitas<br />

Nuril Ukhrowiyah, Khusnul Ain ………………………………………………………..…...<br />

Simulasi Konfigurasi Perisai Sebagai Penyerap Intensitas Radiasi Gamma pada Beam Port<br />

Radial Reaktor Kartini dengan Menggunakan Metode Monte Carlo N-Particle (Mcnp)<br />

Retno Rahmawati, Triwulan Tjiptono …………………………………………………..…..<br />

Pengenalan Pola Tumor Otak Hasil Deteksi Tepi dengan Menggunakan Jaringan Syaraf<br />

Tiruan<br />

Riries Rulaningtyas, Khusnul Ain, Nur Laelatus …………………………………..…….…..<br />

Pengaruh Fungsi Kernel terhadap Stabilitas dan Akurasi Simulasi Dinamika Fluida<br />

Menggunakan Metode Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH)<br />

Rizal Arifin, Agus Naba, Abdurrouf …………………………………………………….…....<br />

Kajian Teoretik dan Pemodelan Matematis Dark Energy Berdasarkan Persamaan<br />

Friedmann<br />

Satriyaji Wibisono, Adri Supardi, Febdian Rusydi ……………………………………...…...<br />

Frekuensi Kemunculan Badai Geomagnet Saat Matahari Aktif<br />

Sity Rachyany …………………………………………………………………………...……<br />

HFCM (Histogram Fuzzy C-Means) sebagai Koreksi Kecepatan MsFCM (Multiscale Fuzzy<br />

C-Means)<br />

Soegianto Soelistiono …………………………………………………………………...……<br />

A Volume Rendering for Haptic Interaction on a Human Head<br />

Sugeng Rianto …………………………………………………………………………...…...<br />

Studi Energi Adsorbsi O 2 dan OH pada Paduan Pd-Cu sebagai Katalis Fuel Cell Hidrogen<br />

dengan Metode Ab-Initio<br />

Wahyu Aji Eko Prabow, ,Adri Supardi, Febdian Rusydi ………………………..…………..<br />

F47<br />

F53<br />

F57<br />

F61<br />

F65<br />

F70<br />

F75<br />

F81<br />

F85<br />

F92<br />

F97<br />

Penggunaan CCD Garis dan Sumber Cahaya Polikromatis untuk Pendeteksian Perubahan<br />

Warna pada Bahan Tumpatan Gigi Menggunakan Metode Pengolahan Citra<br />

Yhosep Gita Yhun Y, Samian, Endah Srimulyani ……………………………………………. F102<br />

Sistem Pengenalan Wicara Otomatis Menggunakan Discrete Wavelet Neural Network<br />

(DWNN)<br />

Yunus Wicaksono S, Djoko Purwanto, Agus Sigit Pramono ……………………………...…. F107<br />

xii


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

A1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai<br />

Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda dalam Pelajaran Sains<br />

Aulia Tittin R, Frida U. Ermawati<br />

Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Negeri Surabaya<br />

Email : tin.khaylila@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Penelitian Presentasi Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Laporan Praktikum Perubahan Wujud<br />

Benda bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mempresentasikan laporan praktikum Perubahan<br />

Wujud Benda. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode pre-experimental design jenis oneshot<br />

case study, dalam pengambilan data menggunakan metode observasi partisipan, pengambilan sampel<br />

dilakukan secara simple random sampling yaitu 6 Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III. Peneliti bertindak<br />

sebagai guru yaitu mengulas materi yang telah diterima siswa sebelumnya dan mengajarkan cara presentasi,<br />

kemudian merekam (menggunakan telepon seluler) siswa ketika mereka melakukan presentasi. Hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa seluruh siswa sangat baik dalam aspek memahami konsep dan aspek berpakaian, semua<br />

siswa tidak melakukan kegiatan dalam aspek pemberian detail tambahan, penggunaan media visual, dan<br />

penggunaan humor positif. Mayoritas siswa telah melakukan dengan baik dalam aspek pemberian waktu berpikir<br />

bagi audiens dan penggunaan kosakata, namun mereka masih kurang dalam aspek memberikan respon<br />

pertanyaan dari audiens. Sementara itu, siswa dalam melakukan kegiatan pada aspek struktur presentasi, kualitas<br />

pengucapan, dan kegiatan penggunaan bahasa tubuh, memberikan distribusi jumlah siswa yang rata pada<br />

masing-masing nilai.Berdasarkan uraian hasil tersebut disimpulkan bahwa seluruh siswa telah menguasai<br />

konsep, namun untuk menyampaikannya dengan kata-kata mereka sendiri masih diperlukan latihan yang<br />

frekuentatif agar siswa menguasai cara-cara berpresentasi. Menyikapi hal demikian, peneliti menyarankan<br />

kepada guru sains untuk mengagendakan presentasi dalam kegiatan belajar mengajar.<br />

Kata kunci: Presentasi<br />

PENDAHULUAN<br />

Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah<br />

Dasar (SD) yang perlu diketahui para guru, agar<br />

lebih mudah mengetahui keadaan peserta<br />

didik. Sebagai guru harus dapat menerapkan metode<br />

pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya,<br />

Maka sangat penting untuk mengetahui karakteristik<br />

dan kebutuhan siswanya. Adapun karakeristik dan<br />

kebutuhan siswa SD 1 sebagai berikut:<br />

Pertama, siswa SD senang bermain.<br />

Karakteristik ini menuntut guru SD untuk<br />

melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM)<br />

yang mengandung permainan. Kedua, anak senang<br />

bergerak, mereka dapat duduk dengan tenang paling<br />

lama sekitar 30 menit. Ketiga, anak senang bekerja<br />

dalam kelompok. Dari pergaulannya dengan teman<br />

sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting<br />

dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi<br />

aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar<br />

bertanggung jawab, belajar bersaing dengan orang<br />

lain secara sehat, dan sebagainya. Hal tersebut<br />

membawa implikasi bahwa guru harus merancang<br />

model pembelajaran yang memungkinkan anak<br />

untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru<br />

dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok<br />

kecil dengan anggota 3-4 siswa untuk<br />

menyelesaikan tugas secara kelompok. Keempat,<br />

anak SD senang merasakan, melakukan atau<br />

memperagakan sesuatu secara langsung. Ditunjau<br />

dari teori perkembangan kognitif, anak SD<br />

memasuki tahap operasional konkret. Berdasarkan<br />

apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar<br />

menghubungkan konsep-konsep baru dengan<br />

konsep-konsep lama. Berdasar pengalaman ini,<br />

siswa membentuk konsep-konsep tentang angka,<br />

ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran jenis<br />

kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD,<br />

penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih<br />

mudah dipahami jika anak melaksanakan sendiri.<br />

Berdasarkan karakteristik tersebut khususnya<br />

karakteristik yang ketiga, maka perlu dilakukan<br />

kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam<br />

kelompok, dalam hal ini adalah presentasi. Kegiatan<br />

presentasi akan bermakna bagi siswa bila dihargai<br />

oleh guru yaitu bisa berupa penilaian. Merujuk pada<br />

hal tersebut, maka peneliti perlu untuk melakukan<br />

penelitian dan penilaian terhadap proses presentasi<br />

siswa. Agar presentasi ini menarik minat siswa SD<br />

dan mengingat karakteristik keempat siswa SD<br />

bahwa mereka senang merasakan, melakukan atau<br />

memperagakan sesuatu secara langsung, maka bahan<br />

presentasi yang dipergunakan dalam penelitian ini<br />

adalah Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda.<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br />

kemampuan Presentasi Laporan Praktikum<br />

A1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perubahan Wujud Benda oleh siswa kelas IV-A SD<br />

Wonokromo III<br />

DASAR TEORI<br />

Ciri Kecenderungan Belajar Siswa SD dan<br />

Presentasi<br />

Jean Piaget menyatakan bahwa setiap anak<br />

memiliki cara tersendiri dalam menginterpre- sikan<br />

dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori<br />

perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak<br />

memiliki struktur kognitif yang disebut schemata<br />

yaitu sistem konsep yang ada dalam pemikiran<br />

sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada<br />

dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek<br />

tersebut berlangsung melalui proses asimilasi<br />

(menghubungkan objek dengan konsep yang sudah<br />

ada dalam pikiran) dan proses akomodasi (proses<br />

memanfaatkan konsep dalam pikiran untuk<br />

menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika<br />

berlangsung terus menerus akan membuat<br />

pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi<br />

seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap<br />

anak dapat membangun pengetahuan melalui<br />

interaksi dengan lingkungannya.<br />

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perilaku<br />

belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek<br />

dari dalam dirinya dan lingkungan. Kedua hal<br />

tersebut tidak mungkin dipisahkan karena proses<br />

belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak<br />

dengan lingkungannya.<br />

Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan<br />

operasi konkret. Pada rentang usia sekolah dasar<br />

tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar<br />

sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia secara<br />

objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek<br />

lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur<br />

secara serentak, (2) Mulai berpikir secara<br />

operasional, (3) Menggunakan cara berpikir<br />

operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda,<br />

(4) Menyusun dan menggunakan inter hubungan<br />

antar aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan<br />

menggunakan hubungan sebab akibat, dan (5)<br />

Memahami konsep substansi, volume zat cair,<br />

panjang, lebar, luas, dan berat.<br />

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir<br />

tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah<br />

dasar memiliki tiga ciri, yaitu:<br />

(1) Konkrit. Konkrit adalah proses belajar yang<br />

berasal dari hal-hal yang dapat dilihat, didengar,<br />

dibaui, diraba, dan diubah-ubah dengan titik<br />

penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai<br />

sumber belajar.Pemanfaatan lingkungan akan<br />

menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih<br />

bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan<br />

dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya,<br />

keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih<br />

faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya dapat<br />

dipertanggungjawabkan. (2) Integratif; Pada tahap<br />

usia sekolah dasar, anak memandang sesuatu yang<br />

dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum<br />

mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin<br />

ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang<br />

deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi<br />

bagian. (3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah<br />

dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap<br />

mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang<br />

lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut,<br />

maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis,<br />

keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta<br />

kedalaman materi<br />

Presentasi adalah kegiatan berbicara di hadapan<br />

banyak hadirin. adalah suatu kegiatan berbicara di<br />

hadapan banyak hadirin.<br />

Perubahan Wujud Benda dan Contoh<br />

Berdasarkan wujud zat yang kita kenal yaitu zat<br />

padat, cair, dan gas, ada suatu zat yang dapat<br />

mengalami ketiga wujud tersebut, misalnya air. Hal<br />

itu dapat terjadi apabila zat dalam keadaan suhu<br />

yang berbeda. Misalnya, es pada suhu di bawah 0 o C<br />

berbentuk padat, jika dipanaskan dari suhu 0 o C<br />

sampai dengan 100 o C berbentuk cair, sedangkan jika<br />

dipanaskan lagi sehingga suhunya lebih besar dari<br />

100 o C, air tersebut akan menguap dan berbentuk<br />

gas.<br />

Perubahan wujud zat padat menjadi cair disebut<br />

mencair atau melebur. Contohnya Es menjadi air.<br />

Sebaliknya perubahan wujud zat dari cair menjadi<br />

padat disebut membeku. Contoh: air menjadi es.<br />

Perubahan wujud zat dari cair menjadi uap atau<br />

gas disebut menguap. Contohnya: es menjadi uap<br />

atau gas, jemuran yang basah menjadi kering.<br />

Sebaliknya, perubahan wujud zat dari uap atau gas<br />

menjadi cair disebut mengembun. Contoh: terjadinya<br />

embun pada pagi hari, tetes air pada tutup panci<br />

yang diangkat ketika memasak.<br />

Perubahan wujud zat dari padat menjadi gas<br />

atau sebaliknya perubahan wujud zat dari gas<br />

menjadi padat disebut menyublim. Contoh: kabur<br />

barus lama kelamaan jika dibiarkan akan habis.<br />

Perubahan ketiga tingkat wujud zat tersebut di<br />

atas dirangkum sebagai berikut:<br />

Gambar 1. Siklus perubahan wujud zat yang melibatkan wujud<br />

zat padat, cair, dan gas<br />

A2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 1 berikut memberikan nama-nama dari<br />

perubahan wujud zat tersebut.<br />

TABEL 1. PERUBAHAN WUJUD ZAT<br />

No<br />

Wujud<br />

Nama Perubahan Awal Akhir<br />

1. Membeku Cair Padat<br />

2. Mencair Padat Cair<br />

3. Menguap Cair Gas<br />

4. Mengembun Gas Cair<br />

5. Menyublim<br />

(Melenyap)<br />

Padat Gas<br />

6. Menyublim<br />

(Mengkristal)<br />

Gas Padat<br />

METODE PENELITIAN<br />

Populasi dan Sampel<br />

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif<br />

dengan metode pre-experimental design jenis oneshot<br />

case study. Penelitian dilakukan di SDN III<br />

Wonokromo Surabaya. Pengambilan data dilakukan<br />

pada tanggal 9 dan 30 Desember 2009. Populasi<br />

adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi<br />

penelitian ini adalah semua siswa kelas IV-A SD<br />

Wonokromo III. Adapun dalam pengambilan sampel<br />

menggunakan teknik simple random sampling dan<br />

sampel yang digunakan adalah 6.<br />

Metode Pengumpulan Data<br />

Dalam mengambil data pada penelitian ini<br />

menggunakan metode observasi partisipan, dimana<br />

peneliti terlibat langsung dengan presentasi yang<br />

dilakukan oleh siswa, peneliti bertindak sebagai guru<br />

yaitu, mengulas materi Perubahan Wujud Benda<br />

yang telah diterima sebelumnya oleh siswa dan<br />

mengajarkan cara-cara presentasi. Metode<br />

pengumpulan data penilaian presentasi siswa kelas<br />

IV-A SD Wonoromo III digambarkan dalam alur<br />

kerja di samping<br />

Instrumen Perangkat Pembelajaran<br />

Silabus<br />

Silabus adalah susunan teratur materi<br />

pembelajaran tertentu pada kelas dan semester<br />

tertentu. Dalam penelitian ini silabus khusus pada<br />

pokok bahasan Perubahan Wujud Benda. (lihat<br />

Lampiran 1)<br />

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran<br />

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah<br />

perangkat pembelajaran yang digunakan setiap kali<br />

tatap muka, yang memuat:<br />

1. Kompetensi dasar<br />

2. Indikator pencapaian hasil belajar<br />

3. Kegiatan pembelajaran yang berisi<br />

pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. (lihat<br />

Lampiran 2)<br />

Buku Ajar<br />

Buku ajar yang digunakan merupakan buku<br />

yang telah ditentukan oleh sekolah untuk membantu<br />

siswa memahami materi yang diajarkan<br />

Baik<br />

Peneliti menyiapkan instrumen (elemen<br />

penilaian dan rubriknya). Lihat Lampiran 3<br />

Validasi<br />

Tidak baik<br />

Revisi<br />

Peneliti (sebagai pengajar):<br />

• Mengulas Materi Perubahan Wujud Benda yang<br />

telah diterima sebelumnya oleh siswa<br />

• Mengajarkan cara-cara presentasi<br />

Siswa<br />

melakukan<br />

presentasi<br />

Peneliti mengamati presentasi:<br />

• Peneliti (dibantu rekan) merekam proses<br />

presentasi siswa<br />

• Mengamati menggunakan instrument<br />

yang tervalidasi<br />

Data<br />

Analisis<br />

Kesimpulan<br />

Gambar 1. Desain alur kerja dalam Penelitian Terhadap Siswa<br />

Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Penilaian Presentasi<br />

Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda.<br />

Instrumen untuk Pengambilan Data<br />

Lembar Penilaian (lihat Lampiran 3)<br />

Dari lembar penilaian ini diketahui performansi<br />

siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi<br />

dilakukan oleh peneliti selama penelitian<br />

berlangsung. Dalam instrumen penilaian pada<br />

penelitian performansi presentasi siswa kelas IV-A<br />

SD Wonokromo III mengenai Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda, elemen penelitian dibagi<br />

menjadi dua, yaitu elemen isi dan elemen penyajian.<br />

Elemen isi mengandung 5 aspek, aspek konsep<br />

sains, detail tambahan, penggunaan kosakata, media<br />

visual, dan struktur presentasi. Adapun elemen<br />

penyajian terdiri atas 6 aspek, aspek kualitas<br />

pengucapan, humor positif, penggunaan bahasa<br />

tubuh, pakaian, pemberian waktu berpikir bagi<br />

audiens, dan respon terhadap pertanyaan siswa.<br />

elemen penelitian dibagi menjadi dua, yaitu elemen<br />

isi dan elemen penyajian. Elemen isi mengandung 5<br />

aspek, aspek konsep sains, detail tambahan,<br />

penggunaan kosakata, media visual, dan struktur<br />

presentasi.<br />

A3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 2. Data Penilaian Presentasi Percobaan Perubahan Wujud<br />

Benda oleh Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III<br />

Keterangan<br />

Nama Siswa<br />

N = nilai<br />

Ad = Adbel<br />

4 = sangat baik Am = Amilia<br />

3 = baik B = Boby<br />

2 = kurang E = Era<br />

1=sangat kurang atau<br />

K=Khoirunisa<br />

tidak melakukan<br />

W=Winda<br />

Adapun elemen penyajian terdiri atas 6 aspek, aspek<br />

kualitas pengucapan, humor positif, penggunaan<br />

bahasa tubuh, pakaian, pemberian waktu berpikir<br />

bagi audiens, dan respon terhadap pertanyaan siswa.<br />

Masing-masing poin memiliki skala 1-4, dengan 1<br />

adalah sangat kurang atau bahkan tidak melakukan<br />

sama sekali dan nilai 4 adalah sangat baik. (lihat<br />

elemen penilaian pada Tabel 2)<br />

DATA DAN ANALISIS<br />

Penelitian ini menggunakan 2 elemen penilaian<br />

yakni elemen isi dan elemen penyajian. Masingmasing<br />

elemen terbagi menjadi beberapa poin.<br />

Untuk elemen isi, aspeknya sebagai berikut, konsep<br />

sains, detail tambahan, penggunaan kosakata, media<br />

visual, dan struktur presentasi. Adapun pada elemen<br />

penyajian, aspek-aspeknya yakni kualitas<br />

pengucapan, humor positif, penggunaan bahasa<br />

tubuh, cara berpakaian, pemberian waktu berpikir<br />

bagi audiens, dan respon terhadap pertanyaan dari<br />

audiens.<br />

Selama presentasi berlangsung, ada 3 siswa<br />

yang mengajukan pertanyaan, antara lain Adbel,<br />

Aprilia, dan Amilia (lihat Lampiran 4 ). Meskipun<br />

munculnya pertanyaan tersebut tidak menjadi<br />

pertimbangan dalam penilaian, tetapi ini merupakan<br />

indikator bahwa perhatian ketiga siswa tersebut<br />

terpusat pada presentasi dan menunjukkan adanya<br />

dialog, sehingga presentasi yang ada bersifat dua<br />

arah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam<br />

presentasi juga mengindikasikan antusiasme siswa<br />

sangat besar.<br />

Berdasarkan survei lisan kepada siswa sampel<br />

yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan<br />

penelitian, diperoleh informasi bahwa siswa sampel<br />

sama sekali belum pernah mengenal cara-cara<br />

presentasi dalam belajar. Oleh karenanya, ketika<br />

penelitian ini dilakukan, dalam berpresentasi, siswa<br />

masih melakukannya dengan cara membaca bahan<br />

yang dipresentasikan, meskipun peneliti telah<br />

mngajarkan cara-cara berpresentasi. Ditemuinya<br />

fakta bahwa siswa masih membaca dalam<br />

berpresentasi dapat dimaklumi mengingat siswa<br />

belum memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam<br />

presentasi. Membaca ketika berpresentasi dapat<br />

diartikan siswa belum memahami materi yang<br />

dipresentasikan. Itu sebabnya ketika mereka dinilai,<br />

performansi mereka masih kurang (rata-rata<br />

mendapat nilai 2).<br />

Aturan skala nilai pada rubrik penilaian<br />

memberikan makna sebagai berikut, nilai 4<br />

diperoleh siswa jika melakukan presentasi dengan<br />

lancar, menguasai konsep dan metode presentasi,<br />

strategi-strategi presentasi seperti media visual dan<br />

humor yang positif, nilai 3 jika siswa tidak baik<br />

(nilai 2 atau 1) dalam melakukan salah satu atau dua<br />

poin lainnya yang berhubungan dengan poin yang<br />

sedang dinilai, nilai 2 jika siswa dapat melakukan<br />

dengan baik (nilai 3 atau 4) hanya pada dua atau satu<br />

poin yang berhubungan dengan poin yang sedang<br />

dinilai. Adapun nilai 1 diberikan jika siswa sangat<br />

kurang dalam berpresentasi atau bahkan tidak<br />

melakukan kegiatan dalam poin<br />

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa seluruh<br />

siswa sangat baik (nilai 4) dalam memahami konsep<br />

dan berpakaian, semua siswa tidak melakukan (nilai<br />

1) kegiatan dalam aspek pemberian detail tambahan,<br />

penggunaan media visual, dan penggunaan humor<br />

positif. Melihat pada Tabel 1, mayoritas siswa telah<br />

melakukan dengan baik (nilai 3) dalam pemberian<br />

waktu berpikir bagi audiens dan penggunaan<br />

kosakata, namun mereka masih kurang (nilai 2)<br />

dalam memberikan respon pertanyaan dari audiens.<br />

Sementara itu, siswa dalam melakukan kegiatan<br />

pada aspek struktur presentasi, kualitas pengucapan,<br />

dan kegiatan penggunaan bahasa tubuh, memberikan<br />

distribusi jumlah siswa yang rata pada masingmasing<br />

nilai.<br />

Tabel 2 dapat ditampilkan dalam Gambar 2.<br />

Berdasarkan grafik distribusi kemampuan siswa<br />

A4


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dalam presentasi berdasarkan 11 aspek penilaian,<br />

dapat dilihat bahwa jumlah siswa yang memperoleh<br />

nilai tertentu pada masing-masing poin penilaian<br />

adalah berbeda. Hal tersebut tampak pada perbedaan<br />

ketinggian batang yang menunjukkan jumlah siswa<br />

Keterangan nilai:<br />

4 = sangat baik<br />

3 = baik<br />

2 = kurang<br />

1 = sangat kurang atau tidak melakukan<br />

Gambar 2. Distribusi Kemampuan Presentasi Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda oleh Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo<br />

III Surabaya Berdasarkan 11 Poin Penilaian<br />

Aspek 1 (konsep sains digunakan secara<br />

akurat), seluruh siswa mendapat nilai maksimum<br />

(4). Pada Aspek 2 yaitu ”detail tambahan yang<br />

akurat dapat menjelaskan konsep”, semua sampel<br />

mendapatkan nilai minimum (1). Ditemuinya fakta<br />

tersebut disebabkan siswa hanya membaca hasil<br />

percobaan, sehingga dalam presentasi siswa terpaku<br />

pada laporan hasil percobaan<br />

Penggunaan kosakata (Aspek 3), tidak ada<br />

siswa yang mendapatkan nilai maksimum, satu<br />

siswa mendapat nilai 3, empat siswa mendapat nilai<br />

2, dan satu siswa mendapat nilai minimum.<br />

Dalam Aspek 4 yaitu penggunaan media visual,<br />

tidak ada satupun siswa yang mempersiapkan media<br />

karena peneliti mengambil data penilaian presentasi<br />

bersamaan (pada hari dan jam pelajaran yang sama;<br />

30 Desember 2009 pukul 13.00-14.30) dengan<br />

peneliti lain yang mengambil data Penilaian Proses<br />

Pengambilan Data Percobaan Perubahan Wujud<br />

Benda dan hasil percobaan merupakan bahan<br />

presentasi siswa.<br />

Pada Aspek 5 dari elemen isi, tidak ada siswa<br />

yang mendapatkan nilai minimum, persentase siswa<br />

tersebar rata pada tiap nilai, masing-masing nilai<br />

didapatkan oleh 2 siswa.<br />

Aspek kualitas pengucapan, Amilia siswa<br />

mendapatkan nilai 1 karena dalam presentasi dia<br />

hanya membaca dan antusiasme minim (nada bicara<br />

datar). Dua siswa medapat nilai 3 karena mereka<br />

kurang dalam volum atau kecepatan berbicara di<br />

depan audiens. Sementara itu 2 siswa mendapat nilai<br />

2 sebab mereka kurang dalam kecepatan<br />

menyampaikan bahan presentasi, volum, dan<br />

antusias. Namun mereka tidak murni membaca<br />

dalam berpresentasi.<br />

Aspek 2, “Humor yang positif digunakan<br />

dengan tepat”, tidak ada satupun siswa yang<br />

melakukan,sehingga seluruh siswa mendapatkan<br />

nilai 1.<br />

Penggunaan bahasa tubuh (Aspek 3), terdapat<br />

dua siswa yang mendapat nilai 1 karena dalam<br />

berpresentasi mereka terpaku pada kegiatan<br />

membaca. Winda mendapat nilai 2 karena dia hanya<br />

membaca dan melihat sekilas pada audiens. Adapun<br />

dua siswa lainnya memperoleh nilai 3 karena pada<br />

saat siswa melakukan presentasi peneliti melihat<br />

adanya gerakan tangan yang mendukung penjelasan<br />

(pembacaan) bahan presentasi. Sementara itu,<br />

Khoirunisa memperoleh nilai maksimum karena<br />

memperagakan bahasa tubuh dengan efektif antara<br />

kontak mata dan perubahan gerak tubuh.<br />

Dalam hal berpakaian (Aspek 4 dari elemen<br />

penyajian), seluruh sampel mendapat nilai<br />

maksimum. Mengingat bahwa siswa SD yang<br />

cenderung patuh dengan peraturan, misalnya ketika<br />

berpakaian, kemeja dimasukkan dan menggunakan<br />

ikat pinggang.<br />

Aspek 5 (Pembicara memberikan waktu<br />

berpikir bagi audiens), mayoritas (4 siswa)<br />

mendapatkan nilai 3. Khoirunisa memperoleh nilai<br />

maksimum(4). Sementara itu, satu siswa mendapat<br />

nilai 2 karena hanya mempersilakan audiens<br />

bertanya namun tidak menunggu respon audiens dan<br />

langsung kembali ke bangku.<br />

Pada Aspek 6, 3 siswa tidak merespon sama<br />

sekali pertanyaan dari audiens sehingga mendapat<br />

nilai 1. Satu siswa mendapat nilai 2. Sementara itu 2<br />

siswa mendapat nilai 3 karena mereka berusaha<br />

menjawab pertanyaan dengan mengulang<br />

menjelaskan (membaca) bagian yang ditanyakan.<br />

Penjelasan mengenai nilai masing – masing<br />

siswa digambar dalam diagram lingkaran pada<br />

masing-masing siswa. Dalam diagram lingkaran<br />

terdapat keterangan perolehan nilai dalam angka<br />

biasa dan bentuk persen, penulisan kedua bentuk<br />

angka tersebut dipisahkan oleh tanda titik koma.<br />

Untuk masing-masing potongan diagram lingkaran,<br />

nilai maksimalnya adalah 4 dan jika dihitung dalam<br />

persentase menjadi 14%-17%.<br />

Menurut Gambar 3, Adbel sangat baik dalam<br />

penggunaan konsep, struktur presentasi, dan<br />

berpakaian dengan indikator 14% telah dicapai pada<br />

poin tersebut, dia baik dalam pemberian waktu<br />

berpikir pada audiens, dan respon pertanyaan dari<br />

audiens, namun kurang baik dalam penggunaan<br />

kosakata, kualitas pengucapan, dan tidak melakukan<br />

kegiatan pada poin detail tambahan info, media<br />

visual, humor positif, dan bahasa tubuh.<br />

A5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perolehan Nilai Adbel dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />

3; 12%<br />

4; 15%<br />

3; 12%<br />

1; 4% 1; 4% 2; 8%<br />

4; 14%<br />

4; 15%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />

6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />

1; 4%<br />

2; 8%<br />

1; 4%<br />

Gambar 3. Perolehan Nilai Adbel dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />

Penilaian<br />

Menurut Gambar 4, Era sangat baik dalam<br />

konsep dan berpakaian, baik dalam struktur<br />

presentasi, pengucapan, penggunaan bahasa tubuh,<br />

dan pemberian waktu berpikir pada audiens,<br />

sehingga mendapat persentase 11%, namun dia<br />

kurang dalam penggunaan kosakata dan respon<br />

terhadap pertanyaan dari audiens. Era memperoleh<br />

nilai 1 yang jika dikonversi menjadi 4% penguasaan<br />

pada poin penambahan detail informasi, tampilan<br />

(media visual), dan humor yang positif. Perolehan<br />

nilai 1 tersebut dikarenakan Era tidak melakukan<br />

kegiatan pada aspek terkait.<br />

Perolehan Nilai Era dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda<br />

2; 7%<br />

4; 15%<br />

3; 11%<br />

1;<br />

4%<br />

4; 15%<br />

3; 11%<br />

1; 4%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

3; 11%<br />

2;<br />

7%<br />

3; 11%<br />

1;<br />

4%<br />

Gambar 4. Perolehan Nilai Era dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />

Penilaian<br />

Berdasarkan Gambar 5, Khoirunisa sangat<br />

baik dalam konsep, struktur presentasi, kualitas<br />

pengucapan, penggunaan bahasa tubuh, dan<br />

pemberian waktu berpikir pada audiens, dia<br />

merespon pertanyaan dari audiens dengan baik<br />

sehingga mendapatkan nilai 3 (menguasai 10%).<br />

Khoirunisa tidak melakukan kegiatan pada aspek<br />

detail informasi, penggunaan kosakata, tampilan<br />

(media visual), dan humor yang positif, oleh<br />

karenanya hanya mendapatkan nilai 1 untuk aspekaspek<br />

tersebut.<br />

Perolehan Nilai Khoirunisa dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />

3; 10% 4; 13% 1; 3%<br />

4; 13%<br />

1; 3%<br />

4; 13%<br />

4; 13%<br />

1; 3%<br />

4; 13%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />

6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />

1; 3%<br />

4; 13%<br />

Gambar 5. Perolehan Nilai Khoirunisa dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />

Penilaian.<br />

Dari Gambar 6, Winda sangat baik dalam<br />

konsep dan berpakaian, menguasai 13%<br />

(memperoleh nilai 3) dalam penggunaan kosakata<br />

sehingga dia telah menggunakan kosakata dengan<br />

baik, namun dia kurang dalam struktur presentasi,<br />

pengucapan, penggunaan bahasa tubuh, dan<br />

pemberian waktu berpikir pada audiens, Winda tidak<br />

melakukan aspek penambahan detail informasi,<br />

tampilan (media visual), humor yang positif, dan<br />

respon terhadap pertanyaan dari audiens sehingga<br />

mendapatkan nilai 1 yang jika dipersentasekan<br />

menjadi 4%.<br />

Perolehan Nilai Winda dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda<br />

4; 17%<br />

2; 9% 1; 4%<br />

4; 18%<br />

1; 4%<br />

2; 9%<br />

1; 4% 2; 9% 2; 9% 1; 4% 3; 13%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />

6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />

Gambar 6. Perolehan Nilai Winda dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />

Penilaian<br />

Melihat pada Gambar 7, Boby sangat baik<br />

dalam konsep dan berpakaian, menguasai 12% (nilai<br />

3) dalam kemampuan kualitas pengucapan,<br />

penggunaan bahasa tubuh, dan pemberian waktu<br />

berpikir pada audiens, namun dia kurang dalam<br />

A6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

penggunaan kosakata dan struktur presentasi. Pada<br />

aspek penambahan detail informasi, tampilan (media<br />

visual), humor yang positif, dan respon terhadap<br />

pertanyaan dari audiens, Boby menguasai 4%<br />

(mendapat nilai 1) karena dia tidak melakukan<br />

kegiatan pada aspek-aspek tersebut.<br />

Perolehan Nilai Boby dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda<br />

4; 16%<br />

3; 12% 1; 4%<br />

3; 12%<br />

1; 4%<br />

3; 12%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />

6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />

4; 16%<br />

1; 4%<br />

2; 8%<br />

2; 8%<br />

1; 4%<br />

Gambar 7.Perolehan Nilai Boby dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Aspek<br />

Penilaian<br />

Berdasarkan Gambar 8, Amilia sangat baik<br />

dalam konsep dan berpakaian, baik dalam struktur<br />

presentasi dan pemberian waktu berpikir bagi<br />

audiens, kurang dalam penggunaan kosakata. Amilia<br />

tidak melakukan kegiatan pada poin detail informasi,<br />

tampilan (media visual), kualitas pengucapan, humor<br />

yang positif, penggunaan bahasa tubuh, dan respon<br />

pertanyaan dari audiens.<br />

Perolehan Nilai Amilia dalam Presentasi Laporan Praktikum<br />

Perubahan Wujud Benda<br />

4,<br />

17%<br />

1,<br />

5%<br />

3,<br />

14%<br />

1,<br />

5%<br />

1,<br />

5% 1,<br />

5%<br />

4,<br />

17%<br />

3,<br />

13%<br />

1. Konsep<br />

2. Detail tambahan<br />

3. Kosakata<br />

4. Penggunaan media visuall<br />

5. Presentasi terstruktur<br />

1. Pengucapan<br />

2. humor yang positif<br />

3. penggunaan bahasa tubuh<br />

4. pakaian<br />

5. pemberian waktu berpikir bagi audiens<br />

6. Respon terhadap pertanyaan dari audiens<br />

1,<br />

5%<br />

2,<br />

9%<br />

1,<br />

5%<br />

Gambar 8.Perolehan Nilai Amilia dalam Presentasi Laporan<br />

Praktikum Perubahan Wujud Benda Berdasarkan 11 Poin<br />

Penilaian<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang<br />

telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik<br />

kesimpulan dalam Tabel 3.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian.<br />

Jakarta: Rineka Cipta.<br />

http://Ciri Kecenderungan Belajar Dan Cara Belajar<br />

Anak SD dan MI « Pembelajaran<br />

Guru.htm.2008@google.com.15 Januari 2010<br />

http://Kurniawan,Nursidik.2007.KARAKTERISTIK<br />

_PENDIDIKAN_USIA_SD.htm@google.co<br />

m.15 Januari 2010.<br />

http://Presentasi.htm @ wikipedia .com 15 Januari<br />

2010.<br />

http://Direktorat Pembinaan SMA Ditjen<br />

Manajemen Pendidikan Dasar Dan<br />

Menengah <strong>Departemen</strong> Pendidikan<br />

Nasional.Rancangan Penilaian Hasil Belajar.<br />

@google.com.15 Januari 2010.<br />

A7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 3. Kesimpulan Penelitian Terhadap Siswa Kelas IV-A SD Wonokromo III Mengenai Presentasi<br />

Laporan Praktikum Perubahan Wujud Benda<br />

A8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Karakteristik Aktivitas Belajar Mahasiswa<br />

Terhadap Modul e-Learning: Studi Kasus Kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />

Cuk Imawan, Efta Yudiarsah<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia<br />

Email : cuk.imawan@ui.ac.id<br />

Abstrak<br />

Aktivitas belajar mahasiswa dalam kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar di Universitas Indonesia terhadap modul e-learning telah<br />

dikarakterisasi dan dianalisa. Modul e-learning kuliah <strong>Fisika</strong> Dasar yang digunakan untuk diuji berasal dari hasil<br />

pengembangan PHKI-UI. Terdapat dua tipe modul yang diujicobakan yaitu: model 1: Penayangan modul tanpa<br />

aktivitas online dan model 2: Penayangan modul dengan aktivitas online. Aplikasi e-learning yang digunakan<br />

adalah SCeLE-UI yang berbasis Moodle. Semua aktivitas atau interaksi mahasiswa dengan modul e-learning<br />

direkam oleh SCeLE dan telah dianalisa. Dari hasil ini diperoleh kesimpulan bahwa kuliah yang hanya<br />

menayangkan modul e-learning saja tanpa disertai oleh aktivitas online hanya dikunjungi oleh mahasiswa di<br />

pekan-pekan awal perkuliahan. Mahasiswa hanya berkepentingan untuk mengunduh modul saja. Aktivitas test<br />

online yang digunakan di model 2, telah berhasil memaksa mahasiswa untuk selalu berinteraksi dengan materi<br />

kuliah setiap pekannya. Walaupun modul yang dikembangkan telah mencakup presentasi materi kuliah, diktat<br />

kuliah, materi pengayaan berupa multimedia dan alamat web terkait dari materi yang dibahas, mahasiswa masih<br />

kurang tertarik untuk berinteraksi dengan materi-materi tersebut. Hal ini memberikaan kesimpulan, bahwa<br />

perkuliahan e-learning disamping harus mempunyai skenario pembelajaran yang tepat juga harus diasuh oleh<br />

faslitator yang baik sehingga mahasiswa dapat termotivasi untuk rajin belajar.<br />

Kata kunci : e-learning, kuliah <strong>Fisika</strong> dasar, aktivitas belajar.<br />

PENDAHULUAN<br />

Saat ini penggunaan TIK untuk medukung<br />

aktivitas belajar telah banyak dilakukan. Salah satu<br />

bentuknya adalah e-learning (Holden, 2005).<br />

Walaupun perkembangan e-learning sudah melewati<br />

dua dekade, perkuliahan e-learning masih belum<br />

banyak dilakukan di Indonesia. Memang dapat<br />

dijumpai beberapa kuliah yang dilaksanakan oleh<br />

dosen secara individual telah menggunakan fasilitas<br />

e-learning, tetapi perkuliahan dasar, misalnya untuk<br />

matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar universitas, yang biasanya<br />

menjadi matakuliah wajib bagi bidang eksakta<br />

sehingga selalu dilaksanakan secara masal, belum<br />

dijumpai dilakukan secara institusional di PT di<br />

Indonesia. Kendala utamanya adalah infrastruktur<br />

jaringan komputer yang belum memadai,<br />

keterbatasan sumber daya manusia yang<br />

bertanggung jawab untuk mengembangkan,<br />

merawat, dan mengoperasikan modulnya, dan biaya<br />

operasionalnya yang masih mahal. Seandainya<br />

semua rintangan ini teratasi, masih ada kendala yang<br />

sering membuat e-learning gagal, yaitu rendahnya<br />

komitmen institusi dan pelaksana yang frustrasi<br />

karena sering harapannya tidak sesuai dengan<br />

kenyataan di lapangan (Dokeos, 2008). Hal lainnya<br />

adalah bahwa e-learning menuntut perubahan<br />

budaya, sehingga yang diperhatikan atau<br />

diselesaikan tidak hanya permasalahan fisik saja<br />

tetapi juga permasalahan manusianya (Forman,<br />

2002).<br />

Universitas Indonesia (UI) melalui proyek<br />

PHKI Batch 1 program B, telah mengembangkan<br />

dan mengimplementasikan e-learning ini secara<br />

masal yang diikuti oleh lebih dari 4000 mahasiswa<br />

pengguna secara serentak. Pengambangan modul e-<br />

learning ini merupakan prototipe untuk menuju<br />

cyber campus yang telah dicanangkan oleh UI.<br />

Penelitian ini merupakan evaluasi awal tentang<br />

pelaksanaan e-learning pada matakuliah <strong>Fisika</strong><br />

Dasar di UI yang telah dilaksanakan pada akhir<br />

tahun 2009. Evaluasi yang dilakukan adalah tentang<br />

karakteristik aktivitas mahasiswa pada jenis materi<br />

yang telah dikembangkan dan diberikan secara<br />

online selama kuliah berlangsung.<br />

PERANCANGAN PEMBELAJARAN<br />

Pada penelitian ini digunakan teori pemelajaran<br />

berarti (significant learning) untuk perancangan<br />

pembelajarannya (Fink, 2003). Secara skematik<br />

komponen kunci dalam perancangan pembelajaran<br />

terintegrasi menurut teori ini ditunjukkan pada<br />

gambar 1. Dalam perancangan pembelajaran telah<br />

dilakukan urutan langkah berikut:<br />

Mengamati faktor-faktor situasi yang<br />

mempengaruhi proses pembelajaran, meli-puti<br />

karakteristik pelajar dan pengajar, lingkungan<br />

belajar, dll.<br />

Menentukan tujuan akhir belajar:, terma-suk<br />

dampaknya pada pelajar, perbedaan terhadap<br />

pelajaran lainnya, dll.<br />

Melakukan asesmen dan umpan balik, dapat<br />

berupa asesmen peer dan pribadi, bentuk ujian, dll.<br />

A9


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Merancang aktivitas belajar, meliputi jenis dan<br />

bentuk aktivitas, dukungan TIK, dll.<br />

Penayangan modul dengan aktivitas online:<br />

disamping menayangakan semua materi secara<br />

online, aktivitas belajar terstruktur dilakukan juga<br />

secara online.<br />

Tujuan dari pemilihan kedua model ini adalah<br />

untuk mempelajari bagaimana karakteristik aktivitas<br />

belajar mahasiswa terkait dengan jenis materi ajar,<br />

teknologi e-learning dan skenario proses<br />

pembelajaran yang dirancang.<br />

Gambar. 1 Komponen kunci dalam perancangan pembelajaaran<br />

terintegrasi. (Fink, 2003)<br />

Pengamatan terhadap faktor-faktor situasi di<br />

lapangan, untuk matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar telah<br />

dilakukan sebelum model pembelajaran baru akan<br />

dikembangkan. Faktor-faktor situasi belajar utama<br />

yang teramati adalah:<br />

Motivasi belajar mahasiswa cenderung langsung<br />

tertuju untuk mendapatkan nilai akhir, tidak terlalu<br />

memperhatikan proses belajar.<br />

Efektivitas belajar mandiri dari mahasiswa<br />

masih rendah. Terbatas pada persiapan menjelang<br />

ujian tengah dan akhir semester.<br />

Jenis materi ajar terlalu monoton, hanya terbatas<br />

pada buku teks.<br />

Aktivitas kerja kelompok untuk membantu<br />

pengembangan soft skills belum ada.<br />

Proses pembelajaran 100% tatap muka satu<br />

arah, tanpa disertai tugas terstruktur.<br />

Evaluasi belajar hanya sumatif, lewat ujian<br />

tengah dan akhir semester.<br />

Mahasiswa belum dikenalkan teknologi TIK<br />

untuk mendukung pembelajaran.<br />

Berdasarkan faktor-faktor situasi ini,<br />

dikembangkan model pembelajaran active blended<br />

e-learning. Model ini pada dasarnya<br />

menggabungkan model tatap muka dan e-learning<br />

secara bersama dengan model belajar aktif. Pada<br />

prinsipnya semua materi ajar diberikan lewat tatap<br />

muka sedangkan e-learning membantu dalam<br />

aktivitas belajar terstruktur di luar tatap muka.<br />

Materi ajar dikem-bangkan secara variatif dalam<br />

bentuk e-diktat, power point, animasi, simulai dan<br />

link ke web, yang semuanya dapat diakses secara<br />

online.<br />

Pada riset ini dikembangkan dua model aktivitas<br />

pembelajaran, yaitu:<br />

Penayangan modul tanpa aktivitas online:<br />

semua materi ajar ditayangkan secara online, tetapi<br />

tidak ada aktivitas belajar terstruktur baik secara<br />

online maupun offline.<br />

PENGEMBANGAN MODUL E-LEARNING<br />

Implementasi perancangan pembelajaran<br />

matakuliah <strong>Fisika</strong> dasar dengan metode active<br />

blended e-learning dikerjakan dengan melakukan<br />

pengem-bangan modul e-learning beserta<br />

perancangan instruksional pembelajarannya. Seperti<br />

diketahui e-learning tidak sekedar menampilkan<br />

materi kuliah secara online di web, tetapi juga harus<br />

memperhatikan atau merancang bagaimana interaksi<br />

belajar mahasiswa dengan materi onlinenya (Fetaji,<br />

2007).<br />

Skema pengembangan kedua model di atas<br />

ditunjukkan pada gambar 2. Pengembangan modul<br />

terdiri dari dua bagian, yaitu pengembangan<br />

multimedia dan instructional design. Pengembangan<br />

multimedia meliputi pengembangan materi ajar<br />

berbasis TIK yang terdiri dari pengembangan PPt<br />

sebagai bahan kuliah tatap muka interaktif,<br />

pengembangan e-diktat sebagai buku teks yang<br />

digunakan untuk tugas reading, e-test bank sebagai<br />

bank soal berjenis multiple choice yang digunakan<br />

untuk pre dan post test, video clip, animasi/simulasi<br />

sebagai sarana pengayaan materi visual untuk<br />

mempermudah atau membantu menerangkan/<br />

memahami materi, dan links ke web, sebagai materi<br />

pengayaan penambah informasi dan wawasan.<br />

Semua materi multimedia yang dikembangkan<br />

dirancang dalam suatu instructional design sehingga<br />

harus dikembangkan suatu metode, skenario, dan<br />

evaluasi pembelajaran secara integratif seperti dapat<br />

dilihat di gambar 2.<br />

Perbedaan model 1 dan model 2 secara prinsip<br />

terletak di skenario dan evaluasi pembelajarannya.<br />

Model 1 adalah suatu pembelajaran konvensional<br />

atau pasif yang didukung dengan sarana TIK.<br />

Multimedia yang dikembangkan hanya diletakkan<br />

online di web sehingga dapat diunduh atau dipelajari<br />

secara online, tetapi tidak dirancang sebagai suatu<br />

kesatuan proses pembelajaran berbentuk aktivitas<br />

belajar. Sedangkan model 2, memanfaatkan semua<br />

multimedia yang dikembangkan ke dalam aktivitas<br />

belajar yang telah dirancang.<br />

Perbedaan lainnya yang menyolok di model 2<br />

adalah dijumpainya aktivitas kerja kelompok berupa<br />

collaborative learning (CL) dan Problem based<br />

Learning (PBL) yang diakhiri dengan presentasi<br />

hasil tugasnya. Metode ini telah dicoba dan baik<br />

untuk jenis matakuliah eksakta (Göl, 2007). CL/PBL<br />

A10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ini beserta evaluasinya berupa borang-borang tugas<br />

kelompok merupakan salah satu metode belajar aktif<br />

yang diintegrasikan dalam aktivitas belajar.<br />

setiap minggu selama satu semester penuh, sehingga<br />

mahasiswa dapat mengatur sendiri strategi<br />

belajarnya dan juga memahami segala konsekuensi<br />

yang akan dilakukannya. Pada gambar 3 di bagian<br />

bawah ditunjukkan skenario tugas kelompok. Di<br />

modul online ini diberikan semua peraturan dan tata<br />

cara penyelesaikan dan evaluasi tugas kelompok<br />

beserta kemajuan yang harus dicapai setiap<br />

pekannya. Pada tugas ini, setiap kelompok harus<br />

menyelesaikan suatu permasalaahan yang diberikan<br />

secara berkelompok dalam waktu empat pekan.<br />

Gambar. 2 Model pengembangan modul matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />

dengan metode active blended e-learning.<br />

Gambar. 3 Tampilan modul e-learning <strong>Fisika</strong> dasar di SCeLE-UI.<br />

Pengembangan modul e-learning ini dituangkan<br />

dalam LMS SCeLE (Student Centered e-Learning<br />

Environment) yang dikembangkan oleh Universitas<br />

Indonesia dan digunakan sebagai aplikasi resmi e-<br />

learning di UI. Tampilan modul e-learning ditunjukkan<br />

di gambar 3. Pada modul ditampilkan semua<br />

rancangan pembelajaran dan materinya secara rinci<br />

ANALISIS KARAKTERISTIK AKTIVITAS<br />

BELAJAR<br />

Pada artikel ini yang diteliti adalah karakteristik<br />

aktivitas belajar mahasiswa terhadap modul yang<br />

meliputi materi-materi dan skenario pembelajaran<br />

yang diberikan. Penelitian tentang peningkatan<br />

kemampuan pemahaman materi oleh mahasiswa<br />

A11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sangat sulit dilakukan, disamping waktu penelitian<br />

yang terbatas yaitu hanya satu semester saja atau<br />

satu kali proses kuliah, implementasi di lapangan<br />

tidak memungkinkan untuk dibandingkan antara<br />

metode konvensional dibandingkan dengan metode<br />

ini pada mahasiswa yang sama. Walaupun demikian<br />

hasil evaluasi ini sangat bermanfaat untuk<br />

mengetahui karakteristik aktivitas belajar dan<br />

kemudian dapat digunakan dalam memperbaiki<br />

instructional design sehingga sesuai dengan faktorfaktor<br />

situasi belajar yang ada.<br />

Aktivitas belajar yang dianalisis adalah semua<br />

aktivitas interaksi mahasiswa dengan materi ajar<br />

secara online dan aktivitas mahasiswa ketika<br />

menyelesaikan tugas kelompok. Aktivitas tugas<br />

kelompok dievaluasi dari borang-borang tugas<br />

kelompok yang diisi oleh mahasiswa.<br />

Gambar 4 menunjukkan aktivitas mahasiswa<br />

ketika menjalankan Instructional design model 1.<br />

Aktivitas ini adalah nilai rata-rata interaksi<br />

mahasiswa terhadap materi panduan, PPt, diktat, dan<br />

materi pengayaan (animasi, simulasi, links ke web,<br />

& video clips) yang ditampilkan online di SCeLE<br />

selama perkuliahan berlangsung. Nilai rata-rata<br />

diambil dari 19 kelas paralel yang ada di Fakultas<br />

Teknik. Seperti diketahui model 1 menggunakan<br />

materi online tanpa mewajibkan mahasiswa<br />

berinteraksi dengannya. walaupun demikian dosen<br />

menganjurkan mahasiswa untuk berinteraksi.<br />

Jadi mahasiswa hanya mengunduh materi dari web<br />

dan tidak menjenguk web lagi, karena memang tidak<br />

ada aktivitas online lainnya.<br />

Hasil yang sangat jauh berbeda ditunjukkan<br />

untuk model 2 (gambar 5). Interaksi dengan materi<br />

terlihat sangat banyak, terutama dengan kuis online<br />

(pre test dan post test). Grafik 5 menunjukkan<br />

mahasiswa telah berinteraksi sampai 5 kali dengan<br />

test, padahal untuk menyelesaikan test sebenarnya<br />

cukup berinteraksi 1-2 kali saja. Interaksi yang<br />

tinggi pada test online mungkin disebabkan karena<br />

bersifat wajib dan nilai test merupakan salah satu<br />

komponen nilai akhir kuliah. Keinginan mahasiswa<br />

untuk mendapatkan nilai test yang baik ini, mungkin<br />

menyebabkan mereka harus banyak berinteraksi<br />

dengan materi PPt dan Diktat, seperti dapat dilihat di<br />

gambar 5. Walaupun demikian ternyata mahasiswa<br />

masih tidak berminat untuk berinteraksi dengan<br />

materi pengayaan.<br />

Gambar. 5 Aktivitas belajar mahasiswa terhadap materi online<br />

setiap pekan. Instructional design menggunakan model 2,<br />

dilakukan oleh 6 kelas.<br />

Gambar. 4 Rata-rata aktivitas belajar mahasiswa terhadap materi<br />

online setiap pekan. Instructional design menggunakan model 1,<br />

dilakukan oleh 19 kelas.<br />

Gambar 4 menunjukkan terdapat sekitar 20 kali<br />

interaksi dengan panduan kuliah, padahal jumlah<br />

mahasiswa rata-rata di kelas adalah 60, dengan<br />

demikian hanya sekitar 30% mahasiswa yang<br />

melihat sendiri panduan kuliah secara online.<br />

Interaksi dengan PPt dan diktat tercatat tinggi pada<br />

pekan ke-1 dan kemudian menurun sampai ke angka<br />

sekitar 20 kali setiap pekan. Dilain pihak mahasiswa<br />

terlihat tidak tertarik untuk berinteraksi dengan<br />

materi pengayaan. Karakteristik ini diduga sebagai<br />

akibat dari tiadanya aktivitas wajib yang harus<br />

dikerjakan oleh mahasiswa dengan materi onlinenya.<br />

Gambar. 6 Aktivitas belajar mahasiswa selama menyelesaikan<br />

tugas kelompok. Instructional design menggunakan model 2.<br />

Aktivitas lainnya pada model 2 adalah tugas<br />

kelompok. Selama mengerjakan tugas, mahasiswa<br />

diharuskan mengisi borang-borang selama proses<br />

penyelesaian kegiatan. Salah satu borang yang wajib<br />

diisi adalah borang evaluasi diri dan kelompok, yang<br />

A12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

menggambarkan bagaimana interaksi setiap<br />

mahasiswa dengan kelompoknya selama proses<br />

penyelesaian tugas. Evaluasi yang dilakukan<br />

meliputi kontribusi individu dalam kelompok,<br />

kerjasama individu dalam kelompok dan<br />

kemampuan komunikasi individu dalam kelompok.<br />

Hasil evaluasi ini ditunjukkan pada gambar 6.<br />

Evaluasi dilakukan dua kali yaitu ketika di tengah<br />

waktu penyelesaian tugas dan di akhir tugas. Hasil<br />

evaluasi menunjukkan bahwa semua nilai untuk<br />

ketiga aspek di atas lebih dari 90%. Hasil ini tidak<br />

diduga sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

mahasiswa dapat melakukan aktivitas kerja<br />

kelompok dengan baik.<br />

Hasil model 1 dan 2 di atas menyimpulkan<br />

bahwa materi online jika tidak disertai dengan<br />

aktivitas yang mengharuskan mahasiswa<br />

berinteraksi dengan materinya akan tidak efektif<br />

dalam membantu atau mendorong aktivitas belajar<br />

mahasiswa. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />

bahwa kesadaran mahasiswa dalam belajar masih<br />

rendah, sehingga sangat diperlukan suatu aktivitas<br />

belajar terstruktur yang “memaksa” mahasiswa<br />

untuk melakukan atau menyelesaikannya.<br />

Jolly T. Holden, Philip J.-L. Westfall (2005), An<br />

Instructional Media Selection Guide for<br />

Distance learning, United States Distance<br />

Learning Association.<br />

Dokeos (2008), The Dokeos e-learning project<br />

management guide.<br />

Dawn Forman (2002), Cultural Change for the E-<br />

World, Proceedings of the International<br />

Conference on Computers in Education<br />

(ICCE’02),<br />

L. Dee Fink (2003), A Self-Directed Guide to<br />

Designing Courses for Significant Learning.<br />

Bekim Fetaji & Majlinda Fetaji (2007) E-Learning<br />

Indicators Methodology Approach in Designing<br />

Successful e-Learning, Proceedings of<br />

the ITI 2007 29th Int. Conf. on Information<br />

Technology Interfaces, June 25-28, 2007,<br />

Cavtat, Croatia, 307-312.<br />

Özdemir Göl & Andrew Nafalski (2007), Collaborative<br />

Learning in Engineering Education,<br />

Global J. of Engng. Educ., Vol.11, No.2,<br />

173-180.<br />

KESIMPULAN<br />

Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan proses<br />

belajar dengan memanfaatkan modul e-learning<br />

telah dilakukan pada kasus matakuliah <strong>Fisika</strong> Dasar<br />

yang dilaksanakan di Universitas Indonesia. Di sini<br />

diujicobakan dua model: model 1 hanya menaruh<br />

semua materi secara online di SCeLE dan model 2<br />

disamping meletakkan materi secara online<br />

dilakukan pula aktivitas belajar terstruktur melalui<br />

tugas online. Karakteristik aktivitas mahasiswa yang<br />

diamati mununjukkan bahwa mahasiswa sangat aktif<br />

jika diadakan aktivitas yang terkait langsung dengan<br />

nilai akhir kuliah. Mahasiswa lebih memilih<br />

berinteraksi dengan PPt dan Diktat dari pada dengan<br />

materi pengayaan, sebab kedua materi tersebut dapat<br />

membantu mereka dalam menyelesaikan test online.<br />

Interaksi mahasiswa meningkat jika dikaitkan<br />

dengan aktivitas test online secara rutin setiap<br />

pekan. Aktivitas tugas kelompok dapat meningkatkan<br />

soft skills mahasiswa dalam kerja tim dan<br />

komunikasi.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terima kasih ditujukan kepada tim<br />

PHKI batch 1 Universitas Indonesia, khususnya<br />

pada program B1.1 Pengembangan kuliah layanan<br />

sains integratif, yang telah bersama-sama<br />

mengembang-kan modul dan mengawal<br />

implementasinya, sehingga evaluasi dan artikel ini<br />

dapat diselesaikan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

A13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Penerapan Soft Skill Dalam Kegiatan Program Pengalaman Lapangan<br />

Sebagai Upaya Mempersiapkan Mahasiswa Menjadi Guru Profesional<br />

Eko Hariyono<br />

Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> FMIPA UNESA<br />

Email: hari_fisika@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan proses<br />

pembelajaran di lapangan dan soft skill mahasiswa. Manfaat dari penelitian adalah untuk dapat mempersiapkan<br />

mahasiswa sehingga dapat berhasil menyelenggarakan program pengalaman lapangan (PPL). Penelitian ini<br />

diterapkan pada 40 orang mahasiswa Prodi Pendidikan <strong>Fisika</strong> yang melaksanakan Program Penglaman Lapangan<br />

(PPL) dengan focus penelitian pada keterampilan mahasiswa dalam mengembangkan perangkat pembelajaran<br />

dan penerapan soft skill dalam pembelajaran. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, rata-rata kemampuan<br />

pengelolaan pembelajaran mahasiswa fisika dalam kategori baik, sedangkan aspek soft skill yang pelu<br />

ditingkatkan terutama pada aspek kemampuan berpikir kritis dan analitis.<br />

Kata Kunci: Pogram Pengalaman Lapangan, Soft Skill, Guru Profesional.<br />

PENDAHULUAN<br />

Tantangan dunia perguruan tinggi untuk dapat<br />

mempersiapkan mahasiswa menjadi agen<br />

pembaharu dalam dunia pendidikan saat ini<br />

mendapatkan jawaban yang lebih nyata dari<br />

masyarakat. Seiring dengan semakin<br />

berkembangnya tuntutan untuk meningkatkan mutu<br />

pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga<br />

perguruan tinggi. Seluruh mahasiswa lulusan<br />

diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata<br />

dengan berperan secara aktif dalam setiap perubahan<br />

yang terjadi dalam masyarakat. Namun secara<br />

makro, harapan tersebut hampir tidak mampu<br />

terpenuhi oleh pendidikan yang ada di perguruan<br />

tinggi. Seperti yang ditulis oleh Adiwijaya (2009),<br />

Indonesia telah memasuki suatu era yang cukup<br />

memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan.<br />

Lulusan perguruan tinggi kita relatif tidak berguna.<br />

Ketika telah selesai menempuh kuliah di perguruan<br />

tinggi dan meraih gelar sarjana, lulusan kita banyak<br />

tidak bisa apa-apa. Pengangguran sangat banyak,<br />

sepertinya lulusan pendidikan tinggi tidak bisa<br />

berbuat sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun<br />

lingkungannya. Bahkan banyak sarjana yang tidak<br />

tahu apa yang harus dilakukan. Sampai-sampai<br />

banyak ditemui di sekitar kita, calon-calon sarjana<br />

yang bukannya senang tetapi takut dan stres, akibat<br />

bingung mau berbuat apa? Lalu, pendidikan tinggi<br />

itu mendidik apa?<br />

Pertanyaan di atas sungguh menggelitik bagi<br />

para praktisi pendidikan di perguruan tinggi.<br />

Pertanyaan yang sangat mendasar yang perlu untuk<br />

dijadikan sebagai bahan renungan dan introspeksi<br />

tentang proses pendidikan yang selama ini sudah<br />

dilakukan. Sehingga muncul beberapa pertanyaan<br />

tambahan, Apakah pendidikan yang dilaksanakan<br />

diperguruan tinggi selama ini sudah mampu<br />

mempersiapkan mahasiswa untuk bisa hidup di<br />

masyarakat?, apakah pendidikan di perguruan tinggi<br />

sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Dan<br />

apakah pendidikan di peguruan tinggi sudah mampu<br />

menjamin perubahan bagi masyarakat kearah yang<br />

lebih baik?<br />

Tujuan pendidikan di perguruan tinggi adalah<br />

yaitu menyiapkan peserta didik menjadi anggota<br />

masyarakat yang memiliki kemampuan akademik<br />

dan/atau profesional yang dapat menerapkan,<br />

mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu<br />

pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dan<br />

mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu<br />

pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta<br />

mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan<br />

taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya<br />

kebudayaan nasional.(Pongtuluran, 2008). Jika<br />

dikaji secara mendalam, proses pendidikan yang<br />

dilaksanakan selama ini belum mampu menyentuh<br />

semua aspek yang tercantum dalam tujuan<br />

pendidikan di perguruan tinggi walaupun upaya<br />

tersebut selalu dilakukan. Orientasi perkuliahan<br />

yang belum tepat menjadikan kurang bermaknanya<br />

segala pengetahuan yang diperoleh mahasiswa<br />

selama proses pendidikan. Hariyono (2009),<br />

menyatakan bahwa hal yang sering muncul pada saat<br />

mahasiswa diminta untuk memodelkan pengajaran<br />

sebuah konsep sering terjadi salah konsep (mis<br />

konsep), ada kesan konsep tidak lebih penting dari<br />

model pembelajaran sehingga tidak jarang ada<br />

kesalahan dalam mengkomunikasikannya. Ini<br />

menandakan bahwa proses pembelajaran yang<br />

dilaksanakan belum optimal.<br />

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang<br />

Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tahun 2005<br />

tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19 tahun 2005<br />

tentang Standar Nasional Pendidikan<br />

mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik<br />

A14


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

profesional. Seorang guru atau pendidik profesional<br />

harus memiliki kualifikasi akademik minimum<br />

sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai<br />

kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan<br />

rokhani, serta memiliki kemampuan untuk<br />

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (Madewi,<br />

dkk, 2009). Dalam membentuk guru profesional,<br />

tidak sekedar kualifikasi akademik namun calon<br />

guru harus memiliki kecakapan pofesional untuk<br />

dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional<br />

dengan tugas utama mendidik, mengajar,<br />

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan<br />

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak<br />

usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,<br />

dan pendidikan menengah (PLPG, 2009: 7). Untuk<br />

mewujudkan kecakapan tersebut, mahasiswa perlu<br />

dipersiapkan secara matang sebelum<br />

mengaplikasikan kemampuannya di lapangan.<br />

Program Pengalaman Lapangan (PPL)<br />

merupakan salah satu program bagi mahasiswa prodi<br />

pendidikan untuk terjun langsung pada masyarakat<br />

untuk melaksanakan praktek mengajar. Di dalam<br />

kegiatan PPL diharapkan mahasiswa memiliki<br />

pengalaman belajar langsung (direct experiences)<br />

terkait dengan proses belajar mengajar yang ada di<br />

sekolah. Mahasiswa dapat mengaplikasikan segala<br />

hal baik dalam bentuk pengetahuan maupun<br />

keterampilan yang pernah diperoleh di kampus<br />

untuk menyelesaikan masalah-masalah yang<br />

dihadapi dalam kehidupan nyata. Untuk dapat<br />

mewujudkan hal tersebut, perlu adanya pembekalan<br />

yang tepat bagi mahasiswa yang akan melaksanakan<br />

Program Pengalaman Lapangan (PPL) sehingga<br />

dapat memaksimalkan peran pada kegiatan langsung<br />

di sekolah. Permasalahan yang akan di bahas adalah<br />

Bagaimana mengoptimalkan kegiatan program<br />

pengalaman lapangan untuk mempersiapkan<br />

mahasiswa menjadi guru profesioanal?<br />

PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN<br />

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)<br />

merupakan media bagi mahasiswa untuk<br />

mengaplikasikan dasar profesi. Dalam jurusan<br />

kependidikan praktik pengalaman lapangan<br />

diaplikasikan dalam bentuk praktik mengajar dan<br />

kegiatan edukasional lainnya di lembaga sekolah.<br />

Berdasarkan Undang-undang profesi yang<br />

disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)<br />

tanggal 6 Dersember tahun 2005 guru ditetapkan<br />

sebagai profesi. Dengan demikian pekerjaan guru<br />

selain harus mempunyai nilai tawar yang tinggi<br />

seperti profesi dokter dan professional lainnya, guru<br />

harus mempunyai kompetensi yang dapat<br />

diandalkan.<br />

Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakukan<br />

mahasiswa merupakan salah satu wadah agar<br />

mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang<br />

dapat diandalkan. Dalam PPL mahasiswa akan<br />

dihadapkan pada kondisi riil aplikasi bidang<br />

keilmuan, seperti; kemampuan mengajar,<br />

kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi, dan<br />

kemampuan manajerial kependidikan lainnya. PPL<br />

bukan hanya kegiatan mengajar yang harus<br />

ditempuh oleh mahasiswa, tetapi juga menyangkut<br />

kemampuan berpartisipasi, membangun, atau<br />

mengembangkan potensi pendidikan dimana ia<br />

berlatih.<br />

Tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman<br />

Lapangan Jurusan <strong>Fisika</strong> Unesa adalah sebagai<br />

berikut:<br />

• Memberikan wahana aplikasi kelimuan bagi<br />

mahasiswa.<br />

• Memberikan pengalaman profesional<br />

mahasiswa sebagai calon guru, sehingga benarbenar<br />

menjadi lulusan kependidikan yang siap<br />

terjun di masyarakat khususnya dunia<br />

kependidikan.<br />

• Menjalin kerjasama edukasional dengan<br />

lembaga sekolah sebagai mitra dalam<br />

penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan<br />

Tinggi.<br />

Program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)<br />

dilaksanakan dua tahap yaitu Program Micro<br />

teaching yang terintegrasi dalam mata kuliah PPL 1<br />

berkaitan dengan keterampilan mengajar guru serta<br />

kesiapan mahasiswa untuk PPL sebenarnya dan<br />

tahap Program Praktik Pengalaman Lapangan<br />

(Praktik Mengajar) dilaksanakan di sekolah latihan.<br />

Dalam penelitian ini ditekankan pada PPL 1<br />

sebagai pembekalan mahasiswa sebagai calon guru.<br />

Pembekalan ini selain pada hard skill juga<br />

ditekankan pada soft skill meliputi inisiatif,<br />

integritas, berfikir kritis, kemauan untuk belajar,<br />

komitmen, motivasi meraih prestasi, antusias,<br />

kemampuan komunikasi, handal dan berkreasi.<br />

Banyak survey yang telah dilakukan dan<br />

mengungkapkan bahwa calon guru yang dibutuhkan<br />

di dunia kerja adalah calon guru yang tidak hanya<br />

memiliki hardskills namun juga yang memiliki<br />

serangkaian softskill. sebutlah seperti kemampuan<br />

berkomunikasi dan bekerja dalam tim. hampir tidak<br />

ada lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan<br />

orang-orang yang memiliki kemampuan tersebut.<br />

Pada umumnya, hardskills didefinisikan sebagai<br />

kemampuan menguasai ilmu pengetahuan teknologi<br />

dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan<br />

bidang ilmunya. misalnya seorang guru seharusnya<br />

menguasai ilmu dan keterampilan mengajar.<br />

sedangkan softskills didefinisikan sebgai<br />

kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan<br />

orang lain (interpersonal skills) dan kemampuan<br />

dalam mengatur/mengelola dirinya sendiri<br />

(intrapersonal skills).<br />

Oleh karena itu PPL 1 sebagai wahana<br />

pembekalan mahasiswa sebelum melaksanakan PPL<br />

yang sebenarnya, maka dosen pengajar harus bisa<br />

mengembangkan perangkat pengajaran mahasiswa<br />

yang tidak hanya menekankan pada hard skill tetapi<br />

A15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

juga pada soft skill mahasiswa. Adapun langkahlangkah<br />

penyusunan pengembangan softskills dalam<br />

mata kuliah PPL 1 dapat dilakukan dengan cara:<br />

4. Mengindetifikasi soft skills apa saja yang<br />

diperlukan oleh seorang guru, dalam<br />

penelitian ini digunakan top ten university<br />

yaitu (a) kerja keras, (b) percaya diri, (c)<br />

visioner, (d) team work, (e) planer (f)<br />

analitycal thinking, (g) adaptasi, (h) under<br />

pressure (i) bahasa asing, (j) organizer.<br />

5. Mendefiniskan softskills, setelah softskills<br />

yang dibutuhkan diidentifikasi, kemudian<br />

dipilih soft skill yang sangat diperlukan oleh<br />

calon guru.Soft skill yang akan<br />

dikembangkan adalah inisiatif, integritas,<br />

berfikir kritis, kemauan untuk belajar,<br />

komitmen, motivasi meraih prestasi, antusias,<br />

kemampuan komunikasi, handal dan<br />

berkreasi.<br />

6. Program pengembangan, (1) written<br />

curriculum, ini dilakukan dengan memasukan<br />

softskills yang telah ditentukan ke dalam<br />

rancangan pembelajaran, dengan demikian<br />

penguasaan mahasiswa terhadap softskills<br />

tertentu harus dimasukkan dalam aspek<br />

penilaian mata kuliah tersebut. (2) hidden<br />

curriculum, ini dilakukan secara informal<br />

yaitu melalui interaksi dosen-mahasiswa.<br />

dosen sebagai panutan (role model). dapat<br />

juga dilakukan dengan menciptakan atmosfir<br />

akademik di lingkungan jurusan anda. (3) Cocurriculum,<br />

manfaatkan kegiatan seperti<br />

magang (internship), PPL.<br />

HASIL PENELITIAN PPL<br />

Aspek yang dinilai dalam kegiatan PPL adalah<br />

kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan PBM<br />

di kelas dan soft skill mahasiswa. Pengambilan data<br />

dilakukan secara sampling pada 33 mahasiswa dari<br />

total mahasiswa Pendidikan <strong>Fisika</strong> yang<br />

melaksanakan kegiatan PPL sejumlah 68<br />

mahasiswa.<br />

1. Kemampuan mahasiswa dalam PBM.<br />

Kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan<br />

KBM ditunjukkan seperti grafik berikut:<br />

Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa<br />

Berdasarkan grafik di atas, kemampuan<br />

mahasiswa dalam PBM yang meliputi<br />

menyampaikan pembelajaran secara sistematis,<br />

memiliki penguasaan konsep, menyampaikan<br />

konsep dengan jelas saat KBM dan menggunakan<br />

media saat PBM semuanya mendapat kategori baik<br />

dengan skor di atas 3,00. Aspek yang menonjol<br />

adalah kemampuan mahasiswa dalam<br />

menyampaikan pembelajaran secara sistematis<br />

dengan nilai rata-rata 3.45, sedangkan skor yang<br />

relatif paling rendah adalah kemampuan<br />

menyampaikan konsep dengan jelas saat KBM dan<br />

penggunaan media saat PBM.<br />

2. 1. Soft skill mahasiswa.<br />

Aspek soft skill yang dinilai meliputi: penuh<br />

percaya diri, penuh rasa tanggung jawab, bersikap<br />

kooperatif dengan warga sekolah, jujur, disiplin,<br />

memiliki sikap kepemimpinan yang baik, toleransi,<br />

komunikatif, memiliki kemampuan berpikir kritis,<br />

simpati, dan empati. Melalui lembar penilain soft<br />

skill yang diisi oleh guru pamong dapat di<br />

gambarkan hasilnya sebagai berikut:<br />

Gambar 2. Penilaian Soft Skill<br />

Hasil penilaian guru pamong menunjukkan<br />

bahwa soft skill mahasiswa fisika rata-rata pada<br />

kategori baik dengan nilai > 3.00. Aspek soft skill<br />

yang paling menonjol adalah sikap kepemimpinan<br />

A16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan nilai 3.76, sedangkan aspek yang paling<br />

rendah adalah kemampuan berpikir kritis dengan<br />

nilai 3.24.<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat<br />

disimpulkan bahwa :<br />

1. Dalam kegiatan PPL yang perlu di persiapkan<br />

secara matang adalah soft skill mahasiswa<br />

selain keterampilan melaksanakan proses<br />

pembelajaran.<br />

2. Keterampilan mahasiswa dalam mengelola<br />

PBM rata-rata baik.<br />

3. Kecakapan yang perlu mendapat penekanan<br />

adalah kemampuan berpikir kritis dan analitis<br />

mahasiswa.<br />

Beberapa saran yang dianggap penting adalah dalam<br />

meningkatkan penerapan soft skill untuk<br />

mempersiapkan mahasiswa sebelum turun ke<br />

lapangan sehingga akan lebih mampu beradaptasi<br />

dan terampil dalam bermasyarakat.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih kami sampaikan pada para guru<br />

pamong yang berkenan membantu pelaksanaan<br />

penelitian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Adiwijaya ZA. 2009. Paradigma Pendidikan di<br />

Perguruan<br />

Tinggi,<br />

http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/1<br />

9/opi4.htm 15 April 2009<br />

Hariyono, E. 2009. Implementation Lesson Study<br />

Efforts As Improving Process And Results<br />

Teaching and Learning Process in Physic<br />

Department Surabaya State University.<br />

Makalah Seminar Internasional.<br />

Madewi, dkk, 2009. Penerapan Student Center<br />

Learning Untuk Meningkatkan Soft Skill<br />

Mahasiswa Dalam Mata Kuliah Program<br />

Pengalaman Lapangan I di Jurusan<br />

Pendidikan <strong>Fisika</strong> FMIPA UNESA. Laporan<br />

Hibah Dia Bermutu<br />

Pongtuluran, 2008. Student Centered Learning: The<br />

Urgency and Possibellities, Petra Christian<br />

University.<br />

A17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Student Group Works Skill Test in 2rd Year of State Junior High School of<br />

Satu Atap Bobol, Sekar District, Bojonegoro Regency for<br />

Lever Subject<br />

Lusi Kusuma W 1 , Firda U. Ermawati 2<br />

1,3 Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Negeri Surabaya<br />

Email : lkw_moslem@rocketmail.com<br />

Abstrak<br />

This paper reports the result of testing the student’s skill when they are working in a group (group work) at<br />

Junior High School Satu Atap Bobol, Sekar district of Bojonegoro regency. This research’s purposes were to test<br />

the student’s understanding in physics subject by doing group work and to test the student’s group work skill. In<br />

this work, the writer of this paper was acting as the teacher of those students. For the first step, the writer<br />

showed some skills to work in a group and students practiced it. After that, the students were trained to present<br />

their work in front of the class. Then, along with the writer, the students had to assess their performance by<br />

themselves using a scoring sheet. The sheets contains some important indicators and it’s scale. The assessment<br />

results from those two assessors were then used to see how skillful the students are. It was found that the average<br />

score of each indicator was more than 65, except the indicator of encouraging the others which is less than 65.<br />

Those results implied that the group work skills of the students were good, although some students couldn’t gain<br />

it perfectly. Further, 8 of 14 students got the post test score more than 65 and 13 of 14 students got the post test<br />

score better than the pre test score. It can be concluded that group work method could help the students to<br />

improve their learning achievement.<br />

Key word: group work, skill<br />

INTRODUCTION<br />

This paper reports the result of testing the<br />

student skill of group work at Junior High School<br />

Satu Atap Bobol, Sekar district of Bojonegoro<br />

regency. The background of this research is as a<br />

social human, it is impossible for one to live alone,<br />

without the others. From some literatures [1-2,4] about<br />

attitude and personality, show that something that<br />

have been accepted by someone in their group has<br />

many contribution in determining their personality<br />

identity. The same phenomenon takes place in<br />

learning process of a child in a class; pupil needs the<br />

others (friend, teacher and parents) to get<br />

achievement.<br />

Some literatures [2,10] also arguied that students<br />

will understand about learning subject and save their<br />

understanding in a long term memory if they studied<br />

in a small group than that by his/her self. A Group<br />

work has purpose to lead students work together,<br />

moreover it could solve their problems, such as<br />

doing experiment, dicussing, role playing, etc.<br />

Group work also support the stolid and coward<br />

students to speak breavely. A student would feel<br />

safe if he/she talks in small group rather than in front<br />

of class.<br />

Base on the statement above, the writer of this<br />

paper try to do a small research to test the student’s<br />

understanding in physics subject by doing group<br />

work. For this purpose, the 2 rd year of State Junior<br />

high School of Satu Atap Bobol were used as the<br />

sample.<br />

THEORY<br />

1. What Group Work is? [3]<br />

UTDC Guidelines stated that group work can<br />

be used to achieve a range of teaching and learning<br />

goals (related to process and product).<br />

While terminology varies, this literature<br />

identifies three types of group work: informal<br />

learning groups, formal learninggroups, and study<br />

groups. Informal learning groups are ad hoc<br />

temporary clusterings of students within a single<br />

class session. Formal learning groups are teams<br />

established to complete a specific task, such as<br />

perform a lab experiment, write a report, carry out a<br />

project, or prepare a position paper.<br />

2. Why We Use Group Work?<br />

a. Peer learning can improve the overall quality<br />

of student learning<br />

Group work enhances student<br />

understanding. Students learn from each other<br />

and benefit from activities that require them<br />

to articulate and test their knowledge. Group<br />

work provides an opportunity for students to<br />

clarify and refine their understanding of<br />

concepts through discussion and rehearsal<br />

with peers.<br />

A18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

b. Group work can help develop specific generic<br />

skills sought by employers<br />

Group work can facilitate the<br />

development of skills, which include:<br />

a) teamwork skills (skills in working within<br />

team dynamics; leadership skills);<br />

b) analytical and cognitive skills (analysing<br />

task requirements; questioning; critically<br />

interpreting material; evaluating the work<br />

of others);<br />

c) collaborative skills (conflict management<br />

and resolution; accepting intellectual<br />

criticism; flexibility; negotiation and<br />

compromise); and<br />

d) organisational and time management<br />

skills: '<br />

c. Group work may reduce the workload<br />

involved in assessing, grading and providing<br />

feedback to students<br />

The assessment of a group 'product' is<br />

rarely the only assessment taking place in<br />

group activities. The process of group work is<br />

increasingly recognised as an important<br />

element in the assessment of group work. And<br />

where group work is marked solely on the<br />

basis of product, and not process, there can be<br />

inequities in individual grading that are unfair<br />

and unacceptable.<br />

3. When we use group work? [3]<br />

Group work should be considered when one or<br />

more of the following criteria are met:<br />

a. Some goals of the course are best<br />

achieved through students working in<br />

groups<br />

b. The task can only be carried out by a group<br />

(e.g. where students work as a management<br />

team, or are required to assign roles to<br />

group members)<br />

c. The task is too large or complex for one<br />

person<br />

d. Resource limitations require group work<br />

(limited equipment, limited number of<br />

‘real’ clients).<br />

4. Group Work Skill<br />

[4]<br />

If we want to make a team, the main thing<br />

bellows must be considered:<br />

a. Positive interdependency<br />

b. Individual accountability<br />

c. Face-to-face interaction<br />

d. Collaborative skills<br />

e. Group processing<br />

5. Lever [6]<br />

If we want to make our work easier, we will<br />

better use some machines. For example, if we<br />

want to move a heavy thing into a box truck, it<br />

will be easier to use an inclined plane than<br />

remove it by our self. If we want to take a bail<br />

out of water from an underground well, it will be<br />

easier to use a pulley than use our hand. A<br />

machine that can make our work easier is called<br />

simple machine. There any four types simple<br />

machine,<br />

1. A lever 3. An Inclined Plane<br />

2. A Pulley 4. A Wheel and Axle<br />

In this part we want to describe the first<br />

kind of simple machine, it is Lever.<br />

a) What is Lever?<br />

Lever has some parts that is a load point, a<br />

force point, a fulcrum point, a load arm and a<br />

force arm (see Figure 1). A Load point is a<br />

point which in a load has been placed, a force<br />

point is a point which a force has been done,<br />

and fulcrum point is a point which a fulcrum<br />

has been placed. The distance between a load<br />

point and a fulcrum point is called load arm,<br />

whereas the distance between a force point and<br />

a fulcrum point is called force arm (see Figure<br />

1).<br />

A Lever is the simplest kind of machine’s<br />

kind that ever used, some examples of lever is<br />

a pliers (see Figure 2b) and a wheelbarrow (see<br />

Figure 3b). A heavy load can be removed<br />

easier by lever, that means a load that has<br />

weight W can be removed by the force that less<br />

than W. The force depends on the length of<br />

force arm (lk) and load arm (lb)<br />

Figure 1. An example of lever schem, consist of<br />

force point, fulcrum point and load point. (Source:<br />

www.edukasi.net/.../mp_280/materi2.html)<br />

b) The Three Classes of Lever<br />

1. First Class Lever<br />

In this class, the fulcrum point lies between<br />

the load and the force points (see Figure 2a).<br />

Some examples of this level class are a<br />

pliers (see Figure 2b), a scissors, a crowbar<br />

and a seesaw.<br />

Load<br />

Fulcrum<br />

Force<br />

fulcrum<br />

(a)<br />

(b)<br />

Figure 2. (a) the first class lever, the fulcrum point<br />

lies between load and force point (b). An example<br />

A19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

of this level class is pliers (source:<br />

www.wikipedia.or.ig)<br />

2. Second Class Lever<br />

In this class, the load point lies between the<br />

fulcrum and the force points (see Figure 3a).<br />

Some examples of this level class are a curb<br />

bit, a crow bar, a wheelbarrow (see Figure<br />

3b) and a bottle opener .<br />

Load<br />

load<br />

force<br />

RESEARCH METHOD<br />

The following is the flow chart followed in this<br />

work,<br />

Student group work skills<br />

Doing group works skill test, with the<br />

steps below;<br />

force<br />

(a)<br />

Fulcrum<br />

fulcrum<br />

(b)<br />

Figure 3. (a) the second class lever, the load point between<br />

fulcrum and force point, (b).an example of this level<br />

classes is wheelbarrow. (source: www.wikipedia.or.ig)<br />

3. Third Class Lever<br />

In this class, the force point lies between the<br />

load and the fulcrum points (see Figure 4a).<br />

Some examples of this level class are a<br />

pinset, a skop, a stapler, a human arm (see<br />

Figure 4b),a fish rod and a broom .<br />

Load<br />

Fulcrum<br />

Force<br />

Force<br />

(a) Load<br />

(b)<br />

Figure 4. (a) The third class lever, the force point<br />

between load and fulcrum point, (b). An example of<br />

this level class is human arm. (Source:<br />

www.wikipedia.or.ig)<br />

1. the 2 rd year students of State Junior high<br />

School of Satu Atap Bobol were used as<br />

the sample<br />

2. Students have been motivated to get<br />

involved actively in this work<br />

(see lesson plan at Appendix 2 )<br />

3. Students have been given pre test<br />

(see Appendix 2 for pre test sheet and<br />

the result at Appendix 5 )<br />

4. Students have been explained about the<br />

objectives of learning and have been<br />

given information about the material<br />

(Lever) (see Figure 7b in Appendix 1)<br />

5. Students were classified into several<br />

groups (see Appendix 4 for the members<br />

of each group)<br />

6. Students did worksheet in their group<br />

(see Appendix 2 for worksheet and the<br />

results at Appendix 5)<br />

7. Students presented group work results<br />

in front of class (see Figure 7d in<br />

Appendix 1)<br />

8. The teacher assessed the student’s<br />

performance (see Appendix 5 for<br />

observation sheet and the result at<br />

Appendix 4)<br />

9. Students have been given post test (see<br />

Appendix 2 for post test sheet and the<br />

result at Appendix 4 )<br />

10. Students did self assessment based on<br />

the teacher’s instruction (see Appendix<br />

3 for self assessment sheet and the<br />

results at Appendix 4)<br />

11. Analyses the assessment result (see<br />

Appendix 4)<br />

Research discovery and conclusion<br />

A20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DATA ANALYSES<br />

Figures 5a and 5b showing the result obtained in<br />

this work. The figures tell us that the majority of the<br />

students reached most of the indicators; just some<br />

indicators still have low bar (see Figure 5a and 5b).<br />

(a)<br />

(b)<br />

Figure 5. (a). Self (student) assessments for their performance in group based on the categorizes , (b). Assessment result by the teacher. Detail<br />

discussion on these results is provided in the text below.<br />

A21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ten indicators for group work assessments [11] ,<br />

1) Be in the group and ready to work together.<br />

2) Completes all individual tasks of the group timely<br />

and well.<br />

3) Participates in a constructive manner<br />

4) Encourages others to participate in a constructive<br />

manner<br />

5) Be a good, active listener<br />

6) Defends his/her ideas or opinions in strong and<br />

thoughtful manners.<br />

7) Shows his/her disagreement politely<br />

8) Work harmonically in a group<br />

9) Shares job responsibilities equally in a group<br />

10) Promotes positive human relations in the group<br />

From Figure 5a and 5b for the first indicator<br />

(Be in the group and ready to work together) show that<br />

most of the students got more than 65 (see pink bar<br />

in Figure 5a and grey bar in Figure 5b). This score<br />

showed that all students were in their group during<br />

works time. Most of students in this school were<br />

obedient, so they were easy to be organized.<br />

In the second indicator (Completes all individual<br />

tasks of the group timely and well) most of students did<br />

well. Just one of them didn’t get good score. Rika<br />

assessed herself 16,7, while other students evaluated<br />

themselves high (more than 80). Actually Rika<br />

Rahayu always did her tasks well, but she did not<br />

feel confidence, she thought that she was not as<br />

good as the others, she is a quiet student.<br />

Both the students and the teacher attributed<br />

good score to the third indicator (participates in a<br />

constructive manner). From the figure, we knew that<br />

the students, namely Karni, Johan, Eko and Dwi<br />

have lower bar than the others, (for self assessment<br />

they got 33 and teacher assessment they got 67),<br />

although classically they got 76,17 (see Appendix 4,<br />

Table 2). They are quiet and passive students.<br />

In the fourth indicator (encourage others to<br />

participate in a constructive manner) they got low bar<br />

scores (see Figure 6a and 6b). The average class<br />

less than 65 (see Appendix 4), just reach 64, 9 (see<br />

Appendix 4). The low of this indicator is caused by<br />

[9]<br />

various factors. Literature stated that<br />

environmental factor was very influent the spirit of<br />

student to study, as well as society environment.<br />

This school is located in the area of low education<br />

level. Peoples stay in that area mostly were<br />

graduated from elementary school and they have bad<br />

attitude in daily activity, such as spending their free<br />

times in front of television (based on society<br />

observation). This habits believed or not could<br />

interfere the students attitude in learning process .<br />

The impact was the students were not used to<br />

support one another achieved a good learning<br />

achievement . But some students could (Putut and<br />

Sumasri). But different with Tutik, in group 2, she<br />

tends to dominate. In the group, she often force her<br />

friends to agree her ideas. For example, during their<br />

work, Tutik didn’t allow Putut to do their task; she<br />

thought that he was unable to do it. (See private<br />

notes for teacher’s observation in Appendix 5)<br />

In the fifth indicator (be good, active listener)<br />

generally they were good listeners (see Figure 5a<br />

and 5b), but they were not active listener. That<br />

means most of them were stolid and afraid to<br />

express their opinion in class discussion. They brave<br />

enough to do that in their group. Their braveness in<br />

expressing ideas in the group was a starting point to<br />

do the same thing in the class. But some students<br />

have been active listeners (Arik, Tutik, Roin and<br />

Sumasri). They could answer questions or give<br />

feedback to the teacher’s and their friend’s<br />

stimulation. (see teacher assessment sheet, in<br />

Appendix 5).<br />

In the sixth indicator (Defends his/her ideas or<br />

opinions in strong and thoughtful manners) has good<br />

average 76,7 (see Figure 6). But see the score that<br />

teacher was given, the majority of their score were<br />

66,7 (see figure 5b and Appendix 4). This was<br />

because the environmental condition or the culture<br />

of the students who tend to be shy and less able to<br />

convey their thinking. This same condition takes<br />

place to the seventh indicator (Shows his/her<br />

disagreement politely). The students were difficult to<br />

express disagreed opinion with their friends (see<br />

Figure 5a and 5b at this indicator). They were only<br />

brave express it to their teacher, so interactive<br />

communication among students were not developed.<br />

It happened in majority of students, but some<br />

students have done that well (Roin, Tutik and<br />

Sumasri). Their score were very high (83,3). They<br />

able to express disagreed with the others group if<br />

there any different answer.<br />

The low student’s ability in supporting the<br />

others, in giving opinion and in giving feedback was<br />

caused by some factors. One of those factors was<br />

because of the psychological condition of the<br />

students. The children in this age tend to interact<br />

with their friends in a noncompetitive atmosphere<br />

and they usually have close relationship with their<br />

teachers and friends and make decisions according<br />

to their own [1] . So, when they have different opinion<br />

with their friends, they tend to keep their ideas rather<br />

than confronting it to their friends. They did it to<br />

keep their good relationships. Instead they prefer to<br />

complain the unpleasant condition to the teacher.<br />

In eighth indicator (Work harmonically in a group),<br />

this score is relative high, the average of this<br />

indicator is 79,17 (see Figure 5a and 5b at this<br />

indicator and Appendix 8). From this figure we<br />

knew that some students could compromise with<br />

their friends. The same condition takes place in the<br />

next indicator, shares job responsibilities equally in a<br />

group (see Figure 7e, Appendix 1). That was<br />

indicated by the high of this score (see Figure 5a<br />

and 5b in this indicator). They were very<br />

enthusiastic when they have been placed in a small<br />

A22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

group, they could share job or role for each student<br />

in the group.<br />

There was three students (Dwi S, Johan and<br />

Putut) assess their selves that couldn’t compromise<br />

with the others when they are working together in<br />

group. But as long as the writer observed them, there<br />

was two students (Karni and Dwi) that didn’t that<br />

well. They were not friendly with the others; they<br />

were different with the others. It was concluded<br />

from the interviewed carried out one of the teachers<br />

in that school. That was because Karni and Dwi<br />

came from different villages, the intensity to meet<br />

theirs friend outside of school was very rare. So,<br />

they have problem if they must communicate with<br />

their friends.<br />

For the last indicator (promote positive human<br />

relation with the others), teacher assessed they high<br />

score of 96,5, but their own score assess were 71,3.<br />

That maybe caused by the difference in justifying<br />

something. The teacher only saw of out student’s<br />

condition but the students used their feeling to taste<br />

their surrounds.<br />

Base on explanation above, the group work<br />

performance assessment was good. Although some<br />

students couldn’t reach some indicators perfectly.<br />

But the average of score classically most of all<br />

indicators show that they were able to gain most of<br />

all indicators. Apart of the fourth indicator<br />

(encourage others), the rest got the score more than<br />

65. 92 for the first indicator, 83 for the second, 65<br />

for the fourth, 76 for the third, 79 for the fifth, 76 for<br />

the sixth, 70 for the seventh, 79 for the eighth, 85 for<br />

the<br />

ninth and the last 84 (see Figure 6 for graph<br />

illustration and more information at Appendix 4).<br />

Figure 6. Average values for each indicator, the value can be<br />

read in explanation above<br />

Good achievements of the ten indicators above<br />

have led to significant influence on students'<br />

cognitive learning outcomes. From the Figure 7<br />

below (see Figure 7), we knew that generally the<br />

post test score of the students was higher than the<br />

pre test score. the eight student got post test more<br />

than 65 and one student got same low score in pre<br />

test (56).<br />

Figure 6. Comparison of pre test and post test results, generally, it shows that the average post test scores higher than<br />

pre test scores<br />

A23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Literature study [2] stated that group work would<br />

help the student to improve their learning<br />

achievement. In this work, the increased student<br />

achievement has been shown by the increasing the<br />

post test score compared to the pre test score (see<br />

Figure 6).<br />

In this work, among the five learning objectives<br />

(see Appendix 2, Lesson Plan), the last objectives<br />

which is calculate the mechanical advantages of<br />

lever has not been carried out yet until the end of<br />

this work. This is because of the limited time<br />

provided for the writer. This unfinished work,<br />

however, doesn’t interfere the aim of this work. The<br />

aim was met through this work as mention above.<br />

RESEARCH DISCOVERY AND CONCLUSION<br />

1. In this research the writer found that the average<br />

scores of each indicator was more than 6, except<br />

the indicator of encouraging the others which is<br />

less than 65. Those results implied that the<br />

group work skills of the students were good,<br />

although some students couldn’t gain it<br />

perfectly.<br />

2. Further, 8 of 14 students got the post test score<br />

more than 65 and 13 of 14 students got the post<br />

test score better than the pre test score. It can be<br />

concluded that group work method could help<br />

the students to improve their learning<br />

achievement.<br />

REFERENCESS<br />

Nur, Muhammad. 2001. Perkembangan Selama<br />

Anak-anak dan Remaja. Surabaya : Pusat<br />

Studi dan Matematika dan IPA Sekolah,<br />

Unesa.<br />

Ibrahim,Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran<br />

Kooperatif. Surabaya :Unesa University Press<br />

.<br />

UTDC Guidelines. 2004.Improving Teaching and<br />

Learning Group Work and Group<br />

Assessment. University Teaching<br />

Development Centre .Victoria University of<br />

Wellington (access at 26 November 2009)<br />

Maas, Linda T. 2004. Peranan Dinamika Kelompok<br />

Dalam Meningkatkan Efektifitas Kerja Tim,<br />

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas<br />

Sumatera Utara. Digitized by USU digital<br />

library. (access at 03 Desember 2009)<br />

http://www.kti ptk.com/gudang laporan penelitian<br />

tindakan kelas/belajar kelompok (access at 10<br />

Desember 2009).<br />

Kanginan, Martin.2004. Sains <strong>Fisika</strong> SMP. Jakarta:<br />

Erlangga<br />

www.wikipidia.or.ig (access at 28 Oktober 2009)<br />

www.edukasi.net/.../mp_280/materi2.html (access at<br />

28 Oktober 2009)<br />

Syaodih Sukmadinata, Nana. 2003. Landasan<br />

Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT<br />

Remaja Rosdakarya.<br />

]Barbara Gross davis. Collaborative<br />

Learning:Group Work and Study Teams.<br />

University of California.<br />

www.edukasi.net/.../mp_280/materi2/<br />

Collaborative Learning:Group Work and<br />

Study Teams.html (access at 28 Oktober<br />

2009)<br />

Hibbard, Michael. 1997. Performance assessment<br />

In the Science Classroom. New York :<br />

Glencoe McGraw Hill.<br />

A24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The Ability of Student at State Elementary School Tanjungsari II in<br />

Drawing Concepts Map in the Chapter Changes of Substances Form<br />

Martha Prasetianingrum 1 , Frida U Ermawati 2<br />

Education Study Program, Department of Physics, Surabaya State University<br />

Physics Department FMIPA Unesa<br />

Email : 1) martha_ok@yahoo.com 2) frida_dua@yahoo.com<br />

Abstract<br />

This paper reported the work in investigating the ability of 5th year students in the State Elementary School<br />

Tanjungsari II in drawing concepts map, especially their ability in the chapter of Change of Substances Form<br />

(Perubahan Wujud Zat). The reason for doing this work is because most students could not read and understand<br />

any concepts map which is usually provided in a student’s/text book. Such map in science book is actually<br />

intended by the author of the book to help student’s understanding on the sciences materials given in the<br />

textbook. Generally, a concepts map is a picture of mapping concepts (fundamental ideas) so that students are<br />

able to know and to understand all related concepts. There are 4 types of concepts map in sciences book, namely<br />

a network tree concepts map, an event chain concepts map, a cycle concepts map, and a spider concepts map. In<br />

this work, the writers of this paper have trained the student in that school to draw and to understand the concepts<br />

map on the intended chapter before checking their abilities in drawing the maps. To do that, three assessors had<br />

assessed their abilities independently, namely students themselves, an independent observer, and the writers. It<br />

was obtained that the student’s ability in drawing and understanding the concepts map of that chapter, in the<br />

form of those 4 types of maps, was increased significantly, compare to that before training. In order to complete<br />

student’s understanding on the learning materials, the writers had also suggested to the teacher of those students<br />

to train them regularly in drawing and understanding concepts map in their daily learning process.<br />

Keywords: concepts map, change of substance form, a network tree, an event chain, a cycle concepts map, a spider concepts<br />

map<br />

INTRODUCTION<br />

The paper reported the work of researcher<br />

in investigating the ability of 5 th year State<br />

Elementary School Tanjungsari students II in<br />

drawing concepts map in chapter Change of<br />

Substance Form. In Science, concepts map work to<br />

summarize material so that it can be studied easily.<br />

Some books [1-4] were providing type of concepts<br />

map at beginning of chapter. But unhappily, most<br />

students couldn’t read concepts map so that they<br />

assumed concepts map useless or just chapter<br />

decoration. This fact was detecting by the writer<br />

when she was teaching photosynthesis process to<br />

student in order to give an exercise in drawing<br />

concepts map (see Figure 1). Figure 1 showed the<br />

concepts map of photosynthesis process which was<br />

difficult to be understood by student. Why? Because<br />

we didn’t know what were requiring in<br />

photosynthesis processes, what were supporting<br />

photosynthesis processes, and what were producing<br />

photosynthesis processes. Everything was unclear.<br />

This fact happened because the students couldn’t<br />

read concepts map. Disabilities of State Elementary<br />

School Tanjungsari II students in reading and<br />

understanding concepts map because of the students<br />

didn’t know what for concepts map. Beside that,<br />

concepts map which provided at this book [4] less<br />

communicative and uninteresting for the Elementary<br />

School level that has verbal thinking. Concepts map<br />

should be modified by the students (see Figure 2).<br />

Concepts map cycle type was believe to be<br />

understood by student easily. A part having the skill<br />

to read, students must be skill to draw and to modify<br />

concepts map so that easier to be understood.<br />

Based on study evidence above, hence the<br />

writer did a trial to investigating the ability of 5 th<br />

years State Elementary School students at<br />

Tanjungsari II in drawing concepts map, especially<br />

in chapter Change of Substance Form. In this study,<br />

the writer not only checked the ability of 5 th year<br />

State Elementary School Tanjungsari II students in<br />

drawing concepts map, but also she taught all about<br />

concepts map.<br />

Sunlight<br />

Carbon dioxides<br />

+ water<br />

Chlorophyll<br />

Carbohydrates<br />

+ oxygen<br />

Figure1. Concept Map of Photosynthesis Process [4]<br />

This Concept map could not be understood by student because<br />

concepts map less communicative and uninteresting. The<br />

students remembered this map difficultly, what were requiring<br />

in photosynthesis process, what were supporting in<br />

photosynthesis process, what were producing in photosynthesis<br />

process, where carbon dioxides and water were from, where<br />

chlorophyll were from, what were carbohydrate and oxygen for,<br />

everything unclear. Beside that, this concept map didn’t be<br />

completed by interesting picture.<br />

A25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure2. The modified concept map of photosynthesis process.<br />

Concept map is more interesting and more communicative,<br />

because this map was completed by cycle flow chart. A leaf<br />

background on the chart indicated that the photosynthesis<br />

process take place on the leaf. In process 1, sunlight from the<br />

sun came to the leaf (marked by pointing down to leaf), plus<br />

chlorophyll and water, produced oxygen which was<br />

propagated to the air. In process 2, carbon dioxide from the air<br />

came to the leaf, plus carbon dioxide receiver, produced sugar<br />

which was propagated to all body of plant for metabolism<br />

THEORY<br />

1. Definition of concepts<br />

According to Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

(KBBI) [5] , a concept is idea which is abstraction of<br />

concrete event. From definition above, the writer<br />

defined concepts as a fundamental ideas or<br />

elementary ideas. Analogue to those definitions, the<br />

writer defined as concepts in science was<br />

fundamental ideas or an elementary idea which was<br />

related to specific science lesson. By understanding<br />

the scientific concepts, the students will able to<br />

know the lesson clearly. The example of concepts in<br />

biology are biotic, a biotic, community, population,<br />

and individual. From the argument above, it is clear<br />

that understanding concepts is prerequisite to master<br />

something for any individual. In this tern, the<br />

student’s knowledge on those concepts is develops<br />

systematically. The following examples of non<br />

concepts are mathematical formulas.<br />

2. Concepts Map<br />

a. Definition of concepts map<br />

In Science, there are concepts must be<br />

understood by student. They have to know, to<br />

classify, and to study those concepts correctly and<br />

precisely. The most important factor which influent<br />

study achievement is prior knowledge. In studying<br />

new knowledge, the students must know relation<br />

between prior knowledge with new knowledge. The<br />

prerequisite of meaningful learning knows<br />

relationship between concepts. The new concepts<br />

must be related to prior concepts in student’s<br />

cognitive structure. Based on definition above, the<br />

way to know concepts mastered by student and<br />

hence the learning process will be meaningful, is by<br />

drawing concepts map. As written by Trianto [6] .,<br />

concepts map is diagram mapping concepts to make<br />

logic and understandable. In concepts map, concepts<br />

will be integrated proportionally Characteristic of<br />

concepts map [6] is as follows:<br />

1) Concepts map or mapping of concepts is a way<br />

to show concepts relation in study area<br />

(chemical, physics, etc). By using concepts<br />

map, student can see lesson meaningfully<br />

2) A concepts map represents a lesson. This<br />

characteristic can show proportional relation<br />

between concepts<br />

3) Concepts don’t have the same level. There are<br />

concepts having the more general characteristic<br />

than the other<br />

4) When concepts map consist of specific and<br />

general concepts, hence formed a hierarchy<br />

In Science, a fundamental idea is mapped clearly.<br />

By showing concepts map which are consist of<br />

fundamental ideas, the student will see the inter<br />

relationship between knowledge.<br />

b. The way to make concepts map<br />

Concepts map is made by student to draw visual<br />

way about how the ideas connected each other.<br />

Concepts map is like map of road, but concepts map<br />

show relation between ideas, not relation between<br />

places. First, students must try to identify<br />

fundamental ideas in logical pattern (see Figure 2).<br />

Concepts map be completed by hierarchy, or<br />

causality. Steps in drawing a concepts map of<br />

hierarchy are shown in Figure 3:<br />

Procedure to make concepts map [6]<br />

Choose topic<br />

Determine relevant concepts<br />

Classify from inclusive concept to<br />

specific concept<br />

Arrange concept in a diagram, and<br />

inclusive concept in center or top of the<br />

Give connecting line and connecting<br />

word to show relation between general<br />

concepts to specific concept. Connecting<br />

word which usually used for example<br />

“consist of”, or “use”<br />

A26<br />

Figure 3. Procedure to draw concepts map [6]


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

3. Types of Concepts Map<br />

There are four concepts maps<br />

[6] , namely: a<br />

network tree, an event chain, a cycle concepts map,<br />

and a spider concepts map.<br />

a. Network Tree<br />

Fundamental ideas are written in square, and the<br />

other connected by connecting line (see Figure 4).<br />

Connecting word gives relation between concepts.<br />

First, list concepts and start from general concepts to<br />

specific concepts. The interconnected concepts are<br />

arranged from general concepts, and give relation at<br />

lines.<br />

Network tree is compatible to visualize:<br />

1) Causality Information<br />

2) Hierarchy<br />

3) Branched Procedure<br />

Example:<br />

Human Respiration Organ<br />

c. Cycle Concepts Map<br />

In Cycle concepts map, we cannot determine<br />

initial and final events. Final event at cycles is<br />

reconnected to initial event and recurring by itself.<br />

There is no final event (see Figure 6). Cycle<br />

concepts map is compatible to visualize cycles.<br />

Example:<br />

Precipitations Cycle<br />

Become<br />

cloud<br />

Dew<br />

Evaporate<br />

Precipitations<br />

Cycle<br />

Presipitation<br />

Go to sea<br />

Absorption<br />

by land<br />

Consist of<br />

Human Respiration Organ<br />

Kind of respiration<br />

Figure 6. Cycle concept map [1]<br />

Nose<br />

Lung<br />

Throat<br />

Chest<br />

respiration<br />

Gambar 4. Network Tree Concept Map [2]<br />

Stomach<br />

respiration<br />

b. Events Chain<br />

Event chain concepts map can be used to map a<br />

sequence of event, steps in a procedure, or phases in<br />

a process. For example in experiment (see Figure 5).<br />

Event chain is compatible to visualize:<br />

1) Mapping phases a process<br />

2) Steps in a procedure<br />

3) Sequence of event<br />

Example:<br />

Steps of an Experiment<br />

Problems<br />

d. Spider Concepts Map<br />

Spider concepts map can be used to<br />

accommodate some opinions (see Figure 7). First<br />

idea is the central idea. From central idea, we can<br />

obtain some alternative ideas. The relation of one<br />

another isn’t clear. We start it by separating and<br />

grouping the alternative ideas, and then writing it<br />

outside of the central idea.<br />

Spider concepts map is compatible to visualize:<br />

1) Category which is not parallel<br />

2) Result of many opinions<br />

Example:<br />

Make a Magnet<br />

Rubbed<br />

Formulate<br />

Objective<br />

Prepare<br />

Equipment Needed<br />

The way<br />

to make<br />

magnet<br />

Nail on the bar<br />

magnet<br />

Procedure<br />

Arrange<br />

Electromagnetic<br />

Induction<br />

Do<br />

Experiment<br />

Get<br />

Data<br />

Do<br />

Analize<br />

Make<br />

Conclution<br />

Figure 5. Events chain<br />

Figure 7. Spider concept map [1]<br />

METHODS OF RESEARCH<br />

Kind of this research is pre-experimental<br />

qualitative research. The method of this research is<br />

one shot case study, and the design of this research<br />

is Random Sampling. Object was selected at random<br />

and observed one times, namely port polio.<br />

A27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The steps of research which have been followed<br />

by the writer are as follows:<br />

a). Performance assesment by student themselves<br />

5th year students in the State Elementary School<br />

Tanjungsari II<br />

Taught them to draw concepts map<br />

Procedure:<br />

1. Determine students as object of<br />

research (6 students) (see Appendix 1,<br />

student which was used in research<br />

selected at random)<br />

2. Write up learning instruments (see<br />

Appendix 2)<br />

3. Train elementary school students to<br />

produce concepts map (see Appendix 3)<br />

4. Make group, and teacher gave<br />

assignment to each team (see Appendix<br />

4 to see the result of student’s<br />

performance)<br />

5. Ask the students filled Performance<br />

assessment form (see Appendix 5)<br />

6. Ask the observer filled Performance<br />

assessment based on result of<br />

assignments form (see Appendix 6)<br />

7. The writer to fill Performance<br />

assessment form (see Appendix 7)<br />

Findings and conclusions<br />

Figure8. The steps of research which have been done by<br />

the writer to detect ability of 5 th year State Elementary<br />

School Tanjungsari II students to draw concepts map.<br />

Handa<br />

Ipung<br />

Rizky<br />

Name of<br />

the Students<br />

Handa<br />

Ipung<br />

Rizky<br />

Name of the<br />

students<br />

Dela<br />

Eka<br />

Arinda<br />

Dela<br />

Eka<br />

Arinda<br />

7<br />

7<br />

6<br />

6<br />

5<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

Aspects number<br />

4<br />

3<br />

2<br />

Aspects number<br />

1<br />

4<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

4<br />

3.5<br />

1.5<br />

Scores<br />

b) Performance assesment by an independent observer<br />

Scores<br />

ANALYSIS OF DATA<br />

Assessments are carried out by three<br />

assessors, which are students themselves, an<br />

independent observer, and the writer after teaching<br />

learning process (see Picture 9). As the result of<br />

performance assessments are as Figure 9:<br />

A28


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

c). Performance assesment by the reseacher<br />

4<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

Handa<br />

0.5<br />

Ipung<br />

0<br />

Rizky<br />

Dela<br />

1<br />

Name of the<br />

2<br />

Eka<br />

3<br />

students<br />

4<br />

Arinda<br />

5<br />

6<br />

7<br />

Figure9. Result of assignment in drawing concepts map based on<br />

three assessors. a) Performance Assessments by students, b)<br />

Performance Assessments by observer c) Performance Assessments<br />

by the writer<br />

+<br />

Aspects number<br />

The seven aspects are as follows:<br />

1. To identify concepts<br />

2. To organize concepts<br />

3. To give connecting line<br />

4. To give connecting word<br />

5. To entitle concepts map<br />

6. A concepts map is easy to be understood<br />

7. Tidiness of concepts map<br />

From figure 9, the conclusions can be<br />

underlined by the writer as follow:<br />

First, in general, student of 5 th year State<br />

Elementary School Tanjungsari II students be able to<br />

draw a concepts map (see Appendix 4 for the result<br />

of student’s performance). Most students obtain<br />

score 4 for each aspect (see Figure 9).<br />

Second, aspect number 2 (to organize concepts),<br />

aspect number 7 (tidiness of concepts map), and<br />

aspect number 3 (to give connecting line) weren’t<br />

mastered by student. From Figure 9, the students<br />

could not draw concepts map easily, especially at a<br />

network tree concepts map (see Appendix 4 E, F, I,<br />

J, and L). As the result, the students could draw a<br />

good concepts map, but they needed extra guidance<br />

to differentiate between general and specific<br />

concepts. The difficulties appear because they didn’t<br />

master all the concepts yet. It is suggested that<br />

before drawing a concepts map, students have to<br />

master the study material completely first, so that the<br />

students could determine all related concepts easily.<br />

Male students could not draw concepts map tidily<br />

(see Appendix 4 A, B, and J). They didn’t a use ruler<br />

in drawing concepts map. Besides, the students<br />

unable to make use of a given space on piece of<br />

paper wisely in order to draw a concepts map. It is<br />

recommended, in drawing a concepts map, the<br />

Scores<br />

students use A 3 , and use a ruler to draw any straight<br />

lines in their drawing.<br />

Third, based on the result depict in Figure 9,<br />

according to Handa, he his self was unable to<br />

organize the concepts (see Figure 9 a), while<br />

according to the writer and the observer, he was able<br />

to organize concepts (see Figure 9 b and c), but his<br />

concepts map was messy (see Appendix 9 J). When<br />

Handa was working in his team, he could<br />

differentiate the characteristic between general<br />

concept of that specifics one. The result of Handa’s<br />

team was tidy. In his team, Handa didn’t write up<br />

the maps, but Ipung did it (see Appendix 4 A, B, and<br />

F). When Handa was working individually, the<br />

result of concepts map was messy, although his<br />

concepts map has good organization (see Appendix 4<br />

J). It happened because Handa’s handwriting was<br />

messy. It is therefore the teacher should to inform<br />

their students that the tidiness in drawing concepts<br />

map is important so that their concepts maps can be<br />

read clearly and much more communicative.<br />

According to Ipung, he his self was unable to<br />

draw tidy concepts map and also unable to give<br />

connecting line (see Figure 9 a). The result of<br />

Ipung’s teamwork was good especially on the aspect<br />

number 3 and 7 (see Appendix 4 A, B, F, G, H).<br />

When Ipung was working individually, he was<br />

unable to connect inter-concepts well. The Ipung’s<br />

final result was good enough, after twice revision<br />

(see Appendix 4 L). He erased his drawing over and<br />

over again, so the observer assessed him untidy (see<br />

Figure 9 b). Ipung was also difficult to connect<br />

connecting lines at his concepts map because he was<br />

inadequate inters concepts. The strong suggestion,<br />

before drawing a concepts map, the students have to<br />

master chapter completely first.<br />

Rizky got perfect scores on seven aspects based<br />

on the three assessors. Rizky drew a good concepts<br />

map both when he was working in his team (see<br />

Appendix 4 A, B, F), and when he was working<br />

individually (see Appendixe 4 H). Rizky mastered all<br />

the study material too. The rizky’s final result was<br />

tidy. The concepts map produced by Rizky was<br />

featured by his creative, and interesting pictures (see<br />

Appendix 4 H).<br />

Eka, Dela, and Arinda also got perfect scores<br />

on seven aspects based on the three assessors.<br />

Female student were more accurate in drawing a<br />

concepts map than male students. Female student<br />

studied the learning material more frequently than<br />

male student in order to be determined all related<br />

concepts (see Appendix 4 C, D, E when was working<br />

in team, and G, I, K when was working individually).<br />

FINDINGS AND CONCLUSIONS<br />

Some findings can be drawn from this research,<br />

namely:<br />

1. The training in drawing and understanding a<br />

concepts map was successful. The indication<br />

A29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

was the student’s performance in drawing and<br />

understanding concepts map was good.<br />

2. Their good performance was detected when<br />

they created the map on the topic of Change of<br />

Substances Form.<br />

Based on those findings, it was obtained that the<br />

student’s ability in drawing and understanding<br />

concepts map of Changes of Substances Form in the<br />

form of 4 types was increased significantly,<br />

beforehand they were not be able to read and to<br />

understand a concepts map (see line 8 of the<br />

Introduction part of this paper), and after this<br />

training, they can do that well (see Figure 9). The<br />

writer also suggested to the teacher of those students<br />

to conduct a regular exercise in drawing and<br />

understanding concepts map to the students in order<br />

to their students understanding in a material is<br />

master complete.<br />

BIBLIOGRAPHY<br />

Haryanto.2004. Sains untuk Sekolah dasar Kelas V.<br />

Jakarta : Erlangga<br />

Rachmat, dan Sunarto. 2007. Sains Sahabatku.<br />

Jakarta : Ganeca Exact<br />

Haryanto. 2007. Sains. Jakarta : Erlangga<br />

Rositawaty, dan Muharm Aris. 2008. Senang<br />

Belajar Ilmu Pengetahuan Alam BSE kelas V.<br />

Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas<br />

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.<br />

Jakarta : Balai Pustaka<br />

Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran<br />

Inovatif progresif. Surabaya : Kencana<br />

Hibbard, Michael. 1997. Performance Assesment In<br />

The Science Classroom. New York : Glencoe<br />

McGraw Hill<br />

A30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Kemampuan Siswa Kelas V SD Negeri II Ngrimbi Jombang<br />

dalam Melakukan Penyelidikan Melalui Tahapan Metode Ilmiah pada<br />

Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda<br />

Mukhammad Arif Eka Permana 1) dan Frida U. Ermawati 2)<br />

Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Negeri Surabaya<br />

Email : 1) kesempatan01@yahoo.co.id, 2) frida_dua@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Makalah ini melaporkan hasil kerja penulis dalam menyelidiki kemampuan siswa Kelas V Sekolah Dasar (SD)<br />

Negeri II Ngrimbi Jombang dalam melakukan penyelidikan Perubahan Sifat Benda. Penelitian ini bertujuan<br />

mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam melakukan penyelidikan perbahan sifat benda melalui<br />

tahapan metode ilmiah. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam Standar Kompetensi<br />

dan Kompetensi Dasar (SK-KD) SD/ MI kelas V Mata Pelajaran IPA pada Pokok Bahasan Benda dan Sifatnya,<br />

terutama pada KD 4.2, diisyaratkan bahwa pembelajaran pada pokok bahasan ini dilaksanakan melalui kegiatan<br />

penyelidikan. Penyelidikan dilakukan pada berbagai contoh perubahan sifat benda dengan cara mengidentifikasi<br />

penyebab, proses dan jenis perubahan sifat benda baik perubahan benda yang bersifat sementara (dapat balik)<br />

maupun perubahan yang bersifat tetap (tidak dapat balik) di sekitar siswa. Metode deskriptif kualitatif diterapkan<br />

dalam penelitian ini pada populasi yang berjumlah 9 siswa Kelas V. Pengambilan data dilakukan melalui<br />

penilaian kinerja dengan memberikan skor 1-4 pada tiap aspek penilaian. Temuan-temuan penting yang<br />

diperoleh adalah (i) siswa telah mampu melakukan tahapan metode ilmiah secara sederhana dalam kegiatan<br />

penyelidikan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. (ii) Namun demikian siswa masih malu dalam<br />

mengungkapkan ide-ide yang telah mereka peroleh selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Beberapa<br />

tindakan dan saran telah dilakukan oleh penulis guna mengoptimalkan perolehan tersebut di atas.<br />

Kata kunci : perubahan sifat benda, tahapan metode ilmiah, penilaian kinerja.<br />

PENDAHULUAN<br />

Makalah ini adalah sebuah studi kasus yang<br />

melaporkan hasil kerja penulis pada kemampuan<br />

siswa SD N II Ngimbi Kelas V dalam melakukan<br />

penyelidikan pada Pokok Bahasan Perubahan Sifat<br />

Benda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br />

seberapa besar kemampuan siswa dalam melakukan<br />

penyelidikan melalui tahapan-tahapan metode<br />

ilmiah.<br />

Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi<br />

Dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

(KTSP) mata pelajaran IPA Sekolah Dasar,<br />

pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara<br />

inkiuri ilmiah (scientific inquiri) untuk<br />

menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan<br />

bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya<br />

sebagai aspek penting kecakapan hidup.<br />

Pembelajaran IPA SD menekankan pada pemberian<br />

pengalaman belajar secara langsung melalui<br />

penggunaan dan pengembangan keterampilan<br />

proses dan sikap ilmiah.<br />

Berdasarkan Standar Kompetensi (SK) dan<br />

Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran IPA SD<br />

Kelas V Semester 1 pada Pokok Bahasan Benda<br />

dan Sifatnya, pada KD ke-4.2 diisyaratkan bahwa<br />

proses pembelajaran dilakukan melalui kegiatan<br />

penyelidikan tentang perubahan sifat benda baik<br />

sementara maupun tetap dan membuat kesimpulan<br />

dari kegiatan penyelidikan. Maka, dirasa perlu bagi<br />

peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul<br />

tersebut dan melaporkannya dalam makalah<br />

penelitian ini.<br />

LANDASAN TEORI<br />

Pengertian Metode Ilmiah<br />

Dalam Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />

Pengajaran <strong>Fisika</strong>, metode ilmiah adalah suatu pola<br />

berfikir yang biasa dipergunakan ilmuan dalam usaha<br />

untuk mencari jawaban terhadap suatu permasalahan.<br />

Metode ilmiah merupakan bagian yang paling<br />

penting dalam mempelajari ilmu alam. Pengetahuan<br />

yang diperoleh akan mempunyai karakteristik tertentu<br />

yang bersifat rasional dan teruji sehingga<br />

pengetahuan yang diperoleh dapat diandalkan. Dalam<br />

hal ini, metode ilimiah menggabungkan cara berfikir<br />

induktif dan cara berfikir deduktif dalam membangun<br />

pengetahuannya.<br />

Cara berpikir deduktif adalah cara berpikir<br />

dimana ditarik kesimpulan yang bersifat khusus dari<br />

pernyataan yang bersifat umum. Penarikan<br />

kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan<br />

pola berpikir silogismus yang disusun dari dua buah<br />

pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang<br />

mendukung disebut premis yang dibedakan premis<br />

A31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan<br />

pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif<br />

berdasarkan kedua premis tersebut.<br />

Cara berpikir induktif adalah menarik<br />

kesimpulan yang bersifat umum dari pernyataan<br />

khusus. Penalaran secara induktif dimulai dengan<br />

mengemukakan pernyataan-pernyataan yang<br />

mempunyai ruang lingkup terbatas dalam<br />

menyusun argumentasi, dan diakhiri dengan<br />

pernyataan yang bersifat umum.<br />

Dalam metode ilmiah, pendekatan rasional<br />

digabungkan dengan pendekatan empiris. Secara<br />

sederhana hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah<br />

harus memenuhi dua syarat utama. Kedua syarat<br />

utama tersebut adalah konsisten dengan teori-teori<br />

sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya<br />

kontradiksi dalam teori keilmuan secara<br />

keseluruhan dan harus cocok dengan fakta empiris.<br />

Bagaimanapun konsistennya sebuah teori, jika tidak<br />

didukung oleh pengkajian empiris tidak akan dapat<br />

diterima kebenarannya secara ilmiah.<br />

Metode ilmiah atau disebut dengan sikap<br />

ilmiah, memungkinkan berkembangnya<br />

pengetahuan mengenai adanya timbal balik antara<br />

fakta dan gagasan. Fakta diperoleh melalui<br />

pengamatan dan disajikan berupa data. Sedangkan<br />

gagasan adalah generalisasi melalui logika berpikif<br />

induktif .<br />

Tahapan-Tahapan Dalam Metode Ilmiah<br />

Dalam Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />

Pengajaran <strong>Fisika</strong>, dalam rangka penerapan metode<br />

ilmiah harus diwarnai oleh kemampuan berfikir<br />

secara intuitif dengan kesimpulan-kesimpulan yang<br />

bersifat tentatif sebelum dilakukan analisa<br />

sesungguhnya. Dalam menerapkan metode berfikir<br />

ilmiah memerlukan latihan secara bertahap sesuai<br />

dengan kreatifitas dan bakat siswa. Tahapantahapan<br />

itu adalah :<br />

a. Tahap pertama, meliputi tiga aspek :<br />

1) peka terhadap masalah, yaitu siswa<br />

mampu menyebutkan contoh perubahan<br />

sifat benda secara spontan setelah guru<br />

meminta siswa menyebutkan contoh<br />

peristiwa perubahan sifat benda<br />

2) kemampuan untuk mengingat, yaitu siswa<br />

mampu mengingat pokok bahasan<br />

perubahan sifat benda yang telah<br />

dijelaskan oleh guru dan menjelaskan<br />

kembali pokok bahasan tersebut sesuai<br />

dengan contoh peristiwa perubahan sifat<br />

benda<br />

3) kemampuan untuk memecahkan masalah<br />

secara terbatas, yaitu siswa secara spontan<br />

mampu mendeskripsikan faktor yang<br />

menyebabkan perubahan sifat benda, jenis<br />

perubahan sifat benda dan proses yang<br />

mengiringi perubahan sifat benda dari<br />

contoh yang telah disebutkan oleh siswa<br />

b. Tahap kedua, meliputi tiga aspek yaitu :<br />

1) kemampuan untuk memecahkan masalah<br />

yang lebih kompleks, yaitu siswa mampu<br />

menjelaskan faktor yang menyebabkan<br />

perubahan sifat benda, jenis perubahan sifat<br />

benda dan proses yang mengiringi<br />

perubahan sifat benda dari contoh yang telah<br />

disebutkan oleh guru<br />

2) kemampuan untuk mengemukakan berbagai<br />

macam ide untuk memecahkan masalah<br />

yang lebih kompleks, yaitu siswa dengan<br />

spontan mau mengemukakan ide mereka<br />

dari contoh perubahan sifat benda yang<br />

disebutkan oleh guru<br />

3) kemampuan untuk mendefinisikan kembali,<br />

yaitu siswa mampu mendefinisikan proses<br />

perubahan sifat benda dari contoh perubahan<br />

sifat yang disebutkan oleh guru secara detail<br />

c. Tahap ketiga, meliputi dua aspek yaitu :<br />

1) kemampuan mengkalrifikasi ide, yaitu siswa<br />

secara spontan mau mengemukakan ide<br />

mereka dalam rangka mengkarifikasikan<br />

ide-ide siswa lain pada contoh perubahan<br />

sifat banda yang diberikan oleh guru<br />

2) evaluasi, yaitu siswa mampu mengerjakan<br />

soal-soal evaluasi pada buku pegangan siswa<br />

Tahapan-tahapan tersebut dapat dijadikan<br />

pegangan dalam pengelolaan proses pembelajaran<br />

IPA dengan metode ilmiah. Pengelolaan ini harus<br />

disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang akan<br />

dicapai dalam proses pembelajaran. Adapun tahapantahapan<br />

pengelolaan pembelajaran tersebut meliputi :<br />

a. Tahapan persepsi, yaitu tahapan melakukan<br />

penginderaan untuk dapat mengidentifikasi dan<br />

diferensiasi informasi<br />

b. Tahapan identifikasi, yaitu mengolah informasi<br />

melalui kegiatan diskusi<br />

c. Tahapan diferensiasi informasi dengan<br />

menggunakan persepsi dan konsep-konsep<br />

informasi yang telah diketahui siswa<br />

d. Tahapan yang lengkap, yaitu melakukan<br />

tahapan-tahapan tersebut secara bolak-balik<br />

untuk mendapatkan ide atas informasi baru<br />

Melalui tahapan-tahapan metode ilmiah dalam<br />

proses pembelajaran tersebut, siswa harus dirangsang<br />

untuk berkembang dari kemampuan sederhana<br />

sampai yang kompleks. Melalui proses pendidikan,<br />

kemampuan siswa akan berkembang dari tahapan<br />

persepsi, identifikasi, diferensisasi, pembentukan<br />

konsep dan pembentukan prinsip.<br />

Perubahan Sifat Benda<br />

Dalam Heri Sulistyanto dan Edi Wiyono, benda<br />

dapat mengalami perubahan sifat karena beberapa<br />

faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah<br />

pemanasan, pendinginan, pembakaran, pembusukan<br />

dan perkaratan. Perubahan sifat pada benda dapat<br />

A32


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

diamati dari perubahan sifat yang terjadi baik<br />

sebelum dan sesudah proses tersebut. Perubahan<br />

sifat benda tersebut meliputi perubahan warna,<br />

bentuk, kelenturan, kekuatan dan bau.<br />

Perubahan sifat benda dikelompokkan menjadi<br />

dua, yaitu perubahan sifat benda dapat balik dan<br />

perubahan sifat benda tidak dapat balik. Salah satu<br />

contoh perubahan sifat benda dapat balik adalah<br />

perubahan pada wujud air. Air jika didinginkan<br />

akan menjadi es. Es ini apabila dipanaskan akan<br />

kembali menjadi air. Lihat Gambar 1 untuk siklus<br />

perubahan wujud air.<br />

melalui penilaian autentik pada kegiatan penyelidikan<br />

perubahan sifat benda melalui tahapan metode ilmiah.<br />

Penilaian dilakukan dengan memberi skor 1-4 pada<br />

tiap item penilaian, dengan skor 1 berarti kurang dan<br />

skor 4 berarti sangat memuaskan.<br />

Adapun rancangan penelitian dapat dirangkum<br />

dalam diagram alir sebagai berikut :<br />

Siswa Kelas V SD N II Ngrimbi<br />

Perubahan Sifat Benda<br />

Diajarkan pokok bahasan<br />

Melalui kegiatan<br />

Penyelidikan<br />

Pada berbagai perubahan sifat benda<br />

( Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 dan<br />

2 dan Lembar Kerja Siswa 1.1 dan 1.2)<br />

Gambar 1. Siklus perubahan wujud air. Wujud air pada suhu<br />

kamar adalah cair. Jika air dipanaskan sampai titik didihnya,<br />

air akan berubah wujud ke gas. Jika air didinginkan di bawah<br />

titik bekunya, air akan berubah ke wujud padat. (Sumber :<br />

Dokumen Penulis)<br />

Sebagian besar benda yang mengalami<br />

perubahan wujud tidak dapat kembali ke bentuk<br />

atau wujud semula. Apabila kertas dibakar maka<br />

kertas menjadi serpihan abu yang berwarna hitam.<br />

Serpihan abu yang berwarna hitam ini tidak dapat<br />

kembali menjadi kertas. Perubahan wujud kertas<br />

merupkan contoh perubahan wujud benda tidak<br />

dapat balik.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Adapun metode penelitian yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,<br />

yaitu penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengumpulkan data dari suatu fenomena tertentu di<br />

suatu tempat dan mencocokkan fenomena tersebut<br />

dengan teori dan selanjutnya menarik kesimpulan.<br />

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sasaran<br />

penelitian ini adalah siswa Kelas V SD Negeri II<br />

Ngrimbi yang berjumlah sembilan (9) siswa.<br />

Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 7-12<br />

Desember 2009.<br />

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini<br />

adalah data hasil penilaian terhadap kinerja<br />

(performance assesment) yang mengisyaratkan<br />

siswa bekerja dalam konteks kehidupan nyata dan<br />

Assesmen kinerja tahapan Metode Ilmiah<br />

pada kegiatan penyelidikan<br />

Assesmen kinerja<br />

siswa ”ideal” pada<br />

kegiatan<br />

penyelidikan<br />

melalui tahapan<br />

metode ilmiah pada<br />

Pokok bahasan<br />

Perubahan Sifat<br />

Benda<br />

Dibandingkan<br />

Interpretasi hasil<br />

Temuan<br />

Data yang diperoleh<br />

berupa<br />

Data hasil assesmen<br />

kinerja siswa pada<br />

kegiatan<br />

penyelidikan<br />

melalui tahapan<br />

metode ilmiah pada<br />

Pokok bahasan<br />

Perubahan Sifat<br />

Benda (, Assesmen<br />

Kinerja Siswa)<br />

Gambar 2. Diagram alir rancangan penelitian. Temuan penelitian<br />

yang diperoleh merupakan interpretasi dari data hasil assesmen<br />

kinerja siswa pada tahapan-tahapan metode ilmiah dengan kinerja<br />

“ideal” siswa pada tahapan-tahapn metode ilmiah pada landasan<br />

teori.<br />

A33


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DATA DAN PEMBAHASAN<br />

Data hasil observasi terhadap penilaian kinerja siswa dilukiskan dalam gambar dibawah ini :<br />

1. Distribusi kemampuan siswa pada tahapan pertama metode ilmiah, meliputi tiga aspek : peka terhadap<br />

masalah, kemampuan untuk mengingat dan kemampuan untuk memecahkan masalah<br />

Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Pertama Metode Ilmiah<br />

4<br />

3,5<br />

3<br />

2,5<br />

Skor<br />

2<br />

1,5<br />

1<br />

0,5<br />

0<br />

Danny Andiko Yopi Wahyu Anita<br />

Sindi<br />

Nama Siswa<br />

Ninik<br />

Garnis<br />

S.<br />

Sinta<br />

V.<br />

Memecah<br />

Mengingat<br />

Peka<br />

Gambar 3. Sebaran kemampuan siswa pada tahapan pertama pada ketiga aspek. Aspek peka terhadap masalah disingkat dengan kata<br />

“Peka”, kemampuan untuk mengingat disingkat “Mengingat” dan Kemampuan memecahkan masalah disingkat “Memecah”.<br />

Sedangkan deskripsi untuk gambar ini dijelaskan di bawah.<br />

2. Distribusi kemampuan siswa dalam melakukan tahapan kedua metode ilmiah, mliputi tiga aspek :<br />

kemampuan memecahkan masalah, kemampuan mengemukakan ide dan kemampuan mendefinisikan<br />

kembali<br />

Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Kedua Metode Ilmiah<br />

4<br />

3,5<br />

3<br />

2,5<br />

Skor<br />

2<br />

1,5<br />

1<br />

0,5<br />

0<br />

Danny Andiko Yopi Wahyu Anita<br />

Sindi<br />

Nama Siswa<br />

Ninik<br />

Garnis<br />

S.<br />

Sinta<br />

V.<br />

Memecah Masalah<br />

Definisikan Kembali<br />

Kemukakan Ide<br />

Gambar 4. Sebaran kemampuan siswa pada tahapan kedua pada ketiga aspek. Sama pada Gambar 2 di atas, aspek kemampuan<br />

memecahkan masalah disingkat “Memecah masalah”, aspek mengemukakan ide disingkat “Kemukakan Ide” dan kemampuan<br />

mendefinisikan kembali disingkat “Definisikan Kembali”. Deskripsi gambar ini juga dijelaskan di bawah.<br />

A34


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

3. Distribusi kemampuan siswa dalam melakukan tahapan ketiga metode ilmiah, meliputi dua aspek :<br />

kemampuan menglarifikasi ide dan evaluasi<br />

Kemampuan Siswa dalam Melakukan Tahapan Ketiga Metode Ilmiah<br />

4<br />

3,5<br />

3<br />

2,5<br />

Skor<br />

2<br />

1,5<br />

1<br />

0,5<br />

0<br />

Danny<br />

Andiko<br />

Yopi<br />

Wahyu<br />

Anita<br />

Nama Siswa<br />

Sindi<br />

Ninik<br />

Garnis<br />

S.<br />

Sinta V.<br />

Evaluasi<br />

Mengklarifikasi Ide<br />

Gambar 5. “Megklarifikasi Ide” dan “Evaluasi” merupakan singkatan dari Kemampuan mengkarifikasi ide dan evaluasi untuk<br />

sebaran kemampuan siswa pada tahapan ketiga pada kedua aspek. Sama pada Gambar 3 dan 4 di atas, deskripsi gambar ini<br />

dijelaskan pada paragraf di bawah.<br />

Berdasarkan data hasil penilaian kinerja siswa<br />

yang diabstraksikan pada Gambar 3, secara umum<br />

tahapan pertama pada ketiga aspek siswa memiliki<br />

skor tiga (3). Hal ini menggambarkan siswa mampu<br />

melaksanakan tahapan metode ilmiah pada ketiga<br />

aspek pada tahapan pertama.<br />

Danny dan Andiko memperoleh nilai sempurna<br />

untuk ketiga aspek penilaian. Hal ini dikarenakan<br />

kedua siswa tersebut telah mampu menyebutkan<br />

contoh perubahan sifat benda yang diberikan oleh<br />

guru. Mereka juga mampu mendeskripsikan proses<br />

yang terjadi pada perubahan sifat benda tersebut<br />

baik faktor penyebab dan jenis perubahan tersebut<br />

tanpa bimbingan guru. Contoh yang perubahan sifat<br />

benda yang telah dikemukakan kedua siswa tersebut<br />

adalah perubahan wujud air dan kertas terbakar.<br />

Sedang siswa yang lain juga telah mampu<br />

mendeskripsikan proses perubahan sifat benda tetapi<br />

masih memerlukan bimbingan guru.<br />

Dari Gambar 4, secara umum kemampuan siswa<br />

dalam melakukan tahapan kedua pada ketiga aspek<br />

berada pada skor tiga (3). Hal ini juga<br />

menggambarkan siswa mampu melaksanakan<br />

tahapan kedua metode ilmiah.<br />

Ninik memperoleh skor terendah pada ketiga<br />

aspek tersebut. Hal ini karena siswa tersebut belum<br />

mampu memecahkan masalah yang diberikan, yakni<br />

menjelaskan proses yang terjadi pada contoh<br />

perubahan sifat benda yang dikemukakan di kelas.<br />

Masalah yang diberikan oleh guru tersebut adalah<br />

besi berkarat dan terbakarnya gas LPG (Liquid<br />

Petroleum Gas). Kesulitan yang dihadapi siswa yang<br />

lain adalah mengemukakan ide. Kemampuan siswa<br />

dalam mengungkapkan ide masih rendah, hal ini<br />

dikarenakan siswa masih malu untuk<br />

mengemukakan ide mereka.<br />

Pada Gambar 5, secara umum kemampuan<br />

siswa dalam melakukan tahapan ketiga pada kedua<br />

aspek berada pada skor tiga (3). Sama halnya pada<br />

Gambar 3 dan 4 di atas, Gambar 5 juga menjelaskan<br />

bahwa siswa telah mampu melaksanakan tahapan<br />

ketiga metode ilmiah.<br />

Pada tahapan ini, siswa juga masih kesulitan<br />

dalam menyatakan ide mereka dalam rangka<br />

mengklarifikasi ide-ide siswa lain yang telah<br />

dinyatakan sebelumnya. Dalam hal ini, siswa perlu<br />

didorong dalam hal menyatakan ide mereka. Sedang<br />

dalam aspek evaluasi, siswa menyelesaikan soal-soal<br />

yang ada pada buku pegangan siswa. Nilai yang<br />

diperoleh siswa bervariasi, secara umum nilainya<br />

bagus. Selama mengerjakan soal-soal tersebut, siswa<br />

mengalami kesulitan membedakan beberapa istilah.<br />

Kemudian mereka bertanya tentang arti istilah<br />

tersebut, yaitu jenis perubahan sifat benda sementara<br />

atau dapat balik dan perubahan sifat benda tetap atau<br />

tak dapat balik yang tertulis dalam dua buku<br />

pegangan yang berbeda kepada guru.<br />

Secara umum (i) siswa telah mampu<br />

melaksanakan ketiga tahapan metode ilmiah dalam<br />

kegiatan pembelajaran, mampu memecahkan<br />

masalah berupa menganalisis contoh-contoh<br />

perubahan sifat benda di sekitar dan mampu<br />

A35


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

menghubungkan dengan contoh tersebut dengan<br />

Pokok bahasan Perubahan Sifat Benda yang telah<br />

diajarkan oleh guru, namun (ii) siswa masih kurang<br />

dalam menyampaikan dan mengungkapkan ide atau<br />

hasil analisis contoh perubahan sifat benda, siswa<br />

lebih cenderung menunggu siswa yang lain dalam<br />

mengungkapkan ide-ide mereka. Kegiatan<br />

pembelajaran melalui kegiatan investigasi dalam<br />

metode ilmiah ini membuat siswa tertarik dan aktif<br />

di kelas (lihat Lampiran 4 untuk gambar kegiatan<br />

pembelajaran)<br />

KESIMPULAN<br />

Dari bebrapa temuan dan gambar di atas, dapat<br />

ditarik kesimpulan bahwa siswa telah mampu<br />

melakukan tahapan metode ilmiah pada kegiatan<br />

pembelajaran pokok bahasan perubahan sifat benda<br />

melalui kegiatan penyelidikan, meskipun<br />

kemampuan yang diterapkan oleh siswa tersebut<br />

masih terbatas pada pengetahuan awal siswa yang<br />

sederhana. Ada beberapa aspek dalam tahapan<br />

metode ilmiah ini yang sulit diaplikasikan oleh<br />

siswa, yakni kemampuan dalam menyatakan ide dan<br />

mengklarifikasi ide. Akhirnya, disarankan kepada<br />

guru agar menerapkan kegiatan investigasi melalui<br />

tahapan metode ilmiah dan memberikan dukungan<br />

serta bimbingan kepada siswa secara terus-menerus<br />

dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Depdiknas, (2006), Standar Kompetensi dan<br />

Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA SD.<br />

Jakarta : Permendiknas 22 tahun 2006.<br />

Hibbard, M., Performance Assesment. New York :<br />

Mc Graw Hill.<br />

Mulyasa, E., (2007), Kurikulum Tingkat Satuan<br />

Pendidikan. Bandung : PT. Remaja<br />

Rosdakarya Offset.<br />

Suahrsimi, A., (2006) Prosedur Penelitian Suatu<br />

Pendekatan Praktik. Jakarta : PT Rineka<br />

Cipta.<br />

Sulistyanto, H. dan Edi Wiyono, (2008), “Ilmu<br />

Pengetahuan Alam SD/MI Kelas V”. Jakarta:<br />

Pusat Perbukuan, <strong>Departemen</strong> Pendidikan<br />

Nasional.<br />

Wahyana (1986), Buku Materi Pokok Pengelolaan<br />

Pengajaran <strong>Fisika</strong>. Jakarta : Karunika<br />

Universitas Terbuka.<br />

A36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The Ability of Student Year 5 of State Elementary School TANJUNGSARI<br />

II in Designing an Experiment<br />

Rohma Wati 1 , Frida U Ermawati 2<br />

Education Study Program, Department of Physics, Surabaya State University<br />

Physics Department FMIPA Unesa<br />

Email : rohma_fis06@yahoo.co.id<br />

Abstract<br />

This paper reports the writer’s work on investigating the ability of Student Year 5 of State Elementary School<br />

Tanjungsari II in designing an experiment on the matter of Green Plant (Tumbuhan HIjau). The writer of this<br />

paper decided to choose experimental design as the researcher topic because the elementary school student<br />

thinking level is still concrete. It means that the education will be better if the teaching and learning process is<br />

carried out as concrete as possible and as many hands-on activities as possible. If we want to create the teaching<br />

and learning process for the elementary students to become concrete, they need to study science concepts<br />

through conducting experiments, which are designed properly. Design an experiment is the complete steps and<br />

sequences that need to be taken by the experimenter before executing an experiment so that any data needed can<br />

be obtained, analysed, and interpreted, thereafter any symptoms or cause of the object can be concluded.<br />

Because of that, by giving students the knowledge about experimental design, the students year 5 of State<br />

Elementary School Tanjungsari II will be able to conduct better experiment, and then they feel more easily to<br />

understand the science concepts through real experiences. The research method used by the writer of this paper<br />

is, the writer taught the experimental design for Students year 5 of State Elementary School Tanjungsari II, and<br />

then related the matter Green Plant with the design an experiment. After that, the groups of students were asked<br />

to design an experiment, and then the writer, an independent observer, and each of them will assess their<br />

experimental design. The result showed that all the students could design an experiment. They got good value<br />

for their design. However, they were not skilled enough, so that the skills in experimental design must be trained<br />

as often as possible.<br />

Key words: Experimental Design, Elementary Students year 5 th Tanjungsari II, Green Plant (Tumbuhan Hijau).<br />

INTRODUCTION<br />

This paper reports the writer’s work on<br />

investigating the ability of student year 5 of state<br />

elementary school Tanjungsari II in experimental<br />

design on the matter of Green Plant (Tumbuhan<br />

Hijau). Design an experiment is complete steps and<br />

sequences that need to be taken by experimenter<br />

before executing an experiment so that any data<br />

needed can be obtained, analyzed, and interpreted,<br />

thereafter any symptoms or cause of the object can<br />

be concluded. The purpose of this work is to teach<br />

the elementary student in designing an experiment<br />

on Science matter so that the students will feel more<br />

easily to understand the Science Concepts through<br />

real experiences. According to Nur 1) , cognitive<br />

development of elementary school student generally<br />

stays at operation concrete. The students are usually<br />

weak in thinking abstract, therefore, teaching and<br />

learning process to elementary school students<br />

should be carried out as concrete as possible and as<br />

many hands-on activities as possible, that is by<br />

performing an experiment. In a real learning process,<br />

the student can touch, hear, smell, and see<br />

something, so that they can design and conduct an<br />

experiment that leads to meaningful of teaching and<br />

learning process.<br />

In order to be successful, an experiment should<br />

be designed properly. By doing that, any constrain<br />

or obstacles takes place before, during and after<br />

experiment can be controlled and anticipated.<br />

Further, any data needed can be corrected<br />

accurately. Based on the above background, this<br />

paper is intended to report the efforts of the writer to<br />

train the students year 5 of State Elementary School<br />

to design an experiment.<br />

THEORY<br />

A. The Definition of Experiment<br />

In scientific method, experiment (from Latina:<br />

ex-periri is meaning tests) is a set of actions and<br />

observations made to check or justify a hypothesis<br />

or identify a causal relationship between symptoms.<br />

An experiment is an action or a special observation<br />

made to test or to reinforce a tentatively true opinion<br />

in order to find out some principles that unknown<br />

previously.<br />

There are three important things in conducting<br />

an experiment 3) :<br />

1. Response given by the research object<br />

(something or someone that is examined), it<br />

means that by conducting an experiment, one<br />

will get response from the object.<br />

A37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2. Certain situation intentionally created to generate<br />

response at object. Creating such situation is very<br />

significant for the objects to respond properly.<br />

3. Environmental situation and natural variance of<br />

object that can interfere understanding of the<br />

response should be controlled.<br />

B. Experimental Design<br />

A. The Definition of Experimental Design<br />

Experimental design is a design of experiments<br />

(consist of well-defined stages of action) so that<br />

information relating to or necessary for the issue<br />

being studied can be collected. Design an<br />

experiment performed to determine the relationship<br />

between experimental variables so that the<br />

hypothesis could be proved.<br />

B. The purpose of Experimental Design 3)<br />

There are two purposes of experimental design,<br />

namely:<br />

a. To obtain information about how the response<br />

will be given by an object in various conditions<br />

of certain treatments that requires attention.<br />

b. To obtain or to collect necessary information as<br />

many as possible to solve the course of<br />

problems, which will be discussed.<br />

C. The Benefit of Experimental Design<br />

Some advantages in designing an experiment<br />

according to Quality Engineering 3) are:<br />

a. The experimental design can be used to<br />

identify the key decisions in controlling not<br />

only the process but also in improving or in<br />

repairing the process.<br />

b. In developing a new process in which historical<br />

data are not available, experimental design<br />

used in the development phase because it can<br />

indicate the factors that will maximize the<br />

results and reduce the cost of implementing the<br />

overall experiment.<br />

c. The experimental design can help to reduce the<br />

lead-time (time gap) between the design and<br />

implementation in producing a robust design<br />

(solid) of the factors that are not controlled,<br />

such as temperature in the energy transfer<br />

experiment.<br />

D. The Steps in Designing an Experiment<br />

The steps in designing an experiment according<br />

to Michael Hibbard 4) are:<br />

a. Problem Identification<br />

Good observation leads to precise predictions<br />

that can be tested on how to solve a problem or<br />

to explain a problem.<br />

b. Formulating Problem<br />

Formulation of the problem is usually written<br />

in the form of questions.<br />

c. Formulating Purpose of Experiment<br />

The purpose of an experiment is to answer the<br />

research problem, or to find out a new<br />

phenomenon, etc. the purpose of an experiment<br />

is usually as the answer of the problem.<br />

d. Formulating Hypothesis 5)<br />

A hypothesis is an idea or a provisional<br />

estimate of the proposed settlement of issues in<br />

research or experiments. A hypothesis was<br />

made based on previous experiences or<br />

observations. For example, collecting all<br />

information related to certain topics through<br />

experience, various sources of knowledge, or<br />

consultation to the appropriate experts. The<br />

hypothesis should be formulated before<br />

conducting an experiment to direct it to the<br />

objective of experiment. It should be noted, if<br />

an experiment result is unaccordance to the<br />

purpose of hypothesis, it does not mean that the<br />

experiment fails. Notice also that not all<br />

experiments require hypothesis 6) . For example,<br />

exploratory experimental research, survey, case<br />

study and developmental research do not<br />

require hypothesis.<br />

e. Identifying Variables<br />

Variable 7) is a quantity that can be varied or<br />

changed in a particular situation.<br />

There are three types of variables in an<br />

experiment:<br />

1. Independent Variable<br />

An independent variable is a variable that is<br />

changed intentionally during experiment.<br />

2. Dependent Variable<br />

A dependent variable is a variable that<br />

change along the changes of independent<br />

variable.<br />

3. Controlled Variable<br />

A controlled variable is a variable that is<br />

intentionally controlled during experiment.<br />

f. Determining Experiment equipments and<br />

Materials Needed<br />

Equipments and materials necessary to be<br />

determined and prepared detail so it will not<br />

impede the course of the experiment.<br />

g. Planning the Stages of an Experiment<br />

In designing an experiment, experimenter<br />

should create a coherent and systematic design<br />

so that other readers can understand the steps<br />

for carrying out the experiments.<br />

RESEARCH NETHOD<br />

This research is qualitative description research,<br />

which is collecting data from definite phenomena<br />

from a place, comparing it to the relevant theories,<br />

and drawing conclusion. As what have been<br />

explained above, this research was carried out to six<br />

(6) students of SDN Tanjungsari Sidoarjo at the 5 th<br />

year by random sampling techniques. This research<br />

was conducted at November, 13 th – 28 th 2009.<br />

A38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The data collected in this research is the data of<br />

performance assessment test that require students to<br />

learn and work in real live contexts and ready for<br />

authentic assessments on the matter of Green Plant<br />

(Tumbuhan Hijau) through experimental design.<br />

Scoring of this assessment was divided into four<br />

range score. For score 1 is less and 4 is very satisfy.<br />

Below is the flow chart of the research method<br />

followed in this research.<br />

Students year 5 of State Elementary School Tanjungsari II<br />

to be the research sample<br />

a)<br />

Will be taught about steps on how designing an experiment<br />

The steps are:<br />

8. To determine a group of students who will get<br />

involved in the research<br />

(Look at Appendix 1)<br />

9. Write up the teaching and learning instruments<br />

(Look at Appendix 2)<br />

10. To teach the student on how designing an<br />

experiment on several Science matter (Look at<br />

Appendix 3)<br />

11. Ask the group of students to design an experiment<br />

on Science matter (Look at Appendix 4)<br />

12. Ask the students to assess their experimental design<br />

made by them by filling performance assessment<br />

sheet.<br />

(Look at Appendix 5)<br />

13. Ask the observer to assess the students performance<br />

(Look at Appendix 6)<br />

14. The writer assesses the students performance (Look<br />

at Appendix 7)<br />

b)<br />

c)<br />

DATA AND ANALYSE<br />

Findings and Conclusion<br />

Figure1. The experiment method followed in this experiment to<br />

investigate the ability of students year 5 of State Elementary<br />

School Tanjungsari II in designing an experiment.<br />

As has been said above, the ability of each<br />

student in designing an experiment was assessed by<br />

three assessors. They are, students themselves, an<br />

independent observer and the writer of this paper as<br />

their teacher doing this research. The performance of<br />

each student is shown in the following Figures 2a-<br />

2f:<br />

A39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

d)<br />

again, there were some aspects that have not yet<br />

achieved completely, including:<br />

In Figure 2a, it appears overall Dela has been<br />

able to design an experiment, she feels that she was<br />

less skilled in planning the stages of experiment, this<br />

may because Dela be still unconfident, but the writer<br />

believe that Dela proficient in planning the stages of<br />

an experiment. This was appeared in the<br />

performance of Dela in Appendix 4. However,<br />

according to the writer, Dela’s ability in formulating<br />

hypotheses and identifying variable is still lack. The<br />

writer says like that because when she was designing<br />

an experiment Dela often made mistakes in<br />

arranging the words in the hypothesis.<br />

e) Whereas in Figure 2b, which shows Rizky’s<br />

achievement in designing an experiment that can be<br />

said that he is proficient in designing an experiment.<br />

However, Rizky’s ability to identify variable and to<br />

determine the experiment equipments and materials<br />

need to be sharpened again, because Rizky could not<br />

distinguish the types of experimental variables. In<br />

addition, when he was designing an experiment,<br />

Rizky less sensitive in determining the equipments<br />

and materials were needed for an experiment.<br />

Handa’s achievement in designing an<br />

experiment is shown in Figure 2c. The picture<br />

appears that according to the writer Handa less adept<br />

in formulating hypotheses. But as a whole, Handa<br />

f)<br />

has skilled in designing an experiment. It is shown<br />

in the picture that he got a perfect score (score 4) in<br />

all aspects except for the aspect of formulating a<br />

Figure2. Achievement of a) Dela, b) Rizky, c) Handa, d) Eka, e)<br />

Arinda, and f) Ipung in designing an experiment that is assessed<br />

by students themselves, an independent observer, and the writer<br />

of this paper. As has been shown, those students overall have<br />

good skills in formulating problem, formulating purpose,<br />

formulating hypothesis, identifying variables, determining<br />

experiment equipments and materials needed, and planning the<br />

stages of experiment.<br />

Based on the students’ performance depicted in<br />

Figure 2 above, it can be summarized:<br />

Generally, the six graders year 5 of elementary<br />

school Tanjungsari II students have been able to<br />

design an experiment after obtaining sufficient<br />

knowledge about the steps to design an experiment.<br />

The six students were able to design an experiment.<br />

It is appeared that in all aspects of student<br />

performance assessed by three assessors, on average,<br />

they get a perfect score (4). However, if it is seen<br />

hypothesis.<br />

Figure 2d shows that, overall Eka has been able<br />

to design an experiment, and her values close to<br />

perfect score. According to Eka herself, she felt less<br />

in planning the stages an experiment. Meanwhile,<br />

according to Martha as an independent observer,<br />

Eka was able to design an experiment, but Eka less<br />

able to formulate the problem and plan the stages of<br />

an experiment. This is shown in Figure 2d, Eka gets<br />

three for element identifying a problem and planning<br />

the experimental stages. Then, according to the<br />

writer, Eka less adept in formulating hypotheses and<br />

identifying variables. The writer evaluates that Eka’s<br />

hypothesis was unclear, so it is difficult to<br />

understand her sentence of hypothesis. The existence<br />

of different opinion given by the independent<br />

observer and that by the writer is because when she<br />

designed an experiment, the independent observer<br />

watched that Eka is often less precise in formulating<br />

the problem. Meanwhile, according to the writer,<br />

Eka was proficient in formulating the problem,<br />

because the writer thought that Eka often proposed<br />

good ideas for her experimental design.<br />

In Figure 2e, appears that Arinda less adept in<br />

formulating hypotheses, identifying variables and<br />

planning the experimental stages. That is because<br />

Arinda cannot concrete science-teaching materials.<br />

A40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

In designing the experiment, Ipung (see Figure<br />

2f) was less adept in formulating hypotheses. Ipung<br />

cannot show the relationship between the<br />

experimental variables in the formulation of the<br />

hypothesis. See Appendix 4 to see the Ipung’s<br />

performance in designing experiment.<br />

In order to be more skilled in experimental<br />

design, hence, the students must always exercise in<br />

designing an experiment on science matter so that<br />

the teaching and learning process becomes<br />

meaningful. If there is a settled experimental design,<br />

the students can conduct experiment truly, so that<br />

they can have many experiences when they are<br />

studying.<br />

FINDINGS AND CONCLUSION<br />

1. From this research, it was found that Students<br />

year 5 of State Elementary School Tanjungsari<br />

II had been able to design an experiment after<br />

they had given sufficient knowledge about the<br />

experimental design. However, they are not too<br />

adept in designing an experiment so that the<br />

skills should be used to design an experiment as<br />

often as possible that leads the students’ skills in<br />

designing experiments honed.<br />

2. Students year 5 of State Elementary School<br />

Tanjungsari II have skilled in designing an<br />

experiment in several Science Matter, especially<br />

in matter green plant (Tumbuhan Hijau).<br />

3. Based on the findings numbers 1 and 2, it can<br />

be concluded that the six students year 5 of<br />

State Elementary School Tanjungsari II was<br />

able to design an experiment in mater Green<br />

Plant. However, they have no good skill in<br />

designing an experiment. Thus, it is<br />

recommended for their teacher to train the<br />

students to conduct experiments regularly.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Nur, Mohammad. 2000. Perkembangan Selama<br />

Masa Anak-Anak dan Remaja. Surabaya:<br />

Unipress<br />

http://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan (accessed<br />

December 8 th , 2009 at 20:39)<br />

http://qualityengineering.wordpress.com/tag/peranc<br />

angan-eksperimen/ (Accessed December 8 th ,<br />

2009 at 20:39)<br />

Hibbard, Michael. 1997. Performance Assesment in<br />

The Science Classroom. New York:<br />

GLENCOE McGraw Hil<br />

http://alphaomega86.tripod.com/metode_ilmiah.htm<br />

(Accessed December 8 th , 2009 at 20:39)<br />

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian<br />

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka<br />

Cipta<br />

Nur, Mohammad. 2000. Buku Panduan<br />

Keterampilan Proses dan Hakikat Sains.<br />

Surabaya: Unipress<br />

A41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Bravery and Skill in Asking Questions of Students Grade IV of The<br />

Elementary School Wonokromo III in the Changes of Substance Form Unit<br />

(Pokok Bahasan Perubahan Wujud Zat)<br />

Siti Nur Hidayah 1) and Frida Ulfah Ermawati 2)<br />

1-2) Physics Education Study Program<br />

Physics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences<br />

Surabaya State University<br />

Email: no3r_hi3d@yahoo.com<br />

Abstract<br />

This paper reports the result of the search on bravery and skill of Elementary School of Wonokromo III’s<br />

students’ grade IV in asking questions when they studying Science subject (especially about physics), that was<br />

change of substance form unit. The aim was to train their bravery and skill in asking question during teaching<br />

learning process in the class. This work is a descriptive qualitative search, a case study approach. In this work,<br />

the writer of this paper acting as the science teacher in the class, showing the video on a simple experimental<br />

work in a laboratory (that was about evaporate and dew), and asking the students to pose questions. All questions<br />

were recorded by using a tape recorder. The recorded questions were then analyzed by using certain scale and a<br />

rubric before being weighted. It was obtained that none of them was very brave to pose question spontaneously,<br />

just one of them was brave after being encouraged. However, most of them (70%) were not. Besides, simply<br />

most of them (80 %) also didn’t have skill to ask question. Thus, it can be concluded that most of students didn’t<br />

have bravery and skill to ask question. Another fact was also found, is that student who was brave to ask<br />

question didn’t always has skill to ask question, and vice versa. In order to create good interaction in the class,<br />

and hence a good atmosphere, between the teacher and the students, as well as among the students, the students<br />

should have the ability and bravery to pose question. Thereby, a teacher should properly train these skills to the<br />

students for their achieving the learning aim especially the aim of physics lesson.<br />

Keywords-bravery and skill in asking questions.<br />

A. INTRODUCTION<br />

About five years since the year of 1957,<br />

Suchman (Rowe, 1978: 326) 12 has studied inquiry<br />

attitude at elementary school students and he has<br />

expressed that unaccustomed student got practice to<br />

ask questions. If they asking questions, usually their<br />

questions were not for investigating further study<br />

about the matter, but it may just a confirmation or<br />

fad.<br />

More concerning again, students often don’t<br />

want to ask questions because they don’t know what<br />

they must ask. It happened because students also<br />

don’t know what they don’t know beside they have<br />

not owned culture to ask questions. Another thing<br />

that gives rise to student doesn’t want to ask<br />

question is the teacher often doesn’t give<br />

opportunity to the students to ask questions<br />

seriously. This phenomenon can be shown from the<br />

limited time that provided by the teachers to their<br />

students to pose question. Teacher often gives<br />

chance to the students to ask questions just a<br />

formality (as a statement in the lesson plan (see<br />

Appendix 1)) in order to avoid an assumption that<br />

teaching learning model conducted by the teacher<br />

just conventional. Teacher’s awareness to make<br />

learning process as exploration together by giving<br />

enough space for students to ask question is still<br />

low.<br />

Dahar (1978: 95) 12 stated that generally in<br />

teaching learning process, questions have important<br />

roles. One of them is question in can increase<br />

learning quality. This is in accordance with<br />

Mulyasa’s opinion (2002:240) 12 that question and its<br />

answer during learning process was influenced by<br />

student’s inquiry. On the other hand, according to<br />

Rustaman (2002:7) 12 that even if teachers confess<br />

that encouraging students to ask questions is<br />

important, but many teachers assumed that<br />

encouraging students to ask question will only<br />

generate problem for teacher 12 . For example, if a<br />

critical student (that is the student who always asks<br />

question until she/he gets satisfying answer from the<br />

teacher) poses a question, commonly generate<br />

teacher’s fear because she/he could not answer the<br />

questions well. A teacher often asks students to<br />

delay their questions at the last of learning process<br />

because it was assumed influent teacher’s<br />

concentration when she/he explains the matter in the<br />

class. Because of that, cultural of asking questions<br />

are seldom to be created and developed in the class<br />

by a teacher.<br />

Based on the above explanation, the writer of<br />

this paper interested to search on bravery and skill of<br />

elementary school Wonokromo III students grade IV<br />

in asking questions in Changes of Substance Form<br />

Unit (Pokok Bahasan Perubahan Wujud Zat). The<br />

aim was to train their bravery and skill of students to<br />

A42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ask question during learning process in the class<br />

especially in the physics learning. Asking question is<br />

one of important parts to develop their<br />

understanding in the studied material.<br />

B. THEORY<br />

Teaching is one of professional works. In a<br />

class, a teacher is the main instrument of study; a<br />

teacher is not only as the learner of matter or main<br />

conveyor of lesson, but a teacher also a facilitator of<br />

learning activity in the class. Basic skill of teaching<br />

is a skill requires regular practice to master it and it<br />

needs to be integrated when teaching in the class.<br />

Mastery to this skill enables a teacher to manage<br />

learning activity effectively and by having this skill,<br />

a teacher is expected to increase teaching learning<br />

process quality. According to the result of Turney’s<br />

research (1979), there are 8 basic skills that<br />

determine learning success. Those skills are:<br />

a) Asking questions,<br />

b) Giving reinforcement,<br />

c) Performing a variation,<br />

d) Explaining,<br />

e) Opening and closing learning activity,<br />

f) Guiding the small group discussion,<br />

g) Managing the class, also<br />

h) Teaching individually and small group.<br />

1. Bravery to Ask Questions<br />

Silent! That is often happened in the most of<br />

classrooms at the schools in this country, when a<br />

teacher is pose question or gives an opportunity to<br />

the student to ask question. All of mouths are locked<br />

with empty sight. In contrast, classroom becomes<br />

crowded, whisper here and there when a teacher<br />

explains the material in front of class, and the class<br />

becomes more crowded when there is no teacher in<br />

the class. That reality often happens everywhere.<br />

Though, spraging in mind can be opened and<br />

awareness would still awake by posing question.<br />

Many new inventions began from posing question.<br />

People can open world secret by posing question.<br />

It is still unusual to ask question in the<br />

education world, it doesn't get out from the life<br />

culture in our country. In our country, posing a<br />

question is often taboo. Quiet is better than emerging<br />

contradiction-conflict because of posing a question<br />

though actually there are many questions in our<br />

mind. Attitude to silent from receiving something, in<br />

one side has kept quiet attitude of our public.<br />

Because children grow in that culture, it’s very<br />

fair if they are unaccustomed, ashamed and fear to<br />

ask question. Shyness and fearness to ask question<br />

are also triggered by our education culture which are<br />

not able to support students to ask questions. Since<br />

play ground until high school, they usually sit<br />

silently to listens to teacher’s explanation. If they are<br />

asking question, they will be assumed stupid, and<br />

they are laughed by their friends in the class.<br />

Most of students still find difficulties to pose<br />

idea, mind, opinion, and the other feeling during<br />

learning process. The difficulties that experienced by<br />

students are:<br />

4. Answering the question from teacher,<br />

5. Submitting the question or opinion in learning<br />

processing or in the other activity,<br />

6. Telling their own experiences,<br />

7. Introducing their self or other person.<br />

Continuous efforts to create culture of asking<br />

questions in our education world become important.<br />

The teachers must start support pupil to asking<br />

questions, it’s not problem whether teacher can<br />

answer the question or no. The important thing is<br />

how the pupils have bravery to ask question and to<br />

formulate the question correctly. Because this is the<br />

first step that must be done in order to grow critical<br />

attitude of students.<br />

There are many factors that influent to grow<br />

someone’s bravery; those are experience of life,<br />

knowledge and impression of someone to an object.<br />

Questions of student will emerge if a teacher creates<br />

the condition where student to ask question in<br />

teaching learning process. That is returns to how<br />

about the ability of a teacher to make students dare<br />

to ask question, for example in learning process<br />

where a teacher gives opportunity and larger space<br />

for student’s exploration. By an exploration, student<br />

can find more discoveries, and it is also testing<br />

her/his own understanding by asking about concept<br />

which she/he studied continuously. Simple questions<br />

about daily reality make student finds solution of<br />

that problem. It will ignite many questions from the<br />

students. Then, if a teacher gives good mark to a<br />

student who asking question, this will motivates<br />

students to ask question. Beside that, teacher<br />

properly suggests and gives opportunity to the<br />

students to ask question or pose idea, a teacher gives<br />

other student freedom to answer question from<br />

her/his friend and the last, teacher clarifies the<br />

answer of that question.<br />

2. Skill of Asking Questions<br />

Asking question done by all people regardless<br />

the age. Child often asks things that wish to be<br />

known by her/him. Even, in a development period of<br />

child, there is a period of which is called "what is<br />

that period ", that is a period of children to ask<br />

question about everything which seen by them.<br />

Young and old people also felt important to pose<br />

question if they find the problem that must be<br />

solved. Asking question and response are real<br />

important activities as improvement effort of<br />

learning effectiveness.<br />

Skill of asking question is a part that not<br />

dissociated to increase the quality of process and<br />

study result. This is also the part of success in<br />

instructional and class management. Instructional<br />

management is related to material management<br />

A43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

which makes student interest, while class<br />

management is related to the class arrangement and<br />

provide learning source to grow meaningful<br />

interaction of student.<br />

To implement the skill of asking question in<br />

learning process, a teacher is need to recognize kind<br />

of questions type especially process and high level<br />

questions. A process question is a question form that<br />

refers to concept of science development. While<br />

high level question is the effort digs ability of<br />

student to think that entangling assessment aspect,<br />

creation and common sense. Thus, skill in asking<br />

questions of teacher and student are important things<br />

in learning activity, and it is one of aspects to create<br />

interaction between teacher and student in the class.<br />

Generally, the purpose of asking question is to<br />

gets information. But, activity of asking question<br />

done by the teacher is not only to get information,<br />

but also to increase interaction between teacher with<br />

students as well as among students. Thereby,<br />

question which posed by teacher is not only intended<br />

to get information about knowledge of the student,<br />

but it is more important is to support the student’s<br />

participation in learning actively.<br />

Teaching success in bravery and skill of asking<br />

question generally is influenced by some factors.<br />

Those factors are factor from student self, the<br />

support from parents and public, teacher’s ability in<br />

executing teaching learning activity (begin from<br />

planning until evaluation) and available of learning<br />

facilities and basic facilities. From those factors,<br />

teacher factor is holding responsible to student<br />

learning. In this case, teacher trains students to dare<br />

and skillful of asking question by support them to<br />

ask question and to clarify question of student in<br />

order to be comprehended by other student easily.<br />

That is suitable with Suchman’s opinion that study<br />

of student will continue at higher or farther level if<br />

student always asking question.<br />

Teaching learning strategy is enforceable with<br />

various teaching methods, such as question and<br />

answer method, discussion, problem solving, case<br />

study, self-supporting research, etc. One of the<br />

techniques that often used in many teaching methods<br />

is “asking question technique”.<br />

In the relationship with learning process, the<br />

importance of asking question is like some following<br />

statements 7 : (Fraengkel): Effective learning strategy<br />

heart located in question posed by teacher.<br />

2. (Bank): From many learning methods, most of<br />

them often used are asking question. 3. (Clark):<br />

Asking question is one of the oldest and the best<br />

techniques. 4. (Dewey): Teaching is asking<br />

question. 5. (Hyman): Question is main element in<br />

learning strategy, it is key of language in teaching.<br />

For developing effective question, the following<br />

must be concerned: First, warm feeling and<br />

enthusiastism. Second, some habits must be avoided<br />

in raising question (teacher repeats question, teacher<br />

repeats the student answer, questioner answers<br />

her/his question self, questioner asks multiple<br />

question, teacher determines certain student).<br />

3. Changes of Substance Form and Its Example<br />

We know substance forms. Those are solid,<br />

liquid, and gas; there is something that changes of<br />

those three substances. It can happened if matter in a<br />

state of different temperature. For example, ices at<br />

temperature under 0 o C is in the form of solid, if it is<br />

heated from temperature 0 o C up to 100 o C is in the<br />

form of liquid, while if it is reheated so that its<br />

temperature bigger than 100 o C, the water will<br />

evaporate and it become gas form.<br />

Change of substance form from solid to liquid is<br />

called melt. For example: ice becomes water. In<br />

contrast, change of substance form from liquid to<br />

solid is called frozen. For example: water becomes<br />

ice.<br />

Change of substance form from liquid to vapour<br />

or gas is called evaporate. For example: ice becomes<br />

vapour or gas, wet drier become drought. In<br />

contrast, change of substance form from vapour or<br />

gas to liquid is called dew. For example: there is dew<br />

in the morning day, water drip at pan cover lifted<br />

when cooking.<br />

Change of substance form from solid to gas or<br />

vice versa is called sublimate. For example: camper<br />

over and over if it is let used up.<br />

Those changes of three substance forms can be<br />

summarised as follows:<br />

Figure 1.Cycle of Change of Substance Forms are solid, liquid,<br />

and gas. Table 1 bellow gives names of changes of those<br />

substance forms.<br />

TABLE I Changes of Substance Form<br />

No. Name of Change<br />

Form<br />

Initial Final<br />

1. Frozen Liquid Solid<br />

2. Melt Solid Liquid<br />

3. Evaporate Liquid Gas<br />

4. Dew Gas Liquid<br />

5. Sublimate (Vanish) Solid Gas<br />

6. Sublimate<br />

(Chrystalized)<br />

Gas Solid<br />

A44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

C. RESEARCH METHOD<br />

1. Population and Sample of Research<br />

This research was carried out on Wednesday,<br />

December 30 th , 2009 at elementary school of<br />

Wonokromo III-Surabaya on the 10 students. This<br />

one day research was possible because the students<br />

have studied the unit of Changes of substance Form<br />

beforehand. Thus, when this research was<br />

conducted, the students just applied their<br />

understanding on that unit by watching the video on<br />

a simple experiment about evaporate and dew, and<br />

then posing question. This is a descriptive<br />

qualitative research by using a case study approach.<br />

As a case study, data collected from students and the<br />

result of this research only applies at the case that<br />

investigated (10 students).<br />

Figure 2 shows the flowchart of stages followed<br />

in this work:<br />

and the second sheet consists of 8 (eight) aspects<br />

assessment of student’s skill. That is observed by<br />

rubric and separate weight (See Appendix 3)<br />

Based on the aspects on those sheets, the writer<br />

weighs the assessment (based on the level of<br />

difficulty), then the writer wrote up rubric with scale<br />

1-4, where score 1 is the lowest score and score 4 as<br />

the highest score. This can determine performance<br />

assessment of asking question with the maximum<br />

score 100:<br />

Total Score = ∑ (B x S) (1)<br />

Note:<br />

∑ = The number of score that a student got<br />

B = Weight<br />

S = Score (From Scale 1- 4)<br />

Then, the student’s total score was then<br />

converted to the criteria of bravery and skill to ask<br />

questions that have been determined. Finally,<br />

bravery and ability in asking question of students<br />

were presented in percentage by using the Equation<br />

(2) bellow:<br />

P = ∑ B x100 0<br />

(2)<br />

0<br />

N<br />

Note:<br />

P = Percentage of students which brave and<br />

skillful in asking question<br />

∑B = The number of students who got certain score<br />

N = The total number of students<br />

D. THE RESULT OF RESEARCH AND<br />

DISCUSSION<br />

1. The Result of Research<br />

Tables 2 and 3 show the results of performance<br />

assessment.<br />

TABLE II The Result of assessment “Bravery to Ask Question”<br />

Note: Converting score<br />

A: student is very brave to ask question,<br />

B: student is brave to ask question,<br />

C: student is brave enough to ask question<br />

D: student is not brave to ask question.<br />

Figure 2. Planning design of research that followed in this<br />

research from begining until the ending. The further explanation<br />

can be read on the text bellow.<br />

2. Collecting and Analising Data Methods<br />

In this work, data (student’s questions when<br />

they were viewing video and observing other friends<br />

experiment) were obtained by recording their<br />

questions by using recorder and transferring the data<br />

into observation sheets of performance assessment<br />

"Bravery of Asking Questions" and "Skill of Asking<br />

Questions". The first sheet contains 6 (six) aspects<br />

assessment about student’s bravery to ask question<br />

The result of assessment in aspect skill of<br />

asking question:<br />

TABLE III The Result of assessment “Skill of Asking Question”<br />

A45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Note: Converting score<br />

A: student very skillful in asking question,<br />

B: student is skillful in asking question,<br />

C: student is skillful enough in asking questions,<br />

D: student is not skillful in asking questions.<br />

Figure 3 above show that level of bravery to ask<br />

question for each student is different. This can be<br />

seen from the different height of each bar in the<br />

graph. As shown, Adbel is the only student who is<br />

brave to ask question. While, the others two (Essa<br />

and Ilham) are brave enough and the rests are not<br />

brave to ask question. This distribution is pictured in<br />

Figure 4 bellow.<br />

A student qualified to have skill of asking<br />

questions when her/his question:<br />

1. Is intended to investigate the topic, especially<br />

about Physics<br />

2. Is definite and focused to the topic concerned,<br />

3. Represent the student’s inquiry,<br />

4. Expresses her/his skill in asking question,<br />

5. Is stated in a simple form and understandable<br />

Further, a student is classified as very skillful<br />

when she/he meets those five criteria and done very<br />

well, and she/he participate actively in a class, such<br />

as answer the question from teacher or her/his<br />

friend, and pose her/his opinion. A skillful enough<br />

student when she/he meets three of those five<br />

criteria. When a student just meets only one of those<br />

five criteria, she/he is categorized unskillful student.<br />

2. Discussion<br />

The data of performance assessment “Bravery<br />

to Ask Questions” summarized in Table 2 is<br />

presented in the form of graph in Figure 3.<br />

Figure 4. Distribution of students who brave to ask question. The<br />

teks bellow gives explanation about Figure 4.<br />

Based on Figure 4 and as mentioned above, we<br />

know that none of them was very brave to ask<br />

question, just 1 student (10%) is brave, 20% (two<br />

students) are brave enough and most of them (70%)<br />

don’t brave to ask question.<br />

Data in Table 3 is presented in a form of graph<br />

in Figure 5 as follows:<br />

Figure 3. Bravery to ask question. Explanation for that graph can<br />

be read on the teks bellow.<br />

Figure 5. Skill in asking questions. Level of skill to ask question<br />

between one student and the other student is different. Ilham is<br />

the only student who skillful in asking question with score 71 and<br />

cintya is also skillful enough student in asking question with score<br />

60. The lowest score is 25 that obtained by two students (Artiyo<br />

and Aji). The rests of discussion of this graph is given in the<br />

captain of Figure 6.<br />

As the result of bravery to ask question, data of<br />

performance assessment “Skill of Asking Questions”<br />

were also analyzed by using Equation (2) and the<br />

result is given in Figure 6.<br />

A46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 6. Distribution of students who skilfull in asking<br />

question. We can see that this is same with the result in bravery to<br />

ask question, most of students (80 %)have not skill to ask<br />

question, none of them very skillful to ask question, and just 1<br />

student (10 %)who skillful to ask question or skillful enough.<br />

E. CONCLUSION AND SUGGESTION<br />

Based on the series results obtained in this<br />

work, we can conclude that most of students have<br />

not braved and had skill to ask question. But, a<br />

student who brave to ask question is not always has<br />

skill to pose question and vice versa. It happens<br />

because most of students unaccustomed got practice<br />

to ask question in their daily learning activities in the<br />

class, and they have not owned culture to ask<br />

question. Table 4 bellow summarized the level of<br />

bravery and skill to ask question for each student.<br />

TABLE IV Level of bravery and skill to ask questions for<br />

everyone of 10 students class IV-A.<br />

REFFERENCES<br />

Hibbard, Dr. K. Michael. 1999. Performance<br />

Assessment in the Science Classroom. New<br />

York: McGraw –Hill Companies.<br />

Komariah, dkk. 2009. Belajar Mudah IPA Soal dan<br />

Pembahasan. Bandung : CV Pustaka Setia.<br />

Purjiyanta Eka, dkk. 2009. Asah Terampil Mandiri<br />

IPA. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana.<br />

http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/teknikanalisis-data-dalam-penelitian/<br />

(diakses<br />

tanggal 18 Desember 2009 4:41 am)<br />

http://islamkuno.com/category/metodologi/ (diakses<br />

tanggal 18 Desember 2009 4:41 am)<br />

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastraindonesia/article/view/93/58<br />

(diakses tanggal<br />

18 Desember 2009 5:27 am)<br />

http://marsaja.wordpress.com/2008/04/14/strategiinkuiri-model-teknik-bertanya/<br />

(diakses<br />

tanggal 18 Desember 2009 5:26 am)<br />

http://massofa.wordpress.com/2008/02/04/keterampi<br />

lan-bertanya-mendengar-dan-evaluasi-dalampembelajaran-fisika/<br />

(diakses tanggal 18<br />

Desember 2009 5:35 am)<br />

http://rumahmatematika.blogspot.com/2009/02/pendidika<br />

n-serba-bertanya.html (diakses tanggal 10<br />

Januari 2010 6:59 am)<br />

http://rumahmatematika.blogspot.com/2008/11/tipsbertanya-di-kelas.html<br />

(diakses tanggal 10<br />

Januari 2010 7:33 am)<br />

http://sd2tamanrejo.blogspot.com/2009/07/keteramp<br />

ilan-bertanya.html (diakses tanggal 18<br />

Desember 2009 5:30 am)<br />

http://smpn2sumenep.dikti.net/?pilih=hal&id=30<br />

(diakses tanggal 14 November 2009 11:43<br />

am)<br />

http://www.formulabisnis.com/?id=syang (diakses<br />

tanggal 10 Januari 2010 7:51 am)<br />

Asking question and giving response to question<br />

were important activities to improve the<br />

effectiveness of Physics learning in the class.<br />

Teacher and students should have bravery and skill<br />

to ask question in order to create good interaction<br />

between them as well as among students. Thereby, a<br />

teacher should properly trains bravery and ability of<br />

students to ask question for gaining the learning aim.<br />

A47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Komputer<br />

Pada Pokok Bahasan Kapasitor Untuk SMA<br />

Surya Arif Kartono, Herwinarso, I Nyoman Arcana<br />

Program Studi Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan<br />

Universitas Katolik Widya Mandala<br />

Xin Zhong School<br />

Email : sakdn_5@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Kegiatan berupa eksperimen di laboratorium sangat penting untuk dilaksanakan. Dengan melakukan<br />

eksperimen, siswa dapat melakukan pengamatan fenomena fisis, pencarian data, dan menganalisis hal yang<br />

diamatinya sehingga siswa dapat menemukan sendiri, memperoleh pengetahuan baru, merekonstruksi<br />

pemikirannya dan menyatukan pengetahuan yang baru diperolehnya dalam suatu pemikiran yang menyeluruh<br />

dan terpadu. Dari fakta yang diamati oleh penulis di lapangan, terdapat banyak kendala pelaksanaan eksperimen<br />

antara lain: tidak tersedianya alat-alat praktikum yang dibutuhkan di sekolah karena harganya yang mahal,<br />

kerumitan percobaan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, dan adanya beberapa percobaan yang<br />

berbahaya. Salah satu percobaan yang jarang dilakukan di sekolah karena keterbatasan waktu adalah percobaan<br />

pengisian dan pengosongan kapasitor.<br />

Salah satu solusi untuk mengatasi kendala pelaksanaan eksperimen tersebut antara lain adalah membuat Media<br />

Pembelajaran Berbasis Komputer. Media Pembelajaran Berbasis Komputer ini diharapkan mampu menjalankan<br />

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan hasil yang optimal sebagai pengganti pelaksanaan eksperimen. Maka<br />

dalam proposal ini dibahas bagaimana proses pembuatan dan analisis data hasil yang dapat diperoleh dari<br />

penggunaan media pembelajaran berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor.<br />

Kata kunci : eksperimen, kapasitor, media pembelajaran berbasis komputer, data.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dalam pelajaran fisika di SMA terdapat<br />

pokok bahasan kapasitor. Pokok bahasan ini akan<br />

lebih baik dan optimal apabila dijelaskan<br />

menggunakan media pembelajaran berbasis<br />

komputer dan melalui kegiatan eksperimen. Hal<br />

tersebut disebabkan dengan melakukan eksperimen<br />

dan belajar membaca dari sebuah media<br />

pembelajaran siswa dapat melakukan pengamatan<br />

fenomena secara fisis, pencarian data, menganalisis<br />

sesuatu hal yang diamatinya dan lebih memahami<br />

konsep serta menimbulkan sifat kemandirian<br />

siswa.Namun dalam melakukan kegiatan eksperimen<br />

ada beberapa kendala yang dihadapi antara lain tidak<br />

tersedianya alat-alat praktikum yang dibutuhkan di<br />

sekolah karena harganya mahal, kerumitan<br />

percobaan yang membuat tenaga dan pikiran siswa<br />

lebih terkuras untuk memikirkan kerumitan alat<br />

daripada harus memikirkan konsep yang harus<br />

dipahaminya dan juga membutuhkan waktu yang<br />

cukup lama.<br />

Berdasarkan hal tersebut, salah satu solusi<br />

untuk mengatasi kendala pelaksanaan eksperimen<br />

adalah dengan membuat media pembelajaran<br />

berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor.<br />

Diharapkan melalui media pembelajaran berbasis<br />

komputer ini, sekolah tetap mampu menjalankan<br />

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan hasil<br />

yang optimal. Oleh karena itu, peneliti mencoba<br />

membuat media pembelajaran berbasis komputer<br />

yang diberi judul ”Pembuatan Media Pembelajaran<br />

Berbasis Komputer Pada Pokok Bahasan Kapasitor<br />

Untuk SMA”.<br />

KAJIAN PUSTAKA<br />

Media Pembelajaran Berbasis Komputer<br />

Penggunaan media pembelajaran berbasis<br />

komputer sudah banyak dilakukan di berbagai<br />

negara. Di negara Inggris misalnya telah<br />

dikembangkan SPLAT sebagai media dalam<br />

pembelajaran fisika. Peran komputer dalam institusiinstitusi<br />

akademis fisika antara lain digunakan dalam<br />

perhitungan-perhitungan numerik dan pembuatan<br />

program-program simulasi untuk memudahkan<br />

pemahaman akan suatu kejadian-kejadian fisis.<br />

Dengan media pembelajaran berbasis komputer ini,<br />

siswa dapat melakukan eksperimen secara maya<br />

dengan mengubah-ubah parameter input dan melihat<br />

pengaruhnya terhadap variabel output sesuai dengan<br />

keinginan mereka tanpa adanya resiko kerusakkan<br />

dan bahaya, sehingga siswa lebih bebas menggali<br />

pengetahuan.<br />

Macromedia Flash 8<br />

Macromedia merilis beberapa program<br />

aplikasi yang salah satunya adalah Flash. Flash<br />

A48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sengaja didesain untuk keperluan presentasi, desain<br />

web, animasi dan pembuatan interaktif movie.<br />

Kefleksibelan program ini mampu menampilkan<br />

animasi dan pemrograman yang ada dan dapat<br />

dimanfaatkan untuk pembuatan program simulasi<br />

eksperimen fisika dengan tampilan yang bagus dan<br />

pengolahan data yang kuat. Pada fersi Flash 8,<br />

Macromedia Flash sudah mengandung beberapa<br />

fasilitas seperti numeric stepper, combo box dan<br />

slider yang nantinya akan digunakan dalam media<br />

pembelajaran berbasis komputer untuk pengisian<br />

dan pengosongan kapasitor.<br />

Kemampuan Flash dalam pemrograman dengan<br />

sistem Object Oriented Programming (OOP)<br />

menggunakan action script memungkinkan<br />

programmer menggunakannya untuk berbagai<br />

keperluan seperti perhitungan matematis dan<br />

operasi-operasi logika.<br />

Pengisian dan Pengosongan Kapasitor<br />

Pengertian Kapasitor<br />

Kapasitor merupakan salah satu komponen<br />

pasif yang dapat digunakan sebagai penyimpan<br />

muatan listrik sementara. Dan kemampuan untuk<br />

menyimpan muatan itu disebut kapasitans (C)<br />

dengan satuan farad.<br />

Kapasitans<br />

berlawanan pada penghantar-penghantar seperti<br />

pada Gambar 2.2. Penghantar-penghantar tersebut<br />

tidak perlu dimuati secara terpisah, namun cukup<br />

dihubungkan untuk sementara ke kutub-kutub yang<br />

berlawanan dari sebuah baterai. Muatan-muatan<br />

yang besarnya sama dan tandanya berlawanan (± q)<br />

akan muncul secara otomatis.<br />

Untuk sementara maka akan dinyatakan<br />

tanpa bukti bahwa q dan V untuk sebuah kapasitor<br />

adalah sebanding terhadap satu sama lain, atau<br />

dimana C, yakni konstanta perbandingan, dinamakan<br />

kapasitans (capacitance) dari kapasitor tersebut, lalu<br />

bahwa C bergantung pada bentuk dan kedudukan<br />

relatif dari penghantar-penghantar tersebut.<br />

q = C.V ....... (2-1)<br />

Satuan SI dari kapasitans yang diperoleh<br />

dari Persamaan (2-1) adalah coulomb/volt. Sebuah<br />

satuan khusus, yakni farad (disingkat F), digunakan<br />

untuk menyatakan satuan SI tersebut. Nama ini<br />

diberikan untuk menghormati Michael Faraday<br />

yang, diantara kontribusi (sumbangan)-nya yang lain<br />

telah mengembangkan konsep kapaitans. Jadi<br />

1 farad = 1 coulomb/volt<br />

Sub pelipat (Sub multiples) dari farad, yakni<br />

mikrofarad (microfarad) (1µF = 10 -6 F) dan pikofarad<br />

(picofarad) (1pF = 10 -12 F) adalah merupakan satuansatuan<br />

yang lebih memudahkan di dalam praktek.<br />

Menghitung Kapasitans<br />

Gambar 2.2 Dua muatan +q dan –q yang terisolasi dari<br />

sekelilingnya.<br />

Gambar 2.2 memperlihatkan sebuah<br />

kapasitor, yang terdiri dari dua penghantar terisolasi,<br />

a dan b yang bentuknya sebarang (kelak, tanpa<br />

memperdulikan geometrinya, maka penghantarpenghantar<br />

tersebut akan dinamakan plat). Plat-plat<br />

tersebut seluruhnya terisolasi dari sekitarnya dan<br />

mengangkut muatan-muatan yang sama besarnya<br />

dan yang berlawanan tandanya berturut-turut sebesar<br />

+q dan –q. Tiap-tiap garis gaya yang berasal pada a<br />

akan berakhir pada b. Penghantar a dan penghantar b<br />

terdapat di dalam sebuah vakum.<br />

Kapasitor dari Gambar 2.2 dicirikan oleh q,<br />

yakni besarnya muatan pada setiap penghantar, dan<br />

oleh V, yakni perbedaan potensial diantara<br />

penghantar-penghantar. Perhatikan (a) bahwa q<br />

bukanlah merupakan muatan netto pada kapasitor<br />

yang sama dengan nol, dan (b) bahwa V bukanlah<br />

merupakan potensial pada masing-masing<br />

penghantar, yang barangkali dinyatakan dengan V<br />

0 di ∞, kecuali perbedaan potensial diantara<br />

penghantar-penghantar tersebut.<br />

Tidaklah sukar untuk meletakkan muatanmuatan<br />

yang besarnya sama dan tandanya<br />

Gambar 2.3 Sebuah kapasitor plat sejajar. Permukaan Gauss dekat<br />

dengan permukaan atas dan permukaan bawah.<br />

Gambar 2.3 memperlihatkan sebuah<br />

kapasitor plat sejajar (parallel-plate capacitor) yang<br />

di dalamnya penghantar-penghantar dari Gambar 2.2<br />

mengambil bentuk sebagai dua plat sejajar yang<br />

masing-masing luasnya A dan yang berjarak d<br />

terhadap satu sama lain. Jika setiap plat<br />

dihubungkan sementara ke terminal sebuah baterai,<br />

maka muatan +q dengan otomatis akan muncul pada<br />

salah satu plat dan muatan – q akan muncul pada<br />

plat yang satu lagi. Jika d adalah kecil dibandingkan<br />

terhadap dimensi-dimensi plat, maka medan listrik E<br />

diantara plat-plat tersebut akan uniform, yang berarti<br />

bahwa garis-garis gaya akan sejajar dan berjarak<br />

sama terhadap satu sama lain. Hukum-hukum<br />

keelektromagnetan mengharuskan bahwa ada<br />

sejumlah “pinggiran”(“fringing”) garis-garis pada<br />

tepi-tepi plat, tetapi untuk d yang cukup kecil maka<br />

dapat diabaikan.<br />

Kapasitans alat ini dapat dihitung dengan<br />

menggunakan hukum Gauss, yang merupakan suatu<br />

penggambaran lain dari kegunaan hukum ini di<br />

dalam situasi geometri yang sederhana. Gambar 2.3<br />

memperlihatkan (garis-garis terputus-putus) sebuah<br />

permukaan Gauss yang tingginya h dan yang<br />

A49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ditutupi oleh topi-topi bidang luasnya A yang<br />

merupakan bentuk dan ukuran plat-plat kapasitor<br />

tersebut. Fluks dari E adalah nol untuk bagian<br />

permukaan Gauss yang terletak di bagian sebelah<br />

dalam dari plat kapasitor atas karena medan listrik di<br />

dalam sebuah penghantar yang mengangkut muatan<br />

statik adalah nol. Fluks dari E yang melalui dinding<br />

vertikal permukaan Gauss adalah nol karena, sampai<br />

dengan keadaan dimana pinggiran garis-garis gaya<br />

dapat diabaikan, maka E terletak di dalam dinding<br />

tersebut.<br />

Dengan demikian hanya muka dari<br />

permukaan Gauss yang terletak diantara plat-plat<br />

tersebut. Di sini E adalah konstan dan fluks Φ E<br />

adalah tak lain dari pada EA sendiri. Hukum Gauss<br />

memberikan:<br />

∈ o Φ E = ∈ o EA = q ........... (2-2)<br />

Kerja yang diperlukan untuk mengangkut sebuah<br />

muatan uji q 0 dari salah satu plat ke plat yang lain<br />

dapat dinyatakan baik sebagai q 0 E dengan jarak d<br />

atau q 0 Ed. Pernyataan-pernyataan ini haruslah sama,<br />

atau<br />

V = Ed ........... (2-3)<br />

Secara formal, maka persamaan (2-3) adalah sebuah<br />

kasus khusus dari hubungan umum<br />

V = - ∫E.dl<br />

Dimana V adalah perbedaan potensial diantara platplat<br />

tersebut. Integral tersebut dapat diambil melalui<br />

setiap lintasan yang mulai pada salah satu plat dan<br />

berakhir pada plat yang lain karena setiap plat<br />

adalah sebuah permukaan ekipotensial dan karena<br />

gaya elektrostatik adalah tidak bergantung pada<br />

lintasan. Walaupun lintasan yang paling sederhana<br />

diantara plat-plat tersebut adalah sebuah garis lurus<br />

yang tegak lurus pada plat, namun Persamaan (2-3)<br />

akan dihasilkan tak perduli lintasan integrasi mana<br />

yang dipilih.<br />

Jika disubtitusikan Persamaan (2-2) dan<br />

Persamaan (2-3) ke dalam hubungan C = qV, maka<br />

didapatkan<br />

q ε<br />

0EA<br />

ε<br />

0<br />

A<br />

C = = =<br />

(2-4)<br />

V E.<br />

d d<br />

Persamaan (2-4) berlaku hanya untuk<br />

kapasitor dari jenis plat sejajar; rumus yang berbeda<br />

akan berlaku untuk kapasitor yang mempunyai<br />

geometri yang berbeda. Untuk sebuah kasus khusus,<br />

maka persamaan ini memperlihatkan bahwa C<br />

sungguh-sungguh bergantung pada geometri dari<br />

penghantar (plat) seperti yang telah ditunjukkan<br />

pada gambar 2.2. Kedua-duanya A dan d adalah<br />

faktor-faktor geometris.<br />

Rangkaian Paralel Kapasitor<br />

Gambar 2.4 Tiga kapasitor yang disusun paralel.<br />

Kapasitor-kapasitor yang disusun sejajar<br />

(Capacitors in paralel). Gambar 2.4 memperlihatkan<br />

tiga kapasitor yang dihubungkan sejajar. Perbedaan<br />

potensial melalui masing-masing kapasitor di dalam<br />

sebuah susunan sejajar (lihat gambar 2.4) adalah<br />

sama. Hal ini disimpulkan karena semua plat di<br />

sebelah atas dihubungkan bersama-sama dan<br />

dihubungkan ke terminal a sedangkan semua plat di<br />

sebelah bawah dihubungkan bersama-sama dan<br />

dihubungkan ke terminal b. Dengan menggunakan<br />

hubungan q = C.V kepada setiap kapasitor maka<br />

akan menghasilkan<br />

q 1 = C 1 .V ; q 2 = C 2 .V ; q 3 = C 3 .V<br />

Muatan total q pada kombinasi tersebut adalah<br />

q = q 1 + q 2 + q 3 = (C 1 + C 2 + C 3 ).V<br />

Kapasitans ekivalennya adalah<br />

q = C1 + C 2 + C 3 atau C = C 1 + C 2 + C 3............ (2-5)<br />

V<br />

Maka dapat diperluas hasil ini kepada sebarang<br />

banyaknya kapasitor yang dihubungkan sejajar.<br />

Rangkaian Seri Kapasitor<br />

Gambar 2.5 Tiga kapasitor yang disusun seri<br />

Kapasitor-kapasitor yang disusun seri<br />

(Capacitors in series). Gambar 2.5 memperlihatkan<br />

tiga kapasitor yang dihubungkan seri. Untuk<br />

kapasitor-kapasitor yang di hubungkan di dalam<br />

sebuah susunan seri (Gambar 2.5) maka besarnya<br />

muatan q pada setiap plat haruslah sama. Hal ini<br />

benar karena muatan netto pada bagian rangkaian<br />

yang terdapat di dalam garis terputus-putus pada<br />

Gambar 2.5 haruslah sebesar nol; yakni, muatan<br />

yang hadir mula-mula pada plat-plat ini adalah nol<br />

dan dengan menghubungkan sebuah baterai di<br />

antara a dan b hanyalah akan menghasilkan sebuah<br />

pemisahan muatan, sedangkan muatan netto pada<br />

plat-plat ini masih tetap sebesar nol.<br />

Dengan memakai hubungan q = C.V<br />

kepada setiap kapasitor maka dihasilkan<br />

q q q<br />

V 1 = ;V2 = ;V3 = ;<br />

C 1<br />

C 2<br />

C 13<br />

Perbedaan potensial untuk kombinasi seri tersebut<br />

adalah<br />

⎛ 1 1 1 ⎞<br />

V= (V 1 + V 2 + V 3 ) = q<br />

⎜ + +<br />

⎟<br />

⎝ C1<br />

C2<br />

C3<br />

⎠<br />

Kapasitans ekivalennya adalah<br />

1<br />

1 1 1<br />

+ +<br />

C C C<br />

q<br />

C = =<br />

V<br />

1 2 3<br />

A50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Atau<br />

1 1 1 1<br />

= + +<br />

C C1<br />

C2<br />

C3<br />

...... (2-6)<br />

Kapasitans seri ekivalen tersebut selalu lebih kecil<br />

daripada kapasitans terkecil di dalam rantai.<br />

Pengisian Kapasitor<br />

Proses Pengisian<br />

Gambar 2.6 Rangkaian proses pengisian kapasitor<br />

Pada saat t=0 (saklar s ditutup), elektronelektron<br />

akan berpindah dari keping bagian atas ke<br />

keping bagian bawah kapasitor melalui hambatan R,<br />

sumber tegangan ε dan stop kontak s, sehingga<br />

keping bagian atas kapasitor bermuatan positif dan<br />

keping bagian bawah bermuatan negatif (lihat<br />

gambar 2.6). Apabila muatan pada kapasitor C<br />

maksimum (Q = C.V), maka tidak ada arus yang<br />

mengalir (i = 0).<br />

Dengan mengabaikan hambatan dalam sumber<br />

tegangan ε, maka berdasarkan hukum Kirchhoff II<br />

ε = R i +<br />

C<br />

q<br />

dq q<br />

ε = R . +<br />

dt C<br />

ε dq q = +<br />

R dt RC<br />

t<br />

t<br />

ε<br />

RC<br />

e<br />

R . dq<br />

RC<br />

= e<br />

dt<br />

t<br />

ε<br />

RC<br />

e<br />

R .<br />

∫<br />

ε<br />

. e<br />

R<br />

=<br />

t<br />

RC<br />

t<br />

RC<br />

× e<br />

e<br />

RC<br />

t<br />

d ⎛ ⎞<br />

⎜ RC ⎟<br />

qe<br />

dt<br />

⎝ ⎠<br />

t<br />

⎛<br />

dt =<br />

∫ ⎟ ⎞<br />

⎜ RC<br />

d<br />

qe<br />

⎝ ⎠<br />

t<br />

qe RC<br />

ε .C. e = + k<br />

Pada saat t = 0, q = 0, sehingga<br />

0<br />

ε . C.<br />

e = 0+ k<br />

ε .C. = k<br />

t<br />

RC<br />

t<br />

qe RC<br />

ε .C. e = + ε. C<br />

t<br />

RC<br />

RC<br />

qe = ε.C.<br />

e<br />

t<br />

⎛<br />

RC<br />

qe = ε C.<br />

⎜<br />

e<br />

⎝<br />

t<br />

RC<br />

.<br />

t<br />

− ε. C<br />

⎞<br />

−1⎟<br />

⎠<br />

×<br />

1<br />

R<br />

t<br />

RC<br />

t<br />

q<br />

RC<br />

+<br />

t<br />

⎛ − ⎞<br />

Q(t) = ε C⎜<br />

⎟<br />

1 − e RC<br />

...... (2-7)<br />

⎝ ⎠<br />

Berdasarkan persamaan (2-7) didapatkan :<br />

a. Persamaan Kuat arus sebagai fungsi waktu.<br />

dQ ( t)<br />

i(t) =<br />

dt<br />

t<br />

d ⎛ ⎛ − ⎞⎞<br />

i(t) = ⎜ε<br />

C⎜<br />

⎟⎟<br />

1 − e RC<br />

dt<br />

⎝ ⎝ ⎠⎠<br />

t<br />

RC<br />

ε −<br />

i(t) = e ….. (2-8)<br />

R<br />

b. Persamaan tegangan kapasitor sebagai fungsi<br />

waktu.<br />

C.V C (t) = Q(t)<br />

t<br />

⎛ − ⎞ − RC<br />

C.V C (t) = ε C⎜<br />

⎟<br />

1 e<br />

⎝ ⎠<br />

t<br />

⎛ − ⎞<br />

V C (t) = ε ⎜ ⎟<br />

1 − e RC<br />

⎝ ⎠<br />

… (2-9)<br />

Q(t) : jumlah muatan kapasitor pada saat t detik<br />

I(t) : kuat arus yang mengalir pada saat t detik<br />

V C (t) : beda potensial kapasitor pada saat t detik<br />

ε : beda potensial sumber<br />

R : nilai resistor<br />

e : bilangan natural (e )<br />

≈ 2,712<br />

Gambar 2.7 Grafik hubungan antara I dengan t, grafik hubungan<br />

antara V dengan t dan grafik hubungan antara Q dengan t pada<br />

proses pengisian kapasitor<br />

τ adalah tetapan waktu yang besarnya sama dengan<br />

RC.<br />

Pengosongan Kapasitor<br />

Proses Pengosongan<br />

Gambar 2.8 Rangkaian proses pengosongan kapasitor<br />

A51


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pada proses pengosongan kapasitor yang telah<br />

t<br />

1<br />

bermuatan Q dirangkai seperti pada gambar 2.8. Saat<br />

RC<br />

i(t) = - ε C e<br />

−<br />

saklar ditutup (t=0) elektron-elektron di dalam<br />

RC<br />

kapasitor berpindah dari keping bawah ke keping<br />

t<br />

ε −<br />

RC<br />

atas melalui saklar s dan hambatan R (lihat gambar<br />

i(t) = - e<br />

2.8) sampai kapasitor tersebut tidak bermuatan,<br />

R<br />

sehingga besar kuat arus i = 0 .<br />

Berdasarkan hukum Kirchhoff II<br />

q<br />

C.V c (t) = Q(t)<br />

ε = R i + t<br />

C RC<br />

C.V c (t) = ε C e<br />

−<br />

t<br />

dq q<br />

= R + RC<br />

V c (t) = e −<br />

dt C<br />

dq q<br />

- R =<br />

dt C 1<br />

×<br />

dq 1<br />

- R =<br />

q<br />

q dt C<br />

dq 1 = -<br />

q dt RC<br />

dq 1<br />

∫ = - q<br />

∫ dt<br />

RC<br />

t<br />

ln q = - + k<br />

RC<br />

PEMBAHASAN<br />

Pada t = 0 maka q = q o<br />

ln q o = 0 + k<br />

ln q o = k<br />

t<br />

ln q = - + ln q o<br />

RC<br />

t<br />

ln q - ln q o = -<br />

RC<br />

t<br />

q<br />

ln = ln<br />

RC<br />

e −<br />

q<br />

0<br />

t<br />

q =<br />

RC<br />

e −<br />

q 0<br />

t<br />

RC<br />

q = q o e −<br />

t<br />

RC<br />

Q(t) = ε C e<br />

−<br />

…. (2-10)<br />

Berdasarkan persamaan (2-10) didapatkan:<br />

a. Persamaan kuat arus sebagai fungsi waktu<br />

dQ ( t)<br />

i(t) =<br />

dt<br />

t<br />

d ⎛ − ⎞<br />

i(t) = ⎜<br />

RC ⎟<br />

ε C e<br />

dt<br />

⎝ ⎠<br />

…. (2-11)<br />

b. Persamaan tegangan kapasitor sebagai fungsi<br />

waktu<br />

ε …. (2-12)<br />

Gambar 2.9 Grafik hubungan antara V dengan t, grafik hubungan<br />

I dengan t dan grafik hubungan antara Q dengan t pada proses<br />

pengosongan kapasitor<br />

Hasil penelitian berupa CD tentang Media<br />

Pembelajaran Pada Pokok Bahasan Kapasitor, secara<br />

garis besar isi program yang terdapat dalam CD<br />

meliputi :<br />

1. Teori, berisikan materi kapasitor secara umum<br />

yaitu definisi kapasitor, kapasitans, rangkaian<br />

seri kapasitor, rangkaian paralel kapasitor dan<br />

materi pengayaan yang di dalamnya adalah<br />

proses pengisian kapasitor dan proses<br />

pengosongan kapasitor.<br />

2. Video yang menampilkan cara merangkai<br />

peralatan praktikum pada proses pengisian dan<br />

pengosongan kapasitor.<br />

3. Simulasi rangkaian seri kapasitor, rangkaian<br />

paralel kapasitor, rangkaian gabungan<br />

kapasitor, proses pengisian kapasitor dan<br />

proses pengosongan kapasitor.<br />

Untuk memberikan gambaran secara umum<br />

tentang apa yang terdapat dalam CD, print out dari<br />

beberapa halaman yang ditampilkan pada layar<br />

monitor, terlihat seperti gambar-gambar di bawah<br />

ini.<br />

A52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Setelah diujicobakan didapat masukan dari<br />

dosen dan mahasiswa, kemudian dari masukanmasukan<br />

itu dilakukan lagi revisi program. Tahap<br />

ketiga, program diujicobakan pada 1 kelas siswa<br />

SMA sebagai wakil calon pemakai. Setelah<br />

diujicobakan kepada siswa maka program direvisi<br />

lagi berdasarkan komentar-komentar dari siswa.<br />

Cara pengujian dilakukan dengan menggunakan<br />

angket. Data yang diperoleh dari angket dirangkum,<br />

kemudian diolah menjadi bentuk persentase (%) dan<br />

dirangkum menjadi 2 kolom pilihan (SS + S dan TS<br />

+ STS).<br />

Berdasarkan data yang diperoleh, 100%<br />

mahasiswa dan 100% siswa menyatakan program<br />

menarik karena melalui komputer, serta lebih mudah<br />

mengingat karena adanya animasi, 100% mahasiswa<br />

dan 93% siswa menyatakan program dapat<br />

mempercepat pemahaman, 90% mahasiswa dan<br />

100% siswa dapat dipelajari sendiri, 100%<br />

mahasiswa dan 100% siswa menyatakan tidak ada<br />

kesulitan dalam membuka dan mengoperasikan<br />

program. Data yang diperoleh siswa dan mahasiswa<br />

yang diambil dari sampel, tidak ada yang<br />

menyatakan program media pembelajaran ini<br />

menambah kebingungan bagi mereka. Komentarkomentar<br />

yang didapat menyatakan perlu diberikan<br />

contoh soal dalam program. Namun secara umum<br />

dinyatakan program ini sudah cukup bagus.<br />

Berdasarkan data yang diperoleh, persentase<br />

mengidentifikasikan program ini baik 98%. Dengan<br />

demikian, program media pembelajaran pada pokok<br />

bahasan kapasitor yang telah dibuat dapat dikatakan<br />

baik.<br />

Meskipun program media pembelajaran<br />

berbasis komputer pada pokok bahasan kapasitor<br />

tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran guru,<br />

namun program media pembelajaran ini dapat<br />

membantu siswa untuk memahami konsep dari<br />

kapasitor dan secara mandiri siswa dapat<br />

memperdalam materi yang tellah disampaikan guru<br />

di sekolah.<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Program Media Pembelajaran Berbasis<br />

Komputer Pada Pokok Bahasan Kapasitor Untuk<br />

SMA, telah dibuat dan diujicobakan melalui tiga<br />

tahap. Tahap pertama telah diperiksa oleh para<br />

dosen, tahap kedua telah diujicobakan kepada<br />

beberapa mahasiswa, dan tahap ketiga telah<br />

diujicobakan kepada beberapa siswa SMA. Dari<br />

hasil ujicoba secara umum mengatakan bahwa<br />

program sudah cukup bagus.<br />

Program media pembelajaran fisika ini<br />

dilengkapi dengan video penunjang serta animasianimasi<br />

yang dapat memperjelas konsep dari<br />

kapasitor. Program ini dapat dimanfaatkan oleh<br />

siswa sebagai persiapan sebelum diajarkan oleh<br />

guru, ataupun untuk pengetahuan setelah diajarkan<br />

di kelas. Program ini juga dapat dimanfaatkan oleh<br />

guru sebagai media pengajaran di kelas.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Gillies, A. D., B. D. Sinclair & S.T.SwitHenby<br />

(1996). Filling Physics Komputer Package<br />

for building concepts & understanding. New<br />

Approaches, XX, 362-368<br />

Halliday dan Resnick. 1991. <strong>Fisika</strong> Jilid 2<br />

(Terjemahan) Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.<br />

Hidayat, Dedi. 1997. Prinsip-prinsip <strong>Fisika</strong>. Jakarta<br />

: Yudhistira.<br />

Kamajaya. 2002. <strong>Fisika</strong> Untuk SMU Kelas II<br />

Semester I dan II. Bandung : Grafindo Media<br />

Pratama<br />

Kanginan, Marthen. 2003. <strong>Fisika</strong> 2000 Jilid 1A<br />

Untuk SMU kelas I1. Cimahi : Erlangga.<br />

Kelly, G.J., & T.Crawford.(1996). Students’<br />

interaction with computer representation:<br />

Analisis of discourse in laboratory groups.<br />

Journal of Research in Science Teaching, 33,<br />

693-707<br />

Sears. Zemansky. 1999. <strong>Fisika</strong> untuk Universitas 1.<br />

Jakarta : Trimitra Mandiri<br />

Serway, R.A. 1986. Physics for Scientists an<br />

Engineers with Modern Physics. New York :<br />

Saunders College Publishing.<br />

http://www.banksoal.sebarin.com<br />

A53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

B1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Studi Implantasi Ion Radioaktif<br />

Iridium-192 dan Renium-188 dalam Pemanfaatannya<br />

untuk Intravascular Brachytherapy<br />

Angga Setiyo Prayogo 1 , Johan A E Noor 2<br />

1,2 Program Studi Magister <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Brawijaya<br />

Email : look_lucky9@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Brachythetapy menjadi solusi masalah kesehatan di beberapa negara. Kontribusi yang diberikanpun sangat<br />

signifikan. Brachytherapy merupakan salah satu metode radioterapi yang dilakukan dengan memasukkan sumber<br />

radiasi ke dalam tubuh. Salah satu tipe brachytherapy adalah Intravascular Brachytherapy, yaitu memasukkan<br />

bahan radioaktif ke dalam pembuluh darah. Selain mematikan sel kanker, metode ini juga bisa mencegah<br />

penyempitan pembuluh darah (restenosis). Pengembangan radioisotop pemancar beta telah banyak<br />

dikembangkan, yang terbaru di antaranya adalah Iridium-192 dan Renium-188. Kedua radioisotop ini memiliki<br />

laju dosis yang relatif rendah dan perlu pengembangan lanjutan untuk mempercepat laju dosisnya, sekaligus<br />

kemungkinan dihasilkan radioaktif lain dengan sifat yang lebih baik. Pengembangan lanjutan dengan metode<br />

implantasi diharapkan menghasilkan alternatif sumber radiasi baru yang lebih baik, sehingga bisa dimanfaatkan<br />

dalam Intravascular Brachytherapy untuk mematikan sel kanker pada pembuluh darah.<br />

Teknik implantasi dilakukan dengan pencangkokan partikel radioisotop berenergi tinggi ke material. Besar<br />

energi radioisotop yang digunakan bervariasi. Partikel radioisotop yang ditembakkan bertumbukan dengan atom<br />

material, sehingga partikel radioisotop kehilangan energi dan berhenti pada jarak tertentu dari permukaan target.<br />

Proses implantasi ini dipengaruhi oleh massa, energi dan jenis partikel radioisotop yang ditembakkan, serta<br />

material target yang digunakan. Pengembangan dengan implantasi radioisotop dapat digunakan untuk<br />

intravascular brachytherapy dengan energi 0,633 MeV dan 0,317 MeV untuk Ir-192 dan Re-188. Sedangkan ada<br />

tidaknya material baru masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut lagi.<br />

Kata kunci : implantasi radioisotop, intravascular brachytherapy, restenosis<br />

PENDAHULUAN<br />

Brachythetapy terbukti menjadi solusi masalah<br />

kesehatan di beberapa negara. Tingkat kontribusinya<br />

telah mencapai kondisi signifikan. Brachytherapy<br />

merupakan salah satu metode radioterapi yang<br />

langsung memasukkan sumber radiasi ke dalam<br />

tubuh, salah satu tipenya adalah Intravascular<br />

Brachytherapy, yaitu memasukkan bahan radioaktif<br />

ke dalam pembuluh darah. Selain mematikan sel<br />

kanker, metode ini juga bertujuan mencegah<br />

terjadinya penyempitan pembuluh darah<br />

(restenosis). Pengembangan radioisotop pemancar<br />

beta telah banyak dikembangkan, beberapa yang<br />

terbaru di antaranya adalah Iridium-192 dan<br />

Renium-188. Namun kedua radioisotop ini memiliki<br />

laju dosis yang masih relatif rendah dan perlu<br />

pengembangan lebih lanjut untuk menghasilkan laju<br />

dosis yang tinggi, sekaligus kemungkinan dihasilkan<br />

bahan radioaktif lain yang memiliki sifat lebih baik.<br />

Salah satu caranya adalah metode implantasi.<br />

Metode implantasi ion radioaktif diharapkan<br />

menghasilkan alternatif sumber radiasi baru dengan<br />

laju dosis lebih cepat, sehingga bisa dimanfaatkan<br />

dalam teknik Intravascular Brachytherapy untuk<br />

mematikan sel kanker pada pembuluh arteri.<br />

INTRAVASCULAR BRACHYTHERAPY<br />

Intravascular brachytherapy adalah penanganan<br />

penyakit dengan meletakkan sumber radiasi di<br />

dalam pembuluh darah menggunakan kateter. Salah<br />

satu bentuk intravascular brachytherapy adalah<br />

pencegahan restenosis pada pembuluh darah jantung<br />

menggunakan radioisotop. Penyumbatan pada<br />

jantung dapat ditangani dengan menggunakan<br />

metode angioplasty dan selanjutnya dilakukan<br />

pemasangan coronary stent untuk mencegah<br />

terjadinya penyempitan kembali. Namun,<br />

pemasangan stent ini dapat menyebabkan<br />

pertumbuhan sel tidak normal di sekitar tempat<br />

pemasangan sehingga mengakibatkan restenosis.<br />

Ada beberapa metode untuk mencegah terjadinya<br />

restenosis ini, di antaranya dengan memanfaatkan<br />

radiasi. Beberapa radioisotop pemancar β seperti<br />

fosfor-32, yttrium-90, xenon-133, renium-186,<br />

renium-188 dan iridium-192 telah dikembangkan<br />

untuk dimanfaatkan.<br />

B1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dimana :<br />

A : Aktivitas awal<br />

A 0 : Aktivitas akhir<br />

λ : Konstanta peluruhan<br />

Hal yang sama dilakukan pada Re-188. Yang<br />

membedakan adalah besarnya energi yang<br />

digunakan untuk proses implantasi, karena iridium<br />

dan renium memiliki waktu paruh yang berbeda.<br />

Gambar 1 Restenosis dan Pemasangan Stent (Awaludin,2008)<br />

Terdapat tiga jenis penanganan yang telah<br />

dikembangkan yaitu metode pelet, metode larutan<br />

dan metode stent radioaktif. Dari ketiga metode ini,<br />

metode stent radioaktif merupakan metode yang<br />

banyak mendapat perhatian karena kemudahan<br />

dalam penggunaannya seperti gambar diatas. Ada 2<br />

jenis metode pembuatan stent radioaktif yang telah<br />

dikembangkan yaitu metode aktivasi neutron dan<br />

metode implantasi ion radioisotop.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Implantasi<br />

Bahan penyusun endovascular stent diiradiasi di<br />

posisi pneumatic rabbit system (PRS) reaktor G.A.<br />

Siwabessy BATAN dalam waktu singkat, karena<br />

radioaktivitas yang dikehendaki juga kecil. Hasil<br />

iradiasi diukur menggunakan spektrometer gamma<br />

untuk menentukan jenis jenis radioisotop yang<br />

terbentuk dan besarnya radioaktivitas. Pengukuran<br />

dilakukan setelah radioisotop meluruh dan tidak<br />

mengganggu pengukuran. Hasil pengukuran<br />

dihitung balik secara teoritis ke saat akhir iradiasi<br />

(end of irradiation, EOI). Sebelum digunakan,<br />

spektrometer gamma dikalibrasi menggunakan<br />

radioisotop 137 Cs dan 60 Co untuk kalibrasi energi dan<br />

kalibrasi kurva efisiensi.<br />

Perhitungan pada penelitian ini dilakukan secara<br />

teoritis berdasarkan jenis radioisotop yang terbentuk<br />

dan besarnya radioaktivitas ketika bahan diiradiasi.<br />

Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan<br />

umum aktivasi neutron.<br />

A= Nφσ (1-e -λt ) (1)<br />

Dimana,<br />

A : Radioaktivitas radioisotop yang dihasilkan<br />

(Bq)<br />

N : Jumlah atom isotop sasaran (atom)<br />

φ : Fluks neutron (ns -1 cm -2 )<br />

σ : Tampang lintang reaksi (barn = 10 -24 cm 2 )<br />

λ : Konstanta peluruhan radioisotop (s -1 )<br />

Ir-192 diimplant pada area surrogate substance<br />

dengan diameter 0,1 mm untuk menekan hingga<br />

terbentuk 25% iridium murni dan 75% platinum<br />

murni dengan ketebalan 0,15 mm. Kemudian dari<br />

proses itu dihitung besarnya radioaktivitas iridium<br />

dengan persamaan radioaktivitas.<br />

(-λxt)<br />

A = A 0 (2)<br />

Tabel 1. Unsur penyusun stent dari bahan SUS 316L dan<br />

radioisotop yang terbentuk dari paparan neutron termal<br />

(Awaludin, 2008)<br />

Intravascular Brachytherapy<br />

Hasil implantasi kedua bahan radioaktif tersebut<br />

dimasukkan ke dalam stent radioaktif untuk<br />

mencegah restenosis setelah pemasangan stent.<br />

Pemilihan jenis radioisotop didasarkan pada waktu<br />

paruh dan jenis radiasi yang dipancarkan.<br />

Radioisotop yang efektif adalah radioisotop dengan<br />

waktu paruh tidak terlalu pendek agar besarnya<br />

radiasi pengion tidak berkurang dalam waktu cepat.<br />

Namun, apabila waktu paruh terlalu panjang,<br />

radioisotop tersebut akan memancarkan radiasi<br />

pengion terus menerus ketika dosis radiasi yang<br />

dibutuhkan telah mencukupi sehingga<br />

membahayakan sel sel di sekitar tempat dia berada.<br />

Pemilihan jenis radiasi yang dipancarkan berguna<br />

untuk menentukan tingkat pengaruh yang diberikan<br />

kepada sel-sel sasaran. Besarnya pengaruh yang<br />

diberikan kepada sel-sel sasaran setara dengan<br />

besarnya linear energy transfer (LET) jenis radiasi<br />

tersebut. LET adalah besarnya energi yang<br />

dilepaskan tiap satu satuan jarak lintasan yang<br />

dilalui. Pembuluh darah dapat dilebarkan dengan<br />

memasukkan semacam balon yang dapat<br />

digelembungkan ke daerah penyempitan dengan<br />

catheter melalui femoral artery. Untuk mencegah<br />

terjadinya penyempitan kembali (restenosis),<br />

dipasang pula “penyangga” pembuluh darah yang<br />

dinamakan coronary stent setelah pembuluh darah<br />

dilebarkan.<br />

B2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 2. Jenis radioisotop untuk pencegahan restenosis<br />

(Awaludin, 2008)<br />

HASIL dan PEMBAHASAN<br />

Dari hasil pengukuran bahan yang diiradiasi,<br />

dan sesuai tabel 1, dapat diketahui bahwa radiasi γ<br />

dengan energi 0,633 MeV dan 0,317 MeV tersebut<br />

merupakan radiasi dari radioisotop 192 Ir dan 188 Re.<br />

Di dalam tabel tersebut disajikan radiasi gamma<br />

yang dipancarkan oleh radioisotop tersebut beserta<br />

intensitas untuk masing-masing radiasi gamma. Di<br />

dalam tabel tersebut disajikan pula waktu paruh<br />

untuk masing-masing radioisotop. Dari luas area<br />

untuk masing-masing energi, intensitas radiasi<br />

gamma dan nilai efisiensi penyerapan radiasi gamma<br />

oleh detektor pada energi tersebut selanjutnya<br />

dihitung besarnya radioaktivitas untuk masingmasing<br />

radioisotop. Radioaktivitas yang didapatkan<br />

dibagi dengan berat material dan diperoleh<br />

radioaktivitas 192 Ir dan 188 Re untuk tiap satuan berat.<br />

Radioisotop 192 Ir memiliki radioaktivitas sebesar 179<br />

Bq/mg, setelah dilakukan implantasi, maka<br />

dihasilkan 194 Ir dengan radioaktivitas 0,337 Bq dan<br />

meluruh dengan cepat.<br />

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa hampir seluruh<br />

radioisotop yang dikembangkan merupakan<br />

pemancar β, baik berupa pemancar β murni maupun<br />

pemancar β dan γ.<br />

Untuk pemasangan stent radioaktif, dilakukan<br />

simulasi pada pembuluh darah, kemudian dianalisis.<br />

Dari simulasi itu, diperoleh hasil bahwa metode<br />

stent radioaktif menawarkan kelebihan berupa<br />

kemudahan dalam pemanfaatannya karena cara<br />

penggunaan tidak berbeda dengan penanganan<br />

menggunakan stent selama ini. Perbedaannya hanya<br />

terletak pada stent yang digunakan.<br />

Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sumber<br />

radiasi yang digunakan untuk terapi ini diproduksi<br />

menggunakan dua cara, yaitu aktivasi neutron (n,γ)<br />

dan pemisahan hasil belah (fisi) dari 235U. Pada<br />

aktivasi neutron, tantangan dalam produksi berupa<br />

rendahnya radioaktivitas tiap satuan berat<br />

(radioaktivitas jenis). Peningkatan radioaktivitas<br />

jenis dapat dilakukan menggunakan beam neutron<br />

dengan fluks yang tinggi, pemanjangan waktu<br />

iradiasi sampai mendekati radioaktivitas jenuh dan<br />

Gambar 2. Perubahan Energi Keseluruhan Untuk Ir-192<br />

(Wadsley, 2003)<br />

penggunaan sasaran dengan kandungan isotop<br />

sasaran yang diperkaya. Tantangan lainnya berupa<br />

pemilihan bentuk kimia sasaran yang tepat. Ketika<br />

proses iradiasi di dalam reaktor, temperatur sasaran<br />

akan naik. Oleh karenanya bentuk kimia sasaran<br />

harus tahan terhadap suhu tinggi. Alasan lain<br />

pemilihan bentuk kimia sasaran adalah untuk<br />

menekan sekecil mungkin munculnya pengotor<br />

radioisotop dari atom lain yang menyertainya.<br />

Bentuk kimia yang tepat biasanya berbentuk logam<br />

atau oksida. Dari metode produksi ini dapat<br />

diperoleh radioisotop dalam bentuk pelet atau<br />

larutan.<br />

Meskipun stent tersusun dari beberapa unsur,<br />

hanya beberapa jenis radioisotop yang akan<br />

diperoleh dengan besar radioaktivitas dapat<br />

dimanfaatkan. Beberapa radioisotop memiliki<br />

radioaktivitas sangat kecil karena tampang lintang<br />

reaksi inti yang kecil, kelimpahan isotop sasaran di<br />

alam yang rendah dan waktu paruh yang panjang.<br />

Beberapa radioisotop memiliki waktu paruh sangat<br />

pendek sehingga radioaktivitas mengecil dan dapat<br />

diabaikan dalam waktu singkat (beberapa hari).<br />

Akhirnya hanya ada 3 jenis radioisotop dengan<br />

radioaktivitas yang dapat dimanfaatkan di dalam<br />

stent yaitu 32 P, 51 Cr dan 59 Fe. Radiasi dari ketiga<br />

radioisotop ini diharapkan dapat digunakan untuk<br />

menekan pertumbuhan sel disekitar pemasangan<br />

stent.<br />

Dengan metode iradiasi, jenis radioisotop dapat<br />

pula diatur melalui penambahan unsur sasaran<br />

radioisotop yang dikehendaki ke dalam bahan<br />

penyusun stent. Penambahan dapat dilakukan<br />

dengan melapiskan unsur sasaran pada stent. Stent<br />

radioaktif yang diperoleh dengan cara ini<br />

memerlukan uji kerontokan untuk memastikan<br />

bahwa radioisotop yang terbentuk tidak mudah<br />

lepas. Hal ini untuk menghindari kemungkinan<br />

terlepasnya radioisotop ke dalam darah sehingga<br />

beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.<br />

KESIMPULAN<br />

Hasil studi penelitian menunjukkan bahwa<br />

radioisotop Ir-192 dan Re-188 memiliki peluang<br />

untuk dikembangkan lebih lanjut dalam upaya<br />

B3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

pencegahan terjadinya restenosis pada pembuluh<br />

darah. Beberapa jenis radioisotop lainnya, terutama<br />

radioisotop pemancar β bisa dikembangkan untuk<br />

dimanfaatkan. Radiosiotop tersebut digunakan<br />

dalam bentuk pelet, larutan maupun stent radioaktif.<br />

Hasil yang telah dicapai saat ini memberikan<br />

peluang untuk dikembangkan lebih lanjut di<br />

Indonesia. Penulis berharap bahwa tulisan singkat<br />

ini dapat memberikan sumbang sih dalam memacu<br />

berbagai pihak untuk pengembangan lebih lanjut.<br />

UCAPAN TERIMAKASIH<br />

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya<br />

kepada semua pihak yang mendukung<br />

menyelesaikan penulisan paper ini, khususnya Danie<br />

Dwi Setyawan, Bapak Johan A E Noor, serta tim<br />

Radioterapi <strong>Fisika</strong> Universitas Brawijaya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Alatas, Zubaidah. 1999. Aplikasi Teknik Nuklir<br />

Bagi Kesehatan. Pusat Radioisotop dan<br />

Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />

Serpong<br />

Awaludin, Rohadi. 2008. Pemanfaatan<br />

Radioisotop untuk mencegah restenosis<br />

pada jantung. Pusat Radioisotop dan<br />

Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />

Serpong<br />

Awaludin, Rohadi. 2007. Iradiasi Neutron Pada<br />

Bahan SS316 Untuk Pembuatan<br />

Endovascular Stent. Pusat Radioisotop dan<br />

Radiofarmaka – BATAN, Kawasan Puspitek.<br />

Serpong<br />

Budiyono, Tris. . Brachytherapy Intracavitair<br />

Nasofarings Menggunakan mHDR Ir-<br />

192di RS Dr. Sardjito. Sub Instalasi<br />

Radioterapi RS. Dr. Sardjito. Yogyakarta<br />

Wadsley, J. C. et al. 2003. Iridium-192<br />

implantation for T1 and T2a carcinoma of<br />

the tongue and floor of mouth:<br />

retrospective study of the results of<br />

treatment at the Royal Berkshire Hospital.<br />

Berkshire Cancer Centre and 2 Department of<br />

Oral Surgery, Royal Berkshire Hospital,<br />

Reading. United Kingdom<br />

Terk, D Mitchell. 2007. Brachytherapy for<br />

prostate cancer. Florida Center for Prostate<br />

Care, Jacksonville<br />

Setyawan, Danie Dwi. 2007. Implantasi Ion<br />

Elemen reaktif Yttrium dan Cerium Pada<br />

Material Suhu Tinggi FeAl Untuk<br />

Ketahanan Sifat Oksidasi. Jurusan <strong>Fisika</strong><br />

UB. Malang<br />

Watanabe, S. 1999. Production of Radioactive<br />

Endovascular Stents by Implantation of<br />

133Xe Ions. Japan Atomic Energy Research<br />

Institute.<br />

Watanabe S. 1999. Research Activities. Japan<br />

Atomic Energy Research Institute.<br />

B4


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Study On The Relationship Between Sunspot Area And Flare Occurrences<br />

To Support Flare Prediction<br />

Bachtiar Anwar<br />

Division of Solar Physics and Space Environment<br />

Center for Utilization of Space Science<br />

National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />

Jl. Dr. Djunjunan 133, Bandung 40173<br />

E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />

Abstract<br />

Sunspot group is an intersection of magnetic flux tube with the photosphere that emerges from beneath of the<br />

solar surface. Sunspot group evolves from a tiny spot then gradually becomes larger and larger to reach a peak in<br />

the area. The number of spots in this sunspot groups tends to increase accordingly. After the peak phase is<br />

achieved, the sunspot group then enters a decaying phase where the area and its spot number decrease gradually<br />

and disappear. An increase in the sunspot area means that the magnetic energy increases as the volume of<br />

magnetic flux tube in the corona becomes larger. A large sunspot group has a large magnetic energy that<br />

eventually can be released as a flare. An increase in number of spots within the sunspot group can be thought as<br />

the increase of the complexity of the magnetic configuration. The possibility toward instability of magnetic<br />

system therefore becomes high. We have utilized data of flare lists and summary of active region from NOAA to<br />

study the relationship between sunspot areas and flare occurrences. We conclude that a sudden increase in area<br />

and the number of spots may trigger the occurrence of a flare.<br />

Key words: sunspot group, flare, sunspot area, sunspot number, magnetic type<br />

INTRODUCTION<br />

Sunspot is an intersection of magnetic flux tube<br />

with the photosphere which produces a cooling<br />

effect to cause darker than surrounding photosphere.<br />

Sunspot appears as a single spot of unipolar and<br />

gradually increases in area and the number of spots<br />

in sunspot group to form bipolar of magnetic<br />

configuration. Sunspot group may survive in several<br />

days or as long as several solar rotations. An intense<br />

magnetic flux emergence during short-term period<br />

(several days) is expected to have a high flaring<br />

activity (producing M or X-class flares) compared to<br />

sunspot group which evolves gradually. Flare<br />

accompanied with a coronal mass ejection may<br />

disturb the Earth’s space environment (Anwar, 2010;<br />

Anwar, 2009a; Anwar, 2009b; Anwar, 2009c). This<br />

further may cause damages to space-based and<br />

ground-based technologies as well as threat the<br />

human life (Bothmer and Daglis, 2007; Lanzerotti,<br />

2001).<br />

It has been known that the activity in sunspot<br />

group is related to complexity of the magnetic<br />

configuration. Number of spots in an active region<br />

can be used as an indication of the complexity. More<br />

spots mean more number of pair of bipolar in<br />

sunspot group. Thus, the possibility of interaction of<br />

magnetic loops of bipolar sunspot becomes higher.<br />

This is related to the triggering mechanism in<br />

sunspot that leads to the release of magnetic energy<br />

suddenly as solar flares (Setiahadi, 2005).<br />

The area of sunspot is related to the total of<br />

magnetic energy. Large sunspot has magnetic energy<br />

greater than small sunspot. Combining with the<br />

number of spots inside sunspot group, the flaring<br />

activity can be expected to be high for sunspot group<br />

with large in area and number of spots. This kind of<br />

sunspot should be monitored continuously in order<br />

to forecast the occurrence of flares (Anwar, 2008;<br />

Anwar, 2009a; Setiahadi et al., 2006).<br />

Section 2 describes observation data used in this<br />

work, while method and data analysis are given in<br />

section 3. In section 4, the results and discussions<br />

will be explained. Finally, section 5 gives summary<br />

of the work.<br />

OBSERVATION DATA<br />

This work uses solar data compiled by NOAA<br />

known as Join USAF/NOA Solar Region Summary.<br />

This summary of solar observation provides<br />

information of solar activity in daily basis as shown<br />

in Figure 1. The data contains active region number<br />

(NMBR), location in visible disk (LOCATION),<br />

longitude in the Carrington system (LO), area of<br />

spots in millionths of the visible hemisphere<br />

(AREA), Spot configuration in the McIntosh system<br />

(McI), Length of spot group in degrees (LL),<br />

number of spots (NN) and magnetic configuration<br />

(MAG TYPE). Furthermore, magnetic configuration<br />

of the spots based on the Mt. Wilson system:<br />

ALPHA = spots of only one magnetic polarity<br />

BETA = spots of both polarities, separated.<br />

B5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

GAMMA = spots of both polarities,<br />

intermingled.<br />

DELTA = spots of both polarities in a single<br />

penumbra.<br />

Figure 2 shows solar photosphere from<br />

SOHO/MDI (Michelson Doppler Imager) on<br />

January 10, 2001(left) along with solar active region<br />

map from Mees Observatory, Hawaii University<br />

(right). The map was produced based on<br />

USAF/NOAA Solar Region Summary.<br />

Figure 1. List of active regions based on observation in January 9, 2000.<br />

Figure 2. Images taken by SOHO/MDI Continuum (left) and magnetogram (right) on January 10, 2000, showing active region NOAA 8824<br />

(box).<br />

Figure 3. Images taken by SOHO/EIT195Å on January 10 and 12, 2000 show the solar corona. Active region (sunspot group) is bright<br />

regions, while coronal holes are dark. Active region NOAA 8824 is shown by a box.<br />

METHODS AND DATA PROCESSING<br />

In order to study the relationship between<br />

sunspot area and the occurrence of flares, the<br />

following steps have been performed:<br />

1. Compile flares data, and solar region<br />

summary from NOAA database, and<br />

images from SOHO spacecraft.<br />

2. Construct database system related to flare<br />

occurrences based on NOAA flare event<br />

list.<br />

B6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

3. Search for X-ray flare for a sunspot group<br />

based on NOAA number<br />

4. Construct scripts in Interactive Data<br />

Language to read solar region summary for<br />

one year data.<br />

5. Search for NOAA number from solar<br />

region summary to extract information on<br />

active region.<br />

6. Plot the area, length, number of sunspots<br />

and magnetic types<br />

7. Conclude the relationship between sunspot<br />

areas and flare occurrences.<br />

For a case study, we selected two active regions<br />

NOAA 8824. The first active region showed an<br />

evolution that did not produce large flare of X-class.<br />

It is important to study their evolutions in area,<br />

length in longitude, number of spots within the<br />

active region, magnetic type as well as their<br />

relationship with the occurrence of flares in active<br />

regions. Flare of C-class represents flares that<br />

produce X-ray flux in between 10 -6 -10 -5 watt/m 2 at<br />

the Earth’s orbit. The X-ray flux of M-class flare is<br />

10 -5 -10 -4 watt/m 2 , while the X-class flare produces<br />

X-ray flux greater than 10 -4 watt/m 2 .<br />

RESULTS AND DISCUSSIONS<br />

In this section we provide the results and<br />

discussions. Figures 2 and 3 show active region<br />

NOAA 8824 in the beginning of evolution where it<br />

was seen as a small spot in the photospheric image<br />

(Figure 1, left), but it was an extended feature seen<br />

in magnetogram (Figure 1, right). Meanwhile, the<br />

solar corona above the region revealed a small bright<br />

based on EIT image taken on January 10 and 12,<br />

2000 (Figure 3). This active region seems to have<br />

connection in coronal loops with an active region<br />

located at the eastern part.<br />

Figure 3 (top to bottom panel) shows evolution<br />

of active region NOAA 8824 in area, the length,<br />

number of spots and magnetic type. The active<br />

region represents a gradual evolution as the changes<br />

in sunspot area. The peak of area reached to 400<br />

millions of visible solar hemisphere (MSH) during<br />

four day period since January 10, 2000. The region<br />

was relatively small sunspot. At the same time, the<br />

length of sunspot in longitude direction changed<br />

from 10 o to 15 o . A significant change was occurred<br />

in number of spots from less than 10 on January 10<br />

and evolved to 70 on January 16. There was an<br />

increase in number of spots about 10 each day. This<br />

means that there was a rapid magnetic flux<br />

emergence during the period which caused a<br />

frequent flare occurrence (see Figure 4).<br />

As much as 12 C and 2 M class flares have been<br />

observed. A relatively small sunspot area of NOAA<br />

8824 caused the small in magnetic energy so that<br />

most of flares were C-class. After the peak of area,<br />

the sunspot area decreased gradually to form a tiny<br />

spot in January 21, 2000. During the decrease<br />

period, one C and one M-class flare were occurred.<br />

Furthermore, most of flares were released during the<br />

sunspot having magnetic type of Beta or Beta-<br />

Gamma. The sunspot evolved to Beta-Gamma-Delta<br />

during January 13-15, 2000. This is a critical<br />

condition where two opposite polarities surrounded<br />

by the same penumbra. Even though, due to the area<br />

of sunspot and the change of number of spots were<br />

relatively small, only two flares of C-class were<br />

occurred.<br />

CONCLUDING REMARKS<br />

We have described the methods and data<br />

analysis for studying the relationship between<br />

sunspot area and other sunspot’s properties such as<br />

the length, number of spots and magnetic type, with<br />

the number of flares that occurred in active region<br />

NOAA 8824. There was a significant increase in the<br />

number of spots and area in January 10-12, 2000,<br />

which may cause instability in the magnetic<br />

configuration that leads to the release of flares. As<br />

much as 15 C and two M class flares have been<br />

observed during this period. The fact that most of<br />

flares were C-class as the area of sunspot was small.<br />

No significant flare was occurred during the decay<br />

of active region. Based on the results, sunspot group<br />

having small area can be predicted to have small<br />

flares.<br />

Acknowledgements<br />

The use of data from NOAA (Solar Region<br />

Summary and flare list) and SOHO is<br />

acknowledged. This work is series of researches<br />

dedicated to support space weather program at<br />

LAPAN.<br />

B7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 3. Evolution of active region NOAA 8824 during January 10 – 21, 2000.<br />

Figure 4. A comparison of sunspot area and number of flares that occurred during January 10 – 20, 2000. The numbers represent the flare<br />

occurrences in NOAA 8824. The arrows indicate three M-class flares have been occurred in those days. Other flares were C-class, and no X-<br />

class flares have been occurred<br />

B8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

REFERENCES<br />

Anwar, B. (2010) The Geoeffectiveness of Coronal<br />

Mass Ejections Related to M-Class Flare, in<br />

Proc. National Seminar in Mathematic<br />

Education, Sebelas Maret University, May 5,<br />

2010, Solo.<br />

Anwar, B. (2009c) Identifying the Source Region of<br />

Coronal Mass Ejection, Proc. National<br />

Seminar in Mathematics and Natural<br />

Sciences, Faculty of Mathematics and<br />

Natural Sciences, Satyawacana Christian<br />

University (UKSW), June 13, 2009, Salatiga.<br />

Anwar, B. (2009b) Automatic Detection of Coronal<br />

Mass Ejection, Proc. National Seminar in<br />

Mathematics and Natural Sciences, Faculty<br />

of Mathematics and Natural Sciences, 16<br />

May 2009, Yogyakarta State University,<br />

Yogyakarta.<br />

Anwar, B. (2009a) Monitoring the Sun for Space<br />

Weather, Proc. National Seminar in<br />

Education Mathematics (LSM XVII), 4 April<br />

2009, Faculty of Mathematics and Natural<br />

Sciences, Yogyakarta State University.<br />

Anwar, B. (2008) Development of Database System<br />

for Space Early Warning, Proc. National<br />

Seminar in Science and Technology II, 17-18<br />

November 2008, Lampung University, p.18.<br />

Bothmer, V. and Daglis, I.A. (2007) “Space<br />

Weather, Physics and Effects”, Springer-<br />

Praxis Publishing<br />

Lanzerotti, L.J. (2001) Space Weather Effects on<br />

Technologies, in “Space Weather”, Song, P.,<br />

Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds),<br />

Geophysical monograph, 125, p.11.<br />

Setiahadi, B. (2005) Problems of Equilibria and<br />

Instabilities on Solar Coronal Magnetic<br />

Fields and Its Evolution Towards Energetic<br />

Energy Liberation: Effect to Interplanetary<br />

Space, Proc. National Seminar in<br />

Mathematics, FMIPA UNDIP, E1., p.1.<br />

Setiahadi, B., Sakurai, T., Miyazaki, H., and Hiei, E.<br />

(2006) Research on Magnetohydrodynamic<br />

Transport Phenomena in Solar-Terrestrial<br />

Space at LAPAN Watukosek 2006, Proc.<br />

National Seminar in Space Science III, p. 17<br />

B9


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dosis Kulit pada Simulasi Penyinaran Radioterapi Pasien Karsinoma<br />

Nasofaring Menggunakan Radiasi Gamma Cobalt-60<br />

Dwi Seno K. Sihono 1 , Imanuddin Rahman 1 , Djawani S. Soejoko 1<br />

1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Indonesia<br />

Email: dwi.seno@ui.ac.id<br />

Abstrak<br />

Karsinoma nasofaring merupakan salah satu tumor ganas yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sampai saat<br />

ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Dengan simulasi<br />

penyinaran radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring, dosis permukaan dapat dihitung menggunakan TLD<br />

(Thermo Luminescent Dosimeter). Penyinaran dilakukan menggunakan radiasi gamma Cobalt-60, menggunakan<br />

fantom kepala dan leher, diradiasi dengan lapangan plan parallel 15 cm x 15 cm, SAD 80 cm, target pada<br />

midline dengan kedalaman 6,5 cm, dan dosis yang diberikan sebesar 2 Gy pada target. TLD diletakkan pada 9<br />

titik untuk daerah kepala dan 6 titik untuk daerah leher. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa dosis<br />

permukaan pada kepala berada pada range 40%-55% dosis target dan pada daerah leher diperoleh range 40%-<br />

50% dosis target. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam klinis, dalam hal ini dosis kulit pasien<br />

perlu diperhatikan karena dimungkinkan menerima dosis lebih tinggi 50% dari dosis target.<br />

Kata kunci : Dosis kulit, karsinoma nasofaring, fantom, Cobalt-60.<br />

Pendahuluan<br />

Karsinoma Nasofaring merupakan kanker<br />

bagian THT-KL (Telinga Hidung Tenggorokan-<br />

Kepala Leher) yang terjadi di selaput lendir daerah<br />

nasofaring. Nasofaring merupakan suatu rongga<br />

dengan dinding kaku di bagian atas, belakang dan<br />

lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring<br />

(Harry, 2002).<br />

Gambar 1. Bagian Nasofaring<br />

Sampai saat ini radioterapi masih memegang<br />

peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma<br />

nasofaring. Radioterapi karsinoma nasofaring<br />

dilakukan dengan radiasi eksterna, menggunakan<br />

pesawat teleterapi Cobalt-60 atau pesawat linier<br />

accelerator (linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker<br />

primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal<br />

serta pada daerah aliran getah bening leher atas,<br />

bawah serta klasikula.<br />

Berkas radiasi Cobalt-60 memiliki sifat buildup<br />

yang merupakan salah satu karakteristik berkas<br />

foton eksternal yang menyebabkan dosis kulit yang<br />

diterima relatif rendah. Sifat buildup tersebut<br />

memiliki beberapa keuntungan dalam radioterapi.<br />

Diantaranya dosis kulit relatif rendah, sehingga<br />

reaksi kulit pasien juga rendah. Efek demikian<br />

disebut “skin sparing”. Efek ini dapat hilang bila<br />

berkas foton yang jatuh pada kulit pasien<br />

terkontaminasi oleh elektron. Sumber elektron dapat<br />

berasal dari:<br />

• Interaksi foton dengan udara<br />

• Interaksi foton dengan kolimator<br />

• Interaksi foton dengan pembentuk lapangan<br />

radiasi, misalnya blok Pb<br />

• Interaksi foton dengan tempat pembentuk<br />

lapangan radiasi (tray).<br />

• Elektron dari sumber Co-60.<br />

Secara umum bila energi foton naik, efek skin<br />

sparing dan kedalaman buildup meningkat.<br />

Lapangan radiasi kecil akan memperbesar efek skin<br />

sparing, sebaliknya lapangan radiasi besar akan<br />

menurunkan efek skin sparing.<br />

Sistem dosimetri yang dapat digunakan untuk<br />

menentukan besarnya dosis kulit diantaranya adalah<br />

Thermoluminescent Dosimeter (TLD). TLD sering<br />

digunakan dalam pengukuran dosis kulit karena tipis<br />

dan mudah digunakan. Dosimeter termoluminisensi<br />

(TLD) LiF, dipilih karena nomor atom efektifnya<br />

(Z eff = 8,1), cukup ekivalen dengan Z efektif jaringan<br />

tubuh manusia yang nilainya 7,4 (Gunnila, 1992).<br />

Selain itu TLD LiF mempunyai pemudaran<br />

(fading) yang rendah, kedapat-ulangan yang tinggi,<br />

sensitifitas atau rentang dosis yang luas serta dapat<br />

digunakan untuk energi tinggi, sehingga<br />

memungkinkan digunakan untuk mengukur dosis<br />

pada radioterapi (Peter, et al, 1997).<br />

Tujuan penelitian ini adalah :<br />

B10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

1. Mengetahui besarnya dosis di permukaan<br />

kulit daerah penyinaran karsinoma<br />

nasofaring dengan pesawat teleterapi Co-60<br />

2. Mempelajari dosis kulit disekitar daerah<br />

kepala dan leher untuk terapi karsinoma<br />

nasofaring menggunakan pesawat teleterapi<br />

Co-60<br />

Metode Eksperimen<br />

Alat dan Bahan<br />

Seluruh pengambilan data dilakukan pada<br />

bagian Instalasi Radioterapi Rumah Sakit<br />

Persahabatan Jakarta. Penelitian ini menggunakan<br />

pesawat terapi Cobalt-60 merk Shinva (China),<br />

fantom kepala dan leher milik Jurusan Teknik<br />

Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes II<br />

Jakarta (Gambar 2), serta TLD 100 LiF dengan<br />

dimensi 3,175 mm x 3,175 mm x 0,889 mm yang<br />

digunakan untuk mengukur dosis kulit. Pembacaan<br />

hasil TLD yang sudah diradiasi dilakukan di<br />

PTKMR BATAN (Pusat Teknologi Keselamatan<br />

dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Atom<br />

Nasional) Pasar Jumat Jakarta.<br />

Untuk mendapatkan faktor kalibrasi TLD<br />

terhadap radiasi gamma Co-60, dilakukan<br />

pengukuran keluaran pesawat Cobalt-60<br />

menggunakan fantom air. Selain itu, digunakan juga<br />

fantom acrylic dengan ketebalan 5 cm untuk<br />

mengetahui tanggapan TLD. Kalibrasi menggunakan<br />

dosimeter PTW UNIDOS yang terdiri dari<br />

elektrometer dan detektor bilik ionisasi jenis farmer<br />

TM 30013-0821 dan jenis markus M 23343-3768.<br />

Pengukuran bertujuan untuk membandingkan<br />

tanggapan bilik ionisasi markus dengan bilik ionisasi<br />

farmer.<br />

Untuk menentukan faktor kalibrasi TLD<br />

digunakan bilik ionisasi markus yang diletakkan<br />

pada permukaan fantom acrylic. TLD yang dipakai<br />

dalam penelitian ini memiliki respon yang seragam.<br />

TLD pada permukaan fantom acrylic disinari dengan<br />

parameter penyinaran yang sama dengan penyinaran<br />

bilik ionisasi markus. Hasil bacaan pada TLD<br />

kemudian dibandingkan dengan bacaan pada<br />

Ionization Chamber (jenis farmer dan markus) untuk<br />

memperoleh faktor kalibrasi.<br />

Pengukuran yang dilakukan merupakan simulasi<br />

radioterapi kanker nasofaring. Kondisi pengukuran<br />

pada eksperimen ini adalah SAD 80 cm,<br />

menggunakan lapangan plan paralel dengan luas<br />

lapangan 15x15 cm 2 , kedalaman isocenter 6,5 cm<br />

dan dosis target ditentukan sebesar 1 Gy setiap<br />

lapangan. TLD diletakkan pada 30 titik dalam<br />

lapangan radiasi yang tersebar disekitar kepala dan<br />

leher.<br />

TLD diletakkan 9 titik di daerah kepala yaitu di<br />

daerah bagian belakang telinga, bagian bawah<br />

telinga, pipi /belakang hidung, bawah tengkorak,<br />

rahang, pipi/belakang mulut, pangkal leher, dagu,<br />

dan bawah rahang yang merupakan pusat lapangan<br />

radiasi. Sedangkan di daerah leher TLD diletakkan<br />

di 6 titik yaitu daerah 2 titik di leher bagian atas, 2<br />

titik di daerah leher bagian bawah serta tiroid.<br />

TLD pada bagian kanan fantom (No. 1 – 15)<br />

mendapatkan dua kali penyinaran yaitu ketika sudut<br />

gantry 90 o dan 270 o . Dengan demikian TLD tersebut<br />

menerima dosis total, yaitu penjumlahan dosis<br />

entrance (entrance dose) dan dosis keluar (exit<br />

dose). Adapun TLD yang terletak di bagian kiri<br />

fantom (No. 16-30), mendapat satu kali penyinaran<br />

yaitu bacaan dosis entrance ketika sudut gantry 90 o .<br />

Metode Eksperimen<br />

Gambar 2. Fantom kepala dan leher<br />

Eksperimen dilakukan beberapa tahap. Tahap<br />

pertama adalah kalibrasi pesawat Cobalt-60 dan<br />

TLD, kemudian dilanjutkan dengan penyinaran TLD<br />

pada fantom kepala dan leher menggunakan pesawat<br />

Cobalt-60.<br />

Pengukuran kalibrasi keluaran pesawat Cobalt-<br />

60 menggunakan fantom air dan bilik ionisasi farmer<br />

dengan kondisi penyinaran: luas lapangan 10 x 10<br />

cm 2 , jarak sumber ke permukaan fantom (SSD) = 80<br />

cm, kedalaman bilik ionisasi (d) = 5 cm, waktu<br />

penyinaran selama 1 menit. Selain itu juga dilakukan<br />

pengukuran dengan parameter penyinaran yang<br />

sama menggunakan bilik ionisasi jenis Markus.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 3. Skema letak TLD pada penyinaran simulasi radioterapi<br />

ca nasofaring.<br />

Hasil Eksperimen<br />

Kalibrasi Pesawat Cobalt-60<br />

Hasil rata-rata pengukuran keluaran pesawat<br />

terapi Cobalt-60 dengan bilik ionisasi farmer (N D,w<br />

B11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

=5,284.10 9 cGy/C) dengan kondisi SSD 80 cm,<br />

lapangan 10 cm x 10 cm, waktu penyinaran selama 1<br />

menit, dan kedalaman 5 cm adalah 25,16 . 10 -9 C/<br />

menit. Berdasarkan data pengukuran diperoleh<br />

keluaran pesawat dengan perhitungan:<br />

D w = M N D,w<br />

= 25,16 . 10 -9 C/menit x 5,284 . 10 9 cGy/C<br />

= 132,94 cGy/menit (1)<br />

Nilai PDD (Percentage Depth Dose) pada<br />

kedalaman 5 cm dengan kondisi penyinaran di atas<br />

adalah 78,8%. Dosis pada kedalaman maksimum<br />

(d max ) dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai<br />

berikut:<br />

100<br />

D max = x132,94<br />

cGy / menit = 168,7 Gy / menit (2)<br />

78,8<br />

Data pengukuran menunjukkan bahwa<br />

penyinaran selama 1 menit akan mendapatkan dosis<br />

sebesar 168,7 cGy pada kedalaman maksimum.<br />

Dengan demikian, untuk mendapatkan dosis sebesar<br />

1 Gy diperlukan waktu 0,58 menit. Perhitungannya<br />

sebagai berikut:<br />

t = 1 Gy / 1,687 Gy.menit -1 = 0,58 menit (3)<br />

Untuk memperoleh faktor perbandingan antara<br />

dosis permukaan dengan dosis pada kedalaman 5<br />

cm telah dilakukan pengukuran dengan bilik ionisasi<br />

markus. Hasil pengukuran menunjukkan<br />

perbandingan antara dosis permukaan dengan dosis<br />

pada kedalaman 5 cm adalah sebagai berikut:<br />

1,464nC 0, 778Gy<br />

= <br />

0,837nC x 0,778<br />

Dx = <br />

0,837nC<br />

Dx<br />

1,464 nC<br />

D x = 0,445 Gy (4)<br />

Kalibrasi TLD<br />

Jumlah TLD yang dipakai dalam penelitian ini<br />

sebanyak 90 keping dan telah diteliti memiliki<br />

respons mendekati homogen. Untuk keperluan<br />

kalibrasi diambil secara random 3 keping TLD. Dari<br />

pengukuran tersebut diperoleh faktor kalibrasi yang<br />

dapat diketahui dengan persamaan:<br />

Dx<br />

F kTLD = (5)<br />

RTLD<br />

dimana:<br />

F KTLD = Faktor kalibrasi TLD (Gy/nC).<br />

= Dosis yang didapat oleh bilik ionisasi (Gy).<br />

D x<br />

R TLD<br />

= Bacaan TLD di permukaan (nC).<br />

Hasil bacaan TLD rata-rata adalah 1414,60 nC,<br />

sehingga faktor kalibrasi rata-rata yang didapatkan<br />

dari hasil pengukuran ini sebesar 3,15 x 10 -4 Gy/nC.<br />

Pengukuran Dosis Kulit<br />

Hasil pengukuran dosis kulit dapat dilihat pada<br />

Gambar 4 untuk bagian kepala dan Gambar 5 untuk<br />

bagian leher.<br />

Gambar 4. Dosis Kulit Bagian Kepala dengan Dosis Target 1 Gy<br />

Dosis (Gy)<br />

1.400<br />

1.200<br />

1.000<br />

0.800<br />

0.600<br />

0.400<br />

0.200<br />

0.000<br />

9 10 11 12 13 14 15 16<br />

Nomor TLD<br />

Dosis Total Dosis Entrance Dosis Keluar<br />

Gambar 5. Dosis Kulit Bagian Leher dengan Dosis Target 1 Gy<br />

Sedangkan rata rata perbandingan dosis kulit pada<br />

kepala dan leher secara keseluruhan dapat dilihat<br />

dalam Tabel 1<br />

Tabel 1. Perbandingan dosis total, entrance dan exit<br />

pada daerah kepala dan leher<br />

Daerah<br />

Dosis Kulit (Gy)<br />

Total Entrance Exit<br />

Kepala 0,93 0,57 0,37<br />

Leher 0,92 0,49 0,43<br />

Pembahasan<br />

Dosimetri radioterapi kanker nasofaring sangat<br />

kompleks. Pertama, berkas radiasi melewati kepala<br />

dan leher dengan separasi berbeda. Kedua, radiasi<br />

jatuh pada permukaan yang tidak rata dan sebagian<br />

miring. Ketiga, berkas radiasi melewati medium<br />

yang heterogen, yang terdiri dari jaringan lunak,<br />

tulang, dan rongga udara. Karakteristik pasien yang<br />

demikian mengakibatkan kalkulasi dosis pada target<br />

menjadi tidak mudah.<br />

Pelaksanaan radioterapi pasien kanker<br />

nasofaring pada umumnya menggunakan 2 lapangan<br />

lateral plan paralel dengan pembebanan sama.<br />

Daerah lapangan radiasi meliputi sebagian daerah<br />

kepala dan sebagian daerah leher yang keduanya<br />

mempunyai ketebalan yang berbeda. Perbedaan<br />

ketebalan kepala dan leher menyebabkan kesulitan<br />

untuk memperoleh informasi dosis yang di terima<br />

oleh kulit.<br />

B12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pada radioterapi karsinoma nasofaring, berkas<br />

radiasi yang jatuh tidak tegak lurus pada permukaan<br />

kulit, terutama pada daerah leher, menyebabkan<br />

dosis kulit pada lapangan radiasi tidak homogen.<br />

Sehingga daerah leher akan menerima dosis kulit<br />

relatif tinggi, sehingga mengalami pengurangan efek<br />

skin sparing.<br />

Radioterapi dengan teknik 2 lapangan plan<br />

paralel mengharapkan distribusi dosis sepanjang<br />

berkas mendekati homogen. Hasil pengukuran<br />

dalam penelitian ini menunjukkan dosis kulit total<br />

pada setiap titik di kepala, memiliki nilai yang tidak<br />

jauh berbeda dalam rentang 0,8-1,1 Gy apabila<br />

tumor pada midline menerima dosis 2 Gy.<br />

Sedangkan dosis kulit total pada leher berkisar<br />

antara 0,8-0,99 Gy apabila tumor pada midline<br />

menerima dosis 2 Gy.<br />

Permukaan kulit menerima dosis radiasi dari<br />

berkas radiasi yang datang (entrance ) dan keluar<br />

(exit). Di atas telah disebutkan bahwa TLD yang<br />

diletakkan pada sebelah kanan fantom (nomor 1-15)<br />

mendapatkan dua kali penyinaran, yaitu dosis<br />

entrance dan dosis exit. Sedangkan TLD yang<br />

diletakkan di sebelah kiri fantom (nomor 16-30)<br />

mendapatkan satu kali penyinaran yaitu dosis<br />

entrance . Besarnya dosis exit dapat dikalkulasi<br />

dengan persamaan berikut.<br />

Dosis kulit exit = dosis kulit total – dosis kulit<br />

entrance (6)<br />

Dapat dilihat dalam Gambar 4, dosis total<br />

terendah (0,8 Gy) pada daerah kepala terjadi pada<br />

daerah pipi (TLD no 3). Titik ini terletak relatif datar<br />

yang tegak lurus dengan sumbu utama. Dosis total<br />

tertinggi (1,1 Gy) diterima oleh titik di bawah<br />

tengkorak (TLD no 7). Hasil ini kemungkinan<br />

disebabkan titik tersebut terletak pada permukaan<br />

relatif miring terhadap sumbu utama berkas,<br />

sehingga menurunkan efek skin sparing. Dalam<br />

gambar 4, dapat dilihat bahwa dosis exit lebih kecil<br />

dari dosis entrance di daerah kepala. Hasil ini<br />

disebabkan salah satu karakteristik dari berkas foton<br />

eksternal adalah terjadinya penyerapan dosis radiasi<br />

oleh kepala.<br />

Untuk daerah leher, dapat dilihat dalam<br />

Gambar 5 dosis terendah (0,8 Gy) diterima oleh<br />

leher bagian bawah (no 15). Hasil ini kemungkinan<br />

disebabkan titik tersebut terletak pada daerah yang<br />

relatif datar dengan sumbu utama. Sedangkan dosis<br />

tertinggi (0,99 Gy) terletak pada leher bagian atas /<br />

bawah tengkorak (no 10). Hasil ini kemungkinan<br />

disebabkan titik tersebut terletak pada permukaan<br />

yang relatif miring terhadap sumbu utama berkas,<br />

sehingga menurunkan efek skin sparing.<br />

Dapat dilihat dalam Gambar 5, dosis exit pada<br />

leher relative lebih rendah dibanding dengan dosis<br />

entrance terutama pada bagian tengah dan atas leher.<br />

Hasil ini kemungkinan disebabkan terjadinya<br />

penyerapan radiasi foton oleh medium leher. Pada<br />

bagian bawah leher dosis entrance hampir sama<br />

dengan dosis exit, dan keduanya lebih rendah dari<br />

dosis yang diterima oleh bagian tengah dan atas.<br />

Perbedaan ini dimungkinkan karena bagian bawah<br />

leher relatif lebih jauh dari isocenter.<br />

Perbandingan dosis kulit pada kepala dan dosis<br />

kulit pada leher, dapat dilihat dalam Tabel 1. Daerah<br />

kepala termasuk pusat lapangan, menerima dosis<br />

kulit total lebih besar dibandingkan dengan dosis<br />

total pada daerah leher. Hasil ini perlu diperhatikan<br />

karena pada radiasi kanker nasofaring, daerah leher<br />

mengalami kerusakan lebih parah bila dibandingkan<br />

dengan kerusakan pada kepala (Clarkson, et al,<br />

1948). Hasil ini kemungkinan disebabkan<br />

karakteristik fantom yang digunakan pada<br />

percobaan. Permukaan daerah kepala pada fantom<br />

yang digunakan, memiliki kemiringan yang relatif<br />

lebih besar jika dibandingkan dengan permukaan<br />

leher. Efek skin sparing menurun bila berkas foton<br />

jatuh pada kulit tidak tegak lurus. Sehingga pada<br />

percobaan ini, efek skin sparing pada daerah kepala<br />

lebih kecil dibandingkan daerah leher. Hasil ini juga<br />

disebabkan volum medium penghambur pada daerah<br />

kepala lebih besar dibandingkan daerah leher.<br />

Sehingga efek skin sparing pada daerah kepala lebih<br />

kecil dibandingkan daerah leher. Daerah leher<br />

menerima dosis exit lebih besar dibandingkan daerah<br />

kepala, disebabkan karena leher lebih tipis jika<br />

dibandingkan dengan daerah kepala. Sehingga<br />

penyerapan radiasi dalam kepala lebih besar dengan<br />

yang terjadi pada leher. Dosis tinggi dapat pula<br />

disebabkan oleh respons TLD yang berubah karena<br />

menerima radiasi yang tidak tegak lurus.<br />

Persentase dosis pada permukaan kulit atau<br />

yang disebut dosis entrance pada radiasi pesawat<br />

Cobalt-60 sekitar 40% (Harold, et al, 1983). Data<br />

yang diperoleh pada pengukuran memperlihatkan<br />

dosis entrance pada kepala sekitar 57% atau lebih<br />

tinggi sampai sekitar 29%, sedangkan pada leher<br />

diperoleh dosis kulit entrance sebesar 49% yang<br />

relatif masih sedikit lebih tinggi 18% jika<br />

dibandingkan dengan literatur. Perbedaan ini<br />

disebabkan permukaan kepala dan leher memiliki<br />

kemiringan yang menyebabkan penurunan efek skin<br />

sparing, sedangkan pada literatur pengukuran<br />

dilakukan menggunakan fantom air yang yang<br />

memiliki permukaan datar.<br />

Kesimpulan<br />

Pada simulasi perlakuan radioterapi kanker<br />

nasofaring menggunakan radiasi gamma Cobalt-60,<br />

ini diperoleh hasil<br />

• Dosis kulit daerah kepala berada dalam rentang<br />

40%-55% dosis target.<br />

• Dosis kulit daerah leher dalam rentang 40% -<br />

50% dosis target.<br />

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan<br />

dalam klinis, dalam hal ini dosis kulit pasien perlu<br />

diperhatikan karena dimungkinkan menerima dosis<br />

lebih tinggi 50% dari dosis target.<br />

B13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Gunnila C. Bentel (1992), Radiation Therapy<br />

Planning, McGraw-Hill Company, USA.<br />

Harry A. Asroel (2002), Penatalaksanaan<br />

Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring, USU<br />

digital library<br />

Harold Elford Johns, John Robert Cuningham<br />

(1983), The Physics of Radiology, Charles C<br />

Mavis Emmet (1964), The Calculation of<br />

Distribution for Recatangular X and Gamma<br />

Ray- Fields, British Journal of Radiology 37,<br />

444-457.<br />

Nasukha, Suseno MS, Santoso, Jumadi (2002),<br />

Dosimetri In-Vivo Pada Pasien Kanker<br />

Payudara dan Nasofaring, Kontribusi <strong>Fisika</strong><br />

Indonesia Vol. 13, 175-178.<br />

Thomas Publisher., USA. Peter Met Calfe, Thomas Kron, Peter Hoban (1997),<br />

The Physics of Radiotherapy X- ray and<br />

Electron. Medical Physics Publishing,<br />

Madison, Wisconsin, USA.<br />

Herman Cember (1987), Introduction to Health<br />

Physics, Pergamont Press.<br />

J.R Clarkson, R.J.T.Herbert (1948), Surface and<br />

Emergent Dose in Radiotheraphy, British<br />

Journal of Radiology 21, 494-500<br />

B14


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Use of Sugar in EPR Emergency Personal Dosimetry<br />

Frida U. Ermawati<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />

Kampus Ketintang Jln. Ketintang Surabaya 60231 INDONESIA<br />

Email: frida_dua@yahoo.com<br />

Abstract<br />

This paper reported the study on the use of ordinary sugars as an emergency dosimeter material for any persons exposed<br />

to a nuclear or radiation accident. To do that, pellets of sugar have been prepared and tested for their γ-radiation<br />

response, sensitivity and post irradiation stability. The peak-to-peak of the first-derivative absorption electron<br />

paramagnetic resonance (EPR) spectra from irradiated pellets sugars was occupied to evaluate those dosimetric<br />

properties. It was obtained that irradiated pellet sugar is detectable at 0.5 Gray, the signal intensity is linear with<br />

dose, and the fading of the signal post-irradiation is minimal for samples kept at room temperature. Thus, if<br />

sugar is present at the time of a radiation or nuclear accident, the absorbed dose of any exposed persons can be<br />

evaluated from the sugar, and the data will then be useful for both medical treatment and health effects of the<br />

persons.<br />

Keywords−EPR, sugar, emergency personal dosimetry.<br />

Introduction<br />

The major historic nuclear power plant accident<br />

occurred at Chernobyl in the former USSR in 1986s.<br />

Persons regularly occupied in work involving<br />

radiation (hereafter referred to as ‘radiation<br />

workers’, as opposed to ‘non-radiation workers’)<br />

and a lot of non-radiation workers, such as<br />

inhabitants around the power plant, were exposed.<br />

The absorbed dose of each of the exposed nonradiation<br />

workers had not been directly measured<br />

and evaluated yet.<br />

When the medical and health effects post<br />

irradiation treatment of the exposed persons are<br />

conducted, the absorbed dose must be estimated and<br />

evaluated precisely. However, a useful physical<br />

dosimeter for non-radiation workers had not been<br />

developed before the accident [1]-[3]. Long after the<br />

accident, it was recognized by dosimetrists that<br />

development of a physical dosimeter for the nonradiation<br />

workers is necessary for the medical<br />

treatment, health effect and the risk estimation of the<br />

exposed persons. At the present time [4]-[6], the<br />

most useful physical method for evaluating the dose<br />

of the non-radiation workers is a free radical<br />

dosimetry (FRD) using, one of them, electron<br />

paramagnetic resonance (EPR) equipment, whereas<br />

that for radiation workers is a manufactured finger,<br />

pen or quartz wrist watch dosimetry.<br />

Success of the FRD as an emergency dosimeter<br />

is strongly influenced by identifying FRD materials<br />

that satisfy the following conditions [4]-[5], [7]-[8]:<br />

1. Personal belongings or household goods<br />

including foods and seasonings used by every<br />

family.<br />

2. Ease of sample preparation without the effect of<br />

creating free radicals.<br />

3. Minimum detectable dose of 0.1 Gy or less.<br />

4. Linearity range from 0.1 to 20 Gy based on the<br />

medical treatment.<br />

5. Minimal fading (less than 3% one month after<br />

irradiation).<br />

6. No background EPR signal of free radicals<br />

before irradiation.<br />

Pencils, wood chops, certain kinds of woods,<br />

newspaper, tissue paper, many kinds of paper goods,<br />

cloth, shell goods, rubber goods, dry goods in<br />

kitchens and seasonings such as salt, sugar, pepper<br />

and L-monosodium glutamate were gathered as FRD<br />

materials.<br />

Based on the above criteria, and due to the<br />

property of near human tissue equivalence of sugar,<br />

sugar was selected and its dosimetric properties were<br />

studied in this experiment. The results, as viewed by<br />

EPR spectrometry, are reported in this paper.<br />

Sample Preparation and Experimental Method<br />

About 2-3 grams of cane sugar (obtained from<br />

an ordinary market) was mixed with RTV silicone<br />

(Merck) in different proportions and introduced into<br />

moulds by drilling holes (3 mm diameter, 10 mm<br />

long) through Teflon. After curing (24 hours),<br />

sample pellets were extracted using a stainless steel<br />

rod. The pellets were then irradiated in a<br />

60<br />

Gammacell-220 from Co γ-source available at<br />

Monash University to the doses up to 10 Gray. The<br />

number of trapped radicals was measured at room<br />

temperature by a Varian model E-12 EPR<br />

spectrometer Pty. Ltd. Australia equipped with a<br />

cavity operating in the TE-102 mode. The sample,<br />

consisting of one or more pellets, was inserted in a<br />

quartz tube and placed in the cavity. The<br />

spectrometer was operated at 9.2 GHz using<br />

B15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

microwave power levels of 10-20 mW, 100 KHz<br />

modulation frequency and 1 mT field modulation, a<br />

magnetic field setting of 331 mT and a field sweep<br />

of 20 mT. The first-derivative absorption spectra<br />

were obtained using scan times of 8 minutes. The<br />

signal intensity, which is normalized to a standard<br />

sample of strong pitch, was then recorded as peakto-peak<br />

height of the single line spectrum (see<br />

Figure 4) before being used for the intended<br />

purposes above.<br />

Results and Discussion<br />

In the first set of experiments, pellets were<br />

prepared with a sugar content of 40%. Since it is<br />

difficult to position samples consistently in the<br />

center of the magnetic field and in the region of<br />

maximum microwave absorption, all experiments<br />

were performed with the samples tube positioned<br />

reproducibility at the base of the microwave cavity<br />

by means of a Teflon locating rod.<br />

Figure 1 shows how the intensity of the EPR<br />

signal, attributed to a trapped sugar free radical in<br />

the irradiated sample, depends upon sample volume.<br />

Using 10 mm long pellets, the maximum signal is<br />

obtained with two or more pellets placed in the EPR<br />

cavity. To improve the reproducibility of the system<br />

and to avoid any uncertainties associated with<br />

sample handling, the use of three pellets per sample<br />

(completely filling the cavity) was adopted as a<br />

standard procedure.<br />

signal is directly proportional to the sugar content in<br />

the sample pellets. Thus, for convenience, the<br />

proportions of 40 to 60% of sugar to RTV silicon<br />

were followed for all the subsequent experiments.<br />

The results under these standard conditions are<br />

provided in Figure 3. Using a least square fit, a<br />

linear dose response was found over the dose range<br />

of 0.5 to 10 Gray.<br />

Furthermore, in order to examine any possible<br />

complications associated with using RTV Silicon, a<br />

comparison was also made between the spectra<br />

obtained from sugar irradiated both before and after<br />

pellet preparation (see Figure 4). As shown, both<br />

EPR spectra are essentially identical, qualitatively<br />

and quantitatively. No EPR spectrum was observed<br />

that could be associated with free radicals formed in<br />

the pellet production process, and no EPR spectrum<br />

was detectable from irradiated RTV silicon in the<br />

absence of sugar.<br />

Fig. 2: EPR signal intensity as a function of the sugar content in<br />

pellet. Three pellets were employed per sample and the absorbed<br />

dose was 10 Gray. The experimental condition was as listed in the<br />

section of the experimental method above<br />

Fig. 1: EPR signal intensity as a function of the number of pellets<br />

per sample obtained in this experiment. The proportion of each<br />

pellet is 40% sugar: 60% RTV silicon and the absorbed dose was<br />

10 Gray.<br />

In the next experiments, pellets were prepared<br />

with differing amount of sugar from 0 to 60%. The<br />

rate of curing to form stable pellets is inversely<br />

proportional to the sugar content; pure silicon<br />

required 24 hours to cure completely, but in all cases<br />

the production and quality of the resulting pellets is<br />

satisfactory. In this experiment, sugar content<br />

greater than 60% is not possible because of the<br />

inability of the sugar-silicone matrix to bond in the<br />

moulding process.<br />

Further, Figure 2 depicts the dependence of<br />

signal intensity with respect to sugar content of<br />

pellets. All the data were measured from a fixed<br />

radiation dose of 10 Gy. It was obtained that the<br />

Fig. 3: Dose-response relationship for silicon-bound sugar pellets.<br />

(40% sugar: 60% RTV silicon).<br />

B16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Fig. 4: EPR spectra of silicon-bound sugar (40% sugar: 60% RTV<br />

silicon) in which the sugar was irradiated to 10 Gray, either prior<br />

to (top) or after (bottom) pellet preparation. The experimental<br />

condition was as given in the experimental method section above.<br />

As a result, RTV silicone pellets can be used<br />

either for routine monitoring measurements or for<br />

emergency situations where sugar samples can be<br />

collected from a contaminated area and that can be<br />

fashioned into pellets after the fact. In the latter case,<br />

the use of sugar-silicon pellets improves the<br />

handling and sampling processes and, hence,<br />

improves the quality control and sample-to-sample<br />

reproducibility of the method.<br />

Finally, because the dose of the exposed persons<br />

to irradiation is usually measured and estimated at<br />

some days after the accident, it is therefore “fading”<br />

measurement of a dosimetric material is significant.<br />

“Fading” is defined as a ratio I(t)/I o between the<br />

initial I o and residual I(t) EPR absorption intensities<br />

of the same sample stored at room temperatures for a<br />

period of t before measurement. In this work, fading<br />

measurement of the irradiated sugar pellets was also<br />

performed. It was obtained that at room temperature<br />

(RT) no significant fading was observed up to one<br />

month after sample irradiation for doses from 0.5 to<br />

10 Gray (see Figure 5), indicating that the trapped<br />

free radicals remain stable under these conditions.<br />

therefore are conveniently used for the FRD when<br />

using EPR equipment. Therefore if a sugar bag of 1<br />

gram or more is available, the absorbed dose at a<br />

nuclear or radiation accident can be evaluated from<br />

the sugars. The data will then be used for both<br />

medical treatment and health effects of the exposed<br />

persons.<br />

Acknowledgment<br />

The author is thankful to Dr. D.R. Hutton of<br />

Magnetic Resonance Lab. of Monash University for<br />

appreciate communications and discussion on this<br />

results.<br />

References<br />

B. Majborn. “Studies of the dosimetric properties of<br />

watch jewels”, “Radiat. Prot. Dosim. Vol. 6,<br />

pp 129-132, 1984.<br />

T. Nakajima; K. Fujimoto; T. Hashizume. “A<br />

gamma-ray exposure estimation method for<br />

radiation accident”. J. Nucl. Sci. Techn. Vol.<br />

10, pp. 202-206, 1973.<br />

T. Nakajima. “The use of organic substance as<br />

emergency dosimeters”. Int. J. Appl. Radiat.<br />

Isot. Vol. 33, pp. 1077-1084, 1982.<br />

T. Nakajima and S. Watanabe. “New method for<br />

estimating gamma-ray exposure sustained in<br />

radiation accidents”. J. Appl. Radiat. Isot.<br />

Vol. 11, pp. 575-582, 1999.<br />

T. Nakajima. “The use of organic substance as<br />

emergency dosimeters”. Int. J. Appl. Radiat.<br />

Isot. Vol. 33, pp. 1077-1083, 1998.<br />

T. Nakajima. “Feasibility of quartz wrist watch to<br />

emergency dosimeters for non-occupational<br />

persons”. J. Japan Health Phys. Soc. Vol. 20,<br />

pp. 384-388, 2000.<br />

C.H. Hunter; D.R. Hutton and G.J. Troup.<br />

“Monitoring free radicals in γ-irradiated<br />

organics”. ANZAAS Search, Vol. 19, pp. 198-<br />

200, 1999.<br />

K. Onderdelinden and L. Strackee. “EPR as a tool<br />

for the identification of irradiated materials”.<br />

In Proceedings of the International<br />

Colloquium on the Identification of Irradiated<br />

Organics Compounds. Commission of the<br />

European Communities, Luxembourg, 2001.<br />

Fig. 5: Fading characteristics of free radicals trapped in pellet<br />

sugars γ-irradiated up 10 Gray and that was stored at room<br />

temperature to one-month post irradiation.<br />

Conclusion<br />

Based on the dosimetric properties shown<br />

herein, the irradiated sugar, in the form of pellets,<br />

are good emergency dosimetric materials and<br />

B17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Efek Medan Listrik pada Kadar Gula Darah Tikus Diabetes Melitus<br />

Ibrahim bin Sa`id 1 , Dwi Winarni 2 , Suhariningsih 3<br />

1,2 <strong>Departemen</strong> Biologi, 3 Departemem <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : iib@dr.com<br />

Abstrak<br />

Seseorang dinyatakan menderita diabetes melitus apabila kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau kadar gula<br />

darah puasa > 126 mg / dl. Dari beberapa penelitian sebelumnya, pembangkit listrik frekuensi rendah yang<br />

dihubungkan dengan matras curesonic dapat menghasilkan medan listrik yang dibuktikan dengan perubahan<br />

nilai kapasitansi sekitar matras sehingga dapat memberikan efek positif pada hewan percobaan baik secara fisik,<br />

seluler, atau fisiologi. Penelitian true experiment dengan desain randomized control-group pretest-postes ini<br />

menggunakan tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok; kelompok k-15, k-30, dan k-60 yang masingmasing<br />

diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz namun tanpa induksi STZ dan nicotinamide, dan 3<br />

kelompok diabetes yaitu d-15, d-30, dan d-60 yang masing-masing diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz<br />

serta diinduksi STZ dan nicotinamide. Terapi dilakukan dengan menempatkan tikus di atas matras curesonic<br />

yang dibangkitkan dengan beberapa variasi frekuensi (15, 30, dan 60 kHz) selama 1 jam per hari dalam 4<br />

minggu. Hasil rerata kapasitansi adalah 53,39 + 0,18 pF ketika listrik off, 292,14 + 5,87 pF untuk frekuensi 15<br />

kHz, 139,00 + 0,22 pF untuk frekuensi 30 kHz, dan 68,37 + 0,54 pF pada frekuensi 60 kHz. Dari rerata nilai<br />

kapasitansi, ada perbedaan signifikan antara nilai kapasitansi saat matras dihubungkan dengan pembangkit<br />

medan listrik (seluruh variasi frekuensi) dan saat listrik (off). Sedangkan dari pengamatan kadar gula darah<br />

didapatkan nilai p untuk masing-masing pasangan kelompok < α (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada<br />

perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (k-15 dengan d-15, k-30 dengan d-<br />

30, dan k-60 dengan d-60), dan pada minggu ke-4 kelompok k-15 dengan d-15 dan k-30 dengan d-30<br />

mempunyai nilai p > 0,05. Dari gambar grafik diketahui kadar gula darah tikus yang diterapi dengan frekuensi<br />

15 kHz memiliki kadar gula darah akhir (minggu ke-4) terendah dibandingkan dengan tikus yang diterapi dengan<br />

frekuensi 30 dan 60 kHz. Seluruh variasi frekuensi (15, 30, dan 60 kHz) dapat menurunkan kadar gula darah<br />

tikus diabetes melitus. Diantara beberapa frekuensi yang digunakan, frekuensi 15 kHz adalah frekuensi yang<br />

menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi dalam menurunkan kadar gula darah tikus diabetes mellitus.<br />

Kata kunci : Medan listrik, diabetes mellitus, gula darah.<br />

PENDAHULUAN<br />

Diabetes melitus (DM), kini menjadi ancaman<br />

serius bagi umat manusia. Pada tahun 2003, WHO<br />

memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8<br />

miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita<br />

DM dan tahun 2025 diperkirakan meningkat<br />

menjadi 333 juta jiwa. Pada tahun yang sama,<br />

International Diabetes Foundation (IDF)<br />

memperkirakan prevalensi DM dunia adalah 1,9%<br />

dan menjadikan DM sebagai penyebab kematian<br />

urutan ke-7 di dunia(Anonim, 2008; Anonim 1,<br />

2008; Anonim, 2006; Reinauer, et al., 2002)..<br />

Sedangkan di Indonesia, diprediksi kenaikan<br />

jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi<br />

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Angka ini<br />

menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4<br />

dunia setelah Amerika Serikat, India, dan China,<br />

untuk jumlah penderita DM. Mendukung angkaangka<br />

di atas, menurut Badan Pusat Statistik yang<br />

berdasar pada pola pertambahan penduduk<br />

diperkirakan pada tahun 2030 terdapat penderita DM<br />

sebanyak 12 juta jiwa di daerah urban dan 8,1 juta<br />

jiwa di daerah rural (Anonim, 2008; Anonim 1,<br />

2008; Anonim, 2006; Reinauer, et al., 2002).<br />

Menurut Department of Noncommunicable<br />

Disease Surveillance WHO, DM adalah suatu<br />

penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia kronis<br />

disebabkan adanya hambatan sekresi insulin,<br />

kelainan fungsi insulin, atau keduanya (Berrens et<br />

al., 1999; Riddle dan Genuth, 2007). Hal ini dapat<br />

terjadi karena kerusakan sel beta pankreas atau<br />

terganggunya fungsi sel beta pankreas, yang<br />

disebabkan oleh kematian sel-sel beta (Arulmozhi et<br />

al., 2004; Szkudelski, 2001). Ada beberapa<br />

klasifikasi DM yang dipublikasi oleh WHO, namun<br />

untuk saat ini terdapat 4 macam tipe DM, yaitu DM<br />

tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain (3), dan DM<br />

gestasional. Seseorang dinyatakan menderita DM<br />

apabila kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau<br />

kadar gula darah puasa > 126 mg/dl (Anonim, 2006;<br />

Barik et al., 2008).<br />

Matras curesonic adalah alas tidur yang 30%<br />

bahannya tersusun dai serat tourmaline, tourmaline<br />

adalah sejenis batu yang mempunyai sifat kelistrikan<br />

yang jika diradiasi oleh pembangkit medan listrik<br />

frekuensi rendah dapat memberikan efek kesehatan<br />

melalui medan listrik yang terbentuk, keterangan ini<br />

sesuai dengan laporan penelitian yang dilakukan<br />

oleh Laboratorium Biofisika Universitas Airlangga<br />

tahun 2008 (Kadir, 2009; Octavia, 2009).<br />

B18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Mendukung keterangan di atas, Octavia (2009) dan<br />

Kadir (2009) melaporkan bahwa pembangkit medan<br />

listrik frekuensi rendah yang dihubungkan pada<br />

matras curesonic dapat menimbulkan medan listrik<br />

yang dibuktikan dengan adanya perubahan distribusi<br />

muatan listrik udara, yang memberikan positif pada<br />

hewan coba baik secara fisik, seluler, maupun<br />

fisiologis. (Bonner et al., 2002; Brown et al., 1999;<br />

Parson, 2006).<br />

Pembangkit medan listrik pada penelitian ini<br />

tidak lain adalah gelombang elektromagnetik (GEM)<br />

frekuensi rendah. Gelombang elektromagnetik<br />

adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak<br />

ada medium. Energi elektromagnetik merambat<br />

dalam gelombang dengan beberapa karakter yang<br />

bisa diukur, yaitu panjang gelombang, frekuensi,<br />

amplitudo, kecepatan. Amplitudo adalah tinggi<br />

gelombang, sedangkan panjang gelombang adalah<br />

jarak antara dua puncak. Frekuensi adalah jumlah<br />

gelombang yang melalui suatu titik dalam satu<br />

satuan waktu. Frekuensi tergantung dari kecepatan<br />

merambatnya gelombang. Karena kecepatan energi<br />

elektromagnetik adalah konstan (kecepatan cahaya),<br />

panjang gelombang dan frekuensi berbanding<br />

terbalik. Semakin panjang suatu gelombang,<br />

semakin rendah frekuensinya, dan semakin pendek<br />

suatu gelombang semakin tinggi frekuensinya<br />

(Alonso dan Finn, 1992; Hanafi, 2006; Swamardika,<br />

2009). Suatu gelombang ditimbulkan dengan<br />

mempercepat suatu partikel bermuatan. Bilamana<br />

hal ini terjadi sebagian energi dari partikel<br />

bermuatan, diradiasikan sebagai radiasi GEM.<br />

Gelombang elektromagnetik terdiri dari komponen<br />

medan listrik dan medan magnet, yang saling tegak<br />

lurus (Alonso dan Finn, 1992; Hanafi, 2006;<br />

Swamardika, 2009).<br />

Berbagai metode telah digunakan sebagai terapi<br />

DM diantaranya adalah injeksi insulin dan<br />

antidiabetik oral seperti sulfonilurea, dan tiazolidin.<br />

Disamping cara atau metode penggunaan yang harus<br />

dibawah pengawasan dokter, ada beberapa efek<br />

negatif yang dapat muncul dari metode-metode<br />

tersebut, diantaranya adalah hipoglikemia,<br />

peningkatan berat badan, dan gangguan pada saluran<br />

pencernaan (Syiariel, 2008).<br />

Berdasar manfaat-manfaat pembangkit medan<br />

listrik frekuensi rendah yang dihubungkan pada<br />

matras curesonic, sebagai terapi kesehatan pada<br />

penelitian sebelumnya dan makin meningkatnya<br />

penderita DM, maka penelitian ini bertujuan untuk<br />

mengetahui efek medan listrik yang dihasilkan oleh<br />

pembangkit dengan frekuensi 15, 30, dan 60 kHz<br />

pada hewan coba tikus (Rattus novergicus) kondisi<br />

diabetes melitus.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Hewan coba<br />

Penggunaan hewan coba telah lama<br />

dimanfaatkan dalam penelitian DM. Kebanyakan<br />

hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba<br />

adalah mencit (Mus musculus) atau tikus (Rattus<br />

novergicus) (Rees dan Alcolado, 2005). Hewan yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus<br />

novergicus) wistar jantan umur 8-12 minggu dengan<br />

berat badan 150-200 gram yang diperoleh dari<br />

Laboratorium Hewan Fakultas Farmasi Universitas<br />

Airlangga.<br />

Bahan dan alat<br />

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini<br />

adalah pakan tikus berupa pelet PUR 521, air minum<br />

tikus berupa air PDAM, sekam, PBS (phosphate<br />

buffered saline), aquades steril, larutan normal<br />

saline, buffer sitrat, xylazin, nicotinamide, dan<br />

streptozotocin (STZ). Alat yang digunakan meliputi<br />

low frequency transmitter (sumber gelombang<br />

elektromagnetik 15, 30 dan 60 kHz) yang<br />

dihubungkan dengan matras curesonic, kapasitansi<br />

meter, glukometer (Accu-Check, Roche Diagnostic,<br />

USA) menggunakan oxidase-peroxidase reactive<br />

strips, timbangan digital, alat suntik (spuit) 1 ml dan<br />

3 ml, jarum sundel, gelas pengaduk, gelas ukur,<br />

pipet tetes, mikropipet 50, 100, dan 200 µl, bak<br />

plastik dengan ukuran 40 × 20 cm beserta tutupnya<br />

berupa anyaman kawat sebagai kandang tikus, botol<br />

minum beserta selang sedot.<br />

Prosedur<br />

Tikus jantan ditempatkan dalam bak plastik<br />

ukuran 40 × 20 cm, dialasi sekam dan diberi tutup<br />

berupa anyaman kawat yang di atasnya terdapat<br />

pakan berupa PUR 521 dan minuman air PDAM<br />

yang diberikan secara ad-libitum. Pemeliharaan<br />

dilakukan di dalam rumah hewan. Rumah hewan<br />

dilengkapi ventilasi serta rak tempat pemeliharaan.<br />

Selama 1 minggu tikus diaklimasi dengan kondisi<br />

kandang sebelum dibagi menjadi beberapa<br />

kelompok.<br />

Hewan coba dikelompokkan menjadi 6<br />

kelompok yaitu kelompok k-15, k-30, dan k-60 yang<br />

masing-masing diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan<br />

60 kHz namun tanpa induksi STZ dan nicotinamide,<br />

dan 3 kelompok diabetes yaitu d-15, d-30, dan d-60<br />

yang masing-masing diterapi dengan frekuensi 15,<br />

30, dan 60 kHz serta diinduksi STZ dan<br />

nicotinamide. Sebelum tikus dibagi secara acak<br />

menjadi kelompok kontrol/normal dan diabetes,<br />

seluruh tikus di cek kadar gula darah puasa (kadar<br />

glukosa darah tanpa ada asupan kalori selama 12<br />

jam) untuk memastikan bahwa seluruh tikus<br />

mempunyai kadar gula darah normal yakni < 126<br />

mg/dl dan dikonfirmasi dengan glucose tolerant test<br />

dengan cara pemberian D-glukosa peroral sebanyak<br />

5 kali (0, 30, 60, 90, dan 120 menit). (Barik et al.,<br />

2008). Terapi dilakukan dengan meletakkan tikus<br />

pada matras curesonic yang dihubungkan dengan<br />

pembangkit medan listrik selama 1 jam per hari<br />

dalam 4 minggu, dengan frekuensi 15 kHz (k-15 dan<br />

d-15), 30 kHz (k-30 dan d-30) dan 60 kHz (k-60 dan<br />

B19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

d-60) dan selama terapi diukur perubahan distribusi<br />

muatan listrik udara dengan kapasitansi meter.<br />

Untuk mengkondisikan tikus menjadi DM<br />

digunakan STZ dan nicotinamide. STZ mempunyai<br />

kemampuan merusak sel beta pankreas sehingga<br />

sekresi insulin terganggu. Agar kerusakan sel beta<br />

pankreas tidak berujung pada kematian sering<br />

digunakan nicotinamide pada beberapa menit<br />

sebelum induksi STZ (Abeeleh et al., 2009; Barik et<br />

al., 2008; Firdous et al., 2009; Nugroho, 2006;<br />

Szkudelski, 2001).<br />

Dosis nicotinamide yang digunakan untuk<br />

induksi adalah sebesar 240 mg/kg berat badan yang<br />

dilarutkan dalam larutan normal saline yang<br />

diinjeksi secara intraperitoneal. Setelah 15 menit<br />

dilanjutkan dengan induksi STZ (dosis 100 mg/kg<br />

berat badan), yang sebelumnya telah dilarutkan<br />

dalam buffer sitrat (pH 4,5). Konfirmasi kondisi DM<br />

dilakukan pada hari ke-7 setelah induksi STZ dan<br />

nicotinamide dengan mengukur kadar gula darah<br />

puasa (kadar glukosa darah tanpa ada asupan kalori<br />

selama 12 jam) > 126 mg/dl. dilanjutkan dengan<br />

glucose tolerance test yakni pengukuran kadar<br />

glukosa darah puasa selama 2 jam (menit ke-0, 30,<br />

60, 90, dan 120) yang pada awal pengukuran<br />

diberikan D-glukosa 2g/kg berat badan, peroral.<br />

Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan<br />

glukometer (Accu-Check, Roche Diagnostic, USA)<br />

menggunakan oxidase-peroxidase reactive strips.<br />

Kadar gula darah yang diukur pada tikus adalah<br />

kadar gula darah puasa (kadar glukosa darah tanpa<br />

ada asupan kalori selama 12 jam). Setiap 1 minggu<br />

selama terapi masing – masing tikus diukur kadar<br />

gula darah puasa (kadar glukosa darah tanpa ada<br />

asupan kalori selama 12 jam). Darah diporoleh dari<br />

vena ekor tikus (11µl) yang selanjutnya dianalisa<br />

menggunakan menggunakan glukometer (Accu-<br />

Check, Roche Diagnostic, USA). Pada akhir terapi<br />

(minggu ke-4) dilakukan glucose tolerant test<br />

setelah pengukuran kadar gula darah puasa.<br />

Untuk mengukur perubahan distribusi muatan<br />

listrik udara dilakukan dengan menggunkan alat<br />

kapasitansi sensor yaitu kapasitansi meter dengan<br />

cara menempelkan 56 titik konstruksi jahitan yang<br />

terletak ditengah matras curesonic. Pengukuran<br />

dilakukan saat matras dialiri gelombang<br />

elektromagnetik (GEM) frekuensi rendah atau saat<br />

pembangkit medan listrik (saat listrik on) juga saat<br />

matras tidak dialiri GEM frekuensi rendah atau saat<br />

pembangkit medan listrik (saat listrik off).<br />

Pengukuran pada saat listrik off dilakukan sebelum<br />

tikus diterapi, sedangkan pengukuran pada saat<br />

listrik on dilakukan saat tikus sedang diterapi.<br />

Analisa statistik<br />

Hasil ditampilkan dalam bentuk grafik atau<br />

mean + standart error of the mean (SEM). Analisa<br />

statistik menggunakan program SPSS versi 17. Data<br />

kapasitansi dianalisa dengan menggunakan ANOVA<br />

Sama Subyek dilanjutkan dengan uji T berpasangan,<br />

sedangkan data kadar gula darah dianalisa dengan<br />

menggunakan ANOVA Faktorial dan dilanjutkan<br />

dengan LSD post hoc test. Perbedaan antar<br />

kelompok dianggap signifikan jika p < 0,05.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil<br />

Pengukuran kapasitansi pada matras curesonic<br />

saat dialiri (listrik on) atau tidak dialiri (listrik off)<br />

GEM frekuensi rendah pembangkit medan listrik 15,<br />

30, dan 60 kHz dilakukan pada 56 titk yang sama,<br />

hasil rerata untuk tiap kelompok dapat dilihat pada<br />

tabel 1.<br />

TABEL I Rerata Kapasitansi Matras Curesonic<br />

Pembangkit<br />

Medan Listrik<br />

Listrik off<br />

Kapasitansi<br />

53,39 + 0,18 pF<br />

15 kHz 292,14 + 5,87<br />

pF<br />

30 kHz 139,00 + 0,22<br />

pF<br />

60 kHz 68,37 + 0,54 pF<br />

Dari hasil uji ANOVA dilihat ada beda<br />

signifikan antara nilai kapasitansi saat listrik off<br />

dibandingkan nilai kapasitansi matras saat dialiri<br />

GEM 15, 30, dan 60 kHz. Hal ini terlihat dari nilai p<br />

(listrik off dengan 15 kHz, listrik off dengan 30 kHz,<br />

dan listrik off dengan 60 kHz) = 0,00 atau p < α<br />

(0,05).<br />

Untuk perbedaan kadar gula darah 3 kelompok<br />

kontrol/ normal (k-15, k-30, dan k-60 yang masingmasing<br />

diterapi dengan frekuensi 15, 30, dan 60<br />

kHz) dan 3 kelompok perlakuan (DM) (d-15, d-30,<br />

dan d-60 yang masing-masing diterapi dengan<br />

frekuensi 15, 30, dan 60 kHz serta diinduksi dengan<br />

STZ dan nicotinamide) yang diambil setiap minggu<br />

dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel rerata kadar<br />

gula darah per-minggu untuk tiap kelompok dapat<br />

disimpulkan terjadi penurunan pada seluruh<br />

kelompok DM. Namun pada kelompok kontrol tidak<br />

terjadi perubahan yang signifikan. Hasil uji ANAVA<br />

Faktorial yang dilanjutkan dengan LSD post hoc test<br />

menunjukan ada beda signifikan (p < 0,05) antar<br />

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan<br />

(diabetes melitus) pada masing-masing frekuensi (k-<br />

15 dengan d-15, k-30 dengan d-30, dan k-60 dengan<br />

d-60) dan dari perbandingan rerata kadar gula darah<br />

minggu ke-4 pada masing-masing pasangan<br />

kelompok kontrol dan perlakuan dengan frekuensi<br />

yang sama menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata<br />

B20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

antara kelompok k-15 dengan d-15 dan k-30 dengan<br />

d-30, hal ini berbeda pada kelompok k-60 dengan d-<br />

60 yang mempunyai nilai p > 0,05 atau masih<br />

berbeda signifikan antara kadar gula darah<br />

kelompok k-60 dengan d-60. Hal tersebut<br />

menunjukkan bahwa pada akhir masa terapi matras<br />

curesonic kadar gula darah tikus diabetes melitus<br />

yang diterapi dengan frekuensi 60 kHz tidak turun<br />

secara signifikan. Keterangan ini dapat dilihat pada<br />

gambar 1.<br />

TABEL II Rerata Rerata Kadar Gula Darah<br />

Gambar 1. Grafik Rerata Kadar Gula darah Puasa per-minggu.<br />

Dari gambar grafik juga dapat dilihat pada<br />

seluruh kelompok kontrol (k-15, 30, dan 60 kHz)<br />

terjadi penurunan kadar gula darah pada minggu ke-<br />

4 pada kisaran angka 90-an.<br />

Dari untuk konfirmasi kondisi gula darah tikus pada<br />

akhir masa terapi dilakukan glucose tolerant test.<br />

Grafik rerata kadar gula darah saat glucose tolerant<br />

test dapat dilihat pada gambar 2. Dari grafik pada<br />

gambar 2. Ada perbedaan kadar gula glucose<br />

tolerant test kelompok kontrol dan kelompok<br />

perlakuan (diabetes melitus), pada masing-masing<br />

kelompok kontrol kadar gula darah tikus tidak<br />

mengalami penurunan yang signifikan sedangkan<br />

pada kelompok diabetes cukup fluktuatif namun<br />

masih menunjukkan tren yang menurun meskipun<br />

pada menit ke-120 hanya kelompok d-30 yang<br />

mencapai angka dibawah 200 mg/dl.<br />

Pembahasan<br />

Gambar 2. Grafik Rerata Glucose Tolerant Test.<br />

Untuk mengetahui bahwa pembangkit medan<br />

listrik 15, 30, dan 60 kHz (low frequency<br />

transmitter) dapat menimbulkan medan listrik<br />

disekitar matras curesonic dapat diukur dengan<br />

perubahan muatan listrik udara disekitarnya dan<br />

salah satu alat yang dapat digunakan untuk<br />

mengukur muatan listrik adalah kapsitansi meter<br />

atau lazim disebut sebagai kapasitor. Kapasitor<br />

adalah suatu komponen elektronika yang terdiri dari<br />

dua buah plat penghantar sejajar yang disekat satu<br />

sama lain dengan suatu bahan elektrik, kedua plat<br />

tersebut bersifat sebagai konduktor yang diberi<br />

muatan sama besar tetapi jenisnya berlawanan yang<br />

satu bermuatan positif (+), lainnya bermuatan<br />

negatif (-). Kapasitor/ kapasitansi meter mempunyai<br />

beberapa sifat diantaranya adalah dapat menyimpan<br />

muatan listrik, dapat menahan arus searah, dan juga<br />

dapat melewatkan arus bolak-balik. Banyaknya<br />

muatan yang terrdapat pada kapasitansi<br />

meter/kapasitor sebanding dengan tegangan yang<br />

diberikan oleh sumber (Perangin-angin, 2003).<br />

Kemampuan kapasitor untuk menyimpan<br />

muatan listrik dinyatakan oleh besaran kapasitas<br />

atau kapasitansi, Kapasitansi dari kapasitor<br />

berbanding lurus dengan luas plat dan berbanding<br />

terbalik dengan jarak antara plat-plat (Peranginangin,<br />

2003; Yuliana, 2006). Satuan SI dari<br />

kapasitas adalah farad (F) (Yuliana, 2006), dimana 1<br />

B21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

farad didefinisikan sebagai 1 coulomb per volt. Nilai<br />

– nilai kapasitansi yang biasa dipakai untuk tujuan –<br />

tujuan praktis bernilai jauh lebih kecil dari 1 farad,<br />

tepatnya hingga satuan microfarad (µF), nanofarad<br />

(nF), dan picofarad (pF) (Hayt dan Buck, 2006).<br />

Dari hasil pengukuran di 56 titik matras curesonic<br />

saat listrik off dan saat diialiri GEM pembangkit<br />

medan listrik 15, 30, dan 60 kHz didapatkan rerata<br />

kapasitansi yang paling tinggi adalah pada frekuensi<br />

15 kHz sedangkan frekuensi 30 dan 60 kHz<br />

mempunyai kapasitansi lebih rendah. Hal ini dapat<br />

dipahami karena sesuai dengan persamaan 1. berikut<br />

;<br />

(1)<br />

Dimana :<br />

Xc : reaktan kapsitatif (Ω)<br />

F : ferekuensi (Hz)<br />

C : kapasitansi (F)<br />

Dari persamaan diatas tampak bahwa makin<br />

tinggi frekuensi makin rendah kapasitansinya.<br />

Sedangkan nilai kapasitansi 56 titik pada matras<br />

curesonic saat listrik off menghasilkan nilai<br />

kapasitansi sebesar 53,39 + 0,18 pF atau dapat<br />

dikatakan lebih rendah jika dibandingkan dengan<br />

saat dialiri pembangkit medan listrik 15, 30, dan 60<br />

kHz. Hal ini disebabkan kapasitansi meter hanya<br />

menyimpan/ mengukur muatan listrik udara yang<br />

jika dilihat dari nilai konstanta kapasitansi, udara<br />

mempunyai nilai konstanta kapasitansi paling rendah<br />

dibanding konstanta kapasitansi bahan – bahan<br />

dielektrik yang lain.<br />

Untuk membuat tikus dengan kondisi DM<br />

(kadar gula darah > 126 mg/dl) digunakan<br />

Streptozotocin (STZ). Streptozotocin dipilih sebagai<br />

diabetogen karena mempunyai jangka waktu yang<br />

cukup lama (Firdous et al, 2009). Streptozotocin<br />

merupakan donor NO (nitrit oxide) yang mempunyai<br />

kontribusi terhadap kerusakan sel beta pankreas<br />

melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan<br />

pembentukan cGMP. Nitrit Oksida dihasilkan<br />

sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel.<br />

Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan<br />

oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam<br />

kerusakan sel beta pankreas. Dalam mitokondria,<br />

STZ menghambat siklus krebs dan menurunkan<br />

konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP<br />

mitokondria yang terbatas selanjutnya<br />

mengakibatkan pengurangan secara drastis<br />

nukleotida sel beta pankreas, secara garis besar<br />

dapat dikatakan bahwa mekanisme STZ diperantarai<br />

terutama oleh pembentukan NO dan pembangkitan<br />

radikal bebas (Szkudelski, 2001). Selain itu<br />

mekanisme STZ sebagai penginduksi DM dilihat<br />

dari patofisiologi disebabkan karena tidak terjadinya<br />

depolarisasi akibat terganggunya kerja GLUT-2<br />

2+<br />

sehingga menghambat arus ion Ca ke dalam sel<br />

(Arulmozhi et al., 2004; Ito et al., 2006; Szkudelski,<br />

2001). Khusus pada sel beta pankreas, terganggunya<br />

2+<br />

arus ion Ca dapat mengganggu proses eksositosis<br />

insulin (Szkudelski, 2001; Xu et al., 2007).<br />

Streptozotocin dapat digunakan untuk menginduksi<br />

DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji (Nugroho,<br />

2006; Szkudelski, 2001). Nicotinamide 240 mg/kg<br />

berat badan yang diberikan 15 menit sebelum STZ<br />

100 mg/kg berat badan berfungsi untuk mencegah<br />

kerusakan parah dan kematian sel-sel beta pankreas<br />

(Hu et al., 1996; Polo et al., 1998).<br />

Penurunan kadar gula darah pada kelompok d-<br />

15, d-30, dan d-60 secara umum, dimungkinkan<br />

karena medan listrik frekuensi rendah dapat<br />

mempengaruhi muatan listrik di jaringan tubuh,<br />

perubahan muatan listrik tersebut mempengaruhi<br />

arus listrik yang mengalir ke seluruh tubuh. Arus ini<br />

dapat menstimulasi kerja sistem syaraf dan otot<br />

akibat dari berubahnya beda potensial membran<br />

(Brown et al., 1999; Gunawan, 2002; Bonner et al.,<br />

2002). Metode ini dapat membantu penderita DM<br />

yang fungsi kerja sel beta pankreas terganggu,<br />

disebabkan karena tidak terjadinya depolarisasi<br />

membran sehingga ion Ca 2+ tidak dapat masuk ke<br />

dalam sel sehingga tidak terjadi pengeluaran insulin<br />

(Arulmozhi et al., 2004; Szkudelski, 2001).<br />

Selain menstimulasi kerja syaraf dan otot,<br />

penyerapan energi dari medan listrik frekuensi<br />

rendah juga bermanfaat dalam pergerakan molekulmolekul<br />

dalam tubuh, juga bermanfaat untuk<br />

memecah molekul-molekul yang bergerak cepat di<br />

dalam tubuh (Bonner et al., 2002). Manfaat tersebut<br />

dapat sangat membantu penderita DM yang<br />

memiliki viskositas (kekentalan) darah yang tinggi,<br />

dan velositas (kecepatan aliran) darah yang rendah.<br />

Sedangkan untuk kelompok k-15, k-30, dan k-60<br />

nilai p > α artinya pembangkit medan listrik 15 dan<br />

30 kHz tidak menyebabkan penurunan kadar gula<br />

darah secara signifikan, namun dari rerata kedua<br />

kelompok kontrol tersebut terlihat penurunan kadar<br />

gula darah sampai kisaran 90-an mg/dl. Hal ini<br />

menunjukkan bahwa selain terapi ini tidak<br />

berbahaya (memberikan efek negatif pada<br />

kesehatan) bagi kondisi gula darah normal namun<br />

juga dapat mengarahkan kadar gula darah puasa<br />

pada kisaran normal sehat yakni kisaran 90 mg/dl<br />

(Butler, 1995).<br />

Penurunan kadar gula darah yang tidak<br />

mencapai kadar normal yakni < 126 mg/dl dapat<br />

dimungkinkan karena dosis tunggal STZ yang cukup<br />

tinggi juga masa waktu terapi yang cukup singkat<br />

yakni 1 jam perhari selama 48 jam. Sedangkan<br />

konfirmasi dengan glucose tolerant test juga terjadi<br />

fluktuasi dan tidak seluruh kelompok diabetes yang<br />

mencapai kadar gula darah < 200 mg/dl. Hal ini<br />

dapat disebabkan karena pola konsumsi yang<br />

berbeda pada masing-masing tikus baik dalam<br />

kelompok yang sama atau antar kelompok. Sehingga<br />

dari kadar gula darah puasa minggu ke-4 dan<br />

glucose tolerant test dapat disimpulkan perlunya<br />

terapi diet atau pola konsumsi yang dijaga agar<br />

B22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

penurunan kadar gula darah penderita DM dapat<br />

kontinyu dan signifikan.<br />

Dari rerata kadar gula darah dan rerata<br />

kapasitansi dapat disimpulkan bahwa terdapat<br />

korelasi antara frekuensi yang digunakan dengan<br />

kadar gula darah yang turun, dan penurunan kadar<br />

gula darah yang paling signifikan adalah pada<br />

kelompok d-15 yang diterapi dengan menggunakan<br />

frekuensi 15 kHz. Dan untuk mengetahui frekuensi<br />

optimal , selain perlu diadakan penelitian lanjutan<br />

dengan frekunsi < 15 kHz juga perlu dianalisa secara<br />

khusus efek tourmaline yang terdapat dalam matras<br />

curesonic, pada kadar gula darah penderita diabetes<br />

melitus.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih disampaikan kepada Fortune star<br />

atas bantuan dana penelitian, dan kepada bapak Drs.<br />

Muzakki, bapak Drs. Tri Anggono Prijo serta ibu<br />

Ir.Welina Ratnayanti K. atas seluruh saran dan<br />

masukannya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abeeleh, M.A., Ismail, Z.B., Alzaben, K.R., Abu-<br />

Halaweh, S.A., Al-Essa, M.K., Abuabeeleh,<br />

J., Alsmady, M.M., 2009. Induction of<br />

Diabetes Mellitus in Rats Using<br />

Intraperitoneal Streptozotocin: A<br />

Comparison between 2 Strains of Rats,<br />

European Journal of Scientific Research,<br />

ISSN 1450-216X.Vol.32.No.3; 398-402.<br />

Alonso, M. dan Finn, E, B., 1992. Medan dan<br />

Gelombang, Edisi Kedua, Penerjemah Lea<br />

Prasetyo dan Khusnul Hadi, Penerbit<br />

Erlangga, Jakarta.<br />

Anonim, 2008. Waspadai Diabetes Mellitus,<br />

Kesra, Sinar Harapan, No. 6046. Jumat, 14<br />

Nopember 2008.<br />

Anonim 1, 2008. Enam Persen Penduduk Terkena<br />

DM, Edisi Ultah, Jawa Pos,<br />

http://www.jawapos.co.id. akses tanggal 26<br />

Januari 2010.<br />

Anonim, 2006. Konsensus Pengelolaan dan<br />

Pencegahan Diabets Melitus Tipe 2 di<br />

Indonesia, Jilid ke-3, PB PERKENI, Jakarta.<br />

Arulmozhi, D. K., Veeranjaneyulu, A., Bodhankar,<br />

S. L., 2004. Neonatal Streptozotocin-<br />

Induced Rat Model of Type 2 Diabetes<br />

Mellitus: A glance, Indian Journal<br />

Pharmacol, Vol. 36, Issue 4, 217-221.<br />

Barik, R., Jain, S., Qwatra, D., Joshi, A., Tripathi,<br />

G.S., Goyal, R., 2008. Antidiabetic Activity<br />

of Aqueous Root Extract of Ichnocarpus<br />

frutescens in Strpetozotocin-Nicitinamide<br />

Induced Type-II Diabetes in Rats, Indian<br />

Journal of Pharmacology, ISSN 0253-7613,<br />

Vol. 40, Issue 1; 19-22.<br />

Berrens, M., Kahn, R., Nolan, J., Pramming, S.,<br />

Rizza, R. A., 1999. Definition, Diagnosis<br />

and Classification of Diabetes Mellitus and<br />

its Complications, Department of<br />

Noncommunicable Disease Surveillance,<br />

WHO, Swiss.<br />

Bonner, P., Kemp, R., Kheifets, L., Portier, C.,<br />

Repacholi, M., Sahl, J., Deventer, E. V.,<br />

Vogel, E., 2002. Establishing A Dialogue<br />

On Risks From Electromagnetic Fields,<br />

Department of Protection of The Human<br />

Environment, WHO, Swiss.<br />

Brown, B. H., Smallwood, R. H., Barber, D. C.,<br />

Lawford, P. V., Hose, D. R., 1999. Medical<br />

Physic and Biomedical Engineering,<br />

Department of Medical Physics and Clinical<br />

Engineering, University of Sheffield and<br />

Central Sheffield University Hospitals,<br />

Sheffield, UK, Institute of Physics<br />

Publishing, Bristol and Philadelphia.<br />

Butler, L. K., 1995. Regulation of Blood Glucose<br />

Levels in Normal and Diabetic Rats,<br />

Division of Biological Sciences, University<br />

of Texas, Austin, Texas.<br />

Firdous, M., Koneeri, R., Sarvaraidu, C.H., Harish,<br />

M., Shubhapriya, K.H., 2009. NIDDM<br />

Antidiabetic Activity of Saponins of<br />

Momordica Cymb Streptozotocin-<br />

Nicotinamide NIDDM Mice, Journal of<br />

Clinical and Diagnostic Research, ISSN-<br />

0973-709X, Vol. 3, Issue 2; 1460-1465.<br />

Gunawan, Adi, M. S., 2002. Mekanisme<br />

Penghantaran Dalam Neuron<br />

(Neurotransmisi), Integral, Vol. 7 No. 1; 38-<br />

43.<br />

Hanafi, D., 2006. Gelombang Elektromagnetik,<br />

ORARI, Jakarta.<br />

Hayt, W., H. dan Buck, J., A., 2006.<br />

Elektromagnetika, Edisi VII, Penerbit<br />

Erlangga, Jakarta.<br />

Hu, Y., Wang, Y., Wang, L., Zhang, H., Zhang,<br />

H., Zhao, B., Zhang, A., Li, Y., 1996.<br />

Effects of Nicotinamide On Prevention and<br />

Treatment of Streptozotocin-Induced<br />

Diabetes Mellitus In Rats. China Medical<br />

Journal (Engl), Vol. 109, No.11; 819-22<br />

Ito, I., Hayashi, Y., Kawai, Y., Iwasaki, M., Takada,<br />

K., Kamibayashi, T., Yamatodani, A.,<br />

Mashimo, T., 2006. Diabetes Mellitus<br />

Reduces the Antiarrhythmic Effect of Ion<br />

Channel Blockers, International Anasthesia<br />

Research Society, vol. 103, No. 3; 545-550.<br />

Kadir, Sumayyah Binti Abdul., 2009. Pemanfaatan<br />

Infra Merah Serat Tourmaline Pada<br />

Kelainan Organ Ginjal Mencit, Skripsi,<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan<br />

Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />

Nugroho, A.E., 2006. Review Hewan Percobaan<br />

Diabetes Mellitus : Patologi dan<br />

Mekanisme Aksi Diabetogenik,<br />

Biodiversitas, Vol. 7, No. 4; 378-382.<br />

B23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Octavia, G.S., 2009. Pengaruh Gelombang<br />

Elektromagnetik Frekuensi Rendah<br />

Terhadap Kondisi Fisiologis Organ Liver<br />

Mencit (Mus musculus), Skripsi,<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan<br />

Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />

Parson, W. W.. 2006. Modern Optical<br />

Spectroscopy, <strong>Departemen</strong>t of Biochemistry,<br />

University of Washington, Springer Berlin<br />

Heidelberg, New York, USA.<br />

Perangin-angin, B., 2003. Rancangan Kapasitansi<br />

Meter Digital, Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas<br />

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />

Universitas Sumatra Utara, USU Digital<br />

Library, akses tanggal 10 Mei 2010.<br />

Polo, V., Saibene, A., Pontiroli, A. E., 1998.<br />

Nicotinamide Improves Insulin Secretion and<br />

Metabolic Control In Lean Type 2 Diabetic<br />

Patients With Secondary Failure To<br />

Sulphonylureas. Acta Diabetologica, Vol.<br />

35, No. 1;61-64.<br />

Rees, D.A., dan Alcolado, J. C., 2005. Animal<br />

Models of Diabetes Mellitus, Diabetic<br />

Medicine, 22 ; 359-370.<br />

Reinauer, Hans., Home, Philip D.,<br />

Kanagasabapathy, Ariyur S., Heuck, Claus-<br />

Chr., 2002. Laboratory Diagnosis and<br />

Monitoring of Diabetes Mellitus, WHO,<br />

Swiss.<br />

Riddle, Matthew C., dan Genuth, Saul., 2007. Type<br />

2 Diabetes Mellitus, ACP Medicine<br />

Gastrointerology:VI; 1-15.<br />

Swamardika, I. B. A., 2009. Pengaruh Radiasi<br />

Gelombang Elektromagnetik Terhadap<br />

Kesehatan Manusia (Suatu Kajian<br />

Pustaka), Teknologi Elektro, Vol.8, No.1;<br />

106-109.<br />

Syiariel, G., 2008. Pengaruh Vanadil Sulfat<br />

Terhadap Jaringan Otot dan Adipose<br />

Mencit (Mus musculus) dengan Diabetes<br />

Mellitus, Skripsi, Fakultas Farmasi,<br />

Universitas Airlangga, Surabaya.<br />

Szkudelski, T., 2001. The Mechanism Of Alloxan<br />

And Streptozotocin Action In β Cells Of<br />

The Rat Pancreas, Physiology Research,<br />

Vol. 50; 536-546.<br />

Xu, J., Zhang, L., Chou, A., Allaby, T., langer, G.<br />

B., Radziuk, J., Jasmin, B. J., Miki, T., Seino,<br />

S., Renaud, J. M., 2007. KATP Channel-<br />

Deficient Pancreatic β-Cells are<br />

Streptozotocin Resistant Because of Lower<br />

GLUT2 Activity. AJP - Endocrinology and<br />

Metabolism, Vol. 294; 326-335.<br />

Yuliana, E., 2006. Rancang Bangun Alat Ukur<br />

Induktansi dan Kapasitansi Meter. Tugas<br />

Akhir, D3 Teknik Instrumentasi Kendali,<br />

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik,<br />

Universitas Negeri Semarang.<br />

B24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Bioremediasi Pb(II) dalam Limbah Cair oleh Activated Eichhornia Carbon<br />

(AEC): Studi Penyerapan dengan Metode Potensiometri<br />

Johan A.E. Noor, Nilawati K. Anthony, dan Unggul P. Juswono<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang<br />

65145<br />

Email : jnoor@ub.ac.id<br />

Abstrak<br />

Logam berat timbal (Pb) dari limbah industri sudah lama menjadi masalah sebagai pencemar lingkungan yang<br />

perlu diatasi. Di sisi lain pertumbuhan dan penyebaran enceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) yang<br />

sangat pesat menjadi gulma yang keberadaannya bisa menyebabkan kedangkalan sungai dan waduk.<br />

Pemanfaatan enceng gondok yang diolah menjadi Activated Eichhornia Carbon (AEC) untuk remediasi logam<br />

berat diharapkan bisa mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh keduanya, karena penyerapan oleh karbon aktif<br />

merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk menghilangkan bahan pencemar perairan.<br />

Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji efektivitas AEC dalam menyerap logam Pb(II) di dalam limbah cair<br />

buatan dengan menggunakan metode potensiometri. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin banyak<br />

konsentrasi awal limbah logam Pb(II) yang diberikan maka semakin banyak logam Pb(II) yang diserap oleh<br />

AEC. Efektivitas AEC dalam menyerap logam berat Pb(II) juga semakin tinggi dengan semakin banyak massa<br />

adsorben yang diberikan..<br />

Kata kunci : Bioremediasi, karbon aktif, enceng gondok, Activated Eichhornia Carbon, metode potensiometri.<br />

PENDAHULUAN<br />

Pembangunan di bidang industri sejak beberapa<br />

dekade ini oleh Pemerintah telah sangat berkembang<br />

dan beragam. Pemerintah telah berupaya<br />

mengkonsentrasikan industri di wilayah-wilayah<br />

tertentu yang khusus sesuai rencana tata kota. Akan<br />

tetapi perkembangan pembangunan indistri ini tidak<br />

diikuti dengan penerapan hukum di dalam masalah<br />

pengelolaan limbah. Masih banyak industri yang<br />

membuang limbahnya begitu saja di lingkungan<br />

sekitarnya (udara, tanah dan sungai) tanpa<br />

pengolahan yang memadai terlebih dahulu sebelum<br />

dibuang. Sebagai akibatnya kualitas udara, tanah dan<br />

air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi<br />

sesuai dengan peruntukannya.<br />

Salah satu pencemaran air adalah logam berat.<br />

Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan<br />

akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut<br />

dalam organisme air seperti ikan, kerang, rumput<br />

laut, dan biota laut lainnya sehingga pemanfaatan<br />

organisme ini sebagai bahan makanan akan<br />

membahayakan kesehatan manusia. Berdasarkan<br />

sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat<br />

dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam<br />

berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah<br />

tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup,<br />

namun dalam jumlah yang berlebihan dapat<br />

menimbulkan efek racun. Contoh logam berat<br />

semacam ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, dan Mn.<br />

Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak<br />

esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam<br />

tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau<br />

bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, dan<br />

Cr. Logam berat ini dapat memberikan efek<br />

kesehatan negatif bagi manusia tergantung kepada di<br />

bagian mana logam berat tersebut terikat dalam<br />

tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja<br />

sebagai penghalang kerja enzim, sehingga<br />

mengganggu proses metabolisme tubuh. Lebih jauh<br />

lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai<br />

penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen<br />

bagi manusia. Jalur masuknya logam berat beracun<br />

ini bisa melalui kulit, pernapasan atau sistem<br />

pencernaan.<br />

Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh<br />

maka tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap<br />

tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang<br />

melalui proses ekskresi (Nordberg dkk., 1986). Hal<br />

serupa juga terjadi apabila suatu lingkungan<br />

terutama di perairan telah terkontaminasi (tercemar)<br />

logam berat maka proses pembersihannya akan sulit<br />

sekali dilakukan. Batas ambang kandungan logam<br />

berat timbal di dalam air minum adalah sebesar 0,05<br />

mg.dm −3 . Sedangkan batas ambang logam timbal di<br />

dalam limbah industri menurut Environmental<br />

Protection Agency (EPA) adalah 0,05 mg.dm −3 .<br />

Sementara standar untuk Indonesia telah ditetapkan<br />

oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagaimana<br />

ditampilkan pada Tabel.1.<br />

Beberapa metode telah dikembangkan untuk<br />

mengurangi limbah logam berat di dalam perairan<br />

antara lain: precipitation, electro-deposition,<br />

ultrafiltration, pertukaran ion (ion exchange),<br />

B25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

adsorpsi karbon aktif dan proses biologi. Metode<br />

adsorpsi, dibandingkan dengan metode yang lain<br />

mempunyai keuntungan lebih efektif dan efesien<br />

(Shekinah, 2002). Bahkan, metode adsorpsi karbon<br />

aktif (activated carbon) memberikan hasil yang<br />

efektif dan kompetitif dalam pengurangan kadar<br />

logam berat di dalam perairan (Huang dan<br />

Blankeship, 1984).<br />

Tabel 1. Baku mutu limbah cair untuk industri<br />

golongan I dan II untuk standar Indonesia (KLH,<br />

1995).<br />

physical reactivation prekursor diubah menjadi<br />

karbon aktif dengan menggunakan gas. Proses ini<br />

dilakukan dengan cara karbonisasi dan oksidasi pada<br />

suhu antara 600-1200 °C. Sementara di dalam<br />

metode chemical activation material direaksikan<br />

dengan bahan kimia seperti asam fosfat, potassium<br />

hidroksida, sodium hidroksida atau seng klorida<br />

yang disertai proses karbonisasi pada suhu antara<br />

450-900 °C.<br />

Karakteristik penting dalam memilih jenis<br />

karbon meliputi struktur pori-pori, ukuran partikel,<br />

luas area permukaan dan jarak ruang kosong antar<br />

partikel (Clark, 1989).<br />

Sumber material yang dapat digunakan sebagai<br />

karbon aktif di antaranya adalah sabut kelapa, kulit<br />

kacang tanah, batang padi, tempurung kelapa dan<br />

eceng gondok. Pengurangan logam berat dengan<br />

menggunakan karbon aktif eceng gondok merupakan<br />

suatu alternatif yang efektif dalam pegurangan<br />

limbah di perairan.<br />

Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart)<br />

Solm) merupakan tumbuhan air yang hidup di air<br />

tawar seperti di danau-danau dan di sungai-sungai<br />

dan dikenal sebagai gulma air karena kecepatan<br />

berkembang biaknya dan kemudahannya beradaptasi<br />

dengan lingkungannya (Suarna, 1990). Pertumbuhan<br />

eceng gondok yang tidak terkendali dapat<br />

menyebabkan pendangkalan pada danau, sungai atau<br />

daerah berair lainnya.<br />

Dalam penelitian ini telah dipelajari tentang<br />

AEC (Activated Eichhornia Carbon) yang<br />

digunakan untuk mengurangi limbah logam berat di<br />

dalam perairan. Pengukuran residu limbah dilakukan<br />

dengan metode potensiometri.<br />

Karbon Aktif (Activated Carbon)<br />

Karbon aktif (activated carbon) disebut juga<br />

arang aktif (activated charcoal) atau batubara aktif<br />

(activated coal) adalah suatu material organik yang<br />

mempunyai kandungan karbon sangat tinggi dengan<br />

luas permukaan (surface area) yang besar (lihat<br />

Gambar 1). Satu gram karbon aktif mempunyai luas<br />

permukaan kira-kira 500 m 2 yang ditentukan oleh<br />

adsorpsi gas nitrogen dan sejumlah pori-pori<br />

berukuran mikro (Hoehn, 1996) Pori-pori karbon<br />

aktif berukuran mikro mampu melakukan proses<br />

adsorpsi dengan baik secara bersamaan karena<br />

mempunyai area permukaan yang sangat luas.<br />

Secara fisik, ikatan material karbon aktif ditentukan<br />

oleh gaya van der Waals yaitu gaya dispersi London<br />

(Reynolds dan Richards, 1996).<br />

Karbon aktif dibuat dengan dua metode:<br />

physical reactivation dan chemical activation. Pada<br />

Gambar 1. Permukaan dan pori-pori karbon (diambil dari<br />

(Hoehn, 1996)).<br />

Adsorbsi Karbon Aktif<br />

Adsorpsi merupakan proses di mana karbon<br />

aktif memindahkan substansi dari air ke permukaan<br />

partikel adsorben. Dapat diartikan juga, adsorpsi<br />

adalah proses perpindahan substansi pada suatu<br />

permukaan partikel adsorben melalui proses fisika<br />

ataupun kimia (Reynolds dan Richards, 1996).<br />

Adsorpsi senyawa yang terlarut (adsorbat) oleh<br />

adsorben berlangsung terus menerus dan berhenti<br />

pada saat sistem mencapai keseimbangan yaitu<br />

antara konsentrasi yang tinggal dalam larutan<br />

dengan konsentrasi yang diadsorpsi oleh adsorben.<br />

Adapun adsorben yang baik umumnya mempunyai<br />

luas permukaan yang besar tiap unit partikelnya.<br />

Adsorpsi yang terjadi pada padatan disebabkan<br />

oleh gaya interaksi atom-atom atau molekul-molekul<br />

pada permukaan padatan. Secara umum adsorpsi<br />

dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi<br />

fisik dan adsorpsi kimia (Prayoga, 1981).<br />

Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang disebabkan<br />

oleh interaksi antara adsorben dan adsorbat pada<br />

permukaan karena adanya gaya tarik van der Waals<br />

atau ikatan hidrogen (Oscik, 1982). Pada adsorpsi ini<br />

adsorbat tidak diikat dengan kuat pada permukaan<br />

adsorben sehingga dapat bergerak ke bagian<br />

permukaan adsorben yang lain. Adsorpsi fisika<br />

biasanya reversibel (dapat balik) karena adsorbat<br />

dapat dilepas kembali dengan adanya penurunan<br />

tekanan gas dan penurunan konsentrasi larutan.<br />

Panas adsorpsi fisika diketahui 63-84 kJ/mol<br />

(Parker, 1984).<br />

Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang<br />

melibatkan interaksi yang lebih kuat antara adsorbat<br />

dengan adsorben sehingga adsorbat tidak bebas<br />

bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian yang<br />

lain. Adsorben harus dipanaskan pada suhu tinggi<br />

B26


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

untuk memisahkan adsorbat. Panas kimia lebih besar<br />

daripada adsorpsi fisika yaitu 86-126 kJ/mol (Parker,<br />

1984).<br />

Faktor-faktor yang memengaruhi adsorpsi<br />

antara lain adalah pengocokan, luas permukaan<br />

adsorben, jenis adsorben, kemurnian adsorben,<br />

ukuran molekul adsorbat, temperatur, pH larutan,<br />

dan konsentrasi adsorbat (Weber Jr., 1977).<br />

Adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan<br />

konsentrasi adsorbat. Adsorbsi akan tetap jika terjadi<br />

keseimbangan antara konsentrasi adsorbat yang<br />

diserap dengan konsentrasi adsorbat yang tersisa<br />

dalam larutan.<br />

Metode Potensiometri<br />

Metode potensiometri mengukur beda potensial<br />

antara dua elektroda yang berada di dalam kondisi<br />

setimbang. Di dalam kondisi tersebut tidak ada arus<br />

listrik yang mengalir di dalam sistem.<br />

Partikel bermuatan banyak dijumpai di dalam<br />

sistem kimia dalam bentuk ion dan elektron. Secara<br />

umum larutan bermuatan netral. Akan tetapi prosesproses<br />

kimiawi dapat menyebabkan partikel-partikel<br />

bermuatan tersebut terdistribusi secara tidak merata<br />

yang menyebabkan munculnya ketidaknetralan.<br />

Sebagai contoh, jika seutas kawat Pt dicelupkan ke<br />

dalam larutan yang mengandung ion-ion Fe 2+ dan<br />

Fe 3+ , Fe 2+ cenderung untuk memberikan elektronnya<br />

ke logam elektroda, sementara Fe 3+ cenderung<br />

menarik elektron. Jika konsentrasi kedua ion Fe<br />

sama maka kecenderungan tersebut akan saling<br />

menghilangkan dan tidak aka nada muatan listrik di<br />

permukaan logam. Tetapi, jika konsentrasi salah satu<br />

ion lebih besar dari yang lain (katakanlah [Fe 3+ ] ><br />

[Fe 2+ ]), kawat Pt akan mengalami kekurangan<br />

elektron dan akan bermuatan positif.<br />

Pengukuran terhadap muatan tersebut<br />

memberikan perkiraan berapa konsentrasi ion Fe.<br />

Namun, pengukuran secara langsung sangat sulit,<br />

sehingga harus dilakukan pengukuran secara tidak<br />

langsung.<br />

Kawat Pt dalam hal ini merupakan Elektroda<br />

Selektif Ion (ESI), yaitu elektroda yang dapat<br />

menunjukkan selektifitas dalam pengukuran aktifitas<br />

ion tertentu (Cheek dkk., 1983). ESI digunakan<br />

untuk analisis kuantitatif suatu ion tertentu. Karena<br />

elektroda tersebut merupakan sensor elektrokimia<br />

yang potensialnya akan berubah secara reversibel<br />

terhadap keaktifan dari ion yang ditentukan<br />

(Buchari, 1990). Rangkaian ESI ditunjukkan pada<br />

Gambar 2.<br />

Gambar 2. Rangkaian ESI (diambil dari (Brian, 1997)).<br />

Elektroda selektif ion merupakan suatu sensor<br />

yang mengubah aktivitas spesifik ion di dalam suatu<br />

larutan menjadi suatu potensial listrik, dimana dapat<br />

diukur dengan sebuah volmeter atau pH meter.<br />

Bagian sensing dari elektroda terbuat dari suatu<br />

membran spesifik ion. Elektroda Selektif Ion banyak<br />

dimanfatkan dalam bidang biokimia dan biofisika<br />

untuk pengukuran konsentrasi ion di dalam suatu<br />

larutan, biasanya dalam basis real time. Perbedaan<br />

potensial di sekitar membran merupakan beda<br />

potensial pada antarmuka membran-larutan.<br />

Potensial membran adalah potensial listrik yang<br />

timbul pada antarmuka membran yang memisahkan<br />

dua larutan elektrolit (Lakshminarayanaiah, 1976).<br />

Beda potensial antarmuka membran-ion larutan<br />

dinyatakan dengan persamaan (1) (Brian, 1997):<br />

0<br />

E E RT nF a<br />

= − (2,303 / )log( ) (1)<br />

dengan E 0 adalah potensial elektroda normal, R<br />

adalah konstanta gas (8.314510 JK −1 mol −1 ), T adalah<br />

suhu (K), n adalah jumlah elektron, F adalah<br />

konstanta Faraday (9,6485309 ×10 4 C mol −1 ) dan a<br />

adalah aktivitas ion analit.<br />

ESI tipe kawat terlapis merupakan sel paruh<br />

elektrokimia (elektroda) yang tersusun dari kawat Pt<br />

yang dilapisi oleh membran selektif ion. Skema sel<br />

ESI tipe kawat terlapis ditunjukkan pada Gambar 3<br />

dan skema pengukuran larutan dengan menggunakan<br />

ESI tipe kawat terlapis ditunjukkan pada Gambar 2.<br />

Gambar 3. Skema sel ESI tipe kawat terlapis yang digunakan di<br />

dalam penelitian ini selektif terhadap ion PbCl 2−<br />

4 (IUPAC,<br />

2006)).<br />

2−<br />

ESI PbCl 4 tipe kawat terlapis merupakan<br />

elektroda selektif ion yang mempunyai keakurasian<br />

tinggi dengan persen kesalahan kurang dari 1 %<br />

(0,09%- 0,63% ). Batas deteksi pengukuran ESI<br />

2−<br />

PbCl 4 tipe kawat terlapis cukup rendah yaitu pada<br />

konsentrasi Na 2 PbCl 4 sebesar 10 −5 M atau 2,07 ppm<br />

B27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sehingga alat tersebut dapat digunakan untuk<br />

analisis renik (Anggraini, 2007).<br />

BAHAN DAN METODE<br />

Pembuatan Sediaan AEC<br />

Beberapa tanaman eceng gondok diambil dari<br />

habitat asli di daerah Punten, Batu. Tanaman eceng<br />

gondok dicuci dengan air kran kemudian dipotong<br />

kecil-kecil. Bagian daun, batang dan akar<br />

dipisahkan. Setelah itu, potongan-potongan eceng<br />

gondok tersebut dijemur di bawah sinar matahari<br />

selama 1 hari. Setelah kering, eceng gondok dioven<br />

pada suhu 60 o C selama 24 jam hingga benar-benar<br />

kering. Selanjutnya, untuk proses pembuatan eceng<br />

gondok menjadi karbon aktif, eceng gondok<br />

diletakkan dalam sebuah wadah tertutup yang<br />

terbuat dari bahan tahan panas kemudian<br />

dimasukkan ke dalam tungku pembakaran pada suhu<br />

500<br />

o C selama ± 1 jam. Pembakaran dengan<br />

menggunakan tungku bertujuan agar eceng gondok<br />

dapat berubah menjadi karbon aktif dan tidak<br />

berubah menjadi abu.<br />

Pada tahap terakhir, eceng gondok yang sudah<br />

menjadi karbon aktif dihaluskan dengan cara<br />

ditumbuk dengan menggunakan mortar dan pestle.<br />

Karbon eceng gondok yang telah halus tersebut<br />

diayak dengan menggunakan ayakan 80-mesh.<br />

Karbon aktif yang dihasilkan tersebut berbentuk<br />

PAC (powdered activated carbon) dengan ukuran<br />

partikel


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

17,83 ppm, di mana massa adsorben yang diberikan<br />

sama yaitu sebanyak 25 mg.<br />

Gambar 4. Grafik kurva baku pengukuran Pb(II).<br />

Pengaruh Agitation Time dan Konsentrasi PbCl 4<br />

2−<br />

dalam Penyerapan Pb(II)<br />

Hasil pengukuran pengaruh agitation time dan<br />

konsentrasi PbCl 2−<br />

4 dalam penyerapan Pb(II) oleh<br />

AEC digambarkan dengan grafik pada Gambar 5.<br />

(a)<br />

Gambar 5. Grafik Pb terukur untuk konsentrasi awal adsorbat<br />

17,83 ppm. Garis warna merah adalah fitting dari data.<br />

Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa karbon<br />

aktif mampu menyerap ion logam Pb dengan baik<br />

pada menit pertama hingga menit ke-11. Pada menit<br />

pertama, konsentrasi PbCl 2−<br />

4 yang terukur sebesar<br />

17,813 ppm. Konsentrasi awal larutan sampel<br />

limbah industri buatan yang diukur sebesar 17,83<br />

ppm dengan massa sebanyak 25 mg. Pada menit ke-<br />

12 hingga menit ke-15 perubahan konsentrasi<br />

larutan mendekati konstan yaitu sebesar 17,77 ppm.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa karbon aktif tidak dapat<br />

mengadsorpsi ion-ion Pb(II) lagi.<br />

Untuk melihat perilaku AEC dalam menyerap<br />

ion Pb maka dibuat larutan sampel limbah buatan<br />

dengan konsentrasi 124,76 ppm dan 1170,27 ppm<br />

sebagai pembanding. Jika dibandingkan dengan<br />

konsentrasi Pb yang lebih kecil maka pada<br />

konsentrasi yang lebih besar jumlah Pb yang<br />

terserap semakin banyak. Dari Gambar 6 dapat<br />

dilihat bahwa pada menit pertama, Pb yang terukur<br />

sebesar 122,38 ppm. Pb dapat terserap baik hingga<br />

menit ke-14, dengan jumlah Pb yang terukur sebesar<br />

117,045 ppm. Jumlah Pb yang terserap lebih banyak<br />

dibandingkan dengan konsentrasi sampel sebesar<br />

(b)<br />

Gambar 6. Grafik Pb terukur untuk konsentrasi awal adsorbat (a)<br />

124,76 ppm dan (b) 1170,27 ppm. Garis warna merah adalah<br />

fitting dari data.<br />

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan<br />

banyaknya ion-ion Pb yang terukur dari ketiga<br />

konsentrasi awal adsorbat yang berbeda yaitu 17,83<br />

ppm, 124,76 ppm dan 1170,27 ppm. Dari ketiga<br />

konsentrasi yang berbeda tersebut dapat dilihat<br />

bahwa semakin besar konsentrasi awal adsorbat<br />

maka semakin banyak ion-ion Pb yang dapat diserap<br />

oleh karbon aktif. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

banyaknya ion Pb yang dapat diserap oleh karbon<br />

aktif sangat dipengaruhi oleh konsentrasi adsorbat.<br />

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui<br />

bahwa karbon aktif efektif dalam menyerap logam<br />

Pb dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Ukuran<br />

pori-pori karbon yang besar mampu menyerap ionion<br />

logam Pb dalam jumlah yang cukup banyak.<br />

Semakin besar konsentrasi larutan yang<br />

mengandung ion-ion Pb (adsorbat) maka semakin<br />

besar pula ion-ion Pb yang terserap oleh karbon<br />

aktif. Karbon aktif mempunyai keterbatasan waktu<br />

dalam menyerap ion-ion logam. Dalam batas waktu<br />

tertentu karbon aktif akan menjadi jenuh dan tidak<br />

dapat menyerap ion-ion logam kembali. Titik jenuh<br />

B29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ini dicapai ketika besarnya konsentrasi Pb yang<br />

terukur mencapai nilai konstan dan kejenuhan dari<br />

karbon aktif dalam menyerap ion logam Pb<br />

dipengaruhi besarnya konsentrasi dari adsorbat.<br />

Penyerapan ion-ion Pb oleh karbon aktif sangat<br />

dipengaruhi gaya tarik (gaya van der Waals) yang<br />

dihasilkan oleh interaksi molekul karbon aktif<br />

dengan molekul adsorbat (PbCl 4 2− ). Ion PbCl 4<br />

2−<br />

merupakan molekul polar, dimana interaksinya<br />

dengan karbon aktif yang merupakan molekul<br />

nonpolar menyebabkan molekul karbon bersifat<br />

polar sehingga terbentuk dipol induksian pada<br />

molekul karbon akibat interaksi dari kedua molekul<br />

tersebut.<br />

Data penelitian menunjukkan bahwa dengan<br />

massa adsorben yang sama pada konsentrasi awal<br />

adsorbat yang rendah (17,83 ppm) banyaknya ion Pb<br />

yang terserap karbon aktif lebih kecil dibandingkan<br />

dengan konsentrasi awal adsorbat yang lebih tinggi<br />

(1170,27 ppm). Hal ini dipengaruhi oleh gaya<br />

induksi yang dihasilkan oleh molekul adsorbat dan<br />

gaya tarik oleh molekul karbon aktif.<br />

Semakin banyak jumlah molekul adsorbat yang<br />

mengandung ion-ion Pb(II) maka semakin banyak<br />

pula jumlah dipol molekul adsorbat yang<br />

menginduksi molekul karbon aktif dan<br />

menyebabkan molekul karbon aktif semakin bersifat<br />

polar sehingga gaya tarik yang dihasilkan molekul<br />

karbon akan semakin besar untuk mengikat molekul<br />

adsorbat, khususnya ion-ion Pb dalam larutan. Maka<br />

untuk konsentrasi adsorbat yang rendah, tidak semua<br />

ion Pb terserap oleh karbon aktif. Hal ini disebabkan<br />

jumlah dipol yang lebih sedikit pada molekul<br />

adsorbat sehingga gaya induksi yang dihasilkan<br />

lebih kecil dan menyebabkan gaya tarik yang<br />

dihasilkan oleh molekul karbon cukup lemah karena<br />

sifat<br />

Pengaruh Massa Adsorben terhadap Penyerapan<br />

Ion Logam Pb(II)<br />

Pengukuran pengaruh massa adsorben terhadap<br />

penyerapan ion logam Pb(II) dilakukan dengan<br />

pemberian variasi dosis pada sampel limbah buatan.<br />

Variasi dosis yang digunakan sebanyak 10 mg, 20<br />

mg, 30 mg, 40 mg dan 50 mg. Hasil pengukuran<br />

untuk konsentrasi awal 12,58 ppm disajikan pada<br />

Gambar 7. Sementara Gambar 8 menyajikan hasil<br />

pengukuran untuk konsentrasi awal 34,95 ppm.<br />

Gambar 7. Grafik pengaruh massa adsorben terhadap konsentrasi<br />

Pb untuk konsentrasi awal adsorbat 12,58 ppm.<br />

Gambar 7 memperlihatkan variasi banyaknya<br />

ion Pb yang terserap oleh karbon aktif, di mana<br />

terlihat jelas bahwa jumlah ion Pb yang terserap<br />

cukup banyak pada pemberian adsorben sebanyak<br />

50 mg. Pb yang terserap hingga mencapai 5,58 ppm<br />

pada menit ke-10. Pengamatan hanya dilakukan<br />

hingga menit ke-10 karena pengukuran ini dilakukan<br />

untuk mengetahui karakteristik karbon aktif dalam<br />

menyerap ion Pb ketika diberikan massa adsorben<br />

yang berbeda.<br />

Gambar 8. Grafik pengaruh massa adsorben terhadap konsentrasi<br />

Pb untuk konsentrasi awal adsorbat 34,59 ppm.<br />

B30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa<br />

penyerapan ion logam Pb(II) oleh karbon aktif<br />

dipengaruhi oleh konsentrasi adsorbat dan massa<br />

adsorben. Semakin banyak konsentrasi adsorbat<br />

maka semakin besar konsentrasi Pb(II) yang terserap<br />

oleh AEC. Pada konsentrasi awal adsorbat sebesar<br />

1170,27 ppm, konsentrasi Pb(II) yang terserap<br />

cukup besar yaitu 957,556 ppm. Konsentrasi<br />

penyerapan terbesar terjadi pada menit pertama yaitu<br />

mencapai 60% dan mencapai konstan hingga 80%.<br />

Untuk konsentrasi awal adsorbat sebesar 124,76<br />

ppm, konsentrasi Pb(II) yang terserap yaitu 7,824<br />

ppm dengan persen penyerapan pada menit pertama<br />

mencapai 2% dan mencapai konstan hingga 6,27%.<br />

Pada konsentrasi awal adsorbat sebesar 17,83 ppm,<br />

besarnya konsentrasi Pb(II) yang terserap sangat<br />

kecil yaitu sebesar 0,057 ppm dengan persen<br />

penyerapan pada menit pertama hanya 0,09%<br />

hingga mencapai konstan sebesar 0,3%.<br />

Banyaknya jumlah karbon aktif (adsorben) yang<br />

diberikan dalam limbah cair buatan berpengaruh<br />

terhadap banyaknya konsentrasi ion Pb(II) yang<br />

terserap. Semakin banyak massa adsorben yang<br />

diberikan maka semakin banyak ion logam Pb(II)<br />

yang diserap oleh AEC. Namun AEC tidak efektif<br />

mengurangi limbah untuk konsentrasi yang rendah.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anggraini, E. (2007). Pembuatan dan Karakterisasi<br />

Elektroda Selektif Ion PbCl 4<br />

2-<br />

Tipe Kawat<br />

Terlapis untuk Mendeteksi Pb dalam Air<br />

Limbah. Skripsi. Universitas Brawijaya.<br />

Malang.<br />

Brian, M. (1997). Ion Selective Electrodes:<br />

Measurement Considerations. Diakses dari<br />

http://elchem.kaist.ac.kr/vt/chemed/echem/ise<br />

.htm, pada tanggal 20 April 2010.<br />

Buchari (1990). Analisis Instrumentasi Bagian 1:<br />

Tinjauan Umum dan Analisis Elektrometri.<br />

Jurusan Kimia FMIPA ITB. Bandung.<br />

Cheek, G., C. P. Wales dan R. J. Nowak. (1983). pH<br />

Respone of Platinume and Viterous Carbon<br />

Electrodes Modified by Electropolymerized<br />

Films. Analytical Chemistry. 55: 380.<br />

Clark, R. M. (1989). Granular Activated Carbon:<br />

Design, Operation, and Cost. Lewis<br />

Publishers.<br />

Hoehn, R. C. (1996). Class Notes: CE4104 Water<br />

and Wastewater Design, Virginia Tech.<br />

Huang, C. P. dan D. W. Blankeship (1984). The<br />

Removal of Hg(II) from Dilute Aqueous<br />

Solution Activated Carbon. Water Research.<br />

18 (1): 37-46.<br />

IUPAC (2006). General Terms Relevant to Ion-<br />

Selective Electrode, IUPAC Compendium of<br />

Chemical Technology.<br />

Lakshminarayanaiah, N. (1976). Membranes<br />

Electrodes. Academic Press. London.<br />

Nordberg, J. F., J. Parizek, G. Pershagen dan L.<br />

Gerhardsson, Eds. (1986). Factor Influencing<br />

Effect and Dose-Respons Relationships of<br />

Metals. Handbook on the Toxicology of<br />

Metals. Elsevier. New York.<br />

Oscik, J. (1982). Adsorption. Ellis Horwood<br />

Limited. New York.<br />

Parker, S. P. (1984). Encyclopedia of Science and<br />

Technology. Mc.Graw-Hill Book Company.<br />

New York.<br />

Prayoga, C. C. (1981). Ilmu Kimia Fisik II.<br />

Universitas Brawijaya. Malang.<br />

Reynolds, T. D. dan P. A. Richards (1996). Unit<br />

Operations and Processes in Environmental<br />

Engineering. 2nd ed. PWS Publishing Co.<br />

Shekinah, P. (2002). Adsorption of lead(II) from<br />

aqueous solution by activated carbon<br />

prepared from Eichhornia. Journal of<br />

Chemical Technology and Biotechnology.<br />

77: 458-464.<br />

Suarna, E. (1990). Pemanfaatan Eceng Gondok<br />

Menjadi Biogas (Methan). Majalah BPPT.<br />

39: 85-89.<br />

Weber Jr., W. J. (1977). Physicochemical Process<br />

for Water Quality Control. John Willey and<br />

Sons. New York.<br />

B31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Posisi Matahari Terhadap Intensitas Radiasi Ultraviolet-B<br />

Dan Efeknya Terhadap Kesehatan Dilihat dari Data<br />

SPD LAPAN Watukosek Tahun 2008<br />

Lalu Husnan Wijaya 1 , Hari Susanto 2<br />

1,2 Peneliti SPD LAPAN Watukosek<br />

Email : lalu_wako@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Data intesitas radiasi UV-B selama 1 tahun yang diperoleh dari hasil observasi yang dilaksanakan di SPD<br />

LAPAN Watukosek dengan interval waktu 15 menit sangat bermanfaat untuk mempelajari hubungan antara<br />

kenaikan intensitas radiasi UV-B dari matahari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dengan resiko kanker kulit.<br />

Dalam waktu yang berbeda, intensitas radiasi berubah-ubah dari hari kehari, menurut waktu dalam 1 tahun<br />

diperoleh hubungan antara data harian, bulanan dengan pergerakan bumi mengelilingi matahari pada titik balik<br />

Utara bulan Juni dan titik balik Selatan bulan Desember. Diketahui bahwa pengaruh sudut matahari terhadap<br />

intensitas radiasi UV-B yang menunjukkan bahwa ketika sudut matahari rendah yaitu mendekati matahari terbit<br />

dan matahari terbenam, intensitas radiasi UV-B kecil (mendekati nol) dan ketika matahari berada didekat sudut<br />

zenith korelasinya dengan jumlah intensitas radiasi UV-B lebih besar (mendekati puncak) . Pengaruh bumi<br />

mengelilingi matahari pada titik balik utara dan titik balik selatan siklus matahari dalam 1 tahun untuk jumlah<br />

intensitas radiasi UV-B bulan Maret dan bulan September mempunyai nilai relative lebih besar sekitar 1460 kJ<br />

karena posisi matahari berada diatas Ekuator dibandingkan dengan bulan Juni dan Desember sekitar 1016 kJ<br />

karena posisi matahari paling jauh dari Ekuator . Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan<br />

antara peredaran bumi mengelilingi matahari dan perubahan tingkat intensitas radiasi UV-B dari waktu kewaktu<br />

yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan.<br />

Kata kunci : ultraviolet-B, korelasi, intensitas, radiasi .<br />

PENDAHULUAN<br />

Energi yang dipindahkan dari matahari sampai<br />

ke bumi melalui atmosfernya, sebagai pancaran<br />

gelombang electromagnet, yaitu gelombang yang<br />

merambat melalui ruang hampa, bahan tembus<br />

pandang ( seperti kaca ), bahkan benda padat. Jadi,<br />

semua pancaran electromagnet yang masing-masing<br />

memiliki panjang gelombang untuk menentukan<br />

warna. Yang paling panjang sekitar 16.000 cm dan<br />

menghasilkan cahaya yang kita sebut merah. Yang<br />

terpendek kira-kiran 1/28.000 cm dan menghasilkan<br />

warna violet ( Christian Huygens tahun 1960 )<br />

Diantara keduanya terletak panjang gelombang<br />

warna-warna lain dari spectrum yang kasat mata<br />

yakni cahaya yang dapat dilihat. Dari cahaya kasat<br />

mata diantaranya terdapat gelombang pendek yakni<br />

sinar ultraviolet. Sinar matahari yang mengandung<br />

radiasi ultraviolet dibagi tiga daerah yaitu : Radiasi<br />

UV-A, Radiasi UV-B dan Radiasi UV-C tergantung<br />

panjang gelombangnya.<br />

Radiasi gelombang pendek UV-C tidak sampai<br />

dipermukaan bumi karena semuanya diblok oleh<br />

oksigen dan ozon . radiasi gelombang menengah<br />

yaitu UV-B sebagian besar diserap oleh ozon dan<br />

sebagian kecil lainnya langsung kepermukaan bumi .<br />

Sedangkan radiasi gelombang yang lebih panjang<br />

yaitu UV-A hanya sedikit yang diserap dan<br />

selebihnya sampai langsung kepermukaan bumi .<br />

Radiasi UV-B dalam jumlah yang kecil sewaktu<br />

mengenai kulit dan diabsorbsi akan merangsang<br />

proses pembentukan Vitamin D3 yang berfungsi<br />

untuk memetabolisasikalsium sehingga membentuk<br />

tulang yang kuat . Namun semenjak dua decade<br />

terakhir ini, Sinar matahari yang awal mulanya<br />

bersahabat secara perlahan merupakan ancaman<br />

tidak langsung terhadap kesehatan. Ini terjadi<br />

disebabkan menipisnya konsentrasi lapisan ozon di<br />

stratosphere yang akan mengakibatkan intensitas<br />

radiasi ultraviolet dipermukaan bumi semakin tinggi.<br />

Ozon stratosfer yang terletak pada ketinggian 10<br />

sampai 50 km dengan jumlah sekitar 90% dari<br />

seluruh ozon yang ada di atmosfer bumi yang<br />

berfungsi untuk menyerap radiasi UV-B sehingga<br />

bumi terhindar dari paparan radiasi UV-B yang<br />

berlebihan (Stephen O. Andersen & K. Madhava<br />

Sarma “Protecting the Ozone Layer”).<br />

Beberapa penelitian melaporkan bahwa setiap<br />

decade ( sejak tahun 1970 ) lapisan ozon berkurang<br />

3 % akan menaikkan intensitas radiasi ultra violet<br />

sebesar 12 % . Dari uraian tersebut diatas maka<br />

menjadi lebih penting untuk dilakukan penelitian<br />

lebih lanjut dan pantauan mengenai perubahan<br />

intensitas radiasi ultra violet khususnya radiasi UV-<br />

B untuk tujuan penelitian yang berbeda. Kenaikan<br />

intensitas radiasi UV-B secara kontinu diamati dari<br />

SPD LAPAN Watukosek pada posisi 112°65’ BT<br />

dan 7°57’LS Jawa Timur. Pengamatan intensitas<br />

B32


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

radiasi UV-B dimulai dari matahari terbit dan<br />

berakhir waktu matahari terbenam dalam durasi<br />

waktu pengamatan 15 menit sekali. Hal tersebut<br />

terus menerus dilakukan dari hari kehari menurut<br />

waktu dalam satu tahun. Tujuan dalam penelitian ini<br />

adalah untuk mengetahui hubungan antara kenaikan<br />

intensitas radiasi UV- B dengan pergerakan bumi<br />

mengelilingi matahari dan pengaruhnya terhadap<br />

kesehatan.<br />

DATA DAN METODE<br />

Data Intensitas radiasi UV- B adalah data yang<br />

diperoleh dari hasil pengamatan Bulan Januari<br />

sampai dengan Bulan Desember tahun 2008, data<br />

UV-B dinyatakan dengan nilai satuan (kJ) . Data<br />

tersebut diperoleh dari hasil pengamatan di SDP<br />

LAPAN Watukosek yang menggunakan sensor<br />

Pyradiometer type MS 212W yang dilengkapi<br />

dengan converter yang mampu untuk melakukan<br />

pengukuran intensitas radiasi UV-B pada panjang<br />

gelombang 280 – 320 nm. Pengamatan dilakukan<br />

mulai pukul 06:00 sampai dengan 18 :00 secara<br />

terus menerus setiap hari dengan interval waktu<br />

pengamatan 15 menit sekali. Tahap selanjutnya<br />

adalah membuat analisis untuk mengetahui hasil<br />

rata-rata harian dan bulanan serta grafik dengan<br />

menggunakan program Microsoft Offece exell.<br />

Selain data hasil pengamatan juga diroleh dari<br />

sumber lain diantaranya : study literature dilakukan<br />

mengawali langkah penelitian , selanjutnya<br />

menngunakan basis data sebagai acuan untuk<br />

menggambarkan secara keseluruan dari tahapan<br />

penelitian yaitu melakukan analisis data UV-B dari<br />

hasil observasi di SPD LAPAN Watukosek yang<br />

terletak pada posisi 112º65’BT dan 7º57’LS<br />

dibandingkan dengan hsil observasi dari Stasiun di<br />

Bandung yang letaknya pada posisi 6º9’LS dan<br />

107º58’BT, untuk mengetahui adanya perbedaan<br />

tingkat intensitas radiasi UV-B juga dipengaruhi<br />

oleh factor posisi lintang dan bujur. Tahap<br />

selanjutnya adalah menghubungkan pergerakan<br />

bumi mengelilingi matahari pada titik balik Juni dan<br />

titik balik Desember dengan data intensitas radiasi<br />

UV-B dari hasil observasi di SPD LAPAN<br />

Watukosek , untuk mengetahui tingkat perubahan<br />

intensitas radiasi UV-B setiap bulan dalam satu<br />

tahun.<br />

Sumber lain dari Pusat Standarisasi dan<br />

Penelitian Keselamatan , Badan Tenaga Atom<br />

Nasional, Jakarta , yang telah mempublikasikan<br />

melalui hasil penelitian, menjelaskan mengenai<br />

pembagian Daerah Radiasi Ultra Violet ( UV-R)<br />

yang dipancarkan oleh matahari dibagi menjadi 3<br />

daerah yaitu : UV-A; UV-B dan UV-C, tergantung<br />

pada panjang gelombang yang dapat berpengaruh<br />

terhadap efek biologi .<br />

TABEL II<br />

Pembagian daerah radiasi ultra violet (UV-R) dan hubungannya<br />

dengan efek biologi.<br />

Rentang<br />

Daerah Spektrum<br />

(nm)<br />

Efek biologi<br />

pada mata<br />

Efek biologi pada<br />

kulit<br />

UV-C<br />

UV-B<br />

UV-A<br />

100 - 280<br />

280 - 315<br />

315 - 400<br />

Foto Keratin<br />

Foto keratis,<br />

katarak<br />

Katarak<br />

Anemia kanker<br />

Eritema kanker<br />

Penggelapan<br />

pigmen, percepatan<br />

penuaan.<br />

Faktor lain yang menyebabkan peningkatan radiasi<br />

ultraviolet ( UV-R ) sampai dipermukaan bumi yang<br />

berakibat dengan efek biologi adalah penipisan<br />

lapisan ozon di stratosfer, karena bertambahnya<br />

bahan kimia buatan manusia yang mengandung<br />

senyawa klorin dan bromin, akan ikut merusak<br />

molekul ozon pada lapisan stratosfer ( oleh<br />

Sherwood Rowland dan Mario Molina dari<br />

Universitas California Tahun 1974 )<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Data dari hasil observasi SPD LAPAN<br />

Watukosek merupakan data digital yang<br />

menggambarkan tingkat intensitas radiasi UV-B<br />

setiap 15 menit sekali pada panjang gelombang 280-<br />

315 nm yang dinyatakan dalam satuan ( kJ ) . Data<br />

UV-B tersebut kemudian disusun dan ditampilkan<br />

dalam bentuk table harian yang sesuai dengan<br />

tanggal dan jam pengamatan. Selanjutnya diolah<br />

menggunakan Program Microsoft Office Excell<br />

menjadi data rata-rata bulanan maksimum ,<br />

minimum dan total dalam bentuk grafik variasi<br />

intensitas radiasi UV-B mulai dari Bulan Januari<br />

sampai dengan Desember 2008 seperti diperlihatkan<br />

pada table berikut :<br />

TABEL II<br />

Data integrated Ultra Violet B (kJ) LAPAN Watukosek Januari<br />

sampai Agustus 2008.<br />

Jam Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags<br />

6:00 4 2 2 3 2 1 1 1<br />

6:15 10 5 6 7 5 3 2 4<br />

6:30 23 14 15 18 12 8 6 10<br />

6:45 46 30 33 38 27 19 15 23<br />

7:00 79 60 63 68 49 37 31 45<br />

7:15 125 102 103 107 81 65 55 75<br />

7:30 180 144 155 158 122 99 87 114<br />

7:45 245 191 219 216 172 145 126 161<br />

8:00 317 243 297 280 229 195 176 217<br />

8:15 405 321 391 360 289 251 239 272<br />

8:30 491 402 484 442 358 317 288 345<br />

8:45 566 489 569 523 431 387 372 433<br />

9:00 684 573 676 631 493 454 442 511<br />

9:15 763 773 772 691 594 509 513 607<br />

B33


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

9:30 839 870 833 778 677 589 580 696<br />

9:45 954 892 916 913 758 676 635 788<br />

10:00 1068 1015 1025 974 836 734 714 867<br />

10:15 1134 1156 1087 1032 906 796 776 950<br />

10:30 1227 1142 1157 1123 959 850 822 1007<br />

10:45 1258 1154 1263 1215 1002 917 890 1062<br />

11:00 1292 1141 1337 1228 1030 945 940 1117<br />

11:15 1317 1071 1316 1208 1043 985 968 1139<br />

11:30 1303 1025 1310 1221 1070 1002 987 1170<br />

11:45 1290 998 1408 1268 1059 1016 987 1176<br />

12:00 1288 1013 1435 1266 1059 992 981 1181<br />

12:15 1238 952 1461 1237 1010 970 952 1158<br />

12:30 1158 926 1455 1225 983 927 920 1145<br />

12:45 1098 955 1300 1167 947 889 879 1105<br />

13:00 1057 931 1184 1113 901 832 839 1046<br />

13:15 1029 849 1107 1038 798 762 798 992<br />

13:30 965 629 951 937 709 699 752 929<br />

13:45 900 639 758 803 619 631 686 850<br />

14:00 743 611 661 694 530 563 606 761<br />

14:15 604 553 519 610 464 487 527 665<br />

14:30 473 417 426 504 388 411 444 575<br />

14:45 402 343 318 424 315 337 365 484<br />

15:00 334 307 269 342 256 272 300 399<br />

15:15 267 240 228 267 201 211 237 313<br />

15:30 212 232 172 211 148 161 178 238<br />

15:45 162 166 138 161 103 115 128 174<br />

16:00 120 119 98 116 66 75 87 121<br />

16:15 85 89 64 75 41 43 53 77<br />

16:30 58 65 44 44 22 25 30 45<br />

16:45 37 40 26 22 10 12 16 23<br />

17:00 21 23 13 10 4 4 7 10<br />

17:15 9 11 6 4 2 2 3 4<br />

17:30 4 4 2 2 1 1 1 2<br />

17:45 2 2 1 1 1 1 1 1<br />

18:00 1 1 1 1 1 0 0 0<br />

Total 27884 23932 28074 26775 21782 20423 20443 25085<br />

TABEL III<br />

Data integrated Ultra Violet B (kJ) LAPAN Watukosek bulan<br />

September sampai Desember tahun 2008.<br />

Jam Sep Okt Nop Des AVG Min Max STD<br />

6:00 4 11 16 13 5 1 16 5.2<br />

6:15 11 25 33 30 12 2 33 11.1<br />

9:15 662 798 899 806 699 509 899 123.7<br />

9:30 755 875 1002 912 784 580 1002 129.5<br />

9:45 847 972 1089 761 850 635 1089 131.3<br />

10:00 898 1055 1150 937 939 714 1150 134.5<br />

10:15 965 1134 1209 888 1003 776 1209 144.5<br />

10:30 1051 1193 1248 993 1064 822 1248 141.2<br />

10:45 1119 1276 1279 1084 1126 890 1279 138.7<br />

11:00 1143 1316 1304 1104 1158 940 1337 139.9<br />

11:15 1181 1373 1304 1150 1171 968 1373 136.9<br />

11:30 1223 1386 1273 1202 1181 987 1386 132.2<br />

11:45 1236 1381 1203 1272 1191 987 1408 146.2<br />

12:00 1252 1364 1187 1226 1187 981 1435 148.3<br />

12:15 1231 1346 1159 1134 1154 952 1461 161.7<br />

12:30 1190 1285 1114 1013 1112 920 1455 165.6<br />

12:45 1151 1214 1040 752 1041 752 1300 160.1<br />

13:00 1092 1121 971 639 977 639 1184 156.3<br />

13:15 1019 1036 878 585 908 585 1107 154.0<br />

13:30 947 943 803 420 807 420 965 170.8<br />

13:45 844 845 695 346 718 346 900 152.2<br />

14:00 747 741 595 322 631 322 761 125.3<br />

14:15 668 655 519 290 547 290 668 107.0<br />

14:30 569 547 426 263 454 263 575 88.0<br />

14:45 467 444 354 241 375 241 484 71.4<br />

15:00 375 358 304 174 308 174 399 60.6<br />

15:15 293 279 240 136 243 136 313 47.0<br />

15:30 223 208 175 81 187 81 238 44.1<br />

15:45 164 141 122 51 135 51 174 35.0<br />

16:00 114 98 85 36 94 36 121 26.1<br />

16:15 72 59 52 27 61 27 89 19.0<br />

16:30 42 33 28 20 38 20 65 14.2<br />

16:45 21 16 13 12 21 10 40 9.7<br />

17:00 9 7 6 5 10 4 23 6.1<br />

17:15 3 3 3 2 4 2 11 3.0<br />

17:30 1 1 1 1 2 1 4 1.2<br />

17:45 1 1 1 1 1 1 2 0.5<br />

18:00 1 1 0 1 1 0 1 0.2<br />

Total 26407 29235 27972 22589<br />

Dari data bulanan intensitas radiasi UV-B<br />

seperti yang titunjukkan pada table II dan table III<br />

ma ka dibuat grafik hubungan antara intensitas<br />

radiasi rata-rata dengan waktu dan bulan observasi<br />

dan juga grafik hubungan antara intensitas radiasi<br />

total rata-rata dengan bulan pengamatan .<br />

6:30 25 48 61 54 24 6 61 18.9<br />

6:45 47 79 98 87 45 15 98 27.9<br />

7:00 79 122 147 129 76 31 147 37.8<br />

7:15 120 176 209 180 116 55 209 48.8<br />

7:30 167 236 280 235 165 87 280 59.3<br />

7:45 222 307 361 303 222 126 361 71.3<br />

8:00 277 382 443 371 286 176 443 81.2<br />

8:15 355 452 523 436 358 239 523 87.6<br />

8:30 428 547 602 525 436 288 602 97.6<br />

8:45 509 625 679 621 517 372 679 98.6<br />

9:00 587 721 790 719 607 442 790 114.7<br />

Gambar 1: variasi intensitas radiasi rata-rata bulanan di<br />

Watukosek tahun 2008.<br />

B34


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2: intensitas radiasi UV-B total rata-rata bulanan di<br />

Watukosek tahun 2008.<br />

Data intensitas radiasi UV-B yang telah diolah<br />

berupa table dan garfik yang ditunjukkan pada<br />

gambar 1 dan gambar 2 terlihat bahwa intensitas<br />

radiasi ultra violet B bervariasi dari waktu ke waktu<br />

baik yang berupa intensitas radiasi rata-rata harian,<br />

bulanan maupun intensitas radiasi total bulanan ,<br />

kemudian dihubungkan dengan data Garis Edar<br />

Bumi mengelilingi Matahari yang diperoleh dari<br />

sumber”www.yohanessurya.com.”<br />

Gambar 3: garis edar bumi mengelilingi matahari.<br />

Ketika bumi bergerak mengelilingi matahari<br />

dengan berputar pada sumbunya menuju kearah<br />

yang tetap, daerah yang disinari matahari selalu<br />

berubah ubah, penyinaran meliputi kutub utara pada<br />

titik balik bulan Juni dan kutub Selatan pada bulan<br />

Desember , pada gambar 3 menunjukkan pengaruh<br />

tersebut secara lebih rinci . Bagian dari seluruh hari<br />

yang mataharinya bersinar pada setiap lintang<br />

ditunjukkan oleh daerah diantara garis lintang yang<br />

terdapat dibelahan bumi yang disinari. Pada titik<br />

balik Juni, matahari bersinar sepanjang periode<br />

perputaran bumi pada semua lintang yang berada<br />

disebelah Utara Lingkaran Antartika, sedangkan<br />

disebelah Selatan Lingkaran Antartika mengalami<br />

24 jam kegelapan .<br />

Pada garis lintang diantara Lingkaran Antartika<br />

berangsur-angsur terdapat jumlah jam siang hari<br />

yang makin kecil jika kita bergerak dari Utara ke<br />

Selatan. Pada khatulistiwa terdapat 12 jam siang<br />

dan 12 jam malam. Pada titik balik Desember,<br />

lamanya waktu siang hari tepat kebalikannya,<br />

dengan wilayah dibelahan Selatan Lingkaran<br />

Antartika mengalami 24 jam siang hari . Pada<br />

Ekuinoks ( matahari berada dikhatulistiwa ), terjadi<br />

12 jam siang hari untuk semua garis lintang. Dari<br />

garis edar bumi mengelilingi matahari pada titik<br />

balik Juni dan titk balik Desember tampak bahwa<br />

Pola Grafik Intensitas Radiasi UV-B yang terbentuk<br />

dipengaruhi oleh posisi Lintang dan Bujur seta<br />

peredaran Bumi mengelilingi matahari . Hal ini<br />

terbukti dari hasil pengamatan Bulan Juni di SPD<br />

LAPAN Watukosek mempunyai nilai rata-rata<br />

bulanan intensitas Radiasi UV-B paling rendah.<br />

Dan hasil pengamatan Bulan Desember mempunyai<br />

nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan<br />

Bulan Juni walaupun matahari sedang berada dititik<br />

balik Selatan yang disebabkan karena posisi SPD<br />

LAPAN Watukosek berada di Lintang Selatan yang<br />

cenderung lebih dekat dengan titik balik Bulan<br />

Desember ( matahari dibelahan bumi selatan ). Dan<br />

juga telah dibuktikan dari hasil penelitian LAPAN<br />

Bandung yang berjudul ”Energy of Solar Ultraviolet<br />

B Irradiance Over Bandung And Watukosek in<br />

2007” bahwa nilai rata-rata Intensitas Radiasi UV-B<br />

hasil pengamatan di SPD LAPAN Watuksek pada<br />

posisi : 7.5 ºLS dan 112.5 ºBT mempunyai nilai<br />

lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengamatan<br />

dari Bandung yang berada pada posisi 6.9ºLS<br />

107.58 ºBT sebagai berikut :<br />

TABEL IV<br />

Statistical energy of solar ultraviolet B<br />

over Bandung and Watukosek<br />

Watukosek<br />

Bandung<br />

Average 27.623 kJ 19,192 kJ<br />

Stdev 5,834 kJ 5,570 kJ<br />

% 100.0 % 69.5 %<br />

Maximum 42,803 kJ 34,192 kJ<br />

Minimum 12,127 kJ 6,636 kJ<br />

Faktor lain dalam penelitian ini dilakukan<br />

pembahasan mengenai penipisan lapisan ozon yang<br />

mengakibatkan peningkatan intensitas radiasi ( UV-<br />

R ) yang ada hubungannya dengan efek biologi.<br />

Radiasi ultraviolet (UV-R ) sewaktu melwati lapisan<br />

ozon di stratosphere sebagian besar diserap oleh<br />

ozon, sehingga tinggal UV-A dan UV-B, yang<br />

sampai dipermukaan bumi dalam jumlah yang kecil.<br />

Sedangkan UV-C pada panjang gelombang 100 nm<br />

– 280 nm diserap oleh lapisan ozon sehingga tidak<br />

mempengaruhi terhadap kesehatan. Memperhatikan<br />

dampak dan efek biologi dari radiasi UV-B jauh<br />

lebih besar dibandingkan dengan radiasi UV-A,<br />

maka dalam pembahasan ini dikhususkan untuk<br />

mendeteksi perubahan tingkat intensitas radiasi UV-<br />

B dari waktu ke waktu secara kontinyu. Penyebaran<br />

radiasi ultraviolet hingga sampai dipermukaan bumi<br />

tergantung dari beberapa faktor yang<br />

mempengaruhi, diantaranya adalah penipisan lapisan<br />

ozon di stratosfer yang disebabkan oleh terlepasnya<br />

bahan-bahan kimia buatan manusia, seperti CFC,<br />

B35


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Halon, Metil Bromida dan bahan perusak ozon lain<br />

ke udara dapat menyebabkan rusaknya lapisan ozon<br />

di stratosfer. Kerusakan lapisan ozon yang berfungsi<br />

sebagai pelindung bumi ini dapat menyebabkan<br />

peningkatan intensitas radiasi UV-B yang sangat<br />

berbahaya bila sampai kepermukaan bumi. Apabila<br />

manusia terpapar oleh sinar ini, maka akan<br />

mempunyai resiko tinggi untuk terjangkit kanker<br />

kulit, katarak mata dan menurunnya ketahanan<br />

tubuh.<br />

Untuk mengatasi hal tersebut dituntut<br />

kesadaran Pemerintah, Kepedulian Pelaku Industri,<br />

Masyarakat bersama-sama mengambil tindakan<br />

dalam meghadapi kecenderungan meningkatnya<br />

bahaya pajanan radiasi ultraviolet dari matahari<br />

akibat menipisnya lapisan ozon di stratosfer, dengan<br />

cara mengurangi dan menghapuskan penggunaan<br />

Bahan Perusak Ozon<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Kesimpulan dari uraian data hasil observasi<br />

yang dilaksanakan di SPD LAPAN Watukosek<br />

selama periode Januari sampai Desember 2008<br />

adalah sebagai berikut :<br />

Intensitas radiasi UV-B harian mulai terlihat<br />

sekitar jam 06:00 pagi hari dan puncaknya terjadi<br />

sekitar jam 12:00 kemudian berangsur-angsur<br />

menurun sampai intensitas nol pada jam 18:00.<br />

Intensitas maksimm harian terjadi pada bulan<br />

Maret sebesar 1460 kJ , karena pada saat itu<br />

matahari sedang berada diatas ekuator .<br />

Pada bulan Juni intensitas radiasi UV-B relative<br />

lebih kecil yaitu sebesar 1016 kJ , karena matahari<br />

sedang berada dititik balik Utara .<br />

Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan<br />

intensitas radiasi UV-B seperti: waktu (pagi, siang<br />

dan sore), lintang (posisi geografis), ketebalan ozon<br />

stratosfer, ketebalan awan atau partikel aerosol .<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bunawas , (1999), Radiasi Ultraviolet dari Matahari<br />

dan Risiko Kanker Kulit , Pusat<br />

Standardisasi dan Penelitian Keselamatan<br />

Radiasi,Badan Tenaga Atom Nasional,<br />

Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No.122, 9<br />

– 12 .<br />

http://www.yohanessurya.com/news.php?pid=60<br />

Molina, M.J., and F.S. Rowland, (1974).<br />

Stratospheric sink for chlorofluoromethane:<br />

Chlorine atom-catalyzed destruction of<br />

ozone. Nature 249, 810-812<br />

Saiful Hamdi, Suparno, Lalu Husnan , Hari Susanto<br />

( 2009) , Energy of Solar Ultraviolet B<br />

Irradiance Over Bandung And Watukosek in<br />

2007.<br />

Stephen O. Andersen, K.Madhava Sarma (2002),<br />

Protecting the Ozone Layer, The United<br />

Nations History, 3 – 9.<br />

Saran-saran untuk menghindari penyakit yang<br />

diakibatkan oleh radiasi UV-B yang berlebih seperti<br />

kanker kulit, kulit terbakar, katarak pada mata ,<br />

adalah sebagai berikut :<br />

Kurangi terkena sinar matahari langsung mulai<br />

pukul 10:00 sampai 16:00 karena waktu itu radiasi<br />

UV sedang puncaknya .<br />

Kenakan pakaian yang melindungi seluruh kulit<br />

dan gunakan topi lebar untuk melindungi wajah .<br />

Gunakan kaca mata hitam dengan lensa<br />

pelindung yang anti UV .<br />

Oleskan tabir surya ke permukaan kult yang<br />

mampu melindungi kulit dari radiasi UV sebelum<br />

beraktifitas diluar gedung .<br />

Hindari permukaan yang bisa memantulkan<br />

sinar matahari langsung diatas permukaan kulit .<br />

B36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pemanfaatan Radiasi dalam Terapi Dupuytren Disease<br />

(Morbus Dupuytren )<br />

Novita Rosyida 1 , Johan A.E. Noor 2<br />

1,2 Program Studi S-2 <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Brawijaya<br />

Email : novitarosyida_05@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Dupuytren disease atau sering disebut morbus dupuytren (MD) adalah penyakit disebabkan karena adanya<br />

pengerutan jaringan fibrosa di bawah permukaan telapak tangan dengan membentuk ikatan dan simpul otot. MD<br />

biasanya tumbuh sangat lambat namun memberikan efek yang sangat menyakitkan bagi pasien. Pasien yang<br />

mengalami penyakit ini akan mengalami penebalan jaringan di bawah telapak tangan dan pemendekan jari<br />

tangan, sehingga otot-otot yang menghubungkan jari dengan telapak tangan tidak dapat bergerak secara bebas.<br />

Jika dibiarkan dalam waktu lama, telapak tangan akan hyperplastis dan mengerut. Penanganan dupuytren disease<br />

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembedahan dan radiasi untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal.<br />

Radiasi merupakan salah satu agen sitotoksik dengan menggunakan sinar pengion yang dikembangkan dalam<br />

terapi dupuytren disease. Saat ini telah terjadi perkembangan yang pesat dalam teknik pemberian radiasi pada<br />

dupuytren disease salah satunya adalah dengan menggunakan sinar-X (120 kV) atau dengan elektron (3 – 10<br />

MeV). Perkembangan tersebut didasari baik oleh perbaikan pengetahuan dalam bidang teknologi komputer dan<br />

peralatan radiasi, maupun oleh berkembangnya pengetahuan dalam bidang biologi seluler maupun molekuler<br />

baik jaringan sehat maupun jaringan yang tidak sehat.<br />

Makalah ini akan mendiskusikan metode radiasi untuk mendapatkan dosis radiasi yang efektif dan homogen di<br />

daerah target dan dosis serendah mungkin pada jaringan sehat di sekitar target.<br />

Kata kunci : morbus dupuytren, radiasi pengion, proteksi radiasi, terapi klinis.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dupuytren disease atau sering disebut morbus<br />

dupuytren (MD) adalah penyakit yang disebabkan<br />

karena adanya pengerutan jaringan fibrosa di bawah<br />

permukaan telapak tangan dengan membentuk<br />

ikatan dan simpul-simpul pada otot. Pada stadium<br />

awal, simpul-simpul otot mulai muncul pada<br />

permukaan telapak tangan yang disebut dengan<br />

istilah cord. Simpul atau cord akan terus<br />

berkembang dan menjadi gejala awal morbus<br />

dupuytren. Pada perkembangan lebih lanjut, simpul<br />

atau cord akan menjalar ke periostium mendekati<br />

tulang telapak tangan yang menyebabkan terjadinya<br />

kontraksi antara telapak tangan dengan medial<br />

phalangeal (MP) dan penggabungan proximal<br />

interphalangeal (PIP). Peristiwa ini mengakibatkan<br />

permukaan telapak tangan tidak elastis (kaku) dan<br />

pembengkokan pada jari. Secara klinis<br />

perkembangan stadium pada MD didasarkan pada<br />

semakin melemahnya fungsi dari jari (McFarlane et<br />

al. 1990).<br />

Morbus dupuytren (MD) ditemukan oleh<br />

seorang anatomis dari Perancis, Guillaume<br />

Dupuytren, namun dideskripsikan oleh Felix Platter<br />

(1614) dan Astley Cooper (1824). Penyebaran dari<br />

MD berkisar antara 1-3% di pusat Eropa namun<br />

sangat bervariasi di daerah yang bebeda. Angka<br />

penyebaran tertinggi berada di daerah Irlandia,<br />

Skotlandia dan Prancis. MD biasanya mulai muncul<br />

di usia 40 tahun ke atas dengan rasio perbandingan<br />

antara laki-laki dan perempuan 3:1. Riwayat<br />

keluarga atau faktor keturunan biasanya lebih besar<br />

terjadi pada wanita jika dibandingkan dengan lakilaki<br />

(Millesi, 1981). Pada masa ilmu kedokteran<br />

belum berkembang, MD sering dikaitkan dengan<br />

alkohol, nikotin, diabetes mellitus dan epilepsi,<br />

namun penyebab sebenarnya belum dapat<br />

dimengerti secara klinis.<br />

Secara klinis tipe dari patihistologi MD dibagi<br />

menjadi tiga, yang pertama adalah fase proliferatif<br />

yang ditandai dengan peningkatan fibroblast dan<br />

mulai munculnya simpul-simpul jaringan. Fase<br />

kedua adalah fase evolusi, ditandai dengan<br />

meningkatnya myofibroblast pada simpul jaringan<br />

yang menyebabkan telapak tangan mulai kaku. Fase<br />

ketiga adalah fase residu, ditandai dengan<br />

banyaknya kolagen pada jaringan yang<br />

menghubungkan telapak tangan dengan jari (Luck,<br />

1959). Tidak seperti tumor atau desmoid, MD tidak<br />

menyerang otot-otot yang tidak berhubungan dengan<br />

simpul jaringan, namun terus berkembang secara<br />

perlahan dan cenderung stabil dari tahun-ketahun<br />

bahkan jarang berkembang secara spontan, hal ini<br />

didasarkan pada laporan perkembangan pasien<br />

selama lima tahun yang sama sekali tidak<br />

melakukan terapi.<br />

Obat-obatan (termasuk steroid, allopurinol,<br />

DMSO, nonsteroidal anti-inflamasi nonsteroid,<br />

enzim, Vitamin E) tidak dapat digunakan untuk<br />

B37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

pencegahan MD pada stadium awal. Operasi<br />

(pembedahan yang dilakukan secara lokal, parsial<br />

ataupun pembedahan total) merupakan salah satu<br />

cara yang cukup efektif untuk penanganan MD pada<br />

stadium yang lebih lanjut di mana jari dan telapak<br />

tangan sudah tidak fleksibel sehingga mengganggu<br />

aktivitas sehari-hari. Namun pembedahan<br />

mempunyai kelemahan yaitu timbulnya komplikasi<br />

dan kebanyakan pasien sekitar 30-50% mengalami<br />

kekambuhan walaupun operasi pengangkatan yang<br />

dilakukan pada jaringan yang mengalami MD<br />

berjalan dengan sukses.<br />

Gambar 1. Telapak tangan pasien yang menderita Morbus<br />

Dupuytren (www.dupuytren-online.<br />

info/dupuytren_stages_therapies.html)<br />

Terapi dengan menggunakan radiasi<br />

(radioterapi) merupakan terapi tanpa pembedahan<br />

yang dapat menghentikan atau mengurangi gejala<br />

MD pada stadium awal secara permanen atau dalam<br />

waktu yang cukup lama. Dengan teknik radioterapi<br />

pertumbuhan MD akan terhambat karena<br />

peningkatan produksi myofibroblast dan kolagen,<br />

namun tidak bisa mengembalikan kondisi telapak<br />

tangan seperti pada keadaan normal.<br />

Berdasarkan beberapa studi klinis yang telah<br />

dilakukan di Eropa, radioterapi merupakan salah<br />

satu jenis terapi yang sangat dianjurkan untuk<br />

penderita MD stadium awal walaupun radioterapi<br />

belum bisa diterima sebagai treatment yang standar.<br />

Walaupun beberapa konsep tentang dosis radiasi<br />

telah berhasil diaplikasikan untuk terapi, teknik<br />

radioterapi belum pernah diuji secara klinis. Dalam<br />

makalah ini akan didiskusikan bagaimana teknik<br />

radioterapi dapat diplikasikan dalam terapi MD<br />

secara optimal (sebagai contoh pengurangan dosis).<br />

METODE<br />

Pada makalah ini metode yang digunakan<br />

adalah studi pustaka untuk mendapatkan teknik<br />

radioterapi yang efektif pada penderita MD dengan<br />

penggunaan dosis radiasi serendah mungkin.<br />

Stadium Morbus Dupuytren (MD)<br />

Pembagian stadium pada MD didasarkan pada<br />

perhitungan deformasi total pada telapak tangan dan<br />

pengerutan jari sesuai pada Tabel 1 (Tubiana et al.<br />

1966). Stadium I meliputi hilangnya fungsi dari jari<br />

TABEL I<br />

Klasifikasi Morbus Dupuytren (MD) berdasarkan penelitian yang<br />

dilakukan oleh Tubiana, Michon, and Thomine (1966)<br />

Stadium<br />

N<br />

I<br />

II<br />

III<br />

IV<br />

Gejala Klinis<br />

Munculnya simpul, cord,<br />

kulit semakin kencang,<br />

dan kekakuan pada jari<br />

Munculnya simpul, cord,<br />

kulit semakin kencang,<br />

dan kekakuan pada jari<br />

serta deformasi pada jari<br />

Munculnya simpul, cord,<br />

kulit semakin kencang,<br />

dan kekakuan pada jari<br />

serta deformasi pada jari<br />

Munculnya simpul, cord,<br />

kulit semakin kencang,<br />

dan kekakuan pada jari<br />

serta deformasi pada jari<br />

Munculnya simpul, cord,<br />

kulit semakin kencang,<br />

dan kekakuan pada jari<br />

serta deformasi pada jari<br />

Sudut Deformasi pada<br />

Jari<br />

0<br />

1 o -45 o<br />

46 o -90 o<br />

91 o -135 o<br />

>135 o<br />

karena mengalami deformasi/ pembengkokan<br />

antara 1 o -45 o . pada stadium selanjutnya akan<br />

mengalami gejala yang sama yaitu hilangnya<br />

fungsi dari jari dengan deformasi yang lebih besar.<br />

Radioterapi<br />

Radioterapi diberikan kepada pasien<br />

berdasarkan tingkat/ stadium dari MD. Pada<br />

pelaksanaan radioterapi, simpul atau cord pada area<br />

MD diradiasi pada jarak 1-5 cm jika menggunakan<br />

mesin sinar-X (120 kV = soft X-Ray dengan daya<br />

tembus yang rendah) atau dengan menggunakan<br />

elektron (3-10 MeV). Fraksi dari terapi biasanya<br />

dilakukan selama lima hari berturut-turut untuk<br />

mendapatkan dosis yang efisien (dengan besar dosis<br />

sekali terapi sebesar 3 Gy, dengan total dosis 15 Gy<br />

untuk lima kali penyinaran). Setelah diistirahatkan<br />

selama enam minggu akan dilaksanakan perulangan<br />

terapi.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

MD dikarakterisasi oleh perkembangan jaringan<br />

fibrosa pada pembentukan node atau cord (Lukacs et<br />

al. 1978). Stadium dari MD dapat ditandai dengan<br />

adanya jaringan fibrosa yang bersifat neoplastis dan<br />

adanya perubahan bentuk jaringan pada daerah di<br />

bawah permukaan kulit (McFarlane et al. 1990).<br />

Gejala awal MD juga ditandai dengan adanya simpul<br />

dan cord pada jari dan telepak tangan. Jaringan tidak<br />

normal biasanya berkembang di daerah yang<br />

arahnya longitudinal dan mengikuti tendon/otot<br />

talapak tangan, sehingga menyebabkan adanya<br />

ketegangan pada telapak tangan dan jari. (Keilholz<br />

et al. 1997).<br />

B38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Setiap sel pada dasarnya memiliki masa<br />

proliferase dengan hipotesis bahwa setiap otot mikro<br />

TABEL III<br />

Konsep Radiasi dan Rdioterapi yang Diberikan pada Penderita Morbus Dupuytren (MD) (Seegenschmiedt et al. 2001)<br />

Studi (tahun)<br />

Finney (1955)<br />

Wasserburger<br />

(1956)<br />

Lukacs et al. (1978)<br />

Vogt & Hochschau<br />

(1980)<br />

Hesselkemp et al.<br />

(1981)<br />

Ko ¨hler (1984)<br />

Herbst et al. (1985)<br />

Keilholz et al.<br />

(1996)<br />

Seegenschemied t et<br />

al. (2001)<br />

randomized<br />

Fraksinasi<br />

1–3 x 1.000 rad<br />

Ra-Moulage<br />

1–3 x 1000 rad<br />

Ra-Moulage<br />

2 x 4 Gy<br />

(hari 1+2)<br />

Setiap 2 bulan<br />

2 x 4Gy<br />

(hari 1+2)<br />

Setiap 2 bulan<br />

2 x 4Gy<br />

(hari 1+2)<br />

Setiap 2 bulan<br />

10 x 2Gy<br />

3–5 x /minggu<br />

3–14 x3Gy<br />

5 x / minggu;<br />

2 seri radioterapi<br />

10 x 3Gy<br />

5 x /minggu<br />

2 seri radioterapi<br />

10 x 3Gy<br />

7 x 3Gy<br />

Konsep Radioterapi<br />

Dosis<br />

1.000–<br />

3.000 rad<br />

1.000–<br />

3.000 rad<br />

Follow Up<br />

NA<br />

> 12 tahun<br />

32 Gy NA<br />

32 Gy 3 tahun<br />

Gejala Klinis yang timbul pada Tiap-tiap<br />

stadium (%)<br />

Penurunan Kondisi Peningkatan<br />

Gejala Stabil Gejala<br />

I: 81%<br />

II: 75%<br />

I: 21%<br />

II: 25%<br />

III: —<br />

60% “memperolah hasil yang baik”<br />

stadium I: 90%;<br />

stadium II: 57%;<br />

stadium III: 32%<br />

I: 19% -<br />

I: 74%<br />

II: 50%<br />

III: 86%<br />

I: 4%<br />

II: 25%<br />

III: 20%<br />

40 Gy 1–9 tahun total: 52% total: 41% total: 7%;<br />

20 Gy<br />

1–3 tahun<br />

total: 21% total: 61% total: 18%<br />

42 Gy 1.5 tahun - total: 98% total: 2%<br />

30 Gy<br />

30 Gy<br />

21 Gy<br />

1–12 tahun;<br />

Rata-rata 6<br />

tahun<br />

> 1 tahun pada<br />

semua pasien<br />

72%<br />

7% stadium<br />

MD<br />

56%<br />

53%<br />

17%<br />

82% stadium<br />

MD<br />

37%<br />

38%<br />

11%<br />

11% stadium<br />

MD<br />

7%<br />

9%<br />

yang berdekatan dapat menyebabkan isemia<br />

lokal dan menghasilkan radikal bebas yang dapat<br />

merusak daerah di sekitar stroma dan menstimulasi<br />

perkembangan perivascular fibroblast. Stimulasi<br />

yang kontinyu akan mengakibatkan proliferase<br />

fibroblast dan deposisi kolagen yang mengakibatkan<br />

penjalaran sifat pathogenesis dari sel (Millesi, 1981).<br />

Efek dari radioterapi pada stadium lanjut telah<br />

ditunjukkan pada beberapa penelitian klinis (Tabel.<br />

II) di mana pada penelitian yang dilakukan oleh<br />

Lukacs (1978) tidak terjadi perkembangan MD<br />

setelah terapi dilaksanakan. Hesselkamp (1981)<br />

menyatakan bahwa terjadi kondisi pasien semakin<br />

meningkat bahkan mempunyai kondisi yang setabil<br />

setelah dilaksanakan radioterapi, yaitu lebih dari<br />

81% pasien pada stadium I mengalami penurunan<br />

gejala MD. Pada penelitian yang dilakukan<br />

Hesselkamp (1981) didapatkan 93% dari pasien<br />

yang melakukan radioterapi setelah dua tahun tidak<br />

mengalami peningkatan gejala klinis dan dalam<br />

kondisi yang stabil. Vogt dan Hocschau (1980)<br />

menyatakan 94 % dari 109 pasien yang<br />

melaksanakan radioterapi mempunyai kondisi yang<br />

stabil setelah lebih tiga tahun. Kohler (1984)<br />

melaporkan 82% dari 33 pasien yang telah diterapi<br />

mempunyai kondisi yang stabil dan 6% di antaranya<br />

mengalami kekambuhan tiga tahun setelah terapi.<br />

Observasi dari Herbst dan Regler (1985)<br />

menunjukkan adanya penurunan gejala klinis satu<br />

setengah tahun setelah terapi dilaksanakan. Keilholz<br />

(1996) menemukan 72% dari 142 pasien mengalami<br />

penurunan gejala kinis yaitu simpul yang semakin<br />

mengecil setelah lima tahun terapi dilaksanakan.<br />

Data-data klinis pada Tabel II. menggambarkan<br />

bagaimana perkembangan dari MD setelah<br />

redioterapi dilaksanakan, yang mana memberikan<br />

penurunan gejala klinis lebih dari 50% dibandingkan<br />

dengan pasien yang melaksanakan<br />

operasi/pembedahan. Namun demikian, semua studi<br />

tentang pencegahan MD dengan teknik radioterapi<br />

telah dilaksanakan cukup lama walaupun belum<br />

diperoleh dosis yang paling efektif, terlebih pada<br />

pasien yang berbeda, jenis penyakit yang berbeda,<br />

parameter-parameter treatment (fraksinasi, waktu<br />

treatmen, dosis total yang harus diberikan), akhir<br />

dari terapi dan follow up setelah terapi dilaksanakan.<br />

Kendala tersebut merupakan kunci utama yang<br />

mengakibatkan sulitnya menentukan kesimpulan<br />

seberapa efektifkah dosis yang harus diberikan pada<br />

pasien yang mengalami MD. Berdasarkan hasil<br />

tersebut, perlu diadakan penelitian lebih lanjut<br />

mengenai seberapa besar dosis yang paling efektif<br />

untuk pencegahan dan penanganan pasien yang<br />

mengalami MD.<br />

Kohler (1984) menyarankan bahwa dosis yang<br />

paling efektif untuk pencegahan MD adalah dosis<br />

total maksimal tidak lebih dari 20 Gy, sedangakan<br />

peneliti lain menyatakan untuk mendapatkan hasil<br />

yang maksimal dosis yang diberikan berkisar antara<br />

32-40 Gy. Pada studi lanjut yang dilaksanakan oleh<br />

B39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Keilholz (1996) hasil yang paling maksimal<br />

diperoleh dari dua seri radioterapi dengan dosis total<br />

dalam satu seri adalah 30 Gy (5 x 3 Gy dalam sekali<br />

terapi). Penelitian yang dilakukan oleh<br />

Seegenschemied (2001) dilaksanakan dengan waktu<br />

yang lebih lama jika dibandingkan dengan penelitian<br />

yang dilakukan oleh Keiholz. Penelitian<br />

dilaksanakan dengan membagi pasien menjadi dua<br />

grup yaitu grup A (30 Gy) dan grup B (21 Gy)<br />

dengan dosis yang diberikan pada tiap penyinaran<br />

adalah 3 Gy. Setelah satu tahun, ternyata dosis 21<br />

Gy dan 30 Gy memberikan efektifitas yang relatif<br />

sama.<br />

Teknik radioterapi yang tepat merupakan hal<br />

yang paling penting dalam radioterapi MD, yaitu<br />

dengan hanya memberikan radiasi pada daerah yang<br />

mengalami MD saja. Optimasi dapat dilakukan<br />

dengan memberikan penutup (shielding) pada daerah<br />

yang ada di sekitar MD untuk menjaga agar jaringan<br />

yang sehat tidak terkena radiasi, namun ada<br />

kemungkinan daerah yang tidak terdeteksi MD<br />

terlewatkan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal<br />

dapat dilakukan penggabungan antara pembedahan<br />

dan radioterapi. Orthovoltage photons (120-150 kV)<br />

atau linac (3-6 MeV) digunakan untuk radiasi pada<br />

semua simpul jaringan yang disisipkan pada daerah<br />

5-15 mm di bawah permukaan kulit, 120 kV/20mAs<br />

digunakan untuk radiasi pada kedalaman 33 mm<br />

karena mempunyai half value layer pada kedalaman<br />

33 mm. Dosimetri yang digunakan dapat mengacu<br />

pada ICRU 50 dalam perencanaan tretmen untuk<br />

mendaparkan dosis yang maksimal dan efektif, serta<br />

tidak memberikan banyak efek pada jaringan sehat<br />

yang ada disekitar MD.<br />

KESIMPULAN<br />

Teknik radioterapi dapat diaplikasikan pada<br />

pemderita morbus dupuytren (MD), utamanya pada<br />

stadium awal (stadium I) karena pada stadium ini<br />

gangguan dari simpul jaringan dan gejala-gejala<br />

klinis masih belum dominan. Jika tidak dilakukan<br />

radioterapi maka penanganan MD harus dengan<br />

melakukan operasi atau pembedehan dengan resiko<br />

kekambuhan yang lebih besar. Studi klinis sagat<br />

diperlukan untuk memonitoring apakah pasien<br />

dalam kondisi yang cukup baik, selain itu studi<br />

klinis dapat dimanfaatkan untuk menentukan dosis<br />

radiasi yang paling efektif berdasarkan pada kondisi<br />

pasien setelah diradiasi. Untuk studi lebih lanjut<br />

perlu dikembangkan kolaborasi antara teknik terapi<br />

dengan pembedahan dan radioterapi untuk<br />

mendapatkan hasil yang optimal.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih disampaikan kepada bapak Johan<br />

A.E. Noor selaku pembimbing, Alamsyah M.<br />

Juwono dan bapak Chomsin S. Widodo yang teleh<br />

bersedia membantu mencarikan paper yang<br />

dibutuhkan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonymous. 1834. Dupuytren G. Permanent<br />

retraction of the fingers, produced by an<br />

affection of the palmar fascia. Lancet;2:222–<br />

225<br />

Finney R. 1955. Dupuytren’s contracture. Brit J<br />

Radiol. Vol. 28, 610–613.<br />

Herbst M, Regler G. 1986. Dupuytrensche<br />

Kontraktur. Strahlenther.161, 143–147.<br />

Keilholz L, Seegenschmiedt MH, Sauer R. 1996.<br />

Radiotherapy for prevention of disease<br />

progression in early-stage Dupuytren’s<br />

contracture: Initial and long-term results. Int<br />

J Radiat Oncol Biol Phys. Vol.36, 891–897.<br />

Keilholz L, Seegenschmiedt MH, Born AD, et al.<br />

1997. Radiotherapy in the early stages of<br />

Dupuytren’s disease: Indication, technique,<br />

long-term results. Strahlenther Onkol. 173,<br />

27–35.<br />

Kohler AH. 1984. Die Strahlentherapie der<br />

Dupuytrenschen Kontraktur. Radiobiol<br />

Radiother. Vol. 25, 851–853.<br />

Luck JV. 1959. Dupuytren’s contracture. J Bone<br />

Joint Surg [Am].41, 635–664.<br />

Lukacs S, Braun Falco O, Goldschmidt H. 1978.<br />

Radiotherapy of benign dermatoses:<br />

Indications, practice, and results. J Dermatol<br />

Surg Oncol. Vol. 4, 620–625.<br />

McFarlane RM, McGrouther DA, Flint MH. 1990.<br />

Dupuytren’s disease. Biology and treatment,<br />

the hand and upper limb series.Vol. 5.<br />

Edinburgh: Churchill Livingstone.<br />

Millesi H. 1981. Dupuytren-Kontraktur. In: Nigst H,<br />

Buck-Gramcko D, Millesi H, editors.<br />

Handchirurgie, Band I. Stuttgart: Thieme.<br />

1500–1557.<br />

Seegenschmiedt M., Heinrich, M.D, Olschewski.<br />

T.,Guntrum F. 2001. Radiotherapy<br />

Optimization in Early Stage Dupuytren’s<br />

Contracture:First Results of a Randomized<br />

Clinical Study . Int. J. Radiation Oncology<br />

Biol. Phys., Vol. 49, No. 3, 785–798.<br />

Tubiana R, Michon J, Thomine JM. 1966.<br />

Evaluation chiffree des deformations dans la<br />

maladie de Dupuytren. In: Maladie du<br />

Dupuytren (monographies du G.E.M.). Paris:<br />

Expansion Scientifique Francaise.<br />

Vogt HJ, Hochschau L. 1980. Behandlung der<br />

Dupuytrenschen Kontraktur. Munch Med<br />

Wochenschr. 122, 125–130.<br />

Wasserburger K. 1956. Therapie der<br />

Dupuytrenschen Kontraktur. Strahlenther.<br />

100, 546–560.<br />

www.dupuytren-online.info/dupuytren_stages_ therapies.<br />

html. Tanggal akses 4 Juni 2010.<br />

B40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dampak Badai Geomagnet di Daerah Anomali Ekuator<br />

Sarmoko Saroso<br />

Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />

Email : sarmoko@bdg.lapan.go.id<br />

Abstrak<br />

Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan fenomena yang timbul di matahari yaitu berupa lontaran massa<br />

korona (Coronal Mass Ejection-CME) dan angin surya berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona<br />

(coronal holes) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada magnetosfer, ionosfer, atmosfer bahkan sampai ke<br />

permukaan bumi, serta mengakibatkan gangguan baik pada komunikasi radio maupun komunikasi satelit. Selain<br />

itu juga akan menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasi data survey medan magnet bumi dan eksplorasi<br />

geofisika yang dilakukan oleh para surveyor yang disebabkan oleh terkontaminasinya data hasil survey di<br />

lapangan. Respons lapisan ionosfer terhadap badai geomagnet berupa perubahan yang signifikan pada kerapatan<br />

elektron di lapisan ionosfer, seperti kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer (NmF2) dan total<br />

electron content (TEC). Studi kasus dilakukan untuk mengamati pengaruh badai geomagnet yang sangat kuat<br />

yang terjadi pada bulan Oktober - November 2003 dengan menggunakan peralatan ionosonda dan satelit GPS di<br />

Taiwan dan Indonesia, yang masing-masing terletak di daerah ekuator anomali di belahan bumi utara dan<br />

selatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat fase pulih dari badai geomagnet tanggal 30 Oktober<br />

2003, terjadi punurunan kerapatan elektron di lapisan ionosfer. Penurunan tersebut lebih signifikan terjadi di<br />

daerah ekuator anomali di belahan bumi selatan dibandingkan dengan di belahan bumi utara. Hasil tersebut<br />

bersesuain dengan model SUPIM (Sheffield University Plasmasphere Ionosphere Model) dan model TIEGCM<br />

(Thermosphere-Ionosphere-Electrodynamic General Circulation Model) untuk daerah Asia.<br />

Kata kunci : Badai geomagnet, Magnetosfer, Ionosfer, Atmosfer, Ekuator anomali<br />

PENDAHULUAN<br />

Pengamatan yang terkait dengan kejadian badai<br />

geomagnet telah sejak lama dilakukan, yaitu yang<br />

pertama kali oleh Broun (1861) kemudian oleh<br />

Adams (1892) dan dilanjutkan oleh peneliti lainnya.<br />

Akan tetapi yang pertama kali dapat mengidentifikasi<br />

pola badai magnet adalah Moos (1910)<br />

yang mengamati terjadinya peningkatan mendadak<br />

dari komponen H geomagnet di Colaba, India,<br />

kemudian diikuti oleh penurunan yang cepat selama<br />

beberapa jam dan diakhiri dengan fase pulih yang<br />

lambat selama 2-3 hari. Chapman (1918)<br />

mendefinisikan kejadian tersebut sebagai ’geomagnetic<br />

storm’ dan menamakan urutan kejadian badai<br />

geomagnet tersebut dengan fase awal, kemudian fase<br />

utama, dan diakhiri dengan fase pulih. Selain itu<br />

Chapman juga yang pertama kali mengamati<br />

dampak badai geomagnet diberbagai tempat di<br />

dunia.<br />

Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan<br />

fenomena yang timbul di matahari terutama pada<br />

saat matahari aktif, yaitu berupa lontaran massa<br />

korona (Coronal Mass Ejection-CME) yang<br />

menyebabkan gangguan terhadap angin matahari<br />

dan berakibat pada peningkatan aktivitas medan<br />

magnet bumi. Lontaran massa korona merupakan<br />

peristiwa terlontarnya plasma dan medan magnet<br />

dari matahari dalam jumlah besar yang seringkali<br />

berasosiasi dengan flare. Materi ini menuju medium<br />

antar planet dan bila mengarah ke bumi akan<br />

mencapai bumi dalam waktu 1 – 5 hari. CME ini<br />

dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya<br />

gangguan di ruang antar planet yang akan memicu<br />

terjadinya badai geomagnet (Thompson, 1989;<br />

Webb et al., 2000). Pada saat matahari minimum,<br />

pengaruh lubang korona (coronal holes) sangat<br />

dominan pada medium antar planet. Lubang korona<br />

tersebut akan bermigrasi dari daerah polar ke lintang<br />

yang lebih rendah bahkan kadang-kadang sampai ke<br />

ekuator matahari (Jackson, 1997). Dari data hasil<br />

observasi Ulysses menunjukkan bahwa aliran<br />

plasma yang berasal dari lubang tersebut<br />

mempunyai kecepatan 750-800 km/s dan didominasi<br />

oleh gelombang Alfven yang beramplitudo besar.<br />

Pada saat siklus matahari menurun, ketika lubang<br />

korona bermigrasi ke lintang yang lebih rendah,<br />

aliran plasma yang berasal dari lubang korona akan<br />

corotate dalam interval 27 hari yang dikenal sebagai<br />

corotating streams. Aliran plasma ini akan menerpa<br />

magnetosfer bumi dengan interval yang periodik dan<br />

akan menyebabkan badai geomagnet yang berulang<br />

(recurrent geomagnetic storms), akan tetapi pada<br />

umumnya badai geomagnet tersebut hanya<br />

berkekuatan sedang (Tsurutani et al., 1995).<br />

Lontaran massa korona dan angin surya<br />

berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona<br />

tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan<br />

pada lapisan ionosfer, yaitu berupa perubahan yang<br />

signifikan pada kerapatan elektron di lapisan<br />

ionosfer, seperti kerapatan elektron maksimum di<br />

lapisan F2 ionosfer dan total electron content di<br />

B41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ionosfer (Lastovicka, 2002; Blagoveshchensky et al.,<br />

2003). Studi kasus dilakukan untuk mengamati<br />

pengaruh badai geomagnet yang sangat kuat yang<br />

terjadi pada bulan Oktober - November 2003 akibat<br />

peristiwa flare tipe X17.2 yang dipancarkan dari<br />

matahari pada tanggal 28 Oktober 2003, dengan<br />

menggunakan peralatan ionosonda dan satelit GPS<br />

yang berada di Taiwan dan Indonesia, yang masingmasing<br />

terletak di daerah ekuator anomali di belahan<br />

bumi utara dan selatan.<br />

DATA DAN METODE<br />

Untuk mengamati dampak badai geomagnet di<br />

lapisan ionosfer digunakan peralatan ionosonda yang<br />

berada di stasiun Tanjungsari, Sumedang (6.90°LS,<br />

107.50°BT) dan terletak di daerah ekuator anomali<br />

di belahan bumi selatan. Data ionosonda yang<br />

digunakan adalah frekuensi kritis lapisan F 2 (foF2)<br />

yang diamati setiap 15 menit, untuk menentukan<br />

kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer<br />

(NmF2) yang besarnya sebanding dengan foF 2<br />

kuadrat. Sayangnya pada waktu yang bersamaan,<br />

stasiun ionosonda yang berada di di daerah ekuator<br />

anomali di belahan bumi utara, yaitu di Taiwan<br />

sedang tidak beroperasi karena mengalami gangguan<br />

pada bagian peralatannya.<br />

Untuk mengamati parameter ionosfer lainnya,<br />

yaitu total electron content (TEC) digunakan satelit<br />

GPS (Global Positioning System). Setiap satelit dari<br />

24 satelit GPS secara kontinu memancarkan sinyalsinyal<br />

gelombang pada 2 frekuensi L-band, yaitu L1<br />

dan L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42 Mhz dan<br />

sinyal L2 berfrekuensi 1227.60 Mhz. Sinyal L1<br />

membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-<br />

P (P-code, Precise or Private code) dan kode C/A<br />

(C/A-code, Clear Access or Coarse Acquisition),<br />

sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-C/A.<br />

Sinyal-sinyal dari satelit GPS tersebut, yang terletak<br />

kira-kira 20000 km diatas permukaan bumi akan<br />

melalui lapisan ionosfer untuk sampai ke antena<br />

penerima (receiver) di permukaan bumi. Karena<br />

lapisan ionosfer merupakan medium yang dispersif,<br />

maka kecepatan jalar gelombang elektromagnetik<br />

yang dipancarkan dari satelit GPS akan menurun<br />

disepanjang lintasan yang dilaluinya. Dengan<br />

mengetahui waktu tunda dari sinyal GPS yang<br />

sebanding dengan kerapatan elektron disepanjang<br />

lintasan yang dilaluinya, dapat ditentukan TEC di<br />

ionosfer (Sarmoko, 2000). Untuk menentukan TEC<br />

di ionosfer tersebut digunakan data GPS dari<br />

beberapa stasiun, yaitu di YMSM (25.2°LU,<br />

121.6ºBT) dan KDNM (21.94°LU, 120.78ºBT) di<br />

Taiwan, dan stasiun BAKO (6.49°LS, 106.85ºBT) di<br />

Cibinong, Bogor.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Untuk mengamati dampak badai geomagnet di<br />

lapisan ionosfer, ditentukan terlebih dulu deviasi<br />

jam-an dari kerapatan elektron maksimum di lapisan<br />

F2 ionosfer (NmF2) pada saat terjadi badai<br />

geomagnet dengan pada saat medan geomagnet<br />

dalam keadaan tenang. Gambar 1 menunjukkan<br />

indeks Dst, yaitu indikator yang menunjukkan<br />

aktivitas medan geomagnet, pada bulan Oktober<br />

2003. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada<br />

tanggal 12 Oktober 2003 medan geomagnet dalam<br />

keadaan tenang. Deviasi kerapatan elektron<br />

maksimum di lapisan F2 ionosfer (NmF2) dapat<br />

ditentukan dari hubungan : ΔNmF2 = {[(NmF2-<br />

NmF2(q)]/NmF2(q)}x100, dengan NmF2(q) adalah<br />

kerapatan elektron maksimum di lapisan F2 ionosfer<br />

pada saat medan geomagnet dalam keadaan tenang<br />

(12 Oktober) dan NmF2 = 1.24×10 10 foF2 2 (m −3 ).<br />

Harga positif dan negatif dari ΔNmF2 masingmasing<br />

menunjukkan badai positif dan badai negatif,<br />

seperti yang terlihat pada Gambar 2.<br />

.<br />

Gambar 1. Indeks Dst pada bulan Oktober 2003<br />

Gambar 2. Variasi NmF2 dan ΔNmF2 di<br />

Tanjungsari dari tanggal 26 Oktober – 6 November<br />

2003<br />

Dari Gambar 2 terlihat bahwa harga NmF2 dan<br />

ΔNmF2 di Tanjungsari pada tanggal 30 dan 31<br />

Oktober mengalami penurunan yang sangat tajam.<br />

Hal ini menunjukkan terjadinya badai negatif pada<br />

tanggal tersebut.<br />

Dari berbagai mekanisme terkait dengan terjadinya<br />

badai negatif, diantaranya adalah disebabkan<br />

oleh terjadinya perubahan komposisi partikel netral<br />

akibat terjadinya badai geomagnet di daerah aurora<br />

yang kemudian menjalar ke daerah lintang rendah<br />

karena pengaruh sirkulasi angin di termosfer yang<br />

ditimbulkan oleh pemanasan Joule dan presipitasi<br />

partikel di daerah aurora. Berdasarkan aproksimasi<br />

bahwa puncak kerapatan elektron adalah sebanding<br />

dengan komposisi partikel O/N2, dimana N2 adalah<br />

komposisi molekul nitrogen dan O adalah komposisi<br />

atom oksigen (Rishbeth and Barron, 2006), maka<br />

dapat diperkirakan akan terjadi penurunan NmF2 di<br />

daerah dimana O/N2 berkurang. Jadi perubahan<br />

komposisi partikel netral akan mengubah kesetimbangan<br />

antara proses pembentukan dan proses<br />

penghilangan elektron yang menyebabkan terjadinya<br />

B42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

penurunan NmF2. Sedangkan penyebab terjadinya<br />

badai negatif di daerah anomali ekuator adalah<br />

pengaruh angin netral yang mengakibatkan perubahan<br />

pada komposisi partikel. Hal ini didukung<br />

oleh hasil pengamatan satelit pada saat terjadi badai<br />

geomagnet di daerah puncak (crest) anomali ekuator.<br />

Peningkatan yang signifikan dari komposisi molekul<br />

nitrogen dan atom oksigen yang menyebabkan penurunan<br />

komposisi partikel O/N2 juga terjadi di daerah<br />

lintang tengah akibat badai negatif (Mansilla, 2003).<br />

Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa pada tanggal<br />

1 dan 2 November terjadi peningkatan NmF2 yang<br />

menunjukkan terjadinya badai positif saat itu. Badai<br />

positif yang terjadi sejak tanggal 1 November<br />

disebabkan oleh peningkatan kerapatan atom O<br />

relatif terhadap kerapatan molekul N2. Peningkatan<br />

kerapatan atom O tersebut akan menyebabkan<br />

komposisi partikel O/N2 bertambah, sehingga hal ini<br />

mengakibatkan terjadinya peningkatan NmF2.<br />

Dampak badai geomagnet pada lapisan ionosfer<br />

berupa peningkatan mendadak TEC ionosfer sehari<br />

setelah terjadinya flare, yaitu pada tanggal 29<br />

Oktober 2003 teramati di stasiun YMSM, KDNM,<br />

dan BAKO, seperti terlihat pada Gambar 3, 4, 5, dan<br />

6. Selanjutnya terjadi penurunan TEC pada tanggal<br />

30 dan 31 Oktober seperti halnya yang terjadi pada<br />

NmF2. Dalam hal ini yang menarik adalah<br />

penurunan TEC di daerah ekuator anomali di<br />

belahan bumi selatan lebih besar dibandingkan<br />

dengan di belahan bumi utara. Hal ini antara lain<br />

disebabkan oleh pengaruh variasi musim.<br />

Gambar 4. Kontur TEC di YMSM dari tanggal<br />

26 Oktober – 6<br />

November 2003<br />

Gambar 5. Kontur TEC di KDNM dari tanggal 26 Oktober – 6<br />

November 2003<br />

Gambar 6. Kontur TEC di BAKO dari tanggal 26 Oktober – 6<br />

November 2003<br />

Gambar 3. Variasi TEC di YMSM, KDNM, dan<br />

BAKO dari tanggal 26 Oktober – 6 November 2003<br />

Hasil yang diperoleh tersebut bersesuaian<br />

dengan model SUPIM (Sheffield University Plasmasphere<br />

Ionosphere Model) dan model TIEGCM<br />

(Thermosphere-Ionosphere-Electrodynamic General<br />

Circulation Model) untuk daerah Asia, seperti yang<br />

terlihat pada Gambar 7 dan 8. Terbentuknya anomali<br />

ekuator pada tanggal 1 November kemungkinan<br />

disebabkan oleh penetrasi medan listrik dari lintang<br />

tinggi ke lintang rendah dan pada saat yang sama<br />

akan dipengaruhi pula oleh gangguan yang<br />

diakibatkan oleh aktivitas magnetik di lintang tinggi<br />

sebelum terjadinya badai geomagnet. Yeh et al.<br />

(1992) dan Abdu et al. (1990) menyatakan bahwa<br />

proses terbentuknya anomali ekuator sangat<br />

bergantung pada medan listrikdi lintang rendah.<br />

Kemungkinan terbentuknya anomali ekuator pada<br />

tanggal 1 November tidak hanya disebabkan oleh<br />

medan listrik, tetapi dapat juga disebabkan oleh<br />

faktor lain, seperti perubahan komposisi partikel<br />

B43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

netral khususnya atom O. Bila terjadi peningkatan<br />

yang signifikan dari konsentrasi atom O, maka<br />

dapat dipastikan terjadi badai positif yang kuat dan<br />

anomali di daerah ekuator.<br />

Gambar 7. Simulasi TEC untuk daerah Asia menggunakan model<br />

TIEGCM, dari tanggal 28 Oktober – 1 November 2003<br />

Gambar 8. Simulasi TEC untuk daerah Asia menggunakan model<br />

SUPIM, dari tanggal 28 –30 Oktober 2003<br />

KESIMPULAN<br />

Telah dilakukan studi kasus untuk mengamati<br />

dampak badai geomagnet yang sangat kuat di daerah<br />

anomali ekuator yang terjadi pada bulan Oktober -<br />

November 2003 dengan menggunakan peralatan<br />

ionosonda dan satelit GPS di Taiwan dan Indonesia,<br />

yang masing-masing terletak di daerah ekuator<br />

anomali di belahan bumi utara dan selatan. Hasil<br />

yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat fase<br />

pulih dari badai geomagnet tanggal 30 Oktober<br />

2003, terjadi penurunan kerapatan elektron di<br />

lapisan ionosfer. Penurunan tersebut lebih signifikan<br />

terjadi di daerah ekuator anomali di belahan bumi<br />

selatan dibandingkan dengan di belahan bumi utara<br />

yang disebabkan oleh variasi musim. Hasil tersebut<br />

bersesuain dengan model SUPIM (Sheffield<br />

University Plasmasphere Ionosphere Model) dan<br />

model TIEGCM (Thermosphere-Ionosphere-<br />

Electrodynamic General Circulation Model) untuk<br />

daerah Asia.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdu, M. A., J. H. A. Sobral, and E. R. De Paula.<br />

(1990), Journal of Atmospheric and Solarterrestrial<br />

Physics 53, 1055-1064.<br />

Adams, W.G. (1892), Comparison of simultaneous<br />

disturbance at several observatories,<br />

Philosophical Transactions of the Royal<br />

Society of London, Series A 183, 131–140.<br />

Blagoveshchensky, D. V., O. M. Pirog, N. M.<br />

Polekh, L. V. Chistyakova. (2003), Journal of<br />

Atmos-pheric and Solar-Terrestrial Physics<br />

65, 203–210.<br />

Broun, J.A. (1861), Horizontal force of the earth’s<br />

magnetism, Transactions of the Royal Society<br />

of Edinburg 22, 511.<br />

Chapman, S. (1918), An outline of theory of<br />

magnetic storms, Proceedings of the Royal<br />

Society of London A 95, 61–83.<br />

Jackson, B. V. (1997). Mon. Ser., Vol. 98. Amer.<br />

Geophys. Union Press, Washington D.C., p.<br />

59. 4.<br />

Lastovicka, J. (2002), Journal of Atmospheric and<br />

Solar-Terrestrial Physics 64, 697–705.<br />

Mansilla, G. A. (2003), Journal of Atmospheric and<br />

Solar-terrestrial Physics 65, 987.<br />

Moos, N.A.F. (1910), Magnetic observations made<br />

at the government observatory Bombay<br />

1846–1905 and their discussion, Part II. The<br />

phenomenon and its description.<br />

Rishbeth, H., R. Barron. (2006). Journal of Atmospheric<br />

and Solar-terrestrial Physics 68, 234.<br />

Sarmoko, S. (1998), Penentuan TEC dengan menggunakan<br />

data kode dan data fase dari satelit<br />

GPS, Majalah LAPAN, No. 3.<br />

Thompson, R. J. (1989), Geomagnetic precursors of<br />

the solar cycle, Solar-Terrestrial Physics<br />

Workshop, Leura.<br />

Titheridge, J. E., M. J. Buonsanto. (1988), Journal of<br />

Atmospheric and Terrestrial Physics 50, 763–<br />

780.<br />

Tsurutani, B.T., Ho, C.M., Arballo, J.K., Goldstein,<br />

B.E., and Balogh, A. 1995. Geophysical<br />

Research Letters 22, 3397.<br />

Webb, D. F., Cliver, E. W., Crooker, N. U., St. Cyr,<br />

O. C., Thompson, R. J. (2000), J. Geophys.<br />

Res. 105, 7491.<br />

Yeh, K. C., K. H. Lin, and R. O. Conkright. (1992),<br />

Can. J. Phys., 70, 532-543.<br />

B44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Efek Gelombang Ultrasonik terhadap Jaringan Tubuh dan Proteksinya<br />

Silvia Nike Saputri 1 , Johan A.E.Noor 2<br />

1,2 Program Studi Magister <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Brawijaya<br />

Email : silvianikesaputri@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan frekuensi di atas 20 kHz. Gelombang<br />

ultrasonik yang digunakan untuk diagnostik mempunyai frekuensi 1 MHz sampai 15 MHz sedangkan yang<br />

digunakan untuk terapi mempunyai frekuensi 0,7 MHz sampai 3 MHz. Pemaparan gelombang ultrasonik yang<br />

diberikan pada tubuh pasien dapat mempengaruhi struktur organ jaringan sel tubuh pasien sehingga<br />

menimbulkan efek biologis pada jaringan berupa efek termal, efek kavitasi, dan efek mekanik. Efek biologis<br />

gelombang ultrasonik disebabkan oleh salah satu atau kombinasi efek termal, efek kavitasi dan efek mekanik.<br />

Pemaparan gelombang ultrasonik sama dengan pemberian bentuk energi mekanik yang diteruskan ke jaringan<br />

biologis dengan frekuensi melebihi batas kemampuan pendengaran manusia, maka energi mekanik yang<br />

disebabkan gelombang ultrasonik dapat mengubah ikatan-ikatan molekul di dalam jaringan biologis yang dapat<br />

memengaruhi metabolisme sel. Efek kavitasi berupa rusaknya jaringan sel telah dapat terjadi pada gelombang<br />

ultrasonik di atas frekuensi 40 kHz. Semakin lama waktu pemaparan gelombang ultrasonik diberikan terhadap<br />

jaringan tubuh pasien semakin besar energi gelombang ultrasonik yang diterima oleh jaringan tubuh pasien.<br />

Pemaparan gelombang ultrasonik yang diberikan dengan waktu yang lama juga dapat menghambat aktivitas sel<br />

di dalam jaringan biologis. Metode yang digunakan adalah studi literatur dengan cara memperoleh informasi dari<br />

beberapa sumber mengenai informasi dan hasil penelitian mengenai dampak gelombang ultrasonik terhadap<br />

jaringan. Naskah ini akan mendiskusikan studi awal tentang interaksi antara gelombang ultrasonik dengan<br />

jaringan, efek-efek dari pemaparan ultrasonik terhadap jaringan dan proteksi agar jaringan tidak terlalu banyak<br />

memperoleh paparan gelombang ultrasonik.<br />

Kata kunci : gelombang ultrasonik, efek termal, efek kavitasi, efek mekanik, jaringan.<br />

PENDAHULUAN<br />

Gelombang ultrasonik merupakan gelombang<br />

yang mempunyai frekuensi di atas 20 kHz. Dalam<br />

bidang kedokteran, gelombang ultrasonik umumnya<br />

digunakan untuk diagnosis dan terapi dengan cara<br />

meletakkan transduser atau probe pada tubuh pasien.<br />

Pulsa gelombang ultrasonik dipancarkan oleh<br />

transduser ke tubuh pasien dan akan dipantulkan<br />

kembali dimana transduser akan menerima pantulan<br />

tersebut. Kuat lemahnya intensitas yang dipantulkan<br />

oleh jaringan tergantung pada perbedaan impedansi<br />

akustik dari medium jaringan tersebut. Kemudian<br />

akan terbentuk citra dari proses tersebut yang<br />

ditampilkan oleh seperangkat komputer. Semakin<br />

tinggi frekuensi akan dihasilkan citra yang jelas<br />

tetapi tidak dapat menembus jaringan tubuh terlalu<br />

dalam. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi dapat<br />

semakin dalam menembus jaringan tetapi akan<br />

menghasilkan citra dengan resolusi rendah.<br />

Pemaparan gelombang ultrasonik yang<br />

diberikan pada tubuh pasien dapat memengaruhi<br />

jaringan tubuh pasien yang menimbulkan efek<br />

biologi pada jaringan tersebut yaitu efek termal dan<br />

efek nontermal.<br />

Energi bunyi merupakan radiasi non inonisasi<br />

dan tidak menimbulkan bahaya seperti radiasi<br />

ionisasi. Meskipun gelombang ultrasonik cukup<br />

aman digunakan tetapi untuk keamanan dan proteksi<br />

ada organisasi yang membahas tentang paparan<br />

gelombang ultrasonik pad tubuh manusia yaitu<br />

NCRP (National Council on Radiation Protection<br />

and Measurement) selain itu juga harus menerapkan<br />

prinsip ALARA (As Low AS Reasonaly Achievable)<br />

demi keamanan pasien.<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Gelombang ultrasonik dapat merambat dalam<br />

medium padat, cair dan gas, hal ini disebabkan<br />

karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan<br />

energi dan momentum mekanik sehingga merambat<br />

sebagai interaksi dengan molekul (Bueche, 1986).<br />

Karakteristik gelombang ultrasonik yang<br />

melalui medium mengakibatkan getaran partikel<br />

dengan medium amplitudo sejajar dengan arah<br />

rambat secara longitudinal sehingga menyebabkan<br />

partikel medium membentuk rapatan (Strain) dan<br />

tegangan (Stress). Proses kontinu yang<br />

menyebabkan terjadinya rapatan dan regangan di<br />

dalam medium disebabkan oleh getaran partikel<br />

secara periodik selama gelombang ultrasonik<br />

melaluinya (Resnick dan Halliday , 1992).<br />

Gelombang ultrasonik ini sering dipergunakan<br />

untuk pemeriksaan kualitas produksi di dalam<br />

industri. Di bidang kedokteran, frekuensi yang tinggi<br />

dari gelombang ultrasonik mempunyai daya tembus<br />

B45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

jaringan yang sangat kuat, sehingga sering<br />

digunakan untuk diagnosis, penghancuran atau<br />

destruktif, dan pengobatan (Cameron and<br />

Skofronick, 1978).<br />

Gelombang ultrasonik merambat membawa<br />

energi dari satu medium ke medium lainnya. Energi<br />

yang dipindahkan sebagai energi getaran dari<br />

partikel ke partikel pada medium tersebut.<br />

Banyaknya energi yang dibawa partikel tersebut<br />

tiap satuan waktu merupakan daya yang diberikan<br />

oleh gelombang ultrasonik kepada suatu medium.<br />

Jadi, semakin lama waktu pancaran gelombang<br />

ultrasonik terhadap suatu medium, semakin banyak<br />

medium atau jaringan tersebut menerima energi dari<br />

gelombang ultrasonik (Giancoli, 1998).<br />

Gelombang ultrasonik yang melalui jaringan<br />

juga mengalami pengurangan energi, karena<br />

sebagian energinya diabsorpsi oleh jaringan<br />

akibatnya suhu jaringan meningkat. Kenaikan suhu<br />

jaringan tergantung pada besar koefisien absorpsinya<br />

dan intensitas gelombang yang melaluinya<br />

(Sabbagha, 1980).<br />

Efek kavitasi yaitu terjadinya gelembung gas di<br />

dalam jaringan akibat penggunaan gelombang<br />

ultrasonik untuk pemanasan lokal dengan tekanan<br />

yang bervariasi, sehingga di dalam cairan tubuh<br />

terbentuk gelembung gas mikro. Ada dua macam<br />

kavitasi yang terjadi dari pemaparan gelombang<br />

ultrasonik ini, yaitu kavitasi stabil dan tidak stabil.<br />

Efek kavitasi stabil terjadi jika gelembung gas mikro<br />

tumbuh sampai ukuran tertentu lalu beresonansi<br />

pada frekuensi gelombang ultrasonik. Amplitudo<br />

osilasinya jauh lebih besar daripada amplitudo<br />

getaran partikel di dalam zat cair sebelum ada<br />

gelembung gas mikro. Jaringan disekitar gelembung<br />

gas mikro ini mengalami tegangan (stress) yang<br />

sangat besar sehingga mengakibatkan kerusakan<br />

molekul dan membran sel. Efek kavitasi yang tidak<br />

stabil lebih merusak jaringan sel. Pada tekanan<br />

rendah, gelombang ultrasonik dengan intensitas<br />

tinggi mengakibatkan timbulnya gelembung<br />

kavitasi. Tekanan tinggi menyebabkan pecahnya<br />

gelembung, sehingga energi yang serupa dengan<br />

gelombang kejut mengakibatkan kerusakan jaringan<br />

sel (Sabbagha, 1980).<br />

Perubahan struktur jaringan atau sel terutama<br />

terjadi pada inti sel sehingga mengakibatkan<br />

kerusakan inti dan selanjutnya menyebabkan<br />

kematian sel. Kematian sel tersebut dapat dikatakan<br />

terjadi berdasarkan konsep fisikomorfoseluler, yaitu<br />

suatu konsep yang mendasar pada pengaruh fisika<br />

yang merupakan pengaruh luar yang dapat<br />

menyebabkan perubahan struktur jaringan sel pada<br />

tingkat seluler terutama pada inti sel yang<br />

diakibatkan oleh salah satu atau kombinasi efek<br />

termal dan efek kavitasi (Sabbagha, 1980).<br />

Menurut Dunn dan Fry (1971), kerusakan<br />

jaringan sel akibat perlakuan gelombang ultrasonik<br />

ini dapat disebabkan oleh salah satu dari efek ini<br />

atau kombinasinya yang dapat menimbulkan<br />

pelebaran pembuluh darah, merangsang aktivitas sel,<br />

peningkatan permeabilitas membran sel dan kapiler<br />

dan hasil eksperimen mereka tentang kerusakan<br />

sistem saraf pusat mamalia akibat pemaparan<br />

gelombang ultrasonik sehingga menimbulkan<br />

kombinasi efek tersebut.<br />

METODE<br />

Metode yang digunakan adalah studi literatur<br />

dengan cara memperoleh informasi dari beberapa<br />

sumber mengenai informasi dan hasil penelitian<br />

mengenai dampak gelombang ultrasonik terhadap<br />

jaringan.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Gelombang ultrasonik dengan intensitas tinggi<br />

akan meningkatkan suhu jaringan lunak yang<br />

disebabkan oleh meningkatnya energi kinetik dari<br />

molekul jaringan dan meningkatnya produksi<br />

kavitasi yang tidak stabil. Energi kinetik gelombang<br />

ultrasonik dapat diubah menjadi panas ketika diserap<br />

oleh jaringan.<br />

Semakin lama pemaparan gelombang ultrasonik<br />

yang diberikan terhadap jaringan maka semakin<br />

besar pula energi yang diterima oleh jaringan<br />

tersebut.<br />

Hasil penelitian, eksperimen dan studi tentang<br />

efek mekanik dapat memengaruhi jaringan sel akibat<br />

pemaparan gelombang ultrasonik ini antara lain<br />

pengaruh mekanik berupa kompresi, distraksi,<br />

gravitasi, gelombang elektromagnetik dan<br />

gelombang ultrasonik dapat mempengaruhi aktivitas<br />

sel (Buckwalter et al., 2000).<br />

Pemaparan energi gelombang ultrasonik<br />

pada jaringan menyebabkan efek panas pada<br />

jaringan. Toleransi setiap jaringan terhadap derajat<br />

temperatur tergantung pada kenaikan suhu dan jenis<br />

jaringan.Kenaikan suhu yang sebenarnya akan<br />

tergantung pada kapasitas panas lokal spesifik dan<br />

waktu pemaparan. Hal ini juga akan tergantung pada<br />

tingkat kenaikan suhu dan distribusi panas di<br />

jaringan sekitarnya. Tulang merupakan sasaran yang<br />

potensial untuk efek pemanasan karena memiliki<br />

koefisien penyerapan yang jauh lebih tinggi daripada<br />

jaringan lain.<br />

Panas yang ditimbulkan gelombang ultrasonik<br />

akan merangsang aktivitas sel yang akan<br />

mengakibatkan pelebaran pembuluh darah. Pada<br />

umumnya panas dan kavitasi hanya berhubungan<br />

dengan intensitas yang tinggi.<br />

Efek utama dan penting pada pemaparan<br />

gelombang ultrasonik merupakan mekanisme<br />

nontermal yang disebut efek kavitasi. Kavitasi<br />

merupakan interiksi dari gelembung gas pada<br />

jaringan ketika berlangsungnya pemaparan<br />

gelombang ultrasonik.<br />

Pemaparan gelombang ultrasonik pada sel sama<br />

dengan pemberian energi mekanik pada sel yang<br />

B46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dapt mengubah ikatan-ikatan molekul jaringan dan<br />

apabila pemaparan dilakukan pada waktu yang lama<br />

dapat menghambat aktivitas sel pada jaringan.<br />

Hasil eksperimen dan percoban tersebut<br />

menunjukkan bahwa jaringan sel-sel rusak<br />

disebabkan adanya perobekan mekanisme sebagai<br />

akibat langsung efek kavitasi. Umumnya efek<br />

kavitasi terjadi pada perubahan intensitas dan efek<br />

kavitasi stabil sudah dapat terjadi pada frekuensi<br />

diatas 40 kHz (Ackerman et al., 1988, dan<br />

Sabbagha, 1980).<br />

Laporan hasil eksperimen Hawley (1963)<br />

melaporkan bahwa efek mekanik dapat merusak<br />

molekul sel jaringan lunak dan penurunan molekul<br />

DNA terjadi dengan menggunakan gelombang<br />

ultrasonik frekuensi 1 MHz berintensitas 30 W/cm 2 .<br />

Untuk memperkecil kemungkinan risiko yang<br />

ditimbulkan hendaknya operator melakukan<br />

pemeriksaan dengan cara memilih tipe transduser<br />

dan frekuensi yang tepat, mengatur fokus sesuai<br />

dengan target jaringan, dan menyesuaikan waktu<br />

pemaparan sesuai dengan keperluan.<br />

PENUTUP<br />

Ultrasonik diagnostik adalah salah satu alat<br />

bantu diagnostik di bidang medis yang dapat dipakai<br />

untuk mengamati dan menganalisis keadaan jaringan<br />

biologi dalam tubuh manusia. Alat ultrasonik ini<br />

bekerja atas dasar sifat-sifat penjalaran gelombang<br />

ultrasonik dalam medium.<br />

Interaksi gerak gelombang ultrasonik dalam<br />

suatu medium berhubungan dengan tingkat<br />

intensitas. Kuat lemahnya intensitas yang<br />

dipantulkan oleh jaringan biologi tergantung pada<br />

perbedaan impedansi akustik dari medium yang<br />

bersangkutan di mana setiap organ mempunyai<br />

struktur intensitas menurut kerapatan atau impedansi<br />

akustiknya. Semakin lama waktu pemaparan<br />

gelombang ultrasonik diberikan terhadap jaringan<br />

tubuh pasien semakin besar energi gelombang<br />

ultrasonik yang diterima jaringan tubuh pasien.<br />

Meskipun atenuasi gelombang ultrasonik<br />

sebagian besar disebabkan oleh absorbsi yang<br />

umumnya berkaitan dengan panas tetapi dalam<br />

instrumen diagnostik yang umumnya menggunakan<br />

frekuensi 1 MHz – 10 MHz absorbsi tersebut tidak<br />

mengganggu organ yang dideteksi ataupun tidak<br />

menimbulkan efek yang merugikan bagi pasien<br />

karena instrumen diagnostik dirancang dengan daya<br />

yang relatif rendah demi keamanan pasien.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih disampaikan kepada Johan A.E<br />

Noor selaku pembimbing utama dan semua pihak<br />

yang terlibat dalam membuat tulisan ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ackerman E., Lynda B. M. Ellis, Lawrence E.<br />

Williams (1988), Ilmu Biofisika (terjemahan;<br />

Redjani, Abdulbasir), Surabaya: Airlangga<br />

University Press.<br />

Buckwalter, Emhorn, Simon (2000), Orthopaedic<br />

Basic Science, Biology and biomechanic of<br />

the musculoskeletal system, 2 nd edition.<br />

American Academy of Orthopaedic Surgeon.<br />

Bueche, R. J. (1986), Introduction to Physics for<br />

Scientists and Engineers. New York: Mc<br />

Graw Hill Book Company.<br />

Cameron John R., and Skofronick James G (1978),<br />

Medical Physics. New York: John Wiley &<br />

Sons, Inc.<br />

Dunn F., and Fry F. J. (1971), Ultrasonic threshold<br />

dosages for the central mammalian nervous<br />

system. IEEE Trans Bio Eng 18.<br />

Hawley S.A., Macleod R.W., Dunn F. (1963),<br />

Degration of DNA by intense non-cavitating<br />

ultrasound. J. Acoust Soc Am 35.<br />

Giancoli D.C. (1998), <strong>Fisika</strong>. Penterjemah Yuhilsa<br />

Hanum. Jakarta : Penerbit Erlangga.<br />

Resnick R., dan Halliday D. (1992), <strong>Fisika</strong>.<br />

Penterjemah Pantur Silaban dan Erwin<br />

Sucipto. Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />

Sabbagha R. E., (1980) Diagnostic Ultrasound<br />

Applied to Obstetrics and Gynecology.<br />

London: Haper & Row.<br />

B47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) untuk Pemetaan Daerah Rawan<br />

Ambles di Daerah Sisir, Batu, Jawa Timur<br />

Sukir Maryanto 1 , Husnul Khotimah 2 , Adi Susilo 3<br />

1,3 Jurusan Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />

Universitas Brawijaya, Malang<br />

Email : sukir@ub.ac.id<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan studi potensi daerah rawan ambles menggunakan metode Ground Penetrating Radar (GPR)<br />

dengan tujuan memetakan keberadaan gorong-gorong bekas penambangan pasir di daerah Sisir, Batu, Jawa<br />

Timur. Penelitian dilakukan di daerah Sisir Kota Batu dengan menggunakan GPR OKM Future 2005.<br />

Pengambilan data dilakukan di dua lokasi, lokasi pertama dengan luasan 5 x 8 meter dan lokasi kedua dilakukan<br />

dengan teknik looping dengan total panjang sekitar 500 m. Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan<br />

sebaran kedalaman dan posisi relatif cavity. Citra yang diperoleh cross check dengan kondisi dan informasi awal,<br />

yang kemudian diidentifikasi untuk mendapatkan cavity yang diperkirakan sebagai gorong-gorong bekas<br />

penambangan sirtu. Dari penelitian ini, didapatkan keberadaan gorong-gorong bekas penambangan sirtu di lokasi<br />

pengambilan data yaitu terdapat pada Lokasi 1 dan lokasi 2 pada line 9, 15, 16, 17 dan 19. Posisi tersebut sesuai<br />

dengan lokasi keluhan masyarakat yaitu didaerah jalan Moch. Sahar, Sisir. Gorong-gorong bekas penambangan<br />

sirtu menjadi ancaman dan berpotensi ambles bagi pemukiman atau bangunan yang lokasinya berdekatan.<br />

Kata kunci : GPR, cavity, gorong-gorong bekas penambangan sirtu, Sisir<br />

PENDAHULUAN<br />

Penelitian ini mengambil bahasan tentang<br />

peristiwa amblesnya dua rumah di Kelurahan Sisir<br />

wilayah Kota Batu pada tanggal 4 Februari 2009 dan<br />

kembali dilanda bencana amblesnya sebagian<br />

pondasi rumah warga pada tanggal 19 Februari<br />

2009. Informasi awal yang didapatkan bahwasanya<br />

daerah tersebut merupakan bekas daerah<br />

penambangan pasir–batu (sirtu) yang rawan ambles<br />

karena penambangan tersebut menyisakan<br />

terowongan atau yang selanjutnya akan sering<br />

disebut sebagai gorong–gorong bekas penambangan<br />

sirtu. Pemerintah setempat telah menguruk rumah<br />

yang ambles dan berusaha meneliti daerah yang<br />

kemungkinan berpotensi ambles, kendala yang<br />

dihadapi adalah kurangnya informasi tentang lokasilokasi<br />

yang berpotensi ambles.<br />

Ground Penetrating Radar (GPR) merupakan<br />

metode Geofisika yang telah digunakan untuk<br />

aplikasi Geologi sejak tahun 1960-an<br />

(Reynolds,1997). Ground Penetrating Radar atau<br />

disebut juga Ground Probing Radar, Ground Radar<br />

atau Georadar banyak diaplikasikan dalam berbagai<br />

bidang seperti Geologi, lingkungan, Forensik,<br />

Arkeologi, teknik konstruksi, dan lain sebagainya.<br />

Metode GPR adalah teknik dengan resolusi tinggi<br />

dalam menggambarkan struktur tanah permukaan<br />

dangkal yang menggunakan gelombang elektromagnetik<br />

dalam range frekuensi 10-1000 MHz.<br />

Metode GPR memanfaatkan penjalaran gelombang<br />

elektromagnetik yang ditembakkan suatu transmitter<br />

yang kemudian dipantulkan dan diterima receiver,<br />

dengan panjang gelombang yang relatif pendek,<br />

penetrasi gelombang elektromagnetik ke dalam<br />

tanah dapat mendeteksi variasi kandungan dielektrik<br />

material geologi. Kelebihan GPR adalah<br />

pengoperasian dilapangan yang mudah dan metode<br />

ini termasuk metode NDT (Non-Destructive Testing)<br />

tidak merusak karena sinyal yang ditembakkan<br />

berasal dari alat tidak mempunyai efek perusakan<br />

lingkungan. Survei dengan metode GPR dianggap<br />

tepat untuk digunakan dalam kasus ini karena posisi<br />

lokasi daerah studi kasus berada pada pemukiman<br />

padat penduduk.<br />

GPR OKM Future 2005 memberikan output<br />

berupa pencitraan 2D dan 3D tentang struktur bawah<br />

permukaan dengan terbagi dalam empat tipe yaitu<br />

metal, mineral, native soil, dan cavity. Gua atau<br />

rongga disebut juga dengan cavity yang tentunya<br />

memiliki perbedaan sifat dielektrik dengan<br />

kandungan material lain yang dapat digunakan untuk<br />

menggambarkan perubahan relatif kondisi dibawah<br />

permukaan. Hal tersebut akan mempermudah<br />

interpretasi dalam menggambarkan kondisi gorong–<br />

gorong bekas penambangan sirtu di kelurahan Sisir<br />

Kota Batu. Model dari output GPR dipadukan<br />

dengan kondisi lapangan dan informasi awal yang<br />

ada, sehingga dapat diperoleh informasi baru tentang<br />

keberadaan gorong-gorong akibat penambangan<br />

sirtu sebagai area rawan ambles.<br />

Kondisi dan Geologi Daerah sisir<br />

B48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Kelurahan Sisir merupakan kawasan yang<br />

dulunya tanah negara, berupa semak-semak bambu,<br />

dan merupakan ceruk tempat aliran sungai kering,<br />

air hanya mengalir saat musim hujan atau banjir.<br />

Sekitar tahun 1960-an kawasan ini mulai dihuni<br />

masyarakat. Kasus amblesnya beberapa rumah<br />

penduduk di pemukiman padat penduduk Kota Batu<br />

di awal bulan Februari 2009 di beberapa wilayah<br />

kelurahan di Batu terutama di Kelurahan Sisir<br />

menurut informasi dari masyarakat adalah<br />

dikarenakan adanya terowongan di bawah tanah<br />

bekas penambangan pasir-batu. Bencana alam ini<br />

membawa kerugian secara material karena rusaknya<br />

infrastruktur rumah dan harta benda didalamnya,<br />

selain itu efek psikis yang ditimbulkan adalah<br />

ketakutan pada diri warga area bencana, atas<br />

kemungkinan keberadaan rumah mereka berada<br />

diatas terowongan bekas tambang pasir, karena<br />

belum ada informasi yang jelas mengenai lokasilokasi<br />

penyebaran terowongan.<br />

Kelurahan Sisir merupakan salah satu kawasan<br />

yang termasuk di daerah Batu. Jika didasarkan pada<br />

peta Geologi, maka daerah ini termasuk dalam<br />

pegunungan dan perbukitan vulkanik berupa<br />

perbukitan kuarter. Batuan yang mendominasi<br />

daerah ini adalah tuf batu apung, tuf pasiran, tuf<br />

breksi.<br />

Batuan gunungapi kuarter tengah merupakan<br />

endapan piroklastik bersusun andesit dan basal.<br />

Batuan gunungapi Arjuno-Welirang dan batuan<br />

gunungapi Tengger terdiri atas breksi, tufa, lava dan<br />

breksi tufaan. Tufa Malang dan Tufa Rabano<br />

merupakan endapan yang bahannya dari batuan<br />

gunungapi kuarter sekitarnya, umumnya terdiri dari<br />

tufa. Batuan gunungapi kuarter atas (batuan<br />

gunungapi Penanggungan dan Batuan gunungapi<br />

Panderman) merupakan batuan yang bersusun<br />

andesit.<br />

Menurut sifat fisik dan keteknikan tanah serta<br />

batuan untuk batuan gunungapi Penangggungan dan<br />

batuan gunungapi panderman di permukaan<br />

didominasi oleh sebaran breksi gunungapi, lava dan<br />

breksi tufaan dangan sisispan tufa dan anglomerat.<br />

Batuan breksi gunungapi yang ada umumnya<br />

memiliki ciri tingkat kelapukannya mulai dari<br />

sedang sampai ringan dengan warna kelabu kehitamhitaman,<br />

partikel batuannya berbutir pasir kasar<br />

sampai kerakal. Batuan Breksi gunungapi juga<br />

terdiri dari komponen batuan andesitik yang masih<br />

muda, batu apung. Sedangkan massa dasar berupa<br />

batuan tufa pasiran yang berbutir kasar dan mudah<br />

hancur.<br />

Batuan lava umumnya mempunyai tingkat<br />

kelapukan ringan dengan warna coklat kelabu dan<br />

tersusun oleh andesit yang mempunyai komposisi<br />

felspar, piroksin, kaca dan mineral. Untuk batuan<br />

breksi tufaan yang ada pada daerah tersebut<br />

umumnya mempunyai tingkat kelapukan mulai<br />

menengah sampai tinggi denagn warna putih keabuabuan<br />

dan mempunyai partikel yang berbutir pasir<br />

kasar-kerakal. Batuan breksi tufa tersusun dari<br />

komponen batuan andesitikl, batu apung dan kaca<br />

gunungapi dengan massa dasar tufa pasiran berbutir<br />

kasar dan mudah hancur.<br />

Batuan tufa umumnya mempunyai tingkat<br />

kelapukan mulai menengah sampai tinggi dengan<br />

warna putih kecoklatan dan mempunyai partikel<br />

yang berbutir pasir halus sampai lapili. Batuan tufa<br />

juga mempunyai komposisi pecahan batuan, batu<br />

apung, kaca gunungapi dan mudah hancur.<br />

Batuan anglomerat juga merupakan batuan<br />

yang mendominasi pada daerah Batu umunya batuan<br />

ini mempunyai tingkat kelapukan mulai sedang<br />

sampai tinggi dengan warna kelabu kecoklatcoklatan<br />

dan mempunyai partikel yang berbutir pasir<br />

sangat kasar dan kerakal. Batuan anglomerat<br />

tersusun atas pecahan batuan dan kaca gunungapi<br />

dengan massa dasarnya tufa pasiran yang mudah<br />

hancur dan secara umum formasi ini mempunyai<br />

tingkat kekuatan tanah dan batuan tinggi. Tanah<br />

pelapukan pada daerah Batu merupakan breksi<br />

gunungapi dan breksi tufaan<br />

Jika didasarkan pada Geologi daerah tersebut,<br />

daerah Batu bisa dikatakan sangat potensial atas<br />

kekayaan sumber daya mineral pasir dan batuan<br />

vulkanik. Pasir dan batuan vulkanik merupakan<br />

material bangunan yang baik, karena sifatnya yang<br />

keras dan kenyal dibandingkan pasir didaerah nonvulkanik.<br />

LOKASI PENELITIAN<br />

Data penelitian diambil pada daerah yang<br />

diduga mempunyai potensi rawan ambles akibat<br />

gorong-gorong bekas penambangan sirtu di kawasan<br />

Kelurahan Sisir Kota Batu. Penentuan lokasi<br />

penelitian dititik-beratkan pada daerah yang<br />

mempunyai keluhan terhadap kemungkinan adanya<br />

cavity, dan dalam hal ini dipilih Jalan M. Sahar.<br />

Keluhan masyarakat diantaranya adalah sering<br />

terjadi getaran di kediaman mereka ketika ada<br />

kendaraan berat melintas di jalan.. Lokasi penelitian<br />

merupakan daerah padat penduduk, sehingga<br />

dibutuhkan peralatan Non-Destructive Testing<br />

(NDT) dan desain survei yang optimal sehingga<br />

tidak merusak lingkungan dan bisa didapatkan data<br />

yang representatif.<br />

Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali,<br />

kedua Lokasi ini merupakan wilayah Kelurahan<br />

Sisir Kota Batu. Lokasi pertama dalam koordinat<br />

UTM zona 49 m longitude 0668075 latitude<br />

9129032 pada tanggal 26 Februari 2009 pukul 16.00<br />

WIB. Pengambilan data di lokasi kedua yaitu di<br />

Jalan M.Sahar diawali di koordinat UTM zona 49<br />

M longitude 668215 latitude 9128978 pada tanggal<br />

9 Maret 2009 pada pukul 10.00 WIB. Peta lokasi<br />

penelitian bisa dilihat pada Gambar 1. berikut.<br />

B49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

L<br />

I<br />

N<br />

E<br />

L<br />

I<br />

N<br />

E<br />

L<br />

I<br />

N<br />

E<br />

L<br />

I<br />

N<br />

E<br />

L<br />

I<br />

N<br />

E<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

Gambar 2. Desain survei lokasi pertama 5 x 8 meter<br />

Pengambilan data di lokasi kedua dilakukan<br />

dengan teknik looping di sisi kiri dan kanan badan<br />

jalan aspal di sebagian Jalan M. Sahar Kelurahan<br />

Sisir. Dengan panjang lingkaran looping sekitar 0.5<br />

Km dengan spasial 20 meter. Desain survei dapat<br />

dilihat pada Gambar 3.<br />

Gambar 1. Peta lokasi penelitian, peta bagian atas<br />

adalah peta kelurahan Sisir. (http://wikimapia.org)<br />

PENGAMBILAN DATA<br />

Pengambilan data di lokasi pertama dalam<br />

koordinat UTM zona 49 m longitude 0668075<br />

latitude 9129032 dengan lebar area 5 meter, tempat<br />

ini diduga merupakan sebaran gorong-gorong bekas<br />

penambangan sirtu, karena ketika warga menggali<br />

tanah untuk septitank tanah ini tiba-tiba ambles<br />

kebawah, sehingga galian septictank dialihkan<br />

dengan jarak beberapa meter dari amblesan galian<br />

pertama. Pada desain survei lokasi pertama, seperti<br />

pada Gambar 2 luas area dibagi menjadi 5 line. line<br />

pertama sengaja dilewatkan diatas galian septictank<br />

untuk mengetahui respon alat, setelah itu pindah ke<br />

line–line lainnya sehingga mampu men-scan seluruh<br />

area lokasi pertama, pengambilan data dilakukan dua<br />

kali dengan arah berlawanan, untuk mengetahui<br />

seberapa jauh error alat.<br />

Gambar 3. Desain survei lokasi ke dua<br />

Pada kedua pengambilan data diatas<br />

menggunakan impuls 110. Penggunaan besar impuls<br />

ini didasarkan pada range impuls yang representatif<br />

yaitu mempunyai jarak diantara dua impuls 20<br />

hingga 30 centimeter. Semakin kecil jarak dalam<br />

range tersebut semakin baik hasil pencitraannya,<br />

seperti diterangkan dalam persamaan berikut;<br />

(M.Jol, Harry, 2009)<br />

s<br />

line<br />

impuls =<br />

(1)<br />

s<br />

impuls<br />

s<br />

line : Panjang line<br />

s<br />

impuls<br />

: jarak impuls dalam range 20 – 30 cm<br />

Pada data pertama dengan panjang line 8 meter,<br />

impuls 110 banyak dipotong pada impuls 40 hingga<br />

60, sehingga jarak impuls antara 13,3 hingga 20 cm.<br />

Pada data kedua dengan panjang line 20 meter,<br />

impuls 110 dipotong pada impuls 80 hingga 97,<br />

sehingga jarak impuls adalah diantara 20 hingga 25<br />

cm.<br />

B50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

PENGOLAHAN DATA<br />

Prinsip <strong>Fisika</strong> yang digunakan dalam<br />

metode elektomagnetik GPR adalah prinsip pantulan<br />

gelombang. GPR merupakan alat berfasilitas digital<br />

yang langsung dapat dikoneksikan dan diproses<br />

dalam Komputer atau dengan menggunakan<br />

software GPR. Pengolahan data menggunakan<br />

software OKM Future 2005 dari unit gabungan alat<br />

GPR Future 2005 menampilkan penampang hasil<br />

akuisisi data secara langsung.<br />

Pengolahan data yang dilakukan oleh<br />

software OKM Future 2005 yang merupakan satu<br />

paket dengan GPR OKM Future 2005 dilakukan<br />

langsung ketika pengambilan data. Rangkaian alat<br />

GPR OKM Future 2005 dikoneksikan dengan<br />

komputer dengan memanfaatkan teknologi<br />

Bluetooth. Didalam software terdapat prosentase<br />

dari gradasi warna untuk mempermudah analisis.<br />

Hasil keluaran dari software OKM Future 2005 ini<br />

berupa informasi bentuk, ukuran, posisi relatif,<br />

persentase dari tiap-tiap warna dari hasil pencitraan<br />

yang menunjukkan kuantititas dari tiap karakteristik<br />

material, dan informasi kedalaman dari lapisan yang<br />

akan diinterpretasi seperti pada Gambar 4. dan<br />

Gambar 5., serta depth investigation atau kedalaman<br />

maksimal kerja alat.<br />

Gambar 5. Penentuan kedalaman<br />

Setelah diketahui posisi grid dan<br />

kedalaman titik-titik penyebarannya, jarak riil relatif<br />

dari posisi grid software atau konversi koordinat<br />

kesatuan panjang dapat ditentukan dengan<br />

menggunakan persamaan dibawah ini;<br />

r<br />

x n<br />

s<br />

s<br />

line<br />

r<br />

x<br />

×<br />

n<br />

xs<br />

= jarak dari start menuju posisi grid<br />

line= panjang line<br />

x<br />

s = jumlah scan line total<br />

x = scan line posisi titik grid<br />

n<br />

x<br />

= (2)<br />

Prosentase distribusi warna ditunjukkan<br />

oleh Gambar 6., banyaknya warna tidak<br />

menunjukkan obyek yang riil, ada kemungkinan<br />

pengaruh penjalaran gelombang dan karakteristik<br />

material yang ikut berperan. Prosentase distribusi<br />

warna memberikan luasan relatif dari obyek. Setiap<br />

obyek mempunyai luasan yang bisa dibandingkan<br />

dengan obyek-obyek yang lain, jumlah total dari<br />

seluruh prosentase material dalam satu scanning<br />

adalah 100%.<br />

n<br />

Gambar 4. Penentuan posisi grid<br />

Pada software alat, posisi dinyatakan dalam<br />

grid, seperti contoh pada Gambar 4. dan Gambar 5.<br />

yang memberikan output berupa 11,50 meters atau<br />

(28:5) angka 28 menunjukkan impuls ke 29,<br />

sedangkan 5 adalah sensor ke-6 yang telah<br />

menerima sinyal pantul. Kedua angka pada posisi<br />

grid seperti pada penggunaan posisi koordinat yaitu<br />

diawali dari titik (0:0). Posisi Kedalaman<br />

ditunjukkan oleh angka 11,50 meters menunjukkan<br />

kedalaman obyek hingga 11,5 meter dibawah<br />

permukaan tanah. Kedalaman maksimal investigasi<br />

berubah-ubah pada setiap grid impuls yang berbeda<br />

dalam satu keadaan scanning, dan akan dirata-rata<br />

kedalamannya setelah scanning berhenti.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 6. (a) Prosentase distribusi warna, (b) Skala<br />

kedalaman (________,2007)<br />

Skala kedalaman pada Gambar 6(b) adalah<br />

indikasi kedalaman penetrasi maksimal yang<br />

ditunjukkan oleh garis merah, ketika dalam<br />

perlakuan scanning kedalaman ini akan terus<br />

berubah hingga pemberian impuls selesai. Skala<br />

B51


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

kedalaman akan berubah pada satu nilai konstan<br />

yaitu pada jarak terdalam.<br />

INTERPRETASI DAN PEMBAHASAN<br />

Berdasarkan pada tampilan bentuk, warna,<br />

dan kedalaman dari hasil pengolahan, maka dapat<br />

diketahui materi-materi yang ter-scan, dari<br />

kedalaman dapat diperkirakan potensi sebaran<br />

gorong–gorong bekas penambangan pasir. Perlu<br />

diketahui sebelumnya pada pencitraan GPR, bahwa<br />

hanya ada satu objek data dalam grafis titik grid,<br />

kedalaman terdeteksi dan terukur hanya pada obyek<br />

yang terdalam dalam batas kedalaman maksimum.<br />

Obyek pada citra GPR tidak digambarkan pada real<br />

place, tetapi menurut kekuatan pada signal<br />

diketinggian berbeda, yaitu metal selalu diatas,<br />

native soil ditengah dan cavity di bawah.(<br />

Hadiwidjoyo. 1992)<br />

Pada penelitian mengenai daerah potensi<br />

rawan ambles akibat gorong-gorong bekas<br />

penambangan sirtu, analisa akan diutamakan kepada<br />

daerah cavity. Cavity merupakan daerah kosong<br />

yang tidak berisi material, hanya berupa saluran<br />

rongga sehingga memungkinkan terjadi ambles jika<br />

terdapat beban diatasnya seperti bangunan dan<br />

sebagainya atau tanah gembur atau rapuh akibat<br />

tergerus air (Abdelhady,Yehia, 2004). Ketebalan<br />

dari cavity dan native soil akan berpengaruh pada<br />

keberadaan serta keamanan bangunan.<br />

Berdasarkan nilai kandungan elektriknya,<br />

yaitu konduktivitas dan konstanta dielektriknya,<br />

metal, mineral, native soil, dan cavity dicitrakan<br />

dalam spasial warna yang berbeda, seperti pada<br />

Gambar 3.6. Material yang semakin konduktif<br />

kecepatan gelombang radarnya semakin kecil<br />

sehingga terdapat kontras yang besar antara medium<br />

native soil dengan bahan logam. Terdapatnya rongga<br />

atau cavity ditunjukkan dengan kontras yang besar<br />

dari sangat kecilnya harga konduktivitas ruang<br />

kosong dibandingkan dengan medium native soil.<br />

Kontras tersebut yang mengakibatkan perbedaan<br />

citra yang dihasilkan oleh material yang direkam<br />

oleh GPR. Dengan mengetahui nilai konduktivitas<br />

dapat diperkirakan material apa yang ada dibawah<br />

tanah, sinyal yang ditangkap GPR adalah sinyal<br />

yang dominan dari salah satu material. (Annan,<br />

A.P. 2001)<br />

.<br />

Analisa Citra Ground Penetrating Radar (GPR)<br />

Studi kasus pada line 17 lokasi ke dua, dari<br />

informasi yang diberikan warga sekitar, bahwa pada<br />

area sekitar daerah ini sering terasa getaran. Panjang<br />

line 17 adalah 20 meter, berada pada pertigaan jalan<br />

M. Sahar dan 320 meter dari titik 0 akuisisi.<br />

Gambar 7. Penampang 2D ,3D, prosentase materi<br />

pada line 1<br />

Gambar 7. merupakan keseluruhan informasi<br />

yang didapat dari output software OKM future 2005<br />

secara langsung dari line 17, penampang 2D dan 3D<br />

mempermudah melihat obyek dari sudut pandang<br />

yang beragam, dalam kasus ini adalah cavity. Jumlah<br />

prosentase dari tiap material yang terdeteksi telah<br />

dibagi dalam berbagai prosentase variasi warna.<br />

Pada setiap sisi dari penampang atau citra selalu<br />

terlihat komposisi gradasi warna merah dan kuning,<br />

itu menunjukkan sifat metal dari badan aspal dari<br />

warna jingga ke kuning adalah menunjukkan<br />

mineral dari batuan. Warna hijau adalah warna dari<br />

native soil atau tanah normal dan merupakan<br />

representasi grafis yang utama, dalam artian sebagai<br />

tolok ukur keberadaan cavity dan metal. Cavity<br />

ditunjukkan warna biru, menunjukkan adanya<br />

Urutan posisi ini tidak berubah, metal selalu diatas,<br />

setelah itu mineral, native soil dan cavity. Metal<br />

selalu berada diatas dikarenakan gelombang radar<br />

tidak dapat menembus kedalam material yang<br />

mempunyai konduktivitas tinggi.<br />

Tabel 1 Tabel kedalaman, posisi grid dan jarak cavity line 17<br />

line 4 Grid OKM (89:7) kedalaman mulai 2,7 meter<br />

Kedalaman Posisi dalam Jarak dari start<br />

kode<br />

(m)<br />

grid<br />

line (m)<br />

A 2-4,2 (64:0)-(89:7) 15-20<br />

Penampang 2D pada Gambar 8. memberikan<br />

gambaran penyebaran cavity yang menyebar di akhir<br />

scanning, besar luasan adalah 29 % dari luasan total,<br />

dari sini bisa ditentukan luasan dari cavity adalah<br />

±5,5 m 2 . Untuk perhitungan volume tidak dilakukan<br />

karena kesalahan error yang akan terjadi cukup<br />

besar selain error dari bentuk penampang yang tidak<br />

beraturan. Penampang grid dari impuls disimbolkan<br />

sebagai grid (y) yang memberikan informasi tentang<br />

sinyal-sinyal yang ditransmisikan dan diterima<br />

kembali oleh sensor receiver sebagai grid (x). Pada<br />

line 17 penggunaan impuls 110 dibatasi hingga<br />

impuls yang digunakan hanya 90 impuls dan tersisa<br />

20 impuls. Pada Tabel 1. disebutkan Cavity<br />

terdeteksi pada grid (64:0) hingga (89:7), jika<br />

dikonversikan dalam satuan panjang jaraknya adalah<br />

B52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

15-20 meter dari start line (0:0). Gambar 8(c)<br />

menunjukkan posisi pusat cavity dan dapat<br />

membantu atau mendapatkan posisi sebarannya<br />

dalam satu penampang<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 9. (a) penampang cavity, (b) penampang<br />

grid dari impuls cavity<br />

(a) (b) (c)<br />

Gambar 8. (a) Penampang 2D, (b) penampang<br />

grid dari impuls dan (c) penampang pencitraan<br />

tunggal<br />

Diketahui dari Gambar 8. dan Gambar 9. bahwa<br />

posisi terdalam dari line 17 adalah 4,2 m dari<br />

kedalaman mulai 2,7 meter, jadi didalam permukaan<br />

tanah ketinggian terowongan adalah 1,5 meter. Dari<br />

Gambar 9. diketahui grid titik terdalam adalah<br />

(75:0), 75 adalah hitungan impuls ke-76 yang<br />

diterima receiver,sedangkan 0 adalah posisi sensor<br />

yang terletak di bagian kiri probe dalam range<br />

jumlah 8 sensor khusus GPR OKM Future 2005.<br />

Hitungan impuls dan posisi sensor receiver dan titik<br />

start (0:0) merupakan spesifikasi penting dalam<br />

posisi relatif obyek.<br />

Untuk membedakan cavity yang disebabkan<br />

bekas galian dan gorong-gorong penambangan sirtu<br />

selain menggunakan ketinggian, gorong–gorong<br />

juga bisa dideteksi melalui perbandingan lebar<br />

cavity dengan probe.<br />

Seperti terlihat pada Gambar 10, pada cavity<br />

bekas galian Gambar 10(a), terdapat native soil<br />

diatas cavity, ini menunjukkan bahwa, pada satu<br />

scanning line atau satu impuls terdapat sebagian<br />

native soil sehingga posisi cavity tidak merata pada<br />

satu scanning line, sedangkan pada Gambar 10(b)<br />

tidak ada native soil yang menutupi cavity, sehingga<br />

penyebaran cavity merata diseluruh line.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 10. (a) cavity bekas galian atau tanah<br />

gembur (b) cavity gorong-gorong<br />

Lokasi pertama<br />

Pada lokasi pertama dengan jumlah 5 line<br />

dilakukan 2 kali scanning dengan arah berbalikan,<br />

dengan panjang scanning 8 m, dengan hasil citra<br />

yang ditampilkan pada Gambar 11. dan 12. Hasil<br />

yang didapat mempunyai kuantitas kedalaman cavity<br />

yang berbeda, pada Tabel 2. disebutkan data line<br />

awal 1 hingga 5 mempunyai kedalaman cavity mulai<br />

2,1 hingga 4,3 meter, sedangkan pada line balik 1<br />

hingga 5 kedalaman cavity sekitar 2,2 hingga 4,9<br />

meter dibawah permukaan tanah. Ketidaksesuaian<br />

kedalaman sekitar 0,5 hingga 2 meter,<br />

ketidaksesuaian profil terlihat pada penampang line<br />

B53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ke 1, dimana penyebaran cavity mempunyai<br />

perbedaan baik dalam kedalaman dan posisi cavity,<br />

Hal ini dimungkinkan karena error dari alat dan<br />

perbedaan impuls yang diberikan, namu trend dari<br />

penyebaran cavity dari line awal dan line balik<br />

adalah sama yaitu melebar kearah atas, jika<br />

dimasukkan dalam peta dan arah mata angin, arah<br />

penyebarannya adalah kearah timur dan selatan.<br />

Dilihat dari kedalamannya yang lebih dari 2 meter<br />

dan penyebarannya yang rata diseluruh permukaan<br />

scanning line serta bentukan cavity yang lebar,<br />

cavity tersebut di interpretasikan sebagai gorong–<br />

gorong bekas penambangan sirtu.<br />

kiri dan kanan badan jalan aspal. Panjang line tiap<br />

penampang dibuat sepanjang 20 meter untuk<br />

memudahkan pengolahan data, karena pembagian<br />

tersebut jumlah penampang line survei berjumlah 24<br />

line, dan penyebarannya bisa dilihat pada Gambar<br />

13. dibawah ini.<br />

Gambar 13. Line pengambilan data lokasi kedua<br />

Gambar 11. Penampang cavity pada line awal 1-5<br />

Gambar 12. Penampang cavity pada line balik 1-5<br />

Tabel 2. Kedalaman line 1-5 dan line balik 1-5<br />

No. line kedalaman line kedalaman<br />

1<br />

line<br />

awal 1 2,3 - 3,6 m<br />

line<br />

balik 1 2 - 4,5 m<br />

2<br />

line<br />

awal 2 2,8 - 4,3 m<br />

line<br />

balik 2 3,2 - 4,4 m<br />

3<br />

line<br />

awal 3 2,6 - 3,6 m<br />

line<br />

balik 3 3,2 - 4,7 m<br />

4<br />

line<br />

awal 4 2,1 - 2,7 m<br />

line<br />

balik 4 2,2 -3,5 m<br />

5<br />

line<br />

awal 5 2,3 – 2,9 m<br />

line<br />

balik 5 3,1 - 4,9 m<br />

Lokasi kedua<br />

Lokasi akuisisi kedua adalah di Jalan M. Sahar<br />

dengan panjang total line sekitar 0,5 km. Lokasi<br />

Akuisisi daerah penelitian adalah looping sisi luar<br />

Gambar 14. Penampang 2D dari 24 line lokasi kedua<br />

Pada daerah lokasi mulai titik 0 hingga titik 8<br />

didapatkan informasi awal adanya bekas galian pipa<br />

PDAM. hal tersebut juga diketahui dari bentuk<br />

cavity yang menpunyai posisi ditengah scanning line<br />

yang menunjukkan cavity akibat keberadaan pipa<br />

lebih kecil lebarnya dari lebar probe horizontal yang<br />

dipakai, selain itu galian pipa PDAM relatif dangkal<br />

1 hingga 2 meter, tanah bekas galian menimbulkan<br />

efek tanah yang tidak padat sehingga tanah terkesan<br />

gembur dan memberikan efek cavity pada data. Pada<br />

line 21 dan 22 merupakan bekas sumur yang telah<br />

diurug, terlihat dari bentuknya yang biru gelap.<br />

Cavity yang diinterpretasikan sebagai gorong–<br />

gorong bekas penambangan sirtu belum bisa<br />

ditentukan kedalamannya secara pasti karena<br />

kurangnya informasi dan berbagi kemungkinan yang<br />

bisa terjadi, seperti pertambangan mendekati<br />

permukaan tanah. Selain itu kondisi alat yang<br />

kurang presisi dalam kedalaman, dan dominasi<br />

material metal dan mineral dalam lokasi akuisisi<br />

akan sangat mempengaruhi selain faktor luar error<br />

alat.<br />

Interpretasi daerah sebaran cavity didasarkan<br />

pada lokasi-lokasi yang menjadi keluhan masyarakat<br />

disesuaikan dengan citra hasil GPR. Seperti pada<br />

Gambar 14. dimana terdapat cavity yang mempunyai<br />

kedalaman lebih dari 2 meter atau cavity tersebar di<br />

satu line impuls pada line ke 1 hingga line ke 25<br />

B54


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

seperti yang terlihat dalam batasan-batasan garis<br />

pada gambar, namun dengan adanya informasi awal<br />

bahwa daerah tersebut merupakan bekas galian pipa<br />

PDAM, serta panjang cavity yang cukup kecil,<br />

cavity tersebut diinterpretasikan sebagai tanah<br />

gembur efek dari bekas galian pipa PDAM.<br />

Gambar 14. pada lokasi pertigaan pada line 8,9<br />

dan 16,17,19 merupakan daerah yang menjadi<br />

keluhan masyarakat, sering terasa adanya getaran<br />

ketika dilewati kendaraan berat. Pada hasil citra line<br />

9 dan 17 terdapat gambaran cavity yang cukup jelas,<br />

dengan kedalaman 2,2 hingga 4,7. Kedua informasi<br />

ini mengarah pada kesimpulan adanya cavity<br />

gorong-gorong bekas penambangan sirtu.<br />

Informasi bahwa lebar gorong-gorong akibat<br />

penambangan sirtu pada daerah lokasi penelitian<br />

kedua didapatkan dari Gambar 13. adalah bervariasi<br />

dimulai dengan lebar sekitar 1 meter hingga 17<br />

meter. Kedalaman gorong-gorong akibat<br />

penambangan sirtu adalah sekitar 2 hingga 5 meter.<br />

Gambar 15. Penampang penyebaran gorong-gorong<br />

Tujuan dari pengambilan data dari dua lokasi<br />

yang berbeda, yaitu lokasi pertama dan kedua adalah<br />

bertujuan untuk mengetahui sebaran dari cavity,<br />

dengan alat GPR yang ada, yaitu dengan lebar probe<br />

96 cm, adalah tidak memungkinkan untuk men-scan<br />

seluruh luasan persegi dari daerah penelitian,<br />

sehingga pengambilan data di dua lokasi ini adalah<br />

untuk mewakili sebaran cavity.<br />

Dengan menggabungkan lokasi pertama<br />

dan kedua, penyebaran gorong–gorong seperti pada<br />

gambar 15. membentuk suatu kuba seperti pada guagua<br />

dengan percabangan. Percabangan seperti ini<br />

akan menjadi rawan dan sulit untuk diprediksi<br />

karena keberadaan posisi relatif dari cavity yang<br />

dianggap sebagi gorong-gorong bekas penambangan<br />

sirtu. Saluran gorong–gorong bekas penambangan<br />

sirtu di lokasi ini kemungkinan hanya sebagian<br />

saluran yang kecil saja, ada kemungkinan bentukan<br />

gorong-gorong yang lebih luas dan tinggi dari data<br />

lokasi penelitian ini, seperti pada bagian kiri dan<br />

tengah bawah, tidak dapat diberikan arah pasti dari<br />

sebarannya karena batasan lokasi penelitian.. Dari<br />

hasil pemetaan diatas dapat diketahui seberapa besar<br />

potensi ambles pada daerah penelitian, yaitu dengan<br />

melihat penyebaran dari gorong-gorong bekas sirtu<br />

tersebut dan menghubungkan dengan lokasi rumah<br />

atau bangunan terdekat.<br />

KESIMPULAN<br />

Kesimpulan dari penelitian ini adalah daerah<br />

keberadaan gorong-gorong bekas penambangan sirtu<br />

di lokasi pengambilan data yaitu terdapat pada<br />

Lokasi 1 dan lokasi 2 pada line 8,9, 15,16,17 dan 19<br />

dengan kedalaman mulai 2 hingga 4,7 meter. Posisi<br />

tersebut sesuai dengan lokasi keluhan masyarakat.<br />

Daerah gorong –gorong bekas penambangan sirtu<br />

berpotensi ambles jika mendapatkan tekanan atau<br />

beban dari atas atau adanya gerusan air.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdelhady,Yehia.2004. Combined Geophysical<br />

Techniques for Cavity Detection.<br />

http://www.egsegypt.org/demo2/Vol2/15.pdf.<br />

Diakses pada<br />

tanggal 9 april 2009<br />

Annan, A.P. 2001. Ground Penetrating Radar<br />

Workshop Notes. Sensors & Software Inc.<br />

Canada<br />

Hadiwidjoyo. 1992. Kamus Kebumian. Gramedia<br />

Jakarta<br />

M.Jol, Harry.2009. Ground Penetrating Radar :<br />

Theory and application. Elsevier. UK<br />

Reynolds, J. M., 1997. An Introduction to Applied<br />

and Environmental Geophysics, John Wiley<br />

and Sons : New York.<br />

________,2007. User’s Manual GPR Future 2005.<br />

http://www.okm-gmbh.dc<br />

http://wikimapia.org/#lat=-7.876911&lon<br />

=112,5246334&=0&m=a&v=2. Gambar area<br />

lokasi penelitian. Diakses pada tanggal 13<br />

April 2009<br />

B55


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Daya dan Waktu Paparan Laserpuntur<br />

Terhadap Perbaikan Sel Β Pankreas<br />

Welina R K , Trianggono Prijo , Ria Fajarrina<br />

Lab Biofisika <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Kampus C Mulyorejo , Surabaya 60115<br />

Email :<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi laserpuntur dengan menvariasi daya dan waktu paparan<br />

dengan energi yang sama Sebagai hewan coba digunakan mencit yang sel sel pankreasnya dikondisikan rusak<br />

dengan suntikan streptozotocin. Setelah itu pada titik phi shu mencit diapapari laserpuntur helium Neon.dengan<br />

variasi daya dan waktu paparan (5 m W; 200 detik), (2 mW, 500 detik), (10 mW. 100 detik) dengan perlakuan<br />

terapi 5 kali. Hasil penelitian menunjukan bahwa paparan laserpuntur dengan daya 2 mW, waktu paparan 500<br />

detik dan pengulangan terapi sebanyak lima kali dapat mengembalikan sel sel pancreas normal kembali. Hal ini<br />

ditunjang dengan uji statistik ANAVA satu arah.<br />

Kata kunci ; laser puntur He Ne , sel β<br />

I. Pendahuluan<br />

Diabetes mellitus adalah suatu kelainan<br />

metabolisme yang ditandai dengan kadar gula yang<br />

tinggi. Naiknya kadar gula ini disebabkan karena<br />

kurangnya pasokan insulin yang dihasilkan oleh sel<br />

sel beta pankreas.yang salah satu sebabnya karena<br />

banyak sel sel β(beta )pankreas yang rusak<br />

Sebagai upaya alternatif untuk membantu para<br />

penderita diabetes mellitus<br />

dilakukan terapi dengan metode akupuntur.<br />

Dalam penelitian ini sebagai gantinya jarum<br />

digunakan sinar laser Helium Neon untuk men<br />

stimulus energinya dan sebagai hewan cobanya<br />

digunakan mencit yang sudah dikondisikan dengan<br />

suntikan streptozotocin(stz) sehingga sel sel beta di<br />

pankreas rusak.Dengan memberi stimulus energi<br />

laser pada suatu titik akupuntur yang berkaitan<br />

dengan organ pankreas diharapkan mengembalikan<br />

kondisi organ yang rusak akibat streptozotosin.<br />

Berdasarkan penelitian yang terdahulu diperoleh<br />

dosis (energi) satu joule merupakan dosis yang<br />

optimal yang dapat dapat menurunkan kadar gula<br />

darah mencit Karena dosis yang diberikan<br />

dipengaruhi daya dan waktu maka fokus<br />

permasalahan dalam penelitian ini adalah : apakah<br />

dengan menvariasi daya,waktu dengan energi sama<br />

mempengaruhi perbaikan sel yang rusak dan<br />

berapa optimasi daya keluaran laser He Ne,waku<br />

dan pengulangan terapi dapat meningkatkan sel beta<br />

pankreas yang normal.<br />

II. Metode Penelitian<br />

Penelitian yang bersifat eksperimen dilakukan<br />

di laboratorium Biofisika dan Biologi reproduksi<br />

Fakaultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

selama 7 bulan.<br />

Sebagai hewan coba digunakan mencit betina<br />

berumur 3 bln dan beratnya rata rata 35g, yang<br />

terbagi 15 kelompok yang diberi perlakuan dan 2<br />

kelompok yakni kelompok control tanpa stz dan<br />

kelompok control dengan stz.<br />

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah<br />

variasi terapi yang terdiri dari daya keluaran<br />

laser,waktu yang terdiri dari 2mW.500s, 5mW.200s<br />

dan 10 mW.100s dengan masing masing lima kali<br />

pengulangan. Variabel terikatnya adalah jumlah sel<br />

normal, jumlah total dan jumlah masing masing tipe<br />

kematian sel pada pankreas . Variabel terkendalinya<br />

adalah dosis energi paparan 1 J dan penyinaran<br />

dilakukan di titik Pi Shu.<br />

Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian<br />

ini disusun dengan urutan langkah seperti diagram<br />

alir di bawah ini.<br />

III. Hasil dan Pembahasan<br />

3.1 Hasil penelitian<br />

Hasil pengamatan jumlah sel normal mencit<br />

setelah dipapari sinar laser dititik phi shu<br />

ditunjukkan pada tabel dibawah ini<br />

B56


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Grafik jumlah rata-rata sel karioreksis<br />

40<br />

jumlah ratarata<br />

sel<br />

karioreksis<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0 1 2 3 4 5<br />

kontrol sehat<br />

kontrol sakit<br />

10mW x 100s<br />

5mW x 200s<br />

2mW x 500s<br />

pengulangan terapi<br />

Gambar 3: diagram batang jumlah sel karioreksis terhadap<br />

pengulangan terapi<br />

Grafik jumlah rata-rata sel kariolisis<br />

40<br />

Ket (i) setelah dikondisikan sakit<br />

Tabel 1. nilai rata rata jmlah sel normal pancreas.<br />

Grafik jumlah rata-rata sel normal<br />

jumlah rata-rata<br />

sel kariolisis<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0 1 2 3 4 5<br />

pengulangan terapi<br />

kontrol sehat<br />

kontrol sakit<br />

10mW x 100s<br />

5mW x 200s<br />

2mW x 500s<br />

jumlah rata-rata<br />

sel normal<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

0 1 2 3 4 5<br />

pengulangan terapi<br />

kontrol sehat<br />

kontrol sakit<br />

10mW x 100s<br />

5mW x 200s<br />

2mW x 500s<br />

Tabel 2 Analisis jumlah sel normal terhadap daya dan waktu<br />

paparan sinar laser<br />

Hasil pengamatan tipe kerusakan sel ditunjukkan oleh gambar<br />

2.3 dan 4<br />

jumlah ratarata<br />

sel<br />

kariopiknosis<br />

Grafik jumlah rata-rata sel kariopiknosis<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0 1 2 3 4 5<br />

pengulangan terapi<br />

kontrol sehat<br />

kontrol sakit<br />

10mW x 100s<br />

5mW x 200s<br />

2mW x 500s<br />

Gambar 2 : diagram batang jumlah sel kariopiknosis terhadap<br />

pengulagan terapi<br />

Gambar 4. diagram batang jumlah sel kariolisis terhadap<br />

pengulangan<br />

3.2 Pembahasan<br />

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan<br />

adanya pemberian streptozotocin (stz) pada mecit<br />

terjadi penurunan rata rata sel β normal di pancreas<br />

menjadi 0,67 dan jenis kematian sel rata rata jenis<br />

kariopiknosis 31,67,jenis karioreksis 33,67 dan<br />

karioleksis 31. Pada mencit yang tidak diberi stz<br />

jumlah sel normal beta di pankreas rata rata 97,76.<br />

Setelah dipapari sinar laser di titik pi shu<br />

dengan 3 variasi daya waktu dan 5 kali pengulangan<br />

memberikan perbaikan jumlah sel beta dipankreas.<br />

Hasil terbaik untuk menaikkan jumlah sel normal<br />

mencit yakni 2mw.500s dan 5 kali pengulangan<br />

yang menghasilkan sel beta normal rata rata 95,67<br />

mendekati sel beta normal mencit tanpa stz dan<br />

tanpa perlakuan.<br />

IV. Kesimpulan.<br />

Dari hasil penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengetahui lebih dalam lagi efektifitas terapi untuk<br />

perbaikan sel beta dipankreas mencit diperoleh<br />

kesimpulan<br />

untuk daya waktu yang berbeda dengan energi<br />

yang sama memberikan efek perbaikan sel beta<br />

dipankreas yang berbeda.<br />

daya 2mw waktu 500 s dan 5 kali pengulangan<br />

memberikan perbaikkan sel beta di pankreas yang<br />

optimal.<br />

Saran<br />

Hasil penelitian ini dapat dipakai dasar untuk terapi<br />

penderita dibetes militus secara alternatip karena<br />

dengan metode akupuntur dengan laser disuatu titik<br />

B57


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

akpuntur dapat memperbaiki sel beta pankreas yang<br />

mana salah satu fungsinya menghasilkan insulin.<br />

V. Daftar pustaka<br />

Budisantosa (1987) , Diabetes mellitus tipe siroses<br />

hepatitis. UI Jakarta<br />

Filshie, J & White, A (1999), Medcal Acupunctur ,<br />

A Western Scientific Approach, Churchill<br />

Livingstonse , London.<br />

Welina,Trianggono,muzzaki, (2007),Aplikasi laser<br />

untuk mengendalikan kadar gula<br />

mencit.Artikel ilmiah FMIPA UNAIR<br />

Herri, (1996), Hubungan Peningkatan Kadar<br />

Glukosa darah dengan Jumlah Sel Pulau<br />

Langerhans Kelenjar Pankreas. Skripsi FKH<br />

UNAIR .<br />

Rubianto ,Agus (2007) Laser berdaya rendah Untuk<br />

akupuntur , Jurnal FMIPA ITS<br />

www.chemsources.com<br />

www.calbiochem.comp<br />

Suhariningsih,(2004), kajian Biofisika tentang<br />

Keamanan dan Efektifitas Terapi Akupuntur.<br />

Team Battra UNAIR.<br />

B58


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengurutan Kestabilan Relatif Kristal Na<br />

melalui Kriteria Koefisien Variasi<br />

Agus Rifani<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya<br />

Email : phiagus@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Perhitungan energi total suatu kristal melalui metode ab initio dilakukan dengan meningkatkan jumlah sampling<br />

vektor gelombang (η) hingga nilai energi total menjadi konvergen. Namun, peningkatan nilai η juga<br />

menyebabkan waktu perhitungan menjadi lebih lama. Skema cold smearing dapat memperkecil η dengan cara<br />

meningkatkan temperatur smearing (σ). Meskipun demikian peningkatan nilai σ memberikan efek penurunan<br />

energi total yang berbeda pada setiap struktur. Hal ini dapat berpengaruh terhadap urutan kestabilan fase kristal<br />

pada T=0 K, sehingga diperlukan metode pemilihan nilai σ dan η yang tepat. Nilai koefisen variasi energi total<br />

terhadap perubahan σ dan η dapat digunakan sebagai keriteria pemilihan nilai σ dan η. Pada kristal elemental Na,<br />

skema koefisien variasi dapat memberikan prediksi urutan kestabilan struktur (pada 0 K) yang sesuai dengan<br />

data eksperimen, yaitu HCP (Hexagonal closed packed) → BCC (Body Centered Cubic) → FCC (Face Centered<br />

Cubic).<br />

Kata kunci : ab initio, cold smearing, kestabilan fase kristal.<br />

PENDAHULUAN<br />

Perkembangan dalam bidang sintesis struktur<br />

nano telah menarik minat untuk memahami sifat<br />

elektronik bahan melalui simulasi dan permodelan<br />

(Yip, 2005). Pada skala tersebut, perilaku elektron<br />

dan atom dirumuskan melalui mekanika kuantum.<br />

Metode ab initio atau yang disebut sebagai prinsip<br />

pertama berusaha untuk menyelesaikan persamaan<br />

Schrődinger tanpa bergantung pada hasil<br />

eksperimen. Parameter yang harus diatur hanyalah<br />

parameter akurasi untuk mencapai self-consistent.<br />

Salah satu besaran yang didapat adalah energi<br />

total. Dengan mengetahui energi total dari fase<br />

bahan yang berbeda, kestabilan relatif struktur<br />

kristal dapat ditentukan. Yin dan Cohen (1982)<br />

melalui perhitungan potensial-semu plane-wave<br />

memprediksi bahwa struktur stabil dari kristal Si<br />

adalah Diamond, suatu prediksi yang sesuai dengan<br />

hasil eksperimen. Sayangnya metode tersebut saat<br />

diterapkan pada logam alkali memberikan hasil yang<br />

berbeda dengan eksperimen (Dagistanli dan Mutlu,<br />

2008). Hal ini disebabkan oleh perbedaan energi<br />

total yang sangat kecil antara fase berbeda. Kristal<br />

Na, sebagai satu contoh, memiliki perbedaan energi<br />

total antara struktur BCC (Body Centered Cubic),<br />

FCC (Face Centered Cubic), dan HCP (Hexagonal<br />

closed packed) sebesar 5 x 10 -6 Hartree/Atom<br />

(Katsnelson et al., 2000). Perbedaan energi total<br />

yang sangat kecil tersebut menyebabkan perhitungan<br />

kristal Na sensitif terhadap perubahan kuantitas yang<br />

dapat mempengaruhi nilai energi total, seperti<br />

temperatur smearing (σ). Dengan demikian<br />

diperlukan suatu kriteria konvergensi yang dapat<br />

memberikan efek temperatur smearing yang sama<br />

pada struktur yang berbeda.<br />

PERHITUNGAN SELF-CONSISTENT ENERGI<br />

TOTAL<br />

Prinsip dasar<br />

Energi total dihitung berdasarkan teori<br />

fungsional kerapatan (DFT, Density Functional<br />

Theory) (Hohenberg dan Kohn, 1964) dengan<br />

pendekatan kerapatan lokal yang diterapkan dalam<br />

kode ABINIT 5.4.4 (Gonze et al., 2002) Persamaan<br />

Schrődinger sistem banyak elektron yang saling<br />

berinteraksi diselesaikan melalui persamaan Kohn-<br />

Sham satu elektron berikut,<br />

⎡<br />

⎤<br />

⎢− ∇ + + + ⎥ =<br />

⎣ 2m<br />

⎦<br />

2<br />

h 2<br />

v () r ext<br />

vH () r vxc() r φn () r εnφn<br />

() r (1)<br />

operator Hamiltonian yang bekerja pada orbital<br />

Kohn-Sham satu elektron(φ n (r)), terdiri dari operator<br />

energi kinetik non-relativistik, potensial eksternal<br />

(V ext ), potensial Hartree (V H ) dan potensial exchange<br />

dan correlation (V XC ). Aproksimasi dalam<br />

menyelesaikan persamaan (1) terbagi dalam<br />

aproksimasi fisika dan numerik, yaitu:<br />

Aproksimasi fisika<br />

Dari sisi teori, sistem banyak elektron yang<br />

saling berinteraksi dipetakan ke dalam sistem satu<br />

elektron yang mengalami potensial efektif melalui<br />

pendekatan kerapatan lokal (LDA, Local Density<br />

Approximation) dalam kerangka DFT (Kohn dan<br />

Sham, 1965). Suku exchange dan correlation (XC)<br />

dalam persamaan (1) didapat dari parameterisasi<br />

C1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Teter Pade (Goedecker et al., 1996). Melalui<br />

aproksimasi Born-Oppenheimer perhitungan dibagi<br />

menjadi perhitungan interaksi elektronik dan atomik.<br />

Dalam perhitungan interaksi elektronik, efek<br />

elektron inti dimasukkan dalam potensial-semu<br />

melalui suku potensial eksternal dari persamaan (1),<br />

yaitu potensial-semu norm-conserving oleh<br />

Troullier-Martin (Troullier dan Martin, 1991)<br />

sehingga dapat digunakan plane wave sebagai basis<br />

set orbital Kohn-Sham.<br />

Aproksimasi numerik<br />

Perhitungan energi total diselesaikan secara<br />

self-consistent seperti pada skema dalam gambar 1.<br />

Kerapatan elektron (n(r)) didapat dari integrasi<br />

orbital Kohn-Sham yang terisi dalam ruang Brillouin<br />

Zone. Pada dasarnya untuk kristal dengan volume<br />

tak hingga terdapat jumlah vektor gelombang k yang<br />

tak hingga pula. Namun demikian dalam<br />

aproksimasi numerik digunakan jumlah vektor<br />

gelombang k yang terbatas. Pemilihan vektor<br />

gelombang khusus atau titik-k spesial dilakukan<br />

dengan memperhatikan simetri dari sistem yang<br />

dihitung, yaitu melalui skema Monkhorst-Pack<br />

grids. Banyaknya jumlah titik-k (η) dan jumlah basis<br />

set plane wave diatur melalui konvergensi energi<br />

total berdasarkan akurasi yang diperlukan. Keriteria<br />

penghentian alur iterasi pada setiap siklus selfconsistent<br />

adalah energi total, yaitu jika selisih<br />

energi total antara dua siklus self-consistent kurang<br />

dari 1.0 x 10 -10 Hartree (1 Ha = 27,211 eV).<br />

Gambar 1. Skema self consistent field untuk menghitung energi<br />

total (Payne et al., 1992).<br />

Analisis struktur<br />

Perhitungan self-consistent energi total melalui<br />

metode ab initio dapat digunakan untuk<br />

memprediksi kestabilan relatif antara struktur<br />

berbeda padatan elemental. Perhitungan dilakukan<br />

dengan mengubah konstanta kisi pada setiap struktur<br />

hingga didapat nilai energi total minimum. Struktur<br />

yang memberikan energi total paling kecil pada<br />

keadaan setimbang merupakan struktur yang paling<br />

stabil (Springborg, 2002). Hasil perhitungan seperti<br />

ini ditampilkan dalam grafik volume dan energi,<br />

misalnya hasil perhitungan kristal Si pada gambar 2.<br />

Gambar 2. Kestabilan relatif kristal Silikon, didapat melalui<br />

perhitungan potensial-semu plane wave oleh Yin dan Cohen<br />

(1982).<br />

KRITERIA KOEFISIEN VARIASI<br />

Energi total kristal Na dihitung pada empat<br />

struktur berbeda, yaitu BCC, FCC, Diamond, dan<br />

HCP. Pada setiap struktur dilakukan konvergensi<br />

energi total terhadap penambahan jumlah basis set,<br />

melalui nilai dalam variabel ‘ecut’ hingga dicapai<br />

akurasi energi total dalam orde 10 -3 Ha/Atom.<br />

Dengan asumsi bahwa sistem yang dihitung bersifat<br />

metalik, maka digunakan skema okupansi cold<br />

smearing. Dalam skema okupansi tersebut,<br />

temperatur sistem (T) dapat diatur pada 0 K,<br />

sementara distribusi elektron di sekitar energi fermi<br />

di smearing dengan meningkatkan temperatur<br />

smearing (σ). Dengan nilai σ yang cukup (sekitar<br />

0.04 Ha) diperoleh konvergensi terhadap jumlah<br />

titik-k, yaitu dalam nilai η, yang tidak terlalu besar<br />

(η = 12 untuk akurasi energi total 10 -4 ). Dengan<br />

demikian pada sistem metalik terdapat tiga variabel<br />

(σ, η, dan 'ecut') yang harus ditentukan nilainya<br />

berdasarkan akurasi yang diperlukan. Nilai ketiga<br />

variabel tersebut kemudian digunakan dalam<br />

perhitungan energi total untuk mendapatkan kurva<br />

Energi-Volume (E-V) seperti pada Gambar 2.<br />

Kurva E-V kristal Na diperlihatkan pada<br />

gambar 3, yang menunjukkan urutan kestabilan<br />

relatif dari FCC → HCP → Diamond → BCC.<br />

C2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Urutan tersebut berbeda dengan data eksperimen<br />

(Lide, 2005) yang menunjukkan bahwa pada T = 0<br />

K, Na memiliki struktur HCP. Perbedaan tersebut<br />

disebabkan oleh akurasi perhitungan (yaitu sebesar<br />

0.0001 Ha/atom) yang lebih besar dari perbedaan<br />

energi total antara struktur BCC, FCC, dan HCP.<br />

Telah diketahui bahwa perbedaan energi total Na di<br />

antara struktur tersebut sangat kecil, yaitu dalam<br />

orde 10 -06 Ha/atom (Katsenelson et al., 2000)<br />

sehingga seringkali menyebabkan hasil perhitungan<br />

struktur stabil menjadi berlawanan dengan data<br />

eksperimen (Dagistanli dan Mutlu, 2008).<br />

terhadap η dan σ pada gambar 4, struktur Na-FCC<br />

dapat dihitung dengan akurasi ~ 10 -07 menggunakan<br />

η = 10 dan σ = 0.032 (lihat tabel 1), sedangkan untuk<br />

struktur Na-BCC (gambar 5) akurasi tersebut<br />

didapat dengan η = 12 dan σ = 0.032. Namun<br />

perbandingan nilai energi total dari kedua grafik<br />

tersebut memperlihatkan bahwa energi total Na-FCC<br />

(~ -6.66476 Ha) lebih kecil dari energi total Na-BCC<br />

(~ -6.66474 Ha, lihat inset pada Gambar 5), yang<br />

menghasilkan kesimpulan bahwa struktur FCC lebih<br />

stabil dibandingkan struktur BCC seperti yang<br />

ditunjukkan pada gambar 3.<br />

Energi/Atom (eV)<br />

-175<br />

-176<br />

-177<br />

-178<br />

-179<br />

-180<br />

-181<br />

BCC<br />

Diamond<br />

HCP<br />

FCC<br />

TABEL I<br />

Hasil konvergensi energi total dengan keriteria akurasi dalam<br />

orde 10 -7 Ha/Atom pada kristal Na-BCC dan Na-FCC<br />

struktur η σ<br />

Energi total<br />

(Hartree)<br />

BCC 10 0.032 -6.66474<br />

FCC<br />

12 0.032 -6.66476<br />

-182<br />

0 1 2 3 4 5<br />

Volume Relatif (V/Vo)<br />

Gambar 3. Kurva energi-volume kristal Na untuk struktur BCC,<br />

FCC, Diamond, HCP. Warna kurva menunjukkan tingkat energi<br />

relatif pada konstanta kisi setimbang, yaitu berturut-turut dari<br />

kecil ke besar: merah → hijau → biru → ungu. Volume relativ<br />

(V/V o ) dihitung terhadap volume HCP dari data eksperimen (Lide,<br />

2005). Anak panah pada setiap struktur menunjukkan titik dimana<br />

nilai konstanta kisi setimbang berada.<br />

Na-cF4<br />

Energi Total /Atom (Ha)<br />

-6.6641<br />

-6.6642<br />

-6.6643<br />

-6.6644<br />

-6.6645<br />

-6.6646<br />

-6.66452<br />

-6.66454<br />

-6.66456<br />

-6.66458<br />

-6.66460<br />

-6.66462<br />

-6.66464<br />

-6.66466<br />

-6.66468<br />

-6.66470<br />

-6.66472<br />

-6.66474<br />

τ(Ha)<br />

0.001<br />

0.002<br />

0.004<br />

0.008<br />

0.016<br />

0.032<br />

10 12 14 16 18 20<br />

Energi Total/Atom (Ha)<br />

-6.66454<br />

-6.66456<br />

-6.66458<br />

-6.66460<br />

-6.66462<br />

-6.66464<br />

-6.66466<br />

-6.66468<br />

-6.66470<br />

-6.66472<br />

-6.66474<br />

-6.66476<br />

0,001<br />

0,002<br />

0,004<br />

0,008<br />

0,016<br />

0,032<br />

6 8 10 12 14 16 18 20<br />

Jumlah titik k<br />

Gambar 4. Konvergensi energi total kristal Na-FCC terhadap<br />

jumlah titik-k (η) untuk nilai temperatur σ yang berbeda.<br />

Meningkatkan akurasi dengan memperbanyak<br />

jumlah basis set plane wave berikut meningkatkan<br />

nilai σ dan η tidak memberikan perubahan pada<br />

urutan kestabilan relatif. Hal ini disebabkan karena<br />

dalam skema cold smearing, peningkatan nilai σ<br />

diikuti pula dengan menurunnya harga energi total<br />

seperti pada gambar 4 dan 5. Dengan demikian,<br />

membandingkan energi total diantara struktur<br />

berbeda tidak cukup hanya dengan menyamakan<br />

keriteria konvergensi.<br />

Misalnya pada Na struktur BCC dan FCC,<br />

dengan melihat grafik konvergensi energi total<br />

τ(Ha)<br />

-6.6647<br />

6 8 10 12 14 16 18 20<br />

Jumlah titik k<br />

Gambar 5. Konvergensi energi total kristal Na-BCC terhadap<br />

jumlah grid titik-k (η) untuk nilai temperatur smearing (σ) yang<br />

berbeda.<br />

Dengan demikian diperlukan suatu titik acuan<br />

dalam menentukan nilai σ dan η namun dengan tetap<br />

memperhatikan keriteria konvergensi yang<br />

sebelumnya telah diatur oleh variabel 'ecut'. Untuk<br />

mendapatkan titik acuan tersebut penulis<br />

menggunakan keriteria koefisien variasi dari<br />

perubahan energi total terhadap η untuk setiap nilai<br />

σ Nilai koefisien variasi dihitung dari persamaan<br />

berikut (Chapra et al., 2002):<br />

( y − y)<br />

i<br />

koefisien variasi (c.v.) = y<br />

i=<br />

1<br />

n − 1<br />

1<br />

n<br />

∑<br />

2<br />

(2)<br />

Pemilihan nilai koefisien variasi ditentukan<br />

oleh harga akurasi yang diperlukan. Untuk kristal<br />

Na, digunakan koefisien variasi sebesar dalam orde<br />

10 -7 . Nilai koefisien variasi energi total kristal Na-<br />

FCC dan Na-BCC ditunjukkan dalam Gambar 6 dan<br />

7.<br />

C3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Koefisien variasi pada grafik dalam Gambar 6,<br />

yang dihitung dari nilai energi total melalui<br />

persamaan (2), merupakan rasio standar deviasi<br />

energi total terhadap nilai rata-ratanya pada satu<br />

harga σ. Dengan demikian koefisien variasi dapat<br />

digunakan sebagai ukuran sebaran data. Kuncinya<br />

adalah dalam menentukan nilai σ, diperlukan titik<br />

acuan yang sama, karena pada struktur yang<br />

berbeda, fungsi energi terhadap σ berbeda pula. Sifat<br />

seperti ini dapat dilihat dengan membandingkan<br />

kedua grafik untuk struktur FCC dan BCC pada<br />

gambar 4 dan 5. Kedua grafik tersebut<br />

memperlihatkan perubahan energi total terhadap σ<br />

yang tidak sebanding. Sementara sifat yang sama<br />

adalah sebaran data yang semakin kecil seiring<br />

dengan meningkatnya harga η. Dengan demikian<br />

perlu dipilih nilai σ yang memberikan besarnya<br />

sebaran yang sama pada nilai η tertentu.<br />

Koefisien variasi energi total<br />

0<br />

-1e-06<br />

-2e-06<br />

-3e-06<br />

-4e-06<br />

-5e-06<br />

0<br />

-5e-07<br />

-1e-06<br />

τ(Ha)<br />

0,001<br />

0,002<br />

0,004<br />

0,008<br />

0,016<br />

0,032<br />

Na-Diamond. Hasil perhitungan energi total<br />

kemudian diplot sebagai fungsi volume relatif pada<br />

Gambar 6, yang menunjukkan kestabilan relatif pada<br />

T = 0 K berturut-turut adalah dari HCP → BCC →<br />

FCC → Diamond.<br />

Koefisien variasi energi total<br />

0<br />

-5e-06<br />

-1e-05<br />

-1.5e-05<br />

-2e-05<br />

-2.5e-05<br />

-3e-05<br />

1e-06<br />

0<br />

-1e-06<br />

-2e-06<br />

-3e-06<br />

-4e-06<br />

-5e-06<br />

Na-cI2<br />

10 12 14 16 18<br />

6 8 10 12 14 16 18<br />

Jumlah titik k<br />

τ(Ha)<br />

0,001<br />

0,002<br />

0,004<br />

0,008<br />

0,016<br />

0,032<br />

Gambar 7. Perubahan nilai koefisien variasi energi total kristal<br />

Na-BCC terhadap jumlah titik-k (η) dan temperatur smearing (σ)<br />

-6e-06<br />

12 13 14 15 16 17 18<br />

6 8 10 12 14 16 18<br />

Jumlah titik k<br />

Gambar 6. Perubahan nilai koefisien variasi energi total kristal<br />

Na-FCC terhadap jumlah titik-k dan temperatur smearing(σ)<br />

TABEL 4<br />

Hasil konvergensi energi total dengan keriteria koefisien variasi<br />

dalam orde 10 -7 Ha/Atom<br />

struktur n tsmear<br />

Energi total<br />

(Hartree)<br />

BCC 12 0.016 -6.66462<br />

FCC 12 0.004 -6.66461<br />

Pada kristal Na, dipilih harga η = 12. Dengan<br />

nilai η tersebut, nilai σ struktur BCC ditentukan pada<br />

σ yang pertama kali mencapai nilai koefisien variasi<br />

~10 -07 . Nilai σ tersebut kemudian diambil sebagai<br />

pasangan nilai η. Misalnya kristal Na-BCC memiliki<br />

nilai η = 12 dan σ = 0,016 Ha, sedangkan kristal Na-<br />

FCC nilai η dan σ berturut-turut adalah 12 dan 0,004<br />

Ha (tabel 4). Pada kristal Na-FCC tidak dipilih σ =<br />

0,002 Ha. Walaupun koefisien variasi ~10 -07 muncul<br />

pertama kali pada nilai tersebut namun masih<br />

berubah pada η=16 dan η=18. Dengan metode<br />

pemilihan nilai tersebut, energi total struktur Na-<br />

BCC lebih kecil dibandingkan struktur Na-FCC,<br />

seperti yang dituliskan dalam Tabel 4.<br />

Skema pemilihan η dan σ tersebut juga<br />

diterapkan pada perhitungan struktur Na-HCP dan<br />

Gambar 8. Kurva energi total terhadap volume pada kristal Na<br />

untuk empat struktur yang berbeda. Warna kurva menunjukkan<br />

urutan besar energi total dari yang terkecil hingga paling besar,<br />

yaitu: merah → hijau →biru → ungu.<br />

KESIMPULAN<br />

Selisih energi antara struktur BCC, FCC, HCP<br />

dan Diamond pada kristal Na dan perubahan energi<br />

total terhadap temperatur smearing berada dalam<br />

orde yang sama, yaitu 10 -6 Ha/Atom. Pemilihan nilai<br />

η dan σ dengan hanya berdasar pada konvergensi<br />

energi total dapat memberikan hubungan energi total<br />

antar struktur yang tidak nyata, sehingga perlu dicari<br />

keriteria pemilihan komposisi nilai η-σ yang sama<br />

untuk struktur yang berbeda. Menggunakan keriteria<br />

koefisien variasi dari perubahan energi total<br />

terhadap η, komposisi nilai η-σ yang seimbang<br />

antara struktur yang berbeda dapat ditentukan. Pada<br />

kristal Na metode tersebut memberikan urutan<br />

kestabilan relatif yang sesuai dengan data<br />

eksperimen, yaitu dari HCP → BCC → FCC.<br />

C4


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Chapra, Steven C. dan R. P. Canale (2002),<br />

Numerical Methods for Engineers. The<br />

McGraw-Hill Comp. Inc. New York<br />

Dagistanli, H., dan R. H. Mutlu (2008), Calculated<br />

Pressure Induced BCC-FCC Phase<br />

Transition in Alkali Metals, Turk. J. Phys.<br />

32:269-273.<br />

Goedecker, S., M. Teter, dan J. Huetter (1996),<br />

Separable dual-space Gaussian<br />

pseudopotentials, Phys. Rev. B 54:1703-<br />

1710.<br />

Hohenberg, P dan W. Kohn.1964. Inhomogeneous<br />

Electron Gas. Phys. Rev. 136, B864.<br />

Katsnelson, M. I., G. V. Sinko, N. A. Smirnov, A.<br />

V. Trefilov, dan K. Yu. Khromov (2000),<br />

Structure, Elastic Moduli and<br />

Thermodynamics of Sodium and Potassium at<br />

Ultra-High Pressures, arXiv:condmat/9912245v2.<br />

Kohn, W dan L. J. Sham (1965), Self-Consistent<br />

Equations Including Exchange and<br />

Correlation Effects, Phys. Rev. 140: A1133.<br />

Lide, D. R. (2005), CRC Handbook of Chemistry<br />

and Physics 85th Ed, CRC Press LLC. USA.<br />

Payne, M. C., M. P. Teter, D. C. Allan, T. A. Arias<br />

dan J. D. Joannopoulos (1992) Iterative<br />

Minimization Technique for Ab Initio Totalenergy<br />

Calculations: Molecular Dynamics<br />

and Conjugate Gradients, Rev. of Mod.<br />

Phys. Vol. 64:1045.<br />

Springborg, M. (2000), Methods of Electronic-<br />

Structure Calculation: From Molecule to<br />

Solids, John Wiley and Sons Ltd. England.<br />

Hal. 443.<br />

Troullier, N. dan Martins, J. L (1991), Efficient<br />

Pseudopotentials for Plane-wave<br />

Calculations. Phys. Rev. B 43:1993-2006.<br />

X. Gonze, J.-M. Beuken, R. Caracas, F. Detraux, M.<br />

Fuchs, G.-M. Rignanese, L. Sindic, M.<br />

Verstraete, G. Zerah, F. Jollet, M. Torrent, A.<br />

Roy, M. Mikami, Ph. Ghosez, J.-Y. Raty,<br />

D.C. Allan (2002), First-principles<br />

Computation of Material Properties : the<br />

ABINIT Software Project. Computational<br />

Materials Science 25:478-492.<br />

Yin, M. T. dan M. L. Cohen (1982), Theory of Static<br />

Structural Properties, Crystal Stability, and<br />

Phase Transformations: Application to Si and<br />

Ge, Phys. Rev. B 26: 5668-5687.<br />

Yip, Sidney (2005), Handbook of Materials<br />

Modeling, Springer, Netherland.<br />

C5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Studi Porositas dan Densitas Cic Akibat Proses Sintering<br />

Aminatun 1 , Siswanto 2 dan Ita Fauriya 3<br />

1,2,3 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : semnasfisika@unair.ac.id<br />

Abstrak<br />

Telah dipelajari pengaruh proses sintering (variasi suhu dan lama sintering) terhadap porositas dan densitas CIC<br />

(Cobalt Implant Composit) yang berpotensi sebagai bahan implan tulang. Sampel CIC disintesis dengan<br />

menggunakan teknik powder metallurgy. Pencampuran dilakukan secara wet milling dengan kecepatan 600 rpm<br />

selama 30 menit bersama dengan bola zirkonia. Perbandingan komposisi Co:Cr adalah 3:1 dengan penambahan<br />

HAP sebesar 5% dari berat total sampel. Variasi temperatur sintering 450 ºC, 900 ºC, dan 1000ºC dengan waktu<br />

tahan 2 jam. Sedangkan variasi waktu tahan sintering 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan temperatur konstan 900 ºC.<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur sintering (450 0 C-1000 0 C) semakin kecil ukuran<br />

pori yang terbentuk sehingga menyebabkan semakin besar nilai densitas CIC.Waktu tahan pada proses sintering<br />

(1jam, 2jam dan 3 jam) menghasilkan porositas sampel CIC yang bervariasi. Waktu tahan terbaik dicapai pada<br />

waktu 2 jam yang menghasilkan ukuran porositas terkecil dengan densitas terbesar. Ditinjau dari besarnya<br />

densitas yang dihasilkan (5,248 – 5,767 g/cm 3 ), maka sampel CIC yang disintesis dalam penelitian ini berpotensi<br />

sebagai bahan implan tulang.<br />

Kata kunci: cobalt implant composit/CIC, sintering, porositas dan densitas<br />

PENDAHULUAN<br />

Rekayasa biomaterial bisa berhasil jika<br />

pemilihan material, desain rekayasa dan proses<br />

sintesisnya tepat. Meski kesempurnaan desain dan<br />

sintesis penting, material yang dipilih tetap harus<br />

mampu memenuhi sifat yang disyaratkan dan juga<br />

harus biokompatibel, mengingat kombinasi<br />

pengaruh faktor mekanik dan kimia seringkali bisa<br />

berakibat serius, misalnya menimbulkan korosi,<br />

keausan dan perpatahan. Perlu disadari pula bahwa<br />

lingkungan biologis, kadar oksigen, kesediaan<br />

radikal bebas serta aktivitas seluler dalam tubuh<br />

berubah-ubah. Korosi dan pelapukan dapat<br />

menghilangkan integritas implan dan tentunya<br />

mengakibatkan ion lepas ke dalam tubuh sehingga<br />

seringkali menimbulkan alergi.<br />

Salah satu biomaterial yang sekarang banyak<br />

dikaji adalah CIC (Cobalt Implant Composit). CIC<br />

ini merupakan paduan dari logam cobalt (Co),<br />

chromium (Cr) dan hidroksiapatit (HAP). Paduan<br />

Co-Cr memiliki sifat mekanik (modulus Young,<br />

elongasi dan kekuatan lelah) yang lebih tinggi dan<br />

harganya lebih murah dibanding paduan berbahan<br />

dasar titanium. Tingkat korosinya menyamai tingkat<br />

korosi paduan titanium. Ditinjau dari masing-masing<br />

unsur, cobalt memiliki kekerasan dan kekuatan yang<br />

tinggi, sedangkan chromium bersifat tahan karat,<br />

sehingga perpaduan keduanya akan membentuk sifat<br />

mekanik dan kimia yang baik. HAP merupakan<br />

salah satu material biokompatibel yang paling<br />

efektif terhadap jaringan keras dan lunak serta<br />

memiliki kemiripan dengan komponen material<br />

tulang dan gigi. HAP tidak menimbulkan racun<br />

dalam tubuh, memiliki sifat biokompatibilitas yang<br />

sangat baik terhadap jaringan keras dan lunak, tahan<br />

korosi, tahan aus, kekuatan tekan tinggi, bersifat<br />

bioaktif (dapat terjadi pertautan atau ikatan yang<br />

kuat antara HAP dengan jaringan tulang penerima)<br />

dan tidak terdegradasi.<br />

Pada penelitian yang dilakukan oleh Shamsul<br />

et.al.(2007) telah dibuat Cobalt Implant Composite<br />

(CIC) yaitu perpaduan antara paduan cobaltcrhomium<br />

dengan hidroksiapatit (0-20%). Sintesis<br />

dilakukan dengan teknik metalurgi serbuk pada<br />

suhu sintering 1000 0 C selama 3 jam. Penelitian<br />

tersebut melaporkan bahwa sifat mekanik CIC yang<br />

meliputi kekerasan, modulus young dan kekuatan<br />

tekan menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi<br />

hidroksiapatit. Shamsul et.al. (2007) menyimpulkan<br />

bahwa penambahan HAP 5% menghasilkan sifat<br />

mekanik yang sesuai untuk aplikasi medis.<br />

Penelitian Aminatun dkk, (2010) melaporkan<br />

bahwa sampel CIC (dengan komposisi HAP sebesar<br />

2.5% dan 5%) yang dibuat dengan teknik metalurgi<br />

serbuk memiliki potensi sebagai bahan implan<br />

tulang ditinjau dari sifat mekaniknya sedangkan<br />

untuk HAP 10% cocok untuk implan email gigi.<br />

Penelitian yang lain Aminatun dkk, (2010)<br />

melaporkan bahwa temperatur dan waktu sintering<br />

mempengaruhi sifat mekanik CIC. Sifat mekanik<br />

CIC (kuat tekan dan kekerasan) meningkat dengan<br />

semakin tingginya temperatur sintering. Sedangkan<br />

untuk variasi waktu sintering, didapatkan nilai kuat<br />

tekan dan kekerasan maksimal terjadi pada waktu<br />

sintering 2 jam. Nilai kuat tekan yang dihasilkan dari<br />

proses sintering pada temperatur 1000°C/2jam, dan<br />

900°C (1,2,dan 3 jam) termasuk dalam range nilai<br />

C6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

kuat tekan tulang kortikal, sehingga sampel CIC ini<br />

berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan implan<br />

Faktor yang berperan penting dalam<br />

pembentukan sifat mekanik biomaterial adalah<br />

porositas. Sifat mekanik yang dipengaruhinya antara<br />

lain tingkat kekerasan, kuat tekan, dan kuat impak<br />

(Vlack V., 2004). Porositas bergantung pada proses<br />

sintering yang salah satunya meliputi teknik<br />

fabrikasi yang digunakan, suhu, dan waktu sintering.<br />

Proses pemanasan yang tepat berpengaruh terhadap<br />

penataan atom-atom dalam membentuk struktur<br />

kristal CIC. Pada saat kita memberikan pemanasan,<br />

atom-atom dalam kristal diberi kesempatan untuk<br />

menata diri. Kemudian akan menghasilkan susunan<br />

atom tertentu, hal ini akan mempengaruhi porositas,<br />

densitas serta karakteristik CIC secara keseluruhan.<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka kajian<br />

terhadap porositas dan densitas CIC perlu dilakukan<br />

karena keduanya terkait erat dengan sifat-sifat<br />

mekanik yang dihasilkan.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Bahan penelitian :<br />

Serbuk kobalt (Co), Serbuk kromium (Cr),<br />

Serbuk hidroksiapatit / HAP [Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 ],<br />

Etanol 96%, asam sulfat pekat (H 2 SO 4 )<br />

Prosedur Penelitian<br />

Persiapan<br />

Tahap persiapan yang harus dilakukan<br />

sebelum melaksanakan penelitian adalah :<br />

menyiapkan serbuk Co, serbuk Cr, dan serbuk HAP<br />

sebagai bahan dasar. Etanol 99% sebagai pelarut<br />

polar. Asam sulfat pekat sebagai pencuci tabung<br />

Teflon dan bola zirkonia.<br />

Pembuatan sampel<br />

Pembuatan sampel diawali dengan<br />

menimbang bahan sesuai komposisi. Perbandingan<br />

yang digunakan adalah dalam persen berat, yakni<br />

75% Co ditambah dengan 25 % Cr dan 5 % HAP<br />

dari total berat Co-Cr. Penambahan HAP<br />

dimaksudkan agar bahan bersifat getas pada<br />

komposit serta dihasilkan biomaterial berpori yang<br />

lebih biokompatibel. Komposisi bahan di buat<br />

konstan agar dapat diketahui pengaruh proses<br />

sintering (suhu dan waktu sintering).<br />

Setelah dilakukan penimbangan, selanjutnya<br />

serbuk Co-Cr-HAP dicampur dalam tabung teflon<br />

bersama dengan bola zirkonia dan etanol 99% dan<br />

diputar 600 rpm selama 30 menit di dalam mesin<br />

milling. Etanol 96% sebagai pelarut polar dan<br />

mudah menguap berfungsi mempercepat proses<br />

pencampuran bersama bola zirkonia. Untuk 10 gram<br />

bahan campuran digunakan 120 gram bola zirkonia<br />

(40 buah).<br />

Proses selanjutnya adalah pengeringan bahan<br />

dan ditimbang sesuai dengan keperluan. Kemudian<br />

dicetak dalam cetakan silinder diameter 1,4 cm<br />

menggunakan hidrolik press dengan kekuatan 5 ton<br />

atau ±357 MPa. Bahan yang telah dicetak<br />

selanjutnya disintering dengan suhu 450C, 900C,<br />

dan 1000C selama 2 jam. Untuk variasi lama<br />

waktu sintering, pemanasan dilanjutkan sampai<br />

temperatur 900C dengan waktu sintering 1jam, 2<br />

jam, dan 3jam. Kemudian sampel siap<br />

dikarakterisasi meliputi uji XRD, uji kuat tekan dan<br />

uji kekerasan.<br />

1000<br />

900C<br />

450C<br />

100C<br />

Suhu<br />

5 120 menit<br />

Gambar 1. Skema Proses Sintering<br />

waktu(menit)<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Analisis Hasil Mikroskop Optik<br />

Struktur mikro CIC diamati dengan<br />

menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran<br />

160x dilakukan secara acak pada permukaan sampel.<br />

Pengamatan meliputi keadaan poros, ukuran dan<br />

distribusinya. Pengamatan ini di lakukan untuk<br />

melihat seberapa jauh pengaruh proses sintering<br />

terhadap profil permukaan sampel. Hasil<br />

pengamatan hanya berupa keadaan permukaan CIC<br />

yang diharapkan dapat mewakili keadaan CIC secara<br />

keseluruhan untuk mendukung data analisis yang<br />

telah diperoleh pada uji densitas. Berikut ini<br />

disajikan hasil pemotretan citra CIC yang dibentuk.<br />

Gambar 2. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel A<br />

(450ºC/2jam)<br />

C7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 3. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel B<br />

(900ºC/1jam)<br />

Gambar 4. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel C<br />

(900ºC/2jam)<br />

Gambar 5. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel D<br />

(900ºC/3jam)<br />

Sampel E menunjukkan struktur metalografi yang<br />

paling halus dan padat diantara kelima sampel<br />

dengan ukuran pori kecil dan tersebar merata.<br />

Jumlah dan ukuran pori yang besar akan<br />

menurunkan nilai densitas CIC sehingga sifat<br />

mekanik akan menurun seiring dengan<br />

bertambahnya pori. Semakin tinggi temperatur<br />

sintering akan mengurangi pori yang tersbentuk<br />

sebab akan mempermudah proses pertumbuhan butir<br />

sehingga ruang antar atom dapat terisi. Hal ini dapat<br />

dilihat dengan membandingkan ukuran dan banyak<br />

pori pada sampel A, C, dan E. Dengan sedikitnya<br />

pori maka nilai kuat tekan CIC akan semakin tinggi.<br />

Sedangkan pemanasan yang terus berlangsung pada<br />

saat rekristalisasi telah terjadi atau dengan kata lain<br />

makin lama waktu sintering menyebabkan<br />

pengacakan kembali butir yang telah tertata<br />

sehingga mengakibatkan timbulnya pori. Selain<br />

temperatur dan waktu sintering, timbulnya pori juga<br />

disebabkan oleh proses sintering yang dilakukan<br />

pada ruang non-vakum sehingga lebih berpotensi<br />

menghasilkan pori akibat timbulnya lapisan oksida.<br />

Analisis Uji Densitas<br />

Pengukuran densitas/rapat massa CIC yang<br />

dibentuk dilakukan dengan membandingkan antara<br />

massa CIC dengan volume CIC yang terbentuk.<br />

Densitas bakalan terjadi karena adanya gaya adhesikohesi<br />

antar partikel (Interlocking), gaya van der<br />

walls, dan gaya elektrostatik. Tekanan sebesar 357<br />

MPa diharapkan dapat membentuk model ikatan<br />

bola bidang, sebab pada model ikatan ini porositas<br />

yang terbentuk semakin kecil.<br />

Sampel<br />

Tabel 1. Hasil Pengukuran Densitas CIC<br />

Sintering<br />

Densitas<br />

(g/cc)<br />

A 450°C/2jam 5,248 ± 0,055<br />

B 900°C/1jam 5,411 ± 0,057<br />

C 900°C/2jam 5,720 ± 0,059<br />

D 900°C/3jam 5,427 ± 0,056<br />

E 1000°C/2jam 5,767 ± 0,062<br />

Gambar 6. Hasil pemotretan mikroskop optik sampel E<br />

(1000ºC/2jam)<br />

Gambar di atas memperlihatkan bahwa pada<br />

CIC yang disintering pada temperatur 450°/2jam<br />

(Gambar 2) memperlihatkan ukuran pori yang cukup<br />

besar dan merata dibanding sampel-sampel lain.<br />

Selain itu juga terlihat adanya butiran-butiran putih<br />

yang diduga sebagai HAP sebelum meleleh pada<br />

temperatur tersebut. Pola gelap diduga sebagai pori/<br />

ruang antar CIC yang belum terisi oleh atom-atom.<br />

Gambar 7. Grafik Pengaruh Temperatur Sintering terhadap Nilai<br />

Densitas CIC<br />

C8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 8. Grafik Pengaruh Waktu Sintering terhadap Nilai<br />

Densitas CIC<br />

Pembuatan komposit dengan metode serbuk<br />

sangat memungkinkan terjadinya porositas akibat<br />

mekanisme transport massa berjalan baik. Ukuran<br />

butir yang semakin kecil akan memampatkan CIC<br />

sehingga ruang antara atom pun menjadi berkurang<br />

dan terjadi kenaikan nilai densitas. Temperatur<br />

sintering yang makin meningkat menyebabkan<br />

semakin besarnya densitas. Hal ini terjadi karena<br />

keberhasilan proses pertumbuhan butir (grain<br />

growth) dan penyusutan pori (shrinkage). Penurunan<br />

densitas terjadi karena distribusi matriks terhadap<br />

serat tidak merata akibat terjadinya pengumpulan<br />

partikel matriks dalam satu tempat yang disebut<br />

alogmerat. Alogmerat disebabkan oleh proses<br />

pencampuran basah (Wet Milling) yang tidak merata<br />

dimana partikel-partikel yang memiliki muatan yang<br />

sama cenderung berkumpul menjadi satu.<br />

Variasi waktu sintering menunjukkan terjadi<br />

peningkatan densitas dari waktu tahan 1 jam hingga<br />

2 jam, kemudian pada waktu tahan 3 jam densitas<br />

CIC mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh<br />

hasil pemotretan pada pemeriksaan menggunakan<br />

mikrroskop optik yang memperlihatkan adanya pori<br />

yang lebih besar dan banyak pada sampel D<br />

dibanding sampel C. Hal ini disebabkan pemanasan<br />

yang lebih lama dari waktu terjadinya rekristalisasi<br />

akan mengakibatkan terjadinya pengacakan ulang<br />

sehingga terbentuk pori dan menurunkan nilai<br />

densitas CIC.<br />

SIMPULAN<br />

A. Semakin tinggi temperatur sintering (450 0 C-<br />

1000 0 C) semakin kecil ukuran pori yang<br />

terbentuk sehingga menyebabkan semakin besar<br />

nilai densitas CIC.<br />

B. Waktu tahan pada proses sintering (1jam, 2jam<br />

dan 3 jam) menghasilkan porositas sampel CIC<br />

yang bervariasi. Waktu tahan terbaik dicapai<br />

pada waktu 2 jam yang menghasilkan ukuran<br />

porositas terkecil dengan densitas terbesar.<br />

C. Ditinjau dari besarnya densitas yang dihasilkan<br />

(5,248 – 5,767 g/cm 3 ), maka sampel CIC yang<br />

disintesis dalam penelitian ini berpotensi sebagai<br />

bahan implan tulang.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Aminatun, Siswanto, Wheni Kusumawati, 2010,<br />

Sintesis dan Karakterisasi Sifat-Sifat Fisis<br />

CIC (Cobalt-Implant Composit) karena<br />

Variasi Variasi Konsentrasi Hidroksiapatit,<br />

Prosiding Seminar Nasional Sains 2010<br />

Pasca Sarjana Unesa Surabaya<br />

Aminatun, Siswanto, Ita Fauriya, 2010, Analisis<br />

Sifat Fisis Cobalt Implant Composit karena<br />

Pengaruh Proses Sintering, Prosiding<br />

Seminar Nasional Basic Science VII,<br />

Universitas Brawijaya<br />

Goenharto, Siniawati dan Achmad Syefei. Titanium<br />

Bracket. Bagian Ortodonsia Fakultas<br />

Kedokteran Gigi Universitas Airlangga<br />

Surabaya-Indonesia. Akses:Juni2008.<br />

Http://www.geocities.com/drg_likatrimulya/k<br />

linik_gigi.htm.<br />

Nuriana, Wahidin. 2005. Sintesis Titanium-<br />

Hidroksiapatit: Suatu Upaya Peningkatan<br />

Kualitas Hidroksiapatit sebagai Tulang<br />

Sintesis. Disertasi Program Pascasarjana<br />

Universitas Airlangga.<br />

Park, Joon and R.S. Lakes. 2007. Biomaterials an<br />

Introduction Third Edition. Spinger Science +<br />

Business Media LLC.<br />

Shamsul,A.Z, Nur Hidayah, dan C.M.Ruzaldi. 2008.<br />

Fibrication and Propertis of Cobalt-<br />

Chromium HAP Composite. School of<br />

Materials Engineering. Universiti Malaysia<br />

Perlis. Internasional Jurnal Science ISSN<br />

09734589 Volume 3, Number 1(2008),pp 35-<br />

31©Research India Publication.<br />

Shamsul,A.Z, Nur Hidayah, dan C.M.Ruzaldi.2007.<br />

Characterization of Cobalt-Chromium-HAP<br />

Biomaterial for Biomedical Application.<br />

School of Materials Engineering. Universiti<br />

Malaysia Perlis. Jurnal of Apllied Science<br />

Research, 3 (11): 1544-<br />

1553,2007©2007,INSInet Publication.<br />

The European Powder Metallurgy Association.<br />

Powder Metallurgy-Sintering and Sintering<br />

Furnace. Akses : November 2008<br />

Vlack, Lawrence H. Van. 2004. Elemen-elemen<br />

ilmu dan rekayasa material. Edisi 6. Erlangga<br />

Jakarta<br />

C9


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Implantasi Ion Cerium (Ce) Terhadap Sifat Ketahanan Oksidasi<br />

Suhu Tinggi Material FeAl dan Karakterisasinya<br />

Anis Yuniati 1 , Sudjatmoko 2<br />

1 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga<br />

2 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta<br />

Email : anisyuniati@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan implantasi ion elemen reaktif cerium (Ce) pada material FeAl dengan tujuan untuk menyelidiki<br />

pengaruh terhadap sifat ketahanan oksidasinya pada suhu tinggi. Untuk maksud tersebut implantasi ion telah<br />

dilakukan pada energi 100 keV dan 3 (tiga) variasi dosis ion yaitu 2,981x10 15 ion/cm 2 ; 5,963x10 15 ion/cm 2 dan<br />

8,945x10 15 ion/cm 2 . Uji ketahanan oksidasi secara siklus termal selama 6 siklus pada suhu 850 0 C dalam media<br />

oksigen kering, waktu pemanasan 5 jam dan waktu pendinginan 17 jam. Perubahan sifat ketahanan oksidasi<br />

diamati dengan cara menimbang perubahan berat dari sampel untuk setiap siklus baik untuk material yang<br />

diimplantasi maupun yang tidak diimplantasi. Perubahan struktur mikro dan komposisi kimia menggunakan<br />

SEM-EDAX. Dari uji siklus termal diperoleh hasil bahwa dosis optimum implantasi ion cerium untuk<br />

meningkatkan ketahanan oksidasi material FeAl adalah sebesar 5,963 x 10 15 ion/cm 2 . Dari pengamatan struktur<br />

mikro diperoleh hasil bahwa selama oskidasi siklus termal ternyata terjadi perubahan butir-butir yaitu semakin<br />

membesar. Juga dari analisa menggunakan EDAX teramati senyawa oksida protektif CeO 2 yang menyebabkan<br />

sifat ketahanan oksidasinya meningkat. Dari pengamatan komposisi kimia teramati bahwa pada dosis optimum<br />

terbentuk lapisan oksida cerium sebesar 0,72 %massa.<br />

Kata kunci : implantasi ion, oksidasi suhu tinggi, cerium<br />

PENDAHULUAN<br />

Penggunaan bahan logam di dunia industri<br />

mempunyai peran yang sangat penting. Tetapi<br />

kebanyakan logam pada suhu tinggi sangat mudah<br />

rusak, aus, maupun terjadi korosi akibat oksidasi<br />

antara logam dengan udara bebas,terutama pada<br />

bagian permukaan logam. Saat ini telah banyak<br />

dikembangkan teknik pelapisan permukaan logam<br />

maupun paduan logam untuk mengubah sifat fisik<br />

maupun mekaniknya sehingga dihasilkan sifat logam<br />

yang lebih unggul, salah satunya adalah teknik<br />

implantasi ion. Pada teknik implantasi ion, ion<br />

dopan dipercepat dalam tabung akselerator<br />

kemudian diimplantasikan ke dalam permukaan<br />

material yang akan dilapisi permukaannya. Beberapa<br />

material atau paduan logam seperti FeAl, FeNiCr,<br />

FeCrAl dan FeNiAl banyak digunakan pada suhu<br />

tinggi dikarenakan selama beroperasi mampu<br />

membentuk lapisan oksida pelindung (protective<br />

oxide layer) seperti khrom oksida ( ) dan<br />

alumina oksida atau sering disebut alumina (<br />

) (W. J. Quaddakers et al., 1995)<br />

Lapisan proteksi yang telah terbentuk tersebut<br />

cenderung mengelupas (spallation) karena selama<br />

proses pertumbuhan oksida akan muncul stress atau<br />

adanya strain. Stress juga muncul pada siklus termal<br />

yang disebabkan karena adanya perbedaan koefisien<br />

pengembangan panas antara lapisan oksida dengan<br />

material induknya (J. Jedlinski., 1997). Beberapa<br />

unsur seperti yttrium(Y), cerium (Ce), titanium (Ti)<br />

dan hafnium (Hf) merupakan contoh jenis elemen<br />

reaktif yang biasanya ditambahkan pada material,<br />

karena elemen-elemen reaktif tersebut akan<br />

berfungsi sebagai penstabil dan menambah daya<br />

rekat (adherence) dari lapisan oksida protektif yang<br />

telah terbentuk sehingga menjadi lebih kuat<br />

meskipun terjadi siklus termal (B. A. Pin, et al)<br />

Pada makalah ini akan laporkan hasil<br />

penelitian dari pengaruh implantasi ion cerium<br />

terhadap sifat ketahanan oksidasi suhu tinggi paduan<br />

FeAl dengan melakukan uji siklus termal pada<br />

lingkungan gas oksigen pada suhu 850° serta hasil<br />

karakterisasi menggunakan SEM-EDAX<br />

METODE PENELITIAN<br />

Proses implantasi ion Cerium dilakukan<br />

dengan akselerator implantasi ion 200 keV/2mA<br />

buatan PTAPB BATAN. Prinsip kerja mesin<br />

implantasi ion adalah ketika ion dopan yang<br />

diproduksi dalam sumber ion dipercepat dalam<br />

tabung akselerator, berkas ion ini dilewatkan pada<br />

sebuah lensa kuadrupol agar dapat terfokus pada<br />

satu titik yang diinginkan. Untuk mendapatkan ion<br />

dopan yang benar-benar murni maka berkas ion<br />

dilewatkan ke magnet pemisah dan selanjutnya<br />

mengenai permukaan material sasaran. Dosis ion<br />

didefinisikan sebagai jumlah ion yang sampai pada<br />

permukaan sasaran persatuan luas. Besaran ini akan<br />

menentukan jumlah atau prosentase ion yang<br />

terimplantasi. Nilai dosis ion sebagai fungsi arus<br />

berkas ion dan lamanya proses implantasi akan<br />

mempengaruhi distribusi konsentrasi ion yang<br />

C10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

diimplantasikan. Sedangkan kedalaman penetrasi ion<br />

yang diimplantasikan dipengaruhi oleh besarnya<br />

energi implantasi, jenis ionnya dan jenis material<br />

yang diimplantasi.<br />

Dalam pelaksanaan implantasi ion, dosis ion<br />

akan divariasi dengan cara mengubah waktu<br />

lamanya proses implantasi (600, 1200, dan 1800)<br />

detik, sedangkan energi dan arus ion dibuat konstan<br />

masing-masing sebesar 100 keV dan 10 µA.<br />

Penimbangan berat dilakukan dalam dua tahap yaitu<br />

setelah sampel diimplantasi dan setelah uji oksidasi<br />

siklus termal. Hal ini untuk mengetahui perubahan<br />

berat material sebagai akibat siklus termal. Uji<br />

oksidasi dilakukan dalam media oksigen kering<br />

yaitu dengan mengalirkan oksigen dengan laju aliran<br />

4,17 cc/menit dan tekanan 1 bar ke dalam tabung<br />

selama 6 siklus termal, dimana setiap siklus termal<br />

adalah 5 jam pemanasan pada suhu 850°C dan<br />

pendinginan selama 17 jam pada suhu kamar 27°C.<br />

Untuk melihat morfologi permukaan sampel hasil<br />

implantasi dilakukan karakterisasi dengan SEM<br />

(Scanning Electron Microscope) yang dikopel<br />

dengan EDAX (Energy Dispersive Analysis X-Ray)<br />

untuk mengetahui prosentase dan komposisi kimia<br />

pada daerah kecil dari sampel<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Parameter kedalaman penetrasi ion Cerium<br />

pada material FeAl dengan energi sebesar 100 keV<br />

dapat dilihat pada Tabel I berikut<br />

dE/dx<br />

elektron<br />

(eV/Å)<br />

TABEL I<br />

dE/dx inti<br />

(eV/Å)<br />

Rp<br />

(Å)<br />

σ<br />

Rp<br />

(Å)<br />

2,600x10 2 3 212 72<br />

4,946 x10<br />

Distribusi konsentrasi ion Cerium pada<br />

material FeAl untuk masing-masing variasi dosis<br />

ditunjukkan oleh Tabel II<br />

No<br />

Waktu<br />

implantasi<br />

(s)<br />

TABEL II<br />

Dosis ion<br />

x10 15 ion/cm 2<br />

Prosentase<br />

ion dopan<br />

(%)<br />

Ce<br />

1. 600 2,981 1,43<br />

2. 1200 5,963 2,83<br />

3. 1800 8,945 4,18<br />

Penambahan elemen reaktif seperti cerium<br />

dengan metode implantasi ion biasanya akan efektif<br />

apabila jumlahnya antara 0,1%-2% berat serta<br />

terdistribusi merata pada kedalaman sekitar 500 Å.<br />

Elemen reaktif tersebut akan berperan sebagai<br />

penyetabil dan penambah daya lekat dari lapisan<br />

oksida protektif yang telah terbentuk sehingga<br />

menjadi kuat walaupun terjadi siklus termal.<br />

Pada pemanasan logam paduan di udara akan<br />

terjadi peristiwa yang berlainan, tergantung berapa<br />

persen komposisi masing-masing logam penyusun<br />

paduan. Paduan besi aluminium merupakan<br />

intermetallic alloys yang tahan terhadap oksidasi<br />

isotermal dan memiliki densitas yang lebih kecil<br />

daripada stainless steel atau paduan nikel. Selain itu<br />

paduan ini lebih menguntungkan karena lebih<br />

murah. Namun pada suhu di atas 600°C kekuatan<br />

paduan ini menurun sehingga banyak dilakukan<br />

penelitian dengan menambahkan elemen reaktif<br />

pada paduan FeAl untuk meningkatkan ketahanan<br />

oksidasinya. Dengan penambahan elemen reaktif<br />

tersebut diharapkan akan terbentuk lapisan-lapisan<br />

oksida yang bersifat protektif sehingga mampu<br />

melindungi material induk dari lingkungannya dan<br />

menghambat terjadinya reaksi oksidasi. Proses<br />

oksidasi pada material FeAl yang diimplantasi<br />

dengan elemen reaktif Ce terjadi karena adanya<br />

difusi antara oksigen dengan ion-ion Ce membentuk<br />

oksida cerium . Ketahanan oksidasi<br />

meningkat apabila laju oksidasinya rendah serta<br />

tidak terjadi pengelupasan (umur pemakaian lebih<br />

lama) dibandingkan dengan material FeAl yang<br />

tidak diimplantasi.<br />

Proses pembentukan oksida dimulai dari<br />

absorbsi oksigen ke permukaan FeAl melalui<br />

mekanisme difusi. Pada saat yang sama, atom Ce<br />

juga berdifusi keluar permukaan FeAl sehingga<br />

terjadi pertemuan antara atom Ce dengan oksigen<br />

yang selanjutnya terjadi reaksi kimia untuk<br />

membentuk lapisan oksida pada batas permukaan.<br />

Ion cerium mempunyai dua bilangan oksidasi yaitu<br />

+3 dan +4 yang masing-masing disebut dengan<br />

cerous dan ceric. Serbuk cerium (III) berwarna<br />

putih, sedangkan cerium (IV) berwarna merah<br />

oranye. Lapisan oksida yang terbentuk dari<br />

implantasi ion cerium (III) dan cerium (IV) masingmasing<br />

akan terbentuk lapisan oksida dan<br />

. Pada penelitian ini serbuk cerium yang<br />

digunakan adalah cerium (IV). Pembentukan lapisan<br />

oksida melibatkan 2 reaksi yaitu reaksi<br />

oksidasi dan reaksi reduksi. Pada reaksi oksidasi<br />

terjadi pembentukan ion logam Ce 4+<br />

disertai<br />

pelepasan elektron. Persamaan reaksi pembentukan<br />

ion logam Ce 4+<br />

dapat dituliskan :<br />

Ce → Ce 4 +<br />

+ 4 e<br />

sedangkan pada reaksi reduksi terjadi<br />

pembentukan ion oksigen disertai dengan<br />

penangkapan elektron. Persamaan reaksi<br />

pembentukan ion O 2−<br />

untuk ion cerium dapat<br />

dituliskan<br />

O 2 + 4 e → 2 O 2−<br />

Berdasarkan persamaan reaksi oksidasi dan<br />

reaksi reduksi di atas, ion-ion Ce yang membawa<br />

elektron bergerak mendekati oksigen dan<br />

C11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

melepaskan elektron. Di lain pihak, oksigen juga<br />

bergerak dengan arah yang berlawanan dengan ionion<br />

logam sambil menangkap elektron yang<br />

dilepaskan logam. Secara keseluruhan reaksi<br />

pembentukan lapisan oksida dapat<br />

dituliskan<br />

Ce +<br />

→<br />

Oksida yang stabil dan tidak mudah menguap<br />

diharapkan menempel pada permukaan sampel FeAl<br />

sehingga mampu melindungi paduan tersebut dari<br />

reaksi oksidasi. Oksida logam yang membentuk<br />

lapisan oksida mantap dan tidak mudah menguap<br />

akan berlangsung disertai penambahan berat yang<br />

bergantung pada waktu. Laju oksidasi dapat<br />

ditentukan dengan menimbang berat oksida yang<br />

terbentuk sebagai fungsi waktu. Berat lapisan yang<br />

terbentuk diukur dengan sebuah neraca analitis yang<br />

mempunyai ketelitian sampai 0,1mg. Melalui<br />

pengamatan perubahan berat terlihat adanya<br />

pertambahan berat sebagai akibat proses oksidasi<br />

yang disebabkan oleh adanya penangkapan atomatom<br />

oksigen melalui mekanisme difusi sehingga<br />

terbentuk lapisan oksida. Namun akibat adanya<br />

proses siklus termal maka terjadi pengelupasan pada<br />

lapisan oksida yang terbentuk, hal ini terlihat dengan<br />

terjadinya pengurangan berat.<br />

Perubahan Berat (gr/cm2)<br />

0.0008<br />

0.0006<br />

0.0004<br />

0.0002<br />

0<br />

-0.0002<br />

-0.0004<br />

-0.0006<br />

-0.0008<br />

-0.001<br />

-0.0012<br />

0 1 2 3 4 5 6 7<br />

Siklus Termal<br />

Non Implan D1 Ce D2 Ce D3 Ce<br />

Gambar 1. Pengaruh Implantasi Ion Cerium Terhadap Sifat<br />

Ketahanan Oksidasi FeAl<br />

Gambar 4.15 menunjukkan profil<br />

pertumbuhan lapisan oksida yang terbentuk pada<br />

dosis 5,963 x ion/cm 2 adalah fluktuatif. Namun<br />

penambahan pada dosis ini merupakan dosis yang<br />

paling optimum dibandingkan dosis<br />

2,981x10 15 ion/cm 2 dan 8,945<br />

x10 15 ion/cm 2 dimana pada kedua dosis tersebut<br />

oksida cerium yang terbentuk tidak stabil dan terjadi<br />

pengelupasan. Pada dosis 5,963<br />

x10 15 ion/cm 2 terlihat adanya pembentukan lapisan<br />

oksida cerium pada siklus termal ke 1, tetapi pada<br />

siklus termal ke 2 terjadi pengelupasan.<br />

Pembentukan lapisan oksida cerium kembali terjadi<br />

pada siklus ke 3 dan ke 5, tetapi pengelupasan<br />

kembali terjadi pada siklus ke 4 dan ke 6. Meskipun<br />

demikian, pengelupasan yang terjadi pada dosis<br />

5,963 x10 15 ion/cm 2 ini tidak sampai ke material<br />

induknya. Pengelupasan yang terjadi diikuti dengan<br />

terbentuknya lapisan oksida cerium yang baru. Hal<br />

ini disebabkan sifat dari ion cerium yang reaktif<br />

terhadap oksigen. Namun perbedaan ekspansi termal<br />

dengan material induk menyebabkan lapisan oksida<br />

mudah mengelupas.<br />

Pada penambahan cerium dengan dosis<br />

2,981x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan pada<br />

siklus pertama dan terbentuk lapisan oksida cerium<br />

kembali pada siklus termal ke 2. Pengelupasan<br />

kembali terjadi pada siklus termal ke 3 dan setelah<br />

pengelupasan tersebut terbentuk kembali lapisan<br />

oksida cerium. Pada penambahan cerium dengan<br />

dosis 8,945 x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan<br />

pada siklus termal ke 1 dan terbentuk lapisan oksida<br />

cerium kembali pada siklus termal ke 2. Pada siklus<br />

termal berikutnya kembali terjadi pengelupasan<br />

lapisan oksida. Keadaan pada kedua dosis ini dapat<br />

disebabkan oleh penambahan elemen reaktif yang<br />

terlalu sedikit atau terlalu banyak. Jika elemen<br />

reaktif yang ditambahkan kurang efektif maka hanya<br />

terbentuk lapisan yang sangat tipis sehingga mudah<br />

mengelupas. Sedangkan penambahan dosis ion<br />

dopan yang terlalu banyak juga tidak efektif karena<br />

menyebabkan pembentukan lapisan oksida yang<br />

semakin banyak. Pembentukan oksida yang terlalu<br />

cepat apabila tidak diimbangi dengan ekspansi<br />

material induk akan menyebabkan mengelupasnya<br />

lapisan oksida. Walaupun penambahan cerium pada<br />

material FeAl dengan dosis 2,981x10 15 ion/cm 2 dan<br />

8,945 x10 15 ion/cm 2 terjadi pengelupasan, namun<br />

ketahanan oksidasinya masih lebih baik<br />

dibandingkan dengan FeAl yang tanpa implantasi<br />

karena laju oksidasinya lebih rendah.<br />

Hasil karakterisasi menggunakan SEM<br />

memberikan morfologi permukaan material FeAl<br />

yan diimplantasi ion Cerium pada dosis 5,963<br />

x10 15 ion/cm 2 sebelum dan setelah mengalami 6<br />

siklus termal . Morfologi permukaan material FeAl<br />

yang diimplantasi dengan cerium setelah mengalami<br />

uji oksidasi siklus termal terlihat lebih kasar dan<br />

perubahan butir-butir yang semakin membesar. Pada<br />

permukaan material terbentuk lapisan oksida cerium<br />

yang mempunyai daya lekat kuat. Lapisan oksida ini<br />

dapat melindungi permukaan material pada oksidasi<br />

suhu tinggi, karena pada suhu tinggi, hampir semua<br />

logam atau paduan bereaksi dengan lingkungan<br />

sekitar dengan laju oksidasi tinggi. Laju oksidasi<br />

dari lapisan pelindung ini bisa berupa parabolik,<br />

logaritmik ataupun linear tergantung pada suhu dan<br />

jenis material. Penambahan elemen reaktif pada<br />

paduan bisa mengubah laju oksidasi sehingga dapat<br />

meningkatkan ketahanan terhadap oksidasi.<br />

C12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

TABEL III<br />

Komposisi unsur sebelum proses siklus termal<br />

Komposisi<br />

Unsur<br />

% massa<br />

Non<br />

Implantasi<br />

Variasi Dosis<br />

x10 15 ion/cm 2<br />

2,981 5,963 8,945<br />

O 29,79 29,46 29,46 29,54<br />

Al 16,05 15,37 15,41 15,58<br />

Fe 54,16 54,95 54,56 54,20<br />

Ce - 0,22 0,57 0,68<br />

Al 2 O 3<br />

30,32 29,04 29,11 29,44<br />

FeO 69,68 70,69 70,19 69,73<br />

CeO 2<br />

- 0,27 0,71 0,83<br />

TABEL IV<br />

Komposisi unsur setelah proses siklus termal<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 2. Morfologi permukaan material FeAl yang diimplantasi<br />

ion Cerium pada dosis 5,963 x10 15 ion/cm 2 dan kandungan<br />

unsur hasil EDAX (a) sebelum dan (b) setelah mengalami 6 siklus<br />

termal<br />

Kandungan unsur-unsur pada material dari<br />

karakterisasi EDAX hasilnya adalah sebagai berikut<br />

Komposisi<br />

Unsur<br />

% massa<br />

Non<br />

Implantasi<br />

Variasi Dosis<br />

x10 15 ion/cm 2<br />

2,981 5,963 8,945<br />

O 33,39 36,64 41,71 42,18<br />

Al 23,74 30,69 41,54 42,49<br />

Fe 42,87 32,41 16,17 15,21<br />

Ce - 0,26 0,59 0,13<br />

Al 2 O 3<br />

44,85 57,98 78,48 80,28<br />

FeO 55,15 41,70 20,80 19,56<br />

CeO 2<br />

- 0,32 0,72 0,16<br />

Untuk material FeAl yang diimplantasi<br />

dengan ion cerium terdapat unsur O, Al, Fe, Ce dan<br />

lapisan oksida Al 2 O 3<br />

, FeO dan CeO 2<br />

. Dari ketiga<br />

variasi dosis, lapisan oksida cerium yang paling<br />

banyak adalah pada dosis 5,963x10 15 ion/cm 2 . Hal<br />

ini menunjukkan bahwa implantasi ion cerium pada<br />

material FeAl pada dosis<br />

5,963x10 15 ion/cm 2 merupakan dosis paling<br />

optimum dibandingkan dosis yang lain. Pada dosis<br />

ini lapisan oksida cerium yang terbentuk mempunyai<br />

daya lekat yang kuat dan mampu melindungi<br />

material FeAl pada oksidasi siklus termal.<br />

Perbandingan prosentase komposisi unsur dari<br />

material FeAl yang tidak diimplantasi dan yang<br />

diimplantasi dengan ion cerium dengan tiga variasi<br />

dosis setelah melewati siklus termal disajikan pada<br />

tabel IV.<br />

C13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

KESIMPULAN<br />

1. Penambahan elemen reaktif cerium pada<br />

paduan FeAl dengan teknik implantasi ion dapat<br />

meningkatkan ketahanan oksidasinya pada suhu<br />

tinggi tergantung pada besarnya dosis ion yang<br />

digunakan.<br />

2. Dari ketiga variasi dosis yang digunakan,<br />

dosis yang paling optimum adalah 5,963<br />

x10 15 ion/cm 2 , dengan terbentuknya lapisan oksida<br />

cerium yang paling banyak yaitu sebesar 0,72%<br />

massa.<br />

Ucapan Terimakasih<br />

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan<br />

terimakasih kepada Prof. Drs. Sudjatmoko, SU;<br />

Prof.Dr. Kusminarto, dan Drs. B.A. Tjipto Sujitno,<br />

M.T, APU yang telah membimbing penulis dalam<br />

menyelesaikan penelitian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

B. A. Pin, K. L. More, P. F. Tortprelli, W. D. Porter<br />

and I. G. Wright, Optimizing the Imperfect<br />

Oxidation Performance of Iron Aluminides,<br />

Oak Ridge National Laboratory<br />

E. N’dah, A. Gallerie, Y. Wouters, D. Goossens, D.<br />

Naumenko, V. Kochubey, W. J. Quaddakers<br />

(2005), Metastable Alumina Formation<br />

During Oxidation of FeCrAl and Its<br />

Suppression by Surface Treatments, Materials<br />

and Corrosion, 843-847<br />

I. Gurrapa, S. Weinbruch, D. Naumenko and W. J.<br />

Quaddakers (2000), Factor Governing<br />

Breakaway Oxidation of FeCrAl Based<br />

Alloys, Materials and Corrosion, 224-235<br />

J. Jedlinski, (1997), The Oxidation Behavior of<br />

FeCrAl Aluminium Forming Alloys at High<br />

Temperature, Solid State Ionics, 101-103<br />

W. J. Quaddakers, I. Malkow and H. Nickel (1995),<br />

The Effect of Mayor and Minor Alloying<br />

Elements on the Oxidation Limited Life of<br />

FeCrAl Based Alloys, Proceedings of the<br />

International Conference on Heat<br />

Resistant, 91-96.<br />

C14


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Komparasi Karakteristik Plastik Layak Santap (Edible Plastic)<br />

Berbasis Pati<br />

Arie Chintya Martania, Siswanto, Aminatun<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : arie.chintya@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh variasi jenis pati terhadap karakteristik plastik layak santap<br />

(edible plastic). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis pati yang menghasilkan edible plastic dengan<br />

karakteristik terbaik. Penelitian dilakukan dengan pembuatan edible plastic dengan bahan baku pati yang<br />

bervariasi (pati beras, pati garut, pati jagung, pati kentang, pati ketan, dan pati sagu) yang dimodifikasi dengan<br />

cara hidrolisis dengan asam asetat (pH 6 dan 7) dengan perbandingan 50 gram pati dalam 50 ml pelarut asam<br />

asetat. Komposisi plastik layak santap adalah 7,5 gram hasil hidrolisis, 100 ml aquades, 45 ml ethanol 96% dan<br />

1.2 ml gliserol. Pengamatan yang dilakukan meliputi sifat mekanik dan toksisitas dengan uji BSLT (Brine<br />

Shrimp Lethality Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pati yang digunakan sebagai bahan baku<br />

pembuatan plastik layak santap mempengaruhi karakteristik plastik layak santap yang dihasilkan, yaitu<br />

ketebalan, kuat tarik, kemuluran dan toksisitasnya. Pati dengan kandungan amilopektin yang lebih besar akan<br />

menghasilkan karakteristik plastik layak santap yang lebih baik. Keseluruhan sampel hasil penelitian<br />

menunjukkan plastik layak santap memiliki karakteristik yang baik dan tidak bersifat toksik. Plastik layak santap<br />

terbaik ditunjukkan oleh pati kentang dengan pelarut asam asetat pH 7 dengan ketebalan 116,167 µm, nilai kuat<br />

tarik 20,918 MPa, kemuluran 31,325 % dan tidak bersifat toksik.<br />

Kata kunci: Plastik layak santap, pati, ketebalan, kuat tarik, kemuluran, toksik .<br />

PENDAHULUAN<br />

Penggunaan plastik sebagai material teknik<br />

menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.<br />

Plastik memiliki kelebihan yang tidak dimiliki<br />

material lainnya, namun juga memiliki sisi destruktif<br />

yang mendorong dilakukannya berbagai usaha<br />

perbaikan. Daur ulang, teknologi pengolahan<br />

sampah plastik, penelitian dan pengembangan<br />

teknologi plastik yang dapat terdegradasi secara<br />

alami juga semakin marak. Usaha perbaikan dengan<br />

cara pembakaran dapat menimbulkan peningkatan<br />

kadar CO2 di udara sehingga meingkatkan<br />

pemanasan global, sedangkan daur ulang, hanya<br />

25% dari plastik semula yang dapat digunakan<br />

kembali (W. Pujiastuti et. al. , 2005), sehingga<br />

alternatif lain yang banyak digunakan adalah plastik<br />

biodegradabel.<br />

Plastik biodegradabel dibuat dari<br />

pencampuran polimer sintetik dengan polimer alam,<br />

sehingga saat dibuang ke lingkungan plastik<br />

terdegradasi oleh mikroorganisme, tetapi bagian<br />

yang terbuat dari polimer sintetik tidak dapat terurai.<br />

Solusi alternatif lainya adalah plastik layak santap<br />

(edible plastic).<br />

Plastik layak santap adalah plastik yang<br />

terbuat dari bahan alami salah satunya biopolimer<br />

yang memiliki keunggulan lebih cepat terurai (W.<br />

Pujiastuti et. al. , 2005), berasal dari bahan baku<br />

yang dapat diperbarui dan harganya murah (K.A.<br />

Purbaningrum, 2008).<br />

Pati merupakan bioplimer berbentuk<br />

karbohidrat kompleks yang larut dalam air berwujud<br />

bubuk atau butiran putih, tawar dan tidak berbau.<br />

Secara umum, terbentuk dari dua polimer molekul<br />

glukosa yaitu amilosa (amylose) dan amilopektin<br />

(amylopectin). Amilosa merupakan polimer glukosa<br />

rantai panjang yang tidak bercabang dan<br />

memberikan sifat keras (pera), amilopektin<br />

merupakan polimer glukosa dengan susunan yang<br />

bercabang–cabang dan menyebabkan sifat lengket<br />

pada pati. Komposisi kandungan amilosa dan<br />

amilopektin ini akan bervariasi dalam produk<br />

pangan (M.A. Irawan, 2007). Referensi (K.A.<br />

Purbaningrum, 2008) telah mempelajari<br />

kemungkinan pati sebagai bahan baku pembuatan<br />

plastik layak santap.<br />

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya<br />

(K.A. Purbaningrum, 2008), plastik layak santap<br />

dibuat dengan bahan alamiah dari tepung tapioka<br />

(pati ubi kayu). Hasil yang diperoleh masih terdapat<br />

kekurangan karena plastik layak santap tidak dapat<br />

digunakan pada produk yang memiliki jenis dan<br />

ketebalan plastik tertentu. Jika lembaran plastik<br />

terlalu tebal maka dapat menghalangi pertukaran gas<br />

sehingga menyebabkan menumpuknya etanol yang<br />

dapat merusak rasa produk. Penelitian itu pun (K.A.<br />

Purbaningrum, 2008) hanya dilakukan beberapa uji<br />

karakteristik. Sifat mekanik yang dihasilkan belum<br />

dapat dijadikan acuan dalam penggunaan plastik<br />

layak santap sebagai bahan pengemas.<br />

Makalah ini mengkaji tentang pengaruh<br />

penggunaan variasi pati terhadap karakteristik<br />

C15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

plastik layak santap yang dihasilkan. Variasi pati<br />

yang digunakan antara lain adalah penggunaan pati<br />

beras, pati garut, pati jagung, pati kentang, pati<br />

ketan, dan pati sagu. Sehingga plastik layak santap<br />

yang dihasilkan akan mempunyai karakteristik yang<br />

berbeda. Karakteristik yang berbeda karena<br />

dipengaruhi kandungan amilosa dan amilopektin<br />

yang berbeda-beda pada masing-masing pati.<br />

Karakteristik plastik layak santap yang dikaji<br />

adalah sifat mekanik (ketebalan, kuat tarik,<br />

kemuluran) dan toksisitasnya. Toksisitas pada<br />

plastik layak santap akan diuji dengan metode Brine<br />

Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunkan<br />

hewan uji larva udang Artemia salina. Metode BSLT<br />

sering digunakan untuk uji biologi karena<br />

prosedurnya mudah, cepat dan ekonomis, serta tidak<br />

membutuhkan laboratorium khusus, pemakaian<br />

sampel sedikit dan bersifat umum. Penggunaan<br />

metode BSLT tidak hanya terbatas sebagai uji<br />

pendahuluan farmakologi ekstrak tanaman (B.N<br />

Meyer et. al., 1982), tetapi juga dapat digunakan<br />

sebagai uji untuk logam berat, racun sianobakteri,<br />

pestisida dan kedokteran gigi (J.L. Carballo et. al.,<br />

2002).<br />

METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan<br />

Desember 2009 di Laboratorium <strong>Fisika</strong> Material<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi<br />

Universitas Airlangga Surabaya dan Laboratorium<br />

<strong>Fisika</strong> Material Jurusan <strong>Fisika</strong> Universitas Brawijaya<br />

Malang.<br />

Pembuatan Sampel<br />

Pembuatan plastik layak santap diawali<br />

dengan memodifikasi pati yang digunakan dengan<br />

cara hidrolisis dengan pelarut asam asetat (pH 6 dan<br />

7), yaitu dengan mencampurkan 50 gram pati<br />

dengan 50 ml pelarut sambil dipanaskan sampai<br />

40oC, kemudian dikeringkan dan dihaluskan.<br />

Komposisi plastik layak santap yang dibuat<br />

adalah 7,5 gram pati hasil modifikasi, 100 ml<br />

aquades, 45 ml etanol 96%, dan 1,2 ml gliserol.<br />

Pencampuran dilakukan dengan menggunakan<br />

heater dan magnetic stirrer dengan suhu 70oC dan<br />

kecepatan putaran 60 rpm sampai mengental.<br />

Campuran yang dihasilkan kemudian dicetak pada<br />

plexiglass dan didinginkan pada suhu ruang.<br />

Jumlah sampel yang dibuat sebanyak 12<br />

sampel. Setiap sampel akan dilakukan pengujian<br />

sifat mekanik (ketebalan, kuat tarik, kemuluran) dan<br />

sifat toksik dengan metode BSLT.<br />

Uji Sifat Mekanik<br />

Ketebalan: Ketebalan sampel diukur dengan<br />

menggunakan Coating Thickness Gauge tipe TT 210<br />

dengan satuan ketebalan mikrometer. Pengujian ini<br />

dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelarut pada<br />

ketebalan sampel .<br />

Kuat Tarik dan Kemuluran: Pengujian kuat<br />

tarik sampel dilakukan dengan menggunakan mesin<br />

Tensile merk IMADA tipe HV-1000N. Sampel yang<br />

akan diuji terlebih dahulu diatur dengan ukuran<br />

spesimen kemudian ditarik sampai terjadi<br />

perpatahan. Hasil yang dapat diperoleh dari<br />

pengujian ini adalah load atau gaya (F) dalam satuan<br />

Newton. Selain untuk mengetahui gaya tarik, juga<br />

dapat diperoleh data untuk uji kemuluran akibat<br />

pertambahan panjang sampel uji.<br />

Uji Toksisitas dengan Metode Brine Shrimp<br />

Lethality Test (BSLT)<br />

Penetasan Telur Artemia salina: Telur<br />

Artemia salina L. ditempatkan dalam wadah yang<br />

berisi air laut atau air laut buatan (3,69 garam/sea<br />

salt yang dilarutkan dengan 100 ml akuades). Telur<br />

ditempatkan pada suatu wadah yang terlindungi dari<br />

cahaya, sedangkan pada bagian lain wadah diberi<br />

cahaya. Artemia salina L. akan menetas membentuk<br />

naupli setelah 48 jam. Naupli ini selanjutnya<br />

digunakan untuk larutan uji setelah dipisahkan dari<br />

cangkang dan pengotor lainnya dengan<br />

menggunakan pipet (B.N Meyer et. al., 1982).<br />

Uji Toksisitas dengan Metode BSLT: Uji<br />

BSLT ini dilakukan pada sampel murni hasil isolasi<br />

atau hasil pemisahan. Sampel ditimbang sebanyak<br />

10 mg, kemudian dilarutkan dalam 1 ml air. Setelah<br />

itu ditambahkan 99 ml air laut dan diaduk hingga<br />

homogen sehingga didapatkan larutan induk dengan<br />

konsentrasi 100 ppm, dari larutan induk 100 ppm ini<br />

dibuat larutan dengan konsentrasi 80,60,40,20 ppm<br />

masing-masing dibuat replika 3 kali (triplet).<br />

Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10-12<br />

ekor larva Artemia salina berumur 48 jam ke dalam<br />

larutan uji. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati<br />

dihitung (D.W. Khurniasari, 2004).<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Sampel plastik layak santap dibuat dari<br />

pencampuran berbagai jenis pati (beras, garut,<br />

jagung, kentang, ketan dan sagu) yang termodifikasi<br />

secara hidrolisis dengan pelarut asetat. Dari<br />

pencampuran ini diperoleh 12 sampel dan<br />

karakterisasi sampel dilakukan dengan melakukan<br />

beberapa uji. Pengujian ketebalan, sifat mekanik<br />

(tarik dan kemuluran) dan uji toksisitas dengan<br />

metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)<br />

dilakukan untuk seluruh sampel.<br />

Hasil Uji Sifat Mekanik<br />

Sifat mekanik dipengaruhi oleh besarnya<br />

jumlah kandungan komponen-konponen penyusun<br />

plastik layak santap (Yusmarlela, 2009). Pati yang<br />

berfungsi sebagai hidrokoloid yang sangat baik<br />

untuk menghambat perpindahan oksigen,<br />

karbondioksida, serta memiliki karakteristik yang<br />

sangat baik, sehingga sangat baik digunakan untuk<br />

memperbaiki struktur plastik layak santap agar tidak<br />

C16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mudah hancur (J.M Krochta et. al., 1994). Sifat<br />

mekanik yang diuji dalam penelitian ini meliputi<br />

ketebalan, kekuatan tarik dan kemuluran. Analisa<br />

ketebalan, kekuatan tarik dan kemuluran plastik<br />

layak santap dengan variasi pati yang berbeda<br />

merupakan faktor penting untuk menentukan sifat<br />

mekanik bahan yang diinginkan.<br />

Ketebalan: Hasil pengukuran ketebalan pada sampel<br />

terlihat pada Tabel 1 dan disajikan pada Gambar 1:<br />

TABEL I Nilai Ketebalan Pada Sampel<br />

Jenis Sampel<br />

No<br />

Tebal (µm)<br />

Pati Pelarut pH<br />

1 6 93.367<br />

beras<br />

2<br />

7 142.667<br />

3 6 114.667<br />

garut<br />

4<br />

7 135.200<br />

5 6 86.667<br />

jagung<br />

6<br />

7 149.667<br />

asam asetat<br />

7 6 79.700<br />

kentang<br />

8<br />

7 116.167<br />

9 6 134.233<br />

ketan<br />

10<br />

7 166.500<br />

11 6 76.433<br />

sagu<br />

12<br />

7 87.367<br />

kemuluran. Pengolahan datanya dengan<br />

menggunakan rumus di bawah ini :<br />

Keterangan :<br />

Panjang spesimen setelah Uji Tarik (mm)<br />

Panjang spesimen awal (mm)<br />

Kemuluran(perpanjangan)<br />

Contoh :<br />

Sampel spsimen uji mempunyai panjang mula-mula,<br />

l0 = 8,15 mm dan l = 9,65 mm, maka nilai<br />

kemuluran untuk plastik layak santap dengan bahan<br />

baku pati jagung dan pelarut asam asetat pH 6<br />

adalah:<br />

Harga kekuatan tarik dihitung dengan rumus :<br />

Keterangan :<br />

kekuatan tarik bahan (N/m2)<br />

Gaya maksimum (N) = Load<br />

luas penampang bahan (m2)<br />

= Tebal spesimen (m) x Lebar spesimen (m)<br />

Contoh :<br />

Plastik layak santap yang terbuat dari pati beras dan<br />

pelarut asam asetat pH 6 mempunyai tebal =<br />

9,3367mm dan lebar = 0,5 cm, maka : A0=9,3367<br />

cm x 0,5 cm = 0,0046684 cm2= 4,6684.10-7, dan<br />

harga load = 2,16 N maka harga Kuat tarik diperoleh<br />

:<br />

Gbr. 1 Grafik Hubungan Ketebalan Edible Plastic terhadap<br />

Variasi Pati dan pH Pelarut<br />

Berdasarkan tabel dan diperjelas oleh Gbr 1<br />

tampak bahwa secara umum plastik yang dihasilkan<br />

bervariasi. Sampel paling tebal diberikan pati ketan<br />

dengan pelarut asam asetat pH 7, dan yang paling<br />

tipis diberikan oleh pati sagu dengan pelarut asam<br />

asetat pH 6. Variasi ketebalan pada sampel terjadi<br />

akibat titik didih pada pelarut dan pengaruh jenis<br />

pati. Proses penguapan akan semakin lambat pada<br />

pelarut bertitik didih tinggi, dan sebaliknya pelarut<br />

dengan titik didih rendah akan mengalami<br />

penguapan lebih cepat. Dimana tingkat keasaman<br />

larutan berbanding terbalik dengan kenaikan titik<br />

didihnya, hal ini sesuai dengan sifat koligatif larutan.<br />

Ini yang menjelaskan mengapa pelarut asam asetat<br />

pH 6 menghasilkan plastik layak santap yang ebih<br />

tipis dibandingkan dengan pelarut asam asetat pH 7.<br />

Kuat Tarik dan Kemuluran: Hasil pengujian<br />

didapat load dan stoke. Harga load dalam satuan N<br />

dan stoke dalam cm. Hasil pengujian ini diolah<br />

kembali untuk mendapatkan kekuatan tarik dan<br />

Perhitungan yang sama juga dilakukan untuk setiap<br />

sampel yang lain. Hasil selengkapnya dapat dilihat<br />

pada Tabel 2.<br />

TABEL 2 Hasil Uji Sifat Mekanik Plastik Layak Santap Pada<br />

Berbagai Jenis Pati<br />

Jenis Sampel Kuat Tarik<br />

No<br />

ε (%)<br />

Pati Pelarut pH (MPa)<br />

1 6 4,627 15,476<br />

beras<br />

2<br />

7 3,715 20,732<br />

3 6 5,349 11,250<br />

garut<br />

4<br />

7 6,066 13,916<br />

5 6 2,585 18,405<br />

jagung<br />

6<br />

asam 7 2,913 20,482<br />

7 asetat 6 19,222 27,273<br />

kentang<br />

8<br />

7 20,918 31,325<br />

9 6 2,224 1,291<br />

ketan<br />

10<br />

7 2,472 9,988<br />

11 6 3,306 5,480<br />

sagu<br />

12<br />

7 5.,473 28,750<br />

C17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Hasil uji sifat mekanik pada Tabel 2<br />

memperlihatkan bahwa nilai kuat tarik plastik layak<br />

santap berbeda untuk setiap sampel. Perbedaan nilai<br />

kuat tarik plastik layak santap disebabkan oleh<br />

perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin<br />

untuk setiap jenis pati.<br />

Pembuatan plastik layak santap berbasis pati<br />

pada dasarnya menggunakan prinsip gelatinisasi.<br />

Gelatinisasi terjadi karena adanya penambahan<br />

sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi.<br />

Gelatinisasi mengakibatkan ikatan amilosa akan<br />

cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan<br />

hidrogen. Proses pengeringan akan mengakibatkan<br />

penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,<br />

sehingga gel akan membentuk lapisan plastik yang<br />

stabil (J.M Krochta et. al., 1994).<br />

Amilosa mempunyai struktur rantai yang<br />

linier dan amilopektin mempunyai struktur rantai<br />

bercabang. Kelinieran struktur molekul amilosa<br />

berpengaruh terhadap dispersi energi saat dilakukan<br />

uji tarik, dimana energi yang diteruskan pada rantai<br />

linier jauh lebih besar dibanding pada rantai<br />

bercabang. Jadi secara umum, plastik layak santap<br />

dengan penyusun pati yang mengandung amilosa<br />

tinggi akan memiliki nilai kuat tarik yang tinggi pula<br />

Seiring dengan semakin besar kuat tarik yang<br />

diberikan, maka perpanjangan putus yang dihasilkan<br />

besar pula. Jika energi ikat sudah tidak mampu lagi<br />

mengimbangi energi eksternal akibat tarikan, maka<br />

perpatahan bahan tidak dapat terelakkan.<br />

Perbedaan nilai kuat tarik pada masingmasing<br />

sampel dapat kita lihat pada diagram berikut:<br />

Perbedaan kemuluran bahan pada masingmasing<br />

sampel terlihat pada diagram berikut:<br />

Gbr. 3 Grafik Hubungan Kemuluran Sampel Uji terhadap Jenis<br />

Sampel<br />

Hasil uji kemuluran menunjukkan<br />

penggunaan pati kentang dengan pelarut asam asetat<br />

pH 7 memberikan nilai kemuluran yang tertinggi<br />

yaitu 31,325%, sama halnya pada hasil uji kuat tarik.<br />

Begitupun untuk nilai kemuluran terkecil diberikan<br />

pada penggunaan pati ketan dengan pelarut asam<br />

asetat pH 6 yaitu 1,291%.<br />

Hasil Uji Toksisitas dengan Uji Brine Shrimp<br />

Lethality Test (BSLT):<br />

Hasil pengamatan kematian Artemia salina<br />

setelah 24 jam pada larutan uji terlihat pada Tabel 3.<br />

Gbr. 4. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />

salina pada Plastik Layak Santap Pati Beras<br />

Gbr. 2 Grafik Hubungan Kuat Tarik Sampel Uji terhadap Jenis<br />

Sampel<br />

Gbr. 2 menunjukkan penggunaan pati kentang<br />

dengan pelarut asam asetat pH 7 memberikan<br />

kekuatan tarik tertinggi dibanding dengan<br />

penggunaan pati jenis lainnya yaitu 213,306<br />

Kgf/cm2. Hal ini terjadi karena pada pati kentang<br />

memiliki kandungan amilosa tertinggi dibandingkan<br />

pati jenis lainnya yaitu sekitar 46 %. Kekuatan tarik<br />

terkecil diberikan oleh plastik layak santap berbahan<br />

baku pati ketan dengan pelarut asam asetat pH 6<br />

yaitu 22,68 Kgf/cm2, disebabkan kandungan<br />

amilosa pada pati ketan paling kecil dibandingkan<br />

pati yang lain yaitu sekitar 9%.<br />

Gbr. 5. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />

salina pada Plastik Layak Santap Pati Garut<br />

C18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

TABEL 4 Hasil Analisa Perhitungan Besar Lc50 Pada Plastik<br />

Layak Santap Dengan Variasi Jenis Pati Dan Ph Pelarut Asam<br />

Asetat<br />

No. Jenis Sampel LC50 Keterangan<br />

Gbr. 6. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />

salina pada Plastik Layak Santap Pati Jagung<br />

Gbr. 7. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />

salina pada Plastik Layak Santap Pati Kentang<br />

Gbr. 8. Grafik Hubungan antara Presentase Kematian Artemia<br />

salina pada Plastik Layak Santap Pati Ketan<br />

Gbr. 4 menunjukkan hubungan antara presentase<br />

kematian larva Artemia salina dengan log<br />

konsentrasi larutan uji plastik layak santap pati<br />

beras. Persamaan regresi linier pada gambar<br />

digunakan untuk menentukan besar LC50 dengan<br />

memasukkan angka 50% sebagai X, sehingga<br />

didapat nilai 1. Hasil analisa perhitungan besar<br />

LC50 pada plastik layak santap dengan variasi pati<br />

dan pH pelarut asam asetat dapat dilihat pada Tabel<br />

4.<br />

1 A1 1<br />

pati beras<br />

2<br />

A2 1<br />

3 B1 46,452<br />

pati garut<br />

4<br />

B2 1<br />

5 C1 43,053<br />

pati jagung<br />

6<br />

C2 46,452<br />

7 pati D1 316,228<br />

8 kentang D2 1<br />

9 E1 6,816<br />

pati ketan<br />

10<br />

E2 1<br />

11 F1 316,228<br />

pati sagu<br />

12<br />

F2 1<br />

tidak toksik<br />

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa plastik<br />

layak santap yang terbuat dari pati (berbagai jenis)<br />

tidak bersifat toksik, maka plastik layak santap ini<br />

dapat diaplikasikan sesuai karakteristik dan<br />

keunggulannya.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari serangkain pengukuran dan diskusi maka<br />

dapat disimpulkan Jenis pati yang digunakan sebagai<br />

bahan baku pembuatan plastik layak santap<br />

mempengaruhi karakteristik plastik layak santap<br />

yang dihasilkan, yaitu ketebalan, kuat tarik,<br />

kemuluran, dan toksisitasnya. Jenis pati dengan<br />

kandungan amilopektin yang lebih besar akan<br />

menghasilkan karakteristik plastik layak santap yang<br />

lebih baik. Keseluruhan sampel hasil penelitian<br />

menunjukkan plastik layak santap memiliki<br />

karakteristik yang baik dan tidak bersifat toksik.<br />

Karakteristik plastik layak santap yang terbaik<br />

diberikan oleh pati kentang dengan pelarut asam<br />

asetat pH 7, dimana nilai ketebalannya adalah<br />

116,167 µm, kuat tarik sebesar 20,918 MPa,<br />

kemuluran sebesar 31,325 % dan tidak bersifat<br />

toksik.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih disampaikan kepada seluruh pihak<br />

yang mendukung dan yang telah meluangkan waktu<br />

untuk membantu menyelesaikan makalah ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

B.N. Meyer, N.R. Ferregni, J.E. Putnam, L.B<br />

Jccobson, D.e. Nichols, .L. McLaughin,<br />

(1982), “Brine Shrimp: convenient general<br />

bioassay for active plant constituents”, Planta<br />

Medica, 45, p.31-34.<br />

D.W. Khurniasari, (2004), Potensi Antikanker<br />

Senyawa Bioaktif Ekstrak Kloroform dan<br />

Metanol Makroalgae Sargassum duplicatum<br />

J. Agardh, Skripsi-S1, Fakultas Biologi<br />

Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.<br />

C19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

J.L. Carballo, Z.L. Hernadez, P. Perez, M.P. Garria,<br />

(2002), “A comparison between two brine<br />

shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in<br />

marine natural product”, BMC<br />

Biotechnology, 2:17.<br />

J.M. Krochta, E. A. Baldwin, dan M.O. Nisperos-<br />

Carriedo, (1994), Edible Coating and Film to<br />

Improve Food Quality, Technomic<br />

Publishing co., New York.<br />

K.A. Purbaningrum, (2008), Karakterisasi Plastik<br />

Layak Santap dari Bahan Pati Tapioka<br />

Sebagai Pengganti Kemasan Plastik, Skripsi-<br />

S1, Jurusan <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan<br />

Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.<br />

M.A. Irawan, (2007), “Karbohidrat”, Sport Science<br />

Brief Vol 01 No. 3, Polton Sport Science &<br />

Peformance Lab.<br />

W. Pujiastuti dan G. Supeni , (2005), Plastik Layak<br />

Santap (Edible Plastic) dari Tapioka<br />

Termodifikasi, Balai Besar Kimia dan<br />

Kemasan, Jakarta.<br />

Yusmarlela, (2009), Studi Pemanfaatan Plastisier<br />

Gliserol dalam Film Pati Ubi dengan Pengisi<br />

Serbuk Batang Kayu Ubi Kayu, Tesis-S2,<br />

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera<br />

Utara, Medan.<br />

Tabel III Presentase Kematian Larva Artemia Salina yang mati pada Larutan Uji<br />

C20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Radiasi Terhadap Kekuatan Tarik Polietilen<br />

D.Tamara Dirasutisna<br />

Dosen Jurusan Teknik Mesin FTI-Usakti<br />

Jalan Kyai Tapa no.1 Jakarta Barat<br />

Email: tamaradirasutisna@yahoo.com<br />

Abstract<br />

Strength of a substance generally hinges from tying of between its atom, more and more amount of tying of<br />

between its atoms, gain strength the substance. There are some way of to increase quality of strength a substance,<br />

among other things with process of forming fasten to traverse. process of Forming fasten to traverse for the<br />

substance polymer of liquid resin, can be done with mixture katalis, is polymer of solid type through radiation<br />

process . In this research is learned by change of interesting strength of substance of polymer of polietilen with<br />

closeness of low mass ( LDPE ) and substance of polymer of polietilen with closeness of high mass ( HDPE ).<br />

From result of perception obtained.<br />

I. For Polietilen with low mass closeness ( LDPE )<br />

D. Ductile Tension maximum reached at dose radiasi 80 Mrad, that is at price σ<br />

E. Broken Tension maximum reached at dose radiasi 40 Mrad, that is at price<br />

Newton<br />

M = 10.3815789<br />

2<br />

mm<br />

σ P =<br />

Newton<br />

6.55<br />

2<br />

mm<br />

F. Maximum Price elongasi reached at dose radiasi 50 Mrad, that is price e p = 926.19%<br />

.<br />

II. For Polietilen with high mass closeness ( HDPE )<br />

Newton<br />

• ductile Tension maximum reached at dose radiation 40 MRAD, that is at price σ M = 10.3815789<br />

2<br />

mm<br />

Newton<br />

• broken Tension maximum reached [at] dose radiation 40 Mrad, that is at price σ P = 10.3815789<br />

2<br />

mm<br />

• Maximum Price elongasi reached at dose radiasi 5 Mrad, that is at price e p = 1377.62%<br />

From research result seen, that polymer poletilen substance with high mass closeness ( HDPE ) compared to<br />

stronger of polymer polietilen with low mass closeness ( LDPE )<br />

Key word : Radiation, ductile Tension, broken Tension and elongasi<br />

PENDAHULUAN<br />

Kebutuhan bahan tambang untuk kehidupan<br />

sehari-hari semakin lama semakin meningkat.<br />

Misalkan untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah<br />

tangga, diantaranya panci, alat penggorengan dsb.<br />

Untukn skala yang lebih besar adalah pabrik<br />

kabel,pabrik mobil dsb.Akan tetapi, bahan-bahan<br />

yang disediakan alam sangat terbatas jumlahnya dan<br />

pada akhirnya akan habis sama sekali. Sebagai<br />

pengganti bahan tambang yang semakin menipis,<br />

orang harus mencari penggantinya.<br />

Bahan pengganti logam yang cukup baik<br />

adalah ”POLIMER” . Mengapa orang melirik pada<br />

bahan Polimer? Polimer termasuk bahan organik<br />

yang jumlahnya sangat melimpah dan mudah<br />

didapat. Dari hasil penelitian, polimer bisa menjadi<br />

bahan pengganti logam yang cukup baik, apakah<br />

untuk keperluan perindustrian atau keperluan seharihari.<br />

Dalam kehidupan sehari-hari, orang mengenal<br />

panci dari bahan jenis melamin. Melamin juga dapat<br />

digolongkan ke dalam jenis polimer.<br />

Penggunaan bahan polimer di bidang<br />

perindustrian, diantaranya :<br />

1. Penggunaan kayu untuk keontruksi bangunan,<br />

mebel<br />

2. Penggunaan gabus untuk isolasi atau sumbat<br />

3. Penggunaan Choloroform untuk bungkus<br />

bahan-bahan elektronik<br />

4. penggunaan karet untuk keperluan industri<br />

mobil<br />

Masih banyak lagi contoh lain penggunaan polimer<br />

untuk kehidupan sehari-hari.<br />

Salah satu jenis bahan yang dapat<br />

digolongkan ke dalam jenis ”polimer” adalah<br />

polietilen. Dalam bahasa komersil dikenal dengan<br />

nama plastik. Plastik dibuat dengan cara sintesis dan<br />

bersifat termoplastis. Plastik berarti bahan yang<br />

dapat diubah secara permenen. Plastik bisa juga<br />

berarti bahan yang dapat diubah secara deformasi<br />

plastik.<br />

C21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Polietilen sebagai bahan organik merupakan untaian<br />

rantai molekul methan(CH 2 ). Jenis polietilen ada<br />

dua, yaitu polietilen linier dan polietilan bercabang.<br />

Polietilen yang diperoleh dengan polimerisasi pada<br />

tekanan tinggi mempunayi kerapatan rendah dikenal<br />

dengan nama ”LOW-DENSITY<br />

POLYETHILENE”. Sedang polietilen yang<br />

diperoleh dengan polimerisasi pada tekanan rendah<br />

memiliki kerapatan tinggi atau dikenal dengan nama<br />

” HIGH-DENSITY POLYETHILENE”..<br />

Perbedaan tersebut akibat pembentukan yang terjadi<br />

selama polimeriusasi. Pada polimerisasi etilen<br />

dengan tekanan rendah, pembentukan polietilen<br />

susunan rantai linier rantai bercabang sangat sedikit,<br />

akibantnya rantai molekul menyusun sendiri lebih<br />

rapat antara satu dengan ayang lainnya. Sedang<br />

polimerisasi etilen pada tekanan tinggi lebih banyak<br />

membentuk cabang rantai, sehingga molekul yang<br />

tersusun tidak teratur dan tidak tertata, akibatnya<br />

memiliki kerapatan massa yang rendah.<br />

Pada tahun 1954, Miller dan kawan-kawan<br />

membuat suatu aturan secara empirik dalam<br />

pengionan untuk beberapa jenis polimer. Miller dan<br />

kawan-kawan dalam aturannya membagi polimer<br />

dalam dua kelompok yang ditunjukkann dalam<br />

struktur molekulnya. Diantaranya :<br />

Kelompok I dengan struktur<br />

Khususnya :<br />

CH − CH<br />

[ − 2 2 −] n<br />

Kelompok II dengan struktur :<br />

R 1 dan R 2 merupakan guugus cabang dan H<br />

bukan merupakan gugus cabang. Masing-masing<br />

kelompok memiliki sifat yang berbeda. Pada<br />

kelompok I, jika mengalami radiasi pengion akan<br />

mengalami pembentukan radikal bebas yang pada<br />

akhirnya terjadi pembentukan ikat silang. Sedang<br />

pada kelompok II, lebih cenderung mengalami<br />

degradasi atau pemutusan rantai molekul.<br />

Bahan polimer yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah polietilen dalam kelompok I<br />

yang yang dicirikan dalam struktur :<br />

Sebagai cuplikan digunakan polimer<br />

polietilal dalam jenis LDPE dan HDPE . Dalam<br />

penelitian ini, radiasi yang digunakan adalah radiasi<br />

pengion yaitu sinar gamma jenis cobalt-60. Setiap<br />

cuplikan yang akan diradiasi di masukan kedalam<br />

tabung gelas hampa udara, agar pada saat radiasi<br />

terjadi tidak mengikat unsur lain. Setiap cuplikan<br />

diradiasi dengan dosis radiasi yang berbeda, mulai<br />

dari 0 Rad, 5 Rad, 10 Rad........90 Rad.<br />

Energi radiasi yang digunakan cukup tinggi,<br />

yaiyu sekitar 1.173 dan 1.332 Mrad, sehingga<br />

polietilan dengan molekul-molekulnya yang terdiri<br />

dari unsur-unsur bernomor atom rendah akan<br />

menyerap energi ( nomor atom C=6 dan H= 1).<br />

Akibat adanya penyerapan energi, polietilen akan<br />

mengalami perubahan secara kimiawi. Salah satunya<br />

adalah pembentukan ikat silang. Ikat silang yang<br />

terjadi merupakan ikatan kovalen antara atom-atom<br />

karbon C-C. Semakin tinggi dosis radiasi, maka<br />

akan semakin banyak terjadi proses pembentukan<br />

ikat silang. Akan tetapi, jika radiasi terus menerus<br />

dilakiukan, maka akan terjadi pemutusan rantai<br />

molekul.<br />

Sejalan dengan pembentukan ikat silang<br />

akibat adanya radiasi, beberapa informasi yang<br />

diperoleh dari perubahan sifat fisis, diantaranya<br />

perubahan kekuatan tarik dan elongasi dari bahan<br />

polimer polietilen. Gejala tersebut diketahui setelah<br />

dilakukan uji Tarik.<br />

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari<br />

perubahan perubahan sifat-sifat fisis dari polimer<br />

polietilen, diantarnya perubahan kekuatan tarik<br />

dan perubahan elongasi serta membandingkan<br />

perubahan sifat fisis polimer polietilen LDPE dan<br />

polimer polietilen HDPE akibat adanya radiasi.<br />

PENGARUH RADIASI TERHADAP POLIMER<br />

POLIETILEN<br />

Sudah dijelaskan bahwa polimer polietilan<br />

dengan molekul-molekulnya yang terdiri dari unsurunsur<br />

bernomor atom rendah akan menyerap energi (<br />

nomor atom C=6 dan H= 1). Akibat adanya<br />

penyerapan energi, polietilen akan mengalami<br />

perubahan secara kimiawi. Salah satunya adalah<br />

pembentukan ikat silang. Ikat silang yang terjadi<br />

merupakan ikatan kovalen antara atom-atom karbon<br />

C-C. Beberapa pengaruh radiasi terhadap polimer<br />

polietilen adalah :<br />

1. Perubahan hidrogen dan berat molekul secara<br />

perlahan-lahan<br />

2. Terjadi pembentukan ikatan antara C-C antara<br />

molekul-molekul polietilen<br />

3. Penambahan ketidak jenuhan<br />

4. Petrubahan kristalinitas<br />

5. Perubahan warna<br />

6. Terjadi reaksi oksidasi<br />

Perubahan warna pada pooletieln terliihat,<br />

yaitu pada suhu kamar polietilen berwarn putih susu.<br />

Setelaha mengalami peradiasian, polietilen warna<br />

akan mengalami perubahan warna. Semakin tinggi<br />

dosis radiasi akan terliahat terjadi perubahan warna.<br />

Warna semakin gelap kecoklat-coklatan pada dosisb<br />

C22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

radiasi yang semakin tinggi. Perubahan warna ini<br />

terlihat pada poletilen jenis HDPE, sedang pada<br />

polimer polietilen jenis LDPE tidak begitu jelas<br />

terlihat.<br />

Peranan radiasi yang lebih menonjol adalah<br />

terjadinya pembentukan radikal bebas yang pada<br />

akhirnya akan terjadi pembentukan ikat silang.<br />

Sedangkan pengaruh lainnya adalah perubahan<br />

kekuakatan tarik dan elongasinya.<br />

RADIKAL BEBAS<br />

Radikal bebas didefinisikan sebagai grup<br />

atoam atau molekul yang dalam keadaan tertentu<br />

kehilangan elektron. Elektron-elektron yang<br />

kehilangan pasangannya akan menempati orbital<br />

luarnya. Misalnya beberapa radikal atom<br />

hidrogen( H • ), hidroxyl ( HO • ) atau<br />

methyl( H 3<br />

C • ).<br />

Ada tahap jenis reaksi radikal dalam reaksi<br />

rantai :<br />

1. Tahap inisiasi<br />

Tahap inisiasi merupakan tahapan pembentukan<br />

radikal bebas<br />

2. Tahap propagasi<br />

Tahap ini merupakan tahap perpindahan reaksi.<br />

Dalam tahap ini terjadi perubahan letak radikal<br />

bebas. Tahap propagasi ada empat jenis, yaitu :<br />

• Rekasi perpindahan atom(”Atomic Transfer<br />

Reaction”)<br />

• Reaksi adisi (”Adition Reaction)<br />

Reaksi ini meliputi adisi radikal bebas<br />

terhadap ikatan ganda<br />

• Reaksi pemisahan (”Fragmentation Reaction”)<br />

Contoh reaksi ini adalah ”β-Scision”. Pada<br />

reaksi ini electron yang tidak berpasangan pada<br />

pemisahan ikatan radikal pada posisi β, hasil<br />

radikal yang diperoleh mengandung molekul<br />

berikatan ganda<br />

• Reaksi penyusunan (“Rerrangemen Reaction)<br />

Pada reaksi ini, perubahan posisi radikal bebas<br />

memberikan dua jenis reaksi terminasi.<br />

3. Reaksi Terminasi (”Termination Reaction”)<br />

Pada sistim ini terdapat dua radikal bebas. Ada<br />

dua jenis reaksi terminasi yang terjadi, yaitu :<br />

• Kombinasi dua radikal<br />

PENGARUH RADIASI TERHADAP<br />

PEMBENTUKAN RADIKAL BEBAS<br />

Jika suatu benda mengalami radiasi<br />

elektromagnit, misalnya polimer polietilen. Maka<br />

intensitas radiasi elektromagnit tersebut akan<br />

mengalami pengurangan intensitas. Pengurangan<br />

intensitas tersebut berasal dari hamburan dan<br />

penyerapan energi dengan beberapa irradiasi<br />

molekul.<br />

Penggunaan uiradiasi Kimia ada dua jenis<br />

irradiasi elektromagnit, yaitu :<br />

7. Irradiasi elektromagnit pada energi rendah<br />

photon. Misalnya radiasi ultraviolet<br />

8. Irradiasi elektromagnit pada energi tinggi<br />

photon. Misalnya radiasi sinar gamma dan<br />

sinar-x<br />

Polietilen termasuk jenis molekul yang<br />

memiliki unsur-unsur atom dengan nomor atom<br />

yang rendah ( nomor atom C=2 dan nomor atom<br />

H=2 ) Karena pada radiasi ini memiliki penyerapan<br />

photon yang cukup tinggi, maka energi salah satu<br />

atom hidrogen dapat terputus. Dengan terputusnya<br />

salah satu atom hidrogen, makromolekul tersebut<br />

akan kehilngan salah satu atom hidrogen, kemudian<br />

timbul beberapa elektron yang tidak berpasangan.<br />

Jumlah elektron yang tidak berpasangan, bergantung<br />

dari dosis radiasi. Semakin tinggi dosis radiasi,<br />

semakin banyak jumlah elektron yang tidak<br />

berpasangan. Akan tetpi, jika radiasi terlalu tinggi<br />

akan terjadi pemutusan rantai molekul dan lama<br />

kelamaan akan terjadi peng arangan.<br />

Pembentukan radikal bebas bisa terjadi, jika<br />

energi radiasinya lebih tinggi dibanding dengan<br />

energi ikat elektron. Jika energi radiasi lebih rendah<br />

dibanding dengan energi ikat elektron, maka radiasi<br />

yang dipancarkan tidak berpengaruh. Artinya radiasi<br />

ini tidak akan menghasilkan radikal bebas.<br />

PROSES PEMBENTUKKAN IKAT SILANG<br />

Proses pembentukkan ikat silang terjadi<br />

akibat hilangnya salah satu atom hidrogen dalam<br />

salah satu rantai molekul atau dikatakan atomatomnya<br />

telah kehilangan pasangannya. Atom-atom<br />

yang telah kehilangan pasangannya akan<br />

berangkulan dan membentuk suatu ikatan, yang<br />

dinamakan ikat silang. Ikat silang ini merupakan<br />

ikatan covalen C-C antara molekul polimer.<br />

Misalnya ikat silang dari polietilen :<br />

Dengan :<br />

• Ketidak seimbangan(”Disproportionation”)<br />

Persamaan (A) dan petrsamaan (B) menunjukkan<br />

persamaan reaksi terminasi dalam polimerisasi<br />

radikal.<br />

Pembentukan ikat silang melalui proses reaksi<br />

radikal ada beberapa tahapan, yaitu :<br />

9. Penyerangan radiasi<br />

C23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

10. Reaksi radikal dengan rantai lain<br />

11. Proses ikat silang melalui penggabungan<br />

radikal-radikal rantai yang berdekatan :<br />

Proses pembentukkan ikat silang lebih mudah<br />

terjadi pada bahan dalam bentuk amorf. Karena<br />

struktur amorf lebih banyak menyerap energi.<br />

Semakin banyak energi yang diserap, semakin<br />

banyak proses pembentukan ikat silang. Jumlah<br />

pembentukan ikat silang dapat ditunjukkan seperti<br />

persamaan di bawah ini :<br />

α =α 0 D+ β 0<br />

Dengan :<br />

α = Rapat ikat silang<br />

αo = Tetapan (Mrad -1 )<br />

D = Dosis radiasi (Mrad)<br />

β 0 = Tetapan rapat ikat silang<br />

Persamaan ini berlaku untuk radiasi yang<br />

memiliki energi cukup tinggi. Karena dengan energi<br />

yang tinggi dapat menciptakan radikal hidrogen.<br />

Untuk radiasi dengan photon jenis Co-60 memenuhi.<br />

METODOLOGI PENELITIAN<br />

Metodologi penelitian ini berdasarkan hasil<br />

pengujian kekuatan tarik untuk memperoleh harga<br />

Modulus Young. Jenis-jenis metoda tersebut adalah :<br />

12. 1.Metoda pembuatan bahan cuplikan<br />

13. 2.Metoda pengukuran dimensi luas,panjang ,<br />

tebal serta penimbangan bahan cuplikan.<br />

14. 3.Metoda laboratorium berupa : Uji Tarik<br />

Dalam melakukan pengujian ini dilakukan<br />

beberapa tahap, yaitu :<br />

15. Persiapan cuplikan(Sampel)<br />

Untuk membuat sampel penelitian ini digunakan dua<br />

jenis bahan yang berbeda , yaitu bahan berupa<br />

serbuk pelet polietilen dengan kerapatan massa<br />

rendah (LDPE) dan serbuk pelet polietilen dengan<br />

kerapatan tinggi (HDPE). Kedua serbuk itu dibuat<br />

dalam bentuk lempengan tipis, yaitu dengan cara<br />

pemanasan sampai titik cair pada tekanan tertentu<br />

serta dilakukan pada suhu kamar. Selanjutnya<br />

setelah melalui proses pendinginan, lempengan<br />

plastik dibentuk sesuai dengan bentuk yang<br />

diperlukan untuk pengujian. Kedua sampel yang<br />

sudah dibentuk tersebut dimasukkan ke dalam<br />

tabung gelas, selanjut udara dalam tabung gelas<br />

tersebut dikeluarkan sampai tekanan kira-kira<br />

mencapai + 10 -3 Tor.<br />

16. Penyinaran(RadiasiI<br />

Alat yang digunakan untuk radiasi ini adalah<br />

irradiator karet alam (IRKA) dari sumber radiasi<br />

gamma co-60. Irradiator karet alam memiliki dua<br />

rak, yatu rak sebelah timur dan rak sebelah barat.<br />

Tapi dalam penelitian ini mewmpergunakan rak<br />

sebelah timur dengan laju dosis radiasi 200 KRad<br />

dan 287 Krad. Sumber radiasi berada di tengahtengah<br />

antara rak sebelah barat dan timur.<br />

Jarak antara sumber sampai dengan rak 25 cm dan<br />

jarak masing-pmasing cuplikan 25 cm. Dengan<br />

mempergunakan dalil Phytagoras, maka jarak antara<br />

sumber terahadap masing-masing cuplikan dapat<br />

dicari.<br />

PENGUKURAN MODULUS YOUNG<br />

Kekuatan bahan umumnya bergantung<br />

konstanta tarikan, yang dikenal dengan nama<br />

modulus Young. Uji kekuatan bahan dalam<br />

penelitian ini, menggunakan mesin uji tarik dengan<br />

jenis Instron-500 .<br />

Sebelum dilakukan pengujian, dicari dahulu<br />

luas penampang serta pengukuran panjang awal<br />

cuplikan.<br />

PERALATAN UJI TARIK<br />

Peralatan uji tarik terdiri mesin penguji<br />

instron-500 ini mempunyai kelajuan yang bervariasi,<br />

yaitu antara 0.5 inci sampai 50 inci setiap menit<br />

yang terdirib dari beberapa bagian, yaitu :.<br />

Bagian mesin penguji instron-500 terdiri atas :<br />

a. Fixed Member<br />

Alat ini berguna untuk menjepit bahan, posisinya<br />

berada di atas. Pada saat melakukan penarikan,<br />

alat tsb. dalam keadaan statis.<br />

b. Movable Member<br />

C24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Alat penjepit posisinya berada di bawah serta<br />

dapat bergerak naik atau turun sesuai dengan<br />

beban maksimum yang diinginkan<br />

c. Grift<br />

Alat penjepit cuplikan, posisinya terletak pada<br />

fixed member dan movable member<br />

d. Alat Pengontrol<br />

Alat ini berfungsi sebagai pengontrol laju<br />

kecepatan, agar kecepatan dijaga konstans<br />

e. Alat penunjuk beban<br />

Alat ini berfungsi menunjukan besar gaya penarik<br />

cuplikan saat beban mulai naik sampai berhenti.<br />

Data hasil uji tarik adalah :<br />

1. Elongasi<br />

2. Gaya saat beban mulai bergerak<br />

3. Gaya saat beban putus<br />

Hal-hal yang perlu diperhatikan :<br />

1. Laju grafik konstan : 1 mm/menit<br />

2. Laju penarikan konstan : 1 mm/menit<br />

3. Beban maksimum : 100 gram<br />

PELAKSANAAN PENGUJIAN<br />

Salah satu ujung cuplikan dijepit pada jepitan<br />

yang dapat bergerak turun naik (movable member).<br />

Sedang ujung lainnya dijepit pada jepitan<br />

statis(fixed member). Saat mesin dioperasikan, besar<br />

gaya dapat dilihat pada alat pencatat gaya. Penarikan<br />

dilakukan sampai cuplikan putus, artinya gaya tarik<br />

sudah mencapai gaya maksimum. Cara pemasangan<br />

cuplikan disajikan pada Gambar 3.<br />

Dari pembacaan data, diperoleh perubahan<br />

sifat fisis dari sampel polietilen,yaitu :<br />

a.Harga tegangan<br />

b.Regangan<br />

c.Elongasi<br />

HASIL PEMBAHASAN<br />

Dari hasil pengujian uji tarik, diperoleh<br />

beberapa besaran fisis. Diantaranya :<br />

17. Modulus Elastisitas<br />

Modulus Elastisitas didefinisikan sebagai<br />

perbandingan antara tegangan dan regangan. Agar<br />

dalam perhitungan modulus elastisitas tidak<br />

memberikan hasil dengan kesalahan yang besar,<br />

maka didefinisikan bahwa modulus elastisitas<br />

dihitung sebagai modulus skans. Modulus sekans<br />

merupakan perbandingan antara tegangan dan<br />

regangan pada daerah tertentu. Agar liniernya dapat<br />

diabaikan, maka perhitungan modulus sekans<br />

dihitung pada regangan 5%.<br />

Untuk menghitung Modulus Sekans<br />

digunakan persamaan :<br />

F( 5% )<br />

E =<br />

wT .<br />

0<br />

Harga-harga E(5%) dan F(5%) merupakan harga<br />

modulus sekans dan regangan pada regangan 5%.<br />

18. Tegangan mulur<br />

Harga tegangan mulur dapat dicari dengan<br />

persamaan :<br />

F m<br />

σ m = w 0 .T 0<br />

Untuk melihat harga tegangan mulur, yaitu<br />

dengan melihat beban pada saat mulai turun. Dari<br />

hasil pengamatan, harga tegangan mulur hanya<br />

terdapat pada sampel polietilen yang memiliki<br />

kerapatan massa rendah (LDPE). Sedang pada<br />

sampel polietilen dengan kerapatan massa tinggi<br />

( HDPE ) harga tegangan mulur tidak terlihat.<br />

Sebagain contoh adalah harga tegangan mulur<br />

untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />

rendah.<br />

w0 = 10mm , T0 = 1. 4mm<br />

dan F m = 54. 6 Newton<br />

F m<br />

σ m = w 0 .T 0<br />

54.6Newton<br />

Newton<br />

σ m =<br />

= 3.9<br />

( 10mm)( . 1.4mm) 2<br />

mm<br />

Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />

19. Tegangan putus<br />

Harga tegangan putus dapat dicari dengan<br />

persamaan :<br />

σ F p<br />

p = w 0 .t 0<br />

Harga tegangan putus diperoleh pada saat<br />

harga bebabn yang menarik tidak berubah lagi<br />

(konstan) . Dalam penelitian, sampel yang ditarik<br />

tidak sampai putus. Pada saat beban tarikan sudah<br />

konstan, artinya harga tegangan putus dudah<br />

diperoleh.<br />

Untuk sampel polietilen dengan kerapatan<br />

massa tinggi ( HDPE ) ditarik sampai putus, karena<br />

pada sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />

tinggi tidak mengalami elongasi (mulur) akibatnya<br />

akan terjadi perubahan beban.<br />

Sebagain contoh adalah harga tegangan putus<br />

untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />

tinggi ( HDPE).<br />

w0 = 10mm , T0 = 1. 4mm<br />

dan F p = 54. 6 Newton<br />

σ P =<br />

F P<br />

w 0 .T 0<br />

C25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

54.6Newton<br />

Newton<br />

σ P =<br />

= 3.9<br />

( 10mm)( . 1.4mm) 2<br />

mm<br />

Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />

20. Reganga putus<br />

Untuk mencari harga regangan putus, dapat diceri<br />

dengan persamaan :<br />

( ΔL)<br />

p<br />

EP<br />

= x100%<br />

L<br />

0<br />

Harga (ΔL) P diperoleh dengan mengukur perubahan<br />

panjang cuplikan. Dari hasil yang diperoleh harga<br />

persentase perpanjangan yang diperoleh dari hasil<br />

pengujian.<br />

Sebagain contoh adalah harga regangan putus<br />

untuk sampel polietilen dengan kerapatan massa<br />

tinggi ( HDPE).<br />

Δ L P = 58. 80 dan L 4. 2mm<br />

( ) mm<br />

( ΔL)<br />

0 =<br />

p<br />

EP<br />

= x100%<br />

L0<br />

58.8mm<br />

Aruh E P = x100%<br />

= 1400%<br />

4.2mm<br />

Hasil selengkapnya ada pada tabel lampiran.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil pengamatan, pengaruh radiasi<br />

sangat berperanan terhadap perubahan sifat Fisik<br />

polimer polietilen diantaranya adalah<br />

21. Perubahan gaya tarik, tegangan<br />

mulur,tegangan putus dan elongasi.<br />

Perubahan-perubahan tersebut bergantung<br />

dari dosis radiasi, semakin tinggi dosis radiasi<br />

semakin tinggi haraga gaya tarik, tegangan<br />

mulur, tegangan putus dan elongasinya.<br />

Sejalan dengan dosis radiasi, kenaikan<br />

tersebut akan mencapai harga maksimum.<br />

Semakin tinggi dosis radiasi, semakin banyak<br />

pembentukan radikal bebas, dan akan terjadi<br />

pembentukan ikat silang. Akan tetapi, jika<br />

radiasi terus menerus dinaikkan, maka akan<br />

terjadi degradasi (pemutusan rantai molekul) .<br />

Hasilnya terlihat bahwa :<br />

22. Untuk Polietilen dengan kerapatan massa<br />

rendah (LDPE )<br />

G. Tegangan mulur maksimum tercapai pada<br />

dosis radiasi 80 Mrad, yaitu padaharga<br />

Newton<br />

σ M = 4.43<br />

2<br />

mm<br />

H. Tegangan putus maksimum tercapai pada<br />

dosis radiasi 60 Mrad, yaitu padaharga<br />

Newton<br />

σ P = 6.55<br />

2<br />

mm<br />

I. Harga elongasi maksimum recapai pada<br />

dosis radiasi 50 Mrad, yaitu padaharga<br />

e = 926.19%<br />

p<br />

23. Untuk Polietilen dengan kerapatan massa<br />

tinggi ( HDPE )<br />

J. Tegangan mulur maksimum tercapai pada<br />

dosis radiasi 40<br />

K. MRad, yaitu pada harga<br />

2<br />

σ M = 10.3815789<br />

Newton mm<br />

L. Tegangan putus maksimum tercapai pada<br />

dosis radiasi 40 Mrad, yaitu padaharga<br />

Newton<br />

σ P = 10.3815789<br />

2<br />

mm<br />

M. Harga elongasi maksimum recapai pada<br />

dosis radiasi 5 Mrad, yaitu padaharga<br />

e p = 1377.62%<br />

24. Dari hasil penelitian terlihat, bahwa bahan<br />

polimer poletilen dengan kerapatan massa<br />

tinggi ( HDPE ) lebih kuat dibandingkan<br />

dengan polimer polietilen dengan kerapatan<br />

massa rendah ( LDPE ), tapi lebih getas.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ranby B Ranbek .,J.F<br />

Spektroscopy in Polimer Research. Spronger Verlag,<br />

New York 1977<br />

Charlesby A.<br />

Atomic Radiation and Polimers. Pergamon Press,<br />

New York 1960<br />

Lawren H Van Vlack 1980.<br />

Elemen of Material Science and Engineering<br />

Fortealcaltion . USA<br />

R.J Ceresa,B.Sc.,A.R.J.C A.P.I.A.I.R.I<br />

Block And Graft Copolymers , London Buterwoth<br />

1962<br />

Internet (2009)<br />

C26


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Lampiran<br />

Tabel.1.Hasil pengukuran dan perhitungan uji tarik<br />

Kde spl W 0 L 0 T 0 F M F P L ΔL σ Μ σ P e P<br />

(Mrad) mm mm mm Newton Newton mm mm N/mm 2 N/mm 2 x100%<br />

0 LD 10 4.2 1.42 50.46 71.16 52.86 48.66 3.553521127 5.011267606 11.585714<br />

5 LD 10 4.2 1.7 59.4 86.4 116 111.8 3.494117647 5.082352941 26.619048<br />

10 LD 10 4.2 1.4 54.6 87.4 84 79.8 3.9 6.242857143 19<br />

20 LD 10 4.2 1.6 57.2 99.8 64 59.8 3.575 6.2375 14.238095<br />

30 LD 10 4.2 1.6 64.2 112.8 56.7 52.5 4.0125 7.05 12.5<br />

40 LD 10 4.2 1.54 61.45 78.8 41.2 37 3.99025974 5.116883117 8.8095238<br />

50 LD 10 4.2 1.62 68.2 104.4 43.1 38.9 4.209876543 6.444444444 9.2619048<br />

60 LD 10 4.2 1.42 57.8 93 41.42 37.22 4.070422535 6.549295775 8.8619048<br />

70 LD 10 4.2 1.72 73.8 90.8 35.3 31.1 42.90697674 5.279069767 7.4047619<br />

80 LD 10 4.2 1.62 71.8 85.8 32.36 28.16 4.432098765 5.296296296 6.7047619<br />

90 LD 10 4.2 1.62 35.36 84 35.36 31.16 2.182716049 5.185185185 7.4190476<br />

Tabel.2.Hasil pengukuran dan perhitungan uji tarik<br />

Kde<br />

smpl W 0 L 0 T 0 F M F P L ΔL σ Μ σ P e P<br />

(Mrad) mm mm mm Newton Newton mm mm N/mm 2 N/mm 2 x100%<br />

0 HD 10 4.2 1.4 54.6 54.6 63 58.8 3.9 3.9 14<br />

5 HD 10 4.2 1.96 173.8 173.8 62.06 57.86 8.867346939 8.867346939 13.77619<br />

10 HD 10 4.2 2.18 175.8 175.8 57 52.8 8.064220183 8.064220183 12.571429<br />

20 HD 10 4.2 1.98 176 176 51.82 47.62 8.888888889 8.888888889 11.338095<br />

30 HD 10 4.2 2.2 197 197 10.72 6.52 8.954545455 8.954545455 1.552381<br />

40 HD 10 4.2 1.52 157.8 157.8 33.42 29.22 10.38157895 10.38157895 6.9571429<br />

50 HD 10 4.2 2 187.8 187.8 42.1 37.9 9.39 93.9 9.0238095<br />

60 HD 10 4.2 1.62 162.8 162.8 40.1 35.9 10.04938272 10.04938272 8.547619<br />

70 HD 10 4.2 1.92 192.2 192.2 19.94 15.74 10.01041667 10.01041667 3.747619<br />

80 HD 10 4.2 1.92 193.8 193.8 12.94 8.74 10.09375 10.09375 2.0809524<br />

90 HD 10 4.2 1.92 183.2 183.2 11.32 7.12 9.541666667 9.541666667 1.6952381<br />

Riwayat Hidup Penulis<br />

Penulis adalah seorang sarjana <strong>Fisika</strong> lulus pada tahun 1983 pada jurusan<br />

<strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitasa<br />

Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan studi<br />

program S-2 di jurusan <strong>Fisika</strong> Institut Teknologi Bandung dan meraih gelar<br />

master bidang <strong>Fisika</strong> Material .<br />

Tahun ajaran 1988 s/d tahun ajar 2005/2006 penulis menjadi Dosen tidak<br />

tetap Sekolah Tinggi Teknik Jakarta. Penulis pernah mengajar di beberapa<br />

perguruan tinggi swasta lainnya. Sejak tahun 1984 sampai dengan sekarang<br />

penulis adalah dosen tetap jurusan Teknik Mesin-Fakultas Teknologi Industri,<br />

Universitas Trisakti dan sejak tahun ajaran 1995/1996 penulis merupakan dosen yang diperbantukan<br />

pada jurusan Teknik Lingkungan-Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan,<br />

Universitas Trisakti dengan mata kuliah <strong>Fisika</strong> serta sebagai pembimbing tugas akhir bidang<br />

kebisingan.<br />

Beberapa makalah pernah disampaikan oleh penulis, baik dalam skala seminar Nasional<br />

maupun sadalam skala Internasional.<br />

Sampai sekarang penulis sedang memperdalam dunia Material.<br />

C27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Analisis Kegradualan Komposisi FGM α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 dengan Aditif<br />

Y 2 O 3 pada Suhu Sinter 1450°C<br />

Erni Junita Sinaga 1 , Suminar Pratapa 2<br />

1,2 Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.<br />

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111<br />

Email : erni_junit@physics.its.ac.id<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan sintesis functionally-graded materials (FGMs) α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif Y 2 O 3 dengan metode<br />

infiltrasi berulang, yaitu menggunakan serbuk α-Al 2 O 3 (korundum) sebagai prakeramik dan serbuk Y 2 O 3 sebagai<br />

aditif dengan komposisi berat 0%, 2% serta larutan TiCl 3 sebagai prekursor. Prakeramik dibuat dengan<br />

penekanan uniaksial dan prasinter pada suhu 1000 o C selama 1 jam. Infiltrasi prakeramik dilakukan dengan<br />

larutan TiCl 3 dengan pengulangan sebanyak tiga kali, disinter pada suhu 1450 o C selama 3 jam sehingga<br />

diperoleh FGM. Kegradualan komposisi fasa FGM berdasarkan kedalaman dianalisis secara kualitatif dari data<br />

difraksi sinar-x (XRD) dilanjutkan dengan analisis kuantitatif menggunakan metode Rietveld. Hasil identifikasi<br />

fasa sampel, bervariasi pada tiap kedalaman, seperti untuk FGM dengan 0% Y 2 O 3 , pada permukaan dan berbagai<br />

kedalaman diperoleh aluminium titanat (AT), korundum dan rutile, sedangkan untuk FGM dengan komposisi<br />

berat 2% Y 2 O 3 , pada permukaan dan berbagai kedalaman ditemukan AT, korundum dan yttrium titanat.<br />

Kandungan AT menurun secara gradual terhadap kedalaman, sebaliknya kandungan korundum meningkat.<br />

Secara umum dengan penambahan 2% Y 2 O 3, fasa rutile tidak ditemukan pada sampel karena rutile bereaksi<br />

dengan Y 2 O 3 membentuk formasi fasa yttrium titanat.<br />

Kata kunci : FGM, aluminium titanat, rutile, yttrium titanat.<br />

PENDAHULUAN<br />

FGMs adalah merupakan material komposit<br />

yang memiliki variasi komposisi dan struktur yang<br />

gradual sehingga mempunyai dua sifat berbeda pada<br />

masing-masing permukaan, perubahan kedua sifat<br />

tersebut secara kontinu dari satu permukaan ke<br />

permukaan lainnya (Shen, 2009). Keunggulan bahan<br />

FGMs yaitu memiliki sifat kegradualan menurut<br />

posisi yang bersifat “menjembatani”, metode<br />

pembuatannya relatif lebih sederhana, dan lebih<br />

menguntungkan dari komposit laminer karena<br />

delaminasi dapat direduksi secara signifikan<br />

(Pratapa, 1997). Ada beberapa metode FGMs, salah<br />

satunya adalah metode infiltrasi (Rabin et al., 1995).<br />

Metode infiltrasi ini memanfaatkan bahan prakeramik<br />

berporus yang dicelupkan ke dalam larutan<br />

yang mengandung prekursor. Kemudian bahan prakeramik<br />

yang mengandung prekursor tersebut<br />

disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru<br />

dan pemadatan bahan komposit. Dengan<br />

kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik<br />

yang berubah terhadap kedalaman, misalnya<br />

kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa et al., 1998).<br />

Umaroh (2009), dalam sintesis α-Al 2 O 3 -AT-<br />

MgO dilakukan infiltrasi dengan pencelupan<br />

berulang, yang meningkatkan kandungan AT pada<br />

α-Al 2 O 3 -AT-MgO dan diperoleh kegradualan<br />

komposisi yang landai. Dengan pendekatan Umaroh<br />

(2009), maka dilakukan penelitian dengan<br />

mensintesis FGM α-Al 2 O 3 -Al 2 TiO 5 yang<br />

menggunakan Y 2 O 3 sebagai aditif, dari hasil ini<br />

dapat diketahui pengaruh Y 2 O 3 dalam membentuk<br />

fasa Al 2 TiO 5 (AT). Untuk mengetahui kegradualan<br />

komposisi fasa yang terbentuk dapat dikarakterisasi<br />

dengan metode difraksi sinar-x serta sifat-sifat fisik<br />

(densitas, porositas, dan penyusutan volume).<br />

METODE EKSPERIMEN<br />

Material yang akan digunakan dalam<br />

penelitian ini untuk pembuatan keramik FGMs<br />

α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif Y 2 O 3 adalah serbuk α-Al 2 O 3<br />

(korundum) sebagai prakeramik dan serbuk Y 2 O 3<br />

sebagai aditif dengan komposisi berat 0% dan 2%<br />

serta larutan TiCl 3 20% sebagai infiltran.<br />

Bahan dipelet berbentuk silinder dengan<br />

diameter 12,9 mm, tebal 2,7 mm dan tekanan<br />

sebesar 37 MPa, dipra-sinter pada suhu 1000 ºC<br />

selama satu jam. Proses selanjutnya sampel<br />

diinfiltrasi ke dalam larutan TiCl 3 20% buatan<br />

sendiri (Herdiyanti, 2009) selama 30 menit,<br />

kemudian dikeringkan, setelah kering dinfiltrasi lagi<br />

secara berulang sebanyak tiga kali, dilanjutkan sinter<br />

pada suhu 1450 o C selama 3 jam.<br />

Untuk mengetahui sifat-sifat fisis dari sampel<br />

maka dilakukan uji densitas, porositas, serta<br />

penyusutan volume. Untuk mengetahui kegradualan<br />

komposisi, selanjutnya karakterisasi difraksi sinar-x<br />

dengan Tipe Philips X’Pert MPD (Multi Purpose<br />

C28


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Diffractometer) system terdapat di Laboratorium<br />

Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

1. Karakterisasi Sifat Fisis<br />

Karakterisasi untuk mengidentifikasi sifat fisik<br />

yaitu perubahan kenaikan masssa, densitas, porositas<br />

dan penyusutan volume FGM A/AT dengan aditif<br />

0% dan 2% Y 2 O 3 FGM yang disinter suhu 1450 o C<br />

selama 3 jam ditampilkan pada Tabel I.<br />

TABEL I<br />

Perubahan massa, densitas, porositas dan penyusutan volume<br />

2. Karakteristik Kegradualan Komposisi<br />

Pengukuran data difraksi sinar-x pada beberapa<br />

kedalaman (0,0-0,5 mm) untuk mengetahui fasa-fasa<br />

yang terbentuk. Pola difraksi sinar-x FGM A/AT<br />

dengan 0% Y 2 O 3 ditunjukkan pada gambar 1,<br />

terdapat fasa korundum, AT dan rutile.<br />

Sampel ∆M b<br />

(%)<br />

0 % Y 2 O 3 8,8<br />

(3)<br />

2% Y 2 O 3 9,1<br />

(1)<br />

∆M c<br />

(%)<br />

2,8<br />

(1)<br />

3,0<br />

(1)<br />

D i<br />

(gr/cm 3 )<br />

1,39<br />

(1)<br />

2,72<br />

(1)<br />

D f<br />

(gr/cm 3 )<br />

3,98<br />

(2)<br />

4,06<br />

(1)<br />

P i<br />

(%)<br />

30,7<br />

(2)<br />

48,7<br />

(2)<br />

P f<br />

(%)<br />

14,7<br />

(1)<br />

11,2<br />

(2)<br />

S<br />

(%)<br />

50,7<br />

(2)<br />

46,4<br />

(2)<br />

∆M b = Perubahan massa sebelum dan sesudah<br />

infiltrasi<br />

∆M c = Perubahan massa sebelum dan sesudah<br />

sintering<br />

D i dan P i = Densitas dan Porositas sebelum sintering<br />

D f danP f = Densitas dan Porositas setelah sintering<br />

S = Penyusutan volume sebelum dan sesudah<br />

sintering<br />

Tabel I menunjukkan adanya perubahan<br />

kenaikan massa sebelum dan sesudah infiltrasi,<br />

begitu juga sebelum dan sesudah sintering. Densitas<br />

setelah sinter lebih besar dari prasinter, sebaliknya<br />

porositas setelah sinter lebih kecil dibandingkan<br />

prasinter. Hal ini menandakan bahwa adanya<br />

infiltran TiCl 3 yang masuk ketika infiltrasi yang<br />

ditunjukkan dengan kandungan AT sebesar<br />

43,6(26)% pada FGM 0% Y 2 O 3 . Sedangkan untuk<br />

FGM 2% Y 2 O 3 densitas dan porositasnya sebelum<br />

dan sesudah sintering lebih besar dari FGM 0%<br />

Y 2 O 3 , hal ini menunjukkan bahwa jumlah infiltran<br />

TiCl 3 yang masuk lebih sedikit dibandingkan FGM<br />

0% Y 2 O 3 , dengan kandungan AT sebesar 39,1(32)%.<br />

Penyusutan volume yang terjadi akibat sinter sebesar<br />

50,7(2)% pada FGM 0% Y 2 O 3 dan 46,4(2)% pada<br />

FGM 2% Y 2 O 3 . Penyusutan volume terjadi pada saat<br />

sinter, yaitu adanya pemberian panas atau energi<br />

pada atom yang menyebabkan terjadinya difusi.<br />

Difusi menyebabkan terjadinya transportasi massa<br />

antar partikel penyusun bahan komposit tersebut dan<br />

mengakibatkan terjadinya necking pada daerah<br />

kontak antar partikel. Selanjutnya, ukuran necking<br />

semakin bertambah luas, sehingga porositas<br />

menurun. Penyusutan yang diakibatkan oleh<br />

pertumbuhan necking yang semakin luas dan<br />

necking tersebut menjadi perekat antar partikel dan<br />

pada akhirnya akan terbentuk fasa baru (Suasmoro,<br />

2000).<br />

Gambar. 1 Pola difraksi sinar-x dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3<br />

dengan komposisi berat 0% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />

Ket : x = AT, o = korundum, # = rutile.<br />

Kandungan fasa korundum lebih besar<br />

dibanding fasa AT, dengan puncak intensitas<br />

korundum lebih tinggi dibandingkan intensitas AT.<br />

Intensitas AT semakin menurun secara gradual<br />

sampai kedalaman 0,5 mm, sebaliknya intensitas<br />

korundum semakin meningkat seiring kedalaman<br />

sampel, ini mengindikasikan FGM memiliki<br />

kegradualan komposisi. Rutile terdapat pada<br />

permukaan FGM yang menandakan bahwa reaksi<br />

belum terjadi secara sempurna, korundum dengan<br />

rutile tidak membentuk AT secara keseluruhan.<br />

Intensitas rutile semakin meningkat terhadap<br />

kedalaman sampel. Fenomena ini seperti penelitian<br />

Umaroh (2009) dengan menggunakan difraksi sinarx<br />

untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa<br />

pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0%<br />

MgO terhadap kedalaman 0,0 hingga 0,5 mm. Fasa<br />

yang terbentuk pada permukaan (0,0 mm) yaitu AT<br />

dan korundum, sedangkan rutile tidak ditemukan,<br />

tetapi pada kedalaman 0,2-0,5 mm ditemukan rutile<br />

yang kandungannya meningkat terhadap kedalaman.<br />

Gambar. 2 Pola difraksi sinar-x dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3<br />

dengan komposisi berat 2% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />

Ket : x = AT, o = korundum, * = yttrium titanat.<br />

C29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2 menunjukkan FGM A/AT dengan<br />

2% Y 2 O 3 , dan fasa yang terbentuk adalah AT,<br />

korundum dan yttrium titanat. Intesitas AT menurun<br />

secara gradual pada permukaan sampel sampai<br />

kedalaman 0,5 mm, dan sebaliknya intensitas<br />

korundum meningkat terhadap kedalaman. Intensitas<br />

AT pada FGM ini lebih rendah dan intensitas<br />

korundum lebih tinggi jika dibandingkan dengan<br />

FGM 0% Y 2 O 3 . Adanya fenomena ini memberikan<br />

pemahaman bahwa dengan penambahan 2% Y 2 O 3<br />

pada FGM terjadinya pertumbuhan butir pada waktu<br />

prasinter, sehingga jumlah infiltran TiCl 3 yang<br />

masuk pada FGM mengalami penurunan<br />

dibandingkan pada FGM 0% Y 2 O 3 , dan dengan<br />

sedikitnya infiltran yang masuk pada FGM maka<br />

rutile yang terbentuk juga semakin sedikit, rutile<br />

akan bereaksi dengan korundum membentuk AT dan<br />

bereaksi dengan Y 2 O 3 membentuk yttrium titanat,<br />

sehingga fasa rutile tidak ditemukan pada FGM<br />

dalam berbagai kedalaman, hal ini menandakan<br />

rutile telah habis bereaksi membentuk AT dan<br />

yttrium titanat. Y 2 O 3 (yttria) akan bereaksi dengan<br />

rutile membentuk yttrium titanat (Ting-ting et al.,<br />

2009). Lebih lanjut, Ting-ting dalam penelitiannya<br />

menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui<br />

perubahan fasa yang terjadi dari Y 2 O 3 -TiO 2 disinter<br />

pada 1460 °C membentuk fasa yttrium titanat atau<br />

Y 2 Ti 2 O 7 .<br />

Berdasarkan analisis kualitatif kedua sampel<br />

diatas, fasa AT ditemukan pada semua kedalaman,<br />

fasa AT dapat dibuat dengan mereaksikan secara<br />

sintering melalui reaksi persamaan perbandingan<br />

molar dari alumina dan titania (rutile) di atas suhu<br />

1280 o C (Kato et al., 1980), yaitu jika oksidasi<br />

dengan udara akan menghasilkan:<br />

α-Al 2 O 3 + TiO 2 (rutile) β-Al 2 TiO 5<br />

Karakterisasi kegradualan komposisi fasa pada<br />

sampel perlu dianalisis lebih lanjut dengan<br />

menggunakan metode Rietveld.<br />

3. Analisis Kuantitatif dengan Metode Rietveld<br />

Analisis kuantitatif dengan metode Rietveld<br />

merupakan sebagai alat bantu karakterisasi material<br />

kristalin yang berfungsi untuk mengekstraksi<br />

berbagai informasi kimiawi maupun struktur mikro<br />

(Pratapa, 2004). Untuk penghaluan (refinement)<br />

menggunakan metode Rietveld dengan software<br />

Rietica (Hunter, 1998). Hasil keluaran penghalusan<br />

dapat ditunjukkan pada gambar 3.<br />

Gambar. 3 Pola hasil penghalusan yang diperoleh dari program<br />

Rietica untuk sampel FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi<br />

berat 2% Y 2 O 3 . Nilai GoF = 2,547.<br />

Hasil penghalusan dengan menggunakan<br />

metode Rietveld ditentukan oleh nilai figure of merit<br />

dan nilai GoF maksimal 4 % serta selisih fluktuasi<br />

yang relatif kecil (Kisi, 1994). Hasil penghalusan<br />

yang telah dilakukan untuk FGM A/AT dengan 2%<br />

Y 2 O 3 , nilai GoF sebesar 2,547 hal ini menandakan<br />

proses penghalusan selesai dan parameter-parameter<br />

keluaran yang dihasilkan dapat digunakan untuk<br />

analisis lebih lanjut.<br />

4. Komposisi Fasa<br />

Komposisi fasa yang terkandung dalam sampel<br />

FGM A/AT dengan 0% dan 2% Y 2 O 3 dapat<br />

diperoleh dari hasil keluaran penghalusan yang<br />

ditunjukkan oleh nilai persentase fraksi berat relatif.<br />

Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam<br />

perhitungan fraksi berat relatif adalah faktor skala,<br />

seperti ditampilkan dalam tabel II dan III.<br />

Tabel II<br />

Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa rutile, AT dan<br />

korundum dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi berat<br />

0% Y 2 O 3 pada kedalaman<br />

0,0-0,5 mm.<br />

No<br />

Faktor skala (10 -5 )<br />

Kedalaman<br />

Rutile AT Korundum<br />

(mm)<br />

1 0,0 2,606(9) 8,494(4) 16,631(9)<br />

2 0,1 5,568(19) 3,380(3) 24,680(10)<br />

3 0,2 6,404(8) 2,664(2) 24,671(10)<br />

4 0,3 13,724(31) 2,829(3) 34,725(14)<br />

5 0,5 21,477(0) 1,836(3) 34,352(14)<br />

6 0,5 19,892(34) 1,292(14) 30,688(12)<br />

Tabel III<br />

Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa yttrium titanat,<br />

AT dan korundum dari FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi<br />

berat 2% Y 2 O 3 pada kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />

Faktor skala (10 -7 )<br />

No Kedalaman<br />

Yttrium AT Korundum<br />

(mm)<br />

Titanat<br />

1 0,0 5,91(3) 863,12(4) 1931,59(21)<br />

2 0,1 5,17(7) 262,68(3) 3569,83(14)<br />

3 0,2 3,68(2) 215,38(3) 4465,85(15)<br />

4 0,3 3,74(7) 190,87(3) 4399,42(17)<br />

5 0,5 3,18(5) 128,62(2) 4319,78(17)<br />

6 0,5 3,26(6) 87,85(2) 4586,35(18)<br />

Fraksi berat relatif untuk setiap fasa pada<br />

bahan FGM A/AT dengan 0% dan 2% Y 2 O 3<br />

ditunjukkan pada gambar 4 dan 5. Gambar 4<br />

C30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

menunjukkan pada permukaan kandungan AT<br />

sebesar 43,6(26)% dan menurun secara gradual<br />

17,1(18)% pada kedalaman 0,1 mm dan 5,8(7)%<br />

pada kedalaman 0,5 mm. Sebaliknya untuk<br />

korundum, fraksi berat relatifnya meningkat dari<br />

55,8(39)% pada permukaan menjadi 81,7(47)% pada<br />

kedalaman 0,1 mm dan 90,4(50)% pada kedalaman<br />

0,5 mm. Untuk rutile, fraksi berat relatifnya juga<br />

meningkat terhadap kedalaman walupun<br />

kenaikannya sangat kecil. Kandungan rutile pada<br />

permukaan hanya sebesar 0,6(2)%, hal ini<br />

menandakan bahwa tidak seluruhnya rutile bereaksi<br />

dengan korundum pada saat sintering, selanjutnya<br />

1,2(4)% dan 3,8(7)% pada kedalaman 0,2 mm dan<br />

0,5 mm.<br />

Fraksi berat relatif (%)<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5<br />

Kedalaman (mm)<br />

A<br />

AT<br />

R<br />

Gambar. 4 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT aditif<br />

Y 2 O 3 dengan komposisi berat 0% Y 2 O 3, kedalaman 0,0-0,5 mm.<br />

Ket : A= korundum, AT=aluminium titanat, R= rutile<br />

Fraksi berat relatif (%)<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5<br />

Kedalaman (mm)<br />

A<br />

AT<br />

YT<br />

Gambar. 5 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT aditif<br />

Y 2 O 3 dengan komposisi berat 2% Y 2 O 3, kedalaman 0,0-0,5 mm<br />

Ket : A = korundum, AT = aluminium titanat, R= rutile<br />

Gambar 5 menunjukkan fraksi berat relatif<br />

FGM A/AT aditif Y 2 O 3 dengan komposisi berat 2%<br />

Y 2 O 3 , terlihat kandungan AT pada permukaan<br />

sebesar 39,1(32)% dan menurun seiring kedalaman,<br />

selanjutnya 2,8(5)% pada kedalaman 0,5 mm.<br />

Besarnya Kandungan AT ini lebih rendah dibanding<br />

FGM A/AT dengan 0% Y 2 O 3 . Sifat yang sama juga<br />

terjadi pada fasa korundum dengan kecendrungan<br />

yang berlawanan, misalnya pada permukaan<br />

57,3(73)% dan meningkat pada kedalaman 0,5 mm<br />

sebesar 95,8(52)%. Sedangkan yttrium titanat<br />

ditemukan pada tiap kedalaman.<br />

Berdasarkan hasil analisis data difraksi<br />

menunjukkan kegradualan komposisi FGM dengan<br />

0% Y 2 O 3 , dibuktikan dengan adanya kandungan fasa<br />

AT menurun secara gradual dari kedalaman 0,0 –<br />

0,5 mm, sedangkan korundum meningkat seiring<br />

kedalaman. Fasa rutile terdapat pada semua<br />

kedalaman dalam jumlah kecil yang meningkat<br />

terhadap kedalaman, hal ini menandakan bahwa<br />

tidak semua rutile bereaksi dengan korundum<br />

membentuk AT. Skala dkk (2009) mensintesis<br />

Al 2 O 3 -TiO 2 yang disinter pada 1550 °C selama 4<br />

jam dan pengulangan sinter sebanyak 4 kali guna<br />

meningkatkan jumlah AT dan mengurangi jumlah<br />

korundum dan rutile, hasilnya menunjukkan<br />

konsentrasi AT yang tinggi sebesar 94%, korundum<br />

(5,2%) dan sisanya rutile (0,7%), korundum dan<br />

rutile masih ada disebabkan oleh dekomposisi<br />

spontan AT selama pendinginan.<br />

Untuk FGM 2% Y 2 O 3 menunjukkan<br />

fenomena yang sama dengan yang 0% Y 2 O 3 , yaitu<br />

kandungan AT menurun terhadap kedalaman dan<br />

sebaliknya korundum meningkat seiring kedalaman<br />

tetapi rutile tidak ditemukan pada semua kedalaman,<br />

karena rutile bereaksi dengan Y 2 O 3 membentuk<br />

yttrium titanat dan terdapat pada semua kedalaman.<br />

Dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah<br />

terbentuk bahan yang FGM, yaitu komposisi fasa<br />

yang terbentuk mengalami perubahan secara gradual<br />

terhadap kedalaman berdasarkan perubahan<br />

konsentrasi fasa (Hirai,1996).<br />

KESIMPULAN<br />

Hasil analisis komposisi FGM α-<br />

Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 aditif 0% dan 2% Y 2 O 3 pada suhu<br />

sinter 1450 o C menunjukkan bahwa :<br />

Bahan yang gradual, yang mengalami<br />

perubahan konsentrasi fasa pada tiap kedalaman<br />

(0,0-0,5 mm) yang merupakan sifat bahan FGM.<br />

Terbentuknya fasa yttrium titanat<br />

Masih adanya residu rutile (TiO 2 ), dalam hal<br />

ini dipengaruhi oleh larutan TiCl 3 buatan sendiri.<br />

.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

EJS Mengucapkan terimakasih kepada DP2M Dikti<br />

HIBAH PASCA SARJANA ITS TA 2010/2011 atas<br />

nama SP yang memberikan bantuan finansial untuk<br />

membiayai penelitian ini.<br />

C31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Cullity, B.D. (1978), “Element of x-ray diffraction”,<br />

2nd edn. Addison-Wesley, publishing<br />

Company, Inc, Notre Dame.<br />

Hirai, T. (1996), “Functionally Gradient Materials,<br />

VCH Verlagsgesellschafft mbH, Weinheim,<br />

hal 259-341.<br />

Kato, E., Daimon, K. dan Takahashi, J. (1980),<br />

“Decomposition Temperatur of Al2TiO5”,<br />

Journal of the American Ceramic Society”,<br />

vol 63, hal 355-356.<br />

Koizumi, M., Niino, M. (1995), “Overview of<br />

FGM”, MRS Bulletin, vol 1, hal 19-21.<br />

Low, I.M. dan Oo, Z. (2008), “Reformation of phase<br />

composition in decomposed aluminium<br />

titanate”, Materials Chemistry and physics,<br />

vol 111, hal 9-12.<br />

Marple, B.R. dan Green, D.J. (1990), “Mullite<br />

Alumina Particulate Composites by<br />

infiltration: II, infiltration and<br />

Characterization”, J.Am. Ceram. Soc, 73<br />

[12], hal 3611-3616.<br />

Naderi, G., Rezaie, R.H. (2009), “The effect of talc<br />

on the reaction sintering, microstructure and<br />

physical properties of Al2TiO5 based<br />

ceramics”, Journal of Ceramic Processing<br />

Research. Vol. 10, No. 1, hal. 16-20<br />

Pratapa, S. (1997), “Syntesis and character of a<br />

functionally-graded<br />

aluminium<br />

titanate/ziconia alumina composite”, Thesis,<br />

Curtin University of technology, Australia .<br />

Pratapa, S., Low, I.M., O‟Connor, B.H. (1998),<br />

“Infiltration-Processed, Functionally Graded<br />

Aluminium Titanate/Zirkoniai-Alumina<br />

composite”, Jurnal of Material Science, vol<br />

33, hal 3037-3045.<br />

Rabin, B H., Shiota, I. (1995), “Overview of FGM”,<br />

MRS Bulletin, vol 1, hal 14-19.<br />

Rietveld, H.M. (1967), “Line Profiles of Neutron<br />

Powder Diffraction Peacks for Structure<br />

Refinement”, Acta Cryst, vol 22, hal 151-152.<br />

Shen, (2009), “Functionally Graded Materials :<br />

Nonlinear Analysis of Plates and Shells”,<br />

CRC Press is an imprint of the Taylor &<br />

Francis Group, an informa business.<br />

Suasmoro, (2000), “<strong>Fisika</strong> Keramik”, Jurusan<br />

FMIPA ITS, Surabaya.<br />

Ting-ting, T., Li-xi, W., Qi-tu, Z. (2009), “Study on<br />

composite and properties of Y 2 O 3 -TiO 2<br />

microwave dielectric ceramic”, Journal of<br />

Alloy and Coumpounds 486, hal 606-609.<br />

Umaroh, (2009), ‘Sintesis FGM α-Al 2 O 3 -AT-MgO<br />

Dengan Metode Infiltrasi Berulang, Tesis,<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya.<br />

C32


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Kekasaran Permukaan pada Sifat Magnetik dari Lapisan Tipis<br />

Rare Earth-Transition Metal (RE-TM)<br />

Erwin<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Riau<br />

Kampus Bina Widya Sp. Baru Pekanbaru 28293<br />

Email : erwin_amiruddin@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Lapisan Tipis Rare Earth - Transition Metal (RE-TM) dalam hal ini cobalt samarium (CoSm) dideposisikan<br />

diatas substrat silicon (100) dengan metode sputtering dengan memvariasikan waktu deposisi. Komposisi dari<br />

sampel adalah Co 80 Sm 20 Morphologi dan sifat magnetic dari sample diukur dengan menggunakan atomic force<br />

microscopy (AFM) dan alternating gradient force magnetometry (AGFM). Analisis dengan menggunakan AFM<br />

menunjukkan bahwa kekasaran permukaan dari sample bertambah dari 19 sampai 99 nm seiring bertambahnya<br />

ketebalan sample dari 20 nm ke 200 nm. Pengukuran sifat magnetic dari sampel dengan menggunakan AGFM<br />

melalui loop hysteresis in plane menunjukkkan ketergantungan dari loop hysteresis terhadap morphologi dari<br />

sample. Parameter magnetic seperti koercivitas, remanance magnetisasi dan loop squareness berubah terhadap<br />

perubahan kekasaran permukaan dari sample.<br />

Kata kunci: sifat magnetic, koercivitas, remanance magnetisasi dan loop squareness<br />

Pendahuluan<br />

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan<br />

ilmu pengetahuan serta teknologi informasi, sangat<br />

dibutuhkan suatu bahan yang dapat digunakan<br />

sebagai media untuk penyimpanan data. Dilihat dari<br />

sejarah perkembangannya kemampuan harddisk<br />

atau CD sebagai media penyimpan data masih<br />

memiliki keterbatasan dibandingkan thin film.<br />

Secara laboratorium, Toshiba telah mampu<br />

menghasilkan harddisk yang berkemampuan 200<br />

GB/Inch 2 dan Fujitsu 250 GB/Inch 2 untuk<br />

penyimpanan data. Namun untuk itu perlu usaha<br />

untuk meningkatkan kemampuan dari suatu harddisk<br />

untuk media penyimpanan data yang lebih besar.<br />

Salah satu bahan yang digunakan untuk media<br />

penyimpan data adalah berupa campuran logam<br />

cobalt dan Samarium dalam bentuk lapisan tipis<br />

(Velu et al. 1992). Campuran bahan ini memiliki<br />

potensi besar sebagai media penyimpan data<br />

berkapasitas tinggi karena bahan ini memiliki<br />

magnetocrystalline anisotropi magnetik dan<br />

coersivity yang tinggi serta memiliki butiran-butiran<br />

magnet kecil (1-10 nm), sehingga membuat<br />

campuran ini dapat digunakan sebagai bahan<br />

penyimpan data magnetik yang memiliki kapasitas<br />

tinggi (Charap, 1997). Lapisan tipis cobalt<br />

samarium (CoSm) dapat dibuat dengan<br />

menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah<br />

teknik sputtering (Robert, 1991). Usaha awal untuk<br />

membuat campuran cobalt samarium dalam bentuk<br />

lapisan tipis dilakukan oleh (Theuerer et al, 1969)<br />

dan (Gronou et al 1983). Mereka melaporkan bahwa<br />

lapisan tipis cobalt samarium memiliki koercivitas<br />

tinggi dapat diperoleh dengan menumbuhkan film<br />

tersebut dengan metode flash evaporation diatas<br />

substrate gelas.<br />

Menurut Erwin 2004, komposisi campuran<br />

CoSm dalam bentuk lapisan tipis yang memberikan<br />

nilai koercivitas yang tinggi yang merupakan salah<br />

satu syarat untuk dapat dijadikan media penyimpan<br />

data magnetic berkapasitas tinggi adalah dengan<br />

komposisi Co 80 Sm 20 . Namun lapisan tipis ini belum<br />

diketahui apakah memiliki butiran butiran magnetic<br />

yang kecil (


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

adalah 33 nm/s. Untuk mendapatkan sifat magnetic<br />

yang optimal dari campuran Co dan Sm, maka<br />

dalam penelitian ini ketebalan dari lapisan sampel<br />

divariasikan yaitu dari 100 - 1200 Å Untuk<br />

mengukur parameter magnetik dari sample<br />

digunakan alternating gradient force magnetometri<br />

(AGFM). Sedangkan sifat morphologi dari sampel<br />

dipelajari dengan menggunakan atomic force<br />

microscopy (AFM) Nanosurf Easyscan 2.<br />

4. Hasil dan Pembahasan<br />

4.1. Sifat Magnetik<br />

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan<br />

AGFM berupa data magnetisasi (M) sebagai fungsi<br />

kuat medan (H) dari lapisan tipis campuran CoSm.<br />

Ketebalan dari sampel diatur dengan menentukan<br />

nilai deposisi (deposisi rate), saat pembuatan<br />

sampel. Nilai deposisi untuk CoSm pada saat<br />

pembuatannya adalah 0.33 Å/s, sehingga ketebalan<br />

sampel dapat diatur dengan mengatur waktu<br />

deposisi.<br />

Data yang didapat dari pengukuran dengan<br />

menggunakan AGFM berupa data magnetisasi (M)<br />

dengan medan magnet yang digunakan (H). Data ini<br />

selanjutnya di plot sehingga didapat kurva hysteresis<br />

untuk masing-masing ketebalan sampel. Berikut ini<br />

ditampilkan hyisteresis loop untuk masing-masing<br />

sampel berdasarkan ketebalan.<br />

Magnetisasi (arb unit)<br />

DE4D<br />

1.50E-02<br />

1.00E-02<br />

5.00E-03<br />

0.00E+00<br />

-4000 -2000 0 2000 4000<br />

-5.00E-03<br />

-1.00E-02<br />

-1.50E-02<br />

Kuat Medan (Oe)<br />

Magnetisasi (arb. Unit)<br />

DE4F<br />

0.015<br />

0.01<br />

0.005<br />

0<br />

-4000 -2000 0 2000 4000<br />

-0.005<br />

-0.01<br />

-0.015<br />

Kuat Medan H (Oe)<br />

terhadap sifat magnetik dari lapisan tipis campuran<br />

CoSm.<br />

4.1.1 Magnetisasi Saturasi (M s )<br />

Magnetisasi adalah jumlah momen dipole<br />

magnet persatuan volume. Dalam penelitian ini<br />

satuan dari magnetisasi dipilih (Arb. Unit). Dari<br />

hasil pengukuran AGFM di atas, maka nilai<br />

magnetisasi saturasi (Ms) dapat diplot sebagai fungsi<br />

ketebalan samplel seperti pada gambar 2 dibawah<br />

ini.<br />

Magnetisasi (arb unit)<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600<br />

Ketebalan (angstrom)<br />

Gambar 2. Magnetisasi saturasi (Ms) dari sampel sebagai fungsi<br />

ketebalan<br />

Dari gambar 2 maka dapat dilihat bahwa nilai<br />

magnetisasi saturasi (Ms) menurun secara<br />

exponensial dengan bertambahnya ketebalan dari<br />

sampel, penurunan dari nilai magnenitasi secara<br />

exponensial saturasi ini disebabkan oleh makin<br />

banyaknya atom non magnetik yang terdapat dalam<br />

campuran CoSm, sehingga CoSm tersebut memiliki<br />

sifat kemagnetan (magnetisasi) yang semakin kecil.<br />

Hal ini sebagaimana yang diharapkan yaitu<br />

samarium adalah elemen non magnetik. Dari grafik<br />

dapat dilihat bahwa penambahan ketebalan diatas<br />

500 Å menyebabkan nilai magnetisasi menurun<br />

secara perlahan / lambat, namun nilai tersebut akan<br />

menuju nol pada nilai ketebalan yang sangat tinggi.<br />

Magnetisasi (arb.Unit)<br />

DE14F<br />

4.00E-03<br />

3.00E-03<br />

2.00E-03<br />

1.00E-03<br />

0.00E+00<br />

-4000 -2000 -1.00E-03 0 2000 4000<br />

-2.00E-03<br />

-3.00E-03<br />

-4.00E-03<br />

Kuat Medan H (Oe)<br />

Mag netisasi ( arb unit)<br />

ESLO3E<br />

3.00E-03<br />

2.00E-03<br />

1.00E-03<br />

0.00E+00<br />

-4000 -3000 -2000 -1000 0 1000 2000 3000 4000<br />

-1.00E-03<br />

-2.00E-03<br />

-3.00E-03<br />

Kuat Medan H (Oe)<br />

4.1.2. Remanance (M r )<br />

Remanance adalah nilai magnetisasi yang<br />

tersisa dalam bahan magnetik apabila medan magnet<br />

yang digunakan dihilangkan atau sama dengan nol.<br />

12<br />

10<br />

Gambar 1. Kurva hysteresis dari campuran CoSm untuk sebagai<br />

fungsi ketebalan (a). 100 Å ,<br />

(b) 200 Å, (c) 500 Å dan d 1200 Å<br />

Dari data pengukuran dengan AGFM maka<br />

dapat ditentukan pengaruh ketebalan dari lapisan<br />

tipis campuran CoSm terhadap sifat magnetik. Sifat<br />

magnetik yang dipelajari dalam perhitungan adalah<br />

magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi remanance<br />

(Mr), coercivity (Hc), dan squareness (S). Berikut<br />

ini akan dijelaskan hubungan antara ketebalan<br />

Remanance (arb unit)<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600<br />

Ketebalan (Angstrom)<br />

Gambar 3. Magnetisasi remanance (Mr) dari sampel sebagai<br />

fungsi ketebalan<br />

Dari hasil pengukuran AGFM di atas, maka<br />

nilai magnetisasi remanance (Mr) dapat diplot<br />

C34


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sebagai fungsi ketebalan samplel seperti pada<br />

gambar 3. Dari gambar ini dapat dilihat bahwa nilai<br />

magnetisasi remanance menurun secara exponensial<br />

dengan bertambahnya ketebalan dari sampel.<br />

Penurunan dari nilai remanance disebabkan karena<br />

makin banyaknya atom-atom samarium dalam<br />

lapisan tipis tersebut yang merupakan elemen non<br />

magnetik. Atom Samarium menyebabkan<br />

terpisahnya atom-atom cobalt (magnetik), sehingga<br />

interaksi antara atom atom cobalt menjadi<br />

berkurang. Penambahan ketebalan yang makin besar<br />

tidak akan banyak mengurangi nilai magnetisasi<br />

remanance. Penurunan nilai remanance ini<br />

disebabkan juga oleh ketidak sejajaran dari momen<br />

magnet dalam sampel karena medan magnet yang<br />

membuat momen ini sejajar adalah nol.<br />

4.1.3. Coercivity (Hc)<br />

Coercivitas adalah besarnya kuat medan (H)<br />

yang diperlukan untuk membuat magnetisasi (M)<br />

menjadi nol. Dari hasil pengukuran AGFM di atas,<br />

maka nilai coercivitas (Hc) dapat diplot sebagai<br />

fungsi ketebalan samplel seperti pada gambar 4<br />

dibawah ini.<br />

Coersivity (Oe)<br />

1800<br />

1600<br />

1400<br />

1200<br />

1000<br />

800<br />

600<br />

400<br />

200<br />

0<br />

0 200 400 600 800 1000 1200 1400<br />

Ketebalan (Angstrom)<br />

Gambar 4. Coercivitas (Hc) dari sampel sebagai fungsi ketebalan<br />

Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai<br />

coersivitas dari sampel menurun dengan<br />

bertambahnya ketebalan. Penurunan nilai coercivity<br />

ini cenderung linear terhadap penambahan ketebalan<br />

dari sampel. Penurunan nilai Hc ini disebabkan oleh<br />

makin terpisahnya atom-atom cobalt. Atom-atom<br />

Samarium memiliki ukuran atom yang lebih besar<br />

dari atom cobalt dan merupakan elemen non<br />

magnetic Dengan keterpisahan ini maka interaksi<br />

antara atom-atom Co semakin berkurang, dan<br />

akibatnya diperlukan kuat medan magnet yang kecil<br />

untuk membawa magnetisasi dari lapisan tipis<br />

menjadi nol.<br />

Squareness (S)<br />

Squareness (S) merupakan perbandingan<br />

antara magnetisasi remanance (Mr) terhadap<br />

magnetisasi saturasi (Ms). Dari hasil pengukuran<br />

AGFM di atas, maka nilai coercivitas (Hc) dapat<br />

diplot sebagai fungsi ketebalan samplel seperti pada<br />

gambar 5 dibawah ini.<br />

squareness<br />

1.2<br />

1<br />

0.8<br />

0.6<br />

0.4<br />

0.2<br />

0<br />

0 200 400 600 800 1000 1200 1400<br />

Ketebalan (Angstrom)<br />

Gambar 5. Squareness (S) dari sampel sebagai fungsi ketebalan<br />

Gambar 5 menunjukkan hubungan antara<br />

squareness (S) sebagai fungsi ketebalan dari sampel.<br />

Dari gambar ini dapat dilihat bahwa nilai squareness<br />

(S) menurun dan semakin kecil dengan penambahan<br />

dari ketebalan sampel. Penurunan ini disebabkan<br />

oleh berkurangnya nilai remanance magnetisasi dari<br />

sampel, sehingga momen magnetik dari atom-atom<br />

cobalt untuk mempertahankan keadaan paralel<br />

semakin mengecil ( hilang). Lebih jauh lagi<br />

pengurangan nilai magnetisasi remance dikarenakan<br />

oleh ketidak mampuan momen magnet<br />

mempertahankan keadaan paralel karena medan<br />

magnet luar dihilangkan. Makin banyak atom<br />

samarium di dalam sampel, maka keterpisahan dari<br />

atom cobalt dengan atom cobalt lainnya semakin<br />

jauh. Maka interaksi antara atom atom cobalt<br />

menjadi kecil.<br />

4.2. Morhologi<br />

Morfology dari sampel diamati dengan<br />

menggunakan Atomic Force Microscopy (AFM).<br />

Berikut ini ditampilkan 2 buah hasil pengukuran<br />

dengan menggunakan AFM dalam 2 dan 3 dimensi<br />

yaitu untuk sampel dengan ketebalan 200 Å dan<br />

1000 Å.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 6. Morphologi dari sampel denganketebalan 200 Å(a)<br />

dalam 2 dimensi dan (b)dalam 3 dimensi<br />

Dari gambar 6 diatas maka kekasaran<br />

permukaan dari sample dengan ketebalan 200 Å<br />

dapat ditentukan. Hasil pengukuran dengan AFM ini<br />

memberikan dua warna yang kontras yaitu gelap dan<br />

terang. Daerah yang gelap menunjukkan daerah<br />

yang rendah sedangkan warna putih menunjukkan<br />

daerah atau permukaan sampel yang lebih tinggi.<br />

C35


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dari gambar 6a (dua dimensi) dapat dilihat bahwa<br />

warna gelap dan terang tersebar diseluruh<br />

permukaan sampel, dan begitu juga untuk gambar<br />

3D (gambar 6b). Pada ketebalan ini atom cobalt dan<br />

samarium hampir terdistribusi secara merata ini<br />

ditunjukkan dnegan nilai kekasaran yang kecil yaitu<br />

47 nm<br />

.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 7. Morphologi dari sampel denganketebalan 1000 Å (a)<br />

dalam 2 dimensi dan (b) dalam 3 dimensi<br />

Dari gambar 4.8 dapat di lihat bahwa<br />

permukaan lapisan tipis campuran CoSm untuk<br />

ketebalan 1000 Å lebih kasar, dibandingkaan dengan<br />

lapisan tipis untuk campuran CoSm dengan<br />

ketebalan 200 Å yaitu 84 nm. Ini disebabkan karena<br />

makin banyaknya umlah atom-atom samarium yang<br />

terdapat dalam campuran CoSm, karena atom<br />

samarium memiliki jari-jari atom yang lebih besar<br />

dibandingkan dengan atom cobalt dan merupakan<br />

elemen non magnetik. Dlihat dari gambar 4.8 (a)<br />

dalam bentuk dua dimensi, dapat dilihat bahwa<br />

daerah terang terlihat sangat jelas, begitu juga pada<br />

gambar 4.8.(b) dalam tiga dimensi, pada gambar ini<br />

terlihat jelas bahwa daerah terang banyak terdapat<br />

pada lapisan tipis campuran CoSm. Karena<br />

banyaknya atom samarium yang terdapat pada<br />

sampel maka kekasaran dari sampel bertambah. Hal<br />

ini sesuai yang diharapkan.<br />

Dari data yang telah diperoleh berdasarkan<br />

hasil pengamatan dengan menggunakan Atomic<br />

Force Microscopy (AFM), maka dapat ditentukan<br />

pengaruh ketebalan dari lapisan tipis campuran<br />

CoSm terhadap mikostruktur atau kekasaran dari<br />

permukaaan sampel. Dari gambar 4.7 diperoleh<br />

bahwa pada ketebalan 200 Å dari lapisan tipis<br />

campuran CoSm mikrostruktur atau kekasarannya<br />

kecil yaitu 47 nm.. Ini disebabkan oleh sedikitnya<br />

atom samarium yang terdapat dalam campuran<br />

CoSm. Hal ini sesuai dengan data magnetik yang<br />

memberikan nilai Coercivity yang tinggi untuk<br />

ketebalan 200 Å. Permukaan yang halus dan rata ini<br />

juga memberikan kontribusi pad peningkatan nilai<br />

Hc sesuai pada gambar 4.9. Pada gambar 4.7 (a) dan<br />

4.7 (b) dalam plot dua dan tiga dimensi yang<br />

dihasilkan dapat dilihat warna gelap lebih banyak<br />

pada warna terang. Dimana warna gelap<br />

menunjukan daerah rendah dengan kedalaman<br />

tertentu, pada sampel terlihat warna terang dan gelap<br />

tidak merata meskipun samariumnya jauh lebih<br />

besar. Dari hasil pengamatan ini dapat disimpulkan<br />

bahwa sampel yang digunkan memiliki samarium<br />

tidak merata dan bagian yang diamati ini samarium<br />

lebih kecil dari daerah lain.<br />

Sedangkan pada gambar 4.8 dapat dilihat<br />

warna yang terang menunjukkan puncak dari lapisan<br />

tipis yang lebih tinggi sedangkan warna yang gelap<br />

menunjukkan daerah rendah dengan kedalaman<br />

tertentu. Semakin banyak warna yang terang atau<br />

ada yang lebih terang akan menunjukkan kekasaran<br />

yang besar begitu juga sebaliknya semaikn banyak<br />

warna yang gelap atau ada yang lebih gelap akan<br />

menunjukan kekasaran yang lebih besar. Pada<br />

gambar 4.8 (a) dalam dua dimensi dan tiga dimensi<br />

pada gambar 4.8 (b) pada sampel terlihat warna<br />

terang lebih banyak dari warna gelap ini karena<br />

banyaknya atom-atom samarium yang terdapat pada<br />

campuran CoSm yang mana samarium merupakan<br />

non magnetik dan memiliki jari-jari atom yang besar<br />

dibandandingkan atom cobalt.<br />

5. Kesimpulan<br />

Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil<br />

beberapa kesimpulan antara lain:<br />

1. Pengamatan morphologi atau kekakasaran<br />

permukaan lapisan tipis dari campuran CoSm<br />

dengan menggunakan AFM melalui variasi<br />

ketebalan sampel menunjukkan bahwa nilai<br />

kekasaran bertambah dengan bertambahnya<br />

jumlah atom samarium. Hal ini disebabkan oleh<br />

penumpukan atom samarium yang ukurannya<br />

jauh lebih besar dibandingkan dengan atom<br />

cobalt.<br />

2. Nilai ketebalan dari sampel yang mukin dapat<br />

digunakan untuk penyimpanan data berdasarkan<br />

hasil penelitian ini adalah pada ketebalan 100 -<br />

200 Ǻ. Karena sampel ini memiliki sifat<br />

magnetisasi, khususnya coersivity (Hc) yang<br />

relatif besar yaitu 1459 dan 1574 Oe. Pada<br />

ketebalan ini sampel memiliki permukaan yang<br />

halus (47nm), sehingga kondisi sesuai dengan<br />

yang diharapkan yaitu dapat digunakan sebagai<br />

media penyimpanan data seperti Disk, disk<br />

dengan permukaan yang halus putaranya akan<br />

stabil.<br />

3. Magnetisasi saturasi dan remanance dari lapisan<br />

tipis CoSm nilainya menurun seiring dengan<br />

pertambahan jumlah atom samarium. Karena<br />

semakin banyak jumlah atom samarium dalam<br />

sampel interaksi antar partikel magnetik<br />

semakin kecil.<br />

4. Nilai magnetisasi dari lapisan tipis berkurang<br />

dengan cepat sampai ketebalan 500 Ǻ dan<br />

setelah itu penurunan nilai magnetisasi tidak<br />

terlalu tersenifikan atau berati. Sifat magnetik<br />

dari campuran tersebut semakin berkurang<br />

karena Samarium adalah non magnetik.<br />

C36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terimakasih disampaikan pada P.J.<br />

Grundy dan J.A Faunce dari Laboratorium Joule –<br />

Salford University England, UK atas kesempatan<br />

dan batuan yang diberikan selama penulis<br />

melakukan penelitian di laboratorium tersebut.<br />

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr.<br />

Adi Rahwanto, M.Eng dan Dr. Murshal atas izin<br />

yang diberikan sehingga penulis dapat memakai<br />

AFM pada laboratorium <strong>Fisika</strong> Material jurusan<br />

fisika FMIPA Unsyiah Banda Aceh.<br />

.<br />

6. Daftar Pustaka<br />

Moser. J. Phys D: Phys. 35(2002) R157-167)<br />

Brown, W. F., (1963), “Micromagnetics”. Wiley-<br />

International, New York, pp 68-64.<br />

Charap, S. H., P. L., Y., He., Y., (1997), IEEE<br />

Trans.<br />

Magn., 33,978.<br />

H.C. Theuerer, E.A. Nesbitt & D.D. Bacon. 1969.<br />

High Coercive Force Rare Earth Alloy Films<br />

by Getter Sputtering J. Appl. Phys., 40, 2994.<br />

M. Gronou, H. Goeke, D. Schuffler, S. Sprenger,<br />

IEEE Trans. Magn., 19, 1653, 1983.<br />

Doerner, M. F., Tang,, K., Arnoldussen, T., Zeng,<br />

H., Toneyand, M. F., Weller, D., (2000), IEEE<br />

Trans. Magn., 36.<br />

Erwin, A,. (2004), “Magnetic and Microstructural<br />

Properties of CoSm Alloy and Multilayer Thin<br />

Films”, PhD Thesis, University of Salford,<br />

UK.<br />

P. Robert, P 1991. Thin Film Process II, Edited by J.<br />

L. Vossen Sputtering and W. Kern, Academic Press.<br />

Inc, PP 177.<br />

No Name,. (2005), “Nanosurf easyScan 2 Manual<br />

Instruction.” Switzerland, PROD.: BT02088, V1.<br />

3R1.<br />

E.M.T. Velu & D.N. Lambeth. 1991. CoSm based<br />

high coercivity thin films for longitudinal recording.<br />

J.Appl. Phys 69, 5175.<br />

C37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Karakterisasi Mikrostruktur FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 Distabilisasi MgO<br />

Hasil Infiltrasi Berulang<br />

Eva Weddakarti 1 , Khusnul Umaroh 2 , Suminar Pratapa 3<br />

1,2,3 Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Institut Teknologi Sepuluh Nopember.<br />

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111<br />

Email : eva_wedda@physics.its.ac.id<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan karakterisasi struktur mikro functionally-graded materials (FGMs) α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO<br />

menggunakan SEM dan EDX. FGMs disintesis dari serbuk α-Al 2 O 3 sebagai prakeramik dengan MgO (0 wt%, 2<br />

wt%, 5 wt%) sebagai penstabil yang kemudian diprasinter pada suhu 1000°C selama 1 jam. Prakeramik yang<br />

telah diprasinter tersebut diinfiltrasi menggunakan larutan TiCl 3 (15%, komersial) dengan pengulangan sebanyak<br />

tiga kali. Prakeramik terinfiltrasi kemudian disinter pada suhu 1450°C selama 3 jam untuk membentuk fasa<br />

Al 2 TiO 5 dan pemadatan keramik. Analisis dari hasil foto SEM secara umum menunjukkan bahwa jumlah<br />

Al 2 TiO 5 menurun berdasarkan kedalaman dan mengandung intragranular microcracks pada butir-butirnya.<br />

Sedangkan hasil pengamatan dengan EDX menunjukkan bahwa jumlah Al meningkat berdasarkan kedalaman<br />

dan sebaliknya jumlah Ti menurun terhadap kedalaman. Hasil tersebut sesuai dengan analisis data difraksi sinar-<br />

X yang telah dilakukan sebelumnya.<br />

Kata kunci : mikrostruktur, SEM, EDX, FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO.<br />

PENDAHULUAN<br />

Keramik memiliki karakteristik kapasitas<br />

panas yang baik, konduktivitas panas yang rendah,<br />

tahan korosi. Sifat kelistrikan dari keramik adalah<br />

insulator, semikonduktor, konduktor bahkan<br />

superkonduktor. Sedangkan sifat mekaniknya dapat<br />

keras dan kuat, namun rapuh yang<br />

memungkinkannya digunakan untuk berbagai<br />

aplikasi (Ismunandar, 2009). Perkembangan keramik<br />

tidak berhenti, karena kebutuhan yang spesifik,<br />

seperti ketahanan panas, sifat mekanik yang lebih<br />

baik, sifat listrik yang spesifik (Suasmoro, 2000).<br />

Salah satu keramik yang memiliki sifat khas<br />

mulai dikembangkan oleh para ilmuwan Jepang<br />

pada tahun 1984 yakni FGMs (Functionally Graded<br />

Materials). FGMs adalah material rekayasa yang<br />

tidak homogen pada mikrostruktur dan sifat.<br />

Melainkan bahan komposit yang terdiri dari dua<br />

komponen komposit dan memiliki perubahan<br />

komposisi secara gradual dari satu komponen ke<br />

komponen yang lainnya (Ruys, 2002).<br />

Pengembangan ini memiliki tujuan untuk membuat<br />

bahan komposit keramik yang lebih aplikatif.<br />

Ada beberapa metode yang biasanya<br />

digunakan dalam pembuatan FGMs salah satunya<br />

adalah metode infiltrasi. Teknik infiltrasi ini<br />

bertujuan untuk memadatkan bahan keramik<br />

berporous dengan cara mengisi pori-pori bahan<br />

tersebut dengan prekursor cair melalui proses<br />

pencelupan. Fasa baru akan terbentuk apabila bahan<br />

keramik yang telah diinfiltrasi dengan prekursor<br />

tersebut dipanaskan pada suhu tinggi, dan akan<br />

menghasilkan material dengan perubahan sifat antar<br />

bagiannya terjadi secara gradual. Dengan<br />

kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik<br />

yang berubah terhadap kedalaman, misalnya<br />

kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low,<br />

1998).<br />

Aluminium titanat (Al 2 TiO 5 atau AT)<br />

memiliki sifat, ketahanan terhadap kejut termal yang<br />

baik dan koefisien termal yang rendah yang<br />

menyebabkan terjadinya solid solution dengan MgO,<br />

SiO 2 dan ZrO 3 pada kisi AT atau grain boundary<br />

solution setelah electrofusion. Tetapi, AT memiliki<br />

kekuatan mekanik yang rendah dikarenakan<br />

microcracks yang disebabkan tingginya anisotropi<br />

dari koefisien ekspansi termal yaitu,−3.0, +11.8 dan<br />

+21.8×10−6/K untuk ketiga sumbu kristalografinya<br />

(Shobhani, 2008 dan Kim, 2000 dan Buscaglia,<br />

1996).<br />

AT memiliki crack pada batas butir dan<br />

merupakan fenomena yang mudah dikenali dalam<br />

bahan polikristalin rapuh yang menunjukkan<br />

perilaku anisotropi ekspansi termal. Microcracks<br />

yang dimiliki AT dapat memberikan efek yang besar<br />

pada sifat dari AT berbasis keramik seperti modulus<br />

elastisitas, kekuatan mekanis, konduktivitas termal,<br />

ekspansi termal dan ketahanan kejut termal<br />

(Wohlfromm, 1991).<br />

Tulisan ini melaporkan hasil karakterisasi<br />

mikrostuktur dari FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO<br />

dengan konsentrasi MgO sebesar 0 wt%, 2 wt%<br />

dan5 wt% menggunakan SEM dan EDX.<br />

C38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

METODE PENELITIAN<br />

FGMs α-Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5 -MgO telah disintesis<br />

oleh Umaroh (2009) dengan AT sebagai matrik dan<br />

MgO sebagai penstabil. Sintesis dilakukan dengan<br />

menggunakan serbuk korundum (α-Al 2 O 3 atau A)<br />

sebagai prakeramik dan serbuk MgO dengan<br />

komposisi berat 0%, 2% dan 5% serta larutan TiCl 3<br />

sebagai prekursor. Infiltrasi prakeramik dilakukan<br />

sebanyak tiga kali pengulangan, sebelum sinter<br />

pada suhu 1450 o C selama 3 jam. Penelitian tersebut<br />

menunjukkan secara umum bahwa kandungan AT<br />

menurun berdasarkan kedalaman, dan sebaliknya<br />

kandungan korundum meningkat. Secara umum<br />

dapat disimpulkan infiltrasi berulang dapat<br />

meningkatkan kandungan AT, dengan penambahan<br />

MgO dapat mengurangi pembentukan AT, dan<br />

dengan jumlah MgO yang banyak dapat<br />

menghasilkan kandungan spinel yang lebih banyak<br />

pula. Kemudian dari uji dekomposisi menunjukkan<br />

dengan penambahan MgO pada FGMs A/AT-MgO<br />

dengan komposisi berat 2% dan 5% membuktikan<br />

proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari<br />

hasil yang telah diperoleh penambahan 2% MgO<br />

lebih efesien dalam mereduksi dekomposisi termal<br />

dibandingkan dengan penambahan 5% MgO.<br />

Namun, karakter mikrostruktur dari material FGMs<br />

A/AT-MgO ini belum terungkap. Untuk itulah<br />

penelitian ini diusulkan, untuk mengungkap karakter<br />

mikrostruktur maka akan dilakukan uji SEM dan<br />

EDX.<br />

Uji mikrostruktur bertujuan untuk mengetahui<br />

struktur mikro bahan. Uji ini dilakukan<br />

menggunakan Scanning Electron Microscope tipe<br />

JSM-6360 LA di Pusat Penelitian dan<br />

Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) Bandung.<br />

Pengambilan foto dan data EDX dilakukan pada<br />

kedalaman 0-0,5 mm, untuk masing-masing bahan.<br />

Foto yang didapat akan dianalisis untuk<br />

mendapatkan ungkapan mengenai struktur mikro<br />

dari bahan. Data EDX dianalisis untuk mendapatkan<br />

ungkapan mengenai komposisi atomik pada tiap<br />

kedalaman yang dikehendaki dari bahan. Daerah<br />

akusisi data EDX dilakukan pada kedalaman yang<br />

disesuaikan dengan pengukuran XRD.<br />

HASIL dan PEMBAHASAN<br />

Mikrostruktur dari FGMs A/AT-MgO<br />

dianalisis menggunakan SEM dan EDX. SEM dan<br />

EDX yang digunakan adalah Scanning Electron<br />

Microscope tipe JSM-6360 LA di Pusat Penelitian<br />

dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)<br />

Bandung. Foto SEM dan EDX diambil pada<br />

berbagai variasi kedalaman sampel (0,0-0,4 mm)<br />

guna mengetahui mikrosruktur pada berbagai variasi<br />

kedalaman.<br />

Gambar 1 menunjukkan hasil foto SEM pada<br />

berbagai variasi kedalaman dan variasi komposisi<br />

MgO. Foto SEM tersebut menunjukkan bahwa telah<br />

terbentuk strukur AT pada FGMs A/AT-MgO hasil<br />

sintesis dengan infiltrasi berulang. Gambar 1a adalah<br />

mikrosruktur dari FGMs A/AT-MgO 0% MgO pada<br />

kedalaman 0,0 mm yang mengandung A dan AT.<br />

Kandungan A dan AT juga terdapat pada FGMs<br />

A/AT-MgO 2% MgO, gambar 1b dan 1c yang<br />

merupakan mikrosruktur dari FGMs A/AT-MgO 2%<br />

MgO pada kedalaman 0,0 dan 0,1 mm yang<br />

mengandung A dan AT dan terdapat solid solution<br />

Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 . Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO<br />

5% MgO ditunjukkan oleh gambar 1.d yang terdapat<br />

kandungan A, AT dan juga terbetuknya spinel.<br />

Gambar 2 menjukkan fenomena intragranular<br />

mikrocracks. Intragranular mikrocracks adalah<br />

mikrocracks yang terbentuk di antara butir.<br />

Intragranular mikrocracks pada butir AT<br />

merupakan salah satu ciri mikrostruktur dari AT.<br />

(Wohlfromm, 1991).<br />

Gambar. 1 Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO<br />

a. MgO 0 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />

b. MgO 2 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />

c. MgO 2 wt% pada kedalaman 0,1 mm<br />

d. MgO 5 wt% pada kedalaman 0,0 mm<br />

a<br />

c<br />

Intragranular<br />

microcracks<br />

Gambar 2. Mikrostruktur FGMs A/AT-MgO yang menunjukkan<br />

intragranular mickrocracks.<br />

Dari hasil EDX diperoleh kandungan FGMs<br />

A/AT-MgO pada berbagai konsentrasi MgO dan<br />

berbagai variasi kedalaman. Dan hasil EDX ini<br />

digunakan untuk menkonfirmasi fraksi berat relative<br />

hasil perhitungan yang memanfaatkan parameter<br />

keluaran dari analisis data XRD yang telah<br />

dilakukan sebelumnya.<br />

Gambar 3 menunjukkan grafik fraksi berat<br />

relatif (%) unsur-unsur pada FGMs A/AT-MgO<br />

dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman<br />

0,0-0,4 mm dari unsur Al dan Ti yang merupakan<br />

data dari hasil EDX. Kandungan Al pada permukaan<br />

b<br />

d<br />

C39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

adalah 40,2 % dan meningkat secara gradual<br />

menjadi 49,3% pada kedalaman 0,4 mm. sebaliknya<br />

kandungan Ti menurun secara gradual berdasarkan<br />

kedalaman dari 5,5% pada permukaan dan 2,6%<br />

pada kedalaman 0,4 mm. Gambar 4 merupakan<br />

grafik hasil EDX dari FGMs A/AT-MgO dengan<br />

komposisi berat 2% MgO yang menunjukkan bahwa<br />

kandungan Al pada permukaan adalah 33,5 % dan<br />

meningkat secara gradual menjadi 44,5% pada<br />

kedalaman 0,4 mm. Sebaliknya kandungan Ti<br />

menurun secara gradual berdasarkan kedalaman dari<br />

16,3% pada permukaan dan 5,3% pada kedalamn 0,4<br />

mm. Untuk kandungan Mg dari percampuran jumlah<br />

MgO 2 wt% nilainya tidak sama pada setiap<br />

kedalaman yakni berkisar antara 1,3 % pada<br />

permukaan sampai dengan 1,6% pada kedalaman 0,3<br />

mm, dengan kata lain terjadi percampuran yang<br />

tidak homogen. Gambar 5 merupakan grafik hasil<br />

EDX dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />

berat 5% MgO menunjukkan kandungan Al pada<br />

permukaan adalah 33,8% dan meningkat secara<br />

gradual menjadi 45,3% pada kedalaman 0,4 mm.<br />

Sebaliknya kandungan Ti menurun secara gradual<br />

berdasarkan kedalaman dari 10,7 % pada permukaan<br />

dan 4.4% pada kedalamn 0,4 mm. Untuk kandungan<br />

Mg dari percampuran jumlah MgO 5% nilainya<br />

tidak sama pada setiap kedalaman yakni berkisar<br />

antara 2,2% pada kedalaman 0,2 mm sampai<br />

dengan 2,5 % pada kedalaman 0,3 mm , dengan kata<br />

lain terjadi percampuran yang tidak homogen dan<br />

hilangnya kandungan MgO.<br />

Massa (%)<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Grafik 2% MgO (EDX)<br />

0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />

Kedalaman<br />

Gambar 4. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />

kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />

berat 2% MgO.<br />

Massa (%)<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Grafik 5% MgO (EDX)<br />

0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />

Kedalaman<br />

Gambar 5. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />

kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />

berat 5% MgO.<br />

Mg<br />

Al<br />

Ti<br />

Mg<br />

Al<br />

Ti<br />

Massa (%)<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Grafik 0% MgO (EDX)<br />

0 mm 0,1 mm 0,2 mm 0,3 mm 0,4 mm<br />

Kedalaman<br />

Gambar 3. Grafik fraksi berat relatif (%) unsur pada variasi<br />

kedalaman dari FGMs A/AT-MgO dengan komposisi<br />

berat 0% MgO.<br />

AL<br />

Ti<br />

Hasil analisis EDX yang diperoleh sesuai<br />

dengan perhitungan dari data XRD yang telah<br />

dilakukan sebelumnya oleh Umaroh (2009) , bahwa<br />

pada FGMs dengan komposisi MgO 0 wt%, 2 wt%,<br />

5wt% kandungan A meningkat secara gradual<br />

berdasarkan kedalaman, tetapi sebaliknya AT<br />

menurun. Selain itu pada komposisi MgO 2 wt% dan<br />

5 wt% ditemukan fasa spinel hasil reaksi antara A<br />

dan Mg dari MgO yang jumlahnya meningkat secara<br />

gradual berdasarkan kedalaman.<br />

Hasil pengamatan mikrostruktur<br />

menunjukkan AT telah terbentuk dengan suhu sinter<br />

1450°C sesuai dengan penelitian yang telah<br />

dilakukan Low dan Oo (2008). Hasil mikrostruktur<br />

FGMs A/AT-MgO juga menunjukkan kegradualan<br />

komposisi yang berubah berdasarkan kedalaman.<br />

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan<br />

Pratapa (1998), yang menggunakan korundum<br />

(90%wt), TiCl 4 (30%wt) sebagai cairan infiltrasi dan<br />

m-zirkonia sebagai penstabil AT. Dari hasil sintesis<br />

tersebut didapatkan bahwa kandungan AT menurun<br />

secara gradual terhadap kedalaman, sebaliknya A<br />

semakin meningkat berdasar kedalaman. Pada hasil<br />

mikrostuktur FGMs A/AT-MgO didapat foto SEM<br />

C40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

yang menunjukkan adanya intragranular<br />

mikrocracks yang terdapat pada AT, hal ini juga<br />

terlihat pada penelitian yang dilakukan Wohlfromm<br />

(1991). Menurut Kim (2000), microcracks<br />

disebabkan tingginya anisotropi dari koefisien<br />

ekspansi termal sepanjang sudut kristalografi.<br />

KESIMPULAN<br />

FGMs A/AT-MgO dengan variasi komposisi<br />

MgO 0, 2, 5 wt%, memiliki karakteristik<br />

mikrostruktur yang menunjukkan komposisi<br />

kegradualan dengan jumlah AT yang menurun<br />

secara gradual menurut kedalaman sedangkan<br />

jumlah A yang meningkat secara gradual menurut<br />

kedalaman, hal tersebut sesuai dengan analisis data<br />

XRD yang telah dilakukan sebelumnya.<br />

Intragranular mikrocracks pada AT juga terlihat<br />

dari hasil foto mikrostuktur yang menunjukkan<br />

tingginya anisotropi dari koefisien ekspansi termal<br />

sepanjang sudut kristalografi.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Kami mengucapkan terima kasih kepada<br />

DP2M Dikti yang memberikan bantuan financial<br />

melalui Hibah Pasca Sarjana 2009/2010 atas nama<br />

SP.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Buessem, W.R., Thielke, N.R. dan Sarakauskas, R.V<br />

(1952), Thermal Expansion Hysteresis of<br />

Aluminium Titanate, Ceramic Age Vol. 60,<br />

38.<br />

Buscaglia, V, G. Battilana, M. Leoni and P. Nanni<br />

(1996),J. Mater. Sci. 31. 5009-5016.<br />

Djambazov, S., Lepkova, D. dan Ivanov, I (1994), A<br />

Study of the Stabilization of Aluminum<br />

Titanate, Jurnal of Material Science, Vol 29,<br />

2521-2525.<br />

Gusmahansyah, R (2008), Sintesis Bahan Ubahan<br />

Gradual Spinel-MgO dan Spinel–α–Al 2 O 3<br />

dengan Metode Infiltrasi ,Tesis, Jurusan<br />

<strong>Fisika</strong> FMIPA ITS, Surabaya.<br />

Hirai, T (1996). Functional Gradient Materials.<br />

Processing of Ceramics, (part 2), (ed. Brook<br />

R.J). 293-341.<br />

Ishitsuka, M., Sato, T., Endo, T. dan Shimada, M<br />

(1987), Syntesis and Thermal Stability of<br />

Aluminium Titanate Solid Solutions, J. Am.<br />

Ceramic Soc, Vol 2, 69-71.<br />

Ismunandar (2008), Artikel-Artikel Populer<br />

Keramik. Kimia@net<br />

Kim. I J (2000), Thermal Shock Resistance and<br />

Thermal Expansion Behavior of Al 2 TiO 5<br />

Ceramics Prepared from Electrofused<br />

Powders. Journal of Ceramic Processing<br />

Research. Vol 1, No.1, 57-63.<br />

Li, ji Guang dan Sun Xudong (2000), Syntesis and<br />

Sintering Behavior of A Nanocrystalline α-<br />

Alumina Powder. Acta mater, 48.<br />

Low, I.M. (2008), Reformation of Phase<br />

Composition in Decomposed Aluminium<br />

Titanate, Materials Chemistry and physics,<br />

vol 111, l 9-12.<br />

Marple BR dan Green DJ. (1989), Mullite/Alumina<br />

Particulate Composites by Infiltration<br />

Processing, J.Am. Cera. Soc, 72, 2043-2048.<br />

Ohya, Y. dan Nakagama, Z (1987), Grain-Boundary<br />

Microcracking due to Thermal Expansion<br />

Anisotropy in Aluminum Titanate Ceramics,<br />

J. Am. Ceramic. Soc., Vol 70, C-184-C-186.<br />

Pratapa, S. (1997), Syntesis and character of a<br />

functionally-graded<br />

aluminium<br />

titanate/ziconia alumina composite, M.Sc.<br />

Thesis, Curtin University of Technology,<br />

Australia<br />

Pratapa, S., Low, I.M. dan O’Connor, B.H. (1998),<br />

Infiltration-Processed, Functionally Graded<br />

Aluminium Titanate/Zirkonia-Alumina<br />

composite, Journal of Material Science, Vol<br />

33, 3037-3045.<br />

Ruys, A dan Sun,D. (2008), Functionally Graded<br />

Materials(FGM) and their product<br />

methods.Azom.com.<br />

Shobani, M., Rezaie, H.R. dan Naghizadeh, R.<br />

(2008), Sol-gel Syntesis of Aluminium<br />

Titanate (Al 2 TiO 5 ) Nano-particles, Journal of<br />

Materials Processing Technology, vol.206,<br />

282-285.<br />

Smallman, R.E, R.J. Bishop. (1999), Metalurgi Fisik<br />

Modern dan Rekayasa Material. Erlangga,<br />

Jakarta.<br />

Suasmoro. (2000), <strong>Fisika</strong> Keramik. Jurusan <strong>Fisika</strong><br />

FMIPA ITS, Surabaya.<br />

Surdia, T, dkk. (1999), Pengetahuan Bahan Teknik.<br />

PT Pradnya Paramita. Jakarta.<br />

Tu.Wen Chiang dan Fred F L. (1995), Liquid<br />

Precursor Infiltration Processing of Powder<br />

Compacts: I Kinetic Studies and<br />

Microstucture Development. Journal of The<br />

American Ceramic Society. Vol 78. 12.<br />

Umaroh, K.(2009), In-depth Phase Composition<br />

Profile of Functionally Graded alpha--<br />

Al 2 O 3 /MgO-Al 2 TiO 5 , Journal International<br />

Conference on Materials and Metallurgical<br />

Technology (ICOMMET 2009), IM-9, 33.<br />

Umaroh, K.(2009), Sintesis FGMs α- Al 2 O 3 /Al 2 TiO 5<br />

Distabilisasi MgO dengan Metode Infiltrasi<br />

Berulang, Tesis, Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA, ITS.<br />

Zaharaescu, M., Crisan, M., Preda, M., Fruth, V. dan<br />

Preda, V. (2003), Al 2 TiO 5 –Based Ceramic<br />

Obtained by Hydrothermal Process, Journal<br />

of Optoelectronics and Advanced Materials,<br />

Vol 5, 1411-1416.<br />

Wohlfromm,H, Thierry E, Pilar P, Jose S.M,dan<br />

Gareth T. (1991). Microstuctural<br />

Characterization of Aluminium Titanatebased<br />

Composite Materials. Journal of the<br />

European ceramic society, 385-396<br />

C41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Penentuan Energi Gap n-Germanium Intrinsik<br />

Hasil Pengukuran Tegangan Hall Terhadap Suhu<br />

Jan Ady<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />

Kampus C, Jl. Mulyorejo Surabaya (60115)<br />

Jan_ady@yahoo.com<br />

Abstract<br />

Conductivity of intrinsic semiconductor is strongly depending on the band gap. The only available carriers for<br />

conduction are the electrons which have enough thermal energy to be exited across the band gap. In this study,<br />

measure the Hall voltage U H as function of temperature T at uniform magnetic flux density B, and plot readings<br />

on a graph. Hall effect on rectangular specimen in dimension (20 mm x 10 mm x 1mm) and use constant electric<br />

current in 30 mA. Band gap of semiconductors tends to decrease with increasing temperature [1] . Temperature<br />

increases, the amplitude of atomic vibrations increase with leading to larger intra-atomic spacing and here, the<br />

result to band gap’s have been founded by fitted of data’s n- Germanium both of theory and attempts is about<br />

0.3963 eV and the reference are about 0.55 eV and 0.67 eV (especially to 300 K).<br />

Key Words; Hall Effect, n-germanium, intrinsic,band gap<br />

PENDAHULUAN<br />

Energi gap semikonduktor cenderung<br />

berkurang dengan meningkatnya temperature [1,2] .<br />

Ketika temperature meningkat, amplitude<br />

gelombang dari vibrasi atomiknya akan meningkat.<br />

Fenomena ini secara kuantitatif diperlihatkan oleh<br />

persamaan (1).<br />

E<br />

g<br />

= E<br />

g<br />

2<br />

αT<br />

0 −<br />

(1)<br />

T + β<br />

( )<br />

Dimana E g , α , dan β merupakan tetapan<br />

kualitatif semikonduktor. Hal lainnya, energi gap<br />

semikonduktor dapat pula ditentukan dari ratio<br />

dalam kaitannya dengan teori yang dikemukakan<br />

⎛ ΔE<br />

⎞<br />

oleh Boltzmann yaitu ∝exp ⎜ ⎟ [3] . Kondisi ini<br />

⎝ kT ⎠<br />

secara eksplisit dijabarkan dalam persamaan (2) dan<br />

direpresentasikan sebagai hubungan antara<br />

konduktivitas listrik σ dengan temperature absolut<br />

T.<br />

E g<br />

⎛ ⎞<br />

σ = σ 0<br />

exp<br />

⎜ −<br />

⎟<br />

(2)<br />

⎝ 2kT<br />

⎠<br />

Dengan k menyatakan tetapan boltzmann.<br />

Eksperimen untuk penentuan energi gap<br />

semikonduktor intrinsik tipe-n dilakukan menurut<br />

deskripsi yang diperlihatkan oleh Gambar 1 [3,4] .<br />

A<br />

d<br />

S<br />

+ -<br />

U<br />

B<br />

Gambar 1. Efek Hall pada plat konduktor. Polaritas tegangan Hall<br />

Diindikasi untuk pembawa muatan listrik negatif<br />

Penomena ini menjelaskan tentang gaya<br />

lorentz F yang dihasilkan oleh efek fluks magnetik B<br />

dari adanya laju electron v<br />

[3,5] . Sebagaimana<br />

dinyatakan dalam persamaan (3) di bawah ini.<br />

v v<br />

F = e<br />

(3)<br />

v<br />

( vxB)<br />

U H<br />

+<br />

-<br />

V<br />

e adalah muatan listrik elementer.<br />

Dalam hal ini, jikalau arah arus listrik dan<br />

fuks medan magnet diketahui maka tegangan Hall<br />

dapat memiliki nilai yang negatif atau positif. Oleh<br />

karena itu percobaan ini akan mengukur nilai<br />

tegangan Hall sebagai fungsi dari temperatur absolut<br />

yang akan di plot pada kurva. Adapun spesifikasi<br />

sampel dalam uji ini adalan semikonduktor n-<br />

germanium intrinsik yang memiliki dimensi volum<br />

20 mm x 10 mm x 1 mm dan diletakkan pada modul<br />

Hall tipe -11801 00 [6] dalam skema seperti Gambar<br />

1.<br />

C42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

METODE PENELITIAN<br />

Dalam uji ini sampel n-germanium intrinsic<br />

(20 mm x 10 mm x 1 mm )yang diset seperti pada<br />

Gambar 1. Kemudian pengukuran tegangan Hall<br />

dilakukan terhadap temperature sampel dengan<br />

variasi 27 0 C sampai dengan 160 0 C dan dilakukan<br />

pada keadaan fluks magnet B dan kuat arus listrik<br />

sampel I konstan; 300 mT dan 30 mA. Penelitian ini<br />

dilakukan di laboratorium fisika material Fakultas<br />

Sains dan Teknologi <strong>Unair</strong>. Data yang diperoleh<br />

berupa hubungan non linier di antara tegangan Hall<br />

dan temperatur sampel.<br />

HASIL DAN BAHASAN<br />

Hasil plot data dalam kuva seperti pada<br />

Gambar 2. adalah hasil eksperimen tegangan Hall<br />

terhadap temperatur sampel dalam kisaran 27 0 C<br />

sampai dengan 160 0 C. Sementara itu, Gambar 3.<br />

merepresentasikan data-data hasil pengukuran<br />

konduktivitas listrik sampel n-germanium dalam<br />

hubungan terhadapat reciprocal temperature sampel.<br />

UH(Volt)<br />

22<br />

20<br />

18<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

n-Germanium<br />

I=30 mA<br />

d=1 mm<br />

Eksp<br />

2<br />

300 320 340 360 380 400 420 440<br />

t (Celcius)<br />

Gambar 2. Data-data hasil pengukuran tegangan Hall<br />

terhadap temperature sampel T<br />

Kemudian hasil perhitngan dilakukan<br />

terhadap data-data dalam Gambar 3. dengan<br />

menggunakan rumusan (2). Hasil perhitungan telah<br />

dilakukan dan diperoleh hasil yang merefleksikan<br />

sifat fisis sampel n-germanium intrinsik yaitu pada<br />

nilai energi gap-nya. Energi gap dari hasil penelitian<br />

ini adalah 0.3963 eV dan nilai Eg menurut referensi<br />

[6] adalah 0.55 eV. Sedangkan pada temperatur 300<br />

K, energi gap sampel n-germanium intrinsik<br />

menurut referensi [7] adalah 0.67 eV. Plot kurva<br />

konduktivitas listrik terhadapa reciprokal<br />

temperature absolut sampel ini dinyatakan dalam<br />

Gambar 4.<br />

U H<br />

zigma(1/Ohm)<br />

zigma(1/Ohm.m)<br />

Eks<br />

4<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

n-Germanium<br />

I=30 mA<br />

d=1 mm<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4<br />

4.5 x 10-4 1/T(1/K)<br />

x 10 -3<br />

Gambar 3. Data-data hasil pengukuran konduktivitas<br />

listrikσ terhadap 1/ temperature sampel (1/K)<br />

Eksp<br />

4<br />

Teori<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

n-Germanium<br />

I=30 mA<br />

d=1 mm<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4<br />

4.5 x 10-4 1/T(1/K)<br />

x 10 -3<br />

Gambar 4. Data-data hasil eksperimen (eks) dan perhitungan (fitt)<br />

nilai konduktivitas listrikσ terhadap 1/ temperature sampel (1/K)<br />

KESIMPULAN<br />

Hasil perhitungan dan eksperimen penentuan<br />

energi gap Eg sampel n-germanium telah diperoleh<br />

dan memperlihatkan hasil yang sesuai yaitu 0,39 eV<br />

dengan hasil yang diperoleh oleh Ben G. et. al [7]<br />

yaitu 0,55 eV dan pada temperatur 300 K atau<br />

temperatu kamar adalah 0.67 eV. Hasil ini juga<br />

merefleksikan eksperimen yang sesuai dengan<br />

beberapa peneliti yang lain, seperti yang telah<br />

dilakukan oleh Ben G. et. al. Selain itu energi gap<br />

semikonduktor cenderung berkurang dengan<br />

meningkatnya temperature [1,2] .<br />

C43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

REFERENSI<br />

[1] Hilmi, Unlu. A. Thermodynamic Model for<br />

Determining Pressure and Temperatur Effects<br />

on the Band Gap Energies and other<br />

Properties of some Semiconductors. Solid<br />

State Electronics, Vol 35:9, 1343-1352.<br />

Pergamon Press Ltd, 1992.<br />

[2] Robert et. All 10 dalam Intrinsic Conductivity<br />

of Germanium Carrier Board; Phywe System<br />

GmbH & Co. KG (2008).<br />

[3] Marder, M.P, Condensed Matter<br />

Physics,(Corrected Pinting, pp. 413, John<br />

Willey and Son., Inc.USA 2000).<br />

[4] Linxia Ma, Qinli zhao, dan Chi Chen, dalam<br />

Hole in Hall Effect ; Lat. Am. J. Phys. Educ.<br />

1-3 (2009).<br />

[5] Kittel, C., Introduction to Solid State Physics,<br />

(7 th edition, John Willey and Son, Inc.,USA p.<br />

206, 1995).<br />

[6] J. Wu, W. Walukiewicz, H. Lu, W. Schaff, et.<br />

al.; Unusual Properties of the Fundamental<br />

Bandgap of InN; Appl. Phys. Lett., 80, 3967<br />

(2002).<br />

[7] Streetman, Ben G.; Sanjay Banerjee (2000).<br />

Solid State electronic Devices (5th edition<br />

ed.). New Jersey Prenties Hall pp. 524. ISBN<br />

0-13-025538-6.<br />

C44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Doping Proton Cu 2+ Dan Fe 3+ pada Sintesis Room Temperature<br />

Interface Polianilin dan Karakterisasi Dielektrisnya<br />

Markus Diantoro<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Negeri Malang<br />

Email: m_diantoro@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Teknologi rekayasa material yang berkembang pesat akhir-akhir ini telah menemukan berbagai material yang<br />

mempunyai keunggulan tertentu. Salah satunya dengan ditemukannya polimer konduktif , telah membuktikan<br />

bahwa polimer yang selama ini dikenal sebagai bahan isolator listrik sekarang mempunyai sifat baru yang<br />

mampu menghantarkan arus listrik. Hal ini tentunya memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan<br />

teknologi, paduan sifat yang dimiliki polianilin (PANI) antara konduktif dan anti korosi memberikan peluang<br />

aplikasi yang luas. Sintesis PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ dilakukan dengan metode polimerisasi antarmuka<br />

(interfacial polymerization) sistem dua fasa organic-air (aqueous) dari monomer anilin dengan oksidan<br />

ammonium peroxydisulfat (NH 4 ) 2 S 2 O 8 , CuCl 2 , FeCl 3 dan HCl sebagai sumber doping proton. CuCl 2 dan FeCl 3<br />

pada proses polimerisasi Dapat terpecah menjadi Cu 2+ + 2Cl - dan Fe 3+ + 3Cl - . Cu 2+ dan Fe 3+ ini akan berikatan<br />

pada rantai PANI untuk menyumbangkan proton sehingga dapat meningkatkan konduktivitas PANI. Beberapa<br />

peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian serupa, namun belum dipaparkan secara detail pengaruh<br />

komposisi dari senyawa yang ditambahkan seperti CuCl 2 , AgCl 2 , NiCl 2 . Salah satu hasil dari penelitian tersebut<br />

menunjukkan peningkatan konduktifitas pada PANI-Ni menjadi 0,22 S cm –1 dari 0,13 S cm –1 . Pada penelitian ini<br />

Dari hasil analisis data diperoleh konstanta dielektrik PANI 1,45.10 5 pada PANI-Cu dengan konsentrasi CuCl 2<br />

yang ditambahakan pada polianilin 1,25%, 2 % dan 2,75% berturut-turut memiliki konstanta dielektrik sebesar<br />

1,07.10 5 , 8,80.10 4 , dan 8,56.10 4 . Sedangkan konstanta dilektrik PANI-Fe berturut-turut dari pencampuran<br />

konsentrasi FeCl 3 1,25%, 2%, dan 2,75% adalah 1,19 10 5 , 9,07 10 4 dan 8,43 10 4 . Berdasarkan Hasil Difraksi<br />

sinar-X memperlihatkan adanya beberapa puncak yang tajam sehingga dapat disimpulkan bahwa PANI, PANi-<br />

Cu 2+ dan PANi-Fe 3+ bersifat kristal.<br />

Kata kunci: Polianilin, CuCl2, FeCl3, Polimer Konduktif, Polimerisasi Interface, Dielektrisitas, XRD.<br />

PENDAHULUAN<br />

Teknologi rekayasa material yang<br />

berkembang pesat akhir-akhir ini telah menemukan<br />

berbagai material yang mempunyai keunggulan<br />

tertentu. Salah satunya dengan ditemukannya<br />

polimer konduktif telah membuktikan bahwa<br />

Polimer yang selama ini dikenal sebagai bahan<br />

isolator listrik sekarang mempunyai sifat baru yang<br />

mampu menghantarkan arus listrik. Hantaran listrik<br />

terjadi karena ada elektron ikatan terdelokalisasi,<br />

yang mempunyai struktur pita seperti silikon.<br />

Polimer konduktif kebanyakan semikonduktor,<br />

karena struktur pita mirip silikon. Tapi ada beberapa<br />

polimer yang mempunyai gap pita kosong sehingga<br />

bersifat seperti logam yang mempunyai<br />

konduktifitas. Polimer konduktif tersebut salah<br />

satunya adalah polianilin (PANI). Santhala (2007)<br />

menegaskan bahwa sifat-sifat yang dimiliki<br />

polianilin diantaranya sifat kimia,listrik dan optik<br />

menjadikan polianilin masuk ke dalam kelas baru<br />

yang unik. Hal ini tentunya menjadikan polimer<br />

memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan<br />

konduktif sehingga memungkinkan aplikasi yang<br />

luas dalam pekembangan teknologi, seperti pada<br />

baterai, peralatan elektrokromik, diode emisi cahaya<br />

dan berbagai sensor (termasuk sensor kimia dan<br />

biosensor).<br />

Berdasarkan tingkat oksidasinya, polianilin<br />

dapat disintesis dalam beberapa bentuk isolatifnya<br />

yaitu leucomeraldine base (LB) yang tereduksi<br />

penuh, emeraldine base (EB) yang teroksidasi<br />

setengah dan pernigraniline base (PB) yang<br />

teroksidasi penuh. Dari tiga bentuk ini, EB yang<br />

paling stabil dan juga paling luas diteliti karena<br />

konduktivitasnya dapat diatur dari 10 -10 S/cm hingga<br />

100 S/cm melalui doping, sedangkan bentuk LB dan<br />

PB tidak dapat dibuat konduktif. Bentuk EB dapat<br />

dibuat konduktif dengan doping asam protonik<br />

seperti HCl, dimana proton-proton ditambahkan ke<br />

situs-situs –N=, sementara jumlah elektron pada<br />

rantai tetap. Bentuk konduktif dari EB disebut<br />

emeraldine salt (ES). Bentuk dasar EB berubah<br />

menjadi ES melalui reaksi oksidasi dengan asamasam<br />

protonik seperti HCl, sebaliknya bentuk ES<br />

dapat dikembalikan menjadi bentuk EB melalui<br />

reaksi reduksi dengan agen reduktan seperti NH 4 OH,<br />

seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Kedua proses<br />

ini disebut juga proses protonasi-deprotonasi atau<br />

doping-dedoping. Kedua bentuk emeraldine<br />

memiliki sifat listrik yang berkebalikan, EB yang<br />

isolatif dan ES yang konduktif atau semikonduktif.<br />

C45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sifat optiknya juga berbeda untuk kedua bentuk<br />

emeraldine, yaitu EB berwarna biru sedangkan ES<br />

berwarna hijau sehingga karakteristik absorpsi<br />

optiknya berbeda<br />

Gambar 1: Reaksi protonasi-deprotonasi PANI<br />

Akhir-akhir ini banyak dilakukan penelitian<br />

dengan mencampurkan senyawa logam seperti<br />

NiCl 2 , AgCl 2 dan CuCl 2 pada sintesis PANI, namun<br />

dalam laporan tersebut belum dilaporkan secara<br />

detail pengaruh dari komposisi senyawa logam<br />

terhadap perubahan sifat elektriknya. Salah satu<br />

diantaranya adalah Y. Tan (2009) melaporkan<br />

pencampuran senyawa logam NiCl 2 pada sintesis<br />

PANI berpengaruh pada nilai konduktifitasnya yaitu<br />

sebesar 0.22 S cm –1 dan PANI 0.13 S cm –1 .<br />

Berdasarkan penelitian tersebut dapat dibuktikan<br />

bahwa penambahan senyawa logam yang konduktif<br />

dapat berpengaruh pada peningkatan konduktifitasnya.<br />

Berdasarkan pada referensi tersebut, maka pada<br />

penelitian ini digunakan doping senyawa logam<br />

CuCl 2 dan FeCl 3 yang berperan sebagai doping<br />

proton Cu 2+ dan Fe 3+ dengan harapan mampu<br />

meningkatkan konduktifitas PANI.<br />

EKSPERIMEN<br />

Bahan-bahan<br />

Polimerisasi polianilin (PANI) dilakukan secara<br />

kimia. Bahan-bahan yang digunakan adalah<br />

Anilin (C 6 H 5 NH 2 ), Ammonium peroksidisulfat<br />

(NH 4 ) 2 S 2 O 8 , Asam klorida (HCl ) 0,2 M, Copper<br />

Chloride (CuCl 2 ), Iron Chloride (FeCl 3 ), aquades<br />

dan Aceton.<br />

Proses polimerisasi interface<br />

Sintesis PANI dilakukan dengan polimerisasi<br />

interface pada suhu kamar. Dengan mengacu metode<br />

yang telah dikembangkan oleh beberapa kelompok<br />

peneliti. Langkah- langkah yang dilakukan<br />

dijelaskan berikut ini. Pertama dibuat dua larutan<br />

secara terpisah yaitu larutan HCl 0,2M (50 ml)<br />

dengan anilin (1,82 ml) sebagai fasa organik dan<br />

larutan aquades (50 ml) dengan ammonium<br />

peroksidisulfat (5,7 gr) sebagai fasa aqueos. Untuk<br />

masing-masing doping yaitu CuCl 2 dan FeCl 3<br />

ditambahkan pada larutan HCl-Anilin dengan<br />

konsentrasi yang bervariasi. Setelah kedua larutan<br />

tersebut didiamkan selama 1 jam, kemudian<br />

dicampurkan kedalam wadah kimia tanpa diaduk.<br />

Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat<br />

polimerisasi mulai berlangsung pada batas<br />

(interface) fasa organik dan fasa air. Proses ini<br />

dibiarkan selama 24 jam untuk memberikan waktu<br />

terjadi polimerisasi lengkap. Produk berupa endapan<br />

PANI-CuCl 2 dan PANI-FeCl 3 dikumpulkan dan<br />

dimurnikan melalui filtrasi, kemudian dibilas dengan<br />

HCl untuk memastikan bahwa produk yang<br />

terpentuk adalah PANI(ES)-Cu dan PANI(ES)-Fe<br />

dan aceton untuk mencuci residu dari (NH 4 ) 2 S 2 O 8.<br />

Karakterisasi<br />

Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji<br />

difraksi dengan menggunakan XRD (X-ray<br />

Diffraction) untuk melihat kristalinitas dan<br />

karakterisasi konstanta dielektris dengan metode<br />

kapsitansi listrik. Konstanta dielektris ditentukan<br />

melalui persamaan sebagai berikut:<br />

.......................................(1)<br />

.......................................(2)<br />

ɛ o = Permitivitas ruang hampa 8,85 pF/m<br />

A = Luas permukaan bahan (m)<br />

K=Konstanta dielektrik<br />

= Permitivitas bahan dielektrik<br />

C = kapasitansi (Farad)<br />

d = tebal bahan(m)<br />

HASIL EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN<br />

Proses Polimerisasi<br />

Proses polimerisasi terbentuk pada batas<br />

antaramuka (interface) antara fasa organik yang<br />

mengandung anilin dan fasa air. Saat kedua larutan<br />

anilin -HCl- CuCl 2 /FeCl 3 dan (NH 4 ) 2 S 2 O 8 -Aquades<br />

dicampurkan ke dalam satu wadah gelas kimia,<br />

kedua larutan terpisah karena berbeda fasa, larutan<br />

anilin- HCl- CuCl 2 /FeCl 3 berada dibawah dan<br />

larutan (NH 4 ) 2 S 2 O 8 -Aquades berada di sebelah atas.<br />

Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat<br />

berlangsung polimerisasi anilin pada batas kedua<br />

fasa larutan. Proses ini dibiarkan sepanjang malam<br />

untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi<br />

lengkap. Produk berupa endapan PANI- CuCl 2 /<br />

FeCl 3 berwarna hijau gelap terkumpul pada bagian<br />

bawah wadah. Adanya residu yang tersisa sangat<br />

mempengaruhi kualitas PANI-CuCl 2 /FeCl 3 yang<br />

dihasilkan. Oleh karena itu spesies yang tidak<br />

bereaksi harus dihilangkan untuk meningkatkan<br />

kualitas PANI yang disintesis. PANI yang terbentuk<br />

disintesis dengan HCl pada endapan untuk<br />

menghilangkan residu (NH 4 ) 2 S 2 O 8 yang tidak<br />

bereaksi. Sedangkan pencucian dengan aceton<br />

bertujuan untuk menghilangkan residu anilin yang<br />

tidak bereaksi. CuCl 2 dan FeCl 3 pada proses<br />

polimerisasi Dapat terpecah menjadi Cu 2+ + 2Cl - dan<br />

Fe 3+ + 3Cl - . Cu dan Fe ini akan berikatan pada<br />

rantai PANI untuk menyumbangkan proton<br />

C46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sehingga dapat meningkatkan konduktivitas PANI<br />

dan akan terbentuk PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ .<br />

Kristalografi PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+<br />

XRD yang digunakan untuk uji analisis<br />

struktur sampel pada penelitian ini menggunakan<br />

sumber radiasi (target) Cu-K α dengan panjang<br />

gelombang 1,5406 amstrong. Karakterisasi ini<br />

dilakukan untuk mengetahui kristalinitas sampel<br />

PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+ . Pola difraksi<br />

sampel PANI dan PANI Cu 2+ diperlihatkan pada<br />

gambar 3 dan 4 Dengan variasi konsentrasi doping<br />

CuCl 2 dan FeCl 3 yaitu 1,25%, 2% dan 2,75%.<br />

Prosentase CuCl 2 dan FeCl 3 diperoleh dari volume<br />

larutan Anilin-HCl (51,82 mL).<br />

Intencity<br />

Intencity<br />

Intencity<br />

200<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

80000<br />

60000<br />

40000<br />

20000<br />

0<br />

8000<br />

7000<br />

6000<br />

5000<br />

4000<br />

3000<br />

2000<br />

1000<br />

0<br />

-1000<br />

0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />

2-tetha<br />

Gambar 2: Hasil XRD Polianilin<br />

polianilin<br />

0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />

2 Theta<br />

Gambar 3:Hasil XRD polianilin-Cu<br />

PANI-Cu 1,25%<br />

PANI-Cu 2%<br />

PANI-Cu 2,75%<br />

0 10 20 30 40 50 60 70 80<br />

2 Theta<br />

Gambar 4: Hasil XRD Polianilin-Fe<br />

PANI Fe 1,25%<br />

PANI Fe 2%<br />

PANI Fe 2,75%<br />

Pada pola difraksi tersebut memperlihatkan<br />

puncak tajam PANI pada 2θ = 4,97 o , 20,57 o dan<br />

25,41 o . Dengan adanya beberapa puncak tersebut,<br />

hal ini mengidentifikasikan bahwa PANI yang<br />

dihasilkan bersifat kristalin. Pada literatur (Wibowo<br />

Arie,2007) puncak difraksi PANI terletak pada 2θ =<br />

15 o , 20 o dan 25 o . berdasarkan literatur tersebut,<br />

mengalami sedikit perbedaan posisi puncak yaitu<br />

pada puncak pertama dimana pada literatur 2θ = 15 o<br />

sedangkan pada PANI yang disintesis 2θ = 14,97 o<br />

hal ini sedikit perbedaan pada ukuran pola<br />

periodisitas kristalin.<br />

Untuk PANI dengan doping CuCl 2 (PANI-<br />

Cu) juga memperlihatkan beberapa puncak tajam hal<br />

ini juga mengindikasikan bahwa PANI-Cu juga<br />

bersifat kristalin. PANI-Cu 1,25% puncak tajam<br />

terdapat pada 2θ = 16,34 o , 21,50 o dan 23,81 o .<br />

Berdasarkan data acuan ICDD untuk CuCl 2 dan Cu,<br />

salah satu puncak CuCl 2 terletak pada 2θ = 16,40 o<br />

sedangkan untuk Cu baru memperlihatkan adanya<br />

puncak tajam pada 2θ diatas 43 o. Berdasarkan hal<br />

tersebut dapat diketahui PANI-Cu 1,25% pada 2θ =<br />

16,34 o adalah pucak dari CuCl 2 , 50.57 o merupakan<br />

puncak dari Cu dan puncak PANI-Cu1,25% pada 2θ<br />

= 21,50 o adalah puncak dari PANI. Untuk PANI-Cu<br />

2% puncak tajam terdapat pada 2θ = 11,56 o , 21,25 o ,<br />

23,69 o dan 26,16 o . beberapa puncak CuCl 2 juga<br />

terdapat pada 2θ=26,03 o dan 22,15 o sehingga dapat<br />

diidentifikasi bahwa puncak PANI-Cu 2% pada 2θ<br />

=23,69 o dan 26,16 o adalah puncak dari CuCl 2 yang<br />

sedikit bergeser, sedangkan Cu terdapat pada sudut<br />

difraksi 43.14 o dan 50.66 o . Dengan demikian<br />

PANI-Cu 2% pada 2θ = 21,25 o adalah puncak dari<br />

PANI yang bergeser kekanan. Pada PANI-Cu 2,75%<br />

puncak tajam terdapat pada 2θ = 21,21 o , 23,55 o ,<br />

25,25 o dan 31,38 o . Beberapa puncak dari CuCl 2<br />

tedapat pada 2θ = 22,15 o dan 30,80 o sehingga dapat<br />

diidentifikasikan bahwa puncak PANI-Cu 2,75%<br />

pada 2θ =23,55 o dan 31,38 o adalah puncak dari<br />

CuCl 2 yang sedikit bergeser dan untuk puncak<br />

PANI-Cu 2,75% pada 2θ = 21,21 o adalah puncak<br />

dari PANI yang bergeser kekanan, sedangkan<br />

puncak Cu terdapat pada sudut 51.02 o . Berdasarkan<br />

analisis pola difraksi sampel PANI-Cu tersebut,<br />

tidak terdapat puncak dari Cu itu sendiri sehingga<br />

dapat disimpulkan bahwa doping CuCl 2 disini, pada<br />

waktu polimerisasi berlangsung senyawa ini belum<br />

bisa terpecah secara sempurna menjadi Cu 2+ + 2Cl - .<br />

Sehingga masih terdapat puncak dari CuCl 2 dan Cu<br />

pada pola difraksi. Untuk puncak PANI-Cu yang<br />

tidak teridentifikasi berdasarkan data acuan dan<br />

literatur, hal ini bisa disimpulkan puncak dari sub<br />

komponen bahan lain yang terdapat pada bahan yang<br />

disintesis. Sehingga terdapat puncak lain pada pola<br />

difraksi.<br />

Hasil XRD polianillin-Fe pada gambar 4<br />

diatas menunjukkan bahwa bahan tersebut bersifat<br />

kristal. Pani dan pani-Fe memiliki puncak-puncak<br />

yang sama, namun terdapat beberapa pergeseran<br />

C47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sudut difraksi yang diakibatkan oleh adanya desakan<br />

dari ion lain yang masuk dalam rantai polianilin.<br />

Puncak-puncak pada polianilin-Fe menunjukkan<br />

sifat komposit seperti pada seluruh penelitian<br />

sebelumnya, karena terdapat beberapa puncak yang<br />

merupakan puncak dari Fe dan FeCl 3 , hal ini<br />

disebabkan pemecahan senyawa FeCl 3 tidak<br />

berlangsung sempurna selama proses polimerisasi<br />

yang seharusnya menjadi Fe 3+ dan 3Cl - . Puncakpuncak<br />

yang dihasilkan oleh polianilin yaitu pada<br />

sudut difraksi 12.82 , 16.52 , 18.41 ,<br />

20.94 ,22.11 , 24.41 , 25.58 , 27.43 ,<br />

29.77 , 31.85 . Analisis dari hasil XRD<br />

polianilin-Fe pada pencampuran FeCl 3 1,25%<br />

menunjukkan adanya puncak Fe dan FeCl 3, hasil ini<br />

mengacu pada data acuan tabel 2010 International<br />

Centre for Diffraction Data (ICDD) dari Fe dan<br />

FeCl 3 , yaitu pada sudut difraksi 44,18 menunjukan<br />

puncak yang dimiliki oleh Fe dan pada sudut<br />

difraksi 19,77 dan 26,53 menunjukkan puncak<br />

senyawa FeCl 3 . Analisis XRD Pani-Fe (FeCl 3 2 %)<br />

menunjukkan hasil yang serupa, yaitu masih terdapat<br />

puncak dari Fe dan FeCl 3 . Puncak pada sudut<br />

difraksi 44,18 dan 66,25 merupakan puncak dari<br />

Fe, sedangkan pada sudut difraksi 15,16 dan<br />

50,8 menunjukkan puncak FeCl 3 . Untuk<br />

pencampuran FeCl 3 2,75 % menunjukkan hasil yang<br />

sama dengan pani-fe yang lain, yakni puncak Fe<br />

terdapat pada sudut difraksi 44,18 dan puncak<br />

FeCl 3 pada 30.9 .<br />

Pada PANI-Fe dan PANI-Cu terjadi<br />

pergeseran sudut difraksi puncak ke arah kiri, hal ini<br />

disebabkan oleh pengaruh dari jari-jari Fe dan Cu<br />

yang lebih besar sehingga menyebabkan jarak antar<br />

atom menjadi semakin besar. Berdasarkan pada<br />

hukum Bragg 2d sin , sehingga sudut difraksi<br />

yang dihasilkan menjadi lebih kecil.<br />

Dielektrisitas PANI, PANI-Cu 2+ dan PANI-Fe 3+<br />

Karakterisasi kapasitansimeter untuk<br />

mengetahui kapasitansi bahan yang kemudian diolah<br />

dengan persamaan (1) dan (2) untuk memperoleh<br />

informasi konstanta dielektrisnya. Berdasarkan<br />

karakterisasi tersebut nilai konstanta dielektris untuk<br />

sampel PANI dengan variasi doping CuCl 2 dan<br />

FeCl 3 adalah menurun seiring dengan bertambahnya<br />

konsentrasi CuCl 2 dan FeCl 3 yang didopingkan.<br />

No. Komposisi Konstanta dielektris<br />

CuCl 2 dan FeCl 3 PANI-Cu PANI-Fe<br />

1 0 % 1,45.10 5 1,45.10 5<br />

2 1,25 % 1,07.10 5 1,19. 10 5<br />

3 2% 8,80.10 4 9,07.10 4<br />

4 2,75 % 8,56.10 4 8,43.10 4<br />

Tabel 1: Tabel komposisi doping dan konstanta dielektris<br />

Konstanta dielektrik menunjukkan ukuran<br />

kemampuan suatu bahan untuk menyimpan muatan.<br />

Sampel dalam eksperimen ini yang telah berbentuk<br />

pellet diuji dielektrisitasnya dengan menggunakan<br />

kapasitansi meter. Pembacaan alat yang diperoleh<br />

berupa data kapasitansi bahan yang kemudian<br />

dikonversi ke dalam nilai konstanta dielektriknya.<br />

Pencampuran CuCl 2 dan FeCl 3<br />

mengakibatkan penyumbangan proton Cu 2+ dan<br />

Fe 3+ sehingga berpengaruh pada peningkatan<br />

konduktifitas polianilin. Penelitian yang dilakukan<br />

peneliti lain, salah satunya oleh Y. Tan (2009)<br />

dengan mendoping NiCl 2 memaparkan hasil berupa<br />

peningkatan konduktifitas polianilin sebesar 0.22 S<br />

cm –1 dari 0.13 S cm –1 , namun tidak dipaparkan<br />

pengaruh variasi komposisi NiCl 2 yang dicampurkan<br />

pada sintesis polianilin. Pada penelitian ini<br />

dilakukan karakterisasi dielektrisitas yang memiliki<br />

hubungan berbanding terbalik dengan konduktifitas.<br />

Penambahan CuCl 2 dan FeCl 3 mengakibatkan<br />

pergeseran atom sehingga jarak antar atom yaitu<br />

semakin besar, karena jari-jari Cu dan Fe lebih<br />

besar, akibatnya dielektrisitas bahan menurun. Hasil<br />

karakterisasi konstanta dielektrik polianilin sebesar<br />

1,45 10 5 , sedangkan konstanta dilektrik pani-Fe<br />

berturut-turut dari pencampuran konsentrasi FeCl 3<br />

1,25%, 2%, dan 2,75% adalah 1,19 10 5 , 9,07 10 4 dan<br />

8,43 10 4 . Konstanta dielektrik pada Pani-Cu dengan<br />

konsentrasi CuCl 2 yang ditambahakan pada<br />

polianilin 1,25%, 2 % dan 2,75% berturut-turut<br />

memiliki konstanta dielektrik sebesar 1,07.10 5 ,<br />

8,80.10 4 , dan 8,56.10 4 . Hasil penelitian ini<br />

menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi<br />

senyawa logam yang ditambahakan dalam penelitian<br />

ini yaitu CuCl 2 dan FeCl 3 memberikan pengaruh<br />

pada penurunan konstanta dielektriknya.<br />

KESIMPULAN<br />

Polimer konduktif polianilin-Cu dan<br />

polianilin Fe telah disintesis dengan menggunakan<br />

polimerisasi interface pada suhu ruang.<br />

Pencampuran senyawa CuCl 2 dan FeCl 3<br />

menyumbangkan proton Cu 2+ dan Fe 3+ yang<br />

berpengaruh pada penurunan konstanta dielektrisnya<br />

hal ini mengidentifikasikan bahwa konduktifitas<br />

bahan tersebut meningkat seiring bertambahnya<br />

konsentrasi doping CuCl 2 dan FeCl 3 . Berdasarkan<br />

hasil XRD menunjukkan PANI, PANI-Cu dan<br />

PANI-Fe bersifat kristalin, hal ini ditunjukkan<br />

dengan adanya beberapa puncak tertinggi yang<br />

muncul pada sudut difraksi yang terdapat pada<br />

rentang yang hampir sama.<br />

C48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

C.Valsangia &M. Sima.2004.A Microscopic Analyze<br />

of the Conductor Mechanism of Iron Doped<br />

Polyaniline Under UV Exposure. Romanian<br />

reports in Physic,Vol 56,No.4,P.645-650.<br />

Romania:University of Bucharest.<br />

Maddu, Akhiruddin dkk. 2008. Sintesis dan<br />

Nanoserat Polianilin. Jurnal Nanosains &<br />

Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Vol. 1 No.2.<br />

juli 2008<br />

Nugraha, Yudi.2007. Struktur Lapisan Tipis<br />

Sno2:Sb-Nio Dan Sifat Optik Poli Anilin.<br />

Tesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung.<br />

Razak Abdul ,Saiful Izwan. 2009.Polymerisation of<br />

Protonic Polyaniline/Multi-Walled Carbon<br />

Nanotubes Manganese Dioxide Nanocomposites.Journal<br />

of physical Science, vol<br />

20(1),27-34.Malaysia: University sains<br />

Malaysia<br />

Reza Nabid, Mohammad Golbabae, Maryam, 2008.<br />

Polyaniline/TiO2 Nanocomposite: Enzymatic<br />

Synthesis and Electrochemical<br />

Properties.Int.J.Electrochem.Sci.,3,1117-<br />

1126.Iran<br />

Patil, Shantala. D., Raghavendra, S.C.,<br />

Revvansiddappa,M.,Narsimha,P., and Prasad,<br />

M.V.N Ambika.2007. Synthesis ,transport<br />

and dielectric properties of<br />

polyaniline/Co3O 4 composite.<br />

Bull. Mater. Sci,Vol.30, NO.2,pp.89-92.Indian<br />

Academy of science.<br />

Setyawati, Ika. 2010. Pengaruh Variasi Suhu<br />

Sintering Terhadap Konduktivitas Senyawa<br />

Termistor Zn 0,95 Mn0,05 Fe 2 0 4 . Malang:<br />

Universitas Negeri Malang.<br />

Sri, dkk.1998.Analisis Konduktivitas Bahan<br />

Polianilin Sebagai Fungsi Konsentrasi<br />

Elektrolit. Laporan Penelitian.Bandung:<br />

Universitas Padjadjaran.<br />

Stafstrom,S., Bredas.1987.Polaron Lattice in High<br />

Conducting Polyanilin: Theoretical and<br />

optical studies. Physical review<br />

Letters,Vol.59,Number 13.Belgium.<br />

Stejskal,J. 2002. Polyaniline. Preparation of A<br />

Conducting Polymer. IUPAC Technical<br />

Report.Pure Appl. Chem.,Vol.74,No.5, pp.<br />

857-867.Australia:University Of Sydney.<br />

Taswa,dkk. 2006. Kamus Lengkap <strong>Fisika</strong>. Jakarta:<br />

Bumi Aksara<br />

Vaschettoa ,Mariana E., Monkman, Andrew<br />

P.,Springborg, Michael.1999. First-principles<br />

studies of some conducting polymers: PPP,<br />

PPy,PPV, PPyV, and PANI.Journal of<br />

Molecular Stucture (Theochem) 468,181-<br />

199.Germany<br />

Van Vlack, L.H. 2008. Elemen-Elemen Ilmu Dan<br />

Rekayasa Material Edisi Keenem. Jakarta:<br />

Erlangga.<br />

Wallace, G. Gordon, Spinks, M Geoffrey,Kane-<br />

Maguire, Teasdale, Peter.R.2009.<br />

Conductive Electroactive polymers<br />

(Intelligent Polymer System).Perancis:CRC<br />

Pres..<br />

Wibowo Arie. 2007. Sintesis dan Karakterisasi<br />

Polianilin Sebagai material Aktif Dalam<br />

Plastic solar Cells. Tesis. Bandung: ITB<br />

Wisnu, dkk. 2004.Faktor Koreksi Dimensi Sampel<br />

Pada Sifat Listrik Superkonduktor<br />

Yba2cu3o7-X Dengan Menggunakan<br />

Metode Four Point Probe.Bandung: BATAN.<br />

Yusi, dkk. 2007. Pengamatan Doping Secara In Situ<br />

Pada Poly(Heksa Trofen) Dengan<br />

Menggunakan Spektrometer UV-Vis,<br />

Majalah Polymer Indonesia, Vol 10, No.1<br />

C49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Aplikasi Material Piezoelektrik PVDF Film<br />

Mochammad Nasir 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Taufik Arif Setyanto 2<br />

1 Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya<br />

2 UPT Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika – BPPT<br />

Jl. Hidrodinamika Kompleks ITS Sukolilo Surabaya<br />

Email : nasir08.lhi@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Sejak ditemukannya efek piezoelektrik pada material Polyvinylidene Fluoride (PVDF) film, aplikasi material ini<br />

sebagai sensor maupun aktuator terus berkembang. Paper ini merupakan aplikasi material piezoelektrik jenis<br />

film PVDF sebagai sensor impact, yaitu sensor yang berfungsi untuk mengukur beban impact benturan benda<br />

yang mengenai sensor tersebut. Salah satu aplikasi sensor ini digunakan untuk mengetahui respon benturan pada<br />

proses mating pada pengujian bangunan lepas pantai. Dalam disain sensor tersebut lembaran material<br />

Piezoelektrik PVDF film sebagai sensing elemen dibentuk melingkar sesuai dengan dimensi permukaan struktur<br />

yang diukur. PVDF film tersebut dilapisi dengan material karet dan metal. Ketika sensor ini dikenai beban<br />

impact, maka element PVDF film mengeluarkan tegangan listrik yang proporsional dengan beban impact yang<br />

mengenainya, tegangan output ini diperkuat oleh rangkaian pengondisi sinyal yang selanjutnya direkam oleh<br />

sistem data akuisisi menggunakan program LabView. Untuk mengetahui karakteristik sensor dilakukan proses<br />

kalibrasi sensor tersebut baik secara statis maupun dinamis dengan menggunakan loadcell transducer sebagai<br />

referensi. Sensor PVDF film ini dapat juga diaplikasikan pada dunia kedokteran untuk mendeteksi tekanan nadi<br />

manusia.<br />

Kata kunci : Piezoelektrik, PVDF Film, Sensor Impact, Beban Impact.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Salah satu tahapan pengujian proses<br />

launching bangunan lepas pantai adalah pengukuran<br />

beban impact antara struktur yang saling<br />

berhubungan. Untuk maksud tersebut dibutuhkan<br />

sensor mekanis yang diharapkan bisa mengukur<br />

beban impact. Sensor mekanis berbasis strain gauge<br />

saat ini merupakan sensor mekanis yang paling<br />

popular untuk pengukuran beban impact yang relatif<br />

besar. Akan tetapi pada beberapa kasus, seperti<br />

halnya pengujian bangunan lepas pantai ini, sensor<br />

mekanis dengan menggunakan strain gauge<br />

mengalami beberapa kendala baik dari segi dimensi,<br />

berat dan fleksibilitasnya.<br />

Untuk tujuan pengujian tersebut maka<br />

dirancang sensor lain berbasis material piezoelectrik.<br />

Salah satu material piezoelectrik yang dipakai untuk<br />

sensor ini adalah polyvinylidene fluoride (PVDF)<br />

film. Berdasarkan sifat sifat material tersebut maka<br />

sensor mekanis berbasis material Piezoelectrik<br />

PVDF film ini sangat baik digunakan untuk<br />

pengukuran beban-beban dinamis (Taufiq AS, et al,<br />

2005) sehingga desain sensor jenis ini sangat baik<br />

untuk pengukuran beban impact pada proses<br />

pengujian bangunan kelautan.<br />

Untuk menentukan karakteristik dari sensor<br />

piezoelectrik PVDF film tersebut, maka perlu<br />

dilakukan proses kalibrasi sensor. Karena sensor<br />

piezoelectrik PVDF film ini bersifat kapasitif<br />

dengan impedansi output yang tinggi maka<br />

diperlukan sebuah rangkaian Charge amplifier<br />

sebagai rangkaian pengkondisi sinyal. Pada proses<br />

kalibrasi sensor tersebut menggunakan NI_USB<br />

DAQ 6008 dan program LABVIEW 2009 sebagai<br />

sistem data akuisisinya. Sedangkan beban yang<br />

diukur dibandingkan juga dengan sensor mekanis<br />

lainnya yaitu loadcell transducer sebagai alat ukur<br />

referensi.<br />

2. KAJIAN PUSTAKA<br />

Sejak ditemukannya efek-efek piezoelektrik<br />

pada bahan PVDF Film oleh Kawai (Kawai H.,<br />

1969), material ini telah banyak digunakan dalam<br />

bermacam-macam aplikasi, khususnya sebagai<br />

sensor dan aktuator (Boleslaw et al, 2001). Suatu<br />

bahan piezoelektrik dapat mengubah deformasi<br />

mekanik menjadi medan listrik yang setara dan<br />

sebaliknya dapat mengubah medan listrik yang<br />

dikenakan padanya menjadi deformasi mekanik<br />

yang setara (Gautschi, G., 2002). PVDF film<br />

mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, di<br />

antaranya adalah: fleksibel, ringan, mampu bekerja<br />

pada pita frekuensi yang sangat lebar, dan juga<br />

tersedia dalam berbagai bentuk ketebalan dan<br />

luasan. Di samping itu, film PVDF dapat<br />

ditempelkan secara langsung pada material lain<br />

(misalnya karet, baja) dengan menggunakan bahan<br />

perekat, tanpa mengakibatkan kerusakan pada<br />

material maupun PVDF filmnya.<br />

Apabila PVDF film terdeformasi secara<br />

mekanik, maka partikel penyusunnya menjadi<br />

terpolarisasi sehingga menimbulkan konsentrasi<br />

muatan listrik pada masing - masing permukaannya.<br />

C50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Besarnya konsentrasi muatan listrik yang terbentuk<br />

ini dapat dinyatakan dalam dua mode persamaan,<br />

yaitu charge mode dan voltage mode (Ehag, 1999).<br />

Untuk charge mode berlaku:<br />

Q = d 31 σ i A (i = 1,2, atau 3)<br />

Dimana<br />

Q : muatan listrik yang dihasilkan<br />

σ i : tekanan mekanik pada arah yang relevan<br />

d 31 : konstata piezoelektric (PVDF Film)<br />

A : area aktif dari PVDF film<br />

Sedangkan untuk voltage mode berlaku:<br />

Vo<br />

= g 31 σ i t<br />

Dimana :<br />

Vo : tegangan open loop<br />

σ i : tekanan mekanik pada arah yang relevan<br />

g 31 : konstata piezoelektric (film PVDF)<br />

t : tebal film PVDF<br />

Gambar dibawah ini menunjukkan sumbu-sumbu<br />

elemen piezoelektrik dan cara melekatkan elemen<br />

film PVDF pada sebuah struktur.<br />

Gambar 2 : Desain Sensor Impact PVDF Film<br />

3.2. Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />

Output dari sensor PVDF film adalah muatan<br />

listrik yang nilainya dalam orde pico coulomb. Nilai<br />

output terlalu kecil untuk umumnya piranti ukur<br />

seperti voltmeter atau osciloskop, Sehingga<br />

diperlukan suatu pengondisi sinyal yang berfungsi<br />

sebagai penguat tegangan pengukuran. Pada<br />

penelitian ini menggunakan charge mode amplifier<br />

dengan salah satu pertimbangan bahwa pada mode<br />

ini panjangnya kabel konduktor tidak akan<br />

berpengaruh pada sinyal output. Desain lengkap<br />

rangkaian pengkondisi sinyal diberikan pada gambar<br />

3. Rangkaian terdiri atas dua unit yaitu differential<br />

charge amplifier dan differential Amplifier (Zheng<br />

Chen et al, 2007). Differential charge amplifier<br />

sebagai pengubah besaran muatan listrik menjadi<br />

tegangan listrik setara, sedangkan differential<br />

amplifier sebagai rangkaian penguat tegangan listrik.<br />

Gambar 1 : PVDF dan klasifikasi sumbu yang bersesuaian<br />

3. DESAIN SISTEM<br />

3.1. Desain Mekanis Sistem Sensor<br />

Desain mekanis sistem sensor ini untuk<br />

mengukur beban benturan antara bagian struktur atas<br />

dengan struktur bawahnya bangunan lepas pantai<br />

dengan berbagai kondisi pengujian. Sensing element<br />

dari sensor ini terbuat dari material piezoelectric<br />

yaitu PVDF (polivinilydene fluoride) film dengan<br />

komposisi material lainnya yaitu sejenis karet dan<br />

metal. PVDF film sebagai sensing element dibentuk<br />

melingkar dengan diameter 50 mm sesuai dengan<br />

dimensi permukaan struktur yang diukur. Untuk<br />

mengirimkan signal listrik dari gaya yang terukur<br />

dari permukaan film ke alat ukurnya, maka dibuat<br />

terminal yang berasal dari metal tape dengan lem<br />

conductor yang disambung dengan kabel dengan<br />

proses solder. Gambar desain mekanis sistem sensor<br />

ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.<br />

Gambar 3 : Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />

Transfer Function dari Rangkaian Pengondisi Sinyal<br />

diatas adalah :<br />

3.3. DATA AKUISISI<br />

Vo(<br />

s)<br />

2R1s<br />

R<br />

=<br />

Q(<br />

s)<br />

1+<br />

R C s R<br />

Untuk pengukuran dan penyimpanan data<br />

hasil uji coba sensor, digunakan DAQ Card NI_USB<br />

6008 sebagai ADC 12 bit dan Software LabView<br />

Versi 2009. Diagram Blok system pengukuran<br />

sensor PVDF tersebut dapat dilihat pada gambar 4.<br />

1<br />

1<br />

3<br />

2<br />

C51


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 4 : Blok Diagram Sistem Pengukuran<br />

4. KALIBRASI SENSOR<br />

Kalibrasi dari impact sensor ini dibutuhkan<br />

untuk mengetahui sensitifitas, linearitas, Hysterisis<br />

dan Repeatabilitas sensor terhadap beban yang<br />

diberikan, untuk mengetahui karakteristik sensor<br />

tersebut maka dilakukan kalibrasi sensor. Kalibrasi<br />

sensor impact PVDF Film ini dilakukan dengan dua<br />

cara, yaitu secara statis dan secara dinamis. Pada<br />

metode statis sensor impact diberikan beban statis<br />

dari beban nol sampai 25 Kg. Dari setiap<br />

pembebanan outputnya diukur dan direkam dengan<br />

komputer dan diambil nilai output maksimum pada<br />

setiap pembebanan. Hasil grafik antara input Vs.<br />

Output dapat dilihat pada gambar 5.<br />

OUTPUT [Volt]<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

Grafik INPUT Vs. OUTPUT SENSOR IMPACT y = 0.2698x<br />

R 2 = 0.9955<br />

0<br />

0 5 10 15 20 25<br />

INPUT [Kg]<br />

Sebelum dilakukan kalibrasi sensor Impact<br />

PVDF film maka load cell transducer sebagai sensor<br />

referensi terlebih dahulu harus dikalibrasi secara<br />

status dengan memberikan beban status pada sensor<br />

tersebut dan data output sensor diukur dan direkam<br />

dengan sistem data akuisisi selama 5 detik dengan<br />

frekuensi sampling 50 Hz. Hasil pengukuran yang<br />

diperoleh diolah dengan menggunakan analisa<br />

regresi sehingga didapatkan grafik Input Vs. Output<br />

seperti pada gambar 7.<br />

Output Load Cell [Volt]<br />

Grafik Input Vs Output Load Cell y = 0.058x<br />

R 2 = 0.9995<br />

3.5<br />

3.0<br />

2.5<br />

2.0<br />

1.5<br />

1.0<br />

0.5<br />

0.0<br />

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50<br />

Beban Input [Kg]<br />

Gambar 7 : Grafik Hasil Kalibrasi Load Cell<br />

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa load<br />

cell tersebut mempunyai linearitas yang cukup baik<br />

dengan sensitivitas sensor 58 mV/Kg.<br />

Hasil kalibrasi dinamis ini dapat dilihat Pada<br />

gambar 8, dimana semakin besar beban impact yang<br />

diberikan dengan cara memberikan pukulan di atas<br />

sensor yang dilekatkan pada load cell, maka semakin<br />

besar pula keluaran signal baik signal load cell<br />

maupun signal dari sensor. Sedangkan output dari<br />

loadcell dapat dilihat pada gambar 9.<br />

Gambar 5 : Grafik Hasil Kalibrasi Impact Sensor<br />

Metode kalibrasi kedua adalah dengan<br />

memberikan beban impact secara dinamis terhadap<br />

sensor dengan variasi beban yang beragam. Gambar<br />

6 menunjukkan pengaturan kalibrasi impact sensor.<br />

Untuk mengetahui besar beban impact yang<br />

diberikan terhadap sensor, diperlukan alat ukur<br />

beban lainnya sebagai referensi beban yaitu load<br />

cell. Impact sensor diletakkkan di atas load cell dan<br />

dilekatkan secara kuat. Untuk membuat permukaan<br />

bawah dan atas sensor menjadi benar benar datar,<br />

maka kedua permukaan atas dan bawah dipasang<br />

plat datar.<br />

Gambar 8 : Output sensor Impact dg beban semakin besar<br />

Gambar 6 : Set-Up Kalibrasi Sensor<br />

Gambar 9 : Output sensor Impact dg beban semakin besar<br />

Gambar 10 menunjukkan salah satu keluaran<br />

dari satu pukulan yang diambil dari rangkaian<br />

keluaran signal . Dari gambar tersebut secara jelas<br />

C52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ditunjukkan bahwa ada kesamaan dan<br />

kesebandingan antara keluaran dari impact sensor<br />

dengan load cell.<br />

Impact1<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

1 168 335 502 669 836 1003 1170 1337 1504 1671 1838 2005 2172 2339 2506 2673 2840<br />

-2<br />

Gambar 10 : Perbandingan Output Loadcell & Impact Sensor<br />

Karakteristik lainnya adalah linearitas antara<br />

besar beban impact yang diberikan dengan keluaran<br />

sensor. Gambar 11 menunjukkan hubungan antara<br />

besarnya keluaran sensor impact dengan besar beban<br />

impact yang diberikan. Dari gambar tersebut terlihat<br />

bahwa keluaran sensor impact linear sampai beban<br />

luar yang diberikan sekitar 200 Kg.<br />

Gambar 12 : Hasil Pengujian Sensor dg pembebanan berulang<br />

Pada grafik diatas dapat diketahui bahwa<br />

dengan pembebanan secara berulang sensor impact<br />

mempunyai respon amplitudo yang hampir sama. Ini<br />

berarti sensor impact tersebut mempunyai<br />

repeatibilitas yang cukup baik.<br />

Pengujian kedua dilakukan dengan<br />

memberikan beban yang sama, yaitu 1000 gram<br />

yang dijatuhkan tegak lurus pada dua ketinggian<br />

yang berbeda, yaitu 25 Cm dan 50 Cm. Hasil dari<br />

pengujian ini dapat dilihat pada gambar 13.<br />

Im p act Sensor O utp ut [ V ]<br />

7<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

-1 1 17 33 49 65 81 97 113 129 145 161 177 193 209 225 241 257 273<br />

Time [s]<br />

h=25 Cm<br />

h=50 Cm<br />

Gambar 11 : Korelasi Output LoadCell & Impact Sensor<br />

5. PEMBAHASAN<br />

Untuk mengetahui karakteristik dan performa<br />

dari sensor PVDF film yang telah dibuat, disamping<br />

dilakukan kalibrasi secara statis dan dinamis untuk<br />

mengetahui hubungan gaya luar dengan keluaran<br />

sensor, dilakukan 2 jenis uji performa. Uji yang<br />

pertama untuk mengetahui kinerja dari sistem<br />

sensor yang telah dibuat dengan respon pembebanan<br />

yang berulang. Pengujian dilakukan dengan<br />

memberikan beban yang yang sama, yaitu 1500<br />

gram, beban tersebut dijatuhkan tegak lurus ke<br />

permukaan sensor secara bebas dengan ketinggian<br />

15 Cm sebanyak 3 kali. Output dari diukur dan<br />

direkam dengan menggunakan system data akuisisi<br />

dengan program LabView 2009. Hasil rekaman dari<br />

output sensor diperlihatkan pada gambar 12.<br />

Gambar 13 : Hasil Pengujian Sensor dg Variasi ketinggian<br />

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa<br />

semakin tinggi benda dijatuhkan maka gaya yang<br />

terjadi juga semakin besar, hal ini dapat dilihat pada<br />

amplitudo output sensor.<br />

6. APLIKASI SENSOR PVDF FILM<br />

Gambar 14 dibawah menunjukkan bagian<br />

kecil dari struktur bagian atas dan struktur bagian<br />

bawah bangunan lepas pantai yang sedang diuji di<br />

Laboratorium Hidrodinamika UPT- BPPH BPPT<br />

Surabaya. Salah satu tujuan pengujian tersebut<br />

adalah untuk mengetahui respon impact bagian atas<br />

dan bawah pada saat launching. Untuk maksud<br />

tersebut maka impact sensor di pasang pada salah<br />

satu bagian (bagian atas) kaki struktur tersebut,<br />

sehingga diharapkan segala beban yang terjadi yang<br />

diakibatkan oleh hubungan antara bagian atas dan<br />

bawah baik berupa impact dengan berbagai variasi<br />

frekuensi beban impact dan juga beban tekan<br />

dinamis yang mendekati statis juga bisa di rekam<br />

dengan baik. Aplikasi dilapangan pada saat<br />

pengujian dapat dilihat pada gambar 15.<br />

C53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 14 : Pemasangan Sensor pada struktur<br />

Sensor<br />

Sensor<br />

Gambar 15 : Aplikasi Sensor pada pengujian Mating<br />

Pada penelitian selanjutnya penulis akan<br />

mengaplikasi sensor impact ini untuk mengukur<br />

distribusi tekanan pada lambung model kapal<br />

bersayap WISE 8, dimana dengan disain yang lebih<br />

sensitif sensor ini bisa untuk mengukur beban dalam<br />

satuan gram sesuai dengan kebutuhan pengujian<br />

tersebut.<br />

7. KESIMPULAN<br />

Dari hasil Kalibrasi dan eksperimen sistem<br />

sensor, maka dapat dikatakan bahwa material<br />

piezoelectrik PVDF film sangat baik untuk<br />

pengukuran beban-beban dinamis sehingga sangat<br />

cocok digunakan untuk sensor impact yang<br />

dikususkan untuk mengetahui beban beban impact<br />

suatu bagian bangunan lepas pantai pada saat<br />

pengujian di Laboratorium Hidrodinamika UPT-<br />

BPPH BPPT Surabaya. Dari hasil eksperimen<br />

diketahui bahwa desain sensor impact layak<br />

digunakan untuk pengujian tersebut. Hal lain yang<br />

bisa menjamin bisa digunakannya sensor tersebut<br />

untuk pengujian bangunan lepas pantai adalah :<br />

N. Beban impact rencana yaitu sekitar 250 Kg bisa<br />

dipenuhi oleh desain sensor ini.<br />

O. Adanya kesamaan dan kesebandingan antara<br />

keluaran impact sensor dengan load cell sebagai<br />

referensi alat ukur.<br />

P. Demensi sensor dengan diameter 50 mm adalah<br />

sesuai dengan kebutuhan pengujian.<br />

Aplikasi lain dari sensor impact PVDF Film<br />

dengan modifikasi desain mekanis sensor bisa<br />

digunakan untuk pengukuran tekanan yang sangat<br />

kecil, bahkan bisa digunakan untuk mendeteksi<br />

denyut nadi manusia.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Penulis mengucapkan terima kasih kepada<br />

rekan-rekan yang ada di Lab B 403 jurusan teknik<br />

elektro ITS yang telah banyak membantu dalam<br />

penyusunan paper ini. Dan tak lupa penulis<br />

mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang<br />

ada di UPT BPPH yang telah banyak membantu<br />

dalam pembuatan dan uji coba sensor.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Taufiq Arif Setyanto, et al. (2005), Piezoelectric pad<br />

sensor for dynamic load measurement,<br />

Bulletin of the graduate school of<br />

engineering, Hiroshima University, Vol. 54,<br />

No. 1<br />

Kawai, H. (1969), The piezoelectricity of Poly<br />

(vinylidene Fluoride), J. Appl. Phys. 8 Japan,<br />

pp 975-976.<br />

Boleslaw, M., Tomasz J., Jacek C., (2001),<br />

Assesment of vehicle weight measurement<br />

method using PVDF transducers, Journal of<br />

Electrostatics, 51(52): 76-81.<br />

Gautschi, G., (2002), Piezoelectric sensoric,<br />

Springer, Germany.<br />

Ehag (1999), Piezofilm sensor technical manual,<br />

Measurement Specialist Inc., USA.<br />

Zheng Chen, Yantao Shen, Ning Xi, Xiaobo Tan,<br />

(2007), Integrated Sensing for ionic polymermetal<br />

composite actuators using PVDF thin<br />

films, Smart Material and Structures.<br />

C54


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sintesis Partikel Nano Spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1)<br />

dengan Metode Sonokimia dan Karakterisasi Struktur<br />

serta Dielektrisitasnya<br />

Nurul Hidayat 1 , Markus Diantoro, Ahmad Taufiq, Nasikhudin, Abdulloh Fuad<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPAUniversitas Negeri Malang<br />

1 Email : en_hidayat@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Partikel nano spinel hetaerolite (ZnMn 2 O 4 ) menjadi material yang menarik karena aplikasinya yang begitu<br />

penting dalam ranah nanoteknologi. Akan tetapi, sampai saat ini yang masih menjadi tantangan adalah metode<br />

sintesisnya. Penelitian ini menawarkan metode sintesis partikel nano dengan sonokimia yang dapat dilakukan<br />

pada suhu rendah (≤100 o C) dan waktu yang relatif cepat. Metode sonokimia memanfaatkan efek ultrasonik<br />

untuk mendapatkan aktivasi reaksi kimia. Konsekuensi kimia yang diakibatkan gelombang ultrasonik bukan<br />

hasil interaksi gelombang dalam medium dengan material terlarut pada tingkat molekular, melainkan disebabkan<br />

suatu entitas yang dikenal dengan accoustic cavitation. Pada penelitian ini, ZnMn 2 O 4 didoping dengan Co dalam<br />

bentuk Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤ 0,1). Bahan dasar yang digunakan adalah ZnCl 2 (PA 99,9%), CoCl 2·6H 2 O (PA<br />

99,9%), MnCl 2·4H 2 O (PA 99,9%), NH 4 OH (PA 99,9%), dan etanol (PA 99,9%). Karakterisasi pembentukan fasa<br />

dan struktur kristal menggunakan XRD serta dielektrisitas menggunakan kapasitansimeter digital tipe AD 5822.<br />

Ukuran kristal juga dikonfirmasi menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

berhasil disintesis dalam fasa tunggal berukuran


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

oleh peralatan yang canggih dan tentunya<br />

memerlukan biaya yang tidak sedikit.<br />

Keseluruhan fakta tersebut di atas menuntut<br />

adanya metode sintesis baru yang jauh lebih<br />

sederhana dan dapat mereduksi ukuran, mengkontrol<br />

morfologi, dan tentu dengan kemurnian fasa serta<br />

kualitas kristal yang tinggi. Salah satu alternatif<br />

untuk mendapatkan material berukuran nanometer<br />

dengan karakteristik high surface area adalah<br />

dengan metode sonokimia (Gopalakrishnan et al,<br />

2005; Troia, 2009; Ohayon dan Gedanken, 2010).<br />

Metode sonokimia, yang memanfaatkan efek<br />

ultrasonik untuk mendapatkan aktivasi reaksi kimia<br />

melalui accoustic cavitation (Suslick dan Price,<br />

1999; Gedanken, 2004; Mason dan Lorimer, 2002),<br />

telah berhasil digunakan untuk mensintesis berbagai<br />

macam partikel nano, diantaranya, LaFeO 3<br />

(Shivakumar et al, 2003), Mn 3 O 4 (Gopalakrishnan et<br />

al, 2005; Askarinejad et al, 2009), Co 3 O 4<br />

(Askarinejad et al, 2009) dan ZnCo 2 O 4 (Diantoro et<br />

al, 2009).<br />

Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian dalam<br />

rangka mengkaji pengaruh pendopingan ion lain<br />

secara spesifik untuk diinsedisubtitusikan pada<br />

bagian tetrahedral maupun oktahedral spinel<br />

ZnMn 2 O 4 terhadap struktur kristal maupun sifat-sifat<br />

fisis yang lain belum banyak dilakukan, terlebih<br />

dalam skala nano. Pendopingan merupakan hal<br />

penting karena dapat diperoleh suatu bahan baru<br />

dengan sifat yang lebih baik (Taufiq et al: 2008).<br />

Dalam paper ini dikaji pengaruh pendopingan Co<br />

pada Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dalam rangka dengan metode<br />

sonokimia juga perlu dikaji dengan harapan sifat<br />

fisis, terutama kelistrikannya menjadi lebih baik.<br />

TINJAUAN TEORITIS<br />

ZnMn 2 O 4 dan Struktur Spinel<br />

Berdasarkan ICSD kode koleksi 39196,<br />

ZnMn 2 O 4 mengkristal dengan struktur spinel<br />

tetragonal, grup ruang I 4 1 /a m d no 141, parameter<br />

kisi a = b = 5,7220 Å dan c = 9,240 Å (α = β = γ =<br />

90). Spinel normal ZnMn 2 O 4 ini mengalami distorsi<br />

tetragonal ke arah sumbu c sebesar c/a = 1,615.<br />

Sebagai perbandingan, Menaka et al (2009)<br />

melaporkan bahwa partikel ZnMn 2 O 4 berukuran 20-<br />

30 nm memiliki nilai parameter kisi a = b = 5,709(1)<br />

Å, c = 9,238(4) Å dengan rasio c/a = 1,618, nilai<br />

yang sangat dekat dengan rasio c/a untuk kristal<br />

tunggal yang pernah diteliti oleh Sorita dan Kawano<br />

(1996). Struktur kristal spinel ZnMn 2 O 4 ditunjukkan<br />

dalam Gambar 1.<br />

Pada dasarnya, susunan spinel terdiri atas dua<br />

jenis struktur, yakni tetrahedral (bagian A), karena<br />

kation berlokasi di tengah sebuah tetrahedron<br />

dengan sudut-sudutnya ditempati ion oksigen<br />

(Gambar 2a) dan yang lain disebut oktahedral<br />

(bagian B) karena ion-ion oksigen di sekitar kation<br />

menempati sudut-sudut sebuah oktahedron (Gambar<br />

2b). Selain itu sel satuan terbagi menjadi 8 oktan,<br />

masing-masing berisi a/2 (Gambar 2c), empat oktan<br />

yang berwarna memiliki volume yang sama begitu<br />

pula yang tidak berwarna (Gambar 2d).<br />

Gambar 1 Visualisasi model susunan atom-atom ZnMn 2 O 4<br />

Metode Sonokimia<br />

Gambar 2 Struktur spinel secara umum<br />

Sonokimia adalah aplikasi dari ultrasonik dalam<br />

proses reaksi kimia. Ultrasonik adalah bagian dari<br />

spektrum sonik yang berada dalam rentang 20kHz<br />

sampai 10 MHz. Diklasifikasikan menjadi tiga<br />

macam frekuensi, yaitu frekuensi rendah; high<br />

power ultrasound (20-100 kHz), frekuensi tinggi;<br />

medium power ultrasound (100 kHz-1 MHz), dan<br />

frekuensi tinggi, low power ultrasound (1-10 MHz).<br />

Frekuensi dalam rentang 20 kHz sampai sekitar 1<br />

MHz digunakan dalam metode sintesis sonokimia<br />

sedangkan frekuensi jauh lebih besar di atas 1 MHz<br />

digunakan untuk keperluan medis dan diagnosis<br />

berbasis ultrasonik.<br />

Dalam proses sonokimia muncul kekosongan<br />

akustik, pembentukan, pertumbuhan dan pecahnya<br />

gelembung kecil gas dalam suatu cairan yang<br />

dipecahkan oleh energi sonik, diilustrasikan pada<br />

Gambar 3. Ketidakstabilan gelembung ini<br />

menghasilkan pemanasan lokal yang intensif,<br />

C56


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

membentuk titik panas pada cairan dingin mencapai<br />

temperatur 5000 K, dan tekanan 1000 atm yang<br />

hanya memiliki waktu hidup sepersemilyar detik<br />

(Suslick, 1999).<br />

Untuk memahami bagaimana cara tumbukan<br />

kavitasi dapat mempegaruhi perubahan kimia, harus<br />

dipertimbangkan berbagai kemungkinan kibat dari<br />

tumbukan ini di dalam sistem yang berbeda.<br />

Pertama, rongga yang dibentuk tidak mungkin<br />

berupa suatu ruang hampa (dalam wujud rongga)<br />

pasti berisi uap air dari media cair atau bahan<br />

reaktan atau gass-gas yang mudah menguap. Selama<br />

tumbukan, uap ini akan diperlukan dalam kondisi<br />

yang ekstrim, yaitu pada suhu dan tekanan yang<br />

tinggi (seperti tampak pada Gambar 3),<br />

menyebabkan molekul-molekul pecah dan<br />

menghasilkan jenis radikal yang reaktif. Bagian<br />

radikal ini kemudian bereaksi di manapun di dalam<br />

gelembung yang pecah atau setelah migrasi ke<br />

dalam cairan luarnya. Kedua, tumbukan yang<br />

mendadak dari gelembung juga mengakibatkan satu<br />

aliran masuk dan tiba-tiba cairan itu mengisi<br />

kekosongan yang menghasilkan gaya geser di dalam<br />

melingkupi cairan ruah yang dapat memecahkan<br />

ikatan kimia dalam material dan akhirnya larut<br />

dalam cairan atau mengganggu cairan batas. Kondisi<br />

reaksi untuk suatu proses kavitasi harus<br />

mempertimbangkan pemilihan suhu operasi dari<br />

bahan pelarut karena setiap peningkatan tekanan uap<br />

pelarut akan menurunkan suhu dan tekanan<br />

maksimum untuk tumbukan gelembung.<br />

GaGambar 3 Ilustrasi pengaruh radiasi ultrasonik dalam proses<br />

sonokimia<br />

Pegaktifan kavitasi di dala sistem heterogen<br />

merupakan suatu konsekuensi dari efek mekanis<br />

pembentukan rongga. Dalam sistem heterogen,<br />

tumbukan dari gelembung berongga mengakibatkan<br />

cacat mekanis dan struktur. Tumbukan di daerah<br />

dekat permukaan akan menghailkan aliran masuk<br />

secara drastic dan asimetris dari cairan itu untuk<br />

mengisi kekosongan di daerah permukaan<br />

gelembung. Pengaruh ini setara dengan pancaran<br />

cairan bertekanan tinggi. Tumbukan pada<br />

permukaan, terutama sekali dari material serbuk<br />

akan menghasilkan energi yang cukup untuk<br />

menyebabkan material pecah menjadi kepingan yang<br />

sangat kecil, bahkan untuk penghalusan logam.<br />

Dengan demikian, ultrasonik dapat meningkatkan<br />

luas permukaan untuk suatu reaksi dan menyediakan<br />

energi pengaktifan tambahan melalui pencampuran<br />

yang efektif serta peningkatan transfer massa<br />

(Gogate, 2008). Akhirnya, partikel nano yang harus<br />

memiliki karakter high surface area sangat mungkin<br />

dipreparasi melalui metode sonokimia.<br />

EKSPERIMEN<br />

Partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 (0 ≤ x ≤<br />

0,1) disintesis dengan metode sonokimia. Bahan<br />

dasar yang digunakan adalah ZnCl 2 (PA 99,9%),<br />

CoCl 2·6H 2 O (PA 99,9%) dan MnCl 2·4H 2 O (PA<br />

99,9%) dilarutkan dalam etanol (PA 99,9%) dan<br />

aquades, volume total etanol dan aquades dijaga<br />

tetap, yaitu 60 ml. Larutan disonikasi pada frekuensi<br />

40 kHz selama 30 menit pada suhu 30 o C, kemudian<br />

ditambahkan NH 4 OH (6,5 M, PA 99,9%) pada suhu<br />

± 70<br />

o C sampai didapatkan endapan. Tahap<br />

selanjutnya mencuci endapan dengan aquades dan<br />

disaring dengan kertas saring Whatmann ukuran 40.<br />

Bahan yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam<br />

tungku listrik pada sutemperatur 100 o C selama 1<br />

jam. Sampel yang sudah dikeringkan kemudian<br />

digerus dan dikarakterisasi dengan XRD untuk<br />

mengetahui pembentukan fasa dan struktur kristal<br />

serta SEM untuk mengetahui ukuran partikel.<br />

Sebagian sampel juga di-press sampai terbentuk<br />

tablet untuk keperluan karakterisasi dielektrisitas.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Pola Difraksi Hasil Uji XRD<br />

Pola difraksi hasil uji sampel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

dengan X Ray Diffraction ditunjukkan pada Gambar<br />

4. Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa pola<br />

difraksi masing-masing sampel semakin ke atas (x<br />

membesar) merupakan pola difraksi dengan<br />

komposisi Co semakin menurun, sedangkan<br />

komposisi Zn semakin meningkat. Nilai x = 0<br />

merupakan sampel ZnMn 2 O 4 (hetaerolite). Secara<br />

sepintas terdapat beberapa puncak yang semakin<br />

mengecil (bahkan menghilang) seiring dengan<br />

bertambahnya kompoisi dopan Co. Pola tersebut<br />

mengindikasikan bahwa ion Co 2+ telah berhasil<br />

disisipkan ke dalam bagian tetrahedral spinel<br />

ZnMn 2 O 4 , yaitu bagian yang ditempati oleh ion<br />

Zn 2+ . Sebagai tambahan, karena komposisi dopan<br />

cukup kecil (0,0 ≤ x ≤ 0,1), maka transisi fase tidak<br />

teramati. Analisis struktur kristal akan disajikan<br />

pada bagian berikutnya.<br />

Data hasil karakterisasi XRD dianalisis dengan<br />

menggunakan perangkat lunak Rietica dan Microcal<br />

Origin. Hasil analisis data X-RD berupa parameter<br />

kisi ditunjukkan dalam Gambar 5. Tampak bahwa<br />

ada kecenderungan nilai parameter kisi dan volume<br />

sel partikel nano Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 secara serempak.<br />

Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa Zn 1-<br />

xCo x Mn 2 O 4 mengkristal dengan struktur spinel yang<br />

terdistorsi pada arah sumbu c. Nilai parameter kisi a<br />

= b antara 5,722-5.770 Å dan c = 9.128-9.430 Å.<br />

Semua parameter kisi memendek dengan<br />

bertambahnya komposisi Co yang diinsersikan ke<br />

C57


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dalam hetaerolite Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 . Namun demikian,<br />

penurunan parameter kisi lebih terlihat pada arah<br />

sumbu c. Volume sel juga mengecil karena<br />

konstanta-konstanta kisi memendek.<br />

dimanifestasikan oleh besarnya rasio c/a dan derajat<br />

distorsi tetragonal (c-a)/a yang dapat dilihat pada<br />

Gambar 6.<br />

Gambar 6 Rasio c/a dan derajat distorsi (c-a)/a partikel nano<br />

spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

Dielektrisitas Partikel Nano Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

Gambar 4 Pola difraksi sampel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 Hasil sintesis<br />

dengan metode sonokimia<br />

Kita dapat melihat adanya konsekuensi logis<br />

penggantian Co 2+ pada Zn 2+ pada perubahan struktur<br />

kristal. Tampak bahwa apabila kation Co 2+<br />

didopingkan pada bagian tetrahedral spinel yang<br />

ditempati oleh kation Zn 2+ , maka sebagian kation<br />

Zn 2+ akan tergantikan oleh kation Co 2+ sesuai<br />

dengan komposisi doping. Karena jari-jari ion Co 2+<br />

lebih kecil daripada Zn 2+ (jari-jari ion Co 2+ = 0,82 Å,<br />

Zn 2+ = 0,83 Å), maka pendopingan Co dalam bentuk<br />

Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 akan memperkecil jari-jari agregat<br />

ion (Zn,Co). Dengan kata lain konstanta-konstanta<br />

kisi akan mengecil, demikian pula dengan volume<br />

sel kristal juga mengecil seperti yang telah<br />

disebutkan sebelumnya.<br />

Dielektrisitas partikel nano spinel Zn 1-<br />

xCo x Mn 2 O 4 ditampilkan dalam Gambar 7 dan<br />

Hubungan antara volume kristal dan konstanta<br />

dielektrik partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dapat<br />

dilihat dalam Gambar 8.<br />

Gambar 7 Pengaruh dopan Co terhadap konstanta dielektrik<br />

partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

Gambar 5. Parameter kisi dan volume sel partikel nano spinel<br />

Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

Penggantian Co 2+ pada senyawa ini<br />

mengakibatkan penurunan rasio c/a sedikit tidak<br />

monoton. Pada umumnya, distorsi tetragonal<br />

Gambar 8 Hubungan antara volume kristal dan konstanta<br />

dielektrik partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4<br />

C58


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Berdasarkan Gambar 7 di atas, terlihat bahwa<br />

nilai konstanta dielektrik meningkat seiring dengan<br />

meningkatnya komposisi dopan Co dengan nilai<br />

maksimal 12.220. Performa fisis ini memiliki arti<br />

bahwa partikel nano spinel Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 mampu<br />

meningkatkan kapasitansi empat orde lebih besar<br />

dari nilai kapasitansi awal. Hal tersebut<br />

menunjukkan bahwa kontribusi ion kobal ke<br />

tetragonal spinel ZnMn 2 O 4 membentuk stoikiometri<br />

Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 dapat meningkatkan karakteristik<br />

dielektrisitasnya.<br />

KESIPULAN<br />

Telah ditunjukkan bahwa metode sonokimia<br />

dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sintesis<br />

kristal berukuran nano sistem Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 .<br />

Selain itu, pendopingan ion kobal pada posisi ion Zn<br />

telah menurunkan volume agregat dibanding<br />

senyawa induk. Penurunan volume kisi kristal ini<br />

telah diprediksi sebelumnya mengingat jari-jari ion<br />

Co 2+ lebih kecil daripada Zn 2+ (jari-jari ion Co 2+ =<br />

0,82 Å, Zn 2+ = 0,83 Å). Karena jarak rata-rata<br />

elektron valensi terhadap inti mengecil,<br />

meningkatkan energi ikat sesuai dengan gaya<br />

Coulomb dan akibatnya meningkatan dielektrisitas<br />

bahan. Peningkatan konstanta dielektrik dicapai oleh<br />

nanokristal Zn 1-x Co x Mn 2 O 4 .sebesar empat orde<br />

dibanding senyawa induk.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdullah, M. (2008), Pengantar Nanosains,<br />

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan<br />

Alam ITB, Bandung.<br />

Askarinejad A, Morsali A (2009), Direct ultrasonicassisted<br />

synthesis of sphere-like nanocrystals<br />

of spinel Co 3 O 4 and Mn 3 O 4 , Ultrasonics<br />

Sonochemistry, Volume 16, 124–131<br />

Bessekhaud Y, Robert D and Weber J.V (2005),<br />

Photocatalytic activity of Cu 2 O/TiO 2 ,<br />

Bi 2 O 3 /TiO 2 and ZnMn 2 O 4 /TiO 2<br />

heterojunctions, Catalis Today, Volume 101,<br />

315-321.<br />

Diantoro, M., Subakti, Nasikhudin (2009), Phase<br />

Formation of Nano Sized Material of<br />

ZnCo 2 O 4 Using Sonochemie Route for<br />

Supercapacitor Cell, International Meeting on<br />

Microscopy, Bali-Indonesia.<br />

Fernandez J.F, Caballero A.C, Villegas M, Khatib<br />

S.J, Banares M.A, Fierro J.L.G, Costa-<br />

Kramer J.L, Lopez-Ponce E, Martin-Gonzalez<br />

M.S, Briones F, Quesada A, Garcıa M,<br />

Hernando A (2006), Structure and magnetism<br />

in the Zn–Mn–O system: A candidate for<br />

room temperature ferromagnetic<br />

semiconductor, Journal of the European<br />

Ceramic Society, Volume 26, 3017–3025.<br />

Fritsch S.G, Chanel C, Sarrias J, Bayonne S, Rausset<br />

A, Alcobe X and Sarrio M.L.M (2000),<br />

Structure, thermal stability and electrical<br />

properties of zinc manganites, Solid State<br />

Ionics, Volume 128, 233-242.<br />

Gedanken A (2004), Using sonochemistry for the<br />

fabrication of nanomaterials, Ultrasonics<br />

Sonochemistry, Volume 11, 47–55.<br />

Gopalakrishnan I.K, Bagkar N, Ganguly R, and<br />

Kulshreshtha S.K (2005), Synthesis of<br />

superparamagnetic Mn3O4 nanocrystallites<br />

by ultrasonic irradiation, Journal of Crystal<br />

Growth, Volume 280, 436–441.<br />

Malavasi L, Tealdi C, Amboage M, Mozzat M.C,<br />

and Flor G (2005), High pressure X-ray<br />

Diffraction Study of MgMn 2 O 4 Tetragonal<br />

Spinel, Journal, Università di Pavia, Italy.<br />

Mason T.J and Lorimer J.P (2002), Applied<br />

Sonochemistry; The Uses of Power<br />

Ultrasound in Chemistry and<br />

Processing,Weinheim, Wiley VCH Verlag<br />

GmbH & Co.KgaA.<br />

Menaka, Qamar M, Lofland S.E, Ramanujachary<br />

K.V, and Ganguli A.K (2009), Magnetic and<br />

photocatalytic properties of nanocrystalline<br />

ZnMn 2 O 4 , Bull. Mater. Sci., Volume 32,<br />

231–237.<br />

Monros G, Carda J, Tena M A, Escribano P,<br />

Badenes J and Cordoncillo E (1995 ), Spinets<br />

from gelatine-protected gels, J. Mater. Chem,<br />

Volume 5, 85-90.<br />

Ohayon E and Gedanken A (2010), The application<br />

of ultrasound radiation to the synthesis of<br />

nanocrystalline metal oxide in a non-aqueous<br />

solvent, Ultrasonics Sonochemistry, Volume<br />

17, 173–178.<br />

Peiteado M (2010), Doping of ZnO with Mn or Co:<br />

Two different behaviours for the same<br />

synthesis approach, Bol. Soc. Esp. Ceram,<br />

Volume 49, 53-60.<br />

Peiteado M, Caballero A C and Makovec D (2007),<br />

Diffusion and reactivity of ZnO MnO x system,<br />

J. Solid State Chem. Volume180, 2459-2464.<br />

Peng, Haiyang Wu, and Tom (2009), Nonvolatile<br />

resistive switching in spinel ZnMn 2 O 4 and<br />

ilmenite ZnMnO 3 , Applied Physics Letters,<br />

Volume 95, 152106-152106-3.<br />

Praserthdam P, Silveston P.L, Mekasuwandumrong<br />

O, Pavarajarn V, Phungphadung J, and<br />

Somrang P (2004), A New Correlation for the<br />

Effects of the Crystallite Size and Calcination<br />

Temperature on the Single Metal Oxides and<br />

Spinel Oxides Nanocrystal, Crystal Growth &<br />

Design, Volume 4, No. 1, 39-43.<br />

Shoemaker D.P, Rodriguez E.E, and Seshadri R<br />

(2009), Intrinsic exchange bias in Zn x Mn 3-<br />

xO 4 , Cond-mat.matrl-sci, arXiv:0906.3534v2.<br />

Sivakumar M, Gedanken A, Zhong W, Jiang Y.H,<br />

Du Y.H,Brukental I, Bhattacharya<br />

D,Yeshurunc Y, and Nowikd I (2004),<br />

Sonochemical synthesis of nanocrystalline<br />

C59


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

LaFeO 3 , Journal of Mater Chemistry, Volume<br />

14, 764-769.<br />

Sorita R and Kawano T (1996), Sensor and<br />

Actuators, B 274, 35–36.<br />

Stojic, B.B, Milivojevic D, and Blanusa J (2009),<br />

Ferromagnetic behaviour of the Zn–Mn–O<br />

system, Journal of the Serbian Chemical<br />

Society, Volume 74 (1), 71–84.<br />

Suslick, K. S., Price, G. J (1999), Application of<br />

ultrasound to material chemistry, Annu. Rev.<br />

Mater. Sci, 295-326.<br />

Taufiq A, Triwikantoro, Pratapa S, dan Darminto<br />

(2008), Sintesis Partikel Nano Fe 3-x Mn x O 4<br />

Berbasis Pasir Besi dan Karakterisasi<br />

Struktur serta Kemagnetannya, Jurnal<br />

Nanosains & Nanoteknologi, Volume 1<br />

No.2, 67-73.<br />

Troia, A., Pavese, M., Geobaldo, F (2009),<br />

Sonochemical preparation of high surface<br />

area MgAl 2 O 4 spinel, Ultrasonics<br />

Sonochemistry, Volume 16, 136-140.<br />

Xiao L, Yang Y, Yin J, Qiao L, and Zhang L (2009),<br />

Low temperature synthesis of flower-like<br />

ZnMn 2 O 4 superstructures with enhanced<br />

electrochemical lithium storage, Journal of<br />

Power Sources, Volume 194, 1089-1093.<br />

Yang Y, Zhao Y, Xiao L and Zhang L (2008),<br />

Nanocrystalline ZnMn 2 O 4 as a novel lithiumstorage<br />

material, Electrochemistry<br />

Communications, Volume 10, 1117-1120.<br />

Zhang X.D, Wu Z.S, Zang J, Li D and Zhang Z.D<br />

(2007), Hydrothermal synthesis and<br />

characterization of nanocrystalline Zn–Mn<br />

spinel, J. Phys. Chem Solids, Volume 68,<br />

1583-1590.<br />

C60


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Aplikasi dan Karakterisasi Edible Plastik<br />

Pati - Tapioka Untuk Pengawetan Buah Jeruk (Citrus sp)<br />

Siswanto , Aminatun, dan Anjar Anggraeni<br />

Laboratorium <strong>Fisika</strong> Material<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : siswanto_fst@unair.ac.id<br />

Abstrak<br />

Jeruk merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek cerah untuk tujuan ekspor maupuan pasar dalam<br />

negeri. Tingginya permintaan pasar akan buah jeruk, memaksa para pelaku bisnis buah untuk lebih<br />

memperhatikan kualitas dalam proses pengemasan. Bahan pengemas dari plastik sintetik banyak digunakan<br />

dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan buah. Penggunaan<br />

material sintetik tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai<br />

bahan pengemas buah yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat diuraikan yaitu dengan<br />

menggunakan edible plastic berbahan dasar pati tapioka. Pembuatan edible plastic menggunakan cara hidrolisis<br />

dengan pelarut amonia dengan perbandingan 50 gram tapioka dalam 50 ml pelarut dan menggunakan variasi pH<br />

7,8,9. Komposisi edible plastic adalah 7,5 gram hasil hidrolisis, 100 ml aquades, 45 ml etanol 96% dan 1,2<br />

gliserol. Secara umum edible plastic yang dihasilkan cukup stabil dengan ketebalan antara 46-61 μm, nilai kuat<br />

tarik antara 38,3413 – 42,3182 kgf/cm 2 , dan elongasi antara 3,2 – 3,6 %. Dengan membandingkan penggunaan<br />

plastik sintetik (HDPE, LDPE) dan edible plastic sebagai pengemas buah jeruk (Citrus sp), maka di peroleh hasil<br />

pengurangan susut bobot buah jeruk yaitu 4,4428 – 5,2412 gram untuk edible plastic, 0,4163 gram untuk HDPE<br />

dan 0,2844 gram untuk LDPE. Untuk pengujian kadar air diperoleh pengurangan kadar air sekitar 4,41% - 14%<br />

pada hari ke-5 dan 3,24% -6,48 % pada hari ke- 10. Dengan menggunakan FT-IR dan GC-MS dapat diketahui<br />

bahwa terjadi pengurangan gugus -OH dan benzena dan prosentase kandungan lainnya juga mengalami<br />

penurunan.<br />

Key word : edible plastic, HDPE, LDPE, Citrus sp<br />

PENDAHULUAN<br />

Salah satu komoditi yang mempunyai prospek<br />

cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam<br />

negeri adalah jeruk. Tingginya permintaan pasar<br />

terhadap konsumsi buah jeruk, memaksa para pelaku<br />

bisnis buah untuk lebih memperhatikan kualitas<br />

dalam proses pengemasan. Proses pengemasan<br />

berpengaruh terhadap ketahanan buah tersebut<br />

ketika disimpan.<br />

Bahan pengemas yang sering digunakan yaitu<br />

plastik sintetik yang memiliki berbagai macam<br />

keunggulan. Keunggulan plastik sintetik tersebut<br />

yaitu fleksibel, mudah dibentuk, transparan, tidak<br />

mudah pecah dan harganya relatif murah (Surdia,<br />

2005). Walaupun demikian, plastik juga<br />

mempunyai kelemahan, yaitu sifatnya yang tidak<br />

tahan panas, mudah robek, dapat menyebabkan<br />

kontaminasi melalui transmisi monomernya ke<br />

bahan yang dikemas dan tidak dapat dihancurkan<br />

secara alami (non-biodegradable).(Elisa dan<br />

Mimi,2006). Seiring dengan masalah ini, maka<br />

dikembangkanlah jenis kemasan dari bahan organik.<br />

Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah<br />

lingkungan adalah kemasan edible (edible<br />

packaging). Keuntungan dari edible packaging<br />

adalah dapat melindungi produk pangan,<br />

penampakan asli produk dapat dipertahankan dan<br />

dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan<br />

(Kinzel, 1992).<br />

Salah satu jenis edible packaging adalah<br />

edible film (plastik layak santap). Plastik layak<br />

santap dapat dibuat dengan menggunakan bahan<br />

alamiah, contohnya adalah polisakarida-C 6 H 10 O 5<br />

(pati).(Surdia,2005). Pati yang berasal dari ubi kayu<br />

(tepung tapioka) lebih banyak dikembangkan. Hal<br />

ini dikarenakan jumlah tepung tapioka di Indonesia<br />

melimpah dan bukan merupakan bahan makanan<br />

pokok bagi masyarakat Indonesia (seperti padi).<br />

(Kusandini, 2008)<br />

Berdasarkan informasi tersebut, maka perlu<br />

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai<br />

karakterisasi dan aplikasi plastik layak santap yang<br />

berbahan dasar pati tapioka sebagai pengemas buah,<br />

khususnya pada buah jeruk. Edible plastic yang<br />

dibuat merupakan variasi campuran antara pati<br />

tapioka dan larutan asetat / larutan amonia. Dengan<br />

demikian, kualitas jeruk sebagai salah satu komoditi<br />

negara diharapkan dapat lebih baik dari sebelumnya.<br />

Selain itu, diharapkan pengaplikasian tersebut dapat<br />

mengurangi degradasi molekul dalam buah jeruk<br />

dan juga dapat mengurangi penumpukan sampah<br />

plastik yang telah terjadi akhir-akhir ini.<br />

C61


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

TUJUAN<br />

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh<br />

bahan pengemas yang dapat mengurangi terjadinya<br />

degradasi molekul pada buah jeruk yang bersifat<br />

ramah lingkungan dan mudah diuraikan.<br />

METODE<br />

Persiapan yang dilakukan sebelum melakukan<br />

penelitian ada beberapa tahapan. Tahap pertama<br />

adalah mempersiapkan buah jeruk yang memiliki<br />

umur panen dan bobot yang sama. Tahapan<br />

berikutnya mempersiapkan edible plastic pati<br />

tapioka dan plastik sintetik (LDPE dan HDPE).<br />

Bahan-bahan yang dipersiapkan untuk membuat<br />

edible plastic pati tapioka adalah pati tapioka (yang<br />

bisa diperoleh dipasaran), asam asetat (CH 3 COOH),<br />

natrium asetat (CH 3 COONa), Amonia (NH 4 OH),<br />

Amonium Klorida (NH 4 Cl), aquades, gliserol dan<br />

etanol 96% dapat diperoleh di Laboratorium Kimia<br />

FSAINTEK UNAIR. Sedangkan plastik sintetik<br />

HDPE dan LDPE dapat diperoleh di toko plastik.<br />

Penelitian ini diawali dengan pembuatan<br />

edible plastic pati tapioka yang menggunakan<br />

pelarut amonia (dengan pH 7,8,9). Langkah pertama<br />

adalah menguji komposisi tepung tapioka (kadar air<br />

dan kadar pati). Untuk menentukan kadar airnya<br />

dapat dilakukan dengan cara memanaskan pati.<br />

Sedangkan kadar pati merupakan hasil dari<br />

pengurangan tepung tapioka (100%) dengan<br />

persentase kandungan air, abu, serat dan kotoran.<br />

(Kusandini,2008).<br />

Penggunaan pelarut amonia dapat dilakukan<br />

bersamaan dengan penentuan kadar air dan kadar<br />

pati pada pati tapioka pada saat proses pemanasan.<br />

Pembuatan dilakukan secara manual didalam wadah<br />

(gelas beaker) dengan perbandingan 50 gram pati<br />

tapioka dan 50 ml pelarut. Selanjutnya<br />

pencampuran dilakukan dengan menggunakan<br />

heater yang dilengkapi stirrer dengan suhu 40 0 C<br />

dan kecepatan putaran 60 rpm sampai campuan<br />

mengental.<br />

Komposisi plastik layak santap yang dibuat<br />

adalah 7,5 gram hasil pemanasan, 100 ml aquades,<br />

45 ml etanol 96% dan 1,2 gliserol. Kemudian<br />

dilakukan pencampuran menggunakan heater dan<br />

magnetic stirrer dengan suhu kurang dari 70 0 C dan<br />

kecepatan putaran 60 rpm sampai campuran<br />

mengental. Campuran yang dihasilkan dicetak<br />

diatas plexiglass dan didinginkan pada suhu ruang,<br />

lalu dibentuk menjadi lembaran tipis.<br />

(Kusandini,2008)<br />

No.<br />

TABEL I Komposisi Edible Plastik<br />

Jenis Edible<br />

plastik<br />

Pelarut<br />

1. A Larutan amonia 7<br />

2. B Larutan amonia 8<br />

3. C Larutan amonia 9<br />

Pada penelitian ini sampel dibuat dengan<br />

larutan amonia dengan variasi nilai pH (lihat Tabel<br />

pH<br />

I). Dengan demikian terdapat 3 jenis sampel uji<br />

yang dihasilkan. Pada setiap sampel uji akan<br />

dilakukan 2 jenis pengujian ketebalan dan pengujian<br />

sifat mekanik. Pengujian sifat mekanik yang<br />

dilakukan meliputi pengujian kuat tarik dan<br />

pengujian elongasi.<br />

Lokasi Penelitian<br />

Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium<br />

<strong>Fisika</strong> Material F-SAINTEK Universitas Airlangga,<br />

Laboratorium Polimer Teknik Kimia Universitas<br />

Surabaya (UBAYA) Surabaya dan PT. Gelora Djaja<br />

(Wismilak) Surabaya.<br />

Instrument dan Bahan<br />

Instrumen yang dibutuhkan adalah Gelas<br />

ukur, Neraca digital dengan ketelitian 0,1 gram,<br />

Plexiglass, Heater dengan stirrer, Termometer,<br />

Blander, Cawan porselin, Alat uji ketebalan, Alat uji<br />

tarik dan elongasi, Spektrofotometer FT-IR (Fourier<br />

Transform Infra Red Spectrometer), GC-MS (Gas<br />

Chromatography-Mass Spectroscopy), alat pemanas<br />

(furnace/ oven). Sedangkan bahan yang dibutuhkan<br />

adalah buah jeruk.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil Uji Ketebalan<br />

Uji Ketebalan pada sampel uji dilakukan<br />

dengan menggunakan mesin Thickness dengan<br />

satuan ketebalan milimeter. Pengujian ini bertujuan<br />

untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap<br />

ketebalan sampel yang uji terdapat pada Tabel II<br />

TABEL II Data Hasil Uji Ketebalan<br />

No Jenis Sampel Tebal (mm)<br />

1 A 0,061<br />

2 B 0,052<br />

3 C 0,046<br />

Berdasarkan hasil di atas tampak bahwa data<br />

yang diperoleh semakin menurun. Jika ditinjau dari<br />

jenis pelarut yang digunakan terdapat perbedaan<br />

hasil uji ketebalan yang dihasilkan. Uji ketebalan<br />

pada sampel C menghasilkan ketebalan yang paling<br />

rendah. Sedangkan pada sampel A menghasilkan<br />

ketebalan paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

pada larutan amonia, edible plastic memiliki<br />

ketebalan rendah dengan menggunakan pelarut yang<br />

mengandung tingkat kebasaan yang tinggi.<br />

Hasil Uji Mekanik<br />

Sifat-sifat mekanik yang meliputi uji kuat<br />

tarik dan elongasi merupakan salah satu<br />

karakteristik mekanik dari sampel edible plastic<br />

sebagai ukuran kuantitatif baik tidaknya bahan hasil<br />

proses untuk diaplikasikan lebih lanjut. Hasil<br />

pengujian mekanis dari setiap sampel plastik layak<br />

santap dapat disajikan dalam Tabel III.<br />

C62


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

TABEL III Data Hasil Uji Mekanik Sampel<br />

No<br />

Jenis Kuat Tarik<br />

Sampel (kgf/cm 2 )<br />

ε (%)<br />

1 A 38,3413 3,6<br />

2 B 39,2590 3,5<br />

3 C 42,3182 3,2<br />

Berdasarkan data di atas tampak bahwa data<br />

yang diperoleh dari pengujian kuat tarik mengalami<br />

kenaikan pada edible plastic dengan pelarut amonia.<br />

Peningkatan nilai pH pada larutan amonia<br />

menyebabkan nilai kuat tarik edible plastic semakin<br />

meningkat. Untuk nilai kuat tarik tertinggi yaitu<br />

pada edible plastic dengan pelarut amonia pH 9.<br />

Prosentase elongasi akan meningkat jika larutan<br />

yang digunakan bersifat netral (pH 7). Sehingga<br />

dengan adanya penurunan pH pada larutan amonia<br />

menyebabkan prosentase elongasi edible plastic<br />

semakin meningkat.<br />

Hasil Uji Susut Bobot<br />

Perubahan massa jeruk sebelum dan sesudah<br />

diberi plastik tanpa diberi perlakuan juga perlu<br />

diperhatikan. Dengan menggunakan neraca digital<br />

dapat diketahui besarnya perubahan susut bobot<br />

yang dialami buah jeruk sebelum dan sesudah<br />

dikemas dalam plastik. Berikut merupakan tabel<br />

hasil dari pengemas edible plastic dengan variasi pH<br />

larutan amonia dan plastik sintetik (LDPE/HDPE)<br />

yang berfungsi sebagai pembanding.<br />

TABEL IV Data Hasil Uji Susut Bobot<br />

No. Jenis Sampel Hari ke-5<br />

(Δm 1 )<br />

Hari ke-10<br />

(Δm 2 )<br />

1 Amonia pH 5,2412gr 11,7464 gr<br />

7<br />

2 Amonia pH 5,488 gr 9,0968 gr<br />

8<br />

3 Amonia pH 4,4428 gr 8,5923 gr<br />

9<br />

4 HDPE 0,4163 gr 1,0664 gr<br />

5 LDPE 0,2844 gr 0,5955 gr<br />

Dari data hasil penelitian dapat terlihat bahwa<br />

penyusutan terbesar terjadi pada jeruk yang dikemas<br />

edible plastic, akan tetapi daging buah tetap segar<br />

dan rasa yang tetap terjaga meskipun kulit terluar<br />

terlihat secara fisik lebih mengkerut di bandingkan<br />

jeruk yang dikemas dengan plastik sintetik.<br />

Sedangkan jeruk yang dikemas plastik sintetik<br />

kondisi luar memang tetap terjaga, akan tetapi<br />

daging buah yang menjadi kurang berisi dari hari<br />

sebelumnya.<br />

Hasil Uji Kadar Air Jeruk<br />

Uji kadar air yang dilakukan pada jeruk saat<br />

diberi edible plastic dan plastik sintetik LDPE,<br />

HDPE ada beberapa tahapan. Pertama,<br />

menghilangkan air yang terkandung didalam buah<br />

jeruk dengan cara memeras buah tersebut. Lalu<br />

buah jeruk yang telah diperas, dikeringkan dibawah<br />

sinar matahari. Setelah itu jeruk yang telah kering<br />

dihaluskan dengan blender dan jeruk yang telah<br />

halus siap dimasukkan ke dalam furnace dengan<br />

suhu sekitar 100 0 C. Hal tersebut dilakukan agar air<br />

yang terkandung didalamnya benar-benar hilang,<br />

sehingga dapat diketahui besarnya kandungan kadar<br />

air yang ada didalam jeruk. Hasil pengujian<br />

dianalisis untuk mengetahui laju pengurangan kadar<br />

air yang terjadi pada buah jeruk yang menggunakan<br />

pengemas plastik yang berbeda-beda.<br />

TABEL V Data Hasil Uji Kadar Air Jeruk<br />

No. Jenis Sampel Hari ke-5<br />

(%)<br />

Hari ke-10<br />

(%)<br />

1 Amonia pH 7 9,84 6,48<br />

2 Amonia pH 8 11,33 6,44<br />

3 Amonia pH 9 16,18 4,97<br />

4 HDPE 14 3,24<br />

5 LDPE 4,41 3,61<br />

Gambar 1. Grafik hubungan antara perubahan kadar air pada<br />

jeruk dengan berbagai jenis pengemas plastik terhadap perubahan<br />

hari.<br />

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui<br />

bahwa plastik yang dapat menjaga dengan baik<br />

kadar air jeruk pada hari ke-5 yaitu edible plastic<br />

dengan pelarut amonia pH 7 dan plastik sintetik<br />

LDPE dengan pengurangan massa < 10 %.<br />

Sedangkan pada hari ke-10, hampir semua kemasan<br />

plastik dapat menjaga penurunan massa tidak lebih<br />

dari 10 %. Hal ini dapat menjadi pertimbangan<br />

mengenai penggunaan plastik sintetik yang dapat di<br />

gantikan dengan penggunaan edible plastic dimana<br />

plastik tersebut hampir memiliki fungsi yang sama<br />

dan tindakan tersebut dapat mengurangi penggunaan<br />

plastik sintetik.<br />

Hasil Uji FT-IR<br />

Hasil uji FT-IR berupa spektrum puncakpuncak<br />

serapan yang digunakan untuk mengetahui<br />

ada tidaknya gugus baru pada ekstrak jeruk yang<br />

sebelumnya telah diberi pengemas. Dengan<br />

menggunakan FT-IR dapat diketahui degradasi<br />

senyawa jeruk saat diberi pengemas.<br />

C63


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2. Grafik FT-IR<br />

Berdasarkan grafik hasil uji kimia fisik<br />

menggunakan spektrofotometer FT-IR ini<br />

menghasilkan spektrum pita absobsi gugus<br />

fungsional jeruk sebelum dan sesudah diberi<br />

pengemas plastik. Dari hasil uji tersebut, degradasi<br />

terbesar yang dapat terbaca yaitu gugus senyawa –<br />

OH dan benzena. Hal ini di sebabkan adanya proses<br />

penguapan yang terjadi pada jeruk saat di kemas<br />

plastik.<br />

Hasil Uji GC-MS<br />

Uji GC-MS berupa spektrum yang terdapat<br />

puncak-puncak serapan yang digunakan untuk<br />

mengetahui adanya susunan senyawa-senyawa<br />

tertentu dalam suatu bahan. Hasil uji identifikasi<br />

senyawa molekul yang dihasilkan lebih teliti,<br />

sehingga dapat diketahui senyawa apa saja yang<br />

terkandung dalam bahan tertentu.<br />

Gambar 3. Grafik GC-MS<br />

Berdasarkan hasil pengujian terjadi<br />

pengurangan prosentase kadar senyawa jeruk dalam<br />

pengemasan buah jeruk, selain itu terdapat senyawa<br />

tambahan saat jeruk di kemas menggunakan plastik.<br />

Pada pengemasan menggunakan edible plastic<br />

amonia, terlihat bahwa dengan menggunakan plastik<br />

pH 7 (netral) terjadi pengurangan kadar senyawa dan<br />

penambahan senyawa baru yang paling sedikit.<br />

Sedangkan penurunan kadar terbesar dan<br />

penambahan senyawa baru yang cukup banyak<br />

terjadi pada plastik sintetik LDPE. Hal ini sesuai<br />

dengan literatur bahwa plastik sintetik dapat<br />

menyebabkan kontaminasi melalui transmisi<br />

monomernya ke bahan yang dikemas. (Elisa dan<br />

Mimi,2006)<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada<br />

penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ketebalan<br />

dan sifat mekanik pada edible plastic dapat<br />

dipengaruhi oleh pH pelarut yang digunakan dalam<br />

proses hidrolisis pati. Secara umum edible plastic<br />

yang dihasilkan cukup stabil dengan ketebalan<br />

minimum 41 μm, nilai kuat tarik antara 39,8709 –<br />

42,3182 kgf/cm 2 , elongasi antara 3,2 – 4,5 %.<br />

Dengan membandingkan penggunaan plastik sintetik<br />

(HDPE, LDPE) dan edible plastic sebagai pengemas<br />

buah jeruk (Citrus sp), maka di peroleh hasil<br />

pengurangan susut bobot buah jeruk yaitu 4,4428 –<br />

5,2412 gram untuk edible plastic, 0,4163 gram<br />

untuk HDPE dan 0,2844 gram untuk LDPE. Untuk<br />

pengujian kadar air diperoleh pengurangan kadar air<br />

sekitar 4,41% - 14% pada hari ke-5 dan 3,24% -6,48<br />

% pada hari ke- 10. Dengan menggunakan FT-IR<br />

dan GC-MS dapat diketahui bahwa terjadi<br />

pengurangan gugus -OH dan benzena dan<br />

prosentase kandungan lainnya juga mengalami<br />

penurunan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Elisa dan Mimi (2006), Teknologi Pengemasan,<br />

USU, Sumatra Utara.<br />

Kinzel, B, 1992, Protein-rich edible coatings for<br />

foods, Agricultural research, May 1992.,<br />

:20-21.<br />

Krochta, J.M, 1992, Control of massa transfer in<br />

food with edible coatings and film. Di dalam<br />

:Coupler, Journal of Optoelectronics and<br />

Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3, 303 –<br />

308.<br />

Moon,Binary, 2008, Bahaya Mengintai dari<br />

KemasanPlastik.,http://dgaip5.wordpress.com<br />

Di akses 3 September 2009<br />

Purbaningrum, Kusandini, 2008, Pembuatan dan<br />

Karakterisasi Plastik Layak Santap (Edible<br />

Plastic) dari Pati Tapioka, Skripsi,<br />

Universitas Airlangga, Surabaya<br />

Surdia, N.M, 2005, Potensi Bahan Alam Sebagai<br />

Bahan Baku Polimer, <strong>Departemen</strong> Kimia,<br />

ITB,Bandung<br />

C64


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sintesis Partikel Nano ZnCo 2 O 4 dengan Metode Kopresipitasi dan<br />

Karakterisasi Struktur serta Magneto Dielektrisitasnya<br />

Sri Astutik Ningtiyas (1) , Markus Diantoro, Ahmad Taufiq<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang<br />

(1) Email: sriastutiktutik@ymail.com<br />

Abstrak<br />

Partikel nano ZnCo 2 O 4 merupakan suatu senyawa superkapasitor, karena memiliki nilai rate dan life cycle yang<br />

tinggi, pengisian dalam jangka waktu yang pendek dan penggosongan dalam jangka panjang serta penyimpanan<br />

energi yang besar. Partikel nano ZnCo 2 O 4 telah berhasil disintesis dalam bentuk serbuk dengan menggunakan<br />

metode kopresipitasi pada suhu rendah (≤ 100 0 C). Serbuk hasil pengendapan, selanjutnya diannealing pada<br />

temperatur 120 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C selama 2 jam. Karakterisasi dilakukan dengan<br />

menggunakan XRF dan XRD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, partikel nano ZnCo 2 O 4 memiliki fasa spinel<br />

kubik Fd3m dengan ukuran partikel berkisar antara 9-75 nm. Transisi struktur dari spinel normal ke spinel<br />

campuran pada T=300 0 C pertama kali berhasil teramati. Semakin besar temperatur annealing nilai konstanta<br />

dielektrik senyawa ZnCo 2 O 4 cenderung meningkat secara eksponensial sampai titik tertentu. Pada pengukuran<br />

temperatur 300 0 C terjadi transisi dari kenaikan konstanta dielektrik ke penurunan konstanta dielektrik. Hal ini<br />

disebabkan oleh adanya perubahan fasa yang terbentuk dari senyawa ZnCo 2 O 4 semakin meningkat sehingga<br />

membuat jari-jari atom semakin mendekat sehingga ikatan antar atom pada bahan menjadi lebih besar,<br />

sedangkan peningkatan konstanta dielektrik dikarenakan adanya interaksi muatan (gaya Coulomb) dan spin<br />

elektron. Pada pengukuran dalam medan magnet, konstanta dielektriknya memiliki pola yang serupa seperti<br />

tanpa medan magnet yaitu konstanta dielektriknya mengalami kenaikan secara eksponensial sampai temperature<br />

300 0 C, kemudian mengalami penurunan secara eksponensial seiring bertambahnya temperatur annealing. Akan<br />

tetapi pemberian medan magnet senyawa ZnCo 2 O 4 pada salah satu bahan yang diannealing dengan temperatur<br />

tertentu (misal bahan yang diannealing 300 0 C), memiliki nilai konstanta dielektrik yang mengalami peningkatan<br />

secara eksponensial seiring bertambahnya medan magnet yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh ion Cobalt<br />

yang bersifat ferromagnetik, sehingga senyawa ini mengalami magnetisasi yang mengakibatkan menurunnya<br />

medan listrik efektif diantara plat sehingga menaikkan kapasitansi dan konstanta dielektriknya. Temperatur<br />

annealing juga mempengaruhi struktur kristal, dimana nilai parameter kisi a, b dan c mengalami perubahan<br />

sehingga mengakibatkan volume dari kristal ikut berubah.<br />

Kata Kunci: ZnCo2O4, superkapasitor, partikel nano, kopresipitasi, temperatur annealing, struktur, konstanta<br />

dielektrik<br />

PENDAHULUAN<br />

Beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi<br />

kelangkaan energi terutama energi minyak bumi.<br />

Untuk itu, kita dituntut mencari solusi untuk<br />

mengatasi masalah tersebut (Huda., 2007) yaitu<br />

mencari alternatif sumber energi yang terbaru<br />

dengan sistem peralatan penyimpan energi, serta<br />

penyangga energi yang handal. Selama ini penelitian<br />

nanosains dan nanoteknologi di Indonesia masih<br />

mengalami kendala dalam aspek síntesis,<br />

karakterisasi, maupun aspek aplikasinya (Felix A et<br />

al.,2006). Untuk memenuhi sumber energi alternatif,<br />

kapasitor elektrokimia dengan densitas daya yang<br />

tinggi untuk baterai dan energi densitas untuk<br />

kapasitor dielektrik merupakan permintaan yang<br />

sangat besar (Hu Chi-Chang et al., 2007). Hal<br />

tersebut memiliki keuntungan yang sangat besar<br />

yaitu nilai rate dan life cycle yang tinggi, pengisian<br />

dalam jangka waktu yang pendek dan penggosongan<br />

dalam jangka panjang serta penyimpanan energi.<br />

Salah satu primodona adalah ZnCo 2 O 4 dalam<br />

matriks carbon nano foam (CNF) atau carbon<br />

nanotube (CNT) (Karthikeyan et al., 2009; Arulepp<br />

et al., 2006; Hu Chi-Chang et al., 2004)<br />

Bahan-bahan konvensional yang biasa<br />

digunakan sebagai superkapasitor antara lain seperti<br />

Karbon aerogel, CFN, CFT, RuO 2 dan IrO 2 telah<br />

mulai ditinggalkan karena biaya yang sangat tinggi.<br />

Sejauh ini telah dilaporkan dalam berbagai referensi,<br />

sintesis senyawa kompleks oksida dapat dilakukan<br />

melalui sol-gel atau kopresipitasi. Selain itu,<br />

senyawa yang sering digunakan untuk<br />

superkapasitor adalah ZnO (Karthikeyan et al.,<br />

2009). Lebih jauh, sel atau baterei yang sudah<br />

dikembangkan kebanyakan berbasis asimetri, yaitu<br />

sel yang memiliki keping atau lempeng dengan jenis<br />

berbeda.<br />

Faktor yang mempengaruhi nilai kapasitansi<br />

bahan nanomaterial adalah struktur kristal dan<br />

karakteristik morfologi permukaannya (Karthikeyan<br />

et al., 2009; Poizot et al., 2000; Sharma et al., 2007;<br />

Yang Yanyan et al., 2008). Telah dilaporkan<br />

nanomaterial ZnCo 2 O 4 dengan struktur kristal spinel<br />

kubik yang disintesis dengan menggunakan metode<br />

kopresipitasi memiliki nilai specific capacitance 77<br />

C65


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

F.g -1 dalam kapasitor berbasis ZnCo 2 O 4 /carbon<br />

nanofoam. Tetapi, analisis struktur kristal tidak<br />

diberikan secara detail sehingga sulit melihat<br />

hubungan antara struktur kristal dengan nilai specific<br />

capacitance yang dihasilkan (Karthikeyan et al.,<br />

2009). Hal ini disebabkan pada kandungan Zn, jika<br />

kandungan Zn dalam senyawa ZnCo 2 O 4 yang<br />

dilaporkan sangat sedikit, maka struktur kristal akan<br />

didominasi oleh senyawa Co 3 O 4 (Zhang Gaoke et al.,<br />

2006), yang juga luas dikaji dalam aplikasi baterai<br />

berbasis lithium, sensor gas dan aplikasi berbasis<br />

magnetik lainnya. Cobalt cobaltite Co 3 O 4 juga<br />

memiliki struktur kristal spinel kubik (Makhlouf A<br />

et al., 2002). Sehingga sangat penting mengetahui<br />

karakteristik struktur kristal senyawa yang<br />

dihasilkan sebelum karakterisasi bahan dilakukan.<br />

Dalam Perkembangannya, Superkapasitor<br />

disintesis dengan cara: metode dekomposisi, metode<br />

pengendapan hidroksida (Jolivet., 2004), metode<br />

sonokimia dan metode kopresipitasi. Dibandingkan<br />

dengan metode konvensional keramik, metode<br />

kopresipitasi mempunyai keunggulan, yaitu: tingkat<br />

kemurnian yang tinggi, proses pengendapannya<br />

sangat sederhana sehingga memudahkan dalam<br />

pemisahannya pada temperatur rendah, waktu yang<br />

dibutuhkan relatif cepat serta dengan peralatan yang<br />

sederhana. Kelarutan zat diharapkan dapat melewati<br />

masa larutan jenuh dimana konsentrasi zat terlarut<br />

lebih besar dibandingkan keadaan kesetimbangan<br />

sistem yang akan menghasilkan pembentuk inti<br />

kristal. Proses ini memungkinkan untuk<br />

menghasilkan serbuk dengan ukuran kristal < 100<br />

nm (Pudjatmaka., 1989; Van Vlack., 1964).<br />

Proses annealing akan berpengaruh cukup<br />

besar pada pembentukan fase kristal bahan. Fraksi<br />

fase yang terbentuk umumnya bergantung pada lama<br />

dan atau temperatur annealing. Semakin besar<br />

temperatur annealing dimungkinkan semakin cepat<br />

proses pembentukan kristal tersebut. Besar kecilnya<br />

temperatur juga berpengaruh pada bentuk serta<br />

ukuran celah dan juga berpengaruh pada struktur<br />

pertumbuhan Kristal (Van Vlack., 1964; Kittel,<br />

Charles. 2002)<br />

Berdasarkan manfaat dan keunggulan metode<br />

sintesis tersebut diatas, dalam penelitian ini akan<br />

disintesis partikel nano ZnCo 2 O 4 dengan metode<br />

kopresipitasi yang suhu annealing-nya divariasi<br />

pada suhu 120 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C,<br />

600 0 C, dan 800 0 C selama 2 jam dan karakterisasi<br />

struktur serta magneto dielektrisitasnya. Untuk<br />

mengetahui hubungan antara kondisi reaksi, struktur<br />

kristal, konstanta dielektrik, magneto dielektrisitas<br />

dan grain size terhadap metode kopresipitasi yang<br />

digunakan untuk menghasilkan partikel nano<br />

ZnCo 2 O 4 adalah masalah utama penelitian ini.<br />

TINJAUAN TEORITIS<br />

Superkapasitor<br />

Superkapasitor adalah alat yang digunakan<br />

untuk menyimpan energi, seperti halnya baterai<br />

namun bekerja dengan mekanisme yang berbeda.<br />

Karena alat ini dapat mengisi (charging) dan<br />

melepaskan energi (discharging) dengan sangat<br />

cepat (Poizot, P., Laruelle., 2000). Kata<br />

superkapasitor merujuk pada tingginya nilai rate dan<br />

life cycle yang dimiliki suatu kapasitor (Sharma<br />

Yogesh et al., 2007). Superkapasitor simetrik adalah<br />

kapasitor yang menggunakan material yang sama<br />

dengan potensial operasi yang sama sebagai<br />

material-material elektroda positif dan negatif.<br />

Sedangkan superkapasitor asimetrik adalah kapasitor<br />

yang menggunakan material yang berbeda dengan<br />

potensial operasi yang berbeda sebagai materialmaterial<br />

elektroda positif dan negative (Sharma<br />

Yogesh., 2007; Karthikeyan et al., 2009) Pada<br />

dasarnya prinsip kerja superkapasitor mirip dengan<br />

prinsip kerja kapasitor, akan tetapi perbedaan<br />

mendasar terletak pada kapasitasnya yang sangat<br />

besar.<br />

Metode Kopresipitasi<br />

Kopresipitasi adalah proses dimana suatu zat<br />

yang dapat larut, terbawa mengendap selama<br />

terjadinya proses pengendapan suatu senyawa.<br />

Pengendapan terjadi akibat pembentukan Kristal<br />

campuran atau oleh adsorbs ion-ion selama proses<br />

pengendapan. Setelah endapan kristalin terbentuk<br />

untuk meningkatkan kemurnian, maka endapan<br />

disaring, dilarutkan dan diendapkan berulang-ulang.<br />

Akibatnya ion pengotor yang muncul dalam<br />

konsentrasi kecil dan akhirnya kopresipitasi lebih<br />

sedikit (Y. ikedo et al., 2007)<br />

Pada temperatur tertentu, kelarutan zat dalam<br />

pelarut akan melewati masa larutan lewat jenuh<br />

dimana konsentrasi zat terlarut lebih besar<br />

dibandingkan keadaan kesetimbangan system yang<br />

akan menghasilkan pembentukan inti Kristal. Agar<br />

kesetimbangan system tetap terkendali, maka harus<br />

diperhatikan faktor keadaan optimum untuk<br />

pengendapan antara lain:<br />

4. Pengendapan harus dilakukan dalam larutan<br />

encer, yang bertujuan untuk memperkecil<br />

kesalahan akibat kopresipitasi<br />

5. Pereaksi dicampurkan perlahan-lahan dan<br />

teratur dengan pengadukan yang tetap, yang<br />

berguna untuk perumbuhan Kristal yang teratur.<br />

Untuk kesempurnaan reaksi, pereaksi harus<br />

berlebih serta urutan pencampuran harus teratur<br />

dan sama<br />

6. Pengendapan harus dilakukan pada larutan<br />

panas sebab kelarutan akan meningkatkan<br />

dengan bertambahnya temperature<br />

7. Endapan Kristal yang terbentuk dalam waktu<br />

yang lama<br />

C66


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

8.<br />

Endapan harus dicuci dengan larutan yang encer<br />

dan berulang-ulang agar pengotor betul-betul<br />

hilang (Y. ikedo et al., 2007)<br />

Secara matematika metode kopresipitasi<br />

merupakan metode yang sangat efektif untuk<br />

membuat suatu bahan. Hal ini disebabkan adanya<br />

pengembagan metode semi-quantitatif yang<br />

membantu dalam peningkatan efek pH dan kekuatan<br />

ion nanokristal yang dihasilkan (Pudjatmaka., 1989),<br />

serta menyebabkan proses pembuatan senyawa<br />

ZnCo 2 O 4 sangat efisien dan efektif<br />

Struktur Spinel<br />

Spinel merupakan struktur kristal yang<br />

tersusun dari dua sub struktur, yaitu struktur<br />

tetrahedral (bagian A) dan struktur oktahedral<br />

(bagian B). Pada bagian tetrahedral, ion-ion logam<br />

berlokasi di pusat sebuah tetrahedron dengan sudutsudutnya<br />

ditempati oleh ion-ion oksigen; sedangkan<br />

pada bagian oktahedal, ion-ion logam berlokasi di<br />

pusat oktahedron dengan sudut-sudutnya ditempati<br />

oleh ion-ion oksigen. Berdasarkan distribusi ion-ion<br />

logam pada bagian A dan B, struktur spinel dapat<br />

dibedakan menjadi spinel normal, spinel invers, dan<br />

spinel campuran atau mixed spinel. Spinel normal<br />

tebentuk apabila semua ion logam divalen<br />

menempati posisi A dan semua ion logam trivalen<br />

menempati posisi B. Spinel invers tebentuk apabila<br />

semua ion logam divalen menempati posisi B,<br />

sedangkan setengah ion-ion logam trivalen<br />

menempati posisi B dan setengah yang lain<br />

menempati posisi A. Spinel campuran merupakan<br />

spinel yang tidak mengikuti pola spinel normal dan<br />

spinel invers. Struktur Spinel Senyawa ZnCo 2 O 4<br />

pada penelitian ini adalah spinel normal. Gambar 1<br />

merupakan visualisasi model susunan atom-atom<br />

unsur Zn, Co dan O dalam struktur kristal spinel<br />

kubik Fd m yang akan disintesis. Kristal ZnCo 2 O 4<br />

memiliki parameter kisi pada suhu ruang sebesar<br />

a=b=c= 8,1052 Ǻ sudut-sudutnya (α = β = γ) adalah<br />

90 o . Dalam struktur kristal ini, cobalt memiliki dua<br />

kemungkinan keadaan oksidasi, yaitu Co 2+ dan Co 3+ ,<br />

yang masing-masing secara berurutan menempati<br />

site tetrahedral dan site oktahedral. Keadaankeadaan<br />

ion cobalt inilah yang diduga memberikan<br />

kontribusi di dalam proses elektrokimia. satuan<br />

struktur kristal ZnCo 2 O 4 ditampilkan pada Gambar<br />

1.<br />

Gambar 1. visualisasi model susunan atom-atom ZnCo 2 O 4 yang<br />

akan disintesis<br />

Bahan Dielektrik<br />

Bahan dielektrik adalah bahan yang<br />

memisahkan dua konduktor listrik tanpa ada aliran<br />

listrik. Sedangkan Konstanta Dielektrik adalah<br />

perbandingan antara kapasintansi kapasitor dengan<br />

bahan dielektrik dan kapasitansi kapasitor tanpa<br />

bahan dielektrik. Konstanta dielektrik dapat dipakai<br />

untuk menyatakan kekuatan baahn dielektrik dalam<br />

menyimpan muatan listrik (Van Vlack., 1964)<br />

Sifat-sifat bahan dielektrik sangat penting<br />

dalam elektronika atau listrik karena:<br />

1. Dapat menyimpan muatan listrik<br />

2. Dapat menahan arus searah<br />

3. Dapat melewatkan arus bolak-balik<br />

Ketika dua bahan yang terpisahkan oleh ruang<br />

hampa, kemudian diberi tegangan (beda potensial)<br />

sebesar V, maka pada rangkaian tersebut tidak akan<br />

terlihat adanya arus yang mengalir maka banyaknya<br />

muatan akan tersimpan pada rangkaian tersebut yang<br />

terisi pada kapasitor. Nilai atau besarnya muatan<br />

yang tersimpan dalam rangkaian ini disebut dengan<br />

kapasitas kapasitor (C), dan hubungannya dapat<br />

dinyatakan sebagai:<br />

Q = C V<br />

Dimana V menyatakan beda potensial antara<br />

dua penghantar dan Q adalah besarnya muatan yang<br />

tersimpan pada kapasitor.<br />

Satuan kapasitansi adalah Coulomb/Volt atau<br />

{C/V} atau Farad {F}. Satu farad adalah jumlah<br />

muatan listrik sebesar satu coulomb yang tersimpan<br />

di dalam elektrik {zat perantara} dengan beda<br />

potensial sebesar satu volt. Jadi kapasitansi suatu<br />

kapasitor adalah kemampuan dari kapasitor tersebut<br />

untuk menyimpan muatan listrik.<br />

Ketika suatu bahan dialektrik disisipkan<br />

menggantikan ruang hampa di antara dua plat<br />

penghantar mengakibatkan terjadinya mekanisme<br />

induksi listrik dalam bahan dielektrik yang<br />

berdampak bertambah besarnya muatan listrik yang<br />

tersimpan dalam kapasitor. Sumbangan dipol-dipol<br />

listrik akibat mekanisme polarisasi dan jumlah<br />

muatan yang tersimpan dalam kapasitor<br />

direfleksikan oleh besaran ε yang merupakan watak<br />

atau perilaku bahan dielektrik. Peristiwa ini<br />

ditunjukkan pada Gambar 2.<br />

C67


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2 (a) Bahan Dielektrik tanpa Medan Listrik, (b) dengan<br />

Medan Listrik<br />

Nilai kapasitas kapasitor bergantung pada<br />

jenis bahan yang ada diantara plat penghantar dalam<br />

kapasitor, ukuran dan bentuk geometri plat<br />

penghantar, dan jarak antara dua plat panghantar.<br />

Pada kapasitor yang berisi ruang hampa nilai<br />

kapasitas kapasitor dinyatakan dalam persamaan:<br />

Setelah bahan dielektrik disisipkan di antara plat<br />

kapasitor, kapasitansi dielektriknya dinyatakan<br />

dengan:<br />

dengan:<br />

C = kapasitansi kapasitor (F)<br />

ε 0 = permetivitas ruang hampa = 8,85 x 10 -12 F/m<br />

A = luas plat (m 2 )<br />

d = jarak antar plat (m)<br />

ε r = permitivitas bahan dieliktrik = κ e<br />

Persamaan diatas digunakan untuk<br />

menghitung nilai konstanta dielektrik dipakai untuk<br />

menyatakan kekuatan bahan dielektrik untuk<br />

menyimpan muatan listrik (Van Vlack., 2001).<br />

EKSPERIMEN<br />

Partikel nano ZnCo 2 O 4 disintesis dengan<br />

metode kopresipitasi. ZnCl 2 (PA 99,99%),<br />

CoCl 2 .6H 2 O (PA 99,99%) sebagai bahan dasar<br />

sintesis, bahan tersebut dilarutkan dalam 30 ml<br />

NH 4 OH (6,5 M, PA 99,99%) kemudian 5 ml<br />

NH 4 OH ditetesi 5 tetes tiap 10 menit, larutan<br />

tersebut diaduk dengan magnetk stirrer pada suhu<br />

80 0 C hingga terbentuk endapan. Setelah larutan<br />

terbentuk, dilakukan filtrasi dengan kertas saring<br />

yang dicuci dengan aquades murni dan Ethanol (PA<br />

99,99%). Bahan yang diperoleh selanjutnya<br />

dikeringkan dalam Furnace pada suhu 100 0 C sekitar<br />

1 jam, kemudian dipellet dan diannealing pada suhu<br />

120 o C , 250 0 C, 250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 o C, 600 o C,<br />

dan 800 o C selam 2 jam.<br />

Karakterisasi dengan XRF dan XRD untuk<br />

mengetahui komposisi dan struktur kristal dari<br />

senyawa ZnCo 2 O 4 yang terbentuk, kemudian data<br />

dianalisis dengan software RIETICA. Ukuran<br />

Kristal dihitung dengan menggunakan persamaan<br />

Scherrer (Pratapa., 2004) yaitu<br />

dengan λ panjang gelombang sinar-X, k<br />

konstanta=0,9, B lebar puncak pada setangah<br />

maksimum dan θ adalah sudut difraksi.<br />

HASIL dan DISKUSI<br />

Komposisi Bahan<br />

Perbandingan komposisi bahan yang<br />

digunakan dalam penelitian ini antara Zn:Co:O<br />

adalah 1:2:4 yang menjadi senyawa ZnCo 2 O 4 .<br />

Komposisi dari hasil sintesis kopresipitasi<br />

ditunjukkan pada table 1. tabel ini merupakan<br />

salinan dari print out asli keluaran minipal-4.<br />

Tabel 1. Data komposisi hasil XRF sampel ZnCo 2 O 4 kopresipitasi<br />

Senyawa Cl Co Zn<br />

Konsentrasi Unsur (%) 12,6 51,32 26,7<br />

Dari tabel tersebut terlihat bahwa komposisi<br />

Zn : Co mendekati 1 : 2. Sebernarnya terukur juga<br />

beberapa kation dengan jumlah sangat kecil yaitu<br />

kurang dari 0,5 % sehingga dapat diabaikan dalam<br />

perhitungan perbandingan. Dari tabel tersebut,<br />

terukur juga dua kation dalam jumlah cukup besar<br />

yaitu Clorida. Munculnya Cl diduga berasal dari<br />

senyawa mentah Zn-clorida dan penggunaan<br />

NH 4 OH selama proses kopresipitasi. Untuk<br />

mengatasi senyawa atau ion yang tidak diinginkan,<br />

dilakukan filtrasi ulang menggunakan aquades murni<br />

dan ethanol. Hasil presipitasi selanjutnya dipanaskan<br />

pada temperatur 100 0 C selama 1 jam secara<br />

perlahan. Hasil refiltrasi ini diuji lagi dengan<br />

menggunakan XRF, hasilnya ditampilkan pada<br />

Tabel 2.<br />

Tabel 2. Data komposisi hasil XRF sampel ZnCo 2 O 4 kopresipitasi<br />

Senyawa Cl Co Zn<br />

Konsentrasi Unsur (%) ~ 52,90 27,3<br />

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa<br />

komposisi unsur yang muncul Zn dan Co. Ion-ion<br />

atau oksida lain yang terukur dapat diabaikan.<br />

Unsure Cl yang sebelumnya muncul sudah tidak<br />

tampak pada pengukuran senyawa hasil refiltrasi.<br />

Namun kandungan oksigen tidak biasa dimunculkan<br />

karena tidak dapat diukur menggunakan XRF<br />

maupun EDAX. Dalam tabel 1 dan 2 hanya<br />

ditampilkan kationnya saja. Meskipun dapat<br />

ditampilkan dalam bentuk oksida meskipun begitu<br />

peneliti tidak menggunakan oksida, alih-alih<br />

kationnya. Alasannya,adalah Oksigen tidak dapat<br />

diukur dari peralatan XRF (terlalu ringan).<br />

C68


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pola Difraksi Sinar-X (XRD) dan Hasil<br />

Pengukuran Konstanta Dielektrik<br />

Pola Difraksi sampel dalam bentuk serbuk<br />

yang dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD)<br />

ditampilkan pada Gambar 2.3<br />

Intensitas<br />

950<br />

900<br />

850<br />

800<br />

750<br />

700<br />

650<br />

600<br />

550<br />

500<br />

450<br />

400<br />

350<br />

300<br />

250<br />

200<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90<br />

2 Theta<br />

120 0 C<br />

250 0 C<br />

300 0 C<br />

400 0 C<br />

500 0 C<br />

600 0 C<br />

800 0 C<br />

Gambar 3. Pola XRD ZnCo 2 O 4 dengan suhu annealing 120 0 C,<br />

250 0 C, 300 0 C, 400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C<br />

Berdasarkan Gbr.3. menunjukkan bahwa pada<br />

temperatur annealing 120 0 C, struktur kristal spinel<br />

belum terbentuk. Fasa spinel baru terbentuk pada<br />

temperatur annealing ≥ 250 0 C.<br />

Konstanta Dielektrik<br />

16000<br />

14000<br />

12000<br />

10000<br />

8000<br />

6000<br />

4000<br />

2000<br />

0<br />

100 200 300 400 500 600 700 800 900<br />

Temperatur Annealing ( o C)<br />

0 mT<br />

0,1 mT<br />

0,3 mT<br />

0,5 mT<br />

0,7 mT<br />

0,9 mT<br />

1,1 mT<br />

Gambar 4 Hubungan antara temperatur annealing dan konstanta<br />

dielektrik dengan dan tanpa medan magnet<br />

Berdasarkan Gbr.4. diketahui bahwa partikel<br />

nano ZnCo 2 O 4 mengalami transisi struktur pada<br />

temperatur annealing 300 0 C yaitu dari spinel normal<br />

ke spinel campuran. Peningkatan suhu annealing<br />

mengakibatkan perubahan pola parameter kisi a, b<br />

dan c dan volume. Hal ini dikarenakan ketika Zn<br />

berikatan terhadap Co 3 O 4 , ada atom Co 2+ yang<br />

tergantikan oleh atom Zn 2+ sehingga jari-jari<br />

atomnya mengkerut/mengecil, karena jari-jari ion<br />

Zn 2+ (0,74 Å) lebih kecil dari jari-jari ion Co 2+ (0,82<br />

Å). Hal ini ditandai dengan adanya perubahan posisi<br />

atom yang saling berdekatan, sehingga jarak antar<br />

atomnya semakin dekat dan terjadi perubahan<br />

terhadap sudut antar atom serta volume kristal yang<br />

menurun. Jika volume sel menurun, maka konstanta<br />

kisi, sudut atom, dan jarak antar atom juga<br />

mengalami perubahan.<br />

Berdasarkan hasil tersebut, variasi temperatur<br />

annealing berpengaruh besar pada struktur kristal<br />

ZnCo 2 O 4 . Sehingga semakin tinggi temperatur<br />

annealing maka semakin banyak atom Zn 2+ yang<br />

menggantikan atom Co 2+ . Jarak Co_O ini akan<br />

semakin dekat karena jari-jari Co 2+ 0,82 Å. Jarak<br />

antar atom yang semakin dekat menyebabkan<br />

penurunan terhadap volume Kristal. Hal ini<br />

menunjukkan jarak inti terhadap elektron juga dekat<br />

sehingga inti akan mengikat elektron lebih kuat.<br />

Karena elektron terikat kuat oleh inti maka elektron<br />

tidak mudah bergerak. Sehingga bahan semakin<br />

tidak konduktif karena elektron merupakan<br />

pembawa muatan dalam material padat. Dengan kata<br />

lain bahan dielektrik akibat adanya gaya ikat inti<br />

elektron yang semakin kuat dan tidak mudah lepas.<br />

Beberapa kemungkinan mekanisme fisis yang<br />

mempengaruhi konstanta dielektrik secara lengkap<br />

adalah: (1) Polarisasi elektronik (elektron valensinya<br />

mudah terlepas) yang dijelaskan sebelumnya, (2)<br />

polarisasi ionik (terjadinya pergeseran ion), (3)<br />

polarisasi dipolar (reorientasi molekul polar), (4)<br />

space charge (pengumpulan muatan 2+ ke tempat<br />

lain dalam satu kristal), (5) magnetik, dan (6)<br />

struktur kristal denga n fase yang berbeda.<br />

Parameter Kisi (A 0 )<br />

8.11<br />

8.10<br />

8.09<br />

8.08<br />

8.07<br />

8.06<br />

8.05<br />

8.04<br />

8.03<br />

Konstanta Kisi<br />

Volume KIsi<br />

200 300 400 500 600 700 800<br />

Temperatur Annealing ( 0 C)<br />

Gambar 5 Parameter kisi dan volume kisi partikel nano ZnCo 2 O 4<br />

yang disintesis dengan metode kopresipitasi<br />

Dari Gbr.5 terlihat bahwa fraksi volume tidak<br />

sejalan dengan suhu sintering. Secara umum fraksi<br />

volume mengalami peningkatan seiring dengan<br />

semakin tinggi temperatur annealing hal ini<br />

dimungkinkan karena semakin tinggi temperatur<br />

annealing maka ion Cobalt pada senyawa ZnCo 2 O 4<br />

dapat lebih bereksi.<br />

Pada temperatur annealing 250 0 C volumenya<br />

adalah sebesar 529,97 kemudian fraksi volume<br />

mengalami penurunan pada temperatur annealing<br />

400 0 C. Dari temperatur annealing 400 0 C sampai<br />

dengan 800 0 C fraksi volume mengalami<br />

peningkatan. Dengan demikian dapat diketahui<br />

bahwa dalam rentang temperatur annealing 120 0 C<br />

tingkat kemurnian fasa senyawa ZnCo 2 O 4 yang<br />

paling tinggi terjadi pada temperatur annealing<br />

800 0 C<br />

534<br />

532<br />

530<br />

528<br />

526<br />

524<br />

522<br />

520<br />

518<br />

Volume Kisi (A 0 )<br />

C69


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Konstanta Dielektrik<br />

16000<br />

14000<br />

12000<br />

10000<br />

8000<br />

6000<br />

4000<br />

2000<br />

0<br />

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />

Medan Magnet (mT)<br />

Gambar 6. Hubungan antara medan magnet dan konstanta<br />

dielektrik pada berbagai temperatur annealing<br />

C120<br />

C250<br />

C300<br />

C400<br />

C500<br />

C600<br />

C800<br />

Pengukuran konstanta dielektrik senyawa<br />

superkapasitor ZnCo 2 O 4 yang di-annealing pada<br />

suatu temperatur tertentu (120 0 C, 250 0 C, 300 0 C,<br />

400 0 C, 500 0 C, 600 0 C dan 800 0 C) nilai konstanta<br />

dielektrik semakin besar atau memiliki grafik yang<br />

cenderung naik secara eksponensial positif dengan<br />

pengaruh medan magnet. Pada pendopingan Co 3 O 4<br />

dengan bahan Co yang bersifat ferromagnet<br />

konstanta dielektrik mengalami peningkatan seiring<br />

bertambahnya medan magnet. Peningkatan<br />

konstanta dielektrik ini dikarenakan senyawa ini<br />

mengalami magnetisasi yang mengakibatkan<br />

menurunnya medan listrik efektif diantara plat<br />

sehingga menaikkan kapasitansi dan konstanta<br />

dielektriknya.<br />

Ukuran Kristal dan Partikel<br />

Hasil analisis refinement dengan software<br />

RIETICA menghasilkan ukuran kristal, akan tetapi<br />

ukuran tersebut belum menunjukkan nilai yang<br />

cukup akurat. Oleh sebab itu dilakukan kalkulasi<br />

ulang dengan memasukkan factor koreksi seperti<br />

pada persamaan schrrer.<br />

Ukuran Kristal (nm)<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

200 300 400 500 600 700 800<br />

Suhu Annealing ( 0 C)<br />

Ukuran<br />

Gambar 7. Grafik ukuran Kristal serbuk ZnCo 2 O 4 terhadap variasi<br />

temperature annealing<br />

Dari Gbr.4 terlihat bahwa sampel dengan<br />

struktur spinel kubik normal (120 0 C≤x≤300 0 C) yang<br />

memiliki ukuran Kristal terkecil adalah pada<br />

temperatur 300 0 C yaitu sekitar 9,6 nm sedangkan<br />

sampel dengan struktur spinel campuran<br />

(300 0 C≤x≤800 0 C) pada temperature annealing<br />

500 0 C yaitu sekitar 8,59 nm yang secara umum<br />

merupakan ukuran kristal terkecil dari seluruh<br />

sampel.<br />

KESIMPULAN<br />

Partikel nano ZnCo 2 O 4 fasa berhasil disintesis<br />

dengan metode kopresipitasi pada suhu rendah<br />

(≤100 o C). Transisi struktur partikel nano ZnCo 2 O 4<br />

dari spinel kubik normal ke spinel campuran terjadi<br />

pada T=300 0 C. Ukuran kristal terkecil dimiliki oleh<br />

T=500 0 C yaitu sekitar 8,59 nm dan terbesar oleh<br />

T=800 0 C yaitu sekitar 75,40 nm. Sifat konstanta<br />

dielektrik yang diberikan medan magnet terhadap<br />

temperatur anneling bergantung pada nilai konstanta<br />

dielektrik tanpa medan magnet, tetapi pada<br />

temperatur tertentu yang di induksikan dengan<br />

medan magnet nilai konstanta dielektriknya akan<br />

meningkat seiring dengan induksi medan magnet<br />

yang diberikan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Huda, M. 13 November, 2007. Menyiasati Krisis<br />

Listrik di Indonesia. Jawa Pos halaman 6.<br />

Felix A. Farret, M. Godoy Simo˜es, Integration of<br />

alternative sources of energy, John<br />

Wiley&Sons, NJ, 2006<br />

Hu, Chi-Chang, Liu, Ming-Jue, Chang, Kuo-Hsin,<br />

Anodic deposition of Hydrous ruthenium<br />

oxide for supercapacitors, Journal of Power<br />

Sources 163 (2007) 1126-1131<br />

Hu, Chi-Chang, Chen, Wei-Chun, Effects of<br />

Substrates on the capacitive performance of<br />

RuO x .nH 2 O and activated carbon-RuO x<br />

electrodes for supercapacitors,<br />

Electrochimica Acta 49 (2004) 3469-3477<br />

Arulepp, M., Leis., et al., The advance Carbidederived<br />

carbon based supercapacitor, Journal<br />

of Power Sources 162 (2006) 1460-1466<br />

Karthikeyan, K., Kalpana, D., Renganathan, N.G.,<br />

Synthesis and Characterization of ZnCo 2 O 4<br />

nanomaterial for symmetric supercapacitor<br />

applications, Ionics 15 (2009) 107-110.<br />

Poizot, P., Laruelle, Gruegon, S., Dupont, L.,<br />

Tarascon, JM., Nano-sized transition-metal<br />

oxides as negative-electrode materials for<br />

Lithium-ion batteries, Nature, Vol. 407,<br />

2000.<br />

Sharma, Yogesh, harma, N., et al., Nanophase<br />

ZnCo 2 O 4 as a High Performance Anode<br />

Material for Li-ion Batteries, Adv. Funct.<br />

Mater. 2007, 17, 2855-2861.<br />

Yang, Yanyan, Zhao, Yanqiang, Xiao, Lifen, Zhang,<br />

Lizhi, Nanocrystaline ZnMn 2 O 4 as a novel<br />

lithium-storage material, Electrochemistry<br />

Communications 10 (2008) 1117-1120.<br />

Zhang Gaoke, et al., Comparison of Synthesis<br />

methods, crystal structure and<br />

characterization of strontium cobaltite<br />

powders, Materials Chemistry and Phyisics<br />

99 (2006) 88-95.<br />

C70


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Makhlouf, A., Salah, Magnetic Properties of Co 3 O 4<br />

nanoparticles, J. Magnetism and Magnetic<br />

Materials 246 (2002) 184-190.<br />

Jolivet, J.P., (2004), Moleculer Cluster to extended<br />

Solid Network, Cambridge, 481-487<br />

Pudjatmaka.A.H., (1989), Analisis Kimia<br />

Kuantitatif, Erlangga. Jakarta<br />

Van Vlack, H. Lawrence.1964. Element of Materials<br />

Science, An Introduction Text for<br />

Engineering Student. London: Addison-<br />

Wesley Publishing Company, Inc.<br />

Van Vlack, H. Lawrence. 2001. Element of<br />

Materials Science, An Introduction Text for<br />

Engineering Student. London: Addison-<br />

Wesley Publishing Company, Inc.<br />

C71


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Ketebalan Elektroda Terhadap Nilai Kapasitansi Spesifik dan<br />

“Retained Ratio” Serbuk Gergaji Kayu Karet untuk Pembuatan<br />

Superkapasitor<br />

Yanuar, Iwantono, Erman Taer, Risa Andriani<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau<br />

Email : yanuar_unri@hotmail.com<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan penelitian mengenai efek ketebalan dan “retained ratio” pada elektroda karbon dari serbuk<br />

gergaji kayu karet. Elektroda karet dibuat dalam bentuk pelet melalui proses karbonisasi dan aktivasi fisika<br />

dengan gas CO 2 pada temperatur konstan yaitu 800 0 C, dimana sampel dari serbuk gergaji dilakukan dengan<br />

proses awal yaitu pra-karbonisasi pada temperatur 280 0 C. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pengukuran<br />

sifat fisik dan sifat elektrokimia. [i] pengukuran sifat fisik, meliputi: pengukuran persentase susut massa dari<br />

sampel pada tahap pra-karbonisasi yaitu sebesar 26,63%, densitas rata-rata pada proses karbonisasi dan aktivasi<br />

yaitu sebasar: 0,71 gr/cm 3 dan 0,68 gr/cm 3 dan luas permukaan BET yaitu sebesar: 390,79 cm 3 /gr. [ii]<br />

pengukuran sifat elektrokimia menggunakan metoda voltamogram siklis (CV), meliputi: pengukuran nilai<br />

kapasitansi spesifik tertinggi yaitu: 111,39 F/gr pada ketebalan 0,6 mm dan pengukuran nilai “retained ratio”<br />

tertinggi yaitu: 25,22% pada ketebalan 0,4 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa sebuk gergaji kayu karet (SGKK)<br />

merupakan bahan yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan dasar dalam pembuatan superkapasitor.<br />

Kata kunci : Serbuk gergaji kayu karet (SGKK), karbon aktif, Luas permukaan (BET), Kapasitansi spesifik dan<br />

Superkapasitor<br />

PENDAHULUAN<br />

Teknologi penyimpan energi listrik antara lain<br />

dapat dilakukan oleh: kapasitor, baterai, fuel cell dan<br />

superkapasitor. Dalam proses penyimpanan energi<br />

dan daya, masing-masing penyimpan tersebut<br />

memiliki perbedaan, dimana baterai memiliki<br />

kemampuan untuk menyimpan energi tinggi namun<br />

dayanya cukup kecil; fuel cell mampu menyimpan<br />

energi tinggi dari baterai namun dayanya kecil dari<br />

baterai; kapasitor memiliki energi yang sangat kecil<br />

namun dayanya sangat besar; superkapasitor<br />

memiliki energi besar dan daya yang tinggi (Arepalli<br />

et al., 2005). Berdasarkan perbedaan tersebut, dalam<br />

beberapa tahun terakhir yang menjadi kajian<br />

beberapa ahli adalah superkapasitor karena<br />

kemampuannya dalam menyimpan energi dan daya<br />

sangat besar (Namisnyk, 2003). Superkapasitor<br />

memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan<br />

kapasitor konvensional, diantaranya adalah waktu<br />

hidup yang lebih lama, prinsip dan modelnya yang<br />

sederhana, waktu me-recharge yang pendek serta<br />

aman dalam penggunaannya (Kötz et al. 2002;<br />

Jayalakshmi et al., 2008).<br />

Superkapasitor terdiri dari elektroda, elektrolit,<br />

pemisah (separator) dan pengumpul arus. Bahan<br />

dasar utama yang digunakan sebagai elektroda<br />

karbon adalah material organik dengan kandungan<br />

karbon yang tinggi. Bahan yang memiliki<br />

kandungan karbon yang tinggi antara lain terdapat<br />

pada: kayu, bambu dan tempurung kelapa. Pada<br />

penelitian ini, bahan pembuatan elektroda karbon<br />

yang digunakan adalah serbuk gergaji kayu karet.<br />

Material elektroda karbon merupakan salah satu<br />

teknologi yang penting karena kemampuannya untuk<br />

bereaksi dengan gas dan cairan tidak hanya pada<br />

bagian permukaan saja tetapi pada seluruh bagian<br />

dari elektroda karbon tersebut (Handoko et al, 2008).<br />

Elektroda karbon memiliki bentuk pori yang<br />

berbeda-beda, dimana bentuk pori tersebut ada tiga<br />

macam, yaitu: pori yang berukuran di bawah 2 nm<br />

disebut dengan mikropori, pori berukuran 2 nm-50<br />

nm yang disebut dengan mesopori dan pori yang<br />

berukuran diatas 50 nm disebut struktur struktur<br />

makropori (Inagaki, 2009).<br />

Bentuk pori pada elektroda karbon sangat<br />

mempengaruhi proses difusi ion, dimana difusi<br />

merupakan proses penyerapan ion atau molekul dari<br />

konsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Pada<br />

struktur mikropori, diameter antar pori sangat kecil<br />

sehingga terjadi gaya tarik menarik antara dinding<br />

pembentuk pori tersebut. Gaya tarik-menarik ini<br />

akan menimbulkan energi potensial sehingga<br />

menghasilkan penyerapan yang kuat. Pada<br />

umumnya, struktur mikropori dapat menentukan<br />

besarnya daya serap ion atau molekul pada<br />

permukaan elektroda karbon. Semakin banyak<br />

struktur mikropori, maka penyerapan pada elektroda<br />

karbon tersebut semakin baik. Struktur mesopori<br />

berfungsi sebagai terowongan utama dalam<br />

penyerapan ion atau molekul dan pada struktur<br />

makropori terjadi difusi molekul ke dalam partikel<br />

pori (Gorka, J. et al, 2008).<br />

Perbedaan ketebalan elektroda karbon menjadi<br />

faktor penentu agar ion dapat berdifusi melalui<br />

C72


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

lubang-lubang pori, apabila ketebalan elektroda<br />

karbon semakin tipis, maka akan semakin<br />

memudahkan ion-ion untuk berdifusi. Variasi<br />

ketebalan pada elektroda karbon akan<br />

mempengaruhi nilai dari kapasitansi spesifik<br />

elektroda karbon dan nilai retained ratio. Retained<br />

ratio merupakan perbandingan nilai kapasitansi<br />

spesifik elektroda karbon pada laju scan tertentu<br />

terhadap nilai laju scan awal. Untuk semua sampel,<br />

nilai retained ratio akan menurun seiring dengan<br />

meningkatnya arus pada elektroda karbon (Burke,<br />

2000).<br />

Pada penelitian ini, pembuatan elektoda karbon<br />

dari serbuk gergaji kayu karet dapat dilakukan<br />

dengan proses karbonisasi dan dilanjutkan dengan<br />

proses aktivasi fisika menggunakan gas CO 2 pada<br />

temperatur 800 o C. Setelah terbentuk elektoda karbon<br />

maka nilai kapasitansi spesifik dapat diukur<br />

menggunakan voltammogram siklis (CV).<br />

Pengukuran nilai kapasitansi spesifik ini bergantung<br />

pada luas permukaan dari karbon. Berdasarkan teori,<br />

semakin luas permukaan pori maka nilai kapasitansi<br />

spesifiknya akan semakin tinggi (Xing et al., 2006).<br />

METODOLOGI<br />

Tahap awal yang perlu dilakukan dalam<br />

penelitian ini adalah pemilihan batang kayu karet<br />

(Havea brassiliensi muel arg), dimana kayu yang<br />

akan digunakan adalah kayu yang sudah tidak<br />

produktif lagi. Pemilihan kayu karet merupakan<br />

salah satu faktor penentu agar diperolehnya pelet<br />

atau elektroda karbon yang baik (Srinivasakannan et<br />

al., 2004). Pengolahan kayu karet dilakukan dengan<br />

menggunakan alat pemotong kayu untuk<br />

memperoleh serbuk gergaji kayu karet (SGKK).<br />

Kayu yang sudah menjadi serbuk dijemur agar tidak<br />

mengandung air lagi. Penjemuran ini dilakukan<br />

terus-menerus hingga massa dari serbuk tersebut<br />

menjadi konstan. Tahap pra-karbonisasi merupakan<br />

suatu tahap dimana serbuk gergaji dipanaskan pada<br />

temperatur 280 0 C selama ± 4 jam dalam keadaan<br />

vakum. Disini dapat dilihat perubahan dari fisik<br />

serbuk yang telah dipanaskan dengan sebelum<br />

dipanaskan. Pada temperatur (200-280) 0 C serbuk<br />

kayu secara perlahan akan menjadi karbon dan<br />

warna karbon tersebut akan menjadi coklat gelap<br />

serta mengandung ± 70% karbon swa-merekat.<br />

Proses pra-karbonisasi dilakukan dengan<br />

menggunakan furnace. Penggilingan dilakukan<br />

dengan tujuan untuk menghasilkan serbuk yang<br />

lebih halus dan diperoleh ukuran yang lebih kecil.<br />

Proses penghalusan serbuk dapat dilakukan dengan<br />

menggunakan ball milling, dimana waktu yang<br />

dibutuhkan pada proses ini adalah sekitar 36 jam<br />

dengan waktu istirahat sekali 1 jam.<br />

Tahap selanjutnya yaitu proses pengayakan<br />

dengan menggunakan ayakan yang berukuran 53<br />

μ m agar diperoleh butiran serbuk ≤ 53 μ m . Proses<br />

ini dilakukan agar diperoleh serbuk halus yang dapat<br />

digunakan untuk pembuatan pelet. Ukuran berat<br />

serbuk yang ideal untuk dijadikan pelet adalah 0,65<br />

gr sehingga pelet yang diinginkan tidak terlalu pipih<br />

dan tidak pula terlalu tebal. Langkah selanjutnya<br />

adalah mencetak serbuk menjadi bentuk kepingan<br />

lingkaran dengan menggunakan Hydraulic Press.<br />

dengan memberikan tekanan seberat 8 Ton untuk<br />

memampatkan serbuk di dalam cetakan agar<br />

menjadi padat. Setelah itu dilakukan tahap<br />

karbonisasi yang merupakan suatu proses<br />

pemanasan bahan baku tanpa adanya udara (keadaan<br />

vakum) pada temperatur yang tinggi. Proses<br />

karbonisasi dilakukan pada temperatur 800 0 C<br />

dengan menggunakan gas N 2 . Tujuan dari proses<br />

karbonisasi ini dilakukan adalah untuk<br />

menyingkirkan bahan yang bukan karbon serta<br />

menghindari pelet terurai menjadi abu, dimana<br />

proses ini dilakukan selama 8-9 jam. Setelah proses<br />

karbonisasi, selanjutnya dilakukan proses aktivasi<br />

fisika dengan menggunakan gas CO 2 dengan<br />

temperatur 800 0 C selama 1 jam yang bertujuan<br />

untuk meningkatkan luas permukaan dan<br />

memperbesar diameter pori (Guo et al., 2003).<br />

Dalam kajian ini, sampel yang telah<br />

dikarbonisasi dimasukkan ke dalam furnace dan gas<br />

CO 2 dialirkan masuk ke dalam furnace. Proses ini<br />

diawali pada temperatur bilik hingga mencapai<br />

temperatur 800 0 C dan ditahan selama 1 jam (Park et<br />

al., 2004). Proses pengeluaran sampel sama halnya<br />

dengan karbonisasi, dimana sampel dapat<br />

dikeluarkan jika temperaturnya sudah kembali<br />

menjadi temperatur kamar. Pemolesan dilakukan<br />

apabila proses aktivasi selesai dengan menggunakan<br />

kertas pasir Kovex P1200 dan cetakan untuk<br />

pengaturan ketebalan pelet yang berbentuk balok<br />

padat yang ditengahnya dibuat lubang dengan<br />

diameter sesuai dengan diameter pelet dan ke<br />

dalamannya sesuai dengan ketebalan pelet yang<br />

diinginkan. Pelet dipoleskan secara pelan-pelan<br />

dengan kertas pasir sampai permukaan pelet tersebut<br />

sama rata dengan permukaan balok cetakan. Ukuran<br />

ketebalan pelet dalam penelitian ini adalah 0.3mm,<br />

0.4mm, 0.5mm, 0.6mm, 0.75mm dan 1.0mm.<br />

Kemudian dilakukan tahap pencucian dimana,<br />

tujuan dari pencucian dengan air suling ini adalah<br />

untuk mendapatkan pH 7 atau keadaan yang netral<br />

dari pelet tersebut. Pencucian disini dilakukan<br />

dengan cara merendam pelet di dalam gelas vial<br />

dengan air suling hingga mencapai keadaan netral.<br />

Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan selama 24<br />

jam dalam furnace (oven) yang bertemperatur 110 0 C<br />

untuk mendapatkan elektroda yang kuat. Selanjutnya<br />

elektroda karbon dianalis untuk pengukuran<br />

kapasitansi dengan menggunakan metoda<br />

voltammogram siklis Solatron Interface 1286<br />

dengan menggunakan tiga elektroda yaitu: elektroda<br />

kerja, elektroda referensi dan elektroda counter<br />

dengan larutan elektrolit asam sulfat 1M.<br />

Voltammogram siklis diukur mulai dari potensial 0<br />

C73


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

hingga 1.0 V terhadap elektroda referensi dengan<br />

variasi laju scan (1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 dan<br />

80) mV/s yang dikontrol menggunakan Corrware.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Parameter-parameter yang mempengaruhi<br />

tentang pengaruh ketebalan elektroda karbon dari<br />

serbuk gergaji kayu karet untuk aplikasi pembuatan<br />

superkapasitor antara lain: (1) pengukuran sifat fisik,<br />

meliputi: pengukuran densitas pada saat sebelum<br />

karbonisasi, setelah karbonisasi dan setelah aktivasi<br />

serta pengukuran serapan adsorpsi/desorpsi gas N 2 .<br />

(2) pengukuran sifat elektrokimia, meliputi:<br />

pengukuran kapasitansi spesifik dan “retained ratio”.<br />

Berdasarkan gambar 4.1, dapat diketahui bahwa<br />

dengan melakukan proses pra-karbonisasi pada<br />

temperatur optimum 280 0 C dalam keadaan vakum,<br />

serbuk gergaji kayu karet mengalami perubahan<br />

warna menjadi warna coklat tua. Serbuk gergaji<br />

kayu karet akan mengeluarkan kotoran berupa kerak<br />

yang menempel pada bahagian furnace serta sampel<br />

tersebut juga mengeluarkan bau. Proses prakarbonisasi<br />

dilakukan sebanyak 5 kali, dimana setiap<br />

dilakukan proses pra-karbonisasi maka sampel akan<br />

mengalami susut massa sebesar rata-rata ± 26,63%.<br />

Sampel yang dihasilkan sudah memiliki sifat swamerekat,<br />

hal ini ditandai dengan sifat serbuk berubah<br />

menjadi rapuh dan mudah untuk dihaluskan.<br />

cenderung menurun drastis sebesar ± 28 %. Hal ini<br />

disebabkan bahwa pada saat dilakukan proses<br />

karbonisasi, bahan yang bukan karbon seperti<br />

oksigen dan hidrogen akan menguap dan didorong<br />

keluar sehingga menyebabkan massa, diameter dan<br />

tebal pelet semakin berkurang, data dapat dilihat<br />

pada lampiran pada tabel (4.2; 4.3; 4.4). Selanjutnya<br />

setelah dilakukan proses aktivasi dengan gas CO 2 ,<br />

densitas pelet pun menurun tidak terlalu besar yaitu<br />

sekitar ± 2,8 %. Keadaan ini disebabkan karena<br />

komposisi dari pelet karbon sudah cukup baik<br />

sehingga pada proses aktivasi ini hanya terjadi<br />

perbaikan struktur pori, dimana zat pengotor yang<br />

ada pada permukaan pori akan menguap serta poripori<br />

karbon akan terbuka. Hal ini ditandai dengan<br />

struktur pelet menjadi semakin padat (Leofanti,<br />

Padovan et al. 1998).<br />

Densitas (gr/cm 3 )<br />

1.05<br />

1.00<br />

0.95<br />

0.90<br />

0.85<br />

0.80<br />

0.75<br />

0.70<br />

0.65<br />

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Sebelum karbonisasi<br />

Setelah karbonisasi<br />

Setelah aktivasi<br />

Sampel<br />

Gambar 4.2. Grafik perbandingan densitas pelet berdasarkan<br />

perbedaan karakterisasi<br />

Gambar 4.1. Persentase susut massa sampel<br />

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang<br />

dilakukan oleh Deraman et al, 1998 bahwa apabila<br />

susut massa dari serbuk berkisar 20-40 % setelah<br />

proses pra-karbonisasi maka serbuk tersebut telah<br />

memiliki sifat swa-merekat (tanpa diberi perekat)<br />

dan warna dari serbuk pun akan mengalami<br />

perubahan menjadi lebih gelap.<br />

Perbandingan pengukuran densitas pelet<br />

karbon dari serbuk gergaji kayu karet hasil<br />

penelitian yang telah dilakukan terlihat pada gambar<br />

4.2, bahwa nilai densitas rata-rata pelet untuk<br />

berbagai karakterisasi sebelum karbonisasi, setelah<br />

karbonisasi dan setelah aktivasi pada temperatur<br />

konstan (800 0 C) adalah: 0,99 gr/cm 3 ; 0,71 gr/cm 3<br />

dan 0,68 gr/cm 3 . Perbandingan antara densitas<br />

sebelum karbonisasi dengan setelah karbonisasi<br />

Berdasarkan gambar 4.3., hubungan antara<br />

volume serapan terhadap tekanan relatif dari gas N 2<br />

menyatakan bahwa kurva cenderung mengikuti<br />

adsorpsi isoterm tipe I menurut klasifikasi Brunauer,<br />

deming, Deming dan Teller (B.D.DT), dimana<br />

adsorpsi isotherm tipe I memperlihatkan adsorpsi<br />

satu lapisan (monolayer) maupun adsorpsi beberapa<br />

lapisan (multilayer) merupakan karakteristik<br />

material mikropori yang menunjukkan dataran<br />

tingginya hampir sama rata dengan penyerapan N 2<br />

pada tekanan relatif (Leofanti, Padovan et al. 1998).<br />

Hasil juga menunjukkan bahwa sampel tidak banyak<br />

mengandung mesopori dan makropori. Berdasarkan<br />

hasil pengukuran adsorpsi dan desorpsi gas N 2 dapat<br />

ditentukan sifat fisis dari pelet karbon, dimana data<br />

lengkapnya dapat dilihat pada lampiran tabel 4.5.<br />

Biasanya sifat fisis ini ditunjukkan berdasarkan<br />

bentuk parameter pori, diantaranya: luas permukaan<br />

spesifik dengan metoda BET (S BET ), luas permukaan<br />

mesopori (S meso ) dan volume mikropori (V mikro ) yang<br />

dapat dihitung dengan menggunakan metoda t-plot<br />

pada tekanan relatif (p/p 0 ), serta diameter pori ratarata<br />

dapat diperoleh menggunakan metoda BJH<br />

(Barrett-Joiner-Halenda) dari titik akhir pada data<br />

desorpsi isoterm.<br />

C74


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

160<br />

140<br />

Volume serapapan (cm 3 /gr)<br />

120<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

Adsorpsi<br />

Desorpsi<br />

20<br />

0<br />

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />

Tekan relatif (P/P 0 )<br />

Gambar 4.3. Kurva hubungan volume serapan adsorpsi/desorpsi<br />

gas N 2 terhadap tekanan relatif<br />

Terlihat dengan jelas pada gambar di atas<br />

bahwa volume serapan semakin meningkat terhadap<br />

tekanan relatif. Berdasarkan hasil pengukuran<br />

dengan N 2 dan aktivasi CO 2 pada temperatur 800 0 C<br />

diperoleh besarnya luas permukaan spesifik (S BET )<br />

(390,79 cm 3 /gr), luas Volume mesopori (0,047<br />

m 3 /gr), volume mikropori (0,168 cm 3 /gr) dan<br />

diameter rata-rata pori (2,210 nm). Semakin besar<br />

luas permukaan dari suatu pori maka akan<br />

menyebabkan adsorpsi dari gas N 2 juga akan<br />

semakin meningkat, dimana peningkatan luas<br />

permukaan yang besar disebabkan karena terjadinya<br />

pembukaan pori pada pelet karbon yang awalnya<br />

tertutupi oleh pengotor. Kemudian dengan adanya<br />

gas N 2 maka kotoran tersebut akan terdorong keluar,<br />

hal ini disebabkan oleh jumlah pori elektrodanya<br />

semakin banyak sehingga menyebabkan diameter<br />

pori semakin kecil atau biasa disebut mikropori<br />

(Zhao, Lai et al. 2007).<br />

Pengukuran sifat elektrokimia pada bahasan ini<br />

yaitu menggunakan metoda volatmmogram siklis<br />

atau biasa disingkat dengan CV, dimana pengukuran<br />

CV ini merupakan pengukuran nilai kapasitansi<br />

spesifik dari suatu elektroda karbon. Pengukuran CV<br />

dapat dilakukan menggunakan Solatron interface<br />

1286 dengan menggunakan tiga elektroda, yaitu:<br />

elektroda kerja, elektroda referensi dan elektroda<br />

counter (penghitung) dengan larutan elektrolit asam<br />

sulfat (H 2 SO 4 ) 1M.<br />

Pengukuran CV untuk sampel elektroda karbon<br />

dengan ketebalan yang berbeda-beda (0,3 mm; 0,4<br />

mm; 0,5 mm; 0,6 mm; 0,75 mm dan1,0 mm),<br />

dilakukan pada laju scan dari (1, 5, 10, 20, 30, 40,<br />

50, 60, 70 dan 80) mV/s. Pada gambar (4.4) di<br />

bawah ditunjukkan gambar voltammogram siklis<br />

untuk laju scan 5 mV/s pada setiap ketebalan<br />

elektroda.<br />

Gambar 4.4. Voltammogram siklis berdasarkan perbedaan<br />

ketebalan pada laju scan 5mV/s<br />

Berdasarkan gambar di atas, kurva pada<br />

pengukuran voltammoram siklis untuk scan rate 5<br />

mV/s luas daerah pemisahan charge dan discharge<br />

semakin membesar dengan perbedaan ketebalan. Hal<br />

ini wajar terjadi karena disebabkan semakin tebalnya<br />

elektroda karbon maka semakin banyak jumlah<br />

kandungan karbon dan tentunya jumlah pori pun<br />

semakin banyak sehingga jumlah ion dapat<br />

diakumulasi (Park, Lokhande et al. 2004). Kurva<br />

pada ketebalan 0,5 mm; 0,6 mm; 0,75 mm dan 1,0<br />

mm memiliki bentuk siklus yang hampir sama yaitu,<br />

bentuk segi empat yang sudah terganggu (kuasi<br />

rektangular) yang lebih jauh dari bentuk ideal<br />

superkapasitor (rektangular) (Jisha, Hwang et al.<br />

2009). Hal ini karena semakin tebal elektroda maka<br />

semakin besar pula nilai tahanan transfer arus pada<br />

bidang batas elektrolit dan elektroda (Burke 2000).<br />

Namun pada ketebalan 0,3 mm dan 0,4 mm bentuk<br />

kurva voltammogram yang dihasilkan sudah<br />

mendekati bentuk ideal superkapasitor. Hal ini<br />

disebabkan tahanan transfernya kecil sehingga arus<br />

pada saat charge cepat terisi begitupun pada saat<br />

discharge, arus yang keluar juga akan semakin cepat.<br />

Nilai kapasitansi spesifik berdasarkan<br />

perbedaan ketebalan penelitian yang dilakukan,<br />

pengukuran voltammogram siklis dengan variasi<br />

ketebalan dari 0,3 mm hingga 1,0 mm dengan laju<br />

scan 1 mV/s ditunjukkan pada gambar 4.5.<br />

C75


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

permukaan pori saja, alhasil nilai kapasitansi<br />

spesifiknya pun kecil.<br />

Pada gambar dibawah (4.6.) ditunjukkan<br />

bahwa nilai “retained ratio” pada nilai laju scan 80<br />

mV/s terhadap laju scan 1 mV/s berdasarkan nilai<br />

kapasitansi spesifik.<br />

Gambar 4.5. Diagram nilai kapasitansi spesifik berdasarkan<br />

perbedaan ketebalan pada laju scan 1 mV/s.<br />

Pengukuran Voltammogram siklis<br />

berdasarkan perbedaan ketebalan menunjukkan<br />

hubungan perubahan arus terhadap tegangan yang<br />

akan diasumsikan untuk menentukan besarnya nilai<br />

kapasitansi spesifik dari pelet karbon. Nilai<br />

kapasitansi spesifik dapat diperoleh berdasarkan<br />

(persamaan 2.12), dimana besar arus yang dihasilkan<br />

pada kurva voltammogram siklis dapat ditentukan<br />

dengan cara menentukan nilai tengah dari besar<br />

tegangan, dimana tegangan yang diambil adalah<br />

pada posisi 0,5V.<br />

Seperti yang terlihat dari hasil pengukuran<br />

pada lampiran tabel 4.6., bahwa nilai kapasitansi<br />

spesifik untuk ketebalan 0,3 mm; 0,4 mm; 0,5 mm;<br />

0,6 mm; 0,75 mm dan 1 mm untuk laju scan 1 mV/s<br />

adalah 24,62 F/gr; 24,78 F/gr; 97,00 F/gr; 111,39<br />

F/gr; 102,42 F/gr; 80,78 F/gr. Pada pengukuran ini,<br />

nilai kapasitansi spesifik terbesar adalah 111,39 F/gr<br />

pada ketebalan 0,6 mm dan nilai kapasitansi spesifik<br />

terendah adalah 24,62 F/gr pada ketebalan 0,3 mm.<br />

Hal ini berbeda dengan teori, bahwa semakin tipis<br />

elektroda suatu karbon maka nilai kapasitansi juga<br />

semakin besar (Wang, Chong et al. 2003).<br />

Pada ketebalan 0,6 mm merupakan ketebalan<br />

yang ideal untuk menghasilkan nilai kapasitansi<br />

spesifik, hal ini disebabkan oleh bentuk pori yang<br />

sudah terbuka. Sementara pada ketebalan 1,0 mm,<br />

bentuk pori yang terbuka sangat sedikit/berkurang,<br />

sehingga nilai kapasitansi spesifiknya semakin kecil<br />

begitu juga dengan elektroda yang tipis, pori yang<br />

dihasilkan sudah terbuka namum ion yang masuk<br />

sedikit, karena tinggi pori sudah berkurang. Hal ini<br />

akan menyebabkan nilai kapasitansi spesifik juga<br />

semakin kecil.<br />

Dari data nilai kapasitansi spesifik terlihat<br />

bahwa nilai kapasitansi spesifik semakin berkurang<br />

setiap penambahan laju scan, hal ini dapat dipahami<br />

dengan mudah bahwa pada laju scan rendah, ion<br />

akan berpindah dan berdifusi ke dalam pori dengan<br />

mudah sehingga menyebabkan kapasitansi<br />

spesifiknya menjadi besar. Namun pada laju scan<br />

yang besar, ion-ion sulit untuk berdifusi ke dalam<br />

pori yang mengakibatkan ion-ion hanya berada pada<br />

Gambar 4.6. Diagram hubungan nilai “retained ratio” terhadap<br />

perbedaan ketebalan<br />

“Retained ratio” merupakan perbandingan nilai<br />

kapasitansi spesifik dari laju scan akhir terhadap laju<br />

scan awal. Berdasarkan persamaan 2.13, nilai<br />

“retained ratio” untuk ketebalan 0,3; 0,4; 0,5; 0,6;<br />

0,75;, 1,0 yaitu: 23,20 %; 25,22%; 6,18%; 4,74%;,<br />

2,69%; 2,22%. Nilai “retained ratio” tertinggi yaitu<br />

pada ketebalan 0,4 mm sebesar 25,22% dan<br />

“retained ratio” terendah pada ketebalan 1,0 dengan<br />

nilai 2,22%. Dapat diketahui bahwa pada ketebalan<br />

0,4 mm memiliki nilai “retained ratio” yang paling<br />

besar. Hal ini disebabkan pada ketebalan 0,4 mm,<br />

ion dalam pori elektroda dapat masuk dengan mudah<br />

walaupun pada laju scan yang tinggi. Sebaliknya<br />

nilai “retained ratio” yang terendah yaitu pada<br />

ketebalan 1,0 mm, hal ini disebabkan karena ion<br />

yang masuk ke dalam pori elektroda pada scan rate<br />

tinggi sulit untuk masuk karena porinya tinggi dan<br />

kemungkinan sebagian ion tidak masuk ke dalam<br />

pori (Fuertes, Lota et al. 2005). Sehingga dapat<br />

disimpulkan, bahwa kapasitansi yang dihasilkan<br />

untuk ketebalan 0,4 mm tetap besar walaupun pada<br />

laju scan tinggi sehingga “retained ratio” yang<br />

dihasilkan paling besar.<br />

Pada gambar 4.7, dapat dilihat perbandingan<br />

nilai CV pada ketebalan 0,4mm dan 1,0 mm dengan<br />

laju scan rate yang berbeda(1, 5,10, 50, 80) mV/s.<br />

Dari gambar dapat diketahui bahwa, pada ketebalan<br />

pada 0,4 mm meskipun laju scannya diperbesar<br />

namun tetap menghasilkan luas daerah charge<br />

discharge yang semakin besar. Hal ini disebabkan<br />

oleh proses reaksi reduksi oksidasi dan difusi ion<br />

yang masuk ke dalam pori sangat cepat sehingga<br />

menghasilkan kapasitansi dan “retained ratio” yang<br />

semakin besar. Maupun sebaliknya, pada ketebalan<br />

1,0 mm terlihat bahwa meskipun laju scannya<br />

diperbesar namun tetap menghasilkan luas daerah<br />

charge discharge yang hampir sama besar. Hal ini<br />

disebabkan oleh ion tidak masuk sempurna ke dalam<br />

C76


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

pori sehingga menyebabkan nilai “retained ratio”nya<br />

sangat kecil (Park, Lokhande et al. 2004).<br />

Arus (A)<br />

Arus (A)<br />

0.04<br />

0.03<br />

0.02<br />

0.01<br />

0.00<br />

-0.01<br />

-0.02<br />

-0.03<br />

-0.04<br />

0.15<br />

0.10<br />

0.05<br />

0.00<br />

-0.05<br />

-0.10<br />

-0.15<br />

Ketebalan 0,4 mm<br />

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />

Potensial (V)<br />

Ketebalan 1,0 mm<br />

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2<br />

Potensial (V)<br />

Laju scan 1 mV/s<br />

Laju scan 5 mV/s<br />

Laju scan 10 mV/s<br />

Laju scan 50 mV/s<br />

Laju scan 80 mV/s<br />

Laju scan 1 mV/s<br />

Laju scan 5 mV/s<br />

Laju scan 10 mV/s<br />

Laju scan 50 mV/s<br />

Laju scan 80 mV/s<br />

Gambar 4.7. Perbandingan CV pada ketebalan 0,4 mm dan 1,0 mm<br />

Apabila nilai kapasitansi spesifik elektroda<br />

karbon dari serbuk gergaji kayu karet (SGKK)<br />

dibandingkan dengan nilai kapasitansi spesifik<br />

elektroda karbon dari tempurung kelapa dengan<br />

menggunakan metode yang sama yaitu metode<br />

voltammogram siklis, dimana nilai kapasitansi<br />

spesifik pelet karbon dari serbuk gergaji kayu karet<br />

tertinggi adalah 111,39 F/gr dan nilai kapasitansi<br />

spesifik dari tempurung kelapa adalah 79 F/gr<br />

(Obreja 2008). Sementara itu, nilai kapasitansi<br />

spesifik terendah pada pelet karbon serbuk gergaji<br />

kayu karet adalah 24,62 F/gr dan nilai kapasitansi<br />

spesifik dari tempurung kelapa adalah 20,79 F/gr.<br />

Perbandingan ”retained ratio” untuk masing-masing<br />

bahan yaitu: 25,22% dengan ketebalan 0,4 mm pada<br />

elektroda serbuk gergaji kayu karet dan 22,04%<br />

dengan ketebalan 0,3 mm pada elektroda dari<br />

tempurung kelapa, hal ini menunjukkan bahwa<br />

perbedaan ketebalan untuk elektroda tersebut tidak<br />

jauh berbeda. Berdasarkan hasil perbandingan<br />

tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa nilai<br />

kapasitansi spesifik pada elektroda karbon serbuk<br />

gergaji kayu karet (SGKK) memiliki nilai yang lebih<br />

baik dan ”retained ratio” yang tidak jauh berbeda<br />

sehingga elektroda dari serbuk gergaji kayu karet<br />

dapat diaplikasikan untuk pembuatan superkapasitor.<br />

KESIMPULAN<br />

Kesimpulan dari peneltian ini menunjukkan<br />

bahwa persentase susut massa pada proses prakarbonisasi<br />

adalah sekitar 26,63%, hal ini<br />

disebabkan karena pada saat dilakukan proses prakarbonisasi<br />

pada suhu 280 0 C kandungan air dari<br />

serbuk telah menghilang. Nilai densitas rata-rata<br />

sebelum proses karbonisasi adalah: 0,99 gr/cm 3 ,<br />

setelah karbonisasi, nilai densitas rata-rata menurun<br />

drastisn yaitu sebesar: 0,71 gr/cm 3 dan setelah<br />

dilakukan proses aktivasi, nilai densitas rata-rata<br />

yaitu: 0,68 gr/cm 3 .Pengaktifan CO 2 pada proses<br />

aktivasi telah menunjukkan peningkatan luas<br />

permukaan karena pengaktifan CO 2 telah<br />

menghasilkan pori-pori yang baru. Nilai kapasitansi<br />

spesifik tertinggi pada laju scan 1 mV/s adalah pada<br />

ketebalan 0,6 mm yaitu: 111,39, dan nilai retained<br />

ratio yang tertinggi adalah pada ketebalan 0,4 mm<br />

yaitu: 25,22%. Hal ini dipengaruhi oleh proses<br />

difusi/peyerapan di dalam pori.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ahmadpour, A. and D. D. Do (1996). "The<br />

preparation of active carbons from coal by<br />

chemical and physical activation." Carbon<br />

34(4): 471-479.<br />

Arepalli, S., H. Fireman, C. Huffman, P. Moloney,<br />

P. Nikolaev, L. Yowell, C.D. Higgins, K.<br />

Kim, P. A. Kohl, S. P. Turano, and W.<br />

J.Ready (2005). "Carbon-nanotube-based<br />

electrochemical double-layer capacitor<br />

technologies for spaceflight applications."<br />

JOM Journal of the Minerals, Metals and<br />

Materials Society 57(12): 26-31.<br />

Burke, A. (2000). "Ultracapacitors: why, how, and<br />

where is the technology." Journal of Power<br />

Sources 91(1): 37-50.<br />

Deraman, M., R. Omar, A. G. Harun (1998).<br />

"Young's Modulus of Carbon from Selfadhesive<br />

Carbon Grain of Oil Palm<br />

Bunches." Journal of Materials Science<br />

Letters 17(24): 2059-2060.<br />

Fuertes, A. B., G. Lota, T. A. Centeno, E.<br />

Frackowiak (2005). "Templated mesoporous<br />

carbons for supercapacitor application."<br />

Electrochimica Acta 50(14): 2799-2805.<br />

Guo, J. and A. C. Lua (2000). "Effect of surface<br />

chemistry on gas-phase adsorption by<br />

activated carbon prepared from oil-palm<br />

stone with pre-impregnation." Separation and<br />

Purification Technology 18(1): 47-55.<br />

Guo, J. and A. C. Lua (2003). "Textural and<br />

chemical properties of adsorbent prepared<br />

from palm shell by phosphoric acid<br />

activation." Materials Chemistry and Physics<br />

80(1): 114-119.<br />

Jayalakshmi, M. and K. Balasubramanian (2008).<br />

"Simple Capacitors to Supercapacitors - An<br />

C77


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Overview." Int. J. Electrochem. Sci 3: 1196 -<br />

1217.<br />

Jisha, M. R., Y. J. Hwang, J. S. Shin, K. S. Nahm, T.<br />

Prem Kumar, K. Karthikeyan, N.<br />

Dhanikaivelu, D. Kalpana, N. G.<br />

Renganathan, A. Manuel Stephan (2009).<br />

"Electrochemical characterization of<br />

supercapacitors based on carbons derived<br />

from coffee shells." Materials Chemistry and<br />

Physics 115(1): 33-39.<br />

Kötz, R. and M. Carlen (2000). "Principles and<br />

applications of electrochemical capacitors."<br />

Electrochimica Acta 45(15-16): 2483-2498.<br />

Kötz, R., M. Bärtschi, et al. (2002). HY.POWER - A<br />

Fuel Cell Car Boosted with Supercapacitors.<br />

The 12th International Seminar on Double<br />

Layer Capacitors and Similar Energy Storage<br />

Devices. Deerfield Beach, USA.<br />

Leofanti, G., M. Padovan, G. Tozzola, B. Venturelli<br />

(1998). "Surface area and pore texture of<br />

catalysts." Catalysis Today 41(1-3): 207-219.<br />

Lewandowski, A. and M. Galinski (2007). "Practical<br />

and theoretical limits for electrochemical<br />

double-layer capacitors." Journal of Power<br />

Sources 173(2): 822-828.<br />

Namisnyk, A. M. (2003). A SURVEY OF<br />

ELECTROCHEMICAL<br />

SUPERCAPACITOR TECHNOLOGY.<br />

Faculty of Engineering, University of<br />

Technology, Sydney.<br />

Obreja, V. V. N. (2008). "On the performance of<br />

supercapacitors with electrodes based on<br />

carbon nanotubes and carbon activated<br />

material--A review." Physica E: Lowdimensional<br />

Systems and Nanostructures<br />

40(7): 2596-2605.<br />

Pandolfo, A. G. and A. F. Hollenkamp (2006).<br />

"Carbon properties and their role in<br />

supercapacitors." Journal of Power Sources<br />

157(1): 11-27.<br />

Park, B.-O., C. D. Lokhande, Hyung-Sang Park,<br />

Kwang-Deog Jung, Oh-Shim Joo (2004).<br />

"Performance of supercapacitor with<br />

electrodeposited ruthenium oxide film<br />

electrodes--effect of film thickness." Journal<br />

of Power Sources 134(1): 148-152.<br />

Prakash Kumar, B. G., K. Shivakamy, Lima Rose<br />

Miranda, M. Velan (2006). "Preparation of<br />

steam activated carbon from rubberwood<br />

sawdust (Hevea brasiliensis) and its<br />

adsorption kinetics." Journal of Hazardous<br />

Materials 136(3): 922-929.<br />

Srinivasakannan, C. and M. Zailani Abu Bakar<br />

(2004). "Production of activated carbon from<br />

rubber wood sawdust." Biomass and<br />

Bioenergy 27(1): 89-96.<br />

Wang, Y., N. Chong, Y. L. Cheng, H. L. W. Chan,<br />

C. L. Choy (2003). "Dependence of<br />

capacitance on electrode configuration for<br />

ferroelectric films with interdigital<br />

electrodes." Microelectronic Engineering<br />

66(1-4): 880-886.<br />

Xing, W., S. Z. Qiao, R. G. Ding, F. Li, G.Q. Lu,<br />

Z.F. Yan, H. M. Cheng (2006). "Superior<br />

electric double layer capacitors using ordered<br />

mesoporous carbons." Carbon 44(2): 216-<br />

224.<br />

Zhao, J., C. Lai, Yang Dai, Jinging Xie (2007).<br />

"Pore structure control of mesoporous carbon<br />

as supercapacitor material." Materials Letters<br />

61(23-24): 4639-4642.<br />

Zhu, Y., H. Hu, Wencui Li, Xiaoyong Zhang (2007).<br />

"Resorcinol-formaldehyde based porous<br />

carbon as an electrode material for<br />

supercapacitors." Carbon 45(1): 160-165.<br />

C78


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Prototipe Pengangkat Cincin Otomatis pada Alat Pengukur Tegangan<br />

Permukaan Zat Cair Berbasis PC<br />

Achmad Zulkarnain 1 , Frida U. Ermawati 2<br />

1,2 Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />

Email : zachmad10@yahoo.ac.id<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini melaporkan hasil penggunaan motor stepper hybrid 1,8˚ tipe unipolar pada prototipe pengangkat<br />

cincin otomatis sebagai sarana pendukung dalam menentukan nilai tegangan permukaan zat cair. Guna<br />

mengetahui hubungan antara jumlah sudut putar motor stepper terhadap posisi ketinggian cincin terhadap<br />

permukaan zat cair, maka dilakukan pengukuran dengan merancang susunan alat yang menggunakan PC sebagai<br />

pengendali sudut dan arah putar dari motor. Diharapkan nantinya rancangan motor stepper hybrid 1,8˚ tipe<br />

unipolar tersebut dapat menggantikan fungsi dongkrak manual yang selama ini telah dipergunakan untuk<br />

mengatur posisi ketinggian cincin terhadap permukaan zat cair. Mengingat perubahan sudut putar dan arah putar<br />

motor stepper terhadap posisi ketinggian cincin dapat dikendalikan secara otomatis, maka otomasi ini tentunya<br />

akan mempermudah peneliti untuk mengetahui nilai tegangan permukaan suatu zat cair. Kemudahan tersebut<br />

dimungkinkan karena data perubahan sudut putar terhadap posisi ketinggian cincin yang telah diperoleh dalam<br />

penelitian ini adalah linier. Perubahan posisi ketinggian cincin terhadap sudut putar motor adalah sebesar 0,4<br />

cm/1,8˚. Dengan kata lain, penggunaan motor stepper pada prototipe pengangkat cincin otomatis dapat<br />

digunakan sebagai pengganti fungsi dongkrak manual, sehingga harapan di atas dapat terwujud. Penelitian ini<br />

mencakup persiapan, perencanaan, dan perakitan alat sampai dengan pengujian (studi kelayakan) hasil<br />

rancangan dengan cara mengeset langsung pada alat eksperimen pengukur tegangan permukaan.<br />

Kata kunci : Tegangan Permukaan, Motor Stepper, PC.<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Tegangan permukaan merupakan sifat<br />

permukaan suatu zat cair yang berperilaku layaknya<br />

selapis kulit tipis yang kenyal atau lentur akibat<br />

pengaruh tegangan. Pengaruh tegangan ini<br />

disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik antar<br />

molekul di permukaan zat cair tersebut. Untuk<br />

mengetahui seberapa besar nilai tegangan<br />

permukaan suatu zat cair, maka cara sederhana yang<br />

dilakukan adalah dengan melakukan praktikum<br />

terhadap beberapa zat cair dengan menggunakan<br />

susunan alat seperti Gambar 1di bawah ini.<br />

cincin. Indarniati telah mencoba mengukur tegangan<br />

permukaan dengan cara memanfaatkan induksi<br />

elektromagnetik sebagai pengganti Newtonmeter,<br />

namun masih menggunakan dongkrak manual.<br />

Karena masih mengunakan dongkrak, maka posisi<br />

bejana masih sulit dikontrol terhadap posisi cincin,<br />

sehingga data tegangan permukaan yang diperoleh<br />

dari Newtonmeter masih belum linier. Oleh karena<br />

itu melalui paper kolokium ini, penulis berinisiatif<br />

untuk menggunakan motor stepper dan rangkaian<br />

driver sebagai penggerak otomatis cincin<br />

(menggantikan dongkrak) dengan harapan agar<br />

nantinya data tegangan permukaan menjadi linear.<br />

Jadi pada paper kolokium ini penulis hanya<br />

membahas prototipe pengangkat cincin otomatis<br />

(lihat Gambar 2), sedangkan uji linieritas data<br />

tegangan permukaan akan ditindaklanjuti pada<br />

penelitian skripsi.<br />

Gambar 1. Alat pengukur tegangan permukaan yang selama ini<br />

dipergunakan di Laboratorium Eksperimen <strong>Fisika</strong> FMIPA<br />

UNESA. Pada set alat tersebut naik turun bejana diatur oleh<br />

dongkrak manual.<br />

Pada Gambar 1, Newtonmeter difungsikan<br />

untuk mengukur nilai gaya tarik maksimum pada<br />

cincin saat pengambilan data, sedangkan dongkrak<br />

digunakan untuk mengatur posisi bejana terhadap<br />

Gambar 2. Rancang bangun pengatur posisi cincin pada alat<br />

pengukur tegangan permukaan sebagai pengganti dongkrak.<br />

D1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

B. DASAR TEORI<br />

1. Tegangan Permukaan<br />

Besarnya tegangan permukaan merupakan<br />

usaha yang diperlukan cincin untuk menciptakan<br />

suatu permukaan baru, sifat permukaan yang<br />

dimiliki oleh suatu zat cair yang berperilaku<br />

layaknya selapis kulit tipis yang kenyal atau lentur<br />

akibat pengaruh tegangan. Tegangan ini terjadi<br />

ketika molekul di permukaan suatu cairan saling<br />

tarik-menarik satu sama lain, sehingga menciptakan<br />

pembatas antara udara dengan cairan itu. Dalam<br />

praktikum, tegangan permukaan (α) didefinisikan<br />

sebagai usaha yang diperlukan cincin untuk<br />

menciptakan suatu permukaan baru, dirumuskan<br />

pada Persamaan 1.<br />

Dengan W = Usaha (F.s) dalam Nm<br />

A = Luas permukaan cincin dalam cm 2<br />

F = gaya tarik (Newton),<br />

l = panjang permukaan cairan yang menutupi<br />

cincin (meter).<br />

Cincin yang digunakan terbuat dari bahan<br />

alumunium dengan tinggi ± 2 cm, mempunyai dua<br />

permukaan sebelah luar dan dalam, sehingga<br />

panjang permukaan yang terkena gaya permukaan<br />

yang terkena gaya permukaan menjadi l = 2π d,<br />

dengan d adalah diameter cincin, sehingga<br />

Persamaan 1 menjadi Persamaan 2.<br />

2. Motor Stepper<br />

(1)<br />

(2)<br />

Motor stepper merupakan motor yang<br />

mengubah pulsa listrik yang diberikan kepadanya<br />

menjadi gerakan rotor yang diskrit disebut step.<br />

Misalnya jika satu derajat per langkah (step) maka<br />

motor tersebut memerlukan 360 pulsa untuk<br />

bergerak sebanyak satu putaran (pada intinya stepper<br />

motor mengubah pulsa listrik menjadi suatu<br />

perpindahan gerak yang tertentu secara rotasi).<br />

Ukuran kerja dari stepper biasanya diberikan dalam<br />

jumlah langkah per putaran per detik. Keunggulan<br />

motor stepper lainnya adalah frekuensi pulsa<br />

inputnya tidak tergantung pada beban. Perputaran<br />

motor stepper adalah perputaran yang diskrit dan<br />

arah perputarannya dapat searah ataupun berlawanan<br />

dengan arah jarum jam. Struktur sederhana (dalam<br />

penampang melintang) dari motor stepper tampak<br />

pada Gambar 3berikut ini.<br />

Gambar 3. Penampang melintang Motor Stepper.<br />

Jika dilihat dari prinsip kerjanya, ada tiga jenis<br />

motor stepper, yaitu Permanent Magnet (PM),<br />

Variable Reluctance (VR), dan Permanent Magnet-<br />

Hybrid (PM-H) dimana masing-masing jenis dari<br />

motor stepper tersebut memiliki karakteristik yang<br />

berbeda-beda.<br />

a. Permanent Magnet (PM)<br />

Motor stepper berjenis PM (lihat Gambar 4)<br />

adalah motor stepper yang rotornya merupakan<br />

magnet yang permanen, stator memperoleh medan<br />

magnet dari lilitan yang melingkari stator tersebut<br />

sehingga stator menghasilkan kutub-kutub magnet.<br />

Dengan adanya interaksi antara fluks rotor dengan<br />

gaya magnet stator maka motor stepper ini akan<br />

bergerak atau beroperasi. Terjadinya fluks<br />

dikarenakan pembiasan dari magnet rotor. Ciri-ciri<br />

dari motor stepper bejenis PM adalah pada saat<br />

keadaan tidak ada aliran arus (biasa disebut keadaan<br />

tanpa eksitasi) maka jika motor ini diputar terdapat<br />

torsi yang menahan atau melawan.<br />

Gambar 4. Konstruksi Motor Stepper Magnet Permanent.<br />

b. Variable Reluctance (VR)<br />

Motor stepper jenis ini (lihat Gambar 5)<br />

memiliki bentuk rotor yang unik yaitu berbentuk<br />

silinder dan pada semua unitnya memiliki gerigi<br />

yang memiliki hubungan dengan kutub-kutub stator.<br />

Rotor pada magnet tipe ini tidak menggunakan<br />

magnet permanen. Stator terlilit oleh lilitan sehingga<br />

pada saat dialiri arus, stator akan menghasilkan<br />

kutub magnet. Jumlah gerigi pada rotor akan<br />

menentukan langkah atau step motor. Perbedaan<br />

motor stepper berjenis PM dengan VR yaitu motor<br />

berjenis VR memiliki torsi yang relatif lebih kecil<br />

dibanding dengan motor stepper berjenis PM. Hal<br />

D2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

lain yang dapat dilihat adalah sisa kemagnetan VR<br />

sangat kecil, sehingga pada saat motor stepper ini<br />

tidak dialiri arus maka ketika diputar tidak ada torsi<br />

yang melawan. Sudut langkah motor stepper berjenis<br />

VR ini bervariasi yaitu sekitar 7,5 sampai dengan<br />

30 . Motor stepper berjenis VR ini memiliki torsi<br />

yang kecil. Sering ditemukan pada printer dan<br />

instrumen-instrumen pabrik yang ringan yang tidak<br />

membutuhkan torsi yang besar.<br />

Gambar 5. Konstruksi Motor Stepper Variable Reluctance.<br />

Penjelasan mengenai gambar sama seperti diberikan di atas.<br />

Seperti yang terlihat pada Gambar 5 motor ini<br />

mempunyai 3 pasang kutub stator (A, B, C) yang<br />

diset terpisah 15°. Arus dialirkan ke kutub A melalui<br />

lilitan motor yang menyebabkan tarikan magnetic<br />

yang menyejajarkan gigi rotor ke kutub A. Jika kita<br />

memberi energi ke kutub B maka stator akan<br />

menyebabkan rotor berputar 15 derajat sejajar kutub<br />

B. Proses ini akan berlanjut ke kutub C dan kembali<br />

ke kutub A, searah dengan putaran jarum jam.<br />

c. Permanent Magnet-Hybrid (PM-H)<br />

Permanent magnet hybrid (lihat Gambar 6)<br />

merupakan penyempurnaan dari kedua motor<br />

stepper sebelumnya, dimana motor stepper ini<br />

memiliki kecepatan 1000step/detik namun juga<br />

memiliki torsi yang cukup besar sehingga dapat<br />

dikatakan bahwa PM-H merupakan motor stepper<br />

kombinasi antara PM dan VR motor stepper. Motor<br />

hybrid mengkombinasikan karakteristik terbaik dari<br />

motor variabel reluktansi dan motor magnet<br />

permanen. Motor ini dibangun dengan kutub stator<br />

yang banyak-gigi dan rotor magnet permanen. Motor<br />

hybrid standar mempunyai 200 gigi rotor dan<br />

berputar pada 1,8 derajat sudut step. Karena<br />

memperlihatkan torsi tinggi dan dinamis serta<br />

berputar dengan kecepatan yang tinggi maka motor<br />

ini digunakan pada aplikasi yang sangat luas.<br />

Sedangkan jika dilihat dari jenis lilitan yang<br />

ada di dalamnya, motor stepper dapat dibagi menjadi<br />

2 jenis yaitu:<br />

a. Motor Stepper Unipolar<br />

Motor stepper unipolar terdiri dari dua lilitan<br />

yang memiliki center tap. Center tap dari masingmasing<br />

lilitannya ada yang berupa kabel terpisah,<br />

ada juga yang sudah terhubung di dalamnya<br />

sehingga center tap yang keluar hanya satu kabel.<br />

Untuk motor stepper yang center tapnya ada pada<br />

masing-masing lilitan, kabel inputannya ada 6 buah.<br />

Namun jika center tapnya sudah terhubung pada<br />

statornya, maka kabel inputannya hanya 5 kabel.<br />

Center tap dari motor stepper dapat dihubungkan ke<br />

pentanahan atau ada juga yang dihubungkan +VCC.<br />

Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis driver yang<br />

digunakan. Sebagai Gambaran dapat dilihat<br />

konstruksi motor stepper unipolar pada Gambar 7 di<br />

bawah ini.<br />

Gambar 7. Konstruksi Motor Stepper Unipolar.<br />

Bentuk asli dari susunan motor stepper tipe unipolar<br />

ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.<br />

Gambar 8. Bentuk motor stepper unipolar<br />

Gambar 6. Konstruksi Motor Stepper Jenis PM-hybrid<br />

Gambar 9. Bagian-bagian motor stepper tipe unipolar. Penjelasan<br />

mengenai gambar diberikan di teks bawah.<br />

Dari Gambar 9 dapat dilihat bagian-bagian dari<br />

motor stepper tipe unipolar yaitu tersusun atas rotor,<br />

stator, bearing, casing dan sumbu. Sumbu<br />

merupakan pegangan dari rotor dimana sumbu<br />

merupakan bagian tengah dari rotor, sehingga ketika<br />

rotor berputar, maka sumbu ikut berputar. Stator<br />

memiliki dua bagian yaitu pelat inti dan lilitan. Plat<br />

D3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

inti dari motor stepper ini biasanya menyatu dengan<br />

casing. Casing motor stepper terbuat dari aluminium<br />

dan ini berfungsi sebagai dudukan bearing,<br />

sedangkan pemegang stator berupa baut sebanyak<br />

empat buah. Di dalam motor stapper terdapat dua<br />

buah bearing, yaitu bearing bagian atas dan bearing<br />

bagian bawah.<br />

Gambar 13. Pulsa Driver Bipolar mode Full Step. Penjelasan<br />

mengenai gambar diberikan di teks bawah.<br />

Gambar 10. Bagian Stator Motor stepper tipe unipolar.<br />

Gambar 11. Bagian Rotor Motor stepper tipe unipolar.<br />

b. Motor Stepper Bipolar<br />

Motor stepper bipolar memiliki dua buah lilitan.<br />

Perbedaan motor stepper ini dari tipe unipolar adalah<br />

bahwa pada tipe bipolar lilitannya tidak memiliki<br />

center tap. Keunggulan tipe bipolar yaitu memiliki<br />

torsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan tipe<br />

unipolar untuk ukuran yang sama. Pada motor<br />

stepper tipe ini hanya memiliki empat kabel<br />

masukan. Namun untuk menggerakan motor stepper<br />

tipe ini lebih rumit jika dibandingkan dengan<br />

menggerakan motor stepper tipe unipolar. Sebagai<br />

Gambaran dapat dilihat konstruksi motor stepper<br />

bipolar pada Gambar 12 di bawah ini.<br />

3. Driver<br />

Gambar 12. Konstruksi Motor Stepper Bipolar.<br />

Untuk menggerakan motor stepper berbeda jika<br />

dibandingkan dengan menggerakan motor dc,<br />

dimana untuk menggerakan motor stepper<br />

diperlukan rangkaian driver yang fungsinya untuk<br />

memberikan catu ke motor stepper. Driver tidak<br />

hanya mengeluarkan tegangan, namun tegangan<br />

yang dikeluarkan juga harus dalam bentuk pulsa.<br />

Karena motor stepper bergerak step by step sesuai<br />

dengan pulsa. Bentuk pulsa yang dikeluarkan oleh<br />

driver dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.<br />

Gambar 14. Pulsa Driver Unipolar mode Full Step. Penjelasan<br />

mengenai gambar juga diberikan di teks bawah.<br />

Bentuk pulsa seperti Gambar 13 dan 14<br />

dikeluarkan oleh driver sebagai syarat untuk dapat<br />

menggerakan motor stepper. Tinggi pulsa yang<br />

dikeluarkan juga harus sesuai dengan spesifikasi<br />

tegangan motor stepper yaitu kisaran 5 sampai 36<br />

volt. Pada Gambar 13 dan 14 sebenarnya tinggi<br />

pulsa memiliki bentuk yang sama hanya saja<br />

susunannya berbeda. Gambar 13 adalah susunan<br />

pulsa untuk menggerakan motor stepper tipe bipolar,<br />

sedangkan Gambar 14 menunjukkan susunan pulsa<br />

untuk menggerakan motor stepper tipe unipolar.<br />

Driver untuk motor stepper unipolar lebih<br />

sederhana dari driver tipe bipolar karena driver<br />

untuk motor stepper tipe unipolar cukup dengan<br />

dilalui arus satu arah saja sedangkan untuk tipe<br />

bipolar, drivernya harus dapat dilalui oleh arus<br />

dengan dua arah. Beranjak dari alasan ini maka<br />

motor stepper tipe unipolar lebih banyak digunakan<br />

karena lebih sederhana untuk menggerakannya.<br />

Driver untuk motor stepper tipe unipolar<br />

menggunakan IC ULN2003, ULN2004 atau dapat<br />

juga dengan menggunakan transistor. Jika<br />

menggunakan transistor, maka transistor difungsikan<br />

sebagai saklar untuk menghubungkan motor stepper<br />

ke Vcc atau ke ground tergantung dari hubungan<br />

common motor stepper. Untuk menggerakan motor<br />

stepper tipe bipolar dapat menggunakan IC L293,<br />

L298 atau menggunakan transistor yang dirangkai<br />

secara Darlington.<br />

Driver dapat menggunakan empat masukan<br />

langsung atau hanya dengan dua masukan saja. Jika<br />

menggunakan empat masukan secara langsung maka<br />

driver berfungsi untuk menguatkan sinyal tersebut.<br />

Namun jika menggunakan dua masukan saja maka<br />

masih diperlukan Translator (penerjemah).<br />

4. Catu Daya<br />

Catu daya merupakan bagian yang penting<br />

dalam sebuah sistem karena tanpa catu daya sistem<br />

tidak akan bekerja. Dalam sistem pengatur motor<br />

stepper ini catu daya yang digunakan memiliki dua<br />

buah tegangan keluaran yaitu: +5Volt dan<br />

D4


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

+2.46Volt. +5Volt digunakan untuk mencatu board<br />

dari driver, sedangkan +2.46Volt digunakan untuk<br />

mencatu motor stepper.<br />

5. PC<br />

PC merupakan basis pengontrol pada motor<br />

stepper dengan menggunakan progaram Borland<br />

Delphi 7.0 sebagai pemberi perintah untuk mengatur<br />

kecepatan dan mode gerak dari motor stepper [3] .<br />

Diagram alir pada Gambar 15 menunjukkan mode<br />

gerak trapesium.<br />

(on) dan daerah mati (cut off) sebagai saklar terbuka<br />

(off). TIP 3055 mempunyai hfe antara 20 sampai 70,<br />

tegangan basis dan kolektor sebesar 100 Volt, arus<br />

kolektor maksimal 15 Ampere, dan daya 90 Watt.<br />

Dalam hal ini TIP 3055 berfungsi sebagai saklar dan<br />

penguat. Sedangkan TIP 31A merupakan transistor<br />

linear daya menengah untuk aplikasi pensaklaran.<br />

Transistor ini mempunyai hfe antara 10 sampai 50<br />

dan arus kolektor 3 Ampere. Rangkaian driver ini<br />

membutuhkan dioda 1N 4002 dan tahanan 220 Ω<br />

masing-masing 4 buah. Skema rangkaian dapat<br />

dilihat pada gambar di bawah ini:<br />

Gambar 15: Diagram Mode Gerak Motor Stepper<br />

C. DIAGRAM ALIR PENELITIAN<br />

Pengukuran Tegangan<br />

Permukaan<br />

HENDAK DIRANCANG PROTOTIPE PENGANGKAT CINCIN<br />

OTOMATIS BERBASIS PC<br />

Gambar 17. Skema rangkaian driver dengan menggunakan<br />

transistor.<br />

2. Catu daya keluaran 3 Volt<br />

Adapun skema mengenai catu daya adalah seperti<br />

gambar di bawah ini:<br />

Komponen Rangkaian<br />

Komponen terdiri dari:<br />

a. AVO meter<br />

b. Dongkrak<br />

manual<br />

c. Cincin<br />

Alumunium<br />

d. Jangka Sorong<br />

e. Catu daya<br />

keluaran 3<br />

volt dengan arus<br />

2 A.<br />

f. Driver motor<br />

stepper.<br />

g. Motor stepper<br />

PM-H 1,8 tipe<br />

unipolar<br />

Perancangan<br />

Komponen<br />

Catu Daya 3 V<br />

Driver Motor<br />

Interface PC<br />

Penggambaran<br />

Rangkaian<br />

1. Catu Daya<br />

keluaran 3 volt.<br />

(Lihat Gambar 18<br />

dan 19).<br />

2. Driver Motor<br />

Stepper (Lihat<br />

Gambar 17 dan 19).<br />

3. Interface PC<br />

(Lihat Gambar 19).<br />

4. Motor Stepper<br />

Hybrid 1,8 tipe<br />

unipolar (Lihat<br />

Gambar 19).<br />

Variabel-Variabel<br />

Penelitian<br />

1. Variabel Kontrol:<br />

sudut putar motor<br />

stepper<br />

dan<br />

kecepatannya.<br />

2. Variabel Bebas:<br />

arah sudut putar motor<br />

stepper dan waktu<br />

putarnya.<br />

3. Variabel Terikat:<br />

jarak tempuh cincin<br />

terhadap sudut putar<br />

motor dan percepatan<br />

yang terjadi pada saat<br />

naik turunnya cincin.<br />

Motor Stepper<br />

Pengambilan Data<br />

- Jarak tempuh cincin<br />

- Sudut Putar motor<br />

Gambar 18. Skema rangkaian catu daya keluaran 3 Volt.<br />

3. PC Interface<br />

PC interface ini memanfaatkan kabel parallel port<br />

DB-25.<br />

Interpretasi Hasil<br />

Pelaporan<br />

Gambar 16. Diagram alir penelitian<br />

Berikut diberikan skema rangkaian dan gambar<br />

untuk komponen alat-alat yang digunakan pada<br />

penelitian ini meliputi:<br />

1. Rangkaian driver dengan menggunakan<br />

transistor<br />

Rangkaian driver ini menggunakan 8 buah<br />

transistor dengan 2 tipe berbeda yaitu, TIP 31A dan<br />

TIP 3055 yang dirangkai secara Darlington. Hal ini<br />

dimaksudkan agar transistor tersebut dapat bekerja<br />

pada daerah jenuh (saturasi) sebagai saklar tertutup<br />

Gambar 19. Bentuk fisik seperangkat alat pengangkat cincin<br />

otomatis.<br />

D5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 20. Program pengendali motor stepper mengggunakan<br />

bahasa pemograman Borland Delphi.<br />

4. Hasil dan Pembahasan<br />

Tabel 1 di bawah ini memberikan data jarak<br />

tempuh cincin baik pada saat naik maupun turun<br />

terhadap sudut putar motor stepper. Linearitas jarak<br />

tempuh cincin terhadap sudut putar motor tersebut<br />

diberikan Gambar 21.<br />

Tabel 1. Jarak tempuh cincin baik pada saat turun maupun naik<br />

terhadap sudut putar motor.<br />

Dari data diatas dapat dibuat grafik hubungan seperti<br />

Gambar 21 di bawah ini:<br />

Gambar 21. Hubungan linearitas jarak tempuh cincin terhadap<br />

sudut putar.<br />

Pada data tersebut diperoleh hubungan untuk<br />

keduanya adalah berbanding lurus. Meskipun data<br />

yang diperoleh pada saat adanya kebalikan arah<br />

putar dari motor stepper terdapat perbedaan awal<br />

jarak tempuh posisi cincin, yaitu baik jarak tempuh<br />

cincin pada saat turun maupun naik berselisih 0,1 cm<br />

(0,4 cm menjadi 0,5 cm). Perbedaan tersebut<br />

disebabkan karena jenis motor yang digunakan<br />

merupakan tipe unipolar. Sebagaimana kita ketahui<br />

sebelumnya, motor stepper unipolar memiliki torsi<br />

yang lebih kecil daripada motor stepper tipe bipolar.<br />

Namun ini masih masuk pada batas toleransi,<br />

mengingat pada alat pengukur tegangan permukaan<br />

yang ditekankan yaitu aktivitas cincin ketika<br />

melakukan usaha terhadap permukaan zat cair yang<br />

semula dalam keadaan normal (tidak adanya F tarik,<br />

F = 0) akan mengalami gaya permukaan sampai<br />

akhirnya menegang karena gaya tarik maksimum.<br />

sehingga cincin terlepas dari permukaan zat cair<br />

(pada cincin terbentuk permukaan baru). Dalam hal<br />

ini, motor stepper tersebut berhasil dimanfaatkan<br />

sebagai prototipe pengangkat cincin otomatis yang<br />

digunakan dalam proses pengukuran tegangan<br />

permukaan dengan menggunakan Newtonmeter.<br />

5. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat<br />

disimpulkan bahwa prototipe pengangkat cincin<br />

otomatis dengan memanfaatkan motor stepper<br />

seperti Gambar 2 ternyata diperoleh hubungan<br />

bahwa antara sudut putar dengan jarak tempuh<br />

cincin dan percepatan jatuhnya cincin, keduanya<br />

berbanding lurus dan menunjukkan hasil yang linier.<br />

Kelinieran ini diharapkan nantinya motor stepper<br />

hybrid 1,8 dengan tipe unipolar dapat<br />

dimanfaatkan sebagai pengangkat cincin otomatis<br />

pada pengukuran tegangan permukaan zat cair.<br />

Daftar Pustaka<br />

Indarniati, Pengukuran Tegangan Permukaan<br />

Dengan Menggunakan Induksi<br />

Elektromagnet, (Skripsi S1 Jurusan <strong>Fisika</strong><br />

FMIPA UNESA, Tidak Dipublikasikan,<br />

2006).<br />

Sears, Zemanzky, <strong>Fisika</strong> untuk Uneversitas I,<br />

Mekanika Panas Bunyi, (Bina Cipta,<br />

Bandung, 1985).<br />

P.C., Sen, Principles of Electric Machines and<br />

Power Electronics, (Second Edition, John<br />

Wiley & Sons, USA, 1997).<br />

Sudono, Agus, Memamfaatkan Port Printer<br />

Komputer Menggunakan Delphi, (Smart<br />

Books, Semarang, 2004).<br />

Martina, Inge, 36 Jam Belajar Delphi 7, (PT. Alex<br />

Media Komputindo, Jakarta, 1999).<br />

Link, Wolfgang, Pengukuran, Pengendalian,<br />

Pengaturan dengan PC, (PT. Alex Media<br />

Komputindo, Jakarta, 1993).<br />

D6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perancangan Sistem Kendali Pid Kecepatan Putar Turbin Miniatur PLTA<br />

Akif Rahmatillah<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : akif.biomed.eng@unair.ac.id<br />

Abstrak<br />

Kebutuhan energi listrik saat ini makin mendesak seiring naiknya kebutuhan energi. Pembangkit Listrik Tenaga<br />

Air merupakan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan. Dengan demikian dibuatlah<br />

sebuah miniatur plant PLTA yang dapat dipergunakan sebagai model pembelajaran bagi para mahasiswa untuk<br />

mempelajari perilaku dari suatu Pembangkit Listrik Tenaga Air. Kenaikan dan penurunan beban listrik pada<br />

PLTA terlihat dari kecepatan putar turbinnya yang tersambung pada generator. Maka dibutuhkan suatu<br />

pengendali kecepatan putar turbin agar sesuai dengan beban yang diampunya. Sistem kendali PID digunakan<br />

untuk mengendalikan kecepatan putar turbin dengan mengatur bukaan valve. Pengukuran kecepatan putar turbin<br />

dilakukan oleh mikrokontroler dengan melakukan pencacahan gelap terang dari piringan bercelah yang<br />

dipasangkan pada turbin yang di bantu oleh optocoupler. Kemudian perubahan valve dilakukan dengan memutar<br />

valve oleh motor dc gear box yang dikendalikan oleh mikrokontroler. Pengukuran dan pemutaran valve<br />

berdasarkan atas perintah user melalui komputer pribadi yang telah dilengkapi dengan Graphic User Interface.<br />

Perangkat keras diatas di gunakan untuk melakukan uji undak sebagai metode mendapatkan pola respon untuk<br />

menetapkan model matematis dari sistem miniatur PLTA.Perancangan pengendali PID dilakukan dengan<br />

menentukan parameter Kp, Ki dan Kd dari pengendali PID berdasarkan berbagai metode tuning IMC dan<br />

metode Root Locus. Hasil dari tuning kemudian dilakukan simulasi dan di uji unjuk kerjanya dengan<br />

pembebanan. Unjuk kerja dinilai dari persyaratan kendali sesuai Kep Men ESDM Nomor : 3 Tahun 2007.<br />

Kemudian jika telah memenuhi persyaratan diantaranya yang mampu memberikan respon yang lebih cepat dan<br />

%Over Shoot yang paling kecil. Dari penelitian di dapatkan bahwa harga yang terbaik menggunakan metode<br />

tuning IMC Mc Claurin dengan optimasi harga τc max (0,25 ; 0,2τ).<br />

Kata kunci : Letakkan kata kunci Anda di sini, kata kunci dipisahkan dengan koma.<br />

PENDAHULUAN<br />

Kebutuhan akan energi listrik saat ini makin<br />

meningkat seiring meningkaatnya penggunaan<br />

peralatan berteknologi tinggi baik pada skala rumah<br />

tangga, maupun skala industri. Energi listrik yang<br />

merupakan energi sekunder dipengaruhi oleh<br />

ketersediaan energi primernya sebagai sumber<br />

energi, seiring dengan mahalnya sumber energi<br />

mineral energi alternatif seperti energi air yang<br />

menjadi PLTA ( Pembangkit Listrik Energi Air ),<br />

menjadi plihan utama di beragai tempat.<br />

Dalam pengadaan sistem energi listrik, dapat di<br />

bagi menjadi beberapa subsistem antara lain, pusat<br />

pembangkitan yang menghasilkan daya listrik,<br />

transmisi yang mengalisrkan listrik dari pembangkit<br />

ke jaringan distribusi, serta sistem distribusi yang<br />

mengalirkan listrik ke konsumen. Pada sistem<br />

transmisi maka daya listrik yang dihasilkan haruslah<br />

memenuhi kriteria jaringan listrik agar mampu di<br />

alirkan dalam jaringan tersebut. Kriteria ini terutama<br />

pada frekuensi listrik yang dihasilkan karena<br />

perubahan beban akan mempengaruhi frekuensi<br />

listrik yang ada (Kadir, 1996). Dengan Menteri<br />

Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 3 Tahun<br />

2007, yang berkenaan dengan sistem pendukung<br />

pembagkit di Jawa, Madura dan Bali , maka telah di<br />

buat aturan bagaimana perubahan beban harus<br />

ditangani dengan memepertahankan frekuensi pada<br />

keadaan tertentu. Dengan demikian dibutuhkan<br />

sebuah sistem kendali pada suatu pembangkit agar<br />

daya listrik yang dihasilkan mampu memenuhi<br />

syarat tersebut dan dapat menyuplai listrik ke sistem<br />

jaringan. Frekuensi listrik erat sekali kaitannya<br />

dengan kecepatan putar turbin yang memutar<br />

generatornya, karena keduanya berbanding lurus.<br />

Dengan demikian maka pengendalian kecepatan<br />

putar turbin adalah salah satu metode untuk<br />

mengendalikan frekuensi daya listrik yang<br />

dihasilkan (Kadir, 1996)<br />

Pada laboratorium energi jurusan Teknik <strong>Fisika</strong><br />

UGM, terdapat sebuah model PLTA (Gambar 1).<br />

Pada turbin nya di tempatkan sebuah priningan<br />

bercelahdan sensor optocoupler yang digunkan<br />

sebagai pengukur kecepatan putar turbin, kemudian<br />

kecepatan putar trubin pada miniatur ini ditentukan<br />

oleh bukaan pada kran 2 dan kran 1 sebagai<br />

pengaman. Pada kran 2 dipasangi sebuah motor DC<br />

GearBox yang diharapkan dapat diputar secara<br />

otomatis melalu pengendali pada driver-nya<br />

D7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

penyimpangan pada set point dan mempercepat<br />

respon transient. Dimana dapat dituliskan dengan<br />

⎧ KC<br />

⎫<br />

M(<br />

s)<br />

= KC<br />

⎨1<br />

+ + KCτ<br />

d<br />

s⎬E(<br />

s)<br />

⎩ τ1s<br />

⎭<br />

(1)<br />

Gambar 1. Skema plant miniatur PLTA<br />

Metode pengendalian kecepatan putar turbin<br />

telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, seperti<br />

menggunakan logika fuzzy (Gonzales dkk, 2004).<br />

Namun dalam makalah ini akan di coba penggunaan<br />

logika PID ( Proporsional Integral Derivatif )<br />

sebagai salah satu moda pengendalian yang cukup<br />

populer. Dalam desain kontroler PID, hal yang<br />

krusial ialah penentuan parameter – parameter dari<br />

kontroler PID atau disebut dengan tuning kontroler.<br />

Dewasa ini, semakin banyak metode tuning yang<br />

dikembangkan sehingga perlu dipilih metode terbaik<br />

yang memenuhi kriteria performansi yang<br />

diinginkan dan masih berada dalam jangkauan<br />

keterbatasan plant nyata (Wicaksono dan<br />

Pramidjoanto, 2004).<br />

Rancangan hard ware sebagai kelengkapan<br />

miniatiur PLTA adalah pengukuran kecepatan putar<br />

dengan menggunakan sensor optocoupler telah<br />

banyak digunakan untuk mengetahui kecepatan<br />

putaran suatu benda seperti motor dc, yang mana<br />

hasil kecepataanya akan di tampilkan pada komputer<br />

pribadi. Kemudian besarnya putaran valve ( kran 2 ),<br />

dimasukkan melalui komputer dan komputerlah<br />

yang akan mengatur pembukaan valve keduanya<br />

melalui komunikasi paralel yang ditunjukkan pada<br />

Gambar 2.<br />

Gambar 2. Skema hardware<br />

Dasar Teori Pengendalian PID<br />

Kendali PID merupakan kendali konvensional<br />

yang populer dan banyak diterapkan diberbagai<br />

industri. Kendali ini bekerja berdasarkan nilai error,<br />

yaitu selisish dari nilai set point dan variabel<br />

terkendali. Kendali ini terdiri dari bagian<br />

proporsional untuk memberikan sinyal kendali<br />

sebanyak jumlah error yang terjadi, untuk<br />

mengakumulasi nilai error terdahulu sampai error<br />

saat ini, untuk mencegah terjadinya osilasi atau<br />

Selain bentuk diatas kendali PID juga<br />

mempunyai bentuk dengan menambahkan filter low<br />

pass orde 1. Penambahan filter ini dimaksudkan jika<br />

pengendali berbasis PID tidak hanya di masuki nilai<br />

error namun juga dimasuki oleh gangguan noise dari<br />

lingkungan, maka noise tersebut akan direfleksikan<br />

dan di amplifikasi oleh aksi kendali derivatif<br />

sehingga noise akan mengganggu aksi kendali yang<br />

tidak mulus. Hal ini akan lebih terasa pada<br />

pengendali yang diskrit ( Cooper, 2004 ).<br />

⎧ KC<br />

⎫⎧<br />

1 ⎫<br />

M(<br />

s)<br />

= KC<br />

⎨1<br />

+ + KCτ<br />

ds⎬⎨<br />

⎬E(<br />

s)<br />

⎩ τ1s<br />

⎭⎩ατd<br />

s+<br />

1⎭<br />

(2)<br />

Untuk penentuan parameter PID atau lebih<br />

dikenal dengan istilah tuning PID digunakan<br />

berbagai metode.<br />

Metode Internal Model Control merupakan<br />

metode perkiraan dimana di asumsikan bahwa<br />

model dari sistem yang akan dikendalikan teah<br />

diperhitungkan di dalam pengendali PID atau<br />

dengan kata lain bahwa parameter dalam kendali<br />

PID diperkirakan atau di hitung dari besaran besaran<br />

pada model matetamis sistem yang akan<br />

dikendalikan. Karena pengendali disumsikan telah<br />

mempunyai pengetahuan akan sistem yang akan di<br />

kendalikan inilah maka metode ini disebut sebagai<br />

Internal Model Control (Chien dan Fruehauf, 1990).<br />

Pada tuning jenis ini digunakan filter lowpass orde 1<br />

dengan konstanta waktu berbeda – beda.<br />

Kemudian dilakukan penyempurnaan dari<br />

metode IMC dengan menggunkan deret Mclaurin.<br />

Metode ini sebenranya mempunyai logika yang<br />

sama dengan metode IMC seperti yang telah<br />

dijelasakan sebelumnya. Kunci perbedaan antara<br />

metode ini dengan metode IMC ada pada persamaan<br />

pengendali G c yang dapat dituliskan dengan<br />

*<br />

( G ( s))<br />

G ( s)<br />

= p−<br />

c<br />

*<br />

( τ r<br />

s+<br />

1) −G<br />

( s)<br />

(3)<br />

c<br />

f ( s)<br />

G c<br />

( s)<br />

=<br />

s<br />

(4)<br />

Pada metode IMC bagian filter dari penegndali IMC<br />

hanya berorde satu ditandai dengan harga r = 1.<br />

Berbeda dengannya IMC-Mclaurin justru tidak<br />

menentukan harga pada r sehingga bisa saja filter<br />

yang ada berorde tinggi seperti pada persamaan (6)<br />

p+<br />

D8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

''<br />

1⎧<br />

' f (0) 2<br />

⎫<br />

( s)<br />

= ⎨f(0)<br />

+ f (0) s+<br />

s + ... ⎬<br />

s⎩<br />

2 ⎭<br />

G c (5)<br />

Dari deret diatas diambil tiga suku pertama<br />

kemudian dibandingkan dengan persamaan PID<br />

maka didapatkan<br />

parameter<br />

τ<br />

i<br />

Kc<br />

=<br />

K (2τ<br />

+ θ)<br />

p<br />

c<br />

2<br />

τ<br />

c<br />

2<br />

2 −θ<br />

τ<br />

i<br />

= 2ξτ<br />

−<br />

2(2τ<br />

c<br />

+ θ)<br />

3<br />

2 θ<br />

τ −<br />

6(2τ<br />

c<br />

+ θ)<br />

τ<br />

c<br />

= τ<br />

i<br />

− 2ξτ<br />

+<br />

τ<br />

i<br />

dimana :<br />

θ = Dead Time ( sekon )<br />

ξ = Rasio Redaman<br />

τ = konstanta waktu sistem orde 2 ( 1/ω )<br />

τ c = konstanta waktu lowpass filter ( sekon )<br />

(6)<br />

Penentuan parameter τ c , ada empat buah<br />

pendekatan untuk mendapatkan harga τ c yaitu max<br />

(0,8θ : 0,1 τ) (Rivera dkk, 1986), τ < τ c


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Mulai<br />

Baca<br />

Sensor<br />

Hitung PID<br />

Kirim ke<br />

Aktuator<br />

Gambar 6. Algoritma program mikrokontroler aktuator<br />

Gambar 8. Algoritma program PID<br />

Kemudian pengujian dilakukan dengam<br />

mengganggu putaran turbin. Dalam penelitian ini<br />

turbin dianggap steady dalam keadaan kecepatan<br />

1000 rpm kemudian diberi gangguan yaitu turbin<br />

dibebani sehingga turbin seperti diberi torsi yang<br />

berlawanan sehingga kecepatannya berkurang.<br />

Kemudian pengendali harus mampu membuka valve<br />

untuk menambah suplai air sehingga kecepatan<br />

turbin kembali seperti semula. Digunakan beberapa<br />

beban yang akan di gunakan dan akan dilihat<br />

pengendali yang memberikan respon yang tercepat<br />

(TS terkecil) dan memberikan %OS yang terkecil<br />

Pembahasan<br />

Dari hasil pengujian undak maka didapatkan<br />

respon dari sistem dengan tampilan pada Gambar 9.<br />

UJI STEP<br />

Gambar 7. Algoritma program identifikasi sistem<br />

1200.000<br />

1000.000<br />

800.000<br />

600.000<br />

400.000<br />

200.000<br />

0.000<br />

30<br />

38<br />

46<br />

54<br />

62<br />

70<br />

78<br />

86<br />

94<br />

RPM<br />

Putaran Poros Turbin<br />

(RPM)<br />

waktu(s)<br />

Gambar 9. Hasil Uji Step<br />

Dengan memperhatikan gambar di atas maka<br />

dilakukan analisis respon sistem dimana dari gambar<br />

menunjukkan bahwa sisitem orde 2 dengan<br />

persamaan<br />

− s<br />

12,68e<br />

G<br />

p<br />

=<br />

2<br />

(10)<br />

2,73s<br />

+ 1,92s<br />

+ 1<br />

D10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dengan menggunakan model matematis sistem<br />

diatas maka dilakukanlah pengujian terhadap respon<br />

sistem kendali dengan menggunakan tuning pada<br />

tabel parameter kendali PID. Untuk pengujian<br />

terhadap setpoint 1000 rpm maka dapat dilihat<br />

unjuk kerja respon pada tabel I.<br />

TABEL I<br />

Respon Sistem 1000 RPM<br />

Jenis tuning Ts (s) %OS<br />

imc mclaurin rivera 25.183 23.38%<br />

imc mclaurin chien 15.813 6.78%<br />

imc mclaurin panda 19.82 10.64%<br />

imc malaurin skogestad 20.715 21.10%<br />

Kedua adalah pengujian berapa beban<br />

maksimum yang dapat di ampu, Definisi yang dapat<br />

diampu adalah jika sistem diganggu dengan diberi<br />

beban maka berpa maksimal yang bisa di ampu oleh<br />

sisem agar mampu kembali ke kisaran setpoint<br />

seperti dalam persyaratan kendali dalam waktu 30<br />

sekon, kemudian pada pengujian ini untuk<br />

mrnghindari adanya reset wind up pada sistem<br />

kendali PID maka beban maksium yang di cobakan<br />

adalah 4,08 N. Kemudian dapat dilihat di tabel II.<br />

Jenis tuning<br />

Tabel II<br />

Beban Maksimum<br />

Beban Maksimum<br />

(N cm)<br />

imc mclaurin rivera 1.52<br />

imc mclaurin chien 1.52<br />

imc mclaurin panda 1.52<br />

imc malaurin<br />

skogestad 1.52<br />

Untuk melihat tuning yang paling cocok maka<br />

dapat dilihat dengan tabel III. Pada pengujian ini<br />

dibandingkan berbagai variasi beban<br />

Beban<br />

(N cm) Hasil Respon<br />

0,68 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />

imc mclaurin<br />

rivera 15.113 2.58%<br />

imc mclaurin<br />

chien 16.109 0.66%<br />

imc mclaurin<br />

panda 14.820 0.70%<br />

imc malaurin<br />

skogestad 14.660 2.56%<br />

1,36 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />

imc mclaurin<br />

rivera 17.015 5.25%<br />

imc mclaurin<br />

chien 19.236 1.16%<br />

imc mclaurin<br />

panda 17.125 1.17%<br />

imc malaurin<br />

skogestad 20.839 3.74%<br />

2,04 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />

imc mclaurin<br />

rivera 24.197 6.86%<br />

imc mclaurin<br />

chien 18.169 1.15%<br />

imc mclaurin<br />

panda 16.188 0.68%<br />

imc malaurin<br />

skogestad 20.368 5.14%<br />

2,72 Jenis tuning Waktu(s) %OS<br />

imc mclaurin<br />

rivera 22.294 6.73%<br />

imc mclaurin<br />

chien 18.992 1.65%<br />

imc mclaurin<br />

panda 16.131 0.62%<br />

imc malaurin<br />

skogestad 19.859 1.55%<br />

Untuk bagian pertama dimana terlihat respon<br />

sistem kendali dalam mengejar set point terlihat<br />

bahwa yang tercepat adalah tuning menggunakan<br />

metode IMC McLaurin dengan pemilihan τ c dari<br />

Panda. Hal ini membuktikan bahwa untuk sistem ini<br />

metode yang di usulkan oleh Panda cukup bagus<br />

dalam mepercepat respon dari sistem. Dalam<br />

makalah nya, Panda memang mengkhususkan<br />

pemilihan harga τ c bagi sistem orde 2, yaitu dia<br />

menemukan metode itu merupakan yang paling<br />

maksimal dalam pengalamannya melakukan<br />

pengndalian sistem orde 2 ( Panda, 2004 ).<br />

Kelebihan pada metode IMC Mclaurin<br />

yaitu pada saat menentukan orde filter yang mereka<br />

gunakan. IMC Mclaurin menggunkan deret<br />

Mclaurin untuk menurunkan parameter kendali yang<br />

didalam nya ada filter yang dibiarkan berorde r,<br />

sehingga menghilangkan ossilasi yang cukup besar (<br />

Seborg,2004 ) menjadi lebih maksimal pada metode<br />

IMC Mclaurin sehingga mampu mempunyai respon<br />

yang baik. Sedangkan metode penentuan τ c yang<br />

terbaik dalam pembebanan adalah metode Panda.<br />

Sekali lagi metode yang dikembangkan Panda<br />

adalah metode yang memang diperuntukkan untuk<br />

sistem orde 2.<br />

Kesimpulan<br />

1. Metode penentuan parameter PID Internal<br />

Model Control McLaurin mempunyai<br />

respon yang lebih baik dari metode yang<br />

lain karena metode ini dikembangkan<br />

dengan memberikan parameter model<br />

matematis dari sistem yang dikendalikan<br />

sehingga pengendali dapat memprediksi<br />

keadaan dari sistem kemudian ditambah<br />

dengan penggunaan deret Mclaurin untuk<br />

menurunkan parameter kendali yang<br />

didalam nya ada filter yang dibiarkan<br />

D11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

berorde r, sehingga mampu mempunyai<br />

respon yang baik.<br />

2. Respon terbaik adalah dengan<br />

menggunakan metode IMC McLaurin<br />

dengan optimasi harga τ c dari Panda.<br />

Daftar Pustaka<br />

Chien, I.L., Freuhauf, P.S., 1990, Consider IMC<br />

Tuning to Improve Controler Performance ,<br />

pp. 33-43, ed.86, Chemical Engineering<br />

Progress Journal.<br />

Cooper, Douglas, J., 2004, Practical Process<br />

Control using Control Station 3. 7 , Control<br />

Station LLC, USA.<br />

Corripio, Armando B, 1996, Tuning of Industrial<br />

Control System, Instrument Society of<br />

America , North Carolina, USA.<br />

Gunterus, F., 1994, Falsafah Dasar Sistem<br />

Pengendalian Proses , Elex Media<br />

Komputindo, Jakarta.<br />

Gonzales, E.A., Tio, J., Caluyo, F.S., 2004 ,<br />

Conceptual Design of A Rule Base for A<br />

Micro Hydro Power Plant Feed Back<br />

Control System, ECE Technical Support, De<br />

La Salle University, Manila, Philipines.<br />

Panda, R.C., Yu, C.C., Huang, H.P., 2004, PID<br />

Tuning Rules for SOPDT sytems: Review and<br />

Some New Result , pp. 283 – 295, ed.43,<br />

Instrumentation System and Automation<br />

Transaction Journal.<br />

Pramudjianto, J dan Wicaksosno, H.,<br />

2003,Implementasi Kontrol PID pada PLC<br />

untuk Pengaturan Kecepatan Motor DC,<br />

Prosiding SITIA ITS 2003, Surabaya.<br />

Rivera, D.E., Morrari, M., Skogestad S., 1986,<br />

Internal Model Control for PID Controler<br />

Design , pp. 252 – 264, ed.25, Indusrial<br />

Engineering Process Design Dev.<br />

Seborg, E., Edgar, F., Mellichamp, A.,2004. Process<br />

Dynamic Control System., 2 nd ed., Jhon<br />

Wiley and Sons Inc., Singapore.<br />

Skogestad, S., 2003, Simple Analitic Rules for Model<br />

Prediction and PID Controler Tuning, pp.<br />

291 – 300, ed.13, Journal of Process Control.<br />

www.esdm.go.id/permen/2007/03/Aturan_Jaringan_<br />

2007.pdf ( di download tanggal 22 September<br />

2007 ).<br />

Kadir , A., 1994, Pembangkit Tenaga Listrik, UI<br />

Press., Jakarta<br />

Lee, Y.H., Park, S.W., Lee, M.Y., 1998, PID<br />

Controler Tuning for Desired Closed-Loop<br />

Responses for SI/SO System , pp.106 – 115,<br />

ed.44, AiChE Journal.<br />

Mikles, J., Fikar, M., 2007, Prosess Modelling<br />

Identification and Control, Spinger - Verlag,<br />

Berlin, Germany.<br />

D12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The Increase of Flaring Activity In NOAA 9026 Due to A Coronal Mass<br />

Ejection<br />

Bachtiar Anwar<br />

Division of Solar Physics and Space Environment<br />

Center for Utilization of Space Science<br />

National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />

Jl. DR. Djundjunan 133, Bandung 40173<br />

E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />

Abstract<br />

A large coronal mass ejection (CME) was occurred at the north solar pole on June 6, 2000 that started at<br />

05:06UT. The ejection was related to a helmet streamer structure of corona as seen in the Large Angle and<br />

Spectrometric Coronagraph (LASCO) aboard Solar and Heliospheric Observatory (SOHO). A careful inspection<br />

of images taken by the Extreme-ultraviolet Telescope (EIT) resulted in an evident that CME event was due to<br />

eruption of dark filament close to the North solar pole. There was another CME following this event which<br />

related to flare that occurred in active region NOAA 9026. In this work, two CME events were studied to find<br />

relationship between them, whether the first CME triggered the occurrence of the second CME. Careful study on<br />

the flaring activity in active region NOAA 9026 after the first CME resulted in a conclusion that an increase of<br />

flaring activity in the region was caused by CME initiated by dark filament eruption. This study provides<br />

observational facts that the explosion of CME propagates to the surrounding corona as coronal waves that<br />

triggered flaring activity in active region.<br />

Key words: coronal mass ejection, flares, dark filament, coronal wave.<br />

INTRODUCTION<br />

Solar corona is very dynamics in nature as it<br />

consists of plasma with high temperature in order of<br />

millions degree. Based on the observations from<br />

spacecrafts such as SOHO and TRACE, one<br />

explosion (flare or CME) may trigger other<br />

explosions that occur in sequence. The interval time<br />

between an explosion to another may occur one hour<br />

or less. An intense explosion usually generates a<br />

shock wave that propagates to the surrounding<br />

corona and interacts with other magnetic loops<br />

system to initiate coronal plasma ejection (CME)<br />

and magnetic energy release (flare) (Anwar, 2009a;<br />

Anwar, 2009b; Anwar, 2010a).<br />

Dark filament may appear close to or far from<br />

sunspot group. Due to shear motions or magnetic<br />

flux emergence in the photosphere, dark filament<br />

may become unstable in one of footpoint or both.<br />

The unstable dark filament then erupts and pushes<br />

the coronal plasma above to cause an ejection of<br />

coronal plasma or CME (Anwar, 2009c). The<br />

triggering mechanism of dark filament eruption may<br />

caused by instability of coronal loop located above<br />

dark filament.<br />

On June 6, 2000, there were two CMEs<br />

occurred at or close to the North pole. Based on the<br />

SOHO data, these two CMEs may have relationship<br />

as the interval time between two CMEs was<br />

relatively short. In other words, the first CME may<br />

trigger the second CME by activating sunspot group<br />

(NOAA 9026) with several flares that triggers each<br />

other in sequence. This work will explore such<br />

possibility by using SOHO and ground-based<br />

observations. It is expected that this work will lead<br />

to a comprehensive understanding to support space<br />

weather program at LAPAN (Setiahadi, 2005:<br />

Setiahadi et al., 2006; Anwar, 2010a; Anwar,<br />

2010b). An intense flare or large CME may disturb<br />

space environment around the Earth as well as may<br />

damage space-based and ground-based technologies<br />

(Bothmer, Daglis, 2007; Lanzerotti, 2001).<br />

Section 2 gives the observation data used in this<br />

work. Methods and data analysis are presented in<br />

section 3, while the results and discussions are given<br />

in section 4. Finally, concluding remarks of this<br />

work is described in section 5.<br />

OBSERVATION DATA<br />

In this work, the data taken by Solar and<br />

Heliospheric Observatory (SOHO) are used to study<br />

the evolution of solar corona. Flares will be studied<br />

using the Extreme-ultraviolet Imaging Telescope<br />

(EIT) image and Large Angle and Spectrometric<br />

Coronagraph (LASCO) is used to find plasma<br />

ejection far from the solar surface, as well as the<br />

Michelson Doppler Imager (MDI) to sense the<br />

photosphere. An example of CME is given in Figure<br />

1. The images were taken by SOHO/LASCO-C2 on<br />

June 6, 2000, which showed condition before<br />

eruption at 04:06UT (left) and the on-going eruption<br />

D13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

of CME at 08:06UT (right). The effect of this blast<br />

of CME to the surrounding corona will be studied.<br />

Solar Region Summary from USAF/NOAA is<br />

used to locate the active regions, as shown in Figure<br />

2. Active region NOAA 9026 was located at the<br />

Eastern hemisphere on Jun 3, 2000. The<br />

corresponding images taken by the EIT on June 03<br />

and 04, 2000, are given in Figure 3. The active<br />

region NOAA 9026 is marked by a box. It is obvious<br />

that the active region has already had a large in size.<br />

It seems that NOAA 9026 was born in the unseen<br />

solar hemisphere. The flare database is constructed<br />

based on flares list compiled by NOAA (Anwar,<br />

2008). The flare occurrences in active region NOAA<br />

9026 are compared with the CME event to find a<br />

possible relationship.<br />

Figure 1. Coronal mass ejection (CME) occurred at the North<br />

pole: before eruption at 04:06UT (left) and on-going eruption at<br />

08:06UT (right). CME has loop structure at the leading edge,<br />

followed by low density plasma (dark pattern) and bright plasma<br />

at the center of loop structure.<br />

Figure 2. The active region map created by Mess Solar<br />

Observatory on June 3, 2000, based on Join USAF/NOAA Solar<br />

Region Summary<br />

Figure 3. Images taken by SOHO/EIT195Å on June 03 and 04,<br />

2000. Active region NOAA 9026 is shown by box.<br />

METHODS AND DATA ANALYSIS<br />

In order to study the relationship between CME<br />

event and its possible role to trigger sunspot activity<br />

in NOAA 9026, the following steps have been<br />

performed:<br />

1. Compile the SOHO data (LASCO, EIT, MDI)<br />

and USAF/NOAA Solar Region Summary<br />

(SRS).<br />

2. Inspect the LASCO data to find coronal mass<br />

ejection (CME).<br />

3. Find the source region of CME (dark filament<br />

or flare in sunspot).<br />

4. Perform query to find the properties of active<br />

region NOAA 9026 from SRS database.<br />

5. Plot the properties of NOAA 9026 to see the<br />

morphological evolution.<br />

6. Perform query to find flares that occurred in<br />

NOAA 9026.<br />

7. Compare the start-end time of the first CME and<br />

a flare in NOAA 9026 accompanied with a<br />

CME.<br />

8. Conclude the relationship between CME and the<br />

flaring activity in NOAA 9026.<br />

The evolution of CME can be tracked by<br />

displaying the sequence images as shown in Figure<br />

4. Careful identification gives a start time of coronal<br />

flow at 04:30UT on June 6, 2000, at a helmet<br />

streamer at the North pole. The coronal mass<br />

ejection becomes obvious in the following images<br />

which formed a loop structure with a sharp leading<br />

edge moving away from the center of the solar disk.<br />

There was a dark pattern parallel to the outer edge<br />

inside the loop which can be interpreted as a less<br />

dense of coronal plasma. The dark pattern was<br />

followed by a bright structure which represents an<br />

ejection of coronal plasma.<br />

These properties of CME combined with the<br />

fact that the central position angle of CME close to<br />

the North pole, suggest that the source region of<br />

CME at solar surface seems to be related to a dark<br />

filament located near to the North pole. This should<br />

be further analyzed by using the images taken by<br />

EIT and MDI. An image of EIT304Å taken by EIT<br />

on June 6 prior to the appearance of CME at<br />

04:30UT is given in Figure 5. Figure 5 (left) shows<br />

a filamentary structure perpendicular to solar limb at<br />

01:19UT on June 6, 2000, close to the North pole.<br />

The structure was gone in the image taken on June 6,<br />

2000 at 07:19UT (right). Unfortunately, SOHO/EIT<br />

takes solar images at 304Å less frequent than images<br />

at 304Å. Thus, the eruption of dark filament cannot<br />

be tracked in detailed. Active region NOAA 9026 is<br />

indicated by a box at the solar disk showed a bright<br />

filamentary. Whether CME may trigger the activity<br />

in NOAA 9026 or not will be discussed in the<br />

following section<br />

D14


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 4. A sequence images of coronal mass ejection (CME) that<br />

occurred close to the North pole on June 6, 2000, taken by<br />

SOHO/LASCO-C2<br />

Figure 5. The image of EIT304Å that showed filamentary<br />

structure at 01:19UT on June 6, 2000, close to the North pole<br />

(left) and the structure was gone in the image taken on June 6,<br />

2000 at 07:19UT (right). Active region NOAA 9026 is indicated<br />

by a box at the solar disk which showed a bright filamentary<br />

the solar disk (June 2-15, 2000). The morphological<br />

evolution of this active region is given in Figure 7.<br />

The area evolution of the active region was fast in<br />

the beginning and reached a peak of about 900<br />

(MSH), and then decrease gradually. The length in<br />

longitude changed from 7 o in June 2 extended up to<br />

15 o in the following day (June 3), and was not<br />

changed much until June 11 where the length of<br />

sunspot dropped to 12 o for three days and to 2 o on<br />

June 14 – 15, 2000. Meanwhile, the number of spots<br />

was also varied during interval June 2-15, 2000,<br />

From June 2 to June 5, there was a significant<br />

increase from 3 to 28 meaning that magnetic flux<br />

emergence was intense. Due to this condition, the<br />

number of flares during this period increased. There<br />

were 15 C and 3 M-class flares in three days (June<br />

2-4).<br />

The magnetic activity changed from Beta in<br />

June 2 to Beta-Gamma in June 4. On June 5, the<br />

region evolved to magnetic type Beta-Gamma-Delta.<br />

The Delta type is a critical condition where two<br />

opposite polarities surrounded by the same<br />

penumbra. Small perturbation by shear motions in<br />

photosphere or a shock wave interaction with<br />

magnetic loop of Delta spots may trigger instability<br />

toward a flare or ejection of coronal plasma. It is<br />

surprisingly that only one flare of C-class was<br />

occurred in June 5. In the next day (June 6) there<br />

were four M and two X-class flares, when the area,<br />

length and number of spots decreased (Figure 9).<br />

There are two explanations: (1) the decrease in area,<br />

length and number of spots was evident of the<br />

release of magnetic energy in the form of four M<br />

and two X-class flares; (2) The triggering for this<br />

activity (flare of M-class that occurred at 13:10UT<br />

of June 6) was dark filament related CME that<br />

occurred in June 6 at 04:30UT – 10:54UT close to<br />

the North pole.<br />

Figure 6. The sequence images taken by SOHO/LASCO-C2 as<br />

continuation of images in Figure 4. A CME is identified at about<br />

15:30UT on June 6, 2000. The interval time between the end time<br />

of the first CME with the start time of the second CME was about<br />

5 hours<br />

RESULTS AND DISCUSSIONS<br />

In this section, we provide the results and<br />

discussions. Other dataset that have been processed<br />

in Join USAF/NOAA Solar Region Summary. In<br />

order to find any influence of CME that occurred at<br />

04:30UT, the properties of active region NOAA<br />

9026 is extracted for a period during its passage in<br />

Figure 7. The evolution of NOAA 9026 in June 1 – 15, 2000.<br />

There was decrease in area, length, and number of spots in June 6,<br />

2000 when four M and two X-class flares occurred. The<br />

complexity of the magnetic configuration was evident as the<br />

magnetic type was Beta-Gamma-Delta.<br />

D15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 8. Flaring activity of C, M and X class in active region<br />

NOAA 9026 during June 1-9, 2000<br />

Figure 9. The occurrence of flares in June 5 – 6, 2000 in NOAA<br />

9026<br />

CONCLUDING REMARKS<br />

We have described the methods and data<br />

analysis related to an increase of flaring activity in<br />

sunspot group due to a dark filament-related coronal<br />

mass ejection that occurred in June 6, 2000 at 04:30<br />

UT to cause M-class flare starting at 13:10UT. As<br />

the magnetic configuration was Beta-Gamma-Delta<br />

(critical condition), this M flare initiated other<br />

instability in sunspot group to cause X-class flare at<br />

13:39UT (peak). Sequentially, X-class flare<br />

triggered M-class flare at 14:01UT (peak) and M-<br />

flare trigger X-class flare at 15:25UT (peak)<br />

accompanied with CME as seen in LASCO-C2 at<br />

15:30UT. It is concluded that a CME at one location<br />

in solar surface can trigger a flare in other active<br />

region (in this case NOAA 9026). This flare<br />

sequentially can trigger another flare at active region<br />

with magnetic type Beta-Gamma-Delta.<br />

Acknowledgements<br />

The use of SOHO data and USAF/NOAA Solar<br />

Region Summary is acknowledged. SOHO is an<br />

international project between ESA and NASA. This<br />

work is part of series research to support space<br />

weather program at LAPAN.<br />

REFERENCES<br />

Anwar, B. (2010b) Study On The Relationship<br />

Between Sunspot Area And Flare<br />

Occurrences To Support Flare Prediction, in<br />

Proc. National Seminar in Applied Physics II,<br />

Airlangga University, July 17, 2010,<br />

Surabaya.<br />

Anwar, B. (2010a) The Geoeffectiveness of Coronal<br />

Mass Ejections Related to M-Class Flare, in<br />

Proc. National Seminar in Mathematic<br />

Education, Sebelas Maret University, May 5,<br />

2010, Solo.<br />

Anwar, B. (2009c) Identifying the Source Region of<br />

Coronal Mass Ejection, Proc. National<br />

Seminar in Mathematics and Natural<br />

Sciences, Faculty of Mathematics and<br />

Natural Sciences, Satyawacana Christian<br />

University (UKSW), June 13, 2009, Salatiga.<br />

Anwar, B. (2009b) Automatic Detection of Coronal<br />

Mass Ejection, Proc. National Seminar in<br />

Mathematics and Natural Sciences, Faculty<br />

of Mathematics and Natural Sciences, 16<br />

May 2009, Yogyakarta State University,<br />

Yogyakarta.<br />

Anwar, B. (2009a) Monitoring the Sun for Space<br />

Weather, Proc. National Seminar in<br />

Education Mathematics (LSM XVII), 4 April<br />

2009, Faculty of Mathematics and Natural<br />

Sciences, Yogyakarta State University.<br />

Anwar, B. (2008) Development of Database System<br />

for Space Early Warning, Proc. National<br />

Seminar in Science and Technology II, 17-18<br />

November 2008, Lampung University, p.18.<br />

Bothmer, V. and Daglis, I.A. (2007) “Space<br />

Weather, Physics and Effects”, Springer-<br />

Praxis Publishing.<br />

Lanzerotti, L.J. (2001) Space Weather Effects on<br />

Technologies, in “Space Weather”, Song, P.,<br />

Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds),<br />

Geophysical monograph, 125, p.11.<br />

Setiahadi, B. (2005) Problems of Equilibria and<br />

Instabilities on Solar Coronal Magnetic<br />

Fields and Its Evolution Towards Energetic<br />

Energy Liberation: Effect to Interplanetary<br />

Space, Proc. National Seminar in<br />

Mathematics, FMIPA UNDIP, E1., p.1.<br />

Setiahadi, B., Sakurai, T., Miyazaki, H., and Hiei, E.<br />

(2006) Research on Magnetohydrodynamic<br />

Transport Phenomena in Solar-Terrestrial<br />

Space at LAPAN Watukosek 2006, Proc.<br />

National Seminar in Space Science III, p. 17.<br />

D16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Rancang Bangun Sumber Arus DC Konstan<br />

Menggunakan Mikrokontroler 8951<br />

Bambang Suprijanto<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : bambangsuprijanto@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Pada kebanyakan penelitian fisika diperlukan sumber arus DC konstan dalam orde hingga puluhan ampere.<br />

Telah dilakukan rancang bangun sumber arus DC konstan dimana aliran arus dikontrol oleh mikrokontroler<br />

8951. Sistem aliran arus menghindari adanya aliran arus dadakan yang dapat merusak sistem. Arus dialirkan<br />

sedikit demi sedikit hingga tercapai nilai arus yang diinginkan. Sistem melakukan konversi nilai arus yang<br />

diinginkan menjadi data step DAC yang mampu menghasilkan arus sebesar 2,5 miliampere setiap step DAC.<br />

Besarnya arus yang dihasilkan setiap step DAC dapat diatur dalam pemrograman mikrokontroler 8951.<br />

Kemampuan konversi Sistem ini menggunakan DAC 1222 yang mempunyai jumlah step DAC sebanyak 4096<br />

step DAC. Hasil penelitian menunjukkan arus yang dihasilkan bersifat linear terhadap jumlah step DAC. Analisa<br />

statistik menggunakan regresi linear menghasilkan persamaan Y = 0.00256 X + 0.028679, dengan R = 0.999923<br />

Kata Kunci : Sumber arus DC konstan, mikrokontroler, DAC.<br />

PENDAHULUAN<br />

Banyak peralatan fisika yang membutuhkan<br />

arus DC konstan. Banyak macam sumber arus DC<br />

konstan yang mempunyai perilaku tertentu, seperti<br />

besarnya arus konstan yang dihasilkan, lebar<br />

fluktuasi arus yang masih diperbolehkan, kestabilan<br />

arus konstan, sistem berbentuk manual atau semi<br />

automatik, atau programmable berbasis<br />

mikrokontroler.<br />

Untuk menghasilkan medan magnet konstan<br />

yang stabil diperlukan sumber arus konstan hingga<br />

10 ampere, stabil, dengan fluktuasi arus berorde mili<br />

ampere. Disamping itu arus konstan yang digunakan<br />

harus mempunyai perilaku membesar secara linier<br />

dalam selang waktu tertentu dari arus nol hingga<br />

dicapai besar arus yang diinginkan, dan menurun<br />

secara linier dalam selang waktu tertentu hingga arus<br />

nol dan sistem dimatikan. Hal ini dimaksudkan<br />

untuk menghindari adanya arus balik imbas karena<br />

hadirnya medan magnet tersebut.<br />

Sumber arus yang mempunyai perilaku seperti<br />

ini tidak tersedia di pasaran bebas sehingga perlu<br />

dirancang sumber arus konstan dalam bentuk sistem<br />

yang berbasis mikrokontroler 8951, programmable,<br />

dan menggunakan bahan baku lokal yang tersedia di<br />

pasaran bebas.<br />

METODE PENELITIAN<br />

PERANCANGAN<br />

Sistem dirancang menggunakan mikrokontroler<br />

8951 yang dilengkapi keypad berukuran 4x4 sebagai<br />

sarana untuk melakukan pengontrolan sistem dan<br />

arus yang dihasilkan. Digunakan komponen DAC<br />

1222 yang dilengkapi buffer data 12 bit untuk<br />

menghasilkan 4096 step DAC untuk menghasilkan<br />

tegangan referens yang selanjutnya dikonversi ke<br />

arus oleh rangkaian konverter V to I. Agar arus<br />

mengalir ke beban (load) digunakan hambatan<br />

referens dan arus diukur menggunakan voltmeter<br />

digital seperti pada gambar 1.<br />

KEYPAD<br />

Gambar 1. Skema perancangan sistem sumber arus<br />

Sumber arus konstan menggunakan<br />

mikrokontroler 8951 dilengkapi keypad untuk<br />

melakukan beberapa pengendalian seperti memulai<br />

kerja sistem, memasukkan data arus, menghentikan<br />

kenaikan arus, menambah atau mengurangi arus,<br />

mengakhiri kerja sistem. Keypad dirancang<br />

menggunakan sistem interupsi melalui pada<br />

mikrokontroler 8951. Sistem dimulai bekerja dengan<br />

menekan tombol reset. Data besarnya arus yang<br />

diinginkan dapat dimasukkan melalui keypad<br />

numerik yang akan dilayani oleh Port 2 yang<br />

disusun berupa pasangan port P2.0 – P2.3 dengan<br />

P2.4 – P2.7 dengan sistem interupsi seperti<br />

pada gambar 2.<br />

D17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

BC-639 dan MPSW-42 membentuk hubungan<br />

Darlington, dan transistor penghasil arus tipe MJ-<br />

802.<br />

Gambar 2. Skema perancangan sistem interupsi keypad<br />

Tombol S untuk Start, tombol E untuk End, tombol<br />

R untuk Rest, tombol I untuk input arus, tombol +<br />

untuk menambah arus, tombol - untuk mengurangi<br />

arus, dan tombol numerik untuk memasukkan nilai<br />

arus. Setiap keypad ditekan akan melakukan<br />

interupsi ke dan mikrokontroler akan melayani<br />

pemakaian keypad sesuai dengan fungsi nasingmasing<br />

tombol pada keypad.<br />

DAC 1222<br />

Mikrokontroler 8951 mengendalikan DAC 1222<br />

melalui 12 bit port yang disusun oleh pasangan port<br />

P0.0 – P0.7 dan port P1.0 – P1.3. Agar ADC 1222<br />

dapat bekerja dengan sempurna maka data masukan<br />

harus dikumpulkan terlebih dahulu dalam rangkaian<br />

Latch, dan setelah terkumpul lengkap 12 bit data<br />

maka Latch diaktifkan melalui port P1.4 dan DAC<br />

akan mulai melakukan konversi data yang baru.<br />

Keluaran DAC dilengkapi dengan konverter arus ke<br />

tegangan (IVC) menggunakan op amp tipe JFET seri<br />

LF-356 dengan offset null pada data nol seperti pada<br />

gambar 3.<br />

Gambar 3. Rangkaian sistem DAC dan buffer data<br />

Konverter Tegangan ke Arus<br />

Tegangan keluaran sistem DAC diubah ke<br />

bentuk arus menggunakan rangkaian konverter<br />

tegangan ke arus yang disusun oleh buffer tegangan,<br />

penguat arus, dan hambatan referens seperti gambar<br />

4. Buffer tegangan menggunakan op amp tipe JFET<br />

seri LF-356 dengan offset null untuk arus nol pada<br />

tegangan nol. Penguat arus tesusun oleh pasangan<br />

Gambar 4. Rangkaian konverter tegangan ke arus<br />

Op amp bersama dengan beberapa transistor, resistor<br />

dan diode membentuk rangkaian non inverting<br />

amplifier dengan penguatan sebesar :<br />

(1)<br />

Keluaran rangkaian non inverting amplifier berupa<br />

tegangan sense yang akan diubah menjadi arus oleh<br />

hambatan referens (RREV) dengan persamaan :<br />

(2)<br />

Rangkaian ini menggunakan dua buah supply yang<br />

berbeda yaitu pasangan +15V, 0V, -15V dengan<br />

kemampuan 1 ampare, dan power supply 0(Gnd),<br />

32V dengan kemampuan 30 ampere. Beban berada<br />

diantara kedua titik nol power supply. Hal ini<br />

dimaksudkan agar arus mengalir konstan dan stabil.<br />

PEMROGRAMAN ALAT<br />

Mikrokontroler 8951 diprogram untuk meminta<br />

masukan nilai arus yang diinginkan. Data arus<br />

dikonversikan ke dalam system heksa decimal<br />

berbentuk jumlah step DAC. Setiap step DAC<br />

dikirimkan ke piranti DAC dengan selang waktu<br />

satu detik. Pengiriman data dilakukan dengan jalan<br />

mengaktifkan P1.4 disertai delay dan dinonaktifkan<br />

kembali. Setelah seluruh data step DAC terkirim,<br />

pemakai dilayani menambah atau mengurangi<br />

jumlah step DAC agar arus yang dihasilkan sesuai<br />

dengan arus yang terukur. Program diakhiri dengan<br />

stop, arus diturunkan step demi step hingga arus<br />

sama dengan nol. Pemrograman mikrokontroler<br />

8951 dirangkum dalam sebuah diagram alir seperti<br />

gambar 5.<br />

D18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

START<br />

DATA DAC = 0<br />

INPUT NILAI ARUS<br />

KONVERSI KE HEKSA DESIMAL<br />

STEP - 1<br />

KIRIM STEP DAC<br />

STEP=N<br />

+/-<br />

YA<br />

KIRIM STEP DAC<br />

STEP DAC -1<br />

STEP=0<br />

SELESAI<br />

YA<br />

Gambar 5. Diagram alir pemrograman mikrokontroler 8951<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

TIDAK<br />

TIDAK<br />

STEP + 1<br />

Arus yang dihasilkan sesuai dengan jumlah step<br />

data DAC seperti pada gambar 6 dan arus stabil pada<br />

nila 10 ampere seperti pada gambar 7.<br />

Gambar 7. Hubungan arus dan waktu<br />

Dari hubungan regresi linear dari gambar 5<br />

didapat persamaan garis lurus Y = 0.00256 X + 0<br />

dengan R = 0.999923. Pada gambar 6 dapat dilihat<br />

fluktuasi arus kurang dari 10 mili ampere dan arus<br />

berfluktuasi (berubah) dalam selang waktu yang<br />

cukup panjang. Hal ini menunjukkan kestabilan arus<br />

konstan yang hanya berubah kurang dari 10 mili<br />

ampere dalam selang waktu 10 menit.<br />

SIMPULAN DAN SARAN<br />

Dapat disimpulkan bahwa sumber arus yang<br />

dibuat dapat menghasilkan arus konstan DC hingga<br />

10 ampere, dan kecepatan arus naik linier 2,5<br />

miliampere per detik dengan tingkat kepercayaan R<br />

= 0.999923. Arus yang dihasilkan stabil. dengan<br />

lebar fluktuasi 10 mili ampere dengan perioda 10<br />

menit<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Mackenzie, L.Scott, 1995, The 8051<br />

microcontroller, University of Guelph,<br />

prentice hall, Ontario<br />

Yeralan, Sencer, Ashutosh Ahluwalia, 1995,<br />

Programing and Interfacing the 8051<br />

Microcontroler, Addison-Wesley Publishing<br />

Company<br />

Sutrisno, 1998, Perancangan Sistem Mikroprosesor,<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> ITB, Bandung<br />

Barden,W, 1978, The Z-80 Microcomputer<br />

Handbook, Howard W.Sam & Co., Inc<br />

Schultz, 2007, Grob’s Basic Electronics, Mc. Graw-<br />

Hill, New York<br />

Gambar 6. Hubungan arus dan data DAC<br />

D19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Analisa Ketidakpastian<br />

Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal<br />

Berthy Pelasula, Prof,DR-Ing,Ir. I Made Londen Batan M-Eng<br />

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />

Email : (bertop31@gmail.com)<br />

ABSTRAK<br />

Perancangan dan pembuatan alat uji impak helm tipe horizontal telah dilaksanakan di Jurusan Teknik Mesin<br />

ITS. Menurut ISO 9001 bahwa setiap alat ukur yang telah dibuat harus diketahui nilai ketidakpastiannya<br />

sebelum digunakan. Sesuai dengan petunjuk guide to the expression of uncertainty in measurement bahwa untuk<br />

menganalisa suatu alat uji perlu diketahui sebelumnya, faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakpastian.<br />

Langkah-langkah untuk menganalisa ketidakpastian alat uji impak untuk helm adalah berturut-turut sebagai<br />

berikut: menganalisis faktor-faktor penyebab kesalahan, membuat model persamaan kesalahan, mengukur<br />

kesalahan yang terjadi dan menganalisa besarnya nilai ketidakpastin alat uji impak helm.<br />

Dari analisa kesalahan pada alat uji impak helm ternyata faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan adalah<br />

defleksi pegas, backlesh poros pengunci, defleksi dinding pelontar, perbedaan pengukuran oleh operator dan<br />

perbedaan diameter pipa pengarah dengan diameter penumbuk. Berdasarkan perhitungan nilai ketidakpastian<br />

random dan sistematik maka didapat nilai ketidakpastian bentangan dari alat uji impak helm adalah 47,639270<br />

dan nilai tersebut dikonversikan ke standard ASTM sehingga diperoleh nilai ketidakpastian dari alat uji impak<br />

helm adalah ±4,856195G, dengan nilai toleransinya lebih kecil dari batas yang diijinkan adalah 0,016167 mm,<br />

sehingga alat tersebut dapat digunakan dalam pengujian impak helm standar.<br />

Kata kunci :<br />

PENDAHULUAN<br />

Mohamad Daud Pinem 2009, merancang dan<br />

membuat alat uji impak helm tipe horisontal yang<br />

memanfaatkan pegas sebagai mekanisme penggerak<br />

untuk menghasilkan kecepatan penumbuk<br />

permukaan helm.<br />

Gambar 1. Alat uji impak type horizontal, (Daud Pinem,2009)<br />

kemudian pada lintasan penumbuk ditempatkan dua<br />

buah sensor kecepatan untuk mendeteksi kecepatan<br />

penumbuk saat menumbuk permukaan helm, pada<br />

kepala uji diletakan accelerator untuk membaca<br />

seberapa besar percepatan tumbukan yang terjadi.<br />

Menurut ISO 9001, bahwa alat ukur/alat uji<br />

harus diketahui nilai ketidakpastiannya sebelum<br />

digunakan sebagai alat ukur/alat uji. Sedangkan alat<br />

uji impak ini belum disertai analisa ketidakpastian..<br />

Sesuai dengan petunjuk (Guide to the<br />

Expression of Uncertainty in Measurement), untuk<br />

menganalisa ketidakpastian suatu alat ukur/uji, perlu<br />

diketahui sebelumnya faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi terjadinya ketidakpastian pada alat<br />

ukur/uji. Faktor-faktor tersebut adalah penyebab<br />

yang memungkinkan adanya kesalahan.<br />

Rumusan Masalah<br />

Dari uraian diatas, maka dapat disusun<br />

permasalahaan sebagai berikut:<br />

1. Bagaimana menentukan faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi ketidakpastian alat uji impak<br />

helm.<br />

2. Bagaimanamenentukan nilai ketidakpastian dari<br />

alat uji impak helm.<br />

Batasan Masalah<br />

Agar penelitian terfokus pada permasalahan, maka<br />

dibuat rumusan batasan sebagai berikut:<br />

• Rancang bangun alat uji impak tidak dibahas<br />

secara detail.<br />

• Untuk menganalisa uji ketidakpastian<br />

menggunakan data eksperimen<br />

• Tidak membahas sensor alat ukur.<br />

Tujuan dan Manfaat<br />

Tujuan penelitian adalah :<br />

• Mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi ketidakpastian.<br />

D20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

• Menghitung nilai ketidakpastian dari alat uji<br />

impak helm.<br />

Manfaat penelitian adalah :<br />

Apabila nilai ketidakpastian dari alat uji impak helm<br />

telah diketahui, maka dapat digunakan sebagai alat<br />

uji impak helm standar.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Pada metodologi penelitian ini akan ditentukan<br />

tahapan-tahapan dalam melakukan analisa<br />

ketidakpastian alat uji impak helm:<br />

• Dilakukan studi literatur<br />

Menyiapkan referensi yang berhubungan dengan<br />

ketidakpastian pada alat uji impak helm.<br />

• Analisa Kesalahan<br />

Melakukan analisa terhadap faktor penyebab<br />

kesalahan.<br />

• Identifikasi variabel –variabel yang<br />

mempengaruhi ketidakpastian alat uji.<br />

Model persamaan kesalahan .<br />

• Menentukan model persamaan error<br />

• Persamaan ketidakpastian.<br />

• Menentukan persamaan ketidakpastian<br />

• Pengambilan data.<br />

• Melakukan pengambilan data, dari setiap faktor<br />

penyebab error.<br />

• Perhitungan ketidakpastian bentangan<br />

• Melakukan perihitungan ketidakpastian<br />

sistematik dan ketidakpastian random dari alat<br />

uji tersebut kemudian dicari ketidakpastian<br />

bentangan<br />

• Kesimpulan<br />

• Setelah diperoleh nilai ketidapastian maka<br />

• dapat buat keimpulan.<br />

ANALISA KESALAHAN PADA ALAT UJI<br />

IMPAK HELM<br />

Alat Uji Impak Helm Tipe Horisontal telah dibuat<br />

oleh Mohamad Daud Pinem pada tahun 2009, dapat<br />

dilihat pada gamabar 4.1.<br />

Keterangan:<br />

Gbr 2. Alat Uji impak dan nama bagian<br />

1. Kepala uji<br />

2. Sensor accelorometer<br />

3. Pipa pengarah<br />

4. Sensor waktu<br />

5. Poros berulir<br />

6. Baut pendorong<br />

Dinding pelontar<br />

7. Pegas tarik<br />

8. Batang penumbuk<br />

9. Dinding pelontar<br />

10. Poros dinding pelontar<br />

11. Plat penahan dinding<br />

pelontar<br />

12. Bush alur penahan<br />

13. Display<br />

14. Power supply<br />

Prinsip Kerja Alat Uji Impak Helm.<br />

Setelah alat sensor accelerometer(10) terpasang<br />

pada bagian dalam kepala uji(1) dan dihubungkan<br />

dengan power supply(14) dan display(13), kemudian<br />

pasang helm pada kepala uji serta semua komponen<br />

lain telah terpasang dengan benar maka baut<br />

transfortir(6) yang berjumlah dua buah<br />

digerakan secara manual dengan<br />

menggunakan kunci pas untuk memindahkan<br />

dinding pelontar(9) pada jarak yang telah ditentukan,<br />

kemudian plat penahan(11) dinding pelontar<br />

dikaitkan pada alur poros pengunci(12) dengan<br />

maksud untuk menahan dinding pelontar, setelah itu<br />

baut pendorong digerakan mundur menjauhi dinding<br />

pelontar atau berada pada posisi bebas jika dinding<br />

pelontar dilepaskan, kemudian plat penahan dinding<br />

pelontar dilepaskan sehingga dinding pelontar<br />

bergerak sesaat mendorong batang penumbuk dan<br />

batang penumbuk bergerak menumbuk permukaan<br />

helm sehingga getaran.<br />

yang dihasilkan akan terbaca oleh accelerometer<br />

kemudian nilai yang dihasilkan akan ditampilkan<br />

pada alat display.<br />

D21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Fakator-Faktor Penyebab Kesalahan Pada<br />

Komponen Alat Uji<br />

• Kesalahan karena pegas yang terpasang pada<br />

dinding penahan kedudukannya tidak<br />

paralel.<br />

Perhitungan pegas A (pegas miring)<br />

Dimana:<br />

Cos α = Sudut kemeringan pegas yang<br />

berdampak pada dinding pelontar<br />

x 2 = pegas sebelum ditarik (pegas lurus)<br />

x 3 = pegas setelah ditarik<br />

Gbr. 4. Perbedaan pengamatan operator<br />

Dari pengamatan operator A tepat pada bidang x,<br />

dan operator B tidak, hal ini menyebabkan terjadi<br />

perbedaan pengukuran, jika diasumsikan ketelitian<br />

baca manusia adalah ±1-2 mm, maka persamaanya :<br />

Operator kiri = ( k1 + k2 + k3 ).A kondisi pegas<br />

tertarik sepanjang A<br />

Operator B = ( k4 + k5 + k6 ) . (A-1) atau (A-2)<br />

• Kesalahan karena perbedaan<br />

diameter penumbuk dan diameter pipa<br />

pengarah.<br />

Pipa pengarah sebagai alur lintasan batang<br />

penumbuk, jika terdapat perbedaan diameter yang<br />

relatif besar maka hal ini dapat menghasilkan<br />

celah/suaian, akibatnya terjadi penyimpangan<br />

membentuk sudut dan bervarisai disekitar senter<br />

accelerometer. Pengujian menggunakan batang<br />

penetrasi.<br />

φPp−φBp<br />

α = (°)<br />

Lp<br />

dimana :<br />

φ Pp = Diameter pipa pengarah<br />

φ Bp = Diameter batang penumbuk<br />

• Kesalahan karena backlesh pada poros<br />

pengunci dan bush.<br />

Untuk mengatur kecepatan penumbuk dilakukan<br />

dengan menggerakan dinding pelontar sejauh(x): 30<br />

mm, 35 mm dan 40 mm, yang dilakukan secara<br />

manual oleh dua orang operator. Setelah dinding<br />

pelontar disetting dan digerakan dengan pegas<br />

kemudian ditahan oleh plat pengunci, dan baut<br />

dikendorkan maka dinding pelontar mengalami<br />

pergeseran mundur sejauh(x).<br />

Gbr. 5 Mekanisme poros pengunci<br />

Backless ini dapat menghasilkan jarak yang lebih<br />

pendek dari yang telah ditetapkan sehingga<br />

mengurangi kecepatan penumbuk(v). Untuk<br />

menghitung besar backless yang terjadi dengan<br />

persamaan sebagai berikut:<br />

F = k.<br />

x<br />

= m . a = k.<br />

x<br />

• Kesalahan karena defleksi pada dinding<br />

pelontar<br />

Apabila pada dinding pelontar terjadi<br />

defleksi maka akan mengakibatkan displacement<br />

pegas yang diberikan menjadi lebih kecil. Ketika<br />

displacement pegas menjadi kecil, maka akan<br />

mengakibatkan percepatan yang diberikan pada<br />

batang penumbuk menjadi berkurang pula, pada<br />

akhirnya energi impak sebelum tumbukan juga dapat<br />

berkurang.<br />

Gbr 6. Defleksi dinding pelontar<br />

Berdasarkan kesalahan-kesalahan (E) tersebut yang<br />

merupakan penyebab terjadinya ketidakpastian,<br />

maka dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />

E = G + F + P + H + S + X +<br />

Dimana:<br />

G = Kesalahan akibat dari defleksi pegas<br />

F = Kesalahan akibat perbedaan pengamata<br />

Operator.<br />

H= Kesalahan karena backlesh pada<br />

poros pengunci dan bush<br />

X= Kesalahan karena defleksi pada dinding pelontar<br />

P = Kesalahan karena perbedaan diameter batan<br />

penumbuk dan diameter pipa pengarah.<br />

Persamaan Ketidakpastian Alat<br />

Uji Impak Helm.<br />

• Ketidakpastian Random<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2 2<br />

⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ 2 ⎛ E δ ⎞ ⎛ E δ ⎞ 2<br />

PE<br />

= ⎜ ⎟ PG+<br />

⎜ ⎟ PF+<br />

⎜ ⎟ P H+<br />

⎜ ⎟ PX<br />

+ ⎜ ⎟ P<br />

⎝ G δ ⎠ ⎝ F δ ⎠ ⎝ H δ ⎠ ⎝ X δ ⎠ ⎝ P δ ⎠<br />

Dimana:<br />

δE<br />

δE<br />

δE<br />

δE<br />

δE<br />

= 1 : = 1 : = 1 : = 1 = 1<br />

δG<br />

δF<br />

δH<br />

δX<br />

δP<br />

P<br />

D22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sehingga dperoleh persamaan random:<br />

2 2 2 2 2<br />

P E = P F + P P = P H + P S + P<br />

• Ketidakpastian Sistematik<br />

B<br />

2<br />

E<br />

⎛δE<br />

⎞<br />

= ⎜ ⎟<br />

⎝ δA<br />

⎠<br />

2<br />

B<br />

2<br />

A<br />

⎛δE<br />

⎞<br />

+ ⎜ ⎟<br />

⎝δB<br />

⎠<br />

2<br />

B<br />

2<br />

B<br />

2<br />

X<br />

⎛ δE<br />

⎞<br />

+ ⎜ ⎟<br />

⎝δC<br />

⎠<br />

2<br />

B<br />

2<br />

C<br />

Dari persamaan random dan sistematik, maka<br />

persamaan ketidakpastian dengan tingkat<br />

kepercayaan 95% atau ketidakpastian bentangan :<br />

1<br />

2 2<br />

( B i P ) 2<br />

U = +<br />

95 i<br />

Dimana:<br />

δE<br />

δE<br />

δE<br />

= 1 : = 1 : = 1<br />

δA<br />

δB<br />

δC<br />

Sehingga diperoleh persamaan sistimatk<br />

2<br />

B E<br />

2<br />

= B A<br />

2<br />

+ B B<br />

2<br />

+ B C<br />

DATA DAN PERHITUNGAN KETIDAKPASTIAN<br />

Tabel 1. Data defleksi pegas<br />

Group A<br />

Group B<br />

Replikasi<br />

Displacement (mm)<br />

25 30 35 25 30 35<br />

1 15.72 20.52 24.82 19.82 24.18 29.14<br />

2 16.72 20.62 24.10 19.78 23.90 29.70<br />

3 16.12 20.34 24.82 19.88 24.06 29.44<br />

4 16.00 20.46 25.00 20.38 24.92 28.80<br />

5 16.06 20.50 25.12 19.08 24.78 28.80<br />

6 16.08 20.40 25.04 19.28 24.52 29.82<br />

7 15.96 20.44 24.95 19.62 21.18 29.75<br />

8 15.94 20.52 25.10 19.67 23.89 29.56<br />

9 16.02 20.38 25.12 19.62 24.14 29.86<br />

10 15.94 20.60 24.78 19.55 24.32 29.83<br />

Tabel 2.Perbedaan pengukuran operator<br />

Displacement pegas (mm)<br />

25 30 35<br />

No.<br />

operator<br />

A B A B A B<br />

Pegas<br />

A B A B A B A B A B A B<br />

1 0.38 0.33 0.26 0.27 0.29 0.29 0.26 0.29 0.23 0.21 0.23 0.21<br />

2 0.30 0.37 0.27 0.22 0.24 0.27 0.23 0.31 0.27 0.24 0.27 0.24<br />

3 0.34 0.35 0.17 0.20 0.23 0.31 0.24 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28<br />

4 0.33 0.37 0.32 0.29 0.27 0.31 0.27 0.30 0.25 0.26 0.25 0.26<br />

5 0.29 0.42 0.28 0.31 0.30 0.32 0.25 0.33 0.26 0.25 0.26 0.25<br />

6 0.27 0.39 0.14 0.17 0.25 0.29 0.27 0.29 0.25 0.28 0.25 0.28<br />

7 0.36 0.37 0.19 0.21 0.25 0.28 0.30 0.27 0.24 0.27 0.24 0.27<br />

8 0.34 0.29 0.23 0.24 0.21 0.33 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28<br />

9 0.38 0.38 0.12 0.1 8 0.28 0.25 0.24 0.30 0.29 0.24 0.29 0.24<br />

10 0.36 0.35 0.26 0.28 0.24 0.26 0.26 0.28 0.28 0.25 0.28 0.25<br />

Tabel 3 Pengukuran Backlesh<br />

Ref.<br />

Displacement (mm)<br />

25 30 35<br />

Pegas A B A B A B<br />

1 3.03 1.84 1.2 0.81 1.06 1.01<br />

2 3.62 1.34 1.3 0.90 1.05 1.02<br />

3 3.86 1.90 1.6 0.84 1.03 1,01<br />

4 3.18 1.42 1.0 0.88 1.07 0.99<br />

5 3.58 1.60 1.5 0.86 1.04 1.02<br />

6 3.24 1.45 1.3 0.89 1.06 1.05<br />

7 3,37 1.76 1.6 0.89 1.03 1.03<br />

8 3.43 1.31 1.3 0.91 1.05 1.01<br />

9 3.72 1.68 1.1 0.87 1.07 0.98<br />

10 3.63 1.87 1.5 0.88 1.04 1.02<br />

D23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ref.<br />

Tabel 4. Pengukuran defleksi dinding pelontar<br />

Displacement pegas (mm)<br />

25 30 35<br />

1 0.90 1.02 1.08<br />

2 0.98 1.02 1.08<br />

3 0.88 1.04 1.10<br />

4 0.82 1.04 1.10<br />

5 0.87 1.04 1.12<br />

6 0.80 1.03 1.11<br />

7 0.88 1.04 1.10<br />

8 0.89 1.04 1.11<br />

9 0.81 1.04 1.12<br />

10 0.90 1.04 1.15<br />

Perhitungan Ketidakpastian Random.<br />

Dari table diatas, dapat dihitung rata-rata, gaya, dan<br />

percepatan, kemudian disubtitusi ke persamaan<br />

error untuk perhitungan ketidakpastian random<br />

sebagai berikut:<br />

2 2 2 2 2 2<br />

P E = P G + P F + P H + P X + P p<br />

P 2 E = 134,94 + 353,67 + 66,85 + 31,33 + 0<br />

= 586,8 m/s 2<br />

Pehitungan Ketidakpastian Sistimatik.<br />

Tabel 5. Kalibrasi mistar ingsut 45 mm<br />

No. Xi Xi- X ( Xi- X ) 2<br />

1 45 0,06 0,0036<br />

2 45,05 0,01 0,0001<br />

3 45,10 0,04 0,0016<br />

4 45,05 0,01 0,0001<br />

5 45,05 0,01 0,0001<br />

6 45,05 0,01 0,0001<br />

7 45,10 0,04 0,0016<br />

8 45,10 0,04 0,0016<br />

9 45,05 0,01 0,0001<br />

10 45,05 0,01 0,0001<br />

Tabel 6. Kalibrasi mistar ingsut 100mm<br />

No. Xi Xi -<br />

X<br />

( Xi- X ) 2<br />

1 100 0,01 0,0001<br />

2 100,05 0,04 0,0016<br />

3 100 0,01 0,0001<br />

4 100 0,01 0,0001<br />

5 100,05 0,04 0,0016<br />

6 100 0,01 0,0001<br />

7 100 0,01 0,0001<br />

8 100,05 0,04 0,0016<br />

9 100 0,01 0,0001<br />

10 100 0,01 0,0001<br />

Tabel 7. Kalibrasi mistar ingsut 150mm<br />

Xi<br />

No.<br />

Xi- X ( Xi- X ) 2<br />

1 150 0,02 0,0004<br />

2 150 0,02 0,0004<br />

3 150 0,02 0,0004<br />

4 150,05 0,03 0,0009<br />

5 150,05 0,03 0,0009<br />

6 150 0,02 0,0004<br />

7 150,05 0,03 0,0009<br />

8 150,05 0,03 0,0009<br />

9 150 0,02 0,0004<br />

10 150 0,02 0,0004<br />

Dari perhitungan simpangan yang terjadi pada gauge<br />

block 45, 100 150 mm diperoleh data sebesar =,<br />

1,290323, 0,157313 dan 1,161890 jika di<br />

bandingkan dengan data simpangan standard<br />

distribusi t adalah = 2,262, artinya tidak terjadi<br />

penyimpangan dari batas tingkat keyakinan 95%.<br />

• Perhitungan Ketidakpastian Sistematik.<br />

Kesalahan-kesalahan pada mistar ingsut<br />

menimbulkan ketidakpastian, dapat dihitung sebagai<br />

berikut:<br />

ERROR(E) = A + B + C<br />

Dimana:<br />

A = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />

ukuran 45 mm<br />

B = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />

ukuran 100 mm<br />

C = Kesalahan mistar ingsut pada gauge block<br />

ukuran 100 mm<br />

E = 1,290323 + 0,024721 + 1,161890<br />

= 2,609526 mm<br />

Perhitungan Ketdakpastian Sistematik<br />

Kesalahan pada mistar ingsut terhadap percepatan<br />

.dapat dihitung sebagai berikut:<br />

dv 6,63<br />

2<br />

a = = = 1682,7 m/<br />

s<br />

dt 0,000395<br />

Dari perhitungan percepatan pada alat uji impak<br />

helm sesuai data kalibrasi mistar ingsut sorong<br />

makadiperoleh nilai ketidakpastian sistematik<br />

sebagai berikut:<br />

2<br />

B E = 1682,7<br />

D24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ketidakpastian Bentangan<br />

Perhitungan ketidakpastian bentangan adalah<br />

sebagai berikut:<br />

U95% = ( B2i + P2i)½<br />

= ( 1682,7 + 24,223955)<br />

2269,5<br />

=<br />

= 47,639270<br />

konversikan nilai ketidakpastian bentangan ke<br />

standard American Society for Testing and<br />

Materials.<br />

U B x =<br />

G 9,81<br />

dimana : G = 9,81 m/s2<br />

UB = K<br />

x = U95%<br />

Dari data-data sebelumnya, UB<br />

47,639270<br />

= 4,856195G<br />

9,81<br />

Perhitungan ketidakpastian bentangan (UB) yang<br />

diperoleh sebesar ±4,856195G. Batas toleransi yang<br />

diijinkan (TB), :UB ≤ (0,1 s/d 0,2)TB<br />

Ketidakpastian bentangan diperoleh dari<br />

perbandingan antara U B dengan T B dapat dihitung<br />

sebagai berikut:<br />

U B 4,85G<br />

4,85<br />

= =<br />

TB<br />

300G<br />

300<br />

= 0,016<br />

Hasil perbandingan diatas, terlihat jelas U B lebih<br />

kecil dari pada 0,1T B, (U B < 0,1T B ). Hasil<br />

perhitungan menunjukan bahwa alat uji impak helm<br />

tipe horizontal dapat digunakan sebagai alat uji<br />

standar.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Becker, Edward B., et al., (2000), 2000 Standard for<br />

Protective Headgear, Snell Memorial<br />

Foundation Inc., North Highlands, CA.<br />

ISO (1993) Guide to the Expression of Uncertainty<br />

in Measurement, International Organization<br />

for Standarization (ISO), Geneva,<br />

Switzerland<br />

Kirkup, Les (2007) Calculating and Expressing<br />

Uncertainty in Measurement, University of<br />

Technology, Sydney,Australia.<br />

Leland Blank (1980) Statistical Procedures for<br />

Engineering, Management and Science,<br />

St Lois San Fransisco.<br />

Pinem Mohamad Daud (2009) Studi Kekuatan Helm<br />

Komonikatif Terhadap Beban Impak<br />

Secara Eksperimen dengan Alat Uji Impak<br />

Tipe Horisontal dan Modeling. Tesis<br />

Master, Institut Teknologi Sepuluh<br />

Nopember Surabaya.<br />

UKAS publication M 3003 The Expression of<br />

Uncertainty and Confidence in<br />

Measurement Edition 1, December 1997.<br />

Perhitungan Prosentase Kesalahan Pada Alat Uji<br />

Impak Helm<br />

Prosentase kesalahan pada alat uji dapat dihitung<br />

sebagai berikut:<br />

JK<br />

Prosentase kesalahan = x100 %<br />

DP<br />

Konstribusi kesalahan pada lat uji impak helm<br />

terbesar adalah kesalahan akibat defleksii<br />

pegas,yaitu sebesar 35,39%, Konstribusi kesalahan<br />

pada lat uji impak helm terbesar adalah kesalahan<br />

akibat defleksi pegas,sebesar 35,39%,<br />

KESIMPULAN<br />

• prosentase kesalahan terbesar yaitu pada<br />

kesalahan akibat defleksi pegas yaitu : 35,39%.<br />

• Ketidakpastian alat uji impak helm tipe<br />

horizontal adalah 0,016 , dan dapat digunakan<br />

sebagai alat uji standar.<br />

D25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Rancang Bangun Eksperimen Hidrostatika<br />

untuk Aplikasi Remote Laboratory<br />

Cuk Imawan 1 , Adhi Harmoko 1 , Supriyanto 2 , Fauziyyah 2<br />

1 Smart Systems Technology (SST), <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Indonesia<br />

2 Unit Pelaksana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Dasar (UPPIPD), Universitas Indonesia<br />

Email : cuk.imawan@ui.ac.id<br />

Abstrak<br />

Eksperimen hidrostatika yang mempelajari hubungan antara tekanan air sebagai fungsi dari kedalaman dibangun<br />

untuk aplikasi remote laboratory. Instrumentasi alat ini dirancang dengan antar muka PC dan dikomunikasikan<br />

dengan PC server sehingga dapat dikendalikan melalui internet. Instruksi operasi alat yang diperintahkan oleh<br />

user lewat internet, dilakukan melalui GUI. Lewat GUI ini, user dapat memerintahkan perubahan tinggi<br />

permukaan air dan sensor tekanan untuk mengukur tekanan di dasar tabung air. Variasi tinggi permukaan air<br />

diatur oleh benda yang dicelupkan di air. Benda tersebut terhubung dengan katrol dan dapat digerakkan naik<br />

turun oleh motor steper. Data hasil eksperimen disimpan oleh PC server dan dapat diunduh oleh user setiap saat.<br />

Saat bereksperimen user dapat melihat langsung kerja alat melalui kamera. GUI memberikan pilihan kepada user<br />

untuk menampilkan video streaming kerja alat, data hasil eksperimen, dan grafik dari data tersebut secara real<br />

time melalui internet. Eksperimen ini telah diuji coba dan digunakan untuk praktikum <strong>Fisika</strong> Dasar di UPP-IPD<br />

oleh mahasiswa UI. Terbangunnya modul eksperimen ini telah memberikan sumbangan besar bagi pelaksanaan<br />

praktikum, sebab dapat menyelesaikan kekurangan sarana peralatan dan fasilitas ruang laboratorium. Mahasiswa<br />

dapat melakukan praktikum setiap saat dan dimanapun, sehingga jumlah mahasiswa yang selalu bertambah tetap<br />

dapat dilayani oleh praktikum remote laboratory ini, tanpa harus menambah fasilitas laboratorium.<br />

Kata kunci : remote laboratory, hidrostatika, interfacing, PC, sensor tekanan.<br />

PENDAHULUAN<br />

Kemajuan IT telah merambah di dunia<br />

pendidikan sejak dua dekade ini. Pengaruh<br />

langsungnya adalah terbangunnya beberapa LMS<br />

untuk aplikasi e-learning. Pengunaan e-learning ini<br />

telah menyelesaikan banyak hal di ranah pendidikan,<br />

mulai dari kemudahan mengakses informasi,<br />

peningkatan efektifitas dan efisiensi pengajaran,<br />

sampai ke intensitas interaksi antara dosen dan<br />

mahasiswa yang sebakin baik (Junzhou et al, 2006).<br />

Pada awal dekade ini telah berkembang e-<br />

learning untuk aplikasi eksperimen, yang kemudian<br />

dikenal dengan remote laboratory (rLab). RLab<br />

dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan<br />

laboratorium yang pada umumnya beroperasi<br />

dengan biaya mahal tetapi pemanfaatannya terus<br />

meningkat tanpa disertai dengan peningkatan<br />

sumberdayanya secara memadai (Ranaldo et al,<br />

2007). Saat ini rLab telah dikembangkan oleh<br />

banyak institusi dari yang berbasis LabView<br />

(Sainchez et al, 2007), Simulink (Junge et al, 2000),<br />

maupun Java (Hahn et al, 2000; Ferrero et al, 2003).<br />

Terbangunnya rLab di suatu Institusi akan<br />

memberikan banyak manfaat antara lain:<br />

Satu eksperimen dapat diakses oleh banyak user<br />

bahkan oleh user dari berbagai institusi yang<br />

berbeda.<br />

Waktu penggunaan laboratorium menjadi<br />

fleksibel, karena dapat diakses 24 jam per hari.<br />

Menghemat waktu dan biaya, sebab<br />

laboratorium dapat diakses dari mana saja asal ada<br />

jaringan internet. User tidak perlu datang ke<br />

laboratorium.<br />

Menghemat sumber daya manusia. Satu asisten<br />

atau dosen dapat menangani banyak user.<br />

Menghemat biaya operasional dan perawatan<br />

laboratorium.<br />

Pada penelitian ini, telah dirancang dan<br />

dibangun suatu eksperimen rLab tentang hidrostatika<br />

berbasis Java. Di sini akan dijelaskan tentang<br />

struktur perangkat keras dan lunak yang telah<br />

dikembangkan. Sistem ini telah berhasil diuji coba<br />

dan saat ini digunakan sebagai salah satu modul<br />

praktikum <strong>Fisika</strong> dasar untuk mahasiswa Universitas<br />

Indonesia.<br />

RANCANG BANGUN REMOTE LABORATORY<br />

Rancang bangun suatu remote laboratory selalu<br />

dimulai dengan cara berfikir tentang bagaimana<br />

dapat merancang suatu sistem instrumentasi yang<br />

sederhana dan ringkas baik dari segi perangkat keras<br />

maupun perangkat lunaknya. Hal ini dilakukan agar<br />

saat perawatan atau terjadi kerusakan, sistem<br />

tersebut dapat diperbaiki dengan cepat, sehingga<br />

tidak mengganggu pelayanannya yang 24 jam per<br />

hari. Struktur perangkat keras dan lunak dari sistem<br />

yang telah dirancang ditunjukkan di gambar 1.<br />

D26


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Adapaun komponen-komponen utamanya dapat<br />

dijabarkan sebagai berikut:<br />

Peralatan Eksperimen dan Kamera Video<br />

Peralatan eksperimen hidrostatika diakuisisi<br />

melalui intefacing menggunakan I/O dari<br />

mikrokontroler yang dikendalikan lewat PC rLab. Di<br />

PC rLab ini terinstall Apache HTTP server yang<br />

dapat mengek-sekusi script–script jsp yang<br />

diperintahkan oleh user dan kemudian mengirimkan<br />

kembali hasil eksekusinya ke PC rLab. Perangkat<br />

lunak yang digunakan pada interfacing dibuat<br />

dengan java library. Perangkat lunak ini menjadi<br />

jembatan komunikasi data baik itu perintah ke<br />

peralatan maupun transfer data ke database.<br />

Kamera web 1.3 Mpixel digunakan untuk<br />

mendukung fasilitas video streaming. Kamera ini<br />

dikoneksikan dengan rLab PC melalui USB,<br />

sehingga semua kejadian pada eksperimen dapat<br />

diamati secara real time oleh user.<br />

Gambar. 1 Diagram skematik struktur remote laboratory yang<br />

dikembangkan.<br />

PC rLab dan Interfacing<br />

PC rLab terhubung dengan peralatan<br />

eksperimen melalui interfacing. PC ini<br />

mengendalikan steper motor dan mengakuisisi data<br />

sensor tekanan. Perintah user untuk mengontrol alat<br />

diterjemahkan dan dikerjakan oleh PC rLab,<br />

kemudian data pengukurannya ditransmisikan dan<br />

disimpan di PC server<br />

Web Portal .<br />

Pintu gerbang yang menghubungkan user dengan<br />

peralatan eksperimen adalah portal web yang<br />

diletakkan di PC server. Portal web meneruskan<br />

instruksi user ke PC rLab, sehingga user dapat<br />

melakukan eksperimen. Apabila eksperimen sedang<br />

digunakan oleh seorang user, maka user lainnya<br />

tidak dapat melakukan eksperimen, jadi harus<br />

menunggu sampai eksperimen telah selesai<br />

dilakukan.<br />

Di PC ini diletakkan pula file dan database yang<br />

terkait dengan eksperimen. Databese yang<br />

dikembangkan menggunakan MySQL. Database ini<br />

berisikan data-data: user ID, password, biodata user,<br />

informasi eksperimen, variabel eksperimen, dan data<br />

pengukuran.<br />

User<br />

User adalah orang yang melakukan eksperimen<br />

menggunakan fasilitas remote laboratory. Agar<br />

dapat tersambung dengan fasilitas rLab, user harus<br />

menggunakan web browser, kemudian mengakses<br />

alamat URL rLab. Setelah masuk di halaman HTML<br />

rLab, user dihadapkan dengan GUI seperti yang<br />

ditunjukkan pada gambar 2.<br />

GUI yang dirancang mempunyai lima bagian<br />

utama, yaitu: Interactive user interface, Real time<br />

connection, Schematic experiment setup, User<br />

control panel, dan Time elapse. Interactive user<br />

interface memberikan pilihan pada user untuk dapat<br />

berinteraksi dengan video streaming yang<br />

menampilkan gambar peralatan secara real time<br />

(ditampilkan pada tempat real time connection di<br />

GUI), sehingga user merasakan sensasi<br />

bereksperimen langsung di depan peralatannya.<br />

Pilihan lainnya adalah menampilkan grafik data<br />

hasil eksperimen dan juga data pengukuran yang<br />

dapat diunduh dalam format Excel. Schematic<br />

experiment setup memberikan gambar skematik dari<br />

peralatan eksperimen, sehingga user terbantu dalam<br />

memahami rancangan peralatan yang sedang<br />

digunakan. User control panel adalah panel-panel<br />

yang digunakan untuk mengontrol eksperimen. Di<br />

percobaan ini, gerakan bandul dapat diseting,<br />

kemudian motor steper diaktifkan. Setelah itu user<br />

memerintahkan sensor tekanan untuk mengambil<br />

data tekanan air di dasar tabung.<br />

DISAIN EKSPERIMEN HIDROSTATIKA<br />

Pada eksperimen hidrostatika ini diteliti<br />

perubahan tekanan cairan di dasar tabung terhadap<br />

tinggi permukaan cairannya. Penyelesaian yang<br />

dipilih untuk mengatur atau memvariasikan<br />

perubahan tinggi permukaan cairan di dalam tabung<br />

adalah dengan mencelupkan bandul di dalam cairan.<br />

Semakin banyak volume bandul yang tercelup di<br />

cairan menyebabkan semakin tinggi kenaikan<br />

permukaannya.<br />

D27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar. 2 Screen shot menu utama web rLab yang dilihat oleh client. Tambahan gambar di luar screen shot adalah tampilan web yang dapat<br />

dipilih oleh client saat berinteraksi atau bereksperimen dengan rLab.<br />

D28


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Hasil rancangan peralatan hidrostatika<br />

ditunjukkan di gambar 3. Seting peralatan terdiri<br />

dari empat komponen, yaitu: motor steper, sistem<br />

katrol dan bandul, tabung berisi cairan, dan sensor<br />

tekanan. Motor steper dihubungkan dengan interface<br />

ke PC rLab, sehingga perintah user yang diberikan<br />

lewat User control panel di GUI dapat diterjemahkan<br />

dan dikerjakan oleh motor steper. Motor ini dapat<br />

digerakkan searah jarum jam atau berlawanan,<br />

sesuai dengan perintah yang diberikan user untuk<br />

mengatur ketinggian bandul. Sistem katrol<br />

menghubungkan bandul dan motor lewat tali,<br />

sehingga gerak naik atau turun bandul dapat<br />

dikontrol. Bandul dapat bergerak naik atau turun,<br />

dengan sebagian badannya tercelup di cairan,<br />

sehingga mengakibatkan permukaan cairan berubah<br />

ketinggiannya. Sebagai hasilnya, ketinggian air di<br />

dalam tabung berubah. Perubahan ketinggian air ini<br />

mengakibatkan perubahan tekanan pada dasar<br />

tabung. Perubahan tekanan pada dasar tabung diukur<br />

dengan sensor tekanan yang dihubungkan oleh<br />

interface ke PC rLab dan dapat diperintah oleh user<br />

melalui User control panel.<br />

badan bandul sudah meyentuh permukaan cairan dan<br />

semakin tenggelam dalam cairan, sehingga semakin<br />

membuat permukaan cairan meninggi. Sebagai hasil<br />

dari perlakuan ini tekanan di dasar tabung semakin<br />

membesar. Data grafik menunjukkan hubungan<br />

tekanan cairan dan tinggi permukaannya linier.<br />

Eksperimen remote laboratory ini telah<br />

digunakan sebagai salah satu percobaan pada<br />

praktikum <strong>Fisika</strong> Dasar di Universitas Indonesia<br />

untuk mahasiswa MIPA dan Teknik. Eksperimen ini<br />

dikelola oleh Unit Pelaksana Pendidikan Ilmu<br />

Pengetahuan Dasar (UPP-IPD) Universitas<br />

Indonesia. Terbangunnya modul eksperimen ini<br />

telah memberikan sumbangan besar bagi<br />

pelaksanaan praktikum. Mahasiswa dapat<br />

melakukan praktikum setiap saat dan dimanapun dia<br />

berada. Kendala jumlah mahasiswa yang semakin<br />

bertambah, yang tidak disertai dengan penambahan<br />

fasilitas dan sarana laboratorium serta sumber daya<br />

manusianya telah dapat diatasi. Dengan tersedianya<br />

fasilitas ini, jumlah mahasiswa yang selalu<br />

bertambah tetap dapat dilayani oleh praktikum<br />

remote laboratory ini, tanpa harus menambah<br />

sumber daya laboratorium.<br />

Gambar. 3 Diagram skematik seting alat eksperimen hidrostatika.<br />

Hasil uji coba eksperimen ini secara grafik<br />

seperti ditunjukkan pada gambar 2. Sumbu<br />

horisontal adalah skala penurunan bandul dalam cm<br />

dan sumbu vertikal adalah tekanan cairan di dasar<br />

tabung dalam skala kPa. Pada penurunan bandul di<br />

daerah sekitar 0-4 cm, tekanan cairan masih konstan,<br />

artinya ujung bawah bandul belum menyentuh<br />

permukaan cairan sehingga tinggi cairan dalam<br />

tabung masih tetap sama. Setelah lewat 4 cm<br />

penurunan selanjutnya dari bandul mengakibatkan<br />

kenaikan tekanan di dasar cairan. Hal ini berarti,<br />

KESIMPULAN<br />

Rancang bangun remote laboratory untuk<br />

praktikum <strong>Fisika</strong> dasar sangat diperlukan ketika<br />

jumlah mahasiswa yang semakin bertambah tidak<br />

disertai dengan penambahan sumber daya<br />

laboratorium yang memadai. Eksperimen<br />

hidrostatika yang dapat dilakukan melalui internet<br />

telah berhasil dirancang dan dikembangkan untuk<br />

membantu penyelesaian masalah tersebut.<br />

Eksperimen ini terdiri dari empat bagian utama yaitu<br />

User, PC server/Web portal, PC rLab berserta<br />

Interfacingnya, dan peralatan eksperimen<br />

hidrostatika. Perancangan GUI untuk menjebatani<br />

interaksi user dengan peralatan lewat internet<br />

dikembangkan dengan filosofi user dapat<br />

berinteraksi dengan peralatan seakan-akan langsung<br />

berhadapan dengannya. Oleh sebab itu semua panel<br />

user dan interaksi dengan peralatan dibuat secara<br />

real time dan dapat dimonitor dengan video kamera.<br />

Peralatan rLab ini telah berhasil diuji coba dan saat<br />

ini digunakan sebagai salah satu modul praktikum<br />

<strong>Fisika</strong> dasar untuk mahasiswa Universitas Indonesia.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Junzhou Luo, Wei Li, Jiuxin Cao, Liang Ge (2006),<br />

Integrating Heterogeneous E-learning<br />

Systems, Proceedings of AICT/ICIW, IEEE.<br />

Nadia Ranaldo, Sergio Rapuano, Maria Riccio, and<br />

Francesco Zoino (2007), Remote Control and<br />

Video Capturing of Electronic Instrumentation<br />

for Distance Learning, IEEE Transa-<br />

D29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ctions on Instrumentation and Measurement,<br />

Vol. 56, No. 4, 1419-1428.<br />

Benjamin Sainchez and Ramon Bragos (2007),<br />

Modular Workbench for In-Situ and Remote<br />

Laboratories, Instrumentation and Measurement<br />

Technology Conference- IMTC 2007,<br />

Warsaw, Poland,1-4.<br />

T. F. Junge, C. Schmid (2000),Web-based remote<br />

experimentation using a laboratory-scale<br />

optical tracker, Proceedings of the American<br />

Control Conference, Chicago, Illinois, 2951-<br />

2954.<br />

Henry H. Hahn and Mark W. Spong (2000),Remote<br />

Laboratories for Control Education,<br />

Proceedings of the 39" IEEE, Conference an<br />

Decision and Control, Sydney, Australia, 895-<br />

900.<br />

Alessandro Ferrero, Simona Salicone, Claudio<br />

Bonora, and Marco Parmigiani (2003),<br />

ReMLab: A Java-Based Remote, Didactic<br />

Measurement Laboratory, IEEE Transactions<br />

on Instrumentation and Measurement, Vol.<br />

52, No. 3, 710-715.<br />

D30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Aplikasi Interdigital Capacitor (IDC) sebagai Elemen Sensing<br />

untuk Pengukuran Konsentrasi Larutan Gula dalam Air:<br />

Studi Eksperimen<br />

Didik R. Santoso<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Brawijaya Malang<br />

Email: dieks@ub.ac.id<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini mencoba mengembangkan suatu metode baru dalam pengukuran konsentrasi larutan gula dalam air<br />

dengan menggunakan elemen sensing berupa interdigital capacitor (IDC). IDC difungsikan sebagai sensor<br />

kapasitif yang peka terhadap permitivitas dan konduktivitas larutan. Sebuah pengkondisi sinyal berupa charge<br />

amplifier diperlukan guna mengubah besarnya muatan listrik keluaran IDC menjadi tegangan listrik yang<br />

proporsianal dengannya. Pengukuran konsentrasi larutan gula dilakukan dengan membandingkan tegangan<br />

keluaran charge amplifier terhadap konsentrasi larutan gula.<br />

Untuk memferifikasi piranti dan metode yang dikembangkan, telah dilakukan uji laboratorium dengan<br />

menggunakan berbagai larutan gula yang telah diketahui konsentrasinya. Piranti IDC yang digunakan dalam<br />

eksperimen ini mempunyai ukuran finger dan gap antar finger sebesar 1 mm, 2 mm, dan 3 mm. Frekuensi uji<br />

yang digunakan adalah 1 Hz, 10 Hz, 100 Hz, 1 kHz, 10 kHz, 50 kHz, dan 100 kHz. Hasil-hasil eksperimen<br />

menunjukkan bahwa piranti yang dikembangkan telah dapat bekerja dengan baik dan dapat digunakan untuk<br />

mengukur konsentrasi larutan gula dalam air, khususnya untuk konsentrasi-konsentrasi rendah. Dari tiga jenis<br />

IDC yang digunakan, yang mempunyai kepekaan tertinggi adalah IDC 1 mm. Sedangkan piranti bekerja dengan<br />

optimal pada jangkaun frekuensi 1-10 kHz. Pada pengukuran konsentrasi persen berat 1-10 % diperoleh<br />

persamaan yang cukup linear Y = 0,22X + 0,44; dengan R 2 = 0,98 dan error = 1,6%.<br />

Kata kunci: pengukuran, konsentrasi larutan gula, IDC<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Pengukuran konsentrasi larutan gula umumnya<br />

dilakukan dengan menggunakan metode optik, yaitu<br />

dengan menerapkan prinsip-prinsip refleksi, refraksi,<br />

dan polarisasi cahaya dalam suatu medium<br />

transparan. Pada metode ini, nilai konsentrasi suatu<br />

larutan ditentukan sebagai fungsi indeks biasnya.<br />

Semakin besar konsentrasi suatu larutan, indeks<br />

biasnya akan semakin besar, dan sebaliknya [1].<br />

Dalam paper ini, dilakukan ujicoba secara<br />

eksperimen metode lain untuk menentukan<br />

konsentrasi larutan gula dalam air dengan cara<br />

membandingkan dengan nilai permitivitasnya (ε r ).<br />

Besar kecilnya pengaruh, serta hubungan antara<br />

konsentrasi larutan gula dengan permitivitasnya<br />

akan dibahas dalam paper ini.<br />

Salah satu cara untuk menentukan nilai<br />

permitivitas suatu bahan adalah dengan menggunakan<br />

prinsip kapasitor plat sejajar [2], yang mana<br />

hubungan antara permitivitas bahan dan besarnya<br />

kapasitansi C sebuah kapasitor plat sejajar (Gb.1),<br />

dinyatakan sebagai:<br />

C<br />

= ε 0<br />

ε<br />

r<br />

A<br />

d<br />

dimana:<br />

ε 0 : permitivitas hampa udara (8,85 x 10 -12<br />

C 2 /N.m 2 )<br />

(1)<br />

ε r<br />

A<br />

d<br />

: permitivitas bahan<br />

: luas plat sejajar (overlap)<br />

: jarak antar plat sejajar<br />

Gambar1. Kapasitor plat sejajar<br />

Dari persamaan (1), jika besarnya kapasitansi C<br />

dapat diukur, maka nilai permitivitas bahan<br />

dielektriknya dapat ditentukan.<br />

Dalam beberapa aplikasi, menjaga jarak (d)<br />

diantara dua plat sejajar agar tetap dalam kondisi<br />

konstan bukanlah bekerjaan yang mudah. Padahal<br />

variabel ini mempunyai pengaruh sangat besar<br />

terhadap hasil pengukuran kapasitansi. Untuk itu<br />

dalam penelitian ini tidak digunakan kapasitor plat<br />

sejajar, namun digunakan kapasitor jenis lain yaitu<br />

inter digital capacitor.<br />

D31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2. INTERDIGITAL CAPACITOR<br />

Interdigital Capacitor (IDC) atau sering juga<br />

disebut Interdigitated Capacitor adalah sebuah<br />

kapasitor jenis planar (planar capacitor). Bentuk<br />

umum dari IDC diberikan pada gambar 2. Kapasitor<br />

jenis ini tersusun atas dua buah sisir logam (comb)<br />

yang diletakkan secara mendatar (flat) dengan jarak<br />

tertentu. Kutub-kutub pengukuran (elektroda A,B)<br />

diambil dari sisir bagian bawah dan sisir bagian atas<br />

(lihat Gb.2).<br />

beberapa modifikasi dalam penelitian, misalnya<br />

penguatan dan pemfilteran sinyal.<br />

Rangkaian pengkondisi sinyal yang umumnya<br />

digunakan untuk sensor jenis kapasitif adalah charge<br />

amplifier (CA). Rangkaian dasar CA diberikan pada<br />

gambar 3.<br />

Gambar 2. Bentuk dan susunan IDC standar<br />

Besarnya kapasitansi sebuah IDC tergantung<br />

susunannya, dan umumnya sangat kompleks [3].<br />

Secara sederhana, besarnya kapasitansi dari IDC<br />

dapat dinyatakan sebagai:<br />

C = ε 0 ε K<br />

(2)<br />

r<br />

dimana K adalah harga geometri sensor<br />

(ekivalen dengan A/d untuk kapasitor plat sejajar).<br />

Penurunan rumus secara detail untuk nilai<br />

kapasitansi C dari IDT dapat dilihat di [4] dan [5].<br />

Jika elemen-elemen sisir logam dalam IDC<br />

dibuat tetap, maka harga kapasitansinya hanya<br />

tergantung pada tetapan permitivitas bahan<br />

dielektriknya, yang mana hal ini berlaku juga untuk<br />

kapasitor plat sejajar. Salah satu keuntungan<br />

pemakaian IDC dibandingkan dengan kapasitor plat<br />

sejajar adalah kestabilan faktor geometrinya. Dalam<br />

kapasitor plat sejajar, menjaga jarak antar plat (d)<br />

merupakan pekerjaan yang sulit, sedangkan dalam<br />

IDC ukuran finger dan gab antar finger tidak<br />

mungkin berubah karena elemen ini umumnya<br />

langsung dilekatkan dalam suatu substrat/media<br />

(misalkan printed circuit board, PCB).<br />

Aplikasi elemen IDC dalam beberapa bidang<br />

terapan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan<br />

dapat dilihat di [6-8].<br />

3. RANGKAIAN PENGKONDISI SINYAL<br />

Dalam penelitian ini, nilai permitivitas larutan<br />

(yang diwakili oleh nilai kapasitansinya), tidak<br />

langsung diukur dengan kapasitansi meter,<br />

melainkan dengan menggunakan sebuah rangkaian<br />

pengkondisi sinyal. Hal ini untuk melakukan<br />

Gambar 3. Rangkaian Charge Amplifier.<br />

Besarnya tegangan keluaran (V out ) dari<br />

rangkaian tersebut dapat diturunkan dari prinsip<br />

rangkaian inverting amplifier, yaitu:<br />

Vout<br />

Z R = −<br />

(3)<br />

V Z<br />

L<br />

L<br />

Dimana Z R adalah impedansi (R R //C R ) dan Z L adalah<br />

impedansi C L , sehingga<br />

Vout<br />

VL<br />

Vout<br />

VL<br />

= −<br />

jωCL<br />

1<br />

( + jωCR<br />

)<br />

RR<br />

⎛ C ⎞<br />

= −⎜<br />

L 1<br />

⎟<br />

⎝ CR<br />

⎠ ⎛ 1 ⎞<br />

⎜ + 1<br />

⎟<br />

⎝ jωCRRR<br />

⎠<br />

(4)<br />

1<br />

untuk ω<br />

0<br />

= , maka persamaan persamaan<br />

C R<br />

R R<br />

(4) diatas mempunyai nilai sebagai berikut:<br />

V<br />

V<br />

out<br />

L<br />

V<br />

V<br />

out<br />

L<br />

⎛ C<br />

= −⎜<br />

⎝ C<br />

L<br />

R<br />

⎞<br />

⎟<br />

, untuk ( ω >> ω0)<br />

, (5)<br />

⎠<br />

= 0 , untuk ω


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mm, untuk tiga jenis IDC yang berbeda. Untuk<br />

koneksi dengan rangkaian pengkondisi sinyal<br />

digunakan kabel koaksial dengan panjang 50 cm.<br />

Titik solderan ditutup dengan glue-gel untuk<br />

menghindari terjadinya arus pendek saat IDC<br />

dimasukkan pada larutan gula.<br />

Gambar 7-9 adalah grafik hasil pengukuran<br />

tegangan sebagai fungsi dari konsentrasi larutan<br />

gula, yang diamati di osiloskop. Gambar 10 adalah<br />

grafik hasil pengukuran tegangan pada frekuensi 5<br />

KHz untuk ketiga jenis IDC, dan gambar 11 adalah<br />

hasil pengukuran tegangan untuk konsentrasi rendah<br />

larutan gula yang dinyatakan dalam persen berat.<br />

Gambar 4. Elemen IDC<br />

Sedangkan rangkain CA diset dengan nilai<br />

komponen R R =100 MΩ dengan maksud agar<br />

frekuensi cut-off-nya dapat dibuat serendah<br />

mungkin. Gambar 5 menunjukkan hasil simulasi<br />

penentuan frekuensi cut-off rangkaian CA (Gb.3)<br />

untuk nilai R R =100 MΩ, dan nilai C R : 1 nF, 100 pF<br />

dan 10 pF. Simulasi ini hanya untuk memberikan<br />

gambaran rentang frekuensi kerja dari rangkaian<br />

pengkondisi sinyal yang dirancang.<br />

Gambar 7. Hasil pengukuran V out untuk IDC=1mm<br />

Gambar 5. Hasil simulasi rangkaian CA<br />

Selanjutnya eksperimen dilakukan dengan<br />

setup peralatan seperti pada gambar 6. Eksperimen<br />

dilakukan dengan menggunakan dua elemen IDC.<br />

Elemen IDC pertama dicelupkan secara keseluruhan<br />

ke dalam larutan gula yang telah diketahui<br />

konsentrasinya. Dan elemen IDC kedua difungsikan<br />

sebagai C R (C referensi) dan diletakkan seperti pada<br />

gambar 6. Tegangan output rangkaian diukur dan<br />

dicatat besarnnya dengan menggunakan osiloskop.<br />

Gambar 8 Hasil pengukuran V out untuk IDC=2mm<br />

IDC +CA<br />

AMP +<br />

BUFFER<br />

R R<br />

Gambar 9. Hasil pengukuran V out untuk IDC=3mm<br />

IDC<br />

IDC<br />

Larutan gula<br />

V L<br />

Signal<br />

Gen<br />

Charge<br />

Amplifier<br />

V out<br />

Gambar 6. Setup eksperimen<br />

D33


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 10. Hubungan V out dengan konsentrasi (Molar) pada<br />

frekuensi 5 KHz<br />

Gambar 11. Hubungan V out dengan konsentrasi (persen berat)<br />

pada frekuensi 5 KHz<br />

5. PEMBAHASAN<br />

Dari grafik pada gambar 7-9 dapat diamati<br />

bahwa hasil pengukuran konsentrasi larutan gula<br />

dengan elemen IDT memberikan hasil terbaik pada<br />

frekuensi 1 KHz dan 10 KHz. Pada frekuensi ini<br />

diperoleh pengukuran dengan nilai perubahan<br />

tegangan keluaran yang lebih stabil dibandingkan<br />

pengukuran pada frekuensi lainnya. Hal ini karena<br />

respon rangkaian pengkondisi sinyal akan<br />

berperilaku sebagai filter lolos atas (high pass filter),<br />

sesuai dengan analisis dan simulasi rangkaian yang<br />

telah dilakukan (Gb.5). Sehingga untuk frekuensi (<<br />

1 KHz) sinyal akan difilter. Dan semakin rendah<br />

frekuensinya, semakin kuat faktor pemfilterannya.<br />

Akibatnya output sinyal akan semakin kecil. Hal ini<br />

berlaku baik pada elemen IDC 1 mm, 2 mm maupun<br />

3 mm.<br />

Namun tampak pada gambar tersebut bahwa<br />

utuk frekuensi 50 KHz dan 100KHz, semua nilai<br />

pengukuran berharga sama yaitu sekitar 0,4 volt<br />

untuk 50 KHz, dan 0,2 volt untuk 100KHz. Hal ini<br />

karena komponen penguat operasional (IC Opamp)<br />

yag digunakan tidak dapat bekerja pada frekuensi<br />

tinggi, seperti dinyatakan daam data sheetnya (lihat<br />

gambar 12).<br />

Gambar 12. Respon Frekuensi Opamp uA741 [9]<br />

Gambar 10 merupakan grafik hubungan antara<br />

tegangan keluaran yang dihasilkan sensor IDT lebar<br />

1 mm, 2 mm, dan 3 mm terhadap perubahan<br />

konsentrasi larutan gula, pada frekuensi 5 KHz.<br />

Pemilihan frekuensi 5 KHz ini berkenaan frekuensi<br />

optimum dari rangkaian pengkondisi sinyal yang<br />

telah dibuat, berdasarkan eksperimen-eksperimen<br />

sebeumnya. Tampak pada gambar tersebut, bahwa<br />

semakin kecil ukuran finger dan gap antar finger<br />

maka semakin besar tegangan output yang<br />

dihasilkan. Dalam hal ini IDT dengan ukuran finger<br />

1 mm mempunyai tegangan output terbesar, untuk<br />

semua jangkaun frekuensi percobaan. Hal ini dapat<br />

dimengerti karena semakin kecil ukuran finger dan<br />

gap antar finger maka semakin besar konstanta<br />

geometrinya, dan sebagai akibatnya kapasitansi IDT<br />

juga semakin besar. Sesuai dengan persamaan (5),<br />

maka tegangan output juga akan semakin besar.<br />

Selajutnya gambar 11 merupakan grafik<br />

hubungan antara tegangan keluaran yang dihasilkan<br />

sensor IDT lebar 1 mm terhadap perubahan<br />

konsentrasi larutan gula dalam persen berat 1-10<br />

%, pada frekuensi 5 KHz. Di pilih frekuensi 5 KHz<br />

dengan alasan seperti yag telah dikemukakan di atas.<br />

Dari grafik pada gambar ini didapatkan bahwa<br />

hubungan antara tegangan keluaran dan perubahan<br />

persen berat nampak merupakan fungsi linier. Nilai<br />

tegangan naik seiring dengan kenaikan konsentrasi.<br />

Pendekatan linear untuk grafik tersebut memberikan<br />

persamaan: Y = 0,23x + 0,43; degan R 2 = 0,98 dan<br />

error = 1,6%. Namun demikian, hubungan<br />

linearitas antara konsentrasi larutan gula dan<br />

tegangan ini masih perlu untuk dianalisa lebih lanjut.<br />

6. KESIMPULAN<br />

Dari hasil eksperimen yang telah dilakukan<br />

dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya elemen IDC<br />

dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi<br />

larutan gula khususnya pada konsentrasi-konsentrasi<br />

rendah (< 10%). Pemakaian elemen IDC dengan<br />

ukuran finger dan gap antar finger 1 mm<br />

memberikan hasil pengukuran yang lebih sensitif<br />

jika dibandingkan dengan elemen IDC yang<br />

D34


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mempunyai ukuran finger lebih besar (2 mm dan 3<br />

mm). Untuk hasil eksperimen yang lebih baik<br />

disarankan menggunakan jenis Opamp yang<br />

mempunyai jangkauan kerja lebih lebar, khususnya<br />

pada frekuensi tinggi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonimous (2006), Petunjuk Praktikum <strong>Fisika</strong><br />

Dasar, Penerbit Akademik Jurusan <strong>Fisika</strong><br />

Universitas Brawijaya, Malang.<br />

Giancoli, D.C. (1998), Physics, Prentice-Hall.<br />

Anonimous (2008), Overview of Inter Digital<br />

Capacitor, Agilent Technologies, USA.<br />

Ajavan K.R., Vinoy K.J., Planar Inter Digital<br />

Capacitors on Printed Circuit Board, Indian<br />

Institute of Science, Bungalore, India.<br />

Abu-Abed A.S. and Lindquist R.G. (2008),<br />

Capacitive Interdigital Sensor with<br />

Inhomogeneus Nematic Liquid Crystal Film,<br />

Progress In Electromagnetics Research B,<br />

Vol. 7, 75–87.<br />

Syaifudin A.R., Jayasundra, Mukhopadhyay S.C.<br />

(2008), Initial Investigation of Using Planar<br />

Interdigital Sensors for Assessment of Quality<br />

in Seafood, Journal of Sensors (Hindawi<br />

Publishing<br />

Corporation):<br />

10.1155/2008/150874.<br />

Lucas G., Ricardo C. (2006), Interdigitated Type<br />

Microsensor to Measure Solution<br />

Concentration, ABCM Symposium Series in<br />

Mechatronics - Vol. 2 - pp.465-468<br />

Rajendran A. dan Neelamegam P. (2004),<br />

Microcontroller Based Dielectric Constant<br />

Measurement, Sensors & Transducers<br />

Magazine, Vol.41, Issue 3, 181 – 190<br />

Anonimous (2000), General Purposes Operational<br />

Amplifier uA741, Texas Instrumen, Dallas-<br />

Texas.<br />

D35


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengenalan Uap Menggunakan Sensor Resonator Kuarsa<br />

yang Diimplementasikan pada FPGA dengan Metode Analisa Data PCA<br />

dan SOM Kohonen Neural Network<br />

Hari Agus Sujono 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Taripan1<br />

1 Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITS<br />

2 Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITATS<br />

Email : hari911092@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Sensor resonator kuarsa saat ini digunakan sebagai sensor gas. Sensor ini akan memberikan perubahan frekuensi<br />

resonansi ketika permukaannya terasorbsi molekul uap. Untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitasnya<br />

maka diberikan bahan polimer yang dilapiskan di permukaan. Deret sensor yang terdiri dari beberapa sensor<br />

yang dilapisi bahan polimer yang berbeda memberikan pola spesifik terhadap uap. Perubahan frekuensi<br />

didasarkan pada rangkaian pencacah dengan basis waktu 1 (satu) detik. Pada penelitian ini digunakan Field<br />

Programmable Gate Array (FPGA) yang difungsikan sebagai rangkaian pencacah frekuensi, multiplekser dan<br />

komunikasi serial untuk menghubungkan FPGA dengan komputer. Tipe FPGA yang digunakan adalah Spartan<br />

3E seri XC3S500E dengan bahasa pemrograman VHDL Xilink ISE 9.2i. Analisa sinyal menggunakan gabungan<br />

Principle Component Analysis (PCA) dan SOM Kohonen Neural Network (NN). PCA berfungsi untuk reduksi<br />

dimensi dan NN berfungsi untuk pengenalan pola. Pada penelitian ini digunakan 4 sensor berderet yang masingmasing<br />

dilapisi bahan polimer PEG20M, PEG4000, OV1701 dan OV101. Uap-uap yang digunakan adalah dari<br />

alkohol, bensin minyaktanah dan spiritus. Data perubahan frekuensi diambil pada detik ke 90 – 110 selebar<br />

injeksi uap. Pembersihan dilakukan dengan mengalirkan gas N 2 . Untuk satu sampel uap dilakukan 8 kali<br />

pengambilan data.Terhadap semua data yang terambil dilakukan proses PCA setelah dinormalisasi. Pelatihan NN<br />

dilakukan dengan maksimum epoch 2000 dan dari pengujian menunjukkan NN dapat mendeteksi gas dengan<br />

tingkat keberhasilan 100 persen. Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit paru<br />

dengan cara menganalisa gas-gas yang dikeluarkan bersama udara pernafasan.<br />

Kata kunci: Deret sensor resonator kuarsa, Field Programmable Gate Array, Principle Component Analysis,<br />

SOM Kohonen Neural Network.<br />

PENDAHULUAN<br />

Resonator kuarsa merupakan salah satu teknik<br />

memakai gelombang akustik yang dapat<br />

diaplikasikan untuk mendeteksi partikel dengan<br />

massa kecil, sehingga dalam bidang proses kimia<br />

digunakan sebagai vapordeposition probe dan<br />

chemical mikrosensor [C. Zhang et al, 2003]. Setiap<br />

jenis uap dapat memberikan gambaran khas berupa<br />

pola perubahan frekuensi resonansi ternormalisasi<br />

yang dikarenakan koefisien partisinya yang berbeda<br />

terhadap masing-masing polimer. Selama dua bulan<br />

pengukuran, pola perubahan frekuensi ternormalisasi<br />

kristal SiO2 terlapis polimer pada paparan semua<br />

jenis uap yang diujikan mempunyai rerata taraf<br />

reliabilitas 0,99 [Muhammad Rivai dkk, 2006]<br />

Pada modul FPGA SPARTAN-3E telah dimplementasikan<br />

rangkaian paralel frequency counter yang<br />

diantarmukakan ke komputer melalui komunikasi<br />

serial. Desain ini digunakan pada modul sensor gas<br />

resonator kuarsa untuk mendeteksi pola frekuensi yang<br />

dihasilkan oleh uap yang dilewatkan pada deret sensor<br />

yang telah dilapisi bahan polimer berbeda. Dalam<br />

pengujian error interferensi rata-rata adalah sebesar<br />

0.029% pada masing-masing kanal<br />

pengukuran.[Misbah dkk, 2008]<br />

Pada makalah penelitian ini dilakukan studi<br />

pengkajian guna mengetahui kemampuan sensor<br />

waktu memberikan gambaran khas berupa pola<br />

perubahan frekuensi resonansi ternormalisasi untuk<br />

setiap jenis uap dan kemudian menganalisa data<br />

yang didapat menggunakan PCA dan SOM Kohonen<br />

Neural Network. Pada proses pengambilan data dan<br />

analisa data melibatkan penggunaan FPGA dan<br />

sebuah komputer.<br />

TEORI<br />

Sensor Resonator Kuarsa<br />

Pertama kali resonator kuarsa di perkenalkan oleh<br />

Sauerbrey yang mempunyai sensitivitas pada gas-gas<br />

yang melalui elektrode-elektrode resonator kuarsa<br />

dimana didalamnya terdapat pizoelektrik yang akan<br />

mengubah frekuensi osilasi dari resonator kuarsa,<br />

sehingga Sauerbrey merumuskan bahwa :<br />

⎛<br />

2<br />

f ⎞<br />

f ⎜<br />

2<br />

Δ = − ⎟Δm<br />

SiO<br />

vA<br />

⎝ ρ<br />

2 ⎠<br />

(1)<br />

Keterangan :<br />

D36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

∆f = adalah perubahan frekuensi yang diamati (Hz)<br />

∆m = adalah perubahan massa per unit area (g/cm 2 )<br />

ρ = adalah kerapatan kristal<br />

v = adalah kecepatan propagasi akustik kristal.<br />

A = adalah luas elektroda.<br />

Sensitivitas frekuensi osilasi kristal pada suhu,<br />

kelembaban, tekanan, kecepatan dan getaran tertentu,<br />

akan membuat osilator piezoelektrik ini digunakan<br />

sebagai sensor yang mempunyai tingkat akurasi yang<br />

tinggi (F.L. Walls dan J.J. Gagnepain, 1992). Frekuensi<br />

osilasi pada kristal tergantung ukuran fisik dan<br />

ketebalan dari kristalnya, bila dilapisi dengan sebuah<br />

polimer yang dapat menyerap massa molekul gas, maka<br />

didapat respon yang dinamis dari sensor sehingga<br />

membentuk suatu pola tertentu untuk mengklasifikasi<br />

gas (M. Nakamura et al, 1999). Dalam memilih jenis<br />

resonator kuarsa yang digunakan sebaiknya<br />

diperhatikan bentuk elektrode pada kristal, yaitu<br />

persegi panjang, lingkaran kecil dan lingkaran besar,<br />

seperti terlihat pada gambar 1. Bila sensor digunakan<br />

dalam media cairan, sebaiknya menggunakan yang<br />

persegi panjang dan bila digunakan dalam media udara<br />

sebaiknya menggunakan yang lingkaran kecil (Hendrik<br />

Anderson et al, 2006).<br />

sekelilingnya. L m (induktor) mewakili komponen<br />

inersia saat osilasi yang terkait dengan pergerakan<br />

massa selama bergetar. Untuk diameter 1 inchi, 5 MHz<br />

kristal, menggunakan nilai C m =33pF, L m =30mH dan<br />

R m =10 Ohm (kristal kering), R m =400 Ohm (kristal<br />

dengan sebagian di air) atau R m =3500 Ohm (kristal<br />

dengan bagian 88% di gliserol). Motional arm di shunt<br />

dengan kapasitor parasitik (Co) yang mana merupakan<br />

jumlah dari kapasitansi statis pada elektrode-elektrode<br />

kristal, penjepit dan konektor kapasitor. Harga Co<br />

sekitar 20 pF.<br />

Bila sensor gas yang digunakan adalah jenis kristal,<br />

maka dibutuhkan rangkaian osilator untuk menjamin<br />

sinyal yang dihasilkan resonator kristal adalah sinyal<br />

pulsa. Rangkaian osilator yang banyak digunakan dalam<br />

aplikasi-aplikasi digital, adalah jenis osilator pierce<br />

seperti terlihat pada gambar 3.<br />

Gambar 1 Bentuk-bentuk elektrode sensor resonator kuarsa.<br />

Resonator Kuarsa Osilator<br />

Osilator yang diaplikasikan dalam resonator<br />

kuarsa adalah model Butterworth van Dyke (BVD),<br />

model ini sering digunakan untuk menghadirkan<br />

electrical behavior dari sebuah kristal resonator. Model<br />

ini juga baik untuk memprediksi pergeseran frekuensi<br />

dan rugi-rugi pada AT-cut quartz crystal yang<br />

teraplikasi dalam resonator kuarsa. Model osilator<br />

Butterworth van Dyke seperti terlihat pada gambar 2.<br />

Gambar 2 Model rangkaian osilator Butterworth Van<br />

Dyke (BVD).<br />

Model BVD terdiri dari dua lengan : Motion arm<br />

mempunyai tiga komponen seri yang termodifikasi dari<br />

massa dan viscous loading kristal : (1) R m (resistor)<br />

mewakili disipasi energi osilasi dari mounting struktur<br />

dan dari medium yang terhubung dengan kristal. C m<br />

(kapasitor) mewakili energi osilasi yang tersimpan dan<br />

terkait dengan elastisitas quartz dan medium<br />

Gambar 3 Rangkaian osilator Pierce (Aplication Note : Crystal<br />

Oscillator, Chrontel Inc).<br />

Keterangan: Co adalah kapasitansi yang nilainya<br />

dihubungkan dengan elektroda kristal dan tempat<br />

kristal itu sendiri. Rs adalah motion resistance, nilainya<br />

telah dicantumkan dari pabrik pembuatnya. Cs adalah<br />

motion capasitance dan Ls adalah motion inductance.<br />

Rbias adalah resistor umpan balik yang memberikan<br />

tegangan DC pada inverting amplifier. C1 dan C2<br />

adalah total kapasitansi yang ter-ground pada masukan<br />

dan keluaran dari amplifier. Jika kapasitor eksternal<br />

tidak ditambahkan, maka nilai dari internal C1 dan C2<br />

termasuk kapasitor parasitik dari pin adalah masingmasing<br />

antara 15 pF sampai 20 pF.<br />

Rangkaian kristal dapat bekerja pada resonansi seri<br />

maupun resonansi paralel. Frekuensi osilasi pada<br />

kristal biasanya telah diberikan oleh pabrik pembuat.<br />

Jika kristal dijadikan mode resonansi seri maka yang<br />

bekerja adalah komponen Ls dan Cs dengan frekuensi<br />

resonan sebesar :<br />

1<br />

fseri = L C (2)<br />

2π<br />

s.<br />

s<br />

Bila dibuat dalam mode resonansi paralel maka<br />

frekuensi resonansinya lebih tinggi dari f seri , sehingga<br />

dapat dituliskan :<br />

⎛ Cs ⎞<br />

fparalel = fseri⎜1 + ⎟<br />

(3)<br />

⎝ 2. Ceq ⎠<br />

D37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

⎛ C2<br />

⎞<br />

= Co + C1⎜<br />

⎟<br />

⎝ C1+<br />

C2<br />

⎠<br />

Ceq (4)<br />

Saat resonansi paralel, kristal akan menjadi induktif<br />

dan beresonansi dengan kapasitor shunt yang terhubung<br />

dengan kaki-kaki kristal. Disipasi daya pada kristal<br />

adalah sangat penting, karena akan berpengaruh pada<br />

kinerja dan keandalan dari kristal itu sendiri. Jika<br />

disipasi daya kristal berlebihan maka akan<br />

menyebabkan kristal rusak. Disipasi daya kristal<br />

didapat dari persamaan :<br />

P ≈<br />

1 π<br />

×<br />

2<br />

2<br />

( 2 × fparalel × Ceq × V ) Rs<br />

Fielld Programmable Gate Array (FPGA)<br />

Pada dasarnya FPGA terdiri atas sel logika (<br />

logic block ), interkoneksi, serta blok input/output.<br />

Semua blok tersebut dapat diprogram sampai pada<br />

skala tertentu. Untuk FPGA generasi baru, beberapa<br />

tambahan fitur yang lain seperti memori, prosesor,<br />

blok DSP, dan sebagainya.<br />

Secara umum arsitektur keluarga Spartan-III<br />

ditunjukkan oleh gambar 1, terdiri dari atas 5<br />

komponen utama, Configurable Logic Block (CLB),<br />

Input/Output Block (IOB), Multiplier Block, Block<br />

RAM (BR), Digital Clock Manager(DCM). Spartan<br />

III juga menawarkan kemampuan yang tinggi dalam<br />

proses logika dengan konfigurasi sampai 300 MHz.<br />

Kemampuan ini lebih cepat dibanding dengan<br />

memakai mikrokontroler yang hanya sampai 24<br />

MHz. Dengan kecepatan tersebut dan sistem gates<br />

yang besar dimungkinkan dalam perancangan sistem<br />

yang lebih kompleks seperti, pengolahan citra,<br />

digital signal processing, pengukuran frekuensi<br />

tinggi, dan sistem mikroprosesor.<br />

Pada mata kita proses tersebut adalab realisasi<br />

pemetaan (mapping) dari retina menuju cortex. oleh<br />

karenanya aplikasi model Neural Network (NN) ini<br />

banyak digunakan pada pengenalan obyek / citra<br />

visual (visual image).<br />

Proses pemetaan terjadi bila sebuah pola<br />

berdimensi bebas diproyeksikan dari ruang masukan<br />

ke posisi pada array berdimensi satu yang terbentuk<br />

oleh lokasi unit-unit luasan pola. pola yang dikenali<br />

hanya pola yang batasan unit lokasinya jelas<br />

berbeda, biasanya observasi hanya dapat dilakukan<br />

bila lokasi pola tersebut mendapat<br />

iluminasi/pencahayaan yang cukup/normal.<br />

Meskipun SOM adalah proses klasifikasi,<br />

namun tidak seperti teknik klasifikasi atau<br />

pengelompokan yang umum digunakan, yang hanya<br />

menyediakan penataan kelas-kelas berdasarkan<br />

topologinya. Kemiripan pada pola masukan<br />

dipertahankan agar tidak berubah sampai pada<br />

keluaran proses. Topologi untuk mempertahankan<br />

pola kemiripan pada proses SOM membuataya<br />

berguna sekali, khususnya pada klasifikasi data yang<br />

memiliki jumlah kelas yang besar.<br />

Pada NN ini lapisan masukan (pertama)<br />

terhubung secara penuh dengan lapisan kompetitif<br />

(kedua). Jadi setiap unit masukan terhubung ke<br />

semua unit keluaran dan pada hubungan tersebut<br />

terdapat nilai penimbang (weight) tertentu.<br />

Gambar 4. Arsitektur dasar FPGA Spartan-III<br />

SOM Kohonen Neural Network<br />

Teknik self-organizing map (SOM) dikenalkan<br />

pertama kali oleh Teuvo Kohonen, merupakan<br />

proses unsupervised learning yang mempelajari<br />

distribusi himpunan pola-pola tanpa informasi kelas.<br />

Ide dasar teknik ini diilhami dari bagaimana<br />

proses otak manusia menyimpan gambar/pola yang<br />

telah dikenalinya melalui mata, kemudian mampu<br />

mengungkapkan kembali gambar / pola tersebut.<br />

Gambar 5. Struktur Dasar Pelatihan Mandiri Kohonen<br />

Algoritma Pelatihan Mandiri (SOM)<br />

Berikut ini adalah tahapan/algoritma dalam pelatihan<br />

mandiri kohonen:<br />

• Inisialisasi vektor weight<br />

• Tetapkan vektor input<br />

• Hitung jarak d j antara vector input dan masingmasing<br />

vektor weight.<br />

• Neuron pemenang atau Processing Element (PE)<br />

dalam lapisan competitive akan mempunyai jarak<br />

d j terkecil :<br />

• Sesuaikan weight dari neuron pada neighborhood<br />

Nc :<br />

D38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan e adalah learning rate dan N c adalah<br />

neighborhood disekeliling neuron pemenang<br />

• Bobot neuron yang lain (diluar NBc) tidak<br />

diubah:<br />

Ulangi langkah 2 sampai dengan 6 dari algoritma<br />

training untuk semua training vector sampai<br />

n = N maks epoch atau<br />

Gambar 6. Tetangga di sekitar pemenang<br />

Blok diagram sstem yang digunakan ditunjukkan<br />

pada gambar 7, terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor<br />

dan rangkaian sensor, blok FPGA dan sebuah<br />

komputer.<br />

METODOLOGI<br />

Gambar 7. Blok diagram sistem<br />

Sensor yang digunakan adalah Quartz Crystal<br />

Microbalance (QCM). Terbuat dari kristal yang<br />

mempunyai frekuensi resonansi dasar 20 MHz.<br />

Terdiri dari lapisan SiO 2 yang diapit dua elektrode<br />

di bagian depan dan belakang. Penambahan massa<br />

pada permukaannya dapat mengubah frekuensi<br />

resonansinya. Perubahan frekuensi tersebut<br />

sebanding dengan kuadrat frekuensi resonansi dan<br />

massa perluasan permukaan kristal sesuai dengan<br />

persamaan (1) Sauerbrey<br />

Material seperti kristal kuarsa ini mempunyai<br />

sifat piezoelektrik yaitu mampu menghasilkan<br />

tegangan listrik ketika diberi tekanan mekanikal dan<br />

juga sebaliknya, berubah bentuk mekanikalnya<br />

ketika diberi tegangan listrik. Sensitivitas frekuensi<br />

osilasi kristal pada suhu, kelembaban, tekanan,<br />

kecepatan dan getaran tertentu, akan membuat<br />

osilator piezoelektrik ini digunakan sebagai sensor<br />

yang mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Tiap<br />

sensor QCM diberi zat polimer yang berbeda-beda<br />

pada permukaannya sehingga membentuk pola<br />

tertentu terhadap uap. Rangkaian osilator yang<br />

digunakan adalah model osilator Pierce :<br />

Gambar 8. Rangkaian osilator model Pierce<br />

Osilator dihubungkan dengan sensor QCM<br />

untuk menghasilkan gelombang dengan frekuensi 20<br />

Mhz. Penggunaan sensor dengan frekuensi dasar 20<br />

Mhz menyebabkan interferensi antar kanal sehingga<br />

frekuensi output dari osilator harus diturunkan.<br />

Digunakan rangkaian mixer yang menghasilkan<br />

output yang merupakan selisih antara dua frekuensi<br />

yang diinputkan pada rangkaian. Untuk itu<br />

digunakan 2 buah osilator dimana osilator yang satu<br />

untuk sensor QCM yang berubah-ubah sedangkan<br />

osilator yang lain sebagai frekuensi referensi yang<br />

nilainya tetap. Rangkaian mixer menggunakan<br />

rangkaian D Flip-flop yaitu dengan IC 74HC74<br />

dengan output dari sensor diinputkan dari pin clock<br />

dan output dari kristal masuk pada pin data. Pada<br />

output ditambahkan komponen R dan C sebagai low<br />

pass filter.<br />

FPGA yang digunakan ialah modul spartan 3E<br />

starter kit dengan FPGA dari xilinx yaitu<br />

XC3S500E. Software yang digunakan untuk<br />

memprogram FPGA ialah Xilinx ISE Webpack 9.2i<br />

dan bahasa pemrogramannya VHSIC Hardware<br />

Description Languange (VHDL)<br />

Gambar 9. Modul FPGA XC3S500E<br />

Frequensi counter umumnya dibangun dari<br />

beberapa rangkaian flip-flop. Desain frequency<br />

counter menggunakan kode VHDL lebih sederhana<br />

karena menggunakan arsitektur behavioral dimana<br />

dalam membangun suatu komponen hanya perlu<br />

mendeskripsikan sifat-sifat input dan outputnya<br />

tanpa perlu mengetahui struktur didalamnya secara<br />

detail. Pada disain frequency counter ini, ada 2<br />

komponen utama yaitu blok basis waktu 1 detik dan<br />

blok penghitung. Untuk mendapatkan basis waktu 1<br />

detik diperoleh dari proses penundaan selama<br />

50.000.000 kali dari frekuensi clock sebesar 50<br />

MHz. Dengan waktu sebesar satu detik, maka dapat<br />

dicuplik data frekuensi masing-masing kanal dengan<br />

D39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

resolusi 1 Hz.. Karena dalam hal ini terdapat 4<br />

sensor sehingga perlu menggunakan multiplexer.<br />

Dari multiplexer, perubahan frekuensi dari masingmasing<br />

sensor ditransfer ke komputer melalui<br />

komunikasi serial.<br />

Komputer digunakan untuk analisa data<br />

menggunakan Principle Component Analysis (PCA)<br />

yang berfungsi untuk reduksi dimensi tanpa<br />

mengurangi karakteristik data asal. Data 2 dimensi<br />

dari proses PCA ditampilkan dalam grafik 2 dimensi<br />

dan data ini digunakan sebagai data input pada<br />

proses pengenalan pola menggunakan SOM<br />

Kohonen Neural Netowrk.<br />

Pada penelitian ini digunakan 4 sensor berderet<br />

yang masing-masing dilapisi bahan polimer<br />

PEG20M, PEG4000, OV1701 dan OV101. Uap-uap<br />

yang digunakan adalah dari alkohol, bensin<br />

minyaktanah dan spiritus. Data-data yang didapat<br />

akan diproses menggunakan PCA setelah<br />

dinormalisasi. Data keluaran dari PCA akan<br />

digunakan sebagai data input NN menggunakan<br />

metode SOM Kohonen. Proses pengambilan data<br />

dilakukan selama 200 detik. Pertama kali dialirkan<br />

gas N2 untuk pembersihan sehingga perubahan<br />

frekuensi 0, kemudian uap dari bahan yang diuji<br />

dialirkan sehingga menunukkan perubahan frekuensi<br />

dan sekitar deteik ke 150 aliran uap dihentikan dan<br />

kembali dialirkan gas N2.<br />

PENGUJIAN<br />

Data yang diambil untuk analisa merupakan<br />

data perubahan frekuensi pada detik ke 90 – 110<br />

selebar injeksi uap. Untuk satu sampel uap<br />

dilakukan 8 kali pengambilan data. Setelah<br />

dilakukan normalisasi maka pola perubahan<br />

frekuensi untuk uap dari alkohol, bensin<br />

minyaktanah dan spiritus dengan 4 sensor berderet<br />

dilapisi polimer PEG20M, PEG4000, OV1701 dan<br />

OV101 ditunjukkan pada gambar 10.<br />

Dari gambar 11 menunjukkan bahwa output<br />

proses PCA menggambarkan pengelompokan data<br />

pada data uap yang sama. Untuk Alkohol dan<br />

Spiritus yang memiliki unsure gas yang sama, terjadi<br />

penumpukan data. Untuk proses pengenalan pola<br />

menggunakan NN, maka hanya data uap alcohol,<br />

bensin dan minyaktanah saja yang diproses.<br />

(a). Pola uap alcohol<br />

(b). Pola uap bensin<br />

(c). Pola uap minyaktanah<br />

(d). Pola uap spiritus<br />

Gambar 10. Pola perubahan frekuensi<br />

Gambar 11. Grafik output proses PCA<br />

(A=alcohol,B=bensin,M=minyaktanah dan S=spiritus)<br />

Dari proses pembelajaran menggunakan SOM<br />

Kohonen NN menunjukkan bahwa pada akhir<br />

maksimum epoch 4000 dan learning rate 0,005 maka<br />

kelompok data uap yang sama telah teridentifikasi<br />

pada cluster yang sama secara benar, ditunjukkan<br />

pada tabel 1. (Uap Alkohol teridentifikasi pada<br />

cluster 2, uap bensin pada cluster 3 dan uap<br />

minyaktanah pada cluster 1)<br />

D40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Uap<br />

Alkohol<br />

Bensin<br />

Minyak<br />

tanah<br />

Tabel 1. Hasil proses pembelajaran<br />

Distance<br />

D1 D2 D3<br />

Clus<br />

2,67242 0,39196 3,10354 2<br />

2,59682 0,32625 2,99874 2<br />

2,57240 0,28656 3,01361 2<br />

2,45907 0,18021 2,84917 2<br />

2,54066 2,95448 0,15441 3<br />

2,46904 2,38599 0,52651 3<br />

2,81696 3,06836 0,38081 3<br />

2,67653 3,26016 0,46871 3<br />

0,74582 1,57502 2,52954 1<br />

0,26886 2,02018 2,36290 1<br />

0,246226 2,47478 2,67525 1<br />

0,316741 2,56118 2,64466 1<br />

Dari hasil pengujian untuk 12 data, masingmasing<br />

terdiri dari 4 data uap alcohol, bensin dan<br />

minyaktanah secara acak menunjukkan hasil 100%<br />

benar ditunjukkan pada tabel 2.<br />

Tabel 2. Hasil proses pengujian<br />

Uap<br />

Distance<br />

Clus<br />

D1 D2 D3<br />

Alkohol 2,37210 0,08544 2,83583 2<br />

Mtanah 0,95369 3,23599 2,80067 1<br />

Alkohol 2,06730 0,20526 2,68232 2<br />

Alkohol 2,09649 0,19377 2,74161 2<br />

Bensin 3,01801 3,37433 0,62173 3<br />

Mtanah 0,55678 2,71686 2,25596 1<br />

Bensin 2,68192 3,51188 0,79690 3<br />

Bensin 3,43896 4,29229 1,50887 3<br />

Mtanah 0,57815 2,66652 2,16390 1<br />

Alkohol 2,23898 0,04983 2,77995 2<br />

Bensin 3,01299 3,37778 0,61457 3<br />

Mtanah 2,00664 4,29654 3,47896 1<br />

Keterangan: Mtanah = Minyaktanah<br />

KESIMPULAN<br />

Telah dilakukan penelitian pengenalan uap<br />

menggunakan sensor resonator kuarsa dengan hasil<br />

yang baik. Sensor dan rangkaian senor telah<br />

menunjukkan respon yang peka terhadap perubahan<br />

muatan uap yang dialirkan dan respon perubahan<br />

frekuensi dapat diterima dengan baik pada modul<br />

FPGA sehingga data yang diterima komputer adalah<br />

benar menunjukkan pola yang diininginkan.<br />

Penggunaan PCA selain berfungsi untuk<br />

memvisualisasikan data dalam dimensi dua, juga<br />

menyederhanakan algoritma pembelajaran SOM<br />

Kohonen NN karena data input yang digunakan<br />

memiliki dua dimensi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anderson Hendrik, et al, (2006), ”Quartz crystal<br />

microbalance sensor design I. Experimental<br />

study of sensor response and performance”,<br />

Sensors and Actuators Elsevier B. Vol.<br />

123. issue 1. p.21-26.<br />

C. Zhang, B.P. Cappleman, M.Defibaugh-Chavez,<br />

D.H. Weinkauf, “Glassy polymersorption<br />

phenomena measured with a quartz crystal<br />

microbalance technique”, J.Polym. Science,<br />

Part B:Polym. Phys., Vol.41, 2003, pp.2109-<br />

2118.<br />

Misbah, Muhammad Rivai, Totok Mujiono, “Desain<br />

Parallel Frequency Counter yang Diimplementasikan<br />

pada Modul FPGA SPARTAN-<br />

3E”, Seminar on Intelligent Technology and<br />

Its Applications 2008, ISBN 978-979-8897-<br />

24-5<br />

Muhammad Rivai, Ami Suwandi JS, Mauridhi Hery<br />

Purnomo, ”Deret Resonator Kristal SiO2<br />

terlapis Polimer sebagai Pengenal Jenis Uap<br />

Pelarut”, Akta Kimia-The Official Journal of<br />

The Indonesian Chemical Society, Vol.1<br />

No.1, 2006, hal : 49-54.<br />

Nakamura M. and Sugimoto Iwao, (1999), ”A<br />

Neural Network Model for an Electronic<br />

Nose Based on Quartz-Crystal Microbalance<br />

Sensors”, IEEE Proceeding on Artificial<br />

Neural Network. No. 470.<br />

-----, http://www.xilinx.com/bvdocs/publications<br />

D41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Klasifikasi Odor pada Ruang Rerbuka dengan Menggunakan<br />

Short Time Fourier Transform dan Neural Learning Vector Quantization<br />

Hendrick 1 , Muhammad Rivai 2 , Tasripan 3<br />

1,2,3 Jurusan Tehnik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institute Teknologi Sepuluh Nopember<br />

Email : hendrick_polinpdg@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Pembacaan odor pada udara terbuka menyebabkan data sensor bersifat fluktuatif. Hal ini disebabkan karena odor<br />

tersebut dipengaruhi oleh udara sekitar sensor tersebut. Udara bebas ini juga akan mempengaruhi kosentrasi odor<br />

yang akan dibaca sensor sehingga mengakibatkan terjadi kesalahan dalam identifikasi. Pada penelitian ini<br />

digunakan deret sensor gas semikonduktor. Respon sensor dalam domain waktu dirubah ke domain frekuensi<br />

dengan menggunakan Short Time Fourier Transorm untuk mendapatkan karakteristik frekuensi dari odor<br />

tersebut. Beberapa komponen frekuensi yang dipilih kemudian di klasifikasikan dengan menggunakan Neural<br />

Learning Vector Quantization. Jaringan Learning Vector Quantization dapat dilatih untuk mengenali jenis gas<br />

yang diujikan dengan taraf keberhasilan 89.2%.<br />

Kata kunci : odor, STFT, LVQ, semikonduktor, respon frekuensi, neural network.<br />

Pendahuluan<br />

Respon sensor pada ruang terbuka<br />

menyebabkan data bersifat fluktuatif dan<br />

memerlukan waktu yang cukup lama agar sensor<br />

mampu merespon odor dengan baik. Hal ini juga<br />

dijumpai pada robot pencari lokasi gas dengan<br />

prinsip stereo nose.(Faisal 2008).<br />

Pada penelitian ini, metode yang digunakan<br />

untuk mendapatkan karakteristik frekuensi odor<br />

adalah dengan Short Time Fourier Transform<br />

(STFT). Metode ini menghasilkan komponen<br />

frekuensi yang mampu mewakili suatu odor,<br />

sehingga dapat membedakan jenis odor secara benar.<br />

Sedangkan metode klasifikasi yang digunakan<br />

adalah jaringan Learning Vector Quantization<br />

(LVQ). Proses pembelajaran pada metode ini<br />

merupakan supervised learning, sehingga odor<br />

dikelaskan berdasarkan jarak terpendeknya.<br />

Tinjauan Pustaka<br />

Sensor Gas<br />

Bahan detektor gas dari sensor gas<br />

semikonduktor adalah metal oksida, khususnya<br />

senyawa SnO2. Struktur sensor ini dapat dilihat pada<br />

Gambar.1. Ketika kristal metal oksida (SnO2)<br />

dihangatkan pada temperatur tertentu, oksigen akan<br />

diserap pada permukaan kristal dan oksigen di udara<br />

akan terionisasi dan terikat pada SnO2 dalam bentuk<br />

ion-ion negatif. Elektron-elektron donor pada<br />

permukaan kristal SnO2 akan ditransferkan untuk<br />

mengikat ion-ion oksigen ini. Hasil peristiwa ini<br />

meninggalkan ion-in positif dalam lapisan<br />

pertemuan (Space Charge Layer) yang terdapat pada<br />

permukaan. Tegangan permukaan yang terbentuk<br />

akan menghambat laju aliran elektron pada kristal<br />

sebagai tegangan barrier /tegangan penghambat<br />

(Figaro,2004).<br />

Gambar. 1 Struktur sensor gas semikonduktor<br />

Didalam sensor arus elektrik mengalir melewati<br />

daerah sambungan (grain boundary) dari kristal<br />

SnO2. Pada daerah sambungan penyerapan oksigen<br />

mencegah muatan untuk bergerak bebas. Jika ada<br />

gas pereduksi, proses deoksidasi akan terjadi, rapat<br />

permukaan dari muatan negatif oksigen akan<br />

berkurang dan mengakibatkan menurunnya<br />

ketinggian penghalang dari daerah sambungan. Hal<br />

ini dapat dilihat pada Gambar.2. Dengan<br />

menurunnya penghalang maka resistansi sensor akan<br />

juga ikut menurun.<br />

Gambar.2 Pembentukan tegangan barrier saat tanpa gas<br />

pereduktif(a), dan pengurangan tegangan barrier saat adanya gas<br />

pereduksi(b) (Figaro,2004)<br />

D42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Berikut adalah deret sensor gas yang digunakan pada<br />

sistem ini.<br />

TABEL I<br />

Sensor gas semikonduktor<br />

No Tipe Sensor Fungsi<br />

1 TGS2602 Voc(volatile organic compound)<br />

2 TGS2611 Methane<br />

3 TGS2620 Alkohol<br />

Gambar.3 memperlihatkan bentuk rangkaian<br />

dasar pengukuran dengan sensor gas Figaro. Rs<br />

adalah tahanan pada sensor gas tersebut, yang nilai<br />

nya akan berubah jika mendeteksi adanya gas di<br />

sensor tersebut. Tegangan output sensor nantinya<br />

adalah sebagai pembagi tegangan antara Rs dan RL<br />

pada rangkaian tersebut.<br />

Gambar. 3 Rangkaian dasar sensor gas<br />

Short Time Fourier Transform<br />

STFT adalah suatu metode yang digunakan<br />

untuk mendapatkan kharakteristik frekuensi dari<br />

suatu sinyal. Sinyal input dikalikan dengan window<br />

sinus dan selanjutnya di diproses dengan<br />

menggunakan transformasi fourier. Secara<br />

matematis STFT dirumuskan seperti berikut ini :<br />

(1)<br />

notasi w(n) pada persamaan diatas adalah sebagai<br />

fungsi windownya. Pada penelitian ini menggunakan<br />

Hann window. Persamaan untuk fungsi window<br />

hann adalah<br />

(2)<br />

N adalah sebagai lebar window yang<br />

digunakan.(Nimsuk,2007).<br />

Learning Vector Quantization<br />

LVQ adalah suatu metoda klasifikasi pola yang<br />

masing-masing unit output mewakili kategori atau<br />

kelas tertentu. Arsitektur dari suatu jaringan LVQ<br />

dapat terlihat serperti pada gambar.4.<br />

(Laurene,1992).<br />

Gambar.4 Arsitektur Jaringan LVQ<br />

Tujuan menggunakan jaringan LVQ adalah untuk<br />

mendapatkan unit output yang terdekat dengan<br />

vector input. Notasi yang digunakan pada algoritma<br />

ini adalah :<br />

x vektor pelatihan(x 1 ,…,x i ,…,x n ).<br />

T kategori atau kelas yang benar untuk vektor<br />

pelatihan.<br />

W j vektor bobot untuk unit output<br />

(w 1j ,…,w ij ,…,w nj ).<br />

C j kategori atau kelas yang direpresentasikan<br />

oleh unit output<br />

jarak Euclidean antara vektor input (vektor<br />

bobot) dan unit output j.<br />

Pada proses pembelajaran, nilai bobot akan<br />

terus diperbaharui secara terus-menerus dan akan<br />

berakhir, jika x dan w c berada pada kelas yang sama,<br />

maka bobot dipindahkan ke vektor input yang baru<br />

dan jika x dan w c berada pada kelas yang berbeda,<br />

maka bobot akan dipindahkan dari vektor input.<br />

Algoritma LVQ adalah :<br />

1. Inisialisi vector referensi dan<br />

learning rate,α(0).<br />

2. Selama kondisi berhenti bernilai<br />

salah,lakukan point 3 sampai 7.<br />

3. Untuk setiap vector input x, lakukan<br />

tahap 4 sampai 5.<br />

4. Temukan J sehingga bernilai<br />

minimum.<br />

5. Update nilai w j ,<br />

Jika T = C j , maka<br />

w j (baru)=w j (lama)+ α[x-w j (lama)]<br />

Jika T ≠ C j , maka<br />

w j (baru)=w j (lama)- α[x-w j (lama)]<br />

6. Kurangi nilai learning rate.<br />

7. Test kondisi berhenti<br />

Metode Penelitian<br />

Secara garis besar metode penelitian pada alat<br />

klasifikasi odor ini adalah seperti terlihat pada<br />

gambar.5.<br />

D43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar.5 Sistem alat klasifikasi odor<br />

Sensor gas yang digunakan adalah TGS2602,<br />

TGS2611 dan TGS2620 yang ditempatkan didalam<br />

ruang sensor. Respon masing-masing sensor<br />

terhadap gas kemudian dibaca dengan menggunakan<br />

mikrokontroller Atmega16, dengan memanfaatkan<br />

internal analog to digital converter (ADC)<br />

mikrokontroller tersebut. Data sensor kemudian<br />

dikirimkan ke PC dengan menggunakan komunikasi<br />

serial. Pada PC, data diproses dengan STFT untuk<br />

mendapatkan karakteristik frekuensi masing-masing<br />

odor. Selanjutnya, dilakukan pembelajaran pada<br />

jaringan LVQ hingga dihasilkan bobot akhir yang<br />

sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Sehingga<br />

dibisa dikelaskan odor tersebut menjadi bensin,<br />

alkohol dan minyak tanah.<br />

Selanjutnya, masing – masing sensor dipilih 4<br />

komponen frekuensi yang telah di absolute kan.<br />

Output dari proses STFT ini menghasilkan 12<br />

komponen frekuensi yang selanjutnya akan<br />

digunakan sebagai input pada proses LVQ. Bentuk<br />

arsitektur yang digunakan untuk proses<br />

pembelajaran pada jaringan LVQ seperti pada<br />

gambar.8.<br />

Gambar.8 Perancangan jaringan LVQ<br />

Gambar.6 Pengujian system alat klasifikasi odor<br />

Pengujian sistem dilakukan seperti yang terlihat<br />

pada gambar.6. Odor ditempatkan pada jarak 10 cm<br />

dari sensor gas semikonduktor. Selanjutnya PC akan<br />

memberikan instruksi untuk mulai melakukan<br />

konversi data pada ADC setiap satu detik.<br />

Pada pengujian ini, data yang di ambil sebanyak<br />

100 data. Setelah itu, odor dijauhkan dari sensor dan<br />

pengambilan data dilanjutkan hingga mencapai 150<br />

data. Selanjutnya data tersebut dianalisa dengan<br />

STFT menggunakan software matlab. Parameter<br />

yang digunakan pada proses ini seperti yang terlihat<br />

pada gambar.7.<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

Pengujian ini menggunakan 3 jenis odor, yaitu<br />

bensin, alkohol dan minyak tanah. Gambar.9<br />

memperlihatkan respon sensor terhadap alkohol.<br />

Dari grafik didapatkan bahwa TGS2602 selalu<br />

bernilai lebih tinggi dari sensor yang lainnya.<br />

Sedangkan untuk respon saat diujikan terhadap<br />

bensin seperti terihat pada gambar.10 dan minyak<br />

tanah pada gambar.11.<br />

Gambar.9 Respon alkohol<br />

Gambar.7 Parameter STFT<br />

D44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar.13 Komponen frekuensi alkohol<br />

Gambar.10 Respon bensin<br />

Gambar.14 Komponen frekuensi minyak tanah<br />

Selanjutnya data tersebut dinormalisai dengan nilai<br />

frekuensi dc nya untuk menghindari variasi pola<br />

pada proses LVQ. Hasil normalisasi masing-masing<br />

odor diperlihatkan pada gambar.15, gambar.16 dan<br />

gambar.17.<br />

Gambar.11 Respon minyak tanah<br />

Kemiripan pola dari 3 grafik diatas adalah<br />

TGS2602 selalu memiliki nilai tertinggi dan 2 sensor<br />

berikut nya selalu lebih rendah. Hal yang<br />

membedakan juga dijumpai saat merespon minyak<br />

tanah, nilai sensor TGS2611 dan TGS2620 jauh<br />

lebih rendah dibandingkan saat pengukuran bensin<br />

dan alkohol.<br />

Untuk mendapatkan respon frekuensinya, maka<br />

selanjutnya data diproses dengan STFT dengan<br />

menggunakan parameter seperti pada gambar.7.<br />

Untuk mempersempit variabel input LVQ, setiap<br />

sensor hanya digunakan 4 komponen frekuensi saja<br />

untuk mewakili setiap jenis odor. Bentuk grafik nya<br />

seperti terlihat pada gambar.12, gambar.13 dan<br />

gambar.13.<br />

Gambar.15 Hasil normalisasi bensin<br />

Gambar.16 Hasil normalisasi alkohol<br />

Gambar.12 Komponen frekuensi bensin<br />

Gambar.17 Hasil normalisasi minyak tanah<br />

D45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

TABEL III<br />

Data input LVQ<br />

TABEL IIIII<br />

Bobot hasil pembelajaran<br />

TABEL IV<br />

Hasil uji bensin pada jaringan LVQ<br />

Setelah proses normalisasi, tahap selanjutnya 12<br />

data input tersebut diproses dengan jaringan LVQ.<br />

Tabel 2 memperlihatkan data yang di inputkan pada<br />

jaringan LVQ. Data yang diinputkan adalah 3 jenis<br />

data bensin, 2 jenis data alkohol dan 2 jenis data<br />

minyak tanah. Dari data tersebut, maka bensin di<br />

kelompokkan sebagai kelas 1, alkohol sebagai kelas<br />

2 dan minyak tanah sebagai kelas 3.<br />

Tabel II merupakan data input jaringan LVQ<br />

yang didapatkan dari proses STFT. Telah<br />

dikelompokkan berdasarkan kelasnya. Setelah<br />

proses pembelajaran dengan parameter yang<br />

ditentukan maka didapatkan bobot masing-masing<br />

kelas. Bobot masing-masing kelas tersebut seperti<br />

terlihat pada Tabel III. Bobot hasil pembelajaran<br />

tersebut terdiri dari w1, w2 dan w3, masing-masing<br />

bobot tersebut mewakili kelasnya. Contohnya, w1<br />

mewakili untuk kelas 1 sebagai bensin.<br />

Proses pembelajaran ini dilakukan mulai dari<br />

window 1 sampai ke 32. Setelah 32 kali<br />

pembelajaran tersebut, didapatkan bahwa epoch<br />

terkecil di hasilkan pada saat window ke 27 sampai<br />

dengan window ke 32 dengan nilai dibawah 100<br />

epoch. Berdasarkan nilai epoch yang terkecil<br />

tersebut, maka ditetapkan pemakaian window ke 27<br />

untuk proses STFT ini. Tabel IV memperlihat hasil<br />

pengujian di window ke 27 untuk jenis gas bensin.<br />

Kolom w1,w2 dan w3 adalah data bobot hasil<br />

pembelajaran jaringan LVQ. Sedangkan data kolom<br />

D46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

test adalah data yang akan diujikan pada jaringan<br />

tersebut. Kemudian nilai-nilai diatas diinputkan pada<br />

persamaan eucludian, hingga didapatkan nilai y1<br />

0.0571, y2 0.17472 dan y3 0.166724. Jarak terdekat<br />

diberikan oleh y1, maka odor yang diuji<br />

diklasifikasikan sebagai bensin. Pengujian<br />

selanjutnya dilakukan pada 28 jenis data odor dan<br />

hanya 1 data yang gagal teridentifikasikan.<br />

Kesimpulan<br />

Alat klasifikasi odor pada ruang terbuka ini<br />

dibuat untuk dapat membedakan beberapa jenis odor<br />

yang diujikan. Metode yang digunakan adalah<br />

dengan menggunakan 3 jenis sensor gas yang<br />

berbeda. Short Ttime Fourier Transform digunakan<br />

untuk mendapatkan karakteristik dari respon sensor<br />

gas tersebut. Jaringan Learning Vector Quantization<br />

digunakan untuk membedakan jenis gas ke dalam<br />

beberapa kelas. Jaringan LVQ ini memiliki tingkat<br />

keberhasilan sebesar 89,2% dalam identifikasi suatu<br />

gas.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terimakasih kepada bapak Muhammad<br />

Rivai yang telah meluangkan waktu dan<br />

membimbing hingga penelitian ini selesai<br />

dikerjakan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Faisal. Hadi (2008), Rancang bangun robot pencari<br />

lokasi gas menggunakan prinsip stereo nose.<br />

Figaro (2004), General Information for TGS Sensor,<br />

http://www.figarosensor.com/products/com<br />

mon(1104).pdf.<br />

Nimsuk, M. T.Nakamoto(2007). Improvement of<br />

capability for classifiying odors in<br />

dynamically changing concentration using<br />

QCM sensor array and short time fourier<br />

transform. Sensor and Actuator B 127 (491-<br />

496).<br />

Laurene, Fauset. (1992). Fundamentals of Neural<br />

Network. Mc-Graw Hill 187 – 190.<br />

D47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengukuran Tingkat Gas Polutan pada Udara<br />

Menggunakan Tabung Detektor Gas dengan Bantuan Kamera<br />

Ilmawan Mustaqim 1,2 , Muhammad Rivai 1 , Djoko Purwanto 1 , Tasripan 1<br />

1 Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Elektro FTI ITS Surabaya<br />

Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111<br />

2 Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, FT Universitas Negeri Yogyakarta<br />

Kampus Karangmalang, Yogyakarta 55281<br />

Email : ilmawan@elect-eng.its.ac.id<br />

Abstrak<br />

Pengukuran tingkat gas polutan di udara dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara salah satu<br />

diantaranya dengan menggunakan tabung detektor gas. Pembacaan nilai yang terukur pada tabung detektor gas<br />

biasa dilakukan menggunakan pembacaan secara langsung melalui indera penglihatan manusia. Keterbatasan<br />

indera manusia dalam ketelitian pembacaan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keakuratan<br />

pembacaan hasil suatu pengukuran. Paper penelitian ini membahas tentang penggunaan kamera dalam<br />

membantu mengidentifikasi hasil pengukuran tingkat kandungan gas NH 3 di udara yang terbaca pada tabung<br />

detektor.<br />

Pengukuran gas NH 3 menggunakan tabung detektor gas yang dialiri udara melalui suatu pompa. Tabung detektor<br />

gas akan menghasilkan suatu warna yang menunjukkan nilai kandungan gas NH 3 dalam satuan ppm. Perubahan<br />

warna pada tabung ditangkap oleh kamera dan kemudian diolah melalui perangkat lunak untuk dibaca hasil<br />

pengukurannya. Pengolahan tampilan kamera di aplikasikan menggunakan bahasa pemrograman C++ dengan<br />

bantuan perangkat lunak Microsoft Visual Studio dan OpenCV.<br />

Hasil pembacaan kamera menunjukkan bahwa warna dalam pengukuran dapat diidentifikasi sehingga hasil<br />

penunjukkan nilai tertentu pada tabung detektor gas dapat ditampilkan melalui program. Perubahan warna pada<br />

tabung gas menunjukkan suatu jarak tertentu yang dapat diukur melalui program komputer dengan<br />

mengaplikasikan metode segmentasi warna sehingga diperoleh keakuratan pembacaan tingkat gas polutan pada<br />

tabung detektor gas.<br />

Kata kunci : Gas Polutan, Tabung Detektor Gas, Segmentasi Warna.<br />

PENDAHULUAN<br />

Pengukuran tingkat kandungan gas tertentu<br />

dalam udara dapat dilakukan dengan menggunakan<br />

berbagai pilihan peralatan. Metode gas<br />

chromatography/mass spectrometry (GC/MS),<br />

mengadopsi dari odor regulation, sering digunakan<br />

untuk menganalisa suatu gas. Dalam penerapannya,<br />

GC/MS memerlukan biaya yang tinggi,<br />

membutuhkan waktu lama, dan tidak mudah dibawabawa.<br />

Sensor gas teknologi semiconductor dan<br />

electrochemical dapat digunakan juga, namun<br />

memiliki selektivitas yang rendah.<br />

Perkembangan teknologi image processing<br />

mengalami kemajuan yang pesat. Penerapan<br />

teknologi tersebut merambah berbagai bidang.<br />

Berbagai aplikasi menggunakan image processing<br />

banyak diterapkan dalam bidang pertahanan<br />

keamanan, lingkungan, kedokteran dan lain-lain.<br />

Penggunaan kamera yang terintegrasi dengan<br />

komputer dapat melakukan berbagai aktifitas<br />

diantaranya digunakan sebagai pendeteksian tepi<br />

suatu bidang, pemisahan warna, pengukuran jarak<br />

dan luas bidang, pendeteksian objek dan lain-lain.<br />

Kamera digunakan untuk menangkap suatu<br />

gambar atau suatu kejadian. Gambar atau kejadian<br />

yang telah ditangkap oleh kamera memiliki<br />

informasi. Informasi tersebut kemudian diolah<br />

melalui media computer dengan bantuan perangkat<br />

lunak sehingga dapat digunakan untuk membantu<br />

manusia melakukan kegiatan yang spesifik misalnya<br />

pengukuran, pendeteksian dan lain-lain. Dalam<br />

aktivitas pengukuran, kamera dapat digunakan untuk<br />

membantu membaca suatu parameter pengukuran.<br />

Pembacaan melalui kamera tersebut digunakan<br />

untuk membantu manusia memperoleh keakuratan<br />

dalam hasil pembacaan mengingat keterbatasan mata<br />

manusia dalam pembacaan secara langsung.<br />

Dalam penelitian ini memfokuskan pada<br />

penggunaan tabung detektor gas dimana merupakan<br />

metode yang sederhana untuk pendeteksian gas.<br />

Secara umum pembacaan hasil pengukuran pada<br />

tabung detektor gas dilakukan secara manual dengan<br />

cara membaca panjang dari perubahan warna<br />

lapisan. Melalui penelitian ini pembacaan hasil<br />

deteksi dikehendaki dapat dilakukan secara otomatis<br />

dan kontinyu menggunakan bantuan kamera melalui<br />

image processing.<br />

D48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

KAJIAN PUSTAKA<br />

Polusi udara merupakan masalah global yang<br />

akhir-akhir ini menjadi sorotan di berbagai negara di<br />

dunia. Beberapa peneliti mengembangkan penelitian<br />

yang berkaitan dengan polusi udara, baik sistem<br />

monitoring polusi udara dan sistem<br />

penanggulangannya, dampak polusi udara dan<br />

perubahan iklim terhadap ekosistem hutan. (Paoletti,<br />

2007). Pencemaran udara adalah masuknya atau<br />

dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain<br />

ke dalam udara ambien oleh kegitan manusia,<br />

sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat<br />

tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak<br />

dapat memenuhi fungsinya. (Peraturan Gubernur<br />

Jawa Timur Nomor 39 tahun 2008)<br />

Melihat dampak polusi udara terhadap makhluk<br />

hidup dan lingkungan, pemerintah daerah<br />

menetapkan peraturan tentang baku mutu udara<br />

ambien dan emisi sumber tidak bergerak. Baku mutu<br />

udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat,<br />

energi dan/atau komponen yang ada atau seharusnya<br />

ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang<br />

keberadaannya dalam udara ambient. Baku mutu<br />

emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar<br />

maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang<br />

diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam<br />

udara ambient. Pemerintah Daerah Wilayah Jawa<br />

Timur menuangkan aturan tersebut pada Peraturan<br />

Gubernur Nomor 39 tahun 2008.<br />

Batasan gas amoniak atau NH 3 di udara ambient<br />

yang diijinkan sesuai dengan peraturan tersebut<br />

adalah sebesar maksimum 2 ppm atau 1360µg/m 3<br />

dengan pengambilan sampel tiap 1 jam selama 24<br />

jam.<br />

Tabung Detektor Gas<br />

Pengukuran gas dapat dilakukan dengan<br />

berbagai cara, salah satu diantaranya dengan<br />

menggunakan tabung detektor gas. Sistem tabung<br />

detektor gas adalah suatu pengambilan sampel yang<br />

dilengkapi sistem pembacaan terukur untuk<br />

menentukan seberapa kadar konsentrasi gas dan uap<br />

air dengan cepat dan mudah. Pada sistem tabung<br />

detektor gas secara umum terdiri dari sebuah pompa<br />

udara pengambil sampel udara dan tabung detektor<br />

gas yang presisi.<br />

Setiap tabung detektor diformulasikan dengan<br />

bahan reaksi yang memiliki tingkat kemurnian yang<br />

tinggi, yang menyerap dan bereaksi dengan target<br />

gas atau uap air yang diukur. Berkas colorimetric<br />

yang muncul dibuat proporsional panjang dengan<br />

konsentrasi. Bagi kebanyakan tabung, konsentrasi<br />

dibaca langsung pada skala pengukuran pada<br />

masing-masing tabung.<br />

Tabung detektor gas digunakan dengan cara<br />

mengalirkan gas yang akan dideteksi melalui ujung<br />

yang satu ke ujung lainnya. Hasil pengukuran dibaca<br />

dengan cara melihat panjang warna yang muncul<br />

pada permukaan indikator. Satu buah tabung<br />

dikhususkan untuk satu jenis gas tertentu sehingga<br />

untuk mendeteksi beberapa zat yang terkandung<br />

dalam udara diperlukan beberapa buah tabung.<br />

Gambar 1. Indikator Pengukuran dalam Tabung Detektor Gas<br />

Sumber: http://www.envisupply.com<br />

Tabung detektor gas merupakan tabung kaca<br />

tipis yang berisi deteksi reagent. Reagent adalah<br />

suatu zat kimia yang digunakan dalam reaksi untuk<br />

mendeteksi, mengukur, meneliti, atau memproduksi<br />

bahan lainnya. Reagent menghasilkan perubahan<br />

warna yang berbeda pada lapisan dalam tabung<br />

ketika bertemu dengan zat tertentu. Prinsip reaksi<br />

pada tabung detektor gas amoniak atau NH 3 adalah:<br />

gas amoniak atau NH 3 dinetralisir oleh asam sulfur<br />

untuk dapat berubah warna pada indikator pH<br />

menjadi kuning. Reaksi kimia yang terjadi:<br />

2NH 3 + H 2 SO 4 → (NH 4 ) 2 SO 4<br />

Skala kalibrasi tercetak pada tabung dimana<br />

menunjukkan konsentrasi dari substansi yang<br />

diukur. Ratusan variasi detektor tabung tersedia saat<br />

ini untuk mengukur berbagai senyawa kimia.<br />

Terdapat beberapa tabung dengan berbagai variasi<br />

batasan konsentrasi. Batasan konsentrasi tersebut<br />

dinyatakan dalam ukuran part-per-million (ppm)<br />

atau beberapa tabung dengan ukuran persen (%).<br />

Sistem Kamera dan Segmentasi Warna<br />

Penggunaan sistem kamera dalam pengukuran<br />

dapat membantu manusia dalam pembacaan nilai<br />

yang terukur. Selain dari tingkat ketelitian, kamera<br />

dapat membantu juga dalam hal monitoring suatu<br />

sistem yang dilakukan secara terus menerus.<br />

Dalam komputer, color pixel biasanya memiliki<br />

nilai warna merah, hijau dan biru yang masingmasing<br />

diukur dalam 8 bit. Secara khusus warna<br />

objek segmentasi akan melibatkan konversi dari<br />

nilai-nilai tersebut ke beberapa parameter model<br />

warna, kemudian perbandingan parameter-parameter<br />

ke objek diasumsikan invarian. Model warna yang<br />

paling popular digunakan untuk gambar segmentasi<br />

adalah RGB, HSV, HLS, HIS dan NCC.<br />

(V.Kravtchenko, 1999).<br />

Komponen merah, hijau, dan biru dapat diwakili<br />

oleh nilai kecerahan suatu gambar yang diperoleh<br />

melalui tiga filter yang terpisah (filter merah, hijau,<br />

dan biru) berdasarkan rumus sebagai berikut:<br />

D49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan:<br />

SR, SG, SB = filter warna pada cahaya yang masuk<br />

E(λ) = cahaya atau sinar<br />

λ = panjang gelombang cahaya<br />

RGB cocok untuk menampilkan warna, tetapi<br />

tidak baik untuk warna gambar segmentasi dan<br />

analisis karena tingginya korelasi antara komponen<br />

R, G, dan B. Korelasi tinggi berarti jika intensitas<br />

berubah maka semua tiga komponen akan berubah<br />

juga. Selain itu, pengukuran warna dalam ruang<br />

RGB tidak mewakili perbedaan warna dalam skala<br />

yang seragam, maka tidak memungkinkan untuk<br />

mengevaluasi kesamaan dua warna dari jaraknya<br />

dalam space RGB.<br />

Konversi RGB ke Hue<br />

Segmentasi RGB sangat terpengaruh adanya<br />

perubahan iluminasi warna, intensitas iluminasi dan<br />

cahaya, hal tersebut tidak terjadi pada Hue.<br />

Taksonomi dari model invarian warna diperlihatkan<br />

dalam tabel 1 dimana masing-masing ruang warna<br />

dapat terpengaruh oleh properti tertentu.<br />

Perubahan nilai RGB menjadi nilai Hue<br />

dirumuskan sebagai berikut:<br />

TABEL I Invarian untuk Ruang Warna yang Berbeda-beda<br />

padaVariasi Properti Gambar.<br />

maksimum piksel yang telah diperoleh. Hal ini<br />

menyebabkan daerah terang dalam gambar<br />

berkembang seperti ditunjukkan dalam gambar 2.<br />

Perkembangan gambar tersebut dikenal dengan<br />

istilah operasi dilasi.<br />

Gambar 2. Morfologi Dilasi: mengambil nilai maksimum piksel<br />

yang dilalui kernel B. Sumber: (G. Bradski, et al, 2009)<br />

Erosi adalah kebalikan dari dilasi. Hasil dari<br />

operasi erosi adalah sama dengan komputasi lokal<br />

minimum di daerah kernel. Erosi menghasilkan<br />

gambar baru dari gambar aslinya dengan<br />

menggunakan algoritma berikut: kernel B dipindai<br />

diatas gambar A kemudian dihitung nilai minimum<br />

piksel yang dilalui piksel B untuk selanjutnya piksel<br />

gambar A dibawah titik point digantikan dengan<br />

nilai maksimum piksel yang telah diperoleh. Secara<br />

umum, operasi dilasi memperluas wilayah A<br />

sedangkan operasi erosi mengurangi wilayah A. (G.<br />

Bradski, et al, 2009)<br />

Sistem<br />

Viewpoint<br />

Geometry<br />

Illumination<br />

Color<br />

Illumination<br />

Intensity<br />

Highlights<br />

RGB - - - - -<br />

rgb + + - + -<br />

Hue + + - + +<br />

S + + - + -<br />

I - - - - -<br />

c 1 c 2 c 3 + + - + -<br />

Keterangan:<br />

Tanda “+” berarti bahwa ruang warna tersebut tidak sensitif<br />

terhadap properti, berlaku sebaliknya untuk tanda “–”.<br />

Sumber: R. Lukac (2007)<br />

Dilasi dan Erosi<br />

Dilasi/pelebaran adalah konvolusi dari beberapa<br />

gambar (atau wilayah dari suatu gambar) misal<br />

gambar A dengan beberapa kernel misal kernel B.<br />

Kernel dapat berupa bentuk atau ukuran yang telah<br />

ditetapkan titik pointnya. Kernel yang paling sering<br />

digunakan berupa titik kecil bujursangkar atau<br />

lingkaran dengan titik point ditengahnya. Kernel<br />

dapat dianggap sebagai template atau mask, dan<br />

memberikan pengaruh pada dilasi saat operasi lokal<br />

secara maksimum. Kernel B dipindai diatas gambar<br />

A kemudian dihitung nilai maksimum piksel yang<br />

dilalui kernel B untuk selanjutnya piksel gambar A<br />

dibawah titik point digantikan dengan nilai<br />

Gambar 3. Morfologi Erosi: mengambil nilai minimum piksel<br />

yang dilalui kernel B. Sumber: (G. Bradski, et al, 2009)<br />

METODE PENELITIAN<br />

Pengujian pada penelitian ini menggunakan<br />

tabung detektor gas untuk jenis gas NH 3 . Kenaikan<br />

tingkat ppm gas NH 3 yang ditunjukkan dalam<br />

perubahan warna pada tabung gas diambil secara<br />

berkala sebagai sampel perubahan warna.<br />

Eksperimen yang dilakukan meliputi<br />

perhitungan secara manual dan perhitungan secara<br />

otomatis. Perhitungan secara manual dilakukan<br />

dengan cara menentukan titik point awal dan titik<br />

point akhir. Pemilihan titik yang mewakili titik awal<br />

dan akhir dilakukan dengan cara melakukan<br />

penekanan tombol mouse pada titik pointer di atas<br />

D50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

gambar referensi. Titik awal merupakan daerah<br />

munculnya warna kuning pada tabung, sedangkan<br />

titik akhir adalah daerah terakhir munculnya warna<br />

kuning pada tabung. Langkah selanjutnya adalah<br />

melakukan perhitungan jarak terhadap kedua titik<br />

tersebut menggunakan persamaan:<br />

(e)<br />

Gambar 5. Penentuan titik awal dan akhir secara otomatis melalui<br />

proses: konversi RGB ke Hue (a), threshold nilai Hue (b), Dilasi<br />

(c), Erosi (d), tampilan hasil melalui bounding box (e).<br />

Gambar 4. Penentuan titik awal dan akhir secara manual.<br />

Perhitungan manual digunakan sebagai<br />

pembanding hasil pembacaan selain pembacaan nilai<br />

melalui pandangan mata biasa.<br />

Pengujian yang dilakukan terdiri dari tahapan<br />

proses sebagai berikut: konversi warna RGB ke Hue,<br />

threshold nilai Hue, proses dilasi, proses erosi,<br />

pengukuran jarak piksel, konversi jarak piksel ke<br />

ppm. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan untuk<br />

memperoleh pembacaan nilai yang terukur pada<br />

tabung detektor gas NH3 secara otomatis.<br />

(a)<br />

(b)<br />

(c)<br />

(d)<br />

Gambar 6. Tampilan Program.<br />

HASIL dan PEMBAHASAN<br />

Pengujian dilakukan terhadap gambar yang<br />

ditangkap oleh kamera dalam pengukuran tingkat<br />

gas NH3 pada saat nilai pembacaan mata biasa<br />

sebesar 24, 25, 27, 30, 31, 32 ppm.<br />

Hasil pengujian yang telah dilakukan dapat<br />

dilihat dalam tabel 2.<br />

TABEL II Hasil Pengukuran Manual dan Otomatis.<br />

Pengukura<br />

n Manual<br />

Pengukura<br />

n Otomatis<br />

Nilai<br />

Pembacaan<br />

Batas<br />

Kiri<br />

Batas<br />

Kanan<br />

Nilai<br />

(ppm)<br />

Batas<br />

Kiri<br />

Batas<br />

Kanan<br />

Nilai<br />

(ppm)<br />

4 26 11<br />

5 27 32<br />

7 26 47<br />

0 25 76<br />

1 14 73<br />

2 14 85<br />

4,2<br />

9<br />

2<br />

40 09<br />

2<br />

6 30 72<br />

7,3<br />

6<br />

9,9<br />

2<br />

0,6<br />

1<br />

1,6<br />

3<br />

2<br />

29 40<br />

2<br />

29 74<br />

3<br />

18 69<br />

3<br />

18 83<br />

3,3<br />

9<br />

5,8<br />

2<br />

7,0<br />

4<br />

0<br />

0,5<br />

2<br />

1,7<br />

3<br />

2<br />

2<br />

Threshold<br />

x = nilai Hue<br />

2<br />

2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perbandingan selisih antara hasil pembacaan<br />

melalui pandangan mata sdengan hasil pengukuran<br />

manual dapat dilihat dalam tabel 3.<br />

TABEL III Perbandingan selisih hasil pembacaan pandangan<br />

mata dengan pengukuran manual.<br />

Nilai Nilai<br />

Selisih<br />

Pembacaan Pengukuran Manual<br />

24 24,29 0,29<br />

25 26 1<br />

27 27,36 0,36<br />

30 29,92 0,08<br />

31 30,61 0,39<br />

32 31,63 0,37<br />

X x Rata-rata Selisih 0,415<br />

Pengukuran<br />

Perbandingan selisih antara hasil pembacaan<br />

melalui pandangan mata dengan hasil pengukuran<br />

otomatis dapat dilihat dalam tabel 4.<br />

TABEL IV<br />

Perbandingan selisih hasil pembacaan<br />

pandangan mata dengan pengukuran otomatis.<br />

Nilai Nilai<br />

Selisih<br />

Pembacaan Pengukuran otomatis<br />

24 23,39 0,61<br />

25 25,82 0,82<br />

27 27,04 0,04<br />

30 30 0<br />

31 30,52 0,48<br />

32 31,73 0,27<br />

Rata-rata Selisih Pengukuran 0,37<br />

Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa nilai<br />

pembacaan secara otomatis memiliki rata-rata<br />

kesalahan pengukuran sebesar 0,37 sedangkan<br />

pembacaan secara manual memiliki rata rata<br />

kesalahan pengukuran sebesar 0,415.<br />

Pada pembacaan otomatis diatas dilakukan<br />

perubahan threshold untuk masing masing nilai<br />

pembacaan. Hal ini disebabkan karena data yang<br />

diambil berada pada kondisi tabung yang berubah<br />

posisi maupun pencahayaan yang berubah pula<br />

sehingga warna acuan yang diambil dapat berubah.<br />

Threshold yang ditentukan sangat mempengaruhi<br />

segmentasi warna yang diukur, sehingga dapat<br />

dipisahkan antara warna sekitar dengan warna yang<br />

dikehendaki untuk diukur.<br />

mouse. Titik tersebut apakah mewakili nilai yang<br />

tertera pada skala atau tidak bergantung pada<br />

kalibrasi nilai pembagi yang digunakan. Diperlukan<br />

perhitungan kalibrasi skala yang tepat agar diperoleh<br />

nilai yang sesuai pada masing masing skala.<br />

Pada pengukuran otomatis, ketelitian hasil<br />

pembacaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu<br />

nilai threshold dinamis yang mampu menyesuaikan<br />

dengan warna yang akan disegmentasi, kontras<br />

perubahan warna pada tabung dengan warna<br />

sekitarnya, kestabilan pencahayaan. Kestabilan<br />

posisi tabung. Faktor-faktor tersebut dapat<br />

memberikan kemudahan dan hasil yang lebih baik<br />

dalam melakukan segmentasi warna sebagai media<br />

pengukuran.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terima kasih kepada Mr. Takamichi<br />

Nakamoto dari Physical Electronics Department,<br />

Tokyo Institute of Technology atas pemberian<br />

tabung detektor gas dan meluangkan waktunya<br />

untuk berdiskusi tentang sensor detektor gas.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

E. Paoletti, A. Bytnerowicz, C. Andersen, A.<br />

Augustaitis, M. Ferrett, N. Grulke, M.S.<br />

Goerg, J. Innes, D. Johnson, D. Karnosky, J.<br />

Luangjame, R. Matyssek, S. McNulty, G.M.<br />

Starck, R. Musselman, K. Percy (2007),<br />

Impacts of Air Pollution and Climate Change<br />

on Forest Ecosystems-Emerging Research<br />

Needs, Short Communication Proceedings,<br />

The Scientific World JOURNAL 7 (S1), 1–8<br />

G. Bradski, A. Kaehler (2009), Learning OpenCV,<br />

O’Reilly Media, Inc.<br />

R. Lucac, K.N. Plataniotis (2007), Color Image<br />

Processing: Methods and Applications,<br />

Taylor and Francis Group.<br />

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 39 tahun<br />

2008.<br />

V. Kravtchenko, James J Little (1999), Efficient<br />

Color Object Segmentation Using the<br />

Dichromatic Reflection Model, IEEE Pacific<br />

Rim Conference on Communications.<br />

ieeexplore.ieee.org<br />

KESIMPULAN<br />

Tabung Detektor Gas dapat digunakan untuk<br />

mendeteksi Gas NH 3 dengan perubahan warna yang<br />

mencolok antara warna merah muda menuju ke<br />

kuning. Warna tersebut dapat ditangkap oleh kamera<br />

kemudian diolah sebagai parameter perhitungan<br />

pembacaan hasil deteksi tabung gas.<br />

Pergeseran nilai yang terukur secara manual<br />

dipengaruhi oleh posisi titik yang ditentukan dengan<br />

D52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Desain dan Karakterisasi Load Cell Tipe Czl601 sebagai Sensor Massa<br />

untuk Mengukur Derajat Layu pada Pengolahan Teh Hitam<br />

Iwan Sugriwan 1 , Melania Suweni Muntini 1 , Yono Hadi Pramono 2<br />

1 Laboratorium Elektonika-Instrumentasi Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya<br />

2 Laboratorium Optoelektronika dan Microwave Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA ITS Surabaya<br />

Email: iwan_unlam@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Proses pelayuan pada pengolahan teh hitam dicirikan oleh dua macam pelayuan, yaitu pelayuan kimia dan<br />

pelayuan fisis. Ciri utama dari pelayuan fisis adalah melemasnya daun teh karena kehilangan sekitar 47% kadar<br />

air. Kehilangan massa karena kehilangan kadar air ini diindera oleh load cell tipe CZL601 sebagai sensor massa.<br />

Load cell dikalibrasi menggunakan pembeban (anak timbangan, timbal) yang telah diukur nilai benarnya di<br />

Laboratorium Gaya dan Massa Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya. Sinyal keluaran dari<br />

load cell, berupa tegangan, dihubungkan dengan penguat operasional yang dikonfigurasi sebagai penguat<br />

instrumentasi. Keluaran dari penguat instrumentasi selanjutnya menjadi data proses untuk rangkaian<br />

mikrokontroler Atmega8 dan diantarmuka pada Liquid Chrystall Display (LCD) dan komputer pribadi. Rancang<br />

bangun load cell dan rangkaian elektronisnya didesain khusus untuk dapat digunakan sebagai instrumen<br />

pengukur derajat layu yang akan ditempatkan di atas mesin palung pelayuan (withering trough), di mana derajat<br />

layu adalah kuantitas yang menunjukkan perbandingan berat daun teh kering dengan daun teh layu. Persamaan<br />

karakteristik load cell yang menyatakan hubungan antara tegangan dalam volt, V, dan massa dalam gram, m,<br />

adalah V = 0.0001m + 0.2014. Dari hasil karakterisasi, load cell tipe CZL601 dapat mengukur beban sampai<br />

dengan 20 kilogram dengan sensitivitas 0,02 kg. Load cell menunjukkan performa tinggi yaitu dengan linieritas<br />

tinggi dan tanpa hysteresis.<br />

Kata kunci: derajat layu, load cell, pelayuan, penguat instrumentasi, teh hitam<br />

PENDAHULUAN<br />

Load cell adalah sebuah sensor gaya yang<br />

banyak digunakan dalam industri yang memerlukan<br />

peralatan untuk mengukur berat (Piskorowski et.al.,<br />

2008). Secara umum, load cell dan sensor gaya<br />

berisi pegas (spring) logam mekanik dengan<br />

mengaplikasikan beberapa foil metal strain gauges<br />

(SG). Strain dari pegas mekanik muncul sebagai<br />

pengaruh dari pembebanan yang kemudian<br />

ditransmisikan pada strain gauges. Pengukuran<br />

sinyal yang dihasilkan dari load cell adalah dari<br />

perubahan resistansi strain gauge yang linier dengan<br />

gaya yang diaplikasikan (Mauselein et.al., 2009).<br />

Kalibrasi dan karakterisasi load cell dapat<br />

dilakukan baik secara analog maupun digital.<br />

Kalibrasi secara analog merujuk pada sinyal<br />

keluaran, yang umumnya berupa tegangan, diukur<br />

langsung dengan peralatan dalam format analog.<br />

Pada proses kalibrasi digital sinyal keluaran diukur<br />

dengan instrumen yang telah mengintegrasikan<br />

peralatan digital. Menggunakan load cell dengan<br />

keluaran digital yang terintegrasi dengan<br />

pemrosesan sinyal memungkinkan penyesuaian gain<br />

menjadi sebuah penguatan sederhana dari keluaran<br />

load cell dengan sebuah persamaan karakteristik.<br />

Dalam kasus ini, proses kalibrasi berarti menghitung<br />

koefisien penguatan, yang diberikan dengan solusi<br />

dari persamaan karakteristik yang dihasilkan dari<br />

performa general purpose microcomputer yang lebih<br />

umum disebut mikrokontroler. Namun demikian,<br />

pada kalibrasi digital diperlukan rangkaian pemroses<br />

sinyal yang menyertakan penguat operational,<br />

pengonversi analog ke digital dan unit pengolah<br />

yang telah terintegrasi dalam mikrokontroler (Rocha<br />

et.al., 2000).<br />

Kalibrasi dan karakterisasi load cell ini akan<br />

digunakan untuk mengukur derajat layu pada proses<br />

pelayuan (withering) pengolahan teh hitam. Pada<br />

proses pelayuan, daun teh kehilangan kadar air<br />

sebanyak 47 %. Kehilangan masa yang disebabkan<br />

oleh kehilangan kadar air ini dapat digunakan untuk<br />

menentukan kelayuan daun teh. Secara kuantitatif<br />

kelayuan tersebut dinyatakan dalam persentase layu<br />

dan derajat layu. Persentase layu didefinisikan<br />

sebagai perbandingan antara bobot pucuk teh segar<br />

dengan bobot pucuk layu. Derajat layu didefinisikan<br />

sebagai perbandingan berat hasil teh kering dengan<br />

pucuk layu (Santoso dkk., 2008).<br />

Proses pelayuan pengolahan teh hitam di Pusat<br />

Penelitian Teh Kina (PPTK) Gambung, Bandung,<br />

dilakukan dengan menggunakan withering trough<br />

sebagai tempat daun teh dihamparkan. Daun teh<br />

segar dihamparkan pada mesin withering trough<br />

dengan ketebalan 30 cm untuk dilayukan oleh udara<br />

kering atau dengan aliran udara panas selama sekitar<br />

20 jam. Untuk menentukan apakah daun teh telah<br />

cukup layu, diperiksa oleh para pekerja teknis di<br />

pelayuan dengan cara meraba. Segenggam daun teh<br />

dikepal sambil digulung lalu dilemparkan, dan jika<br />

D53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

kepalan tidak terhambur maka daun teh dianggap<br />

telah layu. Masalahnya penentuan kelayuan teh<br />

dengan menggunakan peraba berpotensi untuk tidak<br />

konsisten dan bersifat subyektif yang berakibat pada<br />

ketidakkonsistenan terhadap mutu teh hitam.<br />

Pada makalah ini disampaikan hasil penelitian<br />

untuk mengurangi subjektivitas dengan cara<br />

mengkuantisasi ukuran kelayuan daun teh. Salah<br />

satu caranya adalah dengan menggunakan sensor<br />

massa. Kehilangan massa pada proses pelayuan akan<br />

diindera dengan sensor massa menggunakan load<br />

cell jenis single point model CZL601yang mampu<br />

mengukur beban sampai dengan 20 kg. Rangkaian<br />

sensor massa berikutnya akan dihubungkan dengan<br />

pengkondisi sinyal dengan mengaplikasikan penguat<br />

instrumentasi sebagai data proses untuk blok<br />

rangkaian berikutnya yaitu mikrokontroler AVR<br />

ATmega8 yang berikutnya diantarmuka pada<br />

komputer pribadi.<br />

DASAR TEORI<br />

Load cell sebagai Sensor Massa<br />

Transduksi massa dapat bervariasi<br />

bergantung pada perubahan parameter fisis yang<br />

digunakan. Sensor massa juga dapat menggunakan<br />

divais berbasis piezoresistif, kapasitif, mekanis dan<br />

lain-lain. Piezoresistif yang popular adalah strain<br />

gage yang memanfaatkan perubahan resistansi strain<br />

gage setiap mendapat deformasi dari posisi<br />

setimbang sebagai akibat pembebanan massa<br />

tertentu. Strain adalah sejumlah deformasi pada<br />

material sebagai pengaruh dari aplikasi gaya. Lebih<br />

spesifik, strain (ε) didefinisikan sebagai<br />

perbandingan perubahan panjangnya, sebagaimana<br />

ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini (National<br />

Instrument, 1998):<br />

Gambar 2. Pola garis metallic strain gauge<br />

Parameter fundamental dari strain gauge adalah<br />

sensitivitas dari strain, diekspresikan secara<br />

kuantitatif sebagai gauge factor (GF). Gauge factor<br />

didefinisikan sebagai rasio dari pembagian<br />

perubahan dalam resistansi dengan pembagian<br />

perubahan dari panjangnya (strain):<br />

Gauge factor untuk metallic strain gauges<br />

secara tipikal adalah di sekitar 2. Idealnya, resistansi<br />

dari strain gauge berubah hanya terhadap respon<br />

yang diaplikasikan pada strain gauge material,<br />

sebagaimana spesimen material di mana gauge<br />

diaplikasikan, juga akan merespon terhadap<br />

perubahan temperatur.<br />

Divais yang menggunakan prinsip strain gauge<br />

secara internal yang sering digunakan untuk<br />

pengukuran massa adalah load cell. Load cell<br />

merupakan divais yang menggunakan efek<br />

piezoresistif dengan bentuk fisik ditunjukkan pada<br />

Gambar 3. Pada penelitian ini akan digunakan load<br />

cell dengan rentang massa maksimum adalah 20 kg.<br />

Gambar 1. Definisi strain<br />

Terdapat beberapa metode untuk mengukur<br />

strain, yang berikut ini adalah dengan strain gauge,<br />

sebuah device dengan beberapa resistansi bervariasi<br />

dan proporsional dengan sejumlah strain dalam<br />

divais. Sebagai contoh, piezoresistive strain gauge<br />

yang merupakan semiconductor device di mana<br />

resistansi berubah taklinier dengan strain. Gauge,<br />

yang paling luas digunakan adalah bonded metallic<br />

strain gauge, berisi beberapa fine wire atau metallic<br />

foil yang disusun dalam pola garis (grid) seperti<br />

yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pola garis<br />

dimaksimasi dengan sejumlah kawat metalik dalam<br />

arah paralel.<br />

Akuisisi Data<br />

Gambar 3. Load cell single point model CZL601<br />

Keluaran dari sensor massa, load cell,<br />

adalah tegangan dan berikutnya dihubungkan<br />

dengan Penguat instrumentasi (instrumentation<br />

amplifier, IA). Selanjutnya penguat instrumentasi<br />

adalah pengembangan dari penguat diferensial<br />

(selisih tegangan) yang mengakomodasi masukan<br />

selisih tegangan secara klasik ditunjukkan pada<br />

Gambar 4 di bawah ini:<br />

D54


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 4. Skema Penguat Instrumentasi Klasik (Fraden, 2003)<br />

Penguat instrumentasi dibangun oleh tiga buah<br />

op-amp. Op-amp 1 dan 2 (U1 dan U2) dikonfigurasi<br />

sebagai penguat selisih tegangan, sedangkan op-amp<br />

ketiga dikonfigurasi sebagai penguat non-inverting.<br />

Penguat instrumentasi didesain dan harus memenuhi<br />

tegangan offset minimum, penguatan stabil,<br />

ketaklinieran rendah, input impedansi sangat tinggi,<br />

output impedansi sangat rendah, serta rasio<br />

penolakan modus bersama (common mode rejection<br />

ratio, CMMR) sangat tinggi (Terrel, 1996).<br />

Tegangan keluaran yang dihasilkan dari<br />

rangkaian Gambar 2.4 adalah bergantung pada nilainilai<br />

resistor dan selisih tegangan masukan yang<br />

diterapkan pada differential voltage, V 1 dan V 2 ,<br />

menurut persamaan (Tompkin, 1988):<br />

(2)<br />

sedangkan besar penguatannya (gain, A)<br />

dirumuskan sebagai:<br />

Selanjutnya tegangan keluaran dari penguat<br />

instrumentasi selanjutnya dihubungkan dengan<br />

mikrokontroler yang mengaplikasikan AVR<br />

Atmega8. ATmega8 adalah mikrokontroler 8 bit<br />

berdaya rendah dengan arsitektur RISC (reduce<br />

Instruction Set Computer) dan menggunakan<br />

arsitektur harvard (dengan memori dan bus yang<br />

terpisah untuk program dan data). Perintah dapat<br />

dieksekusi dalam satu periode clock untuk setiap<br />

instruksi dan instruksi dalam program memori<br />

dijalankan dengan single level pipelining, ketika satu<br />

instruksi dijalankan, instruksi selanjutnya telah siap<br />

diambil dari program memori. Gambar 5 adalah<br />

konfigurasi kaki ATmega8 dalam kemasan DIP<br />

(dual in line package) (Kurniawan, 2009).<br />

Gambar 5. Diagram Pin Mikrokontroler AVR ATMEGA8-P<br />

Secara internal, ATmega8 terdiri dari blok-blok<br />

diagram seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.<br />

Masing-masing blok tersebut antara lain program<br />

counter yaitu register yang berfungsi sebagai<br />

penghitung eksekusi program yang dilakukan<br />

mikrokontroler. Arithmatic Logic Unit (ALU, unit<br />

logika aritmatik) berfungsi melakukan proses<br />

aritmatika (+,-,*,/) dan logika (And, Or, Not).<br />

Random Access Memory (RAM, memori akses acak)<br />

adalah berupa memori volatile (data tak terhapus<br />

jika catudaya dimatikan) yang isinya dapat dibaca<br />

dan dihapus, digunakan menyimpan variabel. Flash<br />

Program Erasabel Read Only Memory (Flash<br />

PEROM, memori hanya baca dapat dihapus dengan<br />

program) merupakan memori hanya dapat dibaca,<br />

digunakan untuk menyimpan program. Electrical<br />

Erasable Proram Read Only Memory (EEPROM)<br />

yaitu memori nonvolatile, dapat dibaca dan ditulis<br />

(dengan kemampuan terbatas), digunakan<br />

menyimpan konstanta, setting dan lain-lain. Register<br />

adalah tempat untuk menyimpan data sementara.<br />

Accumulator (akumulator) merupakan register<br />

penampung proses aritmatik. Stack Pointer (SP)<br />

adalah register penampung data dengan metode<br />

LIFO (last in first out). Blok terakhir adalah<br />

Input/Output port (I/O port, terminal<br />

masukan/keluaran) yakni register sebagai sarana<br />

komunikasi dengan periferal (peralatan di luar<br />

mikrokontroler).<br />

Gambar 6. Diagram Blok Mikrokontroller AVR ATM8-P<br />

DESAIN DAN METODE<br />

Desain sistem instrumentasi untuk pengukuran<br />

derajat layu pada pengolahan teh hitam terdiri dari<br />

blok sensor massa yang menggunakan load cell tipe<br />

CZL601, blok catu daya (power supply), blok<br />

penguat instrumentasi, blok mikrokontroler dan<br />

D55


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

peraga (display). load cell dirancang untuk<br />

ditempatkan pada mesin palung pelayuan. Load cell<br />

ditempatkan pada rangka mekanis yang dibuat statis<br />

pada salah satu ujungnya, seperti yang ditunjukkan<br />

pada Gambar 7.<br />

Gambar 7. Load Cell dan keranjang pada rangka Statis<br />

Pada ujung yang lain digantungkan sebuah<br />

rangka besi segi empat sebagai keranjang tempat<br />

menyimpan objek yang akan diukur massanya.<br />

Untuk mendapatkan hubungan antara massa dengan<br />

tegangan pada load cell dilakukan proses kalibrasi<br />

menggunakan anak timbangan (timbal). Timbal ini<br />

dibuat di bengkel logam Laboratorium <strong>Fisika</strong> Dasar<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Institut Teknologi Sepuluh<br />

Nopember Surabaya.<br />

Sinyal keluaran dari load cell dihubungkan<br />

dengan rangkaian penguat instrumentasi yang<br />

ditempatkan dalam sebuah casing box bersama<br />

dengan rangkaian catu daya dan mikrokontroler.<br />

Keseluruhan perangkat keras ditempatkan di atas<br />

mesin palung pelayuan seperti ditunjukkan pada<br />

Gambar 8.<br />

bersertifikat yaitu merk sartorius, model/tipe YCW<br />

553-00, nomor seri 15929662, kelas F1 dengan<br />

nominal 500 gram. Massa konvensional anak<br />

timbangan standar adalah 499,9996 gram dengan<br />

ketidakpastian 0,63 gram. Pada waktu dilakukan<br />

kalibrasi, terdokumentasi densitas udara 7390<br />

Kg/m 3 . Timbangan yang digunakan untuk<br />

mengkalibrasi timbal yaitu merk sartorius,<br />

model/tipe CP12001S, nomor seri 161108413,<br />

kapasitas 12,1 kilogram dengan resolusi 0,1 gram.<br />

Metode kerja mengacu ke OIML R111-1 Part-1 &<br />

Part-2 Edition 2004 (E).<br />

Hasil kalibrasi terhadap delapan timbal<br />

ditunjukkan pada tabel 1. Kondisi ruang ketika<br />

diambil pengukuran, suhu 23,2 ± 0,07<br />

0 C,<br />

kelembaban relatif 50,2 %RH, dan tekanan 1009,5<br />

hPa.<br />

Tabel 1. Data hasil kalibrasi timbal<br />

Nilai<br />

(g)<br />

Nomor<br />

Timbal<br />

500 1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

8<br />

Massa<br />

Konvensional<br />

(g)<br />

499,9982<br />

499,9978<br />

500,0015<br />

499,9995<br />

499,9940<br />

499,9993<br />

499,9983<br />

499,9960<br />

Ketidakpastian<br />

Pengukuran<br />

(g)<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

0,21<br />

Timbal yang telah diketahui massa<br />

konvensionalnya digunakan sebagai data kalibrasi<br />

load cell untuk mendapatkan hubungan karakteristik<br />

antara massa, m, dengan tegangan, V. Variasi massa<br />

diperoleh dengan menambahkan timbal ke dalam<br />

keranjang, Gambar 7, yang menyebabkan perubahan<br />

tegangan yang diukur dengan multitester digital.<br />

Hasil kalibrasi load cell dengan timbal ditunjukkan<br />

pada tabel 2 yang berpadanan dengan grafik<br />

karakteristik yang ditunjukkan pada Gambar 9. Pada<br />

kalibrasi load cell ini dilakukan dengan cara<br />

menambahkan timbal satu per satu sampai dengan<br />

beban total sekitar 4 kilogram timbal yang<br />

selanjutnya respon tegangannya dicatat (pengukuran<br />

naik).<br />

Gambar 8. Perangkat keras akuisisi pada palung pelayuan<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Sebelum diimplementasikan di industri<br />

pengolahan teh hitam, terlebih dahulu load cell<br />

harus dikalibrasi. Kalibrasi dilakukan dengan nonzero<br />

calibration pada tegangan, di mana tegangan<br />

keluaran tidak menunjukkan nol ketika belum diberi<br />

anak timbangan sebagai pembeban (tanpa<br />

pengaturan ofset nol). Timbal sebagai pembeban<br />

dikalibrasi di Laboratorium Gaya dan Massa Balai<br />

Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya<br />

pada tanggal 7 April 2010. Anak timbangan<br />

No.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

Tabel 2. Kalibrasi Load cell dengan timbal<br />

Massa Timbal<br />

(g)<br />

-<br />

499.9982<br />

999.9960<br />

1,499.9975<br />

1,999.9970<br />

2,499.9910<br />

2,999.9903<br />

3,499.9886<br />

3,999.9846<br />

Tegangan<br />

(V)<br />

0.2033<br />

0.2541<br />

0.3079<br />

0.3607<br />

0.4144<br />

0.4682<br />

0.5219<br />

0.5757<br />

0.6295<br />

Kalibrasi load cell juga dilakukan dengan cara<br />

pengukuran turun. Delapan timbal dengan berat<br />

D56


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sekitar 4 kilogram dimasukkan ke dalam keranjang<br />

pembeban. Timbal diambil satu persatu dan respon<br />

tegangan yang keluar dari load cell dicatat. Hasil<br />

yang diperoleh untuk pengukuran naik dan turun<br />

memberikan respon tegangan yang sama. Grafik<br />

karakteristik untuk pengukuran naik dan turun<br />

seperti pada Gambar 9 di bawah ini:<br />

Gambar 9. Grafik karakteristik kalibrasi load cell<br />

Penempatan timbal dalam keranjang diatur<br />

sedemikian sehinggga load cell tersebar merata<br />

secara merata (setimbang). Dalam karaktererisasi<br />

load cell, telah dilakukan penempatan timbal pada<br />

masing-masing keempat sudutnya. Selanjutnya<br />

dilakukan pengukuran naik dan turun seperti semula<br />

dan respon tegangan diukur. Hasil pengukuran<br />

dengan penempatan timbal berkelompok di masingmasing<br />

sudutnya memberikan respon tegangan yang<br />

sama dengan respon tegangan ketika penempatan<br />

timbal menyebar. Hal ini terjadi karena pembebanan<br />

menekan salah satu ujung load cell pada satu titik.<br />

Dari hasil karakterisasi pada load cell,<br />

diperoleh persamaan karakteristik V = 0.0001m +<br />

0.2014. Persamaan karakteristik ini menyatakan<br />

hubungan antara tegangan dan massa yang<br />

selanjutnya akan digunakan untuk antarmuka pada<br />

LCD. Dari grafik karakteristik Gambar 9 juga<br />

diketahui bahwa load cell telah berunjuk kerja<br />

dengan linieritas tinggi dan error histeresis yang<br />

sangat rendah. Karakteristik load cell ini dapat<br />

digunakan untuk mengukur derajat layu pada<br />

pengolahan teh hitam dengan memanfaatkan<br />

kehilangan kadar air pada daun teh.<br />

Secara keseluruhan sistem instrumentasi,<br />

blok-blok rangkaian elektronis yang terdiri dari blok<br />

sensor, power supply, penguat instrumentasi,<br />

mikrokontroler dan display telah menunjukkan<br />

performa yang baik. Rangkaian catu daya didesain<br />

untuk menghasilkan tegangan +5V, +10 V, -10 V<br />

dan ground. Penguat instrumentasi klasik dengan<br />

menempatkan R1, R2, R3 dan R4 = 10 kΩ, Rg = 1<br />

kΩ, R5 dan R6 = 100 kΩ, mengkonfigurasi besarnya<br />

penguatan sekitar 40 kali. Rangkaian mikrokontroler<br />

yang mengaplikasikan ATMega8 digunakan untuk<br />

mengubah tegangan analog ke digital dan antarmuka<br />

pada LCD dan personal komputer.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil karakteristik dan kalibrasi terhadap<br />

sensor massa, load cell tipe CZL601, dapat<br />

disimpulkan bahwa:<br />

1. Rangka mekanis dari bahan logam dibuat khas<br />

untuk dapat ditempatkan di atas palung<br />

pelayuan, pada mana salah satu ujung load cell<br />

dibuat dibuat statis dan ujung lainnya<br />

digantungkan sebuah keranjang sebagai<br />

pembeban.<br />

2. Delapan anak timbangan (timbel), sebagai<br />

pembeban kalibrator untuk load cell, dengan<br />

berat nominal masing-masing sekitar 500 gram<br />

telah dikalibrasi di Laboratorium Massa dan<br />

Gaya BPFK Depkes Surabaya untuk<br />

mengetahui nilai benarnya di mana kalibrator<br />

timbangan dan anak timbangan bersertifikat<br />

dan tertelusur.<br />

3. Load cell sebagai sensor massa, penguat<br />

instrumentasi, dan perangkat akuisisi bekerja<br />

sebagai sebuah sistem instrumentasi<br />

pengukuran derajat layu pada pengolahan teh<br />

hitam.<br />

4. Load cell dengan desain untuk digunakan<br />

sebagai pengukur derajat layu pengolahan teh<br />

hitam menunjukkan persamaan karakteristik V<br />

= 0.0001m + 0.2014. Unjuk kerja dari load cell<br />

sangat baik yang ditandai oleh linieritas yang<br />

sangat tinggi dan error histeresis yang sangat<br />

rendah.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih kepada Saudara Moch. Adi<br />

Wardhana yang telah membantu dalam menyiapkan<br />

kelengkapan instrumen dan kepada Ibu Betty<br />

Rahayu dan Ibu Rikyan di BPFK Surabaya yang<br />

menyediakan fasilitas kalibrasi<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Fraden, Jacob. 2003. Handbook Of Modern<br />

Sensors: Physics, Designs, and Applications.<br />

AIP Press. San Diego.<br />

J.G. Rocha, C. Couto, J.H. Correia. 2000. Smart<br />

load cells: an industrial application. Sensor<br />

and Actuator, ScienceDirect Journal,<br />

Elsevier.<br />

Jacek Piskorowski, Tomasz Barcinski. 2008.<br />

Dynamic compensation of load cell<br />

response: A time-varying approach.<br />

Mechanical Systems and Signal Processing.<br />

ScienceDirect Journal, Elsevier.<br />

Kurniawan, Dayat. 2009. ATMega 8 dan<br />

Aplikasinya. PT Elex Media Komputindo.<br />

Jakarta.<br />

Santoso, Joko., Suprihatini, Rohayati., Abas<br />

Tadjudin., Rohdiana, Dadan., Shabri. 2008.<br />

Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Pusat<br />

Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung.<br />

Bandung.<br />

D57


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sascha Mäuselein, Oliver Mack, Roman Schwartz.<br />

2009. Investigations into the use of singlecrystalline<br />

silicon as mechanical spring in<br />

load cells. Measurement, ScienceDirect<br />

Journal, Elsevier.<br />

Terrel, David L. 1996. Op-Amps: Design,<br />

Application, and Troubleshooting. Elsevier<br />

Science and Technology. Oxford UK.<br />

Tompkins, W.J., Webster, J.G. 1988. Interfacing<br />

Sensor To The IBM PC. Printice Hall.<br />

Englewood Cliffs USA.<br />

D58


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perbandingan Metode Neural Network Backpropagation dengan Regresi<br />

Non Linier Levenberg-Marquardt pada Analisa Uji Rhodamin<br />

Menggunakan Instrument Kolorimeter Berbasis Kamera.<br />

Joko Catur Condro Cahyono<br />

Jurusan Teknik Elektro FT-Unesa<br />

Kampus Unesa Ketintang Surabaya<br />

Email : caturcondro@gmail.com<br />

ABstrak<br />

Metode untuk menentukan kadar suatu zat telah banyak dikembangkan. Salah satu alat untuk menentukan kadar<br />

suatu zat adalah kolorimeter. Penggunaan metode perbedaan warna pada kolorimeter ini masih belum banyak<br />

berkembang, umumnya instrumen yang dibuat memakai sistem intensitas cahaya. Berdasarkan latar belakang<br />

tersebut, maka dibuat kolorimeter menggunakan kolorimeter menggunakan sensor kamera digital Canon<br />

Powershot A400. Metode untuk mencari persamaan hubungan antara kadar zat dan perubahan warna adalah<br />

Regresi Non Linier Metode Levenberg-Marquardt. Hasil dari pengukuran menggunakan sensor kamera digital<br />

ini dibandingkan dengan alat acuan Spektrometer Lambda EZ 201. Pengujian meliputi uji presisi alat, akurasi<br />

alat, dan uji reproducibility (keterulangan). Hasil penelitian didapatkan hasil bahwa Ketepatan pengukuran<br />

(accuracy) menggunakan metode NN Backpropagation adalah 79.536 % atau selisih 20,464 % dari alat<br />

pembanding Spectrometer Lambda EZ 201 dan metode ini lebih bagus dibandingkan dengan metode Regresi<br />

Non Linier Levenberg-Marquardt yang mempunyai ketepatan pengukuran (accuracy) sebesar 52.158 %.<br />

Ketelitian instrumen kolorimeter menggunakan kamera digital Canon Powershot A400 dengan metode<br />

perhitungan menggunakan metode Neural Network Backpropagation mempunyai ketelitian sebesar ± 8,158 lebih<br />

baik dibandingkan menggunakan metode Regresi Non Linier Levenberg-marquardt yang sebesar ± 32,083.<br />

Metode Neural Network dan Regresi Non Linier Levenberg-Marquardt yang digunakan pada instumen<br />

kolorimeter berbasis sensor kamera Canon Powershot A400 adalah realibel dan dapat digunakan untuk<br />

pengukuran selanjutnya di masyarakat. Pada penelitian selanjutnya diharapkan kamera yang digunakan<br />

menggunakan kamera yang lebih bagus.<br />

Keyword : Kolorimeter, Sensor kamera Canon Powershot A400, Neural Network Backpropagation, Regresi<br />

Non Linier Levenberg-Marquardt<br />

PENDAHULUAN<br />

Dalam ilmu kimia analisis banyak sekali<br />

digunakan penetapan konsentrasi suatu zat. Salah<br />

satu metode yang digunakan adalah perbandingan<br />

warna. Instrumen yang menerapkan metode<br />

perbedaan warna ini disebut kolorimeter. Pembuatan<br />

kolorimeter diharapkan dapat mengatasi kondisi<br />

hasil pengukuran yang memenuhi kriteria ketelitian<br />

(precision), ketepatan (accuracy), dan keterulangan<br />

(reproducibility) yang lebih baik.<br />

TEORI<br />

Light<br />

Source<br />

Optical<br />

Lensa<br />

I0<br />

Medium I<br />

L<br />

Medium II<br />

Gambar Basic Colorymetry<br />

I1<br />

Pada skema kolorimeter diatas cahaya pertama<br />

melalui filter optic yang difokuskan oleh lensa yang<br />

digunakan sebagai lensa untuk zat referensi dan<br />

lensa untuk sample. Dan diterima oleh photodetector<br />

L<br />

I2<br />

Transmitted<br />

Light Intensity<br />

zat acuan. Perbedaan tegangan antara 2 detector<br />

bertambah dengan bertambahnya tegangan dc<br />

amplifier dan diukur lewat computer.<br />

Transmisi cahaya pada Ruang 2 (Intensitas cahaya<br />

yang diterima pada Ruang 2) adalah :<br />

T = ( I 1 / I 0 ) x 100 %<br />

I 1 = T.I 0<br />

Transmisi cahaya pada Ruang 3 (Intensitas cahaya<br />

yang diterima pada Ruang 3) adalah :<br />

T = ( I 2 / I 1 ) x 100 %<br />

I 2 = T.I 1<br />

Sehingga didapatkan<br />

I 2 = T 2 .I 0<br />

Dimana :<br />

I 0 = intensitas cahaya setelah melewati lensa<br />

I 0 = intensitas cahaya setelah melewati permukaan<br />

tabung I<br />

I 0 = Intensitas cahaya setelah melewati permukaan<br />

tabung II<br />

T = transmisi dalam persen<br />

Penyerapan (absorbsi) lensa dapat didefinisikan :<br />

D59


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

I<br />

A = log<br />

I<br />

0<br />

=<br />

1<br />

1<br />

log<br />

T<br />

dimana :<br />

A adalah absorbsi<br />

Dari perumusan diatas didapatkan bahwa jika<br />

panjang gelombang atau konsentrasi bertmbah,maka<br />

transmisi berkurang dan penyerapan bertambah.<br />

Hubungan ini dapat diterangkan dengan hukum<br />

Beer’s<br />

A = αCL<br />

Dimana :<br />

A = absorbsi<br />

L = panjang gelombang dalam wadah tabung<br />

C<br />

α<br />

= konsentrasi dari substansi penyerapan<br />

= absorbsi yang relative terhadap penyerapan<br />

substansi dan panjang gelombang optic (telah<br />

diketahui untuk larutan standard).<br />

sehingga konsentrasi untuk substansi yang tidak<br />

diketahui adalah :<br />

C<br />

μ<br />

=<br />

C<br />

s<br />

A<br />

A<br />

μ<br />

s<br />

Dimana :<br />

C μ = konsentrasi yang belum diketahui<br />

C s = konsentrasi zat standard yang digunakan<br />

sebagai kalibrator<br />

A μ = absorban yang belum diketahui<br />

A s = standard absorbans<br />

METODOLOGI PENELITIAN<br />

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka<br />

dilakukan beberapa langkah pengerjaan antara lain:<br />

mewujudkan instrumen kolorimeter berbasis kamera<br />

Canon Powershot A400, menguji alat, dan<br />

membandingkan hasil uji dengan kriteria<br />

perbandingan yaitu ketelitan (precision), ketepatan<br />

(accuracy), dan keterulangan (reproducity) kedua<br />

alat tersebut dengan alat acuan spektrophotometer<br />

Spectrometer Lambda EZ 201.<br />

Mewujudkan instrumen kolorimeter berbasis<br />

sensor kamera Canon Powershot A400<br />

Light Source<br />

Medium I<br />

Medium II<br />

dengan konsentrasi zat (x 2 ) yang berbeda. Image<br />

tersebut ditentukan juga nilai RGBnya. Pengulangan<br />

dilakukan untuk beberapa macam konsentrasi yang<br />

berbeda-beda. Nilai rata-rata RGB image ukuran 320<br />

x 240 pixel dengan n konsentrasi menghasilkan<br />

persamaan regresi sbb :<br />

⎡ x ⎤<br />

⎡ x ⎤<br />

⎡ x ⎤<br />

y =<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

+<br />

⎢⎣<br />

x ⎥<br />

3 ⎦<br />

⎢⎣<br />

x ⎥<br />

3 ⎦<br />

⎢⎣<br />

x ⎥<br />

3 ⎦<br />

1<br />

1<br />

1<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

⎢ ⎥<br />

1 2 3 2 1 2 3 2 1 2 3 2 1 2<br />

c3<br />

[ m m m ] x + [ m m m ] x + [ m m m ] x [ c c ][ 1]<br />

Bahan Penelitian<br />

Bahan penelitian yang digunakan adalah zat<br />

pewarna : Rhodamin. Pewarna ini digunakan karena<br />

perwarna jenis ini sering digunakan untuk pewarna<br />

makanan. Sebenarnya pewarna Rhodamin digunakan<br />

untuk pewarna pakaian.<br />

Menguji Alat<br />

Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk<br />

mendapatkan instrumen yang memenuhi kriteria<br />

ketelitian, ketepatan dan keterulangan yang lebih<br />

baik.<br />

Membandingkan hasil uji kedua alat tersebut<br />

dengan Spektrophotometer (Spectrometer<br />

Lambda EZ 201).<br />

Untuk menguji instrumen kolorimeter berbasis<br />

kamera Canon Powershot A400 dengan kriteria<br />

ketelitian (precision), ketepatan (accuracy), dan<br />

keterulangan (reproducity), maka pengujian zat<br />

sample juga dilakukan dengan alat pembanding lain<br />

yaitu spectrophotometer. Jenis spectrophotometer<br />

yang digunakan adalah spectrophotometer<br />

Spectrometer Lambda EZ 201.<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Uji ketepatan (accuracy)<br />

Uji ketepatan pengukuran dilakukan untuk<br />

menentukan berapa besar rata-rata ketepatan<br />

pengukuran menggunakan alat kolorimeter berbasis<br />

kamera Canon Powershot A400. Untuk<br />

mendapatkan nilai bobot pada rumus Neural<br />

Network Backpropagation maka diberikan pelatihan<br />

untuk kadar Rhodamin sebesar 2,5; 5,0 dan 7,5 ppm.<br />

Tabel Hasil perhitungan uji ketepatan<br />

PC<br />

Permukaan Putih<br />

Tabung Reaksi<br />

Kamera<br />

Gambar Blok Diagram Kolorimeter menggunakan sensor kamera<br />

Kamera digital menangkap image tabung yang berisi<br />

bahan kimia. Image ini ditangkap dalam ukuran 320<br />

x 240 pixels. Image yang ditangkap diberikan<br />

identitas konsentrasi sebesar x 1 pada komputer. Tiap<br />

pixel image ditentukan nilai RGBnya. Kemudian<br />

kamera menangkap image untuk tabung yang kedua<br />

Kolom pembanding menunjukkan bahwa zat<br />

Rhodamin diukur menggunakan alat pembanding.<br />

NN BP menunjukkan zat diukur menggunakan<br />

kolorimeter sensor kamera dengan metode<br />

perhitungan Neural Network Backpropagation. RNL<br />

D60


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

LM menunjukkan zat Rhodamin diukur<br />

menggunakan kolorimeter sensor kamera dengan<br />

metode perhitungan Regresi Non Linier Levenbergmarquardt.<br />

Rata-rata ketepatan pengukuran<br />

(accuracy) menggunakan metode NN<br />

Backpropagation adalah 79.536 %. Rata-rata<br />

ketepatan pengukuran (accuracy) menggunakan<br />

metode Regresi Non Linier Levenberg-Marquardt<br />

adalah 52.158 %<br />

Uji ketelitian (precission)<br />

Uji ini dilakukan untuk mengetahui ketelitian alat.<br />

Hasil uji terlihat dibawah ini<br />

Tabel Hasil perhitungan uji ketelitian<br />

Uji ketelitian ini ditujukan untuk mengetahui<br />

error pengukuran pada tiap pengambilan data.<br />

Ketelitian alat Kolorimeter menggunakan sensor<br />

kamera Canon Powershot A400 dengan metode<br />

Neural Network mempunyai ketelitian ± 8,158.<br />

Sedangkan ketelitian alat menggunakan metode<br />

Regresi Non Linier adalah ± 32,083<br />

Uji keterulangan (reproducibility)<br />

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada<br />

perbedaan hasil jika alat digunakan untuk mengukur<br />

secara berulang-ulang. Hasil uji ini adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Tabel Uji keterulangan pada instrumen kolorimeter sensor kamera<br />

dengan metode NN Backpropagation<br />

Tabel Uji keterulangan pada Instrumen kelorimeter sensor<br />

kamera dengan metode Regresi Non Linier Levenberg Marquardt<br />

SIMPULAN<br />

Ketepatan pengukuran (accuracy) menggunakan<br />

metode NN Backpropagation adalah 79.536 % atau<br />

selisih 20,464 % dari alat pembanding Spectrometer<br />

Lambda EZ 201 dan metode ini lebih bagus<br />

dibandingkan dengan metode Regresi Non Linier<br />

Levenberg-Marquardt yang mempunyai ketepatan<br />

pengukuran (accuracy) sebesar 52.158 %.<br />

Ketelitian instrumen kolorimeter menggunakan<br />

kamera digital Canon Powershot A400 dengan<br />

metode perhitungan menggunakan metode Neural<br />

Network Backpropagation mempunyai ketelitian<br />

sebesar ± 8,158 lebih baik dibandingkan<br />

menggunakan metode Regresi Non Linier<br />

Levenberg-marquardt yang sebesar ± 32,083.<br />

Metode Neural Network dan Regresi Non Linier<br />

Levenberg-Marquardt yang digunakan pada<br />

instumen kolorimeter berbasis sensor kamera Canon<br />

Powershot A400 adalah realibel dan dapat<br />

digunakan untuk pengukuran selanjutnya di<br />

masyarakat.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terimakasih disampaikan kepada, Prof. Dr.<br />

Siswandono., Apt. Prof. Dr. Mauridhi Hery P., atas<br />

peran bimingannya dalam penelitian ini.<br />

DAFTAR ACUAN<br />

Xu, Bugao., Lin, Sheng., (2002), Automatic Color<br />

Identification in Printed Fabric Images By A<br />

Fuzzy-Neural Network, AATCC Review.<br />

Susuki, Yasutada., Kawakubo, Susumu., Aruga,<br />

Terutomi., Kuwahara, Hiroyuki., Kitamura,<br />

Miki., Kuwabara, Tetsuo., Iwatsuki,<br />

Masaaki., (2004), ‘A Simple and Portable<br />

Colorimeter Using a Red-Green-Blue Light-<br />

Emitting Diode and Its Application to the On-<br />

Site Determination of Nitrite and Iron in<br />

River-water’, Analytical Sciences, Vol 20.<br />

The Japan Society for Analytical Chemistry.<br />

Tharom, Tabratas; Purbo, Ono W., (2000),<br />

Pengolahan citra pada mobil robot. Penerbit<br />

ITB Bandung.<br />

Kusumadewi, Sri., (2003), Artificial Intelligence,<br />

Graha Ilmu,<br />

Carr, Joseph J.; Brown, John M., (2001),<br />

Introduction To Biomedical Equipment<br />

Technology, 4th ed, Prentice Hall, New<br />

York, 432-434.<br />

Uji ini dilakukan dengan prosedur pengulangan<br />

pengukuran dalam selang waktu tertentu. Dari uji<br />

yang dilakukan ternyata alat menunjukkan kesalahan<br />

pengukuran yang masih dalam range ketelitan<br />

pengukuran, sehingga alat kolorimeter ini dikatakan<br />

realibel atau dapat digunakan untuk pengukuran<br />

selanjutnya di masyarakat.<br />

D61


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

An Autonomous Wireless Modul for<br />

Early Warning System of Forest-Fire Based on NTC Sensor<br />

Lazuardi Umar 1 , Erwin 2<br />

1,2 Physics Dept, FMIPA University of Riau<br />

Jl. Prof. Dr. Muchtar Lutfi Kampus Bina Widya Pekanbaru 28293<br />

Email: lazuardi@unri.ac.id<br />

Abstract<br />

We have developed a sensor for fire detection in the forest (fire-sensor), which will be applied in rain forest of<br />

Sumatra. A prototype of the forest-fire sensor consisted of transmitter and receiver module of STM110 EnOcean<br />

Firma of 433MHz ISM Band has been constructed. The fire-sensor module detects the presence of fire in the<br />

vicinity using a temperature sensor of the NTC (negative temperature coefficient). The NTC sensor is thermally<br />

sensitive resistors (resistance decrease with increasing temperature and made of metal oxides and coated with<br />

epoxy or glass with resistance of 470K Ω. The thermistor is mounted on the exterior of the prototype (casing)<br />

and its switch-temperature is adjusted between 50°C and 90°C. A rapid rise in the temperature above the setting<br />

point indicates the presence of a nearby fire changes the sensor resistance rapidly and therefore, the sensor would<br />

send a telegram to the central station (receiver module).<br />

Keywords: forest-fire sensor, transmitter and receiver module, NTC-Sensor, telegram<br />

1. INTRODUCTION<br />

One of the main problems in combating<br />

wildland fires is monitoring the time history of the<br />

fire (Chandler 1983). Understanding the size,<br />

location and speed of advance of the fire front is<br />

critical to optimal allocation of fire fighting<br />

resources and maintaining safety of the fire crew.<br />

Investigation of major wildland fire accidents<br />

involving loss of life often indicates that the crews<br />

became imperiled because of insufficient or<br />

untimely information about the location and speed of<br />

advance of the fire (Rothermel 1993).<br />

In the dry season fires often occur in the region,<br />

especially Sumatra Riau Province where the<br />

majority of the land area consists of swamp peat<br />

moss. Land peat swamp forests, has economic value<br />

to the community in the surrounding forest provides<br />

results such as wood, resin, rattan and wood<br />

products, and act also as water resources, control<br />

floods, store a variety of unique biodiversity and the<br />

diversity of functions as the world's carbon absorber.<br />

Data and new research shows that 60% of the smoke<br />

pollution in Indonesia, including carbon emissions,<br />

originating from fires in the peat swamp forest lands<br />

that cover only 10-14% of mainland Indonesia.<br />

Therefore a system is needed to be able to detect<br />

forest fires in the surrounding area so that preventive<br />

action can be done immediately.<br />

Much effort has been expended in modeling the<br />

movement of fires in wildland settings (Andrews<br />

1986, Finney 1994) but these models are only as<br />

good as the detailed weather, terrain and fuel load<br />

information. Lacking precise information of the fire<br />

site, these complex fire models can predict fire<br />

behavior for short time periods, but then must be<br />

'tuned' with actual data to obtain long-term accuracy.<br />

These fire models are similar to modern weather<br />

simulations that are similarly adjusted periodically<br />

with weather data to provide long-term modeling.<br />

The use of satellites to obtain fire data for<br />

model tuning is possible, but there are complications<br />

imposed by limited satellite spatial resolution,<br />

complicated ground link equipment and short<br />

satellite loiter time over the target area. Real time<br />

data can be obtained using unmanned or remotely<br />

controlled unmanned flying vehicles (UFVs) flying<br />

over the fire site. This solution is both complex and<br />

difficult to support in the field and would require<br />

additional worker training to operate and maintain<br />

the UFV. A small number of modul that are located<br />

in the forest could provide this data at low cost and<br />

with little additional effort in training or support.<br />

We present both an advanced and a simple wireless<br />

modul concept and show the initial design of a<br />

prototype.<br />

Wireless sensor have been widely used from the<br />

field of defense and security, survey, health, even in<br />

the smart home. In the application in the field<br />

survey, a large number of sensors installed in the<br />

area to be monitored. Scenarios through detection of<br />

forest fire, a fire point detected by one or more<br />

sensors, an alarm is generated will be sent to the<br />

control center that will collect all the messages so<br />

that the alarm that appropriate action can be done.<br />

At this paper, an early warning system for fire<br />

detection with NTC termistor sensor is presented.<br />

The modul observed changes in environmental<br />

temperature above a certain temperature threshold<br />

and the reported data to a monitoring station for<br />

D62


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

analysis so that the status of the sensor that can be<br />

reported.<br />

In compare to the use of satellites and<br />

unmanned aircraft, the modul price is relatively<br />

cheap and can report the conditions around the<br />

sensor in real time. Because of topographical and<br />

geographical of the observed rain forests, the system<br />

will allow this data to transmitt using radio signal<br />

and the use of solar cells as a source of energy so<br />

that the sensor system is a standalone system<br />

(autonomous) that does not require maintenance and<br />

can work to monitor the fire in the vicinity.<br />

2. CONCEPT OF FOREST-FIRE DETECTION<br />

2.1. Forest-Fire Scenario<br />

In practice, the sensor modul would be dropped<br />

from a spotter plane or placed manually by fire<br />

crews over an area where a fire had previously been<br />

detected. The mechanical package of the modul can<br />

be designed to be canopy penetrating (to descend to<br />

the forest floor) or canopy snagging (hangs in the<br />

upper branches of the canopy). The devices would<br />

periodically report their position and fire status to a<br />

central receiver.<br />

After they are deposited in the fire area, modul<br />

detector will locate them selves and report their<br />

position and fire alarm status. Communication will<br />

be provided by a low power radio transceiver which<br />

allows modul to-base unit communication. A<br />

diagram of the communication links among the<br />

various units is shown in Figure 1. Periodically, the<br />

modul will report their status to a central control<br />

unit. On detection of a fire, the reporting modul will<br />

transmit an alarm to the central transceiver. Crews<br />

in the area can be alerted either directly from the<br />

reporting modul, or through alarm messages that are<br />

relayed from the control station. In the future of our<br />

research, the control transceiver can have the<br />

capability of overlaying geographical information<br />

system (GIS) maps with the location and alarm state<br />

of the modul, and presenting this data to the incident<br />

commander or other personnel at the fire site.<br />

There are many simpler operational modes of<br />

the forest-fire modul detector system, one of which<br />

is depicted in Figure 1. In this mode, the sensor<br />

operate independently of each other, and transmit<br />

alarm message consist of ID number of the modul,<br />

its position, and the alarm state of the device. This<br />

mode of operation is most suitable when a few (~10)<br />

moduls are used on geographically small fires.<br />

Several fire sensors may be used in an<br />

autonomous modul, such as be smoke detectors<br />

(photoelectric or ionization), gas detectors<br />

(combustion precursor gases, carbon monoxide,<br />

etc.), thermal (temperature), passive microwave or<br />

optical radiation detectors. The modul circuit<br />

internally measures the strength of signals from the<br />

sensors and makes decisions as to the whether or not<br />

to issue an alarm. The use of more than one<br />

inexpensive detector can reduce the probability of<br />

false alarms greatly while not increasing the cost<br />

significantly. In this research, the modul has an<br />

internal program that observe and report sensor input<br />

periodically and to 'sleep' in the interim to conserve<br />

battery energy.<br />

Fire sensor<br />

Fire sensor<br />

Fire sensor<br />

Fire sensor<br />

Radio Link<br />

Figure 1. Simple operation of an autonomous forest fire detector<br />

for early warning system<br />

2.2. NTC Thermistor Sensor<br />

A thermistor is a piece of semiconductor made<br />

from metal oxides, pressed into a small bead, disk,<br />

wafer, or other shape, sintered at high temperatures,<br />

and finally coated with epoxy or glass. The resulting<br />

device exhibits an electrical resistance that varies<br />

with temperature. There are two types of thermistors<br />

– negative temperature coefficient (NTC)<br />

thermistors, whose resistance decreases with<br />

increasing temperature, and positive temperature<br />

coefficient (PTC) thermistors, whose resistance<br />

increases with increasing temperature. NTC<br />

thermistors are much more commonly used than<br />

PTC thermistors, especially for temperature<br />

measurement applications [Portland, 2003].<br />

A current flowing through a thermistor may<br />

cause sufficient heating to raise the thermistor's<br />

temperature above the ambient. As the effects of<br />

self-heating are not always negligible (or may even<br />

be intended), a distinction has to be made between<br />

the characteristics of an electrically loaded<br />

thermistor and those of an unloaded thermistor. The<br />

properties of an unloaded thermistor are also termed<br />

"zero-power characteristics". The dependence of the<br />

resistance on temperature can be approximated by<br />

the following equation:<br />

⎛ ⎛ ⎞<br />

⎜<br />

1 1 ⎞<br />

R = R ⋅<br />

⎟<br />

⋅<br />

⎜ −<br />

⎟<br />

0<br />

exp β (1)<br />

⎝ ⎝ T T0<br />

⎠⎠<br />

Where R 0 is NTC resistance in Ω at rated<br />

temperature T in K, T Temperature in K and β<br />

value, material-specific constant of the NTC<br />

thermistor. A main advantage of thermistors for<br />

Base Unit<br />

D63


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

temperature measurement is their extremely high<br />

sensitivity. Higher resistance thermistors can exhibit<br />

temperature coefficients in comparison to the<br />

platinum RTD. The physically small size of the<br />

thermistor bead also yields a very fast response to<br />

temperature changes.<br />

The resistance-temperature behavior of<br />

thermistors is highly dependent upon the<br />

manufacturing process. Therefore, thermistor<br />

manufacturers have not standardized thermistor<br />

curves to the extent that thermocouple or RTD<br />

curves have been standardized. Typically, thermistor<br />

manufacturers supply the resistance-versus<br />

temperature curves or tables for their particular<br />

devices. The thermistor curve, however, can be<br />

approximated relatively accurately with the<br />

Steinhart-Hart equation:<br />

T<br />

( K )<br />

1<br />

= (2)<br />

a<br />

( R ) + a [ ( )] 3<br />

0<br />

+ a1<br />

ln<br />

T 2<br />

ln R T<br />

Where T(°K) is the temperature in degrees<br />

Kelvin, equal to T(°C) + 273.15, and RT is the<br />

resistance of the thermistor. The coefficients a0, a1,<br />

and a2 can be provided by the thermistor<br />

manufacturer, or calculated from the resistanceversus-temperature<br />

curve.<br />

2.3. Wireless Data Transmission<br />

The sensor modul will be installed mainly in<br />

endemic areas of the regional fire monitoring. In<br />

order to supply energy during operation, the module<br />

has been equipped with mini solar cell that can<br />

supply the energy needs for the operation of the<br />

sensor. Due to distance between measurement and<br />

display, the system use an installation that allows to<br />

transmit data measurements. This situation is<br />

achievable if the forest fire monitoring station<br />

located at the spot in the fores [Jones et al, 1973]. In<br />

this research, we have used a wireless modul work<br />

at the frequency of radio waves in the ISM 315-<br />

916MHz.<br />

3. PROTOTYPE DESIGN<br />

3.1. Transmitter-Receiver Modul<br />

In this research, we have constructed a<br />

prototype an autonomous forest-fire sensor consist<br />

of transmitter and receiver station, were obtained<br />

from the Enocean Firma. Any design must be<br />

sensitive to the multiple design constraints of low<br />

cost, ruggedness, low power consumption and<br />

transmitting range. The prototype is a transmit-only<br />

device and uses a simple messaging system to report<br />

the unit ID number and alarm. The units use ISM<br />

Band 868.3 MHz with 10 mW transmission power to<br />

transmit digital information at 9600 bits per second.<br />

The entire transmission lasts under a second,<br />

conserving battery power. A radio receiverdemodulator<br />

attached via a serial link to a laptop<br />

computer receives the data stream and displays the<br />

messages. A photograph of the circuit boards of<br />

transmitter Enocean STM110 and receiver RCM120<br />

are shown in Figure 2.<br />

Figure 2a Modul of Enocean Fa with mini solar cell<br />

Figure 2b. Receiver modul of Enocean<br />

The transmitter modul consist of three 8-bit A/D<br />

converter inputs and 4 digital inputs facilitate<br />

multifunctional detector systems, based on passive<br />

sensing components. This allows easy and<br />

convenient monitoring of temperature, illumination,<br />

or controlling window and door states – or<br />

supervising input voltages or input currents<br />

respectively. The STM 110 module serves the 868<br />

MHz air interface protocol of EnOcean.<br />

3.2. Sensor Circuit<br />

In this section, NTC temperature sensor is<br />

positioned in a negative feedback of IC1 so that<br />

changes due to increasing of NTC temperature will<br />

affect the feedback IC1 and amplication factors. The<br />

input difference is determined through voltage<br />

divider R1 and R2 and R3 provided by the reference<br />

voltage obtained from the transmitter module. While<br />

energy for operation of the module is limited, the<br />

using signal processing components special types of<br />

SMD which requires 1-10mA current to the series of<br />

transmission is a critical factor for the circuit.<br />

D64


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 3. Circuit for forest fire detection<br />

On this module, there was a NTC sensor placed<br />

outside. The Sensor will be active on the threshold<br />

temperature. It was set at a temperature of<br />

approximately 95 o C, see Figure 4. A rapid<br />

temperature change above the setting temperature<br />

indicates a fire in the vicinity and it will promptly<br />

change the sensor resistivity so that the sensor<br />

module will send a telegram to the main station.<br />

Figure 5b. Receiver sensor module equipped with serial data<br />

to computer.<br />

Due to the rapid change in temperature around the<br />

module because of fire, module transmitter sent the<br />

data to the receiver and data was then processed to<br />

display. On this research, a Delphi based software<br />

has been developed to demonstrate ("fire") or (“no<br />

fire") sign as shown in the Figure 6, below.<br />

Figure 4. Setting temperature of NTC sensor<br />

4. RESULTS AND DISCUSSION<br />

After detector circuit was fabricated using NTC<br />

thermistor sensor, and transmitter circuit using<br />

EnOcean STM module 110xx module and receiver<br />

RCM110 module, the system were tested using<br />

artificial fire. Both modules are shown in the Figure<br />

5 below. The results from this experiment are<br />

expected to be the information obtained from a<br />

series of recipient and displayed on the screen in the<br />

condition on fire or not.<br />

Figure 5a. Autonomous sensor module packed in fire-resistant<br />

plastic box transmitter<br />

Figure 5a show autonomous sensor module packed<br />

in fire-resistant plastic box (a) transmitter and (b)<br />

receiver equipped with serial data to PC.<br />

Figure 6. Simple display show the sensor status in operationi<br />

After the experiment, it is found that the threshold<br />

temperature sensor was relatively high so that it took<br />

a long time until the fire detected. Overall, the<br />

sensor worked properly. Therefore, for the next<br />

research, the temperature threshold has to be lower<br />

than 90˚ C. However, the detector system that has<br />

been developed still has limited power. It is scattered<br />

in the 300m free space, so that there is still a<br />

challenge for further development the sensor using<br />

network system to overcome the signal coverage<br />

limitations and any difficulties due to the forest<br />

topography being monitored.<br />

On the realization, the transmitter module will be<br />

placed in the endemic fire areas. It is probably burnt<br />

out by fire itself. In this research, the transmitter<br />

module was placed in a particular hard plastic<br />

waterproof by considering the humidity factor of<br />

tropical forest that may disrupt the system of<br />

electronic transmitter. For transmitter module can<br />

still send out the telegram signal before burnt out,<br />

the series of the electronic transmitter was coated<br />

with epoxy glue and the overall coated with fireresistant<br />

gypsum. Therefore, modules and receiver<br />

series were expected to be as small as possible, so<br />

that the cost of the fire monitoring can be<br />

minimized. Level of installation is needed to be<br />

D65


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

considered in fire endemic area. Figure 7 shows<br />

module installation at a tree limb.<br />

In this research, module was attached by using<br />

special glue, by considering the suitable location of<br />

NTC to be placed to detect temperature changes.<br />

NTC sensors were remaining below, while the solar<br />

cells as energy support system facing outward to<br />

absorb energy.<br />

Figure 7. Sensor mounting above the trees<br />

However, wild animals and humans need to be<br />

considered for the security reason. This kind of<br />

interference would be critical to avoid any<br />

disturbance if a fire occurs in the base of forest.<br />

From the whole experiment, the system was working<br />

well but still need to consider the limited distance<br />

dispersed from the module to module. It can be<br />

solved using networking system. These sensors are<br />

placed in a matrix and each sensor will communicate<br />

each other to report the position of fire. It was<br />

already found out that the trigger temperature of 95 °<br />

C were too high. The sensor has been damaged<br />

before the data sent. So, it is need to study the<br />

appropriate temperature threshold to send data fire.<br />

4. SUMMARY<br />

From this preliminary research, a series of<br />

simple prototype has successfully developed to<br />

detect forest fire. Thermistor NTC has been used as<br />

temperature sensor to detect temperature changes in<br />

the surrounding air. There are several things need to<br />

be considered for the development of future<br />

research. First, it is related to the capability of<br />

transmission modules in the sense of coverage. It<br />

can be solved by using networking system where the<br />

sensor is arranged in the form of a matrix. It can also<br />

communicate each other to report the fire position<br />

(which sensor is active). Second, it is related to<br />

harmful things happen due to natural condition, such<br />

as as rainfall, humidity and the security of wild<br />

animals or humans. It can be solved by utilizing high<br />

resistant apparatus to such natural condition. Simple<br />

system as a whole has been able to detect a fire and<br />

is expected to be developed further.<br />

REFERENCES<br />

1. Andrews PL (1986) BEHAVE: fire behavior<br />

prediction and fuel modeling system - BURN,<br />

subsystem, Part I. United States Department of<br />

Agriculture, Forest Service, Intermountain<br />

Research Station General Technical Report,<br />

INT-194, Ogden, Utah. 130 pages.<br />

2. Andrews PL, Bevins CD (1998) Update and<br />

expansion of the BEHAVE fire behavior<br />

prediction system. 3rd International Conference<br />

on Forest Fire Research; 14th Conference on<br />

Fire and Forest Meterology, 21 - 22 November<br />

1998, Luco-Coimbra, Portugal, Vol. I, pp. 733-<br />

740.<br />

3. Chandler C, Cheney P, Thomas P, Traubaud L,<br />

Williams D (1983) Fire in forestry, Vol. II,<br />

(John Wiley and Sons: New York, USA)<br />

4. Finney MA (1994) FARSITE: a fire area<br />

simulator for fire managers. The Biswell<br />

Symposium, February 15-17, 1994. Walnut<br />

Creek, California.<br />

5. Portland State Aerospace, Negative<br />

Temperature Coefficient for Temperature<br />

Measurement, Internal Report, 2003<br />

6. Rothermel RC (1993) Mann gulch fire: a race<br />

that couldn't be won. United States Department<br />

of Agriculture, Forest Service, Intermountain.<br />

Research Station General Technical Report,<br />

INT-299, 346, Ogden, Utah<br />

7. R.V. Jones and J.C.S. Richards. 1973. The<br />

design and some applications of sensitive<br />

capacitance micrometers. J. Phys. E: Sci..<br />

Instrument 6, 589-600<br />

D66


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Koordinasi Pengaman Arus Lebih Berbasis Relai MIF II<br />

pada Jaringan Listrik sebagai Proteksi Transformator<br />

pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB Paiton<br />

Mochamad Arief Iskandar 1 , Teguh Yuliatmoko 2 , Frida U. Ermawati 3<br />

1 , 3 Jurs. <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />

2 PT. PJB UP Paiton<br />

Email: arifiscandar@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini memaparkan tentang upaya awal penerapan sistem koordinasi antar relai sebagai protektor trafo<br />

pada Ship Unloader (SU) Unit 2 di PT PJB UP Paiton. Upaya awal tersebut berupa penentuan time dial dari<br />

salah satu relai yaitu relai overcurrent MIF II. Time dial dari relai tersebut diuji dengan menggunakan Data<br />

Relay and Tracking System (DRTS) 6 yang mampu memberikan arus masukan yang bisa diatur sebagai arus<br />

gangguan pada relai, dan merekam respon relai terhadap gangguan tersebut. Dari data yang terekam tersebut<br />

maka bisa diketahui dan diatur berapa waktu (time operation) relai dalam merespon gangguan sesuai yang<br />

diinginkan user. Dari hasil pengujian awal (individual test) yang telah dilakukan tampak bahwa relai MIF II<br />

mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan berdasarkan standar kurva IEC/BS142 (kurva inverse) yang<br />

merupakan acuan kinerja relai overcurrent. Kemudian untuk mencapai tingkat proteksi terbaik, sebagai tindak<br />

lanjut dari kerja ini, maka sistem proteksi MIF II tersebut nantinya akan dikoordinasikan dengan relai di atasnya<br />

yaitu relai Basler tipe BE 51 yang berada pada jalur bus 10 kV agar trafo pada SU Unit 2 di PT PJB UP Paiton<br />

tersebut terproteksi lebih optimal.<br />

Kata kunci: Sistem koordinasi, sistem proteksi, time dial, relai overcurrent MIF II, relai time overcurrent Basler<br />

BE 51<br />

PENDAHULUAN<br />

Sejak Tahun 2008 sampai sekarang kondisi<br />

kelistrikan di koneksi Jawa-Bali mengalami krisis, di<br />

mana kapasitas beban melebihi kapasitas listrik yang<br />

dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan<br />

pemadaman listrik secara bergilir untuk mengatasi<br />

sementara permasalahan tersebut. Namun hal<br />

tersebut berdampak buruk bagi kalangan industri di<br />

kawasan Jawa Bali. Akhirnya, pada Tahun 2009<br />

pemerintah, melalui PLN, mencanangkan mega<br />

proyek pembangunan pembangkit baru berkapasitas<br />

10.000 MW yang tersebar di beberapa lokasi, di<br />

antaranya di Paiton, Suralaya, Cirata dan Gresik.<br />

Namun demikian, keberhasilan PLN untuk<br />

memenuhi kebutuhan listrik harus tetap didukung<br />

oleh unit-unit pembangkit yang telah beroperasi<br />

terlebih dahulu. PT Pembangkitan Jawa Bali Unit<br />

Pembangkitan Paiton (PJB UP Paiton) sebagai salah<br />

satu anak perusahaan PLN berkewajiban<br />

memberikan pelayanan yang terbaik kepada<br />

masyarakat yang berada pada area pelayanan<br />

Koneksi Jawa-Bali dengan memproduksi listrik dan<br />

menjaga keandalan serta kualitasnya.<br />

Dalam rangka memenuhi standar pelayanan<br />

yang bermutu tersebut, maka PJB selaku produsen<br />

listrik bertanggung jawab menjaga agar tidak terjadi<br />

gangguan pada koneksi Jawa-Bali. Gangguan<br />

tersebut bisa berupa gangguan tegangan, arus<br />

maupun beban. Untuk mengantisipasi gangguangangguan<br />

yang mungkin terjadi tersebut, semua<br />

komponen vital seperti turbin, generator dan main<br />

transformator maupun komponen pendukung yang<br />

terlibat dalam proses produksi listrik harus<br />

mendapatkan proteksi yang memadai agar terhindar<br />

dari kerusakan fatal apabila terjadi gangguan listrik.<br />

Selain itu ada juga beberapa komponen pendukung<br />

yang sangat penting yakni transformator pada Ship<br />

Unloader (SU) pada unit coal handling di PT PJB<br />

UP Paiton. Gangguan yang sering terjadi pada<br />

transformator adalah adanya arus berlebih (over<br />

current) akibat adanya gangguan internal (short<br />

circuit, penurunan isolasi) maupun eksternal (petir,<br />

beban berlebih).<br />

Over current dapat menyebabkan kerusakan<br />

pada transformator yang tidak terproteksi.<br />

Mengingat harga trafo yang cukup mahal dan efek<br />

negatif yang ditimbulkan akibat kerusakan trafo<br />

pada pola produksi di PT PJB cukup besar, maka<br />

pada trafo perlu diterapkan sistem proteksi yang<br />

memadai dan berfungsi efektif terutama saat terjadi<br />

gangguan sewaktu-waktu. Sistem proteksi itu sendiri<br />

menurut Hanif Guntoro (http://dunialistrik.blogspot.com/2008/11/dasar-dasar-sistemproteksi.html)<br />

[1] merupakan koordinasi antara<br />

Circuit Breaker (CB) dan relai dalam mengamati<br />

dan memutuskan gangguan. Jadi, peranan relai<br />

sebagai kontrol koordinasi kerja CB atau sakelar<br />

pemutus sangat diperlukan dalam ruang lingkup<br />

proteksi ini.<br />

Apabila pada suatu rangkaian terdiri dari<br />

beberapa relai, maka diperlukan lagi sistem<br />

komunikasi yang tepat antar relai agar relai-relai<br />

D67


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

tersebut bekerja sesuai dengan fungsi yang<br />

diharapkan oleh user. Koordinasi beberapa relai<br />

dengan beberapa CB memerlukan sistem<br />

komunikasi yang tepat dan efektif, sehingga sistem<br />

proteksi yang ada mampu melokalisir semua<br />

gangguan, namun pada saat yang bersamaan tidak<br />

mengganggu aktivitas jaringan yang lain.<br />

Sistem proteksi transformator pada SU Unit 1<br />

dan 2 di PT PJB Paiton selama ini menggunakan<br />

koordinasi relai berbasis Lodtrak yang biasa<br />

digunakan untuk proteksi pada motor. Proteksi<br />

menggunakan Lodtrak memiliki tingkat keakuratan<br />

yang belum optimal, terbukti dengan terbakarnya<br />

transformator pada SU Unit 2 PT PJB akibat adanya<br />

short circuit. Ini menunjukkan bahwa proteksi tidak<br />

berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Oleh<br />

karena itu, untuk mendekati kondisi sistem proteksi<br />

yang ideal, maka perlu diadakan pengkajian tentang<br />

koordinasi arus lebih berbasis Relai MIF II pada<br />

jaringan listrik sebagai proteksi transformator pada<br />

ship unloader (SU) Unit 2di PT PJB Paiton.<br />

Maka melalui penelitian ini penulis bermaksud<br />

memberikan sumbangan pemikiran untuk<br />

menentukan setting point yang tepat untuk<br />

mengkoordinasikan relai-relai yang berbasiskan<br />

MIF II guna memproteksi transformator pada SU<br />

Unit 2 PT PJB, sekaligus memberikan sumbangan<br />

tenaga dalam pengujian setting point yang telah<br />

ditentukan tersebut. Pada makalah ini penulis hanya<br />

membahas tentang penentuan setting point untuk<br />

time dial pada salah satu relai saja, yang merupakan<br />

bekal awal untuk bisa mengoordinasikan relai-relai<br />

yang lain, sekaligus menunjukkan keunggulan relai<br />

MIF II. Jadi pembahasan dalam makalah ini terbatas<br />

pada proteksi arus lebih pada transformator ship<br />

unloader dengan menggunakan relai MIF II di PT<br />

Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Paiton.<br />

KAJIAN PUSTAKA<br />

1. Transformator<br />

Transformator merupakan alat penaik atau<br />

penurun tegangan bolak-balik tanpa mengubah jenis<br />

tegangan. Transformator (trafo) memiliki komponen<br />

utama berupa inti (core) besi dan lilitan (winding)<br />

berlapis isolator. Cara kerja transformator<br />

memanfaatkan prinsip induksi elektromagnetik yang<br />

terjadi pada lilitan yang disisipi inti besi. Untuk<br />

lebih jelasnya, bisa diamati pada Gambar 1 dan 2<br />

berikut ini.<br />

Gambar 1. a) Transformator pada umumnya. b) Skema dalam<br />

sebuah transformator yang terdiri dari lilitan primer, lilitan<br />

sekunder dan inti besi. Penjelasan lebih lengkap tentang cara kerja<br />

trafo diberikan pada teks di bawah. (wikipedia.com/free<br />

encyclopedia/transformator) [2<br />

Lilitan primer pada Gambar 1b ketika dialiri<br />

arus bolak-balik (AC) akan menghasilkan medan<br />

magnet induksi sehingga timbul fluks magnetik pada<br />

sisi primer yang terhubung dengan lilitan sekunder.<br />

Apabila trafo tersebut merupakan trafo ideal maka<br />

akan terjadi pelimpahan daya pada lilitan sekunder<br />

yang sama besar dengan daya yang ada pada lilitan<br />

primer. Perbandingan antara tegangan (V) dengan<br />

jumlah lilitan (N) dinyatakan dengan hubungan :<br />

Vs : Vp = Ns : Np (1)<br />

Trafo sendiri menurut Supriyadi [3] dibedakan<br />

sebagai berikut:<br />

Gambar 2. Pembagian macam-macam trafo<br />

Trafo ukur merupakan trafo yang digunakan<br />

dalam pengukuran dan proteksi yang penerapannya<br />

banyak digunakan dalam bidang industri. Trafo ukur<br />

terdiri dari trafo arus dan trafo tegangan. Trafo arus<br />

merupakan trafo yang mentransformasikan<br />

(mengubah) arus yang besar ke nilai arus yang lebih<br />

kecil atau sebaliknya. Sedangkan trafo tegangan<br />

merupakan trafo yang mengubah nilai tegangan<br />

besar menjadi kecil (trafo step down) atau<br />

sebaliknya mengubah tegangan kecil menjadi besar<br />

(trafo step up). Simbol untuk trafo step up dan step<br />

down dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:<br />

Gambar 3. Simbol transformator: a) transformator step down;<br />

b)transformator step up (Sumber: wikipedia.com/free<br />

encyclopedia/transformator) [2]<br />

D68


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sedangkan jika dibedakan berdasarkan jenis<br />

dayanya, maka trafo terbagi menjadi trafo daya<br />

saluran distribusi dan trafo daya saluran transmisi.<br />

Trafo daya saluran distribusi biasanya memiliki<br />

tegangan sekunder 10-20kV, sedangkan trafo daya<br />

saluran transmisi memiliki tegangan sekunder<br />

150kV.<br />

Menurut sistem pendinginnya, trafo dibedakan<br />

menjadi dry transformer dan wet transformer. Dry<br />

transformer merupakan trafo yang menggunakan<br />

pendingin udara sedangkan wet transformer<br />

menggunakan pendingin berupa minyak pelumas.<br />

Sedangkan menurut fasenya, trafo dibedakan<br />

menjadi trafo 1 fase, 2 fase dan 3 fase. Perbedaan<br />

yang mendasar diantara ketiga trafo tersebut adalah<br />

jumlah pasangan lilitan primer-sekundernya. Pada<br />

trafo 1 fase, hanya terdapat 1 pasangan lilitan<br />

primer-sekunder dan 1 inti besi, pada trafo 2 fase<br />

memiliki 2 pasangan lilitan primer-sekunder dan 2<br />

inti besi, sedangkan trafo 3 fase memiliki 3<br />

pasangan lilitan primer-sekunder, 3 inti besi dan 1<br />

saluran ground. Mengenai skema trafo 3 fase bisa<br />

dilihat pada Gambar 4.<br />

Gambar 4. Skema Trafo 3 fase. Dalam sebuah trafo 3 fase<br />

terdapat 3 inti (core), 3 lilitan primer (primary winding), dan 3<br />

lilitan sekunder (secondary winding) yang melilit pada setiap inti.<br />

Simbol P1,P2,P3 menyatakan lilitan primer dan S1,S2,S3<br />

menyatakan lilitan sekunder. (http/3phasetransformer.com) [4]<br />

Spesifikasi dry transformer di SU Unit 2 PT PJB UP<br />

Paiton adalah seperti diberikan pada Tabel I dan II.<br />

Tabel I. Spesifikasi Trafo Lama pada SU Unit 2 PT PJB UP<br />

Paiton [5]<br />

Tabel II.Spesifikasi Trafo Baru pada SU Unit 2 PT PJB UP<br />

Paiton [6]<br />

2. Circuit Breaker<br />

Circuit Breaker (CB) merupakan alat untuk<br />

memutuskan rangkaian listrik. CB biasa digunakan<br />

untuk melakukan pemutusan rangkaian secara cepat<br />

saat terjadi gangguan yang sering berupa<br />

overcurrent<br />

3. Relai<br />

Relai merupakan alat elektronik yang<br />

memanfaatkan prinsip induksi elektromagnetik<br />

dalam melaksanakan fungsinya. Secara umum, relai<br />

berfungsi seperti switch yang dikendalikan secara<br />

elektrik. Dalam sebuah relai terdapat inti besi, coil<br />

yang terpasang melingkari inti besi, 1 set atau lebih<br />

kontaktor dan penyambung fleksibel yang terbuat<br />

dari konduktor yang digerakkan oleh pegas. Untuk<br />

lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 5.<br />

Gambar 5. Komponen sederhana sebuah relai. Pada sebuah relai<br />

terdapat armature (lengan kontak) dan contacts yang akan<br />

menyebabkan arus mengalir jika keduanya bersinggungan. Spring<br />

berguna sebagai penahan fleksibel. Terdapat juga coil dan yoke<br />

sebagai komponen penghasil medan elektromagnet.<br />

(www.wikipedia.com/the freeencyclopedia/relai) [5]<br />

Prinsip kerja sebuah relai adalah ketika ada<br />

tegangan mengalir, maka pegas akan memisahkan<br />

sirkuit magnetik, sehingga terdapat celah udara yang<br />

memisahkan salah satu kontaktor dengan<br />

penghubung fleksibel, namun penghubung fleksibel<br />

yang lain akan tetap terhubung dengan kontaktor<br />

yang lain.<br />

Ada beberapa jenis relai yang biasa digunakan,<br />

antara lain: mercury-wetted relai, reed relai,<br />

contactor relai, overload protection relai,<br />

overcurrent relai dan lain-lain. Namun pembahasan<br />

pada makalah ini hanya dibatasi untuk relai tipe<br />

overcurrent saja.<br />

Overcurrent relay merupakan salah satu jenis<br />

relai yang biasa difungsikan sebagai pelindung<br />

rangkaian jika terjadi kenaikan arus melebihi nilai<br />

yang ditentukan. Pada overcurrent relai, terdapat<br />

istilah Instantaneous Over Current (IOC) yang<br />

memiliki kode 50 menurut ANSI [7] (American<br />

National Standards Institute), sedangkan Time Over<br />

Current (TOC) memiliki Kode 51.<br />

IOC merupakan relai yang berfungsi secara<br />

langsung ketika terjadi peningkatan nilai arus sangat<br />

besar. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada<br />

alat yang diproteksi. Sedangkan TOC merupakan<br />

relai yang memiliki karakteristik waktu yang<br />

berfungsi ketika terjadi arus melebihi nilai yang<br />

ditentukan.<br />

Aplikasi relai di kehidupan sehari-hari secara<br />

umum adalah sebagai:<br />

• Pengontrol tegangan tinggi pada rangkaian<br />

dengan sinyal berupa tegangan rendah, seperti<br />

pada audio amplifier.<br />

• Pengontrol arus kuat pada rangkaian dengan<br />

sinyal berupa arus lemah, seperti starter<br />

solenoid pada mobil.<br />

D69


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

• Pendeteksi dan pengisolasi kegagalan pada<br />

saluran transmisi dan distribusi dengan<br />

membuka atau menutup circuit breaker (CB).<br />

Relai yang memiliki fungsi time delay dapat<br />

diatur waktu penundaan operasi membuka atau<br />

menutupnya CB pada saat terjadi gangguan listrik.<br />

a<br />

Gambar 6. Relay yang terdapat pada unit SU PT PJB Paiton Unit<br />

2. a) relay Lodtrak IV, merupakan relay pengaman motor yang<br />

selama ini digunakan sebagai pengaman trafo SU sebelum<br />

penggunaan relai MIF II. b) Relay MIF II pengganti relay Lodtrak<br />

IV pada SU PT PJB Paiton Unit 2, yang dibahas dalam makalah<br />

kolokium ini.<br />

Relai Lodtrak maupun MIF II merupakan relai<br />

over current tipe statik yang merupakan produk<br />

General Electric (GE) Multilin. Relai Lodtrak IV<br />

memiliki kelemahan dalam pengaturan time delay,<br />

yakni masih menggunakan sistem analog dan<br />

komponennya sudah obsolete (kadaluarsa) di<br />

pasaran. Gagalnya Lodtrak IV memroteksi trafo dari<br />

gangguan arus lebih yang mengakibatkan trafo SU<br />

unit 2 rusak, merupakan fakta bahwa relai ini belum<br />

berfungsi optimal sebagai relai proteksi arus lebih<br />

pada jaringan tersebut. Relai MIF II sendiri bisa<br />

difungsikan sebagai sistem proteksi, sistem kontrol,<br />

sistem pengukuran dan sistem analisis yang telah<br />

dilengkapi dengan saluran komunikasi modbus yang<br />

memungkinkan untuk melakukan komunikasi<br />

dengan alat elektronik yang lain. Disamping itu relai<br />

MIF II juga memiliki layar LCD yang menampilkan<br />

menu-menu pengaturan secara digital sehingga<br />

mempermudah user untuk mengaplikasikannya.<br />

Penentuan setting time delay pada relai over current<br />

mengacu pada standar kurva IEC/BS 142 seperti<br />

yang tertera pada Tabel III sedangkan kurva dari<br />

Tabel 3 tersebut ditampilkan pada Gambar 14 (pada<br />

lampiran).<br />

3. DRTS 6<br />

Data Relay and Tracking System (DRTS 6)<br />

merupakan sebuah set alat penguji dan pengukur<br />

semua relai proteksi dengan 9 output arus dan 6<br />

output tegangan. DRTS 6 ini merupakan produk<br />

pabrikan Isa dari Italia, supaya lebih jelas bisa<br />

dilihat pada Gambar 17 pada lampiran<br />

Pada percobaan akan diperoleh grafik seperti<br />

yang terlihat pada Gambar 6. Grafik tersebut disebut<br />

kurva inverse IEC/BS 142 yang diperoleh dengan<br />

menghubungkan nilai Multiple Plug Setting (MPS)<br />

Inverse pada Tabel III dengan waktu trip/time<br />

b<br />

operation inverse, juga dari Tabel III. Dalam hal ini<br />

MPS berfungsi sebagai variabel manipulasi (sumbu<br />

x) dan waktu trip sebagai variabel respon (sumbu y).<br />

Jadi pada Gambar 6 terdapat beberapa kurva yang<br />

menunjukkan masing-masing hubungan MPS<br />

dengan waktu trip untuk Time Delay yang berbeda.<br />

Nilai waktu trip itu sendiri diperoleh dari Persamaan<br />

2 dan 3 dengan ketentuan:<br />

untuk 1< V < 1.05, unit akan menunjukkan sinyal<br />

relai aktif (pickup signal) dan tidak mengakibatkan<br />

trip. Sedangkan untuk 1.05 ≤ V < 20.00, unit akan<br />

trip dalam waktu :<br />

A* D<br />

(2)<br />

T = + B*<br />

D+<br />

K<br />

p<br />

V −Q<br />

Untuk V ≥ 20.00, waktu trip unit akan 20 kali lipat<br />

waktu setting :<br />

A* D<br />

(3)<br />

T = + B*<br />

D+<br />

K<br />

p<br />

20 −Q<br />

Dimana A, Q, B, K dan P masing-masing<br />

merupakan konstanta kurva waktu untuk Relai Arus<br />

Lebih GE IEC/BS 142 seperti pada Tabel IV. D<br />

merupakan time dial yang dipilih, dan V merupakan<br />

nilai MPS.<br />

Tabel IV.Konstanta Kurva Time Inverse GE IEC/BS 142<br />

Sumber : Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System<br />

PT PJB UPP Unit 2 Appendix B [8]<br />

Nilai MPS sendiri merupakan kelipatan arus<br />

gangguan yang dialami oleh relai arus lebih akibat<br />

adanya gangguan. Secara matematis, MPS diperoleh<br />

dari Persamaan 4 :<br />

I hs MPS = (4)<br />

I<br />

s<br />

dengan I hs merupakan arus hubung singkat (arus<br />

yang masuk ke relai) (dalam ampere) dan I s<br />

merupakan arus yang telah disetting pada relai<br />

(dalam ampere)<br />

Data pada Tabel 3 merupakan data teoritis yang<br />

menjadi acuan dalam melakukan pengujian<br />

keandalan relai arus lebih sebagai pengaman pada<br />

transformator unit SU Unit 2 di PT PJB UP. Jika<br />

dalam pengujian nanti Relai MIF II memiliki waktu<br />

trip yang mendekati data pada Tabel 3, maka relai<br />

MIF II dikatakan bekerja dengan baik dan oleh<br />

karenanya layak digunakan sebagai protektor arus<br />

lebih pada tansformator.<br />

Demikian juga sebaliknya, jika Relai MIF II<br />

menunjukkan waktu trip yang jauh lebih cepat atau<br />

lebih lambat dari Tabel 3, maka Relai MIF II<br />

dikatakan tidak bekerja secara optimal.<br />

D70


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

5. Sistem Proteksi<br />

Sistem proteksi merupakan kombinasi atau<br />

susunan yang dirancang untuk melindungi suatu<br />

komponen atau alat tertentu dari bermacam-macam<br />

gangguan. Kombinasi sistem proteksi biasanya<br />

terdiri dari relai dan circuit breaker. Macam-macam<br />

gangguan yang biasa terjadi diantaranya diakibatkan<br />

oleh arus lebih (over current). Sistem proteksi<br />

dalam jaringan berfungsi sebagai:<br />

• Mencegah atau membatasi kerusakan pada<br />

jaringan beserta peralatannya<br />

• Menjaga keselamatan umum<br />

• Meningkatkan kontinuitas pelayanan<br />

6. Koordinasi Relai Arus Lebih<br />

Koordinasi relai pengaman arus lebih<br />

merupakan sebuah konsep pengaturan/<br />

pengkondisian beberapa relai pengaman untuk<br />

mengamankan suatu daerah dalam jaringan listrik.<br />

Adapun cara bekerjanya adalah relai yang lebih<br />

dekat dengan daerah gangguan diatur untuk bekerja<br />

terlebih dahulu dibandingkan dengan relai pengaman<br />

yang lebih jauh dari daerah gangguan. Pengaturan<br />

relai pengaman tersebut dilakukan dengan<br />

memanfaatkan fitur penunda waktu kerja yang sudah<br />

ada pada relai itu sendiri. Pengaturan time operation<br />

relai bisa secara tunda waktu tertentu, waktu instan<br />

dan waktu terbalik.<br />

7. Uji Validitas Data<br />

Validitas data sebuah percobaan dapat diketahui<br />

melalui pengujian secara statistik. Uji validitas data<br />

tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Chi<br />

kuadrat (χ 2 ) atau disebut juga dengan uji kecocokan<br />

(goodness of fit). Uji kecocokan ini mengacu pada<br />

Persamaan 5 [9] berikut:<br />

( O E )<br />

2<br />

2 i − j<br />

= Σ<br />

E j<br />

χ (5)<br />

Dimana:<br />

χ 2 = nilai hasil uji kecocokan<br />

O i = data eksperimental<br />

= data yang diharapkan (teoritis)<br />

E j<br />

METODE EKSPERIMEN<br />

Adapun tahapan-tahapan untuk menentukan<br />

setting point (time delay) pada relai MIF II adalah<br />

sebagai berikut:<br />

Gambar 7. Diagram alir pengaturan setting time dial pada relai<br />

MIF II<br />

Pada diagram alur di atas, langkah pertama yang<br />

dilakukan yaitu menentukan karakteristik beban<br />

listrik yang ada pada jaringan tersebut. Hal ini<br />

dilakukan dengan menghitung banyak peralatan<br />

yang ada (jumlah motor) beserta karakteristiknya<br />

(konsumsi daya setiap motor). Hal tersebut<br />

diperlukan untuk menentukan tipe dan spesifikasi<br />

relai yang harus digunakan. Pada langkah kedua,<br />

pengaturan time dial dapat dikatakan tepat jika<br />

dengan time dial relai tersebut mampu bereaksi<br />

dalam rentang waktu yang telah dibakukan dalam<br />

Tabel III. Kemudian dilakukan pengaturan lagi<br />

terhadap relai yang sama namun dengan<br />

menggunakan fase trafo yang berbeda (Fase A, B, C,<br />

ground). Langkah-langkah ini masih merupakan<br />

langkah untuk menentukan setting time dial pada<br />

relai MIF II. Agar dicapai koordinasi antar relai,<br />

maka langkah-langkah ini diterapkan untuk<br />

menentukan setting time dial pada relai MIF II<br />

kedua dan relai Basler. Adapun wiring diagram relai<br />

MIF II dalam jaringan dapat dilihat pada Gambar 14<br />

(pada lampiran), sedangkan skema secara makro<br />

pada Gambar 15 (juga pada lampiran).<br />

DATA, ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil Pengujian Relai MIF II<br />

Selama proses penelitian di Pembangkit Unit 2<br />

PT PJB UP Paiton, penulis telah melaksanakan uji<br />

Relai MIF II pada sisi primer dan sekunder trafo<br />

10KV/550V pada Unit Ship Unloader. Relai MIF II<br />

pada sisi primer trafo identik dengan Relai MIF II<br />

sisi sekunder trafo. Berikut adalah data hasil<br />

pengujian Relai MIF II tersebut:<br />

D71


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel V. Data Hasil Pengujian Relai MIF II pada Pengaman Sisi<br />

Primer Trafo 550V di SU Unit 2 PT PJBUP Paiton<br />

Gambar 8. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF<br />

II untuk Phase A dari data pada Tabel 4. Sumbu horizontal<br />

menunjukkan kelipatan arus gangguan (Multiple Plug Setting),<br />

kelipatan arus gangguan disini merupakan kelipatan dari arus<br />

pickup relai MIF II. Time operation menunjukkan waktu yang<br />

diperlukan relai MIF II untuk bekerja dalam menanggapi<br />

gangguan yang ada. Kurva warna merah menunjukkan data<br />

pengujian, sedangkan kurva warna biru menunjukkan nilai teoritis<br />

(expected time).<br />

Gambar 9. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF<br />

II untuk Phase B dari data pada Tabel 4. Pembacaan kurva ini<br />

sama dengan pembacaan kurva pada Gambar 8<br />

Gambar 10. Curve Normal Inverse yang dihasilkan oleh Relai<br />

MIF II untuk Phase C dari data pada Tabel V. Pembacaan kurva<br />

ini sama dengan pembacaan kurva pada Gambar 8<br />

Kurva pada Gambar 8-10 di atas diperoleh dari<br />

pengolahan data Tabel V dengan menggunakan<br />

program Excel dan pilihan kurva power. Dapat<br />

dilihat bahwa ketiga kurva tersebut memiliki<br />

persamaan kurva yang sama yakni .<br />

Persamaan ini bermakna bahwa semakin besar nilai<br />

x (MPS) maka akan semakin kecil nilai y (time<br />

operation). Ini merepresentasikan bahwa semakin<br />

besar nilai kelipatan gangguan (MPS) maka semakin<br />

kecil nilai time operation relai.<br />

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel V. bahwa<br />

Relai MIF II yang dipasang pada sisi primer trafo<br />

550V di SU Unit 2 mampu menunjukkan kinerja<br />

yang memuaskan saat dilakukan pengujian.<br />

Parameter kinerja yang memuaskan itu ditunjukkan<br />

dengan tipisnya selisih antara nilai time operation<br />

relai pada tiap fase (A, B, C) terhadap expected time<br />

yang ditentukan oleh Tabel 3 pada time dial 0,7.<br />

Time dial 0,7 dipilih dengan pertimbangan<br />

kesesuaian karakteristik waktu kerja relai dengan<br />

karakteristik ketahanan trafo terhadap gangguan arus<br />

lebih. Sedangkan di sisi lain, secara grafik juga<br />

dapat diamati bahwa time operation relai tersebut<br />

(lihat kurva eksperimen berwarna merah pada<br />

Gambar 8, 9 dan 10) overlap dengan Curve Normal<br />

Inverse teoritis (lihat kurva berwarna biru pada<br />

gambar-gambar yang sama). Ini berarti relai telah<br />

bekerja mendekati taraf ideal.<br />

Dalam pengujian Relai MIF II sisi primer<br />

memang hanya dipilih nilai kelipatan uji gangguan<br />

(MPS) dalam range 1,5-4 kali I setting dengan 4 titik<br />

saja yang digunakan sebagai sampel uji, sedangkan.<br />

Range gangguan 1,5-4 juga diambil karena prediksi<br />

kelipatan gangguan di unit SU sebesar itu dan belum<br />

pernah terjadi gangguan lebih besar dari itu. Begitu<br />

juga dengan pengambilan 4 titik sampel uji ini<br />

dikarenakan MIF II merupakan alat baru yang<br />

tingkat performansinya diyakini masih optimum,<br />

sehingga pengujian pada 4 titik sampel sudah<br />

mewakili kinerja keseluruhan Relai MIF II yang<br />

terbukti sesuai dengan waktu ekspektasi. Untuk<br />

menguji validitas data tersebut, dapat juga melalui<br />

pengkajiaan dari sudut pandang ilmu statistik. Uji<br />

validitas data pada Tabel 4 tersebut dilakukan<br />

dengan menggunakan metode Chi kuadrat (<br />

2 ) atau<br />

disebut juga dengan uji kecocokan (goodness of fit).<br />

Uji kecocokan ini mengacu pada Persamaan 4 [15] dan<br />

nilai χ 2 yang dihasilkan adalah 0,025728167. Di<br />

sisi lain peneliti ingin menguji apakah validitas data<br />

penelitian ini mencapai 95% dengan banyak sampel<br />

sejumlah 4 maka nilai χ 2 (1-α, k-1) atau χ 2 (1-0,95, 4-1)<br />

menurut Tabel pada Gambar 18 bernilai 0,352. Ini<br />

merupakan batasan sebuah hipotesis diterima jika<br />

memiliki χ 2 dalam range 0 - 0,352. Sedangkan di atas<br />

telah disampaikan bahwa hasil perhitungan Pers.5<br />

menunjukkan nilai χ 2 = 0,025728167. Maka,<br />

berdasar pengujian ini validitas data hasil penelitian<br />

memasuki kriteria statistik.<br />

Sedangkan untuk pengujian Relai MIF II pada<br />

trafo 550V sisi sekunder juga telah dilakukan dan<br />

diperoleh data seperti pada Tabel VI berikut:<br />

Tabel VI.Data Hasil Pengujian Relai MIF II pada Pengaman Sisi<br />

Sekunder Trafo 550V di SU Unit 2 PT PJB UP Paiton<br />

D72


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 11. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />

untuk Phase A dari data pada Tabel 5<br />

Gambar 12. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />

untuk Phase B dari data pada Tabel 5.<br />

Gambar 13. Curve Inverse yang dihasilkan oleh Relai MIF II<br />

untuk Phase C dari data pada Tabel 5<br />

Kurva pada Gambar 11-13 di atas diperoleh dari<br />

pengolahan data Tabel VI dengan menggunakan<br />

program Excel dan pilihan kurva power seperti<br />

pembahasan pada data pengujian Relai MIF II pada<br />

sisi primer di atas. Dapat dilihat bahwa ketiga kurva<br />

tersebut memiliki persamaan kurva yang sama yakni<br />

. Persamaan ini bermakna bahwa<br />

semakin besar nilai x maka akan semakin kecil nilai<br />

y. Ini merepresentasikan bahwa semakin besar nilai<br />

kelipatan gangguan (MPS) maka semakin kecil nilai<br />

time operation relai.<br />

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel VI bahwa<br />

Relai MIF II yang dipasang pada sisi sekunder trafo<br />

550V di SU Unit 2 mampu menunjukkan kinerja<br />

yang memuaskan saat dilakukan pengujian. Secara<br />

grafik juga dapat diamati bahwa time operation relai<br />

tersebut (lihat grafik warna merah pada Gambar 11,<br />

12 dan 13) hampir tidak mamiliki perbedaan dengan<br />

Grafik Curve Inverse IEC BS 142 (lihat kurva warna<br />

biru pada Gambar 11, 12 dan 13), ini berarti relai<br />

bekerja mendekati taraf ideal.<br />

Seperti pada pengujian Relai MIF II pada sisi<br />

primer, maka pada pengujian Relai MIF II sisi<br />

sekunder juga hanya menggunakan 4 titik saja<br />

sebagai sampel uji dan nilai kelipatan uji gangguan<br />

diambil dalam range 1,5-4 dengan pertimbangan<br />

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Uji<br />

statistik dengan metode Chi kuadrat menunjukkan<br />

bahwa data pada Tabel VI memiliki nilai χ 2 =<br />

0,064266108 dan tergolong memenuhi kriteria<br />

validitas dengan taraf ketelitian 95%.<br />

SIMPULAN<br />

Sampai pada akhir penulisan kolokium ini,<br />

dapat penulis simpulkan bahwa pertama, pada<br />

jaringan SU Unit 2 di PT PJB UP Paiton dibutuhkan<br />

sistem proteksi yang mapan untuk menghindari<br />

terulangnya terjadi gangguan pada kegiatan<br />

operasional perusahaan. Kedua, sistem proteksi ini<br />

melibatkan relai arus lebih dan sakelar pemutus<br />

(circuit breaker). Ketiga, relai MIF II menunjukkan<br />

kinerja yang tidak megecewakan dengan time dial<br />

0.7 berdasarkan pengujian awal untuk menggantikan<br />

peranan Relai Lodtrak IV yang telah gagal<br />

memproteksi trafo SU unit 2 PT PJB UP Paiton.<br />

Keempat, penulis menyakini bahwa pada sistem<br />

proteksi trafo SU unit 2 PT PJB UP Paiton tersebut<br />

juga perlu diterapkan sistem koordinasi antar relai<br />

yang melibatkan relai Basler (yang berada pada<br />

jaringan di atas SU).<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

http://dunia-listrik.blogspot.com/2008/11/dasardasar-sistem-proteksi.html.<br />

(Tgl. akses<br />

25/12/09)<br />

wikipedia.com/free encyclopedia/transformator (Tgl.<br />

akses 12/10/2009).<br />

Supriyadi, A. 1999. Sistem Pengaman Tenaga<br />

Listrik. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.<br />

www.wikipedia.com/the freeencyclopedia/relai.<br />

(Tgl. akses 25/10/2009)<br />

--- 2008. Laporan Riwayat Kerusakan Trafo Ship<br />

Unloader Unit 2. No. Dokumen: FI-TPM-02.<br />

PJB UP Paiton Unit 2.<br />

O. Heltegag. 2007. ABB Test Certificate of Cast<br />

Resin Transformer. Paiton Steam Power<br />

Plant. http/3phasetransformer.com (Tgl.<br />

akses 13/10/2009).<br />

---- 2002. ANSI Standard Device Designation<br />

Numbers. Kilowatt Classroom, LLC.<br />

Asyar. 2009. Commissioning MIF II Relay Feeder<br />

Protection System. PT PJB UP Paiton. ----<br />

Diktat<br />

Sudjana. 1989. Metoda Statistika Edisi Kelima.<br />

Bandung :Tarsito.<br />

Rosenberg, J.M. 1992. Dictionary of Information<br />

Technology and Computer Acronyms, Initial<br />

and Abbreviation. Mc Graw Hil<br />

D73


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel III. Waktu Trip/Time Operation (dalam detik) untuk Kurva<br />

IEC/BS 142<br />

Time Dial<br />

MPS 0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />

Inverse BS 142<br />

1.05 7.17 14.34 28.68 43.02 57.36 71.70 86.04 100.38 114.72 129.06 143.40 172.08 200.76 229.44 258.12 286.80<br />

1.5 1.72 1.72 3.44 5.16 6.88 8.60 10.32 12.04 13.76 15.47 17.19 20.63 24.07 27.51 30.95 34.39<br />

2 1.00 1.00 2.01 3.01 4.01 5.01 6.02 7.02 8.02 9.03 10.03 12.03 14.04 16.05 18.05 20.06<br />

3 0.63 0.63 1.26 1.89 2.52 3.15 3.78 4.41 5.04 5.67 6.30 7.56 8.82 10.08 11.34 12.60<br />

4 0.50 0.50 1.00 1.49 1.99 2.49 2.99 3.49 3.98 4.48 4.98 5.98 6.97 7.97 8.96 9.96<br />

5 0.43 0.43 0.86 1.28 1.71 2.14 2.57 3.00 3.42 3.85 4.28 5.14 5.99 6.85 7.70 8.56<br />

6 0.38 0.38 0.77 1.15 1.53 1.92 2.30 2.69 3.07 3.45 3.84 4.60 5.37 6.14 6.91 7.67<br />

7 0.35 0.35 0.71 1.06 1.41 1.76 2.12 2.47 2.82 3.17 3.53 4.23 4.94 5.64 6.35 7.06<br />

8 0.33 0.33 0.66 0.99 1.32 1.65 1.98 2.31 2.64 2.97 3.30 3.96 4.62 5.27 5.93 6.59<br />

9 0.31 0.31 0.62 0.93 1.25 1.56 1.87 2.18 2.49 2.80 3.12 3.74 4.36 4.99 5.61 6.23<br />

10 0.30 0.30 0.59 0.89 1.19 1.49 1.78 2.08 2.38 2.67 2.97 3.56 4.16 4.75 5.35 5.94<br />

Very Inverse BS 142<br />

0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />

1.05 13.50 27.00 54.00 81.00 108.00 135.00 162.00 189.00 216.00 243.00 270.00 324.00 378.00 432.00 486.00 540.00<br />

1.5 1.35 2.70 5.40 8.10 10.80 13.50 16.20 18.90 21.60 24.30 27.00 32.40 37.80 43.20 48.60 54.00<br />

2 0.68 1.35 2.70 4.05 5.40 6.75 8.10 9.45 10.80 12.15 13.50 16.20 18.90 21.60 24.30 27.00<br />

3 0.34 0.68 1.35 2.03 2.70 3.38 4.05 4.73 5.40 6.08 6.75 8.10 9.45 10.80 12.15 13.50<br />

4 0.23 0.45 0.90 1.35 1.80 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05 4.50 5.40 6.30 7.20 8.10 9.00<br />

5 0.17 0.34 0.68 1.01 1.35 1.69 2.03 2.36 2.70 3.04 3.38 4.05 4.73 5.40 6.08 6.75<br />

6 0.14 0.27 0.54 0.81 1.08 1.35 1.62 1.89 2.16 2.43 2.70 3.24 3.78 4.32 4.86 5.40<br />

7 0.11 0.23 0.45 0.68 0.90 1.13 1.35 1.58 1.80 2.03 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05 4.50<br />

8 0.10 0.19 0.39 0.58 0.77 0.96 1.16 1.35 1.54 1.74 1.93 2.31 2.70 3.09 3.47 3.86<br />

9 0.08 0.17 0.34 0.51 0.68 0.84 1.01 1.18 1.35 1.52 1.69 2.03 2.36 2.70 3.04 3.38<br />

10 0.08 0.15 0.30 0.45 0.60 0.75 0.90 1.05 1.20 1.35 1.50 1.80 2.10 2.40 2.70 3.00<br />

Ext Inverse BS 142<br />

0.05 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2<br />

1.05 39.02 78.05 156.10 234.15 312.20 312.20 468.29 546.34 624.39 702.44 780.49 936.59 1092.68 1248.78 1404.88 1560.98<br />

1.5 3.20 6.40 12.80 19.20 25.60 25.60 38.40 44.80 51.20 57.60 64.00 76.80 89.60 102.40 115.20 128.00<br />

2 1.33 2.67 5.33 8.00 10.67 10.67 16.00 18.67 21.33 24.00 26.67 32.00 37.33 42.67 48.00 53.33<br />

3 0.50 1.00 2.00 3.00 4.00 4.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00<br />

4 0.27 0.53 1.07 1.60 2.13 2.13 3.20 3.73 4.27 4.80 5.33 6.40 7.47 8.53 9.60 10.67<br />

5 0.17 0.33 0.67 1.00 1.33 1.33 2.00 2.33 2.67 3.00 3.33 4.00 4.67 5.33 6.00 6.67<br />

6 0.11 0.23 0.46 0.69 0.91 0.91 1.37 1.60 1.83 2.06 2.29 2.74 3.20 3.66 4.11 4.57<br />

7 0.08 0.17 0.33 0.50 0.67 0.67 1.00 1.17 1.33 1.50 1.67 2.00 2.33 2.67 3.00 3.33<br />

8 0.06 0.13 0.25 0.38 0.51 0.51 0.76 0.89 1.02 1.14 1.27 1.52 1.78 2.03 2.29 2.54<br />

9 0.05 0.10 0.20 0.30 0.40 0.40 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00<br />

10 0.04 0.08 0.16 0.24 0.32 0.32 0.48 0.57 0.65 0.73 0.81 0.97 1.13 1.29 1.45 1.62<br />

Sumber: Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System PT PJB UPP Unit 2 Appendix B. [8]<br />

D74


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

LAMPIRAN<br />

Gambar 14: Kurva Inverse IEC/BS 142. Kurva ini merupakan kurva standar. Guna memahami grafik tersebut, silahkan melihat pembahasan<br />

pada teks di Halaman 6 dari makalah ini. Sumber: Commissioning MIF-II Relai Feeder Protection System PT PJB UPP Unit 2 Appendix B<br />

[7]<br />

D75


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 15. Typical Wire Diagram. Tampak skema pin-pin relai MIF II yang harus dihubungkan dengan kabel jaringan listrik [7] .<br />

D76


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 16. Cubicle Ship Unloader. Tampak trafo bertegangan 380V dan 500V yang akan dihubungkan dengan Relai MIF II. [7]<br />

Gambar 17. DRTS 6 sebagai sebuah set alat yang sering digunakan dalam pengujian segala macam relai proteksi.<br />

D77


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2<br />

1<br />

0,352<br />

χ 2 0,05<br />

3<br />

Gambar 18. Tabel pembanding uji kecocokan yang digunakan untuk membandingkan nilai chi kuadrat (χ 2 ) sebuah percobaan dengan nilai<br />

χ 2 yang diharapkan (teori). Kolom pada tabel di atas (lingkaran merah bernomor 1) = nilai akurasi χ 2 dalam persen (%).Sedangkan baris pada<br />

lingkaran merah bernomor 2 = jumlah data percobaan dikurangi 1. Sedangkan lingkaran merah bernomor 3 = nilai χ 2 itu sendiri<br />

Sumber: Sudjana. 1989. Metoda Statistika Edisi Kelima. Bandung :Tarsito.<br />

Keterangan: Adapun cara membaca tabel tersebut seperti dicontohkan berikut ini. Misal, pada perhitungan chi kuadrat diperoleh nilai χ 2 =<br />

0,3 dengan banyak data sejumlah 4 dan diharapkan nilai akurasi data 95 %, maka nilai χ 2 teoritis harus diperoleh dari pertemuan kolom yang<br />

tertulis χ 2 0,05 (100%-0,05=95%) dan baris bernomor 3 (= 4-1) dan diperoleh nilai χ 2 0,05 = 0,352. Dari sini terlihat bahwa nilai 0,3 terletak pada<br />

range 0-0,352. Ini berarti bahwa data perhitungan χ 2 hasil eksperimen tersebut valid dengan ketelitian 95%.<br />

D78


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Presisi Pengukuran Interfacial Angle pada Pemutar Goniometer Optik<br />

Berbasis Mikrokontroler<br />

Moch. Sholikhudin 1 , Frida U. Ermawati 2<br />

Jurs. <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Surabaya<br />

Email : udinrembang@gmail.ac.id dan frida_dua@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Makalah kolokium ini melaporkan hasil kerja peneliti untuk mengukur sudut antar bidang kistal (α, β, γ) atau<br />

interfacial angle dengan memanfaatkan motor stepper yang dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan<br />

sudut putar yang seminimal mungkin dengan presisi tinggi. Nantinya, alat pemutar tersebut hendak digunakan<br />

pada alat goniometer optik berbasis mikrokontroler. Untuk keperluan tersebut maka konstruksi seperti pada<br />

Gambar 8 Halaman 6 dari makalah ini dibuat. Diperoleh: (i) skala pemutar sebesar 0,0548°. (ii) Grafik hasil<br />

pengukuran dan perhitungan sudut, keduanya berhimpit. Hal ini terjadi karena kedua persamaan garis tersebut<br />

mempunyai gradien yang hampir sama, yaitu 0,0554 untuk grafik pengukuran dan 0.0548 untuk grafik<br />

perhitungan dengan eror sebesar 1.095%. (iii) Didapat juga R 2 (linieritas grafik) untuk persamaan pengukuran<br />

pada pemutar goniometer sebesar 0,9962, artinya data yang didapat tersebut linier, memiliki presisi atau<br />

validitas yang tinggi. Dengan kata lain, rancangan alat pada Gambar 9 tersebut layak untuk nantinya digunakan<br />

sebagai pemutar goniometer. Sebagai tindak lanjut dari hasil kerja ini, selain menggunakan alat pemutar ini,<br />

peneliti juga berkeinginan untuk menambahkan sensor cahaya pada goniometer optik sebagai pengganti teleskop<br />

dan LCD sebagai tapilan nilai yang terukur.<br />

Kata kunci: interfacial angle, motor stepper, alat pemutar, mikrokontroler.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kristal merupakan hamparan titik lattice yang<br />

tersusun periodik dan tak hingga banyaknya di<br />

ruang, dimana setiap titik lattice diisi oleh basis.<br />

Satu basis dapat diisi satu atau lebih atom, molekul<br />

atau ion. Antara titik lattice yang berdekatan<br />

dihubungkan oleh unit vector dimana perpotongan<br />

dari vektor-vektor tersebut akan membentuk unit<br />

cell (sel satuan).<br />

Unit cell yang satu dengan yang lain dibedakan<br />

oleh 3 konstanta lattice (a, b, c) dan 3 sudut antar<br />

bidang kristal (interfacial angle: α,β,γ). Konstanta<br />

lattice menunjukkan panjang vektor satuan yang<br />

membentuk unit cell, sedangkan interfacial angles<br />

adalah sudut-sudut yang terbentuk antara bidangbidang<br />

kristal. Gambar 1 memberikan ilustrasi<br />

tersebut.<br />

kubus, tetragonal, orthorhombic, rhombohedral,<br />

hexagonal, monoclinic dan triclinic (lihat Tabel 1).<br />

Tabel 1: 7 Macam sistem kristal<br />

Gambar.1 Unit cell dan parameter lattice suatu kristal, terdiri dari<br />

3 konstanta lattice a, b dan c dan 3 sudut antar bidang α, β dan γ<br />

Berdasarkan parameter lattice suatu unit cell,<br />

kristal dibedakan menjadi 7 sistem kristal yaitu<br />

Struktur suatu kristal dapat ditentukan melalui<br />

eksperimen defraksi sinar x. Adapun salah satu<br />

metode penentuan struktur kristal tersebut adalah<br />

metode kualitatif. Yang dimaksud dengan metode<br />

kualitatif adalah metode yang dilakukan dengan cara<br />

mencocokkan/membandingkan pola difraksi suatu<br />

bahan yang belum diketahui struktur kristalnya<br />

D79


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan pola defraksi dari bahan tertentu yang ada<br />

pada basis data (misalnya powder defraction<br />

file/PDF). Data-data kristalografi dari bahan PDF<br />

tersebut selanjutnya diadopsi sebagai data<br />

kristalografi dari bahan yang dimaksud. Dengan kata<br />

lain penentuan struktur dari suatu kristal masih<br />

membutuhkan data dari kristal lain. Adapun metode<br />

atau suatu cara penentuan struktur kristal secara<br />

langsung haruslah membutuhkan instrument/alat<br />

ukur, untuk pengukur sudut antar idang kristal, alat<br />

yang digunakan adalah goniometer optik (lihat<br />

gambar 3). Seiring berkembangnya ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi, akan sangat<br />

dimungkiankan pembutan alat yang bersifat<br />

otomatis dan praktis yang nantinya akan<br />

mempermudah proses pengukuran.<br />

2. TINJAUAN PUSTAKA :<br />

a. Sudut Antar Bidang Kristal<br />

Sudut antar bidang kristal (interfacial angles) α<br />

adalah sudut yang dibentuk antara bidang-bidang<br />

yang menutupi seluruh permukaan kristal yang<br />

diukur dengan menggunakan goniometer optuk,<br />

sebagai penjelasan tentang pengukuran sudut antar<br />

bidang α (lihat gambar-1). sudut antar dua bidang<br />

kristal dapat diukur dengan menarik garis normal<br />

yang tegak lurus terhadap dua bidang kristal yang<br />

dimaksud.<br />

Jadi goniometer optik adalah alat yang<br />

digunakan untuk menentukan sudut pada permukaan<br />

kristal dengan pemantulan cahaya tampak pada<br />

suatu bidang kristal melalui teleskop. Apabila arah<br />

cahaya yang datang tegak lurus terhadap bidang<br />

yang dimaksud terlihat melalui teleskop, maka akan<br />

terjadi pemantulan cahaya oleh bidang kristal<br />

tersebut. Apabila hasil pemantulan cahaya semakin<br />

menyilaukan, maka semakin luas permukaan suatu<br />

bidang kristal tersebut. Dan semakin kecil hasil<br />

pemantulan cahaya, berarti permukaan bidang kristal<br />

yang dikenai oleh cahaya semakin sempit.<br />

Agar arah cahaya datang benar-benar tegak<br />

lurus terhadap dibang kristal tersebut, maka kristal<br />

harus diputar kearah bidang ekuator sebesar 360°<br />

dan diputar dari ah kutub utara bumi kearah kutub<br />

selatan bumi sebesar 180°. dengan menggunakan<br />

goniometer. Goniometer dapat memutar kristal<br />

dengan 2 macam derajat kebebasan, yaitu sudut<br />

polar θ sebesar 180° dan sudut azimuth ф 360°).<br />

Gambar 3. Alat goniometer optik dari referensi dan bagianbagiannya:<br />

A (ditunjukkan dengan tanda panah merah) Tempat<br />

meletakkan sampel kristal. Sampel dapat diputar dengan dua<br />

derajat kebebasan, yaitu sudut polar (θ) dan sudut azimuthal (ф).<br />

B Sumber cahaya tampak yang digunakan untuk menyinari<br />

bidang kristal sehingga berkas pantulan cahaya tersebut akan<br />

dipantulkan secara tegak lurus terhadap bidang kristal., dan C<br />

Teleskop, untuk mengamati terjadinya pemantulan cahaya oleh<br />

bidang kristal.<br />

Gambar 2.Ilustrasi yang menunjukkan pengukuran sudut antar<br />

bidang kristal (α) antara bidang B dan bidang C yang diukur dari<br />

garis normal antar dua bidang kristal yang dimaksud.<br />

b. Goniometer Optik<br />

Goniometer optik (lihat gambar 5) dari kata<br />

”goniometer” dan ”optik”. Goniometer berarti suatu<br />

alat yang digunakan untuk menentukan sudut pada<br />

permukaan kristal, yang relatif terhadap acuan<br />

tertentu, Sedangkan optik berarti cahaya, yaitu<br />

cahaya tampak yang dipergunakan untuk menerangi<br />

permukaan kristal, untuk kemudian dilihat<br />

pemantulannya dari suatu bidang kristal.<br />

D80


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 4. Pengukuran sudut polar dan sudut azimuthal pada<br />

sebuah bidang kristal dengan menggunakan goniometer optik. θ<br />

Sudut polar diukur dari arah utara kutub bumi menuju ke arah<br />

kutub selatan bumi. Sudut polar mempunyai rentang 0°-180°. Φ<br />

Sudut azimuth diukur dari arah bidang ekuator bumi dari 0°-360°<br />

d. Atemega16<br />

AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS 8-<br />

bit buatan Atmel, berbasis arsitektur RISC (Reduced<br />

Instruction Set Computer). Hampir semua instruksi<br />

dieksekusi dalam satu siklus clock. AVR<br />

mempunyai 32 register general-purpose,<br />

timer/counter fleksibel dengan mode compare,<br />

interrupt internal dan eksternal, serial UART,<br />

programmable Watchdog Timer, dan mode power<br />

saving, ADC dan PWM internal. AVR juga<br />

mempunyai In-System Programmable Flash on-chip<br />

yang mengijinkan memori program untuk diprogram<br />

ulang dalam system menggunakan hubungan serial<br />

SPI. ATMega16. ATMega16 mempunyai<br />

throughput mendekati 1 MIPS per MHz membuat<br />

disainer sistem untuk mengoptimasi konsumsi daya<br />

versus kecepatan proses. [2]<br />

Setiap motor stepper mampu berputar untuk setiap<br />

stepnya dalam satuan sudut (0.75, 0.9, 1.8), makin<br />

keil sudut per step-nya maka gerakan per step-nya<br />

motor stepper tersebut makin presisi.<br />

Motor stepper banyak digunakan untuk aplikasiaplikasi<br />

yang biasanya cukup menggunakan torsi<br />

yang kecil, seperti untuk penggerak piringan disket<br />

atau piringan CD. Dalam hal kecepatan, kecepatan<br />

motor stepper cukup cepat jika dibandingkan dengan<br />

motor DC. Motor stepper merupakan motor DC<br />

yang tidak memiliki komutator. Pada umumnya<br />

motor stepper hanya mempunyai kumparan pada<br />

statornya sedangkan pada bagian rotornya<br />

merupakan magnet permanent. Dengan model motor<br />

seperti ini maka motor stepper dapat diatur posisinya<br />

pada posisi tertentu dan/atau berputar ke arah yang<br />

diinginkan, searah jarum jam atau sebaliknya.<br />

Kecepatan motor stepper pada dasarnya<br />

ditentukan oleh kecepatan pemberian data pada<br />

komutatornya. Semakin cepat data yang diberikan<br />

maka motor stepper akan semakin cepat pula<br />

berputarnya. Pada kebanyakan motor stepper<br />

kecepatannya dapat diatur dalam daerah frekuensi<br />

audio dan akan menghasilkan putaran yang cukup<br />

cepat. Untuk mengatur gerakan motor per step-nya<br />

dapat dilakukan dengan 2 cara berdasarkan<br />

simpangan sudut gerakannya yaitu full step dan half<br />

step.<br />

Tabel 1. Motor Stepper dengan Gerakan Full step<br />

Step 1 2 3 4 1<br />

S3 0 0 0 1 0<br />

S2 0 0 1 0 0<br />

S1 0 1 0 0 0<br />

S0 1 0 0 0 1<br />

Gambar 4. konfigurasi PIN dari ATMega16<br />

e. Motor Stepper<br />

Motor Stepper adalah motor DC yang<br />

gerakannya bertahap (step per step) dan memiliki<br />

akurasi yang tinggi tergantung pada spesifikasinya.<br />

D81


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 5. Kontruksi Motor Stepper dalam Satu Kali Putaran<br />

dengan gerakkan FullStep (dari kiri ke kanan)<br />

Tabel 2. Motor Stepper dengan Gerakan Half Step<br />

Gambar 6. Kontruksi Motor Stepper dalam Gerakkan Half Step<br />

f. LCD<br />

LCD adalah suatu display dari bahan cairan<br />

kristal yang pengoprasiannya mengunakansistem dot<br />

matiks. LCD banyak digunakan sebagai display dari<br />

alat-alat elektronika sepeti kalkulator, multi tester<br />

digial, jam digital dan sebagainya.<br />

Step 1 2 3 4 5 6 7 8 1<br />

S3 0 0 0 0 0 1 1 1 0<br />

S2 0 0 1 1 1 1 0 0 0<br />

S1 0 1 0 1 0 0 0 0 0<br />

S0 1 1 0 0 0 0 0 1 1<br />

Gambar .7 lcd 2×16 karater<br />

LCD dapat dengan mudah dihubungkan<br />

dengan mikrokonyroler AVR ATmega16. LCD yang<br />

digunakan dalam pembutan alat ini adalah LCD<br />

2×16, lebar dislay 2 bars 16 kolom, yang mempnyai<br />

16 konektor, yang didefonisikan sebagai berikut;<br />

Gambar.8 konfigurasi pin pada LCD<br />

Tabel 1. pin LCD dan fungsinya.<br />

D82


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 9. Detail skematika IC ULN2803.<br />

Tiap pin input dari motor akan dihubungkan<br />

dengan pin keluaran dari driver, dimana pulsa<br />

keluaran dari driver yang akan diberikan pada motor<br />

yang nantinya diatur oleh mikrokontroler sesuai<br />

dengan program yang di isi ke dalam mikrokontroler<br />

g. Codevisin AVR<br />

CodeVisionAVR adalah salah satu alat bantu<br />

pemrograman (programing tool) yang bekerja dalam<br />

lingkungan pengembnagan perangkat lunak yang<br />

terinegrasi (Intergrated development environtment<br />

Ide). Seperti aplikasi ide lainnya .Code vision AVR<br />

merupakan software untuk membuat code program<br />

microcontroller AVR. kebanyakan programmer<br />

memakai software ini karena fasilitas-fasilitas yang<br />

disediakan CodeVision AVR memudahkan<br />

programmer dalam membuat code. CodeVisionAVR<br />

dilengkapi dengan source code editor, compiler,<br />

linker, dan dapat memenggil atmel AVR studio<br />

untuk untuk debuggernya.<br />

g. Driver Motor Stepper<br />

Isyarat yang dimasukkan ke mikrokontroler<br />

untuk kemudian diolah, outputnya, kemudian<br />

digunakan untuk menentukan langkah (step) dari<br />

motor stepper. driver motor stepper berfungsi untuk<br />

mengatur pulsa-pulsa listrik dengan nilai tertentu<br />

sehingga dapat menggerakkan motor stepper.<br />

Driver yang digunakan untuk memberikan isarat<br />

ke motor stepper ini adalah IC ULN2803 yang<br />

tersusun dari rangkaian transistor yang dihubung<br />

secara Darlington dalam satu kemasan. Gambar<br />

rangkaian utama IC ULN2803 dapat dilihat pada<br />

gambar di bawah ini.<br />

3. METODE PENELITIAN<br />

1. Variabel<br />

a. Variable Manipulasi<br />

Sinyal input (push botton)<br />

b. Variable Respon<br />

Sudut putar goniometer<br />

c. Variable Kontrol<br />

Ratio gear<br />

2. Rancangan Alat<br />

Gambar 10. Skematik pengukuran besar sudut putar goniometer<br />

3. Alat dan Bahan<br />

a. Minimun system ATmega!6<br />

b. Motor stepper (hybrid unipolar)<br />

c. Driver motor stepper<br />

d. Tombol input (push botton)<br />

e. Gerbok 1:19,7 ratio<br />

f. Gear1 dan 2<br />

g. Busur lingkaran<br />

h. Catu daya<br />

i. Konektor<br />

D83


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

4. Langkah Pengambilan data<br />

a) Mernagkai alat seperti gambar 1<br />

b) Meneka tombol input secara urut dan<br />

bergantian<br />

c) Mencatan besar perubahan sudut pada<br />

busur lingkaran tiap input tombol<br />

4. DATA DAN ANALISA<br />

a) Data<br />

Data optimalisasi presisi sudut antar bidang<br />

kristal pada pemutar Goniometer optic berbasis<br />

mikrokontroler di berikan pada Tabel 1 di Lampiran<br />

1.<br />

b) ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />

Be sarsudut<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

Perbandingan Pengukuran dan Prhiungan Presisi<br />

Sudut Pemutar Goniometer<br />

0<br />

0<br />

-5<br />

50 100 150<br />

4 STEP ke<br />

y = 0.2215x<br />

R 2 = 0.9962<br />

secara pengukuran<br />

secara perhitungan<br />

Linear (secara<br />

pengukuran)<br />

5. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan data, grafik dan analisis dari<br />

percobaan presisi pengukuran interfacial angle pada<br />

pemutar goniometer optik. maka dapat dikatakan<br />

pemutar yang nantinya digunakan sebagai alat<br />

pemutar untuk goniometer optik dapat dikatakan<br />

layak.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Marikani, A. Dan Rajendran, V. 2004. ‘Material<br />

Science’. Tata McGraw-Hill, New Delhi.<br />

Andrianto, Henry. 2008.”Penrograman<br />

Mikrokontroler AVR ATMEGA16<br />

menggunakan Bahasa C (CodeVision AVR)”.<br />

Bandung: INFORMATIKA.<br />

bejo,agus.2008.”c dan avr rahasia kemudahan<br />

bahasa c dalam mikrokontroler<br />

ATMega8535”.yogyakarta :graham ilmu<br />

http://en.wikipedia.org/wiki/Goniometer<br />

http://elektronika-elektronika.<br />

blogspot.com/2007/04/motor-stepper.html<br />

http://www.gemmary.com/instcat/07/07-001.html<br />

http://www.solarbotics.net/library/pdflib/pdf/motorb<br />

as.pdf11042009<br />

Berdasarkan grafik yang diperoleh dari<br />

percobaan Presisi pengukuran interfacial angle pada<br />

pemutar Goniometer optic berbasis mikrokontroler<br />

terlihat bahwa grafik yang didapat antara keduanya<br />

berhimpit satu sama lain, dan nilai R(kelinieritas<br />

grafik) untuk pengukuran interfacial angle pada<br />

pemutar gonio meter adalah sebesar 0,9962. Yang<br />

berarti data yang di dapat oleh alat tersebut dapat<br />

dikatakan sesuai dengan nilai secara perhitungan<br />

yang ada<br />

D84


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Lampiran<br />

step besar sudut<br />

ke pengukuran perhitungan<br />

4 0 0,21928934<br />

8 0 0,43857868<br />

12 0 0,65786802<br />

16 0 0,87715736<br />

20 1 1,096446701<br />

24 1 1,315736041<br />

28 1 1,535025381<br />

32 1 1,754314721<br />

36 2 1,973604061<br />

40 2 2,192893401<br />

44 2 2,412182741<br />

48 2 2,631472081<br />

52 2 2,850761421<br />

56 3 3,070050761<br />

60 3 3,289340102<br />

64 3 3,508629442<br />

68 3 3,727918782<br />

72 4 3,947208122<br />

76 4 4,166497462<br />

80 4 4,385786802<br />

84 4 4,605076142<br />

88 4 4,824365482<br />

92 5 5,043654822<br />

96 5 5,262944162<br />

100 5 5,482233503<br />

104 5 5,701522843<br />

108 6 5,920812183<br />

112 6 6,140101523<br />

116 6 6,359390863<br />

120 6 6,578680203<br />

124 7 6,797969543<br />

128 7 7,017258883<br />

132 7 7,236548223<br />

136 7 7,455837563<br />

140 8 7,675126904<br />

144 8 7,894416244<br />

148 8 8,113705584<br />

152 8 8,332994924<br />

156 8 8,552284264<br />

160 9 8,771573604<br />

164 9 8,990862944<br />

168 9 9,210152284<br />

172 9 9,429441624<br />

176 10 9,648730964<br />

180 10 9,868020305<br />

184 10 10,08730964<br />

188 10 10,30659898<br />

192 10 10,52588832<br />

196 11 10,74517766<br />

200 11 10,96446701<br />

204 11 11,18375635<br />

208 11 11,40304569<br />

212 12 11,62233503<br />

216 12 11,84162437<br />

220 12 12,06091371<br />

224 12 12,28020305<br />

228 13 12,49949239<br />

232 13 12,71878173<br />

236 13 12,93807107<br />

240 13 13,15736041<br />

244 13 13,37664975<br />

248 14 13,59593909<br />

252 14 13,81522843<br />

256 14 14,03451777<br />

260 14 14,25380711<br />

264 15 14,47309645<br />

268 15 14,69238579<br />

272 15 14,91167513<br />

276 15 15,13096447<br />

280 16 15,35025381<br />

284 16 15,56954315<br />

288 16 15,78883249<br />

292 16 16,00812183<br />

296 16 16,22741117<br />

300 17 16,44670051<br />

304 17 16,66598985<br />

308 17 16,88527919<br />

312 17 17,10456853<br />

316 18 17,32385787<br />

320 18 17,54314721<br />

324 18 17,76243655<br />

328 18 17,98172589<br />

332 19 18,20101523<br />

336 19 18,42030457<br />

340 19 18,63959391<br />

344 19 18,85888325<br />

348 20 19,07817259<br />

352 20 19,29746193<br />

356 20 19,51675127<br />

360 20 19,73604061<br />

364 20 19,95532995<br />

368 21 20,17461929<br />

372 21 20,39390863<br />

376 21 20,61319797<br />

380 21 20,83248731<br />

384 21 21,05177665<br />

388 22 21,27106599<br />

D85


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Development of Screen Printed Glucose Biosensor with Direct<br />

Immobilization Technique<br />

Pratondo Busono, Nur Hajiyah and Subintoro<br />

Technology Division for Biomedical Engineering, Center for Pharmaceutical and Medical Technology<br />

Gedung II BPPT Lt.15, Jl. MH Thamrin No.8, Jakarta, Indonesia<br />

Tel. +62-21-316 9542<br />

Email : prabusono@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The development of analytical methods that response to the growing need to perform the rapid in situ<br />

measurements show that the screen printed electrode as an alternative to the conventional electrode. Currently,<br />

most disposable glucose biosensors available in the market were fabricated using screen printing method.<br />

Fabrication of electrode was conducted by printing the conductive inks such as carbon, silver, silver chloride ink<br />

on the surface of PVC or ceramic sheet. Enzyme immobilizations (glucose oxidase) were conducted by<br />

electropolymerization of pyrrol (Aldrich). In order to enhance the GOD activity, the GOD was modified with<br />

ferrocene derivatives. The qualitative information about the electrochemical reactions on the biosensor were<br />

determined by cyclic voltammetry.<br />

Keywords : biosensor, screen printed electrode, glucose oxidase, glucose.<br />

Introduction<br />

The challenge faced by the clinical chemist is<br />

the development of techniques that respond the<br />

growing need to perform rapid in situ analyses.<br />

These methods must be sensitive, accurate and able<br />

to determine the various substance with different<br />

properties in real life sample (G.G. Gilbaut, 1991)<br />

Biosensors are currently received great interest,<br />

because of the possibilities they offer an accurate<br />

measurements of wide variety of analytes such as<br />

glucose, urea, uric acid etc.<br />

Disposable biosensor is a device suitable to<br />

respond such challenges. In this biosensor, the<br />

substrate active enzyme layer is placed directly on<br />

the surface of transducer which measures of the<br />

concentration of the product formed in the<br />

enzymatic reactions. Starting from the publication of<br />

Clark and Lyons (Jie Liu, 2001), the first type of<br />

biosensor is amperometric biosensors. The<br />

amperometric biosensors measure the changes of the<br />

current of indicator electrode by direct<br />

electrochemical oxidation or reduction of the<br />

products of the biochemical reactions (IP.R.Coulet<br />

et al, 1991). In amperometric biosensors, the<br />

potential at the electrode is held constant, while the<br />

current is measured.<br />

The important process in the fabrication of<br />

disposable biosensor is the manufacturing of<br />

electrode and enzymatic immobilization to the<br />

transducer. Electrode fabrication was performed<br />

using screen printing technique in which the<br />

conductive inks (carbon, silver, silver chloride and<br />

insulator) were deposited onto the polyester<br />

substrate in a film of controlled pattern and<br />

thickness to obtain overlapping layers. The<br />

enzymatic immobilization is performed by<br />

electropolymerization of pyrrol in a controllable<br />

voltage and time. This method allows an easy and<br />

cheap manufacture without a great lost of enzymatic<br />

activity.<br />

The performance of the proposed biosensors<br />

has been checked for its capability of detection and<br />

its activity.<br />

Experiment<br />

Screen printed electrode preparation<br />

Manual screen printing system was used to<br />

fabricate the electrode. Twenty screen printed cell<br />

with three electrodes each one were printed per<br />

sheet.. The inks were deposited onto the polyester<br />

substrate in a film of controlled pattern and<br />

thickness to obtain overlapping layers. At first the<br />

silver tracks were printed, then the graphite pad was<br />

positioned over part of the silver track, to obtain the<br />

working and the counter electrodes. Finally, the<br />

insulating layer with openings that allow the<br />

electrical contact with the circuit at one end and the<br />

analyte solution at the other end, was deposited. In<br />

addition, the silver electrical contacts were covered<br />

by a graphite layer in order to prevent the oxidation<br />

phenomena. It is important to note that the silver<br />

pseudo-reference electrode is more stable when<br />

chlorides are present in solution. Thus the use of at<br />

least 10 mM of chlorides is suggested.<br />

D86


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Enzyme Immobilization<br />

1. PPy/GOx biosensor was prepared by<br />

polarising the electrode at 0.85 V in aquaous<br />

0.05 mol/L pyrol + 0.1 mol/L KCl + 5 mg<br />

GOx solution. Electrochemical<br />

polymerization was carried out.<br />

2. PPy/GOx/ferrocene biosensor was prepared<br />

by polarizing the electrode at 0.85 V in waterethhanol<br />

(1:1 v/v) suspension containing<br />

ferrocene (Aldrich), the monomer and the<br />

GOx enzyme<br />

Instrumentation<br />

The electrochemical properties of the biosensor<br />

were determined by cyclic voltammetry and constant<br />

potential technique. The potentiostat was Uniscan<br />

PG-50 which is connected to the computer. The<br />

electrochemical experiments were carried out using<br />

a blank screen printed electrode.<br />

Results<br />

Figure 1 shows the SEM photograph of<br />

working electrode surface fabricated from carbon<br />

ink (Electrodag ) mixed with with carbon powder.<br />

Figure 1. SEM photograph of working electrode.<br />

The responses of screen printed electrodes were<br />

evaluated by cyclic voltammetric measurements.<br />

The response time, detection limit, linearity range,<br />

sensitivity and electrode reproducibility was studied.<br />

Figure 2 shows the electrochemical screenprinted<br />

electrode produced at the Center for<br />

Pharmaceutical and Medical Technology (PTFM),<br />

BPPT. These planar electrochemical electrodes can<br />

be used as “drop-on sensors” and only 50 microliters<br />

of sample solution is required to perform the<br />

measurements.<br />

Electrochemical properties of the biosensor was<br />

measured using cyclic voltammetry technique. A<br />

current increase was observed when glucose was<br />

added on the surface of electrode.<br />

Figure 3. Cyclic voltammogram of glucose biosensor for glucose<br />

concentration of 1 mmol/L.<br />

Figure 3 illustrates the expected response of a<br />

reversible redox couple during single potential cycle<br />

for biosensor containing glucose oxidase. It shown<br />

that for the redox process , the cathodic current<br />

begins to increase, until peak is reached. The<br />

characteristic peak might be caused by the formation<br />

of the diffusion layer on the surface of the electrode.<br />

In the measurement the value of the equivalent<br />

current in nanoampere should be divided by 100.<br />

Figure 4 shows the calibration curve of the<br />

disposable biosensor. From the measurements it was<br />

observed that glucose biosensor has working range<br />

from 4 to 10 mM/L. The response time needed to<br />

reach the 90 % steady state response was 15 s.<br />

Current [nA]<br />

12.00<br />

11.00<br />

10.00<br />

Y = 0.6875 * X + 4.75<br />

9.00<br />

8.00<br />

4.00 6.00 8.00 10.00<br />

Glucose [mmol/L]<br />

Figure 4. Calibration curve for glucose biosensor<br />

Figure 2. Screen printed electrode based disposable biosensor<br />

D87


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Specific Activity [Percentage]<br />

100.00<br />

90.00<br />

80.00<br />

70.00<br />

60.00<br />

0.00 1.00 2.00 3.00<br />

Time [days]<br />

Figure 5. Biosensor activity as a function of time<br />

Figure 5 shows the biosensor activity as a<br />

function time. It is shown the during the first day of<br />

operation, the sensitivity decrease almost 25 % from<br />

the initial activity. It remains stable after 1 day<br />

operation.<br />

Conclusion<br />

The following concluding remarks have been drawn<br />

from the study:<br />

3. Screen printed graphite electrode for disposable<br />

glucose biosensor has been fabricated.<br />

4. Electro polymerization technique of pyroll has<br />

been used to immobilized enzyme on the<br />

electrode surface. A mediator has been used to<br />

enhance the electron transfer in the enzymatic<br />

reaction.<br />

5. Cyclic voltammetry measurement had been<br />

performed to obtain the quantitative information<br />

about the electrochemical reaction on the<br />

biosensor electrodes.<br />

6. A calibration curve for various glucose<br />

concentration has been made in the study .<br />

7. Biosensor activity as a function of time has also<br />

been investigated in this study.<br />

References<br />

G.G. Gilbaut, A.A. Suleiman, O.Fatibello-<br />

Filho,M.A. Nabirahni, “ Immobilized<br />

Bioelectrochemical Sensor “, in<br />

Bioinstrumentation and Biosensor ( editor<br />

Donald E.Wise), Marcel Dekker Inc, New<br />

York, 1991.<br />

M. Mascini, I. Palchetti, “Electrochemical biosensor<br />

for evaluation of contaminants in food for<br />

quality improvement”, Archives of industrial<br />

Hygiene and Toxicology, n. 1, vol. 52, 2001,<br />

49-59.<br />

A. Cagnini, I. Palchetti, I. Lionti, M. Mascini, A.P.F.<br />

Turner, “Disposable ruthenized screenprinted<br />

biosensors for pesticides monitoring”,<br />

Sensors and actuators B 24-25, (1995), 85-<br />

89.<br />

IP.R.Coulet, G.Bardeletti, and F.Sechaud, “<br />

Amperometric Enzyme Membran<br />

Electrodes”, In Bioinstrumentation and<br />

Biosensors (editor Donald E.Wise), Marcel<br />

Dekker Inc, New york, 229-249,1991.<br />

Jie Liu and Joseph Wang, “ A Novel Improved<br />

Design for the First Generation Glucose<br />

Biosensor”, Food Technol. Biotechnol,39 (1)<br />

55-58, 2001.<br />

Acknowledgments<br />

This work was funded Ministry of Research and<br />

Technology under Grant of Riset Insentif 2008-<br />

2010.<br />

D88


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Hasil Pengukuran Fungsi Arus Tegangan pada Sel Surya Silikon<br />

Satwiko Sidopekso<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,<br />

Universitas Negeri Jakarta (UNJ)<br />

Jl. Pemuda No. 10, Rawamangun, Jakarta 13220<br />

E-mail: sidopekso61@yahoo.com.au<br />

Abstrak<br />

Salah satu upaya mengoptimalkan daya keluaran listrik pada modul surya dengan cara memaksimalkan intensitas<br />

sinar yang jatuh ke permukaan modul surya yaitu menggunakan cermin datar (ruang cermin). Hasil yang<br />

diperoleh menunjukan terdapat peningkatkan output dari modul surya. Nilai Isc, Voc dan P out tertinggi berturut<br />

yaitu sebesar 2.13 ampere; 20,483 volt dan 35,34 watt. Sedangkan nilai Isc, Voc dan P out tertinggi tanpa ruang<br />

cermin berturut yaitu sebesar 0,78 ampere; 19,24 volt dan 12 watt. Prosentase kenaikan daya output pada modul<br />

surya dapat mencapai 64,22% , efisiensi tertinggi modul surya pada ruang cermin sebesar 13,47 % dengan<br />

menggunakan daya lampu terendah. Pendekatan secara matematik dilakukan guna mendapatkan hasil yang<br />

berkesesuaian antara teori dasar hubungan rangkaian diode dengan hasil eksperimen lapangan.<br />

Kata Kunci : Modul Surya, Mengoptimalkan Output listrik, dan rangkaian diode<br />

PENDAHULUAN<br />

Potensi energi cahaya matahari sebagai sumber<br />

energi terbarukan banyak tersedia di alam. Listrik<br />

tenaga matahari dibangkitkan oleh komponen yang<br />

disebut solar cell. Komponen ini mengkonversi<br />

energi dari cahaya matahari menjadi energi listrik.<br />

Sebagai salah satu ukuran performansi sel surya<br />

adalah efisiensi. Tetapi pada kenyataannya,<br />

effisiensi dari sel surya yang ada saat ini masih<br />

rendah. Antara lain sel surya jenis monocrystalline<br />

silicon efisiensinya 12-15 %, jenis multiycrystalline<br />

silicon 10-13 %, amorphous silicon 6-9 %. [1].<br />

Untuk itu perlu upaya untuk mengoptimalkan output<br />

daya listrik pada modul sel surya, salah satunya<br />

dengan cara memaksimalkan intensitas sinar yang<br />

jatuh ke permukaan modul surya dengan<br />

menggunakan cermin datar.<br />

Dalam mengembangkan sel surya perlu<br />

diketahui karakteristik elektrik sel surya bagaimana<br />

arus akan berubah dengan berubahnya tegangan<br />

keluaran. Karakteristik ini digambarkan oleh kurva<br />

arus-tegangan terminalnya (kurva I-V).<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka pada<br />

penelitian ini akan diamati karakteristik listrik sel<br />

surya silikon menggunakan cermin datar yang<br />

ditampilkan dalam kurva I-V sehingga dapat<br />

diketahui parameter-parameter keluarannya.<br />

DASAR TEORI<br />

Sel fotovoltaik dapat dimodelkan sebagai<br />

sumber arus yang diparalelkan dengan diode.<br />

Ketika tidak ada cahaya untuk membangkitkan arus<br />

listrik, maka sel fotovoltaik berjalan seperti diode.<br />

Ketika intensitas cahaya meningkat maka arus dapat<br />

dibangkitkan oleh sel fotovoltaik tersebut. Hal ini<br />

dapat dijelaskan oleh gambar berikut.<br />

Gambar 1. a) Kurva arus-tegangan pada sel fotovoltaik dan b)<br />

diagram elektrik.<br />

Persamaan dasar dari teori semikonduktor yang<br />

dapat menjelaskan karakteristik arus-tegangan<br />

secara matematik pada sel fotovoltaik ideal adalah<br />

sebagai berikut:<br />

....... 1)<br />

dimana :<br />

IL = arus yang timbul akibat sel fotovoltaik<br />

disinari<br />

I0 = arus saturasi dioda (ampere)<br />

q = muatan elektron, 1.602 x 10-19C<br />

V = tegangan yang didapat (volt)<br />

I = arus keluarannya (ampere)<br />

k = konstanta Boltzman, 1.38 x 10-23 J/K<br />

T = temperatur sel (Kelvin)<br />

Secara ideal, IL sama dengan arus short circuit<br />

dan dengan membuat I = 0 memberikan harga<br />

tegangan open circuit yang ideal, yaitu :<br />

…… 2)<br />

D89


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dimana sel surya dapat dimodelkan dengan<br />

rangkaian pengganti satu diode seperi pada gambar 2<br />

berikut:<br />

Gambar 2. Model untuk single solar<br />

Pada persamaan 2.2 banyak terdapat parameter<br />

yang mempengaruhi kurva karakteristik arustegangan,<br />

diantaranya yaitu : temperature<br />

mempengaruhi arus fotolistrik.<br />

Tegangan yang dihasilkan dari sel surya<br />

bergantung dari temperatur sel surya, makin besar<br />

temperatur tegangan berkurang sekitar 0.0023<br />

volt/oc untuk crystalline silicon atau sekitar 0.0028<br />

volt/ oc untuk teknologi thin film. Daya listrik juga<br />

mengalami penurunan sampai 0.5%/ oc untuk<br />

crystalline silicon atau sekitar 3%/ oc untuk thin film<br />

[3].<br />

Daya sesaat adalah perkalian antara intensitas<br />

radiasi matahari yang diterima dengan luas PV<br />

modul dengan persamaan :<br />

Pin = Ir x A .......................... (3)<br />

dimana :<br />

Pin = Daya Input akibat irradiance matahari (Watt)<br />

Ir<br />

A<br />

= Intensitas radiasi matahari (Watt/m2)<br />

= Luas area permukaan photovoltaic modul<br />

(m2)<br />

Sedangkan untuk besarnya daya solar cell<br />

(Pout) yaitu :<br />

Pout = Voc x Isc x FF .…….(4)<br />

dimana :<br />

Pout = Daya yang dibangkitkan oleh sel surya<br />

(Watt)<br />

Voc = Tegangan rangkaian terbuka pada sel surya<br />

(Volt)<br />

Isc = Arus hubungan singkat pada sel surya<br />

(Ampere)<br />

FF = Fill Factor<br />

Persamaan fill factor ini untuk mengukur<br />

bagaimana luasan persegi pada karakteristik I-V<br />

suatu sel surya. Harga fill factor ini biasanya sekitar<br />

0.7 sampai 0.85 [4] Harga fill factor dapat<br />

merupakan fungsi Voc. Secara empiris hubungan<br />

antara fill factor dengan Voc adalah :<br />

Voc − ln( Voc + 0.72)<br />

FF =<br />

.....(5)<br />

Voc + 1<br />

dengan menggunakan fill factor juga dapat<br />

diperoleh efisiensi dari energi sel surya.<br />

Vmp.Im<br />

p<br />

η =<br />

Pin<br />

Voc.<br />

Isc.<br />

FF<br />

η =<br />

.............. (6)<br />

Pin<br />

Pout<br />

η = × 100%<br />

Pin<br />

EXPERIMENT<br />

Pada penelitian ini digunakan modul surya yang<br />

terdiri dari 36 sel (9 sel disusun seri dan 4 sel<br />

paralel) dimana setiap sel berukuran (10x10) cm2.<br />

Mengukur tegangan keluaran modul melalui<br />

microcontroler yang hasilnya dapat dibaca langsung<br />

melalui PC tanpa dihubungkan dengan beban<br />

sehingga didapatkan nilai Voc.<br />

Serta mengukur arus keluaran modul didapatkan<br />

nilai Isc. Dengan mengubah-ngubah hambatan<br />

beban dari hambatan kecil hingga besar diperoleh<br />

nilai V dan I<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Intensitas cahaya secara proposional akan<br />

menghasilkan arus yang berubah. Seperti gambar<br />

berikut, bermacam-macam intensitas cahaya.<br />

Gambar 4.1. kurva karakteristik I-V dengan intensitas 256,26<br />

watt/m2 ; 325,24 watt/m2 dan 669,3 watt/m2 pada jarak 87 cm<br />

dalam ruang kaca<br />

Hubungan arus (I) dan tegangan keluaran (V)<br />

dari sebuah sel surya dalam modul diperoleh dengan<br />

mengubah resistansi beban yang mencakup<br />

jangkauan luas tertentu, dan dengan memperhatikan<br />

jumlah cahaya yang mengenai permukaan sel<br />

tersebut.<br />

Karaktersistik I-V yang ditunjukkan pada kurva<br />

4.1 diamati saat modul disinari oleh sumber lampu<br />

Halogen yang diletakkan tegak lurus terhadap<br />

permukaan modul pada jarak 87 cm.<br />

4.1 Efisiensi Modul Surya<br />

Seberapa besar energi cahaya dari lampu<br />

halogen yang dapat diubah menjadi energi listrik<br />

dapat diketahui dari efisiensi konversi sel tersebut.<br />

Dari rumus, efisiensi modul surya adalah :<br />

D90


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

8. 256,26 watt/m2: = 13,47 %<br />

9. 325,24 watt/m2: = 12,08 %<br />

10. 669,3 watt/m2: = 11,35 %<br />

Dari data di atas kita dapat melihat bahwa<br />

efisiensi modul surya semakin berkurang dengan<br />

bertambahnya intensitas cahaya yang digunakan, itu<br />

disebabkan karena semakin panasnya ruang kaca<br />

dan modul surya akibat penggunaan intensitas yang<br />

semakin besar. Lampu halogen yang digunakan<br />

memiliki suhu<br />

yang tinggi sehingga semakin besar intensitas<br />

yang digunakan semakin tinggi pula suhunya dan itu<br />

menyebabkan modul surya menjadi panas sehingga<br />

menurunkan kinerjanya.<br />

4.2 Perbandingan Hasil Pengukuran Output<br />

Modul Surya<br />

Output modul surya yang disinari menggunakan<br />

lampu berdaya 2000 watt pada jarak 87 cm , 75 cm<br />

dan 63 cm dengan menggunakan cermin datar<br />

(ruang cermin) sebagai pemantul cahaya dan yang<br />

tanpa menggunakan cermin datar.<br />

40<br />

30<br />

Daya output 20<br />

10<br />

0<br />

87 cm 75 cm 63 cm<br />

Manggunakan ruang 18.27 23.28 33.54<br />

cermin<br />

Tanpa ruang cermin 8.99 10.66 12<br />

Jarak lampu<br />

Gambar 4.4. diagram perbandingan daya output modul surya<br />

Dari diagram di atas dapat dilihat kenaikan daya<br />

output yang dihasilkan. Daya output modul surya<br />

yang menggunakan ruang cermin sebagai media<br />

peningkat intensitas yang masuk ke modul jauh lebih<br />

tinggi dibandingkan dengan daya output yang tanpa<br />

menggunakan ruang cermin.<br />

Persentase kenaikan daya output modul surya dapat<br />

dilihat pada diagram dibawah ini.<br />

80.00%<br />

60.00%<br />

kenaikan<br />

40.00%<br />

daya ouput<br />

20.00%<br />

0.00%<br />

87 cm 75 cm 63 cm<br />

Persentase kenaikan 50.79% 54.21% 64.22%<br />

jarak lampu<br />

Gambar 4.2. kurva karakteristik I-V pada ruang cermin<br />

Gambar 4.3. kurva karakteristik I-V tanpa ruang cermin.<br />

Dari kurva di atas terlihat perbedaan output modul<br />

surya yang dihasilkan, pada kurva 4.2 Voc dan Isc<br />

jauh meningkat dibandingkan pada kurva 4.3 dengan<br />

meningkatnya Voc dan Isc tentu akan meningkat<br />

pula P output yang dihasilkan.<br />

Gambar 4.5. diagram persentase kenaikan daya output modul<br />

surya<br />

Cermin datar berfungsi untuk meningkatkan<br />

intensitas cahaya yang jatuh ke modul surya.<br />

Dengan menggunakan ruang cermin kita bisa<br />

meminimalisir cahaya yang lolos sehingga dapat<br />

meningkatkan output pada modul surya.<br />

4.3 Perbandingan antara hasil pengukuran dengan<br />

perhitungan.<br />

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan<br />

persamaan1 di bandingkan dengan hasil percobaan<br />

pada intensitas lampu halogen 2500 watt diperoleh<br />

kesamaan dengan grafik 4.1 hal ini menunjukan<br />

hasil percobaan dapat didekati secara teori.<br />

KESIMPULAN<br />

Secara umum dapat disimpulkan bahwa output<br />

modul surya yang menggunakan ruang cermin lebih<br />

tinggi dibandingkan tanpa ruang cermin meskipun<br />

lampu yang digunakan adalah lampu monokromatik<br />

(lampu halogen) yaitu lampu yang memiliki sinar<br />

yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi komponen<br />

warna seperti cahaya matahari, dan output yang<br />

dihasilkan pun hampir mendekati spesifikasi yang<br />

terdapat pada panel.<br />

D91


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arianti, Erna, 2000. Studi Eksperimen Karakteristik<br />

Arus-Tegangan Sel Surya Silikon, Skripsi.<br />

Jakarta: Jurusan Pendidikan <strong>Fisika</strong> Fakultas<br />

Matematika dan Ilmnu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Negeri Jakarta.<br />

Halim, Abdul, Dr 2001. photovoltaic power system :<br />

Harapan dan Kenyataan Dimensi Waktu<br />

Sains Dan Teknologi. ISEECS<br />

Sungkono, Wijoyo. 2000. Upaya peningkatan<br />

kapasitas daya output photovoltaic melalui<br />

proses pendinginan, Surabaya: Universitas<br />

Kristen Petra.<br />

Wibowo, Hariyanto, 2009. Studi penggunaan solar<br />

reflector untuk optimalisasi output daya pada<br />

photovoltaic (pv). Surabaya : Universitas<br />

Kristen Petra.<br />

D92


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengukur Viskositas dengan Metode Rotasi Silinder Pejal<br />

Setyawan P. Sakti, H.A. Dharmawan, A. H. Pudyasmara<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> – FMIPA Universitas Brawijaya<br />

Jl Veteran Malang 65145 INDONESIA<br />

Email : SetyawanSakti@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Kekentalan (viskositas) bahan cair merupakan salah satu nilai besaran yang cukup penting untuk diketahui.<br />

Berbagai cara pengukuran viskositas telah banyak dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Dari berbagai<br />

cara pengukuran viskositas, salah satu yang mungkin dilakukan proses miniaturisasi adalah viskositimeter<br />

dengan metoda rotasi. Salah satu keuntungan dari metode ini adalah dapat dilakukannya pengukruan viskositas<br />

secara kontinyu. Pada umumnya pengukuran dengan cara ini menggunakan tabung silinder. Pada tulisan ini<br />

dilakukan rancangan dan percobaan dengan melakukan miniaturisasi ukuran silinder. Silinder yang<br />

dipergunakan adalah silinder pejal dengan diameter berukuran 3mm, 4mm dan 5mm. Motor DC dipergunakan<br />

sebagai pemutar silinder yang dicelupkan pada fluida yang diukur viskositasnya. Dari percobaan yang dilakukan<br />

diperoleh hubungan linier antara fungsi daya motor dan kecepatan putar (P/ω) terhadap kekentalan fluida (η).<br />

Dari ketiga ukuran silinder yang dipakai diperoleh hubungan linier yang memiliki factor korelasi hampir sama.<br />

Namun penggunaan silinder dengan diameter 4mm menunjukkan hubungan terbaik dibandingkan silinder<br />

dengan diameter 3mm dan 5mm. Pada percobaan dengan menggunakan oli sebagai cairan yang diukur, korelasi<br />

linier hubungan antara P/ω dan η diperoleh sebesar 0.93. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan<br />

metode rotasi silinder dengan ukuran kecil untuk mengukur viskositas dapat dilakukan sehingga memungkinkan<br />

dikembangkannya alat ukur viskositas kontinyu dengan ukuran kecil.<br />

Keywords : viskositas, metode rotasi, silinder pejal.<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Viskositas merupakan sifat dasar dari fluida<br />

yang menunjukkan nilai keengganan (resistansi)<br />

fluida untuk mengalir. Seluruh benda cair memiliki<br />

viskositas. Viskositas merupakan salah satu nilai<br />

besaran fisis yang banyak memegang peran dalam<br />

berbagai proses fisis maupun kimiawi. Viskositas<br />

suatu zat cair memiliki pengaruh terhadap berbagai<br />

mekanisme kerja pada mesin, pada proses produksi,<br />

pada sirkulasi darah manusia, dan lain-lain.<br />

Pada proses produksi viskositas memegang<br />

peran pada hasil produk. Pada reaksi kimia maka<br />

nilai viskositas akan berperan dalam menentukan<br />

kondisi-kondisi optimum dari suatu proses reaksi.<br />

Berbagai disain peralatan pencetakan, permesinan<br />

(pelumas), disain pompa, system injeksi dll<br />

memerlukan penentuan nilai viskositas untuk dapat<br />

menghasilkan kondisi kerja optimum karena<br />

melibatkan fluida.<br />

Karakterisik aliran fluida yang berhubungan<br />

dengan viskositas dikelompokkan dalam dua<br />

kelompok besar, yaitu Newtonian dan non<br />

Newtonian [1]. Pada fluida Newtonian nilai<br />

viskositas tidak tergantung pada gaya geser terhadap<br />

fluida, sedangkan pada fluida non Newtonian<br />

viskositas tergantung pada gaya geser pada fluida.<br />

Viskositas fluida dipengaruhi oleh suhu dan<br />

tekanan. Sehingga dalam berbagai proses (misalnya<br />

pelumas pada mesin) nilai viskositas akan berubah<br />

seiring dengan kenaikan suhu fluida (oli). Viskositas<br />

fluida juga akan berubah karena adanya perubahanperubahan<br />

internal dari fluida akibat keausan selama<br />

dipergunakan. Sebagai contoh adalah oli yang<br />

semakin encer ketika lama dipergunakan. Polimer<br />

dengan rantai yang panjang diketahui pada<br />

umumnya memiliki viskositas yang besar dan ketika<br />

rantai polimer putus semakin pendek viskositas<br />

menjadi turun.<br />

Pengetahuan tentang nilai viskositas zata cair<br />

yang dipergunkan dapat memiliki dampak ekonomi<br />

dan lingkungan yang besar. Sebagai conoh adalah<br />

oli pelumas. Penggunaan oli pelumas di Indonesia<br />

pada tahun 2008 adalah sejumlah 650 juta liter<br />

dengan sektor otomotive menggunakan sejumlah<br />

60% nya [2]. Pertumbuhan penggunaan diperkirakan<br />

mencapai 10% per tahun. Dalam penggunaan oli<br />

untuk pelumas, pengguna biasanya akan mengganti<br />

oli pelumas berdasarkan jarak tempuh kendaraan<br />

bermotor. Pada umumnya penggantian dilakukan<br />

pada jarak tempuh antara 2500KM sampai dengan<br />

5000KM tergantung pada jenis pelumas yang<br />

dipergunakan. Penggantian dilakukan tanpa perlu<br />

mengetahui apakah viskositas pelumas masih layak<br />

dipergunakan atau sudah waktunya untuk diganti.<br />

Pada mesin industry penggantian pelumas dilakukan<br />

secara periodic berdasarkan waktu kerja mesin.<br />

Dalam hal pergantian pelumas, penggantian<br />

terlalu awal, yang umumnya dipilih oleh pengguna<br />

karena tidak mau mengambil resiko kerusakan<br />

mesin, merupakan suatu pemborosan sumber daya,<br />

sedangkan keterlambatan penggantian akan<br />

D93


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

berakibat pada laju kerusakan mesin yang lebih<br />

cepat. Dengan demikian pengukuran nilai viskositas<br />

penting untuk memperoleh kondisi optimum<br />

penggunaan oli. Dengan demikian maka pengukuran<br />

nilai viskositas secara langsung (online atau offline)<br />

dengan sampel sedikit dan praktis dipergunakan<br />

dapat membantu dalam menentukan kelayakan<br />

penggunaan pelumas secara parktis.<br />

Pada dasarnya viskositas dapat diukur dengan<br />

menggunakan banyak metode. Dari berbagai<br />

metode yang ada antara lain adalah dengan metode<br />

kapiler, bola jatuh, rotasi benda dalam fluida,<br />

ultrasonic [3] atau vibrasi [4]. Dari beragai metode<br />

yang ada, yang mungkin dikembangkan untuk suatu<br />

system pengukuran online adalah metode dengan<br />

vibrasi, ultrasonic atau rotasi benda.<br />

Pada penelitian ini dilakukan pengembangan<br />

teknik pengukuran viskositas dengan metode rotasi<br />

benda dengan menggunakan batang pejal dan motor<br />

DC. Penggunaan silinder pejal dengan diameter<br />

kecil dipilih dengan pertimbangan untuk dapat<br />

dipergunakan dalam pengukuran sampel dengan<br />

volume sedikit.<br />

II. TEORI DAN EKSPERIMEN<br />

A. Pendekatan Teori<br />

Dalam disain viscometer rotasi pada dasarnya<br />

adalah menggunakan metode yang dikembangkan<br />

oleh Mac Michael dan Stormer. Pada teknik ini<br />

dipergunakan tabung silinder besar dan tabung luar<br />

dengan fluida berada diantaranya. Prinsip dasar dari<br />

metode ini adalah adanya gaya geser fluida pada<br />

dinding silinder seperti tampak apada gambar 1.<br />

Secara digaramatis maka akibat adanya gaya putar<br />

pada salah satu silinder, maka luida akan<br />

meneruskan gaya geser ke silinder lain yang<br />

selanjutnya dapat diukur torsinya.<br />

Gbr. 1 Viscometer dua silinder<br />

Pada system seperti gambar 1, maka persamaan<br />

viskositas [5] dapat dinyatakan seperti pada<br />

persamaan (1).<br />

= T ⎡ 1 1 ⎤<br />

η − ⎢ −<br />

(1)<br />

2 ⎥<br />

4 π ω L ⎣r<br />

2<br />

2<br />

r1<br />

⎦<br />

T = Torsi (N.m)<br />

η = Koefisien viskositas (N.s/m 2 )<br />

r 1 = jari-jari silinder dalam (m)<br />

r 2 = ari-jari silinder luar (m)<br />

L = Panjang silinder (m)<br />

ω = Kecepatan putar (rps)<br />

Dengan membuat silinder dalam r 1 jauh lebih<br />

kecil dari silinder luar r 2 , maka kita dapat<br />

memperoleh persamaan menjadi:<br />

T 1<br />

η =<br />

(2)<br />

2<br />

4 π ω L r 1<br />

Sehingga untuk panjang silinder tetap dan diameter<br />

tetap maka viskositas merupakan hubungan<br />

langsung dengan Torsi dan kecepatan putar silinder.<br />

Dengan motor DC untuk memutar silinder,<br />

maka kendali dapat dilakukan melalui dua cara yaitu<br />

dengan menjaga kecepatan putar tetap atau menjaga<br />

torsi yang dikeluarkan tetap. Kecepatan putar motor<br />

DC dapat dibuat tetap dengan system umpan balik<br />

dengan melakukan perubahan pada arus dan atau<br />

tegangan. Sedangkan pada kondisi dimana tegangan<br />

dan arus dibuat konstan, maka daya yang dihasilkan<br />

oleh motor akan tetap sehingga perputaran silinder<br />

(motor DC) akan berubah akibat adanya viskositas<br />

dari fluida. Alternatif lain yang dapat dilakukan<br />

adalah dengan sekaligus mengukur daya pada motor<br />

dan kecepatan putar motor. Dengan asumsi bahwa<br />

torsi yang dihasikan oleh motor adalah linier dengan<br />

daya pada motor (P), maka persamaan 2 dapat<br />

didekati dengan suatu model pada persamaan 3.<br />

P<br />

η = k<br />

(3)<br />

ω<br />

dengan k adalah suatu konstanta yang ditentukan<br />

dari percobaan yang disebabkan oleh: karakteristik<br />

daya motor, diameter silinder dan kedalaman<br />

silinder yang tercelup ke dalam fluida. Dengan<br />

mengukur daya dan kecepatan putar maka secara<br />

teoritis diharapkan akan diperoleh hasil linier antara<br />

P/ω terhadap η.<br />

B. Disain system dan bahan<br />

Pada percobaan ini maka dipergunakan<br />

konstruksi system seperti pada gambar 2. Pada<br />

gambar 2 arus dan tegangan yang diberikan ke<br />

motor DC diukur secara langsung dengan<br />

menggunakan voltmeter dan ampermeter. Hal ini<br />

dilakukan untuk mengetahui yang masuk ke motor<br />

DC karena diperkirakan tegangan dan arus yang<br />

masuk ke motor akan dipengaruhi oleh beban yang<br />

dikenakan pada motor.<br />

-<br />

Voltmeter<br />

00.0<br />

+<br />

R<br />

Amperemeter<br />

00.0<br />

Opto coupler<br />

LCD<br />

PengaturMotor DC<br />

Gbr. 2 Konfigurasi system pengukuran<br />

Pencacah<br />

Frekuensi<br />

D94


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pada percobaan dipergunakan 3 macam silinder<br />

pecal dengan diameter 3mm, 4mm dan 5mm dengan<br />

panjang silinder yang tercelup ke dalam fluida<br />

sedalam 4cm. Silinder pejal yang dipergunakan<br />

adalah silinder baja (stainless steel). Motor DC yang<br />

dipergunakan adalah motor DC 12V tipe EG-<br />

530AD-2B. Motor ini dapat bekerja pada rentang<br />

tegangan 8.4 s/d 15 volt dengan torsi tanpa beban<br />

sebesar 8 gram cm. Motor DC dikendallikan dengan<br />

memberikan tegangan masukan sebesar 12V DC.<br />

Kecepatan putar diukur dengan menggunakan<br />

optocoupler yang dihubungkan ke pencacah<br />

frekuensi. Untuk mengukur frekuensi digunakan<br />

frekuensi counter Hameg HM-11.<br />

Pengukuran dilakukan dengan melakukan<br />

pencatatan arus, tegangan dan kecepatan putar pada<br />

saat silinder putar dicelupkan ke dalam oli sedalam<br />

4cm. Pengukuran dilakukan pada berbagai macam<br />

oli. Masing-masing pengukruan dilakukan sebanyak<br />

5 kali.<br />

Bahan fluida yang dipergunakan adalah oli<br />

bekas dan oli baru dengan berbagai jenis viskositas.<br />

Pemilihan oli baru dan oli bekas dipilih dengan<br />

pertimbangan ketersediaan ragam viskositas. Untuk<br />

penentuan viskositas oli sebagai acuan awal<br />

dipergunakan metode bola jatuh pada kolom fluida<br />

dengan menggunakan hokum Stokes.<br />

III. HASIL PERCOBAAN & ANALISIS<br />

Pada percobaan pengukuran viskositas oli yang<br />

dipergunakan diperoleh sebaran viskositas oli yang<br />

beragam seperti pada Tabel 1. Dari table dapat<br />

dilihat bahwa sebaran viskositas fluida yang<br />

dipergunakan cukup memadai untuk dipergunakan<br />

karena memberikian nilai-nilai viskositas yang<br />

tersebar. Pada setiap oli bekas yang dipergunakan<br />

kekentalannya lebih rendah dari oli yang belum<br />

dipergunakan. Campuran antar oli tidak dilakukan<br />

agar homogenitas fluida dapat terjamin dengan baik.<br />

Hasl ini disebabkan pencampuran antar fluida yang<br />

tidak homogen diperkirakan akan mempengaruhi<br />

hasil pengukuran karena akan terjadi fluktuasi<br />

viskositas pada masing-masing fraksi fluida.<br />

Gbr. 3 Hubungan antara daya per kecepatan putar terhadap<br />

viskositas oli<br />

TABEL IV Viskositas Beberapa Oli<br />

Hasil pengukuran pada tegangan, arus dan<br />

kecepatan putar setelah dirata-rata disajikan pada<br />

gambar 3. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara<br />

daya per kecepatan putar (P/ω) terhadap viskositas<br />

fluida (η). Dari gambar 3 dapat dilihat adanya<br />

kecenderungan hubungan linier antara P/ω dan η.<br />

Semakin besar nilai viskositas maka nilai P/ω<br />

semakin besar. Hal ini disebabkan oleh semakin<br />

kecilnya kecepatan putar motor akibat gaya gesek<br />

yang ditimbulkan antara silinder dan fluida. Semakin<br />

kental fluida, maka gaya gesek yang ditimbulkan<br />

semakin besar sehingga mengurangi kecepatan putar<br />

motor.<br />

Dari grafik dapat dilihat bahwa factor diameter<br />

sebagai salah satu parameter fisis yang diubah pada<br />

struktur system ukur memberikan kontribusi pada<br />

kemiringan grafik. Semakin besar diameter, yang<br />

berarti juga semakin luas kontak permukaan silinder<br />

dengan fluida menyebabkan gaya gesek semakin<br />

besar. Hal ini berakibat pada penurunan kecepatan<br />

putar motor sehingga nilai P/ω semakin besar.<br />

Dengan demikian semakin besar diameter maka<br />

sensitivitas system terhadap perubahan nilai<br />

viskositas akan semakin baik. Namun demikian<br />

nampaknya beban yang semakin besar pada motor<br />

juga memberi dampak negatif, sehingga kinerjanya<br />

menjadi kurang baik dan berdampak pada faktor<br />

korelasi yang rendah. Pencarian untuk mendapatkan<br />

ukuran dimater silinder yang optimum perlu<br />

dilakukan.<br />

Hasil ini menunjukkan pendekatan yang diambil<br />

dengan menggunakan inverse dari persamaan (3)<br />

cukup terpenuhi. Namun factor korelasi dari hasil<br />

pengukuran masih kurang baik. Faktor korelasi<br />

terbaik diperoleh pada silinder dengan diameter<br />

4mm dengan nilai 0.93. Namun demikian dari grafik<br />

dapat dilihat bahwa garis tidak memotong sumbu<br />

(0,0). Didapatkan fakta adanya nilai konstanta yang<br />

menyertai persamaan, sehingga persamaan (3)<br />

menjadi:<br />

P<br />

η = k + C<br />

(4)<br />

ω<br />

D95


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan nilai C suatu tetapan yang dari hasil<br />

eskperimen. Nilai C bisa jadi muncul karena disain<br />

system yang tidak sepenuhnya mengikuti model<br />

pada system persamaan (1) yang mengukur torsi<br />

yang ditransmisikan oleh fluida, tetapi pada system<br />

ini mengukur kehilangan torsi akibat gesekan.<br />

Meskipun ada perbedaan dalam disain rancanga<br />

system, namun secara konseptual metode<br />

pengukuran ini memenuhi kaidah dasar bahwa<br />

viskositas adalah merupakan ukuran dara gaya geser<br />

fluida. Sehingga semakin besar viskositasnya gaya<br />

geser untuk menggerakkan fluida semakin besar,<br />

yang berarti pula gaya gesek fluida dengan silinder<br />

semakin besar.<br />

Untuk disain suatu sistem pengukuran dengan<br />

viskositas fluida yang tidak diketahui, maka<br />

persamaan (4) untuk masing-masing silinder pejal<br />

adalah:<br />

P<br />

η =141.4<br />

− 6.33 untuk silinder 3mm,<br />

ω<br />

P<br />

η = 81.1<br />

− 3.68untuk silinder 4mm dan<br />

ω<br />

P<br />

η = 39.6<br />

−1.62<br />

untuk silinder 5mm.<br />

ω<br />

Dari hasil-hasil yang diperoleh didapat suat<br />

kecenderungan semakin besar diameter silinder,<br />

maka konstanta pada persamaan semakin kecil dan<br />

mendekati nol. Hal ini dapat berarti bahwa untuk<br />

ukuran diameter tertentu yang semakin besar, akan<br />

mungkin diperoleh nilai konstanta C persamaan (4)<br />

sama dengan nol, sehingga akan diperoleh<br />

persamaan linier seperti pada persamaan 3. Dengan<br />

menggunakan nilai-nilai pada persamaan di atas,<br />

maka suatu system pengukuran viskositas dengan<br />

silinder pejal dan motor dapat disusun dengan<br />

memasukkan persamaan dalam mikrokontroller.<br />

IV. KESIMPULAN<br />

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa<br />

system pengukuran viskositas dengan menggunakan<br />

silinder pejal tunggal dapat bekerja dengan baik<br />

dengan nilai korelasi terbaik antara varaiable terukur<br />

(daya listrik dan kecepatan putar) terhadap<br />

viskositas sebesar 0.93. Perubahan diameter silinder<br />

menyebabkan laju perputaran silinder menurun<br />

sehingga mempengaruhi nilai koefisien persamaan<br />

linear antara P/ω terhadap η.<br />

Referensi<br />

D.S. Viswanath, T.K. Ghosh, D.H.L. Prasad N.V.K.<br />

Dutt and K.Y. Rani, Viscosity of Liquids,<br />

Netherland, Springer, 2007.<br />

Anonympus, “Cut throat competition feared in<br />

lubricant oil market”, Indonesian<br />

Commercial Newsletter, 2009, July.<br />

S.H. Sheen, H.T. Chien and A.C. Raptis, “An in-line<br />

ultrasonic viscometer”, 21st Annual Review<br />

of Progress in Quantitative Nondestructive<br />

Evaluation Conference, Snowmass, 1994.<br />

O.N. Ashour, Z.A. Chaudry and C.A. Rogers,<br />

“Liquid viscosity measurement using a<br />

longitudinally vibrating PZT ceramic and<br />

electric impedance measurements”, Smart<br />

Structures and Materials 1996: Smart<br />

Sensing, Processing, and Instrumentation,<br />

1996<br />

R.L. Street, G.Z. Watters and J.K. Vennard,<br />

Elementary Fluid Mechanics, Wiley, 1995.<br />

D96


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Analisa Pengaruh Tebal dan Kuat Arus Terhadap Distorsi pada<br />

Pengelasan Multilayer Pelat Datar dengan Menggunakan GMAW Type<br />

Pulsa<br />

Sukendro. Bs, ST 1 , Ir. Mochtar Karokaro, Msc 2 , Ir. Hari Subiyanto, Msc 3 .<br />

Program studi PPs Prodi Sistem Manufaktur FTI ITS<br />

Kampus Jurusan Teknik Mesin ITS Surabaya.<br />

Indonesia<br />

Email : -<br />

Abstrak<br />

Intisari- AISI 1045 termasuk kategori baja heat treatable dan sering digunakan sebagai komponen mesin.. baja<br />

kelompok heat treatable memiliki keunggulan yaitu pada sifat mekanik baja yang dapat dimodifikasi dengan<br />

memberikan heat treatment. Proses perbaikan komponen mesin sering dilakukan dengan pengelasan. Pada<br />

pengelasan sering muncul adanya distorsi sudut. Distorsi sudut muncul akibat masukan panas (H nett ) dan<br />

kecepatan pendinginan yang terjadi pada benda kerja. Perlu dilakukan penelitian hubungan antara tebal pelat dan<br />

arus pengelasan terhadap distorsi sudut. Pada penelitian ini digunakan variabel-variabel proses dengan respon<br />

distorsi sudut. Variable proses yang digunakan adalah tebal pelat dan arus pengelasan. Tebal menggunakan level<br />

8mm, 13mm dan 20mm. Dan pada arus pengelasan menggunakan level 125A, 150A dan 175A. Kemudian<br />

dengan software minitab R14 dapat diketahui model matematis hubungan antara variable-variabel proses<br />

terhadap rerspon. Pada hasil pengukuran dilakukan analisa statistic dengan minitab R14. Dari analisa didapat<br />

persamaan matematik. Dari persamaan matematik menunjukkan bahwa tebal memberikan kontribusi positif<br />

terhadap distorsi dan arus memberikan kontribusi negative. Sehingga semakin besar tebal pelat yang akan dilas<br />

dapat meningkatkan terjadinya distorsi sudut pada hasil lasan. Dan semakin tinggi arus pengelasan yang<br />

digunakan didalam pengelasan dapat mengurangi terjadinya distorsi sudut pada hasil lasan<br />

Keywords : Parameter las, distorsi sudut, analisa statistik.<br />

Pendahuluan<br />

AISI 1045 AISI 1045 termasuk kategori baja<br />

heat treatable dan sering kali digunakan sebagai<br />

komponen –komponen mesin. Baja kelompok heat<br />

treatable memiliki keuntungan, yaitu sifat mekanik<br />

baja yang dapat dimodifikasi dengan memberikan<br />

heat treatment. Proses perbaikan mesin sering<br />

dilakukan dengan pengelasan. Proses pengelasan<br />

sering digunakan las listrik SMAW meskipun pada<br />

alat tersebut memiliki kekurangan-kekurangan. Alat<br />

las GMAW sering digunakan sebagai teknologi baru<br />

yang dapat menutupi kekurangan didalam las listrik<br />

SMAW, misalnya elektroda yang tidak terbatas.<br />

Sehingga dapat digunakan untuk pengelasan<br />

multilayer yang luas.<br />

Didalam proses pengelasan sering muncul adanya<br />

distorsi pada hasil lasan. Distorsi disebabkan oleh<br />

masukan panas dan kecepatan pendinginan yang<br />

tidak seimbang. Distorsi tidak diharapkan terjadi<br />

setelah proses repairing komponen mesin selesai.<br />

Distosi dapat berupa penyusutan kearah<br />

longitudinal, transversal dan kearah sudut. Distorsi<br />

pada komponen mesin dapat menyebabkan noise<br />

yang berakibat kerusakan fatal pada mesin. Untuk<br />

mengetahui pemicu terjadinya distorsi, maka perlu<br />

dilakukan penelitian lanjut mengenai distorsi.<br />

Penelitian ini menggunakan 2 variabel proses<br />

yang dicurigai sebagai pemicu terjadinya distorsi<br />

sudut. Variabel proses pada penelitian ini digunakan<br />

tebal pelat dan arus pengelasan. Data yang didapat<br />

dari pengukuran distorsi sudut, perlu dilakukan<br />

pengujian secara statistik. Kemudian dengan<br />

software minitab R14 didapat model matematik dari<br />

proses. Dari model dapat diketahui sejauh mana<br />

pengaruh tebal pelat dan arus pengelasan<br />

mempengaruhi distorsi sudut.<br />

Dasar Teori<br />

Peneliti-peneliti terdahulu telah meneliti<br />

mengenai pengaruh tebal pelat dan arus pengelasan<br />

terhadap distorsi sudut dengan alat las yang berbedabeda.<br />

Pada penelitian dengan las SMAW (shielded<br />

metal arc welding), menunjukkan bahwa ketebalan<br />

pelat memberikan pengaruh yang signifikan [1].<br />

Kemudian pada penelitian mengenai penggelasan<br />

baja lunak dengan menggunakan SAW (submerged<br />

arc welding), efek kuat arus memberikan pengaruh<br />

yang signifikan terhadap distorsi [10]. Dimana arus<br />

yang digunakan dalam proses pengelasan akan<br />

berbanding lurus dengan laju distorsi. Pada<br />

penelitian mengenai pengaruh parameter las dengan<br />

menggunakan alat las GMAW (gas metal arc<br />

welding) terhadap distorsi, menunjukkan bahwa<br />

tegangan, kuat arus, kecepatan pengelasan dan<br />

D97


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

panjang pengelasan memberikan pengaruh yang<br />

signifikan terhadap laju distorsi sudut [9]. Demikian<br />

juga pada penelitian mengenai pengelasan dua<br />

material yang tidak sejenis, dengan melakukan<br />

pengaturan masukan panas guna mengurangi distorsi<br />

bowing dengan menggunakan GMAW,<br />

menunjukkan bahwa ketahan baja tahan karat<br />

terhadap distorsi bowing kecil meskipun disertasi<br />

dengan perlakukan panas dan pemanasan pada jarak<br />

yang lebar dari garis las dan dapat meningkatkan<br />

distorsi bowing pada baja karbon maupun baja tahan<br />

karat [13]. Pada penelitian mengenai pengaruh tebal<br />

pelat dalam pengelasan dengan SAW (submerged<br />

arc welding), menunjukkan bahwa dengan<br />

kedalaman penetrasi dan pemilihan parameter las<br />

yang tepat dapat meminimalkan terjadinya distorsi<br />

sudut pada pengelasan sambungan T [14]. Pada<br />

pengelasan baja lunak menggunakan GMAW<br />

dengan metal transfer type spray menunjukkan<br />

bahwa arus dan tebal dapat memberikan pengaruh<br />

yang signifikan terhadap distorsi sudut, disamping<br />

itu arus dan tebal memberikan pengaruh yang<br />

signifikan terhadap perubahan struktur mikro dan<br />

kekerasan pada daerah las, khususnya daerah HAZ<br />

[2].<br />

Alat las GMAW secara garis besar adalah las<br />

listrik dengan pelindung nyala api berupa gas. Gas<br />

pelindung dapat berupa inert gas (He dan Ar) dan<br />

actif gas (CO 2 dan O 2 ) ([4], [6]). Nyala busur listrik<br />

saat proses pengelasan akan terselubungi gas<br />

pelindung. Gas pelindung berfungsi melindungi<br />

logam las saat mencair dari udara atmoser dan<br />

menaikkan heat transfer saat gas pelindung<br />

menggunakan actif gas. Elektroda yang digunakan<br />

didalam las GMAW tidak memiliki panjang yang<br />

terbatas. Alat las GMAW semiotomatis ditunjukkan<br />

pada gambar 2.1.<br />

2. metal transfer globular,<br />

3. metal transfer pulsa dan<br />

4. metal transfer spray<br />

Metal transfer yang terjadi dibedakan berdasarkan<br />

penggunaan arus pengelasan. Penggunaan arus<br />

ditunjukkan pada gambar 2.2.<br />

GAMBAR 2.2. PULSA ARUS SEBAGAI REFERENSI YANG<br />

MEMBEDAKAN METAL TRANSFER DIDALAM LAS GMAW [6].<br />

Arus transisi digunakan ketika metal transfer type<br />

pulsa digunakan. Pada diameter elektroda 1mm, arus<br />

pengelasan digunakan 150A [3].<br />

Pemilihan parameter las yang tepat akan<br />

menentukan kualitas hasil las. Salah satu parameter<br />

las adalah arus pengelasan. Arus pengelasan yang<br />

tinggi menyebabkan elektroda akan cepat meleleh,<br />

sehingga juru las cenderung mempercepat kecepatan<br />

pengelasan. Saat arus pengelasan rendah<br />

menyebabkan elektroda sulit meleleh, sehingga juru<br />

las cenderung memperlambat kecepatan pengelasan.<br />

Arus pengelasan berbanding lurus dengan H nett . H nett<br />

merupakan bentuk energi input didalam pengelasan.<br />

Besar energi input dapat mempengaruhi kecepatan<br />

pendinginan. Kecepatan pendinginan juga<br />

dipengaruhi oleh luas permukaan benda kerja yang<br />

terekspos ke udara bebas, yang memungkinkan<br />

terjadinya laju perpindahan panas secara konveksi<br />

[4]. Kecepatan pendinginan menentukan distorsi<br />

sudut pada hasil pengelasan [3].<br />

Distorsi sudut merupakan bentuk penyimpangan<br />

geometri dari hasil pengelasan. Distorsi muncul<br />

sebagai akibat pemuaian saat pemanasan yang tidak<br />

seimbang dengan penyusutan saat fase pendinginan<br />

terjadi. Kontraksi termal saat terjadinya pemanasan<br />

dan ketika berlangsungnya fase pendinginan benda<br />

kerja dapat melampui deformasi plastik [4]. Distorsi<br />

sudut dipengaruhi oleh ketebalan pelat yang<br />

ditunjukkan pada gambar 2.3.<br />

GAMBAR 2.1. A. ALAT LAS GMAW SEMI OTOMATIK. B. PROSES<br />

PENGELASAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT LAS GMAW [4].<br />

Didalam las GMAW dikenal 4 macam metal<br />

transfer, yaitu:<br />

1. metal transfer short circuit,<br />

D98


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Table 3.2. Design eksperimen berdasarkan formasi CCD [7].<br />

GAMBAR 2.3. PENGARUH TEBAL PELAT TERHADAP DISTORSI<br />

SUDUT PADA PENGELASAN ALUMINIUM SERI 5083 [6].<br />

Metode Penelitian<br />

Eksperimen ini merupakan model system<br />

pengelasan pelat datar dengan las GMAW yang<br />

ditunjukkan pada gambar 3.1. Eksperimen ini<br />

diawali dengan penetapan level pada tebal dan<br />

arus pengelasan. Level tebal dan arus pengelasan<br />

ditunjukkan pada tabel 3.1. Eksperimen ini<br />

dibuat dengan<br />

No<br />

Gambar 3.1. Model system.<br />

Table 3.1. Level tebal dan arus pengelasan<br />

Parameter Bebas<br />

Level<br />

-1 0 1<br />

1 X 1 = Tebal Pelat (mm) 8 13 20<br />

2 X 2 = Arus Pengelasan(ampere) 125 150 175<br />

formasi Central Composite Design (CCD). Formasi<br />

CCD didapat dari software minitab R14. Sebagai<br />

inputan yang dimasukkan kedalam software minitab<br />

ditunjukkan pada gambar 3.2. Formasi CCD<br />

ditunjukkan pada table 3.2.<br />

No<br />

test<br />

X 1 X 2 Tebal (mm)<br />

Kuat arus<br />

(ampere)<br />

1 0 -1 13 125<br />

2 0 0 13 150<br />

3 0 0 13 150<br />

4 0 0 13 150<br />

5 -1 1 8 175<br />

6 -1 0 8 150<br />

7 -1 -1 8 125<br />

8 0 0 13 150<br />

9 0 1 13 175<br />

10 1 -1 20 125<br />

11 1 0 20 150<br />

12 1 1 20 175<br />

13 0 0 13 150<br />

Specimen benda kerja digunakan AISI 1045 yang<br />

sering digunakan sebagai bahan pembuatan<br />

komponen mesin. Komposisi kimia dari specimen<br />

benda kerja ditunjukkan pada tabel 3.3.<br />

Table 3.3. Komposisi kimia baja AISI 1045.<br />

Unsur kimia %<br />

Cuprum (Cu) -<br />

Mangan (Mn) 60<br />

Phosfor (P) 1<br />

Sulfur (S) 2<br />

Silikon (Si) 20<br />

Carbon (C) 48<br />

Pelaksanaan pengelasan dilakukan didalam<br />

laboratorium. Pengelasan dilakukan pada posisi 1G.<br />

Layer yang digunakan didalam pengelasan sebanyak<br />

4 layer. Debit gas pelindung CO 2 15 lt/min.<br />

Pengelasan dilakukan secara manual dan dikerjakan<br />

oleh juru las yang bersertifikat juru las. Kecepatan<br />

filler disesuaikan dengan arus pengelasan.<br />

Kecepatan filler 13m/min digunakan pada arus<br />

125A. Kecepatan filler 18m/min digunakan pada<br />

arus 150A. Kecepatan filler 16m/min digunakan<br />

pada arus 175A. Pengukuran distorsi hasil<br />

pengelasan dilakukan dengan menggunakan dial<br />

indicator. Posisi pengukuran ditunjukkan pada<br />

gambar 3.3.<br />

Gambar 3.2. Inputan awal untuk mendapatkan desain CCD.<br />

(A)<br />

D99


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

(B)<br />

GAMBAR 3.3. A. KOORDINAT PENGUKURAN DENGAN DIAL<br />

INDICATOR . B. PENEMPATAN BENDA KERJA SAAT DILAKUKAN<br />

PENGUKURAN DENGAN DIAL INDICATOR [12].<br />

Hasil Penelitian<br />

Hasil eksperimen dalam formasi CCD<br />

ditunjukkan pada tabel 4.1. Data yang ditabelkan<br />

merupakan nilai distorsi maksimum yang terjadi<br />

didalam setiap specimen benda kerja. Data hasil<br />

eksperimen perlu dilakukan pengujian secara<br />

statistic. Pengujian statistic diperlukan sebagai<br />

syarat validitas data secara statistik, yaitu error yang<br />

terjadi identic, error yang terjadi berdistribusi<br />

normal dan independent ([5], [7]). Hasil pengujian<br />

dengan software minitab R14 ditunjukkan pada<br />

gambar 4.1. Hasil analisa variansi data hasil<br />

eksperimen<br />

Table 4.1. Data hasil pengukuran dalam formasi CCD.<br />

Arus Distorsi<br />

No X 1 X 2 Tebal (mm)<br />

(ampere) (°)<br />

1 0 -1 13 125 0.074860<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

8<br />

9<br />

10<br />

11<br />

12<br />

13<br />

0 0 13 150<br />

0 0 13 150<br />

0 0 13 150<br />

-1 1 8 175<br />

-1 0 8 150<br />

-1 -1 8 125<br />

0 0 13 150<br />

0 1 13 175<br />

1 -1 20 125<br />

1 0 20 150<br />

1 1 20 175<br />

0 0 13 150<br />

0.053580<br />

0.049682<br />

0.050342<br />

0.046092<br />

0.046016<br />

0.067149<br />

0.050231<br />

0.045968<br />

0.107000<br />

0.069000<br />

0.059928<br />

0.055400<br />

Gambar 4.1. Hasil analisa dengan menggunakan software minitab<br />

R14.<br />

menunjukkan bahwa tebal pelat memberikan<br />

kontribusi positif terhadap distorsi sudut dan arus<br />

pengelasan memberikan kontribusi negative<br />

terhadap distorsi sudut. Hasil analisa didapat<br />

persamaan matematik yang menggambarkan proses.<br />

Model matematis adalah sebagai berikut,<br />

Ў = 0.0513+0.012779X 1 -<br />

0.016170X 2 +0.007576X 1 2 +0.010482X 2 2 –<br />

0.006504X 12<br />

(3.1)<br />

Pengujian hipotesa variabel-variabel menggunakan<br />

α=0.05. Hasil pengujian variable-variabel didalam<br />

model menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang<br />

signifikan dari variabel-variabel proses terhadap<br />

distorsi sudut. Pengujian error dengan normality test<br />

didapat hasil bahwa error berdistribusi normal<br />

dengan P-value=0.102. Sebaran data pada<br />

autocorrelation menunjukkan bahwa error<br />

independent. Sebaran data didalam plotting diagram<br />

menunjukkan bahwa error identic satu dengan yang<br />

lain. Harga R 2 =98.6% mengindikasikan bahwa<br />

model dapat menggambarkan proses dengan sangat<br />

baik<br />

Model matematis menunjukkan kontribusi<br />

pengaruh tebal pelat dan kuat arus pengelasan<br />

terhadap distorsi sudut. Pengaruh terbesar diberikan<br />

oleh arus pengelasan. Pengaruh terkecil diberikan<br />

oleh tebal pelat. Pengaruh arus memberikan efek<br />

negative pada distorsi sudut. Semakin tinggi arus<br />

pengelasan yang digunakan dapat mengurangi<br />

terjadinya distorsi sudut. Pengaruh tebal<br />

memberikan efek positive pada distorsi sudut.<br />

Semakin tebal pelat yang akan dilas peluang<br />

terjadinya distorsi sudut akan semakin besar. Model<br />

juga menggambarkan proses secara nyata. Model<br />

menggambarkan hubungan tebal dan arus<br />

pengelasan dengan distorsi sudut bukan sebagai<br />

fungsi linier, melainkan fungsi kuadratik yang<br />

ditunjukkan dengan kurva pada grafik yang<br />

berbentuk parabolik. Hubungan tebal dan arus<br />

pengelasan dengan distorsi sudut ditunjukkan pada<br />

gambar 4.2. Kurva grafik<br />

D100


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

δ<br />

0.12<br />

0.1<br />

0.08<br />

0.06<br />

0.04<br />

0.02<br />

0<br />

Pengaruh tebal dan arus terhadap distorsi sudut<br />

0.107<br />

0.07486<br />

0.067149<br />

0.06918<br />

0.059928<br />

0.051848<br />

0.046016 0.046092 0.045968<br />

125 150 175<br />

ampere<br />

Gambar 4.2. Grafik hubungan antara tebal dan arus<br />

pengelasan dengan distorsi sudut.<br />

tebal8<br />

tebal13<br />

tebal20<br />

menunjukkan bahwa distorsi dipengaruhi oleh tebal<br />

pelat dan arus pengelasan. Ketika tebal pelat yang<br />

dilas semakin tebal dapat menaikkan luasan<br />

permukaan yang terekspos ke udara bebas. Luas<br />

permukaan yang terekspos udara bebas yang<br />

semakin luas dapat menaikkan laju perpindahan<br />

panas secara konveksi. Ketika laju perpindahan<br />

panas naik, maka kecepatan pendinginan pada benda<br />

kerja akan naik. Kecepatan pendinginan yang tinggi<br />

dapat menghambat upaya logam berkontraksi<br />

menuju kekondisi awal. Akibatnya distorsi yang<br />

ditimbulkan pelat dengan tebal 20mm terbesar, jika<br />

dibandingkan dengan yang lain.<br />

Efek yang ditimbulkan tebal pelat datar<br />

berbanding terbalik dengan efek yang ditimbulkan<br />

arus pengelasan terhadap distorsi sudut dan<br />

ditunjukkan dengan penurunan trend pada grafik.<br />

Arus pengelasan adalah factor yang dapat<br />

menaikkan harga H nett . H nett merupakan bentuk<br />

masukan panas yang terjadi pada proses pengelasan.<br />

Ketika H nett mengalami kenaikan akan<br />

memperlambat laju pendinginan pada hasil lasan.<br />

Laju pendinginan yang lambat dapat memperluas<br />

gerakan benda kerja untuk berkontraksi<br />

kekondisi awal. Akibatnya distorsi yang terjadi<br />

menjadi kecil. Peristiwa tersebut dijelaskan dengan<br />

penurunan distorsi sudut, ketika arus pengelasan<br />

dinaikkan. Bentuk distorsi sudut yang terjadi linier<br />

pada sumbu Z maupun sumbu X dan ditunjukkan<br />

pada gambar 4.3<br />

posisi keδ<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />

titik ke-<br />

(Sb z)<br />

δ<br />

0.07<br />

0.06<br />

0.05<br />

0.04<br />

0.03<br />

0.02<br />

0.01<br />

0.07<br />

0.06<br />

0.05<br />

0.04<br />

0.03<br />

0.02<br />

0.01<br />

0<br />

0<br />

Pengaruh tebal pada arus pengelasan 125A<br />

0.052524147<br />

0.034006554<br />

0.02800366<br />

0.056780505<br />

0.036758277<br />

0.032755857<br />

0.061204872 0.064043771<br />

0.046016238<br />

0.041762138<br />

0.039343483<br />

0.035841006<br />

1 2 3 4<br />

arah transversal<br />

tebal8<br />

tebal13<br />

tebal20<br />

Pengaruh tebal pada arus pengelasan 125A<br />

tebal8<br />

tebal13<br />

tebal20<br />

b. arah longitudinal<br />

Gambar 4.3. Distorsi sudut yang tejadi akibat perubahan tebal<br />

pada pengelasan dengan arus 125A.<br />

kesimpulan<br />

(Sb x)<br />

Dari analisa hasil penelitian dapat ditarik<br />

kesimpulan sebagai berikut,<br />

1. Semakin besar luas permukaan benda kerja<br />

yang terekspos ke udara bebas, akan menaikkan<br />

harga distorsi sudut didalam pengelasan pelat<br />

datar menggunakan las GMAW.<br />

2. Semakin tinggi arus pengelasan yang digunakan<br />

dapat menurunkan terjadinya distorsi sudut pada<br />

pengelasan pelat datar menggunakan las<br />

GMAW.<br />

3. Arus pengelasan sebagai parameter las dapat<br />

digunakan untuk mengurangi pengaruh tebal<br />

pelat terhadap respon distorsi sudut.<br />

D101


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Penulisan jurnal ini tidak akan dapat selesai tanpa<br />

bantuan<br />

dari pihak-pihak terkait. Untuk itu kami berikan<br />

ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada bpk.<br />

Ir. Mocthar Karo-karo Msc. sebagai pembimbing<br />

pertama, bpk. Ir. Hari Subiyanto, Msc. sebagai copembimbing,<br />

pak Zajuli sebagai instruktur las BLK,<br />

pak Roni instruktur lab metrology manufactur dan<br />

teman-teman di PPs Simanu ITS yang telah<br />

memberikan bantuan demi selesainya penulisan<br />

jurnal ini.<br />

Referensi<br />

Anggono, Juliana, dkk, Pengaruh Besar Input Panas<br />

Pengelasan SMAW terhadap Distorsi Angular<br />

Sambungan T Baja Lunak SS400, Vol 1, No 1, Jurnal<br />

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri,<br />

Universitas Kristen Petra, Surabaya,<br />

http://www.t.petra.ac.id/~puslit/journals/,1999.<br />

Awia Konang, Pengaruh variasi tebal pelat dan<br />

besar arus listrik terhadap distorsi pada<br />

pengelasan multilayer proses GMAW dengan<br />

menggunakan transfer spray. Proceding Seminar<br />

Pascasarjana, PPs, ITS, Surabaya. 2009.<br />

AWS D1.1/D1.1 M – Struktur Welding Code – Steel,<br />

American Welding Society, An American National<br />

Standart. 2002,<br />

Gourd L.M., Principles of Welding Technology, Third<br />

Edition, Edward Arnold, A Division of Holder<br />

Headline PLC, 338 Euston Road, London. 1995.<br />

Iriawan, Nur, Ph.D., Septin Pudji Astuti, S.Si., MT,<br />

Mengolah Data Statistik Dengan Mudah<br />

Menggunakan Minitab 14, Andi, Yogyakarta. 2006.<br />

Kou, Sindo, Welding Metallurgy, 2 th Edition, John<br />

Wiley and Sons, Canada. 2003.<br />

Montgomery, D.C., Design and Analysis of Experiment,<br />

John Wiley and Sons, Canada. 1991.<br />

Myer, R.H., and Montgomery, D.C., Respon Surface<br />

Methodology Process and Production<br />

Optimazation Using Design Experiment. John<br />

Wiley and Sons, Canada. 2002.<br />

Rusdianto, Jaka, Analisa Pengaruh Parameter Pengelasan<br />

GMAW terhadap Distorsi yang Terjadi Pada<br />

Pengelasan Baja SS400 Ketebalan 12mm. Tugas<br />

Akhir yang tidak dipublikasikan, ITS, Surabaya.<br />

1999.<br />

Suwanda, Totok, Minimalisasi Distorsi Pada Pengelasan<br />

Plat Baja Lunak dengan Submerged Arc Welding<br />

Pada lebar Pelat Dan Kedalaman Penetrasi yang<br />

berbeda, Proceding Seminar Pascasarjana, PPs, ITS,<br />

Surabaya. 2001.<br />

Wiryosumarto, Harsono, Prof., Dr., Ir., dan Toshie<br />

Okumura, Prof., Dr., Teknologi Pengelasan Logam, ,<br />

PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 2004.<br />

Yoshiki, Mikami, dkk, Measurement and Numerical<br />

Simulation of Angular Distortion of Fillet Welded T-<br />

joint, Vol.24, No. 4(20061105) pp.312-323. Japan<br />

Welding Society. 2006.<br />

Triyono, Drs, Pengaruh Manajemen Termal terhadap<br />

Distorsi Bowing Sambungan Las Logam tak Sejenis<br />

antara Baja Karbon dan Baja Tahan Karat. Unesa.<br />

2006.<br />

Pranowo Sidi, Minimalisasi Distorsi Sudut dengan<br />

Kedalaman Penetrasi sebagai Kendala pada Proses<br />

Pengelasan Busur Rendam Sambungan-T. Proceding<br />

Seminar Pascasarjana, PPs, ITS, Surabaya. 2008.<br />

D102


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sensor Kadar Hemoglobin dalam Darah Tanpa Melukai (Non-Invasive)<br />

Berbasis Komputer dengan Metode Pengenalan Pola<br />

(Sensor Of Hemoglobin Meter Non-Invasive Pattern Recognize Methode)<br />

Sutrisno,. Yoyok Adisetio Laksono<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Negeri Malang, 65145 Malang, Jawa Timur, Indonesia<br />

Email :<br />

Intisari<br />

Hemoglobin adalah molekul utama dalam sel darah yang berfungsi mengikat oksigen untuk diedarkan keseluruh<br />

jaringan tubuh. Pengukuran kadar hemoglobin dalam darah berguna untuk mengetahui kondisi fisik tubuh sehat<br />

atau sakit. Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan di laboratorium Patologi Klinis dengan cara mengambil<br />

darah pasien kemudian di campur dengan larutan anti koagulan dan pelarut kimia kemudian di hitung kadar<br />

hemoglobinnya dengan Hb meter. Proses mulai dari mengambil darah sampai keluar hasil perhitungan kadar Hb<br />

seseorang pasien sesungguhnya hanya membutuhkan waktu ±10 menit.Pengukuran kadar Hb dengan cara<br />

tersebut menimbulkan rasa sakit (invasif) pada saat pengambilan darah dan juga membutuhkan waktu yang<br />

cukup lama untuk mendapatkan hasilnya. Untuk menghindari hal tersebut dibuat pengukur kadar Hb tanpa<br />

menyakiti pasien (non-invasif).<br />

Telah dibuat rancang bangun sensor kadar hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non-invasive) berbasis<br />

komputer dengan metode pengenalan pola, diperoleh kesimpulan bahwa 1) Rancang bangun sistem sensor kadar<br />

Hemoglobin tanpa melukai berbasis komputer dapat digunakan sumber cahaya dari LED dengan warna yang<br />

berbeda dan photo dioda sebagai sensor cahaya yang berjumlah tiga buah dan keluarannya diubah dalam bentuk<br />

sinyal digital oleh ADC, ketiga Keluaran dari ADC ini membentuk pola kadar hemoglobin. 2) Hasil pengukuran<br />

kadar Hb dari telinga manusia diperoleh keluaran ketiga sensor yang membentuk pola.<br />

Keywords- Sensor kadar Hb tanpa melukai, metode pengenalan pola<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Hemoglobin adalah molekul utama dalam sel<br />

darah yang berfungsi mengikat oksigen untuk<br />

diedarkan keseluruh jaringan tubuh. Pengukuran<br />

kadar hemoglobin dalam darah berguna untuk<br />

mengetahui kondisi fisik tubuh sehat atau sakit.<br />

Kadar hemoglobin wanita biasanya mempunyai<br />

jumlah hemoglobin yang lebih sedikit daripada<br />

pria. Jumlah hemoglobin pria dewasa normal<br />

berkisar antara 14,0 s/d 18,0 gr/dL sedangakan<br />

untuk wanita dewasa normal berkisar antara 12,0<br />

s/d 16,0 gr/dL (Smith, F. Joshep. 2005).<br />

Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan di<br />

laboratorium Patologi Klinis dengan cara<br />

mengambil darah pasien kemudian di campur<br />

dengan larutan anti koagulan dan pelarut kimia<br />

kemudian di hitung kadar hemoglobinnya dengan<br />

Hb meter. Proses mulai dari mengambil darah<br />

sampai keluar hasil perhitungan kadar Hb<br />

seseorang pasien sesungguhnya hanya<br />

membutuhkan waktu +/- 10 menit. Namun dalam<br />

pratek proses tersebut berlangsung lebih lama, hal<br />

ini karena pengambilan darah pasien dan alat<br />

pengukur kadar Hb tidak berada di ruang yang<br />

sama.<br />

Pengambilan sampel darah dilakukan sampai<br />

terkumpul sejumlah tertentu sampel darah pasien,<br />

kemudian sampel - sampel yang terkupul tersebut<br />

dikirim ke tempat pengukur Hb. Selama menunggu<br />

sampai jumlah tertentu sampel, kadang kala terjadi<br />

pembekuan darah sampel. Jika hal ini terjadi maka<br />

perlu dilakukan pengambilan ulang darah pasien yang<br />

sampelnya membeku. Pengukuran kadar Hb dengan<br />

cara tersebut menimbulkan rasa sakit (invasif) pada<br />

saat pengambilan darah dan juga membutuhkan<br />

waktu ysng cukup lama untuk mendapatkan hasilnya<br />

. Untuk menghindari hal tersebut dibuat pengukur<br />

kadar Hb tanpa menyakiti pasien (non-invasif).<br />

Dengan alat ini tidak dilakukan lagi pengambilan<br />

darah untuk sampel. Pengukuran kadar Hb langsung<br />

di lakukan dengan cara mengukur besarnya intensitas<br />

sinar yang di serap oleh Hb dalam tubuh pasien,<br />

dengan mengetahui besarnya intensitas sinar yang<br />

diserap oleh Hb maka dapat diketahui kadar Hb<br />

dalam darah .<br />

Pengukuran intensitas cahaya yang di serap oleh<br />

larutan untuk menentukan konsentrasi larutan<br />

tersebut berlandaskan pada hukum Beer-Lambert<br />

yang menyatakan adanya hubungan linier antara<br />

konsentrasi larutan dengan besar intensitas sinar yang<br />

diserap oleh larutan tersebut<br />

Dalam penelitian ini pertama adalah sembuat<br />

sensor kadar hemoglobin dengan keluaran sinyal<br />

dalam bentuk digital sehingga data yang diperoleh<br />

bisa dianalisa oleh komputer. Oleh sebab itu rumusan<br />

masalahnya adalah:<br />

D103


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Bagaimana rancang bangun sensor kadar<br />

hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non<br />

invasive) dengan keluaran berbentuk pola ?<br />

Bagaimana kestabilan pola keluaran sensor kadar<br />

hemoglobin dalam darah tanpa melukai ini ?<br />

Adapun tujuan penelitian ini adalah<br />

Mengetahui rancang bangun sensor kadar<br />

hemoglobin dalam darah tanpa melukai (non<br />

invasive) dengan keluaran berbentuk pola ?<br />

Mengetahui kestabilan pola keluaran sensor kadar<br />

hemoglobin dalam darah tanpa melukai ini ?<br />

II. TINJAUAN PUSTAKA<br />

A. Hemoglobin (Hb)<br />

Darah manusia terdiri dari 2 (dua) komponen,<br />

yaitu:<br />

Cairan darah atau plasma darah yang terdiri atas air<br />

dan sari makanan, zat-zat sisa, enzim, hormon,<br />

mineral, dan vitamin yang larut.<br />

Sel-sel darah yang terdiri dari sel darah pembeku<br />

(trombosit), sel darah putih (leukosit) dan sel<br />

darah merah (eritrosit) yang merupakan bagian<br />

utama sel-sel darah.<br />

Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein<br />

konjugat di dalam sel darah yang bersifat mengikat<br />

oksigen untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh<br />

(Smith, F. Joshep. 2005). Pengukuran jumlah<br />

Hemoglobin berguna untuk mengetahui kondisi<br />

fisik tubuh seseorang, sehat atau sakit. Kondisi<br />

tubuh yang sehat memerlukan jumlah hemoglobin<br />

yang cukup. Jumlah oksigen dalam jaringan tubuh<br />

bergantung dari banyaknya hemoglobin dalam<br />

darah. Jumlah hemoglobin normal berbeda-beda<br />

bergantung pada jenis kelamin dan umur. Wanita<br />

biasanya mempunyai jumlah hemoglobin yang<br />

lebih sedikit daripada pria. Jumlah hemoglobin pria<br />

dewasa normal berkisar antara 14,0 s/d 18,0 gr/dL<br />

sedangakan untuk wanita dewasa normal berkisar<br />

antara 12,0 s/d 16,0 gr/dL (Smith, F. Joshep. 2005).<br />

Apabila seseorang mempunyai jumlah hemoglobin<br />

kurang dari batasan tersebut atau bahkan lebih<br />

besar dari jumlah normal maka dapat diindikasikan<br />

orang tersebut tidak sehat atau sakit.<br />

Sifat hemoglobin yang khas adalah mempunyai<br />

kemampuan mengangkut oksigen membentuk<br />

oksihemoglobin. Pada orang normal sekitar 97-98%<br />

dari oksigen diangkut dari paru-paru ke jaringan<br />

tubuh dalam gabungan yang reversible dengan<br />

molekul hemoglobin (Smith, F. Joshep. 2005). Hal<br />

ini dapat dinyatakan dengan sederhana oleh<br />

persamaan berikut:<br />

Hb + O 2<br />

↔ HbO 2<br />

Keterangan<br />

Hb : Hemoglobin tanpa oksigen<br />

HbO 2 : Oksihemoglobin<br />

Selama ini pengukuran hemoglobin dilakukan diluar<br />

tubuh (exvivo). Ada dua metode yang lazim<br />

dilakukan untuk mengukur hemoglobin, yaitu metode<br />

Sahli dan metode Spektrofotometri.<br />

B. Metode Sahli<br />

Pada umumnya metode pengukuran jumlah Hb<br />

adalah sama yaitu dengan mengambil sejumlah darah<br />

untuk dijadikan sampel dan dilakukan pengujian di<br />

laboratorium. Metode sahli juga menggunakan darah<br />

sebagai sampel darah yang diambil dari pembuluh<br />

nadi (arteri), kemudian darah tersebut diberi<br />

koagulan lalu dicampur dengan suatu pereaksi.<br />

Larutan tersebut diteteskan pada kertas khusus untuk<br />

pengukuran hemoglobin. Dari perubahan warna yang<br />

timbul pada kertas tersebut akan dicocokkan dengan<br />

warna standar yang sudah ada (Kleiner I.S, Dotti<br />

L.B., 1984 ). Dari warna standar yang sama dengan<br />

warna kertas yang sudah ditetesi sample darah dapat<br />

diketahui konsentasi Hb pada darah tersebut. Setiap<br />

warna yang timbul mempunyai ukuran konsentrasi<br />

berdeda-beda<br />

C. Hukum Beer-Lambert<br />

Apabila cahaya melewati suatu larutan yang<br />

dapat menyerap cahaya maka sebagian dari cahaya<br />

akan diserap dan sebagiannya lagi akan diteruskan<br />

oleh larutan tersebut (Gambar.1). Intensitas cahaya<br />

yang diserap mengikuti hukum-hukum <strong>Fisika</strong>,<br />

misalnya intensitas pancaran sinar monokromatis<br />

yang jatuh pada larutan adalah I 0 maka intensitas<br />

sinar yang lolos adalah I 1 .<br />

mbar 1. Penyerapan Sinar Monokromatis Oleh Larutan<br />

Hubungan antara intensitas sinar monokromatis<br />

yang lolos dan yang sampai pada larutan menurut<br />

Hukum Beer-Lambert adalah sebagai berikut:<br />

abc<br />

I0 = I110<br />

(1)<br />

Keterangan :<br />

a : Koefsien penyerapan larutan<br />

b : Panjang jalur optis yang dilalui cahaya<br />

c : Konsentrasi larutan<br />

Perbandingan I 1 terhadap I 0 disebut transmitansi (T)<br />

dinyatakan sebagai<br />

I1<br />

T = (2)<br />

I<br />

0<br />

Penyerapan (absorbance : A) memiliki hubungan<br />

yang logaritmis dengan transmitansi, secara<br />

matematis dapat dinyatakan<br />

Ga<br />

D104


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

A<br />

1<br />

log<br />

T<br />

= (3)<br />

Dari persamaan (1), (2) dan (3) diperoleh hubungan<br />

antara penyerapan dengan konsentrasi larutan jika<br />

panjang jalur optis dan panjang gelombang cahaya<br />

tetap konstan.<br />

1<br />

A = log<br />

T<br />

I0<br />

= log<br />

I1<br />

abc<br />

( I110<br />

)<br />

A = log<br />

I1<br />

abc<br />

= log10<br />

A = abc<br />

(4)<br />

Dengan mengukur I 0 dan I 1 dapat diketahui<br />

penyerapan A dan dari penyerapan ini dapat diukur<br />

variabel c yaitu konsentrasi larutan (Blauch, David<br />

N.,2007). Menghitung konsentrasi larutan dengan<br />

metode ini dapat dilakukan dengan memakai alat<br />

Spektrometer.<br />

D. Analog Digital to Converter<br />

Akuisisi data merupakan proses pengukuran<br />

dan kuantisasi sinyal untuk analisa dan proses<br />

digital. Jadi card akuisisi merupakan interface<br />

dari sinyal analog dengan sinyal-sinyal dijital.<br />

Card akuisisi ini dapat dipakai untuk keperluan<br />

data logger. Data logger merupakan sistem untuk<br />

mengukur sejumlah variabel dan ditulis secara<br />

tabulasi atau disimpan untuk input<br />

komputer.Untuk mengakusisi data yang dalam<br />

bentuk analog kemudian supaya bisa diolah dalam<br />

komputer , maka diperlukan rangkaian perantara<br />

(card). Adapun rangkaian perantara adalah<br />

media komunikasi antara komputer dengan<br />

peralatan sebelumnya. Tegangan keluaran dari<br />

penguat sebelumnya yang masih dalam bentuk<br />

analog dikonversikan dalam bentuk digital, supaya<br />

bisa dimengerti oleh komputer. Konversi ini<br />

dilakukan dengan menggunakan ADC (Analog<br />

to Digital Converter). Blok diagram gambar<br />

.5.“ADC ini bekerja secara integrasi lereng ganda<br />

(integrating dual slope). dengan prinsip kenaikan<br />

penyeimbang muatan. Tegangan masukan analog<br />

Iin memuati kapasitor yang terletak pada jalur<br />

umpan balik Op-Amp yang bertindak sebagai<br />

integrator. Keluaran dari integrator ini<br />

selanjutnya dibandingkan oleh komparator, ketika<br />

keluaran komparator menuju nol, saklar yang<br />

menghubungkan generator arus referensi (Iref)<br />

terhubung menuju kapasitor pengintegrasi (Cin),<br />

akibatnya kapasitor pengintegrasi akan<br />

dikosongkan (diseimbangkan). Jumlah pulsa yang<br />

diperlukan selama proses pengosongan akan<br />

dicacah menjadi suatu bilangan dalam kode biner.<br />

Bilangan ini merupakan hasil akhir konversi<br />

(Samuel H. Tirtamihardja, 1996).<br />

AD<br />

572<br />

12<br />

BIT<br />

SN74LS395<br />

4 BIT S.R.W<br />

3 STATE OUT<br />

12 BIT DATA BUSS<br />

B12(LSB) B9 B5<br />

+5V<br />

+5V<br />

F. Pengenalan Pola<br />

+5V<br />

SN74LS395<br />

4 BIT S.R.W<br />

3 STATE OUT<br />

parallel output enable<br />

Gambar .5. Blok diagram HADC-572<br />

+5V<br />

B1(MSB)<br />

SN74LS395<br />

4 BIT S.R.W<br />

3 STATE OUT<br />

ground<br />

Dalam <strong>Fisika</strong> besaran dibedakan menjadi dua,<br />

yaitu besaran pokok dan besaran pokok tambahan.<br />

Adapun besaran pokok ada 7, diantaranya adalah<br />

panjang, masa, waktu, arus listrik, suhu, banyaknya<br />

zat, intensitas cahaya dan besaran pokok tambahan<br />

ada 2, diantaranya sudut datar dan sudut ruang.<br />

Disamping itu ada besaran turunan, yaitu besaran<br />

yang diturunkan dari besaran pokok. Seperti<br />

kecepatan diturunkan dari besaran pokok yaitu<br />

panjang dibagi waktu.<br />

Besaran-besaran tersebut semuanya merupakan<br />

besaran yang dapat diukur langsung sekalipun untuk<br />

besaran turunan dilakukan pengukuran tidak<br />

langsung. Ada beberapa besaran yang belum dapat<br />

diukur secara langsung maupun tidak langsung. Oleh<br />

sebab itu untuk melakukan pengukuran besaranbesaran<br />

yang yang belum jelas perlu dilakukan<br />

pengukuran dengan metode lain. Metode yang sudah<br />

dikembangkan adalah metode pengenalan pola (<br />

pattern recognize ) (.Valluru B.Rao & Hayagriva V.<br />

Rao, 1993)<br />

Untuk menangkap pola ini sudah barang tentu<br />

sensor yang digunakan tidak hanya satu sensor<br />

dengan satu keluaran, akan tetapi digunakan lebih<br />

dari satu sensor dengan lebih dari satu keluaran.<br />

Sensor ini mengukur sesuai dengan besaran pokok<br />

seperti disebutkan diatas.<br />

Sensor lebih dari satu dan dengan keluaran yang<br />

lebih dari satu akan membentuk kombinasi atau<br />

variasi pasangan yang merupakan pola dari ukuran<br />

besaran zat yang diukur. Bentuk pola keluaran sensor<br />

dapat digambrkan seperti pada gambar 6.<br />

Keluaran<br />

sen3<br />

sen1<br />

sen2<br />

Gambar 6. Keluaran dari sistem sensor merupakan pola<br />

D105


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

III. DESAIN DAN METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini merupakan penelitian diskripsi<br />

ekperiment yaitu penelitian yang menggambarkan<br />

pembuatan alat dengan memberi perlakuan<br />

(menyinari cahaya) pada sampel untuk<br />

mendapatkan data sebagai identifikasi kadar Hb<br />

dalam darah pasien. Oleh sebab itu supaya<br />

didapatkan hasil yang baik serta spesifik disusunlah<br />

metodologi penelitiannya untuk tahap pertama ini<br />

meliputi: (A) Rancang bangun sistem alat<br />

identifikasi kadar Hb dalam darah non-invasive. (B)<br />

Rancang bangun sensor kadar Hb dalam darah<br />

tanpa melukai dengan metode pengenalan pola. (C)<br />

Rancang bangun ADC. (D) Program driver sebagai<br />

pendukung pembacaan data keluaran sensor dalam<br />

bentuk digital. (E). Analisis data.<br />

A. Rancang Bangun Sistem Alat Identifikasi<br />

Kadar Hemoglobin non-invasif<br />

Sistem alat pengukur kadar hemoglobin dalam<br />

darah tanpa melukai (non-invasive) terdiri dari lima<br />

unit fungsional yaitu, sumber cahaya, sensor<br />

cahaya, penguat sinyal, pengubah sinyal analog<br />

menjadi digital dan pengolah data atau unit<br />

komputer. Dimana unit pertama sumber cahaya<br />

yang merupakan sensor hemoglobin dalam darah,<br />

hal ini didasarkan pada hukum Beer-Lambert, yaitu<br />

intensitas cahaya yang dilewatkan pada darah akan<br />

mengalami penyerapan. Konstanta penyerapan<br />

intensitas cahaya tersebut akan berbanding lurus<br />

dengan kadar hemoglobin. Unit kedua adalah<br />

sensor cahaya, dimana bagian ini merupakan alat<br />

ukur elektronik yang mampu mengubah suatu<br />

bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Jenis<br />

sensor yang digunakan pada pengukur kadar Hb<br />

adalah sensor yang mampu mengubah energi<br />

cahaya (intensitas cahaya diserap Hb) menjadi<br />

energi listrik dalam bentuk arus listrik. Arus listrik<br />

keluaran sensor pada umumnya sangat kecil (nA)<br />

maka dibutuhkan penguat sinyal sebagai unit<br />

ketiga, Penguatan sinyal ini dilakukan supaya dapat<br />

dideteksi oleh meter yang dipergunakan. Unit<br />

keempat adalah pengubah sinyal analog menjadi<br />

sinyal digital atau ADC (Analog Digital Converter).<br />

Hal ini perlu dilakukan karena sinyal dari sensor<br />

cahaya setelah mengalami penguatan masih dalam<br />

bentuk sinyal analog, oleh sebab itu supaya sinyal<br />

ini dapat diolah oleh unit komputer diubah terlebih<br />

dahulu dalam bentuk sinyal digital. Bagian<br />

pengolah data merupakan unit kelima dimana<br />

bagian ini yang mengolah data selanjutnya hasilnya<br />

disimpan pada memori serta hasil tersebut dapat<br />

ditampilkan pada monitor dan dapat dicetak pada<br />

mesin pencetak. Secara lengkap bagan skema<br />

sistem alat pengukur hemoglobin tanpa melukai<br />

(non-invasif) dapat dilihat pada gambar 7.<br />

Gambar 7. Sistem alat pengukur kadar hemoglobin tanpa melukai<br />

B. Rancang bangun Sensor Kadar Hb Dalam<br />

Darah Tanpa Melukai Dengan Metode Pengenalan<br />

Pola<br />

Pengukur kadar Hb non-invasif dirancang untuk<br />

mengukur kadar Hb darah yang beredar dalam tubuh.<br />

Sensor dipasang di daun telinga yang merupakan<br />

bagian tubuh yang mengandung jaringan darah dan<br />

mudah untuk ditembus cahaya. Sensor fotodioda<br />

dipasang pada salah satu sisi daun telingan sedang<br />

sisi lainnya dipasang sumber cahaya seperti nampak<br />

pada gambar 7. Sumber cahaya yang digunakan<br />

adalah cahaya monokromatis yang mempunyai<br />

intensitas cahaya cukup tinggi dan ukuran fisik<br />

sumber cahaya cukup kecil mengingat alat tersebut<br />

diletakan pada daun telinga. Dari pertimbangan<br />

tersebut sumber cahaya yang memenuhi syarat adalah<br />

LED komunikasi (Sutrisno,2000).<br />

Berdasarkan oksihemoglobin atau darah arteri<br />

yang encer menunjukan 3 pita absorpsi pada daerah<br />

panjang gelombang tertentu, oleh sebab itu dalam<br />

penggunaan sumber cahaya digunakan 3 sumber<br />

cahaya monokromatis dengan panjang gelombang<br />

yang sesuai dengan daerah panjang gelombang pita<br />

absorpsi<br />

Io<br />

Sumber cahaya Daun Telinga Sensor cahaya<br />

Gambar 8. Letak sumber cahaya dan sensor cahaya pada daun<br />

telinga<br />

Demikian juga sensor cahaya untuk menangkap<br />

cahaya setelah melewati darah dalam tubuh pasien.<br />

Untuk menghilangkan pengaruh warna kulit dari<br />

tubuh pasien ini, maka pengolahan data dari sensor<br />

hemoglobin dilakukan dengan metode sitem pakar<br />

(expert system). Tiga masukan dari sensor<br />

hemoglobin ini nanti akan di kopling oleh ADC<br />

selanjutnya hasil masukan data tersebut sebagai<br />

masukan program sistem pakar yang digunakan untuk<br />

pengolahan data. Sekalipun intensitas cahaya yang<br />

melalui kulit pasien berwarna (kuning, sawo matang,<br />

hitam dan lain-lain ) dengan menggunakan program<br />

I<br />

D106


2<br />

Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

sistem pakar akan diperoleh data pola kadar Hb<br />

bedasarkan warna kulit pasien.<br />

Delphi/pascal supaya data tersebut bisa ditampilkan<br />

dalam monitor. Adapun diagram alir untuk<br />

pengenalan pola kadar Hb dalam darah adalah<br />

sebagai berikut:<br />

Start<br />

-Baca ketiga<br />

pasang<br />

sensor.<br />

Menampilkan keluaran<br />

ketiga sensor<br />

Gambar. 9 Skema sensor pola kadar Hb dalam darah<br />

dengan penguat sinyal<br />

Adapun rangkaian sensor kadar Hb dalam<br />

darah dengan metode pengenalan pola dapat dilihat<br />

pada gambar.9. Sensor 1 dengan sumber cahaya<br />

warna merah, sensor 2 dengan sumber cahaya<br />

warna kuning, sensor 3 dengan sumber cahaya<br />

warna hijau, Keluaran dari sensor ini berupa sinyal<br />

analog yang membentuk pola yaitu keluaran V o1 ,<br />

V o2 , dan V o3 . dikopling ke ADC untuk diubah<br />

dalam bentuk digital dengan keluaran dalam binary,<br />

supaya datanya dapat ditampilkan dalam komputer<br />

serta diolah menggunakan program sistem pakar.<br />

C. Rancang bangun ADC<br />

Rancang bangun ADC menggunakan<br />

mikrokontroler AD 0804. Adapun skemanya seperti<br />

gambar berikut:<br />

+12V<br />

1<br />

C1<br />

10uF<br />

In-put<br />

C4<br />

10nF<br />

LM<br />

LM7805CT<br />

Vin<br />

GND<br />

R2<br />

4K7<br />

R3<br />

10K<br />

+5V<br />

R1<br />

1K2<br />

3<br />

+5V<br />

C2<br />

10uF<br />

7<br />

6<br />

8<br />

9<br />

19<br />

4<br />

Vin(-)<br />

Vin(+)<br />

A-GND<br />

Vref/2<br />

CLK-R<br />

CLK-IN<br />

ADC<br />

ADC0804<br />

VccREF 20<br />

C3<br />

10uF<br />

lsbDB0<br />

DB1<br />

DB2<br />

DB3<br />

DB4<br />

DB5<br />

DB6<br />

msbDB7<br />

INTR<br />

CS<br />

RD<br />

WR<br />

18<br />

17<br />

16<br />

15<br />

14<br />

13<br />

12<br />

11<br />

5<br />

1<br />

2<br />

3<br />

Gambar 10 . Skema ADC dengan mikrokontroler 0804<br />

Keluaran ADC ini nantinya dihubungkan dengan<br />

komputer supaya data yang diperoleh dapat<br />

ditampilkan oleh monitor maupun dicetak.<br />

D. Program Driver Sebagai Pendukung<br />

Pembacaan Data Keluaran Sensor Dalam Bentuk<br />

Digital.<br />

Untuk dapat membaca tegangan keluaran dari<br />

sensor perlu program baca data sinyal dalam bentuk<br />

digital dibuat program menggunakan bahasa<br />

2<br />

3<br />

5<br />

6<br />

11<br />

10<br />

14<br />

13<br />

1<br />

15<br />

MUX<br />

1A<br />

1B<br />

2A<br />

2B<br />

3A<br />

3B<br />

4A<br />

4B<br />

A/B<br />

G<br />

74LS157<br />

1Y<br />

2Y<br />

3Y<br />

4Y<br />

4<br />

7<br />

9<br />

12<br />

1<br />

14<br />

2<br />

15<br />

3<br />

16<br />

4<br />

17<br />

5<br />

18<br />

6<br />

19<br />

7<br />

20<br />

8<br />

21<br />

9<br />

22<br />

10<br />

23<br />

11<br />

24<br />

12<br />

25<br />

13<br />

DB<br />

DB25<br />

Rekam pola<br />

keluaran dalam<br />

file dat.<br />

End<br />

Gambar 11. Diagram alir proses program pembacaan keluaran<br />

dalam bentuk digital sebagai pengenalan pola kadar Hb<br />

E. Analisa Data<br />

Sesuai dengan tujuan penelitian menguji alat<br />

yang telah dirancang bangun, maka selajutnya adalah<br />

menguji alat tersebut. Dalam pengujian ini meliputi<br />

1). Kestabilan keluaran ADC, 2) Kestabilan pola<br />

keluaran sensor dalam bentuk digital 3) Analisa<br />

keluaran sensor hemoglobin dalam bentuk pola layak<br />

digunakan untuk pengenalan pola.<br />

Untuk menguji kestabilan ADC dilakukan<br />

dengan memberikan masukan pada ADC<br />

mengggunakan sumber tegangan untuk sensor 1,<br />

sensor 2, dan sensor 3. kemudian mencatat keluaran<br />

dari ADC dalam bentuk binary dalam waktu yang<br />

lama. Sedangkan untuk menguji pola keluaran dari<br />

sensor kadar hemoglobin dilakukan pengukuran pada<br />

telinga manusia, dan keluarannya dicatat untuk waktu<br />

yang lama. Untuk menganalisa data diperoleh<br />

digambarkan dalam grafik hubungan antara data<br />

keluaran ketiga sensor dengan waktu sehinga terlihat<br />

karakteristik alat.<br />

D107


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

IV.DATA DAN ANALISA DATA<br />

Data kestabilan ADC dapat dilihat pada<br />

lampiran dari data tersebut digambarkan dalam<br />

grafik hubungan keluaran ADC terhadap waktu.<br />

Grafiknya dapat dilihat pada gambar 12. sebagai<br />

berikut,<br />

Gambar 12.Grafik hubungan antara keluaran ADC dan<br />

waktu dalam detik<br />

Dari ketiga keluaran ADC dari grafik terlihat<br />

bahwa untuk keluaran 1 terjadi fluktuasi dengan<br />

rerata 173,60 ± 0,49, akan tetapi fluktuasinya<br />

kurang dari 1 % sehingga ADC ini memiliki<br />

kestabilan yang cukup baik. Artinya ADC ini layak<br />

digunakan sebagai pengubah sinyal analog dari<br />

sensor HB ke digital.<br />

Untuk menguji sensor HB dilakukan<br />

pengukuran pada telinga orang diperoleh keluaran<br />

sensor dihubungkan ke ADC digunakan untuk<br />

melihat pola keluaran sensor terhadap waktu<br />

diperoleh data yang dapat dilihat pada lampiran.<br />

Adapun grafik hubungan keluaran ketiga sensor<br />

terhadap waktu sebagai berikut:<br />

Gambar 12.Grafik hubungan antara keluaran sensor terhadap<br />

waktu<br />

Dari grafik gambar 12 untuk keluaran sensor 1<br />

selama waktu 273 detik diperoleh rerata keluaran<br />

dalam binary 116,95 ± 10,99 fluktuasinya sekitar<br />

9,39 %, keluaran sensor 2 rerata keluaran dalam<br />

binary 63,37 ± 1,31 dengan fluktuasi 2%, keluaran<br />

sensor 3 rerata keluaran dalam binary 34,25± 3,79<br />

dengan fluktuasi 11%. Berdasarkan hasil ini dari<br />

ketiga keluaran sensor ini keluaran sensor 2 yang<br />

stabil untuk keluaran sensor 1 dan keluaran sensor<br />

3 kurang stabil sehingga sensor 1 dan 3 perlu<br />

dilakukan perbaikan atau mengurangi noise yang<br />

muncul pada sensor tersebut.<br />

V. PENUTUP<br />

A.Kesimpulan<br />

Berdasarkan data dan hasil pembahasan dapat<br />

disimpulkan sebagai berikut:<br />

1. Rancang bangun sistem sensor kadar<br />

Hemoglobin tanpa melukai berbasis komputer<br />

dapat digunakan sumber cahaya dari LED<br />

dengan warna yang berbeda dan photo dioda<br />

sebagai sensor cahaya yang berjumlah tiga<br />

buah dan keluarannya diubah dalam bentuk<br />

sinyal digital oleh ADC, ketiga Keluaran dari<br />

ADC ini membentuk pola kadar hemoglobin.<br />

2. Hasil pengukuran kadar Hb dari telinga<br />

manusia diperoleh keluaran ketiga sensor yang<br />

membentuk pola.<br />

B.Saran<br />

Berdasarkan kesimpulan Rancang bangun sensor<br />

Kadar Hb tanpa melukai disarankan :<br />

1. Untuk sensor 1 dan 3 perlu dilakukan perbaikan<br />

yaitu mengurangi noise dari alat tersebut , supaya<br />

keluaran ketiga sensor yang membentuk pola bisa<br />

stabil.<br />

2.Untuk selanjutnya dilakukan penelitian berikutnya<br />

dalam program untuk mengolah data pola kadar Hb<br />

dalam darah<br />

REFERENSI<br />

Smith, F. Joshep. 2005. Blood Count. (online),<br />

(http://www.chclibrary.org/medicallibrary/blo<br />

odcount. html, diakses 20 Mei 2005)<br />

Blauch, David N.,2007, Spectrophotometry: Beer's<br />

Law.<br />

(online),<br />

(http://www.chclibrary.org/spectrophotometry<br />

/beer’slaw. html, diakses Juni 2007)<br />

Kleiner I.S, Dotti L.B., 1984 “ Laboratory<br />

Instructions in Biochemystry”, Mosby<br />

Company<br />

Samuel H. Tirtamihardja, 1996, Elektronika digital,<br />

Yogyakarta: Penerbit Andi Offset<br />

Valluru B.Rao & Hayagriva V. Rao, 1993. C + +<br />

Neural network and fuzzy logic. NewYork:<br />

MIS Press.<br />

D108


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perancangan Instrument<br />

Pengukur Suhu Badan Pasien<br />

Menggunakan Sensor ECC Sistem Logger.<br />

Toni Subiakto 1 , Lalu Husnan Wijaya 2<br />

1, 2. Peneliti SPD – LAPAN Watukosek<br />

e-mail: toni_wako@yahoo.com<br />

ABSTRAK<br />

Sensor suhu dari ECC merupakan trnsduser yang memiliki sensitivitas tinggi, bentuk fisik nya sangat kecil<br />

sehingga lebih mudah untuk digunakan sebagai pengukur suhu pada seluruh bagian badan pasien. Rangkaian<br />

pengkondisi sinyal (PS) dan operational amplifier (Op-Amp) terpasang pada output sensor, yang berfungsi<br />

untuk merubah nilai resistansi menjadi tegangan. Hasil keluaran sinyal analog dikonversi menjadi digital oleh<br />

unit ADC yang dapat ditampilkan pada monitor komputer berupa grafik dan numerik.<br />

Data pengukuran suhu badan pasien dapat disimpan pada direktori tertentu dengan nama file identitas nama<br />

pasien dan waktu pemeriksaan dilakukan. Sistem logger yang digunakan sebagai media konversi dari sinyal<br />

analog ke digital, menggunakan ADC 12 bit dengan 3 channel. Dari hasil uji kelayakan instrument alat desain<br />

(AD) terhadap alat referensi berupa thermometer (AR) pada perubahan suhu, maka respon (AD) lebih sensitip<br />

tingkat perubahannya dibandingkan alat thermometer (AR).<br />

Keywords : Sensor ECC, Transduser, Op-Amp, Analog, Digital.<br />

I. PENDAHULUAN<br />

1. 1. Latar Belakang.<br />

Dengan semakin meningkatnya kemajuan<br />

teknologi, terutama berkaitan dengan peralatan<br />

medis, maka perlu melakukan perancangan suatu<br />

alat (instrument) yang dapat digunakan untuk<br />

mengukur seluruh suhu badan pasien. Selain lebih<br />

praktis dalam menggunakan alat ini, informasi data<br />

suhu pasien dapat disimpan pada suatu folder<br />

(direktori) yang sesuai dengan kemauan kita,<br />

sekaligus nama pasien dan tanggal pengukuran dapat<br />

menjadi nama file penyimpanan.<br />

Sistem logger yang digunakan sebagai media<br />

konversi dari sinyal analog ke digital, menggunakan<br />

ADC 12 bit dengan 3 channel, sehingga masih<br />

menyisakan 2 channel masukan yang dapat<br />

dimanfaatkan untuk keperluan lain.<br />

1. 2. Kondisi Instrument Di Lapangan<br />

Dalam penggunaan dilapangan, peralatan ini<br />

terbagi menjadi 3 unit yaitu : unit sensor, unit bok<br />

instrument utama dan unit komputer (laptop), secara<br />

fisik instrument ini tidak terlalu berat dan dalam<br />

kemasan relatip kecil, maka sangat cocok bila<br />

digunakan oleh para perawat dalam pemeriksaan<br />

rutin kesehatan seluruh pasien di rumah sakit, atau<br />

ditempatkan pada ruang dokter untuk sarana<br />

pemeriksaan bagi pasien.<br />

II. PEMBAHASAN RANGKAIAN<br />

INSTRUMENT<br />

2. 1. Blok Diagram Sistem<br />

Secara sistematis rangkaian elektronika,<br />

instrument tersebut dapat dibagi menjadi beberapa<br />

blok sistem, yang disesuaikan dengan alur<br />

penerimaan signal (kondisi yang diukur) seperti<br />

ditunjukkan pada gambar blok diagram dibawah :<br />

SENSOR ECC<br />

Pengkondisi<br />

Sinyal<br />

Op-Amp<br />

Regulator Power Supply<br />

+12V, +5V, -12V<br />

ADC<br />

Gambar 1 : Blok Diagram Sistem Instrument<br />

Komputer<br />

(Laptop)<br />

2. 2. Karakteristik Sensor<br />

Sensor ECC bentuknya sangat kecil dan<br />

memiliki sensitivitas tinggi, sensor tersebut biasa<br />

ditempatkan pada ECC Ozonesonde, untuk<br />

digunakan pengukur suhu pompa. Dengan kepekaan<br />

yang sangat tinggi sensor suhu ECC ini dapat<br />

mendeteksi perubahan suhu pada teflon dengan<br />

ketebalan sekitar 5 mm. type sensor NTC (negative<br />

temperature coeffisient) dimana pada saat sensor<br />

mendeteksi perubahan kenaikan suhu akan<br />

D109


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mengakibatkan perubahan penurunan nilai<br />

resistansinya. Dalam melakukan pengukuran untuk<br />

mencari karakteristik sensor ini menggunakan alat<br />

bantu : Volt meter dan thermometer.<br />

Hasil pengukuran karakteristik sensor adalah sebagai<br />

berikut :<br />

TABEL 1<br />

Karakteristik sensor ECC<br />

Suhu (˚ C)<br />

23<br />

24<br />

25<br />

26<br />

27<br />

28<br />

29<br />

30<br />

31<br />

32<br />

33<br />

34<br />

35<br />

36<br />

37<br />

38<br />

Resistansi (KΩ)<br />

22,8<br />

22,1<br />

21,5<br />

20,3<br />

19,8<br />

19,3<br />

18,7<br />

18,1<br />

17,6<br />

16,9<br />

`16,2<br />

15,4<br />

14,7<br />

14,1<br />

13,4<br />

12,8<br />

Gambar 3 : Bentuk fisik sensor suhu ECC<br />

2. 3. Pengkondisi Sinyal<br />

Pengkondisi Sinyal (PS) yang di gunakan<br />

pada instrument ini adalah sistem jembatan<br />

wheatstone yang menggunakan 3 resistor sebagai<br />

penyeimbang sensor ECC, dengan konfigurasi<br />

rangkaian sebagai berikut<br />

R1<br />

:<br />

Vcc<br />

R2<br />

Dari tabel karakteristik sensor pada perubahan<br />

suhu terhadap perubahan resistansi ditunjukkan pada<br />

grafik dibawah :<br />

V1<br />

Rs<br />

R3<br />

V2<br />

Resistansi<br />

(K Ohm )<br />

23<br />

22.5<br />

22<br />

21.5<br />

21<br />

20.5<br />

20<br />

Grafik karakteristik sensor ECC<br />

Suhu vs Resistansi<br />

23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 27<br />

Suhu (C)<br />

Gambar 2 : Grafik karakteristik sensor ECC<br />

Sesuai grafik karakteristik sesnsor ECC, respon<br />

resistansi terhadap perubahan suhu mendekati linear,<br />

dengan jangkauan (range) sangat lebar. Sensor ini<br />

sangat sensitip terhadap perubahan suhu udara,<br />

gambar fisik sensor ECC ditunjukkan seperti<br />

gambar dibawah :<br />

Rs : Resistansi Sensor<br />

GND<br />

Gambar 4 : Pengkondisi Sinyal Jembatan Wheatstone<br />

Pembahasan :<br />

R1 = R2 = R3 = 25 KΩ dan Vcc = 5 Volt<br />

Rs Suhu.: 23˚C = 22,8 KΩ, dan Suhu.: 38˚C =<br />

12,8 KΩ<br />

Rs<br />

R3<br />

V1 = Vcc x (---------) dan V2 = Vcc x (----------)<br />

Rs + R1<br />

R3 + R2<br />

Suhu (T) : 23˚C<br />

22,8<br />

V1 = 5 V x (-----------) = 2,384 V, V2 = ½ x Vcc<br />

= 2,5 V<br />

22,8 + 25<br />

Vo = V2 – V1 2,5 V – 2,384 V = 0,116 V =<br />

116 mV<br />

D110


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Suhu (T) : 38˚C<br />

12,8<br />

V1 = 5 V x (------------) = 0,338 V, V2 = ½ x Vcc<br />

= 2,5 V<br />

12,8 + 25<br />

Vo = V2 – V1 2,5 V – 0,338 V = 2,162 V =<br />

2162 mV<br />

Pengukuran suhu 23˚C s/d 38˚C menghasilkan<br />

jangkauan tegangan<br />

Vo(38˚C)–Vo(23˚C) 2162 mV – 116 mV<br />

----------------------- = ----------------------- = 136,4<br />

mV/1˚C<br />

T 38˚C – T 23˚C<br />

15 ˚C<br />

2. 5. Analog to Digital Converter (ADC)<br />

Sistem konversi sinyal analog ke digital pada<br />

instrument ini menggunakan ADC 12 bit 3 channel<br />

dari IC AD574AKD, dengan software delphi. Hasil<br />

keluaran sinyal Op-Amp masih berupa tegangan<br />

analog, selanjutnya di konversi menjadi sinyal<br />

digital pada rangkaian ADC. Dengan memanfaatkan<br />

salah satu channel dari 3 input. Perancangan sistem<br />

ADC 12 bit dengan 3 channel dalam rangkaian<br />

elektronik ditunjukkan pada gambar dibawah :<br />

Perubahan suhu :1˚C, Pengkondisi Sinyal<br />

mengalami perubahan tegangan sebesar : 136,4<br />

mVolt<br />

2. 4. Operational Amplifier<br />

Penguat yang dipergunakan pada instrument<br />

ini adalah operational amplifier 2 tingkat sistem<br />

proportional, yang memanfaatkan input diferensiator<br />

dengan dominasi tegangan pada input inverting (V2<br />

pada inverting dan V1 pada non-inverting)<br />

rangakaian Op-Amp tersebut ditampilkan sebagai<br />

berikut :<br />

Gambar 6 : Rangkaian elektronik ADC 12 bit 3 Ch<br />

III. REALISASI INSTRUMENT<br />

3. 1. Visualisasi Fisik Instrument<br />

Perancangan instrument pendeteksi suhu<br />

badan pasien yang telah direalisasikan secara fisik<br />

dapat ditunjukkan seperti pada gambar dibawah :<br />

Rf<br />

V2<br />

V1<br />

R1<br />

R2<br />

+Vcc<br />

-<br />

741<br />

+<br />

-Vee<br />

Vout1<br />

R3<br />

R4<br />

R5<br />

+Vcc<br />

-<br />

741<br />

+<br />

Vout2<br />

-Vee<br />

GND<br />

mbar 5 : Rangkaian Op-Amp 2 Tk. Proportional<br />

Ga<br />

Gambar 7 : Realisasi rangkaian instrument<br />

Pembahasan :<br />

Nilai resistansi : R1 = R2 = R3 = R4 = R5 = 10 KΩ<br />

Dan Rf = 100 KΩ<br />

Vout 1 = ((V2 – V1) x (-Rf/R1))<br />

......................................(1)<br />

Vout 2 = (( Vout1) x (-R5/R3))<br />

........................................(2)<br />

Dari persamaan (1) dan (2) maka :<br />

Vout 2 = ((V2 – V1) x ((-Rf/R1) x (-R5/R3)))<br />

Untuk Op-Amp 2 dimana R3 = R4 = R5, maka<br />

penguatan (Av) = 1 dan berfungsi sebagai inverting<br />

(pembalik polaritas)<br />

Penempatan unit konversi sinyal analog untuk<br />

logger berada pada blok PCB terpisah terhadap blok<br />

PCB regulator power supply.<br />

3. 2. Tampilan Respon Suhu Pada Display<br />

Informasi hasil pengukuran suhu pasien dapat<br />

ditampilkan secara grafik pada layar monitor PC<br />

seperti pada gambar dibawah :<br />

D111


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Delay waktu yang diperlukan alat desain (AD)<br />

dan alat referensi (AR) terhadap perubahan<br />

kenaikan suhu sebesar 1˚C, dimana pengujian ini<br />

dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa<br />

stop watch data waktu ditunjukkan pada tabel<br />

dibawah ini :<br />

Gambar 8 : Tampilan suhu pasien pada PC<br />

3. 3. Tampilan Data Numerik<br />

Selain menampilkan grafik pengukuran suhu<br />

badan pasien, data numerik hasil pengukuran dapat<br />

disimpan pada direktori sesuai yang kita inginkan.<br />

Dengan nama file : tahun, bulan, tanggal, jam dan<br />

menit, display akan menampilkan data dari ke 3<br />

channel seperti pada gambar dibawah :<br />

TABEL III<br />

Waktu respon AD dan AR<br />

Perubahan<br />

1˚C<br />

25 – 26<br />

26 – 27<br />

27 – 28<br />

28 – 29<br />

29 – 30<br />

30 – 31<br />

31 – 32<br />

32 – 33<br />

33 – 34<br />

34 – 35<br />

35 – 36<br />

36 - 37<br />

Waktu<br />

AD (s)<br />

0,6<br />

0,5<br />

0,5<br />

0,6<br />

0,6<br />

0,5<br />

0,5<br />

0,5<br />

0,6<br />

0,5<br />

0,5<br />

0,6<br />

Waktu<br />

AR (s)<br />

4,5<br />

4,6<br />

4,4<br />

4,4<br />

4,5<br />

4,5<br />

4,6<br />

4,6<br />

4,5<br />

4,6<br />

4,5<br />

4,5<br />

Gambar 9 : Tampilan data numerik 3 channel<br />

IV. HASIL PENGUKURAN<br />

4. 1. Perbandingan Pengukuran Suhu AR & AD<br />

Pengukuran dilakukan pada obyek dan waktu<br />

yang sama antara alat yang dipergunakan untuk<br />

referensi (AR) dengan alat yang di desain (AD)<br />

dengan hasil perbandingan pada tabel :<br />

TABEL II<br />

Hasil pengukuran suhu AR & AD<br />

AR (˚C)<br />

25,0<br />

25,5<br />

26,0<br />

26,5<br />

27,0<br />

27,5<br />

28.0<br />

28,5<br />

29,0<br />

29,5<br />

30,0<br />

30,5<br />

31,0<br />

31,5<br />

32,0<br />

32,5<br />

33,0<br />

33,5<br />

34,0<br />

34,5<br />

35,0<br />

AD (˚C)<br />

25,1<br />

25,5<br />

26,0<br />

26,6<br />

27,2<br />

27,5<br />

28,0<br />

28,6<br />

29,1<br />

29,5<br />

30,0<br />

30,4<br />

31,0<br />

31,6<br />

32,0<br />

32,6<br />

33,1<br />

33,5<br />

34,1<br />

34,6<br />

35,0<br />

V. ANALISA & KESIMPULAN<br />

5. 1. Analisa<br />

Dari hasil uji coba di lapangan sesuai data<br />

pengukuran diatas maka melakukan desain<br />

instrument untuk mengukur suhu badan pasien<br />

dengan menggunakan sensor ECC akan lebih<br />

menguntungkan bila dibandingkan dengan<br />

menggunakan peralatan manual (thermometer air<br />

raksa) ditinjau dari segi manfaat, waktu respon dan<br />

sistem penyimpanan data suhu pasien.<br />

Perbandingan respon AD dan AR pada<br />

perubahan suhu masih ada (sangat kecil) tetapi<br />

dalam toleransi wajar besarnya :<br />

Pada AR : ∑ data = 630, dan rerata =<br />

30,00<br />

Pada AD : ∑ data = 631, dan rerata =<br />

30,05<br />

Kecepatan dalam merespon perubahan suhu<br />

setiap kenaikan 1˚C dari kedua alat adalah :<br />

Pada AR : ∑ time = 54,2 s, dan rerata =<br />

4,516 s<br />

Pada AD : ∑ time = 6,5 s, dan rerata =<br />

0,541 s<br />

Resolusi :<br />

D112


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Resolusi didapatkan dari hasil respon AD<br />

terhadap AR berdasarkan periode jumlah data yang<br />

diambil secara bersamaan<br />

Selisih (SL) AD – AR = 1<br />

Toleransi AD & AR : ((SL) / ∑AD) x 100% =<br />

0,158 %<br />

Resolusi : (∑AR / ∑AD) x 100% = 99,8 %<br />

Arus Instrumen (I) : 1 Amperre<br />

Tegangan DC (V) : 12 V<br />

Disipasi daya : (V x I) = 12 W<br />

Penggunaan daya sebesar 12 W relatip kecil<br />

untuk suatu peralatan elektronik dan kurang dapat<br />

menimbulkan kerusakan akibat dari panas yang<br />

disebabkan dari penggunaan daya listrik<br />

5. 2. Kesimpulan<br />

Hasil perancangan instrumen pengukur suhu<br />

badan pasien merupakan terobosan baru yang perlu<br />

dikembangkan terutama bukan hanya pada suhu<br />

badan saja tetapi dapt dimanfaatkan untuk<br />

pengukuran kondisi pasien lainnya karena<br />

menggunakan sistem logger dengan 3 channel, yang<br />

mempermudah dalam melakukan sistem<br />

penyimpanan data pengukuran pasien.<br />

Perbandingan antara alat desain (AD) terhadap<br />

alat referensi (AR) dengan menggunakan<br />

thermometer sangat kecil, sehingga masih pada<br />

batas toleransi validasi. respon perubahan alat<br />

desain (AD) lebih cepat bila dibandingkan alat<br />

referensi (AR) hal ini terjadi karena pergerakan air<br />

raksa dalam menyesuaikan suhu diluar<br />

menggunakan sistem perambatan logm pengindera<br />

(terletak pada ujung thermometer) sedangkan pada<br />

AD selain sensor ECC memiliki sensitifitas tinggi<br />

sistem digital akan lebih cepat dalam melakukan<br />

konversi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Couglin F. Robert dan Driscoll F. Frederick (1992),<br />

Penguat Operational dan Rangkaian Terpadu<br />

Linear. Cetakan kedua Penerjemah :Soemitro,<br />

Herman Widodo. Jakarta : Erlangga<br />

Mac Kenzie, L. Scott, (1995) The 8051<br />

Microcontroller, 2 nd edition, Prentice Hall,<br />

Inc., USA<br />

Malvino (1996) Prinsip – prinsip Elektronika,<br />

Jakarta - Erlangga<br />

Toni Subiakto (2008) Desain & Rancang Bangun<br />

Instrument Pendeteksi Ozon Permukaan Sistem<br />

Logger dari Sensor ECC Ozonesonde, dari<br />

Prosiding Seminar Instrumentasi Berbasis<br />

<strong>Fisika</strong> 2008 Gedung <strong>Fisika</strong> ITB, 28 Agustus<br />

2008 Editor : Mitra Djamal, Suparno Satira,<br />

ISBN 978-979-96520-4-1 Hal : 145 – 149<br />

Agfianto Eko Putra (2004) Belajar Mikrokontroler<br />

AT89C51/52/55 (Teori dan Aplikasi), Penerbit<br />

Gava Media<br />

D113


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sistem Monitoring Kecelakaan Pengendara Sepeda Motor dengan<br />

Menggunakan Accelerometer<br />

sebagai Pengidentifikasi Benturan<br />

Yusuf Wibisono S 1 , Djoko Purwanto 2 , Agus Sigit Pramono 3<br />

1,2 Program Studi Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />

3 Program Studi Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />

Email : yusuf_ws@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Keterlambatan petugas kepolisian dalam menangani kecelakaan disebabkan oleh luasnya daerah yang harus<br />

dipantau, akibatnya kematian pada korban kecelakaan tidak terhindarkan dikarenakan penanganan medis yang<br />

terlambat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat untuk membantu petugas kepolisian dalam memantau dan<br />

memonitor kecelakaan di jalan raya sehingga diharapkan petugas dapat lebih cepat dalam menangani kecelakaan<br />

tersebut. Pada penelitian ini dirancang sistem monitoring kecelakaan pengendara sepeda motor yang terdiri dari<br />

dua bagian yaitu Bagian Mobile yang terletak pada helm dan sepeda motor pengendara, dan Bagian Pengawas<br />

yang terletak di pos polisi. Bagian Mobile dilengkapi dengan sensor tekan, accelerometer, mikrokontroler, TRW<br />

2.4G, GPS dan GSM modem. Sensor tekan dan accelerometer yang terletak pada helm pengendara berfungsi<br />

sebagai pengidentifikasi terjadinya kecelakaan dengan mengukur gaya impak yang diserap oleh kepala<br />

pengendara saat helm berbenturan dengan aspal atau kendaraan lain. Gaya impak sebesar 300 g atau lebih dapat<br />

mengakibatkan gegar otak serius dan cedera permanen pada kepala sehingga sensor akan memberikan informasi<br />

kecelakaan. Informasi kecelakaan pada helm akan dikirimkan oleh TRW 2.4G ke sepeda motor pengendara<br />

secara wireless. Mikrokontroler akan mengolah informasi kecelakaan tersebut dan mengambil data posisi dari<br />

GPS, kemudian dikirimkan ke Bagian Pengawas melalui GSM modem dengan format SMS. Bagian Pengawas<br />

terdiri dari GSM modem dan komputer yang dilengkapi dengan peta digital kota Surabaya. GSM modem<br />

berfungsi untuk menerima SMS dari Bagian Mobile yang berisi informasi identitas pengendara dan posisi<br />

kecelakaan, kemudian informasi tersebut dikirimkan ke komputer. Komputer akan mengolah informasi posisi<br />

kecelakaan dalam bentuk lintang dan bujur kemudian ditampilkan secara visual pada peta digital yang<br />

bersesuaian dengan posisi kecelakaan sebenarnya, dan informasi identitas pengendara akan ditampilkan sesuai<br />

dengan data yang tersimpan di database. Dengan demikian petugas kepolisian dapat memonitor di daerah mana<br />

saja terjadinya kecelakaan. Sistem telah diuji untuk monitoring kecelakaan pada lokasi kota Surabaya.<br />

Kata kunci: accelerometer, GPS, GSM modem, sistem monitoring kecelakaan.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Terjadinya kecelakaan sepeda motor di jalan<br />

raya sangat beragam jenisnya jika dilihat dari sisi<br />

sebab kecelakaan, arah tabrakan dan arah jatuhnya.<br />

Hal yang paling sering terjadi saat kecelakaan<br />

sepeda motor adalah pengendara terlempar dan<br />

berbenturan dengan aspal/tanah atau berbenturan<br />

dengan kendaraan lain. Bagian tubuh pada manusia<br />

yang paling vital saat terjadi benturan adalah kepala.<br />

Standar pengujian helm di wilayah Amerika Serikat<br />

dan Kanada yaitu DOT (<strong>Departemen</strong>t of<br />

Transportation) dan Snell Memorial Foundation<br />

menentukan bahwa gaya impak yang diserap kepala<br />

sebesar 300 g atau lebih dapat mengakibatkan gegar<br />

otak serius dan cedera kepala permanen. Dimana<br />

konversi 9810 m/s 2 setara dengan 1000 g. Jika<br />

kecelakaan terjadi di tempat yang sepi dan<br />

pengendara dalam keadaan pingsan dikarenakan<br />

benturan yang keras pada kepala, maka kematian<br />

tidak akan terhindarkan. Sehingga pada penelitian<br />

ini, identifikasi kecelakaan dilakukan pada helm<br />

pengendara.<br />

TABEL V Kriteria Impak Pada Helm<br />

Impact Criteria DOT FMVSS 218 SNELL M2000<br />

Allowed Peak<br />

Acceleration<br />

Allowed Duration<br />

Requirement<br />

2. DESKRIPSI SISTEM<br />

400 G 300 G<br />

2 ms over 200 G<br />

4 ms over 150 G<br />

Rancang bangun sistem monitoring kecelakaan<br />

pada pengendara sepeda motor terdiri dari dua<br />

bagian, yaitu Bagian Mobile yang terletak pada<br />

sepeda motor dan helm pengendara, sedangkan<br />

Bagian Pengawas yang bertempat di pos polisi.<br />

-<br />

D114


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar. 1 Diagram Blok Perancangan Sistem.<br />

Interkoneksi Hardware pada Bagian Mobile<br />

terdapat di dua tempat yaitu di helm pengendara dan<br />

di sepeda motor dengan pertimbangan terbatasnya<br />

ruang pada helm dan konsumsi power yang besar<br />

pada GPS dan GSM modem, sehingga sumber<br />

tegangan dapat memanfaatkan aki pada sepeda<br />

motor.<br />

Helm pengendara dilengkapi dengan sensor<br />

tekan, accelerometer, mikrokontroler dan TRW<br />

2.4G. Sedangkan pada sepeda motor dilengkapi<br />

dengan mikrokontroler, TRW 2.4G, GPS dan GSM<br />

modem. Sensor tekan dan accelerometer berfungsi<br />

sebagai input untuk pengidentifikasi terjadinya<br />

kecelakaan dengan cara mengukur gaya impak atau<br />

benturan yang terjadi pada helm pengendara.<br />

Mikrokontroler pada helm akan mengirimkan<br />

informasi kecelakaan ke bagian sepeda motor secara<br />

wireless dengan menggunakan TRW 2.4G. Jika<br />

terjadi kecelakaan, mikrokontroler pada sepeda<br />

motor akan mengambil input posisi berupa Lintang<br />

dan Bujur dari GPS receiver kemudian<br />

menginstruksikan GSM modem untuk mengirimkan<br />

informasi posisi dan kecelakaan dengan<br />

menggunakan instruksi tipe ATCommand. GSM<br />

modem akan mengirimkan informasi ke Bagian<br />

Pengawas dengan metode Short Messages Service<br />

(SMS). GSM modem digunakan untuk pengiriman<br />

data karena memanfaatkan operator seluler GSM<br />

sehingga jangakauan sangat luas selama pemenuhan<br />

sinyal GSM tersedia.<br />

Bagian Pengawas terdiri dari dua komponen<br />

yaitu GSM modem dan komputer, kedua komponen<br />

tersebut terletak di kantor polisi untuk memonitor<br />

terjadinya kecelakaan di kota Surabaya. GSM<br />

modem berfungsi sebagai penerima informasi<br />

kecelakaan dari Bagian Mobile dalam format SMS.<br />

Hasil informasi tersebut dikirimkan ke komputer<br />

untuk diproses lebih lanjut. Komputer dilengkapi<br />

dengan peta kota Surabaya dan database identitas<br />

pengendara sepeda motor di Surabaya. Informasi<br />

yang diterima adalah nomor polisi sepeda motor<br />

pengendara dan posisi terjadinya kecelakaan. Posisi<br />

kecelakaan berupa Lintang dan Bujur akan<br />

divisualisasikan dalam bentuk titik warna merah<br />

pada peta yang akan bersesuaian dengan posisi<br />

sebenarnya. Sedangkan nomor polisi pengendara<br />

akan dicocokan dengan daftar yang ada di database<br />

kemudian identitas pengendara akan ditampilkan.<br />

2.1 Accelerometer ACC301<br />

Pada penelitian ini accelerometer berfungsi<br />

sebagai pengidentifikasi terjadinya kecelakaan<br />

dengan mengukur gaya impak yang diserap oleh<br />

kepala pengendara saat helm berbenturan dengan<br />

aspal/tanah atau kendaraan lain. Accelerometer yang<br />

digunakan adalah ACC 301 yang terdiri dari 3 axis<br />

dan dapat mengukur percepatan hingga 500g.<br />

Spesifikasi accelerometer ACC301, yaitu:<br />

• Arus pengaktif sensor 2mA constant current<br />

(per axis).<br />

• Tegangan pengaktif sensor 15-30Vdc (per axis).<br />

• Output 10 mV/g (per axis).<br />

• Frekuensi output 100 Hz (per axis).<br />

Berdasarkan karakteristik dari ACC301 tersebut<br />

maka dibutuhkan rangkaian pendukung untuk<br />

mengaktifkan sensor dan rangkaian pengkondisi<br />

sinyal output, sehingga output dari sensor sesuai<br />

dengan karakteristik dari ADC internal ATMega<br />

8535.<br />

Gambar. 2 Diagram Blok Rangkaian Pendukung Accelerometer<br />

ACC301.<br />

Accelerometer ACC301 memiliki 3 axis<br />

dalam mendeteksi arah vibrasi yaitu terhadap sumbu<br />

X, sumbu Y dan sumbu Z. Sehingga pada ADC<br />

digunakan 3 input channel untuk masing-masing<br />

axis. Hasil pengukuran dari masing-masing sumbu<br />

dihitung resultannya hingga didapatkan besar XYZ.<br />

Besar XYZ inilah yang nantinya diidentifikasi untuk<br />

memenuhi standart kecelakaan yaitu lebih dari 300g,<br />

lebih dari 200g selama 2mS dan lebih dari 150g<br />

selama 4mS. Perhitungannya adalah sebagai berikut:<br />

2 2<br />

XY = ( X + Y )<br />

(1)<br />

2 2<br />

XYZ = XY + Z<br />

(2)<br />

( )<br />

Gambar. 3 Ilustrasi Resultan Sumbu XYZ.<br />

Sensor accelerometer diletakkan pada bagian<br />

head foam helm agar gaya impak yang dirasakan<br />

oleh sensor sama denga gaya impak yang dirasakan<br />

oleh kepala setelah diredam oleh head foam. Sisi<br />

D115


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

atas permukaan helm merupakan sumbu X sensor,<br />

sisi depan dan belakang permukaan helm merupakan<br />

sumbu Y sensor dan sisi samping kanan-kiri<br />

permukaan helm merupakan sumbu Z sensor.<br />

Gambar. 4 Peletakan Sensor Accelerometer ACC301 Pada Helm<br />

2.2 GSM Modem<br />

GSM Modem digunakan sebagai media<br />

komunikasi antara sepeda motor dengan komputer<br />

yang memanfaatkan operator GSM. Ketika terjadi<br />

kecelakaan, informasi kecelakaan pada sepeda motor<br />

akan dikirimkan ke komputer pengawas dengan<br />

format SMS. Keuntungan menggunakan GSM<br />

Modem adalah area jangkau yang luas selama sinyal<br />

GSM tersedia. Format SMS yang dikirim<br />

ditunjukkan pada Tabel II.<br />

TABEL VII Format SMS<br />

Fungsi dari Password adalah untuk memfilter<br />

SMS yang masuk pada Bagian Pengawas, sehingga<br />

jika Password tidak cocok maka SMS akan<br />

diabaikan. Password yang digunakan adalah kalimat<br />

”ACCIDENT”. Nomer Polisi berisi nomer polisi<br />

sepeda motor pengendara. Nomer Polisi berfungsi<br />

sebagai pengenal identitas pengendara (Bagian<br />

Mobile) yang mengalami kecelakaan, sehingga<br />

petugas diharapkan dapat lebih cepat dalam<br />

menolong pengendara. Derajat Lintang, Menit<br />

Lintang, Derajat Bujur, dan Menit Bujur berisi<br />

informasi yang diambil dari GPS berupa posisi<br />

koordinat terjadinya kecelakaan. Contoh:<br />

ACCIDENT L1234X 07 19.644 112 44.144<br />

artinya adalah Bagian Mobile dengan nomer polisi<br />

kendaraan L1234X mengalami kecelakaan, dimana<br />

posisi terjadinya kecelakaan adalah 07˚ 19.644’ LS<br />

dan 112˚ 44.144’ BT.<br />

2.3 Peta Surabaya<br />

Pada penelitian ini desain peta Surabaya diambil<br />

dari peta google earth. Peta google earth yang<br />

digunakan merupakan foto udara yang diambil dari<br />

satelit pada tanggal 2 September 2007. Beberapa<br />

pertimbangan menggunakan google earth dalam<br />

mendesain peta adalah:<br />

Gambar jelas dan seperti aslinya.<br />

Dapat di-zoom sesuai dengan ketinggian yang<br />

diinginkan.<br />

Dilengkapi garis-garis jalan dan keterangan nama<br />

jalan.<br />

Pada setiap titik dapat diketahui koordinat Lintang<br />

dan Bujur.<br />

Langkah yang harus dilakukan untuk dapat<br />

mengambil gambar dari google earth adalah dengan<br />

meng-instal dan menjalankan software google earth<br />

yang terhubung dengan internet. Gambar peta dapat<br />

di-capture pada posisi, ketinggian dan batas<br />

Lintang-Bujur yang diinginkan.<br />

Gambar. 5 Batasan Lintang dan Bujur Pada Peta.<br />

Informasi koordinat Lintang dan Bujur dari<br />

posisi terjadinya kecelakaan tidak dapat langsung<br />

ditampilkan secara visual pada peta Surabaya, hal ini<br />

dikarenakan koordinat peta pada Visual Basic<br />

ditentukan terhadap pixel. Pada komputer, gambar<br />

dari setiap peta akan ditampilkan dengan resolusi<br />

929 pixel x 681 pixel. Untuk itu dilakukan<br />

perhitungan dengan membandingkan koordinat<br />

Lintang dan Bujur posisi sebenarnya dengan<br />

koordinat horizontal dan vertikal pixel pada peta.<br />

Gambar. 6 Peta Pada Ketinggian 762 m Dari Tanah.<br />

Perhitungannya adalah sebagai berikut:<br />

Lon<br />

= Data Bujur posisi kecelakaan<br />

Lat<br />

= Data Lintang posisi kecelakaan<br />

Bujur Kanan = 112˚ 44.795’<br />

Bujur Kiri = 112˚ 45.272’<br />

Horisontal Pixel = 929<br />

⎛ (Lon - Bujur Kiri ) ⎞<br />

X = ⎜<br />

⎟ × Horisontal Pixel<br />

⎝ (Bujur Kanan - Bujur Kiri) ⎠<br />

Lintang Atas = 7˚ 16.392’<br />

Lintang Bawah = 7˚ 16.735’<br />

Vertikal Pixel = 681<br />

(3.18)<br />

D116


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

⎛ (Lat - Lintang Atas ) ⎞<br />

3. PENGUJIAN SISTEM<br />

Y = ⎜<br />

⎟ × Vertikal Pixel<br />

(3.19)<br />

⎝ (Lintang Bawah - Lintang Atas ) ⎠<br />

Setelah melalui tahap pembuatan sistem<br />

Pixel = (X,Y)<br />

monitoring kecelakaan pada pengendara sepeda<br />

Setelah didapatkan koordinat pixel terjadinya motor baik pada bagian hardware maupun software,<br />

kecelakan, selanjutnya divisualisasikan dalam maka tahap selanjutnya dilakukan pengujian dan<br />

bentuk titik merah pada peta. Contoh tampilan posisi pengukuran pada tiap-tiap bagian. Tujuan dilakukan<br />

terjadinya kecelakaan pada tiga ketinggian yang pengujian dan pengukuran adalah untuk mengetahui<br />

berbeda ditunjukkan pada Gambar 7<br />

hasil dari penelitian yang telah dilakukan, baik dari<br />

kebenaran data maupun kemampuan atau performa<br />

alat secara keseluruhan.<br />

3.1Pengujian dan Pengukuran Sensor<br />

Accelerometer ACC301<br />

Gambar. 7 Peta Pada Ketinggian 762 m Dari Tanah.<br />

2.4 Database Identitas Pengendara dan Daftar<br />

Kecelakaan<br />

Monitoring kecelakaan pada komputer juga<br />

dilengkapi dengan database identitas pengemudi<br />

sepeda motor dan database daftar kecelakaan.<br />

Sehingga saat terjadi kecelakaan, petugas dapat<br />

dengan cepat memperoleh informasi data diri<br />

pengemudi dan alamat yang bisa dihubungi. Hal ini<br />

dapat lebih mempercepat proses penyelamatan<br />

nyawa korban kecelakaan, sehingga tingkat<br />

kematian kecelakaan dapat lebih ditekan<br />

Database identitas pengemudi dan database<br />

daftar kecelakaan disimpan pada Microsoft Office<br />

Access, sedangkan software monitoring fungsinya<br />

untuk menampilkan data tersebut dan diijinkan pula<br />

untuk merubah dan memperbarui data. Koneksi yang<br />

menghubungkan antara software dan Microsoft<br />

Office Access digunakan koneksi ODBC.<br />

Pengujian dan pengukuran pada sensor<br />

accelerometer ACC301 bertujuan untuk mengetahui<br />

respon output dari sensor terhadap benturan yang<br />

terjadi pada helm pengendara dari tiap-tiap sisi. Sisi<br />

permukaan pada helm sangat luas sehingga pada<br />

pengujian ini dipilih pada tiga sisi yang berbeda<br />

yaitu sisi atas, sisi belakang dan sisi samping.<br />

Masing-masing sisi mewakili tiga sumbu atau axis<br />

yang berbeda dari sensor accelerometer ACC301,<br />

yaitu sisi atas untuk sumbu X, sisi belakang untuk<br />

sumbu Y dan sisi samping untuk sumbu Z.<br />

(a)<br />

(b)<br />

(a)<br />

(c)<br />

(b)<br />

Gambar. 8 (a)Diagram Blok Koneksi Database Identitas<br />

Pengendara; (b)Diagram Blok Koneksi Database Daftar<br />

Kecelakaan.<br />

Gambar. 9 (a) Hasil Pengukuran Sensor Accelerometer ACC301<br />

Terhadap Benturan Pada Sisi Atas Helm (Sumbu X); (b) Hasil<br />

Pengukuran Sensor Accelerometer ACC301 Terhadap Benturan<br />

Pada Sisi Belakang Helm (Sumbu Y); (c) Hasil Pengukuran<br />

Sensor Accelerometer ACC301 Terhadap Benturan Pada Sisi<br />

Samping Helm (Sumbu Z).<br />

D117


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengujian dan pengukuran dalam menjatuhkan<br />

helm, dilakukan pada tiga ketinggian yang berbeda<br />

yaitu 0.5 meter, 1.5 meter dan 1 meter. Dimana pada<br />

sisi atas permukaan helm, sisi belakang permukaan<br />

helm dan sisi samping permukaan helm, dijatuhkan<br />

tegak lurus sebanyak lima kali pada masing-masing<br />

ketinggian.<br />

TABEL VIIII<br />

Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Atas Helm<br />

(Sumbu X).<br />

TABEL IV<br />

Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Belakang Helm<br />

(Sumbu Y).<br />

TABEL V<br />

Pengujian Accelerometer ACC301 Pada Sisi Samping Helm<br />

(Sumbu Z).<br />

pada masing-masing sumbu X, Y dan Z memiliki<br />

kesamaan.<br />

3. 2 Pengujian Peta Surabaya Pada Komputer<br />

Pengujian peta Surabaya pada Bagian Pengawas<br />

bertujuan untuk memastikan kebenaran posisi<br />

kecelakaan yang ditunjukkan pada peta bila<br />

dibandingkan dengan posisi kecelakaan sebenarnya.<br />

Pengujian dilakukan pada lima tempat yang berbeda<br />

pada area kota Surabaya, dimana lima tempat<br />

tersebut adalah ruangan terbuka agar GPS menerima<br />

data valid dari satelit. Pengujian dilakukan dengan<br />

cara mengambil data Lintang dan Bujur dari GPS<br />

pada tempat tersebut, kemudian data tersebut<br />

dikirimkan ke komputer dengan format SMS. Data<br />

Lintang dan Bujur yang diterima kemudian<br />

ditampilkan berupa titik warna merah pada peta.<br />

Pengujian dilakukan pada lima tempat yang<br />

berbeda. Pengambilan data yang pertama di jalan<br />

Dharma Husada depan Galaxy Mall ditunjukkan<br />

pada Gambar 4.8, halaman 77. Pengambilan data<br />

yang kedua di jalan Ahmad Yani depan Giant<br />

ditunjukkan pada Gambar 4.9, halaman 77.<br />

Pengambilan data yang ketiga di jalan Mayjend.<br />

Soengkono depan Hotel Sangrila ditunjukkan pada<br />

Gambar 4.10, halaman 77. Pengambilan data yang<br />

keempat di jalan Raya Darmo depan BCA<br />

ditunjukkan pada Gambar 4.11, halaman 78.<br />

Pengambilan data yang kelima di jalan Basuki<br />

Rahmad depan Gramedia Expo ditunjukkan pada<br />

Gambar 4.12, halaman 78.<br />

Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa posisi<br />

yang ditampilkan pada peta Surabaya menunjukkan<br />

titik merah pada tepi jalan raya, hal ini dikarenakan<br />

pengambilan data dilakukan di tepi jalan raya.<br />

Sehingga dari pengujian peta Surabaya dapat<br />

disimpulkan bahwa tampilan pada peta Surabaya<br />

mendekati posisi sebenarnya.<br />

Dari hasil pengujian Accelerometer ACC301<br />

terhadap sumbu X, Y dan Z ditunjukkan bahwa saat<br />

helm jatuh tegak lurus terhadap sumbu X maka<br />

besar percepatan tertinggi terukur pada sumbu X,<br />

sedangkan jika dijatuhkan tegak lurus terhadap<br />

sumbu Y maka besar percepatan tertinggi terukur<br />

pada sumbu Y, begitu pula terhadap sumbu Z.<br />

Sedangkan resultan percepatan jika dijatuhkan tegak<br />

lurus terhadap sumbu X, Y, Z pada ketinggian 0.5<br />

m, menunjukkan bahwa rata-rata besar resultan<br />

percepatan yang terukur berada pada range yang<br />

hampir sama yaitu 63-71g. Sedangkan pada<br />

ketinggian 1 m juga menunjukkan rata-rata resultan<br />

percepatan yang terukur berada pada range yang<br />

hampir sama yaitu 106-112g, begitu pula pada<br />

ketinggian 1.5 m yaitu pada range 170-182g. Dari<br />

hasil pengujian dan pengukuran ini menunjukkan<br />

bahwa respon output sensor accelerometer ACC301<br />

(a)<br />

D118


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

(b)<br />

(c)<br />

3.3Pengujian dan Pengukuran Sistem Monitoring<br />

Secara Keseluruhan<br />

Sistem monitoring kecelakaan secara<br />

keseluruhan meliputi komunikasi antara Bagian<br />

Mobile dengan Bagian Pengawas mulai dari<br />

terjadinya kecelakaan pada helm hingga<br />

ditampilkannya posisi kecelakaan pada peta<br />

Surabaya.<br />

Pengujian dan pengukuran sistem monitoring<br />

secara keseluruhan bertujuan untuk mengetahui<br />

kemampuan dari sistem ketika dijalankan secara<br />

bersamaan, baik dari keberhasilan sistem secara<br />

keseluruhan, kebenaran posisi kecelakaan yang<br />

ditampilkan, maupun lama kerja dari sistem mulai<br />

terjadinya kecelakaan pada Bagian Mobile hingga<br />

ditampilkannya posisi kecelakaan pada Bagian<br />

Pengawas. Pengujian dan pengukuran dilakukan di<br />

dua ruangan berbeda, dimana Bagian Mobile<br />

bertempat di ruangan terbuka sedangkan Bagian<br />

Pegawas bertempat di ruangan tertutup. Pengukuran<br />

lama kerja dari sistem dilakukan menggunakan<br />

stopwatch.<br />

Pada pengujian dan pengukuran sistem<br />

monitoring secara keseluruhan dilakukan sepuluh<br />

kali percobaan, seperti ditunjukkan pada Tabel VI.<br />

Dari sepuluh percobaan terjadi sekali kegagalan, hal<br />

ini dikarenakan SMS yang dikirim dari Bagian<br />

Mobile tidak kunjung diterima oleh Bagian<br />

Pengawas. Posisi terjadinya kecelakaan yang<br />

ditampilkan pada peta Surabaya sesuai dengan posisi<br />

sebenarnya. Waktu yang dibutuhkan sistem dalam<br />

bekerja rata-rata selama 45.56 detik. Dari pengujian<br />

ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan kerja<br />

sistem monitoring sebesar 90%.<br />

TABEL VI<br />

Pengujian Sistem Monitoring Secara Keseluruhan<br />

(d)<br />

(e)<br />

Gambar. 10 (a) Pengambilan Data Di Jalan Dharma Husada<br />

Depan Galaxy Mall; (b) Pengambilan Data Di Jalan Ahmad Yani<br />

Depan Giant; (c) Pengambilan Data Di Jalan Mayjend.<br />

Soengkono Depan Sangrila; (d) Pengambilan Data Di Jalan Raya<br />

Darmo Depan BCA; (e) Pengambilan Data Di Jalan Basuki<br />

Rahmad Depan Gramedia Expo.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Beberapa kesimpulan yang didapatkan setelah<br />

melalui tahapan-tahapan penelitian adalah:<br />

Sensor yang dipasang pada helm pengendara,<br />

menghasilkan gaya impak yang cenderung sama<br />

ketika helm dijatuhkan tegak lurus dari sisi<br />

permukaan yang berbeda dengan ketinggian yang<br />

yang sama.<br />

D119


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tampilan posisi kecelakaan pada peta Surabaya<br />

mendekati posisi sebenarnya.<br />

Sistem monitoring kecelakaan secara keseluruhan<br />

dapat bekerja dengan kemampuan 90%. Waktu yang<br />

dibutuhkan sistem dalam bekerja mulai dari<br />

terjadinya kecelakaan hingga ditampilkan di peta<br />

Surabaya, rata-rata selama 45.56 detik.<br />

5. DAFTAR PUSTAKA<br />

Afshari, A., Rajaai, S.M. (2008), “Finite Element<br />

Simulations Investigating The Role Of The<br />

Helmet In Reducing Head Injuries”,<br />

International Journal Simul Model VII, Vol.<br />

1, pp. 42-51.<br />

Chang, L.T., Chang, G.L., Huang, J.Z., Huang, S.C,<br />

Liu, D.S, Chang, C.H. (2003), ” Finite<br />

Element Analysis Of The Effect Of<br />

Motorcycle Helmet Materials Againts Impact<br />

Velocity”, Journal of the Chinese Institute of<br />

Engineers, Vol. 26, No. 6, pp. 835-843.<br />

Ibnkahla, M. (2004), “Signal Procecessing for<br />

Mobile Communications Hand book”, CRC<br />

Press, pp.1-1 to 1-3.<br />

Price, D.C., Hancock, G.M. (2005), “Modernizing<br />

Accident Investigation using GPS”,<br />

Conference and Technology Exhibition,<br />

March 18-23, 2005, Las Vegas, Nevada,<br />

USA<br />

Sarma, A.D., Rafikanth, P.S., Reddy, D.K. (2005),<br />

“Integration of GPS and GSM for<br />

Determination of Cellular Coverage Area”,<br />

International Union of Radio Science,<br />

XXVIII th General Assembly, 23-29 October<br />

2005, New Delhi.<br />

SIMCOM (2005), “SIM300EVB User Guide”, Ver<br />

1.03, Release Dec 8, 2005.<br />

SIMCOM (2006), “SIM508EVB User Guide”, Ver<br />

1.01, Release Apr 21, 2006.<br />

Snell Memorial Foundation (2000), 2000<br />

STANDARD FOR PROTECTIVE<br />

HEADGEAR, Release November 5, 2002.<br />

Snell Memorial Foundation (2000), Implications of<br />

Snell M2000 Testing Policy, Release<br />

November 5, 2002.<br />

Wavecom. (2001), “AT Commands Interface<br />

Guide”, Version.001/9.1, pp.127-128.<br />

D120


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Stability Of Gratings Written In A Telecommunication Fiber<br />

Using Light at 193 nm<br />

Arif Hidayat<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>- FMIPA - Universitas Negeri Malang<br />

Arif_fisum@yahoo.co.id<br />

ABSTRACT<br />

Bragg gratings have been written in a non-hydrogenated Corning SMF28 telecommunication fiber using UV<br />

pulses at a high power density from an ArF laser. Some of these gratings were uniformly exposed with light at<br />

193 nm. The isothermal accelerated aging method was used to characterize the thermal decays of both pristine<br />

and post-exposed grating spectral characteristics. UV post-processing led to an increase in the stability of the<br />

Bragg grating reflectivity meanwhile the shifts in the Bragg wavelengths of the post-exposed gratings proved to<br />

be higher than those of untreated gratings. It is shown that the isothermal decays of the refractive index<br />

modulation cannot be used to predict the annealing induced irreversible shifts in the Bragg wavelengths. Our<br />

observations are discussed within the frame of the current theoretical descriptions of the links that may exist<br />

between the writing and the thermal stability of Bragg gratings.<br />

Keywords: Bragg gratings, fiber gratings, decay analysis of gratings, thermal Stability, optical communication<br />

I – INTRODUCTION<br />

Fiber Bragg gratings are currently used for<br />

numerous applications such as spectral filtering,<br />

fabrication of fiber lasers or hybrid semiconductorfiber<br />

lasers, fiber amplifier gain flattening,<br />

compensation of group velocity dispersion or<br />

fabrication of fiber sensors. The many applications<br />

of fiber grating technology are reviewed in recent<br />

papers or books [1][2][3][4]. Most applications<br />

require a long grating lifetime. For example, in<br />

dense wavelength division multiplexing optical<br />

communication systems, the grating spectral<br />

characteristics should be kept working to agreed<br />

specifications for 25 years in the temperature range<br />

–40°C < θ < 80°C. Accordingly, the thermal<br />

stability of germano-silicate fiber grating reflectivity<br />

has been extensively studied through isothermal or<br />

isochronal annealing experiments ([5] – [15]).<br />

Recently, E. Salik et al. have proposed an alternative<br />

method for stabilizing the strength of fiber grating<br />

without temperature annealing [17]. Briefly, the<br />

method consists in exposing the fiber to uniform<br />

light either before, during or after the grating<br />

inscription. E. Salik et al. have demonstrated the<br />

efficiency of the method for gratings fabricated in<br />

non-hydrogenated germano-silicate fibers by means<br />

of near UV light at 334 nm (or at 244 nm) [17].<br />

Photosensitivity at 330 nm is triggered off by the<br />

excitation of the GODC triplet state through a onephoton<br />

absorption from the ground state [18]. E.<br />

Salik et al could observe a strong enhancement in<br />

the thermal stability of the treated grating refractive<br />

index modulation when compared to that of pristine<br />

gratings. These authors have explained this<br />

observation by assuming that there exists a link<br />

between the writing conditions (namely the rate of<br />

transformation of the defects being responsible for<br />

the photosensitivity) and the thermal stability of the<br />

resulting fiber grating : the longer the exposure time<br />

; the higher the stability of the change in the<br />

refractive index. The objective of the present paper<br />

is to show that the above-mentioned stabilization<br />

method is also efficient for gratings written in a<br />

standard fiber using pulsed exposure at 193 nm i.e. :<br />

a photosensitive process which involves a twophoton<br />

absorption [19].<br />

II – EXPERIMENTAL DETAILS<br />

Firstly, a series of nearly identical 20 mm long<br />

gratings has been fabricated within samples of a<br />

standard fiber (Corning SMF28 fiber). To this end,<br />

the fibers were exposed through a phase-mask to<br />

light at 193 nm from a pulsed ArF laser<br />

(characteristics of the mask purchased from QPS SA<br />

: pitch = 1061 nm, diffraction efficiency < 2 % in the<br />

zero order, > 38 % in the +1 and –1 order). The<br />

mean UV fluence per pulse at the fiber core was 120<br />

mJ/cm 2 with a frequency rate of 10 Hz. The growth<br />

of the gratings was stopped after ≅ 13 000 pulses at a<br />

time when the reflectivity was R ≅ 0.8. Then, some<br />

of the gratings were uniformly exposed with light<br />

from the ArF laser using the same frequency rate<br />

and power density as those used for the grating<br />

inscription. Due to the unavailability of the ovens<br />

devoted to annealing experiments just after the<br />

grating inscriptions. The gratings were then stored at<br />

room temperature and pressure for 1 month. Finally,<br />

each grating was heated in a tubular furnace at a<br />

constant temperature (T = 383 ± 1 K, or 453 ± 1 K<br />

or 523 ± 1 K) for a period of ≅ 350 h. To this end,<br />

the portion of the fiber within which the grating had<br />

been written was quickly translated up to the<br />

furnace. The origin of annealing time was arbitrarily<br />

taken at the moment when the grating was put at the<br />

E1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

center of the furnace. During annealing, the fibers<br />

were kept straight<br />

Type of annealed<br />

gratings<br />

annealing temperature<br />

Shifts in the<br />

B.W. (nm)<br />

calculated from<br />

the pristine<br />

grating ICC at<br />

the end of the<br />

annealing<br />

Shifts in the<br />

B.W. (nm)<br />

calculated from<br />

the post-exposed<br />

grating ICC at<br />

the end of the<br />

annealing<br />

Experimental<br />

B.W. shifts at<br />

the end of the<br />

annealing<br />

experiments<br />

(nm)<br />

Pristine gratings UVinduced<br />

B.W. shift<br />

Δλ Bragg (0,296K) = 0.063 nm<br />

383 K ± 1 K - 0.005 - 0.001 - 0.012 ± 0.005<br />

453 K ± 1 K - 0.009 - 0.003 - 0.004 ± 0.005<br />

523 K ±1 K - 0.015 - 0.004 - 0.007 ± 0.005<br />

Post-exposed gratings UVinduced<br />

B.W. shift<br />

Δλ Bragg (0,296K) = 0.28 nm<br />

383 K ± 1 K - 0.022 - 0.005 - 0.020 ± 0.005<br />

453 K ± 1 K - 0.040 - 0.012 - 0.030 ± 0.005<br />

523 K ±1 K - 0.066 - 0.018 - 0.050 ± 0.005<br />

Figure 1: Growth of the grating reflectivity and shift in the Bragg<br />

wavelength in the course of the exposure of the SMF 28 fiber to<br />

light at 193 nm. Empty symbols are for the reflectivity and full<br />

symbols are for the Bragg wavelength (nm)<br />

RESULTS AND DISCUSSION<br />

Figure 2: Isothermal decays of the normalized integrated coupling<br />

constant (η) as a function of annealing time (hours). Full symbols<br />

are for post-exposed gratings and empty symbols are for untreated<br />

gratings. Squares ,circles and triangles correspond to temperatures<br />

at 523 K, 453 K, 383 K, respectively.<br />

Figure 3: Isothermal decays of the Bragg wavelength shifts as a<br />

function of annealing time (hours). Full symbols are for postexposed<br />

gratings and empty symbols are for untreated gratings.<br />

Squares ,circles and triangles correspond to temperatures at 523<br />

K, 453 K, 383 K, respectively.<br />

Table 1 :Comparison of the annealing-induced experimental B.W.<br />

shifts to those calculated using the data in Figs 1 and 2 (i.e. : the<br />

total shifts experienced by the grating B.W. in the course of the<br />

inscription( Fig. 1) and the isothermal decays of ICC in Fig. 2).<br />

and still in order to reduce possible Bragg<br />

wavelength shift due to changes in fiber stress or<br />

position within the oven. In the course of writing,<br />

post-exposing or annealing the gratings,<br />

transmission (and) reflection grating first-order<br />

spectra were periodically recorded by means of a<br />

mono-frequency tunable infrared laser (TUNICS<br />

from Photonetics SA) and an optical power-meter<br />

(RIFOCS corporation 575L). To improve the<br />

accuracy of the Bragg wavelength (BW)<br />

measurement, the wavelength of the monofrequency<br />

tunable laser was periodically calibrated<br />

to within an accuracy better than 1 pm with the help<br />

of a wave-meter (WA 1500 from Burleigh inc.). The<br />

data were computerized and stored in a PC. The<br />

experiments were carried out twice to check the<br />

reproducibility of the measurement. The accuracy of<br />

the reflectivity (R) determination is estimated to be<br />

better than 0.01. The UV-induced B.W. shifts were<br />

obtained as the differences between the B.W. after N<br />

pulses of UV light and those at the early times of the<br />

inscriptions (ie: after ≅ 1300 pulses of light from the<br />

fringe pattern when R ≅ 0.03). To separate the<br />

temperature-induced reversible shifts in the B.W.<br />

from the annealing-induced irreversible ones, we<br />

proceeded as follows. Firstly, immediately before<br />

annealing, grating spectra were recorded at 23°C to<br />

determine reference B.W. (λ ref ). Right at the end of<br />

the annealing, the B.W. (λ end ) of the grating were<br />

measured. Then, the temperature of the oven was<br />

reduced down to room temperature (23°C) and, at<br />

this time, the new B.W. (λ annealing ) were measured.<br />

The difference (λ end - λ annealing ) corresponds to the<br />

temperature-induced reversible shift, whereas<br />

(λ annealing - λ ref ) is the annealing irreversible total<br />

shift. Thus, we were in position to correct the B.W.<br />

measured during annealing from the temperatureinduced<br />

reversible shift. The absolute accuracy of<br />

the B.W. measurement is estimated to be better than<br />

0.005 nm. Fig. 1 shows typical evolutions of the<br />

grating reflectivity and B.W. as a function of the<br />

number of UV pulses. It shows that the uniform<br />

post-exposure led to a significant decrease in the<br />

grating reflectivity and to a further increase in the<br />

B.W. shift (the shift at the end of the exposure with<br />

E2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

the fringe pattern = 0.063 nm ; the shift after<br />

blanket exposure = 0.272 nm). It is noteworthy that<br />

the FWHM line-widths of the gratings before and<br />

after post-exposure were 0.060 nm and 0.061 nm<br />

(theoretical line-widths = 0.06 nm). Figs 2 and 3,<br />

respectively, show the evolutions of the normalized<br />

integrated coupling constants<br />

−1<br />

tanh ( R(<br />

t,<br />

T ))<br />

η ( η =<br />

= ICC)<br />

; where R(0,296 K)<br />

−1<br />

tanh ( R(0,296K))<br />

and R(t,T) are respectively the initial grating<br />

reflectivity and that after annealing at T for a time t)<br />

and those of the B.W. shifts. The empty and full<br />

symbols are for post-exposed and pristine gratings<br />

respectively. Annealing the gratings at 250°C for<br />

350 h led to a reduction of the grating line-widths by<br />

a quantity < 0.01 nm. Comparing the curves in<br />

empty and full symbols in Fig. 2, one can see, that,<br />

as in the case of CW exposure [17], uniform pulsed<br />

post-exposure significantly increases the stability of<br />

the grating reflectivity. In contrast, the annealinginduced<br />

shifts in the B.W. of the post-exposed<br />

gratings are higher than those of the pristine<br />

gratings. This result indicates that the improvement<br />

in the thermal stability of the grating reflectivity is<br />

made at the expense of that of the B.W.<br />

IV – CONCLUSION<br />

In conclusion, we have shown that UV postexposure<br />

of a grating to uniform light at 193 nm<br />

with a high power density leads to an increase in the<br />

thermal stability of the refractive index modulation.<br />

Uniform post-exposure induces a strong rise in the<br />

fiber core mean refractive index at the grating place.<br />

Consequently, the annealing-induced shift<br />

experienced by the post-exposed grating B.W.<br />

proves to be larger than that for an untreated grating.<br />

The rate of annealing-induced decrease in the mean<br />

refractive index looks larger than that of the index<br />

modulation. Consequently, long-term decay of the<br />

grating B.W. cannot be predicted through a master<br />

aging curve approach using ICC data but in contrast<br />

one has to build a master curve from annealinginduced<br />

decays of B.W. This difference between the<br />

rates of decay can be explained by assuming either<br />

that the annealing increases the contrast of the<br />

modulation or(and) that different defect distributions<br />

are responsible for the mean refractive index change<br />

and the modulation. A coherent rationale of the first<br />

hypothesis is formulated in the VAREPA approach<br />

[16], whereas the mean refractive index change<br />

ascribed to the UV-induced formation of Ge(1) and<br />

Ge(2) defects seems too low to account for our<br />

measurements.<br />

REFERENCES<br />

[1] Special issue of the Journal of Lightwave<br />

Technology on fiber gratings,<br />

photosensitivity and poling J. Light. Techn.<br />

15, 8, pp. 1261-1503, 1997.<br />

[2] I. Bennion, J.A.R. Williams, L. Zhang, K.<br />

Sugden and N.J. Doran “UV-written in-fibre<br />

Bragg gratings” Opt. And Quantum Electron.<br />

28, pp. 93-135, 1996.<br />

[3] A. Othanos “Fiber Bragg gratings” Rev. Sci.<br />

Instrum. 68, pp. 409-4341, 1997.<br />

[4] R. Kashyap “Fiber Bragg gratings” Optics and<br />

Photonics series edited by P.L. Kelly, I.<br />

Kaminov, G. Agrawal, Academic Press<br />

1999.<br />

[5] T. Erdogan, V. Mizrahi, P.J. Lemaire and D.<br />

Monroe “Decay of ultraviolet-induced fiber<br />

Bragg gratings” J. Appl. Phys. 76, pp. 73-80,<br />

1994.<br />

[6] H. Patrick, S.L. Gilbert, A. Lidgard and M.D.<br />

Gallagher “Annealing of Bragg gratings in<br />

hydrogen-loaded optical fiber” J. Appl. Phys.<br />

78, pp. 2940-2945, 1995.<br />

[7] D.L. Williams and R.P. Smith “Accelerated<br />

lifetime tests on UV written intra-core<br />

gratings in boron germania codoped fibre”<br />

Electron. Lett. 31, pp. 2120-2121, 1995.<br />

[8] I. Riant, S. Borne and P. Sansonetti “Dependence<br />

of fiber Bragg grating thermal stability on<br />

grating fabrication process” in Tech. Dig.<br />

OFC’96, paper TU05, pp. 86-87, 1996.<br />

[9] R.J. Egan, H.G. Inglis, P. Hill, P.A. Krug and F.<br />

Ouellette “Effects of hydrogen loading and<br />

grating strength on the thermal stability of<br />

fiber Bragg gratings” in Tech. Dig. OFC’96,<br />

paper TU03, pp. 83-84, 1996.<br />

[10] S. Kannan, J.Z.Y. Gus and P.J. Lemaire<br />

“Thermal reliability of strong Bragg gratings<br />

written in hydrogen sensitized fibers” in<br />

Tech. Dig. OFC’96, paper TU04, pp. 84-85,<br />

1996.<br />

[11] G. Robert and I. Riant “Demonstration of two<br />

distributions of defect centers in hydrogenloaded<br />

high germanium content fibers” in<br />

Tech. Dig. OFC’97, paper WL18, pp. 180-<br />

181, 1997.<br />

[12] S. Kannan, J.Z. Y. Gus and P.J. Lemaire<br />

“Thermal stability analysis of UV-induced<br />

fiber Bragg gratings” J. Light. Techn. 15, pp.<br />

1478-1483, 1997.<br />

[13] S.R. Baker, H.N. Rourke, V. Baker and D.<br />

Goodchild “Thermal decay of fiber Bragg<br />

gratings written in boron and germanium codoped<br />

silica fiber” J. Light. Techn. 15, pp.<br />

1470-1477, 1997.<br />

[14] I. Riant and B. Poumellec “Thermal decay of<br />

gratings written in hydrogen-loaded<br />

germano-silicate fibres” Electron. Lett. 34,<br />

pp. 1603-1604, 1998.<br />

[15] S. Ishikawa, A. Inoue and M. Harumoto<br />

“Adequate aging condition for fiber Bragg<br />

grating based on simple power law model” in<br />

E3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tech. Dig. OFC’98, paper WH6, pp. 183-<br />

184, 1998.<br />

[16] B. Poumellec “Links between writing and<br />

erasure (stability) of Bragg gratings in<br />

disorder media” J. of Non-Cryst. Sol. 239,<br />

pp. 108-115, 1998.<br />

[17] E. Salik, D.S. Staradubov, V. Grubsky and J.<br />

Feinberg “Thermally stable gratings in<br />

optical fibers without temperature annealing”<br />

in Tech. Dig. OFC’99, paper TH03-1, pp. 56-<br />

58, 1999.<br />

[18] D.S. Staradubov, V. Grubsky, J. Feinberg, B.<br />

Kobrin and S. Juma “Bragg grating<br />

[20] T.E. Tsai, G. Williams and E.J. Friebele<br />

“Uniform component of index structure<br />

induced in Ge-SiO2 fibers by spatially<br />

modulated ultraviolet light” Appl. Phys. Lett.<br />

72, pp. 3242-3245, 1998.<br />

[21] B. Leconte “Contribution à l’étude de la<br />

photosensibilité des fibres en silice sous<br />

l’effet d’une insolation par un laser à ArF”<br />

Thesis University of Lille 1, 1998.<br />

fabrication in germano-silicate fibers by use<br />

of near UV light : a new pathway for<br />

refractive-index changes” Opt. Lett. 22, pp.<br />

1086-1088, 1997.<br />

[19] J. Albert, B. Malo, K.O. Hill, F. Bilodeau, D.C.<br />

Johnson and S. Thériault “Comparison of<br />

one-photon and two-photon effects in the<br />

photo- sensitivity of germanium-doped silica<br />

optical fibers exposed to intense ArF<br />

excimer laser pulses” Appl. Phys. Lett. 67,<br />

pp. 3529-3531, 1995.<br />

[22] T. Tsai and E.J. Friebele “Kinetics of defect<br />

center formation and photosensitivity in Ge-<br />

SiO 2 fibers of various compositions” in OSA<br />

Techn. Dig. of the Williamsburg meeting on<br />

Bragg gratings photosensitivity and poling in<br />

glass fibers and wave-guides :<br />

Applications and fundamentals, volume 17, paper<br />

JMA4, pp. 101-103, 1997. [23] T.E. Tsai,<br />

E.J. Friebele and D.L. Griscom “Thermal<br />

stability of self-organized gratings and<br />

defects in Ge- and Ge-P-doped silica core<br />

fibers” in Proc. SPIE vol. 2044<br />

“Photosensitivity and self-organization in<br />

optical fibers and waveguides”, Quebec, pp.<br />

121-132, 1993.<br />

E4


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Rancang Bangun Modulator Optik Berbasis Efek Pockel Dalam Sistem<br />

Komunikasi Serat Optik<br />

Arif Hidayat 1 , Septianingsih, S 1 ., Moh Yasin 2* dan Bambang Widyatmoko 3<br />

1 Jurusan <strong>Fisika</strong>, FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang<br />

2 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, F. Saintek Universitas Airlangga.<br />

3 Pusat Penelitian <strong>Fisika</strong>, LIPI Serpong, Tangerang.<br />

*Email korespondensi: yasin@unair.ac.id<br />

ABSTRAK<br />

Perkembangan teknologi komunikasi samakin pesat seiring dengan digunakan internet yang membutuhkan jalur<br />

komunikasi yang sangat cepat dan tinggi. Penggunaan serat optik untuk sistem komunikasi memiliki kapasitas<br />

transmisi ribuan kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas transmisi gelombang mikro. Perkembangan<br />

kapasitas transmisi pemandu gelombang serat optik harus diikuti oleh perkembangan laju modulasi yang tinggi.<br />

Laju modulasi yang tinggi dapat diperoleh pada sistem modulator dengan bahan kristal lithium niobate yang<br />

memiliki koefisien elektro-optik linear (koefisien Pockel) tinggi (r 33 = 30,8 pm/V dan r 13 = 8,6 pm/V), jangkauan<br />

transparansi dan panjang gelombang transmisi yang lebar.<br />

Penelitian awal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa bahan kristal lithium niobate dapat digunakan sebagai<br />

komponen modulator dalam sistem komunikasi serat optik berbasis efek Pockel (elektro-optik linear) dengan<br />

kinerja yang baik. Dalam eksperimen rancang bangun modulator optik ini digunakan bahan kristal tungal lithium<br />

niobate (LiNbO 3 ) sebagai komponen modulator optik, sumber cahaya laser dioda dan serat optik singlemode.<br />

Sumber cahaya laser dilewatkan ke dalam bahan Lithium niobate. Sinyal luaran dilewatkan ke serat optik<br />

singlemode kemudian diterima oleh detektor optik dan diproses oleh demodulator. Bentuk sinyal masukan dan<br />

sinyal keluaran ditampilkan di osiloskop sedangkan nilai frekuensinya dicatat oleh frekuensi-meter. Hasil<br />

penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara frekuensi sinyal masukan dengan sinyal modulasi<br />

luaran. Nilai frekuensi sinyal masukan yang dapat dimodulasikan dapat mencapai 65 kHz.<br />

Kata kunci: Modulator optik, efek Pockel, lithium niobate, dan komunikasi serat optik.<br />

PENDAHULUAN<br />

Kemajuan teknologi komunikasi semakin<br />

berkembang pesat sejak digunakannya internet.<br />

Dengan demikian kebutuhan akan jalur komunikasi<br />

yang cepat dan tinggi sangat diperlukan. Untuk<br />

mengatasi hal ini komunikasi serat optik merupakan<br />

pilihan yang sangat tepat, mengingat kapasitasnya<br />

ribuan kali lebih besar dibandingkan dengan<br />

pemakaian gelombang mikro. Sistem komunikasi<br />

yang dikembangkan oleh beberapa peneliti dalam<br />

komunikasi serat optik adalah sistem komunikasi<br />

berbasis Wavelenght Division Multiplexing (WDM)<br />

dimana dalam satu serat ditransmisikan ratusan<br />

panjang gelombang yang mempunyai kapasitas<br />

transmisi ribuan kali lebih besar dari kapasitas<br />

gelombang mikro (Keiser, 1983). Beberapa<br />

penelitian tentang modulasi optik dan pemanfaatan<br />

serat optik untuk sistem komunikasi telah dilakukan<br />

dan dilaporkan (Rabiei and Gunter, 2005; Samian<br />

dan Yasin, 2001; Suheri dan Agus, 2004 dan Yasin,<br />

2002).<br />

Perkembangan kapasitas transmisi pemandu<br />

gelombang serat optik harus diikuti oleh<br />

perkembangan laju modulasi yang tinggi. Laju<br />

modulasi yang tinggi hanya dapat diperoleh dengan<br />

membuat suatu sistem modulator. Sistem<br />

modulator dapat dibuat dengan berbagai macam<br />

antara lain: modulator berbasis efek elektro-optik,<br />

modulator berbasis magnetooptik atau efek faraday,<br />

dan modulator berbasis akustooptik dan fotoelastik.<br />

Penyinergian antara sumber cahaya (fiber laser) dan<br />

serat optik (bahan silica) telah menghasilkan<br />

pemanduan gelombang yang sangat efisien dengan<br />

rugi daya yang sangat rendah yaitu sekitar 0,22<br />

dB/km (Agrawal, 2001). Bahan kristal lithium<br />

niobate memiliki potensi untuk memodulasi sinyal<br />

sangat cepat karena memiliki koefisien elektrooptik<br />

yang besar ( r 33 = 30,8 pm/V, r 13 = 8,6 pm/V), jarak<br />

transparansi yang besar (0,4 -5 μ m) dan bandwith<br />

internal yang besar (Yariv and Yeh, 1984). Di<br />

dalam eksperimen ini, akan dibahas tentang<br />

jangkauan frekuensi sistem modulator optik berbasis<br />

efek elektro-optik linear (efek Pockel) dengan bahan<br />

kristal lithium niobate (LiNBO3).<br />

DASAR TEORI<br />

Serat optik adalah saluran transmisi cahaya<br />

yang terbuat dari bahan kaca atau plastik yang<br />

digunakan untuk mentransmisikan gelombang<br />

cahaya dari suatu tempat ke tempat lain. Perambatan<br />

cahaya dalam serat optik mematuhi konsep<br />

pemantulan dan pembiasan yaitu bila seberkas<br />

cahaya mengenai perbatasan yang memisahkan dua<br />

medium yang berbeda (core-cladding), sebagian<br />

berkas dipantulkan kembali ke medium pertama dan<br />

sebagian berkas lainnya dibiaskan ke medium kedua.<br />

Penggunaan cahaya di dalam sistem komunikasi<br />

E5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

serat optik adalah yaitu semakin tinggi frekuensi dari<br />

suatu gelombang pembawa (carrier), maka<br />

bandwidth atau kapasitas transmisinya pun akan<br />

semakin besar pula<br />

Modulasi adalah suatu proses penumpangan<br />

sinyal-sinyal informasi ke dalam sinyal pembawa<br />

(carrier) sehingga dapat ditransmisikan ke tujuan.<br />

Modulasi optik atau modulasi cahaya adalah teknik<br />

modulasi yang menggunakan berkas cahaya berupa<br />

pulsa pulsa cahaya sebagai sinyal pembawa<br />

informasi. Sumber cahaya yang umum digunakan<br />

adalah berkas cahaya yang dihasilkan oleh suatu<br />

sumber cahaya laser atau LED (Etten and Plaats,<br />

1991). Bila dibandingkan dengan modulasi<br />

konvensional, modulasi optik memiliki keunggulan<br />

dalam hal ketahanan terhadap derau (noise) yang<br />

sangat tinggi hal ini disebabkan oleh sinyal cahaya<br />

tidak dipengaruhi medan elektromagnetik.<br />

Efek elektro-optik merupakan perubahan indeks<br />

bias dari suatu bahan yang dipengaruhi oleh<br />

penggunaan medan eksternal. Medan eksternal pada<br />

efek elektro-optik bisa diterapkan dengan<br />

menempatkan suatu elektroda yang berlawanan<br />

dengan kristal dan kemudian dihubungkan dengan<br />

suatu tegangan. Kehadiran medan distorsi gerak<br />

elektron dalam atom atau molekul dari suatu bahan<br />

kristal terdistorsi menghasilkan perubahan sifat<br />

optik. Contohnya adalah penggunaan medan<br />

eksternal bisa menyebabkan kristal yang isotropis<br />

menjadi bahan anisotropis atau birefringence. Dalam<br />

hal ini medan tersebut menyebabkan sumbu-sumbu<br />

prinsipal dan sumbu-sumbu optik yang<br />

menyebabkan perubahan indeks bias lebih kecil dari<br />

sebelumnya. Jika indeks bias n sebagai fungsi dari<br />

pengaruh medan listrik E yaitu n = n(E), hal ini bisa<br />

diperluas dengan menggunakan deret tailor dalam E<br />

yaitu (Guenther, 1990):<br />

,<br />

2<br />

n = n + a E + a E + ..... (1)<br />

1<br />

2<br />

Dengan a<br />

1<br />

adalah koefisien efek elektro-optik<br />

linear (orde-1) dan a 2<br />

adalah koefisien efek elektrooptik<br />

non-lienar (orde-2). Secara matematis dapat<br />

ditulis:<br />

Δ<br />

n<br />

1<br />

= a E<br />

(efek Pockel) (2)<br />

2<br />

Δ n = a 2<br />

E (efek Kerr) (3)<br />

Efek elektro-optik hanya terjadi dalam medium<br />

anisotropis seperti bahan yang hanya menunjukkan<br />

efek Kerr, misalnya adalah nitrobenzena dan<br />

nitrotoluena sedangkan pada efek pockel contohnya<br />

adalah lithium niobate, galium arsenide, lithium<br />

tantalate, dan beberapa komponen semikonduktor.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini merupakan penelitian<br />

eksperimental di laboratorium, bahan modulator<br />

yang digunakan adalah kristal lithium niobate.<br />

Sumber cahaya yang dignakan adalah laser dioda,<br />

serat optik singlemode dan detektor optik (OPT-<br />

10C). Cahaya laser dilewatkan ke dalam plat yang<br />

dilapisi bahan lithium niobate. Sinyal luaran yang<br />

dihasilkan dilewatkan ke serat optik singlemode dan<br />

selanjutnya diterima oleh detektor optik dan diproses<br />

oleh demodulator. Bentuk sinyal masukan dan sinyal<br />

luaran dapat dilihat pada osiloskop sedangkan nilai<br />

frekuensinya dicatat pada frekuensi-meter. Tegangan<br />

yang dialirkan ke dalam plat lithium niobate dilihat<br />

di osiloskop. Blok diagram setup eksperimen dan<br />

foto setup eksperimen modulator optik ditunjukkan<br />

berturut-turut oleh Gambar 1 dan Gambar 2.<br />

Hasil yang diperoleh di dalam penelitian ini<br />

berupa frekuensi sinyal masukan yang akan<br />

dibandingkan dengan frekuensi sinyal luaran,<br />

kemudian data frekuensi ini dianalisis dengan<br />

menggunakan uji regresi linear, bila nilai frekuensi<br />

sinyal luaran merupakan fungsi linear frekuensi<br />

sinyal masukan, maka sistem modulator yang dibuat<br />

dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai piranti<br />

modulasi dalam sistem komunikasi serat optik.<br />

Gambar 1. Blok diagram setup eksperimen sistem modulator<br />

lithium niobate berbasis efek Pockel.<br />

Gambar 2. Foto setup eksperimen sistem modulator optik (kristal<br />

lithium niobate) dalam sistem komunikasi serat optik.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil eksperimen berupa hubungan antara<br />

frekuensi luaran dan frekuensi masukan modulator<br />

ditunjukkan oleh Gambar 3, sedangkan tampilan<br />

sinyal masukan dan luaran untuk frekuensi rendah<br />

(100 Hz) dan frekuensi tinggi (65kHz) masingmasing<br />

ditunjukkan oleh Gambar 4 (a) dan (b).<br />

E6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 3. Hubungan antara frekuensi masukan dan luaran<br />

modulator optic dalam sistem komunikasi serat optik.<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 4. Hasil eksperimen sinyal modulasi dengan<br />

menggunakan LiNbO 3 pada frekuensi (a) 100 Hz dan (b) 65 kHz.<br />

Berdasarkan hasil eksperimen pada Gambar 3<br />

dan 4, hasil rekaman sinyal modulasi pada terdapat<br />

kesesuaian antara sinyal modulasi masukan dengan<br />

sinyal modulasi keluaran. Namun pada frekuensi<br />

tinggi sinyal masukan cenderung lebih besar dari<br />

pada sinyal keluaran, hal ini kemungkinan<br />

disebabkan oleh penentuan tegangan operasi bahan<br />

kistal lithium niobate sebagai komponen modulator<br />

masih kurang tepat. Pada Gambar 4a dan 4b terlihat<br />

bahwa amplitudo tegangan sinyal masukan lebih<br />

besar dari pada sinyal luaran, hal ini disebabkan oleh<br />

adanya pelemahan (attenuasi) yang terjadi di dalam<br />

pemandu gelombang serat optik dan kemampuan<br />

respon detektor optik dalam menangkap sinyal<br />

modulasi semakin berkurang.<br />

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa frekuensi<br />

sinyal masukan yang bisa dimodulasikan antara 100<br />

Hz sampai dengan 65 kHz. Dari hasil eksperimen<br />

tersebut telah menunjukkan bahwa sistem modulator<br />

ini yang telah dibuat sudah cukup baik untuk<br />

dijadikan modulator dalam komunikasi serat optik<br />

pada jangkauan frekuensi yang cukup lebar yaitu<br />

dari frekuensi rendah (orde 100 Hz) sampai<br />

frekuensi tinggi (orde 10-65 kHz). Sistem modulator<br />

berbasis efek Pockel yang telah dibuat sebenarnya<br />

sudah cukup baik untuk digunakan sebagai piranti<br />

modulator optik di dalam sistem komunikasi serat<br />

optik pada frekuensi yang lebih tinggi (lebih dari 65<br />

kHz). Namun kendala yang dihadapi adalah<br />

kemampuan respon detektor dalam menangkap<br />

sinyal frekuensi tinggi menjadi berkurang sehingga<br />

sinyal luaran yang dihasilkan kurang baik. Namun<br />

demikian, keunggulan penggunaan bahan kristal<br />

LiNbO3 ini adalah pengoperasiam tegangan yang<br />

dikenakan pada bahan ini adalah tidak besar (orde<br />

34-196 mV) sementara tegangan operasi untuk<br />

bahan nitrobenzena yang telah dilakukan pada<br />

penelitian sebelumnya telah digunakan tegangan<br />

dengan orde kV (Samian and Yasin, 2001).<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil pembahasan dalam peneltian<br />

ini, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut,<br />

A. Kristal LiNbO 3 memenuhi kriteria yang cukup<br />

baik untuk digunakan sebagai piranti modulator<br />

dalam sistem komunikasi serat optik,<br />

B. Jangkauan frekuensi sistem modulator berbasis<br />

efek pockel ini cukup lebar dan memiliki<br />

kesesuaian bentuk dan frekuensi antara sinyal<br />

modulasi masukan dan sinyal luaran antara 100<br />

Hz sampai 65 kHz.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Agrawal G.P., 2001., “Applications of Nonlinear<br />

Fiber Optics”, Academic Press, New York.<br />

Etten W.V. and Plaats J.V.D., 1991, “Fundamentals<br />

of Optical Fiber Communications”, Prentice<br />

Hall, New York.<br />

Guether R.D., 1990., “Modern Optics”, John Wiley<br />

and Sons, New York.<br />

Keiser G., 1983, “Optical Fiber Communications”,<br />

Mc-Graw Hill, London.<br />

Samian dan M. Yasin, 2001, “Perancangan Sistem<br />

Modulator Optik Berdasarkan Efek<br />

Elektrooptik Pada Sel Kerr Dengan Medium<br />

CCl 4 ”, LPPM Universitas Airlangga.<br />

E7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Rabiei P. and Gunter P, 2005, “Sub-micron thin<br />

films of lithium niobate single crystals<br />

prepared by crystal ion slicing and wafer<br />

bonding”, Conference on Lasers & Electro-<br />

Optics (CLEO).<br />

Suheri dan Agus, 2004, “Penggunaan Serat Optik<br />

Untuk Transmisi Data Pengukuran”, Tugas<br />

Akhir, Universitas Nasional, Jakarta.<br />

Yariv A. and Yeh P., 1984., “Optical waves in<br />

crystals”, John Wiley & Sons, New York.<br />

Yasin, M., 2002, “Pemanfaatan Laser Pointer<br />

Sebagai Modulator Berbasis Efek Faraday<br />

Pada Sistem Komunikasi Serat Optik”,<br />

LPPM Universitas Airlangga.<br />

E8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Measurements of CO 2 Emissions Emitted from Burning of<br />

Queensland Trees<br />

Arinto Y. P. Wardoyo<br />

Physics Department, Brawijaya University<br />

Jl. Veteran, Malang, Indonesia, 65145<br />

Email: a.wardoyo@brawijaya.ac.id<br />

Abstract<br />

Carbon dioxide (CO 2 ) as a primary product of combustion has been known a factor affecting climate change and<br />

global warming. Biomass burning CO 2 emission contributes a significant large portion of the total carbon in the<br />

atmosphere. State of Queensland, Australia experiencing biomass burning every year has been recognized a<br />

contributor of the CO 2 emission. Quantification of the CO 2 emission factor emitted from biomass burning is<br />

very important to estimate the magnitude and the impacts. This paper presents the quantification of CO 2<br />

emission factors for five common tree species found in South East Queensland forests under controlled<br />

laboratory conditions called fast burning and slow burning. The results show that the CO 2 emission factors<br />

depending on type of vegetation and burning conditions. The CO 2 emission factor resulted in fast burning is of<br />

(2574 ± 254) g/kg for wood. For slow burning condition, the CO 2 emission factors are of (218 ± 20) g/kg for<br />

wood.<br />

Keywords: CO 2 , Emission factors, trees burning, Australia.<br />

INTRODUCTION<br />

Biomass burning including vegetation<br />

(savannah, forest, and agricultural residues) fires and<br />

burning for cooking and heating has been identified<br />

as important source of atmospheric particles and<br />

gases (Cheng et al. 2009; Fearnside et al. 2009;<br />

Glasius et al. 2008; Wardoyo et al. 2006; Wardoyo<br />

et al. 2007). Their emissions have played a<br />

significant role on air pollution and climate<br />

(Langmann et al. 2009) due to their acidification of<br />

clouds, rain, and fog (Nichol 1997); their lightscattering<br />

and absorption effects (Hobbs et al. 1997),<br />

their influence on cloud formation (Feingold et al.<br />

2005) and on cloud microphysical processes<br />

(Andreae et al. 2004 ).<br />

Biomass burning in Australia burns 40-130<br />

million hectares of land annually (WHO, 2000), and<br />

the fires of 1998-1999 and 1999-2000 consumed<br />

areas of 31 and 71 million hectares respectively (Gill<br />

and Moore 2005). The Western Australian<br />

Department of Land Information reported that<br />

biomass burning across Australia, from 1997 to<br />

2003, destroyed an area of approximately 26 to 80<br />

million hectares. The greatest extent of biomass<br />

burning was reported in the savannas of the<br />

Northern Territory of Australia. The Australian<br />

Bureau of Statistics (ABS) reported that, from July<br />

2002 to February 2003, there were 5,999 forest fires<br />

burning an area of 21 million hectares across<br />

Australia, with the majority located in the Northern<br />

Territory of Australia, in an area of 15 million<br />

hectares (ABS 2004). Biomass burning in the<br />

savannas of the Northern Territory of Australia<br />

during the period of 1997-1999 was estimated to<br />

affect an area of 30 million hectares (Russell-Smith<br />

et al. 2003a; b) and during 1997-2001, an average of<br />

30 million hectares of savannas in the Northern<br />

Territory were affected by fires, with the greatest<br />

area damaged in 1999 when 4 million hectares were<br />

burned (Russell-Smith et al. 2003b). The data<br />

showed that from 1980 to 1995, more than 1 million<br />

hectares of the Kakadu National Park in the<br />

Northern Territory of Australia were destroyed by<br />

fires (Gill et al. 2000). The state of Queensland<br />

experiences biomass burning every year and it was<br />

recorded that Queensland fires in 1991 consumed<br />

37,000 hectares of forest (Hamwood 1992). From<br />

July 2002 until June 2003, there were 2,618 fires<br />

destroying 1 million hectares of forest in this state<br />

(ABS 2004).<br />

Among the gas emissions, carbon dioxide (CO 2 )<br />

with other greenhouse gasses have been considered<br />

as an important factor causing global warming due<br />

to its large released quantity in the atmosphere<br />

(Andreae and Merlet 2001). Quantification of<br />

emission factor is important to estimate a quantity of<br />

emission released from vegetation burning. The CO 2<br />

emission factors from biomass burning from<br />

different regions in the world have been reported in<br />

previous studies (Neto et al. 2009; Sahai et al. 2007;<br />

Kannan et al. 2005). The CO 2 emission factor from<br />

biomass burning in Australia has not been quantified<br />

yet in previous studies. This study was aimed at<br />

quantifying the CO 2 emission factors from burning<br />

vegetation typically found growing in South East<br />

Queensland open forests and Savannah Northern<br />

Territory of Australia where the states experiences<br />

fires consuming a large area every year (ABS 2004;<br />

Russell-Smith et al. 2003b).<br />

E9


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

METHODOLOGY<br />

The CO 2 measurement system was a part of the<br />

designed system to study of the characteristics and<br />

quantification of emission factors of biomass<br />

burning emissions (particles and gasses) under<br />

controlled laboratory conditions.<br />

Particle Measurement<br />

Gas Measurement<br />

Figure 1. Experimental setup consisting of the burning system<br />

(modified stove), a dilution and sampling system, a particle<br />

measurement system, and a gas measurement system (Wardoyo et<br />

al. 2006; Wardoyo et al. 2007).<br />

The experimental setup consisted of a burning<br />

system (modified stove), a dilution and sampling<br />

system, and a particle measurement system<br />

(Wardoyo et al. 2006; Wardoyo et al. 2007). A<br />

modified commercial stove (66 x 74.5 x 55cm 3 ),<br />

fitted with a ventilation system to enable the<br />

introduction of a controlled amount of air into the<br />

stove, was used to simulate different burning rates.<br />

In order to obtain a homogeneous rate of air flow,<br />

the outlet of the ventilation system was connected to<br />

a rectangular hood, which was connected to a blower<br />

with a maximum capacity of 14 L/s, by a pipe 30<br />

mm in diameter. The flow rate of the air was<br />

adjusted by a valve located at this connection.<br />

CO 2 Measurements<br />

The CO 2 measurements were carried out by<br />

using a Andros Gas Bench gas analyzer. The smoke<br />

samples were taken from the flue through a<br />

conducted tube 0.1cm in diameter placed 40 cm<br />

above the stove. Then the samples were introduced<br />

into the gas analyzer. The CO 2 concentrations during<br />

the burning process were measured continuously<br />

with the sampling interval of 20 s.<br />

Sample Material and Preparation<br />

The samples consisted of the wood sampled<br />

collected from the trees growing in open forests at<br />

Mount Samson, located about 40 km west from the<br />

city of Brisbane Queensland Australia. Five species<br />

of Eucalyptus were selected as samples according to<br />

their prevalence in the forest. These were: Spotted<br />

Gum (Eucalyptus citriodora), Blue Gum (Eucalyptus<br />

tereticornis), Bloodwood (Eucalyptus intermedia),<br />

Iron Bark (Eucalyptus crebra), and Stringybark<br />

(Eucalyptus umbra). All five species are known as<br />

hard woods. The logs of wood were placed in an<br />

open area of the laboratory for several months to<br />

obtain homogeneous moisture contents within the<br />

optimum range for burning of 20 - 30 % (Core et al.<br />

1984). The wood pieces used for burning were<br />

sections of a large block of the trunk. The moisture<br />

was not measured directly from the trunk because<br />

the sharp part of the moisture meter using to<br />

measure a resistance of the wood is only one<br />

centimetre in length. In order to measure the<br />

moisture of all pieces of the wood, the logs were cut<br />

into pieces of 15 - 25 cm in length with diameters of<br />

5 - 12 cm. The measurements of wood moisture<br />

were conducted by measuring the dry part (outer<br />

part) and wet part (inner part) of the wood several<br />

times. For example: the moisture content of 15 % to<br />

26 % for blue gum means 15 % is the measured<br />

moisture of the outer part of the wood and 26 % is<br />

the measured moisture of the inner part of the wood.<br />

The measured moisture content of the samples<br />

varied from 18-26 % for Spotted Gum, 15-26 % for<br />

Blue Gum, 14-24 % for Bloodwood, and 17-25 %<br />

for Iron Bark. The moisture contents of the branches<br />

were 16 - 18 % for Spotted Gum, 18 - 22 % for Iron<br />

Bark, and 18 - 20 % for Stringybark.<br />

Burning Conditions<br />

The samples were burned in the stove under<br />

‘fast burning’ and ‘slow burning’ conditions. During<br />

fast burning, the stove was connected to a blower<br />

that introduced fresh air with maximum velocity 14<br />

L/s. Under slow burning conditions, the blower was<br />

not connected to the ventilation system during the<br />

burning process. Burning of the samples was<br />

repeated three times, for each of the burning<br />

conditions.<br />

The air velocity at the base of the stove for the<br />

fast burning condition was measured at several<br />

points using an air velocity meter while the door of<br />

the stove was closed. The air velocity across<br />

horizontal cross section was relatively homogeneous<br />

in the region of 15 cm from the middle of the stove<br />

base with a speed of 1.8 to 2.0 m/s. Based on this,<br />

the samples for emission characterisation during<br />

burning were placed in the centre of the stove’s<br />

base.<br />

Burning of the wood samples was repeated in<br />

sequences 5 times for fast burning and 3 times for<br />

slow burning conditions. Some of the sequences<br />

were repeated several times. This was done in order<br />

to confirm the reproducibility of the results for the<br />

same wood species. Initially two experiments were<br />

conducted on different days to check the<br />

repeatability of the results. These results showed that<br />

the measurements conducted on different days gave<br />

consistent results. However, since ambient<br />

conditions vary between different days, it was<br />

decided to conduct a sequence of experiments to<br />

derive the emission factors for each of the samples<br />

during one day, rather then during measurements<br />

conducted on different days. To start the burning,<br />

E10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

newspaper and small pieces of the same wood types<br />

were used as a starter and kindling for the burning of<br />

the first sample. Pieces of the same wood were used<br />

as a starter and kindling for burning the following<br />

samples (Wardoyo et al. 2007).<br />

Emission Factor Calculation<br />

Emission factors of gaseous species were calculated<br />

as the following equation and it was similar to that<br />

described by (Jenkins et al. 1996)<br />

−<br />

t<br />

f<br />

10 3 wi<br />

Ei<br />

= AsvCi<br />

dt<br />

m ∫<br />

(1)<br />

22.4<br />

fd<br />

t<br />

o<br />

where, E i is the emission factor of species i, m fd is<br />

the mass of vegetation consumed during burning, t 0<br />

is the starting time of each test, t f is the finishing<br />

time, A s is the stack area (0.03 m 2 ), v is the average<br />

stack gas velocity (20 m/s for fast burning and 2 m/s<br />

for slow burning), C i is the sampling concentration<br />

of species i, and W i is the molecular weight of<br />

species i.<br />

RESULTS AND DISCUSSION<br />

CO 2 Concentration<br />

higher average CO 2 concentrations than slow<br />

burning. For fast burning, spotted gum produced the<br />

highest CO 2 concentrations of (35904 ± 5298) ppm.<br />

Bloodwood, stringybark, and bluegum, having<br />

relatively the same hardness generated CO 2 with the<br />

concentrations of (29960 ± 2380) ppm and (29390 ±<br />

1190) ppm, and (23525 ± 5660) ppm respectively.<br />

Among the samples, stringybark released the lowest<br />

concentrations of (20730 ± 570) ppm. On the other<br />

hand, Stringy bark produced the highest CO 2<br />

concentration of (6280 ± 547) ppm during slow<br />

burning. Spottengum, Bloodwood, Bluegum, and<br />

Ironbark produced CO 2 with the concentrations of<br />

(5407 ± 299) ppm, (4938 ± 347) ppm, (4496 ± 345)<br />

ppm, and (4495 ± 525) ppm respectively.<br />

CO 2 Emission Factor<br />

(a)<br />

CO2 Concentration (ppm)<br />

14000<br />

12000<br />

10000<br />

8000<br />

6000<br />

4000<br />

2000<br />

0<br />

Slow Burning of Woods<br />

0 5000 10000 15000 20000<br />

Time (seconds)<br />

Figure 2. CO 2 concentrations measured during fast burning (2a)<br />

and slow burning (2b) of woods<br />

Figure 2a shows time series of CO 2 concentration<br />

emitted during fast burning of the wood samples,<br />

and Figure 2b presents an example of the change in<br />

CO 2 concentration for slow burning of the samples.<br />

In general the CO 2 concentration produced for<br />

several repeated runs during both type of burning is<br />

obtained in a consistency of the change. For fast<br />

burning, it can be seen that the CO 2 concentration<br />

produced every run of burning shows a smooth<br />

trend. The trend shows a repeated similar pattern for<br />

every burning of the samples. Meanwhile a small<br />

fluctuated CO 2 concentration is obtained during each<br />

sequence of slow burning. For fast and slow burning<br />

of branches and leaves taken the trees, result in a<br />

similar pattern of the CO 2 concentrations. The same<br />

pattern of the CO 2 concentration was obtained for<br />

fast and slow burning of grass.<br />

The average particle concentration was<br />

calculated by integrating the total concentration<br />

during one run and dividing by the burning time.<br />

The standard deviation was derived from 5 repeated<br />

runs for fast burning and 5 repeated runs for slow<br />

burning. The result shows that fast burning generates<br />

(b)<br />

Bloodwood<br />

Ironbark<br />

Bluegum<br />

stringybark<br />

Figure 3. Emission factors of burning of woods.<br />

Figure 3 presents the average particle number<br />

emission factors and the standard deviations for fast<br />

burning and slow burning of the different species of<br />

wood. In general, fast burning produces<br />

significantly more CO 2 with the emission factors<br />

about 20 times more. The CO 2 emission factor for<br />

fast burning of woods is of (953 ± 39) g/kg for<br />

Spottedgum, (919 ± 39) g/kg for Bluegum, (989 ±<br />

67) g/kg for Bloodwood, (945 ± 93) g/kg for<br />

Ironbark, and (747 ± 120) g/kg Stringybark<br />

respectively. Bluegum and Stringybark produce the<br />

highest and lowest CO 2 emission factor. However<br />

the CO 2 emission factors resulted in fast burning<br />

generally show no a statistical significant difference.<br />

The average and deviation standard calculated from<br />

the CO 2 emission factors are (911 ± 34) g/kg.<br />

Under slow burning condition, the CO 2<br />

emission factors emitted by Spottedgum, Bluegum,<br />

Bloodwood, Ironbark, Stringybark are (29 ± 4) g/kg,<br />

(36 ± 1) g/kg, (40 ± 1) g/kg, (35 ± 7) g/kg, (32 ± 1)<br />

g/kg respectively. There is also no statistical<br />

significant difference of the CO 2 emission factor<br />

obtained from slow burning the samples. The<br />

average and deviation standard calculated from the<br />

emission factors are (34 ± 3) g/kg.<br />

CONCLUSION<br />

In summary, it has been found the CO 2<br />

emissions resulted from controlled burnings of<br />

different varieties of vegetation growing on the<br />

region of the State of Queensland Australia that<br />

E11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

experience fires every year. Type of wood and<br />

burning conditions significantly affect the CO 2<br />

emissions. Fast burning resulted in relatively high<br />

the CO 2 emission factor when compared to slow<br />

burning.<br />

REFERENCES:<br />

ABS (2004). Environment bushfires, Australian<br />

Bureau of Statistics,<br />

http://www.abs.gov.au/ausstats, accessed<br />

March 2005.<br />

Andreae, M. O. and Merlet, P. (2001). Emission of<br />

trace gases and aerosols from biomass<br />

burning. Global Biogeochem. Cycles 15:955-966.<br />

Andreae, M. O., Rosenfeld, D., Artaxo, P., Costa, A.<br />

A., Frank, G. P., Longo, K. M. and Silva-<br />

Dias, M. A. F. (2004). Smoking rain clouds<br />

over the Amazon. . Science 303 1337-1342.<br />

Cheng, M.-T., Horng, C.-L., Su, Y.-R., Lin, L.-K.,<br />

Lin, Y.-C. and Chou, C. C. K. (2009).<br />

Particulate matter characteristics during<br />

agricultural waste burning in Taichung City,<br />

Taiwan. Journal of Hazardous Materials<br />

165:187-192.<br />

Core, J. E., Cooper, J. A. and Neulicht, R. M.<br />

(1984). Current and projected impacts of<br />

residential wood combustion on Pacific<br />

Northwest air quality. Journal Air Pollution<br />

Control Association 34:138 - 143.<br />

Fearnside, P. M., Righi, C. A., Graça, P. M. L. d. A.,<br />

Keizer, E. W. H., Cerri, C. C., Nogueira, E.<br />

M. and Barbosa, R. I. (2009). Biomass and<br />

greenhouse-gas emissions from land-use<br />

change in Brazil's Amazonian "arc of<br />

deforestation": The states of Mato Grosso and<br />

Rondônia. Forest Ecology and Management<br />

258:1968-1978.<br />

Feingold, G., Jiang, H. and Harrington, J. Y. (2005).<br />

On smoke suppression of clouds in<br />

Amazonia. . Geophys. Res. Lett. 32 L02804.<br />

doi:02810.01029/02004GL021369.<br />

Glasius, M., Ketzel, M., Wåhlin, P., Bossi, R.,<br />

Stubkjær, J., Hertel, O. and Palmgren, F.<br />

(2008). Characterization of particles from<br />

residential wood combustion and modelling<br />

of spatial variation in a low-strength emission<br />

area. Atmospheric Environment 42:8686-<br />

8697.<br />

Gill, A. M., Ryan, P. G., Moore, P. H. R. and<br />

Gibson, M. (2000). Fire regimes of world<br />

heritage Kakadu National Park Australia.<br />

Australia Ecology 25:616-625.<br />

Gill, M. and Moore, P. H. R. (2005). Fire Situation<br />

in Australia, http://www.fao.org/docrep,<br />

accessed March 2005.<br />

Hamwood, K. R. (1992). Large forest plantation fire<br />

in Queensland. IFFN 7:2-3.<br />

Hobbs, P. V., Reid, J. S., Kotchenruther, R. A.,<br />

Ferek, R. J. and Weiss, R. (1997). Direct<br />

radiative forcing by smoke from biomass<br />

burning. Science of The Total Environment<br />

275:1776-1778.<br />

Kannan, G. K., Gupta, M. and Chandra Kapoor, J.<br />

(2005). Estimation of gaseous products and<br />

particulate matter emission from garden<br />

biomass combustion in a simulation fire test<br />

chamber. Atmospheric Environment 39:563-<br />

573.<br />

Nichol, J. (1997). Bioclimatic impacts of the 1994<br />

smoke haze event in southeast Asia.<br />

Atmospheric Environment 31:1209-1219.<br />

Neto, T. G. S., Carvalho, J., .A. .,, Veras, C. A. G.,<br />

Alvarado, E. C., Gielowe, R., Lincoln, E. N.,<br />

Christian, T. J., Yokelson, R. J. and Santos, J.<br />

C. (2009). Biomass consumption and CO2,<br />

CO and main hydrocarbon gas emissions in<br />

an Amazonian forest clearing fire.<br />

Atmospheric Environment 43 43:438-446.<br />

Russell-Smith, J., Edwards, A. C. and Cook, G. D.<br />

(2003a). Reability of biomass burning<br />

estimates from savannas fires: Biomass<br />

burning in northern Australia during the 1999<br />

biomass burning and lighting experiment B<br />

field campaign. Journal of Geophysical<br />

Research 108:8405,<br />

doi:8410.1029/2001JD000787.<br />

Russell-Smith, J., Yates, C., Edwards, A., Allan, G.<br />

E., Cook, G. D., Cooke, P., Craig, R., Health,<br />

B. and Smith, R. (2003b). Contemporary fire<br />

regimes of northern Australia, 1997-2001:<br />

change since Aboriginal occupacy, callenges<br />

for sustainable management. International<br />

Journal of Wildland Fire 12:283-297.<br />

Sahai, S., Sharma, C., Singh, D. P., Dixit, C. K.,<br />

Singh, N., Sharma, P., Singh, K., Bhatt, S.,<br />

Ghude, S., Gupta, V., Gupta, R. K., Tiwari,<br />

M. K., Garg, S. C., Mitra, A. P. and Gupta, P.<br />

K. (2007). A study for development of<br />

emission factors for trace gases and<br />

carbonaceous particulate species from in situ<br />

burning of wheat straw in agricultural fields<br />

in india. Atmospheric Environment 41:9173-<br />

9186.<br />

Wardoyo, A. Y. P., Morawska, L., Ristovski, Z. and<br />

Marsh, J. (2006). Quantification particle<br />

number and mass emission factors from<br />

combustion Queensland trees. Environmental<br />

Science and Technology 40:5696-5703.<br />

Wardoyo, A. Y. P., Morawska, L., Ristovski, Z. D.,<br />

Jamriska, M., Carr, S. and Johnson, G.<br />

(2007). Size distribution of particles emitted<br />

from grass fires in the Northern Territory,<br />

Australia. Atmospheric Environment<br />

41:8609-8619.<br />

E12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengujian Stabilitas Laser sebagai Penelitian Awal dalam Perancangan<br />

Sensor Strain Tanah Berbasis FBG Dengan Teknik Sweeping Laser Dioda<br />

Asnawi 1 , Moh. Ridha 1 , Bambang Widiyatmoko 2<br />

1 Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Unesa, Kampus Ketintang Surabaya 60231,Telp.(031)-8289070<br />

2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kawasan Puspitek Serpong 15431 Tangerang<br />

e-mail: asnawi_unesa@yahoo.co.id<br />

ABSTRAK<br />

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas laser dioda dan hubungan antara suhu laser dengan panjang<br />

gelombang laser. Pengujian dilakukan dengan merubah suhu laser dengan interval suhu dari 38.0 o C -20.0 o C dan<br />

mencermati power optik serta panjang gelombang laser. Nilai power optik diukur dengan Powermeter dan<br />

Optical Spectrum Analyzer (OSA) sedangkan panjang gelombang laser hanya diukur dengan OSA. Dari<br />

penelitian ini diperoleh nilai power optik semakin menurun tiap menurunkan suhu laser. Hasil pengukuran OSA<br />

menunjukkan bahwa penurunan suhu laser dari 38.0 o C -20.0 o C menghasilkan P rata-rata = (-8.15±0.08) dBm<br />

dengan beda power optik pada saat T=38.0 o C dan T=20.1 o C adalah sebesar -1.53 dBm. Adapun pengukuran<br />

powermeter menghasilkan P rata-rata = (-7.77±0.06) dBm dengan beda power optik pada saat T=38.0 o C dan T=20.0<br />

o C adalah sebesar -1.22 dBm. Beda nilai power optik laser yang dihasilkan tersebut masih dalam batas toleransi<br />

untuk digunakan untuk menguji performa panjang gelombang Bragg berbasis FBG yang akan dipakai sebagai<br />

sensor strain tanah. Dari hasil pengukuran ini juga menunjukkan bahwa suhu laser berbanding terbalik (linier<br />

negatif) dengan panjang gelombang laser, yakni semakin kecil suhu laser nilai panjang gelombang laser semakin<br />

besar. Hasil penelitian ini menjadi acuan (referensi) untuk merancang evaluator Fiber Bragg Grating sebagai<br />

sensor strain tanah dengan teknik sweeping laser dioda.<br />

Kata kunci : Stabilitas laser, Panjang gelombang Bragg, evaluator Fiber Bragg Grating<br />

Pendahuluan<br />

Dalam merancang alat-alat berbasis optik,<br />

stabilitas power optik dari sumber optik merupakan<br />

variabel yang sangat penting. Hal ini berkaitan erat<br />

dengan keandalan alat yang akan dibuat. Oleh<br />

karena itu, penelitian ini mencermati tentang<br />

kestabilan laser dioda yang menjadi sumber optik<br />

dalam merancang sensor strain tanah dengan Fiber<br />

Bragg Grating (FBG). Pengujian kestabilan laser<br />

dioda ini dicermati tiap merubah suhu laser. Fokus<br />

perhatian berikutnya adalah mencermati hubungan<br />

antara suhu laser dengan panjang gelombang laser.<br />

Hasil dari penelitian ini akan menjadi referensi<br />

dalam merancang evaluator fiber bragg grating<br />

dengan teknik sweeping laser dioda untuk sensor<br />

strain tanah.<br />

Kajian Pustaka<br />

Optical Feedback Laser Dioda<br />

Laser dioda merupakan laser semikonduktor pnjunction<br />

yang diberikan tegangan bias maju<br />

(forward-biased). Konstruksi seperti ini sama<br />

dengan konstruksi LED (Light Emiting Diode) yang<br />

merupakan sumber cahaya laser dalam bentuk emisi<br />

spontan (spontaneous emission). Hanya saja pada<br />

laser dioda terdapat penambahan konstruksi LED<br />

berupa umpan balik optik (optical feedback).<br />

Umpan balik optik (optical feedback) dapat<br />

diilustrasikan seperti gambar 1, dimana di dalam<br />

laser dioda terdapat rongga optik (optical cavity)<br />

sepanjang material semikonduktor (L) dan pada<br />

rongga optik ini terdapat reflektor cahaya. Reflektor<br />

cahaya ini akan memantulkan cahaya dalam laser<br />

dioda secara terus-menerus selama arus listrik<br />

mengalir dalam laser.<br />

Gambar. 1 Rongga laser dengan reflektivitas R 1 dan R 2 , gain optik<br />

(g), loss optik (α), dan indeks bias (n).<br />

Tiap kali terjadi pembelokan cahaya dalam rongga,<br />

cahaya mengalami perubahan medan optik sebesar<br />

Ei<br />

+ 1 ( ΔG+<br />

jΔΦ<br />

= R1<br />

R2<br />

e<br />

)<br />

(1)<br />

E<br />

i<br />

dengan total pergeseran fase medan optik adalah<br />

2 π 4 π nL<br />

Φ = 2 nL =<br />

λ<br />

λ<br />

dimana n adalah indeks bias rongga.<br />

Dalam rongga optik dengan indeks bias bahan<br />

(n), foton-foton yang memiliki frekuensi sama jika<br />

terpantul secara terus-menerus selama arus listrik<br />

dialirkan pada laser akan beresonansi sehingga<br />

terjadi penguatan optik. Jika penguatan (gain) optik<br />

adalah g, dan loss optik dalam rongga optik adalah<br />

α, maka koefisien gain optik dari medan optik<br />

adalah<br />

E13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Δ G = ( Γ g − α ) 2 L<br />

(2)<br />

dimana Γ adalah faktor pembatas (confinement<br />

factor) dengan range 0


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

Stabilitas laser dioda<br />

Pengukuran nilai power optik laser dilakukan<br />

sebanyak 181 kali, yakni tiap merubah suhu laser<br />

sebesar suhu 38.0 o C -20.0 o C. Pada kegiatan ini,<br />

performa gelombang optik yang tampak pada layar<br />

display OSA seperti gambar 6.<br />

dapat digunakan. Grafik tersebut juga menunjukkan<br />

bahwa hasil pengukuran Powermeter lebih baik<br />

dibandingkan OSA sehingga pada pengukuran<br />

berikutnya akan digu-nakan Powermeter.<br />

Hubungan suhu laser dengan panjang gelombang<br />

laser<br />

Nilai panjang gelombang tiap kali perubahan<br />

suhu yang didapatkan dari penelitian ini dapat dilihat<br />

pada gambar 8 berikut ini<br />

Gambar . 6 Performa gelombang optik pada layar display OSA<br />

Data-data nilai panjang gelombang dan power<br />

optik hasil pengukuran diperoleh grafik hubungan<br />

panjang gelombang dengan intensitas optik sebagai<br />

berikut.<br />

Gambar .7 Grafik hubungan antara panjang gelombang laser<br />

dengan power optik keluaran dengan merubah suhu laser.<br />

Dari gambar 7 tersebut terlihat bahwa power optik<br />

laser semakin mengecil pada saat panjang<br />

gelombang laser semakin besar (suhu laser semakin<br />

kecil). Hasil pengukuran OSA diperoleh nilai power<br />

optik rata-rata sebesar (-8.15±0.08) dBm dengan<br />

power optik maksimum sebesar -7.61 dBm pada saat<br />

T=38.0 o C dan power optik minimum sebesar -9.14<br />

dBm pada saat T=20.1 o C. Dengan demikian hasil<br />

pengukuran OSA memiliki selisih power optik<br />

sebesar -1.53 dBm. Dari pengukuran powermeter<br />

didapatkan nilai power optik rata-rata sebesar (-<br />

7.77±0.06) dBm dengan power optik maksimum<br />

sebesar -7.27 dBm pada saat T=38.0 o C dan power<br />

optik minimum sebesar -8.49 dBm pada saat T=20.0<br />

o C sehingga ada selisih nilai power optik sebesar -<br />

1.22 dBm. Selisih nilai power optik tersebut baik<br />

hasil pengukuran OSA dan powermeter untuk<br />

interval suhu laser dari 38.0 o C – 20.0 o C tidak akan<br />

berdampak besar terhadap pengujian keandalan FBG<br />

sebagai sensor (laser masih stabil) sehingga laser<br />

Gambar .8 Grafik hubungan antara suhu laser linier dengan<br />

panjang gelombang laser<br />

Grafik dari gambar 8 menunjukkan bahwa suhu<br />

laser linier dengan panjang gelombang laser, dimana<br />

hal ini didukung oleh nilai keteraturan sebaran data<br />

pada grafik yang mendekati 1, yakni R 2 = 0.991.<br />

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan<br />

suhu laser identik dengan perubahan panjang<br />

gelombang laser, dimana semakin kecil suhu laser<br />

maka semakin besar panjang gelombang laser. Hasil<br />

ini akan mejadi acuan untuk mencermati performa<br />

panjang gelombang Bragg Fiber Bragg Grating<br />

yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian<br />

ini, yakni FBG akan di-sweep dengan laser untuk<br />

interval suhu dari 38.0 o C sampai 20.0 o C.<br />

Kesimpulan<br />

Dari penelitian ini diperoleh nilai power optik<br />

rata-rata dari laser dioda hasil pengukuran OSA<br />

sebesar (-8.15±0.08) dBm demikian halnya dengan<br />

hasil pengukuran powermeter sebesar (-7.77±0.06)<br />

dBm. Hasil pengukuran menunjukkan nilai power<br />

optik semakin menurun untuk interval suhu dari<br />

38.0 o C-20.0 o C. Akan tetapi penurunan power optik<br />

laser tersebut masih dalam batas kestabilan untuk<br />

menguji keandalan FBG. Suhu laser berbanding<br />

terbalik dengan panjang gelombang laser (linier<br />

negatif), yakni semakin kecil suhu laser, panjang<br />

gelombang laser semakin besar. Dengan demikian<br />

penurunan power optik laser dan perubahan suhu<br />

laser tersebut masih dalam batas kestabilan untuk<br />

menguji keandalan Fiber Bragg Grating sebagai<br />

sensor strain tanah.<br />

E15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Daftar Pustaka<br />

Bailey, D dan Wright, E. (2003). “Practical Fiber<br />

Optic.”<br />

Chrisp, J. (2001). “Introduction To Fiber Optic”.<br />

London: British Library Catalouging In<br />

Pulication Data.<br />

Hui, R dan O’Sullivan, M. (2009). “Fiber Optic<br />

Measurement Technique”. Elsevier<br />

Academic Press.<br />

Quimby, R. S. (2005). “Photonics and Lasers an<br />

Introduction”. New Jersey: Jhon<br />

Wiley&Sons, Inc<br />

Tricker, R. (2002). “Optoelektronic And Fiber Optic<br />

Technology”. British Library Cataloguing.<br />

E16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik untuk Pengukuran Koefisien<br />

Ekspansi Linier Logam Stainless Steel Austenitik 316L<br />

Bayu Buwana Bakti, Samian, Siswanto<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : samian.unair@gmail.com<br />

ABSTRAK<br />

Penelitian ini pada dasarnya adalah penerapan directional coupler serat optik sebagai sensor pergeseran untuk<br />

menentukan perubahan panjang serta koefisien ekspansi linier logam Stainless steel austenitic 316L. Dari grafik<br />

hubungan linier antara perubahan panjang logam terhadap perubahan suhu logam stainless steel austenitic 316L,<br />

akan didapatkan nilai Koefisien ekspansi linear α dengan L 0 atau panjang mula-mula logam sebagai factor<br />

pembagi. Nilai α Stainless steel austenitic 316L pada literature adalah α = 1.82 .10 - 5 (°C) -1 , sedangkan dari<br />

penelitian ini yaitu α=13,855x10 -5 (°C) -1 . Perbedaan ini disebabkan karena tingkat kemurnian sampel logam<br />

Stainless steel austenitik 316L yang digunakan pada masing-masing eksperimen berbeda. Hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa pemanfaatan multimode fiber coupler bisa digunakan untuk mendeteksi perubahan panjang<br />

dan koefisien ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L.<br />

Kata kunci : directional coupler, koefisien ekspansi linier, Stainless steel austenitic 316L.<br />

PENDAHULUAN<br />

Hip joint adalah persambungan dari tulang yang<br />

menjadi tumpuan berat badan (weigh bearing). Alat<br />

ini berfungsi sebagai penyambung pangkal paha<br />

dengan pelvis. Jika seseorang menderita penyakit<br />

arthritis (radang sendi) parah, maka jalan terbaik<br />

adalah dengan melakukan hip joint implant yaitu<br />

proses penggantian persambungan tulang pinggul<br />

dengan tulang tungkai menggunakan tulang buatan<br />

(hip prosthesis) yang berisi ball head, cone, dan<br />

stem. Material-material penyusun hip joint implant<br />

(ball head, cone, dan steam) sebagai material<br />

biokompatibel penting sekali diperhatikan masalah<br />

density, modulus elastisitas, konduktivitas termal,<br />

koefisien gesek serta koefisien ekspansi liniernya.<br />

Koefisien ekspansi linear (Coefficient of linear<br />

expansion) merupakan suatu sifat fisis yang sangat<br />

mendasar karena menjelaskan sifat ekspansi termal<br />

dari bahan tertentu yang perlu yang dan lesulitan<br />

dalam pembacaan hasil interferensi yang terbentuk.<br />

Koefisien Ekspansi Linear Logam Aluminium<br />

(Sholikhan,2009) bisa digunakan untuk mengukur<br />

koefisien ekspansi linier logam aluminium dengan<br />

lebih mudah dan memiliki keakuratan yang lebih<br />

tinggi daripada metode-metode sebelumnya.<br />

Sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan<br />

metode yang sama, dengan memanfaatkan serat<br />

optik sebagai sensor pergeseran untuk<br />

mengukurkoefisien ekspansi linier stainless steel<br />

austenitik 316L yang banyak dimanfaatkan dalam<br />

industri dan medis sebagai bahan implan.<br />

METODE PENELITIAN<br />

A.Karakterisasi Tegangan Keluaran Yang<br />

Diterima Detektor Terhadap Pergeseran Cermin<br />

Gambar 1. Rancangan perangkat karakterisasi tegangan keluaran<br />

detektor terhadap pergeseran cermin. (pemanas (blower) harus<br />

dalam keadaan mati)<br />

Tujuan dari karakterisasi tegangan keluaran<br />

yang diterima detektor terhadap pergeseran cermin<br />

adalah:<br />

1. Mencari daerah linier tegangan keluar detektor<br />

terhadap pergeseran cermin<br />

2. Menentukan faktor konversi tegangan keluaran<br />

detektor ke pergeseran cermin.persamaan V =<br />

ar + b dengan V, a, r berturut turut adalah<br />

tegangan keluran detektor, faktor konversi<br />

tegangan ke pergeseran, pergeseran cermin dan<br />

b adalah konstanta.<br />

E17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2. Grafik karakterisasi tegangan keluaran detektor<br />

terhadap pergeseran cermin.<br />

Gambar 3 Grafik tegangan keluaran detektor terhadap perubahan<br />

temperatur logamStainlessSteel austenitik316L<br />

Hasil dari pengolahan data karakterisasi tegangan<br />

keluaran detektor terhadap pergeseran cermin<br />

diperoleh daerah linier tegangan keluaran detektor<br />

terhadap pergeseran cermin.<br />

Gambar 4. Grafik daerah linier tegangan keluaran detektor<br />

terhadap pergeseran cermin.<br />

Pada plot grafik daerah linier tegangan keluaran<br />

detektor terhadap pergeseran cermin, diperoleh<br />

hubungan antara tegangan keluaran detektor<br />

terhadap pergeseran cermin linier., dipertimbangkan<br />

di dalam mekanik dan aplikasi desain struktural<br />

suatu material. Nilai koefisien ekspansi linier dari<br />

tiap benda bergantung pada karakteristik dari benda<br />

tersebut.<br />

Material bagian hip joint implant yaitu<br />

acetabular cup (cone), terbuat dari logam stainless<br />

steel austenitik 316L. Jenis baja ini memiliki<br />

konduktivitas termal 16,2 (W/m-K) dan nilai<br />

koefisien ekspansi linearnya adalah ( 1.82 x 10 -5 )<br />

0 C -1 (Brown Metal Company,2010).<br />

Terdapat beberapa metode yang telah<br />

diterapkan untuk pengukuran koefisien ekspansi<br />

linier. Yaitu metode konvensional, metode<br />

interferometer Michelshon, metode interferometri<br />

holografi dan komputerisasi metode interferometri<br />

holografi. Namun masih terdapat kekurangan dalam<br />

hal akurasi<br />

B.Pengukuran Koefisien Ekspansi Linear Logam<br />

Stainless Steel 316L<br />

Set-up pengukuran koefisien ekspansi linier<br />

logam stainless steel austenitik 316L diperlihatkan<br />

pada Gambar 1. Pengukuran nilai koefisien expansi<br />

linear logam stainless steel 316L dengan langkah<br />

sebagai berikut: Pemanas (blower) dan termometer<br />

digital dinyalakan suhu hingga maksimum pada<br />

450 o C. setelah yakin pertambahan panjang logam<br />

stainless steel maksimal, lalu memutar mikrometer<br />

hingga posisi cermin menempel dengan port sensing,<br />

lalu mematikan blowernya. Menunggu hingga suhu<br />

pada logam benar-benar dingin yaitu pada saat<br />

panjang logam kembali pada panjang mula-mula.<br />

Mencatat suhu kamar atau suhu mula-mula yang<br />

terbaca pada termometer digital, dan mencatat juga<br />

tegangan yang terbaca pada mikrovoltmeter pada<br />

saat suhu awal. Meyalakan blower dan mengeset<br />

posisi tombol pengatur suhu pada 100<br />

o C.<br />

Mengamati dan mencatat suhu yang terbaca pada<br />

termometer digital Mengatur kenaikan suhu setiap 2<br />

- 3 o C, mengamati dan mencatat tegangan pada<br />

mikrovoltmeter catat juga suhu yang terbaca pada<br />

termometer digital. Melakukan langkah tersebut<br />

hingga tombol pengatur suhu pada blower menunjuk<br />

suhu 450 o C<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil penelitian dari pemanfaatan Fiber<br />

coupler serat optik untuk pengukuran koefisien<br />

ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L,<br />

berupa data karakterisasi tegangan keluaran detektor<br />

terhadap pergeseran cermin dan data tegangan<br />

keluaran detektor terhadap perubahan temperatur<br />

logam Stainless steel austenitik 316L.<br />

persamaan regresi linier y = -0.00004x + 0.118 dan<br />

R 2 = 0.983. Hasil regresi linier pada Gambar 4.<br />

menunjukkan nilai koefisien korelasi (R 2 )<br />

mendekati 1, artinya Nilai kemiringan (slop) grafik<br />

sebesar 0,00004 µm/mV adalah faktor konversi<br />

tegangan keluaran detektor ke pergeseran.<br />

Dari data tegangan keluaran detektor terhadap<br />

perubahan temperatur logam Stainless steel<br />

austenitik 316L, tegangan keluaran detektor tersebut<br />

dikonversi menjadi pergeseran cermin dengan<br />

persamaan<br />

L = (V-b) / a<br />

E18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pergeseran cermin diakibatkan oleh perubahan<br />

temperatur di dalam rongga logam Stainless steel<br />

austenitik 316L. Pergeseran cermin tersebut tidak<br />

lain adalah pertambahan panjang logam Stainless<br />

steel austenitik 316L atau ΔL yang diakibatkan oleh<br />

perubahan temperatur di dalam rongga logam<br />

Stainless steel 316L<br />

Langkah berikutnya adalah mencari hubungan<br />

ΔL (perubahan panjang logam Stainless steel<br />

austenitik 316L) terhadap ΔT (selisih perubahan<br />

temperatur pada rongga Stainless steel austenitik<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Allen, Edward.2005. Dasar-dasar Konstruksi<br />

Bangunan Bahan-bahan Dan<br />

Metodenya.Edisi Ke 3.Jilid<br />

1.Erlangga:Jakarta.<br />

Fuhaid, N, 2004, Pemanfaatan Perangkat Komputer<br />

Untuk Menentukan Koefisien Muai Panjang<br />

Benda Menggunakan Interferometer<br />

Michelson, Skripsi S-1, Universitas<br />

Airlangga, Surabaya.<br />

316L). Krohn, D.A , 2000, Fiber Optik Sensor,<br />

Fundamental and Application, 3 rd , ISA, New<br />

York.Keiser, G, 1984, Optical Fiber ,<br />

Communication, Mc Graw Hill Book Co.<br />

Meiners, H.F, 1986. Linear Expansion Laboratory<br />

Physics, Second Edition, Troy, New York.<br />

Priyotomo, Gadang. 2007, Baja<br />

stainless.http://lipi.go.id.\<br />

Santoso,Fajar.2009.Variasi Material Penyusun Ball<br />

Head Hip Joint Prosthesis Pada Kondisi<br />

Berjalan Normal Dengan Analisis Distribusi<br />

Tegangan Dan Regangan Menggunakan<br />

Software Abaqus 6.5-1. Skripsi S-1<br />

Universitas Muhammadiyah,Surakarta<br />

Gambar 5. Grafik pertambahan panjang logamStainless steel<br />

austenitik 316L terhadap selisih perubahan temperatur logam<br />

Stainless steel austenitik 316L.<br />

Pada plot grafik pertambahan panjang logam<br />

Stainless steel austenitik 316L terhadap selisih<br />

perubahan temperatur logam Stainless steel<br />

austenitik 316L, diperoleh persamaan regresi linier<br />

L = 4.1227 T – 181.4,<br />

sedangkan di dalam perumusan yang terdapat pada<br />

teori ekspansi linier logam yaitu ΔL = L0 α ΔT. Hal<br />

ini berarti nilai ΔL /ΔT = c = 4.1227. Dengan L0=<br />

-5<br />

29750 µm, maka diperoleh nilai α=13.8578 x 10<br />

(°C -1 ).<br />

Koefisien ekspansi linier logam Stainless steel<br />

austenitik 316L pada eksperimen pemanfaatan<br />

directional coupler serat optik sebesar<br />

-5 0 −1<br />

α = 13.8578 x 10 ( C<br />

dan yang terdapat<br />

didalam literatur α = 1.82 x 10 -5 ( 0 C -1 ) (Brown<br />

Metal Company,2010). Perbedaan nilai koefisien<br />

ekspansi linier logam Stainless steel austenitik 316L<br />

yang didapat dari eksperimen dengan yang terdapat<br />

pada literatur bisa disebabkan karena tingkat<br />

kemurnian sampel logam Stainless steel austenitik<br />

316L yang digunakan pada masing-masing<br />

eksperimen berbeda.<br />

)<br />

Samian, 2008, Directional Coupler sebagai Sensor<br />

Pergeseran Mikro, Tesis S-2 Institut<br />

Teknologi Sepuluh Nopember.<br />

Sucipto, A,1998, Pengukuran Koefisien Muai<br />

Panjang dengan Metode Interferometer<br />

Michelson, Skripsi S-1, Universitas<br />

Airlangga.<br />

Wulansari, R.,2002. Pengukuran Koefisien Muai<br />

Panjang Logam dengan Metode<br />

Interferometri Holografi Penyinaran Ganda,<br />

Skripsi S-1, Universitas Airlangga, Surabaya.<br />

Zamil,Farid M,2009.Stainless Steel Dan Sifat<br />

Weldability. Surabaya.DEN.Migas Indonesia<br />

E19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Forward Model for Depth Measurement of a Fluorophore in a Tissue<br />

D. Ardiansyah<br />

Photonics Engineering Laboratory, Department of Engineering Physics,<br />

Faculty of Industrial Technology, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),<br />

Surabaya, Indonesia 60111<br />

Email: dedard@ep.its.ac.id<br />

Abstract<br />

The clinical challenge in medical diagnostic is to classify benign conditions: inflammation and early noninvasive<br />

carcinoma or pre-cancer. In fluorescence measurements, the fluorescence signal is detected on the<br />

surface can be used for tissue diagnostics. The fluorescence emission spectrum will be altered in a way by the<br />

tissue optical properties, the depth of the fluorophore, the geometry of the light irradiation and the detection<br />

system. A forward model of finding the fluorophore varying position in the tissue is presented. The method is<br />

based on the spectral fluorescent emission of two wavelengths as a function of scattering and absorption<br />

properties. It was recognized that the shape of the fluorescence spectrum is influenced by the depth of<br />

fluorophore position. Thus the changes in the fluorescence spectra can be used as a potential method to estimate<br />

the depth, d, of a fluorophore in a tissue.<br />

Keywords: medical diagnostic, fluororescence, forward model, depth resolved.<br />

INTRODUCTTION<br />

The main clinical challenge in medical<br />

diagnostic is to classified benign conditions:<br />

inflammation and early non-invasive carcinoma or<br />

pre-cancer. Many times, a pre-cancer or a cancer is<br />

also associated with inflammation (or might indicate<br />

ulcer as well as inflammation). Early diagnosis of<br />

malignancies is the most important factor in cancer<br />

treatment because in some cases it may overlook as<br />

diseased tissue, irritation or inflammation. The<br />

diagnostic procedure must be evaluated and<br />

compared with the gold standard for tissue<br />

characterization i.e. histopathology. There are many<br />

diagnostic procedures to be utilized for localizing<br />

malignancies e.g. biopsy and endoscopic,<br />

conventional X-ray, X-ray tomography, magnetic<br />

resonance imaging and ultrasound, single-photon<br />

emission computed tomography (SPECT) and<br />

positron emission tomography (PET), and direct<br />

visual inspection based on what the reflected light<br />

reveals (Stefan, et.al, 2009).<br />

Optical techniques, e.g. fluorescence imaging,<br />

are particular interest for surface visualization (e.g.<br />

skin or tissue) but it is poor penetration and multiple<br />

scattering of light in tissue, so it is more difficult to<br />

locate lesions in the deeper tissue. Optical detections<br />

have an important affect and specific characteristics.<br />

It will be very useful on many clinical situations<br />

such as non-invasiveness, real-time capability,<br />

endoscopic compatibility, monitoring and imaging<br />

implementation. Fluorescence imaging, which is<br />

built based on investigations of tissue, can be found<br />

on the natural emission (autofluorescence), artificial<br />

fluorescent (fluorescent markers), and photosensitizers<br />

in PDT procedures (Stefan, et.al, 2009).<br />

In fluorescence measurements, the fluorescence<br />

signal is detected on the surface contains<br />

information about the fluorophore can be used for<br />

tissue diagnostics. The fluorescence emission<br />

spectrum will be altered in a way determined by the<br />

tissue optical properties, by the depth of the<br />

fluorophore, and also by the geometry of the light<br />

irradiation and the detection system (Johan, et.al,<br />

2007). This type of measurement has the potential to<br />

characterize of normal and precancerous of tissue<br />

(Yicong, et.al, 2004), discriminate diseased regions<br />

inside the tissue (e.g., tumors), optimizing treatment<br />

parameters in PDT, revealing the fine structure and<br />

biochemistry of epithelial tissue (Yicong, et.al,<br />

2004), and monitoring (Johan, et.al, 2007).<br />

In this paper a forward model of finding the<br />

fluorophore varying position in the tissue is<br />

presented. A Comsol simulation is used to compute<br />

fluorescence spectra from a tissue model and the<br />

diffusion equation is applied for spatially resolved<br />

measurements (e.g. determination of depth). The<br />

shape of two emission wavelengths are related to the<br />

scattering and absorption properties; and can be used<br />

to estimate the depth, d, of an object.<br />

THEORY<br />

Fluorescence Imaging Systems<br />

The phenomenon of fluorescence is discovered<br />

by Stokes, and then it is followed by technology<br />

development in photodynamic therapy (PDT),<br />

hematoporphyrin derivative (HpD), fluorescent<br />

tumor marker and photosensitizer for PDT,<br />

autofluorescence and prototypes of fluorescence<br />

imaging systems for specific indications.<br />

Fluorescence spectral data are generally presented as<br />

E20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 1. Fluorescence curves of compounds in human tissue for<br />

excitation wavelength 337 nm.<br />

emission spectra and it is plotted as the fluorescence<br />

intensity versus wavelength (nanometers) or<br />

wavenumber (cm –1 ). Emission spectra vary due to<br />

the chemical structure of the fluorophore, the<br />

individual vibrational energy levels of the ground<br />

and excited states, and the solvent in which it is<br />

dissolved. Some fluorescence curves as function of<br />

wavelength can be seen in figure 1.<br />

Fluorescence Imaging could be introduced as a<br />

complementary technique for imaging system, and<br />

can be used to identify early malignant lesions,<br />

tumor extent and spread prediction and as a guide to<br />

optimize localized treatments of solid tumors. This<br />

technique can be performed with systems with<br />

different complex systems for the specific<br />

diagnostic; but the system is designed with criteria<br />

small, compact, simple systems, low cost and easy to<br />

operate. Basically, fluorescence imaging can be<br />

operated in spectrally resolved data (multispectral<br />

imaging), temporally resolved data (multitemporal<br />

imaging), and hybrid concepts of spectral and<br />

temporal resolution.<br />

There are two approaches of fluorescence<br />

imaging, for various clinical indications, are in terms<br />

of excitation source and detection schemes. The<br />

excitation source determines which wavelength can<br />

be used, power available, and minimize background<br />

light. It is required good identification to select the<br />

best source (e.g. laser, lamp, light-emitting diode<br />

(LED) or matrix of LEDs), the price and complexity<br />

of the system. With regard to the detection scheme<br />

(or existing prototype systems), the systems can be<br />

classified according to the modes A-F. The detection<br />

scheme which is quite related to the recording<br />

system, then the imaging modes can be classified<br />

based on recording system: stationary object or<br />

movements object and sequentially mode (pointscanning<br />

or whisk broom) or simultaneously mode<br />

(line scanning or push broom) (Stefan, et.al, 2009).<br />

Collecting data from fluorescence imaging in<br />

more than one spectral or temporal band is desired<br />

some dimensionless quantity which is resulted in the<br />

simplest way from ratio between the measured<br />

bands, e.g. the ratio of the intensities I(λ 1 ) and I(λ 2 )<br />

recorded in spectral bands centered around λ 1 and λ 2 .<br />

The dimensionless quantities are related to the fact<br />

that they are immune to distance changes between<br />

tissue and measurement equipment, variations in<br />

angle of incidence of radiation on tissue, fluctuations<br />

in illumination source and detection system<br />

efficiency. Also, there are several aspects that have<br />

to be considered in recorded image are such as the<br />

object condition (stationary or moving), the received<br />

signal, time consuming, signal-to-noise ratio and the<br />

related background. Finally, a statistical analysis<br />

required to evaluate the ability of the diagnostic<br />

technique to detect disease correctly.<br />

Light Propagation in Tissue<br />

In this model, a source light is positioned in the<br />

bottom of the tissue and the light propagates through<br />

the tissue to fluorophore. Some of the light is<br />

scattered and absorbed by the tissue before it reaches<br />

the fluorophore. The fluorophore will absorb energy<br />

and then fluorescent light will be emitted. The<br />

emitted fluorescence then propagates through the<br />

tissue and it is collected by a detector at the surface.<br />

The strength of the emitted fluorescence is<br />

dependent on the optical properties and the<br />

fluorescent yield of the fluorophore. The energy<br />

conversion of the fluorescence is shown in figure 2.<br />

The steady-state diffusion approximation is<br />

used to describe the light propagation in tissue,<br />

which the light source is modeled as a point source.<br />

The mathematical formulation explains the<br />

excitation source, relation between the excitation<br />

light and the emitted fluorescent light, the<br />

fluorescence fluence rate at a detector position. The<br />

intensity ratio of the fluorescence emission at two<br />

wavelengths, from a fluorophore detected at the<br />

boundary of the tissue, is dependent on the depth of<br />

the fluorophore. Due to the propagation distance<br />

from the fluorophore to the detector, the measured<br />

intensity ratio will be different i.e. long distance will<br />

yield a small intensity ratio and short distance will<br />

detect a large ratio.<br />

Figure 2. Energy transformation of fluorescence.<br />

E21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 3: Simulation Model of depth resolved spectroscopy<br />

The spectral intensity is proportional to different<br />

wavelength bands of the fluorescence light<br />

propagation from the fluorophore to the surface of<br />

tissue. The changes of the spectral intensity due to<br />

the optical properties can be used to measure the<br />

depth of the fluorophore. A simple approach is to<br />

form the ratio between the measured fluorescence<br />

signals at two wavelengths, λ 1 and λ 2 . An advantage<br />

of this approach is that by forming a ratio there is no<br />

need for absolute measurements of the fluorescence<br />

light, and some uncontrolled parameters cancel out<br />

(Johannes, et.al, 2005).<br />

SIMULATION MODEL<br />

In this simulation, the system model was<br />

performed by Comsol MultiPhysics software, as<br />

shown in figure 3, since it can be used to solve<br />

partial differential equations numerically. The<br />

principle of the Comsol MultiPhysics is Finite<br />

Element Method (FEM). Many physical phenomena<br />

can be modeled by the Comsol MultiPhysics which<br />

is accompanied by many mathematical models<br />

appropriately. In Comsol MultiPhysics, the<br />

fluorescence imaging can be used to assess<br />

concentrations and spatial locations of exogenous<br />

fluorescent markers (i.e. fluorophores).<br />

Figure 4: Absorption spectra of rhodamine 6G.<br />

For fluorescence phenomenon, the Comsol<br />

MultiPhysics provide diffusion equation (e.g.<br />

represented by a Helmholtz equation) in steady state<br />

for source term in excitation light, the fluorescence<br />

light distribution, the fluence rate, and a set of<br />

optical properties. In this model, the diffusion<br />

equation is valid when the scattering is large<br />

compared to the absorption and when studying<br />

diffuse light propagation, i.e. at sufficient distances<br />

from any light sources. The equations are used as<br />

follows:<br />

1 ∂<br />

φ ( r,<br />

t)<br />

− D∇<br />

2<br />

φ(<br />

r,<br />

t)<br />

+ μ<br />

a<br />

φ(<br />

r,<br />

t)<br />

= S(<br />

r,<br />

t)<br />

(1)<br />

C ∂t<br />

∇( −D∇ϕ exc<br />

) + μ<br />

aϕ<br />

exc<br />

= S<br />

(2)<br />

i<br />

i<br />

∇ ( −D<br />

∇ϕ ) + μ ϕ = μ Y ϕ<br />

(3)<br />

em<br />

i<br />

a<br />

i<br />

em<br />

i<br />

a<br />

ex exc<br />

In this simulation, the the model consists of a<br />

point source, medium (similar to intralipid<br />

phantom), fluorophore (i.e. rhodamine 6G) and<br />

detector. The fluorophore has excitation wavelength<br />

at 532 nm and emission wavelengths at 600 nm and<br />

620 nm. The absorption and emission spectra of<br />

rhodamine 6G are shown in figure 4 and 5. Making<br />

identification of the parameters in the equations,<br />

then the appropriate parameters can be chosen from<br />

the database as listed in table 1.<br />

Figure 5: Emission spectra of rhodamine 6G.<br />

Table 1. List of parameters in simulation.<br />

Name Value Quantity<br />

Power 0.1 Watt<br />

Absorption Coefficient (Excitation) 314.7 m -1<br />

Scattering Coefficient (Excitation) 1050 m -1<br />

Absorption Coefficient (Emission1) 149.1 m -1<br />

Scattering Coefficient (Emission1) 970 m -1<br />

Absorption Coefficient (Emission2) 109 m -1<br />

Scattering Coefficient (Emission2) 950 m -1<br />

Yield (Emission1) 1 ---<br />

Yield (Emission2) 0.7 ---<br />

Fluorophore Concentration 10 -5 M<br />

Fluorophore Extinction 2.5x10 -7 m -1 M -1<br />

RESULT AND DISCUSSION<br />

In this chapter, the Comsol simulation for<br />

different depths of fluorophore position is modeled.<br />

The simulations were extracted with the source and<br />

the detector positions are fixed. The fluorophore<br />

with circular shape (with volume= 5.59049 e-7 m 3<br />

and surface area= 7.65807 e-4 m 2 ) was placed in<br />

tissue (with volume= 1.28 e-4 m 3 and surface area=<br />

0.0192 m 2 ) yields the cross-sectional images at x-<br />

axis shown in Fig. 6 and 7.<br />

For two different wavelengths, the different<br />

intensities distribution is affected by absorption and<br />

scattering coefficient. Emission wavelength2 (u3)<br />

has higher intensity than emission wavelength1 (u2)<br />

E22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

since u3 has lower absorption coefficient than u2, so<br />

only smaller fraction of the fluorescence is absorbed<br />

by the medium.<br />

When the depth is changing by factor 1 mm, the<br />

higher intensity distribution belongs to the deepest<br />

position since the fluorophore absorbs more light<br />

when its position nears the source then it releases the<br />

higher intensity. Although in more fluorophore, light<br />

will be absorbed and scattered.<br />

The excitation wavelength is also affected by<br />

absorption and scattering coefficient, but for depth<br />

resolved it is not used in the calculation. Using the<br />

optimal wavelength for certain fluorophore will give<br />

the optimal intensity distribution of the fluorescence.<br />

fluorophore, indicated in figure 8. It was found that<br />

the relation between the ratio of λ1/λ2 and depth d to<br />

be close to linear in all the cases. It means that the<br />

ratio value can be used to estimate the depth of a<br />

fluorophore for any simulations.<br />

Resolution is important information that should<br />

be considered in the real measurement, since it is<br />

quite difficult to resolve the depth less than 1 mm<br />

resolution.<br />

0.75<br />

0.7<br />

ratio 600 nm/620 nm as function of depth<br />

0.06<br />

0.05<br />

Emission wavelength (u2) at different fluorophore depth<br />

depth 7 mm<br />

depth 8 mm<br />

depth 9 mm<br />

depth 10 mm<br />

ratio<br />

0.65<br />

0.6<br />

0.04<br />

0.55<br />

intensity<br />

0.03<br />

0.02<br />

0.5<br />

7 7.5 8 8.5 9 9.5 10<br />

depth (mm)<br />

0.01<br />

0<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08<br />

position (mm)<br />

Figure 6: intensity distribution of emission wavelength1 (u2) at<br />

different depths.<br />

intensity<br />

0.07<br />

0.06<br />

0.05<br />

0.04<br />

0.03<br />

0.02<br />

0.01<br />

Emission wavelength (u3) at different fluorophore depth<br />

depth 7 mm<br />

depth 8 mm<br />

depth 9 mm<br />

depth 10 mm<br />

0<br />

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08<br />

position (mm)<br />

Figure 7: intensity distribution of emission wavelength2 (u3) at<br />

different depths.<br />

Figure 8 shows that the resulting intensity<br />

distribution is influenced by the distance between<br />

the fluorophore and the detector. If the distance is<br />

close, then the intensity distribution is centered<br />

around the detector (slightly more narrow intensity);<br />

and if the position are moved away, then the<br />

intensity distribution is spread along the axis.<br />

The minimum ratio value is resulted when the<br />

fluorophope is placed deeper in the tissue since a<br />

longer propagation distance yields a smaller<br />

intensity ratio; hence the arc is placed further away<br />

from the detector.<br />

The results from the simulations show that the<br />

ratio of λ1/λ2 is a useful indicator of the depth of a<br />

Figure 8: Ratio of emission spectra of two wavelengths as a<br />

function of depth.<br />

RESULT AND DISCUSSION<br />

A simple simulation about a forward model of<br />

finding the fluorophore varying position in the tissue<br />

has been presented. The method is based on the<br />

spectral fluorescent emission of two wavelengths as<br />

a function of scattering and absorption properties.<br />

The fluorescence emission spectrum will be altered<br />

in a way by the tissue optical properties, the depth of<br />

the fluorophore, the geometry of the light irradiation<br />

and the detection system. It was recognized that the<br />

shape of the fluorescence spectrum is influenced by<br />

the depth of fluorophore position. Thus the changes<br />

in the fluorescence spectra can be used as a potential<br />

method to estimate the depth, d, of a fluorophore in<br />

a tissue. The linearity properties of the simulations<br />

provide opportunity for estimating the depth of a<br />

fluorophore for any simulations. It is also necessary<br />

to put the correct value of the parameters to perform<br />

the reasonable result of the simulation.<br />

REFERENCES<br />

Ashley J. Welch and Martin J.C. van Gemert,<br />

Optical-Thermal Response of Laser-<br />

Irradiated, Tissue, Plenum Press, New York,<br />

1995.<br />

Dept. of Physics - Lund University, FEM computer<br />

exercise in Comsol MultiPhysics, Computer<br />

Exercise Manual, 2010.<br />

Johan Axelsson, Jenny Svensson and Stefan<br />

Andersson-Engels, Spatially Varying<br />

Regularization Based on Spectrally Resolved<br />

Fluorescence Emission in Fluorescence<br />

E23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Molecular Tomography, OPTICS EXPRESS<br />

15(21), 13574- 13584 (2007).<br />

Johannes Swartling, Jenny Svensson, Daniel<br />

Bengtsson, Khaled Terike, and Stefan<br />

Andersson-Engels, Fluorescence Spectra<br />

Provide Information on The Depth of<br />

Fluorescent Lesions in Tissue, APPLIED<br />

OPTICS 44(10), 1934-1941 (2005).<br />

Stefan Andersson-Engels, Katarina Svanberg, and<br />

Sune Svanberg, Fluorescence Imaging in<br />

Medical Diagnostics. In Biomedical Optical<br />

Imaging, James G. Fujimoto and Daniel L.<br />

Farkas, pp. 265-305 (Oxford University<br />

Press, Inc., New York, 2009).<br />

Yicong Wu, Peng Xi, Jianan Y. Qu, Tak-Hong<br />

Cheung and Mei-Yung Yu, Depth-Resolved<br />

Fluorescence Spectroscopy of Normal and<br />

Dysplastic Cervical Tissue, OPTICS<br />

EXPRESS 13(2), 382-388 (2005).<br />

Yicong Wu, Peng Xi, Jianan Y. Qu, Tak-Hong<br />

Cheung and Mei-Yung Yu, Depth-Resolved<br />

Fluorescence Spectroscopy Reveals Layered<br />

Structure of Tissue, OPTICS EXPRESS<br />

12(14), 3218-3223 (2004).<br />

E24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Kajian Teoretik dan Numerik Distribusi Daya pada Step Index Fiber Taper<br />

Lilin Lalita, Samian, Andi Hamim Zaidan<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email :<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan penelitian tentang fiber taper yang dikaji secara teoretik dan numerik. Jenis serat optik yang<br />

digunakan adalah serat optik multimode step index, berbahan silika dan profil taper yang dipilih yaitu linearly<br />

fiber taper. Kajian yang dilakukan hanya hanya pada TE dengan sepuluh moda. Gambaran umum tentang<br />

distribusi daya pada core dan cladding dapat diketahui dengan pendekatan secara analitik. Panjang taper yang<br />

digunakan adalah Hasilnya, distribusi daya pada core menurun dengan bertambahnya panjang taper.<br />

Sedangkan pada cladding, daya meningkat dengan bertambahnya panjang taper.<br />

Kata kunci: fiber taper, step index ,distribusi daya<br />

Pendahuluan<br />

Pada awal penemuannya, serat optik digunakan<br />

sebagai sarana transmisi data sederhana, tetapi<br />

dalam perkembangannya diketahui bahwa serat<br />

optik baik singlemode maupun multimode,<br />

mempunyai banyak keunggulan, sehingga<br />

pemanfaatan serat optik menjadi semakin luas.<br />

Bahkan hadiah nobel fisika 2009 diberikan kepada<br />

ilmuwan fisika Charles K.Kao yang berasal dari<br />

Standard Telecommunication Laboratories, Harlow,<br />

Inggris dan Universitas Hongkong karena telah<br />

berhasil mengembangkan transmisi cahaya melaui<br />

serat optik untuk kepentingan komunikasi.<br />

Perkembangan terbaru dari serat optik yaitu fiber<br />

taper. Fiber taper merupakan serat optik yang<br />

sebagian diameter mantel (cladding) dan corenya<br />

diperkecil. Fiber taper mempunyai banyak aplikasi<br />

dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang medis<br />

dan telekomunikasi. Dalam bidang medis, fiber<br />

taper dapat digunakan sebagai biosensor yang<br />

fungsinya dapat mendeteksi model protein dalam<br />

antibody [9] , untuk meningkatkan sinyal akustik<br />

[8], dan mendeteksi anti – gladin dalam tubuh [6].<br />

Selain itu, fiber taper juga dapat difungsikan sebagai<br />

sensor kelembaban untuk mengembangkan<br />

sensitivitas material nanostruktur [6], sensor gas<br />

[10] , dsb. Aplikasi lain dari fiber taper adalah dapat<br />

digunakan sebagai splitter [7], directional coupler,<br />

switching dan optical device lainnya .<br />

Mengingat pentingnya fiber taper dalam<br />

berbagai bidang, maka perlu adanya teori pendukung<br />

tentang parameter-parameter yang digunakan untuk<br />

mempermudah pembuatan fiber taper. Selama ini,<br />

hanya ada sedikit teori yang membahas tentang<br />

perambatan berkas dalam fiber taper.<br />

Dalam penelitian ini, perumusan konstanta<br />

perambatan dan distribusi daya berkas cahaya moda<br />

rendah pada fiber taper akan ditinjau secara teoretik<br />

dan numerik. Dengan tinjauan teoretik akan<br />

didapatkan gambaran lebih umum tentang perilaku<br />

perambatan cahaya dalam fiber taper dan rugi daya<br />

(losses) yang terjadi. Tidak hanya untuk satu jenis<br />

serat optik atau satu jenis profil dari fiber taper,<br />

tetapi dapat diaplikasikan untuk semua jenis fiber<br />

taper. Selain itu, tinjauan teoretik akan memberikan<br />

kemungkinan eksplorasi sifat fiber taper yang lebih<br />

luas sehingga dapat peluang dalam hal aplikasi akan<br />

semakin terbuka lebar.<br />

Teori<br />

Gambar longitudinal dari core fiber taper step<br />

index ditunjukkan pada gambar (1) dengan core<br />

dianggap terbuat dari bahan silica ( )<br />

dan cladding terbuat dari methyl methacrylate<br />

. Serat optik tersebut terbuat dari<br />

bahan-bahan yang berbiaya rendah. Untuk<br />

mempermudah, bagian cladding dianggap sangat<br />

luas. Sistem koordinat yang digunakan adalah<br />

koordinat silinder dengan -axis sebagai<br />

arah perambatan. Serat optik tersebut dianggap<br />

mempunyai profil linearly tapered core, yang<br />

dan mewakili radius dari ujung<br />

input dan output dari fiber taper tersebut. Hasilnya,<br />

profil radial dari linearly tapered fiber ditunjukkan<br />

sebagai berikut :<br />

Gambar 1. Fiber Taper<br />

E25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan l adalah panjang taper. Diasumsikan bahwa<br />

daerah terpandu dan tidak terpandu terbuat dari<br />

material linier dan isotropik yang bersifat nonmagnetik.<br />

dan merupakan permitivitas dari<br />

core dan cladding. Time harmonic dan axis -<br />

harmonic medan listrik dan medan magnet<br />

mempunyai ketergantungan sebagai berikut :<br />

(2.a)<br />

(2.b)<br />

dengan adalah frekuensi angular, adalah<br />

konstanta propagasi ,dan mewakili periodisitas<br />

azimutal. Dalam kasus ini, tidak lagi konstan<br />

karena adanya variasi cross sectional dengan jarak<br />

. Titik awal yang dipilih dari sistem adalah<br />

koordinat ketika , radius dari cross section<br />

adalah dan pada = l, radius cross section adalah<br />

. Variasi radius core dianggap kecil, sehingga kita<br />

dapat menggunakan ekspansi deret Taylor untuk :<br />

(2.36)<br />

merupakan komponen axial vektor perambatan<br />

pada Dari persamaan (3) dapat ditunjukkan<br />

bahwa menggunakan komponen medan tranversal,<br />

persamaan (2) dapat diturunkan menjadi :<br />

(2.37)<br />

dengan mewakili atau , sedangkan<br />

, dan merupakan permitivitas<br />

dan permeabilitas dari medium. Medium<br />

diasumsikan bersifat non magnetik sehingga =<br />

= permeabilitas ruang hampa. Dengan<br />

metode separasi variabel, dapat diketahui bahwa<br />

persamaan (4) mempunyai solusi fungsi Bessel. [5].<br />

Secara umum medan listrik dan medan magnet<br />

gelombang cahaya yang merambat melewati pandu<br />

gelombang silinder didapat dengan menyelesaikan<br />

persamaan Helmholtz dan memenuhi persamaan<br />

berikut:.<br />

• untuk ( core )<br />

• untuk (cladding )<br />

(5.a)<br />

(5.b)<br />

(5.c)<br />

(5.d)<br />

dengan A, B, C, dan D merupakan konstanta.<br />

Konstanta perambatan dan koefisien<br />

amplitudo dan pada persamaan (5)<br />

ditentukan dengan menggunakan syarat batas. Pada<br />

, empat komponen tangensial dan<br />

kontinu pada batas antara core dan cladding.<br />

(6.a)<br />

(6.b)<br />

(6.c)<br />

(6.d)<br />

Pada persamaan tersebut, indeks 1 dan 2 mewakili<br />

core dan cladding. Dari persamaan (6) akan<br />

didapatkan pula persamaan karakteristik yang<br />

digunakan untuk menentukan konstanta perambatan<br />

secara numerik.<br />

(7)<br />

Konstanta B,C, dan D jika dinyatakan dalam A<br />

adalah:<br />

8.a)<br />

(8.b)<br />

(8.c)<br />

Konstanta A ditentukan dengan normalisasi .<br />

Distribusi daya pada yang ditransmisikan<br />

melalui core dan cladding memenuhi persamaan<br />

berikut:<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

(9.a)<br />

(9.b)<br />

Konstanta perambatan pada serat optik biasa<br />

adalah konstan. Tetapi pada fiber taper, konstanta<br />

perambatan tersebut berubah akibat adanya<br />

perubahan diameter serat optik. Pada bagian ini akan<br />

dibahas tentang perubahan konstanta perambatan<br />

pada fiber taper dengan menentukan persamaan<br />

yang akan digunakan pada perhitungan secara<br />

E26


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

numerik. Langkah awal yang digunakan adalah<br />

sebagai berikut:<br />

(10)<br />

Kemudian persamaan (3) disubstitusikan ke<br />

persamaan (10)<br />

Dengan<br />

, maka<br />

(11)<br />

Persamaan (11) merupakan persamaan kuadrat<br />

dalam bentuk . Persamaan tersebut yang akan<br />

digunakan dalam listing dengan Mathematica untuk<br />

menentukan perubahan konstanta perambatan.<br />

titik perpotongan antara fungsi Bessel J dan fungsi<br />

Bessel K. Pada gambar (3) terlihat ada 10 titik<br />

perpotongan jadi ada sepuluh moda TE yang dapat<br />

melewati serat optik. Setiap moda mempunyai besar<br />

konstanta perambatan yang berbeda-beda. Semakin<br />

kecil diameter yang dilewati, maka jumlah moda<br />

yang terpandu akan berkurang dan nilai konstanta<br />

perambatan juga akan berkurang,<br />

Pembahasan selanjutnya adalah tentang<br />

distribusi daya pada fiber taper. Distribusi daya pada<br />

fiber taper akan dibedakan menjadi dua bagian yaitu<br />

daya yang dapat dipandu dalam core, dan daya yang<br />

terpandu pada cladding. Dalam perhitungan dengan<br />

Mathematica diambil variasi panjang taper sebanyak<br />

lima buah, yaitu . Hasilnya akan<br />

dijelaskan melalui grafik berikut:<br />

Gambar.2. Perubahan konstanta perambatan<br />

Grafik pada gambar 2 menunjukkan dengan<br />

menurunnya jarak rambatan taper , maka nilai<br />

konstanta perambatan juga akan menurun. Hal<br />

tersebut mengindikasikan bahwa bernilai<br />

negatif. Pada awal jarak rambatan taper,<br />

meningkat secara cepat dan besar peningkatan<br />

tersebut cukup signifikan. Tetapi memasuki<br />

, perubahan yang terjadi sangat kecil.<br />

Gambaran yang sama juga terjadi pada 9 moda TE<br />

yang lain. Sehingga dapat dikatakan pada moda TE<br />

perubahan konstanta perambatan berubah secara<br />

drastis pada jarak rambatan awal dan mulai stabil<br />

pada<br />

Gambar. 3. Distribusi daya pada core<br />

Dari gambar 3. terlihat bahwa dengan<br />

bertambahnya panjang taper maka daya yang<br />

terpandu dalam core mengalami penurunan.<br />

Penurunan daya terjadi secara linear ( yang<br />

persamaan garisnya adalah .<br />

Artinya, semakin besar panjang taper maka semakin<br />

besar pula losses yang terjadi. Pada pembahasan ini,<br />

cahaya dipandu dari taper yang berdiameter lebih<br />

besar ke diameter yang lebih kecil. Dalam<br />

penjelasan sebelumnya, konstanta perambatan<br />

mengalami penurunan dengan mengecilnya<br />

diameter, begitu juga yang terjadi dengan jumlah<br />

moda yang terpandu. Hal tersebut sesuai dengan<br />

hasil di atas karena dengan semakin panjang taper<br />

maka diameter yang mengecil akan semakin panjang<br />

pula. Akibatnya akan banyak cahaya yang tidak<br />

dapat dipandu dalam core.<br />

Gambar.3. Jumlah moda pada diameter<br />

Cahaya memasuki pandu gelombang yang<br />

berdiameter . Moda TE yang terpandu adalah<br />

E27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 4. Distribusi daya pada cladding<br />

Berbeda dengan core, daya yang terpandu dalam<br />

cladding akan semakin besar dengan bertambahnya<br />

panjang taper. Peningkatan daya yang dipandu pada<br />

cladding terjadi secara linier dengan<br />

persamaan garisnya adalah<br />

Cahaya yang tidak dapat dipandu dalam core akan<br />

dipandu dalam cladding sehingga akan memperbesar<br />

daya pada cladding. Peningkatan daya tersebut<br />

ditunjukkan pada gambar 4.<br />

Pada fiber taper, losses yang terjadi adalah daya<br />

yang tidak dapat terpandu dalam core. Sehingga<br />

lossesnya adalah daya yang terpandu pada cladding.<br />

Kesimpulan<br />

Dari perhitungan secara analitik dan numerik<br />

diketahui bahwa untuk fiber taper dengan moda TE,<br />

distribusi daya pada core berkurang secara linear<br />

dengan bertambahnya panjang taper. Pada cladding,<br />

daya bertambah secara linier dengan bertambahnya<br />

panjang taper. Sedangkan untuk konstanta<br />

perambatan, nilainya menurun dengan<br />

berkurangnya diameter, begitu juga dengan jumlah<br />

moda yang terpandu. Semakin kecil diameternya<br />

maka semakin sedikit pula jumlah moda yang<br />

terpandu. Losses pada fiber taper adalah daya yang<br />

tidak mampu dipandu dalam core. Hal tersebut<br />

berarti losses pada fiber taper adalah daya yang<br />

terpandu pada cladding.<br />

Daftar Pustaka<br />

[1] B.E.A. Saleh,1991, Fundamental of<br />

Photonics, John Wiley and Sons, New York<br />

[2] Jd Jackson,1998, Classical<br />

Electrodynamics,3 rd , John Wiley and Sons,<br />

New York<br />

[3] Gerd Keiser,2000, Optical Fiber<br />

Communication, 3 rd , McGraw-Hill College<br />

[4] Crisp John, Barry Elliot,2006, Serat Optik:<br />

Sebuah Pengantar,Penerbit Erlangga, Jakarta<br />

[5] S.C.Yeouw,M.H.Lim, P.K.Choudhury,2005,<br />

A rigorous analysis of the distribution of<br />

power in plastics clad linear tapered fibers<br />

[6] J.M. Cores, I.R. Matias, J.Bravo,2008,<br />

Tapered optical fiber biosensors for detection<br />

of anti-gladin antibodies<br />

[7] Yoonseob Jeong,2009, All fiber NxN fused<br />

tapered plastic optical fiber (POF) power<br />

splitters for photodynamic therapy<br />

application<br />

[8] George P.Anderson, Joel P.Golden, Framces<br />

s.Ligher,1992, A fiber optic biosensor:<br />

combination tapered fiber design for<br />

improved signal acquisition<br />

[9] Leung Angela,2007, Model protein detection<br />

using antibody-immobilized tapered fiber<br />

optic biosensor (TFOBS) in a flow cell at<br />

1330 nm and 1550 nm<br />

E28


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

A Simple Fiber-Optic Micro-Displacement Sensor Using A Green Laser<br />

M. Yasin 1 , S. W. Harun 2 , Kusminarto 3 , Karyono 3 , and H. Ahmad 4<br />

1<br />

Department of Physics, Faculty of Science and Technology, Airlangga University,<br />

Surabaya 60115, Indonesia.<br />

2 Department of Electrical Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya<br />

50603 Kuala Lumpur, Malaysia.<br />

3<br />

Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science,<br />

Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281, Indonesia<br />

4 Photonics Laboratory, Department of Physics, University of Malaya,<br />

50603 Kuala Lumpur, Malaysia.<br />

E-mail: yasin@unair.ac.id<br />

Abstract<br />

A simple micro-displacement sensor is demonstrated using a green laser, a probe, and a silicon detector. The<br />

sensor probe consists of transmitting and receiving fibers, which are bundled together. In this paper, two types of<br />

probe are compared that are a pair and a concentric type. This sensor adopts an intensity modulation technique<br />

with a flat mirror as a reflecting target. The light from the green laser travels to the target surface and part of it is<br />

reflected back to the probe. A portion of the reflected light is caught by the receiving fibers and transmitted to<br />

the photo detector where its intensity is measured. The concentric type sensor shows the sensitivity of<br />

0.231mV/μm within 200 to 500μm range (front slope) and 0.037mV/μm within 1200 to 2900μm range (back<br />

slope). The pair has a sensitivity of 0.054 mV/μm within 200 to 950μm (front slope) and 0.013 mV/μm within<br />

2000 to 4000μm range (back slope). This sensor is suitable for applications in industries as position control and<br />

micro-displacement measurement in the hazardous region.<br />

Keywords: fiber-optic, micro-displacement, bundled fiber.<br />

Introduction :<br />

Need for higher resolution, longer range, better<br />

linearity, simpler construction, and lower cost for<br />

displacement sensors is highly emphasized by the<br />

current requirements of industrial, military and<br />

medical applications [1]. Recently, a variety of fiber<br />

optic sensors have been reported for displacement<br />

measurement [2-4]. These sensors have gain a<br />

tremendous interest due to their inherent simplicity,<br />

small size, mobility, extremely low displacement<br />

detection limit and ability to perform non-contacting<br />

measurement. These properties have led to a variety<br />

of mechanical and biological measurement<br />

applications.<br />

Multimode plastic fibers are in a great demand<br />

for the transmission and processing of optical signals<br />

in optical fiber communication system. They are<br />

also widely used in sensing applications because of<br />

their better signal coupling, large core radius, and<br />

high numerical aperture as well as able to receive the<br />

maximum reflected light from the target [5-6]. Some<br />

of the earliest absolute methods for displacement<br />

measurements are based on interferometric<br />

techniques [7-8]. In this paper a simple fiber-optic<br />

displacement sensor is proposed using a multimode<br />

plastic fiber as probe and a green laser as<br />

transmitter. This sensor is based on intensity<br />

modulation technique, in which the reflected light<br />

from a reflecting surface or target is coupled back<br />

into a probe and the intensity of the reflected light is<br />

used to determine the distance between the target<br />

and probe.<br />

Experimental Setup:<br />

The schematic diagram of the experimental setup<br />

is shown in Fig. 1. The sensor consists of a light<br />

source (green laser), a fiber-optic probe and a silicon<br />

photo-detector. The probe is a 2m long bundled<br />

plastic fiber, which consists of one transmitting core<br />

and several receiving cores. In this displacement<br />

sensor, the intensity modulation technique is adopted<br />

and a flat mirror is used as a reflecting target. The<br />

light from a light source enters a transmitting core<br />

and then radiates to the mirror, and the light<br />

reflected from mirror surface is transmitted through<br />

the receiving core to a photo-detector. The<br />

displacement of mirror causes a change in the<br />

received light intensity, which is a function of<br />

displacement between the probe and reflecting<br />

surface. The bending losses are minimized by<br />

putting both transmitting and receiving fibers in<br />

close contact to form a curvature of equal radius.<br />

The experiment is carried out for three types of<br />

bundled fibers as summarized in Table 1. The<br />

transmitting and receiving cores in the bundled<br />

E29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

front-end are arranged in a pair in the bundled fiber<br />

type C and concentrically in both types A and B.<br />

The transmitting and receiving cores are placed side<br />

by side in the pair arrangement. In the concentric<br />

arrangement, the transmitting core is surrounded by<br />

the receiving cores.<br />

Figure 1: Schematic diagram of bundled fiber displacement<br />

sensor using a green laser.<br />

displacement distance. The rising part of the curve<br />

(front slope) is sharper than the signal decay of the<br />

second-part (back slope).<br />

The signal is minimal at zero distance because<br />

the light cone does not reach the receiving cores.<br />

When the displacement is increased, the size of the<br />

reflected cone of light at the plane of fiber increases<br />

and starts overlapping with the receiving cores<br />

leading to a small output voltage. Further increase in<br />

the displacement leads to large overlapping which<br />

results in increase in output voltage. However, after<br />

reaching the maximum value, the output voltage<br />

starts decreasing as the displacement increases. This<br />

is due to the large increase in the size of the light<br />

cone and the power density decreases with the<br />

increase in the size of the cone of light. The<br />

maximum output voltage obtained are 128.3mV,<br />

92.4mV and 61.8 mV for sensors type A, B and C,<br />

respectively. The peak voltages are obtained at a<br />

distance of 750μm for both type A and B and at a<br />

distance of 1800μm for type C.<br />

140.0<br />

type B<br />

type C<br />

type A<br />

Table 1: Fiber bundled used in the experiment<br />

Output voltage (mV)<br />

120.0<br />

100.0<br />

80.0<br />

60.0<br />

40.0<br />

20.0<br />

The static displacement of the mirror is<br />

achieved by mounting it on a translation stage. The<br />

distance between the fiber optic probe and the mirror<br />

can be varied in successive steps of 50 μm. The light<br />

from a 543nm He-Ne laser is launched into the<br />

transmitting core and the reflected light intensity is<br />

measured by a silicon detector. The signal from the<br />

detector is converted into a voltage and is measured<br />

using a digital voltmeter. The voltage is measured<br />

against the corresponding change in micrometer<br />

translation stage. The maximum laser power for the<br />

green laser is measured using the silicon detector in<br />

conjunction with a voltmeter and the output voltages<br />

are obtained at approximately 229mV.<br />

Results and Discussion:<br />

Fig. 2 shows the variation of the output voltage<br />

against the displacement of the mirror from the<br />

fiber-optic probe using different bundled fibers<br />

types. As shown in the figure, the voltage output<br />

from a receiving fiber is related to distance to a<br />

target surface. The voltage for all the fiber types<br />

increases as the mirror is moved away from the<br />

transmitting fiber until maximum output voltage<br />

level is observed. Further movements of the mirror<br />

away from the transmitting fiber tip have resulted in<br />

reduced output voltage in an almost inverse square<br />

law relationship for the output power against a<br />

0.0<br />

0 2000 4000 6000<br />

Displacement (micrometer)<br />

Fig. 2: Variation of the output voltage with the displacement of<br />

the mirror from the fiber-optic probe.<br />

Both front and back slopes show a good<br />

linearity as shown in Fig. 2 with a certain regions<br />

exhibits linearity of more than 99%. For the front<br />

slopes, the high linearity ranges are obtained at 200-<br />

500μm, 50-500μm, and 200-950μm for type A, B<br />

and C respectively. On the other hand, the back<br />

slopes show a high linearity in the range of 1200-<br />

2900μm, 1000-2900μm, and 2000-4000μm for type<br />

A, B and C, respectively. The sensitivity and<br />

linearity of both front and back slopes of Fig. 2 are<br />

summarized in table 2. The sensor type C shows the<br />

longest linear range of 750μm and 2000μm for both<br />

the front and back slopes respectively, however it<br />

has the lowest sensitivity among the sensors. The<br />

highest sensitivity of front and back slopes is<br />

obtained at 0.231mV/μm and 0.037mV/μm<br />

respectively with the sensor type A. Sensor type C<br />

shows the highest linearity range because it has the<br />

largest receiving core diameter and is able to collect<br />

more reflected light compared to other types of<br />

sensors. The increase in the number of receiving<br />

E30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

cores as in type A increases the sensitivity of the<br />

sensor.<br />

Table 2: Performance of the sensor at different type of fiber<br />

bundle<br />

Conclusion:<br />

A simple and effective fiber-optic micro<br />

displacement sensor is demonstrated based on the<br />

intensity modulation technique. The sensor uses a<br />

bundled multimode fiber with different<br />

configurations designated as types A, B and C as a<br />

fiber-optic probe and a green He-Ne laser with peak<br />

wavelengths 543nm as a light source. The concentric<br />

sensor type A shows the sensitivity of 0.231mV/μm<br />

within 200 to 500μm range (front slope) and<br />

0.037mV/μm within 1200 to 2900μm range (back<br />

slope). The pair sensor type C has a sensitivity of<br />

0.054 mV/μm within 200 to 950μm (front slope) and<br />

0.013 mV/μm within 2000 to 4000μm range (back<br />

slope). The sensor type A has the highest sensitivity<br />

because it has the highest number of receiving cores.<br />

Type C has the highest linearity range because it has<br />

the largest receiving core diameter. The sensor is<br />

highly sensitive at the front slope, which is very<br />

useful for close distance targets. This sensor is<br />

suitable for applications in industries as position<br />

control and micro-displacement measurement in the<br />

hazardous region.<br />

References:<br />

R. C. Spooncer, C. Butler, B. E. Jones, 1992,<br />

“Optical fibre displacement sensors for<br />

process and manufacturing applications,” Opt<br />

Eng, Vol. 31, pp. 1632-1637.<br />

M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono and<br />

H. Ahmad, 2008, “Fiber-optic sensor using a<br />

multimode bundle fiber”, Microwave and<br />

Optical Technology Letters, Vol. 50, No. 3,<br />

pp. 661-663.<br />

M. Yasin, S. W. Harun, H. A. Abdul-Rashid,<br />

Kusminarto, Karyono and H. Ahmad, 2008,<br />

“The performance of a fiber optic<br />

displacement for different types of probes<br />

and targets”, Laser Physics Letters, Vol. 5,<br />

No. 1, pp. 55-58.<br />

M. Yasin, S. W. Harun, H. A. Abdul-Rashid,<br />

Kusminarto, Karyono, A.H. Zaidan and H.<br />

Ahmad, 2007, “Performance of optical<br />

displacement sensor using a pair type<br />

bundled fiber from a theoretical perspective”,<br />

Journal of Optoelectronics and Advanced<br />

Materials-Rapid Communications, Vol. 1,<br />

No.11, pp. 549-553.<br />

S. Nalwa, 2004, “Polymer optical fibres”, California<br />

American Scientific Publishers.<br />

V. K. Kulkarini, A. S. Lalasangi, I. I. Pattanashetti<br />

and U.S. Raikar, 2006 ”Fiber-optic microdisplacement<br />

sensor using coupler”, Journal<br />

of Optoelectronics and Advanced Materials,<br />

Vol. 8, pp. 1610-1612.<br />

A. M. Murphy, M. F. Gunther, A. M. Vengsarkar, O.<br />

R. Claus, 1991, “Quadrature phase-shifted<br />

extrinsic Fabry-Perot optical fiber sensor,”<br />

Optic Letters, Vol. 16, pp. 273.<br />

A. Bergamin, G. Cavagnero, G. Mana, 1993, “A<br />

displacement and angle interferometer with<br />

subatomic resolution,” Rev. Sci. Instrum.,<br />

Vol. 64, pp. 3076-3081.<br />

E31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sinkronisasi Pemanfaatan Osiloskop Digital Dan Perangkat Komputer<br />

Dalam Sistem Fotoakustik<br />

Pujiyanto 1 , A Lukman Hakim 2 ,<br />

1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />

2 Program Studi Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga<br />

ABSTRAK<br />

Telah dilakukan upaya sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat komputer dalam sistem<br />

fotoakustik untuk analisa kimia suatu bahan. Sistem fotoakustik yang didasarkan metode fotoakustik untuk suatu<br />

sampel bahan cairan memberikan peluang untuk untuk kegunaan yang lebih luas.Disini dicoba diungkapkan<br />

bahwa pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat komputer secara serentak akan memudahkan analisis sinyal<br />

yang dihasilkan dalam sistem fotoakustik. Upaya yang dilakukan mencoba menggunakan program aplikasi<br />

LabVIEW 2.5 (versi Trial) untuk memadukan Osiloskop Digital dan perangkat komputer. Sinyal fotoakustik<br />

yang akan dideteksi dibuat secara simulasi. Berdasarkan hasil eksperimen dapat disimpulkan antara lain : 1)<br />

Fasilitas fungsi pada program aplikasi LabVIEW 2.5 yang dapat digunakan pada analisis sinyal fotoakustik<br />

adalah fungsi aritmatika Fast Fourier Transform, 2) Sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan perangkat<br />

komputer dapat meningkatkan performance dalam analisis sinyal fotoakustik.<br />

Kata Kunci : fotoakustik, Osiloskop Digital, LabVIEW 2.5, Fast Fourier Transform<br />

PENDAHULUAN<br />

Sistem fotoakustik merupakan perangkat utama<br />

untuk pelacakan sejumlah senyawa organik. Dalam<br />

sistem fotoakustik, sinyal fotoakustik dapat<br />

dibangkitkan dengan cara memodulasi sumber<br />

radiasi pada frekuensi akustik, yang menyebabkan<br />

terjadinya kenaikan dan penurunan suhu secara<br />

periodik, sehingga diperoleh kenaikan dan<br />

penurunan tekanan secara periodik pula.<br />

Fluktuasi tekanan pada bahan dalam sel<br />

tertutup menghasilkan gelombang akustik dengan<br />

frekuensi yang sama dengan frekuensi modulasi.<br />

Penggunaan Spektroskopi fotoakustik diberbagai<br />

bidang terus berkembang. Penggunaan yang telah<br />

dilakukan antara lain : untuk mendeteksi kandungan<br />

H 2 O dalam oli dengan konsentrasi 50 ppm (Foster,<br />

2-<br />

2000), penentuan kandungan kimia ion CrO 4<br />

memakai panjang gelombang sumber radiasi 355<br />

nm, penentuan kandungan kimia ion CO 2+ memakai<br />

panjang gelombang 532 nm ( Autrey, et al., 2001),<br />

penentuan konstanta henry senyawa ethanol<br />

menggunakan lampu infra merah yang difilter pada<br />

panjang gelombang 9,4 μm ( Ueberfeld, et al.,<br />

2001), studi tentang koefisien absorbsi glucosa<br />

dalam larutan dengan menggunakan sumber cahaya<br />

laser pulsa tertala yang dipilih pada panjang<br />

gelombang 1450 nm (Shen, et al., 2001), pelacakan<br />

gas ethana menggunakan sumber cahaya Nd-YAG<br />

pada panjang gelombang 1064 μm dengan batas<br />

deteksi 110 ppt (Muller, et al., 2003) dan<br />

pendeteksian gas ammonia dengan menggunakan<br />

sumber cahaya laser diode telekomunikasi - IR dekat<br />

(Anatoly, et al., 2004).<br />

Pengembangan spektroskopi Fotoakustik untuk<br />

sampel cairan, telah dilakukan melalui beberapa<br />

eksperimen antara lain : pembangkitkan sinyal<br />

fotoakustik pada cairan Al(OH) 3 menggunakan<br />

hollow wave guide Ag/Si/Glass (Pujiyanto,2003),<br />

pembangkitan keluaran sinyal fotoakustik pada<br />

cairan aluminium hidroksida menggunakan Laser<br />

Nd-YAG (Pujiyanto, 2004), membangkitkan sinyal<br />

fotoakustik untuk sampel air dengan menerapkan<br />

hollow fiber COP/Ag/SiO2 sebagai komponen<br />

pemandu gelombang (Pujiyanto, 2007). Pada<br />

eksperimen tersebut berkas laser terpulsa dikirimkan<br />

pada cairan yang kemampuan penyerapannya lemah<br />

sehingga menyebabkan penyinaran terhadap kolom<br />

untuk menaikkan panas dan berekspansi,<br />

membangkitkan pulsa akustik silindris dengan<br />

amplitudo sebanding dengan koefisien serapan α.<br />

Hal ini merupakan dasar dari teknik fotoakustik<br />

terpulsa yang akhir-akhir ini dikembangkan untuk<br />

pengukuran koefisien serapan optik lemah dalam<br />

cairan. Ada dua hal penting dalam eksperimen :<br />

panjang dari pulsa laser τ p dan waktu penjalaran<br />

akustik τ a =R/v a melintasi jari-jari berkas R ( v a<br />

adalah kecepatan gelombang akustik).<br />

Untuk berkas laser dengan profil radial<br />

gaussian, rumusan fungsi gelombang akustik yang<br />

terbangkit dalam sampel cairan berbentuk sebagai<br />

berikut (Lai and Young, 1982).<br />

1 / 2<br />

Φ = K τ<br />

e<br />

Φ<br />

o<br />

( t / τ<br />

e<br />

)<br />

Dengan ketentuan :<br />

E32


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2 2 2<br />

e<br />

= τ<br />

p<br />

τ<br />

a ,<br />

τ +<br />

− 1<br />

( 2π<br />

2 ) ε ( v / r ) 1 / 2<br />

a<br />

K = , dan o<br />

adalah fungsi tak berdimensi yang berbentuk :<br />

⎛ 1 ⎞<br />

−1/<br />

2<br />

2<br />

Φo<br />

(( t / τ<br />

e<br />

)) ≅<br />

⎜<br />

⎟ ( t / τ<br />

e<br />

) exp{ −(<br />

t / τ<br />

e)<br />

/ 2}<br />

⎝ 2 ⎠<br />

Gelombang sebagai hasil efek fotoakustik dideteksi<br />

menggunakan sensor piezoelektrik.<br />

Sensor Piezoelektrik bekerja berdasarkan efek<br />

Piezoelektrik. Efek Piezoelektrik adalah efek<br />

konversi energi mekanik menjadi energi listrik atau<br />

sebaliknya. Apabila bahan Piezoelektrik<br />

mengalami perubahan bentuk, maka dalam proses<br />

perubahan bentuk tersebut akan timbul perubahan<br />

listrik.<br />

Bahan Piezoelektrik merupakan bahan isolator,<br />

sehingga elektroda logam yang berbentuk<br />

permukaan datar dimana kawat penghubung<br />

langsung tertempel diatasnya, akan membentuk<br />

suatu lempengan-lempengan kapasitor.<br />

Bahan Piezoelektrik yang bertindak sebagai<br />

dielektrik kapasitor, bila mengalami perubahan<br />

bentuk, akan bekerja sebagai pembangkit muatan<br />

listrik dalam kapasitor. Perubahan bentuk mekanis<br />

akan menimbulkan muatan listrik, kemudian muatan<br />

ini menghasilkan tegangan tertentu yang timbul<br />

diantara elektroda-elektroda sesuai dengan hukum<br />

yang umum berlaku bagi kapasitor.<br />

Deteksi dan pengolahan sinyal fotoakustik<br />

merupakan basis beroperasinya sistem fotoakustik.<br />

Pengolahan sinyal fotoakustik yang berdomain real<br />

time sebagaimana pada gambar-1 sulit dilakukan<br />

dan memberikan hasil yang tidak akurat.<br />

Φ<br />

(ADC) sudah terfasilitasi di dalam perangkat<br />

Osiloskop Digital. Komputasi fourier transform<br />

dapat dilakukan dengan memanfaatkan program<br />

labVIEW Signal Express produk dari National<br />

Instrument. LabVIEW Signal Express diproduksi<br />

untuk keperluan pengukuran dan otomatisasi secara<br />

interaktif. Tahapan sinkronisasi pemanfaatan<br />

Osiloskop digital dan perangkat komputer dalam<br />

sistem fotoakustik antara lain : 1) pembangkitan<br />

sinyal di dalam sel fotoakustik 2) merekam sinyal<br />

dan menampilkannya pada osiloskop digital, 3)<br />

pengolahan sinyal di dalam komputer dan<br />

menampilkannya pada monitor komputer.<br />

Untuk ujicoba sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop<br />

digital dan perangkat komputer dalam sistem<br />

fotoakustik akan dicobakan untuk sinyal simulasi<br />

yang mirip dengan sinyal fotoakustik.<br />

METODE EKSPERIMEN<br />

Eksperimen yang dilakukan melibatkan<br />

penggunaan : Osiloskop Digital, Seperangkat<br />

komputer, Audio Generator, Loudspeaker kecil dan<br />

perangkat lunak LabVIEW 2.5 (versi Trial).<br />

Peralatan-peralatan tersebut disusun seperti<br />

pasangan (set-up) gambar-1<br />

Berikut adalah penjelasan prosedur eksperimen.<br />

Langkah pertama dilakukan pengiinstallan program<br />

LabVIEW 2.5 (versi Trial) pada perangkat<br />

komputer yang digunakan. Sinyal keluaran Audio<br />

Generator diumpankan pada bagian masukan<br />

”Simulator Pembangkit Sinyal Fotoakustik”. Sinyal<br />

keluaran ”Simulator Pembangkit Sinyal<br />

Fotoakustik” diumpankan pada bagian masukan<br />

Osiloskop Digital yang telah dihubungkan dengan<br />

perangkat komputer. Kedua tampilan pada layar<br />

Osiliskop Digital dan layar monitor diolah<br />

menggunakan program LabVIEW 2.5. Dalam<br />

mengolah sinyal tersebut perlu mengubah sinyal dari<br />

domain waktu manjadi domain frekuensi<br />

menggunakan fasilitas fungsi aritmatika Fast Fourier<br />

Transform. Tahapan langkah-langkah tersebut<br />

diulang-ulang untuk lima nilai frekuensi keluaran<br />

Audio Generator yang berbeda-beda, yaitu : 800 Hz,<br />

1.500 Hz, 1.800 Hz, 2.000 Hz dan 2.400 Hz.<br />

Audio<br />

Frekuensi<br />

Gambar-1. Sinyal fotoakustik dalam domain<br />

waktu<br />

Pengolahan sinyal yang berdomain frekuensi secara<br />

transformasi fourier dengan menggunakan perangkat<br />

komputer akan dapat meningkatkan performance<br />

hasilnya. Komputer dapat melakukan komputasi<br />

transformasi fourier setelah sinyal fotoakustik yang<br />

berupa sinyal analog diubah menjadi sinyal digital<br />

Oleh ADC. Perangkat Analog to Digital Convertion<br />

Generator<br />

Simulator<br />

Pembangkit<br />

Sinyal<br />

Fotoakustik<br />

Osiloskop<br />

Digital<br />

Komputer<br />

terlengkap<br />

i software<br />

’<br />

LabVIEW<br />

2.5 (versi<br />

Trial)”<br />

E33


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

HASIL<br />

Hasil pengujian terhadap perangkat lunak<br />

LabVIEW 2.5 (versi Trial) diperoleh berbagai<br />

bentuk rekaman sinyal yang tampil pada layar<br />

komputer dan layar monitor Osiloskop Digital.<br />

Contoh hasil rekaman yang diperoleh diperlihatkan<br />

pada tabel-1. Rekaman sinyal dari keluaran<br />

Simulator Pembangkit sinyal Fotoakustik diperoleh<br />

untuk 800 Hz, 1.500 Hz, 1.800 Hz, 2.000 Hz dan<br />

2.400 Hz. Data pengukuran frekuensi sinyal ragam<br />

domain waktu rekaman sinyal domain waktu dengan<br />

sinyal ragam FFT disajikan pada gambar-2.<br />

f (frekuensi untuk ragam FFT)<br />

3000<br />

2500<br />

2000<br />

1500<br />

1000<br />

500<br />

0<br />

0 1000 2000 3000<br />

f (frekuensi untuk ragam domain<br />

waktu)<br />

Gambar 2. Grafik hubungan antara frekuensi yang terbaca pada<br />

ragam domain waktudan ragam sinyal FFT<br />

PEMBAHASAN<br />

Penggunaan perangkat lunak LabVIEW 2.5<br />

memberikan kemudahan didalam perekaman sinyal<br />

fotoakustik, karena pemilihan menu FFT selain<br />

dapat memberikan nilai amplitudo ternormalisasi<br />

juga dapat memberikan indikasi kesahihan bahwa<br />

sinyal yang terdeteksi adalah sinyal fotoakustik.<br />

Penggambaran grafik hubungan antara frekuensi<br />

yang terbaca pada sinyal ragam sinus dan pada<br />

sinyal ragam FFT memberikan kurva grafik yang<br />

bersifat linier dengan kemiringan (slope) 45 0 . Hal ini<br />

berarti bahwa kedua jenis pembacaan tersebut<br />

memberikan hasil yang sesuai.<br />

KESIMPULAN<br />

Kesimpulan yang dapat diambil dari<br />

eksperimen yang telah dilakukan antara lain sebagai<br />

berikut.<br />

1. Fasilitas fungsi pada program aplikasi<br />

LabVIEW 2.5 yang dapat digunakan pada<br />

analisis sinyal fotoakustik adalah fungsi<br />

aritmatika Fast Fourier Transform<br />

2. Sinkronisasi pemanfaatan Osiloskop Digital dan<br />

perangkat komputer dapat meningkatkan<br />

performance dalam analisis sinyal fotoakustik.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anatoly, A.K., and Tittel, F.K., 2004, Ammonia<br />

Detection Using Quartz-enhanced<br />

Photoacoustic Spectroscopy with a near-IR<br />

telecommunication diode laser, Rice<br />

Quantum Institute, Rice University, Houston.<br />

Autrey, T., Foster, N., Howkins, D., and Price, J.,<br />

2001, Tunable Ultraviolet Visible<br />

Photoacoustic Detection Analysis of the<br />

Sensitivity and Selectivity Provided by a<br />

Xenon Flash Lamp, Analytica Chimica Acta,<br />

Vol. 434.<br />

Foster, N.S, Amonette, T., Autrey, J.T., 2000,<br />

Detection of Trace Levels Water in Oil by<br />

Photoacoustic Spectroscopy, Elsheiver<br />

Science, Pasific Northwest National<br />

Laboratory, USA.<br />

Lai, H.M and Youn, K., 1982, Theory of the pulsed<br />

optoacoustic technique, Journal Acoustic<br />

Society American, Desember, Vol. 72, No. 6.<br />

Muller, F., Popp, A. and Kuhnemann, F.,<br />

Transportable, 2003, Highly Sensitive<br />

Photoacoustic Spectrometer based on<br />

Continous-Wave Dual-Cavity Optical<br />

Parametric Oscillator, Optics Express,<br />

November, Vol. 11, No.22.<br />

Pujiyanto, 2007, On possibility of using the<br />

COP/Ag/SiO2 hollow fibers, as a component<br />

of the photoacoustic spectroscopy, Paper<br />

presented on International Conference and<br />

workshop on basic and applied sciences,<br />

Airlangga University<br />

Pujiyanto, 2003, Create Photoacoustics Signal on<br />

Alumunium Hydroxide Solution Using<br />

Hollow wave Guide Ag/Si/Glass, Paper in<br />

Miyagi Laboratory Seminar<br />

Pujiyanto, 2004, Pembangkitan Sinyal Fotoakustik<br />

Pada Bahan Cairan menggunakan Laser Nd-<br />

YAG, Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional<br />

Basic Science I, Unibraw, Malang.<br />

Shen, Y., Spiers, S., and Mac Kenzie, H.A., 2001,<br />

Time Resolved Aspect of Pulsed<br />

Photoacoustic Spectroscopy, analytical<br />

Science, April, Vol.!7.<br />

Ueberfeld, J., Zbinden H., Gisin, N., Pellaux, J.P.,<br />

2001, Determination of Henry’s Constant<br />

using Photoacoustic Sensor, Journal<br />

Chemical Thermodynamics, Vol. 33.<br />

E34


Penentuan Kualitas Enamel Gigi Dari Image Sistem Laser Speckle Imaging (LSI)<br />

Berbasis Logika Fuzzy<br />

Retna Apsari 1 , Yhosep Gita Y 1 , Aji Brahma Nugraha 1<br />

1 Program Studi S1 <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : apsari_unair@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini dilakukan untuk pengelompokan kualitas enamel gigi setelah terpapar laser Nd:YAG<br />

menggunakan Q-Switch dan tanpa Q-Switch pada tegangan pumping 580, 600, 620, 640, 660, 700, 720, 740, dan<br />

760V. Bahan penelitian yang digunakan adalah citra enamel gigi hasil sistem Laser Speckle Imaging (LSI) yang<br />

berukuran 640x480 pixel.<br />

Parameter kerusakan enamel gigi ditunjukkan dengan munculnya produksi plasma pada citra. Hal ini terjadi pada<br />

pemaparan sampel gigi dengan laser Nd:YAG menggunakan Q-Switch. Input yang digunakan pada sistem fuzzy<br />

yaitu tegangan pumping, rerata frekuensi intensitas enamel, luas plasma dan kedalaman plasma dengan output<br />

berupa kualitas enamel gigi manusia akibat variasi tegangan pumping pada enamel gigi. Kriteria pengelompokan<br />

kualitas enamel gigi ditentukan dari nilai defuzzifikasi sistem fuzzy yaitu jika nilai defuzzifikasi berkisar antara :<br />

0-0.24 maka kualitas enamel gigi baik, 0.25-0.54 kualitas enamel gigi agak rusak, 0.55-0.84 kualitas enamel gigi<br />

rusak, dan 0.85-1 kualitas enamel gigi rusak sekali. Sistem fuzzy di desain dan di ujicoba untuk fungsi<br />

keanggotaan segitiga, trapesium dan gaussian.<br />

Hasil uji coba dengan input nilai normal diperoleh nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan<br />

segitiga sebesar 0.5 maka kualitas enamel gigi di kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Sistem fuzzy dengan<br />

fungsi keanggotaan trapesium diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.5 maka kualitas enamel gigi di<br />

kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai<br />

defuzzifikasi sebesar 0.31 maka kualitas enamel di kelompokkan pada kualitas ‘agak rusak’. Uji coba sistem<br />

fuzzy dengan input maksimum diperoleh nilai defuzzifikasi untuk fungsi keanggotaan segitiga sebesar 0.92<br />

sehingga kualitas enamel gigi dikelompokkan pada kualitas ’rusak sekali’. Untuk fungsi keanggotaan trapesium<br />

diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.9 sehingga kualitas enamel gigi dikelompokkan pada kualitas ’rusak<br />

sekali’. Untuk fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.81 sehingga kualitas enamel di<br />

kelompokkan pada kualitas ’rusak’. Uji coba sistem fuzzy dengan input minimum diperoleh nilai defuzzifikasi<br />

untuk fungsi keanggotaan segitiga sebesar 0.084 sehingga kualitas enamel gigi di kelompokkan pada kualitas<br />

’baik’. Untuk fungsi keanggotaan trapesium diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar 0.1 sehingga kualitas enamel di<br />

kelompokkan pada kualitas ’baik’. Untuk fungsi keanggotaan gaussian diperoleh nilai defuzzifikasi sebesar<br />

0.258 sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada kualitas ’agak rusak’. Berdasarkan perbandingan nilai<br />

defuzzifikasi dengan input nilai maksimum dan nilai minimum tersebut disimpulkan bahwa sistem fuzzy dengan<br />

fungsi keanggotaan gaussian mampu menganalisa surface viewer cukup ideal untuk semua input.<br />

Kata kunci : fuzzy, citra, enamel gigi, plasma, laser Nd:YAG<br />

PENDAHULUAN<br />

Radiografi digital maupun konvensional,<br />

merupakan alat penunjang diagnosis yang sangat<br />

penting bagi dokter gigi, dan berfungsi sebagai mata<br />

kedua, walaupun ada efek samping yang<br />

ditimbulkan seperti diketahui dapat memberikan<br />

resiko stroke (Wysong, 1997), terjadinya kerusakan<br />

morfologi inti sel seiring dengan meningkatnya<br />

dosis radiasi yang diberikan. Bagian tertentu dari<br />

anatomi gigi yang memerlukan perawatan gigi tidak<br />

dapat dilihat dengan kasat mata, oleh karena itu<br />

radiografi diragukan keandalannya dari sudut<br />

pandang keamanan pemakaian radiasi sinar-X dan<br />

waktu yang diperlukan untuk membuat dan<br />

memproses radiografi individual (Walton dan<br />

Torabinejad, 1997). Oleh karena itu, perlu<br />

dilakukan terobosan baru dalam mencari sistem<br />

alternatif untuk diagnosis penunjang dan<br />

dokumentasi gigi yang akurat, memiliki ketelitian<br />

tinggi, dan minim efek samping (non invasive, non<br />

destructive, non ionisasi) serta mampu mendeteksi<br />

kualitas enamel gigi secara otomatis.<br />

Sistem digital berbasis logika fuzzy merupakan<br />

diagnosis penunjang yang ditawarkan pada<br />

penelitian ini. Dengan ketelitian dan ketepatan sitem<br />

digital yang memadai, efek samping minim, dan<br />

harga yang terjangkau maka pendokumentasian dan<br />

diagnosis gigi secara digital dapat dilakukan di<br />

tingkat Puskesmas, sehingga upaya untuk<br />

meningkatkan kualitas hidup masyarakat dapat<br />

dicapai.<br />

Langkah konkrit yang dilakukan adalah<br />

merancang sistem digital berbasis logika fuzzy untuk


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

mendeteksi kualitas enamel gigi akibat paparan laser<br />

Nd:YAG dari analisis intensitas image berbasis gray<br />

level yang terbentuk menggunakan sistem laser<br />

Speckle Imaging (LSI).<br />

Sistem LSI merupakan salah satu sistem<br />

penghasil digital optical imaging. Sistem ini<br />

mendeteksi perubahan intensitas speckle laser yang<br />

didifraksikan sampel gigi manusia dengan analisis<br />

kontras, yang disebut dengan Laser Speckle Contras<br />

Analysis (LASCA) (Tamaki,1994; Vo Dinh, 2003;<br />

Li Nan, 2005).<br />

LSI adalah salah satu sistem digital optical<br />

imaging, yang tersusun dari piranti laser, sensor<br />

Charge Coupled Devices (CCD) yang terhubung<br />

dengan PC menggunakan frame grabber (Vo Dinh,<br />

2003; Li Nan, 2005). Image terbentuk sebagai<br />

kumpulan speckle yang ditangkap oleh sensor CCD<br />

dengan pengaturan waktu perekaman yang sesuai<br />

(Li Nan, 2005).<br />

Sistem LSI dipilih karena kesederhanaan<br />

pengesetan sistem dibandingkan dengan sistem optik<br />

lain yang berbasis sistem modulasi panjang<br />

gelombang (Vest, 1979; Marshall, 2004; Schnars<br />

dan Jueptner, 2005). Menurut Vo Dinh (2003)<br />

sistem LSI dapat digunakan sebagai piranti<br />

diagnosis medis, oleh karena itu pada penelitian ini<br />

digunakan sistem LSI dengan analisis intensitas gray<br />

level berbasis sistem fuzzy.<br />

Sistem fuzzy mulai diperkenalkan pada tahun<br />

1965 oleh Profesor Lotfi Zadeh dari University of<br />

California (Kusumadewi, 2002). Zadeh<br />

memodifikasi teori himpunan yang setiap<br />

anggotanya memiliki derajat keanggotaan bernilai<br />

kontinu antara 0 sampai 1. Himpunan ini disebut<br />

dengan himpunan kabur (fuzzy set).<br />

Selama beberapa dekade yang lalu, himpunan<br />

fuzzy dan hubungannya dengan logika fuzzy telah<br />

digunakan pada lingkup domain permasalahan yang<br />

cukup luas, yaitu kendali proses, klasifikasi dan<br />

pencocokan pola, manajemen dan pengambilan<br />

keputusan, riset operasi, dan ekonomi. Sejak tahun<br />

1985, terjadi perkembangan yang sangat pesat pada<br />

logika fuzzy, terutama dalam hubungannya dengan<br />

penyelesaian masalah kendali terutama yang bersifat<br />

non liner dan situasi yang sangat kompleks<br />

(Kusumadewi, 2002)<br />

Keunggulan dipakainya logika fuzzy adalah :<br />

mudah dimengerti, sangat fleksibel, memiliki<br />

toleransi terhadap data yang tidak tepat, mampu<br />

memodelkan fungsi nonlinier yang sangat kompleks,<br />

mampu membangun dan mengaplikasikan<br />

pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus<br />

melalui proses pelatihan, dapat bekerjasama dengan<br />

teknik kendali secara konvensional (Kusumadewi,<br />

2002). Karena pengembangan penelitian di masa<br />

yang akan datang adalah rancang bangun piranti<br />

diagnosis alternatif yang mampu bersifat realtime<br />

dan berbasis digital, maka alasan pemilihan sistem<br />

ini adalah tepat.<br />

Penelitian yang memanfaatkan sistem fuzzy<br />

telah dilakukan oleh Haeruddin (2002) dan Hartati<br />

(2005). Kedua penelitian tersebut melakukan<br />

perbaikan kualitas citra radiografi sinar-X berbasis<br />

logika fuzzy untuk pendeteksian kelainan citra<br />

radiografi dengan metode pencocokan template<br />

berbasis operator hedges. Kedua penelitian tersebut<br />

mengolah citra radiografi konvensional menjadi<br />

digital, dan kelainan yang dimaksud pada penelitian<br />

tersebut merupakan penyakit yang disimulasikan<br />

berupa noise.<br />

Hasil penelitian Apsari (2008) menunjukkan<br />

bahwa penyinaran laser Nd:YAG panjang<br />

gelombang 1064 nm dengan Q-Switch pada sampel<br />

gigi tiruan menimbulkan efek merusak. Untuk<br />

pendeteksi kerusakan, penyinaran pada gigi tiruan<br />

dapat dilakukan tanpa Q-Switch dengan energi<br />

pumping tidak melebihi 680 V.<br />

Pada penelitian ini akan digunakan laser<br />

Nd:YAG menggunakan Q-Switch dengan sampel<br />

gigi manusia khususnya enamel gigi. Sistem Fuzzy<br />

yang dikembangkan pada penelitian ini digunakan<br />

untuk menganalisis intensitas dari image digital<br />

yang dihasilkan sistem LSI untuk mendeteksi<br />

kualitas enamel gigi akibat interaksi energi luaran<br />

laser Nd:YAG pada beberapa variasi tegangan<br />

pumping yaitu 560, 580, 600, 620, 640, 660, 680,<br />

700, 720, 740 dan 760 V. Pemilihan rentang energi<br />

pumping yang lebih banyak bertujuan untuk<br />

memperoleh rentang data pengamatan yang lebih<br />

luas sebagai acuan utama dalam pengelompokan<br />

kualitas enamel gigi pada sistem fuzzy. Sebagai<br />

justifikator utama dalam pengelompokan sistem<br />

fuzzy adalah analisis secara mikrostruktrur yang<br />

meliputi analisis morfologi permukaan enamel gigi<br />

hasil interaksi dengan laser Nd:YAG pada sistem<br />

Laser Specle Imaging (LSI), seperti telah dilaporkan<br />

oleh Apsari et. al.(2009).<br />

Kajian keseluruhan sistem pada penelitian ini<br />

diharapkan dapat menunjang bidang kedokteran gigi<br />

khususnya sebagai diagnosis penunjang pada<br />

jaringan keras gigi di masa yang akan datang<br />

berbasis dental laser.<br />

DASAR TEORI<br />

Efek interaksi terpenting akibat paparan laser<br />

Nd:YAG terhadap jaringan dibagi menjadi 5, yaitu :<br />

interaksi fotokimia (photochemical), interaksi<br />

fototermal(photothermal),<br />

fotoablasi<br />

(photoablation), interaksi produksi plasma (plasmainduced<br />

ablation), dan fotoakustik (photodisruption)<br />

berupa produksi shock wave. Adapun gambaran<br />

interaksi dasar laser terhadap jaringan disajikan pada<br />

Gambar 1.<br />

E36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

b. Fungsi Keanggotaan Trapesium (Tr-function)<br />

Fungsi keanggotaan bentuk trapesium (Tr-function)<br />

seperti Gambar 3.<br />

Gambar 1. Gambaran interaksi mendasar laser terhadap jaringan<br />

(Neimz, 2007 hal. 46)<br />

Adapun interkasi yang di teliti pada penelitian ini<br />

adalah interkasi yang terjadi karena produksi plasma<br />

akibat paparan laser Nd:YAG dengan Q-Switch.<br />

Produksi image dari sistem LSI, akan dianalisis nilai<br />

intensitasnya dengan menggunakan logika fuzzy<br />

untuk mengetahui rusak dan tidaknya enamel gigi<br />

akibat paparan laser Nd:YAG.<br />

Tipe fungsi keanggotaan fuzzy berdasarkan<br />

pendifinisian bentuk fungsi adalah fungsi segitiga,<br />

trapesium, dan Gaussian.<br />

a. Fungsi Keanggotaan Segitiga (T-function)<br />

Fungsi keanggotaan berbentuk segitiga atau<br />

Triangular function (T-function) paling banyak<br />

digunakan dalam proses fuzzifikasi, terutama dalam<br />

penerapan teori fuzzy pada sistem pengaturan<br />

maupun pada pengenalan pola. Penggunaan fungsi<br />

keanggotaan dengan distribusi segitiga ini sangat<br />

beralasan karena disamping lebih sederhana bentuk<br />

formulasinya, lebih mudah pula dalam analisis<br />

perhitungan untuk menentukan algoritmanya,<br />

sehingga tidak banyak menyita waktu dalam<br />

melakukan proses perhitungannya. Fungsi<br />

keanggotaan distribusi bentuk segitiga (triangular)<br />

seperti Gambar 2. Persamaan secara matematik<br />

fungsi keanggotaan bentuk segitiga (triangular)<br />

adalah :<br />

(1)<br />

Gambar 1. Fungsi keanggotaan bentuk segitiga (triangular)<br />

Gambar 3. Fungsi keanggotaan bentuk trapesium<br />

Persamaan secara matematik fungsi keanggotaan<br />

bentuk trapesium (trapezoid) disajikan pada<br />

persamaan (2).<br />

c. Fungsi Keanggotaan Gaussian<br />

(2)<br />

Fungsi keanggotaan Gaussian seperti Gambar 4.<br />

Persamaan secara matematik fungsi keanggotaan<br />

gaussian adalah<br />

⎡<br />

−<br />

2<br />

⎛ ⎞ ⎤<br />

⎢ 1 ⎜ x − x ⎟<br />

μ<br />

⎥<br />

A<br />

( x)<br />

= exp<br />

⎢<br />

−<br />

2 ⎜ σ ⎟ ⎥<br />

⎢⎣<br />

⎝ ⎠ ⎥⎦<br />

Gambar 4. Fungsi keanggotaan bentuk gaussian<br />

METODE PENELITIAN<br />

(3)<br />

Gigi untuk sampel enamel dikumpulkan dari<br />

Klinik Bedah Mulut dan Maksilofaksial Rumah<br />

Sakit Gigi dan Mulut FKG Universitas Airlangga<br />

(ujian etika di FKG Universitas Airlangga pada<br />

tanggal 24 Juni 2008, di dapatkan keterangan<br />

kelaikan etik/Ethical Clearance). Spesimen enamel<br />

diperoleh dari gigi premolar pertama rahang atas<br />

anak umur 15 – 19 tahun, yang akan melakukan<br />

perawatan orto, dan tidak ada karies. Setelah<br />

pencabutan, spesimen gigi yang telah dicuci dengan<br />

aquabides dan dibersihkan, disimpan dalam larutan<br />

aqua bidestilata steril dan disimpan dalam lemari<br />

pendingin bersuhu 4 0 C–6 0 C untuk mencegah<br />

kerusakan sampai dengan pemakaiannya pada suhu<br />

E37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

kamar. Penyimpanan di lakukan di Lab. <strong>Fisika</strong><br />

Optika dan Laser F. Sains dan Teknologi <strong>Unair</strong>.<br />

Pembuatan lempeng enamel dilakukan dengan<br />

memotong permukaan oklusal gigi menggunakan<br />

mesin trimmer di bawah aliran air. Proses ini<br />

dilakukan di Bengkel Mekanik dan Gelas, Fakultas<br />

Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.<br />

Selanjutnya enamel dipotong dengan ketebalan 1,5-<br />

2 mm dan diameter 0,5-1 cm tegak lurus aksis gigi.<br />

Permukaan enamel selanjutnya dipoles dengan<br />

menggunakan kertas abrasif dari yang kasar hingga<br />

halus no. 2000. Setelah permukaan halus, sampel<br />

dicuci dengan ultrasound cleaner merk Branson<br />

3520. Setelah dilakukan pencucian tersebut, sampel<br />

direndam dalam larutan aqua bidestilata steril pada<br />

lemari pendingin suhu 4 0 C – 6 0 C sampai dilakukan<br />

pengambilan image pada suhu kamar. Setelah selesai<br />

preparasi, sampel enamel siap untuk disinari laser<br />

Nd:YAG dalam sistem LSI dengan variasi tegangan<br />

pumping : 560, 580, 600, 620, 640, 660, 680, 700,<br />

720, 740 dan 760 V. Adapun prosedur penelitian<br />

disajikan pada Gambar 5. Desain rule base yang<br />

digunakan pada penelitian disajikan pada Gambar 6.<br />

Gambar 5. Prosedur penelitian (Apsari, 2009)<br />

Proses fuzzifikasi dengan membagi input sistem<br />

fuzzy menjadi kelompok linguistik di sajikan pada<br />

Tabel 1, dan desain rule base disajikan pada Tabel 2.<br />

Adapun input sistem fuzzy adalah : tegangan<br />

pumping, nilai rerata frekuensi intensitas, rerata luas<br />

plasma, dan kedalaman plasma. Sedangkan output<br />

sistem fuzzy adalah : kerusakan enamel gigi akibat<br />

paparan laser Nd:YAG dengan variasi tegangan<br />

pumping yang telah dijelaskan.<br />

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />

Tahap defuzzifikasi dilakukan secara otomatis<br />

oleh sistem fuzzy meggunakan metode COG (Center<br />

Of Gravity). Hasil defuzzifikasi dengan dengan salah<br />

satu input variabel maksimum atau minimum untuk<br />

fungsi keanggotaan segitiga, trapesium atau<br />

gaussian ditampilkan pada Gambar 6. Hasil dari<br />

pengamatan nilai maksimum dan minimum untuk<br />

setiap fungsi keanggotaan sistem fuzzy ditampilkan<br />

pada Tabel 3.<br />

Berdasarkan data pengamatan nilai input<br />

maksimum dan minimum sistem fuzzy untuk<br />

masing-masing fungsi keanggotaan di ketahui bahwa<br />

sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga dan<br />

trapesium memiliki kelebihan dalam hal jangkauan<br />

deteksi kualitas enamel tapi memiliki tingkat<br />

ketelitian yang lebih rendah. Hal ini didasarkan pada<br />

citra yang digunakan pada penelitian ini difokuskan<br />

pada pola citra yang berplasma dengan asumsi<br />

munculnya plasma merupakan parameter yang<br />

menunjukkan bahwa gigi telah rusak sehingga<br />

jangkauan ideal yang diharapkan berkisar antara<br />

0.25-1 (kualitas enamel agak rusak – rusak sekali)<br />

dan jangkauan deteksi ini dipenuhi oleh sistem fuzzy<br />

dengan fungsi keanggotaan gaussian.<br />

E38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 3. Hasil pengamatan nilai fuzzy maksimum dan minimum<br />

sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga, trapesium dan<br />

gaussian (Apsari, 2009)<br />

beberapa kombinasi gambar surface viewer adalah<br />

surface viewer sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian (Gambar 7).<br />

Gambar 6. Hasil defuzzifikasi dengan dengan salah satu input<br />

fuzzy maksimum atau minimum untuk fungsi keanggotaan<br />

gaussian<br />

Berdasarkan data pengamatan nilai input<br />

maksimum dan minimum sistem fuzzy untuk<br />

masing-masing fungsi keanggotaan di ketahui bahwa<br />

sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan segitiga dan<br />

trapesium memiliki kelebihan dalam hal jangkauan<br />

deteksi kualitas enamel tapi memiliki tingkat<br />

ketelitian yang lebih rendah hal ini didasarkan pada<br />

citra yang digunakan pada penelitian ini difokuskan<br />

pada pola citra yang berplasma dengan asumsi<br />

munculnya plasma merupakan parameter yang<br />

menunjukkan bahwa gigi telah rusak sehingga<br />

jangkauan ideal yang diharapkan berkisar antara<br />

0.25-1 (kualitas enamel agak rusak – rusak sekali)<br />

dan jangkauan deteksi ini dipenuhi oleh sistem fuzzy<br />

dengan fungsi keanggotaan gaussian.<br />

Pengamatan selanjutnya dilakukan pada surface<br />

viewer yang dihasilkan sistem fuzzy untuk masingmasing<br />

fungsi keanggotaan. Surface viewer<br />

merupakan gambar tiga dimensi yang menunjukkan<br />

hubungan antara dua input dan satu output yang ada.<br />

Karena jumlah input yang dipergunakan empat<br />

variabel dan memiliki satu output maka terdapat<br />

Gambar 7. Surface viewer sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian<br />

Untuk mempermudah dalam melakukan analisa<br />

maka tampilan dari surface viewer yang masih<br />

berupa gambar tiga dimensi diubah kebentuk dua<br />

dimensi yang dikenal dengan Pseudo color. Adapun<br />

bentuk pseudo color dari surface viewer input<br />

tegangan pumping dan rerata luas plasma terhadap<br />

output kualitas enamel gigi pada sistem fuzzy dengan<br />

fungsi keanggotaan gaussian ditampilkan pada<br />

Gambar 8.<br />

Gambar 8. Pseudo color dari Surface viewer input tegangan<br />

pumping dan rerata luas plasma terhadap output kualitas enamel<br />

gigi pada sistem fuzzy dengan fungsi keanggotaan gaussian<br />

Desain sistem fuzzy dengan menggunakan<br />

fungsi keanggotaan segitiga, trapesium dan<br />

gaussian, diperoleh nilai defuzzifikasi dengan input<br />

E39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

nilai normal (tegangan pumping 660V, frekuensi<br />

intensitas plasma 1800 pixel, rerata luas plasma 215<br />

pixel, rerata kedalaman plasma 12.3 pixel) adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.5 sehingga<br />

kualitas enamel dikelompokkan pada kualitas<br />

‘agak rusak’<br />

2. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.5<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />

kualitas ‘agak rusak’<br />

3. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.31<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />

kualitas ‘agak rusak’<br />

Adapun hasil defuzzifikasi dengan input nilai<br />

maksimum (tegangan pumping 760V, rerata<br />

frekuensi 3000 pixel, luas plasma 360 pixel,<br />

kedalaman plasma 20 pixel) adalah sebagai berikut :<br />

1. Nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.92<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />

kualitas ‘rusak sekali’<br />

2. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.9<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />

kualitas ‘rusak sekali’<br />

3. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.81<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan pada<br />

kualitas ‘rusak’<br />

Adapun hasil defuzzifikasi dengan input nilai<br />

minimum (tegangan pumping 560V, rerata frekuensi<br />

600 pixel, luas plasma 70 pixel, kedalaman plasma 5<br />

pixel) adalah sebagai berikut :<br />

3. Nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan segitiga yaitu sebesar 0.084<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />

pada kualitas ‘baik’<br />

4. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan trapesium yaitu sebesar 0.1<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />

pada kualitas ‘baik’<br />

5. nilai defuzzifikasi sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian yaitu sebesar 0.258<br />

sehingga kualitas enamel dikelompokkan<br />

pada kualitas ‘agak rusak’<br />

KESIMPULAN<br />

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat<br />

disimpulkan bahwa: berdasar perbandingan nilai<br />

defuzzifikasi sistem fuzzy dengan input nilai normal,<br />

maksimum dan minimum diperoleh hasil bahwa<br />

fungsi keanggotaan gaussian memiliki ketelitian<br />

lebih tinggi dibandingkan sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan yang lain. Sistem fuzzy dengan fungsi<br />

keanggotaan gaussian memiliki kinerja yang baik,<br />

hal ini ditunjukkan dengan jangkauan deteksi<br />

kualitas enamel yang cukup ideal untuk semua input.<br />

Perlu kolaborasi riset antar bidang keilmuan<br />

yaitu kedokteran gigi, soft computing, biomaterial,<br />

teknologi nano, serta biooptika dan serat untuk<br />

mewujudkan sistem diagnosis on line yang<br />

terintegrasi dengan sistem terapi sebagai panduan<br />

Dokter Gigi dalam melakukan terapi berbasis laser<br />

Nd:YAG.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Ucapan terima kasih disampaikan pertama : kepada<br />

Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Dikti atas<br />

pendanaan penelitian dengan dana Hibah Program<br />

Doktor, kedua : kepada Prof. Dr. Suhariningsih;<br />

Prof. Dr. Noriah Bidin; Prof. Dr. Anita Yuliati, drg;<br />

Dra. Sri Harati, M.Sc, Ph,D atas bimbingan dan<br />

diskusinya pada hasil penelitian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Apsari, R, Bidin, Suhariningsih. 2008. Karakterisasi<br />

Output Laser Nd:YAG Dengan Q-Switch dan<br />

tanpa Q-Switch Untuk Aplikasi Diagnosis<br />

Pada Bidang Kedokteran Gigi. Prosiding<br />

Seminar Nasional IV.Universitas Teknologi<br />

Yogyakarta, tanggal 5 April 2008.<br />

Apsari, Bidin, Aminatun, Suhariningsih, Yuliati.<br />

2009. In Vitro Effect of Q-Switch and Without<br />

Q-Switch Nd:YAG Laser Exposure on<br />

Hidroxyapatite Composition and<br />

Microhardness Properties of Human Enamel.<br />

Proceeding Join International Conference<br />

and Workshop On Basic and Applied<br />

Sciences <strong>Unair</strong>-UTM di Universiti<br />

Teknologi Malaysia tanggal 2-4 Juni 2009.<br />

Apsari. 2009. Deteksi Kualitas Enamel Gigi Akibat<br />

Paparan Laser Nd:YAG Menggunakan<br />

Logika Fuzzy Berbasis Laser Speckel<br />

Imaging Disertasi. Program Pasca Sarjana.<br />

Universitas Airlangga. Surabaya.<br />

Hartati, 2005. Perbaikan Kualitas Citra Berbasis<br />

Fuzzy Histogram Hyperbolation untuk<br />

Pendeteksian Kelainan Citra Radiograf.<br />

Proceeding International Conference on<br />

Statistics and Mathematics in Development<br />

of Science and Technology. Bandung Islamic<br />

University. Bandung. Indonesia.<br />

Haeruddin. 2002. Perbaikan Kualitas Citra<br />

Radiograf Berbasis Logika Samar Untuk<br />

Mendeteksi Kelainan. Tesis Program Studi<br />

Ilmu <strong>Fisika</strong>. Program Pasca Sarjana.<br />

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />

Li Nan, Tong S, Ye D, Shun, Thakor. 2005. Cortical<br />

Vascular Blood Flow Pattern by Laser<br />

Speckle Imaging. Biomedical Engineering<br />

Department, Johns Hopkins School Of<br />

Medicine, Baltimore, USA.<br />

E40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Kusumadewi. 2002. Analisis dan Desain Sistem<br />

Fuzzy Menggunakan Tool Box Matlab.<br />

Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.<br />

Schnars dan Jueptner. 2005. Digital Holography.<br />

Springer. Jerman.<br />

Tamaki, Araie, Kawamoto, Eguchi, Fujii. 1994.<br />

Marshall. 2004. Handbook of Optical and Laser<br />

Scanning. Marcel Dekker, Inc. New York.<br />

Non-contact, Two Dimensional Measurement<br />

of Retinal Microsirculation using Laser<br />

Neimz. 2007. Laser-Tissue Interactions,<br />

speckle Phenomenon. Invest. Ophthalmol.<br />

Fundamental and Applications, Third<br />

Vis. Sci. 35: 3825-3834.<br />

Edition, Springer, Jerman.<br />

Rabia, 2008, Interaction Of Q-switched Nd:YAG<br />

Laser With Different Target Material.<br />

Disertation. UTM Malaysia.<br />

Vo Dinh. 2003. Biomedical Photonics Handbook.<br />

CRC Press. New York.<br />

Wysong, Pippa, 1997. Dental x-ray Can Give Clues<br />

to Stroke Risk. Medical Post. May, Vol 33,<br />

Iss 17: 42, Toranto.<br />

E41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor Pergeseran<br />

Menggunakan Sumber LED<br />

Samian, Herri Trilaksana<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : samian_fst@unair.ac.id<br />

Abstrak<br />

Perkembangan tekonologi sensor dengan tingkat akurasi yang tinggi serta biaya murah mendasari penelitian<br />

penggunaan LED sebagai sumber cahaya pada penerapan multimode fiber coupler sebagai sensor pergeseran.<br />

LED warna merah, kuning dan biru digunakan sebagai sumber dan OPT 101 sebagai detektor untuk mendeteksi<br />

perubahan daya optis. Karakterisasi sensor menghasilkan kinerja terbaik dihasilkan oleh LED merah dan kuning<br />

dengan dengan resolusi pergeseran 10 μm, jangkauan rata-rata 5,870 mm, daerah linier 920 μm dan sensitivitas<br />

0,0021 V/µm<br />

Kata Kunci : fiber coupler, sensor pergeseran, LED<br />

PENDAHULUAN<br />

Aplikasi serat optik sebagai sensor dibidang<br />

industri, medis dan militer telah berkembang sangat<br />

pesat seiring dengan kebutuhan pengukuran dengan<br />

tingkat akurasi dan resolusi yang tinggi, teknik<br />

pengoperasian yang mudah serta biaya yang murah.<br />

Salah satu yang telah dikembangkan adalah aplikasi<br />

serat optik sebagai sensor pergeseran dengan<br />

berbagai teknik dan konfigurasi. Teknik transmisi<br />

digunakan untuk mendeteksi rugi kopling daya optis<br />

pada dua ujung serat optik yang bergeser (Svyryd et<br />

al., 2006), sedangkan teknik refleksi digunakan<br />

untuk mendeteksi rugi kopling daya optis pada serat<br />

optik akibat pantulan dari obyek yeng bergeser.<br />

Konfigurasi serat optik sebagai sensor yang<br />

digunakan pada teknik refleksi antara lain a pair<br />

multimode bundled fiber (M. Yasin et al., 2007),<br />

singlemode concentric bundled fiber (A. Rostami et<br />

al., 2007) dan multimode fiber coupler (Samian et al,<br />

2009).<br />

Aplikasi multimode fiber coupler sebagai sensor<br />

pergeseran yang telah dikembangkan menggunakan<br />

laser He-Ne sebagai sumber. Karakteristik sensor<br />

yang dihasilkan adalah resolusi 5 μm, jangkauan<br />

sensor sebesar 4 mm dengan rentang daerah linier<br />

sebesar 1 mm serta sensitivitas sebesar 55.4<br />

μW/mm. Kinerja sensor tergolong sangat baik, tetapi<br />

dimensi sumber (laser He-Ne) yang besar dan<br />

berharga mahal menjadi kurang praktis. Dengan<br />

pertimbangan tersebut, dalam makalah ini akan<br />

dipaparkan hasil penelitian lanjutan yang<br />

memanfaatkan LED sebagai sumber pada aplikasi<br />

multimode fiber coupler sebagai sensor pergeseran.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Desain sensor<br />

Desain multimode fiber coupler sebagai sensor<br />

pergeseran menggunakan LED sebagai sumber<br />

cahaya diperlihatkan pada Gambar 1.<br />

LED<br />

Detektor<br />

kanal<br />

masuka<br />

kanal<br />

deteksi<br />

Coupler<br />

kanal<br />

sensing<br />

cermin<br />

Gambar 1. Desain multimode fiber coupler sebagai sensor<br />

pergeseran<br />

Prinsip kerja sensor adalah mendeteksi perubahan<br />

daya optis cahaya pantulan dari cermin yang<br />

terkopel kembali ke kanal sensing. Perubahan daya<br />

optis tersebut akan terdeteksi oleh detektor optis<br />

melalui kanal deteksi. Berdasarkan skema pada<br />

Gambar 2 serta asumsi bahwa berkas cahaya yang<br />

keluar dari kanal sensing adalah homogen, maka<br />

hubungan daya optis cahaya yang terkopel kembali<br />

ke kanal sensing (P i ) terhadap pergeseran cermin (z)<br />

adalah sebagai berikut :<br />

P0<br />

P i<br />

( z)<br />

= (1)<br />

( cz +1) 2<br />

dengan c = (2/a) tg (arcsin NA), a dan NA masingmasing<br />

adalah jari-jari dan tingkap numerik serat<br />

optik, sedangkan P 0 adalah daya optis cahaya<br />

keluaran dari kanal sensing.<br />

z<br />

E42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2a<br />

θ<br />

kanal sensing<br />

Gambar 2. Skema perhitungan perubahan daya optis cahaya<br />

terhadap perubahan posisi cermin<br />

Eksperimen<br />

Set-up eksperimen multimode fiber coupler<br />

sebagai sensor pergeseran menggunakan LED<br />

sebagai sumber diperlihatkan pada Gambar 3. Set-up<br />

eksperimen terdiri dari LED warna merah, kuning<br />

dan biru, multimode fiber coupler (coupling ratio<br />

0.25, toleransi coupling ratio 7 %, excess loss 1.37<br />

dB dan directivity 25 dB), cermin datar (front<br />

silvered, 46320, Leybold), mikrometer posisi dengan<br />

resolusi 10 μm (Uniphase), detektor OPT 101 (Burr<br />

Brown) serta mikrovoltmeter (Leybold).<br />

Eksperimen dilakukan dengan mencatat<br />

tegangan keluaran detektor yang terbaca pada<br />

mikrovoltmeter setiap cermin digeser sebesar 10 μm<br />

menjauhi kanal sensing. Pencatatan dilakukan<br />

sampai pergeseran cermin tidak menghasilkan<br />

perubahan daya optik yang signifikan. Prosedur<br />

tersebut masing-masing dilakukan untuk LED<br />

merah, kuning dan biru.<br />

LED<br />

detektor<br />

kanal<br />

masukan<br />

cermin<br />

Gambar 3. Set-up eksperimen multimode fiber coupler sebagai<br />

sensor pergeseran<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

θ<br />

z<br />

coupler<br />

kanal deteksi<br />

r(z) - a<br />

bayangan<br />

port sensing<br />

Grafik plot tegangan keluaran detektor terhadap<br />

pergeseran cermin untuk LED warna merah, kuning<br />

dan biru diperlihatkan pada Gambar 4. Grafik LED<br />

merah dan kuning hampir berhimpit, tetapi<br />

jangkauan untuk LED merah sedikit lebih besar.<br />

Untuk LED biru, baik tegangan maksimum maupun<br />

jangkauannya lebih kecil dari LED merah dan<br />

kuning. Hal tersebut berkaitan dengan sensitivitas<br />

detektor optik yang digunakan (OPT 101). Detektor<br />

jenis OPT 101 mempunyai sensitivitas terbaik pada<br />

panjang gelombang infra merah (860 nm) dan<br />

z<br />

kanal<br />

sensing<br />

Microvoltmeter<br />

r(z)<br />

cermin<br />

mikrometer<br />

posisi<br />

semakin menurun dengan berkurangnya panjang<br />

gelombang.<br />

Fitting data LED merah, kuning dan biru<br />

menggunakan fungsi fitting persamaan (1) hasilnya<br />

diperlihatkan pada Gambar 5. Hasil fitting<br />

memperlihatkan kesesuaian karakteristik antara data<br />

eksperimen dengan fungsi fitting. Daerah linier atau<br />

daerah kerja sensor diperlihatkan pada Gambar 6..<br />

Slope grafik linier merupakan sensitivitas sensor.<br />

Karakteristik multimode fiber coupler sebagai sensor<br />

pergeseran menggunakan LED merah, kuning dan<br />

biru sebagai sumber diperlihatkan pada Tabel 1.<br />

Sensor dengan sumber LED merah dan kuning<br />

menunjukkan kinerja yang paling baik dengan<br />

jangkauan rata-rata 5,870 mm, daerah linier 920 μm<br />

dan sensitivitas 0,0021 V/µm.<br />

Gambar 4. Grafik tegangan keluaran detektor terhadap pergeseran<br />

cermin<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

3.5<br />

3.0<br />

2.5<br />

2.0<br />

1.5<br />

1.0<br />

0.5<br />

0.0<br />

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000<br />

Pergeseran (μm)<br />

(a)<br />

Pergeseran (μm)<br />

(b)<br />

Pergeseran (μm)<br />

LED merah<br />

LED kuning<br />

LED biru<br />

data<br />

kurva fitting<br />

data<br />

kurva fitting<br />

E43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

Gambar 5. Grafik hasil fitting (a) LED merah, (b) LED kuning<br />

dan (c) LED biru<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

Tegangan keluaran detektor (V)<br />

data<br />

linear<br />

(a)<br />

V = 3.09668 0.00212089 z<br />

data<br />

linear<br />

Pergeseran (μm)<br />

(b)<br />

V = 2.95575 0.00210577 z<br />

data<br />

linear<br />

(c)<br />

Pergeseran (μm)<br />

Pergeseran (μm)<br />

(c)<br />

V = 2.56031 0.00143151 z<br />

data<br />

kurva fitting<br />

Tabel 1. Karakteristik multimode fiber coupler sebagai sensor<br />

pergeseran menggunakan LED merah, kuning dan biru sebagai<br />

sumber<br />

LED<br />

Resolusi<br />

(µm)<br />

Jangkauan<br />

(µm)<br />

Daerah<br />

Linier<br />

(µm)<br />

Sensitivitas<br />

(V/µm)<br />

Merah 10 6170 0 - 920 0,0021<br />

Kuning 10 5570 0 - 920 0,0021<br />

Biru 10 4270 210 - 1140 0,0014<br />

KESIMPULAN<br />

Eksperimen multimode fiber coupler sebagai<br />

sensor pergeseran menggunakan LED merah, kuning<br />

dan biru sebagai sumber menghasilkan kinerja<br />

sensor yang paling baik diberikan oleh LED merah<br />

dan kuning dengan jangkauan rata-rata 5,870 mm,<br />

daerah linier 920 μm dan sensitivitas 0,0021 V/µm.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

A. Rostami, M. Noshad, H. Hedayati, A. Ghanbari<br />

dan F. Janabi (2007), A Novel nad High<br />

Precision Optical Displacement Sensor,<br />

IJCSNS 7, 311 – 316<br />

M. Yasin, W.S. Harun, , H.A. Abdul Rasyid, ,<br />

Kusminarto, Karyono, A. H. Zaidan, H.<br />

Ahmad (2007), Performansi of Optical<br />

Displacement Sensor Using A Pair Type<br />

Bundled Fiber From A Theoretical and<br />

Experimental Perspective, J. Optoelectron.<br />

Adv. Mater., Vol. 1, 549 – 553.<br />

Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi,<br />

Febdian Rusydi, A.H. Zaidan (2009),<br />

Theoretical and Experimental Study of Fiber-<br />

Optic Displacement Sensor Using Multimode<br />

Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics<br />

and Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3,<br />

303 – 308.<br />

Svyryd, N.N, Osorno, S., Salazar, M.E.E. (2006), An<br />

analysis of a displacement sensor based on<br />

optical fibers, Revista Mexicana de Fisica S<br />

Vol. 52, 61 - 63.<br />

Pergeseran (μm)<br />

Gambar 6. Grafik linier (a) LED merah, (b) LED kuning dan (c)<br />

LED biru<br />

E44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Photodinamik Inaktivasi Bakteri Gram Positive Staphylococci<br />

dengan Endogen Photosensitizer pada Penyinaran<br />

Light Emitting Diode (LED) Biru (429,8 ± 3,7) Nm<br />

Suryani Dyah Astuti, Endah Robiyati, Agus Supriyanto<br />

Universitas Airlangga<br />

Email :<br />

ABSTRAK<br />

Photodinamik inaktivasi (PDI) adalah metode inaktivasi bakteri dengan memanfaatkan cahaya dan<br />

photosensitizer (zat pengabsorpsi cahaya) pada bakteri. Strain bakteri gram positive Staphylococci telah<br />

diketahui mengakumulasi endogen porphyrin type photosensitizer coproporphyrin III (Nitzan, 2004). Kombinasi<br />

cahaya dan photosensitizer dengan spektrum yang sesuai memicu proses photosensitisasi dan menyebabkan<br />

photodamage bakteri. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris, bertujuan menguji potensi<br />

photodamage strain bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis dengan endogen<br />

photosensitizer pada penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm pada daya PWM 75% dan waktu 30 menit. Jumlah<br />

koloni bakteri yang tumbuh dihitung setelah 48 jam inkubasi pada suhu 37 o C dengan metode Total Plate Count<br />

(TPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm daya PWM 75%<br />

dan waktu 30 menit berpotensi menurunkan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus sebesar 68,6% dan<br />

bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar 70,57%.<br />

Key-word: PDI, S. aureus, S. epidermidis, endogen photosensitizer, LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />

PENDAHULUAN<br />

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />

epidermidis adalah bakteri gram positif, berbentuk<br />

bola dengan garis tengah sekitar 1µm, tersusun<br />

dalam kelompok tak beraturan yang nampak seperti<br />

sekumpulan anggur jika dilihat dengan mikroskop,<br />

tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan<br />

dinding selnya mengandung dua komponen utama<br />

yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat. Bakteri<br />

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />

epidermidis telah diketahui memiliki peran yang<br />

penting sebagai penyebab infeksi kulit [1] .<br />

Secara alamiah, beberapa bakteri menghasilkan<br />

porphyrin yaitu molekul pengabsorpsi cahaya yang<br />

bersifat photosensitizer (peka terhadap cahaya) [2] .<br />

Bakteri Staphylococcus aureus telah diketahui<br />

mengakumulasi endogen porphyrin (photosensitizer)<br />

coproporphyrin III sebesar 68.3% dan bakteri<br />

Staphylococcus epidermidis sebesar 74.6% [6] . Hasil<br />

penelitian menunjukkan bahwa penyinaran cahaya<br />

yang memiliki lebar pita spektrum panjang<br />

gelombang yang sesuai dengan lebar pita spektrum<br />

absorpsi photosensitizer dapat menimbulkan<br />

photodamage [3] , berupa kebocoran isi sel dan<br />

inaktivasi sistem transport membran dan enzim pada<br />

sel bakteri tersebut [4] . Mekanisme photodamage<br />

pada bakteri melibatkan proses photosensitisasi,<br />

yaitu proses penyerapan cahaya oleh porphyrin yang<br />

selanjutnya mengaktivasi reaksi dalam suatu substrat<br />

[5] . Photosensitisasi bergantung pada jenis dan<br />

kuantitas dari porphyrin [6] dan kesesuaian lebar pita<br />

spektrum cahaya dengan lebar pita spektrum<br />

absorpsi photosensitizer<br />

[3] . Untuk kebanyakan<br />

porphyrin, absorpsi terjadi pada daerah cahaya<br />

tampak dengan panjang gelombang 400-750 nm [7] .<br />

Salah satu sumber cahaya yang berada pada<br />

rentang spektrum serap porphyrin photosensitizer<br />

adalah Light Emitting Diode (LED), piranti<br />

semikonduktor yang efektif mengkonversi energi<br />

listrik menjadi cahaya. LED menghasilkan cahaya<br />

dengan berbagai warna. Warna cahaya yang<br />

diemisikan oleh LED bergantung pada komposisi<br />

dan kondisi material semikonduktor yang<br />

digunakan, baik infra merah, cahaya tampak maupun<br />

ultraviolet [8] . Hasil penelitian Johansen [9] dan<br />

[10]<br />

Ramberg<br />

menunjukkan keberhasilan<br />

photosensitisasi dengan LED biru dan merah pada<br />

bakteri Propionibacterium acnes ATCC 6919 yang<br />

diinkubasi dengan 5-ALA.<br />

Hasil penelitian sebelumnya telah terwujud<br />

instrumen LED biru untuk inaktivasi bakteri secara<br />

in vitro yang memiliki ketepatan alat pengukur<br />

temperatur (nilai R 2 = 0.9995) dan lama waktu<br />

penyinaran (nilai R 2 =1) jika dibandingkan dengan<br />

kalibrator. Penelitian ini bertujuan untuk menguji<br />

potensi photodamage bakteri Staphylococcus aureus<br />

dan Staphylococcus epidermidis dengan endogen<br />

photosensitizer pada penyinaran LED biru (429,8 ±<br />

3,7) nm pada daya PWM 75% dan waktu 30 menit.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Waktu, tempat, bahan dan alat Penelitian.<br />

Penelitian dilakukan di laboratorium Biofisika<br />

Fsaintek <strong>Unair</strong> dan Laboratorium Mikrobiologi<br />

FMIPA Universitas Brawijaya selama bulan Juni-<br />

September 2009.<br />

E45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengkulturan bakteri.<br />

Pembuatan kultur. Bahan penelitian adalah kultur<br />

murni bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923.<br />

A. Menyiapkan 50 ml media nutrient broth (NB)<br />

dan 5 tabung yang berisi 18 ml garam fisiologis<br />

dan disterilkan dalam otoklaf.<br />

B. Mengambil 1 ose isolat bakteri dari agar miring,<br />

dimasukkan pada media NB dan di inkubasi<br />

pada suhu kamar selama 24 jam.<br />

C. Mengambil 2 ml kultur untuk dimasukkan ke<br />

dalam 18 ml larutan garam fisiologis steril<br />

(pengenceran 10 kali). Demikian seterusnya<br />

sampai pengenceran ke 50. Setiap pengenceran<br />

dilakukan penggoyangan dengan vortek sekitar<br />

2 menit agar larutan tercampur homogen. Pada<br />

pengenceran 50 kali dilakukan pengukuran nilai<br />

absorbansi (OD) larutan.<br />

D. Kultur yang telah diencerkan dimasukkan pada<br />

cawan petri, masing-masing 0.1 ml untuk tiap<br />

cawan petri. Sampel siap disinari.<br />

Peralatan Penyinaran<br />

Alat penelitian adalah seperangkat instrumen sumber<br />

cahaya LED biru (429,8 ± 3,7) nm untuk penyinaran<br />

bakteri yang terdiri dari:<br />

1. Tempat sampel berupa kotak akrilik<br />

berdimensi 14x14 cm yang dilengkapi<br />

rangkaian lampu LED biru (429,8 ± 3,7 nm),<br />

motor servo merk Paralax Continous untuk<br />

memutar holder cawan petri dan sensor<br />

temperatur tipe LM 35 untuk memantau<br />

temperatur ruang, kipas mengendalikan<br />

temperatur ruang tetap konstan, dan peredam<br />

untuk meminimalisasi getarannya<br />

2. b) Driver instrumen berupa mikrokontroler<br />

tipe AVR 8535 untuk mengatur switching<br />

lampu LED, mengukur temperatur,<br />

mengendalikan kipas, motor servo, timer dan<br />

daya penyinaran sesuai input dengan input<br />

keypad display LCD untuk input daya PWM<br />

(Pulse with Modulation) penyinaran yang<br />

diberikan, timer yang sedang berjalan sesuai<br />

dengan input lama waktu yang diberikan, dan<br />

suhu ruangan yang dideteksi oleh sensor suhu.<br />

Penyinaran Bakteri dengan LED.<br />

1. Cawan petri yang berisi bakteri diletakkan<br />

pada holder di dalam kotak acrylic diatas<br />

platform motor servo<br />

2. Jarak antara LED dengan cawan dibuat tetap,<br />

yaitu 2 cm.<br />

3. Penyinaran dilakukan dengan LED biru<br />

(429,8 ± 3,7) nm pada daya penyinaran 75%<br />

dan lama waktu 30 menit. Selanjutnya<br />

bakteri ditumbuhkan pada media steril<br />

Staphylococcus agar, diinkubasi dalam<br />

inkubator suhu 37 o C selama 2 x 24 jam<br />

4. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung<br />

dengan metode pencawanan Total Plate Count<br />

(TPC) menggunakan Quebec Colony Counter.<br />

Penghitungan jumlah koloni bakteri yang<br />

tumbuh<br />

1. Sampel dikeluarkan dari inkubator dan<br />

dihitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh<br />

dengan metode pencawanan Total Plate count<br />

(TPC) menggunakan Quebec Colony Counter.<br />

2. Bedasarkan jumlah koloni bakteri yang<br />

tumbuh pada kelompok kontrol maupun<br />

perlakuan diperoleh informasi mengenai<br />

potensi photodamage bakteri terhadap<br />

penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil Uji Potensi Photodamage bakteri pada<br />

Penyinaran LED biru 429,8 ± 3,7 nm<br />

Data jumlah koloni bakteri yang tumbuh baik<br />

untuk kelompok kontrol tanpa penyinaran LED dan<br />

kelompok perlakuan penyinaran LED biru pada daya<br />

penyinaran 75% dan lama waktu penyinaran 30<br />

menit ditunjukkan tabel 1 berikut.<br />

Tabel 1. Data jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada<br />

penyinaran LED biru daya PWM 75%, waktu 30 menit<br />

Tabel 2. Data jumlah koloni bakteri Staphylococcus epidermidis<br />

pada penyinaran LED biru daya PWM 75%, waktu 30 menit<br />

Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah<br />

prosentase penurunan jumlah koloni bakteri yang<br />

tumbuh pada tiap perlakuan dengan menggunakan<br />

persamaan:<br />

E46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

|(Σ koloni perlakuan - Σ koloni kontrol)/ Σ<br />

koloni kontrol | x 100%<br />

Diagram kolom prosentase penurunan jumlah<br />

koloni bakteri yang tumbuh pada penyinaran LED<br />

biru (429,8 ± 3,7) nm dengan daya 75% waktu<br />

penyinaran 30 menit ditunjukkan pada gambar 1.<br />

Gambar 1. Diagram prosentase penurunan jumlah koloni bakteri<br />

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang<br />

tumbuh pada penyinaran LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />

Gambar 1 menunjukkan bahwa penyinaran dengan<br />

LED biru mengakibatkan penurunan jumlah koloni<br />

bakteri Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar<br />

68,60% dan penurunan jumlah koloni bakteri<br />

Staphylococcus epidermidis sebesar 70,57%.<br />

Pembahasan<br />

Hasil pengukuran performansi instrumen<br />

sumber cahaya LED biru (429,8 ± 3,7 nm) dan<br />

merah yang meliputi uji ketepatan dan ketelitian alat<br />

pengukur temperatur dan lama waktu penyinaran<br />

pada instrumen LED diperoleh nilai R 2 =1 untuk<br />

lama waktu penyinaran dan R 2 = 0.9995 untuk<br />

pengukur temperatur, yang berarti bahwa alat<br />

pengukur temperatur dan lama waktu penyinaran<br />

pada instrumen LED yang dirancang memiliki<br />

ketepatan dengan kalibrator. Pengukuran intensitas<br />

daya penyinaran LED menghasilkan daya<br />

penyinaran yang yang berada pada rentang mW.<br />

Interaksi photokimia (PDT) terjadi pada durasi<br />

waktu pemaparan > 1 s dengan rapat daya berada<br />

pada rentang mW [11] . Sehingga instrumen LED<br />

yang dirancang telah memenuhi persyaratan untuk<br />

terjadinya mekanisme photodinamik pada bakteri.<br />

Hasil uji potensi menunjukkan bahwa<br />

penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />

menghasilkan penurunan jumlah koloni bakteri<br />

Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar 68,6%<br />

dan bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar<br />

70,57%. Sehingga dapat dikatakan bahwa<br />

penyinaran LED biru berpotensi photodamage untuk<br />

bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />

epidermidis. Hal ini sesuai dengan penelitian<br />

Nitzan [6] bahwa akteri Staphylococcus aureus<br />

mengakumulasi endogen porphyrin coproporphyrin<br />

III sebesar 68.3% dan bakteri Staphylococcus<br />

epidermidis sebesar 74.6%. Papageorgio [3] dan<br />

Bonaficio [12] juga menunjukkan bahwa Pita Soret,<br />

pita absorbsi yang intens untuk porphyrin berada<br />

pada range 390 – 430 nm yaitu cahaya biru.<br />

Mekanisme photodamage pada bakteri pada<br />

photodinamik inaktivasi bakteri (PDI) melibatkan<br />

proses photosensitisasi, yaitu proses penyerapan<br />

cahaya oleh porphyrin yang selanjutnya<br />

mengaktivasi reaksi dalam suatu substrat<br />

[13] .<br />

Photosensitisasi bergantung pada jenis dan kuantitas<br />

dari porphyrin yang berperan sebagai molekul<br />

penyerap cahaya [6] dan kesesuaian spektrum cahaya<br />

dengan spektrum serap photosensitizer [3] . Bakteri<br />

Staphylococcus aureus telah diketahui<br />

mengakumulasi endogen porphyrin (photosensitizer)<br />

coproporphyrin III [6] .<br />

Saat penyinaran cahaya, peristiwa yang<br />

berlangsung pertama kali adalah absorpsi foton<br />

cahaya oleh molekul porphyrin<br />

[5] . Peristiwa<br />

absorpsi primer berlangsung sangat cepat<br />

(berlangsung sekitar 10 -15 s) diikuti dengan eksitasi<br />

molekul dari level vibrasional dalam keadaan dasar<br />

singlet elektronik S 0 ke salah satu level vibrasional<br />

dalam keadaan eksitasi elektronik. Eksitasi molekul<br />

menuju keadaan energi yang lebih tinggi ini tidak<br />

stabil sehingga akan kembali ke keadaan dasar, baik<br />

secara langsung maupun melibatkan terjadinya<br />

reaksi kimia (photokimia). Photokimia merupakan<br />

perubahan kimia yang disebabkan oleh cahaya dan<br />

hanya terjadi jika cahaya diarbsorpsi oleh sistem [14] .<br />

Perubahan kimia merupakan peristiwa yang muncul<br />

pada tingkatan molekuler akibat absorpsi oleh foton.<br />

Proses photokimia memiliki kaitan erat dengan<br />

proses photofisika, yang berperan dalam perubahan<br />

energi dan struktur elektronik akibat eksitasi<br />

molekul setelah peristiwa absorbsi. Reaksi<br />

photokimia yang dimediasi oleh porphyrin paling<br />

banyak terjadi dari keadaan triplet tereksitasi.<br />

Mekanisme reaksi photokimia adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Gambar 5.4. Reaksi photokimia selama PDI<br />

PS adalah photosensitizer, H 2 O 2 hidrogen peroksida,<br />

O 2 ( 1 Δ g ) singlet oksigen, O 2 ∑ − (3 ) triplet oksigen,<br />

g<br />

−*<br />

O2<br />

superoksida anion, OH<br />

- * hidroksil radikal, SOD<br />

superoksida dismutase, X -/+ anion/kation spesies, X*<br />

radikal spesies [15]<br />

E47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tipe 1, molekul photosensitif yang tereksitasi<br />

secara optis bereaksi secara langsung dengan<br />

substrat seperti membran sel atau molekul, dan<br />

mentransfer sebuah proton atau elektron untuk<br />

membentuk anion atau kation radikal. Radikal ini<br />

selanjutnya akan bereaksi dengan oksigen<br />

menghasilkan jenis oksigen reaktif (ROS).<br />

Superoksida anion yang terbentuk akan bereaksi<br />

dengan substrat menghasilkan hidrogen peroksida<br />

(H 2 O 2 ). Pada konsentrasi tinggi hidrogen peroksida<br />

bereaksi dengan superoksida anion membentuk<br />

hidroksil radikal (reaksi Haber Weiss) yang juga<br />

dihasilkan dari ion logam seperti besi dan tembaga<br />

melalui reaksi Fenton. Hidroksil radikal dengan<br />

mudah berdifusi melalui membran dan merusak sel<br />

[15] .<br />

Tipe 2, photosensitizer triplet dapat<br />

mentransfer energinya secara langsung pada molekul<br />

oksigen untuk membentuk oksigen singlet ( 1 O 2 )<br />

tereksitasi. Singlet oksigen<br />

1 O 2 teridentifikasi<br />

berpengaruh pada membran sitoplasma dan<br />

membran intraselular, terutama pada phospolipid,<br />

kolesterol dan membran protein [5] . Kerusakan pada<br />

membran sitoplasma mengakibatkan kebocoran isi<br />

dan kandungan pada sel atau bisa juga<br />

menginaktivasi sistem transport membran dan<br />

enzim-enzim [16] [17] , menyebabkan gangguan sintesis<br />

dinding sel dan munculnya struktur multilamelar<br />

disisi sekat sel-sel yang membelah seiring dengan<br />

bocornya ion-ion potasium dari dalam sel [18] .<br />

Oksigen singlet dan radikal hidroksil memiliki<br />

reaktivitas tinggi dan life-time pendek, sehingga<br />

hanya molekul dan substrat yang berada pada area<br />

photosensitizer yang secara langsung dipengaruhi<br />

oleh PDI. Life time oksigen singlet pada molekul<br />

biologi adalah < 40 ns, dan radius aktivasi singlet<br />

oksigen sekitar 20 nm [19] .<br />

KESIMPULAN<br />

Penyinaran dengan LED biru (429,8 ± 3,7) nm<br />

berpotensi photodamage menurunkan jumlah koloni<br />

bakteri Staphylococcus aureus yang tumbuh sebesar<br />

68,6% dan bakteri Staphylococcus epidermidis<br />

sebesar 70,57%.<br />

Saran<br />

3. Karakterisasi photodamage bakteri<br />

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />

epidermidis baik dengan uji fisis dengan SEM<br />

maupun uji kimiawi dengan uji lipid dan<br />

profil pita protein membran<br />

E. Optimasi sensitivitas photodamage bakteri<br />

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus<br />

epidermidis dengan pemberian eksogen<br />

photosensitizer aminolevulinic acid (ALA) atau<br />

eksogen photosensitizer yang lain.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

[1] Jawetz, 1996, Medical Microbiology, McGraw-<br />

Hill Companies Inc. 22 nd edition, 235-23<br />

[2] Cornelius, CE and Ludwi, GD, 1967, Red<br />

fluorescence of comedones: production of<br />

porphyrins by Cornynebacterium acnes, J Inv<br />

Dermatol, vol.49 (4), 368-370<br />

[3] Papageorgiu, P. et al. 2000. Phototherapy with<br />

Blue (415nm) and Red (660nm) Light in The<br />

Treatment of Acne Vulgaris, British Journal<br />

of Dermatology<br />

[4] Hamblin, M.R., Hasan, T., 2004, Photodynamic<br />

therapy: a new antimicrobial approach to<br />

infectious disease?, Journal of<br />

Photochemistry and Photobiology B:<br />

Biology, Science, 3,436-450<br />

[5] Grossweiner, L.I. 2005, The Science of<br />

Phototherapy: An Introduction. Springer:<br />

USA<br />

[6] Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z.,<br />

2004, ALA Induced Photodynamic Effect on<br />

Gram Positive and Negative bacteria, Journal<br />

of Photochemistry and Photobiology P:<br />

Physics., vol 3, pp. 430-435<br />

[7] Juzenas P., 2002, Investigation of Endogenous<br />

Photosensitizer Protoporphyrin IX in<br />

Hairless Mouse Skin by Means of<br />

Fluoresence Spectroscopy, Group of<br />

Photodynamic Therapy <strong>Departemen</strong>t of<br />

Biophysics, Institute for Cancer Research<br />

The Norwegian Radium Hospital<br />

[8] Schubert E.F., 2006, Light Emitting Diodes, 2 nd<br />

ed., Cambridge University Press, USA<br />

[9] Johansen Y, Widerøe H.C, Krane J, Johnsson A.,<br />

2003, Proton magic angle spinning NMR<br />

reveals new features in photodinamically<br />

treated bacteria, Z. Naturforsch, 58c, 401-407<br />

[10] Ramberg K., MelǾ T.B., Johnsson A., 2004, In<br />

Situ Assesment of Porphyrin Photosensitizer<br />

in P.acnes, Z.Naturforsch, 59C,93-98<br />

[11]Niemz M.H., 2007, Laser-Tissue Interaction,<br />

Fundamentals and Applications, Third<br />

enlarged edition, Springer-Verlag Berlin<br />

[12] Bonaficio, A., 2006, Resonance Raman<br />

spectroscopy of human cytochrome P450<br />

2D6: in solution and on nanostructured<br />

biocompatible metal surfaces. Vrije<br />

Universiteit Thesis<br />

[13] Astuti SD., Puspitasari AT., Supriyanto A.,<br />

Suhariningsih, 2009, The Optimal Lethal<br />

Dose of Blue Light (454 nm) Exposure with<br />

Light Emitting Diodes (LED) Device in<br />

Staphylococcus Aureus Bacteria,<br />

Proceedings of ICORAFFS, UTM Malaysia<br />

[14] Coyle, John D. 1991. Introduction to Organic<br />

Photochemistry. John Willey Sons: London<br />

[15] Plaetzer K., Krammer B., Berlanda J., Berr F.,<br />

2009, Photophysics and Photochemistry of<br />

E48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Photodynamic Therapy: Fundamental<br />

Aspects, Journal of Laser Medical Sciences,<br />

24: 259-2<br />

[16] Valduga G, Breda B, Giacometri G.M, Jori G,<br />

Reddi E, 1999, Photosensitization of wild and<br />

mutant strains of E.coli by meso-tetra (Nmethyl-4-pyridyl)<br />

porphine,<br />

Biochem.Biophys. Res. Commun., 256, p.84-<br />

88<br />

[17] Bertoloni G, Rossi F, Valduga G, Jori G, van<br />

Lier J, 1990, Photosensitizing activity of<br />

water and lipid soluble phthalocyanines on<br />

E.coli, FEMS Microbiol. Lett. 59, 149-155<br />

[18] Demidova, T.N., Hamblin, M.R., 2005, Effect<br />

of cell-Photosensitizer Binding cell Density<br />

on Microbial Photoinactivation,<br />

Antimicrobial Agents and Chemotherapy,<br />

vol.49 no.6, p.2329-2335<br />

[19] Moan J., Berg K., 1991, The Photodegradation<br />

of Porphyrin in cells can be used to estimate<br />

the lifetime of singlet oxygen, Journal of<br />

Photochemistry and Photobiology P: Physics,<br />

Elsevier, 53 (1991) 549-553<br />

E49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pembuatan Fiber Taper dari Bahan Serat Optik Plastik Multimode<br />

Yudiawan F K, Samian dan Andi Hamim Zaidan<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Sains dan Teknologi<br />

Universitas Airlangga Surabaya<br />

email : yudiawank@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi fiber taper dari bahan serat optik plastic step index multimode tipe<br />

FD-620-10 (serat optik dengan diameter core besar) dengan metode pemanasan dan peregangan. Sembilan buah<br />

fiber taper dibuat dengan panjang peregangan 5 mm, 7 mm, 9 mm, 11 mm, 13 mm, 15 mm, 17 mm, 19 mm dan<br />

21 mm. Karakterisasi dilakukan pada masing-masing panjang peregangan untuk mendapatkan hubungan antara<br />

panjang peregangan terhadap rugi daya optis. Hasilnya adalah fiber taper yang memiliki rugi daya optis paling<br />

tinggi adalah peregangan 21 mm dan yang paling rendah adalah peregangan 5 mm. Hasil tersebut<br />

memperlihatkan karakteritik dari fiber taper yaitu rugi daya optis, semakin panjang taper maka semakin besar<br />

rugi daya optisnya dan sebaliknya.<br />

Kata kunci: serat optik, fiber taper, daya optis<br />

PENDAHULUAN<br />

Kebutuhan akan sensor sebagai piranti ukur<br />

sudah merambah di hampir semua bidang. Di bidang<br />

medis, sensor digunakan untuk mendeteksi atau<br />

mendiagnosa suatu penyakit (biosensor). Di bidang<br />

industri, sensor merupakan bagian yang sangat<br />

penting dalam proses produksi dan sistem<br />

monitoring. Di bidang lingkungan, sensor digunakan<br />

untuk mendeteksi keberadaan limbah, mengukur<br />

kadar limbah serta sistem control pengendalian<br />

limbah. Di bidang pertahanan, sensor digunakan<br />

sebagai piranti pembidik serta penangkal senjata<br />

(Samian, 2008). Sudah banyak penelitian-penelitian<br />

tentang sensor yang telah dilakukan untuk<br />

mengeksplorasi potensi material-material baru<br />

seperti polimer, piezoelektrik, dan serat optik, serta<br />

metode-metode pendeteksian yang lain seperti<br />

gelombang akustik, kromatografi, konduktivitas<br />

thermal, dan sebagainya . Semua itu dilakukan untuk<br />

meningkatkan kinerja sensor yang ada saat ini dalam<br />

hal sensitifitas, kecepatan response, konsumsi daya,<br />

serta biaya produksinya (Rambe dkk, 2003). Salah<br />

satu cara untuk membuat suatu sensor adalah dari<br />

bahan serat optik. Hal ini dikarenakan serat optik<br />

mempunyai harga yang murah dan keakuratan yang<br />

cukup tinggi.<br />

Mengingat kebutuhan sensor dari bahan serat<br />

optik sangat tinggi, maka diperlukan suatu penelitian<br />

untuk membuatnya. Salah satu caranya adalah<br />

dengan merubah diameter serat optik. Perubahan<br />

diameter tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />

sensor serat optik yang disebut fiber taper. Fiber<br />

taper merupakan serat optik yang diameternya<br />

mengecil. Fiber taper dapat diaplikasikan sebagai<br />

sensor gas, sensor temperatur, sensor kelembaban<br />

dan lain-lain. Selain itu dapat digunakan sebagai<br />

bahan pembuatan directional coupler. Dalam<br />

penelitian ini diameter serat optik diperkecil dengan<br />

metode pemanasan dan peregangan<br />

METODE PENELITIAN<br />

● Desain Fiber Taper<br />

Desain fiber taper yang dibuat diperlihatkan<br />

pada Gambar 1 dengan L, dan (z) masingmasing<br />

adalah panjang taper, diameter serat optik<br />

dan diameter serat optik di daerah taper.<br />

Gambar 1. Desain fiber taper (Arruel dkk, 2008).<br />

Mengecilnya diameter serat optik pada daerah<br />

taper akan menyebabkan hilangnya moda-moda<br />

orde tinggi gelombang elektromagnetik (cahaya)<br />

yang terpandu di daerah taper. Akibatnya adalah<br />

terjadi rugi daya optis cahaya yang terpandu di<br />

dalam serat optik.<br />

● Pembuatan Fiber Taper<br />

Pembuatan fiber taper dilakukan dengan cara<br />

pemanasan serat optik (core dan cladding) pada<br />

daerah tertentu. Kemudian dilakukan peregangan<br />

dengan panjang yang ditentukan, fiber optic yang<br />

digunakan sebagai bahan pembuatan taper adalah<br />

E50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

fiber optic multimode berdiameter 1 mm dari bahan<br />

plastik dengan titik lebur 55 . Gambar 2<br />

memperlihatkan perangkat pembuat fiber taper yang<br />

terdiri dari pemanas, micrometer posisi, statif dan<br />

penjepit.<br />

penjepit<br />

jaket<br />

logam<br />

statif<br />

Kawat nikelin<br />

pegas<br />

papan<br />

landasan<br />

Gambar 2. Perangkat pembuat fiber taper.<br />

Pemanas berfungsi untuk memanaskan fiber<br />

taper sampai serat optik melunak (tidak sampai<br />

melebur). Pada mikrometer posisi terdapat pegas<br />

yang akan meregangkan serat optik. Saat serat optik<br />

mulai melunak panjang peregangan diatur dengan<br />

menggeser penahan dengan cara memutar<br />

mikrometer sehingga panjang peregangan dapat<br />

dikendalikan. Panjang peregangan tersebut terkait<br />

dengan panjang taper yang dihasilkan.<br />

● Karakterisasi Fiber Taper<br />

penahan<br />

Micrometer<br />

skrup<br />

Fiber taper yang dihasilkan mempunyai bentuk<br />

seperti Gambar 3.<br />

Sinar yang dikeluarkan oleh serat optik akan<br />

ditangkap oleh detektor OPT 101 yang dihubungkan<br />

ke mikrovoltmeter. Pada saat pengambilan data,<br />

keadaan awal sudut polarisator dalam posisi<br />

yang kemudian untuk pengambilan data selanjutnya<br />

dilakukan pergeseran sejauh sampai sudut<br />

polarisator pada posisi . Nilai konversi tegangan<br />

keluaran detektor terhadap daya serat optik keluaran<br />

diperoleh dari nilai gradien grafik hubungan linear<br />

antara tegangan keluaran detektor terhadap daya<br />

serat optik keluaran. Jika nilai koefisien relasi ( )<br />

bernilai 1 mempunyai arti bahwa hubungan antara<br />

tegangan keluaran detektor terhadap daya optik<br />

keluaran linier.<br />

Gambar 4. setup konversi tegangan keluaran daya optik<br />

Setelah dilakukan konversi tegangan keluaran<br />

detektor terhadap daya optis, maka selanjutnya<br />

mencari rugi daya optis masing-masing fiber taper.<br />

Setupnya seperti terlihat pada Gambar 5.<br />

Gambar 3. Bentuk fiber taper ((Lidiya A. Mishchenko, 2008).<br />

Karakterisasi pada fiber taper menggunakan sumber<br />

cahaya laser HeNe dengan panjang gelombang 632,8<br />

nm dan detektor cahaya OPT 101. Langkah awal<br />

untuk karakterisasi adalah dengan meletakkan serat<br />

optik tanpa ditaper didepan laser HeNe. Kemudian<br />

menyalakan laser tersebut, berkas laser akan<br />

diteruskan melalui serat optik yang kemudian berkas<br />

tersebut akan ditangkap oleh detektor cahaya.<br />

Setelah itu, melakukan hal yang sama tetapi<br />

menggunakan fiber taper dengan panjang<br />

peregangan 5 mm, 7 mm, 9 mm, 11 mm, 13 mm, 15<br />

mm, 17 mm, 19 mm, dan 21 mm yang diletakkan di<br />

depan laser yang akhirnya berkasnya akan ditangkap<br />

oleh detektor cahaya. Kemudian membandingkan<br />

hasil antara serat optik sebelum ditaper dengan<br />

masing-masing fiber taper.<br />

● Konversi Tegangan Keluaran Detektor<br />

Terhadap Daya Optis<br />

Konversi dilakukan dengan cara meletakkan<br />

polarisator di depan laser yang kemudian<br />

meletakkan serat optik plastik multimode dengan<br />

panjang tertentu (seperti terlihat pada Gambar 4).<br />

Gambar 5. Setup konversi tegangan keluaran daya optik dengan<br />

fiber taper.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi<br />

dengan masing-masing panjang peregangan yang<br />

berbeda-beda diperlihatkan pada Gambar 6 berikut<br />

ini.<br />

Gambar 6. Fiber taper hasil karakterisasi<br />

E51


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Fiber taper 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 masingmasing<br />

memiliki panjang peregangan 5 mm, 7 mm,<br />

9 mm, 11 mm, 13 mm, 15 mm, 17 mm, 19 mm, dan<br />

21 mm dengan serat optik yang digunakan sama dan<br />

cara pembuatan juga sama.<br />

Sebelum dilakukan karakterisasi fiber taper<br />

hasil fabrikasi, maka akan dilakukan konversi nilai<br />

tegangan keluaran detektor terhadap daya optik.<br />

Konversi dilakukan untuk mengetahui nilai konversi<br />

tegangan keluaran yang terbaca pada mikrovoltmeter<br />

terhadap daya keluaran serat optik serta untuk<br />

mengetahui daya keluaran maksimal dari serat optik<br />

yang terdeteksi seperti Gambar 5.<br />

Data tegangan keluaran yang terbaca pada<br />

mikrovoltmeter merupakan perubahan daya keluaran<br />

serat optik dengan variasi sudut polarisator. Data<br />

tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daya<br />

maksimal yang dideteksi oleh detektor optik. Grafik<br />

hubungan linier antara tegangan keluaran detektor<br />

terhadap daya optik seperti terlihat pada Gambar 7.<br />

Gambar 7. Grafik hubungan linear antara tegangan keluaran<br />

terhadap daya.<br />

Dari Gambar 8 didapatkan persamaan regresi<br />

linear adalah V = 19.629 P + 1.0073 dengan<br />

koefisien korelasi ( ) yaitu 0.9905. Pada Gambar<br />

4.7 koefisien korelasinya mendekati 1 yang artinya<br />

hubungan antara daya optik terhadap tegangan<br />

keluaran yang ditangkap detektor adalah linier.<br />

Faktor konversi tegangan keluaran detektor terhadap<br />

daya optik sebesar 19.629 V/mW yang mempunyai<br />

arti bahwa dalam 1 mW mempunyai tegangan<br />

sebesar 19,629 V. Hasil perhitungan yang berupa<br />

nilai rata-rata untuk masing-masing fiber taper<br />

diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.<br />

Tabel 1 Nilai rata-rata daya keluaran untuk masing-masing fiber<br />

taper.<br />

Panjang<br />

Peregangan<br />

(mm)<br />

Panjang<br />

taper (mm)<br />

Rugi Daya<br />

Fiber Taper (dB)<br />

5 1.005 107.1575<br />

7 2.983 110.2044<br />

9 4.022 112.9435<br />

11 10.004 113.1054<br />

13 11.250 113.6360<br />

15 12.970 116.6277<br />

17 13.942 116.8283<br />

19 14.947 116.8435<br />

21 18.961 117.2028<br />

Karena adanya panjang peregangan maka<br />

diameter yang dihasilkan juga akan berbeda-beda.<br />

Selain itu juga panjang taper yang dihasilkan juga<br />

akan berbeda untuk masing-masing variasi<br />

peregangan. Data tersebut dapat menunjukkan<br />

bahwa jika panjang taper berubah maka diameter<br />

taper pun juga berubah seperti terlihat pada Tabel 2.<br />

Tabel 2 Persamaan linearitas untuk masing-masing variasi<br />

peregangan<br />

Panjang<br />

peregangan<br />

(mm)<br />

Persamaan linearitas<br />

Koefisien<br />

relasi (R²)<br />

5 y = 0.0168x + 3.992 1<br />

7 y = 0.0614x + 0.3304 0.9756<br />

9 y = 0.0397x + 0.0387 0.9727<br />

11 y = 0.0213x + 0.1503 1<br />

13 y = 0.0255x + 0.2945 0.994<br />

15 y = 0.0246x + 0.2205 0.9911<br />

17 y = 0.0303x + 0.1741 0.9956<br />

19 y = 0.0306x + 0.1486 0.9956<br />

21 y = 0.0246x + 0.0654 0.9937<br />

Karakterisasi pada penelitian ini dilakukan<br />

untuk mencari parameter-parameter pada fiber taper.<br />

Parameter hasil fabrikasi fiber taper akan<br />

dibandingkan dengan parameter standart serat optik<br />

tanpa ditaper. Parameter-parameter yang<br />

diperhatikan adalah panjang taper yang dihasilkan,<br />

diameter akhir akibat ditaper dan perubahan daya<br />

yang terjadi pada fiber taper. Nilai rata-rata<br />

parameter sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi<br />

ditampilkan dalam Tabel 4.3 berikut.<br />

Tabel 3 Nilai rata-rata parameter fiber taper hasil fabrikasi.<br />

Panjang<br />

Rugi Daya<br />

Panjang<br />

Peregangan<br />

Serat Optik<br />

taper (mm)<br />

Fiber Taper (dB)<br />

(mm)<br />

(dB)<br />

5 1.005 117.2099 107.1575<br />

7 2.983 117.2099 110.2044<br />

9 4.022 117.2099 112.9435<br />

11 10.004 117.2099 113.1054<br />

13 11.250 117.2099 113.6360<br />

15 12.970 117.2099 116.6277<br />

17 13.942 117.2099 116.8283<br />

19 14.947 117.2099 116.8435<br />

21 18.961 117.2099 117.2028<br />

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai daya keluaran<br />

pada fiber taper semakin kecil dibandingkan dengan<br />

daya keluaran pada serat optik biasa. Hal tersebut<br />

disebabkan karena semakin kecil diameter maka<br />

semakin kecil pula daya keluaran yang dihasilkan.<br />

Selain perubahan diameter, yang menyebabkan<br />

terjadinya penurunan pada daya keluaran adalah<br />

panjang taper. Hal tersebut sesuai dengan teori yang<br />

ada, jika perubahan daya keluaran diakibatkan oleh<br />

perubahan diameter serat optik dan panjang taper.<br />

Grafik hubungan linear antara panjang taper dengan<br />

daya keluaran terlihat pada Gambar 8.<br />

E52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 8. Grafik hubungan linear antara panjang taper dengan<br />

daya keluaran.<br />

KESIMPULAN<br />

Sembilan buah fiber taper hasil fabrikasi dari bahan<br />

serat optik plastik step index multimode tipe FD<br />

620-10 hasil fabrikasi dibuat dengan metode<br />

pemanasan dan peregangan . Sembilan buah fiber<br />

taper ini dapat digunakan sebagai bahan pembuatan<br />

directional coupler dan pembuatan sensor.<br />

Perubahan daya keluaran dipengaruhi oleh panjang<br />

taper. Semakin panjang taper yang terbentuk maka<br />

semakin kecil daya yang dikeluarkan. Dari hasil<br />

penelitian dan perhitungan hubungan antara<br />

perubahan daya keluaran terhadap panjang taper<br />

adalah linier.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Partama, I.P.S. 2009. Perencanaan Link Optik<br />

Denpasar-Amlapura Untuk Memenuhi<br />

Kebutuhan Trafik Di Daerah Bali Timur<br />

Hingga Tahun 2015. Denpasar: IT TELKOM.<br />

Reynaldo, M. Fafat. 2001. LASER, Gelombang Dan<br />

Optik. Bandung: ITB.<br />

Mishchenko, Lidiya A. 2008. Production of Tapered<br />

Optikal Fibers. UMBC Physics Department.<br />

Rambe, Drs. Ahmad Mulia. 2003. Penggunaan<br />

Serat Optik Plastik Sebagai Media Transmisi<br />

Untuk Alat ukur Temperatur jarak Jauh. USU<br />

digital library. Sumatra Utara.<br />

Club Fibers Optiques Plastiques, France. 1997.<br />

Plastic Optikal Fiber. John Welly & Sons, Inc.:<br />

Chichester, New York, Weinheim, Brisbane,<br />

Toronto, Singapore.<br />

Arruel, J, F. Jiménez, G. Aldabaldetreku, G. Durana,<br />

J. Zubia, M. Lomer and J. Mateo. 2008.<br />

Analysis of The Use of Tapered Graded-Index<br />

Polymer Optikal Fibers For Refractive- Index<br />

Sensors. Optiks Express: Spain.<br />

Keiser, G., (1984), Optikal Fiber Communication,<br />

Mc Graw Hill, New York.<br />

E53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pendugaan Statistik Inti dari Molekul Melalui Pecobaan Pulsa Ganda<br />

Abdurrouf<br />

Jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Brawijaya<br />

Email : a.abdurrouf@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Paper ini mengusulkan cara penentuan statistik inti dari molekul, yaitu rasio antara jumlah momentum total J<br />

genap dan J ganjil, dengan menggunakan percobaan pulsa ganda. Pada percobaan tersebut, sampel molekul<br />

dalam fase gas disinari dengan pulsa pertama (yang dikenal sebagai pulsa pembangkit) untuk mendapatkan<br />

distribusi molekul yang besifat dinamik. Selanjutnya sampel disinari dengan pulsa kedua (pulsa pendeteksi),<br />

untuk mengetahui dinamika distribusi molekul dan besaran fisik lain terkait, sebagai fungsi waktu tunda antara<br />

dua pulsa. Signal dinamik yang diperoleh bersifat periodik dengan periode T rev , di mana informasi tentang<br />

statistik inti diperoleh pada t=T rev /4. Statistik inti molekul juga dapat diperoleh dengan menganalisis signal<br />

pada domain frekuensi, yang diperoleh dengan mentransformasi Fourier signal dinamik. Pada paper ini dipakai<br />

tiga molekul dengan karakteristik statistik inti yang berbeda, yaitu N2, O2, dan CO2, sebagai contoh. Hasil<br />

perhitungan teori kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen yang ada.<br />

Kata kunci : percobaan pulsa ganda, distribusi molekul, statistik inti, signal dinamik, transformasi Fourier<br />

PENDAHULUAN<br />

Perkembangan yang pesat dari teknologi<br />

laser, khususnya kemampuannya untuk<br />

menghasilkan pulsa dengan intensitas yang tinggi<br />

dengan durasi yang pendek, memungkinkan kita<br />

untuk mendeteksi perilaku dinamik molekul, dalam<br />

suatu percobaan yang dikenal sebagai percobaan<br />

pulsa ganda (A. H. Zewail, 2000). Pada percobaan<br />

ini, sampel molekul dalam fase gas disinari dengan<br />

dua pulsa. Pulsa pertama dipakai untuk mengatur<br />

fungsi gelombang terkait dengan gerakan molekul,<br />

dalam konteks alignmen molekul (molecular<br />

alignment) (H. Stapelfeldt dan T. Seideman, 2003).<br />

Pada selang waktu tertentu setelah pulsa pertama,<br />

pulsa kedua diberikan. Pulsa tersebut akan<br />

membangkitkan reaksi tertentu, seperti ionisasi,<br />

disosiasi, efek Kerr, ataupun pembangkitan<br />

harmonik tinggi (high harmonic generation, HHG)<br />

yang dapat dideteksi secara langsung (A. Abdurrouf<br />

dan F.H.M. Faisal, 2009). Dengan memplot sinar<br />

yang ditimbulkan oleh pulsa kedua sebagai fungsi<br />

waktu tunda antara kedua pulsa, akan didapatkan<br />

signal dinamik yang menggambarkan perilaku<br />

molekul akibat interaksinya dengan sinar pertama.<br />

Salah satu sisi menarik dari percobaan<br />

pulsa ganda adalah kemungkinan pemanfaatannya<br />

untuk pengontrolan reaksi kimia (H. Stapelfeldt,<br />

2004) pembangkitan pulsa durasi pendek (Wabnitz<br />

et al., 2006), penentuan kelimpahan isotop (F.<br />

Fleischer, 2006), pencitraan molekul atau pendugaan<br />

fungsi gelombangnya (J. Itatani et al., 2004),<br />

kompresi pulsa (R.A. Bartels et al., 2002),<br />

perencanaan skala nano (R.J. Gordon, 2003), serta<br />

pemrosesasn informasi kuantum (K.F. Lee, 2004).<br />

Dalam tulisan ini, dibahas pemanfaatan percobaan<br />

pulsa ganda untuk menentukan rasio antara<br />

momentum total J genap dan J ganjil pada suatu<br />

molekul. Informasi tentang rasio J dapat diperoleh<br />

baik melalui signal dinamik maupun signal dalam<br />

domain frekuensi yang diperoleh dengan melakukan<br />

transformasi Fourier atas signal dinamiknya.<br />

DASAR TEORI<br />

Persamaan Schrödinger untuk molekul<br />

yang dikenai pulsa laser dengan intensitas tinggi<br />

dapat dapat dituliskan sebagai (A.Abdurrouf dan<br />

F.H.M. Faisal, 2009)<br />

∂<br />

0<br />

ih Φ JM () t = ( H N + VN<br />

−L<br />

) Φ JM () t , (1)<br />

∂t<br />

0<br />

di mana H N adalah Hamiltonian molekul dalam<br />

kedaan tanpa gangguan. VN<br />

− L adalah Hamiltonian<br />

akibat interaksi inti molekul dengan pulsa laser, dan<br />

dapat dituliskan sebagai<br />

2 4π<br />

VN<br />

−L<br />

() t = −( Δα<br />

cos θ + α perp ) Ig()<br />

t . (2)<br />

c<br />

Pada persamaan di atas, Δ α adalah selisih antara<br />

polarisabilitas molekul dalam arah tegak lurus<br />

α terhadap besaran yang sama dalam arah<br />

perp<br />

sejajar α par , c adalah kecepatan cahaya di ruang<br />

hampa, I adalah intensitas pulsa laser, sedangkan<br />

g(t) adalah profil laser pulsanya. Jika molekul<br />

dianggap sebagai benda pejal (rigid rotor) dengan<br />

2<br />

energi B Ĵ (di mana B adalah tetapan rotasi molekul<br />

dan J adalah momentum sudut), maka Hamiltonian<br />

total dapat dituliskan sebagai<br />

2<br />

2<br />

H t = B Jˆ<br />

− ω perp t − Δω<br />

t cos θ , (3)<br />

[( ) () ]<br />

( ) ( )<br />

F1


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

di mana ω perp ( t) = ( π / c) Ig( t) α perp<br />

() = ( 4π<br />

/ c) Ig() t Δα<br />

4 dan<br />

Δω<br />

t adalah kuantitas yang<br />

mendeskripsikan perilaku molekul dan harganya<br />

dapat diperoleh pada reference (G. Herzberg, 1950).<br />

Selanjutnya persamaan Schrödinger (pers. 1) dapat<br />

ditulis sebagai<br />

h ∂Φ() t H () t<br />

i = Φ()<br />

t , (4)<br />

∂t<br />

B B<br />

di mana h / B memainkan peran sebagai waktu<br />

tereduksi.<br />

Dalam penelitian ini, Pers. (4) dipecahkan<br />

untuk berbagai nilai awal JM dengan menggunakan<br />

metode Runge-Kutta, sehingga didapatkan Φ JM ( t)<br />

.<br />

Distribusi molekul pada setiap waktu t akan<br />

diperikan oleh<br />

2 −BJ<br />

()<br />

( J + 1)<br />

/ kT<br />

∑ Φ JM t e<br />

JM<br />

Dist .mol. =<br />

−BJ<br />

( J + 1)<br />

. (5)<br />

/ kT<br />

e<br />

∑<br />

JM<br />

Di mana T adalah temperature molekul gas<br />

sebelum dikenai pulsa laser. Biasanya distribusi<br />

molekul tersebut dinyatakan dalam derajat alignmen<br />

(alignment degree) cos 2 θ () t dengan θ<br />

menyatakan sudut antara sumbu molekul dan<br />

polarisasi laser. Derajat alignmen pada waktu t dapat<br />

dinyatakan sebagai<br />

2<br />

−BJ<br />

()<br />

( J + 1)<br />

/ kT<br />

∑ cos θ t e<br />

JM<br />

2<br />

JM<br />

cos θ () t =<br />

−BJ<br />

( J + 1)<br />

.(6)<br />

/ kT<br />

e<br />

∑<br />

JM<br />

Perilaku dinamik dari distribusi molekul dan<br />

derajat alignmen bersifat periodik dengan periode<br />

T 1<br />

2Bc<br />

(7)<br />

Sekarang kita coba melihat permasalahan<br />

alignmen molekul, khususnya derajat alignmen,<br />

secara lebih detail. Nilai fase dari derajat alignmen<br />

dari suatu keadaan awal JM,<br />

2<br />

cos θ , pada<br />

setiap waktu t adalah (A.Abdurrouf dan F.H.M.<br />

Faisal, 2009)<br />

JM t<br />

φ () t = 2 π ( 2J<br />

+ 3)<br />

. (8)<br />

T<br />

Dari pers. (8), dapat dihitung beda fase antara<br />

2<br />

2<br />

cos θ dan cos θ pada saat t=T<br />

J + 1,M<br />

sebagai berikut<br />

J<br />

Δφ + 1, M ; JM<br />

( T ) = 4π<br />

. (9)<br />

2<br />

Ini berarti bahwa pada t=T, dinamika cos θ<br />

dari J genap dan J ganjil berada pada fase yang<br />

sama. Situasi yang sama terjadi pada t=T/2 di mana<br />

J<br />

φ + 1, M ; JM<br />

Δ ( T / 2) = 2π<br />

(10)<br />

yang menunjukkan bahwa keduanya sefase.<br />

Sebaliknya pada t=T/4, didapatkan<br />

J<br />

φ + 1, M ; JM<br />

Δ ( T / 4) = π (11)<br />

2<br />

cos θ<br />

yang menunjukkan bahwa dinamika<br />

J<br />

dari J genap dan J ganjil berada pada fase yang<br />

berlawanan pada t=T/4. Pers. (11) memberi kita cara<br />

untuk membedakan kontribusi J genap dan J ganjil,<br />

dan rasio keduanya.<br />

JM<br />

JM<br />

J<br />

Gambar 1: Distribusi molekul N 2 setelah berinteraksi dengan pulsa laser dengan intensitas 0,8x10 14 W/cm 2 , di mana pulsa berbentuk gaussian<br />

dengan durasi 40 fs. Temperatur awal gas adalah 300 K.<br />

F2


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Dalam penelitian ini, dipakai tiga molekul,<br />

yaitu N 2 , O 2 , dan CO 2 , karena ketiganya memiliki<br />

rasio J yang berbeda satu sama lain. Data terkait<br />

ketiga molekul tersebut diberikan pada Tabel 1.<br />

Molekul<br />

TABEL I<br />

Properti molekul N 2 , O 2 , dan CO 2<br />

B<br />

(cm -1 )<br />

Properti<br />

α perp<br />

(angstrom)<br />

α par<br />

(angstrom)<br />

N 2 1,9896 2,38 1,45<br />

O 2 1,4297 2,35 1,21<br />

CO 2 0,3902 4,01 – 4,11 1,97-1,93<br />

seperti yang diamati pada eksperimen (K. Miyazaki<br />

et al., 2005). Secara umum, ketiga melekul<br />

memiliki dinamika yang sama, kecuali pada t=T/4<br />

dan t=3T/4, seperti yang ditandai dengan elips<br />

putus-putus. Pada t=T/4, didapatkan lembah pada N 2<br />

dan CO 2 , serta puncak pada O 2 . Pada N 2 , kedalaman<br />

lembahnya pada t=T/4 adalah setengah dari<br />

kedalaman lembah pada t=T/2. Di sisi lain, tinggi<br />

puncak untuk O 2 dan lembah untuk CO 2 pada t=T/4<br />

sama dengan tinggi puncak/lembah pada t=T/2.<br />

0.8<br />

0.6<br />

0.4<br />

(a)<br />

Distribusi molekul N 2 akibat interaksinya<br />

dengan pulsa laser ditunjukkan pada gambar 1.<br />

Terlihat bahwa distribusinya bersifat periodik<br />

dengan T = 8,4 ps, yang memenuhi pers. (7). Juga<br />

terlihat bahwa dinamika distribusi pada θ=0 o sama<br />

dengan distribusi pada θ=180 o , dengan sumbu<br />

simetri pada distribusi pada θ=90 o . Perilaku yang<br />

sama juga berlaku untuk O 2 dan CO 2 . Derajat<br />

alignmen untuk ketiga molekul tersebut ditunjukkan<br />

pada gambar 2.<br />

0.2<br />

0.8<br />

0.6<br />

0.4<br />

0.2<br />

0.5<br />

0.4<br />

0.3<br />

(b)<br />

(c)<br />

0.2<br />

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />

Waktu tunda (ps)<br />

2<br />

cos θ<br />

Gambar 3: Dinamika<br />

dari N2, dengan parameters<br />

yang sama dengan gambar 1. Panel (a): Dinamika alignment<br />

() t<br />

() t<br />

50<br />

2<br />

cos θ<br />

untuk keadaan awal J,M=5,0 atau<br />

(biru) serta<br />

2<br />

cos θ () t<br />

J ganjil<br />

(merah). Panel (b): Dinamika alignment<br />

2<br />

2<br />

cos θ () t<br />

cos θ () t<br />

untuk 60<br />

J genap<br />

(biru) serta<br />

(merah).<br />

Panel (c): Dinamika alignmen untuk semua J dengan Jmax=20.<br />

Gambar 2: Derajat alignmen dari molekul N 2 (panel atas), O 2<br />

(panel tengah), dan CO 2 (panel bawah), setelah berinteraksi<br />

dengan pulsa laser dengan intensitas 0,8x10 14 W/cm 2 , (untuk N 2 )<br />

dan 0,5x10 14 W/cm 2 , (untuk O 2 dan CO 2 ), di mana pulsa<br />

berbentuk gaussian dengan durasi 40 fs. Temperatur awal gas<br />

adalah 300 K<br />

Dari gambar 3, terlihat bahwa derajat<br />

aligment cos 2 θ () t bersifat periodik dengan<br />

periode 8,4 ps (N 2 ), 11,6 ps (O 2 ), dan 42,7 ps (CO 2 ),<br />

Untuk memahami hal tersebut, kita lihat dinamika<br />

2<br />

cos θ untuk J genap dan J ganjil secara terpisah,<br />

seperti ditunjukkan pada gambar 3. Terlihat dari<br />

2<br />

cos θ t<br />

gambar bahwa pada t=T/4, dinamika ( )<br />

membentuk puncak untuk J ganjil dan membentuk<br />

lembah untuk J genap. Jika molekul hanya memiliki<br />

2<br />

J genap, maka dinamika cos θ () t -nya<br />

membentuk lembah pada t=T/4, seperti pada kasus<br />

CO 2 (gambar 2 panel bawah). Sebaliknya, molekul<br />

yang hanya memiliki J ganjil maka dinamika<br />

JM<br />

F3


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2<br />

cos<br />

θ<br />

() t<br />

-nya membentuk puncak pada t=T/4,<br />

seperti pada kasus O 2 (gambar 2 panel tengah). Pada<br />

kedua kasus, tinggi puncak / lembah pada t=T/4<br />

sama dengan tingginya pada t=T/2.<br />

Untuk molekul yang memiliki baik J genap<br />

2<br />

maupun ganjil, maka bentuk cos θ () t pada<br />

t=T/4 dipengaruhi rasio keduanya. Dia akan<br />

membentuk lembah jika J genap >J ganjil , dan membentuk<br />

puncak jika J genap


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

A. Abdurrouf dan F.H.M. Faisal (2009), Theory of<br />

intense-field dynamic alignment and highorder<br />

harmonic generation from coherently<br />

rotating molecules and interpretation of<br />

intense-field ultrafast pump-probe<br />

experiment, Phys. Rev. A, Vol. 79 Issue 2,<br />

023405(1) - 023405(28).<br />

Bartels, R.A. et al. (2002), Phase modulation of<br />

ultrashort light pulses using molecular<br />

rotational wavepackets, Phys. Rev. Lett. Vol.<br />

88, Issue 1, 013903.<br />

Dooley, P.W., et al. (2003), Direct imaging of<br />

rotational wavepacket dynamics of diatomic<br />

molecules, Phys. Rev. A Vol. 68, Issue 2,<br />

023406.<br />

F.H.M. Faisal, A.Abdurrouf, G. Miyaji, dan K.<br />

Miyazaki (2007), Origin of anomalous<br />

spectra of dynamic alignments observed in<br />

N 2 and O 2 , Phys. Rev. Lett. Vol 98, Issue 4,<br />

143001.<br />

Fleischer, S, I. Sh. Averbukh, dan Y. Prior (2006),<br />

Isotop-selective laser molecular alignment,<br />

Phys. Rev. A, Vol. 74, Issue 4, 041403.<br />

Gordon, R.J. et al. (2003), Nanolithography using<br />

molecular optics, J. Appl. Phys. Vol. 94,<br />

Issue 1, 669-676.<br />

Herzberg, G (1950), Molecular Spectra and<br />

Molecular Structure, Vol. I. chap. III, Van<br />

Nostard Reinhold, New York.<br />

Itatani, J, et al. (2004), Tomographic imaging of<br />

molecular orbitals, Nature Vol. 432, Issue<br />

7019, 867-871.<br />

Lee, K.F. et al. (2004), Phase control of rotational<br />

wavepackets and quantum information, Phys.<br />

Rev. Lett. Vol. 93, Issue 23, 233601.<br />

Miyazaki, K, private communication.<br />

Miyazaki, K, M. Kaku, G. Miyaji, A. Abdurrouf,<br />

dan F.H.M. Faisal (2005), Field-free<br />

alignment of molecules observed with highorder<br />

harmonic generation, Phys. Rev. Lett.<br />

Vol 95, Issue 6, 243903.<br />

Stapelfeldt, H (2004), Laser aligned molecules:<br />

Application in physics and chemistry, Phys.<br />

Scr. Vol T110, Issue 132, 132-136.<br />

Stapelfeldt, H dan T. Seideman (2003), Colloqium:<br />

Aligning molecules with strong lases pulses,<br />

Rev. Mod. Phys. Vol. 75, Issue 2, 543-557.<br />

H. Wabnitz, et al.(2006), Generation of attosecond<br />

pulses in molecular nitrogen, Eur. Phys. J. D<br />

Vol. 40, Issue 2, 305-311.<br />

F5


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sistem Monitoring Jarak Jauh Simulasi Sistem Pengendali dengan<br />

Menggunakan Fasilitas GPRS dan Java pada Telepon Selular<br />

Aditya Tri Laksmana 1 , Arief Sudarmaji 2 , Djati Handoko 3<br />

1,2,3 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, FMIPA, Universitas Indonesia<br />

Email : Atlaxx@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Telepon selular yang memiliki fasilitas GPRS bila digabungkan dengan bahasa pemrograman Java, dapat<br />

digunakan untuk membuat sistem yang dapat memonitor dari jauh sebuah simulasi proses produksi berbasis<br />

LabVIEW yang dihubungkan dengan internet melalui socket TCP/IP. Sistem yang telah dibuat menggunakan<br />

metode pengiriman data satu persatu dari masing-masing port dari LabVIEW menuju ke program Local Server<br />

dan program Remote Server sehingga dapat diakses dari handphone secara akurat, realtime, dan murah.<br />

Kata kunci : GPRS, LabVIEW, Java, Server, Socket, Port.<br />

1. Pendahuluan<br />

Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang<br />

terjadi dewasa ini telah merambah ke berbagai<br />

bidang lain seperti budaya, ekonomi, pertahanan dan<br />

keamanan, serta industri. Dalam bidang industri,<br />

setiap proses produksi umumnya telah dihubungkan<br />

dengan suatu sistem pengendali, yang<br />

mengendalikan keseluruhan jalannya proses<br />

tersebut. Namun dalam menghadapi persaingan yang<br />

semakin ketat antar kompetitor, dibutuhkan akses<br />

yang cepat , tepat, akurat, mobile, serta ekonomis<br />

oleh pihak yang berkepentingan, untuk dapat<br />

mengakses setiap kejadian yang terjadi selama<br />

berlangsungnya proses produksi, sehingga dapat<br />

memberikan pengaturan serta tanggapan yang cepat<br />

bila terjadi suatu kejadian yang tidak sesuai dengan<br />

pengaturan yang telah ditentukan.<br />

Saat ini, dalam bidang industri sebenarnya sudah<br />

terdapat sistem monitoring seperti yang telah<br />

disebutkan diatas, yang dikenal dengan nama<br />

SCADA (Supervisory Control And Data<br />

Acquisition). Namun mahalnya biaya<br />

pengimplemantasian sistem ini pada suatu sistem<br />

pengendali, telah membuat para pengusaha yang<br />

memiliki dana terbatas untuk mengurungkan<br />

niatnya.<br />

Merunut kepada permasalahan tersebut, maka<br />

penulis mencoba memberikan sebuah solusi<br />

alternatif dalam menciptakan suatu sistem yang<br />

dapat memonitor dan mengontrol suatu sistem<br />

pengendali, dengan memanfaatkan fasilitas GPRS<br />

dan bahasa pemrograman Java pada telepon selular.<br />

Pada penulisan skripsi ini sistem pengendali yang<br />

dimonitor, digantikan dengan sebuah program<br />

simulasi proses produksi dan sistem pengendalinya<br />

dengan menggunakan LabVIEW.<br />

2. Perancangan Sistem<br />

Sistem ini dirancang untuk memonitor sebuah<br />

proses produksi yang direpresentasikan oleh<br />

simulasi LabVIEW, dari jarak jauh dengan<br />

menggunakan handhone. Secara garis besar sistem<br />

yang penulis buat ini terdiri dari 4 bagian seperti<br />

yang digambarkan oleh blok diagram sistem berikut<br />

ini.<br />

Gambar 2.1. Blok diagram sistem<br />

Bagian pertama dari blok diagram sistem diatas<br />

adalah program LabVIEW yang mensimulasikan<br />

suatu proses produksi di sebuah pabrik pembuat<br />

pakan ternak. Bagian kedua adalah Local Server dan<br />

database MySQL yang berada pada komputer yang<br />

sama dimana simulasi LabVIEW tadi dijalankan.<br />

Bagian ketiga adalah blok Remote Server yang akan<br />

dihubungkan dengan local server dan handphone<br />

dengan menggunakan internet. Sedangkan bagian<br />

terakhir adalah handphone yang digunakan untuk<br />

memonitor simulasi proses produksi dari jarak jauh.<br />

Berikut ini adalah uraian lengkap masing-masing<br />

bagian tersebut.<br />

F6


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2.1. Simulasi LabVIEW<br />

Pada bagian pertama ini, penulis menggunakan<br />

bahasa pemrograman LabVIEW untuk membuat<br />

sebuah program simulasi sederhana tentang proses<br />

produksi pakan ternak yang kemudian data-data dari<br />

proses produksi tersebut dikirimkan keluar melalui<br />

port TCP/IP. Program ini terdiri dari 2 buah subprogram,<br />

yaitu sub program simulasi proses<br />

produksi dan sub program pengiriman data melalui<br />

TCP/IP.<br />

Berikut ini adalah flowchart untuk sub program<br />

pertama, yaitu simulasi proses produksi.<br />

Gambar.2.2 Flowchart sub program simulasi LabVIEW<br />

Cara kerja dari subprogram simulasi ini adalah<br />

sesuai dengan flowchart diatas, yaitu pertama-tama<br />

Shift Register(SR) akan di set menjadi 0. Setelah itu<br />

program akan wait selama 1 detik baru kemudian<br />

mengecek apakan tombol start pada front panel<br />

dalam kondisi On atau Off. Jika Off program akan<br />

berhenti. Namun jika On maka program akan<br />

mengecek kembali nilai dari SR.<br />

Jika SR masih 0 maka nilai SR itu akan diubah<br />

menjadi 1 kemudian akan di loopback ke awal<br />

program. Namun jika SR tidak sama dengan 0, maka<br />

program akan mengirim data pada masing-masing<br />

tanki dan tombol kepada sub VI pengolahan data<br />

pada program ini. Setelah data terkirim, kemudian<br />

nilai SR kembali dicek, Untuk masing-masing nilai<br />

SR dari 0 hingga 16 telah ditentukan proses<br />

selanjutnya pada blok kondisi 0 hingga 16 pada<br />

flowchart diatas. Setelah masing-masing proses itu<br />

selesai dilakukan, program akan mengambil kembali<br />

data dari sub VI pengolahan data tadi untuk<br />

kemudian melakukan loopback ke awal program<br />

untuk melakukan siklus selanjutnya.<br />

Sebelum melakukan siklus yang selanjutnya,<br />

program akan kembali menjalankan wait selama 1<br />

detik. Nilai wait selama 1 detik inilah yang menjadi<br />

waktu sampling dari subprogram ini.<br />

Selanjutnya untuk sub program kedua adalah sub<br />

program pengiriman data melalui port TCP/IP pada<br />

LabVIEW. Sub program ini berfungsi untuk<br />

mengirimkan data yang ditampilkan pada chart pada<br />

pada subprogram simulasi diatas menuju program<br />

Local server melalui port 2055 sampai 2060 dari<br />

program LabVIEW ini. Cara kerja dari sub program<br />

ini sesuai dengan flowchart dibawah yaitu sub VI<br />

TCP listen akan menunggu jika ada koneksi yang<br />

masuk pada port 2055-2060. Jika selama 5 detik<br />

tidak ada koneksi, program akan menghasilkan error<br />

message nomor 56 yaitu “Connection Time Out”<br />

namun jika ada koneksi dalam 5 detik, program<br />

kemudian akan mengecek kembali apakan koneksi<br />

itu putus kembali atau tidak. Jika terputus, program<br />

akan memberikan error message nomor 62, yaitu<br />

“Connection Aborted”.<br />

Jika tidak ada masalah pada koneksi, maka<br />

program akan menjalankan perintah selanjutnya,<br />

yaitu mengirim data pada chart menggunakan sub VI<br />

TCP Write. Namun sebelumnya bentuk data dari<br />

chart tersebut diubah terlebih dahulu menjadi bentuk<br />

string dengan menggunakan sub VI Type Cast.<br />

Pengubahan menjadi bentuk string ini karena<br />

LabVIEW selalu menggunakan tipe data String<br />

untuk berkomunikasi dengan program lainnya.<br />

Setelah data tersebut terkirim, program akan<br />

melakukan wait selama 1 detik untuk menyesuaikan<br />

dengan siklus dari sub program simulasi diatas, baru<br />

kemudian melakukan loopback ke awal program<br />

untuk menjalankan siklus selanjutnya.<br />

Metode pengiriman data yang digunakan dari<br />

LabVIEW kepada program local server adalah setiap<br />

ada data dari masing-masing port kemudian akan<br />

dikirim. Meskipun lebih banyak menggunakan<br />

resource dibandingkan dengan menggunakan buffer,<br />

metode ini penulis pilih karena penulis berasumsi<br />

bahwa data yang dikirim satu per satu akan lebih<br />

mudah dibaca oleh program local server dan remote<br />

server. Meskipun demikian jika ingin lebih<br />

menghemat resource dan biaya pengiriman data,<br />

dapat digunakan metode buffer untuk keenam port<br />

yang ada, baru kemudian dikirim secara bersamasama.<br />

Berikut ini adalah flowchart untuk sub<br />

program pengiriman data melalui port TCP/IP pada<br />

LabVIEW.<br />

Gambar.2.3 Flowchart sub program pengiriman data melalui<br />

TCP/IP<br />

F7


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2.2. Program Local Server dan database MySQL<br />

Program Local Server ini diperlukan agar<br />

LabVIEW dapat terkoneksi dengan program Remote<br />

Server yang terdapat pada komputer server yang<br />

memiliki alamat IP publik. Hal ini dikarenakan<br />

komputer dimana program LabVIEW tadi dijalankan<br />

tidak memiliki alamat IP publik sehingga tidak dapat<br />

diakses dari internet oleh handphone.<br />

Cara kerja dari program Local Server ini pertamatama<br />

program akan mengecek apakah program<br />

tersebut menggunaka database atau tidak?<br />

Penggunaan database ini dapat kita atur pada list<br />

program. Setelah itu program berturut-turut program<br />

akan menjalankan method getConn() untuk<br />

membuka komunikasi dengan database MySQL,<br />

method init() untuk berkomunikasi dengan<br />

LabVIEW, dan method connectRemoteServer( )<br />

untuk berkomunikasi dengan program Remote<br />

Server pada alamat IP 87.106.176.109.<br />

Setelah semua koneksi ini tersedia, baru<br />

kemudian program akan menjalankan method Run( )<br />

yang merupakan inti dari program Local Server ini.<br />

Didalam method Run() inilah akan dijalankan<br />

perintah untuk membaca data yang dikirimkan oleh<br />

LabVIEW pada port 2055-2060, menyimpan data<br />

tersebut pada database MySQL, kemudian<br />

mengirimkan data tersebut kepada program Remote<br />

Server melalui port 3055-3060. Berikut ini adalah<br />

flowchart dari program Local Server.<br />

Fungsi dari remote server ini , selain untuk<br />

menerima data yang dikirim oleh local server, juga<br />

untuk melakukan pengiriman data setiap ada<br />

permintaan dari handphone. Cara kerja dari remote<br />

server ini mirip dengan bagian sebelumnya, dimana<br />

sebuah thread program bertugas untuk menerima<br />

data yang dikirimkan oleh local server, sedangkan<br />

thread yang lainnya bertugas untuk mendengarkan<br />

bila ada request permintaan data dari handphone.<br />

2.4. Aplikasi SkripsiMidlet Pada Handphone<br />

Bagian terakhir dari sistem ini adalah pembuatan<br />

aplikasi SkripsiMidlet pada handphone. Handphone<br />

yang digunakan pada penelitian ini adalah merek<br />

Sony Erricsson tipe K608i, yang memiliki fasilitas<br />

GPRS dan MIDP. MIDP ini merupakan virtual<br />

machine yang akan menjalankan program Java pada<br />

telepon ini. Handphone pada sistem ini berfungsi<br />

untuk memonitor ketinggian level dari masingmasing<br />

tanki bahan, level campuran bahan makanan<br />

dan temperaturnya pada tanki pengaduk, serta<br />

persediaan bahan makanan yang sudah jadi pada<br />

tanki produk, dari jarak jauh dengan menggunakan<br />

fasilitas GPRS yang tersedia pada handphone<br />

ini..Pemrograman pada telepon selular ini juga<br />

menggunakan bahasa pemrograman Java, namun<br />

memiliki teknologi yang berbeda dengan yang<br />

digunakan pada server, yaitu J2ME yang memang<br />

dirancang untuk sistem yang memiliki sumberdaya<br />

terbatas seperti handphone ini.<br />

3. Hasil dan Diskusi<br />

Data eksperimen yang didapat pada penelitian ini<br />

berupa data pada MySQL, data tampilan pada<br />

LabVIEW dan pada handphone, serta data biaya<br />

transfer data menggunakan GPRS untuk memonitor<br />

tampilan dari LabVIEW selama 60 detik.<br />

3.1. Data pada MySQL<br />

Berikut ini adalah tampilan data pada MySQL query<br />

Browser untuk pengambilan data selama 60 detik.<br />

Gambar.2.4 Flowchart program Local Server<br />

2.3. Program Remote Server<br />

Bagian ketiga dari sistem ini adalah Remote<br />

Server. Pada penelitian ini, penulis menggunakan<br />

server dengan alamat 87.106.176.109. Program Java<br />

yang telah dibuat menjadi bentuk JAR(Java<br />

Archive) yang merupakan bentuk executable dari<br />

bahasa pemrograman Java, dijalankan pada remote<br />

server ini.<br />

Gambar.3.1 Flowchart sub program simulasi LabVIEW<br />

F8


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Data pada MySQL Query Browser diatas<br />

merupakan satu dari 10 kali pengambilan data yang<br />

penulis lakukan. Sengaja penulis menampilkan data<br />

diatas untuk menunjukkan adanya data yang tidak<br />

masuk kedalam tabel pada port 2059(Temperatur<br />

mixer). Pada beberapa pengambilan data lainnya<br />

yang penulis lakukan, ada 4 kali pengambilan data<br />

dimana semua data masuk kedalam tabel, dan ada 6<br />

kali yang tidak semua data masuk kedalam tabel,<br />

atau ada data yang hilang selama dalam proses.<br />

Menurut analisa penulis, hilangnya data ini<br />

dikarenakan oleh kinerja program local server pada<br />

sistem ini terlalu berat, karena harus menerima data<br />

dari LabVIEW, memasukkan data tersebut kedalam<br />

database, juga mengirim data tersebut ke remote<br />

server. Hal ini menyebabkan waktu looping antara<br />

program local server dengan LabVIEW menjadi<br />

tidak sinkron. Sehingga sub program pengiriman<br />

data dengan TCP/IP pada LabVIEW akan mengira<br />

bahwa pada siklus itu tidak ada permintaan data dari<br />

local server pada port 2059.<br />

3.2. Perbandingan Tampilan Pada LabVIEW<br />

Dengan Handphone<br />

Pada bagian ini ditampilkan perbandingan dari<br />

tampilan pada LabVIEW serta tampilan pada<br />

handphone. Untuk masing-masing chart pada<br />

LabVIEW, ditampilkan grafik perbandingan volume<br />

bahan terhadap waktu. Dapat dilihat sumbu Y dari<br />

grafik tersebut adalah volume cairan dalam Liter,<br />

dan sumbu X adalah waktu dalam detik. Waktu<br />

disini bukanlah waktu yang sebenarnya, melainkan<br />

nilai increment dari sebuah variabel dalam satu kali<br />

siklus program. Karena waktu looping dari program<br />

ini adalah 1 detik, maka variabel tersebut akan<br />

dincrement setiap 1 detik. Nilai increment tiap 1<br />

detik inilah yang penulis jadikan tampilan waktu<br />

dari grafik volume terhadap waktu ini. Untuk<br />

tampilan waktu pada chart handphone pun penulis<br />

menggunakan metode yang sama dengan yang<br />

digunakan pada chart LabVIEW, yaitu nilai<br />

increment tiap 1 detik dari program yang dijalankan.<br />

Nilai pada sumbu Y dimulai dari 0 hingga nilai<br />

maksimal adalah 1500. Hal ini disesuaikan dengan<br />

program yang telah dibuat pada blok diagram.<br />

Sedangkan tampilan untuk data waktu dibatasi<br />

maksimal 10 data yang ditampilkan. Jadi jika ada<br />

data ke 11 data yang pertama akan digeser agar data<br />

ke 11 tersebut dapat masuk kedalam chart. Berikut<br />

ini adalah gambar tampilan chart pada LabVIEW.<br />

.<br />

Gambar.3.2. Tampilan chart pada front panel LabVIEW<br />

Untuk tampilan pada handphone, Data pada<br />

sumbu Y dimulai dari 0 hingga 15.<br />

Penyingkatan ini bertujuan untuk<br />

menghemat ruang pada tampilan layar<br />

handphone. Layar yang digunakan pada<br />

handphone Sony Ericcsson K608i yang<br />

digunakan pada penelitian ini berukuran<br />

176 x 220 pixel.<br />

Gambar.3.3. Tampilan untuk masing-masing chart pada<br />

handphone, dimulai dari kiri atas searah jarum jam adalah Bahan<br />

A, Bahan B, Bahan C, Produk, Temperatur Mixer, dan Level<br />

Mixer.<br />

Sedangkan jumlah maksimal data yang<br />

ditampilkan pada layar sama dengan sumbu X pada<br />

LabVIEW, yakni 10 data. Jadi jikadata yang<br />

ditampilkan telah mencapai 10 data, dan ada data<br />

yang ke 11 hendak ditampilkan, maka data yang<br />

paling kiri(paling awal) akan digeser ke kiri. Jadi<br />

data yang berikutnya dapat masuk<br />

F9


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

4. Kesimpulan<br />

1. Sistem yang penulis buat masih belum stabil,<br />

hal ini ditandai dengan adanya data yang hilang<br />

selama pengambilan data.<br />

2. Sistem yang dibuat hanya bersifat monitoring<br />

saja, belum bersifat kontrol.<br />

3. Tidak murni bersifat real time seperti yang<br />

diharapkan, karena terdapat perbedaan siklus<br />

waktu pada saat penampilan data antara chart<br />

LabVIEW, Emulator handphone, dan tampilan<br />

sebenarnya pada handphone.<br />

4. Database MySQL pada sistem ini hanya bersifat<br />

pasif, artinya hanya dapat menerima data saja,<br />

tanpa bisa diakses kembali oleh program Java.<br />

5. Pengiriman data dari LabVIEW kepada<br />

program local server dilakukan satu persatu<br />

untuk masing-masing port melalui alamat<br />

localhost.<br />

6. Program local server dan remote server<br />

digunakan karena komputer tempat simulasi<br />

LabVIEW dijalankan tidak memiliki alamat IP<br />

publik, sehingga harus dihubungkan dengan<br />

remote server yang memiliki alamat IP publik<br />

agar dapat diakses oleh handphone melalui<br />

internet.<br />

7. Remote server bersifat multiclient, yang artinya<br />

dapat melayani pengiriman data kepada lebih<br />

dari satu handphone pada saat yang bersamaan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Lisa K, Wells and Jeffrey Travis, LabVIEW for<br />

Everyone, Graphical Programming Made<br />

Even Easier, Prentice-Hall, 1997.<br />

Rijalul Fikri, Ipam Fuadina Ahmad, Imam Prakoso,<br />

Pemrograman Java, Penerbit Andi, 2005.<br />

Budi Raharjo, Imam Heryanto, Tuntunan<br />

Pemrograman Java Pada Handphone, 2007.<br />

David Arnow, Gerald Weiss, Introduction to<br />

Programming Using Java An Object Oriented<br />

Approach, Addison-Wesley, 1998.<br />

F10


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Reduksi Dimensi dengan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) pada Data<br />

Persen Transmitan Kurkumin Menggunakan Open Source Software-R<br />

(OSS-R)<br />

Aniq Atiqi Rohmawati, Yanti Lina Mayasari, Elly Ana, Nur Chamidah<br />

Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : yanti_lina88@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan sebagai<br />

bahan baku dalam industri jamu dan farmasi yang mengandung senyawa kurkumin. Penentuan konsentrasi<br />

senyawa kurkumin dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) cenderung mahal jika<br />

dibandingkan dengan pengukuran menggunakan metode Fourier Trasform Infrared (FTIR). Sehingga diperlukan<br />

suatu model yang menyatakan hubungan antara konsentrasi senyawa aktif hasil pengukuran HPLC dengan<br />

persen transmitan (absorban) yang diukur dengan menggunakan FTIR. Beberapa permasalahan yang muncul<br />

dalam pembuatan model adalah ketika banyaknya pengamatan (n) jauh lebih kecil dari banyaknya peubah (p)<br />

dan antar peubah saling berkolerasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan reduksi dimensi data FTIR<br />

menggunakan Transformasi Wavelet Diskret (TWD) dengan Open Source Software-R (OSS-R). Jenis wavelet<br />

yang digunakan adalah wavelet Haar, dengan nilai mother wavelet ψ(x) bernilai 1 dan -1 pada interval [0,1/2)<br />

dan [1/2,1). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa level resolusi yang terpilih adalah nilai R 2 tertinggi yaitu<br />

100% pada level 1 dan 4 dengan jumlah koefisien 18 serta 1 koefisien pemulusan. Jadi, diperoleh dimensi baru<br />

dari variabel prediktor sehingga n > p.<br />

Kata kunci : TWD, wavelet Haar, kurkumin, OSS-R, reduksi dimensi.<br />

PENDAHULUAN<br />

Di Indonesia tanaman obat telah lama digunakan<br />

oleh masyarakat dan industri untuk pembuatan jamu.<br />

Penggunaan tanaman obat yang semakin meluas<br />

sudah selayaknya diikuti dengan usaha untuk<br />

menjamin kualitas tanaman obat tersebut.<br />

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)<br />

merupakan salah satu tanaman obat yang banyak<br />

digunakan sebagai bahan baku dalam industri jamu<br />

dan farmasi. Hal ini untuk menjamin agar<br />

produksinya dapat bersaing dan diterima oleh<br />

masyarakat. Salah satu indikator kualitas tanaman<br />

obat adalah konsentrasi senyawa aktifnya (Mukid,<br />

2009).<br />

Proses penentuan konsentrasi senyawa aktif yang<br />

dikandung oleh suatu tanaman obat perlu dilakukan<br />

secara cepat dan akurat. Secara kuantitatif dan<br />

kualitatif suatu senyawa aktif dapat diketahui antara<br />

lain melalui metode High Performance Liquid<br />

Chromatograph (HPLC) dan Fourier Trasform<br />

Infrared (FTIR). Proses penentuan konsentrasi<br />

senyawa aktif dengan HPLC memerlukan waktu dan<br />

biaya yang relatif mahal dibandingkan dengan FTIR.<br />

Untuk itu diperlukan metode yang handal tetapi<br />

relatif mudah untuk digunakan. Salah satu<br />

metodenya adalah dengan membuat sebuah model<br />

yang menyatakan hubungan antara konsentrasi<br />

senyawa aktif hasil pengukuran HPLC dengan<br />

persen transmitan (absorban) yang diukur dengan<br />

menggunakan FTIR (Erfiani, 2005).<br />

Beberapa permasalahan yang muncul<br />

dalam pembuatan model adalah ketika<br />

banyaknya pengamatan (n) jauh lebih kecil<br />

dari banyaknya peubah (p) dan antar peubah<br />

saling berkolerasi. Kasus-kasus ini<br />

membawa permasalahan pendugaan<br />

parameter model. Metode untuk mengatasi<br />

hal ini adalah dengan melakukan reduksi<br />

dimensi sehingga diperoleh peubah baru<br />

yang dimensinya lebih kecil dari p dan antar<br />

baru peubah tidak saling berkolerasi.<br />

Dalam penelitian ini metode yang digunakan<br />

untuk mereduksi dimensi adalah Transformasi<br />

Wavelet Diskret (TWD).<br />

M<br />

∑ − 12<br />

j<br />

= + ∑ − 1<br />

f(t) c<br />

0,0<br />

φ(t)<br />

d ψ (t)<br />

j=<br />

0 k=<br />

0<br />

j,k j,k<br />

Jenis wavelet yang digunakan adalah wavelet<br />

yang paling tua dan sederhana, wavelet Haar, dengan<br />

nilai mother wavelet ψ(x) bernilai 1 dan -1 pada<br />

interval [0,1/2) dan [1/2,1).<br />

Metode ini secara komputasi mudah dan<br />

sederhana dalam penerapannya serta mampu<br />

mengatasi data yang memiliki dimensi yang tinggi<br />

(Yinsheng Qu et al, 2003). Selain itu metode ini<br />

dianggap paling mudah dalam implementasinya<br />

dibandingkan dengan yang lain<br />

(www.wikipedia.org). Penelitian sebelumnya<br />

tentang transformasi wavelet dilakukan oleh Sony<br />

F11


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dan Notodiputro (2004); Sunaryo (2005); Da Chen<br />

et al (2004) menggunakan TWD dengan mother<br />

wavelet yang digunakan adalah wavelet Haar.<br />

Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah dlam<br />

penelitian ini adalah bagaimana melakukan reduksi<br />

dimensi dengan TWD pada data persen transmitan<br />

kurkumin menggunakan OSS-R. Hasil penelitian ini<br />

diharapkan dapat memberikan metode alternatif<br />

penanganan pemodelan regresi pada data berdimensi<br />

tinggi dengan kasus multikolinearitas dan<br />

mengetahui penerapan TWD pada program OSS-R.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

data sekunder yang merupakan bagian dari data<br />

penelitian Hibah Pascasarjana tahun 2003-2005 hasil<br />

kerjasama antara <strong>Departemen</strong> Statistika IPB dengan<br />

Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Data yang<br />

digunakan adalah persen transmitan kurkumin dari<br />

serbuk temulawak hasil pengukuran spektrometer<br />

FTIR dan data konsentrasi senyawa aktif kurkumin<br />

yang diukur dengan menggunakan HPLC.<br />

Temulawak yang dijadikan contoh diambil dari<br />

beberapa daerah sentra tanaman obat, yaitu Bogor,<br />

Sukabumi, Kulon Progo, Karanganyar, dan Cianjur<br />

dan Balitro. Data-data tersebut diperoleh dari Pusat<br />

Studi Biofarmaka Institut pertanian Bogor. Data<br />

tersebut diperoleh peneliti sebagai bagian dari Hibah<br />

Pekerti 2010 antara <strong>Unair</strong> selaku TPP dan IPB<br />

sebagai TPM.<br />

Variabel Penelitian<br />

Variabel prediktor yang digunakan pada<br />

penelitian ini adalah data persen transmitan FTIR<br />

serbuk kurkumin yang diperoleh dari 1866 panjang<br />

gelombang pada 20 daerah pengamatan yang<br />

berbeda. Sedangkan variabel respon pada penelitian<br />

ini adalah konsentrasi HPLC dari 20 daerah<br />

pengamatan seperti yang terlihat pada Tabel 1.<br />

TABEL 1 Data Konsentrasi HPLC pada 20 Daerah Sentra<br />

Tanaman Obat<br />

No Sampel Konsentrasi HPLC<br />

1 Kulon Progo 1 0.65<br />

2 Kulon Progo 2 0.63<br />

3 Kulon Progo 3 0.92<br />

4 Kulon Progo 4 0.9<br />

5 Karanganyar 1 1.61<br />

6 Karanganyar 2 1.66<br />

7 Kulon Progo 5 1.01<br />

8 Kulon Progo 6 1.13<br />

9 Karanganyar 3 0.47<br />

10 Karanganyar 4 0.5<br />

11 Balitro 1 1.38<br />

12 Balitro 2 1.57<br />

13 Cianjur 1 1.57<br />

14 Cianjur 2 1.74<br />

15 Bogor 1 0.13<br />

16 Bogor 2 0.12<br />

17 Kuningan 1 1.11<br />

18 Kuningan 2 0.97<br />

19 Sukabumi 1 1.3<br />

20 Sukabumi 2 1.24<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Reduksi dimensi merupakan tahap prapemprosesan<br />

yang bertujuan untuk mengatasi<br />

permasalahan yang ada pada data persen transmitan<br />

kurkumin, yaitu memiliki dimensi yang sangat tinggi<br />

berukuran 20x1866.<br />

Pada metode wavelet mensyaratkan jumlah titik<br />

yang akan direduksi harus 2 N , sedangkan pada<br />

variabel prediktor ada 1866 sehingg$a tidak<br />

memenuhui syarat tersebut. Variabel-variabel<br />

tersebut dimampatkan menjadi 1024 atau 2 10 dengan<br />

memperhatikan plot spektra dari masing-masing<br />

panjang gelombang seperti yang terlihat pada<br />

Gambar 1.<br />

Gambar 1 Plot spektra persen transmitan kurkumin pada 1024<br />

panjang gelombang<br />

Kemudian memilih koefisien-koefisien pada level<br />

resolusi tertentu sehingga n < p. Pemilihan koefisien<br />

pada level resolusi dilakukan dengan metode cobacoba<br />

(trial and error), yaitu dengan<br />

mengkombinasikan level resolusi 0, 1, 2, 3 dan 4.<br />

Kombinasi level resolusi yang memiliki nilai R 2<br />

tertinggi digunakan untuk memilih koefisienkoefisen<br />

wavelet.<br />

TABEL 2 Nilai R 2 dan Kombinasi Level Resolusi Koefisien<br />

Wavelet<br />

No Level Resolusi R 2<br />

1 C 0,0 dan 0 20,18%<br />

2 C 0,0 dan 1 13,97%<br />

3 C 0,0 dan 2 24,59%<br />

4 C 0,0 dan 3 62,18%<br />

5 C 0,0 dan 4 96,92%<br />

6 C 0,0 , 0 dan 1 29,85%<br />

7 C 0,0 , 0 dan 2 42,69%<br />

8 C 0,0 , 0 dan 3 72,39<br />

9 C 0,0 , 0 dan 4 99,91%<br />

10 C 0,0 , 1 dan 2 47,26%<br />

F12


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

11 C 0,0 , 1 dan 3 68,97%<br />

12 C 0,0 , 1 dan 4 100%<br />

13 C 0,0 , 2 dan 3 81,78%<br />

14 C 0,0 , 0, 1 dan 2 47,26%<br />

15 C 0,0 , 0, 1 dan 3 73,08%<br />

16 C 0,0 , 0, 2 dan 3 83,21%<br />

17 C 0,0 , 1 2 dan 3 85,85%<br />

18 C 0,0 , 0, 1, 2 dan 3 81,86%<br />

Berdasarkan Tabel 2, level resolusi yang terpilih<br />

adalah nilai R 2 tertinggi yaitu 100% pada level 1<br />

dan 4 dengan jumlah koefisien wavelet 18 serta 1<br />

koefisien pemulusan. Jadi, diperoleh dimensi baru<br />

dari variabel prediktor sehingga n > p.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih disampaikan kepada Direktorat<br />

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyrakat Dirjen<br />

Dikti, LPPM <strong>Unair</strong> yang telah membiayai penelitian<br />

ini, <strong>Departemen</strong> Statistika IPB, Dr. Sony Sunaryo,<br />

dan Anggreini Suprapti serta seluruh pihak yang<br />

telah meluangkan waktu dalam penyelesaian<br />

penelitian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Antoniadis, A, 2003. An Introduction to Wavelets<br />

and some Applications. Prancis, University<br />

Joseph Fourier, Laboratoire IMAG-LMC.<br />

Chen, D., Hu B., X., Shao., & Qingde, S. 2004,<br />

Variable Selection by Modified IPW<br />

(Iterative Predictor Weighting)-KTP (Partial<br />

Least Squares) in Continuos Wavelet<br />

Regression Models, www.-rsc.org/analyst.<br />

Chui, C. K, 1992. An Introduction to Wavelets.<br />

Academic Press.<br />

Draper, N.R & Smith, H., 1992. Analisis Regresi<br />

Terapan. Edisi Kedua. Jakarta: PT.<br />

GramediaPustaka Utama.<br />

Erfiani. 2005. Pengembangan Model Kalibrasi<br />

dengan Pendekatan Bayes (Kasus<br />

Tanaman Obat [Disertasi]. Bogor: Program<br />

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.<br />

Fitriani, A, 2010. Metode Regresi Kuadrat Terkecil<br />

Parsial Untuk Pra-Pemrosesan Data Luaran<br />

GCM CSIRO Mk-3 [Tugas Akhir]. Surabaya,<br />

Institut Teknologi Sepuluh November.<br />

Nason G. P, 2010. Wavelet Methods in Statistics<br />

with R. New York. Springer.<br />

Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Spektroskopi<br />

dalam Analisis Biologi. Bogor:<br />

Pusat Antar Univrsitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Matthias, O. 1999. Chemometrics: Statistics and<br />

Computer Apllication in Analytical<br />

Chemistry. New York: Wiley-VCH ISBN 3-<br />

527-29628-X.<br />

Mukid, A, 2009. Regresi Proses Gaussian untuk<br />

Pemodelan Kalibrasi [disertasi]. Bogor :<br />

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Mevik, B. & Ron W. 2007. Principal Component<br />

and Partial Least Squares Regression in R.<br />

Jurnal Software Statistik, www.jstatsoft.org.<br />

Qu Yinsheng, et al. 2003, Data Reduction Using a<br />

Discrete Wavelet Transform in Discriminant<br />

Analysis of Very High Dimensionality Data,<br />

Biometrics, Vol. 59, No. 1<br />

(Maret,2003),pp.143-151.<br />

Sinambela JM. 1985. Fitostandar dan Temulawak.<br />

Prosiding Simposium Nasional Temulawak.<br />

Bandung, 17 sepetember 1985. Lembaga<br />

Penelitian Universitas Padjajaran.<br />

Socrates G. 1994. Infared Characteristic Group<br />

Frequencies Tables and Charts. Edisi Ke-2.<br />

England : John Wiley and Sons.<br />

Sunaryo S. 2005. Model Kalibrasi dengan<br />

Transformasi Wavelet sebagai Metode Prapemrosesan<br />

[disertasi]. Bogor : Sekolah<br />

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.<br />

Suprapti, A, 2009. Pra-Pemrosesan Data Luaran<br />

GCM CSIRO-Mk3 dengan Metode<br />

Transformasi Wavelet Diskret [Tugas Akhir].<br />

Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh<br />

November.<br />

Walpole, E.R. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika<br />

untuk Insinyur dan Ilmuan, Edisi Keempat.<br />

Bandung: Penerbit ITB.<br />

Wigena, A.H. & Aunuddin. 1997. Metode PLS<br />

untuk Mengatasi Kolinearitas dalam<br />

Kalibrasi Ganda. Bogor, Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Vidacovic B, Meuller P. 1991. Wavelets for Kids. A<br />

Tutorial Introduction. AMS Subject<br />

Classification, Duke University.<br />

F13


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Keterkaitan Antara Angin Surya dengan Kejadian Badai Geomagnet<br />

Anwar Santoso<br />

Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa – Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />

Jln. DR. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 INDONESIA<br />

Email : anwar@bdg.lapan.go.id, war92_2000@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Perilaku komponen-komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw) dan IMF sebelum dan saat badai geomagnet<br />

menentukan terbentuknya badai geomagnet. Perkembangan badai geomagnet proporsional dengan pertumbuhan<br />

arus cincin yang dilambangkan oleh parameter VBz sehingga komponen kecepatan angin surya (Vsw) sangat<br />

diperhitungkan dalam setiap kegiatan prediksi badai geomagnet. Namun kenyataanya tidak demikian,<br />

adakalanya badai geomagnet terjadi ketika Nsw tinggi dan Vsw normal (rendah). Untuk mendapatkan gambaran<br />

bagaimana kaitan antara komponen-komponen angin surya dengan badai geomagnet maka penelitian ini<br />

menggunakan data angin surya (Nsw, Vsw dan Psw), IMF Bz(-) dan indeks Dst tahun 1996-2001 dengan metode<br />

analisis korelasi. Hasilnya adalah bahwa telah terjadi 44 kejadian badai geomagnet kuat (Dst < -100 nT) di<br />

sepanjang tahun 1996-2001. Hasil analisis lebih lanjut diperoleh bahwa dari 44 kejadian badai geomagnet<br />

tersebut, 9 kejadian diantaranya dipengaruhi dominan oleh komponen densitas angin surya (Nsw), 8 kejadian<br />

dipengaruhi dominan oleh kekuatan yang sama ketiga komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw), 1 kejadian<br />

dipengaruhi dominan oleh komponen tekanan angin surya (Psw) yaitu kejadian badai geomagnet tanggal 20 Juli<br />

2000 (Dst = -100 nT) dan sisanya 26 kejadian dipengaruhi dominan oleh komponen kecepatan angin surya<br />

(Vsw). Hal ini berarti bahwa komponen densitas (Nsw) dan tekanan (Psw) angin surya (terutama Nsw) patut<br />

untuk dipertimbangkan dalam kegiatan pemodelan maupun prediksi badai geomagnet, selain komponen<br />

kecepatan angin surya (Vsw) bersamaan dengan arah selatan medan magnet antar planet (IMF Bz(-)) sehingga<br />

akan didapatkan hasil yang sempurna.<br />

Kata Kunci : Badai geomagnet, geoeffectiveness, angin surya, Medan Magnet antar planet (IMF).<br />

PENDAHULUAN<br />

Badai geomagnet merupakan gangguan<br />

geomagnet yang terjadi di daerah lintang rendah dan<br />

sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang terjadi di<br />

permukaan matahari. Umumnya, tingkat gangguan<br />

geomagnet di daerah lintang rendah digunakan<br />

indeks Dst yaitu indeks yang menyatakan kuat arus<br />

di daerah ring current dan diperoleh dari rata-rata<br />

komponen H di stasiun Hermanus, Kakioka,<br />

Honolulu dan San Juan. Terjadinya gangguan<br />

geomagnet diawali oleh peristiwa di permukaan<br />

matahari yang dinamakan coronal mass ejection<br />

(CME) dan coronal holes.<br />

Ketika CME terjadi, energi dan partikel-partikel<br />

bermuatan terbawa serta oleh angin surya (solar<br />

wind) menjelajah ke seluruh ruang antar planet di<br />

jagad raya dalam 3 komponen yaitu komponen<br />

kecepatan angin surya (Vsw), komponen densitas<br />

angin surya (Nsw) dan komponen tekanan angin<br />

surya (Psw). Pada saat bertemu dengan magnetosfer<br />

bumi maka akan terjadi transfer energi dan<br />

momentum ke dalam magnetosfer melalui<br />

mekanisme rekoneksi yang selanjutnya memicu<br />

timbulnya perubahan sistem arus listrik di dalam<br />

magnetosfer dan juga ionosfer. Perubahan arus<br />

tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas<br />

magnetik di seluruh permukaan bumi yang<br />

dinamakan badai geomagnet. Dengan demikian,<br />

gangguan geomagnet yang dinamakan badai<br />

geomagnet sangat dikendalikan oleh perilaku<br />

kopling angin surya-magnetosfer bumi pada sebelum<br />

dan saat badai geomagnet berlangsung. Gangguan<br />

geomagnet akan semakin intens bersamaan dengan<br />

kondisi medan magnet antar planet (IMF Bz(-)) yang<br />

cenderung mengarah ke selatan (Burton et al., 1975;<br />

Gonzales et al., 1994; Nagatsuma, 2002; Ballatore<br />

and Gonzales, 2003; Maltsev, 2003).<br />

Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan<br />

masing-masing komponen angin surya dalam setiap<br />

kejadian badai geomagnet maka dalam makalah ini<br />

dilakukan penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengetahui jawaban atau gambarannya dengan<br />

menggunakan data indeks Dst, komponenkomponen<br />

angin surya dan interplanetary magnetis<br />

field (IMF) terutama arah selatan (Bz (-)) tahun<br />

1996-2001 yang dianalisis melalui metode analisis<br />

korelasi.<br />

DATA DAN METODA<br />

Untuk menyelesaikan permasalahan maka<br />

dibutuhkan data-data tahun 1996-2001 yang<br />

berkondisi baik dan dianalisis dengan metode<br />

statistik yaitu analisis korelasi.<br />

Data<br />

F14


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

* Indek Dst, untuk identifikasi kejadian badai<br />

geomagnet kuat (Dst < -100 nT).<br />

* Komponen kecepatan, densitas dan tekanan<br />

angin surya (Vsw, Nsw dan Psw) untuk bahan<br />

studi dan analisis keterkaitan<br />

* Komponen Bz(-) IMF untuk bahan studi dan<br />

analisis keterkaitan.<br />

B. Metodologi<br />

Langkah awal adalah identifikasi badai<br />

geomagnet menggunakan indeks Dst. Selanjutnya,<br />

dilakukan pengolahan data angin surya dan IMF Bz<br />

pada masing kejadian badai geomagnet untuk<br />

mendapatkan harga korelasinya. Kemudian<br />

dilakukan analisis dan pembahasan untuk<br />

menyelsaikan masalah.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

A. Hasil<br />

Hasil identifikasi badai geomagnet dengan indeks<br />

Dst dan juga hasil analisis korelasi antara<br />

komponen-komponen angin surya, medan magnet<br />

antar planet arah selatan dan kejadian badai<br />

geomagnet (diwakili oleh indeks Dst), ditunjukkan<br />

pada Tabel 1A dan Tabel 1B.<br />

TABEL IA Hasil Identifikasi Badai Geomagnet Dan Harga<br />

Korelasi Antara Komponen-Komponen Angin Surya, IMF Bz(-)<br />

Dengan Kejadian Badai Geomagnet (Indeks Dst) Tahun 1996-<br />

2001<br />

Waktu Dst<br />

Korelasi<br />

No Badai (nT) Vsw-Bz Vsw-<br />

Dst<br />

Nsw-Bz Nsw-Dst Psw-Bz Psw-<br />

Dst<br />

1 23 Okt 96 -101 0.15 -0.50 -0.66 -0.53 -0.599 -0.69<br />

2 21 Apr 97 -105 -0.89 -0.67 -0.12 0.30 -0.241 0.18<br />

3 6 Agt 98 -154 -0.76 -0.23 -0.13 -0.71 -0.262 -0.68<br />

4 9 Nop 98 -167 0.07 -0.48 0.86 0.79 0.866 0.63<br />

5 13 Nop 98 -169 0.19 0.52 0.74 0.64 0.742 0.69<br />

6 22 Sep 99 -198 -0.15 -0.31 0.25 0.36 0.0356 0.09<br />

7 22 Okt 99 -255 -0.16 -0.69 0.07 0.19 -0.047 -0.15<br />

8 5 Okt 00 -187 0.24 -0.52 -0.19 -0.52 -0.139 -0.61<br />

9 3 Okt 01 -167 0.06 0.79 -0.67 -0.59 -0.639 -0.34<br />

10 28 Okt 01 -172 -0.62 -0.87 -0.63 -0.91 -0.702 -0.89<br />

11 21 Okt 01 -198 -0.34 -0.92 -0.14 -0.54 -0.208 -0.72<br />

12 6 Nop 01 -292 0.65 -0.99 -0.74 0.99 -0.789 0.97<br />

13 24 Nop 01 -234 0.04 -0.69 -0.24 0.14 -0.237 0.08<br />

14 23 Jan 00 -102 -0.01 -0.12 0.22 0.22 0.196 0.24<br />

15 11 Jan 00 -100 -0.69 -0.84 0.26 0.66 0.021 0.39<br />

16 29 Nop 00 -117 -0.81 -0.20 -0.71 -0.38 -0.69 -0.32<br />

17 6 Nop 00 -168 -0.06 -0.31 -0.04 -0.61 -0.06 -0.59<br />

18 28 Okt 00 -145 -0.91 -0.87 0.08 0.24 -0.16 0.02<br />

19 17 Sep 00 -212 0.62 -0.71 -0.47 0.34 -0.04 -0.21<br />

20 12 Agt 00 -252 -0.08 -0.56 0.24 0.02 0.10 -0.32<br />

21 8 Jun 00 -100 -0.35 -0.54 -0.05 0.39 -0.13 0.167<br />

22 17 Mei 00 -101 -0.67 0.23 -0.38 -0.59 -0.49 -0.51<br />

23 6 Apr 00 -291 -0.96 -0.76 -0.86 -0.83 -0.91 -0.84<br />

TABEL IB Sambungan Tabel 1A<br />

No Waktu Dst<br />

Korelasi<br />

Badai (nT) Vsw-Bz Vsw-<br />

Dst<br />

Nsw-Bz Nsw-Dst Psw-Bz Psw-<br />

Dst<br />

24 25 sep 98 -265 -0.78 -0.82 0.29 0.64 0.09 0.42<br />

25 4 Mei 98 -208 -0.26 -0.79 -0.08 -0.59 -0.07 -0.66<br />

26 26 Jun 98 -109 -0.44 -0.59 0.19 0.42 0.22 0.39<br />

27 15 Mei 97 -145 -0.22 -0.81 0.05 0.54 -0.12 0.02<br />

28 3 Sep 97 -115 -0.09 -0.79 0.26 -0.06 0.11 -0.49<br />

29 23 Nop 97 -112 -0.23 0.49 -0.76 -0.40 -0.77 -0.27<br />

30 26 Sep 01 -106 -0.29 -0.83 -0.19 -0.06 -0.28 -0.27<br />

31 17 Agt 01 -104 -0.11 -0.45 0.03 -0.44 0.01 -0.46<br />

32 18 Apr 01 -109 -0.01 -0.60 -0.15 -0.28 -0.13 -0.34<br />

33 11 Apr 01 -289 -0.85 -0.79 -0.65 -0.58 -0.67 -0.63<br />

34 31 Mar 01 -398 -0.28 -0.70 0.07 -0.13 -0.06 -0.33<br />

35 20 Mar 01 -151 -0.83 -0.63 -0.51 -0.48 -0.69 -0.58<br />

36 12 Peb 00 -143 -0.14 0.32 -0.39 0.07 -0.39 0.053<br />

37 29 Okt 00 -145 -0.91 -0.87 0.08 0.24 -0.16 0.02<br />

38 14 Okt 00 -115 0.87 0.85 0.05 -0.35 0.42 0.02<br />

39 20 Jul 00 -100 -0.64 -0.36 0.15 -0.43 -0.10 -0.57<br />

40 15 Jul 00 -301 -0.55 -0.70 0.01 0.11 -0.23 -0.19<br />

41 24 Mei 00 -165 0.02 -0.13 -0.13 0.46 -0.15 0.45<br />

42 13 Jan 99 -170 -0.19 -0.79 -0.29 -0.79 -0.28 -0.83<br />

43 21 Mar 98 -106 0.34 -0.44 -0.26 0.47 -0.10 -0.05<br />

44 11 Okt 97 -123 -0.89 -0.85 -0.65 -0.55 -0.79 -0.69<br />

Keterangan warna :<br />

Merah : Korelasi terbesar terjadi antara komponen densitas dan tekanan<br />

angin surya (Nsw dan Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />

Biru<br />

: Korelasi hampir merata diantara ketiga komponen angin surya<br />

(Vsw, Nsw dan Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />

Hijau : Korelasi terbesar terjadi antara komponen tekanan angin surya<br />

(Psw) dengan Bz dan badai geomagnet<br />

Hitam : Korelasi terbesar terjadi antara komponen kecepatan angin surya<br />

dengan Bz dan badai geomagnet<br />

Untuk memperlengkapi analisis (pembahasan)<br />

maka diberikan plot jam-an komponen-komponen<br />

angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada 9 kejadian<br />

badai geomagnet yang terjadi oleh dominasi<br />

pengaruh densitas dan tekanan angin surya (Nsw dan<br />

Psw), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.<br />

23 Okt<br />

5Okt00<br />

29 Nop<br />

17 Mei<br />

6Agt98<br />

6Nop<br />

3 Okt 01<br />

23 Nop<br />

12 Peb 14 Okt<br />

Gambar 1. Pola perilaku komponen angin surya, IMF Bz dan<br />

indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan setelah badai geomagnet yang<br />

terjadi oleh dominasi pengaruh densitas dan tekanan angin surya<br />

pada kekuatan yang sama.<br />

Selain itu juga diberikan plot jam-an komponenkomponen<br />

angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada<br />

8 kejadian badai geomagnet yang terjadi oleh<br />

pengaruh ketiga komponen angin surya (Vsw, Nsw<br />

dan Psw) pada kekuatan yang hampir sama, seperti<br />

ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.<br />

F15


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

11 Apr<br />

01<br />

22 Okt<br />

99<br />

6 Apr 00<br />

13 Jan 99<br />

28 Okt<br />

00<br />

20 Mar<br />

01<br />

4 Mei 98<br />

11 Okt<br />

97<br />

Gambar 2. Pola perilaku komponen-komponen angin surya, IMF<br />

Bz dan indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan setelah badai<br />

geomagnet yang terjadi oleh pengaruh yang hampir sama dari<br />

ketiga komponen angin surya (Nsw, Vsw dan Psw).<br />

Sedangkan plot jam-an komponen-komponen<br />

angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada waktu<br />

badai geomagnet yang terjadi oleh dominasi<br />

pengaruh komponen tekanan angin surya (Psw),<br />

seperti ditunjukkan pada Gambar 3.<br />

Sedangkan, plot jam-an komponen-komponen<br />

angin surya, IMF Bz dan indeks Dst pada 26<br />

kejadian badai geomagnet yang terjadi oleh<br />

dominasi pengaruh komponen kecepatan angin surya<br />

(Nsw) tidak ditunjukkan dalam makalah ini dengan<br />

alasan efisiensi.<br />

B. Pembahasan<br />

Dari Tabel 1, ditunjukkan bahwa sepanjang<br />

tahun 1996-2001 telah diperoleh 44 kejadian badai<br />

geomagnet yang digunakan sebagai studi dan bahan<br />

analisis. Dari 44 kejadian badai geomagnet tersebut,<br />

26 kejadian terkait dengan dominasi komponen<br />

kecepatan angin surya (Vsw), 9 kejadian terkait<br />

dengan dominasi komponen kerapatan angin surya<br />

(Nsw dan Psw), 8 kejadian terkait dengan pengaruh<br />

yang sama di antara ketiga komponen angin surya<br />

(Vsw, Nsw, Psw) dan 1 kejadian terkait dengan<br />

dominasi hanya oleh komponen tekanan angin surya<br />

(Psw). Pemberian istilah dominasi dilakukan<br />

berdasarkan pada besarnya harga korelasi salah satu<br />

komponen angin surya dibandingkan komponen<br />

angin surya lainnya.<br />

Selain itu, pemberian istilah dominasi juga<br />

dilakukan berdasarkan analisis visual (penampakan)<br />

plot grafik pola perilaku variasi komponenkomponen<br />

angin surya, IMF Bz(-) dan indeks Dst<br />

pada sebelum, saat dan setelah badai geomagnet<br />

berlangsung. Keterkaitan atau dominasi masingmasing<br />

komponen angin surya dalam bentuk visual<br />

plot grafik, dapat dilihat pada :<br />

* Gambar 1 untuk kejadian badai geomagnet yang<br />

terkait dengan dominasi 2 komponen angin surya<br />

yang hampir sama kuatnya yaitu antara komponen<br />

densitas dan tekanan angin surya (Nsw dan Psw),<br />

dibandingkan dengan komponen kecepatan angin<br />

surya (Vsw),<br />

* Gambar 2 untuk kejadian badai geomagnet yang<br />

terkait dengan dominasi yang hampir sama<br />

kuatnya dari ketiga komponen angin surya (Vsw,<br />

Nsw dan Psw),<br />

* Gambar 3 untuk satu satunya kejadian badai<br />

geomagnet yang terkait dengan dominasi hanya<br />

oleh komponen tekanan angin surya (Psw).<br />

Untuk lebih jelasnya, pada masing-masing<br />

kondisi diambil satu kasus kejadian badai<br />

geomagnet dan dianalisis lebih detail berikut ini.<br />

20 Jul 00<br />

Gambar 3. Pola perilaku komponen-komponen angin surya, IMF<br />

Bz dan indeks Dst 2 hari sebelum, saat dan 2 hari setelah badai<br />

geomagnet yang terjadi oleh dominasi pengaruh komponen<br />

tekanan angin surya.<br />

F16


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

B1. Badai Geomagnet tanggal 3 Oktober 2001<br />

Badai geomagnet tanggal 3 Oktober 2001<br />

terjadi dengan kategori intensitas kuat (Dst = -167<br />

nT).<br />

signifikan bersamaan dengan arah ke selatan IMF.<br />

Kenaikan komponen kerapatan, kecepatan dan<br />

tekanan angin surya dengan dominasi yang hampir<br />

berbarengan waktu diduga kuat merupakan pemicu<br />

timbulnya kejadian badai geomagnet tanggal 6 April<br />

2000. Hal ini diperkuat dengan harga korelasi antara<br />

Vsw-Bz, Vsw-Dst, Nsw-Bz, Psw-Bz, Nsw-Dst dan<br />

Psw-Dst yang relatif besar rata-rata di atas -0.8.<br />

B3. Badai Geomagnet tanggal 20 Juli 2000<br />

Badai geomagnet tanggal 20 Juli 2000<br />

merupakan badai geomagnet kategori kuat dengan<br />

intensitas Dst = -100 nT.<br />

Gbr. 4-1. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />

dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 3 Oktober 2001<br />

Dari Gambar 4-1 pada daerah arsiran merah,<br />

tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />

(penurunan), komponen kerapatan dan tekanan<br />

angin surya mengalami kenaikan secara signifikan<br />

bersamaan dengan arah ke selatan IMF. Kondisikondisi<br />

angin surya dan IMF Bz diatas merupakan<br />

kondisi yang paling ideal untuk terbentuknya badai<br />

geomagnet dan pola Dst yang menurun merupakan<br />

indikasi adanya badai geomagnet. Dari Gambar 4-1<br />

juga tampak jelas bahwa komponen kecepatan angin<br />

surya pada waktu itu tidak mengalami kenaikan,<br />

sehingga diduga kuat bahwa kejadian badai<br />

geomagnet tanggal 3 Oktober 2001 dipengaruhi oleh<br />

kenaikan komponen kerapatan dan tekanan angin<br />

surya bersamaan dengan arah selatan IMF. Hal ini<br />

diperkuat dengan harga korelasi antara Nsw-Bz,<br />

Psw-Bz, Nsw-Dst dan Psw-Dst yang relatif cukup<br />

besar dan negatif (artinya Bz dan komponen angin<br />

surya yang normal harus berlawanan) masingmasing<br />

adalah -0.7, -0.6, -0,6 dan -0.4.<br />

B2. Badai Geomagnet tanggal 6 April 2000<br />

Badai geomagnet tanggal 6 April 2000<br />

merupakan badai geomagnet kategori kuat sebesar<br />

Dst = -291 nT.<br />

Gbr. 4-2. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />

dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 6 April 2000<br />

Dari Gambar 4-2 pada daerah arsiran biru,<br />

tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />

(penurunan), komponen kerapatan, kecepatan dan<br />

tekanan angin surya mengalami kenaikan secara<br />

Gbr. 4-3. Harga korelasi komponen-komponen angin surya<br />

dengan Bz dan Dst dan plotingnya tanggal 20 Juli 2000<br />

Dari Gambar 4-3 pada daerah arsiran hijau,<br />

tampak bahwa saat Dst mengalami depresi<br />

(penurunan), komponen tekanan angin surya<br />

mengalami kenaikan bersamaan dengan arah ke<br />

selatan IMF hanya sebesar -0.1. Walaupun<br />

demikian, korelasinya dengan penurunan Dst (Psw-<br />

Dst) adalah yang paling besar yaitu sebesar -0.6.<br />

Secara visual fenomena ini terlihat secara jelas.<br />

Penetapan bahwa kejadian badai geomagnet tanggal<br />

20 Juli 2000 dominan dipengaruhi oleh Psw<br />

didasarkan pada kenyataan bahwa Vsw-Bz dan<br />

Nsw-Bz berkorelasi kuat tetapi tidak efektif<br />

menyebabkan depresi terhadap penurunan Dst,<br />

terbukti dengan harga korelasi Vsw-Dst dan Nsw-<br />

Dst relatif kecil.<br />

KESIMPULAN<br />

Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini<br />

adalah bahwa dominasi pengaruh kecepatan angin<br />

surya bersamaan dengan arah selatan IMF sebagai<br />

pembentuk badai geomagnet tidak mutlak. Ada<br />

kalanya badai geomagnet terjadi ketika komponen<br />

kecepatan angin surya (Vsw) relatif lemah dan<br />

komponen kerapatan serta tekanan angin surya (Nsw<br />

dan Psw) relatif kuat bersamaan dengan arah selatan<br />

IMF. Untuk itu maka komponen densitas (Nsw) dan<br />

tekanan (Psw) angin surya (terutama Nsw) patut<br />

dipertimbangkan dalam kegiatan pemodelan maupun<br />

prediksi badai geomagnet bersamaan dengan arah<br />

selatan medan magnet antar planet (IMF Bz(-))<br />

sehingga akan didapatkan hasil yang lebih baik.<br />

F17


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya<br />

disampaikan kepada Kepala Bidang dan seluruh staf<br />

peneliti bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet<br />

Antariksa, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,<br />

LAPAN yang telah membantu baik langsung<br />

maupun tidak langsung tercapainya tujuan penelitian<br />

ini. Selain itu, ucapan terima kasih juga disampaikan<br />

kepada panitia Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> Terapan II<br />

2010, <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fakultas Saintek<br />

Universitas Airlangga<br />

Referensi<br />

Burton, R. K., R.L. McPherron, and C.T. Russel,<br />

“An empirical relationship between<br />

interplanetary conditions and Dst”, 1975,<br />

Journal of Geophysical Research, 80, pp.<br />

4204-4214.<br />

Gozales, W.D., J.A. Joselyn, Y. Kamide, H.W.<br />

Kroehl, G. Rostoker, B.T. Tsurutani, and<br />

V.M. Vasyliunas, “What is a geomagnetic<br />

storm?“, Journal of Geophysical Research,<br />

1994, 99, pp. 5771-5792.<br />

Nagatsuma T., “Geomagnetic storm”, 2002, Journal<br />

of the communications research laboratory,<br />

49, No. 3.<br />

Ballatore, P., and Gonzales W.D., “On the estimates<br />

of the ring current injection and decay”,<br />

2003, Earth planets space, 55, pp. 427-435.<br />

Maltsev, Y.P., “The points of controversy in<br />

magnetic storm study (Review)”, 2003,<br />

Physics of Auroral Phenomena, Proc. XXVI<br />

Annual Seminar, Apatity, pp33-40.<br />

F18


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Penerapan Jaringan Syaraf Learning Vector Quantization Pada<br />

Pendeteksian Kelainan Otak Ischemic Cerebral Infarction Dari Hasil<br />

Rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI)<br />

Auli Damayanti,S.Si.,M.Si 1 , Hellena Adhelya Mayangsari 2<br />

1,2 Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : aulid_fst_unair@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Stroke iskemik atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction merupakan salah satu jenis penyakit stroke yaitu<br />

penyakit gangguan peredaran darah pada otak yang utamanya menyerang manusia usia madya dan usia tua. Pada<br />

Stroke iskemik atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction terjadi iskemia atau berkurangnya aliran darah ke<br />

bagian tertentu dari otak yang pada akhirnya mengakibatkan kematian sel otak. Magnetic Resonance Imaging<br />

(MRI) merupakan salah satu peralatan radiologi yang dapat mendeteksi kelainan otak dan hasilnya berupa suatu<br />

citra (image). Pada penelitian ini, digunakan metode unsupervised neural network dengan arsitektur competitive<br />

layer neural network dan algoritma pembelajarannya adalah Learning Vector Quantization (LVQ), sebagai salah<br />

satu metode diagnosis kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction dari hasil Magnetic Resonance Imaging. Pada<br />

hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra yaitu grayscale,<br />

histogram equalization, dan segmentasi. Prosentase tingkat keberhasilan LVQ dalam mendeteksi kelainan otak<br />

Ischemic Cerebral Infarction pada proses uji validasi sebesar 95% dari 40 citra otak.iri.<br />

Kata kunci : kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction, jaringan saraf learning vector quantization,<br />

Magnetic Resonance Imaging (MRI).<br />

PENDAHULUAN<br />

Di negara-negara industri, penyakit stroke<br />

menduduki peringkat ketiga penyebab kematian<br />

setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke<br />

merupakan penyakit gangguan peredaran darah pada<br />

otak yang utamanya menyerang manusia usia madya<br />

dan usia tua. Stroke dapat digolongkan menjadi dua<br />

golongan besar yaitu stroke iskemik (infark) dan<br />

stroke perdarahan (hemoragik). Pada stroke iskemik<br />

atau kelainan otak Ischemic Cerebral Infarction,<br />

peristiwa yang terjadi adalah terjadinya iskemia atau<br />

berkurangnya aliran darah ke bagian tertentu dari<br />

otak yang pada akhirnya mengakibatkan kematian<br />

sel otak.<br />

Pendeteksian dan pendiagnosaan kelainan pada<br />

otak dilakukan oleh para radiolog dan dokter ahli.<br />

Peralatan radiologi yang berfungsi untuk mendeteksi<br />

penyakit otak salah satunya adalah Magnetic<br />

Resonance Imaging (MRI). Dengan menggunakan<br />

prinsip elektromagnetik, MRI ini akan menghasilkan<br />

image tubuh manusia. MRI berkaitan dengan radio<br />

frekuensi dan medan magnet yang dapat<br />

menghasilkan suatu citra (image) tanpa memakai<br />

radiasi ionisasi.<br />

Pemeriksaan citra (image) kelainan otak hasil<br />

rekaman MRI ini memerlukan ketelitian dan<br />

ketepatan tinggi. Otak merupakan organ tubuh yang<br />

letaknya tersembunyi sehingga sulit dideteksi<br />

dengan mata telanjang. Pada proses pendiagnosaan<br />

penyakit stroke iskemik (infark) dari gambar MRI,<br />

maka dalam penelitian ini dikembangkan suatu<br />

metode jaringan syaraf untuk mendeteksi kelainan<br />

otak ini.<br />

Jaringan syaraf merupakan suatu model<br />

komputasi yang bekerja meniru jaringan syaraf<br />

manusia. Jaringan syaraf ini akan menerima<br />

masukan berupa data numerik dari struktur objek<br />

yang mengalami pra proses data yaitu pengaturan<br />

dan perbaikan citra hasil rekaman MRI. Pra proses<br />

data tersebut meliputi proses grayscale, histogram<br />

equalization, segmentasi, normalisasi tingkat<br />

grayscale dari tiap segmen. Metode pembelajaran<br />

jaringan syaraf yang digunakan adalah Learning<br />

Vector Quantization (LVQ). Metode Learning<br />

Vector Quantization (LVQ) dipilih karena metode<br />

ini cukup mudah dan simpel serta tingkat<br />

keakuratannya tinggi. Dengan arsitektur jaringan<br />

syaraf ini diharapkan dapat bekerja cepat dan tepat<br />

dalam mendeteksi kelainan otak Ischemic Cerebral<br />

Infarction atau stroke iskemik (infark).<br />

LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ)<br />

Learning Vector Quantization (LVQ) adalah<br />

suatu metode untuk melakukan pembelajaran pada<br />

lapisan kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan<br />

kompetitif akan secara otomatis belajar untuk<br />

mengklasifikasikan vektor – vektor input. Kelaskelas<br />

yang didapatkan sebagai hasil dari lapisan<br />

kompetitif ini hanya tergantung pada jarak antara<br />

vektor-vektor input. Jika dua vektor input mendekati<br />

sama, maka lapisan kompetitif akan meletakkan<br />

kedua vektor input ke dalam kelas yang sama.<br />

(Kusumadewi, 2003)<br />

F19


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Algoritma Learning Vector Quantization adalah<br />

sebagai berikut<br />

1. Tetapkan bobot (W), maksimum epoh<br />

(MaxEpoh), Learning Rate (α), error minimum<br />

yang diharapkan (Eps)<br />

2. Masukkan :<br />

• Input : x(m,n)<br />

• Target : T(1,n)<br />

3. Tetapkan kondisi awal :<br />

• Epoh = 0<br />

• Pengurangan α sebesar 0,01* α<br />

4. Jika (epoh < MaxEpoh) atau (α > Eps),<br />

maka lakukan :<br />

i. Epoh = Epoh +1<br />

ii. Kerjakan untuk i = 1 sampai n<br />

1. Tentukan J sedemikian hingga ||x-w j ||<br />

minimum (sebut sebagai C j )<br />

2. Perbaiki w j dengan ketentuan :<br />

a. Jika T = Cj maka :<br />

w j (baru)= w j (lama)+α (x- w j (lama))<br />

b. Jika T ≠ Cj maka :<br />

w j (baru)= w j (lama)-α (x- w j (lama))<br />

iii. Kurangi nilai α = α - 0,01* α<br />

Gambar 2 Hasil citra sebelum dan sesudah greyscale.<br />

Gambar 3 Hasil histogram equalization dari citra greyscale<br />

Gambar 1 Arsitektur Jaringan Learning Vector Quantization<br />

Hasil Ujicoba dan Pembahasan<br />

Pada proses training, data yang digunakan<br />

sebanyak 12 citra otak hasil rekaman MRI.<br />

Sedangkan pada proses uji validasi, data yang<br />

digunakan sebanyak 40 citra otak hasil rekaman<br />

MRI yang berukuran 185 x 185 piksel. Data dari 12<br />

citra otak hasil rekaman MRI yang berukuran 185 x<br />

185 piksel akan diolah terlebih dahulu dengan<br />

prosedur pengolahan citra. Prosedur tersebut<br />

meliputi prosedur greyscale, prosedur histogram<br />

equalization, dan prosedur segmentasi. Hasil output<br />

dari prosedur pengolahan citra secara keseluruhan<br />

untuk 1 citra dapat dilihat pada gambar berikut.<br />

Gambar 4 Hasil segmentasi dari citra histogram equalization<br />

Hasil citra dari proses segmentasi dengan<br />

menggunakan bilangan segmen 5 piksel, diperoleh<br />

matriks segmentasi berukuran 37 x 37 piksel.<br />

Normalisasi dilakukan untuk membentuk matriks<br />

menjadi 1 kolom yaitu berukuran 1369 x 1 dan data<br />

tersebut akan digunakan pada proses pelatihan<br />

(training).<br />

F20


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

0.1 0.05 0.00001 45 70%<br />

0.1 0.05 0.00001 50 70%<br />

0.1 0.05 0.00001 60 60%<br />

Hasil terbaik diperoleh pada saat nilai<br />

maksimum epoh= 40, alpha=0.1, min alpha =<br />

0.00001 , dan dec alpha = 0.05 dengan bobot akhir<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Gambar 5. Matriks hasil segmentasi berukuran 37 x 37 dan matrik<br />

normalisasi berukuran 1369 x 1 untuk 1 citra<br />

Langkah pertama pada proses training adalah<br />

penentuan bobot awal. Bobot awal ini dipilih secara<br />

acak dari 12 data citra otak yang telah diproses pada<br />

prosedur pengolahan citra. Bobot awal ini terdiri<br />

dari 1 data citra normal dan 1 data citra citra infark.<br />

Data yang telah digunakan sebagai bobot awal tidak<br />

digunakan lagi sebagai inputan proses training<br />

jaringan syaraf LVQ. Data yang digunakan sebagai<br />

inputan proses training sebanyak 10 data citra otak<br />

yang terdiri dari 5 citra normal dan 5 citra infark.<br />

Tujuan dari proses training adalah untuk<br />

mendapatkan bobot optimal. Bobot optimal<br />

ini diperoleh setelah serangkaian percobaan<br />

dengan mengubah-ubah nilai parameter<br />

awal yaitu maksimum epoh, learning rate<br />

(alpha), min alpha, dan dec alpha.<br />

Percobaan dengan beberapa kombinasi<br />

nilai-nilai parameter awal dan prosentase<br />

kebenarannya dapat dilihat sebagai berikut<br />

Tabel 1<br />

Kombinasi parameter awal dan prosentase kebenaran<br />

Alpha<br />

Dec Min<br />

Prosentase<br />

Max.epoh<br />

alpha alpha<br />

Kebenaran<br />

0.1 0.02 0.00001 20 60%<br />

0.2 0.02 0.00001 20 50%<br />

0.3 0.02 0.00001 20 50%<br />

0.4 0.02 0.00001 20 50%<br />

0.5 0.02 0.00001 20 40%<br />

0.6 0.02 0.00001 20 50%<br />

0.7 0.02 0.00001 20 40%<br />

0.8 0.02 0.00001 20 30%<br />

0.9 0.02 0.00001 20 30%<br />

0.1 0.01 0.00001 20 80%<br />

0.1 0.002 0.00001 20 70%<br />

0.1 0.005 0.00001 20 50%<br />

0.1 0.03 0.00001 20 60%<br />

0.1 0.05 0.00001 20 90%<br />

0.1 0.07 0.00001 20 60%<br />

0.1 0.1 0.00001 20 40%<br />

0.1 0.5 0.00001 20 40%<br />

0.1 0.9 0.00001 20 30%<br />

0.1 0.05 0.00001 20 40%<br />

0.1 0.05 0.00001 30 70%<br />

0.1 0.05 0.00001 35 70%<br />

0.1 0.05 0.00001 40 100%<br />

Gambar 6 Matriks bobot akhir<br />

Berdasarkan bobot-bobot akhir tersebut,<br />

selanjutnya akan dilakukan pengujian menggunakan<br />

prosedur testing. Hasil output dari prosedur testing<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Gambar 7 Hasil proses testing<br />

Dari hasil output pada gambar 7, diperoleh<br />

kesimpulan bahwa bobot yang diperoleh merupakan<br />

bobot yang sudah optimal, karena mampu<br />

menghasilkan 100% kebenaran, dengan kata lain<br />

hasil output jaringan sesuai dengan target yang<br />

diharapkan. Langkah berikutnya adalah melakukan<br />

uji validasi program dan data yang digunakan untuk<br />

uji validasi program adalah data diluar data training.<br />

Proses pada uji validasi ini serupa dengan proses<br />

pada prosedur training, terlebih dahulu gambar akan<br />

diolah menggunakan pengolahan citra hingga<br />

diperoleh matrik image, kemudian dengan<br />

menggunakan bobot akhir (optimal) yang sudah<br />

diperoleh, akan dihitung hasil output program yang<br />

nantinya akan dicocokkan dengan diagnosa dokter.<br />

Pada penelitian ini dilakukan uji validasi terhadap 40<br />

citra otak yang terdiri dari 19 citra normal dan 21<br />

citra infark. Hasil uji validasi terlihat dalam tabel<br />

berikut:<br />

F21


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Table 2Hasil uji validasi 40 citra otak<br />

No. Nama Diagnosa Diagnosa Hasil<br />

Citra Dokter LVQ<br />

1 Normal1 Normal Normal Benar<br />

2 Normal2 Normal Normal Benar<br />

3 Normal3 Normal Normal Benar<br />

4 Normal4 Normal Normal Benar<br />

5 Normal5 Normal Normal Benar<br />

6 Normal6 Normal Normal Benar<br />

7 Normal7 Normal Normal Benar<br />

8 Normal8 Normal Normal Benar<br />

9 Normal9 Normal Normal Benar<br />

Dari hasil uji validasi diperoleh bahwa hasil<br />

identifikasi dari 2 citra tidak sesuai dengan hasil<br />

diagnosa dokter. Berdasarkan hasil tersebut<br />

maka prosentase validasi adalah sebesar 95%.<br />

Berikut akan diperlihatkan tampilan dari uji<br />

validasi programnya.<br />

10 Normal10 Normal Normal Benar<br />

11 Normal11 Normal Normal Benar<br />

12 Normal12 Normal Normal Benar<br />

13 Normal13 Normal Normal Benar<br />

14 Normal14 Normal Normal Benar<br />

15 Normal15 Normal Normal Benar<br />

16 Normal16 Normal Normal Benar<br />

17 Normal17 Normal Normal Benar<br />

18 Normal18 Normal Infark Salah<br />

19 Normal19 Normal Infark Salah<br />

20 Stroke1 Infark Infark Benar<br />

21 Stroke2 Infark Infark Benar<br />

22 Stroke3 Infark Infark Benar<br />

23 Stroke4 Infark Infark Benar<br />

24 Stroke5 Infark Infark Benar<br />

25 Stroke6 Infark Infark Benar<br />

26 Stroke7 Infark Infark Benar<br />

Gambar 8 Tampilan pada proses uji validasi<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Basuki, Ahmad., Jozua F. Palandi, Fatchurrochman,<br />

2005, Pengolahan Citra Digital<br />

menggunakan Visual Basic, Penerbit Graha<br />

Ilmu, Yogyakarta<br />

Desiani, Anita, Muhammad Arhami, 2006, Konsep<br />

Kecerdasan Buatan, Penerbit Andi,<br />

Yogyakarta.<br />

Hermawan, Arief, 2006, Jaringan Syaraf Tiruan<br />

Teori dan Aplikasi, Penerbit Andi,<br />

Yogyakarta<br />

Hestiningsih, Idha, Pengolahan Citra,<br />

http://idhaclassroom.com, 1 Juli 2009<br />

Kusumadewi, Sri, 2003, Artificial Intelligence<br />

(Teknik dan Aplikasinya), Penerbit Graha<br />

Ilmu, Yogyakarta<br />

27 Stroke8 Infark Infark Benar<br />

28 Stroke9 Infark Infark Benar<br />

29 Stroke10 Infark Infark Benar<br />

30 Stroke11 Infark Infark Benar<br />

31 Stroke12 Infark Infark Benar<br />

32 Stroke13 Infark Infark Benar<br />

33 Stroke14 Infark Infark Benar<br />

34 Stroke15 Infark Infark Benar<br />

35 Stroke16 Infark Infark Benar<br />

36 Stroke17 Infark Infark Benar<br />

37 Stroke18 Infark Infark Benar<br />

38 Stroke19 Infark Infark Benar<br />

39 Stroke20 Infark Infark Benar<br />

40 Stroke21 Infark Infark Benar<br />

F22


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengembangan Gold nanoparticles sebagai Agen Fototerapi untuk<br />

Terapi Kanker: Sintesis dan Analisis Spektrum Serapan<br />

Biantoro, Adri Supardi , Andi H Zaidan, Herri Trilaksana, Febdian Rusydi<br />

Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : biantoro.fisika06@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa gold nanoparticles dapat berperan sebagai photosensitizer dalam terapi<br />

fototermal. Salah satu cara membuat gold nanoparticles adalah dengan metode Turkevich. Karya tulis ini<br />

memaparkan variasi volume dan konsentrasi garam trisodium sitrat yang dapat memberikan tingkat keberhasilan<br />

sintesis gold nanoparticles terhadap perbedaan volume dan penambahan trisodium sitrat. Diperolehnya informasi<br />

berupa jumlah volume larutan dan diameter gold nanoparticles yang memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi<br />

nantinya digunakan sebagai acuan sintesis gold nanoparticles yang lebih efektif. Metode ini dilakukan dengan<br />

pemberian variasi volume dengan konsentrasi yang sama yang dibutuhkan untuk sintesis sehingga diperoleh<br />

hubungan antara tingkat keberhasilan sintesis terhadap variasi volume. Selain itu tingkat pemberian garam<br />

trisodium sitrat mempengaruhi besar diameter (radius) dari partikel yang dihasilkan. Dari hasil ini diperoleh nilai<br />

volume serta ukuran yang paling berhasil untuk sintesis gold nano particles.<br />

Kata kunci : Gold nanoparticles, SPR.<br />

PENDAHULUAN<br />

Gold nanoparticles memiliki potensi aplikasi<br />

dibidang kesehatan yaitu sebagai agen fototerapi<br />

kanker, biosensor dan lain-lain (Xiaohua et,al,<br />

2008). Gold nanoparticles memiliki panjang<br />

gelombang absorpsi dari gelombang<br />

elektromagnetik pada daerah cahaya tampak dan<br />

NIR (infra merah dekat), hal ini disebabkan oleh<br />

fenomena Surface Plasmonic Resonance (SPR)<br />

(S.Link, et.al 1999). Fenomena SPR menyebabkan<br />

osilasi kolektif dari elektron konduksi pada gold<br />

nanoparticles (ukuran partikel dalam orde 1/10<br />

panjang gelombang yang diberikan) setelah disinari<br />

dengan cahaya tampak. Panjang gelombang absorpsi<br />

puncak bergantung pada beberapa faktor seperti<br />

ukuran partikel dan bentuk partikel (S. Link,et al.<br />

2003).<br />

Salah satu aplikasi gold nanoparticles adalah<br />

sebagai agen fototerapi. Pada terapi fototermal agen<br />

bekerja secara efektif dan selektif memanaskan sel<br />

secara lokal, tanpa merusak sel di sekitarnya. Saat<br />

agen terapi fototermal (photosensitizer) menyerap<br />

cahaya, elektron mengalami resonansi plasmonik<br />

yang meningkatkan energi kinetik sehingga<br />

menghasilkan kalor yang menyebabkan kelebihan<br />

panas disekeliling atom tersebut. Panas yang<br />

dihasilkan digunakan untuk menghancurkan sel<br />

secara lokal (G. Jori et.al 1990).<br />

Karya tulis ini memaparkan bagaimana cara<br />

menyintesis gold nanoparticle dengan tingkat<br />

keberhasilan paling tinggi berdasarkan variasi<br />

volume dan konsentrasi trisodium sitrat.Metode<br />

sintesis merujuk pada metode Turkevich.<br />

METODE EKSPERIMEN<br />

Sintesis Gold Nanoparticles<br />

Dalam sintesis gold nanoparticles yang<br />

digunakan disini adalah metode Turkevich, hal ini<br />

dikarenakan memiliki metode yang sederhana jika<br />

dibandingkan dengan metode-metode yang lainnya<br />

(M. C Daniel, et.al 2004). Berikut ini adalah<br />

prosedur eksperimen yang dilakukan untuk<br />

menghasilkan koloid gold nanoparticles dalam air.<br />

Langkah awal yaitu dengan mengambil 0.01 persen<br />

dari (H[ ]) larutkan kedalam 50 ml air<br />

bidebilata (deioniozed water), hasilnya seharusnya<br />

larutan yang bewarna agak kekuning-kuningan,catat<br />

temperaturnya. Untuk selanjutnya memanaskan<br />

larutan ini sampai mendidih (1000C), catat waktu<br />

yang dibutuhkan. Melanjutkan pemanasan dan,<br />

sambil diaduk-aduk, menambahkan 380 µl 1 persen<br />

larutan trisodium sitrat, terus diaduk sampai terjadi<br />

perubahan warna. Warna larutan akan berangsurangsur<br />

berubah dari dari redup kekuning-kuningan<br />

kemudian berubah keabu abuan, kemudian keunguunguan<br />

ke ungu tua sampai menetap ke warna merah<br />

anggur, catat waktu yang dibutuhkan dari awal<br />

pemanasan. Kemudian menambahkan kembali air ke<br />

larutan yang berfungsi untuk mengembalikan<br />

volumenya 50 ml (menuju ke konsentrasi awal).<br />

Mengulang prosedur 1 sampai 5 dengan variasi<br />

penambahan trisodium sitrat yaitu dengan<br />

penambahan masing-masing 0.35 ml, 0.33 ml, 0.26<br />

ml, dan 0.23 ml untuk menghasilkan ukuran gold<br />

nanoparticles dengan diameter berbeda.Terakhir,<br />

Mengulang prosedur dengan variasi volume dengan<br />

konsetrasi (H[AuCl4]) dan trisodium sitrat yang<br />

sama.Penambahan ini mengikuti Tabel 1.<br />

F23


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 1. Penambahan trisodium sitrat untuk berbagai ukuran<br />

partikel (A.Sugunan et.al 2004)<br />

Pengukuran SPR<br />

Setelah diperoleh larutan koloidal gold<br />

nanoparticles, hasil sintesis ini selanjutnya<br />

dikarakterisasi menggunakan UV-VIS<br />

Spektrofotometer. Hasil dari karakterisasi ini berupa<br />

grafik hubungan antara absorpsi terhadap spektrum<br />

panjang gelombang seperti pada Gambar 1. Nilai<br />

dari SPR merupakan puncak panjang gelombang<br />

absorpsi dari gold nanoparticles.<br />

Gambar 1: Contoh grafik pengukuran spectrum absorbs(Bohren<br />

dan Huffman 2003 ).<br />

Penghitungan Diameter Partikel dari SPR<br />

Dua persamaan telah dikembangkan dari literatur<br />

untuk menentukan diameter dari gold nanoparticles.<br />

Satu persamaan diaplikasikan untuk nanopartikel<br />

yang memiliki diameter lebih besar dari 35 nm dan<br />

persamaan lainnya digunakan untuk gold<br />

nanoparticles yang memiliki diameter antara 5<br />

sampai 30 nm perbedaan persamaan untuk ukuran<br />

partikel gold nanoparticles yang lebih kecil bisa<br />

dikaitkan dengan bertambahnya rasio dari<br />

permukaan atom yang ukurannya nanometer<br />

terhadap atom dengan ukuran yang lebih besar(Jain<br />

et al 2006). Dari publikasi Haiss, untuk gold<br />

nanoparticles dengan diameter 35 sampai 100 nm,<br />

digunakan persamaan<br />

(1)<br />

dengan D adalah diameter dari gold nanopar ticles,<br />

adalah panjang gelombang puncak dari SPR, ,<br />

= 512, , = 6,53, dan, = 0,0216. Sedangkan<br />

untuk menghitung diameter gold nanoparticles<br />

dengan ukuran 5 sampai 30 nm, kita menggunakan<br />

persamaan Haiss yang lain yaitu<br />

(2)<br />

dengan adalah absorpsi unit (AU) saat<br />

panjang gelombang puncak SPR,<br />

(Mol/L) adalah jumlah emas yang<br />

digunakan untuk sintesis, =-4.75 , dan<br />

= 0.314 Kemudian data ini bisa<br />

ditampilkan ke dalam bentuk tabel seperti<br />

pada Tabel 2.<br />

ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />

P roses Pembentukan Gold nanoparticles<br />

Pembentukan gold nanoparticles pada skripsi ini<br />

dilakukan dengan reduksi ion emas. Dalam larutan<br />

asam tetracloroauric (<br />

), ditambahkan<br />

agen pereduksi berupa trisodium sitrat<br />

( ). Ion emas mengadsorbsi<br />

elektron dari agen pereduksi dan menjadi atom emas<br />

seperti yang dijelaskan pada reaksi dibawah ini<br />

+ + + (3)<br />

dengan inti dari berkumpul saat agen<br />

pereduksi menyedaiakan . Beberapa<br />

atom teragregasi membentuk partikel yang<br />

lebih besar dengan struktur sferis dengan<br />

diameter beberapa nanometer. Partikelpartikel<br />

ini kemudian menjadi koloid emas,<br />

proses pembentukan ini seperti pada<br />

Gambar 2 Karena adanya pelindung<br />

elektronik pada permukaan dalam proses<br />

pembentukan partikel koloid, reaksi ini<br />

kemudian bisa diselesaikan dalam ligans<br />

seperti sitrat. Sitrat ini menjebak ion emas<br />

pada awal proses dan mencegah gold<br />

nanoparticles dari aglomerasi 1diakhir proses.<br />

trisodium sitrat ini menyebabkan ion emas<br />

tidak bisa bebas (immobilizes) untuk<br />

bereaksi kimia dan mencegah setiap<br />

partikel tunggal untuk tumbuh dengan gaya<br />

repulsif elektrostatik. Sitrat ini terpasang<br />

pada gold nanoparticles dengan melakukan<br />

perlindungan satu lapis terhadap inti emas.<br />

Lapisan ini bertindak sebagai Monolayer<br />

Protected Clusters (MPCs) atau Pelindung<br />

bahan satu lapisan. Di sisi lain sitrat ini<br />

berfungsi untuk mensintesis gold<br />

nanoparticles dengan komponen lain.<br />

F24


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2: Nukleisasi gold nanoparticles.<br />

Pengaruh Konsentrasi Agen Pereduksi dalam<br />

Proses Pembentukan Gold nanoparticles<br />

Reaksi kimia yang diberikan oleh Persamaan (3)<br />

memiliki bentuk lengkap seperti di bawah ini,<br />

+<br />

+ (4)<br />

+ 8Cl+ + 3H<br />

Bentuk ini mempengaruhi rasio konsenrasi bahan<br />

yang bereaksi. Untuk alasan ini parameter<br />

konsentrasi diselidiki lebih terperinci. Karena<br />

konsentrasi ini sebagai salah satu penyebab<br />

kegagalan dalam proses sintesis gold nanopartikel.<br />

Dalam reaksi reduksi menghasilkan gold<br />

nanopartikel ini reaktan akan bereaksi<br />

sempurna(tidak ada yang tersisa) jika rasio massa<br />

asam tetracloroauric: trisodium sitrat adalah 1 : 1.31<br />

dan rasio molar adalah 2 : 3. Kemudian akan<br />

diketahui bahwa perbandingan massa atau rasio<br />

stoikiometri tidak menghabiskan reaktan. Hanya<br />

pada sampel D nilai rasio stoikiometrinya yang<br />

hampir mendekati reaksi sempurna. Sedangkan<br />

untuk volume sintesis yang lainnya memiliki rasio<br />

volume dan rasio stoikiometri yang sama.<br />

Sifat dari Reaktan<br />

Dalam sintesis gold nanopartikel terdiri dari dua<br />

senyawa yang bereaksi yaitu asam tetracloroauric<br />

dan trisodium sitrat. Masing masing bahan memiliki<br />

sifat yang berbeda baik pada titik leburnya, berat<br />

molekul serta kerapatannya. Untuk asam<br />

tetracloroauric penyusun utamanya adalah emas.<br />

Asam ini memiliki titik lebur C dengan<br />

kerapatan massa 3.9 gram/ pada temperatur<br />

C. Asam ini merupakan asam yang sangat<br />

kuat dan dapat diisolasi dengan penguapan larutan.<br />

Asam emas diketahui sebagai Emas(III) kompleks<br />

bersifat diamagnetik dengan konfigurasi elektron<br />

spin rendah 5d8 dan sebagian besar senyawa ini<br />

memiliki koordinat storeokimia persegi empat<br />

planar.<br />

Bahan reaktan yang lainnya adalah trisodiumsitrat<br />

yang bertindak sebagai reduktor. Trisodium sitrat ini<br />

memiliki titik lebur pada temperatur lebih besar dari<br />

C dengan kerapatan massa 1.7 gram/ pada<br />

temperatur 250 C. Massa molarnya adalah 258.069<br />

gram/mol.Ketika larut dalam air tetracloroauric<br />

menjadi dan trisodium sitrat menjadi<br />

. Oleh sebab itu reaksi<br />

seperti Persamaan (4) bisa terjadi. beberapa sifat<br />

fisis kedua reaktan ini memungkinkan terjadi reaksi<br />

pada temperatur C.<br />

Hasil Sintesis Gold nanoparticles<br />

Dalam penelitian ini diperoleh hasil berupa koloid<br />

emas dengan berbagai ukuran. dan untuk<br />

mengetahui tingkat keberhasilan bisa dilihat dari<br />

grafik absorbsi untuk masing-masing sampel. Kalau<br />

mengacu dengan grafik absorbsinya maka hasil yang<br />

hampir memenuhi grafik spektrum serapan hanya<br />

pada sampel F1,F2,F3 dan F4 yaitu pada rasio 2.50<br />

untuk karena memiliki kecenderungan yang<br />

sama dengan teori. Selain dengan metode spektrum<br />

serapan, bisa dilihat bahwa sintesis yang bisa<br />

digunakan acuan yaitu nilai radius yang nilai<br />

ketidakpastiannya paling kecil,kalau dari hasil ini<br />

maka rasio 1.14 yang paling baik. Hasil ini<br />

menunjukkan hubungan rasio emas terhadap sitrat.<br />

Gambar 3: Garfik hubungan antara ukuran partikel terhadap rasio<br />

l /trisodium sitrat.<br />

Dengan hasil penelitian ini, yang sesuai dengan<br />

Gambar 3 masih belum bisa diambil sebuah<br />

hubungan rasio HAuCl4/sitrat terhadap ukuran<br />

partikel secara pasti atau dituangkan dalam bentuk<br />

sebuah hubungan persamaan. Hal ini disebabkan<br />

oleh penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan<br />

harapan. selain itu, banyaknya faktor yang tidak<br />

dapat dikontrol dalam penelitian ini turut serta<br />

mempengaruhi hasil.<br />

Stabilitas Koloid<br />

Koloid emas yang sedang kita pelajari ini<br />

merupakan tipe dari contoh koloid liofob2 seperti<br />

protein, yang secara termodinamika sudah stabil.<br />

Energi bebas Gibbs dari sistem koloid liofob bernilai<br />

minimum saat partikel berkondensasi dengan kristal<br />

yang lebih besar sehingga tidak stabil secara<br />

elektrostatik. Koloid yang stabil secara kinetik yaitu<br />

dengan adanya energi penghalang berupa energi<br />

tolak (energi repulsif) mencegah partikel saling<br />

bertumbukan atau mencegah terjadinya kontak.<br />

F25


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Secara umum ada dua mekanisme sehingga agregasi<br />

(penggumpalan) dapat dihindari:<br />

1. Baik muatanpositif maupun negatif bisa<br />

diberikan dalam partikel jika partikel<br />

memiliki muatan yang sama, sehingga akan<br />

tolak-menolak ketika saling berdekatan.<br />

2. Partikel bisa dilapisi dengan lapisan<br />

teradsopsi yang mencegah partikel untuk saling<br />

mendekat.<br />

Mekanisme pertama disebut dengan stabilisasi<br />

elektrostatik dan yang kedua sebagai stabilisasi<br />

sterik3. Sistem koloid tidak stabil jika tumbukan<br />

terjadi antar partikelnya sehingga membentuk<br />

agregat yang disebut dengan koagulasi.<br />

Kegagalan Proses Sintesis<br />

Dari ulasan subbab-subbab sebelumnya dapat<br />

diambil beberapa alasan yang kuat mengapa dalam<br />

proses sintesis gold nanoparticles pada tugas akhir<br />

ini tidak sesuai dengan harapan. Penyebab kegagalan<br />

pertama yaitu perbandingan molar reaksi pada<br />

reaktan yang tidak bereaksi habis. Bisa diketahui<br />

bahwa perbandingan molar yang sesuai adalah 2:3<br />

dan perbandingan massanya adalah 1:1.31 untuk<br />

asam tetracloroauric terhadap trisodium sitrat.<br />

Sedangkan pada tugas akhir ini perbandingan<br />

massanya adalah sesuai dengan Tabel 1. Dengan<br />

perbandingan seperti ini ada sisa dari reaktan yang<br />

secara langsung mempengaruhi hasil reaksi(gold<br />

nanoparticles), karena proses pemisahan sisa<br />

reaktan dan hasil reaksi tidak bisa dipisahkan dalam<br />

tugas akhir ini. Penyebab selanjutnya adalah gold<br />

nanopartikel yang dihasilkan tidak stabil, karena<br />

proses penstabilan dengan metode elektostatik, yang<br />

diketahui tidak terlaalu baik. Ditambah lagi sisa sisa<br />

reaksi tentunya mempengaruhi proses penstabilan.<br />

Selain itu adanya partikel dari luar seperti debu yang<br />

masuk kedalam larutan tidak dapat dihindarkan<br />

selama proses reaksi karena tidak bisa terkontrol.<br />

Dari dua sebab ini bisa diketahui bahwa ini cukup<br />

untuk menjelaskan ketidaksesuaian proses sintesi<br />

gold nanoparticles.<br />

Kesimpulan<br />

Diperolehnya informasi berupa jumlah volume<br />

larutan dan diameter gold nanoparticles yang<br />

memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi nantinya<br />

digunakan sebagai acuan sintesis gold nanoparticles<br />

untuk kedepannya. Selain itu dengan data ini<br />

menambah wawasan tentang pengaruh volume serta<br />

penambahan trisodium sitrat terhadap ukuran<br />

partikel dalam sintesis gold nanoparticles.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

H. Xiaohua, K.J. Prashat, and H.E. Ivan. (2008).<br />

Plasmonic Photothermal Therapy (PPTT)<br />

using Gold nanoparticles. Laser Med. Sci.<br />

S. Link and M. A. El-Sayed, 1999), Size and<br />

Temperature Dependence of the Plasmon<br />

Absorption of Colloidal Gold nanoparticles,<br />

J.Phys. Chem. B .103, 4212-4217.<br />

S. Link and M. A. El-Sayed, (2003). Ann. Rev.<br />

Phys.Chem., Vol. 54. 331-366.<br />

G. Jori and J. D. Spikes. (1990). Photothermal<br />

Sensitizers: Possible Use in Tumor Therapy.<br />

J. Photochem Photobiol B. Biol,<br />

M.C Daniel and D. Astruc, , (2004) .Chem. Rev.,<br />

Vol 40293-346.<br />

C. F. Bohren and D. R. Hufman, (2003)..<br />

Absorptionand Scattering of Light by Small<br />

Particles.Wiley-VCH.<br />

A.Sugunan, C. Thanachayanont, J. Dutta, P. Julland,<br />

and J.G. Hillborn. (2004) Synthesis of Bio-<br />

Compatible Gold nanoparticles. J. Appl Phys.<br />

Jain, Lee, El-Sayed, and M.A. El-Sayed. 2006),<br />

Calculated Absorption and Scattering<br />

Properties of Gold nanoparticles of Di_erent<br />

Size,Shape, and Composition: Applications<br />

in Biological Imaging and Biomedicine, J.<br />

Phys.Chem. B (110, 7238-7248.<br />

F26


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sistem Peringatan Dini (EWS) berbasis SMS yang terintegrasi dengan<br />

Badan Meteorologi dan Geofisika<br />

Farid Andriansyah Zakaria<br />

Email: farid@fsaintek.unair.ac.id<br />

Abstrak<br />

Early Warning System adalah suatu software yang memberikan peringatan dini akan terjadinya gempa / tsunami.<br />

Software ini menggunakan informasi gempa dalam format XML yang ada pada situs BMKG<br />

(http://bmkg.go.id/dataXML/) selanjutnya informasi tersebut akan dikirimkan melalui sms ke pihak yang<br />

berkepentingan misal : Satkorlak Bencana Alam, POLRI, maupun warga masyarakat yang berada pada daerah<br />

gempa untuk mempersiapkan diri akan terjadinya gempa. Selain dari itu, EWS juga akan menyimpan laporan<br />

pasca kejadian gempa, misal: Lokasi Kejadian, Tanggal dan Waktu, Jumlah Korban Jiwa, Jumlah Kerugian<br />

Material, maupun kronologis kejadian gempa.<br />

Kata Kunci: SMS, XML, Laporan Pasca Gempa.<br />

PENDAHULUAN.<br />

Kejadian gempa ditanah air akhir-akhir ini sering<br />

terjadi, Hal ini karena letak geografis Negara<br />

Indonesia berada pada rantai gunung berapi Pasifik<br />

dan rantai gunung berapi Asiatis. Pasca gempa<br />

tsunami diaceh yang berkekuatan 9,5 SR yang<br />

menyebabkan sekitar 5000 korban jiwa dan Milyaran<br />

kerugian material membuat pemerintah memperbaiki<br />

Sistem Peringatan Dini Gempa dengan meletakkan<br />

sensor gempa di sekitar samudra hindia dan samudra<br />

Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Badan<br />

Meteorologi dan Geofisika juga memberikan informasi<br />

kejadian gempa/tsunami melalui website BMKG<br />

(http://www.bmkg.go.id/dataXML/), meskipun selisih<br />

waktu antara akan datangnya gempa dan tsunami<br />

sangat singkat namun hal ini dapat mempersiapkan<br />

warga masyarakat yang ada didaerah gempa untuk<br />

mempersiapkan diri menghadapi gempa. Seiring<br />

dengan usaha pemerintah untuk memperkecil korban<br />

jiwa / material, penelitian ini untuk memberikan<br />

sumbangan pemikiran untuk memperkecil jumlah<br />

korban jiwa dengan jalan membuat software system<br />

peringatan dini berbasis sms.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 di<br />

Laboratorium <strong>Fisika</strong> Komputasi <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong><br />

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.<br />

Alur dari Software Sistem Peringatan Dini Gempa<br />

adalah sebagai berikut :<br />

START<br />

//membaca info gempa BMKG<br />

XMLDocument1.FileName:=databmkg+'autogempa.xml';<br />

Child:=XMLDocument1.DocumentElement.DOMNode.firstChild;<br />

nilaibaris:= Child.childNodes.Item[j].firstChild.nodeValue;<br />

SQL.Add('insert into AUTOGEMPA()values(' + nilaibaris + ')');<br />

pkedalaman[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[5].Value;<br />

pwilayah[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[7].Value+',<br />

potensi[g]:=ADOQuery1.Recordset.Fields.Item[12].Value;<br />

//cek potensi tsunami/tdk<br />

Pos('tidak',potensi[g]) > 0<br />

yes<br />

//kirim sms tsunami ke no.hp daerah kejadian<br />

pjenis[g]:=’TSUNAMI’;<br />

pesan[g]:='Peringatan Gempa. Tanggal: '+ptgl[g]+',<br />

Koordinat:'+pco[g]+', Lintang:'+plintang[g]+',<br />

Bujur:'+pbujur[g]+', Kekuatan:'+pmagnitude[g]+',<br />

Dikedalaman:'+pkedalaman[g]+',<br />

Wilayah:'+pwilayah[g];<br />

END<br />

Gambar 1. Alur Proses Sensor EWS<br />

EWS memiliki dua software utama, software<br />

pertama adalah software sensor ews yang berupa<br />

aplikasi desktop berguna untuk pembacaan data XML<br />

dari bmkg, mengirim sms melalui sms gateway ke<br />

nomor hp pihak yang berkepentingan di daerah sekitar<br />

kejadian. Software yang kedua adalah software<br />

website ews yang berupa aplikasi web menggunakan<br />

bahasa pemrograman PHP untuk menginput nomor hp<br />

pihak yang berkepentingan dan memasukkan laporan<br />

pasca gempa/tsunami.<br />

Software sensor EWS memiliki alur proses sebagai<br />

berikut :<br />

3. Membaca data dari BMKG berupa XML yang<br />

selanjutnya diterjemahkan oleh program sensor<br />

EWS<br />

4. Mengirimkan pesan sms ke no. hp yang sudah<br />

terdaftar dalam program sensor EWS<br />

5. Selesai<br />

no<br />

//kirim sms gempa ke no.hp daerah kejadian<br />

pjenis[g]:='GEMPA';<br />

pesan[g]:='Peringatan Gempa. Tanggal: '+ptgl[g]+',<br />

Koordinat:'+pco[g]+', Lintang:'+plintang[g]+',<br />

Bujur:'+pbujur[g]+', Kekuatan:'+pmagnitude[g]+',<br />

Dikedalaman:'+pkedalaman[g]+',<br />

Wilayah:'+pwilayah[g];<br />

F27


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Software website EWS memiliki alur proses sebagai<br />

berikut :<br />

1. Mendata no.hp pihak yang terkait<br />

2. Mendata data pasca gempa/tsunami jika terjadi<br />

gempa<br />

3. Melaporkan kejadian pasca gempa/tsunami<br />

4. Selesai<br />

Informasi tersebut dicek dahulu kedatabase sensor<br />

EWS jika kejadian gempa tidak pernah terjadi maka<br />

dikirimkan SMS ke pihak yang berkepentingan yang<br />

sudah didaftar dalam website EWS jika data tersebut<br />

sudah pernah terjadi maka tidak perlu dikirimkan<br />

SMS. Tampilan dari SMS peringatan gempa/tsunami<br />

seperti gambar dibawah ini<br />

START<br />

Input no.hp<br />

Query.Add:=insert into hp()values<br />

(‘nohp’,alt,long,’idprov’,’idkota’);<br />

If gempa=1<br />

//sirine gempa dijalankan<br />

media.play:=sirine.wav<br />

Input Data Pasca Gempa<br />

K_Materi:=Materi.txt<br />

K_Jiwa:=Jiwa.txt<br />

Kronologis:=kronolog.txt<br />

Gambar 3. Tampilan SMS dari Sensor EWS<br />

Berikut dibawah ini adalah program sensor EWS<br />

menggunakan bahasa pemrograman Delphi.<br />

END<br />

Gambar 2. Alur Proses Website EWS<br />

HASIL UJICOBA DAN PEMBAHASAN<br />

Pada proses pembacaan data autogempa.xml yang<br />

merupakan acuan bencana gempa/tsunami dari situs<br />

bmkg:<br />

<br />

<br />

<br />

20-Nov-08<br />

04:16:04 WIB<br />

124.46,4.37<br />

<br />

98.00 BT<br />

6.17 LS<br />

5.4 SR<br />

70 Km<br />

imagesSWF/m3b.swf<br />

193 km BaratLaut JAKARTA<br />

PUSAT<br />

berpotensi TSUNAMI<br />

<br />

<br />

Setelah diparsing menggunakan program sensor EWS<br />

didapatkan informasi sebagai berikut:<br />

5. Tanggal Kejadian<br />

6. Jam Kejadian<br />

7. Koordinat Gempa<br />

8. Lintang<br />

9. Bujur<br />

10. Kekuatan Gempa<br />

11. Kedalaman Pusat Gempa<br />

12. Wilayah Gempa<br />

Gambar 4. Tampilan Program Sensor EWS<br />

Gambar 5. Tampilan Website EWS<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Dari hasil uji coba program EWS dapat<br />

disimpulkan bahwa program Sensor EWS dapat<br />

berjalan normal jika format data yang diterima dari<br />

website BMKG konsisten baik dari format tanggal,<br />

format jam dan field-field dari data XML yang tetap.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Aziz, M. Farid., 2001, Belajar Sendiri Pemrograman<br />

PHP, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta<br />

Website BMG,http://bmkg.go.id/dataXML/<br />

Kusnassryanto, Saiful,2007, Pemrograman Delphi,<br />

Penerbit Informatika, Bandung<br />

F28


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Study Karakteristik Levitasi Magnet Pada Dua Rol Tembaga yang Berputar<br />

Dengan Model Kereta Maglev Sebagai Pengembangan Industri<br />

Transportasi Masa Depan<br />

Galih STA Bangga 1 , Hendro Nurhadi 2<br />

1,2 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS<br />

Email : probability.schrodinger@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Pada makalah ini akan dibahas mengenai study karakteristik levitasi magnet pada dua rol tembaga yang<br />

berputar sebagai pemodelan kereta maglev dengan metode numerik. Disini akan dibahas mengenai<br />

bagaimanakah pengaruh kecepatan putaran motor, massa model kereta maglev, gap antara dua rol tembaga yang<br />

digunakan serta diameter roll tembaga itu sendiri sebagai variabel bebas. Dengan metode numerik dilakukan<br />

analisa agar didapatkan parameter yang optimal pada model kereta maglev ini. Didapatkan perbandingan antara<br />

kecepatan putaran, massa beban, gap serta diameter rol yang disajikan dalam secara grafik dan dapat digunakan<br />

sebagai referensi pemodelan kereta maglev. Dengan diketahuinya parameter yang sesuai, maka dapat digunakan<br />

sebagai dasar dalam desain kereta maglev sebagai industri yang potensial pada sistem transportasi masa depan.<br />

1. Pendahuluan<br />

Di Indonesia, pertambahan jumlah kendaraan<br />

berkisar antara 8 - 12% per-tahun, sedangkan<br />

pertambahan panjang jalan berkisar antara 2 - 5%<br />

per-tahun dengan rata-rata jaringan jalan di<br />

Indonesia kurang dari 4% dari total luas wilayah<br />

kota (Dirjen Perhubungan Darat, 1998). Hal ini<br />

menimbulkan masalah tersendiri di bidang<br />

transportasi dan lalu lintas, yaitu kemacetan. Oleh<br />

karena itu, pemerintah dipacu untuk melakukan<br />

perubahan sistem dan inovasi di bidang transportasi<br />

darat seperti perubahan penggunaan kereta listrik<br />

diganti menjadi penggunaan kereta cepat yang<br />

menggunakan prinsisp levitasi magnet yang biasa<br />

disebut kereta maglev.<br />

Salah satu faktor yang penting dalam<br />

merancang sistem transportasi ini adalah harus<br />

memperhatikan kestabilan dari levitasi magnet itu<br />

sendiri, karena tidak mungkin membuat suatu<br />

levitasi magnet stabil hanya dengan menggunakan<br />

magnet permanen saja sesuai dengan teori Earnshaw<br />

yang menyatakan bahwa setidaknya ada satu arah<br />

yang harus secara aktif stabil.<br />

Berdasarkan Braunbeck levitasi yang stabil<br />

dimungkinkan apabila material diamagnetik ada<br />

pada sistem. Pada 1939 eksperimen yang dilakukan<br />

berhasil membuat levitasi magnet stabil dengan<br />

menggunakan material diamagnetik bismuth dan<br />

karbon pirolitik. Kendall memperagakan eksperimen<br />

pembanding dan mengajukan beberapa aplikasi<br />

praktis yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah<br />

untuk melevitasikan material diamagnetik organik<br />

pada medan magnet yang besar. Pada 2004<br />

Lyuksyutov mempublikasikan hasil eksperimen dan<br />

posisi pico- atau femto-droplets dan partikel dan tiga<br />

tahun kemudian Chetouani mempublikasikan<br />

levitasi diamagnetik pada sel hidup. Semua hal<br />

tersebut dilakukan dengan melevitasikan material<br />

diamagnetik di atas magnet permanet maupun<br />

elektromagnet. Namun, sedikit yang dilakukan<br />

penelitian mengenai levitasi magnet permanen di<br />

atas material diamagnetik (Kee-Bong Choi, 2003) .<br />

Kasus dimana magnet dilevitasikan oleh bahan<br />

diamagnetik dapat dibedakan menjadi dua situasi :<br />

1. Situasi klasik, dimana magnet dilevitasikan<br />

oleh susunan magnet yang fixed, namun<br />

levitasi ini tidaklah stabil sehingga harus<br />

diberikan bahan diamagnetik untuk<br />

kestabilan.<br />

2. Situasi kedua, dimana magnet permanen<br />

dilevitasikan di atas material diamagnetik<br />

menggunakan magnetisasi khusus dari<br />

material diamagnetik itu sendiri.<br />

Levitasi magnet di atas material diamagnetik<br />

jenis kedua dapat terjadi karena material<br />

diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnet yang<br />

negatif sehingga material mengalami tolakan oleh<br />

sumber magnet itu sendiri. Efek ini dikarenakan<br />

elektron merubah orbitnya untuk malawan medan<br />

magnet yang diberikan. Fenomena ini adalah bentuk<br />

dari hukum Lenz dalam skala atomik. Gaya<br />

diamagnetik yang timbul dapat diekspresikan secara<br />

matematis sebagai :<br />

(1)<br />

dimana adalah medan magnet pada bahan, V<br />

adalah volume obyek diamagnetik,<br />

permeabilitas ruang hampa serta adalah<br />

suseptibilitas magnet dalam bentuk matriks ordo<br />

3x3, dimana suseptibilitas magnet pada dan<br />

F29


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

diluar bidang serta yang tidak lain ada<br />

pada diagonal.<br />

Gambar 1 : Hasil eksperimen semi analitis dimensi model kereta maglev<br />

Gambar 1 menjelaskan mengenai hasil<br />

eksperimen semi analitis yang dilakukan mengenai<br />

ketinggian levitasi magnet terhadap dimensi dari<br />

model kereta berdasarkan untuk magnetisasi magnet<br />

yang seragam (garis kontinu) yang biasa disebut<br />

dipolar dan magnetisasi magnet multipolar (garis<br />

putus-putus). Dari penelitian Profijt didaapatkan<br />

perbandingan optimum antara diameter dengan<br />

ketebalan magnet yang optimum untuk dilevitasikan<br />

di atas Highly Oriented Pyrolytic Graphite (H.B.<br />

Profijt et al., 2009).<br />

Paper ini membahas bagaimana magnet yang<br />

melayang di atas dua roll tembaga yang berputar,<br />

prinsip kerja dari penelitian ini mirip seperti cara<br />

kerja mainan anak-anak yg disebut levitron. Prinsip<br />

utama yang digunakan untuk levitasi ini disebut<br />

“Adiabatic approximation” (S. Gov et al., 1999).<br />

Pada saat benda dilevitasikan, titik momen magnetk<br />

yang ada akan antiparalel dengan magnetisasi dari<br />

landasan untuk mensuplai gaya tolak magnet yang<br />

akan melawan gaya gravitasi.<br />

Saat berlevitasi, levitron mengalami osilasi lateral<br />

yang pelan ( ) dibandingkan<br />

persesinya (<br />

). Kemudian, itupun<br />

lebih kecil dibandingkan spin nya ( ).<br />

Berdasarkan keaadaan ini, spin terjadi di daerah<br />

sekitar medan magnet lokal H (Adiabatic<br />

approximation). Secara rata-rata momen titik<br />

magnetik µ antiparalel dengan garis medan magnet<br />

lokal. Dimana energi efektif dari sistem dapat<br />

dirumuskan :<br />

(2)<br />

dimana m adalah massa levitron, g adalah<br />

pecepatan gravitasi serta z adalah ketinggian levitasi.<br />

Gambar 2 : levitasi magnet pada levitron di dekat titik<br />

keseimbangan<br />

F30


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

2. Levitasi Model Kereta Maglev<br />

Pada paper ini, model penelitian yang dilakukan mirip dengan cara kerja levitron. Hanya saja pada penelitian<br />

ini, bukan benda yang melayang yang berputar, melainkan lintasan atau landasan yang berupa roll yang terbuat<br />

dari tembaga.<br />

Karena kemiripannya, maka persamaan yang dikembangkan untuk menganalisa sistem ini dapat<br />

menggunakan pendekatan seperti levitron. Ditentukan bahwa titik keseimbangan ada pada sumbu simetri,<br />

dimana H sejajar g .<br />

Gambar 3 : Pemodelan vektor pada sistem levitasi magnet permanen di atas dua roll tembaga yang berputar<br />

Berdasarkan pendekatan menurut levitron, maka dapat digunakan pemodelan matematika sebagai berikut,<br />

dimana medan magnet pada bahan H diuraikan dalam fungsi ρ dan z<br />

(3)<br />

dimana , dan adalah medan magnet vertikal yang merupakan turunan pertama dan kedua<br />

sepanjang arah sumbu z secara berturut-turut pada posisi seimbang dimana H akan sejajar percepatan gravitasi g<br />

.<br />

Energi potensial pada magnet yang melayang sebagai model kereta maglev ini adalah penjumlahan dari energi<br />

interaksi antara dipol magnet dengan medan magnet itu sendiri ditambah dengan energi potensial gravitasi yang<br />

dipengaruhi oleh gaya berat dari model kereta maglev ini.<br />

(4)<br />

dimana pada energi potensial akibat interaksi momen dipol magnet dengan medan magnet pada persamaan di<br />

atas muncul angka 2, hal ini dikarenakan ada dua roll tembaga, sehingga akan ada dua potensial magnetik akibat<br />

dua rol tersebut.<br />

Persamaan gerak untuk sistem tersebut sebagai berikut dimana<br />

adalah<br />

(5)<br />

F31


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

3. Keadaan Stasioner<br />

Pada keadaan stasioner, model akan berada pada<br />

titik simetri, dimana jarak r antara magnet dengan<br />

pusat rol 1 dengan rol 2 akan sama sehingga<br />

mensyaratkan dan konstan. Dengan<br />

mensubtitusikan syarat ini pada persamaan 5<br />

menghasilkan<br />

(6)<br />

dan 5. Dimana pada keadaan stasioner<br />

persamaan 6 juga akan valid, sehingga massa<br />

magnet akan berbanding terbalik dengan<br />

ketinggian levitasi. Hal ini sudah jelas terlihat,<br />

karena dengan bertambahnya massa magnet<br />

yang dilevitasikan, gaya berat yang harus<br />

dilawan oleh gaya diamagnetik magnet akan<br />

semakin besar sehingga ketinggian levitasi pun<br />

akan berkurang.<br />

4. Pemodelan Matematika Performance Indicator<br />

pada keadaan stasioiner<br />

Pada paper ini, yang dimaksudkan sebagai<br />

performance indikator adalah ketingian dari levitasi<br />

itu sendiri. Ketinggian dari levitasi ini merupakan<br />

fungsi dari kecepatan putaran roll tembaga, gap<br />

antara dua roll, massa magnet yang dilevitasikan.<br />

Dimana dengan semakin besarnya rol, gaya<br />

diamagnetik yang terjadi akan semakin besar. Hal<br />

sebaliknya terjadi pada pengaruh besarnya gap. Rol<br />

yang semakin besar akan menghasilkan luasan<br />

permukaan yang lebih besar, sesuai dengan<br />

pesamaan 1 maka dengan panjang rol konstan, akan<br />

dihasilkan volume yang lebih besar sehingga gaya<br />

diamagnet juga akan lebih besar pula.<br />

Dengan membuat perbandingan dimensi antara<br />

diameter roll dengan gap konstan yang dapat<br />

diformulasikan :<br />

(7)<br />

maka akan didapat besaran tanpa dimensi yang<br />

dapat digunakan dalam menentukan perbandingan<br />

ideal diameter dengan gap terhadap levitasi magnet<br />

yang optimum. Dimana berdasarkan pendekatan<br />

semi analitis didapatkan bahwa rasio gap dengan<br />

diameter terdadap ketinggian levitasi menunjukan<br />

kecenderungan yang mendekati linier hingga pada<br />

akhirnya ketinggian levitasi yang diperoleh akan<br />

bernilai konstan seterlah frekuensi natural<br />

tercapai untuk besar medan magnet yang konstan.<br />

Gambar 5 : Grafik kecenderungan pengaruh massa magnet<br />

terhadap ketinggian levitasi<br />

Sedangkan untuk pemodelan matematika<br />

berdasarkan kecepatan putaran rol tembaga<br />

pada titik stasioner dapat menggunakan<br />

pendekatan sebagai berikut:<br />

(8)<br />

(9)<br />

dimana L adalah momentum sudut dan I adalah<br />

momen inersia rol tembaga yang berbentuk<br />

silinder. Dengan mensubtitusikan persamaan 9<br />

ke persamaan 8 maka didapatkan hubungan :<br />

(10)<br />

dengan ω adalahkecepatan putaran rol tembaga.<br />

Sehingga dapat dibuat bentuk hubungan dalam<br />

persamaan integral<br />

(11)<br />

Dengan dimensi dan massa konstan, maka ruas<br />

kiri persamaan 11 dapat dengan mudah<br />

diselesaikan. Bahan yang digunakan juga sama,<br />

karena itu ruas kanan persamaan 11 juga<br />

bernilai konstan, sehingga<br />

Gambar 4 : Grafik kecenderungan pengaruh perbandingan<br />

diameter rol dengan gap terhadap ketinggian levitasi<br />

Pada analisa mengenai massa magnet yang<br />

dilevitasikan daat menggunakan persamaan 4<br />

untuk , persamaan 11 dapat dituliskan menjadi :<br />

(12)<br />

F32


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Konstanta C disini akan secara langsung<br />

mempengaruhi ketinggian levitasi karena<br />

berdasarkan persamaan 4 levitasi akan sangat<br />

dipengaruhi oleh Hdan μ.<br />

Gambar 6 : Grafik kecenderungan pengaruh kecepatan putaran rol<br />

tembaga terhadap ketinggian levitasi<br />

Daftar Pustaka<br />

S. Earnshaw. (1842). Trans. Cambridge Philos. Soc.,<br />

7, 97.<br />

Kee-Bong Choi. (2003), Stabilization of one<br />

degree-of-freedom control type levitation<br />

table with permanent magnet repulsive<br />

forces, Mechatronics, 13, 587–603.<br />

W. Braunbek. (1939) , Z. Phys, 112 753.<br />

B.R.F. Kendall, M.F. Vollero, L.D. Hinkle, J. Vac.<br />

Sci. (1987) , Technol. A, 5, 2458.<br />

I.F. Lyuksyutov, D.G. Naugle, K.D.D. Rathnayaka.<br />

(2004) , A.P.L., 85, 1817.<br />

H. Chetouani, V. Haguet, C. Jeandey, C. Pigot, A.<br />

Walther, N.M. Dempsey, F. Chatelain, B.<br />

Delinchant, G. Reyne. (2007), IEEE<br />

Transducers Eurosensors, 715.<br />

H.B. Profijt, C.Pigot, G.Reyne, R.M.Grechishkin,<br />

O.Cugat. (2009), Stable diamagnetic selflevitation<br />

of a micro-magnet by improvement<br />

of its magnetic gradients, Journal of<br />

Magnetism and Magnetic Materials, 321,<br />

259–262.<br />

R. Pelrine, Am. Sci. (2004), 92, 428.<br />

S. Gov, S. Shtrikman, H. Thomas. (1999), On the<br />

dynamical stability of the hovering magnetic<br />

top, Physica D, 126, 214–224.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan<br />

bahawa besarnya perbandingan antara diameter rol<br />

tembaga dengan gap dan kecepatan putaran rol<br />

tembaga akan sebanding dengan ketinggian levitasi<br />

sampai pada frekuensi natural ketinggian levitasi<br />

akan cenderung konstan. Hal sebaliknya terjadi pada<br />

parameter massa magnet yang dilevitasikan, dengan<br />

bertambahnya massa magnet, ketinggian levitasi<br />

akan semakin kecil dengan medan magnet yang<br />

sama.<br />

F33


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Telaah Perubahan Variasi Harian Komponen H Geomagnet Menggunakan<br />

Metode Analisis Harmonik<br />

Habirun<br />

Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa<br />

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />

Jln. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 INDONESIA<br />

Email :<br />

Abstrak<br />

Pada telaah perubahan pola karakteristik variasi harian komponen H geomagnet menggunakan metode analisis<br />

Harmonik dan dikaitkan terhadap periode dampak radiasi matahari. Selain itu diperhitungkan pula dampak<br />

periode gaya tarik bulan terhadap bumi dan dampak periode dari antar planet. Analisis perubahan variasi harian<br />

komponen H geomagnet difokuskan pada dampak radiasi matahari berperiode 24 jam, bulan 12 jam dan<br />

planetari periode 6 jam. Dengan menggunakan data variasi harian komponen H geomagnet yang diamati dari<br />

stasiun pengamat geomagnet Tangerang tahun 1996 sampai dengan tahun 2004. Hasil analisis perubahan variasi<br />

harian komponen H yang diperoleh dibagi dalam dua bagian yakni berfluktuasi maksimum dan minimum. (i)<br />

Galat model berfluktuasi maksimum tertinggi 33,79 nT dan terendah -108,86 nT dengan perubahan data variasi<br />

harian komponen H sebesar 1261 nT dan terkecil 942 nT, berdasarkan perubahan data variasi harian komponen<br />

H tahun 1999. (ii) Sedangkan galat model berfluktuasi minimum tertinggi 14,67 nT sedangkan terkecil -16,62 nT<br />

dengan perubahan data variasi harian komponen H terbesar 1139 nT dan terkecil 756 nT, sesuai perubahan data<br />

variasi harian komponen H tahun 1996 dan 1997. Kemudian pola tahunan variasi harian komponen H geomagnet<br />

dengan menggunakan model polinom mempunyai pola yang bervariasi<br />

Keywords Komponen medan Geomagnet, Analisis Harmonik.<br />

PENDAHULUAN<br />

Karakteristik variasi harian komponen H<br />

geomagnet sangat kompleks, berfluktuasi dan<br />

dinamis akibat dipengaruhi berbagai aktivitas<br />

gangguan antara lain dari aktivitas matahari bersifat<br />

jangka panjang dan jangka pendek. Gangguan<br />

jangka panjang diakibatkan aktivitas matahari sesuai<br />

siklus bilangan sunspot berperiode sekitar 11 tahun.<br />

Demikian pula gangguan aktivitas matahari jangka<br />

pendek yang bersifat temporal seperti dampak<br />

aktivitas flare, CME (Coronal Mass Ejection) dan<br />

coronal hole mempengaruhi variasi harian<br />

komponen H geomagnet dengan durasi sekitar jam<br />

hingga hari. Indikasi gangguan masing-masing area<br />

akibat matahari maupun dari permukaan bumi secara<br />

umum telah diketahui dengan baik. Oleh karena itu<br />

indikasi dampak gangguan yang berpengaruh pada<br />

medan magnet bumi (geomagnet) sejak dulu hingga<br />

sekarang telah diketahui dari masing-masing tempat<br />

seperti indeks K menyatakan tingkat gangguan<br />

geomagnet lokal, indeks Dst untuk daerah ekuator<br />

dan seterusnya.<br />

Berkaitan dengan itu pada uraian ini dibahas<br />

telaah variasi harian komponen H menggunakan<br />

metode analisis Harmonik yang difokuskan pada<br />

variasi harian komponen H. Menggunakan data<br />

variasi harian komponen H dari stasiun pengamat<br />

geomagnet Tangerang. Dengan tujuan yang ingin<br />

dicapai adalah tingkat fluktuasi perubahan variasi<br />

harian komponen H pada aktivitas matahari<br />

minimum hingga maksimum, aktivitas minimum<br />

tahun 1996 dan maksimum sekitar tahun 1999-2000<br />

serta tahun 2004 kembali menuju minimum. Selain<br />

itu model variasi harian komponen H tersebut dapat<br />

pula digunakan sebagai sarana untuk mendeteksi<br />

dampak aktivitas gangguan dari matahari dan<br />

permukaan bumi. Indikasi aktivitas matahari<br />

khususnya dianalisis menggunakan variasi harian<br />

komponen H. Sedikit kajian untuk informasi yang<br />

diperoleh ini diberikan hasil analisis sebagai contoh,<br />

tetapi pada topik pembahasan dalam uraian ini hanya<br />

difokuskan pada telaah model variasi harian<br />

komponen H saat aktivitas matahari minimum<br />

hingga maksimum.<br />

Sedangkan analisis penentuan model variasi<br />

harian komponen H akibat dampak gangguan jangka<br />

pendek yang menyebabkan badai magnet merupakan<br />

sebuah fenomena multi bentuk yang memperlihatkan<br />

proses-proses fisik transfer energi dari solar wind ke<br />

magnetosfer bumi yang terdistribusi dalam sistem<br />

kopling magnetosfer-ionosfer dalam bentuk arus<br />

listrik. Ada dua katagori berkenaan dengan badai<br />

magnet X.-Y [4] : (i) recurrent storms yang berkaitan<br />

dengan periode 27 harian rotasi matahari dan (ii)<br />

nonrecurent storms. Recurent storms berkaitan<br />

dengan badai sedang dan umumnya tidak berkorelasi<br />

dengan bilangan sunspot (bintik matahari).<br />

Nonrecurrent storms berkaitan dengan badai kuat<br />

yang disebut badai magnet SSC(Storms Sudden<br />

Commencemment) dan terjadi disekitar matahari<br />

maksimum [1] . Pada pembahasan ini karakteristik<br />

F34


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

variasi harian komponen H geomagnet jangka<br />

pendek saat terjadi badai magnet seperti tersebut di<br />

atas tidak dibahas. Karena telaah model ini hanya<br />

berdasarkan dampak gangguan-gangguan yang<br />

sifatnya reguler.<br />

DATA DAN METODE<br />

Data<br />

Dalam analisis telaah variasi harian komponen H<br />

geomagnet pada uraian ini digunakan data variasi<br />

harian komponen H geomagnet dari stasiun<br />

pengamat geomagnet BMG Tangerang tahun 1996<br />

sampai dengan tahun 2004. Masing-masing data<br />

variasi harian komponen H geomagnet diamati<br />

dalam interval detik, kemudian diubah kedalam<br />

menit dan menit dalam jaman. Perubahan data<br />

variasi harian komponen H dari detik hingga kejaman<br />

dilakukan perata-rataan setiap jam pada bulan<br />

tertentu. Dengan pengolahan data menggunakan<br />

rata-rata ini tidak lain untuk mengeliminasi titik-titik<br />

data variasi harian komponen H yang ekstrim dan<br />

pengaruh gangguan yang tidak diketahui sumbernya<br />

(acak). Setelah data variasi harian komponen H<br />

geomagnet terbebas dari titik-titik yang ekstrim dan<br />

pengaruh gangguan-gangguan acak, kemudian<br />

dilakukan analisis telaah karakteristik variasi harian<br />

komponen H sesuai metode yang terurai pada pasal<br />

2.2.<br />

Metode<br />

Analisis telaah variasi harian komponen H<br />

geomagnet menggunakan metode deret Fourier dan<br />

Harmonik analisis ([2], [3]) , dengan dikaitkan terhadap<br />

dampak periode dominan variasi harian yang<br />

berperiode 24 jam, 12 jam dan 6 jam. Sedangkan<br />

fluktuasi variasi harian komponen geomagnet yang<br />

tidak normal atau pada saat terjadi badai magnet<br />

dalam analisis ini tidak diperhitungkan. Karena<br />

fluktuasi variasi harian komponen H geomagnet<br />

pada saat badai magnet kadang-kadang mempunyai<br />

multi pola maka dari itu model variasi harian<br />

komponen H geomagnet pada saat badai mempunyai<br />

akurasi lebih rendah. Oleh karena itu telaah variasi<br />

harian komponen H dari masing-masing aktivitas<br />

matahari dari maksimum hingga minimum tidak<br />

akan memberikan akurasi model yang lebih tinggi.<br />

Sesuai uraian sebelumnya model variasi<br />

harian komponen H geomagnet secara<br />

matematis dirumuskan [5] sebagai berikut :<br />

X<br />

t<br />

= μ + RCos ( ω<br />

t<br />

+ φ ) + ε<br />

…. (2.1)<br />

kemudian persamaan (2.1) disederhanakan dan dapat<br />

pula ditulis dalam persamaan (2.2)<br />

t<br />

X<br />

t<br />

= X + ACos ω<br />

t<br />

+ BSin ω<br />

t<br />

+ ε<br />

t<br />

…. (2.2)<br />

dengan Xt fungsi variasi harian komponen<br />

H medan magnet bumi yang ke-t dan<br />

konstanta-konstanta model persamaan (2.2)<br />

dihitung menggunakan metode kuadrat<br />

terkecil. Berarti minimumkan galat model<br />

εt. dan didefinisikan fungsi F( X ,R,φ) =<br />

F(μ,R,φ,ω) adalah<br />

N<br />

N<br />

2<br />

∑ ε<br />

t<br />

= F μ , R , φ , ω ) = ∑<br />

t = 1 t = 1<br />

( ( X − μ − ACos ω − BSin ω )<br />

Fungsi F( X ,R, φ) masing-masing<br />

diminimumkan terhadap X , A dan B<br />

kemudian samakan dengan nol yang<br />

dinyatakan oleh,<br />

∂ ε ( X , R , φ ) , ∂ ε ( X , R , φ )<br />

= 0<br />

= 0<br />

,<br />

∂ X<br />

∂ A<br />

∂ ε ( X , R , φ )<br />

= 0<br />

∂ B<br />

konstanta, amplitudo dan sudut fasa model dapat<br />

dihitung sebagi berikut ;<br />

N<br />

1<br />

X = ∑ X<br />

t<br />

N t = i<br />

N<br />

2<br />

A<br />

m<br />

= ∑ ( X<br />

t<br />

− X ) Cos ω<br />

t<br />

N t = 1<br />

N<br />

2<br />

.(2.3)<br />

B<br />

m<br />

= ∑ ( X<br />

t<br />

− X ) Sin ω<br />

t<br />

N t = 1<br />

2 2<br />

Amplitudo R<br />

m<br />

= A<br />

m<br />

+ B<br />

m<br />

Sudut fasa − B<br />

m<br />

φ<br />

m<br />

= arctan( ) , Am > 0<br />

A<br />

m<br />

Galat model ditentukan berdasarkan selisih<br />

antara data pengamatan terhadap model, dengan<br />

dinyatakan oleh<br />

X t(data) – X t(model) = ε t (2.4)<br />

Barisan galat yang diperoleh dari persamaan (2.4),<br />

galat model dapat dihitung dengan persamaan (2.5)<br />

adalah<br />

N<br />

2<br />

Sgalat = ∑ ( ε<br />

t<br />

− ε )<br />

(2.5)<br />

t = 1<br />

N<br />

Nilai batas X t perubahan variasi harian komponen<br />

H medan magnet bumi, fluktuasi komponen H yang<br />

diijinkan oleh model sekitar<br />

X t = X (model) ± z α S gala …. (2.6)<br />

α suatu toleransi perubahan model komponen H dan<br />

harga z α diperoleh dari kurva distribusi Gauss pada<br />

α diambil 5 % sehingga diperoleh harga z α = 1,96.<br />

Dengan demikian persamaan (2.6) dapat dinyatakan<br />

sebagai;<br />

t<br />

t<br />

t<br />

2<br />

F35


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Xt = X(model) ± 1,96 Sgalat …. (2.7)<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Visualisasi hasil analisis telaah karakteristik<br />

perubahan variasi harian komponen H geomagnet<br />

dari aktivitas matahari minimum sampai dengan<br />

aktivitas matahari maksimum pada bagian ini<br />

diuraikan dalam dua bentuk yakni secara kualitatif<br />

dilukiskan berupa gambar-gambar. Sedangkan hasil<br />

analisis variasi harian komponen H secara kuantitatif<br />

dilukiskan berupa angka-angka dan disajikan dalam<br />

bentuk tabel. Dalam analisis variasi harian<br />

komponen H pola tahunan diidentifikasi<br />

menggunakan model polinom orde 4. Hasil analisis<br />

data variasi harian komponen H secara kuantitatif<br />

sesuai kondisi akurasi model dari tahun 1996 sampai<br />

dengan tahun 2004 dilihat tabel 1<br />

Tahu<br />

n<br />

TABEL 1<br />

PERUBAHAN DATA DAN MODEL VARIASI HARIAN<br />

KOMPONEN H GEOMAGNET TAHUNAN TAHUN 1996 -<br />

2004 BERDASARKAN NILAI GALAT, RATA-RATA,<br />

MINIMUM DAN MAKSIMUM DARI STASIUN PENGAMAT<br />

GEOMAGNET BMG TANGERANG<br />

Galat<br />

Maks.<br />

Galat Rata-rata Minimum Naksimum<br />

Min. model data model data model data<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />

1996 14.67 -18.11 941.60 941.60 850.10 854 984.43 990<br />

1997 28.29 -16.62 939.84 939.84 756.39 756 1128.40 1139<br />

1998 20.48 -48.91 1032.05 1032.05 935.89 933 1094.77 1111<br />

1999 33.79 -108.86 1110.55 1110.56 977.36 942 1246.81 1261<br />

2000 20.21 -18.56 112.63 112.64 62.17 64 186.78 199<br />

2001 19.36 -17.77 160.99 160.99 130.17 135 198.54 217<br />

2002 28.89 -29.44 142.74 142.75 68.14 75 237.11 258<br />

2003 22.76 -32.84 184.34 184.34 125.03 110 232.54 247<br />

2004 18.56 -19.51 191.61 191.62 105.18 111 287.81 297<br />

Sesuai hasil analisis telaah dengan menggunakan<br />

metode analisis Harmonik dan deret Fourier yang<br />

diuraikan pada pasal dua di atas maka tingkat<br />

perubahan variasi harian komponen H setiap tahun<br />

dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2004 dapat<br />

dilihat pada tabel 1. Dengan galat model berfluktuasi<br />

maksimum atau terbesar dinyatakan variasi harian<br />

komponen H tahun 1999 pada kolom 2 sebesar<br />

33,79 nT serta galat model terkecil pada kolom 3<br />

sebesar -108,86 nT, dengan data perubahan terbesar<br />

1261 nT dan terkecil 942 nT kolom 9 dan 8.<br />

Demikian pula galat model berflukutuasi minimum<br />

variasi harian komponen H terbesar 14,67 nT pada<br />

kolom 2 sedangkan terkecil -16,62 nT kolom 3 dan<br />

perubahan data variasi harian komponen H terbesar<br />

1139 nT dan terkecl 756 nT, sesuai perubahan data<br />

variasi harian komponen H tahun 1996 dan 1997.<br />

Berkaitan hasil analisis telaah yang diungkapkan<br />

di atas berdasarkan data variasi harian komponen H<br />

tahunan dari 1996-2004 dapat dilihat pada gambar 1.<br />

Pada gambar 1 terlihat data variasi harian komponen<br />

H maksimum dan minimum dari seluruh tahun, yang<br />

sangat berfluktuasi 1261 nT tahun 1999 turun hingga<br />

199 nT tahun 2000. Sedangkan pada gambar 2<br />

menyatakan perubahan galat model variasi harian<br />

komponen H geomagnet tahunan dari 1996-2004<br />

dan pola fluktuasinya tidak mengikuti pola data<br />

variasi harian komponen H dan mempunyai pola<br />

tersentu pula. Dengan berubahan galat model variasi<br />

harian komponen H yang lebih menonjol hanya<br />

terlihat pada tahun 1999, karena pada saat itu<br />

aktivitas matahari sekitar maksimum sehingga<br />

dampaknya pada medan magnet bumi (geomagnet)<br />

terutama variasi harian komponen H cukup<br />

berfluktuasi. Kemudian data variasi harian<br />

komponen H gambar 1 dilakukan analisis<br />

menggunakan metode Harmonik analisis sehingga<br />

hasilnya dapat dilihat pada gambar 3, sedangkan<br />

polanya sama dan mengikuti pola yang terlihat pada<br />

Gambar 1.<br />

H(nT)<br />

1400<br />

1200<br />

1000<br />

800<br />

600<br />

400<br />

200<br />

0<br />

Perubahan data variasi harian komponen H dari tahun 1996 - 2004<br />

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />

Tahun<br />

Minimum<br />

Maksimum<br />

Gbr. 1. Perubahan karakteristik data variasi harian komponen<br />

H geomagnet tahun dari tahun 1996-2004 stasiun pengamat<br />

geomagnet BMG Tangerang<br />

H(nT)<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

-20<br />

-40<br />

-60<br />

-80<br />

-100<br />

-120<br />

Perubahan galat maksimum dan minimum dari tahun 1996 - 2004<br />

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />

Tahun<br />

galat maks<br />

galat min.<br />

Gbr. 2. Perubahan karakteristik galat model variasi harian<br />

komponen H geomagnet maksimum dan minimum tahunan dari<br />

tahun 1996-2004 stasiun pengamat geomagnet BMG Tangerang.<br />

H(nT)<br />

1400<br />

1200<br />

1000<br />

800<br />

600<br />

400<br />

200<br />

0<br />

Perubahan data dan model variasi harian komponen H dari tahun 1996-2004<br />

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004<br />

Tahun<br />

model Minimum<br />

data minimum<br />

model maksimum<br />

data maksimum<br />

Gbr.3. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />

komponen H geomagnet maksimum hingga minimum tahunan<br />

dari tahun 1996-2004 stasiun pengamat geomagnet BMG<br />

Tangerang<br />

Selanjutnya, analisis data dan model variasi<br />

harian komponen H geomagnet yang diungkapkan di<br />

atas masih dalam bentuk umum, karena setiap titik<br />

perubahan dipandang dalam jangka waktu tahunan.<br />

Untuk lebih jelasnya kondisi karakteristik variasi<br />

harian komponen H geomagnet itu dikaji lebih<br />

dalam berdasarkan kondisi pola bulanan yang<br />

dinyatakan pola harian. Artinya pola variasi harian<br />

komponen H selama satu bulan dilakukan peratarataan<br />

sehingga diperoleh variasi harian komponen<br />

H bulanan. Dengan hasil analisis terlihat pola variasi<br />

harian komponen H bulanan menggunakan metode<br />

analisis Harmonik dan pola tahunan menggunakan<br />

model polinom orde 4. Hasil analisis data variasi<br />

F36


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

harian komponen H masing-masing tahun<br />

dinyatakan gambar 4a dan 4b.<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 1996<br />

1050<br />

1000<br />

950<br />

900<br />

850<br />

model<br />

800<br />

Komp.H<br />

Poly. (Komp.H)<br />

750<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

-5<br />

-10<br />

-15<br />

-20<br />

1200<br />

1150<br />

1100<br />

1050<br />

1000<br />

950<br />

900<br />

850<br />

800<br />

750<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

Perubahan Galat Model tahun 1996<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 1997<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

model<br />

Komp.H<br />

Poly. (Komp.H)<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2000<br />

210<br />

190<br />

170<br />

150<br />

130<br />

110<br />

model<br />

90<br />

Komp.H<br />

70<br />

50<br />

Poly. (Komp.H)<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

Perubahan galat model tahun 2000<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2001<br />

240<br />

220<br />

200<br />

180<br />

160<br />

140<br />

model<br />

120<br />

Komp.H<br />

100<br />

Poly. (Komp.H)<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

Perubahan galat model tahun 2001<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

H(nT)<br />

Perubahan galat model tahun 1997<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

-5<br />

-10<br />

-15<br />

-20<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

H(nT)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2002<br />

300<br />

250<br />

200<br />

150<br />

model<br />

100<br />

Komp.H<br />

50<br />

Poly. (Komp.H)<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

H(nT)<br />

Data terhadap variasi harian komponen H tahun1998<br />

1150<br />

1100<br />

1050<br />

1000<br />

950<br />

900<br />

model<br />

850<br />

Komp.H<br />

800<br />

Poly. (Komp.H)<br />

750<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

H(nT)<br />

Perubahan galat model tahun 2992<br />

40<br />

20<br />

0<br />

-20<br />

-40<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

H(nT)<br />

Perubahan Galat model tahun 1998<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

-40<br />

-50<br />

-60<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Dat a t erhadap model variasi harian komponen H t ahun 1999<br />

H(nT)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2003<br />

260<br />

240<br />

220<br />

200<br />

180<br />

160<br />

model<br />

140<br />

Komp.H<br />

120<br />

Poly. (Komp.H)<br />

100<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

(HnT)<br />

1350<br />

1250<br />

1150<br />

1050<br />

60<br />

40<br />

20<br />

-20<br />

-40<br />

-60<br />

-80<br />

-100<br />

-120<br />

950<br />

850<br />

750<br />

0<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

Perubahan galat model t ahun 1999<br />

mo del<br />

Komp.H<br />

Poly. (Komp.H)<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Gbr. 4a. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />

komponen H geomagnet (kiri) dan galat model (kanan) fluktuasi<br />

minimum hingga maksimum, dari tahun 1996-1999 stasiun<br />

pengamat geomagnet BMG Tangerang<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

H(nT)<br />

Perubahan galat model tahun 2003<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

-40<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Data terhadap model variasi harian komponen H tahun 2004<br />

350<br />

model<br />

300<br />

Komp.H<br />

250<br />

Poly. (Komp.H)<br />

200<br />

150<br />

100<br />

1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265<br />

Skala (Hari)<br />

Perubahan galat model tahun 2004<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

-20<br />

-30<br />

0 50 100 150 200 250 300<br />

Skala (Hari)<br />

Gbr. 4.b. Perubahan karakteristik data dan model variasi harian<br />

komponen H geomagnet (kiri) dan galat model (kanan) fluktuasi<br />

maksimum hingga menuju minimum dari tahun 2000-2004<br />

stasiun pengamat geomagnet BMG Tangerang<br />

F37


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pada gambar 4a menunjukan bahwa pola variasi<br />

harian komponen H geomagnet tahunan yang<br />

dinyatakan model polinom garis mulus terlihat<br />

dengan jelas bahwa dari tahun 1996-1999 tidak<br />

mempunyai pola yang sama. Demikian pula pola<br />

variasi harian komponen H bulanan yang dinyatakan<br />

rata-rata variasi harian menunjukan indikasi yang<br />

hampir sama. Variasi harian komponen H<br />

geomagnet masih tergantung pada dampak aktivitas<br />

matahari dengan dinyatakan pola variasi harian<br />

komponen H pada tahun 1996 tidak menunjukan<br />

variasi yang sama terhadap tahun 1997 hingga tahun<br />

1999. Lebih lanjut dibahas pula pola karakteristik<br />

variasi harian komponen H dari aktivitas matahari<br />

maksimum hingga minimum dari tahun 2000-2004<br />

dapat dilihat pada gambar 4b. Pola karakteristik<br />

variasi harian komponen H pada interval waktu<br />

tersebut terlihat cukup bervariasi dan tidak<br />

menunjukan pola yang sama antara aktivitas<br />

matahari minimum hingga maksimum maupun<br />

aktivitas matahari maksimum hingga menuju<br />

minimum.<br />

Selanjutnya, realitas perubahan rata-rata variasi<br />

harian komponen H yang dinyatakan pada tabel 1<br />

melukiskan kondisi secara umum. Sejalan dengan itu<br />

ditinjau pula interval fluktuasi variasi harian<br />

komponen H geomagnet pada kondisi saat matahari<br />

maksimum dan minimum dengan tingkat toleransi<br />

yang diambil 5 % dan hasilnya dapat dilihat pada<br />

tabel 2<br />

TABEL 2<br />

INTERVAL PERUBAHAN DATA VARIASI HARIAN<br />

KOMPONEN H GEOMAGNET TAHUN 1996 -2004<br />

BERDASARKAN NILAI GALAT MODEL, SESUAI RATA-<br />

RATA MINIMUM DAN MAKSIMUM DARI DATA STASIUN<br />

PENGAMAT GEOMAGNET BMG TANGERANG<br />

Galat Fluktuasi Fluktuasi Minimum<br />

Tahun<br />

Maksimum<br />

Maks Min. Maks. Min. Maks. Min.<br />

.<br />

1 2 3 4 5 6 7<br />

1996 14.67 -18.11 1018.75 954.53 882.75 818.53<br />

1997 28.29 -16.62 1194.44 1106.42 811.44 723.42<br />

1998 20.48 -48.91 1151.14 1015.16 973.14 837.16<br />

1999 33.79 -108.86 1327.23 1047.64 1008.23 728.64<br />

2000 20.21 -18.56 238.60 162.63 103.60 27.63<br />

2001 19.36 -17.77 254.95 182.16 172.95 100.16<br />

2002 28.89 -29.44 314.63 200.30 131.63 17.30<br />

2003 22.76 -32.84 291.6 182.64 154.61 45.64<br />

2004 18.56 -19.51 333.37 258.76 147.37 72.76<br />

Berdasarkan hasil analisis perubahan variasi<br />

harian komponen H rata-rata maksimum tahunan<br />

yang dinyatakan tabel 2 kolom 4 dan 5 diambil<br />

sebagai contoh dengan fluktuasi tertinggi 1018,75<br />

nT dan terendah 954,75 nT sesuai data tahun 1999.<br />

Demikian pula untuk fluktuasi minimum perubahan<br />

variasi harian komponen H tertinggi 882,53 nT dan<br />

terendah 818,53 nT lihat tabel 2 kolom 6 dan 7.<br />

Sesuai hasil analisis perubahan variasi harian<br />

komponen H geomagnet yang dinyatakan pada tabel<br />

2 menunjukan bahwa model variasi harian<br />

komponen H yang dapat digunakan harus terletak<br />

dalam interval fluktuasi maksimum dan minimum.<br />

Apabila model variasi harian komponen H yang<br />

diperoleh keluar dari interval fluktuasi maksimum<br />

dan minimum maka model tersebut tidak dapat<br />

mewakili penyebaran data variasi harian komponen<br />

H. Berarti keluaran model variasi harian komponen<br />

H yang diperoleh itu tidak bisa digunakan sebagai<br />

informasi dan model itu perlu dilakukan verifikasi<br />

lebih lanjut.<br />

PENUTUP<br />

Berdasarkan galat model variasi harian komponen H<br />

yang diperoleh dalam dua bagian yakni fluktuasi<br />

maksimum dan minimum. Pada fluktuasi maksimum<br />

variasi harian komponen H tertinggi sekitar 33,79<br />

nT dan terendah -108,86 nT serta perubahan data<br />

variasi harian komponen H tertinggi 1261 nT dan<br />

terendah 942 nT, kondisi itu dinyatakan perubahan<br />

data variasi harian komponen H tahun 1999. Dengan<br />

variasi harian komponen H yang diperoleh dari<br />

model tidak boleh keluar dalam inerval 1018,75 nT<br />

hingga 954,75 nT. Sedangkan fluktuasi variasi<br />

harian komponen H minimum dengan galat model<br />

variasi harian komponen H terbesar 14,67 nT dan<br />

terendah -16,62 nT sedangakan perubahan data<br />

variasi harian komponen H tertinggi 1139 nT dan<br />

terendah 756 nT, perubahan variasi harian<br />

komponen H itu berdasarkan data tahun 1996 dan<br />

1997. Demikian pula fluktuasi variasi harian<br />

komponen H minimum tidak boleh keluar dari<br />

interval 882,53 nT hingga 818,53 nT. Apabila model<br />

variasi harian komponen H yang diperoleh keluar<br />

dari interval fluktuasi maksimum dan minimum<br />

maka model tersebut tidak dapat mewakili<br />

penyebaran data variasi harian komponen H. Berarti<br />

keluaran model variasi harian komponen H yang<br />

diperoleh tersebut tidak bisa digunakan sebagai<br />

informasi variasi harian komponen H. Kemudian pola<br />

tahunan variasi harian komponen H geomagnet dengan<br />

menggunakan model polinom mempunyai pola yang<br />

bervariasi<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Rasa terima kasih, saya sampaikan kepada temanteman<br />

bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet<br />

Antariksa terutama bapak Anwar Santoso M.Si.,<br />

Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN<br />

Bandung atas segala bantuan baik moril maupun<br />

materiil.<br />

F38


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

REFERENSI<br />

Meloni A., De Michelis P., and Tozzi R., (2005),<br />

Geomagnetic storms, dependence on solar<br />

and interplanetary phenomena : a review,<br />

Mem., S. A., Lt., Vol. 76, 882 © Salt 2005<br />

Habirun, (2003), Model Variasi H Medan Magnet<br />

Bumi Menggunakan Analisis Deret Fouirier,<br />

Proceedings Forum Teori dan Aplikasi<br />

Statistika, Jurrusan Statistika FMIPA<br />

UNISBA, Vol 3<br />

Habirun, 2004. Analisis dampak aktivitas matahari<br />

pada variasi harian komponen H geomagnet,<br />

Prosiding Seminar Nasional Antariksa II.<br />

Hal. 152-163 LAPAN Bandung<br />

Zhou X. Y and Wei F. S., 1998. Prediction of<br />

recurrent geomagnetic distrurbance by using<br />

adaptive filtering. Earth Planets Space 50,<br />

839 – 845 Japan<br />

Habirun, Koeswadi., 1992. Estimasi Model MUF<br />

Dan LUF Lapisan Ionosfer Pada Sunspot<br />

Minimum, Proceedings Seminar Astronomi<br />

Sehari, 14 Desember Planetarium Dan<br />

Observatorium Jakarta, hal. 137-148<br />

F39


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Machine Vision untuk Instrumentasi Peralatan Biomedis<br />

Hendro Nurhadi<br />

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)<br />

Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya 60111, INDONESIA<br />

Tel. +62-31-5946230 Fax. +62-31-5922941<br />

Email : hdnurhadi@me.its.ac.id<br />

Abstract<br />

Perkembangan tekonologi image processing dalam dekade terakhir sangatlah pesat hingga merambah ke aplikasi<br />

instrumentasi peralatan biomedis. Di dalam makalah ini akan dibahas esensi dari penggunaan mesin visualiasi<br />

(machine vision) untuk aplikasi peralatan biomedis yang pada umumnya lebih dikenal dengan nama AOI<br />

(Automated Optical Inspection) sebagai perwujudan kombinasi image processing dan teknologi optik. Aplikasi<br />

dari ilmu fisika pada penelitian ini adalah tekonlogi optik terapan yang dikombinasikan dengan teknologi<br />

komputasi numerik pada image processing. Disini akan dibahas sejauh mana pentingnya mesin visualisasi<br />

tersebut untuk peralatan biomedis, dan sudah sejauh manakah perkembangan teknologi mesin visualisasi terkini.<br />

Dengan dikembangkannya machine vision ini untuk peralatan biomedis, maka pekerjaan inspeksi dan<br />

pengukuran menjadi lebih mudah dan lebih akurat serta lebih presisi. Hasil dari studi pada makalah ini adalah<br />

rekomendasi berupa peralatan biomedis untuk industri dan kedokteran sebagai aplikasi teknologi optik dari<br />

beberapa penelitian yang pernah dilakukan.<br />

Keywords : machine vision, image, biomedical instrumentation, AOI.<br />

Introduction<br />

The purpose of this paper is to introduce the topic of<br />

automated optical inspection, AOI. The authors have<br />

been working in the area of applying machine vision<br />

to the inspection process for several years. Rather,<br />

the authors were forced to scan literature in the<br />

fields of robotics, electrical engineering, medical<br />

and biomedical science, applied physics, computer<br />

science, etc. The inconvenience of having to<br />

research so many sources is magnified by the<br />

differences in style, notation, reader background and<br />

interest. It is the authors opinion that the technical<br />

literature discussing image capture, image<br />

enhancement, image processing and decision as<br />

related to the inspection task should be<br />

conglomerated in a single source and moreover that<br />

that source should reside within Industrial<br />

Engineering. Hence, it is hoped that this tutorial will<br />

initiate the process. Machine vision may be<br />

described as the acquisition and analysis of visual<br />

information.<br />

The applications of machine vision are vast, ranging<br />

from medical diagnosis and micro-surgery to image<br />

feature extraction for satellite surveillance. The<br />

application of this developing technology to the<br />

inspection task is known as automated optical<br />

inspection, AOI.<br />

Product inspection, particularly visual inspection, is<br />

one of the most difficult and time consuming steps<br />

in the manufacturing process. The importance of the<br />

inspection process has been magnified by the<br />

requirements of the modern manufacturing<br />

environment.<br />

These include:<br />

1. Quality levels so high that sampling inspection<br />

is not applicable.<br />

2. Production rates so high that manual inspection<br />

is not feasible.<br />

3. Tolerances so tight that manual visual<br />

inspection is inadequate.<br />

4. Configuration management and defect tracing<br />

which requires computer assistance.<br />

These are but a few of the reasons AOI will<br />

dominate quality control in the future manufacturing<br />

arena and why a forum is needed for this developing<br />

technology. Complexity of vision tasks is illustrated<br />

in Fig.1 and a short overview of spectrum of<br />

industrial inspection applications in Fig. 2<br />

F40


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 1. Complexity of vision tasks, Jain et al. (1997)<br />

Figure 2. Spectrum of industrial inspection applications, Jain et al. (1997)<br />

Image analysis and computer vision in medicine<br />

Pun et al. (1994), there are various motivations for<br />

using digital image processing methods in medicine:<br />

• new modalities and multimodal analysis:<br />

foremost comes certainly the possibility of<br />

exploring new imaging modalities, leading to<br />

new anatomical or functional insights; further,<br />

image analysis will support the combined<br />

evaluation of data from different modalities;<br />

• morphometry: the use of computerized<br />

techniques allows better precision and<br />

repeatability, with, as a consequence, improved<br />

objectivity of measurement of morphometric<br />

parameters like size, area, volume,<br />

circumference, etc.;<br />

• improved interpretation: the sensitiveness of<br />

those new imaging modalities, coupled with the<br />

power of recent visualization techniques, enable<br />

more refined diagnosis than using conventional<br />

exploratory methods;<br />

• more accurate prediction: a consequence is the<br />

ability of providing more finely tuned medical<br />

treatment; for example, lower doses in radiation<br />

therapy or more accurate positioning in head<br />

surgery;<br />

• process automation: many medical operations<br />

can benefit from the reliability provided by<br />

automatic processing, from the screening of<br />

biological specimen to vision guided surgery;<br />

and<br />

• understanding of volume data: recognition of<br />

structures from volume data is not a<br />

spontaneous visual task and will benefit from<br />

computerized processing and visualization.<br />

Medical applications of image synthesis techniques<br />

are mostly for 2D and 3D visualization purposes.<br />

Typical examples are in diagnosis or planning, for<br />

example, for surgery or radiotherapy. Graphical<br />

methods can also be employed for simulation,<br />

typically by means of computer animation<br />

techniques. It is worth noting that other theoretical<br />

concepts that are usually perceived as pertaining to<br />

computer graphics play an important role in<br />

computer vision; this is discussed in “Relationships<br />

with image synthesis.” The links between these two<br />

kindred fields are numerous; it is hard to conceive a<br />

physician’s workstation without methods originating<br />

from both. A typical image interpretation system is<br />

shown in Fig.3; and steps in developing a machine<br />

vision system in Fig. 4.<br />

F41


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 3. A typical image interpretation system, Jain et al. (1997)<br />

different processes. The big rectangles show the subsystems<br />

while the parts for gathering information are<br />

presented as small rectangles in Fig. 5. As can be<br />

seen in Fig. 5, the light from a source illuminates the<br />

scene (it can be an industrial environment), and an<br />

optical image is generated by image sensors. Image<br />

arrays, digital camera, or other means are used to<br />

convert optical image into an electrical signal that<br />

can be converted to an ultimate digital image.<br />

Typically, cameras incorporating either the line scan<br />

or area scan elements are used, which offer<br />

significant advantages. The camera system may use<br />

either charge coupled device (CCD) sensor or<br />

vidicon for the light detection. The preprocessing,<br />

segmentation, feature extraction and other tasks can<br />

be performed utilizing this digitized image.<br />

Classification and interpretation of image can be<br />

done at this stage and considering the scene<br />

description, the actuation operation can be<br />

performed in order to interact with the scene. The<br />

actuation sub-system, therefore provides an<br />

interaction loop with the original scene in order to<br />

adjust or modify any given condition for a better<br />

image taking.<br />

Figure 4. Steps in developing a machine vision system, Jain et al.<br />

(1997)<br />

Machine vision design<br />

Golnabi et al. (2007), the main components of a<br />

typical vision system have been described in lot of<br />

references, such as in Gonzalez et al. (2004, 2008),<br />

Foster et al. (1990), and Thacker et al. (2008).<br />

Several tasks such as the image acquisition,<br />

processing, segmentation, and pattern recognition<br />

are conceivable. The role of image-acquisition subsystem<br />

in a vision system is to transform the optical<br />

image data into an array of numerical data, which<br />

may be manipulated by a computer. Fig. 5 shows a<br />

simple block diagram for such a machine vision<br />

system. It includes systems and sub-systems for<br />

Operation of a machine vision system<br />

A visual system can perform the following<br />

functions: the image acquisition and analysis, the<br />

recognition of an object or objects within an object<br />

groups. As can be seen in Fig. 5, the light from a<br />

source illuminates the scene and an optical image is<br />

generated by image sensors. Image acquisition is a<br />

process whereby a photo-detector is used to generate<br />

and optical image that can be converted into a digital<br />

image.<br />

This process involves the image sensing,<br />

representation of image data, and digitization. Image<br />

processing is a process to modify and prepare the<br />

pixel values of a digital image to produce a more<br />

suitable form for subsequent operations.<br />

The main operations performed in the image<br />

processing are outlined in Table 1. Segmentation<br />

seeks to partition an image into meaningful regions<br />

that corresponds to part or whole objects within the<br />

scene. Feature extraction in general seeks to identify<br />

the inherent characteristics, or features, of objects<br />

found within an object. Pattern classification refers<br />

to the process in which an unknown object within an<br />

image is identified as being part of one particular<br />

group among a number of possible object groups.<br />

F42


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 5. A simple block diagram for a typical vision system operation, Awcock et al. (1995).<br />

Key points in design and applications<br />

Different aspects of a machine vision system are<br />

shown in Fig. 6. As can be noticed in Fig. 6, it<br />

includes the scene consideration, image acquisition,<br />

image pre-processing and post processing. In any<br />

optimal design, one must consider the systematic<br />

consideration and machine vision justification for<br />

any application. Image acquisition is one of the most<br />

important processes for the performance of a<br />

machine vision system, because with a high-quality<br />

image in hand the following processing and analysis<br />

of the image would be easily feasible. Both the<br />

hardware and software are involved in this process<br />

and the selection of proper components is crucial to<br />

image acquisition process. In general, two method of<br />

active and passive can be used to record an image. In<br />

the first method, a light source is used for the object<br />

illumination while in the later one; the sunlight is<br />

used for the illumination purpose. For the production<br />

lines and the industrial applications, the active<br />

method is more suitable and therefore the choice of<br />

the light source is an important factor. Depending on<br />

the type of the applications lamps, LED, and laser<br />

sources can be employed.<br />

TABEL II<br />

General operations performed in the image processing<br />

Point operation Global operation Neighborhood operation Geomteric operation Temporal operation<br />

Brightness modification Histogram equalization Image smoothing Display adjusment Fame-based operation<br />

Contrast enhancement - Image sharpening Image wrapping -<br />

Negation and<br />

thresholding<br />

- - Magnification and<br />

rotaion<br />

-<br />

The wavelength of the electromagnetic wave is also<br />

important in the image recoding and the visible, IR,<br />

or X-ray region of the spectrum can be used for the<br />

scene illumination. Incoherent light sources are less<br />

expensive while the coherent laser light sources are<br />

more expensive and considered as specialized light<br />

sources for the specific imaging consideration.<br />

Image capturing method is another point of<br />

consideration and the single, stereo, and multiple<br />

cameras can be utilized for image taking. The<br />

specification of the light illumination is also<br />

important in lighting condition. For example, the<br />

shadow, diffuse or other methods can be used for<br />

object illumination by using the point, or strip light<br />

arrangements. To record the image, a sensitive photo<br />

detector is required in order to obtain the optical<br />

image.<br />

The optical signal is converted by such a detector<br />

into an electrical signal. The type and characteristics<br />

of the photo-detector is really important in the<br />

quality of the captured image. The single-photo<br />

diode, by-cell, diode-array, CMOS detector, and<br />

vidicon can be used for light detection. Capture and<br />

representation of data are important in image<br />

acquisition. Digitization and display of the image are<br />

other factors that must be considered in the selection<br />

of the components, methods, and software. With the<br />

importance of the digital signal processing,<br />

digitization is an important factor.<br />

F43


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The key points in a machine vision design can be<br />

generally classified into the six different categories<br />

such as: the scene constraints, image acquisition,<br />

image pre-processing, image processing, machine<br />

vision justification, and finally systematic<br />

considerations. A scene for example can be an<br />

industrial site in which a production line, process or<br />

machine specifications can be imaged. Thus the<br />

scene specifications, environment, and all the<br />

constraints must be considered in the design. The<br />

assembly line, size and type of imaging objects or<br />

object groups must be considered in the machine<br />

vision design and operation. The crucial point is that<br />

the machine vision system should be able to operate<br />

efficiently even for the case of the randomlyoriented<br />

object scene and be able to produce a clear<br />

image of the small objects occluded among an object<br />

group. Types of materials, limitations in the range<br />

and positions of the objects are important in this<br />

respect. Imposition of such constraints in the design<br />

and operation of a machine vision system is also<br />

important factors. According to the given conditions<br />

for any scene, the control of object feature, position<br />

of the object, and the lighting condition must be<br />

selected properly.<br />

Figure 6. Key points in design and application of a machine vision system, Golnabi et al. (2007)<br />

Trends and Future Prognoses<br />

Medical image analysis and computer vision<br />

Many of the techniques described in this paper are<br />

now routinely used in biomedical laboratories.<br />

Relying on these rather classical methods, various<br />

trends are emerging. New detectors are being<br />

developed, which should lead to less invasive and<br />

more precise imaging modalities. Functional and<br />

multimodal imaging is becoming commonly used,<br />

for discovering and understanding functional<br />

structures. It is possible to further combine data to<br />

incorporate medical knowledge, either from a patient<br />

file or from a medical atlas.<br />

A lot of effort is put into the realization of integrated<br />

hospital information systems (HIS), and more<br />

particularly related to medical imaging, into PACS<br />

development. Although at first glance one might feel<br />

that the issue is essentially technological, there still<br />

are many theoretical problems to solve: image<br />

F44


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

coding for storage and transmission (for example,<br />

using wavelets), software development, design of<br />

common standards for storing and displaying data,<br />

and artificial intelligence techniques for “intelligent”<br />

images data bases creation.<br />

Feature-based indexing techniques are being<br />

developed, that will be essential for retrieval in<br />

image data bases. Such data bases should allow<br />

information access by semantic content, and<br />

therefore make possible queries such as “find all<br />

radiographs showing a broken arm.” A related<br />

challenge is knowledge acquisition.<br />

Although various methods exist for supervised<br />

learning, as exposed above, unsupervised extraction<br />

of the key characteristics that will enable subsequent<br />

recognition is a problem far from being solved.<br />

New surgical techniques are characterised by the<br />

trend toward minimally invasive therapy using new<br />

and more precise tools (e.g., endoscopic<br />

interventions, laser surgery). A patient will benefit<br />

from this development by less risk, reduced pain,<br />

shorter hospitalization, and faster recovery. These<br />

new techniques can be decisively supported by<br />

detailed preoperative planning and by precise<br />

feedback information based on image analysis.<br />

Further, sophisticated robotic vision methods will<br />

permit the advent of medical robotics that is the<br />

design of robots able to perform complex surgical<br />

interventions in an automated manner. All these<br />

developments require more sophisticated computer<br />

vision techniques. Amongst the future developments<br />

will certainly come an increase in the use of topdown<br />

information, at least to circumvent the limits<br />

reached by the current segmentation methods. An<br />

initial segmentation of the 3D image will be<br />

performed; the result will then be compared with<br />

symbolic medical knowledge either from an atlas or<br />

from the patient’s file. This will allow, through a<br />

feedback loop, better initial anatomical segmentation<br />

and finally label the organs.<br />

Other progresses stemming from computer vision<br />

will certainly be used in medical imaging. One of<br />

the major problems in scene analysis is<br />

computational complexity; there is infinity of<br />

possible mappings from object models to the<br />

digitized scene. Various approaches have as a<br />

primary objective to decrease the size of the solution<br />

space, for example by using aspect graphs, active<br />

vision, or perception-based approaches such as focus<br />

of attention. There is also a trend toward reduction<br />

of the amount of data acquired by using non-regular<br />

grids, such as polar lattices that mimic a human<br />

retina by providing high-resolution only near the<br />

centre.<br />

The medical imaging workstation of the (near)<br />

future<br />

The physician’s workstation of the (near) future will<br />

have three main characteristics: it will be reasonably<br />

“intelligent,” extensively connected, and highly<br />

interactive.<br />

Reasonable intelligence will be provided by<br />

computer vision and “artificial intelligence”<br />

techniques.<br />

However, progress is not as fast as practitioners<br />

would hope. Despite some attempts at providing<br />

guidance using expert systems it seems highly<br />

unlikely that users’ experience will soon be totally<br />

replaced by artificial means. As a consequence,<br />

interaction (and “real intelligence”) will remain<br />

necessary. In a first stage, machine intelligence will<br />

mostly be used to assist users in image segmentation<br />

and feature extraction. Rule-based algorithms for<br />

image interpretation can further help in efficient<br />

image analysis.<br />

Connectivity, both physical (networking) and in<br />

spirit, will be required for integration. It will also<br />

allow more even distribution of (financial)<br />

resources: a low cost workstation will be used for<br />

the interaction with the physician while at the same<br />

time the CPU intensive image analysis, with all<br />

computations and interaction control, will be done<br />

on another, more powerful computer. It will also put<br />

into practice the recent workplace concepts<br />

revolving around groupware environments, which<br />

aim at verifying the Gestalt law “the sum is more<br />

than the parts.”<br />

Interaction will allow the user to perform<br />

sophisticated processing while still retaining a<br />

control over the results, and also to inspect in three<br />

dimensions the results of the analysis. The<br />

interaction will be performed less and less using<br />

keyboard and mouse, and more and more using<br />

virtual reality devices. Depth images will be<br />

recreated by means of stereoscopic imaging, using<br />

shutter glasses or helmets with miniaturized video<br />

screens. It will be possible to mix images with<br />

sounds, using multimedia techniques (see other<br />

articles in this special issue). All this will allow<br />

physicians to interactively explore the body (and<br />

even the soul!) of their patient.<br />

The European COVIRA project<br />

This section discusses a large project that<br />

incorporates some of the main premises recognized<br />

as important issues for future research in medical<br />

image analysis, namely interdisciplinary<br />

collaboration, clinical tests, and validation. As a<br />

further requirement, standardization of software<br />

tools has to ensure interchangeability and<br />

transportability.<br />

A European Community research project within the<br />

Advanced Informatics in Medicine (AIM) program<br />

is titled COVIRA (Computer Vision in RAdiology).<br />

The objective of COVIRA is to realize a large<br />

software system providing efficient computer<br />

assistance in neuroradiological diagnosis,<br />

F45


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

stereotactic and open neurosurgical planning, and<br />

radiation therapy planning.<br />

The project started in January 1992 and will run over<br />

3 years.<br />

COVIRA is a cooperative effort of three leading<br />

industrial partners (IBM, Philips, and Siemens),<br />

eight academic research groups, and six clinical<br />

institutions in Belgium, Germany, Italy, the<br />

Netherlands, Spain, U.K., Crete, and Switzerland<br />

(ETH-Zurich, G.G.).<br />

The software system will be based on rigorously<br />

specified standards incorporating object oriented<br />

programming.<br />

All algorithms will be implemented in a portable<br />

manner following the upcoming International<br />

Standardization Organization (ISO) standard on<br />

Image Processing and Interchange (IPI) and will<br />

enter a common pool of computer algorithms for<br />

medical multimodality 2D and 3D image analysis.<br />

The main functional capabilities of the system will<br />

be:<br />

• 2D and 3D image visualization;<br />

• 2D and 3D image segmentation combining<br />

automatic segmentation algorithms with<br />

interactive image editing capabilities;<br />

• reconstruction of cerebral vascular system<br />

based on the combination of 3D MR<br />

Angiography (MRA) Gestalt law “the sum<br />

is more than the parts.” and 2D Digital<br />

Subtraction Angiography data (DSA);<br />

• multimodality image registration: and<br />

• digital and annotated anatomical atlas of<br />

the human head.<br />

The unifying objective of the project is to provide<br />

and clinically test pilot application systems for<br />

multimodality image analysis for diagnosis and<br />

therapy management, based on commercially<br />

available workstations and accelerator hardware<br />

with standard software tools. The system will be<br />

tested and validated by the clinical partners of the<br />

COVIRA consortium.<br />

The collaboration between academic, industrial, and<br />

clinical partners provides a unique combination of<br />

strengths and combines expertise in the fields of<br />

image analysis research, software engineering,<br />

manufacturing of medical equipment and, last but<br />

not least, diagnosis and therapy. It is the hope of the<br />

consortium that the project will finally prove clinical<br />

usefulness and cost effectiveness of computer<br />

assistance in various application fields.<br />

References<br />

Anil K. Jain, Chitra Dorai, Practicing Vision:<br />

Integration, Evaluation and Applications,<br />

Pattern Recognition, Vol. 30, No. 2, pp.183-<br />

196, 1997.<br />

H. Golnabi, A. Asadpour, Design and application of<br />

industrial machine vision systems, Robotics<br />

and Computer-Integrated Manufacturing 23,<br />

pp.630–637, 2007.<br />

Joseph W. Foster III, Paul M. Griffin, Sherri L.<br />

Messimer and J. Rene Villalobos, Automated<br />

Visual Inspection: A Tutorial, Computers<br />

Industrial Engineering, Vol. 18, No.4,<br />

pp.493-504, 1990.<br />

Mehmet Engin, Alparslan Demirel, Erkan Zeki<br />

Engin, Musa Fedakar, Recent developments<br />

and trends in biomedical sensors,<br />

Measurement 37, pp.173-188, 2005.<br />

Neil A. Thacker, Adrian F. Clark, John L. Barron, J.<br />

Ross Beveridge, Patrick Courtney, William<br />

R. Crum, Visvanathan Ramesh, Christine<br />

Clark, Performance characterization in<br />

computer vision: A guide to best practices,<br />

Computer Vision and Image Understanding<br />

109, pp.305-334, 2008.<br />

Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods, Steven L.<br />

Eddins, Digital Image Processing using<br />

Matlab, Pearson Prentice Hall, New Jersey,<br />

2004.<br />

Rafael C. Gonzalez and Richard E. Woods, Digital<br />

Image Processing, 3rd Ed., Pearson Prentice<br />

Hall, New Jersey, 2008.<br />

Thierry Pun, Guido Gerig, and Osman Ratib, Image<br />

Analysis and Computer Vision in Medicine,<br />

Computerized Medical Imaging and<br />

Graphics, Vol. 18, No. 2, pp. 85-96, 1994.<br />

Yung-Nien Sun, Ching-Tsorng Tsai, A New Modelbased<br />

Approach for Industrial Visual<br />

Inspecion, Pattern Recognition, Vol. 25, No.<br />

11, pp. 1327-1336, 1992.<br />

F46


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Determination Of Endothelial Cell Density Of Corneal Transplant<br />

by Digital Image Processing Method<br />

Johanes Kristianto and Pratondo Busono<br />

Department of Biomedical Engineering, Swiss German University<br />

BSD City, Tangerang Selatan<br />

Biomedical Engineering Technology Dision,<br />

Center for Pharmaceutical and Medical Technology BPPT<br />

Jl. MH Thamrin No.8, Jakarta<br />

E-mail: prabusono@yahoo.com<br />

ABSTRACT<br />

The cornea is the transparent front part of the eye which provides most of an eye’s optical power. Several<br />

indications caused the cornea to be replaced by transplantation penetrating keratoplasty have so far been the<br />

most successful of all human organs transplantation. However, endothelial density level of 2,300-3,300<br />

cells/mm 2 is a compulsory condition to ensure a successful transplantation. This thesis aims too develop simple<br />

software which is able to determine the overall endothelial cell density of a corneal transplant as an alternative<br />

aid for ophthalmologists. Digital cell image is acquired from a specular microscope from Indonesian Eye Bank.<br />

Basic algorithm of digital image processing such as thresholding, histogram equalization, erosion, opening and<br />

labeling are used in Visual C++. Close agreement in cell density calculation is observed between the present<br />

work and the commercial results.<br />

Kata Kunci: endothelial cell density, image processing<br />

INTRODUCTION<br />

density is very important in cornea transplantation.<br />

The cornea is the transparent front part of the eye<br />

that covers the iris, pupil and anterior chamber,<br />

providing most of an eye’s optical power. Together<br />

with the lens, the cornea refracts light, and as a<br />

result help the eye to focus, accounting for<br />

approximately 80% of its production to 20% of the<br />

lens focusing power. The cornea has nerve endings<br />

sensitive to touch, temperature and chemicals.<br />

Transparency, and immunologic privilege make the<br />

cornea a very special tissue (.Asbury T et.al., 2008)<br />

Corneal transplantation , also known as corneal<br />

grafting or penetrating keratoplasty (PK), is a<br />

surgical procedure where a damaged or diseased<br />

cornea is replaced by donated corneal tissue which<br />

has been removed from a recently deceased<br />

individual having unknown diseases which might<br />

affect the viability of the donated tissue. The<br />

surgical procedure is performed by<br />

ophthalmologists, medical doctors who specialized<br />

in eyes, and are often done on an outpatient basic.<br />

Corneal transplant is useful for several indications,<br />

such as optical (improving visual acuity),<br />

reconstructive, therapeutic (removing inflamed<br />

tissue) and cosmetic.<br />

Endothelial cell density is an important quality<br />

characteristic of corneal transplants. Endothelial<br />

cells do not regenerate well. Loss of cells as a<br />

consequence of injury or metabolic disease for<br />

example, is compensated by a spatial expansion of<br />

the surrounding cells. Corneas with low endothelial<br />

cell density are thus unsuited for transplantation.<br />

Therefore, the determination of the endothelial cell<br />

The conventional way of endothelial density<br />

determination is done by counting manually.<br />

However, the whole procedure is time consuming,<br />

and the results are rather subjective since cells<br />

within large areas of the endothelial cell layer are<br />

not exactly perceptible and thus hardly to be<br />

distinguished from necrotic (diseased) regions.<br />

Moreover, accuracy is questionable with respect to<br />

human error (observer’s visionary problem or<br />

fatigue). Therefore, the study it self is focused and<br />

intended to create simple alternative technique<br />

which can assist ophthalmologists in finding suitable<br />

cornealcells which meet the standards for<br />

transplantation (in compliance with certain cell<br />

density)<br />

The aim of the study is to develop simple<br />

computer software which is able to process the<br />

acquired corneal endothelial cell image to determine<br />

the overall endothelial cell density. The software is<br />

aimed to save time, provide more accurate<br />

perception on the cell density and as an alternative<br />

choice apart from expensive commercial software.<br />

ANATOMY OF THE COREA<br />

Until recent times the cornea was thought to be<br />

composed of only five layers: the epithelium,<br />

Bowman’s layer of membrane, substantia<br />

propria/stroma, descement’s membrane, and<br />

endothelium. It is now recognized that a thin<br />

basement membrane lies beneath the epithelium.<br />

Bowman’s membrane, distinct in light microscopy,<br />

loses its identity in the electron micrograph.<br />

F47


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The epithelium<br />

The epithelium consists of five or six layers of<br />

cells. The most superficial cells are flat overlapping<br />

squamous cells,similar to the epithelial cells of the<br />

skin. However, normal corneal epithelium is not<br />

keratinized. The middle layers consist of cells that<br />

become more columnar as the deeper layers are<br />

approached. The innermost (basal) layer is made up<br />

of columnar cells packed closely together. All of the<br />

cells are held together by a cement substance. Also,<br />

the surfaces of the cells form processes that are fitted<br />

into corresponding indentations of adjacent cells and<br />

connected in places by desmosomes (Jakus, 1961).<br />

Between the columnar epithelial cells and<br />

bowman’s membrane is a basement membrane from<br />

10 to 30 mm thick. The epithelial cells form a layer<br />

of uniform and smooth that, when covered with<br />

tears, a convex mirror is produced. The stability of<br />

the tear film results from its protein and lipid content<br />

(Mishima, et al., 1961).<br />

Bowman’s layer<br />

It is a sheet of transparent tissue about 12 µ thick,<br />

without structure as seen by light microscopy. Under<br />

electron microscopy it appears to be made up of<br />

uniform fibrils of collagenous material, running<br />

parallel to the surface. Bowman’s layer is acellular;<br />

it is a modified superficial stromal layer found only<br />

in primates. Its absence in lower animals is<br />

associated with a plasticity of the corneal strome.<br />

Once injured, Bowman’s layer can form a scar as it<br />

heals<br />

The substantia proparia<br />

It is composed of layers of lamellae, each of<br />

which runs the full length of the cornea; although the<br />

bundles interface with one another, they are nearly<br />

parallel to the surface. The lamellae are only loosly<br />

adherent to each other. Therefore, the layered<br />

structure of the stroma makes corneal splitting, as in<br />

superficial keratectomy, technically easy. The cell<br />

bodies, called corneal corpuscles or keratocytes, are<br />

flattened so that they too lie parallel to the surface,<br />

and their cell processes interlace with one another.<br />

This arrangement of the fibers gives optical<br />

uniformity to the cornea. The stroma comprises<br />

approximately 90% of the whole cornea. The<br />

lamellae are made up of bundles of collagen fibrils<br />

(64 nm banding) 2 separated from each other by a<br />

ground substance (Jakus, 1961).<br />

Descemet’s Membrane<br />

Considered to be the product of secretion of the<br />

endothelial cxells, Descemet’s membrane is a<br />

structureless membrane bounding the inner surface<br />

of the stroma about 10 µ thick. It is a thin but strong<br />

and highly elastic sheet of tissue that serves as a<br />

protective barrier against infection and injuries.<br />

Descemet’s membrane is composed of collagen<br />

fibers (different from those of the stroma).<br />

Descemet’s membrane is regenerated readily after<br />

injury (Jakus, 1961).<br />

Endothelium<br />

The endothelium is the extremely thin, innermost<br />

layer of the cornea. Endothelial cells are essential in<br />

keeping the cornea clear. Normally, fluid leaks<br />

slowly from inside the eye into the middle corneal<br />

layer (stroma). The endothelium’s primary task is to<br />

pump this excess fluid out of the stroma. Without<br />

this pumping action, the stroma would swell with<br />

water, become hazy, and ultimately opaque. In a<br />

healthy eye, a perfect balance is maintained between<br />

the fluid moving into the cornea and fluid being<br />

pumped out of the cornea. Once endothelium cells as<br />

destroyed by disease or trauma, they are lost forever.<br />

If to many endothelial cells are destroyed, corneal<br />

edema and blindness ensue, with corneal<br />

transplantation the only available therapy.<br />

METHODS<br />

This part of the study will cover about the<br />

working methodology as well as the algorithm<br />

design and function which are used to process the<br />

digital image. Several stages of processing are done<br />

before reaching the final goal of counting the<br />

endothelial cell density. The stages can be seen on<br />

the following block diagram.<br />

Figure 3.1 – Block Diagram of Corneal Endothelial Cell Image<br />

Processing<br />

Image Acquisition<br />

The images of corneal endothelial cell is obtained<br />

using a specific apparatus, called specular<br />

microscope. A specular microscope has the similar<br />

characteristic as a microscope, differs only in the<br />

mechanism of capturing corneal endothelial cell<br />

which would not be visible under ordinary<br />

microscope.<br />

F48


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 1. System for image acqusition<br />

Procedure of using the specular microscope is by<br />

just simply placing the sample canister above the<br />

designated holding slot which allowed the focusing<br />

light to be emitted from below. The sample canister<br />

is a clear, glass tube countaining the donor cornea<br />

bathed in optisol GS solution acting as preservative.<br />

The microscope viewing is directly (real-time)<br />

syncrhronized with an LCD monitor connected to<br />

the desktop computer. Adjustments on the<br />

microscope are compulsory to provide the best<br />

viewable image. When the sample was obtained at<br />

the Indonesian Eye Bank, Cipto Mangunkusumo<br />

Hospital Jakarta, the HAI EB-3000-XYZ specular<br />

microscope from Hailabs Inc. is used.<br />

Image Preprocessing<br />

For processing convenience , the saved corneal<br />

endothelial cell digital image is renamed into<br />

specular.bmp. The image is then converted to<br />

grayscale for later accommodating histogram<br />

modification in order to enhance the image clarity.<br />

Median filtering is used for removing the image<br />

noise.<br />

Intensity Transformation<br />

Intensity (or gray-level) Transformation is one of<br />

the important categories of spatial domain<br />

processing. The term spatial domain refers to the<br />

image plane it self, and methods in this category are<br />

based on direct manipulation of pixels on an image.<br />

Intensity transformation function based on<br />

information extracted from image intensity<br />

histograms play a basic role in image processing.<br />

The focus is on obtaining, plotting and using<br />

histograms for image enhancement.<br />

Due to interfering factors, it is often thet the<br />

digital image capture provides poor visualized image<br />

and this will affect the gray level composition of the<br />

image. One means to improving the quality of the<br />

original image is by conducting histogram flattening<br />

or equalization. The contrast and illumination of the<br />

output image will be significantly improved.<br />

In the work, the CLAHE (Contrast Limited<br />

Adaptive Histogram Equalization) is used to provide<br />

enhanced image from the original. CLAHE operates<br />

in small regions in the image, called tiles, Rather<br />

than the entire image. Each tile’s contrast is<br />

enhanced, so that the histogram of the output region<br />

approximately matches the histogram specified by<br />

the ‘Distribution’ parameter. The neighboring tiles<br />

are then combined using bilinear interpolation to<br />

eliminate artificially induced boundaries. The<br />

contrast, especially in homogeneous areas, can be<br />

limited to avoid amplifying any noise that might be<br />

present in the image.<br />

The input gray scale format of the corneal<br />

endothelial cell image is converted into a binary<br />

image before segmentation process is conducted. It<br />

uses Otsu’s method, which chooses the threshold to<br />

minimize the weighted within-class variance of the<br />

black and white pixels.<br />

Morphological Processing<br />

The word morphology commonly denotes a<br />

branch ofg biology that deals with the form or<br />

structure (.Gonzalez et.al.2002). In this work, the<br />

same word is in context of mathematical<br />

morphology as a tool for extracting image<br />

components that are useful in the representation and<br />

description of region shape. Erosion and opening<br />

operation are used in this work.<br />

Erosion is done to ‘shrink’ the individual corneal<br />

cells so they are more distinguishable from the<br />

background. Referring to the erosion theory, the<br />

foreground objects (the cells) have the intensity<br />

value of 1, thus the erode filter shrinks them. 1-<br />

valued objects of too-small size as well as toonarrow<br />

width are removed. For optimum erosion<br />

area, the ‘disk’ parameter is chosen. The result is a<br />

‘smoothed’ boundary of objects on the image.<br />

Opening on image is used to remove small<br />

objects or spots. However, the size of the image is<br />

not altered as compared to erosion or dilation. As<br />

seen on the processed image, several tiny spots<br />

scattered on the previous image is omitted or<br />

reduced into more recognizable parts.<br />

Particle Counting<br />

The final step in this work is to determine the<br />

numbers of particles (cells) in the binary image. This<br />

can be conveniently done by applying a simple<br />

command which can be ‘label’ and ‘count’ the<br />

connected components inside a binary image<br />

The accuracy of the results depends on a number<br />

of factors, including (.Gonzalez et.al.2002).<br />

13. The size of the objects<br />

14. Whether or not any objects are touching (in<br />

which case they might be labeled as one object)<br />

15. The accuracy of the approximated<br />

background<br />

16. The connectivity selected.<br />

RESULTS AND DISCUSSIONS<br />

F49


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The testing of the processed image results need to<br />

be conducted in order to assess the credibility of the<br />

implemented algorithm. The purpose of testing is to<br />

find out the functionality of the implemented<br />

algorithm, computation time and also the accuracy<br />

rate and effectiveness of the method. Accuracy rate<br />

defines how accurate the implemented algorithm in<br />

calculating the corneal endothelial cell density<br />

compared to commercial software in the market.<br />

This work is almost entirely done by using open<br />

source software (Qt). The image processing software<br />

was then developed.. The operating system is<br />

WindowsXP®. Other software used is Microsoft<br />

Paint application for manual marking of the<br />

endothelial cells.<br />

Corneal endothelial cell image is captured using<br />

HAI EB-3000-XYZ specular microscope from<br />

Hailabs Inc. The resulting image is a color (RGB)<br />

image in .bmp format with a resolution of 640x480<br />

pixels produced by a CCD camera sensor attached to<br />

the microscope.<br />

For the processing requirements, a laptop<br />

computer with an Intel Centrino 1.8 GHz processor,<br />

2 GB of RAM, and VGA memory of 128 MB is<br />

used., LCD monitor is set to display 32-bit (true<br />

color) to ensure no degradation or false coloring on<br />

the processed image. Resolution of screen is<br />

1280x1024 pixels.<br />

For every processing step, different outcome is<br />

yielded. This part will compare and contrast the<br />

effect of each distinct algorithm to the output image.<br />

This is the original captured image<br />

from the specular microscope. It is a RGB<br />

image in .bmp format of 640x480 pixels<br />

which hold data of 640x480x24 bit. After<br />

grayscale conversion, it becomes<br />

640x480x8 bit. This significant reduction in<br />

data size will also reduce the complexity<br />

and computational time on image<br />

processing.<br />

The original image is shown in Figure 2. It shows<br />

that there are concentrated distribution of graylevels.<br />

This explains why the contrast of the image is<br />

‘weak’. The distribution of the graylevels is not<br />

even, causing the visualization of the image to be<br />

invivid, dominated by dull gray color.<br />

Figure 2 Original image<br />

A simple image enhancement operation is done<br />

on the image. The main purpose is to equalize or<br />

flatten the histogram, so the graylevels will be<br />

evenly distributed through the whole intensity levels.<br />

Even though the visualization of the image seems<br />

to be corrected a lot, the image histogram shows an<br />

irregular pattern. The distribution of the graylevels is<br />

too wide, filling almost every slot on the histogram.<br />

Later, in binarization, such histogram will provide<br />

low quality output. From trial and error, it proved<br />

that too much similar distribution of the graylevels<br />

will provide uncertain threshold level for the<br />

binarization process. Figure 3 shows the equalized<br />

image.<br />

Figure 3. Equalized image<br />

An alternate method of image enhancement<br />

method is by doing the histogram equalization The<br />

purpose is still the same as before that is to distribute<br />

the graylevels evenly within the entire intensity<br />

range. However, the output contrast composition<br />

looks more reasonable. Sharp differences between<br />

low and high intensity are avoided. But overall, the<br />

image visibility is far better and the cells are now<br />

more distinguishable as individual objects.<br />

The binary image is obtained from the histogramequalized<br />

grayscale image. Binary image is<br />

produced by setting up threshold level which will<br />

convert the 255-graylevels intensity into only two<br />

levels of intensity of 0 (black) and 1 (white). Figure<br />

4 shows the binarized image obtained in this work.<br />

F50


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 4. Binarized image<br />

Morfological processing of the binarized images<br />

is conducted by either erosion or opening.. Erosion<br />

is done to ‘shrink’ the individual corneal cells so<br />

they are more distinguishable from the background.<br />

Referring to the erosion theory, the foreground<br />

objects (the cells) have the intensity value of 1, thus<br />

the erode filter shrinks them. 1-valued objects of<br />

too-small size as well as too-narrow width are<br />

removed (.Gonzalez et.al.2002). For optimum<br />

erosion area, the ‘disk’ parameter is chosen. The<br />

result is a ‘smoothed’ boundary of objects on the<br />

image.<br />

Figure 6. Manual Counting<br />

Now that the image finalized for counting, the<br />

command labeling process is used for determining<br />

the number of cells on the image. The principal of<br />

cell counting here is by counting the labels for the<br />

connected components here are the 1-valued binary<br />

elements (the cells). Two objects of endothelial<br />

images are calculated their densities. Each object is<br />

computed 20 times manually and automatically.<br />

Table 1 shows the results of the endothelial density<br />

for each object. Close agreement is shown between<br />

the present work and manual counting.<br />

Manual<br />

(cell/mm 2 )<br />

Tabel 1. Cell density<br />

Present<br />

Work<br />

(cell/mm 2 )<br />

Commersial<br />

(cell/mm 2 )<br />

Obj-1 2167+3% 2287+2% 2388 +2%<br />

Obj-2 2268+3% 2346_2% 2386+2%<br />

Figure 5. Opened image<br />

Opening on image is used to remove small<br />

objects or spots. However, the size of the image is<br />

not altered as compared to erosion or ilation. As<br />

seen on the processed image, several tiny spots<br />

scattered on the previous image is omitted or<br />

reduced into more recognizable parts. Figure 5<br />

shows the opened image.<br />

As finalization is done to ensure a cleaner image,<br />

free from small negligible objects. All connected<br />

foreground objects, which have smaller than the<br />

parameter pixels is removed<br />

CONCLUSION<br />

Digital image processing was developed as an<br />

alternative choice in determining corneal endothelial<br />

cell density which can assist ophthalmologists in<br />

conducting penetrating keratoplasty surgery.<br />

Acquisition of image from specular microscope,<br />

image preprocessing, and further classifications as<br />

well as morphological operations will greatly<br />

determine the output result.<br />

Parameter selection determines the end result of<br />

the processing, especially those which are involved<br />

in morphological processing of the image for<br />

instance opening and erosion. Simple trial and error<br />

analysis will lead to optimal result.<br />

The algorithms which used in the work<br />

are basic and simple, the final aim, which is<br />

to determine the cell density, is practically<br />

completed.<br />

F51


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

ACKNOWLEDMENTS<br />

The author thanks to Dr. Maruli Panjaitan ( Dean of<br />

Life Science- Swiss German University) for his<br />

guidance during the completion of the thesis.<br />

REFERENCES<br />

Asbury, T., Paul Riordan-Eva, Daniel Vaughan,<br />

Jhon Witcher. Vaughan & Asbury’s General<br />

Ophthalmology. 17th edition. New York :<br />

Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical,<br />

2008.<br />

Bovik, Al,ed. Handbook of image and Video<br />

Processing. San Diego, CA : Academic Press,<br />

2000.<br />

Gonzalez, Rafael C. & Woods, Richard E. 2002,<br />

Digital Image Processing, Pearson Education,<br />

Inc, New Jersey.<br />

Jakus, M. “The fine Structure of the human<br />

Cornea”. The Structure of The Eye. (1961):<br />

344<br />

Kanski, Jack J. Clinical Ophtamology: A Systematic<br />

Approach 4th edition. Oxford: Butterworth-<br />

Heibenabb, 2000.<br />

Mishima, S., D. Maurice. “The effect of normal<br />

evaporation on the eye”. Exp. Eye Res.<br />

(1961): 1.<br />

F52


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Perbandingan Metode Rekonstruksi Proyeksi Balik dan Iterasi untuk<br />

Sistem Tomografi Komputer dengan Berkas Cahaya Tampak<br />

Khusnul Ain, Nuril Ukhrowiyah<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong>, Fsaintek, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia<br />

Email : khusnulainunair@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis akurasi di antara dua program rekonstruksi dalam<br />

menyelesaikan data sinogram yang dihasilkan dari sistem tomografi komputer generasi keempat dengan sumber<br />

berkas cahaya tampak. Metode penelitian ini dilakukan secara simulasi dengan cara memperoleh data simulasi<br />

terlebih dahulu. Kemudian data tersebut direkonstruksi dengan metode rekonstruksi iterasi aljabar (ART) yang<br />

dianalisis dengan cara membandingkan hasilnya dengan metode rekonstruksi proyeksi balik (FBP). Analisis<br />

dilakukan dengan cara membandingkan secara visual maupun numerik citra rekonstruksi terhadap citra referensi.<br />

Pembedaan secara visual dilakukan dengan cara membedakan profil garis horisontalnya, sedang pembedaan<br />

secara numeric dilakukan dengan menghitung nilai rmsd. Hasil pembedaan secara visual dan numerik<br />

menunjukkan bahwa kualitas citra hasil rekonsturksi dengan metode iterasi lebih baik dibandingkan dengan<br />

metode proyeksi balik.<br />

Kata kunci : Tomografi komputer, rekonstruksi iterasi, rekonstruksi proyeksi balik, berkas cahaya tampak<br />

Pendahuluan<br />

Penggunaan sinar optis dalam tomografi medis<br />

belum lama ini dikerjakan oleh Matt Everett dengan<br />

objek studi gigi manusia. Prinsipnya adalah<br />

merekonstruksi citra gigi melalui sinar yang<br />

dipantulkannya [1]. Pada tahun 2003 telah<br />

dilaporkan bahwa tomografi optik sudah dapat<br />

digunakan untuk memetakan pantom jaringan yang<br />

menyerupai otak bayi yang baru lahir [2]. Dalam<br />

bidang industri, sistem tomografi optik dapat<br />

digunakan untuk mencitrakan aliran campuran airgas<br />

dalam fraksi gas rendah, dengan teknik ini<br />

memungkinkan membangkitkan citra tampang<br />

lintang distribusi gas real time dalam pipa [3].<br />

Tampak bahwa kajian tentang tomografi optik<br />

memiliki prospek pemanfaatan yang cukup<br />

signifikan. Metode rekonstruksi proyeksi balik telah<br />

digunakan untuk memperoleh citra rekonstruksi dari<br />

data simulasi ini, namun hasil yang diperoleh kurang<br />

memuaskan [4]. Oleh karena itu perlu dicari<br />

alternatif metode rekonstruksi yang tepat untuk<br />

model data yang diperoleh dari sistem yang telah<br />

dikembangkan ini, dalam penelitian ini akan<br />

digunakan metode rekonstruksi iterasi.<br />

Metode Penelitian<br />

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

objek sintetik berupa data numerik. Dalam penelitian<br />

ini digunakan 3 objek sintetik dengan ukuran 31x31<br />

piksel, 63x63 piksel dan 127x127 piksel. Ketiga<br />

objek numerik tersebut diperlihatkan pada Gambar<br />

1.<br />

(a) (b) (c)<br />

Gambar 1. Objek Numerik Segitiga dengan ukuran (a)031 x 31<br />

piksel, (b) 63 x 63 piksel, (c) 127 x 127 piksel<br />

Pemodelan tomografi komputer fan-beam<br />

dilakukan dengan mengambil asumsi bahwa<br />

diameter objek adalah 31 piksel, 63 piksel dan 127<br />

piksel, yang terdiri dari 49, 99 dan 199 LED serta<br />

49, 99 dan 199 fotodiode dengan skema proses<br />

scanning ditunjukkan pada Gambar 2.<br />

Gambar 2. Model skema proses scanning tomografi komputer<br />

fan-beam<br />

Parameter-parameter yang digunakan selama proses<br />

scanning adalah sebagai berikut:<br />

17. Diameter objek d setara dengan N satuan,<br />

yang menunjukkan ukuran objek dengan<br />

ukuran N x N piksel.<br />

18. Banyaknya M, menyatakan banyaknya LED<br />

atau banyaknya fotodiode yang digunakan<br />

pada simulator.<br />

F53


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

19. Banyaknya N, menyatakan banyaknya<br />

fotodiode yang menerima cahaya LED.<br />

20. Sudut β , menyatakan sudut antara berkas<br />

sinar pusat dengan berkas sinar pusat awal.<br />

Sudut , menyatakan sudut antara LED<br />

Δ β<br />

360<br />

dengan LED berikutnya, yaitu Δ β = .<br />

M<br />

21. Sudut γ , menyatakan sudut antara berkas<br />

sinar dengan berkas sinar pusat. Sudut γ m ,<br />

menyatakan sudut maksimum berkas sinar.<br />

Fotodiode yang terletak pada posisi sudut<br />

− γ m dan γ m adalah fotodiode terdekat yang<br />

dapat menerima cahaya LED. Sudut Δ γ<br />

sudut antara fotodiode dengan fotodiode<br />

berikutnya. Sudut Δ γ = Δβ<br />

.<br />

22. Jarak lintasan r, menyatakan jarak antara LED<br />

dengan fotodiode penerima intensitas cahaya<br />

LED.<br />

23. Intensitas cahaya dalam penelitian ini<br />

merupakan besar intensitas cahaya dalam watt<br />

tiap m 2 tanpa bergantung waktu.<br />

24. Semua LED yang digunakan mempunyai<br />

besar intensitas yang sama, tetapi berubah<br />

terhadap jarak, dengan persamaan:<br />

I<br />

d<br />

I<br />

r<br />

= , dengan I<br />

2 2<br />

d<br />

adalah intensitas<br />

d r<br />

LED pada jarak terjauh, yaitu pada jarak<br />

diameter objek, I r<br />

adalah intensitas LED<br />

pada jarak r, d adalah diameter objek dan r<br />

adalah jarak lintasan.<br />

25. Lebar LED dan fotodiode sebesar 1 satuan<br />

piksel, sehingga berkas sinar terkolimasi<br />

dengan lebar w = satu satuan piksel.<br />

Pada pemodelan ini intensitas sumber datang<br />

yang digunakan adalah konstan, hal ini didasarkan<br />

pada sifat intensitas cahaya yang besarnya selalu<br />

konstan. Intensitas yang diteruskan ( I t ) dapat<br />

dihitung dengan persamaan:<br />

I<br />

t<br />

⎛<br />

( )<br />

⎟ ⎟ ⎞<br />

⎜<br />

N N<br />

Ir. exp μ i,<br />

j . w<br />

⎜<br />

ij,<br />

βγ<br />

(1)<br />

⎝ k l<br />

⎠<br />

= ∑∑<br />

Dengan, I t adalah nilai intensitas yang ditangkap<br />

oleh detektor. I r adalah nilai intensitas yang<br />

dipancarkan sumber cahaya yang bergantung pada<br />

jarak r sebelum mengenai objek. μ ( i, j)<br />

adalah<br />

koefisien absorpsi objek pada posisi piksel (i, j).<br />

w ij,βγ adalah faktor bobot luasan piksel (i, j) yang<br />

dilewati berkas cahaya dengan sudut β terhadap<br />

sumbu awal dan sudut berkas γ . Nilai w ij, βγ<br />

adalah 0 ≤ wij, βγ ≤ 1.<br />

Dari pemodelan sistem tomografi fan-beam ini<br />

diperoleh data sinogram yang ditampilkan pada<br />

gambar 3. Data tersebut kemudian direkonstruksi<br />

dengan dua metode rekonstruksi, yaitu metode FBP<br />

dan ART, yang masing-masing persamaannya dapat<br />

dituliskan dalam persamaan,<br />

Analisis proses rekonstruksi FBP secara diskrit<br />

dapat dituliskan sebagai :<br />

m<br />

∑ − M − 1<br />

m=<br />

0<br />

[ i,<br />

j] = Δφ<br />

p'<br />

[ icos( mΔφ<br />

) + jsin( mΔφ<br />

),<br />

m]<br />

μ (2)<br />

n'<br />

∑ = + N<br />

r<br />

n'<br />

= −N<br />

[ n,<br />

m] = Δx<br />

p[ n',<br />

m] h[ n − n'<br />

]<br />

p' (3)<br />

dimana indeks piksel [i,j] menunjukkan posisi piksel<br />

pada daerah citra rekonstruksi dengan variasi -1/2 <<br />

i,j < +1/2. Indeks raysum (n,m) menunjukkan indeks<br />

raysum ke-n dan proyeksi ke-m.<br />

sedangkan metode rekonstruksi ART dapat<br />

dituliskan dengan persamaan:<br />

k + 1 k<br />

wij<br />

fi<br />

= fi<br />

+ γ ( p j − q j )<br />

(4)<br />

2<br />

w<br />

∑<br />

dengan :<br />

f = citra setelah iterasi ke- k+1<br />

k +1<br />

i<br />

ij<br />

k<br />

f<br />

i<br />

= citra sebelumnya (iterasi ke- k)<br />

w<br />

ij<br />

= bobot yang menunjukkan luasan piksel<br />

tertentu yang terlewati berkas (nilai antara 0<br />

hingga 1).factor damping yang nilainya antara<br />

0 hingga 1<br />

p<br />

j<br />

= ray-sum terukur yang diperoleh dari simulasi<br />

q<br />

j<br />

= ray-sum semu<br />

Citra rekonstruksi yang dihasilkan kemudian<br />

dianalisis kualitasnya. Analisis kualitas citra<br />

dilakukan dengan cara membedakan citra hasil<br />

rekonstruksi dari metode FBP terhadap metode<br />

ART.<br />

Pembedaan citra-citra hasil rekonstruksi dengan<br />

metode FBP dan ART dilakukan secara visual dan<br />

secara numerik. Pembedaan secara visual dilakukan<br />

dengan membedakan citra hasil rekonstruksi dan<br />

profil garis horisontalnya. Sedangkan pembedaan<br />

secara numerik dilakukan dengan menghitung root<br />

mean square difference (rmsd) yang mengukur<br />

kesamaan distribusi antar citra Perumusan rmsd<br />

secara matematis dinyatakan persamaan,<br />

⎡<br />

2 ⎤<br />

( [ i,<br />

j] − [ i,<br />

j]<br />

)<br />

⎢<br />

1 ⎢<br />

rsmd =<br />

μ ⎢<br />

max ⎢<br />

⎢<br />

⎣<br />

∑∑<br />

dengan cit [ i,<br />

j]<br />

[i, j] dan [ i j]<br />

i<br />

j<br />

μ cit μ ref<br />

N'<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎥.100%<br />

⎥<br />

⎥<br />

⎦<br />

(5)<br />

μ adalah pixel citra pada koordinat<br />

μ adalah objek referensi pada<br />

ref ,<br />

F54


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

N '<br />

koordinat [i, j] dan koordinat dibatasi sampai<br />

pixel yang terletak di dalam objek atau lingkaran<br />

citra.<br />

Hasil dan Diskusi<br />

Objek sintetik yang digunakan pada penelitian ini<br />

tersebut di-scan menggunakan simulator tomografi<br />

computer fan-beam [4]. Hasil proses scanning<br />

tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.<br />

(a) (b) (c)<br />

Gambar 3. Sinogram hasil proses scanning dari objek segitiga: (a)<br />

31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127 piksel<br />

Sinogram-sinogram hasil proses scanning sistem<br />

tomografi fan-beam kemudian direkonstruksi<br />

dengan metode rekonstruksi FBP (persamaan 2) dan<br />

ART (persamaan 4), sehingga diperoleh citra-citra<br />

hasil rekonstruksi. Sinogram system tomografi fanbeam<br />

yang telah dilakukan proses rebinning<br />

kemudian direkonstruksi dengan metode FBP,<br />

dengan hasil ditunjukkan pada Gambar 4.<br />

Citra-citra tersebut tampak adanya lingkaranlingkaran.<br />

Lingkaran-lingkaran ini disebut circular<br />

ring artifact. Lingkaran ini terjadi karena adanya<br />

error pada proses interpolasi data dalam proses<br />

rebinning. Semakin banyak detektor atau semakin<br />

tinggi resolusi yang digunakan maka error yang<br />

terjadi semakin besar.<br />

Pengamatan pada gambar secara langsung pada<br />

citra-citra hasil rekonstruksi sinogram hasil proses<br />

scanning fan-beam, terlihat bahwa citra rekonstruksi<br />

yang dihasilkan dari metode ART (gambar 5) lebih<br />

mendekati objek referensi (gambar 1) jika<br />

dibandingkan dengan citra rekonstruksi yang<br />

dihasilkan dari metode FBP (gambar 4). Hal ini<br />

wajar, karena metode rekonstruksi FBP tidak dapat<br />

menggunakan data secara langsung, namun sebelum<br />

dilakukan proses rekonstruksi harus dilakukan<br />

proses interpolasi dan rebinning data terlebih dahulu.<br />

Hal ini sangat berbeda dengan metode ART yang<br />

dapat menggunakan data secara langsung tanpa<br />

harus melakukan proses interpolasi data.<br />

Analisis visual yang kedua adalah pengamatan<br />

profil garis horisontal untuk tiap-tiap objek. Profil<br />

garis horisontal tersebut ditunjukkan pada Gambar 6,<br />

7 dan Gambar 8.<br />

Gambar 6. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />

dengan ukuran 31x31 piksel<br />

(a) (b) (c)<br />

Gambar 4. Citra-citra hasil rekonstruksi sinogram-sinogram fanbeam<br />

setelah direkonstruksi dengan metode FBP objek segitiga<br />

dengan ukuran (a) 31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127<br />

piksel<br />

Sedang citra-citra hasil rekonstruksi sinogram<br />

system tomografi fan-beam dengan metode ART<br />

ditunjukkan pada Gambar 5.<br />

Gambar 7. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />

dengan ukuran 63x63 piksel<br />

(a) (b) (c)<br />

Gambar 5. Citra-citra hasil rekonstruksi sinogram-sinogram fanbeam<br />

setelah direkonstruksi dengan metode ART objek segitiga<br />

dengan ukuran (a) 31x31 piksel (b) 63x63 piksel (c) 127x127<br />

piksel<br />

Gambar 4 menunjukkan citra-citra hasil<br />

rekonstruksi sinogram hasil proses scanning fanbeam<br />

dengan metode FBP melalui proses rebinning.<br />

Gambar 8. Profil Garis Horisontal dari citra hasil rekonstruksi<br />

dengan ukuran 127x127 piksel<br />

Berdasarkan Gambar 8, gambar 9 dan Gambar 10<br />

dapat dilihat bahwa profil garis horisontal citra hasil<br />

rekonstruksi metode ART lebih dekat dan berhimpit<br />

dengan profil garis horisontal objek sintetik<br />

F55


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dibanding profil garis horisontal citra rekonstruksi<br />

yang dihasilkan dari metode FBP.<br />

Analisis secara numerik dilakukan dengan<br />

menghitung root mean square difference (rmsd)<br />

yang mengukur kesamaan distribusi antar citra.<br />

Semakin kecil nilai dari rmsd maka semakin baik<br />

pula kualitas citra yang dihasilkan. Nilai-nilai rmsd<br />

dari citra-citra hasil rekonstruksi terhadap objek<br />

sintetik diperoleh dari persamaan (11). Nilai-nilai<br />

rmsd tersebut ditampilkan pada Tabel 1.<br />

Tabel 1. Perbandingan nilai rmsd antara metode rekontruksi ART<br />

dan FBP<br />

% rmsd<br />

Objek sintetik<br />

Metode Metode<br />

segitiga<br />

ART FBP<br />

31 x 31 piksel 3,164 12,698<br />

63 x 63 piksel 3,504 18,461<br />

127 x 127<br />

piksel<br />

5,555 30,220<br />

Berdasarkan pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa<br />

semakin kecil resolusi objek, nilai rmsd citra yang<br />

dihasilkan akan semakin kecil. Metode rekonstruksi<br />

ART dapat menghasilkan citra rekonstruksi yang<br />

lebih akurat jika dibandingkan dengan metode FBP,<br />

hal ini ditandai dengan kecilnya nilai rmsd.<br />

Akuratnya metode rekonstruksi ART dikarenakan<br />

selama proses rekonstruksi tidak diperlukan proses<br />

intepolasi atau rebinning data seperti yang harus<br />

dilakukan pada metode rekonstruksi FBP .<br />

Kesimpulan<br />

26. Semakin kecil resolusi objek, nilai rmsd citra<br />

yang dihasilkan akan semakin kecil.<br />

27. Metode rekonstruksi ART dapat<br />

menghasilkan citra rekonstruksi yang lebih<br />

akurat jika dibandingkan dengan metode FBP.<br />

Saran<br />

Perlu kajian rumusan metode ART agar diperoleh<br />

metode rekonstruksi yang lebih baik sebelum masuk<br />

ke tahap eksperimen.<br />

Daftar Pustaka<br />

Everett, M. (2000), Optical Coherence Tomography<br />

for Dental Applications, MTP.<br />

Adam Gibson, et. all. (2003), Optical tomography of<br />

a realistic neonatal head phantom, Vol. 42,<br />

No. 16 _ APPLIED OPTICS.<br />

Hampel, U., et. all. (1999), Optische Tomographie<br />

für die Diagnostik von<br />

Zweiphasenströmungen", Tagungsband zum<br />

3. Workshop Meßtechnik für stationäre und<br />

transiente Mehrphasenströmungen, FZ<br />

Rossendorf.<br />

Ain, K. dan Ukhrowiyah, N. (2010), Pemodelan<br />

Sistem Tomografi Komputer Fan-Beam<br />

untuk Pencitraan Objek Transparan dengan<br />

Sumber Cahaya Tampak, prosiding 7 th Basic<br />

Science Nasional Seminar, Malang.<br />

F56


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sistem Tomografi Komputer Translasi Rotasi dengan Proses Scanning<br />

Berbasis Intensitas<br />

Nuril Ukhrowiyah, Khusnul Ain<br />

Program Studi S-1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> FSAINTEK UNAIR<br />

Kampus C <strong>Unair</strong> Jln. Mulyorejo Surabaya 60115 INDONESIA<br />

Abstrak<br />

Pemodifikasian sistem tomografi komputer translasi-rotasi dengan proses scanning berbasis waktu menjadi<br />

proses scanning berbasis intensitas telah berhasil dilakukan. Proses scanning berbasis intensitas adalah proses<br />

scanning yang perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun rotasi dilakukan setelah intensitas yang<br />

tercacah oleh detektor menunjukkan nilai yang telah ditentukan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai<br />

tersebut dicatat. Sistem yang sudah dimodifikasi tersebut diuji unjuk kerjanya dengan melihat kualitas citra yang<br />

dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan membedakan kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses scanning<br />

berbasis intensitas terhadap kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses scanning berbasis waktu. Obyek yang<br />

digunakan adalah tulang yang sudah direndam dalam HNO3 dan tidak direndam. Perendaman dimaksudkan<br />

untuk mendapatkan tulang yang keropos. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa kualitas citra hasil<br />

rekonstruksi dari proses scanning berbasis intensitas relatif sama dibandingkan dengan kualitas citra hasil<br />

rekonstruksi dari proses scanning berbasis waktu. Sistem tomografi komputer translasi-rotasi dengan proses<br />

scanning berbasis intensitas dapat digunakan untuk pendeteksian tulang keropos<br />

Keywords— Tomografi Komputer, tulang keropos, kualitas citra.<br />

Pendahuluan<br />

Tomografi komputer merupakan suatu teknik<br />

pencitraan yang memungkinkan struktur internal<br />

obyek dapat dicitrakan tanpa merusak atau<br />

membelah obyek secara fisik. Dengan tomografi<br />

komputer dapat dihasilkan citra (image) tampang<br />

lintang obyek tanpa harus memotong obyek tersebut,<br />

sehingga nilai besaran fisika dan distribusinya dalam<br />

ruang dapat diidentifikasi. Citra yang dihasilkan<br />

dengan teknik tomografi tidak mengandung<br />

informasi yang tumpang tindih pada arah lintasan<br />

sumber dan detektor sebagaimana yang terjadi pada<br />

teknik radiografi, sehingga citra struktur internal<br />

obyek dapat digambarkan secara lebih jelas, baik<br />

posisi maupun karekteristiknya.<br />

Di laboratium radiasi jurusan <strong>Fisika</strong> FMIPA<br />

<strong>Unair</strong> telah berhasil dibangun sistem tomografi<br />

komputer generasi pertama atau sistem tomografi<br />

komputer translasi rotasi sebagai sarana penelitian<br />

[1]. Sistem ini menggunakan sumber radiasi Cs yang<br />

memancarkan sinar-γ dengan energi sebesar 661,638<br />

keV [2]. Dengan tingginya energi yang digunakan<br />

ini, maka obyek yang dapat discan adalah obyekobyek<br />

yang keras. Dalam penelitian tersebut<br />

digunakan obyek yang terbuat dari kuningan. Untuk<br />

itu perlu dicari sumber radiasi lain yang berenergi<br />

rendah, sehingga dapat digunakan untuk menscan<br />

obyek-obyek yang lunak seperti tulang. Dalam<br />

penelitian ini digunakan sumber radiasi yodium 131.<br />

Digunakannya yodium 131 sebagai sumber<br />

radiasi karena bahan ini merupakan salah satu<br />

sumber radiasi yang berenergi rendah dan relative<br />

mudah diperoleh. Namun yodium 131 ini<br />

mempunyai waktu paro yang pendek yaitu kurang<br />

lebih 8 hari. Dengan waktu paro yang pendek ini,<br />

intensitas sumber radiasi sebelum melewati obyek<br />

berkurang dengan bertambahnya waktu, yang<br />

selama ini intensitas tersebut dianggap konstan<br />

karena waktu paro sumber radiasi yang digunakan<br />

panjang.<br />

Berkurangnya intensitas sumber radiasi terhadap<br />

pertambahan waktu menyebabkan ralatnya<br />

membesar [2]. Untuk itu pada penelitian ini<br />

dilakukan perbaikan dengan menyamakan intensitas<br />

yang diterima setelah melewati obyek melalui proses<br />

scanning berbasis intensitas. Proses scanning<br />

berbasis intensitas adalah proses scanning yang<br />

perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun<br />

rotasi dilakukan setelah intensitas yang tercacah oleh<br />

detektor menunjukkan nilai yang telah ditentukan<br />

dan waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai<br />

tersebut dicatat. Proses ini berbeda dengan proses<br />

scanning yang selama ini digunakan yaitu<br />

perpindahan untuk tiap langkah taranslasi maupun<br />

rotasi pada saat proses scanning dilakukan setelah<br />

selang waktu tertentu, tanpa memperhatikan<br />

berapapun besarnya intentensitas yang tercacah oleh<br />

detector selama selang waktu tersebut<br />

Metode Penelitian<br />

Secara garis besar prosedur penelitian ini<br />

ditunjukkan pada Gambar 1. Sedangkan obyek yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah tulang normal<br />

dan tulang keropos sebagaimana ditunjukkan pada<br />

Gambar 2. Tulang yang digunakan adalah tulang<br />

kaki kambing yang berdiameter sekitar 2 cm dan<br />

dipotong dengan panjang sekitar 2 cm. Tulang<br />

keropos diperoleh dengan cara tulang normal<br />

direndam dalam HNO3 dengan konsentrasi 10% dan<br />

waktu peredaman 6 jam, 12 jam dan 18 jam [3].<br />

Obyek discan dengan sistem tomografi komputer<br />

taranslasi rotasi [1] yang pada penelitian ini,<br />

F57


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

software antarmuka pada sistem pencacahnya<br />

dimodifikasi yaitu dari proses scanning berbasis<br />

waktu menjadi intensitas. Prinsip kerja simulator ini<br />

mengikuti persamaan 1 untuk mendapatkan<br />

intensitas setelah melewat obyek dengan ketebalan<br />

tertentu.<br />

−μx<br />

I = I 0 e<br />

(1)<br />

I = intensitas setelah melewati obyek<br />

I 0 = intensitas sebelum melewati obyek<br />

µ = Koefisien atenuasi linier<br />

x = tebal obyek<br />

Tidak<br />

Sinogram tanpa<br />

koreksi<br />

Direkontruksi<br />

Dihasilkan Citra<br />

Pembuatan obyek<br />

Obyek discan<br />

Dihasilkan<br />

sinogram<br />

Koreks<br />

i<br />

Pembedaan Citra A<br />

terhadap B<br />

Analisis Hasil<br />

Ya<br />

Sinogram<br />

terkoreksi<br />

Direkontruksi<br />

Dihasilkan Citra B<br />

Pemodifikasia<br />

n software<br />

berba-sis<br />

waktu<br />

Gambar 1 Blok diagram prosedur penelitian<br />

[4]sehingga dihasilkan sinogram terkoreksi.<br />

Sinogram perlu dikoreksi karena intensitas sumber<br />

radiasi sebelum melewati obyek berkurang dengan<br />

bertambahnya waktu. Untuk melihat pengaruh<br />

tersebut maka sinogram yang tidak terkoreksi juga<br />

direkonstruksi sehingga dihasilkan citra A.<br />

Sinogram-sinogram tersebut direkonstruksi<br />

dengan metode rekonstruksi SCFBP (Summation<br />

Convolution Filtred Back Proyection),berdasarkan<br />

persamaan 5 [6].<br />

( x y) p'<br />

( φ,<br />

)<br />

μ , = π ∫ x r dφ<br />

0<br />

dengan<br />

p '<br />

+∞<br />

∫<br />

− ∞<br />

(3)<br />

( x , φ ) = p( x'<br />

, φ) h( x − x'<br />

) dx'<br />

= p( x'<br />

, φ) * h( x − x'<br />

)<br />

r<br />

r<br />

r<br />

r<br />

r<br />

r<br />

(4)<br />

dengan h(xr) adalah filter pengkonvolusi.<br />

Citra-citra hasil rekonstruksi dianalisis<br />

kualitasnya. Analisis citra dilakukan dengan cara<br />

membedakan kualitas citra hasil rekonstruksi<br />

sinogram yang terkoreksi dengan yang tidak<br />

terkoreksi untuk tulang normal dengan keropos.<br />

Pembedaan dilakukan secara visual dilihat dengan<br />

memperhatikan citra-citra hasil rekonstruksi secara<br />

langsung dan profil garis horisontalnya.<br />

r<br />

r<br />

(1) (2) (3) (4)<br />

Gambar 2 Foto (1) Tulang Normal ; (2) Tulang Rendaman<br />

HNO3 6 Jam ; (3)Tulang Rendaman HNO3 12 Jam ; (4)Tulang<br />

Rendaman HNO3 18 Jam<br />

Adapun Flow chart proses scanning berbasis<br />

intensitas diperlihatkan pada Gambar 3<br />

Hasil dari proses scanning adalah data<br />

berupa sinogram yang merupakan<br />

kumpulan dari raysum. Sebuah raysum<br />

didefinisikan sebagai Pφ(xr) (Wells, 1994)<br />

⎛ I ⎞ + R<br />

P ( ) =<br />

⎜ 0 ⎟<br />

φ<br />

xr ln⎜<br />

⎟<br />

= ∫ μ( x r , yr ) dyr<br />

I<br />

⎝ ⎠ −R<br />

(2)<br />

dengan<br />

I 0 = Intensitas sumber radiasi yang ditangkap<br />

detektor tanpa objek<br />

I = Intensitas yang ditangkap detektor setelah<br />

melewati objek<br />

xr = Jarak tegak lurus antara berkas dengan posisi<br />

awal<br />

Sinogram ini kemudian direkonstruksi untuk<br />

menghasilkan citra. Namun, Sinogram ini terlebih<br />

dahulu dikoreksi dengan program koreksi sinogram<br />

Gambar 3. Flow chart proses scanning berbasis intensitas<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

Pada proses scanning berbasis waktu, yang<br />

pertama kali dilakukan adalah menentukan waktu<br />

(t0) untuk proses translasi dan rotasi dan kemudian<br />

jika t = t0 maka intensitasnya akan dihitung selama<br />

selang waktu tersebut hingga akhirnya dihasilkan<br />

data sinogram. Pada proses scanning berbasis<br />

F58


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

intensitas, yang pertama kali dilakukan adalah<br />

menentukan intensitas (It) untuk proses translasi dan<br />

rotasi dan kemudian jika I= It maka waktunya akan<br />

dihitung hingga akhirnya dihasilkan data sinogram.<br />

Tampilan software proses scanning berbasis<br />

intensitas ditunjukkan pada Gambar 4<br />

scanning berbasis waktu dengan proses scanning<br />

berbasis intensitas.<br />

Proses scanning berbasis intensitas ini digunakan<br />

menscan tulang normal dan tulang keropos.<br />

Sinogram tanpa koreksi dan dengan koreksi<br />

ditunjukkan pada Gambar4. Citra-citra hasil<br />

rekonstruksi dari sinogram tersebut ditunjukkan<br />

pada Gambar 5<br />

Gambar 4. Tampilan software proses scanning berbasis intensitas<br />

Untuk membandingkan hasil pemodifikasian dari<br />

software proses scanning berbasis waktu dengan<br />

software proses scanning berbasis intensitas dengan<br />

menggunakan sumber radiasi gamma I-131, telah<br />

dilakukan percobaan dengan menggunakan bahan<br />

segitiga kuningan. Waktu yang digu-nakan untuk<br />

proses scaning berbasis waktu [1] adalah 3000 ms<br />

dan jumlah cacahan yang digunakan untuk proses<br />

scanning berbasis intensitas ini adalah 8000 cacahan.<br />

Sinogram-sinogram dan citra hasil rekontruksi dari<br />

sinogram-sinogram tersebut dapat ditunjukkan pada<br />

Gambar 5 dan 6<br />

Gambar 7.Sinogram-sinogram pada tulang normal dan variasi<br />

rendamannya serta hasil koreksinya<br />

(a) (b) (a) (b)<br />

(1) (2)<br />

Gambar 5. Sinogram hasil scanning untuk segitiga kuningan : (1a)<br />

scanning berbasis waktu resolusi low; (1b) scanning berbasis<br />

waktu resolusi medium ; (2a) scanning berbasis intensitas resolusi<br />

low; (2b) scanning berbasis intensitas resolusi medium.<br />

Gambar 8 Citra-Citra hasil rekontruksi pada sinogram-sinogram<br />

pada tulang normal dan variasi rendamannya serta koreksinya<br />

Berdasarkan hasil pembedaan secara visual<br />

dilihat dengan memperhatikan citra-citra hasil<br />

rekonstruksi dan profil garis horisontalnya, maka<br />

dapat dilihat bahwa. citra-citra hasil rekonstruksi<br />

antara tulang normal dan tulang rendaman (gambar<br />

8) semakin mengecil dan pada profil garis<br />

horisontalnya yang ditunjukkan pada Gambar 9,<br />

Gambar 10, Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai<br />

μ -nya menurun.<br />

(a) (b) (a) (b)<br />

(1) (2)<br />

Gambar 6 Citra hasil rekonstruksi untuk segitiga kuningan: (1a)<br />

scanning berbasis waktu resolusi low ; (1b) scanning berbasis<br />

waktu resolusi medium ; (2a) scanning berbasis intensitas resolusi<br />

low; (2b) scanning berbasis intensitas resolusi medium.<br />

Dari hasil pembandingan citra hasil rekonsrtuksi<br />

dengan menggunakan objek segitiga kuningan<br />

tersebut, maka kinerja program software scanning<br />

berbasis intensitas sudah cukup baik karena sudah<br />

dihasilkan citra yang sama antara citra proses<br />

Koefisien Atenuasi Linier<br />

0.35<br />

0.3<br />

0.25<br />

0.2<br />

0.15<br />

0.1<br />

0.05<br />

0<br />

0 20 40 60 80<br />

Posisi Pixel<br />

Tulang1 Normal<br />

Tulang1 Rendaman 6 Jam<br />

Tulang1 Normal Koreksi<br />

Tulang1 Rendaman 6 Jam Koreksi<br />

F59


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 9 Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi tulang1<br />

resolusi medium<br />

Koefisien Atenuasi Linier<br />

0.35<br />

0.3<br />

0.25<br />

0.2<br />

0.15<br />

0.1<br />

0.05<br />

0<br />

0 20 40 60 80<br />

Tulang2 Normal<br />

Tulang2 Rendaman 12 Jam<br />

Posisi Pixel<br />

Tulang2 Normal Koreksi<br />

Tulang2 Rendaman 12 Jam Koreksi<br />

Gambar 10. Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi<br />

tulang2 resolusi medium<br />

Koefisien Atenuasi<br />

Linier<br />

0.25<br />

0.2<br />

0.15<br />

0.1<br />

0.05<br />

0<br />

0 20 40 60 80<br />

Tulang3 Normal<br />

Tulang3 Rendaman 18 Jam<br />

Posisi Pixel<br />

Tulang3 Normal Koreksi<br />

Tulang3 Rendaman 18 Jam Koreksi<br />

Gambar 11 Profil Garis Horisontal citra hasil rekonstruksi tulang3<br />

resolusi medium<br />

Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11<br />

menunjukkan profil garis horisontal citra hasil<br />

rekonstruksi tulang normal dan rendaman yang<br />

terkoreksi berhimpit dengan profil garis horisontal<br />

citra hasil rekonstruksi tulang normal dan rendaman<br />

yang tidak terkoreksi. Hal ini menunjukka bahwa<br />

tidak ada perubahan antara yang terkoreksi dengan<br />

yang tidak terkoreksi. Hal ini dikarenakan waktu<br />

yang digunakan untuk scanning ordenya masih kecil<br />

yakni 2-13 jam dibandingkan dengan waktu paronya<br />

sumber radiasi I-131 yakni sekitar 8 hari.<br />

Penutup<br />

Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada<br />

penelitian ini dapat diambil kesimpulan, bahwa :<br />

28. Kualitas citra hasil rekonstruksi dari proses<br />

scanning berbasis intensitas relative sama<br />

diabndingkan dngan kualitas citra hasil<br />

rekonstruksi dari proses scanning berbasis<br />

waktu<br />

29. Citra-citra hasil rekonstruksi dari data<br />

sinogram terkoreksi dan yang tidak terkoreksi<br />

tidak ada perbedaan<br />

30. Sistem tomografi komputer translasi-rotasi<br />

dengan proses scanning berbasis intensitas dapat<br />

digunakan untuk pendeteksian tulang keropos<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih saya ucapkan kepada Program Studi<br />

<strong>Fisika</strong> FSaintek Universitas Airlangga yang telah<br />

membiayai penelitian ini melalui proyek PHK A2<br />

dan M. Jainul Arifin mahasiswa fisika Fsaintek<br />

Universitas Airlangga yang telah membantu dalam<br />

penyelesaian penelitian ini..<br />

Referensi<br />

Ukhrowiyah, N. dan K. Ain, 2006, Rancang Bangun<br />

Tomografi Komputer Translasi –Rotasi<br />

dengan memanfaatkan Peralatan<br />

Laboratorium, Prosiding Seminar Nasional<br />

SPMIPA 2006, Badan Penerbit Universitas<br />

Diponegoro Semarang, 320-325.<br />

Tsoulfanidis N, 1983. Measurement and Detection<br />

of Radiation, Hemisphere Publishing<br />

Corporation, United Stated of America.<br />

Ukhrowiyah, N., K. Ain dan I. Sapuan, 2008,<br />

Optimasi Sistem Tomografi Komputer<br />

Translasi-Rotasi dengan Sumber Radiasi<br />

Berenergi Rendah, Laporan Penelitian Hibah<br />

Penelitian Program A2 BATCH III, Program<br />

Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Airlangga,<br />

Surabaya.<br />

Ukhrowiyah, N. dan K. Ain, 2010, Simulasi Sistem<br />

Tomografi Komputer dengan Sumber Radiasi<br />

Berumur Paro Pendek, Prosiding Seminar<br />

Nasional Basic Science VII, FMIPA<br />

Universitas Brawijaya, Malang<br />

Wells, P., J. Davis and M. Morgan 1994, Computed<br />

Tomography, Material Forum. Vol. 18, pp.<br />

111-113.<br />

Suparta, G.B., 1999, Focussing Computed<br />

Tomography Scanner, Thesis Submitted for<br />

The Degree of Doctor of Philosophy,<br />

Department of Physics Monash University,<br />

Australia<br />

F60


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Simulasi Konfigurasi Perisai sebagai Penyerap Intensitas Radiasi Gamma<br />

pada “Beam Port Radial” Reaktor Kartini dengan Menggunakan Metode<br />

Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />

Retno Rahmawati 1) , Triwulan Tjiptono 2)<br />

1) Prodi <strong>Fisika</strong> FSAINTEK UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA,<br />

2) PTAPB-BATAN YOGYAKARTA<br />

Email : enorahma1982@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Reaktor nuklir adalah tempat terjadinya reaksi fisi, yang akan menghasilkan produk fisi. Salah satu dari produk<br />

fisi adalah partikel gamma yang mempunyai daya tembus tinggi, untuk itu diperlukan perisai yang mampu<br />

memperkecil bahaya eksternal radiasi gamma. Reaktor Kartini merupakan jenis reaktor riset yang dapat<br />

menghasilkan radiasi gamma. Besarnya intensitas radiasi gamma tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />

metode statistik biasa karena distribusinya yang bersifat random. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk<br />

penentuan distribusi partikel gamma adalah Monte Carlo N-Particle (MCNP). Tujuan dari penelitian ini adalah<br />

menentukan konfigurasi yang tepat dari perisai radiasi gamma pada “Beam Port Radial” Reaktor Kartini dengan<br />

menggunakan program Monte Carlo N-Particle (MCNP). Hasil simulasi menunjukkan bahwa susunan tiga<br />

perisai dengan urutan material Plumbum+Bismut+Silikon dengan tebal 15 cm adalah konfigurasi yang paling<br />

baik dalam memerisai radiasi gamma yaitu: dari 1,0x106 partikel/cm2.s datang, setelah melewati susunan perisai<br />

Plumbum+Bismut+Silikon menjadi 1,6x10-4 partikel/cm2.s. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar pemilihan<br />

material sebagai perisai radiasi gamma pada design reaktor nuklir.<br />

Kata kunci : Intensitas, radiasi gamma, perisai, MCNP.<br />

PENDAHULUAN<br />

Teknologi nuklir merupakan salah satu bentuk<br />

teknologi maju pada saat ini dan pemanfaatannya<br />

telah diterapkan pada berbagai bidang. Pemanfaatan<br />

teknologi nuklir untuk kesejahteraan umat manusia<br />

haruslah memikirkan masalah keselamatan terhadap<br />

manusia dan lingkungan. Tujuan umum dari<br />

keselamatan radiasi adalah membatasi peluang<br />

terjadinya akibat bahaya stokastik atau resiko akibat<br />

pemakaian radiasi yang dapat diterima oleh<br />

masyarakat danmencegah bahaya nonstokastik dari<br />

radiasi yang membahayakan seseorang<br />

(Suratman:2000).<br />

Salah satu dampak negatif teknologi nuklir adalah<br />

pancaran radiasi yang dipancarkan oleh energi<br />

nuklir. Beberapa jenis radiasi yang dihasilkan<br />

diantaranya adalah radiasi sinar α, sinar β, radiasi<br />

elektromagnetik dan radiasi netron. Dari keempat<br />

jenis radiasi diatas yang memiliki potensi bahaya<br />

eksternal bagi manusia dan perlu mendapat<br />

perhatian khusus adalah radiasi elektromagnetik dan<br />

radiasi netron. Salah satu dari radiasi<br />

elektromagnetik adalah radiasi gamma yang<br />

diemisikan oleh reaktor nuklir perlu penanganan<br />

khusus, mengingat sifat-sifat gamma yang<br />

berbahaya.<br />

Reaktor Kartini sebagai reaktor penelitian jenis<br />

TRIGA (Training, Research and Isotop Production<br />

by General Atomic) mempunyai fasilitas irradiasi<br />

(penyinaran) dengan metode radiografi netron pada<br />

bagian “Beam Port Radial” yang nantinya juga akan<br />

menghasilkan radiasi gamma sebagai efek samping<br />

proses radioaktif. Pengetahuan tentang sifat dan<br />

karakteristik sinar gamma yaitu: pengetahuan<br />

dosimetri, penilaian radiasi sinar gamma dan<br />

perhitungan tentang perisai radiasi perlu dilakukan<br />

untuk mencegah bahaya radiasi eksternal sinar<br />

gamma.<br />

Secara kuantitatif intensitas radiasi gamma perlu<br />

diketahui walaupun sudah dilewatkan pada perisai,<br />

agar dapat memenuhi kelayakan dosis dari radiasi<br />

gamma. Perhitungan transport foton tidak bisa<br />

dilakukan dengan metode statistik biasa karena<br />

sifatnya yang random, salah satu metode yang bisa<br />

digunakan adalah Monte Carlo N-Particle (MCNP).<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan<br />

konfigurasi material yang tepat sebagai perisai<br />

radiasi gamma pada “Beam Port Radial” reaktor<br />

Kartini melalui simulasi dengan menggunakan<br />

metode Monte Carlo N-Particle (MCNP) sehingga<br />

dapat memperkecil bahaya radiasi eksternal radiasi<br />

gamma.<br />

KAJIAN TEORI<br />

Radiasi Gamma<br />

Radiasi adalah hasil energi yang berasal dari atom<br />

atau inti tidak stabil yang dipancarkan dalam rangka<br />

untuk mencapai keadaan stabil (Meger:1987).<br />

Radiasi merupakan bentuk radiasi elektromagnetik<br />

F61


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

berpanjang gelombang pendek, energi fotonnya<br />

lebih besar dari 100 keV, merambat dengan<br />

kecepatan cahaya, tidak dapat dibelokkan oleh<br />

medan magnet maupun medan listrik (Wilis:1989).<br />

Radiasi gamma yang diemisikan oleh reaktor<br />

nuklir berasal dari reaksi fisi, reaksi peluruhan<br />

produk fisi, reaksi tangkapan dan reaksi aktivasi.<br />

Sinar gamma yang dipancarkan oleh inti atom yang<br />

teraksitasi dan mengikuti proses peluruhan radioaktif<br />

merupakan salah stu usaha dari atom yang tereksitasi<br />

tersebut menuju tingkat dasar.<br />

Deskripsi Reaktor Kartini<br />

Reaktor Kartini merupakan reaktor penelitian<br />

jenis TRIGA (Training, Research and Isotop<br />

Production by General Atomic) MARK II yang ada<br />

di Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-<br />

Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTAPB-BATAN)<br />

Yogyakarta. Sebagaimana reaktor jenis TRIGA,<br />

reaktor Kartini dilengkapi dengan beberapa fasilitas<br />

irradiasi diantaranya :<br />

1. Kolom termal (thermal coloumn) untuk<br />

penyinaran cuplikan dalam ukuran agak besar,<br />

2. Specimen Rack yang dapat berputar yang<br />

memungkinkan produksi isotop, penyinaran dan<br />

pengaktifan cuplikan.<br />

3. Central Thimble merupakan fasilitas bagi<br />

penyinaran yang memerlukan netron termal atau<br />

netron cepat dengan fluks tinggi.<br />

4. Tabung pneumatik untuk penyinaran cepat<br />

5. Beam Port Radial yang menyediakan berkas<br />

netron dan gamma untuk keperluan eksperimen serta<br />

fasilitas irradiasi sampel dengan diameter ±15,2 m.<br />

Perisai Radiasi Gamma<br />

Tiga proses utama yang terjadi dalam interaksi<br />

antara radiasi elektromagnetik dengan bahan yaitu :<br />

efek fotolistrik, efek compton, dan produksi<br />

pasangan. Ketiga proses tersebut menghasilkan<br />

elektron yang dalam perjalannya akan mengionisasi<br />

bahan perisai. Bahan dengan tingkat kerapatan tinggi<br />

yaitu atom-atom berat dengan nomor atom dan<br />

nomor massa tinggi jangkauan elektron tersebut<br />

akan sangat pendek, oleh sebab itu bahan dengan<br />

nomor atom tinggi sangat baik digunakan sebagai<br />

perisai radiasi gamma.<br />

Apabila radiasi elektromagnetik masuk ke dalam<br />

bahan perisai, maka sebagian radiasi tersebut akan<br />

terserap oleh bahan. Sebagai akibatnya intensitas<br />

radiasi setelah memasuki bahan penyerap akan lebih<br />

kecil dari intensitas semula. Secara matematis<br />

dituliskan sebagai berikut :<br />

Dimana :<br />

I = Intensitas radiasi setelah melewati perisai<br />

I 0 = Intensitas sebelum melewati perisai<br />

μ = koefisien serapan linier bahan perisai (m -1 )<br />

x = tebal perisai (m)<br />

(1)<br />

μ (koefisien atenuasi linier) adalah kebolehjadian<br />

foton berinteraksi dengan medium perunit jejak<br />

(Suprawardana :1982) yang secara matematis<br />

dituliskan sebagai berikut :<br />

Dimana :<br />

μ = koefisien atenuasi linier<br />

τ = koefisien fotoelektrik<br />

σ = koefisien compton<br />

κ = koefisien produksi pasangan<br />

(2)<br />

Metode Monte Carlo<br />

Istilah Monte Carlo pertama kali diperkenalkan<br />

oleh Von Neuman dan Ulam pada jaman perang<br />

dunia II sebagai kode dari pekerjaan rahasia di Los<br />

Alamos yang berkaitan dengan pembuatan bom<br />

atom. Metode Monte Carlo dalam dunia fisika<br />

digunakan untuk mengevaluasi integral multi<br />

dimensi dan persamaan integral yang tidak bisa<br />

diselesaikan secara analitik. Enrico Fermi<br />

menggunakan metode Monte Carlo untk<br />

mensimulasikan kelakuan difusi netron yang bersifat<br />

acak dalam medium.<br />

Simulasi stokastik yang sampelnya berasal dari<br />

suatu distribusi tertentu yang mengandung bilangan<br />

acak dari komputer pada interval 0 sampai 1<br />

(distribusi kanonik) disebut simulasi Monte Carlo<br />

(Ishak:1998). Secara lebih rinci metode Monte Carlo<br />

didefinisikan sebagai berikut :<br />

1. Suatu metode perhitungan yang menirukan<br />

secara teoritis suatu proses statistik (acak).<br />

2. Digunakan untuk menyelesaikan masalah yang<br />

tidak bisa diselesaikan dengan metode deterministik.<br />

3. Mensimulasikan setiap peristiwa probabilistik<br />

tunggal yang terjadi dalam suatu proses satupersatu<br />

secara berurutan.<br />

4. Sebaran kemungkinan yang berlaku di dalam<br />

setiap peristiwa di cacah secara acak sesuai dengan<br />

hukum alam yang berlaku padanya.<br />

5. Diperlukan pengulangan yang banyak agar<br />

seluruh fenomena yang disimulasi dapat tergambar<br />

dengan utuh dan realistik.<br />

Metode Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />

MCNP merupakan sebuah program yang<br />

digunakan untuk transport netron, foton, elektron,<br />

kombinasi transport netron/foton dimana foton<br />

diproduksi oleh interaksi netron maupun kombinasi<br />

netron/foton/elektron. Energi netron dari 10 MeV<br />

sampai 20 MeV, energi foton serta elektron dari 1<br />

keV sampai 1000 MeV dan kemampuannya<br />

menghitung nilai eigen dari sistem fisi (Judith :<br />

1997).<br />

Dalam penelitian ini digunakan program MCNP<br />

versi 4B dengan ciri-ciri sebagai berikut :<br />

1. Masalah transport : netron, foton, elektron.<br />

2. Sifat bahan dinyatakan sebagai fungsi energi<br />

kontinu<br />

F62


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

3. Geometri tiga dimensi sembarang bentuk,<br />

didasarkan sepenuhnya pada bidang permukaan<br />

yang membatasinya.<br />

4. Statik dan dinamik.<br />

Keistimewaan program MCNP diantaranya :<br />

memiliki data nuklir dan reaksi, memberikan<br />

spesifikasi sumber, terdapat talli dan keluaran<br />

program yang sesuai, menyertakan error dan reduksi<br />

varians dalam setiap keluarannya.<br />

Untuk sebuah program MCNP harus memenuhi<br />

syarat masukan (input) :<br />

1. Title Card : Merupakan bagian awal dari<br />

masukan program.<br />

2. Cell Card : Mendefinisikan kedudukan cell<br />

pada geometri sistem.<br />

3. Surface Card : Mendefinisikan permukaanpermukaan<br />

yang membatasi cell.<br />

4. Data Card : Memberikan penjelasan tentang<br />

sumber<br />

METODOLOGI PENELITIAN<br />

Alat dan Bahan Penelitian<br />

Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah :<br />

1. Dokumen data Beam Port Radial Reaktor<br />

Kartini.<br />

2. Data bahan perisai, dalam penelitian ini<br />

digunakan tiga material yaitu : silikon, Plumbum<br />

dan Bismut.<br />

3. Perangkat lunak Monte Carlo N-Particle<br />

(MCNP) versi 4B.<br />

4. Seperangkat komputer dengan processor intel<br />

pentium IV.<br />

Prosedur Penelitian<br />

Untuk mendapatkan keluaran (output) berupa<br />

intensitas partikel gamma dan lay out geometri<br />

Beam Port Radial Reaktor Kartini harus dilakukan<br />

langkah-langkah sebagai berikut :<br />

Gambar 1. Diagram alir Program MCNP versi 4B<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Dari hasil analisis file masukan menggunakan<br />

paket program Monte Carlo N-Particle (MCNP)<br />

versi 4B diperoleh geometri Beam Port Radial<br />

Kartini dengan konfigurasi tiga perisai yang<br />

disajikan pada gambar 2 di bawah ini :<br />

Gambar 2. Lay out Beam Port Radial Kartini dengan<br />

konfigurasi tiga perisai terhadap sumbu z.<br />

Hasil lay out pada gambar 2 diatas disesuaikan<br />

dengan ukuran geometri Beam Port Radial Reaktor<br />

Kartini dalam ukuran yang sebenarnya, hal ini<br />

dilakukan agar simulasi mendapatkan hasil keluaran<br />

yang sesuai dengan kondisi riil Reaktor Kartini.<br />

Hasil perhitungan intensitas partikel gamma<br />

dengan menggunakan program Monte Carlo N-<br />

Particle (MCNP) versi 4B setelah melewati<br />

beberapa alternatif konfigurasi tiga perisai disajikan<br />

pada tabel 1 dibawah ini :<br />

No<br />

TABEL 1<br />

Besarnya Intensitas Radiasi gamma<br />

Konfigurasi<br />

Perisai<br />

Tebal<br />

Perisai<br />

(cm)<br />

Intensitas<br />

gamma setelah<br />

dinormalisasi<br />

perpartikel<br />

sumber<br />

(partikel/cm 2 .s)<br />

1 Si+Pb+Bi 15 1,6 x 10 -4<br />

2 Si+Bi+Pb 15 1,6 x 10 -4<br />

3 Bi+Si+Pb 15 2,0 x 10 -4<br />

4 Bi+Pb+Si 15 1,7 x 10 -4<br />

5 Pb+Si+Bi 15 2,0 x 10 -4<br />

6 Pb+Bi+Si 15 1,6 x 10 -4<br />

Keterangan :<br />

Si = Silikon, Pb = Plumbum, Bi = Bismut.<br />

Hasil perhitungan pada tabel 1 diatas dilakukan<br />

dengan mensimulasi 10 6 partikel gamma dengan<br />

energi 2 MeV sebelum melewati perisai radiasi,<br />

tampak bahwa terdapat tiga nilai yang sama pada<br />

hasil perhitungan. Dari ketiga nilai yang sama<br />

terdapat perbedaan pada error program, hal ini<br />

menjadi dasar pemilihan konfigurasi tiga perisai<br />

F63


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

yang paling baik menyerap radiasi gamma. Dari<br />

hasil keluaran program MCNP versi 4B<br />

menunjukkan bahwa error yang paling kecil<br />

diperoleh dari konfigurasi Plumbum + Bismut +<br />

silikon dengan nilai error sebesar 1 % dalam setiap<br />

eksekusinya.<br />

Material Silikon mengatenuasi radiasi gamma<br />

paling kecil dibandingkan Plumbum dan Bismut<br />

karena μ silikon < μ Bismut < μ Plumbum , sehingga ketika<br />

radiasi partikel gamma melewati konfigurasi tiga<br />

perisai material Plumbum sudah berperan aktif<br />

memerisai dan diikuti oleh Bismut dan Silikon.<br />

Plumbum dan Bismut juga merupakan material<br />

dengan densitas cukup besar sehingga mampu<br />

memerisai partikel gamma dengan baik.<br />

Kreasi foton menghasilkan Bremstahlung, P-<br />

annihilasi dan flouresensi sedangkan foton yang<br />

hilang diakibatkan peristiwa tangkapan, hamburan<br />

Compton, foton yang lolos dan produksi pasangan.<br />

Dari hasil keluaran program MCNP Versi 4B<br />

didapatkan data bahwa selama proses berlangsung<br />

terjadi 9255064 kali tumbukan dan reaksi<br />

Bremstahlung paling dominan dalam kreasi foton.<br />

Dengan susunan tiga perisai, partikel gamma dapat<br />

teratenuasi mendekati 10 10 kali partikel awal.<br />

Berdasarkan konsep statistik maka perhitungan<br />

yang diberikan metode Monte Carlo tidak unik<br />

sebab hal ini bergantung pada perkiraan yang<br />

ditetapkan. Hal ini merupakan kelemahan metode<br />

Monte Carlo karena untuk memperbaiki keakuratan<br />

dari perhitungan yang dihasilkan harus dilakukan<br />

pengulangan perhitungan yang sangat banyak,<br />

sehingga membutuhkan waktu komputasi yang<br />

cukup lama.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil simulasi menggunakan program Monte<br />

Carlo N-Particle (MCNP) versi 4B dapat<br />

disimpulkan bahwa konfigurasi tiga perisai yang<br />

paling baik memerisai radiasi gamma adalah<br />

susunan Plumbum+Bismut+Silokon dengan tebal 15<br />

cm, dimana dari 10 6 partikel/cm 2 .s yang datang<br />

setelah melewati susunan tiga perisai tersebut<br />

intensitasnya turun menjadi 1,6 x 10 -4 partikel/cm 2 .s.<br />

Hasil perhitungan dengan menggunakan program<br />

MCNP versi 4B merupakan hasil pendekatan bukan<br />

ketepatan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Akhadi Mukhlis (2000), Dasar-Dasar Proteksi<br />

Radiasi, Jakarta, Rineka Cipta.<br />

Gibbs R William (1999), Computation In Modern<br />

Physics, Mexico, New Mexico University.<br />

Judith F Briesmeister (1997), MCNP A General<br />

Monte Carlo N-Particle Transport Code<br />

Version 4B, California, University of<br />

California.<br />

M.Salman Suprawardana (1982), Pengenalan<br />

Komponen Reaktor, Yogyakarta, BATAN.<br />

Ratna Wilis (1989), Pengantar <strong>Fisika</strong> Inti, Jakarta,<br />

DEPDIKBUD.<br />

Tri Priambudi (2003), Analisis Kualitas Bahan<br />

Sebagai Perisai Radiasi Netron Termal,<br />

Yogyakarta, <strong>Fisika</strong> UNY.<br />

Triwulan Tjiptono, Widarto (2002), Pengembangan<br />

Fasilitas Uji Tak Merusak Dengan Netron<br />

Radiografi Pada Reaktor Kartini, Yogyakarta,<br />

BATAN.<br />

Yesaya Ishak (1998), Simulasi Parameter Transpor<br />

GaAs dengan Metode Monte Carlo, Bandung,<br />

ITB.<br />

F64


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengenalan Pola Tumor Otak Hasil Deteksi Tepi<br />

dengan Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan<br />

Riries Rulaningtyas 1 , Khusnul Ain 2 , Nur Laelatus 3<br />

1,2,3 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : riries_tyas@yahoo.co.id<br />

Abstrak<br />

Saat ini, dokter-dokter di Rumah Sakit dalam mengidentifikasi tumor otak dengan cara melihat pola gambar<br />

jaringan otak hasil dari MRI (Magnetic Resonance Imaging) secara manual. Jaringan syaraf tiruan dapat<br />

digunakan untuk mengidentifikasi tumor otak melalui citra dari data MRI. Algoritma yang digunakan adalah<br />

Propagasi Balik (Backpropagation) yang merupakan metode pembelajaran pada jaringan syaraf tiruan yang<br />

dapat digunakan untuk pengenalan pola kerena jika output memberikan hasil yang salah maka pembobot<br />

dikoreksi supaya error diperkecil. Dengan proses training didapatkan bobot terbaik yaitu pada node hidden 3,<br />

learning rate 0,5 dan momentum 0,9 yang akan digunakan untuk menguji 8 citra normal dan 8 citra tumor untuk<br />

data testing. Hasil pengujian menunjukkan bahwa telah dapat melakukan identifikasi tumor otak. Prosentasi<br />

keberhasilan identifikasi sebesar 93,75%.<br />

Kata kunci : jaringan syaraf tiruan, tumor otak.<br />

PENDAHULUAN<br />

Salah satu cara yang sering dilakukan untuk<br />

mengetahui seseorang penderita apakah mengidap<br />

tumor otak atau tidak adalah dengan menggunakan<br />

MRI. Hasil keluaran MRI berupa gambar pola<br />

jaringan-jaringan di dalam otak. Selama ini, dalam<br />

melakukan identifikasi tumor otak berdasarkan hasil<br />

keluaran dari MRI dilakukan oleh radiolog dan<br />

dokter ahli yang berpengalaman menggunakan MRI.<br />

Untuk membantu dokter dalam mendiagnosa tumor<br />

otak, maka penelitian ini perlu dilakukan dengan<br />

dibuat suatu computer aided diagnose menggunakan<br />

metode jaringan syaraf tiruan.<br />

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan<br />

yang berkaitan dengan pengenalan pola adalah<br />

Pengaplikasian Optimasi Jaringan syaraf tiruan oleh<br />

Algoritma Genetika pada Pendeteksian Kelainan<br />

Otak Stroke Iskemik sebagai Media Pembelajaran<br />

Dokter Muda (Rulaningtyas, 2006) dan<br />

Unsupervised Brain Tumor Segmentation Using<br />

Knowledge Based Fuzzy Technique. (Clark, 2002)<br />

Sebelum diolah oleh jaringan syaraf tiruan, hasil<br />

rekaman MRI dilakukan pengolahan citra terlebih<br />

dahulu yang meliputi proses mengubah data analog<br />

MRI menjadi data digital, grayscale (skala<br />

keabuan), histogram equalisasi untuk memperbaiki<br />

kualitas citra yang dikarenakan adanya noise pada<br />

citra. Kemudian dilakukan pengolahan citra deteksi<br />

tepi (edge detection) agar diperoleh pola tepi gambar<br />

jaringan otak dan tepi tumor otak, hal ini dilakukan<br />

oleh peneliti pertama. Dalam penelitian ini,<br />

melanjutkan proses dari hasil peneliti pertama.<br />

Proses yang dilakukan adalah filter latar<br />

(background) dari data citra negatif untuk<br />

menghilangkan informasi latar yang tidak<br />

diperlukan. Kemudian dilakukan proses segmentasi<br />

yang bertujuan untuk mengaburkan jaringan otak<br />

yang bukan tumor, sehingga yang terlihat jelas<br />

adalah pola tumor. Pada proses segmentasi ini<br />

dilakukan pengelompokan piksel ke dalam daerah<br />

menggunakan kriteria berdasarkan kemiripan nilai<br />

intensitas dan kedekatan posisi piksel yang<br />

membedakan dengan bagian citra yang lain. Karena<br />

dari hasil segmentasi citra yang masih terlihat<br />

jaringan otak non tumor, maka digunakan sistem<br />

jaringan syaraf tiruan untuk mengenali pola tumor<br />

otak. Metode pembelajaran yang digunakan pada<br />

jaringan syaraf tiruan ini adalah backpropagation<br />

(propagasi balik) yang prosedur pembelajarannya<br />

didasarkan pada hubungan yang sederhana, jika<br />

output memberikan hasil yang salah, maka<br />

pembobot dikoreksi supaya error dapat diperkecil.<br />

Dengan dikembangkannya software berbasis<br />

jaringan syaraf tiruan untuk identifikasi tumor otak<br />

ini, diharapkan dapat dengan tepat membantu dokter<br />

dalam proses diagnosa.<br />

Pengumpulan data hasil diagnosa dari dokter<br />

spesialis akan dilakukan sebanyak mungkin. Data –<br />

data tersebut digunakan oleh jaringan syaraf tiruan<br />

untuk melakukan proses pembelajaran (learning).<br />

Semakin banyak jaringan syaraf tiruan melakukan<br />

proses pembelajaran, maka akan semakin pandai<br />

mengenali pola dari penyakit stroke iskemik hasil<br />

citra otak dari MRI. Jaringan syaraf tiruan ini akan<br />

menerima masukan berupa data numerik dari<br />

struktur obyek yang mengalami proses awal dari<br />

data yaitu pengaturan dan perbaikan citra hasil dari<br />

MRI. Proses awal dari data tersebut meliputi proses<br />

scaning, proses grayscale, filter, segmentasi, dan<br />

normalisasi tingkat grayscale dari tiap segmen.<br />

Metode pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang<br />

digunakan adalah backpropagation karena metode<br />

ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang untuk<br />

F65


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

melakukan pengenalan pola (pattern recognition),<br />

klasifikasi citra, dan penerapannya di bidang<br />

diagnosa medik. Pada pengoperasian jaringan syaraf<br />

tiruan terdapat dua tahap operasi yang terpisah yaitu<br />

tahap belajar (learning) dan tahap pemakaian<br />

(mapping). Tahap belajar merupakan proses untuk<br />

mendapatkan bobot koneksi yang sesuai.<br />

Penyesuaian bobot dimaksudkan agar setiap<br />

pemberian input ke neural menghasilkan output<br />

yang dinginkan. Adapun algoritma backpropagation<br />

dapat diketahui dari serangakaian perhitungan.<br />

Dengan berdasarkan pada gambar 1 dapat diketahui<br />

bahwa masing – masing sinyal input x i akan<br />

meneruskan sinyal inputan ke semua lapisan<br />

diatasnya. Tiap hidden unit (Z j , j = 1,…,p) akan<br />

menjumlahkan bobot sinyal input.<br />

n<br />

z _ in j = voj<br />

+ ∑ xiv<br />

(3)<br />

ij<br />

i−1<br />

Output sinyal dapat diperoleh dengan<br />

menerapkan fungsi aktivasi.<br />

z = f _( z _ in )<br />

(4)<br />

j<br />

j<br />

mundur (backpropagation) perlu perhitungan<br />

kesalahan outputnya. Apabila output yang<br />

dihasilkan belum sesuai dengan apa yang<br />

diinginkan (target) maka jaringan akan<br />

menghitung error output (persamaan 7).<br />

δ = t − y ) f '( y _ in ) (7)<br />

k<br />

( k k<br />

k<br />

Kemudian dilakukan update bobot (persamaan<br />

8) dan update bias (persamaan 9).<br />

Δ w jk = αδ k z j (8)<br />

Δ wok<br />

= αδ k (9)<br />

Tiap – tiap hidden akan menjumlahkan delta<br />

input dari lapisan di atasnya.<br />

m<br />

δ _ in j = ∑δ<br />

k w jk<br />

(10)<br />

k = 1<br />

Perhitungan informasi error dengan<br />

menggunakan derivatif dari fungsi aktivasi.<br />

δ = δ _ in f '( z _ in ) (11)<br />

j<br />

j<br />

f<br />

Pengkoreksian bobot dan bias pada persamaan<br />

12 dan 13.<br />

Δ vij<br />

= αδ j xi<br />

(12)<br />

Δ w jk = αδ k z j<br />

(13)<br />

Sehingga bobot baru pada masing – masing unit<br />

output pada persamaan 14.<br />

w jk ( new)<br />

= w jk ( old)<br />

+ Δw<br />

jk (14)<br />

Gambar 1. Jaringan Backpropagation (Fauset, 1994)<br />

Unit hidden ini akan mengirimkan sinyal ke seluruh<br />

lapisan atasnya yaitu lapisan output. Tiap unit output<br />

akan menjumlahkan bobot sinyal input.<br />

p<br />

y _ ink<br />

= wok<br />

+ ∑ z jw<br />

jk<br />

(5)<br />

j = 1<br />

Dengan menerapkan fungsi aktivasi seperti pada<br />

persamaan 6.<br />

y = f y _ in )<br />

(6)<br />

k<br />

( k<br />

Tahap ini disebut tahap propagasi maju.<br />

Sedangkan proses perhitungan propagasi<br />

Bobot baru pada unit hidden pada persamaan 15.<br />

v<br />

ij ( new)<br />

= vij<br />

( old)<br />

+ Δvij<br />

(15)<br />

Proses akan diakhiri dengan menghitung<br />

kesalahan total.<br />

1<br />

E = [ ] 2<br />

2 ∑ t k − y k<br />

(16)<br />

k<br />

Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi<br />

aktivasi sigmoid biner.<br />

1<br />

f ( x)<br />

= (17)<br />

1+<br />

exp( −x)<br />

f '(<br />

x)<br />

= f ( x)[1<br />

− f ( x)]<br />

(18)<br />

F66


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

METODE PENELITIAN<br />

Dalam penelitian ini digunakan scanner untuk<br />

scanning data citra MRI yang berupa film negative.<br />

Komputer yang digunakan adalah Pentium 4 dual<br />

core dengan RAM 1 GB, sistem operasi yang<br />

digunakan Windows XP Professional. Program<br />

dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman<br />

Borland Delphi 7. Dalam bahasa pemrograman ini<br />

dapat ditampilkan beberapa form sekaligus sehingga<br />

pengguna memiliki kemudahan dalam membaca<br />

tampilan. Data diperoleh dari RSUD Dr Soetomo,<br />

yaitu berupa film negatif hasil MRI. Terdiri dari 16<br />

citra, 8 citra normal kondisi T1 (longitudinal<br />

relaxation time) dan T2 (transversal relaxation time)<br />

dan 8 citra tumor kondisi T1 dan T2 pula. Untuk<br />

kebutuhan training jaringan syaraf tiruan digunakan<br />

54 citra yang terdiri dari 24 citra normal kondisi T1<br />

(longitudinal relaxation time) dan T2 (transversal<br />

relaxation time) dan 30 citra tumor kondisi T1 dan<br />

T2 pula.<br />

Prosedur penelitian antara lain mengolah citra<br />

hasil rekaman MRI terlebih dahulu yang meliputi<br />

proses mengubah data analog MRI menjadi data<br />

digital, konversi tiga warna menjadi satu warna<br />

(grayscale), perbaikan kualitas citra melalui<br />

histogram equalisasi untuk memperbaiki kualitas<br />

citra yang dikarenakan adanya noise pada citra.<br />

Kemudian dilakukan pengolahan citra deteksi tepi<br />

(edge detection) agar diperoleh tepi gambar (frame)<br />

jaringan otak dan pola tumor. Setelah dari hasil<br />

deteksi tepi (edge detection) citra berupa tepi<br />

gambar (frame) jaringan otak beserta tumornya<br />

dilakukan pengolahan filter latar (background). Dari<br />

hasil proses filterisasi dilakukan proses segmentasi<br />

yaitu pengelompokan piksel ke dalam daerah<br />

menggunakan kriteria berdasarkan kemiripan nilai<br />

intensitas dan kedekatan posisi piksel yang<br />

membedakan dengan bagian citra yang lain. Hasil<br />

proses segmentasi ini yang digunakan sebagai input<br />

ke jaringan syaraf tiruan untuk mengetahui image<br />

yang termasuk otak normal atau otak sakit.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Jumlah data yang digunakan adalah 16 image<br />

MRI (Magnetic Resonance Imaging) hasil deteksi<br />

tepi, yang terdiri atas delapan image pasien dan<br />

delapan image normal. Lebih jelasnya lihat lampiran<br />

1, dengan menggunakan bahasa Delphi 6 yang<br />

terlebih dahulu dilakukan pengolahan image<br />

kemudian diproses dengan Jaringan Syaraf Tiruan,<br />

dengan parameter-parameter sebagai berikut :<br />

1. Parameter-parameter yang digunakan pada<br />

tahap training :<br />

Error maksimal : 1<br />

Iterasi maksimal : 10000<br />

Learning rate : 0,5<br />

Momentum : 0,9<br />

2. Parameter-parameter yang digunakan pada<br />

tahap testing :<br />

Target : 1<br />

Learning rate : 0,5<br />

Momentum : 0,9<br />

Tabel I. Rekapitulasi hasil dengan hidden satu<br />

Jumla<br />

h<br />

8<br />

Pasien<br />

4<br />

Normal<br />

Terdetek<br />

si benar<br />

Terdetek<br />

si salah<br />

0 8<br />

2 6<br />

2 14<br />

Total<br />

Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />

dengan menggunakan jumlah hidden satu adalah<br />

:<br />

%identifikasi =<br />

Σcitrateridentifikasi<br />

x100%<br />

Σcitrayangdiuji<br />

= 2/16 x 100%<br />

= 12,5%<br />

Tabel II. Rekapitulasi hasil dengan hidden dua<br />

Jumla<br />

h<br />

Terdetek<br />

si benar<br />

Terdetek<br />

si salah<br />

8<br />

Pasien<br />

7 1<br />

4<br />

Normal<br />

4 4<br />

Total 11 5<br />

Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />

dengan menggunakan jumlah hidden dua adalah<br />

:<br />

%identifikasi =<br />

Σcitrateridentifikasi<br />

x100%<br />

Σcitrayangdiuji<br />

= 11/16 x 100%<br />

= 68,75%<br />

Tabel III. Rekapitulasi hasil dengan hidden tiga<br />

Jumla<br />

h<br />

Terdetek<br />

si benar<br />

Terdetek<br />

si salah<br />

8<br />

Pasien<br />

7 1<br />

8<br />

Normal<br />

8 0<br />

Total 15 1<br />

F67


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Prosentase keberhasilan Jaringan Syaraf Tiruan<br />

dengan menggunakan jumlah hidden tiga adalah<br />

:<br />

% identifikasi =<br />

Σcitrateridentifikasi<br />

x100%<br />

Σcitrayangdiuji<br />

= 15/16 x 100%<br />

= 93,75%<br />

Berdasarkan training yang dilakukan pada Jaringan<br />

Syaraf Tiruan dengan variasi jumlah hidden dari satu<br />

sampai tiga diperoleh hubungan seperti pada<br />

Gambar 2.<br />

Grafik hubungan antara jumlah iterasi<br />

terhadap jumlah hidden<br />

kinerja dari Jaringan Syaraf Tiruan sudah optimum.<br />

Kinerja Jaringan Syaaf Tiruan optimum apabila<br />

error yang dihasilkan semakin mengecil, begitu juga<br />

sebaliknya kenerja Jaringan Syaraf Tiruan kurang<br />

optimum atau bahkan tidak optimum apabila error<br />

yang dihasilkan semakin bertambah. Dengan<br />

demikian kinerja Jaringan Syaraf Tiruan yang<br />

optimum pada penelitian ini adalah Jaringan Syaraf<br />

Tiruan dengan jumlah hidden tiga.<br />

Pasien<br />

Tabel V. Hasil normal dengan jumlah hidden tiga<br />

Jumlah Iterasi<br />

Error<br />

Training Testing Training Testing<br />

Jumlah iterasi<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

y<br />

1 7 1 0,000905652 0,000905652<br />

2 7 1 0,000857331 0,000857331<br />

0<br />

0 1 2 3 4<br />

Jumlah hidden<br />

3 7 1 0,000884686 0,000884686<br />

Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah iterasi terhadap jumlah<br />

hidden<br />

Dengan melihat grafik pada Gambar 2, maka<br />

dapat diketahui bahwa jumlah hidden tiga<br />

merupakan jumlah hidden yang optimum pada<br />

penelitian ini, karena jumlah iterasinya paling<br />

sedikit dibandingkan dengan yang lain.<br />

4 7 1 0,000910583 0,000910583<br />

5 7 1 0,000925178 0,000925178<br />

6 7 1 0,000934593 0,000934593<br />

7 7 1 0,000940655 0,000940655<br />

8 7 1 0,000863145 0,000863145<br />

Pasien<br />

Tabel IV. Hasil pasien dengan jumlah hidden tiga<br />

Jumlah Iterasi<br />

Error<br />

Training Testing Training Testing<br />

Hasil tampilan jaringan syaraf tiruan yang telah<br />

dibuat seperti pada Gambar 3 dan 4.<br />

1 7 1 0,000995066 0,000995066<br />

2 7 1 0,000999989 0,000999989<br />

3 7 1 0,000970478 0,000970478<br />

4 8 1 0,000654074 0,000654074<br />

Gambar 3. Form penampil proses segmentasi<br />

5 7 1 0,000999529 0,000999529<br />

6 8 1 0,000654054 0,000654054<br />

7 7 1 0,000968725 0,000968725<br />

8 7 1 0,000963328 0,000963328<br />

Pada Tabel IV dan V dapat diketahui bahwa error<br />

jaringan syaraf tiruan pada proses training maupun<br />

testing untuk jumlah hidden tiga memiliki error yang<br />

kecil. Kinerja Jaringan Syaraf Tiruan selain dapat<br />

dilihat dari jumlah iterasinya, bisa juga dilihat dari<br />

besarnya error yang dihasilkan. error dari<br />

banyaknya training yang dilatihkan ke Jaringan<br />

Syaraf Tiruan semakin mengecil, hal ini berarti<br />

Gambar 4. Form penampil tahap pembelajaran<br />

F68


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

SIMPULAN DAN SARAN<br />

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan<br />

sebagai berikut :<br />

1. Tingkat keberhasilan Jaringan<br />

Syaraf Tiruan dalam mengenali pola<br />

tumor atau bukan dari citra otak<br />

hasil deteksi tepi untuk jumlah data<br />

16 image adalah 93,75%.<br />

2. Konfigurasi Jaringan Syaraf Tiruan<br />

yang optimal pada penelitian ini<br />

adalah dengan menggunakan jumlah<br />

hidden tiga, dengan performansi error<br />

sebesar 0,000905652 dan<br />

konvergensi iterasi yang cepat pada<br />

saat mengenali pola tumor otak.<br />

Dengan mengetahui hasil pada<br />

penelitian ini, maka hendaknya program<br />

jaringan syaraf tiruan ini perlu dilengkapi<br />

adanya teknik otomatisasi konfigurasi<br />

Jaringan Syaraf Tiruan yang optimal secara<br />

otomatis. Disampin itu menggunakan data<br />

MRI yang lebih tinggi medan magnetnya<br />

dengan teknologi MRI yang lebih canggih<br />

sehingga bisa diperoleh data spektroskopi<br />

image yang akan menghasilkan hasil<br />

diagnosis lebih tinggi dan untuk<br />

meningkatkan kinerja jaringan syaraf tiruan<br />

menjadi 100% perlu digunakan<br />

penambahan banyak data.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih kami ucapkan kepada pihak<br />

RSUD Dr Soetomo atas kerja samanya sehingga<br />

terselesaikan penelitian ini, program PHK A2 <strong>Fisika</strong><br />

yang telah mensuport dana penelitian, serta partner<br />

penelitian Khusnul Ain dan Nurlaelatus.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ahmad, U, 2005, “Pengolahan Citra Digital, Graha<br />

Ilmu, Yogyakarta.<br />

Ain, K., Rulaningtyas, R.., 2007,<br />

“Pemanfaatan Jaringan Syaraf Tiruan<br />

untuk Pendeteksian Tingkat Stadium Tumor<br />

Otak Hasil Rekaman MRI”, Program<br />

Studi <strong>Fisika</strong> FMIPA UNAIR,<br />

Surabaya.<br />

Chioruddin, I., 2002, “Deteksi Lesi pada<br />

Myelum dari Hasil Gambaran MRI dengan<br />

Jaringan Syaraf Tiruan”, Tugas Akhir,<br />

Jurusan Teknik <strong>Fisika</strong>, Fakultas<br />

Teknik Industri, ITS, Surabaya.<br />

Http://www.medicastore.com/tumorotak/med/detail_<br />

pyk.php, 25 januari 2008.<br />

Kusuma, S, D., 2004, “Membangun Jaringan<br />

Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan<br />

Excellink”, Edisi Pertama,<br />

Yogyakarta.<br />

Rasad, S., 2005, “Radiologi Diagnostik Fakultas<br />

Kedokteran Universitas Indonesia”, Edisi<br />

Kedua, Jakarta.<br />

Rulaningtyas, R., 2006, ”Penerapan Neural Network<br />

Untuk Pendeteksian Kelainan Otak Stroke<br />

Iskemik sebagai Media Pembelajaran Dokter<br />

Muda”, Riset DIPA <strong>Unair</strong>.<br />

F69


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengaruh Fungsi Kernel terhadap Stabilitas dan Akurasi Simulasi<br />

Dinamika Fluida Menggunakan Metode Smoothed Particle Hydrodynamics<br />

(SPH)<br />

Rizal Arifin 1 , Agus Naba 2 , Abdurrouf 3<br />

1,2,3 Jurusan <strong>Fisika</strong>, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang<br />

Email : Rizal.Arifin@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Simulasi dinamika Fluida menggunakan metode Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH) cocok digunakan<br />

untuk kasus aliran permukaan bebas karena tidak dibatasi oleh peggunaan mesh. Ada beberapa hal yang menjadi<br />

perhatian untuk diteliti dalam penggunaan metode SPH untuk simulasi dinamika fluida, yaitu stabilitas, akurasi,<br />

dan kecepatan simulasi. Paper ini secara khusus membahas fungsi kernel dalam simulasi yang mempengaruhi<br />

stabilitas dan akurasi simulasi yang didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan. Beberapa fungsi kernel<br />

diujicobakan dalam suatu perangkat simulasi dan hasilnya dibandingkan secara kulitatif terhadap hasil simulasi<br />

lain yang dianggap sebagai suatu standar. Dari hasil penelitian, didapatkan kernel yang paling sesuai adalah<br />

kernel Quartic dengan Laplacian menggunakan kernel Viscosity.<br />

Kata kunci : simulasi, dinamika fluida, smoothed particle hydrodynamics, fungsi kernel, stabilitas,<br />

akurasi.<br />

Pendahuluan<br />

Sistem aliran fluida telah dikembangkan oleh<br />

Euler, Navier, dan Stokes yang menghasilkan<br />

persamaan Navier-Stokes. Persamaan Navier-Stokes<br />

dapat diselesaikan secara analitis untuk kasus<br />

sederhana. Namun untuk kasus yang rumit dan<br />

besar, penyelesaiannya harus menggunakan<br />

pendekatan numerik dengan bantuan komputer<br />

(Stam, 2003).<br />

Metode yang umum digunakan untuk simulasi<br />

dinamika fluida adalah metode berbasis mesh.<br />

Kelemahan dari metode berbasis mesh adalah sulit<br />

digunakan untuk kasus distorsi yang besar, material<br />

bergerak yang saling berinteraksi, batas simulasi<br />

yang berubah, dan kasus permukaan bebas (free<br />

surface) (Liu, 2003).<br />

Metode Smoothed Particle Hydrodynamics<br />

(SPH), yang merupakan salah satu metode simulasi<br />

dinamika fluida berbasis partikel, secara luas<br />

digunakan untuk simulasi permukaan bebas. Metode<br />

SPH mempunyai kelebihan berupa adanya interaksi<br />

antar sesama partikel dan antar partikel dengan<br />

bidang batas (boundary) (Hamdi, 2008).<br />

Salah satu faktor paling penting yang<br />

mempengaruhi stabilitas dan akurasi simulasi adalah<br />

penggunaan fungsi kernel yang tepat. Ada beberapa<br />

karakter penting dari fungsi kernel yang menentukan<br />

sifat fisis dari interaksi antar partikel dalam simulasi<br />

SPH (Liu dan Liu, 2003).<br />

Pada paper ini akan dibahas karakteristik<br />

beberapa fungsi kernel dengan interpretasi fisis dan<br />

ditunjukkan hasil penelitian dari penggunaan<br />

beberapa fungsi kernel dalam simulasi dinamika<br />

fluida untuk kasus breaking dam.<br />

Tujuan<br />

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk<br />

menganalisa pengaruh dari penggunaan berbagai<br />

fungsi kernel dalam simulasi dinamika fluida.<br />

Manfaat<br />

Diharapkan paper ini dapat memberikan<br />

gambaran mengenai pentingnya pemilihan fungsi<br />

kernel yang tepat untuk simulasi dinamika fluida<br />

dengan metode SPH dan hasil penelitian dapat<br />

digunakan sebagai landasan penelitian yang lebih<br />

lanjut.<br />

Dinamika Fluida<br />

Untuk analisa gerak fluida umunya digunakan<br />

persamaan Navier-Stokes (NS) yang<br />

memperhitungkan gaya-gaya dalam suatu elemen<br />

kecil fluida, seperti tegangan geser yang timbul<br />

akibat gerakan dan viskositas fluida. Secara<br />

matematis persamaan NS dituliskan sebagai berikut:<br />

dimana v, ρ, p, g, dan secara berturut-turut<br />

adalah kecepatan, kerapatan, tekanan,<br />

percepatan gravitasi, dan koefisien viskositas<br />

fluida.<br />

Persamaan 1 masih bersifat kontinyu, sehingga<br />

untuk proses komputasi perlu dilakukan diskritisasi.<br />

Motode diskritisasi dilakukan dengan memisahkan<br />

setiap suku persamaan di ruas kanan dan masing-<br />

F70


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

masing suku tersebut dimasukkan ke dalam<br />

algorithma SPH (Muller et. al., 2003).<br />

Metode SPH<br />

Metoda Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH)<br />

dikembangkan oleh Lucy dan Gingold serta oleh<br />

Monaghan untuk mensimulasikan permasalahanpermasalahan<br />

astrofisika. Meskipun demikian,<br />

metoda SPH dapat juga digunakan untuk<br />

mensimulasikan fluida. Yang menjadi daya tarik<br />

metoda SPH adalah dihilangkannya komputasi grid<br />

ketika menghitung turunan ruang (Roger, et. al.,<br />

2003).<br />

SPH merupakan suatu metoda interpolasi untuk<br />

sistem partikel. Dengan SPH, kuantitas partikel<br />

hanya didefinisikan pada posisi partikel yang dapat<br />

dievaluasi pada sebarang ruang (Müller et al., 2003).<br />

Konsep representasi integral dari fungsi f (r) yang<br />

digunakan dalam SPH dimulai dari persamaan<br />

berikut:<br />

Kondisi kedua merupakan sifat fungsi delta yang<br />

terjadi jika fungsi kernel mendekati nol yaitu:<br />

Kondisi ketiga merupakan kondisi padat:<br />

dimana merupakan sebuah konstanta yang<br />

berhubungan dengan fungsi kernel pada titik r<br />

dan memberikan definisi area efektif (tidak nol)<br />

dari fungsi kernel. Area efektif ini disebut<br />

dengan support domain untuk fungsi kernel pada<br />

titik r (Liu dan Liu, 2003).<br />

Pada tahun 1977 Lucy menggunakan fungsi<br />

kernel yang berbentuk bel, seperti ditunjukkan<br />

dalam Gambar 1<br />

di mana f merupakan fungsi dari vektor posisi r,<br />

dan δ(r – r’) adalah fungsi delta Dirac yang<br />

mempunyai definisi:<br />

Gambar 1 Kernel Quartic (Liu, 2003)<br />

Pada persaman 2, Ω merupakan batas volume dari<br />

daerah yang diliputi oleh r. Karena menggunakan<br />

fungsi delta Dirac, persamaan SPH di atas bernilai<br />

eksak, selama f(r) terdefinisi dan kontinyu dalam Ω.<br />

Fungsi Kernel<br />

Jika fungsi delta Dirac digantikan<br />

dengan fungsi kernel W(r – r’ , h) dengan<br />

h adalah radius kernel, persamaan SPH<br />

akan menjadi:<br />

Adapun persamaan matematis kernel Quartic<br />

adalah (Liu, 2003):<br />

Gradien kernel ini adalah:<br />

sedang Laplacian kernel Quartic adalah:<br />

Dalam SPH, operator aproksimasi kernel<br />

dituliskan dengan kurung lancip < >, sehingga<br />

persamaan SPH dapat dituliskan:<br />

Fungsi kernel yang digunakan biasanya<br />

merupakan fungsi genap, di mana fungsi kernel<br />

harus memenuhi beberapa kondisi. Kondisi pertama<br />

normalisasi dari fungsi kernel adalah:<br />

Monaghan pada tahun 1992 menyatakan (dalam<br />

Liu, 2003) bahwa untuk mendapatkan interpretasi<br />

fisis dari persamaan SPH, yang paling baik adalah<br />

mengasumsikan fungsi kernel sebagai Gaussian.<br />

Gingold dan Monaghan pada tahun 1977 memilih<br />

kernel Gaussian dalam Gambar 2 untuk<br />

mensimulasikan bintang yang tidak bulat.<br />

F71


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 2 Kernel Gaussian (Liu, 2003)<br />

Fungsi kernel Quartic dan Gaussian merupakan<br />

fungsi kernel yang biasa digunakan dalam simulasi<br />

dinamika fluida dengan metode SPH (Liu, 2003).<br />

Selain itu laplacian fungsi kernel juga memegang<br />

peranan penting dalam simulasi, fungsi kernel yang<br />

umum digunakan mempunyai nilai laplacian negatif<br />

yang dapat mengganggu kestabilan hasil. Untuk<br />

mengatasinya telah didesain kernel viscosity yang<br />

laplaciannya bernilai positif<br />

Gambar 3. Kernel Viscosity (Muller et. al., 2003)<br />

Metode Komputasi<br />

Metode komputasi yang digunakan merupakan<br />

metode standar yang diusulkan oleh Muller et. al.<br />

dengan modifikasi pada fungsi kernel. Adapun<br />

diagram alir dari metode komputasi yang<br />

diimplementasikan pada penelitian ini adalah<br />

Inisialisasi<br />

Parameter<br />

Simulasi<br />

Output<br />

(Animasi 3D)<br />

Menghitung<br />

Densitas<br />

dan Tekanan<br />

Menghitung<br />

Gaya<br />

Internal<br />

Render<br />

Partikel<br />

Menghitung<br />

Gaya<br />

Eksternal<br />

Integrasi<br />

Waktu<br />

Gambar 4. Diagram Alir Proses Komputasi (Arifin, 2010)<br />

Keluaran dari proses simulasi adalah berupa<br />

output animasi 3 dimensi, selanjutnya dalam selang<br />

waktu tertentu akan diambil screenshoot dari<br />

animasi tersebut dan dibandingkan dengan hasil dari<br />

Abdolmaleki et. al. yang menggunakan perangkat<br />

lunak standar Fluent sebagai standar.<br />

Dengan mensubtitusikan bagian tekanan dari<br />

persamaan Navier-Stokes ke dalam persamaan SPH<br />

maka didapatkan persamaan gaya akibat tekanan:<br />

dengan p merupakan tekanan dari partikel.<br />

Dengan cara yang sama diperoleh persamaan<br />

gaya akibat viskositas:<br />

dimana v i merupakan kecepatan partikel dan<br />

adalah koefisien viskositas fluida. Tekanan P i<br />

dihitung dengan persamaan:<br />

dimana C merupakan konstanta kekakuan fluida dan<br />

adalah kerapatan fluida saat diam.<br />

Percepatan fluida diberikan oleh persamaan<br />

yang merupakan gabungan dari persamaan gayagaya<br />

yang terjadi pada fluida:<br />

Gambar 5 Hasil simulasi dam jebol dengan NS Solver dengan<br />

waktu a: τ = 0; b: τ = 2,02; c: τ = 4,04; d: τ = 5,46<br />

(Abdolmaleki, et. al., 2004)<br />

Gambar 5 menunjukkan hasil dari Abdolmaleki<br />

dengan menggunakan perangkat lunak berbayar NS<br />

Solver yang berbasis meshgrid.<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

Persamaan 12 mensyaratkan adanya tumbukan<br />

partikel dalam suatu kerapatan partikel yang<br />

besarnya diatur oleh gradien dari fungsi kernel W.<br />

Syarat ini memberikan konsekwensi bahwa, jika<br />

partikel berada dalam kondisi sangat rapat maka<br />

tumbukan yang terjadi akan semakin besar, namun<br />

besarnya gaya reaksi partikel akan sangat<br />

bergantung kepada kondisi gradien W pada<br />

saat kerapatan tersebut.<br />

Hasil simulasi dengan menggunakan kernel<br />

Gaussian ditunjukkan pada gambar 6.<br />

di mana gaya eksternal merupakan gaya dari luar<br />

fluida seperti gaya gravitasi dan volum fluida<br />

dianggap konstan (Müller et. al., 2005).<br />

F72


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

,<br />

Gambar 6. Hasil Simulasi dengan Menggunakan Kernel Gaussian<br />

Dari grafik kernel Gaussian pada gambar 1 dapat<br />

dilihat bahwa semakin besar kerapatan partikel<br />

berarti semakin berdekatan jarak antar partikel.<br />

Kondisi real simulasi mensyaratkan adanya<br />

peningkatan gaya reaksi yang berupa gaya tolak<br />

antar partikel seiring dengan bertambahnya<br />

kerapatan partikel.<br />

Nilai gradien fungsi kernel Gaussian pada saat<br />

nilai kerapatan rendah bernilai sangat kecil (menuju<br />

nol) yang memberikan makna tidak adanya<br />

interaksi antar partikel pada kerapatan yang<br />

rendah. Akan tetapi kondisi tersebut tidak selamanya<br />

baik, karena untuk fluida yang bukan berupa gas<br />

ideal membutuhkan suatu syarat yang membuat<br />

fluida tidak menyebar, dan untuk memenuhi<br />

syarat tersebut digunakan potensial Lennard-Jones.<br />

Nilai gradien fungsi kernel naik seiring<br />

bertambahnya kerapatan, namun ternyata nilainya<br />

turun secara cepat pada saat kerapatan sangat<br />

tinggi bahkan menjadi nol ketika kerapatannya<br />

massif, hal inilah yang membuat terganggunya<br />

kestabilan simulasi berupa tidak adanya interaksi<br />

ketika partikel sangat rapat sehingga partikel akan<br />

saling menempel satu sama lain yang dapat dilihat<br />

pada gambar 4 sebagai hasil simulasi dengan fungsi<br />

kernel Gaussian.<br />

Laplacian dari fungsi kernel diperlukan untuk<br />

menangani gaya akibat viskositas yang merupakan<br />

hasil dari kecepatan relatif antara partikel. Laplacian<br />

dari kernel yang biasa digunakan umumnya bernilai<br />

negatif negatif yang sebenarnya merupakan murni<br />

hasil perhitungan matematis. Namun demikian,<br />

keadaan ini dapat mengganggu hasil simulasi<br />

karena nilai negatif akan membuat arah gaya<br />

berlawanan dengan arah gaya yang lain dan dapat<br />

mengurangi resultan gaya yang bekerja pada<br />

masing-masing partikel, sehingga gerak partikel<br />

menjadi lebih lambat. Gambar 7 merupakan hasil<br />

simulasi dengan menggunakan kernel Quartic tanpa<br />

modifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan<br />

hasil simulasi dengan kernel Gaussian<br />

Gambar 7. Hasil Simulasi dengan Menggunakan<br />

Kernel Quartic<br />

Dari gambar 7 dapat dilihat bahwa tidak ada riak<br />

seperti pada hasil dari Abdolmaleki, et. al., yang<br />

dimungkinkan terjadi karena gaya yang berkerja<br />

pada partikel-partikel simulasi kurang besar.<br />

Sehingga untuk mengatasinya, digunakan kernel<br />

Viscosity sebagai laplacian. Gambar 8 menunjukkan<br />

hasil modifikasi dari kernel Quartic sebagai kernel<br />

utama dan kernel Viscosity sebagai laplacian,<br />

Gambar 8. Hasil simulasi dengan menggunakan<br />

kernel Quartic sebagai kernel utama dan kernel<br />

viscosity sebagai laplacian<br />

Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa partikelpartikel<br />

lebih beriak yang mengindikasikan bahwa<br />

gaya antar partikel lebih besar daripada gaya pada<br />

kernel Quartic murni dan hasil tersebut<br />

menunjukkan kesesuaian dengan hasil Abdolmaleki<br />

et. al..<br />

Kesimpulan<br />

Fungsi kernel sangat mempengaruhi kestabilan<br />

hasil simulasi dinamika fluida dengan metode SPH<br />

yang mana dengan memodifikasi fungsi kernel<br />

utama dan laplacian menggunakan kernel Quartic<br />

dan Viscosity didapatkan hasil simulasi yang<br />

bersesuaian dengan pembanding.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Sugeng<br />

Rianto atas idenya mengenai simulasi dinamika<br />

fluida.<br />

F73


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Daftar Pustaka<br />

Abdolmaleki K., Thiagarajan K. P., dan Morris-<br />

Thomas M. T. (2004), Simulation of The<br />

Dam Break Problem and Impact Flows Using<br />

a Navier-Stokes Solver, 15 th Australasian<br />

Fluids Mechanics Conference. Sydney,<br />

Australia<br />

Arifin, Rizal, Agus Naba, dan Abdurrouf (2010),<br />

Simulasi Dinamika Fluida Menggunakan<br />

Metoda Smoothed Particle Hydrodynamics<br />

(SPH), Paper pada Proceeding Seminar<br />

Nasional Basic Science Universitas<br />

Brawijaya Malang 2010, LB-02.<br />

Hamdi, Khairul (2008), Implementasi Sistem<br />

Partikel Menggunakan Metoda Smoothed<br />

Paticle Hydrodynamics (SPH) untuk Simulasi<br />

Aliran Lava, Tesis Master Fakultas Teknik<br />

Institut Teknologi Bandung.<br />

Liu, G. R. (2003), Meshfree Methods: Moving<br />

beyond the Finite Element Method, CRC<br />

Press. USA.<br />

Liu, G. R. dan M. B. Liu (2003), Smoothed Particle<br />

Hydrodynamics: a Meshfree Particle Method,<br />

World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.<br />

Singapore.<br />

Müller, Mattias, David Charypar, dan Markus Gross<br />

(2003), Particle-Based Fluid Simulation for<br />

Interactive Applications, Jurnal pada<br />

Eurographics/SIGGRAPH Symposium on<br />

Computer Animation (2003).<br />

Stam, Jos. (2003). Real-Time Fluid Dynamics for<br />

Games. Paper. Canada.<br />

F74


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Kajian Teoretik dan Pemodelan Matematis Dark Energy Berdasarkan<br />

Persamaan Friedmann<br />

Satriyaji Wibisono 1 , Adri Supardi 2 , Febdian Rusydi 3<br />

1,2,3 Grup <strong>Fisika</strong> Teoretik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : satriyaji@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Ditinjau dari hasil pengamatan Supernova tipe Ia (1998) menggunakan Hubble Space Telescope (HST) yang<br />

dilakukkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan bahwa Alam Semesta<br />

mengalami ekspansi berakselersi positif. Akselerasi positif ini diduga disebabkan oleh keberadaan dark energy<br />

yang mendominasi komposisi Alam Semesta saat ini. Dugaan ini diperkuat oleh hasil pengamatan satelit<br />

Wilkinson Microwave Anisotropic Probe (WMAP) yang menunjukkan 74 % komposisi Alam Semesta berupa<br />

dark energy, 22 % berupa dark matter dan 4 % berupa materi yang tersusun oleh atom - atom yang kita kenal.<br />

Tujuan penelitian ini adalah memodelkan dark energy secara matematis sebagai konstanta kosmologi<br />

menggunakan persamaan Friedmann dengan potensial antigravitasi. Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan<br />

bahwa potensial antigravitasi dapat digunakan sebagai model sederhana dari dark energy.<br />

Kata kunci : dark energy, akselerasi positif, WMAP, supernova.<br />

P<br />

ENDAHULUAN<br />

Alam Semesta kita mengalami ekspansi. Seperti<br />

dua buah titik yang berada di permukaan kulit balon,<br />

ketika balon ditiup maka dua buah titik tadi saling<br />

menjauh. Informasi yang dikirim oleh titik pertama<br />

mengalami perubahan posisi karena efek Doppler --<br />

yang dalam astronomi disebut Redshift. Publikasi<br />

observasi Edwin Hubble pada tahun 1929 terhadap<br />

sejumlah galaksi-galaksi tetangga Bima Sakti<br />

menunjukkan bahwa galaksi-galaksi tersebut benarbenar<br />

menjauhi kita [Ryden, 2003 dan Gupen,<br />

2005].<br />

Ekspansi tersebut sudah diduga oleh Einstein<br />

jauh sebelum Hubble menyaksikannya. Einstein<br />

menyadari, baik teori Relativitas Umumnya maupun<br />

mekanika Newtonian menyepakati Alam Semesta<br />

yang didominasi oleh materi nonrelativistik akan<br />

mengalami ekspansi atau konstraksi, ber-gantung<br />

pada bagaimana permulaan dari Alam Semesta ini.<br />

Lebih jauh, kedua teori ini memberikan bukti<br />

matematis bahwa Alam Semesta tidak hanya sekedar<br />

mengalami ekspansi, tapi juga aselerasi. Dengan<br />

kata lain, versi mekanika Newtonian ataupun versi<br />

Relativitas Umum, sama-sama sepakat bahwa kita<br />

hidup dalam Alam Semesta yang dinamis.<br />

Einstein meyakini Alam Semesta yang statik;<br />

untuk itu, dia merevisi teori medan gravitasinya<br />

pada tahun 1917 (dua tahun setelah teori medan<br />

gravitasi pertama dipublikasi) dengan penambahan<br />

sebuah suku yang bertugas mengkompensasi<br />

kedinamisan tersebut: lambda, atau konstanta<br />

kosmologi. Hanya saja, suku lambda ini justru<br />

semakin menguatkan bukti bahwa ada komponen<br />

lain di Alam Semesta yang berperilaku sebagai<br />

antigravitasi dan mengakibatkan ekspansi<br />

beraselerasi positif. Setelah publikasi Hubble tahun<br />

1929 tersebut, Einstein menghilangkan lambda<br />

dalam persamaan medannya.<br />

Tahun 1998, National Aeronautics and Space<br />

Administration (NASA) melaporkan hasil<br />

pengamatan Supernova tipe Ia oleh Space Hubble<br />

Telescope bahwa memang benar Alam Semesta kita<br />

sekarang mengalami ekspansi berakselerasi positif<br />

[Riess, 1988 dan Perlmutter, 1999]. Konstanta<br />

kosmologi kembali menjadi isu hangat karena secara<br />

teoretik kontanta kosmologi ini sangat masuk akal<br />

untuk menjelaskan perilaku akselerasi ini. Konstanta<br />

kosmologi berlahan-lahan mengisi dan mendominasi<br />

dimensi ruang-waktu Alam Semesta kita, melawan<br />

kekuatan gravitasi yang bersumber dari total materi<br />

di Alam Semesta. Kekuatan " negatif " ini kemudian<br />

disebut sebagai dark energy.<br />

Tahun 2003, satelit Wilkinson Microwave<br />

Anisotropic Probe (WMAP) melaporkan hasil<br />

observasinya terhadap ketidakseragaman temperatur<br />

pada latar gelombang radio kosmik (cosmic<br />

microwave background) [Bennett, 2003]. Satelit<br />

yang meneruskan misi satelit Cosmic Bacground<br />

Explorer (COBE) ini memaparkan komposisi Alam<br />

Semesta: Alam Semesta terdiri dari 74% dark<br />

energy, 22 % dark matter, dan sisanya 4 % materi<br />

yang tersusun oleh atom-atom yang kita kenal.<br />

Bersama dark matter, dark energy menjadi isu panas<br />

dalam perkembangan sains modern. Apa sebenarnya<br />

dark energy, bagaimana sifat-sifatnya, apa<br />

wujudnya, berapa sesungguhnya kekuatannya,<br />

F75


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

hingga bagaimana cara mendeteksinya adalah<br />

pertanyaan-pertanyaan yang menjadi motivasi<br />

banyak riset-riset kelas dunia<br />

Paper ini mengulas secara teoretik keberadaan<br />

dark energy yang berasal dari konstanta kosmologi.<br />

Untuk itu dalam peper ini akan membahas tentang<br />

Teori Relativitas Umum Einstein yang dilengkapi<br />

suku lambda dan solusinya yang dilakukan oleh<br />

Alexander Fiedmann pada tahun 1929.<br />

Relativitas Umum<br />

Prinsip kosmologi modern yang dipakai saat ini<br />

berdasarkan pada teori relativitas umum (General<br />

relativity), yang dipublikasikan oleh Albert Einstein<br />

tahun 1915. Relativitas umum menjelaskan<br />

bagaimana mekanisme medan gravitasi bekerja.<br />

Untuk menjelaskan mekanisme ini, Einstein<br />

mengasumsikan bahwa alam semesta bersifat statis<br />

dan tidak bergantung waktu [Ryden, 2003]. Akan<br />

tetapi, asumsi ini tidak sesuai dengan persamaan<br />

medan gravitasi. Oleh karena itu, Einstein<br />

menambahkan suku konstanta kosmologi pada<br />

persamaan medan gravitasinya sehingga hasil<br />

modifikasi persamaan medan gravitasi [Misner and<br />

et al., 1972] adalah<br />

(1)<br />

Suku adalah tensor Einstein (dengan dimensi<br />

) , adalah tensor stress-energi (dengan<br />

dimensi ) dan adalah konstanta kosmologi<br />

(dengan dimensi ). Indeks dan<br />

menunjukkan system koordinat waktu – ruang yang<br />

berjalan dari 0,1,2,3. Indeks “0” menunjukkan<br />

koordinat waktu sedangkan “1,2,3” menunjukkan<br />

koordinat ruang.<br />

Persamaan (1) tersusun atas dua buah komponen<br />

yaitu, komponen pertama yaitu kerapatan massa<br />

yang dideskripsikan oleh tensor stress – energy.<br />

Tensor ini diberikan oleh matrik kerapatan<br />

energy dan didefinisikan [Dalarrson, 2005]<br />

sebagai,<br />

(2)<br />

Dalam kerangka yang bergerak, fluida kosmik<br />

yang diam mempunyai dan<br />

. Karena berdasarkan hasil<br />

pengamatan bahwa p


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

(8)<br />

variabel R adalah parameter ekspansi Alam<br />

Semesta, adalah kelajuan ekspansi Alam Semesta,<br />

G adalah konstanta universal gravitasi<br />

Newton(berdimensi N ), adalah<br />

kerapatan total Alam Semesta (berdimensi kg )<br />

dan adalah konstanta kosmologi (berdimensi<br />

).<br />

Persamaan (7) dan (8) ini dikenal sebagai<br />

persamaan Friedmann. Persamaan Friedmann ini<br />

merupakan solusi persamaan medan gravitasi<br />

Einstein yang dapat menjelaskan fenomena fisis dari<br />

dinamika Alam Semesta. Saat ini untuk masa<br />

kosmologi yang memiliki sifat homogen dan<br />

isotropis maka kerapatan total Alam Semesta<br />

dengan gaya gravitasi. Potensial antigravitasi ini<br />

adalah,<br />

(10)<br />

Kerena secara sederhana Alam Semesta ini<br />

digambarkan seperti sebuah bola bermassa M<br />

dan pada permukaan bola berjarak r dari titik<br />

pusat bermassa m, seperti gambar 2. Maka<br />

massa yang diliputi bola berjejari r adalah M =<br />

dan r = R. sehingga bentuk<br />

potensial antigravitasi dalam suku menjadi,<br />

(11)<br />

tersusun atas materi<br />

dan radiasi<br />

sehingga persamaan (7) menjadi,<br />

Persamaan (9).<br />

Persamaan (9) inilah yang dikenal sebagai<br />

pesamaan Friedmann Umum [Misner and et<br />

al.,1972]. Persamaan Friedmann umum ini<br />

terdiri atas suku energi kinetik, energi potensial<br />

dan energi total. Menurut Einstein penambahan<br />

suku yang ada pada energi potensial<br />

bertujuan untuk membuat persamaan medan<br />

gravitasi tidak memberikan solusi yang dinamis<br />

pada Alam Semesta, akan tetapi pada<br />

kenyataannya penambahan suku ini justru<br />

mempercepat ekspansi Alam Semesta. Suku<br />

inilah yang diyakini oleh fisikawan di dunia<br />

merupakan kandidat dari dark energy.<br />

Pemodelan Dark Energy<br />

Dark energy merupakan suatu fenomena Alam<br />

Semesta yang menakjubkan. Kehadiran dark energy<br />

telah menyebabkan Alam Semesta yang sebelumnya<br />

diperkirakan akan mengalami deakselerasi akibat<br />

pengaruh gaya gravitasi dari materi, ternyata<br />

menyebabkan ekspansi Alam Semesta semakin<br />

mengalami akselerasi. Berdasarkan bukti teoretik,<br />

dark energy ini diperkirakan mempunyai sifat<br />

bertekanan negatif dan melawan gaya gravitasi<br />

[Ryden, 2003]. Dari perkiraan tersebut kemudian<br />

kami mencoba memodelkan secara sederhana dark<br />

energy tersebut menggunakan potensial dari gaya<br />

antigravitasi. Hal ini dikarenakan potensial<br />

antigravitasi mempunyai sifat yang sama dengan<br />

dark energy yaitu bertekanan negatif dan berlawanan<br />

Gambar 2. Grafik distribusi massa<br />

Kemudian memasukkan potensial antigravitasi<br />

ini pada suku kedua dari energi potensial pada<br />

persamaan (9) sehingga menjadi,<br />

(12)<br />

Karena fenomena dark energy muncul ketika<br />

Alam Semesta mulai didominasi oleh materi, yang<br />

mana berdasarkan hasil pengamatan yang<br />

dilakukkan oleh NASA menunjukkan bahwa<br />

>>> maka kerapatan massa pada<br />

persamaan (11) menjadi<br />

dan<br />

kita bisa mengabaikan suku kerapatan radiasi. Oleh<br />

karena itu , persamaan (12) menjadi,<br />

(13)<br />

Untuk membuktikan bahwa potensial gravitasi<br />

dapat dijadikan model sederhana dari dark energy<br />

maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan<br />

adalah mencari solusi dari persamaan (13) ini untuk<br />

nilai kurvatur Alam Semesta k=1, k=-1 dan k=0. Hal<br />

ini dikarenakan nilai-nilai kurvatur ini telah diyakini<br />

dapat menggambarkan berbagai model untuk Alam<br />

Semesta dari persamaan friedmann tanpa pengaruh<br />

dari adanya konstanta kosmologi.<br />

Untuk k = 1<br />

Persamaan (13) menjadi,<br />

F77


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Setelah mendapatkan persamaan (14), kemudian<br />

masing - masing ruas diintegralkan menjadi,<br />

(15)<br />

Untuk menyelesaikan persamaan (15) maka<br />

ditulis dalam suku conformal time yakni,<br />

(19)<br />

Persamaan (18) mendefinisikan faktor ekspansi<br />

(R) dengan parameter . Jika kita korelasikan<br />

antara factor ekspansi terhadap waktu kosmik dalam<br />

sebuah grafik maka akan didapatkan sebuah fungsi<br />

yang cyclic,seperti gambar 3. Persamaan (18) dan<br />

(19) serta gambar 3 secara fisis mempunyai arti<br />

bahwa ekspansi Alam Semesta dimulai pada waktu<br />

kosmik t = 0 ( ) dengan radius R = 0 dan<br />

ekspansi Alam Semesta akan mencapai titik<br />

maksimum pada t = ( ). Setelah<br />

mencapai titik maksimum maka kecepatan ekspansi<br />

Alam Semesta akan mengalami deakselerasi yang<br />

menyebabkan Alam Semesta mengalami kontraksi<br />

sehingga radiusnya menjadi nol pada t =<br />

( ).<br />

adalah usia maksimum dari Alam Semesta<br />

yang dapat diprediksi dari persamaan (19) yaitu,<br />

sehingga persamaan (15) menjadi,<br />

dengan<br />

(16)<br />

dan A didefinisikan sebagai,<br />

(17)<br />

Sehingga persamaan (16) menghasilkan,<br />

Gambar 3. Ilustrasi model Alam Semesta<br />

untuk k = 1<br />

Untuk k = -1<br />

Persamaan (13) menjadi,<br />

(18)<br />

Sedangkan dari definisi conformal time akan<br />

diperoleh waktu kosmik,<br />

F78


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Setelah mendapatkan persamaan (20), kemudian<br />

masing - masing ruas diintegralkan menjadi,<br />

(25)<br />

Persamaan (24) mendefinisikan faktor ekspansi<br />

(R) dengan parameter . Jika kita korelasikan<br />

antara factor ekspansi terhadap waktu kosmik dalam<br />

sebuah grafik maka akan didapatkan hasil seperti<br />

gambar 4.<br />

(21)<br />

Untuk menyelesaikan persamaan (21) maka<br />

ditulis dalam suku conformal time yakni,<br />

dengan<br />

sehingga persamaan (21) menjadi,<br />

(22)<br />

dan B didefinisikan sebagai,<br />

(23)<br />

Gambar 4. Ilustrasi model Alam Semesta<br />

untuk k = 1<br />

Persamaan (24) dan (25) serta gambar 4<br />

mempunyai arti bahwa ketika t = 0( = 0) maka<br />

R=0, ini berarti bahwa secara fisis model ini<br />

menggambarkan Alam Semesta mulai mengalami<br />

ekspansi. Sedangkan ketika t ( ) maka<br />

. Ini secara fisis mempunyai arti bahwa<br />

Alam Semesta akan selalu mengalami ekspansi<br />

secara terus menerus.<br />

Untuk k = 0<br />

Persamaan (13) menjadi,<br />

Sehingga persamaan (22) menghasilkan,<br />

(26)<br />

dengan<br />

dan x didefinisikan sebagai,<br />

(24)<br />

Sedangkan dari definisi conformal time akan<br />

diperoleh waktu kosmik,<br />

(27)<br />

Sehingga persamaan (26) menghasilkan,<br />

F79


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

(28)<br />

Dari persamaan (28) dapat diketahui bahwa<br />

. Ini berarti secara matematik mempunyai<br />

arti bahwa ketika nilai t = 0 maka nilai R = 0.<br />

Sedangkan ketika nilai maka nilai R .<br />

Jika kita korelasikan antara factor ekspansi terhadap<br />

waktu kosmik dalam sebuah grafik maka akan<br />

didapatkan hasil seperti gambar 5.<br />

Gambar 5. Ilustrasi model Alam Semesta<br />

untuk k = 0<br />

Persamaan (28) dan gambar 5 jika kita kaitkan<br />

dengan fenomena Alam Semesta maka secara fisis<br />

persamaan (28) dan gambar 5 ini dapat menjelaskan<br />

bahwa Alam Semesta selalu mengalami ekspansi<br />

secara terus menerus.<br />

Untuk ketiga solusi diatas jika kita bandingkan<br />

dengan solusi persamaan Friedmann biasa<br />

[Terzi ,B., 2008] yakni,<br />

Untuk k =1<br />

dan,<br />

dimana<br />

Untuk k = -1<br />

dan,<br />

dimana<br />

Untuk k = 0<br />

dimana<br />

maka jika kita perhatikan secara seksama nilai<br />

, dengan nilai A, B dan x dari solusi<br />

persamaan (18), (19), (24), (25) dan (28) maka nilai<br />

A, B dan x bernilai 2 kali lipat lebih besar. Nilai A,<br />

B dan x lebih besar berarti secara matematis nilai<br />

gradiennya akan lebih besar. Nilai gradien dari<br />

korelasi antara factor ekspansi terhadap waktu<br />

kosmik secara fisis menggambarkan kecepatan. Dan<br />

jika gradiennya semakin besar maka kecepatannya<br />

akan menjadi lebih besar. Ini berarti adanya<br />

pengaruh dark energy menyebabkan kecepatan<br />

ekspansi Alam Semesta semakin cepat dengan<br />

akselerasi positif. Sehingga dari ketiga hasil solusi<br />

diatas menguatkan dugaan bahwa potensial<br />

antigravitasi dapat dijadikan model sederhana dari<br />

dark energy.<br />

Kesimpulan<br />

Potensial antigravitasi dapat dijadikan sebagai<br />

model sederhana dari dark energy. Hal ini<br />

dikarenakan adanya pengaruh potensial antigravitasi<br />

menyebabkan laju ekspansi Alam Semesta<br />

mengalami akselerasi positif, seperti yang tergambar<br />

pada gambar 3, 4 dan 5. Selain itu potensial<br />

antigravitasi mempunyai sifat bertekanan negatif dan<br />

berlawanan dengan gaya gravitasi sesuai dengan<br />

dugaan sifat dari dark energy.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada<br />

Bapak Febdian Rusydi dan Bapak Adri Supardi yang<br />

telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam<br />

membantu penulis menyelesaikan paper ini. Tak<br />

lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada<br />

teman – teman grup fisika teoretik PHOTON atas<br />

dukungannya selama ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

A. Purwanto. (2009), Pengantar kosmologi, ITS<br />

Press, Surabaya.<br />

A. Riess and et al.(1988), Astronomical Journal,<br />

116.<br />

B. Ryden. (2003), Introduction to Cosmology,<br />

AddisonWesley.<br />

B. Terzi .(2008), PHYS 652 – Astrophysics.<br />

C. Bennett and et al.(2003), First Year Wilkinson<br />

Microwave Anisotropic Probe (WMAP)<br />

observation: Preliminary maps and basic<br />

results. arXiv:astroph/0302207v3.<br />

C. Misner and et al. (1972), Gravitation. W.H.<br />

Freeman and Company, San Francisco.<br />

D. Mc Mahon. (2006), Relativity Demystified.<br />

McGraw - Hill.<br />

M. Dalarrson and N. Dalarrson. 2005, Tensor<br />

Calculus, Relativity, and Cosmology.<br />

Elsevier Academic Press.<br />

S. Perlmutter and et al. 1999, Astrophysical<br />

Journal, 517.<br />

F80


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Frekuensi Kemunculan Badai Geomagnet<br />

Saat Matahari Aktif<br />

Sity Rachyany 1<br />

1 Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa<br />

Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN-Bandung<br />

Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung - 40173<br />

e-mail: rachyan_mei@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Gangguan geomagnet atau badai geomagnet merupakan fenomena alam yang terjadi karena dipicu oleh aktivitas<br />

matahari, seperti CME (Coronal Mass Ejection), CH (Coronal Holes) atau Flare, ledakan matahari. Terjadinya<br />

badai geomagnet ditunjukkan dengan adanya penurunan intensitas indeks Dst (Disturbanced storm time) sebagai<br />

indikator badai geomagnet. Indeks Dst adalah suatu ukuran magnet global yang menunjukkan ada tidaknya<br />

gangguan di daerah lintang rendah atau ekuator. Dalam makalah ini akan dibahas distribusi terjadinya badai<br />

geomagnet dengan menggunakan indeks Dst dengan intensitas < -100 nanoTesla. Dengan mengolah dan<br />

menganalisis data indeks Dst pada tahun 2000 hingga 2001 saat matahari aktif, menggunakan metoda distribusi<br />

Poisson dan Chi-kuadrat. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi terjadinya badai geomagnet mengikuti<br />

distribusi Poisson.<br />

Keywords— Badai geomagnet, indeks Dst dan distribusi Poisson<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Gangguan geomagnet atau yang dikenal dengan<br />

badai geomagnet merupakan fenomena alam yang<br />

terjadi karena adanya interaksi antara angin matahari<br />

dengan kecepatan tinggi dengan magnetosfer<br />

bersamaan dengan medan magnet antar planet arah<br />

selatan. Hal ini terjadi karena dipicu oleh aktivitas<br />

matahari, seperti CME (Coronal Mass Ejection), CH<br />

(Coronal Holes) atau Flare, ledakan matahari.<br />

Matahari merupakan sumber energi namun juga<br />

menjadi sumber gangguan bagi bumi dan<br />

lingkungan antariksa di sekitarnya. Aktivitas<br />

matahari ditandai dengan adanya suspot. Apabila<br />

jumlah sunspot dipermukaan matahari banyak<br />

berarti aktivitas matahari tinggi, begitu pula<br />

sebaliknya. Aktivitas matahari mempunyai siklus 11<br />

tahun, seperti yang terlihat pada Gambar 1 berikut:<br />

Bil. Sunspot<br />

200<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

1951 54<br />

57<br />

Siklus Matahari 1951-2008<br />

64<br />

68<br />

79<br />

76<br />

86<br />

Waktu (Tahun)<br />

89<br />

96<br />

2000<br />

Gbr 1. Siklus matahari tahun 1951 hingga 2008<br />

Gambar 1. menunjukkan siklus matahari yang ditunjukkan<br />

dengan jumlah bilangan sunspot bulanan mulai dari tahun 1951<br />

hingga 2008 yang di awali dengan siklus 19, 20,21, 22 dan siklus<br />

23. Dari setiap siklus dapat dibedakan menjadi aktivitas matahari<br />

tenang dan aktivitas matahari aktif.<br />

2008<br />

Indeks Disturbanced storm time atau disingkat<br />

dengan Dst merupakan indeks magnet global yang<br />

menggambarkan respons aktivitas matahari dalam<br />

kondsi tenang maupun terganggu. Indeks Dst ini<br />

diperoleh dari hasil perhitungan gabungan dari<br />

beberapa tempat di lintang rendah, seperti Indonesia.<br />

Indeks magnet global Dst adalah indikator dari<br />

gangguan geomagnet atau yang dikenal dengan<br />

badai geomagnet.<br />

Dari hasil monitoring indeks Dst geomagnet pada<br />

saat aktivitas matahari tenang sering sekali terjadi<br />

perubahan intensitas di sekitar -30 hingga 50 nT,<br />

kadang-kadang sekitar 70 nT atau di atas -100 nT,<br />

yaitu termasuk badai geomagnet lemah dan sedang.<br />

Berdasarkan intensitas indeks Dst dapat di bedakan<br />

dalam 4 kelas, yaitu kelas 1 disebut badai geomagnet<br />

lemah dengan intensitas -50 nT < Dst < -30 nT,<br />

kelas 2 disebut badai geomagnet sedang dengan<br />

intensitas -100 nT < Dst < -50 nT, kelas 3 disebut<br />

badai geomagnet kuat dengan intensitas -200 nT <<br />

Dst < -100 nT, dan yang terakhir, kelas 4 disebut<br />

badai geomagnet sangat kuat dengan intensitas Dst <<br />

-200 nT [1]. Untuk itu, pada tulisan ini akan dikaji<br />

kejadian badai yang sangat besar dan jarang terjadi<br />

dengan menggunakan model distribusi Poisson.<br />

II. DATA DAN METODA<br />

Data yang digunakan untuk keperluan penelitian<br />

ini adalah data indeks Dst dengan intensitas lebih<br />

kecil dari -100 nanoTesla yang diperoleh dari [3]<br />

dan [4] situs internet dengan alamat<br />

http://www.swdcdb.kugi.kyoto-u.ac.jp pada tahun<br />

2000 hingga 2001 saat matahari aktif.<br />

F81


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Metoda yang digunakan adalah metoda statistik,<br />

distribusi Poisson dan Chi-kuadrat. Secara statistik<br />

suatu keadaan atau peristiwa yang tidak kontinu atau<br />

peristiwa diskrit dan jarang terjadi biasanya<br />

digunakan model distribusi Poisson [2] yang<br />

diformulasikan sebagai:<br />

−λ x<br />

e λ<br />

p(<br />

x)<br />

=<br />

x!<br />

(II-1)<br />

dengan<br />

x = 0, 1, 2, … ,<br />

e = 2,71828<br />

λ = rata − rata > 0<br />

E(<br />

x)<br />

=<br />

−λ<br />

x<br />

e λ<br />

x<br />

x<br />

(II-2)<br />

=<br />

=<br />

∑ ∞<br />

x=<br />

0 !<br />

e<br />

λ<br />

λ<br />

∞ −λ<br />

x<br />

∞ x<br />

−λ<br />

∑ = e ∑<br />

x=<br />

1 ( x −1)!<br />

x=<br />

1 ( x −1)!<br />

∑ ∞ x−1<br />

−λ<br />

λ<br />

e . λ<br />

x=<br />

1 ( x −1)!<br />

2 3<br />

⎛<br />

⎞<br />

= − λ λ λ λ<br />

e . λ<br />

⎜1+<br />

+ + + ...<br />

⎟<br />

⎝ 1! 2! 3! ⎠<br />

= e −λ . λ.<br />

e<br />

λ = λ<br />

E(x)<br />

= λ atau : Rata-rata = λ (II-3)<br />

E{<br />

x(<br />

x −1)}<br />

=<br />

Maka:<br />

= e<br />

= e<br />

E (x 2 ) = λ 2 + λ<br />

Sehingga:<br />

e<br />

λ<br />

∑ ∞ −λ<br />

x<br />

x(<br />

x −1)<br />

x=<br />

1 λ!<br />

−λ<br />

∑ ∞<br />

x=<br />

−λ<br />

. λ<br />

x<br />

λ<br />

2 ( x − 2)!<br />

2<br />

∑ ∞<br />

x=<br />

2<br />

= e<br />

− e<br />

x−2<br />

λ<br />

( x − 2)!<br />

λ 2 2<br />

. λ .<br />

λ = λ<br />

(II-4)<br />

2 2<br />

2<br />

σ = E( x ) − [ E(<br />

x)]<br />

(II-5)<br />

Jadi:<br />

2<br />

2<br />

= λ + λ − λ = λ<br />

2<br />

σ = E ( x)<br />

= λ<br />

(II-6)<br />

Untuk menguji suatu distribusi, dilakukan<br />

perhitungan dengan menggunakan formulasi Chikuadrat<br />

yang ditunjukkan [2] sebagai:<br />

k<br />

2<br />

2 ( Oi<br />

− Ei<br />

)<br />

χ = ∑<br />

(II-7)<br />

E<br />

Dengan<br />

i=<br />

1<br />

i<br />

k = banyaknya katagori<br />

O i = frekuensi pengamatan<br />

E i = frekuensi badai yang diharapkan/hasil<br />

perhitungan<br />

Dengan kriteria pengujian:<br />

Tolak Ho (hipotesa) apabila<br />

2<br />

χ<br />

2<br />

≥ χ (1−α<br />

)( k −1)<br />

dengan :<br />

2<br />

χ<br />

= dari hasil perhitungan<br />

χ<br />

=<br />

2<br />

(1−α<br />

)( k −1)<br />

= dari tabel chi-kuadrat<br />

α 5%,<br />

dk = derajat kebebasan (k-1).<br />

Dalam hal lainnya, Ho diterima.<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Sebagai gambaran terjadinya badai geomagnet<br />

ditunjukkan dengsn adanya penurunan intensitas<br />

indeks Dst seperti yang terlihat pada Gambar<br />

berikut:<br />

Gbr 2. Pergerakan intensitas indeks global Dst saat aktivitas<br />

geomagnet tenang pada bulan Agustus 2007<br />

Gbr 3. Pergerakan intensitas indeks global Dst saat aktivitas<br />

geomagnet terganggu pada bulan Maret 1989<br />

Gambar 2 memperlihatkan pergerakan intensitas<br />

indeks Dst pada bulan Agustus 2007 aktivitas<br />

geomagnet dalam keadaan tenang, tidak ada<br />

gangguan atau tidak terjadi penurunan intensitas<br />

karena memang aktivitas matahari pada tahun<br />

tersebut dalam kedaan tenang. Gambar 3<br />

menunjukkan adanya gangguan geomagnet yang<br />

besar yang terjadi pada tanggal 13 Maret 1989<br />

sehingga terjadi penurunan intensitas yang sangat<br />

ekstrim hingga mencapai sekitar 600 nT. Menurut<br />

[1] keadaan ini yang menyebabkan kerusakan trafo<br />

di Lethabo dan Matimba, Afrika Selatan.<br />

Dari hasil pengamatan badai geomagnet yang<br />

ditunjukkan dengan penurunan intensitas indeks Dst<br />

dengan intensitas < -100 nT, diperoleh frekuensi<br />

kemunculan badai geomagnet sebagai:<br />

F82


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Frekuensi Kejadian Badai<br />

(satuan)<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

Thn 2000-2001<br />

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23<br />

Waktu (bulan)<br />

Gbr 4. Frekuensi kemunculan badai geomagnet yang ditunjukkan<br />

oleh indeks Dst tahun 2000-2001<br />

Dari Gambar 4 terlihat bahwa terjadinya badai<br />

geomagnet pada saat matahari aktif tahun 2000<br />

hingga 2001 tidak setiap saat terjadinya badai. Dari<br />

tahun 2000 hingga 2001 tidak setiap bulan terjadinya<br />

badai. Apabila terjadi badai pada bulan-bulan<br />

tertentu ada satu kali, dua kali atau tiga kali. Untuk<br />

lebih jelasnya, seperti yang terlihat pada Tabel<br />

berikut:<br />

TABEL III FREKUENSI TERJADINYA BADAI<br />

GEOMAGNET TAHUN 2000 -2001 (Januari 2000 hingga<br />

Desember 2001)<br />

Banyaknya badai geomagnet<br />

setiap bulannya<br />

0 1 2 3<br />

Banyaknya bulan 10 7 3 4<br />

Dari Tabel I terlihat bahwa kolom (1) baris (1)<br />

menunjukkan banyaknya badai geomagnet setiap<br />

bulannya. Kolom (2) menunjukkan tidak terjadi<br />

badai, kolom (3) menunjukkan terjadi badai 1 (satu<br />

kali), kolom (4) terjadi badai 2 kali dan kolom (5)<br />

terjadi badai 3 kali selama tahun 2000 hingga 2001.<br />

Oleh karena kejadian badai geomagnet tidak<br />

sering terjaditerutama badai besar (< -100 nT)/<br />

sangat besar maka peristiwa kejadian badai<br />

geomagnet diduga mengikuti distribusi Poisson.<br />

Untuk itu diperlu dilakukan hipotesa sebagai:<br />

Hipotesa (Ho) : frekuensi terjadi badai geomagnet<br />

= distribusi Poisson<br />

Alternatif (Al) : frekuensi terjadi badai<br />

geomagnet ≠ distribusi Poisson<br />

Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (II-1),<br />

diperoleh rata-rata banyaknya badai setiap bulannya<br />

adalah:<br />

10(0) + 7(1) + 3(2) + 4(3)<br />

= 1.04<br />

24<br />

Sehingga persamaan distribusi Poisson diduga<br />

berbentuk:<br />

−1.04<br />

x<br />

e (1.04)<br />

p(<br />

x)<br />

=<br />

x!<br />

Dengan x = 0, 1, 2, ..., menunjukkan banyaknya<br />

badai setiap bulannya. Dari persamaan di atas,<br />

diperoleh:<br />

Dengan menggunakan persamaan (II-1), maka<br />

diperoleh:<br />

p (0) = 0.3535, maka nilai yang diharapkan =<br />

8.4840 tidak ada badai<br />

p (1) = 0.3674, maka nilai yang diharapkan =<br />

8.8234 badai satu kali<br />

p (2) = 0.1911, maka nilai yang diharapkan =<br />

4.5881 badai 2 (dua) kali<br />

p (3) = 0.5624, maka nilai yang diharapkan =<br />

1.5906 badai 3 (tiga) kali<br />

Sehingga frekuensi terjadinya badai geomagnet dari<br />

hasil pengamatan dan yang diharapkan dapat dilihat<br />

dalam Tabel II berikut:<br />

TABEL IVFREKUENSI TERJADINYA BADAI GEOMAGNET<br />

TAHUN 2000-2001<br />

Frekuensi Terjadinya<br />

Badai Geomagnet<br />

Hasil<br />

Pengamatan(O i )<br />

Hasil<br />

Hitung (E i )<br />

(1) (2) (3)<br />

1. Tidak terjadi badai<br />

2. Terjadi badai 1 kali<br />

3. Terjadi badai 2 kali<br />

4. Terjadi badai 3 kali<br />

10<br />

7<br />

3<br />

4<br />

8.5<br />

8.8<br />

4.6<br />

1.6<br />

TABEL IVFREKUENSI TERJADINYA BADAI GEOMAGNET<br />

TAHUN 2000-2001<br />

Frekuensi Terjadi<br />

BadaiGeomagnet<br />

Hasil Pengamatan<br />

(O i )<br />

Hasil<br />

Hitung (E i )<br />

(1) (2) (3)<br />

Tidak terjadi badai<br />

Terjadi badai 1 kali<br />

Terjadi badai 2 &3 kali<br />

10<br />

7<br />

7<br />

8.5<br />

8.8<br />

6.2<br />

Dari Tabel II terlihat bahwa pada kolom (2) atau<br />

hasil pengamatan (O i ), pada baris ke 3 dan ke 4<br />

frekuensi kejadian badai geomagnet hanya terjadi 3<br />

dan 4 kali, maka hasil pengamatan ke dua kejadian<br />

tersebut digabungkan/ dijumlahkan menjadi 7 kali.<br />

Demikian juga dengan hasil perhitungannya<br />

sehingga diperoleh (4.6 + 1.6) = 6.2). Hal ini<br />

dilakukan karena hasil pengamatan (O i ) minimal<br />

harus 5 kali. Untuk lebih jelasnya, Tabel II berubah<br />

menjadi Tabel III.<br />

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (II-<br />

7), diperoleh:<br />

2<br />

2<br />

2<br />

2 (10 − 8.5) (7 − 8.8) (7 − 6.2)<br />

χ = + +<br />

8.5 8.8 6.2)<br />

2 = 0.75 χ<br />

Dengan α = 5%<br />

dan derajat kebebasan (dk<br />

= k-1) = 1 dengan menggunakan tabel chikuadrat<br />

( χ ) yang telah tersedia dalam<br />

2<br />

lampiran [4], maka diperoleh χ 2<br />

0.95(1)<br />

= 3.84<br />

Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan<br />

bahwa chi kuadrat hasil perhitungan lebih kecil dari<br />

chi kuadrat yang diperoleh dari Tabel Chi kuadrat<br />

2<br />

2<br />

atau χ hitung < χ tabel , maka berdasarkan<br />

kriteria pengujian, hipotesanya (Ho) diterima.<br />

F83


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Artinya, bahwa frekuensi terjadinya badai<br />

geomagnet mengikuti distribusi Poisson.<br />

IV KESIMPULAN<br />

Berdasarkan perhitungan dan analisis data indeks<br />

global Disturbanced storm time atau Dst dengan<br />

intensitas < -100 nT pada tahun 2000 hingga 2001<br />

saat matahari aktif dengan menggunakan metoda<br />

statistik dapat disimpulkan bahwa gangguan<br />

geomagnet atau badai geomagnet dapat dibagi dalan<br />

3 (tiga) katagori, yaitu tidak terjadi badai atau 0<br />

(nol) kali, terjadi 1 (satu) kali badai dan gabungan<br />

antara 2 (dua) dan 3 (tiga) kali badai. Dari ke 3<br />

katagori tersebut dengan menggunakan uji Chikuadrat<br />

dapat dinyatakan bahwa frekuensi terjadinya<br />

badai geomagnet yang ditunjukkan dengan indeks<br />

Dst dapat didekati dengan distribusi Poisson<br />

Referensi<br />

Gaunt dan Coetzee, Geomagnetically induced<br />

currents at mid-latitudes, Annales<br />

Geophysicae, 2002.<br />

Loewe C. A . dan Prolss G. W., Classification and<br />

mean behaviour of magnetic storms, J.<br />

Geophys. Res. A 102, 14209-14213, 1997<br />

Sudjana, Metoda Statistika Untuk Bidang: Biologi,<br />

Farmasi, Geologi, Industri, Kedokteran,<br />

Pendidikan, Psikologi, Sosiologi, Teknik Dll,<br />

Tarsito, Bandung, 1982.<br />

Thompson, C. M, Table of Percentage of the X^2<br />

Distribution, Biometrica, 1941, Vol.32<br />

Watari S., Vandas M, and Watanabe T., Formation<br />

of a<br />

strong southward IMF near the solar maximum of<br />

cycle 23, Annales Geophysicae 22; 673-687,<br />

European Geosciences Union, 2004.<br />

LAMPIRAN TABEL DISTRIBUSI CHI-KUADRAT<br />

Keterangan (Sumber [4]:<br />

= derajat kebebasan<br />

ν<br />

P = probabilitas<br />

2<br />

χ<br />

F84


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

HFCM (Histogram Fuzzy C- Means) sebagai Koreksi Kecepatan<br />

MsFCM (Multiscale Fuzzy C-Means)<br />

Soegianto Soelistiono 1 , Fitri Primayunita 2<br />

1 Program Studi <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

2 Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember<br />

Email : soegianto@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Untuk melakukan pengklasteran gambar sering kali digunakan Fuzzy C-Means (FCM), metode ini cukup<br />

berhasil dalam melakukan klaster gambar. Beberapa gambar yang sering diklaster untuk mendapatkan gambaran<br />

obyek yang ada pada gambar tersebut adalah Magnetic Resonance Images (MRI) meskipun gambar yang bukan<br />

MRI juga bisa digunakan teknik FCM. Dengan FCM diharapkan bisa didapat obyek yang ada pada gambar<br />

tersebut, meskipun gambarnya dalam bentuk grayscale.<br />

Hasil FCM sering kali kurang bagus dikarenakan hasilnya masih berbintik-bintik, untuk masalah tersebut<br />

dikolaborasikan dengan motode lain. Pendekatan yang telah dikembangkan untuk mengatasi tantangan ini adalah<br />

menggabungkan Matrix Faktorisasi (MF) dan Fuzzy C-means (FCM). Model ini dinamakan Modifikasi Fuzzy<br />

C-means (MFCM). MFCM telah interpretability lebih baik dari MF, dan akurasi yang lebih baik dari FCM.<br />

Dalam perkembangannya FCM terus dikembangkan, perkembangan terakhir adalah multiscale fuzzy C-means<br />

(MsFCM), sistem ini membuat koreksi ke FCM dan MFCM dari proses iterasi pembentukan gambarnya. Hasil<br />

yang ditampilkan oleh MsFCM terlihat lebih bagus.<br />

Dalam pemrograman FCM sampai MsFCM diperlukan kemampuan CPU dan memory yang relatif besar, kerja<br />

sistem sangat berat dan lama. Sebagai gambaran untuk sampai pada iterasi dengan error maksimal 0.000001,<br />

yaitu sekitar 50an iterasi dibutuhkan waktu 5 jam dengan laptop berprocecor T9300 untuk ukuran gambar<br />

175x316 pixels, jumlah klaster 15. Dalam makalah ini coba dilakukan kreasi untuk melakukan percepatan proses<br />

sehingga bisa dilakukan untuk keadaan yang membutuhkan proses lebih cepat. Karena sistem ini menggunakan<br />

konsep Histogram sebagai short cut dari FCM sampai MsFCM maka kami beri nama HFCM (Histogram Fuzzy<br />

C-Means).<br />

Kata kunci : fuzzy, citra.<br />

PENDAHULUAN<br />

Data analisa tentunya tidak hanya dalam bentuk<br />

teks, tetapi juga dalam bentuk gambar. Untuk<br />

gambar yang mengandung banyak informasi sering<br />

diistilahkan dengan citra. Segmentasi dari citra MRI<br />

(Magnetic Resonance Imaging) memberikan<br />

informasi fisiologi yang berguna dalam diagnosis<br />

patologi demikian juga untuk konstruksi model<br />

geometri organ dalam tiga dimensi. Kualitas hasil<br />

citra tergantung pada rendahnya resolusi spasial,<br />

tidak meratanya iluminasi dan adanya noise.<br />

Keadaan ini tentunya mengganggu proses<br />

pengenalan pola yang didapat.<br />

Analisa citra dengan menggunakan metode<br />

klastering sudah banyak dilakukan. Salah satu<br />

metode yang berbasis logika fuzzy dengan<br />

segmentasi adaptif adalah Fuzzy c-Means (FCM).<br />

Logika fuzzy diterapkan dalam pengenalan pola<br />

untuk melakukan penyempurnaan dari metode<br />

manual yang menggunakan sistem range warna.<br />

Klasifikasi pola ini dapat diselesaikan dengan<br />

sebuah metoda analisis data yang disebut klaster .<br />

Sistem fungsi keanggotaan fuzzy mengukur berapa<br />

dekat atau akuratnya sebuah warna pixel (intensitas<br />

yang berada pada titik tersebut) dengan nilai pusat<br />

klaster. Tujuan dari analisis klaster adalah<br />

mengumpulkan pixel-pixel yang nilai intensitasnya<br />

mendekati nilai pusat klaster. Teknik klaster dengan<br />

teori himpunan fuzzy memberikan pendekatan baru<br />

yang lebih baik dari pada teknik klaster<br />

konvensional.<br />

Dalam makalah ini akan dilakukan analisa<br />

terhadap FCM dan MsFCM, untuk selanjutnya akan<br />

dibuat metode baru HFCM, metode ini merupakan<br />

pengembangan dari MsFCM dengan tujuan untuk<br />

melakukan percepatan mendapatkan hasil.<br />

DATA CITRA<br />

Untuk melakukan analisa data yang dalam bentuk<br />

gambar, maka gambar harus diproses menjadi dalam<br />

bentuk bitmap, gambar yang akan dipetakan harus<br />

diubah menjadi bitmap ( BMP ), sebaiknya gambar<br />

sejak awal sudah dalam bentuk bmp atau tiff. Citra<br />

selanjutnya diproses untuk menjadi gambar dengan<br />

kedalman warna 24 bit. Perubahan ke 24 bit ini<br />

F85


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

tujuannya untuk mempermudah proses analisa<br />

selanjutnya, karena dengan 24 bit maka nilai Red<br />

(merah) menjadi 8 bit ( 256 varian), begitu juga<br />

dengan Green (hijau) dan Blue (biru). Proses<br />

selanjutnya citra akan diubah dalam bentuk<br />

grayscale ( metode dalam makalah ini digunakan<br />

sistem grayscale, untuk kasus yang lain<br />

dimungkinkan untuk tidak menggunakan sistem<br />

grayscale ),<br />

Persamaan J ini adalah persamaan error kuadrat<br />

dari selisih nilai grayscale tiap pixel dibandingkan<br />

dengan nilai pusat klaster.<br />

Jika dilakukan = 0 untuk mendapatkan nilai<br />

kritis dari J maka akan di dapat :<br />

(3)<br />

(4)<br />

Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Grayscale<br />

Gambar 1: proses perubahan citra warna menjadi grayscale<br />

Persamaan nilai grayscale :<br />

grayscale (x) = (11*R + 16*G + 5*B) /32 (1)<br />

Dengan citra yang telah berubah menjadi<br />

grayscale maka setiap pixel dari gambar hanya<br />

mempunyai 3 variabel bebas, secara fungsi dapat<br />

dituliskan sebagai f(i,j,x) dengan i dan j adalah<br />

koordinat posisi pixel dan x adalah nilai grayscale<br />

dari pixel tersebut.<br />

Jumlah data (N) adalah jumlah semua pixel yang<br />

ada pada citra yang sedang dianalisa, jika ukuran<br />

gambar 100x100 pixel maka jumlah data yang ada<br />

N= 100x100 = 10.000 data<br />

ANALISA FCM FUZZY C-MEANS BESERTA<br />

PERKEMBANGANNYA<br />

Analisa FCM ini dimulai dengan melakukan<br />

pengamatan terhadap persamaan error berikut :<br />

Dengan :<br />

(2)<br />

Dalam aplikasi, nilai v dan diupdate secara iterasi<br />

dengan menggunakan persamaan 3 dan 4, iterasi<br />

diberhentikan sampai didapatkan nilai yang tetap<br />

( nilai delta sangat kecil ). Waktu<br />

yang diperlukan untuk mencapai nilai stabil<br />

sangat bergantung dari lebar gambar yang dianalisa,<br />

meskipun demikian iterasi dari persamaan 3 dan 4<br />

tidak bisa digunakan untuk keadaan analisa secara<br />

real time, karena waktunya untuk sampai stabil<br />

dalam rentang satuan menit.<br />

Dalam perkembangannya FCM pada tahun 2002<br />

dikoreksi oleh Ahmad dkk menjadi MFCM,<br />

persamaannya adalah sebagai berikut :<br />

Dengan :<br />

(5)<br />

Persamaan (5) merupakan koreksi dari persamaan<br />

(2) dengan penambahan suku untuk melakukan<br />

smooting berdasarkan noise sekeliling , suku ini<br />

sangat berguna untuk kondisi gambar yang<br />

mempunyai noise cukup tinggi, MFCM ini seperti<br />

proses bluring untuk area yang nilai noise nya tinggi.<br />

MFCM memperbaiki FCM dengan menjadikan<br />

hasil nilai yang stabil tidak berbintik-bintik.<br />

Perbaikan FCM ini dilakukan lagi oleh Hesheng dkk<br />

pada tahun 2008 menjadi MsFCM ( Multiscale<br />

Fuzzy C-Means).<br />

MsFCM mengubah persamaan (5) menjadi :<br />

c : jumlah klaster yang diinginkan<br />

N : Jumlah data ( jumlah semua pixel dari citra )<br />

p : pangkat probabilitas, biasanya untuk citra 2D<br />

dibuat bernilai 2<br />

Dengan<br />

(6)<br />

F86


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Koreksi yang dilakukan oleh MsFCM dengan<br />

melakukan perbandingan antara μ iterasi baru<br />

dengan iterasi lama, koreksi dari MsFCM<br />

mengakibatkan nilai v bergeser makin ke nilai yang<br />

lebih halus.<br />

Jika dilakukan = 0 untuk persamaan (6) ,<br />

mengakibatkan persamaan update untuk v dan<br />

menjadi sebagai berikut:<br />

(7)<br />

Gambar 3 : Aplikasi untuk analisa FCM 5 klaster<br />

Dengan FCM dengan jumlah klaster 5 didapatkan<br />

perubahan nilai sebagai berikut :<br />

(8)<br />

a b c<br />

(9)<br />

Dengan syarat batas (10)<br />

ANALISA HASIL FCM (FUZZY C-MEANS)<br />

DAN PERKEMBANGANNYA<br />

Data Citra yang diamati adalah sebagai berikut :<br />

e<br />

f<br />

Gambar 2 : gambar MRI gigi (ukuran gambar 175x316 pixels)<br />

Dengan menggunakan FCM untuk jumlah klaster<br />

5 didapatkan data berikut :<br />

Gambar 4 : pola yang terbentuk dari FCM untuk iterasi tertentu.<br />

a.Itersi ke 1, b. iterasi ke 2 c. itersi ke 3, d. itersi ke 56, e. Iterasi<br />

ke 57<br />

Nilai pusat klaster yang didapat adalah : 8.79 ;<br />

49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95 . Waktu yang<br />

dibutuhkan untuk sampai ke iterasi 57 sekitar 15<br />

menit<br />

Analisa dilanjutkan dengan menggunakan<br />

MsFCM, untuk jumlah klaster 5, didapatkan<br />

perubahan nilai sebagai berikut :<br />

F87


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

a<br />

b<br />

e<br />

d<br />

Gambar 6 : pola yang terbentuk dari MsFCM untuk iterasi<br />

tertentu. a.Itersi ke 1,b. iterasi ke 2, c. itersi ke 99, d. itersi ke<br />

100<br />

Nilai pusat klaster yang didapat : 15.04 ; 60.29 ;<br />

101.87 ; 149.51 dan 220.96. Waktu yang dibutuhkan<br />

untuk sampai ke iterasi 100 sekitar 1 jam<br />

Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />

hasil FCM dan MsFCM untuk 5 klaster :<br />

FCM : 8.79 ; 49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95<br />

MsFCM : 15.04 ; 60.29 ; 101.87 ; 149.51 dan 220.96<br />

Dari nilai v ( pusat nilai klaster ) yang didapat<br />

antara FCM dan MsFCM yang sangat mirip hanya<br />

sebuah data ( 220.95 dan 220.96 ) . sedangkan data<br />

yang lain mirip dengan selisih yang lebih besar<br />

(sekitar 10).<br />

Untuk lebih tajam dalam melakukan analisa akan<br />

dilakukan untuk jumlah klaster yang lebih banyak,<br />

dalam hal ini digunakan 15 klaster. Tampilan<br />

aplikasi FCM dan MsFCM untuk 15 klaster adalah<br />

sebagai berikut :<br />

Gambar 8 : Aplikasi untuk analisa MsFCM 15 klaster<br />

Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />

hasil FCM dan MsFCM untuk 15 klaster :<br />

FCM : 0.00 ;17.00 ;34.00 ;51.00 ;68.00 ;85.00<br />

;102.00 ;119.00 ;136.00 ;153.00 ;170.02<br />

;187.03;204.04 ;221.17 ;239.28<br />

MsFCM : 5.03 ;16.23 ;34.57 ;51.94 ;65.59 ;85.16<br />

;86.09 ;103.56 ;119.09 ;135.64 ;155.04<br />

;182.39;205.85 ;221.32 ;236.23<br />

Dilakukan perbandingan data pusat klaster antara<br />

hasil FCM dan MsFCM untuk 5 klaster :<br />

FCM : 8.79 ; 49.95 ; 94.91 ; 145.01 dan 220.95<br />

MsFCM : 15.04 ; 60.29 ; 101.87 ; 149.51 dan 220.96<br />

Dari perbandingan keempat kumpulan data<br />

tersebut bisa disimpulkan bahwa terdapat<br />

15 nilai v yang menjadi nilai tujuan<br />

pergeseran ( analisa fisis gambar ), yaitu : 0<br />

; 17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ;<br />

153 ; 170 ; 187 ; 204 ; 221 ; 238<br />

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan<br />

bahwa nilai v akan digeser-geser selama update<br />

untuk menuju nilai yang sebenarnya bisa diambil<br />

secara fisis ( kasat mata ) dari posisi beberapa pixel<br />

dari gambar.<br />

Perbandingan profil gambar untuk FCM dan<br />

MsFCM pada klaster 5 dan 15 untuk iterasi terakhir :<br />

a. b c d. e<br />

Gambar 7 : Aplikasi untuk analisa FCM 15 klaster<br />

Gambar 9 : pola yang terbentuk dari MsFCM untuk iterasi<br />

tertentu a.FCM 5 klaster b. MsFCM 5 klasterc. FCM 15 klaster<br />

d. MsFCM 15 klaster e. Citra asal<br />

dari gambar 9 terlihat bahwa jumlah cluster makn<br />

banyak akan makin membuat pola yang dihasilkan<br />

makin detil, dari eksperimen yang dilakukan<br />

ternyata jika jumlah klaster melebihi jumlah variasi<br />

warna akan mebuat aplikasi susah mendapatkan nilai<br />

stabil dari . Misal untuk jumlah varian warna yang<br />

ada pada gambar berjumlah 15 dan diaplikasi<br />

F88


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

diinputkan jumlah klaster 25, maka apliaksi akan<br />

sesah mendapatkan nilai stabil dari . apabila<br />

keempat gambar tersebut di satukan dan dicari nilai<br />

grayscale dari warna Citra asal yang dimunculkan<br />

Gambar 10 : pola yang disatukan untuk mengamati varian<br />

warna<br />

Dengan menggunakan penglihatan untuk<br />

perbandingan pixel dari lima gambar yang<br />

dihasilkan, diperoleh varian warna berjumlah 16,<br />

yaitu : 0 ; 17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ;<br />

153 ; 170 ; 187 ; 204 ; 221 ; 238 ; 255. Hal ini sesuai<br />

dengan pengamatan sebelumnya.<br />

Pembuatan konsep HFCM<br />

Konsep HFCM ini adalah konsep yang dibangun<br />

dengan melihat hasil penelitian yang dilakukan pada<br />

FCM dan MsFCM, secara umum teknik FCM dan<br />

MsFCM cukup unggul dalam melakukan analisa<br />

object dalam sebuah gambar berdasarkan nilai<br />

klasternya. Beberapa kekurangan sistem FCM dan<br />

MsFCM adalah :<br />

Gambar 11 : Pengambilan data histogram dari citra asal<br />

Dari pengambilan data histogram diperoleh 15 nilai<br />

puncak, nilai axis dari puncak tersebut adalah : 0 ;<br />

17 ; 34 ; 51 ; 68 ; 85 ; 102 ; 119 ; 136 ; 153 ; 170 ;<br />

187 ; 204 ; 221 ; 238<br />

Dari data puncak yang dimunculkan histogram<br />

terlihat sama persis dengan data analisa FCM dan<br />

MsFCM, Hal ini membuktikan bahwa analisa fisis<br />

bahwa klaster adalah varian warna menjadi terbukti,<br />

untuk itu dalam HFCM nilai dapat diperoleh<br />

dengan menggunakan histogram, kecepatan proses<br />

di histogram kurang dari 100 mili detik.<br />

Jumlah puncak pada gambar 11 adalah 15, hal ini<br />

menunjukkan varian warna yang ada, sehingga<br />

dengan menggunkan histogram ini jumlah klaster<br />

bisa ditentukan dengan tepat ( tentunya nilai<br />

maksimal klaster 255 sesuai dengan nilai bit dari<br />

grayscale).<br />

Untuk HFCM, prosesnya sama dengan yang<br />

dilakukan oleh MsFCM hanya saja nilai tidak<br />

perlu diupdate.<br />

Perbandingan hasil yang diperoleh dengan<br />

menggunakan HFCM dan FCM serta MsFCM:<br />

Proses FCM 5 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />

gambar stabil<br />

• Jumlah klaster yang tidak bisa diperkirakan.<br />

• Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan data<br />

stabil sangat lama.<br />

Untuk itu di bagian makalah ini dicoba untuk<br />

melakukan perbaikan dari 2 masalah tersebut.<br />

Untuk jumlah klaster, secara fisis ini bisa<br />

diterjemahkan dengan varian warna, jadi jumlah<br />

klaster harusnya merupakan jumlah varian warna<br />

yang ada, untuk gambar yang sangat halus<br />

perbedaan warnanya tentu akan memiliki jumlah<br />

klaster yang besar, meskipun pada kenyataannya<br />

beberapa klaster yang berdekatan bisa digabungkan.<br />

Untuk mendapatkan nilai klaster (varian warna)<br />

dalam hal ini digunakan histogram. Aplikasi<br />

histogram bisa dilihat dibawah ini.<br />

a b c d e<br />

Gambar 12 : Analisa representasi perbandingan nilai<br />

FCM dengan jumlah klaster 5<br />

dalam<br />

Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c. iterasi ke 3 d. iterasi<br />

ke 12 e. Iterasi ke 57<br />

Dari gambar 12 terlihat mulai iterasi ke 12<br />

gambar mulai stabil, meskipun proses<br />

perubahan nilai masih berjalan.<br />

Proses MsFCM 5 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />

gambar stabil<br />

a b c d e<br />

Gambar 13 : Analisa representasi perbandingan nilai<br />

MsFCM dengan jumlah klaster 5<br />

dalam<br />

Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c. iterasi ke 3 d. iterasi<br />

ke 12 e. Iterasi ke 100<br />

F89


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dari gambar 12 terlihat mulai iterasi ke 12<br />

gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />

nilai masih berjalan.<br />

Proses FCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />

gambar stabil<br />

a b c<br />

a b c d e<br />

Gambar 14 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />

FCM dengan jumlah klaster 15 a.Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />

iterasi ke 3 d. iterasi ke 10 e. Iterasi ke 27<br />

Dari gambar 14 terlihat mulai iterasi ke 10<br />

gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />

nilai masih berjalan.<br />

Proses MsFCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />

gambar stabil<br />

a b c d e<br />

Gambar 15 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />

MsFCM dengan jumlah klaster 15 aIterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />

iterasi ke 3 d. iterasi ke 22 e. Iterasi ke 100<br />

Dari gambar 15 terlihat mulai iterasi ke 22<br />

gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />

nilai masih berjalan.<br />

Untuk selanjutnya akan dianalisa dengan<br />

menggunakan HFCM<br />

Gambar 16 : Aplikasi HFCM<br />

Proses HFCM 15 klaster, iterasi 1 sampai nilai<br />

gambar stabil<br />

Gambar 17 : Analisa representasi perbandingan nilai dalam<br />

MsFCM dengan jumlah klaster 15 Iterasi ke 1 b. iterasi ke 2 c.<br />

iterasi ke 17<br />

Dari gambar 17 terlihat mulai iterasi ke 2<br />

gambar mulai stabil, meskipun proses perubahan<br />

nilai masih berjalan. Iterasi berhenti di 17<br />

dengan nilai sudah tidak berubah lagi.<br />

Dari analisa ini terlihat bahwa HFCM sangat<br />

mempercepat proses untuk mendapatkan gambar<br />

dari obyek dengan menggunkan logika fuzzy.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari analisa yang telah dilakukan terdapat beberapa<br />

kesimpulan yang berarti :<br />

• Proses iterasi untuk pergeseran nilai klaster<br />

bisa dipercepat dengan menggunakan nilai<br />

puncak histogram.<br />

• Secara fisis dapat dianalisa bahwa jika nilai<br />

intensitas puncak histogram pendek, dapat<br />

diperkirakan bahwa klaster tersebut adalah<br />

noise.<br />

• Proses MsFCM jika dibuat dengan memasukkan<br />

nilai yang konstan akan mempercepat proses<br />

stabilitas nilai .<br />

• HFCM terbukti sangat mempercepat proses<br />

MsFCM<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ahmed, M.N., Yamany, S.M., Mohamed, N., Farag,<br />

A.A., Moriarty, T., 2002. A modified fuzzy<br />

C-means algorithm for bias field estimation<br />

and segmentation of MRI data. IEEE Trans.<br />

Med. Imag. 21 (3), 193–199.<br />

Aubert-Broche, B., Evans, A.C., Collins, L., 2006. A<br />

new improved version of the realistic digital<br />

brain phantom. Neuroimage 32 (1), 138–145.<br />

Bezdek, J., 1980. A convergence theorem for the<br />

fuzzy ISODATA clustering algorithms. IEEE<br />

Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. (2), 1–8.<br />

Canny, J., 1986. A computational approach to edge<br />

detection. IEEE Trans. Pattern Anal. Mach.<br />

Intell. 8, 679–698<br />

Carano, R.A., Ross, A.L., Ross, J., Williams, S.P.,<br />

Koeppen, H., Schwall, R.H., Van Bruggen,<br />

F90


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

N., 2004. Quantification of tumor tissue<br />

populations by multispectral analysis. Magn.<br />

Reson. Med. 51 (3), 542–551.<br />

Chen, S., Zhang, D., 2004. Robust image<br />

segmentation using FCM with spatial<br />

constraints based on new kernel-induced<br />

distance measure. IEEE Trans. Syst. Man<br />

Cybern. B 34 (4), 1907–1916.<br />

Choi, H.S., Haynor, D.R., Kim, Y., 1991. Partial<br />

volume tissue classification of multichannel<br />

magnetic resonance images – a mixel model.<br />

IEEE Trans. Med. Imaging 10 (3), 395–407<br />

Cocosco, C.A., Zijdenbos, A.P., Evans, A.C., 2003.<br />

A fully automatic and robust brain MRI<br />

tissue classification method. Med. Image<br />

Anal. 7 (4), 513–527.<br />

Cuadra, M.B., Cammoun, L., Butz, T., Cuisenaire,<br />

O., Thiran, J.P., 2005. Comparison and<br />

validation of tissue modelization and<br />

statistical classification methods in T1-<br />

weighted MR brain images. IEEE Trans.<br />

Med. Imaging 24 (12), 1548–1565.<br />

Held, K., Rota, K.E., Krause, B.J., Wells III, W.M.,<br />

Kikinis, R., Muller-Gartner, H.W., 1997.<br />

Markov random field segmentation of brain<br />

MR images. IEEE Trans. Med. Imaging 16<br />

(6), 878–886.<br />

Jacobs, M.A., Zhang, Z.G., Knight, R.A., Soltanian-<br />

Zadeh, H., Goussev, A.V., Peck, D.J., Chopp,<br />

M., 2001. A model for multiparametric MRI<br />

tissue characterization in experimental<br />

cerebral ischemia with histological validation<br />

in rat: Part 1. Stroke 32 (4), 943–949.<br />

Jaeschke, R., Guyatt, G., Lijmer, J., 2002.<br />

Diagnostic tests. In: Guyatt, G., Rennie, D.<br />

(Eds.), Users’ Guides to the Medical<br />

Literature. AMA Press, Chicago.<br />

James, M., 1985. Classification Algorithms. John<br />

Wiley, New York. Kwan, R.K., Evans, A.C.,<br />

Pike, G.B., 1996. An extensible MRI<br />

simulator for postprocessing evaluation,<br />

visualization in biomedical computing<br />

(VBC’96). Lecture Notes in Computer<br />

Science, vol. 1131. Springer-Verlag, pp. 135–<br />

140. Kwan, R.K., Evans, A.C., Pike, G.B.,<br />

1999. MRI simulation-based evaluation of<br />

imageprocessing and classification methods.<br />

IEEE Trans. Med. Imaging 18 (11), 1085–<br />

1097.<br />

Li, L., Jiang, Q., Ding, G., Zhang, L., Zhang, Z.G.,<br />

Ewing, J.R., Knight, R.A., Kapke,<br />

A.,Soltanian-Zadeh, H., Chopp, M., 2005.<br />

Map-ISODATA demarcates regional<br />

response to combination rt-PA and 7E3<br />

F(ab’)2 treatment of embolic stroke in the rat.<br />

J. Magn. Reson. Imaging 21 (6), 726–734.<br />

Liew, A.W., Yan, H., 2003. An adaptive spatial<br />

fuzzy clustering algorithm for 3-D MR image<br />

segmentation. IEEE Trans. Med. Imaging 22<br />

(9), 1063–1075.<br />

Lu, D., Weng, Q., 2007. A survey of image<br />

classification methods and techniques for<br />

improving classification performance. Int. J.<br />

Rem. Sens. 28 (5), 823–870.<br />

Marroquin, J.L., Vemuri, B.C., Botello, S.,<br />

Calderon, F., Fernandez-Bouzas, A., 2002.<br />

An accurate and efficient Bayesian method<br />

for automatic segmentation of brain MRI.<br />

IEEE Trans. Med. Imaging 21 (8), 934–945.<br />

Noordam, J.C., Van den broek, W.H.A.M., Buydens,<br />

L.M.C., 2000. Geometrically guidedd fuzzy<br />

C-means clustering for multivariate image<br />

segmentation. In: Proceedings of the<br />

International Conference on Pattern<br />

Recognition, vol. 1, pp. 462–465.<br />

Perona, P., Malik, J., 1990. Scale-space and edge<br />

detections using anistropic diffusion. IEEE<br />

Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. 12 (7),<br />

629–639.<br />

Pham, D.L., Prince, J.L., 1999. Adaptive fuzzy<br />

segmentation of magnetic resonance images.<br />

IEEE Trans. Med. Imaging 18 (9), 737–752.<br />

Salvado, O., Hillenbrand, C., Zhang, S., Wilson,<br />

D.L., 2006. Method to correct intensity<br />

inhomogeneity in MR images for<br />

atherosclerosis characterization. IEEE Trans.<br />

Med. Imaging 25 (5), 539–552. Tolias, Y.A.,<br />

Panas, S.M., 1998. On applying spatial<br />

constraints in fuzzy image clustering using a<br />

fuzzy rule-based system. IEEE Signal<br />

Process. Lett. 5, 245– 247.<br />

Van Leemput, K., Maes, F., Vandermeulen, D.,<br />

Suetens, P., 1999. Automated modelbased<br />

tissue classification of MR images of the<br />

brain. IEEE Trans. Med. Imaging 18 (10),<br />

897–908.<br />

Young, T.Y., Fu, K.-S. (Eds.), 1986. Handbook of<br />

Pattern Recognition and Image Processing.<br />

Academic Press.<br />

Zhang, Y., Brady, M., Smith, S., 2001.<br />

Segmentation of brain MR images through a<br />

hidden Markov random field model and the<br />

expectation-maximization algorithm. IEEE<br />

Trans. Med. Imaging 20 (1), 45–57.<br />

F91


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

A Volume Rendering for Haptic Interaction on a Human Head<br />

Sugeng Rianto 1<br />

<strong>Fisika</strong> FMIPA Universitas Brawijaya<br />

Email : priantos@brawijaya.ac.id<br />

Abstrak<br />

This paper describes a new approach which supports volume visualization with real-time interaction through<br />

haptic force feedback in virtual environment. This approach effectively approximates the force models using<br />

offset boundary surfaces and force field approximation between two consecutive layers. The generated force<br />

models can represent a bounding surface, viscosity, gradient, and friction. The volume visualisation itself, on the<br />

other hand, is generated through a combination of direct volume rendering and opacity peeling. Experimental<br />

results utilising PC in combination with commodity 3D graphics hardware show high quality volume<br />

visualisations. The volume date set of 512 x512 x 220 can be visualised in reasonable frame rate be interactively<br />

manipulated in an intuitive manner through haptic. Several material properties sensations that resemble skin<br />

surface, adipose tissue or fat, and bone can be delivered to the user felling through haptic tip<br />

Kata kunci :<br />

INTRODUCTION<br />

Currently, advances in computer hardware in<br />

combination with consumable 3D graphic hardware<br />

have made it possible to offers real-time interaction<br />

with volume data set. A volume rendering, on the<br />

other hand, has been used as an effective method to<br />

visualize medical and scientific datasets. Although,<br />

more advancement of medical image visualizations<br />

has also been explored by many researchers, there is<br />

only little concern for immersed volume interactions<br />

and volume haptic. The combination of real-time<br />

interaction and volume visualization will extract the<br />

important hidden information, increase human<br />

sensations in an intuitive manner, and add accuracy<br />

analysis within the volume data.<br />

This paper describes an approach in generating<br />

force field compositions for volume visualization<br />

with a tactile device. Scalar values and force<br />

interactions are approximated by a combination of<br />

boundary detection thresholds (Sereda, Bartroli et al.<br />

2006) and opacity peelings (Rezk-Salama and Kolb<br />

2006; Malik, Moller et al. 2007). The force vector<br />

field solvers between boundaries are estimated using<br />

the cubic-interpolated pseudo particle, while the<br />

volume visualization utilizes parallel streaming<br />

processors of inexpensive commodity graphics<br />

hardware.<br />

Beside the presentation of transparent supports<br />

and color information for non-orthogonal constraints<br />

and boundaries, inertial force and inertial torque<br />

feedbacks of the haptic device are simulated when<br />

entering a volume object. The implementation of<br />

collision and force computations rely on field offset<br />

boundary surfaces rather than implicit surfaces to<br />

provide consistent contact sensation in both visual<br />

presentations and tactile haptic.<br />

RELATED WORK<br />

Several techniques to approximate the<br />

formulation of constrain forces in the volume<br />

visualization with haptic interaction have been<br />

developed. In general, the related developed<br />

techniques can be categorized into the field of<br />

surface, volume, and proxy-based volume haptics.<br />

The surface haptics calculate the process of<br />

feeling virtual objects based on an explicit surface<br />

that represent isovalue of the scalar data. The<br />

explicit surface can be polygons that constrain the<br />

haptic tip to penetrate into the object. The<br />

constrained forces will return force feedback into the<br />

user hand and push the tip away from the object<br />

surface. Although some studies have developed<br />

algorithm surface haptic for sculpturing application<br />

and surface exploration (Thompson II, Johnson et al.<br />

1997; West and Cutkosky 1997), surface-based<br />

models suffer problems in representing and<br />

modeling interior.<br />

Volume-based haptic rendering, on the other<br />

hand, has no surface representation, thus the<br />

implementation of standard proxy-based method<br />

cannot be done. The common approximation for<br />

this purpose is employing local or global surface<br />

(Kim, Otaduy et al. 2002) to compute proxy-based<br />

surface haptic. Moreover, to get haptic interaction<br />

with volume data, a direct volume haptic has to be<br />

generated (Lundin, Ynnerman et al. 2002).<br />

The current procedures to create the direct<br />

volume haptic have been explained in (Avila and<br />

Sobierajski 1996; Gibson, Samosky et al. 1997).<br />

These methods propose a haptic feedback as a<br />

computation of vector valued function. The<br />

computation is formulated by using the scalar data<br />

around the tip and the current tip velocity. Forces to<br />

fell implicitly of surfaces are obtained by the<br />

gradient vector representing the variation of the<br />

F92


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

orientation and the magnitude in the scalar data.<br />

Thus the implicit surface can be sensed as a negative<br />

value of these forces as follow:<br />

f = −( K ∇V<br />

( xtip<br />

) + K2v<br />

1 tip<br />

)<br />

(1)<br />

This force can be considered as a static force field<br />

that works well with fluid content. However, when<br />

this approach is applied to other types of content<br />

such as solid data, the haptic feedback lacks a<br />

natural connection to the data. The static force field<br />

gives haptic force response to volume data and not<br />

to user activity (Lundin, Ynnerman et al. 2002).<br />

Therefore the haptic algorithm adds energy to the<br />

system that makes little or no sense to solid objects.<br />

Figure 1. The description of force reaction (black arrows) of user<br />

pressure (blue errow) through a haptic stylus to the surface.<br />

FORCE MODEL DESIGN<br />

A force model determines the constraints or the<br />

reaction forces that are sensed by the user. Force<br />

models for volume haptic usually are approximated<br />

from a proxy point data that are executed at every<br />

scene graph loop in the servo motor. The dataset are<br />

measured based on the gradient or curvature<br />

information from scalar values of a volume object.<br />

The force models proposed here represent forces of<br />

a field offset boundary (surface), gradient and<br />

magnitude vectors, friction, stiffness, viscosity, or<br />

penetrability.<br />

The force model is representation of forces of the<br />

proxy being generated from the surface as a reaction<br />

force of a user pressure or a user movement over the<br />

surface or inside the volume object. Proxy and probe<br />

have same position when there is no surface of<br />

volume being touch. The proxy and probe show a<br />

different position when the proxy collides with any<br />

object. The distance between proxy and probe are<br />

controlled by the strength of the surface rougness or<br />

the force field (viscosity for fluid or volume object)<br />

divided by the stiffness of the surface or force field<br />

(Figure 2).<br />

A simple representation of force model for skin<br />

can be drawn as a surface with forces interactions as<br />

shown in Figure 1. In this figure the force feedback<br />

is simulated as a collection of forces from various<br />

directions, either from sides or bottom as reaction<br />

forces from the user presure through the haptic tip<br />

from the user.<br />

Figure 2. Proxy movement over the surface with difference<br />

roughnesses; the distances between proxy (blue) and probe (red)<br />

are controlled by the primitive strength of the surface roughness<br />

with the surface stiffness.<br />

The total for reactions felled by the user are<br />

called as residual force, f r , and is formulated as in<br />

Equation 2. This force is collection of forces of<br />

spring mass combination, directed forces, point<br />

forces, line forces, and plane forces. X is<br />

r r<br />

f = −k(<br />

x − x ) + s qˆ<br />

+ s X<br />

r<br />

+<br />

∑<br />

i∈Α<br />

Line<br />

proxy<br />

probe<br />

∑<br />

i<br />

i∈Α<br />

directed<br />

i<br />

∑<br />

i<br />

i∈Α<br />

point<br />

si<br />

M + ∑ siqˆ (2)<br />

i<br />

i∈ΑPlane<br />

The offset surface is generated from the<br />

maximum scalar isovalues of any structure being felt<br />

(skin, bone, muscle) through the haptic tip (Figure<br />

3). This surface will constrain the movement of the<br />

proxy when the gradient vector perpendicular to the<br />

proxy position. The proxy is bounded to follow the<br />

surface on which it lays. If the pressure applied is<br />

greater than the stiffness threshold, the proxy will<br />

penetrate through the surface; then friction force<br />

and/or viscous force are added. The viscous force,<br />

on the other hand, is the force fields between two<br />

consecutive implicit surfaces or force representing<br />

an adipose tissue in contact with a finger from tissue<br />

layer array.<br />

The force reaction models are derived for volume<br />

haptics as described in (Lundin, Gudmundsson et al.<br />

2005) and it is formulated as follow:<br />

n<br />

F = F ( z,<br />

t)<br />

(2)<br />

F<br />

∑ i = 1 i<br />

i( z,<br />

t)<br />

= −Kn[(<br />

Pfinger( t)<br />

− Pfinger(0)<br />

) Sz(<br />

t)<br />

] Sz(<br />

t)<br />

where K n is a material parameter deriving from the<br />

desired structure properties of the scalar values and<br />

the user-defined transfer function to specify the<br />

friction, viscosity, and surface stiffness; P fing(0) is the<br />

scalar value at the haptic tip position at the implicit<br />

surface or at t 0 ; P fing(t) is the scalar value at the haptic<br />

tip when it is pressed until t t ; and S n(t) is the normal<br />

vector at time t, respectively.<br />

F93


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

value. The f d and its derivative satisfy the master<br />

advection equation.<br />

Figure 3. The various scalar values control the repelling forces<br />

(F) representing properties (bone, skin, viscous, air) of the object.<br />

Figure 4. Seven different boundaries correspond to each arch on<br />

the color transfer function.<br />

The original images slices that are coded based on<br />

gray scale. The gray scale also associated with the<br />

HU or CT Number. These colors are then coded<br />

based on the designed color transfer to resemble the<br />

original object (Figure 4). The colors are sources for<br />

scalar values to feed haptic as a difference senses of<br />

touch forces felled by the user according to the<br />

designed force model (Eq. 2). This paper used two<br />

or more colors and two transfer functions to segment<br />

the objects of interest.<br />

To avoid occasional jerkiness and vibration, the<br />

unit vector or normal vector is averaged and the<br />

damping force is added into the system (Bhasin, Liu<br />

et al. 2005) as follow:<br />

Fd<br />

( t )<br />

= −K<br />

dv(<br />

t )<br />

The force here is proportional to the velocity v of<br />

the finger movement and damping force K. Note that<br />

the proxy is considered to be the origin of a finger at<br />

a surface contact point and the finger move to reach<br />

the goal destination in the normal vector of the<br />

contact surface (Anonimous 2005).<br />

The scalar value on f d is calculated by hermite<br />

interpolation constructed locally within the<br />

calculation. The estimated value is directly advected<br />

toward the calculation grid point as a next time step<br />

Figure 5. Estimation of the force value on the departure point of<br />

the arbitrary scalar value.<br />

IMPLEMENTATION AND RESULTS<br />

The visual appearance of the volume object being<br />

simulated in volume haptic is generated using direct<br />

volume rendering technique with opacity peeling as<br />

suggested in (Rezk-Salama and Kolb 2006; Malik,<br />

Moller et al. 2007). This approach can occlude and<br />

show the object of interest better and faster than that<br />

in segmentation techniques.<br />

The experiments are implemented using the<br />

system with Phantom Omny from SensAble with six<br />

degrees of freedom (DOF), an NVDIA Quadro<br />

GTX8800/512Mb GPU and Reachin display running<br />

on a PC. The volume data set is from the visible<br />

human (Anonimous 2003) female CT scan images.<br />

All the works are developed using Reachin API in<br />

combination with C++ and python.<br />

The volume rendering demonstration was<br />

generated through a combination of direct volume<br />

rendering and opacity peeling to show force models<br />

felling a bounding surface, viscosity, gradient, and<br />

friction. The experimental results utilised PC in<br />

combination with commodity 3D graphics hardware<br />

(Note: the common streaming graphics processor is<br />

called as Graphics Processor Unit or GPU) as<br />

specified above show high quality volume<br />

visualisations as shown in table 1. The table shows<br />

the average frame rates data of visuals rendering,<br />

haptics rendering, and the comparison of frame rate<br />

between rendering with and without using the GPU<br />

for the volume date set of 512 x512 x 220 of human<br />

head.<br />

The data reveal that there is significant<br />

acceleration when the GPU is employed. The force<br />

field interaction has the highest acceleration of about<br />

7.3 frames per second (fps); it is then followed by<br />

surface pealing, volume deformation, and volume<br />

cutting of 6.25, 5.6, and 5.0 respectively. Although,<br />

the haptic interaction with the volume data can be<br />

done at 3 fps; the experiment demonstrate that the<br />

volume data of the head can be manipulated in<br />

interactive manner when the fame rate of visual<br />

rendering greater than 15 frames rate per seconds.<br />

F94


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

The visual frame rate lower than 15 fps not just<br />

lead to haptic jerking and visual lagging, but also<br />

reduce the felling interactions of material properties<br />

of the surface, adipose tissue, fat and bone. This<br />

means that there is a delay between a force<br />

computation and force feedback delivering to haptic<br />

tip to user hand.<br />

Table 1. The frame rate comparison for volume rendering<br />

between visual, haptic, and the frame rate between with and<br />

without GPU.<br />

Type of<br />

Interacti<br />

on<br />

Volume<br />

deformatio<br />

n<br />

Volume<br />

cutting<br />

Surface<br />

pealing<br />

Force field<br />

interaction<br />

Visual<br />

Visual Haptic<br />

Haptic<br />

frame<br />

frame frame<br />

frame<br />

rate<br />

rate rate<br />

rate<br />

with<br />

CPU(fp CPU(fp<br />

GPU(fp<br />

GPU(fp<br />

s) s)<br />

s)<br />

s)<br />

5 900 28 1000<br />

5 855 25 995<br />

4 840 25 995<br />

3 830 22 994<br />

a<br />

Several examples of volume haptic are shown in<br />

Figure 6 and volume with haptic interactions in<br />

Figure 7. For haptic interaction with force feedback,<br />

the skin may be penetrated and deformed by tip<br />

when a user applies a force greater than the<br />

boundary stiffness offset of the skin. However, a<br />

bone cannot be penetrated unless the boundary<br />

surface is occluded. Other materials may be<br />

penetrated easily and constrained by friction or<br />

viscous forces for fluidies material such as fat and<br />

blood. The boundary surface occlusion can be done<br />

by pressing the haptic button and push the stylus in<br />

the perpendicular direction.<br />

b<br />

Figure 6. A volume rendering for head with transparent skin<br />

(Top). Clippings several parts of the head to show the interior of<br />

the object (bottom).<br />

F95


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Figure 7. Four examples of haptic interactions on volume<br />

visualisation. From left to right: skin deformation before<br />

penetration (1); tip penetrate the skin (2); skin pealing (3); the<br />

force greater than boundary constrain with no penetration (stylus<br />

disappear from screen)(4)<br />

CONCLUSION<br />

A method to effectively approximate the force<br />

models for interactive volume rendering for head<br />

with haptic interaction in immersive virtual<br />

environment is developed. Overall, this study has<br />

achieved high quality visualizations and force<br />

feedbacks for haptic on a reasonable frame rate. The<br />

volume size of 512 x 512 x 220 can be visualized at<br />

about 20 fps without haptic jerking. The speed slows<br />

down at about 5 fps during large deformations and<br />

generally will drop to below 10 fps when the<br />

pressure force applied over the boundary surface for<br />

un-penetrated object (bone). The visualization<br />

provides good interaction between haptic and<br />

volume objects when the frame rate is greater than<br />

15 fps. This speed was only achievable when the<br />

system was supported with GPU as a coprocessor in<br />

augmenting CPU during computations and texture<br />

processing.<br />

The intensive study for more detail interactions<br />

between haptic and volume object will be explored<br />

in the future study.<br />

REFERENCES<br />

Anonimous (2003). The Visible Human Project. U.<br />

S. N. L. o. Medicine,<br />

http://www.nlm.nih.gov/research/visible/visib<br />

le_human.html.<br />

Anonimous (2005). ReachinAPI 4 Programmer's<br />

Guide, Reachin Technology AB.<br />

Avila, R. S. and L. M. Sobierajski (1996). "A Haptic<br />

Interaction Method for Volume<br />

Visualization." Proc. IEEE Visualization.<br />

Bhasin, Y., A. Liu, et al. (2005). "Simulating<br />

Surgical Incisions Without Polygon<br />

Subdivision." IOS Press 111: 43-49.<br />

Gibson, S., J. Samosky, et al. (1997). Simulating<br />

Arthroscopic Knee Surgery using Volumetric<br />

Object Representations, Real-Time Volume<br />

Rendering and Haptic Feedback. Lecture<br />

Notes in Computer Science, Springer, Berlin:<br />

369-378.<br />

Kim, Y. J., M. A. Otaduy, et al. (2002). "Six-<br />

Degree-of-Freedom Haptic Display Using<br />

Localized Contact Computations."<br />

Lundin, K., B. Gudmundsson, et al. (2005). General<br />

proxy-based haptics for volume visualization.<br />

First Joint Eurohaptics Conference and<br />

Symposium on Haptic Interfaces for Virtual<br />

Environment and Teleoperator Systems<br />

(WHC).<br />

Lundin, K., A. Ynnerman, et al. (2002). Proxy-based<br />

Haptic Feedback from Volumetric Density<br />

Data. Proceedings of Eurohaptics 2002,<br />

University of Edinburgh, United Kingdom.<br />

Malik, M. M., T. Moller, et al. (2007). Feature<br />

peeling, Institute of Computer Graphics and<br />

Algorithms Vienna University of<br />

Technology: 12.<br />

Rezk-Salama, C. and A. Kolb (2006). "Opacity<br />

Peeling for Direct Volume Rendering."<br />

EUROGRAPHICS 2006 25(3).<br />

Sereda, P., A. V. Bartroli, et al. (2006).<br />

"Visualization of Boundaries in Volumetric<br />

Data Sets Using LH Histograms."<br />

Visualization and Computer Graphics, IEEE<br />

Transactions on 12(2): 208-218.<br />

Thompson II, T. V., D. E. Johnson, et al. (1997).<br />

Direct Haptic Rendering Of Sculptured<br />

Models. Proceedings Symposium on<br />

Interactive 3D Graphics, Providence.<br />

West, A. M. and M. R. Cutkosky (1997). "Detection<br />

of real and virtual fine surface features with a<br />

haptic interface and stylus." Proceedings of<br />

ASME Dynamic Systems and Control<br />

Division(61): 159--165.<br />

F96


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Studi Energi Adsorbsi O2 dan OH pada Paduan Pd-Cu Sebagai Katalis<br />

Fuel Cell Hidrogen dengan Metode Ab-Initio<br />

Wahyu Aji Eko Prabowo 1 ,Adri Supardi 2 , Febdian Rusydi 3 ,<br />

1,2,3 Grup <strong>Fisika</strong> Teoretik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

Email : kuro100588@gmail.com<br />

Abstrak<br />

Fuel cell adalah teknologi konversi energi elektrokimia yang menggabungkan hidrogen dan oksigen dengan<br />

melepaskan energi berupa listrik dan panas dalam prosesnya. Salah satu bagian penting dalam fuel cell adalah<br />

katalis. Pada tahap komersialisasi di pasar, katalis yang umum digunakan adalah katalis berbahan dasar platina.<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerja katalis berbahan dasar paduan Pd-Cu. Penentuan dari kerja<br />

katalis dapat diketahui dari energi adsorbsinya. Metode yang digunakan dalam penentuan energi adsorbsi ini<br />

adalah dengan metode Ab-Initio. Dalam perhitungan energi adsorbsi ini, digunakan perhitungan secara<br />

komputasi dengan menggunakan program ABINIT. Hasil dari perhitungan dengan menggunakan ABINIT<br />

adalah berupa energi total dari sistem. Energi total tersebut menjadi masukan untuk menghitung energi adsorbsi,<br />

dan kemudian dapat kita analisis performa dari katalis berbahan dasar paduan Pd-Cu.<br />

Kata kunci : Fuel cell, Ab-Initio, Energi Adsorbsi, Paduan Pd-Cu, ABINIT.<br />

PENDAHULUAN<br />

Meningkatnya pemakaian ruang, waktu dan<br />

materi menuntut semakin besarnya sumber energi<br />

yang diperlukan. Seperti misalnya alat transportasi,<br />

alat komunikasi, perlengkapan rumah tangga dan<br />

perlengkapan lainnya. Semuanya memerlukan<br />

energi. Tanpa pasokan energi, semua teknologi<br />

diatas tidak akan berfungsi.<br />

Teknologi konvensional menggunakan minyak<br />

bumi sebagai sumber energi dipandang kurang<br />

efisien serta menimbulkan efek samping, yakni<br />

polusi udara. Pembakaran minyak bumi<br />

menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbon<br />

dioksida (CO2) yang berbahaya. Untuk itu, sumbersumber<br />

energi alternatif lainnya harus segera dicari<br />

dan diaplikasikan, sehingga dapat mengurangi<br />

penggunaan energi konvensional.<br />

Salah satu sumber energi alternatif yang telah<br />

dikembangkan adalah fuel cell. Fuel cell secara<br />

serius telah dikembangkan dan diaplikasikan di<br />

beberapa negara maju seperti Jepang, Jerman, dan<br />

Amerika Serikat. Sejauh ini fuel cell secara prinsip<br />

sangat menjanjikan karena tidak menimbulkan<br />

polusi dan dapat diperbaruhi. Sumber energinya juga<br />

sangat banyak tersedia di alam, yaitu molekul udara<br />

H2O, dan keluarannya adalah air yang jernih dan<br />

layak minum. Fuel cell sangat menjanjikan,<br />

meskipun sebagian orang berpendapat "it is good too<br />

be true."<br />

Fuel cell adalah teknologi konversi energi secara<br />

elektrokimia yang menggabungkan hidrogen dan<br />

oksigen dengan melepaskan energi berupa listrik dan<br />

panas dalam prosesnya. Fuel cell kemudian dapat<br />

berfungsi sebagai baterai, hanya saja bahan bakarnya<br />

diperbarui terus pada saat dia sedang beroperasi.<br />

Pengembangan fuel cell bukan tanpa masalah.<br />

Penggunaan katalis berbahan dasar platina sebagai<br />

elektroda pada fuel cell adalah salah satu hambatan<br />

untuk sampai pada tahap komersialisasi di dunia<br />

pasar, mengingat tingginya harga platina. Selain itu<br />

platina memiliki beberapa kekurangan yang<br />

akhirnya menjadi pertimbangan penting, yakni<br />

lambatnya reaksi reduksi yang terjadi pada katoda<br />

berbahan katalis platina. Para peneliti terus<br />

mengembangkan teknologi fuel cell agar lebih<br />

efisien, tidak mahal dan mudah digunakan.<br />

Sistem fuel cell banyak mengalami<br />

perkembangan pada jenis elektrolitnya. Adanya<br />

perubahan jenis elektrolit juga merekayasa jenis<br />

material dan sistem elektrolitnya. Beberapa jenis<br />

elektrolit yang telah dikembangkan para penemu<br />

antara lain cairan alkali (Alkali Fuel Cell), asam<br />

fosfat (Phosphoric Acid Fuel Cell / PAFC),<br />

membran pertukaran proton (Proton Exchange<br />

Membrane Fuel Cell / PEMFC), serta oksida padat<br />

(Solid Oxide Fuell Cell / SOFC)<br />

Adanya perubahan jenis elektroda yang<br />

menggunakan rekayasa jenis material dan sistem<br />

elektroda membuat perkembangan teknologi<br />

khususnya di bidang dinamika molekuler menjadi<br />

lebih pesat. Perkembangan teknologi di dalam<br />

dinamika molekuler saat ini berfokus pada penelitian<br />

penggunaan bahan komposit nano untuk<br />

menggantikan platina sebagai katalis elektroda pada<br />

fuel cell. Bahan komposit tersebut dapat berupa<br />

polimer yang dipadukan dengan logam yang<br />

segolongan dengan platina. Los Alamos National<br />

Laboratory berhasil mensintesa Kobalt-Polipirol<br />

sebagai katalis baru fuel cell hidrogen yang mampu<br />

menggantikan logam murni platina.<br />

F97


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Berangkat dari pengembangan penggunaan<br />

kobalt-polipirol tersebut, dalam penelitian ini akan<br />

dihitung kemampuan adsorbsi O2 dan OH dengan<br />

paduan Pd-Cu sebagai katalis fuel cell. Pemilihan<br />

Paduan Pd-Cu sebagai katalis dilatar belakangi oleh<br />

tiga hal. Pertama, karena Cu merupakan logam<br />

transisi dengan potensial yang baik dan relatif stabil<br />

pada media asam. Kedua, karena Cu yang dipadukan<br />

dengan Pd sebagai padatan yang dapat menjauhkan<br />

formulasi dari multiphase yang membuat dimensi<br />

material ini lebih stabil. Dan yang ketiga, karena Cu<br />

adalah logam yang memiliki kemampuan untuk<br />

membelah ikatan oksigen dengan baik.[ Savadogo<br />

2008]<br />

REAKSI REDUKSI OKSIGEN PADA FUEL<br />

CELL<br />

Oksigen merupakan elemen yang banyak terdapat<br />

di bumi secara berlimpah. Reaksi reduksi oksigen<br />

merupakan reaksi yang sangat penting dalam proses<br />

kehidupan, misalnya pada sistem konversi energi<br />

seperti pada fuel cell. [Xiao-Zi]<br />

yang memiliki performansi dan stabilitas yang<br />

optimal.[EG & G 2000]<br />

METODE AB-INITIO<br />

Persamaan Schrödinger [Griffiths 2005]<br />

merupakan persamaan yang fundamental dalam<br />

fisika kuantum. Persamaan ini mampu menjelaskan<br />

perilaku dari suatu partikel yang bergerak pada suatu<br />

model potensial eksternal yang terdefinisi.<br />

Persamaan ini didefinisikan sebagai berikut,<br />

(2)<br />

Dengan merupakan fungsi gelombang<br />

partikel, E merupakan solusi energi dari partikel,<br />

dan H merupakan operator Hamiltonian.<br />

Operator Hamiltonian merupakan penjumlahan<br />

operator-operator energi kinetik dan energi<br />

potensial dari partikel. Pada kasus dimana hanya<br />

ada satu partikel,<br />

dan potensial eksternal tidak bergantung pada<br />

variabel waktu, maka operator Hamiltonian dapat<br />

dituliskan sebagai,<br />

(3)<br />

Gambar 1: Reaksi pada Fuel Cell<br />

Fuel cell saat ini umumnya menggunakan platina<br />

sebagai bahan dasar katalis. Pada anode, katalis<br />

platina berfungsi untuk memisahkan gas hidrogen<br />

menjadi elektron dan proton. Pada Gambar1 dapat<br />

dilihat hanya proton H + yang dapat melewati PEM<br />

(Polymer electrolyte membrane), sedangkan elektron<br />

dipaksa untuk keluar sirkuit untuk kemudian<br />

dihubungkan dengan hambatan. Elektron akan<br />

mengalir secara siklik dari hambatan menuju katode.<br />

Pada bagian katode inilah terjadi reaksi reduksi.<br />

Elektron e - dan proton H + bergabung dengan<br />

molekul O2 yang dialirkan pada sisi katode sehingga<br />

menghasilkan air (H2O) sebagai buangannya dengan<br />

kesetimbangan reaksi :<br />

4H+ + 4e - + O2 H2O<br />

(1)<br />

Pada kenyataanya, reaksi reduksi yang terjadi<br />

pada katalis katode berbahan dasar platina sangat<br />

lambat jika dibandingkan dengan reaksi oksidasi<br />

yang terjadi pada anode. Sehingga untuk menjadikan<br />

fuel cell sebagai perangkat konservasi energi<br />

alternatif, dibutuhkan pengembangan bahan katalis<br />

Dimana merupakan operator energi kinetik,<br />

dan merupakan operator energi potensial.<br />

Secara umum, persamaan Schrödinger hanya<br />

bisa dipecahkan secara analitik pada kasus<br />

dengan bentuk potensial yang sederhana saja<br />

(seperti osilator harmonik dan atom hidrogen).<br />

Untuk kasus sistem dengan potensial yang rumit,<br />

seperti kasus sistem dengan elektron banyak,<br />

sangatlah sulit untuk memecahkan persamaan<br />

Schrödinger secara analitik. Karena itu berbagai<br />

pendekatan dibuat untuk memecahkan persoalan<br />

ini, seperti metoda perturbasi, perdekatan Born-<br />

Oppenheimer atau melalui model numerik.<br />

Energi Total<br />

Pada Gambar 2.5 ditunjukkan salah satu contoh<br />

model sistem material zat padat yang terdiri dari inti<br />

atom dan awan elektron. Elektron memiliki massa<br />

yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan inti<br />

atom. Sehingga inti atom dapat dianggap tidak<br />

bergerak dibandingkan dengan elektron. Dari<br />

pendekatan ini, maka energi total E(X1,X2,X3)<br />

untuk setiap susunan inti atom, dapat dihitung.<br />

Energi total merupakan suatu besaran yang dapat<br />

memberikan informasi yang luar biasa pentingnya<br />

mengenai sistem. Harga minimum dari energi pada<br />

setiap kemungkinan posisi inti atom<br />

memberikan informasi energi ikatan sistem. Susunan<br />

dari inti atom pada saat energi mencapai minimum<br />

memberikan struktur stabil dari sistem (equilibrium<br />

structure), termasuk seluruh panjang ikatan antar<br />

F98


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

atom, sudut ikatan dan parameter kisi (lattice<br />

parameters) pada padatan. Turunan dari energi<br />

terhadap koordinat inti atom, memberikan gaya<br />

pada inti atom yang menentukan<br />

dinamika dari sistem. Dari informasi gaya ini, maka<br />

frekuensi vibrasi dan bahkan titik leleh dari sistem<br />

dapat dicari.<br />

Teori fungsional kerapatan (DFT : Density<br />

Functional Theory) memberikan formulasi yang<br />

sederhana untuk energi total sistem yang terdiri dari<br />

inti atom dan elektron-elektron, di mana secara<br />

umum terdapat dua tipe dasar energi, yaitu energi<br />

potensial dan energi kinetik elektron.[hohenberg<br />

1964]<br />

Gambar 2. Contoh model sistem zat padat, titik hitam<br />

menggambarkan inti atom, dan daerah abu-abu menggambarkan<br />

awan elektron<br />

Teori Fungsional Kerapatan<br />

Teori fungsional kerapatan (DFT) menggunakan<br />

kerapatan elektron sebagai peubah utama dalam<br />

suatu sistem partikel. Hal ini berlainan dengan teori<br />

Hartree-Fock yang menggunakan fungsi gelombang<br />

elektron sebagai peubah utamanya. DFT<br />

menyatakan bahwa fungsi gelombang elektronik<br />

pada keadaan dasar merupakan fungsi unik dari<br />

kerapatan elektron.<br />

Pada DFT, energi total sistem dinyatakan pada :<br />

(4)<br />

Dimana kerapatan elektron n(x),dirumuskan sebagai,<br />

(5)<br />

Suku pertama Persamaan (4) merupakan energi<br />

kinetik total dari sistem. Suku kedua merupakan<br />

energi potensial total dari interaksi elektron dengan<br />

inti atom. Suku ketiga merupakan energi potensial<br />

total dari interaksi antar elektron. Suku kelima<br />

merupakan energi potensial total dari interaksi antar<br />

inti. Sedangkan suku keempat merupakan energi<br />

potensial pertukaran korelasi (exchangecorrelation).<br />

Karena persamaan energi merupakan<br />

fungsi dari suatu fungsi (fungsi gelombang), maka<br />

persamaan ini disebut sebagai fungsional.<br />

Rapat muatan elektron pada Persamaan (5), hanya<br />

merupakan harga rata-rata, karena rapat elektron<br />

yang sebenarnya selalu berfluktuasi. Hal ini<br />

disebabkan karena elektron-elektron tersebut<br />

bergerak dan saling berinteraksi satu dengan yang<br />

lain. Fluktuasi rapat elektron ini menimbulkan<br />

kesalahan yang relatif kecil tapi sangat berpengaruh<br />

pada perhitungan di persamaan energi kinetik total<br />

sistem terkait dengan korelasi dengan fluktuasi<br />

tersebut. Karena hal inilah muncul fungsional<br />

pertukaran korelasi (dalam berbagai model), untuk<br />

meningkatkan akurasi perhitungan karena pengaruh<br />

dari rapat muatan rata-rata ini.<br />

Untuk mendapatkan energi minimum dari<br />

Persamaan (4), maka harus didapatkan suatu set<br />

fungsi gelombang elektronik yang tepat, yang<br />

membuat energi sistem menjadi minimum. Tidaklah<br />

mudah untuk mencari turunan pertama dari<br />

Persamaan (5) secara langsung. Hal ini disebabkan<br />

karena persamaan energi total ini memiliki suatu<br />

kendala (constrain), yaitu fungsi gelombang sistem<br />

harus ortonormal. Untuk mencari fungsi gelombang<br />

ini digunakan persamaan Kohn-Sham.<br />

Fungsional Pertukaran Korelasi<br />

Energi kinetik pada persamaan Kohn-Sham<br />

bukanlah energi kinetik sebenarnya, karena<br />

digunakannya rapat muatan rata-rata dari elektron.<br />

Fungsi EXC pada Persamaan (4) tidak mempuyai<br />

bentuk yang pasti. Karena itu perlu dibuat suatu<br />

pendekatan berbasis fungsional terhadap rapat<br />

muatan elektron untuk memodelkan fungsi ini.<br />

Dua pendekatan yang sering digunakan dalam<br />

DFT adalah pendekatan kerapatan lokal (local<br />

density approximation - LDA) dan pendekatan<br />

gradien tergeneralisasi (generalized gradient<br />

approximation - GGA). LDA mengasumsikan<br />

energi korelasi pertukaran pada titik r sama dengan<br />

energi korelasi pertukaran dari gas elektron yang<br />

seragam pada titik r.<br />

Maka energi ini dapat dinyatakan sebagai,<br />

(6)<br />

Sehingga pertukaran korelasi dapat diruliskan:<br />

F99


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dengan<br />

dimana persamaan terakhir diasumsikan<br />

bahwa energi korelasi pertukaran<br />

sepenuhnya lokal. Parametrisasi yang<br />

umum digunakan untuk adalah<br />

model Perdew and Zunger, yang<br />

berdasarkan pada perhitungan Monte Carlo<br />

kuantum dari Ceperley dan Alder pada gas<br />

elektron homogen untuk berbagai<br />

kerapatan.<br />

Untuk sistem dimana variasi dari kerapatan<br />

elektron terhadap posisi tidak bisa diabaikan,<br />

fungsional gradien dapat digunakan.<br />

METODE KOMPUTASI<br />

Pada penelitian kali ini, perhitungan<br />

dilakukan dengan menggunakan program<br />

simulasi ABINIT. Simulasi perhitungan<br />

dengan ABINIT, memberikan solusi<br />

persamaan Kohn-Sham untuk sistem<br />

dengan syarat batas menggunakan plane wave<br />

basis set. Untuk merepresentasikan<br />

interaksi antara inti dan elektron, ABINIT<br />

menggunakan pendekatan Projector Augmened<br />

Wave (PAW). Potensial perubahan korelasi<br />

dideskripsikan oleh General Gradient<br />

Approximation (GGA) dari Perdew et al, yang<br />

dikenal dengan PW91. Pada semua kasus,<br />

ekspansi dari plane wave terbatas pada energi<br />

cutoff sebesar 400 eV untuk mendapatkan<br />

konvergensi yang sesuai. Monkorst-Pack k-<br />

point digunakan untuk penentuan Brillouin<br />

zone. [xavier 2004]<br />

Karena pada perhitungan dengan menmggunakan<br />

program ABINIT, luaran berupa energi total dari<br />

sistem, maka digunakan persamaan :<br />

Gambar 3. Ilustrasi proses adsorbsi pada permukaan<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Dari hail perhitungan energi adsorbsi pada<br />

beberapa variasi paduan logam Pd-Cu, didapatkan<br />

hasil sebagai berikut :<br />

TABEL I<br />

Perhitungan energi adsorbsi O2 (VSAP vs ABINIT)<br />

konsentrasi Cu (%) VSAP ABINIT<br />

0 ‐0,93 eV ‐0,95 eV<br />

30 ‐1,36 eV ‐1,33 eV<br />

50 ‐1,16 eV ‐1,16 eV<br />

75 ‐0,91 eV ‐0,87 eV<br />

TABEL II<br />

Perhitungan energi adsorbsi OH (VSAP vs ABINIT)<br />

konsentrasi Cu (%) VSAP ABINIT<br />

0 ‐3,10 eV ‐3,18 eV<br />

30 ‐2,70 eV ‐2,72 eV<br />

50 ‐2,95 eV ‐2,99 eV<br />

75 ‐3,28 eV ‐3,28 eV<br />

Gambar 4. Grafik energi adsorbsi O2 terhadap perubahan<br />

konsentrasi Cu<br />

Dengan a,b adalah paduan logam, dan c adalah<br />

unsur atau senyawa yang akan diadsorbsi.<br />

Gambar 5. Grafik energi adsorbsi OH terhadap perubahan<br />

konsentrasi Cu<br />

F100


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Dari data dan grafik diatas, didapatkan hasil yang<br />

bersesuaian antara perhitungan dengan<br />

menggunakan Vienna ab initio Simulation Program<br />

(VSAP) dan perhitungan dengan menggunakan<br />

ABINIT.<br />

Energi Adsorbsi O2 dan OH<br />

Pada data hasil energi adsorbsi O2, logam Pd<br />

dengan penambahan Cu sebesar 30 % (Pd3Cu)<br />

menghasilkan energi adsorbsi yang lebih besar<br />

dibandingkan dengan energi adsorbsi pada<br />

komposisi yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh nilai<br />

dari energi adsorbsi sebesar -1,333 eV. Energi<br />

adsorbsi ini paling stabil diantara paduan yang lain.<br />

Notasi negatif (-) disini mempunyai arti fisis bahwa<br />

katalis memerlukan energi untuk menjerap proton<br />

dan memisahkan elektron sebesar 1,333 eV atau<br />

dapat dikatakan energi yang dibutuhkan untuk<br />

mengikat proton sebesar 1,333 eV.<br />

Sedangkan pada adsorbsi OH, energi adsorbsi<br />

tertinggi terdapat pada logam Pd dengan<br />

penambahan Cu sebesar 30 % (Pd3Cu). Energi<br />

adsorbsi OH yang tinggi ini mengindikasikan bahwa<br />

adsorbsi OH tidak secara termodinamik menyokong<br />

dalam perbandingan dengan paduan Pd, Cu atau<br />

paduan Pd-Cu lainnya. Hal ini dipercaya bahwa<br />

perpaduan di sekitar 30 % mungkin secara signifikan<br />

dapat mereduksi formasi OH pada permukaan Pd<br />

sehingga dapat berperan pada reduksi O2.<br />

KESIMPULAN<br />

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian<br />

ini adalah energi adsorbsi pada suatu permukaan<br />

(surface) katalis fuel cell dapat kita artikan juga<br />

sebagai energi ikat dari permukaan suatu material<br />

terhadap suatu bahan pada katalis fuel cell. Semakin<br />

besar energi adsorbsi suatu material, maka semakin<br />

besar juga energi yang dibutuhkan oleh permukaan<br />

untuk mengikat proton dan memisahkan elektron.<br />

Pada penelitian kali ini, paduan logam yang sesuai<br />

untuk katalis fuel cell adalah paduan Pd3Cu.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

O. Savadogo. (2008), Study ofO2 andOHAdsorption<br />

Energies on Pd Cu Alloys surface with a<br />

Quantum Chemistry Approach, Canada.<br />

EG and G Servies. 2000 Fuel Cell Handbook.<br />

U.S.Department of Energy<br />

Xiao-Zi Yuan and Haijiang Wang. PEM Fuel Cell<br />

Fundamentals. IOP.<br />

D. J. Griffiths (2005) Introduction to Quantum<br />

Mechanics. Pearson Education, Inc., Upper<br />

Saddle River.<br />

W. Kohn dan L. J. Sham .(1965) Self-consistent<br />

Equation Including Exchange and Correlation<br />

E_ects. Phys. Rev.140, A1133.<br />

P. Hohenberg dan W. Kohn. (1964) Inhomogeneous<br />

Electron Gas. Phys.Rev.136,B864.<br />

G.Xavier B. (2004) ABINIT: First Principles<br />

approch to material and nanosystem<br />

properties.<br />

F101


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Penggunaan CCD Garis dan Sumber Cahaya Polikromatis Untuk<br />

Pendeteksian Perubahan Warna Pada Bahan Tumpatan Gigi Dengan<br />

Metode Pengolahan Citra<br />

Yhosep Gita Yhun Y 1 , Samian 1 , Endah Srimulyani 2<br />

1 <strong>Departemen</strong> <strong>Fisika</strong> Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga<br />

2 Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Fakultas Kedokterran Gigi Universitas Airlangga<br />

Email : yoseph@unair.ac.id<br />

ABSTRAK<br />

Pemaparan disclosing agent yang mengandung warna fluoresensi pada bahan restorasi gigi akan memberikan<br />

perubahan warna pada bahan tumpatan tersebut. Perubahan warna yang terjadi akan membatu dalam proses<br />

diagnosis dibidang kedokteran gigi. Dalam penelitian ini, dilakukan pendeteksian perubahan warna bahan<br />

restorasi gigi jenis kompomer akibat pemaparan disclosing agent menggunakan sensor CCD garis dan cahaya<br />

putih dengan cara memindai bahan restorasi gigi sebelum dan sesudah dipapari dan dibilas menggunakan<br />

aquades untuk sekali dan dua kali bilas. Penghitungan perubahan warna dalam tiga warna yaitu merah, hijau dan<br />

biru (RGB) dilakukan dengan metode pengolahan citra menggunakan program Matlab. Perubahan warna<br />

dihitung dalam format RGB (0 – 255 level) dengan cara menghitung rata-rata selisih nilai RGB tiap pixel image<br />

bahan sebelum dan sesudah pemaparan. Dari sepuluh sampel bahan yang diuji, nilai rata-rata beda R, G, dan B<br />

masing-masing sebesar 6, 16 dan 33 level untuk sekali bilas dan 4, 10 dan 29 level untuk dua kali bilas. Dipihak<br />

lain, standart error sistem pemindaian menghasilkan nilai R, G, dan B maing-masing sebesar 1 yang merupakan<br />

nilai batas terjadinya perubahan warna R, G, dan B. Karena nilai rata beda R, G, dan B lebih besar dari 1, maka<br />

dapat dikatakan terjadi perubahan warna baik untuk perlakuan sekali maupun dua kali bilas.<br />

Kata Kunci : Bahan tumpatan, disclosing agent dan pengolahan citra.<br />

PENDAHULUAN<br />

Perubahan warna pada gigi dapat diklasifikasikan<br />

dalam dua katagori, yaitu perubahan warna<br />

ekstrinsik dan intrinsik. Perubahan warna ekstrinsik<br />

umumnya disebabkan oleh makanan, minuman,<br />

noda tembakau maupun noda logam nitrat perak.<br />

Sedangkan Perubahan warna intrinsik diakibatkan<br />

oleh noda yang terdapat di dalam email dan dentin<br />

(Grossman, 1998). Perubahan warna pada gigi<br />

terjadi akibat noda alamiah maupun pewarnaan<br />

iatrogenik (Walton and Torabinejab, 1996). Noda<br />

alamiah berada permukaan gigi atau berikatan<br />

didalam struktur gigi, sedangkan pewarnaan<br />

iatrogenik disebabkan oleh bahan kimia yang<br />

sengaja dipaparkan untuk tindakan klinis di bidang<br />

kedokteran gigi.<br />

Pendeteksian perubahan warna pada gigi maupun<br />

pengukuran warna gigi telah dilakukan<br />

menggunakan spektroradiometri dengan bantuan<br />

kamera digital dengan dua penyinaran dan dua filter<br />

yang berbeda (DuYong Ng and Jan P. Allebach,<br />

2003). Spektroradiometri juga digunakan dalam<br />

pengukuran warna gigi untuk mengestimasi usia<br />

pemilik gigi (Stella Martin et al, 2003). Kedua<br />

metode menghasilkan kurva intensitas cahaya<br />

pantulan dari gigi sebagai fungsi panjang<br />

gelombang. Seperti telah diketahui bahwa<br />

interpretasi warna secara fisis dilakukan melalui<br />

panjang gelombang cahaya pantulan dari<br />

benda.(spektrum cahaya tampak). Jadi apapun<br />

metode yang digunakan dalam pengukuran warna<br />

harus berbasis pada panjang gelombang cahaya<br />

pantulan dari benda.<br />

Dalam Perkembangan selanjutnya diketahui<br />

bahwa retina manusia mempunyai tiga jenis sel yang<br />

disebut cone. Ketiga sel tersebut peka terhadap<br />

warna merah, hijau, dan biru atau disingkat RGB<br />

(Johnson, P., 1992). Kombinasi RGB tersebut<br />

akhirnya diterjemahkan oleh otak manusia sebagai<br />

warna. Format dalam RGB mempunyai nilai 0 –<br />

255. Pada layar komputer, penampilan warna<br />

dilakukan dalam format RGB. Transformasi nilai<br />

panjang gelombang cahaya tampak ke format RGB<br />

telah dilakukan untuk proses komputasi (Dan<br />

Bruton, 1996).<br />

Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran<br />

perubahan warna bahan tumpatan gigi akibat<br />

pemaparan disclosing agent dalam format RGB<br />

menggunakan sensor CCD garis dan cahaya putih<br />

yang terdapat pada pemindai dengan metode<br />

pengolahan citra memanfaatkan program Matlab.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Pembuatan Program Pengolahan Citra<br />

Program penghitungan nilai beda RGB dilakukan<br />

per pixel dari citra hasil pemindaian. Metode<br />

pengolahan citra memanfaatkan image processing<br />

toolboxes pada program Matlab 7.9.0 (R2009B).<br />

F102


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Diagam alir program pengolahan citra diperlihatkan<br />

pada Gambar 1.<br />

START<br />

Memisah citra, menjadi komponen<br />

R,G,B (baik sebelum sesudah<br />

pemaparan)<br />

Melakukan operasi pengurangan<br />

untuk masing komponen R,G,B<br />

(sesudah – sebelum)<br />

Menghitung nilai rata-rata untuk<br />

setiap nilai beda hasil pengurangan<br />

masing komponen R,G,B<br />

Menampilkan hasil untuk masing –<br />

masing komponen R,G,B dalam<br />

bentuk grafik dan chart<br />

Menyimpan hasil.<br />

END<br />

Gambar 1. Diagram alir program pengolahan citra<br />

Keterangan program :<br />

Memisahkan komponen citra menjadi komponen R,<br />

komponen G, dan komponen B, untuk masingmasing<br />

citra sebelum dan sesudah perlakuan<br />

(pemaparan disclosing agent). sekaligus<br />

memberikan penamaan untuk tiap R, G, dan B<br />

dari citra sampel sebelum dan sesudah.<br />

Melakukan operasi aritmatik untuk memperoleh<br />

beda nilai R, G, dan B setiap piksel citra pada<br />

komponen matrik yang sama. Secara matematis<br />

operasi tersebut dapat ditulis :<br />

Nilai beda = |Rsesudah - Rsebelum| (1)<br />

Persamaan (1) berlaku untuk nilai beda G dan B.<br />

Menghitung nilai rata-rata untuk setiap nilai beda<br />

masing-masing komponen R,G,B.<br />

Menampilkan hasil untuk masing –masing<br />

komponen R,G,B.dalam bentuk grafik dan chart<br />

Menyimpan hasil perhitungan dalam bentuk grafik<br />

dan dalam format excel.<br />

Program diuji dengan menghitung nilai beda R,<br />

G, dan B dari file yang sama. Bila nilai beda R, G,<br />

dan B yang diperoleh nol, maka program berfungsi<br />

dengan baik.<br />

Menentukan Standart Error Sistem Pengukuran<br />

Sistem pengukuran terdiri dari pemindaian dan<br />

pemilihan luas serta koordinat piksel dari citra<br />

sampel yang dilakukan secara manual dalam bentuk<br />

matrik. Standart error sistem pengukuran diperlukan<br />

untuk menentukan terjadinya perubahan warna<br />

(RGB) pada citra sampel sebelum dan sesudah<br />

perlakuan. Penentuan standart error sistem<br />

dilakukan dengan memindai sampel yang sama<br />

sebanyak 30 kali, kemudian dilakukan pemilihan<br />

luas dan koordinat piksel dari tiap citra sampel hasil<br />

pemindaian. Dari hasil pemilihan luas citra<br />

kemudian dipisahkan komponen R, G, dan B dan<br />

dihitung standart error untuk masing-masing nilai<br />

R, G, dan B berdasarkan persamaan berikut :<br />

( n − n )<br />

∑ σ = ..................... (2)<br />

N −1<br />

Dengan n, n dan N masing-masing menyatakan<br />

nilai hasil pengukuran, nilai rata-rata hasil<br />

pengukuran dan jumlah pengukuran.<br />

Menentukan perubahan warna sampel akibat<br />

perlakuan<br />

Sampel berupa 10 buah tumpatan gigi dari bahan<br />

komponer dipindai sebelum perlakuan untuk diambil<br />

citranya. Perlakuan diberikan dengan memaparkan<br />

disclosing agent yang mengandung fluorescent pada<br />

sampel. Setelah kering, sampel dibilas dengan<br />

aquades kemudian dipindai setelah keadaannya<br />

kering. Pembilasan dilakukan sekali lagi kemudian<br />

dipindai lagi untuk diambil citranya.<br />

Hasil pemindaian citra sampel sebelum dan<br />

sesudah perlakuan (sekali dan dua kali bilas)<br />

kemudian dipilih luasannya dan dipisahkan<br />

berdasarkan komponen R, G, dan B. Pemilihan<br />

luasan sampel sebelum dan sesudah perlakuan, luas<br />

serta koordinat dari piksel yang dipilih harus sama<br />

agar operasi pengurang nilai R, G, dan B dilakukan<br />

pada piksel yang sama. Setelah melakukan operasi<br />

penghitungan berdasarkan Persamaan (1), program<br />

kemudian menyimpan hasilnya dalam bentuk nilai<br />

beda rata-rata R, G, dan B per piksel dalam luasan<br />

citra sekaligus histogram beda nilai tiap piksel.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil uji program penghitungan nilai beda R, G,<br />

dan B dari file yang sama menghasilkan nilai beda<br />

untuk R, G, dan B masing-masing bernilai nol,<br />

artinya program penghitungan sudah bekerja dengan<br />

baik karena program mengurangkan nilai yang sama.<br />

Sedangkan hasil uji standart error sistem<br />

pengukuran diperlihatkan pada Tabel 1.<br />

F103


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 1. Hasil penghitungan nila R, G, dan B untuk 30 hasil<br />

pemindaian dan pemilihan luas sampel<br />

Pindai<br />

ke<br />

nilai rata-rata luasan<br />

(level)<br />

R G B<br />

1 213 173 73<br />

2 213 173 76<br />

3 213 173 75<br />

4 213 173 76<br />

5 213 173 76<br />

6 213 173 75<br />

7 213 172 74<br />

8 213 173 76<br />

9 213 173 78<br />

10 213 173 76<br />

11 213 173 76<br />

12 212 172 75<br />

13 212 172 74<br />

14 212 172 76<br />

15 212 172 77<br />

16 213 172 77<br />

17 212 172 74<br />

18 212 172 75<br />

19 212 172 76<br />

20 212 172 75<br />

21 212 172 74<br />

22 212 172 75<br />

23 212 172 77<br />

24 212 172 76<br />

25 213 172 77<br />

26 212 172 77<br />

27 212 172 75<br />

28 212 172 76<br />

29 212 172 75<br />

30 212 172 77<br />

sebelum<br />

Gambar 2. Citra hasil pemidaian sampel sebelum dan sesudah<br />

perlakuan.<br />

sebelum<br />

Gambar 3. Hasil pemilihan luasan citra sampel sebelum dan<br />

sesudah perlakuan<br />

R G B<br />

sebelum<br />

sesudah<br />

sesudah<br />

R G B<br />

sesudah<br />

Gambar 3. Hasil pemisahan komponen R, G, dan B luasan citra<br />

sampel sebelum dan sesudah perlakuan<br />

Contoh hasil olah program terhadap<br />

penghitungan nilai beda R, G, dan B sampel pada<br />

Gambar 3 serta histogramnya masing-masing<br />

diperlihatkan pada Gambar 4, Gambar 5, dan<br />

Gambar 6.<br />

Berdasar persamaan (2), diperoleh standart error<br />

sistem pengukuran untuk R, G, dan masing-masing<br />

sebesar 1. Artinya jika hasil pengukuran sampel<br />

untuk tiap komponen R, G, maupun B menghasilkan<br />

nilai beda lebih besar dari 1, dapat dikatakan sampel<br />

telah mengalami perubahan warna untuk tiap<br />

komponennya.<br />

Salah satu hasil pemidaian citra sampel sebelum<br />

dan sesudah perlakuan (pembilasan pertama)<br />

diperlihatkan pada Gambar 2. Luasan citra terpilih<br />

serta pemisahan komponen R, G, dan B masingmasing<br />

diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.<br />

Gambar 4. Hasil penghitungan nilai beda R serta histogramnya<br />

F104


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Tabel 2. Hasil penghitungan nilai beda R, G, dan B dengan<br />

perlakuan sekali dan dua kali bilas.<br />

Sampel<br />

nilai beda rata-rata per piksel<br />

1 x bilas (a) 2 x bilas (b)<br />

R G B R G B<br />

1 4 18 35 2 8 35<br />

2 2 11 22 2 9 32<br />

3 11 21 39 2 3 6<br />

4 9 22 50 8 18 51<br />

5 6 12 17 5 9 16<br />

6 3 18 34 4 4 9<br />

7 7 16 24 5 10 30<br />

8 10 20 58 10 20 59<br />

9 4 19 27 5 19 42<br />

10 4 3 20 6 3 13<br />

Gambar 5. Hasil penghitungan nilai beda G serta histogramnya<br />

Gambar 6. Hasil penghitungan nilai beda B serta histogramnya<br />

Hasil penghitungan nilai beda R, G, dan B untuk<br />

10 buah sampel dengan perlakuan sekali dan dua<br />

kali bilas diperlihatkan pada Tabel 2.<br />

Nilai beda rata-rata per piksel untuk 10 buah<br />

sampel dengan perlakuan satu kali bilas hasilnya<br />

adalah nilai beda R = 6 , G = 16 , dan B = 33 .<br />

Untuk perlakuan dua kali bilas menghasilkan nilai<br />

beda R = 5 , G = 10 , dan B = 29 . Berdasarkan<br />

standart error sistem pengukuran (R = 1, G = 1, dan<br />

B = 1), pemaparan disclosing agent disertai<br />

pembilasan menggunakan aquades baik sekali bilas<br />

maupun dua kali bilas menghasilkan perubahan<br />

warna karena nilai R , G , dan B lebih besar dari<br />

satu. Perubahan terbesar terjadi pada warna biru<br />

sebesar 33 level untuk pembilasan pertama dan 29<br />

level untuk pembalasan kedua. Untuk keadaan dari<br />

pembilasan pertama ke pembilasan kedua terjadi<br />

perubahan pada warna hijau (6 level) dan biru (4<br />

level). Untuk warna merah tidak mengalami<br />

perubahan warna karena nilai perubahannya tidak<br />

lebih besar dari satu.<br />

Hasil penghitungan nilai perubahan warna pada<br />

bahan tumpatan dapat dikatakan sangat akurat<br />

karena nilai perubahan warna dihitung per piksel.<br />

Sementara itu, pemindaian dilakukan dengan<br />

resolusi 150 dpi (dot per inch), maka tiap piksel<br />

yang dihitung mempunyai luas 0,26 mm 2 . Dipihak<br />

lain, luas sampel yang dihitung rata-rata sebesar 31,4<br />

mm 2 .<br />

KESIMPULAN<br />

Penggunaan CCD garis dan cahaya putih yang<br />

ada dalam alat pemindai dengan bantuan program<br />

pengolahan citra dapat mendeteksian perubahan<br />

warna pada restorasi gigi dari bahan kompomer<br />

akibat pemaparan bahan disclosing agent disertai<br />

pembilasan menggunakan aquades. Metode yang<br />

sama juga dapat digunakan untuk mendeteksi<br />

perubahan warna pada bahan restorasi gigi jenis<br />

yang lain dan akibat pemaparan bahan yang lain<br />

sepanjang sampel bahan restorasi gigi tersebut dapat<br />

dipindai dengan alat pemindai<br />

F105


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Dubois, Eric., 2009, The Structure and Properties of<br />

Color Spaces and the Representation of Color<br />

Images, Morgan & Claypool Publishers,<br />

Ottawa.<br />

DuYong Ng and Jan P. Allebach, 2003, Non Contact<br />

Imaging Colorometer for Human Tooth Color<br />

Assessment Using Digital Camera, Journal of<br />

Imaging Science and Technology, Vol. 47,<br />

No. 6, 531 – 538.<br />

Gonzales, R,C., Wood R, E., and Eddin S, L., 2003,<br />

Digital Image Processing Using MATLAB,<br />

Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.<br />

Grossman, L. I., 1998, Endodontic Practice,<br />

Eleventh Edition, Lea & Febiger,<br />

Pensylvania.<br />

http://www.physics.sfasu.edu/astro/color.html.<br />

Tanggal akses 1 Juni 2010 (Dan Burton,<br />

1996)<br />

Johnson, P., 1992, Human – Computer Interaction.<br />

Psychoogy, Task Analysis and Software<br />

Engineering, Mc Graw Hill, London.<br />

Stella Martin, Aurora Valenzuala, Renzo Bellini,<br />

Carlos Salas, Manuel Rubino, Jose Antonio<br />

Garcia, 2003, Objective Measurement of<br />

Dental Color for Age Estimation by<br />

Spectroradimetry, Forensic Science<br />

International, 132, 57 – 62.<br />

Walton, R. and Torabinejab, M., 1996, Principle and<br />

Practice of Endodontic, Second Edition, W.<br />

B. Saunder Co, Philadelphia.<br />

F106


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sistem Pengenalan Wicara Otomatis Menggunakan<br />

Discrete Wavelet Neural Network (DWNN)<br />

Yunus Wicaksono S 1 , Djoko Purwanto 2 , Agus Sigit Pramono 3<br />

1,2 Program Studi Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />

3 Program Studi Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya<br />

Email : yunus_ws@yahoo.com<br />

Abstrak<br />

Pengenalan wicara merupakan teknologi terapan dari pemrosesan sinyal digital yang telah banyak digunakan dan<br />

diterapkan pada berbagai bidang. Teknik ini memungkinkan seseorang dapat mengaktifkan suatu peralatan<br />

elektronik hanya dengan memberikan sebuah perintah suara. Metode Discrete Wavelet Neural Network<br />

(DWNN) diterapkan pada sistem pengenalan wicara otomatis yang merupakan kombinasi dari Discrete Wavelet<br />

dan Multi-Layer Perceptron. Discrete Wavelet digunakan untuk ektraksi ciri (feature extraction) dalam domain<br />

frekwensi-waktu, yang terdiri atas Discrete Wavelet Transform (DWT) dan wavelet entropy. Sedangkan Multi-<br />

Layer Perceptron digunakan untuk klasifikasi dengan feed-forward neural network. Performa dari sistem<br />

dievaluasi dengan menggunakan perintah suara pada lingkungan ber-noise. Hasil test menunjukkan efektivitas<br />

dari sistim pengenalan wicara otomatis menggunakan DWNN. Keberhasilan tingkat pengenalan hingga<br />

mencapai 90% untuk beberapa sample perintah suara.<br />

Kata kunci : Discrete Wavelet Neural Network, feature extraction, Multi-Layer Perceptron, pengenalan<br />

wicara otomatis, wavelet entropy<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Sistem pengenalan wicara umumnya<br />

menggolongkan/mengklasifikasi sinyal wicara<br />

berdasarkan pada ciri dari sinyal wicara, yang<br />

umumnya diperoleh menggunakan Fast Fourier<br />

Transforms ( FFT), Short Time Fourier Transforms<br />

(STFT), atau teknik Linear Predictive Coding<br />

(LPC). Pada metode ini terdapat beberapa<br />

kekurangan. Metoda ini menerima sinyal stasioner<br />

dalam batasan waktu yang telah ditentukan,<br />

sehingga kurang mampu meneliti peristiwa yang<br />

dilokalisir dengan tepat. Lebih dari itu, metoda LPC<br />

hanya menerima model linier tertentu dari sinyal<br />

wicara. Untuk mengatasi hal ini digunakan<br />

transformasi wavelet. Transformasi wavelet adalah<br />

sebuah teknik penjendelaan variabel (variable<br />

windowing technique) yang mengijinkan interval<br />

waktu yang lebih teliti pada komponen frekuensi<br />

rendah dan interval waktu yang lebih lebar pada<br />

komponen frekuensi yang lebih tinggi. Sehingga<br />

transformasi wavelet mampu meneliti peristiwa yang<br />

dilokalisir dengan tepat.<br />

Artificial Neural Networks (ANN) terdiri atas<br />

unsur-unsur yang tidak linier, beroperasi secara<br />

paralel pada pola yang serupa dengan jaringan<br />

neural makhluk hidup. Keuntungan utama<br />

penggunaan ANN pada pengenalan wicara ini<br />

adalah untuk memecahkan permasalahan tentang<br />

kesalahan toleransi yang tidak linier. Pada penelitian<br />

ini metode Discrete Wavelet Neural Network<br />

(DWNN) diterapkan pada sistem pengenalan wicara<br />

otomatis yang merupakan kombinasi dari Discrete<br />

Wavelet dan Multi-Layer Perceptron. Discrete<br />

Wavelet digunakan untuk ektraksi ciri (feature<br />

extraction) dalam domain frekwensi-waktu, yang<br />

terdiri atas Discrete Wavelet Transform (DWT) dan<br />

wavelet entropy. Sedangkan Multi-Layer Perceptron<br />

digunakan untuk klasifikasi dengan menggunakan<br />

teknik pelatihan Backpropagation.<br />

2. PRINSIP KERJA SISTEM PENGENALAN<br />

WICARA<br />

Pengenalan wicara ini dilakukan secara otomatis<br />

untuk mengklasifikasi suara ucapan “alfa”, “beta”,<br />

dan “gama”. Sistem pengenalan wicara ini<br />

menggunakan metode Discrete Wavelet Neural<br />

Network (DWNN). Secara umum, prinsip kerja<br />

sistem pengenalan wicara ini terdiri atas 2 fase, yaitu<br />

fase training dan fase testing. Pada fase training<br />

melibatkan proses perekaman data suara. Data suara<br />

direkam secara langsung dari mikrofon untuk<br />

dijadikan data referensi. Kemudian, data referensi<br />

tersebut (alfa, beta, dan gama) dilatihkan<br />

menggunakan metode Discrete Wavelet Neural<br />

Network, sehingga didapatkan nilai bobot (weight)<br />

yang optimal. Setelah mendapatkan nilai bobot yang<br />

optimal, dilakukan proses testing. Pada fase testing,<br />

data suara yang diterima oleh mikrofon akan<br />

diklasifikasikan berdasarkan data referensi yang<br />

dimasukkan (alfa, beta, dan gama). Gambar 2.1 dan<br />

Gambar 2.2 menunjukkan diagram blok fase<br />

training dan fase testing pengenalan wicara<br />

otomatis.<br />

F107


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Sample training<br />

(alfa, beta, gama)<br />

PRE<br />

PROCESSING<br />

Gambar 2.1 Diagram Blok Fase Training Pengenalan Wicara<br />

Sample testing<br />

PRE<br />

PROCESSING<br />

FEATURE<br />

EXTRACTION<br />

FEATURE<br />

EXTRACTION<br />

Alfa, Beta, Gama<br />

Backpropagation<br />

(Forward-backward)<br />

Selection speech<br />

recognition<br />

Backpropagation<br />

(Forward)<br />

Gambar 2.2 Diagram Blok Fase Testing Pengenalan Wicara<br />

3. ALGORITMA SISTEM PENGENALAN<br />

WICARA OTOMATIS<br />

Pengenalan wicara adalah suatu penggolongan<br />

pola, dimana suatu pola masukan digolongkan<br />

berdasarkan urutan pola yang disimpan yang sudah<br />

dilatihkan sebelumnya. Umumnya proses ini dibagi<br />

menjadi dua langkah, yaitu:<br />

1. Feature Extraction.<br />

2. pattern classification.<br />

Feature extraction merupakan proses<br />

mengekstraksi data hasil akuisisi sinyal wicara<br />

sehingga dihasilkan data yang berdimensi lebih<br />

kecil, yang digunakan untuk merepresentasikan<br />

masing-masing wicara yang diucapkan. Pattern<br />

classification menyangkut prosedur aktual untuk<br />

mengklasifikasi wicara yang diucapkan dengan<br />

membandingkan fitur ekstraksi suara yang belum<br />

dikenali dengan himpunan wicara yang telah<br />

dikenal. Proses pattern classification sinyal wicara<br />

menyajikan dua sesi yang berbeda, yang pertama<br />

adalah sesi pendaftaran (enrollment sessions) atau<br />

fase training, sedangkan yang kedua adalah sesi<br />

operasi atau fase testing. Di dalam fase training,<br />

dimasukkan sample sinyal wicara sehingga sistem<br />

dapat mulai dilatih berdasarkan reference model<br />

sinyal wicara tersebut.<br />

Pada penelitian ini algoritma pengenalan wicara<br />

diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1, terdiri atas 2<br />

bagian besar yaitu: (a) akuisisi data dan pre<br />

processing, (b) ekstraksi ciri (feature extraction) dan<br />

classification. Proses pertama adalah Akuisisi data,<br />

yaitu mengakuisisi ucapan pembicara (dalam sinyal<br />

analog) dan mengubahnya menjadi sinyal digital.<br />

Kemudian sinyal tersebut dilewatkan pada proses<br />

pre-processing yang meliputi: front-end point<br />

detection, normalisasi dan denoising. Front-end<br />

point detection digunakan untuk memisahkan antara<br />

sinyal wicara (voice) dengan bukan sinyal wicara<br />

(unvoice). Sedangkan de-noising digunakan untuk<br />

menghasilkan sinyal wicara yang lebih bersih.<br />

Ekstraksi ciri (feature extraction), yaitu mengekstrak<br />

data hasil akuisisi sehingga dihasilkan data yang<br />

berdimensi lebih kecil tanpa merubah karakteristik<br />

sinyal wicara tersebut. Proses terakhir adalah<br />

Classification, yaitu tahapan pembelajaran untuk<br />

membentuk suatu model referensi sehingga dapat<br />

dilakukan proses pengenalan wicara. Model<br />

referensi yang terbentuk akan digunakan dalam<br />

pencocokan pola.<br />

Sample wicara<br />

PRE -<br />

PROCESSING<br />

Alfa<br />

Beta<br />

Gama<br />

• Front-end<br />

detection<br />

• Normalisa<br />

si<br />

CLASSIFICA-<br />

TION<br />

Neural<br />

Network<br />

Memenuhi<br />

kriteria<br />

Gambar 3.1 Algoritma Sistem Pengenalan Wicara.<br />

4. PEREKAMAN SINYAL WICARA<br />

Perekaman sinyal wicara dilakukan untuk<br />

mendapatkan sample data training. Sample tersebut<br />

direkam dengan frekuensi sampling sebesar 10kHz<br />

dan diubah dalam bentuk format file ”.DAT”.<br />

Perekaman satu sample sinyal wicara membutuhkan<br />

waktu selama 1,5 detik, sehingga dengan frekuensi<br />

sampling sebesar 10kHz didapatkan 15000 data.<br />

Pada penelitian ini dilakukan perekaman terhadap 45<br />

sample sinyal wicara (15 sample sinyal wicara<br />

“alfa”, 15 sample sinyal wicara “beta”, 15 sample<br />

sinyal wicara “gama”), dimana 15 sample dari<br />

masing-masing sinyal wicara tersebut<br />

(“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan untuk sample<br />

training. Gambar 4.1 menunjukkan hasil perekaman<br />

sample sinyal alfa, beta, dan gama.<br />

(a)<br />

(b)<br />

FEATURE<br />

EXTRACTION<br />

Tidak memenuhi<br />

kriteria<br />

Discrete<br />

Wavelete<br />

Transform<br />

(DWT)<br />

Seleksi<br />

pengenalan wicara<br />

1. Durasi waktu<br />

2. Energi tiap level<br />

3. Energi Total<br />

Selain Alfa, Beta, Gama<br />

F108


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

(c)<br />

Gambar 4.1 Hasil Perekaman Sample Sinyal (a) Alfa, (b) Beta,<br />

dan (c) Gama.<br />

5. PRE PROCESSING SINYAL WICARA<br />

Setelah dilakukan proses perekaman sinyal<br />

wicara, selanjutnya dilakukan proses pre processing.<br />

Pada proses ini meliputi:<br />

1. front end point detection<br />

2. normalisasi<br />

3. dan denoising<br />

Front end point detection digunakan untuk<br />

memisahkan antara sinyal wicara (voice) dengan<br />

bukan sinyal wicara (unvoice). Normalisasi<br />

dilakukan untuk mengatasi besar kecilnya sinyal<br />

wicara yang diucapkan. Sedangkan denoising<br />

digunakan untuk menghasilkan sinyal wicara yang<br />

lebih bersih dari noise.<br />

5.1 Front End Point Detection<br />

Front–end point detection digunakan untuk<br />

memisahkan antara sinyal wicara (voice) dan bukan<br />

sinyal wicara (unvoice) dengan menentukan posisi<br />

awal dan akhir dari sinyal wicara. Proses ini<br />

menggunakan transformasi wavelet dengan tiga<br />

tingkat dekomposisi, pada frekuensi sampling<br />

10kHz. Analisa filter bank dari dekomposisi wavelet<br />

diberikan pada persamaan (5.1) dan (5.2). Di mana<br />

Wj(n) adalah koefisien perkiraan dan Sj(n) adalah<br />

koefisien detil dari wavelet, j menunjukkan level<br />

dari dekomposisi dan m menunjukkan jumlah level<br />

dari dekomposisi. Koefisien perkiraan pada<br />

dekomposisi tingkat ketiga (0-625Hz) dipilih<br />

berdasarkan kebanyakan frekuensi dari suara<br />

manusia berada dibawah 1kHz.<br />

dimodifikasi diperoleh dari persamaan (5.3). Dimana<br />

i menunjukkan nomor frame dan j merupakan<br />

sample dalam setiap frame, dalam hal ini digunakan<br />

220 samples/frame. Wi(j) menunjukkan energi<br />

wavelet dari j sample dalam i frame. K adalah<br />

konstanta positif yang ditambahkan dengan energi<br />

wavelet untuk tujuan memberi nilai penting pada<br />

fungsi probability density. Nilai K dipilih didasarkan<br />

pada SNR dari suara dan noise, untuk penelitian ini<br />

digunakan nilai K = 0.5.<br />

Negative wavelet entropy diperoleh dari<br />

persamaan (5.4). Koefisien perkiraan ditingkat<br />

ketiga dari dekomposisi wavelet dipilih untuk<br />

menghitung negative wavelet entropy, sebab dapat<br />

menyediakan lebih banyak immunisasi melawan<br />

terhadap noise. Hal ini mempertimbangkan fakta<br />

bahwa energi noise berada pada frekuensi tinggi.<br />

wavelet entropy dengan jelas menetapkan suara<br />

gaduh (noise) ke transisi suara (wicara) sebagai start<br />

point suara (wicara) dan transisi dari suara (wicara)<br />

ke suara gaduh (noise) sebagai bagian akhir (end<br />

point ) dari suara(wicara). Untuk lebih jelasnya<br />

dapat dilihat pada Gambar 5.1 Untuk menentukan<br />

titik-awal dan titik-akhir dari kurva ini adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. Menghitung nilai threshold: nilai<br />

threshold didapatkan dari Rata-Rata<br />

nilai-nilai wavelet entropy.<br />

Membandingkan nilai-nilai wavelet entropy<br />

dengan threshold: untuk menentukan start point,<br />

Jika nilai entropy dari dua frame pertama adalah<br />

kurang dari nilai threshold dan nilai entropy dari<br />

frame yang ketiga adalah lebih besar dari threshold,<br />

maka frame yang pertama dipilih sebagai start point.<br />

untuk menentukan end point, jika nilai entropy<br />

pertama dari suatu frame adalah lebih besar dari<br />

nilai threshold, kemudian secara berurutan nilai<br />

entropy dari frame kedua lebih besar dari nilai<br />

threshold maka, frame kedua dipilih sebagai end<br />

point.<br />

∑ ∞ j<br />

( n)<br />

= S<br />

j−1<br />

k = −∞<br />

w ( k)<br />

h(2n<br />

− k)<br />

(5.1)<br />

∑ ∞ j<br />

( n)<br />

= S<br />

j−1<br />

k = −∞<br />

s ( k)<br />

g(2n<br />

− k)<br />

( w ( j)<br />

+ K)<br />

P ( ) = i<br />

i<br />

j<br />

N<br />

∑ ( w<br />

i<br />

( j)<br />

+ K )<br />

j = 1<br />

(5.2)<br />

(5.3)<br />

(a)<br />

ddsdf<br />

N<br />

WE ( i)<br />

= P ( j)<br />

× log( P ( j))<br />

(5.4)<br />

∑<br />

i<br />

j=<br />

1<br />

i<br />

Koefisien perkiraan Wj(n) pada dekomposisi<br />

tingkat ketiga digunakan untuk menentukan energi<br />

wavelet. Fungsi probability density yang<br />

(b)<br />

F109


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Gambar 5.1 (a) Sinyal Wicara dan Tanda Start Point dan End<br />

Point untuk Suara “Gama”, (b) Wavelet Entropy untuk Suara<br />

“Gama”.<br />

5.2 Denoising Sinyal Wicara<br />

Step kedua dari proses pre processing adalah<br />

denoising. Denoising digunakan untuk mereduksi<br />

noise pada sinyal wicara. Proses denoising<br />

menggunakan trasformasi wavelet diskrit. Prosedur<br />

denoising terdiri dari 3 tahap:<br />

1. Melakukan dekomposisi wavelet pada sinyal<br />

wicara hingga level 7 menggunakan db10.<br />

Dekomposisi ini menghasilkan 7 detail<br />

coefficient (cD1, cD2, cD3, cD4, cD5, cD6,<br />

cD7), seperti yang terlihat pada Gambar 3.10.<br />

Rumus matematis untuk dekomposisi dapat<br />

dilihat pada persamaan (5.1) dan persamaan<br />

(5.2)<br />

2. Memberikan soft threshold pada setiap detail<br />

coefficient dari level1 hingga level 7, sesuai<br />

dengan persamaan (5.5), (5.6), dan (5.7). λ<br />

adalah besar threshold, sedangkan σ adalah<br />

perkiraan standard deviation noise. MAD<br />

merupakan Median Absolute Difference, N<br />

adalah jumlah sample detail coefficient, dan x<br />

merupakan detail coefficient sinyal wicara.<br />

3. Melakukan rekontruksi pada pada setiap<br />

detail coefficient dari level1 hingga level 7<br />

setelah melalui proses soft threshold,<br />

mengikuti persamaan (5.8). Hasil dari proses<br />

rekontruksi sinyal wicara, sekaligus<br />

merupakan proses terakhir dari denoising.<br />

⎪⎧<br />

sign(<br />

x)(<br />

x−λ)<br />

if x > λ (5.5)<br />

THR soft<br />

= ⎨<br />

⎪⎩ 0<br />

if x > λ<br />

λ = σˆ 2log( N)<br />

(5.6).<br />

ˆ σ = MAD 0.6745<br />

(5.7)<br />

∑{ yhigh[ k] . g[ 2k<br />

− n] + ylow[ k] . h[ 2k<br />

− ]}<br />

x[ n]<br />

= n (5.8)<br />

5.3 Normalisasi<br />

Seringkali saat memasukkan suara pada<br />

mikrofon, jarak antara mikrofon dan pembicara<br />

berubah-ubah (bervariasi), sehingga mengakibatkan<br />

perbedaan amplitudo sinyal wicara, meskipun<br />

ucapan yang dimasukkan sama. Hal ini dikarenakan<br />

semakin jauh jarak antara pembicara dan mikrofon,<br />

maka amplitudo sinyal wicara yang ditangkap<br />

semakin kecil. Untuk mengatasi hal ini dilakukan<br />

normalisasi sinyal wicara yang diucapkan. Pada<br />

penelitian ini proses normalisasi dilakukan dengan<br />

membagi setiap sample sinyal wicara x(n) dengan<br />

nilai tertinggi dari sinyal wicara tersebut mx, seperti<br />

pada persamaan (5.9).<br />

x(<br />

n)<br />

xˆ ( n)<br />

= (5.9)<br />

mx<br />

6. FEATURE EXTRACTION DENGAN DWT<br />

Pada penelitian ini digunakan feature extraction<br />

menggunakan DWT dengan struktur dekomposisi<br />

hingga level 7, sehingga diperoleh delapan<br />

koefisien, satu approximation coefficient(cA) dan<br />

tujuh detail coefficient (cD), seperti yang<br />

ditunjukkan pada Gambar 6.1. DWT diaplikasikan<br />

pada sinyal wicara menggunakan Daubechies10<br />

(db10), Rumus matematis untuk dekomposisi dapat<br />

dilihat pada persamaan (6.1) dan persamaan (6.2).<br />

Dengan y low<br />

[k]<br />

adalah approximation coefficient<br />

dari transformasi wavelet pada dekomposisi level k,<br />

y high<br />

[ k]<br />

adalah detail coefficient dari transformasi<br />

wavelet pada dekomposisi level k. x[n] adalah sinyal<br />

input, h[n] adalah koefisien lowpass filter dari<br />

wavelet yang digunakan dan g[n] adalah koefisien<br />

dari highpass filter dari wavelet yang digunakan.<br />

y k = ∑ x n . g 2k<br />

− n<br />

(6.1)<br />

y<br />

g<br />

high<br />

low<br />

[ ] [ ] [ ]<br />

n<br />

[ n] . h[ k − n]<br />

[ k]<br />

= ∑ x 2<br />

(6.2)<br />

n<br />

[ L 1−<br />

n] = ( −1) n . h[ n]<br />

− (6.3)<br />

Untuk mendapatkan koefisien lowpass filter h[n],<br />

digunakan bantuan dari matlab, Gambar 3.11<br />

merupakan listing program untuk mendapatkan<br />

koefisien lowpass filter h[n], dimana secara<br />

berurutan nilai pada kolom 1 sampai dengan kolom<br />

20 menunjukkan nilai dari h[0] sampai dengan<br />

h[19]. koefisien h[n] yang didapatkan digunakan<br />

untuk mendapatkan koefisien filter highpass dengan<br />

menggunakan persamaan (6.3).<br />

Gambar 6.1 Struktur Dekomposisi pada Level 7.<br />

Setelah didapatkan koefisien-koefien wavelet dari<br />

proses dekomposisi level 7 (cD 1 , cD 2 , cD 3 , cD 4 , cD 5 ,<br />

cD 6 , cD 7 , cA 7 ), selanjutnya dilakukan proses wavelet<br />

entropy. Wavelet entropy menguraikan penyajian<br />

informasi yang akurat dari sinyal wicara. Persamaan<br />

wavelet entropy diberikan pada persamaan (3.13),<br />

dimana E adalah wavelet entropy , dan s adalah<br />

koefisien-koefisien wavelet hasil dekomposisi.<br />

Sedangkan (S i ) adalah data sinyal wicara dari setiap<br />

koefisien-koefisien wavelet dengan sample number<br />

i. Kemudian P adalah power, harus diisi dengan nilai<br />

1≤ P


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

dinormalisir dengan N=50. Dari hasil perhitungan<br />

pada persamaan (3.13) didapatkan 8 wavelet entropy<br />

(E (cD1) , E (cD2) , E (cD3) , E (cD4) , E (cD5) , E (cD6) , E (cD7) ,<br />

E (cA7) ). Kemudian 8 wavelet entropy ini digunakan<br />

sebagai inputan pada neural network.<br />

E(<br />

s)<br />

=<br />

∑<br />

S<br />

i i<br />

N<br />

P<br />

7. CLASSIFICATION DENGAN NEURAL<br />

NETWORK<br />

(6.4)<br />

Pada proses klasifikasi, koefisien-koefisien<br />

wavelet entropy sinyal wicara digunakan sebagai<br />

inputan pada Multi Layer Perceptron (MLP) Neural<br />

Network. Arsitektur dari MLP ditunjukkan seperti<br />

pada Table 7.1. Sedangkan Gambar 7.1<br />

menunjukkan struktur training dari<br />

Backpropagation. Jumlah node pada input layer<br />

berasal dari jumlah wavelet entropy (E (cD1) , E (cD2) ,<br />

E (cD3) , E (cD4) , E (cD5) , E (cD6) , E (cD7) , E (cA7) ) sebanyak 8<br />

node yang didapatkan dari persamaan (6.4).<br />

Sedangkan Jumlah lapisan tersembunyi (hidden<br />

layer) didapatkan melalui trial and error sehingga<br />

dihasilkan nilai error total yang kecil pada output.<br />

(20 sample sinyal wicara “alfa”, 20 sample sinyal<br />

wicara “beta”, dan 20 sample sinyal wicara “gama”).<br />

10 sample dari masing-masing sinyal wicara<br />

(“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan sebagai sample<br />

training, dan 10 sample lainya dari masing-masing<br />

sinyal wicara (“alfa”,”beta”,”gama”) digunakan<br />

sebagai sample testing.<br />

Pengujian dilakukan menggunakan wavelet<br />

Daubechies10 (db10) pada dekomposisi level 7,<br />

proses training dilakukan dengan merubah variable<br />

jumlah hidden layer, dan banyaknya iterasi.<br />

Pengujian ini dibandingkan terhadap tingkat<br />

persentase keberhasilan pengenalan wicara, seperti<br />

yang ditunjukkan pada Tabel 8.1, 8.2, dan 8.3.<br />

Weight<br />

matrix<br />

(W (1) )<br />

Weight<br />

matrix<br />

(W (2) )<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

8<br />

Input<br />

layer<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

30<br />

Hidden<br />

layer<br />

1 Alfa<br />

2 Beta<br />

3 Gama<br />

Output layer<br />

Gambar 7.1 Struktur Backpropagation<br />

Tabel 7.1 Arsitektur Multi Layer Perceptron (MLP).<br />

8. PENGUJIAN PENGENALAN WICARA<br />

OTOMATIS<br />

Pengujian pertama dilakukan terhadap 60 sample<br />

sinyal wicara hasil perekaman dari mikrofon dalam<br />

bentuk file .DAT tanpa melalui proses normalisasi<br />

F111


Prosiding Seminar Nasional <strong>Fisika</strong> II (2010)<br />

Surabaya, 17 Juli 2010<br />

ISBN : 978-979-17494-1-1<br />

Pengujian kedua dilakukan secara on line, dimana<br />

user/pengguna melakukan pengenalan wicara secara<br />

langsung dari microphone. Sample training berasal<br />

dari file.DAT hasil perekaman, sedangkan sample<br />

testing berasal dari mikrofon. Pada pengujian ini<br />

digunakan 45 sample training (15 sample training<br />

“alfa”, 15 sample training”beta”, 15 sample<br />

training”gama”) dan 93 sample uji yang sudah<br />

mengalami normalisasi. Pada pengujian kedua ini<br />

wavelet yang digunakan adalah Daubechies10<br />

(db10) pada dekomposisi level 7. Gambar 3.26<br />

menunjukkan hasil pelatihan Backpropagation<br />

dengan jumlah node hidden layer sebanyak 25 dan<br />

iterasi sebanyak 10000, dan dihasilkan error total<br />

sebesar 0.000522.<br />

9. KESISMPULAN<br />

Dari pengujian pertama didapatkan kesimpulan:<br />

Peningkatan jumlah node hidden dari 12 ke 35,<br />

dengan jumlah iterasi yang sama, menghasilkan<br />

error total yang semakin kecil.<br />

Peningkatan jumlah iterasi dari 5000 ke 40000,<br />

dengan jumlah hidden yang sama, menghasilkan<br />

error total yang semakin kecil pula.<br />

Error total yang semakin kecil, tidak<br />

menghasilkan perubahan persentase pengenalan<br />

wicara yang signifikan.<br />

Persentase pengenalan wicara tertinggi dari hasil<br />

pengujian pertama yaitu, pada jumlah hidden 25<br />

dan jumlah iterasi sebesar 40000, dengan error<br />

total 0.001933 dan nilai persentase rata-rata<br />

sebesar 76%<br />

Dari hasil pengujian kedua ini didapatkan<br />

kesimpulan:<br />

Setelah sinyal wicara dinormalisasi, didapatkan<br />

jumlah error total yang lebih kecil dibandingkan<br />

dengan sinyal wicara yang belum dinormalisasi<br />

seperti pada pengujian pertama.<br />

Semakin banyak sample training yang<br />

dilatihkan, semakin tinggi persentase<br />

keberhasilan dalam pengenalan wicara.<br />

Persentase keberhasilan pengenalan wicara<br />

setelah dinormalisasi lebih tinggi dibandingkan<br />

dengan sebelum dinormalisasi.<br />

10. DAFTAR PUSTAKA<br />

Antanas L, Joana L.E, Laimutis T. (2002).<br />

“Development of Isolated Word Speech<br />

Recognition System”, Institute of<br />

Mathematics and Informatics, Vilnius, Vol.<br />

13, No. 1, 37–46 37.<br />

Bartek P, Mark K. (2003). “Digitizing Speech<br />

Recordings for Archival Purposes”.<br />

Proceedings of The IEEE, Vol. 32, No 4, pp.<br />

167 - 176.<br />

Nalini V, Anushruthi R, Arjun Jain. (2004). “A<br />

Connectionist Framework For Feature Based<br />

Speech Recognition System Using Artificial<br />

Neural Networks”<br />

Rabiner, Juang. (1993). “An Introduction to Speech<br />

Recognition”, Prentice Hall, USA..<br />

F112

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!