03.11.2014 Views

blakasuta 07.pdf - Fahmina Institute

blakasuta 07.pdf - Fahmina Institute

blakasuta 07.pdf - Fahmina Institute

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Faqihuddin Abdul Kadir<br />

Assalamu'alaikum, Wr. Wb.<br />

Benar seperti yang dikatakan Nabi Muhammad Saw:<br />

“Bahwa kefakiran itu akan mendekatkan kepada<br />

kekafiran”. Seringkali, orang bertindak nekat demi<br />

memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonominya. Mulai dari<br />

kerja-kerja yang beresiko tinggi, sampai melakukan<br />

kejahatan pencurian dan menjual diri, dilakukan untuk<br />

memenuhi kebutuhan makan. Apalagi jika dibarengi<br />

dengan lunturnya nilai-nilai moral kesabaran dan<br />

ketabahan.<br />

Beberapa bulan yang lalu, di Kota Cirebon ini<br />

pernah mencuat kasus penjualan bayi yang dilakukan<br />

orang tuanya sendiri yang sehari-hari menjadi tukang<br />

becak. Penjualan ini telah dilakukannya selama empat<br />

kali, terhadap keempat bayinya secara berturut-turut<br />

setiap habis dilahirkan sang isteri. Ketika mau menjual<br />

yang kelima kalinya, kasus itu terungkap dan dilaporkan ke<br />

polisi. Alasannya memang klise, terpepet kebutuhan<br />

ekonomi. Kasus ini terjadi ketika negara tidak lagi mampu<br />

memberikan lapangan pekerjaan, ketika negara sama<br />

sekali tidak bisa menjamin kebutuhan dasar dan ketika<br />

para pejabat kita menghambur-hamburkan uang untuk<br />

acara dan kegiatan yang sama sekali tidak bersentuhan<br />

dengan kebutuhan rakyat. Jika demikian, sebenarnya<br />

siapa yang bersalah?<br />

Kasus penjualan bayi adalah salah satu kasus<br />

dari perdaganagn perempuan dan anak, atau apa yang<br />

dikenal dengan istilah trafficking. Kasus-kasus ini banyak<br />

dan sering terjadi di hadapan kita. Masih banyak lagi, ada<br />

penjualan anak kecil untuk kerja mengemis, untuk kerja<br />

paksa di lepas pantai, penyekapan perempuan untuk<br />

kerja-kerja rumah tangga, pemaksaan perempuan untuk<br />

kerja seksual dan masih banyak lagi yang lain. Kejahatan<br />

ini hampir mirip dengan kasus korupsi, banyak terjadi dan<br />

banyak korban yang jatuh, tetapi hampir tidak ada pelaku<br />

yang bisa ditangkap dan diseret ke pengadilan.<br />

Perdagangan perempuan dan anak adalah<br />

kejahatan yang sangat biadab. Kejahatan ini dilakukan<br />

sindikat perdagangan yang sangat rapih dan berjejaring<br />

satu dengan yang lain. Secara sosial, kejahatan ini<br />

memperoleh pijakan karena muncul pada kondisi<br />

masyarakat yang lagi pesimis, tidak terdidik untuk<br />

bertanggung jawab, tingkat pendidikan rendah,<br />

kemiskinan mewabah dan pengangguran melanda<br />

seluruh pelosok negeri. Komersialisme juga sedang<br />

menjadi trend baru seluruh lapisan masyarakat. Di mana<br />

keberhasilan dan gengsi seseorang diukur sejauh mana ia<br />

memiliki barang-barang komoditas, bukan dari kiprahkiprah<br />

sosial yang dilakukan.<br />

Secara politik, kejahatan ini muncul pada kondisi<br />

perpolitikan pemerintah yang sangat lemah dalam banyak<br />

hal, terutama penegakan hukum. Ketika terjadi kasuskasus<br />

perdagangan perempuan dan anak, pemerintah<br />

biasanaya hanya bisa menyalahkan 'rakyat' yang justru<br />

menjadi korban, karena dianggap menyalahi aturanaturan<br />

administratif yang ditetapkan pemerintah. Kerja<br />

tanpa izin orang tua, suami atau yang lain, tanpa memberi<br />

tahu ke disnaker, membuat KTP dan paspro palsu,<br />

menaikkan umur, dan kesalahan-kesalahan yang lebih<br />

banyak ditimpakan kepada 'korban'. Padahal mereka,<br />

orang-orang yang lugu, tidak mungkin melakukan<br />

kesalahan-kesalah itu jika tidak diajari sindikat-sindikat<br />

yang telah memperoleh dukungan aparat pemerintah.<br />

Dalam banyak kasus, justru rakyat sering diiming-imingi<br />

untuk melanggar semuat peraturan, karena ada dukungan<br />

dari aparat pemerintah.<br />

Mungkin tidak mudah mencari biang penyebab yang<br />

sesungguhnya. Sekarang ini, telah jatuh banyak korban,<br />

perempuan dan anak diperdagangkan; ditipu, disekap,<br />

dipekerjakan tanpa gaji yang memadai, dipaksa menjadi<br />

pelacur, dan modus-modus yang lain. Saatnya, kita semua<br />

bekerjasama; pemerintah dan rakyat membendung<br />

terjadinya peningkatan kejahatan perdagangan<br />

perempuan dan anak.<br />

Blakasuta edisi ini mengangkat isu seputar<br />

kejahtan traffiking. Semoga bisa menjadi bahan refleksi<br />

untuk menumbuhkan kerja sama yang nyata.<br />

Selamat membaca.<br />

Wallahu al-Musta'an, Wassalam.<br />

02


Kajian Utama:<br />

FENOMENA TRAFFICKING<br />

Trafficking atau perdagangan manusia,<br />

terutama perempuan dan anak<br />

merupakan jenis perbudakan pada masa<br />

modern telah menjadi isu besar yang<br />

menjadi perhatian regional dan global.<br />

Diperkirakan setiap tahun ada dua juta<br />

manusia diperdagangkan di dunia ini<br />

dan sebagaian besarnya adalah<br />

perempuan dan anak ................. 06<br />

Susunan Redaksi<br />

Penanggung Jawab : KH Husein Muhammad,<br />

Pemimpin Redaksi : Faqihuddin Abdul Kodir,<br />

Sekretaris Redaksi: Marzuki Rais, Tim Redaksi:<br />

AamAzmy Al'ab, Asep Saefuddin Jazuli, Ipah<br />

Jahrotunnasipah, Obeng Nurrosyid, Nuruzzaman,<br />

Rosidin, Redaktur Tamu: Ade Duryawan, Desain<br />

Grafis: Anand Administrasi & Keuangan: Ini<br />

Suartini Penerbit: <strong>Fahmina</strong>-institute bekerja sama<br />

dengan Partnership for Governance Reform<br />

Alamat Redaksi: Jl. Suratno No. 37 Cirebon<br />

Telp./Fax: (0231) 203789.<br />

Redaksi menerima sumbangan tulisan yang berkaitan<br />

dengan upaya penguatan masyarakat sipil dan<br />

perbaikan manajemen keuangan daerah. Redaksi<br />

berhak mengedit tulisan tersebut dengan tidak<br />

mengubah substansi. Setiap tulisan yang dimuat akan<br />

mendapat imbalan. Akurasi data dalam Rubrik Opini<br />

sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang<br />

bersangkutan.<br />

Dari Redaksi<br />

Tanggung Jawab Bersama atas<br />

Maraknya Perdagangan<br />

Perempuan dan Anak<br />

Oleh : Faqihuddin AK. ................ 03<br />

Kolom<br />

Perdagangan Perempuan dan<br />

Anak; Sebuah Praktek Neo-slavery<br />

dan Pelanggaran Ham<br />

Oleh:: Aam Azmy Al'ab............... 04<br />

Kajian Utama<br />

Fenomena Trafficking;<br />

Catatan dari Beberapa Kasus di<br />

Cirebon dan Indramayu ......... 06<br />

Kebijakan Pemerintah Daerah<br />

terhadap Kasus Trafficking .... 14<br />

Cerita Duka Rusmini; TKW asal<br />

Indramayu yang Buta Seumur<br />

Hidup ......................................... 14<br />

Persepsi Keagamaan yang<br />

Kondusif terhdap Kejahatan<br />

Trafficking; Berkaca pada<br />

Pandangan Tokoh Agama di<br />

Cirebon dan Indramayu ......... 16<br />

Info Jaringan<br />

UU Penghapusan Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga ........... 18<br />

Info Kegiatan<br />

Seminar dan Workshop;<br />

Prospek Pendidikan dan<br />

Kesehatan di Indramayu ...... 19<br />

Wawancara<br />

Edi Sudiana; Pemda Indramayu<br />

sudah Merspon atas Maraknya<br />

Kasus Trafficking ..................... 22<br />

Opini<br />

Trafficking; sebuah Ancaman<br />

Kemanusiaan<br />

Oleh:: Mansur . ......................... 23<br />

03


PERDAGANGAN<br />

PEREMPUAN DAN ANAK<br />

Sebuah Praktek Neo-slavery dan Pelanggaran Ham<br />

Oleh: Aam Azmi Al'ab*<br />

raktek perbudakan (slavery)<br />

berusia sama dengan usia<br />

peradaban manusia. Sekalipun Ppraktek perbudakan dalam bentuknya<br />

yang konvensional itu sendiri telah<br />

hilang dari masyarakat kita, esensi atau<br />

ruh dari perbudakan sesungguhnya<br />

masih hidup dan mewujud dalam<br />

wajah-wajah baru (neo-slavery). Wajah<br />

baru perbudakan kini mewujud dalam<br />

praktek perdagangan perempuan dan<br />

anak (Trafficking in Women and Children)<br />

salah satunya. Dalam praktek<br />

perbudakan dan trafficking, --Kata yang<br />

biasa digunakan untuk menyebut<br />

perdagangan perempuan dan anak---<br />

terdapat substansi yang sama, seperti,<br />

ketergantungan ekonomi, hilangnya<br />

kebebasan individu, pengabsahan<br />

tindak kekerasan dan berbagai macam<br />

tindak kekerasan lainya. Seorang budak<br />

dan orang yang menjadi obyek<br />

trafficking sama-sama diasumsikan<br />

sebagai hak milik yang bebas<br />

diperlakukan semau orang yang merasa<br />

memiliki meskipun itu di luar batas<br />

kewajaran dan melampaui batas-batas<br />

kemanusiaan. Mereka tidak punya<br />

kebebasan untuk memilih dan<br />

menikmati hak-hak mereka sebagai<br />

manusia, sebagai perempuan dan<br />

sebagai anak, misalnya hak untuk<br />

istirahat, mendapat makanan yang<br />

bergizi, mendapat upah yang layak,<br />

mendapat pendidikan dan jaminan<br />

kesehatan serta hak untuk tidak<br />

dieksploitasi (eksploitasi seksual dan<br />

emosional ).<br />

Praktek trafficking telah mewabah<br />

di sekitar kita dan menjadi<br />

pemandangan keseharian kita.<br />

Perempuan-perempuan dilacurkan<br />

untuk menopang ekonomi keluarga,<br />

pengerahan anak-anak dibawah umur<br />

untuk menjadi pengemis,<br />

memanfaatkan keluguan perempuan<br />

dan anak-anak sebagai pengedar<br />

narkoba, baik mereka menyadarinya<br />

atau tidak, bisnis adopsi bayi,<br />

pernikahan kontrak, buruh migran<br />

(TKI/TKW) yang tidak mendapat<br />

jaminan perlindungan hukum atas<br />

berbagai tindak kekerasan dan<br />

eksploitasi. Apakah fenomena<br />

pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan<br />

tersebut telah direspon oleh masyarakat<br />

dan pemerintah secara maksimal? Atau<br />

setidaknya sudahkah kita memulai<br />

melakukan sesuatu untuk mengakhiri<br />

tragedi kemanusiaan tersebut?<br />

Isu trafficking sendiri, pertama kali<br />

dikemukakan pada sebuah konvensi<br />

internasional yang diadakan di Paris<br />

pada tahun 1885. Pada konferensi<br />

tersebut belum ada konsistensi<br />

mengenai trafficking dalam peraturan<br />

negara-negara peserta maupun dalam<br />

konvensi internasional yang sudah ada.<br />

Pada tahun 1937 Liga Bangsa-Bangsa, --<br />

sekarang PBB--menghasilkan konvensi<br />

yang mengharuskan negara-negara<br />

peserta untuk menghukum para pelaku<br />

yang mengajak atau memfasilitasi<br />

proses terjadinya prostitusi dan prilaku<br />

eksploitasi prostitusi terhadap orang<br />

lain meskipun atas sepengetahuan<br />

pihak yang dieksploit. Dalam konvensi<br />

ini masih terdapat kelemahan karena<br />

dalam pendefinisian trafficking hanya<br />

ditujukan pada tindak prostitusi.<br />

Padahal sebagaimana diungkap di awal<br />

tulisan ini bahwa trafficking perempuan<br />

dan anak bisa ditujukan tidak hanya<br />

untuk tujuan prostitusi tetapi juga<br />

pembantu rumah tangga (PRT), buruh<br />

ilegal-kontrak maupun non-kontrak,<br />

perkawinan pesanan, adopsi ilegal,<br />

pariwisata dan hiburan seks,<br />

pornografi, pengemis paksa ataupun<br />

digunakan dalam aktivitas lainya yang<br />

sifatnya eksploitatif.<br />

Fenomena Trafficking di Indonesia<br />

Konsorsium Buruh Migran<br />

Indonesia (KOPBUMI) memperkirakan<br />

1-1,5 juta dari 5 juta buruh migran<br />

Indonesia (TKI/TKW) adalah korban<br />

trafficking. Beberapa kasus yang ada<br />

menunjukan Bandung, Indramayu,<br />

Cirebon dan beberapa daerah di Jawa<br />

Barat lain sebagai daerah asal<br />

perempuan dan anak yang<br />

diperdagangkan. Meraka biasanya<br />

diperdagangkan untuk tujuan<br />

ekspploitasi seksual, perburuhan anak,<br />

pekerja rumah tangga. Jutaan<br />

perempuan dan anak usia belasan tahun<br />

tejebak dalam kondisi kerja<br />

menyedihkan dan mengenaskan,<br />

eksploitatif dan penuh kekerasan akibat<br />

tekanan ekonomi, impian kesejahteraan<br />

dan terbatasnya pengetahuan/<br />

rendahnya pendidikan. Dan tragedi ini<br />

menimpa anak negeri yang buminya<br />

dikenal subur, kekayaan alam<br />

melimpah --gemah ripah loh jinawe--.<br />

Dalam proses trafficking<br />

perempuan dan anak mengandung<br />

unsur kualifikasi kejahatan, antara lain<br />

penipuan, paksaan, kekerasan yang<br />

dilakukan dengan kedok perbaikan<br />

kualitas hidup dan ekonomi adalah<br />

model-model kejahatan yang dilakukan<br />

oleh pelaku trafficking. Korban biasanya<br />

kelompok yang rentan secara sosial,<br />

ekonomi dan politik serta tidak<br />

memiliki pilihan pekerjaan lain. Dan itu<br />

adalah perempuan dan anak sebagai<br />

kelompok yang dilemahkan oleh sistem<br />

sosial budaya yang patriarkhi. Stereotype<br />

dalam budaya patriarkhi bahwa<br />

perempuan adalah obyek yang sah<br />

dikomoditaskan, kelompok yang tidak<br />

perlu mengenyam pendidikan secara<br />

layak mendorong terjadinya trafficking.<br />

Akibat dari kejahatan ini biasanya<br />

berwujud trauma sepanjang hidup,<br />

tekanan psikis yang berat, kehamilan,<br />

cacat tubuh bahkan ada beberapa yang<br />

berakibat kematian. Oleh karenanya<br />

PBB menetapkan bahwa perdagangan<br />

manusia merupakan pelanggaran HAM<br />

berat. Upaya penghapusan berbagai<br />

bentuk trafficking terhadap perempuan<br />

04


dan anak telah dilakukan baik dalam<br />

tingkat regional, nasional maupun<br />

internasional. Pada tingkat regional<br />

beberapa propinsi telah mencoba<br />

merancang berbagai rencana aksi<br />

penghapusan dan penanggulangan<br />

perdagangan perempuan dan anak<br />

dengan membentuk tim kerja anti<br />

trafficking. Pada tingkat nasional,<br />

pemerintah telah menerbitkan<br />

keputusan Presiden Republik Indonesia<br />

No. 88/th 2002 tentang Rencana Aksi<br />

Nasional Penghapusan Perdagangan<br />

Perempuan dan Anak (RAN-P3A). Dan<br />

pada tingkat internasional telah<br />

dilakukan berbagai konferensi dan<br />

kerjasama guna penghapusan dan<br />

penanggulangan korban trafficking.<br />

Persoalan-Persoalan dalam<br />

Penghapusan Trafficking<br />

Meskipun berbagai upaya telah<br />

dilakukan, tapi belum menampakan<br />

hasil yang signifikan. Dalam penemuan<br />

penulis, di mana praktek trafficking kian<br />

merebak sementara aparat penegak<br />

hukum dan masyarakat “tidak banyak<br />

berbuat” atau bahkan tidak berbuat apaapa.<br />

Penulis pernah menanyai seorang<br />

Kepala Desa, apakah ada dari warga<br />

masyarakatnya yang menjadi korban<br />

trafficking. Dengan fasih Dia menyebut<br />

satu persatu kasus trafficking yang<br />

menimpa warganya ada yang sampai<br />

meninggal karena dianiaya majikan,<br />

ada yang buta, ada yang dijual ke Batam<br />

untuk pelacuran dan orang tua<br />

diharuskan menebus korban seharga 10<br />

juta. Tapi kemudian ketika ditanya<br />

upaya apa yang dilakukan Kepala Desa<br />

atas kasus-kasus tersebut? Dengan mata<br />

kosong dia menjawab bahwa tak ada<br />

gunanya memperkarakan kasus-kasus<br />

tersebut secara hukum, karena toh itu<br />

akan bikin persoalan kian rumit-sering<br />

dipanggil, harus bayar ini dan itu.<br />

Lain lagi cerita yang berhasil<br />

dikorek oleh penulis dari kepolisian<br />

Indramayu, mereka mengeluh pesimis<br />

menangani korban kasus trafficking<br />

untuk tujuan prostitusi karena selesai<br />

perkara si korban akan balik lagi ke<br />

dunia prostitusi. Keluhan lain adalah<br />

belum adanya regulasi hukum yang<br />

khusus tentang trafficking. Yang biasa<br />

dipakai hanya KUHP pasal 297 yang<br />

tidak jelas pendefisiannya terhadap<br />

trafficking dan tidak mengakomodir<br />

kepentingan korban, perlindungan<br />

saksi dan sanksi yang terlalu ringan<br />

untuk pelaku.<br />

Apatisme masyarakat dan aparat<br />

penegak hukum tersebut antara lain<br />

disebabkan; satu, sensitifitas mereka<br />

terhadap kasus trafficking masih rendah.<br />

Dua, belum ada regulasi yang khusus<br />

(UU trafficking). Tiga, beberapa regulasi<br />

yang biasa digunakan oleh penegak<br />

hukum untuk trafficking seperti KUHP,<br />

UU Keimigrasian, UU No.23/1992<br />

tentang kesehatan dll. ternyata tidak<br />

dapat melihat perdagangan perempuan<br />

dan anak secara komprehensif. Regulasiregulasi<br />

tersebut masih melihat<br />

kejahatan trafficking sebatas kriminal<br />

biasa. Hal tersebut menyebabkan<br />

perlindungan terhadap korban dan<br />

jeratan hukum bagi para pelaku yang<br />

terlibat dalam proses trafficking<br />

perempuan dan anak tidak maksimal.<br />

Perlunya Advokasi Traffiking<br />

Perempuan dan Anak<br />

Banyak orang yang enggan<br />

melaporkan kasus trafficking yang ada di<br />

lingkungannya apalagi menyediakan<br />

diri untuk dihadirkan sebagai saksi. Ini<br />

terjadi karena kesadaran akan persoalan<br />

trafficking masih belum dimiliki oleh<br />

masyarakat, pemerintah dan aparat<br />

penegak hukum. Untuk itu teramat<br />

sangat penting dilakukan upaya<br />

advokasi dalam berbagai bentuk.<br />

Misalnya menggunakan proses hukum<br />

yang sudah ada berkaitan dengan<br />

tindak pidana kejahatan yang dilakukan<br />

oleh pelaku (trafficker), melakukan<br />

pressure terhadap pihak-pihak terkait<br />

agar proses hukum berjalan optimal dan<br />

kebijakan-kebijakan pemerintah<br />

membuka peluang bagi terbukanya<br />

keadilan bagi korban. Agar ada pressure<br />

dari masyarakat maka harus dilakukan<br />

upaya penyadaran kolektif yang<br />

terorganisir. Ini bisa dilakukan melalui<br />

kampanye isu, pendidikan kritis hak<br />

asasi perempuan dan anak. Baik melalui<br />

media cetak, misalnya bulletin<br />

mingguan, koran harian tabloid remaja<br />

dan televisi, serta radio. Apalagi kalau<br />

upaya kampanye dan pendidikan kritis<br />

ini juga diintegrasikan dengan<br />

kurikulum dalam pendidikan baik SMP,<br />

SMA, Perguruan tinggi, pesantren<br />

maupun jalur pendidikan informal.<br />

Dalam penanganan trafficking<br />

perempuan dan anak ini diharapkan<br />

keterlibatan berbagai pihak mulai dari<br />

pemerintah, akademisi, media,<br />

kelompok masyarakat dan individu<br />

untuk membantu korban trafficking<br />

maupun untuk turut aktif mendesak<br />

pemerintah agar mengeluarkan<br />

kebijakan yang berpihak melindungi<br />

korban dan menjerat pelaku. Jika kita<br />

semua yakin bahwa setiap persoalan<br />

yang dihadapkan pada kita juga diiringi<br />

penyelesaian. Tinggal bagaimana upaya<br />

kita menggali bersama penyelesaian<br />

persoalan tersebut. Akademisi mungkin<br />

memiliki cara pandang beda terhadap<br />

persoalan trafficking dengan aktifis yang<br />

tentunya juga berimbas pada perbedaan<br />

cara poenyelesaiannya. Perbedaan<br />

mungkin juga terjadi pada agamawan,<br />

aparat penegak hukum, politisi,<br />

professional serta masyarakat pada<br />

umumnya. Tapi perbedaan tersebut<br />

tidaklah berarti jika dari semua pihak<br />

memiliki komitmen dan visi yang sama<br />

yaitu penegakan Hak Asasi Manusia<br />

untuk keadilan bagi seluruh umat<br />

manusia.<br />

Beberapa hal yang dapat<br />

dilakukan baik dalam advokasi tingkat<br />

nasional maupun daerah antara lain;<br />

1. Capacity building untuk sensitif<br />

terhadap isu trafficking perempuan<br />

dan anak bagi pemerintah, aparat<br />

penegak hukum, media, kalangan<br />

akademisi, tokoh agama/<br />

masyarakat dan semua warga<br />

masyarakat.<br />

2. Capacity building komunitas/basis<br />

daerah mengenai pelayanan hukum<br />

untuk korban trafficking.<br />

3. Membangun sistem perlindungan di<br />

tingkat basis/komunitas, seperti<br />

pelayanan pemberian informasi<br />

yang tepat untuk bekerja ke luar<br />

negeri.<br />

4. Mengkampanyekan dan mendesak<br />

disahkannya;<br />

- Ratifikasi Konfensi 1990 mengenai<br />

perlindungan buruh migran dan<br />

keluarganya.<br />

- UU perlindungan buruh migran<br />

dan keluarganya.<br />

- UU anti Trafficking Perempuan dan<br />

anak.<br />

- UU Perlindungan korban dan<br />

saksi.<br />

Terakhir, upaya sekecil apapun<br />

yang anda lakukan akan sangat berarti<br />

untuk membawa perubahan.[]<br />

*) Penulis adalah pengelola Program<br />

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis<br />

Pesantren untuk Penghapusan Trafficking<br />

Perempuan dan Anak, <strong>Fahmina</strong>-institute.<br />

05


FENOMENA TRAFFICKING<br />

Catatan dari Beberapa Kasus<br />

di Cirebon-Indramayu<br />

rafficking atau<br />

perdagangan<br />

Tmanusia, terutama<br />

perempuan dan anak<br />

merupakan jenis<br />

perbudakan pada masa<br />

modern telah menjadi isu<br />

besar yang menjadi<br />

perhatian regional dan<br />

global. Diperkirakan<br />

setiap tahun ada dua juta<br />

manusia diperdagangkan<br />

di dunia ini dan sebagaian<br />

besarnya adalah<br />

perempuan dan anak<br />

(Rachmad Syafaat; 2003).<br />

Indonesia menjadi<br />

pemasok utama jaringan<br />

perdagangan perempuan<br />

dan anak, dengan tujuantujuan<br />

eksplotatif;<br />

pelacuran dan pornografi,<br />

pengemis, pekerja rumah<br />

tangga, perdagangan obat<br />

terlarang, pekerjaanpekerjaan<br />

yang<br />

membahayakan (jermal)<br />

dan perkawinan trans-nasional.<br />

Menurut laporan pemerintah<br />

Amerika Serikat yang memonitoring<br />

fenomena perdagangan manusia di<br />

seluruh negara, Indonesia pernah<br />

dikategorikan sebagai negara yang<br />

berada di tier 3. Posisi ini berada pada<br />

peringkat terburuk bersama-sama<br />

dengan Afghanistan, Armenia,<br />

Bahrain, Belaruss, Bosnia &<br />

Herzegovina, Burma, Kamboja,<br />

Yunani, Kyrgys, Lebanon, Qatar,<br />

Russia, Saudi Arabia, Sudan,<br />

Tajikistan, Turki dan Uni Emirat Arab.<br />

Ukuran pemeringkatan ini didasarkan<br />

pada kuantitas kasus serta upayaupaya<br />

pencegahan dan adanya<br />

ketersediaan instrumen pencegahan<br />

tersebut.<br />

Indonesia dalam kasus trafficking<br />

tergolong dalam negara yang<br />

diasumsikan tidak serius menangani<br />

masalah ini, karena, tidak memiliki<br />

perangkat perundang-undangan yang<br />

dapat mencegah, melindungi dan<br />

menolong korban, serta tidak memiliki<br />

perundang-undangan untuk<br />

melakukan penghukuman pelaku<br />

perdagangan manusia. Dalam KUHP,<br />

hanya ada satu pasal yang terkait<br />

dengan persoalan perdagangan<br />

perempuan dan anak, yaitu Pasal 297:<br />

“Perdagangan wanita dan perdagangan<br />

laki-laki yang belum dewasa, diancam<br />

dengan pidana penjara paling lama enam<br />

tahun”. Kelemahannya adalah tidak<br />

ada rumusan yang jelas mengenai<br />

perbuatan apa saja yang dapat<br />

dikategorikan sebagai bentuk<br />

perdagangan perempuan dan anak.<br />

Diperkirakan walaupun belum<br />

Perempuan seringkali lebih rentan menjadi kortan trafficking.<br />

ada data resmi sekitar 700.000 sampai 1<br />

juta anak dan perempuan<br />

diperdagangkan di Indonesia, di mana<br />

sebagian besar korban<br />

diperjualbelikan sebagai para pekerja<br />

seks komersial di dalam negeri, pekerja<br />

rumah tangga, pengemis, pengedar<br />

narkotika dan obat-obat terlarang serta<br />

bentuk-bentuk lain dari eksploitasi<br />

kerja seperti di rumah makan dan<br />

perekebunan. Situasi perdagangan<br />

perempuan ke luar negeri pun tak<br />

kalah memprihatinkan, yang mana<br />

menurut catatan kepolisian RI, pada<br />

tahun 2000 terungkap 1400 kasus<br />

pengiriman perempuan secara ilegal<br />

ke luar negeri (Kompas, 2001).<br />

Masalah perdagangan<br />

perempuan dan anak merupakan salah<br />

06


satu bentuk perlakukan terburuk<br />

terhadap manusia dan melanggar hak<br />

asasi manusia. Dalam banyak kasus<br />

trafficking selalu mengundang unsurunsur<br />

pemalsuan, penipuan,<br />

pemaksaan, ancaman bahkan<br />

kekerasan dan penyalahgunaan<br />

kekuasaan. Dan yang menjadi korban<br />

dalam tindak kejahatan ini adalah<br />

orang-orang yang secara struktur<br />

lemah, yaitu anak-anak dan<br />

perempuan. Trafficking selalu<br />

melibatkan banyak orang dalam<br />

prakteknya yaitu antara pelaku,<br />

perantara dan korban. Karakteristik<br />

jaringan trafficking adalah adanya<br />

perantara mulai dari tetangga, kawan,<br />

saudara, guru, bahkan orang tua yang<br />

terlibat dalam proses-proses yang<br />

menjerumuskan seseorang pada<br />

kejahatan trafficking.<br />

Faktor yang menjadi penyebab<br />

terjadinya kejahatan trafficking, asumsi<br />

penulis sendiri, pelaku maupun<br />

perantara secara umum dapat dilihat<br />

disebabkan karena faktor ekonomi dan<br />

sikap pragmatis untuk memperoleh<br />

keuntungan materiil secara pintas<br />

tanpa memperhatikan norma, etika<br />

dan hukum. Sedangkan bagi korban,<br />

kondisi kemiskinan, serta rendahnya<br />

tingkat pengetahuan/pendidikan dan<br />

kemandirian merupakan hal-hal yang<br />

mendorong terjadinya trafficking.<br />

Selain faktor-faktor di atas, faktor<br />

budaya termasuk agama juga sangat<br />

dominan dan menjadi penyebab<br />

terjadinya trafficking. Budaya telah<br />

menjadi sistem sosial tersendiri dalam<br />

masyarakat, kenyataan ini dapat<br />

dilihat dari posisi subordinasi<br />

perempuan dan anak, menyudutkan<br />

perempuan dan anak dalam berbagai<br />

Jumlah Tenaga Kerja dan Jenis Pekerjaan Penduduk<br />

Kabupaten Cirebon Tahun 2002<br />

Pekerja<br />

Jenis Pekerjaan<br />

Perempuan<br />

Total<br />

Laki-laki<br />

Pertanian 122.388 76.961<br />

Pertambangan & Penggalian 6.341 453 6.794<br />

Industri 105.942 54.279 160.221<br />

Listrik, Gas & air 1.243 355 1.598<br />

Konstruksi 69.777 1.277 71.054<br />

Perdagangan 124.579 106.157 230.736<br />

Angkutan & Komunikasi 55.435 777 56.212<br />

Keuangan 1.590 1.015 2.605<br />

Jasa 42.585 24.411 66.996<br />

Lainnya 277 117 394<br />

JUMLAH 797.959<br />

Sumber : Ketenagakerjaan Kabupaten Cirebon 2002 BPS dan<br />

BAPPEDA Kabupaten Cirebon<br />

kehidupan sosial, politik dan ekonomi.<br />

Sedangkan agama dengan berbagai<br />

ajarannya yang menjadi bagian dari<br />

budaya menurut pandangan sosial,<br />

agama adalah bagian dari budaya juga<br />

ikut bertanggungjawab atas kejahatan<br />

trafficking. Pemahaman agama yang<br />

berkembang dalam masyarakat<br />

banyak mengajarkan kepada<br />

penganutnya bahwa perempuan<br />

adalah makhluk yang berada di bawah<br />

laki-laki. Ajaran-ajaran inilah yang<br />

menjadi faktor utama pelestarian<br />

tindak kejahatan trafficking.<br />

Dengan melihat kondisi tersebut<br />

di atas tentang faktor-faktor dan pola<br />

terjadinya trafficking, maka kita bisa<br />

melihat bagaimana gambaran peta<br />

trafficking (perdagangan perempuan<br />

dan anak) di Kabupaten Cirebon dan<br />

Kabupaten Indramayu.<br />

Peta Sosial-Demografi<br />

Jumlah penduduk Kabupaten<br />

Cirebon sesuai dengan data registrasi<br />

penduduk Kabupaten Cirebon tahun<br />

2002 tercatat sebanyak 1.958.446.<br />

Jumlah ini terdiri dari 983.257<br />

penduduk laki-laki dan 975.189<br />

perempuan, dengan sex rasio<br />

penduduk 100,83 yaitu, setiap 1000<br />

penduduk perempuan di Kabupaten<br />

Cirebon terdapat 101 penduduk lakilaki.<br />

Wilayah dengan penduduk<br />

terbanyak di Kabupaten Cirebon<br />

adalah Kecamatan Plumbon dengan<br />

jumlah 133.126 jiwa dan yang paling<br />

sedikit jumlahnya adalah kecamatan<br />

Susukan Lebak dengan jumlah 26.292<br />

jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk di<br />

Kabupaten Cirebon adalah 1.978<br />

jiwa/km2, sedangkan kepadatan<br />

penduduk yang paling tinggi di<br />

Kabupaten Cirebon adalah<br />

Kecamatan Weru dengan<br />

kepadatan 4.456 jiwa/km2 dan<br />

yang terendah kepadatan<br />

penduduknya dalah<br />

Kecamatan Kapetakan dengan<br />

kepadatan 1.112 jiwa/km2.<br />

Berdasarkan registrasi<br />

penduduk Kabupaten Cirebon<br />

tahun 2001 pertumbuhan<br />

penduduk di Kabupaten<br />

Cirebon sejak tahun 1997<br />

sampai tahun 2002 adalah<br />

sebesar 1,64% per tahun.<br />

Sementara itu berdasarkan<br />

registrasi penduduk tahun 2002<br />

diperoleh data bahwa jumlah KK<br />

(kepala keluarga) di Kabupaten<br />

Cirebon sebesar 516.210 KK, dengan<br />

rata-rata jumlah anggota keluarga<br />

sebanyak 3,8 orang per keluarga. Mata<br />

pencaharian penduduk Cirebon<br />

umumnya bergantung pada sektor<br />

agraris, perdagangan dan jasa hanya<br />

sebagian kecil saja yang bekerja pada<br />

sektor-sektor non-agraris, seperti<br />

nelayan, buruh pabrik dll.<br />

Prosentase Tingkat Pendidikan Penduduk<br />

Kabupaten Cirebon Tahun 2002<br />

Pendidikan %<br />

Tidak/belum pernah sekolah 9,76<br />

Tidak belum tamat Tamat SD/MI 28,29<br />

SD/MI 39,62<br />

SLTP 10,84<br />

SLTA 9,32<br />

Diploma 1-3/Akademi 1,49<br />

Diploma 4/Universitas 0,68<br />

Sumber : Tabel dari Indikator Kesejahteraan Penduduk Kabupaten Cirebon<br />

BPS & BPPD Kab. Cirebon<br />

Berdasarkan tingkat sosialekonominya,<br />

jumlah keluarga miskin<br />

yang tercatat sesuai dengan catatan<br />

BKKBN Kabupaten Cirebon yang<br />

melihat jumlah keluarga pra sejahtera<br />

(Pra S) di Kabupaten Cirebon pada<br />

tahun 2002 sebesar 131.070 dan<br />

Keluarga Sejahtera I (KS I) yang<br />

berjumlah 180.404 keluarga, jadi<br />

jumlah keluarga miskin yang berada di<br />

Kabupaten Cirebon sebanyak 311.474<br />

keluarga.<br />

Sementara itu, berdasarkan<br />

tingkat pendidikannya, penduduk<br />

Kabupaten Cirebon terdiri dari 48.910<br />

laki-laki dan 103.039 perempuan,<br />

totalnya 151.949 yang tidak/belum<br />

pernah sekolah, sedangkan<br />

tidak/belum tamat SD, 439.979 orang<br />

dengan rincian 210.154 laki-laki dan<br />

229.825 perempuan. SD/MI, 616.158<br />

orang dengan rincian 322.880 laki-laki<br />

dan 293.278 perempuan. SLTP 168.589<br />

orang dengan rincian 93.554 laki-laki<br />

dan 75.039 perempuan. SLTA, 144.901<br />

dengan rincian 90.554 laki-laki dan<br />

54.347 perempuan. Diploma 1-<br />

3/akademi jumlahnya 23.005 dengan<br />

rincian 13.380 laki-laki dan 9.625<br />

perempuan. Diploma 4/universitas,<br />

10.582 orang dengan rincian, 6.706 lakilaki<br />

dan 3.876 perempuan. Total<br />

07


penduduk menurut pendidikan adalah<br />

1.555.163 orang, dengan rincian<br />

786.134 laki-laki dan 769.029<br />

perempuan.<br />

Data ini menunjukan lebih dari<br />

separo (77,67%) penduduk Kabupaten<br />

Cirebon berpendidikan rendah, yang<br />

terdiri dari tidak/belum pernah<br />

sekolah, tidak dan belum tamat SD/MI<br />

dan SD/MI. Sedangkan pendidikan<br />

menengah bagi penduduk Kabupaten<br />

Cirebon yaitu SLTP dan SLTA sekitar<br />

20,16%. Penduduk Kabupaten Cirebon<br />

yang mengenyam pendidikan tinggi<br />

baik itu Diploma 1-3/Akademi dan<br />

Diploma 4/Universitas hanya 2,17%,<br />

ini menunjukan masih sangat<br />

rendahnya tingkat pendidikan di<br />

Kabupaten Cirebon.<br />

Sementara, berdasarkan hasil<br />

Survey Sosial Ekonomi Daerah<br />

(Suseda) BPS Provinsi Jawa Barat,<br />

sampai dengan awal tahun 2002<br />

jumlah penduduk Kabupaten<br />

Indramayu tercatat sebanyak 1.702.030<br />

jiwa. Jumlah ini terdiri dari 838.596<br />

penduduk laki-laki dan 863.434<br />

penduduk perempuan. Sex ratio<br />

penduduk di kabupaten ini adalah<br />

97,12. Ini berarti bahwa setiap 100<br />

penduduk perempuan di Kabupaten<br />

Indramayu terdapat 98 penduduk lakilaki.<br />

Wilayah dengan jumlah<br />

penduduk terbanyak di daerah ini<br />

adalah Kecamatan Haurgeulis (143.243<br />

jiwa) dan yang paling sedikit<br />

jumlahnya adalah Kecamatan<br />

Balongan (27.892 jiwa). Sementara itu,<br />

berdasarkan hasil registrasi penduduk<br />

yang dilakukan ada tahun 2001<br />

kepadatan rata-rata penduduk di<br />

Kabupaten Indramayu adalah 837<br />

jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang<br />

paling tinggi di kabupaten ini adalah<br />

Jenis Pekerjaan Penduduk<br />

Kabupaten Indramayu Tahun 2002<br />

Pekerjaan %<br />

Pertanian tanaman pangan 45,51<br />

Perdagangan 14,90<br />

Jasa 12,03<br />

Pertanian lainnya 4,00<br />

Perikanan 3,99<br />

Industri pengolahan 3,90<br />

Angkutan 3,75<br />

Peternakan 0,64<br />

Perkebunan 0,37<br />

Lainnya 10,90<br />

Kecamatan Jatibarang, yaitu 1.690<br />

jiwa/km2 dan yang terrendah adalah<br />

Kecamatan Cantigi, yaitu 270<br />

jiwa/km2. Berdasarkan catatan hasil<br />

Survey Sosial Ekonomi Nasional<br />

(Susenas) yang dilaksanakan BPS, laju<br />

pertumbuhan penduduk di daerah ini<br />

sejak tahun 1995 hingga tahun 2001<br />

adalah sebesar 1,66% per tahun.<br />

Sementara itu berdasarkan<br />

registrasi penduduk yang dilakukan<br />

pada tahun 2001 diperoleh data bahwa<br />

jumlah rumah tangga (Kepala<br />

Keluarga) di kabupaten ini adalah<br />

451.563 KK, dengan rata-rata jumlah<br />

anggota keluarga sebanyak 3,5 orang<br />

per keluarga. Mata pencaharian<br />

penduduk Indramayu umumnya<br />

Tingkat Pendidikan Penduduk<br />

Kabupaten Indramayu Tahun 2003<br />

Pendidikan %<br />

Tidak/belum pernah<br />

sekolah/belum tamat SD 48,58<br />

Tamat SD 23,33<br />

Tamat SLTP 8,80<br />

Tamat sekolah menengah 5,20<br />

Tamat diploma I/II 0,58<br />

Tamat akademi/diploma I/II 0,63<br />

Tamat S1/di atasnya 0,66<br />

Tidak terdata tingkat pendidikannya 18,66<br />

bergantung pada sektor agraris dan<br />

hanya sebagian kecil saja yang bekerja<br />

pada sektor-sektor non-agraris.<br />

Berdasarkan tingkat sosialekonominya,<br />

jumlah keluarga miskin<br />

yang tercatat di Kabupaten Indramayu<br />

pada tahun 2002 sebesar 113.576 KK<br />

atau sekitar 25% dari seluruh KK yang<br />

terdapat di kabupaten tersebut.<br />

Sementara itu jumlah penduduk<br />

miskin pada tahun yang sama tercatat<br />

466.022 orang atau sekitar 28% dari<br />

jumlah seluruh penduduk.<br />

Sementara itu, berdasarkan<br />

tingkat pendidikannya, penduduk<br />

Kabupaten Indramayu terdiri dari<br />

652.304 yang tidak/belum pernah<br />

sekolah/belum tamat SD, 374.990<br />

orang tamat SD, 141.483 orang tamat<br />

SLTP, 108.129 orang tamat sekolah<br />

menengah, 9.431 orang tamat Diploma<br />

I/II, 10.155 orang tamat<br />

akademi/dilpoma III, 10.668 orang<br />

sarjana, serta 299.993 orang yang tidak<br />

terdata tingkat pendidikannya. Berikut<br />

adalah tabel tentang tingkat<br />

pendidikan penduduk Indramayu.<br />

Data di atas menggambarkan<br />

bahwa lebih dari separuh (71%)<br />

penduduk Kabupaten Indramayu<br />

berpendidikan rendah. Kelompok ini<br />

mencakup mereka yang tidak pernah<br />

bersekolah, tidak tamat SD hingga<br />

tamat SD. Sementara untuk jenjang<br />

pendidikan menengah baik yang<br />

tamat SLTP maupun SMU angkanya<br />

sangat kecil. Bahkan jumlah penduduk<br />

Indramayu yang mengenyam jenjang<br />

pendidikan tinggi (di atas SMU) mulai<br />

dari level diploma 1 hingga di atas<br />

Strata Satu (S1) jumlahnya tidak<br />

sampai 2%.<br />

Di kabupaten ini terdapat 281.319<br />

penduduk yang bersusia antara 7<br />

sampai dengan 15 tahun atau 17,5%<br />

dari seluruh jumlah penduduk. Angka<br />

tersebut terdiri dari 193.962 penduduk<br />

yang berusia 7-12 tahun dan 87.357<br />

penduduk yang berusia 13-15 tahun.<br />

Jumlah penduduk yang bersekolah<br />

(dalam arti bukan angkatan kerja) di<br />

Kabupaten Indramayu hingga tahun<br />

2003 adalah sebesar 168.944 orang.<br />

Gambaran Kasus Trafficking<br />

Untuk menjelaskan temuan dan<br />

data dari hasil investigasi dari<br />

gambaran awal perdagangan<br />

perempuan ini di Kabupaten Cirebon<br />

dan Indramayu, penulis/ peneliti<br />

membatasi konsep trafficking atau<br />

perdagangan perempuan dan anak<br />

mengacu definisi protocol PBB tahun<br />

2000, yakni; “Perdagangan perempuan<br />

dan anak harus diartikan sebagai<br />

peneriaan, pengangkutan pengiriman,<br />

penyembunyian atau penerimaan<br />

orang-orang dengan maksud untuk<br />

memperlakukan atau menggunakan<br />

kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan<br />

lain, dari penculikan, penipuan,<br />

kecurangan, penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau suatu kedudukan yang<br />

sifatnya mudah atau dari pemberian<br />

atau penerimaan pembayaran atau<br />

keuntungan-keuntungan guna<br />

mencapai kesepakatan dari orang yang<br />

memiliki kontrol tehadap orang-orang<br />

lain, dengan maksud pemerasan harus<br />

meliputi pada pada tingkat minimum,<br />

pemerasan terhadap pelacuran orang<br />

lain atau bentuk-bentuk pemerasan<br />

lainya, tenaga kerja atau pelayananpelayanan<br />

yang dipaksakan,<br />

08


perbudakan atau praktek-praktek<br />

yang sama terhadap perbudakan, kerja<br />

paksa atau penghilangan organ<br />

tubuh”.<br />

Definisi trafficking menurut Global<br />

Allience Agains Traffic in Women<br />

(GAATW) di Thailand pada tahun 1994<br />

yaitu, ”Semua usaha atau tindakan<br />

yang berkaitan dengan perekrutan,<br />

transportasi di dalam atau melintasi<br />

perbatasan, pembelian, penjualan,<br />

transfer, pengiriman atau penerimaan<br />

seseorang dengan menggunakan<br />

penipuan atau tekanan termasuk<br />

penggunaan ancaman atau kekerasan,<br />

penyalahgunaan kekuasaan atau<br />

lilitan hutang dengan tujuan untuk<br />

menempatkan atau menahan orang<br />

tersebut, baik dibayar atau tidak untuk<br />

kerja yang tidak diinginkan (domestik,<br />

seksual atau reproduktif) dalam kerja<br />

paksa atau ikatan kerja atau dalam<br />

kondisi seperti dalam perbudakan di<br />

dalam suatu lingkungan lain dari<br />

tempat dimana orang itu tinggal pada<br />

waktu penipuan, tekanan atau lilitan<br />

hutang pertama kali”<br />

Dari kedua definisi di atas, dapat<br />

ditarik benang merah tentang apa itu<br />

trafficking. Yaitu korban, karena<br />

posisinya yang subordinate, dari ras<br />

manapun dan di manapun memiliki<br />

peluang untuk menjadi korban<br />

trafficking terutama perempuan dari<br />

negara miskin atau dunia ketiga dan<br />

negara berkembang seperti Indonesia.<br />

Dan hal itu bisa terjadi bukan hanya<br />

antar negara atau benua tapi juga antar<br />

kota atau daerah. Pola dan aktor, aktor<br />

bisa langsung seperti pada zaman<br />

perbudakan dahulu, pembeli langsung<br />

berjumpa dengan korban dan aktor<br />

utama adalah konsumen. Aktor tidak<br />

langsung seperti yang sering<br />

ditemukan pada masa kini. Aktor<br />

utama adalah perantara misalnya,<br />

perekrut (calo, sponsor), penjual<br />

(orang tua, pacar, orang lain yang tidak<br />

dikenal), mucikari, pemilik rumah<br />

bordil, majikan, pegawai lainnya,<br />

pelanggan atau sindikat kriminal.<br />

Adapun karakteristik aktor utama.<br />

Umumnya adalah kelompok<br />

terorganisir dengan pekerjaan yang<br />

berasal dari lapisan usia dan latar<br />

belakang pendidikan berbeda-beda.<br />

Biasanya menutupi pekerjaanya<br />

dengan usaha lain, seperti pengusaha,<br />

pencari bakat, atau ibu rumah tangga.<br />

Menggunakan cara-cara yang<br />

digunakan organisasi criminal, seperti<br />

bekerjasama dengan pegawai<br />

pemerintah yang korup, pemutihan<br />

uang, menjalin kemesraan dengan<br />

pihak berwenang maupun gerakan<br />

kriminal.<br />

Tujuan dari perdagangan<br />

perempuan dan anak perempuan<br />

adalah eksploitasi ekonomi dan<br />

eksploitasi seksual dalam bentuk<br />

prostitusi dengan paksaan, pekerja<br />

rumah tangga, buruh kontrak, buruh<br />

migran illegal, perkawinan<br />

kontrak/transnasional, adopsi illegal,<br />

pariwisata dan hiburan seks,<br />

pornografi, pengemis, dan digunakan<br />

dalam aktivitas lainnya. Di tempat<br />

tujuan biasanya korban hidup dalam<br />

kondisi yang memprihatinkan,<br />

misalnya, disekap dalam<br />

ruangan/rumah, bekerja dalam<br />

ancaman, bekerja dengan jam kerja<br />

panjang dan tidak manusiawi, upah<br />

yang tidak dibayarkan, makanan yang<br />

tidak layak, kesehatan yang tidak<br />

terjamin, mengalami kekerasan fisik,<br />

diperkosa dan pelecehan seksual<br />

lainya, ditipu untuk terus bekerja<br />

karena lilitan hutang.<br />

Modus operandi, biasanya<br />

dilakukan dengan cara pemindahan<br />

dari tempat yang dikenal/komunitas<br />

yang tidak dikenal, penyelewengan<br />

kekuasaan, penipuan dengan tawaran<br />

pekerjaan imbalan tinggi, paksaan<br />

karena korban memiliki hutang,<br />

paksaan dengan ancaman penggunaan<br />

kekerasan, paksaan dengan<br />

penculikan atau perkawinan.<br />

Seperti yang diceritakan seorang<br />

anak korban kekerasan oleh majikan<br />

(di Kecamatan Panguragan Kabupaten<br />

Cirebon), sebelum para calon tenaga<br />

kerja berangkat biasanya mereka<br />

mendaftar atau di datangi oleh para<br />

calo dengan dirayu bahkan dipaksa<br />

(sponsor, bahasa yang dikenal di<br />

Kabupaten Cirebon dan Indramayu).<br />

Para sponsor sendiri (Y dan X dari PT<br />

Z) diberi fasilitas oleh agen tenaga kerja<br />

sebuah sepeda motor untuk bekerja<br />

mencari calon tenaga kerja di<br />

kampung-kampung. Mereka ditarget<br />

satu bulan satu orang menanggung<br />

biaya sendiri, mulai dari proses<br />

administrasi sampai biaya<br />

pemberangkatan, calon tenaga kerja<br />

lain pihak sponsor yang akan<br />

menanggung. Bila dalam kurun 2<br />

bulan pihak sponsor tidak<br />

memperoleh calon TKI, maka akan<br />

diberi peringatan oleh agen. Jika tetap<br />

tidak mendapatkan calon TKI, maka<br />

kendaraan mereka dicabut.<br />

Setelah direkrut sponsor, calon<br />

TKW lalu didaftarkan ke PJTKI.<br />

Sebelum ada kepastian diterima atau<br />

tidak, para calon TKW mengikuti<br />

beberapa proses pemeriksaan mulai<br />

dari kesehatan (tes uriene dan ronsen).<br />

Bila dianggap memenuhi, para calon<br />

TKI di tempatkan di penampungan<br />

untuk mengikuti pendidikan dan<br />

pelatihan, sambil pengurusan paspor<br />

hingga menunggu visa turun. Calon<br />

TKI/TKW tujuan negara Arab Saudi,<br />

Kuwait, Malaysia, Singapura dll, harus<br />

berada di penampungan. Kecuali TKI<br />

tujuan Negara Oman, maka tidak<br />

melewati pendidikan dan pelatihan.<br />

Mereka diperbolehkan menunggu visa<br />

di rumah.<br />

Terkait tahapan proses menjadi<br />

TKW itu, seorang korban kekerasan<br />

dari Indramayu bertutur, sekitar<br />

pertengahan tahun 1999 dirinya<br />

berniat menjadi TKW ke luar negeri<br />

bersama dengan beberapa teman lain<br />

di desa, "saya mendaftarkan diri<br />

kepada sponsor (calo) yang biasa<br />

merekrut TKW yang ingin bekerja ke<br />

luar negeri dengan membayar uang<br />

untuk biaya paspor dan tes kesehatan<br />

sebesar Rp. 900.000”, tutur korban.<br />

Pada bulan berikutnya, korban<br />

diberangkatkan ke Jakarta untuk<br />

mendapatkan pelatihan dan<br />

pendidikan, pembuatan paspor dan<br />

pemeriksaan kesehatan. Setelah enam<br />

bulan dari sejak selesai pembuatan<br />

paspor, korban baru diberangkatkan<br />

ke Abu Dhabi dengan kontrak sebagai<br />

pelayan toko aksesoris handphone.<br />

Tetapi setibanya di Abu Dhabi,<br />

ternyata dipekerjakan sebagai Pekerja<br />

Rumah Tangga (PRT).<br />

Lain halnya dengan kasus di<br />

Kabupaten Cirebon seperti yang<br />

diceritakan seorang anak korban.<br />

Disebutkan bahwa lamanya di<br />

penampungan bervariasi, paling cepat<br />

1 bulan dan paling lama 7 bulan, tapi<br />

umumnya 2-3 bulan. Setelah visa turun<br />

dan para calon TKI berangkat, ada<br />

09


eberapa hal yang disepakati antara<br />

TKI dan PJTKI terutama persoalan<br />

pembayaran proses administrasi dan<br />

ini tergantung dari negara tujuan.<br />

Pembayaran proses administrasi<br />

sampai keberangkatan, biasanya<br />

dilakukan dengan pemotongan gaji.<br />

Tujuan Malaysia akan dipotong gaji 4<br />

bulan, sedangkan tujuan Singapura<br />

selama 7 bulan. Bila biaya tiket<br />

ditanggung sendiri maka tidak ada<br />

potongan. Tapi bila ditanggung PJTKI,<br />

akan dipotong 3 bulan, tujuan Kuwait<br />

dipotong gaji 2 bulan ditambah biaya<br />

sendiri, Uni Emiret Arab 2 bulan, dan<br />

Oman 2 bulan gaji.<br />

Penampungan calon TKI<br />

biasanya secara fisik sangat<br />

memprihatinkan. Kapasitas orang<br />

dengan luas ruangan sangat tidak<br />

memenuhi kelayakan. Calon TKW<br />

biasanya berdesakan. Fentilasi<br />

ruangan juga tidak layak. Para calon<br />

TKW mendapatkan perlakuan di<br />

penampungan seperti halnya tahanan.<br />

Mereka hanya boleh menerima tamu<br />

satu bulan sekali, lebih dari itu tidak<br />

diperbolehkan. Seperti yang<br />

diceritakan korban dari Indramayu;<br />

“Saya selama enam bulan di<br />

penampungan hanya diperbolehkan<br />

tiga kali pulang ke Indramayu.<br />

Keadaan di penampungan juga<br />

memprihatinkan, makan seadanya,<br />

tidak boleh keluar, boleh dikunjungi<br />

hanya sebulan sekali, boleh menerima<br />

telepon hanya pada hari minggu saja”,<br />

tuturnya.<br />

Jenis pelatihan dan pendidikan<br />

yang diterima oleh calon TKW sebatas<br />

pekerjaan rumah tangga dan bahasa,<br />

yaitu memasak, menyetrika, dan<br />

keahlian lain yang berhubungan<br />

dengan kegiatan rumah tangga.<br />

Padahal pekerjaan yang ditawarkan<br />

oleh sponsor dan PJTKI tidak mesti<br />

sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT),<br />

Seperti yang diceritakan korban dari<br />

Indramayu, “Saya mendapatkan<br />

pelatihan bahasa, ketrampilan, masakmemasak,<br />

setrika, tata laksana meja<br />

makan di BLK selama seminggu”,<br />

akunya. Selama bertemu sesama calon<br />

TKW, korban mendapatkan informasi<br />

tentang kasus penyiksaan ataupun<br />

pelecehan seksual di tempat kerja.<br />

Proses penipuan sering terjadi di<br />

mulai dari para sponsor (calo) yang<br />

merayu dan mengajak para<br />

perempuan untuk bekerja ke luar<br />

negeri, kemudian menyerahkan<br />

kepada bos mereka (agen) dan agen<br />

akan menyerahkan lagi ke PJTKI.<br />

Kasus tersebut, seperti halnya dialami<br />

Nur (nama samaran). Keadaan<br />

ekonomi Nur yang terbatas,<br />

menyebabkan dirinya tidak mampu<br />

menanggung biaya proses<br />

pemberangkatan, mulai dari<br />

pengurusan surat-surat, paspor dan<br />

kesehatan yang jumlahnya sekira Rp.<br />

500 ribu, maka konsekuensinya, Nur<br />

harus mengganti biaya tersebut<br />

sebesar 2 bulan gaji, yang akan<br />

dipotong oleh PJTKI. Kasus ini banyak<br />

terjadi di beberapa desa di Kecamatan<br />

Ciwaringin Kabupaten Cirebon<br />

terutama TKW tujuan Arab Saudi dan<br />

Malaysia.<br />

Teknik rekruitmen dan<br />

pengurusan administrasi biasanya<br />

dilakukan sponsor bekerjasama<br />

dengan aparat desa. Cara itu dilakukan<br />

sebab banyak sekali manipulasi<br />

perubahan data calon TKW seperti<br />

umur. Hampir seluruh calon TKI di<br />

Desa Gintung pasti akan merubah<br />

umur, karena mayoritas calon TKI<br />

adalah lulusan SLTP yang rata-rata<br />

berumur 16-17 tahun.<br />

Penipuan yang dilakukan oleh<br />

PJTKI dan sponsor dianggap biasa oleh<br />

para calon TKW. Jenis penipuan yang<br />

dilakukan antara lain adalah<br />

manipulasi data alamat. Hal ini<br />

dilakukan biasanya terhadap calon<br />

TKW asal Indramayu dengan tujuan<br />

utama beberapa negara Timur Tengah,<br />

Saudi Arabia dan Kuwait. Negaranegara<br />

tersebut, tidak menyukai TKW<br />

asal Indramayu, Jadi biasanya calon<br />

TKI Indramayu dirubah alamatnya<br />

menjadi Cirebon. Begitu pun dengan<br />

umur. Umumnya, usia calon TKW<br />

lebih di mudakan, seperti dialami oleh<br />

ibu A (40 th), B (39 th). Usia keduanya<br />

dirubah masing-masing menajdi 39<br />

dan 35 tahun. Perubahan dilakukan<br />

sebab para majikan di Timur Tengah<br />

lebih menyukai TKW yang usianya<br />

berkisar antara 30-37 tahun. Bagi calon<br />

TKW, praktik manipulasi usia itu tidak<br />

dipersoalkan yang penting mereka bisa<br />

segera berangkat bekerja. Selain data<br />

alamat dan usia, surat nikahpun<br />

lumrah dipalsukan, seperti yang<br />

terjadi pada C (19) dan D (20). Ketika<br />

terdaftar menjadi TKI usia mereka baru<br />

17 tahun. Saat membuat paspor,<br />

keduanya ditolak pihak imigrasi<br />

dengan alasan belum cukup umur.<br />

Oleh PJTKI, C dan D dianjurkan<br />

memakai surat nikah orang lain.<br />

Praktik itu ternyata turut disaksikan<br />

oleh pihak KUA setempat.<br />

Selain penipuan oleh PJTKI, para<br />

TKW juga sering kali mengalami<br />

penipuan yang dilakukan oleh para<br />

calo transportasi di bandara<br />

kedatangan Soekarno Hatta, seperti<br />

dialami ibu D (30 th) dan Ibu S (43 th).<br />

Keduanya dipaksa membayar uang<br />

transportasi dari bandara sampai<br />

rumahnya (Cirebon) sebesar 1-2 juta.<br />

Padahal bila menumpang mobil PJTKI<br />

cukup mengeluarkan uang sebesar Rp.<br />

300 ribu.<br />

Selain penipuan, kekerasan<br />

majikan yang dialami oleh pekerja<br />

rumah tangga juga banyak terjadi.<br />

Korban biasanya hidup dalam kondisi<br />

memprihatinkan, misalnya, disekap<br />

dalam ruangan/rumah, bekerja di<br />

bawah ancaman, bekerja dengan jam<br />

kerja panjang dan tidak manusiawi,<br />

upah tidak dibayarkan, makanan tidak<br />

layak, kesehatan yang tidak terjamin,<br />

mengalami kekerasan fisik, diperkosa<br />

dan pelecehan seksual lainnya, atau<br />

ditipu untuk terus bekerja karena<br />

lilitan hutang.<br />

Kekerasan majikan seperti<br />

diceritakan korban TKW dari<br />

Indramayu. Pertama kali datang<br />

korban banyak diam karena sama<br />

sekali tidak bisa berbahasa Arab.<br />

Keesokan harinya korban langsung<br />

kerja. Tidak diberitahu sebelumnya<br />

apa yang dilarang hanya disuruh<br />

mematuhi segala perintah majikan.<br />

Ketika kerja majikan perempuan<br />

mengawasi dan membentak-bentak<br />

sambil melayangkan pukulan di<br />

kepala dengan menggunakan<br />

gulungan kabel dari gudang. Lagi-lagi<br />

pekerjaan terhambat dan tak kunjung<br />

selesai. Waktu habis untuk penyiksaan<br />

dan korban jadi lambat karena<br />

menangis kesakitan. Hatinya nelangsa<br />

tapi hanya bisa meratap. Selain karena<br />

pekerjaan yang tidak ada habisnya,<br />

hampir 24 jam non stop. Juga kondisi<br />

fisiknya yang babak belur dan<br />

makanan yang tidak layak.<br />

10


Ketika korban sedang<br />

menyetrika dan majikan perempuan<br />

tidak cukup puas dengan hasil<br />

setrikaan, sang majikan langsung<br />

mengambil setrika yang masih<br />

menyala lalu digosokkan dipaha,<br />

lengan, punggung dan tengkuk<br />

korban. Tiga kali korban mengalami<br />

kondisi kritis lantas dibawa berobat ke<br />

sebuah klinik. Tapi setelah diobati aksi<br />

penganiayaan itu masih terus<br />

berlanjut. Majikan laki-laki yang<br />

tadinya tidak ikut campur dengan<br />

urusan rumah tangga jadi ikut turun<br />

tangan gara-gara korban menyenggol<br />

gelas yang ada di dapur sehingga<br />

pecah berantakan. Padahal kondisi<br />

penglihatan korban saat itu sudah<br />

tidak normal tapi majikan tidak<br />

percaya dan malah melayangkan<br />

pukulan di kepala berkali-kali hingga<br />

kedua telinga korban remuk dan<br />

korban jatuh pingsan.<br />

Setiap kali penyiksaan korban<br />

mengalami luka serius. 3 kali korban<br />

terpaksa harus dibawa ke rumah sakit<br />

karena luka-lukanya parah sampai<br />

yang ke-4 kalinya dokter menyatakan<br />

bahwa syaraf-syaraf mata korban<br />

sudah tidak berfungsi lagi. Operasi<br />

pun, ternyata tidak membuahkan hasil.<br />

Akhirnya, korban dipulangkan dan<br />

dipaksa menandatangani perjanjian<br />

tidak akan menuntut ganti rugi<br />

apapun. Korban pulang ke Indonesia<br />

diantar oleh orang yang dibayar oleh<br />

majikannya sampai Bandara Soekarno<br />

Hatta. Pada awal tahun 2001 dengan<br />

dijemput oleh suami dan kakaknya,<br />

korban pulang dengan membawa uang<br />

sebesar 20 juta setelah bekerja selama<br />

16 bulan dengan resiko kehilangan<br />

penglihatan dan harus menanggung<br />

sakit dari luka-luka di seluruh<br />

tubuhnya. (Hasil wawancara dengan<br />

korban kekerasan dan suaminya<br />

Indramayu).<br />

Bentuk-bentuk Trafficking<br />

Secara umum untuk dapat<br />

melihat bentuk-bentuk perdagangan<br />

perempuan dan anak kita dapat<br />

mengidentifikasinya dengan beberapa<br />

hal, yaitu; mengacu kepada segala<br />

perilaku mencakup rekruitmen,<br />

pemindahan secara paksa atau jual beli<br />

atas diri (anak-anak) perempuan, di<br />

dalam maupun melewati batas-batas<br />

negara, dilakukan dengan<br />

menggunakan cara-cara yang tidak<br />

jujur dan licik, penipuan, paksaan,<br />

ancaman langsung maupun tidak<br />

langsung, kekerasan, dan<br />

penyelewengan kekuasaan. Semuanya<br />

bermaksud menempatkan (anak)<br />

perempuan di luar keinginan atau<br />

pengetahuannya, sebagai objek<br />

eksploitasi untuk mengeruk<br />

keuntungan. Masuk dalam istilah ini<br />

bukan saja prostitusi yang dipaksakan<br />

atau perdagangan seks, melainkan<br />

juga bentuk-bentuk eksploitasi lain,<br />

kerja paksa dan praktek perbudakan,<br />

termasuk penjualan anak dan<br />

perempuan sebagai pekerja domestik<br />

dan istri pesanan. Karakteristik utama<br />

lain dari perdagangan manusia adalah<br />

adanya perantara yang memainkan<br />

peran sentral. Perantara bisa individu<br />

maupun lembaga baik yang<br />

profesional maupun yang amatir.<br />

Dari gambaran di atas kita dapat<br />

mengidentifikasi perdagangan<br />

perempuan dan anak di kabupaten<br />

Cirebon dan Indramayu sesuai dengan<br />

karakteristiknya, yaitu :<br />

1. Anak-anak dan perempuan dewasa,<br />

tanpa persetujuan dan kehendak<br />

mereka dipekerjakan sebagai<br />

pekerja domestik. Seringkali<br />

sebelumnya mereka diberi janji-janji<br />

dan bujukan untuk disekolahkan,<br />

dipekerjakan di tempat lain, atau<br />

memperoleh gaji besar, misalnya<br />

bekerja sebagai pekerja rumah<br />

tangga.<br />

2. Kita dapat menyaksikan di sekitar<br />

kita terutama di daerah Indramayu<br />

dan Kabupaten Cirebon anak-anak<br />

dan perempuan berada di jalanan<br />

untuk menjadi peminta-minta,<br />

bahkan balita dan bayi pun ikut<br />

dilibatkan. Ada indikasi balita dan<br />

bayi itu diperdagangkan atau<br />

disewakan untuk keperluan<br />

mengemis.<br />

3. Anak-anak dan perempuan<br />

dieksploitasi untuk bekerja di<br />

tempat-tempat hiburan dan pabrikpabrik.<br />

4. Anak-anak dan perempuan<br />

dieksploitasi untuk bekerja di luar<br />

daerah atau luar negeri (buruh<br />

migran).<br />

5. Anak-anak dan perempuan banyak<br />

yang dipaksa untuk menjadi pelacur<br />

atau “dilacurkan”, bahkan oleh orang<br />

tuanya sendiri, seperti kasus yang<br />

terjadi di Indramayu.<br />

6. Perdagangan perempuan untuk<br />

perkawinan trans-nasional, banyak<br />

terjadi di Indramayu, ketika<br />

Pertamina mulai beroperasi<br />

mengeksplorasi tambang minyak,<br />

banyak orang memasok perempuan<br />

kepada orang-orang Jepang sebagai<br />

pekerja untuk dikawini dengan<br />

jangka waktu yang ditentukan.<br />

Trafficking untuk Pekerja Domestik<br />

Kasus perdagangan perempuan<br />

dan anak yang banyak terjadi di<br />

beberapa daerah di sekitar Kabupaten<br />

Cirebon dan Indramayu umumnya<br />

adalah buruh migran untuk pekerjaan<br />

domestik (pekerja rumah tangga).<br />

Realitas itu, bisa terjadi dengan mudah<br />

karena ada faktor pendorong, yaitu,<br />

kesulitan ekonomi keluarga, putus<br />

sekolah, serta harapan besar orang tua<br />

agar anak tidak lagi menjadi<br />

tanggungan mereka. Misalnya, salah<br />

satu desa di Kecamatan Panguragan,<br />

yang dianggap oleh masyarakat<br />

desanya sendiri sebagai desa yang<br />

paling banyak memberangkatkan<br />

tenaga kerja wanita ke luar negeri dan<br />

daerah. Dari jumlah penduduk sekitar<br />

7.000 orang dengan rincian 4.000<br />

perempuan dan 3.000 laki-laki, sekitar<br />

600 atau 15% perempuan di sana<br />

bekerja sebagai TKW di luar negeri dan<br />

luar daerah. Di desa ini, tingkat<br />

pendidikan penduduknya rata-rata<br />

SD, dan mayoritas bekerja sebagai<br />

buruh tani dan pemulung barangbarang<br />

bekas. Maka sangat wajar jika<br />

banyak penduduk desa tersebut<br />

terutama perempuannya yang bekerja<br />

ke luar daerahnya bahkan sampai ke<br />

luar negeri.<br />

Kasus lain adalah kasus di salah<br />

satu desa di wilayah Kecamatan<br />

Ciwaringin Cirebon. Wawancara<br />

dilakukan dengan dua mantan TKI.<br />

Keduanya berangkat ke luar negeri<br />

ketika berumur 16 tahun dengan<br />

pendidikan lulusan SLTP. Nur (nama<br />

samaran) pertama kali berangkat ke<br />

Yordan tahun 1999 kontrak kerja 2<br />

tahun dengan Gaji yang diterima<br />

sebesar $ 125 US. Kemudian berangkat<br />

lagi ke Jeddah 2 tahun dengan gaji<br />

sebesar Rp. 1.3 juta. Diakui Nur,<br />

11


motivasi bekerja ke luar negeri dipicu<br />

persoalan ekonomi keluarga, dan ingin<br />

meringankan beban orang tua<br />

membiayai sekolah adik-adiknya. Elis<br />

(nama samaran) pertama kali<br />

berangkat untuk bekerja berusia 17<br />

tahun ke negara Oman dengan gaji<br />

sebesar 500 Real.<br />

Atau kasus di Indramayu, korban<br />

menjadi TKW atas kemauan sendiri,<br />

didorong oleh keinginan membangun<br />

rumah, meningkatkan kehidupan<br />

keluarga dan tergiur karena melihat<br />

banyak para mantan TKW yang sukses.<br />

Sebenarnya suami korban melarang<br />

tapi korban tetap pergi. Calo yang<br />

merekrutnya adalah orang desanya<br />

sendiri, yang menginformasikan<br />

tentang persyaratan untuk menjadi<br />

TKW yaitu dengan membayar uang<br />

sebesar Rp. 900 000, negara tujuannya<br />

adalah Abu Dhabi, kerja sebagai<br />

pelayan toko aksesoris HP. Tidak ada<br />

informasi mengenai gaji, jam kerja,<br />

jaminan sosial, dll. Tidak ada informasi<br />

tentang hak cuti, bahkan Tidak ada<br />

informasi kapan dia akan berangkat.<br />

Trafficking untuk Tujuan PSK<br />

Ana (nama samaran), gadis usia<br />

16 tahun warga Kecamatan Sukahaji-<br />

Indramayu berangkat ke Jakarta atas<br />

ajakan seorang sponsor/calo (tetangga<br />

desanya sendiri) yang menjanjikan<br />

korban pekerjaan di Singapura<br />

menjadi pelayan sebuah restoran. Di<br />

Jakarta Ana di tempatkan di sebuah<br />

penampungan tenaga kerja<br />

perempuan yang akan berangkat ke<br />

luar negeri. Alamat dan nama PT yang<br />

menampungnya Ana tidak ingat.<br />

Selama di penampungan dia<br />

mengikuti beberapa proses,<br />

diantaranya pembuatan paspor, cek<br />

kesehatan, latihan masak-memasak,<br />

mencuci, setrika, dan les bahasa<br />

Inggris. “Waktu di penampungan saya<br />

dipaksa memotong rambut sampai<br />

pendek bahkan cepak, katanya orang<br />

Singapura hanya menyukai pekerja<br />

yang rapi dan bersih”, kata Ana. Tidak<br />

lebih dari dua minggu korban<br />

diterbangkan ke Singapura bersama 3<br />

perempuan lainnya. Sesampainya di<br />

Singapura korban dijemput oleh<br />

seorang laki-laki yang bernama Hong<br />

Hue yang ternyata adalah majikan lakilakinya.<br />

Berdasarkan keterangan calo<br />

yang menawarinya kerja, Ana akan<br />

dipekerjakan di sebuah restoran. Tapi,<br />

korban malah dibawa ke sebuah<br />

rumah tangga dan harus melakukan<br />

pekerjaan mulai mengasuh bayi,<br />

membersihkan 7 kamar mandi, sampai<br />

merapikan delapan kamar tidur dan<br />

seluruh ruangan lain.<br />

Dalam bekerja Ana diawasi terus<br />

oleh majikan perempuan. “Kalau<br />

mencuci kamar mandi saya diharuskan<br />

menggosok lantai dengan<br />

menggunakan pembersih lantai yang<br />

sangat keras dan panas sehingga<br />

menyebabkan jari-jari tangan dan kaki<br />

saya melepuh”, tuturnya. Banyaknya<br />

pekerjaan tersebut, menyita hampir 18<br />

atau 20 jam sehari. Sehingga waktu<br />

istirahat yang dimiliki korban sangat<br />

terbatas. Korban juga tidak diberi<br />

waktu melakukan ibadah sholat.<br />

Sebenarnya korban ingin berontak atas<br />

kerja yang terlalu berat, kurang<br />

istirahat, tidak adanya waktu sholat<br />

dan perlakuan lain yang yang memeras<br />

tenaga dan perasannya. Tapi korban<br />

tidak tahu harus berbuat apa, sebab<br />

kemampuan bahasa Inggris korban<br />

sangat terbatas. Hingga dua bulan<br />

kemudian majikan tiba-tiba<br />

memutuskan untuk memulangkan<br />

Ana ke PT di Jakarta. Lagi-lagi<br />

tidak ada yang bisa diperbuat oleh<br />

korban.<br />

Tiba di Bandara korban langsung<br />

dijemput oleh seorang petugas PT yang<br />

dulu memberangkatkanya. Di PT<br />

korban dibentak-bentak karena<br />

dianggap telah merugikan. Pihak PT<br />

menyebutkan majikan korban minta<br />

ganti rugi atas ketidakbecusan<br />

kerjanya. Kemudian korban disuruh<br />

menandatangani surat kontrak/<br />

perjanjian yang isinya tidak sempat<br />

dibaca. Baru dua hari kemudian Ana<br />

mendengar dari salah seorang<br />

temannya, bahwa dalam surat<br />

perjanjian Ana berhutang kepada PT<br />

sejumlah 10 juta. Untuk melunasinya,<br />

Ana harus bersedia dipekerjakan di<br />

Batam. Akhirnya korban diterbangkan<br />

ke Batam diantar oleh seorang pria.<br />

Tiba di Batam korban di inapkan di<br />

sebuah kamar hotel melati. Di sana<br />

sudah ada tiga orang gadis lain, yakni<br />

N, Dar dan M. asal Surabaya. Berbeda<br />

dengan Ana, ketiga gadis itu memang<br />

dari awal sudah ditawari untuk<br />

menjadi pelayan kafe di Batam. Setelah<br />

dua malam ada seorang pria yang<br />

dipanggil “J” menjemput mereka<br />

dengan mobil Panther. Setelah hampir<br />

tiga jam perjalanan korban tiba<br />

disebuah rumah panggung. Di sana,<br />

mereka disambut oleh perempuan<br />

berusia sekitar 45 tahun bernama tante<br />

Er dengan sangat ramah. Dia<br />

memberikan satu tas yang berisi baju,<br />

perlengkapan rias dan aksesoris<br />

kepada korban dan ketiga gadis lainya.<br />

Dikatakan bahwa tas itu adalah<br />

perlengkapan kerja yang harus<br />

digunakan meraka.<br />

Hari pertama korban kerja di<br />

sebuah kafe malam, tugasnya adalah<br />

mengantarkan minuman ke meja-meja.<br />

Hari berikutnya, korban diminta<br />

menemani tamu laki-laki. Korban<br />

menolak tapi diancam akan dijual<br />

kalau tidak mau menuruti perintah<br />

tante. Hampir 6 bulan korban ditekan<br />

untuk bekerja melayani laki-laki<br />

hidung belang. Setiap korban<br />

mengemukakan keinginannya untuk<br />

pulang selalu Tante Er menyebutkan<br />

jumlah hutang yang harus dibayar oleh<br />

korban sebesar 10 juta. Jumlah itu,<br />

sebagaimana tercantum dalam surat<br />

persetujuan yang ditandatangani<br />

korban ditambah dengan biaya yang<br />

sudah dikeluarkan untuk transpor<br />

makan dari Jakarta ke Batam serta<br />

Biaya perlengkapan kerja.<br />

Setelah 6 tahun korban baru bisa<br />

melunasi hutang-hutangnya dan<br />

sedikit tabungan untuk biaya pulang.<br />

Korban pulang dengan menanggung<br />

rasa malu, merasa diri kotor dan tidak<br />

berarti. Korban sempat khawatir<br />

bahwa keluarga dan masyarakat tidak<br />

akan menerimanya kembali. Kini<br />

korban kerja di sebuah pabrik konveksi<br />

di Tanggerang, hidup bersama seorang<br />

pria baik hati yang membantunya<br />

menatap masa depan. Rumah tangga<br />

yang dibinanya sejak 3 tahun lalu kini<br />

telah dikaruniai seorang putri. Tapi<br />

masih dengan sisa trauma yang<br />

membayanginya dan mungkin tidak<br />

akan terlupakan sepanjang hidupnya.<br />

Peristiwa itu sudah berlalu 9 tahun<br />

yang lalu, tapi perih dan pedih masih<br />

tersisa di lubuk hatinya yang paling<br />

12


dalam. (seperti yang diceritakan korban<br />

kepada penulis).<br />

Mamluah, warga Kecamatan<br />

Bongas Kabupaten Indramayu<br />

menceritakan kasus perdagangan<br />

perempuan dan anak yang ada di<br />

desanya. “Di sini ada yang sampe gila<br />

gara-gara disuruh orang tuanya kerja<br />

sebagai PSK di Jakarta. Ketiga<br />

kakaknya sebenarnya telah<br />

diprostitusikan oleh Ibunya sendiri-<br />

Dia itu yang bungsu tapi mengadakan<br />

perlawanan atas perintah orang<br />

tuanya, sampe sekarang tidak bisa<br />

dajak bicara, ya kayak orang linglung<br />

gitu. Orang tuanya sih enak nggak<br />

kerja menunggu kiriman anakanaknya<br />

yang kerja tidak benar di<br />

Jakarta. Perhiasannya banyak,<br />

pakaiannya bagus, sombong-tidak<br />

tahu anaknya tersiksa. Kalau ada calo<br />

yang datang menawar anaknya ya<br />

ibunya itu yang membuat harga,<br />

bahkan sampe ikut mengantar ke<br />

Jakarta. Dan begitu lho kok dia bangga<br />

serta sama sekali tidak merasa malu”,<br />

tutur Mamluah.<br />

Dari cerita korban dan informasi<br />

lain di masyarakat, kita dapat<br />

mengetahui ada realitas perdagangan<br />

perempuan dan anak terjadi di sekitar<br />

kita. Kita bisa melihat bersama, bahwa<br />

pada dasarnya kebanyakan tidak ada<br />

keinginan korban menjadi PSK. Tapi<br />

kondisi yang memaksa sehingga<br />

korban melakukan itu. Pada awalnya<br />

korban berniat bekerja untuk<br />

membantu orang tuanya, namun dia<br />

ditipu dan dipaksa oleh pelaku yang<br />

memperjualbelikan mereka untuk<br />

dijadikan PSK.<br />

Data Kepolisian<br />

Dari data Reskrim Polres Cirebon<br />

diketahui bahwa Polres Cirebon belum<br />

pernah sekalipun menangani kasus<br />

perdagangan manusia. Polres hanya<br />

sering menangani kasus penipuan<br />

yang menimpa para calon tenaga kerja<br />

wanita.<br />

Berbeda dengan Polres Cirebon,<br />

Polres Indramayu dalam kurun tahun<br />

2002-2003 mencatat 19 kasus<br />

perdagangan perempuan dan anak<br />

(trafficking in women and children)<br />

dengan 61 orang korban berusia<br />

antara 14 sampai 25 tahun.<br />

Masih menurut keterangan pihak<br />

Polres Kabupaten Indramayu, kasus<br />

yang dilaporkan itu hanyalah 50% dari<br />

kasus yang sebenarnya terjadi di<br />

masyarakat Indramayu. Banyak kasus<br />

lain yang menimpa perempuan dan<br />

anak di Indramayu yang diproses di<br />

tempat kejadian. Sehingga jumlah di<br />

atas belum cukup mewakili dari<br />

keseluruhan warga perempuan<br />

Indramayu yang sebenarnya menjadi<br />

korban perdagangan perempuan dan<br />

anak.<br />

Temuan di lapangan juga<br />

menunjukkan banyak kasus yang tidak<br />

dilaporkan kepada kepolisian dan<br />

dibiarkan tidak diproses. Di<br />

Kecamatan Sukra terdapat 2 kasus<br />

trafficking yang dibiarkan tidak<br />

diselesaikan secara hukum karena<br />

masyarakat pesimis terhadap proses<br />

penyelesaiannya. Mereka sudah cukup<br />

menerima dengan kembalinya korban<br />

ke rumah walaupun ada yang harus<br />

ditebus dengan sejumlah uang. Di<br />

Kecamatan Bongas ada 4 kasus yang<br />

juga diabaikan sebagai kasus trafficking<br />

yang menyebabkan salah seorang<br />

korban stress karena pelakunya adalah<br />

orang tua korban. Di Kecamatan<br />

Arahan tidak diketahui pasti berapa<br />

jumlah kasus, masalahnya menjadi<br />

kabur karena prilaku trafficking itu<br />

sudah sedemikian mengakar dengan<br />

pola hidup kebanyakan masyarakat<br />

setempat. Di wilayah itu, seolah-olah<br />

telah menjadi kesepakatan tidak<br />

tertulis bahwa mereka tidak perlu<br />

mempersoalkan orang lain melakukan<br />

apa, yang terpenting tidak<br />

mengganggu keamanan masyarakat.<br />

Kemananan dalam pemahaman<br />

masyarakat hanya kondisi tidak<br />

adanya kerusuhan, kekerasan fisik dan<br />

tindak kriminal.<br />

Rekomendasi dan Kesimpulan<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka<br />

bisa direkomendasikan beberapa hal,<br />

sebagai berikut:<br />

1. Karena masyarakat tidak menyadari<br />

apa yang mereka alami dan terjadi<br />

pada sebagian orang bahwa itu<br />

adalah perdagangan manusia, maka<br />

diperlukan upaya penyadaran<br />

publik secara sistematis dan<br />

terorganisir terutama pada<br />

masyarakat korban atau yang rentan<br />

dijadikan korban;<br />

2. Pada tataran eksekutif dan legislatif<br />

ditemukan belum ada kesadaran<br />

akan adanya tindakan perdagangan<br />

manusia di tengah masyarakat,<br />

sehingga diperlukan upaya<br />

penyadaran kritis tentang<br />

perdagangan manusia dan<br />

menumbuhkan komitemen untuk<br />

memberantas perdagangan<br />

manusia;<br />

3.Karena belum ada kebijakan<br />

pemerintah daerah yang khusus<br />

menangani perdagangan manusia<br />

maka perlu upaya advokasi<br />

kebijakan publik yang melindungi<br />

dan berpihak pada korban atau yang<br />

rentan dijadikan korban.<br />

4. Perlu dibuat PERDA Perlindungan<br />

korban trafficking dan penghapusan<br />

tindak trafficking sebagai wujud<br />

keberpihakan pemerintah terhadap<br />

masyarakat yang tertindas;<br />

5. Karena baik Kabupaten Cirebon<br />

maupun Indramayu adalah<br />

masyarakat yang menempatkan<br />

agama sebagai panglima dalam<br />

kehidupan mereka maka masyarakat<br />

pesantren, kaum agamawan, perlu<br />

merumuskan langkah-langkah<br />

konkrit dalam rangka melakukan<br />

pencerahan yang mencerahkan;<br />

6. Masyarakat pesantren yang masih<br />

dianggap sebagai lokus sosiologis<br />

dalam tatanan masyrakat Cirebon<br />

dan Indramayu harus diberdayakan<br />

untuk bisa melakukan perubahan<br />

sosial terutama dalam<br />

pemberantasan perdagangan<br />

perempuan dan anak;<br />

7. Karena perdagangan perempuan<br />

dan anak adalah tindak kejahatan<br />

yang menodai kehormatan dan<br />

keluhuran kemunusiaan maka<br />

semua pihak baik masyarakat,<br />

pemerintah, masyarakat korban,<br />

aparat penegak hukum, legislatif,<br />

media, akademisi, jaringan profesi<br />

harus dengan tegas menyatakan<br />

perang terhadap tindak<br />

trafficking.*****<br />

13


Kebijakan Pemerintah Daerah<br />

terhadap<br />

Kasus Trafficking<br />

enakar seberapa besar<br />

komitmen PEMDA<br />

MCirebon-Indramayu<br />

dalam menyelesaikan masalahmasalah<br />

sosial terutama persoalan<br />

perdagangan perempuan dan anak<br />

tidaklah mudah. Terkait pula,<br />

misalnya dengan hambatan teknis<br />

ketika menelusuri data dan<br />

informasi kebijakan. Apalagi soal<br />

anggaran, tidak jarang data APBD<br />

sulit diakses dengan alasan tidak<br />

untuk dipublikasikan. Di Kabupaten<br />

Cirebon, misalnya kita akan cukup<br />

kesulitan menginput data kebijakan<br />

PEMDA setempat terkait<br />

perdagangan perempuan dan anak,<br />

baik perlindungan maupun<br />

rehabilitasi.<br />

Secara umum, “Political Will”<br />

PEMDA terhadap kepentingan<br />

perempuan bisa dilihat dari<br />

kebijakan-kebijakan di Daerah yang<br />

ditelorkan. Apakah Perda-perda dan<br />

APBD sudah mencerminkan<br />

keberpihakan kepada perempuan<br />

ataukah belum.<br />

Minimnya Kebijakan Yang<br />

Berpihak<br />

Fenomena maraknya praktik<br />

yang mengarah pada tindakan<br />

trafficking di wilayah Indramayu,<br />

tampaknya belum direspon serius<br />

PEMDA setempat. Kebijakan<br />

PEMDA terkait perlindungan<br />

perempuan, --baru tercermin pada<br />

SK Bupati No. 2260.05/2002 perihal<br />

pembentukan FKPP (Forum<br />

Komunikasi Perlindungan<br />

Perempuan) dan SK Bupati No.<br />

42/2003 Tentang Tata Cara<br />

Pelaksanaan Rekruitmen CTKI<br />

(Calon Tenaga Kerja Indonesia)---.<br />

Itupun kedua SK tersebut, belum<br />

secara konkret mengatur trafficking.<br />

SK pertama menyangkut<br />

pembentukan FKKP, dikeluarkan<br />

tidak lain sebagai respon positif atas<br />

maraknya kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan baik berupa<br />

pemerkosaan, poligami,<br />

perselingkuhan suami,<br />

penganiayaan, dan juga trafficking.<br />

Dalam operasionalnya, FKPP<br />

diketuai langsung oleh Kesra<br />

Pemberdayaan Perempuan PEMDA<br />

Indramayu. Dalam kerja-kerjanya<br />

FKPP melakukan pola jejaring<br />

dengan Ormas, OKP, LSM untuk<br />

melatih konselor-konselor di tingkat<br />

kecamatan serta sosialisasi lewat<br />

media radio. Persoalan trafficking<br />

yang begitu komplek belum cukup<br />

ditanggulangi dengan pembentukan<br />

FKKP lewat SK Bupati No.<br />

2260.05/2002, apalagi sokongan<br />

dana bagi program-program FKKP<br />

relatif minim. Problem itu bisa<br />

menghambat kerja-kerja dan<br />

program-program FKKP di<br />

lapangan.<br />

Sementara itu, Kebijakan<br />

Pemerintah Indramayu berupa SK<br />

Bupati No. 42/2003 Tentang Tata<br />

Cara pelaksanaan rekruitmen calon<br />

TKI terlihat belum komprehensif.<br />

Disebutkan bahwa Calon Tenaga<br />

Kerja Indonesia (CTKI) adalah<br />

masyarakat Indramayu yang sudah<br />

menandatangani surat perjanjian<br />

kerja. Batasan definisi itu, tentu saja<br />

menimbulkan masalah tersendiri.<br />

Sebab pada realitasnya, jumlah CTKI<br />

yang mendaftar atau direkrut<br />

kebanyakan belum memiliki Job<br />

Order. Sementara, meskipun dalam<br />

SK Bupati, juga dicantumkan<br />

kewajiban-kewajiban yang harus<br />

dipenuhi oleh PJTKI. Namun, tidak<br />

secara jelas saksi-sanksi terhadap<br />

PJTK yang tidak memenuhi<br />

kewajibannya secara konkret<br />

disebutkan. Sehingga peluang PJTKI<br />

melakuan penyimpangan masih<br />

terbuka lebar. Selain itu, tidak<br />

adanya sistem kontrol yang jelas<br />

terhadap realiasi peraturan SK<br />

Bupati No. 42/2003, memungkinkan<br />

kebijakan itu akan mengalami<br />

distorsi ketika diterapkan.<br />

Terdapatnya ketimpangan<br />

serupa, terlihat juga pada PERDA<br />

No. 05 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.<br />

PERDA itu menyebutkan<br />

tentang hak-hak jaminan kerja dan<br />

perlindungan bagi tenaga kerja<br />

menyangkut soal kesehatan,<br />

kesusilaan, keselamatan, moril kerja,<br />

dan segala hal yang menyangkut<br />

martabat manusia. Sementara, disisi<br />

lain pasal-pasal yang memuat sanksi<br />

sebagai konsekuensi logis bila hakhak<br />

pekerja tidak dipenuhi pihak<br />

yang berkewajiban tidak ditemukan.<br />

Kepincangan itu bisa memicu<br />

terbukanya peluang hak-hak pekerja<br />

relatif dikesampingkan.<br />

Ketimpangan-ketimpangan di<br />

dalam SK Bupati No. 42/2003, SK<br />

Bupati No. 2260.05/2002, dan<br />

PERDA No. 05 tahun 2003,<br />

menunjukkan belum komprehensifnya<br />

kebijakan-kebijakan yang<br />

diberlakukan PEMDA. Dari sisi<br />

politis, sekaligus menunjukkan<br />

14


masih lemahnya komitmen PEMDA<br />

terhadap persoalan trafficking.<br />

Kondisi itu, perlu disikapi, misalnya<br />

lewat pengkajian yang mendalam<br />

terhadap kebijakan PEMDA oleh<br />

berbagai elemen masyarakat.<br />

Dengan begitu, ke depan aspirasi dan<br />

gagasan yang mengacu pada<br />

kebutuhan real bagi kepentingan<br />

perlindungan perempuan dan anak<br />

bisa terakomodir.<br />

Krusialnya PERDA Khusus<br />

Meskipun kasus trafficking<br />

sudah menjadi fenomena umum<br />

yang terjadi di wilayah Indramayu<br />

dan Cirebon, tapi sampai saat ini<br />

kedua PEMDA tersebut belum<br />

memiliki PERDA khusus yang<br />

mengatur Penghapusan<br />

Perdagangan Perempuan dan Anak.<br />

Berbagai program kerja yang<br />

mengarah pada upaya penanggulangan<br />

trafficking, seperti<br />

program-program FKPP dalam<br />

bentuk pelatihan konselor,<br />

kampanye anti kekerasan terhadap<br />

perempuan, serta rekruitment 56<br />

relawan konseling PPTKLN (Pos<br />

Pelayanan Tenaga Kerja Luar<br />

CERITA DUKA RUSMINI<br />

TKW asal Indramayu yang Buta Seumur Hidup<br />

itemui di rumah sederhana di<br />

desanya di Kabupaten<br />

Indramayu beberapa waktu Dlalu, wanita itu terlihat tegar. Rusmini,<br />

sosok istri yang semula begitu keras<br />

berkemauan merubah nasib<br />

keluarganya, kini hanya bisa terpaku<br />

pasrah. Terlihat, raut mukanya tidak<br />

begitu mengisyaratkan kesedihan<br />

berlarut-larut. Pengalaman pahit<br />

menjadi TKW 4 tahun lalu,<br />

dianggapnya sebagai “nasib”.<br />

Anggapan “Takdir”; seolah mampu<br />

memupuskan segalanya. Baginya,<br />

derita kehidupan pahit itu tidak perlu<br />

terlalu lama dipendam. “Buat apa larut<br />

terlalu dalam kepedihan, toh hal itu tidak<br />

bisa merubah keadaan” selorohnya.<br />

Walaupun kini, matanya buta, terlihat<br />

Rusmini begitu lugas bercerita perihal<br />

pengalaman getirnya ketika menjadi<br />

TKW di Abu Dhabi.<br />

Harapan Penghidupan Lebih Baik<br />

Dituturkan Rusmini, bermula<br />

pada pertengahan tahun 1999, dirinya<br />

berniat menjadi TKW ke luar negeri.<br />

Bersamaan beberapa perempuan sedesanya,<br />

Rusmini daftar lewat calo<br />

yang biasa merekrut calon TKW.<br />

Bermodal Rp 900 000, sebagai dalih<br />

untuk biaya paspor dan tes medical,<br />

Rusmini dijanjikan berangkat. Saat itu,<br />

tidak ada informasi perihal jumlah gaji,<br />

jam kerja, hak cuti, maupun jaminan<br />

sosial. Bahkan ketentuan waktu<br />

keberangkatannya pun tidak pernah<br />

ada kepastian yang jelas.<br />

Bulan berikutnya, Rusmini<br />

diberangkatkan ke Jakarta untuk<br />

dilatih, sekaligus mengurus<br />

pembuatan paspor dan cek medical.<br />

Semula kepergian Rusmini ditentang<br />

suaminya. Namun, karena desakan<br />

kebutuhan biaya membangun rumah,<br />

tidak urung Rusmini nekad berangkat.<br />

Waktu itu, baginya tidak ada pilihan<br />

lain, biarpun harus meninggalkan<br />

anaknya yang baru berumur 3,5 tahun.<br />

”Saya ingin membangun rumah, terus<br />

terang saya tergiur karena banyak<br />

mantan TKW lain sukses”, katanya.<br />

Enam bulan sejak pengurusan<br />

paspor rampung, Rusmini<br />

diterbangkan ke Abu Dhabi dengan<br />

kontrak sebagai pelayan toko aksesoris<br />

handphone. Namun, tiba di sana<br />

Rusmini justru malah dipekerjakan<br />

sebagai pekerja rumah tangga (PRT).<br />

Baginya tidak masalah, bayangan<br />

kehidupan yang lebih baik begitu kuat<br />

tertanam.<br />

Bekerja Tidak Luput dari Siksaan<br />

Di sebuah apartemen milik<br />

majikan beranak lima, Rusmini bekerja<br />

bersama TKW asal Kaliwedi<br />

Kabupaten Cirebon. Rekan sekerjanya,<br />

akhirnya tewas terjatuh. Ia meloncat<br />

dari jendela memakai Sprei ketika<br />

berusaha melarikan diri. Soal mayat<br />

rekannya yang naas itu, Rusmini<br />

mengaku tidak pernah tahu menahu.<br />

Sejak hari-hari pertama bekerja,<br />

Rusmini kerapkali mendapati cacimaki<br />

majikan. Teguran majikan tidak<br />

hanya lewat ucapan dalam bahasa<br />

yang tidak pernah dipahami Rusmini.<br />

Lebih parah lagi, kekesalan Majikan<br />

ditumpahkan dengan pukulan besi<br />

dan kabel, tendangan, setrikaan serta<br />

berbagai bentuk penganiayaan lain.<br />

“Saya kerja full time 24 jam, tanpa istirahat<br />

cukup dan makan layak, ditambah majikan<br />

seringkali marah-marah dan mudah sekali<br />

memukul”, aku Rusmini. Selama itu,<br />

Rusmini mengalami depresi mental<br />

dan penderitaan fisik luar biasa.<br />

Diakuinya, penganiayaan tidak<br />

hanya diperbuat majikan perempuan,<br />

majikan laki-laki turut menyiksanya.<br />

Akibat dianiaya terus-menerus,<br />

Rusmini harus kehilangan<br />

penglihatannya. Tidak hanya itu,<br />

hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi<br />

luka bekas setrikaan dan pukulan,<br />

bahkan kedua telinganya nyaris putus.<br />

Dalam kurun 16 bulan, Rusmini<br />

sempat tiga kali mengalami kondisi<br />

kritis. Kondisi badan yang tampak<br />

lemah, tidak membuat majikannya<br />

mengurangi penyiksaan. “Dalam<br />

kondisi kritis ke-4 kalinya, Dokter di sana<br />

menyatakan syaraf-syaraf mata saya sudah<br />

Bersambung ke hal. 19<br />

15


Persepsi Keagamaan yang Kondusif<br />

terhadap Kejahatan Trafficking<br />

Berkaca pada Pandangan Tokoh Agama di Cirebon dan Indramayu<br />

asyarakat Cirebon-<br />

Indramayu dikenal<br />

Mreligius. Bukan saja,<br />

karena mayoritas warganya muslim.<br />

Historis kemunculan Islam di<br />

wilayah pesisir utara yang identik<br />

dengan ketokohan Syeh Syarif<br />

Hidayatullah turut berpengaruh<br />

terhadap kehidupan sosial-kultural<br />

dan laku keagamaan Wong Cerbon<br />

dan Dermayu yang cenderung<br />

Islami.<br />

Pada wilayah publik, kebijakankebijakan<br />

Pemda Kabupaten Cirebon<br />

dan Indramayu secara normatif tidak<br />

terlepas dari kerangka nilai-nilai<br />

religi. Setidaknya, Pemda Cirebon<br />

telah mengeluarkan Perda kewajiban<br />

siswa muslim SD agar menyertakan<br />

ijazah Madrasah Diniyah (MD)<br />

untuk melanjutkan ke tingkat SLTP.<br />

Ketentuan sama, juga diterapkan<br />

Pemda Indramayu. Bahkan Bupati<br />

setempat, sempat menyerukan agar<br />

warga perempuan berbusana jilbab<br />

saat beraktivitas di sekolah, kampus,<br />

atau ketika bekerja di instansi<br />

pemerintah maupun swasta.<br />

Identitas religiusitas<br />

masyarakat Cirebon-Indramayu,<br />

juga bisa dilihat dari tersebarnya<br />

pesantren. Di kedua wilayah itu,<br />

Pesantren merupakan komunitas<br />

berbasis religius yang mengakar kuat<br />

dan berpengaruh. Pesantren<br />

memiliki fungsi strategis dalam<br />

transformasi sosial-kultural disana.<br />

Seringkali, Kyai-kyai, santri, ataupun<br />

ustadz jadi rujukan dalam menyikapi<br />

berbagai tata laku kehidupan terkait<br />

urusan ibadah maupun muamalah.<br />

Soal kasus perdagangan perempuan<br />

dan anak misalnya, disikapi<br />

masyarakat Cirebon-Indramayu<br />

tidak terlepas dari persepsi agama.<br />

Praktik trafiking dianggap bentuk<br />

perbudakan baru; dimana hukum<br />

Islam dengan tegas melarangnya.<br />

Sayangnya, penolakan itu belum<br />

dibarengi pemahaman masyarakat<br />

yang cukup terhadap proses, modus<br />

maupun unsur-unsur perdagangan<br />

perempuan yang mengarah praktik<br />

trafficking. Kondisi itu, menimbulkan<br />

rendahnya sensitifitas masyarakat<br />

ketika melihat persoalan-persoalan<br />

trafficking di sekitarnya terjadi.<br />

Dalam konteks peran pada<br />

wilayah transformasi sosial-kultural,<br />

pesantren dengan ketokohan kyai<br />

diyakini secara signifikan bisa<br />

membuka pemahaman dan<br />

kesadaran kritis masyarakat<br />

Cirebon-Indramayu terhadap<br />

persoalan trafficking.<br />

Perempuan dan Posisi yang<br />

Dipersalahkan<br />

Tokoh-tokoh agama dan<br />

masyarakat Cirebon beranggapan<br />

bahwa sebagai istri perempuan<br />

dilarang agama pergi ke luar rumah.<br />

Apalagi harus menjadi TKW. Sebab,<br />

akibat buruk dari keluarga<br />

ditinggalkan oleh istri, tidak sedikit<br />

suami berpoligami atau ayah<br />

memperkosa anak kandungnya<br />

sendiri. “Kewajiban perempuan<br />

sebenarnya adalah di dalam rumah<br />

mengurus suami dan anakanaknya”.<br />

tutur KH. Marzuki Ahal<br />

pengasuh Pesantren di Babakan<br />

Ciwaringin. Menurutnya Agama<br />

jelas melarang perempuan bekerja di<br />

luar rumah apalagi sampai jauh ke<br />

luar negeri. Kalaupun keluar rumah,<br />

perempuan tidak boleh sendiri harus<br />

didampingi semuhrim tambahnya.<br />

Lebih luas, tokoh agama lain,<br />

H. Muntahob, dari PP. Tahsinul<br />

Akhlak Winong-Cirebon<br />

menyatakan bahwa persoalan TKW<br />

bukan sebatas hukum boleh atau<br />

tidak wanita bekerja di luar negeri.<br />

Namun, menurut dia harus dilihat<br />

juga bagaimana fenomena<br />

merebaknya TKW turut<br />

berpengaruh terhadap<br />

perkembangan masyarakat saat ini<br />

baik secara sosial, ekonomi maupun<br />

budaya. Selain itu, terbatasnya<br />

perlindungan terhadap TKW<br />

dianggap sebagai persoalan lain.<br />

“agama tidak menghukumi TKW,<br />

tapi masalahnya para TKW tidak<br />

memperoleh jalan keluar serta<br />

perlindungan dari sisi agama”,<br />

tuturnya.<br />

Posisi perempuan yang<br />

dipersalahkan, setidaknya masih<br />

menjadi pijakan pemikiran ketika<br />

melihat persoalan TKW. Sebut saja,<br />

kasus-kasus TKW diperkosa<br />

majikan, tindak kekerasan atau<br />

kompensasi gaji tidak dibayar,<br />

dianggap beberapa tokoh agama dan<br />

masyarakat Cirebon dan Indramayu<br />

akibat ulah wanita yang melanggar<br />

larangan ketentuan agama. Bagi<br />

mereka, keharusan istri cukup<br />

beraktivitas di wilayah domestik.<br />

Anggapan itu tercermin misalnya<br />

dari pendapat salah seorang aktivis<br />

perempuan kampus Universitas<br />

Wiralodra (UNWIR) Indramayu.<br />

Dikatakan, TKW yang bekerja di luar<br />

negeri berarti menyalahi kodratnya<br />

sebagai seorang istri yang<br />

seharusnya melayani suami.<br />

16


“Tanggung jawab mencari nafkah<br />

adalah kewajiban suami”,<br />

ungkapnya.<br />

Pandangan serupa, juga<br />

disampaikan DR. H. Abdullah Ali,<br />

Dosen STAIN Cirebon dalam surat<br />

kabar lokal Cirebon, edisi Rabu 27<br />

Okt 04 lalu. DR. H. Abdullah Ali<br />

menyebutkan bahwa mengacu<br />

syariat Islam keberadaan TKW<br />

sangat bertentangan. Kedudukan<br />

sorang istri adalah ibu rumah tangga<br />

yang bila keluar rumah saja harus<br />

seizin suami. Seorang istri yang<br />

menjadi TKW, jelas tidak akan bisa<br />

menjalankan fungsinya sebagai ibu<br />

rumah tangga dengan baik. Hal itu<br />

menurut Abdullah Ali, telah<br />

menyalahi aturan syari'at Islam,<br />

karena telah mengganggu dan<br />

merusak keharmonisan hubungan<br />

dalam berumah tangga.<br />

Di sisi lain, korban TKW yang<br />

ditipu, disiksa, dilecehkan dan<br />

diperlakukan tidak adil, maupun<br />

wanita yang diprostitusikan<br />

dianggap sebagai “takdir” dan<br />

sebuah keniscayaan dari setiap<br />

pilihan pekerjaan. “Sudah nasib mbak,<br />

wong kerja baka beli untung ya apes,<br />

takdir kuwun" (sudah nasib mbak<br />

orang kerja kalau tidak untung ya<br />

apes--red). Itu resiko pekerjaan”<br />

ungkap Sanardi (38) warga desa<br />

Sukahaji Indramayu.<br />

Tampak, pandangan<br />

religiusitas yang masih dangkal dan<br />

literal menjadi fenomena umum di<br />

masyarakat Cirebon-Indramayu.<br />

Meskipun dalam praktek sosial<br />

kemasyarakatan tidak jarang<br />

menimbulkan distorsi. Namun,<br />

pemahaman tekstual seringkali<br />

dianggap mutlak kebenarannya.<br />

Sementara, upaya rekonstruksi<br />

pemikiran, kritisi dan reinterpretasi<br />

justru masih menuai kendala dan<br />

resistensi luar biasa.<br />

Terbatasnya Peran Kyiai<br />

Bagi warga di beberapa wilayah<br />

di Cirebon seperti di Desa Kroya dan<br />

Desa Karanganyar Kecamatan<br />

Panguragan atau Desa Gintung<br />

Kecamatan Ciwaringin, bekerja<br />

sebagai TKW adalah hal lumrah. Hal<br />

sama juga terjadi di kabupaten<br />

Indramayu. Di sana beberapa<br />

wilayah ditengarai sebagai lokus<br />

trafficking, seperti kecamatan Bongas,<br />

Gabus, Cikedung, Sukra, dan<br />

Arahan.<br />

Berbeda dari realitas itu,<br />

beberapa kyai dan ustadz setempat<br />

mengungkapkan ketidak<br />

setujuannya terhadap perempuan<br />

yang menjadi TKW. Alasan mereka<br />

cenderung didasarkan pada sebuah<br />

argumentasi agama, yakni wanita<br />

dilarang keluar rumah bila tidak<br />

dibarengi muhrim. Penolakan Kyai<br />

dan Ustadz itu, baru sebatas sikap.<br />

Kenyataannya, belum ada upaya<br />

serius dari perspektif agama untuk<br />

merubah kecenderungan yang<br />

terjadi. Selama ini, peran Kyai dan<br />

ustadz, lebih pada posisi sebagai<br />

tokoh berpengaruh terbatas pada<br />

wilayah penguatan moril-spiritual.<br />

Karena status ketokohan mereka<br />

misalnya; kerapkali para kyai<br />

dimintai do'a oleh para calon TKW<br />

agar mereka bisa berangkat dan<br />

berhasil di perantauan. KH. Badawi,<br />

tokoh keagamaan Desa Gintung,<br />

Ciwaringin-Cirebon,<br />

mengungkapkan dirinya seringkali<br />

didatangi calon TKW untuk dimintai<br />

do'a. “Selain saya do'akan, juga<br />

biasanya saya memberikan nasihat<br />

kepada mereka agar berhati-hati dan<br />

bisa menjaga diri”, ujarnya.<br />

Di desa tersebut, jika para calon<br />

TKW berada di penampungan atau<br />

sudah terbang ke negara tujuan,<br />

maka keluarganya mengadakan do'a<br />

selamatan dan pengajian Yasinan<br />

selama seminggu sampai sebulan.<br />

Dalam praktiknya, kebiasaan<br />

selamatan tidak terlepas dari<br />

peranan tokoh Kyai setempat.<br />

***n.zaman/aam<br />

17


UU PENGHAPUSAN<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

ekerasan terhadap<br />

perempuan, sudah<br />

berlangsung lama sejak Ksejarah bangsa ini bergulir.<br />

Meskipun demikian, isu kekerasan<br />

terhadap perempuan belum menjadi<br />

perhatian publik secara luas. Hal ini<br />

dipicu oleh persepsi bahwa kasuskasus<br />

tindak kekerasan terhadap<br />

perempuan seringkali terjadi di<br />

wilayah domestik-privasi, sehingga<br />

pihak lain tidak bisa terlibat<br />

intervensi. Persoalan kekerasan yang<br />

lebih banyak mengorbankan<br />

perempuan itu jarang terungkap.<br />

Terlihat dari data sebuah penelitian<br />

di Indonesia (dari catatan sebuah<br />

lembaga di Jakarta) yang<br />

menyebutkan temuan mengejutkan,<br />

bahwa --dari 171 kasus kekerasan<br />

atau penganiayaan terhadap istri---,<br />

hanya 17 korban (10%) yang<br />

melaporkan kasusnya kepada polisi.<br />

Bahkan sangat sedikit dari jumlah itu<br />

yang perkaranya kemudian<br />

dilanjutkan secara hukum.<br />

Rumitnya, kondisi itu ditambah<br />

dengan belum tersedianya piranti<br />

UU yang representatif sebagai acuan<br />

untuk melindungi perempuan dari<br />

tindak kekerasan, sekaligus<br />

membuat pelaku jera, dan bisa dijerat<br />

secara hukum.<br />

Perjalanan Panjang RUU Anti<br />

KDRT<br />

Upaya Komunitas perempuan<br />

dalam menggolkan UU<br />

Penghapusan KDRT (awalnya Anti<br />

KDRT) tidak dilalui mulus.<br />

Melainkan lewat proses perjuangan<br />

panjang yang melelahkan. Bahkan,<br />

kisah pahit banyak menyelimuti<br />

perjuangan mereka. Gerakan yang<br />

dimotori oleh Komnas Perempuan<br />

dan didukung oleh banyak NGO<br />

pendampingan perempuan korban<br />

kekerasan se-Indonesia ini akhirnya<br />

membuahkan hasil RUU Anti KDRT<br />

tidak urung dibahas juga, beberapa<br />

saat sebelum Presiden Megawati<br />

lengser.<br />

UU tersebut bagian dari<br />

gerakan penghapusan kekerasan<br />

terhadap perempuan (KTP) di<br />

Indonesia. Wilayah domestik dinilai<br />

sebagai area yang lebih banyak<br />

menyimpan kasus KTP tanpa proses<br />

penegakkan hukum yang adil bagi<br />

korban. Banyak pihak menganggap<br />

di dalam rumah adalah ruang private,<br />

bukan ruang publik sehingga sulit<br />

disentuh hukum positive.<br />

Sebaliknya, UU Anti KDRT ini akan<br />

menyeret seluruh pelaku KTP di<br />

dalam “rumah”, dan melindungi<br />

korban dari berbagai bentuk<br />

kekerasan.<br />

Akhirnya, setelah melewati<br />

proses panjang, secerca harapan<br />

keadilan bagi perempuan di negeri<br />

inipun mulai bergulir. Dimulai<br />

penyampaian surat dan naskah RUU<br />

Perlindungan terhadap Korban<br />

KDRT oleh Presiden Megawati<br />

Soekarno Putri awal Juli 2004 lalu<br />

kepada Pimpinan DPR. Presiden<br />

sekaligus menunjuk Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan sebagai<br />

wakil eksekutif untuk membahasnya<br />

bersama-sama DPR. Saat itu,<br />

meskipun melegakan kalangan<br />

aktivis perempuan, namun seperti<br />

diungkapkan Ketua Komnas<br />

Perempuan, Kamala Chandrakirana;<br />

--masa tugas DPR yang mau berakhir<br />

sempat memicu kekhawatiran<br />

aktivis pembahasan RUU akan<br />

menuai kendala--, bahkan bisa<br />

mentah kembali di tangan DPR baru<br />

nanti. (Kompas; 03/07/2004). Setelah<br />

satu bulan lebih, --tepatnya Senin<br />

(23/8) oleh Panitia Khusus Komisi<br />

VII DPR RI bersama Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan Sri<br />

Redjeki Sumaryono, akhirnya RUU-<br />

Anti KDRT tak urung dibahas juga.<br />

Eksekutif dan DPR sepakat, RUU<br />

dibahas secara maraton dengan<br />

target 08 September naskah akhir<br />

sudah ditandatangani. Bahkan Sri<br />

Redjeki pada kesempatan itu,<br />

menyatakan keseriusan eksekutif<br />

dalam soal mengundangkan RUU<br />

tersebut. “Saya minta masyarakat dan<br />

pers mengikuti perkembangan<br />

pembahasan dan memberi masukan<br />

kepada pemerintah untuk<br />

penyempurnaanya”, katanya.<br />

(Kompas; 25/08/2004) .<br />

Rapat lanjutan pembahasan<br />

RUU Penghapusan KDRT di tingkat<br />

Pansus antara pemerintah dan<br />

Komisi VII DPR, Senin (30/08)<br />

malam, memutuskan 39 sisa bab dan<br />

pasal masuk daftar inventarisasi<br />

masalah (DIM) untuk dibahas dalam<br />

rapat Panitia Kerja (Panja). Hal lain<br />

yang masuk dalam DIM adalah<br />

mengatur kewenangan pengadilan<br />

soal perlindungan korban, perintah<br />

perlindungan bagi korban,<br />

pembuktian dalam perkara KDRT,<br />

gugatan dan ganti rugi oleh korban<br />

sampai saksi bagi pelaku korban<br />

(Kompas, 01/09)<br />

Peluang Pelaku Dijerat, Lebih<br />

Terbuka<br />

Dalam pembahasan pasal demi<br />

pasal RUU Anti KDRT, berjalan<br />

lamban dan alot. Namun, di tengah<br />

alotnya pembahasan RUU Anti<br />

KDRT, pada Minggu (05/09) satu<br />

terobosan di bidang hukum telah<br />

diambil, --berupa lolosnya ketentuan<br />

tentang pembuktian kasus kekerasan<br />

dalam rumah tangga (KDRT)--;<br />

yakni perihal keterangan saksi<br />

korban ditambah satu alat bukti yang<br />

sah keterangan saksi, ahli, petunjuk,<br />

18


surat dan keterangan terdakwa<br />

sudah bisa membuktikan terdakwa<br />

pelaku KDRT. “Langkah ini<br />

merupakan respon positif terhadap<br />

kebutuhan kasus dalam KDRT yang<br />

langka dan unik karena sifatnya yang<br />

domestik (pribadi). Ini juga sekaligus<br />

memberikan proteksi kepada korban atau<br />

saksi”, komentar praktisi hukum Rita<br />

Kolibonso, SH., LLM. (Kompas,<br />

06/08). Menanggapi pasal yang<br />

memprioritaskan kesaksian korban,<br />

kelompok perempuan yang terdiri<br />

atas 60 organisasi pendukung RUU<br />

anti KDRT seperti Smita<br />

Notosusanto (CETRO), Kamala<br />

Candra Kirana (KOMNAS<br />

PEREMPUAN), Ratna Batara Munti<br />

(Koordiantor Jangka PKPT) dan<br />

lembaga aktivis perempuan lainya,<br />

mendesak DPR agar<br />

mengesahkannya. Secara<br />

keseluruhan mereka juga meminta<br />

Panja RUU Penghapusan KDRT<br />

mempertahankan pasal-pasal<br />

substansial yang sudah mereka<br />

usulkan dalam draf. (Kompas;<br />

04/09).<br />

Walaupun pada beberapa pasal<br />

tercatat sebagai kemajuan tersendiri,<br />

tapi beberapa hal sempat<br />

dipersoalkan oleh anggota Komisi<br />

VII DPR, --seperti tidak seluruhnya<br />

dalam rumusan pasal-- dicantumkan<br />

minimal hukuman yang bisa<br />

dijatuhkan kepada terdakwa--.<br />

Pengaturan penjatuhan hukuman<br />

minimal oleh hakim dinilai bisa<br />

menghindarkan penjatuhan<br />

hukuman memadai kepada<br />

terdakwa sehingga dirasa tak adil<br />

bagi korban. Terkait soal ini, Rita<br />

Kalibonso menyatakan tidak<br />

disebutkannya hukuman minimal<br />

akan membuat banyak kasus seperti<br />

perkosaan dan kekerasan seksual<br />

lain hanya mendapat hukuman<br />

percobaan atau hukuman penjara,<br />

--terlalu jauh dari hukuman<br />

maksimal yang bisa diberikan--<br />

.(Kompas; 08/08).<br />

RUU KDRT ke Sidang Paripurna<br />

Setelah selama dua minggu<br />

dibahas dalam rapat Komisi,<br />

akhirnya Komisi VII DPR pada Rabu<br />

(08/09) malam, sepakat membawa<br />

RUU Penghapusan KDRT ke sidang<br />

Paripurna. Ketentuan baru yang<br />

masuk RUU adalah dicantumkannya<br />

larangan atas marital rape<br />

(Pemaksaan hubungan seks secara<br />

tidak wajar atau dengan cara tak<br />

disukai) pada pasal 46. Sementara,<br />

usulan agar RUU memberikan batas<br />

minimal hukuman bagi semua<br />

tindak pidana KDRT tidak sempat<br />

dibahas. (Kompas; 09/09) .<br />

UU Penghapusan KDRT pada<br />

dasarnya, dibuat memang untuk<br />

mencegah agar setiap orang berfikir<br />

ulang sebelum melakukan kekerasan<br />

kepada pihak lain--. Terkait upaya<br />

peningkatan kepedulian itu, --pasal<br />

15 RUU Penghapusan KDRT yang<br />

memuat ketentuan bahwa setiap<br />

orang yang melihat, mendengar,<br />

atau mengetahui terjadinya<br />

kekerasan dalam rumah tangga;<br />

disebutkan wajib untuk mencegah<br />

terjadinya tindak pidana dan<br />

membantu korban KDRT--. Selain<br />

itu, kewajiban pemerintah adalah<br />

bertanggungjawab dalam upaya<br />

pencegahan KDRT. Juga pemerintah<br />

harus berkoordinasi dengan instansi<br />

terkait, lembaga sosial untuk<br />

penghapusan KDRT, memberi<br />

informasi dan pendidikan<br />

pencegahan KDRT, sekaligus<br />

menetapkan standar dan akreditasi<br />

pelayanan sensitif gender. Pada<br />

pasal 16, RUU mengatur kewajiban<br />

polisi menangani laporan KDRT<br />

sekaligus bekerjasama dengan<br />

tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan<br />

pembimbing rohani mendampingi<br />

korban. Adapun, menyadari fakta<br />

bahwa korban sering tidak berani<br />

melapor, RUU dalam pasal 26<br />

menentukan bahwa korban bisa<br />

memberikan kuasa kepada keluarga<br />

atau pihak lain untuk melapor ke<br />

Polisi. (Kompas; 11/08).<br />

Setelah melewati proses<br />

pembahasan cukup pelik, baik di<br />

tingkat komisi maupun di tingkat<br />

paripurna, RUU Pencegahan KDRT,<br />

pada 14 September 2004 akhirnya<br />

resmi disyahkan. UU yang kemudian<br />

dikenal dengan UU Penghapusan<br />

KDRT No. 23 Tahun 2004 itu,<br />

--merupakan bentuk konkret respon<br />

negara terhadap maraknya kasuskasus<br />

kekerasan terhadap<br />

perempuan--. Sebagai political will<br />

Negara ; UU tersebut lahir sebagai<br />

upaya meminimalisir terjadinya<br />

tindak kekerasan di wilayah<br />

domestik rumah tangga, yang<br />

selama ini nyaris sulit tersentuh<br />

bahkan dalam proses hukum<br />

sekalipun. ***add.<br />

Cerita Duka Rusmini sambungan dari hal 15<br />

tidak berfungsi lagi sehingga harus<br />

dioperasi”, tuturnya. Namun, bukannya<br />

dioperasi, Rusmini malah<br />

dipulangkan. Ia dipaksa<br />

menandatangani perjanjian tidak akan<br />

menuntut ganti rugi apapun.<br />

Pulang dengan Menanggung Derita<br />

Kepulangan Rusmini pada awal<br />

tahun 2001 ke Indonesia menyisakan<br />

kepedihan yang mendalam. Dirinya<br />

membawa uang sebesar 20 juta, hasil<br />

jerih payah bekerja selama 16 bulan.<br />

Bila dihitung, nilai uang itu tidak<br />

sebanding pengorbanannya. Selain<br />

mengalami kebutaan, Rusmini harus<br />

menanggung beban sakit dari lukaluka<br />

di sekujur tubuhnya. Belum lagi<br />

tekanan psikologis yang dialaminya.<br />

Tiba di Indonesia, korban berobat<br />

di Rumah Sakit di Jakarta atas biaya<br />

asuransi Tenaga Kerja. Sementara,<br />

Pihak Pemda, Disosnaker Indramayu<br />

sendiri, baru mengetahui kasus yang<br />

menimpa Rusmini dari informasi<br />

pihak media (Trans TV) dan LSM yang<br />

membantu mengadvokasi. Walaupun,<br />

akhirnya Rusmini selamat bisa<br />

berkumpul kembali bersama<br />

keluarganya, tapi kini dirinya harus<br />

rela menanggung cacat kebutaan<br />

seumur hidup.*****Aam/add.<br />

19


SEMINAR dan WORKSHOP<br />

Prospek Pendidikan dan Kesehatan<br />

di Indramayu<br />

ahmina-Institut Cirebon,<br />

CESDA-LP3ES dan NZAID,<br />

pada Senin, 26 Juli 2004 lalu, Fbertempat di Hotel Prima, Jl. D.I<br />

Panjaitan Kav. 19 No.85 Indramayu,<br />

menyelenggarakan seminar sehari<br />

bertema “Prospek Pendidikan dan<br />

Kesehatan di Indramayu; Problem dan<br />

Tantangan”. Seminar menghadirkan 3<br />

pembicara, Burhanuddin dari LP3ES,<br />

Faqihuddin A.K. dari <strong>Fahmina</strong>, dan<br />

Ahmad Syadili dari Dinas Pendidikan<br />

Kabupaten Indramayu.<br />

Kegiatan itu diikuti sekira 60<br />

orang dari berbagai pihak baik Pemda<br />

(Dinas Pendidikan dan Kesehatan<br />

Kabupaten Indramayu), akademisi,<br />

mahasiswa, pers, praktisi pendidikan,<br />

pesantren, LSM dan masyarakat<br />

umum. Namun, disayangkan anggota<br />

dewan dan Kepala Dinas Pendidikan<br />

dan Dinas Kesehatan berhalangan<br />

hadir.<br />

Dalam paparan, Burhanuddin,<br />

menyebutkan bahwa kondisi<br />

pendidikan di Indonesia saat ini masih<br />

belum mencerminkan keberpihakan<br />

pada rakyat kecil, apalagi sampai pada<br />

kondisi bebas biaya atau gratis. Pihak<br />

sekolah masih menarik berbagai<br />

pungutan. Pihak pemerintah sendiri,<br />

sepertinya tidak bisa berbuat banyak.<br />

Namun demikian, mengacu hasil<br />

penelitian LP3S, Burhanudin menilai<br />

kualitas pendidikan di Pulau Jawa<br />

relatif lebih baik, bila dibandingkan<br />

dengan di luar Jawa. “Serendahrendahnya<br />

mutu pendidikan di<br />

Indramayu, masih lebih baik bila<br />

dibandingkan dengan pendidikan di NTT<br />

maupun Papua” katanya. Di kedua<br />

daerah itu, menurut Burhanuddin<br />

penduduknya tersebar<br />

diberbagai wilayah,<br />

sehingga sekolahsekolah<br />

umum masih<br />

kurang. Bahkan, di<br />

Papua masih sangat<br />

sedikit sekali<br />

masyarakat yang<br />

memperoleh pendidikan<br />

dan kesehatan<br />

tambahnya.<br />

Ahmad Syadili<br />

dari Dinas Pendidikan<br />

Kabupaten Indramayu,<br />

lebih banyak berbicara<br />

soal kebijakan-kebijakan<br />

Pemda Indramayu<br />

terkait pendidikan.<br />

Syadili melihat Pemda<br />

Indramayu sudah cukup<br />

peduli terhadap dunia<br />

pendidikan. Perhatian<br />

Pemda menurutnya<br />

dibuktikan lewat<br />

dikeluarkannya Renstra<br />

Wajar Dikdas 2008. Soal ketentuan<br />

biaya pendidikan, Bupati telah<br />

mengeluarkan surat edaran (SE)<br />

mengenai DSB yang besarannya tidak<br />

boleh melebihi Rp. 400.000,- untuk SD,<br />

Rp.600.000,- bagi SMP dan Rp.<br />

700.000,- untuk siswa Sekolah<br />

Menengah Atas (SMA). Dari segi<br />

anggaran, dana bagi sektor pendidikan<br />

di Indramayu relatif tinggi mencapai<br />

40%. Selain itu, menurut Syadili,<br />

Bupati Indramayu melalui<br />

kebijakannya telah mengeluarkan<br />

Perda No 2 tahun 2003 terkait<br />

kewajiban mengikuti pendidikan<br />

Madrasah Diniyah Awwaliyyah<br />

(MDA) bagi pelajar SD yang akan<br />

melanjutkan ke jenjang berikutnya.<br />

Faqihuddin Abdul Kodir, selaku<br />

pembicara berikutnya menuturkan<br />

pengalaman <strong>Fahmina</strong> dalam<br />

20


mengadvokasi kebijakan publik di<br />

Kota Cirebon. Sebagaimana hasil<br />

investigasi yang dilakukan oleh temanteman<br />

<strong>Fahmina</strong>, Faqih menyebutkan<br />

bahwa Pemda Kota Cirebon hanya<br />

menganggarkan 6% dari total APBD<br />

bagi sektor pendidikan. Dari data<br />

tahun 2004, diketahui sekitar 2100 anak<br />

usia sekolah tidak bisa melanjutkan<br />

pendidikan karena tidak bisa<br />

membayar pungutan sekolah<br />

tuturnya.<br />

Seminar kali ini, diakhiri dengan<br />

menghasilkan beberapa rekomendasi,<br />

yakni : Pertama, Kegiatan mengkritisi<br />

dan mengadvokasi kebijakan Pemda<br />

Indramayu hendaknya terus<br />

dilakukan. Kedua, Ketika melakukan<br />

penelitian hendaknya jangan hanya<br />

mengambil data dari pihak Pemda saja,<br />

tapi juga dari masyarakat, LSM serta<br />

praktisi pendidikan. Dan Ketiga,<br />

Kegiatan seminar ini hendaknya<br />

mengeluarkan atau memutuskan<br />

solusi atau rekomendasi yang<br />

disampaikan kepada Pemda<br />

Indramayu.<br />

Sebagai tindak lanjut dari<br />

Seminar Sehari bertema “Prospek<br />

Pendidikan dan Kesehatan di<br />

Indramayu; Problem dan Tantangan",<br />

pada hari Senin, 26 Juli 2004, maka<br />

selanjutnya selama 3 hari mulai<br />

tanggal 27 sampai 29 Juli 2004<br />

dilangsungkan kegiatan<br />

workshop.<br />

Secara umum rangkaian<br />

kegiatan seminar dan<br />

workshop, selain bertujuan<br />

sebagai pendalaman<br />

pemahaman tentang HESB<br />

(Hak Ekonomi Sosial dan<br />

Budaya) khususnya hak<br />

pendidikan dan kesehatan,<br />

juga diarahkan untuk<br />

melakukan penyusunan<br />

rancangan panduan<br />

monitoring hak pendidikan<br />

dan kesehatan di Indramayu,<br />

serta menyusun pula<br />

metodeloginya.<br />

Workshop melibatkan<br />

20 orang peserta yang terdiri<br />

dari 5 orang dari LP3ES, 5<br />

orang dari <strong>Fahmina</strong>-institute<br />

dan 10 peserta lainnya berasal<br />

dari berbagai elemen masyarakat di<br />

Indramayu meliputi akademisi,<br />

mahasiswa, wartawan, masyarakat<br />

biasa, LSM dan praktisi pendidikan.<br />

Mengenal Lebih Jauh tentang HAM<br />

Selama tiga hari peserta<br />

workshop larut dalam eksplorasi dan<br />

sharing pengalaman tentang HAM<br />

serta bagaimana melakukan<br />

monitoring terhadap implemetasi<br />

HAM oleh <strong>Fahmina</strong> dan LP3S yang<br />

akan dikonsentrasikan di wilayah<br />

Indramayu. Kegiatan pendalaman<br />

dipandu oleh fasilitator Harry<br />

Wibowo dari Project Director Human<br />

Right Education For Journalist & Media<br />

Practicioners LSPP.<br />

Dalam kegiatan pendalaman,<br />

yang lebih banyak diwarnai diskusi,<br />

Harry Wibowo memfasilitasi peserta<br />

workshop untuk mengetahui secara<br />

umum tentang HAM. Beberapa hal<br />

atau konsep terkait HAM, sempat<br />

dibahas, di antaranya tentang<br />

batasan definisi antara hak dan<br />

kewajiban, DUHAM dalam konteks<br />

posisi hukum hak-hak manusia, dan<br />

prinsip-prinsip HAM seperti<br />

universitalitas, non diskriminasi, tak<br />

terpisahkan (inalienability), tak<br />

terenggutkan (indivisbility) dan<br />

saling tergantung (indepedency).<br />

Pada kesempatan itu, konsep<br />

kebebasan berpendapat sebagai hak<br />

asasi manusia juga dibahas. Terkait<br />

soal itu, diketahui bahwa kebebasan<br />

bisa dibatasi dengan alasan; Pertama,<br />

untuk keamanan nasional dan<br />

ketertiban umum. Kedua, untuk<br />

kesehatan dan moral masyarakat<br />

(publik) (misalnya, dikenakan sensor<br />

untuk pornografi). Ketiga, untuk<br />

menghormati hak dan reputasi orang<br />

lain, dan keempat ketika dalam<br />

keadaan darurat/perang.<br />

Pemetaan Langkah Monitoring<br />

Selanjutnya, workshop HAM<br />

diarahkan juga pada agenda rencana<br />

monitoring HAM yang rencananya<br />

akan difokuskan di wilayah<br />

Indramayu. Pada sesi ini, peserta<br />

hanya dikhususkan dari <strong>Fahmina</strong><br />

dan LP3ES yang seluruhnya<br />

berjumlah 10 orang.<br />

Dalam Forum, kedua lembaga<br />

sepakat untuk bekerjasama dalam<br />

kerja-kerja monitoring HAM di<br />

Indramayu. Secara lebih rinci, teknis<br />

dan metode analisis monitoring,<br />

serta strategi advokasi dan rencana<br />

tindak lanjut pada kesempatan itu<br />

dirumuskan secara bersama dipandu<br />

Harri Wibowo. **MR/add.<br />

21


Edi Sudiana:<br />

Pemda Indramayu<br />

sudah Merespon atas Maraknya Kasus Trafficking<br />

Beberapa wilayah Indramayu dikenal luas sebagai lokus kasus-kasus trafiking, khususnya eksploitasi<br />

gadis-gadis bagi industri Seks Komersial. Mengacu data Polres Indramayu, --dalam kurun tahun 2002-2003<br />

tercatat 19 kasus penjualan gadis dengan 61 orang korban berusia antara 14 sampai 25 tahun--. Mereka<br />

diperjualbelikan sebagai PSK dibeberapa kota besar di pulau Jawa, Batam, Riau, Palembang, bahkan<br />

Malaysia. Para korban dihargai berkisar antara Rp. 150.000 sampai Rp.1.300.000. Diduga kuat, masih<br />

banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap.<br />

Namun, maraknya kasus-kasus trafiking tampaknya belum disikapi serius. PEMDA Indramayu belum<br />

memiliki “politikal will” yang jelas dalam menyikapi kasus-kasus trafiking sehingga bisa ditekan. Setidaknya,<br />

kebijakan khusus dari PEMDA agar para pelaku yang terlibat dalam jaringan trafiking menjadi jera dirasa<br />

mendesak. Bagaimana keseriusan PEMDA Indramayu terhadap penanganan persoalan trafiking ini? Berikut<br />

wawancara Aam Azmiah dari Blakasuta dengan Edi Sudiana, Kesra Pemberdayaan Perempuan PEMDA<br />

Indramayu sekaligus Ketua FKPP (Forum Komunikasi Perlindungan Perempuan), pada Jum'at 17<br />

September 2004 lalu.<br />

Apa latar belakang FKKP dibentuk?<br />

FKKP (Forum Komunikasi Perlindungan<br />

Perempuan) dibentuk sebagai respon atas<br />

maraknya kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan baik berupa pemerkosaan,<br />

poligami, perselingkuhan, penganiayaan dan<br />

traffiking. FKKP dibentuk tahun 2002 lewat<br />

SK Bupati No. 2260.05/2002. Dalam<br />

operasionalnya FKKP diketuai langsung oleh<br />

Kesra Pemberdayaan Perempuan PEMDA<br />

Indramayu.<br />

Apa progam FKKP sekarang?<br />

Setiap minggu FKKP rutin mengisi<br />

talkshow di radio membahas tema seputar<br />

kekerasan terhadap perempuan dan anak,<br />

termasuk juga persolaan trafiking. FKPP<br />

sendiri terkait soal trafiking tidak melakukan<br />

kerja teknis. Kita berjejering dengan temanteman<br />

LSM, PKK, Pramuka, Karang Taruna,<br />

GOW (Gabungan Organisasi Wanita), serta<br />

organisasi-organisasi keagamaan<br />

perempuan seperti Fayatat-NU dan Aisiyah-<br />

Muhammadiyah.<br />

Bentuk kerjasamanya seperti apa?<br />

Kita koordinasi untuk mengadakan<br />

konseling di beberapa kecamatan yang<br />

ditengarai sebagai lokus trafiking. Beberapa<br />

jejaring FKKP secara teknis bergerak<br />

melakukan penanganan langsung terhadap<br />

kasus-kasus trafiking yang ada di<br />

masyarakat. Ya... mereka kita honor<br />

seadanya sebab FKPP sendiri belum<br />

memiliki dana yang memadai. Sementara<br />

dari APBD untuk program pemberdayaan<br />

perempuan hanya dialokasikan dana sebesar<br />

40 juta setahun.<br />

Berarti termasuk kecil, apa pihak PEMDA<br />

sendiri tidak melihat bahwa persoalan<br />

perempuan semisal kekerasan,<br />

pelecehan, KDRT, atau trafiking telah<br />

menjadi persoalan khusus di Indramayu?<br />

Kita sama-sama sudah tahu, bupati<br />

sendiri saya lihat cukup memiliki komitmen<br />

terhadap masalah-masalah kekerasan<br />

perempuan, termasuk trafiking dengan<br />

membentuk FKKP. FKKP sendiri sudah<br />

mencanangkan beberapa program dan di<br />

antaranya sudah kita realisasikan, seperti<br />

beberapa waktu lalu FKKP mengemas acara<br />

Kemping Pramuka se- Kabupaten Indramayu<br />

yang melibatkan sekitar 3000 siswa diisi<br />

dengan sosialisasi trafiking. Kami juga<br />

menggelar spanduk anti trafiking yang<br />

kemudian ditandantangani oleh peserta.<br />

Pada level PEMDA sendiri, bagaimana<br />

keseriusannya terhadap persoalan<br />

trafiking?<br />

Saya menilai bupati cukup serius dalam<br />

soal itu. Buktinya anggaran pendidikan<br />

dialokasikan dari APBD sebesar 23%. Sebab<br />

memang setelah diidentifikasi akar persoalan<br />

trafiking adalah rendahnya tingkat<br />

pendidikan. Bahkan bupati sendiri, tidak<br />

segan-segan turun langsung untuk<br />

memonitor realisasi dana pendidikan<br />

tersebut, selain juga dibentuk Badan<br />

Pengawas Khusus (BPK).<br />

Jika persoalan trafiking dilihat secara<br />

luas, maka akan terkait pula dengan<br />

persoalan ketimpangan sistem dan struktur,<br />

Bagaimana upaya legislasi sebagai<br />

perwujudan “Good Will” dan<br />

keberpihakan PEMDA Indramayu<br />

terhadap perempuan ?<br />

Untuk upaya legislasi, PEMDA lewat<br />

BAPPEDA akan melakukan hearing dengan<br />

DPRD. Untuk itu kita menguatkan jejaring<br />

dengan berbagai elemen masyarakat,<br />

Ormas, dan LSM guna bersama-sama<br />

mendesak DPRD tentang pentingnya<br />

legislasi yang khusus menangani persoalanpersoalan<br />

perempuan termasuk trafiking<br />

sebagai salah satu agenda utama. Soal<br />

alokasi dalam APBD sendiri, --kita pesimis<br />

bahwa persoalan perempuan akan<br />

diprioritaskan.<br />

Soal terbatasnya dana, apa yang<br />

dilakukan oleh FKKP sendiri ?<br />

FKKP bekerjasama dengan Dinas Sosial<br />

Tenaga Kerja Indramayu, misalnya dengan<br />

mengalokasikan dana bantuan bagi<br />

perawatan korban kekerasan perempuan.<br />

Persoalan trafiking terkait pula dengan<br />

power persepsi agama dalam kehidupan<br />

masyarakat, di Indramayu sendiri apakah<br />

upaya-upaya pemberdayaan masyarakat<br />

yang berbasis pemahaman keagamaan<br />

sudah pernah dilakukan ?<br />

Sementara ini, saya belum pernah<br />

melihat ke arah itu. ******<br />

22


Oleh : Mansur<br />

Maraknya kasus trafficking (perdagangan perempuan dan<br />

anak) akhir-akhir ini berawal dari adanya anggapan yang hanya<br />

memandang perempuan sebagai obyek dan benda mati.<br />

Perempuan, dalam konteks ini dianggap sebagai barang komoditi<br />

yang bisa dipindah-pindahkan untuk diperdagangkan dengan cara<br />

memanipulasi, mengeksploitasi dan bahkan menjualnya secara<br />

paksa.<br />

Dalam prakteknya, 'perdagangan perempuan' ini<br />

menyangkut segala perilaku yang melingkupi rekruitmen,<br />

pemindahan secara paksa dan atau jual beli, atas diri perempuan,<br />

di dalam maupun melewati batas-batas negara, dengan<br />

menggunakan cara-cara tidak jujur, atau menipu, mengancam<br />

secara langsung atau tidak langsung, dengan tujuan<br />

menempatkan perempuan di luar keinginan atau<br />

sepengetahuannya.<br />

Yang masuk dalam istilah 'perdaganan perempuan', tidak<br />

saja pelacuran yang dipaksakan atau perdagangan seks,<br />

melainkan juga bentuk-bentuk eksploitasi lain, kerja paksa dan<br />

praktek perbudakan, termasuk penjualan perempuan sebagai<br />

pembantu rumah tangga atau isteri simpanan.<br />

Agama manapun, termasuk Islam tentu tidak merestui<br />

praktek-praktek 'perdagangan' seperti ini. Tetapi kita tidak<br />

sepantasnya menyalahkan mereka yang menjadi korban<br />

'perdagangan' tersebut sebagai perempuan yang tidak berakhlak<br />

dan tidak bertanggung jawab. Karena mereka adalah korban, dari<br />

sebuah sistem sosial yang tidak pernah memberikan kesempatan<br />

kepada mereka untuk bisa hidup layak sebagai manusia yang<br />

memiliki harga diri.<br />

Kebodohan dan kemiskinan perempuan, seringkali menjadi<br />

penyebab utama dan membuat mereka menjadi rentan terhadap<br />

praktek-praktek perdagangan atau trafficking. Karena itu,<br />

kemandirian ekonomi perempuan dan pendidikan perempuan<br />

menjadi suatu keharusan untuk diprioritaskan. Baik pada tingkat<br />

keluarga, masyarkat, maupun kebijakan negara di pusat dan di<br />

daerah.<br />

Islam adalah agama yang senantiasa menebarkan<br />

rahmatan lil 'alamin dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.<br />

Islam melarang dan menentang keras berbagai tindakan yang<br />

melanggar hak-hak kemanusiaan termasuk praktik-praktik<br />

perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Hal ini<br />

sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt: "Dan sungguh<br />

telah Kami muliakan anak-ana Adam (manusia)" (QS, al-Isra, 17:<br />

70).<br />

Kalau diamati secara cermat, Perdagangan perempuan dan<br />

anak pada dasarnya bukan masalah baru dalam konteks<br />

peradaban umat manusia. Ini adalah masalah purba yang<br />

dimodernisasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah legal, benar,<br />

dan sesuai dengan trend peradaban manusia kontemporer.<br />

Dalam masyarakat Arab pra-Islam, yang sering disebut<br />

dengan masyarakat jahiliyah, praktik-praktik yang merendahkan<br />

martabat kemanusiaan ini sudah terjadi. Di mana manusia yang<br />

lemah diperbudak oleh meraka yang kuat dan berkuasa,<br />

perempuan diperlakukan sebagai barang yang diwariskan, dikubur<br />

hidup-hidup karena menanggung malu (aib), dipertukarkan<br />

dengan kepentingan tertentu, dijadikan pemuas nafsu seksual<br />

bagi para pembesar dan pemenang perang, dan dijadikan budak<br />

yang dapat diperjual-belikan oleh siapapun yang memiliki uang<br />

dan kekuasaan.<br />

Setelah Islam datang yang dibawa oleh Muhammad,<br />

berbagai bentuk perlakuan yang merendahkan derajat<br />

kemanusiaan tersebut sedikit demi sedikit dihapuskan. Islam<br />

datang dengan membawa derajat kesamaan tanpa membedakan<br />

manusia berdasarkan ras, etnis dan jenis kelamin. Sistem<br />

perbudakan dihapus, martabat perempuan diangkat dan<br />

disejajarkan dengan laki-laki.<br />

Kasus-kasus perdagangan manusia yang sudah terungkap<br />

di media sudah cukup banyak, apalagi jika digabungkan dengan<br />

yang tidak terungkap akan banyak sekali jumlahnya. Kasus-kasus<br />

ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk: Pertama,<br />

Perdagangan anak untuk dipekerjakan di jermal (lepas pantai);<br />

Kedua, Perdagangan untuk dipekerjakan sebagai pekerja<br />

domestik. Seringkali, awalnya para perempuan atau anak<br />

dijanjikan untuk disekolahkan dengan gratis, atau perempuan<br />

akan memperoleh gaji besar, padahal mereka dipekerjakan dalam<br />

wilayah domestik (pembantu di dalam rumah), tanpa persetujuan<br />

dan sepengetahuan mereka; Ketiga, Perdagangan untuk dijadikan<br />

pengemis. Fenomena pengemis yang terjadi di pinggir jalan atau di<br />

lampu merah, banyak sekali dari mereka yang dikoordinir oleh<br />

seseorang yang dengan paksa merekrut anak-anak, bahkan bayi,<br />

dan perempuan untuk mengemis di jalan-jalan; Keempat,<br />

Perdagangan untuk peredaran narkotika dan obat-obat terlarang;<br />

Kelima, Perdagangan anak/perempuan untuk dipekerjakan<br />

sebagai pekerja seks. Dalam suatu penelitian, hampir 30 % dari<br />

pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak yang berumur di<br />

bawah 18 tahun, yang pasti direkrut dengan cara paksa, atau<br />

melalui penipuan yang terorganisir. Bahkan, yang sudah<br />

dewasapun, kebanyakan dari mereka terjerumus karena jeratan<br />

para pelaku perdagangan manusia (trafficking); Keenam,<br />

Perdagangan perempuan untuk kepentingan 'perkawinan palsu'<br />

antar negara, hanya untuk pemuasan nafsu belaka; dan Ketujuh,<br />

Perdagangan melalui adopsi palsu untuk kepentingan yang sama<br />

sekali tidak jelas, dan tidak menguntungkan korban.<br />

Kasus perdagangan manusia di atas memerlukan komitmen<br />

yang tegas dari seluruh komponen masyarakat, terutama para<br />

penegak hukum. Jika tidak, maka korban yang jatuh akan terus<br />

bertambah. Hari ini orang lain, esok mungkin tetangga kita,<br />

saudara, atau mungkin kita sendiri yang menjadi korban.<br />

Kemanusiaan kita memang sedang diuji, apakah kita mampu<br />

mengatasinya atau malah melanggengkannya. Trafficking menjadi<br />

sebuah ancaman besar bagi nilai-nilai kemanusiaan kita.<br />

Dan bagi para pelaku trafficking ingatlah akan pesan Nabi<br />

Saw yang menyatakan bahwa: “Diantara orang yang menjadi<br />

musuh Allah di akhirat nanti, adalah orang yang mempekerjakan<br />

buruh, menerima manfaat darinya, tetapi ia tidak memberikan<br />

upahnya (yang semestinya)” [HR, Muslim].<br />

23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!