Petir
KEPiNG 38 Sepupu-sepupu kami masuk ke sekolah swasta Kristen atau dikirim ke luar negeri, sementara kami dicemplungkan ke sekolah negeri sejak SD. Mereka kerap dihujani angpau karena kebolehannya menyanyi lagu Mandarin, dan selama itu aku dan Watti duduk di sudut, ngiler melihat amplopam plop kecil di tangan para orang tua, tetapi tak bisa berbu at apa-apa. Nyanyi “Manuk Dadali” tentu tak akan menghasil kan uang. Hidupku dan Watti seolah-olah berada di dua alam. Kami adalah amfibi yang menjadi aneh di tengah hewan darat dan dicibiri ikan-ikan kalau nyemplung ke air. Menjadi China di sekolah negeri sama sekali bukan hal simpel. Masa sekolah merupakan masa perjuanganku menetralkan indra pen de ngaran supaya hati ini tak perlu nyelekit ketika anekdot-anekdot yang menyangkut ras China sampai ke kuping. Seringnya, kami semua lupa soal kami ini China atau pri bumi. Namun, ketika temanku di jalan mengumpat, “China loleng!” ke segerombolan anak China yang tak dikenal nya, aku pun berjuang setengah mati agar tidak ter singgung. Ketika anak-anak kelas 3 yang menongkrong di warung ber tukar cerita tentang pengalaman mabuk pertama mereka dengan alkohol murah lalu berkomentar, “Gelo, siah, rasana! Jiga digebug China teu ngalawan!” 2 Ketika seseorang mencele tuk iseng sambil menunjuk anak China kecil, “Ka- 2 “Gila rasanya! Seperti digebuk China nggak melawan!” 26
PEtir sihan, ya. Kecil-kecil sudah China.” Ketika kami lulus dan corat-coret seragam, mataku terpentok pada sebaris tulisan, “Bandung Anti-China”. Dan, di dunia tempatku meleburkan diri, semua itu terdengar normal. Padahal tidak. Tidak ketika kulitmu berwarna kuning dan susah gosong sekalipun dijemur se harian di lapangan dan matamu tetap sipit padahal engkau sedang melotot lebar-lebar. Semua usahaku tak pernah ber hasil. Hatiku tetap tertusuk-tusuk. Sebaliknya, ketika kami pindah dunia, fisik kami yang China justru tidak membantu. Akibat sama-sama berkulit ku ning dan bermata sipit, kami lantas dicap ketinggalan zaman gara-gara tidak nge-fans sama Aaron Kwok. Dan, aku pun berbisik kepada Watti, “Siapa, sih, Aaron Kwok?” Hatiku mi ris dan bertanya-tanya ketika sepupu-sepupu bergosip da lam bahasa Mandarin, lalu cekikikan melihat kami berdua. Hatiku berontak saat para orang tua mengkritik pedas Watti yang ke tahuan pacaran dengan cowok pribumi. Jangan salah kan ka kakku. Apa yang ia lihat setiap hari, apa yang ia gun jingkan dengan teman-teman ceweknya di sekolah adalah cowok-co wok berkulit cokelat, bermata besar, dan tak punya dua nama. Dan, ketahuilah, hanya saat acara arisan keluarga, aku dan Watti bisa menjadi tim kompak yang melindungi satu sama lain. Untuk semua sikap Dedi dan konsekuensinya atas kami, jarang sekali aku mensyukuri. Namun, ketika melihat Dedi membela pendirian yang menjadi alas bagi kami tumbuh 27
- Page 2 and 3: Undang-undang Republik Indonesia No
- Page 4 and 5: SUPERNOVA, EPISODE: PETIR Karya Dee
- Page 7: ELEKTRA berterima kasih kepada: AKP
- Page 11 and 12: KEPING 37 Kado Hari Jadi 2 0 0 3
- Page 13 and 14: Kado Hari Jadi mun, ia belum mau me
- Page 15 and 16: Kado Hari Jadi “Dan, men-defrag o
- Page 17 and 18: Kado Hari Jadi Bukannya orang justr
- Page 19: Kado Hari Jadi Diva dinyatakan hila
- Page 23 and 24: 2 0 0 1 Bandung “Maaf, siapa nam
- Page 25 and 26: PEtir nya. Yang kami miliki hanyala
- Page 27 and 28: PEtir pen ke tubuhnya, dan percaya
- Page 29 and 30: PEtir Ya. Aku juga ingin tahu apa i
- Page 31 and 32: PEtir nasan dibakar ayat-ayat suci
- Page 33 and 34: PEtir Bang Nelson tiba-tiba merepet
- Page 35: PEtir atau tidak hanyalah masalah t
- Page 39 and 40: PEtir “Kenapa, sih, Dedi jadi tuk
- Page 41 and 42: PEtir pun masih tidak apa-apa, belu
- Page 43 and 44: PEtir di pasar, kek, atau di jalan,
- Page 45 and 46: PEtir Watti menimpali, galak, “De
- Page 47: PEtir an. Sementara, kalau kulihat-
KEPiNG 38<br />
Sepupu-sepupu kami masuk ke sekolah swasta Kristen<br />
atau dikirim ke luar negeri, sementara kami dicemplungkan<br />
ke sekolah negeri sejak SD. Mereka kerap dihujani angpau<br />
karena kebolehannya menyanyi lagu Mandarin, dan selama<br />
itu aku dan Watti duduk di sudut, ngiler melihat amplopam<br />
plop kecil di tangan para orang tua, tetapi tak bisa berbu<br />
at apa-apa. Nyanyi “Manuk Dadali” tentu tak akan menghasil<br />
kan uang.<br />
Hidupku dan Watti seolah-olah berada di dua alam. Kami<br />
adalah amfibi yang menjadi aneh di tengah hewan darat<br />
dan dicibiri ikan-ikan kalau nyemplung ke air. Menjadi<br />
China di sekolah negeri sama sekali bukan hal simpel. Masa<br />
sekolah merupakan masa perjuanganku menetralkan indra<br />
pen de ngaran supaya hati ini tak perlu nyelekit ketika anekdot-anekdot<br />
yang menyangkut ras China sampai ke kuping.<br />
Seringnya, kami semua lupa soal kami ini China atau<br />
pri bumi. Namun, ketika temanku di jalan mengumpat,<br />
“China loleng!” ke segerombolan anak China yang tak dikenal<br />
nya, aku pun berjuang setengah mati agar tidak ter singgung.<br />
Ketika anak-anak kelas 3 yang menongkrong di warung<br />
ber tukar cerita tentang pengalaman mabuk pertama<br />
mereka dengan alkohol murah lalu berkomentar, “Gelo, siah,<br />
rasana! Jiga digebug China teu ngalawan!” 2 Ketika seseorang<br />
mencele tuk iseng sambil menunjuk anak China kecil, “Ka-<br />
2<br />
“Gila rasanya! Seperti digebuk China nggak melawan!”<br />
26